ISSN 2085 - 2215
STRATEGI MENGATASI KEMISKINAN DI INDONESIA Oleh Djoko Hanantijo Sfaff Pengajar Fakultas Ekonomi - UNSA
A. Angka Kemiskinan 2010 Tidak Banyak Berubah dari 2009 Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan mengatakan angka kemiskinan pada 2010 tidak banyak berubah dengan 2009 yakni 14,15 persen, dan di Indonesia orang suka atau tidak suka harus bekerja jikalau menganggur ia akan mati. "Angka kemiskinan pada Maret 2009 berkisar pada 14,15 persen dan data yang akan keluar pada Maret 2010 angkanya kemungkinan masih pada kisaran itu," ujarnya. Salah satu komponen perhitungan kemiskinan seperti penghitungan garis kemiskinan sangat dipengaruhi oleh harga-harga yang dikomsumsi masyarakat miskin. "Sekarang inflasi dari Maret ke Maret diprediksi di bawah 5 persen, jadi ada peluang garis kemiskinan tidak bergerak jauh," ujarnya. Rusman tidak mengatakan jumlah kemiskinan akan turun namun dari garis kemiskinan yang tidak melonjak mengikuti inflasi, diprediksi angka kemiskinan hampir sama seperti 2009. Ia juga menambahkan jumlah pengangguran terbuka turun dari 8,14 persen pada Februari 2009 menjadi 7,87 persen pada Agustus 2009 yang menyebabkan jumlah pekerja tidak penuh di Indonesia meningkat. "Dapat dilihat melalui pengangguran turun tapi juga harus dilihat implikasinya. Misal mereka berubah status menjadi bekerja namun di bawah 35 jam, jadi pengangguran paruh waktu pun bertambah," ujar Rusman.
ISSN 2085 - 2215 Menurut dia, dengan adanya penambahan penduduk rata-rata sebesar 1,34 persen per tahun di Indonesia dari 2000 hingga 2009 juga menimbulkan permasalahan dalam pengadaan tenaga kerja dan kualitas pekerjaan yang dihasilkan. "Ini disebabkan di Indonesia sistemnya belum jalan dan ciri khas lapangan kerja disini menyebabkan orang suka tidak suka harus bekerja dan ini berbeda seperti di luar negeri yang APBN-nya kuat. Di Indonesia apabila orang tersebut nganggur akan mati dan ini menjadi persoalan dalam kualitas pekerjaannya," ujarnya.(*) Permasalahan dasar kemiskinan di Indonesia dapat digambarkan dengan kondisi dimana masih tingginya jumlah penduduk miskin yaitu 39,05 juta jiwa atau sekitar 17,75 persen (BPS, Maret 2006), masih tingginya Rumah Tangga Miskin di Indonesia yaitu 19,2 juta KK ( BPS, 2006), masih tingginya angka pengangguran sebesar 10,24 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah 103 juta jiwa (2006). Selain itu, dalam hal akses pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan & permukiman, infrastruktur, permodalan/kredit dan informasi bagi masyarakat miskin dirasakan masih sangat terbatas. Jika diamati dengan seksama di sebagian wilayah nusantara ini, masih terdapat luasnya kawasan kumuh dan kantong-kantong kemiskinan yang jumlahnya sekitar 56.000 hektar kawasan kumuh di perkotaan di 110 kota-kota, dan 42.000 desa dari sejumlah 66.000 desa dikategorikan desa miskin. Tingkat kinerja penanggulangan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia kondisinya masih belum optimal. Koordinasi yang dalam hal pendataan, pendanaan dan kelembagaan masih lemah. Kelemahan ini juga dirasakan pada koordinasi antar programprogram penanggulangan kemiskinan di antara instansi pemerintah pusat dan daerah, begitu juga dengan integrasi program pada tahap perencanaan, sinkronisasi program pada tahap pelaksanaan, serta sinergi antar pelaku (pemerintah, dunia usaha, masyarakat madani) dalam
ISSN 2085 - 2215 penyelenggaraan keseluruhan upaya penanggulangan kemiskinan. Selain kelembagaan di pemerintah, kita masih dihadapkan pada fakta pada belum optimalnya dunia usaha, LSM, dan masyarakat madani dalam bermitra dan bekerjasama dalam penanggulangan kemiskinan serta penciptaan lapangan kerja. Gambar 1 Perkembangan Jumlah Anggaran Program & Proyek Penanggulangan Kemiskinan di APBN (dalam triliun rupiah)
Sumber :
TKPK dan Bappenas
Catatan :
Untuk Tahun 2007 diambil dari pagu indikatif program penanggulangan
kemiskinan usulan Departemen dan LPND (RKP 2007)
B. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Indonesia Saat ini, kemiskinan menjadi perhatian yang sangat besar dan pemecahan permasalahannya menjadi agenda utama pembangunan Indonesia. Negara ini dihadapkan pada baying-bayang peningkatan jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun. Jumlah
ISSN 2085 - 2215 penduduk miskin bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75%). Jika dibandingkan dengan bulan Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97%), terdapat kenaikan sebesar 3,9 juta. Kenaikan ini merupakan kenaikan pertama kali setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi. Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang kompleks sehingga penyebab kenaikan jumlah penduduk miskin sesungguhnya sangat banyak dan bermacam-macam. Tetapi penyebab yang paling utama melanda negeri ini adalah adanya kenaikan harga beras sekitar 33%, kenaikan harga BBM sebesar rata-rata 114% dimana harga minyak tanah naik hampir tiga kali lipat. Kondisi tersebut meningkatkan inflasi menjadi 17,95% dan pengeluaran penduduk miskin naik 6%. Selain itu, perubahan metodologi perhitungan jumlah penduduk miskin dan jumlah sampel yang kurang mencukupi.
Gambar 2 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin
Sumber :
TKPK dan Bappenas
ISSN 2085 - 2215
Indonesia yang dulu terkenal dengan ragam-budaya, ramah-tamah, kesederhaannya, serta melimpahnya sumber daya alam sampai ada lagu tanem batang tumbuh pohon, sekarang apakah kita masih sekaya itu? Mari kita lihat kembali potret gelap bangsa ini. Suku-suku pedalaman Papua masih hidup seperti jaman prasejarah?? tanpa sandang dan pangan yang memadai, tak ada pendidikan yang cukup (bukannya ini ada disalahsatu pasal UUD 45, apa mereka bukan warga negara RI?), apa lagi teknologi. Sebagai anak kelahiran papua saya kecewa sekali melihat hal ini, Tanah papua hanya disedot hasil buminya saja, apa bedanya kita dengan penjajah jepang atau belanda waktu jaman jebot dulu. Apakah pemerintah masih santai-santai saja selama melihat mereka masih tersenyum dengan polosnya dan menunggu sampai mereka memberontak minta untuk merdeka, tentunya negara-negara lain yang menginginkan pecahnya indonesia dengan senang hati membantu, akan kasus lepasnya timor-timur akan kembali terulang pada papua? bila terjadi, hancurlah kesatuan negara kita.Jangankan di daerah-daerah miskin, di kota besar pun potret kemiskinan banyak ditemui. Kapan kita akan menjadi bangsa yang utuh kalau hal seperti ini masih saja dipelihara. C. Arti Kemiskinan Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya
ISSN 2085 - 2215 dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah "negara berkembang" biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang "miskin". D. Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup: Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan seharihari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia. Peta dunia memperlihatkan persentase manusia yang hidup di bawah batas kemiskinan nasional. Perhatikan bahwa garis batas ini sangat berbeda-beda menurut masingmasing negara, sehingga kita sulit membuat perbandingan. E. Mengukur kemiskinan Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa). Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dg pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari, dg
ISSN 2085 - 2215 batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari."[1] Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam Kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001.[1] Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut. Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara berkembang. F. Penyebab kemiskinan Masalah kemiskinan banyak dihubungkan dengan: Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin; penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga; penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar; penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi; penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
ISSN 2085 - 2215 Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negera terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan. G. Menghilangkan kemiskinan Tanggapan utama terhadap kemiskinan adalah: Bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak zaman pertengahan. Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang dijalankan untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukuman, pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain. Persiapan bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara langsung kepada orang miskin, banyak negara sejahtera menyediakan bantuan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan. Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan? Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
ISSN 2085 - 2215 masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan. Pada umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dapat
meningkatkan
pendapatan
masyarakat
dan
pada
akhirnya
mengurangi penduduk miskin. Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang. Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
ISSN 2085 - 2215 H. Penyebab kegagalan Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya. Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biayabiaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal. Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi
ISSN 2085 - 2215 Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN. Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal. Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu. Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS. Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antar daerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator
ISSN 2085 - 2215 dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik. Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal. I. Strategi ke depan Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal. Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program enanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.
ISSN 2085 - 2215 Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikatorindikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas. Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah. Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya. J. Belum memadai Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasiinformasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan
ISSN 2085 - 2215 dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antar kabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga. Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan
informasi
kemiskinan,
pemerintah
daerah
diharapkan
dapat
mengurangi
pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan. Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihakpihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih. Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen. Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program.
ISSN 2085 - 2215 Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai.Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten. Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.
ISSN 2085 - 2215 Daftar Pustaka
Irawan & Suparmoko, 2001, Ekonomika Pembangunan, BPFE, Yogyakarta
Faisal Basri, 2002, Perekonomian Indonesia, Airlangga, Jakarta.
Tulus Tambunan, 2001, Perekonomian Indonesia (Teori dan Temuan Empiris), Ghalia Indonesia, Jakarta
ekonomi & bisnis, Selasa, 8 Desember 2009
www.ekonomirakyat.org
www.BPS.go.id
www.kolompakar.org