STRATEGI INTEGRASI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DAN PERIKANAN BUDIDAYA (STUDI KASUS DI TELUK LAMPUNG)
TRI HARIYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
disertasi
Strategi
Integrasi
Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya (Studi Kasus di Teluk Lampung) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2009
Tri Hariyanto NRP C561030204
ABSTRACT TRI HARIYANTO. 2009. Integrating Strategy on Development of Capture Fisheries and Aquaculture (Case Study in Lampung Bay). Under supervision of MULYONO S. BASKORO, JOHN HALUAN, BUDHI HASCARYO ISKANDAR The objectives of this study were to asses the feasibility and development strategy for capture fisheries based on marine culture and described as follows: (1) to identify and formulate selection methods for potencial commodities for capture fisheries base on marine culture as well as financial feasibility, (2) to determinate development priority, (3) to arrange the development strategy and empowerment technique of institution in capture fisheries based on marine culture, and (4) to formulate an alternative development model for capture fisheries based on decisión support system (DSS). Development system was designed in decision support system based on computer program package called as CAP-AQUADEV. Potency of fish resources was carried out using descriptive survey method. Compatible land was carried out by weighted Selection of priority potencial commodity and determination of ideal fishing gear were performed using OWA method. Criteria applied to find out feasibility level were NPV, Net B/C, and IRR. Strategy análysis performed using AHP method. Analysis of element interrelationship using ISM method. Verification of the DSS CAP-AQUADEV in South Lampung Province showed that South Lampung Province, in term of marine fish resources was declining. Ideal fishing gear was fish trap. Potential commodity for capture fisheries based on marine culture was snapper. In term of financial perspective, those marine culture was suitable for condition and potency of development area and feasible to be implemented. Strategic analysis informed that development of capture fisheries based on marine culture was optimization the use of fish resources and marine culture. Determinative factors in development of capture fisheries based on marine culture were information about marine culture activity, infrastructure which support development of capture fisheries based on marine culture, and interrelationship. Meanwhile, the objective of capture fisheries based on marine culture development should be directed to increase fish production, local goverment income, and increase economic growth. The key elements of the players in development capture fisheries based on marine culture were fisherman of capture fisheries, fisherman of marine culture, and society. Bureaucracy amenity was the key elements of program requirement. Investment fund was the key elements for development constrain. The measure of the achievement was increasing amount and income of marine culture fisherman. Increasing investment was the key element of development program. Activities needed for action plan was coordination among sectors. Increasing fisherman income was key element of development succes. The key elements of change program was increasing income of marine culture fisherman. Fisherman of capture fisheries and marine culture were the key element of consumer elements. Keywords: capture fisheries, marine culture, ideal fishing gear, potential commodity, feasibility, strategy, interrelationship, CAP-AQUADEV
RINGKASAN TRI HARIYANTO. 2009. Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya (Studi Kasus di Teluk Lampung). Dibimbing oleh MULYONO S. BASKORO, JOHN HALUAN DAN BUDHI HASCARYO ISKANDAR. Prospek pengembangan perikanan di Indonesia cukup baik, mengingat sebagian besar wilayah Indonesia didominasi oleh laut dengan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya. Produksi perikanan laut dari hasil penangkapan tidak mungkin terus menerus diandalkan, mengingat makin menurunnya kualitas sumber daya alam (SDA). Upaya lain yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan produksi perikanan laut yaitu melalui kegiatan usaha budidaya. Oleh sebab itu, sosok integrasi perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang hendak diwujudkan adalah sistem usaha perikanan tangkap dan budidaya yang mampu menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, menguntungkan, berkeadilan, dan berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Lampung Selatan. Secara khusus tujuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: (1) menganalisis potensi SDI, (2) menganalisis kesesuaian lahan pada wilayah pengembangan, (3) menganalisis teknologi penangkapan ikan yang ideal, (4) mengidentifikasi dan merumuskan cara pemilihan komoditas potensial, serta kelayakan usahanya, (5) menyusun prioritas pengembangan, (6) menyusun strategi pengembangan dan cara pemberdayaan kelembagaan, dan (7) mengembangkan model pengembangan perikanan tangkap berbasis Sistem Penunjang Keputusan (SPK). Sistem pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budiaya yang terintergasi dirancang dalam statu program komputer dengan nama CAPAQUADEV. Sub model potensi SDI dilakukan secara survei deskriptif, sub model kesesuaian lahan dilakukan dengan analisis kesesuaian lahan, sub model pemilihan teknologi penangkapan ikan dan komoditas potensial dirumuskan dengan ordered weighted averaging (OWA), sub model kelayakan dirumuskan dengan kriteria net present value (NPV), net benefit cost ratio (Net B/C), dan internal rate of return (IRR), sub model strategi dirumuskan dengan metode analytical hierarchy process (AHP), dan sub model kelembagaan dirumuskan dengan metode interpretative structural modelling (ISM). Berdasarkan verifikasi model CAP-AQUADEV di Lampung Selatan, sub model potensi SDI menunjukkan adanya peningkatan trend Catch Per Unit Effort (CPUE). Berdasarkan analisis pada sub model kesesuaian lahan diketahui bahwa pada dasarnya lahan perairan yang ada menunjukkan punya potensi untuk dikembangkan dan layak untuk kegiatan budidaya ikan Berdasarkan analisis pada sub model pemilihan diketahui bahwa teknologi penangkapan ikan yang ideal untuk dikembangkan di Lampung Selatan adalah alat tangkap bubu, sedangkan komoditas potensial terpilih adalah ikan kerapu. Berdasarkan analisis strategi (sub model strategi) diketahui bahwa pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya diprioritaskan untuk optimalisasi dalam pemanfaatan potensi SDI dan budidaya laut. Pada analisis ini diketahui pula bahwa faktor determinatif dalam pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya yaitu informasi mengenai kegiatan budidaya laut, sarana dan prasarana yang menunjang pengembangan perikanan budidaya laut,
dan kelembagaan. Sedangkan tujuan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya harus diarahkan pada peningkatan produksi ikan, peningkatan pendapatan daerah, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pada analisis keterkaitan antar elemen dalam pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya (sub model kelembagaan) diketahui bahwa pelaku yang memiliki peran sebagai unsur kunci untuk menjadi pendorong pengembangan adalah nelayan, pembudidaya, dan masyarakat. Kemudahan birokrasi merupakan unsur kunci dari unsur kebutuhan yang harus terpenuhi untuk mendorong perkembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Untuk pencapaian tujuan pengembangan, tolok ukur yang dapat dijadikan unsur kunci adalah peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan pembudidaya. Aktivitas kunci yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengembangan adalah koordinasi antar sektor. Peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya merupakan elemen kunci dalam keberhasilan pengembangan. Tujuan kunci dari program pengembangan adalah peningkatan investasi. Peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya merupakan elemen kunci dari elemen perubahan. Keterbatasan modal merupakan unsur kunci dari kendala pengembangan yang harus diatasi. Nelayan dan pembudidaya merupakan unsur kunci dari unsur pengguna. Model konseptual dalam sistem pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya ini dapat digunakan sebagai acuan pertimbangan kebijakan bagi para pengambil keputusan baik dilingkungan pemerintah daerah maupun pelaku usaha untuk mengembangkan perikanan tangkap berbasis budidaya. Keluaran hasil penelitian ini diharapkan akan mempermudah tahapan proses pengambilan keputusan secara transparan dan mudah ditelusuri sistematika ilmiahnya, khususnya untuk membuat prioritas pilihan kebijakan dalam menentukan teknologi penangkapan ikan dan komoditas potensial daerah serta strategi pengembangannya, determinasi elemen penting dalam pengembangan, serta membuat analisis kelayakan dan resiko usaha terkait. Selain itu, metodologi dan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya. Kata kunci : perikanan tangkap, perikanan budidaya, alat penangkapan ikan, komoditas potensial, kelayakan, strategi, integrasi, CAP-AQUADEV
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
STRATEGI INTEGRASI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DAN PERIKANAN BUDIDAYA (STUDI KASUS DI TELUK LAMPUNG)
TRI HARIYANTO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Disertasi
: Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya (Studi Kasus di Teluk Lampung )
Nama
: Tri Hariyanto
NIM
: C 561030204
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Budhi H. Iskandar, M.Si. Anggota
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Anggota
Mengetahui Program Studi Teknologi Kelautan, Ketua
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian : 28 Desember 2009
Tanggal Lulus :
Disertasi ini kami persembahkan kepada : Kedua orang tuaku Drs Aris Moenandar dan Sih Kasanah (Alm) yang telah mendidik, membimbing dan membesarkan serta menyayangi kami Kedua mertua tercinta Soekro Poerwodipoero (Alm) dan Buntarijah Soekro Isteri tercinta : Rr Rita Kunsidiarti, anak-anakku tersayang : Adhyaksa Saktika Drestanto, Anindita Fitria Listyanti dan Adhyastantio Satria Dewanto, yang selalu memberikan dorongan dan spirit dalam menyelesaikan studi dan bekerja.
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat, karunia-Nya sehingga disertasi dengan judul “Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya (Studi Kasus di Teluk Lampung)” ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan – Institut Pertanian Bogor, dan sebagai bagian dari upaya memberikan konstribusi bagi pembangunan perikanan khususnya untuk Kabupaten Lampung Selatan. Penulis dapat mengikuti pendidikan sampai S3 dan menyelesaikan disertasi pada Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan IPB ini, atas jasa serta do’a dari ayahanda Drs. Aris Moenandar dan ibunda Sih Kasanah (almh) yang paling penulis hormati, serta isteri tercinta Rr Rita Kunsidiarti. . Dengan selesainya disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc. dan Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing Disertasi; 2. Prof Dr Ir Indra Jaya, M.Sc., Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang mewakili Rektor IPB pada Ujian Terbuka; 3. Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc., Wakil Dekan yang mewakili Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan; 4. Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc., selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB; 5. Dr. Ir. Budy Wiryawan M.Sc., dan Dr. Ir. M, Fedi A. Sondita, MSc.. selaku penguji luar pada Ujian Tertutup; 6. Dr. Ir. Made L Nurdjana,. selaku penguji luar pada Ujian Terbuka; 7. Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA. selaku penguji luar pada Ujian Terbuka; 8. Profesor (Emeritus) Dr. Ir. Daniel R. Monintja, yang selalu memberikan dorongan semangat sejak penulis mengikuti program studi
S3 Teknologi
Kelautan IPB; Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih atas dukungannya dalam penyelesaian disertasi ini, kepada : 1. Dr. Ir. M. Murdjani, MSc. Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut, Lampung.
2. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Propinsi Lampung; 3. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lampung Selatan; 4. Dr. Agus Suherman, SPi, MSi, Dosen pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Semarang 5. Teman-teman seangkatan dan teman-teman dari Sekretariat Pascasarjana IPB, khususnya Pak Jayana, Mbak Shinta, Mbak Hani, Mas Iwan dan lainlainnya dalam membantu penyelesaian administrative perkuliahan dan disertasi ini; 6. Teman-teman se kantor khusus pada Rifki, Wahid, Andi dan Erie Suhaeri yang selalu membantu dalam penelitian dan penyelesaian disertasi ini; 7. Semua
pihak
yang
telah
membantu
dalam
penyelesaian
disertasi
Pascasarjana Program Studi Teknologi Kelautan, IPB. Penulis berharap, disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak khususnya penentu kebijakan dan pelaku perikanan khususnya di daerah penelitian yaitu Kabupaten Lampung Selatan, penentu kebijakan dan pengambil keputusan di bidang perikanan Semoga pendidikan yang telah penulis jalani dan disertasi ini menjadi contoh dan penyemangat bagi anak-anakku tersayang yaitu : Adhyaksa Saktika Drestanto, Anindita Fitria Listyanti dan Adhyastantio Satria Dewanto dan generasi penerus lainnya untuk mencapai jenjang pendidikan yang tertinggi.
Bogor,
Desember 2009
Tri Hariyanto
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rembang Jawa Tengah pada tanggal 02 Desember 1958 dari ayah Drs. Aris Moenandar dan ibu Sih Kasanah. Penulis merupakan putra ke 3 dari 7 bersaudara. Pendidikan dasar diselesaikan oleh penulis Peterongan I
pada Sekolah Dasar
di Semarang pada tahun 1971 dan penulis melanjutkan pada
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri II di Semarang dan diselesaikan pada tahun 1974. Pendidikan Menengah Atas diselesaikan penulis pada tahun 1977 pada SMA Negeri III-IV di Semarang. Penulis melanjutkan pandidikan tinggi mengambil jurusan Perikanan pada Fakultas Peternakan dan Perikanan, Universitas Diponegoro dan diselesaikan pada tahun 1984.
Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan S2 dan
mengambil jurusan Manajemen Sumberdaya Manusia pada Fakultas Ekonomi, Universitas Trisakti, Jakarta, lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Teknologi Kelautan. Pada bulan Juli 1988, penulis menikah dengan Rr. Rita Kunsidiarti dan dikarunia 3 putra, yaitu : Adhyaksa Saktika Drestanto, mahasiswa jurusan Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip, Anindita Fitria Listyanti, mahasiswa jurusan Psikologi pada Fakultas Psikologi Undip dan Adhyastantio Satria Dewanto yang masih di kelas I SMP. Penulis mulai bekerja pada Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian pada tahun 1985 sebagai staff teknis pada Direktorat Penyuluhan. Selama bekerja pada Direktorat Penyuluhan penulis pernah mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan dalam bidang penyuluhan. Pada tahun 1999 penulis diangkat menjadi Kepala Sub Direktorat pada Direktorat Perbenihan, Ditjen Perikanan, disini penulis juga mendapatkan pendidikan dan pelatihan di bidang perbenihan diantaranya di Philippina, Thailand
dan China. Pada tahun yang
sama terjadi reorganisasi pada Departemen Kelautan dan Perikanan, penulis di mutasi pada Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya sampai dengan sekarang dan pada tahun 2008 penulis mendapat kepercayaan dari pimpinan untuk menjabat sebagai
Direktur pada Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan,
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan. Selama di Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan penulis ikut berbagai
pertemuan internasional diantaranya COFI (Committee on Fisheries) di Roma, NACA di Thailand dan APFIC (Asia Pacific Fisheries Committee) di Colombo. Pada tanggal 3 Desember 2009 yang lalu penulis mendapat jabatan baru dan telah dilantik menjadi Direktur Usaha Budidaya, Ditjen Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan. Berbagai penghargaan yang penulis dapatkan diantaranya pemenang lomba lukis, pemenang Lomba Kartun di Semarang, pameran karikatur di Semarang, pemenang lomba logo ISPIKANI (Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia) yang digunakan sebagai logo ISPIKANI sampai dengan sekarang dan mendapatkan penghargaan Satya Lencana Karya Satya 10 dan 20 tahun dari Presiden RI.
Bogor,
Desember 2009
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xvii 1
PENDAHULUAN ......................................................................................... 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7
2
Latar Belakang .................................................................................... Perumusan Masalah............................................................................ Kerangka Pemikiran ............................................................................ Tujuan Penelitian ................................................................................. Manfaat Penelitian ............................................................................... Ruang Lingkup Penelitian.................................................................... Hipotesis ..............................................................................................
Potensi dan Aktualisasi Perikanan Tangkap ...................................... Potensi dan Aktualisasi Perikanan Budidaya ..................................... Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Budidaya .................... Teori Sistem ........................................................................................ 2.4.1 Pengertian sistem ....................................................................... 2.4.2 Sistem manajemen ahli .............................................................. 2.4.3 Sistem penunjang keputusan ..................................................... 2.4.4 Sistem pakar............................................................................... 2.5 Penelitian Terdahulu............................................................................
17 20 24 32 32 34 36 38 41
METODOLOGI ............................................................................................ 43 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5
Waktu dan Tempat Penelitian.............................................................. Tahap Penelitian ................................................................................. Metoda Pengumpulan Data ................................................................. Metode Pengolahan Data ................................................................... Pendekatan Sistem.............................................................................. 3.5.1 Analisis kebutuhan.................................................................... 3.5.2 Formulasi permasalahan .......................................................... 3.5.3 Identifikasi sistem ..................................................................... 3.6 Konfigurasi Model ................................................................................ 3.6.1 Sistem manajemen dialog ........................................................ 3.6.2 Sistem manajemen basis data.................................................. 3.6.3 Sistem manajemen basis model ............................................... 3.6.4 Sistem pengelolaan terpusat .................................................... 3.7 Model CAP-AQUADEV ....................................................................... 4
1 10 13 15 15 16 16
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 17 2.1 2.2 2.3 2.4
3
1
43 43 44 45 59 59 62 63 66 67 68 68 68 68
HASIL .......................................................................................................... 70 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................... 4.1.1 Letak geografis dan topografis................................................... 4.1.2 Demografii.................................................................................. 4.1.3 Kondisi perikanan ...................................................................... 4.2 Perikanan Tangkap.............................................................................. 4.2.1 Produksi perikanan ..................................................................... 4.2.2 Perkembangan jumlah alat tangkap ...........................................
70 70 74 75 79 80 80
4.2.3 Kapal penangkap ikan ................................................................ 81 4.3 Perikanan Budidaya Laut..................................................................... 82 4.4 Model CAP-AQUADEV ........................................................................ 84 4.4.1 Potensi sumberdaya ikan .......................................................... 84 4.4.2 Kesesuaian lahan untuk budidaya karamba jaring apung (KJA) .......................................................................................... 95 4.4.3 Pemilihan teknologi penangkapan ikan ..................................... 98 4.4.4 Pemilihan komoditas potensial perikanan tangkap berbasis budidaya ..................................................................... 100 4.4.5 Kelayakan investasi ................................................................... 102 4.4.6 Strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.................................................................... 103 4.4.7 Kelembagaan............................................................................. 106 5
PEMBAHASAN ............................................................................................ 123 5.1 Kondisi Perikanan Tangkap ................................................................. 123 5.2 Perikanan Budidaya Laut..................................................................... 125 5.3 Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Perikanan Budidaya .............................................................................................. 128 5.4 Pengembangan Sistem Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya ....................................................... 129 5.4.1 Sub model potensi ...................................................................... 129 5.4.2 Sub model kesesuaian lahan ...................................................... 137 5.4.3 Sub model pemilihan .................................................................. 139 5.4.4 Sub model kelayakan ................................................................. 141 5.4.5 Sub model strategi ...................................................................... 142 5.4.6 Sub model kelembagaan ............................................................ 146
6
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 148 6.1 Kesimpulan .......................................................................................... 148 6.2 Saran ................................................................................................... 149
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 151 LAMPIRAN ........................................................................................................ 158
xii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Matrik pengambilan dan analisa data penelitian ......................................
45
2
Nilai skala banding berpasangan .............................................................
55
3
Matriks elemen .........................................................................................
55
4
Menjumlahkan nilai dalam setiap kolom, matriks normalisasi dan vektor prioritas .....................................................................................................
56
5
Nilai indeks acak (RI) matriks berordo 1 s/d 15 ........................................
57
6
Kondisi kependudukan Kabupaten Lampung Selatan .............................
74
7
Banyaknya penduduk usia sekolah di Kecamatan Pesisir Kab. Lampung Selatan tahun 2007 .................................................................
75
Gambaran potensi, pemanfaatan dan produksi perikanan dari berbagai kagiatan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2007 ..............................
76
Perkembangan pemanfaatan potensi perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2006-2007 .........................................................................
77
10 Perkembangan produksi perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2006-2007 ......................................................................................
77
11 Lokasi potensi budidaya laut di Lampung Selatan ...................................
78
12 Perkembangan RTP perikanan dan penyerapan tenaga kerja perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 1998-1999 ..................................
79
13 Jenis alat tangkap yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2006 ..........................................................................................................
81
14 Perkembangan produksi budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan .
82
15 Perkembangan RTP budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan .......
83
16 Perkembangan jumlah benih yang ditanam pada budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan ...................................................................
83
17 Perkembangan produksi kerapu dan rumput laut pada budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan ...................................................................
83
18 Perhitungan CPUE selama tahun 2001-2007 ..........................................
84
19 Jenis dan jumlah alat tangkap ikan demersal di Kabupaten Lampung Selatan .....................................................................................................
85
20 Catch, Effort dan CPUE ikan demersal ....................................................
85
21 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung ......
87
22 Jenis dan jumlah alat tangkap ikan pelagis kecil di Kabupaten Lampung Selatan .....................................................................................................
87
23 Catch, Effort dan CPUE ikan pelagis kecil ...............................................
88
24 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung .
90
25 Jenis dan jumlah alat tangkap crustacea di Kabupaten Lampung Selatan .....................................................................................................
90
8 9
xiii
26 Catch, Effort dan MSY crustacea .............................................................
91
27 Tingkat pemanfaatan crustacea ...............................................................
92
28 Jenis dan jumlah alat tangkap ikan lainnya di Teluk Lampung ................
93
29 Catch, Effort dan MSY ikan lainnya di Teluk Lampung ...........................
93
30 Tingkat pemanfaatan perikanan lainnya di Teluk Lampung ....................
95
31 Hasil penilaian kelayakan kesesuaian lahan ............................................
96
32 Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Lampung Selatan selama kurun waktu 2002-2006 ...............................................................
99
33 Bobot kriteria pemilihan teknologi penangkapan ikan ..............................
99
34 Skala prioritas alat tangkap ideal terpilih di Kabupaten Lampung Selatan ..................................................................................................... 100 35 Bobot kriteria pemilihan komoditas potensial perikanan tangkap berbasis budidaya laut .............................................................................. 101 36 Perkembangan produksi jenis komoditas yang dapat dibudidayakan di Kabupaten Lampung Selatan selama kurun waktu 2002-2006 ................ 102 37 Skala prioritas komoditas potensial terpilih di Kabupaten Lampung Selatan ..................................................................................................... 102 38 Hasil analisis finansial kelayakan usaha perikanan .................................. 103
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Akuakultur merupakan salah satu kegiatan produksi perikanan untuk memenuhi kebutuhan konsumen .............................................................
3
2
Integrasi antara kegiatan akuakultur dan perikanan tangkap ...................
4
3
Skema pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya .....................
5
4
Diagram alir perumusan masalah penelitian ............................................
13
5
Teknik-teknik pendukung sistem manajemen ahli ....................................
35
6
Struktur sistem manajemen ahli ...............................................................
36
7
Struktur dasar sistem penunjang keputusan ...........................................
37
8
Struktur dasar sistem pakar ......................................................................
39
9
Bagan alir proses penelitian .....................................................................
44
10 Diagram lingkar sebab akibat sistem pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya ....................................................................................
64
11 Diagram input-output sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .............................................................
65
12 Konfigurasi model sistem pengambilan keputusan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ...................
67
13 Perkembangan produksi ikan di kabupaten lampung selatan selama kurun waktu 2002-2006 ............................................................................
80
14 Perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan tahun 2002-2006 ......
81
15 Daerah penangkapan ikan di Teluk Lampung ..........................................
82
16 Perkembangan CPUE selama kurun waktu 2001-2007 ...........................
84
17 Kurva produksi lestari sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung ....
86
18 Tren produksi dan effort ikan demersal di Teluk Lampung ......................
86
19 Kurva produksi lestari sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung...................................................................................................
89
20 Tren produksi dan effort ikan pelagis di Teluk Lampung ..........................
89
21 Kurva produksi lestari sumberdaya crustacea di Teluk Lampung ...........
91
22 Tren produksi dan effort crustacea di Teluk Lampung .............................
92
23 Kurva produksi lestari sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung ........
94
24 Tren produksi dan effort ikan lainnya di Teluk Lampung ..........................
94
25 Peta sebaran alternatif lokasi pengembangan perikanan budidaya di Teluk Lampung .....................................................................................
96
26 Grafik parameter DO, suhu, pH, salinitas dan TOM di beberapa lokasi budidaya di Teluk Lampung .....................................................................
97
27 Grafik parameter kelarutan senyawa nitrogen (DIN) dan total bahan organik (TOM) di beberapa lokasi budidaya di Teluk Lampung ...............
98
xv
28 Hasil analisis strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................................................................................. 104 29 Hirarki elemen sektor pengguna yang terpengaruh dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ................... 107 30 Grafik driver power dependence untuk elemen pengguna yang terpengaruh dari pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ................................................................................................... 108 31 Hirarki elemen kebutuhan yang terpengaruh dari pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 109 32 Grafik driver power dependence untuk elemen kebutuhan untuk pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................. 110 33 Hirarki elemen kendala dalam pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................................................................................. 111 34 Grafik driver power dependence kendala dalam pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 111 35 Hirarki elemen perubahan yang mungkin terjadi dari pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 112 36 Grafik driver power dependence elemen perubahan yang mungkin terjadi dari pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya 113 37 Hirarki elemen tujuan dari program pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ........................................................................... 114 38 Grafik driver power dependence elemen tujuan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................ 115 39 Hirarki elemen keberhasilan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................................................................................. 115 40 Grafik driver power dependence keberhasilan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 116 41 Hirarki elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ................... 117 42 Grafik driver power dependence aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................................................................................. 118 43 Hirarki elemen pelaku pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................................................................................. 119 44 Grafik driver power dependence pelaku pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................................. 119 45 Hirarki elemen tolok ukur untuk pencapaian tujuan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 120 46 Grafik driver power dependence untuk pencapaian tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ................... 121 47 Tren perkembangan jumlah kapal di Kabupaten Lampung Selatan ......... 130 48 Tren produksi dan effort perikanan tangkap di Provinsi Lampung ........... 130
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Produksi ikan demersal, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung...................................................... 158 2 Produksi ikan demersal, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung ....................................................... 160 3 Produksi ikan pelagis, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung ..................................................... 162 4 Produksi ikan pelagis, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung ....................................................... 165 5
Produksi crustacea, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung ..................................................... 168
6 Produksi crustacea, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung ....................................................... 169 7
Produksi ikan lainnya, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung ..................................................... 171
8 Produksi ikan lainnya, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung ....................................................... 172 9 Analisis keseuaian lokasi budidaya laut dengan karamba jaring apung . 174 10 Pemilihan teknologi penangkapan ikan................................................... 176 11 Pemilihan komoditas potensial................................................................ 183 12 Analisis finansial budidaya udang vaname sederhana ........................... 190 13 Analisis finansial budidaya udang vaname semi intensif ........................ 193 14 Analisis finansial budidaya udang vaname intensif ................................. 196 15 Analisis finansial budidaya udang windu sederhana............................... 199 16 Analisis finansial budidaya udang windu semi intensif ............................ 202 17 Analisis finansial budidaya udang windu intensif .................................... 205 18 Analisis finansial budidaya rumput laut ................................................... 208 19 Analisis finansial budidaya kerapu macan .............................................. 211 20 Analisis finansial budidaya bandeng ....................................................... 214 21 Analisis finansial pancing rawai .............................................................. 217 22 Analisis finansial pancing ulur ................................................................. 218 23 Analisis finansial jaring lingkar (pure seine) ............................................ 219 24 Analisis finansial jaring insang (gill net) .................................................. 220 25 Analisis Kelembagaan dengan ISM ...................................................... 221 26 Gambar dokumentasi Penelitian ............................................................. 241 27 Ilustrasi program CAP-AQUADEV .......................................................... 250 28 Surat Keterangan ................................................................................... 251
DAFTAR ISTILAH Analisis kebutuhan
Merupakan permulaan pengkajian dari suatu system, menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seorang pengembil keputusan terhadap jalannya system, dan dapat meliputi hasil suatu survey, pendapat ahli, diskusi, observasi lapang dan sebagainya.
Analytical Hierarchy Process (AHP)
Metode yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan suatu masalah disederhanakan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dalam pengambilan keputusan yang efektif atas masalah tersebut.
Berkelanjutan
Pemanfaatan sumber daya secara lestari, yaitu di mana laju pemanfaatan harus lebih kecil atau sama dengan laju pemulihan sumber daya tersebut.
CAP-AQUADEV
Perangkat lunak computer yang dapat digunakan untuk perencanaan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Keterangan lebih lanjut dapat menghubungi penulis di Email:
[email protected]
CPUE
Catch Per Unit Effort, yaitu hasil tangkapan per satuan upaya, indeks kelimpahan.
Consistency Ratio (CR)
Merupakan parameter yang digunakan dalam teknik AHP untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan telah dilakukan dengan konsekuen atau tidak.
Decision Support System (DSS)
System Penunjang Keputusan (SPK), yaitu system yang berfungsi mentransformasi data dan informasi menjadi alternative keputusan dan prioritasnya. DSS bermanfaat membantu pengembilan keputusan secara interaktif.
Expert (ahli)
Seseorang yang mempunyai pengalaman yang luas dan pengetahuan yang intuitive tentang suatu domain tertentu.
Input
Indicator masukan, yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran.
Internal Rate of Return (IRR)
Suatu tingkat discount rate yang menghasilkan net present value sama dengan nol.
Interpretative Structural Modeling (ISM)
Teknik permodelan interpretasi struktural, yaitu salah satu teknik permodelan berbasis komputer yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis yang merupakan proses pengkajian kelompok (group learning precess) di mana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang
Kapal Perikanan
dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan.
MSY
Maximum sustainable yield, yaitu produksi maksimum berkelanjutan secara biologi, jumlah suatu hasil tangkapan maksimum yang dapat dipanen dari suatu sumber daya ikan tanpa mengganggu kelestariannya.
Nelayan
Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air.
Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Perbandingan antara total penerimaan bersih dan total biaya produksi.
Net Present Value Selisih antara nilai sekarang dari penerimaan dengan nilai (NPV) sekarang dari pengeluaran pada tingkat bunga tertentu. Output
Indicator keluaran, yaitu sesuatu yang diharapkan langsung dapat dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik atau non fisik.
Pendekatan sistem
Suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Dengan demikian manajemen system dapat diterapkan dengan mengarahkan perhatian kepada berbagai cirri dasar system yang perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan suatu system.
Pengembangan
Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang kepada sesuatu yang lebih baik; proses yang menuju pada suatu kemajuan.
Perikanan
Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDI dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Perikanan Tangkap
Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
System Informasi Manajemen
Merupakan system yang berfungsi untuk menyediakan informasi yang efektif dan efisien bagi pihak manajemen dalam rangka memperlancar pelaksanaan fungsinya.
Sistem Manajemen Basis Data
Merupakan komponen SPK yang mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai penyimpanan data dalam basis data, menerima dan memperbaharui data dari basis data, dan sebagai pengendali atau pengelola basis data.
Sistem Manajemen Basis Model
Merupakan komponen SPK yang mempunyai empat fungsi pokok, yaitu sebagai perancang model, sebagai perancang format keluaran model (laporan-laporan), untuk merubah, memperbarui model dan untuk memanipulasi data. Pada intinya, system manajemen basis model memberikan fasilitas pengelolaan model untuk mengkomputasikan pengambilan keputusan dan meliputi semua aktivitas yang tergabung dalam permodelan SPK.
Sistem Manajemen Dialog
Merupakan komponen SPK yang pberfungsi untuk berkomunikasi dengan pengguna. Tugas utama sistem manajemen sialog adalah menerima masukan dan memberiukan keluaran yang dikehendaki pengguna.
Software
Serangkaian program, prosedur dan kemungkinan dokumen tertentu yang berhubungan dengan operasi sistem pengolahan data, software atau piranti lunak mencakup compiler, library routines, dan lain-lain.
Sumber Daya Ikan
Potensi semua jenis ikan.
1 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak diantara Samudera
Hindia dan Pasifik. Negara ini mempunyai 17.504 pulau-pulau dengan luas sekitar 5,8 juta kilometer persegi. Panjang garis pantai Indonesia adalah sekitar 81.000 kilometer. Sekitar dua pertiga negara ini terdiri dari perairan laut. Perairan Indonesia yang luas ini merupakan sumber daya kelautan dan perikanan yang sangat besar. Lebih dari 10.000 spesies fauna dan flora tropis hidup di perairan ini. Pada tahun 1960-an, pada saat seluruh stakeholder perikanan sepakat menyatakan bahwa potensi perikanan laut Indonesia sangat melimpah, ternyata pernyataan tersebut didukung oleh data statistik perikanan tahun 1974. Produksi perikanan tangkap Indonesia pada tahun 1960 baru 410.043 ton dan naik 722.512 ton pada tahun 1968. Jadi hasil tangkapan tersebut hanya 6,6% (1960) dan 11,6% (1968) dari maximum sustainable yield (MSY) yang besarnya 6,2 juta ton. Saat itu dinyatakan bahwa ikan perairan laut Indonesia masih melimpah. Jumlah nelayan baru 870.137 orang pada tahun 1968 dan bahkan menurun menjadi 841.627 orang pada tahun 1970, yang selanjutnya naik kembali menjadi 854.000 orang pada tahun 1973. Namun demikian pada tahun 2004 produksi perikanan tangkap telah mencapai 4,5 juta ton atau telah dimanfaatkan sekitar 70,31% (Barani, 2005). Berdasarkan kondisi ini, perlu ada suatu upaya untuk mempertahankan potensi sumber daya ikan (SDI) agar tidak terjadi overfishing. Penangkapan berlebih atau overfishing sudah menjadi kenyataan pada berbagai perikanan tangkap di dunia, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan 75% dari perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh, dan mengalami tangkap lebih atau stok yang tersisa hanya 25% dari sumber daya yang masih berada pada kondisi tangkap kurang (FAO, 2002). Total produksi perikanan tangkap dunia pada tahun 2000 ternyata 5% lebih rendah dibanding puncak produksi pada tahun 1995 (tidak termasuk Cina, karena unsur ketidak-pastian dalam statistik perikanan mereka). Apabila sumber daya perikanan mengalami penurunan, maka stok ikan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pulih kembali, walaupun telah dilakukan penghentian penangkapan.
2
Produksi perikanan tangkap di laut dan perairan umum daratan Indonesia menunjukkan kecenderungan yang stagnasi. Dari total produksi perikanan Indonesia, usaha perikanan tangkap masih memberikan sumbangan produksi yang terbesar yaitu sekitar 76,0%, sedangkan sisanya berasal dari usaha perikanan budidaya. Stagnasi produksi perikanan tangkap Indonesia terutama disebabkan oleh pemanfaatan sumberdaya ikan yang melebihi daya dukungnya, penggunaan alat tangkap yang merusak sumberdaya ikan dan lingkungan khususnya di kawasan pemijahan dan asuhan ikan, serta kerusakan lingkungan perairan yang diakibatkan oleh pencemaran. Evaluasi tingkat pemanfaatan empat kelompok sumberdaya ikan yang berada di WPP-RI yang dilakukan oleh Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan pada tahun 2006 berdasarkan hasil riset BRKP menunjukkan bahwa dua puluh satu stok/sub stok ikan atau sekitar 55,3% dari 38 stok/sub stok ikan telah dimanfaatkan penuh bahkan sebagian ada yang telah melebihi daya dukungnya. Sementara itu, sembilan stok/sub stok ikan atau sekitar 23,7% belum dapat ditentukan tingkat pemanfaatannya karena data/informasi belum mencukupi, sehingga hanya delapan stok/sub stok ikan (sekitar 21%) yang pemanfatannya memungkinkan untuk ditingkatkan pada beberapa WPP tertentu (Nurhakim, 2007) Selama kurun waktu 1960-2006, produksi perikanan tangkap di perairan umum daratan berfluktuasi antara 228.571-364.875 ton dengan rata-rata 290.260 ton per tahun dan sejak tahun 1995 mengalami stagnasi malahan cenderung menurun. Di perairan umum daratan, produksi perikanan tangkap yang stagnan ini diduga karena pengelolaan sumber daya ikan belum dilakukan secara rasional, di beberapa kawasan terjadi penangkapan ikan yang intensif dan caracara penangkapan yang merusak serta terjadinya degradasi lingkungan perairan. Indikasi yang paling jelas dan mudah dilihat adalah hasil tangkapan yang terus menurun, perubahan struktur populasi ikan dan ukuran individu ikan yang semakin mengecil. Dalam sektor perikanan budidaya (akuakultur) merupakan salah satu kegiatan
produksi
selain
kegiatan
penangkapan
ikan
dan
pengolahan
(Gambar 1). Berbeda dengan penangkapan yang hanya memanen (berburu) ikan dari alam (laut dan perairan umum, sungai, danau, rawa), dalam akuakultur pemanenan ikan dilakukan setelah kegiatan penyiapan wadah (pemupukan,
3
pengapuran, dan pemberantasan hama) penebaran benih, pemberian pakan, pengelolaan air, penanggulangan/pemberantasan hama dan penyakit, serta pemantauan (sampling) pertumbuhan dan populasi (Effendi, 2004).
Perikanan
Perikanan Tangkap
Pengolahan
Akuakultur (Perikanan Budidaya)
Konsumen
Gambar 1.
Akuakultur merupakan salah satu kegiatan produksi perikanan untuk memenuhi kebutuhan konsumen (Effendi, 2004).
Produk akuakultur bisa langsung dijual ke konsumen dalam bentuk hidup dan segar atau diolah terlebih dahulu menjadi komoditas yang berbentuk berbeda sama sekali, antara lain sosis, burger, dan baso ikan. Integrasi yang kuat antara kegiatan akuakultur dan industri pengolahan biasanya menghasilkan industri perikanan budidaya yang mantap, seperti budidaya ikan salmon dan lele (catfish) di Amerika Serikat. Di Indonesia integrasi tersebut mulai terlihat dalam industri budidaya patin dan ikan nila. Kedua ikan tersebut dibudidayakan hingga mencapai ukuran 1 kg/ekor, dan kemudian di-fillet atau pemisahan daging dari tulangnya (deboning) untuk dijadikan bahan baku industri makanan. Selain itu, dewasa ini juga sudah banyak integrasi antara kegiatan akuakultur dengan perikanan tangkap, yakni kegiatan restocking ikan di laut dan perairan umum. Kegiatan restocking adalah menebar benih ikan di perairan (danau, waduk, sungai, teluk, rawa) yang bertujuan meningkatkan stok (stock enhancement) ikan di perairan tersebut dalam rangka konservasi dan menaikkan
4
pendapatan para pelaku perikanan tangkap (nelayan). Kegiatan ini dilakukan secara reguler dan terus menerus dengan menggunakan benih yang dihasilkan dari kegiatan akuakultur (pembenihan) (Effendi,2004).
Asosiasi/koperasi nelayan
Akuakultur (Pembenihan)
Gambar 2.
Perikanan Tangkap (Nelayan)
Integrasi antara kegiatan akuakultur dan perikanan tangkap (Effendi, 2004).
Di Jepang, negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat dan Cina kegiatan restoking sudah menjadi kegiatan komersial, bukan sekedar kegiatan konservasi dan sosial. Kegiatan akuakultur (pembenihan) menjual benih kepada asosiasi, koperasi nelayan atau pemerintah daerah yang melakukan restocking, sementara nelayan melaporkan hasil tangkapannya untuk dikenai biaya (charge) pembelian benih oleh asosiasi atau koperasi tersebut (Gambar 2). Perikanan masa depan tampaknya akan banyak terjadi integrasi, baik antara akuakultur dengan pengolahan maupun antara akuakultur dengan perikanan tangkap ataupun integrasi ketiganya (Effendi, 2004). Integrasi yang sudah dilakukan di masyarakat walaupun tidak disengaja adalah perikanan tangkap berbasis budidaya, dimana benih yang dimasukkan ke dalam perairan adalah benih yang tidak laku dijual maupun benih yang produksinya berlebih. Banyak perusahaan pembenihan udang, kerapu, bandeng yang produksinya berlebih secara sukarela melakukan stocking pada perairan sekitarnya, walaupun masih mengabaikan kaidah restocking yang sebenarnya.
5
Gambar 3.
Skema pengelolaaan perikanan tangkap berbasis budidaya
Pada awal tahun 2000, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya telah mencanangkan Culture Based Fisheries sebagai program utama yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pada suatu perairan dengan mengoptimalkan peran serta masyarakat sebagai pengelola atau biasa disebut Community Based Fisheries
Management.
Namun
demikian
keberhasilannya
masih
dapat
dikatakan jauh dari target yang diharapkan, sehingga perlu sosialisasi kepada seluruh stakeholder tentang pentingnya pemahaman pengelolaan sumberdaya perairan secara bersama. Menurut Jorgensen and Thompson (2007) Community Based Fisheries Management adalah pemahaman tentang penjelasan suatu bentuk pengaturan kelembagaan dalam pengelolaan perairan dan perikanan didasarkan oleh organisasi masyarakat lokal yang tergantung pada sumberdaya tersebut. Menurut Nikijuluw (2002), bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola
sumberdaya
perikanannya
sendiri
dengan
terlebih
dahulu
mendefinisikan kebutuhan dan keinginannya, tujuan serta aspirasinya. Indonesia memiliki potensi budidaya laut yang cukup besar, berdasarkan hitungan sekitar 5 km dari garis pantai ke arah laut, potensi lahan kegiatan
6
budidaya laut diperkirakan sekitar 24,53 juta ha. Luasan potensi kegiatan budidaya laut tersebut terbentang dari ujung bagian barat Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia. Komoditas-komoditas yang dapat dibudidayakan pada areal tersebut antara lain ikan kakap, kerapu, tiram, kerang darah, teripang, kerang mutiara dan abalone serta rumput laut (Dahuri, 2002). Lebih lanjut disebutkan oleh Nurdjana et al (1998) bahwa komoditas unggulan budidaya laut yang layak untuk dikembangkan antara lain adalah ikan kerapu, ikan kakap putih, tiram mutiara, kerang darah, abalone, rumput laut ikan hias laut, kerang hijau, teripang, tiram dan lobster. Luas perairan yang potensial untuk budidaya laut adalah 312.773 km2, yang terdiri dari perairan untuk budidaya ikan kakap putih seluas 213.428 km2, ikan kerapu 40.913 km2, kerang darah dan tiram 37.878 km2, teripang 5.159 km2, tiram mutiara dan abalone 4.286 km2, serta rumput laut 11.109 km2. Luasan ini dirasakan belum akurat. Untuk keperluan up-dating, luasan tersebut dievaluasi menggunakan metoda yang dianggap lebih akurat. Kawasan budidaya laut secara garis besar terdiri dari dua zone kawasan. Kawasan bagian laut mencakup daerah budidaya, daerah alur lalu lintas orang dan barang serta daerah penyangga. Kawasan darat antara lain diperuntukan bagi daerah perumahan, daerah usaha, daerah operasional serta sarana dan prasarana. Lahan budidaya laut merupakan faktor penting bagi pengembangan budidaya laut karena terkait dengan faktor biofisik lingkungan yang berkenaan dengan ketersediaan areal untuk pengembangan sarana budidaya laut baik secara fisik maupun kecocokan pemanfataannya. Faktor-faktor yang mendukung integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, antara lain adalah: (1)
Lokasi geografis Indonesia yang strategis, yang memungkinkan akses jasa, produk perikanan dan kelautan ke berbagai bagian dunia;
(2)
Kawasan perairan laut yang sangat luas, serta iklim tropik yang memungkinkan untuk pengembangan budidaya laut berbagai ikan dan jenis kehidupan air lainnya;
(3)
Jumlah penduduk pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang relatif banyak merupakan faktor pendukung pengembangan perikakan tangkap berbasis budidaya;
7
(4)
Adanya sistem ekonomi terbuka yang telah memungkinkan keikutsertaan negara dalam zona perdagangan bebas regional, sehingga menyediakan peluang yang lebih besar untuk memasukkan produk perikanan Indonesia ke pasar global dan regional;
(5)
Adanya sertifikasi sistem pengendalian mutu yang telah diakui masyarakat dunia, sehingga dapat menjamin mutu produk perikanan Indonesia di pasar ekspor;
(6)
Adanya peningkatan permintaan ikan yang merupakan hasil perubahan kecenderungan dalam pola konsumsi makanan dunia. Sementara di pihak lain, terjadi penurunan produksi ikan di negara-negara lain, sehingga memperluas peluang Indonesia di pasar dunia. Namun demikian, perkembangan pembangunan perikanan budidaya masih
dihadapkan pada berbagai kendala dan hambatan, baik yang bersifat eksternal maupun internal, kendala tersebut antara lain adalah: (1)
Adanya
globalisasi
perdagangan
dunia
yang
berdampak
terhadap
pemasaran produk perikanan, antara lain berupa: -
Ekspor hasil perikanan yang semakin kompetitif.
-
Ketatnya persyaratan mutu yang diterapkan negara pengimpor.
-
Gencarnya isu lingkungan.
-
Tuntutan pelaksanaan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).
(2)
Terbatasnya
peraturan
dan
perundang-undangan
yang
mengatur
pembangunan perikanan budidaya (3)
Adanya ketidak-pastian dan ketidak-konsistenan dalam masalah penataan ruang kawasan
(4)
Kurangnya upaya penegakan hukum yang berkaitan dengan budidaya perikanan
(5)
Kurangnya akses pemasaran produk perikanan
(6)
Kurangnya prasarana pemasaran dan fasilitas pasca produksi yang memadai
(7)
Belum memadainya teknologi yang tersedia untuk budidaya perikanan,
8
seperti teknologi penyediaan benih ikan laut (8)
Lambatnya penyediaan data dan informasi di bidang perikanan tangkap dan budidaya.
Hal ini sangat terkait erat dengan adanya keterbatasan
perangkat pendukung pengolahan data serta kualitas sumber daya manusia (SDM) di bidang statistik perikanan (9)
Belum memadainya sarana produksi untuk pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya
(10) Kurangnya pengetahuan para nelayan dan pembudidaya ikan mengenai kaidah integrasi perikanan tangkap dan budidaya (11) Belum efektifnya kelembagaan penyuluhan di bidang perikanan tangkap dan budidaya, sehingga aliran informasi dan teknologi perikanan tangkap budidaya menjadi terhambat dan bahkan terputus (12) Keterbatasan teknologi penangkapan ikan dan teknologi budidaya (13) Mahalnya input produksi yang di impor (14) Kurangnya
ketersediaan
aksesibilitas
kredit
untuk
kegiatan
usaha
penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan (15) Kurangnya koordinasi dan sosialisasi program-program serta kegiatan pembangunan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. (16) Kurang kondusifnya faktor keamanan, sebagai akibat dari krisis ekonomi yang berkepanjangan Sumberdaya perairan Teluk Lampung telah dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan ekonomi masyarakat, di antaranya kegiatan penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pariwisata dan transportasi. Kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan adalah kegiatan ekonomi yang melibatkan sebagian besar masyarakat
golongan
menengah
ke
bawah.
Kurangnya
pengetahuan,
terbatasnya keterampilan dan kemampuan manajemen usaha serta rendahnya askses permodalan adalah permasalahan utama dalam pengembangan masyarakat menengah ke bawah. Untuk itu diperlukan intervensi dan upaya pemerintah serta didukung strategi yang efektif dalam pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Teluk Lampung. Perairan Teluk Lampung merupakan daerah penangkapan ikan yang produktif dan memungkinkan dilakukannya operasi penangkapan ikan dengan
9
berbagai alat dan metode penangkapan (DKP Lampung, 2003)
Kedalaman
perairan Teluk Lampung tidak terlalu dalam dan perairannya relative tenang, nelayan dapat mengoperasikan berbagai jenis alat tangkap sesuai dengan jenis ikan yang menjadi target operasi penangkapannya. Nelayan dan pembudidaya di sekitar Teluk Lampung memiliki akses langsung untuk memanfaatkan sumberdaya perairan yang ada di perairan Teluk Lampung. Nelayan Lampung dapat memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada di Teluk Lampung sedangkan pembudidaya dapat memanfaatkan perairan yang memenuhi persyaratan teknis untuk pengembangan usaha budidaya laut dengan mengembangan komoditas yang strategis di perairan tersebut. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung Selatan (2005), rumah tangga perikanan laut Lampung Selatan terdiri dari 1.587 nelayan yang terdiri dari 472 orang nelayan tanpa perahu, 715 orang nelayan perahu tanpa motor, 201 nelayan dengan kapal motor. Pembudidaya ikan terdiri dari budidaya laut (442 orang), petambak (3.427 orang), budidaya air tawar (2.002 orang) dan mina padi (108 orang). Produksi perikanan tangkap Kabupeten Lampung Selatan pada tahun 2004 mencapai 25.867,6 ton, terdiri dari jenis ikan Peperek, manyung, ikan biji nangka, kerapu, kakap, ikan kurisi, ikan ekor kuning, ikan kuro, teri, japuh , Lemuru, golok- golok/ parang- parang, Kembung , tenggiri, Layur, tongkol, dan ikan lainnya. Produksi perikanan budidaya laut di Lampung Selatan tahun 2006 adalah 1.569,28 ton atau naik 749,3 ton dari produksi tahun 2005. Produksi tahun 2006 tersebut terdiri atas kerapu bebek dan kerapu macan yang dihasilkan dari 264 RTP dengan 470 unit KJA. Unit KJA tersebut sebagian besar berlokasi di Tanjung Putus dan Pulau Puhawang. Usaha budidaya laut dengan KJA memerlukan modal usaha yang besar, untuk
itu
pengembangan
perikanan
budidaya
perlu
dilakukan
secara
komprehensif dengan mempertimbangkan dan memperhatikan aspek-aspek terkait. Faktor yang perlu diperhatikan tidak hanya menyangkut hal teknis akan tetapi juga mencakup aspek sosial dan budaya. Berbagai masalah telah teridentifikasi terkait dengan pengembangan perikanan budidaya di Teluk Lampung, diantaranya: konflik penggunaan lahan dengan perikanan tangkap dan transportasi, sedimentasi perairan akibat pembukaan lahan pesisir dan lahan atas untuk berbagai kegiatan, serta ketidakteraturan penempatan dan tata letak
10
KJA di kawasan budidaya. Memperhatikan pengembangan
besarnya
perikanan
kendala
tangkap
dan
dan
permasalahan
perikanan
budidaya
terkait maka
pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya dapat dijadikan alternatif kegiatan ekonomi masyarakat yakni pengembangan kegiatan penangkapan ikan di suatu kawasan dengan didukung penyediaan benih dari perikanan budidaya. 1.2
Perumusan Masalah Pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut berkembang seiring dengan
pertumbuhan penduduk dan pembangunan. Intensitas pemanfaatan tersebut, diiringi dengan penurunan mutu lingkungan akibat tekanan dari aktivitas di daerah pesisir dan lahan atas. Kegiatan perikanan adalah salah satu kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut, terdiri atas perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Perikanan budidaya perairan payau (tambak) sudah dimulai sejak zaman Majapahit dan Indonesia adalah bangsa pertama di dunia yang mengembangkan usaha perikanan tambak (Schuster,1952 dalam Dahuri, 2002), sehingga wajar bila Indonesia memiliki tambak yang sangat luas yaitu sekitar 340.000 ha pada tahun 2001 (Ditjen Perikanan Budidaya, 2002). Sementara itu, budidaya laut memang baru dimulai awal tahun 1980-an, sehingga tingkat pemanfaatannya masih sangat rendah. Banyak hasil yang sudah dicapai dari hasil pembangunan perikanan budidaya laut dan payau selama ini, namun demikian, produksi itu masih sangat kecil dibandingkan dengan potensi yang kita miliki. Lebih dari itu, kegagalan panen karena peledakan wabah penyakit, seperti white spot yang menyerang udang windu dalam tambak pada awal 1999-an dan sampai sekarang pun belum terpecahkan secara tuntas. Oleh sebab itu, integrasi perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang hendak diwujudkan adalah sistem usaha perikanan tangkap dan budidaya laut yang mampu menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, menguntungkan, dan berkelanjutan. Untuk merealisasikan integrasi ini, maka pola pembangunan perikanan tangkap dan budidaya seyogyanya berdasarkan pada: (1) potensi SDI, (2) kesesuaian lahan dan peruntukannya untuk kegiatan perikanan budidaya, (3) kelayakan usaha dan (4) kondisi serta pencapaian hasil pembangunan perikanan tangkap dan perikanan budidaya selama ini.
11
(1)
Pembangunan Perikanan Tangkap Berkelanjutan SDI adalah sumber daya renewable yang mampu berkembang biak
sehingga bisa diharapkan kelestariannya, sepanjang dilakukan pengelolaan yang baik. Teknologi penangkapan modern termasuk cara pendeteksian ikan kini berkembang sangat cepat dan penggunaan teknologi ini kalau tidak dikontrol dapat membahayakan SDI itu sendiri. Secara garis besar di dalam pengelolaan perikanan dalam proses pengaturannya ditempuh dua kelompok metode yang mendasarkan kepada : (1) input kontrol yaitu yang melakukan pengaturan terhadap faktor input (masukan) perikanan, dan (2) output kontrol, pengaturan terhadap luaran (output) dari perikanan. Pengaturan melalui input kontrol termasuk diantaranya pembatasan jumlah alat tangkap atau kapal penangkap, penutupan musim tangkap dan penutupan daerah tangkap pada periode tertentu. Pada prinsipnya input kontrol mengatur faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masukan terhadap tingkat eksploitasi. Sedangkan pengaturan melalui output kontrol dilakukan terhadap hasil tangkapannya (output) misalnya dalam bentuk quota (jumlah hasil tangkapan). Pengaturan semacam ini banyak dilakukan di daerah dingin, sedangkan di daerah tropis pengaturan banyak berdasarkan kepada input kontrol. Metode tersebut juga sering dikombinasikan dengan metode teknis, misalnya saja di beberapa negara maju di daerah dingin, disamping ada pengaturan kuota juga ada pengaturan ukuran mata jaring yang diberlakukan terhadap alat tangkapnya. (2)
Pembangunan Perikanan Budidaya Berbasis Wilayah dan Komoditas Unggulan Keragaman kondisi biofisik wilayah pesisir dan laut Indonesia yang begitu
tinggi berimplikasi pada kesesuaian (suitability) untuk pengembangan perikanan budidaya dengan komoditas yang berbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Komoditas perikanan yang dihasilkan oleh usaha perikanan budidaya ini tidak hanya dimaksudkan untuk pasar global guna memperoleh devisa, tetapi juga di dalam rangka memenuhi kebutuhan ikan (ketahanan pangan) dalam negeri, sehingga rakyat menjadi semakin cerdas dan kuat. Komoditas unggulan yang dimaksud di sini adalah komoditas-komoditas perikanan yang permintaan (pasar) nya tinggi, baik pasar domestik maupun ekspor, atau harga jualnya tinggi.
12
(3)
Penguatan dan Pengembangan Teknologi Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya. Sampai saat ini teknologi yang digunakan untuk usaha budidaya laut di
Indonesia hanya sebatas pada jaring apung atau karamba laut (cage net), sistem rakit, dan rakit dasar. Dengan banyaknya teluk-teluk dan daerah laut yang bersifat semi tertutup serta pulau-pulau kecil yang dikelilingi mangrove dan terumbu karang, maka teknologi sea ranching dan sea farming seperti yang berhasil diterapkan di beberapa negara, seperti Jepang, Australia, dan beberapa negara Pasifik Selatan, perlu diterapkan dengan beberapa penyesuaian. Disamping itu selektifitas alat tangkap perlu juga dikembangkan dalam rangka mempertahankan keseimbangan populasi yang ada.
(4)
Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya Pemanfaatan sumber daya perikanan di suatu wilayah pesisir umumnya
terfokus pada satu jenis, yaitu penangkapan ikan atau budidaya. Intensitas penangkapan ikan yang semakin meningkat akan menurunkan potensi sumberdaya ikan dan secara tidak langsung menurunkan kesejahteraan masyarakat. Integrasi pengembangan perikanan tangkap dan budidaya akan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya perikanan dalam mempertahankan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan dengan melakukan restoking dari hasil budidaya.
13
Gambar 4. Diagram alir perumusan masalah penelitian Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan bahwa secara khusus, permasalahan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana kesesuaian lahan pada wilayah pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya? (2) Bagaimana perumusan cara pemilihan komoditas potensial ataupun unggulan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, serta kelayakan usahanya?; (3) Bagaimana perumusan
cara
pemilihan
teknologi
penangkapan
(4)
Bagaimanakah
perumusan penyusunan strategi pengembangan dan kelembagaan perikanan tangkap dan perikanan budidaya?; (5) Bagaimanakah kajian tersebut direkayasa dalam
sebuah
model
Sistem
Penunjang
Keputusan
yang
mendukung
rekomendasi, pengkajian ulang dan penerapan lain terkait dengan perubahan situasional? 1.3
Kerangka Pemikiran Prospek pengembangan bidang perikanan di Indonesia cukup baik,
mengingat sebagian besar wilayah Indonesia didominasi oleh laut dengan segala
14
kekayaan yang terkandung di dalamnya. Produksi perikanan laut dari hasil penangkapan tidak mungkin terus menerus diandalkan, mengingat intensifnya tingkat pemanfaatan, kemampuan pertumbuhan alami populasi ikan dan makin menurunnya kualitas sumberdaya alam. Upaya lain yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan produksi perikanan laut yaitu melalui kegiatan usaha budidaya. Selama ini perkembangan budidaya laut di Indonesia selalu dihadapkan pada masalah antara lain: usaha yang masih tradisional, belum adanya pola kemitraan yang saling menguntungkan benturan dengan kepentingan usaha lain serta sulitnya ketersediaan benih dan input produksi lainnya yang berkualitas dan kontinyu. Di samping itu, terjadinya penurunan mutu lingkungan budidaya pada kawasan pengembangan budidaya laut akibat kegiatan lain disekitar kawasan dan limbah dari kegiatan budidaya itu sendiri telah meningkatkan kematian dan menurunya pertumbuhan ikan. Untuk itu pengembangan kegiatan budidaya laut perlu dikembangkan atas pertimbangan ilmiah secara modern dan terpadu mulai dari proses hulu sampai hilir dalam suatu kawasan budidaya laut. Perikanan
tangkap,
terutama
secara
tradisional
telah
sejak
lama
dikembangkan. Perikanan tangkap dengan alat-alat modern telah dikembangkan sejak 30 tahun yang lalu. Potensi lestari perikanan Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun (Komnas Kajiskan dalam Nurhakim, 2007). Di beberapa perairan Indonesia, perikanan tangkap telah mencapai titik jenuh dan secara umum produksi perikanan tangkap sudah sulit dikembangkan. Perikanan budidaya merupakan tumpuan harapan dalam pengembangan perikanan Indonesia
di
masa
mendatang.
Untuk
itu
perlunya
strategi
integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya sebagai satu alternatif dalam mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Dalam melaksanakan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya harus didahului dan memperhatikan potensi SDI, hasil survei areal yang potensial untuk menentukan lokasi yang tepat sebagai kawasan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya dengan mempertimbangkan faktor pendukung lainnya, seperti ketersediaan prasarana, kondisi sosial ekonomi masyarakat, pelayanan perbankan, kepastian hukum dan RUTRD di daerah. Pusat-pusat pengembangan yang akan dijadikan titik awal integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, karena potensial dan posisinya yang sangat strategis untuk memacu integrasi
15
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di kawasan pengembangan sekitarnya. Pemilihan jenis komoditas ditetapkan dengan mengikuti permintaan pasar dan kesiapan teknologinya. Integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya dapat dilakukan dengan menggunakan strategi yang tidak hanya sekedar memecahkan berbagai permasalahan tetapi juga mampu menimbulkan peluang dan insentif bagi pembangunan yang sedang dilakukan, terutama untuk mengatasi berbagai permasalahan
nasional
yang
sedang
dihadapi
seperti
devisa
dan
ketenagakerjaaan.
1.4
Tujuan Penelitian Tujuan
umum
penelitian
ini
untuk
mengkaji
strategi
integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Secara khusus tujuan penelitian adalah sebagai berikut: (1)
Mengidentifikasi dan merumuskan cara pemilihan komoditas potensial ataupun unggulan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya, serta
kelayakan usahanya.(dilihat dari potensi SDI, kesesuaian lahan, teknologi penangkapan ikan) (2)
Menyusun strategi pengembangan dan cara pemberdayaan kelembagaan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
(3)
Mengembangkan model pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya
dengan
lingkup
sasaran
pengembangan
areal,
produksi,
komoditas, serta sarana dan prasarana pendukung.
1.5
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
(1)
Tersusunnya strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya
(2)
Kontribusi untuk pengembangan metode analisis dalam memecahkan masalah pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
(3)
Sumber informasi mengenai konsep pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang terkait dalam suatu sistem pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
16
1.6
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini antara lain meliputi kegiatan:
(1)
Menganalisis potensi SDI, yaitu melakukan analisis untuk mengetahui besarnya potensi sumber daya perikanan yang ada, tingkat eksploitasi yang telah dicapai serta kemungkinan perkembangannya lebih lanjut sesuai dengan potensi lestari (MSY).
(2)
Inventarisasi dan pengumpulan data, yang terdiri dari data-data mengenai: a. Potensi sumber daya lahan pengembangan budidaya laut b. Keragaan pengembangan budidaya laut, yang mencakup: Kegiatan budidaya laut yang telah dikembangkan, meliputi: ikan, crustacea, molusca, rumput laut dan kekerangan, lokasi budidaya laut yang telah dikembangkan, prospek dan peluang pasar masing-masing komoditas budidaya laut, keragaan areal, produksi, komoditas, dan prasarana pendukung yang telah dibangun dan permasalahan yang menghambat pengembangan budidaya laut.
(3)
Penentuan kesesuain lahan untuk pengembangan budidaya laut.
(4)
Penentuan kelayakan usaha perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
(5)
Pemilihan alat tangkap dan komoditas unggulan.
(6)
Pengorganisasian dan kelembagaan di dalam pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
(7)
Melakukan verifikasi model pada wilayah kajian.
1.7
Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah pengembangan perikanan tangkap
dan perikanan budidaya memberikan kontribusi dalam optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan guna peningkatan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, penyediaan bahan baku industri, mendorong pertumbuhan industri dalam negeri yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi bagi penerimaan devisa negara.
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Potensi dan Aktualisasi Perikanan Tangkap Sumberdaya ikan merupakan sumber daya yang mampu berkembang biak sehingga bisa diharapkan kelestariannya, sepanjang dilakukan pengelolaan yang baik. Teknologi penangkapan modern termasuk cara pendeteksian ikan kini berkembang sangat cepat dan penggunaan teknologi ini kalau tidak dikontrol dapat membahayakan SDI itu sendiri. Jadi manfaat pengelolaan tidak lain adalah agar terjamin kelestarian SDI sesuai dengan pesan didalam Kode Etik Perikanan yang Bertanggung Jawab (The Code of Conduct for Responsible Fisheries), sehingga
diharapkan
generasi
yang akan datang ikut
menikmati dan
memperoleh manfaat dari SDI tersebut. Potansi sumberdaya perikanan laut Indonesia menurut data estimasi Departemen Kelautan dan Perikanan sebesar 5.258.000 ton dengan bagian terbesar adalah jenis ikan pelagis kecil (small pelagics) yang mencapai 51,7 % atau sekitar 3.235.800 ton (Dahuri, 2001). Jenis ikan lain yang juga banyak terdapat di perairan Indonesia adalah jenis demersal dan pelagis besar, masingmasing sekitar 28,54% dan 16,83% atau 1.786.400 ton per tahun dan 1.053.500 ton per tahun. Perkembangan produksi perikanan laut dipengaruhi oleh beberapa faktor pendorong berupa peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana penangkapan ikan. Peningkatan sarana ini berlangsung bersamaan dengan motorisasi usaha penangkapan ikan yang menggunakan alat tangkap dengan bahan sintetis. Namun demikian sesuai dengan code of conduct for responsible fiheries pada artikel 6.3. bahwa pengembangan armada perikanan harus mempertimbangkan ketersediaan sumber sesuai dengan kemampuan reproduksi demi keberlanjutan pemanfaatannya. Hal ini jangan sampai terjadi kondisi dimana lebih banyak kapal dari pada ikan yang hendak ditangkap yang berakibat kerugian dari segi ekonomi perikanan, karena kapal ikan tidak dapat memperoleh jumlah tangkapan yang memadai sehingga semua pihak tidak memperoleh keuntungan yang layak. Sebagai sumberdaya alam yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi, eksploitasi sumberdaya perikanan laut di Indonesia menunjukkan peningkatan sepanjang tahun. Pada tahun 1995, total pendaratan ikan di Indonesia mencapai
18
3.292.930 ton, dimana pendaratan ikan mendominasi seluruh pemanfaatan sumberdaya perikanan laut, yaitu 2.752.838 ton, diikuti oleh jenis crustacea 203.441 ton, lalu jenis hewan lunak (mollusca) 98.445 ton dan jenis ikan lainnya seperti penyu, teripang, ubur-ubur dan lainnya yang mencapai 126.661 ton (Dahuri, 2001). Beberapa jenis ikan yang termasuk kelompok ikan pelagis kecil antara lain: Teri, Tembang, Siro, Lemuru, Layang, Kembung, Bawal Putih, Alu-alu, Tetengek, Sunglir, Ikan terbang, Belanak, Julung-julung, Golok-golok dan Ekor Kuning (Widodo et al., 1999). Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat pulih secara alami tetapi juga merupakan sumberdaya yang tak terbatas baik jumlah maupun kemampuan regenerasinya. Untuk itu pemenfaatannya harus dilakukan secara rasional
yaitu
dengan
memperhatikan
daya
dukungnya.
Pemanfaatan
sumberdaya yang tidak rasional akan menyebabkan menipisnya stok, kepunahan populasi, dan penurunan hasil tangkap per satuan upaya (CPUE) (Naamin et al., 1991). Pembangunan dibidang perikanan terutama dalam rangka pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap didasarkan pada konsep hasil maksimum yang dapat menjamin usaha berkelanjutan (maximum sustainable yield/MSY). Hal ini dapat dicapai dengan sistem pengelolaan terpadu dan berkesinambungan yang dilakukan
pemerintah
bekerjasama
dengan
para
pengusaha
perikanan.
Berdasarkan kecenderungan produksi hasil tangkapan ikan yang meningkat dan ada data hasil tangkapan yang tidak dicatat pada suatu wilayah perairan, maka nilai dugaan potensi sumberdaya ikan yang dihasilkan dari hasil analisis adalah minimal (under estimate). Hasil estimasi dengan pendekatan Surplus Production Model (Schaefer) nilai MSY masih mungkin dilakukan walaupun memberikan nilai yang lebih tinggi. MSY atau hasil tangkapan yang lestari adalah besarnya jumlah stock ikan tertinggi yang dapat ditangkap secara terus menerus dari suatu sumberdaya tanpa mempengaruhi kelestarian stock ikan tersebut. Jones dalam Badrudin et al., (1991), menyebutkan bahwa prinsip pengelolaan sediaan ikan dapat dikategorikan sebagai berikut: (1)
Pengendalian jumlah upaya penangkapan, dengan mengatur jumlah alat tangkap yang ada sampai pada jumlah tertentu (maksimum).
19
(2)
Pengendalian alat tangkap, ini dilakukan dengan tujuan agar usaha penangkapan hanya ditujukan untuk menangkap ikan yang telah mencapai umur dan ukuran tertentu. Tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan menurut Dwiponggo (1983),
adalah: (1)
Tujuan yang bersifat fisik-biologi, yaitu dicapainya tingkat pemanfaatan dalam level maximum sustainable yield (MSY)
(2)
Tujuan yang bersifat ekonomi, yaitu tercapainya keuntungan maksimum dari pemanfaatan sumberdaya ikan atau maksimal profit.
(3)
Tujuan ysng bersifat sosial, yaitu tercapainya keuntungan sosial yang maksimal. Seperti penyerapan tenaga kerja dan menghilangkan konflik kepentingan diantara nelayan atau anggota masyarakat. Upaya pengelolaan perikanan seyogyanya dilaksanakan sedini mungkin.
Para petugas perikanan baik di pusat maupun daerah didalam membuat perencanaan pembangunan perikanan perlu memasukkan unsur sumber daya. Pemanfaatan sumberdaya yang tidak rasional akan menyebabkan menipisnya stok, kepunahan populasi, dan penurunan hasil tangkap per satuan upaya (CPUE) (Naamin et al., 1991). Pengelolaan
sumberdaya
perikanan
dalam
rangka
pemanfaatan
sumberdaya perikanan tangkap didasarkan pada konsep hasil maksimum yang dapat manjamin usaha berkelanjutan (maximum sustainable yield/ MSY). Hal ini dapat dicapai melalui sistem pengelolaan terpadu dan berkesinambungan yang dilakukan pemerintah bersama stakeholders terkait. Jika upaya pengelolaan sudah terlambat akan sulit untuk memulai dan memulihkan sumber daya ikan karena masalahnya sudah cukup kompleks. Upaya pengelolaan tidak juga harus menunggu kelengkapan informasi yang diperlukan
dalam
pengelolaan.
Sesuai
dengan
prinsip
kehati-hatian
(precautionary principle), upaya pengelolaan sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Aplikasi pengelolaan perikanan dalam proses pengaturannya dapat ditempuh melalui dua kelompok metode yang mendasarkan kepada: (1) input control yaitu yang melakukan pengaturan terhadap faktor input (masukan) perikanan, dan (2) output control, pengaturan terhadap luaran (output) dari perikanan. Pengaturan melalui input control termasuk diantaranya pembatasan jumlah alat tangkap atau kapal penangkap, penutupan musim tangkap dan
20
penutupan daerah tangkap pada periode tertentu. Pada prinsipnya input control mengatur faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masukan terhadap tingkat eksploitasi. Sedangkan pengaturan melalui output control dilakukan terhadap hasil tangkapannya (output) misalnya dalam bentuk quota (jumlah hasil tangkapan). Pengaturan semacam ini banyak dilakukan di daerah dingin, sedangkan di daerah tropis pengaturan banyak berdasarkan kepada input control. Metode tersebut juga sering dikombinasikan dengan metode teknis, misalnya saja di beberapa negara maju di daerah dingin, disamping ada pengaturan quota juga ada pengaturan ukuran mata jaring yang diberlakukan terhadap alat tangkapnya. Permasalahan perikanan tangkap baik itu berupa permasalahan sosial ataupun kerusakan lingkungan dan menurunnya stok SDI, sebenarnya telah lama timbul sejak manusia menggunakan laut atau perairan umum sebagai sumber untuk mendapatkan bahan pangan. Namun saat itu, bobot permasalahan yang timbul tidak seberat yang dihadapi pada saat sekarang ini, dimana baik konflik sosial yang ditimbulkan akibat adanya kompetisi besar-besaran dalam memperebutkan ikan yang menjadi tujuan tangkapan, maupun kerusakan lingkungan serta punahnya beberapa spesies ikan yang diakibatkannya telah menunjukkan indikator yang sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup generasi mendatang. Ditinjau dari keberlangsungan dan kelestarian lingkungan bahwa segala bentuk aktivitas yang sifatnya merusak lingkungan, sekalipun dalam jumlah yang relatif kecil sebenarnya perlu dihindari termasuk dalam hal ini penggunaan alat tangkap modifikasi dari alat tangkap trawl. Dalam hal yang lebih luas lagi perlu dihindari penggunaan alat tangkap yang kurang ramah lingkungan. 2.2. Potensi dan Aktualisasi Perikanan Budidaya Potensi lahan perikanan budidaya secara nasional diperkirakan sebesar 15,59 juta hektar, yang terdiri atas lahan budidaya budidaya air tawar 2,23 juta hektar, budidaya air payau 1,22 juta hektar dan budidaya laut 12,14 juta hektar. Sedangkan pemanfaatanya hingga saat ini masing-masing baru mencapai 10,1% untuk budidaya air tawar, 40% untuk budidaya air payau dan 0,01% untuk budidaya laut. Luasan potensi kegiatan budidaya laut tersebut terbentang dari ujung bagian barat Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia. Komoditas-komoditas yang dapat dibudidayakan pada areal tersebut antara lain
21
ikan kakap, kerapu, tiram, kerang darah, teripang, kerang mutiara dan abalone serta rumput laut (Dahuri, 2002). Pada tahun 2004 produksi perikanan budidaya nasional adalah 1,47 juta ton dengan kenaikan rata-rata pertahun dari tahun 2000 adalah 10,36%. Jumlah produksi tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai negara produsen perikanan budidaya ketiga terbesar setelah China dan India. Produksi perikanan budidaya Indonesia dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 didominasi oleh produksi udang ditambak. Sedangkan persentase rata-rata kenaikan produksi per tahun tertinggi adalah budidaya laut. Produksi budidaya laut mulai meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2004 dari tahun 2003, hal ini terkait dengan program pengembangan budidaya rumput laut. Nilai produksi perikanan budidaya juga mengalami peningkatan dari Rp. 11,06 trilliun pada tahun 2000 menjadi Rp. 19,27 triliun pada tahun 2004, atau naik rata-rata 14,93% per tahun. Kenaikan nilai produksi rata-rata tertinggi yaitu sebesar 32,94% pada budidaya karamba. Komoditas dominan dan mengalami perkembangan cukup pesat adalah udang, yaitu dari 143.750 ton pada tahun 2000 menjadi 238.843 ton pada tahun 2004 atau mengalami kenaikan rata-rata per tahun 13,86%. Perkembangan produksi udang yang cukup pesat ini didukung oleh adanya upaya introduksi udang jenis baru yaitu udang putih atau vannamei yang berasal dari perairan sub tropis. Sampai saat ini produksi udang nasional masih ditopang oleh produksi udang vanname, terutama pada tambak-tambak intensif skala besar. Selain dikonsumsi didalam negeri produksi perikanan budidaya Indonesia juga terserap pada pasar luar negeri seperti negara-negara di Eropa, Amerika, Jepang dan negara maju lainnya. Beberapa jenis komoditas perikanan budidaya yang diekspor adalah udang, kerapu, nila, rumput laut, kepiting, patin, lele, bandeng, kodok, abalone, ikan hias dan mutiara. Pertumbuhan ekspor perikanan Indonesia didominasi oleh udang dan cakalang. Pada tahun 2000 volume ekspor udang Indonesia sebesar 116.187 ton meningkat menjadi 139.450 ton pada tahun 2004. Jika memperhatikan neraca ekspor-impor peroduk perikanan, maka dapat disimpulkan bahwa masih terjadi surplus perdagangan komoditas perikanan. Hal ini membuktikan bahwa bidang periknan tidak membebani neraca pembayaran, bahkan sebaliknya justru merupakan andalan untuk memperoleh devisa. Surplus perdagangan hasil perikanan untuk memperoleh devisa pada
22
tahun 2000 sebesar US$ 1,56 milyar dan terus mengalami peningkatan hingga US$ 1,62 milyar pada tahun 2004. Peningkatan produksi perikanan budidaya yang telah dicapai selama ini, telah memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan konsumsi ikan per kapita nasional dari 21,57 kg per kapita pada tahun 2000 menjadi 23,18 kg per kapita pada tahun 2004. Disamping itu perkembangan perikanan budidaya juga telah memberikan dampak pada penyerapan tenaga kerja. Selama kurun waktu 5 (lima) tahun (2000 – 2004) mengalami peningkatan rata-rata sebesar 3,05% per tahun. Jumlah pembudidaya ikan meningkat dari dari 2,18 juta orang pada tahun 2000 menjadi 2,46 juta orang pada tahun 2004. Tenaga kerja di perusahaan perikanan budidaya, baik yang berstatus pemilik modan asing (PMA) maupun pemilik modal dalam negeri (PMDN) mengalami peningkatan dari 3.151 orang tenaga asing dan 154.173 orang tenaga kerja lokal pada tahun 2000, meningkat menjadi 4.719 orang tenaga kerja asing dan 187.124 orang tenaga kerja lokal pada tahun 2004. Rumah tangga perikanan (RTP) budidaya secara keseluruhan berjumlah 1,2 juta buah pada tahun 2000 dan meningkat menjadi 1,4 juta buah pada tahun 2004 dengan jumlah terbesar pada budidaya kolam, budidaya sawah dan tambak. Pemanfaatan potensi pengembangan budidaya perikanan dapat dilakukan melalui pembenihan, pembudidayaan, penyiapan prasarana, pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan mampu meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan produksi usaha perikanan budidaya. Kegiatan budidaya perikanan di laut dapat diklasifikasikan menjadi kegiatan marikultur
dan
budidaya
air
payau.
Untuk
usaha
marikultur
biasanya
menggunakan jaring apung, sedangkan usaha budidaya air payau menggunakan kolam dan petak tambak (Dahuri, 2002). Kegiatan budidaya perikanan ditentukan oleh beberapa faktor antara lain sumber air menyangkut kualitas dan kuantitasnya, potensi/ketersediaan lahan menyangkut topografi, tekstur dan kesuburannya yang diperkirakan dapat dimanfaatkan bagi usaha budidaya serta peruntukkan lahan dan potensi konflik dengan kegiatan lain disekitarnya. Oleh karena itu pengembangan usaha budidaya adalah mengupayakan peningkatan produktivitas suatu lahan atau perairan yang sudah terseleksi dengan menambahkan input-input teknologi yang ada. Hal ini menyebabkan tingkat perkembangan dan tingkat produksi yang dicapai berbeda di setiap daerah, sesuai dengan teknologi dan tingkat kesuburan
23
lahan atau perairan yang ada serta kemampuan masyarakat mengaadopsi teknologi baru. Sehingga potensi produksi dalam usaha budidaya merupakan produksi yang dapat dicapai dari lahan yang ada serta produksi dari lahan potensial dengan perkiraan pada tingkat produktivitas tertentu yang mungkin diterapkan. Pengembangan
budidaya
perikanan
ke
depan
harus
mampu
mendayagunakan potensi yang ada, sehingga dapat mendorong kegiatan produksi berbasis ekonomi rakyat, meningkatkan perolehan devisa negara, serta mempercepat
pembangunan
ekonomi
masyarakat
pembudidaya
ikan
di
Indonesia secara keseluruhan. Pada pelaksanaannya pengembangan perikanan budidaya harus dilakukan dengan memperhatikan CCRF (code of conduct for responsible fisheries) antara lain dengan memperhatikan (1) kelestarian lingkungan sumberdaya alam, pengembangan dilakukan secara berkelanjutan, keamanan pangan, tidak memodifikasi genetik biota, eco-labelling dan ketertelusuran. Dalam upaya mensukseskan Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan Presiden Republik Indenesia pada 11 Juni 2005, khususnya revitalisasi perikanan budidaya, maka pemerintah menetapkan prioritas atau fokus kegiatan pengembangan spesies yang (1) mempunyai permintaan besar baik pasar luar maupun dalam negeri, (2) dapat dikembangkan secara menguntungkan, (3) mudah diadopsi pembudidaya, serta (4) waktu produksi pendek yaitu pengembangan komoditas udang dan rumput laut. Selain itu Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya juga menetapkan 8 (delapan) komoditas lainnya sebagai komoditas unggulan karena mempunyai potensi untuk ekspor, yaitu: patin, kerapu, nila, lele, gurame, bandeng, abalone dan ikan hias. Sesuai dengan visi pengembangan perikanan budidaya yaitu adalah mewujudkan perikanan budidaya yang berdaya saing dan berkelanjutan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi andalan maka kebijakan pembangunan perikanan budidaya adalah (1) pengembangan produksi perikanan budidaya untuk ekspor, (2) pengembangan produksi perikanan budidaya untuk peningkatan konsumsi ikan dalam negeri, dan (3) pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan budidaya. Pada pelaksanaanya kebijakan tersebut dikemas dalam 3 (tiga) program pokok pengembangan perikanan budidaya yaitu (1) program peningkatan
24
produksi perikanan budidaya untuk ekspor (PROPEKAN), (2) program peningkatan produksi perikanan budidaya untuk konsumsi ikan masyarakat (PROKSIMAS), dan (3) program perlindungan dan rehabilitasi sumberdaya perikanan budidaya (PROLINDA). Program tersebut ditunjung oleh 6 program penunjang yaitu (1) pengembangan prasarana, (2) pengembangan sistem perbenihan, (3) pengembangan sistem produksi, (4) pengembangan sistem pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan, (5) pengembangan sistem usaha budidaya dan (6) pengembangan sistem administrasi dan kelembagaan. Menurut Cholik et al (2005) bahwa membangun akuakultur nasional haruslah berdampak positip pada hal sebagai berikut : tingkat konsumsi ikan oleh masyarakat, tingkat pendapatan pembudidaya ikan, berkembangnya akuakultur berkelanjutan
dan
peningkatan
ekspor,
pengurangan
tekanan
terhadap
sumberdaya ikan wilayah pantai, pengkayaan stock ikan di laut dan perairan umum, pasok bahan baku bagi industri terkait dan pelestarian lingkungan hidup. Pengembangan akuakultur harus dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sebagai pedoman dapat digunakan CCRF yang sudah diadopsi di banyak negara. Akuakultur yang memiliki criteria tersebut merupakan akuakultur yang akan menjadi tumpuan harapan bangsa. 2.3. Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Budidaya Perkembangan masyarakat dunia pada abad ke-21 telah menunjukkan kecenderungan adanya perubahan perilaku dan gaya hidup serta pola konsumsi pangan dari daging merah (red meat) ke produk perikanan. Intensitas kegiatan atau kesibukan di era kompetisi ketat cenderung meningkat, mengakibatkan manusia tidak leluasa lagi memanfaatkan waktu untuk menikmati makanan konvensional yang dimasak dan dikonsumsi di tempat jauh dari tempat bekerja. Aktivitas perjalanan lintas daerah, kultural, negara, senantiasa membutuhkan makanan universal yang diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dari berbagai agama, kepercayaan dan budaya. Kecenderungan peningkatan angka harapan hidup penduduk sebagai salah satu indikator penentu indeks kesejahteraan (human development index), menuntut persiapan manusia menyongsong era generasi berusia panjang (older generation era). Salah satu bahan makanan yang dapat memenuhi tuntutan di atas adalah produk perikanan. Hasil olahan produk ini dianggap lebih sehat dikonsumsi, netral, dan hasil olahannya sangat beragam. Kebutuhannya di masa mendatang diprediksi melampaui 50%
25
kebutuhan protein hewani masyarakat dunia 3 g/kg berat badan per hari atau sekitar 54 kg/kapita/tahun. Pasokan ikan dunia saat ini sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Namun demikian, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara dan perairan internasional saat ini dilaporkan telah berlebih. Data FAO (2002) menunjukkan bahwa pasokan ikan dari kegiatan penangkapan di laut di sebagian negara, diperkirakan tidak dapat ditingkatkan lagi. Demikian pula kecenderungan ini terjadi pada usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia.
Bahkan
berdasarkan hasil penelitian oleh Komisi Stock Assessment pada tahun 2000 menunjukkan bahwa potensi lestari ikan perairan laut Indonesia mengalami penurunan dari 6,18 juta ton/tahun menjadi 6,01 juta ton/tahun. Oleh karena itu, alternatif pemasok hasil perikanan diharapkan berasal dari perikanan budidaya (akuakultur). Saat ini akuakultur tidak hanya berperan menopang pemenuhan kebutuhan bahan pangan berupa protein hewani, akan tetapi juga dalam menyediakan bahan baku bio-industri, dan upaya pelestarian spesies ikan yang terancam punah (endangered species). Industri pengekstrak bahan aktif dari organisme akuatik terutama laut, seperti berbagai jenis rumput laut, membutuhkan bahan baku dalam jumlah yang besar dan cenderung terus meningkat. Berbagai jenis biota akuatik yang dieksploitasi seperti ikan kerapu terhindar dari ancaman kepunahan setelah berkembangnya kegiatan budidaya. Dalam pelestarian fungsi lingkungan perairan, para pembudidaya ikan dapat menjadi ”pengamanan swakarsa”
dari
ancaman
perusak
lingkungan
seperti:
pengebom
dan
penggunaan racun dalam kegiatan penangkapan ikan; pembuangan limbah industri ke perairan; penambangan karang. pembudidaya
sangat
berkepentingan
dengan
Harus disadari bahwa para kualitas
lingkungan
yang
terpelihara. Peran akuakultur dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam mungkin tidak banyak disadari. Sumberdaya lahan pantai berpasir yang tidak dapat dimanfaatkan untuk pertanian terbukti bermanfaat untuk tambak udang dengan konstruksi khusus seperti biocrete dan knock down concrete. Selokan air atau saluran irigasi sangat produktif dan efisien untuk kolam air deras dan karamba ikan. Tambak-tambak garam yang awalnya berfungsi tunggal, melalui modifikasi dan penerapan teknik akuakultur dapat berfungsi ganda yaitu
26
menghasilkan kista dan biomassa artemia, yang nilainya jauh lebih tinggi daripada garam yang dihasilkan. Dalam kaitannya dengan keanekaragaman hayati, sumberdaya perikanan meliputi semua biota yang hidup di perairan tawar maupun laut.
Indonesia
dengan perairan laut seluas 5,8 juta km2 merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia (Soegiarto dan Polunin, 1981 dalam Dahuri, 2002). Kelompok utama biota yang memiliki jumlah spesies terbanyak di perairan laut Indonesia adalah moluska atau kekerangan (2.500 spesies) terdiri atas kelompok gastropoda (1.500 spesies) dan kelompok bivalve (1.000 spesies), diikuti oleh kelompok ikan (lebih dari 2.000 spesies), kelompok krustase (1.502 spesies). Kelompok lainnya adalah hewan karang (910 spesies), sponge (850 spesies), tumbuhan (832 spesies), ekhinodermata (745 spesies), burung (148 spesies), mamalia (29 spesies) dan reptil (6 spesies). Sampai saat ini pemanfaatan keanekaragaman hayati tersebut, baik untuk usaha akuakultur maupun bahan baku industri masih sangat kecil. Walau akuakultur bermula dari penerapan teknologi
yang sangat
sederhana, bercirikan pedesaan (rural farming activity) dan subsisten atau sampingan, seperti tambak di Jawa Timur, budidaya ikan mas di Jawa Barat, namun pada akhir abad 20 akselerasi perkembangan perikanan budidaya menunjukkan kecenderungan industrialisasi dengan penerapan teknologi maju. Perikanan budidaya bukan lagi budidaya yang konvensional, tetapi kegiatan ekonomi dengan manajemen modern yang berimplikasi besar pada berbagai sektor. Berbagai IPTEK berkembang untuk mendukung pengembangan budidaya menuju skala besar dan bernilai tambah tinggi. Investasi dalam usaha ini juga melibatkan modal multinasional. Produk akuakultur telah membawa perubahan besar bagi industri pangan yaitu menawarkan pasokan yang konsisten, tingkat harga yang relatif rendah dan jenis produk yang lebih sesuai dengan selera konsumen, baik dari segi mutu maupun jumlah. Guna mempertahankan stok atau potensi lestari sumberdaya ikan di perairan laut perlu alternatif pengelolaan yang tepat, dalam hal ini dapat memberikan kesempatan sumberdaya ikan melakukan pemulihan secara alami dan mempertahankan pendapatan nelayan yaitu dengan pengembangan perikanan tangkap yang berbasis pada perikanan budidaya. Perikanan tangkap berbasis budidaya ini pada prinsipnya adalah pengembangan budidaya ikan untuk menunjang ketersediaan stok sumberdaya ikan di perairan umum atau laut
27
(De Silva et al., 2006). Tujuan dari sistem pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan atau pembudidaya dan sekaligus mempertahankan kelestarian stok sumberdaya ikan di alam. Lebih lanjut di jelaskan De Silva et al. (2006), bahwa dalam pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya tersebut terlihat adanya interaksi antara kegiatan perikanan tangkap dan budidaya. Pelaksanaan pengelolaan ini melibatkan pembudidaya ikan atau kegiatan budidaya ikan pada tahap penyiapan benih ikan untuk ditebar dan kegiatan penangkapan setelah ikan mencapai ukuran tertentu. Kegiatan budidaya yang dilakukan dalam pelaksanaan pengelolaan tersebut dalam bentuk kegiatan pembenihan ikan di hatchery, dilanjutkan dengan pemeliharaan benih sampai siap ditebar dan dibudidayakan dalam karamba jaring apung. Kegiatan perikanan tangkap dalam pengelolaan ini berperan pada saat pengaturan
penangkapan
ikan
yang
telah
ditebar
di
perairan
umum.
Penangkapan tersebut berdasarkan ukuran ikan, ikan yang dapat ditangkap adalah ikan yang sudah mencapai ukuran konsumsi. Sedangkan jumlah penangkapan dalam sebenarnya tidak dibatasi sesuai jumlah ikan yang ditebar. Alat tangkap yang digunakan merupakan alat tangkap yang selektif dan tidak destruktif atau merusak dan disesuaikan dengan jenis dan habitat ikan yang di tebar. Sistem pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya terlihat interaksi mutualisme
antara
kegiatan
budidaya
(pembenihan,
pendederan
dan
pembesaran) dengan kegiatan penangkapan ikan di perairan umum tersebut. Dengan pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya, kesejahteraan pembudidaya akan terjamin yaitu dari hasil usahan pembenihan dan pembesaran, sementara itu tingkat kesejahteraan nelayan juga akan meningkat dengan ketersediaan stok ikan di perairan yang terjamin dan berkelanjutan (sustainable). Besarnya tekanan terhadap sumberdaya perikanan baik dari kegiatan penangkapan maupun perubahan dan penurunan mutu lingkungan pada suatu kawasan perairan dapat dikendalikan diantaranya dengan kegiatan penebaran kembali
benih
ikan
atau
restocking,
perbaikan
mutu
lingkungan
dan
pengendalian kegiatan penangkapan. Sedangkan dalam hal pengelolaan sumberdaya pendekatan co-management terbukti lebih efektif. Karena dengan
28
pendekatan co-management seluruh stakeholders terkait dilibatkan dan merasa memiliki kepentingan terhadap objek yang dikelola seperti sumberdaya perikanan. Kegiatan perikanan tangkap berbasis budidaya (culture based fisheriesCBF) adalah salah satu model pengelolaan sumberdaya perikanan yang menerapkan prinsip co-management yang pada pelaksanaannya melakukan upaya penebaran kembali (restocking), pemeliharaan lingkungan perairan dan pengendalian kegiatan penangkapan dalam rangka mewujudkan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan pada suatu perairan oleh masyarakat setempat dengan pembinaan dan stimulasi dari pemerintah. Rangkaian kegiatan yang komprehensif tersebut oleh Lorenzen (1995) disebut sebagai adaptive management yaitu pengelolaan berdasarkan aspek biologi ikan, biofisik perairan dan pemberdayaan pelakunya. Model perikanan tangkap berbasis budidaya telah diadopsi banyak negara penghasil produk perikanan utama dunia dalam pemanfaatan sumberdaya perairan untuk kegiatan perikanan seperti: China, Thailand, Vietnem, Philipina, Kamboja, Birma, Bangladesh, Laos dan Sri Lanka. Upaya ini dilakukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang terdiri atas ikan dan perairan habitatnya bagi kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia kegiatan yang hampir sejenis sudah menjadi kearifan lokal (local wisdom) di beberapa daerah seperti Lebak-Lebung di Sumatera Selatan, Ikan Larangan di Sumatera Barat, Sasi di Maluku dan Awik-Awik di Nusa Tenggara Barat. Akan tetapi sebahagian kearifan lokal tersebut telah memudar atau kurang efektif karena pengaruh modernisasi dan globalisasi. Untuk itu perlu dilakukan upaya perbaikan guna meningkatkan efektivitas pelaksanaanya, dimana model perikanan tangkap berbasis budidaya dapat menjadi salah satu pilihan untuk dikembangkan. Pada pelaksanaannya keberhasilan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya sangat ditentukan oleh aspek kelembagaan pengelola (organisasi, keanggotaan dan aturan), penetapan wilayah, penentuan jenis ikan yang akan ditebar, ketersediaan benih ikan, pengendalian kegiatan penangkapan dan pengawasannya, serta untuk implementasinya di perairan laut yang bersifat open acces maka model comunity-based fisheries management dapat diterapkan.
Model
comunity-based
fisheries
management
telah
direkomendasikan oleh Valbo-Jorgensen dan Thompson (2007) sebagai hasil
29
kegiatan
pengembangan
perikanan
tangkap
berbasis
budidaya
yang
dilaksanakannya di Bangladesh. Program pemacuan stok dalam rangka peningkatan sumberdaya ikan sudah dikembangkan di beberapa negara seperti Jepang, China dan Norwegia. Pemacuan stok ikan di Jepang telah berdampak terhadap peningkatan produksi sea bream sebesar 8% dan Blue crab sebesar 22 %. Laporan FAO tahun 1999 menyebutkan bahwa upaya pemacuan stok di perairan umum daratan di China dan Vietnam dapat meningkatkan hasil penangkapan sebesar 20% dari total hasil penangkapan sebesar 2 juta ton/tahun. Sedangkan di Norwegia berhasil meningkatkan produksi ikan hingga 32%. Penerapan teknik pemacuan sumberdaya ikan di Indonesia yang berupa penebaran dan introduksi ikan serta perlindungan sumberdaya ikan melalui penetapan kawasan suaka perikanan telah lama dilakukan terutama di perairan umum daratan sejak jaman penjajahan Belanda. Meskipun kegiatan introduksi dan restoking ikan telah lama dilakukan, kontribusinya terhadap hasil tangkapan belum menunjukkan hasil yang nyata bahkan di beberapa perairan berdampak terhadap penurunan keragaman dan kelimpahan species lokal yang disebabkan oleh kompetisi dan atau predasi. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh penerapannya yang tidak didasarkan atas hasil kajian ilmiah yang memadai dan tidak dilakukan atas kaidah pendekatan kehati-hatian. Hal tersebut berbeda dengan peningkatan kelimpahan stok ikan melalui pengelolaan suaka perikanan yang dilakukan sejak sebelum penjajahan Belanda, seperti suaka perikanan Danau Loa Kang dan Danau Batu Bumbun di DAS Mahakam, Kalimantan Timur yang dikelola pada masa Kerajaan Kutai Kartanegara, sekitar 500 tahun yang lalu. Suaka tersebut sangat berperan dalam memasok benih ikan secara alami dan berperan dalam pelestarian sumberdaya ikan. Dewasa ini, penerapan kearifan lokal dalam pengelolaan suaka tersebut telah luntur sehingga suaka yang ada tidak berfungsi optimal lagi. Menurut Badan Riset Kelautan dan Perikanan, (2009) bahwa BRKP telah melakukan penerapan pemacuan sumberdaya ikan di Indonesia berbasis hasil kajian ilmiah yang dirintis sejak tahun 2000 di perairan umum daratan dan laut. Di perairan umum daratan, pelaksanaan pemacuan sumberdaya ikan terutama dilakukan di perairan waduk dan danau. Di beberapa kawasan, penerapan pemacuan sumberdaya ikan mulai mempertimbangkan aspek daya dukung perairan, kesesuaian habitat dan jenis ikan, peluang kompetisi antara jenis ikan
30
tebaran dengan jenis ikan asli, jumlah padat tebar optimal, dan monitoring dan evaluasi
keberhasilan
ataupun
kegagalannya
serta
diikuti
dengan
pengembangan kelembagaan pengelolaannya. Di perairan laut, penerapan pemacuan sumberdaya ikan disertai penerapan teknik rehabilitasi habitat terumbu karang. Berbagai penerapan pemacuan sumberdaya ikan yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang menggembirakan antara lain: a) Introduksi ikan patin (Pangasionodon hypopthalmus) di Waduk Wonogiri, Jawa Tengah. b) Introduksi udang galah (Macrobrachium rosernbergii) di Waduk Darma, Jawa Barat c) Pengembangan suaka ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) di Danau Singkarak, Sumatera Barat. d) Introduksi ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) dari Danau Singkarak ke Danau Toba, Sumatera Utara. e) Penebaran kembali (restocking) ikan baung (Mystus nemurus) di Waduk Wadaslintang, Jawa Tengah f)
Penebaran ikan bandeng (Chanos chanos) di Waduk Djuanda, JatiluhurJawa Barat
g) Rehabilitasi terumbu karang di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat dan Jemeluk, Bali. Introduksi ikan patin siam ukuran 10-15 gram per ekor dengan jumlah total 45.000 ekor ke Waduk Wonogiri (luas 7.800 ha) dilakukan pada tahun 2002. Ikan patin yang ditebarkan tersebut ternyata dapat melakukan pemijahan di muara sungai yang masuk waduk sehingga dengan melindungi kawasan pemijahan dan asuhannya, tidak diperlukan penebaran kembali benih patin. Introduksi ikan ini telah meningkatkan produksi perikanan tangkap sebesar 112.215 kg (tangkapan ikan patin) senilai 785,5 juta rupiah pada tahun 2004 dan pada tahun 2007, hasil tangkapan ikan patin meningkat menjadi 150.034 kg senilai 1,3 milyar rupiah. Introduksi udang galah di Waduk Darma menghasilkan produksi sebesar 337,65 kg senilai 13,5 juta rupiah meskipun udang galah yang ditebarkan hanya 26.500 ekor atau 26,5% dari jumlah optimum penebaran, yaitu sekitar 100.000 ekor. Apabila penebaran udang galah dilakukan secara optimum maka ditaksir
31
akan dihasilkan produksi senilai 70-140 juta rupiah per tahun yang akan menambah pendapatan bagi 120 orang nelayan di perairan waduk tersebut. Untuk mengatasi penurunan hasil tangkapan ikan bilih di habitatnya yang asli (Danau Singkarak) telah pula diterapkan pembentukan suaka buatan di Sungai Sumpur, salah satu sungai yang masuk Danau Singkarak. Dari suaka buatan tersebut ternyata dapat melestarikan induk ikan bilih sebanyak 3,3 juta ekor per tahun dan benih ikan bilih sebanyak 5,46 juta ekor per tahun. Benih ikan bilih ini masuk ke danau sebagai peremajaan stok ikan bilih yang akan ditangkap nelayan. Introduksi ikan bilih sebanyak 2.850 ekor, satu-satunya ikan endemik dari Danau Singkarak dilakukan ke Danau Toba pada tahun 2003. Ikan bilih yang ditebarkan mampu tumbuh dan berkembang biak dengan baik sehingga pada tahun 2005, hasil tangkapan ikan bilih mencapai 653,6 ton senilai 3,9 milyar rupiah. Hasil tangkapan ikan bilih terus meningkat sehingga pada tahun 2007 produksinya mencapai 8.500 ton dan pada tahun 2008 meningkat tajam menjadi 13.000 ton. Pada tahun 2003-2004, penebaran kembali (restocking) ikan baung telah pula dilakukan di Waduk Wadaslintang. Ikan baung adalah ikan asli di perairan waduk ini dan ekonomis tinggi, namun populasinya menurun karena tekanan penangkapan dan keterbatasan habitat pemijahannya. Upaya penebaran kembali ikan baung ini telah berhasil meningkatkan hasil tangkapan sebesar 15% dari total hasil tangkapan ikan. Pada tahun 2008, berdasarkan rekomendasi hasil riset, telah dilakukan penebaran ikan bandeng di Waduk Djuanda, Jawa Barat sebanyak 2,112 juta ekor. Ikan bandeng tumbuh pesat dari ukuran rata-rata satu gram per ekor menjadi 100-150 gram per ekor dalam waktu 3 bulan setelah penebaran. Selama empat bulan penangkapan telah tercatat sebanyak 65 ton ikan bandeng senilai 455 juta rupiah pada tingkat harga nelayan. Pemacuan sumberdaya ikan dalam bentuk rehabilitasi terumbu karang yang dilakukan di perairan laut, seperti Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat dan Teluk Jemeluk, Bali menunjukkan indikasi keberhasilan dalam pemulihan terumbu karang dan peningkatan kanekaragaman jenis ikan di perairan tersebut. Belajar dari pengalaman empiris tersebut dengan rata-rata produksi perikanan tangkap perairan umum daratan sebesar 290.880 ton dan perikanan tangkap di laut sebesar 4,3 juta ton, maka dengan pemacuan stok target
32
peningkatan produksi perikanan tangkap yang dicanangkan sebesar 19,24% dapat dicapai hanya melalui penerapan pemacuan stok di perairan umum daratan saja. Pada tahun 2010 produksi perikanan tangkap di perairan umum daratan tersebut diprediksi akan mencapai sekitar 1,2 Juta ton.
Menurut Bell et al (2006), bahwa ada contoh keberhasilan dalam pemacuan stock yang dilakukan di Jepang tentang perikanan scallop. Menurut Uki (2006), bahwa keberhasilan pemacuan stock yang dilakukan di Jepang dalam pengkayaan stock di laut untuk peningkatan perikanan
scallop di Hokkaido, Jepang dengan memberikan kontribusi panen tetap tahunan sebesar 300,000 ton per tahun. Panen tersebut menggambarkan peningkatan kelipatan empat dalam penangkapan yang maksimum. keberhasilan dari pengkayaan stok scallop di Hokkaido sebagai akibat : metode yang simple dan efektif dalam penangkapan dan pembesaran spat dalam jumlah besar; habitat yang ideal untuk pengembangan scallop; rata-rata kelangsungan hidup spat sebesar >30%. Selanjutnya disebutkan bahwa elemen yang luar biasa dalam perikanan ini adalah pengembangan metode untuk penangkapan, pembesaran dan penebaran sebesar 2 milliar benih setiap tahun. Pemakaian spat yang liar tidak hanya untuk bypass
kebutuhan
hatcheries,
tapi
pengenalan binatang genetic modifikasi.
juga
menghilangkan
resiko
Biaya mengumpulkan dan
pembesaran spat dalam ukuran tertentu dilakukan oleh nelayan. Mereka juga mengorganisir monitoring dan pengawasan populasi scallop dan lingkungan pada 200 titik di area perikanan, menyesuaikan penangkapan spat setiap tahun agar dapat memenuhi kebutuhan estimasi untuk menebarkan benih, menghilangkan predator starfish, dan memberikan pelatihan kepada anggota baru di koperasi. 2.4
Teori Sistem
2.4.1 Pengertian sistem Sistem sebagai teori pertama kali dikembangkan oleh L.V. Bertalanffy yang memperkenalkan pemikirannya tentang General System Theory (GST), ia mendefenisikan sistem sebagai totalitas dari bagian-bagian yang saling berhubungan. Paradigma GST menekankan perlunya keahlian generalis dan
33
pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efisien. (Pressman 1992 diacu dalam Agustedi 2000). Kesisteman adalah suatu meta konsep atau meta disiplin, dimana formalitas dan proses dari keseluruhan disiplin ini dan pengetahuan sosial dapat dipadukan dengan berhasil. Pendekatan sistem adalah mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh (Eriyatno dan Fadjar, 2007). Marimin (2004), mendefinisikan sistem sebagai satu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks. Pengertian tersebut mencerminkan adanya beberapa bagian dan hubungan antara bagian, ini menunjukkan kompleksitas dari sistem yang meliputi kerjasama antara bagian yang interdependen satu sama lain. Selain itu dapat dilihat bahwa sistem berusaha mencapai tujuan. Pencapaian tujuan ini menyebabkan timbulnya dinamika, perubahan-perubahan yang terus menerus perlu dikembangkan dan dikendalikan. Defenisi tersebut menunjukkan bahwa sistem sebagai gugus dari elemen-elemen yang saling berinteraksi secara teratur dalam rangka mencapai tujuan atau subtujuan. Semua defenisi tentang sistem mencakup lima unsur utama yang terdapat dalam sistem yaitu: (1)
Elemen-elemen atau bagian-bagian
(2)
Adanya interaksi atau hubungan antar elemen-elemen atau bagian-bagian
(3)
Adanya
sesuatu yang mengikat elemen-elemen atau bagian-bagian
tersebut menjadi suatu kesatuan. (4)
Terdapat tujuan bersama, sebagai hasil akhir
(5)
Berada dalam suatu lingkungan yang kompleks Elemen-elemen yang saling berinteraksi tersebut sering disebut sebagai
subsistem. Disebut demikian karena sebenarnya subsistem tersebut merupakan suatu sistem yang mempunyai komponen-komponen tersendiri. Sebaliknya suatu sistem dapat dikatakan sebagai subsistem dari suatu sistem lain yang lebih besar (Simatupang, 1995). Manetsch dan Park (1974), mendefinisikan sistem sebagai satu set elemen atau komponen yang saling berkaitan satu dengan lainnya dan terorganisir untuk menghasilkan satu set tujuan. Tiga syarat agar pendekatan sistem dapat bekerja dengan baik: (1) tujuan sistem ditentukan dengan pasti, (2) proses pengambilan keputusan dalam sistem yang nyata harus dapat dipusatkan dan (3) memungkinkan perencanaan jangka panjang.
34
Dent dan Blackie (1979), menyebutkan bahwa penelitian sistem mencakup dua hal, yaitu analisis komponen dan hubungannya serta proses sintesa yang mungkin membentuk sistem baru atau mengefisienkan sistem aslinya. Hal yang penting dalam mempelajari sistem adalah menentukan batas sistem agar dapat membantu mengerti fungsi sistem tersebut. Eriyatno (1998) berpendapat bahwa pendekatan sistem memberikan metode yang logis untuk penanganan masalah dan
merupakan
alat
yang
memungkinkan
untuk
mengidentifikasikan,
menganalisis, menstimulasi serta mendesain sistem keseluruhan. Eriyatno (1998) menyatakan bahwa metode untuk memecahkan masalah yang dilakukan dengan melalui pendekatan sistem terdiri dari beberapa tahap proses. Tahap-tahap tersebut meliputi: evaluasi kelayakan, penyusunan model abstrak, implementasi rancangan, implementasi dan operasi sistem. Menurut Cooper
(1969),
ada
dua
tahap
dalam
penyusunan
model
yaitu
mengidentifikasikan komponen-komponen yang penting dari sistem dan menentukan hubungan-hubungan fungsi kuantitatif dari semua komponen. Pendekatan sistem diperlukan untuk menyelesaikan persoalan dengan melalui tahapan-tahapan dimana untuk menentukan tujuan dan permasalahan diawali dengan penentuan kebutuhan-kebutuhan dari setiap pelaku yang terlibat. Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis dengan metode yang logis untuk penanganan masalah dan merupakan alat yang memungkinkan untuk mengidentifikasikan,
menganalisis,
menstimulasi
serta
mendesain
sistem
keseluruhan (Marimin, 2004; Eriyatno dan Fadjar, 2007). Menurut Eriyatno dan Fadjar (2007), dalam pendekatan sistem terdapat enam tahapan analisis sebelum sampai kepada sintesa (rekayasa), yaitu: (1) analisis Kebutuhan; (2) identifikasi sistem; (3) formulasi masalah; 4) pemodelan sistem; 5) verifikasi dan validasi model, dan 6) implementasi. Langkah ke 1 sampai dengan ke 6 umumnya dilakukan dalam satu kesatuan kerja yang dikenal dengan Analisa Sistem. 2.4.2 Sistem manajemen ahli Sistem manajemen ahli merupakan integrasi dari sistem penunjang keputusan dan sistem pakar.
Integrasi tersebut dapat berupa memasukan
sistem pakar ke dalam komponen-komponen sistem penunjang keputusan atau dengan membuat sistem pakar sebagai komponen yang terpisah dari sistem
35
penunjang keputusan. Integrasi sistem pakar pada sistem penunjang keputusan dapat dilakukan pada basis data, basis model, sistem dialog, maupun pada rekayasa sistem dan pengguna. penggunaan sistem pakar di luar komponen sistem penunjang keputusan dilakukan dengan menggunakan keluaran dari sistem pakar sebagai masukan pada sistem penunjang keputusan atau sebaliknya. disamping itu, sistem pakar juga dapat digunakan untuk melengkapi proses pengambilan keputusan pada sistem penunjang keputusan (Turban, 1988). Sistem manajemen ahli lahir dari perpaduan dua bentuk sistem yaitu sistem penunjang keputusan dan sistem pakar (knowledge-based systems).
sistem
manajemen ahli merupakan sistem yang menerapkan konsep framework untuk melakukan analisis struktur terhadap proses pengambilan keputusan. hasil analisa tersebut selanjutnya akan diproses di dalam suatu sistem pakar untuk membantu pengguna dalam memecahkan masalah.
teknik-teknik yang
mendukung sistem manajemen ahli dapat dilihat pada Gambar 5. Basis Pengetahuan • Heuristik • Tatacara inferensi Perangkat Lunak • User Friendly • Integrated
Analisa Keputusan • Model preferensi manusia • Model keputusan normatif • Analisa utilitas atribut ganda
SISTEM MANAJEMEN AHLI
Model Optimasi • Program Matematika • ProgramSasaran Ganda
Ilmu Manajemen • Manajemen Penelitian & Pengembangan
Gambar 5. Teknik-teknik pendukung sistem manajemen ahli (Eriyatno 1998).
Eriyatno (1998) berpendapat bahwa
sistem manajemen ahli dapat
didefinisikan sebagai gabungan interaktif dari tiga basis sumberdaya informasi, yaitu sistem manajemen basis data (Data Base Management System), sistem manajemen basis model (Model Base Management System), dan sistem manajemen basis pengetahuan (Knowledge Base Management System). Ketiga
36
basis informasi tersebut diolah dalam unit pemrosesan terpusat yang menerima sinyal dari sistem manajemen dialog (Dialogue Management System) yang bersifat interaktif dengan pengguna. Struktur dari sistem manajemen Ahli dapat dilihat pada Gambar 6. Pengguna
Sistem Manajemen Dialog
Struktur Komunikasi
Sistem Manajemen Basis Model
Sistem Manajemen Basis Data
Model-model kuantitatif dalam pengambilan keputusan
Sistem Manajemen Basis Pengetahuan - “Query Generation” - Transformasi Jawaban - Aturan yang berlaku
Pengguna
Pengguna
Gambar 6 Struktur sistem manajemen ahli. 2.4.3.Sistem penunjang keputusan Menurut Eriyatno (1998), sistem penunjang keputusan (SPK) adalah konsep spesifik yang menghubungkan sistem komputerisasi informasi dengan para pengambil keputusan sebagai pemakainya. Sistem penunjang keputusan dimaksudkan untuk memaparkan secara rinci elemen-elemen sistem sehingga dapat menunjang dalam proses pengambilan keputusan. Karakterisasi pokok yang melandasi teknik sistem penunjang keputusan yaitu: (1)
Interaksi langsung antara komputer dengan pengambil keputusan
(2)
Adanya dukungan menyeluruh (holistik) dari keputusan bertahap berganda
(3)
Suatu sintesa dari konsep yang diambil dari berbagai bidang, antara lain ilmu komputer, ilmu sistem, psikologi, ilmu manajemen, dan intelegensia buatan
(4)
Mempunyai
kemampuan
aditif
terhadap
perubahan
kondisi
dan
kemampuan berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat. Eriyatno (1998) melanjutkan bahwa aplikasi sistem penunjang keputusan selanjutnya mampu mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu melalui pendekatan sistem. Penggunaan sistem penunjang keputusan seyogyanya ditunjang oleh
37
berbagai studi lapangan dan penelitian kasus guna menelusuri validitas input dan parameter-parameternya. Landasan utama dalam pengembangan sistem penunjang keputusan untuk model manajemen adalah konsepsi model. Konsepsi model ini diperlukan untuk menggambarkan secara abstrak tiga komponen utama penunjang keputusan, yaitu: (1) pengambil keputusan atau pengguna, (2) model, dan (3) data. Hubungan antar komponen-komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. Menurut Minch dan Burns (1983), sistem manajemen dialog adalah subsistem dari sistem penunjang keputusan yang berkomunikasi langsung dengan pengguna, yakni menerima masukan dan memberikan keluaran. sistem manajemen basis data harus bersifat interaktif dan luwes dalam arti mudah dilakukan perubahan terhadap ukuran, isi, dan struktur elemen-elemen data. sistem manajemen basis model memberikan fasilitas pengelolaan model untuk mengkomputasikan pengambilan keputusan dan meliputi semua aktivitas yang tergabung dalam permodelan sistem penunjang keputusan. Sistem pengolahan problematik adalah koordinator dan pengendali dari operasi sistem penunjang keputusan secara menyeluruh. sistem ini menerima masukan dari ketiga sub sistem lainnya dalam bentuk baku serta menyerahkan keluaran ke sub sistem yang dikehendaki dalam bentuk baku pula. Fungsi utamanya adalah sebagai penyangga untuk menjamin masih adanya keterkaitan antar sub sistem (Eriyatno,1998). Data
Model
Sistem Manajemen Basis Data (DBMS)
Sistem Manajemen Basis Model (MBMS)
Sistem Pengolahan Problematik
Sistem Manajemen Dialog
Pengguna
Gambar 7. Struktur dasar sistem penunjang keputusan (Eriyatno 1998).
38
Keen dan Morton (1978) dalam Marimin (2004), menyatakan bahwa aplikasi Sistem Penunjang Keputusan akan bermanfaat bila terdapat kondisi sebagai berikut: (1)
Data sangat banyak sehingga sulit untuk memanfaatkannya.
(2)
Waktu untuk menentukan hasil akhir atau mencapai keputusan terbatas.
(3)
Diperlukan manipulasi dan komputasi dalam proses pencapaian tujuan.
(4)
Perlunya penentuan masalah, pengembangan alternatif dan pemilihan solusi berdasarkan akal sehat.
2.4.4. Sistem pakar Menurut Oxman (1985) dalam Marimin (2005), sistem pakar (Expert System) merupakan perangkat lunak komputer yang menggunakan pengetahuan (aturan-aturan tentang sifat dan unsur suatu masalah), fakta, dan teknik inferensi untuk memecahkan masalah yang biasanya membutuhkan kemampuan seorang ahli/praktisi. System pakar menggunakan informasi faktual dan observasi yang didasarkan atas pengalaman dan intuisi ahli agar sistem pakar dapat bernalar seperti manusia. Seringkali
Sistem pakar tidak memiliki solusi algoritma yang praktis.
keputusan
dibuat
berdasarkan
informasi yang
tidak lengkap
berdasarkan pendapat dan intuisi, spekulatif, tidak pasti, dan kabur (fuzzy). Menurut Marimin (2005), pengetahuan yang digunakan dalam sistem pakar terdiri dari kaidah-kaidah (rules) atau informasi dari pengalaman tentang tingkah laku suatu unsur dari suatu gugus persoalan. Kaidah-kaidah biasanya memberikan deskripsi tentang kondisi yang diikuti oleh akibat dari prasyarat tersebut. Sistem pakar dapat memberikan saran, kesimpulan, dan penjelasan untuk menyelesaikan persoalan tertentu. Sistim pakar terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian pengembangan dan
konsultasi.
Bagian
pengembangan
sistem
pakar
digunakan
oleh
penyusunnya untuk memasukan pengetahuan dasar ke dalam lingkungan sistem informasi.
Sedangkan
bagian
konsultasi
digunakan
untuk
mendapatkan
pengetahuan ahli serta saran, nasehat ataupun justifikasi (Marimin, 2005).
39
AHLI
Pengguna
- Fakta - Aturan - Model
Akuisisi ilmu pengetahuan
Penghubung
- Fakta - Aturan - Model
Sistem berbasis pengetahuan
- Nasehat - Justifikasi - Konsultasi
- Fakta - Aturan - Model
Dangkal Mendalam Statis Dinamis
Mekanisme Inferensi Strategi Penalaran Strategi Pengendalian
Fasilitas penjelasan
Gambar 8. Struktur dasar sistem pakar (Marimin, 2005). Sistem pakar terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian pengembangan
Marimin (2005) melanjutkan, bahwa pada prinsipnya sistem pakar tersusun dari beberapa komponen yang mencakup: (1) fasilitas akuisisi pengetahuan (2) sistem berbasis pengetahuan (knowledge based system) (3) mesin inferensi (Inference Engine) (4) fasiltas untuk penjelasan dan justifikasi (5) penghubung antara pengguna dengan sistem pakar (User interface) Tiap bagian mempunyai hubungan yang erat dengan bagian lainnya. Keterkaitan antar komponen-komponen tersebut disajikan pada Gambar 8. Bagian terpenting dari Sistem Pakar adalah mekanisme inferensi yang berfungsi untuk memanipulasi dan mengarahkan fakta, kaidah dan model yang disimpan dalam sistem berbasis pengetahuan dalam rangka mencapai solusi atau kesimpulan. Mekanisme inferensi terdiri dua strategi, yaitu (1) strategi penalaran dan (2) strategi pengendalian.
Strategi penalaran dikelompokan lagi menjadi
strategi penalaran pasti (Exact Reasoning Mechanism) dan strategi penalaran tidak pasti (Inexact Reasoning Mechanism).
40
Menurut Marimin (2005), strategi penalaran pasti meliputi modus ponens dan modus tollens dan beberapa teknik resolusi. Kaidah modus ponens dapat digambarkan sebagai berikut:
A
B
A B Dari penggambaran tersebut di atas dapat diartikan apabila ada kaidah jika A maka B dan diketahui bahwa A benar,maka dapat diambil kesimpulan yang sah bahwa B adalah benar. Kaidah modus tollens pada prinsipnya merupakan kebalikan dari kaidah modus ponens, dan dapat digambarkan sebagai berikut:
A
B
(not) B (not) A Dari penggambaran tersebut di atas dapat diartikan apabila ada kaidah jika A maka B dan diketahui bahwa B adalah salah,maka dapat disimpulkan bahwa A salah. Strategi pengendalian yang sering digunakan dalam Sistem Pakar terdiri dari mata rantai ke depan (Forward Chaining), mata rantai ke belakang (Backward Chaining), dan gabungan dari kedua teknik pengendalian tersebut. Ketiga teknik strategi pengendalian tersebut digunakan untuk melakukan pencarian dan pembuktian bahwa suatu solusi dari suatu persoalan ada atau benar. Teknik mata rantai ke belakang melacak suatu kesimpulan sementara atau akhir yang kemudian dilacak melalui fakta-fakta pendukung dan kaidah-kaidah yang
ada,
serta
untuk
mendapatkan
variabel
pembentuk
kesimpulan.
Sedangkan pada teknik mata rantai ke depan, kesimpulan suatu kasus dibangun berdasarkan fakta-fakta yang telah diketahui. Dengan struktur dasar seperti telah dijelaskan di atas, Marimin (2005) berpendapat bahwa sistem pakar merupakan salah satu alternatif terbaik untuk menyelesaikan persoalan dengan menggunakan komputer yang didukung oleh teknik kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), terutama untuk pemecahan
41
persoalan yang kompleks dan belum memiliki algoritme. Dalam penerapannya, sistem pakar dapat digunakan untuk memecahkan persoalan yang bersifat analitis (interprestasi dan diagnostik), sintesis, dan integrasi yang sesuai dengan konsep sistem informasi dengan penerapan data dasar (modelisasi konseptual, konsepsi fisik, restrukturisasi data dan administrasi dokumen).
2.5. Penelitian Terdahulu Penelitian yang telah dilakukan yang berkaitan dengan analisa kelayakan investasi diantaranya telah dilakukan oleh Hadisenjaya (1995) yang merancang dan mengembangkan model FISHTool yang merupakan aplikasi sistem penunjang keputusan untuk investasi pada industri tepung ikan. Model ini dibuat untuk membantu menganalisa kelayakan pendirian industri tepung ikan ditinjau dari aspek pasar, aspek teknis khususnya pemilihan lokasi, dan aspek finansial. Kriteria investasi yang digunakan untuk mengukur kelayakan dalam model ini adalah Payback Period, Net Present Value (NPV), dan Internal Rate of Return (IRR). Selanjutnya Agustedi (2000) merancang model Perencanaan Pembinaan Agroindustri Hasil Laut Orientasi Ekspor dengan Pendekatan Wilayah yang dikembangkan. Penelitian tersebut bertujuan untuk menghasilkan suatu model perencanaan dan pembinaan agroindustri hasil laut orientasi eksport dengan pendekatan wilayah yang antara lain meliputi analisis faktor-faktor pendukung dan penghambat pembinaan agroindustri hasil laut, menganalisis struktur biaya biaya usaha agro industri hasil laut. Penelitian juga menghasil satu perangkat lunak AGROSILA sebagai suatu model berbasis komputer. Penelitian Giyatmi (2005) dengan judul Sistem Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut: Suatu Kajian Kelayakan dan Strategi Pengembangan di Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini antara lain bertujuan untuk mengkaji dan merumuskan cara pengelompokan wilayah untuk pengelompokan kawasan pengembangan, mengidentifikasi dan merumuskan cara pemilihan komoditas potensial dan produk unggulan agroindustri perikanan laut, serta kelayakan usahanya di masing-masing kawasan pengembangan serta menyusun suatu strategi pengembangan dan cara pemberdayaan kelembagaan agroindustri perikanan
laut
serta
mengembangkan
alternatif
model
pengembangan
agroindustri hasil laut berbasis sistem penunjang keputusan. Kajian ini
42
menghasilkan sistem pengembangan agroindustri perikanan laut yang dirancang dalam suatu program komputer dengan nama AGRIPAL. CAP-AQUADEV ini dirancang untuk membantu para pengambil keputusan di lingkungan pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan ke depan. Hasil akhir yang direkomendasikan yaitu (1) sub model potensi SDI, (2) sub model kesesuaian lahan, (3) sub model pemilihan teknologi penangkapan ikan, (4) sub model pemilihan komoditas potensial, (5) sub model kelayakan usaha, (6) sub model strategi, dan (7) sub model kelembagaan.
3
3.1
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 24 bulan, mulai dari Maret 2006 hingga
Maret 2008. Pengolahan, tabulasi, dan analisis data serta pembuatan perangkat lunak komputer dilaksanakan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB (FPIK IPB). Penelitian lapang di laksanakan di Kabupaten Lampung Selatan. Kegiatan penelitian meliputi: (1)
Survei terhadap lokasi penelitian untuk analisis dan identifikasi masalah terkait dengan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya serta merancang percobaan penelitian dilakukan pada bulan Maret 2006 -April 2006.
(2)
Studi pustaka untuk mendapatkan data-data pendukung dalam analisis pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya, dilakukan bulan April 2007-Mei 2007 di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Jakarta, Badan Riset Kelautan dan Perikanan Jakarta, lembaga-lembaga penelitian terkait lainnya, FPIK IPB dan perguruan tinggi lain.
(3)
Pengumpulan data utama terkait dengan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, dilakukan di Lampung Selatan, Dinas Perikanan dan Kelautan Lampung, DKP, FPIK IPB, bulan Juni 2007– Nopember 2007.
(4)
Pengolahan data dan pembuatan perangkat lunak komputer CAPAQUADEV, dilakukan di FPIK IPB bulan Nopember 2007-Maret 2008.
(5)
Penulisan laporan dan konsultasi (disertasi) bulan Agustus 2007–Maret 2008, dilakukan di FPIK IPB.
3.2. Tahap Penelitian Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka pelaksanaan penelitian ini melalui tahapan: (1) Pengambilan data primer dan sekunder; (2) Analisis potensi SDI dan kondisi existing perikanan tangkap; (3) Analisis kesesuaian lahan untuk budidaya; (4) Analisis pemilihan teknologi unggulan; (5) Analisis pemilihan komoditas potensial;
44
(6) Analisis kelayakan usaha; (7) Analisis kelembagaan (8) Identifikasi elemen sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya; serta (9) Perancangan software Cap-Aquadev.
Gambar 9. Bagan alir proses penelitian Identifikasi mendapatkan
elemen
sistem
elemen-elemen
pengembangan
penting
sistem
dimaksudkan
yang
digunakan
untuk untuk
perancangan model integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Permodelan sistem digunakan untuk merumuskan hubungan antara masukan dan keluaran dan memprediksi hasil yang dimungkinkan. Pengumpulan data digunakan untuk melakukan verifikasi model, yaitu di Lampung Selatan. Perancangan sistem pengambilan keputusan berbasis komputer dimaksudkan untuk mendukung proses pengambilan keputusan yang rasional dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya secara cepat dan efektif. 3.3. Metode Pengumpulan Data Dalam pelaksanaan penelitian, data dikumpulkan melalui studi pustaka dan survei lapang untuk mendapatkan data primer dan sekunder. Data sekunder
45
diperoleh dari beberapa literatur dan instansi terkait, baik di daerah maupun di tingkat pusat. Data primer diperoleh melalui survei lapang dan wawancara mendalam (in-depth interview) atau dengan bantuan kuesioner terhadap pihak terkait, seperti nelayan, pelaku usaha budidaya, tenaga kerja yang bergerak pada usaha budidaya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Teknik pengambilan contoh (expert survey) dilakukan dengan teknik pengambilan contoh purposif (purposive sampling) dengan kriteria mewakili setiap bidang keahlian sesuai bidang kajian. 3.4. Metode Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan terhadap data primer dan sekunder yang telah dikumpulkan dengan menggunakan berbagai metode yang tercakup dalam Model CAP-AQUADEV. Konfigurasi Model CAP-AQUADEV terdiri dari Sub Model Potensi SDI, Sub Model Kesesuaian Lahan Pengembangan Perikanan Budidaya, Sub Model Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan yang Layak dikembangkan, Sub Model Pemilihan Komoditas Unggulan, Sub Model Kelayakan Usaha, Sub Model Strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, Sub Model Kelembagaan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Tabel 1. Matriks pengambilan dan analisa data penelitian Tujuan Penelitian 1.
Kajian potensi SDI di Lampung Selatan
2.
Kajian kesesuaian lahan pada wilayah pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Lampung Selatan. Kajian teknologi penangkapan ikan yang ideal dikembangkan di Lampung Selatan.
3.
Metode Pengambilan Data Survei lapang
Metode Pengolahan dan Analisa Data CPUE dan MSY
Survei wawancara
dan
Pembobotan
Suvei wawancara
dan
OWA
4.
Mengidentifikasi dan merumuskan cara pemilihan komoditas potensial ataupun unggulan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Suvei wawancara
dan
OWA
5.
Kelayakan usaha
dan
NPV, IRR, B/C
6.
Menyusun tahapan ataupun prioritas kegiatan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Survei wawancara Questioner
7.
Menyusun strategi pengembangan cara pemberdayaan kelembagaan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Suvei wawancara/ FGDM
dan
AHP
ISM
46
Kajian Potensi SDI. Metode penelitian yang digunakan adalah survei deskriptif. Penelitian dimaksudkan untuk mendapatkan fakta-fakta dan mencari keterangan-keterangan tentang potensi sumber daya perikanan (tangkap), mengidentifiksi
permasalahan
serta
mencari
keterkaitan
dan
hubungan-
hubungan, membuat prediksi, mendapatkan pembenaran dan implikasi dari permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan. Data-data tersebut sebagai landasan
untuk
menyusun
konsep
pengelolaan
perikanan.
Pengelolaan
perikanan pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk: (1) Memperoleh produksi maksimum yang berkelanjutan, dalam arti bahwa keberlanjutan stok alami dapat dipertahankan. (2) Memperoleh keuntungan ekonomi yang maksimum berkesinambungan bagi para pihak pengguna sumberdaya perikanan. (3) Secara sosial mampu meningkatkan kesejahteraan para pihak yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan, terutama nelayan. Konsep dasar yang mendasari upaya pengelolaan adalah bahwa pemanfaatan sumberdaya harus didasarkan pada sistem dan kapasitas daya dukung (carrying capacity) alamiahnya. Besar kecilnya hasil tangkapan tergantung pada jumlah stok alami yang tersedia di perairan dan kemampuan alamiah dari habitat untuk menghasilkan biomass ikan. Oleh karena itu, upaya pengelolaan diawali dengan pengkajian stok, agar potensi stok alaminya dapat diketahui. Bahwa analisis akan diawali dengan pengkajian stok sumberdaya yang hendak dikelola. Pada saat yang sama juga dilakukan pemantauan terhadap upaya penangkapan, terutama untuk memantau apakah sudah terjadi eksploitasi yang berlebih, dengan melihat hasil tangkapan per upaya (CPUE) dan ukuran yang tertangkap. Kajian atau pendugaan potensi sumberdaya ikan menggunakan metode surplus produksi dari Schaefer (1988) dalam FAO (1999), yang mendasarkan pada asumsi bahwa Catch per Unit Effort (CPUE) meruipakan fungsi dari f yang bersifat linier dengan rumus :
Sehingga;
47
Sedangkan:
Keterangan: CPUE
: cacth per unit effort
C
: hasil tangkapan
f
: effort/ upaya penangkapan
Ci
: jumlah tangkapan periode ke-i
MSY
: potensi lestari
Perhitungan nilai CPUE dihitung setelah melakukan standarisasi alat tangkap. Alat tangkap yang dijadikan standar mempunyai nilai faktor daya tangkap atau Fishing Power Indexs (FPI) sama dengan 1 (satu). Berdasarkan
hasil
kajian
stok
dan
pemantauan
tersebut,
dengan
memperhatikan aspek resiko yang mungkin timbul dan aspek lingkungan (ekologi, sosial ekonomi dan budaya), maka akan dapat dibuat suatu peraturan perikanan, terutama terkait dengan pengaturan upaya penangkapan (jenis alat, jumlah alat, waktu dan lokasi) dan pengaturan hasil tangkapan (ukuran yang boleh ditangkap dan jumlah atau kuota). Kajian Potensi Budidaya Laut. Analisis pengembangan Budidaya Laut di Lampung Selatan diawali dengan studi keadaan umum dan potensi perikanan khususnya di seluruh wilayah Lampung Selatan, dan selanjutnya dirinci, terutama yang berhubungan dengan potensi lahan pengembangan dari komoditi perikanan laut dan kesinambungan usaha perikanan budidaya laut, gambaran tentang usaha perikanan budidaya laut yang telah ada dan berkembang, serta teknologi pembudidayaan yang digunakan. Perumusan Cara Pemilihan teknologi penangkapan ikan yang layak dikembangkan dan prioritas komoditas potensial dan produk unggulan. Penentuan teknologi penangkapan ikan dan prioritas komoditas potensial merupakan proses yang sangat penting mengingat keberadaan teknologi penangkapan ikan dan komoditas dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya dapat menjadi penentu keberlangsungan
48
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Di dalam penentuan jenis teknologi penangkapan ikan dan komoditas potensial untuk integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di wilayah Lampung Selatan didasarkan pada beberapa kriteria. Menurut Monintja (2000) kriteria untuk teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan adalah sebagai berikut: 1) selektivitas tinggi, 2) tidak destruktif terhadap habitat, 3) tidak membahayakan nelayan (operator), 4) menghasilkan ikan bermutu baik, 5) produk tidak membahayakan konsumen, 6) minimum hasil tangkapan yang terbuang, 7) dampak minimum terhadap keanekaragaman sumberdaya hayati, 8) tidak menangkap spesies yang di lindungi atau terancam punah. Sedangkan kriteria yang diperlukan dalam pemilihan komoditi potensial yang akan dikembangkan, diantaranya berupa nilai ekonomis komoditas, peluang diversifikasi komoditas serta kelayakan budidaya (kesesuaian lahan). Pembobotan untuk masing-masing kriteria menggunakan metode OWA Operator. Pemilihan prioritas alternatif ditentukan dengan metode Evaluasi Pilihan Bebas (Independent Preference Evaluation atau IPE) dengan kaidah Fuzzy Group Decision Making (FGDM). Sebagai alternatif, akan dipilih beberapa jenis ikan berdasarkan rataan volume produksi selama sepuluh tahun terakhir. Responden menilai setiap kriteria atau alternatif dengan skala Paling Rendah (PR), Sangat Rendah (SR), Rendah (R), Sedang (S), Tinggi (T), Sangat Tinggi (ST), dan P (Paling Tinggi atau Perfect). Pemilihan produk budidaya laut berpedoman pada pilihan parameterparameter dari setiap kriteria penentuan produk unggulan, di antaranya berdasarkan kelayakan komoditas, ketersediaan dan tingkat kemudahan teknologi, nilai ekonomis, peluang pasar, penyerapan tenaga kerja, dampak ganda terhadap sektor lain, dampak terhadap lingkungan, dan kondisi budidaya laut saat sekarang. Pembobotan untuk masing-masing kriteria menggunakan metode OWA Operator. Pemilihan prioritas alternatif digunakan metode Evaluasi Pilihan Bebas atau IPE dengan kaidah FGDM. Responden menilai setiap kriteria atau alternatif dengan skala Paling Rendah (PR), Sangat Rendah (SR), Rendah (R), Sedang (S), Tinggi (T), Sangat Tinggi (ST), dan P (Paling Tinggi atau Perfect). Perumusan Kelayakan Investasi. Dengan melihat manfaat finansial dan ekonomi dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
49
budidaya di Kabupaten Lampung Selatan, maka dilakukan studi kelayakan atas investasi yang ditanamkan. Dalam rangka mencari usuran menyeluruh tentang manfaat investasi digunakan berbagai macam kriteria investasi yang dinyatakan dengan indeks. Indeks-indeks tersebut disebut sebagai “kriteria investasi”, di mana setiap indeks menggunakan nilai kini (present value) yang telah didiskonto dari arus manfaat dan biaya selama umur suatu usaha atau investasi. Penilaian atas suatu investasi dilakukan dengan membandingkan semua penerimaan yang diperoleh akibat investasi tersebut dengan semua pengeluaran yang harus dikorbankan selama proses investasi dilaksanakan. Baik penerimaan maupun pengeluaran dinyatakan dalam bentuk uang agar dapat dibandingkan dan harus dihitung pada waktu yang sama. Dalam analisis ini akan dikembalikan pada nilai kini (present value). Karena baik penerimaan maupun pengeluaran berjalan bertahap, maka terjadi arus
pengeluaran dan penerimaan yang
dinyatakan dalam bentuk arus tunai (cash flow). Kriteria yang akan digunakan dalam studi kelayakan pada penelitian ini didasarkan pada analisis biaya manfaat baik secara finansial maupun ekonomi. Kriteria-kriteria yang digunakan adalah: (1)
Net Present Value (NPV) Kriteria ini digunakan untuk menilai manfaat investasi yang merupakan
jumlah nilai kini dari manfaat bersih dan dinyatakan dalam rupiah. Rumus untuk menghitung NPV adalah:
Atau
Keterangan: NB
: Net Benefit (Benefit – Cost).
B
: Benefit yang telah di-discount.
C
: Cost yang di-discount.
i
: Discount factor.
n
: Waktu (tahun).
50
Kriteria
keputusan
yang
diambil
dalam
menentukan
kelayakan
berdasarkan NPV adalah: •
Jika NPV > 0, berarti investasi dinyatakan menguntungkan atau layak untuk dilakukan.
•
Jika NPV < 0, berarti investasi dinyatakan tidak menguntungkan atau tidak layak untuk dilaksanakan.
•
Jika NPV = 0, maka investasi pada proyek tersebut hanya mengembalikan manfaat yang persis sama dengan tingkat social opportunity cost of capital (SOCC).
(2)
Internal Rate of Return (IRR) IRR atau internal rate of return adalah suatu tingkat discount rate yang
menghasilkan net present value sama dengan nol. IRR merupakan suku bunga maksimal untuk sampai kepada NPV bernilai sama dengan nol, jadi dalam keadaan batas untung rugi. Oleh karena itu juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek. Asal setiap manfaat yang diwujudkan secara otomatis ditanam kembali pada tahun berikutnya dan mendapatkan tingkat keuntungan yang sama dan diberi bunga selama sisa umur proyek. Rumus untuk menghitung IRR adalah:
Keterangan: i1 i2
: tingkat discount rate yang dihasilkan NPV1. : tingkat discount rate yang dihasilkan NPV2.
Proyek atau investasi dikatakan layak bila IRR > dari tingkat bunga berlaku. Sehingga bila IRR ternyata sama dengan tingkat bunga yang berlaku, maka NPV dari proyek tersebut sama dengan nol. Jika IRR < dari tingkat bunga yang berlaku, maka berarti nilai NPV < 0, berarti proyek tidak layak. (3)
Benefit Cost Ratio (B/C Rasio) Benefit Cost Ratio (B/C Rasio) merupakan perbandingan antara total
penerimaan kotor dan total biaya produksi. menghitung Net B/C adalah:
Rumus yang digunakan untuk
51
Kriteria
keputusan
yang
diambil
dalam
menentukan
kelayakan
berdasarkan perbandingan antara pendapatan kotor dan biaya produksi adalah: 1) jika B/C Ratio > 1, layak diterima; 2) jika B/C Ratio < 1, tidak layak diterima. Perumusan Analisis Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya. Strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya dirumuskan dengan teknik pengambilan keputusan Analytical Hierarchy Process. Penyusunan strategi pada penelitian dapat dilakukan di tahap awal. Penyusunan strategi pada penelitian dapat dilakukan di tahap awal (fase identifikasi) atau di akhir (fase setelah kelayakan) dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Dengan kata lain penyusunan strategi dapat bersifat kualitatif maupun deskriptif analitik. Fokus hirarki ini adalah Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya. Hirarki berikutnya merupakan faktor yang berpengaruh dalam pengembangan, yaitu (1) SDI, (2) potensi lahan budidaya laut, (3) SDM, (4) teknologi; (5) permodalan, (6) pasar, (7) kebijakan pemerintah, (8) sarana dan prasarana, (9) informasi, dan (10) kelembagaan. Struktur dibawahnya adalah tujuan pengembangan, yaitu (1) peningkatan produksi ikan, (2) perluasan lapangan kerja, (3) perluasan kesempatan berusaha, (4) peningkatan pendapatan daerah, (5) peningkatan pertumbuhan ekonomi, (6) peningkatan
konsumsi
ikan.
Alternatif
strategi
yang
ditawarkan
dalam
pengembangan budidaya laut adalah (1) optimalisasi perikanan budidaya, (2) optimalisasi perikanan tangkap, (3) pengelolaan perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya. Proses penentuan alternatif kebijakan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Lampung Selatan menggunakan aplikasi pendekatan proses hierarki analitik (analytical hierarchy process-AHP). Kriteria untuk alternatif pengelolaan budidaya laut di Lampung Selatan adalah sebagai berikut: 1) Aspek hukum; yaitu ditinjau dari aspek hukum, kebijakan yang di ambil tidak bertentangan dengan hukum.
52
2) Aspek ekonomi; dari aspek ekonomi kebijakan yang di ambil bersifat menguntungkan. 3) Aspek ekologis (lingkungan); dari aspek ekologis kebijakan yang di ambil tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya. 4) Aspek teknis; dari aspek teknis kebijakan yang di ambil bersifat secara teknis efektif digunakan. 5) Aspek sosial; dari aspek sosial kebijakan yang di ambil dapat diterima masyarakat nelayan. Proses hierarki analitik (analytical hierarchy process-AHP) dirancang untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu, melalui suatu prosedur yang di desain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai alternatif. Analisis ini merupakan suatu pendekatan analisis yang bertujuan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur, dan biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang terukur, maupun masalah-masalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau tidak berkerangka, pada situasi di mana data dan informasi statistik sangat minim atau tidak sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman atau intuisi. AHP juga banyak digunakan pada pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumber daya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki pemain dalam situasi konflik (Saaty, 1993 dan Marimin, 2004). AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, di mana pengambil keputusan berusaha memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil keputusan (Saaty, 1993). Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel di beri nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin, 2004). AHP dan analisa kelayakan usaha sangat baik digunakan dalam pengambilan keputusan termasuk dalam menentukan jenis
53
perlakuan terhadap lingkungan budidaya (Jadwiga, 2008). Selain itu model atau software
sudah
lazim
digunakan
dalam
penentuan
prioritas
untuk
memaksimalkan keuntungan atau efisiensi dari dua kegiatan perikanan atau lebih yang berlangsung pada waktu atau lokasi yang sama (Morten et al, 2009). Seperti penelitian Pascoe and Mardle (2001), yang menyatakan bahwa untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi dan menjagakestabilan pekerja dilakukan analisis menggunakan bioekonomi model. Menurut Saaty (1993), ada tiga prinsip dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, yaitu:
(1)
Prinsip menyusun hirarki Pada bagian ini mencakup pertimbangan-pertimbangan ataupun langkah-
langkah menuju suatu keputusan yang akan diambil. Sasaran utama yang merupakan suatu tujuan, disusun ke dalam bagian yang menjadi elemen pokoknya, dan kemudian bagian ini dimasukkan ke dalam bagiannya lagi, dan seterusnya secara hierarki. Sehingga persoalan yang sangat kompleks dipecah menjadi bagian-bagiannya sehingga memudahkan pengambilan keputusan.
(2)
Prinsip menetapkan prioritas Untuk menetapkan prioritas perlu dilakukan perbandingan antara satu
aspek dengan aspek yang lainnya, sehingga dapat ditentukan peringkat elemenelemen menurut relatif pentingnya.
(3)
Prinsip konsistensi logis Pada prinsip ini harus konsisten terhadap pilihan yang telah diputuskan,
dan elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten dengan kriteria yang logis. Langkah-langkah dalam metode AHP menurut Saaty (1993) adalah: (1)
Mendefinisikan permasalahan dan pemecahan masalah yang diinginkan.
(2)
Membuat
struktur
hierarki
dari
sudut
pandang
manajerial
secara
menyeluruh. Pada tingkat puncak dari suatu hierarki disebut fokus yang terdiri atas hanya satu elemen. Fokus merupakan sasaran keseluruhan yang sifatnya luas. Pada tingkat-tingkat berikutnya masing-masing dapat memiliki beberapa elemen. Elemen-elemen dalam tingkat harus dari derajat besaran yang sama. Tingkat terendah terdiri atas berbagai tindakan akhir
54
atau rencana-rencana alternatif, yang bisa memberikan kontribusi secara positif
ataupun
negatif
bagi
pencapaian
sasaran
utama
melalui
pengaruhnya pada berbagai kriteria yang ada diantara kedua tingkat tersebut. (3)
Menyusun
matriks
banding
berpasangan.
Dari
matriks
banding
berpasangan dapat diketahui pengaruh setiap elemen yang relevan atas setiap
kriteria
yang
berpengaruh
terhadap
fokus.
Perbandingan
berpasangan yang pertama dilakukan pada fokus dan elemen satu tingkat dibawahnya. (4)
Mengumpulkan semua pertimbangan yang diperlukan dari hasil melakukan perbandingan berpasangan antar elemen pada langkah 3.
(5)
Memasukkan nilai-nilai kebalikannya beserta bilangan 1 sepanjang diagonal utama. Angka pada skala banding berpasangan digunakan bila baris lebih mendominasi atau mempengaruhi sifat fokus dibanding kolom, maka digunakan angka kebalikannya. Bila membandingkan suatu elemen dalam matriks dengan elemen itu sendiri, perbandingan itu harus memberi bilangan 1, maka diagonal matriks diisi dengan bilangan-bilangan 1. Melaksanakan langkah 3,4, dan 5 untuk semua tingkat dan gugusan dalam hierarki.
(6)
Sintesis
berbagai
pertimbangan
untuk
memperoleh
suatu
taksiran
menyeluruh dari prioritas relatis. Nilai-nilai dalam setiap kolom dijumlahkan lalu membagi setiap entri dalam setiap kolom dengan jumlah pada kolom tersebut
untuk
memperoleh
matriks
yang
dinormalisasi,
yang
memungkinkan pembandingan antar elemen yang bermakna. Kemudian merata-ratakan sepanjang baris dengan menjumlahkan semua nilai dalam setiap baris dari matriks yang dinormalisasi dan membaginya dengan banyaknya entri dari setiap matriks untuk mendapat Vektor Prioritas (VP). Saaty
(1993)
mengatakan
bahwa
proses
pada
AHP
adalah
mengidentifikasi, memahami, dan menilai intreraksi-interaksi suatu sistem sebagai suatu keseluruhan. Dalam penilaian AHP dan pengisian matriks banding berpasangan menggunakan nilai skala banding berpasangan (Tabel 2). Pengisian matriks hanya dapat dilakukan untuk bagian di atas garis diagonal dari kiri ke kanan bawah.
55
Tabel 2. Nilai skala banding berpasangan Intensitas pentingnya 1 3 5 7
9
Definisi
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu lebih sedikit penting dari elemen yang lain Elemen yang satu sangat penting dari elemen yang lain Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lain
Dua elemen menyumbangkan sama besar pada sifat itu Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas elemen yang lain Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lain Satu elemen dengan kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek Bukti yang menyokong elemen yang satu atas elemen yang lainnya memiliki tingkat penegasan yang mungkin menguatkan.
Satu elemen mutlak lebih penting dari elemen yang lain
Nilai-nilai antara dua Kompromi diperlukan diantara dua pertimbangan yang pertimbangan berdekatan Jika untuk aktivitas I mendapat satu angka bila dibandingkan kebalikan dengan aktivitas j, maka j memiliki nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i. Sumber : Saaty (1993) 2,4,6,8
Prinsip penilaian pada AHP bila terdapat m kriteria yang dibandingkan, maka harus dihasilkan m matriks, setiap sel cij mempunyai karakteristik sedemikian sehingga ;
Atau
Jika C1, C2, …,Cn adalah elemen yang akan dibandingkan, dan n adalah jumlah elemen yang akan dibandingkan (Tabel 3). Tabel 3. Matriks elemen C1
C2
…..
Cn
C1
1
a12
….
A1n
C2
1/a12
1
…..
A2n
…..
…..
….
1
….
Cn
1/a1n
1/a2n
…..
1
56
Analisis selanjutnya adalah menghitung nilai-nilai yang telah dihitung dari setiap matriks untuk mendapatkan vektor prioritas (VP). Selain itu juga dilakukan sintesis berbagai pertimbangan dan mendapatkan nilai konsistensi. Tabel 4. Menjumlahkan nilai dalam setiap kolom, matriks normalisasi dan vektor prioritas C1
C2
…
Cn
Matriks Normalisasi
VP
C1
1
A12
…
A1n
1/J1
A12/J2
…
A1n/Jn
P1
C2
1/a12
1
…
A2n
A21/J1
1/J2
…
A2n/Jn
P2
…
…
…
1
….
…
…
…
….
…
Cn
1/a1n
1/a2n
…
1
An1/J1
An2/J2
…
1/Jn
pn
Σ
J1
J2
…
Jn
ΣVP
Penghitungan nilai eigen Maks (λ maks) dengan rumus :
Perhitungan indeks konsistensi (CI) dengan rumus :
Perhitungan Rasio Konsistensi (CR) adalah :
Keterangan: RI : CR
Indeks acak (random Indeks) dari matriks berordo 1 sampai 15 (Tabel Nilai Indeks Acak).
dikatakan
mempunyai
tingkat
konsistensi
yang
tinggi
dan
dapat
dipertanggungjawabkan bila bernilai lebih kecil atau sama dengan 0,1. Hal ini dikarenakan merupakan tolok ukur bagi konsistensi atau tidaknya suatu hasil perbandingan berpasangan dalam suatu matriks pendapat (Saaty ,1993).
57
Tabel 5 Nilai indeks acak (RI) matriks berordo 1 s/d 15 N RI 1 0,00 2 0,00 3 0,59 4 0,90 5 1,12 Sumber : Saaty (1993)
N 6 7 8 9 10
RI 1,24 1.32 1,41 1,45 1,49
N 11 12 13 14 15
RI 1,51 1,48 1,56 1,57 1,59
Saaty (1993) menyatakan bahwa AHP memberi suatu sarana yang berguna untuk menstruktur hierarki, baik untuk perencanaan yang diproyeksikan (deskriptif) maupun perencaan ideal (normative). Perhitungan dengan AHP ini menggunakan bantuan software expert choice 2000. Analisis Kelembagaan Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya. Untuk mengkaji keterkaitan/hubungan konsteksual antar elemen dan sub elemen dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya digunakan metode Interpretative Structural Modelling (ISM). Elemen sistem pengembangan mencakup pelaku/lembaga yang berperan dalam pengembangan, kebutuhan untuk pelaksanaan program, kendala program, tolak ukur untuk menilai setiap tujuan, dan aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penggunaan teknik ISM adalah sebagai berikut (Marimin, 2004): (1)
Identifikasi elemen: Elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Hal ini dapat diperoleh melalui penelitian, brainstroming, dan lain-lain.
(2)
Hubungan konstektual: Sebuah hubungan konstektual antar elemen dibangun, tergantung pada tujuan dari permodelan.
(3)
Pembuatan matriks interaksi tunggal terstruktur (structural self interaction matrix/SSIM). Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap elemen hubungan yang dituju. Empat simbol yang digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang ada antara dua elemen dari sistem yang dipertimbangkan adalah: V : hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, tidak sebaliknya. A : hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, tidak sebaliknya. X : hubungan interrelasi antara Ei dan Ej (dapat sebaliknya). O : menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan.
58
(4)
Pembuatan matriks reachability (reachability matrix/RM): Sebuah RM yang dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner. Aturan-aturan konversi berikut menerapkan: •
Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM, maka elemen Eij = 1 dan Eji = 0 dalam RM;
•
Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM, maka elemen Eij = 0 dan Eji = 1 dalam RM;
•
Jika hubungan Ei terhadapa Ej = O dalam SSIM, maka elemen Eij = 0 dan Eji = 0 dalam RM;
RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1, maka Eik = 1. (5)
Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM. Untuk tujuan ini, dua perangkat diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem: reachability set (Ri), adalah sebuah set dari seluruh elemen yang dapat dicapai dari elemen Ei, dan antecedent set (Ai), adalah sebuah set dari seluruh elemen dimana elemen Ei dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen, dimana Ri = Ri ∩ Ai, adalah elemen-elemen level 1. Pada iterasi-iterasi berikutnya elemen-elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam iterasiiterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi untuk level-level
berikutnya
dengan
menggunakan
aturan
yang
sama.
Selanjutnya, seluruh elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-level yang berbeda. (6)
Pembuatan matriks canonical: Pengelompokan elemen-lemen dalam level yang sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan digraph.
(7)
Pembuatan Digraph: adalah konsep yang berasal dari directional graph sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan langsung, dan level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical. digraph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir.
(8)
Pembangkitan Interpretative structural modelling: ISM dibangkitkan dengan memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh
59
sebab itu, ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemenelemen sistem dan alur hubungannya. 3.5
Pendekatan Sistem Pendekatan sistem merupakan suatu metodologi pemecahan masalah
yang diawali dengan identifikasi serangkaian kebutuhan dan menghasilkan sistem operasional yang efektif. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pendekatan sistem ini meliputi analisis kebutuhan, formulasi permasalahan dan identifikasi sistem. Pendekatan sistem dicirikan oleh adanya suatu metodologi perencanaan atau pengelolaan, bersifat multidisiplin terorganisir, adanya penggunaan model matematika, berfikir secara kuantitatif, optimasi dan dapat diaplikasikan dengan teknik simulasi serta dapat direkayasa dengan bantuan komputer. Pendekatan sistem menggunakan abstraksi keadaan nyata ataupun penyederhanaan sistem nyata untuk pengkajian suatu masalah. 3.5.1 Analisis kebutuhan Dalam sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya melibatkan berbagai pihak atau pelaku, baik yang secara langsung maupun yang tidak langsung terkait dalam sistem. Masing-masing pelaku atau lembaga
memiliki
kebutuhan.
Analisis
kebutuhan
masing-masing
pihak
merupakan permulaan pengkajian dalam sistem. Dalam tahap ini dicari secara selektif apa saja yang dibutuhkan dalam analisis sistem. Sistem integrasi pengembangan
perikanan
tangkap
dan
perikanan
budidaya
dalam
operasionalnya harus diupayakan dapat memenuhi kebutuhan pelaku yang terlibat secara optimal. Keterkaitan kebutuhan antar pelaku diantaranya menyangkut
permodalan,
teknologi,
pemasaran,
sarana
prasarana,
dan
kebijakan. Pada tahap analisis kebutuhan dapat ditentukan komponen-komponen atau pelaku yang berpengaruh dan berperan dalam sistem atau sub sistem. Komponen tersebut mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda sesuai dengan tujuannya masing-masing dan saling berintegrasi satu sama lain, serta berpengaruh terhadap keseluruhan sistem yang ada. Dari analisis kebutuhan, komponen-komponen yang berpengaruh adalah nelayan, pembudidaya ikan, investor, pengusaha, pemerintah, konsumen, lembaga keuangan (bank) dan lembaga pendidikan.
60
Para pelaku yang terlibat dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya adalah: (1) Nelayan Merupakan kelompok masyarakat yang mata pencaharian utamanya mencari ikan. Nelayan terdiri dari kelompok pemilik kapal atau perahu maupun nelayan pekerja yang tidak mempunyai perahu. Nelayan merupakan pelaku utama dalam perikanan tangkap dan akan terkena dampak langsung apabila ada permasalahan dalam sistem perikanan tangkap. (2) Pembudidaya ikan Merupakan kelompok masyarakat yang melakukan usaha pembudidayaan atau pembesaran ikan. (3) Investor Merupakan
kelompok
masyarakat
yang
melakukan
investasi
atau
penanaman modal untuk usaha perikanan budidaya (4) Pengusaha Merupakan kelompok masyarakat yang melakukan usaha perikanan tangkap dan perikanan budidaya. (5) Pemerintah; yaitu lembaga otoritas lokal (Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, Pemerintah Propinsi Lampung) maupun Pemerintah Pusat yang mempunyai tanggung jawab dalam pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. (6) Lembaga Keuangan atau Perbankan; merupakan institusi keuangan baik berupa bank atau lembaga keuangan lainnya yang dapat berperan sebagai pemberi dana untuk keperluan investasi. (7) Pembeli (konsumen ikan); adalah masyarakat yang melakukan transaksi pembelian ikan. Konsumen terbagi menjadi konsumen rumah tangga dan konsumen industri pengolahan ikan. Konsumen berperan penting dalam pengembangan produksi ikan. Peningkatan jumlah konsumen akan memacu peningkatan produksi ikan. (8) Perguruan tinggi atau lembaga pendidikan (riset), sebagai lembaga yang melakukan kegiatan penelitian. Pada tahap analisis kebutuhan dapat ditentukan pelaku-pelaku atau elemen-elemen yang berpengaruh dan berperan dalam sistem ataupun sub sistem. Elemen tersebut mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda sesuai dengan tujuannya masing-masing dan saling berinteraksi satu sama lain serta
61
berpengaruh terhadap keseluruhan sistem yang ada (Eriyatno, 2003 dan Marimin, 2004). Pelaku yang terlibat dalam sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya mencakup nelayan, pembudidaya ikan, konsumen, lembaga keuangan atau perbankan, instansi pemerintah terutama pihak perikanan dan instansi terkait lainnya di daerah dan di pusat. Analisis kebutuhan dari masing-masing elemen tersebut adalah sebagai berikut: (1)
(2)
(3)
Nelayan
Produktivitas nelayan meningkat.
Tersedianya sarana dan prasarana penangkapan.
Tersedianya modal berusaha.
Harga jual ikan layak dan stabil.
Permintaan terhadap hasil perikanan kontinyu.
Penguasaan teknologi yang baik.
Kesejahteraan keluarga meningkat.
Pembudidaya ikan
Tersedianya sarana dan prasarana budidaya.
Tersedianya modal berusaha.
Harga jual ikan tinggi atau wajar.
Permintaan terhadap hasil budidaya kontinyu.
Pemasaran terjamin.
Produktivitas meningkat.
Kesejahteraan meningkat.
Pengusaha
Pasokan bahan baku terjamin, harga rendah dan mutu baik.
Pemasaran produk terjamin dengan harga menguntungkan.
Tersedianya modal usaha dengan persyaratan peminjaman yang saling menguntungkan.
(4)
Pedagang atau Bakul
Mutu produk sesuai standar atau selera konsumen dengan harga rendah.
Biaya produksi dan biaya transaksi rendah.
Harga jual menguntungkan dan permintaan konsumen tinggi.
Pasokan produk terjamin dari segi jumlah maupun waktu.
62
(5)
(6)
Konsumen
Mutu produk sesuai selera konsumen dengan harga terendah.
Diversifikasi produk.
Lembaga Pembiayaan usaha
Manajemen dan proposal agroindustri hasil laut yang layak.
Resiko penyaluran kredit kecil dan pengembalian kredit yang terjamin.
Bunga kredit atau bagi hasil usaha menguntungkan dan jumlah nasabah meningkat.
(7)
Instansi Pemerintah
Bertambahnya lapangan kerja dan kesempatan berusaha.
Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan pengusaha perikanan.
(8)
(9)
Tidak terjadinya pencemaran lingkungan.
Meningkatkan kontribusi sektor kelautan dan perikanan bagi PAD.
Investor
Keuntungan tinggi.
Jenis komoditas yang ekonomis tinggi.
Tersedianya modal yang memadai untuk kegiatan perikanan tangkap.
Tersedianya modal yang cukup untuk kegiatan budidaya.
Lembaga Pendidikan
Tingkat suku bunga yang representatif dan pembiayaan yang menguntungkan.
Peningkatan jumlah nasabah.
Pengembalian kredit lancar.
Resiko penyaluran kredit kecil.
3.5.2 Formulasi permasalahan Permasalahan merupakan kesenjangan antara tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan analisis kebutuhan dengan kemampuan pemenuhan akibat adanya keterbatasan sumberdaya. Untuk melakukan pemecahan masalah maka berbagai kesenjangan yang ada perlu diformulasikan sehingga mencapai taraf defenitif. Keberhasilan dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya
memerlukan
perencanaan
yang
baik,
pengalaman,
pengetahuan serta intuisi yang tepat dari pengambil keputusan. Sinergi
63
kepentingan antar pelaku dalam sistem diharapkan akan mengoptimalkan pencapaian tujuan dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, yaitu pemanfaatan secara optimal sumber daya untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi para pelaku, seperti peningkatan daya saing, keuntungan usaha, pendapatan daerah, lapangan kerja, dan konsumsi ikan. Permasalahan yang paling mendasar dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya adalah menjaga kontinuitas bahan baku, dalam hal ini jenis, volume, dan mutu ikan hasil tangkapan dan hasil budidaya. Volume hasil tangkapan berfluktuatif dengan mutu yang juga tidak konsisten, sementara budidaya selalu menginginkan kapasitas produksinya konstan dengan mutu yang prima, sehingga diperoleh harga jual yang tinggi. Kurangnya kemampuan SDM dalam mengadopsi teknologi budidaya ikan menyebabkan produk mempunyai nilai tambah relatif kecil dengan pangsa pasar yang relatif terbatas di pasar domestik. Sementara itu, kemampuan penanganan produk sesuai dengan standar mutu internasional juga masih rendah. Hal ini sering memperlemah daya saing produk di pasar internasional. Keterbatasan mutu SDM juga memperlemah proses manajerial untuk mengelola usaha secara profesional, sehingga memperlemah kemampuan untuk mengakses modal untuk pengembangan usaha. Hal lain yan terkait adalah lemahnya kemampuan mempresentasikan potensi bisnis perikanan budidaya di hadapan investor atau pemodal untuk menghilangkan persepsi bahwa bisnis perikanan budidaya beresiko tinggi. Kurangnya dukungan yang memadai dalam penyediaan infrastruktur untuk integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, salah satu penyebabnya adalah kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pelaku, sehingga akan memperlemah struktur perikanan budidaya. 3.5.3 Identifikasi sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataanpernyataan kebutuhan komponen aktor atau pelaku dalam sistem dengan permasalahan-permasalahan yang telah diformulasikan. Identifikasi sistem dapat digambarkan dalam bentuk diagram sebab akibat dan diagram input-output. Dalam diagram sebab akibat digambarkan hubungan antar komponen sistem yang terkait (Gambar 10). Melalui diagram sebab akibat sebagai suatu tahapan
64
dala konsepsualisasi sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya dapat ditunjukkan prediksi dan hipotesis tentang dinamika dan perilaku sistem.
Gambar 10.
Diagram lingkar sebab akibat sistem pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.
Tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya dapat dicapai dengan meningkatkan kualitas SDM, permodalan, teknologi, sarana dan prasarana dan potensi perikanan budidaya yang berkesinambungan. Sebaliknya, berkembangnya perikanan budidaya laut akan memberi manfaat balik untuk pemenuhan kebutuhan para pelaku, baik pelaku usaha budidaya laut, maupun pemerintah. Kendala-kendala yang menyertai dalam proses tersebut harus dipecah secara menyeluruh.
65
Alternatif pemecahan masalah dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya diantaranya wilayah mampu mengidentifikasi secara baik potensi yang dimiliki dan mampu membuat prioritas dalam pencapaian tujuan. Penetapan sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya sebagai suatu sistem tertutup memberikan fasilitas adanya mekanisme pengendalian atau kontrol terhadap timbulnya suatu output sistem yang tidak dikehendaki. Visualisasi diagram input-output sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya disajikan pada Gambar 11.
SISTEM INTEGRASI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DAN PERIKANAN BUDIDAYA
MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DAN PERIKANAN BUDIDAYA
Gambar 11.
Diagram input-output sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
66
Diagram input-output menggambarkan masukan (input) dan luaran (output) dari model yang dikembangkan. Input terdiri dari dua golongan, yaitu yang berasal dari luar sistem (eksogen) atau input eksternal dan overt input yang berasal dari dalam sistem (endogen) atau input internal. Input eksternal merupakan masukan yang mempengaruhi sistem, akan tetapi tidak dipengaruhi oleh sistem. Dalam sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya
yang
termasuk
jenis
input
ini
adalah
globalisasi
perekonomian, populasi penduduk, nilai tukar uang, dan otonomi daerah. Input internal yang berasal dari dalam sistem ini merupakan peubah yang sangat perlu bagi sistem untuk melaksanakan fungsi yang dikehendaki. Input internal yang berasal dari dalam sistem ini terdiri dari input yang terkendali dan input yang tidak terkendali. Input internal tak terkendali dalam sistem ini adalah potensi perikanan tangkap, potensi perikanan budidaya, fluktuasi harga, dan permintaan pasar. Input yang terkendali dapat bervariasi selama pengoperasian sistem untuk menghasilkan kinerja sistem yang dikehendaki atau untuk menghasilkan output yang dikehendaki. Peran input ini sangat penting dalam mengubah kinerja sistem selama pengoperasian. Termasuk ke dalam jenis input ini adalah wilayah budidaya laut, teknologi penangkapan ikan, teknologi budidaya laut, modal usaha, serta upah dan nelayan. Output terdiri dari dua, yaitu output yang dikehendaki dan output tak dikehendaki. Output yang dikehendaki merupakan respon dari sistem terhadap kebutuhan yang telah ditetapkan secara spesifik dalam analisis kebutuhan. Dan output yang tidak dikehendaki yang merupakan hasil sampingan atau dampak yang ditimbulkan bersama-sama dengan output yang dikehendaki. Output sistem yang dikehendaki adalah peningkatan volume produksi, peningkatan volume ekspor, peningkatan PAD dan PDB, peningkatan konsumsi ikan, peningkatan kesempatan kerja, peningkatan jumlah unit usaha, meratanya distribusi pendapatan masyarakat, dan berkembangnya lembaga pendukung. Sedangkan output yang tidak dikehendaki merupakan kebalikannya. Manajemen pengendali merupakan faktor pengendalian terhadap pengoperasian sistem
dalam
menghasilkan
keluaran
yang
dikehendaki
dan
berusaha
meminimumkan output tidak dikehendaki dengan input terkendali. 3.6
Konfigurasi Model Sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya dirancang dalam suatu program komputer yang dinamakan CAP-
67
AQUADEV.
Paket
program
dirancang
dengan
menggunakan
bahasa
pemograman Visual Basic dan bahasa C yang terdiri dari tiga sistem utama, yaitu sistem manajemen dialog, sistem manajemen basis data, dan sistem manajemen basis model. Konfigurasi model sistem penunjang keputusan (SPK) disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12.
Konfigurasi model sistem pengambilan keputusan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
3.6.1 Sistem manajemen dialog Sistem manajemen dialog merupakan rancangan pengaturan interaksi antara model (program komputer) dengan pengguna (user) yang memuat input dari pengguna berupa parameter, data dari pilihan skenario dan keluaran yang diberikan dalam tabel atau pernyataan yang mudah dipahami. Dialog dengan pengguna dipandu dengan adanya pilihan atau pertanyaanpertanyaan yang hanya memerlukan jawaban-jawaban singkat. Input dari pengguna dapat berupa angka, pertanyaan-pertanyaan, atau berupa skenario. Output yang diberikan oleh program komputer berupa keterangan, tabel, atau grafik yang mudah dipahami.
68
3.6.2 Sistem manajemen basis data Dalam suatu analisis, data merupakan komponen yang mutlak ada. Oleh karena itu, data harus dikelola dan dikendalikan dalam suatu sistem manajemen basis data. Pemeliharaan data ini dilakukan melalui fasilitas menu data, menampilkan, menghapus dan mengganti data. Dalam konfigurasi paket program yang akan dikembangkan dalam sistem diantaranya adalah data komoditas, data alat tangkap, data struktur pembiayaan, data strategi dan data kelembagaan. 3.6.3 Sistem manajemen basis model Sistem manajemen basis model terdiri dari tujuh sub model utama, yaitu sub model potensi, sub model kesesuaian lahan, sub model pemilihan alat tangkap, sub model komoditas, sub model kelayakan, sub model strategi, dan sub model kelembagaan. Masing-masing sub model tersebut sebagai sub-sub sistem yang pada akhirnya membentuk sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Sistem manajemen basis model umumnya menggunakan teknik-teknik pada Ilmu Manajemen (Management Science) yang definisinya adalah aplikasi dari pendekatan ilmiah untuk mendapatkan solusi pada persoalan manajemen dalam rangka membantu para manajer untuk merumuskan keputusan yang lebih baik (Tailor dalam Eriyatno dan Fadjar, 2007)
3.6.4 Sistem pengelolaan terpusat Sistem pengelolaan terpusat adalah koordinasi dan pengendalian dari operasi perangkat linak dan sistem pengambilan keputusan secara menyeluruh. Sistem ini menerima masukan dari ketiga sub-sistem lainnya dalam bentuk baku serta mengarahkan keluaran sub-sistem yang dikehendaki dalam bentuk baku pula. 3.7. Model CAP-AQUADEV Integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Teluk Lampung direkayasa melalui model CAP-AQUADEV ditujukan untuk membantu para pengambil keputusan baik di lingkungan pemerintah daerah kabupaten atau kota maupun para praktisi usaha yang bergerak dalam perikanan tangkap dan perikanan budidaya serta stakeholder lainnya. Penggunaan model CAP-AQUADEV didisain secara fleksibel, artinya model CAP-AQUADEV tidak
69
hanya dapat digunakan oleh Pemda Kabupaten atau Propinsi Lampung, tetapi dapat juga digunakan di daerah lain sesuai dengan permasalahan yang ingin dipecahkan. Hasil verifikasi model CAP-AQUADEV di Kabupaten Lampung Selatan disajikan berurutan, yaitu: (1) sub model potensi SDI, (2) sub model kesesuaian lahan, (3) sub model pemilihan teknologi penangkapan ikan, (4) sub model pemilihan komoditas potensial, (5) sub model kelayakan, (6) sub model strategi, dan (7) sub model kelembagaan.
4 4.1
HASIL
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1 Letak geografis dan topografis Secara geografis Kabupaten Lampung Selatan terletak pada posisi antara 0
105 – 105045’ Bujur Timur dan 5015’ – 60 Lintang Selatan. Batas-batas wilayah Kabupaten Lampung Selatan adalah:2
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Timur.
Sebelah selatan berbatasan dengan Selat Sunda.
Sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa.
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tanggamus. Wilayah laut dan pesisir Kabupaten Lampung Selatan meliputi sebagian
besar dari Teluk Lampung (3.865 km2) dengan panjang garis pantai 140 km di Teluk Lampung dan 45 km di Pesisir Timur sampai muara Way Sekampung sebagai batas wilayah dengan Kabupaten Lampung Timur. Tidak kurang dari 51 pulau kecil terdapat di Kabupaten Lampung Selatan, baik berpenghuni maupun tidak, berukuran kecil maupun besar yakni mulai dari 1 ha hingga 6.000 ha (Wiryawan et al, 2002) Pesisir Kabupaten Lampung Selatan membentang dari muara Way Sekampung di Kecamatan Sragi hingga Desa Bawang di Kecamatan Punduh Pidada. Pesisir Kabupaten Lampung Selatan terletak di bagian utara dari Teluk Lampung, sehingga ekosistem di daerah ini dipengaruhi oleh laut dan gunung. Keuntungan yang didapat dengan lokasi seperti ini adalah di daerah pantai terdapat sumber-sumber air tanah atau akuifer produktivitas tinggi sehingga keberadaannya harus dijaga agar tetap dapat memberikan suplai yang cukup untuk aktivitas masyarakat dan industri di daerah tersebut. Pesisir dan laut Kabupaten Lampung Selatan termasuk pulau-pulau kecil yang menyebar mempunyai potensi yang sangat beraneka ragam mulai dari pasir besi, ikan laut, tambak udang, mineral, ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, flora fauna lainnya serta pariwisata. Dengan batimetrinya yang relatif dangkal, daerah ini mempunyai karakteristik yang sangat berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya, kemudian antara satu sel dengan sel lainnya. Dengan mengetahui potensi sumberdaya yang menonjol di daerah ini dan selanjutnya isu-isu yang timbul maka dapat ditentukan arahan-arahan
71
pengembangan
yang
bisa
dilakukan
dan
ditentukan
sebagai
acuan
pegembangannya ke depan. Pantai Kabupaten Lampung Selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan Teluk
Lampung.
Pantai
Timur
yang
hampir
berorientasi
utara-selatan
mempunyai tipologi pantai berupa alluvium dengan endapan marin dan dengan relief yang datar dimana lerengnya bervariasi antara 0-3% dan elevasi 1 – 10 m. Pantai yang datar ini hanya terdapat pada zona kurang dari 3 km. Pantai yang terletak di Teluk Lampung terdiri dari dua bagian, yakni antara Tanjung Tua (ujung paling selatan) ke arah barat laut sampai dengan Bandar Lampung. Pantai yang satu lagi adalah dari Bandar Lampung ke Selat Legundi. Menurut Wiryawan et al (2002), bahwa tipologi pantai antara Tanjung Tua dan Kalianda umumnya berupa volkanik dengan lereng bawah volkan cukup tertoreh, tuf dan lava intermedier. Reliefnya berupa pegunungan volkan dan bergunung dengan lereng 8-15%.
Antara Kalianda dan Bandar Lampung,
sebagian besar tipologi pantai berupa alluvium dengan endapan marin dimana reliefnya datar dengan lereng 0-3% dan elevasi 1-10 m. Pada pantai antara Bandar Lampung dengan Selat Legundi, pantainya terjal dan berlekak-lekuk dengan tipologi pantai perbukitan
sangat tertoreh, tuf dan lava intermedier,
lereng curam sampai sangat curam antara 30-75%. Diantara pantai yang terjal ini, terdapat areal-areal yang sempit berupa alluvium dengan endapan marin yang datar dengan lereng 0-3%. Dasar perairan pesisir Kabupaten Lampung Selatan yang terletak di Pantai Timur Lampung yang mempunyai lereng yang landai dan dangkal. Pantai yang terletak di Teluk Lampung mempunyai lereng dasar perairan yang relatif curam, kecuali disekitar pantai Bandar Lampung dimana lereng dasar perairannya lebih landai. Garis kedalaman 20 m terdapat pada jarak antara 100-500 m dari garis pantai. Tipe pasang surut di perairan Teluk Lampung Selatan adalah tipe pasut campuran dominasi pasut tunggal (Wyrtki, 1961). Berdasarkan peramalan pasut yang dibuat oleh Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL tahun 2000, indek F di Panjang adalah 1,7. Hal ini berarti tipe pasutnya adalah campuran dominasi pasut tunggal. Kisaran pasutnya bervariasi antara 0,4 m (saat pasang perbani) sampai dengan 1,40 meter (saat pasang purnama). Hasil pengukuran di Pasut selama 3 hari di Kuala Sekampung memperlihatkan kisaran Pasut rata-rata adalah 1,47 m. Di pantai Bandar Agung dan Berundung kisaran pasut rata-rata
72
145 cm, sedangkan di Pantai Pematang Pasir kisaran pasut 140 cm. Dengan demikian kisaran pasut rata-rata adalah 144,25 cm. Kekuatan arus di perairan laut bervariasi antara 4,5 - 9,7 cm/detik atau ratarata 6,05 cm/detik. Arah arus merambat ke selatan atau barat daya dan menyusur pantai. Ketinggian gelombang perairan di sepanjang pantai timur hingga Tulang Bawang relatif kecil, yaitu 10-20 cm dengan gelombang rata-rata 1 gelombang/detik. Suhu perairan di pantai berkisar antara 280 -29,30C atau rata-rata 28,60C. Sedangkan salinitas perairan berkisar antara 33-33,5‰ atau rata-rata 33,12‰. Wilayah Lampung Selatan yang pesisirnya merupakan habitat alami terumbu karang meliputi perairan Teluk Lampung dan Selat Sunda. Berdasarkan Wiryawan et al (2002) diketahui bahwa kondisi terumbu karang telah mengalami gangguan akibat penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak dan bahan kimia. Hal ini terlihat dari proporsi karang mati di perairan Rangai telah mencapai 30.4% di kedalaman 10 meter. Namun demikian proporsi karang hidup masih di atas 50% dan kondisi ini hampir sama untuk wilayah Padang Cermin, Kalianda, Way Muli dan Bakauheni. Terumbu karang di Teluk Lampung umumnya dari jenis karang tepi dengan bentangan berkisar 20 m sampai 120 m dari bibir pantai sampai kedalaman 1720 m. Kebanyakan terumbu karang di perairan laut Lampung Selatan adalah jenis fringing reefs, dengan luasan relatif 20-60 m. Pertumbuhan karang berhenti pada kedalaman 10-17 m. Sejumlah terumbu karang tipe petch reefs tumbuh dengan baik di sisi barat Teluk Lampung. Pendataan oleh CRMP (1998), terdapat sekitar 213 jenis karang keras yang berada di Selat Sunda (Kepulauan Krakatau, Teluk Lampung, Kalianda), sekalipun keanekaragaman jenis rata-rata per lokasi agak rendah. Ekosistem mangrove dibentuk oleh komunitas hutan bakau, terdapat di pesisir dekat muara sungai dan banyak dipengaruhi oleh pasang surut, air sungai dan pantai. Tumbuhan mangrove di Kabupaten Lampung Selatan sebagian besar didominasi oleh Api-api (Avicenia alba) dan Excoecaria agallocha. Selain terdapat mangrove sejati juga terdapat mangrove semu yaitu dari jenis Avicenia marina dan Nypa fruticans. Konsesi Avicenia marina tingkat semai banyak terdapat di habitat kurang mantap seperti pantai timur yang telah banyak dikonversi menjadi tambak udang. Di lokasi Way Sekampung-Bakauheni areal hutan mangrove 840 ha, yang bervegetasi 140 ha. Sebagian areal merupakan
73
hutan pendidikan berdasarkan Nota Kesepahaman antara Kepala Kanwil Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Lampung dengan Rektor Universitas Lampung. Di Desa Durian Kecamatan Padang Cermin, komunitas mangrove terdiri dari beberapa spesies (multispesies) yang didominasi oleh spesies Rhizophora mucronata. INP berkisar antara 236 hingga 249 dengan kerapatan berkisar antara 188 ind/ha hingga 530 ind/ha. Tingkat pertumbuhan pohon di kawasan ini adalah sapihan, tihang dan pohon. Potensi tihang dan pohon masing-masing bernilai 212 dan 278 m3/ha. Ketebalan mangrove antara 1 dan 1,5 km. Di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin tipe vegetasi konsesi dengan jenis Rhizhophora mucronata sebagai jenis yang dominan dan memiliki INP sebesar 300. Kerapatan individu di daerah ini sebesar 900 ind/ha, dan dengan potensi
tihang sebesar 754,7 m3/ha. Komunitas mangrove memiliki
ketebalan sekitar 4 km. Pada umumnya hamparan tambak berbatasan langsung dengan laut, dan hanya di beberapa lokasi kecil (100x50 m) ditemui semaian mangrove jenis bakau (Rhizhophora mucronata). Mangrove jenis Api-api (Avicenia marina) yang tumbuh secara alami pada lahan hasil sedimentasi. Wilayah laut Lampung Selatan yang memiliki persyaratan cukup baik bagi pertumbuhan vegetasi lamun adalah di wilayah Padang Cermin, dimana kondisi perairannya yang relatif bersih, dasar berpasir dan dangkal sehingga memiliki penetrasi cahaya matahari yang baik sepanjang tahun. Jenis padang lamun yang terbentuk adalah komunitas tunggal yang ditempati oleh jenis Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis dan Cymodocea serrulata. Ekosistem padang lamun di Padang Cermin merupakan wilayah penghasil udang rebon dan secara alami telah berperan penting untuk perkembangbiakan berbagai biota laut. Penyebaran ekosistem padang lamun di Padang Cermin merupakan asosiasi dari formasi ekosistem mangrove, dengan terumbu karang. Indikasi ini telah membentuk rangkaian sistem ekologi yang telah mendukung keberadaan dan kelangsungan berbagai produk perikanan, terutama perikanan tangkap.
74
4.1.2 Demografi Jumlah penduduk Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2005 adalah 1.142.435 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 558.012 jiwa dan perempuan 557.423 jiwa (Lampung Selatan dalam angka, 2006). Pertumbuhan penduduk sejak tahun 2000 sampai tahun 2005 menunjukkan peningkatan sebesar 43.641 jiwa dengan rata-rata pertumbuhan pertahun 0,99%. Proyeksi penduduk Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan angka pertumbuhan rata-rata tersebut, pada tahun 2007 diperkirakan sebanyak 1.188.352 jiwa atau 373,6 jiwa/km2. Kecamatan Natar merupakan kecamatan dengan penduduk paling padat dengan kepadatan 750,54 jiwa/km2. Sedangkan Kecamatan Punduh Pidada merupakan kecamatan dengan kepadatan yang paling rendah yaitu 107,70 jiwa/km2 (Tabel 6). Tabel 6. Kondisi kependudukan Kabupaten Lampung Selatan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Kecamatan Padang Cermin Punduh Pidada Kedondong Way Lima Gedung Tataan Negeri Katon Tegineneng Natar Jati Agung Tanjung bintang Katibung Merbau mataram Sodomulyo Candipuro Kalianda Rajabasa Palas Seragi Penengahan Ketapang Jumlah
Jumlah penduduk (jiwa) Laki-laki Perempuan Total 37.703 34.797 72.500 12.644 11.501 24.145 26.286 25.069 51.355 13.815 13.287 27.102 36.875 35.972 72.847 27.689 28.496 54.185 23.229 22.152 45.381 70.557 68.836 139.393 42.450 39.119 81.569 47.682 42.898 90.580 36.234 34.373 70.607 21.439 20.455 41.894 34.114 33.645 67.759 23.224 22.095 45.319 34.081 32.899 66.980 10.716 10.013 20.729 24.234 23.220 47.454 14.646 13.877 28.523 26.854 26.505 53.359 20.540 20.214 40.754 585.012 557.423 1.142.435
Sumber : Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007
Kepadatan jiwa/km2 228,25 107,70 391,69 271,48 750,54 354,87 300,02 652,07 495,95 388,69 317,61 367,68 420,92 535,12 414,99 206,48 276,88 348,8 280,67 375,27 359,17
75
Jumlah penduduk dirinci menurut kelompok umur di kecamatan Pesisir, dianalisa
berdasarkan
pendekatan
perhitungan
dengan
membandingkan
prosentase kelompok umur penduduk wilayah kabupaten, terhadap masingmasing jumlah penduduk kecamatan pesisir, ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Banyaknya penduduk usia sekolah di Kecamatan Pesisir Kab. Lampung Selatan tahun 2007 No.
Kegiatan
Umur (Th) 0-4
5-9
10-14
15-19
1
Penengahan
6.018
5.970
6.435
6.130
2.
Rajabasa
2.338
2.319
2.449
2.381
3.
Kalianda
7.555
7.495
8.077
7.696
4.
Padang Cermin
8.178
8.112
8.743
8.330
5.
Punduh pidada
2.723
2.701
2.911
2.774
Sumber : Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007
4.1.3 Kondisi perikanan Kabupaten Lampung Selatan mempunyai SDI yang cukup besar sehingga dapat menjadi modal dasar usaha untuk meningkatkan produksi perikanan. Sumberdaya ikan tersebut terdapat di Perairan Timur Lampung Selatan, Teluk Lampung, perairan payau dan tawar yang menyebar hampir di semua kecamatan yang ada di Kabupaten Lampung Selatan. Berdasarkan evaluasi data pada Dinas Perikanan dan Kelautan, diperkirakan Potensi Perikanan Tangkap yang dapat dieksploitasi hingga batas potensi lestari sebesar 96.000 ton. Bila dibandingkan dengan tingkat pemanfaatannya, maka data tersebut di atas masih menunjukkan bahwa potensi SDI masih memberikan peluang besar untuk diusahakan. Selain potensi sumberdaya alam, Kabupaten Lampung Selatan didukung pula oleh beberapa lembaga yang konsern di bidang kelautan maupun perikanan antara lain lembaga pendidikan dan pengembangan seperti BBL, UNILA, dan SMK. Disamping itu juga memiliki 1 unit PPI (Pusat Pendaratan Ikan), 6 unit Tempat Pelelangan Ikan (TPI), 1 unit BBI Hias (Balai Benih Ikan Hias) Natar dan 1 unit BBI Palas, serta juga didukung oleh adanya UPR.
76
Kegiatan perikanan di Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari kegiatan penangkapan di laut, penangkapan di perairan umum, budidaya laut, budidaya tambak atau air payau, budidaya kolam dan budidaya sawah dengan volume produksi pada tahun 2007 adalah 27.025,05 ton. Kegiatan penangkapan ikan di laut memberikan kontribusi terbesar, yaitu sebesar 23.202,50 ton atau 85,85% dari keseluruhan produksi perikanan. Kemudian diikuti oleh kegiatan budidaya air payau/tambak dan budidaya kolam masing-masing sebesar 2.788 ton dan 805,20 ton (Tabel 8). Hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari berbagai jenis ikan konsumsi, udang, cumi-cumi, kerang-kerangan, ikan hias dan hewan lunak lainnya. Ikan konsumsi yang dominan tertangkap yaitu teri, layang, tongkol, kembung, selar, peperek, cakalang, kue dan belanak. Selain itu, jenis ikan konsumsi dalam persentase kecil yaitu manyung, kakap, cucut, kuro, senangin, tenggiri, tuna, udang windu, udang putih, ubur-ubur dan rajungan. Tabel 8. Gambaran potensi, pemanfaatan dan produksi perikanan dari berbagai kegiatan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2007 No
Kegiatan
Potensi (ha)
1
Penangkapan di Laut
MSY=97.485 Ton
Pemanfaatan (ha) 24.856,25 Ton
2
Penangkapan Perairan Umum Budidaya Laut
di
3.460
0,43
74,00
4.750
370,00
144,00
Air
4.625
4.050,00
2.788,00
5
Budidaya Tambak/Payau Budidaya Kolam
1.550
1.008,00
805,20
6
Budidaya Sawah
24.000
175,00
11,35
3 4
Jumlah
Produksi (Ton) 23.202,50
27.025,05
Sumber: Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka ,2007 Sedangkan
perkembangan
dari
pemanfaatan
potensi
perikanan
di
Kabupaten Lampung Selatan, dapat di lihat pada Tabel 9, dan perkembangan produksi perikanan disajikan pada Tabel 10.
77
Tabel 9. Perkembangan pemanfaatan potensi perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2006-2007 No.
Kegiatan perikanan
1
Perikanan tangkap
2.
Budidaya laut
3.
Tambak
4.
Perairan umum
5.
Budidaya (kolam) Mina padi
6.
air
tawar
Pemanfaatan (Ton)
Naik/Turun
2006
2007
Selisih
(%)
379
370
-9
2,37
2.781
4.050
1.269
45,63
50
-
-
-
991
1008
17
70
991
175
-816
82,34
Sumber: Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007
Tabel 10. Perkembangan produksi perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2006-2007 Produksi (Ton) No.
Kegiatan perikanan
1
Perikanan tangkap
2.
Budidaya laut
3.
Tambak
4.
Perairan umum
5.
Budidaya (kolam) Mina padi
6.
air
tawar
Naik/Turun
2006
2007
Selisih
(%)
22.499,92
23.202,50
702,58
3,12
28,00
144,00
116,00
414,28
2.884,00
2.788,00
-96,00
3,33
72,40
74,00
1,60
2,21
752,42
602,20
-147.22
19,56
11,35
752,42
741,07
6500,29
Sumber : Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007 Perikanan budidaya di Kabupaten Lampung Selatan didominasi oleh budidaya air payau atau tambak udang. Tambak udang yang tersebar di Kecamatan Padang Cermin, Punduh Pidada, Kalianda, Rajabasa, Penengahan, Palas dan Sidomulyo, berupa Tambak Inti Rakyat dan Pertambakan Rakyat. Sedangkan benih udang untuk kegiatan tambak hampir seluruhnya diperoleh dari pembenihan udang di Kalianda dan Rajabasa yang berjumlah ± 100 unit pembenihan (hatchery). Pada tahun 1999, produksi backyard hatchery adalah sebesar 720.500.000 ekor, meningkat 4,27% dari tahun 1998. produksi benur tersebut belum termasuk produksi hasil PT. Central Pertiwi Bahari dan PT. Biru
78
Laut Khatulistiwa
yang menghasilkan
benur rata-rata tahunan sebesar
3.200.000.000 ekor (Dinas Perikanan Kabupaten Lampung Selatan, 1999). Banyaknya lahan hutan mangrove yang dikonversi dan sistem pembuangan tambak yang tidak optimal, merupakan permasalahan lingkungan utama dalam usaha pertambakan di Lampung Selatan. Selain usaha budidaya tambak, terdapat juga usaha budidaya mutiara di Teluk Lampung (lebih dari 5.000 ha) yang diusahakan oleh dua perusahaan besar, yaitu PT. Kyoko Shinju dengan produksi kerang mutiara masing-masing 140.000 dan 400.000 buah per tahun. Lokasi potensi budidaya laut di Lampung Selatan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Lokasi potensi budidaya laut di Lampung Selatan No. Lokasi 1. Kalianda (Teluk Betung, Pulau Sebuku, Pulau Sebesi)
2.
Padang Cermin (P. Legundi, P. Seuncal, Tanjung Putus, Sidodadi, Tembiki, Bawang, Puhawang, Kelagian).
Potensi Area (ha) 739,5 200,0 50,0 50,0 50,0 3.260,5 250,0 50,0 50,0 50,0
Komoditas Mutiara Rumput laut Kakap Kerapu Beronang Mutiara Rumput laut Kakap Kerapu Beronang
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung ,2007
Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RPT) yang berdomisili di Kabupaten Lampung Selatan tahun 1999 mencapai 14.557 RTP (Tabel 12). Jumlah ini terdiri dari RTP perikanan tangkap (3.642 RTP), RTP budidaya laut (442 RTP), RTP budidaya air payau atau tambak (3.427 RTP), RTP pembenihan benur (162 RTP), RTP budidaya air tawar atau kolam (2.002 RTP), RTP mina padi (108 RTP), RTP pembenihan air tawar (121 RTP),RTP pengolahan (527 RTP) dan RTP pemanenan (2.018 RTP). Dibandingkan dengan tahun sebelumnya (1998), jumlah RTP perikanan di Kabupaten Lampung Selatan mengalami peningkatan pada tiap jenis usaha perikanan. Jumlah tenaga kerja yang terserap dalam perikanan tangkap tahun 1999 sebanyak 6.605 tenaga kerja, dan merupakan jumlah tenaga kerja yang terbesar dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja pada kegiatan perikanan lainnya.
79
Tabel 12. Perkembangan RTP perikanan dan penyerapan tenaga perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 1998 – 1999 No.
RTP
Kegiatan
kerja
Tenaga Kerja
1998
1999
%
1998
1999
%
3.606
3.642
1,00
6.530
6.605
1,15
2.
Perikanan Tangkap Budidaya laut
419
442
5,49
1.260
1.314
4,29
3.
Tambak
3.279
3.427
4,51
3.984
4.031
1,18
4.
Perairan umum
70
74
5,71
1.438
1.498
4,17
5.
Budidaya air tawar
1.907
2.002
4,98
2.430
2.762
13,17
6.
Mina padi
96
108
12,50
826
864
4,60
1.
Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Lampung Selatan, 2000
4.2
Perikanan Tangkap Perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi yang penting di
Kabupaten Lampung Selatan karena kontribusinya yang cukup besar terhadap PDRB. Di Teluk Lampung pada tahun 1999 produksi perikanan tangkap telah mencapai 24.856,25 ton. Kegiatan perikanan tangkap menghasilkan berbagai jenis ikan konsumsi, udang, cumi, kerang-kerangan, ikan hias dan hewan lunak lainnya. Ikan-ikan pelagis besar, seperti tongkol (Euthynnus spp), madidihang (Thunnus albacore) dan cakalang (Katsuwonus pelamis) terdapat di lapisan atas permukaan agak jauh dari pantai. Sedangkan ikan pelagis kecil, seperti tembang (Sardinella fimbriata) dan kembung (Rastreflinger spp) ditemukan bergerombol di perairan dekat pantai. Ikan-ikan demersal, seperti manyung (Tachyurus spp), pari (Trigonidae), gulamah (Scaencae), serta berbagai jenis udang (Peneaus spp) yang banyak tertangkap di dasar laut yang relatif dangkal dan berlumpur. Ikanikan hias dan ikan-ikan karang, seperti kerapu (Epinephelus spp) lebih sering ditemukan di kawasan terumbu karang. Cumi-cumi (Loligo spp) dan teri (Stolephorus spp) biasa tertangkap oleh nelayan bagan karena senang berkumpul di sekitar cahaya yang dinyalakan pada malam hari. Sedangkan sumberdaya lain, seperti rumput laut, biasanya dikumpulkan oleh masyarakat dengan tangan langsung di pantai.
80
4.2.1 Produksi perikanan Perkembangan produksi ikan di Kabupaten Lampung Selatan selama periode 2002-2006 disajikan pada Gambar 13.
30000
Jumlah (Ton)
25000 20000 15000 10000 5000 0 2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
Gambar 13 Perkembangan produksi ikan Kabupaten Lampung Selatan selama kurun waktu 2002-2006. Berdasarkan data produksi ikan dapat diketahui bahwa produksi ikan selama kurun waktu lima tahun tersebut terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Produksi tertinggi dicapai pada tahun 2006 sebesar 28.382,5 ton dan produksi terendah dicapai pada tahun 2002 sebesar 14.160 ton.
4.2.2 Perkembangan jumlah alat tangkap Berbagai jenis alat tangkap (fishing gears) yang dioperasikan oleh nelayan di Kabupaten Lampung Selatan sesuai dengan kebiasaan, keterampilan yang dimiliki, kemampuan modal, dan serta musim, serta jenis–jenis ikan yang ditangkap disajikan pada Tabel 13. Nelayan mengoperasikan alat tangkap menggunakan armada kapal motor dan motor tempel, tetapi sebagian besar nelayan masih menggunakan perahu tanpa motor yang terbuat dari kayu.
81
Tabel 13.
Jenis alat tangkap yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2006.
No
Jenis Alat Tangkap
Jumlah (Unit)
1
Payang
245
2
Pukat Pantai
124
3
Jaring insang hanyut
4
Jaring insang tetap
319
5
Bagan perahu
267
6
Bagan tancap
220
7
Rawai hanyut selain rawai tuna
191
8
Rawai tetap
407
9
Pancing lain
2.159
10
Sero
173
11
Bubu
484
12
Perangkap lain
60
87
Sumber: Laporan Tahunan Propinsi Lampung (2007)
4.2.3 Kapal penangkap ikan Kapal penangkap ikan yang ada di Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari perahu tanpa motor, perahu dengan motor tempel, dan kapal motor. Perkembangan jumlah perahu atau kapal penangkapan ikan selama tahun 20022006 di Kabupaten Lampung Selatan disajikan pada Gambar 14. Daerah operasi penangkapan oleh nelayan Kabupaten Lampung Selatan adalah perairan Teluk Lampung, perairan Pesisir Timur Lampung dan Selat Sunda.
Jumlah Perahu (Unit)
800 700 600 500 400 300 200 100 0 2002
2003
2004
2005
2006
Tahun Tanpa Motor
Motor Tempel
Kapal Motor
Gambar 14. Perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan tahun 2002-2006.
82
Gambar 15 Daerah penangkapan ikan di Teluk Lampung
4.3 Perikanan Budidaya Perkembangan produksi perikanan budidaya khususnya budidaya laut selama kurun waktu 2002-2006 di Kabupaten Lampung Selatan cenderung mengalami peningkatan seperti disajikan pada Tabel 14, demikian juga untuk perkembangan RTP budidaya laut dari tahun 2002 mengalami peningkatan seperti disajikan pada Tabel 15. Tabel 14. Perkembangan produksi budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2002 2003 2004 2005 2006
Produksi (ton) 232,7 302,5 1.399,0 820,5 1.366,2
83
Tabel 15. Perkembangan RTP budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan Tahun
Jumlah RTP
2002
172
2003
223
2004
232
2005
234
2006
264
Jenis ikan yang dibudidayakan di Kabupaten Lampung Selatan adalah ikan kerapu dan rumput laut. Perkembangan jumlah benih yang telah ditanam untuk kegiatan budidaya laut disajikan pada Tabel 16, sedangkan untuk perkembangan produksi dari kerapu dan rumput laut disajikan pada Tabel 17.
Tabel 16. Perkembangan jumlah benih yang ditanam pada budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan Tahun
Jumlah (Ekor/Tangkai) Kerapu Bebek
Kerapu Macan
Rumput Laut
2002
122.000
198.000
5.300
2003
253.000
259.000
16.900
2004
374.000
171.000
136.700
2005
450.000
271.000
925.000
2006
496.000
739.000
106.200
Tabel 17. Perkembangan produksi kerapu dan rumput laut pada budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan Tahun
Produksi (Ton) Kerapu Bebek
Kerapu Macan
Rumput Laut
2002
135,8
33,0
63,9
2003
67,0
87,3
148,2
2004
55,0
142,0
1.202,0
2005
123,0
264,5
433,0
2006
82,7
221,7
1.061,8
84
4.4
Model CAP-AQUADEV
4.4.1 Potensi sumberdaya ikan Sub model potensi SDI menggunakan metode survei deskriptif dengan menganalisis hubungan catch per unit effort (CPUE). Hasil perhitungan dan perkembangan CPUE selama kurun waktu 2001-2007 disajikan pada Tabel 18 dan Gambar 16. Tabel 18. Perhitungan CPUE selama tahun 2001-2007 Tahun
Cacth (Ton)
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
1,015.00 719.20 1,510.20 1,956.70 1,560.00 1,163.30 1,265.90
Effort (Trip)
Y/f (Ton/Trip)
24,700.00 18,460.00 31,515.00 18,400.00 33,600.00 32,900.00 33,800.00
0.04 0.04 0.05 0.11 0.05 0.04 0.04
Gambar 16. Perkembangan CPUE selama kurun waktu 2001-2007.
Berdasarkan Tabel 18 dan Gambar 16, CPUE ikan di perairan Lampung Selatan pada periode 2001-2007 cenderung berfluktuasi dengan trend negatif, yaitu mengalami peningkatan dari tahun 2002 hingga 2004, namun pada tahun 2005 mengalami penurunan dan stabil hingga 2007.
85
(1)
Status Pemanfaatan Ikan Demersal Ikan demersal yang tertangkap di Teluk Lampung terdiri dari ikan manyung
(Tachyurus spp), pari (Trigonidae), gulamah (Scaencae), serta berbagai jenis udang (Peneaus spp), alat tangkap yang digunakan nelayan yaitu payang, cantrang, dogol, pancing, bubu dan trap lainnya. Jenis- jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan demersal seperti pada Tabel 19, berikut:
Tabel 19. Jenis dan jumlah alat tangkap ikan demersal di Kabupaten Lampung Selatan. No.
Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Payang
cantrang
Dogol
Pancing
Bubu
Trap
140 209 211 221 250 245 248
85 99 113 127 141 155 169
47 72 85 107 123 132 122
512 743 812 916 2.165 2.159 1.851
46 86 142 131 320 484 421
95 74 90 109 131 187 361
1.524
889
688
9.158
1.630
1.047
Jumlah
Dari hasil observasi terlihat produksi atau hasil tangkapan ikan demersal terendah 3.382.80 ton pada tahun 2001 dan tertinggi 5.213.40 ton pada tahun 2006. Kenaikan produksi ini kemungkuinan terkait dengan penurunan produksi dari alat tangkap cantrang dan dogol yang merupakan alat tangkap utama yang digunakan nelayan di Kabupaten Lampung Selatan. Pada tahun 2006 terjadi penurunan trip atau hari operasi alat tangkap cantrang dan dogol yang signifikan sehinga menaikkan produksi alat tangkap payang yang merupakan alat tangkap sejenis.
Tabel 20. Catch, Effort dan CPUE ikan demersal Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Cacth 3,382.80 4,231.60 4,246.70 4,586.00 4,834.00 5,213.40 4,770.30
Effort (x) 14,700 15,025 22,535 21,740 20,359 19,600 10,680
Y/f (y) 0.23 0.28 0.19 0.21 0.24 0.27 0.45
86
Mean 17805.57143 0.265891636 Stdev 4391.983487 0.085663496 intercept (a) 0.554453634 Slop (b) -1.62063E-05 Hubungan Effort dan CPUE f(x) = 0,5545 – 1.62063E-05x Fungsi Produksi P( f ) = 0,5545 f – 1.62063E-05 f 2 Msy=-0.25xa2/b 4742.280693 f MSY 17106.13983
Catch (ton/tahun)
MSY SDI Demersal 4800 4700 4600 4500 4400 4300 4200 4100 4000
MSY
Series1
-
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
Effort (trip/tahun)
Gambar 17. Kurva produksi lestari sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung
Cacth/ effort (ton)
Fungsi CPUE SDI Demersal 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00
MSY Series1
y = -2E-05x + 0.55 R2 = 1
0
5000
10000
15000
Linear (Series1)
20000
25000
Effort (trip)
Gambar. 18 Tren produksi dan effort ikan demersal di Teluk Lampung Dari Tabel 19 diketahui bahwa MSY ikan demersal di Teluk Lampung 4742.280 ton/ tahun dengan effort optimum 17106 trip per tahun. Berdasarkan nilai MSY tersebut menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung sudah mengalami eksploitasi penuh (Fully exploitated) mulai tahun 2002 sampai tahun 2004, dengan tingkat pemanfaatan
87
lebih dari 80% dari nilai MSY atau melebihi JTB. Pada tahun 2005 sampai tahun 2007 pemanfaatan sumberdaya ikan demersal Teluk Lampung lebih dari 100%, hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan demersal mengalami tangkapan lebih (over fishing), seperti terlihat pada Tabel 21. Tabel 21. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung
(2)
Tahun
Produksi
MSY
Tk. Manfaat (%)
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
3,382.80 4,231.60 4,246.70 4,586.00 4,834.00 5,213.40 4,770.30
4742.281 4742.281 4742.281 4742.281 4742.281 4742.281 4742.281
71.33 89.23 89.55 96.70 101.93 109.93 100.59
Status Pemanfaatan Ikan Pelagis Kecil Ikan pelagis kecil yang tertangkap di perairan teluk Lampung terdiri dari
ikan peperek, kembung, tenggiri, ikan ekor kuning, japuh, ikan kurisi dan layur. Jenis alat tangkap yang digunakan terdiri daripukat pantai, pukat cincin, jarring insang, jarring klitik, rawai dan pancing tonda, selengkapnya seperti terlihat pada tebel berikut : Tabel 22. Jenis dan jumlah alat tangkap ikan pelagis kecil di Kabupaten Lampung Selatan Jenis Alat Tangkap
Tahun
Jumlah
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Pukat Pantai
93
108
95
95
130
124
261
906
Pukat Cincin
47
62
54
45
50
47
42
347
Jaring insang hanyut
72
74
105
65
70
60
265
711
Jaring lingkar
86
89
51
46
48
55
50
425
Jaring Klitik
12
14
8
27
30
35
26
152
190
154
238
230
336
319
320
1787
Rawai Tuna
95
85
79
52
69
89
88
557
Rawai Hanyut
92
128
198
201
188
191
190
1188
138
152
312
289
387
427
479
2184
72
69
62
70
53
48
69
443
Jaring insang tetap
Rawai tetap Pancing tonda
Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan pelagis kecil di Kabupaten Lampung Selatan terendah pada tahun 2002 yaitu 719,2 ton sedangkan tertinggi pada tahun 2004 sebesar 1.956,7 ton. Kenaikan produksi
88
atau hasil tangkapan yang signifikan ini terkait dengan kenaikan jumlah alat tangkap yang cukup besar. Pada tahun 2002 terjadi penurunan hasil tangkapan ikan pelagis kecil, hal ini terkait dengan penurunan jumlah effort terhadap ikan pelagis kecil di Teluk Lampung. Pada tahun 2003 terjadi kenaikan effort yang signifikan dari 18.460 trip pada tahun 2002 menjadi 31.515 trip, kenaikan jumlah trip tersebut berpengaruh pada kenaikan jumlah hasil tangkapan ikan pelagis yang signifikan juga. Tahun 2005 sampai 2007 terjadi penurunan produksi atau penangkapan ikan pelagis walaupun jumlah effort yang berlangsung di Teluk Lampung mengalami pertambahan. Kondisi ini menimbulkan dugaan bahwa sumberdaya perikanan pelagis kecil di Teluk Lampung telah mengalami penurunan bahkan mungkin sudah mengalami full eksploitsi atau over fishing. Tabel 23. Catch, Effort dan CPUE ikan pelagis kecil Tahun Cacth Effort (x) Y/f (y) 2001 1,015.00 24,700.00 0.04 2002 719.20 18,460.00 0.04 2003 1,510.20 31,515.00 0.05 2004 1,956.70 18,400.00 0.11 2005 1,560.00 33,600.00 0.05 2006 1,163.30 32,900.00 0.04 2007 1,265.90 33,800.00 0.04 Mean 27625 0.050508 Stdev 7005.265282 0.025043 intercept (a) 0.104612 Slop (b) -2E-06 Hubungan Effort dan CPUE f(x) = 0.105- 2E-06X Fungsi Produksi P( f ) = 0.105 f- 2E-06 f2 Msy=-0.25xa2/b 1396.931 f MSY 26707.01
89
Catch (ton/tahun)
MSY Ikan Pelagis 1420 1400 1380 1360 1340 1320 1300 1280 1260 1240
MSY
Series1
0
10000
20000
30000
40000
Effort (trip/tahun)
Gambar 19. Kurva produksi lestari sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung
Cacth/Effort (ton)
Fungsi CPUE SDI Pelagis 0.08 0.07 0.06 0.05
MSY Series1
0.04 0.03 0.02 0.01 -
Linear (Series1)
y = -2E-06x + 0.105 R2 = 1
-
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
Effort (trip)
Gambar 20. Tren produksi dan effort ikan pelagis di Teluk Lampung Dari Tabel 24. diketahui MSY ikan pelagis kecil di Teluk Lampung 1396,931 ton per tahun, dengan effort optimum 26707 trip per tahun. Produksi ikan pelagis pada tahun 2001 dan 2002 masih di bawah nilai MSY atau tingkat pemanfaatannya baru 70%. Pada tahun 2003 terjadi peningkatan upaya atau effort terhadap sumberdaya ikan pelagis kecil yang meyebabkan terjadinya penigkatan produksi atau hasil tangkapan yang signifikan bahkan melebihi dari nilai MSY. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung sudah mengalami tangkap lebih atau over fishing mulai tahun 2003 sampai tahun 2005, dengan tingkat pemanfaatan mencapai lebih dari100%. Pada tahun 2006 dan 2007 terjadi penurunan produksi atau hasil tangkapan dibandingkan dengan tahun 2004 atau tahun 2005, sedangkan effort yang berlangsung jumlahnya
90
relatif sama. Penurunan produksi ini semakin menegaskan bahwa sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung sudah mengalami over fishing. Sesuai hasil penelitian Diantari dan Efendi (2005) yang menyatakan bahwa sumberdaya ikan kembung sudah mengalami full eksploitasi. Tabel 24. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
(3)
Produksi (ton) 1,015.00 719.20 1,510.20 1,956.70 1,560.00 1,163.30 1,265.90
MSY (ton)
Tk.pemanfaatan (%)
1396.931 1396.931 1396.931 1396.931 1396.931 1396.931 1396.931
72.66 51.48 108.11 140.07 111.67 83.28 90.62
Status Pemanfaatan Krustacea Jenis krustacea yang tertangkap di perairan Kabupaten Lampung Selatan
terdiri dari udang, lobster, rajungan dan jenis kepiting lainnya, sedangkan jenis alat tangkap yang digunakan adalah pukat udang, tramel net, dan sero. Alat tangkap krustacea umumnya mengalami penurunan jumlahnya dari tahun 2001 sampai tahun 2004 dan meningkat kembali tahun 2005 sampai dengan tahun 2007. Jenis alat tangkap yang paling banyak adalah sero, seperti tergambarkan pada tabel 25. Tabel 25. Jenis dan jumlah alat tangkap crustacea Selatan
di Kabupaten Lampung
No.
Tahun
Pukat Udang
Tramel net
Sero
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jumlah
17 17 15 13 14 14 16 106
35 23 18 56 37 26 21 216
726 876 864 1,139 550 895 995 6,045
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan hasil tangkapan atau produksi krustacea di Kabupaten Lampung Selatan tertinggi pada tahun 2004
yaitu
400,70 ton dan terendah pada tahun 2003 yaitu 28,40 ton. Kenaikan produksi atau hasil tangkapan ini terkait dengan peningkatan jumlah effort yang dilakukan,
91
penurunan hasil tangkapan yang terjadi pada tahun 2004 sampai 2007, dari 400,70 ton menjadi 72,60 ton juga diikuti dengan penurunan
effort yang
signifikan yaitu dari 6720 menjadi 1267 trip. Pola hubungan antara produksi dan effort krustacea di perairan Lampung Selatan berbanding terbalik dengan tren menurun, dimana produksi atau hasil tangkapan perikanan krustacea semakin turun seiring dengan peningkatan effort yang dilakukan. Tingkat hubungan atau korelasi antara produksi dengan effort sangat erat yang ditandai dengan nilai koefisien korelasi 1 (satu), seperti pada gambar 19. Tabel 26. Catch, effort dan MSY crustacea Tahun Cacth Effort (x) Y/f (y) 2001 287.00 5,775.00 0.05 2002 32.50 1,864.00 0.02 2003 28.40 229.00 0.12 2004 400.70 6,720.00 0.06 2005 256.20 5,376.00 0.05 2006 145.80 4,873.00 0.03 2007 72.60 1,267.00 0.06 Mean 3729.143 0.055094 Stdev 2547.653 0.033942 intercept (a) 0.075678 Slop (b) -5.5E-06 Hubungan effort dan CPUE f(x) = 0.076 -5.5E-06X Fungsi Produksi f(x) =0.076f - 5.5E-06f2 Msy=-0.25xa2/b 259.3875 f MSY 6855.025
MSY SD Crustacea
Catch (ton/tahun)
300.00 MSY
250.00 200.00
Series1
150.00 100.00 50.00 0.00 -
2,000
4,000
6,000
8,000
Effort (trip/tahun)
Gambar 21. Kurva Produksi Lestari sumberdaya crustacea di Teluk Lampung
92
Cacth/ effort (ton)
Fungsi CPUE SD Crustacea 0.08 0.07 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0.00
Series1 y = -6E-06x + 0.076 R2 = 1
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
MSY
7000
Linear (Series1)
8000
Effort (trip)
Gambar 22. Tren produksi dan effort crustacea di Teluk Lampung Nilai MSY perikanan krustacea di Kabupaten Lampung Selatan adalah 259,3875 ton/ tahun, effort optimum 6855 trip. Dari data hasil tangkapan krustacea di Teluk Lampung menunjukkan bahwa produksi atau hasil tangkapan pada tahun 2001 dan tahun 2004 telah melampaui MSY atau mengalami over fishing. Kemungkinan peningkatan produksi atau hasil tangkapan tersebut terkait dengan peningkatan aktivitas penangkapan masing- masing jenis alat tangkap. Pada tahun 2005 sampai tahun 2007 terjadi penurunan produksi, pada tahun tersebut juga terjadi penurunan effort atau aktifitas penangkapan terhadap krustacea di Teluk Lampung. Kondisi ini sesuai dengan hasil perhitungan tingkat pemanfaatan sumberdaya krustacea di Teluk Lampung yang menunjukkan pada tahun 2001 dan 2004 tingkat pemanfaatan krustcea mencapai 110,65% dan 154,48% yang berarti melampaui potensi yang tersedia (over fishing). Pada tahun 2005
tingkat pemanfaatan krustacea di Teluk Lampung
mencapai 98,77% yang berarti sama dengan potensi yang tersedia atau full ekploitated. Sedangkan pada tahun- tahun berikutnya tingkat pemanfaatan krustacea mengalami penurunan yang signifikan, kemungkinan hal ini sangat terkait dengan penurunan effort yang dilakukan pada tahun- tahun tersebut. Tabel 27. Tingkat pemanfaatan crustacea Tahun
Produksi
MSY
Tk.Manfaat (%)
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
287.00 32.50 28.40 400.70 256.20 145.80 72.60
259.3875 259.3875 259.3875 259.3875 259.3875 259.3875 259.3875
110.65 12.53 10.95 154.48 98.77 56.21 27.99
93
(4)
Status Pemanfaatan Jenis Ikan Lainnya Jenis ikan lainnya merupakan jenis ikan yang tertangkap dengan alat
tangkap yang tidak spesifik atau tidak mempunyai target spesifik, seperti bagan dan alat tangkap lain. Jenis ikan yang tertangkap didominasi oleh ikan teri dan udang rebon atau ikan- ikan kecil yang lainnya. Alat tangkap yang digunakan dalam penangkapan ikan lainnya terdiri dari bagan perahu, bagan tancap, jaring angkat dan alat lainnya. Alat tangkap ikan lainnya di Kabupaten Lampung Selatan paling banyak bagan tancap sebanyak 1819 buah dan yang paling sedikit alat tangkap lainnya dengan jumlah 783 buah. Pengoperasian alat tangkap ini umumnya statis pada suatu tempat dan menggunakan bantuan lampu untuk menarik ikan atau udang berkumpul di bawah lampu. Tabel 28. Jenis dan jumlah alat tangkap ikan lainnya di Teluk Lampung No. 1 2 3 4 5 6 7
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jumlah
Bagan Perahu 115.00 122.00 115.00 138.00 243.00 267.00 233.00 1,233.00
Bagan Tancap 292.00 280.00 286.00 292.00 235.00 220.00 214.00 1,819.00
Jaring Angkat Lain 192.00 152.00 105.00 110.00 149.00 156.00 135.00 999.00
Alat Lainnya 137.00 132.00 130.00 126.00 95.00 74.00 89.00 783.00
Tabel 29. Catch, efort dan MSY ikan lainnya di Teluk Lampung Tahun Cacth Effort (x) Y/f (y) 2001 2,691.70 17,250.00 0.16 2002 3,262.90 35,420.00 0.09 2003 2,188.50 19,445.00 0.11 2004 4,162.20 22,080.00 0.19 2005 5,822.50 48,600.00 0.12 2006 6,400.10 53,421.00 0.12 2007 2,449.90 37,740.00 0.06 Mean 33422.28571 0.121963 Stdev 14367.20739 0.040481 intercept (a) 0.163956 Slop (b) -1.3E-06 Hubungan Effort dan CPUE f(x) =0.164- 1.3E-06X Fungsi Produksi f(x) =0.164f – 1,3E-06f2 Msy=-0.25xa2/b 5348.723 f MSY 65245.75
94
MSY Ikan Lainnya 6000 Catch (ton/tahun)
5000 4000 Series1
3000 2000 1000 0 0
20,000
40,000
60,000
80,000
Effort (trip)
Gambar 23. Kurva produksi lestari sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung
Cacth/ effort (ton)
Fungsi CPUE SDI Lainnya 0.16 0.14 0.12 0.10 0.08 0.06 0.04 0.02 -
MSY y = -1E-06x + 0.164 R2 = 1
-
Series1 Linear (Series1)
10,000. 20,000. 30,000. 40,000. 50,000. 60,000. 70,000. 00 00 00 00 00 00 00 Effort (trip)
Gambar 24. Tren produksi dan effort ikan lainnya di Teluk Lampung Nilai MSY ikan lainnya di Kabupaten Lampung Selatan adalah 5348,723 ton/ tahun dngan effort optimum 65246 trip. Dari data hasil tangkapan ikan lainnya di Teluk Lampung menunjukkan bahwa produksi atau hasil tangkapan berfluktuasi dan cendeung meningkat mulai tahun 2001 sampai tahun 2007, bahkan pada tahun 2005- 2006 produksi ikan lainnya telah melampaui nilai Msy atau mengalami over fishing. Peningkatan produksi atau hasil tangkapan tersebut terkait dengan peningkatan aktifitas penangkapan masing- masing jenis alat tangkap. Pada tahun 2005 dan 2006 terjadi peningkatan upaya penangkapan ikan lain di Kabupaten Lampung Selatan yang signifikan sehungga berpengaruh terhadap produksinya yang melebihi MSY (over fishing). Tahun 2007 produksi atau hasil tangkapan ikan jenis lainnya di Teluk Lampung mengalami penurunan yang signifikan, sekitar 60% dari produksi tahun 2006, pada tahun tersebut juga terjadi penurunan effort tetapi sekitar 30% dari effort tahun 2006. Kondisi pada
95
tahun 2007 mengindikasikan terjadinya penurunan sumberdaya ikan lainnya di perairan Teluk Lampung. Hal ini berarti walaupun dalam perhitungan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan lainnya hanya 45,8%, tetapi effort yang dilakukan tidak
dapat
serta
merta
ditingkatkan
karena
indikasi
lainnya
(CPUE)
menunjukkan tren yang menurun. Bisa juga tingkat pemanfaatn ikan lainnya tahun 2007 tersebut merupakan kondisi terkini sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung hanya tinggal 45,8% saja. Tabel 30. Tingkat pemanfaatan perikanan lainnya di Teluk Lampung Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Produksi 2,691.70 3,262.90 2,188.50 4,162.20 5,822.50 6,400.10 2,449.90
MSY 5348.723 5348.723 5348.723 5348.723 5348.723 5348.723 5348.723
Tk.manfaat(%) 50.32 61.00 40.92 77.82 108.86 119.66 45.80
4.4.2 Kesesuaian lahan untuk budidaya karamba jaring apung (KJA) Sub model kesesuaian lahan untuk pengembangan perikanan budidaya dilakukan dengan penilaian kelayakan terhadap kriteria kesesuaian. Potensi lahan untuk pengembangan budidaya laut dengan KJA di perairan Kabupaten Lampung Selatan tersebar dari pesisir pantai Kecamatan Kalianda sampai ke Kecamatan Padang Cermin. Beberapa kawasan/lokasi tersebut sudah terdapat kegiatan pembudidayaan ikan dengan KJA, seperti: Tarahan, Teluk Hurun dan Tanjung Putus. Tanjung Putus adalah lokasi dengan kegiatan pembudidayaan ikan dengan KJA terpadat. Kendala dan potensi permasalahan di lokasi-lokasi tersebut berbeda satu sama lain, untuk itu perlu disusun kriteria yang dapat dijadikan indikator untuk menilai secara total aspek-aspek terkait pengembangan usaha KJA sehingga dapat ditentukan kelayakannya.
96
1 0 5 °0 0 '
1 0 5 °1 0 '
1 0 5 °2 0 '
0
1 05 °4 0 '
1 0 5 °5 0 ' #
B a n d a r L# a m p u n g 4
J a b#u n g
P a n #ja n g
8
K i lo m e te r
3
T a ra# h a n
4
2
P a#la s 5°40'
5°40'
P a d a n g# C e rn a n
A s a#h a n
5°30'
5°30'
4
1 0 5 °3 0 '
#
#
N
5
S im p a n g# K a lia n d a K a lia n d a # K e ta #p a n g G a y# a m
6
1
5°50'
5°50'
B a tu #B a la k B a k a #u h e n i
1 0 5 °0 0 '
6°00'
6°00'
7 P E TA L O K A S I P E N E L IT I A N TE LU K LA M P U NG
1 0 5 °1 0 '
1 0 5 °2 0 '
Keterangan gambar :
1 0 5 °3 0 '
1 05 °4 0 '
1 0 5 °5 0 '
; lokasi alternatif pengembangan budidaya laut
Gambar 25. Peta sebaran alternatif lokasi pengembangan perikanan budidaya di Teluk Lampung Hasil penilaian kelayakan terhadap 3 (tiga) kategori kriteria kesesuaian seperti tampilkan pada Tabel 31 dan secara rinci matrik penilaian kelayakan ditampilkan pada Lampiran 9. Tabel 31. Hasil penilaian kelayakan kesesuaian lahan No.
Alternatif Lokasi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kalianda Tarahan Teluk Hurun Ringgung Pulau Puhawang Tanjung Putus Pulau Sebesi
Nilai per Kategori I II III 92 48 67 86 54 69 70 66 67 86 60 71 82 90 81 94 90 83 120 66 80
Nilai Total
Keterangan
67 69 67 71 81 83 80
Kurang Layak Kurang Layak Kurang Layak Kurang Layak Layak Layak Layak
Nilai per kategori untuk setiap alternatif lokasi dihitung dengan mengalikan bobot dengan skor. Dari hasil penilaian kelayakan terhadap kriteria kesesuaian lahan untuk pengembangan perikanan budidaya di KJA sebagai salah satu kegiatan perikanan yang dapat dikembangkan di Kabupaten Lampung Selatan terlihat bahwa lokasi yang layak adalah Pulau Puhawang, Tanjung Putus dan Pulau Sebesi sedangkan 4 (empat) lokasi lainnya kurang layak, yaitu: Kalianda, Tarahan, Teluk Hurun dan Ringgung.
97
Perairan Pulau Sebesi dengan nilai 120 adalah lokasi dengan nilai tertinggi untuk kriteria I (terdiri atas: aspek biofisik dan aseanografi perairan). Sedangkan Teluk Hurun memiliki nilai terendah untuk kriteria I. Untuk kriteria II (yang terdiri atas: kedalaman, keterlindungan dan substrat) lokasi yang memiliki nilai tertinggi adalah Pulau Puhawang dan Tanjung Putus, sedangkan terendah adalah Kalianda. Sedangkan untuk kriteria III (yang terdiri atas: aspek sosial ekonomi dan budaya) lokasi yang memiliki nilai tertinggi adalah Pulau Puhawang dan yang terendah adalah Kalianda dan Teluk Hurun. Hasil analisis tersebut sesuai dengan hasil pemantauan BBPBL Lampung kualitas air di 6 lokasi yang tersebar di Teluk Lampung seperti ditampilkan pada Gambar 26 dan Gambar 27.
70 60 50 40 30 20 10 0
DO Suhu pH Sal
Ka lia nd a
Ta ra ha n
Hu ru n
gg un g Ri n
Pu ha w
T.
an g
TOM
Pu tu s
Nilai
DO (ppm), Suhu (0C), pH, Sal (ppt) & TOM (ppm)
Lokasi
Gambar 26.
Grafik parameter DO, suhu, pH, salinitas dan TOM di beberapa lokasi budidaya di Teluk Lampung.
Terlihat bahwa 4 (empat) parameter yaitu DO, pH, salinitas dan suhu dari 5 (lima) parameter di atas memiliki nilai yang relatif sama antar lokasi pengamatan. Hanya nilai total organic metter (TOM) yang berbeda antar lokasi pengamanatan yaitu Ringgung memiliki nilai TOM terendah yaitu 15 ppm dan Hurun memiliki TOM tertinggi yaitu 65 ppm.
98
0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
DIN
Ka l ia nd a
Ta ra ha n
Hu ru n
gg un g Ri n
Pu ha w
T.
an g
PO4
Pu tu s
Konsentrasi (ppm)
DIN dan Orto-PO4
Lokasi
Gambar 27. Grafik parameter kelarutan senyawa nitrogen (DIN) dan total bahan organik (TOM) di beberapa lokasi budidaya di Teluk Lampung. Dari 3 lokasi yang layak untuk pengembangan budiadya laut dengan KJA di Kabupaten
Lampung
Selatan,
hanya
direkomendasikan
2
(dua)
lokasi
diantaranya yang dapat ditetapkan sebagai lokasi budidaya KJA, karena Pulau Sebesi telah ditetapkan sebagai Marine Protected Area (MPA) sehingga kegiatan yang diperbolehkan dikawasan tersebut sangat terbatas. Disarankan perairan Pulau
Sebesi
dapat
dijadikan
sebagai
lokasi
pengembangan
kegiatan
pengembangan perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya yang dapat dikemas ramah lingkungan dan tidak mengganggu fungsi lokasi sebagai MPA. 4.4.3 Pemilihan teknologi penangkapan ikan Sub
model
pemilihan
teknologi
penangkapan
ikan
yang
layak
dikembangkan menggunakan metode OWA. Berdasarkan data dari Laporan Tahunan Propinsi Lampung (2007) dipilih empat alternatif alat tangkap yang mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi alat tangkap ideal yang mampu mendukung perkembangan sektor perikanan tangkap berbasis budidaya di Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan jumlah perkembangan alat tangkap selama kurun waktu 5 tahun. Perkembangan jumlah alat tangkap menurut jenis alat tangkap yang ada di Kabupaten Lampung Selatan selama periode tahun 2002-2006 dapat dilihat pada Tabel 32.
99
Tabel 32. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Lampung Selatan selama kurun waktu 2002-2006 Tahun
Bubu
Jaring Insang
Pancing
Sero
2002 2003 2004 2005 2006
0 142 131 320 484
354 420 378 406 379
743 812 916 2.165 2.159
82 98 90 165 173
Sumber : Laporan Tahunan Propinsi Lampung (2007) Pemilihan teknologi penangkapan ikan didasarkan pada kriteria yang disusun untuk pemilihan teknologi penangkapan ikan, yaitu (1) selektivitas tinggi, (2) tidak destruktif terhadap habitat, (3) tidak membahayakan nelayan (operator), (4) menghasilkan ikan yang bermutu baik, (5) produk tidak membahayakan konsumen, (6) minimum hasil tangkapan yang terbuang, (7) dampak minimum terhadap keanekaragaman sumber daya hayati, dan (8) tidak menangkap spesies yang dilindungi. Pembobotan masing-masing kriteria berdasarkan tingkat kepentingan untuk pemilihan teknologi penangkapan ikan disajikan pada Tabel 33. Dari hasil analsis diketahui bahwa teknologi penangkapan ikan terpilih untuk dikembangkan di Kabupaten Lampung Selatan adalah alat tangkap bubu (Tabel 35) yang mempunyai bobot atau skala tinggi. Tabel 33. Bobot kriteria pemilihan teknologi penangkapan ikan No.
Kriteria
Agregat
1.
Selektivitas tinggi
Sangat Tinggi
2.
Tidak destruktif terhadap habitat
Sangat Tinggi
3.
Tidak membahayakan nelayan
Tinggi
4.
Menghasilkan ikan yang bermutu baik
Tinggi
5.
Produk tidak membahayakan konsumen
Tinggi
6.
Minimum hasil tangkapan yang terbuang
Tinggi
7.
Dampak minimum terhadap keanekaragaman sumber daya hayati Tidak menangkap spesies yang dilindungi
8.
Sangat tinggi Tinggi
100
Tabel 34. Skala prioritas alat tangkap ideal terpilih di Kabupaten Lampung Selatan No.
Jenis Alat Tangkap
Skala
1.
Bubu (traps)
Tinggi
2.
Jaring insang (gillnet)
Rendah
3.
Pancing (lines)
Sedang
4.
Sero
Sedang
Hariyanto et al (2009), menyatakan bahwa alat tangkap bubu yang dimodifikasi merupakan alat yang ramah lingkungan dan cocok bagi perairan Teluk Lampung, alat bubu yang dimodifikasi dengan ditambahkan umpan menghasilkan tangkapan yang lebih banyak dari bubu biasa (Thomas et al, 2005) 4.4.4 Pemilihan komoditas potensial perikanan tangkap berbasis budidaya Sub model pemilihan dirancang untuk membantu pengguna dalam menentukan komoditas potensial yang diunggulkan. Sub model pemilihan menggunakan metode independent preference evaluation (IPE) dengan kaidah fuzzy group decision making (FGDM), yang dirancang untuk menentukan prioritas alternatif berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dan bobot masing-masing kriteria. Prioritas ini dinilai secara fuzzy oleh para pengambil keputusan untuk kemudian diagregasi menjadi urutan atau prioritas alternatif. Mengingat komoditas perikanan tangkap beragam jenisnya, sedangkan komoditas yang dapat dibudidayakan dari hasil perikanan tangkap jenisnya terbatas sehingga diperlukan pentahapan dalam proses pemilihan produk unggulan agar lebih fokus. Dalam sistem budidaya laut, komoditas perikanan akan menjadi bahan baku bagi kegiatan budidaya laut sehingga jumlah dan kontinuitas menjadi faktor yang sangat penting bagi keberlanjutan budidaya yang dikembangkan. Dengan demikian, tahap awal penentuan produk unggulan adalah menentukan prioritas komoditas potensialnya. Selain jumlah dan kontinuitas, kriteria lain dalam pemilihan prioritas komoditas potensial yang juga akan mempengaruhi keberlangsungan budidaya laut adalah mutu dan nilai ekonomis komoditas, peluang diversifikasi dan keterpusatan lokasi budidaya ikan. Dari proses pemilihan komoditas dipilih empat jenis komoditas potensial yang unggul untuk dibudidayakan yaitu ikan kerapu bebek, kerapu lumpur, kerapu tikus dan kakap putih.
101
Untuk menentapkan produk unggulan budidaya laut pada suatu wilayah harus memenuhi berbagai kriteria agar budidaya laut tersebut mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya, selain bagi pelaku usaha budidaya, juga bagi pelaku atau sektor lain, serta bagi pembangunan wilayah setempat. Terdapat delapan kriteria untuk menetukan produk unggulan budidaya. Kriteria pemilihan komoditas potensial dan produk unggulan ditentukan oleh pakar dan pembobotannya ditentukan melalui metode OWA. Pemilihan komoditas potensial yang akan dibudidayakan di Kabupaten Lampung Selatan ditentukan berdasarkan delapan kriteria, yaitu (1) kelayakan komoditas, (2) ketersediaan dan tingkat kemudahan teknologi, (3) nilai ekonomis, (4) peluang pasar, (5) penyerapan tenaga kerja, dan (6) dampak ganda terhadap sektor lain, (7) dampak terhadap lingkungan, dan (8) kondisi budidaya laut saat ini. Pembobotan masing-masing kriteria berdasarkan tingkat kepentingan untuk pemilihan komoditas potensial dengan menggunakan metode OWA disajikan pada Tabel 35. Perkembangan produksi jenis komoditas yang dapat dibudidayakan di Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan Laporan Tahunan Propinsi Lampung selama 5 tahun terakhir adalah kerapu, rajungan, udang putih, dan udang yang lainnya (Tabel 36). Tabel 35. Bobot kriteria pemilihan komoditas potensial perikanan tangkap berbasis budidaya laut No.
Kriteria
Agregat
1.
Kelayakan komoditas
Sedang
2.
Ketersediaan dan tingkat kemudahan teknologi
Tinggi
3.
Nilai ekonomis
Tinggi
4.
Peluang pasar
Tinggi
5.
Penyerapan tenaga kerja
Tinggi
6.
Dampak ganda terhadap sektor lain
Sangat Tinggi
7.
Dampak terhadap lingkungan
Sangat Tinggi
8.
Kondisi budidaya laut sekarang
Tinggi
102
Tabel 36. Perkembangan produksi jenis komoditas yang dapat dibudidayakan di Kabupaten Lampung Selatan selama kurun waktu 2002-2006 Tahun
Kerapu
2002
51,5
0
0
0
2003
59,4
262,9
39,8
223,1
2004
9,2
193,1
1.545,9
240,5
2005
18,0
210,6
1.018,6
803,4
2006
4,2
142,9
915,4
422,8
Rajungan
Udang Putih
Udang Lain
Sumber : Laporan Tahunan Propinsi Lampung (2007) Berdasarkan kriteria yang disusun untuk pemilihan komoditas potensial yang akan dikembangkan dengan sistem budidaya laut, maka diperoleh hasil bahwa komoditas potensial yang dapat diunggulkan Kabupaten Lampung Selatan adalah ikan kerapu (Tabel 37). Tabel 37. Skala prioritas komoditas potensial terpilih Kabupaten Lampung Selatan No. Jenis Komoditas Skala 1.
Kerapu (Ephinephelus sp)
2.
Rajungan
Rendah
3.
Udang putih
Sedang
4.
Udang lain
Sedang
4.4.5
Tinggi
Kelayakan investasi Komoditas yang dapat dibudidayakan, ditangkap dan dibudidayakan serta
ditebar kembali dalam rangka pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya di pesisir dan perairan pantai Kabupaten Lampung Selatan perlu diketahui kelayakan usahanya yaitu dengan menghitung parameter kelayakan investasi. Sub model kelayakan ini mengintegrasikan berbagai operasi dalam penentuan kriteria kelayakan seperti NPV, Net B/C dan IRR. Selain itu, sub model ini juga telah dilengkapi dengan operasi untuk perkiraan arus uang, analisis sensifitas, optimasi peubah kritis dan perencanaan produksi, sehingga operasi-operasi yang cukup rumit untuk mengantisipasi resiko-resiko kelayakan dapat dilakukan dengan cepat. Kriteria yang digunakan adalah NPV, Net B/C, dan IRR. Penentuan layak atau tidaknya suatu usaha adalah dengan cara
103
membandingkan masing-masing nilai dengan batas-batas kelayakan, yaitu: NPV > 0; Net B/C > 1, dan IRR > 8%. Hasil kelayakan usaha disajikan pada Tabel 38. Tabel 38. Hasil analisis finansial kelayakan usaha perikanan No. A. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Komoditas/Alat IRR Tangkap Komoditas Perikanan Budidaya Vaname Sederhana 2.61 Vaname Semi Intensif 6.01 Vaname Intensif 8.91 Windu Sederhana 3.18 Windu Semi Intensif 5.45 Windu Intensif 2.83 Rumput Lut Kerapu Macan Bandeng Justifikasi Kelayakan >0,14
B.
Komoditas Perikanan Tangkap
10 11 12 13
Pancing Rawai Pancing Ulur Jaring Lingkar Jaring Insang Justifikasi Kelayakan
26.84 % 20.41 % 25.85 % 39.69 % > 14 %
NPV df 15 %
B/C
PBP
40.061.075,16 325.740.152,44 889.587.773,06 49.458.712,27 294.335.390,45 270.771.212,94 376.141.242,95 436.475.352,97 94.888.117,18 >0
1.46 1.6 1.49 1.66 1.85 1.44 3.19 2.17 1.35 > 1,00
1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 < 3 thn
42.197.079 34.818.970 279.075 38.773.513 >0
1,24 1,12 1,288 1,63 > 1,00
2,5 2,7 2,53 < 3 thn
Hasil analisis kelayakan usaha menunjukkan bahwa usaha perikanan tangkap
dan pembudidayaan ikan masih layak untuk diusahakan, karena
berdasarkan hasil analisis finansial dengan discount rate 15% menunjukkan nilai NPV positif, Net B/C lebih besar dari satu, dan IRR diatas tingkat suku bunga yang wajar (Lampiran 12 – Lampiran 24). 4.4.6 Strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya Dengan menggunakan teknik AHP pada sub model strategi, hirarki untuk pemilihan alternatif strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya terdiri atas fokus, faktor, tujuan dan alternatif dapat ditentukan prioritasnya. Elemen faktor penting yang mempengaruhi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya adalah (1) SDI, (2) potensi lahan budidaya laut, (3) SDM, (4) teknologi, (5) permodalan, (6) pasar, (7) kebijakan pemerintah, (8) sarana dan prasarana; (9) informasi, dan (10)
104
kelembagaan. Elemen tujuan yang hendak dicapai adalah (1) peningkatan produksi ikan, (2) perluasan lapangan kerja, (3) perluasan kesempatan berusaha, (4) peningkatan pendapatan daerah, (5) peningkatan pertumbuhan ekonomi, dan (6) peningkatan konsumsi ikan. Untuk pencapaian tujuan tersebut alternatif strategi yang ditawarkan adalah (1) optimalisasi perikanan tangkap, (2) optimalisasi perikanan budidaya, dan (3) pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Hasil analisis pakar menunjukkan (Gambar 24) bahwa faktor informasi (0,1329), sarana dan prasarana (0,1295), kelembagaan (0,1246), kebijakan pemerintah (0,1157) dan pasar (0,0987) masing-masing menempati urutan 1, 2, 3, 4 dan 5, artinya faktor tersebut merupakan faktor determinatif dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Mengingat masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman stakeholders tentang integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya khususnya untuk alternatif strategi pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya, maka penyampaian informasi yang tepat dan memadai menjadi faktor terpenting.
STRATEGI INTEGRASI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DAN PERIKANAN BUDIDAYA
Gambar 28. Hasil analisis strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Analisis AHP tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan skala prioritasnya, tujuan yang hendaknya menjadi prioritas tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya adalah peningkatan produksi ikan
105
(0,2927), peningkatan pendapatan nelayan (0,2016), peningkatan pertumbuhan ekonomi (0,1841), perluasan kesempatan berusaha (0,1232) dan perluasan lapangan kerja (0,1013). Tujuan untuk peningkatan produksi ikan sebagai prioritas pertama integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya mengindikasikan bahwa secara umum pengembangan jenis perikanan tangkap berbasis budidaya mampu meningkatkan produksi ikan dari sektor budidaya laut untuk mendukung produksi dari sektor perikanan tangkap, sehingga permintaan ikan akan tetap terpenuhi secara kontinue karena ditunjang oleh adanya supplai benih dari kegiatan budidaya laut untuk ditebar. Peningkatan produksi ikan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan nelayan dan pembudidaya di Kabupaten Lampung Selatan.
Jadwiga (2008), menyatakan bahwa AHP dan analisa kelayakan usaha sangat baik digunakan dalam pengambilan keputusan termasuk dalam menentukan jenis perlakuan terhadap lingkungan budidaya . Selain itu model atau software
sudah
lazim
digunakan
dalam
penentuan
prioritas
untuk
memaksimalkan keuntungan atau efisiensi dari dua kegiatan perikanan atau lebih yang berlangsung pada waktu atau lokasi yang sama (Morten et al, 2009). Seperti penelitian Pascoe and Mardle (2001), yang menyatakan bahwa untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi dan menjagakestabilan pekerja dilakukan analisis menggunakan bioekonomi model Pada hirarki penentuan alternatif strategi diperoleh hasil bahwa prioritas alternatif strategi yang dibutuhkan untuk integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya adalah pengembangan perikanan tangkap bersisi perikanan budidaya (0,4685), selanjutnya diikuti oleh optimalisasi perikanan budidaya (0,3434) dan optimalisasi perikanan tangkap (0,1880). Menurut pakar pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya adalah alternatif strategi yang berada pada prioritas pertama dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Kabupaten Lampung Selatan. Hal ini dimungkinkan karena kondisi sumberdaya perikanan tangkap yang sudah menurun dan ketersediaan lokasi potensial untuk budidaya laut. Untuk dapat melaksanakan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya memerlukan upaya yang lebih besar terutama dalam hal pengorganisasian, pembuatan aturan dan pembinaan pelaksanaanya. Karena dalam
106
Pakar atau key person memilih pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya sebagai alternatif pertama dalam rangka integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Kabupaten Lampung Selatan. Alternatif Kedua dan Ketiga secara berurutan adalah optimalisasi perikanan budidaya dan optimalisasi perikanan tangkap. Hal ini sesuai dengan hasil analisis terhadap kesesuaian lahan untuk budidaya dan kajian terhadap sumberdaya ikan di perairan Lampung Selatan. Untuk optimalisasi pengembangan perikanan budidaya dari 7 (tujuh) alternatif lokasi yang dianalisis hanya 2 (dua) diantaranya yang dinyatakan layak. Kedua lokasi tersebut adalah lokasi yang sudah terdapat kegiatan perikanan budidaya dengan Karamba Jaring Apung, sehingga optimalisasi perikanan budidaya yang perlu dilaksanakan lebih banyak pada penataan dan pengendalian lingkungan budidaya. Demikian juga dengan sumberdaya perikanan di perairan Lampung Selatan telah menunjukkan indikasi fully exploited sampai dengan over expolitasi, hanya kelompok pelagis oseanik kecil dan ikan demersal yang berada pada kedalaman > 200 m yang masih mungkin ditingkatkan upaya penangkapannya. Sehingga untuk optimalisasi perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan lebih bersifat pada pengendalian upaya penangkapan dan peningkatan armada dan alat tangkap untuk mencapai perairan yang lebih jauh ke arah lautan lepas atau keluar dari perairan Teluk Lampung. Implementasi perikanan tangkap berbasis budidaya dengan kegiatan penebaran benih ikan sebagai kegiatan utamanya dapat menjadi salah satu upaya pengendalian tekanan terhadap sumberdaya perikanan dan mewujudkan keberlanjutan usaha penangkapan ikan di perairan Kabupaten Lampung Selatan. Kegiatan perikanan budidaya baik oleh unit kerja pemerintah maupun oleh swasta dan perbenihan rakyat atau UPR mendukung penyediaan benih ikan yang akan ditebar. Dalam hal pemanfaatanya perlu ditetapkan aturan penangkapan di lokasi pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Lokasi yang dapat disarankan sebagai lokasi pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya adalah perairan Pulau Sebesi. Karena secara biofisik perairan ini sesuai untuk pengembangan perikanan budidaya akan tetapi dengan adanya status kawasan ini sebagai kawasan perlindungan laut maka hanya kegiatan tertentu yang tidak mempengaruhi fungsi perlindungannya atau ramah lingkungan yang dapat dikembangkan. Kegiatan perikanan tangkap berbasis budidaya adalah salah satu kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan
107
ramah lingkungan karena tidak ada intervensi yang intensif terhadap sumberdaya dan kualitas lingkungan seperti halnya perikanan tangkap dan perikanan budidaya pada umumnya. 4.4.7 Kelembagaan Sub model kelembagaan dirancang dengan metode ISM dan digunakan untuk melakukan identifikasi struktur elemen atau unsur dalam sistem. Analisis dilakukan
terhadap
elemen
pengguna
yang
terpengaruh
dari
integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, elemen kebutuhan untuk pelaksanaan program integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, elemen kendala dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, elemen perubahan yang mungkin terjadi dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, elemen tujuan dari program integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, elemen keberhasilan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, elemen aktivitas integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, dan elemen pelaku integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. 1.
Elemen Pengguna yang terpengaruh dari Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, maka elemen pengguna
terdiri dari 5 sub elemen, dapat digambarkan dalam bentuk hirarki yang terbagi dalam 3 level (Gambar 27) dan dibagi dalam empat sektor dalam grafik driver power-dependence (Gambar 28).
Gambar 29. Hirarki elemen sektor pengguna yang terpengaruh dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
108
Hirarki pada Gambar 29 menempatkan elemen pengguna pembudidaya (E2), pengusaha (E3), dan eksportir (E4) pada level 1. Pedagang alat-alat perikanan pada level 2 dan nelayan pada level 3. Elemen kunci dari elemen pengguna adalah nelayan dan pembudidaya, hal ini berarti elemen pengguna tersebut akan mendorong pengguna yang lain.
(1)
5
(2)
4 DRIVER POWER 3 0
1
2 2
(3) 3 (5)
4 (4)
5
1
0 DEPENDENCE
Gambar 30. Grafik driver power dependence untuk elemen pengguna yang terpengaruh dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Keterangan: (1) (2) (3) (4) (5)
Nelayan Pembudidaya Pengusaha Eksportir Pedagang alat-alat perikanan Hasil klasifikasi yang digambarkan pada grafik griver power-dependence
untuk elemen pengguna (Gambar 30) menunjukkan bahwa nelayan (E1) menempati sektor IV (independent) dan memiliki nilai driver power (DP) yang tertinggi (5). Hal ini berarti nelayan (E1) merupakan peubah bebas dan dalam hal ini berarti memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang besar untuk mempengaruhi pengguna lain, juga sekaligus memiliki daya dorong tertinggi bagi pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya, namun punya sedikit ketergantungan terhadap program.
109
Sub elemen pembudidaya (E2) dan pengusaha (E3) memiliki daya dorong yang juga kuat, serta bersifat linkage (sektor III) yang berarti saling berpengaruh dengan sub elemen yang lain. Eksportir (E4) dan pedagang alatalat perikanan (E5) merupakan sub elemen yang berada di sektor II (peubah terikat atau dependent) yang berarti pengguna tersebut berdaya dorong rendah dan dipengaruhi oleh sub elemen yang lain. Hal ini juga dapat diartikan bahwa pengguna tersebut bersifat dependent atau bergantung pada pengguna yang lain. 2.
Elemen Kebutuhan untuk Pelaksanaan Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya Sub elemen yang menyusun hirarki kebutuhan untuk pelaksanaan program
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya terdiri dari tujuh sub elemen, dengan hasil analisis ISM terbagi dalam empat level (Gambar 31). Sub elemen stabilitas politik merupakan elemen yang menempati level 1. Hasil tersebut memberi pengertian bahwa stabilitas politik merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi untuk mendorong integrasi perkembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Elemen tersebut juga dapat diartikan sebagai pilar utama yang menjamin keberlangsungan perikanan tangkap berbasis budidaya. Level 2 terdiri dari sub elemen kemudahan birokrasi (E2), permodalan (E5), dan pemasrana yang terjamin (E7) merupakan jenis kebutuhan lanjutan yang dibutuhkan
bagi
perkembangan
perikanan
tangkap
berbasis
budidaya.
Kebutuhan berikutnya adalah ketersediaan lahan budidaya (E3) dan teknologi tepat guna (E6) yang berada pada level 3. Pemenuhan kebutuhan penting yang juga harus diperhitungkan adalah suasana kondusif dan aman (E1).
110
Gambar 31. Hirarki elemen kebutuhan yang terpengaruh dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Hasil pengelompokkan elemen kebutuhan dalam grafik dependence driver power (Gambar 32) menunjukkan bahwa suasana kondusif dan aman (E1) berada dalam peubah bebas (sektor independent), hasil ini menunjukkan bahwa peubah tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, tetapi memiliki sedikit ketergantungan terhadap pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.
7 6 (5)
5
DRIVER POWER
(1) 4 0
1
2
33
(2, 7)
(3, 6) 4
(4) 5
6
7
2 1 0 DEPENDENCE
Gambar 32.
Grafik driver power dependence untuk elemen kebutuhan untuk integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
111
Sub elemen kemudahan birokrasi (E2), ketersediaan lahan budidaya (E3), stabilitas politik dan moneter (E4), permodalan (E5), teknologi tepat guna (E6), dan pemasaran yang terjamin (E7) yang berada dalam sektor III (linkage) menunjukkan bahwa sub elemen tersebut memiliki daya dorong yang besar dan akan saling mempengaruhi dalam pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. 3. Elemen Kendala dalam Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya Hirarki elemen kendala dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya disusun dari lima sub elemen yang terbagi dalam empat level (Gambar 33) dan pengelompokkan dalam grafik driver power dependence disajikan pada Gambar 34.
Gambar 33. Hirarki elemen kendala dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Keterbatasan modal (E1) merupakan sub elemen dari elemen kendala yang menempati level 1 yang sekaligus merupakan elemen kunci, artinya sub elemen ini harus mendapat prioritas penyelesaian dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Dalam posisinya sebagai elemen kunci, penyelesaian kendala ini akan mendorong penyelesaian kendala lain yang dapat menghambat upaya integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
112
5
4
(1)
DRIVER POWER 3 0
(4)
1
2 2 (3, 4)
3 (2)
4
5
1
0 DEPENDENCE
Gambar 34. Grafik driver power dependence kendala dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Apabila kendala keterbatasan modal ini dapat diatasi, maka kendala yang berada pada level 2 diharapkan juga dapat diselesaikan, karena penyelesaiaan masalah tersebut banyak diantaranya terkait dengan kebutuhan modal. Sub elemen kendala yang memiliki daya dorong kuat dan saling mempengaruhi terhadap elemen yang lain adalah keterbatasan modal (E1) yang berada dalam sektor III (linkage), sehingga diperlukan kehati-hatian menangani masalah tersebut. Dalam sektor II (peubah terikat atau dependent) terdapat kendala keterbatasan sarana dan prasarana (E2), yang berarti kendala tersebut memiliki daya dorong yang cukup lemah dan dipengaruhi oleh sub elemen yang lain. 4.
Elemen Perubahan yang mungkin terjadi dari Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya Berdasarkan hasil analisis ISM, elemen perubahan yang mungkin terjadi
terdiri dari 7 sub elemen yang terbagi dalam 3 level (Gambar 35) dan digambarkan dalam bentuk grafik driver power dependence pada Gambar 36.
113
Gambar 35. Hirarki elemen perubahan yang mungkin terjadi dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Sub elemen yang menjadi elemen kunci pada elemen perubahan adalah peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya (E2) yang berada pada level 2 dan memiliki nilai DP tertinggi (5). Dalam posisinya sebagai variabel penentu, penyelesaian perubahan ini akan mendorong penyelesaian perubahan lain yang dapat menghambat upaya integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Apabila perubahan peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya bisa diatasi, maka perubahan sub elemen lainnya yang berada pada level 1, 2, dan 3 diharapkan juga bisa berjalan dengan baik.
7 6 5
(2)
4
(3)
33
4 (6)
DRIVER POWER (4, 7) 0
1
2
2 1 0 DEPENDENCE
(1, 5) 5
6
7
114
Gambar 36. Grafik driver power dependence elemen perubahan yang mungkin terjadi dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Berdasarkan plot pada grafik driver power dependence (Gambar 34) terlihat bahwa keterjaminan pasar produk budidaya (E4) dan penataan ruang laut (E7) berada dalam sektor IV (peubah bebas atau independent), yang berarti bahwa peubah ini mempunyai daya dorong kuat dengan nilai DP tinggi, tetapi memiliki sedikit ketergantungan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya di kawasan ini. Sub elemen perubahan yang memiliki daya dorong kuat dan saling mempengaruhi terhadap sub elemen lain adalah peningkatan jumlah nelayan pembudidaya (E1), peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya (E2), peningkatan PAD (E3), dan peningkatan investasi yang berada dalam sektor III (linkage),
sehingga
diperlukan
prinsip
kehati-hatian
dalam
menangani
perubahan-perubahan tersebut. Dalam sektor II (peubah terikat atau dependent) terdapat perubahan pengembangan wilayah (E6) yang berarti perubahan tersebut memiliki daya dorong yang cukup lemah dan dipengaruhi oleh elemen yang lain.
5.
Elemen Tujuan dari Program Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya Berdasarkan hasil analisis ISM, elemen tujuan terdiri dari 6 sub elemen
yang terbagi dalam 4 level (Gambar 37). Sub elemen tujuan yang menjadi elemen kunci adalah peningkatan investasi (E5), karena memiliki nilai DP tertinggi (6) dan berada pada level 1. Keberhasilan pencapaian tujuan tersebut akan mendorong peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan pembudidaya (E1) yang juga berada pada level 1, peningkatan PAD (E2) dan pengembangan daerah (E3) pada level 2, optimalisasi potensi SDI (E6), serta sub elemen pada level 4 yaitu keterjaminan pasar produk budidaya.
115
Gambar 37. Hirarki elemen tujuan dari program integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Jika dilihat dari hubungan driver power dependence elemen tujuan yang diplotkan (Gambar 38), maka peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan pembudidaya (E1), peningkatan PAD (E2), dan peningkatan investasi (E5) bersifat linkage atau berada pada sektor III, yang berarti saling berpengaruh dengan sub elemen lain. Pengembangan daerah (E3) merupakan sub elemen yang berada di sektor II (peubah terikat atau dependent) yang berarti tujuan tersebut berdaya dorong rendah dan dipengaruhi oleh sub elemen lain. Hal ini juga dapat diartikan apabila tujuan di sektor lain tercapai, maka akan mendorong tercapainya tujuan di sub elemen di sektor II ini.
DRIVER POWER
6
(5)
5
(1)
4
(2) (6)
(4) 3 0
1
2
3 2
4
5
6
(3)
1 0 DEPENDENCE
Gambar 38. Grafik driver power dependence elemen tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
116
6.
Elemen Keberhasilan Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, maka elemen keberhasilan
terdiri dari 8 sub elemen dan digambarkan dalam diagram model struktural dari elemen keberhasilan (Gambar 39) dimana elemen keberhasilan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya terbagi dalam 4 level.
Gambar 39 Hirarki elemen keberhasilan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Adapun sub elemen yang menjadi variabel penentu yang mempengaruhi secara signifikan adalah peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya (E2) pada level 3 dengan nilai tertinggi DP (8). Hasil tersebut menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya merupakan keberhasilan yang memiliki peran lebih besar daripada keberhasilan lain dalam integrasi engembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Sub elemen tersebut juga dapat diartikan sebagai pilar utama yang dapat menjamin keberhasilan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Keberhasilan peningkatan pendapatan nelayan akan mendorong keberhasilan lain yang berada pada level 1, 2, dan 4 sebagai keberhasilan langsung dalam kegiatan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
117
DRIVER POWER
8
(2)
7
(5)
6
(7)
(6) (1)
5 (4) 4 0
1
2
3 (8)
3
4
5
6
7
8
(3)
2 1 0 DEPENDENCE
Gambar 40. Grafik driver power dependence keberhasilan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Hasil klasifikasi yang digambarkan dalam grafik driver power dependence elemen keberhasilan (Gambar 40) menunjukkan bahwa sub elemen penurunan angka kemiskinan dan pengangguran (E1), peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya (E2), peningkatan harga ikan (E4), peningkatan volume dan nilai produksi (E5), dan peningkatan pangsa pasar (E6), peningkatan investasi (E7) yang berada pada sektor III (linkage) menunjukkan bahwa sub-sub elemen tersebut memiliki daya dukung yang besar dan akan saling mempengaruhi dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Peningkatan PAD dan PNBP (E3) berada dalam sektor peubah tidak bebas atau dependent (sektor II). Dengan posisi tersebut berarti sub elemen tersebut mempunyai daya dorong relatif kecil dan tergantung pada peubah-peubah lainnya. 7.
Elemen Aktivitas Yang Dibutuhkan Guna Perencanaan Tindakan Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya Elemen
aktivitas
yang
dibutuhkan
dalam
integrasi
pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya disusun dari 6 sub elemen dengan hirarki yang terbagi dalam 4 level (Gambar 41).
118
Gambar 41. Hirarki elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Hirarki pada Gambar 39 menempatkan aktivitas koordinasi antar sektor (E1) pada level 1, yang sekaligus menempatkan elemen tersebut sebagai elemen kunci pada struktur elemen aktivitas yang akan mendorong aktivitas yang lain. Perumusan Perda (E2) dan kemudahan akses terhadap teknologi dan informasi (E4) merupakan sub elemen pada level 2 yang perlu mendapat perhatian karena aktivitas tersebut akan mendorong sub elemen aktivitas pada level berikutnya.
(1)
6 (5)
5 DRIVER POWER
(2)
(6)
4
(4) (3)
3 0
1
2
3
4
5
6
2 1 0 DEPENDENCE
Gambar 42. Grafik driver power dependence aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.
119
Berdasarkan
plot
grafik
dependence
driver
power
(Gambar
42)
menunjukkan sub elemen sosialisasi kelayakan perikanan budidaya (E6) berada pada sektor IV yang berarti merupakan peubah bebas (independent) dan memiliki kekuatan penggerak lebih besar dari sub elemen lain. Perumusan Perda (E2), menciptakan iklim kondusif (E3), kemudahan akses terhadap teknologi dan informasi (E4), serta monitoring dan pengelolaan perikanan budidaya (E5) berada di sektor III, yang berarti sub-sub elemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang cukup besar dan merupakan subsub elemen yang saling terikat dengan sub elemen yang lain (linkage) dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
8.
Elemen Pelaku Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, maka elemen pelaku
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang terdiri dari 10 sub elemen pelaku dapat digambarkan dalam bentuk hirarki (Gambar 43) dan dibagi dalam empat sektor dalam grafik dependence driver power (Gambar 44).
Gambar 43. Hirarki elemen pelaku pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.
120
(7) DRIVER POWER
10
(10)
9
(3)
(1, 2)
8
(4)
7
(5, 6, 8, 9)
6 5 0
1
2
3
4 4 5
6
7
8
9
10
3 2 1 0 DEPENDENCE
Gambar 44. Grafik driver dependence power pelaku integraasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Dari Gambar 43 diketahui bahwa elemen pelaku pengembangan terbagi dalam 3 level. Sub elemen yang menjadi pelaku yang berada dalam level 1 adalah nelayan (E1), pembudidaya (E2), Pemkab (E4), Pemprov (E5), Pempus (E6), camat (E8), dan lurah (E9). Adapun sub elemen yang menjadi elemen kunci dari elemen pelaku integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya adalah nelayan (E1), pembudidaya (E2), dan masyarakat (E10), yaitu pada level 1 (E1 dan E2) dan level 2 (E10). Hasil tersebut menunjukkan bahwa nelayan (E1) dan pembudidaya (E2) merupakan pelaku yang memiliki peran lebih besar dari pelaku lain . Peran nelayan dan pembudidaya tersebut menunjukkan tindakan yang dilakukan dapat mempengaruhi dan memberikan dorongan yang besar bagi pelaksanaan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Peran kedua pelaku tersebut harus diarahkan kepada pencapaian tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Hasil klasifikasi yang digambarkan pada grafik dependence driver power (Gambar 44) menunjukkan bahwa elemen nelayan, pembudidaya, Pemkab, Pemprov, Pempus, camat, dan lurah menempati sektor III (linkage), yang berarti pelaku-pelaku ini memiliki keterkaitan yang kuat dan daya dorong yang besar dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Hal ini karena nelayan dan pembudidaya memiliki nilai driver power tertinggi,
121
sehingga dapat menjadi pendorong yang sangat kuat bagi elemen-elemen yang lain. Elemen bank (E3), perguruan tinggi (E7) dan masyarakat (E10) menempati sektor IV (independent) dan nilai DP yang cukup tinggi (E3 dan E7) dan tinggi (E10). Hal ini berarti bank, perguruan tinggi dan masyarakat memiliki peran yang besar
untuk
mempengaruhi
pelaku
yang
lain
dalam
rangka
integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
9.
Elemen Tolok Ukur Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya Berdasarkan hasil analisis dengan ISM, elemen tolok ukur untuk penilaian
tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya terdiri dari 6 sub elemen yang terbagi dalam 5 level (Gambar 45).
Gambar 45. Hirarki elemen tolok ukur untuk pencapaian tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
122
6
(5)
5
(1)
DRIVER POWER
4
(2) (6)
(4) 3
0
1
2
3
4
2
5
6
(3)
1 0 DEPENDENCE
Gambar 46. Grafik driver dependence power untuk pencapaian tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Pada level 1 terdapat sub elemen peningkatan PAD (E2) (Gambar 45). Pada level 2 terdapat peningkatan harga ikan (E5). Level 3 diduduki oleh sub elemen peningkatan investasi (E3), sedangkan pada level 4 terdapat sub elemen peningkatan
jumlah
dan
pendapatan
nelayan
pembudidaya
(E1)
dan
pengembangan daerah (E4). Peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan pembudidaya menempati level 4 dan merupakan elemen kunci sebagai tolok ukur dalam pencapaian tujuan dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Hal ini sejalan dengan prioritas tujuan dari integrasi pengembangan
perikanan
tangkap
dan
perikanan
budidaya
yang
diidentifikasikan sebelumnya, yaitu meningkatkan pendapatan nelayan. Jika dilihat dari hubungan dependence driver power yang diplot pada Gambar 46, maka sub elemen keterjaminan pasar (E4) dan peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan pembudidaya (E1) berada dalam sektor IV (peubah bebas atau independent). hasil tersebut mengindikasikan bahwa sub-sub elemen tersebut
mempunyai
kekuatan
pendorong
yang
besar
dalam
integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Sub elemen peningkatan PAD (E2), peningkatan investasi (E3), dan peningkatan harga ikan (E6) memiliki daya dorong yang kuat, serta bersifat linkage (sektor III) yang berarti saling berpengaruh dengan sub elemen lain. Pengembangan daerah merupakan sub elemen yang berada di sektor II (peubah terikat atau dependent) yang berarti tolok ukur tersebut berdaya dorong
123
rendah dan dipengaruhi oleh sub elemen lain. Hal ini juga dapat diartikan apabila tolok ukur di sektor lain tercapai, maka akan mendorong tercapainya sub elemen di sektor II ini.
5
PEMBAHASAN
Integrasi pengembangan perikanan budidaya dan perikanan tangkap di Kabupaten Teluk Lampung terdiri atas 3 (tiga) alternatif program kegiatan yaitu program optimalisasi panangkapan ikan, program optimalisasi pembudidayaan ikan dan pengembangan perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya. Berikut akan dijelaskan hasil analisis seperti telah diuraikan pada Bab 4. 5.1
Kondisi Perikanan Tangkap Dengan potensi (supply capacity) yang besar dan permintaan terhadap
produk dan jasa kelautan dan perikanan yang terus meningkat, maka sektor kelautan dan perikanan berpeluang tinggi untuk menjadi salah satu soko guru (prime mover) perekonomian nasional. Kondisi perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan dari segi produksi ikan selama tahun 2002-2006 cenderung mengalami peningkatan (Gambar 14). Perkembangan jumlah perahu atau kapal penangkap ikan masih didominasi oleh perahu tanpa motor (Gambar 14), hal ini menunjukkan bahwa perikanan tangkap yang ada di Kabupaten Lampung Selatan merupakan perikanan skala kecil, dengan alat tangkap dominan pada tahun 2006 adalah pancing dan bubu (Tabel 32). Alat tangkap ini menjadi populer di kalangan nelayan karena mudah dioperasikan dan murah biayanya. Dilihat dari aspek peralatan tangkap sebagian besar nelayan masih mempergunakan jenis peralatan yang sederhana dengan daerah penangkapan masih di sekitar perairan pantai dan dekat dengan tempat tinggal nelayan. Berbagai kendala penyebab kondisi sederhananya armada dan alat tangkap yang keseluruhannya berpangkal dari ketidakmampuan nelayan dalam memperoleh modal kerja dan masih rendahnya pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia dari masyarakat nelayan, sehingga orientasi kegiatan kenelayanan masih bersifat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sumberdaya perikanan tangkap yang terdapat diperairan Kabupaten Lampung Selatan hampir sama dengan perairan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 572 lainnya, yaitu jenis ikan pelagis kecil yang bersifat neritik yaitu kelompok ikan yang menggerombol dan bergerak relatif tidak jauh dari pantai, ikan demersal dan udang serta ikan pelagis besar yang memiliki sifat highly migratory.
125
Memperhatikan komposisi alat tangkap yang beroperasi di perairan Kabupaten Lampung Selatan maka dapat dikatakan bahwa sumberdaya ikan pelagis kecil, ikan demersal dan udang pada kedalaman < 100 m sudah termanfaatkan
bahkan
mendekati
over
eksploitasi,
sedangkan
potensi
sumberdaya ikan pelagis kecil oseanik hampir belum termanfaatkan. Hal ini mengingat kemampuan dan daya jelajah armada yang dioperasikan belum mampu menjangkau ke perairan samudera yang lebih jauh ke tengah. Pengembangan perikanan tangkap di Lampung Selatan dapat dilakukan dengan melakukan modernisasi alat tangkap yang dominan dipergunakan oleh nelayan, yaitu bubu. Modernisasi bubu dapat dilakukan dengan pembuatan kontruksi bubu dari besi dengan penambahan umpan. Dengan peningkatan teknologi bubu ini diharapkan akan meningkatkan produktivitas nelayan. Sesuai dengan penelitian Tomas (2004) bahwa penangkapan menggunakan bubu besi dengan umpan menghasilkan tangkapan yang lebih banyak daripada bubu dari bambu tanpa umpan. Peningkatan teknologi alat tangkap bubu ini sesuai dengan kondisi sumberdaya krustasea yang baru termanfaatkan sebesar 27,99% pada tahun 2007 (Tabel 27). Pengembangan
perikanan
tangkap
juga
dapat
dilakukan
dengan
pengembangan alat tangkap bagan sebagai alat tangkap yang mempunyai target ikan lainnya (seperti teri). Bagan yang perlu dikembangkan adalah bagan perahu, hal ini terkait target penangkapan yang merupakan jenis ikan yang bergerombol dan berpindah-pindah sesuai perubahan pasang surut dan arus air laut. Hal ini sesuai dengan potensi ikan lainnya di Teluk Lampung yang sampai tahun 2007 masih termanfaatkan 45,8% (Tabel 30). Sedangkan untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan pesisir diperlukan
upaya
penambahan
stok
melalui
kegiatan
penebaran
dan
pembatasan aktivitas penangkapan seperti: pembatasan musim penangkapan, alat tangkap, lokasi dan atau penetapan kuota. Penurunan sumberdaya perikanan terjadi secara global, saat ini 80% dari stok perikanan dunia sudah mengalami eksploitasi penuh (fully exploited), eksploitasi lebih (over exploited) bahkan sudah ada yang menunjukkan kepunahan (collaps) (Mora et al, 2009). Kondisi ini juga terjadi pada perairan Teluk Lampung, yang diindikasikan dengan penurunan ”catch per unit effort (CPUE),sesuai pendapat Atmaja dan Nugroho (2006) yang menyatakan bahwa penurunan CPUE mengindikasikan penurunan biomassa seperti yang terjadi
126
pada perikanan cantrang di Tegal (Ernawati dan Sumiyono,2009) perikanan pukat cincin di Kalimantan Barat (Hariati et al.,2009) dan ikan pelagis di Selat Sunda (Atmaja dan Nugroho, 2005; Amri, 2008). Penurunan potensi sumberdaya dapat diketahui dengan beberapa indikasi yang muncul seperti jumlah tangkapan yang semakin menurun, ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil- kecil dan hilangnya beberapa jenis ikan endemik (Hartoto, 2000; Worm,2006; Mateus and Estupinan, 2002). McPhie
dan
Campana (2009), menyatakan umur maksimum dan umur saat matang gonad dapat untuk menduga rata- rata pertumbuhan populasi sementara ukuran tubuh ikan sebagai indikasi status suatu sumberdaya. Untuk menjaga kelestarian dan keberlangsungan sumberdaya ikan di Teluk Lampung diperlukan suatu strategi pengelolaan yang tepat dan komprehensip serta terintegrasi. 5.2
Perikanan Budidaya Hingga saat ini tingkat pemanfaatan usaha perikanan budidaya masih
sangat rendah, padahal luas perairan yang sesuai untuk kegiatan budidaya sangat luas, sehingga peluang pengembangan usaha perikanan budidaya di tanah
air
masih
sangat
besar.
Khususnya
di
perairan
laut,
peluang
pengembangan masih sangat terbuka di mana Indonesia memiliki perairan laut yang potensial (sesuai) untuk usaha budidaya laut terluas di dunia. Berdasarkan pada perhitungan sekitar 5 (lima) km dari garis pantai ke arah laut, maka potensi luas perairan laut Indonesia yang sesuai untuk kegiatan budidaya laut diperkirakan sekitar 24,53 juta ha. Luasan potensi kegiatan budidaya tersebut terbentang dari ujung barat Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia. Pengembangan perikanan budidaya di Indonesia ke depan harus dilakukan dengan memperhatikan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), antara lain dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu: kelestarian lingkungan SDA, pengembangannya dilakukan secara berkelanjutan, keamanan pangan (food safety), tidak memodifikasi genetik biota (genetic modified organism), ecolabelling, dan traceability. Kabupaten Lampung Selatan memiliki potensi lahan yang merupakan peluang untuk mengembangkan kegiatan budidaya laut, yaitu di Kalianda, Tarahan, Hanura/Teluk Hurun, Ringgung, Tanjung Putus, Puhawang dan Pulau Sebesi. Pemanfaatan lahan budidaya laut masih kecil bila dibandingkan dengan potensi yang tersedia. Dari lahan yang tersedia untuk kegiatan budidaya laut di
127
Kabupaten Lampung Selatan yaitu seluas 18.775 ha, hanya 1,9 % (370 ha) yang telah digunakan untuk kegiatan budidaya laut. Kegiatan budidaya perikanan laut (mariculture) dengan beberapa jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi di Kabupaten Lampung Selatan telah berkembang pada beberapa lokasi. Kegiatan budidaya laut seperti ikan Kerapu (Epinephalus spp) dan kerang mutiara sudah mulai dikembangkan melalui proyek budidaya laut yang dirintis oleh BPPL Lampung Selatan. Ada beberapa unit keramba jaring apung (KJA) yang dikelola oleh pengusaha perikanan di dalam skala usaha besar. Sedangkan untuk masyarakat umum masih terbatas pada pemeliharaan ikan dalam jaring tancap (keramba) yang dipasang di sekitar perairan pantai, umumnya terdapat disamping rumah-rumah panggung nelayan, ikan yang dipelihara adalah kerapu bebek dan kerapu macan. Usaha keramba ini telah berjalan cukup lama namun perkembangannya sangat lambat hal dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: (1) keterbatasan keterampilan dalam hal penggunaan teknologi; (2) sulitnya mendapat benih dan pakan; (3) masih rendahnya motivasi; dan (4) kurangnya modal untuk usaha. Lokasi budidaya laut untuk proses pembesaran jenis ikan ekonomis penting berupa keramba yang terbuat dari kayu dan jaring nylon sudah sangat berkembang. Nelayan yang berumah di pinggir-pinggir pantai, umumnya memanfaatkan
lahan
perairan
pantai
sebagai
tempat
keramba.
Usaha
pembesaran ikan tersebut merupakan suatu cara untuk menabung uang bagi keluarga nelayan di daerah ini. Kegiatan budidaya laut yang berkembang dan diusahakan nelayan di Kabupaten Lampung Selatan dengan cara sederhana yaitu menggunakan keramba untuk membesarkan benih ikan karang yang bernilai ekonomi penting seperti kerapu. Perkembangan produksi budidaya di Lampung Selatan memiliki trend yang positif (naik), walaupun berfluktuasi setiap tahunnya (Tabel 10). Perkembangan produksi budidaya laut ini juga diikuti oleh perkembangan RTP budidaya laut yang jumlahnya juga mengalami kenaikan (Tabel 12). Jenis ikan yang dibudidayakan di lampung Selatan masih didominasi oleh kerapu, yaitu kerapu bebek dan kerapu macan, di mana dari tahun 2002-2006 jumlah benih yang ditanam semakin bertambah (Tabel 16). Di samping itu berkembang pula usaha budidaya rumput laut. Namun kegiatan budidaya di Kabupaten Lampung Selatan yang ada dan berkembang bukanlah penebaran benih ikan, melainkan kegiatan budidaya laut
128
dalam keramba jaring apung, yaitu benih-benih dibesarkan di lahan-lahan yang berpotensi untuk kegiatan budidaya laut dalam keramba jaring apung. Sejalan dengan hal itu, di bidang perikanan budidaya diperlukan adanya kesadaran baru dari masyarakat dan stakeholder, untuk memposisikan pola pikir dan persepsinya, agar perikanan budidaya memiliki peran penting dalam perekonomian nasional. Untuk itu, masyarakat dan stakeholder perikanan budidaya, harus mampu memperluas cakupan komponen kegiatan usaha perikanan budidaya dari hulu sampai ke hilir, sehingga aktivitas ekonomi perikanan budidaya mencakup pula berbagai kegiatan manufaktur dan jasa yang berhubungan langsung dengan kegiatan bisnis perikanan budidaya. Dengan kata lain, kegiatan perikanan budidaya harus mencakup pula kegiatan industri sarana produksi, pengolahan dan pemasaran hasil dalam suatu kesisteman yang tangguh. Dalam kerangka itu dipandang perlu melakukan revitalisasi perikanan budidaya sebagai upaya percepatan pembangunan perikanan. Kegiatan
pengembangan
budidaya
laut
masih
memerlukan
suatu
perubahan budaya dari pelaku perikanan. Hal ini karena kegiatan budidaya merupakan kegiatan kultivasi yang membutuhkan perhatian, waktu yang lebih lama, input yang banyak, dan biaya yang lebih mahal. Di sisi lain ketidaktentuan hasil panen merupakan kendala yang mungkin terjadi. Pengembangan perikanan budidaya berjalan sangat lambat dikarenakan adanya berbagai permasalahan yang dihadapi, diantaranya: (1)
Kendala lingkungan: sumber daya lahan yang terbatas atau sulit dikembangkan untuk budidaya, terbatasnya jumlah dan kualitas air yang tersedia, dan bencana alam, seperti banjir dan tsunami.
(2)
Kendala sosial ekonomi dan budaya: terbatasnya sarana dan prasarana produksi, fluktuasi harga produk perikanan yang dihasilkan sehingga menyulitkan perencanaan bisnis khususnya dalam membuat prediksi biaya hasil (output) produksi, dan masih rendahnya kualitas SDM perikanan.
(3)
Kendala
kelembagaan:
keterbatasan
pelayanan
penyuluhan
oleh
pemerintah, organisasi petani ikan belum berkembang dengan baik oleh karena kualitas SDM masih sangat rendah, dan masih lemahnya dukungan dari lembaga keuangan bank dan non bank dalam hal dukungan permodalan dan pengembangan usaha. (4)
Kendala
teknologi:
penyediaan
teknologi
pembenihan
yang
belum
sepenuhnya memadai karena belum terpecahkannya masalah transportasi
129
benih, terbatasnya penyediaan pakan buatan, rendahnya penguasaan teknik pembasmian penyakit di tingkat petani, belum adanya tata ruang pengembangan budidaya laut, belum tercukupinya pasokan benih dan sarana produksi lain seperti pakan dan obat-obatan, serta belum terkendalinya masalah lingkungan dan penyakit.
5.3
Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Perikanan Budidaya Pengembangan perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya dilakukan
dalam rangka menyeimbangkan pemanfaatan sumberdaya perikanan guna kepentingan ekonomi masyarakat dan kelestarian sumberdaya perikanan itu sendiri dan lingkungan adalah salah satu alternatif program pengembangan perikanan yang sangat mengintegrasikan antara kegiatan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Kegiatan ini masih tergolong baru untuk diaplikasi di perairan laut, selama ini konsep ini diterapkan pada perairan umum di darat seperti: waduk dan rawa/situ. Secara sederhana kegiatan ini terdiri atas: (1) penetapan lokasi dan batas-batasnya, (2) pengorganisasian masyarakat yang terlibat (organsisasi dan aturan), (3) penyusunan rencana kerja, (4) penebaran, (5) pengawasan, (6) pemanenan dan (7) pemungutan iuran untuk dana penebaran kembali. Benih ikan yang akan ditebar di lokasi pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya di laut adalah jenis ikan yang non migratori, memiliki pertumbuhan cepat, teknologi perbenihan telah dikuasi dan memiliki nilai ekonomis penting, seperti: beberapa jenis ikan kerapu, kakap putih dan udang. Lokasi penebaran ditetapkan dengan jelas batas dan wilayahnya. Lokasi yang telah ditetapkan untuk dikelola dan ditebari ikan selanjutnya ditetapkan secara adat (kearifan lokal) serta disosialisasikan secara luas kepada masyarakat sekitar untuk menghindari gangguan dari aktivitas lain. Selama masa pemeliharaan atau dari penebaran sampai panen anggota kelompok secara bergantian mengawasai lokasi tersebut dari berbagai macam gangguan dan melakukan berbagai upaya untuk perbaikan kualitas lingkungan seperti transplantasi karang dan pembuatan terumbu karang buatan. Beberapa lokasi dapat dikembangkan sebagai lokasi pengembangan perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya, diantaranya Pulau Sebesi. Secara biofisik perairan ini sangat sesuai dan berpotensi untuk pengembangan perikanan budidaya laut, akan tetapi karena perairan tersebut sebelumnya telah
130
ditetapkan sebagai daerah perlindungan laut (marine protected area) maka kegiatan yang bisa dikembangkan pada kawasan tersebut adalah kegiatan pemanfaatan terbatas, diantaranya perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya. 5.4
Pengembangan Sistem Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya Setiap daerah memiliki keragaman potensi dan sistem nilai dalam
mengelola kekayaan SDA yang dimilikinya. Agar SDA tersebut dapat memberikan manfaat yang berkesinambungan, diperlukan kebijakan publik yang dirumuskan berdasarkan pendekatan sistem, yang dimulai dengan kemampuan dalam melakukan identifikasi potensi dan permasalahan lokal, serta dipadukan dengan perkembangan wilayah sekitar, regional maupun global. Pengelolaan wilayah bertumpu pada sumber daya lokal (local based resources) diyakini mampu memberikan manfaat pembangunan perikanan tangkap berbasis budidaya secara berkelanjutan. Namun demikian, dinamika globalisasi dan perubahan situasional yang semakin cepat membutuhkan keputusan yang mempertimbangkan seluruh aspek (holistic), berorientasi pada tujuan yang jelas (cybernetics) dan dapat diaplikasikan (effective) (Eriyatno, 1999).
5.4.1 Sub model potensi Potensi SDI di Lampung Selatan menunjukkan bahwa CPUE cenderung negatif, hal ini menunjukkan bahwa SDI sudah mengalami penurunan sehingga perlu strategi pengelolaan yang tepat agar dapat mempertahankan atau bahkan memulihkan sumberdaya yang ada. Peningkatan pemanfaatan SDI dengan penambahan jumlah armada penangkapan harus dilakukan dengan hati- hati. Berdasarkan data jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Lampung Selatan yang semakin meningkat dengan pertambahan rata- rata tiap tahun 303 kapal per tahun, sementara itu peningkatan CPUE rata – rata tiap tahun hanya 0,5 ton. Dikawatirkan jika penambahan kapal yang beroperasi di Kabupaten Lampung selatan tidak di batasi atau direncanakan dengan baik dapat mengakibatkan CPUE di daerah tersebut akan tetap bahkan dapat mengalami penurunan.
131
Jumlah Unit Penangkap Ikan
Perkembangan Jumlah Kapal di Kabupaten Lampung Selatan 5000 4000 3000
effort
2000
Linear (effort)
y = 309.2x - 615697
1000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun
Gambar 47. Tren perkembangan jumlah kapal di Kabupaten Lampung Selatan. Sifat laut yang open akses memungkinkan sumberdaya ikan yang ada di Teluk Lampung bergerak ke perairan lainnya di luar Teluk dan tertangkap nelayan di luar Teluk, sejalan dengan itu juga kemungkinan adanya nelayan dari luar wilayah Teluk Lampung yang melakukan penangkapan ikan di dalam teluk, juga akan berpengaruh terhadap ketersediaan dan potensi sumber daya ikan di perairan tersebut. Kemungkinan adanya kegiatan penangkapan ikan di wilayah Teluk Lampung oleh nelayan dari luar sangat dimungkinkan karena secara umum potensi perikanan tangkap di wilayah perairan propinsi Lampung mengalami penurunan termasuk perikanan tangkap laut (Ditjen Perikanan Tangkap, 2008); seperti terlihat pada gambar berikut : CPUE Perikanan Tangkap Laut Prop. Lampung 25 CPUE (ton)
20 15
CPUE
10
Linear (CPUE)
5 0 2000
2002
2004
2006
2008
Tahun
Gambar 48. Tren produksi dan effort perikanan tangkap Provinsi Lampung . Penurunan potensi sumber daya perikanan tangkap yang diindikasikan dengan penurunan hasil tangkapan per unit alat tangkap (catch per unit effort) merupakan fenomena dunia perikanan nasional bahkan internasional. Untuk
132
menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya perikanan tangkap perlu dilakukan suatu program terpadu dan berkelanjutan. Salah satunya adalah dengan melakukan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya, dengan system ini ketersediaan dan kelestarian sumberdaya dapat di pertahankan karena tujuan dari system ini selain meningkatkan produksi (pembesaran) dan kesejahteraan masyarakat juga untuk melakukan pengkayaan stok (restoking).
(1)
Status Pemanfaatan Ikan Demersal Hasil perhitungan terhadap nilai maximum sustainable yield (MSY)
sumberdaya perikanan demersal adalah 4742,281 ton per tahun dengan effort optimum 17106 trip per tahun, seperti pada Gambar 15. Sedangkan tingkat pemanfaatan SDI demersal di Teluk Lampung sudah mengalami over fishing sejak tahun 2004 sampai tahun 2007 atau sudah melebihi dari MSY (Tabel 21). Kondisi ini berkaitan dengan peningkatan effort terhadap sumberdaya ikan demersal yang beroperasi di perairan Teluk Lampung mulai tahun 2001 (14.700 trip) dan mencapai puncaknya pada tahun 2003 (22.535 trip) dengan tingkat pemanfaatan atau produksi 89,55% dari potensi SDI demersal. Tingkat eksploitasi SDI demersal sudah mencapai jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) yaitu 80% dari nilai MSY, jadi sebenarnya mulai tahun 2003 tingkat pemanfaatan SDI demersal Teluk Lampung sudah mencapai eksploitasi penuh (fully exploitated). Sementara
aktifitas penangkapan terus berjalan
meskipun dengan effort yang menurun, jumlah effort terendah pada tahun 2007 yaitu 10.680 trip . Penurunan effort kemungkinan terkait dengan penurunan potensi atau ketersediaan sumberdaya ikan yang sudah mengalami over fishing. Penurunan sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung juga diketahui dari tren CPUE ikan demersal yang menurun dari tahun 2001 sampai tahun 2007. (2)
Status Pemanfaatan Ikan Pelagis Kecil Pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya ikan pelagis di Teluk Lampung
terus mengalami peningkatan dari tahun 2001 sampai tahun 2007, yang terindikasi dari kenaikan jumlah effort atau trip penangkapan. Hasil analisa potensi sumberdaya ikan pelagis menunjukkan bahwa nilai MSY adalah 1396.931 ton per tahun dengan effort optimum 26707 trip per tahun, seperti Gambar 17.
133
Berdasarkan nilai maximum sustainable yield, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis Teluk Lampung mengalami over fishing pada tahun 2003 sampai tahun 2005. Sedangkan pada tahun 2006 dan tahun 2007 status sumberdaya ikan pelagis mengalami perbaikan menjadi fully exploited atau fully operational, seperti pada Tabel 24. Penurunan sumberdaya ikan pelagis pada tahun 2003 kemungkinan sangat erat hubungannya dengan peningkatan effort yang terjadi pada tahun tersebut. Pada tahun 2002 effort yang dilakukan di Teluk Lampung sebesar 18.600 trip dan pada tahun 2003 berlangsung 32515 trip atau terjadi peningkatan effort hamper 100%. Kondisi ini sebanding dengan hasil tangkapan atau produksi yang dihasilkan dari 719,2 ton pada tahun 2002 menjadi 1510,2 ton. Jumlah produksi tahun 2003 tersebut sudah melebihi nilai MSY (1396.931 ton) atau tingkat pemanfaatan SDI pelagis 108% dari potensi yang ada. Sedangkan pada tahun 2004 terjadi penurunan effort terhadap ikan pelagis tatapi produksinya tetap meningkat dan melebihi nilai MSY demikian juga pada tahun 2005. Pada tahun 2006 sampai tahun 2007 tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Teluk Lampung lebih rendah dari nilai MSY (85 – 90%) tetapi kondisi ini tidak menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis tersebut sudah mengalami pemulihan. Hasil perhitungan CPUE ikan pelagis pada tahun 2006 dan 2007 lebih kecil dari nilai CPUE tahun 2005, kondisi ini mengindikasikan bahwa potensi sumber daya ikan pelagis di Teluk Lampung sudah mengalami penurunan. Sesuai pernyataan Hatoto (2000), bahwa salah satu indikasi yang menunjukkan sumberdaya
perikanan
sudah
mengalami
penurunan
adalah
terjadinya
penurunan produksi per satuan usaha/effort (CPUE). (3)
Status Pemanfaatan Krustacea Produksi krustacea di Teluk Lampung sampai dengan tahun 2007 paling
tinggi sama dengan nilai MSY (259,388 ton per tahun) dengan effort optimum 6855 trip per tahun, seperti terlihat pada Gambar 19. Tingkat pemanfaatan sumberdaya krustacea mencapai kondisi over fising (100%) pada tahun 2001 kemudian turun pada tahun 2002 dan 2003. Sementara pada tahun 2004 dan tahun 2005 mengalami over exploted atau mencapai lebih 100% dari potensi yang ada, sedangkan pada tahun 2006 dan 2007 mengalami mengalami penurunan pemanfaatan dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya krustacea hanya 30%.
134
Penurunan produksi sumberdaya perikanan krustacea pada tahun 2007 lebih dipengaruhi oleh penurunan jumlah effort yang dilakukan di Teluk Lampung. Effort atau upaya penangkapan yang dilakukan pada tahun 2007 sebesar 1267 trip atau 30% dari effort optimum. Dari hasil analisa tersebut, pemanfaatan sumberdaya krustacea di Teluk Lampung masih dapat ditingkatkan dengan menambah effort atau upaya penangkapan sebesar 60%. Kondisi ini didukung data CPUE krustacea tahun 2007 yang menunjukkan peningkatan atau lebih tinggi dari tahun 2006. (4)
Status Pemanfaatan Jenis Ikan Lainnya Sumberdaya ikan lain terdiri dari ikan teri dan ikan jenis lain yang
tertangkap menggunakan alat tangkap bagan. Nilai MSY ikan jenis lainnya di Teluk Lampung adalah 5348,72 ton per tahun dengan effort optimum 65245,75. Hasil analisa pemanfaatan sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung seperti pada Gambar 21. Pada tahun 2007 pemanfaatan sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung masih di bawah nilai MSY yaitu 45% dari potensi sumberdaya yang ada. Sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung sebenarnya sudah pernah mengalami tangkapan lebih (over fishing) yitu pada tahun 2005 dan 2006, pada tahun- tahun tersebut produksinya melebihi nilai MSY (120%). Hasil analisa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan jenis lain di Teluk Lampung menunjukkan bahwa potensi sumberdaya tersebut sudah mengalami penurunan yang diindikasikan dengan penurunan CPUE. Seperti yang terjadi pada tahun 2007 walaupun tingkat pemanfaatannya 30% dari potensi yang ada, tetapi dengan melihat nilai CPUE yang lebih kecil dari tahun 2006 menunjukkan bahwa sudah terjadi penurunan potensi sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan penambahan effort atau upaya penangkapan. Upaya yang perlu dilakukan untuk mempertahankan sumberdaya ikan lain di Teluk Lampung adalah dengan tidak menambah effort atau dilakukan pembatasan jumlah alat tangkap dan frekuensi penangkapan atau trip. Penurunan sumberdaya perikanan terjadi secara global, saat ini 80% dari stok perikanan dunia sudah mengalami eksploitasi penuh (fully exploited), eksploitasi lebih (over exploited) bahkan sudah ada yang menunjukkan kepunahan (collaps) (Mora
et al, 2009). Kondisi ini dapat diketahui dengan
beberapa indikasi yang muncul seperti jumlah tangkapan yang semakin menurun, ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil-kecil dan hilangnya beberapa jenis ikan endemik (Hartoto, 2000; Worm,2006). McPhie
dan Campana (2009),
135
menyatakan umur maksimum dan umur saat matang gonad dapat untuk menduga rata- rata pertumbuhan populasi sementara ukuran tubuh ikan sebagai indikasi
status
suatu
sumberdaya.
Untuk
menjaga
kelestarian
dan
keberlangsungan sumberdaya ikan di Teluk Lampung diperlukan suatu strategi pengelolaan yang tepat dan komprehensip dengan strategi pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Strategi pengembangan potensi daerah akan sangat tergantung pada strategi pembangunan ekonomi yang dianut daerah. Dalam mengambangkan potensi daerah tidak boleh dilupakan perlunya membangun yang sifatnya berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan yang dilaksanakan di daerah tidak boleh sampai menguras SDA dan merusak lingkungan. Fungsi lingkungan dalam pembangunan harus tetap dipertahankan karena berfungsi sebagai sumber bahan baku untuk industri, sebagai pengolah limbah alami (natural assimilator) dan sebagai sumber kesenangan dan kenyamanan hidup. Dalam hal ini pemerintah daerah harus tetap bertindak sebagai pengewas dalam pembangunan, sehingga pembangunan yang terjadi di daerah tidak akan merusak SDA dan lingkungan. Seperti diketahui bahwa stock ikan di suatu perairan secara alami dipengaruhi
oleh
pertumbuhan
(growth),
kematian
alami
(mortality),
penangkapan (catching) dan penambahan (restocking). Dari keempat faktor tersebut penangkapan (catchment) yang dilakukan oleh manusia merupakan yang paling berpengaruh terhadap kondisi stock ikan di suatu wilyah perairan. Untuk itu perlu dilakukan pengaturan dan pengelolaan terhadap pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap untuk menjamin kelestariannya. Kegiatan penangkapan dengan teknologi modern yang dilakukan dengan tidak memperhatikan kelestarian atau keberlanjutan dari sumber daya dapat berakibat fatal, salah satunya terjadi lebih tangkap (over fishing) untuk jenis sumber daya ikan tertentu. Menyadari banyak sumber daya akuatik yang sudah mengalami lebih tangkap
dan
bahwa
kapasitas
penangkapan
yang
ada
dewasa
ini
membahayakan konsevasi dan pemanfaatan yang rasional sumber daya, maka pengubahan teknologi yang bertujuan pada peningkatan lebih lanjut kapasitas penangkapan umumnya dipandang tidak diinginkan. Sebagai gantinya suatu pendekatan bersifat kehati-hatian pada pengubahan teknologi yang ditujukan untuk:
136
1. Meningkatkan konservasi dan kelestarian jangka panjang sumber daya perikanan 2. Mencegah kerusakan yang takterbalikkan atau yang tidak bisa diterima oleh lingkungan; 3. Meningkatkan manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh dari penangkapan 4. Meningkatkan keselamatan dan kondisi kerja para karyawan perikanan Teknologi perikanan yang berbeda mempunyai efek yang berlainan terhadap
ekosisitem,
komunitas
penangkapan
dan
keselamatan
para
penggunanya. Sebagai contoh, lebih tangkap yang terjadi pada sumber daya akuatik adalah hasil dari efisiensi teknologi penemuan dan penangkapan ikan. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan yang bersifat kehati-hatian dalam pengembangan teknologi perikanan guna menghindari perubahan mendadak yang tidak direncanakan terhadap tekanan penangkapan. Termasuk dalam memperkenalkan atau mengaplikasikan suatu alat atau teknologi baru, juga harus menggunakan pendekatan kehati-hatian karena suatu teknologi perikanan akan menghasilkan efek samping terhadap lingkungan dan spesies non-target. Tujuan dari pengelolaan stok ikan adalah menjamin kelestarian dan keberlanjutan dari sumber daya ikan sehinga dapat dimanfaatkan oleh generasi berikutnya. Pengelolaan sumber daya tersebut dengan : close season fishing (pelarangan
penangkapan
ikan
pada
musim
tertentu),
close
area
(penutupan/pelarangan penangkapan ikan pada daerah tertentu), pembatasan alat tangkap, dan sistem quota penangkapan. (5)
Close season fishing Pengendalian pemanfaatan sumber daya perikanan dapat dilakukan
dengan memberlakukan sistem close season fishing atau penutupan/ pelarangan aktifitas penangkapan pada musim tertentu. Kebijakan ini dilakukan berdasarkan siklus hidup dari ikan, karena pada musim tersebut ikan yang menjadi target penangkapan dalam kondisi siap memijah atau masih dalam tahap pertumbuhan yang masih memungkinkan ikan untuk tumbuh lebih besar atau ikan belum mencapai ukuran ideal untuk ditangkap. Pada saat penutupan daerah penangkapan perlu dilakukan pengawasan yang ketat dengan melibatkan masyarakat di sekitar perairan Teluk Lampung atau Kelompok Pengawas Masyarakat (POKWASMAS) apabila di sekitar Teluk sudah terbentuk kelompok pengawas. Namun apabila belum ada kelompok pengawas masyarakat,
137
kelompok nelayan yang ada juga dapat difungsikan sebagai pengawas agar penutupan pada musim tertentu lebih efektif dan efisien. (6)
Close area (penutupan daerah dari operasi penangkapan) Cara pengendalian eksploitasi sumber daya perikanan dapat dilakukan
dengan cara penutupan suatu wilayah atau daerah perairan tertentu. Close area ini biasa diberlakukan pada daerah perairan yang merupakan daerah pemijahan atau daerah asuhan/ tempat mencari makan anak- anak ikan, seperti daerah perairan hutan mangrove dan padang lamun. Pelarangan penangkapan ikan di daerah ekosistem tersebut secara langsung dapat mencegah kepunahan jenis sumber daya ikan, karena proses regenerasi tetap dapat berlangsung. Penutupan daerah tertentu ini diharapkan dapat memberikan peluang bagi spesies ikan tertentu untuk berkembang biak secara alami tanpa diganggu oleh aktivitas penangkapan. Melakukan pemijahan sesuai dengan sifat alamiahnya, tumbuh dengan baik dengan memanfaatkan makanan yang ada disekitarnya. Penutupan daerah penangkapan dimungkinkan juga memberikan peluang bagi biota laut lainnya dapat tumbuh dengan subur dalam suatu ekosistem sehingga proses siklus hidup berjalan secara alamiah.
(7)
Pembatasan alat tangkap Tekanan eksploitasi daerah penangkapan di wilayah perairan Indonesia
tidak sama antar satu daerah dengan daerah yang lainnya. Pada suatu daerah produksi perikanan masih tinggi/produktif, sedang di daerah yang lain telah mengalami penurunan produksi. Salah
satu faktor yang menyebabkan
penurunan produksi tangkap suatu daerah perairan adalah meningkatnya atau tingginya armada penangkapan di daerah tersebut. Untuk daerah-daerah tertentu yang sudah mengalami penurunan produksi dapat diberlakukan pembatasan jumlah armada penangkapan untuk menghindari terjadinya tangkap berlebih terhadap sumber daya perikanan. Pembatasan alat tangkap harus juga disesuaikan dengan jumlah dan jenis stok yang ada dalam suatu perairan dengan kata lain bahwa jumlah dan jenis stok yang ada juga harus dihitung berdasarkan analisis yang tepat untuk menghindari pengambilan keputusan yang salah. Apabila stok ikan demersal yang sudah mulai menurun pembatasan alat tangkap harus diarahkan pada alat tangkap ikan demersal, demikian halnya ikan
138
pelagik kecil yang sudah mulai berkurang pembatasan alat tangkap dilakukan pada alat tangkap yang tujuan penangkapannya pada ikan-ikan pelagik kecil. Hal ini seperti yang dilakukan pemerintah dalam pembatasan alat tangkap yang boleh dioperasikan di laut Jawa.
(8)
Sistem quota penangkapan Cara lainnya untuk mengendalikan atau melakukan pengelolaan stok
sumberdaya perikanan tangkap adalah dengan memberlakukan sistem quota dalam
penangkapan
ikan.
Sistem
quota
ini
untuk
membatasi
jumlah
penangkapan yang diperbolehkan untuk suatu jenis ikan atau dalam suatu wilayah perairan
tertentu. Jumlah quota dapat ditentukan dengan analisis
pendugaan stok dalam wilayah tersebut untuk setiap jenis ikan. Sehingga jumlah dan jenis hasil tangkapan yang diperbolehkan dapat dihitung berdasarkan pendugaan stok yang ada. Pembatasan jumlah hasil tangkapan ini akan sulit dilakukan tanpa dilandasai kesadaran yang kuat oleh para nelayan yang ada disekitar perairan tersebut, mengingat tidak adanya pengawasan yang dilakukan secara terus menerus. Disamping itu, pembatasan jumlah penangkapan ini akan berdampak pada jumlah alat tangkap yang dipergunakan di wilayah tertentu dan jumlah nelayan yang akan melakukan operasi penangkapan. Dengan sistem ini dapat menjamin tidak terjadi over fishing sumber daya perikanan di suatu wilayah perairan tersebut, juga proses rekruitmen dan regenerasi dapat tetap berlangsung secara alamiah dan berkesinambungan. 5.4.2 Sub model kesesuaian lahan Berdasarkan kondisi perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan, maka pengembangan sistem perikanan tangkap berbasis budidaya laut membutuhkan kajian kesesuaian lahan, yaitu yang sesuai untuk fungsi dan peruntukkan budidaya laut yang akan dikembangkan. Potensi sumber daya lahan pengembangan kawasan perikanan budidaya dihitung berdasarkan pada ketersediaan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan
usaha
budidaya.
Pemahaman
terhadap
potensi
lahan
pengembangan budidaya penting untuk dilakukan dalam rangka proses penentuan
perencanaan
dan
pengembangan
budidaya,
yang
meliputi:
perencanaan desain, tata letak, teknologi yang akan dikembangkan, komoditas
139
yang diusahakan, target produksi, dan kebutuhan sarana dan prasarana yang akan dibangun. Salah satu tahapan dari pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya adalah pemilihan lokasi (site selection). Pemilihan lokasi ini mencakup informasi tentang kondisi biofisik, sosial ekonomi masyarakat dan status sumber daya ikan endemik. Analisis kesesuaian lahan merupakan tahapan penting dalam pemilihan lokasi pengembangan agar sesuai dengan kebutuhan jenis ikan yang akan dikembangkan sehingga meningkatkan keberhasilan proses budidaya dan pengkayaan stok ikan di lokasi tersebut. Sesuai dengan tahapan dari pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya (culture based fisheseries) antara lain pemilihan lokasi (site selection), pemilihan jenis (species selection) dan penentuan ukuran ikan (stocking size); De Silva et al (2006). Kajian kesesuaian lahan atau upaya perencanaan penggunaan lahan sangat penting untuk dilakukan untuk mengetahui optimasi daya dukung dan manfaat lahan berdasarkan kondisi lahan, potensi, dan sumber daya yang berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan yang lainnya yang menghendaki agar daerah tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan (ruang kegiatan) di masa yang akan datang. Keadaan ini menunjukkan suatu proses analisis yang menghasilkan optimasi pemanfaatan lahan dan dapat dijadikan masukan untuk proses penilaian pelaksanaan pemanfaatan ruang. Menurut Sitorus (2004), manfaat yang mendasar dari evaluasi sumber daya lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta
memprediksi
konsekuensi-konsekuensi
nilai
ekonominya.
Prinsip
memprediksi untuk menghasilkan nilai ekonomi wilayah di masa yang akan datang adalah prinsip perencanaan tata ruang. Ketersediaan sumber daya lahan sebagai ruang dimanapun selalu terbatas. Bila pemanfaatan sumber daya lahan tidak distur dan direncanakan dengan baik, maka kemungkinan besar akan terjadi pemborosan manfaat sumber daya lahan, dan lebih jauh lagi akan terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup. Nilai ekonomis yang diharapkan bagi pengembangan wilayah tidak akan tercapai dan yang akan terjadi malah kerusakan lingkungan (baik renewable maupun nonrenewable) yang justru akan menjadi cost yang never ending. Sebaliknya bila ada pengaturan dalam bentuk rencana tata ruang melalui optimasi
kegiatan
pemanfaatan
SDA
dan
buatan
yang
ada
dengan
memperhatikan daya dukung dan daya tampung wilayah, dan memprediksi
140
pemanfaatannya untuk kebutuhan masa yang akan datang akan tercapai sinergi antar berbagai jenis kegiatan pengelolaan SDA, dengan fungsi lokasi, kualitas lingkungan, dan estetika wilayah. Menurut Djakapermana dan Djumantri (2002), pemanfaatan ruang wilayah yang berbasis mengoptimasikan pemanfaatan SDA, buatan dan lingkungan mempunyai tujuan agar terjadi pengembangan wilayah yang terus berlanjut secara berkesinambungan. Sumber daya lahan perikanan budidaya yang masih sangat luas dan belum sepenuhnya dimanfaatkan, sudah seharusnya dapat dijadikan modal dasar, di samping perlu perumusan strategi yang jitu terhadap setiap aspek yang mempengaruhi
usaha
perikanan
budidaya,
untuk
terus
dibangun
dan
dikembangkan, utamanya guna membangun daya saing dalam menghadapi era pasar global dan industrialisasi, serta tuntutan pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih bertanggung jawab. budidaya
ke
depan
harus
mampu
Untuk itu, pengembangan perikanan mendayagunakan
besarnya
potensi
sumberdaya lahan budidaya untuk dapat mendorong dan menghidupkan kegiatan produksi yang berkelanjutan dan berbasis ekonomi rakyat, mendorong dan meningkatkan perolehan devisa negara dari aktivitas ekspor hasil perikanan budidaya, serta mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat di pedesaan. Terkait dengan proses desentralisasi ekonomi, perlu mempersiapkan dan melaksanakan
strategi
pembangunan
perikanan
budidaya
yang
mampu
menggerakkan masyarakat pembudidaya ikan di seluruh daerah, agar secara serempak mampu menjadikan potensi sumber daya lahan yang ada menjadi kegiatan ekonomi yang bertumbuh dan didukung dengan upaya penumbuhan prakarsa dan jiwa wirausaha, serta peningkatan kemampuan berusaha di kalangan masyarakat pembudidaya ikan di daerah. 5.4.3 Sub model pemilihan Sejak diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah, setiap daerah semakin dituntut kemampuannya untuk mengidentifikasi potensi dan nilai ekonomi yang dimiliki, serta mampu mengelola sumber daya perikanan dan kelautan secara tepat dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Keragamanan kondisi tiap daerah dalam hal sosio kultural tiap masyarakat, kuantitas dan mutu masyarakat, sarana dan prasarana, iklim, serta heterogenitas ketersediaan SDA menyebabkan pengembangan perikanan tidak dapat dilakukan secara terpusat. Implikasi dari kondisi tersebut adalah bahwa
141
setiap daerah seharusnya mengembangkan komoditas perikanan sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimilikinya. Keragaman kondisi biofisik wilayah laut yang begitu tinggi berimplikasi kepada kesesuaian untuk budidaya komoditas perikanan berbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Oleh karena itu pembangunan perikanan tangkap berbasis budidaya tidak mungkin dilakukan seragam. Akan lebih tepat dan benar bila pembangunan perikanan tangkap berbasis budidaya berdasarkan kepada pendekatan wilayah sesuai dengan alat tangkap dan komoditas unggulan yang dapat dikembangkan di wilayah yang bersangkutan. (1) Teknologi Penangkapan Ikan Pengembangan teknologi penangkapan ikan yang sesuai dengan alat tangkap terpilih dari proses pemilihan alat tangkap ideal yang dilakukan yaitu alat tangkap bubu (Tabel 35). Peranan teknologi penangkapan sangat menentukan keberhasilan dalam memperoleh hasil tangkapan dengan kualitas ikan yang baik. Teknologi penangkapan dari berbagai alat tangkap yang digunakan haruslah sudah dipertimbangkan bahwa disain dan konstruksi alat tangkap telah memenuhi persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah terhadap lingkungan, sehingga kelestarian sumber daya akan tetap terpelihara dengan baik. Sehingga hal
penting
berikutnya
yang
perlu
diperhatikan
dalam
perencanaan
pengembangan perikanan tangkap adalah alat tangkap yang relevan dengan komoditas unggulan dan kondisi wilayah. Pola pemilihan dan pembinaan teknologi penangkapan ikan yang menyesuaikan dengan komoditas potensial, yaitu bubu yang merupakan alat tangkap terpilih dengan bobot tinggi, hal ini sesuai dengan jenis komoditas unggulan perikanan tangkap yang akan dikembangkan atau dibudidayakan yaitu ikan kerapu. (2)
Komoditas Potensial Implementasi sub model pemilihan komoditas potensial diperlukan agar
pengembangan dapat difokuskan pada komoditas potensialnya, sehingga dapat direncanakan jenis budidaya laut yang tepat bagi komoditas tersebut dan menghasilkan produk unggulan yang bersifat kompetitif dan strategis, artinya selain memberikan peningkatan nilai tambah (added value), juga memberikan nilai manfaat (benefit added) sebesar-besarnya.
142
Komoditas potensial perikanan tangkap berbasis budidaya berdasarkan kriteria yang disusun untuk pemilihan komoditas potensial adalah ikan kerapu. Ikan kerapu mendapatkan bobot tinggi, hal ini berarti jenis ikan tersebut dapat dijadikan komoditas unggulan perikanan tangkap berbasis budidaya di Lampung Selatan (Tabel 37). Pengembangan komoditas potensial ditetapkan untuk lebih memacu kegiatan budidaya komoditas yang memiliki kriteria: bernilai ekonomis tinggi, teknologi budidaya yang dapat diterapkan telah tersedia, permintaan luar negeri dan lokal tinggi, serta dapat dibudidayakan dan dikembangkan secara massal.
5.4.4 Sub model kelayakan Hasil analisis kelayakan finansial finansial menunjukkan bahwa usaha perikanan tangkap berbasis budidaya memberikan prospek kelayakan finansial. Hasil ini penting diketahui oleh investor dan lembaga keuangan sebagai penyedia modal yang selama ini mempersepsikan bisnis perikanan sebagai bisnis dengan resiko tinggi. Pengembangan usaha ditetapkan sebagai pendekatan kebijakan dengan maksud agar seluruh usaha perikanan budidaya yang dilakukan oleh masyarakat pembudidaya ikan secara konsisten menggunakan prinsip-prinsip bisnis yang profesional, sehingga setiap usaha perikanan budidaya akan menguntungkan, dapat berdaya saing dan berkelanjutan. Di samping itu, melalui pendekatan pengembangan usaha juga diharapkan dapat terbangun suatu kemitraan usaha yang saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling menghidupi. Oleh karena itu, antar pelaku usaha perikanan budidaya sangat diharapkan terjadinya saling berbagi peluang usaha (win-win opportunity) untuk membangun dan mengembangkan daya saing melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha. Sebaliknya, dalam pengembangan usaha perikanan budidaya sangat dihindari munculnya gejala untuk menang sendiri dan saling menghancurkan. Dalam kaitan itu, maka pendekatan pengembangan usaha perikanan budidaya akan dilakukan melalui 3 pola pengembangan, yaitu: (1) pola swadaya, (2) pola unit pelayanan pengembangan (UPP), dan (3) pola kemitraan inti-plasma. Pola swadaya diarahkan bagi masyarakat pembudidaya yang secara mandiri memiliki kemampuan teknis dan permodalan untuk membangun dan mengembangkan kawasan usaha perikanan budidaya. Bagi masyarakat pembudidaya ikan yang termasuk dalam kategori pola swadaya ini, maka
143
diharapkan untuk dapat membangun kerjasama kemitraan antar pembudidaya sejenis guna memperkuat daya saingnya. Pola
UPP
dikembangkan
dalam
rangka
membantu
masyarakat
pembudidaya ikan skala kecil agar memiliki kemampuan teknis dan permodalan, sehingga dapat meningkatkan daya saingnya. Dalam kaitan itu, maka bagi masyarakat pembudidaya ikan skala kecil diarahkan untuk dapat bergabung dalam wadah kelompok pembudidaya ikan (POKDAKAN). Sebagai wadah pembinaan dan pelayanan pengembangan usaha POKDAKAN, maka pada setiap kabupaten atau kota agar dibentuk UPP perikanan budidaya. Pola kemitraan inti plasma diarahkan bagi usaha pembudidayaan ikan skala besar yang mengembangkan kawasan usaha perikanan budidaya dengan luas hamparan atau volume usahaPola kemitraan inti plasma ini dimaksudkan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui hubungan yang saling ketergantungan dan saling menguntungkan antara inti dan plasma. Dengan demikian, usaha perikanan budidaya skala besar akan mendapat dukungan dari usaha perikanan budidaya skala rakyat dalam kemitraan usaha yang saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling menghidupi.
5.4.5 Sub model strategi Strategi pengembangan merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pemakai (stakeholders atau masyarakat) di masa depan. Dengan demikian, strategi pengembangan hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi dan bukan dimulai dari apa yang terjadi. Oleh karena itu, di dalam strategi pengembangan, pemerintah harus dapat memastikan bahwa semua potensi daerah yang ada diarahkan bagi kepentingan mensejahterakan masyarakat. Di samping itu, terjadinya akselerasi pemanfaatan potensi daerah harus tetap mempertimbangkan perubahan pola msyarakat, dan hal ini memerlukan kompetensi inti (core competencies). Pemerintah daerah nampaknya harus mencari kompetensi inti ini sehingga pemanfaatan potensi daerah dapat tercapai sesuai arah dan strategi pengembangannya, mengingat tidak mudah untuk mengetahui potensi daerah. Melalui analisis yang merupakan implementasi dari sub model strategi teridentifikasi faktor-faktor determinatif yang mempengaruhi pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya, prioritas tujuan yang hendak dicapai dan
144
alternatif strategi yang harus dijalankan untuk pencapaian tujuan tersebut. Prioritas utama alternatif strategi pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya adalah optimalisasi dalam pemanfaatan potensi SDI dan budidaya laut, diikuti dengan memperkuat perikanan tangkap dan budidaya yang ada. Prioritas keputusan ini dapat dipahami bahwa pemanfaatan secara optimal dan lestari potensi SDI dan budidaya laut merupakan upaya mendayagunakan sumber daya perikanan dengan memperhitungkan potensi dan daya dukung wilayah perairan untuk mendapatkan keuntungan tanpa merusak lingkungan dan kelangsungan jenis hayati lainnya. (1) Optimalisasi Perikanan Budidaya Hasil analisis kesesuaian lokasi perikanan budidaya menunjukkan bahwa terdapat dua lokasi pengembangan perikanan budidaya yang dinyatakan layak yaitu Pulau Puhawang dan Pulau Tanjung Putus. Kedua lokasi tersebut adalah lokasi yang sudah terdapat kegiatan perikanan budidaya dengan Karamba Jaring Apung, sehingga optimalisasi perikanan budidaya yang perlu dilaksanakan lebih banyak
pada
penataan
dan
pengendalian
lingkungan
budidaya.
Pada
perkembanganya pembudidaya di lokasi ini banyak yang mengalami kegagalan usaha akibat adanya kematian dan penurunan pertumbuhan ikan yang dipelihara. Kematian dan penurunan pertumbuhan ikan yang dipelihara pada suatu lokasi dapat disebabkan oleh serangan hama-penyakit ikan dan penurunan mutu lingkungan budidaya. Serangan hama-penyakit ikan akan meningkat seiring dengan penurunan mutu lingkungan budidaya. Penurunan mutu lingkungan budidaya dapat disebabkan oleh aktivitas lain disekitar lokasi budidaya dan dari limbah kegiatan budidaya itu sendiri yaitu dari sisa pakan, sisa metabolisme ikan, limbah obat ikan dan bahan kimia yang digunakan serta limbah domestik pembudidaya yang tinggal dan menjaga KJA. Untuk itu optimalisasi pengembangan perikanan budidaya di kedua lokasi yang dinyatakan layak di atas adalah pengaturan tata letak dan jarak antar unit KJA serta pengendalian lingkungan budidaya. Pengaturan tata letak dan jaraka antar unit KJA sangat ditentukan oleh pola arus dan kedalaman perairan. Sedangkan
pengendalian
lingkungan
budidaya
dapat
dilakukan
dengan
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pakan, penggunaan obat ikan dan bahan kimia yang tepat dan benar, serta pengelolaan limbah domestik pembudidaya yang tinggal dan menjaga KJA.
145
(2) Optimalisasi Perikanan Tangkap Optimalisasi perikanan tangkap di perairan Lampung Selatan lebih diarahkan pada pengendalian kegiatan penangkapan. Hal ini mengingat sumberdaya perikanan di perairan Lampung Selatan telah menunjukkan indikasi fully exploited sampai dengan over fishing,
hanya kelompok pelagis oseanik
kecil dan ikan demersal yang berada pada kedalaman > 200 m yang masih mungkin ditingkatkan upaya penangkapannya. Sehingga untuk optimalisasi perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan lebih bersifat pada pengendalian upaya penangkapan dan peningkatan armada dan alat tangkap untuk mencapai perairan yang lebih jauh ke arah lautan lepas atau keluar dari perairan Teluk Lampung. Upaya pengendalian penangkapan yang dapat dilakukan diantaranya melalui pengatuan alat tangkap, lokasi dan waktu penangkapan serta penetapan kuota. Disamping itu dengan implementasi perikanan tangkap berbasis budidaya maka ketersediaan stok pada lokasi tersebut dapat dikendalikan dan kegiatan penangkapan sesuai aturan yang disepakati dapat berkelanjutan. (3) Mendorong pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya Permintaan dan kebutuhan ikan dunia terus meningkat dari tahun ke tahun, sebagai akibat pertambahan penduduk dan perubahan konsumsi masyarakat ke arah protein hewani yang lebih sehat. Sementara itu pasokan ikan dari hasil penangkapan cenderung semakin berkurang, dengan adanya kecenderungan semakin meningkatnya gejala kelebihan tangkap dan menurunnya kualitas lingkungan, terutama wilayah perairan tempat ikan memijah, mengasuh dan membesarkan anak. Kecenderungan menurunnya peran perikanan tangkap dan tersedianya sumber daya budidaya perikanan yang cukup besar merupakan alasan untuk lebih mengembangkan perikanan budidaya. Guna mengatasi keadaan ini, maka pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya laut merupakan alternatif yang cukup memberikan harapan. Kegiatan perikanan tangkap berbasis budidaya berpeluang besar menjadi tumpuan bagi sumber pangan hewani di masa depan, karena peluang produksi perikanan tangkap yang terus menurun. Di samping itu pula, peran pemerintah untuk memberikan prioritas kepada kegiatan budidaya perikanan laut untuk dikembangkan, serta menjaga kestabilan dan keberlanjutan produksi ikan dari kegiatan penangkapan. Dengan begitu,
146
maka produksi budidaya di masa mendatang diproyeksikan akan meningkat dengan harapan agar produksi penangkapan tidak mengalami penurunan. Pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya penting untuk diperhatikan karena kegiatan budidaya ikan lebih terjamin keberlanjutannya, di mana penangkapan ikan dapat dikembangkan dengan dukungan utama dari budidaya laut. Sesuai penelitian Baer et al (2007) bahwa penebaran ikan dapat meningkatkan hasil tangkapan ( catch per unit effort/ CPUE), juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang sustainable (Hariyanto et al, 2009)
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mendorong perkembangan perikanan tangkap berbasis budidaya dapat dilakukan melalui: (1) peningkatan produktivitas, (2) mengurangi atau menghapus sebab-sebab ekonomi biaya tinggi, (3) menentukan batas konsumsi maksimal yang layak, (4) peningkatan PAD, (5) memperbaiki kualitas SDM, (6) mempertahankan fungsi lingkungan, dan (7) kerjasama antar daerah.
(1) Peningkatan produktivitas Meningkatkan produktivitas bagi kegiatan perikanan (tangkap dan budidaya) dengan cara menggunakan input tertentu untuk menghasilkan lebih banyak output. Syarat yang harus dipenuhi adalah bahwa daerah (pemerintah bersama seluruh warga masyarakat) harus selalu berusaha untuk meningkatkan jumlah masukan (input) yang berkualitas yang digunakan dalam setiap kegiatan. Tidak ada artinya kalau input yang digunakan hanya bertambah tetapi dalam kuantitas saja dan tidak dalam kualitas.
(2) Mengurangi sebab-sebab ekonomi biaya tinggi Ekonomi biaya tinggi, adanya pungutan resmi atau tidak resmi, terjadi dalam setiap kegiatan; tidak hanya dalam bidang produksi dan distribusi perikanan, tetapi juga dalam bidang konsumsi maupun pelayanan apa saja. Pegawai pemerintah daerah harus terdiri dari orang-orang yang rela berkorban dalam pelayanan, namun demikian harus pula diimbangi dengan jaminan hidup layak agar tidak melakukan pelanggaran. (3) Menentukan batas konsumsi maksimal yang layak Sifat konsumtif dan materialistis yang dialami setiap masyarakat Indonesia membuat masyarakat kita tidak pernah mengetahui batas kecukupannya,
147
sehingga semua orang bekerja keras dan berlomba untuk memenuhi semua kebutuhannya. Padahal kita tahu bahwa macam dan jumlah kebutuhan itu tidak ada batasnya; sedangkan alat pemuas kebutuhan justru terbatas. (4) Peningakatan PAD Tidak dapat diingkari bahwa modal dan dana sangat penting bagi berhasilnya pengembangan potensi suatu daerah. Namun bukan berarti tanpa modal kita lalu tidak dapat memanfaatkan potensi daerah sama sekali. Perlu disadari pula bahwa sesungguhnya modal atau dana lebih merupakan faktor pelengkap dan akibat dari pembangunan serta bukan merupakan sebab dari pembangunan. Dengan demikian tidak perlu dikhawatirkan bahwa suatu daerah akan menjadi miskin karena PAD nya kecil atau sedikit. (5) Memperbaiki kualitas SDM Yang dimaksud disini adalah SDM yang produktif, efisien dan bermoral. Harus ada kemauan yang kuat dari manusia di daerah yang bersangkutan untuk membangun, yang akan mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan mau berkorban dan mau melayani. (6) Mempertahankan fungsi lingkungan Lingkungan sebagai sumber bahan mentah yang akan diolah di semua sektor kegiatan, sebagai sumber kesenangan dan rekreasi, serta sebagai tempat asimilasi limbah secara alami harus terus dipertahankan kualitas maupun kuantitasnya demi adanya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). (7) Kerjasama antar daerah Kerjasama antar daerah harus terus digalang demi meningkatkan efisiensi. Dengan kerjasama daerah diharapkan akan terjadi spesialisasi antar daerah, sehingga efisiensi dapat ditingkatkan bagi semua pihak yang bekerjasama. Kerjasama ini dapat dalam bentuk perdagangan ataupun tukar-menukar tenaga ahli, atau kerjasama bentuk lainnya.
5.4.6 Sub model kelembagaan Implementasi sub model kelembagaan yang berfungsi dalam proses identifikasi dan strukturisasi elemen-elemen dalam sistem yang dibutuhkan untuk merevitalisasi perikanan tangkap berbasis budidaya menunjukkan elemen kunci dari pengguna, kebutuhan, kendala, perubahan, tujuan, keberhasilan, aktivitas, pelaku, dan tolok ukur pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.
148
Dari alternatif integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang direkomendasikan dari penelitian ini, perikanan tangkap berbasis budidaya
adalah
alternatif
yang
perlu
kelembagaannya.
Kegiatan
perikanan
diintensifkan tangkap
penanganan
berbasis
budidaya
aspek pada
prinsipnya adalah mengelompokkan masyarakat penangkap ikan pada suatu perairan untuk bersama-sama menyepakati aturan (Saphakdy et. al., 2009) dan pelaksanaan kegiatan sampai pengawasan pelaksanaan aturan di wilayah atau lokasi kegiatan tersebut. Untuk itu nelayan dan pembudidaya serta masyarakat yang terlibat dan terkait perlu mendapat informasi dan pemahaman yang cukup tentang kegiatan tersebut. Penyebarluasan informasi untuk masyarakat sekitar lokasi perikanan tangkap berbasis budidaya perlu dilakukan untuk meminimalisir konflik dengan kegiatan lain yang memanfaatkan perairan sekitar lokasi pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Di Jepang kelembagaan yang tumbuh adalah asosiasi ataupun koperasi nelayan
6 6.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
(1)
Potensi sumberdaya perikanan Lampung Selatan sudah mengalami penurunan hal ini terlihat dari CPUE yang cenderung negatif. Semua kelompok ikan yaitu ikan demersal, ikan pelagis kecil, crustacea, sumberdaya ikan lainnya pernah mencapai tingkat pemanfaatan yang sudah melebihi JTB bahkan MSY atau disebut over fishing.
(2)
Kawasan budidaya di Pulau Puhawang dan Tanjung Putus dapat direkomendasikan sebagai lokasi pengembangan perikanan budidaya laut dengan
karamba
jaring
apung
(KJA).
Memperhatikan
kondisi
pemanfaatannya saat ini maka pengaturan tata letak unit KJA dan pengendalian kualitas lingkungan budidaya adalah kegiatan yang perlu dilakukan dalam rangka optimalisasi pengembangan perikanan budidaya di Lampung Selatan. (3)
Berdasarkan analisis kelayakan finansial usaha perikanan tangkap dan perikanan budidaya layak untuk dikembangkan sesuai dengan kriteria kelayakan finansial yang meliputi NPV, Net B/C dan IRR.
(4)
Berdasarkan analisis strategi diketahui pengembangan perikanan tangkap berbasis
budidaya
merupakan
alternatif
pertama
untuk
integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Lampung Selatan. Faktor determinatif dalam pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya adalah informasi mengenai kegiatan budidaya laut, sarana
dan prasarana yang menunjang
pengembangan perikanan
budidaya laut dan kelembagaan. Tujuan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya harus diarahkan pada peningkatan produksi ikan, peningkatan pendapatan daerah dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. (5)
Strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Lampung Selatan diarahkan pada pengembangan komoditas kerapu dan pengembangan alat tangkap bubu untuk memanfaatkan komoditas potensial tersebut. Untuk itu dukungan kegiatan budidaya dalam kegiatan ini adalah penyediaan benih kerapu yang akan ditebar dari kegiatan perbenihan.
150
(6)
Pelaku yang memiliki peran sebagai unsur kunci untuk menjadi pendorong pengembangan adalah nelayan, pembudidaya, dan masyarakat. Untuk pencapaian tujuan pengembangan, tolok ukur yang dapat dijadikan unsur kunci adalah peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan pembudidaya. Aktivitas kunci yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengembangan adalah koordinasi antar sektor. Peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya merupakan elemen kunci dalam keberhasilan pengembangan.
Peningkatan
pendapatan
nelayan
pembudidaya
merupakan elemen kunci dari elemen perubahan. Kemudahan birokrasi merupakan unsur kunci dari unsur kebutuhan yang harus terpenuhi untuk mendorong integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. (7)
Integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang direkayasa melalui model CAP-AQUADEV berbasis komputer membantu peningkatan efisiensi mekanisme pengambilan keputusan, sehingga dapat dengan cepat mengantisipasi dinamika perubahan informasi. Model CAPAQUADEV mampu mengakomodasi kebutuhan pengambil keputusan untuk membantu mengidentifikasi permasalahan yang hendak dikelompokkan, mengidentifikasi dan membuat prioritas komoditas, teknologi penangkapan ikan, strategi atau permasalahan lain yang hendak difokuskan, membantu dalam analisis finansial beserta aspek kelembagaan.
6.2
Saran Hal-hal yang perlu diperhatikan dari penelitian ini adalah:
(1)
Diperlukan suatu kajian komprehensif mengenai sistem pembiayaan usaha berbasis sumberdaya alam berdaya saing tinggi dan bersifat strategis.
(2)
Diperlukan kebijakan yang jelas untuk mendukung pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya bernilai tambah tinggi, mengingat besarnya multiplier effect yang ditimbulkan. Terkait hal tersebut juga diperlukan pembinaan kepada masyarakat secara terus menerus terhadap penerapan teknologi perbenihan komoditas yang akan ditebar dan inovasi teknologi perbenihan komoditas yang belum bisa dipijahkan secara buatan.
(3)
Untuk mengatasi berbagai keterbatasan dalam model sistem pengambilan keputusan
CAP-AQUADEV
ini,
diperlukan
pengembangan
seperti
memasukkan komponen manajemen berbasis pengetahuan (knowledge based management).
DAFTAR PUSTAKA
Agustedi. 2000. Rancang Bangun Model Perencanaan dan Pembinaan Agroindustri Hasil Laut Orientasi ekspor dengan Pendekatan Wilayah. (Disertasi). Bogor: IPB. 203 hlm. Amri, K. 2008. Analisis Hubungan Kondisi Oseanografi Dengan Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan Pelagis di Selat Sunda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.14 No.1. halaman 55 - 65. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Atmaja, B.S. and Nugroho, D. 2005. Geographical Distribution And Status of Scads Population in The Water of the southern Part of sunda Shelf. Indonesian Fisheries Research Journal. Vol.11 No.1. Page 1-7. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Atmaja, B.S. and Nugroho, D. 2005. Interaksi Antara Biomassa dengan Upaya Penangkapan: Studi Kasus Perikanan Pukat Cincin di Pekalongan dan Juana. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.12 No.1. halaman 57 - 68. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Baer, K., J. Blasel and M. Diekmann.2007. Benefits of repeated stocking with adult, hatchery-reared brown trout, Salmo trutta, to recreational fisheries?. Fisheries Management and Ecology Volume 14 Issue 1, Pages 51 – 59. Fisheries Research Station Baden-Württemberg, Langenargen, Lake Constance, Germany. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP. 2009. Dukungan Riset Bagi Pelaksanaan Pemacuan Sumberdaya Ikan Di Indonesia. Forum Nasional Pemacuan Stok Indonesia. Purwakarta. Badrudin,M., Priono, B., dan Amin,E. M. 1991. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta. Barani HM. 2005. Model Pengelolaan Perikanan di Wilayah Padat Tangkap: Kasus Perairan Laut Sulawesi Selatan Bagian Selatan. [Ringkasan Disertasi]. Bogor: IPB. 26 hlm. Bell Johann D., Bartley Devin M., Lorenzen Kai, Loneragan Neil R., 2006. Restocking and stock enhancement of coastal fisheries: potential, problems and progress. Fisheries Research 80. 1-8 Scince Direct www. sciencedirect.com Brandt. 1984. Fishing Catching Methods of the Word (3rd edition). England: Fishing News Books Ltd. 418 pp. Cholic F., Jagatraya GA., Poernomo RP., Jauzi A. 2005. Akuakultur “Tumpuan Harapan Masa Depan Bangsa”. PT. Viktoria Kreasi Mandiri. Jakarta. 415 hlm.
152
Coastal Resources Management Project 1998; Increasing Conservation and sustainable Use of Coastal Resources Cooper, E.L. (1969) “Growth of Wild and Hatchery Strains of Brook Trout” in Trans. of American Fisheries Society; Vol.90, No.4, pp424–438 Dahuri, R. 2001. Prospek dan Strategi Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Makalah Seminar. Universitas Pekalongan. Pekalongan. Dahuri R. 2002. Paradigma Baru Pengembangan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: IPB. 233 hlm. Dahuri R. 2004. Kebijakan Pakan Udang atau Ikan dan Penanganan Permasalahan Antibiotika Pada Budidaya. Pidato Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Dalam Acara Pembukaan Temu Nasional. Jakarta. Dent, J.B., and M.J. Blackie. 1979. Systems simulation in Agriculture.Applied Science Publishers, London, England. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Strategi Nasional Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries. Jakarta. 107 hlm Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Pedoman Pembentukan Kelembagaan Operasional dan Pemeliharaan Prasarana Budidaya. Jakarta. 47 hlm. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Pola Pembiayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah ”Alat Tangkap Jaring Lingkar (Purse Seine)”. Jakarta. 70 hlm. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Pola Pembiayaan Usaha Kecil” Pancing Ulur Berumpon. Jakarta. 61 hlm. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Pola Pembiayaan Usaha Kecil” Pancing Rawai. Jakarta. 58 hlm. De Silva S.S., Amarasinghe U.S., Nguyen T.T.T. 2006. Better Practice Approaches for Culture Based Fisheries Depelovment in Asia. ACIAR. Australia. 96 pp. Diantari. R. dan Efendi. E. 2005. Pengkajian Potensi dan Musim Penangkapan Ikan Kembung (Rastrelliger spp) di Perairan Teluk Lampung.Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2001. Profil Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. Direktorat Jenderal Perikanan. 2000. Potensi Perikanan Tangkap Indonesia. Ditjen Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2002. Profil Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. Lampung.
153
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2003. Profil Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. 115 hlm. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2003. Rencana Tata Ruang Pesisir Teluk Lampung dan Teluk Semangka, Laporan Akhir, CV GEBE Consultan, Lampung. 145 hlm. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2004. Profil Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. 274 hlm. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2005. Profil Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. 115 hlm. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2006. Profil Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. 114 hlm. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2007. Profil Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. Direktorat Jenderal Urusan Pesisir Pantai dan Pulau-Pulau Kecil. 2000. Pengelolaan Tata Ruang Kawasan Pesisir Lampung Untuk Kegiatan Usaha Masyarakat. Bogor. 150 hlm. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2002. Statistik Perikanan Budidaya. Dirjen Perikanan Tangkap. 2008. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2001 – 2006. Jakarta. 136 hlm. Djamin Z. 1984. Perencanaan dan Analisa Proyek. Edisi Satu. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 167 hlm. Dwiponggo. 1983. Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut Indonesia. Laporan Penelitian Perikanan Laut nomor-2. BPPL. Jakarta. Effendi. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Ernawati, T dan Sumiyono,B. 2009. Fluktuasi Bulanan Hasil Tangkapan Cantrang yang Berbasis di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegal Sari, Kota Tegal. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.15 No.1. halaman 69 – 77. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press. 147 hlm. Eriyatno dan Sofyar Fadjar. 2007. Ilmu Riset Kebijakan. Metode Penelitian untuk Pascasarjana, IPB Press. 79 hlm. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 259 hlm. Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan “Isu, Sintesis dan Gagasan”.
154
PT. Gramedia Pusaka Utama. Jakarta. 185 hlm. [FAO] Food Agriculture Organization. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome Italy. 41 pp. [FAO] Food Agriculture Organization. 1999. Introduksi Pengkajian Ikan Tropis. Jakarta. 438 hlm. [FAO] Food Agriculture Organization. 2002. The State of World Fisheries and Aquaculture. Rome: FAO Fisheries Department. 142 pp. Giyatmi. 2005. Sistem Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut: Suatu Kajian Kelayakan dan Strategi Pengembangan di Propinsi Jawa Tengah. [Disertasi]. Bogor: IPB. 225 hlm. Gulland, J.A. 1986. A Manual of Methods for Fish Stock Assessment. F A O. Roma. Hariati, T., Chodriyah, U., dan Taufik, M. 2009. Perikanan Pukat Cincin di Pemangkat, Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.15 No.1. halaman 79 - 91. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hariyanto, Tri, Baskoro, MS, Haluan, J., Iskandar, BH, 2009, Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan Berbasis Komoditas Potensial di Teluk Lampung, Jurnal Saintek Perikanan Volume 4 No 2 Tahun 2008, FPIK, Universitas Diponegoro, Semarang. Hariyanto, Tri, Baskoro, MS, Haluan, J., Iskandar, BH, 2009, Analisis Integrasi Pengembangan Perikanan tangkap dan Perikanan Budidaya (Studi Kasus di Lampung Selatan), Jurnal Pusat Riset Perikanan Tangkap Tahun 2009, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Hartoto I. D. 2000. An Overview of Some Limnological Parameters and Management Status of Fishery Reserves in Central Kalimantan. Pusat Penelitian Limnologi-LIPI.Kompleks LIPI Cibinong. Jadwiga Ziolkowska. 2008. Evaluation of Agri-environmental Measures. International Journal of Rural Management, Vol. 4, No. 1-2, 1-24. Humboldt University of Berlin. Jorgensen J. V and Thompson P. M. 2007. Culture-base Fhiseries in Bangladesh ”A socio-economic perrspective. FAO. Rome. 41 hlm. Kitojo Wetengere. 2009. Socio-economic factors critical for adoption of fish farming technology: The case of selected villages in Eastern Tanzania. International Journal of Fisheries and Aquaculture Vol. 1 (3), pp. 028 - 037, August 2009 © 2009 Academic Journals. Institute of Social Work (ISW), P.O. Box 3375, Dar es Salaam, Tanzania. Lampung Selatan Dalam Angka 2007. BPS Kabupaten Lampung Selatan Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung. 2007, Dinas
155
Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung. Bamdar Lampung. Lewy. P and Nielsen A. 2003. Modelling stochastic fish stock dynamics using Markov Chain Monte Carlo. ICES Journal of Marine Science: Journal du Conseil 2003 60(4):743-752. Danish Institute for Fisheries Research, Charlottenlund Slot 2920 Charlottenlund, Denmark. Lorenzen K. 1995. Population Dynamic and Management of Culture Based Fisheries. Fisheries management and Ecology. London – UK. 61-73 pp. Mateus, L. A. de F. and Estupiñán, G. M. B. 2002. FISH STOCK ASSESSMENT OF PIRAPUTANGA Brycon Microlepis IN THE CUIABÁ RIVER BASIN, PANTANAL OF MATO GROSSO, BRAZIL. Brazilian Journal of Biology.Vol.62 No.1 McPHIE R. P.1 AND S. E. CAMPANA. 2009. Reproductive characteristics and population decline of four species of skate (Rajidae) off the eastern coast of Canada. Journal of Fish Biology Volume 75 Issue 1, Pages 223 – 246. The Fisheries Society of the British Isles. Manetsch dan Park. 1974. System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social System. Michigan: Michigan State University. 145 hlm. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo. 197 hlm. Marimin. 2005. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manjerial. IPB Press. Grasindo. Jakarta. Masyarakat Perikanan Nusantara. 2006. 60 Tahun Perikanan Indonesia. PT. Victoria Kreasi Mandiri. 365 hlm. Minch dan Burns. 1983. Conceptual Design of Decision Support System Utilizing Management Science Models. IEEE Transaction of System, Man and Cybernetics. Monintja D. 2000. Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. 156 hlm. Mora C, Myers RA, Coll M, Libralato S, Pitcher TJ, U. Sumaila6, Dirk Zeller6, Reg Watson6, Kevin J. Gaston7, Boris Worm2. 2009. Management Effectiveness of the World's Marine Fisheries. PLoS. Journal.pbio.1000131. Morten D. Skogen, Mette Eknes, Lars C. Asplin and Anne D. Sandvik.2009. Modelling the environmental effects of fish farming in a Norwegian fjord. Institute of Marine Research, Pb.1870, N-5817 Bergen, Norway. Mulyadi S. 2005. Ekonomi Kelautan. PT. Raja Grafido Persada. Jakarta. 223 hlm. Naamin, Widodo,J., dan Sadhotomo,S. 1991. Potensi dan Penyebaran Ikan Laut
156
di Perairan Indonesia. Oceanologi LIPI. Jakarta.
Ditjenkan
Puslitbang
Perikanan-
Puslitbang
Nikijuluw, Victor PH, 2002, Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Pusat pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dengan PT Pustaka Cidesindo Nurdjana ML, A Sudrajat, E Harris, BE Priyono, IBM Suastika, T Trimulyantoro, Sudiharno, IS Djunaedah, A Purnomo, E Danakusumah, K Sugama, T Permadi, S Siregar, R Eliza, dan Sudaryanto. 1998. Potensi Lahan Pengembangan Budidaya Pantai dan Laut Indonesia. Proyek Pengembangan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut. Jakarta: Ditjen Perikanan, Departemen Pertanian. Nurhakim, S. 2007. Buku Wilayah Pengelolaan Perikanan. Pusat Riset Perikanan Tangkap – BRKP. Pascoe S, and Mardle S. 2001. Bioeconomic model, fisheries management, multi-objective modelling, goal programming, Common Fisheries Policy. European Review of Agriculture Economics Vol 28 (2) pp.161-185. Centre for the Economics and Management of Aquatic Resources (CEMARE), Southsea, UK. Pressman TE. 1992. A Synthesis of System Inquiry and Easthern Mode of Inquiry. Journal System Research (9): hlm 47-65. Pusar Riset Perikanan Tangkap – DKP. 2007. Wilayah Pengelolaan Perikanan “ Status Perikanan Menurut Wilayah Pengelolaan”: Informasi Dasar Pemanfaatan Berkelanjutan. 47 hlm. Romimohtarto K., Juana S. 2005. Biologi Laut “Ilmu Pengentahuan Tentang Biota Laut”. Cetakan Kedua. Djambatan. Jakarta. 540 hlm. Royce WF. 1996. Introduction to The Practice of Fisheries Science. Revised Edition. Academic Press Inc. USA. 448 hlm. Saaty. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Terjemahan. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo. 268 hlm. Saphakdy, B., Phomsouvanh, A., Davy, B., Nguyen, T.T.T. and De Silva, S.S. 2009. Contrasting Community Management and Revenue Sharing Practices of Culture-Based Fisheries in Lao PDR. NACA. Aquaculture Asia Magazine Volume XIV No. 3, July - September 2009 Satria A., Umbari A., Fauzi A., Purbayanto A., Sutarto E., Muchsin I., Muflikhati I., Karim M., Saad S., Oktariza W., dan Imran Z. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. PT. Pustaka Cidesindo. 210 hlm. Simatupang, 1995. Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Nelayan Dan Kaitannya Dengan Teknologi, Kelembagaan Dan Kebijaksanaan Pemerintah. Makalah seminar nasional PERHEPI di Cisarua, Bogor Thomas. 2004. Analisa Komparasi Bubu Dasar Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Nelayan di Pulau Nusa Penida Kabupaten Klungkung, Bali. Tesisi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Turban. 1988. Decision Support and Expert System. New York: Mc Millan Publishing Company. 936 hlm.
157
Uki, N. 2006. Stock Enhancement of the Japanese scallops Patinopecten yessoensis in Hokkaido. Fisheries Research 80. 62-66. Scince Direct www. sciencedirect.com Universitas Nusa Cendana dan Dinas Perindustrian NTT. 2006. Analisis Komoditas Unggulan dan Peluang Usaha (Budidaya Ikan Kerapu). Kupang.Nusa Tenggaa Timur. Valbo-Jorgensen J. dan Thompson P. M. 2007. Culture-based Fisheris in Bangladesh: A sosio-economic perspective. FAO Fisheries Technical Paper No. 499. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Roma. 41 p. Wahyudi, Wiryawan Budy, Handoko A.S. 1998.Penyelidikan Geologi Lingkungan Pesisir Lampung, Technical Report, Proyek Pesisir. Widodo, J.,Sadhotomo, B., dan Merta, I.G.S. 1999. Sumberdaya Perikanan Pelagis Kecil dalam Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta. Wiryawan B, Marsden, Bill, Susanto H Adi, Mahi, A Kabul, Ahmad, Marizal, Poespitasari, H, 2002. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung, Kerjasama Pemerintah Propinsi Lampung dengan Proyek Pesisir – PKSPL, Institut Pertanian Bogor. Worm B., Barbier B.E., Beaumont N., Duffy E. J., Folke C., Halpern S. B., Jeremy B. C. Jackson, Heike K. Lotze, Micheli F., Palumbi R. S., Sala E., Kimberley A. Selkoe., John J. Stachowicz, Reg Watson. 2006. Impacts of Biodiversity Loss on Ocean Ecosystem Services.SCIENCE VOL 314 3 NOVEMBER 2006. Canada. Wyrtki, K., 1961. Physical oceanography of the southeast Asian waters. University of California, NAGA Report, No. 2, 195 pp. Eriyatno (2003)
Cooper (1969) Ernst (1988) Hartris Widodo, J, Djamali, A, Aziz, KA, Priyono, B.E, Tampubolon, G.H, Naamin, N, Nurhakim, S, Mertha, IGS, Uktolseja, J.C.B, Amarullah, M.H, Susanto, K, Sumiono, B, Boer, M, Mubarak, H. 1996. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. ari dan Eriyatno 2003 Simatupang, 1995 Dent dan Blackie 1979 Oxman 1985 Rauch Hindin 1988 Martin dan Oxman 1988 Hadisenjaya, 1995 Laporan Tahunan Propinsi Lampung, 2007 CRMP, 1998 Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007
158
Lampiran 1 Produksi ikan demersal, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung Payang No.
Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Produksi Per Alat Tangkap 3,382.80 4,231.60
4,246.70 4,586.00 4,834.00 5,213.40 4,970.30
Jumlah Unit Trip Produksi per alat Penangkapan per alat tangkap tangkap 14,700.00 140.00
209.00 211.00 221.00 250.00 245.00 248.00
15,025.00 22,535.00 21,740.00 20,359.00 19,600.00
10,680.00
cantrang No.
Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Produksi Per Alat Tangkap 1,314.00
Jumlah Unit Trip Produksi per alat Penangkapan per alat tangkap tangkap 8,925.00 85.00
1,533.00
99.00
10,412.00
1,752.00
113.00
11,899.00
1,971.00
127.00
13,386.00
2,190.00
141.00
14,873.00
1,752.00
155.00
16,360.00
1,463.00
169.00
17,847.00
Dogol No.
Tahun
1 2 3 4 5 6 7 Pancing No.
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Produksi Per Alat Tangkap 303.50 227.90
234.70 308.70 234.70 190.70 116.70 Produksi Per Alat Tangkap 218.30 331.10
1,729.00 2,511.00 3,696.00 4,191.20 3,141.40
Jumlah Unit Trip Produksi per alat Penangkapan per alat tangkap tangkap 4,230.00 47.00
72.00 85.00 107.00 123.00 132.00 122.00
4,011.00 4,137.00 5,034.00 5,370.00 6,045.00
6,254.00
Jumlah Unit Trip Produksi per alat Penangkapan per alat tangkap tangkap 89,600.00 512.00
743.00 812.00 916.00 2,165.00 2,159.00 1,851.00
92,612.00 263,909.00 146,560.00
346,400.00 345,440.00 443,640.00
159
Bubu No.
1 2 3 4 5 6 7
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Produksi Per Alat Tangkap 21.20
Jumlah Unit Trip Produksi per alat Penangkapan per alat tangkap tangkap 5,520.00 46.00
123.86
86.00
11,653.00
367.20
142.00 131.00 320.00 484.00 421.00
35,804.00
370.50 459.70 681.40 522.20
15,720.00
38,400.00 58,080.00 56,076.00
Trap No.
1 2 3 4 5 6 7
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Produksi Per Alat Tangkap 64.20 17.10
47.80 69.60 150.00 340.60 664.10
Jumlah Unit Trip Produksi per alat Penangkapan per alat tangkap tangkap 11,400.00 95.00
74.00 90.00 109.00 131.00 187.00 361.00
6,340.00 7,543.00 18,645.00 26,897.00 35,740.00 43,320.00
Lampiran 2 Produksi ikan demersal, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung
160
Produksi No. Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Trip No. Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
CPUE No. Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Standarisasi No. Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Payang
cantrang
Dogol
Pancing
Bubu
Trap
3,382.80
1,314.00
303.50
218.30
21.20
64.20
4,231.60
1,533.00
227.90
331.10
123.86
17.10
4,246.70 4,586.00 4,834.00 5,213.40 4,770.30
1,752.00
234.70 308.70 234.70 190.70 116.70
1,729.00
367.20
2,511.00
370.50
3,696.00
459.70
47.80 69.60 150.00
4,191.20
681.40
340.60
3,141.40
522.20
664.10
Payang
1,971.00 2,190.00 1,752.00 1,463.00
cantrang
Dogol
Pancing
Bubu
Trap
14,700
8,925
4,230
89,600
5,520
11,400
15,025 22,535 21,740 20,359
10,412
4,011 4,137 5,034 5,370
92,612 263,909
11,653
19,600
16,360
10,680
17,847
Payang
11,899 13,386 14,873
cantrang
146,560
15,720
346,400
38,400
6,340 7,543 18,645 26,897
6,045
345,440
58,080
35,740
6,254
443,640
56,076
43,320
Dogol
Pancing
35,804
Bubu
Trap
0.230
0.147
0.072
0.002
0.004
0.006
0.282
0.147
0.057
0.004
0.011
0.003
0.188
0.147
0.057
0.007
0.010
0.006
0.211
0.147
0.061
0.017
0.024
0.004
0.237
0.147
0.044
0.011
0.012
0.006
0.266
0.107
0.032
0.012
0.012
0.010
0.447
0.082
0.019
0.007
0.009
0.015
Payang
cantrang
Dogol
Pancing
Bubu
Trap
1.00
0.64
0.31
0.01
0.02
0.02
1.00
0.52
0.20
0.01
0.04
0.01
1.00
0.78
0.30
0.03
0.05
0.03
1.00
0.70
0.29
0.08
0.11
0.02
1.00
0.62
0.18
0.04
0.05
0.02
1.00
0.40
0.12
0.05
0.04
0.04
1.00
0.18
0.04
0.02
0.02
0.03
161
Trip standar No. Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Payang
cantrang
Dogol
14,700.00
5,710.00
1,318.86
948.63
92.12
278.98
15,025.00
5,443.17
809.20
1,175.63
439.79
60.72
22,535.00
9,296.94
1,245.43
9,174.89
1,948.54
253.65
21,740.00
9,343.55
1,463.40
11,903.43
1,756.36
329.94
20,359.00
9,223.46
988.47
15,566.17
1,936.08
631.74
19,600.00
6,586.72
716.94
15,757.00
2,561.75
1,280.50
10,680.00
3,275.44
261.27
7,033.13
1,169.13
1,486.82
Bubu
Trap
CPUE Standart No. Tahun Payang
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
cantrang
Dogol
Pancing
Pancing
Bubu
Trap
0.23
0.23
0.23
0.23
0.23
0.23
0.28
0.28
0.28
0.28
0.28
0.28
0.19
0.19
0.19
0.19
0.19
0.19
0.21
0.21
0.21
0.21
0.21
0.21
0.24
0.24
0.24
0.24
0.24
0.24
0.27
0.27
0.27
0.27
0.27
0.27
0.45
0.45
0.45
0.45
0.45
0.45
Lampiran 3 Produksi ikan pelagis, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung
Produksi No.
1 2 3 4 5 6 7
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
824.80
2,534.30
Jaring insang hanyut 303.50
935.20
397.10
1,015.00
370.80
260.50
314.20
51.70
1,816.90
4,909.00
227.90
1,084.20
195.30
719.20
265.67
384.70
317.00
102.45
1,394.80 998.00 1,025.74
2,286.40 1,239.10 1,235.70 1,030.60 986.70
234.70 308.70 234.70 190.70 116.70
352.20 343.70 392.40 410.80 345.30
22.70 50.80 64.80 66.30 43.20
1,510.20 1,956.70 1,560.00 1,163.30 1,265.90
146.80
475.60
758.50
153.20
47.90 57.80 65.20 56.90
476.20
614.60
137.80
428.60
964.10
77.70
331.20
984.80
54.00
310.50
1,000.50
79.00
Pukat Pantai
1,024.70 1,074.70
Pukat Cincin
Jaring lingkar
Jaring Klitik
Jaring insang tetap
Rawai Tuna
Rawai Hanyut
Rawai tetap
Pancing tonda
Trip No.
1 2 3 4 5 6 7
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
26040
5640
Jaring insang hanyut 8640
32412 24752 11400 15600 14880 62040
8716 4358 5400 6227 5820 4975
8579 13900 22400 21100 18000 59940
Pukat Pantai
Pukat Cincin
Jaring lingkar
Jaring Klitik
Jaring insang tetap
Rawai Tuna
Rawai Hanyut
Rawai tetap
Pancing tonda
13330
1860
24700
16625
16100
24150
5600
13465 8950 9673 9534 8672 5768
2269 228 324 624 917 950
18460 31515 18400 33600 32900 33800
13462
31290 23114
27410 38269
9993
25728
33120
8960
24064
30960
6224
24448
37528
5543
25634
57500
9643
10257
6656 7595 6846 9045
9876
CPUE No.
1 2 3 4 5 6 7
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
0.03
0.45
Jaring insang hanyut 0.04
0.07
0.21
0.04
0.02
0.02
0.01
0.01
0.06
0.56
0.03
0.08
0.09
0.04
0.02
0.01
0.01
0.01
0.06
0.52
0.02
0.04
0.10
0.05
0.01
0.02
0.02
0.02
0.09
0.23
0.01
0.04
0.16
0.11
0.01
0.02
0.02
0.02
0.07
0.20
0.01
0.04
0.10
0.05
0.01
0.02
0.03
0.01
0.07
0.18
0.01
0.05
0.07
0.04
0.01
0.01
0.03
0.01
0.02
0.20
0.00
0.06
0.05
0.04
0.01
0.01
0.02
0.01
Pukat Pantai
Pukat Cincin
Jaring lingkar
Jaring Klitik
Jaring insang tetap
Rawai Tuna
Rawai Hanyut
Rawai tetap
Pancing tonda
Standarisasi No.
1 2 3 4 5 6 7
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
0.77
10.93
Jaring insang hanyut 0.85
1.71
5.20
1.00
0.54
0.39
0.32
0.22
1.44
14.46
0.68
2.07
2.21
1.00
0.51
0.32
0.30
0.27
1.18
10.95
0.35
0.82
2.08
1.00
0.30
0.43
0.41
0.32
0.82
2.16
0.13
0.33
1.47
1.00
0.07
0.17
0.17
0.14
1.42
4.27
0.24
0.89
2.24
1.00
0.16
0.38
0.67
0.27
1.95
5.01
0.30
1.34
2.04
1.00
0.27
0.38
0.74
0.28
0.46
5.30
0.05
1.60
1.21
1.00
0.17
0.32
0.46
0.22
Pukat Pantai
Pukat Cincin
Jaring lingkar
Jaring Klitik
Jaring insang tetap
Rawai Tuna
Rawai Hanyut
Rawai tetap
Pancing tonda
Trip Standarisasi
No.
1 2 3 4 5 6 7
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
20,071.49
61,672.13
Jaring insang hanyut 7,385.67
46,635.11
126,001.31
5,849.60
29,106.82
47,712.82
4,897.74
7,349.74
473.71
31,515.00
3,063.44
9,924.87
15,828.45
3,196.99
9,384.78
11,651.99
2,902.89
3,232.01
477.70
18,400.00
450.43
4,477.99
5,779.44
1,295.81
22,092.86
26,615.08
5,055.08
8,451.69
1,395.69
33,600.00
1,244.92
9,231.38
20,765.23
1,673.54
28,980.17
29,147.03
5,393.30
11,618.09
1,875.07
32,900.00
1,843.96
9,366.87
27,851.73
1,527.21
28,694.89
26,345.26
3,115.93
9,219.64
1,153.46
33,800.00
1,519.25
8,290.47
26,713.72
2,109.33
Rawai Tuna
Rawai Hanyut
Pukat Pantai
Pukat Cincin
Jaring lingkar
Jaring Klitik
22,758.07
9,663.42
27,828.60
5,012.84
Jaring insang tetap
Rawai Tuna
Rawai Hanyut
Rawai tetap
Pancing tonda
24,700.00
9,023.41
6,339.26
7,646.05
1,258.12
18,460.00
6,819.06
9,874.25
8,136.57
2,629.63
CPUE Standart No.
1 2 3 4 5 6 7
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
0.04
0.04
Jaring insang hanyut 0.04
0.04
0.04
0.05
0.05
0.11 0.05
Pukat Pantai
Pukat Cincin
Jaring lingkar
Jaring Klitik
Jaring insang tetap
Rawai tetap
Pancing tonda
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.11
0.11
0.11
0.11
0.11
0.11
0.11
0.11
0.11
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
165
Lampiran 4 Produksi ikan pelagis, trip produksi dan CPUE yang sudah Distandarisasikan di Teluk Lampung
Pukat Pantai No.
Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Unit Produksi Per Alat Trip Produksi per alat Penangkapan per alat Tangkap tangkap tangkap 824.80 26,040.00 93.00 1,816.90
1,394.80 998.00 1,025.74 1,024.70 1,074.70
108.00 95.00 95.00 130.00 124.00 261.00
32,412.00 24,752.00 11,400.00 15,600.00 14,880.00 62,040.00
Pukat Cincin No.
Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Unit Produksi Per Alat Trip Produksi per alat Penangkapan per alat Tangkap tangkap tangkap 2,534.30 5,640.00 47.00 4,909.00
2,286.40 1,239.10 1,235.70 1,030.60 986.70
62.00 54.00 45.00 50.00 47.00 42.00
8,716.00 4,358.00 5,400.00 6,227.00 5,820.00 4,975.00
Jaring insang hanyut No.
Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Unit Produksi Per Alat Trip Produksi per alat Penangkapan per alat Tangkap tangkap tangkap 1,143.50 8,640.00 72.00 1,106.80
1,079.80 1,808.90 1,520.35 1,231.80 4,927.20
74.00 105.00 65.00 70.00 60.00 265.00
8,579.00 13,900.00 22,400.00 21,100.00 18,000.00 59,940.00
Jaring lingkar No.
Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Unit Produksi Per Alat Trip Produksi per alat Penangkapan per alat Tangkap tangkap tangkap 935.20 13,330.00 86.00 1,084.20
352.20 343.70 392.40 410.80 345.30
89.00 51.00 46.00 48.00 55.00 50.00
13,465.00 8,950.00 9,673.00 9,534.00 8,672.00 5,768.00
166
Jaring Klitik No.
Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Unit Produksi Per Alat Trip Produksi per alat Penangkapan per alat Tangkap tangkap tangkap 397.10 1,860.00 12.00 195.30
22.70 50.80 64.80 66.30 43.20
14.00 8.00 27.00 30.00 35.00 26.00
2,269.00 228.00 324.00 624.00 917.00 950.00
Jaring insang tetap No.
Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Unit Produksi Per Alat Trip Produksi per alat Penangkapan per alat Tangkap tangkap tangkap 1,015.00 24,700.00 190.00 719.20
1,510.20 1,956.70 1,560.00 1,163.30 1,265.90
154.00 238.00 230.00 336.00 319.00 320.00
18,460.00 31,515.00 18,400.00 33,600.00 32,900.00 33,800.00
Rawai Tuna No.
Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Unit Produksi Per Alat Trip Produksi per alat Penangkapan per alat Tangkap tangkap tangkap 370.80 16,625.00 95.00 265.67
85.00
13,462.00
146.80
79.00
10,257.00
47.90 57.80 65.20 56.90
52.00 69.00 89.00 88.00
6,656.00 7,595.00 6,846.00 9,045.00
Rawai Hanyut No.
Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Unit Produksi Per Alat Trip Produksi per alat Penangkapan per alat Tangkap tangkap tangkap 260.50 16,100.00 92.00
31,290.00 23,114.00
331.20
128.00 198.00 201.00 188.00 191.00
310.50
190.00
25,634.00
384.70
475.60 476.20 428.60
25,728.00
24,064.00 24,448.00
167
Rawai tetap No.
Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Unit Produksi Per Alat Trip Produksi per alat Penangkapan per alat Tangkap tangkap tangkap 314.20 24,150 138 317.00
758.50 614.60 964.10 984.80 1,000.50
152 312 289 387 427 479.00
27410 38,269 33,120
30,960 37,528 57,500
Pancing tonda No.
Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Unit Produksi Per Alat Trip Produksi per alat Penangkapan per alat Tangkap tangkap tangkap 51.70 5,600.00 72.00 102.45
69.00
9,876.00
153.20
9,993.00
77.70
62.00 70.00 53.00
6,224.00
54.00
48.00
5,543.00
79.00
69.00
9,643.00
137.80
8,960.00
Lampiran 5 Produksi crustacea, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung
168
Pukat Udang No.
1 2 3 4 5 6 7
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Unit Trip Produksi per alat Produksi Per Alat Penangkapan per tangkap Tangkap alat tangkap
132.80 129.40 102.80 97.90 63.60 78.30 68.20
17.00 17.00 15.00 13.00 14.00 14 16
4,760.00 4,831.00 4,692.00 5,728.00 4,629.00 3,754.00 4,185.00
Tramel net No.
1 2 3 4 5 6 7
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Unit Trip Produksi per alat Produksi Per Alat Penangkapan per tangkap Tangkap alat tangkap 287.00 5,775.00 35.00 32.50
28.40 400.70 256.20 145.80 72.60
23.00 18.00 56.00 37.00 26.00 21.00
1,864.00 229.00 6,720.00 5,376.00 4,873.00 1,267.00
Sero No.
1 2 3 4 5 6 7
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Unit Trip Produksi per alat Produksi Per Alat Penangkapan per tangkap Tangkap alat tangkap 1,337.00 27,050.00 726.00
916.20
876.00 864.00
30,215.00 21,854.00
959.30
1,139.00
19,854.00
501.20
550.00
16,600.00
460.20
895.00
18,672.00
654.80
995.00
17,498.00
1,139.00
Lampiran 6 Produksi crustacea, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung
169
Produksi No. Tahun
1 2 3 4 5 6 7
Trip No.
1 2 3 4 5 6 7 CPUE No.
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Standarisasi No. Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Pukat Udang
132.80 129.40 102.80 97.90 63.60 78.30 68.20
Pukat Udang
4,760.00 4,831.00 4,692.00 5,728.00 4,629.00 3,754.00 4,185.00
Pukat Udang
Tramel net
Sero
287.00
1,337.00
32.50
1,139.00
28.40 400.70 256.20 145.80 72.60
916.20
Tramel net
959.30 501.20 460.20 654.80
Sero
5,775.00
27,050.00
1,864.00 229.00 6,720.00 5,376.00 4,873.00 1,267.00
30,215.00 21,854.00
Tramel net
19,854.00
16,600.00 18,672.00 17,498.00
Sero
0.03
0.05
0.05
0.03
0.02
0.04
0.02
0.12
0.04
0.02
0.06
0.05
0.01
0.05
0.03
0.02
0.03
0.02
0.02
0.06
0.04
Pukat Udang
Tramel net
Sero
0.56
1.00
0.99
1.54
1.00
2.16
0.18
1.00
0.34
0.29
1.00
0.81
0.29
1.00
0.63
0.70
1.00
0.82
0.28
1.00
0.65
170
Trip Standarisasi No. Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
CPUE Standarisasi No. Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Lampiran 7
Pukat Udang
Tramel net
Sero
2,672.20
5,775.00
26,903.05
7,421.59
1,864.00
65,326.03
828.92
229.00
7,387.67
1,641.85
6,720.00
16,088.09
1,334.56
5,376.00
10,516.98
2,616.98
4,873.00
15,381.03
1,190.21
1,267.00
11,427.43
Pukat Udang
Tramel net
Sero
0.05
0.05
0.05
0.02
0.02
0.02
0.12
0.12
0.12
0.06
0.06
0.06
0.05
0.05
0.05
0.03
0.03
0.03
0.06
0.06
0.06
Produksi ikan lainnya, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung
171
Alat Lainya No.
Jumlah Unit Trip Produksi per alat Penangkapan per alat tangkap tangkap 107.40 1,840.00 137.00
Produksi Per Alat Tangkap
Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
92.70
87.20 78.20 73.90 58.00 46.10
132.00 130.00 126.00 95.00 74.00 89.00
1,364.00 1,254.00 1,137.00 1,038.00 1,367.00 1,076.00
Jaring Angkat Lain No.
Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Unit Trip Produksi per alat Penangkapan per alat tangkap tangkap 179.10 37,320.00 192.00
Produksi Per Alat Tangkap
89.20
152.00
30,151.00
41.40 56.90 89.30 105.10 97.90
105.00 110.00 149.00 156.00 135.00
17,263.00 16,853.00 24,741.00 30,543.00 29,547.00
Bagan Tancap No.
Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Unit Trip Produksi per alat Penangkapan per alat tangkap tangkap 2,895.70 61,320.00 292.00
Produksi Per Alat Tangkap
62,610.00 65,548.00
1,445.80
280.00 286.00 292.00 235.00 220.00
1,256.50
214.00
37,976.00
2,658.30
2,872.30 3,654.50 2,609.80
46,720.00
40,500.00 39,600.00
Bagan Perahu No.
Tahun
1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Lampiran 8
Jumlah Unit Trip Produksi per alat Penangkapan per alat tangkap tangkap 2,691.70 17,250.00 115.00
Produksi Per Alat Tangkap
3,262.90
2,188.50 4,162.20 5,822.50 6,400.10 2,449.90
122.00 115.00 138.00 243.00 267.00 233.00
35,420.00 19,445.00 22,080.00
48,600.00 53,421.00 37,740.00
Produksi ikan lainnya, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung
172
Produksi No.
1 2 3 4 5 6 7
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Bagan Perahu
Bagan Tancap
2,691.70
2,895.70
Jaring Angkat Lain 179.10
3,262.90
2,658.30
89.20
92.70
2,188.50
2,872.30
4,162.20
3,654.50
5,822.50
2,609.80
6,400.10
1,445.80
2,449.90
1,256.50
41.40 56.90 89.30 105.10 97.90
87.20 78.20 73.90 58.00 46.10
Bagan Perahu
Bagan Tancap
Alat Lainya 107.40
Trip No.
1 2 3 4 5 6 7
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jaring Angkat Lain 37,320
Alat Lainya
17,250
61,320
35,420 19,445
62,610 65,548
22,080
46,720
48,600
40,500
53,421
39,600
37,740
37,976
Bagan Perahu
Bagan Tancap
0.16
0.05
Jaring Angkat Lain 0.00
0.09
0.04
0.00
0.07
0.11
0.04
0.00
0.07
0.19
0.08
0.00
0.07
0.12
0.06
0.00
0.07
0.12
0.04
0.00
0.04
0.06
0.03
0.00
0.04
Bagan Perahu
Bagan Tancap
1.00
0.30
Jaring Angkat Lain 0.03
1.00
0.46
0.03
1.00
0.39
0.02
1.00
0.41
0.02
1.00
0.54
0.03
1.00
0.30
0.03
1.00
0.51
0.05
30,151
17,263 16,853 24,741 30,543 29,547
1,840
1,364 1,254 1,137 1,038 1,367 1,076
CPUE No.
1 2 3 4 5 6 7
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Alat Lainya 0.06
Standarisasi No.
1 2 3 4 5 6 7
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Alat Lainya
0.37 0.74 0.62 0.36 0.59 0.35 0.66
173
Trip standarisasi No.
1 2 3 4 5 6 7
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
17,250.00
Jaring Angkat Lain 18,557.35 1,147.78
35,420.00
28,856.84
968.30
1,006.29
19,445.00
25,520.62
367.84
774.78
22,080.00
19,386.71
301.85
414.84
48,600.00
21,783.82
745.38
616.84
53,421.00
12,067.95
877.26
484.12
37,740.00
19,356.02
1,508.12
710.16
Bagan Perahu
Bagan Tancap
Bagan Perahu
Bagan Tancap
Alat Lainya 688.28
CPUE Standart No.
1 2 3 4 5 6 7
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Lampiran 9
0.16
Jaring Angkat Lain 0.16 0.16
0.09
0.09
0.09
0.09
0.11
0.11
0.11
0.11
0.19
0.19
0.19
0.19
0.12
0.12
0.12
0.12
0.12
0.12
0.12
0.12
0.06
0.06
0.06
0.06
Alat Lainya 0.16
Analisis Keseuaian Lokasi Budidaya Laut dengan Karamba Jaring Apung
174
Kategori
Kisaran Bobot Optimum (%)
Kategori 1 0
Suhu ( C)
Salinitas (ppt)
Skor
Skor per Stasiun
Bobot x Skor per Stasiun
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
3
3
3
3
3
3
3
40 28 - 30
20 - 30
10
10
3
30
30
30
30
30
30
30
2
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
30
30
30
20
20
20
20
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
45
0
0
0
0
0
45
0
30
0
30
0
30
0
0
0
15
0
15
0
0
0
0
0
0
0
0
15
3 2
3 2
2
2
3
3
2
1 DO (ppm)
8 - 10
15
3
3
2
3 2
1 DIN (ppm)
nihil
5
2 1
3
3
2 TOM (ppm)
< 25
5
2
1
1
3
3
2
1
nihil
5
3
1 3 1
3
3
1
15
3
3
tidak ada
15
2 1
3 2
1 tidak ada
5
2
2
3 2
1
3 2
2 1
3 2
Alga blooms
3
2
1 Polusi
3
1
3 2
1
2
1 20 - 40
3
3
2 Arus (cm/dt)
2 1
2
1 Ortho-P04
2 1
3 2
2
2
3
3
2
1 Organisme pathogen tidak ada
5
3 2
3 2
3 2
2
2
2
1 Pergantian air
cepat
10
3 2
3 2
2
2
3
3
2
1 Jumlah
100
Nilai Kategori 1 Kategori 2
30
Kedalaman (m)
10 - 20
40
3
3 2
2
2
terlindung
40
3
3
3
2
3
2 1 pasir campur pecahan karang
20
1 Nilai Kategori 2
100
3
3
2 1
3 2
Jumlah
0
10
0
10
0
5
0
5
0
0
15
0
0
15
0
0
15
0
10
0
0
0
0
0
0
0
5
0
5
5
0
15
15
15
0
0
15
15
0
0
0
10
0
0
0
0
0
0
0
5
0
0
0
45
0
0
0
0
45
30
0
0
30
0
30
0
0
0
15
0
15
0
0
0
0
0
0
45
0
45
30
0
30
30
0
30
0
0
15
0
0
0
0
0
0
0
0
0
15
15
15
10
10
10
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
15
0
0
0
0
15
10
0
10
10
10
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
30
30
30
20
20
20
20
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
92
1
Substrat
0 5
230 215 175 215 205 235 300
2 Keterlindungan
0 5
1 3
3
2
2 1
3
86
70
86
82
94
120 120 120
0
0
0
0
80
80
80
80
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
120
0
120 120
120
0 0 0
0
0
0
80
0
0
0
1
40
40
0
0
0
0
40
3
0
60
0
0
60
60
60
40
0
0
40
0
0
0
0
0
20
0
0
0
0
160 180 220 200 300 300 220 48
54
66
60
90
90
66
175
Kategori
Kisaran Optimum
Bobot (%)
Kategori 3 Aspek Legal
Skor
Skor per Stasiun 1
2
2
2
Bobot x Skor per Stasiun
3
4
5
6
3
3
3
3
7
1
Sesuai RUTRD
20
3 2
2
1 Kemudahan akses
Mudah
20
3 2
3 2
2
2
1 Konflik
Tidak ada
20
1
3 2
Aman
20
4
5
6
7
0
0
60
60
60
60
0
40
40
0
0
0
0
40
2
2
2
Dekat
20
0
0
0
0
0
0
0
0
40
0
40
40
0
0
0
0
0
0
0
20
20
20
0
0
0
0
60
0
0
2
2
40
40
40
40
0
40
40
0
0
0
0
0
0
0
3
3
0
0
0
0
60
60
60 0
40
0
40
40
0
0
0
20
0
0
0
0
0
3
3
0
60
0
0
0
0
0
40
0
40
40
40
40
0
2
2
0 0
1
1
2
0 60
1 2 100
3
0 0 1
3 2
3 2
Akses dengan pasar
3
1
1 Keamanan
2
30
2
2
2
2
2 1
0 0 0 0 0 0 20 201 222 223 224 245 389 187
Nilai Kategori 3 Total Nilai ((1+2+3)/ 300*100)
60
67
67
67
74
117 56
67
69
68
71
82
100 81
Kelayakan
KL
KL
KL
KL
L
Keterangan 1. Kalianda 2. Tarahan 3. Teluk Hurun 4. Ringgung 5. Pulau Puhawang 6. Tanjung Putus 7. Pulau Sebesi 80 - 100
= layak (L)
50 - 79
= kurang layak (KL)
< 50
= tidak layak (TL)
L
L
176
Lampiran 10 Pemilihan teknologi penangkapan ikan Alternatif ada 4, yaitu: (1) Bubu (2) Jaring insang (3) Pancing (4) Sero Kriteria ada 8, yaitu: (1) Selektivitas tinggi (K1). (2) Tidak destruktif terhadap habitat (K2). (3) Tidak membahayakan nelayan (K3). (4) Menghasilkan ikan yang bermutu baik (K4). (5) Produk tidak membahayakan konsumen (K5). (6) Minimum hasil tangkapan yang terbuang (K6). (7) Dampak minimum terhadap keanekaragaman sumber daya hayati (K7). (8) Tidak menangkap spesies yang dilindungi (K8). Skala penilaian ada 7, yaitu: (1) P = Perfect atau Paling Tinggi (2) ST = Sangat Tinggi (3) T
= Tinggi
(4) S = Sedang (5) R = Rendah (6) SR = Sangat Rendah (7) PR = Paling Rendah Tingkat kriteria: Kriteria 1 (K1) = ST Kriteria 2 (K2) = ST Kriteria 3 (K3) = T Kriteria 4 (K4) = T Kriteria 5 (K5) = T Kriteria 6 (K6) = T Kriteria 7 (K7) = ST Kriteria 8 (K8) = T
177
Pakar ada 4, yaitu: 1. (P1) 2. (P2) 3. (P3) 4. (P4)
Pakar
Pakar 1
Pakar 2
Pakar 3
Pakar 4
Alternatif Alt 1 Alt 2 Alt 3 Alt 4 Alt 1 Alt 2 Alt 3 Alt 4 Alt 1 Alt 2 Alt 3 Alt 4 Alt 1 Alt 2 Alt 3 Alt 4
K1 ST R S T ST S T S T S S S ST R T R
K2 T S ST S ST R T S T R T T T R T S
K3 T T T T T T S T T S S T T S S S
Kriteria Penilaian K4 K5 K6 T T ST R T R S T T S T S ST ST T R S R T T T S T T T T T R S R S S T S S S T ST T R S R T S T S T T
K7 T S ST T S R T S T R T S T R T S
K8 ST R T S T R T S T R T R T S T S
Penilaian alternatif 1 : Bubu Data hasil penilaian pakar ke-j Pakar
Alternatif
Pakar 1
Kriteria Penilaian K1
K2
K3
K4
K5
K6
K7
K8
Alt 1
ST
T
T
T
T
ST
T
ST
Pakar 2
Alt 1
ST
ST
T
ST
ST
T
S
T
Pakar 3
Alt 1
T
T
T
T
T
T
T
T
Pakar 4
Alt 1
ST
T
T
T
ST
T
T
T
178
(a) Proses agregasi pada kriteria: V11
= min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [SR v ST, SR v T, R v T, R v T, R v T, R v ST, SR v T , R v ST] = min [ST, T, T, T, T, ST, T, ST] = min T
V21
= min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [SR v ST, SR v ST, R v T, R v ST, R v ST, R v T, SR v S , R v T] = min [ST, ST, T, ST, ST, T, S, T] = min S
V31
= min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [SR v T, SR v T, R v T, R v T, R v T, R v T, SR v T , R v T] = min [T, T, T, T, T, T, T, T] = min T
V41
= min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [SR v ST, SR v T, R v T, R v T, R v ST, R v T, SR v T , R v T] = min [ST, T, T, T, ST, T, T, T] = min T
Hasil agregasi kriteria didapatkan: T, S, T, T
(b) Proses agregasi pada pakar: Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus: q −1 ⎤ ⎡ Qk = Int ⎢1 + (k * ) r ⎥⎦ ⎣
Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj ∧ bj] j=1,2,…,m
bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j xj = T, S, T, T; sehingga bj = T, T, T, S V1 = max [R v T, S v T, ST v T, P v S] = max [T, T, T, S] =T Sehingga nilai akhir alternatif satu adalah T (tinggi)
179
Penilaian alternatif 2 : Jaring insang Data hasil penilaian pakar ke-j Pakar
Alternatif
Pakar 1
Kriteria Penilaian K1
K2
K3
K4
K5
K6
K7
K8
Alt 2
R
S
T
R
T
R
S
R
Pakar 2
Alt 2
S
R
T
R
S
R
R
R
Pakar 3
Alt 2
S
R
S
R
S
R
R
R
Pakar 4
Alt 2
R
R
S
R
S
R
R
S
(a) Proses agregasi pada kriteria: V12
= min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [SR v R, SR v S, R v T, R v R, R v T, R v R, SR v S , R v R] = min [R, S, T, R, T, R, S, R] = min R
V22
= min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min[SR v S, SR v R, R v T, R v R, R v S, R v R, SR v R , R v R] = min [S, R, T, R, S, R, R, R] = min R
V32
= min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [SR v S, SR v R, R v S, R v R, R v S, R v R, SR v R , R v R] = min [S, R, S, R, S, R, R, R] = min R
V42
= min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min[SR v R, SR v R, R v S, R v R, R v S, R v R, SR v R , R v S] = min [R, R, S, R, S, R, R, S] = min R
Hasil agregasi kriteria didapatkan: R, R, R, R,
(b) Proses agregasi pada pakar: Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus: q −1 ⎤ ⎡
Qk = Int ⎢1 + (k * ) r ⎥⎦ ⎣
Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj ∧ bj] j=1,2,…,m
bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j
180
xj = R, R, R, R; sehingga bj = R, R, R, R V1 = max [R v R, S v R, ST v R, P v R] = max [R, R, R, R] =R Sehingga nilai akhir alternatif dua adalah R (rendah)
Penilaian alternatif 3 : Pancing Data hasil penilaian pakar ke-j Pakar
Alternatif
Pakar 1
Kriteria Penilaian K1
K2
K3
K4
K5
K6
K7
K8
Alt 3
S
ST
T
S
T
T
ST
T
Pakar 2
Alt 3
T
T
S
T
T
T
T
T
Pakar 3
Alt 3
S
T
S
S
S
T
T
T
Pakar 4
Alt 3
T
T
S
T
S
T
T
T
(a) Proses agregasi pada kriteria: V13 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [SR v S, SR v ST, R v T, R v S, R v T, R v T, SR v ST , R v T] = min [S, ST, T, S, T, T, ST, T] = min S V23 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min[SR v T, SR v T, R v S, R v T, R v T, R v T, SR v T , R v T] = min [T, T, S, T, T, T, T, T] = min S V33 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min[SR v S, SR v T, R v S, R v S, R v S, R v T, SR v T , R v T] = min [S, T, S, S, S, T, T, T] = min S V43 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [SR v T, SR v T, R v S, R v T, R v S, R v T, SR v T , R v T] = min [T, T, S, T, S, T, T, T] = min S Hasil agregasi kriteria didapatkan: S, S, S, S (b) Proses agregasi pada pakar:
181
Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus: q −1 ⎤ ⎡ Qk = Int ⎢1 + (k * ) r ⎥⎦ ⎣
Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj ∧ bj] j=1,2,…,m
bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j xj = S, S, S, S; sehingga bj = S, S, S, S V1 = max [R v S, S v S, ST v S, P v S] = max [S, S, S, S] =S Sehingga nilai akhir alternatif tiga adalah S (sedang)
Penilaian alternatif 4 : Sero Data hasil penilaian pakar ke-j Pakar
Alternatif
Pakar 1
Kriteria Penilaian K1
K2
K3
K4
K5
K6
K7
K8
Alt 4
T
S
T
S
T
S
T
S
Pakar 2
Alt 4
S
S
T
S
T
T
S
S
Pakar 3
Alt 4
S
T
T
S
S
S
S
R
Pakar 4
Alt 4
R
S
S
S
T
T
S
S
(a) Proses agregasi pada kriteria: V14 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [SR v T, SR v S, R v T, R v S, R v T, R v S, SR v T , R v S] = min [T, S, T, S, T, S, T, S] = min S V24 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [SR v S, SR v S, R v T, R v S, R v T, R v T, SR v S , R v S] = min [S, S, T, S, T, T, S, S] = min S V34 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [SR v S, SR v T, R v T, R v S, R v S, R v S, SR v S , R v R] = min [S, T, T, S, S, S, S, R] = min R
182
V44 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [SR v R, SR v S, R v S, R v S, R v T, R v T, SR v S , R v S] = min [R, S, S, S, T, T, S, S] = min R Hasil agregasi kriteria didapatkan: S, S, R, R
(b) Proses agregasi pada pakar: Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus: q −1 ⎤ ⎡ Qk = Int ⎢1 + (k * ) r ⎥⎦ ⎣
Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj ∧ bj] j=1,2,…,m
bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j xj = S, S, R, R; sehingga bj = R, R, S, S V1 = max [R v R, S v R, ST v S, P v S] = max [R, R, S, S] =S Sehingga nilai akhir alternatif empat adalah S (sedang)
Rangkuman hasil agregrasi kriteria-pakar adalah sebagai berikut: Bobot Nilai = R, S, ST, P Negasi Bobot Kriteria = SR, SR, R, R, R, R, SR, R Hasil agregrasi kriteria: - alternatif 1 = T, S, T, T - alternatif 2 = R, R, R, R - alternatif 3 = S, S, S, S - alternatif 4 = S, S, R, R Hasil agregrasi pakar: - alternatif 1 = T - alternatif 2 = R - alternatif 3 = S - alternatif 4 = S
183
Lampiran 11. Pemilihan Komoditas Potensial Alternatif ada 4, yaitu: (1) Kerapu (2) Rajungan (3) Udang Putih (4) Udang lain Kriteria ada 6, yaitu: (1) Kelayakan komoditas (K1). (2) Ketersediaan dan tingkat kemudahan teknologi (K2). (3) Nilai ekonomis (K3). (4) Peluang pasar (K4). (5) Penyerapan tenaga kerja (K5). (6) Dampak ganda terhadap sektor lain (K6). (7) Dampak terhadap lingkungan (K7). (8) Kondisi budidaya laut saat ini (K8). Skala penilaian ada 7, yaitu: (1) P = Perfect atau Paling Tinggi (2) ST = Sangat Tinggi (3) T
= Tinggi
(4) S = Sedang (5) R = Rendah (6) SR = Sangat Rendah (7) PR = Paling Rendah Tingkat kriteria: Kriteria 1 (K1) = T Kriteria 2 (K2) = T Kriteria 3 (K3) = ST Kriteria 4 (K4) = T Kriteria 5 (K5) = T Kriteria 6 (K6) = ST Kriteria 7 (K7) = P Kriteria 8 (K8) = T
184
Pakar ada 4, yaitu: 1. (P1) 2. (P2) 3. (P3) 4. (P4)
Pakar
Pakar 1
Pakar 2
Pakar 3
Pakar 4
Alternatif Alt 1 Alt 2 Alt 3 Alt 4 Alt 1 Alt 2 Alt 3 Alt 4 Alt 1 Alt 2 Alt 3 Alt 4 Alt 1 Alt 2 Alt 3 Alt 4
K1 ST T T T ST ST ST T ST T ST T T T T T
K2 T S T ST T S T S T R S R T S S S
K3 ST T ST ST ST ST ST T ST T T T T T T T
Kriteria Penilaian K4 K5 K6 ST T ST T T T ST T T T S T ST S T ST R S T R S T R S ST T T T R S ST S T T S S T S T T R S T S T T S S
K7 T T S S T T R S T S T S T S S S
K8 P R S S ST S S S ST S T S ST S T S
Penilaian alternatif 1 : Kerapu Data hasil penilaian pakar ke-j Pakar
Alternatif
Pakar 1
Kriteria Penilaian K1
K2
K3
K4
K5
K6
K7
K8
Alt 1
ST
T
ST
ST
T
ST
T
P
Pakar 2
Alt 1
ST
T
ST
ST
S
T
T
ST
Pakar 3
Alt 1
ST
T
ST
ST
T
T
T
ST
Pakar 4
Alt 1
T
T
T
T
S
T
T
ST
185
(a) Proses agregasi pada kriteria: V11
= min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [R v ST, R v T, SR v ST, R v ST, R v T, SR v ST, PR v T, R v P] = min [ST, T, ST, ST, T, ST, T, P] = min T
V21
= min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [R v ST, R v T, SR v ST, R v ST, R v S, SR v T, PR v T, R v ST] = min [ST, T, ST, ST, S, T, T, ST] = min S
V31
= min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [R v ST, R v T, SR v ST, R v ST, R v T, SR v T, PR v T, R v ST] = min [ST, T, ST, ST, T, T, T, ST] = min T
V41
= min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min[R v T, R v T, SR v T, R v T, R v S, SR v T, PR v T, R v ST] = min [T, T, T, T, S, T, T, ST] = min S
Hasil agregasi kriteria didapatkan: T, S, T, S
(b) Proses agregasi pada pakar: Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus: q −1 ⎤ ⎡ Qk = Int ⎢1 + (k * ) r ⎥⎦ ⎣
Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj ∧ bj] j=1,2,…,m
bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j xj = T, S, T, S; sehingga bj = T, T, S, S V1 = max [R v T, S v T, ST v S, P v S] = max [T, T, S, S] =T Sehingga nilai akhir alternatif satu adalah T (tinggi)
186
Penilaian alternatif 2 : Rajungan Data hasil penilaian pakar ke-j Pakar
Alternatif
Pakar 1
Kriteria Penilaian K1
K2
K3
K4
K5
K6
K7
K8
Alt 2
T
S
T
T
T
T
T
R
Pakar 2
Alt 2
ST
S
ST
ST
R
S
T
S
Pakar 3
Alt 2
T
R
T
T
R
S
S
S
Pakar 4
Alt 2
T
S
T
T
R
S
S
S
(a) Proses agregasi pada kriteria: V12
= min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v T, SR v T, PR v T, R v R] = min [T, S, T, T, T, T, T, R] = min R
V22
= min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [R v ST, R v S, SR v ST, R v ST, R v R, SR v S, PR v T, R v S] = min [ST, S, ST, ST, R, S, T, S] = min R
V32
= min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [R v T, R v R, SR v T, R v T, R v R, SR v S, PR v S, R v S] = min [T, R, T, T, R, S, S, S] = min R
V42
= min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v R, SR v S, PR v S, R v S] = min [T, S, T, T, R, S, S, S] = min R
Hasil agregasi kriteria didapatkan: R, R, R, R
(b) Proses agregasi pada pakar: Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus: q −1 ⎤ ⎡
Qk = Int ⎢1 + (k * ) r ⎥⎦ ⎣
Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj ∧ bj] j=1,2,…,m
bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j
187
xj = R, R, R, R; sehingga bj = R, R, R, R V1 = max [R v R, S v R, ST v R, P v R] = max [R, R, R, R] =R Sehingga nilai akhir alternatif dua adalah R (rendah)
Penilaian alternatif 3 : Udang Putih Data hasil penilaian pakar ke-j Pakar
Alternatif
Pakar 1
Kriteria Penilaian K1
K2
K3
K4
K5
K6
K7
K8
Alt 3
T
T
ST
ST
T
T
S
S
Pakar 2
Alt 3
ST
T
ST
T
R
S
R
S
Pakar 3
Alt 3
ST
S
T
ST
S
T
T
T
Pakar 4
Alt 3
T
S
T
T
S
T
S
T
(a) Proses agregasi pada kriteria: V13 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [R v T, R v T, SR v ST, R v ST, R v T, SR v T, PR v S, R v S] = min [T, T, ST, ST, T, T, S, S] = min S V23 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min[R v ST, R v T, SR v T, R v T, R v T, SR v ST, PR v T, R v ST] = min [ST, T, ST, T, R, S, R, S] = min R V33 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [R v ST, R v S, SR v T, R v ST, R v S, SR v T, PR v T, R v T] = min [ST, S, T, ST, S, T, T, T] = min S V43 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v S, SR v T, PR v S, R v T] = min [T, S, T, T, S, T, S, T] = min S Hasil agregasi kriteria didapatkan: S, R, S, S
188
(b) Proses agregasi pada pakar: Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus: q −1 ⎤ ⎡ Qk = Int ⎢1 + (k * ) r ⎥⎦ ⎣
Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj ∧ bj] j=1,2,…,m
bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j xj = S, R, S, S; sehingga bj = S, S, S, R V1 = max [R v S, S v S, ST v S, P v R] = max [S, S, S, R] =S Sehingga nilai akhir alternatif tiga adalah S (sedang)
Penilaian alternatif 4 : Udang lain Data hasil penilaian pakar ke-j Pakar
Kriteria Penilaian
Alternatif
Pakar 1
Alt 4
K1 T
K2 ST
K3
K4
K5
K6
K7
K8
ST
T
S
T
S
S
Pakar 2
Alt 4
T
S
T
T
R
S
S
S
Pakar 3
Alt 4
T
R
T
T
S
S
S
S
Pakar 4
Alt 4
T
S
T
T
S
S
S
S
(a) Proses agregasi pada kriteria: V14 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [R v T, R v ST, SR v ST, R v T, R v S, SR v T, PR v S, R v S] = min [T, ST, ST, T, S, T, S, S] = min S V24 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v R, SR v S, PR v S, R v S] = min [T, S, T, T, R, S, S, S] = min R V34 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [R v T, R v R, SR v T, R v T, R v S, SR v S, PR v S, R v S] = min [T, R, T, T, S, S, S, S] = min R
189
V44 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)] = min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v S, SR v S, PR v S, R v S] = min [T, S, T, T, S, S, S, S] = min S Hasil agregasi kriteria didapatkan: S, R, R, S
(b) Proses agregasi pada pakar: Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus: q −1 ⎤ ⎡ Qk = Int ⎢1 + (k * ) r ⎥⎦ ⎣
Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj ∧ bj] j=1,2,…,m
bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j xj = S, R, R, S; sehingga bj = S, S, R, R V1 = max [R v S, S v S, ST v R, P v R] = max [S, S, R, R] =S Sehingga nilai akhir alternatif empat adalah S (sedang)
Rangkuman hasil agregrasi kriteria-pakar adalah sebagai berikut: Bobot Nilai = R, S, ST, P Negasi Bobot Kriteria = R, R, SR, R, R, SR, PR, R Hasil agregrasi kriteria: - alternatif 1 = T, S, T, S - alternatif 2 = R, R, R, R - alternatif 3 = S, R, S, S - alternatif 4 = S, R, R, S Hasil agregrasi pakar: - alternatif 1 = T - alternatif 2 = R - alternatif 3 = S - alternatif 4 = S
Lampiran 12 Analisis Finansial Budidaya Udang Vaname Sederhana No.
Uraian
Volume
Satuan
Nilai
Harga 0
I 1 2 3 4
Investasi Perbaikan Tambak Pompa Kincir Peralatan Tambak
1.00 Unit 1.00 Unit 1.00 Paket
2,500,000.00 2,000,000.00 500,000.00
Jumlah II 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Modal Kerja Benih Pakan Kapur Pupuk Saponin Probiotik Desinfektan Solar Tenaga Kerja Biaya Panen Jumlah
III Jumlah Modal 1 Investasi 2 Modal Kerja Jumlah
1
2,500,000.00 2,000,000.00 500,000.00 5,000,000.00
50,000.00 466.67 500.00 50.00 50.00 27.00 50.00 1.00 6.00 1.00
ekor kg kg kg kg kg kg Paket Paket Paket
25.00 10,000.00 500.00 3,500.00 2,500.00 50,000.00 11,000.00 500,000.00 700,000.00 583,333.33
1,250,000.00 4,666,666.67 250,000.00 175,000.00 125,000.00 1,350,000.00 550,000.00 500,000.00 4,200,000.00 583,333.33 13,650,000.00
5,000,000.00 13,650,000.00 18,650,000.00
2
3
4
No. IV 1 2 a b
Uraian Rugi - Laba Hasil Produksi Biaya Operasional Modal Kerja Penyusutan
Volume
Satuan
583.33 kg
Harga
38,000.00
2
3
4
22,166,666.67
14,275,000.00
Keuntungan
7,891,666.67
Per tahun Rugi-Laba Tahunan Hasil Produksi Biaya Operasional Keuntungan
1
13,650,000.00 625,000.00
Jumlah
V 1 2 3
Nilai 0
157,833,333.33
1166.67 kg
38000
44,333,333.3 28,550,000.00 15,783,333.33
44,333,333.3 28,550,000.00 15,783,333.33
44,333,333.3 28,550,000.00 15,783,333.33
44,333,333.3 28,550,000.00 15,783,333.33
1.00
2.00
3.00
4.00
18,680,000.00 44,333,333.33
44,333,333.33
44,333,333.33
44,333,333.33
62,983,333.33
44,333,333.33
44,333,333.33
44,333,333.33
5,000,000.00 28,550,000.00 33,550,000.00
28,550,000.00 28,550,000.00
28,550,000.00 28,550,000.00
28,550,000.00 28,550,000.00
VI Cash Flow A. Pemasukan 1 Modal Awal 2 Hasil Penjualan Jumlah A B Pengeluaran 1 Investasi 2 Biaya Operasional Jumlah B
No.
Uraian
Volume
Satuan
Harga
Nilai 0
1 29,433,333.33
2 15,783,333.33
3 15,783,333.33
4 15,783,333.33
29,433,333.33
45,216,666.67
61,000,000.00
29,433,333.33
45,216,666.67
61,000,000.00
76,783,333.33
44,333,333.33 0.87 38,550,724.64
44,333,333.33 0.67 33,522,369.25
44,333,333.33 0.66 29,149,886.30
44,333,333.33 0.57 25,347,727.22
5,000,000.00 1.00 5,000,000.00
28,550,000.00 0.87 24,826,086.96
28,550,000.00 0.76 21,587,901.70
28,550,000.00 0.66 18,772,088.44
28,550,000.00 0.57 16,323,555.16
Net Cashflow
(5,000,000.00)
13,724,637.68
11,934,467.55
10,377,797.87
9,024,172.06
NVP df 15 %
40,061,075.16
C Balance D Saldo Awal
-
E Saldo Akhir VII Analisis Finansial A Cash Inflow df 15 % Net Cash Inflow
-
B Cash Outflow Investasi df 15 % Net Cash Outflow
Net B/C Ratio PBP IRR
1.46 Tahun Ke
1.00 2.61
Lampiran 13 Analisis Finansial Budidaya Udang Vaname Semi Intensif No.
Uraian
Volume
Satuan
Nilai
Harga 0
I 1 2 3 4
Investasi Perbaikan Tambak Pompa Kincir Peralatan Tambak
1.00 1.00 1.00 1.00
Unit Unit Paket Paket
2,500,000.00 2,000,000.00 12,000,000.00 500,000.00
Jumlah II 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Modal Kerja Benih Pakan Kapur Pupuk Saponin Probiotik Desinfektan Solar Tenaga Kerja Biaya Panen Jumlah
III Jumlah Modal 1 Investasi 2 Modal Kerja Jumlah
1
2,500,000.00 2,000,000.00 12,000,000.00 500,000.00 17,000,000.00
400,000.00 5,600.00 500.00 50.00 50.00 137.00 50.00 1.00 6.00 1.00
ekor kg kg kg kg kg kg Paket Paket Paket
25.00 10,000.00 500.00 3,500.00 2,500.00 50,000.00 11,000.00 3,500,000.00 1,400,000.00 4,000,000.00
10,000,000.00 56,000,000.00 250,000.00 175,000.00 125,000.00 6,850,000.00 550,000.00 3,500,000.00 8,400,000.00 4,000,000.00 89,850,000.00
17,000,000.00 89,850,000.00 106,850,000.00
2
3
4
No. IV 1 2 a b
Uraian Rugi - Laba Hasil Produksi Biaya Operasional Modal Kerja Penyusutan
Volume
Satuan
4,000.00 kg
Harga
38,000.00
1
2
3
4
304,000,000.00 183,950,000.00 120,050,000.00
304,000,000.00 183,950,000.00 120,050,000.00
304,000,000.00 183,950,000.00 120,050,000.00
304,000,000.00 183,950,000.00 120,050,000.00
1.00
2.00
3.00
4.00
106,850,000.00 304,000,000.00
304,000,000.00
304,000,000.00
304,000,000.00
410,850,000.00
304,000,000.00
304,000,000.00
304,000,000.00
17,000,000.00 183,950,000.00 200,950,000.00
183,950,000.00 183,950,000.00
183,950,000.00 183,950,000.00
183,950,000.00 183,950,000.00
152,000,000.00 89,850,000.00 2,125,000.00
Jumlah
91,975,000.00
Keuntungan
60,025,000.00
Per tahun V 1 2 3
Nilai 0
Rugi-Laba Tahunan Hasil Produksi Biaya Operasional Keuntungan
120,050,000.00
8,000.00 kg
38,000.00
VI Cash Flow A. Pemasukan 1 Modal Awal 2 Hasil Penjualan Jumlah A B Pengeluaran 1 Investasi 2 Biaya Operasional Jumlah B
No.
Uraian
Volume
Satuan
Harga
Nilai 0
1 209,900,000.00
2 120,050,000.00
3 120,050,000.00
4 120,050,000.00
209,900,000.00
329,950,000.00
450,000,000.00
209,900,000.00
329,950,000.00
450,000,000.00
570,050,000.00
304,000,000.00 0.87 264,347,826.09
304,000,000.00 0.76 229,867,674.86
304,000,000.00 0.66 199,884,934.66
304,000,000.00 0.57 173,812,986.66
17,000,000.00 1.00 17,000,000.00
183,950,000.00 0.87 159,956,521.74
183,950,000.00 0.76 139,092,627.60
183,950,000.00 0.66 120,950,110.96
183,950,000.00 0.57 105,174,009.53
Net Cashflow
(17,000,000.00)
104,391,304.35
90,775,047.26
78,934,823.70
68,638,977.13
NVP df 15 %
325,740,152.44
C Balance D Saldo Awal
-
E Saldo Akhir VII Analisis Finansial A Cash Inflow df 15 % Net Cash Inflow
-
B Cash Outflow Investasi df 15 % Net Cash Outflow
Net B/C Ratio PBP IRR
1,6 Tahun Ke
1.00 6.01
Lampiran 14 Analisis Finansial Budidaya Udang Vaname Intensif No.
Uraian
Volume
Satuan
Nilai
Harga 0
I 1 2 3 4
Investasi Perbaikan Tambak Pompa Kincir Peralatan Tambak
1.00 1.00 1.00 1.00
Unit Unit Paket Paket
2,500,000.00 4,000,000.00 24,000,000.00 500,000.00
Jumlah II 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Modal Kerja Benih Pakan Kapur Pupuk Saponin Probiotik Desinfektan Solar Tenaga Kerja Biaya Panen Jumlah
III Jumlah Modal 1 Investasi 2 Modal Kerja Jumlah
1
2,500,000.00 4,000,000.00 24,000,000.00 500,000.00 31,000,000.00
1,500,000.00 22,500.00 500.00 50.00 50.00 190.00 50.00 1.00 6.00 1.00
ekor kg kg kg kg kg kg Paket Paket Paket
25.00 10,000.00 500.00 3,500.00 2,500.00 50,000.00 11,000.00 7,500,000.00 2,800,000.00 12,500,000.00
37,500,000.00 225,000,000.00 250,000.00 175,000.00 125,000.00 9,500,000.00 550,000.00 7,500,000.00 16,800,000.00 12,500,000.00 309,900,000.00
31,000,000.00 309,900,000.00 340,900,000.00
2
3
4
No. IV 1 2 a b
V 1 2 3
Uraian Rugi - Laba Hasil Produksi Biaya Operasional Modal Kerja Penyusutan
Volume
Satuan
12,500.00 kg
Harga
38,000.00
Nilai 0
1
2
4
475,000,000.00 309,900,000.00 3,875,000.00
Jumlah
313,775,000.00
Keuntungan
161,225,000.00
Per tahun
322,450,000.00
Rugi-Laba Tahunan Hasil Produksi Biaya Operasional Keuntungan
3
25,000.00 kg
38,000.00
950,000,000.00 627,550,000.00 322,450,000.00
950,000,000.00 627,550,000.00 322,450,000.00
950,000,000.00 627,550,000.00 322,450,000.00
950,000,000.00 627,550,000.00 322,450,000.00
1.00
2.00
3.00
4.00
340,900,000.00 950,000,000.00
950,000,000.00
950,000,000.00
950,000,000.00
1,290,900,000.00
950,000,000.00
950,000,000.00
950,000,000.00
31,000,000.00 627,550,000.00
627,550,000.00
627,550,000.00
627,550,000.00
VI Cash Flow A. Pemasukan 1 Modal Awal 2 Hasil Penjualan Jumlah A B Pengeluaran 1 Investasi 2 Biaya Operasional
No.
Uraian
Volume
Satuan
Harga
Nilai 0
1 658,550,000.00
2 627,550,000.00
3 627,550,000.00
4 627,550,000.00
632,350,000.00
322,450,000.00
322,450,000.00
322,450,000.00
632,350,000.00
954,800,000.00
1,277,250,000.00
632,350,000.00
954,800,000.00
1,277,250,000.00
1,599,700,000.00
950,000,000.00 0.87 826,086,956.52
950,000,000.00 0.76 718,336,483.93
950,000,000.00 0.66 624,640,420.81
950,000,000.00 0.57 543,165,583.31
31,000,000.00 1.00 31,000,000.00
627,550,000.00 0.87 545,695,652.17
627,550,000.00 0.76 474,517,958.41
627,550,000.00 0.66 412,624,311.66
627,550,000.00 0.57 358,803,749.27
Net Cashflow
(31,000,000.00)
280,391,304.35
243,818,525.52
212,016,109.15
184,361,834.04
NVP df 15 %
889,587,773.06
Jumlah B C Balance D Saldo Awal
-
E Saldo Akhir VII Analisis Finansial A Cash Inflow df 15 % Net Cash Inflow
-
B Cash Outflow Investasi df 15 % Net Cash Outflow
Net B/C Ratio PBP IRR
1.49 Tahun Ke
1.00 8.91
Lampiran 15 Analisis Finansial Budidaya Udang Windu Sederhana No.
Uraian
Volume
Satuan
Nilai
Harga 0
I 1 2 3 4
Investasi Perbaikan Tambak Pompa Kincir Peralatan Tambak
1.00 1.00 1.00
Unit Unit Paket Paket
2,500,000.00 2,000,000.00 500,000.00
Jumlah II 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Modal Kerja Benih Pakan Kapur Pupuk Saponin Probiotik Desinfektan Solar Tenaga Kerja Biaya Panen Jumlah
III Jumlah Modal 1 Investasi 2 Modal Kerja Jumlah
1
2,500,000.00 2,000,000.00 500,000.00 5,000,000.00
25,000.00 350.00 500.00 50.00 50.00 27.00 50.00 1.00 6.00 1.00
ekor kg kg kg kg kg kg Paket Paket Paket
25.00 10,000.00 500.00 3,500.00 2,500.00 50,000.00 11,000.00 500,000.00 700,000.00 437,500.00
625,000.00 3,500,000.00 250,000.00 175,000.00 125,000.00 1,350,000.00 550,000.00 500,000.00 4,200,000.00 437,500.00 11,712,500.00
5,000,000.00 11,712,500.00 16,712,500.00
2
3
4
No.
IV 1 2 a b
Uraian
Rugi - Laba Hasil Produksi Biaya Operasional Modal Kerja Penyusutan
Volume
Satuan
437.50 kg
Harga
50,000.00
2
3
4
21,875,000.00
12,337,500.00
Keuntungan
9,537,500.00
Per tahun Rugi-Laba Tahunan Hasil Produksi Biaya Operasional Keuntungan
1
11,712,500.00 625,000.00
Jumlah
V 1 2 3
Nilai 0
19,075,000.00
875.00 kg
50,000.00
43,750,000.00 24,675,000.00 19,075,000.00
43,750,000.00 24,675,000.00 19,075,000.00
43,750,000.00 24,675,000.00 19,075,000.00
43,750,000.00 24,675,000.00 19,075,000.00
1.00
2.00
3.00
4.00
16,712,500.00 43,750,000.00
43,750,000.00
43,750,000.00
43,750,000.00
60,462,500.00
43,750,000.00
43,750,000.00
43,750,000.00
5,000,000.00 24,675,000.00 29,675,000.00
24,675,000.00 24,675,000.00
24,675,000.00 24,675,000.00
24,675,000.00 24,675,000.00
VI Cash Flow A. Pemasukan 1 Modal Awal 2 Hasil Penjualan Jumlah A B Pengeluaran 1 Investasi 2 Biaya Operasional Jumlah B
No.
Uraian
Volume
Satuan
Harga
Nilai 0
1 30,787,500.00
2 19,075,000.00
3 19,075,000.00
4 19,075,000.00
30,787,500.00
49,862,500.00
68,937,500.00
30,787,500.00
49,862,500.00
68,937,500.00
88,012,500.00
43,750,000.00 0.87 38,043,478.26
43,750,000.00 0.76 33,081,285.44
43,750,000.00 0.66 28,766,335.17
43,750,000.00 0.57 25,014,204.49
5,000,000.00 1.00 5,000,000.00
627,550,000.00 0.87 21,456,521.74
627,550,000.00 0.76 18,657,844.99
627,550,000.00 0.66 16,224,213.04
627,550,000.00 0.57 14,108,011.34
Net Cashflow
(5,000,000.00)
16,586,956.52
14,423,440.45
12,542,122.13
10,906,193.16
NVP df 15 %
49,458,712.27
C Balance D Saldo Awal
-
E Saldo Akhir VII Analisis Finansial A Cash Inflow df 15 % Net Cash Inflow
-
B Cash Outflow Investasi df 15 % Net Cash Outflow
Net B/C Ratio PBP IRR
1.66 Tahun Ke
1.00 3.18
Lampiran 16 Analisis Finansial Budidaya Udang Windu Semi Intensif No.
Uraian
Volume
Satuan
Nilai
Harga 0
I 1 2 3 4
Investasi Perbaikan Tambak Pompa Kincir Peralatan Tambak
1.00 1.00 1.00 1.00
Unit Unit Paket Paket
2,500,000.00 2,000,000.00 12,000,000.00 500,000.00
Jumlah II 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Modal Kerja Benih Pakan Kapur Pupuk Saponin Probiotik Desinfektan Solar Tenaga Kerja Biaya Panen Jumlah
III Jumlah Modal 1 Investasi 2 Modal Kerja Jumlah
1
2,500,000.00 2,000,000.00 12,000,000.00 500,000.00 17,000,000.00
150,000.00 3,150.00 500.00 50.00 50.00 137.00 50.00 1.00 6.00 1.00
ekor kg kg kg kg kg kg Paket Paket Paket
25.00 10,000.00 500.00 3,500.00 2,500.00 50,000.00 11,000.00 2,000,000.00 1,400,000.00 2,250,000.00
3,750,000.00 31,500,000.00 250,000.00 175,000.00 125,000.00 6,850,000.00 550,000.00 2,000,000.00 8,400,000.00 2,250,000.00 55,850,000.00
17,000,000.00 55,850,000.00 72,850,000.00
2
3
4
IV 1 2 a b
Rugi - Laba Hasil Produksi Biaya Operasional Modal Kerja Penyusutan
2,250.00 kg
50,000.00
55,850,000.00 2,125,000.00
Jumlah
57,975,000.00
Keuntungan
54,525,000.00
Per tahun V 1 2 3
112,500,000.00
Rugi-Laba Tahunan Hasil Produksi Biaya Operasional Keuntungan
109,050,000.00
4,500.00 kg
50,000.00
225,000,000.00 115,950,000.00 109,050,000.00
225,000,000.00 115,950,000.00 109,050,000.00
225,000,000.00 115,950,000.00 109,050,000.00
225,000,000.00 115,950,000.00 109,050,000.00
1.00
2.00
3.00
4.00
72,850,000.00 225,000,000.00
225,000,000.00
225,000,000.00
225,000,000.00
297,850,000.00
225,000,000.00
225,000,000.00
225,000,000.00
B Pengeluaran 1 Investasi 2 Biaya Operasional Jumlah B
17,000,000.00 115,950,000.00 132,950,000.00
115,950,000.00 115,950,000.00
115,950,000.00 115,950,000.00
115,950,000.00 115,950,000.00
C Balance
164,900,000.00
109,050,000.00
109,050,000.00
109,050,000.00
164,900,000.00
273,950,000.00
383,000,000.00
273,950,000.00
383,000,000.00
492,050,000.00
VI Cash Flow A. Pemasukan 1 Modal Awal 2 Hasil Penjualan Jumlah A
D Saldo Awal E Saldo Akhir
164,900,000.00
VII Analisis Finansial A Cash Inflow df 15 % Net Cash Inflow
225,000,000.00 0.87 195,652,173.91
225,000,000.00 0.76 170,132,325.14
225,000,000.00 0.66 147,941,152.30
225,000,000.00 0.57 128,644,480.26
17,000,000.00 1.00 17,000,000.00
115,950,000.00 0.87 100,826,086.96
114,950,000.00 0.76 87,674,858.22
115,950,000.00 0.66 76,239,007.15
115,950,000.00 0.57 66,294,788.83
Net Cashflow
(17,000,000.00)
94,826,086.96
82,457,466.92
71,702,145.15
62,349,691.43
NVP df 15 %
294,335,390.45
-
B Cash Outflow Investasi df 15 % Net Cash Outflow
Net B/C Ratio PBP IRR
1.85 Tahun Ke
1.00 5.45
Lampiran 17 Analisis Finansial Budidaya Udang Windu Intensif No.
Uraian
Volume
Satuan
Nilai
Harga 0
I 1 2 3 4
Investasi Perbaikan Tambak Pompa Kincir Peralatan Tambak
1.00 1.00 1.00 1.00
Unit Unit Paket Paket
2,500,000.00 4,000,000.00 24,000,000.00 500,000.00
Jumlah II 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Modal Kerja Benih Pakan Kapur Pupuk Saponin Probiotik Desinfektan Solar Tenaga Kerja Biaya Panen Jumlah
III Jumlah Modal 1 Investasi 2 Modal Kerja Jumlah
1
2,500,000.00 4,000,000.00 24,000,000.00 500,000.00 31,000,000.00
250,000.00 5,625.00 500.00 50.00 50.00 190.00 50.00 1.00 6.00 1.00
ekor kg kg kg kg kg kg Paket Paket Paket
25.00 10,000.00 500.00 3,500.00 2,500.00 50,000.00 11,000.00 6,500,000.00 2,800,000.00 3,125,000.00
6,250,000.00 56,250,000.00 250,000.00 175,000.00 125,000.00 9,500,000.00 550,000.00 6,500,000.00 16,800,000.00 3,125,000.00 99,525,000.00
31,000,000.00 99,525,000.00 130,525,000.00
2
3
4
No. IV 1 2 a b
Uraian Rugi - Laba Hasil Produksi Biaya Operasional Modal Kerja Penyusutan
Volume
Satuan
3,125.00 kg
Harga
50,000.00
2
3
4
312,500,000.00 206,800,000.00 105,700,000.00
312,500,000.00 206,800,000.00 105,700,000.00
312,500,000.00 206,800,000.00 105,700,000.00
312,500,000.00 206,800,000.00 105,700,000.00
1.00
2.00
3.00
4.00
130,525,000.00 312,500,000.00
312,500,000.00
312,500,000.00
312,500,000.00
443,025,000.00
312,500,000.00
312,500,000.00
312,500,000.00
31,000,000.00 206,800,000.00 237,800,000.00
206,800,000.00 206,800,000.00
206,800,000.00 206,800,000.00
206,800,000.00 206,800,000.00
156,250,000.00
103,400,000.00
Keuntungan
52,850,000.00
Per tahun Rugi-Laba Tahunan Hasil Produksi Biaya Operasional Keuntungan
1
99,525,000.00 3,875,000.00
Jumlah
V 1 2 3
Nilai 0
105,700,000.00
6,250.00 kg
50,000.00
VI Cash Flow A. Pemasukan 1 Modal Awal 2 Hasil Penjualan Jumlah A B Pengeluaran 1 Investasi 2 Biaya Operasional Jumlah B
No.
Uraian
Volume
Satuan
Harga
Nilai 0
1 205,225,000.00
2 105,700,000.00
3 105,700,000.00
4 105,700,000.00
205,225,000.00
310,925,000.00
416,625,000.00
205,225,000.00
310,925,000.00
416,625,000.00
522,325,000.00
312,500,000.00 0.87 271,739,130.43
312,500,000.00 0.76 236,294,896.03
312,500,000.00 0.66 205,473,822.63
312,500,000.00 0.57 178,672,889.25
31,000,000.00 1.00 31,000,000.00
206,800,000.00 0.87 179,826,086.96
206,800,000.00 0.76 156,370,510.40
206,800,000.00 0.66 135,974,356.87
206,800,000.00 0.57 118,238,571.19
Net Cashflow
(31,000,000.00)
91,913,043.48
79,924,385.63
69,499,465.77
60,434,318.06
NVP df 15 %
270,771,212.94
C Balance D Saldo Awal
-
E Saldo Akhir VII Analisis Finansial A Cash Inflow df 15 % Net Cash Inflow
-
B Cash Outflow Investasi df 15 % Net Cash Outflow
Net B/C Ratio PBP IRR
1.44 Tahun Ke
1.00 2.83
Lampiran 18 Analisis Finansial Budidaya Rumput Laut No.
Uraian
Volume
Satuan
Nilai
Harga 0
I 1 2 3 4 5 6 7 8
Investasi Para-para Jukung Peralatan Budidaya Jangkar Bambu Tali PE Jangkar Tali PE Rentang Tali PE D 15
15.00 5.00 5.00 20.00 40.00 30.00 165.00 100.00
Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit
125,000.00 1,250,000.00 200,000.00 50,000.00 10,000.00 20,000.00 20,500.00 20,000.00
Jumlah
II 1 2 3 4
Modal Kerja Bibit Tenaga Kerja Tetap Tenaga Kerja Tidak Teta Biaya lain Jumlah
III Jumlah Modal 1 Investasi 2 Modal Kerja Jumlah
1
1,875,000.00 6,250,000.00 1,000,000.00 1,000,000.00 400,000.00 600,000.00 3,382,500.00 2,000,000.00 16,507,500.00
3,000.00 10.00 5.00 1.00
kg orang orang paket
1,500.00 425,000.00 325,000.00 3,139,200.00
4,500,000.00 4,250,000.00 1,625,000.00 3,139,200.00 13,514,200.00
16,507,500.00 13,514,200.00 30,021,700.00
2
3
4
No. IV 1 2 a b
Uraian Rugi - Laba Hasil Produksi Biaya-biaya Modal Kerja Penyusutan
Volume
Satuan
12,000.00 kg
Harga
4,000.00
1
2
3
4
192,000,000.00 54,468,750.00 137,531,250.00
192,000,000.00 54,468,750.00 137,531,250.00
192,000,000.00 54,468,750.00 137,531,250.00
192,000,000.00 54,468,750.00 137,531,250.00
1.00
2.00
3.00
4.00
30,021,700.00 192,000,000.00
192,000,000.00
192,000,000.00
192,000,000.00
222,021,700.00
192,000,000.00
192,000,000.00
192,000,000.00
16,507,500.00 54,468,750.00 70,976,250.00
54,468,750.00 54,468,750.00
54,468,750.00 54,468,750.00
54,468,750.00 54,468,750.00
48,000,000.00 13,514,200.00 117,187.50
Jumlah
13,631,387.50
Keuntungan
34,368,612.50
Per tahun V 1 2 3
Nilai 0
Rugi-Laba Tahunan Hasil Produksi Biaya Operasional Keuntungan
137,474,450.00
48,000.00 kg
4,000.00
VI Cash Flow A. Pemasukan 1 Modal Awal 2 Hasil Penjualan Jumlah A B Pengeluaran 1 Investasi 2 Biaya Operasional Jumlah B
Uraian
Volume
Satuan
Harga
Nilai 0
1 151,045,450.00
2 137,531,250.00
3 137,531,250.00
4 137,531,250.00
151,045,450.00
288,576,700.00
426,107,950.00
151,045,450.00
288,576,700.00
426,107,950.00
563,639,200.00
192,000,000.00 0.87 166,956,521.74
192,000,000.00 0.76 145,179,584.12
192,000,000.00 0.66 126,243,116.63
192,000,000.00 0.57 109,776,623.15
16,507,500.00 1.00 16,507,500.00
54,468,750.00 0.87 47,364,130.43
54,468,750.00 0.76 41,186,200.38
54,468,750.00 0.66 35,814,087.29
54,468,750.00 0.57 31,142,684.60
Net Cashflow
(16,507,500.00)
119,592,391.30
103,993,383.74
90,429,029.34
78,633,938.56
NVP df 15 %
376,141,242.95
Balance Saldo Awal
-
Saldo Akhir Analisis Finansial Cash Inflow df 15 % Net Cash Inflow
-
Cash Outflow Investasi df 15 % Net Cash Outflow
Net B/C Ratio PBP
3.19 Tahun Ke
1.00
Lampiran 19 Analisis Finansial Budidaya Kerapu Macan No.
Uraian
Volume
Satuan
Nilai
Harga 0
I Investasi 1 Pembuatan Kolam
1.00 Unit
20,000,000.00
Jumlah
II 1 2 3
Modal Kerja Benih Pakan Biaya Lain
20,000,000.00 20,000,000.00
8,300.00 ekor 21,600.00 kg 1.00 paket
3,000.00 2,500.00 15,780,000.00
Jumlah
24,900,000.00 54,000,000.00 15,780,000.00 94,680,000.00
III Jumlah Modal 1 Investasi 2 Modal Kerja
20,000,000.00 94,680,000.00
Jumlah IV Rugi - Laba 1 Hasil Produksi 2 Biaya-biaya Benih Pakan Penyusutan Jumlah
1
114,680,000.00
2,697.50 kg 8,300.00 ekor 21,600.00 kg
70,000.00
188,825,000.00
3,000.00 2,500.00
24,900,000.00 54,000,000.00 3,333,333.33 82,233,333.33
2
3
4
No.
Uraian
Volume
Satuan
Nilai
Harga
0
1
Keuntungan
106,591,666.67
Per tahun
159,887,500.00
V Rugi-Laba Tahunan 1 Hasil Produksi 4,046.25 2 Biaya-biaya Benih 12,450.00 Pakan 32,400.00 Kapur Tenaga Kerja Penyusutan Biaya Modal Jumlah Keuntungan
kg ekor kg kg orang Tahun
2
3
4
70,000.00
283,237,500.00
283,237,500.00
283,237,500.00
283,237,500.00
3,000.00 2,500.00 -
37,350,000.00 81,000,000.00 5,000,000.00 123,350,000.00 159,887,500.00
37,350,000.00 81,000,000.00 5,000,000.00 123,350,000.00 159,887,500.00
37,350,000.00 81,000,000.00 5,000,000.00 123,350,000.00 159,887,500.00
37,350,000.00 81,000,000.00 5,000,000.00 123,350,000.00 159,887,500.00
114,680,000.00 283,237,500.00
283,237,500.00
283,237,500.00
283,237,500.00
397,917,500.00
283,237,500.00
283,237,500.00
283,237,500.00
-
VI Cash Flow A. Pemasukan 1 Modal Awal 2 Hasil Penjualan Jumlah A
No.
Uraian
Volume
Satuan
Harga
Nilai 0
1
B Pengeluaran 1 Investasi Benih Pakan Tenaga Kerja Penyusutan Biaya Modal Jumlah B C Balance D Saldo Awal
2
4
20,000,000.00 37,350,000.00 81,000,000.00 5,000,000.00 -
37,350,000.00 81,000,000.00 5,000,000.00 -
37,350,000.00 81,000,000.00 5,000,000.00 -
37,350,000.00 81,000,000.00 5,000,000.00 -
143,350,000.00
123,350,000.00
123,350,000.00
123,350,000.00
254,567,500.00
159,887,500.00
159,887,500.00
159,887,500.00
254,567,500.00
414,455,000.00
574,342,500.00
254,567,500.00
414,455,000.00
574,342,500.00
734,230,000.00
283,237,500.00 0.87 246,293,478.26
283,237,500.00 0.76 214,168,241.97
283,237,500.00 0.66 186,233,253.88
283,237,500.00 0.57 161,941,959.90
123,350,000.00 0.87 107,260,869.57 139,032,608.70
123,350,000.00 0.76 93,270,321.36 120,897,920.60
123,350,000.00 0.66 81,104,627.27 105,128,626.61
123,350,000.00 0.57 70,525,762.84 91,416,197.05
-
E Saldo Akhir
3
VII Analisis Finansial A Cash Inflow df 15 % Net Cash Inflow B Cash Outflow Investasi df 15 % Net Cash Outflow Net Cashflow NVP df 15 % Net B/C Ratio PBP
-
Tahun Ke
20,000,000.00 1.00 20,000,000.00 (20,000,000.00) 436,475,352.97 2.17 1.00
Lampiran 20 Analisis Finansial Budidaya Bandeng No.
Uraian
Volume
Satuan
Nilai
Harga 0
I Investasi 1 Pembuatan Kolam
1.00 Unit
15,000,000.00
Jumlah II 1 2 3
Modal Kerja Benih Pakan Biaya Lain
16,000.00 ekor 8,320.00 kg 1.00 paket
600.00 4,000.00 8,576,000.00
9,600,000.00 33,280,000.00 8,576,000.00 51,456,000.00
III Jumlah Modal 1 Investasi 2 Modal Kerja
15,000,000.00 51,456,000.00
Jumlah
Per tahun
15,000,000.00 15,000,000.00
Jumlah
IV Rugi - Laba 1 Hasil Produksi 2 Biaya-biaya Benih Pakan Penyusutan Jumlah Keuntungan
1
66,456,000.00
6,400.00 kg 16,000.00 ekor 8,320.00 kg
10,000.00
64,000,000.00
600.00 4,000.00
9,600,000.00 33,280,000.00 1,875,000.00 44,755,000.00 19,245,000.00 38,490,000.00
2
3
4
No.
Uraian
Volume
Satuan
Nilai
Harga 0
V Rugi-Laba Tahunan 1 Hasil Produksi 12,800.00 2 Biaya-biaya Benih 32,000.00 Pakan 16,640.00 Kapur Tenaga Kerja Penyusutan Biaya Modal Jumlah Keuntungan
kg ekor kg kg orang Tahun
1
2
3
4
10,000.00
128,000,000.00
128,000,000.00
128,000,000.00
128,000,000.00
600.00 4,000.00 -
19,200,000.00 66,560,000.00 3,750,000.00 89,510,000.00 38,490,000.00
19,200,000.00 66,560,000.00 3,750,000.00 89,510,000.00 38,490,000.00
19,200,000.00 66,560,000.00 3,750,000.00 89,510,000.00 38,490,000.00
19,200,000.00 66,560,000.00 3,750,000.00 89,510,000.00 38,490,000.00
66,456,000.00 128,000,000.00
128,000,000.00
128,000,000.00
128,000,000.00
194,456,000.00
128,000,000.00
128,000,000.00
128,000,000.00
15,000,000.00 19,200,000.00 66,560,000.00 3,750,000.00 -
19,200,000.00 66,560,000.00 3,750,000.00 -
19,200,000.00 66,560,000.00 3,750,000.00 -
19,200,000.00 66,560,000.00 3,750,000.00 -
-
VI Cash Flow A. Pemasukan 1 Modal Awal 2 Hasil Penjualan Jumlah A B Pengeluaran 1 Investasi Benih Pakan Tenaga Kerja Penyusutan Biaya Modal
No.
Uraian
Volume
Satuan
Nilai
Harga 0
1
Jumlah B
2
3
4
104,510,000.00
89,510,000.00
89,510,000.00
89,510,000.00
89,946,000.00
38,490,000.00
38,490,000.00
38,490,000.00
89,946,000.00
128,436,000.00
166,926,000.00
89,946,000.00
128,436,000.00
166,926,000.00
205,416,000.00
128,000,000.00 0.87 111,304,347.83
128,000,000.00 0.76 96,786,389.41
128,000,000.00 0.66 84,162,077.75
128,000,000.00 0.57 73,184,415.44
15,000,000.00 1.00 15,000,000.00
89,510,000.00 0.87 77,834,782.61
89,510,000.00 0.76 67,682,419.66
89,510,000.00 0.66 58,854,277.96
89,510,000.00 0.57 51,177,633.01
Net Cashflow
(15,000,000.00)
33,469,565.22
29,103,969.75
25,307,799.79
22,006,782.42
NVP df 15 % Net B/C Ratio PBP
94,888,117.18 1.35 1.00
C Balance D Saldo Awal
-
E Saldo Akhir VII Analisis Finansial A Cash Inflow df 15 % Net Cash Inflow
-
B Cash Outflow Investasi df 15 % Net Cash Outflow
Tahun Ke
217
Lampiran 21 Analisis Finansial Pancing Rawai
No.
Uraian
Tahun 0
A. Arus Masuk 1. Total Penjualan 2. Kredit - Investasi - Modal Kerja
81,000,000 23,520,000
3. Modal Sendiri - Investasi - Modal Kerja
54,000,000 15,680,000
4. Nilai Sisa Proyek Total Arus Masuk Arus Masuk untuk Menghitung IRR B. Arus Kas Keluar 1. Biaya Investasi 2. Biaya Variabel/operasional 3. Angsuran Pokok 4. Angsuran Bunga 5. Pajak 6. Biaya Pemasaran/Distribusi Total Arus Keluar Arus Keluar untuk Menghitung IRR C. Arus Bersih (NFC)
174,200,000 -
135,000,000 39,200,000
174,200,000 174,200,000 -
1
2
3
332,100,000
332,100,000
332,100,000
332,100,000 292,900,000
332,100,000 332,100,000
48,000,000 380,100,000 380,100,000
196,000,000 34,840,000 12,712,233 4,978,165 12,000,000 260,530,398 212,978,165
235,200,000 34,840,000 7,834,633 5,709,805 12,000,000 295,584,438 252,909,805
235,200,000 34,840,000 2,957,033 6,441,445 12,000,000 291,438,478 253,641,445
71,569,602
36,515,562
88,661,522
D. Cash Flow Untuk Menghitung IRR Discount Factor (14%) Present Value
(174,200,000) 1.0000 (174,200,000)
79,921,835 0.8772 70,106,873
79,190,195 0.7695 60,934,284
126,458,555 0.6750 85,355,923
E. Cummulative
(174,200,000)
(104,093,127)
(43,158,844)
42,197,079
F. Analisis Kelayakan Usaha NPV (14%) (Rp) IRR Net B/C PBP
42,197,079 26.84 % 1.24 2.5 Tahun
218
Lampiran 22 Analisis Finansial Pancing Ulur No.
Uraian
Tahun 0
1
2
3
550,800,000
550,800,000
550,800,000
293,093,000 -
550,800,000 480,307,000
550,800,000 550,800,000
73,000,000 623,800,000 623,800,000
B. Arus Kas Keluar 1. Biaya Investasi 222,600,000 2. Biaya Variabel/operasional 70,493,000 3. Angsuran Pokok 4. Angsuran Bunga 5. Pajak Total Arus Keluar 293,093,000 Arus Keluar untuk Menghitung IRR 293,093,000
352,465,000 58,618,600 21,377,852 6,699,622 439,161,074 359,164,622
442,958,000 58,618,600 13,171,248 7,930,613 502,678,461 430,888,613
422,958,000 58,618,600 4,964,644 9,161,603 495,702,847 432,119,603
C. Arus Bersih (NFC)
111,638,926
48,121,539
128,097,153
121,142,378 0.8772 106,265,244
119,911,387 0.7695 92,267,919
191,680,397 0.6750 129,378,808
(186,827,756)
(94,559,838)
34,818,970
A. Arus Masuk 1. Total Penjualan 2. Kredit - Investasi - Modal Kerja 3. Modal Sendiri - Investasi - Modal Kerja 4. Nilai Sisa Proyek Total Arus Masuk Arus Masuk untuk Menghitung IR
133,560,000 42,295,800
89,040,000 28,197,200
-
D. Cash Flow Untuk Menghitung IRR (293,093,000) Discount Factor (14%) 1.0000 Present Value (293,093,000) E. Cummulative F. Analisis Kelayakan Usaha NPV (14%) (Rp) IRR Net B/C PBP
(293,093,000)
34,818,970 20.41 % 1.12 2.7 Tahun
Lampiran 23 Analisis Finansial Jaring Lingkar Tahun No. 1 2 3 4
Uraian Pendapatan Dana Modal Sendiri Kredit Investasi Kredit Modal Kerja Jumlah
5 Biaya Investasi Kapal Mini Purse-Saine 6 Modal Kerja Jumlah
0
290,791 828,840 51,872 989,304
Arus Masuk Bersih Arus Kas Masuk untuk Perhitungan IRR (989,304) Discount Factor dengan Bunga 18% 1.00000 Nilai Sekarang Arus Kas Bersih (Present Value (989,304) Saldo untuk Perhitungan PBP NPV IRR per tahun dengan Bunga 18% th Net Benefit Cost Ratio
2
3
4
5
6
7
8
9
1,050,000
1,050,000
1,050,000
1,050,000
1,050,000
1,050,000
1,050,000
1,050,000
1,050,000
1,050,000
1,050,000
1,050,000
1,050,000
1,050,000
1,050,000
1,050,000
1,050,000
1,050,000
52,500
52,500
52,500
52,500
52,500
52,500
52,500
52,500
52,500
56,000 525,000 129,500 122,132 3,814 114,536 1,003,483
56,000 525,000 129,500 110,853 5,506 114,536 993,895
56,000 525,000 129,500 99,573 7,198 114,536 984,308
56,000 525,000 129,500 88,294 8,890 114,536 974,720
56,000 525,000 129,500 77,014 10,582 114,536 965,132
56,000 525,000 129,500 65,735 12,274 114,536 955,545
56,000 525,000 129,500 54,455 13,966 114,536 945,887
56,000 525,000 129,500 43,178 15,658 114,536 938,370
56,000 525,000 129,500 31,898 17,350 114,536 928,782
56,105 281,494 0.71818 202,185 (404,524)
35,892 279,802 0.60863 170,296 (124,822)
75,280 278,110 0.51579 143,446 153,288
84,868 276,418 0.43711 120,825 419,864
94 274,726 0.37043 101,787 395,551
104,043 273,034 0.31393 85,712 374,802
113,630 271,342 0.28660 72,187 357,055
123,218 269,650 0.22646 60,794 341,838
895,200 74,104 989,304
7 Bonus Hasil Tangkapan 8 Biaya Operasi - Biaya SDM melaut dan uang lauk pauk - Uang lauk pauk 9 Bagian ABK 50% 10 Pembayaran Bunga 11 Pembayaran Pajak 12 Pembayaran Angsuran Jumlah 13 14 15 16 17
1
279,075 25.85 % 1.288
46,517 283,186 0.84746 239,988 (686,118)
Lampiran 24 Analisis Finansial Jaring Insang No
Uraian
1
2
3
4
5
18,480,000 42,700,000 420,000
123,669,000
123,669,000
123,669,000
123,669,000
123,669,000
61,600,000 -
123,669,000 123,669,000
123,669,000 123,669,000
123,669,000 123,669,000
123,669,000 123,669,000
123,669,000 123,669,000
91,047,600 21,770,000 4,971,313 2,331,313 120,120,226 93,378,913
91,047,600 21,350,000 1,734,688 2,816,807 116,949,094 93,864,497
91,047,600
91,047,600
91,047,600
3,077,010 94,124,610 94,124,610
3,077,010 94,124,610 94,124,610
3,077,010 94,124,610 94,124,610
3 Total cashflow
3,548,774
6,719,906
29,544,390
29,544,390
29,544,390
4 Kumulatif Cashflow
3,548,774
10,268,680
39,813,070
69,357,460
98,901,850
30,290,087
29,804,593
29,544,390
29,544,390
29,544,390
1 Inflow a. Pendapatan b. Dana Sendiri c. Kredit Investasi d. Kredit Modal Kerja e. Nilai Sisa Jumlah Inflow untuk IRR 2 Outflow a. Biaya Investasi b. Biaya Modal Kerja c. Biaya Operasional d. Angsuran Pokok e. Biaya Bunga Bank f. Pajak 15 % Jumlah Outflow untuk IRR
5 Cashflow untuk IRR NPV DF 15 % Net B/C ratio DF 15 % IRR PBP Usaha (tahun) PBP Kredit (tahun)
0
60,540,000 569,048
61,109,048 61,109,048
(61,109,048) 38,773,513 1.63 39.69 % 2.53 1.46
221
Lampiran 25. Analisis Kelembagaan dengan ISM A. B. 1 2 3 4 5
Tentukan Elemen Yang ingin dikaji : PENGGUNA Tentukan Sub Elemennya : Nelayan Pembudidaya Pengusaha Eksportir Pedagang alat-alat perikanan
Rachability Matrix jenis Eij A 0 O 0 V 1 X 1
Eji 1 0 0 1
C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF INTERACTION MATRIX) awal 1 2 3 4 5 1 X V V V 2 X V X 3 X O 4 O 5 D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 4 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 3 0 1 1 1 4 0 0 1 1 5 0 1 0 0
5 1 1 0 0 1
E. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink E.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 3 0 1 1 1 4 0 0 1 1 5 0 1 0 0
5 1 1 0 0 1
222
D L
2 3
DP
4 1
4 1
3 2
4 1
R 5 5 3 2 2
1 1 2 3 3
SIM Final F. Revisi SS 2 3 1 V V 1 A 2 3 4 5
4 A A A
5 V A X V
D Power Dependence e G. Matrik Driver Data x y 1 2 5 2 4 5 3 4 3 4 4 2 5 3 2 m model struk ktural H. Diagram
223
A. B.
Tentukan Elemen Yang ingin dikaji : KEBUTUHAN Tentukan Sub Elemennya : Suasana kondusif dan aman Kemudahan birokrasi Ketersediaan lahan budidaya stabilitas politik dan moneter Permodalan Teknologi tepat guna Pemasaran yang terjamin
1 2 3 4 5 6 7
Rachability Matrix jenis Eij A 0 O 0 V 1 X 1
Eji 1 0 0 1
C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF INTERACTION MATRIX) awal 1 2 3 4 5 6 7 1 A V V O O X 2 A X O X X 3 O X X O 4 X A X 5 V X 6 O 7 D. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink E.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 1 1 0 1 1 2 1 1 0 1 3 0 1 1 0 4 0 1 0 1 5 0 0 1 1 6 0 1 1 1 7 1 1 0 1 D L
3 4
5 2
4 3
6 1
5
6
7
0 0 1 1 1 0 1
0 1 1 0 1 1 0
1 1 0 1 1 0 1
4 2
4 3
5 2
224
DP
R 4 5 4 4 5 4 5
2 1 2 2 1 1 1
F. Revisi SS SIM Final 1 2 3 1 A V 2 A 3 4 5 6 7
4 V X O
5 O O X X
G. G Matrik Driiver Power Dependence D Data x y 1 3 4 2 5 5 3 4 4 4 6 4 5 4 5 6 4 4 7 5 5 H. Diagram model m strukttural
6 O X X A V
7 X X O X X O
225
A. B. 1 2 3 4 5
Tentukan Elemen Yang ingin dikaji : KENDALA Tentukan Sub Elemennya : Keterbatasan modal Keterbatasan sarana dan prasarana Rendahnya kualitas SDM Hambatan birokrasi Kestabilan harga
Rachability Matrix jenis Eij A 0 O 0 V 1 X 1
Eji 1 0 0 1
C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF INTERACTION MATRIX) awal 1 2 3 4 5 1 X V A X 2 A O O 3 O O 4 O 5 D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 1 1 1 1 2 1 1 0 3 0 1 1 4 1 0 0 5 1 0 0
4
5 0 0 0 1 0
1 0 0 0 1
E. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink F. RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 1 1 1 1 0 2 1 1 0 0 3 0 1 1 0 4 1 0 0 1 5 1 0 0 0 D L DP
4 2 R
3 1
2 3
1 4
5 1 0 0 0 1 2 2
226
4 2 2 2 2
1 2 2 2 2
G. Revisi SSIM Final 1 2 3 1 V V 2 A 3 4 5
4 A A A
5 V A X V
H. Matrik Driiver Power Dependence D Data 1 2 3 4 5 I.
x
y 4 3 2 1 2
4 2 2 2 2
Diagram D mod del struktural
227
A. B. 1 2 3 4 5 6 7
Tentukan Elemen Yang ingin dikaji : PERUBAHAN Tentukan Sub Elemennya : Peningkatan jumlah nelayan pembudidaya Peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya Peningkatan PAD Keterjaminan pasar produk budidaya Peningkatan investasi Pengembangan wilayah Penataan ruang laut
Rachability Matrix jenis Eij A 0 O 0 V 1 X 1
Eji 1 0 0 1
C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF INTERACTION MATRIX) awal 1 2 3 4 5 6 1 X V O A X 2 X X V O 3 X V O 4 V O 5 V 6 7 D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 1 1 1 1 2 1 1 1 3 0 1 1 4 0 1 1 5 1 0 0 6 1 0 0 7 1 0 0
4
5 0 1 1 1 0 0 0
6 0 1 1 1 1 0 1
7 A O O O X X
7 1 0 0 0 1 1 1
0 0 0 0 1 1 1
E. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink F.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 1 1 1 1 0 2 1 1 1 1 3 0 1 1 1
5
6 0 1 1
7 1 0 0
0 0 0
228
4 5 6 7
0 1 1 1
1 0 0 0
1 0 0 0
1 0 0 0
1 1 0 1
0 1 1 1
0 1 1 1
D L
5 1
4 2
4 2
3 3
5 1
4 2
3 3
DP
R 4 5 4 4 4 3 4
2 1 2 2 2 3 2
G. Revisi SSIM Final 1 2 3 1 V V 2 A 3 4 5 6 7
4 A A A
5 V A X V
H. Matrik Driver Power Dependence Data 1 2 3 4 5 6 7
x
y 5 4 4 3 5 4 3
4 5 4 4 4 3 4
I. Diagram model struktural
6 V X V V V
7 V A X V X A
229
A. B. 1 2 3 4 5 6
Tenttukan Eleme en Yang ingin n dikaji : TUJ JUAN Tentukan Sub Ele emennya : Penin ngkatan jumla ah dan penda apatan nelaya an Penin ngkatan PAD Peng gembangan daerah Keterrjaminan pasa ar produk perrikanan budid daya Penin ngkatan invesstasi Optim malisasi poten nsi SDI
Rachability Matrix jenis Eij A 0 O 0 V 1 X 1
Eji 1 0 0 1
C. Membua at tabel SSIM (STRUCTUR RAL SELF INTERACTIION MATRIX) awal 1 2 3 4 5 1 X V A X 2 V A X 3 O X 4 A 5 6
6 X O O O X
230
D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 4 1 1 1 1 0 2 1 1 1 0 3 0 0 1 0 4 1 1 0 1 5 1 1 1 1 6 1 0 0 0
5
6 1 1 1 0 1 1
1 0 0 0 1 1
E. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink F.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 1 1 1 1 0 2 1 1 1 0 3 0 0 1 0 4 1 1 0 1 5 1 1 1 1 6 1 0 0 0 D L
5 1
4 2
G. Revisi SSIM Final 1 2 3 1 V V 2 A 3 4 5 6
4 2
2 4
4 A A A
5
6 1 1 1 0 1 1
1 0 0 0 1 1
5 1
3 3
5 V A X V
H. Matrik Driver Power Dependence Data x y 1 5 5 2 4 4 3 4 2 4 2 3 5 5 6 6 3 3
6 V X V V V
V A X V X A
V A X V X A X
V A X V X A X X
A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A
V V V V V V V V V V V
231
F. Diagram model m struktural
A. B. 1 2 3 4 5 6 7 8
en Yang ingin n dikaji : Tenttukan Eleme KEBERHASILAN emennya : Tentukan Sub Ele Penu urunan angka kemiskinan dan d pengangguran Penin ngkatan pend dapatan nelayyan pembudid daya Penin ngkatan PAD dan PNBP Penin ngkatan harga a ikan Penin ngkatan nilai dan volume produksi p Penin ngkatan pang gsa pasar Penin ngkatan invesstasi Kebe erlanjutan bud didaya dan SD DI
Rachability Matrix jenis Eij A 0 O 0 V 1 X 1
Eji 1 0 0 1
C. Membua at tabel SSIM (STRUCTUR RAL SELF IN NTERACTION N MATRIX)
232
awal 1 1 2 3 4 5 6 7 8
2
3
A
4
V X
5
X X A
6
X V A A
D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 4 1 1 0 1 1 2 1 1 1 1 3 0 1 1 0 4 1 1 0 1 5 1 0 1 1 6 1 1 1 1 7 1 1 1 1 8 0 0 0 0
7
X X X X X
5
6 1 1 0 0 1 1 0 1
7 1 1 1 1 1 1 1 0
8
X X A A V X
O V O O X O O
8 1 1 0 0 1 1 1 0
0 1 0 0 1 0 0 1
C. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink D.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 1 1 0 1 1 2 1 1 1 1 3 0 1 1 0 4 1 1 0 1 5 1 0 1 1 6 1 1 1 1 7 1 1 1 1 8 0 0 0 0 D L
6 2
5 3
6 2
6 2
5
6 1 1 0 0 1 1 0 1 5 3
7 1 1 1 1 1 1 1 0 7 1
1 1 0 0 1 1 1 0 5 3
8 0 1 0 0 1 0 0 1 3 4
233
DP
R 6 8 3 4 7 7 6 2
3 1 5 4 2 2 3 6
E. Revisi SSIM Final 1 2 3 1 V V 2 A 3 4 5 6 7 8
4 A A A
5 V A X V
F. Matrik Driver Power Dependence Data x y 1 6 6 2 5 8 3 6 3 4 6 4 5 5 7 6 7 7 7 5 6 8 3 2
F. Diagram model struktural
6 V X V V V
7 V A X V X A
8 V A X V X A X
V A X V X A X X
A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A
V V V V V V V V V V V
234
A. B. 1 2 3 4 5 6
Tenttukan Eleme en Yang ingin n dikaji : AKT TIVITAS Tentukan Sub Ele emennya : Koord dinasi antar sektor s Perumusan perda a m kondusif dan n aman Mencciptakan iklim Kemu udahan aksess terhadap teknologi dan in nformasi Monitoring dan pe engelolaan pe erikanan budid daya alisasi kelayakan perikanan budidaya Sosia
Rachability Matrix Eij jenis 0 A 0 O 1 V 1 X
Eji 1 0 0 1
C. Membua at tabel SSIM (STRUCTUR RAL SELF INTERACTIION MATRIX) awal 1 2 3 4 5 6 1 X X X X X 2 X A V X 3 O O A 4 X X 5 O 6
D.RM (Reac chability Mattrix) 4 1 2 3 1 1 1 1 1
5
6 1
1
235
2 3 4 5 6
1 1 1 1 1
1 1 0 1 1
1 1 0 1 0
1 0 1 1 1
1 0 1 1 0
0 0 1 0 1
C. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink D.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 3 1 1 1 0 4 1 0 0 1 5 1 1 1 1 6 1 1 0 1 D L
6 1
5 2
E. Revisi SSIM Final 1 2 3 1 V V 2 A 3 4 5 6
4 3
5 2
4 A A A
5
x
y 6 5 4 5 4 3
6 5 3 4 5 4
F. Diagram model struktural
1 0 0 1 0 1
4 3
3 4
5 V A X V
F. Matrik Driver Power Dependence Data 1 2 3 4 5 6
6 1 1 0 1 1 0
6 V X V V V
V A X V X A
V A X V X A X
V A X V X A X X
A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A
V V V V V V V V V V V
236
A. B. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tenttukan Eleme en Yang ingin n dikaji : PEL LAKU Tentukan Sub Ele emennya : Nelayyan Pemb budidaya Bankk (lembaga ke euangan) Pemkkab Pemp prop Pemp pus Perguruan tinggi at Cama Lurah h Masy yarakat sekita ar
Rachability Matrix jenis Eij A 0 O 0 V 1 X 1
Eji 1 0 0 1
C. Membua at tabel SSIM (STRUCTUR RAL SELF IN NTERACTION N MATRIX) aw wal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 X X X X X X X 1 X X
237
2 3 4 5 6 7 8 9 10
X
X V
D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 1 1 1 1 2 1 1 1 3 1 1 1 4 1 1 1 5 1 1 0 6 1 1 0 7 1 1 0 8 1 1 0 9 1 1 0 10 1 1 1
X V X
4
X V X X
5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
6 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
X O A A A
7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
X V X X X V
8 1 1 0 0 0 0 1 0 0 1
X V X X X V X
9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
X X A A A X A A
10 1 1 1 0 0 0 1 0 0 1
C. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink D.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 1 1 1 1 2 1 1 1 3 1 1 1 4 1 1 1 5 1 1 0 6 1 1 0 7 1 1 0 8 1 1 0 9 1 1 0 10 1 1 1 D L
10 1
10 1
E. Revisi SSIM Final 1 2 3 1 V V
4
5 2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 0 0 0 0 1 0 0 1
8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
9
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
5
10 1
10 1
10 1
4 3
10 1
10 1
4 A
6
5 V
6 V
7
7 V
8 V
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
9 V
10 A
A
V
238
2 3 4 5 6 7 8 9 10
A
A A
A X V
X V V V
A X V X A
A X V X A X
A X V X A X X
A A A A A A A A
F. Matrik Driver Power Dependence D Data x y 1 10 10 2 10 10 3 5 9 4 10 8 5 10 7 6 10 7 7 4 9 8 10 7 9 10 7 10 5 10 F. Diagram model m struktural
A. B. 1
Tenttukan Eleme en Yang ingin n dikaji : TOL LOK UKUR Tentukan Sub Ele emennya : Penin ngkatan jumla ah dan penda apatan nelaya an pembudida aya
A A A A A A A A A
V V V V V V V V V V
239
2 3 4 5 6
Peningkatan PAD Peningkatan investasi Keterjaminan pasar Pengembangan daerah Peningkatan harga ikan
Rachability Matrix jenis Eij A 0 O 0 V 1 X 1
Eji 1 0 0 1
C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF INTERACTION MATRIX) awal 1 2 3 4 5 1 V V X V 2 X A A 3 O V 4 O 5 6 D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 4 1 1 1 1 1 2 0 1 1 0 3 0 1 1 0 4 1 1 0 1 5 0 1 0 0 6 1 1 1 0
5
6 X X X V A
6 1 0 1 0 1 1
1 1 1 1 0 1
E. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink F.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 1 1 1 1 1 2 0 1 1 0 3 0 1 1 0 4 1 1 0 1 5 0 1 0 0 6 1 1 1 0 D L
3 4
6 1
4 3
2 5
5
6 1 0 1 0 1 1
1 1 1 1 0 1
4 3
5 2
240
G. Revisi SSIM Final 1 2 3 1 V V 2 A 3 4 5 6
4 A A A
5 V A X V
H. Matrik Driiver Power Dependence D Data x y 1 3 6 2 6 3 3 4 4 4 2 4 5 4 2 6 5 5 I.
Diagram D mod del struktural
6 V X V V V
241
Lampiran 26. Gambar Dokumentasi Penelitian
1. Pelaksanaan Penelitian
a) Pengambilan data kualitas air
b) Pencatatan koordinat lokasi pengambilan data
c) Wawancara dengan pembudidaya ikan
d) Wawancara dengan nelayan
242
2. Lokasi Penelitian (Teluk Lampung)
243
3. Aktifitas Budidaya Laut di Teluk Lampung
a) Karamba Jaring Apung untuk budidaya ikan Cobia
b) Ikan Cobia yang dibudidayakan di KJA
c) Karamba Jaring Apung untuk budidaya ikan Kerapu
d) Ikan Kerapu yang dibudidayakan di KJA
244
4. Aktifitas Perikanan Tangkap di Teluk Lampung
a) Penangkapan ikan dengan Bagan kapal
b) Penangkapan ikan dengan Purse seine
c) Penangkapan ikan dengan bagan tancap
d) Penangkapan dengan pancing
245
5. Jenis Alat Tangkap di Teluk Lampung
a) Bubu dari besi (Pengembangan Teknologi)
b) Bubu dari bambu (tradiional)
c) Tombak
d) Pancig (pool and line)
246
e) Bagan
f) Jaring insang (gill net)
g) Tramel Net
h) Purse Seine
247
6. Produk Perikanan Budidaya di Teluk Lampung
a) Produk Pembenihan
b) Ikan Cobia hasil budidaya KJA
c) Ikan kerapu hasil budidaya KJA
d) Ikan kerapu hasil KJA
248
7. Produk Perikanan Tangkap
a) Rajungan / hasil tangkapan alat bubu
b) Ikan hasil tangkapan di Teluk Lampung
c) Udang hasil tangkapan trammel net
c) Jenis- jenis ikan hasil tangkapan di Teluk Lampung
249
8. Aktifitas Pemasaran Hasil Perikanan di Lokasi Penelitian
a) Pemasaran ikan di pasar ikan
b) Pembelian dan pengangkutan ikan oleh tengkulak
c) Persiapan pelelangan ikan di TPI
d) Proses pelelangan ikan di TPI
250
Lampiran 27. Ilustrasi Program Cap-Aquadev
Home Selamat Datang Status Log in
Menu SDI
Cap-Aquadev adalah software instan untuk penunjang pengambilan keputusan (decission support system) dalam pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya pada suatu wilayah. TH
Kesesuaian Lahan Pemilihan Teknologi Penangkapan Pemilihan Komoditas Potensial Kelayakan Usaha Strategi Pengembangan Kelembagaan
In Put Data
Menu SDI Kesesuaian Lahan Pemilihan Teknologi Penangkapan Pemilihan Komoditas Potensial Kelayakan Usaha Strategi Pengembangan Kelembagaan
• Produksi • Pelagis • Demersal • Crustacea • Ikan Lainnya • Trip per Tahun • Pelagis • Demersal • Crustacea • Ikan Lainnya
CPUE • • • •
Pelagis Demersal Crustacea Ikan Lainnya
MSY • • • •
Pelagis Demersal Crustacea Ikan Lainnya
251
In Put Data Lokasi
Menu SDI Kesesuaian Lahan Pemilihan Teknologi Penangkapan Pemilihan Komoditas Potensial Kelayakan Usaha Strategi Pengembangan Kelembagaan
• Faktor Utama • Suhu • Salinitas • DO • TOM • Orthoposfat • Arus • Poluasi • Alga Bloom • Organisme Patogen • Faktor Pendukung • Kedalaman • Keterlindungan • Substrat • Faktor Tambahan • Aspek Legal • Kemudahan Akses • Konflik • Keamanan • Akses dengan Pasar
Hasil No
Lokasi
Utama
In Put Data Lokasi
Menu SDI Kesesuaian Lahan Pemilihan Teknologi Penangkapan Pemilihan Komoditas Potensial Kelayakan Usaha Strategi Pengembangan Kelembagaan
• Tidak destruktif • Tidak membahayakan nelayan • Menghaslkan ikan bermutu • Produk tidak membahayakan konsumen • Hasil Tangkapan terbuang minimum • Dampak terhadap keaneka ragaman sumberdaya hayati minimum • Tidak menangkap spesies yang dilindungi
Nilai per Faktor
Nilai Total
Ket
Nilai Total
Ket
dst
Hasil No
Lokasi
Nilai per Faktor Utama
dst
252
Menu SDI Kesesuaian Lahan Pemilihan Teknologi Penangkapan Pemilihan Komoditas Potensial Kelayakan Usaha Strategi Pengembangan Kelembagaan
Menu SDI Kesesuaian Lahan Pemilihan Teknologi Penangkapan Pemilihan Komoditas Potensial Kelayakan Usaha Strategi Pengembangan Kelembagaan
Input Data
Hasil
• Kelayakan komoditas • Ketersediaan dan kemudahan teknologi • Nilai ekonomis • Peluang pasar • Penyerapan tenaga kerja • Dampak ganda thd sektor lain • Dampak terhadap lingkungan
No
Input Data
Nilai Total
Ket
Hasil No
• Per Jenis Alat Tangkap dan Komoditas Budidaya • Jumlah Modal • Investasi • Modal Kerja • Rugi Laba • Hasil Produksi • Biaya Operasional • xzc
JenisAlat Tangkap
Alat Tangkap/ Komoditas
NPV
IRR
B/ C
253
Menu
Input Data
SDI
Hasil
Kesesuaian Lahan Pemilihan Teknologi Penangkapan Pemilihan Komoditas Potensial Kelayakan Usaha Strategi Pengembangan Kelembagaan
• Perbandingan Berpasangan • Fokus • Faktor • Tujuan • Alternatif
Input Data
Hasil
Menu SDI Kesesuaian Lahan Pemilihan Teknologi Penangkapan Pemilihan Komoditas Potensial Kelayakan Usaha Strategi Pengembangan Kelembagaan
• • • • • • •
Pengguna Kebutuhan Kendala Perubahan Tujuan Keberhasilan Aktivitas yang Dibutuhkan • Pelaku • Tolok Ukur
Elemen Prioritas dari setiap elemen