STATUS PASIEN
ANAMNESIS I.
Identitas Nama
: Ny. B
Umur
: 26 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Alamat
: Karang Jati- Ngawi
Tanggal pemeriksaan : 13 Januari 2013
II. Keluhan Utama Sesak nafas III. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengeluh adanya sesak nafas sejak 1 minggu SMRS yang lalu baik saat beaktivitas maupun beristirahat disertai dengan demam. Saat datang ke UGD pasien sedang hamil 8 bulan dan saat ini pasien post-operasi SC. Saat ini pasien masih mengeluh adanya sesak nafas, meskipun sudah membaik daripada yang dirasakan sebelumnya. IV. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien belum pernah mengalami penyakit serupa DM (-) HT (+), datang pertama ke UGD dengan TD 150/70 mmHg V. Riwayat Penyakit Keluarga DM (-) HT (-)
1
VI. Anamnesis Sistem Sistem Serebrospinal : demam (+) pusing (-) nyeri kepala (-), kejang (-) Sistem Respirasi
: sesak (+) batuk (-) pilek (-)
Sistem Kardiovaskular : berdebar2 (+) sianosis (-) Sistem Digesti
: mual (-) muntah (-) penurunan nafsu makan (+) konstipasi (+)
Sistem Urogenital
: BAK normal
Sistem Muskuloskeletal : kedua kaki bengkak VII. Kebiasaan dan Lingkungan Pasien sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga.
PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum
: lemah, pucat dan tampak sakit
Kesadaran
: GCS E4V5M6
Kepala Leher
: konjungtiva anemis (+), sclera ikterik (-), sianosis (-)
Vital Sign
: TD : 130/70 mmHg Suhu : 38 C
Pemeriksaan Thoraks
Nadi: 147x/menit RR: 55x/menit
: Cor : s1s2 reguler, bising (-) Pulmonal : wheezing (-) ronkhi (-)
Pemeriksaan Abdomen : Post SC Pemeriksaan Ekstremitas: ekstremitas atas -/- ekstremitas bawah +/+
2
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Tanggal 8-1-2013 Faal Hati SGOT
: 210 ul meningkat
SGPT
: 380 mg/dl meningkat
Bilirubin direct
: 4,32 mg/dl meningkat
Bilirubin indirect
: 8,40 mg/dl meningkat
HbsAg
: Negative normal
Faal Ginjal Serum Creatinin
: 0,79 mg/dl normal
Ureum
: 20 mg/dl normal
Urine Lengkap Makroskopis Warna
: kuning kecoklatan
Kekeruhan
: keruh
Berat jenis
: 1.020
pH
:6
Protein
: positif 2 / ++ proteinuria
Nitrit (bakteri) : negative
3
Keton
: negative
Urobilin
: positif 1/ +
Bilirubin
: positif 1/+
Mikroskopis Eritrosit
: 3-5 L/P meningkat
Leukosit
: 10-15 L/P meningkat
Epitel
: 20-30 L/P meningkat
Kristal
: positif
Bakteri
: positif
Tanggal 10-1-2013 Hematologi Hemoglobin
: 10 g/dl anemia
Leukosit
: 10.400 mmk menigkat
Angka Trombosit
: 105.000 mmk trombositopenia
Faal Hati SGOT : 91 ul meningkat SGPT : 38 ul meningkat Kesimpulan : Pasien post SC e.c preeklamsia ( HT, proteinuria dan edema ekstremitas bawah)
4
ANALISIS FOTO RONTGEN THORAX
FOTO THORAX
Gambar 1. Foto Thorax Ny. B
5
ANALISIS FOTO Analisis Foto Thorax Penilaian Foto a. Identitas b. Faktor Kondisi
c. Faktor Inspirasi d. Faktor Posisi e. Faktor Proyeksi
f.
Faktor Simetrisasi
g. Faktor Terpotong
Pembacaan Foto a. Kadua Apeks Paru b. Corakan bronkovaskular c. Keadaan parenkim paru d. e. f. g.
Sinus Costophrenikus Diafragma Jantung Sistema Jaringan Lunak dan Tulang
Hasil Terdapat nama pasien, tanggal pemeriksaan, dan marker “L” Tampak adanya processus spinosus 4, ada penampakan vertebra thorakalis I-IV Tidak dapat dinilai Klavicula menukik, scapula tampak pada apeks paru Skapula tampak pada apeks paru, klavikula menukik, posisi jantung kesan lebih lebar Jarak antara median titik prosessus spinosus kanan-kiri > 2mm Superior: tampak VC.VII Lateral: tampak axilla ka-ki Inferior: tampak kesan batas sinus costophrenikus dan diafragma
Interpretasi Kurang Cukup Berbaring AP
Tidak simetris Tidak terpotong
Tenang Tidak ditemukan adanya infiltrate, kavitas, fibrosis, maupun kalsifikasi Bagian 1/3 paru superior dan 1/3 paru inferior bersih Tampak perivascular haziness kedua paru Kesan lancip pada ka-ki Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai Tidak terdapat kelainan
Kesimpulan : Edema Paru
6
Normal Tidak normal Normal Normal
PEMBAHASAN
PRE-EKLAMSIA Preeklamsia merupakan suatu sindrom spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan trias gejala klinis berupa peningkatan tekanan darah, edema pada ektremitas bawah, dan proteinuria. Sindrom ini dapat menyebabkan penurunan perfusi darah pada organ organ akibat adanya vasospasme dan menurunnya aktivitas sel endotel. Preeklamsia dapat disebut sebagai hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan atau penyakit hipertensi akut pada kehamilan. Preeklamsia tipe ini paling sering terjadi pada trimester terakhir kehamilan. Diagnosis hipertensi ditegakkan dari adanya peningkatan tekanan sistolik ≥ 140 mmHg dan diastolik ≥ 90mmHg, yang diukur dua kali selang 4 jam setelah penderita intirahat. Edema adalah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan didalam tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan wajah. Adanya proteinuria merupakan tanda penting dari preeklamsia, tanpa adanya proteinuria belum dapat dikatakan preeklamsia. Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam urin yang melebihi 0,3 g/ liter dalam urin 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+ atau 2+ atau ≥ 1g?liter dalam urin yang dikeluarkan dengan kateter atau midstream yang diambil minimal 2x dengan jarak waktu 6 jam. Biasanya proteinuria timbul lebih lambat dibandingkan hipertensi dan kenaikan berat badan, karena itu adanya proteinuria dianggap sebagai tanda yang cukup serius.
7
Gambar 2. Penilaian Klinik Eklamsia dan Preeklamsia
8
EDEMA PARU Definisi Edema paru akut adalah akumulasi cairan di intersisial dan alveolus paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia (Harun dan Saly, 2009; Soemantri 2011). Mekanisme Pada paru normal (gambar 2.3), cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama melalui celah kecil antara sel endotel kapiler ke ruang interstitial sesuai dengan selisih antara tekanan hidrostatik dan osmotik protein, serta permeabilitas membran kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar intertisial pada keadaan normal tidak dapat masuk ke ruang alveolar hal ini disebabkan epitel alveolus terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika cairan memasuki ruang intertisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh sistem limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradien tekanan onkotik protein (Maria, 2010).
9
Gambar 3. Paru Normal (dikutip dari Lorraine et al, 2005) Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru: 1.
Membran kapiler alveoli Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang interstitial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam kedaan normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke ruang interstitial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik (Harun dan Sally, 2009).
2. Sistem Limfatik Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan cairan balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstitial peribronkhial dan perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan dari interstitium alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem
10
limfe akan mengalami
hipertrofi
dan
mempunyai
kemampuan
untuk
mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar yang dapat mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya edema interstitial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi (Harun dan Sally, 2009). Klasifikasi Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus (Harun dan Sally, 2009): 1. Ketidakseimbangan “Starling Force” a. Peningkatan tekanan vena pulmonalis Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat sampai melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yang biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain: (1) tanpa gagal ventrikel kiri (mis: stenosis mitral), (2) sekunder akibat gagal ventrikel kiri, (3) peningkatan tekanan kapiler paru sekunder akibat peningkatan tekanan arterial paru (sehingga disebut edema paru overperfusi). b. Penurunan tekanan onkotik plasma Hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menimbulkan edema paru. Hipoalbuminemia dapat menyebabkan perubahan konduktivitas cairan rongga interstitial sehingga cairan dapat berpindah lebih mudah diantara sistem kapiler dan limfatik.
11
c. Peningkatan negativitas dari tekanan interstisial Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural. Kedaaan yang sering menjadi etiologi adalah: (1) perpindahan yang cepat pada pengobatan pneumothoraks dengan tekanan negatif yang besar. Keadaan ini disebut „edema paru re-ekspansi‟. Edema biasanya terjadi unilateral dan seringkali ditemukan dari gambaran radiologis dengan penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus yang menjadikan „edema paru re-ekspansi‟ ini berat dan membutuhkan tatalaksana yang cepat dan ekstensif, (2) tekanan negatif pleura yang besar akibat obstruksi jalan nafas akut dan peningkatan volume ekspirasi akhir (misalnya pada asma bronkhial). 2. Gangguan
permeabilitas
membran
kapiler
alveoli:
(ARDS
= Adult
Respiratory Distress Syndrome). Kedaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgikal tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan „Straling Force‟ -
Pneumonia (bakteri, virus, parasit)
-
Terisap toksin (NO, asap)
-
Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi
-
Aspirasi asam lambung
-
Pneumonitis akut akibat radiasi
-
Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin)
-
Dissemiated Intravascular Coagulation
-
Immunologi: pneumonitis hipersensitif
-
Shock-lung pada trauma non thoraks
-
Pankreatitis hemoragik akut
-
12
3. Insufisiensi sistem limfe
4.
-
Pasca transplantasi paru
-
Karsinomatosis, limfangitis
-
Limfangitis fibrotik (siilikosis)
Tidak diketahui atau belum jelas mekanismenya -
“High altitude pulmonary edema”
-
Edema paru neurogenik
-
Overdosis obat narkotik
-
Emboli paru
-
Eklamsia
-
Pasca anastesi
-
Post cardiopulmonary bypass
Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik Etiologi dan Patofisiologi Edema paru kardiogenik atau edema volume overload dapat terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Ketika tekanan interstitial paru lebih besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceralis yang menyebabkan efusi pleura. Sejak permeabilitas kapiler endothel tetap normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18 – 25 mmHg) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang intersisial peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edema akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus (gambar 2.4B). Kejadian tersebut akan
13
menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010) :
Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui mekanime interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung. Penghapusan cairan edema dari ruang udara paru tergantung pada transpor
aktif natrium dan klorida melintasi barier epitel alveolar. Bagian utama reabsorbsi natrium dan klorida adalah ion channelsepitel yang terdapat pada membran apikal sel epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran nafas distal. Natrium secara aktif ditranspor keluar ke ruang interstitial dengan cara Na/ K-ATPase yang terletak pada membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti, kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan saluran air yang ditemukan terutama pada epitel alveolar sel tipe I (Lorraine et al, 2005). Edema paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai munculnya gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang tidak normal (Maria, 2010). Secara patofisilogi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagiankapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permiabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler dan hasil
14
akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hiposemia dan sesak nafas (Harun dan Sally, 2009).
Gambar 4. Patofisiologi Edema Paru (dikutip dari Lorraine et al, 2005) Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda. Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara diparu dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang tertutup (Harun dan Sally, 2009). Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema interstitial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dan petanda septum interlobuler (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan didaerah di interstitium yang longgar tersebut, dan akan terjadi pengisian di
15
lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refleks bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnea (Harun dan Sally, 2009). Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari edema paru tesebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang berat dan seringkali hipokapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonal akibat perfusi dari alveoli yang telah terisi cairan. Walaupun hipokapnea yang terjadi pada awalnya, tetapi apabila keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin yang telah diketahui memiliki efek depresi pada pernafasan, apabila akan dipergunakan harus dengan pemantau yang ketat (Harun dan Sally, 2009). Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik maka sebaliknya edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus (Gambar 2.4C). Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh molekul besar seperti protein plasma. Banyaknya cairan edema tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau tidak adanya cidera pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk secara aktif mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibat acute lung injury dimana
16
terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010). Diagnosis Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa kemiripan. 1. Anamnesis Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya adanya riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal jantung kronis. Edema paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang akan tenggelam (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010). 2. Pemeriksaan Fisik Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau tekanan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edema perifer, akral dingin dengan sianosis (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010). 3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi edema paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi / darah
17
rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan prekursornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan denganpulmonary
artery
occlusion pressure, left
ventricular
end-
diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya pada pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan spesifisitas 93% (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010). Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure (Pasquate et al, 2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis rutin untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukkan bahwa Pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya (AHA, 2009). 4. Pemeriksaan Radiologis Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis kerley A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar seperti pada gambaran ilustrasi 2.5 (Cremers et al, 2010; Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada foto thorax Postero-Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus edema paru. Sedangkan vena azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter > 10mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto thorax terlentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan menggambarkan adanya overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009).
18
Garis kerley A (gambar 2.6) merupakan garis linear panjang yang membentang dari perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang menggambarkan adanya edema septum interlobular. Garis kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah (Koga dan Fujimoto, 2009). Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru kardiogenik dan edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas rontgent paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
Tabel 1. Beda Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik (dikutip dari Lorraineet al, 2005) NO.
Gambaran Radiologi
Edema Kardiogenik
1
Ukuran Jantung
Normal atau membesar
2
Lebar pedikel Vaskuler
Normal atau melebar
3
Distribusi Vaskuler
Seimbang
4
Distribusi Edema
rata / Sentral
5
Efusi pleura
Ada
6
Penebalan Peribronkial
Ada
7
Garis septal
Ada
8
Air bronchogram
Tidak selalu ada
19
Gambar 5. Ilustrasi Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari Cremers et al, 2010)
Gambar 6. Gambaran Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari Koga dan Fujimoto, 2009)
20
5.
Ekokardiografi Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kiri. Ekokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab edema paru (Maria, 2010).
6. EKG Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran ekg biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya menunjukkan gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau ketokolamin (Harun dan Sally, 2009).
Gambar 7. Algoritma untuk Differensiasi Klinis Antara Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik(dikutip dari Lorraine et al, 2005)
21
Penatalaksanaan
Gambar 8. Algoritma Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari ESC, 2012) Keterangan: 1. Pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan diuretik, dosis yang direkomendasikan sebesar 2,5x dari dosis oral yang biasanya diberikan. Dapat dulang jika diperlukan. 2. O2 saturasi dengan pulse oximeter <90 font="font" nbsp="nbsp">atau PaO2 <60 dapat="dapat"
diberikan="diberikan" 22
hipoksemia="hipoksemia"
kpa="kpa"
mengobati="mengobati"
mmhg="mmhg"
oksigen="oksigen"
po="po"
span="span" untuk="untuk">2 < 90%), yang terkait dengan peningkatan risiko mortalitas jangka pendek. Oksigen tidak boleh digunakan secara rutin pada pasien non-hipoksemia karena menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan curah jantung 3. Biasanya dimulai dengan O2 40–60%, dititrasi sampai SpO2 >90%; hati-hati pada pasien yang mempunyai resiko retensi CO2. 4. Contoh, pemberian morfin 4–8 mg ditambah metocloperamide 10 mg; obeservasi adanya depresi pernafasan, dapat diulang jika diperlukan. 5.
Akral
dingin,
tekanan
darah
rendah,
produksi
urine
yang
sedikit,
bingung/kesadaran menurun, iskemia miokardial. 6.
Contoh, mulai pemberian infus dobutamine 2.5 μg/kg/menit, dosis dinaikkan 2x lipat tiap 15 menit tergantung respon (titrasi dosis dibatasi jika terdapat takikardia, aritmia atau iskemia). Dosis >20 μg/kg/menit jarang sekali diperlukan. Bahkan dobutamine mungkin memiliki aktivitas vasodilator ringan sebagai akibat dari stimulasi beta-2 adrenoseptor.
7.
Pasien harus diobservasi ketat secara reguler (gejala, denyut dan ritme jantung, SpO2, tekanan darah sistolik, produksi urine) sampai stabil dan pulih.
8.
Contoh, mulai pemberian infus NGT 10 μg/menit dan dosis dinaikkan 2x lipat tiap 10 menit tergantung respon (biasanya titrasi naiknya dosis dibatasi oleh hipotensi). Dosis >100 μg/min jarang sekali dipelukan.
9.
Respon yang adekuat ditandai dengan berkurangnya dypsnea, diuresis yang adekuat (produksi urine >100 mL/jam dalam 2 jam pertama), peningkatan saturasi O2 (jika hipoksemia) dan biasanya terjadi penurunan denyut jantung dan frekuensi pernafasan yang seharusnya terjadi dalam 1-2 jam pertama. Aliran darah perifer juga dapat meningkatkan seperti yang ditandai oleh penurunan vasokonstriksi kulit, peningkatan suhu kulit, dan perbaikan dalam warna kulit. Serta adanya penurunan ronkhi.
23
10. Setelah pasien nyaman dan diuresis yang stabil telah dicapai, ganti terapi iv dengan pengobatan diuretik oral. 11. Menilai gejala yang relevan dengan HF (dyspnea, ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnoea), komorbiditas (misalnya nyeri dada akibat iskemia miokard), dan efek samping pengobatan (misalnya simptomatik hipotensi). Menilai tandatanda kongesti/edema perifer dan paru, denyut dan irama jantung, tekanan darah, perfusi perifer, frekuensi pernapasan, serta usaha pernapasan. EKG (ritme / iskemia dan infark) dan kimia darah / hematologi (anemia, gangguan elektrolit, gagal ginjal) juga harus diperiksa. Pulse oximetry (atau pengukuran gas darah arteri) harus diperiksa dan diperiksakan ekokardiografi jika belum dilakukan. 12. Produksi urine < 100 mL/jam dalam 1–2 jam pertama adalah respon awal pemberian diuretik iv yang tidak adekuat (dikonfirmasi melalui kateter urine). 13. Pada pasien dengan tekanan darah masih rendah / shock, dipertimbangkan diagnosis alternatif (emboli paru misalnya), masalah mekanis akut, dan penyakit katup yang berat (terutama stenosis aorta). Kateterisasi arteri paru dapat mengidentifikasi pasien dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang tidak adekuat ( lebih tepat dalam menyesuaikan terapi vasoaktif). 14. Balon pompa intra aorta atau dukungan sirkulasi mekanik lainnya harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi. 15. CPAP or NIPPV harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi.Ventilasi non-invasif continuous positive airway pressure (CPAP) dan non-invasive intermittent positive pressure ventilation (NIPPV) mengurangi dyspnea dan meningkatkan nilai fisiologis tertentu (misalnya saturasi oksigen) pada pasien dengan edema paru akut. Namun, penelitian RCT(Randomized controled trial) besar yang terbaru menunjukkan bahwa ventilsasi non-invasif atau invasif tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan angka kematian bila dibandingkan dengan terapi standar, termasuk nitrat (dalam 90% dari pasien) dan opiat (di 51% dari pasien). Hasil ini berbeda dengan penelitian
24
dari metaanalisis sebelumnya dengan studi yang lebih kecil. Ventilasi Non-invasif dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk meringankan gejala pada pasien dengan edema paru dan gangguan pernapasan parah atau pada pasien yang kondisinya gagal membaik dengan terapi farmakologis. Kontraindikasi untuk penggunaan ventilasi non invasif meliputi hipotensi, muntah, kemungkinan pneumotoraks, dan depressed consciousness. 16. Dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan intubasi endotrakeal dan ventilasi invasif jika hipoksemia memburuk, gagal upaya pernapasan, meningkatnya kebingungan / penurunan tingkat kesadaran , dll. 17. Meningkatkan dosis loop diuretik hingga setara dengan furosemide 500 mg (≥ dosis 250 mg harus diberikan melalui infus lebih dari 4 jam). 18. Jika tidak ada respon terhadap penggandaan dosis diuretik meskipun tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat (baik disimpulkan atau diukur secara langsung) maka mulai infus dopamin 2,5 μg / kg / menit. Dosis yang lebih tinggi tidak dianjurkan untuk meningkatkan diuresis. 19. Jika langkah 17 dan 18 tidak menghasilkan diuresis yang adekuat dan pasien tetap terjadi
edema
paru
maka
ultrafiltrasi
dipertimbangkan.
25
terisolasi
venovenous
harus
DAFTAR PUSTAKA
1. AHA. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure in Adults. Circulation 2009, 119:1977-2016: 2. Alasdair et al. Noninvasive Ventilation In Acute Cardiogenic Pulmonary Edema. N Engl J Med 2008;359:142-51. 3. Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant. (Online). Tersedia:Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/ chest-xray-heart-failure.html. (24 November 2012) 4. Daulat. Tatalaksana Gagal Jantung Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1515-1519 5. Dickstein et al. The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008 of the European Society of Cardiology. Developed in Collaboration with the Heart Failure Association of the ESC (HFA) and Endorsed by the European Society of Intensive Care Medicine (ESICM). Eur J Heart Fail 2008;10:933–989. 6. ESC. 2008. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008. European Heart Journal (2008) 29, 2388–2442 doi:10.1093/eurheartj/ehn309 7. ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012. European Heart Journal (2012) 33, 1787–1847 doi:10.1093/eurheartj/ehs104 8. Gheorghiade Metal. Acute Heart Failure Syndromes: Current State and Framework for Future Research. AHA 2005; 112; 3958-3968. 9. Gray et al. Multicentre Randomised Controlled Trial of The Use of Continuous Positive Airway Pressure and Non-Invasive Positive Pressure Ventilation in The 26
Early Treatment of Patients Presenting to the Emergency Department with Severe Acute Cardiogenic Pulmonary Oedema: the 3CPO trial.Leeds. Health Technology Assessment 2009; Vol. 13: No. 33 10. Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-1653 11. Koga dan Fujimoto. Kerley’s A, B and C Lines. NEJM. 360;15 nejm.org april 9, 2009 12. Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96. 13. Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP.Anestesia & Critical Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.52 14. McCance KL. 2006. Structure and Function of The Cardiovascular and Lymphatic Systems. In: McCance KL, Huether SE. Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. USA: Elsevier Mosby; p. 1075. 15. Pasquate et al. Plasma surfactant B : A novel Biomarker in Chronic Heart Failure. Circulation 2004 : 110 : 1091-1096 16. Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu Penyakit Dalam 2011. FKUNAIR-RSUD. DR Soetomo Surabaya, hal 11319 17. Ursella et al. The Use of Non-Invasive Ventilation in The Treatment of Acute Cardiogenic
Pulmonary
Edema.
European
Pharmacological Sciences. 2007; 11: 193-205
27
Review
for
Medical
and
KASUS RADIOLOGI 1
FOTO THORAX : EDEMA PARU
Oleh : Ida Nor Hidayah 06711095
28