STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
Oleh Zuhaida Khoirun Niswah I34070046
Dosen Pembimbing Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ii
ABSTRACT ZUHAIDA KHOIRUN NISWAH.
Livelihood Strategies of Indigeneous People of
Kasepuhan Sinar Resmi in Gunung Halimun Salak National Park (Supervised by: SOERYO ADIWIBOWO)
This research essentially aims to see the change of livelihood strategies in Kasepuhan Sinar Resmi which resulted of changes in access of natural resources. The subjects of this research were the household of Kasepuhan Sinar Resmi people in Cimapag Viilage, local communities, and Gunung Halimun Salak National Park managers. The methods of this research through a qualitative approach with quantitative data supported. A qualitative approach is the dominant approach taken. Qualitative approach, obtained by conducting in-depth interviews with relevant informants then used to see the extent access of natural resources on Kasepuhan Sinar Resmi people before and after the expansion of Gunung Halimun Salak National Park and its influence on livelihood strategies, as well as a collaborative effort that was built by the Gunung Halimun Salak National Park which can become an alternative source of livelihood opportunities for households of Kasepuhan Sinar Resmi people. Quantitative data was collected using survey method with purposive sampling technique by taking 30 households as respondents. The conclusion of this research, there is no change in livelihood strategies due to changes in access of natural resources on indigenous people of Kasepuhan Sinar Resmi due to the expansion of Gunung Halimun Salak National Park. Keyword: Livelihood strategies, Acces of natural resource, Kasepuhan Sinar Resmi, and Gunung Halimun Salak National Park.
iii
RINGKASAN ZUHAIDA KHOIRUN NISWAH. Strategi Nafkah Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Dibawah bimbingan Soeryo Adiwibowo)
Adat
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan salah satu kawasan konservasi berupa kawasan hutan pegunungan hujan tropis alam terbesar yang tersisa di Jawa Barat-Banten yang didiami oleh penduduk yang terbagi kedalam masyarakat lokal dan masyarakat adat yang dikenal dengan masyarakat kasepuhan. Masyarakat kasepuhan merupakan komunitas Sunda yang sudah ada sebelum zaman kemerdekaan yang tinggal di kawasan Halimun dengan menerapkan sistem pertanian tradisional sebagai mata pencahariannya. Masyarakat kasepuhan
yang menjadi
subyek penelitian ini adalah masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menimbulkan benturan dengan aturan adat yang dimiliki oleh masyarakat kasepuhan. Perbedaan aturan menyebabkan kedua pihak saling klaim atas sumberdaya alam yang notabene menjadi sumber nafkah penting bagi masyarakat kasepuhan yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Adanya perluasan TNGHS, mengurangi akses masyarakat kasepuhan yang bisa menyebabkan hilangnya sumber nafkah rumahtangga. Akses sumberdaya alam yang terbatas, dapat menyebabkan transformasi sumber-sumber nafkah yang bisa mendorong masyarakat melakukan strategi nafkah. Kehidupan masyarakat kasepuhan tidak terlepas dari pengelolaan oleh pihak TNGHS, yang mana upaya kolaboratif diharapkan mampu menjaga keberlangsungan sumberdaya alam dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat kasepuhan. Oleh karena itu, pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: 1) Sejauh mana perluasan TNGHS mengubah akses sumberdaya alam masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi? 2) Sejauh mana perubahan akses sumberdaya alam sesudah perluasan TNGHS membuat masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi melakukan bentuk-bentuk strategi nafkah? 3) Apakah upaya kolaboratif
iv
yang dibangun oleh pihak TNGHS dapat dimanfaatkan sebagai peluang alternatif sumber nafkah bagi masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif didukung dengan data kuantitatif. Pendekatan kualitatif, diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan terkait. Data kuantitatif dikumpulkan melalui metode survei yang dilakukan kepada responden menggunakan teknik purposive sampling yang berjumlah 30 rumahtangga yang merupakan pengikut Kasepuhan Sinar Resmi yang mengelola lahan garapan di dalam kawasan TNGHS yakni di Kampung Cimapag, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan strategi nafkah akibat berubahnya akses sumberdaya alam pada masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi dikarenakan perluasan TNGHS. Baik sebelum maupun sesudah perluasan TNGHS, masyarakat kasepuhan sudah melakukan bentuk strategi nafkah sebagai pendukung kegiatan nafkah selain pertanian. Tidak adanya perubahan strategi nafkah ini dikarenakan keterbatasan akses atas sumberdaya alam yang dimiliki tidak membuat masyarakat beralih dari pertanian, karena sistem pertanian sudah menjadi bagian dari budaya dan tradisi leluhur yang sudah seharusnya dijaga dan dilestarikan. Upaya kolaboratif sebagai peluang alternatif sumber nafkah, melalui program MKK (Model Kampung Konservasi) yang dilakukan di Kampung Cimapag. Kegiatan MKK yang bisa dijadikan sebagai peluang alternatif sumber nafkah yakni pembentukan kelompok MKK yang mana kelompok tersebut bisa mengajukan dana untuk modal kegiatan ekonomi tambahan, baik di bidang peternakan, perikanan, warung-warung kecil, dan lainnya. Melalui kegiatan tersebut, masyarakat bisa memperoleh penghasilan tambahan selain sektor pertanian yang sampai saat ini masih menjadi tumpuan hidup masyarakat kasepuhan.
v
STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
Oleh Zuhaida Khoirun Niswah I34070046
SKRIPSI Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
vi
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh : Nama Mahasiswa
: Zuhaida Khoirun Niswah
NRP
: I34070046
Program Studi
: Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul Skripsi
: Strategi Nafkah Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003 Tanggal Pengesahan : ____________
vii
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK ” BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI LAIN
ATAU
MEMPEROLEH
LEMBAGA GELAR
LAIN
MANAPUN
AKADEMIK
UNTUK
TERTENTU.
TUJUAN
SAYA
JUGA
MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Januari 2011
Zuhaida Khoirun Niswah I34070046
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Wonosobo, Jawa Tengah pada tanggal 15 Februari 1989. Penulis merupakan anak ke-enam dari tujuh bersaudara dari Bapak Mohammad Arman Djauhari, BA dan Ibu Nuraini Ariswari Amd. Penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Aisiyah 3 Wonosobo (1994-1995), Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah 1 Wonosobo (1995-1999) dan pindah ke Sekolah Dasar Negeri 1 Jaraksari Wonosobo (1999-2001), Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Wonosobo (2001-2004), dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Wonosobo (2004-2007). Kemudian pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Selama di IPB, penulis tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Peminat IlmuIlmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai staf Divisi Broadcasting dari tahun 2008-2009. Kemudian pada tahun 2010 penulis tergabung, sebagai staf Divisi Research and Development HIMASIERA. Selain itu penulis juga bergabung dalam IKAMANOS (Ikatan Keluarga Mahasiswa Wonosobo) sebagai bendahara umum. Penulis juga aktif mengikuti berbagai kegiatan kepanitian dalam beberapa event di IPB antara lain BONJOUR (Be Good on Journalistic) pada tahun 2008 yang diadakan oleh Fakultas Ekologi Manusia, FRESH oleh HIMASIERA pada tahun 2008 dan Pelatihan Broadcasting Bersama Agri FM yang diadakan oleh Divisi Broadcasting HIMASIERA pada tahun 2009, kepanitiaan dalam Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada tahun 2009. Penulis juga aktif sebagai asisten dosen mata kuliah Komunikasi Bisnis pada tahun 2010.
ix
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam skripsi ini adalah Strategi Nafkah Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan akses sumberdaya alam pada masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi dikarenakan adanya perluasan TNGHS. Selain itu, untuk mengetahui bentuk-bentuk strategi nafkah masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi sebelum dan sesudah perluasan TNGHS yang disebabkan oleh perubahan akses sumberdaya alam dan mengetahui adanya upaya kolaboratif yang dibangun oleh pihak TNGHS yang dapat dimanfaatkan sebagai peluang alternatif sumber nafkah bagi masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi proses pembelajaran bagi peneliti dalam memahami fenomena sosial yang terjadi di lapangan serta dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang terkait. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2011
Zuhaida Khoirun Niswah
x
UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarmya kepada : 1. Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan KaruniaNya yang luar biasa dan tiada habisnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas kesabarannya telah membimbing, memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penulisan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc selaku dosen penguji utama dan Rina Mardiana, M.Si selaku dosen penguji wakil departemen. 4. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku dosen penguji petik atas segala koreksinya dalam penulisan skripsi ini. 5. Dr. Arif Satria, SP, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah membantu penulis dalam menghadapi permasalahan akademik. 6. Ayah dan Ibu tercinta, Mbak Tyas, Mas Zaki, Mbak Nida, Mbak Fatimah, Mbak Umamah, Uwais, dan De’ Yusuf yang telah mencurahkan kasih sayang, perhatian, motivasi, dan semangat bagi penulis. Terima kasih untuk semua doa yang selalu dipanjatkan untuk penulis. 7. Abah Asep Nugraha selaku Ketua Adat Kasepuhan Sinar Resmi yang telah mengijinkan dan membantu penulis dalam penelitian ini. 8. Bapak Bukhori dan sekeluarga, Pak Omid, Wa’ Ugis, Kang Udan, dan Ustadz Jaenal yang telah banyak membantu penulis dalam melengkapi data penelitian. 9. Seluruh masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi yang telah membantu penulis dalam penelitian, memberikan pembelajaran, dan pengalaman hidup yang sangat berharga bagi penulis.
xi
10. Ibu Desi, Bapak Wardi, dan Bapak Kohar selaku pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang telah membantu penulis dalam melengkapi data penelitian. 11. Susan Youn Sojin, sahabat dan kakak yang selalu memberikan motivasi bagi penulis dalam penulisan skripsi ini. 12. Ina Marina, yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan data penelitian serta doa dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis. 13. Dyah Ita Mardiyaningsih, atas kritik dan saran yang telah diberikan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini. 14. Jessica, Sarjo’, Imel, dan Via yang telah menjadi sahabat dan keluarga selama penulis menjalani kehidupan di Bogor. Terima kasih atas semangat 45-nya . 15. Sahabat-sahabatku tercinta Nur Irvany Putri, Nyimas Nadya Izana, Dhanis Rahmida, Citra Muliani, Turasih, dan Yunita Purbo Astuti, yang selalu mendengarkan keluh-kesah penulis serta tidak pernah berhenti untuk memberikan semangat, doa, dan dukungan yang sangat luar biasa. 16. Teman-teman seperjuangan program akselerasi, atas semangat dan kerja kerasnya akhirnya kita dapat menyelesaikan skripsi ini. 17. Teman-teman KPM 44 yang selalu memberikan keceriaan selama penulis menjalani perkuliahan di IPB. 18. Teman-teman Kos Wisma Gajah dan teman-teman Ikamanos (Ikatan Keluarga Mahasiswa Wonosobo) atas semangat dan doa yang selalu diberikan kepada penulis. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk semua pihak dan membanggakan bagi keluarga, agama, teman-teman, bangsa, dan negara. Amin Ya Rabbal’alamin
xii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ……………………………………………………………... DAFTAR TABEL ………………………………………………………... DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….. DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………...
Halaman xii xiv xv xvi
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………... 1.1 Latar Belakang …………………………………………………... 1.2 Perumusan Masalah ……………………………………………... 1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………... 1.4 Kegunaan Penelitian …………………………………………......
1 1 3 4 4
BAB II TINJAUAN TEORITIS ………………………………………… 2.1 Tinjauan Pustaka ……………………………………………........ 2.1.1 Definisi Masyarakat Adat …………………………………. 2.1.2 Pengertian Akses ………………………………………...... 2.1.3 Hak Kepemilikan dan Rezim Kepemilikan ……………...... 2.1.4 Konsep Strategi Nafkah …………………………………… 2.1.5 Pengelolaan Kolaboratif …………………………………... 2.2 Kerangka Pemikiran …………………………………………….. 2.3 Hipotesis Penelitian …………………………………………....... 2.4 Definisi Konseptual …………………………………………....... 2.5 Definisi Operasional ……………………………………………..
5 5 5 6 7 10 14 16 17 17 18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………………………………. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………......... 3.2 Pendekatan Penelitian …………………………………………… 3.3 Penentuan Responden dan Informan Penelitian ………………… 3.4 Teknik Pengumpulan Data ……………………………………… 3.5 Teknik Analisis Data ……………………………………….........
21 21 21 22 22 23
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……………... 4.1 Profil Desa Sirna Resmi ………………………………………… 4.2 Profil Kasepuhan Sinar Resmi …………………………………... 4.2.1 Sejarah Kasepuhan Sinar Resmi …………………………... 4.2.2 Gambaran Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi …….. 4.2.3 Aturan-aturan Adat Kasepuhan Sinar Resmi ……………… 4.2.4 Struktur Kelembagaan Adat Kasepuhan Sinar Resmi …….. 4.2.5 Pertanian sebagai Tradisi Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi ………………………………………………... 4.3 Profil Taman Nasional Gunung Halimun Salak ………………… 4.4 Ikhtisar …………………………………………………………...
24 24 27 27 28 29 31 33 36 41
xiii
BAB V AKSES MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP SUMBERDAYA ALAM ………………. 5.1 Akses Sumberdaya Alam Sebelum Perluasan TNGHS …………. 5.2 Akses Sumberdaya Alam Sesudah Perluasan TNGHS …………. 5.3 Ikhtisar …………………………………………………………... BAB VI STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI ………………………………... 6.1 Profil Kegiatan Pertanian ………………………………………... 6.2 Luas Pengelolaan Lahan Garapan …………………………......... 6.3 Sumber-sumber Nafkah Rumahtangga Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi …………………………………………. 6.4 Bentuk-bentuk Strategi Nafkah Rumahtangga Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi ………………………………………..... 6.4.1 Bentuk-bentuk Strategi Nafkah Sebelum Perluasan TNGHS ………………………………………………......... 6.4.2 Bentuk-bentuk Strategi Nafkah Sesudah Perluasan TNGHS ………………………………………………......... 6.5 Strategi Nafkah dan Akses Sumberdaya Alam…………............... 6.6 Ikhtisar …………………………………………………………... BAB VII PENGELOLAAN KOLABORATIF SUMBERDAYA ALAM SEBAGAI PELUANG ALTERNATIF SUMBER NAFKAH………………………………………………………. 7.1 Model Kampung Konservasi (MKK) …………………………… 7.2 Beberapa Pandangan Mengenai Model Kampung Konservasi (MKK) …………………………………………………………... 7.3 Ikhtisar ……………………………………………………........... BAB VIII PENUTUP …………………………………………………….. 8.1 Kesimpulan ………………………………………………............ 8.2 Saran ……………………………………………………….......... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
42 42 45 51
52 52 58 59 61 62 63 67 69
70 70 72 74 75 75 77
xiv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10
Jumlah Penduduk Desa Sirna Resmi, Menurut Jenis Kelamin, Dusun, RW, dan RT, Tahun 2009 …………………………….. Jumlah Sarana Pembangunan di Desa Sirna Resmi, Tahun 2009 …………………………………………………………… Jumlah Penduduk Desa Sirna Resmi Menurut Tingkat Usia, Tahun 2009 ……………………………………………………. Jumlah Penduduk Desa Sirna Resmi Menurut Mata Pencaharian, Tahun 2009 ……………………………………... Riwayat Pendirian dan Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ………………………………………………… Tahapan Kegiatan Menanam Padi di Huma pada Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi ……………………………………… Tahapan Kegiatan Menanam Padi di Sawah pada Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi ………………………………………. Karakteristik Rumahtangga Pertanian Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag …………………………… Komoditi Pertanian dan Rata-rata Panen yang Dihasilkan serta Pemanfaatannya pada Rumahtangga di Kampung Cimapag …. Jumlah dan Persentase Rumahtangga di Kampung Cimapag Menurut Luas Lahan Garapan …………………………………
25 26 26 26 37 53 54 55 57 59
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Gambar 2
Gambar 3 Gambar 4
Gambar 5
Halaman Spektrum Rezim Kepemilikan ……………………………….. 10 Kerangka Pemikiran Strategi Nafkah Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak ………………………………………………………….. 17 Struktur Kelembagaan Adat Kasepuhan Sinar Resmi ……….. 31 Persentase Bentuk-bentuk Strategi Nafkah Rumahtangga Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung 62 Cimapag Sebelum Perluasan TNGHS ……………………….. Persentase Bentuk-bentuk Strategi Nafkah Rumahtangga Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung 64 Cimapag Sesudah Perluasan TNGHS ………………………...
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7
Catatan Harian Penelitian ………………………………….. Peta-peta dalam Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak …………………………………….. Pola dan Struktur Akses Sumberdaya Alam ……………….. Dokumentasi Penelitian ……………………………………. Teknik Pengumpulan Data …………………………………. Panduan Pertanyaan Penelitian …………………………….. Kuesioner …………………………………………………...
Halaman 78 84 87 89 94 96 98
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang mulai memiliki perhatian penuh
pada keberlangsungan sumberdaya alam dan lingkungan agar tetap terjaga kelestariannya. Melihat banyaknya krisis lingkungan yang terjadi saat ini seperti pencemaran air, udara, degradasi hutan, kerusakan laut dan pesisir, berkurangnya keanekaragaman hayati sampai pada global warming, permasalahan lingkungan menjadi suatu permasalahan yang nantinya akan berpengaruh pada kehidupan manusia baik dalam aspek sosial, ekonomi dan budaya. Pada negara maju, permasalahan lingkungan dipandang sebagai akibat dari gaya hidup makmur, pembangunan ekonomi yang kapitalistik dan aplikasi teknologi modern. Sementara negara berkembang, seperti Indonesia, masalah lingkungan hidup disamping karena pengaruh gaya hidup pada lapisan masyarakat tertentu, juga dipicu
oleh
masalah
kependudukan,
kemiskinan
dan
ketidakpedulian.
(Adiwibowo, 2007). Penetapan kawasan-kawasan yang rawan akan krisis lingkungan, menjadi salah satu upaya dari pemerintah untuk menganggulangi permasalahan tersebut. Adanya kebijakan dari pemerintah ini, sangat berpengaruh positif terhadap keberlangsungan sumberdaya alam. Akan tetapi, hal tersebut dapat menjadi permasalahan penting ketika kawasan yang telah ditetapkan menjadi kawasan konservasi yang dikelola oleh negara terbentur dengan keberadaan masyarakat yang sudah terlebih dahulu menempati kawasan tersebut, salah satunya adalah masyarakat adat. Masyarakat adat dalam hal ini merupakan komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya1. 1
Berdasarkan Kongres Masyarakat Adat Nusantara I mengenai definisi masyarakat adat pada mengenai definisi masyarakat adat pada tahun 1999 diakses dari http://www.iges.or.jpenpdfactivity_masyarakat_adat_dan_REDD.pdf pada tanggal 28 Juli 2010
2
Adanya perubahan rezim kepemilikan, memberikan pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat yang dulunya lebih leluasa memanfaatkan sumberdaya alam yang ada, kini menjadi terbatas. Masyarakat kasepuhan sendiri, didominasi oleh mata pencaharian petani yang memanfaatkan lahan garapan yang salah satunya juga termasuk dalam kawasan taman nasional. Melihat fakta tersebut, akses lahan yang semakin terbatas membuat kegiatan pertanian masyarakat menjadi terancam. Hal inilah yang bisa mendorong masyarakat adat untuk melakukan berbagai strategi nafkah, yang mana mereka dihadapkan pada pilihanpilihan mata pencaharian atau kegiatan nafkah dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya. Konsep strategi nafkah merupakan suatu landasan pilihan aktivitas nafkah yang dilakukan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan rumahtangga. Strategi nafkah ditentukan oleh kemampuan masyarakat dalam mengkombinasikan berbagai sumber nafkah yaitu modal alami, modal fisik, modal finansial, modal sumber daya manusia, dan modal sosial (Ellis, 2000). Salah satu kawasan konservasi yang sampai saat ini dimanfaatkan oleh masyarakat baik oleh masyarakat adat maupun non adat adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). TNGHS merupakan kawasan hutan pegunungan hujan tropis alam terbesar yang tersisa di Jawa Barat-Banten dengan tiga jenis ekosistem utama yaitu hutan hujan dataran rendah (lowland rain forest) pada ketinggian 500-1000 m dpl, hutan hujan dataran tinggi (sub-montane forest) pada ketinggian 1000 – 1500 m dpl, dan hutan hujan pegunungan (montane forest) pada ketinggian 1500 – 1929 m dpl (TNGHS, 2007). Secara administratif, taman nasional ini meliputi dua provinsi (Jawa Barat dan Banten) dan tiga kabupaten (Bogor, Sukabumi dan Lebak). Kawasan ini didiami oleh penduduk yang berjumlah sekitar 250.000 jiwa yang dibagi dalam masyarakat kasepuhan dan non kasepuhan2. Masyarakat adat di kawasan Halimun
yang biasa disebut sebagai
masyarakat kasepuhan, yang merupakan subjek dalam penelitian ini adalah Kasepuhan Sinar Resmi. Kasepuhan Sinar Resmi merupakan salah satu warisan budaya nasional yang sudah sejak lama mendiami kawasan TNGHS. Dalam 2
Diakses dari http://www.tnghalimun.go.id pada tanggal 1 Juli 2010
3
memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat kasepuhan bergantung pada sumberdaya alam yang berorientasi pada sistem pertanian tradisional yang pada umumnya memanfaatkan sumberdaya hutan dan lahan dalam berbagai cara, yaitu seperti huma atau ladang, sawah, dan kebun. Adanya kebijakan yang menetapkan kawasan ini sebagai taman nasional dapat menjadi indikator kemungkinan adanya perubahan strategi nafkah yang dilakukan oleh masyarakat kasepuhan dalam upaya mempertahankan hidupnya yang mana segala bentuk keterbatasan akses masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam di taman nasional menjadi hal yang penting untuk dikaji dalam penelitian ini.
1.2
Perumusan Masalah Merujuk pada latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, kebijakan
pemerintah melalui penetapan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menimbulkan benturan dengan aturan adat yang dimiliki oleh masyarakat kasepuhan. Adanya perbedaan aturan dalam pengelolaan sumberdaya alam menyebabkan masing-masing pihak saling klaim atas sumberdaya alam. Sumberdaya alam sendiri, pada dasarnya menjadi sumber nafkah penting bagi masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Adanya tumpang tindih klaim ini menyebabkan ketidakpastian nafkah yang dialami oleh masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Perluasan kawasan TNGHS mengurangi akses masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap sumberdaya alam khususnya lahan garapan yang bisa menyebabkan hilangnya sumber nafkah rumahtangga. Melihat realita yang terjadi, lahan garapan sebagai sumberdaya alam yang aksesnya sudah terbatas dapat menyebabkan adanya transformasi sumber-sumber nafkah. Melalui transformasi sumber-sumber nafkah inilah yang membuat masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi melakukan bentuk-bentuk strategi nafkah untuk bisa bertahan hidup. Selain itu, kehidupan masyarakat kasepuhan yang mendiami kawasan taman nasional, tidak terlepas dari pengelolaan oleh pihak TNGHS.
Pihak TNGHS juga memiliki peran dalam upaya pemberdayaan
masyarakat kasepuhan melalui upaya kolaboratif. Upaya kolaboratif ini diharapkan mampu memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak khususnya
4
mengenai
keberlanjutan kawasan konservasi dan kesejahteraan masyarakat
kasepuhan. Berdasarkan pemaparan alasan di atas, pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah : 1. Sejauh mana perluasan TNGHS mengubah akses sumberdaya alam masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi? 2. Sejauh mana perubahan akses sumberdaya alam sesudah perluasan TNGHS membuat masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi melakukan bentuk-bentuk strategi nafkah? 3. Apakah upaya kolaboratif yang dibangun oleh pihak TNGHS dapat dimanfaatkan sebagai peluang alternatif sumber nafkah
bagi
masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi?
1.3
Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui perubahan akses sumberdaya alam masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi dikarenakan perluasan TNGHS. 2. Untuk mengetahui perubahan akses sumberdaya alam sesudah perluasan TNGHS membuat masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi melakukan bentuk-bentuk strategi nafkah. 3. Untuk mengetahui adanya upaya kolaboratif yang dibangun oleh pihak TNGHS yang dapat dimanfaatkan sebagai peluang alternatif sumber nafkah bagi masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi.
1.4
Kegunaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah
dipaparkan, maka kegunaan dari penelitian ini adalah bagi pihak akademisi, penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
terutama terkait dengan strategi nafkah dan masyarakat adat.
Sedangkan bagi pihak pemerintah, penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan berupa kritik dan saran kepada pemerintah. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan agar lebih teliti dalam menetapkan kebijakan terutama terkait dengan
5
penetapan kawasan konservasi yang sampai saat ini masih menimbulkan banyak masalah yang melibatkan masyarakat khususnya masyarakat adat.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1
Definisi Masyarakat Adat Keberadaan masyarakat adat hampir tersebar di semua daerah dan negara
termasuk di Indonesia. Istilah masyarakat adat sering disebut dengan indigenous people. Pengertian indigenous people sendiri, dilihat dari lima aspek penting menurut Jose Martinez Cobo yang dikutip oleh Pusaka adalah : 3 1. Self-definition atau yang kemudian lebih mengemuka sebagai self identification, yaitu otonomi dalam mendefinisikan diri sendiri. Hal ini merupakan respon terhadap berbagai pendefinisian yang selama ini dilekatkan oleh pihak luar (dominant sector of society) terhadap diri mereka. 2. Historical continuity atau kesinambungan sejarah masa lampau sejak sebelum masa pendudukan oleh penjajah dengan keberadaan mereka sekarang ini. 3. Non-dominance sector of society, atau merupakan kelompok masyarakat yang tidak dominan dalam keseluruhan masyarakat bangsa. 4. Ancestral territories atau wilayah yang diidentifikasi sebagai warisan leluhur atau nenek moyang dari kelompok tersebut. 5. Ethnic identity atau adanya pertalian etnis dalam kelompok masyarakat tersebut. Menurut Sangaji dalam Ningrat (2004) masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, 3
Dikutip dari Jurnal Penelitian dengan judul Hak Masyarakat Adat: Ketegangan Antara Kewajiban Negara dan Realitas Kebutuhan, Studi Kasus Kasepuhan Sinar Resmi dan Kasepuhan Citorekoleh Tim Riset Pusaka yang diakses dari http://www.scribd.com/doc/36105858/Riset-Hak-MasyarakatAdat-Kasus-Kasepuhan-Naskah-Final pada tanggal 25 September 2010
6
budaya, sosial dan wilayah sendiri. Pengertian ini juga serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Durning dalam Mitchell yang dikutip oleh Ansaka (2006) yang menyebutkan lima definisi masyarakat adat, antara lain 1) merupakan penduduk asli suatu daerah yang kemudian dihuni oleh sekelompok masyarakat dari luar yang lebih kuat, 2) sekelompok orang yang memiliki bahasa, tradisi, budaya, dan agama yang berbeda dengan kelompok yang lebih dominan, 3) selalu diasosiasikan dengan beberapa tipe kondisi ekonomi masyarakat, 4) merupakan masyarakat pemburu, nomadik, peladang berpindah, dan 5) masyarakat dengan hubungan sosial yang menekankan pada kelompok, pengambil keputusan melalui kesepakatan, serta pengelolaan sumberdaya secara kelompok. Masyarakat adat kasepuhan juga termasuk masyarakat tradisional, seperti yang dikemukakan oleh Suhandi dalam Ningrat (2004) yang mencirikan masyarakat tradisional sebagai berikut: 1. Hubungan atau ikatan masyarakat desa dengan tanah sangat erat 2. Sikap hidup dan tingkah laku yang magis religious 3. Adanya kehidupan gotong-royong 4. Memegang tradisi dengan kuat 5. Menghormati para sesepuh 6. Kepercayaan pada pimpinan lokal dan tradisional 7. Organisasi kemasyarakatan yang relatif statis 8. Tingginya nilai sosial Menurut pengertian di atas, masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi yang mengidentifikasikan diri mereka menjadi masyarakat adat memang termasuk dalam kriteria yang sudah dijelaskan. Seperti yang dipaparkan oleh salah satu tokoh adat kasepuhan yang mendefinisikan masyarakat kasepuhan sebagai suatu kelompok masyarakat yang mempunyai asal-usul sejarah yang jelas, berdiam di suatu wilayah geografis tertentu, mempunyai sistem, budaya, politik, sosial, ekonomi, hukum adat, tata nilai, kelembagaan, warga adat, perangkat adat, dan peradilan adat.
2.1.2
Pengertian Akses
7
Pengertian akses dalam penelitian ini merujuk pada teori akses dari Peluso (2003) yang mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu. Dalam akses yang lebih diutamakan adalah kemampuan, dibandingkan kepemilikan yang ada di teori property. Akses dalam pengertiannya lebih pada bundle of power, yang mengandung arti bahwa memberikan perhatian pada wilayah yang lebih luas pada hubungan sosial yang mendesak dan memungkinkan orang untuk mendapatkan keuntungan dari sumberdaya tanpa menfokuskan diri pada hubungan kepemilikan semata. Akses lebih melihat pada masalah-masalah mengenai siapa yang memanfaatkan
(dan siapa yang tidak
memanfaatkan) sesuatu, dengan menggunakan cara apa, dan kapan (dalam keadaan seperti apa). Kemampuan yang dimiliki dalam akses lebih mirip dengan kekuasaan. Kekuasaan menyatu dengan hubungan dan bisa timbul dari aliran melalui hal yang dikehendaki dan tidak dihendaki sebagai efek dari hubungan sosial. Peluso (2003) melihat akses, seperti halnya kepemilikan, selalu berubah, tergantung pada posisi individu dan kelompok serta kekuasaan dengan variasi hubungan sosial. Berfokus pada sumberdaya alam sebagai suatu hal yang dimanfaatkan seseorang untuk memperoleh keuntungan, konsep akses menggambarkan mengenai kekuasaan yang diwujudkan dan dilakukan melalui berbagai macam mekanisme, proses, dan hubungan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam memperoleh keuntungan dari sumberdaya alam. Kekuasaan ini merupakan material, budaya, politik, ekonomi, yang merupakan alur dalam ikatan dan jaringan kekuasaan yang menyusun akses terhadap sumberdaya alam. Analisis akses digunakan untuk mengidentifikasi kumpulan makna, hubungan, dan proses yang memungkinkan berbagai pihak untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya. Konsep akses yang dihasilkan untuk menganalisis siapa yang sesungguhnya memperoleh keuntungan dari sesuatu dan melalui proses-proses apa yang dapat dilakukan.
2.1.3
Hak Kepemilikan dan Rezim Kepemilikan Konsep kepemilikan ini meliputi berbagai jenis kumpulan hak, yang dapat
berasal dari negara, adat, hukum agama, atau kerangka kerja normatif lainnya.
8
Kepemilikan sering dianggap sebagai sesuatu yang memiliki kendali penuh dan hak atas sumberdaya. Berdasarkan definisinya, kepemilikan merupakan hak untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu. Macpherson (1978) dalam Peluso (2003) menyatakan bahwa karakteristik kepemilikan sebagai suatu hak
yang berarti
suatu klaim dilaksanakan untuk menggunakan beberapa atau manfaat dari sesuatu. Sebuah klaim dilaksanakan apabila diakui dan didukung oleh masyarakat melalui hukum, adat, atau konvensi. Hak kepemilikan menentukan berbagai jenis klaim seseorang terhadap sumberdaya dengan menentukan apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan dan manfaat apa yang berhak diperoleh. Hak kepemilikan secara signifikan untuk mengatasi kepentingan dan kebutuhan yang didasarkan pada adanya hak institusi dan mencerminkan nilai-nilai lokal dan norma-norma. Bromley (1991) dalam Peluso (2003) menyebutkan bahwa hak milik dapat didefinisikan sebagai kapasitas untuk membangkitkan atau membangun suatu kebersamaan dimana dibalik hal tersebut terdapat klaim seseorang terhadap suatu manfaat. Jadi, hak milik melibatkan hubungan antara pemegang hak, orang lain, dan lembaga untuk mendukung klaim tersebut. Hak kepemilikan atas tanah dan sumberdaya alam lainnya seringkali secara luas diklasifikasikan sebagai publik (dimiliki oleh negara), umum (dimiliki oleh komunitas atau kelompok pengguna), dan swasta (dimiliki oleh perseorangan atau seperti perusahaan). Menurut Schlager dan Ostrom dalam Meinzen-Dick dan Knox (2001) membagi tipe hak kepemilikan meliputi : a. Hak Menggunakan
Hak menggunakan meliputi, hak akses (access), yaitu untuk masuk ke domain sumberdaya, misalnya hak untuk melewati sebidang tanah, pergi ke suatu hutan atau kanal) dan hak pemanfaatan (withdrawal) yaitu untuk menghilangkan sesuatu, misalnya untuk mengambil air, beberapa kayu bakar, pakan ternak, atau ikan. b. Hak Kontrol
Hak kontrol meliputi, hak pengelolaan (management), yaitu untuk memodifikasi atau mengubah sumberdaya, misalnya dengan menanam pohon atau semak, memperbesar sebuah kanal, atau membatasi apa yang bisa dipanen. Serta hak eksklusif (exclusion), yaitu untuk menentukan siapa lagi yang dapat menggunakan
9
sumberdaya, dan hak pengalihan (alienation) yaitu
untuk mengalihkan hak
kepada orang lain, baik oleh warisan, penjualan, atau hadiah. Rezim pemilikan sendiri khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam menurut (Feeny et al, 1990; Lynch dan Harwell 2002)4 dikelompokkan sebagai berikut : 1. Akses terbuka (open access) Tidak ada hak kepemilikan terhadap sumberdaya. Sumberdaya bebas dan terbuka diakses oleh siapapun. Tidak ada regulasi yang mengatur. Hak-hak kepemilikan (property right) tidak didefinisikan dengan jelas. 2. Milik privat (private property) Sumberdaya dimiliki oleh organisasi swasta. Sumberdaya ini bukan milik negara. Ada aturan yang mengatur hak-hak pemilik dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Manfaat dan biaya ditanggung sendiri oleh pemilik. Hak pemilikan dapat dipindah tangankan. 3. Milik umum atau masyarakat (common property) Sumberdaya dikuasai oleh sekelompok masyarakat dimana para anggota punya kepentingan untuk kelestarian pemanfaatan. Pihak luar bukan anggota tidak boleh memanfaatkan. Hak kepemilikan tidak bersifat eksklusif, dapat dipindah tangankan sepanjang sesuai aturan yang disepakati bersama. Aturan pemanfaatan mengikuti anggota kelompok. 4. Milik negara (state property) Hak pemanfaatan sumberdaya alam secara eksklusif dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah memutuskan tentang akses, tingkat dan sifat eksploitasi sumberdaya alam.
4
Dikutip dari bahan kuliah “Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya Alam” pada Bab Teori Sumberdaya Bersama oleh Soeryo Adiwibowo tahun 2010.
10
Dimiliki oleh negara
Dimiliki oleh swasta
Public Property (Kepemilikan Publik)
Private Property (Kepemilikan Swasta)
Kelompok-Swasta Kelompok-Publik
Individu-Swasta Individu-Publik
Group Right (Hak Kelompok)
Individual Right (Hak Individu)
Dimiliki oleh adat atau kelompok
Dimiliki individu
Gambar 1. Spektrum Rezim Kepemilikan (Harwell, E.E dan Lynch, OJ. 2002)
2.1.4
Konsep Strategi Nafkah Konsep strategi nafkah atau strategi bertahan hidup pertama kali
digunakan oleh Duque dan Pastrana (1973) dalam Widiyanto (2009). Konsep strategi nafkah seringkali dikaitkan dengan perilaku sosial-ekonomi masyarakat dalam menghadapi keadaannya dan sumberdaya yang dimilikinya yang cenderung terbatas. Namun, konsep ini tidak hanya berlaku untuk masyarakat yang taraf hidupnya terbatas (miskin) tetapi juga berlaku untuk masyarakat golongan menengah ke atas dalam mempertahankan posisi sosial ekonomi mereka. Dalam menganalisis strategi pola nafkah perlu adanya suatu komponen penting yaitu sumber nafkah (livelihood resources). Pengertian dari sumber nafkah menurut
Masithoh (2005) adalah berbagai sumberdaya yang dapat
digunakan oleh individu maupun keseluruhan anggota rumahtangga petani untuk melaksanakan strategi nafkah guna mempertahankan keberlangsungan hidupnya
11
paling tidak untuk memenuhi kebutuhan subsisten ataupun dalam rangka meningkatkan kualitas hidup suatu rumahtangga petani. Strategi nafkah menurut Dharmawan (2001) adalah segala kegiatan atau keputusan yang diambil anggota rumahtangga untuk bertahan hidup (survival) dan atau membuat hidup lebih baik. Tujuan dari bertahan hidup ini adalah membangun beberapa strategi untuk keamanan dan keseimbangan mata pencaharian rumahtangga. Menurut Chambers yang dikutip oleh Lestari (2005) strategi nafkah sebagai realitas jaminan hidup seseorang, suatu keluarga, kelompok, masyarakat atau negara yang memanfaatkan segenap kemampuan dan tuntutannya serta kekayaan yang dimilikinya. Dalam melakukan strategi bertahan (survival) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, rumahtangga memerlukan semacam modal atau bisa dikatakan sumber nafkah. Terdapat lima bentuk modal atau biasa disebut livelihood asset. Menurut Ellis (2000), kelima bentuk modal tersebut antara lain : 1.
Modal Sumberdaya Alam (Natural Capital) Modal ini bisa juga disebut sebagai lingkungan yang merupakan gabungan dari berbagai faktor biotik dan abiotik di sekeliling manusia. Modal ini dapat berupa sumberdaya yang bisa diperbaharui maupun tidak bisa diperbaharui. Contoh dari modal sumberdaya alam adalah air, pepohonan, tanah, stok kayu dari kebun atau hutan, stok ikan di perairan, maupun sumber daya mineral seperti minyak, emas, batu bara dan lain sebagainya.
2.
Modal Fisik (Physical Capital) Modal fisik merupakan modal yang berbentuk infrastruktur dasar seperti saluran irigasi, jalan, gedung, dan lain sebagainya.
3.
Modal Manusia (Human Capital) Modal ini merupakan modal utama apalagi pada masyarakat yang dikategorikan “miskin”. Modal ini berupa tenaga kerja yang tersedia dalam rumahtangga yang dipengaruhi oleh pendidikan, ketrampilan, dan kesehatan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
4.
Modal Finansial (Financial Capital and Subtitutes) Modal ini berupa uang, yang digunakan oleh suatu rumahtangga. Modal ini dapat berupa uang tunai, tabungan, ataupun akses dan pinjaman.
12
5. Modal Sosial (Social Capital) Modal ini merupakan gabungan komunitas yang dapat memberikan keuntungan bagi individu atau rumahtangga yang tergabung di dalamnya. Contoh modal sosial adalah jaringan kerja (networking) yang merupakan hubungan vertikal maupun hubungan horizontal untuk bekerja sama dan memberikan bantuan untuk memperluas akses terhadap kegiatan ekonomi. Dalam pemanfaatan kelima livelihood asset antara rumahtangga satu dengan rumahtangga pertanian lainnya berbeda tergantung akses (access) dan kemampuan (capabilities) yang dimilikinya. Tiap rumahtangga pertanian memiliki akses dan kemampuan yang berbeda-beda yang berdampak pada munculnya keanekaragaman pola nafkah atau pekerjaan yang dilakukan oleh rumahtangga pertanian (Masithoh, 2005). Selain itu perbedaan akses dan kemampuan yang dimiliki oleh rumahtangga petani mengakibatkan terjadinya pelapisan pada masyarakat petani yaitu petani lapisan atas, petani lapisan menengah dan petani lapisan bawah. Pembagian akses tersebut diatur berdasarkan norma ataupun nilai-nilai yang berlaku setempat. Akses merupakan hal yang penting dalam sumberdaya nafkah karena di dalam, akses terdapat jaringan dan hubungan sosial yang sangat penting dalam upaya untuk mendapatkan serta mempertahankan keberagaman pendapatan. Sedangkan capabilities merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang berkaitan dengan upaya untuk mewujudkan keinginannya. Capabilities ini berkaitan dengan kemampuan individu untuk memanfaatkan sumberdaya guna melaksanakan suatu strategi nafkah. Melalui aset-aset yang dimiliki yang mana aset tersebut memberikan suatu capability yang diperlukan dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Menurut Scoones dalam Dharmawan (2001), strategi nafkah yang dilakukan masyarakat pedesaan meliputi : 1) Intensifikasi atau ekstensifikasi pertanian, 2) Pola nafkah ganda (keragaman nafkah) dan 3) Migrasi. Dari ketiga strategi nafkah di atas, yang paling sering dilakukan oleh rumahtangga pedesaan adalah pola nafkah ganda, yakni beragam sumber pendapatan yang terdiri dari
13
aktivitas-aktivitas ekonomi di bidang pertanian dan non pertanian (Indaryati, 2004). Secara anatomi, menurut Chambers dalam Ependi (2004) livelihood suatu rumahtangga dikategorikan menjadi empat yaitu : 1. Orang dengan kemampuannya untuk menghidupi dirinya. 2. Aktifitas suatu kegiatan yang dilakukan untuk menghidupi dirinya. 3. Aset, yang terdiri dari aset nyata (tangible asset) dan aset tidak nyata (intangible asset). 4. Output atau hasil yang merupakan apa-apa yang dihasilkan dari kegiatan atau pekerjaannya itu. Strategi merupakan suatu pilihan yang digunakan terhadap beberapa alternatif pilihan yang tersedia. Aspek-aspek penting dari konsep strategi menurut Crow dalam Dharmawan (2001), sebagai berikut : 1. Harus ada pilihan yang dapat seseorang pilih sebagai tindakan alternatif. 2. Kemampuan melatih “kekuatan”. Mengikuti suatu pilihan berarti memberikan perhatian pada pilihan tersebut. Oleh karena itu, memberikan perhatian pada suatu pilihan akan mengurangi perhatian pada pilihan yang ada. Dalam konteks komunitas, seseorang yang memiliki lebih banyak akses
akan
memiliki
kekuatan
yang
lebih
untuk
memaksakan
kehendaknya. Dengan kata lain, konsep strategi nafkah dapat dikatakan sebagai suatu persaingan atau kompetisi untuk mendapatkan aset-aset yang ingin dikuasai. 3. Dengan merencanakan strategi yang mantap, ketidakpastian (posisi) yang dihadapi seseorang dapat dieliminir. 4. Strategi dibangun sebagai respon terhadap tekanan yang hebat yang menerpa seseorang. 5. Harus ada sumberdaya dan pengetahuan sehingga seseorang bisa membentuk dan mengikuti berbagai strategi yang berbeda. 6. Strategi biasanya merupakan keluaran konflik dan proses yang terjadi dalam rumahtangga.
14
Scoones dalam Ependi (2004) membagi strategi nafkah petani ke dalam tiga golongan besar, yaitu : 1. Rekayasa sumber nafkah pertanian, merupakan usaha pemanfaatan sektor pertanian agar lebih efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal berupa tenaga kerja atau teknologi (intensifikasi) maupun memperluas lahan garapan pertanian (ekstensifikasi). 2. Pola nafkah ganda, merupakan usaha yang dilakukan dengan cara mencari pekerjaan lain selain sektor pertanian untuk menambah pendapatan (diversifikasi pekerjaan). 3. Rekayasa spasial, merupakan usaha yang dilakukan dengan cara mobilisasi atau perpindahan penduduk baik secara permanen maupun sirkuler (migrasi). Menurut Sconnes dalam Masithoh (2005), dalam melakukan strategi nafkah, rumahtangga petani bisa menerapkan salah satu kegiatan atau melakukan kombinasi dari ketiga bentuk strategi nafkah untuk memperoleh strategi yang paling efektif agar bisa bertahan hidup baik saat krisis maupun saat kondisi normal.
2.1.5
Pengelolaan Kolaboratif Isu-isu mengenai konflik sumberdaya alam semakin hari semakin
berkembang. Konflik ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah, swasta, dan masyarakat lokal terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam. Dalam meminimalisir konflik diperlukan solusi yaitu melalui kolaboratif. Kolaboratif diartikan oleh Cifor sebagai bentuk kerjasama, interaksi, kompromi beberapa elemen yang terkait baik individu, lembag atau pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung yang menerima akibat dan manfaat5. Nilai-nilai yang mendasari sebuah kolaborasi adalah tujuan yang sama, kesamaan persepsi, kemauan untuk berproses, saling memberikan manfaat, kejujuran, kasih sayang serta berbasis masyarakat.
Pengelolaan kolaboratif
menurut Tadjudin yaitu bentuk resolusi konflik yang mengakomodasikan sikap bekerjasama (cooperative) dan assertive yang tinggi dengan tujuan mencapai 5
Diakses dari www.ecopedia.wordpress.com/2006/01/12/pengelolaan-kolaboratif-collaborativemanagement/ pada tanggal 20 September 2010
15
sebuah “win-win solution”, dimana beberapa atau semua pihak pada sebuah kawasan hutan (konservasi) terlibat dalam aktivitas pengelolaannya6. Pendekatan kolaboratif menurut Straus dalam Suporahardjo (2005) dikenal sebagai salah satu pendekatan yang bukan bersifat permusuhan untuk penyelesaian problem dan penyelesaian konflik. Menurut Bingham dalam Suporahardjo (2005) strategi kolaboratif dalam isu-isu lingkungan diidentifikasi oleh Bingham dalam enam kategori luas yang mana jalan keluar secara kolaboratif untuk sengketa telah diupayakan yaitu : land use (tata guna lahan), natural resource management land public use (pengelolaan sumberdaya alam dan tata guna lahan public), water resource (sumberdaya air), energy (energi), air quality (kualitas udara) dan toxics (racun). Sedangkan menurut Borrini-Feyebend dalam Suroprahardjo (2005) istilah pengelolaan kolaboratif dari kawasan lindung merujuk pada satu kemitraan dimana berbagai stakeholder
menyetujui untuk berbagi diantara mereka
mengenai fungsi, hak, dan tanggung jawab pengelolaan suatu kawasan atau sekumpulan sumberdaya dengan status dilindungi. Pendekatan ini secara umum dikenal dengan co-management. Menurut IUCN (1996) dalam Indra dan Sabarudi (2009) pengelolaan kolaboratif adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna sumberdaya, lembaga non pemerintah, dan kelompok kepentingan lainnya dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung jawab untuk mengelola daerah spesifik atau sumberdaya alam. Pengelolaan kolaboratif juga telah dijelaskan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 19 Tahun 2004 yaitu pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara lebih jelasnya, beberapa hal yang seringkali disentuh dalam sebuah konsep pengelolaan kolaboratif menurut Tadjudin yaitu7: 1. Batas dan teritori sebuah kawasan hutan. 6
Diakses dari www.kolaboratif.org/component/option,com_pengelolaan/ pada tanggal 20 September 2010 7 Ibid, hlm 14
16
2. Batasan fungsi dan keberlanjutan penggunaan. 3. Identifikasi para pihak yang terlibat. 4. Fungsi dan tanggungjawab para pihak sebagaimana yang diasumsikan oleh masing-masing pihak. 5. Keuntungan dan hak yang diperoleh oleh masing-masing pihak. 6. Kesepakatan terhadap prioritas dan rencana pengelolaan kawasan. 7. Prosedur untuk menghadapi konflik dan melakukan negosiasi yang menghasilkan keputusan bersama mengenai hal tersebut diatas. 8. Prosedur untuk mendorong implementasi keputusan tersebut. 9. Memperjelas
aturan
untuk
monitoring,
evaluasi
dan
peninjauan
kesepakatan kerjasama dan rencana pengelolaan jika dibutuhkan.
2.2
Kerangka Pemikiran Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan
suatu kawasan konservasi yang dulunya adalah kawasan hutan lindung, yang kemudian diperluas arealnya menjadi 113.357 ha berdasarkan SK Menhut No.175/Kpts-II/2003 menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kawasan ini sudah sejak dahulu dihuni oleh masyarakat kasepuhan yang kehidupannya sangat bergantung pada ketersediaan sumberdaya alam. Adanya kebijakan dari pemerintah mengubah status dan rezim penguasaan atas sumberdaya alam menjadi milik negara, yang bisa menyebabkan akses masyarakat kasepuhan terbatas. Adanya perubahan akses ini, akankah membuat masyarakat kasepuhan melakukan bentuk-bentuk strategi nafkah yang mana berujung pada perubahan strategi nafkah dari yang awalnya pertanian menjadi beralih ke non pertanian. Melalui strategi nafkah ini, rumahtangga memiliki alternatif atau pilihan-pilihan dalam kegiatan ekonomi mereka dengan memanfaatkan sumber nafkah yang mereka miliki agar mampu mencapai kesejahteraan hidup. Seiring dengan kehidupan masyarakat kasepuhan yang masih bergantung pada ketersediaan sumberdaya alam di kawasan TNGHS, sampai saat ini masih ada benturan-benturan diantara pihak kasepuhan dengan pihak TNGHS dikarenakan saling klaim terhadap sumberdaya alam. Masyarakat kasepuhan yang memegang aturan adatnya dalam pengelolaan sumberdaya alam harus berhadapan
17
dengan kebijakan pemerintah yang dirasa belum berpihak kepada masyarakat kasepuhan. Upaya kolaboratif ini diharapkan mampu memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak khususnya mengenai keberlanjutan kawasan konservasi dan kesejahteraan masyarakat kasepuhan. Oleh karena itu, upaya kolaboratif yang dibangun oleh pihak TNGHS
dapat dimanfaatkan sebagai peluang alternatif
sumber nafkah bagi masyarakat demi keberlangsungan kehidupan masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Akses Upaya Kolaboratif
a. Status dan rezim penguasaan sumberdaya alam b. Pemanfaatan dan kontrol sumberdaya alam
Rumah Tangga Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi a. Karakteristik rumah tangga pertanian b. Sumber-sumber nafkah rumah tangga
Bentuk-bentuk Strategi Nafkah a. Rekayasa sumber nafkah pertanian b. Pola nafkah ganda c. Migrasi
: mempengaruhi : keterkaitan Gambar 2. Kerangka Pemikiran Strategi Nafkah Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak
2.3
Hipotesis Penelitian Terdapat perubahan strategi nafkah akibat berubahnya akses sumberdaya alam pada masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi karena perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
2.4
Definisi Konseptual Istilah untuk variabel-variabel dalam hipotesis atau kerangka pemikiran
penelitian didefinisikan sebagai berikut:
18
1. Taman nasional adalah kawasan konservasi yang memiliki ekosistem asli yang dikelola oleh negara baik di wilayah daratan (hutan) maupun wilayah perairan (laut dan pulau) yang memiliki sistem zonasi digunakan untuk tujuan penelitian, pendidikan, dan pariwisata. 2. Akses adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (Peluso, 2003). 3. Sumberdaya alam adalah air, hutan, dan lahan garapan. Sumberdaya alam ini dimanfaatkan oleh rumahtangga untuk kegiatan pertanian. Dalam penelitian ini lebih banyak berfokus pada lahan garapan. 4. Masyarakat kasepuhan adalah masyarakat adat Sunda yang masih bertahan dan mendiami kawasan Halimun yang hidupnya bergantung pada sumberdaya alam. 5. Rumahtangga adalah sekelompok orang yang tinggal bersama dalam satu atap, memiliki peran dalam memperoleh pendapatan yang digunakan untuk kebutuhan bersama. 6. Strategi nafkah adalah berbagai kegiatan atau upaya alternatif yang dilakukan oleh rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 7. Upaya kolaboratif adalah suatu upaya yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik atau mencari solusi dari suatu masalah.
2.5
Definisi Operasional Untuk mengukur variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian
ini, maka dikemukakan rumusan batasan serta operasionalisasi dari masingmasing variabel tersebut. Adapun variabel-variabel yang akan dioperasionalkan adalah : 1. Perluasan kawasan TNGHS, yaitu didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003. Perluasan TNGHS untuk melihat bagaimana akses sumberdaya alam yang dimiliki oleh masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi sebelum perluasan TNGHS dan sesudah perlusan TNGHS.
19
2. Karakteristik rumahtangga, yaitu ciri-ciri yang dimiliki oleh rumahtangga, dalam kaitannya dengan masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi, yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Karakteristik rumahtangga pertanian diukur dari: a. Jumlah tanggungan keluarga adalah jumlah anggota rumahtangga yang menjadi tanggungan hidup keluarga, dalam hal ini termasuk dengan kepala rumahtangga. b. Produktivitas pertanian dan pemanfaatannya adalah komoditi pertanian yang dihasilkan oleh rumahtangga beserta banyaknya jumlah hasil yang digunakan oleh rumahtangga baik itu untuk dikonsumsi maupun untuk dijual. 3. Sumber-sumber nafkah rumahtangga, merupakan aset-aset yang dimiliki oleh rumahtangga dalam kaitannya dengan kegiatan nafkah. Sumbersumber nafkah diukur dari: a. Modal sumberdaya alam, adalah memanfaatkan sumberdaya alam yang digunakan dalam kegiatan pertanian. Contohnya air, hutan, dan lahan garapan. b. Modal fisik, adalah segala infrastruktur dasar yang dimanfaatkan dalam kegiatan mencari nafkah. Contohnya, saluran irigasi yang digunakan dalam kegiatan pertanian. c. Modal keuangan adalah modal yang didapat dari tabungan, pinjaman, dan hasil dari kegiatan pertanian. d. Modal manusia adalah modal yang berupa tenaga kerja yang bisa dimanfaatkan dalam kegiatan nafkah rumahtangga. Tenaga kerja ini bisa berasal dari anggota rumahtangga
(istri dan anak), kerabat,
tetangga maupun orang lain. e. Modal sosial yaitu gabungan komunitas yang dapat memberikan keuntungan bagi individu atau rumahtangga yang tergabung di dalamnya. Modal sosial dapat dilihat dari jaringan sosial yang dibangun
antar
masyarakat
kasepuhan,
dimana
rumahtangga
membentuk kerja sama dengan rumahtangga lain terkait dengan kegiatan ekonominya.
20
4. Rekayasa Sumber Nafkah Pertanian diukur melalui : a. Intensifikasi pertanian yang diukur dari pemanfaatan tenaga kerja oleh rumahtangga dalam mengolah lahan garapan. Tenaga kerja dalam hal ini adalah memanfaatkan tenaga orang lain untuk menggarap lahannya. b. Memperluas lahan atau memanfaatkan lahan kosong untuk lahan garapan (ekstensifikasi). 5. Pola nafkah ganda, merupakan usaha yang dilakukan dengan cara mencari pekerjaan lain selain sektor pertanian untuk menambah pendapatan (diversifikasi pekerjaan). Dalam pola nafkah ganda yang diukur adalah dalam satu rumahtangga terdapat lebih dari satu mata pencaharian yang dilakukan selain menjadi petani. 6. Migrasi adalah usaha yang dilakukan rumahtangga untuk mendapatkan pekerjaan di luar tempat tinggalnya (di luar daerah). Dalam migrasi yang diukur adalah dalam satu rumahtangga, baik kepala rumahtangga maupun anggota rumahtangga ada yang memiliki pekerjaan di luar tempat tinggalnya, yang dilakukan secara menetap ataupun secara sementara (sirkuler). Pendapatan yang diperoleh digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga.
21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kasepuhan Sinar Resmi, Kampung
Cimapag, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi yang merupakan salah satu masyarakat adat yang mendiami kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober-Desember 2010.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja).
Kampung Cimapag merupakan salah satu kampung di Desa Sirna Resmi yang sebagian besar masyarakatnya merupakan incu putu (pengikut) Kasepuhan Sinar Resmi. Kampung Cimapag berjarak sekitar 2 km dari Kampung Sinar Resmi yang mana Kampung Sinar Resmi merupakan kampung yang menjadi pusat berlangsungnya kegiatan-kegiatan kasepuhan dan tempat dimana Ketua Adat Kasepuhan Sinar Resmi tinggal. Mayoritas masyarakat Kampung Cimapag bekerja sebagai petani. Lahan garapan yang digarap oleh masyarakat Kampung Cimapag sebagian besar termasuk dalam kawasan TNGHS.
3.2
Pendekatan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian adalah menggunakan pendekatan
kualitatif dengan didukung data kuantitatif. Dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif merupakan pendekatan dominan yang dilakukan. Pendekatan kualitatif mampu menerangkan dan memberikan pemahaman yang mendalam mengenai suatu peristiwa dan gejala sosial, serta mampu menggali berbagai realitas dan proses sosial maupun makna yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang dari orang-orang yang menjadi subjek penelitian. Pendekatan kualitatif, diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan terkait yang selanjutnya digunakan untuk melihat sejauh mana akses masyarakat kasepuhan terhadap sumberdaya alam sebelum dan sesudah perluasan TNGHS dan
22
pengaruhnya terhadap strategi nafkah, serta upaya kolaboratif yang dibangun oleh pihak TNGHS yang dapat dimanfaatkan sebagai peluang alternatif sumber nafkah bagi rumahtangga masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Data kuantitatif dikumpulkan dengan menggunakan metode survei. Metode survei dilakukan secara tatap muka dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data, untuk mengetahui bentuk-bentuk strategi nafkah rumahtangga masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag sebelum dan sesudah perluasan TNGHS.
3.2
Penentuan Responden dan Informan Penelitian Dalam penelitian ini unit analisisnya adalah rumahtangga. Hal ini
dikarenakan rumahtangga memiliki peranan penting dalam pengambilan keputusan dan penentuan pengalokasian sumberdaya yang berkaitan dengan penerapan bentuk strategi nafkah. Dalam memperoleh informasi dan data penelitian diperoleh melalui responden dan informan. Responden adalah pihak yang memberi keterangan mengenai dirinya dan keluarganya. Pemilihan responden
dilakukan
dengan
menggunakan
teknik
purposive
sampling.
Responden dalam penelitian ini adalah rumahtangga yang tinggal di Kampung Cimapag dan merupakan pengikut Kasepuhan Sinar Resmi yang mengelola lahan garapan di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Responden yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 30 rumahtangga dari 80 rumahtangga masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag. Sedangkan pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik bola salju (snowball sampling) secara sengaja (purposive). Informan dalam penelitian ini adalah Ketua Adat Kasepuhan Sinar Resmi, para tokoh adat, dan pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
3.3
Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer diambil dari kuesioner dan panduan pertanyaan dari responden serta wawancara mendalam dengan beberapa informan. Data sekunder diperoleh dengan melakukan kajian pustaka dan menganalisis terhadap berbagai
23
literatur yaitu skripsi, tesis, buku, jurnal, makalah, internet yang terkait dengan penelitian ini. Selain itu analisis data sekunder juga diperlukan terhadap dokumen yang diperoleh dari lokasi penelitian, seperti monografi dan peta lokasi. Semua informasi yang diperoleh melalui wawancara mendalam maupun pengamatan atau observasi didokumentasikan kembali ke dalam bentuk catatan harian, agar tidak terjadi distorsi pesan. Data primer maupun sekunder keduaduanya sangat mendukung satu sama lain untuk menyempurnakan hasil penelitian. Semua metode tersebut digunakan dengan tujuan agar data yang diperoleh benar-benar akurat. Sehingga memudahkan peneliti untuk menyusun dan menyelesaikan penelitian ini.
3.4
Teknik Analisis Data Data yang diperoleh oleh peneliti baik primer maupun sekunder akan
diolah dengan cara mereduksi bagian-bagian terpenting, sehingga didapatkan kesimpulan yang mewakili permasalahan yang ada. Data primer yang didapat oleh penulis melalui wawancara mendalam akan dilakukan secara terus-menerus sehingga dicapai sebuah kesimpulan yang mewakili penelitian yang sedang dikaji. Data sekunder penulis dapatkan dari beberapa literatur, salah satunya dengan menelusuri dokumen yang ada di tingkat desa maupun nasional yang terkait dengan penelitian yang sedang dikaji. Untuk data kuantitatif, data primer yang telah diperoleh, diolah, dan disajikan dengan menggunakan tabel frekuensi yang memperlihatkan bentuk-bentuk strategi nafkah rumahtangga masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi baik sebelum perluasan TNGHS maupun sesudah perluasan TNGHS. Data kuantitatif yang disajikan, dianalisis secara deskriptif untuk melihat gambaran bentuk-bentuk strategi nafkah rumahtangga masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi.
24
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1
Profil Desa Sirna Resmi Desa Sirna Resmi merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan
Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis desa ini terletak antara antara 106˚ 27′ – 106˚ 33′ BT dan 6˚ 52′ – 6˚ 44′ LS. Desa Sirna Resmi memiliki luas wilayah 4.917 ha dengan ketinggian tanah 600-1200 m dpl, dengan karakteristik topografi yang berbukit dan bergunung-gunung. Suhu ratarata pada musim kemarau berkisar 28˚ C sedangkan pada musim penghujan sekitar 21 – 25˚C. Desa Sirna Resmi memiliki curah hujan yang bervariasi antara 2120 – 3250 mm/tahun dengan kelembaban udaranya 84 %. Batas-batas Desa Sirna Resmi antara lain sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Banten, sebelah selatan dan barat berbatasan dengan Desa Cicadas, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Cihamerang. Jarak Desa Sirna Resmi dari kecamatan sekitar 23 km, jarak dari kabupaten sekitar 33 km, jarak dari ibukota propinsi sekitar 183 km, dan jarak dari ibukota negara sekitar 168 km. Akses lalu lintas kendaraan umum menuju desa ini tidak begitu sulit. Untuk mencapai desa ini bisa ditempuh dengan bus melalui jalur Bogor menuju Pelabuhan Ratu dengan waktu tempuh sekitar empat jam. Setelah sampai terminal Pelabuhan Ratu, dapat dilalui dengan angkutan umum Elf dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam, dan masuk ke wilayah perkampungan masyarakat kasepuhan menggunakan ojek. Namun, ketika akan masuk ke Desa Sirna Resmi kondisi jalan yaitu jalan berbatu dan belum diaspal. Desa Sirna Resmi juga dihuni oleh tiga kelompok masyarakat adat kasepuhan yang merupakan bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul yaitu Kasepuhan Cipta Mulya, Kasepuhan Sinar Resmi dan Kasepuhan Cipta Gelar. Penelitian ini dilakukan di Kampung Cimapag yang terletak sekitar 2-3 km dari Kantor Desa Sirna Resmi dengan kondisi jalan yang berbatu dan penuh dengan tanjakan sehingga harus lebih berhati-hati saat menggunakan kendaraan bermotor. Batasbatas administratif Kampung Cimapag menurut Sekretaris Desa Sinar Resmi
25
adalah sebelah timur merupakan Dusun Situmurni, sebelah utara merupakan Kali Cisolok, sebelah barat merupakan Desa Cicadas, dan sebelah selatan merupakan Sungai Cibareno. Berdasarkan data monografi desa tahun 2009, menunjukkan bahwa jumlah penduduk Desa Sirna Resmi sekitar 5.007 jiwa yang terbagi dalam 1.497 kepala keluarga dengan jumlah penduduk laki-laki adalah 2.587 jiwa dan penduduk perempuan adalah 2.420 jiwa. Sebagian besar masyarakat Desa Sirna Resmi beragama Islam dengan jumlah sekitar 5.305 orang dan yang beragama non Islam berjumlah sekitar delapan orang. Gambaran mengenai penyebaran penduduk di Desa Sirna Resmi pada tiap dusun dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Penduduk Desa Sirna Resmi, Menurut Jenis Kelamin, Dusun, RW, dan RT, Tahun 2009 No
Dusun
Alamat
1.
Sinar Resmi
Sinar Resmi
2.
Cibongbong
Cibongbong
3.
Cikaret
Cikaret
4.
Cimapag
Cimapag
5.
Situmurni
Situmurni
6.
Cicemet
Cipulus
7.
Sukamulya
Ciptagelar
Jumlah Keseluruhan
RW
RT
01 01 01 02 01 03 Jumlah 02 01 02 02 02 03 02 04 02 05 02 06 02 07 02 08 Jumlah 03 01 03 02 03 03 03 04 Jumlah 04 01 04 02 04 03 04 04 04 05 Jumlah 05 01 05 02 05 03 05 04 Jumlah 06 01 06 02 06 03 Jumlah 07 01 07 02 07 03 07 04 Jumlah
Jumlah Penduduk L P Total 71 61 132 70 64 134 62 60 122 203 185 388 97 105 202 53 43 96 57 65 122 64 56 120 44 38 82 90 78 168 50 51 101 62 70 132 517 506 1.023 98 76 174 34 35 69 94 83 177 158 134 292 384 328 712 78 78 156 84 84 168 101 104 205 75 68 143 71 70 141 409 404 813 59 69 128 127 117 244 47 37 84 80 68 148 313 291 604 101 92 193 106 91 197 81 91 172 288 274 562 146 122 268 196 193 389 81 62 143 50 55 105 473 432 905 2.587 2.420 5.007
Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Sirna Resmi Tahun 2009
L 31 37 32 100 58 23 34 28 23 44 24 37 271 52 17 43 91 203 45 41 52 37 35 210 30 64 23 42 159 55 62 46 163 70 102 35 29 236 1.342
Jumlah KK P Total 5 36 3 40 3 35 11 111 6 64 3 26 1 35 4 32 1 24 6 50 4 28 6 43 31 302 3 55 4 21 8 51 4 95 19 222 3 48 2 43 9 61 12 49 5 40 31 241 5 36 4 68 2 25 1 43 12 171 6 61 6 68 9 55 21 184 9 79 14 116 4 39 3 32 30 266 155 1.497
26
Tabel 2. Jumlah Sarana Pembangunan di Desa Sirna Resmi, Tahun 2009 No 1. a. b. c.
Jenis Sarana Pembangunan Agama Masjid Mushola Sarana lainnya
7 buah 8 buah -
2. a. b.
Kesehatan Rumah Sakit Umum Pemerintah Rumah Sakit Umum Swasta
-
3. a.
Pendidikan Pendidikan Umum 1. Sekolah Dasar 2. SLTP 3. SLTA
4 gedung, 15 guru, 682 murid 1 gedung, 4 guru, 56 murid -
b.
Pendidikan Khusus 1. Pondok Pesantren 2. Madrasah 3. Sarana Pendidikan Non Formal
Jumlah
1 gedung, 8 guru, 21 murid 2 gedung, 13 guru, 212 murid SL-AEP : 14 kelompok PAUD : 7 kelompok
4. a. b. c
Orkes dan Sosbud Sarana Olahraga Sarana Kesenian/Kebudayaan Sarana Sosial
5 jenis 17 buah 1 jenis 3 buah 3 jenis 8 buah
5. a. b.
Sarana Perhubungan Jalan Jembatan
12 ruas 20 buah
6. Komunikasi a. Jumlah komunikasi 1 jenis 1 buah Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Sirna Resmi Tahun 2009
Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Sirna Resmi Menurut Tingkat Usia, Tahun 2009 Kategori Kelompok Menurut Usia a.
Usia
Jumlah/Jiwa
Kelompok Pendidikan
4 - 6 tahun 7 - 12 tahun 13- 15 tahun b. Kelompok Tenaga Kerja 20- 26 tahun 27- 40 tahun Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Sirna Resmi Tahun 2009
Tabel 4. Jumlah Penduduk Desa Sirna Resmi Menurut Mata Pencaharian, Tahun 2009 No Jenis Mata Pencaharian Jumlah/Jiwa 1. Wiraswasta 163 2. Tani 2.818 3. Pertukangan 221 Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Sirna Resmi Tahun 2009
391 784 124 805 1.402
27
Berdasarkan data Tabel 4.
sektor pertanian merupakan sektor yang
menjadi sumber penghidupan utama penduduk Desa Sinar Resmi. Hal tersebut disebabkan karena kondisi alam di Desa Sirna Resmi yang sangat mendukung dalam kegiatan pertanian. Kegiatan pertanian oleh penduduk Desa Sirna Resmi dibagi menjadi tiga yaitu padi dan palawija, sayur-sayuran dan buah-buahan. Berdasarkan luas lahan yang digunakan, sekitar 260 ha ditanami padi dan palawija, tujuh hektar untuk sayur-sayuran dan delapan hektar ditanami buahbuahan.
4.2
Profil Kasepuhan Sinar Resmi
4.2.1 Sejarah Kasepuhan Sinar Resmi Kawasan TNGHS tidak pernah terlepas dari kehidupan masyarakat adat yang lebih dikenal dengan masyarakat kasepuhan, salah satunya adalah Kasepuhan Sinar Resmi. Kasepuhan ini terletak di Desa Sirna Resmi, bersama dengan dua kasepuhan lainnya yakni Kasepuhan Cipta Mulya dan Kasepuhan Cipta Gelar yang saling terkait dan masih dalam satu keturunan. Berdasarkan penuturan salah salah satu tokoh adat, masyarakat kasepuhan merupakan sisa-sisa pasukan dari Kerajaan Pajajaran Pakuan Pajajaran yang kalah perang dengan kerajaan Banten. Sisa-sisa pasukan ini kemudian melarikan diri sampai ke Gunung Halimun untuk menyelamatkan sistem pertanian dan sampai saat ini bertahan di sekitar Gunung Halimun dan Gunung Salak sebagai suatu komunitas kasepuhan. Berdasarkan informasi dari tokoh adat, kasepuhan pertama kali didirikan di Bogor, yaitu di Kampung Cigudeg. Masyarakat Kasepuhan merupakan masyarakat yang berpindah-pindah. Perpindahan kampung gede sebagai pusat orientasi sosio, kultural, dan politik didasarkan pada perintah karuhun (nenek moyang) melalui wangsit yang diterima oleh Abah (sebutan bagi ketua adat kasepuhan) untuk mencari lebak cawene (lembah perawan) yang diyakini akan memberikan kemakmuran dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat kasepuhan, “nagara bakal makmur mung seug lebak cawene geus kapanggih” yang artinya negara akan makmur jika lebak cawene sudah ditemukan (RMI, 2004).
28
Usaha masyarakat kasepuhan untuk mencari lebak cawene menjadikan seringnya terjadi perpindahan kampung gede sebanyak 13 kali menurut Adimihardja dalam Galudra (2003). Kasepuhan Sinar Resmi diawali dari perpindahan kampung gede dari Lebak Selatan ke Sukabumi Selatan, di Kampung Bojongcisono oleh Ki Jasiun. Putra dari Ki Jasiun yaitu Abah Rusdi memindahkan kampung gede ke Kampung Cicemet, Sukabumi Selatan. Putra Abah Rusdi, yaitu Abah Arjo memindahkan kampung gede sebanyak tiga kali yaitu ke Kampung Waru, Cidadap dan Cisarua yang semuanya berada di Sukabumi
Selatan.
Sepeninggal
Abah
Arjo,
kasepuhan
dilimpahkan
kepemimpinannya pada Abah Udjat. Dikarenakan saat itu Abah Udjat sedang menjabat sebagai kepala desa, kepemimpinan diberikan kepada Abah Anom yang kemudian memindahkan kasepuhan ke Ciptarasa dan kemudian ke Ciptagelar yang dulunya adalah Cicemet. Melalui wangsit yang diterima, akhirnya Abah Udjat membuka kasepuhan baru di Sinar Resmi. Pada tahun 2003 Abah Ujat meninggal dan kepemimpinan dilimpahkan kepada putranya yaitu Abah Asep yang saat itu masih bekerja di Jakarta. Adanya tanggung jawab yang besar dan wangsit yang telah diterima, Abah Asep pun menjadi pimpinan Kasepuhan Sinar Resmi sampai saat ini.
4.2.2 Gambaran Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi Kasepuhan Sinar Resmi memiliki incu putu (pengikut) yang menyebar di berbagai wilayah atau dusun. Abah Asep selaku ketua adat Kasepuhan Sinar Resmi pada tahun 2009 sudah membawahi sekitar 1800 KK (Kepala Keluarga). Para incu putu ini tidak hanya ada di Desa Sirna Resmi tetapi juga menyebar di luar wilayah. Masyarakat yang mengikuti kasepuhan, biasanya berbeda dari masyarakat lainnya, meskipun mereka tinggal dalam satu wilayah dengan masyarakat non kasepuhan. Secara umum masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi memiliki mata pencaharian di sektor pertanian, baik dari huma, sawah, dan kebun meskipun ada pula yang membuka warung, menjadi tukang ojek, ketrampilan, dan lain-lain. Berdasarkan tingkat pendidikan, masyarakat kasepuhan sebagian besar hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SD. Menurut informasi dari Bapak AB (62
29
tahun), dahulu letak SMP sangat jauh karena dulu tidak ada gedung SMP di wilayah tersebut. Namun, saat ini akses masyarakat untuk meneruskan pendidikan di tingkat SMP sudah mudah meskipun sampai saat ini belum terdapat SMA. Dalam menerima pengaruh dari luar, masyarakat kasepuhan cukup terbuka asalkan pengaruh tersebut tidak bertentangan dengan aturan adat yang berlaku dan sesuai dengan ijin Abah. Masyarakat kasepuhan saat ini sudah mengenal teknologi seperti handphone
dan televisi. Sehingga masyarakat mudah mendapatkan
informasi. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat kasepuhan sehari-hari adalah bahasa Sunda. Namun, rata-rata masyarakat kasepuhan bisa berbahasa Indonesia khususnya masyarakat kasepuhan yang berusia muda. Pemukiman masyarakat kasepuhan terlihat padat dan mengumpul, dimana antara rumah yang satu dengan rumah yang lain jaraknya saling berdekatan. Atap rumah masyarakat terbuat dari daun rumbia dengan bangunan sebagian besar adalah kayu dan bambu. Tiap rumahtangga masyarakat kasepuhan, memiliki leuit yaitu lumbung padi yang biasanya berdekatan dengan rumah mereka. Tiap rumah, juga memiliki tungku api (hawu) dengan bahan bakar kayu yang digunakan untuk memasak nasi. 4.2.3
Aturan-aturan Adat Kasepuhan Sinar Resmi Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi tidak pernah terlepas dari
filosofi-filosofi hidup yang sudah menjadi satu jiwa pada diri masyarakat kasepuhan sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat, basis dari hukum adat kasepuhan adalah filosofi hidup, “tilu sapamulu, dua sakarupa, hiji eta-eta keneh”, yang secara harfiah artinya ‘tiga se wajah, dua se rupa, satu yang itu juga”. Tata nilai ini mengandung pengertian bahwa hidup hanya dapat berlangsung dengan baik dan tenteram bila dipenuhi tiga syarat, yaitu (1) tekad, ucap dan lampah, (niat atau pemikiran, ucapan dan tindakan) harus selaras dan
dapat
dipertanggung jawabkan kepada
incu-putu (keturunan warga
kasepuhan) dan sesepuh (para orang tua dan nenek moyang); (2) jiwa, raga dan perilaku, harus selaras dan berahlak; dan (3) kepercayaan adat sara, nagara, dan mokaha harus selaras, harmonis dan tidak bertentangan satu dengan lainnya. Kehidupan masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi tidak terlepas dari adanya berbagai aturan adat yang menyertainya. Misalnya, apabila ada masyarakat yang
30
ingin membangun rumah, harus meminta ijin kepada Abah terlebih dahulu. Arsitektur rumah masyarakat kasepuhan juga memiliki aturan tersendiri yaitu : 1. Rumah penduduk merupakan rumah panggung dengan tujuan untuk menghindari dingin. Rumah panggung juga dipercaya oleh masyarakat bahwa mereka sudah melaksanakan prinsip tilu sapanulu, yang mana siku penyangga ruman berbentuk segitiga. 2. Waktu untuk pemilihan kayu yang dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang baik (hal ini dikarenakan pada tanggal 1 Bulan Safar sampai 15 Bulan Maulid merupakan waktu yang dilarang untuk mengambil kayu). 3. Menghitung permukaan pintu keluar dan pintu masuk didasarkan pada hari lahir. 4. Atap rumah masyarakat kasepuhan berbentuk bulat dan segitiga yang terbuat dari ijuk. Arti dari segitiga merupakan kesatuan dari agama, negara, dan adat yang harus sejalan, sedangkan bulat merupakan tanda bahwa manusia itu berasal dari lubang (tanah) dan akan kembali ke dalam lubang (tanah). Atap rumah yang terbuat dari rumbia dan ditambah ijuk di atasnya tidak menunjukkan bahwa pemilik rumah merupakan seseorang yang derajatnya lebih tinggi atau rendah, tetapi lebih pada kemampuan pemilik rumah dalam membangun rumahnya. 5. Dalam aturan adat dinding rumah terbuat dari bilik bambu. Hal ini bertujuan, apabila ingin pindah rumah, masyarakat tidak perlu membangun rumah kembali. Selain itu, melihat sejarah masyarakat kasepuhan yang hidupnya juga berpindah-pindah. Selain aturan dalam
membangun rumah, masyarakat kasepuhan juga
memiliki tata cara berpakaian sendiri, khususnya ketika ada kegiatan-kegiatan adat. Untuk laki-laki biasanya memakai baju koko dan ikat kepala yang terbuat dari kain batik. Sedangkan untuk perempuan biasanya memakai baju kebaya dan kain sarung. Semua aturan adat harus dijalankan oleh masyarakat, karena masyarakat percaya bahwa bila ada pelanggaran dari aturan adat ini maka akan terjadi sesuatu yang buruk atau disebut dengan kabendon. Kabendon bisa seperti penyakit yang susah disembuhkan secara medis atau bisa saja tersesat di hutan.
31
Seseorang bisa lepas dari kabendon apabila ingat akan kesalahannya dan minta maaf kepada Abah selaku ketua adat dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
4.2.4
Struktur Kelembagaan Adat Kasepuhan Sinar Resmi Dalam memimpin kasepuhan, Abah mempunyai perangkat adat yang
memiliki tugas masing-masing dan sifatnya turun-temurun. Dalam hal ini, perangkat adat yang tidak bisa menjalankan tugasnya lagi akan menurunkan jabatannya kepada keluarganya. Berikut adalah struktur kelembagaan adat yang ada di Kasepuhan Sinar Resmi : TUTUNGGUL
DUKUN
PANGHULU
KEMIT
TUKANG BANGUNAN
NGURUS LEUIT
CANOLI
TUKANG PARA
KASENIAN
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
BENGKONG
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
GANDEK
PARAJI
PAMAKAYAAN
EMA’ BEURANG
TUKANG BEBERSIH
TUKANG DAPUR KOKOLOT LEMBUR
PAMORO
DUKUN HEWAN
PANDAY
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
INCU PUTU (MASYARAKAT ADAT)
Sumber : Sekretaris Kasepuhan Sinar Resmi, 2010
Gambar 3. Struktur Kelembagaan Adat Kasepuhan Sinar Resmi
Gambar struktur kelembagaan adat di atas merupakan sejumlah perangkat adat yang akan membantu tugas Abah dalam memimpin kasepuhan. Dalam menjalankan tugasnya, Abah dibantu oleh staf ahli (penasehat) bidang agama dan negara (garis fungsional). Secara struktural, di bawah Abah terdiri dari wakilwakil Abah (kokolot lembur, dukun, dan panghulu) dan sekretaris. Sekretaris merupakan struktur baru yang dibentuk oleh Abah Asep, tetapi sekretaris tidak termasuk dalam struktur kelembagaan adat di kasepuhan. Tugas sekretaris adalah mencatat jumlah incu putu (pengikut) dan jumlah pemasukan padi pada saat Seren
32
Taun. Selain itu, sekretaris mewakili Abah dalam berhubungan dengan dunia luar8. Adapun tugas dari tiap-tiap perangkat adat adalah sebagai berikut: 1. Tutunggul adalah seseorang yang bertugas untuk memimpin kasepuhan yang tidak lain adalah Abah. 2. Gandek adalah seseorang yang menjadi pengawal atau ajudan kasepuhan. Tugas gandek adalah melayani seluruh keperluan Abah dan mengawal kemanapun Abah pergi. 3. Dukun adalah seseorang yang tugasnya mengobati orang sakit dan mencegah adanya wabah. 4. Panghulu adalah seseorang yang memimpin doa saat upacara adat dilaksanakan. 5. Bengkong adalah seseorang yang bertugas mengkhitankan anak-anak. 6. Paraji adalah seseorang yang bertugas membantu melahirkan dan merias pengantin. 7. Pamakayaan adalah seseorang yang bertugas mengatur kegiatan pertanian di sawah ataupun di huma. 8. Pamoro adalah seseorang yang bertugas untuk memburu hewan serta mengusir hewan yang sekiranya mengganggu tanaman masyarakat. 9. Kemit adalah seseorang yang bertugas menjaga keamanan kasepuhan pada malam hari. 10. Tukang bangunan adalah seseorang yang bertugas untuk membangun rumah adat dan bangunan lainnya yang dibutuhkan oleh adat. 11. Ngurus Leuit adalah seseorang yang bertugas untuk mengurusi Leuit Sijimat, yang merupakan lumbung milik kasepuhan. 12. Ema’ Beurang adalah seseorang yang bertugas untuk menolong ibu-ibu saat melahirkan. 13. Tukang Bebersih adalah seseorang yang tugasnya membersihkan lingkungan kasepuhan. 14. Dukun hewan adalah seseorang yang memiliki tugas layaknya dokter hewan.
8
Dikutip dari Working Paper dengan judul Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan : Adaptasi, Konflik dan Dinamika Ekologis, oleh Rahmawati, et al pada tahun 2003.
33
15. Canoli adalah seseorang yang bertugas mengambil beras dari tempat penyimpanan beras untuk dimasak pada acara adat serta juga membantu memasaknya. 16. Tukang Para adalah seseorang yang bertugas mengenai acara ritual besar dan mengurusi kue-kue yang akan digunakan dalam ritual tersebut. 17. Kasenian adalah seseorang yang bertugas dalam hal kelestarian kesenian kasepuhan misalnya upacara seren taun. 18. Tukang dapur adalah orang yang bertugas untuk mengurus kegiatan memasak di rumah Abah. 19. Panday adalah seseorang yang membuat peralatan tani seperti cangkul, arit yang bisa digunakan untuk kegiatan kasepuhan. 20. Kokolot Lembur adalah seseorang yang bertugas memimpin kampung atau dusun. 21. Incu Putu adalah masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. 4.2.5 Pertanian sebagai Tradisi Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi Kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat kasepuhan dalam kaitannya dengan mata pencaharian sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat kasepuhan dan tradisi adat yang sifatnya turun-temurun. Kegiatan pertanian masyarakat kasepuhan sifatnya masih tradisional dan memiliki hubungan yang sangat erat antara praktek pertanian, institusi sosial, sistem kepercayaan dengan unsur-unsur alam seperti tanah, air, udara, sinar matahari, cuaca dan lain-lain (Rahmawati, et al, 2009). Kegiatan pertanian masyarakat kasepuhan bertumpu pada filosofi “ Ibu Bumi, Bapak Langit, dan Guru Mangsa” yang berarti dalam kehidupannya, masyarakat harus menjaga keutuhan bumi beserta segala isinya sehingga keseimbangan alam pun tetap terjaga. Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi menerapkan panen satu kali dalam satu tahun, hal ini dilakukan untuk memberikan penghormatan kepada Ibu Bumi. Keyakinan masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi bahwa bumi diibaratkan sebagai makhluk hidup yang mana ketika akan mengolah lahan perlu meminta ijin terlebih dahulu melalui upacara adat. Khusus pada pertanian padi, masyarakat kasepuhan menerapkan huma atau ladang berpindah yang mana huma ini merupakan pertanian padi yang diturunkan oleh leluhur mereka. Masyarakat kasepuhan juga ikut menerapkan
34
sawah sebagai salah satu kegiatan pertanian mereka. Tetapi, pada dasarnya masyarakat kasepuhan wajib untuk melakukan kegiatan huma terlebih dahulu setelah itu bisa melakukan kegiatan pertanian sawah. Dalam menentukan waktu untuk bercocok tanam di huma maupun di sawah, masyarakat kasepuhan melihat peredaran bintang di langit. Hal tersebut juga mengacu pada konsep Bapak Langit yang menunjukkan adanya pengetahuan lokal yang didasarkan pada kejadian di alam sebagai acuan dalam mengolah lahan garapan. Selain itu konsep Guru Mangsa yang berarti berguru pada alam semesta untuk mengetahui kapan boleh melakukan kegiatan pertanian atau tidak. Bintang yang dijadikan acuan bagi masyarakat kasepuhan dalam kegiatan pertanian, terdiri dari bintang Kerti dan Kidang. Berikut adalah beberapa posisi bintang yang menentukan jenis pekerjaan pertanian (RMI, 2004) : 1. Tanggal kerti kana beusi, tanggal kidang turun kujang, artinya masyarakat sudah harus mempersiapkan alat-alat pertanian seperti sabit, pacul, garpu dan sebagainya. 2. Kidang ngarangsang ti wetan, Kerti ngarangsang ti Kulon atau Kidang-Kerti pahareup-hareup. Merupakan musim panas yang lama dan tanda untuk membakar ranting dan daun di huma (ngahuru). 3. Kerti mudun matang mencrang di tengah langit, saat ngaseuk (menanam padi di huma) sudah tiba. 4. Kidang medang turun kungkang. Artinya tanda akan ada hama dan penyakit yang dapat menyerang tanaman padi. 5. Kidang dan kerti ka kulon, yang berarti musim hujan akan tiba. Padi sebagai makanan pokok masyarakat kasepuhan disimbolkan sebagai Dewi Sri (Ibu). Sesuai dengan aturan adat, padi pada dasarnya tidak boleh diperjual belikan, khususnya dalam bentuk beras. Menurut filosofi masyarakat kasepuhan, padi itu seperti seorang ibu sehingga bila menjualnya sama saja dengan menjual diri (lacur). Padi juga tidak boleh dimasak dengan menggunakan kompor minyak atau kompor gas, padi harus dimasak menggunakan kayu bakar. Kegiatan menumbuk padi juga tidak boleh menggunakan mesin tetapi harus menggunakan halu dan ditumbuk di dalam lisung.
35
Dalam pengelolaan kegiatan pertanian padi, dari masa tanam sampai panen serta dalam hal memasak dan memakannya menggunakan tata cara penghormatan tertentu.. Banyak upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat kasepuhan terkait dengan pertanian padi. Diantaranya adalah ketika akan memulai kegiatan pertanian, setidaknya harus mendapat izin Abah terlebih dahulu. Setelah Abah memperoleh wangsit, Abah pun memberikan izin kepada masyarakatnya untuk melakukan kegiatan pertanian secara bersama-sama pada bulan tertentu sesuai dengan aturan adat. Setiap kegiatan pertanian, diikuti oleh berbagai macam upacara ritual, seperti saat memilih bibit, menabur benih, membuka ladang diawali dengan upacara ritual terlebih dahulu dengan membakar kemenyan, dan memanjatkan doa. Rangkaian kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat kasepuhan adalah antara lain adalah: 1. Ngaseuk, merupakan dimulainya kegiatan menanam padi di huma dengan memasukkan benih ke dalam lubang aseuk. 2. Beberes Mager, merupakan ritual untuk menjaga padi dari serangan hama. Kegiatan ini dilakukan oleh pemburu di ladang Abah (ladang milik kasepuhan) dengan membaca doa. Kegiatan ini dilaksanakan sekitar bulan Muharam. 3. Ngarawunan, merupakan ritual untuk meminta isi padi agar tumbuh dengan subur, sempurna, dan tidak ada gangguan. Kegiatan ini dilakukan oleh semua incu putu (pengikut) untuk meminta doa kepada Abah melalui bagian pamakayaan. Ngarawunan dilakukan setelah padi berumur tiga bulan sampai empat bulan. 4. Mipit, merupakan kegiatan memanen padi yang dilakukan lebih dulu oleh Abah sebagai pertanda masuknya musim panen. 5. Nutu, merupakan kegiatan menumbuk padi pertama hasil panen. 6. Nganyaran, merupakan kegiatan memasak nasi menggunakan padi hasil panen pertama, dua bulan setelah masa panen. 7. Tutup Nyambut, merupakan kegiatan yang menandakan selesainya semua aktivitas pertanian di sawah ditandai dengan acara selametan. Salah satu rangkaian kegiatan pertanian penting mengenai sistem pertanian sawah yang utama setelah upacara Seren Taun adalah Turun Nyambut. Kegiatan Turun
36
Nyambut merupakan pertanda dimulainya masa untuk membajak sawah dan mempersiapkan lahan untuk ditanami padi kembali. 8. Seren Taun, upacara ini dilakukan untuk mensyukuri hasil panen pada tahun tersebut dan sebagai hiburan untuk masyarakat yang telah bekerja selama satu tahun dalam pertanian. Rangkaian acara dimulai dengan musyawarah terlebih dahulu dengan melibatkan seluruh incu putu (pengikut) untuk menentukan besarnya anggaran yang dibutuhkan. Setelah musyawarah selesai, dilakukan serah ponggokan. Para kokolot lembur (kepala kampung/dusun) dan kepala ranggeyan berkumpul untuk mendiskusikan besarnya biaya yang ditanggung per orang untuk biaya Seren Taun yang diserahkan kepada Abah. Setelah serah ponggokan, Abah melakukan ziarah ke karamat (astana) leluhurnya mulai dari Abah Udjat, makam Abah Ardjo, Uyut Rusdi, Uyut Jasiun, makam yang di Tegal Lumbu, makam yang di Pasir Talaga, Makam yang di Lebak Binong, Makam yang di Lebak Larang, hingga makam leluhurnya di Cipatat, Bogor. 4.3
Profil Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan wilayah
yang mempunyai karakteristik kawasan pegunungan yang masih memiliki hutan hujan tropis di Jawa. Tipe hutan alam di kawasan TNGHS dibagi menjadi hutan hujan dataran rendah (100-1000 m dpl) yang didominasi oleh Zona Colin (5001000 m dpl), hutan hujan pegunungan bawah (1000-1500 m dpl), dan hutan hujan pegunungan tengah (1500-1929 m dpl. Pada awalnya TNGHS merupakan kawasan hutan lindung dengan luas 39.941 ha selama periode 1924-1934 masa pemerintahan Hindia-Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1935 mengeluarkan kebijakan mengenai perubahan kawasan tersebut untuk menjadi cagar alam dengan nama Cagar Alam Gunung Halimun yang dikelola oleh Djawatan Kehutanan Jawa Barat (Jabar) . Pada tahun 1977 Gubernur Jabar menyetujui usulan bahwa seluruh hutan lindung di wilayah Jabar diserahkan PHPA (Pelestarian Hutan dan Perlindungan Alam). Usulan mengenai perluasan kawasan cagar alam melebihi 40.000 ha diusulkan oleh PHPA, namun sebagian besar hutan telah dibuka menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Sebagian hutan produksi juga masih merupakan hutan
37
primer. Tahun 1978 kawasan Cagar Alam Gunung Halimun dikelola oleh Perum Perhutani dan tahun 1979 PHPA juga mulai mengelola kawasan ini yang sudah diperluas menjadi 40.000 ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992 kawasan Cagar Alam Halimun ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Pada tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan TNGH dipegang oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen PHKA, dan Departemen Kehutanan. Melihat kondisi sumberdaya alam hutan yang dari waktu ke waktu semakin terancam kelestariannya dan adanya dorongan dari pihak-pihak yang peduli akan konservasi, kawasan TNGH diperluas dengan kawasan hutan Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasan sekitarnya yang dulunya berstatus hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani, dialihfungsi menjadi hutan konservasi. Melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 pada tanggal 10 Juni 2003, kawasan TNGH diperluas dengan luas total 113.357 ha dan bernama resmi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Berikut riwayat pendirian dan penetapan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak : Tabel 5. Riwayat Pendirian dan Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Periode Tahun 1924-1934
Keterangan Status sebagai hutan lindung di bawah pemerintahan Belanda dengan luas mencakup 39.941 ha 1935-1961 Status cagar alam di bawah pengelolaan pemerintah Belanda dan Republik Indonesia / Djawatan Kehutanan Jawa Barat 1961-1978 Status cagar alam di bawah pengelolaan Perum Perhutani Jawa Barat 1979-1990 Status cagar alam di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I 1990-1992 Status cagar alam dikelola oleh Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 1992-1997 Status taman nasional di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 1997-2003 Status taman nasional di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun setingkat Eselon III 2003 Status penunjukan kawasan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak seluas 113.357 ha (merupakan penggabungan kawasan lama TNGH dengan eks hutan lindung Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut dan hutan produksi di sekitarnya Sumber : Taman Nasional Gunung Halimun Salak (2007)
38
Secara geografis TNGHS terletak pada 106012’58’’ BT-106045’50’’BT dan 06032’14’’LS-06055’12’’ LS. Secara administratif wilayah TNGHS termasuk dalam tiga kabupaten di Jawa Barat yaitu: Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Lebak. Hasil survei GHSNP MP-JICA pada tahun 2005 menyebutkan bahwa di dalam kawasan terdapat 314 kampung dan 29 kampung lainnya berada di sekitar perbatasan kawasan (Supriyanto dan Ekariyono, 2007). Keberadaan kampung-kampung dengan masyarakat yang berinteraksi dengan kawasan merupakan suatu kondisi yang bisa menimbulkan hambatan ataupun dukungan bagi kegiatan pengelolaan TNGHS dalam jangka panjang. Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan umumnya adalah masyarakat Sunda yang terbagi dalam kelompok masyarakat kasepuhan dan masyarakat non kasepuhan. Selain keberadaan masyarakat, wilayah TNGHS juga beroperasi perusahaan pertambangan, perkebunan, industri makanan minuman, dan lain sebagainya. Kawasan TNGHS merupakan kawasan tanah hutan milik negara yang berada di bawah kewenangan Departemen Kehutanan yang disesuaikan dengan UU No.5/1990 tentang Kawasan Pelestarian Alam dan UU No.24 tahun 1993 tentang Tata Ruang, yang mana TNGHS merupakan kawasan lindung. TNGHS pun memiliki aturan zonasi yang sekiranya pihak-pihak yang berkepentingan mampu memahami dan melaksanakan sesuai aturan yang ditetapkan. Berikut tata zonasi kawasan TNGHS berdasarkan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Periode 2007-2026 : 1. Zona Inti dan Zona Rimba Zona inti dan zona rimba meliputi ekosistem hutan alam yang masih tersisa yang mana identifikasi zona ini melalui pendekatan ilmiah dengan mengkaji ekosistem dan habitat spesies penting, daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai dan pengaruh terhadap ekosistem. 2. Zona Rehabilitasi Zona rehabilitasi merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies penting yang telah terdegradasi seperti hutan hujan rendah, areal yang rusak, koridor Gunung Halimun Salak, dan sebagainya. Masa yang akan datang, setelah ekosistem ini pulih dapat ditetapkan menjadi zona inti atau rimba atau pemanfaatan.
39
3. Zona Pemanfaatan Zona pemanfaatan berkaitan dengan areal yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsi-fungsi pemanfaatan di dalam taman nasional antara lain untuk wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung dan lokasi penelitian intensif. Zona pemanfaatan yang memiliki obyek wisata dan areal bekas Perhutani akan tetap dikelola oleh Perhutani dan zona yang berupa jalur-jalur pendakian dan wilayah yang rawan pengunjung akan dikelola oleh BTNGHS. 4. Zona Khusus Zona khusus merupakan bagian dari TNGHS yang mana sebelum penunjukkan taman nasional, dalam wilayah ini sudah ada pemukiman dan garapan masyarakat sejak dulu. Selain itu juga jalan propinsi dan kabupaten yang melintas di TNGHS. 5. Zona Religi, Budaya, dan Sosial serta Zona Tradisional Penentuan zona religi, budaya, dan sosial serta zona tradisional terbagi menjadi 2 yaitu: a. Areal yang penting bagi kegiatan budaya yang ditentukan melalui penelusuran sejarah seperti makan di puncak Gunung Salak, situs Cibedug, dan situs Kosala di Lebak dijadikan zona religi dan budaya. b. Wilayah dimana penduduk secara tradisional memanfaatkan hasil hutan non kayu dijadikan zona tradisional untuk memastikan akses masyarakat terhadap hutan. Wilayah yang termasuk zona tradisional adalah kasepuhan yang ada di dalam kawasan TNGHS. 6. Zona Lainnya Zona lainnya tidak termasuk dalam Permenhut No. 56. Zona ini merupakan bagian dari taman nasional yang nantinya akan ditetapkan menjadi zona tertentu melalui komunikasi dengan para pihak. Pada dasarnya penetapan zonasi oleh TNGHS juga dilakukan oleh masyarakat kasepuhan, yang mana masyarakat kasepuhan juga memiliki zonasi adat dalam kawasan TNGHS. Zonasi adat ini adalah :
40
1. Leuweung Kolot (Leuweung Tutupan), wilayah hutan yang sama sekali tidak boleh diganggu untuk kepentingan apapun. Wilayah ini dipercaya dijaga oleh roh-roh dan siapa yang melanggar akan terjadi kemalangan (kabendon). 2. Leuweung Titipan, suatu kawasan hutan yang diamanatkan oleh leluhur kasepuhan kepada para incu putu untuk menjaga dan tidak mengganggu kawasan ini. Siapapun yang memasuki kawasan ini tanpa seijin sesepuh akan mendapatkan hal yang buruk (kabendon). Pemerintah juga harus ikut serta menjaga kelestarian kawasan ini sampai tiba waktunya kawasan ini dibuka atas seijin leluhur. 3. Leuweung Sampalan, kawasan hutan yang telah terbuka dan dapat digarap oleh masyarakat untuk huma, sawah, dan kebun. Kawasan TNGHS terbagi habis dalam wilayah administratif pemerintah daerah propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa yang mana pada tingkat ini secara de jure kawasan TNGHS mestinya bebas dari pemukiman penduduk. Keberadaan masyarakat sendiri di TNGHS diatur oleh regulasi pemerintah daerah. Masyarakat di dalam kawasan memperoleh pengakuan legal berupa KTP sedangkan masyarakat kasepuhan memiliki hak yang berdasarkan adat, namun secara hukum keberadaan masyarakat adat belum diakui9. Kondisi ini menggambarkan terjadinya perbedaan pandangan antara pihak TNGHS dan masyarakat khususnya masyarakat adat. Masyarakat kasepuhan sudah sejak dahulu sebelum jaman pra kemerdekaan menetap di kawasan TNGHS dengan pengelolaan sumberdaya alam yang diturunkan oleh para pendahulunya dan segala aturan adat yang sampai saat ini masih diaplikasikan dalam kehidupan mereka. Keberadaan masyarakat kasepuhan bisa menjadi hambatan tersendiri bagi pengelolaan sumberdaya alam oleh TNGHS, apalagi pola hidup masyarakat kasepuhan yang berpindah-pindah yang mengikuti “wangsit” yang diterima oleh ketua adat (Adimiharja dalam TNGHS 2007). Bahkan ada dua kasepuhan yakni Ciptagelar dan Citorek yang memiliki lahan cadangan di kawasan TNGHS yang mana pada suatu saat mereka akan pindah ke lahan cadangan tersebut. Hal tersebut memang merupakan sebuah permasalahan yang harus segera ditemukan 9
Dikutip dari Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Periode 2007-2026
41
penyelesaiannya. Data menunjukkan bahwa rendahnya ekonomi masyarakat yang ada di dalam dan sekitar TNGHS dapat menyebabkan degradasi ekosistem hutan. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat bergantung hidupnya pada kawasan TNGHS sedangkan TNGHS pun harus merealisasikan visinya yakni untuk konservasi alam.
4.4
Ikhtisar Bab ini menjelaskan mengenai profil Desa Sirna Resmi secara umum,
kemudian profil secara lebih mendalam mengenai Kasepuhan Sinar Resmi dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Desa Sirna Resmi merupakan suatu desa yang terletak di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi yang didiami masyarakat non kasepuhan dan tiga kasepuhan yang tergabung dalam Kesatuan Adat Banten Kidul yakni Kasepuhan Cipta Mulya, Kasepuhan Cipta Gelar, dan Kasepuhan Sinar Resmi. Kasepuhan Sinar Resmi merupakan salah satu masyarakat adat yang berdiam di kawasan Halimun selama beratus-ratus tahun lamanya. Masyarakat kasepuhan sangat bergantung pada ketersediaan alam karena mereka menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dengan sistem huma sebagai sistem pertanian padi yang merupakan warisan leluhur. Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi merupakan bagian dari kawasan TNGHS, yang mana kawasan ini merupakan kawasan konservasi yang sudah ada sejak tahun 1924 dengan status hutan lindung. Penetapan TNGHS berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 mengundang kontroversi dari berbagai pihak yang mempertanyakan keberadaan masyarakat baik masyarakat kasepuhan maupun non kasepuhan yang ada di dalamnya. Zonasi yang ditetapkan oleh TNGHS dinilai tidak memperhatikan keberadaan masyarakat kasepuhan yang memiliki zonasi adat sendiri. Adanya benturan ini yang sampai sekarang menyebabkan ketidakjelasan status kawasan beserta sumberdaya alamnya termasuk lahan garapan masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi yang ada di Kampung Cimapag, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi yang menjadi lokasi dalam penelitian ini.
42
BAB V AKSES MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP SUMBERDAYA ALAM
5.1
Akses Sumberdaya Alam Sebelum Perluasan TNGHS Masyarakat kasepuhan merupakan komunitas adat Sunda yang diyakini
sudah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. Kasepuhan Sinar Resmi sebagai salah satu bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul merupakan salah satu kasepuhan yang sampai saat ini masih mendiami wilayah di dalam dan sekitar TNGHS. Masyarakat kasepuhan masih memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di kawasan ini, baik sumberdaya air, sumberdaya hutan dan juga lahan garapan. Lahan garapan (Leuweng Sampalan) inilah yang menjadi tumpuan hidup masyarakat kasepuhan dengan memanfaatkannya sebagai lahan pertanian huma, sawah, dan kebun. Sebelum perluasan TNGHS, kawasan Halimun merupakan kawasan TNGH (Taman Nasional Gunung Halimun), yang sudah terbuka menjadi lahan pertanian dan pemukiman masyarakat. Menurut penuturan Bapak US (64 tahun) salah satu tokoh adat kasepuhan, dulunya kawasan Halimun merupakan kawasan yang pernah dikuasai oleh Belanda. Masyarakat kasepuhan sudah menjadi bagian dari kawasan Halimun. Ketika tahun 1902, muncul sistem tanam paksa yang diciptakan Belanda. Masyarakat dipaksa untuk menanam tanaman monokultur, karena sistem pertanian pokok mereka adalah pertanian lahan kering, masyarakat kasepuhan pun menolak. Pemaksaan inilah yang membuat masyarakat membuka hutan (hutan alam). Hutan yang sampai sekarang ini diidentifikasi sebagai hutan yang dulunya didiami oleh para leluhur masyarakat kasepuhan antara lain terletak di Desa Sinar Galih, Blok Cicemet yang sekarang adalah Kasepuhan Cipta Gelar, Desa Sirna Resmi, Desa Cicadas dan ada juga di daerah Lebak Nangka. Melalui pembukaan hutan inilah, masyarakat memanfaatkan sumberdaya alam yang ada, menerapkan sistem pertanian huma yang merupakan warisan leluhur mereka, serta membangun areal pemukiman dan melaksanakan segala kegiatan adatnya hingga saat ini.
43
Masyarakat masih bisa memanfaatkan sumberdaya alam yang ada untuk keperluan hidup mereka seperti pangan, kayu bakar, tanaman obat, dan lainnya. Segala kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam tidak terlepas dari aturan adat yang ada. Masyarakat kasepuhan masih memegang teguh aturan adat dari leluhur mereka, mulai dari pengambilan serta pemakaian sumberdaya alam seperti tidak boleh mengambil kayu atau lainnya untuk pembangunan rumah di Bulan Maulud dan Safar. Masyarakat kasepuhan tidak boleh sekalipun masuk dalam area Leuweng Tutupan maupun Leuweng Titipan tanpa seijin sesepuh girang atau ketua adat. Dalam menjaga keamanan Leuweng Tutupan maupun Leuweng Titipan, masyarakat kasepuhan juga melakukan kontrol seperti mencegah orang luar masuk. Ijin untuk memasuki kawasan tersebut hanya bisa diberikan oleh sesepuh girang atau ketua adat, yang nantinya akan diadakan ritual adat yang berbekal kemenyan dan pembacaan doa. Masyarakat kasepuhan juga hanya bisa memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun papan dan tidak diijinkan untuk melakukan komersialisasi atas sumberdaya alam yang ada di area hutan lindung. Masyarakat kasepuhan masih menjaga kearifan lokal yang telah diwariskan oleh leluhurnya kurang lebih 400 tahun lamanya hingga saat ini. Kearifan lokal inilah yang menjadikan hutan tetap utuh dan jauh dari segala kerusakan, karena masyarakat adat juga ikut menghargai alam. Pada tahun 1978 kawasan Halimun ditetapkan menjadi Cagar Alam Halimun, dan dikelola oleh Perum Perhutani. Kawasan yang dikelola oleh Perum Perhutani dimanfaatkan pula oleh masyarakat kasepuhan yang ada di dalam dan sekitarnya baik untuk lahan pertanian dan pemukiman termasuk masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag. Dalam pengelolaan sumberdaya alam, Perum Perhutani melakukan kesepakatan dengan masyarakat kasepuhan mengenai pancang. Pancang inilah yang menjadi batas, antara mana lahan yang boleh digarap dan mana lahan yang tidak boleh digarap. Mekanisme aturan pancang adalah bahwa area yang berada di dalam pancang diperbolehkan bagi masyarakat untuk menanam, menggarap, memelihara, memanfaatkan, dan bermukim di area tersebut. Masyarakat kasepuhan sendiri dengan ketua adat memiliki kesepakatan dimana mereka sudah menunjuk lokasi-lokasi yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat kasepuhan misalnya untuk ladang penggembalaan,
44
sumber mata air, dan lain sebagainya asalkan lokasi tersebut masih berada di dalam pancang. Perum Perhutani sendiri membuka hutan produksi dan menanam tanaman seperti pinus, sungkek, mahoni, damar, raksamana, dan lain-lain, yang mana hutan alam ini dibabat dan diambil kayunya. Dalam menanam tanaman-tanaman kehutanan, masyarakat kasepuhan dilibatkan dan diijinkan menanam di lahan tersebut dengan sistem tumpang sari. Kerjasama antara Perum Perhutani dan masyarakat kasepuhan ini dikenal dengan istilah malu yang diartikan mantri dan lurah. Dalam menanam, ada aturan yang harus dijalankan antara masyarakat kasepuhan dan Perum Perhutani. Misalnya, saat menanam harus ada jarak, ketika tanaman sudah besar ada istilah penjarangan (ukurannya sekitar 2 m x 1 m), penjarangan berarti penebangan kayu yang tidak semuanya ditebang. Ketika masa panen, masyarakat dikenai pajak sekitar 10% untuk diserahkan kepada Perum Perhutani. Sebagai contoh, masyarakat mendapatkan keuntungan sekitar 100 ikat, maka 10 ikat diberikan untuk Perum Perhutani dan 90 ikat untuk masyarakat. Aturan mengenai pemberian pajak kepada Perum Perhutani, oleh masyarakat kasepuhan dirasa tidak memberatkan. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Adat Kasepuhan Sinar Resmi bahwa : “meskipun ada aturan dalam menggarap lahan dari Perum, warga Abah sudah merasa puas dan senang bisa ikut dilibatkan dalam penanaman tanaman Perum. Karena kegiatan ini kan sifatnya kerjasama, Perum untung warga Abah juga ikut untung. Yang penting mah warga Abah masih bisa menggarap lahan.” Penuturan di atas menggambarkan bahwa masyarakat kasepuhan tidak bisa lepas dari ketersediaan lahan garapan. Meskipun kawasan yang mereka tinggali sudah ditetapkan menjadi kawasan konservasi, tetapi masyarakat masih menggantungkan hidupnya untuk menggarap lahan. Hal ini dikarenakan, sebelum adanya Cagar Alam pun masyarakat sudah hidup di dalam dan sekitar kawasan tersebut dengan pemukiman, lahan garapan, dan sarana lainnya. Sehingga ketika kawasan tersebut ditetapkan menjadi kawasan konservasi. masyarakat kasepuhan masih tetap konsisten dengan kegiatan menggarap lahan karena kegiatan ini juga bagian dari budaya dan tradisi leluhur yang harus dijaga dan dipelihara.
45
5.2
Akses Sumberdaya Alam Sesudah Perluasan TNGHS Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 kawasan yang
dulunya bernama TNGH dengan luas wilayah 40.000 ha, diperluas dengan luas total 113.357 ha dan bernama resmi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan perluasan yang ada di Gunung Salak, Gunung Endut, dan hutan produksi
di
sekitarnya.
Penetapan
kawasan
TNGHS
ini
dengan
mengalihfungsikan kawasan yang dulunya dikelola oleh Perum Perhutani menjadi kawasan konservasi yang dikelola oleh Balai TNGHS di bawah Departemen Kehutanan. Perluasan kawasan TNGHS mengundang sejumlah kontroversi dari berbagai kalangan baik masyarakat kasepuhan sendiri, LSM, maupun pihak lainnya. Adanya keputusan perluasan ini,
tentu berpengaruh pada kehidupan
masyarakat kasepuhan. Bapak US (64 tahun) salah satu tokoh adat kasepuhan juga mengungkapkan
kekecewaannya
mengenai
kebijakan
perluasan
kawasan
TNGHS: “Adanya UU No. 41 tidak pernah tertulis adanya ruang bagi masyarakat yang dari dulu sudah terlanjur ada. Pembagian zonasi dalam kawasan TNGHS tidak disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada di dalam kawasan. Masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam penetapan zonasi TNGHS, padahal dari dulu masyarakat kasepuhan punya zonasi sendiri yang sudah ada dari para leluhur. Kawasan yang terkena perluasan (yang dulunya dikelola oleh Perum Perhutani) sebagian besar merupakan lahan garapan masyarakat kasepuhan khususnya di Kampung Cimapag. Melihat penetapan TNGHS ini, kami sebagai masyarakat adat merasa seperti menjadi tamu di tanah leluhur kami sendiri”. Pernyataan yang serupa juga dijelaskan oleh Bapak AB (62 tahun), beliau mengungkapkan bahwa tanah yang ada di dalam maupun sekitar TNGHS sifatnya merupakan lahan komunal (common property), karena di Kabupaten Sukabumi terdapat tiga kasepuhan yaitu Kasepuhan Cipta Mulya, Kasepuhan Sinar Resmi, dan Kasepuhan Cipta Gelar yang masih dalam satu keturunan. Lahan komunal sendiri, yang berada di Kampung Cimapag sebagian besar termasuk di dalam kawasan TNGHS dan merupakan lahan garapan masyarakat kasepuhan yang menurut zonasi adat masuk dalam Leuweng Sampalan (hutan garapan). Bapak AB juga mengungkapkan bahwa :
46
“kami masyarakat kasepuhan sangat mendukung kebijakan pemerintah untuk mendukung kelestarian lingkungan, tapi terkadang visi TNGHS kurang memperhatikan kehidupan masyarakat yang ada di dalamnya.” Adanya perluasan ini mengakibatkan akses masyarakat atas lahan garapan dibatasi, karena aturan TNGHS menegaskan bahwa kawasan yang sudah menjadi kawasan konservasi tidak seharusnya dijadikan lahan garapan. Hal ini menyebabkan ada perbedaan akses ketika kawasan yang dulu dikelola oleh Perum Perhutani dengan kawasan yang sekarang dikelola secara penuh oleh TNGHS. Dulu ketika dikelola Perum Perhutani, ada aturan pancang yang menjadi pedoman bagi masyarakat kasepuhan dan Perum Perhutani dalam mengelola lahan garapan. Sejak tahun 1992 ketika TNGH pengelolaannya dibawah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, aturan pancang sedikit demi sedikit semakin hilang. Bahkan ketika SK Menteri Kehutanan mengenai perluasan TNGHS diturunkan, aturan
pancang
benar-benar
sudah
dibubarkan
secara
sepihak
tanpa
sepengetahuan masyarakat kasepuhan dan tiba-tiba masyarakat sudah tidak boleh mengakses lagi. Apabila melihat kebijakan mengenai kawasan konservasi, masyarakat sama sekali sudah tidak diperbolehkan untuk menyentuh kawasan TNGHS meskipun masyarakat menyatakan bahwa lahan di kawasan tersebut merupakan lahan leluhur mereka. Larangan mengenai adanya lahan garapan di dalam kawasan bisa dalam bentuk pengusiran terhadap lahan-lahan tersebut, karena lahan-lahan tersebut merupakan lahan milik negara menurut UU (Undangundang) tertulis dan disahkan oleh pihak yang berwenang. Apabila melihat fakta di lapangan, lahan garapan masyarakat kasepuhan yang ada di dalam kawasan memang sangat luas apalagi lahan ini ada juga yang tidak hanya diakui oleh masyarakat kasepuhan yang ada di Kabupaten Sukabumi, tetapi juga masyarakat kasepuhan di lokasi lain dan bahkan masyarakat non kasepuhan. Banyaknya lahan garapan masyarakat menjadi suatu pertimbangan bagi TNGHS. Kondisi kawasan yang menjadi lahan garapan masyarakat memerlukan kontrol penuh dari pihak TNGHS. Akan tetapi, sejauh masyarakat tidak merambah dan menebang hutan, kegiatan menggarap lahan masih bisa dilakukan. Apabila melihat aturan yang ditetapkan oleh TNGHS, lokasi yang memang boleh diakses dan diakui oleh pihak TNGHS adalah Kasepuhan Cipta
47
Gelar saja yang masuk dalam zona khusus. Kasepuhan ini berada di dalam kawasan TNGHS baik area pemukiman, fasilitas publik, lahan garapan, area pemakaman, dan lain sebagainya yang merupakan zona khusus tradisional. Sedangkan, pada Kampung Cimapag yang sebagian besar adalah masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi lahan garapan masyarakat menurut TNGHS termasuk dalam zona rehabilitasi yang harus diwaspadai keberlanjutan ekologinya sehingga perlu ada upaya baik dari TNGHS dan masyarakat untuk melestarikannya kembali. Banyaknya lahan garapan di dalam kawasan TNGHS dikarenakan lahanlahan ini sudah terlanjur ada sebelum ditetapkannya TNGHS. Masyarakat kasepuhan masih boleh menggarap lahan dengan syarat melalui kesepakatan antara kedua belah pihak. Kesepakatan ini dilakukan oleh personal masyarakat sendiri dengan pihak balai TNGHS, bukan mengatasnamakan lembaga kasepuhan. Masyarakat masih bisa menggarap lahan baik huma, sawah, dan kebun tetapi tidak boleh menebang kayu baik itu untuk kebutuhan seperti pembangunan rumah. Masyarakat kasepuhan sendiri hanya bisa menanam tanaman kebun kayu atau talun seperti jeunjing, manii, manglid, tisuk, jabon, dan lain-lain tetapi hasilnya tidak boleh ditebang. Hal ini diungkapkan oleh Bapak AH (45 tahun) warga Kampung Cimapag, beliau mengungkapkan bahwa: “lahan bapak kan memang di dalam kehutanan,, orang taman nasional suka nyuruh orang-orang sini buat nanem pohon-pohon biar hutan nggak rusak. Bapak ikut nanem pohon-pohon juga, cuman sama taman nasional nggak boleh ditebang. Padahal mah, bapak juga yang nanem pohon-pohonnya. Tapi buat ditebang mah nggak boleh, padahal kan kita juga butuh kayu bakar.” Penuturan Bapak AB (62 tahun) menyatakan bahwa menurut aturan TNGHS masyarakat sama sekali tidak boleh mengakses, dan akan dikenai sanksi bagi yang melanggarnya, beliau mengungkapkan bahwa: “seharusnya TNGHS itu mengelola sumberdaya alam yang memang kawasannya masih utuh dan bukan merupakan lahan yang digarap masyarakat. Padahal, hutan-hutan di Kalimantan banyak yang rusak, tapi kenapa kawasan kami yang harus kena perluasan? TNGHS sekarang malah dihuni oleh banyak perusahaan pertambangan atau perkebunan yang jelas-jelas
48
bisa merusak hutan. Menurut undang-undang, keberadaan masyarakat adat kan diakui oleh negara kalau memang di jaman sekarang ini masih adat. Tetapi kenapa kami yang sudah lebih dulu tinggal disini, menggarap lahan disini, tetapi hak-hak kami justru dibatasi?” Aturan talun atau kebun kayu juga dirasa memberatkan masyarakat, karena talun dimanfaatkan masyarakat untuk dijual, membangun, ataupun memperbaiki rumah mereka yang notabene terbuat dari kayu dan bambu. Waktu yang diperbolehkan untuk mengakses secara aturan TNGHS tidak diperbolehkan sepanjang tahun, meskipun dalam aturan adat melarang masyarakat kasepuhan untuk tidak mengambil kayu dan membangun rumah hanya di Bulan Maulud dan Safar. Namun, menurut salah satu warga Kampung Cimapag Bapak UD (26 tahun) dalam kenyataannya masyarakat sampai saat ini masih mengikuti aturan adat yang berlaku. Bapak UD pun mengungkapkan bahwa: “kami ini menggarap lahan punya leluhur kami. Dari jaman sebelum kemerdekaan sampai sekarang. Sampai kapanpun lahan garapan yang sekarang kami garap akan tetap diperjuangkan. Aturan adat juga jelas-jelas tidak membuat hutan jadi rusak. Saya garap lahan di kehutanan, aturan taman nasional nyuruh nanem tanaman-tanaman hutan. Dari dulu kita juga nanem tanaman hutan biar lahan nggak rusak dan itu ada di aturan adat. Cuman yang beda adalah taman nasional nyuruh kita nanem tapi nggak boleh ditebang. Itu lahan punya adat, kita juga yang nanem masak nggak boleh dimanfaatin buat kita?” Ketua adat pun menjelaskan bahwa kebijakan TNGHS mengenai konservasi sangat didukung oleh masyarakat kasepuhan. Masyarakat kasepuhan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada hanya untuk dikonsumsi dan kebutuhan rumah. Untuk lahan yang memang ada di hutan memang dilarang untuk dirambah, Abah pun mengungkapkan bahwa: “Kalau melihat aturan sekarang, perluasan kawasan TNGHS menyebabkan warga Abah menjadi dibatasi hak-haknya. Kalau memang TNGHS khawatir adanya kerusakan hutan, sebenarnya incu putu Abah pun sudah mengerti bahwa aturannya yang penting adalah sumberdaya alam yang ada yang statusnya hak ulayat, jangan untuk diperjual belikan dan kami pun mengelola lahan dengan kearifan lokal yang sudah turun-temurun dari leluhur kami. Dulu pun sebelum ada TNGHS, hutan aman-aman saja, tapi sekarang justru banyak komersialisasi. Kalaupun disuruh memilih, masyarakat disini mungkin lebih senang
49
dengan aturan yang dulu ditetapkan oleh Perum. Abah juga menyadari sebagai masyarakat adat, aturan adat yang berlaku memang hanya lisan dan tidak tertulis. Disinilah posisi kami yang masih lemah. Sedangkan pemerintah kan ingin ada aturan yang tertulis. Tetapi Abah sangat yakin, kalau aturan-aturan adat yang berlaku sampai sekarang, memang benar-benar ada.” Melihat kenyataan di lapangan, aturan TNGHS memang membawa ancaman bagi masyarakat kasepuhan. Meskipun sampai saat ini, masyarakat kasepuhan masih menggarap lahan di dalam kawasan TNGHS tetapi secara psikis masyarakat merasa takut atau khawatir apabila suatu hari mereka benar-benar diusir dari lahan garapan. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu warga Kampung Cimapag yakni Bapak PD (50 tahun), bahwa: “sebenarnya bapak sampai sekarang masih menggarap lahan, walaupun lahan itu masuk kehutanan. Padahal mah dari dulu, bapak nanem padi, nanem pisang, nanem singkong, semuanya di lahan kehutanan. Tapi kadang ada perasaan takut neng, kalau nanti bapak nggak boleh lagi garap lahan disitu. Cuman bapak mah tetep aja garap lahan di hutan, karna bagaimanapun lahan ini kan juga lahan punya leluhur karena Bapak udah garap dari dulu.” Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Bapak SP (47 tahun) warga Kampung Cimapag yang menyatakan bahwa: “waktu taman nasional masuk, lahan kan ditutup, terus kita mah nggak boleh nanem apa-apa. Tapi namanya juga masyarakat, mereka maksa terus, kan masyarakat nggak mau tanahnya tapi cuma ingin garap lahannya aja. Kalau ada yang sampai menebang di hutan, biasanya langsung ditangkap sama orang taman nasioanl. Kalau untuk nebang kayu, bapak mah nggak berani, bapak mah garap lahan kayak sawah sama kebon aja. Bapak WS (31 tahun), salah satu pengelola TNGHS, mengungkapkan pendapatnya mengenai pengaruh perluasan TNGHS terhadap keberadaan masyarakat kasepuhan di kawasan TNGHS: “dalam visi dan misi TNGHS terlihat jelas bahwa ada hak-hak masyarakat yang harus dihargai dan dipahami. Oleh karena itu, TNGHS sendiri mengupayakan agar bagaimana masyarakat khususnya masyarakat kasepuhan tidak merasa dirugikan atas penetapan perluasan kawasan TNGHS. Karena, kami menyadari betul bahwa masyarakat kasepuhan juga berpengaruh terhadap kelestarian hutan dengan segala kearifan lokal yang dimiliki oleh kasepuhan.”
50
Kebijakan konservasi sebenarnya melarang keras adanya kegiatan pertanian seperti menggarap lahan di kawasan yang sudah ditetapkan menjadi kawasan konservasi khususnya merambah dan menebang hutan. Melihat fakta di lapangan, masyarakat kasepuhan merupakan masyarakat yang sudah bertahun-tahun lamanya menempati kawasan TNGHS dengan bertumpu pada sektor pertanian. Kondisi
tersebut
menyebabkan
TNGHS
mempertimbangkan
keberadaan
masyarakat kasepuhan dengan lahan garapannya yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.56 Tahun 2006 bahwa kawasan yang sudah terlanjur ada sebelum TNGHS, diakomodasikan dalam zona khusus. Masyarakat kasepuhan masih bisa menggarap lahan seperti huma, sawah, dan kebun. Sedangkan untuk aturan mengenai kebun kayu atau talun. masyarakat diijinkan menanam tetapi tidak boleh menebang
meskipun tujuannya termasuk
membangun dan memperbaiki rumah. Salah satu tokoh adat kasepuhan yaitu Bapak AB (62 tahun) mengungkapkan bahwa akses masyarakat terhadap lahan garapan memang berubah dan tidak sebebas ketika sebelum TNGHS diperluas. Sebelumnya, kawasan tersebut dikelola oleh Perum Perhutani asalkan masyarakat kasepuhan juga ikut serta menanam tanaman-tanaman kehutanan. Salah satu polisi hutan TNGHS, Bapak IN (45 tahun) mengungkapkan bahwa: “Sebenarnya TNGHS sendiri sudah memberikan ruang bagi masyarakat kasepuhan untuk tetap bisa menggarap lahan meskipun masuk dalam kawasan. Karena, untuk mengusir masyarakat dari lahan garapan rasanya itu tindakan yang tidak mungkin, karena pasti akan timbul gejolak. TNGHS sendiri memberikan tanggung jawab kepada masyarakat kasepuhan yang menggarap lahan di dalam kawasan untuk ikut menanam tanaman-tanaman pokok seperti rasamala, puspa, dan lainnya. Hal itu dilakukan agar masyarakat juga ikut peduli terhadap kelestarian hutan, sehingga dari upaya pemulihan tersebut lahan yang telah dibuka juga bisa menjadi hutan alam kembali.” Lahan-lahan garapan yang masuk dalam kawasan TNGHS pada dasarnya sudah dilakukan kontrol oleh TNGHS sendiri. Kontrol ini dilakukan untuk menghindari adanya kegiatan-kegiatan yang dinilai eksplotatif terhadap keberlangsungan sumberdaya alam di kawasan TNGHS. Dikarenakan jumlah SDM (Sumber Daya Manusia) TNGHS yang terbatas, sehingga membutuhkan kontrol penuh terhadap
51
kawasan TNGHS itu sendiri. Oleh karena itu, TNGHS membuat kesepakatan dengan
masyarakat kasepuhan mengenai pelarangan penebangan hutan dan
masyarakat masih bisa menggarap lahan di dalam kawasan. Dalam lahan garapan masyarakat terlihat jelas papan peringatan yang melarang masyarakat untuk memperluas lahan dan menebang hutan. Berdasarkan penuturan Bapak WS (31 tahun) selaku pengelola TNGHS, kesepakatan ini adalah bentuk kesepakatan antara kedua belah pihak, dan masyarakat masih bisa menggarap lahan dalam kawasan sampai batas waktu tertentu dibawah monitoring pihak TNGHS.
5.3
Ikhtisar Bab ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai
perubahan akses sumberdaya alam oleh masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi akibat adanya perluasan TNGHS. Dalam bab ini dijelaskan mengenai perubahan akses sumberdaya alam sebelum dan sesudah perluasan TNGHS. Sebelum perluasan TNGHS, lahan garapan masyarakat kasepuhan di Kampung Cimapag termasuk dalam pengelolaan Perum Perhutani yang mana masyarakat diijinkan untuk menggarap lahan dengan kesepakatan dalam aturan pancang. Sesudah perluasan TNGHS, aturan pancang sudah tidak berlaku dan status lahan garapan masyarakat masuk dalam zona rehabilitasi TNGHS. Aturan TNGHS menetapkan bahwa tidak diperbolehkan adanya penebangan dan perluasan lahan serta bagi masyarakat yang menggarap lahan di TNGHS harus menanam tanaman-tanaman hutan sebagai upaya rehabilitasi kawasan TNGHS. Masyarakat masih diijinkan untuk menggarap lahan baik untuk huma, sawah, dan kebun. Khusus kebun kayu atau talun, masyarakat diperbolehkan menanam tetapi tidak menebang kayu tersebut.
diperbolehkan
52
BAB VI STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI
6.1
Profil Kegiatan Pertanian Kegiatan pertanian merupakan salah satu sektor utama mata pencaharian
rumahtangga masyarakat kasepuhan di Kampung Cimapag. Kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat kasepuhan adalah pertanian huma (ladang berpindah), sawah, dan kebun. Pertanian di huma maupun sawah merupakan kegiatan pertanian yang mendominasi masyarakat kasepuhan, karena dari huma dan sawah ini masyarakat menanam padi yang notabene sebagai komoditi pertanian utama. Padi yang digunakan adalah padi lokal yang disebut pare ageung. Padi yang ditanam di huma, pengairannya memanfaatkan musim penghujan, sedangkan padi di sawah memanfaatkan pengairan dari mata air. Masyarakat mulai menanam padi di huma sekitar bulan September atau Oktober, diikuti dengan menanam padi di sawah. Hasil dari menanam padi di huma maupun sawah, nantinya ada yang masuk ke leuit (lumbung) masing-masing rumahtangga dan ada pula yang masuk ke Leuit Sijimat (lumbung kasepuhan). Saat Upacara Seren Taun (pesta panen), tiap rumahtangga akan memberikan hasil padinya sekitar 2 pocong untuk dimasukkan ke dalam Leuit Sijimat yang digunakan sebagai cadangan pangan bagi masyarakat kasepuhan saat musim paceklik. Selain itu, lumbung kasepuhan dapat digunakan oleh masyarakat kasepuhan untuk keperluan meminjam padi. Dalam melaksanakan kegiatan menanam padi di huma maupun sawah, masyarakat kasepuhan memiliki prosesi kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan aturan adat yang berlaku. Tahapan kegiatan menanam padi di huma dapat dilihat pada Tabel 6.
53 Tabel 6. Tahapan Kegiatan Menanam Padi di Huma pada Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi No
Kegiatan
Bulan (Sistem Kalender Islam)
Pelaksana *
1.
Narawas (menandai lokasi yang akan dijadikan lahan huma) 2. Nyacar (membersihkan lahan, biasanya selama 1 minggu setelah itu di keringkan selama 15 hari – 1 bulan) 3. Ngahuru (membakar semak kering untuk dijadikan pupuk) 4. Ngerukan (mengumpulkan sisa-sisa yang belum terbakar ) 5. Ngaduruk (membakar sisa-sisanya) 6. Nyara (meremahkan tanah) 7. Ngaseuk (penanaman bibit padi dengan menggunakan tongkat atau aseuk) 8. Ngored (menyiangi rumput) 9. Mipit/ Dibuat (memotong padi/ panen) 10. Ngadamel lantayan (membuat tempat menjemur padi) 11. Ngalantaykeun (proses menjemur padi pada lantayan) 12. Mocong (mengikat padi yang kering) 13. Ngunjal (diangkut ke lumbung padi) 14. Ngaleuitkeun (memasukkan ke lumbung) 15. Ngeuleupkeun (dirapikan) 16. Ngadieukeun indung pare (menyimpan padi di dalam leuit) 17. Selametan (ampih pare) Sumber: Tokoh Adat Kasepuhan Sinar Resmi, 2010 Keterangan: * Lk: laki-laki, Pr: perempuan, dan P : pemuda/pemudi
Jumadil awal
Lk
Jumadil awal
Lk, Pr, P
Jumadil akhir
Lk
Jumadil akhir
Lk, Pr, P
Jumadil akhir
Lk, Pr
Jumadil akhir
Lk, Pr, P
Rajab
Lk, Pr, P
Ruwah
Lk, Pr, P
Haji
Lk, Pr
Haji
Lk
Haji
Lk, Pr
Muharam
Lk, Pr, P
Muharam
Lk
Muharam
Lk, Pr
Muharam
Lk
Muharam
Lk
Muharam
Lk, Pr, P
Tabel di atas menggambarkan mengenai prosesi kegiatan menanam padi di huma, yang dilakukan pada bulan tertentu dan ada pembagian tugas antara lakilaki, perempuan dan pemuda atau pemudi. Masyarakat kasepuhan diwajibkan untuk menanam padi di huma karena merupakan salah satu sistem pertanian warisan leluhur. Saat pertama akan menanam padi, masyarakat kasepuhan
54
diwajibkan menanam di huma terlebih dahulu, setelah itu dilanjutkan dengan menanam padi di sawah. Tahapan kegiatan menanam padi di sawah dapat dilihat di Tabel 7. Tabel 7. Tahapan Kegiatan Menanam Padi di Sawah pada Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi No 1.
Kegiatan
Numpang galeng (membuat pematang) 2. Ngabaladah (menyiangi lahan) 3. Ngambangkeun (mengisi lahan dengan air / merendam) 4. Ngangler (membersihkan permukaan lahan dari gulma yang tumbuh sebagai persiapan untuk tebar) 5. Tebar/ ngipuk (membuat persemaian padi dengan cara menebar untaian padi) 6. Tandur (menanam padi) 7. Ngarambet (membersihkan gulma yang ada di sawah) 8. Babad galeng (membersihkan rumput di pematang sawah) 9. Dibuat ku etem/ neugel (panen padi dengan alat etem / ani-ani) 10. Ngadamel lantayan (membuat tempat jemuran padi) 11. Ngalantay (menjemur padi di lantayan) 12. Mocong pare (mengikat padi menjadi pocong) 13. Diangkut ka leuit/ ngunjal (mengangkut padi ke leuit/ lumbung) 14. Ngaleuitkeun (memasukkan ke leuit/ lumbung) 15. Dieulep di leuit (merapikan padi di dalam leuit/ lumbung) 16. Ngadiukkeun indung (memasukan padi induk ke dalam leuit) 17 Disalametan nganyaran (selamatan sebagai tanda syukur dengan memasak padi pertama kali) Sumber: Tokoh Adat Kasepuhan Sinar Resmi, 2010 Keterangan: * Lk: laki-laki, Pr: perempuan, dan P : pemuda/pemudi
Bulan (Sistem Kalender Islam)
Pelaksana*
Muharam
Lk, P
Silih mulud
Lk, P
Jumadil awal
Lk, P
Ruwah
Lk, Pr, P
Jumadil akhir
Lk, Pr
Ruwah
Lk,, Pr, P
Puasa
Pr
Syawal
Lk, Pr,P
Haji
Lk, Pr, P
Haji
Lk
Haji
Lk
Sapar
Lk, Pr, P
Sapar
Lk
Sapar
Lk
Sapar
Lk, Pr
Sapar
Lk, Pr
Silih mulud
Pr
55
Tabel 7. menggambarkan prosesi kegiatan menanam padi di sawah, yang dilakukan pada bulan tertentu dan pembagian peran antara laki-laki, perempuan, dan pemuda atau pemudi. Menurut penuturan tokoh adat, hasil panen padi di sawah menghasilkan panen yang lebih banyak daripada di huma. Kegiatan pertanian sudah menjadi ciri khas, tradisi, dan cara hidup pada rumahtangga masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag. Gambaran mengenai karakteristik rumahtangga pertanian yang ada di Kampung Cimapag dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Karakteristik Rumahtangga Pertanian Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag No Karakteristik Rumahtangga Pertanian Keterangan 1. Jumlah tanggungan rumahtangga 4 orang/rumahtangga 2. Rata-rata lahan garapan
6,5 patok (2620,3 m2)
3. Tipe sistem pertanian
Huma, sawah, dan kebun
4. Komoditi pertanian utama
Padi
5. Produktivitas hasil pertanian utama
130 pocong/455 kg /musim panen
6. Komoditi pertanian tambahan
Kebun: pisang, alpukat, cabe rawit, timun, kacang, singkong, jagung, terong, tomat, kapulaga Kebun kayu atau talun : jeunjing, kayu, aren, pohon kopi, tisuk, manglid, manii, jabon.
7. Sistem Irigasi
Irigasi tradisional dengan pengelolaan secara bersama
Sumber: Data Primer, 2010
Berdasarkan tabel 8, jumlah tanggungan rumahtangga adalah empat orang tiap rumahtangga. Lahan garapan yang dikelola oleh rumahtangga di Kampung Cimapag adalah 6,5 patok (2620,3 m2). Ukuran patok ini merupakan istilah yang biasanya digunakan oleh masyarakat kasepuhan untuk mengetahui berapa luas lahan yang bisa digarap. Satu patok bila dikonversi dalam satuan luas sama artinya dengan 400 m2. Sistem pertanian yang diterapkan yaitu huma, sawah, dan kebun dengan komoditi utama adalah padi. Tanaman padi meskipun merupakan komoditi utama tetapi bukan untuk diperjual-belikan. Aturan adat kasepuhan melarang bagi para incu putu (pengikut) Kasepuhan Sinar Resmi untuk menjual
56
padi apalagi dalam bentuk beras. Padi yang dihasilkan, hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan saja. Kalaupun ada rumahtangga yang kekurangan pangan dan membutuhkan padi, mereka bisa meminjam padi dari lumbung kasepuhan atas seijin Abah. Penuturan salah satu warga Kampung Cimapag yaitu Bapak ZN (39 tahun) yang memang tidak memiliki lahan garapan, beliau mengungkapkan bahwa: “disini ya neng, meskipun ada orang yang nggak punya lahan buat digarap, ya seperti bapak ini, tapi kita masih bisa garap lahan punya orang lain. Dan alhamdulillahnya warga sini tidak pernah ada yang kelaparan atau kekurangan. Kalaupun memang kekurangan pasti juga nanti bisa pinjam padi ke Abah, tapi itu mah udah jarang.” Mengenai produktivitas padi, dalam sekali panen yakni satu tahun sekali, sesuai dengan aturan adat kasepuhan. Rumahtangga masyarakat Kampung Cimapag menghasilkan tanaman padi 130 pocong. Istilah pocong sendiri berarti ikat. Apabila dikalkulasikan dalam satuan kilogram (kg), satu pocong sama dengan 3,5 kg. Selain tanaman padi, Kampung Cimapag juga mengusahakan tanaman lain seperti palawija (jagung, singkong, ubi), sayur-sayuran (kacang panjang, tomat, timun, dan buncis), buah-buahan (pisang dan alpukat), serta kapulaga atau biasa disebut kapol. Tanaman talun atau kebun kayu juga menjadi salah satu komoditi tambahan bagi masyarakat kasepuhan. Talun memerlukan waktu yang lama agar menghasilkan. Talun yang biasanya ditanam oleh masyarakat kasepuhan antara lain jeunjing, manglid, tisuk, jabon, jati putih, mahoni, bambu, manii, kayu, aren, pohon kopi, dan lainnya. Sistem pengairan yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Cimapag berupa solokan (seperti parit) yang dikelola secara bersamasama antar rumahtangga dan memiliki kepengurusan sendiri. Ukuran solokan ini kurang lebih 1m x 60 cm, dan memiliki struktur kepengurusan yang disebut maningtin. Solokan ini bersumber pada Kali Cisono dimana di Kampung Cimapag ada dua solokan yaitu aliran dari Curug Pining dan Cikaso. Mekanisme penggunaan solokan ini adalah dua solokan biasanya dimanfaatkan oleh lima rumahtangga. Kegiatan pertanian yang dilakukan oleh rumahtangga masyarakat kasepuhan menjadi sektor utama dan menjadi tumpuan hidup masyarakat dan didukung dengan penanaman komoditi tambahan. Sistem tumpang sari menjadi
57
kegiatan yang banyak dilakukan oleh rumahtangga masyarakat kasepuhan. Lahan huma yang ditanami padi, disekitarnya ditanami oleh tanaman palawija, buahbuahan, dan sebagainya. Berbagai tanaman yang bisa ditanam akan dimanfaatkan rumahtangga masyarakat kasepuhan dan hasilnya bisa digunakan untuk kebutuhan pangan dan untuk dipasarkan. Pemasaran hasil pertanian rumahtangga masyarakat kasepuhan melalui tengkulak. Tengkulak bisa memasarkan hasil pertanian masyarakat kasepuhan hingga ke Jakarta. Komoditi pertanian yang ada di rumahtangga masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag (lihat tabel 9). Tabel 9. Komoditi Pertanian dan Rata-Rata Panen yang Dihasilkan serta Pemanfaatannya pada Rumahtangga di Kampung Cimapag No 1.
Komoditi Pertanian Padi
Rata-rata Panen 100 pocong
Pemanfaatan Dikonsumsi Dijual 1-2 liter sehari Tidak untuk dijual
2.
Singkong
50 kg
25 kg
25 kg
3. 4.
Jagung Ubi
10-50 kg 15 kg
5 kg 5 kg
50 kg 10 kg
5.
Pisang
10-60 kg
5 kg
50 kg
6.
Alpukat
10-50 kg
-
50 kg
7. 8.
Timun Kacang panjang Tomat Buncis Kapulaga
15 kg 10 kg
5 kg 3 kg
10 kg 7 kg
8 kg 10 kg 20-100 kg
3 kg 3 kg -
5 kg 5 kg 100 kg
9. 10. 11. 12.
Tanaman Talun: - Jeungjing Hasil talun - Manglid dalam bentuk - Tisuk gelondongan - Jabon - Manii Sumber: Data Primer, 2010
Untuk membangun atau memperbaiki rumah
Dijual dalam per m3
Keterangan Sesuai aturan adat padi tidak boleh dijual. Satu pocong = 3,5 kg atau 2,5 liter. Hasil dari singkong biasanya dibagi dua, untuk dikonsumsi atau dibagi ke tetangga dan setengah hasilnya untuk dijual. Jagung dan ubi biasanya panen dalam 4 bulan sekali. Pisang lebih sering dijual daripada dikonsumsi. Alpukat lebih banyak dijual daripada dikonsumsi karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Sayur-sayuran biasanya ditanam dilakukan di lahan kebun dan sawah yang masih menunggu masa tanam padi. Panen kapulaga dalam 2 bulan sekali. Pada tanaman talun biasanya dijual dalam satuan kubik. Rata-rata Rp. 400.000/ m3
58
Tabel 9 di atas menunjukkan pada tanaman palawija seperti jagung, singkong, dan ubi, sebagian besar masyarakat kasepuhan rata-rata dalam satu kali panen sekitar 50 kg. Tanaman singkong, hasilnya lebih sering dibagi dua untuk dijual dan dikonsumsi. Sedangkan tanaman pisang, atau yang biasa disebut cau, sebagian besar ditanam masyarakat kasepuhan. Hal ini dikarenakan pisang sesuai dengan kondisi cuaca dan tanah, sehingga hasil yang diperoleh cukup banyak. Tanaman sayuran, ada yang ditanam di kebun ataupun di sawah (lahan di sawah yang kering atau tidak ada air). Sayuran yang ditanam oleh masyarakat kasepuhan, hasilnya juga tidak begitu banyak, mereka cenderung mengonsumsi meskipun ada juga yang dijual ke tengkulak. Pada tanaman kapulaga atau kapol, mayoritas masyarakat kasepuhan di Kampung Cimapag menanam tanaman tersebut. Kapol digunakan sebagai bahan obat-obatan, hasil dari kapol ini sangat menguntungkan bagi masyarakat. Kapol dijual ke tengkulak sekitar Rp. 5.000 per kg, dan dalam dua bulan sekali kapol panen. Apabila hasilnya banyak, kapol bisa panen satu kali dalam satu bulan. Tanaman talun seperti pohon kayu yang biasanya dimanfaatkan masyarakat kasepuhan untuk membangun atau memperbaiki rumah dan untuk dijual. Sebagai contoh tanaman jeunjing dan manglid, untuk jeunjing waktu yang diperlukan sampai panen sekitar 5-6 tahun sedangkan manglid sekitar 10 tahun. Tanaman ini dijual dalam satuan kubik, dan biasanya per kubik dihargai Rp. 400.000,-.
6.2
Luas Pengelolaan Lahan Garapan Lahan garapan menjadi salah satu aset berharga yang dimanfaatkan oleh
masyarakat kasepuhan. Lahan garapan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kampung Cimapag ada dua jenis yaitu ada yang menggarap lahan dengan status lahan SPPT (Surat Peringatan Pajak Terhutang) dan lahan dengan status lahan kehutanan (taman nasional). Status lahan SPPT merupakan lahan milik negara yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menggarap asalkan masyarakat membayar pajak atas tanah itu. Rumahtangga yang memiliki lahan dengan status SPPT diwajibkan membayar pajak atas lahan tersebut. Biaya untuk membayar SPPT dibagi menjadi 2 kelas antara lain kelas pertama Rp. 25.000 per 10.000 m2 dan kelas kedua adalah Rp. 15.000 per 10.000 m2. Sedangkan lahan TNGHS bagi
59
masyarakat kasepuhan merupakan lahan komunal sehingga masyarakat memiliki hak atas lahan garapan meskipun dalam aturan TNGHS lahan tersebut merupakan milik negara dan termasuk dalam pengelolaan TNGHS. Secara umum rumahtangga petani masyarakat kasepuhan di Kampung Cimapag tidak memiliki lahan dengan status hak milik pribadi atau bersertifikat. Masyarakat kasepuhan yang tidak memiliki lahan garapan, bisa menggarap lahan orang lain dengan sistem bagi hasil (maro) atau kesepakatan yang ditetapkan oleh kedua belah pihak. Berikut tabel yang menggambarkan luas
lahan garapan masyarakat
kasepuhan di Kampung Cimapag dari 30 rumahtangga: Tabel 10. Jumlah dan Persentase Rumahtangga di Kampung Cimapag Menurut Luas Lahan Garapan No Persentase Luas Lahan Garapan Jumlah Rumahtangga 1. Tinggi (> 1 hektar) 3,33 1 2. Sedang (0,5 hektar-1 hektar) 6,66 2 3. Rendah (< 0,5 hektar) 90 27 Jumlah 100 30 Sumber: Data Primer, 2010
Berdasarkan Tabel 10. luas lahan garapan digolongkan menjadi tiga kategori yakni tinggi, sedang, dan rendah. Pada kategori tinggi, dari 30 rumahtangga hanya 3,33% yang menggarap lebih dari satu hektar. Pada kategori sedang, sebesar 6,66% dan pada kategori rendah sebesar 90%. Persentase ini menunjukkan bahwa luas lahan garapan di Kampung Cimapag tergolong rendah. Lahan garapan masyarakat ini sudah termasuk dengan lahan garapan yang digunakan untuk huma, sawah, dan kebun yang berstatus lahan SPPT dan lahan taman nasional.
6.3
Sumber-sumber Nafkah Rumahtangga Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, tiap rumahtangga tidak terlepas
dari upaya untuk tetap bertahan hidup. Strategi nafkah sebagai upaya alternatif untuk menjaga kestabilan ekonomi rumahtangga agar bisa survive. Pada dasarnya strategi nafkah dilakukan dengan memanfaatkan sumber-sumber nafkah. Ellis (2000) menjelaskan bahwa sumber-sumber nafkah yang biasanya dimanfaatkan oleh rumahtangga antara lain modal sumberdaya alam, modal manusia, modal finansial dan modal sosial.
fisik, modal
60
Berdasarkan pengamatan dan data yang diperoleh di lapangan, rumahtangga masyarakat kasepuhan di Kampung Cimapag tidak semuanya memanfaatkan kelima sumber nafkah tersebut. Berikut adalah sumber-sumber nafkah rumahtangga yang dimanfaatkan oleh masyarakat kasepuhan di Kampung Cimapag: 1. Modal Sumberdaya Alam Modal sumberdaya alam menjadi aset yang sebagian besar atau bahkan semua rumahtangga memanfaatkannya. Modal sumberdaya alam yang dimanfaatkan adalah air, hutan, dan lahan garapan. Sumberdaya air dimanfaatkan untuk sistem pengairan di lahan sawah. Sumberdaya hutan yang dimanfaatkan misalnya kayu, tanaman obat-obatan, ranting dan lain-lain yang dimanfaatkan masyarakat kasepuhan untuk kebutuhan hidupnya. Sumberdaya alam yang paling banyak dimanfaatkan oleh rumahtangga masyarakat kasepuhan adalah lahan garapan. Lahan garapan ini dimanfaatkan rumahtangga masyarakat kasepuhan untuk bercocok tanam baik di huma, sawah, dan kebun. 2. Modal Fisik Modal fisik yang dimanfaatkan oleh rumahtangga masyarakat kasepuhan adalah sistem irigasi. Sistem irigasi pada Kampung Cimapag dilakukan secara bersamasama sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. 3. Modal Manusia Modal manusia yang dimanfaatkan oleh rumahtangga masyarakat kasepuhan adalah pemanfaatan tenaga kerja. Tenaga kerja ini bisa berasal dari dalam rumahtangga itu sendiri, kerabat ataupun tetangga. Pada rumahtangga masyarakat kasepuhan, tenaga kerja yang dimanfaatkan sebagian besar berasal dari rumahtangga yaitu istri dan anak khususnya dalam kegiatan menggarap lahan. Namun, ada juga yang memanfaatkan tenaga kerja dari luar misalnya tetangga. 4. Modal Finansial Modal finansial dapat berupa uang tunai, tabungan, ataupun akses dan pinjaman. Pada masyarakat kasepuhan sendiri, jarang melakukan pinjaman ke orang lain atau bahkan melalui lembaga keuangan. Modal finansial rumahtangga masyarakat kasepuhan berasal dari hasil panen dari komoditi pertanian serta hasil dari pekerjaan sambilan di luar sektor pertanian.
61
5. Modal Sosial Modal ini merupakan gabungan komunitas yang dapat memberikan keuntungan bagi individu atau rumahtangga yang tergabung di dalamnya. Modal sosial bisa dilihat dari jejaring, kepercayaan, dan norma. Pada masyarakat kasepuhan sendiri berdasarkan pengamatan dan keikusertaan peneliti di lapangan, modal sosial pada masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terlihat jelas. Bisa dilihat dari kegiatan adat yang dilakukan, masyarakat kasepuhan baik laki-laki dan perempuan terlibat di dalamnya. Hal inilah yang menimbulkan ikatan yang kuat antar masyarakat kasepuhan. Sebagai contoh ketika ada warga yang akan melakukan kegiatan huma atau menanam padi di lahan kering (ngaseuk), masyarakat melakukannya secara bersama-sama dengan suka rela baik laki-laki maupun
perempuan. Dalam
kegiatan ngaseuk, tugas laki-laki adalah membuat lubang aseuk dan perempuan yang memasukkan benih ke dalam lubang tersebut. Rumahtangga yang ikut membantu, biasanya oleh pemilik lahan disediakan makanan yang berbentuk tumpeng yang nantinya akan dimakan bersama-sama setelah kegiatan menanam padi selesai. Kegiatan ngaseuk dilakukan secara bergiliran antar rumahtangga. Selain itu, ketika ada rumahtangga memanen pisang, singkong, ubi dan hasilnya banyak, masyarakat biasanya saling berbagi dengan para tetangga. Lahan garapan yang kosong juga terkadang dimanfaatkan masyarakat kasepuhan. Lahan kosong dapat dimanfaatkan oleh rumahtangga lain, ketika yang memiliki lahan sedang tidak menggarap lahan tersebut. Pemanfaatan lahan kosong dilakukan oleh pemilik lahan atas dasar suka rela untuk membantu rumahtangga lain.
6.4
Bentuk-bentuk Strategi Nafkah Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa strategi nafkah dilakukan
sebagai upaya suatu rumahtangga untuk tetap bertahan hidup demi memenuhi kebutuhan
hidup
rumahtangganya.
Berbicara
mengenai
strategi
nafkah
rumahtangga, Scoones dalam Ependi (2004), mengungkapkan bahwa ada tiga bentuk strategi nafkah yang biasanya dilakukan oleh masyarakat pedesaan meliputi : 1) Rekayasa sumber nafkah pertanian (intensifikasi dan ekstensifikasi), 2) Pola nafkah ganda (keragaman nafkah), dan 3) Rekayasa spasial atau migrasi. Sistem penghidupan pertanian pada masyarakat kasepuhan cenderung subsisten
62
dengan aturan adat yang berlaku dalam kegiatan pertanian diikuti dengan bentukbentuk strategi nafkah yang menyertainya. Terlebih dengan adanya perluasan TNGHS di lahan garapan masyarakat yang secara aturan TNGHS akses sumberdaya alam menjadi terbatas.
6.4.1 Bentuk-bentuk Strategi Nafkah Sebelum Perluasan TNGHS Sebelum perluasan TNGHS, masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi mengolah lahan garapan yang dulunya dikelola oleh Perum Perhutani. Melalui aturan pancang sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, masyarakat kasepuhan masih bisa menggarap lahan dengan ketentuan yang sudah disepakati. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat kasepuhan melakukan berbagai upaya untuk bertahan hidup melalui strategi nafkah. Gambaran mengenai bentuk-bentuk strategi nafkah yang dilakukan oleh 30 rumahtangga masyarakat kasepuhan di Kampung Cimapag sebelum adanya perluasan TNGHS (lihat Gambar 4.) Persentase Bentuk-bentuk Strategi Nafkah Sebelum Perluasan TNGHS 6.66% 6.66%
3.33% Rekayasa sumber nafkah pertanian Pola nafkah ganda
10% Migrasi 6.66%
Rekayasa sumber nafkah pertanian dan Pola nafkah ganda 46.66%
20%
Rekayasa sumber nafkah pertanian dan Migrasi Pola nafkah ganda dan Migrasi Ketiga bentuk strategi nafkah
Sumber: Data Primer, 2010 Gambar 4. Persentase Bentuk-bentuk Strategi Nafkah Rumahtangga Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag Sebelum Perluasan TNGHS
Gambar 4. menunjukkan rumahtangga yang melakukan bentuk rekayasa sumber nafkah pertanian sebanyak 3,33%. Bentuk pola nafkah ganda, merupakan bentuk
63
strategi nafkah yang paling banyak dilakukan oleh rumahtangga yaitu sebanyak 46,66%. Bentuk strategi nafkah migrasi dilakukan oleh 20% rumahtangga. Pada kombinasi bentuk strategi nafkah terdapat empat jenis yaitu rekayasa sumber nafkah pertanian dan pola nafkah ganda dilakukan 6,66% rumahtangga, rekayasa sumber nafkah pertanian dan migrasi dilakukan oleh 10% rumahtangga, pola nafkah ganda dan migrasi dilakukan oleh 6,66% rumahtangga serta ketiga bentuk strategi nafkah dilakukan oleh 6,66% rumahtangga. Merujuk pada Gambar 4. terlihat bahwa sebelum perluasan TNGHS, rumahtangga masyarakat kasepuhan memiliki berbagai bentuk strategi nafkah baik dengan satu strategi nafkah saja ataupun kombinasi dari bentuk-bentuk strategi nafkah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam bertahan hidup selain bertumpu pada sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama, rumahtangga masyarakat kasepuhan juga melakukan upaya alternatif melalui strategi nafkah.
6.4.2
Bentuk-bentuk Strategi Nafkah Sesudah Perluasan TNGHS Sesudah adanya perluasan TNGHS melalui SK Menteri Kehutanan No.
175/Kpts-II/2003 akses masyarakat kasepuhan menjadi terbatas, masyarakat masih bisa menggarap lahan untuk huma, sawah, dan kebun asalkan masyarakat tidak menebang kayu (talun) di lahan garapannya, meskipun hanya untuk memperbaiki rumah, selain itu tidak diperbolehkan memperluas lahan, dan tidak merambah hutan. Dalam hal pemenuhan kebutuhan, sektor pertanian masih menjadi tumpuan hidup masyarakat kasepuhan meskipun tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat kasepuhan untuk memiliki mata pencaharian selain sektor pertanian. Melalui strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga, masyarakat kasepuhan dapat bertahan hidup dengan segala keterbatasan akses lahan garapan akibat perluasan TNGHS. Gambaran mengenai bentuk-bentuk strategi nafkah yang dilakukan oleh 30 rumahtangga masyarakat kasepuhan di Kampung Cimapag sesudah adanya perluasan TNGH (lihat Gambar 5. )
64
Persentase Bentuk-bentuk Strategi Nafkah Sesudah Perluasan TNGHS 3.33% Pola nafkah ganda 20% Migrasi 3.33%
Rekayasa sumber nafkah pertanian dan Pola nafkah ganda
3.33%
Rekayasa sumber nafkah pertanian dan Migrasi
6.66% 63.33%
Pola nafkah ganda dan Migrasi Ketiga bentuk strategi nafkah
Sumber: Data Primer, 2010 Gambar 5. Persentase Bentuk-bentuk Strategi Nafkah Rumahtangga Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag Sesudah Perluasan TNGHS
Gambar 5. Menunjukkan sesudah adanya perluasan TNGHS menunjukkan bahwa tidak terdapat rumahtangga yang melakukan bentuk rekayasa sumber nafkah pertanian. Bentuk pola nafkah ganda, masih menjadi bentuk strategi yang paling banyak dilakukan oleh rumahtangga yaitu sebanyak 63,33%. Bentuk strategi nafkah migrasi dilakukan rumahtangga masyarakat kasepuhan sebanyak 6,66%. Kombinasi bentuk strategi nafkah terdapat empat jenis yaitu rekayasa sumber nafkah pertanian dan pola nafkah ganda dilakukan oleh rumahtangga sebanyak 3,33%, rekayasa sumber nafkah pertanian dan migrasi sebanyak 3,33%, pola nafkah ganda dan migrasi sebanyak 20% , dan ketiga bentuk strategi nafkah sebanyak 3,33%. Berdasarkan Gambar 4. maupun Gambar 5. terlihat bahwa sejauh ini masyarakat kasepuhan tidak menunjukkan perubahan dalam bentukbentuk strategi nafkah. Rumahtangga masyarakat kasepuhan baik sebelum maupun sesudah perluasan TNGHS memiliki berbagai upaya alternatif untuk memenuhi kebutuhan mereka, tanpa dipengaruhi dengan adanya keterbatasan akses lahan garapan di kawasan TNGHS. Gambaran mengenai bentuk-bentuk strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag sesudah
65
adanya TNGHS akan dijelaskan dalam contoh-contoh kasus dari tiap-tiap bentuk strategi nafkah yakni sebagai berikut: 1. Pola Nafkah Ganda Pola nafkah ganda merupakan bentuk strategi nafkah yang banyak diterapkan oleh rumahtangga masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi baik itu sebelum perluasan maupun sesudah perluasan. Adanya pola nafkah ganda ini, rumahtangga memiliki keragaman nafkah selain menjadi petani sebagai pekerjaan utama, yang mana hasil dari pola nafkah ganda ini akan menambah penghasilan bagi rumahtangga. Nafkah ganda yang dilakukan oleh rumahtangga seperti menyadap aren, buruh tani, membuat rumah, ojek, dan lain sebagainya.
Contoh-contoh kasus
rumahtangga yang melakukan pola nafkah ganda sebagai berikut: Rumahtangga Bapak AR (45 tahun). Bapak AR selain menjadi petani, beliau juga memiliki pekerjaan sambilan sebagai penyadap aren dan menggembalakan kerbau orang lain. Menyadap aren, banyak dilakukan oleh rumahtangga masyarakat kasepuhan di Kampung Cimapag. Hasil air aren ini, bisa untuk diminum dan bisa diolah menjadi gula semut. Gula semut ini biasanya akan dijual ke tengkulak. Pekerjaan gembala kerbau merupakan pekerjaan menggembalakan kerbau milik orang lain. Hasil yang beliau dapatkan seperti sistem maro atau bagi hasil. Biasanya bila kerbau yang digembalakan beranak misalnya beranak dua, maka Bapak AR akan mendapatkan anak kerbau satu ekor dan satu lagi untuk pemilik kerbau. Rumahtangga Bapak SP (47 tahun). Beliau bekerja sebagai buruh tani, biasanya dilakukan bersama istrinya dengan upah sekitar 30.000 per hari. Selain menjadi buruh tani, Bapak SP juga memiliki kelompok kesenian khas Sunda yang biasanya digunakan untuk acara kasepuhan maupun acara hajatan di kampung sekitar. Dalam kelompok kesenian ini, putri-putri Bapak SP diikutsertakan karena mereka merupakan penari dari kelompok kesenian ini. Hasil yang didapatkan, tergantung dari ada tidaknya panggilan. Biasanya kelompok kesenian Bapak SP mengisi hiburan dalam kegiatan kasepuhan setiap sebulan sekali yaitu Opatbelasna yang dilakukan setiap malam tanggal 14 dalam bulan Islam.
Rumahtangga Bapak JH (47 tahun). Pekerjaan beliau adalah menyadap aren, sebagai tambahan penghasilan. Selain itu Bapak JH juga bekerja membangun rumah. Rumah yang dimiliki oleh masyarakat kasepuhan sifatnya tidak permanen, sehingga terkadang setiap tahunnya bagian bilik (atap) dan dinding rumah perlu untuk diganti. Bapak JH biasanya diminta oleh rumahtangga lain untuk dibuatkan bilik dan dinding rumah. Bilik ini dianyam dan diatasnya menggunakan ijuk. Upah dari membangun rumah, biasanya sekitar 50.000 rupiah.
66
Rumahtangga Bapak ZN (39 tahun). Bapak ZN bekerja sebagai petani dan ustadz di Kampung Cimapag. Selain bertani di lahan orang lain (Bapak ZN tidak memiliki lahan garapan), beliau memiliki pekerjaan sebagai ustadz. Pendapatan dari ustadz diperoleh dalam bentuk padi yang masih berupa ikat (pocong) dari ibu-ibu yang menghadiri pengajian tiap minggunya. 2. Migrasi Migrasi yang dilakukan oleh rumahtangga masyarakat kasepuhan pada umumnya bersifat tidak menetap. Kegiatan migrasi sebagian besar dilakukan oleh kepala rumahtangga ketika sedang menunggu musim panen. Kegiatan migrasi yang dilakukan diantaranya adalah menjadi buruh bangunan, penambang emas, nelayan, dan lain-lain. Migrasi yang dilakukan oleh rumahtangga masyarakat kasepuhan di Kampung Cimapag biasanya dilakukan bersama-sama dengan rumahtangga lain. Contoh kasus rumahtangga yang melakukan migrasi adalah sebagai berikut:
Rumahtangga Bapak AP (32 tahun). Sambil menunggu musim panen, dulu Bapak AP pernah bekerja sebagai penambang emas dan buruh bangunan di Jakarta. Kalau untuk sekarang, beliau lebih sering menjadi buruh bangunan di luar kota, itu juga terkadang dilakukan kalau memang ada proyek. Rumahtangga Bapak TG (45 tahun). Bapak IT memiliki lahan garapan sebesar satu patok (400 m2). Selain menjadi petani, bapak IT juga memiliki pekerjaan sambilan sebagai nelayan di Pelabuhan Ratu. Pekerjaan menjadi nelayan biasany dilakukan seminggu sekali waktu musim barat. Bapak IT mengungkapkan “kalau masalah hasil mah nggak tentu neng, kadang semaleman saya di laut nggak dapet ikan sama sekali, kadang juga dapet tapi sekali dapet paling ya 15.000 rupiah.” 3. Kombinasi Bentuk Strategi Nafkah Bentuk strategi nafkah ini dilakukan dengan mengkombinasikan ketiga bentuk strategi nafkah baik rekayasa sumber nafkah pertanian, pola nafkah ganda, dan migrasi. Menurut Sconnes dalam Masithoh (2005), dalam melakukan strategi nafkah, rumahtangga petani bisa menerapkan salah satu kegiatan atau melakukan kombinasi dari ketiga bentuk strategi nafkah untuk memperoleh strategi yang paling efektif agar bisa bertahan hidup baik saat krisis maupun saat kondisi normal. Berikut adalah kombinasi bentuk strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga masyarakat kasepuhan: a. Rekayasa sumber nafkah pertanian dan Pola nafkah ganda
67
Rumahtangga Bapak AD (62 tahun). Sebelum adanya perluasan TNGHS Bapak AD memiliki pekerjaan sambilan menyadap aren. Sesudah adanya perluasan TNGHS, beliau tetap konsisten dengan kegiatan menyadap aren dan sekarang beliau juga memanfaatkan tenaga orang lain untuk membantu kegiatan pertanian di lahan garapannya. b. Rekayasa sumber nafkah pertanian dan Migrasi Rumahtangga Bapak HR (35 tahun). Bapak HR merupakan rumahtangga yang memanfaatkan tenaga kerja lain untuk menggarap lahan pertaniannya. Selain menjadi petani, pekerjaan beliau adalah menjadi pedagang konveksi di Jakarta. Beliau pergi ke Jakarta secara berkala setiap 3 bulan sekali. Pekerjaan menjadi pedagang ini sudah beliau jalankan selama lebih dari 10 tahun.
c. Pola Nafkah Ganda dan Migrasi Rumahtangga bapak UD (26 tahun). Sesudah perluasan TNGHS, rumahtangga Bapak UD melakukan bentuk pola nafkah ganda dan migrasi. Bapak UD memiliki pekerjaan menyadap aren dan kadang juga menjadi tukang ojek. Menyadap aren merupakan aktivitas yang banyak ditemukan di rumahtangga masyarakat Kampung Cimapag. Untuk kegiatan migrasi, biasanya beliau bersama dengan tetangganya bersama-sama menjadi penambang emas di Cibanteng, Lebak, Banten yang dilakukan sekitar seminggu sekali. Aktivitas menambang emas yang dilakukan oleh Bapak UD sifatnya adalah legal karena ada ijin dari Dinas Kehutanan yang terkait. Selain itu, beliau juga menjadi buruh bangunan apabila ada proyek. Kegiatan migrasi yang dilakukan oleh rumahtangga masyarakat kasepuhan biasanya pada bulan Maret-April. d. Ketiga Bentuk Strategi Nafkah Rumahtangga Bapak DN (45 tahun). Bapak DN dalam menggarap lahannya memanfaatkan tenaga orang lain, karena lahan garapan beliau cukup luas. Selain menjadi petani, beliau juga memiliki pekerjaan berdagang ikan di Kampung Cimapag. Ketika menunggu musim panen, beliau bekerja menjadi buruh bangunan di Banten (apabila memang ada proyek). 6.5
Strategi Nafkah dan Akses Sumberdaya Alam Bentuk-bentuk strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga
masyarakat kasepuhan pada umumnya sebagai tambahan penghasilan selain sektor pertanian. Bentuk-bentuk strategi nafkah khususnya pola nafkah ganda dan migrasi dilakukan pada kondisi tertentu serta tergantung dengan peluang yang ada. Apabila dikaitkan dengan adanya perluasan kawasan TNGHS yang membatasi akses masyarakat kasepuhan, pada dasarnya masyarakat sudah sejak
68
lama bertumpu pada sektor pertanian. Meskipun akses dan kontrol yang terbatas, masyarakat kasepuhan masih sangat konsisten dengan kegiatan pertanian. Logikanya, ketika akses sumberdaya alam sebagai sumber nafkah utama terbatas, maka terjadi ketidakpastian nafkah atau ada rasa ketidakamanan dalam mencari nafkah. Hal tersebut bisa menyebabkan rumahtangga beralih dari mata pencaharian sebelumnya dan mencari mata pencaharian lain. Namun, hal ini justru berbeda dengan masyarakat kasepuhan yang mana dari sebelum adanya perluasan TNGHS sampai dengan sesudah adanya perluasan TNGHS masyarakat masih konsisten dengan kegiatan pertanian dan bentukbentuk strategi nafkah yang dilakukan tidak menunjukkan perubahan. Hal ini membuktikan bahwa perubahan akses sumberdaya alam yang terbatas tidak mendorong masyarakat untuk beralih dari sektor pertanian. Meskipun, secara fakta di lapangan, baik sebelum maupun sesudah perluasan TNGHS masyarakat memiliki aktivitas nafkah di luar pertanian seperti menjadi buruh tani, menyadap aren, buruh bangunan, penambang emas, dan lain sebagainya tetapi aktivitas tersebut hanya dilakukan sebagai nafkah tambahan. Salah satu warga Kampung Cimapag yaitu Bapak SP (47 tahun) mengungkapkan bahwa : “sebelum ada taman nasional, masyarakat sini dari dulu banyak yang punya pekerjaan sampingan neng. Pekerjaan sampingan cuma untuk tambahan penghasilan. Jadi mau itu taman nasional diperluas atau nggak, kami tetap akan terus dengan kegiatan pertanian. Kalau sampai kami beralih dari pertanian, bagaimana dengan anak cucu kami? Siapa yang akan meneruskan kegiatan pertanian yang sudah jadi tradisi leluhur kami?” Bapak UD (26 tahun) salah satu warga Kampung Cimapag juga mengungkapkan bahwa : “Sekecil-kecilnya lahan garapan yang dimiliki, masyarakat kasepuhan tetap konsisten dengan pertanian. Pekerjaan sambilan banyak dilakukan warga sini, tapi itu bukan jadi penghasilan utama. Kalaupun sekarang sesudah perluasan, dari TNGHS ada aturan-aturan yang membatasi kami menggarap lahan, kami mah tetap mengikuti aturan adat yang berlaku. Untuk beralih dari pertanian, rasanya tidak mungkin, karena kalau nggak dari pertanian, masyarakat disini nggak bisa hidup. Pertanian kan juga warisan leluhur, kami sebagai penerus wajib untuk melanjutkan tradisi ini.“
69
Tidak adanya perubahan strategi nafkah dikarenakan masyarakat kasepuhan tetap memegang teguh tradisi leluhur yaitu sistem pertanian yang mereka jalani dari dahulu sampai sekarang. Pertanian bagi masyarakat kasepuhan sudah menjadi bagian dari budaya dan tradisi yang harus tetap dijaga dan dilestarikan. Sesuai dengan filosofi masyarakat kasepuhan yaitu “Ibu Bumi, Bapak Langit, Guru Mangsa” yang mana dalam kehidupannya, masyarakat harus menjaga keutuhan bumi beserta segala isinya sehingga keseimbangan alam pun tetap terjaga. Sistem pertanian ini tidak sekedar kegiatan pertanian yang secara umum menuju pada produktivitas, namun sistem pertanian di masyarakat kasepuhan sudah mengikat pada kehidupan masyarakat dan lebih berorientasi pada suatu interaksi yang kuat antar masyarakat dengan Tuhan, masyarakat dengan masyarakat serta masyarakat dengan alam dengan aturan adat yang sudah melekat di setiap sendi kehidupan masyarakat.
6.6
Ikhtisar Bab ini menjelaskan tentang gambaran kegiatan ekonomi rumahtangga
masyarakat kasepuhan di Kampung Cimapag. Sektor pertanian menjadi bagian utama khususnya pertanian dengan tanaman padi dan didukung dengan adanya komoditi tambahan seperti palawija, sayuran, buah-buahan, dan tanaman kayu yang dapat dimanfaatkan untuk konsumsi maupun untuk dijual. Selain itu, bab ini ingin mengetahui perubahan bentuk strategi nafkah sebelum dan sesudah perluasan TNGHS. Data menunjukkan bahwa baik sebelum maupun sesudah perluasan TNGHS, rumahtangga masyarat kasepuhan tidak menunjukkan adanya perubahan strategi nafkah. Masyarakat kasepuhan melakukan bentuk-bentuk strategi nafkah seperti rekayasa sumber nafkah pertanian, pola nafkah ganda, dan migrasi baik itu sebelum maupun sesudah perluasan TNGHS. Adanya perubahan akses ternyata tidak menjadikan masyarakat kasepuhan melakukan perubahan bentuk strategi nafkah. Tidak adanya perubahan strategi nafkah dikarenakan bagi masyarakat kasepuhan, kegiatan pertanian sudah menjadi bagian dari budaya dan tradisi yang sudah sepatutnya dijaga dan dilestarikan.
70
BAB VII UPAYA KOLABORATIF PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM SEBAGAI PELUANG ALTERNATIF SUMBER NAFKAH
7.1
Model Kampung Konservasi (MKK) Adanya perbedaan pandangan mengenai pengelolaan sumberdaya alam
antara TNGHS dengan masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi, dapat berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan TNGHS. Perluasan TNGHS dinilai menjadi ancaman bagi masyarakat kasepuhan karena akses yang terbatas dalam melakukan kegiatan pertanian. Melihat kondisi ini, TNGHS pihak yang berwenang dalam pengelolaan kawasan TNGHS, mencoba untuk membangun upaya kolaboratif dengan masyarakat kasepuhan. Upaya kolaboratif yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dan ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat kasepuhan adalah program MKK (Model Kampung Konservasi). Menurut Lembanasari (2006) kampung konservasi merupakan komunitas tertentu yang mampu hidup bersama alam, dan didalamnya dilakukan kegiatan perlindungan secara mandiri, mampu menjaga ekosistem dan secara ekonomi bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat atau berlangsungnya pemanfaatan sumberdaya alam hayati di dalam kawasan konservasi secara berkelanjutan. Kegiatan MKK dilakukan untuk tujuan konservasi dan kesejahteraan masyarakat yang
didasarkan
melalui
strategi
penyelesaian
konflik
dan
penguatan
kelembagaan, strategi pemulihan kawasan bersama masyarakat, dan strategi pengembangan ekonomi masyarakat (Supriyanto dan Ekariyono, 2007). Strategi tersebut dilakukan oleh pihak TNGHS sebagai suatu kerangka kebijakan dan strategi pendekatan bagi masyarakat kasepuhan yang memiliki keterkaitan yang tinggi dengan kawasan TNGHS. Program MKK dilaksanakan sejak tahun 2005 di Desa Sirna Resmi tepatnya di Kampung Cimapag yang sebagian besar merupakan masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi yang lahan garapannya termasuk dalam kawasan TNGHS. MKK merupakan suatu program yang sifatnya proyek antara TNGHS dengan JICA (Japan International Cooperation Agency) yang juga bekerjasama
71
dengan LSM LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia) dengan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Sebelum MKK dilaksanakan, pihak TNGHS melakukan survei mengenai sosial ekonomi masyarakat di Kampung Cimapag. Tahap perencanaan dan perumusan program MKK dilakukan melalui PRA (Participation Rural Appraisal) yang melibatkan masyarakat kasepuhan, aparat desa, LSM, dan pihak TNGHS. Berikut adalah kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam program MKK di Kampung Cimapag: 1. Pemberian bantuan bibit tanaman Pemberian bantuan bibit tanaman ini merupakan bentuk kerjasama dengan Dinas Kehutanan. Bibit tanaman yang diberikan adalah bibit pohon aren dan tanamantanaman kayu yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mendukung kegiatan pertanian. 2. Pembentukan kelompok MKK Pembentukan kelompok MKK bersifat bebas, dalam hal ini sasaran untuk pembentukan kelompok tidak dibatasi pada masyarakat tertentu saja. Tiap kelompok memiliki anggota maksimal 20 orang. Setelah pembagian kelompok MKK, dilakukan pelatihan pembuatan proposal oleh fasilitator (pihak TNGHS dan LSM LATIN) yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok MKK untuk pengajuan dana usaha kegiatan ekonomi tambahan seperti peternakan (bantuan ternak), perikanan, warung-warung kecil, dan lain-lain. Proposal yang diajukan oleh kelompok MKK dalam hal ini disesuaikan dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut: skala biaya kecil, mudah dikerjakan oleh kelompok, dan memiliki kejelasan dalam hal tujuan, pengelolaan, waktu, dan keberlanjutan usaha tersebut. Proposal yang diajukan akan diseleksi terlebih dahulu di tingkat desa dan kecamatan. Setelah diseleksi, JICA sebagai pihak penyandang dana akan memberikan modal usaha tersebut. Dalam pembagian keuntungan dari kegiatan ekonomi tambahan ini, akan diserahkan kepada kelompok MKK sesuai dengan kesepakatan diantara anggota. 3. Pengamanan dan pemulihan kawasan TNGHS bersama masyarakat Pengamanan dan pemulihan kawasan dilakukan melalui pengarahan oleh pihak TNGHS. Kegiatan pengarahan bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
72
kawasan TNGHS dan pengarahan mengenai kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan di kawasan TNGHS. Dalam pengarahan ini, pihak TNGHS menegaskan bahwa masyarakat bisa mengolah lahan garapan baik untuk sawah, huma, dan kebun asalkan lahan tersebut tidak diperluas, tidak dimiliki, serta tidak diperbolehkan menebang kayu. Kegiatan pengamanan kawasan melibatkan peran masyarakat kasepuhan dan polisi hutan TNGHS yang dilaksanakan sekitar dua kali dalam satu minggu. Sedangkan untuk kegiatan pemulihan kawasan, masyarakat dianjurkan untuk menanam tanaman-tanaman kehutanan seperti puspa, rasamala, kayu hutan, dan kayu alam di lahan garapan masing-masing.
7.2
Beberapa Pandangan Mengenai Model Kampung Konservasi (MKK) Kegiatan MKK yang dilakukan di Kampung Cimapag sudah berlangsung
selama lima tahun sampai saat ini. Menurut Bapak KR (47 tahun) selaku pengelola TNGHS, berdasarkan fakta di lapangan, program MKK yang dilakukan di Kampung Cimapag bisa dikatakan kurang berhasil. Ketidakberhasilan ini, salah satunya bisa dilihat dari pembentukan kelompok MKK yang pada awalnya berjumah 10 kelompok, kini hanya 3 kelompok yang masih aktif. Selain itu, menurut pengalaman petugas di lapangan adanya MKK seolah-olah dipandang menghambat kegiatan-kegiatan adat kasepuhan, sehingga mengurangi aktivitas masyarakat dalam kegiatan kasepuhan. Pandangan mengenai MKK juga diungkapkan oleh Abah selaku ketua adat, Abah mengungkapkan bahwa : “MKK merupakan program TNGHS dan JICA yang bertujuan untuk membantu perekonomian masyarakat melalui alternatif usaha ekonomi di bidang lain. Namun, pandangan kami menyatakan bahwa program ini hanya dijadikan semacam proyek yang mana masyarakat diberikan modal untuk kegiatan ekonomi agar masyarakat tidak bergantung pada hutan lagi. Padahal di hukum adat, lahan-lahan tersebut masih menjadi hak bagi kami untuk mengolahnya. Selain itu, kontrol dari TNGHS yang mungkin kurang sehingga program ini belum berhasil dilakukan.” Bapak ZN (39 tahun),merupakan salah satu warga Kampung Cimapag yang pernah tergabung dalam kelompok MKK. Beliau mengungkapkan bahwa: “kegiatan MKK sudah bagus karena memiliki tujuan menyejahterakan masyarakat dan melindungi hutan. Tidak
73
dipungkiri, adanya MKK dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. Namun, kalau melihat kekurangan MKK disini, terus terang saya merasa masih ada bantuan dari TNGHS yang tidak sesuai dengan sasaran. Kalaupun ingin meningkatkan ekonomi masyarakat, harusnya dilihat yang tingkat ekonominya masih rendah. Selain itu, kurang adanya kontrol dari pihak TNGHS tentang keberlanjutan MKK.” Pada dasarnya kegiatan MKK merupakan kegiatan yang bertujuan untuk melindungi kawasan konservasi yang diikuti dengan peningkatan ekonomi masyarakat melalui alternatif usaha ekonomi. Namun, terlihat bahwa adanya ketergantungan dari masyarakat terhadap TNGHS dan JICA mengenai keberlanjutan program MKK.bHal ini bisa dibuktikan dengan kelompok MKK yang mengalami penurunan menjadi tiga kelompok dikarenakan kurangnya kontrol dari pihak TNGHS. Selain itu, dalam pelaksanaan MKK ini tidak membahas
mengenai hukum adat yang menjadi prinsip hidup masyarakat
kasepuhan dalam keterkaitannya dengan alam. Oleh karena itu, perlu dijadikan pertimbangan bagi pihak TNGHS bahwa upaya kolaboratif yang dibangun, tidak melupakan unsur penting dari masyarakat kasepuhan, yakni hukum adat.
7.3
Ikhtisar Bab ini menjelaskan mengenai upaya kolaboratif yang dibangun oleh
pihak TNGHS yang bisa dimanfaatkan sebagai peluang alternatif sumber nafkah bagi masyarakat kasepuhan. MKK (Model Kampung Konservasi) sebagai upaya kolaboratif yang bertujuan untuk melindungi kawasan serta meningkatkan ekonomi masyarakat kasepuhan. Peningkatan ekonomi sebagai peluang alternatif sumber nafkah bagi masyarakat kasepuhan adalah pembentukan kelompok MKK. Kelompok MKK dapat mengajukan dana untuk modal usaha kegiatan ekonomi tambahan di bidang peternakan, perikanan, warung-warung kecil, dan lainnya. Melalui kegiatan tersebut, masyarakat dapat memperoleh sumber nafkah tambahan selain sektor pertanian yang sampai saat ini masih menjadi tumpuan hidup masyarakat kasepuhan. Pelaksanaan MKK bagi pengelola TNGHS maupun bagi masyarakat kasepuhan dinilai belum berhasil, baik dari faktor masyarakat maupun dari pihak TNGHS.
74
BAB VIII PENUTUP
8.1
Kesimpulan Penelitian ini diawali dengan hipotesis “terdapat perubahan strategi nafkah
akibat berubahnya akses sumberdaya alam pada masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi dikarenakan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.” Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, menunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan strategi nafkah akibat berubahnya akses sumberdaya alam pada masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi dikarenakan perluasan TNGHS. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ditolak, dengan alasan : Pertama, terjadi perubahan akses masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap sumberdaya alam dikarenakan perluasan TNGHS. Sebelum perluasan TNGHS, masyarakat kasepuhan diijinkan untuk menggarap lahan di bawah pengelolaan Perum Perhutani melalui aturan pancang. Sesudah perluasan TNGHS, aturan pancang sudah tidak berlaku dan status lahan garapan masyarakat masuk dalam zona rehabilitasi TNGHS. Aturan TNGHS menetapkan bahwa masyarakat masih diijinkan untuk menggarap lahan baik untuk huma, sawah, dan kebun. Khusus kebun kayu atau talun, masyarakat diperbolehkan menanam tetapi tidak diperbolehkan menebang kayu tersebut. Selain itu, tidak diperbolehkan adanya kegiatan perambahan hutan, perluasan lahan serta bagi masyarakat yang menggarap lahan di TNGHS diberikan tanggung jawab untuk menanam tanamantanaman hutan sebagai upaya rehabilitasi kawasan TNGHS. Alasan kedua adalah perubahan akses sumberdaya alam pada masyarakat kasepuhan, tidak membuat masyarakat melakukan perubahan bentuk-bentuk strategi nafkah atau dengan kata lain beralih dari kegiatan pertanian. Perubahan akses sumberdaya alam yang terbatas pada dasarnya bisa menyebabkan sumber nafkah menjadi hilang atau ada ketidakamanan dalam mencari nafkah. Logikanya, rumahtangga akan beralih dari mata pencaharian sebelumnya dan mencari mata pencaharian lain. Namun, hal ini justru berbeda dengan masyarakat kasepuhan, dimana sebelum adanya perluasan TNGHS sampai dengan sesudah adanya
75
perluasan TNGHS masyarakat masih konsisten dengan kegiatan pertanian dan bentuk-bentuk strategi nafkah yang dilakukan juga tidak menunjukkan perubahan. Data menunjukkan bahwa sebelum adanya perluasan TNGHS, masyarakat kasepuhan tidak menunjukkan adanya perubahan strategi nafkah. Masyarakat kasepuhan sudah melakukan bentuk strategi nafkah sebagai pendukung kegiatan nafkah baik dalam bentuk pola nafkah ganda maupun migrasi seperti menjadi buruh tani, menyadap aren, buruh bangunan, penambang emas, dan lain-lain baik sebelum perluasan maupun sesudah perluasan TNGHS. Sejauh ini akses sumberdaya alam yang terbatas, tidak membuat masyarakat kasepuhan beralih dari sektor pertanian. Tidak adanya perubahan strategi nafkah dikarenakan sistem pertanian sudah menjadi bagian dari budaya tradisi leluhur yang sudah seharusnya dijaga dan dilestarikan. Sesuai dengan filosofi masyarakat kasepuhan yaitu “Ibu Bumi, Bapak Langit, Guru Mangsa” yang mana dalam kehidupannya, masyarakat harus menjaga keutuhan bumi beserta segala isinya sehingga keseimbangan alam pun tetap terjaga. Sistem pertanian ini tidak sekedar kegiatan pertanian yang secara umum menuju pada produktivitas, namun sistem pertanian di masyarakat kasepuhan sudah mengikat pada kehidupan masyarakat dan berorientasi pada suatu interaksi yang kuat antar masyarakat dengan Tuhan, masyarakat dengan masyarakat serta masyarakat dengan alam dengan aturan adat yang sudah melekat di setiap sendi kehidupan masyarakat. Dalam kaitannya dengan upaya kolaboratif sebagai peluang alternatif sumber nafkah, program MKK (Model Kampung Konservasi) yang dilaksanakan di Kampung Cimapag dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Salah satu kegiatan dalam program MKK adalah pembentukan kelompok MKK. Kelompok tersebut dapat mengajukan dana untuk modal usaha kegiatan ekonomi tambahan di bidang peternakan, perikanan, warung-warung kecil, dan lainnya. Melalui kegiatan tersebut, masyarakat dapat memperoleh sumber nafkah tambahan selain sektor pertanian yang sampai saat ini masih menjadi tumpuan hidup masyarakat kasepuhan.
76
8.2
Saran Adanya tumpang tindih peraturan mengenai pengelolaan sumberdaya alam
dapat
mempengaruhi
keberlanjutan
kehidupan
masyarakat
kasepuhan.
Masyarakat kasepuhan sendiri hanya menginginkan akses sumberdaya alam khususnya lahan garapan karena bagi masyarakat yang terpenting adalah haknya diakui dan diijinkan untuk menggarap lahan yang diyakini sebagai tanah leluhur. Lahan garapan sendiri merupakan sumber nafkah utama bagi masyarakat untuk tetap bertahan hidup. Apabila akses dikurangi atau dibatasi, maka akan timbul ketidakamanan dan ketakutan dalam melakukan kegiatan pertanian. Tidak bisa dipungkiri aturan adat yang dimiliki oleh masyarakat kasepuhan masih menjadi kekuatan bagi masyarakat untuk tetap bertahan dalam melakukan kegiatan pertanian. Sedangkan, TNGHS juga memiliki aturan yang diharapkan dapat dipahami dan dipatuhi oleh berbagai pihak termasuk masyarakat kasepuhan. Oleh karena itu, peneliti memberikan saran hendaknya dalam pengelolaan sumberdaya alam yang melibatkan masyarakat kasepuhan di dalamnya perlu adanya pengakuan hukum adat yang sudah ada sebagai salah satu upaya untuk menghindari adanya tumpang tindih peraturan yang sampai sekarang masih berlanjut.
Hal ini dilakukan demi keberlanjutan kawasan konservasi dan
kesejahteraan masyararakat kasepuhan.
77
DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo, Soeryo. 2007. Ekologi Manusia. Bogor : Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. . 2010. Materi Kuliah Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya
Alam. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Ansaka, Dina. 2006. Kearifan Masyarakat Adat dalam Tradisi Konservasi di Cagar Alam Cyclops. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Dharmawan, Arya Hadi. 2001. Farm Household Livelihood Strategies and Socioeconomic Changes in Rural Indonesia. Kiel: Wissenschaftsverlag Vauk Kiel KG. Ellis, Frank. 2000. Rural Livelihood and Diversity in Developing Countries. New York: Oxford University. Ependi, Engken Parid. 2004. Analisis Sumberdaya Nafkah (Livehood Resource) dan Strategi Nafkah (Livehood Strategies) pada Dua Komunitas : Studi Kasus Komunitas Desa Banturujeg, Kecamatan Banturujeg, Kabupaten Majalengka dan Komunitas Desa Cisarua, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Galudra, Gamma. 2003. Kasepuhan and Their Sosioculture Interaction to The Forest. ICRAF Southeast Asia Working Paper, No. 2003-3. Bogor: ICRAF SEA. Harwell, E.E dan Lynch, OJ. 2002. Whose Resources? Whose Common Good?: Towards a New Paradigm of Environmental Justice and the National Interest in Indonesia. Washington DC : Center for International Environmental Law. Indaryanti, Yoyoh. 2004. Sistem Ekonomi Rumahtangga Komunitas Lokal di DAS Citanduy : Livelihood Structure Approach. Project Working Paper. Bogor: Pusat Studi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor. Indra dan Subarudi.2009. Proses Pembelajaran dari Pembentukan Manajemen Kolaboratif di Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara. http://www.coraltrianglecenter.org/downloads/NRM%20LessonsLearned ID.pdf. Diakses pada tanggal 20 September 2010. Kobayashi, et al. 2007. Menyingkap Kabut Gunung Halimun Salak. Sukabumi: BTNGHS.
78
Lestari, Dewi. 2005. Strategi Nafkah RumahTangga Nelayan Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa. (Studi Kasus Komunitas Nelayan Banyuwonto, Jawa Tengah dan Komunitas Nelayan Cipatuguran, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Lembanasari, Ajeng. 2006. Evaluasi Model Kampung Konservasi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Masithoh, Arifah Dewi. 2005. Analisis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Perkebunan Rakyat. (Studi Kajian Perbandingan : Komunitas Petani Perkebunan Teh Ciguha Jawa Barat dan Komunitas Petani Perkebunan Tebu Puri Jawa Timur. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial dan Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Meinzen-Dick, Ruth dan Anna Knox. 2001. Collective Action, property Rights, and Devolution of Natural Resource Management: A Conceptual Framework. Plenary Session Papers. Hal 41-73. Ningrat, Andya Ayu. 2004. Karakteristik Lanskap Tradisional, di Halimun Selatan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya: Sebuah Studi pda Kampung Kasepuhan di Kesatuan Adat Banten Kidul, Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Nurhaeni, Agustina. 2009. Implikasi Penunjukkan Areal Konservasi terhadap Pengelolaan Hutan dan Konservasi. (Studi Kasus Taman Nasional Gunung-Halimun Salak Desa Cirompang, Kecamatan Lobak, Kabupaten Lebak, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Peluso, NL. 2003. A Theory of Acces. Feature Rural Socioloy. Vol.02. No.02, 30 Juni 2003. USA: Rural Sociological Society. Hal. 153-181. Pusaka. 2008. Ketegangan Antara Kewajiban Negara dan Realitas Kebutuhan, Studi Kasus Kasepuhan Sinar Resmi dan Kasepuhan Citorek. http://www.scribd.com/doc/36105858/Riset-Hak-Masyarakat-Adat-KasusKasepuhan-Naskah-Final. Diakses pada tanggal 25 September 2010.
Rachmawati, et al. 2009. Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan: Adaptasi
79
Konflik dan Dinamik Sosio Ekologis. http://jurnalsodality.ipb.ac.id/jurnalpdf/ edisi5-2.pdf. Diakses pada tanggal 20 September 2010. RMI. 2004. Nyoreang Alam Ka Tukang Nyawang Anu Bakal Datang, Penelusuran Pergulatan di Kawasan Halimun, Jawa Barat-Banten. Bogor: Rimbawan Muda Indonesia. Suporahardjo. 2005. Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Bogor: Pustaka LATIN. Supriyanto, Bambang dan Willy Ekariyono. 2007. 5 Strategi Rekonstruksi dan Sosial Konservasi di TNGHS. Sukabumi: BTNGHS. TNGHS. 2007. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Periode 2007-2026. Sukabumi: TNGHS. Widiyanto. 2009. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung). Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Peraturan Menteri Kehutanan No. 19 Tahun 2004 http://www.tnghalimun.go.id diakses pada tanggal 1 Juli 2010 http://www.iges.or.jpenpdfactivity_masyarakat_adat_dan_REDD.pdf diakses pada tanggal 28 Juli 2010 http://www.ecopedial.wordpress.com/2006/01/12/pengelolaan-kolaboratif collaborative-management/ diakses pada tanggal 20 September 2010 http://www.kolaboratif.org/component-option.com pengelolaan/ diakses pada tanggal 20 September 2010
80
LAMPIRAN
81
Lampiran 1. Catatan Harian Penelitian 1. Hari/Tanggal Narasumber Lokasi Hasil Wawancara
: Jumat, 15 Oktober 2010 : Bapak AB ( 62 tahun) : Kasepuhan Sinar Resmi : Perubahan akses SDA dan pengelolaan kolaboratif
Akses masyarakat terhadap SDA memang berubah, akan tetapi masyarakat masih bisa menggarap lahan sampai sekarang, meskipun masih dihinggapi rasa takut, karena lahan yang mereka garap merupakan lahan di dalam TNGHS. Namun, masyarakat tetap mendukung kebijakan TNGHS mengenai konservasi hanya saja ada zona-zona dari kawasan TNGHS yang juga termasuk lahan garapan masyarakat. Akses masyarakat menjadi terbatas karena setelah TNGHS memperluas kawasannya ke lahan-lahan yang dikuasai Perum Perhutani, masyarakat sudah tidak diperbolehkan menggarap lahan tersebut. Saat Perum Perhutani yang mengelola, masyarakat dibebaskan menggarap lahan dan dilibatkan dalam pengelolaannya. Contoh : mau menanam di lahan 150 ha, masyarakat ikut menggarap lahan tersebut. Misalnya menanam pinus, sungkek, mahoni, damar, raksamana. Dalam menanam ada aturan, harus ada jarak, bila tanaman sudah besar ada namanya “penjarangan” (2m x 1m). Setelah panen, masyarakat dikenai pajak sekitar 10% kepada Perum Perhutani. Adanya perluasan dari TNGHS menyebabkan masyarakat terbatas aksesnya khususnya talun. Tanaman talun misalnya hutan kayu albasia, manii, manglid, tisuk, jabon. Masyarakat banyak menanam tanaman kayu di lahan tersebut, namun bagi TNGHS kawasan tersebut tidak diijinkan untuk digarap. Padahal masyarakat yang menanam dan masyarakat yang menghasilkan tetapi oleh TNGHS tidak diijinkan dan dikenai sanksi. Adanya tumpang tindih peraturan, menyebabkan masyarakat kasepuhan berupaya untuk mengajukan pengakuan aturan adat oleh pemerintah melalui PERDA Kabupaten Sukabumi. Tanah yang ada di kasepuhan adalah tanah yang sifatnya komunal (milik bersama) karena di Sukabumi ini ada 3 kasepuhan yang memang masih satu keturunan (Kasepuhan Cipta Mulya, Kasepuhan Sinar Resmi, dan Kasepuhan Cipta Gelar). Untuk pengelolaan kolaboratif, belum ada upaya antara kedua belah pihak untuk bersama-sama dalam pengelolaan SDA atau dalam upaya peningkatan ekonomi masyarakat kasepuhan. Sebenarnya ada upaya atau program dari pihak TNGHS untuk masyarakat kasepuhan. Sebagai contoh MKK (Model Kampung Konservasi) yang merupakan program dari TNGHS di Kampung Cimapag yang termasuk pengikut Kasepuhan Sinar Resmi. Banyak kegiatan yang dilakukan seperti pembagian bibit, pembuatan proposal untuk usaha tambahan, dan lainnya.
2. Hari/Tanggal Narasumber Lokasi Hasil Wawancara
: Sabtu, 16 Oktober 2010 : Ketua Adat Kasepuhan Sinar Resmi : Kasepuhan Sinar Resmi : Masyarakat kasepuhan dan pengelolaan kolaboratif
Keputusan Menteri Kehutanan tentang penetapan TNGHS sebenarnya membebani masyarakat kasepuhan. Peraturan TNGHS mengakibatkan akses masyarakat menjadi terbatas terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam yang notabene menjadi sumber nafkah masyarakat kasepuhan. Dalam pengelolaan sumberdaya alam, masyarakat selalu berpegang teguh pada adat yang nilainya memang selaras dengan alam. Sehingga, peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam cukup besar karena masyarakat
82 selain memanfaatkan sumberdaya alam yang ada juga menjaga kelestariannya. Kehadiran TNGHS berpengaruh terhadap keberlangsungan ekonomi masyarakat, karena masyarakat kasepuhan sangat bergantung terhadap lahan. Akses masyarakat terhadap lahan memang terbatas, namun dalam hal ini masyarakat tetap melakukan kegiatan ekonomi mereka yakni menggarap lahan meskipun lahan yang mereka garap ada di wilayah TNGHS. Namun, untuk perubahan mata pencaharian memang jarang terjadi, masyarakat tetap fokus pada kegiatan pertanian yang menjadi sumber nafkah utama, meskipun tidak menutup kemungkinan ada masyarakat yang juga memiliki sambilan seperti menjadi buruh, tukang ojek, membuka warung, dan lain sebagainya. Pada kenyataannya hubungan antara masyarakat kasepuhan dan pihak TNGHS terjadi benturan. Dalam artian, masyarakat kasepuhan ingin hak ulayatnya diakui sehingga mereka bisa memperoleh hak untuk mengelola lahan garapan. Namun, berlawanan dengan TNGHS yang tujuannya untuk perlindungan alam meskipun masyarakat kasepuhan juga bertujuan untuk menjaga alam dari kerusakan. Lain halnya dahulu, ketika masih ada Perum Perhutani. Perum Perhutani memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk bercocok tanam dan berladang asalkan ada pancang. Masyarakat merasa puas karena mereka ikut membantu Perum Perhutani untuk menanam tanaman-tanaman perum dan masyarakat juga diuntungkan karena mereka dipersilakan ikut menggarap lahan di wilayah tersebut. Adanya perluasan, menyebabkan wilayah yang tadinya dikelola oleh perum perhutani justru menjadi zonasi TNGHS. Abah pun menyayangkan bahwa penetapan kawasan TNGHS ini sebetulnya terlalu dini, karena pemerintah hanya mengesahkan sesuatu tanpa ada sosialisasi kepada masyarakat terlebih dulu. Antara masyarakat dan pemerintah memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk perlindungan. Masyarakat kasepuhan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada hanya untuk dikonsumsi dan kebutuhan rumah. Untuk lahan yang memang ada di hutan memang dilarang untuk dirambah, incu putu (pengikut) abah mengerti bahwa aturannya yang penting adalah sumberdaya alam yang ada jangan untuk diperjual belikan, yaitu yang status adalah hak ulayat. Perbedaan pandangan antara kedua pihak yaitu pada tumpang tindih peraturan. Masyarakat kasepuhan memiliki aturan yang sudah ada dari jaman leluhur mereka yang sifatnya turun-temurun dari generasi ke generasi dan TNGHS juga memiliki aturan sendiri. Meskipun abah menyadari bahwa posisi masyarakat adat yang lemah karena segala aturan yang ada sifatnya hanya lisan dan tidak tertulis. Namun, abah percaya betul bahwa aturan adat lebih dahulu muncul sebelum adanya TNGHS. Abah sebagai ketua adat bersama dengan masyarakat, akan terus mempertahankan apa yang memang telah diturunkan oleh para pendahulunya. Namun, perbedaan pandangan inilah yang cukup memberatkan munculnya kerjasama antara masyarakat kasepuhan dan TNGHS, karena tidak pernah ada titik temu antar kedua belah pihak. Abah pun tidak menutup kemungkinan untuk mengharapkan adanya hubungan yang lebih baik dengan TNGHS. Harapan Abah terkait dengan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang berhubungan erat dengan wilayah TNGHS sebaiknya direvisi dan tidak memberatkan masyarakat. Abah berharap adanya program dari TNGHS yang ikut melibatkan masyarakat terkait pula dengan kesejahteraan masyarakat adat, seperti apa yang dilakukan oleh Perum Perhutani terdahulu. Memang ada program TNGHS yang pernah bekerjasama dengan JICA, yaitu program MKK (model kampung konservasi) yang ada di Kampung Cimapag. Program MKK ini diarahkan ke permasalahan ekonomi, yang mana ada 5-6 kelompok yang diberikan modal yang bertujuan agar masyarakat yang tinggal dekat dengan hutan tidak lagi bergantung pada sumberdaya hutan dan bisa memperoleh alternatif usaha ekonomi yang lain (versi JICA dan TNGHS). Harapan abah selanjutnya, dengan adanya TNGHS sebaiknya masyarakat kasepuhan juga ikut dilibatkan. Misalnya adanya program persemaian, pembibitan, yang memang berguna untuk kesejahteraan masyarakat dengan kesepakatan dan persetujuan antar kedua belah pihak.
83
3. Hari/Tanggal Narasumber Lokasi Hasil Wawancara
: Sabtu, 16 Oktober 2010 : Bapak US ( 64 tahun) : Kasepuhan Sinar Resmi : Akses sumberdaya alam dan pengelolaan kolaboratif
Pada dasarnya kebijakan mengenai penetapan kawasan TNGHS memang dirasa memberatkan masyarakat kasepuhan. Apalagi perbedaan aturan antara TNGHS dan aturan adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat menyebabkan perbedaan pandangan meskipun antara kedua belah pihak juga kut menjaga alam dari kerusakan. Padahal masyarakat kasepuhan yang hidup di kawasan tersebut dari jaman dahulu dalam mengelola sumberdaya alam selalu menerapkan kearifan lokal yang sudah ada kurang lebih selama 400 tahun. Kearifan lokal dari masyarakat inilah yang menjadikan hutan tetap utuh dan jauh dari segala kerusakan, karena masyarakat adat juga menghargai alam. Apabila dilihat sekarang ini, justru lebih sering terjadi kerusakan hutan karena sudah terlalu banyak pihak yang mengelola baik dulu ketika ada Perum Perhutani, pihak-pihak swasta (perusahaan pertambangan dan perkebunan). Ketika kawasan TNGHS masih dikelola oleh jawatan kehutanan yang kemudian dikelola oleh Perum Perhutani, masyarakat dilibatkan secara langsung dan dibebaskan untuk mengelola lahan garapan di kawasan tersebut meskipun masyarakat dikenai pajak sekitar 10% oleh Perum Perhutani dari hasil panennya. Adanya peraturan mengenai perluasan kawasan TNGHS membuat masyarakat dibatasi segala aktivitas dalam menggarap lahan. Adanya kebijakan TNGHS ini menjadi ancaman bagi masyarakat karena haknya dibatasi. Bila dikaitkan dengan aturan mengenai TNGHS, aturan tersebut bisa dikatakan bertentangan dengan UU mengenai HAM, karena disini menyangkut hak masyarakat kasepuhan yang ingin menggarap lahan sebagai sumber penghidupan mereka. Adanya UU No. 41 tidak pernah tertulis adanya ruang bagi masyarakat yang memang dari dulu sudah terlanjur ada. Bahkan pembagian zonasi dalam kawasan TNGHS tidak disesuaikan pula dengan kondisi masyarakat yang ada di kawasan tersebut. Masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam penetapan zonasi TNGHS, padahal dari dulu masyarakat kasepuhan pun memiliki zonasi tersendiri yang sudah ada sejak zaman dahulu dari para leluhurnya. Meskipun dari TNGHS terdapat zona khusus untuk masyarakat adat tetapi hanya zona tertentu saja dan tidak diakomodir semua. Penetapan kawasan TNGHS memang mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat namun, tidak mengubah mata pencaharian masyarakat untuk beralih dari sektor pertanian. Meskipun masyarakat juga terkadang mencari penghasilan lain seperti membuka warung, menjadi buruh pikul, tukang ojek, dan lain sebagainya.. Mengenai pengelolaan kolaboratif sumberdaya alam antara masyarakat kasepuhan dan pihak TNGHS terkait dengan kegiatan ekonomi masyarakat, sampai saat ini belum ada atau kalaupun ada kurang berhasil. Hal ini dikarenakan perbedaan pandangan yang terjadi sejak dulu sehingga sulit untuk mempersatukan kedua belah pihak. Program dari TNGHS yakni MKK (Model Kampung Konservasi) yang dilakukan di Kampung Cimapag hanya dijadikan semacam proyek yang mana masyarakat diberikan modal tetapi tujuannya agar masyarakat tidak bergantung kepada sumberdaya hutan. Program ini seharusnya dilakukan semacam kontrol setiap minggunya namun kontrol terhadap program ini jarang dilakukan. Harapan masyarakat Bapak US sendiri terhadap
84 kebijakan TNGHS sebaiknya perlu ada Perda Perlindungan bagi masyarakat adat, yang mana hal-hal tersebut juga tercantum dalam UUD 1945 mengenai hak-hak tradisional dan masyarakat adat. Bapak US sendiri hanya ingin hak masyarakat diakui yakni mengenai hak untuk mengelola lahan. 4. Hari/Tanggal Narasumber Lokasi Hasil Wawancara
: Rabu, 15 Desember 2010 : Bapak WS (31 tahun) : Kantor Pusat Balai TNGHS : Upaya kolaboratif antara TNGHS dengan masyarakat
Bila melihat pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh TNGHS, sebenarnya masyarakat kasepuhan memiliki potensi yang baik, karena memegang kearifan lokal yang secara turun temurun dari nenek moyang. Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat bila diselaraskan dengan konsep pengelolaan hutan yang dipegang TNGHS sebenarnya sudah terkait. Baik antara masyarakat adat dan TNGHS sebenarnya memiliki pemahaman yang sama, sebagai contoh dalam hal zonasi. Zonasi adat yang mengenal hutan tutupan dan hutan titipan sama dengan zona inti dan zona rimba yang diberlakukan oleh TNGHS. Begitu pula dengan zonasi garapan secara arif dan aturan adat tidak boleh dieksploitasi termasuk dalam zona pemanfaatan. Perbedaan pandangan dan pemahaman semakin tinggi ketika terjadi perluasan kawasan TNGHS yang dulunya dikelola oleh Perum Perhutani. Pada dasarnya bila mengacu pada kebijakan konservasi, lahan garapan yang sampai sekarang digarap oleh masyarakat tidak diperbolehkan untuk digarap karena hal tersebut tidak sesuai dengan UU No.41 dan UU No.50, tetapi karena pemerintah melihat banyaknya masyarakat yang bergantung pada lahan garapan tersebut maka pada Permenhut No. 56 Tahun 2006, apabila ada keterlanjuran seperti sudah adanya masyarakat sebelum ditetapkannya taman nasional maka akan diakomodasikan dalam zona khusus. Namun, dalam hal ini akses masyarakat tetap terbatas, yakni dilarang memperluas dan tidak boleh memiliki lahan garapan tersebut. Hal yang sering menjadi kontroversi adalah masyarakat kasepuhan meminta ijin untuk menebang, meskipun itu hanya untuk membangun rumah. Sering pihak TNGHS melakukan kontrol, namun masyarakat tetap saja ada yang masih menebang. Dalam menggarap lahan yang masuk dalam kawasan TNGHS, maka ditawarkan kesepakatan mengenai pelarangan penebangan. Kegiatan monitoring juga dilakukan, untuk mengetahui masih ada tidaknya masyarakat yang menebang pohon. Adanya perluasan kawasan TNGHS memang menimbulkan pengaruh bagi kehidupan masyarakat kasepuhan khususnya mengenai lahan garapan. Kalau melihat dulu ketika dikelola oleh Perum Perhutani, masyarakat masih bisa eksis untuk ikut menggarap (tumpang sari). Akan tetapi suatu kawasan konservasi lebih tegas dalam mengelola hutan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat kasepuhan sangat berpengaruh terhadap perluasan kawasan karena bukan hanya masyarakat kasepuhan saja tetapi juga masyarakat non kasepuhan baik di dalam maupun sekitar kawasan yang bisa berpengaruh terhadap kelestarian hutan di TNGHS. Perluasan yang dilakukan oleh TNGHS juga melalui pertimbangan yang sangat matang dan juga melihat kondisi di lapangan bahwa dari waktu ke waktu kelestarian alam semakin kritis. Sehingga untuk menyelamatkan sistem penyangga kehidupan di sekitarnya, maka ditetapkanlah perluasan kawasan
85 TNGHS. Bila melihat isu yang berkembang saat ini mengenai pengajuan usulan hal ulayat adat kasepuhan ke Pemerintah Daerah Sukabumi, pihak TNGHS sendiri akan mengeluarkan status hak ulayat kasepuhan dari wilayah pengelolaan TNGHS. Namun, saat ini Perda tersebut belum ditetapkan sehingga status lahan garapan yang digarap masyarakat kasepuhan sifatnya masih milik negara. Upaya kolaboratif dalam bentuk kegiatan atau program yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat kasepuhan juga sudah dilakukan oleh pihak TNGHS. Salah satunya adalah MKK (Model Kampung Konservasi) yang dapat membantu dalam pengembangan kawasan, pemberdayaan masyarakat dalam meningkatkan ekonomi alternatif, serta penguatan kelembagaan. MKK ini sifatnya bukan per-orangan, namun kelompok yang mana 1 kelompok bisa mencapai maksimal 10 orang. Kegiatan pada MKK antara lain adalah adopsi pohon, yang mana masyarakat menanam pohon di kawasan, penguatan SDM masyarakat kasepuhan sendiri, yang secara langsung meningkatkan pengetahuan dan pola pikir masyarakat. 5. Hari/Tanggal Narasumber Lokasi Hasil Wawancara
: Rabu, 22 Desember 2010 : Bapak KR (47 tahun) : Kantor Resort TNGHS : Upaya kolaboratif antara TNGHS dengan masyarakat
Perbedaan pemahaman antara masyarakat kasepuhan dan TNGHS sering menjadi permasalahan khususnya mengenai lahan garapan. Masyarakat kasepuhan masih menggarap lahan-lahan yang statusnya di dalam kawasan TNGHS yang dulunya dikelola oleh Perum Perhutani. Berbicara mengenai perluasan kawasan TNGHS, memang menimbulkan banyak kontra apalagi dari masyarakat kasepuhan baik Kasepuhan Sinar Resmi, Cipta Mulya, dan Cipta Gelar. Pada awalnya, masalah zonasi ada sebelum bangkitnya reformasi yaitu tahun 1997. Setelah adanya reformasi, masih ada lahan yang masuk dalam kategori zona inti. Dari yang awalnya 40.000 ha ada lahan yang sebagian besar merupakan lahan kosong, yang notabene merupakan hutan produksi sehingga terjadi penambahan dan perluasan kawasan. Pihak balai taman nasional juga melakukan pemilahan terhadap lahan-lahan kosong yang ditetapkan menjadi kawasan TNGHS. Lahan-lahan kosong ini juga dulunya merupakan lahan yang dikelola oleh Perum Perhutani. Pada saat itu, sistem tumpang sari masih berlaku dan masyarakat kasepuhan masih terikat dengan Perum Perhutani karena mereka juga dilibatkan dalam menggarap lahan Perum Perhutani. Sehingga ketika status pengelolaan diberikan kepada TNGHS, masyarakat tidak lagi diijinkan untuk menggarap lahan yang dulunya dikelola oleh Perum Perhutani. Lahan yang menjadi lahan garapan masyarakat kasepuhan tersebut salah satunya digarap oleh sebagian besar masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi yang berada di Kampung Cimapag. Sebenarnya aktivitas menggarap lahan tidak diijinkan oleh pihak TNGHS dalam bentuk apapun, tetapi untuk mengusir atau menyuruh masyarakat tidak boleh menggarap lahan tersebut rasanya tidak mungkin karena akan timbul gejolak dan masalah yang berkepanjangan. Sehingga untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, maka TNGHS mengarahkan masyarakat kasepuhan melalui program-program yang dirasa tidak berbenturan dengan aturan dan juga bisa dimanfaatkan oleh masyarakat kasepuhan. Pada dasarnya masyarakat masih memiliki kebebasan untuk mengelola lahan
86 garapannya di kawasan hutan, tetapi hal ini tentu saja bisa mengancam konservasi. Oleh karena itu, masyarakat masih diperbolehkan menggarap lahan dengan ketentuanketentuan dan aturan yang disepakati. Sebagai contoh, dilarang untuk memperluas lahan garapan, apabila bermukim di kawasan tersebut dilarang untuk menambah bangunan. Selain itu tidak boleh merambah hutan dan menebang kayu di kawasan hutan. Dalam mengelola lahan garapan yang masuk dalam kawasan TNGHS, pihak TNGHS melakukan kontrol mengenai kondisi di lapangan. TNGHS sendiri memberikan ruang bagi masyarakat kasepuhan untuk bisa menggarap lahan di kawasan asalkan masyarakat tidak menebang kayu dan memberikan tanggung jawab kepada masyarakat untuk pemulihan tanaman pokok seperti rasamala, puspa, dan lain-lainnya. Harapan TNGHS sendiri, dengan memberikan tanggung jawab tersebut, masyarakat ikut menjaga kelestarian hutan dan bisa menjadikan hutan yang ada di kawasan tersebut tumbuh dan menjadi hutan alam kembali. Pihak TNGHS sendiri mencoba untuk bersikap kooperatif dengan masyarakat kasepuhan melalui program-program yang bisa memberikan manfaat yang besar. Salah satu upaya kolaboratif yang dibangun oleh pihak TNGHS dengan masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi adalah program MKK (Model Kampung Konservasi). Program ini dilaksanakan di Kampung Cimapag yang sebagian besar lahan garapan masyarakat termasuk dalam kawasan hutan TNGHS. MKK sendiri bukan merupakan program yang murni berasal dari pemerintah tetapi program ini melalui kegiatan PRA (Participation Rural Appraisal) yang melibatkan masyarakat kaspeuhan, aparat desa, LSM, dan pihak TNGHS. Sebelum MKK dilaksanakan, dilakukan perencanaan dan perumusan kegiatan yang dilakukan berkali-berkali. Mulai dari proses perencanaan dan pelaksanaan MKK, sudah berjalan 2 tahun. Pelaksanaan program MKK dilakukan oleh kelompok. Tiap kelompok (beranggotakan maksimal 20 orang) melakukan pengamanan dan konservasi bersama, melakukan penanaman di wilayah garapan masing-masing seperti menaman pohon Puspa, Rasamala, kayu hutan, kayu alam dan lain sebagainya. Ada pula kegiatan dalam kelompok seperti pelatihan pembuatan proposal yang bertujuan untuk peningkatan SDM yang mana masyarakat boleh membuat proposal dengan ditulis tangan ataupun diketik dan pihak TNGHS dalam kegiatan ini bertindak sebagai fasilitator. Proposal ini dibuat untuk diajukan kepada JICA sebagai salah satu pengajuan dana modal untuk kegiatan ekonomi tambahan seperti pada bidang perikanan, peternakan, warung-warung kecil, bantuan ternak dan lain sebagainya. Apabila proposal yang diajukan memang layak, maka oleh JICA akan diberikan modal untuk mendukung kegiatan ekonomi tambahan masyarakat. Program MKK di Kampung Cimapag bisa dikatakan kurang berhasil. Bisa dilihat dari 5 kelompok yang dibentuk hanya 3 kelompok yang berjalan. Selain itu adanya MKK dinilai menghambat kegiatan adat di kasepuhan.
87
Lampiran 2. Peta-Peta dalam Kawasan Pengelolaan TNGHS 1. Peta Zonasi TNGHS
Sumber: Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak
88
2. Peta Wilayah Adat Kasepuhan di Dalam dan Sekitar TNGHS
Sumber: Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak
89
3. Peta Penyebaran Kampung di Dalam dan Sekitar TNGHS
Sumber : Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak
90
Lampiran 3. Pola dan Struktur Akses Sumberdaya Alam
Bentuk Akses
Mengambil air
Mengambil ranting atau dahan kayu untuk kebutuhan harian (masak, dan sebagainya) Mengambil kayu untuk kebutuhan pembangunan rumah
Sebelum Perluasan TNGHS Pola Akses Saat/bulan tidak boleh diakses Nama lokasi Nama lokasi (sepanjang yang tidak boleh yang boleh tahun, diakses diakses bulan tertentu) Hutan Lindung Sepanjang Hutan garapan atau Pelestarian tahun Alam Hutan Lindung Sepanjang Hutan garapan atau Pelestarian tahun Alam Bulan Safar dan Hutan Lindung Hutan garapan atau Pelestarian Maulud (aturan Alam adat)
Mengambil pakan hijauan ternak
Membuka hutan untuk diusahakan sebagai lahan pertanian
Syarat-syarat akses (untuk lokasi yang boleh diakses)
Sesudah Perluasan TNGHS Pola Akses Saat/bulan tidak boleh diakses (sepanjang Nama lokasi Nama lokasi tahun, bulan yang tidak yang boleh tertentu) boleh diakses diakses
Syarat-syarat akses (untuk lokasi yang boleh diakses)
Di dalam pancang
Hutan garapan
Zona inti dan zona rimba
Sepanjang tahun
Di dalam pancang
Hutan garapan
Zona inti dan zona rimba
Sepanjang tahun
Tidak ada
Di dalam pancang
Hutan garapan
Zona inti dan zona rimba
Sepanjang tahun
Tidak boleh menebang kayu
Tidak ada
Hutan garapan
Hutan Lindung atau Pelestarian Alam
Sepanjang tahun
Di dalam pancang
Hutan garapan
Zona inti dan zona rimba
Sepanjang tahun
Tidak ada
Hutan garapan
Hutan Lindung atau Pelestarian Alam
Sepanjang tahun
Di dalam pancang
Hutan garapan
Zona inti dan zona rimba
Sepanjang tahun
Tidak boleh menebang kayu
91
Menanam tanaman-tanaman tahunan (aneka buah, kopi atau tanaman tahunan yg berguna) di dalam hutan
Hutan garapan
Hutan Lindung atau Pelestarian Alam
Sepanjang tahun
Di dalam pancang
Hutan garapan
Zona inti dan zona rimba
Sepanjang tahun
Tidak boleh menebang kayu
Hutan garapan
Hutan Lindung atau Pelestarian Alam
Sepanjang tahun
Di dalam pancang
Hutan garapan
Zona inti dan zona rimba
Sepanjang tahun
Tidak boleh menebang kayu
Hutan garapan
Hutan Lindung atau Pelestarian Alam
Sepanjang tahun
Di dalam pancang
Hutan garapan
Zona inti dan zona rimba
Sepanjang tahun
Tidak ada
Hutan garapan
Hutan Lindung atau Pelestarian Alam
Sepanjang tahun
Di dalam pancang
Hutan garapan
Zona inti dan zona rimba
Sepanjang tahun
Tidak ada
Hutan garapan
Hutan Lindung atau Pelestarian Alam
Sepanjang tahun
Di dalam pancang
Hutan garapan
Zona inti dan zona rimba
Sepanjang tahun
Tidak ada
Mencegah dan melarang orang luar masuk ke wilayah tertentu tanpa ijin
Hutan garapan
Hutan Lindung atau Pelestarian Alam
Masih ada kontrol
Di dalam pancang
Tidak ada
Zona inti dan zona rimba
Sepanjang tahun
Masih ada kontrol
Mencegah dan melarang orang luar membuka lahan dan bertani tanpa ijin
Hutan garapan
Hutan Lindung atau Pelestarian Alam
Masih ada kontrol
Di dalam pancang
Tidak ada
Zona inti dan zona rimba
Sepanjang tahun
Masih ada kontrol
Menanam, memelihara dan memanen hasil tanaman pertanian
Memanfaatkan hasil hutan non kayu (tanaman obat, peralatan dapur, dan sebagainya) Berburu satwaliar
Mengalihkan hak pemanfaatan atas tanah kepada orang lain
Sumber : Data primer, 2010
92
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian
Rumah Ketua Adat (Imah Gede)
Pintu masuk Imah Gede
Bentuk rumah masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi
Masjid di Kasepuhan Sinar Resmi
Leuit Sijimat (lumbung kasepuhan)
93
Leuit milik masyarakat
Kegiatan menumbuk padi
Salah satu kegiatan adat kasepuhan
Ritual adat sebelum menanam padi di huma (ngaseuk)
Kegiatan menanam padi di huma (ngaseuk) dilakukan secara gotong-royong antar rumahtangga
Menggarap lahan di sawah
94
Papan peringatan milik TNGHS di lahan garapan masyarakat
Lahan di sawah
Lahan di kebun kayu (talun)
95
Padi dalam bentuk pocong (ikat)
Tanaman Kapulaga (kapol)
Tanaman Jeunjing
Tanaman Manglid
Tanaman Manii
Tanaman Tisuk
96
Persemaian Tanaman Jabon
Tengkulak (distributor hasil pertanian rumahtangga masyarakat kasepuhan )
Tanaman padi di huma
Warung (salah satu bentuk pola nafkah ganda rumahtangga masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi)
97 Lampiran 5. Teknik Pengumpulan Data Kebutuhan Data/Informasi Profil Desa Sirna Resmi - Gambaran umum desa - Kondisi geografi - Data kependudukan Profil Kasepuhan Sinar Resmi - Sejarah kasepuhan - Struktur kelembagaan kasepuhan - Data kependudukan masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Profil Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) - Riwayat pendirian dan penetapan wilayah TNGHS - Peta tata batas dan zonasi TNGHS - Peta pemukiman di dalam dan sekitar TNGHS - Peta wilayah adat Kasepuhan di dalam dan sekitar TNGHS Riwayat dan pola akses masyarakat Kasepuhan terhadap sumberdaya alam - Riwayat penguasaan wilayah adat Kasepuhan - Struktur akses pemanfaatan sumberdaya alam (status dan hak penguasaan atas tanah, air, hasil hutan non-
Sumber Data/Informasi
Teknik Pengumpulan Data
- Aparat Desa Sirna Resmi - Monografi Desa (data sekunder)
- Pengumpulan data sekunder
- Ketua adat Kasepuhan Sinar Resmi - Tokoh adat Kasepuhan Sinar Resmi - Buku, jurnal, penelitian terdahulu (skripsi, tesis) dan lainlain
- Wawancara mendalam - Studi literatur
- Brosur, dokumen-dokumen resmi TNGHS - Hasil penelitian (skripsi, tesis) - Peraturan Perundang-undangan
- Pengumpulan data sekunder
- Ketua adat Kasepuhan Sinar Resmi - Tokoh adat Kasepuhan Sinar Resmi - Hasil penelitian (skripsi, tesis) - Hasil penelitian terdahulu, dan lain-lain
- Wawancara mendalam kepada Ketua adat dan tokoh adat - Observasi - Studi Literatur
98 kayu, dan sebagainya) Rumahtangga masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi - Karakteristik rumahtangga - Sumber-sumber nafkah rumahtangga - Strategi nafkah rumahtangga Upaya kolaboratif dalam pengelolaan sumberdaya alam di dalam dan sekitar TNGHS - Bentuk & kelembagaan kolaboratif - Kegiatan-kegiatan kolaboratif antara TNGHS dan masyarakat
Sejumlah kepala rumahtangga masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi
- Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak - Tokoh-tokoh adat Kasepuhan Sinar Resmi
- Kuesioner
- Wawancara mendalam - Pengumpulan data sekunder
99
Lampiran 6. Panduan Pertanyaan Penelitian a. Panduan Pertanyaan untuk Responden 1. Menurut anda seberapa penting sumberdaya alam yang ada di kawasan TNGHS bagi perekonomian keluarga? 2. Apa pendapat anda ketika lahan garapan anda diperluas menjadi kawasan taman nasional? 3. Apakah perluasan taman nasional berpengaruh pada pekerjaan anda sebagai petani? 4. Apakah ada perbedaan ketika sebelum perluasan dengan sesudah perluasan terkait dengan lahan garapan anda di dalam TNGHS? 5. Dengan mata pencaharian anda sekarang, apakah bisa memenuhi kebutuhan keluarga anda? 6. Apakah ada pekerjaan lain yang anda lakukan selain bertani? Jelaskan alasannya? 7. Adanya pekerjaan selain bertani apakah karena akses untuk menggarap lahan di TNGHS sudah terbatas? 8. Apa yang anda harapkan dari pengelolaan sumberdaya alam di kawasan TNGHS, terkait dengan masyarakat kasepuhan yang masih memanfaatkan sumberdaya alam ? b. Panduan Pertanyaan Informan (Tokoh Adat Kasepuhan Sinar Resmi) Lokasi Wawancara : Hari/tanggal : Nama dan umur informan
:
1. Apa pendapat anda mengenai kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang ditetapkan dan diatur oleh TNGHS? 2. Sejak perluasan TNGHS, apakah mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi? 3. Bagaimana peran masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap pengelolaan sumberdaya alam di kawasan TNGHS? 4. Dengan akses sumberdaya alam yang sudah terbatas, apakah ada mata pencaharian lain yang dimanfaatkan oleh masyarakat selain di sektor pertanian? 5. Apakah sering terjadi perbedaan pandangan antara masyarakat kasepuhan dengan TNGHS? Jelaskan? 6. Apakah ada upaya dari pihak TNGHS untuk memberdayakan masyarakat kasepuhan? Bila ada, jelaskan? 7. Apakah ada usaha antara masyarakat kasepuhan dan pihak TNGHS untuk saling bekerja sama dalam pengelolaan sumberdaya alam?Bila ada, jelaskan? 8. Apa harapan anda terhadap pemerintah terkait dengan keberadaan TNGHS bagi kesejahteraan masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi?
100 c. Panduan Pertanyaan Informan (Pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak) Lokasi Wawancara
:
Hari/tanggal
:
Nama dan umur informan
:
1. Apa pendapat anda mengenai keberadaan masyarakat kasepuhan di kawasan TNGHS? 2. Apa pendapat anda mengenai kebijakan pemerintah tentang ditetapkannya kawasan TNGHS? 3. Apa pendapat anda mengenai penetapan TNGHS yang tentu saja sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat kasepuhan? 4. Apakah sering terjadi perbedaan pandangan antara pihak TNGHS dan kasepuhan terkait pengelolaan sumberdaya alam? 5. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengatasi perbedaan pandangan tersebut? 6. Apakah ada upaya atau program dari TNGHS dalam memberdayakan masyarakat kasepuhan? 7. Apakah ada upaya yang dibangun oleh pihak TNGHS untuk saling bekerjasama dalam pengelolaan sumberdaya alam di kawasan TNGHS? Bila ada, jelaskan? 8. Dengan upaya kolaboratif tersebut apakah dapat dijadikan sebagai upaya untuk menyejahterakan masyarakat kasepuhan?
101
Lampiran 7. Kuesioner KUESIONER PENELITIAN Strategi Nafkah Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Oleh
: Zuhaida Khoirun Niswah
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Nomor Responden
: ………………………………
Tanggal Pengisian
: ………………………………
I.
Identitas Responden 1. Nama : 2. Jenis kelamin : Laki-laki/Perempuan 3. Umur : 4. Agama : 5. Pekerjaan : 6. Pendidikan terakhir : 7. Lama tinggal : 8. Status responden : menikah/tidak menikah/bercerai II. Karakteristik Rumahtangga a. Jumlah tanggungan rumahtangga 1.
Berapakah jumlah anggota keluarga (termasuk anda)?
………orang
2.
Berapakan jumlah anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan anda (termasuk anda)?
……… orang
3.
Apakah ada anak anda yang masih menempuh pendidikan (bersekolah)?
a. Ada b. Tidak ada Jika ada, berapa jumlahnya?
b. Produktivitas pertanian dan pemanfaatannya 4.
Apa saja yang anda tanam di lahan garapan?
a. Padi b. Palawija c. Sayuran d. Buah-buahan e. Lainnya
102 5.
Berapakah luas lahan yang anda miliki?
a. < 0,5 hektar b. 0,5 hektar – 1 hektar c. > 1 hektar
6.
Berapa jumlah panen yang dihasilkan per musim untuk setiap jenis tanaman yang anda tanam?
Jelaskan
7.
Jenis tanaman apa yang anda gunakan untuk konsumsi rumahtangga?
a. Padi b. Palawija c. Sayuran d. Buah-buahan e. Lainnya
8.
Berapa banyak hasil panen yang anda gunakan sebagai konsumsi rumahtangga untuk setiap jenis tanaman yang anda tanam?
Jelaskan
9.
Jenis tanaman apa yang anda gunakan untuk dijual ?
a. Padi b. Palawija c. Sayuran d. Buah-buahan e. Lainnya
10. Berapa banyak hasil panen yang anda jual untuk setiap jenis tanaman yang anda tanam?
III.
Jelaskan
Sumber-sumber Nafkah Rumahtangga Sumber-sumber nafkah yang dimiliki oleh rumahtangga 11. Apakah status tanah yang anda miliki?
a. b. c. d. e.
Hak milik Sewa Sakap Tanah Adat Lainnya
12. Bagaimana pemeliharaan sistem pengairan atau irigasi yang anda gunakan untuk lahan garapan anda?
Jelaskan
13. Apakah ada anggota keluarga anda yang ikut membantu anda dalam bekerja?
a. Ya b. Tidak Jelaskan
14. Darimana modal yang anda gunakan untuk
a. Tabungan
103 mengelola lahan garapan?
IV.
b. Pinjaman c. Hasil panen d. Lainnya
Strategi Nafkah Sebelum dan Sesudah Perluasan TNGHS a. Rekayasa Sumber Nafkah Pertanian 15.
Apakah anda memiliki tenaga kerja untuk mengolah lahan garapan?
a. Ya b. Tidak Jelaskan
16.
Apakah anda pernah memperluas lahan garapan anda?misalnya memanfaatkan lahan kosong atau yang tidak dimanfaatkan oleh rumahtangga lain?
a. Ya b. Tidak Jelaskan
b. Pola Nafkah Ganda 17.
Apakah anda memiliki pekerjaan selain bertani?
a. Ya b. Tidak Jelaskan
18. c. 19.
20.
Berapakah rata-rata pendapatan anda dari pekerjaan itu?
Rp. ……………/hari
Migrasi Apakah anda memiliki pekerjaan lain selain pekerjaan di lokasi tempat tinggal anda sekarang? Misalnya ke luar Desa Sinar Resmi?
a. Ya b. Tidak
Apakah ada anggota keluarga anda yang bekerja di luar Desa Sinar Resmi?
a. Ya b. Tidak
Jelaskan
Jelaskan