Edisi XV/2013
Agus Suprijanto:
“DJPB berperan melakukan spending review” Medical Checkup APBN dan Politik Kesejahteraan
Foto: Edi Juliana
Sinergi Optimalkan Capaian Kinerja
Editorial
Edisi XV/2013
Redaksi Diterbitkan Oleh: Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan Pelindung Menteri Keuangan Pengarah Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Penanggung Jawab Kepala Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan Redaktur Supendi, Herry Siswanto, Yeti Wulandari, Eka Saputra, Herry Hernawan, Rachmad Arijanto, Moch. Asep Kurniawan Penyunting/Editor Arif Setiawan, Puspita Idowati Rajagukguk, Susmianti , Misnilawaty Sidabutar, Arie Fikri, Azharuddin, Eman Adhi Patra KontributorTetap Manajer Kinerja Organisasi Desain Grafis & Fotografer Wardah Adina, Bagus Wijaya, I Made Edi Juliana, Loka Yoga Hapsara Pencetakan dan Distribusi Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Alamat Redaksi: Gedung Djuanda I Lt. 5 Jl Dr. Wahidin Raya No. 1 Jakarta 10710 Kotak Pos 21 Telp. 021 3449230 pst 6139 Fax. 021 3517020 Website: www.depkeu.go.id Email:
[email protected]
Redaksi menerima tulisan/artikel untuk dimuat dalam buletin ini. Artikel ditulis dalam huruf Arial 11 spasi 1,5 maksimal 3 halaman. Tulisan artikel dapat dikirim ke email redaksi. Setiap tulisan yang masuk menjadi milik redaksi. Redaksi berhak mengubah/mengedit setiap tulisan yang dimuat.
Penyerapan Anggaran K/L Tidak Maksimal BULAN Desember adalah bulan sibuk bagi Kementerian/Lembaga (K/L). Sibuk untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan yang tertunda, sibuk pula untuk berusaha menyerap sisa anggaran yang tersedia. Ya, seperti mesin diesel yang makin lama makin panas, begitulah rutinitas penyerapan anggaran K/L. Lambat diawal, ngebut di akhir tahun. Bahkan, di 10 hari terakhir menjelang tutup tahun anggaran, serapan belanja modal bisa mencapai 1%1,5% per harinya. Tidak maksimalnya penyerapan anggaran K/L Tahun 2012 tercermin dari realisasi belanja K/L yang hanya mencapai 87,5% dari pagu anggaran. Angka ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2011 yang mencapai 90,5% dari pagu APBN-P 2011. Kementerian Keuangan melihat terdapat tiga hambatan penyerapan anggaran K/L yaitu hambatan struktural, institusional, dan kultural. Ketiga hambatan tersebut merupakan masalah klasik yang selalu terjadi berulang kali. Hambatan struktural adalah terkait kebijakan atau peraturan yang berlaku. Hambatan institusional timbul dikarenakan kekurangsiapan para pengelola anggaran. Adapun hambatan kultural adalah terkait kebiasaan para pangelola anggaran itu sendiri. Dari ketiga hambatan tersebut, peran Kemenkeu yang paling dapat dirasakan efeknya dalam jangka pendek dan dirasakan langsung oleh K/L adalah upaya meminimalisasi hambatan kultural. Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang secara langsung terlibat dalam penyerapan anggaran K/L diharapkan mampu menciptakan terobosan-terobosan baru guna mendorong K/L untuk dapat lebih tertib lagi dalam menyerap anggarannya. Dalam mengajukan anggaran, masih juga ditemui kebiasaan K/L yang dalam perencanaannya terkesan ‘yang penting dapat dananya dulu.’ Kebiasaan ini merupakan cerminan buruknya perencanaan K/L. Perencanaan yang dibuat seolah-olah hanya untuk memenuhi persyaratan administrasi dalam pengajuan anggaran. Perencanaan belum dilihat dari kaca mata keperluan pembiayaan atas kegiatan untuk mendukung pencapaian sasaran strategis. Ketika anggaran telah disetujui dan dituangkan dalam DIPA, barulah timbul masalah tentang bagaimana cara menyerapnya. Kemenkeu memang telah menerapkan kebijakan reward and punishment bagi K/L dalam menyerap anggarannya dikaitkan dengan penambahan/pengurangan pagu anggarannya. Meskipun ada dampaknya, tetapi sebenarnya tingkat penyerapan K/L masih bisa dimaksimalkan lagi. Jika dalam memaksimalkan tingkat penyerapan saja sudah ditemui masalah, apalagi ketika harus membicarakan tingkat efisiensi penggunaan anggaran itu sendiri. Setiap K/L seharusnya benar-benar memantau secara periodik penyerapan anggarannya. Supervisi atas penyerapan anggaran perlu dilakukan lebih ketat lagi oleh para kepala satuan kerja. K/L harus memiliki kesadaran bahwa anggaran pemerintah memiliki pengaruh yang besar dalam mendorong berbagai aktivitas perekonomian. Penyerapan anggaran harus dilakukan secara disiplin, tidak menggelembung di akhir tahun yang bisa berefek pada penyelenggaraan kegiatan sekadar menghabiskan anggaran saja. Kemenkeu masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam menciptakan berbagai terobosan penganggaran sejak perencanaan, penyerapan sampai pertanggungjawabannya. [Herry Hernawan]
2
Buletin Kinerja - Edisi XV/2013
Medical Checkup Tahun ini penerapan Balanced Scorecard (BSC) sudah menginjak usianya yang keenam. Sejak akhir tahun 2007, Kementerian Keuangan mulai menerapkan BSC sebagai pendekatan dalam pengelolaan kinerja. Tahun 2012 kemarin BSC telah dibangun dan diukur hingga level individu (individual scorecard). Inilah waktu yang tepat untuk mengevaluasi diri apakah perjalanan kita masih on the track, apakah bekal kita untuk mencapai tujuan masih mencukupi, apakah organisasi kita cukup sehat untuk meneruskan perjalan tersebut. Pimpinan organisasi perlu berkaca untuk melihat apakah strategi yang ada sudah mendukung pencapaian visi dan misi serta tujuan organisasi atau sudahkah strategi menjadi fokus perhatian organisasi kita.
PENGELOLA kinerja organisasi di tingkat Kementerian telah mencoba melakukan medical check up untuk menilai kesehatan organisasi dengan melakukan survei internal yang dinamakan dengan Strategy Focused Organization (SFO) Survey. Survei ini bertujuan mengetahui level implementasi prinsip-prinsip SFO baik pada Kemenkeu maupun tiap unit Eselon I serta hal-hal yang mempengaruhinya. Konsep SFO ini diperkenalkan oleh Robert Kaplan dan David Norton, pencetus lahirnya BSC, yang intinya adalah lima prinsip penting bagi organisasi dapat mencapai tujuannya. Kelima prinsip tersebut adalah: Memobilisasi perubahan melalui kepemimpinan (SFO 1), Menerjemahkan strategi menjadi kerangka operasional (SFO 2), Menyelaraskan organisasi pada strategi (SFO 3), Memotivasi untuk membuat strategi menjadi tugas setiap pegawai (SFO 4) dan Menjadikan strategi sebagai proses manajemen yang berkelanjutan (SFO 5). Survei ini melibatkan responden sebanyak 4.075 pegawai yang terdiri atas 2.9% pejabat eselon II, 11.4% pejabat eselon III, eselon IV sebanyak 34.1% dan 44.4% pelaksana, kemudian 4.4% pejabat fungsional dan 2.7% eselon V. Tingkat pendidikan responden cukup beragam dengan sebaran terbesar pada tingkat pendidikan S1 dan S2 masing-masing sebesar 40.7% dan 32%, disusul pendidikan SMU, D1, dan D3 sebesar 24.1%, S3 sebanyak 0.8% dan ada 2.4% responden yang tidak mengisi latar belakang pendidikannya.
Memobilisasi perubahan melalui kepemimpinan (SFO 1), Menerjemahkan strategi menjadi kerangka operasional (SFO 2), Menyelaraskan organisasi pada strategi (SFO 3), Memotivasi untuk membuat strategi menjadi tugas setiap pegawai (SFO 4) dan Menjadikan strategi sebagai proses manajemen yang berkelanjutan (SFO 5).
Tingkat pemahaman responden terhadap BSC/IKU diukur secara self assessment. Sebanyak 64% responden mengaku paham dengan IKU/ BSC, 31.2% responden mengaku cukup paham, 2.9% responden mengaku tidak paham, dan sisanya tidak menjawab. Hal ini berarti, rata-rata pegawai yang menjadi sampel penelitian “paham” terhadap BSC/IKU. Hasil olahan kuesioner menunjukkan bahwa skor level implementasi SFO
Kemenkeu sebesar 4.68. Angka ini merupakan nilai yang baik, karena berdasarkan hasil konversi skala dari “Level of Excellence” yang dikeluarkan oleh Mangels dan Waldeck (2005), angka ini diintrepretasikan sebagai “We are good at this”. Level ini merupakan kriteria kedua terbaik dari lima kriteria yang ditetapkan oleh Mangels dan Waldeck. Ini berarti implementasi Kemenkeu sudah baik dan usaha seluruh elemen di Kementerian ini patut diacungi jempol. Buletin Kinerja - Edisi XV/2013
3
Prinsip SFO yang memperoleh nilai tertinggi adalah SFO 1, “memobilisasi perubahan melalui kepemimpinan”, dengan nilai 4.79. Kemudian diikuti oleh prinsip SFO 3, “menyelaraskan organisasi dengan strategi” dengan nilai 4.76. Prinsip SFO 2 “menerjemahkan strategi menjadi kerangka operasional” ada di urutan ketiga senilai 4.63. Selanjutnya adalah prinsip SFO 5 “menjadikan strategi sebagai proses manajemen yang berkelanjutan” senilai 4.58. Nilai terendah adalah prinsip SFO4 “memotivasi untuk membuat strategi menjadi tugas setiap pegawai” sebesar 4.52. Angka tersebut didukung dengan hasil wawancara terhadap responden yang mewakili semua level jabatan dalam organisasi. Prinsip SFO terbaik yaitu SFO 1 diimplementasikan melalui proses monitoring dan review yang dilakukan secara periodik oleh atasan terhadap capaian kinerja. Pada level eselon I kegiatan monitoring dilakukan secara bulanan, level eselon II dan III biasanya dilakukan setiap bulan atau triwulanan. Frekuensi pada level Eselon IV biasanya lebih banyak dan bentuknya informal. Rapat monitoring tersebut biasanya dikemas menarik dan lebih dibuat santai, misalnya dengan istilah coffee morning atau dimulai dengan sarapan bersama. Untuk mencapai tujuan organisasi, atasan juga telah memberikan arahan yang memadai. Pemberian arahan dilakukan sejak awal penetapan target kinerja dan sepanjang periode. Beberapa kantor melakukan penandatanganan Kontrak Kinerja secara bersama-sama dari Kemenkeu-Three sampai dengan Kemenkeu-Five, dan di dalamnya pimpinan tertinggi pada kantor tersebut memberikan arahan. Salah satu contoh yang menarik adalah pemberian arahan oleh Kakanwil sembari mengunjungi Kantor Pelayanan di wilayah kerjanya. Selain itu, kepemimpinan juga terlihat dalam memotivasi pegawai untuk mencapai target kinerja. Motivasi diberikan melalui monitoring kinerja yang kon-
4
Buletin Kinerja - Edisi XV/2013
sisten, pemberian penghargaan atas pekerjaan atau ide, sharing ilmu oleh atasan. Hal paling penting dalam memotivasi pegawai adalah menciptakan suasana kerja yang harmonis. Contohnya adalah pendekatan personal seperti mendatangi meja bawahan maupun melakukan kegiatan yang membangun sinergi seperti melakukan gathering. Peran atasan dalam pengelolaan kinerja dibantu oleh pejabat pengelola kinerja/ IKU. Dalam melakukan fungsinya, tugas mengelola kinerja masih harus berebut perhatian dengan beban pekerjaan lainnya. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan mengenai penetapan tugas pengelola
Prinsip SFO terbaik yaitu SFO 1 diimplementasikan melalui proses monitoring dan review yang dilakukan secara periodik oleh atasan terhadap capaian kinerja.
kinerja dalam urjab dan pemberian penghargaan yang memadai atas tambahan pekerjaan sebagai pengelola kinerja tersebut. Prinsip SFO dengan nilai terendah adalah prinsip SFO 4, “memotivasi untuk menjadikan strategi sebagai pekerjaan seluruh pegawai”. Prinsip ini menggambarkan proses menciptakan sinergi antara seluruh pegawai untuk mencapai tujuan organisasi. Hal ini butuh kesadaran seluruh pegawai bahwa pekerjaan yang dilakukan sehari-hari bertujuan untuk mencapai strategi organisasi. Dalam hal ini, peran atasan juga sangat penting dalam mengkomunikasikan strategi organisasi kepada bawahan. Maka, pegawai yang bersangkutan menyadari kontribusi pekerjaan mereka terhadap pencapaian strategi organisasi. Implementasi BSC juga mendukung pembentukan kesadaran tersebut, karena
pegawai memperoleh gambaran yang jelas mengenai kontribusi IKU individu terhadap IKU organisasi melalui konsep cascading. Melalui cascading, penetapan target IKU individu dapat dipastikan bertujuan untuk mendukung pencapaian target IKU organisasi. Hal yang masih perlu diperbaiki dalam prinsip SFO 4 ini adalah pemberian penghargaan yang sesuai atas pencapaian target IKU. Bentuk penghargaan yang umum-nya diberikan adalah berupa ucapan terima kasih, diklat, promosi ataupun kenaikan grading. Belum ada penyelarasan antara sistem pemberian reward dengan capaian kinerja. Penetapan grading pegawai sebagai dasar TKPKN seharusnya merujuk pada kinerja bukan golongan. Pelaksanaan promosi dan mutasi juga dapat lebih dikaitkan dengan kinerja. Sistem penggajian antara kantor teladan dengan kantor biasa seharusnya juga dibuat berbeda karena adanya beban kerja serta tuntutan output yang sangat berbeda. Pekerjaan rumah lainnya adalah penyelarasan pengembangan kompetensi pegawai dengan strategi organisasi. Jumlah kesempatan diklat cukup banyak, namun pelaksanaannya sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk mencapainya, perlu mapping kompetensi yang dibutuhkan oleh pegawai dan training need analysis, sehingga pengembangan kompetensi dapat diselaraskan dengan strategi organisasi. Informasi pengembangan kompetensi masih kurang transparan, khususnya pada kantor vertikal, sehingga hanya orang-orang tertentu yang mengetahui pelaksanaan diklat. Secara keseluruhan kondisi implementasi pengelolaan kinerja sudah berada dalam kondisi yang sehat. Namun memang masih ada bagian-bagian yang sakit dan harus segera diobati. Kalau dibiarkan saja, jangan-jangan bisa jadi penyakit kronis. Lebih baik mencegah daripada mengobati bukan? [Misnilawaty Sidabutar]
Quo Vadis Penyerapan Anggaran Lajunya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup baik di tengah krisis ekonomi dunia ditopang salah satunya oleh peran penting Kementerian Keuangan sebagai pengelola fiskal. Kebijakan fiskal yang dirumuskan Kementerian Keuangan sebagai chief financial officer Indonesia akan mempengaruhi komposisi dan realisasi penerimaan dan pengeluaran negara yang telah direncanakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Belanja negara sebagai bagian dari APBN dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga (K/L), sebagai stimulus untuk mendorong pergerakan ekonomi riil dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
PENGELOLAAN fiskal untuk pengendalian pelaksanaan anggaran belanja negara tersebut terkait erat dengan kewenangan Kementerian Keuangan di bidang perbendaharaan negara. Kinerja pengelolaan fiskal tersebut dimonitor dalam Indikator Kinerja Utama (IKU) Kemenkeu-Wide yang di-cascade ke Kemenkeu-One Ditjen Perbendaharaan, yaitu “persentase penyerapan belanja negara dalam DIPA Kementerian/Lembaga”, dengan target 90% pada tahun 2012. Di masa mendatang diharapkan penyerapan belanja negara mencapai 95%. Pencapaian target kinerja penyerapan belanja negara tersebut memiliki tantangan yang sangat tinggi, terkait dengan pemecahan problematika belanja negara yang dihadapi dari tahun ke tahun. Tantangan pertama adalah keterbatasan ruang fiskal pemerintah yang pada tahun 2012 hanya berkisar 5,80% dari PDB, sebagai akibat kondisi rasio belanja terikat sebesar 68,07% dari total belanja tahun 2012. Keterbatasan ruang pemerintah untuk mengalokasikan belanja modal dan porsi belanja operasional birokrasi yang lebih besar daripada belanja modal atau belanja pelayanan langsung kepada publik, mengakibatkan peran signifikan pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi menjadi terbatas. Di samping itu, pengaruh belanja pemerintah terhadap kualitas penyediaan layanan publik tidak dapat diukur. Tantangan lainnya adalah pola penyerapan belanja negara, terutama untuk komponen Belanja Barang dan Belanja Modal K/L, yang tidak optimal dan menumpuk di akhir tahun
anggaran, mengakibatkan peran stimulus fiskal dari kontribusi belanja negara tidak tercapai, dan tidak menguntungkan untuk pengelolaan kas yang baik. Dalam APBN-P 2012 ditetapkan bahwa total besaran belanja negara adalah Rp1.548,3 triliun, naik 17,22% dari sebelumnya Rp1.320,8 triliun pada APBN 2011. Postur belanja negara dalam APBN-P 2012 tersebut terdiri atas belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp1.069,5 triliun (69,1%) dan transfer ke daerah sebesar Rp478,8 triliun (30,9%). Belanja Pemerintah Pusat tersebut terdiri dari 8 komponen, dimana 4 komponen merupakan belanja yang termasuk ke dalam jenis Belanja K/L non-BUN, yaitu Belanja Pegawai (Rp212,3 triliun), Belanja Barang (Rp162 triliun), Belanja Modal (Rp176,1 triliun), dan Bantuan Sosial (Rp86 triliun). Dari progress penyerapan anggaran, pencairan anggaran Belanja K/L non-BUN pada akhir tahun 2012 telah mengalami
kemajuan dibandingkan tahun 2011. Kemajuan penyerapan anggaran tersebut dapat dilihat dari data Belanja K/L nonBUN pada 11 Desember 2011 dan per 11 Desember 2012 yang dapat diperbandingkan pada tabel 1. Walaupun kemajuan penyerapan anggaran tahun 2012 sedikit lebih baik dari pada tahun 2011, namun realisasi penyerapan anggaran sesuai data berjalan di bulan Desember 2012 menunjukkan tingkat yang belum optimal. Data penyerapan anggaran dan prognosanya disajikan dalam tabel 2. Data realisasi pencairan DIPA K/L sepanjang tahun anggaran 2012 juga masih menunjukkan penyerapan yang tidak proporsional terhadap pagu DIPA. Penyerapan dana sampai dengan semester I tahun 2012 menunjukkan bahwa penyerapan anggaran K/L masih rendah, yaitu sebesar 31,98%, namun menjelang akhir tahun anggaran, penyerapan anggaran mening-
TABEL 1 Jenis Belanja K/L nonBUN Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Belanja Bantuan Sosial Total Belanja K/L non-BUN
per 11 Desember 2012 pagu real 128,285.88 123,191.43 162,822.03 110,012.91 180,196.60 104,759.54 81,305.14 66,369.75 552,609.65 404,333.63
% 96.03 67.57 58.14 81.63 73.17
per 11 Desember 2011 pagu real 109,191.71 104,677.03 145,665.13 93,011.62 144,137.74 74,894.28 73,217.00 52,791.75 472,211.58 325,374.69
% 95.87 63.85 51.96 72.10 68.90
TABEL 2 Belanja Negara Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Bantuan Sosial
APBN-P 2012 212,26 162,01 176,05 86,03
s.d. 30 Nov 2012 Realisasi % 182,19 85,84% 100,58 62,08% 90,83 51,60% 60,50 70,33%
s.d. 19 Des 2012 Realisasi % 193,81 91,31% 118,99 73,45% 119,94 68,13% 71,46 83,07%
Outlook APBN-P Realisasi % 203,54 95,89% 151,32 93,40% 151,64 86,14% 75,05 87,24%
Buletin Kinerja - Edisi XV/2013
5
kat cukup tajam. Fenomena penyerapan rendah di awal tahun dan meningkat tajam menjelang akhir tahun anggaran ini menjadi kecenderungan umum yang selalu berulang setiap tahunnya. Kondisi penggunaan anggaran belanja negara yang belum optimal sebagaimana digambarkan di atas, menjadi sorotan banyak pihak. Permasalahan K/L yang belum menyerap anggaran secara maksimal dan proporsional, penarikan yang belum berimbang, serta penggunaan anggaran yang belum berorientasi pada outcome harus mendapatkan perhatian serius. Untuk itu, perlu dirumuskan alternatif solusi yang akan menjadi Inisiatif Strategis dalam rangka mencapai target kinerja yang telah ditetapkan. Pada tahun 2012 dan sejak tahun-tahun sebelumnya, terdapat beberapa strategi yang dilaksanakan untuk mendorong peningkatan penyerapan anggaran dengan sebaran yang proporsional. Upaya yang dilakukan antara lain: 1. Penetapan seluruh Kanwil Ditjen Perbendaharaan menjadi Kanwil Unggulan dan seluruh KPPN menjadi KPPN Percontohan, dalam rangka memberikan pelayanan kepada satuan kerja yang paripurna, dengan kepastian waktu dan tanpa biaya, sehingga satuan kerja dan pihak ketiga diharapkan tidak menunda tagihan kepada negara sampai akhir termin akibat kekhawatiran akan adanya biaya tidak resmi/pungli. 2. Proses penerbitan, pengesahan dan pendistribusian DIPA yang tepat waktu di awal tahun, dengan harapan pencairan dana DIPA dapat lebih cepat dilakukan satuan kerja. 3. Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 170/PMK.05/2010 tentang Penyelesaian Tagihan atas Beban APBN pada Satuan Kerja, yang memuat pengaturan mengenai adanya kepastian waktu penyelesaian tagihan atas beban APBN pada satuan kerja. 4. Penerbitan Surat Menteri Keuangan Nomor S-596/MK.05/2012 tanggal 14
6
Buletin Kinerja - Edisi XV/2013
Agustus 2012 hal Langkah-Langkah Mengatasi Penumpukan Penyampaian SPM ke KPPN Menjelang Akhir TA 2012, yang mengatur pembatasan penyampaian SPM ke KPPN pada akhir TA 2012, sehingga satker didorong untuk merealisasikan DIPA sebelum akhir tahun anggaran. 5. Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, yang bertujuan untuk memberikan kemudahan/simplifikasi prosedur sekaligus kepastian hukum bagi satuan kerja yang melaksanakan pengadaan barang dan jasa. 6. Pelaksanaan monev penyerapan anggaran dan penyelenggaraan Forum TEPPA (Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran), yang bertujuan untuk memantau sekaligus memberikan pembinaan/asistensi dalam rangka realisasi dana DIPA satuan kerja dimaksud.
lolaan kinerja yang terukur sebagai upaya peningkatan kinerja di internal Kementerian Keuangan. Tak hanya sistem dan proses bisnis yang dibangun, namun juga dari sisi organisasi tak luput mendapat perhatian. Dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.01/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Vertikal Kementerian Keuangan, maka beberapa tugas dan fungsi yang diemban Kementerian Keuangan secara keseluruhan dapat dipertajam kepada masing-masing struktur, seperti pengalihan fungsi pengesahan DIPA dari Ditjen Perbendaharaan kepada Ditjen Anggaran dan pendelegasian sebagian tugas Ditjen Perimbangan Keuangan dan Ditjen Anggaran kepada Kanwil Ditjen Perbendaharaan. Di samping itu, sebagai think tank atas tugas spending review maka tak ketinggalan dilakukan adalah penajaman fungsi Direktorat Pelaksanaan Anggaran Ditjen Perbendaharaan untuk melaksanakan tugas monitoring dan evaluasi terhadap penyerapan dan pencapaian kinerja belanja.
Walaupun upaya-upaya sebagaimana tersebut di atas telah mendongkrak realisasi anggaran dalam DIPA yang terus meningkat setiap tahunnya, namun hal tersebut belum cukup untuk mendistribusikan penyerapan yang lebih proporsional sepanjang tahun dan untuk mengefektifkan dampak stimulus fiskal. Dengan demikian, selain melanjutkan dan menyempurnakan beberapa hal yang telah dilaksanakan di tahun 2012, perlu dirumuskan beberapa strategi yang komprehensif untuk dilaksanakan di tahun 2013, baik pengaturan untuk internal Kementerian Keuangan sendiri maupun pengaturan untuk satuan kerja atau K/L.
Dari sisi satuan kerja, beberapa hal yang direncanakan untuk diimplementasikan adalah pemberian reward and punishment atas realisasi anggaran yang dilaksanakan satuan kerja, pengefektifan perencanaan kas dan pengisian Halaman III DIPA satuan kerja yang lebih aplikatif, ideal dan bukan sekedar formalitas, serta perumusan indikator kinerja yang mengkorelasikan realisasi anggaran dan capaian output pada DIPA K/L.
Dari sisi Kementerian Keuangan, upaya yang saat ini sedang dan akan dilakukan adalah proses implementasi Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) yang mengintegrasikan perencanaan penganggaran, pelaksanaan dan monitoringnya, sekaligus penyediaan kas negara ke dalam satu database dan sistem yang komprehensif. Selain itu, yang tak kalah penting adalah pembangunan penge-
Dengan pengawalan dari pengelolaan kinerja yang terukur, strategi atau pengaturan yang tepat, dan sinergi yang harmonis antar unit di internal Kementerian Keuangan, diharapkan penyerapan anggaran pada DIPA seluruh K/L di tahun mendatang dapat mencapai target yang telah dicanangkan, dalam rangka memperluas ruang fiskal pemerintah dan mengokohkan kondisi ekonomi Indonesia di kancah global. [Kontributor: Didyk Choiroel, Jordan, dan Rully Kurniawati pada Bagian OTL DJPB]
Direktur Penyusunan APBN, Purwiyanto
Berani Mandiri Melalui Ide Kreatif
MENGAWALI karir pada tahun 1988 sebagai pelaksana pada Badan Aset Keuangan Negara-Perkreditan dan Neraca Pembayaran (saat ini bernama Badan Kebijakan Fiskal), sudah langsung berkecimpung dengan penyusunan APBN. Penyusunan konsep Nota Keuangan mulai dari mengumpulkan data dari para stakeholder sampai dengan pengolahannya, sudah biasa dilakukan sehari-hari. Selain kesibukan di kantor, pria yang memiliki hobi membaca ini juga sempat mengajar di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Tak sedikit di antara mahasiswa yang pernah diajar, saat ini telah menjabat eselon III di Kemenkeu. Empat tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1992, pria kelahiran Temanggung 50 tahun silam ini untuk pertama kalinya menjabat sebagai kepala seksi. Tuntutan kebutuhan organisasi akan pendidikan yang lebih tinggi dan melihat kesempatan yang terbuka luas bagi semua pegawai untuk melanjutkan pendidikan,
memacunya untuk ikut beasiswa pendidikan ke luar negeri. Keberuntungan pun berpihak, pada April 1994, pria yang berpenampilan sederhana dan murah senyum ini berangkat ke Amerika Serikat untuk studi Strata-2 di bidang ekonomi. Dua tahun menjalani pendidikan, memberikannya banyak pengalaman berharga untuk dijadikan bekal dalam menghadapi pekerjaan ke depan. Sekembalinya dari sekolah, pada Januari 1997 sampai dengan 2001, beliau diamanahkan untuk menjabat Kepala Seksi Pajak Tidak Langsung pada Badan Pengkajian Ekonomi dan Keuangan (Bappeki). Selanjutnya, menjabat Kepala Bidang Penerimaan perpajakan sampai tahun 2003. Tahun 2003 sampai dengan 2006, pindah ke Pusat Statistik dan Penelitian Keuangan, Badan Analisa Fiskal. Sejak tahun 2007 sampai dengan Juni 2011, pindah ke Direktorat penyusunan
Foto: Loka Yoga
Penyerapan anggaran Pemerintah selalu menjadi topik yang hangat dibicarakan. Kinerja penyerapan anggaran yang belum optimal selama ini disebabkan berbagai faktor, salah satunya adalah rendahnya kualitas perencanaan. Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan dalam hal ini memiliki peran strategis dalam menggawangi kualitas perencanaan anggaran sampai ditetapkan secara formal dalam Dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini yang mendasari Tim Buletin Kinerja tertarik untuk mengangkat sosok Direktur Penyusunan APBN, Purwiyanto (akrab disapa Pak Pur), yang kesehariannya bergelut dengan perencanaan anggaran.
APBN DJA dan diangkat penjadi Tenaga Pengkaji Bidang PNBP pada Juni 2011, sampai akhirnya dipercaya untuk menjabat Direktur penyusunan APBN sejak Januari 2012. Berbicara mengenai penyerapan anggaran, pria berkacamata ini mencoba menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kinerja penyerapan. Menurut beliau, rendahnya penyerapan di antaranya terkait dengan kualitas perencanaan, meskipun masih terdapat faktor lainnya. Kalaupun terkait perencanaan, sifatnya lebih struktural (berjenjang) dan melibatkan banyak stakeholder, salah satunya dengan DPR terkait pemblokiran dana yang berdampak pada waktu penyerapan yang semakin singkat. Selain itu, Kementerian dan Lembaga (K/L) sendiri seringkali tidak dapat memenuhi kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan dalam pengajuan anggaran. Terkadang, pemblokiran dana oleh DPR juga tidak ditindaklanjuti Buletin Kinerja - Edisi XV/2013
7
“Faktor lain adalah ketidakpastian, misalnya iklim. Ketidakpastian atas perubahan iklim dapat menghambat pembangunan suatu proyek sehingga penyerapan menjadi tertunda”, jelas pria lulusan Sarjana Ekonomi Universitas Diponegoro ini lebih lanjut. Beliau juga menegaskan bahwa faktor governance menjadi sangat penting. Hal ini terkait dengan administrasi penganggaran dan pemeriksaan yang saat ini gencar dilakukan KPK atau BPK. Aturan yang ketat dan pengawasan yang dilakukan seringkali menimbulkan kontra produktif. “Tingkat pemahaman SDM juga tak kalah penting, khususnya terkait perencanaan kegiatan ke depan. Kebanyakan K/L belum memahami secara pasti kegiatan yang akan dilakukan ke depan, apalagi sampai dengan menyusun rincian waktu, biaya, dan SDM yang dibutuhkan”, tegasnya. Beliau juga menambahkan terkait pengadaan barang dan jasa melalui tender, ada kondisi dimana perusahaan yang menang tender, tidak bisa mengerjakan langsung proyek tersebut, melainkan harus melakukan subkontrak dengan perusahaan lain. Hal ini juga tentunya dapat menghambat penyerapan anggaran. Terkait dengan efisiensi anggaran, beliau berpendapat bahwa ada kondisi dimana anggaran yang tidak terserap malah menunjukkan kondisi yang baik. Sebagai contoh, penyerapan terkait APBN keseluruhan, misalnya cadangan bencana alam, anggaran risiko fiskal, cadangan stabilisasi harga pangan, jika tidak terserap belum tentu kondisinya tidak baik. “Saat ini, Performance Based Budgeting (Penganggaran Berbasis Kinerja) sudah mulai diterapkan, jadi tidak sematamata dilihat dari tingkat penyerapan saja, melainkan juga dikaitkan dengan output yang berhasil dicapai”, tegasnya. “Jadi, jika anggaran tidak terserap, tetapi outputnya tercapai atau ada alasan dan penjelasan yang kuat, tidak menjadi
8
Buletin Kinerja - Edisi XV/2013
masalah. Tetapi sebaliknya, jika tidak terserap kemudian outputnya juga tidak jelas atau bahkan tidak bisa dijelaskan dengan baik alasan tidak tercapainya anggaran tersebut, maka K/L yang bersangkutan wajib diberikan punishment”, jelasnya lebih rinci. Berangkat dari pengalaman lebih dari 20 tahun di Kemenkeu, pindah dari satu unit ke unit lain, menjadikan pria bergelar Master Of Art dari University of Colorado at Boulder ini memiliki strategi tersendiri dalam menghadapi tantangan pekerjaan yang semakin beragam dan cara menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dengan pekerjaan. “Pekerjaan itu sifatnya dinamis dan bahkan tiada henti, sehingga perhatian terhadap keluarga harus tetap dijaga melalui komunikasi yang baik”, paparnya. “Kepercayaan yang diberikan keluarga terhadap kita juga harus dipertahankan”, jelasnya lebih lanjut. “Penugasan yang sifatnya mendesak, tuntutan berbagai stakeholder di antaranya Menteri, Presiden, DPR, sulitnya mengatur ritme bekerja, atau bahkan terkadang penugasan yang tidak sesuai dengan tusi, menjadi tantangan yang cukup berarti”, paparnya serius. Beliau menuturkan bahwa tantangan terberat dalam bekerja adalah masalah waktu. Waktu kerja tidak hanya pada jam kerja, tetapi juga hari kerja di luar jam kerja (malam dan hari libur). “Selain itu, dari sisi substansi pekerjaan yang dihadapi saat ini mencakup beberapa dimensi, mulai dari melaksanakan APBN 2012, melakukan perencanaan anggaran 2013, sampai dengan evaluasi pelaksanaan anggaran tahun 2011. Ketiganya terkadang dilakukan berbarengan”, ungkapnya. Tuntutan pekerjaan yang cukup beragam mulai dari penyiapan bahan paparan rapat Menkeu dengan K/L terkait, sidang kabinet, sampai dengan sidang paripurna DPR dan pekerjaan yang sifatnya mendesak, membuat pria yang sempat menjadi
Foto: Loka Yoga
oleh K/L dengan cepat sehingga waktunya tertunda-tunda.
peneliti ini berpikir lebih kreatif dan inovatif. Berbagai kebijakan mulai diterapkan mulai dari membangun database yang andal, pemutakhiran data secara berkala, penyusunan buku pintar APBN, sampai dengan pembagian sistem piket kepada seluruh pegawai. “sebagai pimpinan, tidak selamanya dalam melaksanakan tugas harus melibatkan seluruh pegawai, saya harus memiliki keberanian untuk bekerja hanya dibantu beberapa orang tertentu saja. Oleh karena itu, sistem piket pegawai sangatlah efektif”, tegasnya. Selain itu, beliau menekankan pentingnya penerapan nilai-nilai Kemenkeu. Pegawai dituntut memiliki integritas dan tanggung jawab terhadap pekerjaan yang dihadapi. Tak kalah penting juga profesionalisme dalam bekerja dapat ditunjukkan melalui keahlian dan kemampuan yang dimiliki dalam rangka melayani berbagai stakeholder. Sinergi dengan unit lain dapat diwujudkan melalui hubungan kerja sama yang harmonis sehingga kesemuanya mendukung tercapainya tujuan organisasi yang dicita-citakan. [Azharuddin]
satu seksi dapat mengajukan evaluatornya secara tertulis kepada Kepala Seksi yang bersangkutan untuk dapat ditetapkan.
5
Jika pada satu eselon IV tidak mempunyai bawahan, aplikasi yang bersangkutan tidak bisa menunjuk evaluator dari bawahan. Bagaimana penilaian perilaku pejabat tersebut? Frequently Asked Questions
Aplikasi E-Performance
1
Bagaimana tahapan-tahapan pada aplikasi Pengelolaan Kinerja Kementerian Keuangan (e-performance.depkeu. go.id)?
Tahapan-tahapan penggunaan Aplikasi Pengelolaan Kinerja Kementerian Keuangan (e-performance.depkeu.go.id) adalah sebagai berikut: 1. Registrasi Jika belum pernah melakukan pendaftaran, maka lakukan pendaftaran dengan username Nomor Induk Pegawai (NIP) dan melengkapi isian-isian selanjutnya dengan lengkap mengikuti petunjuk pada aplikasi web. Terakhir, verifikasi dengan tanggal lahir. Selanjutnya, log in dengan username dan password yang telah dibuat. 2. IKU Masukkan IKU-IKU dengan terlebih dahulu membuat kontrak kinerja berdasarkan Kontrak Kinerja yang telah ditandatangani, dengan mengklik icon “Buat Kontrak” yang berada di dalam tab “IKU” dan “Kontrak Kinerja”. Kemudian, buatlah IKU-IKU berdasarkan manual IKU masing-masing. Jika seluruh IKU telah dimasukkan secara lengkap, tinggal menunggu persetujuan atasan langsung. Atasan langsung berkewajiban menyetujui kontrak kinerja bawahannya yang telah lengkap diisi. 3. Perilaku Usulkan evaluator, sesuai dengan ketentuan Pedoman Pengelolaan Kinerja di lingkungan Kementerian Keuangan (KMK Nomor 454/KMK.01/2011).
Penjelasan lebih lengkap dapat dilihat pada Manual Book PKP yang ada di link: http://www.sdm.depkeu.go.id/ doc/Manual%20Book%20PKP.PDF
2
Apa kriteria atau syarat untuk mereset password pada aplikasi e-performance?
Reset password dilakukan apabila seorang pegawai lupa passwordnya sendiri.
3
Siapa yang berhak mereset password pada aplikasi e-performance?
Reset password dapat dilakukan oleh Pejabat Pengelola Kinerja Pegawai yang telah ditunjuk sesuai dengan level unitnya. Jika pegawai berada di Kantor Pusat atau di Kantor Wilayah, maka yang berwenang mereset adalah Sub Manajer Kinerja Pegawai. Jika pegawai berada di Kantor Pelayanan, maka yang berwenang mereset adalah Mitra Manajer Kinerja Pegawai.
4
Pada saat penunjukan evaluator, untuk unit eselon IV yang mempunyai jumlah pelaksana kurang dari 4, pelaksana tidak dapat mengajukan pelaksana dari unit lain. Bagaimana cara untuk mengatasi hal tersebut? Dalam aplikasi, pelaksana dimaksud tidak dapat mengajukan evaluator dari eselon IV lain. Namun demikian, atasan langsung yang bersangkutan dapat menetapkan evaluator dari seksi lain dalam unit eselon III yang sama. Mengingat hal tersebut, pelaksana yang tidak memiliki peers dalam
Bagi Eselon IV yang tidak memiliki bawahan, tidak dapat memilih dan tidak dapat dinilai oleh evaluator bawahan yang berasal dari Eselon IV lainnya. Sehingga pejabat tersebut hanya dinilai oleh atasan langsung dan peers.
6
Jika pelaksana lalai melakukan pengusulan evaluator, apakah eselon IV nya bisa melakukan penetapan penilai? Dalam hal pelaksana tidak menyampaikan usulan evaluator sampai dengan batas waktu yang ditetapkan (semester I tahun 2012 batas akhir tanggal 7 September 2012), atasan langsung yang bersangkutan dapat langsung menetapkan evaluator bagi pelaksana tersebut.
7
Pada salah satu Kepala Subbagian, tidak muncul role atasan, hanya muncul role pegawai, sehingga tidak dapat menetapkan dan menilai bawahannya. Padahal data pada profil sudah diperbaharui sebagai Kepala Subbagian dan udah sampai pada unit terkecilnya. Bagaimana untuk mengatasi hal tersebut? Role pada username di-setting berdasarkan data yang tertera pada SIMPEG Kementerian Keuangan. Bagi pegawai yang menduduki jabatan struktural, akan mendapatkan role Atasan Langsung. Jika ada pejabat struktural yang tidak memiliki role Atasan Langsung kemungkinan data pegawai tersebut pada SIMPEG belum di-update. Untuk itu perlu dilakukan update database SIMPEG dengan cara mengusulkan melalui Pengelola Kepegawaian unit masingmasing. [Susmianti]
Buletin Kinerja - Edisi XV/2013
9
Direktur Jenderal Perbendaharaan, Agus Suprijanto
Peran DJPB Dalam Rangka Mengoptimalkan Penyerapan Anggaran Pemerintah Sampai saat ini kinerja penyerapan anggaran pemerintah masih dianggap buruk dan menjadi perhatian di mata publik. Salah satu unit di Kementerian Keuangan yang mempunyai peran penting dalam mengoptimalkan penyerapan anggaran pemerintah adalah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB). Akan sangat menarik jika kita dapat menggali informasi mengenai faktor-faktor yang menyebabkan belum optimalnya penyerapan anggaran pemerintah serta peran DJPB dan solusi yang ditawarkan. Simak petikan wawancara tim Buletin Kinerja dengan Bapak Agus Suprijanto selaku Direktur Jenderal Perbendaharaan berikut ini:
Apa Saja Faktor-Faktor Utama yang Menyebabkan Belum Optimalnya Penyerapan Anggaran Pemerintah? Pada dasarnya permasalahan penyerapan anggaran yang dihadapi oleh pemerintah, dan sering dibahas dalam berbagai forum dan media, dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pola penarikan dana (trend); dan dari tingkat penyerapan dana (disbursement). Dari sisi pola penarikan dana yaitu rendah di awal tahun kemudian perlahanlahan meningkat dan akhirnya cenderung menumpuk di akhir tahun. Hal ini disebabkan karena pertama; memang kapasitas pejabat pengelola keuangan di Kementerian/Lembaga dalam mengeksekusi anggaran yang telah disediakan masih kurang optimal. Kedua; karena pola penyajian data yang dilakukan secara kumulatif sampai akhir periode pelaporan. Misalnya untuk data pada semester I, maka data yang diambil adalah penjumlahan atau akumulasi dari bulan I sampai bulan VI. Sehingga pada akhirnya grafik penyerapan anggaran akan
10
Buletin Kinerja - Edisi XV/2013
selalu mempunyai trend yang menumpuk di bulan Desember. Pola penyajian seperti ini harus kita hindari karena dapat menimbulkan persepsi yang keliru. Seharusnya penyajian data penyerapan anggaran dilakukan per periode pelaporan (misalnya perbulan) dan tidak diakumulasi terus sampai dengan akhir tahun. Namun, dengan menggunakan penyajian data per periode pun, tetap saja trend penyerapan anggaran di Indonesia menumpuk di akhir tahun. Pola penarikan dana yang menumpuk di akhir tahun itu, terjadi juga di negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, India, dan Thailand. Namun dari sisi jumlah dana yang ditarik di akhir tahun, Indonesia yang paling parah. Salah satu negara yang sudah baik dalam menertibkan pola penarikan dananya adalah Singapura. Kemudian dari sisi penyerapan anggaran yang selalu kurang optimal, mengapa demikian? Faktor-faktor yang menyebab-
kan rendahnya penyerapan anggaran pemerintah dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu: (1) faktor struktural, (2) faktor institusional, dan (3) faktor kultural. Faktor pertama yaitu faktor struktural, hal ini terkait dengan berbagai kebijakan nasional yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan; misalnya kebijakan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, kebijakan dalam pengadaan tanah untuk pembangunan, serta berbagai kebijakan dalam pengelolaan keuangan negara. Keinginan pemerintah untuk menegakkan prinsip-prinsip kehati-hatian (prudent), ke-
Foto: Edi Juliana
Seharusnya penyajian data penyerapan anggaran dilakukan per periode pelaporan (misalnya perbulan) dan tidak diakumulasi terus sampai dengan akhir tahun.
terbukaan (transparent), keadilan (fairness), serta dapat dipertanggung jawabkan (accountable), dan lain sebagainya, membuat peraturan perundang-undangan tersebut terkesan rigid, prosedurnya berbelit-belit, dan sangat sulit untuk dilaksanakan dengan cepat. Lihat saja bagaimana proses pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan. Prosesnya sangat lama, bahkan sampai memakan waktu tahunan. Demikian juga halnya dalam proses lelang, bisa memakan waktu berbulan-bulan. Kesemuanya itu karena kita ingin segala sesuatunya bersifat terbuka, prosesnya adil, serta dapat dipertanggungjawabkan.
Contoh lainnya adalah dalam sistem pengelolaan keuangan negara. Untuk mengurus keuangan negara saja setidak-tidaknya dibutuhkan 5 (lima) pejabat mulai dari Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Penandatangan SPM, dan Bendahara. Banyaknya jumlah pejabat perbendaharaan tersebut memang diperlukan guna mewujudkan fungsi check and balance dalam pengelolaan dan penggunaan anggaran pemerintah. Setiap jabatan tersebut diatas, memiliki fungsinya masingmasing dan harus dipisahkan untuk menghindari conflict of interest. Namun disisi lain, banyaknya jumlah pejabat ini menciptakan
rantai birokrasi yang cukup panjang, yang berpotensi memperlambat proses penyerapan anggaran. Kemudian juga hal lain yang sering menyebabkan rendahnya penyerapan anggaran di awal tahun, yang terkait dengan faktor struktural adalah tentang pembatasan nilai pekerjaan dalam proses lelang. Untuk penunjukkan langsung, batas maksimum yang diijinkan adalah Rp 100 juta, dan untuk pemilihan langsung dibatasi untuk proyek dengan nilai sampai dengan Rp 200 juta. Proporsi proyek dengan nilai sebesar sampai Rp 200 juta itu dalam APBN 2012 hanya sekitar 2% persen dari total anggaBuletin Kinerja - Edisi XV/2013
11
Faktor kedua adalah faktor institusional, hal ini terkait dengan masalah manajemen dan kelembagaan dalam pengelolaan anggaran pemerintah. Contohnya antara lain, masalah penunjukan pejabat perbendaharaan, belum terbentuknya Unit Layanan Pengadaan (ULP) lemahnya perencanaan, lemahnya koordinasi antar unit, serta kurangnya persiapan dalam pelaksanaan anggaran. Untuk penunjukan pejabat perbendaharan yang selalu terlambat setiap tahun, hal ini disebabkan karena kesulitan mencari orang yang mau ditunjuk. Hal lainnya adalah adanya keharusan memiliki sertifikasi pengadaan barang dan jasa serta pekerjaan panitia pengadaan yang masih dianggap sebagai pekerjaan sambilan. Seharusnya ada unit khusus yang menangani pengadaan di setiap satker seperti ULP, atau Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Terkait dengan buruknya perencanaan program dan kegiatan yang dilakukan oleh satker akan berdampak pada revisi DIPA berkali-kali. Saat ini DIPA memang disampaikan tepat waktu oleh satker namun belum diimbangi dengan kualitas perencanaan yang baik, sehingga revisi DIPA sering dilakukan. Hal lain terkait dengan perencanaan, adalah buruknya disbursement plan dan procurement plan. Saat ini K/L tidak punya rencana pengadaan dan penarikan dana yang tertib. Kurang tertibnya K/L dalam merencanakan penarikan dananya mengakibatkan penyerapan anggaran pemerintah menumpuk di akhir tahun. Faktor ketiga adalah faktor kultural atau habitual, hal ini terkait dengan masalah kebiasaan para pengelola keuangan; mi-
12
Buletin Kinerja - Edisi XV/2013
Foto: Edi Juliana
ran belanja modal; sehingga kita tidak akan mungkin menyerap anggaran di atas 5% pada kuartal I setiap tahun. Namun menghilangkan batasan nilai pekerjaan dalam proses lelang juga tidak benar, karena akan mendorong terjadinya moral hazard. Hal tersebutlah yang membuat kami mengajukan usulan revisi perubahan aturan tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah agar mampu mendorong penyerapan anggaran lebih optimal.
salnya sikap berhati-hati yang berlebihan serta kurang berani mengambil risiko. Hal ini berhubungan dengan tingkat risiko yang diemban oleh pejabat perbendaharaan yang tinggi. Karena tidak mau mengambil risiko sehingga tidak ada keputusan dan penyelesaian pekerjaan, sehingga molor atau “digantung” hingga akhir tahun. Risiko pejabat perbendaharaan yang tinggi juga tidak diimbangi dengan insentif yang memadai. Kemudian adanya kebiasaan untuk menyelesaikan pekerjaan di menitmenit terakhir. Salah satunya adalah kebiasan menyelesaikan tagihan menjelang deadline. Sebenarnya sudah ada aturan di mana ketika pihak ketiga atau rekanan telah menyelesaikan pekerjaannya, maka dalam waktu paling lambat lima hari harus diajukan tagian dan sudah diterbitkan SPM-nya dan ketika SPM sampai di KPPN maka paling lambat satu jam sudah dapat dicairkan atau diterbitkan SP2D-nya. Hal ini menunjukkan pentingnya kedisiplinan tidak hanya bagi KPPN tetapi justru satker yang mempunyai peran besar. Solusi Apa yang Dilakukan Oleh DJPB Agar Kinerja Penyerapan Anggaran Dapat Lebih Baik? Berbagai upaya telah kami lakukan agar penyerapan angaran dapat lebih tertib dan lebih optimal. Upaya tersebut dilakukan mulai dari mengusulkan revisi beberapa peraturan perundang-undangan yang berpotensi menghambat pelaksanaan anggaran, pemberian reward and punishment,
Saat ini DJPB mempunyai peran untuk melakukan “spending review” terhadap kualitas belanja dalam pelaksanaan anggaran, yaitu melihat aspek efisiensi belanja dengan membandingkan antara biaya input dengan output yang dihasilkan.
pembinaan K/L melalui sosialisasi, training, dan kursus perbendaharaan. Adapun peraturan yang kami usulkan untuk direvisi adalah aturan mengenai pengadaan barang dan jasa pemerintah. Salah satunya adalah ketentuan pembatasan nilai proyek yang dapat dilakukan dengan pemilihan langsung. Sehingga saat ini proyek yang bernilai sampai dengan Rp 5 miliar sudah dapat dilakukan dengan mekanisme pemilihan langsung. Hal ini tentunya sangat mendukung agar anggaran dapat diserap dengan lebih cepat di awal tahun, karena proses pengadaan melalui mekanisme pemilihan langsung lebih cepat, kurang dari satu bulan. Di samping itu proporsi proyek dengan nilai sampai dengan Rp 5 millliar cukup besar, yaitu sekitar 20-25 persen dari total pagu belanja modal. Selain itu, kami juga telah menyusun draft Peraturan Pemerintah tentang pedoman pelaksanan anggaran, revisi PMK tentang pedoman pelaksanaan anggaran, dan kemudian diturunkan sampai dengan level Perdirjen. Permasalahan penunjukkan pejabat perbendaharaan juga sekarang lebih fleksibel, cukup dicantumkan dalam DIPA dan tidak harus dilakukan penunjukkan melalui surat keputusan setiap tahun. Keharusan memiliki sertifikat bagi Pejabat Pengadaan juga sudah lebih disederhanakan. Selain upaya melalui revisi peraturan, kami juga terus melakukan pembinaan melalui sosialisasi kepada K/L agar dapat menyusun disbursment plan dengan lebih tertib dan disiplin. Teman-teman di DJA juga su-
dah mulai menerapkan kebijakan reward and punishment terkait dengan penyerapan anggaran kepada K/L. Hal ini telah dilakukan dan berjalan sejak 2011 yang diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan. Intinya adalah bagi K/L yang berkinerja baik akan diberi reward dengan menambah pagu sedangkan bagi yang tidak berkinerja baik maka dikurangi pagunya. Sejauh ini efeknya cukup berdampak signifikan, terlihat dari adanya peningkatan kinerja oleh K/L. Bagaimana Kinerja Pelayanan KPPN Guna Mendukung Penyerapan Anggaran Agar Lebih Optimal? Kalau kita melihat kondisi pelayanan KPPN di akhir tahun 2012 sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena DJPB telah melakukan antisipasi berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, di mana selalu terjadi penumpukan penarikan dana oleh K/L di akhir tahun. Penumpukan tersebut mengakibatkan kondisi di KPPN terlalu ramai dan kurang kondusif sehingga menimbulkan potensi terjadinya kesalahan melakukan verifikasi tagihan atas SPM yang disampaikan. Oleh karena itu, pada bulan Juli 2012 DJPB telah menyusun cara untuk mengatasi terjadinya penumpukan tersebut. Pertama kita melakukan survei atas kapasitas layanan yang dapat dilakukan KPPN per hari. Kemudian berdasarkan hasil survei tersebut, Menteri Keuangan mengirimkan surat kepada para Menteri dan Ketua Lembaga tentang pembatasan layanan SPM di KPPN atau yang lebih dikenal dengan sebutan “kebijakan 1.000 SPM per hari”. Sebenarnya kami tidak bermaksud menahan penyerapan anggaran tetapi agar K/L dapat lebih awal, lebih merata, dan lebih tertib dalam menyampaikan tagihannya atau SPM nya kepada KPPN. Dampaknya ternyata cukup efektif di mana pada hari terakhir penyampaian tagihan, salah satu contohnya adalah di KPPN Jakarta II, pada tahun 2011 lalu penyerahan SPM di hari terakhir adalah sebanyak kurang lebih 16.000 SPM. Namun,
pada tahun 2012 turun menjadi sekitar 6.000 SPM. Di KPPN Jakarta I, III, IV, dan V yang biasanya diatas 10.000, malah turun sampai sekitar 2.000-3.000 SPM. Hal tersebut dikarenakan satker-satker sudah mengajukan tagihan lebih awal sehingga KPPN punya waktu lebih banyak untuk melakukan verifikasi sehingga penumpukan SPM dapat dicegah, serta potensi timbulnya kesalahan dapat diminimalisir. Selain itu, kami menyediakan layanan pengaduan dan layanan customer yang berfungsi sebagai sarana konsultasi bagi satker yang menghadapi kesulitan untuk mencairkan dananya baik itu karena kelengkapan dokumen atau sebab lainnya. Hal ini secara tidak langsung membantu mempercepat proses penyerapan anggaran pemerintah. Apa Harapan Bapak Terhadap Kinerja Penyerapan Ke Depan? Sejak tahun 2010 kita telah mengimplementasikan anggaran berbasis kinerja. Untuk mengukur kinerja pelaksanaan anggaran, yang seharusnya diukur adalah output atau outcome dari penggunaan anggaran tersebut. Akan sangat misleading jika kita mengukur kinerja hanya dari sisi penyerapan anggaran. Jika hanya menggunakan ukuran penyerapan anggaran maka dampak negatif yang akan timbul adalah setiap K/L akan berbondong-bondong untuk menghabiskan anggarannya tanpa mempedulikan output yang dihasilkan maupun manfaatnya untuk apa. Jadi, ukurannya bukan besarnya uang yang dibelanjakan, tetapi output apa yang dihasilkan. Jika ada K/L yang penyerapannya rendah namun berhasil mencapai output yang ditargetkan, maka kita tidak bisa menilai bahwa kinerjanya buruk, justru dia berhasil melakukan efisiensi. Ukuran yang sebaiknya digunakan untuk mengukur kinerja penyerapan anggaran adalah kombinasi antara nilai yang berhasil diserap dan output yang dihasilkan. Misalnya kondisi saat ini di mana anggaran kita melonjak signifikan namun dari sisi outcome salah satunya dilihat dari human development index masih rendah. Ketidaksejalanan antara anggaran dan outcomes yang dihasilkan inilah yang mengindikasikan bahwa kualitas be-
lanja kita masih belum optimal. Sehingga arah kebijakan dalam mengalokasikan dan menyerap anggaran bukan hanya sekedar menghabiskan tanpa kejelasan dampaknya nanti seperti apa. Selain itu, saat ini DJPB mempunyai peran untuk melakukan “spending review” terhadap kualitas belanja dalam pelaksanaan anggaran, yaitu melihat aspek efisiensi belanja dengan membandingkan antara biaya input dengan output yang dihasilkan. Selain itu juga kita melihat kemungkinan terjadinya duplikasi anggaran, yaitu dalam satu program atau kegiatan dijumpai dua atau lebih kegiatan atau komponen kegiatan yang sama. Masih terkait dengan spending review, kita juga mengidentifikasi kegiatan atau proyek-proyek yang dilaksanakan hanya satu kali dalam satu tahun (einmalig), sehingga tahun berikutnya tidak perlu dialokasikan lagi. Ketiga aspek, efisiensi, duplikasi, dan einmalig ini, tidak boleh terbawa dalam “base line” yang menjadi dasar perencanaan anggaran ditahun berikutnya, dan oleh karenanya sebelum angka base line ditetapkan, ketiga aspek ini dikeluarkan terlebih dahulu. Hal ini dapat mencegah meningkatnya nilai APBN kita yang terlalu tajam setiap tahun, sebagaimana yang terjadi selama ini, tanpa diimbangi oleh kualitas belanja yang baik. Spending review ini nantinya akan menjadi masukan bagi DJA dalam menyusun perencanaan anggaran yang lebih baik. Diharapkan pemerintah ke depannya dapat lebih mengoptimalkan penyerapan anggarannya khususnya bagi K/L yang mempunyai anggaran di atas Rp 10 Trilliun. Pada tahun 2012 di antara K/L yang mempunyai anggaran di atas Rp 10 Trilliun terdapat 9 K/L yang berhasil menyerap anggarannya di atas rata-rata sebesar 83,03%, yaitu secara berturut-turut antara lain: KemenTan, KemenDagri, Polri, KemenAg, KemenKes, KemenPU, KemenKeu, KemenHan, dan KemenHub. Sedangkan yang berada di bawah rata-rata adalah KemenDikbud dan KemenESDM. [Supendi, Arie Fikri]
Buletin Kinerja - Edisi XV/2013
13
Foto: Edi Juliana
Agus Hermanto
Pusdiklat Anggaran dan Perbendahaan, BPPK
Lebih Mampu Lebih Akurat Gerimis hujan tak menghalangi langkah tim buletin kinerja untuk meliput ke kantor Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan (Pusdiklat AP) BPPK yang terletak di Jalan Raya Puncak Km. 72 Gadog, Ciawi, Bogor. Begitu sampai di lobby gedung yang sejuk oleh terpaan angin pegunungan kami disambut hangat oleh salah seorang pejabat, Bambang begitu beliau memperkenalkan diri. Sebelum bertemu dengan Kepala Pusdiklat yang saat itu masih ada kesibukan, kami diajak berkeliling lokasi perkantoran yang tertata apik nan asri di atas lahan seluas 6 hektar dengan didampingi oleh salah seorang Widyaiswara (WI).
Sarana dan Prasarana Dengan suara yang ramah bak seorang tour guide, kami dijelaskan secara detail semua bangunan dan fasilitas yang ada di Pusdiklat AP ini. Satu persatu bangunan kami kunjungi walaupun hujan tak kunjung reda. Mulai dari ruang serba guna, laboratorium, ruang diklat, asrama, wisma tamu, dan fasilitas pendukung lainnya. Saat tim berkunjung, sedang tidak ada pelaksanaan diklat dan baru akan dimulai lagi pada pertengahan Januari 2013, tepatnya tanggal 14 Januari 2013. Pusdiklat AP memiliki fasilitas pendidikan yang terdiri dari tujuh ruang kelas, ruang makan, lab komputer, lab e-Learning, lab simulasi PBJ, dan dua asrama berkapasitas 46 kamar yang dapat menampung 120 orang dan rumah dosen. Yang membuat Pusdiklat AP ini menjadi menarik dan berbeda dengan pusdiklat lain adalah arena outbound yang terdiri dari flying fox, lapa-
14
Buletin Kinerja - Edisi XV/2013
ngan tenis dan futsal, jogging track, kolam games, lapangan voli, dan yang paling mencolok adalah burma bridge. Ternyata lokasi ini tidak hanya difungsikan sebagai tempat diklat, di tempat ini juga diperbolehkan bagi pegawai Kementerian Keuangan untuk mengadakan acara lain seperti rapat, raker, outbound, atau acara lain. Tak sabar rasanya mengajak teman-teman untuk mengikuti training atau mengadakan acara lain di tempat ini. Setelah puas berkeliling dan menikmati suasana segar yang berbeda dengan suasana di Lapangan Banteng, kami segera bertemu dengan Bapak Agus Hermanto, Kepala Pusdiklat untuk mewawancarai beliau. Tentang Pusdiklat AP Pusdiklat AP merupakan unit eselon II dibawah BPPK yang memiliki peranan yang cukup strategis bagi pengemba-
ngan kompetensi SDM di bidang anggaran dan perbendaharaan. Kompetensi tersebut misalnya meliputi perencanaan anggaran, pengadaan barang dan jasa, payment system, cash management, pelaporan keuangan, treasury officer, dan kompetensi terkait lainnya yang sangat diperlukan bagi semua satuan kerja di seluruh Indonesia baik di lingkungan Kementerian Keuangan sendiri, maupun pada kementerian/lembaga lain, dan Pemerintah Daerah (Pemda). Kontribusi Pusdiklat AP Target IKU Kemenkeu “Penyerapan Belanja Negara dalam DIPA K/L” adalah 95%. Tercapai atau tidaknya target ini tidak hanya ditentukan oleh prestasi Kementerian Keuangan, tetapi juga prestasi K/L lain, terutama K/L yang memiliki anggaran cukup besar seperti Kemendikbud, Kemen PU, dan Kemenhan.
Target penyerapan anggaran akan tercapai dengan baik jika terdapat perencanaan yang baik. Perencanaan anggaran melibatkan mulai dari penyusun rencana anggaran, pejabat bagian keuangan terkait, sampai pejabat kuasa pengguna anggaran. Sehingga dipandang perlu perbaikan kompetensi pegawai dalam hal perencanaan anggaran baik di Kemenkeu, K/L lain, maupun Pemda. Kepala Pusdiklat AP menilai kualitas SDM Kemenkeu pada tingkat pelaksana sudah baik, yang perlu mendapat perhatian adalah peran pejabat setiap satker agar lebih memperhatikan proses penyusunan perencanaan anggaran. Oleh karena itu pada tahun 2013 ini, sejumlah kegiatan telah disiapkan Pusdiklat AP untuk meningkatkan peran para pejabat sesuai dengan fungsi yang diemban. Dengan peningkatan awareness pejabat/pimpinan diharapkan penyusunan perencanaan anggaran dapat dilakukan lebih akurat dan sesuai dengan kebutuhan organisasi. Elfeta BPPK Untuk meningkatkan kemampuan SDM K/L dan Pemda dalam hal kualitas perencanaan, Pusdiklat AP selain membuka program diklat PABK (Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja) secara klasikal dan e-Learning, ke depan Pusdiklat AP merencanakan diklat Budget Planner bagi semua K/L. Diklat ini pun akan diselenggarakan secara klasikal maupun e-learning. Diklat klasikal terutama ditujukan untuk SDM Kementerian Keuangan sendiri, sementara diklat e-Learning ditujukan untuk peserta yang lebih luas, yaitu SDM Kementerian Keuangan maupun K/L lainnya. Program E-Learning didesain untuk membantu dalam memberikan pembelajaran pada pegawai di Lingkungan Kemenkeu dan kementerian/lembaga lainnya yang jumlahnya sekitar 22 ribu satker. Banyaknya potensi peserta ini dirasa tidak akan cukup jika program diklat diadakan dalam kelas (klasikal) di BPPK karena membutuhkan kapasitas ruang kelas yang sangat banyak.
Program e-Learning Pusdiklat AP ini merupakan bagian dari program e-Learning yang lebih luas di BPPK yang dikenal dengan nama Elfeta. Elfeta, e-Learning of Finance Education and Training Agency merupakan program pengembangan kompetensi SDM yang diyakini akan mampu menembus hambatan area geografis di Indonesia yang cukup luas dan tersebar dan akan menjadi trend pembelajaran di masa yang akan datang. Program Elfeta sudah dikembangkan sejak tahun 2008 oleh BPPK. Untuk tahun 2013 ini, di Pusdiklat AP dengan demikian akan diselenggarakan minimal dua diklat eLearning, yaitu diklat PABK yang sudah lama ada dan diklat Budget Planner yang baru. Diklat PABK melalui e-Learning dilaksanakan untuk memberikan pemahaman integral kepada peserta tentang konsep dan praktik penganggaran berbasis kinerja yang diterapkan di Indonesia saat ini. Dalam penyampaian mata pelajaran teori banyak diselingi dengan cuplikan kejadian-kejadian riil di lapangan. Sehingga peserta tidak hanya dapat mengoperasikan aplikasi RKA-KL versi terbaru, tetapi terdapat penghayatan materi yang lebih berkesan. Dengan program-program yang telah maupun akan dilaksanakan oleh Pusdiklat AP untuk aparat pemerintah di tingkat pusat atau daerah, diharapkan akan menjaring lebih banyak peserta diklat. Sehingga lebih banyak pegawai yang mampu menyusun perencanaan anggaran yang lebih baik, yang pada akhirnya pelaksanaan anggaran akan lebih akurat sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Peningkatan Kompetensi Widyaiswara Hal lain yang juga mendapat perhatian Kepala Pusdiklat AP adalah peningkatan kompetensi Widyaiswara (WI). Salah satu bentuk kegiatannya adalah sinergi dengan unit terkait (DJPB dan DJA) untuk memberikan pembekalan kepada WI Pusdiklat AP terutama dalam hal update peraturan atau kebijakan yang telah
ditetapkan. Selain mengetahui substansi kebijakan, dirasa sangat penting bagi WI untuk mengetahui filosofi di balik substansi kebijakan tersebut. Sehingga bekal WI dalam proses pembelajaran lebih lengkap dan punya bobot lebih. Salah satu bentuk sinerginya adalah Dirjen Perbendahaan memberikan kesempatan kepada para Direktur dan Sekretaris Ditjen untuk memberikan pembekalan kepada Pusdiklat AP, khususnya para Widyaiswara (WI). Dirasa sangat penting bagi para WI untuk mengetahui filosofi dibalik ketentuan perundangundangan yang telah ditetapkan. Kegiatan semacam ini biasanya diadakan sekali dalam setahun atau setiap ada perubahan peraturan/kebijakan terkait penganggaran dan perbendaharaan Negara. Melalui kegiatan ini, kompetensi WI diharapkan selalu update, tidak ketinggalan, dan mengikuti perkembangan ketentuan yang berlaku. Selain untuk mendesain diklat pada periode selanjutnya, setiap periode juga dilakukan reviu terhadap program diklat yang sedang berjalan bersama DJA dan DJPB. Pemutakhiran pengetahuan para WI juga dilakukan melalui kunjungan/ pengamatan langsung ke suatu kantor/ instansi di lingkungan DJA dan DJPB dalam rangka memperdalam pengetahuan dan ketrampilan sesuai praktik terkini di lapangan. Hal ini merupakan salah satu bentuk sinergi antara BPPK, khususnya Pusdiklat AP dengan unit eselon I lain seperti DJA dan DJPB. Pada masa mendatang, Pusdiklat AP juga berkeinginan untuk melakukan updating/pemutakhiran kompetensi WI. Updating kompetensi tersebut dapat dilakukan lebih intensif dan efektif lagi dalam bentuk “kumandah” atau pemagangan para WI di kantor/instansi tertentu di lingkungan DJA, DJPB, dan unit eselon I lain yang diperlukan. [I Made Edi Juliana]
Buletin Kinerja - Edisi XV/2013
15
APBN dan Politik Kesejahteraan Dalam beberapa abad terakhir umat manusia hampir menyelesaikan sebuah diskursus tentang peran pemerintah dalam perekonomian. Setelah Adam Smith dengan The Wealth of Nation pada akhir abad 18 dan Karl Marx (ekonomi komando), lahirlah konsep ketiga yakni konsep ekonomi campuran yang dipelopori oleh keyness pada tahun 1930an, dimana pemerintah terlibat lebih dalam di dalam perekonomian. Konsep ini terus berkembang menjadi sebuah konsep yang dikenal sebagai negara welfare state. Dalam konsep ini, masyarakat diberikan keleluasaan untuk berusaha dan pemerintah menjamin iklim persaingan yang sehat serta secara aktif memberikan jaminan kesejahteraan untuk seluruh masyarakat.
INDONESIA merupakan sebuah negara welfare state. Pola pengelolaan ekonomi Indonesia terus mengalami perubahan dari dominansi pemerintah hingga pelaksanaan deregulasi yang lebih melibatkan swasta dan pihak luar dalam perekonomian. Konsep welfare state dapat dilihat dari bagaimana alokasi APBN yang disusun pemerintah dalam kaitannya dengan upaya mensejahterakan masyarakat. Politik APBN APBN yang disusun oleh pemerintah memiliki keberpihakan dalam 4 hal yakni pro growth, pro job, pro poor dan pro environment. Pro growth berarti APBN diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Alokasi anggaran lebih ditujukan untuk sektor prioritas yang memiliki dampak besar (multiplier effect) pada pertumbuhan perekonomian. Pertumbuhan tersebut juga diharapkan merupakan pertumbuhan yang berkualitas dalam arti menyerap tenaga kerja (pro job) sehingga sektor yang banyak menyerap tenaga kerja juga menjadi prioritas. Ketika pertumbuhan meningkat dan pengangguran menurun maka tingkat kemiskinan juga akan menurun. Hal ini menunjukkan keberpihakan APBN kepada orang miskin (pro poor). Namun, ini saja belum cukup karena kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks. Keberpihakan kepada orang miskin juga ditunjukkan dengan berbagai program yang langsung diarahkan
16
Buletin Kinerja - Edisi XV/2013
untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan seperti program Kredit Usaha Rakyat, subsidi Raskin, Program Peningkatan Infrastruktur Pedesaan, PNPM Mandiri, Jamkesmas, bantuan tunai bersyarat, keluarga harapan dan program lainnya. Selain itu berbagai subsidi seperti subsidi pupuk dan benih membantu petani, yang sebagian besar tergolong miskin, untuk meningkatkan produksi hasil pertaniannya. Peran aktif pemerintah dalam memberikan jaminan sosial yang layak bagi masyarakat ke depan diperkirakan akan semakin meningkat dengan telah disahkannya Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang akan melaksanakan amanat Undang-Undang tentang sistem jaminan sosial nasional. Dalam sistem jaminan sosial nasional tersebut pemerintah menanggung iuran bagi orang yang tidak mampu sehingga mereka dapat menikmati jaminan sosial. Pola seperti ini banyak digunakan di negara maju dalam memberikan jaminan sosial warganegaranya. Tantangan ke depan Pemerintah saat ini memiliki beberapa tantangan besar dalam mengoptimalkan fungsi APBN untuk mendorong kesejahteraan rakyat. Pertama adalah mengoptimalkan penyerapan anggaran. Tingkat penyerapan anggaran yang belum optimal membuat daya dorong APBN terhadap perekonomian belum seperti yang diharapkan. Oleh karena itu
Kementerian Keuangan berusaha untuk selalu meningkatkan penyerapan anggaran dengan berbagai strategi seperti perbaikan administrasi dalam penyusunan dan pencairan anggaran dan pembinaan terhadap Kementerian dan Lembaga. Tantangan berikutnya adalah besarnya subsidi energi yang dalam APBN-P 2012 mencapai 202,5 trilyun atau seperlima dari belanja pemerintah pusat. Subsidi ini selain tidak tepat sasaran juga mendorong pada penggunaan sumber energi secara berlebihan. Pemerintah bukan tidak menyadari akan hal tersebut tetapi berbagai kendala politis sering menghambat upaya pemerintah untuk menekan subsisdi energi dan mengalihkannya pada bentuk subsidi langsung yang lebih tepat sasaran. Permasalahan carut marutnya kondisi infrastruktur menjadi pekerjaan rumah besar berikutnya bagi pemerintah. Alokasi belanja infrastrukur yang masih terbatas masih jauh dari mencukupi kebutuhan pembangunan infrastrukur yang diperlukan. Untuk itu, pemerintah telah membangun Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang telah memetakan infrastruktur dalam koridor-koridor ekonomi di seluruh wilayah Indonesia yang akan menjadi prioritas pembangunan. Untuk mewujudkan masterplan tersebut, pemerintah bekerjasama dengan swasta melalui mekanisme Public Private Partnership (PPP).
Tantangan selanjutnya adalah bagaimana tetap menjaga sustainability keuangan negara. Prinsip kehati-hatian harus terus dijaga dengan upaya serius untuk menekan defisit anggaran dan menjaga debt to GDP ratio pada tingkat yang aman. Langkah penghematan anggaran dan
peningkatan tax ratio merupakan langkah strategis yang dapat dilakukan selain debt management yang baik. Akhirnya kita berharap pemerintah ke depan dapat mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Dengan optimalnya pe-
nyerapan anggaran, pengalihan subsidi energi dan percepatan pembangunan infrastruktur diharapkan APBN akan dapat lebih mensejahterakan masyarakat seperti yang dicita-citakan kita bersama. [Arif Setiawan]
Bang IKU
Misteri Sembilan Kotak Rahasia ISILAH Sembilan Kotak dibawah ini dengan angka 1 sampai dengan 9. Pastikan penjumlahan angka secara diagonal, vertikal dan horizontal memiliki hasil yang sama. Angka yang sudah digunakan tidak boleh digunakan kembali (tidak boleh berulang). Selamat mencoba!!
Dapatkan bingkisan menarik dengan mengirimkan jawaban yang benar beserta alamat lengkap Anda (subject/perihal: Jawaban Misteri Sembilan Kotak Rahasia) ke
[email protected] atau Bidang Program dan Kegiatan IV Pushaka d/a Gedung Djuanda I Lantai 5, Jl. Dr. Wahidin Raya No. 1 Jakarta 10710. Jawaban dapat kami terima paling lambat tanggal 5 April 2013.
Daftar Pemenang Kuis Buletin Kinerja Edisi XIV 2012 1
2
3
4
5
6
7
8
9
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Hartini (Direktorat Strategi dan Portofolio Utang, DJPU) Ismail Arisandy (Direktorat Strategi dan Portofolio Utang, DJPU) Hani Widyastuti (Direktorat Strategi dan Portofolio Utang, DJPU) Reza AW Dotulung (Direktorat Audit, DJBC) Arif Setiawan (Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Itjen) Anang Rochmawan (Biro Sumber Daya Manusia, Setjen) Luthfi Akmal Muradief (KPTIK-BMN Makassar) Buletin Kinerja - Edisi XV/2013
17
Sinergi Optimalkan Capaian Kinerja Salah satu modal yang harus kita miliki untuk mencapai target kinerja adalah SINERGI. Sinergi bermakna membangun dan memastikan hubungan kerja sama internal yang produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku. Hal ini senada dengan arahan Menteri Keuangan dalam Rapat Pimpinan Kinerja (Rapimja) Kementerian Keuangan pada tanggal 29-30 Oktober 2012. Menteri Keuangan menyampaikan pentingnya pembahasan capaian kinerja dengan menghadirkan secara bersama unit eselon I yang kebijakan dan indikator kinerja utamanya saling terkait. SELAMA dua hari itu Aula Mezzanine Gedung Juanda I dipenuhi oleh para pucuk pimpinan Kementerian Keuangan yang menghadiri Rapimja Pembahasan Capaian Kinerja Kementerian Keuangan Periode s.d. Triwulan III tahun 2012. Dimulai 29 Oktober 2012 siang hingga pukul 00.30 dini hari dan dilanjutkan pada hari berikutnya 30 Oktober 2012 mulai pukul 10.00 sampai 17.30. Ini benar-benar membuktikan komitmen Menteri Keuangan dan jajarannya untuk memonitor kinerja. Hingga triwulan III tahun 2012 Kementerian Keuangan tidak mendapatkan satu kartu merahpun. Dari 38 IKU Kemenkeu-Wide hanya terdapat 6 IKU berstatus kuning: (1) persentase penyerapan DIPA Kementerian Keuangan; (2) persentase penyerapan belanja negara dalam DIPA K/L; (3) rasio jam pelatihan dibandingkan jam kerja; (4) indeks jumlah LK K/L dan LK BUN yang andal dengan opini audit yang baik; (5) rata-rata indeks opini BPK RI atas LK BA 15, BUN, dan BA 999; (6) persentase akurasi data SIMPEG. Tiga IKU terakhir merupakan IKU yang periode pelaporannya semesteran dan sudah dilaporkan pada Semester I 2012. Penyerapan DIPA Kementerian Keuangan (belanja barang dan modal) baru mencapai Rp3.758,26M (41,15%) dari pagu sebesar Rp9.113,07M. Penyerapan yang rendah dikarenakan keterlambatan pengajuan tagihan pembayaran oleh pihak ketiga, tidak direalisasikannya pagu sebesar Rp 151,11M dalam rangka persiapan pendirian OJK, dan beberapa paket pengadaan mengalami gagal lelang sehingga perlu dilakukan lelang ulang. Action plan yang dilakukan untuk mengatasi penyerapan yang rendah antara lain dengan realokasi anggaran antar program dan antar kegiatan, drop loan PINTAR, percepatan tagi-
18
Buletin Kinerja - Edisi XV/2013
han dari pihak ketiga, dan ralat perhitungan surat penetapan satuan anggaran bagian anggaran (SP-SABA) Bapepam-LK. Tidak berbeda dengan penyerapan DIPA Kementerian Keuangan, penyerapan anggaran K/L baru tercapai Rp275.458,73M (51,58%) dari pagu DIPA K/L sebesar Rp534.001,48M. Penyerapan anggaran yang masih di bawah target antara lain disebabkan oleh pencairan dana PHLN/PHDN yang belum dilakukan karena belum efektif, kegiatan yang masih perlu persetujuan DPR (sampai dengan akhir bulan Agustus 2012 masih terdapat blokir sebesar Rp29.622,6M atau 5,4% dari APBNP), dan pencairan dana kontrak pengadaan barang/jasa belum diajukan ke KPPN. Tindak lanjut yang dilakukan oleh DJPB adalah melakukan evaluasi penyerapan anggaran khususnya pada K/L dengan penyerapan rendah dan belanja modal tinggi serta sosialisasi percepatan penyampaian SPM ke KPPN. Menteri Keuangan memberikan arahan kepada DJPB untuk menjaga governance proses disbursement anggaran dan melaporkan proses perbaikan pencairan anggaran. IKU lain yang berstatus kuning adalah rasio jam pelatihan dibandingkan jam kerja. Realisasi atas IKU ini masih di bawah target karena adanya pembatalan program diklat, jumlah peserta yang dikirim unit pengguna lebih rendah dari rencana semula, dan beberapa peserta diklat mengundurkan diri atau dikembalikan ke unit pengguna dan tidak ada pengganti dari unit pengguna. Action plan yang dilakukan BPPK adalah melakukan evaluasi terhadap unit-unit yang tidak mencapai target untuk mengidentifikasi ruang-ruang perbaikan yang potensial untuk dilakukan, mengoordinasikan dengan unit-unit di Kementerian Keuangan c.q. unit
pengembangan SDM, dan merancang program diklat pengganti. Menteri Keuangan memberikan arahan agar BPPK menyusun rencana penyelenggaraan diklat dalam setahun sehingga unit eselon I yang bersangkutan dapat merencanakan secara lebih baik pengiriman pegawainya. Lebih lanjut apabila pegawai telah dipilih dan dikirim untuk mengikuti diklat maka pegawai yang bersangkutan diwajibkan untuk mengikuti diklat hingga tuntas. Sebagai tindak lanjut atas pengelolaan kinerja tahun berikutnya, pada kesempatan Rapimja tersebut Menteri Keuangan juga menekankan pentingnya melakuan reviu rencana strategis Kementerian Keuangan dan seluruh unit eselon I tahun 2013-2014. Pelaksanaan reviu bukan didasari semata-mata bahwa rencana disusun berdasarkan ketersediaan anggaran. Rencana harus disusun berdasarkan kebutuhan atas program dan kegiatan untuk perbaikan kinerja organisasi. Rencana strategis itu akan menjadi dasar penyusunan kontrak kinerja tahun 2013 Menteri Keuangan dan para pimpinan unit eselon I. Pencapaian IKU kementerian yang tanpa status merah tidak boleh membuat kita terlena dengan pencapaian target tahun 2012. Masih banyak tantangan ke depan yang harus kita hadapi baik dari internal maupun eksternal. Kementerian Keuangan, baik antar unit maupun didalam suatu unit, harus bersinergi dalam pengelolaan kinerja demi tercapainya visi menjadi pengelola keuangan dan kekayaan negara yang dipercaya, akuntabel, dan terbaik di regional untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan. [Puspita Idowati Rajagukguk]
Buletin Kinerja - Edisi XV/2013
19
Penyerapan Anggaran di Mata Satker Desky Wijaya, Kasubbag Perbendaharaan, Bagian Keuangan DJPK PENYERAPAN anggaran menjadi topik yang hangat karena dimasukkan sebagai Indikator Kinerja Utama. Di satu sisi, IKU penyerapan anggaran mendorong organisasi agar melakukan penyerapan yang lebih merata dalam satu tahun sehingga tidak menumpuk pada triwulan IV. Namun di sisi lain, IKU penyerapan anggaran masih belum dikaitkan dengan pencapaian output dan efisiensi anggaran sehingga yang terjadi justru inefesiensi karena mengejar target penyerapan. Terkait dengan pelayanan KPPN, saat ini masih terdapat perubahan kebijakan tanpa ada dasar tertulis dan terkadang masih terdapat perbedaan persepsi dalam memahami kebijakan antara petugas satu dengan petugas lainnya.
Novian Ardinata, Pelaksana Subbag Keuangan, Sekretariat Pengadilan Pajak PENYERAPAN anggaran di Sekretariat Pengadilan Pajak tahun 2012 sangat tinggi mencapai 99,68%. Penyerapan yang tinggi didorong oleh komitmen untuk melaksanakan monitoring realisasi anggaran secara intensif dalam rangka mengevaluasi anggaran yang berpotensi tidak terserap. Penyerapan anggaran yang tinggi juga didukung oleh persiapan yang baik sebelum tahun anggaran sehingga pelaksanaan kegiatan menjadi lancar. Pada tahun 2013, sepertinya akan terjadi peningkatan penyerapan anggaran yang lebih tinggi karena adanya kebijakan dari KPPN mengenai pertanggungjawaban uang persediaan yang sebelumnya pada tahun 2012 harus terealisasi sebesar 75% sekarang menjadi 50%. Dukungan pelayanan dari KPPN terkait dengan waktu penerbitan SP2D juga harus diacungi jempol, meskipun beberapa kali pengambilan SP2D di loket terkadang terlambat.
Gunawan Wicaksono, Bendahara Pushaka, Sekretariat Jenderal PENYERAPAN anggaran saat ini tidak lagi terhambat di KPPN. Kinerja KPPN sudah tergolong baik. Dari sisi waktu pemrosesan SPM, KPPN mampu menyelesaikan permohonan maksimal 1 jam dengan ketentuan dalam satu hari suatu satker hanya boleh mengajukan 72 SPM. Selama ini, revisi anggaran juga tidak menjadi hambatan yang besar karena fleksibilitas yang diberikan kepada Satker untuk melakukan revisi sampai dengan empat digit mata anggaran. Revisi pada tingkat KPPN hanya pada revisi atas dua digit mata anggaran. Sedangkan terkait permasalahan penyerapan anggaran, menurut saya hal ini terjadi karena keti-daksesuaian rencana dengan pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh Satker. Ini bisa disebabkan oleh ketidakjelasan time-frame kegiatan dan ketidakpastian apakah kegiatan yang sudah direncanakan masih akan dieksekusi atau tidak.
20
Buletin Kinerja - Edisi XV/2013