Strategi Mengelola RELAWAN PKBI DIY 1.
VISI-MISI DAN SEJARAH LEMBAGA PKBI lahir dalam semangat advokasi, walaupun dalam perjalanan sejarahnya semangat ini timbul tenggelam. Dorongan advokasi mulai menggelora mulai tahun 2003 dengan adanya JAK2R dan terus meningkat secara massif sampai tahun ini. Pada tahun 2006 – 2007, perbincangan mengenai perjuangan identitas komunitas LGBT mulai muncul. Perjuangan identitas adalah perjuangan yang menuntut hak untuk memiliki identitas seksual dan gender tertentu untuk diakui dan dijamin oleh masyarakat. Pada proses perjuangan pelembagaan kebebasan beridentitas ini, PKBI akan memperjuangkan “peraturan yang membolehkan pernikahan sesama jenis kelamin.” Pada aplikasi di tingkat yang paling dasar, semangat perjuangan baru ini sudah mulai dijadikan landasan untuk mencoba melakukan “screening” dalam rekrutmen relawan.
2.
STRUKTUR ORGANISASI DAN MANJEMEN Organisasi PKBI secara garis besar memiliki 2 bidang garapan, yakni layanan klinis dan non-kilinis. Isu LGBT masuk dalam manajemen bidang non-klinis. Pada sejarah awalnya, manajemen untuk memperjuangkan hak LGBT terbagi-bagi dalam program yang berbeda-beda. Gay pernah masuk program Lentera Sahaja yang sebenarnya berorientasi pada penjangkauan komunitas remaja. Penjangkauan komunitas Waria pernah dilakukan oleh Griya Lentera yang sekaligus sebagai program pemberi layanan klinis IMS. Pemilahan ini mulai dipikirkan ulang seiring dengan nalar “perjuangan hak komunitas yang dimarjinalkan” mulai tahun 2006 (sejalan dengan masuknya program HIVOS) dan akhirnya komunitas LGBT dimasukkan bersama remaja jalanan dan Pekerja Seks dalam 1 program yang bernama Pengorganisasian Komunitas Risiko Tinggi (PKRT). PKRT berada di bawah manajemen Youth Center, sebuah program dengan pendekatan non-klinis yang sebenarnya mendorong pemberdayaan remaja secara umum, baik mainstream maupun yang dimarjinalkan. Istilah “risiko tinggi” muncul dari paradigma epidemiologis HIV-AIDS yang sebenarnya menempatkan komunitas LGBT hanya sebagai “variabel pesakitan” yang perlu diintervensi. Akan tetapi, semangat pengorganisasian dan advokasi hak dan perjuangan identitas tetap mendominasi sehingga semangat untuk merubah nama ini semakin besar sampai saat ini.
3.
PENAJAMAN KONSEP RELAWAN PKBI DIY semakin banyak membuka kesempatan bagi pengembangan skill relawan. Misalnya, menjadi fasilitator di pertemuan rutin dengan MS, menjadi fasilitator dalam diskusi rutin kemisan, menjadi fasilitator pelatihan komunitas, mengembangkan bakat tentang multimedia, mengembangkan bakat ke EO dan, dan pengiriman ke event-event penting baik local/nasional/internasional. Relawan di PKBI diposisikan bukan hanya sebagai “pekerja pembantu” untuk tugas-tugas yang telah ditentukan, akan tetapi relawan adalah orang yang potensial untuk dikembangkan lewat mekanisme keorganisasian, dan bahkan
sebisa mungkin akan kembali ke komunitas untuk membangun “organisasi berbasis komunitas”. PKBI menggunakan konsep relawan “strategis”, artinya relawan adalah bagian integral dan masuk sebagai salah satu unsur terpenting dari perjuangan / gerakan. Oleh karenanya, relawan adalah “agen penyemai gagasan dan ideologi gerakan” organisasi bahkan setelah dia tidak lagi secara formal menjadi relawan dari organisasi. Relawan direkrut bukan untuk kerja-kerja taktis dan atau proyek yang sifatnya sporadis dan berjangka pendek. 4.
POLA REKRUTMEN RELAWAN PKBI mulai disusun sebuah sistem pengetahuan yang standar untuk melakukan skrining ”relawan” khususnya ketika melakukan rekruitmen. Sistem pengetahuan ini terus didiskusikan baik lewat diskusi informal maupun formal baik dalam konteks koordinasi antar staff atau pertemuan kultural yang terjadi secara tidak sengaja. Yang menjadi tolok ukur dalam “skrining” adalah perspektif atas “posisi gerakan” atas isu isu LGBT dengan paradigma perjuangan identitas. Ada 3 pertimbangan yang dipakai, yakni (1) Perspektif (ontologis, epistemologis, dan aksiologis), (2) Skill dan (3) Komitmen waktu / kerja
.
Nalar manajemen relawan PKBI bisa disebut memakai pola “pengembangan berjenjang”. Artinya : (1) manajemen relawan ditujukan untuk pengembangan relawan, bukan untuk semata-mata membuat kesempatan kerja yang bisa ditugaskan kepada relawan (2) pengembangan relawan ini dilakukan secara berjenjang dengan membuat staff terlebh dahulu berkembang atau minimal memahami gagasan pengembangan organisasi terlebih dahulu. (3) Staff dijadikan agen transformasi perubahan dan pengembangan relawan yang terus dipantau oleh manajer. Kesimpulan ini didasarkan pada pembacaan sejarah “transisi” PKBI saat ini yang secara manajerial dimulai dari proses “perombakan staff” yang didahului oleh mekanisme “pengambangan status staff” yang kemudian di-uji ulang lewat mekanisme wawancara. Lewat staff yang diuji ulang ini, gagasan perubahan sedikit demi sedikit bergulir dan terus ditransformasikan, dan akhirnya membantuk system manajemen yang lebih tertata. Lewat staff ini, proses transformasi tentang perubahan system manajemen dan aras gerakan kepada relawan mulai bergulir. Proses “berjenjang” ini juga dibarengi dengan “arus informasi” yang cair dan terbuka, khususnya pada gagasan tentang aras gerakan baru. Komunikasi cultural antara direktur dengan relawan, karyawan dan siapapaun seringkali terjadi yang bersifat langsung. Tempat terjadinya komunkasi informal-kultural ini bisa di mana saja, yang lebih sering dalam pembacaan saya adalah (1) deretan kursi depan ruang direktur, (2) tempat parkiran, (3) aula lantai II, dan (4) ruang pertemuan lantai III. Ruang komunikasi cultural ini mampu mencairkan jenjang structural yang kaku, sehingga kesan direktur sebagai inspector (yang dulu sempat ada dan cukup ditakuti) secara perlahan hilang. Akan tetapi, bukan berarti tidak ada system monitoring untuk kerja relawan dan staff, hanya saja peran monitoring ini lebih sistemik dan berjalan lebih tertata. Peneguran tidak pernah dilakukan di tempat kejadian pelanggaran, akan tetapi selalu ada mekanisme yang sengaja dibuat untuk mengevaluasi dan akhirnya menegur. 5.
SISTEM DAN MEKANISME IMBALAN NON-MATERI UNTUK RELAWAN Informasi kesempatan pengembangan diri yang diinformasikan secara terbuka ke relawan. Seperti kasus ”pelatihan INFID lewat milis” yang dikuatkan dengan statemen direktur untuk memberikan rekomendasi kepada siapapun yang ingin mendaftar
. Menciptakan kantor sebagai ”rumah yang nyaman” bagi relawan. Indikatornya yang dipakai selama ini di PKBI adalah ”ada tidak ada tugas, relawan tetap mau datang ke kantor untuk hanya sekedar ngobrol atau mencari informasi”. Identifikasi sebab atas hal ini adalah : 1. Komunikasi personal yang ramah dan sampai membangun ”persahabatanpersonal” 2. Adanya tantangan-tantangan baru yang terus diciptakan dan dalam taraf tertentu “dijanjikan” bagi pengembangan relawan. 3. Ada fasilitas yang bisa dipakai relawan (internet, buku, computer, dan ruang santai)
Kemauan lembaga memfasilitasi dan menghargai karya relawan dengan bentuk produk yang konkret dan bisa ditampilkan di public. Misalnya penerbitan buku relawan dan buku komunitas. Berjalannya mekanisme koordinasi di setiap level, yakni dari divisi, program sampai level manajemen dan level organisasi. Mekanisme koordinasi ini dilakukan dengan pertemua rutin. Dengan perteuan rutin ini, proses manajemen bisa berjalan dengan cukup baik, dari proses perencanaan, pengorganisasian kerja, pelaksanaan sampai pada tahap monitoring dan evaluasi serta refleksi. Dengan adanya mekanisme koordinasi ini, perkembangan relawan cukup terpantau baik yang ”potensial” maupun yang ”bermasalah”. Di PKBI relawan diberikan hak asuransi kesehatan dan layanan kesehatan lewat klinik PKBI, seperti konsultasi gratis, papsmear gratis, dan obat-obatan garatis. 6.
MEKANISME TRANSFER PENGETAHUAN DAN UMPAN BALIK UNTUK RELAWAN Ada mekanisme fasilitasi kelembagaan untuk membangun sistem sharing dan pemeliharaan pengetahuan lewat penggunaan internet (milis dan web site PKBI). Mekanisme ini juga mencakup sistem ”capacity building” dengan pelatihan pelatihan bagi relawan seperti : ”pelatihan menulis” dan ”pelatihan website.” Adanya mekanisme feedback dari staff ke relawan dan demikian sebaliknya. Saat ini akan coba dikembangkan mekanisme feed-back yang tidak hanya berkutat pada “performance kerja” akan tetapi “penggalian potensi” dan pemetaan “perkembangan skill sumber daya” yang dimiliki relawan.
. Nalar manajemen relawan PKBI bisa disebut memakai pola “pengembangan berjenjang”. Artinya : (1) manajemen relawan ditujukan untuk pengembangan relawan, bukan untuk semata-mata membuat kesempatan kerja yang bisa ditugaskan kepada relawan (2) pengembangan relawan ini dilakukan secara berjenjang dengan membuat staff terlebh dahulu berkembang atau minimal memahami gagasan pengembangan organisasi terlebih dahulu. (3) Staff dijadikan agen transformasi perubahan dan pengembangan relawan yang terus dipantau oleh manajer. Lewat staff ini, proses transformasi tentang perubahan system manajemen dan aras gerakan kepada relawan mulai bergulir. Yang menarik, proses “berjenjang” ini juga dibarengi dengan “arus informasi” yang cair dan terbuka, khususnya pada gagasan tentang aras gerakan baru. Komunikasi cultural antara direktur dengan relawan, karyawan dan siapapaun seringkali terjadi yang bersifat langsung. Tempat terjadinya komunkasi informal-kultural ini bisa di mana saja, yang lebih sering adalah (1) deretan kursi depan ruang direktur, (2) tempat parkiran, (3) aula lantai II, dan (4) ruang pertemuan lantai III. Ruang komunikasi kultural ini mampu mencairkan jenjang structural yang kaku, sehingga kesan direktur sebagai inspector (yang dulu sempat ada dan cukup ditakuti) secara perlahan hilang.
7.
KEPEMIMPINAN Contoh : Kasus Peralihan Ideologi Gerakan di PKBI DIY Peralihan ideology dari KIE – OR ke pengorganisasian dan advokasi hak dan perjuangan identitas. Ide ini dimulai dengan merombak struktur dan poisisi staff untuk mencari staff yang siap untuk menjalankan gerak perubahan tersebut. Kemudian perubahan sistem kerja mulai dibangun. Rapat koordinasi semakin dipersering dan proses komunikasi dari direktur ke staff dan relawan berjalan dengan sangat cair dan terbuka. Penguatan staff dan dorongan staff untuk menularkan gagasan perubahan ke tingkat relawan dibangun lewat forum-forum dialog informal dan lewat diskusi rutin. Peran direktur sangat jelas dalam proses tranformasi gagasan perubahan ini.
8.
MANAJEMEN KONFLIK Di PKBI, ada jenjang hukuman terhadap SDM yang melakukan pelanggaran. Misalnya kasus ”perilaku relawan yang mengganggu situasi lapangan”. Pertama ada teguran dan kesempatan perbaikan dengan kejelasan indikator yang disepakati bersama. Kedua, pelibatan satu unit kerja (divisi) dalam keputusan ”penghukuman” relawan berbasis indikator perbaikan. Di PKBI, ada mekanisme berjenjang dalam menangani konflik yang melibatkan relawan. (1) dalam intern divisi, (2) dalam intern program, (3) masuk intervensi manajer, dan (4) melibatkan kebijakan direktur, (5) melibatkan kebijakan PHD
9.
DUKUNGAN PSIKOLOGIS DARI ORGANISASI UNTUK RELAWAN Mekanisme menyelamatkan ”psikologis” relawan ketika menghadapi konflik dengan lembaga lain lewat pengalihan konflik ke level yang lebih atas. Ex: Kasus relawan waria yang berkonflik dengan lembaga lain di lapangan yang ditarik menjadi ”konflik / hubungan antar pimpipnan lembaga”. Komitmen atasan PKBI bahwa apapun statemen relawan akan menjadi tanggungjawab pimpinan lembaga. Misalnya statemen ”penolakan salah seorang relawan terhadap penggunaan 1 tabung dalam kegiatan surveillans” akhirnya menjadi tanggungjawab direktur untuk menjelaskan kepada pihak luar yang terkait dengan kegiatan surveilans
.
10.
ASUMSI KARIER RELAWAN Komitmen PKBI yang kuat dan tegas tentang ”tidak ada biaya yang dikeluarkan dari kantong relawan sendiri untuk menjalankan program / kegiatan lembaga”. Kasus penyebaran undangan di tempat yang jauh yang dilakukan relawan, dan dijamin akan mendapatkan uang transport walaupun tidak diatur dalam dokumen anggaran (PKA). Kejelasan kebijakan dan sosialisasi kebijakan yang terbuka untuk tidak memanjakan relawan dengan ”penambahan UT ” walaupun lembaga donor dan
dana kegiatan bertambah. Yang dibangun adalah kebijakan ”kerja relawan berbasis indikator” sesuai dengan target program, bukan karena bertambahnya anggaran dana dari funding. Misalnya kasus adanya dukungan dana dari UNFPA untuk remaja risiko tinggi yang menjadi tambahan dana bagi pengoirganisasian komunitas risiko tinggi secara keseluruhan. Akan tetapi, pimpinan membuat kebijakan yang jelas dan terbuka bahwa UT relawan tetap seperti semula, akan tetapi capaian dan indikator turun lapangan yang diperbanyak yang jelas akan memperbanyak UT bagi relawan. Konsep pengorganisasian diandaikan oleh PKBI akan berujung pada terbentuknya organisasi berbasis komunitas (CBO). Dalam kerangka ini, sebisa mungkin anggota komunitas tetap berada dalam lingkungan komunitas, bukan masuk menjadi bagian dari organisasi. Akan tetapi, realita mengatakan banyak anggota komunitas yang sudah menjadi pendidik sebaya (PE) lantas ingin masuk menjadi relawan lembaga. Ketika mereka menjadi relawan, ada beberapa keterbatasan yang muncul ketika dia ingin tetap menjadi bagian inhern bagi komunitasnya. Terkesan ada hirarki struktural status yang dimulai dari komunitas PE relawan Kordinator Divisi Koordinator Program dan seterusnya. Persoalannya adalah menjadi relawan lembaga adalah hak bagi setiap orang, tak terkecuali bagi anggota komunitas. Akan tetapi, dengan masuknya anggota komunitas menjadi relawan, organisasi komunitas akan susah dibangun.