Perjanjian No: III/LPPM/2016-02/115-P
PERUBAHAN POLA PIKIR MASYARAKAT ADAT DAYAK DI KABUPATEN SANGGAU TERHADAP HUTAN ADAT SEBAGAI AKIBAT PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Disusun Oleh: Bartolomeus Samho, SS., M.Pd Dr. Yohanes Slamet Purwadi, S.Ag., MA
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan 2016
1
DAFTAR ISI JUDUL………………………………………………………………………………………….…1 DAFTAR ISI………..……………………………………………………………………………..2 ABSTRAK………………………………………………………………………………………...4 BAB I PENDAHULUAN…..…………………………………………………………………....5 BAB II METODE PENELITIAN……..………………………………………………………...14 BAB III SEKILAS TENTANG SUKU DAYAK DI KABUPATEN SANGGAU..…………....16 3.1. Pengantar.……………………………………………………………….………….....16 3.2. Asal-Usul dan Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan………….……….16 3.3.Pengertian Suku Dayak ………….…………………………………………………....17 3.4. Sub-Sub Suku dan Bahasa Dayak …………………......………………………….….18 3.5. Masyarakat Adat dan Hutat Adat…………..………..………………………………..20 3. 5.1. Masyarakat Adat..……..………………………..…………………………….....20 3.5.2. Hutan Adat ……………………………………………………………………....22 3.6. Demografi Masyarakat Adat di Kabupaten Sanggau…………………….…...……...24 3.6.1. Letak Wilayah…………..………………………………………………….…....24 3.6.2. Luas Wilayah Kabupaten Sanggau…………….……………………………..…25 3.6.3. Iklim………….………………….……………………………………….……...26 3.7. Topografi Kabupaten Sanggau……….…………………………………………...27 3.7.1. Jenis Tanah dan Keadaan Lapisan Tanah…..………………….……………...27 3. 7.2. Penggunaan Tanah Pada Umumnya……………………………………..…...27 3.7.3. Sistem Mata Pencaharian………….…………………………………….….…28 3.8. Pandangan Suku Dayak pada Umumnya Terhadap Hutan….………….….….…..28 3.8.1. Hutan Sebagai Ikatan Kekerabatan…………..………..……………..………..29 3.8.2. Hutan Sebagai Sumber Kehidupan……………........……….……….……......30 3.8.3. Hutan Sebagai “Tempat Sakral”…………………….…………………....…...34
BAB IV. DESKRIPSI PERUBAHAN POLA PIKIR MASYARAKAT ADAT DAYAK DI KABUPATEN SANGGAU TERHADAP HUTAN ADAT SEBAGAI AKIBAT PERKEBUNAN KELAPA SAWIT..………………………………………………………………………………………….36 2
4.1. Pengantar……………………...…………………………………………………..….36 4.2. Hutan Dipandang Sebagai Objek Kegiatan Ekonomi Semata-Mata………..……......37 4.3. Perubahan Secara Sosiologis dan Ancaman Ekologis……………….................…….41 4.3.1. Masyarakat Menjadi Pragmatis, Konsumeristis, dan Hedonistis…………..….....43 4.3.2. Konflik Horisontal…………………..……………………………………...….…48 4.3.3. Krisis Ekologi…..…………………………………………………...……….…...49 4.4. Krisis “World View” Suku Dayak……………………..………….………………....51 4.5. Penutup………..…………..……………………………………..…………………..53
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI….……………………………………………57 5.1. Kesimpulan…...………………………………………..………………………….…..57 5.2. Rekomendasi…………………………………………………..……………………....60 KEPUSTAKAAN ……………………………………………………………………………….61
3
ABSTRAK
Upaya pembangunan ekonomi akhir-akhir ini gencar dilakukan dalam bisnis perkebunan kelapa sawit di berbagai daerah Indonesia. Pengembangan perkebunan kelapa sawit, khususnya di daerah Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menimbulkan persoalan bagi lingkungan alam dan masyarakat lokal, nasional, dan global. Sejak pembukaan perkebunan kelapa sawit pada tahun 1980 di Kalimantan Barat, yang sejak tahun 1982 dikelola dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR-Bun), secara perlahan tapi pasti mengubah pola pikir masyarakat adat Dayak terhadap hutan rimba atau tanah ulayat. Pengaruhnya semakin terasa dalam perilaku dan kehidupan sosial masyarakat setempat. Mereka mengalami perubahan “world view” terhadap hutan. Mereka yang sejak jaman dahulu kala bersahabat dengan alam, kini hidupnya di satu sisi meninggalkan tradisi leluhur dan mengikuti trend perkebunan kelapa sawit, tapi di sisi lain hidupnya semakin terpojok oleh keberadaan perkebunan kelapa sawit. Sikap permisif dan pragmatisme pihak yang berkuasa telah mengakibatkan perubahan “world view” masyarakat setempat. Mereka tidak lagi menghormati alam atau hutan sebagai “ranah sakral”. Masyarakat pun semakin pragmatis, hedonis dan konsumtif. Adat-istiadat dan kearifan lokal berupa nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong, kesetiaan pada komunitas, kerendahan hati, ketulusan, rasa hormat pada alam dan sesama semakin luntur. Hutan rimba dan “hutan tembawang” sebagai hak ulayat sebagian besar telah tinggal cerita. Beribu-ribu jenis tumbuhan, satwa liar dan biota air lenyaplah sudah untuk selama-lamanya. Kekayaan alam yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia telah mengalami defisit karena keserakahan segelintir anak manusia. Desakralisasi alam telah nyata mengakibatkan eksploitasi alam. Akibatnya, manusia terancam mengalami penderitaan berkepanjangan, yang kini sudah mulai terasa, dan dapat dipastikan memengaruhi peradaban masyarakat di masa yang akan datang. Kerugian ekologi yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit sungguh sulit dinalar dengan akal sehat dan tak akan terbayar untuk selamanya. Penelitian ini berupaya mendeskripsikan perubahan pola pikir Suku Dayak di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, terhadap hutan sebagai akibat perkebunan kelapa sawit.
4
BAB I PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Bisnis perkebuanan kelapa sawit akhir-akhir ini berkembang pesat di Indonesia. Keberhasilan sub-sektor kelapa sawit dalam mendongkrak angka pertumbuhan ekonomi dan ambisi pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, telah ekspansi perkebunan kelapa sawit dari pemerintah secara besar-besaran.1 Program tersebut telah mengakibatkan perluasan perkebunan kelapa sawit sulit dikendalikan. Kondisi ini diperparah dengan program mendorong para investor, dari dalam dan luar negeri, untuk menanamkan modalnya di sektor perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, pembukaan lahan hutan rimba (hutan adat) semakin di luar kendali dan mengancam ekologi. Luas areal hutan pun semakin menyempit secara drastis. Lahan pertanian masyarakat adat pun semakin sempit. Padahal, mereka telah secara turun-temurun bertani dengan sistem ladang berpindah-pindah.2 Bila pada masa silam masyarakat adat terbiasa dan leluasa berladang secara berpindahpindah, kini tradisi tersebut dipandang berpotensi merusak hutan. Dan mereka yang masih menekuninya dituduh sebagai “perusak hutan”. Padahal pola berladang seperti itulah yang menampilkan ciri khas tradisi pertanian masyarakat adat Dayak, yang dilakukan secara turun-
1
Catatan Direktorat Jendral Perkebunan melaporkan bahwa luas perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia, berdasarkan statistik perkebunan Indonesia komoditas kelapa sawit 2013-2015, adalah 11.444.808 hektar. Dari total luas tersebut, luas perkebunan kelapa sawit di wilayah Kalimantan Barat mencapai 2005.354 hektar. Lih.http://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik/2015/SAWIT%202013%20-2015.pdf 2 Masyarakat Adat Dayak pada masa silam memang mengelola hutan secara tradisional. Mereka berladang dengan pola berpindah-pindah, tapi tidak berarti bahwa mereka merambah hutan rimba secara sembarangan tanpa aturan dan kode etik tradisional. Mereka memiliki penilaian waktu yang cermat dan arif dalam mengelola lahan perladangan. Misalnya, mengenai rentang waktu kapan lahan yang telah dibuka sebelumnya boleh diladangi kembali. Pada umumnya, mereka berladang di lahan yang sudah diolah sebelumnya dan diwarisi secara turuntemurun oleh para leluhur. Masing-masing keluarga biasanya memiliki lebih dari satu areal ladang, yang bias digarap secara bergantian pada setiap tahun, dengan jeda waktu kira-kira 10-15 tahun untuk setiap lahan. Jadi, mereka bukan “perusak hutan” sebab tidak membuka areal rimba setiap saat atau setiap tahun. Lagi pula hutan atau lahan rimba tidak selalu cocok untuk lading, sebab tanahnya tidak subur karena kandungan zat asam yang biasanya tinggi sehingga pasti tidak cocok untuk menanam padi, jagung, singkong, dan sayur-mayur dari berbagai jenis.
5
temurun sesuai dengan kode etik dan pertimbangan adat.3 Julukan sebagai “peladang berpindah” dan “masyarakat yang terasing” lantas menjadi rasionalisasi program pembukaan dan perluasan perkebunan kelapa sawit. Akhir-akhir ini konversi hutan untuk pembukaan dan perluasan perkebunan kelapa sawit menunjukkan gejala desakralisasi alam, sebab tidak selalu dilakukan dengan cara-cara yang ramah lingkungan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan di hadapan tuntutan etis. Ini jelas berlawanan dengan pandangan tradisional suku Dayak yang meyakini kesakralan alam atau melihat alam sebagai ciptaan Tuhan yang luhur. Kasus pembakaran hutan (lahan gambut) untuk perkebunan kelapa sawit adalah salah satu fenomena desakralisasi alam dan suatu tindakan yang tidak etis sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik di hadapan etika lingkungan hidup maupun etika bisnis. Upaya perluasan perkebunan kelapa sawit dengan cara pembakaran hutan menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi melalui perkebunan kelapa sawit masih dalam tataran pembangunan konvensional (conventional development) sebab cenderung melihat pembangunan dalam lingkup satu generasi saja dan mengabaikan kelestarian lingkungan alam. Padahal pembangunan ekonomi yang seharusnya dikembangkan adalah yang berwawasan lingkungan atau ramah lingkungan. Artinya, pembangunan ekonomi yang bertanggungjawab terhadap kelestarian alam agar generasi yang akan datang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya (sustainable development).4 Sebagai salah satu sektor upaya pembangunan ekonomi, eksistensi perkebunan kelapa sawit secara sekilas tampak positif bagi prtumbuhan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Namun, pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit semata-mata demi pencapaian kesejahteraan manusia dari aspek material saja dengan tanpa upaya terencana untuk memelihara kelestarian lingkungan alam, berpotensi merusak alam dan menimbulkan persoalan ekologi. Bila ekologi rusak maka segala makhluk hidup di sekitarnya, termasuk manusia, akan terancam eksitensinya. Artinya,
3
Nico Andasputra, John Bamba, Edi Petebang (Eds), 2001. Pelajaran Dari Masyarakat Dayak: Gerakan Sosial dan Resiliensi Ekologis di Kalimantan Barat, WWF-Biodiversity Support Program (BSP), Washington DC, USA dengan Institut Dayakologi (ID), Pontianak-Indonesia, hal. 45-46. 4 Istilah sustainable development didefinisikan oleh Komisi Brundtland Amerika Serikat pada tahun 1987 karena pembangunan memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan saat ini tanpa mempertimbangkan kemungkinan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Lih. Leonardo Boff, 1995. Ecology & Liberation: A New Paradigm, Translated from the Italian by John Cumming, Orbis Books, Maryknoll, New York 0545-0308, hal. 22.
6
keuntungan yang diperoleh dari pembangunan ekonomi melalui perkebunan kelapa sawit tidak cukup untuk membiayai kerugian yang ditimbulkannya, baik secara moral maupun ekologi. Istilah ekologi diperkenalkan pada tahun 1866 oleh seorang ahli biologi Jerman, Ernst Haeckel (1834-1919). Secara etimologi, istilah ekologi diturunkan dari dua kata dalam bahasa Yunani, oikos, yang berarti rumah atau tempat tinggal dan logos, yang berarti “refleksi”, pengetahuan, kreatifitas dalam mengkaji atau studi mengenai alam. Maka ekologi berarti studi mengenai kondisi-kondisi dan relasi-relasi yang membuat lingkungan (rumah) masing-masing dan setiap pribadi dan juga mencakup organisme di alam. Haeckel mendefinisikannya sbb: “Ecology is the study of interdependence an interaction of living organisms (animals and plants) and their environments (inanimate matter)”.5 Secara harafiah, ekologi berarti penyelidikan tentang organisme-organisme dalam jagat raya.6 Umumnya ekologi dimengerti sebagai penyelidikan mengenai hubungan-hubungan antara planet, hewan, manusia, dan lingkungan hidup serta keseimbangan di antaranya. 7 Ekologi juga dipahami sebagai ilmu tentang hubungan antarorganisme yang hidup di lingkungannya. Berdasarkan penalaran etimologi dan pengertian harafiah di atas, tampak bahwa ekologi merupakan suatu perspektif mengenai alam, yakni perspektif yang menegaskan pentingnya pengetahuan tentang alam, upaya memberi per-hati-an kepada alam sebagai rumah, yang dalam bahasa Yunani disebut Oikos. Sebagai ilmu, ekologi merupakan upaya studi untuk memahami kebenaran berkaitan dengan lingkungan hidup secara rasional. Jadi, ekologi dipahami sebagai pengetahuan manusia mengenai alam. Ekologi mengacu pada kesadaran manusia tentang keterkaitan dirinya dengan alam sebagai rumah, habitat tempat tinggal manusia, makhluk hidup lainnya, dan tumbuhtumbuhan. Manusia menyadari dirinya sebagai bagian dari alam; sementara alam adalah rumahnya (home, oikos).8 Menurut Sonny Keraf, lingkungan alam sebagai Oikos (rumah) tidak pertama-tama dipahami sebagai lingkungan sekitar di mana manusia hidup, tapi sebagai alam
5
Leonardo Boff, 1995. Ecology & Liberation: A New Paradigm, Ttranslated from the Italian by John Cumming, Orbis Books, Maryknoll, New York 0545-0308, hal. 9. 6 Eugene P. Odum, 1976. Fundamentals of Ecology (Philadelphia: Saunders College Publishing, hal.3. 7 Ensiklopedi Indonesia 5: P-SHF (Edisi Khusus) (Ed. Hassan Shadily, dkk), 1991. (Jakarta: P.T. Ichtiar Baru – Van Hoeve), hal. 2721-2722. 8 Hans Dirk van Hoogstraten, 2001. Deep Economy: Caring for Ecology, Humanity and Religion, James Clarke & Co P.O. Box 60 Cambridge CB1 2NT, England, hal. 35.
7
semesta di mana terjalin interaksi yang saling memengaruhi dan menentukan eksistensi setiap maklhuk hidup yang menjadi bagian dari keseluruhan ekosistem.9 Kesadaran bahwa alam adalah rumah segala makhluk mesti bermuara pada keyakinan manusia bahwa organisme dan lingkungan hidup di sekitarnya berada dalam jejaring yang saling menentukan. Organisme adalah keyakinan bahwa keberlanjutan eksistensi benda-benda dan makhluk-makhluk hidup selalu bertaut erat dengan lingkungan di sekitarnya. Dinamika kehidupan yang saling menentukan dan mengisi di antara benda-benda dan makhluk-makhluk hidup di lingkungan sekitarnya, itulah yang menjadi sorotan ekologi. Dalam perspektif itu, ekologi sebetulnya dapat juga dimengerti sebagai ilmu tentang organisme dalam hubungannya dengan lingkungan hidup.10 Fokus peneyelidikan ekologi adalah menyatakan dan memastikan pentingnya memajukan dan menjaga eksistensi segala yang ada di alam semesta ini demi keberlanjutan keseimbangan benda-benda dan makhluk-makhluk hidup di lingkungannya. Dalam perspektif itu, pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, bila dilakukan dengan tanpa mengindahkan kelestarian alam, akan menimbulkan persoalan berupa krisis ekologi. Artinya, menyebabkan terganggunya keseimbangan relasi antara makhluk hidup dengan alam (sebagai rumahnya). Perkebunan kelapa sawit berpotensi menimbulkan persoalan ekologi manakala dan sejauh dilakukan demi kepentingan kesejahteraan materil semata-mata sebab alam dijadikan objek semata-mata sehingga terjadilah eksploitasi alam. Bahaya dari tindakan eksploitatif alam adalah krisis ekologi berkepanjangan. Tindakan eksploitatif terhadap alam atau hutan terjadi sejauh hutan dijadikan objek kegiatan ekonomi untuk mengeruk keuntungan finansial semata-mata sehingga mengancam dan memutuskan keberlanjutan alam sebagai oikos. Dominansi pertimbangan dan penilaian ekonomis terhadap hutan sembari secara sadar mengabaikan kelestariannya adalah akar dari persoalan dan krisis ekologi dan menjadi faktor penting bagi perubahan pola pikir dan tindakan yang bermuara pada eksploitasi alam. Di Daerah Kalimantan Barat, perkebunan kelapa sawit tersebar luas di kabupaten Pontianak, Sambas, Sanggau, Bengkayang, dan Sintang, dll. Program perkebunan kelapa sawit yang pada mulanya dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat kini dapat dipastikan mulai menunjukkan dampak-dampak negatif terhadap pola pikir masyarakat,
9
A. Sonny Keraf, 2014. Filsafat Lingkungan Hidup: Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan, Kanisius, Yogyakarta, hal. 16. 10 William Chang, op.cit., hal. 14.
8
antara lain, tentang hutan dan sesama dalam lingkungan masyarakat. Tindakan eksploitatif terhadap hutan dan perebutan lahan antar sesama warga masyarakat semakin sering terjadi. Kerusakan hutan akibat perluasan perkebunan kelapa sawit semakin memprihatinikan. Akibatnya, krisis ekologi mulai menun jukkan fenomena seperti banjir yang sudah tidak kenal musim menggenangi areal permukiman masyarakat. Sementara pada musim kemarau, sungaisungai mengering dengan cepat karena semakin sempitnya lahan resapan air yang dulu menjadi sumber mata air yang mengairi sungai-sungai tersebut. Penebangan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dalam skala besar adalah penyebab utamanya. Lingkungan hidup menjadi tidak asri dan sumber mata air bersih menjadi langka atau mengering. Bila lingkungan hidup rusak maka komunitas manusia terancam dalam arti seluasluasnya. Kecuali itu, punahnya berbagai macam jenis flora dan fauna. Tanaman dan tumbuhtumbuhan yang sejak dulu menjadi apotek kehidupan masyarakat tradisional semakin langka dan sulit ditemukan. Demikian pun dengan berbagai jenis biota air tawar dan binatang lainnya yang hidup di alam bebas semakin terancam punah karena habitatnya semakin sempit. Pengembangan perkebunan kelapa sawit yang awalnya menjanjikan bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat, dan memang sempat diakui masyarakat pada umumnya, kini tidak hanya menimbulkan persoalan ekologi, tapi juga persoalan sosial. Misalnya, fenomena perebutan lahan yang kerapkali berakhir dengan konflik horizontal antar warga masyarakat setempat.11 Dampak lainnya adalah terjadinya perubahan sistem nilai budaya secara cepat. Perluasan perkebunan kelapa sawit berdampak pada kependudukan.12 Kenyataan ini berpengaruh pula pada tatanan nilai-nilai budaya, pola pikir, pola konsumsi, pola relasi dengan alam dan sesama. Penelitian ini hendak medeskripsikan bagaimana pergeseran pola pikir masyarakat adat Dayak di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, terhadap hutan akibat perluasan areal 11
Perluasan areal perkebunan kelapa sawit yang membuat hutan semakin menipis berdampak langsung pada areal lahan perladangan masyarakat. Ketika lahan untuk berladang semakin sempit, masyarakat pun terpaksa harus menyesuaikan pola kehidupannya dengan kehadiran perkebunan kelapa sawit. Mereka mulai mengalihkan sumber nafkah. Dari pertanian ladang berpindah-pindah ke perkebunan kelapa sawit atau menyerahkan lahan pertanian atau perkebunannya untuk dikelola dan ditanam bibit kelapa sawit oleh pihak perusahaan dengan sistem bagi hasil. Peralihan dari pertanian ladang dan perkebunan karet ke perkebunan kelapa sawit ini menimbulkan dampak sosial dan ekologis yang serius. Dampak sosial tampak pada fenomena perebutan lahan hutan rimba yang memicu konflik horizontal sementara dampak ekologis berupa pembukaan lahan secara tidak bertanggungjawab sehingga menimbulkan kerusakan dan kerugian ekologis yang berkepanjangan. 12 Meningkatnya jumlah penduduk, baik yang dengan sengaja didatangkan oleh pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit sebagai tenaga kerja di areal perkebunan, maupun para migran yang dengan sengaja mencari pekerjaan di perkebunan kelapa sawit membuat masyarakat homogen yang berada di sekitar perkebunan kelapa sawit (suku Dayak) dengan cepat berubah menjadi masyarakat majemuk.
9
perkebunan kelapa sawit dan bagaimana pengaruhnya terhadap relasi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kerangka itu, penelitian ini diberi judul: PERUBAHAN POLA PIKIR MASYARAKAT ADAT DAYAK DI KABUPATEN SANGGAU TERHADAP HUTAN ADAT SEBAGAI AKIBAT PERKEBUNAN KELAPA SAWIT.
1.2.TNJAUAN PUSTAKA
Kelapa sawit bukan merupakan salah satu jenis tanaman atau tumbuhan asli Indonesia. Bila kita telusuri asal-usulnya, kelapa sawit yang ditanam secara besar-besaran di areal perkebunan yang amat luas di Indonesia dewasa ini berasal dari Afrika.13 Sejarahnya bermula ketika pemerintah Hindia Belanda yang secara tidak sengaja membawa beberapa biji kelapa sawit dari Afrika. Semula, beberapa bijinya ditanam di Kebun Botani Bogor dan sisanya ditanam sebagai tanaman hias di pinggir-pinggir jalan di daerah Deli, Sumatra Utara pada sekitar tahun 1870-an. Tidak diduga bahwa, revolusi industri pada pertengahan abad ke-19 menjadi tonggak sejarah penting bagi perkebunan kelapa sawit, yang kini lantas diyakini sebagai tanaman yang bernilai ekonomis tinggi. Meningkatnya permintaan minyak nabati akibat revolusi industri mendorong pihak pemerintah Hindia Belanda membudidayakan kelapa sawit sebagai bahan komoditas komersial. Sejak itu pula pemerintah Hindia Belanda diperhitungkan sebagai pemasok utama minyak sawit dunia. Namun, sejak Jepang menaklukan dan merebut Hindia Belanda, pasokan komoditas minyak sawit dunia dari pemasok utama merosot drastis sampai pada titik kritis dan level yang memprihatinkan, yakni hingga tinggal seperlima dari angka tahun 1940. Setelah sekian lama bisnis perkebunan kelapa sawit terpuruk, pemerintah Orde Baru melakukan perluasan areal perkebunan. Upaya penanaman kelapa sawit dipadukan dengan 13
Perintis pembudidayaan kelapa sawit komersial di Hindia Belanda kala itu adalah seorang Belgia yang bernama Adrien Halet, yang kemudian diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang.Di Afrika Barat sendiri penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai tahun 1910. Lih. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23266/3/Chapter%20II.pdf (diunduh tanggal 16 November 2016).
10
sistem PIR-Bun (Perkebunan Inti Rakyat). Ambisi pemerintah Indonesia untuk menjadi negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia serta keberhasilan perkebunan kelapa sawit dalam mendongkrak tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah pengembangan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit bukan tanpa persoalan. Pembukaan lahan dan alih fungsi areal hutan untuk perluasan perkebunan kelapa sawit terjadi secara meluas tanpa melakukan studi lingkungan terlebih dahulu. Bahkan lahan pertanian dan perkebunan karet pun dialih-fungsikan untuk perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, fenomena kerusakan lingkungan yang menyebabkan banjir dan tanah longsor pun tidak terelakan. Selain itu, kata Alqadrie Syarif, (1994) perkebunan kelapa sawit yang tak terkendalikan itu mengakibatkan terbatasnya ruang gerak masyarakat dan memperlemah klaim masyarakat adat Dayak dalam hal kepemilikan atas tanah-tanah adat. Fenomena pengambil-alihan atau penguasaan tanah-tanah adat oleh pihak perusahaan pun tidak terhindarkan. Masyarakat yang kian terjepit dan tidak berdaya untuk menolak kehadiran perkebunan kelapa sawit akhirnya dengan terpaksa menerima kehadiran pihak investor yang hendak menanamkan modalnya dalam bisnis perkebunan kelapa sawit. Pihak investor yang telah mengantongi Surat Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) mendapatkan keuntungan besar berupa kayu dari hutan sebelum mulai berinvestasi menanam kelapa sawit. Setelah pohon-pohon di tebang biasanya hutan yang dipandang kurang bernilai ekonomis lalu dibakar. Fenomena ini menarik untuk dicermati dengan adanya bencana kabut asap yang saban tahun pasti terjadi di daerah tertentu di Indonesia. Bila fenomena ini tidak segera diatasi atau dihentikan dengan tegas oleh pemerintah maka ramalan Hood (dalam Garna, 1995) sungguh sulit ditampik. Hood memprediksi dampak buruk perkebunan kelapa sawit bagi masyarakat yang hidup di sekitar arealnya ke dalam tiga poin, yakni: 1) masyarakat terancam kehilangan tanah warisan leluhurnya; (2) masyarakat mengalami himpitan ekonomi sehingga status atau kedudukan sosial ekonomi yang terpuruk; (3) terjadinya perubahan lingkungan hidup akibat deforestisasi secara drastis dengan cara dimusnahkan dan diganti dengan jenis tumbuhan yang baru. Apa yang dikhwatirkan oleh Hood tersebut telah terjadi sekarang di areal permukiman warga dan lokasi perkebunan kelapa sawit. Sejak perkebunan kelapa sawit dibuka pada tahun 1982 di Kalimantan Barat, khususnya di Kabupaten Pontianak, Sanggau, Sintang dan Sambas, 11
luas kawasan hutan di Kalimantan Barat kian menyusut drastis.14 Dukungan Gubernur Kalimantan Barat, yang memberi cadangan areal seluas 48.000 hektar untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, menjadi faktor penting bagi akselerasi perluasan perkebunan kelapa sawit dan menyusutnya luas hutan di Kalimantan Barat. Di Kabupaten Sanggau, pada awalnya perkebunan kelapa sawit berlokasi di Kecamatan Parindu, Tayan Hulu dan Tayan Hilir, yang dikelola oleh PT. Perkebunan Nusantara 13. 15 Kini perkebunan kelapa sawit menyebar di kecamatan lainnya seperti kecamatan Kembayan, Balai, Noyan, dan lain-lain. Singkatnya, kita temukan perkebunan kelapa sawit, milik perusahaan atau milik warga secara pribadi, di hampir semua kecamatan di Kabupaten Sanggau. Keyakinan bahwa kelapa sawit cukup menjanjikan bagi perbaikan dan peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat menimbulkan perubahan pola pikir masyarakat adat Dayak terhadap hutan. Warga yang semula menolak kehadiran perkebunan kelapa sawit kini malahan berubah pemikiran dan memilih menanam kelapa sawit di aeral miliknya. Bahkan tidak sedikit warga masyarakat yang mengubah perkebunan karetnya menjadi perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, perluasan perkebunan kelapa sawit dan alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit semakin tidak terkendali. Perusahaan-perusahaan pun semakin gencar memperluas areal perkebunannya dengan membeli lahan milik warga atau berbagi hasil dengan pola yang disepakati. Akibatnya, luas hutan kayu semakin menyusut. Sementara areal perkebunan kelapa sawit semakin luas dan mendominasi lahan. Kondisi ini jelas mempengaruhi pola kehidupan petani ladang berpindah atau menyulitkan penduduk daerah pedesaan yang secara turun-temurun bersandar pada hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain berdampak terhadap perubahan pola pikir masyarakat adat Dayak terhadap hutan, perluasan perkebunan kelapa sawit juga berpengaruh secara singnifikan terhadap tatanan nilainilai kehidupan masyarakat adat Dayak. Perubahan tatanan nilai-nilai kehidupan dengan sendirinya mempengaruhi pola pikir masyarakat terhadap hutan dan sesama dalam kehidupan sehari-hari. Implikasi lebih lanjut adalah perubahan pola hubungan kerja, pola lapangan kerja 14
Menurut data Bappeda dan Biro Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Barat (1988), luas kawasan hutan di Kalimantan Barat pada awal HPH beroperasi tahun 1967 adalah 9.204.425 hektar. Setelah 20 tahun HPH beroperasi, luas hutan tersebut menyusut hingga mencapai 30,1%. 15 Khusus untuk Kecamatan Parindu, perkembangan dan perluasan areal perkebunan kelapa sawit mendapat legitimasi dari pemerintah provinsi, yakni berdasarkan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat Nomor 187 Tahun 1982 tanggal 28 Juni 1982, dengan alokasi luas lahan mencapai 14.400 hektar di wilayah Desa Senunuk, Bali, Bodok, Pusat Damai, Mawang, Karosik, Lintang, Tatang, Baharu, Binjai, Pasok dan Desa Sebatuh (Sekretariat Daerah Propinsi Kalbar, 1982).
12
dan peluang kerja yang selanjutnya berpengaruh pada perubahan status sosial, hubungan sosial, dan pola kehidupan masyarakat sehari-hari. Kecuali itu, perluasan areal perkebunan kelapa sawit juga berpengaruh pada peningkatan jumlah pendatang secara signifikan yang dengan sendirinya melahirkan persaingan dalam beberapa aspek kehidupan dengan masyarakat setempat yang berpotensi menimbulkan konflik horisontal. Di sini tampak bahwa, pengaruh perkebunan kelapa sawit adalah bercorak sosio-kultural dan ekologis.
1.3. PERTANYAAN PENELITIAN 1. Apakah perkebunan kelapa sawit mengakibatkan perubahan pola pikiran masyarakat adat Dayak di Kabupaten Sanggau terhadap hutan? 2. Apakah perkebunan kelapa sawit berpotensi memicu konflik horizontal? 3. Apakah perkebunan kelapa sawit merusak lingkungan hidup dan mengakibatkan krisis ekologi?
1.4. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk menggali alasan-alasan mendasar terjadinya perubahan pola pikir masyarakat adat Dayak di Kabupaten Sanggau terhadap hutan sebagai akibat perkebunan kelapa sawit 2. Untuk mendeskripsikan potensi konflik horizontal sebagai akibat perebutan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. 3. Untuk mendeskripsikan persoalan ekologis dan sosial sebagai akibat perkebunan kelapa sawit 1.5. URGENSI PENELITIAN
Penelitian ini penting dan urgen dilakukan karena: pertama, kesadaran tentang pentingnya berpartisipasi aktif dalam menyerukan keberpihakan terhadap kelestarian lingkungan alam dan mencegah terjadinya konflik horizontal dan ancaman ekologis sebagai akibat perkebunan kelapa sawit. Kedua, untuk mendukung pola pikir masyarakat adat Dayak yang tetap setia pada pandangan tradisionalnya bahwa hutan adalah warisan nenek moyang yang harus dijaga kelestariannya demi keberlanjutan ekologis dan eksistensi kehidupan generasi yang akan datang
13
BAB II METODE PENELITIAN DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA
2.1. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, kami menggunakan metode penelitian kualitatif. Secara umum, dalam penelitian kualitatif terdapat hal-hal berikut: pertama, data disikapi sebagai data verbal atau sebagai sesuatu yang dapat ditransposisikan sebagai data verbal. Kedua, diorientasikan pada pemahamanan makna baik pada ciri, hubungan sistematika, konsepsi, nilai, kaidah, maupun abstraksi formulasi pemahaman. Ketiga, mengutamakan hubungan secara langsung antara peneliti dengan hal yang diteliti. Keempat, mengutamakan peran peneliti sebagai instrumen kunci. Karakteristik penelitian kualitatif adalah berusaha mengungkapkan berbagai keunikan yang terdapat dalam individu, kelompok, masyarakat, dan atau suatu organisasi tertentu dalam sutu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap suatu kenyataan sosial dari perspektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan lebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan analisis tersebut baru ditarik suatu kesimpulan berupa pemahaman umum yang sifatnya abstrak tentang kenyataan-kenyataan,16 khususnya mengenai hal yang diteliti.
2.2. Teknik Pengumpulan Data Sementara sumber dan jenis data penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan. Dalam konteks penelitian ini, sumber dan jenis data yang akan dianlisis secara induktif adalah: Pertama, sumber data utama berupa kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit. Dalam rangka itu, kami melakukan Focus Group Discusion (FGD) dengan tokoh adat dan masyarakat yang 16
Ibnu Hadjar, 1996. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 33-34.
14
berpengalaman terkait perkebunan kelapa sawit. Sementara wawancara kami lakukan untuk mendapatkan informasi dari beberapa tokoh yang memiliki wawasan dan pengalaman tentang kearifan suku Dayak dan tentang perkebunan kelapa sawit. Informasi yang diperoleh melalui FGD dan wawancara dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video/audio tape, pengambilan photo atau film. Informasi yang hendak digali adalah mengenai pergeseran pola pikir suku Dayak terhadap hutan akibat perkebunan kelapa sawit. Pencatatan sumber data utama melalui FGD, wawancara atau pengamatan berperanserta merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan mengamati, mendengar, dan bertanya. Ketiganya dapat dilakukan seorang peneliti kualitatif secara sadar, terarah, dan senantiasa bertujuan untuk memperoleh suatu informasi yang diperlukan. Kedua sumber data tambahan berupa sumber tertulis (buku dan majalah ilmiah, arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi). Sementara data deskriptif lainnya dapat berupa photo (yang dihasilkan orang dan yang dihasilkan oleh peneliti). Ketiga, peran peneliti sebagai instrumen penelitian. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit. Ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analis, penafsir data, dan pada akhirnya ia menjadi pelopor hasil penelitiannya. Pengertian instrumen atau alat penelitian di sini tepat karena ia menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian. Keempat, catatan lapangan. Catatan yang dibuat di lapangan sangat berbeda dengan catatan lapangan. Catatan itu berupa coretan seperlunya yang sangat dipersingkat, berisi katakata inti, frase, pokok-pokok isi pembicaraan atau pengamatan, mungkin gambar, sketsa, diagram, dan lain-lain. Catatan itu berguna sebagai alat perantara antara apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dicium, dan diraba serta dicatat dalam bentuk “catatan lapangan”. Catatan itu baru diubah ke dalam catatan yang lengkap dan dinamakan catatan lapangan setelah penelitian tiba di rumah. Proses itu dilakukan setiap kali selesai mengadakan pengamatan atau wawancara, tidak boleh dilalaikan karena akan tercampur dengan informasi lain. Sumber dan jenis data di atas semuanya berguna bagi penelitian ini dalam rangka membantu peneliti untuk menganalisis dan membuat deskripsi secara kualitatif terhadap alasanalasan bagi perubahan pola pikir masyarakat adat Dayak terhadap hutan, yang kemudian berpengaruh terhadap perilaku dalam interaksi sosialnya.
15
BAB III SEKILAS TENTANG SUKU DAYAK DI KABUPATEN SANGGAU 3.1. Pengantar
Pada bagian ini kami memfokuskan ulasan seputar suku Dayak, pola pikirnya terhadap hutan adat, dan perubahannya sebagai akibat perkebunan kelapa sawit. Dalam pembahasannya, kami mendeskripsikan apa yang dimaksudkan dengan suku Dayak, hutan adat, dan perkebunan kelapa sawit untuk kemudian mendeskripsikan faktor-faktor penting dari perubahan pola pikir masyarakat adat Dayak terhadap hutan adat.
3.2. Asal-Usul dan Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan.
Suku Dayak identik dengan pulau Kalimantan. Identifikasi demikian mengisyaratkan bahwa suku Dayak adalah suku asli (tribal people) atau suku bangsa yang telah sejak semula mendiami pulau Kalimantan. Klaim bahwa suku Dayak adalah penduduk asli Kalimantan perlu dipertegas dengan pendasaran secara tinjauan antrpologis. Ada dugaan sementara bahwa leluhur suku Dayak berasal dari keturunan ras Mongolid, Asia. Perihal bagaimana leluhur suku Dayak ini pada mulanya menetap di Kalimantan agaknya terkait dengan upaya penyelamatan diri dari serangan komunitas sosial sejamannya. Peperangan yang terjadi sekitar 2000 tahun sebelum masehi memaksa ras mongolid mengembara dan meninggalkan wilayahnya. Ras ini pun melintasi benua Asia, yang kala itu masih menyatu dengan Pulau Kalimantan. Mereka pun menempuh perjalanan panjang, mulai dari Semenanjung Malaya, Serawak, hingga tiba di Kalimantan. Barangkali memang nasib suku ini untuk memenuhi takdir komunitasnya di Kalimantan. Mereka pun membangun komunitasnya kembali di tepian-tepian sungai. Selanjutnya, perkembangan suku Dayak mendapat pengaruh dari kebudayaan suku bangsa lain yang bermigrasi ke Kalimantan.
Tidak ketinggalan pula pengaruh penyebaran
agama Kristen dari para misionaris Barat. Kelak misionaris Kristenlah yang mengubah kepercayaan suku Dayak dari animism, dinamisme menjadi Kristen yang monotheisme. Kini suku Dayak sebagian besar menjadi penganut Kristen dan percaya pada Al-Kitab, sementara lainnya mendapat pengaruh dari agama Islam, teristimewa pada masa kejayaan kerajaan Demak. Kecuali itu, suku Dayak juga mendapat pengaruh dari kebudayaan Tionghoa. Interaksi dengan 16
etnis Tionghoa lebih terasa dan tampak pengaruhnya dalam berbagai ranah kehidupan, terutama ranah ‘seni’ dalam pengertian yang luas (ukir, musik, tenun, dan anyaman tikar serta peralatanperalatan hidup lainnya). Besarnya pengaruh dari suku-suku yang bermigrasi, persaingan hidup antar suku dalam suatu komunitas, dan upaya mempertahankan adat-istiadat leluhur membuat suku Dayak memilih pindah dari tepi-tepi sungai dan mengembara masuk ke pedalaman pulau Kalimantan hingga menyebar ke seluruh pulau Kalimantan (hingga ke wilayah Malaysia). Pada umumnya sub-sub suku Dayak memilih daerah pegunungan, hutan rimba yang dekat dengan aliran sungai atau di bagian paling hulu sungai besar sebagai wilayah komunitas barunya. Kini suku Dayak tersebar dan terpencar-pencar menjadi sub-sub etnis tersendiri. Menurut catatan antropolog J.U. Lontaan, suku Dayak terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil.17 Dalam hal adat-istiadat dan kerangka religiusnya, masing-masing suku dan subsub suku memuat kemiripan secara implisit dan eksplisit. Gambaran yang dominan dari kemiripannya adalah pola kehidupan yang menunjukkan kedekatan dengan alam dan mengandalkan alam. Bagi suku Dayak, alam adalah ‘rumah’ dan sekaligus sumber penghidupan.
3.3. Pengertian Suku Dayak
Istilah Dayak atau Daya’ digunakan oleh penduduk pesisir Borneo untuk menyebut atau menunjuk pada komunitas atau kelompok manusia yang pada umumnya menetap di bagian pedalaman pulau Kalimantan: meliputi Brunei, Malaysia (Sabah dan Sarawak), dan Indonesia (Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Utara). Pada dasarnya, budaya hidup suku Dayak tergolong ‘maritim’ atau bahari sebab rata-rata komunitasnya didirikan di bagian hulu sungai. Bahkan nama-nama masing-masing sub suku Dayak bertaut erat dengan nama sungai yang menjadi faktor penting bagi kehidupan komunitasnya sehari-hari. Sebelum masa pembangunan infrastruktur berupa jalan raya, suku Dayak mengandalkan sungai-sungai besar sebagai sarana transportasi. Tidaklah mengherankan kalau pada masa dahulu berbagai jenis perahu dan motor air menjadi andalan suku Dayak dan suku-suku lainnya sebagai sarana transportasi antar-desa atau antar-kota. Kini hanya sebagian kecil suku Dayak yang masih menggunakan sarana transportasi tradisional tersebut. 17
J.U. Lontaan, 1975. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiada Kalimantan Barat, hal. 48-64.
17
3.4. Sub Sub Suku dan Bahasa Dayak
Dayak adalah suku asli Pulau Kalimantan, lebih tepat lagi adalah yang memiliki budaya terestrial (daratan, bukan budaya maritim). Sebutan ini adalah sebutan umum karena suku Dayak sesungguhnya masih terbagi lagi kedalam beberapa sub suku dan bahasa. Di daerah Kalimantan Barat, orang Dayak bisa di jumpai di semua kota kabupaten hingga ke pelosok atau pedalaman. Hasil penelitian Institut Dayakologi mencatat 151 sub suku Dayak Dayak di Kalimantan Barat. Berikut adalah nama-nama sub suku Dayak menurut hasil penelitian Institut Dayakologi.18
1
Angan
39
Jawatn
77
Mayan
115 Seberuang
2
Badat
40
Joka’
78
Mayau
116 Sekajang
3
Bakati’
41
Kalis
79
Melahoi
117 Sekapat
4
Balantiatn
42
Kanayatn
80
Mentebah
118 Sekubang
5
Banyadu’
43
Kancinkng
81
Menterap Kabut
119 Sekujam
6
Banyke
44
Kantu
82
Menterap Sekado
120 Selawe
7
Barai
45
Kayaan
83
Mentuka
121 Selibong
8
Batu Entawa
46
Kayan
84
Mualang
122 Senagkatn
9
Baya
47
Kayong
85
Muara
123 Sengkunang
10 Beginci
48
Kebahan
86
Madu’
124 Seritok
11 Behe
49
Keluas
87
Nahaya’
125 Sikukng
12 Benawas
50
Kendawangan
88
Nanga
126 Silatn Muntak
13 Bi Somu
51
Keneles
89
NNyadupm
127 Simpankg
14 Bihak
52
Keninjal
90
Oruung Da’an
128 Sisang
15 Bubung
53
Kenyilu
91
Panu
129 Sontas
16 Bugau
54
Kapuas
92
Pangin
130 Suaid
17 Buket
55
Kerabat
93
Pantu
131 Sum
18 Bukit-
56
Keramay
94
Papak
132 Suru’
18
https://institutdayakologi.wordpress.com/2011/04/05/suku-dayak/
18
Talaga 19 Butok
57
Ketior
95
Paus
133 Suruh
20 Dait
58
Ketungau
96
Pawatn
134 Suti
21 Daro
59
Ketungau
97
Paya’
135 Taba
Sesae’ 22 Desa
60
Kodatn
98
Pasaguan
136 Tadietn
23 De’sa
61
Koman
99
Pompakng
137 Tamambalo
24 Dosatn
62
Konyeh
100
Pruna’
138 Taman
25 Ella
63
Kowotn
101
Pruwun
139 Taman Sekado
26 Ensilat
64
Krio
102
Punan
140 Tameng
27 Entabang
65
Kubitn
103
Punti
141 Tawaeg
28 Gerai
66
Lamantawa
104
Randu’
142 Tayap
29 Gerunggang
67
Lau’
105
Rasa
143 Tebang
30 Golik
68
Laur
106
Rantawan
144 Tebidah
31 Goneh
69
Laya
107
Rembay
145 Tengon
32 Gun
70
Labang
108
Salako
146 Tinying
33 Hibun
71
Lemandau
109
Sami
147 Tobak
34 Iban
72
Loboy
110
Sane
148 Tola’
35 Inggar Silat
73
Limbai
111
Sangku’
149 Ulu Sekadau
36 Jagoi
74
Linoh
112
Sapatoi
150 Undau
37 Jalai
75
Mahap
113
Sawi
151 Uud Danum
38 Jangkang
76
Mali
114
Sebaru’
Keterangan mengenai jumlah sub-sub suku Dayak rupanya bervariasi. Versi keterangan yang menunjukkan perbedaan dalam jumlah sub-sub Suku Dayak dapat ditemui pada karya Tjilik Riwut yang berjudul Kalimantan Membangun.19 Perbedaan lainnya juga dapat dijumpai dalam karya J.U. Lontaan.
19
Tjilik Riwut 1979. KALIMANTAN MEMBANGUN. PT. Jakarta Agung Offset, hal. 211-241.
19
3.5. Masyarakat Adat dan Hutan Adat
Berbicara tentang Masyarakat Adat dan Hutan Adat adalah berbicara tentang eksistensi komunitas antropologis beserta hak-hak tradisionalnya yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Eksistensi Masyarakat Adat penting demi menjamin keberlanjutan eksistensi Hutan Adat. Tanpa Masyarakat Adat dapat dipastikan bahwa Hutan Adat akan dieksploitasi tanpa batas hingga punah.
3.5.1. Masyarakat Adat
Ada anggapan bahwa istilah masyarakat adat atau masyarakat hukum adat atau masyarakat tradisional merupakan hasil terjemahan langsung dari the indigenous people. Namun dugaan demikian tidak sepenuhnya diterima. Sebab menurut Survival International, seperti dilansir oleh Irene Mariane, terdapat perbedaan antara masyarakat asli (indigenous people) dengan suku asli (tribal people). Masyarakat asli (indigenous people), yang acap kali disebut masyarakat adat, adalah seluruh penduduk asli suatu negara, sedangkan suku asli adalah bagian dari masyarakat asli yang masih hidup dalam suatu masyarakat kesukuan yang mempunyai budaya dan pola hidup yang berbeda dari yang lainnya.20 Pada tahun 1993 Jaringan Pembela Hak-Hak Masyarakat Adat (JAPAHAMA), merumuskan pengertian masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, dan wilayah sendiri. Pengertian masyarakat adat seperti yang pahami JAPAHAMA ini kemudian diterima secara resmi dan diakui oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada kongres I tahun 1999. Sementara menurut Konvensi International Labour Organization (ILO) 169 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat adat di Negara-Negara Merdeka, yang dimaksud dengan masyarakat adat adalah masyarakat yang berdiam di negara-negara merdeka yang kondisi sosial, kultural, dan ekonominya berbeda dari kelompok masyarakat lain di negara tersebut, dan
20
Irene Mariane, 2014. Kearifan Lokal Pengelolaan Hutan Adat, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, hal. 81-82.
20
statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan pengaturan khusus.21 Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, masyarakat adat adalah suatu komunitas antropologis yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar sebagai berasal dari satu nenek moyang yang sama, dan mempunyai identitas dan budaya yang khas yang ingin mereka pelihara dan lestarikan untuk kurun sejarah selanjutnya, serta tidak mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan sistem politik yang ada.22 Dalam penelitian ini, istilah Masyarakat Adat Dayak dipahami sebagai suatu masyarakat yang masih menghayati dan menerapkan tradisi adat Dayak tertentu (hukum adatnya) dalam praksis kehidupan sehari-hari di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Tradisi adat yang dimaksudkan adalah harapan-harapan masyarakat yang menjadi kompas atau pedoman kehidupan bermasyarakat, yang telah sekian lama diwariskan secara turun temurun melalui proses pembatinan yang panjang sehingga menjadi identitas masing-masing anggota komunitas dan secara otomatis menuntun mereka dalam bersikap, bertutur kata, dan berperilaku. Harapanharapan yang dimaksudkan dapat berupa perintah-perintah, larangan-larangan, anjuran-anjuran, yang mesti diikuti atau dihindari dalam perilaku hidup sehari-hari, baik terhadap hutan maupun terhadap sesama. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, Masyarakat Adat Dayak adalah masyarakat yang sejak semula memiliki dan menerapkan tradisi adatnya (hukum adat) untuk menjaga keberlanjutan kelestarian alam dan keharmonisan relasinya dengan sesama anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Eksistensi Masyarakat Adat di wilayah nusantara ini sebenarnya sudah ada jauh sebelum jaman kolonialisme. Itulah sebabnya mengapa pemerintah kolonial secara otomatis memberikan pengakuan terhadap hukum adat (adatrechts gemeenschap). Sayangnya, setelah Indonesia merdeka, Pemerintah Indonesia tidak secara otomatis memberikan pengakuan terhadap hukum adat.23 21
Ibid.,hal. 82-83. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2006. Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, Himpunan Dokumen Peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Sedunia, 9 Agustus 2006. Jakarta, Komnas HAM Press, hal. 9. 23 Baik dalam pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 maupun berbagai undang-undang organiknya terdapat berbagai klausula dan syarat-syarat bagi pengakuan eksistensi hukum adat. Lib. Ibid., hal. 15. 22
21
Di Indonesia, menurut Peneliti adat dari Belanda, Van Vollenhoven, ada 19 wilayah masyarakat adat, yakni: (1) Aceh, (2) Gayo, Alas, Batak dan Nias, (3) Minangkabau, Mentawai, (4) Sumatera Selatan, Enggano, (5) Melayu, (6) Bangka, Belitung, (7) Kalimantan, (8) Minahasa, (9) Gorontalo, (10) Toraja, (11) Sulawesi Selatan, (12) Kepulauan Ternate, (13) Maluku, (14) Irian Barat, (15) Kepulauan Timor, (16) Bali, Lombok, (17) Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, (18) Solo, Yogyakarta, (19) Jawa Barat, Jakarta.24 Kesembilan wilayah masyarakat adat itu tentu memiliki perbedaan dan keragamannya masing-masing mengenai tradisi adat. Selain itu, di daerah-daerah yang diyakini sebagai wilayah masyarakat adat tersebut acap kali juga diwarnai oleh perbedaan adat (keragaman adat) bahkan untuk tingkat kampung, desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi. Artinya, dalam praksis kehidupan masyarakat Indonesia, hasil penelitian Van Vollenhoven itu masih dapat diuraikan hingga tingkat tertentu dalam cakupan yang lebih kecil, misalnya, pada tingkat kampung, desa, kecamatan, dan kabupaten di wilayah tertentu dan dengan perspektif tertentu pula perihal masyarakat adat.
3.5.2. Hutan Adat
Apakah yang kita maksudkan dengan hutan adat? Untuk memahami istilah hutan adat, kita merujuk pada rumusan Undang–Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (ayat 1) bahwa, hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Sementara menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 (ayat 3) istilah hutan adat dimengerti sebagai "hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat".25 Mengenai penguasaan Hutan Adat oleh negara ditegaskan dalam Undang-Undang Kehutanan Nomor. 41 tahun 1999 (ayat 2) sebagai berikut: penguasaan hutan adat oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
24
Lih. http://herukuswanto.dosen.narotama.ac.id/files/2011/05/Modul-Hukum-Adat-5-Lingkaran-Hukum-Adat.pdf (diunduh tanggal 16 November 2016). 25 Penegasan hutan adat sebagai hutan Negara memang melegitimasi kekuasaan Negara atas hutan adat. Penguasaan yang dimaksudkan itu bias berupa hak dan wewenang Negara secara langsung atau tidak langsung untuk mengelola dan memanfaatkan hutan adat untuk mendukung pembangunan ekonomi Negara. Dalam perspektif itu, eksistensi perkebunan kelapa sawit sebetulnya bertautan dengan wewenang Negara tadi.
22
Menyangkut pemahaman tentang hutan adat ini, terutama terkait dengan hak-hak komunal masyarakat adat atas hutan adat, Menteri Agraria/Kepala Bidang Pertanahan Nasional telah mengeluarkan Peraturan yang bersifat teknis tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yakni: Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999. Dalam peraturan tersebut (ayat 1 dan ayat 2) dijelaskan pengertian Hak Ulayat dan Tanah Ulayat sebagai berikut: 1. Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. 2. Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Dalam konteks penelitian ini, pengertian Hutan Adat tetap merujuk pada pengertian yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Meskipun demikian, pengertian Hutan Adat dapat diinterpretasi juga secara berbeda terkait persepsi masing-masing daerah. Dalam konteks penelitian ini, misalnya, hutan adat dipahami sebagai hutan yang dimiliki oleh dan berada dalam wilayah komunitas Masyarakat Adat Dayak di Kabupaten Sanggau yang mencakup, antara lain: Tembawang (wilyah yang ditanami macam-macam pohon buah), tawang (hutan yang berisi aneka ragam jenis pohon tapi tanahnya tidak diladangi karena tidak subur), rimba (hutan dengan aneka macam jenis pohon besar dan kecil yang bisa jadi masih berada di sekitar areal perladangan masyarakat dan belum pernah diladangi karena alasan-alasan keyakinan tradisional), domun (lahan perladangan suatu keluarga besar suku Dayak, yang sudah pernah diladangi tapi tidak ditanami pohon-pohon tertentu dan dibiarkan begitu saja sampai puluhan tahun untuk kemudian diladangi kembali oleh salah satu anggota keluarga besar tersebut sebagai ahli waris yang sah dan dipercayai secara kekeluargaan) dan jamih (bekas ladang yang belum ditanam atau hanya ditanam beberapa macam-macam pohon seperti karet, coklat, macam-macam pohon buah seperti dianth/durian, rosat/langsat, ruko/duku, tampoi, gurap, ramai/rambai, boliti’/rambutan, toncu, kitub, kawai, koroyot (sejenis durian berduri panjang yg hanya ada di Kalimantan), tengkawang, tobudak/cempedak, kodupai (sejenis rambutan rimba),
23
kolampai, dan lain-lain sekadar untuk menunjukkan bahwa lahan tersebut sudah ada pemiliknya dan biasanya juga diladangi kembali dalam periode-periode tertentu). Perspektif atau pengertian hutan adat tentu bukanlah perspektif yang baku dan kaku. Setiap perspektif selalu bercorak diskursif sehingga selalu ada kemungkinan untuk didiskusikan guna menentukan batasan-batasan hutan adat. Artinya, mengenai apa yang menjadi tolok ukur bagi batasan suatu hutan disebut sebagai hutan adat? Apakah kategori hutan adat itu terkait dengan klaim suatu masyarakat tertentu yang berdiam dan bermukim di sekitar hutan tersebut? Tampaknya, kita masih dapat menderetkan pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai eksistensi hutan adat (dalam konteks masyarakat adat).
Meskipun demikian, apa yang dimaksudkan
dengan hutan adat tetaplah bersentuhan dengan masyarakat adat dan suku asli tertentu sehingga perlu kita dalami mengenai bagaimana cara pandang masyarakat adat tersebut terhadap hutan. Dalam penelitian ini apa yang dimaksudkan dengan hutan adat tentu terkait dengan perspektif masyarakat adat Dayak di Kabupaten Sanggau terhadap hutan. Untuk menyasar ke arah itu kita perlu kiranya memahami konteks demografinya terlebih dahulu.
3.6. Demografi Masyarakat Adat Dayak di Kabupaten Sanggau
3.6.1. Letak Wilayah
Berikut adalah deskripsi mengenai Kabupaten Sanggau sebagai salah satu Daerah Tingkat II,26 yang wilayahnya terletak di tengah-tengah dan berada pada bagian utara Provinsi Kalimantan Barat. Secara geografis, Kabupaten Sanggau terletak di antara 1°LU 0,6°LS & 109,8° - 111,3° BT. Berdasarkan letak geografis tersebut, batas–batas wilayah Kabupaten Sanggau dapat dideskripsi sebagai berikut:
Sebelah Utara:
Serawak (Malaysia Timur) dan Kabupaten Bengkayang
Sebelah selatan: 26
Kabupaten Ketapang
http://setda.sanggau.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=37&Itemid=66
24
Sebelah timur
Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Sintang
Sebelah barat
Kabupaten Landak
Berdasarkan letak geografis di atas, Kabupaten Sanggau memiliki 7 (tujuh) posisi strategis yaitu : 1. Berada di sentrum (tengah-tengah) Propinsi Kalimantan Barat. 2. Berada pada jalur lalu lintas sektor timur menuju Kabupaten Sekadau, Melawi, Sintang dan Kapuas Hulu. 3. Dilintasi oleh jalur Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia. 4. Berada pada jalur Trans Kalimantan (Kalteng, Kalsel, Kaltim). 5. Terletak pada jalur Trans Borneo (Sarawak dan Brunei Darussalam). 6. Berbatasan langsung dengan negara bagian Sarawak (Malaysia Timur). 7. Memiliki PPLB Entikong yang direncanakan sebagai pelabuhan darat resmi. 3.6.2. Luas Wilayah Kabupaten Sanggau.27
Mengenai luas wilayahnya, Kabupaten Sanggau diperkirakan memiliki luas 12.857,70 Km2 atau 12,47% dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Wilayah tersebut didiami oleh masyarakat dengan tingkat kepadatan penduduk yang rata-rata 32 jiwa per km2. Wilayah administratif pemerintahannya terdiri dari 15 (lima belas) kecamatan, 163 desa/kelurahan dan 760 dusun. Dari 15 (lima belas) kecamatan di Kabupaten Sanggau, kecamatan terluas adalah Kecamatan Jangkang dengan luas 1.589,20 Km2 sedangkan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Balai dengan luas 395, 60 Km2.
No
Kecamatan
Ibu Kota Kecamatan
Luas
(1)
(2)
(3)
(4)
27
Sumber : Kabupaten Sanggau Dalam Angka, BPS Kab. Sanggau, 2010. Lih: http://setda.sanggau.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=37&Itemid=66 (diunduh tanggal. 12 Feb 2016).
25
1
Toba
Teraju
1.127,20
2
Meliau
Meliau
1.495,70
3
Kapuas
Sanggau
1.382,00
4
Mukok
Kedukul
501,00
5
Jangkang
Balai Sebut
1.589,20
6
Bonti
Bonti
1.121,80
7
Parindu
Pusat Damai
8
Tayan Hilir
Tayan
9
Balai
Batang Tarang
395,60
10
Tayan Hulu
Sosok
719,20
11
Kembayan
Kembayan
610,80
12
Beduai
Beduai
435,00
13
Noyan
Noyan
487,90
14
Sekayam
Balai Karangan
841,01
15
Entikong
Entikong
506,89
Jumlah
593,90 1.050,50
12.857,70
3.6.3. Iklim
Wilayah Kabupaten Sanggau pada umumnya beriklim tropis. Sebagai daerah tropis, curah hujan di wilayah tersebut relatif tinggi pada bulan Januari dan Desember (rata-rata 12 hari turun hujan). Sedangkan hari hujan terendah terjadi pada bulan Juli dan Agustus yaitu selama 5 (lima) hari. Rata-rata tinggi curah hujan terbesar adalah 196 mm, yang terjadi pada bulan Januari. Sedangkan curah hujan terendah adalah 54 mm, yang terjadi pada bulan Juli. Deskripsi iklim ini tentu tidaklah kaku sebab dimungkinkan setiap saat terjadi perubahan iklim karena musim pancaroba sekarang ini membuatnya tidak menentu dan terkadang cukup sulit diprediksi.
26
3.7. Topografi Kabupaten Sanggau
Secara topografis, wilayah Kabupaten Sanggau pada umumnya merupakan daerah dataran tinggi yang berbukit dan berawa-rawa yang dialiri oleh beberapa sungai diantaranya: Sungai Kapuas, Sungai Sekayam, Sungai Mengkiang, Sungai Kambing dan Sungai Tayan. Sungai Kapuas merupakan sungai terpanjang di Indonesia yang mengalir dari Kabupaten Kapuas Hulu, melalui Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau dan bermuara di Kabupaten Pontianak. Sedangkan sungai-sungai kecil lainnya, yang pada umumnya bermuara ke sungai Kapuas, telah sejak dulu menjadi medan transportasi yang menghubungkan daerah yang satu dengan yang lain. Kini sungai-sungai tersebut memang masih digunakan sebagai medan transportasi untuk segelintir warga masyarakat yang berada dan menetap di sekitar bantaran sungai. Sementara sebagian besar masyarakat lainnya sudah mengandalkan jalur transportasi darat dengan berbagai jenis kendaraan roda dua dan roda empat dan kendaraan umum.
3.7.1. Jenis Tanah dan Keadaan Lapisan Tanah
Menurut jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Sanggau, sebagian besar adalah jenis podsolik merah kuning batuan dan padat yang hampir merata di seluruh kecamatan, dengan luas mencapai sekitar 576.910 hektar (44,80%). Sedangkan latosol merupakan jenis tanah terkecil yang terdapat di Kabupaten Sanggau dengan luas hanya 19.375 hektar (1,06%) yang hanya terdapat pada Kecamatan Toba dan Meliau.
3.7.2. Penggunaan Tanah pada Umumnya
Masyarakat Adat Dayak yang mendiami daerah Kabupaten Sanggau pada umumnya mengolah atau mengelola tanah sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Pola pertanian yang digelutinya pada umumnya berupa ladang berpindah (ladang tadah hujan), dan kini sudah berkembang ke persawahan. Sementara perkebunan yang ditekuni sejak dulu adalah perkebunan karet, lada, dan coklat (kakau). Tapi sekarang, cukup banyak warga yang mulai menekuni perkebunan kelapa sawit dan bahkan mengalihfungsikan lahan perkebunannya yang sebelumnya ditanam karet, lada, coklat menjadi perkebunan kelapa sawit milik keluarganya. 27
3.7.3. Sistem Mata Pencaharian
Mata pencaharian orang Dayak selalu ada hubungannya dengan hutan, kecuali masyarakat Dayak yang tinggal di daerah perkotaan. Masyarakat Dayak yang tinggal di pedesaan pada umumnya bertani (sawah-ladang, berkebun), meramu hasil hutan dan berburu. Singkatnya, sebagian besar kebutuhan hidup suku Dayak pada jaman dahulu berasal dari hutan. Mereka mencari hasil-hasil hutan (kayu, buah-buahan, rotan, menorah karet). Dalam peternakan, suku Dayak pada umumnya memelihara babi, ayam, anjing, dan beberapa di antaranya juga beternak sapi, kambing, dan kerbau.28 Pencaharian lainnya, yang dipandang menunjang perekonomian keluarga, antara lain, kerajinan tangan berupa anyaman tikar, perhiasan manik-manik, ukirukiran dengan bahan dasar kayu, menempa besi untuk membuat parang, tombak, dan Mandau, mencari buah tengkawang, buah durian pada musim buah-buahan. Untuk urusan mata pencaharian ini, sebagain besar bersandar pada hasil hutan. Itulah sebabnya keberadaan hutan sangat penting bagi kelangsungan hidup orang Dayak.
3.8. Pandangan Suku Dayak pada Umumnya Terhadap Hutan
Bagi suku Dayak pada umumnya, khususnya yang tinggal di daerah pedesaan, memandang hutan sebagai hak ulayat yang diwariskan secara turun-temurun dari para leluhur. Keyakinan akan hutan sebagai warisan leluhur memuat makna bahwa eksistensi hutan harus dijaga dan dipelihara demi ketaatan pada adat-istiadat, sikap hormat kepada para leluhur, dan jaminan masa depan bagi segenap generasi suku Dayak di masa yang akan datang. Salah satu cara untuk menjaga warisan leluhur yang amat berharga itu adalah dengan merawat dan mewarisinya secara turun-temurun kepada generasi suku Dayak. Fungsi-fungsi hutan adat sebagai hak ulayat, antara lain adalah:
28
Tjilik Riwut, 1979. KALIMANTAN MEMBANGUN. PT. Jakarta Agung Offset, hal. 191.
28
3.8.1. Hutan Sebagai Ikatan Kekerabatan Kesukuan
Suku Dayak pada umumnya sangat dekat dengan alam (hutan). Kehidupan mereka yang bersandar pada hasil hutan dengan sendirinya menginspirasikan para leluhur untuk memelihara hutan dan menanam jenis pohon-pohon yang menghasilkan buah untuk dikonsumsi. Hutan yang terdiri dari pohon-pohon buah tersebut dinamakan “tembawang”. Dalam tradisi suku Dayak pada umumnya, “tembawang” atau hutan pohon-pohon buah adalah lambang eksistensi komunitas kesukuan yang juga serentak menjadi ikatan persaudaraan di antara mereka.29 Dahulu “tembawang” menjadi salah satu titik berangkat atau awal untuk bercerita tentang keluarga dan silsilah keluarga serta kekerabatan dalam keluarga besar. Pada musim buah tiba, “tembawang” bagaikan “ibu kandung” yang seakan-akan memanggil kembali anak-anaknya untuk berkumpul kembali dan makan bersama. Bagi suku Dayak pada jaman dahulu, eksistensi pohon-pohon buah tersebut dan masa-masa panen bersama merupakan cara alamiah untuk “menyambung rasa” dan memelihara kebersatuan dan kekompakan suatu klan atau kekerabatan. Ia menjadi penanda bahwa eksistensi kesukuan dan kekerabatan masih hidup dan bersatu. Dalam perspektif itu, “tembawang” sesungguhnya lebih merupakan simbol keutuhan komunitas, persatuan dan ikatan kekeluargaan ketimbang sekadar hutan pohon-pohon buah. Dalam Hutan “tembawang” dapat kita temukan berbagai jenis pohon buah seperti durian, kawai (sejenis durian berduri tidak terlalu tajam), keroyot (sejenis durian berduri panjang), asam (paoh, moang, lomantan), tampoi, gurap, toncu, posak, ramai/rambai, kodupai, kolampai, toncu, ucongkh, ntowa/mentawa, langsat, duku/ruko, sikup/manggis, dll. Kini eksistensi atau keberadaan “tembawang” mulai punah. Salah satu alasan internalnya adalah longgarnya rasa kebersatuan dalam kesukuan atau kekeluargaan akibat egoisme yang melanda pribadi-pribadi di dalam komunitas kesukuan. Kini masyarakat Dayak pada umumnya berubah cara pandang terhadap setiap jenis pohon, entah pohon buah atau pohon lainnya. Iklim pembanguna dalam pengertian yang luas telah menggeser dan mengaburkan cara pandang mereka tentang hukum adat dan hutan adat, termasuk hutan “tembawang”. Yang amat terasa 29
Pohon buah yang biasanya dijadikan ikatan kekerabatan adalah durian. Silsilah keluarga atau kekerabatan bisa ditelusuri melalui keberadaan pohon durian serta uraian para orang tua yang menceritakan secara turun-temurun mengenai ikatan kekeluargaan berdasarkan pohon durian tersebut. Kini sebagian besar pohon durian yang menjadi pengikat kekerabatan ini ditebang oleh generasi yang kurang atau tidak bertanggungjawab. Rupanya krisis kayu akibat perambahan hutan mengubah pola pikir dan perilaku sebagian besar generasi muda suku Dayak di Kabupaten Sanggau terhadap pohon durian sebagai pohon kekerabatan.
29
kini dan fenomena yang semakin kentara dalah setiap jenis pohon besar di hutan rimba dan hutan “tembawang” menjadi sasaran kegiatan ekonomi yang menonjolkan egoisme dan pragmatisme masing-masing pribadi. Cerita bahwa suku Dayak hidup sederhana dan polos kini telah berlalu. Cerita dan fenomena baru adalah mereka juga telah dilanda oleh pengaruh konsumerisme dan pragmatisme kehidupan. Akibatnya, penebangan liar di hutan-hutan yang dikultuskan seperti “tembawang” tidak terelakkan dan terus berlanjut hingga punah. Sepertinya hukum adat dan para pemuka adat tidak berdaya mengembalikan kewibawaan komunitas kesukuan seperti sedia kala. Dewasa ini, generasi muda suku Dayak pada umumnya tidak mengerti adat-istiadat atau tidak mau tahu tentang adanya adat-istiadat yang menjadi kiblat untuk mengatur tutur kata, sikap dan perilaku baik terhadap sesama maupun terhadap hutan dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena ini menjadi ancaman serius bagi eksistensi warisan-warisan para leluhur yang bernilai seperti “tembawang”. Padahal keberadaan hutan “tembawang” sungguh berarti terkait dengan keberadaan hukum adat juga. Memang “tembawang” bukan satu-satunya untuk ikatan kekeluargaan atau pertemuan keluarga. Pertemuan keluarga besar juga dapat terjadi pada musim upacara adat seperti gawai, pesta pernikahan, dan penegakan adat lainnya. Tapi, momentum atau kesempatan untuk berkumpul dengan anggota kerabat atau keluarga besar adalah pada saat musim buah melalui acara panen buah bersama-sama. Misalnya, panen buah durian dari pohon-pohon durian milik keluarga besar. Kini kegiatan ini hampir sulit dilakukan lagi karena sebagian besar pohon durian warisan para leluhur yang diharapkan menjadi pengingat mereka satu sama lain dan sekaligus pengikat keluarga besar itu telah ditebang karena alasan ekonomi yang bercorak egoistik dan sama sekali tidak sebanding nilainya dengan kekeluargaan. Satu persatu pohon-pohon buah yang usianya mencapai ratusan tahun ditebang hanya karena egoisme dan pragmatisme salah satu anggota komunitas yang terjerat oleh pengaruh konsumerisme kehidupan. Konsumerisme atau pragmatisme, entahlah, apa pun alasan penebangan pohon-pohon buah milik keluarga besar sungguh sulit diterima dan dipahami oleh akal sehat.
3.8.2. Hutan Sebagai Sumber Kehidupan
Suku Dayak pada jaman dahulu, dan sebagian besar pada jaman sekarang umumnya mengandalkan hasil hutan untuk menopang kehidupannya. Hutan adalah sumber kehidupan 30
mereka secara turun-temurun. Dalam konteks hutan sebagai sumber kehidupan, empat habitual atau kebiasaan tradisional suku Dayak yang secara turun-temurun diwariskan kepada generasigenerasi suku Dayak, yakni: Pertama hutan sebagai areal perladangan. Pada umumnya suku Dayak adalah peladang berpindah-pindah. Berbeda dari suku Dayak jaman sekarang, suku Dayak jaman dahulu membuka lahan hutan untuk berladang. Mereka menanam padi, jagung, ubi (singkong) dan berbagai jenis sayur-mayur di ladang. Lahan yang dibuka untuk areal perladangan secara adat akan menjadi hak pembuka pemula dan kemudian dapat diwariskan secara turun-temurun kepada anak cucunya. Begitulah awal mula hak ulayat atas lahan perladangan. Image bahwa suku Dayak merusak hutan karena sistem pengelolaannya yang tradisional hanyalah kesan yang tanpa pengertian mengenai kenyataan yang sebenarnya. Pada kenyataannya, masing-masing keluarga dalam suku Dayak tidak sembarangan mebuka lahan untuk ladangnya. 30 Mereka berladang di lahan yang diwarisi para leluhurnya. Pada umumnya, masing-masing keluarga Dayak memiliki lebih dari satu lahan perladangan yang merupakan hak ulayat keluarganya atau sub sukunya, yang dapat diladangi setiap periode tertentu. Tentu tidak semua areal hutan cocok untuk dijadikan lahan ladang. Pada umumnya, lahan perladangan adalah bekas ladang sebelumnya. Kedua, hutan sebagai areal perburuan. Suku Dayak memang cukup terkenal dengan kebiasaan berburu binatang seperti babi hutan, rusa, kijang, kancil, dll. Pada umumnya, binatangbinatang yang hidup di rimba diburu untuk dikonsumsi atau untuk dijadikan lauk-pauk. Perburuan dilakukan di siang dan malam hari dengan alat-alat tradisional dan dibantu oleh anjing-anjing pelacak dan pemburu yang terlatih untuk berburu. Alat-alat yang digunakan untuk berburu juga tergolong tradisional seperti tombak, panah, dan bedil (senapang lantak). Kecuali itu, mereka juga terkenal pandai membuat jerat dan belantik untuk menangkap berbagai jenis binatang seperti babi hutan, rusa, kijang, dan kancil, bahkan tupai, musang, dll. Suku Dayak 30
Setiap areal perladangan hanya baik dan dapat diladangi kembali setelah 10 tahun berlalu dari musim ladang sebelumnya. Artinya, meskipun suku Dayak dikategorikan sebagai suku peladang berpindah-pindah, tapi mereka tidak selalu membuka hutan perawan atau rimba untuk areal perladangannya. Sebab, mereka pada umumnya mewarisi lokasi-lokasi atau areal-areal perladangan para leluhurnya yang disebut domun. Domun-domun itulah yang dijadikan areal perladangan secara rotatif/bergantian. Dalam hal perladangan, rentang waktu pengolahan lahan ladang yang baik untuk diolah kembali adalah minimal 10 tahun dari masa setelah lahan tersebut diladangi. Satu areal perladangan luasnya tidaklah sama. Ada areal perladangan yang luasnya dapat dibagi menjadi beberapa lapak ladang, yang dapat dibuka atau diladangi secara bergantian di setiap tahun. Keluarga yang memiliki lebih dari satu areal perladangan tentu dapat memiliki lebih dari satu ladang di setiap tahun. Namun, yang perlu dan penting dicatat di sini adalah bahwa suku Dayak pada umumnya berladang di lahan-lahan yang diwarisi oleh para leluhurnya dan tidak selalu membuka hutan rimba perawan.
31
secara turun temurun dikenal sebagai suku “pemburu” selain juga sebagai peramu. Mereka mengandalkan hasil-hasil hutan sebagai penunjang kehidupan (madu dari lebah, ikan dari sungai, memburu binatang liar).31 Ketiga, hutan sebagai “apotek kehidupan”. Orang Dayak pada jaman dahulu mengandalkan jenis-jenis tumbuhan tertentu untuk bahan obat. Bila salah satu anggota komunitas menderita sakit, apa pun jenis penyakitnya, maka para tetua akan mencari macammacam daun, akar tumbuhan dan jenis-jenis jamur untuk diracik menjadi obat, yang penggunaannya bisa dengan cara dioles dari luar atau direbus untuk diminum air sarinya. Pengobatan tradisional ini sampai hari ini masih berlanjut. Hanya saja di daerah-daerah tertentu dipandang ketinggalan jaman karena mereka kini lebih percaya pada “obat pabrik” yang dijual di toko. Ada juga daerah tertentu yang tidak lagi bersandar pada obat tradisional karena tidak ada areal hutan lagi yang menyediakan jenis-jenis tanaman obat tradisional sebab semuanya sudah dialih-fungsikan menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Kini suku Dayak semakin sulit mencari jenis-jenis obat tradisional setelah hutan adat dan hutan rimba dikelola secara tanpa kendali. Punahnya beribu-ribu jenis tanaman dan tumbuhan alami serta segenap maklhuk hidup membuat kearifan lokal dalam pengobatan tradisional terancam dilupakan dan suatu saat pasti turut punah juga. Keempat, hutan sebagai areal untuk “meramu”. Hutan Kalimantan terdiri dari berbagai macam kayu, rotan, damar, dan getah. Masyarakat Dayak pada umumnya memanfaatkan hasil hutan untuk menunjang kehidupannya. Menurut Tjilik Riwut,32 beberapa hasil hutan yang sering diramu oleh suku Dayak, pada jaman dahulu, untuk dijadikan penunjang perekonomiannya adalah sebagai berikut:
a. Kayu Ulin (Kayu Besi). Kayu Ulin adalah salah satu jenis kayu terkuat dari Kalimantan. Pada jaman dahulu, kayu ini diolah dalam bentuk balok dalam berbagai jenis ukurannya dan atap sirap yang digunakan untuk keperluan perumahan (fondasi). Selain itu, produk kayu besi biasanya dikirim ke pulau Jawa baik untuk perumahan maupun untuk keperluan tiang telpon, tiang listrik atau
31 32
Irene Mariane, Ibid., hal. 188. Tjilik Riwut, op.cit., hal. 11-12.
32
keperluan meubel lainnya. Bahkan, balok-balok kayu besi juga dikirim ke luar negeri (diekspor). b. Kayu Damar
Ada berbagai jenis kayu yang digolongkan ke dalam kayu Damar, yakni: Kayu Lanan, Kayu Garunggang, Kayu Tampurau, Kayu Rangas, Kayu Meranti, Kayu Bangkirai, Kayu Rasak, Kayu Palepak, dan lain-lain. Pada umumnya jenis kayu yang tergolong ke dalam Kayu Damar ini digunakan sebagai bahan utama untuk rumah: untuk lantai, dinding, perabotan rumah, dan bahkan untuk bantalan rel kereta api. Perlu diketahui juga, bahwa jenis Kayu Meranti dan Bangkirai biasanya juga digunakan untuk pilar-pilar utama dalam pembuatan rumah suku Dayak.
c. Kayu Bangalan (Agathis)
Kayu Bangalan adalah jenis kayu yang dapat dijadikan bahan untuk membuat triplex, kertas, korek api dan lain-lain.
d. Rotan Rotan bagi sebagian besar sub suku Dayak adalah bahan utama membuat anyaman. Rotan dijual ke luar pulau atau bahkan diekspor ke luar negeri. Rotan terdiri dari berbagai macam jenis, yakni: rotan taman, rotan sigi, rotan irit, rotan achas, rotan semambu, rotan tantuwu, rotan lilin, rotan belatung, rotan bajungan, dan lain-lain. Beberapa dari jenis rotan ini dijadikan bahan untuk membuat kursi, alat-alat pembungkus, keranjang, dan lain-lain.
e. Lilin: Madu, jernang, kulit kayu dan lain-lain.
f. Bermacam-macam Damar Jenisnya damar mata kucing, damar pangkit, damar madang, damar batu, damar pilau, damar lentang, damar mamburep dan lain-lain.
33
g. Bermacam-macam getah Yang dimaksudkan dengan getah di sini adalah pohon yang menghasilkan cairan berupa getah. Di antara pohon getah adalah karet (rubber), panting (jelutung), katiau, Hangkang, getah nyatu dan lain-lain. 3.8.3. Hutan Sebagai “Tempat Sakral”
Alam yang didekati semata-mata dengan akal budi, misalnya, karena dipengaruhi oleh paradigma mekanistis-reduksionalistis, yang dipengaruhi oleh filsafat Rene Descartes dan Isaac Newton, tampak kering dan tidak akan membangkitkan kekaguman. Paradigma ilmu pengetahuan tentu memengaruhi perubahan pola pandangan manusia terhadap alam. Gagasan hutan atau daerah tertentu dari hutan sebagai tempat ‘sakral’ terdapat di berbagai daerah dan suku bangsa di seluruh dunia. Barangkali itulah yang menginspirasikan Rudolf Otto, seorang fenomenolog, meyakini hutan sebagai jejak Sang Ilahi. Keyakinan Otto itu dalam arti tertentu bisa saja mewakili dimensi spiritual para leluhur suku bangsa di dunia terkait dengan hutan. Keyakinan bahwa hutan itu sakral, suci, bernilai spiritual menunjukkan bahwa hutan atau alam sesungguhnya membangkitkan rasa kagum manusia oleh sebab ia memiliki pesona yang menimbulkan gejolak “tremendum et fascinosum” (maha dahsyat dan memesona). Pada suku Dayak jaman dahulu, areal hutan atau pohon tertentu dikultuskan sebagai ‘sakral’. Pandangan demikian biasanya terkait dengan suatu keyakinan bahwa ruh leluhur mereka ada di sana. Misalnya, pohon beringin yang dijadikan tempat penyimpanan ari-ari bayi pada masa dahulu diyakini sebagai pohon yang ‘sakral’ sebab di sanalah ruh setiap warga kampung berada. Pohon yang dijadikan penyimpanan ari-ari bayi disebut tomune. Pohon yang telah berfungsi sebagai atau dijadikan ‘tomune’ itu dihormati dan dipandang memiliki kekuatan magis, dikultuskan dan diyakini sebagai “rumah” bagi arwah atau ruh setiap manusia yang ariarinya disimpan di situ ketika ia meninggal dunia.
34
Kecuali ‘tomune’ pohon lainnya yang disakralkan adalah pohon yang dijadikan ‘sompunth’,33 yakni pohon yang dijadikan atau dipilih lebah sebagai tempat bersarang. Pada jaman dahulu, pohon ‘sompunth’ tidak dimonopoli atau dimiliki oleh satu keluarga, tapi dimiliki secara bersama-sama oleh warga satu kampung atau beberapa kampung. Biasanya bila saat panen madu lebah, setiap anggota keluarga kampung diundang untuk ikut besama-sama mengambil madu lebah atau bahkan warga beberapa kampung secara bersama-sama mengambil madu lebah. Madu yang telah terkumpul dibagi secara merata. Inilah salah satu bentuk kearifan lokal pada masa lalu. Sayangnya, keberadaan pohon ‘sompunth’ seperti diungkapkan oleh Bapak FX. Lonsen selaku pengurus Adat Dayak di daerah kecamatan Jangkang, kini pada umumnya sudah tidak ada.34 Punahnya pohon sompunth sebetulnya adalah suatu kerugian bagi suku Dayak di kecamatan Jangkang sebab pohon tersebut terkait dengan upaya pewarisan secara tradisional nilai-nilai kearifan lokal para leluhur seperti kekeluargaan, kebersamaan, dan kesediaan untuk saling berbagi. Semoga ada kesadaran bersama masyarakat adat Dayak untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal berupa pohon sompunth agar tetap terpelihara dan dihayati maknanya oleh generasi suku Dayak jaman sekarang di Kecamatan Jangkang.
33
Salah satu jenis pohon yang biasanya menjadi tempat lebah untuk bersarang adalah pohon tapangkh, yakni salah satu jenis pohon yang tinggi dan diameternya besar. Kini keberadaan pohon tersebut mulai langka. Pohon yang pada jaman dahulu kala tidak pernah ditebang karena memang dipandang tidak lazim dan dipandang serta diyakini ‘tabu’, ditebang kini mulai langka dan menjadi sasaran para penebang liar yang tidak lagi mengetahui, memahami dan mengindahkan tata cara kehidupan atau pandangan hidup tradisional yang diwarisi para leluhur suku Dayak. 34 Menurut Bapak FX. Lonsen, sebagai pengurus Adat di daerah Kecamatan Jangkang, Kabupaten Sanggau, keberadaan pohon sompunth di Kecamatan Jangkang pada umumnya sudah tidak ada lagi.
35
BAB IV DESKRIPSI PERUBAHAN POLA PIKIR MASYARAKAT ADAT DAYAK DI KABUPATEN SANGGAU TERHADAP HUTAN ADAT SEBAGAI AKIBAT PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
4.1. Pengantar
Pembangunan ekonomi melalui perkebunan kelapa sawit dalam batasan tertentu memang berdampak signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi beberapa keluarga suku Dayak. Beberapa warga masyarakat yang berdomisili di sekitar areal perkebunan kelapa sawit milik perusahaan perkebunan tertentu mengalami taraf kemajuan ekonomi. Pada umumnya mereka sudah mengalihkan mata pencahariannya dari pertanian yang menanam padi dan karet ke perkebunan yang menanam kelapa sawit. Akan tetapi, tidak semua warga yang menanam kelapa sawit atau bekerjasama dengan pihak perusahaan untuk membudidayakan kelapa sawit mengalami keberuntungan finansial dan pertumbuhan kesejahteraan ekonomi. Ada kalanya masyarakat yang sudah terlanjur menanam kelapa sawit mengalami ketidakpastian jaminan ekonomi. Misalnya, ada warga masyarakat yang karena kepolosannya tanpa berpikir panjang menyerahkan lahannya untuk dikelola oleh pihak perusahaan perkebunan dengan sistem bagi hasil. Pola pelibatan warga masyarakat untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan sistem bagi hasil ini selain menjadi alasan perluasan perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran dan mengancam luas hutan, juga merupakan awal dari konflik antara warga dengan pihak perkebunan kelapa sawit manakala pihak pengembang tidak menepati janjinya atau secara sepihak memutuskan pergantian pemilik sehingga aturan main juga bisa berubah setiap saat. Fenomena ini marak terjadi di daerah perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Berkaitan dengan penelitian ini, berikut kami paparkan hasil penelitian sesuai dengan data yang diperoleh di lapangan dan ditunjang oleh informasi dari narasumber yang 36
diwawancarai atau melalui Focus Group Discusion (FGD), catatan lapangan, dan pengamatan peneliti secara langsung.
4.2.
Hutan Dipandang Sebagai Objek Kegiatan Ekonomi Semata-Mata Sejak kehadiran Perusahaan Inti Rakyat (PIR-Bun) di Kabupaten Sanggau pada tahun
1982, yang bergerak dalam pengembangan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit, perubahan sosial dalam pengertian yang luas, yang kemudian mempengaruhi pola pikir masyarakat terhadap hutan sungguh tidak terhindarkan. Gambaran masyarakat atau keyakinan tradisionalnya tentang alam turut berubah secara drastis. Eksistensi hutan dalam pengertian yang luas pun terancam. Masyarakat yang sebelumnya memiliki sikap tradisional yang bercorak “animistik dan pantheistik” terhadap hutan sehingga berusaha melindungi dan mewarisinya kepada anak-cucu, kini berada dalam situasi perubahan dan sekaligus ketidakpastian sikap terhadap hutan, kecuali melihat hutan sebagai objek bisnis atau
kegiatan ekonomi semata-mata. Kini pandangan
tradisional, yang bercorak “animistik” atau “pantheistik” itu hampir sulit ditemukan dan bahkan terancam punah. Pada umumnya suku Dayak kini memandang alam, hutan (pohon-pohon) dari perspektif ekonomis. Akibatnya, hutan hanya menjadi objek kegiatan bisnis. Semua aturan dan adat-istiadat yang mengajarkan larangan dan “tabu” menebang jenis-jenis pohon tertentu segera dipandang ketinggalan jaman dan tidak perlu lagi dipelihara atau diwarisi kepada generasi muda. Akibatnya, sikap respek terhadap hutan pun memudar. Jenis-jenis pohon yang ditabukan, entah karena berkaitan dengan kepercayaan bahwa pohon tersebut semacam “axis mundi”, yang dapat menghubungkan manusia Dayak dengan Sang Pencipta (Kek Ponompa Potara, Jubata) atau karena demi ikatan kekerabatan/tali persaudaraan (“pureh, bopureh”) pun satu persatu tumbang ditebang. Misalnya, pohon tapangkh35 yang pada masa lalu tidak pernah ditebang entah untuk areal ladang atau untuk bahan bangunan sebab memang tidak dipandang lazim dan terkadang memang dipandang “tabu” sehingga dengan sendirinya terpelihara eksistensinya. Tapi kini 35
Pohon tapangkh adalah salah satu jenis pohon unik di Kalimantan yang diameter batangnya sangat besar, pada umumnya lurus, dan tingginya bisa mencapai 50 meter, tumbuh di sekitar kampung atau permukiman masyarakat Dayak dan adakalanya dijadikan sebagai simbol eksistensi kampung terkait dengan kepercayaan-kepercayaan tradisional para leluhur Dayak.
37
pohon tersebut sudah sulit ditemukan dan terancam punah. Selain itu, jenis-jenis pohon buah di tembawang36 (durian, tampoi, kawai, gurap, toncu, posa’, rosat/langsat, ntowa, ruko/duku, kitub, ucongkh, ramai/rambai, dan lain-lainnya). Kini pohon-pohon buah yang menandai jejak para leluhur, pengikat tali kekerabatan dan persaudaraan itu hampir punah karena egoisme dan keserakahan pribadi warga masyarakat tertentu. Pembangunan ekonomi dalam berbagai macam bentuk dan intensinya telah secara tiba-tiba membuat beberapa oknum masyarakat Dayak silau mata dan lupa akar diri dan kulturalnya. Hidupnya pun telah terpengaruh oleh spirit kapitalistik sehingga makna keberadaan hutan adat berupa rimba dan pohon-pohon di tembawang dinilai sebatas menguntungkan secara ekonomi. Implikasinya sangat serius yakni eksploitasi alam, penebangan liar dan tergerusnya kearifan lokal seperti nilai kekeluargaan, kebersamaan, dan rasa hormat pada hak ulayat seperti hutan adat. Perubahan sikap dan perilaku demikian sesungguhnya baru terjadi, terutama sejak pertimbangan ekonomis mendominasi kerangka pikiran masyarakat. Kondisi ini semakin sulit dikendalikan setelah ijin perluasan dan pembukaan perkebunan kelapa sawit diberikan oleh otoritas yang berwenang dalam struktur sosial atau pemerintah daerah dengan tanpa mempertimbangkan akibat-akibat atau dampak-dampaknya terhadap ekologi yang pasti memengaruhi praksis kehidupan masyarakat di sekitarnya. Kini bisnis perkebunan kelapa sawit menjangkau hingga ke jantung pulau Kalimantan. Masyarakat tradisional di pedalaman semakin terdesak dan tergagap-gagap menyambut kehadiran perusahaan perkebunan dengan sikap antara pasti dan tidak pasti menerima atau menolaknya semuanya dalam keadaan tidak berdaya. Kalaupun menerimanya sebagai “sumber baru” bagi kehidupan ekonominya, itu hanyalah lantaran mereka belum cukup mengerti konsekuensi-konsekuensi jangka panjang terhadap lingkungan dan kehidupan sosialnya. Pihakpihak yang berkepentingan dengan kelapa sawit memang tidak mengenal lelah dan terusmenerus mengiming-imingi masyarakat dengan kemudahan-kemudahan atau janji-janji hidup nyaman-sejahtera bila masyarakat terbuka menerima kehadiran perkebunan klapa sawit. Kini mereka bahkan mengatakan bahwa masyarakat Dayaklah yang sangat membutuhkan kehadiran perkebunan kelapa sawit dan mengundang pihak perusahaan perkebunan untuk membuka areal perkebunan kelapa sawit di sekitar wilayah masyarakat yang tadinya menolak kehadiran pihak 36
Tembawang/tomawangkh adalah hutan adat yang terdiri dari jenis-jenis pohon buah, yang dahulu kala ditanam dan dipelihara secara turun-temurun sebagai ikatan kekerabatan, kekeluargaan, dan persaudaraan serta menjadi semacam identitas kesukuan komunitas Dayak juga.
38
perusahaan perkebunan kelapa sawit. Tentu klaim seperti ini perlu suatu kajian lapangan untuk memastikan kebenarannya. Namun, klaim pihak perkebunan seperti itu dalam taraf tertentu cukup mudah dipahami alasannya sebab sebagian masyarakat sudah terlanjur berubah pola pikirnya terhadap hutan, terutama segelintir orang yang telah mengalami kesejahteraan secara ekonomis dari perkebunan kelapa sawit. Namun, sekali lagi, hanya segelintir masyarakat yang mengalami kesejahteraan, sementara sebagian besarnya mengalami ketidakpastian jaminan masa depan. Kondisi ini bakal terus berlanjut tanpa kejelasan titik perhentiannya sebab laju perusakan lingkungan hidup akibat perkebunan kelapa sawit semakin sulit dihentikan atau dikendalikan. Betulkah manusia atau masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit mengalami hidup sejahtera sebagai dampak positifnya? Kalaupun betul, barangkali untuk beberapa orang atau segelintir warga masyarakat saja. Tapi itu pun diprediksi bakal hanya untuk satu generasi saja. Selanjutnya, masyarakat akan mengalami kesulitan yang berkepanjangan secara sosial dan ekologis sebagai efek domino dari pembukaan lahan secara tidak terkendalikan. Kenyamanan seluruh warga masyarakat di sekitar areal perkebunan kelapa sawit terancam oleh tindakannya sendiri. Kini yang sangat terasa adalah cuaca semakin panas, banjir semakin tidak mengenal musim dan hutan terancam semakin homogen setelah alih fungsi secara sporadis untuk perkebunan kelapa sawit. Masyarakat Adat Dayak sungguh sulit berkutik menghadapi kenyataan ini. Mereka pada umumnya juga sudah berubah pola pikir dan tindakan terhadap hutan adat warisan leluhurnya. Akar perubahan pola perilaku terhadap hutan adalah pembangunan ekonomi dalam berbagai jenis dan tujuannya. Perkebunan kelapa sawit adalah salah satunya. Kegiatan ekonomi yang merusak lingkungan hidup atau hutan memang tidak hanya perkebunan kelapa sawit. Tapi yang terasa dampaknya akhir-akhir ini dan perluasan arealnya yang tidak terkendalikan sehingga berpotensi merusak hutan dan mengurangi luasnya hutan secara drastis adalah perkebunan kelapa sawit. Imbas dan dampaknya berdimensi sosial dan ekologis. Secara sosio-kultural, kehadiran perkebunan kelapa sawit semakin tampak mengasingkan manusia Dayak dari kultur tradisional dan kearifan lokal yang telah turun-temurun mempersatukan mereka dalam kekerabatan dan identitas kesukuannya. Perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu alasan beberapa oknum suku Dayak melupakan martabat kesukuan dan kekerabatannya dengan cara menyerahkan hak ulayatnya: hutan adat berupa rimba dan tembawang. 39
Kita tahu bahwa, penebangan berbagai jenis pohon memang bisa jadi tidak terkait secara langsung dengan perkebunan kelapa sawit. Tapi perluasan perkebunan kelapa sawit akhir-akhir ini sungguh sulit dikendalikan sehingga eksistensi pohon-pohon di hutan termasuk pohon-pohon buah di tembawang (kebun buah milik para leluhur yang menjadi lambang ikatan kekeluargaan suku Dayak) semakin terancam punah. Artinya, meskipun perluasan lahan perkebunan kelapa sawit memang tidak dilakukan dengan sembarangan sebab disertai terlebih dahulu dengan survey lapangan berdasarkan aturan-aturan teknis dan uji kelayakan tertentu, tapi fakta menunjukkan bahwa yang terjadi di lapangan tidak selalu sinkron dengan aturan main yang ditetapkan pemerintah dan pihak perusahaan. Kini masyarakat Dayak yang bermukim di sekitar areal perkebunan kelapa sawit kurang menghargai warisan para leluhurnya dan hidup di bawah kendali egoisme pribadi masing-masing. Fenomena ini jelas mengancam hutan dan pohon-pohon yang dikeramatkan dan dijadikan kiblat silsilah keluarga besar. Pohon-pohon buah yang menjadi semacam “pohon silsilah” keluarga besar atau titik berangkat untuk bercerita tentang keluarga besar kini mulai langka.
Banyak pohon buah yang usianya mencapai ratusan tahun ditebang oleh oknum
masyarakat demi alasan ekonomi. Anehnya, Pemangku Adat setempat tidak berdaya menertibkan perilaku liar dan tidak beradat tersebut, bahkan terkesan terjadi pembiaran terhadap pembalakan pohon-pohon, entah di hutan rimba atau di tembawang. Kini apa yang dikenal oleh masyarakat Adat Dayak dahulu sebagai kampung lama (Ompu’ Toyatnh’) dan diimajinasikan sebagai salah satu situs untuk mengenal identitas dirinya, semakin langka, punah akibat tidak diurus atau ditelantarkan dan dieksploitasi demi kegiatan ekonomi segelintir orang yang tidak bertanggungjawab. Anehnya, sekali lagi, Pemangu Adat setempat tetap tidak berdaya menata perilaku anggota masyarakatnya meskipun ada hukum adat yang berlaku. Rupanya, pembangunan sebagai kata atau istilah yang disandang dalam seluruh kegiatan ekonomi dan yang mempengaruhi perilaku setiap anggota masyarakat semakin tampak menumbuhkan sikap “permisif” (sikap membiarkan, tidak menghiraukan, tidak memperdulikan, tidak mau tahu) dalam diri masing-masing anggota masyarakat. Sikap permisif itu kentara sekali ketika tidak ada “pengadilan adat” terhadap oknum-oknum yang menebang pohon- pohon yang dipandang sebagai ikatan keluarga atau milik umum warga masyarakat Dayak karena sebagai ingatan kolektif akan identitas kesukuan. 40
Singkatnya, kegiatan ekonomi dalam berbagai corak, tujuan dan jenisnya, termasuk perkebunan kelapa sawit, menimbulkan perubahan yang mencemaskan masyarakat Adat Dayak pada umumnya sebab penebangan pohon-pohon secara tidak terkendalikan berdampak sosial dan ekologis.
4.3. Perubahan Secara Sosiologis dan Ancaman Ekologis
Kehadiran perkebunan kelapa sawit membawa perubahan sosial dalam pengertian yang luas beserta konsekuensi-konsekuensinya terhadap kebudayaan. Perubahan sosial tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Seperti ditegaskan oleh Soelaiman, perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan.37 Itulah sebabnya keduanya selalu berjalan beriringan kendati ada perbedaan dalam hal pemicunya. Bila perubahan sosial terjadi dan dipengaruhi oleh adanya perubahan dalam struktur sosial dan relasi sosial, perubahan kebudayaan terjadi karena adanya perubahan pola-pola perilaku, termasuk teknologi. Meskipun perubahan sosial dan kebudayaan dapat dibedakan secara teoretis, tapi dalam praksis kehidupan batasan keduanya cukup sulit untuk dibedakan mengingat tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan tidak ada kebudayaan yang lahir dalam ruang kosong. Eksitensi kebudayaan selalu bersifat interkultural dan intersosial. Kebudayaan suatu daerah selalu mendapat pengaruh dari kebudayaan lain dan lahir dalam konteks hidup bermasyarakat yang bercorak interaktif. Lapisan-lapisan yang membedakan antara kebudayankebudayaan dan antara kebudayaan dengan masyarakat sesungguhnya bukanlah batasan pemisah, tapi pembeda yang menunjukkan identitas masing-masing pihak tetap diakui. Dalam konteks itu, perbedaan antar kebudayaan-kebudayaan yang menentukan situasi masyarakat perlu diakui demi menjaga dan mempertegas keutuhan kesatuan dalam keberagaman. Perubahan masyarakat dan perubahan kebudayaan dapat terjadi dalam ruang yang sama meskipun berbeda pemicunya. Adalah tidak mungkin untuk menyangkal salah satu dan mengakui yang lain. Konteks sosial selalu dalam jejaring interaksi, yakni: interaksi antarindividu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Dan masyarakat adalah ruang budaya yang memfasilitasi terjadinya interaksi tadi, apapun intensinya. Interaksi itu mempengaruhi perubahan dan dinamika kebudayaan. Barangkali begitulah yang dimaksudkan 37
Soelaiman, M. Munandar. 1998. Dinamika Masyarakat Transisi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 115.
41
Sayogyo bahwa, perubahan sosial terjadi karena adanya interaksi antarindividu, antar-organisasi yang menyangkut struktur sosial, nilai, norma, dan peranan,38 yang terjadi pada masyarakat. Manusia atau masyarakat memang tidak mungkin menghindari perubahan. Relasi dan interaksi antarmanusia (dari berbagai latar belakang suku, agama, budaya, dan tingkat pendidikan) ditandai oleh intensi dan motivasi yang menjadi awal dari suatu perubahan pola pikir, sikap dan perilaku terhadap sesama dan lingkungan hidup. Dalam konteks dunia kerja, relasi antar-para pekerja dengan sendirinya menciptakan perubahan dalam arti yang luas. Para pekerja di perkebunan kelapa sawit yang datang atau berasal dari berbagai daerah, seperti diuraikan di muka, dengan sendirinya membawa perubahan perspektif terhadap hutan, sesama, dan tata nilai kehidupan. Perbedaan kebiasaan, adat-istiadat, kebiasaan, dan tingkat pendidikan mewarnai relasi dan interaksi di lapangan pekerjaan. Keadaan demikian memang potensial untuk mengubah “mind-set” suku Dayak di Kabupaten Sanggau pada umumnya terhadap hutan, sesama, dan adat-istiadat. Mereka yang sejak dahulu memandang hutan sebagai sumber kehidupan dan penghidupan dalam berbagai aspek sehingga kelestariaannya harus dipelihara, kini berubah drastis. Kini pada umumnya, suku Dayak di Kabupaten Sanggau memandang hutan adat (hutan rimba termasuk tembawang) sebatas nilai ekonomisnya. Perubahan perspektif ini sungguh meresahkan sebab hutan semakin gundul akibat eksploitasi dan penebangan liar sebagai konsekuensi kegiatan bisnis. Kondisi ini tentu beresiko bagi kelanjutan hidup generasi Dayak dan pelbagai kekayaan flora, fauna, dan biota air. Dalam kehidupan seharihari, ancaman dan akibat yang segera terasa adalah banjir yang hampir tidak lagi mengenal musim, dan mudahnya sungai-sungai mengering pada musim kemarau sehingga terjadilah bencana kekeringan dan kesulitan sumber air bersih untuk kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat pada umumnya. Jadi, perkebunan kelapa sawit selain berhasil menggeser keyakinan tradisional dan pandangan suku Dayak terhadap hutan, juga menjadi salah satu alasan di balik semua fenomena perubahan ekologis dan sosial dalam arti seluas-luasnya yang berimplikasi pada perubahan pola pikiran dan tindakan terhadap hutan. Berikut adalah deskripsi mengenai perubahan sikap dan ancaman-ancaman sebagai akibat perkebunan kelapa sawit.
38
Sayogyo, Pudjiwati., 1985. Sosiologi Pembangunan, Bogor: Institut Pertanian Bogor, hal. 119.
42
4.3.1. Masyarakat Menjadi Pragmatis, Konsumeristis, dan Bermental Hedonistis
Sebagian besar masyarakat menyerahkan lahannya atau hak ulayatnya demi keuntungan ekonomis sesaat, tanpa berpikir panjang mengenai nasib anak cucunya di kemudian hari. Sistem bagi hasil yang diiming-imingkan pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit telah membuat mereka sanggup melupakan petuah dan wejangan para leluhur agar memelihara hak ulayat. Ada kesan bahwa mereka dilanda oleh pemikiran instan dan ingin cepat kaya sendiri sehingga menyerahakan lahan pertanian atau perkebunan karetnya atau hutan hak ulayat leluhurnya untuk dikelola oleh perkebunan dengan sistem bagi hasil, yang pola atau mekanisme pembagiannya terkadang sulit dipahami dan diterima akal sehat, tapi toh disetujui warga. Padahal, jaminan kelancaran sistem pengelolaan dan bagi hasil yang ditawarkan oleh perusahaan itu belum jelas dan pada kenyataannya banyak yang tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Masyarakat yang sudah terlanjur menyerahkan lahannya kemudian menjadi semakin mudah dkuasai dan hidup mereka semakin terjepit oleh kepentingan pihak perusahaan perkebunan. Mereka tidak berdaya menegaskan hak-haknya kembali. Sebagian masyarakat pedesaan yang polos dan sederhana itu tertipu dan diperdaya oleh pihak perusahaan dengan cara mengiming-iminginya akan mendapatkan pembagian hasil yang cukup fantastis dan besar tanpa perlu bekerja keras. Masyarakat yang minim wawasan, tipis kesadaran ekologisnya, dan tidak tetap penghasilannya itu begitu rentan diperdaya. Mentalitas mereka yang lembek, keengganan untuk bekerja keras, serta ingin cepat kaya secara instan merupakan salah satu alasan mengapa mereka tanpa berpikir kritis menyerahkan lahannya kepada pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kecuali itu, gaya hidup juga menjadi faktor penting di balik penyerahan lahan kepada pihak perusahaan. Itu misalnya tampak ketika mereka sangat mendambakan atau menanti-nantikan bagi hasil pada setiap bulan dari pihak perusahaan. Mereka tidak berpikir panjang bahwa barangkali ada motif terselubung di balik tawaran bagi hasil itu, yang dibungkus dengan rapi melalui suatu aturan yang dispekati dengan sadar oleh kedua pihak, terutama warga yang masih polos dan berpikiran lurus itu. Masyarakat yang sudah terlanjur terjerat dan terikat oleh perjanjian dengan pihak perusahaan tidak berani mengelola haknya setelah diserahkan kepada pihak perusahaan meskipun pihak perusahaan menunda-nunda waktu untuk memenuhi kewajibannya bahkan tidak
43
jelas kapan kewajibannya itu dipenuhi. Akibatnya, muncullah friksi-friksi sosial, dan pelbagai tindakan yang tidak seharusnya pun terjadi seperti pencurian buah kelapa sawit. Sementara menunggu perkebunan belum menghasilkan, masyarakat biasanya bekerja serabutan untuk menyambung hidup. Misalnya, menjadi buruh kasar di perkebunan. Sayangnya, cukup banyak perkebunan kelapa sawit yang mengelola lahan masyarakat itu bermasalah. Misalnya, pemiliknya bisa berubah-ubah setiap saat. Perubahan pemilik berarti pula perubahan rumus kesepakatan bagi hasil, perubahan persentasenya dan yang selalu menjadi korban atau pihak yang dirugikan tentu warga yang telah menyerahkan lahannya. Selain diperlakukan secara tidak adil, masyarakat juga terkesan dipermainkan oleh para pemilik perusahaan perkebunan. Hidup mererka sudah terlanjur digantungkan pada perjanjian dengan para pemilik perkebunan kelapa sawit. Manakala pembagian hasil tidak berjalan sesuai dengan yang dijanjikan, masyarakat jelas semakin mederita. Menurut Bapak Dewantoro, alasan di balik itu semua biasanya klasik: yakni ganti pemilik, ganti “kebijakan dan aturan main”. Sementara pergantian pemilik perusahaan dapat terjadi di setiap saat, dan tanpa meminta pertimbangan kepada pihak masyarakat yang telah menyerahkan hak ulayatnya itu. Bapak Dewantoro selaku Temenggung Adat Dayak di daerah Kembayan kota merasa sangat prihatin terhadap kondisi kehidupan masyarakat adat Dayak sekarang. Mereka terhimpit dan terbatas di ruang geraknya sendiri. Mereka yang sudah terlanjur menyerahkan hak ulayatnya memang ada yang sejahtera hidupnya untuk sementara, tapi kebanyakannya mengalami ketidakpastian bagi hasil, kesulitan mencari pekerjaan atau penghasilan. Masa depannya terancam. Mereka menderita di tanah leluhurnya yang dahulu kala di kenal kaya sumber daya alamnya. Mengenai alasan mengapa masyarakat menyerahkan lahannya dan bagaimana sistem bagi hasil yang biasanya ditawarkan oleh pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit, Bapak Dewantoro menyatakan bahwa pada dasarnya adalah karena masyarakat diperdaya dengan diiming-imingi atau karena dijanjikan bakal sejahtera secara ekonomis. Persentase yang dijanjikan sebetulnya tidaklah seberapa besar bagi perhitungan orang-orang yang hidup di daerah perkotaan, tapi bagi masyarakat pedesaan yang kurang wawasan ekonomis dan minim visi
44
lingkungan yang berkelanjutan, mereka melihat jumlah yang ditawarkan pihak perusahaan kelapa sawit itu sebagai “jembatan emas” menuju kesejahteraan ekonomi keluarganya.39 Bila ditilik dari uraian Bapak Dewantoro di atas, tampak bahwa perubahan pola pikiran memengaruhi mentalitas, tindakan dan keputusan masyarakat Adat Dayak. Mereka yang dulu menyandarkan hidupnya pada alam dengan pola kerja perkebunan dan pertanian tradisional, kini terkesan “malas” repot mengelola lahannya sendiri dan merasa sukses kalau hanya diam menunggu hasil pengelolaan lahannya oleh pihak lain. Ini adalah potret pergeseran mentalitas yang menggerogoti daya juag masyarakat Adat Dayak. Mereka menyerahkan lahannya sematamata karena tidak mau repot untuk mengolahnya. Yang tertanam di pemikirannya menunjukkan pergeseran mentalitas atau paradigma berpikir, yakni: duduk, diam, dapat hasil. Suatu gambaran betapa sikap pragmatis sudah mewarnai lapisan-lapisan kesadaran dan pemikiran masyarakat Dayak. Mereka hanya peduli pada pembagian uang jatah bagi hasil yang diimajinasikan pasti datang pada setiap akhir bulan. Namun, dalam proses perjalanan waktu, masyarakat yang sudah terlanjur berharap kepada perusahaan dan menyerahkan sebagaian besar atau bahkan seluruh lahannya, menghadapi situasi serba tidak pasti. Mereka bagaikan orang-orang yang berpaut ke akar lapuk untuk mempertahankan hidupnya. Perusahaan tidak selalu berjalan lancar dan tidak mudah ditebak arah kebijakannya. Kesepakatan yang diterima secara pasti oleh masyarakat dari pihak perusahaan kerapkali berbuntut mengecewakan. Pembagian hasil semakin tidak jelas bila terjadi peralihan tangan atau pemilik perusahaan sebab setiap saat perkebunan milik perusahaan bisa dijual ke pihak lain, pemilik tangan pertama kepada tangan kedua dan seterusnya. Padahal, masyarakat sudah menyerahkan tanah miliknya.40 Begitulah deskripsi realitas kerjasama antara masyarakat dengan pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang diungkapkan oleh Bapak Dewantoro.
39
Dalam pemaparannya mengenai alasan warga pedesaan atau masyarakat adat menyerahkan lahannya atau hak ulayatnya, Bapak Dewantoro mengungkapkannya demikian, “alasannya kadang-kadang mereka bisa tertipu karena diiming-imingi oleh pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit. Contoh, pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit mengatakan, “tanah bapak kami pinjam selama 25 tahun. Dari 0 tahun ke 5 tahun, bapak menunggu. Setelah lima tahun nanti kami bayar uang hasil kebun ini ke bapak sebesar Rp. 250.000 per hektar”. Kalau yang diserahkan adalah 10 hektar, berarti pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit akan membagikan keuntungan sebesar Rp. 2.500.000 kepada pihak yang punya tanah. Apalagi kalau menyerahkan 20 hektar tanah, berarti setelah lima tahun yang punya tanah mendapat Rp. 5.000.000 (5 juta) gaji nunggu di rumah, begitulah perhitungan orang kampung”. 40 Mengenai tanah yang diserahkan masyarakat kepada pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit, adalah tanah pribadi, termasuk tanah adat. Kata Bapak Dewantoro, “Di sini kan masih di klaim orang adat, tanah di Kalimantan itu tanah adat. Itu tanah umum. Karena datok moyang mereka dulu yang pertama datang, yang menebang rimba
45
Bila perusahaan berhasil mengembangkan perkebunan kelapa sawit maka betul memberi kontribusi positif bagi perbaikan ekonomi masyarakat yang menyerahkan lahan untuk dikelola. Tentu ini dengan catatan bahwa hutan semata-mata dinilai dari segi keuntungan ekonomis dan menjadi lahan kelapa sawit saja. Padahal, seperti dipaparkan di atas, hutan itu tidak semata-mata bernilai ekonomis. Masyarakat adat Dayak telah sejak dahulu memandang hutan sebagai sumber kehidupan dalam berbagai macam aspek dan alasannya. Bagi suku Dayak, hutan adalah ikatan kekerabatan, media pengingat kepada para leluhur, dan sumber kehidupan dalam berbagai aspek. Pemberian ijin atau Penyerahan lahan hutan rimba untuk perkebunan kelapa sawit tanpa memperhitungkan dampak-dampaknya dapat dipastikan merugikan masyarakat dan lingkungan hidup. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, misalnya, perluasan perkebunan kelapa sawit berpotensi menyebabkan punahnya cerita tentang ikatan kekerabatan yang selama ini ditandai oleh hutan tembawang, yang menjadi bagian utama dari pendidikan karakter suku Dayak dan yang memengaruhi perspektif hidupnya sehari-hari. Sementara terhadap lingkungan hidup, perkebunan kelapa sawit membuat hutan menjadi homogen. Kondisi ini jelas mengancam pelbagai makhluk hidup (satwa liar yang dilindungi) dan juga biota-biota lainnya yang hidup di air. Keberhasilan perkebunan kelapa sawit dalam aspek ekonomi, seperti diungkapkan oleh Bapak Sutek di atas memang terasa dalam sikap hidup masyarakat pada umumnya, tapi bukan tanpa masalah atau persoalan sosial dan ekologis yang menyertainya. Dalam relasi sosial, masyarakat terasa semakin individualis. Imbas dari sikap individualis ini adalah perubahan pola pikir dan pandangan terhadap hutan atau hak ulayat berupa hutan rimba dan “tembawang”. Hutan pun dimaknai sebatas dari perspektif bisnis sehingga dieksploitasi demi mengeruk keuntungan finansial semata-mata. Ijin perluasan dan pembukaan perkebunan kelapa sawit yang semakin tidak terkendali adalah tanda perubahan pola berpikir terhadap hutan yang serius sebagai suatu bentuk raya itu menjadi bawas (ladang). Ada bawas yg ditanam karet, tapi … setelah karet ditanam di bawas, lalu ditinggal tidak dirawat. Sudah bisa ditoreh baru dijenguk, lalu ditoreh dalam keadaan kebun alami, ada rebung, ada pakis di situ, udaranya pun sejuk. Bagi orang Dayak, nyaman rasanya sambil noreh bisa ambil rebung, ambil pakis untuk sayur. Tapi kalau karet unggul, kita hanya bisa ngambil air karetnya saja. Setelah adanya perkebunan kelapa sawit, pola pikir pun berubah: Dari pada capek-capek noreh, setelah diiming-iming tadi oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, areal perkebunan karet pun banyak yang dijual. Tetapi itulah tadi, setelah dua tahun, tiga tahun perkebunan kelapa sawit dikelola, pihak perusahaan seringkali menjualnya ke perusahaan lain, berganti pemilik, alih ke lagi ke tangan yang lain. Pergantian pemilik otomatis membuat peraturan berubah lagi. Begini katanya: tanah bapak kami buat pola 8 hektar, 2 untuk Bapak, 6 untuk kami”.
46
desakralisasi alam. Hutan pun menjadi objek pemenuhan libido ekonomi manusia saja. Fenomena desakralisasi alam ini jelas dalam berbagai bentuk kegiatan bisnis, misalnya perkebunan kelapa sawit, tambang emas, tambang batubara, dll. Kegiatan ekonomi atau bisnis yang tidak ramah lingkungan adalah musuh bersama umat manusia sebab memutuskan rantairantai kehidupan yang terajut dalam alam sebagai sumber kehidupan manusia. Tanpa alam yang asri dan heterogen manusia dapat dipastikan mengalami persoalan serius dalam menjaga keberlanjutan hidupnya. Perubahan corak dari hutan heterogen menjadi hutan homogen dalam bentuk kelapa sawit sungguh menjadi ancaman bagi Suku Dayak, yang sejak semula memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bersandar pada hasil hutan yang heterogen, yang diolah dan diambil secara tradisional dan konvensional. Kini paradigma berpikir terhadap hutan adat dikendalikan oleh perspektif kapitalistik. Kalau dulu hutan dipandang sebagai warisan leluhur yang perlu dijaga berkelanjutannya demi generasi yang akan datang agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari berbagai aspek, kini hutan dipandang semata-mata dari nilai ekonomisnya. Akibatnya, hutan dieksploitasi atau dikelola dalam satu pola saja, misalnya perkebunan kelapa sawit. Padahal, sejak dulu hutan yang menjadi sandaran kehidupan dikelola dan diambil hasilnya tidak hanya dengan satu pola, tapi banyak pola: bertani, berkebun, berburu, meramu, memanen hasil hutan seperti dipaparkan di atas. Semakin sedikit kaum muda yang mengenal pola-pola pengelolaan hutan secara tradisional. Mereka hanya tahu bahwa areal hutan identik dengan lahan perkebunan kelapa sawit sehingga gambaran hutan Kalimantan sebagai hutan tropis yang heterogen, kini tidak lagi tepat dan pada kenyataannya homogen, yakni hutan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit jelas mengubah mentalitas masyarakat Dayak khususnya dan orang-orang di Kalimantan Barat pada umumnya secara keseluruhan. Suku Dayak yang dulu dikenal sebagai suku yang “dekat dengan alam”, sederhana dan tulus, kini hidupnya diwarnai oleh hedonisme dan konsumerisme. Pola pikir yang semata-mata memandang hutan hanya dari nilai ekonomisnya saja memang berbahaya. Hutan dikelola secara eksploitatif. Perkebunan kelapa sawit telah menggeser imajinasi masyarakat Dayak tentang hutan dalam kerangka berpikir adat-istiadat dan tradisi. Mereka kini hanya memandang dan menilai hutan semata-mata dari segi nilai ekonomisnya. Hal ini berpengaruh terhadap sikap hidup masyarakat. Mereka
47
cenderung konsumtif. Hidupnya bercorak hedonis dan sikapnya kian pragmatis.41 Pola pencaharian, pola konsumsi, dan pola relasi sosial mengalami perubahan secara menyeluruh. Masyarakat yang sejak dulu kompak dan selalu mempertimbangkan kepentingan hidup bersama kini tampak individualis dan egoistik. Mereka mulai mementingkan urusan pribadi dan menonjolkan egoisme diri dalam hampir semua lini kehidupan. Kalaupun peduli pada urusan hidup bersama, itu lantaran karena ada jaminan feed back yang diterima. Gaya hidup yang kian hedonis (mengejar kesenangan pribadi) dan mentalitas pragmatis (mau melakukan suatu hal sejauh menghasilkan manfaatnya untuk diri sendiri) dan ditambah dengan pola kehidupan yang konsumtif (membeli sesuatu bukan petama-tama karena kebutuhan tapi karena keinginan dan gaya hidup) adalah bentuk nyata perubahan pola pikir dan perilaku akibat kegiatan ekonomi yang salah satunya adalah perkebunan kelapa sawit.
4.3.2. Konflik Horisontal
Luas hutan di daerah Kabupaten Sanggau dapat dipastikan berkurang drastis sejak perluasan areal perkebunan kelapa sawit yang semakin tidak terkendalikan. Konsekuensinya tidak hanya semakin terancamnya eksistensi pelbagai satwa liar, berbagai jenis tumbuhtumbuhan dan pohon-pohon yang berkualitas untuk kebutuhan meubel atau bahan-bahan bangunan perumahan, tapi juga berimbas pada areal pertanian dan perkebunan tradisional seperti karet, kopi, cengkeh dan lain-lain. Kehadiran perkebunan kelapa sawit telah mempersempit areal cadangan lahan perladangan, menyebabkan perubahan luas sumber daya alam. Kondisi ini dengan sendirinya memengaruhi keadaan perekonomian masyarakat, menekan dan memaksa mereka untuk menyesuaikan diri dengan tawaran-tawaran baru atau menghadapi tantangan hidup dengan pola-pola baru yang tidak lagi tradisional. Kondisi ini tentu berimbas terhadap tatanan nilai-nilai. Tidak jarang terjadi sengketa lahan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan warga. Ada tanah adat yang diambil oleh pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit hanya karena aparat Desa secara keliru menginterpretasi atau memaknai istilah tanah adat. Secara tradisional, setiap komunitas suku Dayak memiliki tanah adat yang harus dilindungi. Apa 41
Berikut adalah pemaparan Bapak Dr. Amrazi Zakso berkaitan dengan dampak perkebunan kelapa sawit terhadap kehidupan masyarakat di Kalimantan Barat pada umumnya, dan kususnya suku Dayak, “sekarang semua orang terjerumus pada hidup yang hedonis dan pragmatis sehingga mereka sudah tidak lagi memperhatikan adatistiadat, sistem nilai yang turun temurun itu…”.
48
yang disebut sebagai tanah adat adalah tanah yang menjadi milik bersama komunitas masyarakat adat. Istilah lainnya adalah hak ulayat. Termasuk ke dalam tanah adat adalah hutan rimba yang menjadi hak bersama komunitas adat Dayak. Selain itu, tanah adat juga termasuk “tembawang”, yakni hutan yang di atasnya terdapat pohon-pohon buah yang telah secara turun temurun dimiliki bersama sebab merupakan warisan para leluhur. Terkait dengan perkebunan kelapa sawit, potensi konflik biasanya muncul ketika hutan adat tidak dihormati atau dikelola oleh perusahaan tanpa mengindahkan hukum adat setempat. Bisa jadi hal itu terjadi karena pihak perusahaan sudah mengantongi ijin dari pemerintah daerah, tapi bisa juga karena pemerintah daerah dan aparat desa keliru dalam memaknai hutan adat atau tidak tahu makna hutan adat atau tidak mau tahu karena alasan-alasan ekonomis yang berbalut sikap pragmatis dan gaya hidup hedonistis dan konsumeristis. Itulah misalnya yang diungkapakan secara sekilas oleh Bapak Amrazi Zakso dengan merujuk ke salah satu kasus di daerah Kalimantan Barat, yakni kasus di Jagoi Babang.42
4.3.3. Krisis Ekologi
Perkebunan kelapa sawit telah membuat pesona keindahan hutan Kalimantan layu; cahaya kesakralannya sebagai ciptaan Allah tampak redup. Alam atau hutan tidak lagi dipandang sebagai anugerah yang istimewa dari Sang Pencipta, yang mampu menjamin dan menjawab pelbagai kebutuhan manusia di sekitarnya. Masyarakat dewasa ini memandang hutan sebagai areal perluasan lahan perkebunan kelapa sawit, baik pihak perusahaan swasta maupun masingmasing warga yang telah mengelola perkebunan kelapa sawit atau pun yang belum memilikinya. Hutan menjadi semakin terancam dan luasnya semakin menyempit. Cara pandang yang keliru terhadap hutan sebab semata-mata ditakar dari segi nilai ekonominya menjadi alasan utama di balik tindakan eksploitatif terhadap hutan. Perkebunan kelapa sawit adalah contoh paling nyata untuk itu. Pohon-pohon dibabat, sungai-sungai 42
Bapak Amrazi Zakso menuturkan demikian, “Misalnya kasus di Jagoi Babang. Di semua wilayah di Kalimantan Barat kasusnya mirip dengan itu. Malah justru ada tanah adat yang diambil oleh pihak perusahaan sawit hanya karena Kepala Desa dan segelintir oknum di masyarakat itu mengatakan bahwa tanah adat itu sebenarnya tidak ada dalam konteks kultur masyarakat Dayak di daerah situ. Padahal, waktu saya sempat ketemu dengan Temenggung yang ada di situ, sangat jelas bawa ada tanah adat yang mestinya dilindungi. Tapi karena kepentingan ekonomis lalu akhirnya tanah adat itu tergeser, terjual ke Perusahaan Sawit. Pada akhirnya di situ terjadi konflik antara orang yang ingin mempertahankan status Tanah Adat dengan kelompok masyarakat yang merelakan Tanah Adat lepas ke perusahaan perkebunan kelapa sawit”.
49
ditimbun,43 hukum adat diabaikan. Eksploitasi hutan semakin tidak terkendali dan luas hutan kini semakin berkurang drastis hingga memasuki fase kritis dan ancamannya adalah krisis ekologi yang mulai terasa dalam fenomena seperti banjir yang sudah tidak mengenal musim dan kekeringan berkepanjangan. Akar dari krisis ekologis adalah manusia yang melakukan kesalahan cara memahami hidup dan aktivitas yang keliru dan bertentangan dengan realitas dunia. Hal itu terjadi karena paradigma teknokratis kian dominan dalam praksis kehidupan manusia.44 Bila hutan semata-mata diposisikan sebagai objek kegiatan ekonomi maka alih-alih hutan membawa berkah berupa kesejahteraan, pada gilirannya menjdi sumber bencana. Bila secara sosial masyarakat terkesan mengalami disorientasi kiblat identitas kultural dan kesukuan, maka secara ekologis masyarakat menghadapi ancaman berkelanjutan akibat ulah manusia yang perilakunya tidak bertanggungjawab terhadap hutan. Padahal tanggungjawab umat manusia adalah menjaga bumi ini sebagai rumah bersama. Eksploitasi hutan akibat perkebunan kelapa sawit sungguh sulit dinalar dengan akal sehat, kendati memberi keuntungan secara ekonomis, tapi kehidupan manusia tidak semata-mata ditunjang oleh aspek ekonomi saja. Manusia hidup dan memaknai hidupnya dalam ranah kebudayaan, yang salah satunya adalah ekonomi. Tapi, ada ranah lainnya yang perlu diangkat juga supaya kehidupan manusia atau masyarakat tetap seimbang dan beradab, yakni sistem pengetahuan, kekerabatan, lingkungan hidup, religi, bahasa, dan kesenian. Perkebunan kelapa sawit bisa mengancam aspek-aspek kebudayaan yang lain bila masyarakat dan perusahaan semata-mata menekankan atau memperjuangkan aspek ekonomisnya saja dan mengabaikan lingkungan hidup. Eksploitasi hutan secara berlebihan akan menyebabkan perubahan iklim secara drastis. Padahal iklim adalah sumber kesejahteraan umum. Kerusakan lingkungan hidup mempengaruhi keadaan iklim dan mengganggu kelanjutan hidup manusia dan segenap makhluk di bumi. Kerusakan lingkungan hidup juga menimbulkan masalah untuk sumber air bersih yang dibutuhkan oleh manusia dan segenap makhluk ciptaan. 43
Bapak Dewantoro menuturkannya demikian, “Pandangan orang Dayak terhadap hutan setelah masuknya perkebunan kelapa sawit termasuk sangat meresahkan karena tembawang-tembawang, tempat-tempat perkuburan lama sudah banyak diserahkan kepada orang yang membelinya, baik dijual kepada perusahaan maupun diserahkan kepada pihak yang memintanya secara per kelompok-kelompok. Jadi memang sekarang kita sudah tidak bisa berkata banyak lagi, susah untuk menyebutkan seperti apa lagi. Di daerah Kembayaan ini hanya dua tiga batang pohon kayu yang ada di pinggir sungai-sungai besar saja. Sedangkan di pinggir sungai-sungai kecil sudah tidak ada lagi. Ada yang sudah ditimbun sungainya. Ada yang sudah dialih alirannya, macam peralihan sungai itu buat parit-parit. Maka untuk orang adat kondisi ini sudah sangat meresahkan…”. 44 Paus Fransiskus, 2015. Ensiklik Laudato Si’, Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, diterjemahkan oleh Martin Harun OFM., Obor, hal. 78.
50
Krisis ekologi akibat perkebunan kelapa sawit menimbulkan persoalan kompleks. Sumber air bersih berkurang, hutan menjadi homogen, hilangnya ribuan spesies tanaman dan hewan yang tidak akan pernah kita kenal lagi, dan tentu tidak juga akan pernah dilihat oleh generasi kita selanjutnya karena telah punah untuk selamanya. Tidak hanya spesies seperti mamalia atau berbagai jenis burung yang terancam punah untuk selamanya, tapi juga berbagai jenis jamur, lumut, cacing, serangga, reptile, serta berbagai macam miko organisme yang dibutuhkan oleh ekosistem kita turut punah. Sungai-sungai yang ditimbun menyebabkan punahnya jenis-jenis ikan tertentu dan biota-biota air. Sungguh layak disesali segenap umat manusia sebab keuntungan yang diperoleh dari perkebunan kelapa sawit tidak sebanding dengan kerugian yang ditanggung bersama segenap masyarakat lokal, nasional, dan internasional. Pemulihan atas kerusakan hutan selain membutuhkan waktu yang sangat panjang juga menelan biaya yang melampaui keuntungan ekonomis atau finansial yang faktanya hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Manusia menanggung biaya dan dampak yang lebih tinggi dan berat akibat kerusakan alam yang disebabkan oleh egoisme dan keserakahan segelintir orang ketimbang menikmati keuntungan dan manfaat ekonomisnya secara berkelanjutan. Korban yang paling menderita adalah orang miskin yang terperangkap oleh kinerja segelintir orang kaya yang dimotori oleh egoismenya. Kita patut menyesali bersama kegiatan ekonomi yang berdampak pada kerusakan ekologi secara drastis dan tanpa ampun ini. 4.5. Krisis “World View” Suku Dayak
Suku Dayak pada jaman dahulu berpikir serbah ruh atau roh. Mereka percaya bahwa batu, pohon, dan segala benda di hutan memiliki roh atau merupakan tempat tinggal para roh halus dan roh leluhur. Mereka percaya adanya penguasa-penguasa lainnya selain Ponompa Potara, Jubata (sebutan untuk Tuhan, Allah). Mereka percaya bahwa hutan, sungai, batu, pohon tertentu adalah berdimensi sakral sebab memiliki ruh atau menjadi tempat tinggal bagi roh-roh. Perspektif sakral suku Dayak terhadap hutan biasanya terkait dengan mitos. Misalnya, mitos mengenai penguasa air yang disebut nabau atau gana, yang diyakini mendiami lubuk tertentu di suatu sungai. Mitos mengenai penguasa hutan di gunung dan hutan rimba di daerahdaerah tertentu, yang di sebut Domamang, Kamang, Bunyi’ (semacam hantu yang menyerupai manusia), dll. Penguasa-penguasa tersebut tentu bersifat roh yang diyakini suku Dayak tinggal di 51
gunug tertentu, batu di daerah tertentu, pohon tertentu, lubuk tertentu di sungai-sungai besar dan kecil. Pranan hutan, batu, pohon,45 dan lubuk tertentu adalah semacam “axis mundi” (poros dunia) yang menghubungkan manusia dengan “penguasa-penguasa” tadi. Dalam keyakinan suku Dayak, para “penguasa” (gunung, hutan, pohon dan air) tersebut menjadi penolong bagi manusia manakala manusia membutuhkan pertolongannya, tentu dengan upacara ritual yang membutuhkan sesajen dan kehadiran seorang shaman atau dukun. Namun, roh-roh tersebut bisa juga mencelakai manusia bila manusia melanggar “tabu” berkaitan dengan eksitensi dan wilayah kekuasaannya. Bila hal itu terjadi maka manusia yang bersangkutan akan mengalami masalah atau sakit. Misalnya, bila manusia tidak menghormati atau bersikap kurang sopan terhadap pohon tertentu, batu tertentu di hutan, lubuk tertentu di sungai maka yang bersangkutan akan jatuh sakit. Bila demikian adanya maka proses penyembuhannya mesti membutuhkan upacara ritual dan pertolongan seorang shaman atau dukun. Upacara ritual untuk proses penyembuhan tersebut dinamakan “bobike” atau ‘boborenth” yang melibatkan kehadiran seorang dukun.46 Dalam upacara “bobike/boborenth” tersebut, tugas seorang dukun bagaikan dokter yang bertugas memulihkan kesehatan pasien. Bedanya, dukun mengobati penyakit pasien karena intervensi rohroh jahat dan bertugas untuk menentramkan roh-roh jahat tersebut agar tidak lagi mengganggu masyarakat,47 sementara dokter mengobati penyakit yang disebabkan oleh virus tertentu. Pada masa sekarang, eksistensi kebudayaan Dayak terancam punah. Ekspansi perkebunan kelapa sawit, keberadaan tambang-tambang lokal milik warga yang dikelola tanpa bersikap 45
Salah satu pohon yang dikultuskan adalah “tomune” (pohon yang dijadikan tempat penyimpanan ari-ari bayi) “Tomune” adalah nama untuk pohon tertentu yang dijadikan “rumah” bagi ari-ari setiap bayi yang lahir dalam komunitas suku Dayak pada masa dahulu. Biasanya pohon beringin atau “ pohon tapangkh” yang dijadikan “tomune”. Bila suatu jenis pohon dijadikan “tomune” maka pohon tersebut diyakini yang ‘sakral’ dan menjadi “axis mundi” komunitas Dayak sebab di sanalah ruh setiap warga kampung berada. Pohon yang telah berfungsi sebagai atau dijadikan ‘tomune’ itu dihormati dan dipandang memiliki kekuatan magis, dikultuskan dan diyakini sebagai “rumah” bagi arwah atau ruh setiap manusia yang ari-arinya disimpan di situ ketika ia meninggal dunia. Kecuali ‘tomune’ pohon lainnya yang disakralkan adalah pohon yang dijadikan ‘;, yakni pohon yang dijadikan atau dipilih lebah sebagai tempat bersarang. Pada jaman dahulu, pohon ‘sompunth’ menjadi ikakatan kekeluargaan warga kampung. Mereka megambil madu lebah bersama-samadan membaginya secara adil. Inilah salah satu bentuk kearifan lokal suku Dayak pada masa lalu. Menurut Bapak FX. Lonsen, pengurus Adat Dayak di daerah kecamatan Jangkang, pohon sompunth sudah tidak ada lagi. Imbasnya terasa pada masa kini bahwa anggota masyarakat mulai individualis: nilai-nilai kekeluargaan, kebersamaan, dan kesediaan untuk saling berbagi terasa tipis sekarang. 46 “Bobike atau boborenth” adalah upacara ritual suku Dayak Jangkang pada jaman dahulu. Pada masa sekarang, praktik “bobike atau boborenth” sudah jarang ditemukan.Kalaupun dilakukan pada masa sekarang, itu bukan sebagai pilihan utama dalam proses pengobatan orang sakit, tapi sebagai pilihan terakhir manakala penyakit pasien yang tidak lagi bisa disembuhkan dengan obat-obat pabrik atau pertolongan dokter lagi. 47 Lih. J.U. Lontaan, hal. 481.
52
ramah dan hormat pada lingkungan hidup adalah awal bagi kehancuran kearifan lokal Suku Dayak pada umumnya. Mereka kini mengalami kesulitan untuk menghidupkan kembali keyakinan tradisional para leluhurnya sebab perkebunan, pertambangan yang diikuti perubahan pola pikir dan gaya hidup sudah menggilas objek sakral para leluhur. Pohon-pohon, batu-batu dan sungai-sungai di hutan dan gunung tertentu telah tercederai dan tercemari oleh tindakan eksploitatif, bahkan keberadaannya disudahi atau digusur dengan persetujuan para pemuka masyarakat dan sebagian pengurus Adat yang pada dasarnya tidak memahami esensi adat. Kecuali itu, perilaku kurang bertanggungjawab dari generasi muda dewasa ini turut memperburuk keadaan. Mereka bukan hanya menelantarkan secara sengaja alat-alat bantu dalam upacara ritual seperti pontok/pantak,48 tapi menjadikannya objek bisnis dan menjualnya kepada para kolektor barang antik. Kini keberadaan ponto’/pantak sudah raib, entah kemana dan dimana. Dengan raibnya alat-alat ritual, tercemarinya objek sakral, serta punahnya sebagian besar ranah “axis mundi” suku Dayak maka esensi identitas Kesukuan pun terancam tidak jelas, tergerus dan terkubur oleh perilaku yang tidak bertanggungjawab. Dengan demikian, sebagian besar suku Dayak pada masa kini sebetulnya mengalami krisis pandangan hidup atau krisis “world view”. Kehidupan mereka tidak pakem pada budaya leluhur di satu sisi, dan kurang serius menekuni kepercayaan agama yang dianutnya di sisi lain. Sebab bila mereka serius beragama pastilah mereka mengetahui dan memahami bahwa alam adalah bagian dari jejak ilahi, ciptaan Allah yang luhur, yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia tapi pasti tidak muat untuk menampung keserakahan dan keinginan manusia yang tanpa batas.
4.5. Penutup
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit telah menggeser paradigma penilaian masyarakat terhadap hutan. Masyarakat yang sejak dahulu memandang hutan sebagai ikakatan kekerabatan, sumber kehidupan dalam berbagai aspek, dan warisan leluhur yang suci atau sakral sehingga perlu dijaga, kini memandang hutan dari aspek ekonomis 48
Ponto’ atau pantak adalah semacam patung yang diukir dengan nuansa religiuus dan pada waktu-waktu suci atau batu yang teksturnya mirip wajah manusia atau binatang tertentu yang diyakini memiliki daya untuk membantu dan menjaga komunitas suku Dayak. Pada jaman dahulu, komunitas Dayak yang hidup dan tinggal di rumah panjang/betang, ponto’/pantak itu biasanya “ditahtakan” mengitari suatu jenis pohon besar yang diyakini sebagai “axis mundi” di jalan menuju kampung.
53
semata-mata. Setidaknya pandangan seperti itu mulai bergulir setelah adanya perkebunan kelapa sawit dan penilaian bahwa perkebunan kelapa sawit dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat adalah pemantik utamanya. Pada kenyataannya, seperti dikatakan Bapak Sutek Pemulih, secara ekonomis perkebunan kelapa sawit pada umumnya dipandang berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat. Menurutnya, keberhasilan kelapa sawit bisa diukur secara sekilas dengan gaya hidup masyarakat, selera dan koleksi sarana penunjang kehidupannya. Ia mengilustrasikan keadaan tersebut dengan fenomena kehidupan masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit, yang menurutnya mengalami peningkatan sarana dan prasarana. Beliau menginformasikan bahwa kemajuan taraf perekonomian masyarakat dapat dilihat pada siang hari, yakni bervariasinya jenis-jenis kendaraan roda empat yang diparkirkan di depan rumah-rumah. Kecuali itu, rumah masyarakat yang juga sudah berubah, dari tradisional menjadi modern. Fakta bahwa perkebunan kelapa sawit menguntungkan secara ekonomis bila dibandingkan dengan pola bercocok tanam padi dan karet membuat warga yang semula menolak kehadiran perkebunan kelapa sawit karena belum memiliki wawasan dan pengalaman tentangnya, kini lantas berubah dan terbuka pikirannya terhadap perusahaan yang mengelolanya dan bahkan mereka menanam dan mengelola perkebunannya secara pribadi. Akibatnya, rasa antipati terhadap perkebunan kelapa sawit berubah menjadi harapan akan kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit di daerahnya dan dapat “memiliki” perkebunan kelapa sawit secara pribadi. Kini masyarakat malahan berbalik kiblat dan memandang perkebunan kelapa sawit itu penting bagi pertumbuhan ekonominya. Itulah yang diungkapkan oleh Bapak Sutek Pemulih, sebagai Manager dari salah satu perusahaan kelapa sawit di kabupaten Sanggau. Beliau mengungkapkan bahwa, masyarakat sendiri yang mengundang perusahaan kelapa sawit untuk masuk ke daerahnya. Akan tetapi, alih-alih menguntungkan secara ekonomi, perkebunan kelapa sawit rupanya hanya menguntungkan sebagian terkecil masyarakat dan dalam skala yang besar, luas, serta berkepanjangan merusak lingkungan yang menjadi awal bagi krisis ekologi dan persoalan sosiokultural. Kerusakan tersebut selain merugikan juga mengancam masa depan umat manusia untuk jangka panjang, serta memakan biaya yang sangat mahal untuk menanggung kerugian yang ditimbulkannya.
54
Secara sekilas kehidupan masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit memang tampak ada kemajuan, tapi yang dapat dipastikan berkepanjangan adalah kemunduran dari segi ekologi dan perspektif kelestarian budaya dan adat-istiadat. Oleh karena itu, kehadiran proyek PIR-Bun kelapa sawit yang selama ini dinilai beberapa pihak berkepentingan telah memberikan kontribusi yang positif terhadap peningkatan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya, sesungguhnya tidaklah sebanding dengan kerusakan dan kerugian ekologi dan sosial yang bakal ditimbulkannya untuk jangka panjang. Jadi, perkebunan kelapa sawit memuat potensi destruktif, yang bagaikan “bom waktu” yang setiap saat bisa meledak, dalam rupa ancaman ekologis dan konflik horizontal berbasis sosio-kultural akibat perubahan pola hidup masyarakat yang ditandai dengan pergeseran orientasi kepemilikan harta untuk memperoleh penghargaan dan pengakuan masyarakat yang berkenaan dengan status sosial. Bila meletus konflik horizontal yang berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit maka korban harta benda dan nyawa pasti tidak terbayar dan tidak tergantikan oleh keuntungan yang diterima masyarakat selama ini dari kehadiran perkebunan kelapa sawit. Konflik horizontal bisa melibatkan tidak hanya sesama warga masyarakat setempat, tetapi juga warga pendatang dan pihak perusahaan perkebunan. Kalau suatu saat terjadi konflik maka dapat diduga salah satu pemicunya adalah perebutan lahan, menyangkut persoalan tanah, ketidakharmonisan relasi antarwarga akibat cemburu sosial yang dipicu oleh persaingan pola hidup, dan juga masalah pergaulan anak-anak muda yang semakin bebas dan mengabaikan kode etik dan tatanan normatif serta adat-isitadat.
55
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan Reaksi awal masyarakat terhadap kehadiran Perkebunan PIR-Bun kelapa sawit yang masuk dan dikembangkan di daerah Kabupaten Sanggau pada awal tahun 1980 adalah menolaknya. Masyarakat yang sudah turun-temurun memiliki pola pertanian dan perkebunan tradisional enggan menerima kehadiran perusahaan kelapa sawit, selain karena belum memahami betul jenis tanaman dan apa keuntungannya, juga karena pada waktu itu belum jelas bagaimana memasarkannya. Oleh karena itu, mereka lebih memilih menanam karet, coklat, kopi, cengkeh, dan padi di lahan yang dimilikinya. Namun, seiring dengan perjalanan waktu perkebunan kelapa sawit berhasil melewati fase krisis kepercayaan masyarakat tersebut. Ketika masyarakat mengetahui bahwa buah kelapa sawit berharga, pada musim panen mudah dijual sebab pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit mengakomodasi pemasarannya, secara perlahan timbul perubahan pandangan masyarakat terhadap kehadiran perkebunan kelapa sawit. Mereka lalu terbuka dan menerima kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kini sebagian besar masyarakat di Kabupaten Sanggau terpesona oleh potensi ekonomi dalam perkebunan kelapa sawit sehingga “tergila-gila” menanamnya dan lantas beralih kiblat usaha dari perkebunan dan pertanian karet, kopi, cengkeh, coklat, dan padi ke perkebunan kelapa kelapa sawit. Ketika masyarakat berubah pandangan dan bersikap terbuka pada kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit, mereka menebang pohon-pohon karet dan menanam kelapa sawit di bekas lahan perkebunan karetnya dan lahan pertanian padi miliknya. Mereka bahkan mengolah hutan yang bukan areal perkebunan karetnya untuk dijadikan areal perkebunan kelapa sawit. Kecuali itu, mereka bahkan tanpa berpikir panjang menyerahkan lahan-lahan yang dapat dicakupkan sebagai hak ulayat dan warisan leluhurnya, yang mesti diwariskan kepada anak cucunya, kepada pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk dikelola dengan sistem bagi hasil sesuai dengan persentase yang disepakati diantara kedua belah pihak. Akibatnya, terjadilah perluasan lahan perkebunan kelapa sawit milik perusahaan tertentu secara drastis dan hingga saat ini semakin sulit dikontrol.
56
Keberhasilan perkebunan kelapa sawit dalam meningkatkan perekonomian masyarakat memang patut menyita perhatian secara pertimbangan ekonomis. Tapi yang layak juga kita sadari, refleksikan dan pertimbangkan matang-matang adalah imbas sosial dan ekologisnya yang sulit dicegah. Secara sosial, terjadi perubahan pola pikir dan tindakan masyarakat terhadap hutan, yang bermuara pada persoalan ekologis berupa krisis ekologi. Di sisi lain perubahan paradigma berpikir ini mengubah perilaku kehidupan dan interaksi sosial mereka sehari-hari. Tatanan adat, hukum adat, dan kearifan lokal semakin longgar pengaruhnya bahkan tidak lagi dipandang dan digunakan sebagai kompas kehidupan atau kalaupun ditegakkan dan dilaksanakan maka esensi dan motivasinya berwajah pragmatis dan sarat dengan pertimbangan ekonomis yang menguntungkan pihak-pihak yang berkepentingan saja. Fenomena yang kentara kini adalah apa yang dahulu dipandang dan diyakini sebagai tabu dan sakral segera dipandang ketinggalan jaman oleh generasi muda dan segelintir golongan tetua yang terkontaminasi pemikirannya oleh iklim kapitalisme yang termanisfestasi dalam perkebunan kelapa sawit, yang menekan kehidupan mereka. Imbas lebih lanjut dari kenyataan ini adalah disorientasi sikap dan perilaku sosial, yang dapat memicu konflik horizontal dalam skala kecil hingga besar, baik antarwarga sendiri maupun antarwarga dengan pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kini ekspansi perkebunan kelapa sawit sudah menerobos ke daerah-daerah pedalaman Kalimantan dan khususnya di pedalaman Kabupaten Sanggau, menggilas habis segala yang dijaga dan “ditabukan” oleh para leluhur pada jaman dahulu. Kedatangannya bagaikan bulldozer yang menggilas tradisi bertani dan kearifan lokal mengenai pertanian dan tradisi hidup seharihari. Secara ekologis efeknya pun menghilangkan kesuburan tanah sebab humus tanah yang original atau asli terkikis habis oleh eksistensi pohon kelapa sawit. Otomatis segala yang menjadi andalan masyarakat tradisional dan imajinasi kolektif mengenai hutan rimba dan hutan tembawang punahlah sudah. Kerugian yang diderita tidak hanya menyangkut pohon-pohon raksasa yang bertumbangan satu persatu dan tidak mungkin ditemukan lagi, tapi juga beribu-ribu jenis tanaman yang menjadi andalan untuk bahan obat tradisional turut hilang. Kecuali itu, berbagai jenis satwa liar, biota air, dan berbagai jenis burung satu-persatu punah. Mereka tidak mungkin lagi kita temukan di alam perkebunan kelapa sawit yang jelas homogen. Generasi yang akan datang jelas tidak lagi dapat mengamati dan mempelajarinya dari segi pengembangan ilmu pengetahuan.
57
Jelaslah kini bahwa keuntungan secara ekonomis yang dinikmati oleh segelintir orang, yang membius kesadaran masyarakat pada umumnya tidaklah sebanding dengan kerugian sosial ekologis yang dipertaruhkan dan dijadikan sebagai tumbalnya. Pengamatan secara langsung terhadap keadaan alam di daerah Kabupaten Sanggau pasca kehadiran perkebunan kelapa sawit dan ekspansinya secara besar-besaran dengan segera memberitahukan kepada kita bahwa pengetahuan tentang dampak-dampak negatif dari perkebunan kelapa sawit sesungguhnya bisa diketahui secara langsung melalui pengalaman hidup sehari-hari di sana: pengamatan dan keterlibatan langsung melalui aktivitas sehari-hari dan dialog dengan warga setempat. Artinya, tidak membutuhkan taraf pendidikan formal sampai tingkat tinggi untuk mengetahui bahwa keuntungan ekonomi dari perkebunan kelapa sawit sesungguhnya tidak sebanding dengan kerugian sosial dan ekologis yang ditimbulkannya. Terkait kerugian ekologis, masyarakat setempat yang akan mengalaminya secara berkepanjangan dan mereka sungguh sangat dirugikan serta pasti mengalami kesulitan yang belum tentu dapat diatasi oleh pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit, meskipun dengan mempertaruhkan seluruh keuntungan ekonomi atau finasisal yang diperolehnya melalui perkebunan tersebut. Keuntungan perkebunan kelapa sawit jelas tidak cukup untuk membiayai kerugian yang ditimbulkan sebagai akibatnya secara langsung terhadap ekologi, sosiokultural, dan perubahan “world view” masyarakat. Perubahan “world view” masyarakat tampak pada fenomena desakralisasi hutan. Mereka tidak lagi menghayati atau memandang gunung, pohon, sungai, atau hutan tertentu sebagai “jejak yang Ilahi”. Akibat desakralisasi hutan ini adalah tindakan eksploitatif terhadap alam yang kemudian menimbulkan kerusakan ekologi. Kini fenomena desakralisasi alam ini semakin tidak dapat dikendalikan, misalnya dalam bentuk perluasan perkebunan kelapa sawit. Kehadiran perkebunan kelapa sawit secara umum dan luas lebih banyak menimbulkan kerugian, terutama menyangkut perubahan pola pikir masyarakat terhadap hutan secara drastis dalam rupa memudarnya penghayatan dan komitmen kepada kearifan lokal terkait keberadaan hutan. Pemerintah dan masyarakat mesti duduk bersama-sama untuk memikirkan ulang kemungkinan membatasi atau bahkan menutup peluang pengembangan perkebunan kelapa sawit yang masa perijinannya sudah habis masa berlakunya, serta dengan serius merancang upayaupaya untuk menaggulangi kerugian ekologi dan sosial yang telah ditimbulkannya dan pasti mengancam kelanjutan masa depan manusia dan lingkungan hidup. Bila tidak, maka masa depan 58
bersama menjadi taruhannya. Dalam konteks itu, keputusan untuk setiap rancangan pengembangan ekonomi dan kegiatan bisnis yang bertumpu pada pengelolaan sumber daya alam haruslah memiliki visi kearifan lokal, berpihak pada keramahan lingkungan demi masa depan masyarakat di sekitarnya.
5.2. Rekomendasi
Bertolak dari kenyataan dan memperhatikan dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit, beberapa rekomendasi berikut ini harus diperhatikan baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Dewan Adat Dayak, dan segenap pemangku kepentingan yang mengatasnamakan diri untuk memperjuangkan aspirasi rakyat demi kesejahteraan masyarakat, serta para pemangku adat adalah:
1. Menimbang dan memperhatikan kerusakan ekologis yang diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit dan potensi ancaman konflik sosial dan horizontal yang ditimbulkannya, eksistensi dan ekspansi perkebunan kelapa sawit harus segera ditertibkan dan bila perlu dihentikan perluasannya. 2. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Dewan Adat, dan perangkat desa harus segera membatasi perluasan perkebunan kelapa sawit atau mengehentikan perluasannya dengan mengacu pada dampak-dampak destruktifnya terhadap ekologi, ancaman di masa depan bagi kehidupan sosial masyarakat. Dalam konteks itu, harus ada aturan yang tegas untuk membatasi dan bila perlu menghentikan perluasan perkebunan kelapa sawit yang tanpa kejelasan batasannya. 3. Pihak pemerintah daerah dan segenap elemen yang mengatasnamakan dirinya sebagai juru bicara keadilan yang pro rakyat mengemban tanggungjawab moral untuk menjaga kestabilan sosial dan kelestarian lingkungan sehingga harus memberikan edukasi kepada masyarakat setempat mengenai dampak-dampak berkepanjangan dari penanaman kelapa sawit secara tidak terbatas.
59
4. Ketua adat, pemimpin adat, dan para aparat desa harus berani melawan egoisme diri untuk tidak “mengemis keuntungan” dari pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh pihak perusahaan yang jelas-jelas menggadai masa depan anak cucu atau generasi penerus Suku Dayak. Yang justru harus dilakukan adalah menjadi motor penggerak kesadaran masyarakat untuk menolak kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit di daerah masing-masing dan menanamkan kesadaran baru bahwa hak ulayat dan warisan para leluhur wajib dilindungi dan dilestarikan untuk generasi Dayak yang akan datang. 5. Perguruan Tinggi dan kaum terdidik pada umumnya yang tergabung dalam organisasi-organisasi, LSM yang pro lingkungan hidup wajib menyuarakan seruan moral dan kajian etis untuk mengkritisi segala bentuk eksploitasi lingkungan hidup dengan dalih pembangunan ekonomi, yang tanpa mengkalkulasi dampak-dampak yang berkepanjangan dan mengancam keberlanjutan eksistensi manusia dan makhluk hidup serta berbagai jenis tumbuhan yang berguna bagi penunjang kehidupan segenap makhluk hidup.
60
KEPUSTAKAAN
Alfian, 1986.Transformasi Sosial Budaya Dalam Pembangunan Nasional, UI-Press, Jakarta. Alqadrie, Syarif. I. 1992. Dampak Perusahaan HPH Terhadap kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya. Andasputra, Nico. John Bamba, Edi Petebang (Eds), 2001. Pelajaran Dari Masyarakat Dayak: Gerakan Sosial dan Resiliensi Ekologis di Kalimantan Barat, WWF-Biodiversity Support Program (BSP), Washington DC, USA dengan Institut Dayakologi (ID), Pontianak-Indonesia. Biro Pusat Statistik dan Bappeda.1988; 1999; 1990. Kalimantan Barat Dalam Angka, BPS, Pontianak. Djuweng, Stefanus. Nico Andasputra, John Bamba, Edi Petebang, (et.al), 2003. Tradisi Lisan Dayak Yang Tergusur Dan Terlupakan, Institut Dayakologi, Pontianak. Boff, Leonardo, 1995. Ecology & Liberation: A New Paradigm, Ttranslated from the Italian by John Cumming, Orbis Books, Maryknoll, New York 0545-0308. Chang, William, 2001. Moral Lingkungan Hidup, Yogyakarta, Kanisius. Eugene P. Odum, 1976. Fundamentals of Ecology (Philadelphia: Saunders College Publishing. Ensiklopedi Indonesia 5: P-SHF (Edisi Khusus) (Ed. Hassan Shadily, dkk), 1991. (Jakarta: P.T. Ichtiar Baru – Van Hoeve). Florus, Paulus, dkk (.ed), 1994. Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Grashindo Utama, Jakarta. Garna, J. K. 1992. Teori-Teori Perubahan Sosial, Program Pascasarjana Unpad, Bandung. Hans D. van Hoogstraten, 2001. Deep Economy: Caring for Ecology, Humanity and Religion, James Clarke & Co P.O. Box 60 Cambridge CB1 2NT, England Hariyadi, 2009. Dampak Ekologi Pengembangan Kelapa Sawit untuk Bioenergi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2006. Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, Himpunan Dokumen Peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Sedunia, 9 Agustus 2006. Jakarta, Komnas MAH Press. Lontan, J.U, 1975. Sejarah-Hukum Adat Dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, Ofset Bumirestu, Jakarta.
61
Mariane, Irene. 2014. Kearifan Lokal Pengelolaan Hutan Adat, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada. Mudiyono et.al., 1990. Dampak PIR-Bun Terhadap Perubahan Ekologi Peladang Berpindah di Kecamatan Parindu Sanggau Kalbar, Lembaga Penelitian Untan, Pontianak; 2-3. Paus Fransiskus, 2015. Ensiklik Laudato Si’, Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, diterjemahkan oleh Martin Harun OFM., Obor. Riwut, Tjilik, 1979. KALIMANTAN MEMBANGUN. Jakarta, PT. Jakarta Agung Offset. Sayogyo, Pudjiwati. 1985. Sosiologi Pembangunan, Bogor: Institut Pertanian Bogor. Soelaiman, M. Munandar. 1998. Dinamika Masyarakat Transisi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dirk van Hoogstraten, Hans. 2001. Deep Economy: Caring for Ecology, Humanity and Religion, James Clarke & Co P.O. Box 60 Cambridge CB1 2NT, England, hal. 35. Van Lier, Yoep (ed). 1991. ADAT ISTIADAT SUKU DAYA: Catatan Berasal Dari Mgr. L. Van Kessel (1940=1975), Jakarta.
http://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik/2015/SAWIT%202013%202015.pdf http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23266/3/Chapter%20II.pdf (diunduh tanggal 16 November 2016).
.http://herukuswanto.dosen.narotama.ac.id/files/2011/05/Modul-Hukum-Adat-5-Lingkaran-HukumAdat.pdf (diunduh tanggal 16 November 2016).
https://institutdayakologi.wordpress.com/2011/04/05/suku-dayak/ http://setda.sanggau.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=37&Itemid=66 (diunduh tanggal. 12 Feb 2016).
62