Tujuan kami? Entahlah. Awalnya sangat susah menentukan destinasi kali ini. Bukannya apa, ternyata ada sangat banyak pulau-pulau kecil sekitar Madura. Kalau tidak salah, ada 76 buah pulau.
M
adura identik dengan celurit, juga sate dan soto. Dalam terma yang lebih negatif, masyarakat Madura sangat dikenal dengan budaya carok. Bahasa dan logatnya sering dijadikan objek guyonan, seperti bahasa Ngapak yang aseli Tegal. Namun kami percaya, Madura menyimpan banyak keunikan yang tersembunyi. Orang Madura memang berwatak keras dan menjengkelkan, namun di sisi lain sangat ramah, penuh senyum, polos – bahkan cenderung naif, dan jujur. Tanah Madura menyimpan banyak makam keramat yang lantas dijadikan objek ziarah. Selain itu ada banyak legenda dan mitos yang selalu menarik untuk diceritakan dan didengar ulang. Bagi kami; Madura is simply awesome! Karena itulah, Aku dan Ayos memutuskan untuk meransel sejenak ke Madura. Tapi kami tak sendiri, kali ini kami berhasil menghasut dua traveler lain. Dwi Putri Ratnasari, seorang pejalan wanita tangguh dengan pipi yang mempesona, ia adalah seorang sarjana farmasi yang sekarang sedang pusing memikirkan laporan kerja magangnya. Lalu ada Nunu, seorang mahasiswa alim rajin sholat, namun sepertinya menjadi sedikit sesat setelah perjalanan ini usai. Hahaha.
Akhirnya, berdasarkan limit waktu dan dana, maka kami putuskan Pulau Sapudi sebagai destinasi. Pulau ini terkenal dengan produksi sapi yang berlebih, sering disebut pulau sapi. Tanggal keberangkatan kami pastikan tanggal 19 Juni 2010, dan kami jadwalkan berakhir pada tanggal 23 Juni 2010. Total perjalanan lima hari, bukanlah waktu yang leluasa untuk melakukan traveling. Tapi tak apalah. Budget kami tetapkan kurang lebih IDR 200.000 per orang. Kali ini, teman kami yang setia tak terkira; si Kebo tidak akan merasa kesepian lagi. Kami berangkat dari Surabaya menggunakan dua motor. Ayos membonceng Nurul dengan mengendarai si Kebo, sebuah Honda Grand Astrea lansiran ‘96. Sedangkan aku membonceng Putri dengan mengendarai Bonita, sebuah Honda Supra X keluaran tahun 2000. Bonita ini singkatan dari ‘kebo wanita’, menggambarkan keuletan dan ketangguhan motor milik si Putri itu. ***
S
eperti yang sudah kita duga sebelumnya, perjalanan ini menjadi suatu perjalanan yang menyenangkan. Bagi kami, setiap perjalanan adalah menyenangkan. Seorang teman bertanya,”Kalian dapet pantai bagus nggak?” Bagi kami traveling tidak melulu pantai bagus kawan. Secara umum Pulau Sapudi akan terbanting jatuh jika harus dibandingkan dengan Lombok.
Namun justru banyak detail kecil yang membuat perjalanan ini menjadi sangat menyenangkan; Aku dan Ayos harus berusaha mati-matian mengerem stok omongan jorok dan kasar untuk menghormati Putri dan Nurul. Juga cerita tragisku yang terkapar sekarat gara-gara ombak besar menghantam kapal kami menuju Sapudi. Pengalaman menginap di rumah seorang dukun lokal yang terasa begitu spooky. Hingga pengalamanku dan Ayos yang iseng mencoba minum Ramuan Sehat Lelaki dan mencari kuliner khas Sampang bernama Bebek Songkem. Semuanya terasa begitu menyenangkan. Tapi waktu pula yang seakan menjadi wasit. Ia yang meniupkan peluit tanda kapan kami harus berhenti. Aku dan Ayos harus kembali ke pekerjaan kami sehari-hari: mahasiswa angkatan tua yang mau nggak mau harus menyelesaikan skripsi. Karena itu pula kami memberikan judul When Will You Come Home. Sebuah ungkapan yang aku ambil dari sebuah judul lagu dari band aneh bernama Galaxie 500. Adagium itu seperti sebuah pengingat. Seperti pertanyaan dari orang tua kami, pertanyaan dari pacar si Ayos, pertanyaan "Kapan aku dikerjakan?" dari laporan milik Putri, hingga pertanyaan "Kamu kemana aja?" dari pacar si Nurul yang kangen. Meskipun singkat, perjalanan ini sangat layak untuk dikenang. Karena itu kami tulis semua kisah perjalanan dalam ebook ini. Karena aku dan Ayos mengamini kredo scripta manent verba volant! Apa artinya? Silahkan cari di Google. Jadi, sudahkah Anda meransel hari ini? []
Sejak berangkat dari Surabaya pukul sebelas siang, tujuan utama kami adalah Sumenep. Nggak pake tengok kanan kiri, gas pol menuju Sumenep. Si Kebo dan Bonita kami pacu melewati jalur selatan Madura.
yang dirancang oleh arsitek Cina. Tampaknya seluruh bangunan kuno yang ada di Sumenep semua dibangun oleh kontraktor dari Cina. Bisa jadi ini yang mengilhami pembangunan Jembatan Suramadu yang dibangun oleh Consortium of Chinese Contractors. Hahaha.
Secara garis besar, Madura memiliki dua jalur: jalur utara dan selatan. Masingmasing memiliki tipikal yang berbeda. Jalur utara lebih sempit dengan jalanan yang sepi. Karena kebanyakan kendaraan luar kota akan memilih jalur selatan yang lebih ramai. Karena konon jalur utara Madura sama bahayanya dengan Pantura di Jawa; banyak begal dan rampok. Saya lebih memilih jalur utara sebetulnya, kerena menawarkan pemandangan yang lebih beragam ketimbang jalur selatan yang gersang. Melewati jalur utara, Anda akan disuguhi pemandangan bukit kapur berlubang yang eksotis di sepanjang Sampang, atau bisa mampir pantai Slopeng yang berpasir luas seperti Parangtritis saat memasuki daerah Sumenep. Tetapi karena kita memilih mode cepat, maka kita menggunakan jalur selatan. Sumenep dapat kita capai dalam waktu empat jam dengan sepeda motor dari Surabaya. Kami, para gembel keren ini ditampung di kos seorang teman yang baik. Ajie namanya, seorang pegawai sebuah provider yang sangat berbakti dan murah senyum. Dari Ajie pula lah rute perjalanan ini kami rencanakan ulang. Ada beberapa agenda yang ternyata tidak match dengan jadwal kapal dari pelabuhan Kalianget, Sumenep. Pelabuhan tua ini memang menjadi akses utama sebelum mengunjungi tujuh puluh enam pulau kecil di sekitar
Saya sangat mengagumi bentuk arsitektur di Sumenep. Secara umum, cirri arsitektural di Sumenep lama dipengaruhi oleh corak Kolonialisme Eropa. Namun pada detail terlihat pengaruh kuat dari Cina, Jawa, dan sedikit Arab. Ornamen natural Cina biasa muncul seperti ornamen burung Hong dan naga. Hiasan geometris Islam juga muncul pada gerbang Masjid Agung Sumenep.
Madura. Mencocokan jadwal kapal dengan itinerary perjalanan adalah sebuah keharusan. Karena setiap kapal memiliki rute dan tempo waktu yang berbeda. Ada rute yang dilayani setiap hari, ada pula yang seminggu sekali. Mencocokan jadwal perjalanan dengan musim juga merupakan hal yang bijak. Jangan sampai nasib Anda seperti Nuran yang hampir mati karena muntah akibat kapal yang diterjang gelombang. Arah kami menuju Sapudi melawan arah angin yang datang dari arah tenggara. *** Secara umum, Sumenep adalah kota kecil bila dibandingkan dengan Surabaya. Namun saya dapat membayangkan bahwa Sumenep pada zaman dahulu adalah sebuah kota bandar yang besar. Konon, dulu peradaban Sumenep dibangun oleh
raja-raja yang masih memiliki trah keratin Jawa. Entah Jogja atau Solo. Dapat dilihat dari nama-nama rajanya yang sangat Jawa sekali: Arya Wiraraja, Tu m e n g g u n g Ti r t o n e g o r o , d a n Panembahan Notokoesoemo. Setidaknya ada tiga puluh lima raja yang telah memerintah Sumenep. Sebelum berganti dengan sebutan Bupati.
Komplek pekuburan raja-raja Sumenep lama bisa dilihat di Asta Tinggi. Tentu Anda akan sepakat dengan saya jika bentuk arsitektur di komplek ini sangat Kolonial. Saya dan Putri sempat tertegun dengan adanya bangunan makam yang sangat mirip dengan Gereja Blenduk di Kota Lama, Semarang. Siapa meniru siapa nih? Hahaha. Di pendopo milik juru kunci Asta Tinggi, saya melihat foto-foto klasik para bupati Seumenep kuno. Tampak gagah mengenakan beskap lengkap dengan berbagai atribut yang membuat saya sulit membedakan apakah ini foto bupati Sumenep atau Daendels. Hahaha.
Peradaban cina tampaknya memiliki pengaruh kuat di Sumenep. Cobalah tengok Masjid Agung Sumenep yang memiliki corak arsitektur sangat unik. Awalnya saya dan Putri sempat mengira ini adalah sebuah benteng. Karena gerbangnya yang kokoh dan indah. Paduan warna putih dan kuning dengan ornamen berbau Cina. Sangat antik. Seorang takmir masjib bilang bahwa arsitek yang membangun masjid ini memang orang Cina.
Setiap saat, setiap waktu para peziarah terus saja datang. Ada yang sendiri, lebih banyak yang rombongan. Mereka datang dengan mengenakan pakaian aneka warna. Sangat indah di depan kamera saya.
Tidak hanya komplek Masjid Agung saja
Jika komplek Asta Tinggi sangat berbau
Kami mengunjungi istana ini pagipagi benar. Sehingga masih sepi. Hanya ada serombongan anak kecil yang bermain air di komplek pemandian buat putri-putri Raja.
Hanya sayang tampaknya pemerintah daerah tidak memberikan perhatian lebih pada koleksi pusaka ini. Kolonialisme, maka komplek kerajaan Sumenep saya merasakan pengaruh arsitektur Cina yang sangat kuat. Atapatapnya runcing khas Cina, seperti yang saya lihat di film Ip Man. Keraton Sumenep letaknya sangat dekat dengan alun-alun kota. Jalan kaki juga bisa. Kami mengunjungi istana ini pagi-pagi benar. Sehingga masih sepi. Hanya ada serombongan anak kecil yang bermain air di komplek pemandian buat putri-putri Raja. Saya mengagumi koleksi berbagai keramik antik yang dipajang di museum keraton. Berbagai jenis keramik dipamerkan di sana. Mulai dari vas besar, tempat alat kecantikan, hingga mangkok dan piring berbagai ukuran. Begitu elok dan berharganya koleksi ini. Hanya sayang tampaknya pemerintah daerah tidak memberikan perhatian lebih pada koleksi pusaka ini. Padahal kantor Dinas Pariwisata Sumenep ada di depan keraton. WTH. Tapi saya yakin pengaruh Cina di Sumenep tidak berhenti pada tahap arsitektural saja. Adanya perkampungan tionghoa di Sumenep pasti membuka peluang adanya akulturasi budaya antara masyarakat pendatang dan penduduk asli. Oh ya, apakah Anda tahu cewek Sumenep itu cantik-cantik dan berkulit putih? Wohoo saya pikir ini adalah salah satu warisan berharga akibat adanya ‘akulturasi’ itu tadi. []
Saya mengagumi koleksi berbagai keramik antik yang dipajang di museum keraton. Berbagai jenis keramik dipamerkan di sana.
P
agi itu sekitar pukul sepuluh pagi, kami tiba di Pelabuhan Kalianget, Sumenep untuk menyebrang menuju Pulau Sapudi. Kapal yang akan membawa kami sudah bersandar di tepian dermaga. Sebuah kapal kayu bernama KLM Wahyu Akbar. Harga tiket untuk menuju Pulau Sapudi sebesar IDR 28.000/ orang, sedangkan motor, kita harus membayar ongkos porter yang menaikkan dan mengikat motor di kapal sebesar IDR 15.000/ motor. Setelah itu masih ada charge untuk motor sebesar IDR 20.000/ motor. Jadi kalau dihitung-hitung, ongkos untuk motor itu lebih mahal ketimbang ongkos untuk manusia, hehehe. Saya masih ingat persis, waktu itu cuaca sangat cerah. Langit begitu biru. Angin dan arus laut pun bersahabat dengan laju kapal ini. Membuat saya masih betah membaca novel sambil ketawa-ketiwi sendiri. Saya bahkan sempat menerima telepon dari seorang teman di Bandung, dan kami mengobrol santai hampir setengah jam lamanya. Ayos dan Nuran segera membuat teritori mereka dengan cara menggelar sleeping bag. Begitu pula Nunu, dia asik menikmati pemandangan di balik pintu kapal yang letaknya tepat berhadapan dengan kami berdua. Sebenernya sih, dia khawatir bakal mabuk laut, karena, sama seperti saya, ini pengalaman pertamanya naik kapal kayu dengan durasi waktu cukup panjang. Tenang, Nu... if u think u can, u can. Hehehe. Kapal mulai berangkat pukul sebelas siang. Dari desas-desus yang saya dengar, kapal akan merapat di Pulau Sapudi pukul dua siang. Oke, cuma tiga jam, sebentar lagi pasti nyampe, pikir saya waktu itu. Begitu kapal kayu ini
melaju meninggalkan Kalianget, sebagian besar penumpang sudah terlihat asik tidur-tidur ayam sampai ada yang tidur beneran. Saya sendiri, karena nggak ngantuk, lebih memilih duduk bersandarkan ransel, dan menuntaskan sisa chapter novel Perahu Kertas yang hampir khatam. Suara Ayos dan Nuran yang sejak tadi ngobrol dengan pasangan suami istri aseli Sapudi yang sedang mudik dari Jakarta juga sudah tidak terdengar lagi. Ternyata dua gembel gila ini sudah tertidur pulas. Paling tidak itu yang tertangkap oleh mata saya. Padahal sebenernya si Nuran nggak tidur-tidur banget katanya, tapi biar nggak mabuk laut, dia berusaha mati-matian memejamkan matanya. Ketika matahari tepat di atas ubun-ubun, entah datang dari mana, laut yang membiru mulai memiliki kekuatan lebih untuk menggoyang kapal kayu berisi limapuluh orang penumpang ini. Saya menutup novel seketika, mengingat goyangan tadi membuat tubuh saya melorot. Nunu dan saya berpandangpandangan ngeri. Speechless. lalu masing-masing mulai merebahkan diri, mencari posisi yang pas karena perasaan saya sendiri juga sudah nggak enak. Dua orang gila, Ayos dan Nuran masih saja tidur. Edian. Dan betul sodara. Tidak hanya sekali dua kali kapal bernama Wahyu Akbar ini beradu dengan ombak yang begitu tingginya. Saya jadi nggak bisa tidur. Ransel saya berkali-kali bergeser ke sana-sini. Tubuh saya naik turun mengikuti si rodeo boat. Iya, si Wahyu ini jadi seperti kuda rodeo yang melonjak kesana-kemari dengan liar. Dan entah kenapa, saya kok ya masih betah buka mata, melihat ada apa di balik pintu
kapal. Harusnya saya bisa pura-pura tidur, seperti yang Nunu lakukan. Tapi mata saya malah mengikuti pemandangan ala Kora-Kora Dufan yang persis berada di depan saya. Ombak-langit-ombak-langit. Bergantiganti secara kilat.
kerut, dan tangannya memegang sebuah tiang kayu agar tidak ikut miring ketika kapal miring berpuluh-puluh derajat. Suasananya memang makin horor dari detik ke detik. Ombak dari arah tenggara dengan khusyuk menghantam buritan depan kapal secara istiqomah.
Gradak gruduk, saya lihat Nuran lari keluar kapal dengan tergesa-gesa. Ternyata pria yang mengaku traveler handal ini muntah, saudara-saudaraaa. Huahaha. Saya melirik Ayos, masih tidur lelap, padahal posisinya dipinggir kapal. Kalau ombak makin menggila, maka pasti dia yang akan nggelundung duluan. Alhamdulillah.
Saya sendiri hanya bisa menahan badan pakai kaki, karena nggak ada tiang kayu disekitar saya. Kemudian saya kepikiran motor. Ya Tuhaaan... apakah tali yang mengikatnya sudah cukup kencang? Nggak lucu kalau Bonita terbang lalu diving di laut. Mau bilang apa saya sama Bapak nanti? Kalau motor Ayos, si Kebo, mah bodo amatttt, mwahahaha.
Saya lihat Nunu, matanya terpejam. Tapi wajahnya tegang, keningnya berkerut-
Saya berusaha keras memejamkan mata, sampai sebuah handphone
Tak perlu banyak bicara, ekspresi kami, dan melihat suasana penumpang dalam kapal sudah mencerminkan ketegangan yang terjadi. Seorang bapak tampak sangat khawatir, ia menggendong anaknya semakin erat dan mulutnya merapal berbagai macam doa.
berbunyi keras melantunkan sebuah lagu yang baru saya tahu penyanyi adalah Domino: Aku terperangkaaaap di antara dua hati... Silahkan ganti kata ’dua hati’ menjadi ’hidup mati’. Maka itu sudah sangat tepat menggambarkan perasaan kami. Ampuuuun... Lagu yang akhirnya menjadi sangat memorable ini, membuat mata saya terpaksa membuka, and heeeey... I saw an island! Mungkinkah itu Pulau Sapudi? Pulau tujuan kami? Yap, sudah dekat sepertinya. Gugusan pasir putih dengan pohon nyiur yang melambai tenang membuat saya yakin kalo adegan goyang-goyang serem ini pasti nggak akan berlangsung lama. Pulau itu berhasil bikin saya nggak konsen, saya sangat berharap daratan itu akan semakin tampak besar seiring berjalannya waktu. Tapi apa? Ternyata… KLM Wahyu Akbar hanya lewat saja! Pulau itu lamat-lamat tak terlihat lagi. Saya lirik jam, ternyata kami baru berjalan sekitar jam satu. Oh Tuhan, kenapa waktu berjalan sangat lambat di atas kapal ini? Kenapa ombak semakin besar? Dan kenapa handphone Domino itu semakin sering berbunyi? Kalo begini, saya lebih memilih mendengarkan lagulagu gambus Madura di kosan Aji –host kami di Sumenep- yang lebih menghibur.
S
aya harus tidur, harus segera tidur! Dan ketika bangun nanti, saya pastikan sudah sampai di pelabuhan di Pulau Sapudi. Tapi ternyata nggak semudah itu. Kapal masih goyang bahkan semakin menggila. Ombak
Setelah kami sampai, kami harus naik sebuah perahu kecil untuk bisa merapat ke daratan. KLM Wahyu Akbar yang kami naiki tidak bisa sandar di dermaga karena ombak masih menggila.
nggak mau toleransi sedikit pun. Lalu... pet! Mesin kapal mati. Seorang ibu-ibu gemuk di depan saya terbangun dari tidurnya dan bertakbir dengan keras. “ Allahuakbarrr!” teriaknya lantang. Pipi saya mengkerut seketika. Saya jadi ikut panik, tapi bukan seperti setan yang terbakar dalam film-film ketika mendengar nama Tuhan disebut. Mata saya terbuka dan kembali duduk, merinding. Nunu juga bangun, kami berdua berpandangan. Tak perlu banyak bicara, ekspresi kami, dan melihat suasana penumpang dalam kapal sudah mencerminkan ketegangan yang terjadi. Seorang bapak tampak sangat khawatir, ia menggendong anaknya semakin erat dan mulutnya merapal berbagai macam doa. Suara ombak yang menghantam badan kapal terdengar begitu nggak asik dari sini. Dalam hati saya menyesal karena nggak survey dulu mengenai waktu yang tepat untuk menyebrang ke Pulau Sapudi. Tapi buat apa juga dipikirin, saya sudah terlanjur duduk dan terombangambing di dalam kapal ini. Mesin menyala lagi. Ombak datang mengamuk lagi. Lalu mesin mati lagi. Rasanya jantung saya sudah nyemplung di laut duluan ketika tidak mendengar suara kapal menderu. Sensasi suara menghidupkan mesin kembali, lalu menerjang ombak lagi lah yang paling nggak tahan buat nggak dikhawatirkan. Selanjutnya saya baru tahu dari Ayos, bahwa ketika kapal berada di atas setelah terjangan ombak, mesin harus dimatikan agar ketika terhempas kembali di laut, baling-balingnya tidak pecah.
Si ibu gemuk di depan saya itu sekarang malah menelepon kerabatnya dengan panik dan bersuara sangat keras menggunakan bahasa Madura, yang sepertinya sih berbunyi seperti ini jika diterjemahkan; ”Ombak, ombaaak! Di sini ombaknya besar bangeeet! Apaaa? Nggak kedengeraaan! Ombaaak...!” Praktis bikin saya tambah stress. Namun apa daya, saya cuman bisa nelen ludah. Ketika itu, saya juga sempat melihat seorang anak muntah beberapa kali. Sang ibu, yang sama pucatnya, dengan sigap membuka plastik hitam, sambil memijati punggung perempuan kecil itu. Memperhatikan adegan itu saya nggak mual, pusing juga nggak, karena pikiran saya sudah terlalu penuh. Diisi oleh kengerian diombang-ambing ombak besar yang seakan-akan bisa menggulingkan kapal ini dalam hitungan detik. Seorang perempuan berjilbab berkacamata bahkan sudah nangis nggak berhenti-berhenti sejak tadi.
K
apan sampai? Apakah setiap ke Sapudi selalu melewati arus separah ini? Dua pertanyaan itu terus bergulir dalam otak saya, apalagi ketika jam menunjukkan pukul dua lewat. Seharusnya kapal ini sudah merapat dengan selamat di Sapudi. Tapi saya tidak melihat daratan sama sekali. Pemandangannya masih sama. Ombak yang begitu besar. Laut yang begitu gelap. Suara mesin kapal mati. Karduskardus kecil bergulingan. Dan ibu-ibu yang masih menyebut nama Tuhan berkali-kali. Saya ikut berdoa, tapi di dalam hati, berdoa agar ombak mau sedikit berdamai dengan saya yang nggak bisa tidur ini. Saya berhasil terlelap kira-kira lima belas menit. Lalu saya terbangun ketika seorang awak kapal melangkahi tubuh saya, untuk membetulkan susunan
kardus-kardus yang berantakan garagara goyangan maut ombak yang masih setia menemani laju kapal ini. Nggak bisa tidur lagi, ya sudahlah saya terima nasib, menyibukkan mata dengan melihat langit-langit kapal, karena nggak tau lagi mesti ngapain. Sekitar pukul tiga kurang, saya melihat ada sebuah pulau membentang di depan mata. Aha! Saya duduk terbangun penasaran. Memastikan, bahwa ini bukanlah pulau-yang-hanya-dilewati seperti tadi. Saya colek-colek bahu Nunu dan menunjuk pada daratan panjang yang semakin terlihat jelas itu sambil ketawa-ketiwi bahagia. Si Nunu tersenyum lega. Apalagi ketika Bapak bertopi di samping saya, mengatakan bahwa benar, itu adalah pulau tujuan kami: The Sapudi. Huhuhu pengen nangis rasanya, setelah mengalami tiga jam paling luama dalam hidup, selesai sudah masa perombangambingan ini. Waktu itu Nuran masih terlelap, sedangkan Ayos baru bangun dari tidur panjangnya. Dua motor tersayang, Si Kebo dan Bonita selamat. Hampir semua penumpang sudah pasang tampang lega-akhirnya-sampaijuga. Setelah kami sampai, kami harus naik sebuah perahu kecil untuk bisa merapat ke daratan. KLM Wahyu Akbar yang kami naiki tidak bisa sandar di dermaga karena ombak masih menggila. Tapi tak apalah, setelah digoyang selama tiga jam oleh the Rodeo Boat, rasanya perahu manapun dan ombak seperti apapun jadi terasa biasa saja. []
R
encananya sih setelah bermalam di Sapudi kami akan island hoping ke pulau lain. What a wonderful plan, with the horrible waves! Pada akhirnya lautan menjadi momok utama yang berhasil menahan kami dua malam di Sapudi. Sebuah nasib yang tidak pernah kami sesali. Sejak di kapal Wahyu Akbar, kami sudah bisa merasakan aura positif penduduk Sapudi yang baik hati. Seorang penumpang kapal aseli Sapudi bernama Pak Waki berbaik hati menawarkan rumahnya sebagai tempat tinggal. “Rumah saya agak jauh dari pelabuhan, tapi jalan kesana kayak jalan tol. Jalan tol rusak!” Hahaha. Saya dan Nunu juga sempat ngobrol dengan seorang bapak bertopi, dengan senang hati ia merekomendasikan rumah seorang guru SD sebagai tempat kami menginap. Huhu sebuah hospitality yang sangat mengharukan untuk ukuran orang yang baru dikenal. Pulau kecil yang masuk teritori Kabupaten Sumenep ini hanya memiliki dua kecamatan; Gayam dan Nonggunong. Untuk percakapan seharihari, penduduknya menggunakan bahasa Madura. Cukup beberapa hari di pulau ini, kami sudah mengantongi banyak kosakata baru, dan tentu saja, banyak cerita ajaib . Yah, layaknya Solo di Pulau Jawa, maka penduduk Sapudi masih sangat percaya hal-hal yang berbau legenda dan mistis. Berbagai macam makam keramat dan petilasan kuno melengkapi kunjungan kami di pulau berpenduduk sepuluh ribu orang ini. Konon di pulau ini juga terdapat sebuah goa yang menghubungkan Sapudi dengan Situbondo, Jawa Timur. Amazing! Kalau saja goa itu masih dibuka, mungkin bentuknya seperti
lorong di Sea World Ancol, dan saya yakin seratus persen, Suramadu pasti bakal kalah pamor.
C
olt bak terbuka menjadi alat transportasi utama penduduk Sapudi. Kendaraan multiguna ini menjadi angkutan desa paling reliable yang bisa digunakan. Sebuah colt pick up mampu mengangkat sekitar sepuluh orang lengkap dengan barang dagangan dan hasil bumi. Kendaraan ini juga mampu menjangkau sisi mana pun di Sapudi yang berbukit. Selain manusia, colt bak terbuka juga mampu mengangkut sapi dalam jumlah banyak. Pulau Sapudi memang terkenal dengan sapinya. Konon dagingnya
sangat enak, lebih lezat dibanding sapi putih pada umumnya. Sapi Sapudi berwarna coklat dengan tubuh yang lebih kecil ketimbang sapi Australia. Hewan bertanduk ini menjadi komoditas paling penting di Pulau Sapudi. Setiap bulan penduduk Sapudi mampu mengekspor ratusan ekor sapi ke Jawa. Herannya kenapa sapi di Sapudi tak kunjung habis juga? Pak Harto dengan sangat meyakinkan bilang,”Di Sapudi ini ada raja dan ratu sapi.” Ternyata itu semacam folklore, bahwa ada sepasang sapi mitikal yang tinggal di sebuah goa di ujung pulau. Setiap tahun akan akan ada sesajen yang diberikan, agar produksi sapi di pulau Sapudi bisa lancar. ”Banyak pengusaha peternakan sapi di Jawa
yang jauh-jauh datang ke Sapudi untuk ngalap berkah di Gua Sapi,” kisah Pak Harto. Setiap minggunya di kencamatan Nonggunong akan diadakan karapan sapi. Ini adalah budaya khas Madura yang sangat mirip dengan Pacu Jawi di Sumatera atau Makepung di Bali. Intinya adalah sebuah perlombaan yang mengadu kecepatan sapi. Sayang kami tidak sempat melihat pertunjukan khas ini karena harus mengejar kapal untuk kembali ke Madura daratan. Suasana pertanian di Sapudi sangat minim hasil. Beras didapatkan dari Pulau Kangean, karena memang tidak ada sawah di Sapudi. Penduduk hanya memiliki ladang-ladang yang ditanami
jagung dan ketela pohon saja. Jagung Madura sendiri ukurannya dua kali lebih kecil daripada jagung normal di Pulau Jawa. Seperti hobbit, bentuknya pendekpendek. Penduduk Sapudi biasa membakar jagung-jagung ini dan dijadikan camilan di siang hari.
B
agi Anda pemuja kulit putih, jangan pernah mengunjungi Sapudi. Karena matahari di sini terkenal sangat sadis dan cukup membakar. Sangat terik. Saya yang sudah membawa persediaan sunblock saja merasa tidak ada efeknya. Kulit saya menjadi legam dengan sukses meski hanya dua hari tinggal di Sapudi. Namun satu hal yang tidak bisa kami
Hewan bertanduk ini menjadi komoditas paling penting di Pulau Sapudi. Setiap bulan penduduk Sapudi mampu mengekspor ratusan ekor sapi ke Jawa.
lupa. Langit Sapudi beeegitu biruuu. Jadi bagi Anda penggemar fotografi tak perlu repot membawa berbagai macam filter. Karena otomatis hasil foto Anda akan terlihat sangat keren. Kalau malam sudah tiba, maka langit akan berubah menjadi sangat , sehingga jutaan bintang tidak lagi malu untuk menampakkan kecantikannya. Banyaknya bintang yang terlihat bisa jadi karena tidak ada full day listrik di pulau ini. Lampu bisa nyala hanya dari selepas Maghrib hingga pukul empat pagi saja. Overall yang saya perhatikan, ngga ada kekhawatiran atas ketiadaan listrik di siang hari. Selama siaran Piala Dunia disiarkan malam hari, saya rasa ngga bakal ada penduduk yang protes. Tapi jika matahari mulai terbenam, dan lampu belum menyala, inilah yang saya cemaskan. Karena mendadak pulau ini terlihat semakin spooky. Salah satu kebiasaan penduduk di sini, adalah mandi bersama di sumber air yang disebut Togung. Sebuah kolam yang lumayan besar, sering kali digunakan sarana rekreasi anak-anak setempat. Tapi ngga semua orang terbiasa. Istri Pak Harto, Bu Dewi, misalnya. Wanita asli Malang ini mengaku hanya pernah satu kali ikutan mandi-mandi di tempat terbuka itu selama belasan tahun hidup di Sapudi. “Ngga nyaman saya, Mbak...” Haha. Apalagi saya, Bu. Tapi Sapudi ini memang spesial. Walaupun termasuk daerah pesisir, namun untuk mendapatkan air segar cukup mudah di sini. Padahal biasanya, rumah di tepi laut memiliki tipikal air yang agak sticky. Physically, penduduk di Sapudi ini
berkulit gelap, mungkin karena sebagian besar dari mereka adalah orang kapal yang sudah terbiasa berkawan dengan matahari. Para perempuan banyak berjilbab dan memakai celak, sedangkan yang lelaki banyak bertelanjang dada. Haha, dari situ saya tahu dan memang harus diakui, bahwa bentuk tubuh bapak-bapak yang sudah tua sekalipun masih lebih seksi bila dibandingkan dengan perut si Ayos dan Nuran yang bergelambir. Hehe.
K
omposisi masyarakat di Sapudi tidak sepenuhnya Maduranese, ada pula Chinese yang tinggal. Warga tionghoa datang sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka berdagang dan menetap di Sapudi. Sisa-sisa arsitektur pengaruh cina masih bisa ditemukan di beberapa rumah di kecamatan Gayam. Bentuk atap dan pilar yang khas sangat menarik untuk dicermati. Berawal dari iseng, kami masuk ke dalam sebuah pekarangan rumah kuno. Di beranda tampak seorang nenek mengenakan setelan daster dan cardigan cokelat vintage yang bermalasan. Ternyata dia
adalah nenek Oeng Gio Bien. Nenek Bien masih terlihat cantik di usianya yang sudah sepuh. Ia bercerita banyak tentang pemukiman tionghoa di Sapudi. Termasuk cerita tentang generasi setelahnya yang beramai-ramai eksodus ke Jawa. “Kalo saya mati, nggak tau ini rumah gimana…” ujar si nenek yang kedua anaknya tinggal di Surabaya. Ia mengaku menjadi penduduk minoritas di Sapudi tidak menjadi masalah. “Kalo Ramadhan, saya ikut merayakan. Kalo Imlek, mereka juga kasih selamat,” kata Nenek Bien menggambarkan kerukunan hidup di Sapudi. Tampaknya saya setuju seribu persen dengan Nenek Bien. Ya Tuhaaan, inilah yang paling saya suka dari traveling. Mungkin Sapudi tidak bisa memberikan kami pantai berpasir putih dan laut berair jernih. Tetapi ketika saya bertemu dengan orang-orang setulus mereka, rasanya saya tidak akan menyesal sudah datang ke pulau kuda terbang ini. Senangnya setengah mati. []
P
ak Harto adalah seorang yang punya ilmu, sebut saja kasarannya sebagai paranormal. Jim Morrison mempopulerkan istilah shaman untuk menggambarkan orang yang mempunyai kemampuan lebih dari orang biasa. Jim juga mengatakan bahwa shaman adalah orang yang menciptakan seks. Benarkah? You tell me. Aku bertemu orang ini di pelabuhan pulau Sapudi. Dia adalah paman dari Pak Suprapto, orang yang rencananya jadi host kami. Berhubung Pak To –panggilan akrab Pak Suprapto– sibuk dengan jabatannya sebagai juragan kapal di Sapudi, maka Pak Harto lah yang mendapat kehormatan menjemput kami di pelabuhan. Kalau anda penggemar musik rock, pasti Anda kenal Daron Malakian. Dia adalah gitaris band System of A Down yang memiliki jenggot panjang yang dipilin menjadi satu Nah, jenggot ala Peppy itu juga dimiliki oleh Pak Harto. Janggutnya panjang berkibar, dengan ditingkahi selipan uban di sana-sini. Giginya bagian sebelah kiri sudah tanggal empat buah. Kalau ketawa suaranya khas, “Khe khe khe.” Dia juga bermata sipit. Sempat menimbulkan hipotesis bahwa dia adalah seorang Chinesse, tapi hipotesis itu salah belaka. Dia orang Sapudi asli. Baru saja sampai, kami sudah ditraktir makan nasi gule lengkap dengan sate kambing. Aneh. Dimana-mana, seharusnya para tamu yang mentraktir makan guide. Ini kok malah pemandu yang mentraktir makan tamu. Aku sebenarnya juga sedikit enggan untuk makan. Sehabis mabuk laut, makan sepertinya menjadi kegiatan yang harus dihindari. Tapi bagi seorang pejalan dengan uang minimalis, makan gratis tak boleh ditolak.
Apalagi ini sate, plus gule pula. Hahaha. Setelah makan sore gratis, kami menuju rumah Pak Harto. Rumahnya sederhana, dengan pintu berwarna biru kusam, lapuk termakan angin, hujan, dan juga panas. Di dindingnya ada gambar banteng legam dengan moncong putih kebanggaan partai PDI Perjuangan. “Saya menjiwai PDI Perjuangan. Tapi saya tidak mencoblos waktu pemilu, khe khe khe” kata Pak Harto mantap. Aneh. Lantas buat apa mencintai partai? Bukannya partai politik itu untuk dicintai, lalu dicoblos. Tapi sudahlah, buat apa pusing mikirin partai politik, wong partai politik tak pernah memikirkan aku. Pak Harto masuk ke dalam, sembari menyuruh kami menaruh tas di dalam sebuah kamar gelap, sama seperti judul album kedua Efek Rumah Kaca. Setelah itu, beliau mengajak kami pergi ziarah ke makam tetua di Sapudi. “Orang baru disini harus ziarah dulu ke kuburan” katanya sembari menghidupkan motor. Kami pun mengikuti beliau menuju asta – sebutan orang Madura untuk kuburan. Kalau dihitung-hitung, Pak Harto lebih banyak mengajak kami pergi ke makam daripada pergi ke pantai. Setelah mengunjungi makam Sunan Panembahan Ario Pulang Jiwa alias Sunan Wirokromo, kami masih diajak pergi ke makam Sunan Wirobroto, yang mana dia adalah putra dari Sunan Wirokromo dan bapak dari Joko Tole. Di setiap makam yang kami kunjungi, kami disarankan memberi uang ziarah sebesar 5000 rupiah.
P
ak Harto ini mengaku sejak kecil tak pernah minta uang pada orangtuanya. Beliau menghabiskan masa SMA di Malang. Disana ia menjadi aktivis. Beliau pernah menjadi Ketua Perhimpunan Musik Rock seluruh kota Malang, dan beberapa jabatan penting. Ia juga suka sastra. Ia mengaku telah menulis ratusan puisi. Dulu semasa SMA, beliau mengirimkan puisi-puisinya ke majalah. Honornya per puisi yang dimuat adalah 12.500 rupiah. Uang hasil puisi itu dijadikan biaya hidup selama 3 tahun di Malang. Berbicara dengan Pak Harto ini sangat menyenangkan. Teman-temannya yang sering datang kerumahnya, sering bercerita bahwa Pak Harto ini orang aneh. Ia berkata pernah ditawari
beasiswa untuk kuliah di Unibraw, langsung oleh sang rektor. Tapi beliau memilih untuk bersemedi dan mengembara. Beliau berjalan kaki dari Situbondo hingga Banten. Tidak membawa uang, tidak membawa bekal apa-apa, kecuali keyakinan kalau orang baik ada dimana-mana. Dia memerlukan waktu sembilan tahun untuk menempuh perjalanan itu. Edan! Konon, Pak Harto dulu juga pernah menggondrongkan rambut hingga punggung. Tampaknya aku harus belajar banyak pada beliau soal menggondrongkan rambut, hehehe. Setelah menempuh sembilan tahun pengembaraan, di Malang, ia bertemu dengan jodohnya. Bu Dewi, seorang wanita berparas dan berpenampilan
seperti Endah dari duet Endah N Rhesa menjadi istrinya, dan memberikan tiga orang anak: dua orang laki-laki, dan seorang perempuan. Anak pertama diberi nama Sultan, yang kedua bernama Nanda, dan perempuan bungsu diberi nama Jinggan
A
dengan gamblang mengenai ramuan singset rapet, ajian jarang goyang, posisi yang bagus, hingga ramuan yang bisa membuat laki-laki menjadi perkasa. Lucunya, ia bercerita tanpa sungkan sama sekali, seakan lupa kalau Putri dan Nunu juga ada disana. Putri hanya bisa salah tingkah sembari pipinya merona merah.
da satu cerita unik mengenai pernikahan Pak Harto ini. Te r n y a t a , h a s i l s e m e d i d a n pengembaraannya menghasilkan sesuatu hal yang sangat dihindari oleh para pria: mati rasa terhadap wanita! Bukan, Pak Harto bukan gay, hanya saja dia mati rasa pada wanita. Sang “junior” tidak bisa bereaksi seperti seharusnya.
“Rumus hidup apa pak?” tanyaku.
“Lalu saya semedi, minta pada Tuhan agar saya bisa sembuh. Istri saya menggerayangi saya pun, punya saya tidak bereaksi” kata Pak Harto. Istrinya tidak dijamah selama 21 hari. Barulah pada hari ke 22 Pak Harto menjadi macan ranjang. Macan itu akhirnya menghasilkan tiga macan junior.
“Bagaimana caranya hidup, gak usah pake kerja, tapi bisa dapet duit, khe khe khe” katanya. Heh? Pengen dapat duit tapi gak pake kerja? Terus apakah beliau berhasil mendapatkan rumus yang sepertinya lebih sulit dari menentukan siapa yang lebih hebat antara The Beatles atau Rolling Stones itu?
Lalu kenapa aku memberi label shaman pada Pak Harto? Pertama, ia bisa pengobatan non ilmiah. Ia meramu obat sendiri, mengobati orang sendiri. Layaknya dukun, ia rada alergi dengan dokter.
“Iya, berhasil. Kalau saya lagi tak punya uang, saya bersemedi di kamar. Setelah semedi, ada aja orang yang nganterin duit. Sebelum jemput kamu, saya gak punya uang sama sekali, 5 rupiah pun gak punya. Lalu saya semedi. Tak berapa lama, ada orang ngantar duit. 150.000, khe khe khe” katanya bangga. Hoo, jadi sate dan gule yang aku makan itu hasil dari semedi, makanya enak. Hehehe.
“Dokter itu cuman bisa begitu-begitu saja, kasih resep, bayar 70.000.” katanya suatu ketika. Putri yang berasal dari dunia medis jelas mencak-mencak –meski cuma berani protes lewat tulisan saja. Pak Harto juga paham mengenai dunia seksual. Untuk orang yang “juniornya” sempat hang, beliau sangat fasih mengenai masalah seks. Ketika makan malam di surau kecilnya, ia bercerita
Di kala senggang, Pak Harto sering menceritakan hal-hal yang absurd dan sedikit sulit diterima oleh akal sehat. “Dari dulu saya selalu berusaha mencari rumus hidup.” Kata dia suatu ketika.
Kamu kira hanya itu saja keanehan beliau? Kamu salah besar. Beliau suka menceritakan beragam folklore setempat yang menurut saya mengandung nilai magis, absurd, sekaligus menggelikan. Contoh:
“Disini ini pernah ditemukan emas sebesar kuda. Peninggalan kerajaan Sapudi purba” (Wah, Freeport bakal pindah ke Sapudi kayaknya) “Dulu waktu saya masih kecil, kalau malam, saya sering lihat kuda terbang.” (Saya baru tahu kalo Pegassus itu asalnya dari Madura) “Mata saya ini pernah minus empat. Karena saya gak pernah tidur. Tapi setelah semedi, mata saya sembuh.” (Kalau semua orang bisa kayak bapak, bangkrut deh semua toko optik) “Ini namanya tapak Bima. Dulu Madura sama Sapudi itu satu pulau. Lalu ketika perang, Bima nginjak Madura, jadi terbelah dua. Satu jadi Sapudi.” (ya ya ya, iya paaak) “Kamar ini tidak pernah saya buka. Karena ada kalian akhirnya saya buka. Kamar ini tempat saya semedi, khe khe khe. Nanti Putri tidur sini saja.” kata beliau sambil menunjuk kamar gelap yang rencananya akan dijadikan kamar si Putri. (Untung saja si Putri masih normal, dia menolak untuk tidur disana ) “Saya bisa berdoa, tapi saya gak bisa baca alquran, khe khe khe.” (Aku malah bisa gerakan sholat, tapi gak bisa doanya pak)
D
i mataku, Pak Harto adalah sosok yang spesial. Di satu sisi, dia adalah seorang yang percaya Tuhan, tapi jarang kulihat dia sholat. Fasih berdoa dengan bahasa Arab, tapi sama sekali tidak bisa mengaji. Ia fanatik PDI Perjuangan, tapi tak mencoblosnya. Mencintai istri dan anak-anaknya, tapi lebih memilih untuk meninggalkan mereka demi semedi. Dia sering meramalkan angka togel yang keluar,
tapi teman-temannya yang masang taruhan. Unik. Semuanya berkelindan dalam tubuh satu orang. Kuburan dan semedi menjadi ketertarikannya. Ketika kami minta diajak ke pantai yang bagus, kami dibawa ke pantai bernama Nyi Ro’om. Jalan menuju pantai itu sangatlah menyusahkan. Sampai-sampai kami memadankan kata “Nyi Ro’om” dengan kata “Menyusahkan.” Saat sampai, ternyata pantainya jelek dan kotor, bukannya diajak berenang, kami malah diajak pergi ke sebuah bangunan tua. Bangunan apa itu? Ternyata makam lagi saudara-saudara! Beliau lalu mengajak kami untuk berdoa (lagi). Pun, ada satu hal yang membuat aku kurang respek pada beliau. Sebagai lelaki beristri dan beranak, beliau sangatlah egois. Jadi begini. Aku mempunyai prinsip, janganlah menikah kalau masih terlalu asyik dengan hobi kita. Karena itu, mungkin aku akan siap menikah kalau aku sudah puas traveling, dan siap untuk menetap di satu tempat. Bukannya apa. Aku hanya tidak ingin kebiasaan jalanjalan membuat istri dan anak-anakku terlantar. Juga saat aku menikah nanti, aku sudah tak lagi menjadi pria bebas. Kehidupanku sebagai manusia bebas sudah seharusnya berhenti. Aku harus menjadi suami dan bapak yang mendahulukan keluarga ketimbang hobi. Tapi coba tengok apa yang dilakukan Pak Harto. Dia sudah menikah, tapi dia masih asyik dengan dunianya sendiri. Dia sering meninggalkan keluarga untuk bersemedi dalam waktu yang lama, tak jarang dalam hitungan bulan. Yang bikin aku
Lalu beliau juga menceritakan bahwa dia tak sempat tahu bagaimana anak keduanya tumbuh besar. Dia sibuk pergi ke satu tempat ke tempat lain. Entah semedi. Entah mencari ilmu. Pas pulang, tahu-tahu si Nanda sudah besar.
geleng-geleng kepala adalah; beliau sangat jarang memberikan uang belanja pada istrinya. “Dulu pernah, istri saya tak punya uang buat beli softex. Jadinya dia ambil kapuk bantal buat dijadiin pembalut, khe khe khe” kata beliau tanpa merasa bersalah. Fak! Apa itu hal yang patut dibanggakan pak? “Tapi istri saya tak pernah marah. Karena saya memang tahu caranya, khe khe khe. Mau saya ajarin cara agar istri selalu nurut dan tak pernah marah?” tanyanya pada saya. Duh pak, daripada bapak ngajarin ilmu ajaib itu, mendingan bapak belajar dulu bagaimana jadi suami yang bertanggung jawab, jangan asal ganas di ranjang, hahaha.
Lalu beliau juga menceritakan bahwa dia tak sempat tahu bagaimana anak keduanya tumbuh besar. Dia sibuk pergi ke satu tempat ke tempat lain. Entah semedi. Entah mencari ilmu. Pas pulang, tahu-tahu si Nanda sudah besar. Pak Harto menceritakan hal tersebut dengan enteng, tanpa dosa. Jujur, saya sangat tertohok. Jangan sampai nanti saya menjadi orang tua seperti itu. Kasihan sekali nasibmu Nanda. Gara-gara Pak Harto, aku jadi semakin yakin, aku gak bakal mau nikah muda. Tapi di balik keunikan, keegoisan, dan kemisteriusan Pak Harto, beliau tetaplah orang yang baik. Orang yang mau menyambut kami, melayani kami, dan semua tanpa pamrih. Beliau juga memberikan mantra jaran goyang ala Madura, memberikan resep singset
rapet untuk si Putri, menceritakan tentang khasiat ramuan Madura, malah sempat meramal si Putri segala. “Put, kamu nanti akan berjodoh dengan seorang pengusaha” kata Pak Harto setelah menanyakan hari lahir si Putri. Sejak dulu, Putri yang memang berharap mendapat suami seorang eksekutif muda jelas melonjak-lonjak kegirangan. Aku hanya bisa tertawa sembari gelenggeleng kepala. Ketika kami mau pulang pun, beliau mengantar kami ke pelabuhan, lengkap dengan tiga orang anaknya. Nah ini dia, suatu hal yang membuat saya membenci kalau terlalu akrab dengan seseorang: susah berpisah! Pak Harto memberi kami wejangan-wejangan, sembari menggandeng Ginggan yang terus-
terusan menangis sambil memanggil nama Putri. Nanda dan Sultan asyik bermain kameranya Ayos. Suatu saat nanti pak, kami akan kembali ke Sapudi. Saat ini, aku hanya bisa menyanyikan ‘Farewell to You’ buat bapak, istri bapak, dan ketiga anak bapak... Well it's time to say goodbye my friend I'm glad you stayed until the end I hope that you've enjoyed the time we spent Though I know that I will be back again I don't know just how soon my friend Until we meet again just think of me I'll think of you []
M
asih segar dalam ingatan, seorang teman dari Singapura pernah becerita tentang kekagumannya pada ramuan Madura. Dia bilang ramuan Madura berkhasiat dalam meningkatkan kualitas hubungan pasangan suami istri. “Rasanya mantap, seolah-olah bisa bikin ‘nggigit’!” ujar dia dengan logat Singlish yang kental. Sebagai seorang pemuda baik-baik dengan pengalaman ‘digigit’ nol besar, tentu saja saya hanya bisa manggut-manggut meng-iya-kan. Padahal saya tidak tahu apa-apa. Perjalanan ke Madura kali ini membangkitkan rasa ingin tahu. Saat masih terdampar di Sapudi, pak Harto yang menampung kami bercerita panjang lebar tentang ramuan Madura. Sebagai seorang tabib yang malang melintang di dunia kesehatan ala local genius, tentu saja dia tahu betul bagaimana ramuan Madura bisa tercipta. Tapi saat itu saya masih saja acuh. Saya pikir buat apa ramuan Madura? Lha wong saya pede dengan kemampuan saya sendiri. Tapi pikiran saya kembali terusik. Tatkala si Kebo ngambek di Sapudi, seorang montir tambal ban bernama mas Santoso memberikan saya sebuah tawaran yang menarik. Ceritanya, saat itu saya sedang berputar-putar keliling pulau untuk menemukan ban luar untuk roda belakang si Kebo yang robek terkena potongan akar. Mencari ban luar Honda di pulau Sapudi seperti mencari Edy Tansil di luar negeri, amat sangat susah! Tapi di tengah perjalanan melintas ladang jagung milik penduduk, mas Santoso bilang,”Yos, kalo mau, nanti saya bawakan minyak khas Madura, ini
buat kamu saja, gratis!” kata pria yang mengaku menikah di umur yang sangat muda –sebagaimana umumnya masyarakat Madura. “Haduh buat apa mas minyaknya?” “Itu kalo kamu oleskan ke you-know-lah, nanti bisa bikin kebat-kebit cewek mana saja!” Huahahaha. Oh Tuhan, mengapa saya harus kembali bertemu dengan percakapan yang merujuk pada ramuan Madura lagi? Untung saja saya masih memiliki kadar waras yang bisa dipertanggungjawabkan. Akhirnya saya menolak tawaran menggiurkan tersebut dengan sangat hati-hati. Kalo nolaknya meleset bisa-bisa saya dibacok bolakbalik.
B
arangkali ramuan Madura ini menjadi salah satu rahasia besar ekspansi orang Madura. Sepanjang yang saya ketahui, kita bisa menemukan orang Madura di hampir seluruh daerah pesisir di Indonesia. Bahkan dalam sebuah kesempatan, saya pernah menemui kampung Madura yang terletak di daerah Kintamani, Bali. Itu berarti sekitar 3000 Mdpl dari pesisir pantai. Kinerja ramuan Madura berada di balik itu semua. Komposisi ajaib yang terkandung di dalamnya membuat produktifitas masyarakat Madura meningkat. Manakala sebuah pulau tak lagi bisa menampung populasi yang ada di dalamnya, jadilah mereka merantau ke tempat-tempat yang jauh, membangun koloni dan sukses. Di mata saya, orang Madura adalah sosok-sosok pekerja keras nan tangguh.
dan diwariskan hanya pada orang yang masuk trah keluarga. Ini adalah sebuah pertaruhan besar. Jika komposisinya bocor, sama saja menghancurkan tradisi yang dibangun selama puluhan generasi.
N
ah, saat pulang ke Madura daratan, kami tergelitik untuk menelusuri ramuan legendaris ini. Dari berbagai tanya jawab ke beberapa orang lokal, akhirnya pencarian ramuan ini berujung pada depot jamu milik Hj Tusmiyati di dekat alun-alun Sumenep. Saat menemui kami, ibu Tusmiyati menggenakan setelan daster dengan motif floral print dipadu jaket jeans. Jika begini, ibu Tusmiyati sangat mirip dengan Melly Goeslaw versi Madura. Wajah dan komposisi badannya sangat mirip pentolan grup musik Potret itu. Ibu Tusmiyati menerima kami dengan ramah. Ia bercerita panjang lebar tentang ramuan yang didapatkannya turun temurun dari nenek buyutnya. Ramuan yang sangat dikenal di jagad perjamuan Sumenep. Namun yang membuat ramuan keluarga ini menjadi besar dan terkenal adalah ibu
Tetapi di Pulau Sapudi, pak Harto sempat membeberkan beberapa resep rahasia yang berumur ratusan tahun itu. Dengan enteng dia membeberkan banyak resep yang dia miliki. Salah satunya adalah jamu yang biasa digunakan wanita Madura untuk merawat dan membersihkan daerah pribadi, ramuan ini terdiri dari bahan pinang muda, pinang tua, batang sereh, kunir, ujung daun sirih, dan dua bahan lain yang asing di telinga metropolis saya: njet dan bangle. Konon ramuan ini berkhasiat mengembalikan kemampuan wanita seperti kembali muda. Ummi Kulsum, tidak bukan adalah ibu dari nyonya Tusmiyati. Sambil mengajak tur kecil ke dalam rumahnya, ibu Tus menunjukkan foto ibunya. Sebuah foto sepasang pasutri lanjut usia; wajah sang nenek terlihat sangat bugar sedangkan wajah kakeknya terlihat loyo. Saya percaya adagium a picture is worth a thousand words. Foto ini secara tidak langsung menunjukkan efek dahsyat jamu Sari Rapet Super atau serbuk Awed Ayu yang dimiliki keluarga ibu Tus. “Nanti resep rahasia ini akan saya teruskan ke anak saya yang perempuan,” kata nyonya Tusmiyati. Anaknya yang mbarep menginjak SMA, berwajah mulus ayu. Bisa jadi karena rajin mengonsumsi resep jamu Remaja Putri dan Galian Singset. “Kamu naksir anak saya heh? Sini saya jadiin mantu,” ujar bu Tusmiyati tanpa malu-malu. Waduh! Mampus nih. Saya
hanya bisa melengos, saya tidak mau melewatkan masa tua saya dalam keadaan loyo. Maaf bu. Seluruh bahan yang digunakan sangat tradisional. Kami sempat melihat berbagai bahan jamu dalam keadaan sudah dikeringkan di bagian belakang rumah. Ada potongan-potongan kecil pipih seperti irisan jahe dan seloyang besar talcum, bahan pembuat bedak. Bau ruangannya mengingatkan Putri pada bau lab obat di kampusnya. Dengan gaya seorang pharmacist handal, Putri segera melakukan sidak dengan membaui dan menyecap berbagai bahan kering yang ada. Teman saya ini memang canggih luar biasa. Sangat seret untuk mendapatkan daftar bahan yang masuk dalam komposisi sebuah Ramuan Madura, seseret khasiatnya tentu saja. Resep dan komposisinya sangat rahasia. Dijaga
***
S
ebelum pulang dari rumah Ibu Tus, saya sempat membeli satu bungkus jamu dengan judul Kuat Lelaki Super. Hahaha dari judulnya saja sudah bikin hati bergidik, ngeri tenan. Iseng, setelah makan bebek songkem di Sampang, saya dan Nuran meminumnya. Cuma ingin tahu seberapa dahsyat sih ramuan legendaris ini. Hasilnya, bahkan sampai artikel ini ditulis pun saya tidak merasakan ‘efek’ apa pun. Percobaan bodoh ini bukan berarti ramuan Madura tidak manjur. Jamu kuat ini tidak bekerja, mungkin karena saya tidak meminumnya secara rutin, atau mungkin ramuan ini mensyaratkan penggunanya harus punya sparring partner lebih dulu. Sigh. []
saya setiap kota memiliki musical tone yang berbeda. Mumpung berada di Sumenep, saya sempatkan untuk main ke alun-alun sekalian cari minum bareng Nuran, Nunu, dan Putri. Setelah bercengkerama dan segelas juice yang tadinya isi menjadi kosong, saya ajak mereka berburu VCD musik lokal yang banyak dijual di lapak-lapak sederhana seputar alun-alun.
M
elalui pengamatan saya, hampir sebagian besar kover VCD musik Madura terbitan lokal dibuat sangat asal. Warna dan k o m p o s i s i n y a s i l a n g s e n g k a r u t. Pemilihan warna-warna cerah psikedelik membuat mata saya buta sesaat. Sepanjang yang saya tahu, orang Madura memang suka dengan warna terang. Hijau muda dipadu merah muda atau kuning cerah berpasangan dengan ungu janda misalnya. Selera padu padan warna ini bisa dilihat juga pada produk batik dan mebel ukir Madura yang selalu diberi corak terang. Colorful. Sangat beda dengan batik dan ukiran Jawa yang biasa menggunakan warna tanah. Coklat atau cenderung gelap. Pemilihan font dan fotonya juga sangat menarik untuk dikaji. Untuk kover album biasanya memuat lebih dari empat jenis font. Seperti Nano-Nano, rame rasanya.
S
aya adalah orang yang menyukai bebunyian lokal. Misalnya, di dalam bis dari Surabaya menuju Jogja, saya dengan khusyuk akan mendengarkan setiap pengamen yang lewat. Biasanya di antara belasan pengamen yang mampir, ada satu dua yang membawakan lagu dengan taste
lokal. Jika masuk daerah Maospati, Magetan biasanya yang tampil adalah pengamen kelas proletar yang setia membawakan lagu-lagu gubahan sendiri dengan nuansa politis kekiri-kirian. Atau ketika bis masuk Solo, maka yang paling sering didendangkan adalah tembangtembang populer milik Didi Kempot. Bagi
Sedangkan untuk foto artisnya diolah cukup halus dengan metode masking selection di software Photosop. Hmm teknik yang lumayan canggih juga. Setelah sekitar limabelas menit memilah dan memilih, akhirnya saya jatuhkan pilihan pada dua album: ‘Tembang Etnik
Madura Sepanjang Masa’ rilisan CHGB Record dan ‘Gambus AAR Vol. 3: Best of The Best Sukur CS’ produksi Ainun Aula Record. Saya membelinya seharga sepuluh ribu rupiah per biji. Harga ini termasuk sangat murah untuk cakram music sekelas rilisan asli, bukan bajakan. Bagi saya ini adalah dua koleksi yang membanggakan. Bahkan bukan tidak mungkin duapuluh tahun mendatang ini bisa jadi rare collection. Karena saya yakin kolektor sekaliber Denny Sakrie dan David Tarigan pasti tidak punya koleksi ini! Hahaha. Salah satu track yang membuat saya geleng-geleng adalah lagu berjudul ‘Face Book’ ciptaan Dick Sadun. Lagu berlirik ringan yang dinyanyikan secara duet oleh Sukur dan Hj Ilmiah ini cukup edan. Setahu saya baru tiga lagu di Indonesia yang mengangkat situs jejaring social Facebook sebagai tema: ‘My Facebook’ oleh GIGI, ‘Facebook’ yang dibawakan oleh band Batak bernama Gulamo, dan ‘Face Book’ rilisan Ainun Aula Record. Lagu rancak berlirik Madura tulen ini bercerita tentang seorang suami yang sibuk fesbukan hingga lupa anak istri. Hahaha.
D
ari dua album yang saya beli, track lain yang patut didengarkan adalah: ‘Ngornok II’ ciptaan Kakang Heru dan Mansur, ‘Kan Ta’ Rogi’ ciptaan Dick Sadun, ‘Tandhuk Majeng’ ciptaan R Amiruddin, dan ‘Olle Ollang’ yang dinyanyikan oleh Asmi dan Mahmud. Cukup menyenangkan mendengarkan para musisi Madura berdendang dengan bahasa mereka. Setidaknya, jika ini terus dilakukan, tak usah khawatir bahasa Madura akan punah.[]
S
ekitar pukul sebelas siang kami tiba di daerah Sampang. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengisi perut, karena sejak pagi belum terisi. Tidak ada satupun menu kuliner di Sampang yang ingin kami cicipi selain Bebek Songkem yang terkenal itu. Kalau biasanya daging bebek diolah dengan cara digoreng atau dipanggang, lain halnya dengan Bebek Songkem ini. Daging bebek dibungkus menggunakan daun pisang dan dilumuri bumbu pedas, kemudian dikukus hingga dagingnya benar-benar empuk. Entah berapa lama. Membuat lunak daging bebek yang terkenal liat tentu saja bukan pekerjaan mudah kawan. Daging Bebek Songkem ini memang sangat lunak. tinggal gigit sedikit, dagingnya akan mudah lepas dari tulang. Mak prul. Beda sekali dengan daging bebek pada umumnya yang masih menyisakan daging alot sebagai signature. Konon, awal mula istilah Bebek Songkem ini muncul karena masyarakat kota Sampang selalu menjadikan
makanan ini sebagai oleh-oleh jika hendak berkunjung ke rumah Kyai. Orang Sampang menyebutnya dengan istilah songkeman, makanya hingga sekarang bebek yang mereka bawa itu disebut Bebek Songkem. Awalnya saya pikir songkem adalah bahasa Madura yang artinya 'upper cut', haha ngasal banget. Saya punya alasan kuat, karena pedas bebek ini memang bakal memberikan tonjokan keras dari dalam leher hingga rahang Anda terasa panas. Rupanya pedasnya Bebek Songkem ini benar-benar nampol, satu gelas es jeruk belum cukup menetralkan rasa pedas yang menyengat lidah, hingga memaksa kami berempat untuk pesan segelas minuman lagi. Rasa pedas bebek ini memang benar-benar gila! Jika Anda merasa daging bebek ini masih kurang pedas, jangan kuatir karena pemilik warung juga menyediakan sambal extra di tiap meja. Untuk mencari lokasi warung Bebek Songkem milik Pak Salim ini sebenarnya
Saya berani berikan nilai 8/10 untuk bebek yang capcus ini. mudah karena letaknya yang berada di pusat kota, tepatnya di jalan Trunojoyo. Kami sempat kesasar. Karena sebuah sumber mengatakan bahwa penjual Bebek Songkem hanya ada satu di seluruh Sampang, maka saat tanya jalan ke penduduk saya tanyakan saja,”Di mana letak Bebek Songkem?” Tentu saja itu adalah pertanyaan yang salah kawan. Karena di Sampang, Bebek Songkem terletak di mana-mana. Ciri khas rasa bebek ini ada pada dominasi rasa pedas dan asin. Benarbenar menunjukkan kalau makanan ini asli dari Madura. Asinnya pol, pedasnya juga nonjok, dijamin bikin merem melek. Bumbunya meresap hingga ke dalam
daging yang super empuk. Dari semua daging bebek yang pernah saya makan, Bebek Songkem inilah yang menurut saya dagingnya paling soft. Kakek-kakek yang giginya tinggal dua, bakal sanggup makan daging Bebek Songkem ini tanpa perlawanan berarti, hehehe. Benar-benar empuklah. Bebek Songkem ini memang pas dimakan saat jam makan siang. Disajikan dengan nasi hangat dilengkapi lalapan timun kubis, minumnya es jeruk, uhh seger! Saya berani berikan nilai 8/10 untuk bebek yang capcus ini. Harga seporsinya saya kurang tahu persis, yang jelas tidak sampai limabelas ribu rupiah per porsi. Jadi jangan kuatir, makan di Bebek Songkem tidak akan membuat kantong kering. Silahkan mencoba jika berkunjung ke Sampang. []
Worst Transportation
Worst Track
Worst Destination
Worst Moment
KLM Wahyu Akbar
Aku Pilih Dia
Pantai Nyi Ro’om
Farewell To You
A
pa jadinya kalau seorang yang gampang mabuk laut, naik kapal kayu, dan digoyang oleh ombak biadab nan memiriskan? Jadinya adalah aku yang muntah, lalu berpegangan pada sebuah tiang kayu karena kapal yang berguncang-guncang hebat. Aku mengidolakan Jack Sparrow dan Luffy, sehingga pernah terbesit ingin menjadi bajak laut. Tapi sekarang aku menyerah, cita-cita itu kandas sudah. Ti d a k m u n g k i n s a a t s a y a m a u menyerang kapal lawan, lalu tiba-tiba saya skip untuk muntah dulu. Kondisi buruk ini masih diperparah dengan ibuibu paranoid yang selalu berteriak histeris kala kapal digoncang ombak. Ah, andai saja melempar orang ke laut itu tidak dosa, maka sudah aku lemparkan mereka. Mengganggu ritual muntahku saja.
B
ayangkan Anda sedang sekarat mabuk laut, kapal kayu yang anda tumpangi sedang bergoncang dahsyat, lalu ada ibu-ibu paranoid berteriak-teriak. Apa anda pikir itu adalah siksaan terberat? Tunggu sampai Anda mendengar lagu dari band bernama Domino. Lagu Aku Pilih Dia yang dijadikan ringtone Nexianfuckingberry milik seorang penumpang tampaknya menjadi anthem hidup-mati saya. Ramuan lagu menyemenye dengan aransemen rock wannabe, menambah parah penderitaan jiwa dan ragaku. Siksaan itu bertambah berat berlipat-lipat ketika ringtone ini distel dengan volume terkeras, meneriakkan lagu dengan lirik “Aku terperangkap/ diantara dua hati/ bla bla bla” Ah, jika seperti ini tampaknya masuk neraka jauh lebih menyenangkan, kawan.
K
ami mengira, Sapudi memiliki banyak stok pantai berpasir putih, dengan air laut jernih, bisa dibuat renang, dan syukur-syukur asyik untuk snorkeling. Tapi apa daya, kami hanya bisa mendapatkan pantai sempit yang kotor bernama Nyi Ro’om. Dari namanya saja sudah terdengar spooky bukan? Di pantai ini dulu memang ditemukan sebuah potongan kepala wanita berbau harum. Akhirnya kepala itu dikubur dan dibuat petilasan. Nyi Ro’om sendiri artinya “Nenek Harum”. Yang paling menyebalkan adalah, kami harus berakting sebagai pembalap off road, lalu melakukan manuver gaul dengan menggunakan si Kebo dan Bonita dulu sebelum mencapai pantai menyedihkan ini. Masuk keluar hutan, melintas ladang orang, motor terjebak lumpur, hingga melewati jembatan kecil dari kayu. Sampai disana, bukannya bisa berenang, kami malah diajak berdoa di makam kecil keramat oleh sang guide. Ampuuuunnn!
K
alau Anda benci perpisahan, jangan pergi ke Pulau Sapudi. Penduduknya yang ramah dan menyenangkan, membuat kami susah untuk berpisah. Ternyata pertemuan selama dua hari sudah cukup membuat kami sangat dekat. Keramahan Pak Harto dan orang Sapudi begitu membayangi. Belum lagi kekocakan tiga anak Pak Harto yang selalu bisa membuat kami tertawa. Sesaat sebelum kami pulang, anak bungsu Pak Harto, Jinggan, menangis sambil terus memanggil nama Putri dengan wajah yang sendu. Oh my! Sekarang aku baru tahu mengapa para antropolog selalu menjaga jarak dengan subjek penelitiannya: mereka takut jika terlalu akrab dan akan sangat sulit berpisah. Tampaknya itu yang kami alami sekarang.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Unknown Artist - Maghadir Unknown Artist – Ya Toyyiba Silampukau – Sampai Jumpa The Darkness – One Way Ticket to Hell… And Back She and Him – Why Do You Let Me Stay Here Galaxie 500 – When Will You Come Home Cinderella – Comin’ Home Endah N Rhesa – Nowhere To Go Kings of Convenience - Boat Behind The Beatles – All My Loving The Smiths – Please Please Please Bon Jovi – Miracle All Saint – Pure of Shore Andy Liany – Sanggupkah Aku Melancholic Bitch – 7 Hari Menuju Semesta The Shins – Australia White Lion – Farewell to You Risky Summerbee and The Honeythief - The Place I Wanna Go Saigon Kick – So Sad To Say Grass Rock – Anak Rembulan
the best combo
contributors
Dwi Putri Ratnasari
Muhammad Nurullah
Putri adalah seorang sarjana Farmasi yang selalu membanggakan bentuk pipinya yang mempesona. Kecanduan traveling sejak perjalanannya ke Karimunjawa hampir dua tahun lalu. Pecinta musik dan film bagus. Memiliki obsesi kuat untuk pergi ke Marrakesh suatu hari nanti.
Pria berperawakan kurus tinggi langsing ini menjagokan Spanyol untuk jadi juara di Piala Dunia 2010. Konon, dia menjadi travel freak sejak perjalanan mendaki Gunung Welirang, dua tahun lalu. Masih menyimpan mimpi besar untuk bisa mengunjungi kota Barcelona bersama pasangannya sebelum mati.
bacasayasaja.blogspot.com
suket-teki.blogspot.com
thanks to Ajie, Sumenep Pak Tok sekeluarga, Sapudi Pak Harto sekeluarga, Sapudi Mas Santoso sekeluarga, Sapudi Pak Waki dan istri, Sapudi Bu Tusmiyati, Sumenep Special thanks: Sapta Putri (Alm.) terimakasih banyak untuk petunjuk perjalanannya.
Ayos Purwoaji
Nuran Wibisono
Mulai jatuh cinta dengan backpacking sejak membaca komik Tintin. Ayos adalah penganut ajaran sesat "never having sex before married". Pria berkacamata dengan muka mesum ini adalah pemuja jazz yang sesekali diiringi dengan dendang dangdut dari OM Pantura, orkes melayu yang ia temui di perjalanan Banyuwangi-Bali. Saat ini dia berusaha keras untuk niat kuliah setelah semester sebelumnya dia sibuk mengejar seorang cewek priyayi cantik.
Memulai backpacking sejak SMP setelah membaca novel Gola Gong yang berjudul Balada si Roy. Nuran menganut filosofi: jika kau menikah, maka kehidupanmu sebagai lelaki berakhir sudah. Bagi Nuran, jika kuliah seenak traveling maka ia akan lulus cepat dengan predikat summa cumlaude. Selain flirting, saat ini aktivitas lain Nuran yang cukup membanggakan adalah menjadi kontributor untuk majalah dan situs musik ternama.
hifatlobrain.blogspot.com
nuranwibisono.blogspot.com
Travelista 2010