PENERAPAN MASLAHAH MURSALAH DALAM KHI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM “Studi Kasus Putusan Cerai Gugat Karena Suami Poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007”
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
oleh :
Taufikurrohman NIM : 105044101433
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SAYKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H / 2009 M
PENERAPAN MASLAHAH MURSALAH DALAM KHI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM Studi Kasus Putusan Cerai Gugat Karena Suami Poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh
Taufikurrohman NIM :105044101433 Di bawah Bimbingan
Drs. H. A. Basiq Djalil ,SH, MA. NIP : 150 169 102
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H / 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “PENERAPAN MASLAHAH MURSALAH DALAM KHI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM “Studi Kasus Cerai Gugat Karena Suami Poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 April 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama. Jakarta, 5 Mei 2009 Mengesahkan Dekan
PROF.DR.H.Muhammad Amin Suma, S.H.,MA.,MM. NIP : 150 210 422 PANITIA UJIAN Ketua
: Drs.H.A.Basiq Djalil ,S.H., MA. NIP: 150 169 102
(
)
Sekretaris
: Kamarusdiana, S.Ag., MH . NIP: 150 285 972
(
)
Pembimbing : Drs.H.A.Basiq Djalil, SH., MA. NIP: 150 169 102
(
)
Penguji I
: DR.H.Juaini Syukri, Lc., MA. NIP: 150 256 969
(
)
Penguji II
: JM. Muslimin, MA.,Ph.D. NIP: 150 295 489
(
)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata satu (S 1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 18 Januari 2009
Taufikurrohman
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah menciptakan manusia
sebagai
mahluk
yang
paling
sempurna.
Diantara
salah
satu
kesempurnaannya adalah Allah karuniakan manusia pikiran dan kecerdasan. Shalawat dan salam kita sanjungkan kepada pemimpin revolusioner ummat Islam sedunia tiada lain yakni, Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga, para sahabat dan
ummatnya yang selalu berpegang teguh hingga akhir zaman. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis betul-betul menyadari
adanya
rintangan dan ujian, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak membantu dalam memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis guna penyempurnaan skripsi ini. Dengan demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis ingin mengungkapkan rasa hormat dan terima kasih tiada terhingga terutama kepada : 1. Prof.Dr.KH.Muhammad Amin Suma, S.H., MA.,MM. dekan Fakultas Syariah dan Hukum
2. Drs.H.A.Basiq Djalil, S.H., MA. Ketua Program Studi Ahwal AlSyakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama, sekaligus sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar dalam memberikan arahan dan masukan yang amat bermanfaat kepada penulis hingga selesainya skripsi ini, tiada kata yang pantas selain ucapan rasa terima kasih dan do’a semoga Allah SWT membalasnya. 3. Kamarusdiana,
S.Ag.,M.H.
sekretaris
Prodi
Ahwal
Syakhshiyah
Konsentrasi Peradilan Agama yang telah sabar dalam membantu proses transkif nilai, semoga Allah membalasnya. 4. Seluruh dosen Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, serta karyawan-karyawan dan staf perpustakaan yang telah mempasilitasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Teristimewa buat Ayahanda, Allahumagfirlah H. Sanwani (Rohimahullah) mudahmudaham Allah membalas semua amal kebaikannya dan Ibunda Hj. Mubinah, serta kakak adik kandungku seluruh keluarga tercinta. Terima kasih
atas segala do’a, kesabaran, jerih payah dan pengorbanan serta
nasihat yang senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga ananda dapat menyelesaikan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan do’a, sungguh jasamu tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan. 6. Kepada Ketua Pengadilan Agama Jakarta selatan Drs. Pahlawan Harahap.,SH,MA beserta staf, dan para hakim yang telah bersedia untuk
wawancara langsung, Penulis ucapkan banyak terima kasih atas partisipasi dan bantuannya. 7. Kepada teman-teman seperjuangan baik dalam organisasi intra atau ekstra kampus yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas idea dan dukungan serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. Jasa kalian akan dikenang sampai akhir hayat. 8. Teman-teman angkatan 2005/2006 kelas Syariah dan Hukum Konsentrasi Peradilan Agama, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaannya selama penulis belajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga persahabatan kita terjalin hingga rambut memutih. Mudahmudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik kita di sisi Allah SWT, Akhirnya, semoga setiap bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Amin yaa robbal alamien.
Jakarta, 18 Februari 2009 M Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………….....................................................................v DAFTAR ISI............................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………………………….1 B. Pembatasan dan perumusan masalah…………………………………….10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………………...11 D. Studi Review……………………………………………………………...12 E. Metodologi Penelitian………………………………………………….....14 F. Tekhnik Pengumpulan Data………………………………………………15 G. Sistematika Penulisan……………………………………………………..17
BAB II MASLAHAH MURSALAH DALAM KHI A. Pengertian dan Dasar Hukum Maslahah Mursalah………………………18 B. Metode Analisa Maslahah Mursalah……………………………………..23 C. Syarat Berhujjah Dengan Maslahah Mursalah…………………………...28
D. Tinjauan Maslahah Dari Segi Kepentingan dan Kualitas………………...30 E. Illat Hukum Penerapan konsep Maslahah Mursalah Dalam KHI………..34
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KHI A. Sejarah Singkat Lahirnya Kompilasi Hukum Islam……………………...40 B. Kandungan Maslahah Mursalah Dalam KHI………………………….....52 C. Perceraian Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif…………58 D. Poligami dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif…………...66 E. Teori Kebolehan Dalam Konsep Maslahah Mursalah KHI……………....77
BAB IV PENGARUH PENERAPAN MASLAHAH MURSALAH TERHADAP PUTUSAN HAKIM A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan………………………………..78 B. Perkara Perceraian di PA Jak-Sel Pada tahun 2006 – 2007……………...83 C. Duduk Perkara Cerai Gugat Dengan Alasan Suami Poligami……………86 D. Analisa Pengaruh Penerapan Maslahah Mursalah Terhadap Putusan……95
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………………......9 9 B. Saran……………………………………………………………………..100
DAFTAR PUSTAKA…………………………...………………………………...101 LAMPIRAN……………………………………………………...………………..104 1. Surat Pengajuan Proposal Skripsi……………………………………….105 2. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi…………...106 3. Surat Permohonan Data dan Wawancara………………………………..107 4. Surat Bukti Wawancara………………………………………………….108 5. Hasil Wawancara Dengan Hakim……………………………………….109 6. Putusan Nomor 1702/pdt.G/PAJS……………………………………….110 7. Putusan Nomor 1544/pdt.G/PAJS…………………………………….....116
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian orang menjadikan akal dan perasaan sebagai timbangan maslahat dan mafsadat, jika suatu perkara dianggap oleh akalnya sebagai suatu hal yang bermanfaat maka dianggap maslahat walaupun perkara tersebut pada hakikatnya melanggar syari’at. Adapun tentang mengambil ketetapan hukum dengan maslahah mursalah dikatakan oleh syaikh Muhammad al-Amin asy-syingithi pada dasarnya para sahabat bergantung dengan maslahah mursalah yang tidak dibatalkan oleh dalil, dan tidak bertentangan dengan mafsadat yang lebih kuat atau sama kuatnya. Pada dasarnya seluruh madzhab bergantung pada maslahah mursalah akan tetapi, yang benar bahwa pengambilan hukum terhadap suatu perkara harus berhati-hati hingga benar kebenaran maslahatnya. Kompilasi Hukum Islam adalah fiqh Indonesia, ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan ummat Islam Indonesia. Ia bukan berupa madzhab baru tapi ia mempersatukan berbagai fiqh dalam menjawab satu persoalan fiqh. 1 Landasan yuridis terciptanya KHI adalah Undang-undang No.14/1970 Tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman pasal 20 ayat (1) yang berbunyi : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
1
Team Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat pembinaan Badan Peradilan Agama, Tahun 1991/1992, h. 142.
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, keadaan masyarakat selalu berubah, ilmu fiqh sendiri selalu berkembang karena menggunakan metode-metode yang sangat memperhatikan keadilan masyarakat diantara metode tersebut adalah maslahah mursalah.2 Agama Islam membolehkan suami-istri bercerai, tentunya dengan alasanalasan tertentu, kendati perceraian itu sangat dibenci oleh Allah SWT.3Perceraian (Thalaq) merupakan suatu ajaran Islam dalam pernikahan, namun hal itu sangatlah dibenci oleh Allah meskipun halal (boleh), karena dengan perceraian berarti tujuan perkawinan menjadi pudar dan tidak tercapai, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
أ. ل رل ا ا و: ا ر ا .4اﻝق
Artinya:
اﻝ"ل ! ا
“Ibnu Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: yang
hukumnya halal tetapi Allah paling benci terhadapnya adalah talaq.” (H.R.Abu Daud dan Ibnu Majah)
2
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, ( Jakarta: Qolbun Salim, 2005),Cet Pertama, h.84. 3
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet ke-2, h.102. 4
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, b Thalaq, Beirut, Dar Ibn Hazm, 334.
Perceraian adalah sesuatu yang dibenci oleh Allah walaupun hal itu merupakan perbuatan yang halal dan sebagai jalan keluar bagi suami-istri yang sudah tidak ada kecocokan lagi untuk meneruskan perkawinannya Karena itu, ketika keadaan pertengkaran terus-menerus terjadi dalam rumah tangga maka ada unsur dharurat yang membolehkan pasangan suami-istri itu untuk bercerai, unsur dharuriyah itulah yang membolehkan. Salah satu asas perkawinan yang ada adalah mempersulit adanya perceraian artinya mempertahankan rumah tangga dengan cara yang baik.5 Perceraian dalam Islam bukan merupakan sesuatu yang harus dilakukan ketika antara pihak suami dan istri sudah tidak akur lagi, akan tetapi ketika terjadi percekcokan maka antara kedua belah pihak suami ataupun istri mendelegasikan juru damai (hakam). Hakam ini berfungsi untuk menjembatani kemungkinan untuk membina kembali rumah tangga, juga melerai pertengkaran suami-istri agar keutuhan pernikahan mahligai rumah tangga dapat berlanjut sampai akhir hayat.6 Kasus-kasus perceraian sering terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat entah itu di lakukan karena inisiatif suami untuk permohonan cerai-thalaq, atau inisiatif istri untuk menggugat cerai suaminya. Dalam Kompilasi Hukum Islam
5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Prenada Media, 2007), Cet. Kedua, h. 190. 6
Satria M Zein, Yurisprudensi Hukum Keluarga Islam Kotemporer Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah, ( Jakarta, Prenada Media, 2004), Cet. Ke-1, h. 116.
(KHI) secara umum dijelaskan mengenai perceraian diatur dalam pasal 113 sampai dengan 148 di bab tentang putusnya perkawinan. Cerai gugat secara khusus diatur dari pasal 132 ayat 1 yang berbunyi:7 “Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada pengadilan agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.” Sampai dengan pasal 148 ayat 1 yang berbunyi:8 “Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khulu menyampaikan permohonannya
kepada pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan-alasannya”. Dalam KHI pasal 116 terdapat alasan-alasan perceraian antara lain yaitu:9 a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar untuk disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dalam jangka waktu 2 (dua) tahun secara terus-menerus tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapatkan pidana 5 (lima) tahun penjara atau hukuman lain yang lebih berat. 7
Kompilasi Hukum Islam Pasal 132 Ayat 1.
8
Kompilasi Hukum Islam Pasal 148 ayat 1.
9
Kompilasi Hukum Islam Pasal 116.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman yang membahayakan keselamatan anggota keluarga. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai suami-istri. f. Terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran antara kedua belah pihak sehingga tidak ada harapan untuk hidup harmonis (terdapat juga dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39 ayat 2) g. Suami melanggar taklik talaq h. Peralihan
Agama
atau
murtad
yang
menyebabkan
terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga. i.
Undang-undang UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan beberapa syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan.
Syarat demikian ditetapkan untuk memberikan landasan hukum yang kuat agar dapat diciptakan suasana perkawinan yang mendukung dan tercapainya tujuan perkawinan, seperti telah disebutkan pada pasal 1 UU Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, Sehingga tujuan membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah akan terwujud, sebagaimana tujuan perkawinan dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa: “perkawinan ialah
ikatan lahir bathin antara suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia.” 10 Seorang suami yang melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama maka perkawinannya dapat dibatalkan oleh istrinya dengan cara melakukan gugatan kepengadilan Agama.11 Poligami dalam Islam memang bukan sesuatu yang dilarang. Sejarah poligami memang terjadi dan sudah ada sebelum Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, Setelah Islam datang kemudian Nabi Muhammad SAW membatasi para sahabat untuk beristri maksimal empat orang saja.12 Dalam UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, peraturan pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI13 telah tercatat bahwa suami yang ingin melakukan poligami harus seizin dari istri yang pertama melalui mediasi Pengadilan. Itupun (izin poligami) terdapat syarat-syarat yang ketat bagi suami yang hendak melakukan poligami, seperti istri tidak dapat melahirkan keturunan, ataupun mendapat penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang menyebabkan tidak dapat
10
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
11
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), Cet Ke-4, h. 239 12
13
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h. 176.
Mengenai izin suami melakukan poligami, tertera dalam UU Perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 3 ayat 2, juga pasal 4 dan 5 Jo. PP No 9 tahun 1975 pasal 40, 41, 42 dan pasal 43. Jo. KHI Pasal 55 sampai dengan pasal 59.
melayani suaminya secara lahir bathin. Dan suami yang berpoligami pun harus berlaku “adil” terhadap istri-istrinya.14 Pada pasal 4 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa seorang yang ingin beristri lebih dari satu maka ia wajib mengajukan permohonan poligami kepada pengadilan setempat. Selanjutnya pada pasal 5 ayat 1 menerangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan permohonan, yaitu: 15. 1) Adanya persetujuan istri 2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istriistri dan anak-anak mereka. 3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka Sedangkan dalam KHI pasal 57 juga menyebutkan alasan diperbolehkannya suami mengajukan permohonan poligami. Pasal tersebut berbunyi:16 1.
Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
2.
Istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3.
Istri tidak dapat melahirkan keturunan
14
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h. 177.
15
Undang-Undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
16
Kompilasi Hukum Islam Pasal 57.
Apabila syarat tersebut telah terpenuhi Pengadilan Agama akan memberikan izin kepada suami yang ingin berpoligami. Dalam pasal 4 ayat 3 diterangkan tentang alasan kebolehan suami berpoligami, terdapat tiga poin seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Sehingga ketika istri mendapat salah satu saja diantara tiga alasan tersebut suami boleh mengajukan permohonan poligami. 17 Pada dasarnya ijtihad telah dilakukan pada zaman nabi Muhammad.SAW dan dibenarkan oleh beliau, baik dalam keputusan konteks pemerintahan yang didelegasikan kepada hakim ataupun hakim dalam konteks sekarang (qadhi) yang ditugaskan oleh beliau untuk memutuskan perkara pertikaian dalam masyarakat, atau
sebagai individu biasa dalam kehidupan sehari-hari. Kisah yang paling
terkenal adalah pemutusan Mu’adz bin Jabal sebagai wakil pemerintah dan wali didaerah Yaman. Ia secara tegas mengatakan kepada Nabi bahwa ia akan memutuskan perkara berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah, dan bila ia tidak menemukan dalam kedua sumber ini maka ia akan memutuskan perkara tersebut berdasarkan pemikirannya sendiri melalui ijtihad.18 Dalam hadis lain juga disebutkan bahwa pelaku ijtihad dalam menetapkan hukum mendapatkan tempat yang khas dalam pandangan Islam apabila seseorang tersebut telah melakukan usaha yang maksimal untuk memutuskan perkara berdasarkan pertimbangannya yang matang, bila ia benar maka akan 17
Wawancara Khusus Dengan M. Abduh Sulaiman dan Harum Rendeng, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 18
A.Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, h. 84.
mendapatkan dua pahala, dan bila ternyata salah maka akan mendapatkan satu pahala di sisi Allah. SWT.19 Dalam memutuskan masalah, manusia diminta untuk mendekati Allah dalam hal keadilan, kedalaman ilmu, integritas diri keterikatan kepada ketentuan (kitab, ketentuan Allah dan kitab-Nya), kebijaksanaan yang lahir dari keluasan wawasan. Hal itu karena dalam diri manusia yang berasal dari ciptaan tuhan yang terdapat kwalitas-kwalitas ketuhanan. Yang tersebut itu menunjukan bahwa salah satu kwalitas Allah adalah al-hakim (pemutus perkara, penguasa yang bijak). 20 Kata “pemutus” di sini jelas tidak hanya berarti memutuskan perkara di pengadilan dengan pengertian “mengadili” atau memutus antara pihak yang bersengketa atau lebih, akan tetapi bermakna menyangkut sikap semua orang yang berada dalam posisi membuat keputusan,21 namun dalam pembahasan ini penulis hanya akan menekankan pada pemutus hukum di pengadilan saja yaitu seorang hakim. Pengertian hukum tersebut akan menjadi lebih jelas dengan memperhatikan pengertian adil dan keadilan menurut A-Qur’an. Keadilan dan hukum adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, dan keadilan antara lain tidak mungkin ditegakan tanpa adanya kepastian hukum.22
19
Al Bukhori, Shahih al-Bukhori,jilid II (Istanbul : al maktabah “al Islami”,h.157.
20
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Universitas Yarsi, 1999) Cet. Pertama,
h.26. 21
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, ( Jakarta: Qolbun Salim, 2005),Cet Pertama, h.17. 22
h.28.
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Universitas Yarsi, 1999) Cet. Pertama,
Berkaca dari pembahasan di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam dan pengaruhnya terhadap putusan hakim dalam penetapan hukum di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Maka dari itu penulis mengambil objek penelitian di Pengadilan Agama, yang merupakan lembaga peradilan yang menangani kasus perceraian bagi orang yang beragama Islam. Khususnya dibatasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dengan latar belakang di atas penulis mengambil skripsi dengan judul: “Penerapan Maslahah Mursalah Dalam KHI dan Pengaruhnya Terhadap Putusan Hakim” Studi Kasus Putusan Cerai Gugat karena Suami poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007. B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar pembahasan ini lebih terarah, maka penulis membatasi yakni, hanya menekankan pada Penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam dan pengaruhnya terhadap hakim dalam memutuskan perkara perceraian sebagai metode penetapan hukum dari awal persidangan sampai pada pengambilan putusan. 2. Perumusan Masalah Masalah dalam skripsi ini dapat penulis rumuskan sebagaimana berikut “Banyaknya hal yang dibolehkan dalam syariat dan kitab-kitab fiqih, akan tetapi pada kenyataannya dalam pasal Kompilasi Hukum Islam dilarang dan sebagiannya dipersulit. Hal ini yang ingin penulis telusuri dalam penulisan skripsi ini”
Dari rumusan
di atas penulis dapat merinci dalam bentuk beberapa
pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah sesuatu masalah yang dibolehkan oleh syari’at tidak boleh dilarang atau dipersulit oleh pemerintah dengan alasan kemaslahatan, dan bagaimana konsep kebolehan serta pengkompromian nilai dalam Kompilasi Hukum Islam? 2. Bagaimanakah penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam dan pengaruhnya terhadap putusan hakim dalam konsep metode ijtihad dalam menetapkan hukum?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap realitas hukum yang ada di lingkungan Pengadilan Agama, khususnya dalam ruang lingkup penerapan maslahah mursalah dan pengaruhnya terhadap putusan hakim dalam memutuskan perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, secara lebih terperinci penelitian ini bertujuan untuk : 1. Dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi hakim dalam memutuskan perkara perceraian dengan penerapan kandungan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam serta signifikansinya terhadap konsep maslahah. 2. Memberikan gambaran apakah larangan adalah lawan dari kebolehan maksudnya apakah sesuatu yang dibolehkan oleh syari’at tidak boleh
dilarang oleh pemerintah, Adakah fakta-fakta autentik dan pembuktian sebagai metode penetapan hukum yang lebih dikedepankan oleh hakim dari pada hukum positif dalam memutuskan perkara, serta seberapa besar kecendrungan hakim dalam mengambil putusan berdasarkan ijtihad dengan landasan maslahah mursalah. Adapun manfaat penelitian ini adalah penulis ingin memberikan gambaran kepada
masyarakat maupun akademisi khususnya mahasiswa yang bergelut
dibidang hukum mengenai bagaimana sebenarnya penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam pada konteks tatanan peraktis di Pengadilan Agama dan seberapa besar signifikansi pengaruh terhadap pengambilan putusan hakim. D. Studi Review
Sepanjang pengetahuan penulis topik penelitian yang sama dengan topik yang penulis teliti baik dalam katalog perpustakaan utama ataupun perpustakaan fakultas syari’ah dan hukum, belum pernah diteliti oleh peneliti lainnya, namun ada beberapa judul skripsi yang mendekati permasalahan bahasan penulis diantaranya adalah:
1. Tinjauan Kaidah Fiqhiyah Tentang Konsep Maslahah Dalam Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Skripsi tersebut terdaftar dalam katalog perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2000 SJAS. Skripsi
tersebut membahas secara lebih spesifik tentang konsep maslahah secara umum di dalam Kompilasi Hukum Islam ditinjau dari kaidah fiqhiyah. Yang mana lebih mengedepankan konsep kaidah fiqih imam malik dalam teori maslahahnya sedangkan maslahah dalam skripsi yang saya tulis lebih spesifik tentang kandungan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam baik melalui teori pengkompromian nilai ataupun kebolehan dalam merumuskannya. Adapun kaitannya judul skripsi tersebut dengan skripsi yang saya tulis adalah
Kompilasi Hukum Islam
fiqh Indonesia, ia
disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan ummat Islam Indonesia. Ia bukan berupa madzhab baru tapi ia mempersatukan berbagai fiqh dalam menjawab satu persoalan fiqh. 2. Pemikiran Maslahah Dan Signifikasi Terhadap Konsep Fiqih Modern, Skripsi tersebut terdaftar dalam katalog perpustakaan utama pada tahun 2005 SJPMH. Skripsi tersebut mengulas pemikiran maslahah secara umum dan signifikansinya terhadap konsep fiqih modern, dilihat dalam berbagai aspek perubahan-perubahan jaman dan realita yang ada khususnya pada masyarakat Indonesia. Pemikiran tersebut lebih kepada ijtihad menghadapi tantangan jaman dengan konsep maslahah. Adapun kaitannya dengan skripsi yang saya tulis skripsi tersebut menguatkan bahwa prosedur poligami adalah bagian dari fiqh yang lahir dalam konteks modern dengan konsep maslahah yang dirumuskan oleh para ulama Indonesia guna mencapai kemaslahatan secara umum.
E. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksplanatoris analisis, yaitu suatu penelitian untuk menerangkan, memperkuat atau menguji suatu teori atau hipotesa-hipotesa serta terhadap hasil-hasil penelitian yang ada. 23Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ini adalah: a.
Study Lapangan (Field Research) untuk memperoleh informasi yang akurat dan obyektif dari tempat penelitian baik dengan observasi langsung maupun dengan menggunakan data-data dalam bentuk resmi dari lembaga pengadilan.
Sedangkan tempat
penelitian adalah
Pengadilan Agama Jakarta Selatan. b.
Study Pustaka (Library Research) yaitu metode pengumpulan data yang dipergunakan
bersama-sama
metode
lain
seperti
wawancara,
pengamatan (observasi) dan kuesioner.24 Pada tahapan ini penulis mencari landasan teoritis dari rumusan masalah yang ada dan studi kepustakaan merupakan separuh dari keseluruhan aktivitas penelitian.25 pencarian literatur secara umum dengan buku-buku, seminar-seminar ataupun media elektronik yang menunjang pembahasan penulis.
23
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006) Cet.
Ke 2, h. 9. 24
25
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek., h. 50.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, ( Jakarta, PT. Raja grafindo Persada, 2003) Cet. Ke. 6, h. 113.
2. Sumber Data a.
Data primer Data primer yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan.26Diantaranya adalah buku, seminar, laporan penelitian, majalah, disertasi dan seterusnya. Data tersebut di dapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan berupa putusan cerai gugat, dan Wawancara terhadap Hakim.
b.
Data sekunder Data sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer.27dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumendokumen, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Quran, Hadis, buku-buku ilmiah, Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, UUPA (undang-undang peradilan Agama) No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang No 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama, KHI, serta dokumen lainnya.
F. Tekhnik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini di lakukan dengan cara : a.
Menganalisis terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
26
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam Penelitian Hukum, (Jakarta, Pusat Dokumentasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986) h. 34. 27
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam Penelitian Hukum, h. 35.
b.
Interview atau wawancara yaitu metode yang dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam pengumpulan data primer di lapangan.28 Yaitu penulis mengadakan dialog langsung dengan responden dalam hal ini adalah hakim, panitra ataupun pihak yang berperkara di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
c.
Analisis Data Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, Dalam menganalisis data penulis menggunakan analisis deskriptif yaitu suatu metode analisis data dimana penulis menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian. Sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.29
d.
Tekhnik Penulisan
Dalam penyusunan metode penulisan, semua berpedoman pada prinsipprinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
28
29
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek., h. 57.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung, Alfabeta, 2007), cet ke-III, h. 244
G. Sistematika Penulisan BAB Pertama, Pendahuluan dalam sub bab ini berisikan tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB Kedua, Tinjauan umum konsep maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam. Dalam sub bab ini terbagi menjadi Pengertian maslahah mursalah menurut para ulama dan Dasar Hukumnya, syarat-syarat maslahah mursalah untuk bisa dipakai sebagai hujjah, tinjauan maslahah dari segi kepentingan dan kualitas maslahah, ‘illat hukum penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam. BAB Ketiga, pada sub bab selanjutnya, Sejarah singkat Kompilasi Hukum Islam, Beberapa kandungan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam, Poligami dan perceraian dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif, Teori hukum Islam dalam kebolehan dan Tatanan nilai konsep maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam. BAB Keempat, Pada bab ini berisikan profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan, kasus perceraian dalam kurun waktu 2006/2007 dan Studi analisis putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Mengenai konsep maslahah mursalah pengaruhnya terhadap putusan hakim dalam memutuskan perkara perceraian, diantaranya yaitu dua kasus cerai gugat akibat poligami tahun 2007. BAB Kelima, Penutup yaitu berisikan tentang Kesimpulan dan Saran
BAB II MASLAHAH MURSALAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Maslahah Mursalah Untuk memahami maslahah mursalah secara baik, terlebih dahulu perlu diketahui makna maslahah dalam kajian ushul fiqh. Kata maslahah semakna dengan kata manfaat, yaitu bentuk masdar yang berarti baik dan mengandung manfaat. Maslahah merupakan bentuk mufrod (tunggal) yang jama’nya (plural) mashalih. Dari makna kebahasaan ini dipahami bahwa maslahah meliputi segala yang mendatangkan manfaat, baik melalui cara mengambil dan melakukan suatu tindakan maupun dengan menolak dan menghindarkan segala bentuk yang menimbulkan kemudharatan dan kesulitan.30 Said Ramadhan al-Buthi mendepinisikan Maslahah mursalah adalah:31
دیـ وﻥ" و ـ% ا ا ه ا رع ا د ﻡ' ﺡ: ا . ﺏـ. /ﺕ1 ﺕ+ , وﻥ*ـ وأﻡاـ Artinya:
“Al-Maslahah adalah manfaat yang ditetapkan syar’i untuk para
hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka sesuai dengan urutan tertentu diantaranya.”
30
Said, Ramadhan al-Buthi, Dhawabit al-Maslahah fî al-Syarî’ah al-Islâmiyah, (Beirut: Muassah al-Risalah, 1977), Cet. Ke-3, h. 2. 31
Ibid., hal. 2.
Sedangkan Abu Zahrah mendepinisikan maslahah mursalah sebagai berikut :
ﻡ4"7ءﻡ ـ ﺹ ا رع ا4 ا6 اـ:ح ه4"5" أوا1 ا6 اـ . ء:7 رِ أوا7 ی أﺹ> = ص ﺏ5و
32
Artinya:
“Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang sejalan dengan
maksud syar’i tetapi tidak ada nash secara khusus yang memerintahkan dan melarangnya.” Dari depinisi tersebut, tampak yang menjadi tolak ukur maslahah adalah tujuan syara’ atau berdasarkan ketetapan syar’i. Inti kemaslahatan yang ditetapkan syar’i adalah pemeliharaan lima hal pokok (Kulliyat al-Khams). Semua bentuk tindakan seseorang yang mendukung pemeliharaan kelima aspek ini adalah maslahah. Begitu pula segala upaya yang berbentuk tindakan menolak kemudharatan terhadap kelima hal ini juga disebut maslahah.33 Oleh karena itu, alGhazali mendepinisikan maslahah sebagai mengambil manfaat dan menolak kemadharatan dalam rangka memelihara tujuan syara’ (Kulliat al- Khams).34
32
Ibid., hal. 2.
33
Firdaus, Ushûl Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, Cet. Pertama, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 81. 34
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfâ fî ílmî al-ushûl, (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyyah, 1983), Jilid 1, h. 286.
Sejalan dengan prinsip maslahah sebelumnya, Syatibi menjelaskan bahwa kemaslahatan tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat, karena kedua bentuk kemaslahatan ini selama bertujuan memelihara Kulliat al-khams, maka termasuk dalam ruang lingkup maslahah.35 Sifat dasar dari maqasid al-syari’ah adalah pasti, dan kepastian di sini merujuk pada otoritas maqasid al-syari’ah itu sendiri. Dengan demikian eksistensi maqasid al-syari’ah pada setiap ketentuan hukum syari’at menjadi hal yang tidak terbantahkan baik yang bersifat perintah wajib ataupun larangan.36 Al-Ghazali mengajukan teori maqasid al-syari’ah ini dengan membatasi pemeliharaan syari’ah pada lima unsur utama yaitu Agama, jiwa, akal, kehormatan,
dan
harta
benda.37Konsep
pemeliharaan
tersebut
dapat
diimplementasikan dalam dua metode: pertama, metode konstruktif (bersifat membangun) dan kedua, metode preventif (bersifat mencegah). Dalam metode konstruktif, kewajiban-kewajiban Agama dan berbagai aktivitas sunat yang baik dilakukan dapat dijadikan contoh dalam metode ini. Sedangkan berbagai larangan pada semua perbuatan bisa dijadikan sebagai contoh preventif kedua metode tersebut bertujuan mengukuhkan elemen maqasid al- syari’ah sebagai jalan menuju kemaslahatan.38
35
Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Syatibi, Al-Muwâfâqât fî Ushûl alSyarî’ah, (Dar ibn Affan, 1997), Cet. Pertama, jilid 2, h. 17-18. 36
Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kotemporer, Cet. Ke-1, (Jakarta: Gaung Persada Pers, 2007), h.
37
Al- Ghazali, al-Mustashfâ fî ílmî al-ushûl , h. 286. Ibid., h. 238.
129. 38
Sebagian para ulama menerima dan menggunakan maslahah mursalah dijadikan sebagai dalil sedangkan sebagian lagi menolaknya. Ulama yang tidak menerima maslahah mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum, diantaranya adalah ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama menilai imam syafi’i termasuk ulama yang menolak penggunaan maslahah mursalah sebagai dalil karena ketegasannya menolak ‘istihsan dalam pandangan imam Syafi’i berdasarkan atas maslahah.39 Sementara itu, sebagian ulama menerima dan menggunakan maslahah mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum. Di antaranya adalah imam Malik dan imam Ahmad. Penggunaan maslahah mursalah sebagai dalil didasarkan pada sejumlah alasan berikut:40 1. Bahwa syari’at Islam diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Demikian pula dengan kebolehan bagi orang yang berada dalam keadaan dharurat atau terpaksa mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan dalam batas tertentu sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan, seperti dijelaskan dalam surat al-Maidah, 5:4 berikut:
#$%&'()⌧+ !"
☺ ;8< : 6(789 / 0 1235 ,-⌧. 41 BC? ⌦?@A⌧. =
39
Ali Hasballah, Ushûl al- Tâsyrî al-Islâmî, (Kairo: Dar al-Fikr al-arabi, 1997), Cet. Ke-7,
40
Ibid., h. 141-142.
41
Ibid., h. 43.
h.141.
Artinya:
“Maka barang siapa terpaksa Karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat
dosa,
Sesungguhnya
Allah
Maha
Pengampun
lagi
Maha
Penyayang.”( Q.S. al- Maidah : 4 ) 2. Bahwa kemaslahatan manusia yang berhubungan dengan persoalan duniawi selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Apabila kemaslahatan itu tidak diperhatikan dan diwujudkan tentu manusia akan mengalami kesulitan dalam kehidupannya. Oleh sebab itu Islam perlu memberikan perhatian terhadap berbagai kemaslahatan dengan tetap berpegang pada prisip-prinsip syariat Islam. 3. Bahwa syar’i menjelaskan alasan (illat) berbagai hukum ditetapkan dengan berbagai sifat yang melekat pada perbuatan yang dikenai hukum tersebut. Apabila dapat diterima, maka ketentuan seperti ini juga berlaku bagi hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahah mursalah. Misalnya firman Allah surat al- Maidah, 5:91:
8KL (CIJ G)H) ☺D0E TUKVGW( OPQR2S MN) H')(Y !" XB(2/( K 2 -O\[G]&2)K ,Z[R☺( K c U`Tab& 2K H(\^ 42 ...... 28hi2☺Qj5 fg0KL -de Artinya: “Sesungguhnya
syaitan
itu
bermaksud
hendak
menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan 42
Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahnya, Yayasan penterjemah/pentafsir Al-Qur’an, (Bandung, Lubuk Agung, 1989, ) h. 177.
penyelenggara
berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)……” ( Q.S. al-Maidah : 91 ) Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa ‘illat larangan meminum khamar dan judi karena menimbulkan kemudharatan bagi manusia. Kemudharatan itu dapat berbentuk permusuhan, menghalangi manusia dari mengingat Allah untuk melakukan shalat dan perbuatan-perbuatan yang melanggar syari’at lainnya. B. Metode Analisa Maslahah Mursalah Sebagaimana halnya metode analisa yang lain, maslahah juga merupakan metode pendekatan istinbat (penetapan hukum) yang persoalannya tidak diatur secara eksplisit dalam al- Qur’an dan al-Hadis. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung. Sebagaimana dikemukakan oleh Abd. Karim Zaidan, Maslahah Mursalah adalah kajian hukum dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan serta menghindari kebinasaan, untuk sesuatu perbuatan yang tidak diungkapkan secara ekspisit dalam al-Qur’an,43akan tetapi masih terjangkau oleh prinsip-prinsip ajaran yang diungkapkan secara induktif oleh al- Qur’an dalam satu perbuatan yang berbeda-beda. Dalam konteks ini al-Qur’an tidak berperan sebagai dalil yang menunjukan norma hukum tertentu, tapi menjadi saksi (syahid) atas kebenaran fatwa-fatwa hukumnya
43
Abd. Karim Zaidan, al-Wâjîz al-fiqh, hal. 237.
tersebut. Dengan demikian sistem analisa tersebut dibenarkan karena sesuai dengan kecendrungan syari’ dalam penetapan hukumnya. 44 Pendekatan maslahah mursalah dalam metode kajian hukum dimulai dengan perumusan kaidah-kaidahnya yang dilakukan melalui sistem analisa induktif terhadap dalil-dalil hukum suatu perbuatan yang berbeda satu sama lain namun memperlihatkan substansi ajaran yang
sama. Kesamaan pada dimensi
substansinya itulah yang dijadikan premis-premis dalam perumusan induktifnya, sehingga dapat dirumuskan menjadi kaidah-kaidah maslahah mursalah yang merupakan kaidah kulli.45 Husein Hamid Hasan menyimpulkan bahwa sistem analisa maslahah mursalah tiada lain adalah aplikasi makna kulli terhadap furu’ yang juz’i. 46sistem analisanya sama dengan sistem analisa qiyas, bahkan lebih kuat dari qiyas, karena pola qiyas adalah menganalogikan furu’ pada asal yang hanya didukung oleh satu ayat atau nash. Sedangkan pada sistem analisa maslahah mursalah hukum asalnya didukung oleh beberapa ayat atau nash akan tetapi nash atau ayat tersebut bukan dijadikan sebagai dalil terhadap ketetapan hukumnya, namun diambil sebagai makna substansi sebagai premis-premis dalam pengambilan kesimpulan
44
Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum, hal. 68.
45
Ibid., h. 71.
46
Husein Hamid Hasan, Nazâriyat al-maslahah fî al-fiqh al-Islâmî, Kaherah, Maktabah alMutanabbi, 1981, hal. 65-92.
induktifnya untuk merumuskan kaidah-kaidah kulliyah tentang maslahah mursalah tersebut.47 Pada dasarnya mayoritas ulama ahli ushul menerima pendekatan maslahah dalam metode kajian hukumnya.48 Namun pendekatan ini cendrung telah menjadi identitas fiqih mazhab Maliki, dimana fatwa-fatwa hukum yang dikeluarkan senantiasa beranjak dari pertimbangan kemaslahatan. Ada beberapa argumentasi yang dikemukakan para ulama malikiyah tentang penggunaan pendekatan maslahah dalam metode kajian hukumnya, yaitu: 49 1. Bahwa para sahabat Nabi s.a.w. memperlihatkan sikap orientasi kemaslahatan dalam berbagai tindakan dan perbuatan keagamaannya, seperti menghimpun dan menulis kembali ayat-ayat al-Qur’an secara utuh ke dalam mushafmushaf, serta menyebarluaskannya pada masyarakat. 2. Bahwa selama maslahah berjalan selaras dengan maksud syar’i dalam penetapan hukum, maka ia akan sesuai pula dengan kehendak syar’i terhadap para mukallaf. 3. Jika penetapan hukum tidak mempertimbangkan aspek kemaslahatan, maka setiap mukallaf akan menghadapi berbagai kesukaran dalam kehidupannya.
47
Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum ., h. 71.
48
Mustafa Zaid, al Maslahat fî al fiqh al-Islâmî wâ najmû al-Dîn al tûfi, Kaherah, Dar al-fikr al- Arabi, 1964, hal. 48. 49
Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum., h. 68.
Sedangkan Mustafa Zaid mengemukakan beberapa argumentasi penggunaan maslahah mursalah dalam kajian hukum, sebagai berikut: 50 1. Bahwa tujuan diturunkannya syari’at adalah agar para mukallaf tidak melakukan suatu tindakan atau perbuatan mengikuti hawa nafsunya, karena jika hawa nafsu yang menjadi landasan perbuatan, maka mereka akan dihadapkan pada mafsadat (kerusakan) 2. Para ulama sepakat bahwa dalam setiap perbuatan dan tindakan selalu terdapat aspek maslahat atau mafsadat. memelihara atau mewujudkan maslahat merupakan bagian terpenting untuk memperoleh kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. 3. Kebanyakan maslahat atau mafsadat dipengaruhi oleh perkembangan kondisional. Oleh karena itu, kajian maslahah harus dilakukan secara kontinyu
dengan
senantiasa
memperhatikan
perkembangan
kondisi
masyarakat. Menurut al-Syatibi, sebagaimana yang dikutip oleh Husein Hamid Hasan, ada beberapa kaidah yang biasa digunakan oleh para ulama dalam melakukan analisa maslahah mursalah,51yaitu: 1) Hukum perbuatan sama dengan hukum musababnya. Kaidah ini dirumuskan setelah memperhatikan beberapa ketentuan hukum, antara lain Allah s.w.t
50
Mustafa Zaid, al Maslahat fî al fiqh al-Islâmî ., h. 50.
51
Husein Hamid Hasan, Nazariyât al-maslahât fî al-fiqh al-Islâmî ., h. 65-92.
mengharamkan setiap mukallaf untuk mendekati zina (khalwat). Kedudukan hukum khalwat yang merupakan penyebab terjadinya perjinahan, dalam konteks ini, sama dengan hukum perbuatan zina itu sendiri yang merupakan musabab dari khalwat. 2) Mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan khusus. Kaidah ini dirumuskan dengan memperhatikan beberapa norma hukum antara lain, larangan terhadap orang kota untuk membeli barang produk-produk orang desa di desa mereka, jika orang desa tersebut tidak mengetahui perkembangan harga pasar. 3) Menghindari kemudharatan yang lebih besar, Kaidah ini dirumuskan setelah memperhatikan beberapa ayat yang memerintahkan ummat Islam untuk berjihad di jalan Allah. Meskipun harus melalui peperangan. 4) Memelihara jiwa. Kaidah ini dirumuskan setelah memperhatikan berbagai norma hukum yang mewajibkan orang Islam membayar zakat untuk didistribusikan pada fakir miskin. Secara substansial kaidah tersebut mereflesikan semangat ajaran Islam untuk memelihara jiwa dan kehidupan. 5) Menutup peluang-peluang untuk melakukan tindak kejahatan. Kaidah ini dirumuskan sebagai implikasi dari kaidah-kaidah maslahah mursalah yang telah dirumuskan di atas.
C. Syarat Berhujjah Dengan Maslahah Mursalah Ulama yang menerima maslahah mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum memberikan beberapa syarat yaitu:52 1. Bahwa kemaslahatan tersebut bersifat hakiki bukan didasarkan pada praduga semata. Tegasnya, maslahat itu dapat diterima secara logika keberadaannya. Sebab, tujuan pensyariatan suatu hukum dalam Islam bertujuan untuk mendatangkan manfaat atau menghilangkan kemudharatan. Hal ini tentunya tidak akan terwujud apabila penetapan hukum didasarkan pada kemaslahatan yang didasarkan pada praduga (wahmiah) 2. Kemaslahatan itu sejalan dengan maqasid syari’ah dan tidak bertentangan dengan nash atau dalil-dalil qath’i artinya, kemaslahatan tersebut harus sejalan dengan kemaslahatan yang ditetapkan syar’i. 3. Kemaslahatan itu berlaku umum bagi orang banyak, bukan kemaslahatan bagi individu atau kelompok tertentu hal ini selaras dengan nash bahwa Islam adalah Agama rahmat bagi semesta alam. Bagi mereka yang melakukan studi terhadap hukum Islam (fiqh), tentunya akan mengetahui contoh-contoh hukum yang dirumuskan berdasarkan maslahah mursalah, mulai dari periode sahabat, tabi’in sampai pada periode imam madzhab.
52
Wahbah al-Zuhaili, Ushûl al-fiqh al- Islâmî, (Beirut: Daar al-fikr, 2001), Jilid 1, cet. Ke-2, h. 799-800. Abdul wahab Khallaf, ílmû Ushûl al-fiqh, (Kuwait: Dar al-Qolam, 1978), Cet. Ke-12, h. 86-87.
Berikut ini beberapa contoh pengambilan hukum melalui pendekatan maslahah mursalah:53 Abu Bakar Shiddik melalui pendekatan maslahah mursalah menghimpun lembaran-lembaran bertuliskan ayat-ayat al-Qur’an yang berserakan menjadi satu mushaf,54 dengan berpegang pada prinsip maslahah juga Abu Bakar mengangkat Umar bin Khattab menjadi khalifah kedua setelah wafatnya. Demikian juga halnya
Umar
bin
Khattab
membuat
undang-undang
perpajakan,
mengkodifikasikan buku-buku, membangun kota-kota, membangun penjara dan hukuman ta’jir dengan berbagai macam sangsi. Bahkan, Umar Bin Khattab tidak memberikan sangsi pemberlakuan potong tangan bagi pencuri yang mencuri untuk
mempertahankan
hidupnya pada
musim paceklik,
serta dengan
pertimbangan maslahah mursalah juga Umar Bin Khattab menetapkan 80 kali hukum cambuk sangsi bagi peminum khamar.55 Dengan landasan maslahah mursalah juga, Utsman Bin affan menetapkan warisan bagi istri yang dicerai suaminya yang sakit tidak mendapatkan warisan ketika suami meninggal,56Demikian juga halnya sahabat Muadz Bin Jabal
53
Firdaus, Ushûl Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, Cet. Pertama, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 93. 54
Al buthi, Dhawâbît al-Maslahah fî al-Syarî’ah al-Islîmiyah., h. 353-354.
55
Ibid., h. 353-354.
56
Yusuf al- Qardhawi, Al-Mâdkhâl fî Dîrâsat al-Syarî’ah al- Islâmiyah, Terjemahan oleh Muhammad Zakki dan Yasir Tajid dalam membumikan syari’at Islam (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), Cet. Ke-1, h. 169.
mengambil baju buatan Yaman sebagai pengganti dari makanan dalam zakat buah-buahan. 57Atas dasar maslahah mursalah pula, para fuqoha’ madzhab Hanafi dan syafi’i serta kelompok Maliki membolehkan membelah perut seorang perempuan yang telah meninggal guna mengeluarkan janinnya, jika ada dugaan kuat melalui medis bahwa janin tersebut akan hidup, meskipun kehormatan mayat harus dipelihara menurut syara’ akan tetapi kemaslahatan menyelamatkan sang janin mengungguli kerusakan terhadap mayit. 58 D. Tinjauan Maslahah Mursalah Dari Segi Kepentingan Dan Kualitas Ditinjau dari segi kepentingan maslahah bagi kehidupan manusia, ahli ushul fiqh membagi maslahah kepada tiga tingkatan. 1. Maslahah Dharuriyat Kemaslahatan dharuriyat adalah suatu kemaslahatan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia di dunia dan akhirat. Demikian penting kemaslahatan tersebut, apabila luput dalam manusia akan terjadi kehancuran, bencana dan kerusakan dalam tatanan kehidupan manusia. Kemaslahatan ini meliputi pemeliharaan Agama, diri, akal, keturunan dan harta. Pemeliharaan kemaslahatan ini dalam bentuk penanaman tauhid seperti mengucapkan dua kalimat syahadat, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, puasa, haji dan melaksanakan perintah serta menjauhi larangan Allah. Pemeliharaan diri dan akal manusia dilakukan dalam bentuk makan, minum, berpakaian, bertempat 57
Ibid., h. 170.
58
Al-Qardhawi, Al-Mâdkhâl fi Dîrâsat al-Syarî’ah al- Islâmiyah ., h. 171.
tinggal, sedangkan pemeliharaan keturunan dan harta dilakukan dalam bentuk muamalat atapun jinayat dan perintah menegakan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. 59 2. Maslahah Hajiyat Kemaslahatan hajiyat adalah suatu kemaslahatan yang dibutuhkan manusia
untuk
menyempurnakan
kemaslahatan
pokok
mereka
dan
menghilangkan kesulitan yang dihadapi. Termasuk dalam kemaslahatan ini adalah keringanan bagi manusia dalam beribadah, contohnya adalah qashar shalat, kebolehan berbuka puasa bagi orang yang musafir. Dalam bentuk muamalat, keringanan ini terwujud dalam bentuk dibolehkan berburu binatang halal, memakan makan yang baik, kebolehan dalam jual beli (bay’ salam), kerjasama pertanian (muzara’ah) dan perkebunan (musaqqah). Semua kegiatan ini disyari’atkan oleh Allah guna memudahkan manusia dalam kehidupan dan sekaligus mendukung perwujudan kemaslahatan pokok di atas.60 3. Maslahah Tahsiniyat Maslahat ini sering disebut maslahat takmiliyat, yaitu suatu kemaslahatan yang bersifat pelengkap dan keleluasaan terhadap kemaslahatan dharuriyat dan hajiyat. Kemaslahatan ini dimaksudkan untuk kebaikan dan kebagusan budi pekerti. Sekiranya, kemaslahatan ini tidak dapat diwujudkan 59
Nasrun Harun, Ushûl fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997), cet. Ke. 116.
60
Ibid., h. 116.
dalam kehidupan, tidaklah sampai menimbulkan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Meskipun demikian kemaslahatan ini tetap dibutuhkan manusia.61 Dengan demikian, dari ketiga maslahat dari segi kepentingan dapat kita simpulkan kemaslahatan dharuriyat harus lebih didahulukan dari hajiyat, dan kemaslahatan hajiyat harus lebih didahulukan dari tahsiniyat.62 Ditinjau dari segi kualitas maslahah ada tidaknya dalil yang mengatur terbagi menjadi tiga macam:63 1. Maslahah al-Mu’tabarah Maslahah al-mu’tabarah adalah suatu kemaslahatan yang dijelaskan dan diakui keberadaannya secara langsung oleh nash. Misalnya untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia, Islam menetapkan hukuman qisash terhadap pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah, 2: 178:
c Q25 2"mN= $ikGKlD 2) !" o %&E( OP(CTa2n %a3\ q2(Y
c ?TapE(
G-tW( K Hs2(Y S `u70vw K G-/W( S yL !Zx ☺ ` `u70vw S / 2tU ⌦u⌧ ZzKL 5 KLK Z KW☺( S 61
Firdaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, Cet. Pertama, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 84. 62 Ibid., h. 84. 63 Khallaf., ílmûUshûl al-fiqh.,h. 86.
/V^ P -OPTS?
%<S (CE ~5 } CA()K5 64 ......... P P }$☺?K
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.”……… ( Q.S. al-Baqarah 2:178 ) 2. Maslahah al-Mulghah Maslahah mulghah adalah kemaslahatan yang bertentangan dengan ketentuan nash. Karenanya segala bentuk kemaslahatan seperti ini di tolak syara’. Menurut Abdul Wahab Khallaf, salah satu contoh relevan dengan ini adalah fatwa seorang ulama mazhab Maliki di sepanyol yang bernama Laits ibn sa’ad (94-175) dalam menetapkan kaffarat bagi orang yang melakukan hubungan suami istri pada siang bulan Rhamadhan. Kasus ini terjadi terhadap seorang penguasa di spanyol. Dengan pertimbangan kemampuan seorang penguasa, apabila kaffaratnya memerdekakan budak tentu dengan mudah ia dapat membayarnya sehingga Laits ibn sa’ad menetapkan kaffarat terhadap penguasa tersebut dengan berpuasa dua
64
Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahnya, Yayasan penterjemah/pentafsir Al-Qur’an , (Bandung, Lubuk Agung,, 1989), h. 43.
penyelenggara
bulan berturut-turut.65Kemaslahatan seperti ini dalam pandangan ulama yang disebut dengan maslahah al- mulghah.66 3. Maslahah al-Mursalah Ada beberapa depinisi maslahah mursalah Dalam pandangan para ulama diantaranya Said Ramadhan al-Buthi mendepinisikan Maslahah mursalah adalah:67
دیـ وﻥ" و ـ% ا ا ه ا رع ا د ﻡ' ﺡ: ا ﺏـ. /ﺕ1 ﺕ+ , وﻥ*ـ وأﻡاـ
Artinya:
“Al-Maslahah adalah manfaat yang ditetapkan syar’I untuk para
hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka sesuai dengan urutan tertentu diantaranya.” Maslahah mursalah ini adalah maslahah yang akan penulis sajikan dalam skripsi ini sebagaimana penulis terangkan di atas. E. ‘Illat Hukum Penerapan Konsep Maslahah Mursalah Dalam KHI 1) Depinisi ‘Illat Hukum Secara etimologi, illat berarti nama sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Misalnya, penyakit disebut
65
Khallaf., ílmû Ushûl al-fiqh.,h. 87. Fidaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam., h. 86. 67 Al-Buthi . Dhâwâbît al-Maslahah fî al-Syarî’ah al-Islâmiyah, hal. 2. 66
‘illat karena dengan adanya penyakit kondisi tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit. Menurut Abd. al-Hakim Abd al-Rahman, ‘illat secara etimologi bermakna “sebab” Meskipun ada yang mengatakan bahwa ‘illat bermakna penyakit, namun pemaknaan sebagai “sebab” hukum jauh lebih relevan, karena secara substansial ‘illat bermakna sebagai penetapan hukum pada furu’. 68 Secara terminology, terdapat beberapa rumusan depinisi ‘illat yang dikemukakan oleh para ulama, antara lain: a) Menurut al-Baidawi, sebagian ulama hanafiyah, dan juga sebagian ulama hanabilah, ‘illat al-hukm adalah suatu sifat yang berfungsi sebagai pengenal bagi suatu hukum. Maksudnya, apabila terdapat suatu ‘illat pada suatu hal maka di situ terdapat hukum, karena dari keberadaan ‘illat itulah hukum itu bisa diidentifikasi. 69 b) Menurut al-Amidi, ‘illat al-hukm adalah suatu sifat yang jelas dan konsisten, dengan menetapkan hukum sesuai dengan sifat tersebut apa yang layak menjadi tujuan penetapan hukum tersebut dapat diperoleh. Baik hukum tersebut berbentuk itsbat maupun nahyi yang bertujuan untuk memperoleh kemaslahatan maupun mencegah kerusakan.70
68
Abd. Al-Hakim Abd al- Rahman, Mâbâ-hîts al-îllât fi al-Qiyâs ‘índâ Usûlîyyîn, Beirut: Dar al-Basya-ir al-Islamiyah, cet.Ke-1,1986, h. 68. 69
70
Ibid., h. 70. Abd. Al-Hakim Abd al-Rahman. Mâbâ-hîts al-íllât fî al-Qiyâs ‘índâ Usûlîyyîn , h. 90.
c) Menurut Ibn al-Hajib,’illat adalah suatu sifat yang jelas dan konsisten, artinya ketika menetapkan hukum atas dasar sifat tersebut, secara logika, akan diperoleh apa yang akan menjadi tujuan orang-orang yang berakal, baik yang memperoleh kemaslahatan maupun mencegah kerusakan. Jadi, ‘illat merupakan motif dibalik penetapan hukum yaitu kemaslahatan yang menjadi tujuan syari’ah.71 d) Menurut Abdul Wahab Khallaf, ‘illat adalah sifat yang terdapat dalam hukum asal yang digunakan sebagai dasar hukum, yang dengan ‘illat tersebut akan diketahui hukum di dalam furu. Misalnya, memabukan adalah sifat yang ada pada khamar, yang kemudian dijadikan dasar diharamkannya khamar. Dengan ‘illat tersebut maka dapat diketahui haramnya setiap minuman yang memabukan. 72 Sejumlah depinisi di atas menekankan bahwa suatu ‘illat hukum haruslah jelas, konsisten, dan selaras dengan maqasid syari’ah, yaitu membawa kemaslahatan. Adanya ‘illat merupakan sifat yang merupakan petunjuk adanya hikmah. 2) Kriteria ‘Illat Hukum Tidak setiap yang diduga sebagai ‘illat hukum dapat dijadikan ‘illat hukum. Sesuai dengan definisi ‘illat hukum yang dikemukakan di atas, maka sesuatu yang
71
Ibid., h. 90.
72
Abd Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh, h. 63.
dapat dikatakan sebagai ‘illat hukum apabila telah memenuhi sejumlah kriteria berikut ini:73 a) ‘Illat itu mestilah berupa sifat yang jelas, yakni dapat disaksikan oleh salah satu panca indra. Sebab ‘illat itu gunanya untuk mengenal hukum yang akan diterapkan pada cabangnya (furu), maka ia mesti berupa sifat yang jelas dapat dilihat pada asalnya sebagaimana dilihat pada cabangnya. Misalnya, sifat yang memabukan yang dilihat pada khamar juga mesti dilihat pada perasan yang memabukan sebagai cabang. b) ‘Illat itu mesti berupa sifat yang sudah pasti artinya ia mempunyai hakikat yang nyata dan tertentu yang memungkinkan untuk mengadakan hukum pada cabang dengan tepat. Karena asal qiyas adalah menyamakan ‘illat hukum pada cabang dengan tepat. Persamaan ini menuntut adanya ‘illat secara pasti, sehingga memungkinkan persamaam hukum antara kedua pristiwa tersebut. ‘Illat mestilah berupa sifat yang sesuai dengan hikmah hukum. Artinya bahwa ‘illat itu menurut dugaan kuat, cocok dengan hikmah hukumnya. c) ‘Illat itu bukan hanya terdapat pada asal. jadi, ‘Illat itu mesti berupa sifat yang dapat diterapkan pada beberapa masalah selain pada masalah asal tersebut. Sebab maksud mencari ‘illat pada asal itu adalah untuk menerapkannya pada cabang. Oleh karena itu, jika ‘illat tersebut hanya
73
Ibid., h. 68-70.
diperoleh pada asal saja, maka tidak dapat dijadikan dasar qiyas. Seperti Nabi Muhammad s.a.w. boleh mengawini wanita lebih dari empat orang dan tanpa mahar. Sebab ‘illat dibolehkannya perkawinan seperti itu hanya berlaku khusus bagi beliau sendiri. Dari uraian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa sifat yang dapat dijadikan ‘illat itu mestilah sifat yang nyata, jelas dan dapat dijangkau nalar.
3). ‘Illat Hukum Dalam Penerapan Maslahah Mursalah KHI Para ulama sepakat bahwa tujuan Allah s.w.t. mensyari’atkan hukum adalah untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu ada kalanya dalam bentuk mengambil manfaat dan ada kalanya dalam bentuk menolak kerusakan.74 Dalam penerapan konsep maslahah mursalah Kompilasi Hukum Islam penulis berpendapat bahwa hal tersebut termasuk dalam komponen penetapan hukum jenis ‘illat al-munasib al-mursal, yakni bahwa ‘illat untuk sesuatu ketetapan hukum tersebut tidak pernah diungkapkan oleh nash, dan juga tidak ada nash lain yang mengungkapkan ‘illat hukum yang sesuai dengan ketentuan hukum itu. Akan tetapi penetapan hukum tersebut sesuai dengan ketentuan maqasid alsyari’ah. Jika sesuai dengan maqasid al-syari’ah, maka kesesuaian tersebut merupakan ‘illat yang dapat membantu penetapan hukum. 75
74
Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kotemporer., h. 96.
75
Ibid., h. 94.
Penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam menurut penulis bisa dikategorikan ‘illat hukum
berdasarkan ijma, sebagaimana
dikemukakan oleh Abd. al-Hakim Abd.al-Rahman jika para mujtahid suatu periode tertentu telah sepakat mengenai sebuah ‘illat suatu hukum dengan cara ijma dapat diterima sebagai illat.76Menurut penulis hal ini dapat dianalogikan dalam konteks penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil ijtihad para ulama Indonesia dengan perumusan 4 metodologi yang diterapkan: pertama, Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber utama; kedua, pendapat atau doktrin mahjah hanya sebagai orientasi; ketiga, mengutamakan pemecahan problema masa kini; keempat, metodologi kompromistis.77 Dalam artian metodologi yang dikemukakan oleh Yahya harahap, yakni kebebasan berfikir mencari kebenaran dalam metodologi sejarah, sosiologi dan psikologi, bahwa penetapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam yang meliputi pelarangan menikahi perempuan ahli kitab, pembatasan dengan syarat dalam poligami, perempuan hamil dapat dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya, ahli waris pengganti, harta bersama, dan wasiat wajibah bagi anak angkat adalah bagian dari ijtihad ulama Indonesia tanpa terkait pada madzhab tertentu. Dengan kata lain Kompilasi Hukum Islam
adalah fiqh
Indonesia, ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan ummat Islam
76
77
Abd al-Hakim Abd-Rahman., Mâbâ-hîts al-íllât fî al-Qiyas ‘înda Usûlîyyîn, h. 340-341.
Yahya Harahap, Kompilasi Hukum Di Indonesia, Tahun 1995-1996 Jakarta, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, h. 308.
Indonesia. Ia bukan berupa madzhab baru tapi ia mempersatukan berbagai fiqh dalam menjawab satu persoalan fiqh. 78 Dengan demikian dalam konteks penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam menurut penulis bisa dikategorikan pada ‘illat almunasib al-mursal atau ‘illat berdasarkan ijma.
78
A.Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, ( Jakarta: Qolbun Salim, 2005),Cet Pertama, h. 84.
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KHI A. Sejarah Singkat Lahirnya Kompilasi Hukum Islam Sejarah terbentuknya Kompilasi Hukum Islam mengalami suatu proses yang panjang, karena pada dasarnya kebutuhan akan kompilasi Hukum Islam bagi Peradilan Agama sudah terjadi pada tahun 1985. Hal ini terbukti dengan adanya surat edaran kepala biro Peradilan Agama nomor B/1/737 tanggal 18 pebruari 1985 tentang pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 45 Tahun 1957 yang mengatur tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah syari’iyah di luar Jawa dan Madura.79 Di dalam huruf B edaran tersebut dijelaskan sebagai berikut : “Untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara maka para
hakim
Pengadilan
Agama
/Mahkamah
syar’iyah
dianjurkan
agar
mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab tersebut di bawah ini : 1. Al-Bajuri ; 2. Fathulmuin ; 3. Syarqowi Alat Tahrir ; 4. Qolyubi/Mahalli ; 5. Fathul Wahab dengan syarahnya ; 6. Tuhfah ; 7. Targhibul Musytaq ; 8. Qawanin Syar’iyah Li Sayyid bin Yahya ; 9. Qawanin Syar’iyah Li Sayyid Shadaqah Dahlan ; 10.
79
A.Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, ( Jakarta: Qolbun Salim, 2005),Cet Pertama, h.79.
Syamsuri fil fara’idl ; 11. Bugyatul Mustarsyidin ; 12. Al-fiqhu Ala Madzahibuil Arba’ah ; 13. Mugnil Muhtaj. Dengan menunjukan ketiga belas buku ini maka langkah kearah kepastian hukum semakin nyata.80 Dalam perjalanan sejarahnya sekalipun pada tahun 1973 pemerintah hindia belanda mengeluarkan kewarisan dan kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan Madura, Hukum Islam secara de facto tetap menjadi pilihan ummat Islam di Jawa dan Madura dalam menyelesaikan masalah kewarisannya melalui Pengadilan Agama.81 Menurut Yahya Harahap Penunjukan pada ketiga belas kitab itu merupakan langkah ke arah kepastian hukum, karena pada saat itu bahwa praktik penerapan hukum yang semata-mata, mendasarkan penemuan hukum dari sumber kitab-kitab mengarah pada praktik penegakan hukum menurut selera dan persepsi hakim. Ummat Islam Indonesia belum memiliki wujud Islam secara kongkrit dan positif. Yang kita miliki baru berupa “abstraksi” hukum yang substansinya terdapat dalam qur’an dalam bentuk “wahyu matluw” dan sunnah dalam bentuk wahyu “goiru matluw”. 82
80
Team penyusun, Himpunan peraturan perundang-undangan Badan Peradilan Agama Di Indonesia, Proyek pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, Tahun 1976, h.117. 81
A. Basiq Djalil., Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, h. 80. 82
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, CV Akademika Pressindo, 2007), Cet ke-5, h. 28.
Langkah terwujudnya kepastian hukum tentunya bukan hanya sebatas wacana, akan tetapi sudah sampai pada tahapan penyusunan, langkah kongkrit tersebut dapat kita lihat Dengan tahapan sebagai berikut: a. Tahap I : tahap persiapan b. Tahap II : tahap pengumpulan data, melalui: 1) Jalur utama 2) Jalur kitab-kitab fiqih 3) Jalur yurisprudensi Peradilan Agama 4) Jalur studi perbandingan di Negara-negara lain khususnya di Negaranegara timur tengah.83 c. Tahap III : Tahapan penyusunan rancangan Kompilasi Hukum Islam dari data-data tersebut d. Tahap VI :
Tahap penyempurnaan dengan menggumpulkan masukan-
masukan akhir dari para ulama/cendikiawan Muslim seluruh Indonesia yang dirujuk melalui loka karya.84 Penjelasan singkat tahapan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Latar Belakang Gagasan Kompilasi Hukum Islam Menurut Bustanul Arifin bahwa ide kompilasi hukum Islam timbul setelah berjalan dua setengah tahun Mahkamah Agung (MA) membina teknis yustisial Peradilan Agama.Tugas pembinaan ini berdasar pada Undang83
Ibid., h. 28.
84
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h . 37.
undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman pasal 11 ayat 1 yang menentukan bahwa pengaturan personal keuangan dan organisasi pengadilan-pengadilan yang ada diserahkan kepada Departemen masing-masing. Sedangkan pengaturan teknis yustisial ditangani oleh Mahkamah Agung. Meskipun Undang-undang tersebut telah ditetapkan tahun 1970. Akan tetapi pelaksanaannya dilingkungan Peradilan Agama baru bisa dilakukan pada tahun 1982 setelah ditandatanganinya surat keputusan bersama (SKB) oleh ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama. SKB itu merupakan
jalan
pintas
tanpa
menunggu
lahirnya
Undang-undang
pelaksanaan Undang-undang No. 14 Tahun 1970 di atas untuk Peradilan Agama. Menurut Ismail Suny, pada bulan Maret 1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehingga terbitlah SKB (Surat Keputusan Bersama) ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama yang membentuk proyek Kompilasi Hukum Islam.85 Selama pembinaan tersebut, dirasakan adanya beberapa kelemahan seperti, hukum Islam yang diterapkan di Peradilan Agama yang masih berbentuk abstraksi hukum. Yaitu, belum ada hukum positif yang dirumuskan secara sistematis sebagai landasan rujukan mutlak. Sehingga untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan Peradilan
85
Ibid., h. 33.
Agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim, untuk menjamin adanya kepastian hukum.86 2) Gagasan Dasar Kompilasi Hukum Islam a) Untuk dapat berlakunya Hukum (Islam) di Indonesia, harus ada kepastian hukum dan dapat dilaksanakan baik oleh para penegak hukum maupun masyarakat. b) Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah akan dan sudah menyebabkan: 1. Ketidakseragaman dalam menentukan hukum Islam (ma’anzala Allahu) 2. Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (Tanfidziyah) 3. Tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-undang Dasar 1945, dan perundang-undangan lainnya. c) Dalam sejarah Islam pernah dua kali pada tiga Negara, hukum Islam diberlakukan sebagai perundang-undangan Negara, yaitu: 1. Di India masa raja An Rijeb yang membuat dan memberlakukan perundang undangan Islam yang terkenal dengan fatwa Alamfiri. 2. Pada kerajaan Turki Utsmani yang terkenal dengan nama Majalah Al Ahkam Al Adliyah.
86
Ibid., h. 32.
3. Di Sudan, tahun 1983 Hukum Islam dikodifikasikan. Dengan dibatasinya hanya 13 buah kitab kuning dari kitab-kitab yang selama ini dipergunakan di Pengadilan Agama, merupakan upaya kearah kesatuan dan kepatian hukum yang sejalan dengan yang dilakukan ketiga Negara tersebut. Hal tersebut mendorong munculnya gagasan penyusunan Kompilasi Hukum Islam sebagai buku hukum bagi Pengadilan Agama. 87 d) Landasan Yuridis Undang-undang no.14/ 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman pasal 20 ayat (1) yang berbunyi : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Dan di bawah fiqh ada kaedah yang mengatakan bahwa: “Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat dan keadaan. Keadaan masyarakat selalu berubah, ilmu fiqh sendiri selalu berkembang karena mempergunakan metode-metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Di antara metode tersebut adalah maslahah mursalah, istihsan, uruf dan lain-lain. e) Landasan Fungsional
87
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, h. 83.
Kompilasi Hukum Islam adalah fiqh Indonesia, ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan ummat Islam Indonesia. Ia bukan berupa madzhab baru tapi dia mempersatukan berbagai fiqih dalam menjawab persoalan fiqh. Ia mengarah pada unifikasi madzhab dalam hukum Islam. Dalam sistem hukum Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional Indonesia.88 3)
Realisasi Kompilasi Hukum Islam Tahapan selanjutnya dalam proses pembentukan Kompilasi Hukum Islam adalah penyusunan yang dilaksanakan oleh sebuah tim pelaksana proyek dengan SKB Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985 dan No.25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985.
Di dalam SKB tersebut ditentukan para pejabat Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Agama. Disamping ada pelaksana bidang kitab /yurisprudensi, bidang wawancara dan bidang pengumpul dan pengolah data. Jangka waktu pelaksanaan proyek ditetapkan selama 2 tahun terhitung sejak ditetapkannya SKB. Dan tata kerja serta jadwal waktu proyek telah ditetapkan sebagai lampiran dari SKB. Sedang biaya dibebankan kepada dana bantuan
88
Team penyusun, Himpunan peraturan perundang-undangan Badan Peradilan Agama Di Indonesia, h. 142.
yang diperoleh dari pemerintah, Keppres No.191/SOSRROKH/1985 (Bantuan Presiden RI) dan No.068/SOSROKH/1985.89 Tugas pokok proyek adalah melaksanakan usaha pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi dengan jalan Kompilasi hukum Islam. Sasarannya mengkaji kitab-kitab yang dipergunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia untuk menuju hukum nasional. Proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi dilakukan dengan cara: a. Pengumpulan
data
yang
dilakukan
dengan
mengadakan
penelaahan/pengkajian kitab-kitab b. Wawancara dilakukan dengan para ulama c. Loka karya dengan maksud seminar sebagai hasil penelaahan dan pengkajian kitab-kitab dan wawancara d. Sdudi perbandingan dengan maksud untuk meperoleh sistem/kaidahkaidah hukum/seminar satu sama lainnya dengan jalan perbandingan terhadap Negar-negara Islam lainnya.90 1. Penelitian Penelitian dilakukan melalui empat jalur :91
89
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, h. 85. 90
Ibid., h. 86.
a. Jalur penelitian kitab 1) Pokok Hukum Materiil yang diteliti ada 160 masalah dalam bidang hukum keluarga (perkawinan, kewarisan, wasiat, Hibah, dan wakaf, serta shadakah): 2) Kitab yang diteliti sebanyak 38 kitab; dan 3) Penelitian kitab-kitab tersebut dilakukan oleh 10 IAIN dalam waktu 3 bulan, mulai tgl 7 Maret sampai 21 juni 1985.92 4) Penelitian kitab-kitab tersebut diolah lebih lanjut oleh tim proyek bagian pelaksanaan bidang kitab dan yurisprudensi. b. Wawancara 1) Pokok masalah yang telah disusun dan disajikan sebagai bahan wawancara dimuat dalam sebuah buku guide questioner berisi 102 masalah dalam bidang hukum keluarga (perkawinan) kewarisan wasiat dan hibah serta wakaf); 2) Wawancara dilakukan di 10 lokasi Pengadilan Tinggi Agama.93
91
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, h. 88. 92 IAIN Arraniri Banda Aceh 6 kitab ; IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 6 kitab; IAIN Antasari Banjar Masin 6 kitab ; IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta 5 kitab ; IAIN Sunan Ampel Surabaya 5 kitab ; IAIN Alaudin Ujung Pandang 5 kitab ; dan IAIN Imam Bonjol Padang 5 kitab, Ibid., h. 88. 93
Di Banda Aceh 20 orang ulama; Medan 19 ulama; Padang 20 ulama; Palembang 20 ulama; Bandung 20 ulama; Surakarta 20 ulama; Surakarta 18 ulama; Banjar masin 20 ulama; Ujung pandang 19 ulama; Mataram 20 ulama. Ibid., h. 88.
c. Penelitian yurisprudensi dilaksanakan oleh direktorat pembinaan badan Peradilan Agama Islam terhadap putusan Peradilan Agama yang telah dihimpun dalam 15 buku. d. Studi Perbandingan 1) Studi perbandingan dilaksanakan di timur tengah yaitu di Negaranegara : a) Maroko b) Turki c) Mesir 2) Studi perbandingan dilaksanakan oleh unsur Mahkamah Agung dan departemen Agama: 3) Banyak pihak yang dihubungi di Negara Maroko, Turki, dan Mesir.94 2. Pengolahan Data Hasil Penelitian a. Hasil penelitian bidang kitab, yurisprudensi, wawancara dan studi perbandingan diolah oleh Tim Besar Proyek Pembinaan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi yang terdiri dari seluruh pelaksana proyek ; b. Hasil dari Rumusan Tim Besar dibahas dan diolah lagi dalam sebuah tim kecil yang merupakan Tim Inti yang berjumlah 10 orang. Setelah
94
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, h. 89.
mengadakan sebanyak 20 kali rapat, akhirnya TIM Inti dapat merumuskan dan menghasilkan 3 buku naskah rancangan Kompilasi Hukum Islam yaitu : 1) Hukum Perkawinan ; 2) Hukum Kewarisan ; 3) Hukum Wakaf ; Rancangan tersebut selesai disusun dalam kurun waktu 2 tahun 9 bulan yang telah siap dilokakaryakan. Sehingga pada tanggal 29 Desember 1987 secara resmi rancangan tersebut oleh pimpinan proyek diserahkan kepada Ketua Mahakamah Agung RI dan Menteri Agama RI.95 3. Lokakarya Pada tanggal 2-6 Februari 1988 lokakarya dilaksanakan bertempat di Hotel Kartika Candra Jakarta selama 2 hari yang dihadiri 124 orang. Lokakarya tersebut dibuka oleh Ketua Mahkamah Agung dan ditutup oleh Menteri Agama. Pelaksanaan pembahasan naskah rancangan dibagi dalam dua instansi yaitu sidang komisi dan sidang pleno yang dihadiri oleh seluruh peserta melakukan perbaikan umum, dan mengesahkan hasil lokakarya. Adapun sidang komisi terdiri dari : a. Komisi Hukum Perkawinan ;96
95
Ibid., h. 91.
b. Komisi Hukum Kewarisan ;97 c. Komisi Hukum Wakaf. 98 Masing-masimg komisi membentuk Tim perumus di mana masing-masing dipimpin oleh pimpinan komisi. Dan kata akhir para ulama dalam sidang pleno pengesahan rumusan Kompilasi Hukum Islam buku I, II, III disampaikan oleh : a. K.H. Hasan Basri mewakili MUI. b. K.H. Ali Yafi mewakili NU. c. K.H. A.R. Fakhrudin mewakili Muhammadiyah. Setelah itu naskah Kompilasi Hukum Islam yang sudah dilokakaryakan mengalami penghalusan redaksi yang intensif dilakukan di Ciawi- Bogor oleh Tim Besar proyek untuk selanjutnya disampaikan kepada presiden, oleh MA/123/1988 Hal : Kompilasi Hukum Islam dengan maksud untuk memperoleh bentuk yuridis untuk digunakan praktek dilingkungan Peradilan Agama. Kemudian lahirlah Instruksi Presiden No.1 tahun 1991 yang dalam diktumnya menyatakan. MENGINSTRUKSIKAN, kepada Menteri Agama untuk :99 Pertama, menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari : 96
Dipimpin oleh M. Yahya Harahap
97
Dipimpin oleh H.A. Wasit Aulawi
98
Dipimpin oleh H. Masrani Basran
99
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, h. 93.
a. Buku I tentang Perkawinan b. Buku II tentang Kewarisan c. Buku III tentang Perwakapan. Sebagaimana telah diterima baik oleh alim ulama Indonesia. Dalam lokakarya di Jakarta pada tanggal 2 sampai 5 Februari 1988, untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Kedua, dan seterusnya. 100
B. Maslahah Mursalah Dalam KHI Sebagaimana penulis telah kemukakan dalam uraian sejarah singkat lahirnya Kompilasi Hukum Islam terdiri dari tiga buku masing-masing buku I tentang perkawinan, buku II tentang kewarisan dan buku III tentang perwakafan. Dalam pembahasan kandungan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam ini penulis hanya akan mengemukakan Buku I yaitu tentang perkawinan, karena kaitannya dengan skripsi yang penulis angkat. Secara keseluruhan Kompilasi Hukum Islam terdiri atas 229 pasal dengan distribusi yang berbeda-beda untuk masing-masing buku. Porsi yang terbesar adalah pada buku Hukum Perkawinan, kemudian hukum kewarisan dan yang paling sedikit adalah hukum perwakafan. Perbedaan ini timbul bukan karena ruang lingkup materi yang berbeda, akan tetapi hanya karena intensif dan terurai atau
100
Ibid., h. 93.
tidaknya
pengaturan
masing-masing
yang
tergantung
pada
tingkat
penggarapannya. 101 Sebagaimana penulis kemukakan mengenai maslahah mursalah pada bab I dalam skripsi ini, maka pada bab ini penulis akan membahas beberapa kandungan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana berikut : 1) Perempuan hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya. Permasalahan tersebut dalam ayat al-Qur’an tidak diatur secara eksplisit akan tetapi dalam pandangan para ulama fiqh termasuk yang diikhtilafkan, sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam para ulama Indonesia
mengambil
jalan
dengan
teori
kebolehan
sebagai
jalan
kemaslahatan. Sebagaimana tertuang dalam pasal 53 Kompilasi Hukum Islam Menurut penulis bahwa rumusan yang di kemas oleh para ulama tersebut berlandaskan atas dasar maslahah mursalah.102 2) Larangan Pernikahan Lintas Agama Larangan Kompilasi Hukum Islam adalah mutlak dalam hal pernikahan lintas agama, yakni walaupun laki-lakinya seorang muslim. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 40 (c), dan pasal 44. Pasal 40 (c) menyatakan “Dilarang
101
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, CV Akademika Pressindo, 2007), Cet ke-5, h. 63. 102
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, h. 184.
melangsungkan perkawinan antara pria dan wanita karena keadaan tertentu : (c) Seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Sedangkan dalam pasal 44 menyatakan : “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Kedua pasal tersebut sejalan yakni melarang orang Islam kawin dengan orang yang bukan Islam, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan dan tanpa mengklasifikasikan antara musyrik dan kitabiyah. Hal tersebut tidak lepas dari metodologi pokok seperti yang diungkapkan Yahya Harahap, yakni kebebasan berfikir mencari kebenaran dan metodologi sejarah dan sosiologi dan psikologi, berarti dilarangnya mengawini non-Islam adalah hasil ijtihad ulama Indonesia tanpa terkait pada madzhab tertentu, serta berpijak pada satu dasar pemikiran bahwa larangan tersebut telah dipertimbangkan dengan mempelajari dimensi-dimensi ajaran Islam yang disebut dengan istilah Islam bukan dimensi tunggal.103 Sehingga nikah lintas agama dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam memiliki kekhasan tersendiri yang didisain sesuai kondisi Indonesia dengan melihat prospek masa yang akan datang atau masa depan. Namun keputusan tersebut tidak terlepas dari perdebatan yang menjadi pertimbangan para ulama adalah hal yang mendasar yaitu pertimbangan kemaslahatan bolehkah para ulama melarang sesuatu yang dibolehkan oleh syari’at, Atau
103
Yahya Harahap, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Diretorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1995-1996), hlm.308.
sesuatu yang di bolehkan syari’at apakah tidak boleh dilarang oleh pemerintah dengan alasan kemaslahatan. 104 Ada beberapa hal yang menjadi perdebatan di antara para ulama adalah perkawinan antara seorang yang beragama Islam (muslim, muslimah) dengan Non muslim (orang yang tidak beragama Islam) secara garis besar dikelompokan ke dalam musyrik dan ahli kitab.105 Atas dasar tersebut perkawinan beda agama dapat berbentuk antara laki-laki muslim dengan perempuan musyrik, atau perempuan ahli kitab (kitabiyah) dan perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik atau laki-laki ahli kitab. Semua larangan perkawinan mengenai pernikahan lintas Agama dalam Kompilasi Hukum Islam dilakukan atas dasar maslahah mursalah.106 3) Prosedur poligami Poligami dalam fiqh dibolehkan akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam hal tersebut diperketat dengan persyaratan seperti yang tercantum pada pasal 115 dan 116 tentang menceraikan istri.107Menurut penulis pembatasan dengan syarat adalah bagian dari ijtihad ulama Indonesia yang berlandaskan maslahah
104
A.Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif fiqih dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta, Qolbun Salim, 2005) Cet.Pertama,hlm.144. 105 Dalam al-quran, non muslim lazim disebut “kafir” perhatikan firman Allah, antara lain dalam QS.Al-Bayyinah [89] 1 dan 6. Ayat-ayat tersebut menyatakan bahwa orang kafir itu terdiri atas dua kelompok yang berbeda, yakni ahli kitab dan orang musyrik perbedaan ini dipahami dari redaksi ayat yang menggunakan kata sambung “dan” yang menurut para ahli bahasa mengadung arti “menghimpun dua hal yang berbeda”. 106 Ibid., h. 148. 107 A.Basiq Djalil., Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif fiqih dan Kompilasi Hukum Islam, h. 185.
mursalah karena memang tidak terdapat dalam nash secara eksplisit yang mengatur hal tersebut. 4) Wasiat wajibah Dalam nash tidak satupun ayat atau hadist yang mengatur wasiat wajibah, akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tercantum dalam pasal 209 mengaturnya, yang di hasilkan dari pengkompromian nilai-nilai terutama antara Nash, syari’at dan hukum adat akan tetapi tidak bertentangan dengan syari’at. Hal tesebut dilakukan sebagai solusi terhadap anak angkat108 yang mana tidak terdapat dalam nash akan tetapi realitanya ada dalam tatanan masyarakat.109 5) Harta Bersama Pada dasarnya harta bersama baik dalam tinjauan nash ataupun hadist tidak ada yang mengatur secara eksplisit. Adanya harta bersama dalam sebuah rumah tangga, pada mulanya berdasarkan ‘urf atau adat istiadat dalam realitas masyarakat yang tidak memisahkan antara harta suami dan harta istri dalam sebuah rumah tangga. Harta bersama tidak ditemukan dalam masyarakat Islam yang memisahkan antara harta suami dan harta istri. 110para ulama memandang bahwa harta bersama adalah hukum yang hidup di masyarakat
108
Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaannya untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama-Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 1996, h. 84. 109 Ibid., h. 185. 110 Satria Efendi dan M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kotemporer Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta, Prenada Media, 2004), h. 59.
Indonesia dengan demikian harta bersama dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai hasil pengkompromian antara Syari’at dan hukum adat sebagaimana tertuang dalam pasal 85-88 dalam Kompilasi Hukum Islam. Sehingga bisa dikatakan bahwa harta bersama adalah bagian dari maslahah mursalah yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam. 111 6) Ahli Waris Pengganti Dari perincian ahli waris dan bagian masing-masing sebagaimana yang terdapat dalam nash dan hadist terlihat bahwa ada ahli waris dengan kedudukan tertentu dan bagian yang sudah ditentukan dalam Al-Qur’an yaitu anak, ayah, ibu, saudara, suami atau istri. Kedudukan mereka ahli waris adalah murni karena hubungannya dengan pewaris, kelompok ahli waris dalam bentuk ini dapat disebut ahli waris langsung. Sedangkan kelompok ahli waris kedua yaitu kewarisan yang disebabkan karena tidak adanya ahli waris yang menghubungkan kepada pewaris. Mereka adalah cucu menempati kedudukan anak; kakek menempati kedudukan ayah;nenek menempati kedudukan ibu; saudara seayah menempati kedudukan saudara; paman menempati kedudukan kakek; anak paman menempati kedudukan paman.112 Ahli waris kelompok terakhir ini, kedudukan dan bagiannya memang tidak dijelaskan secara pasti di dalam al- Qur’an dan hadist Nabi. Dalam hal 111
A.Basiq djalil., Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif fiqih dan Kompilasi Hukum Islam, h. 186. 112
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Prenada Media, 2005), h. 270.
ini Allah menyerahkan penyelesaiannya kepada akal manusia.113 Para ulama Indonesia dalam hal ini perumus Kompilasi Hukum Islam menyebutnya dengan ahli waris pengganti. Hal ini tentunya berbeda dengan konsep fiqih yang menyebutkan paman (anak pewaris) yang masih hidup menutup kedudukan cucu. Dalam konsep fiqih pada kasus contoh cucu menjaga si kakek dalam keadaan senang dan susah sedang paman tidak merawat si kakek sama sekali, maka ketika meninggal si kakek maka seluruh hartanya jatuh kepaman si cucu. Hal tersebut dirasa tidak adil oleh pandangan ulama terhadap nasib si cucu. Oleh karena itu, Para ulama Indonesia merumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam dengan ahli waris pengganti sebagai jalan keluar sebagai hasil kompromi syari’at nash dan adat sebagaiman tertuang dalam pasal 185.114 Walaupun ada yang mengatakan hal tersebut adopsi dari ijtihad
prof.
Hazairin yang berdasarkan kata mawali yang terdapat dalam surah al-Nisa’ 4: ayat 33. C. Perceraian Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif 1. Depinisi Perceraian Sayyid Sabiq dalam banyak Fiqh As-sunnah, memberikan definisi perceraian sebagai berikut: Perceraian adalah “Lepasnya ikatan perkawinan dan mengakhiri
113
114
Ibid., h. 271.
A.Basiq djalil., Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif fiqih dan Kompilasi Hukum Islam, h. 186.
hubungan suami istri”.115Adapun dasar hukum perceraian menurut hukum Islam terdapat dalam firman Allah swt pada surat Al-baqarah ayat 232, yaitu:
%~ fg(EDa ^EK X⌧ [ eTaKL z (Ta2t z ZPQ2) 8KL [ WWa@BW
^E [ eVK(KL OnsQR2S c -% V2 /V^ P Z KW$0 S -OPQ5 28N⌧\ 25 S @
2) -C( K S 5) `!(KL -SPV^ P HZzp
K P eKLK -SP 116 . 28☺TaW X fg0KLK OTaW2) Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui..”(Q.S. Al-Baqarah, 1:232)
[ eTaKL z (Ta2S
^< KKL # KW☺S [ WPZ(5Kl / KW☺S [ WWN? 6G2 K^ c KGiKLK c ☺NKLK PQ~5 -O@tV^ ` TUG eIJ
5) 28N⌧\ 25 S @
2)
115
116
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Fiqr, 1983), Cet. Ke-4, jilid 2, h. 206.
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Tarjamah, Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Al-Qur’an (Bandung :Lubuk Agung, 1989), h. 56.
-C( K S = 32) 25K ` HZzp
…..117 . N☯ 2()⌧+ yL= dW(e Artinya: “Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilahmereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar”.(Q.S.At-Thalaq :2)
Dalam hadist diterangkan bahwa perceraian adalah yang paling dibenci oleh Allah meskipun perbuatan tersebut hukumnya adalah halal.
@ل ا4 اC: أﺏ. " ل ر"ل ا@ ﺹ ا@ ? و: ? @ اA ر1 '' اﺏ 118
ق4Dا
Artinya: “Ibnu Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: yang hukumnya halal tetapi Allah paling benci terhadapnya adalah talaq”.(H.R.Abu Daud dan Ibnu Majah). Meskipun talaq dianggap dapat menjadi jalan yang terbaik, hal ini tidak boleh dilakukan dengan seenaknya, karena akan menimbulkan suatu akibat hukum. Karena
menurut
ajaran Islam
perceraian
diakui
117
Ibid., h. 945.
118
HR. Abu Daud dan Ibnu Majah, disohihkan oleh Hakim.
setelah
pertimbangan-
pertimbangan secara matang, serta dengan alasan-alasan yang bersifat dharurat.119 Pengertian perceraian atau putusnya perkawinan menurut UUP No 1 tahun 1974 adalah: berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami-istri, yang disebabkan oleh beberapa hal, yang dilakukan dihadapan sidang pengadilan.120 KHI memberikan pernyataan yang hampir sama dengan UUP No.1 Tahun 1974, dijelaskan pada bab XVI pasal 115 yang berbunyi: perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.121
2. Sebab-sebab Perceraian
Alasan Perceraian menurut Hukum Islam adalah : 1. Tidak ada lagi keserasian dan keseimbangan dalam suasana rumah tangga, tidak ada lagi rasa kasih sayang yang merupakan tujuan dan hikmah dari perkawinan. 2. Karena salah satu pihak berpindah agama 3. Salah satu pihak melakukan perbuatan keji yang dilarang agama
119
Satria Efendi dan M. Zein, Problematika Hukum Keluarga, (Jakarta: Prenada media, 2004), cet. ke-1, h. 48. 120
121
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata (BW), (Jakarta, Sinar Grafika, 2002), h. 76.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, CV Akademika Pressindo, 2007), Cet ke-5, h. 141.
4. Suami tidak memberi apa yang seharusnya menjadi hak istri. 5. Suami melanggar janji yang pernah diucapkan sewaktu akad pernikahan (taklik thalaq).122 Sedangkan menurut sayyid Sabiq alasan-alasan perceraian itu adalah: 1. Suami tidak mampu memberi nafkah 2. Suami berbuat aniaya 3. Suami menjauh 4. Suami dihukum penjara123 Adapun alasan-alasan putusnya perkawinan menurut UUP No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI, disebabkan oleh: a. kematian b. perceraian c. keputusan pengadilan124 Mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian ada beberapa alasan yang melatarbelakangi kenapa perceraian dapat terjadi. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam KHI Pasal 116, sebagai berikut: a)
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar untuk disembuhkan.
122
Ibid., h. 141.
123
Sayyid Sabiq., Fiqh Sunnah , 206.
124
UU, No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 113.
b)
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dalam jangka waktu 2 tahun secara terus-menerus tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c)
Salah satu pihak mendapatkan pidana 5 tahun penjara atau hukuman lain yang lebih berat.
d)
Salah
satu
pihak
melakukan
kekejaman
yang
membahayakan
keselamatan anggota keluarga. e)
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai suami-istri.
f)
Terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran antara kedua belah pihak sehingga tidak dapat harapan untuk hidup harmonis (terdapat juga dalam pasal 39 ayat 2 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)
g)
Suami melanggar taklik talaq
h)
Peralihan
agama
atau
murtad
yang
menyebabkan
terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.125 3. Perbedaan Cerai Thalaq dan Cerai Gugat
Dalam perundang-undangan dijelaskan bahwa terdapat perbedaan mengenai perkara perceraian, yaitu cerai thalaq dan cerai gugat. Cerai talaq yaitu perceraian yang dilakukan atas kehendak suami. Sebagaimana yang dijelaskan dalam UU
125
Kompilasi Hukum Islam Pasal 116.
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama pasal 66 ayat 1 dijelaskan bahwa pengertian cerai thalaq yaitu:126 “seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar thalaq”. Dalam KHI pasal 117 diterangkan bahwa: “talaq adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama, yang menjadi salah satu sebab putusnya hubungan perkawinan dengan cara sebagaimana pasal 129, 130, 131”. Sedangkan cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan atas kehendak istri. Hal ini diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 73 (1), yang menyatakan: “gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediamaan penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediamaan bersama tanpa izin tergugat” 127 Dalam KHI pada pasal 132 ayat 1:“gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada pengadilan agama yang daerah hukumnya mewilayahi
126
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama pasal 66 ayat 1. 127 UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 73 ayat 1
tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediamaan bersama tanpa izin suami”128 Dalam perkara cerai gugat, seorang istri diberikan suatu hak untuk menceraikan suaminya, karena dalam cerai talaq haknya hanya dimiliki oleh suami. Akan tetapi bukan berarti bahwa cerai gugat haknya mutlak milik istri karena suami dapat pula menggunakan hak tersebut. Dengan demikian masingmasing pihak telah mempunyai jalur tertentu dalam upaya menuntut perceraian. Jika cerai gugat dihubungkan dengan tertib hukum acara perdata, maka cerai gugat benar-benar murni bersifat kontentius. Ada sengketa perkawinan yakni menyangkut perceraian dan di dalamnya terdapat pihak-pihak yang berdiri sebagai subjek perdata. Istri sebagai pihak penggugat dan Suami sebagai pihak tergugat.129 Dalam Islam tidak mengenal istilah cerai gugat, karena cerai gugat sendiri hanyalah istilah hukum yang digunakan dalam hukum acara di Indonesia. Akan tetapi dalam hukum Islam mengenal istilah khulu’ yang mempunyai persamaan dengan cerai gugat, akan tetapi tetap ada perbedaannya. Jika dalam khulu’ itu ada iwadh yang harus dibayar oleh pihak istri, dan yang mengucapkan kalimat perceraian (talaq) adalah pihak suami setelah adanya pembayaran iwadh tersebut.
128
Kompilasi Hukum Islam Pasal 132 ayat 1 M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Kartini, 1997), Cet. Ke-3, h. 252. 129
Sedangkan dalam cerai gugat tidak ada pembayaran iwadh, dan yang memutuskan perceraian adalah Hakim.130 Ada beberapa syarat bagi istri untuk bisa melakukan cerai gugat, yaitu: a. Cerai gugat berasal dari pihak istri bukan dari pihak suami. b. Harus ada alasan untuk cerai gugat. Dalam mengajukan gugatan cerai, baik cerai talaq maupun cerai gugat harus mempunyai alasan-alasan yang dibenarkan dalam UU yang berlaku, hal ini diatur dalam PP No 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 19 dan dipertegas kembali dalam KHI tentang alasan untuk bercerai yang tertera pada pasal 116 yang isinya sama dengan pasal 19 PP No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. D. Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif 1. Pengertian dan Dasar Hukum Poligami Kata poligami berasal dari bahasa Yunani yaitu kata “poly” atau “polus” yang berarti banyak dan “gamei” atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Laki-laki yang beristri lebih dari seorang wanita dalam satu ikatan perkawinan. 131 Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan poligami, yaitu: “ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya diwaktu yang bersamaan” untuk pemahamaan 130
Amir Syaripuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta, Prenada Media, 2007), Cet. Ke-2, h. 232-233. 131
h. 49.
HM. Sufyan Raji Abdullah, Poligami dan Eksistensinya, (Jakarta: CV.Cahaya Esa, 2004),
perkawinan lebih dari satu orang disebut dengan poligami, poligini, dan poliandri. Ketiga kata tersebut mempunyai arti yang berbeda walaupun maknanya sama yaitu perkawinan lebih dari satu orang. Kata poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan, sedangkan poligini yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa orang wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan.132 Dari pengertian tersebut kata poligini dan poligami sama yaitu seorang pria boleh melakukan pernikahan dengan lebih dari satu orang. Hanya saja yang berkembang pengertian itu mengalami pergeseran sehingga poligami dipakai untuk makna laki-laki beristri banyak, sedangkan kata poligini sendiri tidak lazim dipakai. Seperti dalam KHI pada pasal 55 ayat 1 tidak disebutkan kata poligami hanya menjelaskan yaitu: “beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai 4 orang istri”.133 Begitu pula dalam PP No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UUP No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak menyebutkan poligami hanya menjelaskan yaitu:
132
DEBDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1989), Cet. ke-2,
133
Kompilasi Hukum Islam Pasal 55 Ayat 1.
h. 779.
“apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan”.134 Namun dalam penjelasan pasal 3 ayat 2 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan bahwa suami yang hendak beristri lebih dari satu orang dinamakan poligami. Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan yang di maksud dengan poligami adalah sistem perkawinan dimana seorang lakilaki menikah dengan lebih dari satu orang istri. Adapun tujuan poligami yang dibenarkan oleh Syariat Islam antara lain: a. Sebagai jalan untuk menyalurkan dorongan seksual yang berlebihan dari kaum laki-laki secara sah. Sehubungan dengan pernyataan diatas Mushfin alJahrani menyatakan: “Allah telah memberikan kekuatan dalam bidang seksual kepada seorang lelaki sehingga dapat terjadi seorang suami tidak merasa puas hanya seorang istri untuk menyalurkan libido seksualnya, apalagi jika istrinya sedang haidh dalam waktu yang cukup panjang. Dalam kondisi seperti ini untuk menyalurkan libido seksual dengan baik, suami melakukan poligami”135 b. Sebagai jalan untuk menanggulangi atau mencegah terjadinya penyelewengan seksual atau hubungan badan di luar perkawinan yang sah. Sifat kebirahian
134
135
Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dr.Musfin aL-Jahrani, poligami dan berbagai persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), cet. Ke-1, h. 71.
yang umumnya ada pada laki-laki dan perempuan adalah merupakan tabiat fitrah kemanusiaan. Agama memberikan jalan menyelesaikan hajat tabiat tersebut dalam bentuk pernikahan. 136
2. Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Islam membolehkan poligami dengan syarat adil. Hal ini demi menjaga hak dan martabat wanita. Adapun yang menjadi dasar hukum bolehnya poligami adalah ayat al-Quran surat An-nisa ayat 3 dan ayat 129, Allah berfirman:
c Z(EW KL fg(AZz 8EK c ZP0 `?' 23C( !" z ~5 OP z# 25 `uUv25 %~
8< c M 2S?K TaWK c GW KL p(AZz PTa25 25 KKL UGTV
!UKL /V^ ` -OP ☺)KL 137 c W KL Artinya:.
“ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266],
136
137
Ibid., h. 71.
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Tarjamah, Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Al-Qur’an (Lubuk Agung Bandung, 1989), h. 115.
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(Q.S. An-nisa. 4:3)
8KL c WC2pTd K 2"2S c GW -Op2 -K %~
d(☺( ;d@ c Wa☺ X⌧ c $EDaW☺( ⌧\ K?⌧C23 c @E3K c a&W 8EK `
?@A⌧. 28N⌧\ =
:< 138 . ☺? Artinya:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Q.S. An-nisa. 3:129)
Maksud dari surat an-nisa ayat 3 adalah boleh poligami namun hanya sebatas empat orang istri saja dan disyariatkan dapat berbuat adil diantara istri-istrinya dan jika tidak mampu maka tidak boleh mengawini wanita lebih dari seorang. Adil yang dituntut dalam ayat tersebut yaitu adil dalam masalah-masalah lahiriah yang bisa dilakukan oleh manusia seperti: giliran, nafkah, tempat tinggal, dan bepergian.139 Sedangkan yang dimaksud adil dalam QS An-nisa 129 yaitu adil dalam masalah cinta dan kasih sayang (batiniyah). Sebab masalah cinta dan kasih diluar 138
139
Ibid., h. 143.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Prenada Media, 2007), Cet. Kedua, h. 176.
kemampuan manusia. Allah tidak akan memberikan beban kepada manusia sebagai hambanya diluar kemampuan dan kesanggupan manusia. 140 Agama Islam telah mengikis kekacauan yang terjadi pada umat terdahulu dimana poligami tidak dibatasi oleh jumlah tertentu. Ketika Islam datang, para lelaki kabilah Tsaqif
banyak yang memiliki sepuluh orang istri, antara lain
seperti: Mas’ud bin Urwah, sufyan bin Abdillah, Ghailan bin Salamah, abu Agil Mas’ud bin Amr. Lalu Islam membatasinya hanya empat istri saja, sehingga ketika masuk Islam dan syariat poligami telah diturunkan. Ghailan Sufyan dan Abu Agil memilih empat orang istri mereka dan menceraikan enam yang lain. Sedangkan Urwah masuk Islam lalu wafat sebelum syariat poligami diturunkan. Pada dasarnya sistem poligami telah ada sebelum Islam dikumandangkan oleh Muhammad SAW sebagai Nabi dan utusan Allah yang merupakan penutup para Nabi dan rasul.141 Sebelum kedatangan Islam poligami telah biasa dan membudaya dikalangan bangsa-bangsa di dunia baik di barat maupun di timur, begitu pula di timur tengah. Diantara bangsa-bangsa yang telah membudaya dikalangan mereka adalah: bangsa Ibrani, Arab Jahiliyah dan Cisilia, yang kemudian melahirkan sebagian besar penduduk yang menghuni negara-negara di Timur dan Barat, seperti Rusia, Lituania, Polandia, Cekoslovia, Yugoslavia, dan sebagain dari orang-orang Jerman
140
Ibid., 177.
141
Siti Zalikha dkk, wanita dan islam, (Banda Aceh, Lapena, 2006), cet. I, h. 115.
serta Saxon yang melahirkan sebagian besar penduduk yang menghuni negara Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Inggris. 142 Adapun mengenai sebab dan alasan poligami dalam Islam yaitu: Musthafa assiba’i membagi alasan-alasan berpoligami kedalam 2 motif, yaitu:143 1. motif pribadi Berupa hal-hal yang melekat pada diri suami atau istri yang bersangkutan. Motif ini tentu sangat subjektif sekali mengingat betapa seorang istri selalu harus mengalah demi kepuasan dan keinginan serta kebahagiaan suaminya tanpa ada yang peduli akan kebahagiannya. Motif pribadi ini dibedakan lagi menjadi 5 macam diantaranya: a. Istri Mandul Sang istri mandul, sedang suami ingin mempunyai keturunan dan suami tidak bersalah dalam keinginannya itu, karena ingin punya anak itu adalah suatu naluri yang wajar berada dalam jiwa manusia.144 b. Istri terkena penyakit kronis Bila istri terkena penyakit kronis yang lama sembuhnya, atau penyakit menular yang menyebabkan suami tidak tidak dapat bergaul dengan istrinya sebagai
142
Sufyan Raji Abdullah, Poligami dan Eksistensinya, (Jakarta: CV. Cahaya Esa, 2004), h.
49. 143
Musthafa As-Syiba’I, Wanita di antara hukum islam dan perundang-undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 117. 144
Ibid., h. 117.
suami istri untuk beberapa lama. Maka suami dalam kondisi seperti ini, dapat menikah lagi dengan perempuan lain.145 c. Suami benci kepada istri Ada kemungkinan pada suatu saat karena sesuatu hal suami sangat benci kepada istrinya, sedemikian benci sehingga suami tidak dapat bersama lagi dengan harmonis juga tidak dapat menceraikannya karena ada sesuatu yang tidak mungkin menceraikannya.146 d. Suami bepergian Seorang suami yang jauh dari istri, baik karena tugas kerja atau yang lainnya sehingga suami sering menetap diluar kota tanpa didampingi istri. Maka akan mengakibatkan suami mencari jalan keluar dari kesepiannya. e. Suami mempunyai daya seksual yang tinggi Dalam kondisi-kondisi seperti ini poligami menjadi jalur emergency yang sepertinya mesti ditempuh, mengingat dampak negatif yang timbul jika suami tidak berpoligami dikhawatirkan akan jatuh dalam lembah perzinahan dan akan menyebarnya praktek-praktek pelacuran.147 2.
motif sosial
145
Musthafa As-Syiba’I, Wanita di antara hukum islam dan perundang-undangan, h. 118.
146
Ibid., h. 118.
147
Ibid., h. 119.
Motif sosial berupa fakta yang terdapat pada masyarakat dunia, yakni berupa:148 a. jumlah wanita ternyata melebihi jumlah pria. Hal ini merupakan fakta yang tidak bisa diingkari, angka kematian bayi lebih besar pada bayi laki-laki dan wanita lebih panjang usianya dari pria. b. Kuranglah jumlah laki-laki akibat perang yang menyebabkan banyak janda terabaikan tanpa suami. Sementara itu, berdasarkan hukum positif yaitu UUP No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka hukum perkawinan di Indonesia menganut asas monogami, Sebagaimana tercantum dalam ( UU No 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat 1) yang berbunyi: “pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya mempunyai seorang suami”. Pada UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 3 ayat 2 menyatakan : “pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Dalam KHI pasal 55 ayat 1 menyatakan: “bagi yang beistri lebih dari seorang pada waktu yang bersamaan hanya terbatas empat orang istri”149
148
Ibid., h. 120.
149
Kompilasi hukum Islam Pasal 55 ayat 1
3. Prosedur Poligami Mengenai prosedur poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada ketentuan secara pasti, namun di Indonesia dengan kompilasi hukum Islam telah mengatur hal tersebut sebagai salah satu penetapan hukum yang mengandung maslahah mursalah:150 1. suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari PA yang pengajuannya telah diatur dengan peraturan pemerintah. 2. perkawinan dengan istri kedua, ketiga, keempat tanpa izin dari PA tidak mempunyai kekuatan hukum. Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari satu orang apabila:151 a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c. istri tidak dapt melahirkan keturunan. Disamping syarat-syarat tersebut diatas, maka untuk memperoleh izin PA harus memenuhi syarat-syarat sebagi berikut:152 a. adanya persetujuan istri
150
A.Basiq djalil., Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif fiqih dan Kompilasi Hukum Islam, h. 186. 151
Kompilasi Hukum Islam Pasal
152
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 5, Kompilasi Hukum Islam Pasal 58
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan: dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada PA didaerah tempat tinggalnya.153 Didalam KHI diatur dalam pasal 56:154 1) suami yang hendak beristri lebih dari seorang harus mendapat izin dari PA. 2) pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam PP No 9 Tahun 1975 tentang aturan pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bab VIII. 3) perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga keempat tanpa izin dari PA tidak mempunyai kekuatan hukum. E. Teori Kebolehan Dalam Konsep Maslahah Mursalah KHI Teori kebolehan di sini mengenai hukum Islam yang berkaitan dengan dua hal pertama, yang berkaitan dengan kebolehan dan yang kedua, adalah yang berkaitan dengan pengkompromian nilai dalam Kompilasi Hukum.155 1. Kebolehan
153
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 3 ayat 2
154
Kompilasi Hukum Islam Pasal 56.
155
A.Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif fiqih dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta, Qolbun Salim, 2005) Cet.Pertama,hlm.184.
Dalam Kompilasi Hukum Islam ada tiga hal yang berkaitan dengan hipotesa tentang kebolehan ini, Pertama, dalam fiqh ikhtilaf diperselisihkan ulama, dalam Kompilasi Hukum Islam ditetapkan boleh, seperti pada pasal 53 yang membolehkan perempuan hamil kawin dengan laki-laki yang menghamilinya. Kedua, fiqh membolehkan sedangkan Kompilasi Hukum Islam sebaliknya, yakni melarang, seperti pasal 40 tentang dilarangnya laki-laki muslim kawin dengan wanita ahli-Kitab. Dan ketiga, fiqh membolehkan sedangkan Kompilasi Hukum Islam membatasinya seperti pasal 55 dan 59 tentang poligami, demikian juga yang diperketat dengan syarat seperti pasal 115 dan 116 tentang menceraikan istri.156 2. Pengkompromian Nilai Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pula metodologi yang menggunakan pengkompromian nilai-nilai terutama antara nash, syariat dan dengan hukum adat. Karena ada beberapa hal yang tidak ada dalam nash, tetapi dalam realita masyarakat Indonesia ada dalam bentuk adat, sehingga diambil jalan keluar dengan metode perngkompromian nilai-nilai seperti halnya anak angkat yang tidak terdapat dalam nash, sedangkan dalam masyarakat ada, maka diambil jalan keluarnya dengan wasiat wajibah. Demikian juga mengenai harta
156
Ibid., h. 184-185.
bersama,157dan ahli waris pengganti158 semua itu adalah bagian dari kandungan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam yang dirumuskan oleh para ulama Indonesia baik dalam metode kebolehan ataupun dengan pengkompromian nilai. 159
157
Kompilasi Hukum Islam Pasal 85-88.
158
Kompilasi Hukum Islam Pasal 185.
159
A. Basiq Djalil., Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif fiqih dan Kompilasi Hukum Islam, h. 186.
BAB IV PENGARUH PENERAPAN MASLAHAH MURSALAH TERHADAP PUTUSAN HAKIM A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan 1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah sebagai salah satu institusi yang melaksanakan tugasnya memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai berikut: 1. 2.
Udang-Undang Dasar 1945 pasal 24; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman
3.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
4.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UndangUndang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
5.
Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
7.
Keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963, Tentang Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
8.
Peraturan-Peraturan lain yang berhubungan dengan tata cara kerja dan wewenang Pengadilan Agama Jakarta Selatan
2. Sejarah Singkat Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No 69 Tahun 1963 tentang pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Pada awalnya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang dinamakan kantor cabang yaitu160: 1.
Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara;
2.
Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah;
3. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk; Semua Pengadilan Agama tersebut di atas termasuk wilayah Hukum Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Nomor 71 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976 Tentang Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama.161 Semua Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang berada di daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam wilayah hukum Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1985 tanggal 16 Juli 1985 pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindahkan ke Jakarta, akan tetapi baru bisa direalisasikan pada tanggal 30
160
Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 12 juli 2008, h.3.
161
Ibid., h. 3.
Oktober 1987 dan secara otoritas wilayah hukum Pengadilan Agama di Wilayah DKI Jakarta adalah menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta162. 3. Perkembangan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang mana pada tahun 1967 merupakan cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang berkantor di jalan Otista Raya Jakarta timur, dan sebutan pada waktu itu adalah cabang dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang wilayahnya cukup luas, Sehingga pada waktu itu keadaan kantor dalam kondisi darurat, yaitu menempati gedung bekas kantor kecamatan pasar minggu tepatnya di gang kecil yang sampai saat ini dikenal dengan sebutan gang Pengadilan Agama Pasar Minggu Jakarta Selatan yang di pimpin oleh polana163. Penanganan kasus-kasus hanya berkisar pada permasalahan perceraian akan tetapi kalaupun ada mengenai warisan maka masuk kepada komparasi itupun dimulai tahun 1969 bekerja sama dengan Pengadilan Negeri yang pada saat itu dipimpin oleh Bismar Siregar. Sebelum tahun 1969 pernah pula membuat fatwa waris akan tetapi hal tersebut ditentang oleh pihak keamanan karena bertentangan dengan kewenangannya sehingga sempat terjadi penahanan beberapa orang 162
Ibid, h.3.
163
Diambil dari Arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 12 juli 2008, h.4.
termasuk Hasan Mughni karena fatwa waris tersebut, sehingga sejak saat itu fatwa waris ditambahkan dengan kalimat “jika ada harta peninggalan”164 Pada tahun 1976 gedung kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati serambi masjid Syarif Hidayatullah dan pada saat itu sebutan kantor cabang dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada saat itu diangkat pula beberapa hakim honorer yang salah satunya adalah Ichtijanto. Penunjukan tempat tersebut atas inisiatif kepala Kandepag Jakarta Selatan yang pada saat itu dijabat oleh Muhdi Yasin. Seiring dengan perkembangan tersebut diangkat pula 8 karyawan untuk menangani tugas-tugas kepanitraan yaitu; Ilyas Hasbullah, Hasan Jauhari, Sukandi, Tuwon Haryanto Fathullah AN, Hasan Mughni, dan Imran, keadaan penempatan kantor diserambi masjid tersebut bertahan sampai tahun 1979.165 Pada bulan Desember 1979 kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke gedung baru di. Jl. Ciputat Raya Pondok Pinang dengan menempati gedung baru dengan tanah yang masih menumpang pada areal tanah PGAN Pondok Pinang dan pada tahun 1979 pada saat Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang dipimpin oleh H.Alim, diangkat pula hakim-hakim honorer untuk menangani perkara-perkara yang masuk, mereka diantaranya adalah KH. Yakub, KH, Muhdas Yusuf, Hamim Qarib, Rasyid Abdullah, Ali Imran, Noer Chazin. Pada perkembangan selanjutnya yaitu semasa kepemimpinan Djabir Manshur kantor 164
Ibid., h. 4.
165
Ibid., h. 4.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke jalan Rambutan VII No.48 Pejaten Barat Pasar Minggu Jakarta Selatan dengan menempati gedung baru yang merupakan hibah dari pemda DKI. Di gedung baru ini meskipun kurang memenuhi syarat karena terletak ditengah-tengah penduduk dan jalan masuk dengan kelas III C akan tetapi jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelumnya, pembenahan-pembenahan fisikpun dilakukan terutama pada masa kepemimpinan Jayusman166. Begitu pula pembenahan-pembenahan administrasi terutama pada masa kepemimpinan Ahmad kamil. Pada masa ini pula Pengadilan Agama Jakarta Selatan mulai menggunakan komputer walaupun hanya sebatas pengetikan dan hal tersebut terus ditingkatkan pada masa Rif’at Yusuf. Pada masa perkembangan selanjutnya pada tahun 2001 pada saat itu kepemimpinan dijabat oleh Zainudin Fajari, Pembenahan-pembenahan terus dilakukan baik fisik maupun non fisik sampai pada tahapan komputerisasi online dalam administrasi, dan hal tersebut pada saat ini masih terus dibenahi sampai sekarang oleh ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan Sayed Ustman dan sampai pada ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan sekarang yang dijabat oleh Pahlawan Harahap, yang tujuannya untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan sehingga terciptanya keadilan dalam masyarakat167.
166
Ibid., h. 5.
167
Diambil dari Arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada 12 Juli 2008.
B. Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Pada pembahasan ini akan dikemukakan data-data perceraian di pengadilan Agama Jakarta Selatan dari tahun 2006 sampai 2007. Tabel-1 DATA PENYEBAB PERCERAIAN TAHUN 2006168
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 11 12
Bulan
Cemburu
Ekonomi
Tidak ada tanggu ng jawab
Januari
9
21
33
17
37
117
Februari
7
19
30
17
35
108
Maret
9
23
35
16
37
120
April
7
16
24
14
31
92
Mei
15
23
30
19
39
126
Juni
14
22
29
18
38
121
Juli
8
32
36
17
33
126
Agustus
2
27
24
17
48
118
September
5
20
21
14
54
114
Oktober
-
20
16
11
30
77
November
-
13
36
9
45
103
Desember
-
25
29
13
37
104
Gangguan pihak ketiga
Tidak ada keharmo nisan
Jumlah
Kasus perceraian akibat poligami yang berdasarkan atas maslahah mursalah yang sesuai dengan tema penulis dalam data ini terdapat 1 kasus pada tahun 2006 168
Data ini diambil dari Arsip Pengadilan Agama Jakarta-Selatan Tentang Sebab-sebab Perceraian yang terjadi pada Tahun 2006.
dan 4 kasus pada tahun 2007. Hal setelah dilakukan analisa secara mendalam dari setiap putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Akan tetapi panitera tidak mengklasifikasikan poligami sebagai sebab perceraian karena perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama kebanyakan tidak disebabkan oleh satu sebab saja. melainkan diikuti dengan sebab lain, sehingga diambil alasan yang paling urgen. Bagi penulis alasan poligami juga sebab yang urgen karena berkaitan dengan prosedural poligami dalam Kompilasi Hukum Islam sehingga harus dimasukkan dalam kategori sebab perceraian.169 Data selanjutnya adalah perkara perceraian dari Januari – Desember 2007.
Tabel-1 DATA PENYEBAB PERCERAIAN TAHUN 2007170
No 1 2 3 4 5 6
169
Bulan
Cemburu
Ekonomi
Tidak ada tanggu ng jawab
Januari
1
22
43
5
65
136
Februari
2
26
32
7
43
110
Maret
-
18
31
9
44
102
April
-
21
34
15
52
122
Mei
-
24
35
19
50
128
Juni
-
18
20
13
17
68
Gangguan pihak ketiga
Tidak ada keharmo nisan
Data ini diambil dari Arsip Pengadilan Agama Jakarta-Selatan Tentang Sebab-sebab Perceraian yang terjadi Pada Tahun 2007, Tanggal 12 Juli 2008. 170 Data ini diambil dari Arsip Pengadilan Agama Jakarta-Selatan Tentang Sebab-sebab Perceraian yang terjadi pada Tahun 2006.
Jumlah
7 8 9 0 11 12
Juli
-
23
48
28
31
130
Agustus
1
27
45
17
24
113
September
1
29
43
25
27
125
Oktober
-
19
25
10
21
75
November
3
29
45
23
37
137
Desember
1
18
29
12
22
82
Tabel-1 DATA CERAI GUGAT KARENA SUAMI POLIGAMI 2007171
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 11 12
171
Bulan
Jumlah
Januari
1
Februari
2
Maret
-
April
-
Mei
-
Juni
-
Juli
-
Agustus
1
September
1
Oktober
-
November
3
Desember
1
Data ini diambil dari Arsip Pengadilan Agama Jakarta-Selatan Tentang Sebab-sebab Perceraian yang terjadi pada Tahun 2006.
D. Duduk Perkara Perceraian Dengan Alasan Suami Poligami KASUS PERTAMA172 Tentang para pihak pada kasus pertama adalah perkara Pdt.G/2007/PA.JS Penggugat adalah istri (NFN) Umur 46 tahun pekerjaan PNS,tempat tinggal Jl. Lapangan Roos III/34 Rt.003 Rw.005, Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Tebet Jakarta Selatan. Tergugat adalah suami (SA) , umur 54 tahun, Agama Islam, pekerjaan wiraswasta, tempat tinggal jalan Sendok No.11 Medan, Kelurahan Sei Putih Tengah, Kecamatan Medan Petisan, Kota Medan, Sumatra Utara.
1.
Tentang posita/ Duduk Perkara.
2) bahwa mereka telah melakukan pernikahan yang tercatat pada KUA kecamatan Medan Timur, Medan, dengan kutipan akta nikah nomor : 12/12/III/1983. 3) bahwa setelah menikah mereka bertempat tinggal di Jl. Sendok No 11, Medan kel. Sei Putuh Tengah, kec. Medan Petisan, Kota Medan Sumatra Utara. 4) bahwa mereka telah dikarunia 4 orang anak yang bernama, Sakti Prima Iskandar, lahir 1 Oktober 1984, Maya Sehlvia, lahir 24 November 1985, dan Dina Sartika, lahir 5 Agustus 1988, dan Shelly Imelda, lahir 9 Juni 1990.
172
Putusan Perkara No:1554/pdt.G/2007/PAJS
5) bahwa sejak Desember 2005 sering terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus yang sulit diatasi. 6) bahwa sebab-sebab perselisihan tersebut karena: 6.1 tergugat menikah lagi dengan wanita lain tanpa sepengetahuan dan seizin penggugat sebagai istri. 6.2 Tergugat sering melakukan tindakan kekerasan baik kepada penggugat maupun kepada anak-anak 7) Tergugat sebagai suami tidak mendukung karir penggugat sebagai PNS. 8) bahwa sejak 2006 antara penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal 9) bahwa antara penggugat dan tergugat selama kurang lebih 1 tahun 11 bulan maka sejak itu tergugat tidak pernah memberikan nafkah lahir dan bathin kepada penggugat. 10) bahwa dengan sebab di atas penggugat berkeyakinan rumah tangganya tidak dapat di pertahankan lagi. 1.
Tentang petitum/ tuntutan 1. penggugat memohon kepada majelis hakim agar tuntutannya dikabulkan seluruhnya 2. penggugat memohon kepada majelis hakim agar memutuskan perkawinan pengugat dan tergugat karena cerai.
3. penggugat memohon kepada majelis hakim menetapkan biaya perkara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menjatuhkan putusan perkara yang seadil-adilnya. KASUS KEDUA173 1. tentang para pihak. Pada kasus kedua adalah perkara Pdt.G/2007/PA.JS. Penggugat adalah istri (A), umur 47 tahun, pekerjaan Ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Jl. Moh. Abdul majid Rt 006/007 kel. Cipete selatan, kec. Cilandak, Jakarta Selatan, di sebut sebagai penggugat. Dan tergugat adalah suami (M), umur 53 tahun, pekerjaan wiraswasta, bertempat tinggal di Jl. Kramat Ulujami, Kel. Ulujami, kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan, disebut sebagai tergugat. 2. Tentang posita/ Duduk perkara 1)
bahwa mereka telah melakukan pernikahan yang tercatat pada kantor urusan agama kec. Senen, dengan kutipan akta nikah nomor: 210/923/1976, tanggal 8 Oktober 1976.
2)
bahwa sejak menikah mereka bertempat tinggal di Jl. Kramat Ulujami, Rt 006/004, kel. Kelurahan Ulujami, kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
3)
bahwa mereka dari pernikahan tersebut telah dikarunia 5 (lima) orang anak yang bernama: a. Hasbi Agustian, Lahir 4 Agustus 1977
173
Putusan Perkara No.1702/pdt.G/ 2007/PAJS
b. Hariyani, lahir 18 april 1980 c. Rahman Irfani, lahir 7 Oktober 1983 d. Irwansyah, lahir 21Mei 1986 e. Fajar Rahmatullah, Lhir 13 Agustus 1991 4)
bahwa sejak Desember 1994 kehidupan rumah tangga penggugat dan tergugat sering terjadi perselisihan secara terus menerus yang sulit diatasi.
5)
sebab-sebab perselisihan tersebut karena: 5.1 Tergugat telah menikah lagi dengan wanita lain tanpa seizin penggugat
dan dari pernikahan tersebut telah dikaruniai anak.
5.2 Sejak Desember 1994 sampai saat ini tergugat tidak memberikan nafkah wajib kepada penggugat dan anak-anak penggugat dan tergugat. 6)
bahwa sejak awal Agustus 2007 antara penggugat dan tergugat telah pisah ranjang
7)
bahwa penggugat telah mengupayakan perdamaian dengan tergugat akan tetapi tidak berhasil
8)
antara penggugat dan tergugat selama kurang lebih 2 bulan maka sejak itu tergugat tidak pernah lagi memberikan nafkah lahir bathin terhadap penggugat
9)
bahwa
dengan
sebab
di
atas
penggugat
berkeyakinan rumah tangganya tidak dapat dipertahankan lagi
3. Tentang Petitum/Tuntutan 1. Penggugat memohon kepada majelis hakim agar tuntutannya dapat dikabulkan seluruhnya 2. Menjatuhkan talak satu bain sughra tergugat kepada penggugat 3. Selain itu penggugat juga menuntut agar biaya perkara dibebankan kepada tergugat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. sedangkan tuntutan terakhir dari penggugat adalah memohon kepada majelis hakim agar memutuskan dengan seadil-adilnya. D. Analisa Penerapan Maslahah Mursalah Terhadap Putusan Hakim
1. Pertimbangan Hukum Dalam sub bab ini penulis akan menganalisa masalah perceraian akibat poligami yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan, kedua kasus ini diperiksa oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang mengambil sumber hukum UU Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP nomor 9 tahun 1975 Tentang aturan Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta intruksi presiden No.1 tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam. Dimana ketiga perundangundangan ini adalah yang digunakan Pengadilan Agama seluruh Indonesia. Ketiga kasus perceraian yang telah dikemukakan di atas adalah kasus gugat cerai dalam hal ini istri sebagai pihak penggugat dan suami adalah pihak tergugat, Dalam perkara gugat cerai ini, pihak Majlis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah berupaya mengambil langkah-langkah positif dengan kelangsungan
hubungan suami tersebut karena pada kedua kasus tersebut masing-masing telah dikaruniai anak yang sudah pasti akan menjadi korban akibat perceraian tersebut baik terkait masa depan anak tersebut ataupun kasih sayang yang harus diberikan orang tua secara utuh, sehingga langkah pertama yang diambil oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah upaya perdamaian dan setelah upaya perdamaian tidak berhasil maka dilakukan penyelesaian.174 1. Perdamaian Lewat Hakam Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebelum memberikan putusan pada kedua kasus tersebut telah berupaya mendamaikan dengan menunjuk masing-masing dua orang hakam. Upaya ini ditempuh sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an surat ANNisa’ ayat 35;
E= p(AZz 8EK c WvW-S 'iR2S L KL ~5 ☺P 8E eaKL ~5 ☺PK ¡) ☯ TaE G)H) = ;8E P ☺hi(2S
175
Q,/z ☺a2 28N⌧\ Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
174
Wawancara Khusus Dengan Abduh Sulaiman dan Harum Rendeng, selaku Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 175
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Tarjamah, Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Al-Qur’an (Bandung :Lubuk Agung, 1989), h. 123.
perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”(Q.S. AN-Nisa, 4:35)
Kata “persengketaan” yang terdapat dalam terjemahan ayat tersebut di atas adalah terjemahan dari “syiqaq”. Dalam ayat tersebut secara etimologi berarti percekcokan, perselisihan dan permusuhan di mana sikap dan arah berfikir masingmasing pihak sudah tidak lagi dapat dikompromikan.176 Setidaknya ada dua kriteria yang menjadikan perselisihan dalam sebuah rumah tangga dapat disebut sebagai perkara shiqaq:177 Pertama, ketidaksesuaian pada kedua belah pihak. Artinya masing-masing pihak telah memperlihatkan tingkah laku yang tidak kompromi lagi. Hal inilah yang membedakannya dengan nusyuz dimana ketidakcocokan itu terdapat pada satu pihak, istri misalnya, bukan datang dari dua belah pihak. Dalam dua kasus yang dibahas ini, menurut pihak istri percekcokan berkepanjangan memang terjadi antara suami dan istri. Diperkuat dengan kenyataan suami berpoligami tanpa izin dari istri sebagai tanda bahwa hati suami memang tidak harmonis dengan istri pertamanya, berdasarkan pihak istri, percekcokan bukanlah disebabkan nusyuz pihak istri, akan tetapi pemicu
176
Satria Efendi dan M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kotemporer Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta, Prenada Media, 2004), h. 115. 177
Ibid., h.115-116.
pertamanya adalah dari pihak suami dan akibatnya terjadi percekcokan berkepanjangan. Kedua, suatu rumah tangga bisa dikatakan sebagai syiqaq, apabila percekcokan suami istri sudah tidak bisa diselesaikan secara damai, Dalam dua kasus tersebut kedua belah pihak telah berusaha dengan kesadaran sendiri untuk berdamai, akan tetapi pada kenyataannya tidak bisa diselesaikan secara damai. Dalam upaya Pengadilan Agama mendamaikan dua kasus ini melalui hakam ternyata tidak berhasil, maka hakam melaporkan hasilnya sebagaimana berikut: 1. Hakam penggugat dan tergugat tidak ada harapan untuk mendamaikan dan adanya kata sepakat untuk cerai antara penggugat dan tergugat. 2. Hakam penggugat menyatakan mengundurkan diri dari jabatan hakam dan menyerahkan segala urusannya kepada pihak penggugat. 3. Hakam tergugat melaporkan bahwa antara penggugat dan tergugat sudah tidak bisa rukun kembali, maka dengan demikian tugasnya sudah selesai. 1. Penyelesaian Dengan Prosedur Biasa Untuk menyelesaikan 4 perkara tersebut, dalam salah satu pertimbangan Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengatakan: “Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas telah terbukti hal-hal sebagai berikut: 1) Telah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus antara penggugat dengan tergugat yang tidak bisa didamaikan lagi sebagai yang dimaksud
dalam pasal 19 huruf f peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2) Pihak penggugat sangat tertekan dan terluka hatinya karena tergugat berpoligami tanpa sepengetahuan dan izin istri. 3) Pihak tergugat berpoligami tidak mengikuti prosedur aturan perundangundangan sebagaimana tercantum dalam undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 4 ayat 2, dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 57, 56. Artinya tergugat berpoligami dengan cara sirri. 4) Antara penggugat dan tergugat terdapat perbedaan sifat dan kepribadian sehingga tidak bisa berjalan dengan harmonis, bahkan pada kasus pertama tergugat ringan tangan terhadap penggugat ataupun anak-anak. 5) Tergugat telah meninggalkan kewajibannya untuk memberikan nafkah lahir dan bathin terhadap istri sebagaimana tercantum dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 34 ayat 1 dan KHI pasal 80 ayat 4. 6) Apabila
rumah
tangga
tersebut
dipertahankan
dikhawatirkan
akan
menimbulkan madharat yang lebih besar. Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim Jakarta Selatan Memutuskan kedua kasus tersebut dengan mengabulkan gugatan penggugat, dan menetapkan menyatakan perkawinan penggugat dengan tergugat putus karena perceraian dengan dengan talak bain sughra.
2.
Analisa Pengaruh Penerapan Maslahah Mursalah Dalam KHI Terhadap Putusan Hakim Pada bagian ini penulis mengambil dua kasus perceraian dengan alasan suami poligami karena berkaitan dengan prosedur poligami yang mengandung maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana telah penulis kemukakan pada bab sebelumnya. Dalam hal pertimbangan Majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat dapat penulis analisa sebagaimana berikut: Pertama,
Tergugat
tidak
cukup
alasan untuk
melakukan poligami
sebagaimana diatur dalam UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 4 ayat 2 dan KHI pasal 57 menyebutkan bahwa alasan seorang suami diperbolehkan untuk beristri lebih dari satu orang ialah: 1.
istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
2.
istri mendapat cacat badan yang tidak dapat disembuhkan
3.
istri tidak dapat memberikan keturunan.
Melihat aturan ini maka tidak ada alasan bagi suami untuk berpoligami, karena pada kenyataannya istri telah melahirkan keturunan, istri tidak mendapat cacat badan yang tidak dapat di sembuhkan, istri dapat menjalankan kewajibannya. Kedua, gugatan istri terhadap suaminya bukanlah semata-mata karena suami berpoligami akan tetapi ada hal-hal lain yang bersifat negatif dari sang suami walaupun Hisako Nakamura mengatakan bahwa alasan perceraian yang diajukan istri yang banyak terjadi di masyarakat salah satunya adalah istri yang suaminya
melakukan poligami.178Hal negatif tersebut contohnya suami sudah meninggalkan kewajibannya untuk menafkahi keluarga sebagaimana tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 34 pasal 1 dan KHI pasal 80 ayat 4. Ketiga,
Tergugat
tidak
menempuh
jalur
prosedural
konstitusional
sebagaimana tercantum dalam Pasal 40 PP No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI pasal 56 ayat 1 menjelaskan bahwa suami yang akan berpoligami harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Berdasarkan ketentuan ini maka perbuatan suami menikah lagi tanpa izin Pengadilan Agama dapat dibatalkan karena hal itu adalah sebuah penyimpangan hukum. Keempat, Tergugat melakukan poligami dengan pernikahan sirri artinya tanpa pencatatan pernikahan oleh pihak berwenang dan tanpa seizin istri sampai mempunyai anak dari pernikahan tersebut. dan hal ini sudah terjadi bertahun-tahun tanpa diketahui istri pertamanya sehingga si suami sendiri menyimpan kebohongan ini pada keluarganya.179 Penetapan putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan terhadap dua kasus tersebut, dalam hal ini mengabulkan gugatan penggugat dan
178
Hisako Nakamura, Perceraian Orang Jawa, Studi tentang Pemutusan Perkawinan di kalangan Orang islam jawa, terj. H. Zaini Ahmad Noeh, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), h. 72. 179
Wawancara Khusus dengan Abduh Sulaiman dan Harum Rendeng, Selaku Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
menetapkan menyatakan perkawinan penggugat dengan tergugat putus karena perceraian dengan dengan talak bain sughra, melalui berbagai pertimbanganpertimbangan di atas. Putusan hakim pada dua kasus tersebut menurut penulis adalah bagian signifikansi dari pengaruh penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu tentang prosedur perizinan poligami yang dilanggar oleh tergugat menguatkan ijtihad hakim untuk memutuskan kedua kasus tersebut. Penulis tidak dapat memahami meskipun perbuatan poligami yang dilakukan oleh tergugat pada kedua kasus di atas menyalahi tiga aturan perundang-undangan yaitu UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 4 ayat 2 dan KHI pasal 57 tentang alasan kebolehan suami berpoligami, PP nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 tentang pencatatan perkawinan, namun tidak satupun penggugat yang dalam petitumnya menuntut pembatalan pernikahan suami dengan istri keduanya. Hal tersebut menurut penulis bisa dijadikan landasan dalam pembatalan pernikahan karena perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, dalam hal ini tergugat bisa jadi sudah merasa cukup dengan putusnya perkawinan saja tanpa berkeinginan untuk membatalkan pernikahan tergugat atau keterbatasan penggugat dalam pengetahuan hukum. Dalam perkawinan poligami banyak terjadi pengabaian hak-hak kemanusiaan yang semestinya didapatkan oleh seorang istri. Perkawinan monogami yang dilandasi cinta dan kasih sayang merupakan konsep perkawinan yang semestinya
menjadi satu konsep perkawinan yang dapat mencapai tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga sakinah mawaddah warahmah. 180
180
Wawancara Khusus dengan Abduh Sulaiman dan Harum Rendeng, Selaku Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
BAB V PENUTUP Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat penulis ambil beberapa kesimpulan dan saran sebagaimana berikut. A. Kesimpulan 1. Dalam teori kebolehan sesuatu yang dibolehkan oleh syari’at, akan tetapi diperketat oleh pemerintah seperti penerapan prosedural poligami dalam perundang-undangan merupakan sesuatu yang dibolehkan baik melalui pengkompromian nilai ataupun konsep kebolehan, asalkan tidak bertentangan dengan maqasid syari’ah hal tersebut dibolehkan karena pertimbangan kemaslahatan masyarakat secara umum. Menurut penulis
pada dasarnya
prosedur poligami yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam dengan konsep keadilan pada ayat yang membolehkan poligami substansinya adalah sejalan yaitu mewujudkan keadilan dalam berumah tangga. 2. Penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam terhadap putusan hakim dalam kasus perceraian karena poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan sangat signifikan pengaruhnya, ukurannya adalah pemikiran mayoritas hakim ketika memutuskan berkeyakinan bahwa hal tersebut adalah maslahah disamping bahwa hal tersebut juga tercantum dalam undangundang, hal ini terbukti dengan empat kasus gugat cerai yang ditangani pada tahun 2007 dikabulkan oleh Majelis Hakim lantaran tergugat menyalahi prosedural poligami yang merupakan bagian dari penerapan maslahah mursalah.
B. Saran-Saran 1. Dirasakan perlu sosialisasi melalui media-media cetak, seminar-seminar, ataupun pengajian majelis ta’lim tentang Kompilasi Hukum Islam secara utuh mengenai
muatan-muatan yang terkandung di dalamnya ataupun segala
sesuatu yang berkaitan dengan Kompilasi Hukum Islam, Karena rendahnya kesadaran dan terbatasnya pengetahuan tentang hukum dalam masyarakat. Pemahaman tentang Kompilasi Hukum Islam secara menyeluruh
akan
didapatkan dengan pemahaman terhadap dua hal. Pertama, pemahaman melalui pendekatan yang digunakan Kompilasi Hukum Islam; Kedua, pemahaman tentang metodologi yang digunakan dalam penyusunannya. 2. Diharapkan kepada akademisi untuk memberikan penyuluhan-penyuluhan hukum kepada masyarakat melalui media elektronik seperti radio ataupun media cetak baik dalam bentuk artikel, majalah, dan media cetak lainnya guna menumbuhkan kesadaran hukum, khususnya pada permasalahan poligami yang dilakukan secara illegal. Dalam lembaga peradilan Agama kiranya perlu mendidik secara khusus mediator-mediator handal dari kalangan hakim atau ahli bidang keilmuan lainnya seperti psikolog, sosiolog untuk mengoptimalkan mediasi guna meminimalisir angka perceraian. 3. Kompilasi Hukum Islam perlu disosialisasikan dengan memasukan ke dalam kurikulum sekolah Tsanawiyah dan Aliyah.
DAFTAR PUSTAKA Aulawi, Wasit, Arsosastroatmodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet ke-1, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Arto , A.Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Cet. Ke-4, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta. Akademika Pressindo, 1997 Al Bukhori, Shahih al-Bukhori, jilid II, Istanbul : al maktabah “al Islami”. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, b Thalaq, Beirut, Dar Ibn Hazm. Amin, Ma’ruf, Fatwa Dalam Sistim Hukum Islam, Jakarta: eLSAS, 2008. Buthi, Said Ramadhan al-, Dhawabit al- maslahah fi al syari’ah al Islamiyah, Cet. Ke-3, Beirut: Muassah al- Risalah, 1977. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke -2, 2006. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja grafindo Persada, Cet. Ke.- 6, 2003. Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahnya, Yayasan penyelenggara penterjemah/pentafsir Al Qur’an, Cet. Keenam, Bandung,CV Diponegoro, 2005. Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahnya, Yayasan penyelenggara penterjemah/pentafsir Al-Qur’an , Bandung, Lubuk Agung, 1989. Djalil, Basiq, H. A., Drs., S.H.,MA., Pernikahan lintas Agama dalam Perspektif fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, Cet. Pertama, Penerbit: Qolbun Salim, Jakarta, 2005. Daud Ali , Muhammad, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Cet. Ke-2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. DEKDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. kedua, edisi kedua, 1994. Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Cet. Ke-1, Jakarta : Logos, 1996.
Ka’bah , Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, Cet. Pertama, Jakarta: Universitas Yarsi, 1999. Kamal, Abu Malik, Fiqh Sunnah Wanita, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007. Khalaf, Abd al- wahab, Ilmu Ushul Al-fiqh, Cet. Ke-12, Kairo : Dar al- Qolam, 1978. Manan , Abdul, H, DR., S.H., S.ip.,M.Hum.,Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam, Cet. Pertama, Penerbit: Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005. ______, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, Cet.Pertama, Penerbit: PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006. Nuruddin, Amiur dan Akmal A Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqih UU No 1 /1974 Sampai KHI, Jakarta : PT. Prenada Media, 2004. Raji Abdullah, M. Sufyan, Poligami dan eksistensinya, Jakarta: CV. Cahaya Esa, 2004. ______, Peradilan Agama Di Indonesia,Cet ke-1, Jakarta. Kencana, 2006. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Cet. Ke-3, Bandung, Alfabeta, 2007. Soeroso, R, Praktek Hukum Acara Perdata, Cet ke-5, Jakarta: Sinar Grafika, 2003. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, Cet ke-27, 1995.Muhammad, Abd Kodir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet VIII, Bandung. PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Syarifuddin, Amir, Ushul fiqh, Jilid 2, Jakarta : Logos, 1999. ______, Hukum Kewarisan Islam, Cet ke- 1, Jakarta: Prenada Media, 2004. ______,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet ke-2, Jakarta, Prenada Media, 2007. Syatibi, abu Ishaq Ibrahim Ibn Musa Ibn Muhammad, al Muwafaqat fi Ushu alSyari’ah, Cet ke-3, t. k. : Firdaus, 2000.
Team Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat pembinaan Badan Peradilan Agama, Tahun 1991/1992. Umar, Hasbi, M, Nalar Fiqh Kotemporer, Cet Ke- 1, Jakarta : Gaung Persada Pers, 2007. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang UU Pokok Perkawinan (UUP). Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Yahya Harahap, Muhammad, Kedudukan Kewenangan Dalam Acara Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Kartini, Cet ke-1 1990. _____, Kompilasi Hukum Di Indonesia, Jakarta, Jakarta, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Tahun 1995-1996. Zalikha, Siti, dkk, Wanita dan Islam,Cet. Ke-1, Penerbit Lapena: Banda Aceh, 2006. Zuhaili, Wahbah, al ushu al Fiqh al Islami, Jilid 1, Cet ke- 2, Beirut : Dar al Fikr, 2001. Zein, Satria Efendi M., Ushul Fiqh, Jakarta : t.p. 1997. ______,Problematika Hukum Keluarga Islam Kotemporer Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Cet ke-1, Jakarta, Prenada Media, 2004. Zein Muhammad, Efendi Satria, Problematika Hukum Keluarga, Cet ke-4, Jakarta: Prenada Media, 2004.
LAMPIRAN