ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
NUR ADILAH BINTI MUSTAFA NIM : 107044103849
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H / 2009 M
ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh : NUR ADILAH BINTI MUSTAFA NIM : 107044103849
Pembimbing :
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. NIP : 150 169 102
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH D AN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2009M/1430H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 29 April 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Ahwal Syakhsiyah (Peradilan Agama). Jakarta, 29 April 2009 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,
Prof. DR. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA. MM. NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN 1. Ketua: Drs.H.A. (......................................) NIP. 150 169 102
Basiq
2. Sekretaris : Kamarusdiana, (......................................) NIP. 150 285 072
3.
Pembimbing: (………………………..) NIP. 150 169 102
Djalil,
SH,MA.
S.Ag,
Drs.H.A.
Basiq
MH.
Djalil,
SH,MA.
4 Penguji I : Ahmad (………………………..) NIP. 150 326 896 5
Penguji II : (.......................................) NIP. 150 282 403
Tholabi
Kharlie,
Sri
S.Ag,
Hidayati,
MA
M.Ag.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yaang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 7 April 2009
Nur Adilah
KATA PENGANTAR
ِِْ ِ ِْ اِ اْ َِ ا Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah saw serta iringi doa untuk keluarga, sahabat dan seluruh pengikut yang selalu setia sampai akhir zaman. Penulis bersyukur kepada Illahi Rabbi yang telah memberikan hidayah serta taufiq-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini yang berjudul: “ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH” telah terselesaikan. Masa begitu cepat berlalu sehingga tidak terasa perjalanan panjang menempuh studi di Universiti Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullh Jakarta telah berakhir. Satu tahap perjalanan akademis yang merupakan perjalanan yang telah telusuri, yang akhirnya penulis tersadar bahwa perjalanan menyelesaikan skripsi ini telah memberikan perjalanan hidup yang melekat dalam sanubari, sekecil apapun pekerjaan yang kita lakukan dengan penuh keikhlasan, maka tidak akan menghasilkan kesia-siaan dan tidak akan terasa sulit. Untuk menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat petunjuk dari berbagai pihak, baik secara langsung atau tidak langsung. Dalam hal ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Bapak: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA. MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dengan kewenangan yang
dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini. 2. Drs. H.A. Basiq Djalil SH., MA. dan Drs. Kamarusdiana Sag, MA, masingmasing selaku ketua dan sekretaris jurusan Ahwal Syakhsiyyah yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis. 3. Drs. H.A. Basiq Djalil SH., MA. selaku dosen bimbingan yang dengan penuh kesabaran dalam memberi arahan dan masukan kepada penulis dan telah memberikan perhatian, bimbingan, kritik, saran dan motivasi yang besar dalam proses penulisan skripsi ini hingga tuntasnya sudah skripsi ini, hanya Allah saja yang selayaknya membalas jasanya. 4. Seluruh staff pengajar (dosen) jurusan Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum, serta kepada karyawan dan staff perpustakaan. 5. Seluruh pihak Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia yang banyak membantu penulis hingga tuntasnya skripsi ini. 6. Dosen Akademi Pengajian Islam dan Dakwah terutama Bapak Rektor AlFadhil Ustaz Edeey Ameen, Ustaz Tarmizi, Ustaz Ibrahim, Ustaz Roslan, Ustaz Fuzi, Ustaz Baharuddin, Ustazah Masyitah dan Ustazah Zuraidah yang telah banyak memberikan sokongan dan dukungan kepada penulis hingga dapat meneruskan pengajian di bumi Indonesia ini. 7. Teristimewa buat tatapan ayahanda Mustafa Bin Ismail dan Ibunda Zaini Binti Salleh yang amat disayangi. Terima kasih atas perhatian segala doa dan kesabaran atas jerih payah dan segala pengorbanan yang tidak terbalas serta senantiasa memberikan semangat dan harapan tanpa jemu hingga anakanda
dapat menyelesaikan pengajian, segala jasa pengorbanan kalian senantiasa terpahat di ingatan. Tiada apa yang dapat dipersembahkan sebagai balasan, melainkan hanya dengan sebuah kejayaan. 8. Khas buat suami tersayang Zulkifli bin Mat Nor, yang segala pengorbanan telah memberikan curah kasih sayang yang tidak terhingga, dan memberi dorongan yang sangat berharga sehingga penulis dapat mencapai sebuah kejayaan yang diimpikan, dan penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah swt membalas segala perbuatan amal kebaikan yang telah dilakukan. 9. Keluargaku yang tercinta, Mohd Syaifullah, Mu’adz Arrodzy, Nurul Shuhada, Khairulanuar Naim, Rabiatul Adawiyah, Farah Nasuha dan Jalilah Badriah yang telah mendukung penulis dalam menyiapkan skripsi. 10. Kepada bapak mertua dan Ibu mertua yang disayangi, Mat Nor Bin Ismail dan Rohani binti Abdul Rahman, serta adik ipar, Nor Hafiza, Rosli, Nor Azlina, Aminah, Mailatul Sa’diah, Nurul Huda dan anak saudaraku, Mohd Danish Islam yang telah memberi semangat kepada penulis dalam menuntut ilmu. 11. Kepada bapa saudara, emak saudara dari pihak ayah maupun ibu yang telah banyak memberikan pertolongan dan dorongan dalam menuntut ilmu di bumi indonesia ini dari berbagai aspek sehingga penulis dapat menyiapkan skripsi ini. 12. Buat sahabat-sahabat seperjuangan dalam menuntut ilmu yang dikasihi Nur Shuhada, Khairulneza, Surina, Noor Baizura, Nurul Huda, Habibah, Erni Nadia, Nor Bakyah, dan teman-teman se-Malaysiaku dari Akademi Pengajian
Islam Dan Dakwah (APID) dan teman-teman dari Kolej Universiti Darul Quran Islamiyyah (KUDQI), terima kasih atas semangat dan dorongan kalian semua. 13. Tidak lupa juga buat saudara-saudaraku di Malaysia yang setia menanti kepulangan penulis membawa kejayaan untuk semua. 14. Teman-teman dari muslimin dan muslimat seangkatan 2007/2009 jurusan Ahwal Syakhshiyah. Terima kasih atas kebersamaanya selama penulis menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini. 15. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini sehingga selesai. Terakhir, semoga kehadiran skripsi ini dapat mendatangkan manfaat dan memberikan kontribusi positif dalam mencari ilmu. Untuk mereka semua, penulis pribadi tidak bias membalas kecuali dengan ucapan ”Jazakumullah Khaira al-Jaza”. Semoga Allah swt memberi keberkatan kepada semua dalam mengharungi tribulasi dalam kehidupan. -Amin Ya Rabbal A’laminJakarta, 7 April 2009 M 11 Rabiul Awal 1430 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i DAFTAR ISI............................................................................................................v
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................1 A. Latar Belakang Masalah..............................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..........................................3 C. Tujuan dan Manfaat penelitian....................................................5 D. Review Studi Terdahulu............................................................. 5 E. Metode Penelitian........................................................................7 F. Definisi Oferasional.....................................................................9 G. Sistematika Penulisan..................................................................33
BAB II
IMAM SYAFI’I DALAM LINTASAN SEJARAH……….........35 A. Profil Imam Syafi’i.......................................................................35 1. Nama Imam Syafi’i dan Nasabnya..........................................35 2. Latar Belakang Pendidikannya................................................36 B.
Guru-guru
Imam
Syafi’i
dan
Murid-
Muridnya............................38 C. Karya-karya Imam Syafi’i dan Perkembangan Mazhabnya.........42
D.Pola
Pemikiran,
Mempengaruhi
Metode
Imam
Istidlal
Syafi’i
dan
Dalam
Faktor-faktor Menetapkan
Yang Hukum
Islam...............................................................................................44 BAB III
EKSISTENSI
HUKUM
KESAKSIAN
DALAM
AKAD
NIKAH...............................................................................................55 A. Pengertian Saksi dan Dasar Hukumya..........................................55 B. Kedudukan Saksi Dalam Akad Nikah...........................................58 C. Syarat Sahnya Saksi Dalam Akad Nikah.......................................61
BAB IV
PENDAPAT
HUKUM
KESAKSIAN
DALAM
AKAD
NIKAH.............................................................................................77 A. Pendapat Ulama Secara Umum...................................................77 B. Pendapat Mazhab Syafi’i.............................................................82 C. Dalil-dalil Yang Digunakan Serta Pemahamannya......................84 D. Akibat Hukum..............................................................................87
BAB V PENUTUP...................................................................................................90 A. Kesimpulan...................................................................................90 B. Saran-saran...................................................................................92
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................93
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam telah mensyariatkan pernikahan serta meletakkan peraturan-peraturan yang jelas dan tepat. Peraturan-peraturan ini diasaskan di atas prinsip-prinsip kukuh yang menjamin kesejahteraan masyarakat, kebahagiaan rumah tangga, penyebaran kebaikan, penjagaan akhlak serta pengekalan keturunan manusia. Allah SWT telah mencipta manusia serta membekalkan dengan keinginan kepada wanita. Fitrah ini juga dibekalkan kepada wanita-wanita. Oleh karena Islam merupakan agama fitrah, maka Islam telah mensyariatkan perkawinan untuk menyahut seruan fitrah yang ada pada jiwa manusia.1 Perkawinan menurut agama Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau
miitsaqan
ghaliidhan
untuk
mentaati
perintah
Allah
dan
melaksanakannya merupakan ibadah.2 Ketika membicarakan masalah perkawinan, banyak hal yang harus diperhatikan antara lain adalah saksi dalam akad nikah, karena ia merupakan salah satu rukun
1
Mustofa Al-Khin, Kitab Fikah Mazhab Syafie Menghuraikan Bab Undang-undang kekeluargaan: Nikah, Talak, Nafkah, Penjagaan Anak-anak, Penyusuan, Menentukan Keturunan, Anak Buangan,( Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn. Bhd. 2005), Cet I, h. 572 2
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo 2007), Cet IV, h. 114
nikah. Saksi merupakan peranan yang penting dalam akad nikah. Walaupun akad nikah sama dengan akad-akad lain yang mensyaratkan keredaan, ijab dan qabul, tetapi Islam amat memuliakan akad nikah. Islam menjadikannya sebagian daripada agama dan pengabdian diri kepada Allah SWT. Oleh itu, melakukannya dikira sebagai melakukan ketaatan kepada Allah dan mendekatkan diri kepadaNya serta mendapat pahala kepada siapa yang melakukannya. Oleh karena akad nikah dan kesannya amat besar dan berat yaitu menghalalkan kehidupan suami isteri, wajibnya memberikan mas kahwin kepada isteri, nafkah, dan sebagainya. Islam telah mengambil langkah berjaga-jaga dengan mewajibkan adanya saksi untuk menyaksikan akad nikah yang akan dilansungkan. Disamping meletakkan beberapa syarat pada saksi yang melayakkannya menjadi tempat kepercayaan untuk memperakui kesan-kesan tersebut apabila diperlukan yaitu ketika difitnah dan berlaku kekecokan antara suami isteri atau salah seorang enggan melaksanakan hak-hak dan tanggungjawab. Dengan demikian jelaslah bahwa perkawinan yang berlansung tanpa ada saksi akan menimbulkan permasalahan dan sukar dalam menyelesaikan masalah yang telah berlaku dalam pernikahan.3 Jumhur ulama sepakat bahwa saksi sangat penting dalam pernikahan. Apabila tidak dihadiri oleh para saksi, maka hukum pernikahan menjadi tidak sah walaupun diumumkan oleh khalayak ramai dengan cara lain. Karena saksi
3
Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia,1999), Cet 1, h. 99
merupakan syarat sahnya pernikahan, bahkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa saksi dalam akad nikah termasuk rukun pernikahan. 4 Dua orang saksi tersebut diisyaratkan mengetahui bahasa yang dipergunakan oleh calon suami dan isteri5 Pendapat tersebut berbeda dengan imam Malik dan para sahabatnya bahwa saksi dalam akad nikah itu tidak wajib dan cukup diumumkan saja. Mereka beralasan bahwa jual beli yang di dalamnya disebut soal mempersaksikan ketika berlansungnya jual beli sebagaimana tersebut di dalam Al-Quran bukan merupakan bagian dari syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Menyedari bahwa masih banyak lagi yang perlu diketahui dan diselidiki tentang kesaksian dalam akad nikah, dan berdasarkan pengamatan inilah penulis merasa terpanggil untuk membuat kajian dengan judul “ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah: Dalam penelitian untuk tidak melebar pembahasan, penulis memfokuskan penelitian tentang analisa terhadap pemikiran mazhab Syafi’i tentang hukum kesaksian dalam akad nikah.
4
ibid., h. 99
5
Aliy As’ad, Fathul Mu’in,(Yokyakarta: Menara Kudus, 1979 M), jilid 3, H. 35
2. Rumusan Masalah: Imam Syafi’i mengatakan hukum kesaksian dalam akad nikah merupakan rukun pernikahan. Saksi merupakan rukun yang ke lima. Ternyata dikalangan mereka Imam empat mazhab berbeda pendapat tentang kehadiran saksi dalam akad nikah. Hal ini yang ingin penulis selusuri dalam penulisan skripsi ini.
Rumusan tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut; 1. Apakah konsep saksi dalam akad nikah menurut ulama fiqih? 2. Bagaimanakah pendapat mazhab Syafi’i mengenai hukum kesaksian dalam akad nikah? 3. Apakah dalil yang digunakan oleh mazhab Syafi’i terhadap hukum kesaksian dalam akad nikah dan persepsi kehadiran saksi dalam akad nikah menurut Kompilasi Hukum Islam? 4. Faktor apakah yang mewajibkan saksi dalam akad nikah mengikut mazhab Syafi’i?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Subjek aktivitas yang ditulis oleh seseorang pasti mempuyai tujuan tersendiri, demikian juga halnya dalam pembahasan judul ini di mana penulis mempunyai tujuan yang tertentu pula. Berdasarkan uraian terdahulu, maka penelitian ini bertujuan untuk; 1. Mengetahui konsep saksi dalam akad nikah menurut ulama fikih. 2. Mengetahui pendapat mazhab Syafi’i mengenai hukum kesaksian dalam akad nikah. 3. Mengetahui dalil apakah yang digunakan oleh mazhab Syafi’i
terhadap
hukum kesaksian dalam akad nikah dan mengetahui persepsi kehadiran saksi dalam akad nikah menurut Kompilasi Hukum Islam. 4. Mengetahui faktor apakah yang mewajibkan saksi dalam akad nikah mengikut mazhab Syafi’.
D. Rewiew Studi Terdahulu No
Nama penulis/ Judul / Tahun
1
Abdul
Azis,
dalam
Kedudukan
Perkawinan
Subtansi Saksi Dalam
Menurut
Keterangan skripsi
ini, Di sini, al-Imam asy-
penulisnya ingin
Syafi’i
mengtahui
mensyaratkan
Imam Hanafi, 2003. Fakultas
tentang
saksi
Syariah dan Hukum
bagaimana saksi
menghadiri
Tinjauan
Imam
Syafi’i
dan
yang dan
dalam
akad
menyaksikan
perkawinan
akad pernikahan
menurut al-Imam
harus
asy-Syafi’i
dan
sifat adil sehingga
al-Imam
Abu
akad pernikahan
memiliki
Hanifah.
itu menjadi sah,
Bahwasanya
selain
kedua imam ini
dapat
menyepakati
kesaksian
dalam
pemberitahuan
beberapa
itu
agar
diterima atau
hal tentang saksi,
para
namun
ada
kepada khalayak
perbedaan
akan
ramai. Kemudian
kehadiran
saksi
al-Imam
Abu
pada
Hanifah
tidak
perlaksanaan
mensyaratkan
akad perkawinan
saksi
yaitu dalam hal
menghadiri
harus
menyaksikan
ada
atau
saksi
itu
yang dan
tidaknya sifat adil
akad pernikahan
pada saksi, dan
harus
memiliki
dihadiri
atau
sifat adil, maka
disaksikan
oleh
dengan demikian
laki-laki
akad pernikahan
saksi
atau wanita dalam
itu
sah
karena
menyaksikan
hadirnya
saksi
dalam
akad
proses
akad
perkawinan
pernikahan hanya
tersebut. Dengan
untuk
adanya perbedaan
pemberitahuan
ini
saja
akan
mengakibatkan
pada
khalayak ramai.
sah tidaknya akad perkawinan.
Dari judul skripsi di atas, terdapat persamaan pembahasannya dengan skripsi yang akan dibahaskan oleh penulis. Penulis akan mencoba membahas secara mendalam tentang Analisa Terhadap Pemikiran Mazhab Syafi’i Tentang Hukum Kesaksian Dalam Akad Pernikahan. E. Metode Penelitian Untuk memperolehi sesuatu hasil yang maksimal dari suatu karangan ilmiah, maka penggunaan metode pengumpulan data yang diperlukan untuk penulisan
tersebut akan memegang peranan yang sangat penting. Hal ini yang sangat mempengaruhi sampai tidaknya isi penulisan itu kepada tujuan yang ingin dicapai. Dengan demikian penggunaan metode pembahasan bagi suatu penulisan merupakan suatu hal yang menentukan bermutu atau tidaknya dari penulisan yang bersangkutan. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Penentuan Jenis Data Dalam kajian ini data yang diteliti adalah data yang berhubung dengan topik yang dikaji, yaitu Analisa Terhadap Pemikiran Mazhab Syafi’i Tentang Hukum Kesaksiaan Dalam Akad Nikah 2. Sumber Data a) Data Primer yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertama adalah dari kitab-kitab Syafi’iyyah.6 Data Sekunder merupakan data pelengkap yang terdiri daripada majalah, jurnal, ensiklopedia, kamus dan sebagainya. 3. Pengumpulan Data Merupakan library research
yaitu
melakukan penelitian kepustakaan dan
mengumpulkan data seperti kitab-kitab yang muktabar antaranya: Kitab Fiqih mazhab Syafi’i, Fiqih Munakahat, Bidayatul Mujtahid, Panduan Keluarga Muslim, Fikih Lima Mazhab, Kompilasi Hukum Islam dan lainya.
6
hal. 39
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1983), cet. 1,
4. Teknik Analisis Data Yaitu pengumpulan data-data melalui bacaan, penelusuran kitab-kitab dan lainlain yang mempunyai kaitan dengan masalah yang akan dibahaskan dan kemudian dianalisis terhadap masalah yang ada sehingga menjadi suatu karya tulisan yang rapi dan utuh. 5. Metode Penulisan Dalam penulisan skripsi ini penulis berpandukan pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2007.
F. Definisi Oferasional 1. Definisi Nikah Kata “nikah” atau “zawaj” yang berasal dari bahasa Arab. Dilihat secara makna etimologi (bahasa) berarti “berkumpul dan menindih”, atau dengan ungkapan lain bermakna “akad dan bersetubuh” yang secara syara’ berarti akad pernikahan. Secara terminologi (istilah) makna “nikah” atau “zawaj” adalah : a) Akad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis dari seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan dan bersetubuh. b) Akad yang ditetapkan Allah SWT bagi seorang lelaki atas diri seorang perempuan atau sebaliknya untuk menikmati secara biologis antara keduanya. 7
Kata
َََ
banyak terdapat dalam Al-Quran dengan arti kawin, hal tersebut
dijelaskan di dalam QS. Al-Nisa (3): 3
"( #$ %&""$' !" -/"0-.1!" ,-.( +%$! )"$ 6;<= 6789: 2345( !-B$ ?:A >$' ( ٣ : ٣ / ) ا ء. C36B-8D$' Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja.”
Kata ٌ زَوْجdalam Al-Quran adalah :
"JK7-.( 2BH6I 202$G "E☺89$' S Q$R-! "6N$%31O4P6I LM$ U-V-($#☺ !" 8 %H ZWD I Y 2WM6X QS_$G $^ Q+N\/" -] M ( abG⌧d LM$ E,`K7-( ( ٣٧ : ٣٣ / )اابV ( e/" Artinya: “Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” QS. Al-Ahzab (33): 37 7
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Mazhab, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari,2006), Cet I, h. 1
Definisi lain tentang nikah adalah: Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan kepada tuntutan agama. 8 Ada juga yang mengartikan suatu perjanjian atau akad (ijab qabul) antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan badaniah sebagaimana suami isteri yng sah yang mengandung syarat-syarat dan rukun yang ditentukan oleh syariat Islam. 9 Nikah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketenteraman dengan cara yang diredhoi oleh Allah SWT.10 Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan menjalin hubungan baru dengan bersuami atau istri, menikah, melakukan hubungan seksual, dan bersetubuh.11 Dalam bahasa Melayu (terutama di Malaysia dan Berunei Darussalam), digunakan istilah kahwin. Kahwin ialah “perikatan yang sah antara lelaki dengan
8
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Elsas (Jakarta: 2008), cet 1, h. 3 9
Ibid., h. 3
10
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang perkawinan, Undang-Undang No 1 thn 1974 Tentang Perkawinan, (Yokyakarta: Liberty, 1986), cet 2, h. 8 11
Tim Prima Pena, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Cita Media Pres), t.t, h.344
perempuan menjadi suami istri, nikah”. Berkahwin maksudnya sudah mempunyai istri (suami).12 Pendapat Ulama Tentang Nikah Nikah menurut golongan As-Syafi’iyyah yaitu:
ََُْوِ!ْ ٍ اَوْ َْ َ ه# ِْ اَِْحِ اَو%ْ&َ'ِ( ٍ)ْ*َُ و+ْ'ِ َ,-.َ/َ0َ! ُ1ْ2َ3 ُ4-َ5ِ( ُاَ ِ َّح
13
Artinya: “Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha dengan lafaz nikah atau tazwij yang semakna keduanya”. Golongan Malikiyyah mendefinisikan nikah sebagai:
ِ 7َ -8َ9ِ( َ:ُ0ْ.َ8َ; ِ<ِ=ْ>ُ َ?ْ8َ@ ِ7-8َِذِ (َِدC1َ'َ0 َِ ا7َْ0ُ ِد-?َ9ُ Dَ'َ3 ٌ1ْ2َ3 ُ4-َِ( َُحE َا 14
Artinya: “Nikah merupakan akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan watha bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh menikah dengannya”. Menurut golongan imam Hanafiyyah makna nikah sebagai:
ًا1ْGَH ِ7َْ0ُ.ْ َُ ا+ْ'ِ ُ1ْ8ِ&ُ! ٌ1ْ2َ3 ُ4-َِ( َُحE َا
15
Artinya: “Nikah itu adalah akad yang berfaedah memiliki, bersenag-senang dengan sengaja”.
12
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dewan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998), h. 588 13
Djama’an Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), h.3
14
Ibid., h. 3
15
Ibid., h.3
Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Kenapa nikah harus dilakukan, karena nikah salah satu yang harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at yakni kemaslahatan dalam kehidupan.16 Bila kita urutkan, ada tiga sumber alasan pokok kenapa pernikahan harus dilakukan yaitu: a. Menurut Al-Qur’an17 Ada dua ayat yang menonjol tentang hal pernikahan ini, pertama dalam surat al-A’raf :189 menyatakan bahwa tujuan perkawinan itu adalah untuk bersenang-senang yaitu:
jk l& ,-.( +%$89$i g-Gh/" f "JK7-( Sn664 m36B-8D "JKQo$! ,%?]-! "6N646I Os896☺6X "6Npqr?$ "E☺89$' t-X< O+kM6☺$' "V -6 C⌧O☺6X h/" P] s89$ : /"E☺89$' "31 ]$ v$! "6☺#Nu<
,-( P$z%Vh! "☯$90y ( ١٨٩ : ٧ / ?اف3 )اa{}M %qr!" Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami terraasuk orang-orang yang bersyukur”.
16
A.Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, (Jakarta: Qalbun Salim,2006) Cet, 1, h. 86 17
Ibid., h. 86
Dari ayat ini tampaknya kita tidak juga dilarang bersenang-senang tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya, karena memang diakui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat rohani dan jasmani.18 Dan kedua, dalam surat Al-Rum (30): 21
~896i
t-X-H
Q+% &
O,-.(
YV%?A-! +V<
P
R
Q$-!
Sn664
<%$!
G☯,D I "6N ]$!
DJ6☺OX msH6
O,-(
V3P]P( 6-!D$^
(٢١ : ٣· / )ا ?ومMh%⌧H Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Dalam ayat tersebut terkandung makna ada tiga yang dituju satu perkawinan yakni: 1) Litaskunu ilaiha, artinya supaya tenang/diam. Akar kata taskunu dan yang sepertinya adalah sakana, sukun, sikin. Yang semuanya berarti diam.
18
Ibid., h. 87
Sebab itulah pisau dinamakan sikin, karena bila diarahkan keleher hewan ketika menyembelih, hewan tersebut akan diam. 2) Mawaddah, membina rasa cinta, akar kata mawaddah adalah wadda yang berarti meluap tiba-tiba, terkadang tidak terkendali, karena itulah pasangan-pasangan muda dimana rasa cintanya sangat tinggi, termuat kandungan cemburu, sedang rahmah/sayangnya masih rendah, banyak terjadi benturan karena tidak mampu mengontrol rasa cinta yang memang terkadang sulit dikontrol. Karena intensitasnya tinggi dan sering meluapluap. 3) Rahmah, yang berarti sayang. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya demikian rendah, sedang yang tinggi pada mereka adalah rasa cinta/sayang. Dalam perjalanan hidupnya, semakin bertambahnya usia pasangan, maka rahmahnya semakin naik, sedangkan mawaddahnya semakin turun. Itulah sebabnya kita lihat kakek-kakek dan nenek-nenek kelihatan mesra berduaan, itu bukanlah gejolak ujud cinta (mawaddah) yang ada pada mereka, tetepi rahmah (sayang).19 b. Menurut Hadits20 Ada dua hal yang dituju perkawinan menurut hadits, yaitu:
19
Ibid., h. 87
20
Ibid., h. 88
1) Untuk menundukkan pandangan dan menjaga farj (kemaluan). Itulah maknanya nabi saw menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur bila kemampuan materiil belum memungkinkan. Haditsnya berbunyi:
ُِ ِ'ْ&َ?ْج,ََْْ?ِ وَأGَOْ'ِ CRَ@َُ أ4-ِSَ; َج-ََو0َ8ْ'َ; ََءَةOْ ََعَ ِ ُْْ اVَ0ْْ إِﺱ,َ ََبO-P َ?َ اPَْ َ! ٌُ وِ=َء4َ ُ4-ِSَ; َِ>ْمGْ ِ( ِ4ْ8َ'ََ; ْYِVَ0َْ! َْ ن ْ ِSَ;
21
Artinya: “Hai sekalian pemuda siapa yang punya kemampuan diantara kalian maka hendaklah ia menikah, karena yang demikian lebih menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan, apabila tidak punya kemampuan maka hendaklah ia berpuasa karena yang demikian dapat meredam (keinginan)”. 2) Sebagai kebanggaan Nabi SAW di hari kiamat, yakni dengan banyaknya keturunan umat islam melalui perkawinan yang jelas, secara tekstual nabi menyatakan jumlah (kuantitas) yang banyak itu Nabi SAW harapkan, karena dalam jumlah yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar. Namun demikian, walau jumlah besar jika kwalitas rendah tetap saja Nabi SAW mencelanya.22 c. Menurut Akal Menurut akal sehat yang sederhana, ada tiga yang dituju suatu perkawinan23:
21
Ibid., h. 89
22
Ibid., h. 89
1) Bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 KM, sedang garis tengahnya atau diameternya ada 12.500 KM, wilayah yang demikian luas tentunya harus diurus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah SWT nyatakan dibuat untuk kita (manusia). Bila orangnya hanya sedikit tentu banyak wilayah yang tersiasia.
Untuk
meningkatkan
jumlah
manusia
tentunya
harus
dengan
perkawinan/pernikahan. 2) Bila manusia banyak tentunya harus diwujudkan ketertiban/keteraturan, terutama yang berkaitan dengan nasab, sebab kalau nasab tidak tertib tentu akan terjadi kekacauan karena tidak diketahui si A anak siapa dan si B anak siapa. Bila nasab tidak tertata rapi tentu semua akan tidak menentu, tentu ini menjadi awal dari sebesar-besar bencana. 3) Untuk ketertiban kewarisan, setiap orang yang hidup tentu akan memiliki barang atau benda yang diperlukan manusia, walau hanya sekeping papan atau sehelai kain. Ketika manusia itu wafat tentu ada ahli waris yang menerima atau menampung harta peniggalan tersebut. Nah untuk tertibnya para ahli waris, tentunya harus dilakukan prosedur yang tertib pula, yakni dengan pernikahan. 24 Dalam Islam nikah merupakan salah satu syariat yang dianjurkan oleh Rasulullah saw. Pernikahan merupakan syariat Allah untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan dalam suatu perkumpulanan kekeluargaan yang penuh 23
Ibid., h. 89
24
Ibid., h. 89
kasih sayang dan berkah. Islam menyebut perkumpulan yang penuh cinta dan kasih sayang itu dengan ungkapan bahasa mawaddah wa rahmah.25 Dengan nikah, baik laki-laki maupun perempuan, bisa melaksanakan apa saja yang sebelunya dilarang oleh agama, misalnya seksual. 26 Oleh karena itu, konsep pernikahan seharusnya juga dipahami sebagai penghargaan atas harkat dan martabat kemanusiaan. Isteri milik suami, demikian juga sebaliknya suami milik isteri. Wahbah al-Zuhaili membuat definisi nikah sebagai ikatan yang ditentukan oleh pembuat hukum (syari’) yang memungkinkan laki-laki untuk istimta’ (mendapat kesenangan seksual) dari isterinya dan demikian juga, bagi perempuan untuk mendapatkan kesenangan seksual dari pihak suaminya27. Kaidah fiqh tentang pernikahan adalah: 28
ِ7ََ&ْ َ.ْ َِ ا+ْ8ِ'ْ.َ# ِْ (َب,ِ َ[ َYِ&َ0ْ َ! ِْ اَن+ْ8ِ'ْ.َ# ِْ (َب,ِ َُحE َا
Artinya:
“Nikah adalah salah satu dari cara kepemilikan yang saling memanfaatkan, bukan salah satu dari sebab milik manfaat”.
25
Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikiran Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam, (Bandung: Mizan Media Utama, 2001), Cet 1, h. 149 26
Ibid., h. 149
27
Ibid., h. 151
28
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet 1, h. 89
Kaedah di atas memperlihatkan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan. Sebab dua pihak yang menikah, laki-laki dan perempuan mempunyai hak saling manfaat (bukan milik manfaat yang biasanya difahami sebagai milik bagi suami).29 Pengertian nikah menurut Slamet Abidin dalam kitab Fikih Munakahat 1 adalah30: Merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya. Pernikahan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dan pernikahan itu sendiri. Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. An-Nisa (3): 1
" =P"PV!" "JKaBlH ,-.( <%$89$i g-Gh/" +%u< "JK7-( ~896 m36B-8D jk l& "`K7-( E7< "6N646I ☯ ) ا ء/"0 VoM-5⌧d VG6, (١ :٣/ Artinya: “Wahai manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (adam) dan (Allah) menciptakan pasangannya
29
30
Ibid., h. 89
Slamet Abidin, Aminuddin, Fikih Munakahat 1 Untuk Fakultas Syari’ah Komponen MKDK, h.9
(hawa) dari diri-Nya dan dari keduanya Allah berkembang-biakkan lakilaki dan perempuan yang banyak” Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anargik atau tidak ada aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, maka Allah SWT mengadakan hukum sesuai dengan martabat tersebut.31 Dengan demikian, hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat berdasarkan kerelaan dalam sesuatu ikatan berupa pernikahan. Bentuk pernikahan ini memberikan jalan yang aman pada naluri seksual untuk memelihara keturunan dengan baik dan menjaga harga diri wanita agar ia tidak laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak manapun dengan seenaknya. Pergaulan suami isteri diletakkan di bawah naungan keibuan dan kebapaan, sehingga nantinya dapat menumbuhkan keturunan yang baik dan hasil yang memuaskan.32 Peraturan pernikahan semacam inilah yang diredhoi oleh Allah SWT dan diabdikan di dalam Islam untuk selamnya. Ulama Syafi’iyyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafaz nikah atau zauj ( ٌ)زَوْج.
31
Ibid., h. 9
32
Ibid., h. 9
33
( ٌ) َِح
2. Definisi Hukum Hukum adalah merupakan suatu ketetapan Allah SWT dan (Rasul-Nya) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dengan perintah, pilihan atau ketetapan. Atau perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, baik perintah untuk mengerjakan sesuatu atau perintah untuk meninggalkan sesuatu pekerjaan atau larangan, atau menerangkan kebolehan (mubah) mengerjakan sesuatu atau sebagai suatu anjuran, untuk mengerjakannya atau meninggalkannya.34 Tentang hukum, AlQuran menyebutkan: surat Al-An’am (6):57
,-.( JV.< 8 3 QnG "( t-X< :AQ
106
33
Ibid., h. 9
34
M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994), cet 2, h.
Hukum menurut mazhab Syafi’i terbagi kepada lima bagian yaitu35 : 1) Wajib. Menurut istilah ahli ushul ialah khitab (kalam) Allah SWT yang menurut pekerjaan dengan tuntutan pasti. Sedangkan wajib menurut pengertian fiqh ialah sesuatu (hukum) yang apabila dikerjakan pelakunya mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan mendapat dosa. Misalnya melaksanakan solat lima waktu, menutup aurat dan sebagainya. 2) Haram. Sesuatu atau perkara-perkara yang dilarang oleh syara’. Berdosa jika mengerjakannya dan mendapat pahala apabila meniggalkannya, dan sebagai lawan halal. Misalnya memakan bangkai binatang, memakan makanan yang bukan hasilnya yaitu dari hasil mencuri. 3) Sunnah. Menurut bahasa adalah jalan atau tradisi yang sudah dibiasakan. Sedangkan menurut istilah ahli hadits adalah segala yang dinukilkan oleh Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan atau takrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, baik yang sebelum beliau diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya. Menurut istilah ahli ushul fiqih ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan maupun takrir (pengakuan) yang mempunyai hubungan dengan hukum. Misalnya berpuasa sunat pada hari senin. 36
35
Ibid., h. 106
36
Ibid., h. 106
4) Makruh. Yaitu sesuatu perkara yang dibenci, tidak disukai, dan tidak disenangi. Menurut istilah adalah sesuatu yang diberi pahala karena meniggalkannya dan tidak disiksa karena mengerjakannya. Dengan kata lain adalah merupakan sesuatu yang lebih baik ditinggalkan, meskipun dikerjakan tidak dianggap salah atau berdosa. Misalnya makan makanan yang berbau busuk bagi orang yang akan menghadiri jama’ah.37 5) Mubah. Adalah hukum yang berhubungan dengan perkara-perkara yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Artinya, jika perkara tersebut dikerjakan. Tidak berdosa atau berpahala, demikian pula jika ditinggalkan. Misalnya di dalam al-quran surat al-Jumu’ah ayat 10 artinya, ”apabila telah ditunaikan solat, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah kurnia Allah dan ingatlah Allah SWT banyak-banyak agar kamu beruntung”. Setelah mengerjakan solat apakah kita duduk saja di rumah, ini merupakan perbuatan mudah. Perbuatan mubah merupakan lapangan yang luas dalam kehidupan manusia. Diperbuat ataupun ditinggalkan mempunyai status hukum yang sama, yaitu tidak mendapat pahala atau disiksa seperti makan, minum, dan lain-lainya. 38
3. Definisi Saksi
37
Ibid., h. 106
38
Ibid., h. 106
Saksi secara etimologi adalah merupakan sebuah benda yang memiliki arti orang yang melihat atau mengetahui sesuatu peristiwa tertentu.39 Saksi dalam Ensiklopedia Islam adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri sendiri suatu peristiwa (kejadian), saksi orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk menyaksikan atau mengetahui agar suatu ketika bila diperlukan ia dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh terjadi.40 Dalam kamus istilah fikih mengatakan saksi merupakan orang atau orang-orang yang mengemukakan keterangan untuk menetapkan hak atas orang lain. Dalam pengadilan, pembuktian dengan saksi adalah penting, apalagi ada kebiasaan didalam masyarakat bahwa perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan itu tidak dicatat. Agar dapat menjadi alat bukti yang sah, pembuktian harus mengenai halhal yang dilihat dan didengar sendiri oleh saksi sendiri, yang disebut persaksian atas dasar yakin. Ada pula persaksian yang cukup dengan hal-hal yang diketahui atas dasar persangkaan umum, karena saksi hanya mendengar sahaja, tetapi yakin akan kebenaran kesaksian (syahadah) adalah keterangan orang yang dapat dipercayai di depan
202
sidang pengadilan. Perkara yang tidak dapat menerima
39
WJS Poerwadarminto, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h.826
40
Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), Cet 6, h.
pembuktian kecuali dengan dua orang saksi laki-laki. Yaitu perkara tindak pidana dan perkara yang umumnya disaksikan kaum laki-laki, seperti hakim dan talak. 41 Imam Muhali mengatakan:
ِ َء/ُ2 ْ'ِ\ِ ا9َ ْDِ; َِدَة:-P َِ ا%ْ&َ'ِ( ]^َ َِتOْ`ِa ٍْق1َِرُ ﺹOْeِإ 42
Artinya: “ Pemberitahuan yang benar untuk menetapkan sesuatu hak dengan ucapan kesaksian di depan sidang pengadilan”. Saksi menurut Imam Syafi’i yaitu seseorang diberikan tanggungjawab untuk menyaksikan sesuatu peristiwa yang diketahui secara pasti. Saksi tersebut mestilah bersifat adil (jujur). Saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa atau kejadian. Saksi adalah orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk melihat, menyaksikan atau mengetahuinya agar sesuatu ketika bila diperlukan ia dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh terjadi.43
4. Definisi Akad nikah Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama. Sedangkan makna qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.
41
M.Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, h. 106
42
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahali, Qalyubi Wa Umairah, (Riyadh: Maktabah Ar-Riadkil Haditsh, t.th), jilid IV, h. 316 43
Hafizh Dasuki, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, 1999), h. 202
Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya : “saya kawinkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al-Quran”. Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya : “Saya terima mengawini anak bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al-Quran”. Dalam hukum Islam sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab fiqh akad perkawinan itu bukanlah sekadar perjanjian yang bersifat keperdataan . Ia dinyatakan sebagai perjanjian yang kuat yang disebut dalam Al-Quran dengan ungkapan ًfْ8ِ'َ@
ًHَgْ8ِ yang mana perjanjian itu bukan hanya disaksikan oleh dua
orang saksi yang ditentukan atau orang banyak yang hadir pada waktu berlangsungnya akad perkawinan, tetapi juga disaksikan oleh Allah SWT.44 Terdapat dua rukun di dalam akad nikah, yaitu ijab dan qabul. Ijab adalah ungkapan pertama yang dinyatakan oleh pelaku akad nikah sebagai tanda penawaran untuk membuat ikatan hidup berkeluarga. Bila pernyataan itu sudah dikeluarkan, maka dikatakan bahwa orang itu telah melakukan ijab. Adapun qabul adalah ungkapan dari pihak kedua yang melakukan akad (perjanjian) nikah, sebagai pernyataan bahwa dia rela dan sepakat atas penawaran pihak pelaku akad yang pertama. Bila pernyataan itu telah terjadi, maka dikatakan kepadanya bahwa ia telah menerima atau melakukan qabul. Jika ijab dan qabul telah dinyatakan sesuai syarat sahnya, maka akad nikah telah terlaksana dan telah memenuhi
44
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kecana, 2006), cet 1, h. 61
syaratnya. Kemudian mereka boleh melakukan pekerjaan yang dihalalkan karena akad nikah itu termasuk hubungan seksual secara langsung.45 Ulama sepakat menempatkan ijab dan qabul sebagai rukun perkawinan. Untuk sahnya suatu akad pernikahan disyaratkan beberapa syarat. Di antara syarat tersebut ada disepakati oleh ulama dan di antaranya diperselisihkan oleh ulama. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 1) Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki seperti ucapan wali pengantin perempuan: “saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al-Quran”. Qabul adalah penerimaan dari pihak laki-laki:“saya terima menikahi anak bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab suci al-Quran”. 2) Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti menyebutkan nama si perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan. 3) Ijab dan qabul haruslah diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat. Ulama Malikiyah memperbolehkan terlambatnya ucapan qabul dari ucapan ijab, bila keterlambatan itu hanya dalam waktu yang pendek.
45
Mahmud al Shabagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991), Cet 1, h. 50
4) Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup. 5) Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang. Tidak boleh menggunakan ucapan sindiran, karena untuk penggunaan lafaz sindiran itu diperlukan niat. Sedangkan saksi yang harus dalam perkawinan itu tidak akan dapat mengetahui apa yang diniatkan seseorang. 46 Ulama Syafi’iyah mengatakan akad nikah adalah :
ِ ْ!َِْو0 ََْحِ اَوْ اaِ ا%ْ&َ'ِ( َِ ا ْ>َطْء7 َ َ(ُِ ا,-.َ/َ0َ! ٌ1ْ2َ3
47
Artinya: “Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz َََ atau ٌزَوْج.” Akad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan bagi kedua belah pihak (suami dan isteri), dimana status kepemilikan akibat akad nikah tersebut bagi laki-laki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan segala yang terkait itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti oleh yang lainnya, dalam fiqh disebut istilah “ Milku al-Intifa”, yaitu hak memiliki penggunaan atau pemakaian terhadap suatu benda (isteri) yang digunakan untuk dirinya sendiri.48
46
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kecana, 2006), cet 1, h. 61 47 48
Ibid., h.81
Hak memiliki (milkun) dalam kajian fiqih ada tiga macam. Pertama : Milk al-Intifa’ sebagaimana telah diuraikan. Kedua: Milk al-Raqabah yaitu hak memiliki atas suatu benda secara
Bagi perempuan (isteri) sebagaimana si suami ia pun berhak memperoleh kenikmatan biologis yang sama, akan tetapi tidak bersifat khusus untuk dirinya sendiri, dalam hal ini si isteri boleh menikmati secara biologis atas diri sang suami bersama perempuan lainya (isteri suami yang lain). Sehingga kepemilikan di sini merupakan hak berserikat antara para isteri. 49 Akad nikah juga merupakan rukun yang pokok dalam pernikahan adalah keredhoan laki-laki dan permpuan serta persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga. Karena perasaan ridha dan setuju bersifat kejiwaan yang tidak dapat dilihat dengan kasatmata, maka harus ada simbolisasi yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan suami isteri. Simbolisasi itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan akad. Pernyataan pertama sebagai pertanyaan kemauan untuk membentuk hubungan suami isteri disebut “ijab”. Dan pernyataan kedua yang dinyatakan oleh pihak yang mengadakan akad berikutnya untuk menyatakan rasa ridha dan setujunya, disebut “qabul”. Para fikih mengatakan bahwa syarat pernikahan adalah ijab dan qabul.
penuh, seperti memperoleh benda tersebut dengan jalan membeli atau mewarisinya dari keluarga. Terhadap benda yang didapatkan melalui jalan ini dapat saja dijual atau digadai oleh si pemilik.Ketiga : Milk al-Manfa’ah yaitu hak memiliki manfaat atau kegunaan atas suatu benda dengan jalan menyewa atau meminjam. 49
7, h. 29
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), cet 2, juz
Syarat ijab qabul untuk terjadinya akad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami isteri haruslah memenuhi syarat-syarat berikut50: 1) Kedua belah pihak sudah tamyiz. Jika salah satu pihak ada yang gila atau masih kecil dan belum tamyiz (dapat membedakan benar dan salah) maka pernikahannya tidak sah. 2) Ijab dan qabul dilaksanakan dalam satu majelis dan waktu, yaitu ketika mengucapkan ijab qabul tidak boleh diselangi dengan kata-kata lain. Artinya, antara ijab dan qabul tidak dipisahkan oleh suatu pembicaraan, yang menurut kebiasaan boleh menganggu pelaksanaan ijab dengan masalah yang lain. 3) Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuan yang lebih tegas. Jika pengijab mengatakan “ aku nikahkan kamu dengan anak perempuanku (fulanah) dengan mahar Rp100.000”, misalnya, lalu qabil menjawab “aku menerima nikahnya dengan Rp200.000”, maka nikahnya sebab qabulnya mengandung hal yang lebih baik (lebih tinggi nilainya) dari yang dinyatakan peng-ijab. 4) Pihak-pihak yang melakukan akad haruslah dapat mendengarkan pernyataan masing-masing dengan kalimat yang maksudnya menyatakan terjadinya perlaksanaan akad nikah. Sekalipun kata-katanya ada yang tidak dapat
50
2, h. 542
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Nor Hasanuddin (Kohirah: Darl Fath, 2004), jilid
difahami, karena yang dipertimbangkan disini adalah maksud dan niat, bukan mengerti setiap kata-kata yang dinyatakan dalam ijab dan qabul. 51 Akad nikah dapat dilaksanakan dengan bahasa yang difahami oleh semua orang, selama maksud yang disampaikan adalah adanya keinginan untuk mengadakan ikatan perkawinan, tanpa ada tipu daya atau ada sesuatu yang disembunyikan. Isyarat yang dipakai oleh orang yang bisu untuk menyatakan akad nikahnya adalah sah, selama isyarat
itu menunjukkan adanya keinginan untuk
melaksanakan perkawinan. Jika tidak, maka akad nikahnya tidak sah, karena perjanjian (akad) yang terjadi di antara dua orang harus benar-benar difahami oleh kedua belah pihak. Ada juga yang mengatakan boleh menikahkan orang yang sedang tidak ada ditempatnya (ghaib). Misalnya jika ada seseorang yang ingin melakukan akad nikah, tetapi ia hanya mengutus seseorang, atau menulis pesan kepada pihak kedua bahawa ia ingin menikahinya. Maka pihak kedua, jika berkenaan menerima tawaran itu, harus menghadirkan saksi-saksi untuk memperdengarkan kapada mereka maksud pesan tertulis itu, kemudian menyelenggarakan kesaksian dalam suatu majlis bahwa ia menerima tawaran pernikahan itu. Majlis yang diselenggarakannya dianggap sebagai syarat sahnya akad nikah.52
51
52
Ibid., h. 542
Mahmud al Shabagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991), Cet 1, h. 53
Akad nikah menurut kompilasi hukum islam (KHI) pasal 27 adalah ijab qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Pasal 28, akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat diwakilkan kepada orang lain. Pasal 29 mengatakan bahwa yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.53 Dalam hal-hal tertentu ucapan Kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria di wakili, maka akad nikah tidak dilangsungkan.54 Akad adalah ungkapan yang terang-terangan (jelas) tentang keinginan untuk melaksanakan suatu komitmen denga serius, dengan makna tertentu dan keharusan menggunakan pengucapan lafaz tertentu terhadap pihak lain yang menjalin kesepakatan dengan pihak yang pertama, dimana kedua pihak yang melakukan akad akad benar-benar menghormati makna akad tersebut di hadapan Allah dan di hadapan masyarakat.55
53
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), Cet, 5, h.
54
Ibid., h. 119
119
55
Sayid Muhammad Husain Fadhlullah, Dunia Wanita Dalam Islam, (Jakarta: Lentera, 2000), Cet 1, h. 219
Di dalam akad perkawinan tidak boleh ditentukan batas waktu perkawinan, karena akad perkawinan merupakan perbuatan hukum yang membawa pengaruh yang sangat besar dan mendalam bagi orang yang melakukan perkawinan itu sendiri. Dalam akad nikah, terdapat banyak solal hukum yang terkait dengannya, mulai dari dari mas kahwin, nafkah sampai tempat tinggal. Akad di dalam perkawinan ini juga memiliki sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi supaya dapat terselenggara dengan benar dan baik dalam sebuah perkawinan. 56 Syarat dalam akad nikah terbagi kepada tiga, yaitu: 1) Syarat-syarat yang halal, maka wajib dilaksanakan, diantaranya adalah bila seorang wanita mensyaratkan kepada suaminya agar mempergauli dirinya dengan lembut atau bila sesuatu saat terdapat ketidakcocokkan, maka harus menceraikannya dengan baik. 2) Syarat-syarat yang tidak boleh dilaksanakan, seperti seorang wanita mensyaratkan kepada suaminya agar tidak menyetubuhinya. Syarat seperti ini menurut ijma ulama tidak wajib dipenuhi. 3) Syarat-syarat di antara kedua syarat di atas, seperti jika ia memberi syarat kepada suaminya agar tidak menikah lagi, atau tidak membawanya keluar dari daerah asalnya, dan sejenisnya. Maka tentang wajib dan tidaknya memenuhi syarat ini, terdapat perbedaan pendapat diantara ulama. Yang kuat adalah ia
56
Muhammad Ali al-Shabuni, al Zawaj al Islam al Mubakir: Sa’adah Wa Hasanah (Kawinlah Selagi Muda) penerjemah Muhammad Nurdin, (Jakarta: PT Serambu Ilmu Semesta, 2002), Cet 3, h. 69
boleh mensyaratkan hal itu dan suami wajib menjalankan syarat tersebut, selama tidak menyelisihi kitabullah dan sunah Rasulullah saw.57 G. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan dan memudahkan para pembaca dalam memahami tata aturan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan seperti berikut: Bab pertama penulis mengenegahkan gambaran pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, rewiew studi terdahulu, metode penelitian, definisi operasional, dan sistematika penulisan. Bab kedua mendeskripsikan tentang imam Syafi’i dalam lintasan sejarah berisikan profil mazhab Syafi’i, nama imam Syafi’i dan nasabnya, latar belakang pendidikannya, guru-guru imam Syafi’i dan murid-muridnya, karya-karya imam Syafi’i dan perkembangan mazhabnya, pola pemikiran, metode istidlal dan faktorfaktor yang mempengaruhi imam Syafi’i dalam menetapkan hukum Islam. Bab ketiga penulis menguraikan tentang eksistensi hukum kesaksian dalam akad nikah yang berisikan sub bahasan pengertian, dasar hukumnya, kedudukan saksi dalam akad nikah dan syarat sahnya saksi dalam akad nikah.
57
Kamal bin As Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Wanita, (Jakarta: Tiga Pilar, 2007), Cet 1, h. 543
Bab keempat penulis menguraikan tentang pembahasan pendapat mengenai hukum kesaksian dalam akad nikah dengan sub bahasan, pendapat para ulama secara umum, pendapat mazhab Syafi’i, dalil-dalil yang digunakan serta pemahamannya dan akibat hukum. Bab kelima Merupakan bab terakhir dari penulisan ini, meliputi kesimpulan dari pembahasan, serta beberapa saran-saran berdasarkan hasil analisis dari penelitian ini yang di harapkan dapat dijadikan bahan masukan dan sumbangan penulis pada pihak-pihak terkait.
BAB II IMAM SYAFI’I DALAM LINTASAN SEJARAH
A. PROFIL MAZHAB SYAFI’I 1. Nama Imam Syafi’i Dan Nasabnya Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn Idris ibn Abbas ibn Syafi’I ibn Said ibn Ubaid ibn Yazid ibn Hasyim ibn Abd alMuthalib ibn Abd al-Manaf ibn Qushay al-Qurasyiy. Beliau dilahirkan di Gazah pada bulan Rajab pada tahun150 H (767 M). Imam Syafi’I wafat di Mesir pada tahun 204 H (819 M). Ayah Imam Syafi’I meninggal ketika beliau masih kecil ketika baru berusia dua tahun dan dibawa ibunya ke Makkah dan beliau dibesarkan dalam keadaan fakir. Dalam asuhan ibunya beliau dibekali pendidikan dan menghafaz al-Quran. Beliau mempelajari al-Quran dengan Ismail ibn Qastantin. Sebuah riwayat mengatakan bahwa beliau pernah hatam al-Quran dalam bulan Ramadhan
sebanyak 60 kali. Beliau keluar dari Makkah dan menuju sutu dusun Bani Huzail untuk mempelajari bahasa arab.58 Sebelum menekuni fiqh dan hadits, Imam Syafi’i tertarik pada puisi, syi’ir dan sajak bahasa arab. Beliau mempelajari hadits dari Imam Malik di Madinah. Ketika berusia 13 tahun beliau telah dapat menghafaz al-Muwaththa’. Pada tahun 195 H. al-Syafi’i pergi ke Baghdad dan menetap disana selama 2 tahun. Setelah itu beliau kembali lagi ke Makkah pada tahun 198 H. Imam Syafi’I mempunyai pengetahuan yang sangat luas dalam bidang lughah dan adab. Dan pengetahuan dalam bidang fiqh meliputi fiqh ashab al-Ra’yi di Irak dan fiqh Ashab al-Hadits di Hijaz. 59 2. Latar Belakang Pendidikan Dalam usia anak-anak, Asy-Syafi’i ra diikutsertakan belajar pada suatu lembaga pendidikan di makkah, tetapi ibunya tidak mempunyai biaya pendidikan sebagaimana mestinya. Sebenarnya guru yang mengajarkannya hanya terbatas memberikan pelajaran kepada anak-anak yang agak besar. Akan tetapi, setelah ia mengetahui bahwa setiap apa yang diajarkan kepada asy-Syafi’i ra dapat mengerti dan diterima dengan baik, lagi pula setiap kali ia berhalangan ternyata asy-Syafi’i
58
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), Cet 3,
h. 120 59
Ibid., h. 120
ra mampu menggantikan gurunya meneruskan apa yang telah diajarkan kepadanya kepada anak-anak yang lain. 60 Akhirnya asy-Syafi’i ra dipandang sebagai murid yang bantuannya lebih besar dari pada bayaran yang diharapkan dari ibunya. Keadaan seperti itu berlangsung hingga asy-Syafi’i ra berkesempatan belajar al-Quran dan mengkhatamkannya dalam usia tujuh tahun. Kemudian beliau belajar menghafal banyak hadits. Untuk itu, beliau turut serta belajar pada guru-guru tafsir dan guruguru ahli di bidang ilmu hadits. Pada saat itu harga kertas sangat mahal. Untuk mencatat pelajaran, beliau mengumpul kepingan-kepingan tulang yang lebar dan besar, bahkan ia lebih mengandalkan ingatan melalui cara menghafalnya, karena dengan kebiasaan tersebut ia memiliki daya ingat yang amat kuat61. Kemudian asy-Syafi’i ra meminta izin kepada ibunya hendak berangkat ke Madinah al-Munawwarah untuk belajar kepada al-Imam Malik ibn Anas dan ibunya mengizinkannya. Pada saat itu beliau berusia kurang lebih 20 tahun. Beliau menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk bertemu dengan imam Malik. Untuk keperluan itu, beliau mencari buku “al-Muwaththa”. Dalam buku itulah imam Malik menuangkan semua hasil pemikirannya tentang ilmu fikih dan hadits-hadits Nabi SAW yang dipandang sahih isnadnya. Al-imam asy-Syafi’i ra
60
Abdurrahman Asy-Syarqawi, Al Hamid Al Husaini et.al (terj), Riwayat Sembilan Mazhab Al Imam Mazhab, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), Cet 1. h. 382 61
Ibid., h. 382
berhasil berhasil menemukan bukunya yang dimaksud dan pada akhirnya beliau mampu menguasai bahkan manghafal buku yang dikarang oleh imam Malik.62 Imam asy-Syafi’i ra yang sejak kecil berada dalam kancah penderitaan, namun semangat beliau dalam menuntut ilmu tidak terhalang oleh penderitaan yang menyelimuti keluarganya, baik dalam ilmu agama maupun ilmu yang lainnya. Selain itu beliau seorang yang baik budinya, jujur, dan rajin dalam beribadah kepada Allah SWT.63
B) Guru-Guru imam Syafi’i dan Murid-Muridnya Imam Syafi’i mengambil banyak ilmu dari para ulama di berbagai tempat pada zamannya. Di antaranya di Makkah, Madinah, Kufah, Basrah, Yaman, Syam, dan Mesir. Hal itu telah disebutkan oleh al-Baihaqi, Ibnu Katsir, al-Mizzy, dan alHafizh Ibnu hajar. Ibnu katsir berkata: “al-imam asy-syafi’i belajar banyak hadits kepada para syaikh dan para imam. Ia membaca sendiri kitab al-Muwaththa’ dengan hafalan sehinga imam Malik kagum terhadap hafalan dan kemauan kerasnya”. Di riwayatkan dari imam Malik bahwa imam syafi’i mengambil ilmu dengan ulama Hijjaz, sebagaimana ia mengambilnya dari Syaikh Muslim bin Khalid azZanji.
62
63
Ibid., h. 382
Moenawar Chalil, Biografi Emapat Serangkai Al-Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet, 11, h. 94
Al-Hafizh al-Mizzi telah menyebutkan para guru imam Syafi’i. Di antara gurunya yang berasal dari penduduk Makkah adalah: 1. Imam Sufyan bin ‘Uyainah 2. ‘Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Abdullah bin Abu Mulaikah 3. Isma’il bin Abdullah bin Qasthinthin al-Muqri 4. Muslim bin Khalid az-Zanji, dan banyak lagi selain mereka.
Gurunya yang berasal penduduk Madinah adalah: 1. Malik bin Anas bin Abu ‘Amir al-Ashabani 2. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad ad-Darawardi 3. Ibrahim bin Sa’ad bin ‘Abdur Rahman bin ‘Auf 4. Muhammad bin Isma’il bin Abu Fudaik dan banyak lagi selain mereka. Dari negeri lain di antaranya adalah: 1. Hisyam bin Yusuf as-Shan’ani 2. Mutharrif bin Mazin as-Shan’ani 3. Waki’ bin al-Jarrah 4. Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani dan banyak lagi selain mereka. 64 Murid-murid imam Syafi’i yang paling popular adalah: 1) Ar-Rabi’ bin Sulaiman bin ‘Abdul Jabbar bin Kamil, Imam al-Muhaddits alFaqih al-Kabir Abu Muhammad al-Muradi al-Mishri al-Muadzdzin. Ia adalah
64
Muhammad bin A. W. al-‘aqil, Manhaj ‘Akidah Imam Asy-Syafi’i, Penerjemah: Nabhani, Saefudin Zuhri, (Saudi Arabi: Maktabah Adhwa as-Salaf Riyadh, 1998) Cet 1, h. 41
teman imam Syafi’i yang mengambil ilmu-nya, syaikh para muadzdzin di Masjid Fusthath, dan seorang yang diminta oleh para syaikh pada zamannya untuk membacakan atau menyampaikan ilmu. Ar-Rabi’ lahir pada tahun 174 H. Diriwayatkan bahwa imam Syafi’i pernah berkata kepadanya:” jika aku mampu memberimu makanan ilmu, nescaya aku memberikannya”. Imam syafi’i juga berkata: “Ar-Rabi adalah orang yang banyak meriwayatkan tulisan-tulisanku”. Ia wafat pada tahun 270 H65. 2) Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin Ismail bin ‘Amr bin Muslim al-Muzani alMishri, al-Imam al-‘allamah, sangat faham tentang agamanya, pemuka para ahli zuhud, ia lahir pada tahun 175 H. karangannya yang berupa mukhtasar (ringkasan) dalam bidang fikih memenuhi banyak negeri, yang kemudian di syarah (diuraikan) oleh sejumlah imam besar sehingga dikatakan: “seorang anak gadis saja memiliki sebuah naskah mukhtasar al-Muzani yang disimpan di antara barang-barang miliknya”. Imam Syafi’i mengatakan:“Al-Muzani adalah pembela mazhabku”. Imam adz-Dzahabi mengatakan bahwa Amr bin Tamim al-Makki berkata:“ saya telah mendengar Muhammad bin Isma’il atTirmidzi berkata: ‘saya telah mendengar al-Muzani mengatakan hal berikut: ‘Tauhid seseorang tidak benar sampai ia mengetahui bahwa Allah SWT
65
Ibid., h. 46
(bersemayam) di atas ‘Arsy dengan sifat-sifat-Nya.’ Al-Muzani wafat pada tahun 264 H.66 3) Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam bin A’yan bin Lits al-Imam Syaikhul Islam Abu Abdillah al-Mishri al-Faqih, lahir pada 182 H. ia adalah ulama Mesir sezaman dengan al-Muzani. Ketika Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam menaiki kudanya, imam Syafi’i memandangnya seraya berkata: “Alangkah baiknya aku jika mempunyai anak seperti dia, sementara aku menaggung utang 1000 dinar yang aku tidak dapat membayarnya”. Diriwayatkan bahwa terjadi selisih pendapat antara dia (Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam) dengan Buwaithi karena imam Syafi’i memilih al-Buwaithi untuk menggantikannya di majelisnya sehingga Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam meniggalkan madzhab imam Syafi’i dan kembali ke madzhab Maliki67. 4) Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya al-Mishri al-Buwaithi. Al-Imam al-‘Allamah, pemimpin para fuqaha, adalah sahabat imam Syafi’i yang mendampinginya dalam waktu yang lama hingga ia menjadi murid imam Syafi’i yang mengalahkan kawan-kawannya. Al-Buwaithi adalah seorang imam dalam ilmu, teladan dalam amal, seorang yang zuhud, rabbani yang banyak tahajjud, selalu berdzikir, dan menekuni ilmu fiqih. Imam Syafi’i berkata tentangnya: “
66
Ibid., h. 46
67
Ibid., h. 47
tidak ada seorangpun dari sahabat-sahabatku yang lebih banyak ilmunya dari pada al-Buwaithi”. Ia di siksa karena menolak pendapat yang mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk. Ia sabar menghadapi ujian itu sampai wafat di penjara. Ia wafat dalam keadaan terbelenggu di penjara Irak pada tahun 231 H.68
C) Karya-karya Imam Syafi’i Dan Perkembangan Mazhabnya Menurut Abu Bakar al-Baihaqy dalam kitab Ahkam al-Quran, bahwa karya Imam Syafi’i cukup banyak, baik dalam bentuk risalah, maupun dalam bentuk kitab. Al-Qadhi Imam Abu Hasan ibn Muhammad al-Maruzy mengatakan bahwa Imam Syafi’i menyusun 113 buah kitab tentang tafsir, fiqh, adab dan lain-lain. 69 Kitab-kitab karya Imam Syafi’i yang dibagi oleh ahli sejarah menjadi dua bagian, yaitu : 1)
Kitab yang ditulis Imam Syafi’i sendiri, seperti al-Umm dan al-Risalah (riwayat dai muridnya yang bernama al-Buwaithy dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Rabi’ ibn Sulaiman).
2)
Kitab yang ditulis oleh murid-muridnya, seperti Mukhtashar oleh alMuzany dan Mukhtashar oleh al-Buwaithy (keduanya merupakan ikhtisar dari kitab Imam Syafi’i: Al-Imla’ wa al-Amly).
68
69
Ibid., h. 47
Ibid., h. 138
Kitab-kitab Imam Syafi’i baik yang sendiri didiktekan kepada muridnya, maupun dinisbahkan kepadanaya, antara lain sebagai berikut: a) Kitab al-Risalah, tentang ushul fiqh b) Kitab al-umm, tentang fiqh c) Kitab al-Musnad, berisi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab al-Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya d) Al-Imla’ e) Al-Amaliy f) Harmalah g) Mukhtashar al-Muzaniy h) Mukhtashar al-Buwaitiy i) Kitab Ikhtilaf al-Hadits70 Kitab-kitab Imam Syafi’i dikutip dan diperkembangkan para muridnya yang tersebar di Makkah, di Iraq, di Mesir, dan lain-lain71. Perkembangan Mazhabnya72 Penyebaran mazhab Syafi’i ini antara lain di Iraq, lalu berkembang dan tersiar ke khurasan, Pakistan, Syam, Yaman, Persia, Hijaz, India, daerah-daerah Afrika dan Andalusia selepas tahun 300 H. Kemudian mazhab Syafi’i ini tersiar dan
70
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 134
71
Muhammad bin A. W. al-‘aqil, Manhaj ‘Akidah Imam Asy-Syafi’i, Penerjemah: Nabhani, Saefudin Zuhri, h. 46 72
Ibid., h.135
berkembang bukan hanya di Afrika, tetapi keseluruh pelosok negara-negara Islam, baik di Barat, maupun di Timur, yang dibawa oleh para muridnya dan pengikut-pengikutnya dari satu negeri ke negeri lain, termasuk ke Indonesia. Kalau kita melihat praktek ibadah dan mu’amalat umat Islam Indonesia, pada umumnya mengikuti mazhab Syafi’i. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, yaitu: a) Setelah adanya hubungan Indonesia dengan Makkah dan di antara kaum Muslimin Indonesia yang menunaikan ibadah haji, ada yang bermukim di sana dengan maksud belajar ilmu agama. Guru-guru mereka adalah ulama-ulama yang bermazhab Syafi’i dan setelah kembali ke Indonesia mereka menyebarkannya. b) Hijrahnya kaum Muslimin dari Hadhramaut ke Indonesia adalah merupaka sebab yang penting pula bagi tersiarnya mazhab Syafi’i di Indonesia. Ulama dari Hadrhramaut adalah bermazhab Syfi’i. c) Pemerintah kerajaan Islam di Indonesia, selama zaman Islam mengesahkan dan menetapkan mazhab Syafi’i menjadi haluan hukum di Indonesia. Keadaan ini diakui pula oleh pemerintah Hindia Belanda, terbukti pada masa-masa akhir dari kekuasaan Belanda di Indonesia, kantor-kantor kepenghuluan dan Pengadilan Agama, hanya mempunyai kitab-kitab fikih Syafi’iyyah, seperti kitab al-Tuhfah, al-Majmu’, al-Umm dan lain-lain.
d) Para pegawai jawatan dahulu, hanya terdiri dari ulama mazhab Syafi’i karena belum ada yang lainnya.73
D) Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-faktor yang mempengaruhi Imam Syafi’I dalam Menetapkan Hukum Islam74 Aliran kegamaan Imam Syafi’i sama dengan Imam Mazhab yang lainnya dari Imam-imam Mazhab yang empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Ahmad bin Hambal adalah termasuk golongan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Ahlu alSunnah wa al-Jama’ah dalam bidang furu’ terbagi kepada dua aliran, yaitu aliran Ahlu al-Hadits dan aliran ahlu al-Ra’yi. Imam Syafi’i termasuk ahlu al-Hadits. Imam Syafi’i sebagai imam Rihalah fi Thalab al-Fiqh dan pernah pergi ke Hijaz untuk menuntuk ilmu dengan Imam Malik dan beliau pergi ke Irak untuk menuntuk ilmu dengan Muhammad ibn al-Hasan, salah seorang murid imam Abu Hanifah. Karena itu, Meskipun Imam Syafi’i digolongkan sebagai seorang yang beraliran ahlu al-Hadits, namun pengetahuannya tentang fiqh ahlu al-Ra’yi tentu akan memberi pengaruh kepada metodnya dalam menetapkan hukum. 75 Di samping
itu, pengetahuan Imam
Syafi’i tentang
masalah sosial
kemasyarakatan sangat luas. Bahkan beliau menyaksikan secara lansung
73
Ibid., h.136
74
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 123
75
Ibid., 123
kehidupan masyarakat desa (Badwy) dan menyaksikan pula kehidupan masyarakat yang sudah maju peradabannya pada tingkat awal di Irak dan di Yaman. Juga menyaksikan kehidupan yang sudah sangat kompleks peradabannya, seperti yang terjadi di Irak dan Mesir. Ia juga menyaksikan kehidupan orang zuhud dan Ahlu al-Hadits. Pengetahuan imam Syafi’i dalam bidang kehidupan ekonomi dan kemasyarakatan yang bermacam-macam itu, memberikan bekal baginya dalam ijtihadnya pada masalah-masalah hukum yang beraneka ragam. 76 Hal
ini
memberikan
pengaruh
pula
dalam
mazhabnya.
Menurut Mushtafa al-Sya’iy bahwa Imam Syafi’ilah yang meletakkan dasar pertama tentang qaidah periwayatan hadits, dan beliau juga mempertahankan sunnah melebihi gurunya iaitu imam Malik bin Anas. Dalam bidang hadits, imam Syafi’i berbeda dengan Abu Hanifah dan imam Malik bin Anas. Menurut Imam Syafi’i, apabila suatu hadits sudah sahih sanadnya dan mustahil (bersambung sanadnya) kepada Nabi SAW, maka sudah wajib diamalkan tanpa harus dikaitkan amalan ahlu al-Madinah sebagaimana yang disyaratkan imam Malik dan tidak pula perlu ditentukan syarat yang banyak syarat dalam penerimaan hadits, sebagaimana yang di syaratkan oleh imam Abu Hanifah. Karena itu, imam Syafi’i dijuluki sebagai Nashir al-Sunnah (penolong Sunnah).77
76
77
Ibid., 123 Ibid., h. 124
Imam Syafi’i mempunyai dua pandangan yang dikenal sebagai Qaul al-Qadim dan Qaul al-Jadid. Qaul Qadim terdapat dalam kitabnya yang bernama al-Hujjah, yang di cetuskan di Irak. Qaul jadidnya terdapat dalam kitabnya yang bernama alUmm, yang di cetuskan di Mesir.78 Adapun dua pandangan hasil ijtihad itu, maka diperkirakan bahwa situasi tempat pun turut mempengaruhi ijtihad imam Syafi’i. Keadaan di Iraq dan di Mesir memang berbeda, sehingga membawa pengaruh terhadap pendapatpendapat daan ijtihad imam Syafi’i. Ketika di Irak, imam Syafi’i menela’ah kitabkitab fiqh Iraq dan memadukan dengan ilmu yang ia miliki yang di dasarkan pada teori Ahlu al-Hadits.79 Pendapat qadim didiktekan imam Syafi’i kepada murid-muridnya di Irak. Kemungkinan besar yang dimaksud dengan qaul qadim imam Syafi’i adalah pendapat-pendapatnya yang dihasilkan dari perpaduan antara mazhab Iraqy dan pendapat Ahlu al-Hadits. Setelah itu, imam Syafi’i pergi ke Makkah dan tinggal di sana untuk beberapa lama. Makkah pada waktu itu di kunjungi para ulama dari berbagai negara Islam. Di Makkah, imam Syafi’i dapat belajar dari mereka yang datang dari berbagai negara Islam itu dan mereka pun dapat belajar dari imam Syafi’i.80
78
Ibid., h. 124
79
Ibid., h. 124
80
Ibid., h. 124
Tampaknya qaul qadim ini didiktekan oleh imam Syafi’i kepada muridmuridnya (ulama Iraq) yang datang kepadanya ketika ia tinggal di Iraq. Sebab imam Syafi’i datang ke Irak sebanyak dua kali. Kedatangannya yang pertama kali ke Irak tidak disebutkan untuk menyampaikan ajaran-ajaran kepada para ulama di sana hanya di sebutkan, bahwa ia bertemu dengan Muhammad ibnu al-Hasan alSyaibaniy salah seorang murid imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i sering mengadakan muzakarah (diskusi) dengannya, sehingga menurut Khudary Bek, pemikiran imam Syafi’i penuh dengan hasil diskusi tersebut. Setelah itu, imam Syafi’i kembali ke Hijjaz dan menetap di Makkah. Kemudian kembali lagi ke Iraq dan di sana ia mendiktekan qaul qadimnya kepada murid-muridnya (ulama Iraq).81 Qaul qadim imam Syafi’i merupakan panduan antara fiqh Irak yang bersifat rasional dan fiqh ahl al-Hadits yang bersifat “tradisional”. Tetapi fiqh yang demikian, akan lebih sesuai dengan ulama-ulama yang datang dari berbagai negara Islam ke Makkah. Pada saat itu, mengigat situasi dan kondisi negaranegara yang sebagian ulamanya datang ke Makkah pada waktu itu berbeda-beda satu sama lain. Mereka dapat memilih pendapat yang sesuai dengan kondisi dan situasi negaranya. Itulah pula yang menyebabkan pendapat imam Syafi’i mudah tersebar ke berbagai negara Islam. Kedatangan imam Syafi’i kedua kalinya ke Irak, hanya beberapa bulan saja tinggal di sana, kemudian ia pergi ke Mesir.82
81
Ibid., h. 124
Di Mesir inilah tercetus qaul jadidnya yang didektekannya kepada muridmuridnya. Qaul jadid imam Syafi’i ini dicetuskannya setelah bertemu dengan para ulama Mesir dan mempelajari fiqh dan hadits dari mereka serta adat istiadat, situasi dan kondisi di Mesir pada waktu itu, sehingga imam syafi’i merubah sebagian hasil ijtihadnya yang telah diwafatkannya di iraq. Jika kandungan qaul jadid imam Syafi’i adalah hasil ijtihadnya setelah pindah ke Mesir. Qaul jadidnya ini ditulis dalam kitab al-Umm. 83 Pegangan Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum adalah al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dalam kitabnya al-risalah sebagai berikut:
ْiِ; ِ?َOَj ِ ا7َ:ِ=َِ ا ِْ'ِْ و7َ:ِ= ْ,ِ -[َ أَوْ َ?ُمَ إ-kَ ٍْءiَْ ﺵDِ; ًا1َ(َُ>ْلَ أ2َ! ٍْ أَن1ََ َ\ْ8َ
.َِس8ِ2 َْعِ وَا.ْ=ِaِْ وَا7- ُ َبِ وَا0ِ ا Artinya: “Tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum selamanya,ini halal, ini haram kecuali kalau ada pengetahuan tentang itu. Pengetahuan ini adalah kitab suci al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas”. Pokok-pokok pikiran imam Syafi’i dalam mengistinbatkan hukum adalah84: 1.
Al-quran dan al-Sunnah Imam Syafi’i memandang al-Quran dan sunnah berada dalam satu martabat. Beliau menempatkan al-Sunnah sejajar dengan al-Quran. Karena menurut beliau, 82
Ibid., h. 125
83
Ibid., h. 126
84
Ibid., h. 127
Sunnah itu menjelaskan al-quran, kecuali hadits ahad tidak sama nilainya dengan al-Quran dan hadits mutawatir. Disamping itu, karena al-Quran dan Sunnah keduanya adalah wahyu, meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti al-Quran. Dalam perlaksanaannya, imam Syafi’i menempuh cara, bahwa apabila di dalam al-Quran sudah tidak ditemukan dalil yang dicari, ia menggunakan hadits mutawatir. Jika tidak ditemukan dalam hadits mutawatir, ia menggunakan khabar ahad. Jika tidak ditemukan dalil yang di cari dalam kesemuanya itu, maka dicoba untuk menetapkan hukum berdasarkan zhahir al-Quran atau Sunnah secara berturut. Dengan teliti ia coba untuk menemukan mukhashshish dari al-Quran dan Sunnah. Selanjutnya menurut Sayyid Muhammad Musa dalam kitabnya alIjtihad, imam Syafi’i jika tidak menemukan dalil dari zhahir nash al-Quran dan Sunnah serta tidak ditemukan dalil dari mukhashshishnya, maka ia mencari apa yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW atau keputusan Nabi SAW. Kalau tidak ditemukan juga, maka ia mencari lagi bagaimana pendapat para ulama sahabat. Jika ditemukan ada ijma’ dari mereka tentang hukum masalah yang dihadapi, maka hukum itulah yang ia pakai.85 Imam Syafi’i walaupun berhujjah dengan hadits ahad, namun beliau tidak menempatkannya sejajar dengan al-Quran dan Hadits mutawatir, karena hanya al-
85
Ibid., h. 128
Quran dan Hadits mutawatir sajalah yang qath’iy tsubutnya, yang dikafirkan orang yang menginkarinya dan disuruh bertaubat. Imam Syafi’i dalam menerima hadits ahad mensyaratkan sebagai berikut: a. Perawinya terpercaya. Ia tidak menerima hadits dari orang yang tidak dipercaya. b. Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkannya. c. Perawinya dhabith (kuat ingatan). d. Perawinya benar-benar mendengarkan sendiri hadits itu dari orang yang menyampaikan kepadanya. e. Perawi itu tidak menyalahi para ilmu yang juga meriwayatkan hadits itu. Imam Syafi’i mengatakan, bahwa hadits Rasulullah SAW tidak mungkin menyalahi al-Quran dan tidak mungkin berubah sesuatu yang telah ditetapkan oleh al-Quran. Imam Syafi’i mengatakan:
ِ4-' َبِ ا0ُِ آ7َ2َ;َ ُ>َاiِ:َ; ْiِ0- ُِ ﺱ4-' َبِ ا0َِ آYَ َ-'َِ وَﺱ4ْ8َ'َ3 4-' اDَ'َِ ﺹ4ّ' رَﺱُ>ْلُ ا-,َ َ ﺱCkُآ C,َُ! ََِ و7َ'ْ.ُ9 َْ ا,ِ ٍ?ْ8ِْ&َ# ُ?َgُْ أَآ,E8َO ِْ وَا4-' ِ ا,َ3 ِ,-8َO ِ( ِ7َ'ْ.ُ9 ْ اiِ;َِ و4ِ'ْgِ.ِ( Eqَ ْ اDِ; .ِrِ?َْْ أiِ; ً7-َ3 ُ4ُ0َ3َ* 4-' ِ&َ?ْضِ اOَ; ٍَب0ِ آCqَ ِ4ْ8ِ; َ\ْ8َ -.َ Artinya: “Segala yang Rasulullah SAW sunnahkan bersama Kitabullah adalah sunnahku (jalanku), maka sunah itu sesuai dengan Kitabullah dalam menaskan dengan yang sepertinya secara umum adalah merupakan penjelasan suatu dari Allah SWT dan penjelasan itu lebih banyak merupakan tafsir dari firman Allah SWT. Apa yang disunahkan dari sesuatu yang tidak ada nashnya dari al-Quran, maka dengan yang Allah SWT fardhukan untuk mentaatinya secara umum terhadap perintahnya, kita harus mengikutinya”.86
86
Ibid., h. 129
2. Ijma’ Imam Syafi’i mengatakan, bahwa ijma’ adalah hujjah dan ia menempatkan ijma’ ini sesudah al-Quran dan al-Sunnah sebelum qiyas. Imam Syafi’i menerima ijma’ sebagai hujjah dalam masalah-masalah yang tidak diterangkan dalam alQuran dan Sunnah. 87 Ijma’ menurut pendapat imam Syafi’i adalah ijma’ ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma’ suatu negeri saja dan bukan pula ijma’ kaum tertentu saja. Namun imam Syafi’i mengakui, bahwa ijma’ sahabat merupakan ijma’ yang paling kuat. Disamping itu imam Syafi’i berteori, bahwa tidak mungkin segenap masyarakat Muslim bersepakat dalam hal-hal yang bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Imam Syafi’i juga menyadari bahwa dalam praktek, tidak mungkin membentuk atau mengetahui kesepakatan macam itu semenjak Islam meluas keluar dari batas-batas Madinah. Dengan demikian, ajarannya tentang ijma’ ini hakekatnya bersifat negatif. Artinya, ia dirancang untuk menolak otoritas kesepakatan yang hanya dicapai pada suatu tempat tertentu-Madinah misalnya. Dengan demikian, diharapkan keberagamaan yang bisa ditimbulkan oleh konsep
87
Ibid., h. 129
konsensus oleh kalangan ulama di suatu tempat yang ditolaknya dapat dihilangkan.88 Ijma’ yang dipakai imam Syafi’i sebagai dalil hukum itu adalah ijma’yang disandarkan kepada nash atau ada landasan riwayat dari Rasulullah SAW. Secara tegas ia mengatakan, bahwa ijma’ yang berstatus dalil hukum itu adalah ijma’ sahabat.89 Imam Syafi’i hanya mengambil ijma’ sharih sebagai dalil hukum dan menolak ijma’ sukuti menjadi dalil hukum. Alasannya menerima ijma’ sharih, karena kesepakatan itu disandarkan kepada nash dan berasal dari semua mujtahid secara jelas dan tegas sehingga tidak mengandung keraguan. Sementara alasannya menolak ijma’ sukuti, karena tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid. Diamnya mujtahid menurutnya belum tentu menunjukkan setuju.90 3. Qiqas Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil keempat setelah alQuran, Sunnah, ijma’ dalam menetapkan hukum. Imam Syafi’i adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaedahnya dan menjelaskan asas-asasnya. Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun telah menggunakan qiyas dalam berijtihad, namun belum membuat rumusan patokan kaidah dan asasasasnya, bahkan dalam praktek ijtihad scara umum belum mempunyai patokan 88
Ibid., h. 130
89
Ibid., h. 130
90
Ibid., h. 130
yang jelas, sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan yang mana keliru.91 Di sinilah imam Syafi’i tampil kedepan memilih metode qiyas serta memberikan kerangka teorotis dan metodologinya dalam bentuk kaidah rasional namun tetap praktis. Untuk itu imam Syafi’i pantas diakui dengan penuh penghargaaan sebagai peletak pertama metodologi pemahaman hukum dalam Islam sebagai satu disiplin ilmu, sehingga dapat dipelajari dan diajarkan.92 Sebagai dalil penggunaan qiyas, imam Syafi’i mendasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Nisa’ (3): 59
?2⌧e
OgV$
>$'…
#kM!" e/" 8j 8]M$' e/""<
V-($
1d
6-!D$^ }M A6" -
Q !"
(٥٩ : ٣ / ) ا ءC⌧H'$ #,0OX oQM6 Artinya:“jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
91
Ibid., h. 130
92
Ibid., h. 131
Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa maksud “kembalilah kepada Allah SWT dan Rasul-Nya” itu ialah diqiyaskanlah kepada salah satu, dari al-Quran atau sunnah.93
93
Ibid., h.131
BAB III EKSISTENSI HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH A. Pengertian Saksi Dan Dasar Hukum. Pengertian saksi dalam perkawinan adalah orang yang hadir dan menyaksikan akad perkawinan. Dalam hal ini diperlukan kehadiran saksi karena untuk menghindari implikasi negatif dalam kehidupan di masyarakat. Orang yang dapat menjadi saksi dalam akad perkawinan adalah seseorang yang memenuhi persyaratan, yaitu : 1) Berumur minimal 21 tahun. 2) Berakal sehat. 3) Cakap/matang (rasyid/rasyidah) 4) Ditunjuk berdasarkan kesepakatan pihak calon suami dan pihak calon isteri. 94 Adapun Dasar hukum keharusan kesaksian dalam akad nikah adalah dari Amran ibn Husein menurut riwayat Ahmad, sabda Nabi SAW:
ٍْل1َ3 َْى1ِ] وَﺵَهDِ َ>ِ( -[ِ[َ َِحَ إ
95
Artinya: “Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil”.
94
Muhammad Zain, Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversal Itu, (Grahacipta, 1995) Cet 1, h. 31 95
Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat 1 Untuk Fakultas Syari’ah Komponen MKDK, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 100
Mafhum dari hadits tersebut, tidak sah pernikahan kecuali dengan kehadiran dua orang saksi yang adil dalam menyaksikan akad nikah. Maka hukum dalam menghadirkan dua orang saksi yang adil dalam akad nikah menjadi wajib. Imam Syafi’i dan imam Hambali mereka bersepakat bahwa saksi itu harus adil. Mereka mengatakan bahwa apabila pernikahan disaksikan oleh dua orang yang belum diketahui adil atau tidaknya, maka hukumnya tetap sah96. Karena pernikahan itu terjadi di berbagai tempat, di kampung-kampung, daerah terpencil maupun di kota, di mana ada orang yang belum diketahui adil atau tidaknya. Jika diharuskan mengetahui lebih dahulu adil tidaknya seseorang saksi hal ini berarti akan menyusahkan. Oleh karena itu, adil bisa dilihat lahirnya saja pada saat itu sehingga ia tidak terlihat fasik. Karenanya syarat adil untuk menjadi saksi dalam pernikahan cukup melihat dari segi lahirnya saja. Apabila ternyata di kemudian hari setelah terjadinya akad nikah diketahui kefasikannya, maka akad nikahnya tidak terpengaruhi berarti tetap sah.97 Terdapat dalam al-Quran tentang kehadiran saksi mestilah mempunyai sifat yang adil. Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. At-Thalak (2): 65
ROB
Og$^
#BKOu… ( ٦٥ : ٢ / قvV ? ) ا:%V-.(
Artinya: “persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu”
96
97
Ibid., h. 100
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Baari Syarh Shahih Al-Bukhari, terjemah : Aminuddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), cet 1, h. 18
Dilihat dalil dari al-quran terdapat suatu perintah (al-amr). Setiap perintah dari Allah SWT merupakan suatu kewajiban yang harus dibuat, jika tidak melaksanakan perintah-Nya maka setiap perbuatan yang dilakukan menjadi siasia.98 Begitu juga dalam hal perkawinan, jika tidak dapat menghadiran saksi yang adil dalam akad nikah maka pernikahan menjadi tidak sah karena tidak mengikut perintah dari Allah SWT. Saksi dalam akad nikah merupakan rukun nikah. Saksi yang adil menurut jumhur ulama adalah99: 1) Orang Muslim 2) Mukallaf 3) Tidak mengerjakan dosa besar 4) Tidak terus menerus melakukan dosa kecil 5) Memiliki keberanian Maka orang yang menjadi saksi ketika akad nikah mestilah memenuhi persyaratan di atas. Jumhur ulama mensyaratkannya adalah supaya terhindar dari pengingkaran terhadap akad nikah. 100
98
Ibid., h. 18
99
Ibid., h. 18
100
Ibid., h. 18
B. Kedudukan Saksi Dalam Akad Nikah Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah. Dalam menempatkan kedudukan saksi dalam perkawinan ulama jumhur yang terdiri dari ulama Syafi’iyah, Hanabilah, menempatkannya sebagai rukun dalam perkawinan. Sedangkan ulama Hanafiyah dan Zhahiriyah menempatkannya sebagai syarat. Menurut ulama Malikiyah tidak ada keharusan untuk menghadirkan saksi dalam waktu akad nikah, yang diperlukan adalah mengumumkannya namun disyaratkan adanya kesaksian melalui pengumumam itu sebelum dhukhul dilakukan.101 Pendapat yang berbeda dengan pendapat jumhur ulama di atas adalah ulama Syi’ah Imamiyah. Bagi mereka tidak ada keharusan adanya saksi waktu berlangsungnya akad perkawinan bahkan akad dapat berlangsung tanpa adanya saksi. Keberadaan saksi bagi mereka adalah sunnah102. Adapun hadits Nabi SAW adalah dari Ibnu Abbas menurut riyawat al-Tarmizi 103
ٍ7-8ِ ِ(ِ?ْ8َzِ( -,ِ:ُِ&ََْ أ,ْ{ِْ َ! ْiِ#v- ََ!َ اzَOْ َا
Artinya: “Pelacur-pelacur itu adalah orang yang menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya saksi”. 101
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet 1, h. 81 102
Ibid., h. 81
103
Ibid., h. 82
Hadits Nabi SAW dari Amran ibn Husein menurut riwayat Ahmad, sabda Nabi: 104
ٍْل1َ3 َْى1ٍِ وَﺵَهDِ َ>ِ( -ّ[ِ[َ َِحَ إ
Artinya: “Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil”. Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan isteri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari isterinya itu. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah menghindari fitnah dan prangsakaan jelek dari masyarat105. Berbeda dengan Imam Malik, kehadiran saksi pada saat akad nikah, tidak wajib (fardhu), tetapi cukup dengan pemberitahuan (pengumuman) kepada orang banyak, bahwa akad nikah itu telah berlangsung seperti mengadakan resepsi perkawinan atau dengan cara lain. Namun malikiyah tetap menganggap perlu pemberitahuan itu sebelum suami melakukan dukhul (persetubuhan). Demikian menurut Imam Malik dengan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh AtTirmizy dari Aisyah:
ِ ُ?ْ(ِلzْ ِ( ِ4ْ8َ'َ3 ِحَ وَاﺽْ?ِ(ُ>ْاE ْ'ِ ُ>ْا ا3ِإ 106
104
Ibid., h. 83
105
Ibid., h.84
106
Ibid., 84
Artinya: “Beritahukanlah (siarkanlah) akad nikah itu dan untuknya tabuhlah gendang” Hadits
ini
jelas
menunjukkan
bahwa
pemberitahuan
tentang
berlangsungnya akad nikah boleh dengan jalan apa saja yang antara lain dengan menabuh gendang, dalam konteks saat ini yakni diadakannya resepsi pernikahan107. Perlu diketahui adanya perbedaan jumhur dan mazhab Maliki dalam hal-hal sebagai berikut: 1) Jumhur mensyaratkan adanya saksi ketika berlangsung akad nikah dengan kata arti bahwa akad nikah menjadi batal tanpa kehadiran saksi 2) Mazhab Maliki mensyaratkan adanya pemberitahuan ketika akan berlangsung persetubuhan
sesudah
akad.
Tetapi
manakala
terdapat
saksi
atau
pemberitahuan ketika berlangsungnya akad, maka hal itu sudah dipandang cukup.108 Walaupun akad nikah sama dengan akad-akad lainya yang mensyaratkan keredhaan, ijab qabul, akan tetapi Islam sangat memuliakan akad pernikahan. Islam menjadikan sebagian dari agama dan pengabdian diri kepada Allah SWT, oleh karena itu melakukan pernikahan dianggap sebagai ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT serta diberikan ganjaran pahala. Oleh karena
107
108
Ibid., 84
Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan, (Jakarta: Balai Penerbitan dan Perpustakaan Islam Yayasan Ihya’ Ulumiddin, 1971), h. 180
itu, agama Islam mewajibkan kehadiran saksi untuk menyaksikan akad nikah, karena akad nikah merupakan penyatuan antara seorang pria yang akan menjadi calon suami dengan wanita yang akan menjadi calon isteri. Jika kedudukan sebagai saksi dalam akad nikah tidak terpenuhi maka akad nikah yang dilangsunkan menjadi tidak sah.
C. Syarat Sahnya Saksi Dalam Akad Nikah109 Tidaklah cukup kehadiran saksi dalam akad pernikahan, akan tetapi kehadiran saksi mesti memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a) Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang. Inilah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama. Bagi ulama Hanafiyah saksi itu boleh terdiri satu orang lelaki dan dua orang perempuan. Sedangkan bagi ulama Zhahiriyah boleh saksi itu terdiri dari empat orang perempuan. b) Kedua saksi itu adalah beragama Islam. Akad nikah seorang perempuan yang bersaksikan orang bukan Islam adalah tidak sah karena akad nikah dianggap urusan agama. Ia mesti disaksikan oleh saksi yang beragama Islam. Karena orang Kafir tidak boleh menjadi saksi keatas orang Islam. Persaksian juga merupakan penguasaan (al-wilayah). Oleh itu saksi orang Kafir tidak dibolehkan karena mereka tidak mempunyai kekuasaan terhadap orang Islam. Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. At-Taubah (9): 71
109
Ibid., 101
V-($#☺ !" Q+#N_< s31-($#☺ !" ab=#'H j< =/"]-! Q6NVH "M6☺ !""< ab#☺]H }M$%V#☺ !" , ab$H 8389!" h/" ab]-H 83⌧dPg!" 6l$! $/# h/" P % /" +#N⌧o M6 ( ٧١ : ٩ / 7(>0 _ ) ا:] %6X gH Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. c) Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka110. d) Kedua saksi itu adalah laki-laki. Sebagaimana disebutkan dalam syarat ulama Hanafiyah membolehkan saksi perempuan asalkan diantaranya ada saksi lakilaki. Sedangkan ulama Zhahiriyah membolehkan semuanya perempuan dengan pertimbangan dua orang perempuan sama kedudukannya dengan seorang laki-laki. Zuhri rh. Berkata ” Sunnah Rasulullah SAW tidak membenarkan saksi perempuan dalam hukum hudud, nikah dan talak”.111 e) Kedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga maruah. Ulama
110
Ibid., 101
111
Ibid., h. 101
Hanafiyah tidak mensyaratkan adil pada saksi dalam akad perkawinan. Jika orang yang menyaksikan dalam pernikahan tidak adil
maka hukum
pernikahan tersebut tetap sah. Setiap orang yang sudah pantas menjadi saksi, boleh menjadi saksi, karena maksud adanya saksi adalah untuk diketahui umum.
112
Imam Syafi’i dan imam Hambali mereka bersepakat bahwa saksi
itu harus adil. Mereka mengatakan bahwa apabila pernikahan disaksikan oleh dua orang yang belum diketahui adil atau tidaknya, maka hukumnya tetap sah. Karena pernikahan itu terjadi diberbagai tempat, di kampung-kampung, daerah terpencil maupun di kota, dimana ada orang yang belum diketahui adi atau tidaknya. Jika diharuskan mengatui lebih dahulu adil tidaknya seseorang saksi hal ini berarti akan menyusahkan. Oleh karena itu, adil bisa dilihat lahirnya saja pada saat itu sehingga ia tidak terlihat fasik. Karenanya syarat adil untuk menjadi saksi dalam pernikahan cukup melihat dari segi lahirnya saja. Apabila ternyata di kemudian hari setelah terjadinya akad nikah diketahui kefasikannya, maka akad nikahnya tidak terpengaruhi berarti tetap sah.113.Terdapat lima syarat bagi sifat adil yaitu : 1. Orang yang adil yaitu orang yang menjauhi dosa-dosa besar, artinya (menjauhi) tiap-tiap dosa besar. Maka orang yang melakukan dosa
112
Ibid., h. 101
113
Ibid., h. 101
besar tidak dapat diterima persaksiannya. Seperti melakukan zina dan pembunuhan. 2. Orang yang adil itu tidak sedikit melakukan dosa-dosa kecil, maka persaksian orang yang sering melakukan dosa kecil adalah tidak diterima. 3. Orang yang adil itu selamat i’tiqadnya (kepercayaannya), maka tidak dapat diterima persaksian orang yang berbuat bid’ah yang menjadi kufur atau fasiq dengan perbuatan bid’ahnya. Seperti orang yang ingkar akan adanya hidup selepas mati. 4. Orang yang adil itu diamankan marahnya, maksudnya tidak boleh emosional. Maka tidak dapat diterima persaksian orang yang tidak dapat mencegah emosinya. 5. Orang yang adil itu dapat menjaga kehormatannya sesuai dengan orang yang sepadannya. 114 f) Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.115 g) Kedua saksi itu mempunyai maruah.116 h) Kedua saksi itu bukan wali yang melakukan akad nikah. i) Kedua saksi itu mengerti perkataan ijab dan qabul.
114
Imron Abu Amar, Fat-Hul Qarib, (Menara Kudus), jilid 2, h. 262
115
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-undang Perkawinan, hal 81 116
Nasahruddin Thaha, Pedoman Perkawinan Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1960), Cet 3, h. 43
j) Saksi hendaklah berakal dan baligh. Tidak sah akad nikah yang disaksikan oleh orang-orang gila dan kanak-kanak karena akad nikah adalah satu akad yang amat besar. Karena kehadiran orang-orang gila dan kanak-kanak akan meremehkan perkara yang besar itu. Syarat-syarat menjadi saksi menurut Sayyid Sabiq dalam kitab fikih sunnah adalah berakal sehat, dewasa, dan mendengarkan omongan dari kedua belah pihak yang berakad dan memahami bahwa ucapan-ucapan yang dimaksudnya adalah sebagai ijab qabul dalam pernikahan.117 Jika yang menjadi saksi itu anak-anak, orang gila atau orang mabuk, maka pernikahannya tidak sah, sebab mereka dipandang seperti tidak ada. 1) Bersifat adil118 Menurut imam Hanafi, untuk menjadi saksi dalam pernikahan tidak disyaratkan harus adil. Jika pernikahan yang dihadiri oleh dua orang fasik hukumnya sah. Setiap orang yang suda patut menjadi wali dalam pernikahan boleh menjadi saksi karena maksud adanya saksi
adalah agar diketahui umum. Golongan imam
Syafi’i berpendapat saksi haruslah orang yang adil. Jika pernikahan yang disaksikan oleh dua orang yang belum dikenal adil tidaknya hukumnya adalah sah. 2) Perempuan menjadi saksi 119 117
Jika para saksi buta, hendaklah mereka bisa mendengar suaranya dan mengenal betul bahwa suara tersebut suaranya kedua orang yang berakad. 118
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Mesir: Dar al-Fikr,1999), Cet 3, Jilid 2, h. 543
Imam Syafi’i dan hambali mensyaratkan saksi haruslah laki-laki. Akad nikah dengan seorang laki-laki dan dua orang permpuan tidak sah, sebagaimana riwayat Abu Ubaid dari zuhri, “telah berlaku contoh dari Rasulullah SAW bahwa tidak boleh perempuan menjadi saksi dalam akad nikah, talak dan pidana. Karena akad nikah bukan suatu perjanjan kebendaan, dan yang biasanya menghadiri adalah kaum laki-laki. Karena itu, tidak sah akad nikah yang disaksikan oleh dua orang perempuan, seperti halnya dalam urusan pidana tidak dapat diterima kesaksiannya dua orang perempuan”. Dalam kitab fikih sunnah disebutkan:
-.َ CِGَ! َ[ ِ,ْ8َ#َِ وَاْ?َأkُ=ََدَةِ ر:َPِ( ُوَاج- ٌَ ا1ْ2َ3 ِْنSَ; ,ُِ>ْدِ اَ ْ}ُآُ>ْرَة:CP ْ اDِ; ََ?ِ*ُ>ْن0ْPَ! 120
ْهْ?ِىC ْ ا,َ3َ1ْ8َOُ3 ُ,ْ(ُِ اrرَوَا
Artinya: “ Mensyaratkan saksi haruslah laki-laki.Akad nikah dengan saksi laki-laki dan dua orang perempuan tidak sah, sebagaimana riwayat Abu Ubaid dari zuhri”. Akan tetapi, golongan imam Hanafi tidak mensyaratkan saksi harus laki-laki, tetapi kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan adalah sah.121 Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. Al-Baqarah (2): 282
119
Ibid., h.543
120
Ibid., h. 38
v 6B K6u #B OrA?"… Q+h! >$' Q+-!G6, ,-( n4M$' vU894 "&%H Q0¡QM$ ,E☺-( v"$ Q" ( ٢٨٢: ٢/ ?ة2O )ا Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai”. 3) Harus orang merdeka122 Imam Syafi’i dan imam Hanafi mensyaratkan orang menjadi saksi harus orangorang yang merdeka, tetapi Imam Ahmad tidak mengharuskan syarat ini. Dia berpendapat akad nikah yang disaksikan oleh dua orang budak, hukumnya sah sebagaimana sahnya kesaksian mereka dalam masalah-masalah lain, karena dalam al-Quran dan hadits tidak ada keterangan yang menolak seorang budak untuk menjadi saksi dan selama dia jujur dan amanah, kesaksiannya tidak boleh ditolak. 4) Harus orang Islam123 Para ahli fikih berbeda pendapat tentang syarat-syarat menjadi saksi dalam pernikahan jika pasangannya terdiri dari laki-laki dan perempuan muslim, apakah saksinya harus beragama Islam?. Mereka juga berbeda pendapat jika yang lakilakinya beragama Islam, apakah yang menjadi boleh orang yang bukan Islam?. Menurut Imam Ahmad, imam Syafi’i, dan Muhammad bin al-Hasan, pernikahan 121
Slamet Abidin, Aminuddin, Fikih Munakahat 1, h. 102
122
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 543
123
Ibid., h. 543
tidak sah jika saksi-saksinya bukan orang Islam karena yang menikah adalah orang Islam, sedang kesaksian orang non muslim terhadap orang Islam tidak dapat diterima.124 Syarat-syarat saksi menurut Drs. H. Sidi Nazar Bakry terbagi kepada 12 yaitu125: 1. Beragama Islam 2. Laki-laki 3. Baligh 4. Berakal 5. Adil 6. Mendengar (tidak tuli) 7. Melihat (tidak buta) 8. Bisa bercakap-cakap (tidak bisu) 9. Tidak pelupa (mughaffal) 10. Menjaga harga diri (menjaga maruah) 11. Mengerti maksud ijab dan kabul 12. Tidak merangkap menjadi wali126
Dengan dipenuhinya rukun dan syarat-syarat tersebut di atas, barulah pernikahan itu sah menurut hukum syariat Islam. Karena tujuan perkawinan 125
Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah-Tangga (Keluarga yang Sakinah), (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet 1, h. 31 126
Ibid., h.31
menurut ajaran Islam adalah untuk mendapat keturunan yang baik dan untuk membina rumah tangga yang penuh kedamaian, sejahtera, bahagia lahir dan batin serta diredhoi oleh Allah swt. Perkawinan juga dapat menjalin hubungan antara satu keluarga dengan keluarga yang lainnya yang sebelumnya tidak saling mengenal127. Syaikhul Islam Rahimahullah, Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang meminang seorang perempuan merdeka dan dia mempunyai wali yang bukan wali hakim, lalu laki-laki itu mendatangkan beberapa saksi yang ia ketahui saksi itu fasik, tetapi jika menjadi saksi di hadapan hakim, maka hakim menerimanya. Maka sah pernikahannya sebab keadilan yang disyaratkan pada dua
saksi
pernikahan
adalah
hendaknya
tertutup
dan
tidak
terlihat
kefasikannya.128 Maka boleh melakukan akad nikah dengan dua orang saksi itu. Menurut diantara fuqaha’ ada yang berpendapat: disyaratkan pada kedua saksi itu terlihat keadilannya dan boleh melaksanakan akad nikah dengan saksi mereka sekalipun batin mereka kelihatan fasik. 129 Undang-undang perkawinan tidak menempatkan kehadiran saksi dalam syaratsyarat perkawinan, namun undang-undang perkawinan menyinggung kehadiran saksi itu dalam pembatalan perkawinan dan dijadikan sebagai salah satu hal yang
127
Ibid., h. 31
128
Ibnu Taimiyah, Hukum-Hukum Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 1997), Cet 7, h. 141
129
Ibid., h. 141
membolehkan pembatalan perkawinan, sebagaimana terdapat pada Pasal 26 Ayat (1).130 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur saksi dalam perkawinan yang materi keseluruhannya terambil dari kitab fiqh menurut jumhur ulama terutama fiqh Syafi’iyah. Ketentuan saksi dalam akad perkawinan diatur dalam Pasal 24 adalah saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Setiap perkawinan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi. Pasal 25 adalah yang dapat ditunjuk sebagai saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli. Pasal 26 adalah saksi harus hadir dan menyaksikan langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan131 Terdapat beberapa persyaratan untuk saksi nikah yang merupakan rukun ini. Saksi harus dewasa yakni sudah baligh, ia harus berakal artinya tidak gila atau berjiwa sakit, saksi juga disyaratkan lelaki, muslim, adil, dan beberapa indranya sehat. Syarat yang disebut ini menjadi ketentuan yang tertera dalam kompilasi yang pada ketentuan syarat indra ditegaskan dengan menyebut tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Sementara itu di kalangan fuqaha’ masih bisa ditemukan ketentuan syarat lain yang mereka tetapkan. Ketentuan itu ialah saksi harus merdeka artinya bukan budak, saksi bukan kerabat dekat yaitu anak 130
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-undang Perkawinan, hal. 81 131
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 119
atau orang tua, saksi mesti hadir dalam akad nikah dan saksi tidak buta dan tidak bisu. Demikian macam syarat saksi dalam perhitungan nominal menurut ulama mengenai dua diantaranya yaitu syarat harus berakal dan dewasa tidak seorang pun yang mengingkari atau menentangnya karena hal ini didukung oleh pemikiran bahwa melakukan persaksian adalah termasuk perbuatan hukum. Adapun mengenai syarat selain akil baligh yaitu132: 1. Muslim 2. Lelaki 3. Adil 4. Sehat indra, maka para ulama masih diperselisihkan Syarat saksi harus muslim bagi pandangan ulama pada umumnya berlaku untuk semua akad nikah. Namun demikian mazhab Hanafi mempuyai pandangan adanya pengecualian pada saksi untuk nikah yang mempelainya bukan muslim. Dalam hal ini, Hanafiyyah menyatakan apabila dua pihak yang melakukan akad nikah bukan muslim, baik keduanya terikat dalam satu agama atau agama yang berbeda. Demikian dikemukakan oleh al-Jaziri. 133 Menurut mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali saksi untuk akad nikah adalah khusus lelaki semua, dan Syafi’iyyah menambahkan kata mukaqqikah artinya lelaki yang nyata lelaki tidak termasuk orang yang banci. Akan tetapi
132
Achmad Kuzari, Pernikahan Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet, 1, h. 51 133
Ibid., h. 51
Hanafiyyah mensyaratkan saksi harus ada lelaki dalam arti kalau saksi terdiri dari dua orang perempuan saja tidak sah. Dan jika terdiri dari satu orang lelaki dan dua orang perempuan maka baru sah. 134 Adil menurut Imam Syafi’i adalah orang yang saleh orang yang tidak fasiq. Prof. Mahmud Yunus mengutip pendapat Ibnu Sam’ani mengatakan adil itu harus mencakup empat syarat yaitu: 1. Memelihara perbuatan taat (amalan salih) dan menjauhi perbuatan maksiat (dosa). 2. Tidak mengerjakan dosa kecil yang sangat keji. 3. Tidak mengerjakan yang halal yang merusakkan muru’ah (kesopanan). 4. Tidak mengi’tiqadkan sesuatu yang ditolak mentah-mentah oleh dasar-dasar syara’. Dengan ketentuan bahwa saksi harus adil maka berarti orang yang tidak memenuhi sifat seperti tersebut di atas tidak sah menjadi saksi nikah. Menurut Hanafiyyah saksi tidak disyaratkan harus bersifat adil135. Terdapat beberapa indra yang sehat perlu disyaratkan agar saksi dapat menyadari dan menghayati adanya akad yang dilangsungkan. Kompilasi menegaskan pada dua macam yang disyaratkan yaitu daya ingat pendengaran yang baik. Abdur Rahman Syata’ ad-Dimyati berkomentar bahwa saksi yang buta
134
135
Ibid., h. 51 Ibid., h. 52
itu sama dengan persaksian dalam situasi gelap gulita yang tidak mengetahui siapa dan bagaimana yang terjadi dalam ijab dan qabul sehingga mengandung dua altenatif antara sah dan tidak. Pada prinsipnya orang buta bisa diterima menjadi saksi tetapi dengan pertimbangan seperti itu lebih tepat jika yang buta tidak diterima menjadi saksi. Al-Jaziri menyatakan bahwa menurut Hanafiyyah akad nikah sah dengan disaksikan orang yang bisu selama orang itu bisa mendengar dan bisa memahami.136 Ketentuan harus adanya dua orang saksi atau lebih bersumber dari haditshadits Nabi SAW yaitu :
ْDِ َ>ِ( -[ِ [َ َِحَ إ: ََلH َ-'َِ وَﺱ4ْ8َ'َ3 َُْ اD-'َْ ﺹDِOَ ْ ا,َ3 ٍ,ْ8َGُ ْ,ِ( ِْ?َان.ِ3 ْ,َ3َو ( ا1O3 4 ( ا7! رواD; kO. ,( ا1. اr?ْلٍ )ذآ1َ3 َْى1ِوَﺵَه
137
Artinya: “Dari Imran bin Husein, Nabi SAW telah bersabda : tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil” (H.R. Ahmad bin Hanbal dalam satu riwayat dari anaknya Abdullah). Rasulullah SAW bersabda :
ْDِ َ>ِ( -[ِ [َ َِحَ إ: ََلH ْ-'َِ وَﺱ4ْ8َ'َ3 ُ اD-'ََلَ رَﺱُ>ْلَ اِ ﺹH : َْ َH ِ7َPَِ3 , ْ َ3 (D VHار1 اrُ )روا4َ CDِ َْ [َو,َ CDِ ََنُ وVْ'ُ َ; َ=َ?ُوْاPَ# ْْلٍ ;َِن1َ3 َْى1ِوَﺵَه
138
136
137
ibid., h. 54 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), cet I, h. 87
Artinya: “Dari Aisyah ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil, kemudian jika mereka berselisih, maka penguasa (hakimlah) yang menjadi walinya bagi yang tidak ada walinya” (H.R. Daruqutni). Akad nikah menjadi tidak sah apabila disaksikan oleh dua orang hamba, dua orang wanita, dua orang fasiq, dua orang tuli, bisu, buta atau dua orang yang tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh dua pihak pengikat pernikahan, dan juga dengan saksi orang yang ditentukan selaku wali. 139 Asy-Syaukani menjelaskan hadits-hadits ini sebagai dalil bahwa adanya kesaksian dalam akad nikah sebagai syarat. Menurut Turmuzi, pendapat ini bersumber dari kalangan ulama dari sahabat-sahabat Nabi SAW dan periode berikutnya dari Tabi’in dan lain-lain. Mereka berkata “ tidak ada nikah tanpa ada saksi. Tidak ada yang berbeda pendapat dalam hal ini melainkan sebagian ulama Mutaakhirin. Perbedaan pandangan mereka dalam masalah ini ialah apabila saksi itu tediri atas seorang laki-laki kemudian menyusul seorang laki-laki sesudahnya.dalam hal ini sebagian besar ulama kufah dan lainnya berkata : Tidak sah nikah sehingga disaksikan oleh dua orang saksi secara bersama-sama pada waktu dilangsungkannya akad nikah.140
138
Ibid., h. 87
139
Aliy As’ad, Fathul Mu’in, h. 35
140
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, h. 88
Menurut sebagian ulama Madinah, diperbolehkan saksi seorang kemudian sesudah itu seorang lagi, apabila diumumkan sebelumnya. Ibnu Taimiyah berkata dalam Al-Ikhtiyat adalah yang tidak diragukan ialah bahwa nikah yang diumumkan (dihadiri orang banyak) adalah sah, meski secara formal tidak ada dua orang saksi141 Abu Hanifah berpendapat tentang hukum kesaksian orang fasik bahwa pernikahan dapat terjadi (sah) dengan kesaksian orang-orang fasik, karena baginya saksi itu dimaksudkan sebagai pemberitahuan saja. Imam Malik berpendapat, kesaksian tidak memuat maksud pemberitahuan, apabila dua orang saksi itu dipesan untuk merahsiakan. Sedangkan menurut imam Syafi’i, kesaksian itu mengandung dua tujuan; pemberitahuan dan penerimaan. Oleh karena itu, imam Syafi’i mensyaratkan orang yang menjadi saksi haruslah bersikap adil.142 Syarat inilah yang membedakan antara pernikahan dengan penzinaan. Para ulama berselisih tentang perkara yang menjadi syarat sahnya pernikahan, persaksian atau pengumuman , atau keduanya, atau salah satu dari keduanya, atau tidak keduaduanya. Mereka berargumen dengan tambahan yang disinyalir dalam hadits, ”Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan (dua orang saksi yang adil). 143
141
Ibid., h. 88
142
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fikih Para Mujtahid, h. 431
143
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah, menghuraikan bab pakaian dan perhiasan, Nikah, Talak, Warisan. (Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2006), Cet 1, h. 202
Mazhab Jumhur ulama Abu Hanifah, imam Malik, dan pendapat yang dipegang oleh kalangan muta’akhirin (dari pengikut imam Malik) mengatakan persaksian adalah syarat dan pengumuman adalah anjuran.144 Riwayat dari Aisyah r.a secara marfu’, “setiap pernikahan yang tidak dihadiri oleh empat orang, ia adalah perzinaan seperti meminang, wali, dan dua orang saksi. Pendapat yang sahih dari imam Malik, satu riwayat dari Ahamad dan sebagian kalangan Hanafiyah mengatakan pengumuman adalah syarat dan persaksian adalah anjuran. Inilah pendapat yang dipilih oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mereka berkata, “jika wali menikahkan wanita tanpa saksi, lalu pernikahan itu diumumkan dan tersiar di tengah masyarakat, maka pernikahannya telah sah dan tujuannya telah tercapai. Karena yang diperintahkan ialah mengumumkan, seperti sabda Nabi SAW yang membawa erti: “ Umumkanlah pernikahan”.145
144
Ibid., h. 202
145
Ibid., h. 202
BAB IV PENDAPAT HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH
A. Pendapat Para Ulama Secara Umum Kesaksian terhadap akad nikah adalah perkara wajib dan merupakan syarat keabsahan nikah menurut banyak ulama. Diantara mereka adalah Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Ulama berbeda pendapat mengenai hal ini hanya bila saksi satu-persatu. Mayoritas ulama Kufah dan selainya berpendapat bahwa nikah tidak sah sebelum dua saksi bersaksi secara bersama-sama pada saat akad nikah dilangsungkan. Sebagian ulama Madinah yaitu imam Malik bin Anas meriwayatkan apabila saksi bersaksi satu-persatu, maka hukumnya boleh bila mereka mengumumkan pernikahan itu146. Dalam kitab al-Muwaththa’, imam Malik meriwayatkan dari Abu Zubair al-Maliki, bahwa Umar bin Khaththab pernah mendatangi pernikahan yang tidak disaksikan kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka Umar berkata : “ini adalah nikah sirri, dan aku tidak membolehkannya”.
146
Syaikh Hasan Ayyub, Panduan Keluarga Muslim, (Kairo-Mesir: Daar As-Salam, 2002), Cet. I, h. 216 2 Ibid., h. 216
Imam Ahmad dan Ishak mengatakan diperbolehkan kesaksian satu orang saksi laki-laki dan dua orang perempuan dalam satu pernikahan.147 Dalam kitab al-Bahr dari Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Abdurrahman bin Mahdi dan Dawud, bahwa ia tidak mensyaratkan saksi dalam pernikahan.148 Imamiyah berpendapat bahwa kesaksian dalam perkawinan hukumnya adalah istishab, dianjurkan, dan bukan merupakan kewajipan. 149 Jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa saksi sangat penting adanya dalam pernikahan. Apabila tidak dihadiri oleh para saksi, maka hukum pernikahan menjadi tidak sah walaupun diumumkan oleh khalayak ramai dengan cara lain. Karena saksi merupakan syarat sahnya pernikahan. Bahkan imam Syafi’i mengatakan bahwa saksi dalam akad nikah merupakan rukun pernikahan. 150 Jika para saksi yang hadir diamanatkan oleh pihak yang mengadakan akad nikah agar merahsiakan dan tidak memberitahukannya kepada khalayak ramai, maka nikahnya tetap sah. 151 Imam malik dan para sahabatnya mengatakan bahwa saksi dalam akad nikah itu tidak wajib dan cukup diumumkan saja. Mereka beralasan bahwa jual beli yang di dalamnya disebut soal mempersaksikan ketika berlangsungnya jual 147
148
Ibid., h. 216 Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2001). Cet 1, h.
65 149
Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, (Beirut: Dar al-Jawad, 1996), cet. I.
h. 314 150
Slamet Abidin, Aminuddin, Fikih Munakahat 1 Untuk Fakultas Syari’ah Komponen MKDK, h.99 151 Ibid., h. 99
beli sebagaimana tersebut di dalam al-Quran bukan merupakan sebagian dari syatar-syarat yang wajib dipenuhi.152 Mempersaksikan ini dilakukan setelah ijab qabul untuk menghindari perselisihan antara kedua mempelai. Jika waktu ijab qabul tidak dihadiri oleh pihak saksi, tetapi sebelum mereka bercampur kemudian mempersaksikan, maka pernikahanya tidak batal, tetapi jika sudah bercampur belum dipersaksikan maka nikahya batal.153 Ibnu Munzir berpendapat bahwa tidak ada satu pun hadits sahih tentang syarat dua orang saksi dalam pernikahan.154 Yazid bin Harun berkata bahwa Allah SWT memerintahkan mengadakan saksi dalam urusan jual beli, bukan dalam pernikahan. Akan tetapi golongan rasionalis (pemakai dasar qiyas) mensyaratkan adanya saksi dalam pernikahan dan mereka tidak mensyaratkan saksi dalam jual beli. Jika telah terjadi akad nikah, tetapi dirahsiakan dan mereka memesankan kepada orang yang hadir agar merahsiakan pula, maka pernikahanya sah, tetapi makruh karena menyalahi perintah syariat agar mengumumkan pernikahan.155 Ibnu Wahab meriwayatkan dari imam Malik tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan dengan disaksikan oleh dua orang laki-laki, tetapi dipesan agar mereka merahsiaknnya. Menurut beliau, keduanya harus
152
Ibid., h. 99
153
Ibid., hal. 99
154
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Darl Fath, 2004), jilid 2, h. 542
155
Ibid., h. 542
diceraikan dengan satu talak, tidak boleh menggaulinya, tetapi isterinya berhak atas maharnya yang telah diterimanya, sedangkan kedua orang saksinya tidak dihukum.156 Malik dari Abiz-Zubair mengatakan: “Bahwa dibawa kepada Umar pernikahan yang tiada disaksikan pada perkawinan tersebut. Maka Umar r.a berkata: ini perkawinan rahsia. Saya tidak memperbolehkannya. Jika engkau telah bersetubuh pada perkawinan tersebut, nescaya saya rejam”.157 Ibnu Taimiyyah menentang persyaratan adanya saksi saja (tanpa ada pengumuman) adalah lemah tidak berdasarkan kitab ataupun sunnah, karena tidak ada satu hadits pun dari Nabi SAW yang menjelaskan hal itu. Di antara sesuatu yang tidak mungkin adalah bahwa Rasulullah SAW tidak menjelaskan syaratsyarat suatu perkara yang boleh dilakukan oleh kaum muslimin, padahal ini termasuk sesuatu yang sangat sering dilakukan oleh banyak orang.158 Para fuqaha’ sepakat menyatakan bahwa kehadiran saksi dalam majlis akad nikah tidak boleh diabaikan karena saksi menjadi bagian penting dalam akad tersebut. Tiga imam mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali memandang saksi sebagai unsur
156
Ibid., h. 542
157
Al-Imam-Asy-Syafi’i.R.A. Al-Umm Kitab Induk, (Kuala Lumpur: Victory Agencie), jilid 7,
h. 176 158
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Ensiklopedia Fiqih Wanita, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008), Cet 1, h. 279
mutlak, saksi adalah rukun dari akad nikah yang tidak sah akadnya bila ditinggalkan. Jika dalam majlis akad nikah tidak dihadiri dua orang saksi maka akad nikah itu batal. Peran penting saksi dalam keabsahan akad nikah ini oleh fuqaha’ disepakati berhubung karena mendapatkan hadits mengenai saksi nikah dalam sejumlah riwayat, meskipun dalam bunyi matan yang bervariasi.159 Dipandang oleh fuqaha’ dari jumlah dan variasi itu, lalu satu sama lain dijadikannya sebagai syahidul hadits yang saling memperkuat kedudukan nilai hadits dasar hukum yang dipegangi. Matan hadits yang ditakhrijkan asy-Syafi’i riwayat dari sumber Ibnu ’Abbas sebagai berikut:
ٍْل1َ3 َْى1ِِ وَ ﺵَه1ِ] ُ?ْﺵDِ َ>ِ( -[ِ[َ َِحَ ا
160
Artinya: “Tidak dianggap sah suatu perkawinan kecuali dengan wali yang cakap dan dua orang saksi yang adil” Imam malik berpendapat apabila suatu majlis akad nikah tidak dihadiri oleh seorang saksi, kemudian diberitahukan kepada khalayak secara terbuka maka akad nikah itu bisa menjadi sah. Tetapi apabila suatu majelis akad nikah dihadiri saksi dan saksi itu dibebani agar tidak memberitahukan kapada siapa pun maka akad nikah tersebut tidak sah. Akad nikah dalam pernikahan menurut beliau bukan wajib tapi sunnah hukumnya.161
159
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995), Cet 1,
h. 47 160
Ibid., h. 49
161
Ibid., h. 48
Sabda Rasulullah SAW sehubungan dengan akad nikah dan pengumumannya diriwayatkan oleh Aisyah r.a:
ِ;ُ>ْفC1 ِ( ِ4ْ8َ'َ3ِ وَاﺽْ?ِ(ُ>ْا1ِ=ََ. ْ اDِ; ُrْ>ُ'َْ=َحَ وَاE ْ'ِ ُ>ْا هَ}َا ا3َا
162
Artinya: “Umumkanlah akad nikah ini dan lakukanlah pengumuman itu melalui mesjid, pukullah di sana rebana”.
B. Pendapat Mazhab Syafi’i Imam Syafi’i berpendapat bahwa kehadiran saksi pada saat akad pernikahan adalah sebagai syarat sah pernikahan. Dan kehadiran saksi dalam akad pernikahan adalah wajib, jika pada saat akad pernikahan tidak dihadiri oleh para saksi, maka akad pernikahan yang berlangsung menjadi tidak sah163 Sebagaimana sabda Nabi SAW:
ْDِ َ>ِ( -[ِ [َ َِحَ إ: ََلH ْ-'َِ وَﺱ4ْ8َ'َ3 ُ اD-'ََلَ رَﺱُ>ْلَ اِ ﺹH : َْ َH ِ7َPَِ3 ْ,َ3 (D VHار1 اrْلٍ )روا1َ3 َْى1ِوَﺵَه
164
Artinya: “Dari Aisyah Ra beliau berkata, bersabda Rasulullah saw tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil” (H.R Daruqutni).
162
Ibid., h. 49
163
Abdurrahman al Jaziri, al fiqh al Mazhibil Arba’ati , ( Mesir: Dar al-Haitsamari,t.th), h. 826
164
Ibid., h. 826
Berdasarkan sabda Nabi saw di
atas, maka kehadiran saksi dalam akad
pernikahan merupakan syarat sah pernikahan dan hukumnya adalah wajib. Dua orang saksi dalam akad pernikahan menurut imam Syafi’i adalah165: 1. Islam. Dalam akad pernikahan beliau mengatakan bahwa saksi orang bukan Islam adalah tidak sah karena akad nikah merupakan urusan agama. 2. Berakal. Maka tidak sah jika mempersaksikan orang gila atas sebuah akad pernikahan. 3. Lebih dari satu. Tidak sah akad pernikahan jika dihadiri oleh satu orang saksi. 4. Laki-laki. Akad nikah akan menjadi tidak sah jika tidak dihadiri oleh lakilaki. 5. Baligh. Maka tidak sah akad pernikahan jika disaksikan oleh kanak-kanak walaupun sudah mumayyiz. 6. Merdeka. Orang yang menjadi saksi dalam akad pernikahan haruslah orang yang merdeka. Oleh itu, tidak sah akad pernikahan jika disaksikan oleh hamba (budak). 7. Adil. Persaksian dalam akad pernikahan dari orang yang tidak berlaku adil adalah tidak sah.
165
Mustofa Al-Khin, dkk, Kitab Fikah Mazhab Syafi’i Menguraikan Bab Undang-undang Kekeluargaan,h. 632
8. Melihat. Akad tidak berlaku jika saksi buta karena perkataan yang dilafazkan tidak boleh diperakui kecuali dengan menentukan orang yang tidak buta. 9. Mendengar. Akad yang disaksikan oleh saksi pekak atau tidur adalah tidak sah, karena tujuan menjadi saksi tidak tercapai dan akad yang disaksikan adalah perkataan yang dilafazkan. Oleh itu, saksi mesti mendengar akad dalam pernikahan166. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan pendapat imam syafi’i dalam hukum kesaksian dalam akad nikah merupakan rukun dan syarat yang wajib dilaksanakan. Jika rukun dan syarat tersebut tidak terpenuhi maka akad yang berlaku dalam pernikahan menjadi tidak sah. Pernikahan dalam keadaan tidak sah adalah perkara yang mendapat dosa daripada Allah swt.167 C. Dalil-dalil Yang Digunakan Serta Pemahamanya Dalil-dalil yang digunakan tentang pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah, berdasarkan sabda Nabi SAW:
(1. اrْلٍ )روا1َ3 َْى1ِ] وَ ﺵَهDِ َ>ِ( -[ِ[َ َِحَ ا
168
Artinya: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil” (H.R Ahmad)
166
Ibid., h. 632
167
Ibid., h. 632
168
Abd. Rahman Ghazaliy, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana 2006), Cet 2, h. 47
Nabi SAW bersabda:
ِ7ََ(ْْ اَر,ِ َِحE ْ اDِ; -1ُ( َ[ : َ-'َِ وَﺱ4ْ8َ'َ3 ُ اD-'ََلَ رَﺱُ>ْلَ اِ ﺹH : َْ َH ِ7َPَِ3 , ْ َ3 (D VHار1 اr ِ)روا,ْ!َ1ِه-P وَا،ُوْج- وَا،CDِ َ>ْ َا
169
Artinya: “ Dari Aisyah Ra beliau berkata: bersabda Rasulullah saw: diharuskan dalam sebuah pernikahan terdiri dari empat hal, yaitu; wali, bakal suami, dan dua orang saksi yang adil” (H.R Daruqutni) Hadits riwayat Aisyah ra:
ِْنSَ; ٌkِ*َ( َ>ُ:َ; َ+ِ ْ?ِ ذَا8َ@ Dَ'َ3 َِحE ْ ا,ِ َْلٍ وََ آَن1َ3 َْى1ِ] وَﺵَهiِ َ>ِ( -[ِ[َ َِحَ إ (ى8?0 اrُ )روا4َ ٌiِ َْ [َ و,َ ٌiِ ََنُ وVْ'C َ; َ=َ?ُوْاPَ#
170
Artinya: “Nikah tidak sah kecuali ada dua orang saksi dan apabila pernikahan diadakan tanpa saksi maka pernikahan itu batal, dan apabila mereka berselisih maka penguasa menjadi wali bagi yang tidak mempuyai wali” (HR. at-Tirmidzi). Pemahaman yang dapat disimpulkan oleh penulis berdasarkan sabda Nabi SAW tentang hadits di atas adalah kehadiran saksi sangatlah diharuskan dalam akad pernikahan. Tujuan kehadiran saksi adalah untuk melindungi hak seorang
169
170
Ali Umar Ad Daruqutni, Sunan Ad Daruqutni, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), juz 1, h. 39
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Elsas (Jakarta: 1998) cet 1, h. 27
isteri dan anak, supaya seorang suami tidak mengingkari dan menyia-nyiakan keturunannya. Oleh itu, kehadiran saksi dalam akad nikah untuk menghindari pasangan suami isteri dari perasangka buruk dari orang lain, dan untuk menjelaskan pentingnya pernikahan dalam kehidupan. 171 Karena disunatkan untuk menyaksikan kerelaan pengantin perempuan untuk melaksanakan akad. Ini berlaku dengan cara dua orang saksi yang cukup syarat mendengar keizinan dan keredhaan pengantin perempuan untuk melaksanakan akad seperti dia berkata: “Aku rela dengan akad ini”. Atau “Aku mengizinkan akad nikah ini”. Ini dilakukan sebagai langkah berjaga-jaga untuk menjamin tidak berlaku pengingkaran selepas akad nikah. 172 Pernikahan yang diadakan secara sembunyi (tanpa saksi) akan mengundang perasangka buruk. Diantaranya adalah timbul fitnah dan tuhmah. Karena saksi adalah sebagai penentu dan pemisah antara yang halal dan haram. Perbuatan halal biasanya dilakukan secara terbuka dan terang-terangan, karena tidak ada keraguan, sedangkan perbuatan haram biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. 173 Secara eksplisit banyak ulama mazhab yang mewajibkan adanya saksi dalam akad nikah dan ada pula yang mensunnahkan saja. Hal ini dikarenakan
171
Mustofa Al-Khin, dkk, Kitab Fikah Mazhab Syafi’i Menguraikan Bab Undang-undang Kekeluargaan, h. 632 172
Ibid., h. 632
173
Ibid., h. 632
adanya perbedaan intepretasi dan cara pengambilan hukum dari ayat al-Quran ataupun hadits.174
D. Akibat Hukum Akibat hukum tentang kehadiran saksi dalam akad nikah adalah untuk menjaga kemaslahatan kedua belah pihak dan masyarakat, apabila salah seorang mempelai mengingkari dan masyarakat mencuriga dengan kedua mempelai. Maka kehadiran saksi adalah untuk mengungkapkan kebenaran peristiwa perkawinan tersebut. Karena saksi adalah orang mengetahui secara lansung suatu peristiwa, dan saksi tersebut bertanggung jawab terhadap kesaksian tersebut apabila suatu ketika kesaksinnya dibutuhkan demi kepentingan hukum. Karena saksi merupakan alat bukti untuk mengungkapkan kebenaran dari apa yang telah disaksikannya.
Saksi
hendaklah
benar-benar
mengungkapkan
apa
yang
disaksikannya karena orang lain ingin mendengar dan mengetahui sebenarnya dan peristiwa yang telah terjadi, karena saksilah yang mengetahui kejadian dan suatu peristiwa yang orang lain tidak ketahui.175 Fungsi utama kehadiran saksi dalam akad nikah adalah untuk memberitahukan kepada masyarakat si fulan telah menikah dan untuk menghindari dari terjadinya keingkaran. 174
175
Ibid., h. 632
Zakiah Darajat,dkk, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departmen Agama, 1984), cet 2, h.9
ُ 1َ:ِْ أَﺵ%ْ&َ'ِ( ِ?ْ8َz ْ اDَ'َ3 ِ?ْ8َzْ'َ ]^َ َُرOْ3َِ إ:-َإ 176
Artinya: “Bahwasanya saksi itu adalah memberitahukan dengan sebenarnya hak seseorang terhadap orang lain dengan lafadz aku bersaksi” Dengan demikian dalam suatu acara akad perkawinan mestilah adanya rukun dan syarat yang tidak boleh tertinggal, karena jika keduanya tidak ada atau tidak lengkap maka perkawinan yang dilaksanakan tidak sah. Karena keduanya mengandung dua arti yang berbeda. Syarat-syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan. Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi maka sahlah pernikahan dan menimbulkan kewajiban dan hak sebagai suami isteri. Pada garis besarnya syarat sah pernikahan terbagi pada dua yaitu, laki-laki dan perempuan sah untuk dinikahi dan dan akad nikahnya dihadiri oleh
para saksi. Rukun
pernikahan menurut Imam Syafi’i yaitu, adanya calon suami dan isteri yang akan melakukan pernikahan, adanya wali dari pihak calon pengantin wanita, dua orang saksi dan sigat akad nikah. 177 Oleh karena akad nikah dan kesannya amat besar dan berat yaitu menghalalkan kehidupan suami isteri, wajibnya memberikan mas kahwin kepada isteri, nafkah, dan sebagainya. Islam telah mengambil langkah berjaga-jaga dengan mewajibkan adanya saksi untuk menyaksikan akad nikah yang akan dilansungkan. Disamping
176
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahali, Qalyubi Wa Umairah, h. 316
` 177
Slamet Abidin, Aminuddin, Fikih Munakahat 1, h. 72
meletakkan beberapa syarat pada saksi yang melayakkannya menjadi tempat kepercayaan untuk memperakui kesan-kesan tersebut apabila diperlukan yaitu ketika difitnah dan berlaku kekecokan antara suami isteri atau salah seorang enggan melaksanakan hak-hak dan tanggungjawab.178 Dengan demikian jelaslah bahwa perkawinan yang berlansung tanpa ada saksi akan menimbulkan permasalahan dan sukar dalam menyelesaikan masalah yang telah berlaku dalam pernikahan179.
178
Ibid., h. 72
179
Ibid., h. 72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah penulis menjelaskan dan menghuraikan mengenai hukum kesaksian dalam akad nikah, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: 1. Mengenai konsep saksi dalam akad nikah menurut ulama fikih adalah kehadiran saksi dalam akad pernikahan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Jika saksi tidak menghadirkan diri ketika berlangsungnya majelis akad nikah, maka akad pernikahan yang dilakukan menjadi tidak sah. Ulama fikih mementingkan kesaksian dalam akad nikah adalah bertujan untuk kemaslahatan kepada suami isteri apabila terjadi keingkaran di kalangan masyarakat. karena fungsi saksi adalah untuk melihat akad pernikahan dan memberitahu kepada masyarakat yang menginkari terhadap pernikahan tersebut. Mereka mensyaratkan saksi yang menghadiri hendaklah dari kalangan laki-laki seramai dua orang. 2. Adapun pendapat mazhab Syafi’i terhadap hukum kesaksian dalam akad nikah adalah bahwa kehadiran saksi pada saat akad pernikahan adalah sebagai syarat sah pernikahan. Dan kehadiran saksi dalam akad pernikahan adalah
wajib, jika pada saat akad pernikahan tidak dihadiri oleh para saksi, maka akad pernikahan yang berlangsung menjadi tidak sah. Beliau mensyaratkan saksi yang menghadiri dan menyaksikan akad pernikahan harus memiliki sifat adil sehingga akad pernikahan menjadi sah. Adil menurut beliau yaitu orang muslim, mukallaf, dan bukan dari kalangan orang fasik, merdeka, dan memiliki keberanian. Karena tujuan kesaksian adalah untuk memberitahukan kapada khalayak ramai. 3. Dalil yang digunakan oleh mazhab Syafi’i terhadap hukum kesaksian dalam akad nikah yaitu: Sebagaimana sabda Nabi saw:
ٍْل1َ3 َْى1ِ] وَﺵَهDِ َ>ِ( -[َِ [َ َِحَ إ-'َِ وَﺱ4ْ8َ'َ3 ُْ اD-'ََلَ رَﺱُ>ْلَ اِ ﺹH : َْ َH ِ7َPَِ3 ْ,َ3 180
(D VHار1 اr)روا
Artinya: “Dari Aisyah Ra beliau berkata, bersabda Rasulullah saw tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil (H.R Daruqutni)”. Berdasarkan sabda Nabi saw diatas, maka kehadiran saksi dalam akad pernikahan merupakan syarat sah pernikahan dan hukumnya adalah wajib. Jika dalam akad pernikahan tidak terdapat saksi maka akad pernikahan menjadi tidak sah. Persepsi kehadiran saksi dalam akad nikah menurut
180
Slamet Abidin, Aminuddin, Fikih Munakahat 1 Untuk Fakultas Syari’ah Komponen MKDK, h.100
kompilasi hukum islam adalah mengharuskan adanya saksi dalam akad perkawinan, karena adanya saksi dalam akad perkawinan merupakan sebagai rukun pelaksanaan akad nikah. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.
4. Mengetahui faktor apakah yang mewajibkan saksi dalam akad nikah mengikut mazhab Syafi’i adalah untuk menjauhi dari pengingkaran dan masyarakat curiga dengan kedua mempelai, maka kehadiran saksi adalah untuk menjelaskan kebenaran terhadap perkawinan yang dilangsungkan kepada masyarakat. Jika perkawinan tidak dihadirkan oleh saksi, maka akan menyukarkan untuk menjelaskan pengingkaran dari masyarakat. faktor inilah mazhab Syafi’i mewajibkan kehadiran saksi dalam akad nikah.
B. Saran-saran 1. Saksi hendaklah hadir ketika berlangsungnya akad nikah dan hendaklah membuat persiapan yang matang karena peristiwa itu sakral (ada kaitan dengan Allah) dalam perkawinan. 2. Kehadiran saksi dalam akad nikah perlu dimasukkan di dalam kurikulum baik tsanawiyah maupun aliyah.
3. Penjelasan
mengenai
kehadiran
saksi
dalam
akad
nikah
perlu
disosialisasikan melalui pidato, khutbah Jumat dan ceramah agama. DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemah Al-Khin, Dr. Mustofa. etc.. Kitab Fikah Mazhab Syafie Menghuraikan Bab Undangundang kekeluargaan: Nikah, Talak, Nafkah, Penjagaan Anak-anak, Penyusuan, Menentukan Keturunan Anak Buangan, Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn. Bhd. 2005.
Abdurrahman Asy-Syarqawi, Al Hamid Al Husaini et.al (terj), Riwayat Sembilan Mazhab Al Imam Mazhab, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000, Cet 1
Abidin, Drs. Slamet, Fiqih Munakahat 1, Pustaka Setia, Bandung, 1999, Cet. I.
Ayyub,Syaikh Hasan, Panduan Keluarga Muslim, Daar As-Salam, Kairo-Mesir, 2002, Cet. I.
Al-Shabuni, Ali, Muhammad al Zawaj al Islam al Mubakir: Sa’adah Wa Hasanah (Kawinlah Selagi Muda) penerjemah Muhammad Nurdin, Jakarta: PT Serambu Ilmu Semesta, 2002, Cet 3.
As-Sayyid Salim, Abu Malik Kamal, Ensiklopedia Fiqih Wanita, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008, Cet 1.
As-Sayyid Salim, Abu Malik Kamal, Sahih Fikih Sunnah, menghuraikan bab pakaian dan perhiasan, Nikah, Talak, Warisan. Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2006, Cet 1.
As’ad, Drs. H. Aliy, Fathul Mu’in, Menara Kudus, Yogyakarta, 1979 M, Jilid 3. Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuhu, Dar al-Fikr: Beirut 1998, cet. Ke-2, juz ke-7.
Abidin, Slamet. Fiqih Munakahat 1 Untuk Fakultas Syari’ah Komponen MKDK, Bandung: Pustaka Setia, 1999, Cet I.
Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antara Mazhab, PT. Prima Heza Lestari, 2006, cet. I.
Abu Amar, Imron. Fat-Hul Qarib, Menara Kudus, jilid 2.
Ad Daruqutni, Ali Umar. Sunan Ad Daruqutni, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, juz 1.
Al-Imam-Asy-Syafi’i.R.A. Al-Umm Kitab Induk, Kuala Lumpur: Victory Agencie, jilid 7. Al Shabagh, Mahmud, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991, Cet 1.
A.W. al-‘aqil, Muhammad, Manhaj ‘Akidah Imam Asy-Syafi’i, Penerjemah: Nabhani, Saefudin Zuhri, (Saudi Arabi: Maktabah Adhwa as-Salaf Riyadh, 1998) Cet 1, Chalil, Moenawar, Biografi Emapat Serangkai Al-Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet, 11
Djalil, A.Basiq, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo Topik-Topik Pemikiran Aktual Diskusi Pengajian, Ceramah, Khutbah, Dan Kuliah Subuh, Jakarta: Qalbun Salim, 2006, Cet 1.
Djaelani, Abdul Qadir. Keluarga Sakinah, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1995. cet. I.
Darajat, Zakiah dkk. Ilmu Fiqih, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departmen Agama, 1984, cet. 2.
Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999, Cet 6.
Ghazaliy, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana 2006, Cet 2.
H.Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, CV. Akademika Pressindo 2007, Cet. IV.
Hosen, Ibrahim, fikih perbandingan, Jakarta: Balai Penerbitan dan Perpustakaan Islam Yayasan Ihya’ Ulumiddin, 1971.
Ibnu Hajar, Asqalani, Fathul Baari Syarh Shahih Al-Bukhari, terjemah : Aminuddin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2005, cet. Ke-1.
Kuzari, Achmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995, Cet 1.
Ahmad al-Mahali, Jalaluddin Muhammad, Qalyubi Wa Umairah, Riyadh: Maktabah Ar-Riadkil Haditsh, tth, jilid IV.
Mughniyah,Muhammad Jawad, Fikih Lima Mazhab, Dar al-Jawad, Beirut, 1996, cet. I. Muhammad A’ud al-Jaziri,Abdul Rahman, Al-Fiqhu Ala Mazahibilarba’ati, Daritturasi, Kairo-Mesir, 2005, jilid keempat, cet. I.
Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, Cet 1. Mujieb, M. Abdul, Mabruri Tholhah, Syafi’ah Am, Kamus Istilah Fiqih, PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, cet. II
Poewadarminto, WJS Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, jilid 2, Semarang: CV Asy Syiea’,1990, Jilid. II.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kecana, 2006, cet.II.
Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta : Kencana, 2003, cet. II.
Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Elsas Jakarta: 2008, cet-1,
Suemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang perkawinan, UndangUndang No 1 thn 1974 Tentang Perkawinan, Yokyakarta: Liberty, 1986, cet. Ke-2. Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, Darl Fath, 2004, jilid 2.
Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah-Tangga (Keluarga yang Sakinah), Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993, Cet 1.
Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Elsas Jakarta: 1998 cet-1. Thaha, Nasahruddin. Pedoman Perkawinan Umat Islam, Bulan Bintang, Jakarta 1960, cet. III. Taimiyah, Ibnu, Hukum-Hukum Perkawinan, Jakarta: Pustaka Kautsar, 1997, Cet 7.
Tahido Yanggo, Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 1997, Cet 3. Zain Muhammad, Alshodiq Mukhtar, Membangun Keluarga Humanis Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversal Itu, Grahacipta: 1995, cet. I