Dede Solehudin, Iman Suswanto & Supriyanto
Status Penyakit Bercak Coklat pada Pembibitan Kelapa Sawit di Kabupaten Sanggau
STATUS PENYAKIT BERCAK COKLAT PADA PEMBIBITAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN SANGGAU Status of Brown Spots Desease on Oil Palm Nursery in Sanggau Regency Dede Solehudin1, Iman Suswanto1 dan Supriyanto1 ABSTRACT Brown spots is an important disease on oil palm nursery. This research aims to study the distribution and progression of the disease. Observations at five districts in Sanggau Regency. Variable consisted of disease intensity, fungal types, weather and konidia. The intensity of the brown spot in five district range from 4% -38%. There were two symptoms, Curvularia and anthracnose spotting. Spotting Curvularia caused by the fungus Curvularia sp. Spotting anthracnose caused by the fungus Glomerella sp., Disease resistance response increasing with the aging of oil palm nursery. Disease progression slow down at 4 month old nursery. Rainfall, humidity, daily temperature, and konidia in the air against brown spot disease has a weak relationship. Keywords: brown spots, Curvularia spp, and oil palm nursery
ABSTRAK Bercak coklat merupakan penyakit penting pembibitan kelapa sawit. Penelitian bertujuan mempelajari distribusi dan perkembangan penyakit. Pengamatan dilakukan pada lima Kecamatan di Kabupaten Sanggau.Variabel pengamatan terdiri dari intensitas penyakit, jenis-jenis fungi, faktor cuaca dan konidia di udara. Intensitas penyakit bercak coklat pada lima kecamatan yang diamati berkisar antara 4%-38%. Terdapat dua gejala bercak yang khas yaitu bercak Curvularia dan bercak antraknosa. Bercak Curvularia disebabkan oleh Curvularia sp. Bercak antraknosa disebabkan oleh Glomerella sp. Pada saat penelitian, perkembangan penyakit melambat pada bibit yang berumur 4 bulan. Curah hujan, kelembaban, suhu harian, dan konidia di udara mempunyai hubungan yang kurang erat terhadap perkembangan penyakit. Kata kunci: bercak coklat, Curvularia spp, pembibitan kelapa sawit
PENDAHULUAN Perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Kalimantan Barat menjadi sumber pendapatan penting bagi sebagian besar masyarakat. Kelapa sawit dikembangkan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kayong Utara, Ketapang, Sanggau, Bengkayang, Pontianak, Kubu Raya, Sambas, Landak, Sintang, Sekadau, dan Melawi. Kebun kelapa sawit Kalimantan Barat sampai tahun 2010 mencapai 750.948 ha meliputi perkebunan besar dan rakyat. Total produksi tandan buah segar (TBS) sebanyak 921.560 ton (Anonim, 2011). Pengembangan perkebunan kelapa sawit tidak terlepas dari kegiatan pembibitan. 1
Fakultas Pertanian, Universitas Tanjungpura, Pontianak
Pertumbuhan bibit menjadi kriteria penting yang dapat menentukan keberhasilan produksi sawit di lapangan. Oleh karena itu, keberadaaan penyakit pada pembibitan sawit dapat menjadi faktor pembatas, terutama terjadi pada petani sawit rakyat. Salah satu penyakit yang mudah ditemukandan sulit dikendalikan adalah penyakit bercak coklat. Penyakit ini sangat merugikan karena dapat menghambat pertumbuhan seperti bibit menjadi kerdil, memperlama umur pembibitan, meningkatkan kematian saat penanaman, memperlama masa tanaman belum menghasilkan (TBM), menurunkan nilai jual dan menjadi sumber inokulum bibit lain. Kegiatan pengendalian yang dilakukan petani secara intensif baik menggunakan 1
Dede Solehudin, Iman Suswanto & Supriyanto
fungisida, pemangkasan, dan pengasingan bibit hanya mampu mengurangi penyebaran penyakit ke bibit sehat. Menurut Lubis (1992) terdapat sejumlah patogen penyebab bercak coklat pada pembibitan kelapa sawit yaitu Botryodiplodia sp., Glomerelella sp., Melanconium sp. Curvularia sp., Cochliobolus sp., Drechslera sp., dan Helminthosporium sp. Lebih lanjut Semangun (2000), menyatakan bahwa jenisjenis patogen penyebab bercak coklat di Indonesia belum banyak dilaporkan. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan penelitian berupa bibit kelapa sawit umur 2-7 bulan. Alat penelitian berupa perangkap spora (sporetrap), vaselin, gelas objek, mikroskop cahaya, termohigrometer, alat ukur curah hujan, dan buku identifikasi fungi. Metode Distribusi Penyakit Penelitian dilakukan di kebun masyarakat yang tersebar di 5 kecamatan, meliputi Kecamatan Tayan Hilir, Tayan Hulu, Balai, Mukok, dan Jangkang. Pengamatan berupa intensitas penyakit, dan jenis fungi penyebab bercak coklat. Pemilihan petak pengamatan
J. Perkebunan & Lahan Tropika, Vol. 2, No. 1 Juni 2012
menggunakan metode acak sistematis bentuk diagonal yang dibagi kedalam 5 anak petak (Elvinar et al., 2000). Setiap anak petak diambil 30 sampel bibit dan dan diberikan skor dengan skala keparahan penyakit seperti pada Tabel 1. Total bibit yang diskor pada setiap lokasi pengamatan sebanyak 150 bibit. Perkembangan Penyakit Penelitian perkembangan penyakit dilakukan di kebun masyarakat di Kecamatan Mukok pada stadia bibit 2, 3, dan 4 bulan. Penentuan petak pengamatan menggunakan metode acak sistematis diagonal yang dibagi kedalam 5 anak petak (Elvinar et al., 2000). Setiap anak petak diambil 4 sampel bibit, diskor dengan skala keparahan penyakit pada Tabel 1. Total bibit yang diskor sebanyak 20 bibit. Pengamatan berupa intensitas penyakit dan kepadatan konidia dilakukan selama 2 bulan dengan interval setiap 2 minggu. Selain itu, dilakukan pula pengamatan cuaca selama penelitian berlangsung. Konidia diudara diperangkap menggunakan perangkap spora sebanyak 2 unit. Perangkap spora dipasang dari pukul 07.00 pagi sampai pukul 05.00 sore pada ketinggian 1 m di atas vegetasi bibit kelapa sawit. Konidia dihitung jumlahnya dibawah mikroskop cahaya pada perbesaran 10x40 dan dirata-ratakan dalam centimeter (cm2) objek gelas.
Tabel 1. Penilaian keparahan penyakit bercak coklat bibit kelapa sawit (modifikasi; Orjeda, 1998 dan anonim, 2005) Keterangan Skala Kategori kerusakan 0 Daun tidak bergejala Sehat 1 < 1 % gejala bercak dari luas daun Sangat tahan 2 >1 - ≤ 5 % gejala bercak dari luas daun Tahan 3 >6 - ≤ 15% gejala bercak dari luas daun Ringan 4 >16 - ≤ 33% gejala bercak dari luas daun Sedang 5 >34 - ≤ 50% gejala bercak dari luas daun Berat 6 >51 - ≤ 100% gejala bercak dari luas daun Sangat berat Keterangan: Daun yang patah atau mati tidak dilakukan skoring.
2
Dede Solehudin, Iman Suswanto & Supriyanto
Perhitungan intensitas penyakit dilakukan dengan rumus Van der Plank sebagai berikut (Orjeda, 1998):
IP = Z = N = Vi = ni =
Intensitas Penyakit nilai skala yang dipakai. jumlah daun yang diamati Nilai skala kerusakan contoh ke-i jumlah daun bibit dengan skala kerusakan ke-i HASIL DAN PEMBAHASAN
Distribusi Penyakit Penyakit bercak coklat menyebar di seluruh lokasi pengamatan dengan intensitas
Status Penyakit Bercak Coklat pada Pembibitan Kelapa Sawit di Kabupaten Sanggau
yang beragam. Berdasarkan Tabel 2 intensitas penyakit bercak coklat berkisar antara 4%38%. Intensitas penyakit tertinggi berada di Kec. Balai Desa Semoncoel, sedangkan intensitas penyakit terendah berada di Kec. Tayan Hulu Desa Sosok. Perbedaan intensitas penyakit bercak coklat diduga karena adanya perbedaan umur bibit yang diamati pada lokasi pengamatan yaitu antara 2-7 bulan. Hal tersebut didukung oleh data hasil analisis pada sub pembahasan perkembangan penyakit. Menurut Pahan (2011), perbedaan penyakit bercak coklat di lokasi pembibitan tergantung kondisi bibit. Sedangkan menurut Sinaga (2009), inang dapat mempengaruhi tingkat infeksi patogen karena kondisi inang yang terlalu muda atau terlalu tua, resistensi inang, dan sifat genetik inang seragam pada hamparan yang luas.
Tabel 2. Intensitas penyakit dan frekusensi bercak pada beberapa lokasi pengamatan di Kabupaten Sanggau Frekuensi Bercak (%) Intensitas Kecamatan / Lokasi Penyakit Glomerella Tidak Curvularia sp. (%) sp. bergejala Tayan Hilir, Desa Subah 28 70 15 15 Tayan Hulu, Desa Sembatu 32 30 60 10 Tayan Hulu, Desa Sosok 4 60 40 Balai, Desa Cempedak 14 50 20 30 Balai, Desa Semoncol 38 80 10 10 Mukok, Desa Si. Mawang 7 55 5 40 Jangkang, Desa Sape 7 35 5 60 Berdasarkan pemeriksaan jaringan daun, ditemukan fungi Curvularia sp. pada bercak coklat Curvularia dan fungi Glomerella sp. pada bercak antraknosa. Curvularia sp. terdapat di seluruh lokasi pengamatan, sedangkan fungi Glomerella sp. ditemukan di 6 lokasi pengamatan. Frekuensi bercak yang disebabkan oleh fungi Curvularia sp. lebih besar dibandingkan bercak Glomerella sp. sehingga fungi Curvularia sp. merupakan fungi dominan penyebab bercak coklat di Kabupaten Sanggau. Menurut Semangun (2000), dalam daur hidupnya fungi Curvularia sp. dapat bertahan hidup pada beberapa tumbuhan inang termasuk gulma di kebun kelapa sawit,
sedangkan fungi Glomerella sp. disebut sebagai fungi umum karena selalu ditemukan di mana-mana. Menurut Sivanesan (1987), fungi Curvularia sp. diketahui mempunyai sebaran inang yang cukup luas pada Graminae seperti pada Buchloe, Chloris, Oryza, Paspalum, Pennisetum , Sorghum, Triticum , Typha and Zea. Huang et al. (2005), melaporkan penemuan yang pertama bercak Curvularia pada rumput Cynodon sp. di Cina. Perkembangan Penyakit Bercak Curvularia merupakan bercak dominan pada lokasi pengamatan. Pengamatan perkembangan penyakit bercak Curvularia pada stadia bibit sampel 2, 3, dan 4 bulan 3
Dede Solehudin, Iman Suswanto & Supriyanto
J. Perkebunan & Lahan Tropika, Vol. 2, No. 1 Juni 2012
setiap 2 minggu memperlihatkan pola perkembangan yang berbeda. Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan bahwa penyakit bercak Curvularia pada stadia bibit berumur 2
dan 3 bulan meningkat setiap 2 minggu. Sedangkan pada stadia bibit umur 4 bulan, penyakit tidak berkembang sejak pengamatan minggu ke-4 akhir pengamatan.
Gambar 1. Perkembangan penyakit bercak Curvularia pada beberapa umur pembibitan sawit rakyat. Perbedaan pola perkembangan penyakit pada umur bibit 2, 3 dan 4 bulan tersebut memperlihatkan umur bibit yang paling berpotensi untuk terjadinya infeksi fungi. Stadia bibit umur 3 bulan merupakan umur bibit yang paling berpotensi terhadap penularan bercak Curvularia, sedangkan stadia bibit 4 bulan diduga sudah lebih tahan terhadap penularan bercak Curvularia. Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson antara Area Under the Disease Progress Curve (AUDPC) stadia bibit 2, 3
dan 4 bulan dengan anasir cuaca dan kepadatan konidia pada Tabel 3 menunjukkan keeratan hubungan yang rendah. Keeratan hubungan secara nyata ditunjukkan pada hubungan stadia bibit 2, 3 dan 4 bulan. Hal tersebut berarti bibit umur 2, 3 dan 4 bulan sebenarnya memiliki potensi yang relatif sama terhadap penularan penyakit bercak Curvularia, tetapi respon ketahanan penyakit akan semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur bibit kelapa sawit.
Tabel 3. Keeratan hubungan antara variabel penyakit dengan komponen cuaca dan sumber inokulum pada bibit sawit rakyat umur 2, 3, dan 4 bulan Variabel
AUDPC 2 AUDPC 3 AUDPC 4
Suhu
Kelemb aban
Curah Hujan
Konidia
0,925
0,261 0,171
0,270 0,144
0,405 0,231
-0,083 -0,173
0,284
-0,135 -0,670
-0,062 -0,488 0,975
-0,029 0,939 -0,758
AUDPC 2
0,964 0,823
AUDPC 3
0,925
AUDPC 4 Kelembaban
0,964 0,261 0,270
0,823 0,171 0,144
0,284 -0,135
-0,670
Curah Hujan
0,405
0,231
-0,062
-0,488
0,975
Konidia
-0,083
-0,173
-0,029
0,939
-0,758
Suhu
-0,614 -0,614
Keterangan: < 0,5 berkorelasi lemah; 0,5-0,75 berkorelasi kuat; 0,75-1 berkorelasi sangat kuat pada selang kepercayaan 0,05 (Santoso, 2012)
4
Dede Solehudin, Iman Suswanto & Supriyanto
Penyakit bercak Curvularia pada bibit umur 2, 3, dan 4 bulan dan faktor cuaca (suhu, kelembaban, dan curah hujan) yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan keeratan hubungan yang tidak kuat dengan nilai korelasi di bawah 0,5. Keeratan hubungan tersebut menjelaskan bahwa suhu, kelembaban, dan curah hujan tidak mendukung untuk terjadinya proses penularan (penyebaran spora, sporulasi, dan infeksi). Dengan demikian, konidia dari udara mempunyai peranan yang kecil dalam keberhasilan infeksi. Curah hujan dan jumlah konidia mempunyai keeratan hubungan yang kuat dan bernilai negatif. Artinya semakin tinggi curah hujan maka akan menurunkan jumlah konidia di udara. Data pengamatan curah hujan (data tidak ditampilkan) menunjukkan frekuensi hari hujan sebesar 55% dan curah hujan berkisar antara 0,5 -1,2 mm. Diduga frekuensi hari hujan sebesar 55% dengan curah hujan 0,5 1,2 mm dapat mereduksi dan mengurangi kesempatan infeksi konidia dari udara. Menurut Gottwald dan Bertrand (1982), curah hujan dapat mereduksi konsentrasi konidia di udara. Kelembaban udara dan konidia juga menunjukkan keeratan hubungan yang kuat dan bernilai negatif. Artinya semakin tinggi kelembaban udara maka akan menurunkan jumlah konidia di udara. Kelembaban harian selama pengamatan berkisar antara 65-70 %. Data hasil pengamatan (data tidak ditampilkan) menunjukkan tangkapan konidia fungi Curvularia sp. lebih banyak pada ratarata kelembaban udara 65% yaitu sebanyak 8/cm2 dan tangkapan konidispora terendah pada kelembaban udara 68% yaitu sebanyak 0,25/cm2. Menurut Gottwald dan Bertrand (1982), kelembaban udara yang rendah mendorong peningkatan pelepasan konidia. Suhu harian dan jumlah konidia di udara bernilai positif, artinya semakin tinggi suhu maka jumlah konidia di udara semakin tinggi. Suhu harian selama pengamatan berkisar antara 25-28oC. Menurut Abbas et al. (1995), suhu yang tinggi akan mengurangi perkecambahan konidia, mengurangi kemampuan fungi melakukan infeksi. Konidia yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya infeksi diduga berasal dari sumber inokulum lain yang dekat dengan permukaan daun sehingga infeksi terjadi lebih
Status Penyakit Bercak Coklat pada Pembibitan Kelapa Sawit di Kabupaten Sanggau
intensif. Sumber inokulum lain yang dimaksud yaitu gulma di sekitar bibit, tanah lapisan atas dan bibit sakit. Penularan yang paling berperan diduga terjadi melalui kontak antara permukaan daun sakit dengan daun sehat. SIMPULAN 1. Penyakit bercak coklat pada pembibitan kelapa sawit tersebar secara merata di lokasi pengamatan. 2. Keparahan penyakit berkisar antara ringan sampai sedang. Penyebab penyakit berupa fungi Curvularia sp. dan Glomerella sp. 3. Respons ketahanan penyakit semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur bibit kelapa sawit. Pada penelitian ini perkembangan penyakit melambat pada bibit yang berumur 4 bulan. 4. Kondisi lingkungan yang mendukung untuk sporulasi konidia Curvularia spp. ditandai dengan suhu udara panas, diikuti oleh kelembaban dan curah hujan rendah. Proses infeksi cenderung membutuhkan kondisi curah hujan dan kelembaban tinggi. DAFTAR PUSTAKA Abbas H.K., Egley GH., dan Paul R.N. 1995. Effect of conidia Production Temperature on Germination and Infectivity of Alternaria helianthi. Phytopathology 85: 677-682 Anonim. 2011. Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat, Kalimantan Barat dalam Angka tahun 2011 Anonim. 2005. Pedoman dan Pengamatan dan Pelaporan Perlindungan Tanaman Pangan. Diakses dari http://www.deptan.go.id/ pada Tanggal 10 Oktober 2011. Elvinar D., A. Hikmat, Suryadi A.M., N.I. Chalid, R. Karyatiningsih, Daryanto, Haryati. 2000. Pedoman Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Holtikultura. Direktorat Jendral Produksi Bibit Holtikultura dan Aneka Bibit. Direktorat Bibit Pangan. Jakarta
5
Dede Solehudin, Iman Suswanto & Supriyanto
Gottwald TR, dan Bertrand PF. 1982. Patterns of Diurnal and Seasonal Airborne Spore Concentrations of Fusicladium effusum and Its Impact on a Pecan Scab Epidemic. Phytopathology 72: 330-335 Huang J, L. Zheng dan T. Hsiang. (2005). First Report of Leaf Spot Caused by Curvularia verruculosa on Cynodon sp. in Hubei, China. Plant Pathology. 54,254 Lubis A.U. 1992. Kelapa sawit (Elaeis guinensis. Jacq) di Indonesia. Puslitbun Marihat-B.Kuala. Marihat Ulu. P.O. Box 37. P. Siantar Sumatra Utara. P 5-235. Orjeda G. 1998. Evaluation of Musa Germplasm for Resistance to Sigatoka Diseases and Fusarium wilt. INIBAP Technical Guidelines 3. International Plant Genetic Resources Institute, Rome, Italy; International Network for the Improvement of Banana and Plantain, Montpellier, France; ACP-EU Technical
6
J. Perkebunan & Lahan Tropika, Vol. 2, No. 1 Juni 2012
Centre for Agricultural and Cooperation, Wageningen, Netherlands. 31-608
Rural The
Pahan, I. (2011). Panduan Lengkap Kelapa Sawit Dari Hulu Hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta. 8-404 Santoso, S. (2012). Aplikasi SPSS pada Statistik Parametrik. PT Alex Media Komputindo: Jakarta.28-311 Semangun, H. 2000. Penyakit-penyakit bibit perkebunan di Indonesia. Gajah Mada University Prees: Yogyakarta Sinaga M.S. 2003. Dasar-Dasar Penyakit Tumbuhan. Penebar Swadaya: Depok. 6151 Sivanesan A. 1987. Graminicolous species of Bipolaris, Curvularia, Drechslera, Exserohilum and Their Teleomorphs. Mycological Papers 158: 1–261.