POTRET SEJARAH REVOLUSI INDONESIA DALAM KUMPULAN CERPEN PEREMPUAN KARYA MOCHTAR LUBIS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh ADE NURFADILAH 1111013000100
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016
ABSTRAK Ade Nurfadilah, 1111013000100, “Potret Sejarah Revolusi Indonesia dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M.Hum. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana potret sejarah Indonesia setelah merdeka atau disebut dengan masa revolusi yang terdapat pada cerpen “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”, “Ceritera dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka” guna menambah wawasan sejarah dan meningkatkan rasa nasionalisme. Metode yang digunakan adalah kualitatif dan pendekatan yang digunakan adalah mimetik. Adapun hasil pembahasannya, yaitu: 1) Potret peristiwa yang terjadi selama masa revolusi Indonesia dalam cerpen “CSMHJMD”, “Ceritera dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka”: dalam poin ini terdapat gambaran mengenai pemberontakan di Sumatera Timur, gambaran mengenai kondisi pemuda Indonesa yang menyelundupkan senjata dari Singapura, gambaran mengenai hasil keputusan KMB yang merugikan, dan kerasnya Belanda dalam mempertahankan Irian Barat. Selain itu di dalamnya juga terdapat potret kerjasama/hubungan dengan negara lain, di antaranya: hubungan dengan negara komunis, Singapura, India (New Delhi), dan Uni Soviet. 2) Potret dampak revolusi Indonesia, dalam poin ini dampaknya adalah tumbuh rasa empati dalam diri pemuda Indonesia, dan adanya beberapa masalah lama yang tidak kunjung selesai. 3) Persamaan dan perbedaan, dalam poin ini persamaannya adalah sama-sama membahas peristiwa selama masa revolusi, membahas hubungan dengan negara lain, dan menampilkan dampak dari masa revolusi. sementara perbedaan terletak pada aliran yang digunakan. Cerpen “CSMHJMD” menggunakan aliran psikologi, “Si Djamal Anak Merdeka” menggunakan aliran Struktural, sementara “Ceritera dari Singapura” tidak termasuk ke dalam aliran mana pun karena yang ditampilkan hanya salah satu kegiatan di masa revolusi. Implikasinya dapat diterapkan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas XII dengan SK: Memahami wacana sastra puisi dan cerpen. Kata Kunci: Potret sejarah revolusi Indonesia, cerpen, pembelajaran sastra, Perempuan, Mochtar Lubis.
i
ABSTRACT Ade Nurfadilah. 1111013000100, “A Portrait History of Indonesian Revolution in a Collection of Perempuan Short Stories by Mochtar Lubis and its Implication on Indonesian Languages and Literature Learning”. Indonesian Language and Literature Education Department, Faculty of Tarbiyah and Teaching Science, Islamic State University Of Syarif Hidayatullah Jakarta. Advisor: Novi Diah Haryanti, M. Hum. This study aimed to see how the portrait of Indonesian history after the independence, or it can be known as revolution period which written on short stories of “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”, “Ceritera dari Singapura”, and “Si Djamal Anak Merdeka” to add history knowledge and increase nationality sense. The study uses a qualitative method and a mimetic approach. The result of this study are: 1) A portrait of events which occurred at Indonesian revolution period in short stories of “CSMHJMD”, “Ceritera dari Singapura”, and “Si Djamal Anak Merdeka”: in this point, ther are a descriptions about insurgence in East Sumatera, Indonesian youth condition whom hold weapon illegally from Singapore, the result of KMB decision which loss, and tough of Dutch in holding west Irian. In addition,there are foreign cooperation includes: relation with communist state, Singapore, Hindus’ (New Delhi), and Soviet Union. 2) A portrait of the impact of Indonesian revolution: in this point the impact is growing sense of empathy on the Indonesian youth, and the existence of some old problems unresolved. 3). The equality and differences: in this point the equality is discussing about the events during revolution, foreign coorperation, and showing the impact of revolution period. While the differences used the ism term. On short story of “CSMHJMD” used a psychologism , “Si Djamal Anak Merdeka” used a structuralism, while the short story of “Ceritera dari Singapura” is not used at all because there is only one of the activities of the revolution. The implication can be applied in Indonesian language and literature learning at the twelfth senior high school in standard competency on understanding the discourse of literary poetry and short stories. Keywords: A portrait history of Indonesian revolution, short stories, literary learning, Perempuan, Mochtar Lubis.
ii
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi robbil ‘alamiin, puja serta puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wataala yang telah memberikan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis curahkan kepada baginda Nabi Muhammad Shallahu alaihi wasalam. dan semoga kita mendapat syafaatnya kelak. Skripsi dengan judul “Potret Sejarah Revolusi Indonesia dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia” penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapat gelar sarjana pendidikan program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam proses penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat perhatian dan bantuan, baik berupa semangat, doa, dan bantuan dalam mengumpulkan data. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Makyun Subuki, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 3. Dona Aji Karunia Putra, M.A, selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Novi Diah Haryanti, M.Hum, selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan ilmu, arahan, dan masukan yang bermanfaat dengan penuh kesabaran. 5. Ahmad Bahtiar M, Hum., dan Rosida Erowati M, Hum. selaku dosen penguji yang benar-benar baik. 6. Seluruh dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu serta pengalaman berharga. 7. Kepada kedua orangtua Bapak M. Toha dan Ibu Suharti, tanpa keduanya penulis tidak bisa menjadi seperti ini.
iii
8. Kakak-kakak tercinta: Tajudin Thaha Putra, Siti Mutiah, Nurhikmah, Siti Umayah Sari, dan Abdul Aziz Muslim. Kemudian juga kakak ipar penulis: Eneng Musfiroh, Andri Wijaya, Ahmad Syaihullah FR., dan Zaidah, yang senantiasa membantu penulis ketika mendapat kesulitan, baik yang berkaitan dengan proses perkuliahan maupun di luar hal itu. 9. Keponakan-keponakan tersayang: Taju, Tiara, Adi, Nazilah, Nabil Rifqi, Sabrina, Nazmi, Liqo, Syafiq, Neysa, Abdan, dan Ibra. Tangis, tawa, dan canda mereka sangat menghibur penulis ketika merasa lelah. 10. Untuk sahabat sholiha “until Jannah”: Ayu, Biyan, Naila, dan Hafifah, yang selalu mendo’akan dan menyemangati penulis dengan tulus. 11. Untuk sahabat MTs: Bunda Maryam, Ai, dan Nur Husna. 12. Kepada kakak senior yang penulis sayangi: Ka Rizka, Ka Papat, Ka Bibeh, Ka Ara, dan Ka Dimas. Mereka adalah orang-orang terbaik yang mau berbagi ilmu. 13. Anak-anak SYLine: Riris, Dwi, Devi Pilun, Sintia Culet, Siti, Ara Unni, dan Aisyah Unni, kegilaan mereka selalu membuat penulis rindu. 14. Cebol-cebol: Mput, Astri, Amel, Mba’e, dan Ayu, mereka adalah teman istimewa. 15. Untuk Maisyah R. Putri, terimakasih atas tumpangan kosannya, untuk Atun, Marcita, Lily, Septi, dan Esih terimakasih telah menemani hari-hari penulis di kampus. 16. Teman-teman PPKT: Annisa, Ipuy, Kahfi, Shendy, dan Wildan. 17. Teman-teman Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI)
UIN
Jakarta angkatan 2011, khususnya untuk PBSI C yang selalu kompak dalam kesederhanaan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran demi menjadi lebih baik. Ciputat, 25 Februari 2016
Ade Nurfadilah
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................................
i
ABSTRACT ................................................................................................
ii
KATAPENGANTAR .................................................................................
iii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
v
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang .....................................................................
1
B. Identifikasi Masalah .............................................................
4
C. Pembatasan Masalah ............................................................
5
D. Rumusan Masalah ................................................................
5
E. Tujuan Penelitian..................................................................
5
F. Manfaat Penelitian ................................................................
5
G. Metode Penelitian .................................................................
6
H. Sumber Data .........................................................................
7
I. Teknik Pengumpulan Data ...................................................
7
J. Teknik Analisis Data ............................................................
8
LANDASAN TEORI A. Hakikat Cerpen .....................................................................
9
B. Unsur Pembangun Cerpen ....................................................
19
C. Hakikat Revolusi dan Sejarah Singkat Revolusi Indonesia .
21
D. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia..........................
30
E. Penelitian yang Relevan .......................................................
32
PENGARANG DAN KARYANYA A. Biografi Mochtar Lubis .......................................................
36
B. Pemikiran Mochtar Lubis .....................................................
38
C. Karya-karya Mochtar Lubis .................................................
39
D. Latar Belakang Terciptanya Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis ........................................
v
40
E. Sinopsis Tiga Cerpen dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis............................................................ BAB IV
42
ANALISIS DAN PEMBAHASAN KUMPULAN CERPEN PEREMPUAN KARYA MOCHTAR LUBIS A. Unsur Intrinsik Cerpen .........................................................
45
B. Potret Sejarah Revolusi Indonesia dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis ................................
95
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia .................................................................................. BAB V
126
PENUTUP A. Simpulan ..............................................................................
129
B. Saran ....................................................................................
130
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN LEMBAR UJI REFERENSI PROFIL PENULIS
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Setelah Jepang menyerah, Indonesia dikatakan sudah matang untuk memulai revolusi. Revolusi merupakan suatu momen pembebasan yang memungkinkan rakyat Indonesia menentukan masa depannya sendiri. 1 Maka setelah proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945 (revolusi nasional) muncullah serangkaian tindakan tergesa-gesa dalam mendirikan sebuah negara republik, seperti menentukan presiden dan wakil presiden, pembentukan Undang-undang Dasar, serta pembentukan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Sementara di berbagai daerah berlangsung pula revolusi sosial yang dilatarbelakangi oleh ketimpangan antara rakyat kelas bawah dan kelas atas baik dari segi ekonomi maupun segi keadilan. Proklamasi dijadikan titik awal untuk melampiaskan ketiadakadilan yang bahkan sudah dirasakan sejak bertahuntahun lamanya sehingga terjadi banyak pembangkangan. Zaman revolusi menjadi sejarah cemerlang bagi bangsa Indonesia karena pada masa ini rakyat Indonesia bahu-membahu melawan kekuasaan asing, mencari identitas bangsa, dan mengubah tatanan sosial agar lebih adil. Pada masa ini pula untuk pertama kalinya rakyat Indonesia menjalankan segala sesuatu tanpa paksaan pihak asing. Sebagai rakyat Indonesia, mengetahui sejarah perjuangan sudah menjadi suatu kewajiban, tidak hanya sebatas tahu bahwa Indonesia pernah dijajah Belanda selama kurang lebih tiga ratus tahun kemudian diganti oleh pendudukan Jepang dan merdeka pada 17 Agustus 1945. Akan tetapi rakyat Indonesia harus tahu bagaimana rumitnya masa-masa revolusi dalam merebut kemerdekaan yang sebenarnya. Tanpa adanya revolusi kita tidak bisa melihat Indonesia seperti sekarang. Maka sejarah revolusi menjadi hal yang penting 1
Robert Bridson Cribb, Gejolak Revolusi Di Jakarta 1945-1949 Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni, Terj. dari Jakarta in the Indonesian Revolution, 1945-1949 oleh Hasan Basri, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), h. 9.
1
2
untuk dipelajari dan dipahami agar rakyat Indonesia semakin pandai dalam menghargai sejarah dan jasa pahlawannya sebagaimana semboyan Soekarno yaitu “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya”. Untuk menjadi bangsa yang besar kita perlu menengok ke belakang dan bercermin pada sejarah. Sayangnya sikap tidak acuh terhadap sejarah pun sudah tertanam sejak di bangku sekolah. Anak-anak selalu menganggap pelajaran sejarah adalah pelajaran yang paling membosankan, kisah-kisah yang dipaparkan baik melalui lisan atau tulisan membuat mereka jenuh, terlebih saat mereka harus mengingat kejadian-kejadian tersebut dengan cara hafalan, bahkan bisa jadi kegiatan mengheningkan cipta hanya sebatas doa tanpa penghayatan. Melihat hal yang demikian penulis merasa perlu adanya alternatif untuk memahami sejarah agar tidak terlalu kaku, salah satu alternatifnya adalah dengan karya sastra, di sinilah sastra/pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ikut berperan karena antara sejarah dan sastra saling melengkapi. Karya sastra dapat dijadikan alat perekam sejarah sementara sejarah dapat dijadikan sebagai objek karya sastra. Salah satu karya sastra yang dapat digunakan adalah cerpen. Cerpen merupakan serangkaian cerita yang melukiskan suatu kejadian yang menyangkut persoalan jiwa atau kehidupan manusia. 2 Cerita yang dibuat sedemikian padat mengingat cerpen sendiri lebih sedikit ruang lingkupnya daripada novel. Salah satu sastrawan yang menulis kisah-kisah sejarah dalam cerpen adalah Mochtar Lubis. Ia bukan hanya seorang sastrawan melainkan juga seorang jurnalis. Setelah proklamasi Lubis bergabung dengan Antara, karena bahasa Inggrisnya bagus ia menjadi penghubung dengan para koresponden yang datang ke Indonesia. Perannya sebagai jurnalis membuat pengetahuannya akan sejarah sangat luas. Ia banyak meliput peristiwa-peristiwa penting baik peristiwa yang terjadi di Indonesia atau pun di luar negeri seperti saat pecah perang Korea
2
Widjojoko, dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI PRESS, 2006), h. 37.
3
misalnya, peristiwa perang korea pun dimasukkan ke dalam cerpennya yang berjudul “Kebun Pohon Kastanye”. Pada tahun 1956, terbit kumpulan cerpen Perempuan yang kemudian dicetak ulang pada tahun 2010 oleh Yayasan Obor Indonesia. Dalam kumpulan cerpen tersebut ada sembilan belas cerpen, beberapa di antaranya menceritakan tentang masa revolusi Indonesia, yaitu “Cerita dari Singapura”, “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”, dan “Si Djamal Anak Merdeka”. Kisah-kisah yang terdapat dalam cerpen tersebut dapat ditemukan faktanya dalam catatan sejarah Indonesa. Pada
cerpennya
yang
berjudul
“Cerita
dari
Singapura”,
Lubis
menampilkan peristiwa tentang penyelundupan senjata di Singapura saat revolusi Indonesia pecah. Penyelundupan itu dilakukan secara hati-hati karena ketika itu Singapura di bawah peraturan militer yang ketat. Pada cerpen “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri” Lubis menampilkan peristiwa tentang revolusi sosial di Sumetera Timur yaitu masalah sengketa tanah Onderneming sepeninggalan Jepang. Sementara pada cerpen “Si Djamal Anak Merdeka” Lubis menampilkan peristiwa ketimpangan sosial antara rakyat kelas atas dan kelas bawah setelah Indonesia merdeka, serta disinggung juga masalah Irian Barat. Hal ini menjadi menarik ketika sebuah sejarah ditampilkan dalam bentuk cerita pendek, yang halamannya pun sedikit. Lubis mampu menampilkan potret revolusi Indonesia dari berbagai peristiwa dengan penyajian yang padat, lugas, tidak bertele-tele dan disisipi humor-humor segar. Meski lewat cerita yang pendek Lubis tetap ingin mengajak pembaca untuk berpikir bahwa kisah yang ada dalam cerpennya tersebut merupakan masalah kita semua. Mochtar Lubis menghendaki kita untuk tidak menghakimi sesama namun bagaimana secara bersama kita membangun dan menolong kemanusiaan. 3 Inilah yang membuat penulis tertarik untuk menganalisis ketiga cerpen tesebut.
3
Mochtar Lubis, Perempuan Kumpulan Cerita Pendek, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), cetakan ke II. h. xxiii.
4
Penelitian ini pun nantinya diharapkan dapat berimplikasi pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah, karena dalam pembelajaran bahasa Indonesia, sastra memang diyakini mengandung unsur yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembentukan karakter. Sastra mempunyai andil yang tidak kecil dalam pembentukan dan pengembangan kepribadian anak. 4 Dalam hal ini karakter yang diharapkan adalah sikap nasionalisme dan cinta tanah air. Berdasarkan
latar
belakang
tersebut,
penulis
bermaksud
untuk
menganalisis apa saja peristiwa-peristiwa revolusi Indonesia yang terdapat dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis dengan menggunakan pendekatan mimetik, yaitu suatu pendekatan yang menelaah karya sastra dengan cara
mengungkapkan
hasil
imajinasi
pengarang
pembayangan, atau cermin kehidupan nyata.
5
terhadap
kenyataan,
Kemudian penulis akan
mengimplikasikannya dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Dengan demikian, penulis memilih judul: “Potret Sejarah Revolusi Indonesia dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Hak-hak kemerdekaan rakyat Indonesia setelah proklamasi masih belum sepenuhnya dirasakan. 2. Banyak rakyat Indonesia yang tidak mengetahui sejarah bangsa Indonesia. 3. Kurangnya sikap nasionalisme dan cinta tanah air dalam diri siswa. 4. Kurangnya minat siswa terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. 5. Siswa dituntut untuk memahami kumpulan cerpen Perempuan
karya
Mochtar Lubis dengan sungguh-sungguh agar siswa mampu memahami potret sejarah revolusi Indonesia yang terekam di dalamnya. 4
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2013), Edisi revisi, h. 434. 5 Widjojoko, dan Hidayat, Op. Cit., h. 21.
5
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, penulis membatasi masalah hanya pada potret revolusi Indonesia pada kumpulan cerpen
Perempuan
karya
Mochtar
Lubis
dan
implikasinya
terhadap
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
D. Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana potret revolusi Indonesia dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis? b. Bagaimana implikasi penelitian kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia?
E. Tujuan Penelitian Pada dasarnya tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui potret revolusi Indonesia dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis. b. Untuk mengetahui implikasi penelitian kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun secara praktis. Untuk lebih jelas mengenai kedua manfaat tersebut akan dijelaskan berikut ini:
1. Manfaat Teoretis Dapat dijadikan sebagai media pembelajaran di bidang sastra khususnya dalam mengkaji sejarah yang terdapat dalam cerpen. Selain itu diharapkan dapat menambah pengetahuan akan sejarash.
6
2. Manfaat praktis Adanya pembelajaran yang mengarahkan peserta didik dalam menanamkan rasa nasionalisme, cinta tanah air, keberanian, persahabatan, dan rasa tanggungjawab. Sementara bagi guru dapat dijadikan sebagai alternatif dalam mengajar dan mendidik para pesrta didik agar lebih menyenangkan.
G. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode ini dilakukan dengan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi. 6 Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Metode ini memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Cara-cara inilah yang mendorong metode kualitatif dianggap sebagai multimetode sebab penelitian pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan. 7 Ciri-ciri terpenting metode kualitatif, sebagai berikut: a. Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural. b. Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna selalu berubah. c. Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek peneliti sebagai instrumen utama, sehingga terjadi interaksi langsung di antaranya. d. Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka. e. Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing-masing. 8
6
Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Edisi Revisi, h. 46. 7 Ibid., h. 47 8 Ibid., h. 48
7
Berdasarkan pengertian dan cirinya, dapat disimpulkan bahwa metode kualitatif adalah metode yang digunakan untuk meneliti data yang bersifat alamiah, terbuka, dan dapat berubah sesuai dengan penafsiran subjek peneliti terhadap objek penelitian. Penyajian datanya dibuat dalam bentuk deskripsi yaitu berupa kata dan gambar. Dalam penelitian ini penulis akan mendeskripsikan kata, kalimat, a tau wacana dalam objek yang diamati. Dalam hal ini objek yang diamati adalah kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis dan implikasinya pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
H. Sumber Data Sumber data untuk penelitian ini terdapat dua sumber, yaitu data primer dan data sekunder. a. Sumber data primer Sumber data primer dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, cetakan kedua pada Juni 2010, dengan tebal halaman 198. Cerpen yang digunakan yaitu “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri (CSMHJMD)”, “Ceritera Dari Singapura”, “Si Djamal Anak Merdeka”. b. Sumber data sekunder Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku, artikel, dan segala macam data sebagai pelengkap atau tambahan yang memiliki hubungan dengan objek penelitian.
I. Teknik Pengumpulan Data Langkah-langkah
pengumpulan
data
dalam
kumpulan
cerpen
Perempuan: “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”, “Cerita dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka” karya Mochtar Lubis yaitu:
8
Pertama, membaca secara cermat cerpen “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”, “Cerita dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka” karya Mochtar Lubis untuk mencari kata dan kalimat yang mengandung unsur sejarah revolusi Indonesia. Kedua, penulis menandai kata dan kalimat yang berkaitan dengan sejarah revolusi Indonesia dalam cerpen “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”, “Cerita dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka” karya Mochtar Lubis. Data-data yang terkumpul digunakan sebagai data primer dalam penyusunan analisis sesuai tujuan yang akan dicapai.
J. Teknik Analisis Data Adapun langkah yang digunakan untuk menganalisis data sebagai berikut: a. Menganalisis cerpen “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”, “Cerita dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka” karya Mochtar Lubis dengan menggunakan analisis struktural untuk mengetahui bagiamana unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen-cerpen tersebut. b. Melakukan pembahasan terhadap hasil analisis yang berkaitan dengan sejarah revolusi Indonesia dalam cerpen “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”, “Cerita dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka” karya Mochtar Lubis melalui pendekatan mimetik. c. Mengimplikasikan cerpen “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”, “Cerita dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka” karya Mochtar Lubis pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah dengan menghubungkan materi pelajaran di sekolah. d. Menyimpulkan hasil penelitian.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Hakikat Cerpen Semua teks/karya rekaan yang berbentuk narasi (tidak dalam bentuk dialog) disebut dengan prosa narasi, isinya berupa sederetan peristiwa atau sejarah yang dibentuk dengan sedemikian rupa melalui percampuran antara kenyataan dengan imajinasi penciptnya. Dalam kelompok ini, cerita pendek termasuk di dalamnya. 1 Cerita pendek atau disingkat dengan cerpen adalah cerita yang melukiskan sebuah peristiwa atau kejadian apa saja yang menyangkut persoalan jiwa atau kehidupan manusia. 2 Edgar Allan Poe dalam Nurgiyantoro mengatakan bahwa “cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam”. 3 Sementara Ellery Sedgwick mengatakan dalam Tarigan “Cerita pendek adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan yang memberikan kesan tunggal pada jiwa pembaca. Cerita pendek tidak boleh dipenuhi dengan hal-hal yang tidak perlu atau “a short-story must not be cluttered up with irrelevance”.” 4 Ajip Rosidi juga memberikan batasan dan keterangan bahwa “cerpen atau cerita pendek adalah cerita yang pendek dan merupakan suatu kebulatan ide.... Dalam kesingkatan dan kepadatannya itu, sebuah cerpen harus terikat pada suatu kesatuan jiwa: pendek, padat, dan lengkap. Tidak ada bagian-bagian yang boleh dikatakan “lebih” dan bisa dibuang”. 5
1
Melani Budianta, dkk. Membaca Sastra, (Magelang: Indonesia Tera, 2006), h. 77. Widjojoko, dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia,(Bandung: UPI Press, 2006), h. 37. 3 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2013), Edisi Revisi, h. 12. 4 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: ANGKASA, 2011), Edisi Revisi, h. 179. 5 Ibid., h. 180. 2
9
10
Panjang pendeknya cerita dalam cerpen tidak menentu karena memang tidak ada kesepakatan khusus di antara para pengarang atau para ahli prihal ukuran
tersebut,
sehingga
panjang
cerpen
bervariasi.
Nurgiyantoro
mengatakan “Ada cerpen yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali: bekisar 500-an kata; ada cerpen yang panjang (long short story), yang teridiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata.” 6 Hal di atas senada dengan pembagian cerpen yang dikemukakan oleh Tarigan, yaitu berdasarkan jumlah kata dan berdasarkan nilai. Berdasarkan jumlah kata, cerpen dibagi menjadi dua: (1) cerpen yang pendek (short shor story), yaitu cerita yang jumlah kata-katanya pada umumnya di bawah 5.000 kata, maksimum 5.000 kata, atau kira-kira 16 halaman kuarto spasi rangkap, (2) cerpen yang panjang (long short story), yaitu cerita pendek yang jumlah kata-katanya di antara 5. 000 sampai 10.000 kata; minimal 5.000 kata dan maksimal 10.000 kata, atau kira-kira 33 halaman kuarto spasi rangkap. Sama halnya dengan jumlah kata, cerpen yang berdasarkan nilai sastra pun dibagi menjadi dua: (1) cerpen sastra, (2) cerpen hiburan. Apabila kita sering membaca cerpen, maka kita dapat membedakan mana cerpen yang benarbenar bernilai sastra, dan mana cerpen yang tidak bernilai sastra (ditujukan untuk menghibur saja). Di Indonesia, cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah-majalah: Indonesia, Mimbar Indonesia, Zenith, Sastra, Cerita Pendek, Horison, Budaya Jaya, adalah cerpen sastra, sementara yang dimuat di majalah Terang Bulan dan sejenisnya adalah cerpen hiburan. 7 Tarigan membagi cerpen sastra dan hiburan berdasarkan nilai, namun Widjojoko dan Hidayat membagi berdasarkan perkembangannya, yaitu: (1) Cerita pendek sastra (cerita serius) yaitu cerpen yang mengandung nilai sastra (moral, etika, dan estetika); (2) Cerita pendek hiburan (cerita pop) yaitu cerita pendek yang umumnya untuk menghibur, lebih mengutamakan selera
6 7
Nurgiyantoro. Loc.Cit. Tarigan, Op.Cit., h. 181-182.
11
pembaca dan kurang memperhatikan unsur didaktis, moral, dan etika.8 Keduanya juga menjelaskan tiga belas ciri-ciri cerita pendek, yaitu: (1) Penyampaian cerita secara singkat dan padat; (2) Jalinan jiwa dan kejadian dan kejadian bulat dan padu, dan di dalamnya mengandung unsur pertikaian yang akhirnya mencapai klimak dan diakhiri dengan penyelesaian masalah; (3) tema cerita tentang nilai kemanusiaan, moral, dan etika; (4) Membicarakan masalah tunggal dan dapat dibaca dalam waktu singkat. (5) Memusatkan perhatian pada tokoh protagonis; (6) Unsur utama yang terdapat dalam cerpen adalah adegan, tokoh, gerak; (7) Adanya kebulatan kisah (cerita); (8) Bahasa yang dipergunakan dalam cerpen tajam, sugestif, dan menarik perhatian; (9) Sebuah cerita pendek mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung; (10) Sebuah cerita pendek harus menimbulkan efek dalam pikiran pembaca; (11) Dalam cerita pendek terdapat suatu kejadian atau persoalan yang menguasai jalan cerita; (12) Cerita pendek bergantung pada satu situasi; (13) Pelaku utama mengalami perubahan nasib dan cerita berkembang secara memusat. Alur cerita berpusat pada peristiwa yang memberi rangsangan pada pembaca. 9 Kelebihan cerpen adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak—jadi secara implisit—dari sekadar apa yang diceritakan. Cerita dipadatkan dan difokuskan pada satu permasalahan. 10
B. Unsur Pembangun Cerpen Cerita pendek memiliki unsur-unsur intrinsik seperti: tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, amanat. 1.
Tema Tema adalah gagasan utama atau maksud utama yang mendasari sebuah
cerita. Ia menjadi bagian paling relevan terhadap setiap peristiwa dan detail sebuah cerita. Stanton mengatakah bahwa: Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ‘makna’ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti cinta,
8
Widjojoko, dan Hidayat, Loc.Cit. Ibid., h. 38. 10 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 13. 9
12
derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua. 11 Sama halnya dengan pengertian di atas, Nurgiyantoro juga mengatakan “tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, sosial, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, sering, tema disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita”. 12 Tema
merupakan
barang
abstrak
yang
dalam
penentuannya
membutuhkan pemahaman terhadap bagian-bagian pendukung cerita, yaitu tokoh dan perwatakan, latar, suasana, alur, dan persoalan yang dibicarakan. Apabila pembaca telah dapat menentukan atau menemukan tema dari karya sastra yang dibaca, artinya ia telah mengetahui apa tujuan pengarang dalam ceritanya. 13 Hal ini senada dengan yang dikemukakan Amminudin dalam Siswanto yaitu “seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya”. 14 Untuk memahami tema melalui unsur pembangunnya bisa dimulai dengan memahami tokoh terlebih dahulu, terutama tokoh utama, karena tokoh utama biasanya “dibebani” tugas membawakan tema, maka pembaca perlu memahami itu dengan mengajukan pertanyaan seperti: permasalahan apa yang dihadapi, apa motivasi bersikap dan berperilaku, bagaimana perwatakan, bagaimanakah sikap dan pandangannya terhadap permasalahan itu, apa dan bagaimana cara yang dipikir, dirasa, dan dilakukan, serta bagaimana keputusan yang diambil, dan sebagainya. Kerja selanjutnya 11
Robert Stanton, Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction of Fiction oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 36-37. 12 Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 32. 13 A. Hayati, dan Winarno Adiwardoyo, Latihan Apresiasi Sastra, (Malang: Yayasan Asih Asah Asuh, 1990), h. 13. 14 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 161.
13
adalah memahami alur cerita dengan menafsirkan konflik, khususnya konflik utama. Konflik utama lazimnya menjadi fokus utama pengembangan cerita, jika konflik utama tersebut berhasil ditemukan, secara garis besar cerita fiksi yang bersangkutan sudah dapat dipahami, dan ini menjadi modal penting untuk sampai pada penemuan tema. Dalam sebuah cerita fiksi lazimnya ada tokoh utama, konflik utama, dan tema utama. Ketiganya saling berkaitan, karena pelaku atau pemilik konflik utama pasti adalah tokoh utama, dan di situlah umumnya letak tema utama. 15 Biasanya dalam sebuah tema, pengarang tidak hanya berhenti pada pokok persoalan saja, tetapi disertakan pula pemecahannya atau jalan keluar menghadapi persoalan tersebut. Hal ini tentu bergantung pada pandangan dan pemikiran pengarang. 16 Sama seperti makna pengalaman manusia, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita, karena tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. 17 2.
Tokoh atau Penokohan Tokoh cerita (character) sebagaimana dikemukakan Abrams adalah
“orang (-orang) yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang dieskpresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan”. 18 Sementara tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan Abrams, Baldic juga menjelaskan bahwa “tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau drama, sedang penokohan (characterization) adalah penghadiran tokoh dalam fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya”. 19 Selain tokoh utama, pengarang juga menghadirkan 15 16
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 136-137. Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1989), h.
89. 17
Stanton, Op. Cit., h. 37. Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 247. 19 Ibid. 18
14
tokoh-tokoh tambahan sebagai pelengkap, tokoh dalam cerpen tidak terlalu banyak karena ruang dalam cerpen terlalu sempit. Sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas lewat kata dan tindakannya.
20
Dengan demikian istilah “penokohan”
lebih luas daripada “tokoh”, sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. 21 Dalam melukiskan perwatakan atau penokohan biasanya penulis menggunakan cara tertentu. Ada yang menggunakan cara analitik, ada yang dramatik, dan ada yang menggunakan cara gabungan antra analitik dan dramatik. Secara analitik pengarang akan menjelaskan watak tokohnya secara rinci. Misalnya, A adalah seorang yang kikir dan dengki. Secara dramatik pengarang tidak secara langsung menggambarkan watak tokohnya tetapi dengan cara melukiskan tempat lingkungan, menampilkan dialog antartokoh, menceritakan perbuatan, tingkah laku atau reaksi tokoh terhadap suatu kejadian. Sedangkan cara gabungan pengarang menjelaskan dengan kedua cara sebelumnya namun antara reaksi dan tutur katanya jangan sampai bertolak belakang. 22 3.
Sudut Pandang Secara umum sudut pandang merupakan tempat sastrawan memandang
ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentag tokoh, peristiwa, tempat, waktu, dan gayanya sendiri. 23 Stanton mengatakan bahwa ‘kita’ memiliki posisi yang berbeda, memiliki hubungan yang berbeda dengan tiap peristiwa dalam tiap cerita: di dalam atau di luar satu karakter, menyatu atau terpisah secara emosional. ‘Posisi’ ini, pusat kesadaran tempat kita dapat memahami 20
Ibid. Ibid., h. 248. 22 Suroto, Op. Cit., h. 93-94. 23 Siswanto, Op.Cit., h. 151. 21
15
setiap peristiwa dalam cerita, dinamakan ‘sudut pandang’. Tempat dan sifat sudut pandang tidak muncul serta merta. Pengarang harus memilih sudut pandangnya dengan hati-hati agar cerita yang diutarakannya menimbulkan efek yang pas. 24 Perbedaan sudut pandang dapat dilihat dari bagaimana kehadiran cerita itu kepada pembaca, di antaranya: 1) Sudut Pandang Persona Ketiga: ”Dia” Narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang ini dibagi menjadi dua yaitu: a. “Dia” Mahatau Cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang, narator, dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. b. “Dia” Terbatas, “Dia” seabagai pengamat Dalam sudut padang “Dia” terbatas, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja. Sementara dalam sudut pandang “Dia” sebagai pengamat, narator bahkan hanya dapat melaporkan segala sesuatu yang dapat didengar, atau dapat dijangkau oleh indera. 2) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku” Narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan keadaan dirinya sendiri. Sudut pandang ini pun dibagi menjadi dua: a. “Aku” Tokoh Utama Si “Aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik. b. “Aku” Tokoh Tambahan “Aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan. Tokoh “Aku” hadir membawakan cerita, sementara tokoh yang diceritakan “dibiarkan” untuk mengisahkan pengalamannya sendiri.
24
Stanton, Op. Cit., h. 53.
16
3) Sudut Pandang Persona Kedua: “Kau” Sudut pandang gaya “kau” merupakan cara pengisahan yang mempergunakan “kau” yang biasanya sebagai variasi cara memandang oleh tokoh aku dan dia. 4) Sudut Pandang Campuran Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dituliskannya. 25 4.
Alur Abrams mengatakan dalam Siswanto “Alur ialah rangkaian cerita yang
dibentuk oleh tahapan-tahapan persitiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah cerita.” 26 Sementara Sudjiman mengartikan “Alur sebagai jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencari efek tertentu. Jalinannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab akibat). Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian”. 27 Peristiwa kausal yang dihadirkan lewat alur tidak hanya terbatas pada hal-hal fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter, kilasan-kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya. 28 Sudjiman membagi alur atas alur utama dan alur bawahan. Alur utama yaitu rangkaian peristiwa utama yang menggerakkan jalan cerita, sementara alur bawahan adalah alur kedua (tambahan) yang disusupkan di sela-sela bagian-bagian alur utama sebagai variasi. 29
25
Nurgiyantoro,Op.Cit., h. 347-359 Siswanto, Op.Cit., h. 159. 27 Ibid. 28 Stanton, Op.Cit., h. 26. 29 Siswanto, Op.Cit., h. 160. 26
17
5.
Gaya Bahasa Bahasa adalah bahan mentah yang digunakan sastrawan untuk
mengemukakan maksud dalam karya sastranya. Dapat dikatakan bahwa setiap karya sastra hanyalah seleksi beberapa bagian dari suatu bahasa tertentu, seperti halnya patung dapat dianggap sebagai sebongkah marmer yang dikikis sedikit bagian-bagiannya. 30 Sementara Aminuddin mengatakan “gaya” adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca”.31 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah pemakaian bahasa dalam karya sastra dengan gaya yang indah sehingga dapat menyentuh emosi pembaca. 6.
Latar Latar dalam sebuah cerita menjelaskan tentang waktu, tempat, dan
suasana kejadian. Menggambarkan lingkungan atau semesta yang saling berkaitan dengan peristiwa yang tengah berlangsung—bahkan satu periode sejarah pun bisa dijelaskan dalam sebuah karya melalui latar. Hal ini berdasarkan penjelasan Stanton, ia mengatakan bahwa: Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semseta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor seperti sebuah café di Paris, pegunungan di California, sebuah jalan buntu di sudut kota Dublin dan sebagainya. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah. 32 Sebagaimana penjelasan di atas, unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial-budaya. Di bawah ini akan dijelaskan unsur –unsur latar sesuai dengan yang dikemukakan Nurgiyantoro: Pertama, latar tempat yaitu menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan
30
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of Literature oleh Melani Budianta, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 217. 31 Siswanto, Op.Cit., h. 158-159. 32 Stanton, Op. Cit., h. 35.
18
mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. 33 Kedua, latar waktu
yaitu berhubungan dengan masalah “kapan”
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. 34 Ketiga, latar sosial-budaya yaitu menunjuk pada hal-hal berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkungan yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. 35 Deskripsi latar dapat bersifat fisik, realistis, dokumenter, dapat pula berupa deskrpsi perasaan. 36 7.
Amanat Dalam setiap karya sastra pasti memuat nilai-nilai di dalamnya. Nilai
dari sudut sastrawan dapat disebut dengan amanat, sehingga amanat dapat dikatakan sebagai gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.
37
Amanat biasanya
tersirat dan sangat bergantung pada interpretasi si pembaca, sehingga amanat yang ditangkap oleh pembaca yang satu dengan pembaca lainnya seringkali berbeda. Unsur pembangun selanjutnya yaitu unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik untuk setiap karya sastra sama. Unsur ini mencakup berbagai aspek kehidupan sosial yang tampaknya menjadi latar belakang penyampaian tema dan amanat cerita. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar tubuh karya sastra itu sendiri atau unsur luar sastra yang memengaruhi penciptaan karya sastra.
33
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 314. Ibid., h. 318. 35 Ibid., h. 322. 36 Melani Budianta, dkk., Op, Cit., h. 86. 37 Ibid., h. 162. 34
19
Unsur tersebut meliputi latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang, adat-istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi, pengetahuan agama, dan lain-lain. Pengetahuan sosial budaya suatu masyarakat, seluk beluk kehidupan masyarakat modern harus diketahui pengarang guna menunjang keberhasilan sebuah cerita. Selain unsur dari luar pengarang, ada unsur yang melekat pada diri pengarang yang turut memengaruhi cerita. Agama atau pandangan hidup seorang pengarang paling tidak akan ikut mewarnai pemecahan persoalan yang dikemukakannya. Misanya orang yang berjiwa nasioanlis dengan orang berjiwa komunis tidak akan sama dalam memecahkan persoalan politik yang dihadapi tokohtokohnya karena hal-hal tersebut sifatnya individual. 38
C. Pendekatan Mimetik Mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas”. 39 Pada dasarnya seni adalah tiruan dari alam semesta, “The mimetic orientation—the explanation of art as essentially an imitation of aspects of the universe”. 40 Bagi Abrams, teori mimetik ini mungkin teori yang primitif, akan tetapi mimetik bukanlah konsep yang sederhana, karena untuk memahami ‘imitasi’/’tiruan’ kita perlu memahami terlebih dahulu pendapat dua fislosuf terkenal yaitu Plato dan Aristoteles mengenai teori mimetik ini.41 Pendekatan ini diawali dari pendapat Plato tentang seni. Ia berpendapat bahwa seni berdiri di bawah kenyataan. Seni hanya meniru hal-hal yang ada atau nampak. 42 Plato memperlihatkan sikapnya yang negatif terhadap seni,
38
Suroto, Op. Cit., h. 138-139. Siswanto, Op.Cit., h. 188. 40 M.H Abrams, The Mirror and The Lamp Romantic Theory and The Critical Tradition, (London: Oxford University Press, 1953), h. 8. 41 Ibid. 42 Ibid. 39
20
karena menurutnya seni hanya menyajikan suatu ilusi tentang kenyataan dan tetap jauh dari “kebenaran”. Plato juga menjelaskan bahwa ide merupakan sesuatu yang kekal dan tidak berubah, ide mencerminkan rasa, alami, atau buatan, seperti gambar dalam air dan cermin atau seni rupa: The philosopher in the platonic dialogues characteristically operates with three categories. The fisrt categoriy is that of the eternal and unchanging ideas; the second, reflecting this, is the world of sense, natural or artificial; and the third category, in turn reflecting the second, comprises such thing as shadows, images in water and mirrors, and the fine arts. 43 Bila seorang tukang membuat sebuah ranjang maka ia menjiplak ranjang seperti yang terdapat dalam dunia ide-ide walaupun jiplakan itu tidak selalu memadai aslinya, namun seorang tukang lebih dekat pada kebenaran daripada seorang pelukis atau penyair, karena seorang tukang menjiplak sesuatu yang bisa disentuh dengan pancaindera sementara penyair atau pelukis menjiplak gambar-gambar kosong yang mengambang. 44 Bagi Plato tukang-tukang pembuat barang lebih berguna daripada orang-orang yang hanya melukiskan barang-barang itu karena mereka hanya menggambarkan sesuatu, mereka tidak dapat dijadikan contoh ataupun teladan. 45 Sementara bagi Aristoteles yang merupakan murid dari Plato sendri berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif; penyair, sambil beritik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru. Dengan bermimesis penyair menciptakan kembali kenyataan, adapun bahannya ialah fakta dari masa kini atau masa silam, keyakinan, dan cita-cita. 46 Dalam ilmu sastra modern teori Aristoteles mengenai mimesis kembali diperhatikan setelah pada abad Renaissance teorinya sempat diartikan secara sempit. Pada sastra modern pendapat Aristoteles di samping sastra menciptakan suatu kenyataan sendiri, terdapat juga suatu teori, bahwa sastra 43
Ibid. Jan van Luxemburg, dkk. Pengantar Ilmu Sastra, Terj. dari Inleiding in de Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia, 1986), h. 16. 45 Ibid. 46 Ibid., h. 17. 44
21
membuat sebuah modul (bagan) mengenai kenyataan. 47 Bagi Aristoteles yang penting dalam karya seni adalah sejauh mana ia mampu memperlihatkan kenyataan baru yang dapat memperluas cakrawala manusia. Justru karya seni yang menampilkan kenyataan apa adanya dianggap tidak bernilai. 48 Akan tetapi, meski pengertian mimetik mengalami perbedaan, pada intinya mimetik dapat dipahami dalam dua kategori yaitu “mudah ditiru dan tiruan”. “But although in many later mimetic theories everything is comprehended in two categories, the imitable and the imitiation”.49 Berbagai teori mimesis mempunyai satu unsur yang sama: perhatian diarahkan kepada hubungan antara gambar dan apa yang digambarkan. Tolok ukur estetik pertama ialah sejauh mana gambar itu sesuai dengan kenyataan. 50
D. Hakikat Revolusi dan Sejarah Singkat Revolusi Indonesia (Pasca Kemerdekaan) a) Hakikat Revolusi Revolusi adalah bentuk perubahan sosial paling spektakuler; sebagai tanda perpecahan mendasar dalam proses historis; pembentukan ulang masyarakat dari dalam dan pembentukan ulang manusia. Pada saat revolusi terjadi, masyarakat mengalami puncak agennya, meledakkan potensi transformasi terhadap dirinya sendiri. Masyarakat dan anggotanya seperti hidup kembali atau hampir serupa dengan makna “lahir kembali” setelah revolusi usai. Artinya, revolusi menjadi sebuah tanda akan kesejahteraan sosial. 51 Revolusi menimbulkan perubahan dalam cakupan luas dan menyentuh semua dimensi masyarakat, seperti: ekonomi, politik, kultur, organisasi sosial, kehidupan sehari-hari, dan kepribadian manusia. Dalam cakupan tersebut, perubahan yang terjadi bersifat radikal, fundamental, serta menyentuh inti 47
Ibid., h. 18. Atmazaki, Ilmu Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1990), h. 41. 49 M.H Abrams, Loc. Cit. 50 Luxemburg, Op.Cit., h. 19. 51 Piötr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Terj. dari The Sosiology of Social Change oleh Alimandan, (Jakarta: Prenada, 2011), Cet. ke-2, h. 357. 48
22
bangunan dan fungsi sosial. Revolusi membangkitkan emosional khusus dan reaksi intelektual pelakunya dan mengalami ledakan mobilisasi massa, antusiasme, kegemparan, kegirangan, kegembiraan, optimisme dan harapan; perasaan hebat dan perkasa; keriangan aktivisme dan menggapai kembali makna kehidupan; melambungkan aspirasi dan pandangan utopia ke masa depan. 52 Istilah revolusi memang telah muncul di abad ke 14, ketika itu revolusi semata berarti gerakan melingkar (circular). Revolusi berarti penggantian penguasa secara melingkar atau penggantian seluruh elite politik menyertai kemunculan negara nasional. 53 Konsep revolusi modern baru terbentuk sekitar abad ke 18 saat pecahnya revolusi di Prancis tahun 1789. Pada waktu itu istilah revolusi digunakan untuk melukiskan terobosan zaman serupa, penataan ulang kehidupan masyarakat secara fundamental. Kemudian pada abad ke 19 perkembangan modernitas yang tak tertandingi (industri, urbanisme, kapitalisme) juga menjadi “era emas” ide revolusi yang memengaruhi kehidupan sehari-hari. Masyarakat dipandang mengalami perubahan progresif menuju tatanan masa depan yang ideal. Marx menggunakan konsep revolusi sebagai alat ampuh untuk menumbangkan kapitalisme dan sebagai landasan untuk membangun masyarakat komunis sebagai penggantinya. 54 Revolusi atau perubahan secara cepat didahului oleh kondisi yang disebut “revolutionary prodrome”, yang meliputi peningkatan ketakpuasan, keluhan, kekacauan, dan konflik yang disebabkan krisis ekonomi atau fiskal. Selain itu revolusi juga terjadi karena rezim lama hancur, golongan moderat yang menang berupaya memelihara kesinambungan dengan masa lalu, kekuatan radikal dan ekstrem mampu mengeksploitasi kekecewaan yang meluas dan memobilisasi massa serta menggantikan golongan moderat. Tahap “teror” mulai ketika kekuatan radikal mencoba memaksakan ketertiban dan
52
Ibid. Ibid., h. 359. 54 Ibid. 53
23
menyapu bersih semua bekas rezim lama, hingga akhirnya keseimbangan dipulihkan di tahap terakhir dalam arti pulih dari demam revolusi. 55 b) Teori Utama Revolusi Dalam Sztompka dijelaskan beberapa aliran utama teori revolusi. Masing-masing adalah: Pertama, aliran tindakan. Aliran ini menekankan pada revolusi yang ditandai oleh perubahan mendasar ciri prilaku manusia. Perilaku beradab digantikan oleh perilaku binatang yang hendak saling memangsa. Sorokin mencatat perubahan seperti itu ke dalam enam bidang: (a) transformasi reaksi terhadap ucapan; (b) penyelewengan reaksi terhadap pemilikan; (c) penyelewengan reaksi seksual; (d) penyelewengan reaksi terhadap tugas; (e) penyelewengan reaksi terhadap kekuasaan dan bawahan; dan (f) reaksi terhadap agama, moral, estetika, dan berbagai bentuk perilaku lainnya. Kedua, aliran psikologi. Aliran ini mengabaikan bidang tindakan reflek atau naluriah dasar yang beralih ke bidang orientasi sikap dan motivasi. Teori ini erat kaitannya dengan pemikiran akal sehat (commmon sense). Revolusi disebabkan oleh sindrom mental yang menyakitkan di mana kesengsaraan mendorong pemberontakan. Ketiga, aliran struktural. Aliran ini memusatkan perhatian pada tingkat struktur makro. Revolusi adalah hasil hambatan dan ketegangan struktural dan terutama bentuk hubungan khusus antara rakyat dan pemerintah. Penyebab revolusi dicari di tingkat hubungan sosial khusus, yakni dalam kondisi hubungan antarkelas dan antarkelompok baik nasional maupun internasional. Keempat, aliran politik. Aliran ini melihat revolusi sebagai sifat fenomena politik yang menganggap bahwa revolusi bukanlah fenomena luar biasa (penyimpangan), tetapi justru kelanjutan proses politik dengan cara lain. 56
55 56
Ibid., h. 363-364. Ibid., h. 366-372.
24
c) Sejarah Singkat Masa Revolusi Indonesia (Pasca Kemerdekaan) Revolusi yang terjadi di Indonesia merupakan suatu momen pembebasan yang memungkinkan rakyat Indonesia untuk menentukan masa depannya sendiri setelah bertahun-tahun dijajah oleh bangsa asing. 57 Revolusi secara harfiah bukan berarti anti-Belanda, melainkan sebagaimana yang diungkapkan oleh para pemimpin republik yang mengartikan bahwa revolusi lebih kepada anti-imperialis dan anti kolonialis. 58 Maka tidaklah mengherankan apabila hasilnya bukan sebuah bangsa baru yang harmonis dan serasi, justru muncul suatu pertarungan sengit antar individu dan kekuatan sosial. Mengenai orangorang Indonesia yang mendukung revolusi, ditarik perbedaan antara kekuatan perjuangan bersenjata dan kekuatan diplomasi, antara mereka yang mendukung revolusi sosial dan mereka yang menentangnya, antara golongan kiri dan golongan kanan, dan sebagainya. Semua perbedaan itu merupakan gambaran suatu masa ketika perpecahan-perpecahan yang menimpa Indonesia beraneka ragam dan terus berubah. Bagi kaum revolusioner, segala sesuatu tampak dimungkinkan kecuali kekalahan. 59 Indonesia memulai perubahan setelah Jepang menyerah, ditandai dengan adanya sebuah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. 60 Pemerintahan baru pun segera dijalankan, di antaranya membagi wilayah Indonesia menjadi delapan provinsi, mengangkat gubernur untuk setiap provinsi, dan memberikan intruksi mengenai pemerintahan di luar Jakarta melalui para utusan Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP). 61 Setelah mengetahui Jepang menyerah, Belanda segera memanfaatkan momen ini untuk kembali menguasai Indonesia. Hal ini ditandai dengan datangnya sekutu yang diboncengi oleh Belanda sendiri. Terjadilah 57
Robert Bridson Cribb, Gejolak Revolusi Di Jakarta 1945-1949 Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni, Terj. dari Jakarta in the Indonesian Revolution, 1945-1949 oleh Hasan Basri, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), h. 9. 58 Ibid. 59 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Terj. dari A History of Modern Indonesia Since c. 1200 oleh Satrio Wahono, dkk, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-II, h. 428-429. 60 Robert Bridson Cribb, Op. Cit., h. 7. 61 Ibid.
25
pertempuran antara pejuang RI dengan pihak Belanda. Selama masa ini berlangsung, terdapat banyak sekali peristiwa penting seperti pergantian berbagai posisi kabinet, berbagai perundingan dan lain sebagainya. Pada tanggal 1 November 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa pemerintah menginginkan pengakuan terhadap Negara dan Pemerintah Republik Indonesia dari serikat atau dari pihak Belanda yang dibuat sebelum perang dunia II. Sebagai realiasasi dari maklumat tersebut kabinet presidensial yang dipimpin oleh Presiden sendiri diganti menjadi kabinet ministerial dengan perdana menterinya yaitu Sutan Sjahrir. Kabinet Sjahrir itu pun segera mengadakan kontak diplomatik dengan pihak Belanda dan Inggris. Akan tetapi di sisi lain, suatu gabungan organisasi bernama Persatuan Perjuangan (PP) melakukan oposisi terhadap kabinet Sjahrir. Mereka berpendapat bahwa perundingan hanya dapat dilaksanakan atas dasar pengakuan 100% terhadap Republik Indonesia. Oposisi tersebut terlalu kuat maka Sjahrir menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden, namun Presiden kembali menunjuk Sjahrir sebagai perdana menteri pada Kabinet Sjahrir II. 62 Meski demikian, hubungan Indonesia dengan dunia internasional mengalami perubahan yang signifikan setelah naiknya kabinet Sjahrir pada November 1946. Pada masa perjuangan kemerdekaan tugas utama kementerian luar negeri sejalan dengan tuntutan perjuangan, yaitu pengakuan dunia internasional terhadap kemerdekaan Indonesia. Namun nampaknya, dalam urusan politik luar negeri, RI masih terkendala oleh upaya-upaya Belanda untuk menutup segala kemungkinan RI dalam mendapatkan pengakuan internasional. Sampai pertengahan tahun 1947, posisi hubungan luar negeri RI masih terbatas pada hubungan regional RI di tiga ibukota negara, yaitu Singapura, New Delhi (India), dan Cairo (Mesir). Ketiga negara tersebut menjadi titik tumpu bagi perjuangan Indonesia di luar negeri. Singapura menjadi titik tumpuan utama hubungan luar negeri RI. Melalui 62
Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notousanto, Sejarah Nasional Indonesia VI (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Edisi ke-4, h. 123-125.
26
Singapura, hubungan keluar jauh lebih mudah. 63 Sementara itu hubungan Indonesia dengan India sudah terjalin sejak April 1946 ketika Sjahrir memberikan bantuan beras. Hubungan di antara keduanya pun semakin diperkuat pada Konferensi New Delhi (Inter-Asian Relations Conference) bulan Maret-April 1947. Selain menyampaikan pidatonya “One Asia, One World” atau “Satu Asia, Satu Dunia” pada acara penutupan konferensi, Sjahrir juga melakukan pendekatan ke berbagai negara peserta. Baginya, hal ini menjadi kesempatan untuk RI dalam mengembangkan sayapnya di luar negeri. 64 Selanjutnya, perundingan-perundingan antara Indonesia dengan Belanda terus dilakukan sebagai jalan tengah untuk menghindari peperangan. Di antaranya perundingan Linggarjati pada November 1946. Hasil perundingan diumumkan pada 15 November 1946 dan telah tersusun sebagai naskah persetujuan yang terdiri dari 17 pasal. Kemudian, naskah terebut diparaf oleh kedua belah pihak untuk disampaikan kepada pemerintah masing-masing. Isi naskahnya
adalah:
(1)
Pemerintah
RI
dan
Belanda
bersama-sama
menyelenggarakan berdirinya sebuah negara federasi, yang dinamai Negara Indonesia Serikat, (2) Pemerintah RIS akan bekerja sama dengan pemerintah Belanda dan akan membentuk Uni Indonesia—Belanda. 65 Sayangnya, perundingan atau perjanjian Linggarjati itu hanya dijadikan alat untuk menambah pasukannya, Belanda mengajukan beberapa tuntutan yang merugikan Indonesia. Penolakan pun terjadi hingga akhirnya Belanda melakukan Agresi Militer I. Selanjutnya perjanjian Renville. Naskah perjanjian Renville antara lain tentang persetujuan gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda; dan enam pokok prinsip tambahan untuk perundingan guna mencapai penyelesaian politik. Akan tetapi, lagi-lagi nasib perjanjian ini sama dengan Linggarjati,
63
Amrin Imran, dkk., Indonesia dalam Arus Sejarah Perang dan Revolusi, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), h. 237-239. 64 Ibid., h. 239. 65 Poesponegoro, dan Notousanto, VI. Op. Cit., h. 132.
27
karena Belanda kembali melakukan Agresi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948. 66 Pengkhianatan tersebut membuat dunia Internasional terus menerus menekan Belanda. Hingga akhirnya Belanda setuju untuk melakukan perundingan kembali dengan Indonesia namun kali ini diawasi oleh PBB. Perundingan yang dinamakan Konfrensi Meja Bundar (KMB) ini akan dilaksanakan di Den Haag, Belanda pada 23 Agustus 1949, guna membicarakan
masalah
Indonesia
dan
merundingkan
syarat-syarat
“penyerahan” kedaulatan, serta pembentukan Uni Indonesia—Belanda.67 Namun sebelumnya diadakan perundingan pendahulu di Jakarta yang disebut dengan perundingan atau perjanjian Roem-Royen, dan setelah itu dibuat konferensi inter-Indonesia. Keduanya dibuat untuk mempersiapkan KMB. Terdapat beberapa perjanjian yang dihasilkan dari KMB (1949), salah satunya adalah masalah Irian Barat yang akan ditangguhkan sampai tahun berikutnya yaitu pada tahun 1950. Setelah RIS melantik Presiden dan membentuk kabinet baru (kabinet Hatta), hubungan dengan Belanda diusahakan menjadi lebih baik dengan harapan Belanda akan menyerahkan Irian Barat, sehingga pada bulan April 1950 dilangsungkan Konferensi Tingkat Menteri antara Indonesia-Belanda untuk membicarakan sengketa Irian Barat. Dari hasil konferensi tersebut pihak Belanda hanya menyetujui suatu persetujuan di mana kedaulatan atas Irian Barat berada pada Uni IndonesiaBelanda, sedangkan de facto pemerintah tetap di tangan Belanda. 68 Artinya, Belanda tetap kukuh untuk mempertahankan Irian Barat. Sementara Indonesia pun tetap bersikeras ingin memperjuangkan Irian Barat. Hingga akhirnya Indonesia berencana untuk menghapus perjanjian KMB. Di sisi lain, berdampingan dengan revolusi di tingkat kota, berlangsung pula revolusi di sejumlah daerah dengan target sisa-sisa pendukung tatanan kolonial. Salah satu daerah yang cukup menjadi sorotan adalah revolusi di Sumatera Timur pada Maret 1946. Latar belakang revolusi di Sumatera Timur 66
Ibid., h. 138. Ibid., h. 163. 68 Ibid., h 208. 67
28
adalah kebijakan pemerintah Belanda yang menciptakan pemisah antara penduduk yang terdiri dari beragam etnik di satu pihak dan para raja serta kaum bangsawan kerajaan Melayu, Karo, dan Simalungun di pihak lain. 69 Sumatera Timur merupakan unit administratif ciptaan Belanda pada abad ke-19. Melalui kontrak politik dan hubungan baik dengan kesultanan setempat, Belanda membuka perkebunan lada dan tembakau. 70 Perkebunan tembakau tumbuh dengan pesat di wilayah kesultanan di Sumatera Timur sehingga banyak buruh perkebunan yang diangkut oleh Belanda, seperti dari Cina Selatan, Jawa Tengah dan Timur. 71 Pada masa kolonial semua tanah merupakan milik Sultan. Akan tetapi setelah Jepang masuk, pemerintah Jepang mencabut semua hak istimewa tersebut serta mengalihkan lahan perkebunan (Onderneming) kepada para buruh. Atas izin Jepang terhadap pengelolahan tanah perkebunan tersebut, rakyat memiliki persepsi bahwa mereka telah memperoleh kembali tanah mereka yang dulu dirampas oleh Belanda, dan ketika Jepang kalah, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, gerakan-gerakan yang menentang kembalinya Belanda berlangsung seiring dengan rasa dendam antikerajaan. 72 Berbagai organisasi dan laskar pemuda bersatu demi menyelesaikan perjuangan lewat jalan revolusi bukan jalan perundingan. Sasaran mereka adalah selain melakukan aksi daulat terhadap kerajaan, juga merebut dan menguasai bekas perkebunan (Onderneming) Belanda melalui program Ekonomi Rakyat Republik Indonesia (ERRI). 73 Pada Maret 1946, kelompok garis keras menyiapkan langkahnya sendiri. Bagi mereka, semua sifat kolot dan feodal harus dihapuskan, dan semua kekayaan kaum feodal tersebut harus menjadi milik negara. sehingga, pada 3 Maret 1946 revolusi benar-benar dimulai dengan melakukan penangkapan 69
Amrin Imran, dkk, Op.Cit., h. 280. Ibid., h. 281. 71 Audrey R. Kahin, Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, Terj. dari Regional Dynamics of the Indonesian Revolution oleh Satyagraha Hoerip, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), h. 120. 72 Amrin Imran, dkk., Op. Cit., h. 281. 73 Ibid., h. 281-282. 70
29
terhadap raja, menggedor istana untuk memperoleh kekayaan, dan menangkap rakyat yang dianggap moderat (Pro-Barat). Kekacauan itu terus meluas ke seluruh Sumatera Timur. Perkebunan diduduki oleh unit-unit laskar, dan tanah perkebunan dibagikan kepada buruh. 74 Sementara
itu,
terkait
masalah
penguasaan
tanah,
pemerintah
mengeluarkan UU No 13 tahun 1946 untuk menghapus desa-desa perdikan yang bebas pajak, di mana pada waktu itu elite-elite menguasai sebagian besar tanah di desa-desa. Namun sayangnya, kebebasan tersebut terusik oleh hasil perjanjian KMB (1949) yang memutarbalikkan kebebasan atas penguasaan tanah oleh para buruh dan tani. Belanda meminta jaminan atas tanah perkebunan (onderneming) sebagai syarat kedaulatan Indonesia. Pemerintah pun memberikan pengakuan hak tanah bagi orang asing yaitu hak konsesi, hak erfpacht, dan hak untuk mengusahakan selanjutnya. Permasalahan ini menimbulkan sengketa tanah, kaum tani dan buruh yang merasa sudah memiliki tanah-tanah onderneming tersebut melakukan penolakan yang dipropagandai oleh PKI dan PNI, namun pemerintah tetap bersikeras dan mengancam untuk mentraktor rumah-rumah mereka jika masih saja keras kepala. Peristiwa “traktor maut”
ini dikenal dengan peristiwa Tanjung
Morawa pada tahun 1953. Selanjutnya, pada tiap-tiap negara yang melakukan revolusi tentu identik dengan persenjataan atau perlengkapan militer lainnya. Di Indonesia sendiri, pemerolehan senjata kemiliteran diperoleh dari beberapa pihak, salah satunya dari Singapura. Singapura cukup berperan dalam bidang persenjataan. Penyelundupan senjata dari luar negeri melalui kapal laut, terutama dari Singapura ke Sumatera merupakan sumber yang sangat penting. Republik Indonesia tidak hanya memperoleh senjata, tetapi juga alat perlengkapan militer lainnya. Koordinator kegiatan ekspor impor Republik Indonesia berada di bawah kendali Banking and Tranding Company (BTC), sebuah tranding house semi pemerintah. BTC bertugas membeli hasil komoditas pertanian Indonesia kemudian menjualnya ke luar Indonesia dengan transaksi sistem 74
Ibid., h. 285.
30
barter. Akan tetapi, biasanya transaksi persenjataan memerlukan uang kontan, sehingga produk pertanian yang diangkut dengan kapal-kapal dijual ke pedagang di Singapura, setelah itu mereka mencari agen penjual senjata. Pembelian senjata ke Singapura sangat rumit karena harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari otoritas Singapura. Dana dari penjualan hasil bumi Sumatera di Singapura terkumpul begitu banyak sehingga mampu membelikan senjata untuk 461.000 pasukan TNI pada pertengahan 1948. 75 Pada intinya baik revolusi nasional atau sosial, keduanya berjalan beriringan dan saling memengaruhi satu sama lain. Bagi negara yang baru lahir, kondisi Indonesia pada saat itu cukup kacau. Saat pemerintah sibuk memebujuk Belanda, rakyat Indonesia di berbagai daerah seperti Sumatera malah melakukan pemberontakan yang mengatas namakan kemerdekaan. Revolusi nasioal memang berakhir pada tahun 1949 setelah diadakannya KMB. Namun permasalahan masih belum berakhir, cita-cita kedaulatan Indonesia yang sesungguhnya sedikit melenceng, karena perundingan tersebut memutuskan kedaulatan atas RIS bukan NKRI. Terlebih lagi masalah Irian Barat yang terus berlangsung hingga tahun 1950. Kondisi ekonomi rakyat pun pada tahun itu tidak teratur, terjadinya kesenjangan sosial antara pejabatpejabat dengan rakyat masih menjadi soal yang harus diselesaikan, dan juga masalah penguasaan atas tanah-tanah onderneming yang kembali menuai pemberontakan.
E. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Sebagaimana pendapat Horatius bahwa sastra berfungsi sebagai Dulce dan Utile, maka sudah sewajarnya sastra berhubungan dengan pendidikan. Baik itu pendidikan tentang sastra atau pendidikan melalui karya sastra yang tentunya diliputi oleh beberapa aspek yaitu, teori sastra, sejarah sastra, sastra bandingan, apresiasi sastra, dan kritik sastra. Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra dalam kurikulum 2004 adalah agar (1) peserta didik 75
Amir Imran, dkk. Op. Cit., h. 336-339.
31
mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian,
memperluas
wawasan
kehidupan,
serta
meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa; dan (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. 76 Tujuan
tersebut
dijabarkan
ke
dalam
beberapa
aspek
yaitu
mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra meliputi kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, drama) dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca. 77 Pembelajaran sastra hendaknya mempertimbangkan keseimbangan pribadi dan kecerdasan peserta didik. Pembelajaran semacam ini akan mempertimbangkan keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, logika, estetika, dan kinestetika. 78 Rahmanto menjelaskan empat manfaat sastra dalam pengajaran bahasa Indonesia, di antaranya: 1. Membantu keterampilan berbahasa Seperti kita ketahui, ada empat keterampilan berbahsa: (i) menyimak (ii) wicara (berbicara) (iii) membaca (iv) menulis. Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih ketrampilan membaca, dan mungkin ditambah sedikit keterampilan menyimak, wicara (berbicara), dan menulis yang masing-masing erat hubungannya. 2. Meningkatkan pengetahuan budaya Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan sesuatu dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan orang yang meghayatinya. Dengan mengajarkan 76
Siswanto, Op. Cit., h. 170. Ibid., h. 171. 78 Ibid., h. 172. 77
32
sastra kepada siswa maka siswa akan tahu bahwa fakta-fakta yang perlu dipahami bukan hanya sekadar fakta tentang benda, tetapi fakta-fakta tentang kehidupan. 3. Mengembangkan cipta dan rasa Kecakapan yang harus dikembangkan dalam pembelajaran sastra adalah kecakapan yang memiliki sifat indera, penalaran, afektif, sosial, dan religius. Oleh karena itu, apabila sastra diajarkan dengan benar, maka akan dapat menyediakan kesempatan untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan tersebut lebih dari apa yang disediakan oleh mata pelajaran yang lain, sehingga pengajaran sastra tersebut dapat lebih mendekati arah dan tujuan pengajaran dalam arti sesungguhnya. 4. Menunjang pembentukan watak Dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan untuk membentuk watak. Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam, karena dibanding pelajaran-pelajaran lainnya, sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantarkan kita mengenal seluruh rangkaian kehidupaan manusia. Kedua, sehubungan dengan pembinaan watak ini adalah bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi: ketekunan, kepandaian, pegimajian, dan penciptaan. 79 Surampaet mengatakan Demi kehidupan sastra di Indonesia, demi berkembangnya apresiasi sastra, demi lahirnya kemerdekaan berpikir, perlu diperhatikan sarana utama untuk itu. Sarana tersebut antara lain ketersediaan buku-buku sastra yang baik disamping guru-guru yang baik, bijaksana dan kreatif. Dikhawatirkan bila sekolah hanya menetaskan murid-murid yang pintar tetapi tidak memiliki hati nurani kemanuasiaan seperti robot-robot.Untuk itu memansiakan manusia, sastra perlu dibelajarkan. 80
79
H. L. B. Moody. Metode Pengajaran Sastra. Saduran Bebas dari The Teaching of Literature oleh B. Rahmanto. (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 16-24. 80 Kinayati Djojosuroto dan Surastina, Pembelajaran Apresiasi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009), h. 10.
33
Dengan demikian sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia pendidikan nyata. Maka sangat keliru jika dunia pendidikan mengesampingkan bidang humaniora dan mengutamakan bidang eksak.
F. Penelitian Relevan Penelitian yang relevan digunakan untuk mencari persamaan dan perbedaan antara penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Berikut adalah hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan topik penelitian yang akan penulis lakukan. Dina Wulan Suci dari dan Maman Suryaman, Universitas Negeri Yogyakarta dengan judul “Konflik Tokoh Utama Perempuan dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis (Pendekatan Psikologi Sastra)”, tahun 2013. Fokus permasalahan dalam penelitian yang dilakukan oleh Dina Wulan Suci adalah konflik internal dan konflik eksternal pada tokoh utama perempuan yang dikaji secara psikologi sastra. Hasil penelitiannya menunjukkan empat kesimpulan: (1) Wujud karakter tokoh utama perempuan dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis dapat dilihat seara dimensi fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Secara dimensi fisiologis, tokoh utama perempuan kebanyakan berwajah cantik dan telah menikah. Secara dimensi psikologis, tokoh utama perempuan kebanyakan termasuk tipe tidak setia. Secara dimensi sosiologis, tokoh utama perempuan kebanyakan merupakan warga negara Indonesia dan kaya. (2) Wujud konflik internal yang dialami tokoh utama perempuan dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis yaitu kebanyakan mengalami kekecewaan dan kecemasan. Wujud konflik eksternal yang dialami tokoh utama perempuan dalam kumpulan cerpen perempuan karya Mochtar Lubis yaitu tentang harta, dan kebanyakan konflik perselisihan dengan pasangan. (3) Faktor penyebab terjadinya konflik eksternal pada tokoh utama perempuan yaitu atas ketidakcocokan terhadap pasangannya. (4) Penyelesaian konflik yang dilakukan oleh tokoh utama perempuan yaitu kebanyakan menyelesaikan
34
koflik internal dan konflik eksternal dengan cara dan usahanya sendiri, tanpa bantuan orang lain. 81 Zaratul Ilmia dari Universitas Airlangga dengan judul “Tokoh-tokoh Liyan dalam Cerpen-cerpen Pada Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis” tahun 2013. Penelitian yang dilakukan oleh Zaratul Ilmia ini bertujuan untuk mengidentifikasi presentasi jejak-jejak kolonial dalam struktur cerpen-cerpen pada kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis, kemudian dilanjutkan untuk mengidentifikasi keliyanan tokoh pribumi dalam cerpen-cerpen pada kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat presentasi jejak-jejak kolonial pada lima cerpen dalam kumpulan cerpen Perempuan. Presentasi jejak-jejak kolonial tersebut dapat dilihat dari tiga unsur: pencerita, latar, dan penokohan. Jejak-jejak kolonial tersebut tidak lain menggambarkan adanya zaman kolonial dan tokoh-tokoh liyan pada lima cerpen tersebut. Kemudian, temuan jejak-jejak kolonial tersebut dapat diteruskan pada pembahasan selanjutnya, terutama untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk keliyanan tokoh pribumi dalam lima cerpen pada kumpulan cerpen Perempuan. Bentuk-bentuk keliyanan tokoh pribumi dapat dilihat dari tuturan pencerita, daerah koloni, bangsa tokoh pribumi, dan pelabelan yang dilekatkan pada tokoh pribumi. Keliyanan tokoh-tokoh pribumi tersebut diketahui sebagai akibat pelabelan Barat terhadap Timur sehingga tokoh pribumi dapat dikatakan mewakili pribumi Timur. Tokoh pribumi tersebut juga melakukan usaha peniruan (mimikri) sebagai bentuk resistensi dalam mengatasi keliyanan sehingga terlepas dari posisi liyan. Berdasarkan keliyanan tokoh pribumi tersebut dapat dimaknai dalam konteks masyarakat pada zamannya dan pada saat ini.
81
Dina Wulan Suci dan Maman Suryaman, “Konflik Tokoh Utama Perempuan dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis (Pendekatan Psikologi Sastra)”, E-Journal, Universtas Negeri Yogyakarta, 2013 dalam http://www.journal.student.uny.ac.id/jurnal/artikel/3372/36/376 , diunduh pada Selasa, 15 September 2015 pukul 20:52 WIB.
35
Terdapat diskriminasi, pencitraan, dan krisis identitas dilihat dari keliyanan tokoh pribumi yang masih relevan dengan konteks masyarakat saat ini. 82 Lisa Karmiasih dari Universitas Suryakancana Cianjur dengan judul “Analisis Unsur Tema, Latar, dan Penokohan Pada Kumpulan Cerpen Perempuan Karangan Mochtar Lubis dan Pembelajarannya Di Kelas IX SMPN 2 Bantargadung” tahun 2015. Fokus permasalahan dalam penelitian yang dilakukan oleh Lisa Karmiasih adalah unsur tema, latar dan penokohan dalam kumpulan cerpen Perempuan karangan Mochtar Lubis yang dikaji secara sastra. Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa kesimpulan. (1) unsur intrinsik tema, latar, dan penokohan dalam kumpulan cerpen Perempuan karangan Mochtar Lubis, (2) Cerpen ini memiliki keunggulan dari segi tema dan bacaan yang sesuai dengan aspek bahasa, psikologi dan budaya yang mampu memberikan bimbingan dan pembelajaran yang baik bagi pembaca, sehingga kumpulan cerpen ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran cerpen di tingkat SMP. 83
82
Zaratul Ilmia, “Tokoh-tokoh Liyan dalam Cerpen-cerpen Pada Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis”, Skripsi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, 2013. dalam http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2013-ilmiazarat 31177&node=1681&start=21&PHPSESSID=501605d1d1ea61d8faf34c9dd5abe060 diunduh pada Selasa, 16 September 2015, pukul 17.31. WIB. 83 Lisa Karmiasih, “Analisis Unsur Tema, Latar, dan Penokohan Pada Kumpulan Cerpen Perempuan Karangan Mochtar Lubis dan Pembelajarannya Di Kelas IX SMPN 2 Bantargadung”, Jurnal PBSI S2 Pascasarjana, Universitas Suryakancana Cianjur, 2015. dalam http://s2pbsiunsurcianjur.ac.id/publikasi/database-jurnal.html diunduh pada Selasa, 22 September 2015, pukul 07.24 WIB.
BAB III PENGARANG DAN KARYANYA
A. Biografi Mochtar Lubis Mochtar Lubis adalah salah satu tokoh besar Indonesia yang pernah ada. Sosoknya yang tegas, kritis, dan apa adanya membuat dirinya begitu disegani. Mochtar Lubis lahir di Padang pada 07 Maret 1922. Ayahnya, Raja Pandapotan Lubis adalah seorang bangsawan Mandailing yang menjabat sebagai asisten demang (Demang adalah kepala distrik, atau wedana, atau wedono. Asisten demang adalah asisten wedana atau sekarang disebut camat) di Padang antara tahun 1915 dan 1929. Mereka tinggal di kota kecil sungai Penuh. sementara Ibunya bernama Siti Madinah Nasution, yang juga keturunan bangsawan Mandailing. Ia adalah anak kepala kuria, atau induk kampung (distrik) di daerah Batak, bergelar Mangaraja Sorik Merapi. Mochtar Lubis adalah anak ke enam, atau anak lelaki ke tiga. Mereka seluruhnya adalah: Nurhalijah, Nurleila, Amzar, Bachtiar, Nurjani, Mochtar, Achmad, Rosniah, Asniah, dan Firman. 1 Mochtar Lubis biasa menggambarkan Ayahnya adalah seorang yang berwatak
keras,
pekerja
keras,
dan
berdisiplin,
sementara
ibunya
dilukiskannya sebagai seorang wanita yang lembut, periang, dan seorang Ibu yang gemar mendongeng. Ia mengaku bahwa ayahnya feodal (garis keturunannya) tetapi tidak suka pada sikap feodal. Sebagai anak keluarga ningrat, hidup Mochtar berkecukupan, bahkan Ayahnya mempunyai sebuah mobil. 2 Di Sungai Penuh, Mochtar Lubis mengikuti pendidikan di Sekolah Rakyat hanya selama setahun, setelah itu ia pindah ke Hollandsch Inlandsche School (HIS). Setelah lulus sekolah dasar (1935) Ayahnya menganjurkan 1
Atmakusumah, “Mochtar Lubis Wartawan Jihad,” (Jakarta: Harian Kompas, 1992), h.
48. 2
Ibid., h. 48-49.
36
37
Mochtar untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Ekonomi di Kayutanam, Sumatera Barat. Sekolah ini mengembangkan semangat gerakan nasionalis. Kemudian setelah lulus pada tahun 1939, ia menjadi guru di HIS Teluk Dalam di Pulau Nias namun tidak lama, karena ia memutuskan untuk merantau lebih jauh yaitu ke Batavia. Mula-mula ia bekerja di perusahaan farmasi, kemudian pindah ke Bank Factorij, sebuah bank swastra terbesar di Hindia Belanda yang membiayai pabrik gula. 3 Setelah itu, tentara Jepang pun menduduki negeri ini pada Maret 1942. Selama pendudukan militer Jepang itulah Mochtar Lubis mulai mengenal dunia pers. Sebelum benar-benar menggeluti dunia pers, ia bekerja sebagai anggota staf dinas monitoring siaran rado luar negeri, bagian dari Komando Tinggi Militer Jepang di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Dinas itu memantau siaran radio negara-negara sekutu seperti yang dipancarkan oleh Voice of America (VOA), Radio Australia, dan BBC London. Laporan dari hasil pemantauan itu kemudian dipelajari oleh staf Jepang. 4 Pada masa pendudukan Jepang itu juga, Mochtar Lubis bertemu dengan seorang perempuan bernama Siti Halimah Kartawidjaja (Hally) yang waktu itu menjadi pegawai Asia Raya. Mochtar Lubis mulai sungguh-sungguh terjun dalam profesi jurnalistik, pers, wartawan, setelah Perang Dunia Kedua berakhir. Ia menjadi pegawai harian Merdeka. 5 Ia juga mendirikan Kantor Berita Antara, kemudian mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya, mendirikan majalah Horizon bersama kawan-kawannya begitu juga pendiri Yayasan Obor Indonesia. 6 Lubis adalah wartawan yang mempunyai komitmen, karena ada perjuangan yang ingin dilaksanakan, seperti perjuangan melawan segala bentuk kebatilan, menegakkan kemanusiaan dan melawan semua hal yang menekan, merugikan, serta menindas kemanusiaan. 7 Pemimpin redaksi Indonesia Raya itu sempat dipenjara dan menjadi tahanan rumah selama 3
Ibid., h. 52-53. Ibid., h. 53. 5 Ibid., h. 60. 6 Mochtar Lubis, Perempuan Kumpulan Cerita Pendek, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), h. 197. 7 Atmakusumah, Op. Cit., h. 10. 4
38
sembilan tahun hingga ia mendapat anugerah Pena Emas, “La Plume d’Or”, oleh Federasi Internasional Serikat Penerbit Surat Kabar—FIEJ—yang bermarkas besar di Paris. Anugerah tersebut diberikan kepada wartawan yang gigih memperjuangkan kebebasan pers sampai menderita. 8 Salah satu kesan yang mendalam didapatnya dari pengalaman ditahan ialah bahwa orang baru benar-benar menghargai kebebasan apabila pernah berkenalan dengan penjara. Penghargaannya kepada kebebasan, yang bagaikan senapas dengan cintanya kepada Ibu, Istri, Anak-anak, Cucu-cucu, dan juga para menantunya, diungkapkan dalam kedua catatan hariannya yang sudah dibukukan, yaitu Catatan Subversif dan Kampdagboek. 9 Meski Indonesia Raya terputus penerbitannya, dan tidak lagi menulis di pers dalam negeri secara teratur, Lubis tidak pernah berhenti berjuang dalam dunia kewartawanan, bahkan ia terlibat aktif dalam pendirian dan pengelolaan Yayasan Pers Asia—Press Foundation of Asia—sebagai pendiri dan terusmenerus sebagai direktur. 10
B. Pemikiran Mochtar Lubis Karya-karya Mochtar Lubis dianggap mempunyai ‘ruh’ totalitas yang sangat memperkaya kesusastraan Indonesia. Goresan tinta emasnya mampu menjabarkan realitas sosial, serta berbagai wawasan tentang manusia Indonesia dengan berbagai dimensi yang cukup tajam, bahkan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Isma Sawitri mengatakan bahwa “Ia begitu konsisten mencipta dalam kurun waktu yang cukup panjang, hingga setiap karyanya merefleksikan gejala dan gejolak zamannya”. 11 Dalam pikiran Mochtar Lubis, seorang sastrawan harus berani mengkritik dengan suara yang terang, kukuh, tegap, dan semangat kemanusiaan yang besar. Tidak boleh ragu apalagi takut untuk berbicara bagi
8
Ibid. Ibid., h. 50. 10 Ibid. 11 Agus Sularto, “Ibarat Gemuruh Guntur di Siang Bolong”, dalam Media Indonesia, Tahun XXIII nomor 4447, Minggu, 16 Agustus 1992, h. 1. 9
39
mereka yang menjadi korban ketidakadilan dan ketidak berprikemanusiaan di setiap zaman. 12 Seorang seniman harus memperoleh kebenaran dan keindahan, apabila keduanya sudah didapat maka tidak ada lagi tempat ketidakadilan dan kesewenangan yang bermuka buruk, keji, ganas, rakus, dan menjijikkan. 13 Ramdhan KH menilai bahwa “Mochtar Lubis adalah manusia Indonesia yang keluar dari kancah revolusi bangsanya. Tetapi ia tidak sinis terhadap revolusi, sebab ia salah satu pelakunya.” 14 Mochtar Lubis sangat memprioritaskan kebebasan manusia, hak-hak asasi, hak-hak demokrasi yang dijadikan operasional dalam menyemarakkan dunia kreativitas, 15 sehingga dapat dilihat pada tiap-tiap tulisannya yang begitu transparan, tidak pernah mau mempergunakan kata-kata yang samarsamar, atau tidak mau bicara atau menulis di balik tirai. 16 Semua diungkapkan dengan apa adanya.
C. Karya-karya Mochtar Lubis Selain sebagai wartawan, Mochtar Lubis juga dikenal sebagai sastrawan. Cerita pendeknya dikumpulkan dalam buku Si Jamal (1950) dan Perempuan (1956). Kemudian romannya yang telah terbit Tidak Ada Esok (1950), Jalan Tak Ada Ujung (1952) yang mendapat hadiah sastra BMKN. Karya selanjutnya yaitu Senja di Jakarta, mula-mula terbit dalam bahasa Inggris dengan judul Twilight in Jakarta (1963) dan terbit dalam bahasa melayu pada tahun 1964. Romannya yang berjudul Harimau! Harimau! (1975) mendapat sambutan luas dan memperoleh hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai buku terbaik di tahun 1975. Sementara karyanya Maut dan Cinta juga memperoleh hadiah dari Yayasan Jaya Raya. Selain menulis karya fiksi ia juga seringkali menulis esai dengan nama samaran yaitu “Savitri”, serta menerjemahkan beberapa karya sastra asing seperti Tiga Cerita dari Negeri 12
Ibid. Ibid. h. 2. 14 Ibid. 15 Bowo, “Mochtar Lubis Kreativitas Dimampatkan”, dalam Majalah Vista, nomor 01, Selasa, 14 Januari 1992. h. 80. 16 Mochtar Lubis, Op. Cit., h. xxii. 13
40
Dollar (1950), Kisah-kisah dari Eropa (1952). Dan pada tahun 1950, Mochtar Lubis pernah memperoleh hadiah atas laporannya tentang perang Korea, lalu pada tahun 1966 ia kembali memperoleh hadiah Magsaysay untuk karya-karya jurnalistiknya. 17
D. Latar Belakang Terciptanya Kumpulan Cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis Dilihat dari sepenggal perjalanan hidupnya, Mochtar Lubis memiliki banyak pengalaman, mulai dari masa kecilnya sebagai putra demang hingga lebih khusus lagi saat ia menjadi wartawan. Pengalamannya bertemu dengan banyak orang baik di dalam maupun di luar negeri memberinya isnpirasi yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya. Salah satu karya Mochtar Lubis yang tidak kalah lugas dari karya-karya lainnya adalah kumpulan cerpen Perempuan. Kisah-kisah yang terdapat di dalam kumpulan cerpen tersebut merupakan hasil pengalaman Mochtar Lubis sendiri dan juga hasil dari pengalaman orang-orang sekitar yang diceritakan padanya. Sebagaimana dikutip dari Riris K. Toha Surampaet dalam kata pengantar pada kumpulan cerpen Perempuan: Inti cerita ini juga dapat dirujuk pada pengalaman hidup pengarang seperti dapat kita saksikan pada “kampung kami di Sumatera, “kebun karet ayah di Kerinci”, “ketika ayahku dahulu menjabat demang di Kerinci itu” (“Lotre Haji Zakaria”) yang menunjuk dan merujuk pada kehidupan pribadi pengarangnya.” Mochtar Lubis dikenal datang dari keluarga berada dan ayahnya adalah seorang demang di Sumatera. 18 Pada kumpulan cerpen ini juga dapat kita periksa kejadiannya dalam catatan sejarah Indonesia, misalnya peristiwa serangan gerombolan dalam cerpen ‘Sepotong Rokok Kretek’. Sebagaimana yang dikatakan L.R Baskoro dan Ign Haryanto bahwa Mochtar Lubis pernah mengalami pengalaman pahit saat bekerja di Antara. Ia pernah menulis soal gerombolan perampok rakyat di tengah masa revolusi. Tulisan tersebut berdasarkan cerita dari mertuanya
17 18
Mochtar Lubis, Op.Cit., h. 197-198. Ibid., h. viii.
41
sendiri, ketika berita itu dimuat, beberapa anggota gerombolan yang bersenjatakan golok mendatangi Mochtar Lubis hingga ia pucat pasi. 19 Tugas kewartawanan dan kepemimpinannya dalam berbagai lembaga juga turut memengaruhi latar belakang terciptanya cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen Perempuan ini, misalnya pada kutipan “kami datang sebagai anggota delegasi konferensi serikat dagang-dagang” dalam ‘Untuk Peri Kemanusiaan’, lalu pada kutipan “ketika berkunjung ke Manila dalam bulan Mei 1950. Aku dan Benigno (seorang wartawan dari sebuah surat kabar di Manila)...” dalam ‘Sepucuk Surat.’ 20 Mochtar Lubis memang pernah berkenalan dengan seorang wartawan bernama Ninoy Aquino (Benigno) saat meliput perang di Korea, seperti dalam kutipan berikut: “Dari perjalanan itu pula ia membawa pulang kenang-kenangan yang tetap diingatnya sampai sekarang: perkenalan dan persahabatannya dengan Benigno (Ninoy) Simeon Aquino, Jr., reporter muda The Manila Times.” 21 Pengalamannya saat meliput perang Korea juga dituangkan dalam ‘Kebun Pohon Kastanye’. Saat itu ia sedang berkemah bersama satu batalyon tentara dari Philipina. Ada seorang pemilik kebun kastanye yang bengis dan kikir, ia berlaku kasar bahkan terhadap anak kecil sekalipun. Kejadian itu menusuk perasaan Mochtar Lubis sehingga
ia
menuangkannya
dalam
cerpen
tersebut. 22
Kemudian
pengalamannya sebagai anggota delegasi Indonesia dalam Konferensi Inter Asia di New Delhi ia tuangkan dalam cerpen “Cerita dari Singapura”. Uraian tersebut hanya sebagai contoh kecil saja karena pada intinya sikap kritis Mochtar Lubis yang bercampur dengan kekecewaan, dan pembelaan, menjadi dasar atas kisah-kisah yang dituangkan dalam kumpulan cerpen ini, agar masyarakat dapat menyadari bahwa semua masalah yang diangkat adalah masalah kita semua.
19
L.R Baskoro, dan ign Haryanto, “Mochtar Lubis: Surga Si Kepala Granit”, dalam Majalah Forum Keadilan, Edisi Khusus Lima Puluh Tahun Indonesia Merdeka, Agustus 1995, h. 79. 20 Mochtar Lubis, Op. Cit., h. ix. 21 Atmakusumah, Op. Cit., h. 46. 22 Anonim, “Cerita Tentang Ilham” dalam Waspada, Tahun XXXIV no 12323, Rabu, 23 April 1980. h. 8.
42
E. Sinopsis Tiga Cerpen dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis 1. Sinopsis “Cerita Mengapa Sebenarnya Haji Jala Menggantung Diri” (CSMHJMD) Cerpen ini menceritakan tentang seorang laki-laki bernama Haji Jala. Haji Jala adalah orang yang patuh kepada pemerintah, juga sebagai sosok yang berpengaruh di desanya. Ketika zaman Jepang, rakyat diperintahkan untuk menempati kembali tanah-tanah perkebunan (onderneming) bekas pendudukan Belanda, Haji Jala pun patuh, dan segera menduduki tanah onderneming itu. Kemudian ketika revolusi pecah, rakyat diperintahkan untuk menguasai tanah musuh, Haji Jala kembali mematuhi perintah, dan menyeru kepada rakyat untuk berjuang merebut tanah-tanah itu. Bahkan Haji Jala memperbesar tanahnya, menanam pohon buah-buahan, membuka tempat untuk ikan, dan menambah ladangnya. Namun setelah undang-undang baru berlaku, di mana tanah-tanah perkebunan tersebut harus dikembalikan ke Belanda, Haji Jala tetap teguh untuk merebut dan mempertahankan tanah-tanah tersebut. Lama kelamaan Haji Jala dituduh membuat repot pemerintah, ia pun disuruh mengembalikan tanah-tanah itu. Sebenarnya Haji Jala gelisah, di satu sisi ia tetap ingin mendukung hak rakyat, tapi di sisi lain ia takut kalau dianggap melawan pemerintah. Rakyat pun merasa dipermainkan oleh pemerintah, mereka mulai bertanya kepada Haji Jala mengapa dulu ia menyuruh menduduki, sekarang ketika diambil lagi ia tidak membela dan berdiam diri tak berkutik. Ia pun menyesal dan menjadi sangat malu, memilih untuk tidak keluar rumah, mengurung diri di kamar, hingga akhirnya bunuh diri. 2. Sinopsis “Cerita dari Singapura” “Cerita dari Singapura” ini mengisahkan tentang seorang dokter asal Singapura bernama Bannerjee. Ia dipertemukan oleh seorang laki-laki dari Indonesia dalam Konferensi Inter-Asia di New Delhi pada tahun 1947. Suatu ketika laki-laki itu dimintai tolong oleh seseorang bernama Ramli. Ramli
43
memberikan sepucuk surat yang berisi tentang kabar terbunuhnya pemuda dari Indonesia dalam perjuangan perang membantu Malaya melawan tentara Inggris, dan meminta agar laki-laki tersebut menyampaikannya kepada keluarga si pemuda di Sumatera. Hal itu mengingatkan dr. Banerjee pada kejadian di tahun 1946 ketika revolusi di Indonesia sedang memuncaknya. Pada masa revolusi itu hubungan Indonesia dengan Singapura sangat dekat, banyak pemuda-pemuda Indonesia yang datang untuk memperoleh senjata atau alat kemiliteran lainnya. Ketika itu, dr. Bannerjee dimintai tolong oleh seorang Melayu untuk mengobati pemuda dari Indonesia yang tengah menyelundupkan senjata ke Sumatera. Pemuda yang tengah menunggu kapal dari Sumatera itu terluka di bagian dada saat sedang memainkan senjata. Darah terus saja mengucur dari dada si pemuda, membuat dr. Bannerjee menyerah dan menyarankan agar pemuda tersebut segera di bawa ke rumah sakit. Namun, setelah dipikir-pikir kalau pemuda itu dibawa ke rumah sakit, maka aparat kepolisian akan menyelidiki penyebabnya, dan sudah pasti polisi akan menyita senjata-senjata tersebut, terlebih lagi pada waktu itu Singapura dibawah kemiliteran yang ketat, tidak boleh sembarang orang memegang senjata. Hal itu membuat dr. Bannerjee gelisah, ia dipermainkan oleh hatinya sendiri, karena dr. Banerjee dihadapkan pada dua pilihan. Memilih untuk membiarkan pemuda itu mati dan menyelamatkan organisasi pembelian senjata Indonesia di Singapura atau menolong pemuda itu namun harus kehilangan ikatan kerjasama tersebut. Dr. Bannerjee terus berusaha menolong pemuda itu dengan membalut lukanya, namun seperempat jam kemudian pemuda itu mati. Sejak saat itu dr. Bannerjee menyesal dan selalu merasa bersalah. 3. Sinopsis “Si Djamal Anak Merdeka” Cerpen ini menceritakan tentang sekelompok pemuda yang tengah berbincang santai di sore hari, namun topik pembicaraan mereka adalah mengenai hasil perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menyatakan bahwa Belanda telah berdaulat atas kemerdekaan Indonesia, akan tetapi Belanda tetap ingin menguasai daerah Irian Barat dan membentuk Uni
44
Indonesia-Belanda. Hal itu membuat rakyat tidak nyaman apalagi kondisi ekonomi semakin memburuk. Soekarno dianggap pembual dan tidak kapabel karena hanya mengumbar janji-janji palsu. Dulu sebelum merdeka rakyat dijanjikan akan memperoleh pekerjaan setelah merdeka, namun ketika merdeka, rakyat kembali dijanjikan akan memperoleh pekerjaan kalau Irian sudah kembali. Sekelompok pemuda itu merasa dipermainkan oleh pemerintah. Salah satu di antara mereka mencoba menahan, takut jika dibiarkan, kawan-kawannya akan membuat organisasi gelap untuk menumbangkan pemerintah. Karena ia pikir, sebagai rakyat sudah seharusnya patuh kepada pemimpin dan pemerintah, sebab kemerdekaan bukan berarti orang akan merdeka semaunya. Ditengah perbincangan yang semakin memanas, muncullah sosok pemuda bernama Djamal. Ia berencana di tahun 1951 nanti, ia harus memiliki kemewahan yang dimiliki pemerintah. Caranya dengan menerima sejumlah tawaran seperti bekerja di perusahaan ekspor impor orang Tionghoa, membuat badan penerbit, dan membuat film. Namun, itu baru ucapan si Djamal yang belum jelas kebenarannya, karena tidak lama kemudian si Djamal meminjam uang kepada kawannya dan segera pergi. Kawannya pun baru menyadari jika si Djamal sulit sekali ditemui, maka sudah pasti uangnya tidak akan pernah kembali. Hal itu membuat kawan si Djamal menyesal karena telah membiarkannya datang dan bicara omong kosong, bahkan sampai meminjam uang.
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN KUMPULAN CERPEN PEREMPUAN KARYA MOCHTAR LUBIS A. Unsur Intrinsik Cerpen 1. Tema Tema merupakan gagasan atau makna dasar yang menopang sebuah karya sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya implisit. 1 Mochtar Lubis
seringkali
menghadirkan
tema-tema
tentang
kepedulian,
pengorbanan, masalah keadilan, pergolakan jiwa, serta gambaran seorang pemimpin pada masa-masa revolusi yang dapat kita temukan dalam tiaptiap karyanya khususnya cerpen. Oleh karena itu, di bawah ini akan diuraikan analisis tema pada ketiga cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis. a. “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri” (CSMHJMD) Tema dalam cerpen ini adalah kritik terhadap pemimpin yang memperalat rakyat kecil demi keuntungannya sendiri. Dalam hal ini rakyat kecil direpresentasikan oleh buruh
tani. Mereka ingin
memperbaiki nasib dengan meminta hak tanah onderneming yang sejak zaman Jepang telah mereka duduki, atas perintah Jepang buruh tani itu kemudian bercocok tanam di sana, karena saat itu Jepang membutuhkan bahan makanan. Saat revolusi pecah pemerintah meminta mereka merebut tanah-tanah onderneming itu dari pihak asing. Tetapi zaman kembali berubah dan tanah-tanah yang sudah menjadi milik mereka harus dikembalikan. Para petani bingung dan merasa dipermainkan oleh pemerintah.
1
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2013), Edisi Revisi, h. 115.
45
46
“Mula-mulanya orang agak heran, mengapa tanah-tanah itu harus dikembalikan, sedang dahulu dianjurkan-anjurkan supaya diduduki, ditanam dan disuruh rebut oleh rakyat.” 2 Kondisi ini dimanfaatkan oleh oknum tertentu demi memperoleh dukungan suara sebagaimana kutipan berikut: “Dalam mesjid pernah timbul perdebatan hangat, ketika orangorang dari luar kampung datang dan mengadakan rapat-rapat dengan kaum tani. Mula-mula sekali datang seorang bernama Jusuf Bandar yang mengaku dia orang Perserikatan Nasionalis Indonesia.” 3 “Saudara-saudara,” katanya dalam sebuah rapat, “Saudarasaudara jangan mau pindah, partai kami akan mempertahankan nasib hak dan saudara-saudara. Gubernur yang memberi perintah itu telah menjadi kaki tangan kaum onderneming dan modal asing.” 4 Kedatangan Jusuf Bandar yang mengaku sebagai orang PNI dalam rapat kaum petani membawa maksud tertentu. Ia mempropagandai para petani agar tetap mempertahankan tanah tersebut, asalkan mereka mendukung PNI. Namun sayangnya maksud Jusuf Bandar tidak dipahami oleh mereka. Keluguan para petani membuat pemimpin-pemimpin begitu mudah mempermainkan mereka. Sampai suatu ketika keadaan menjadi semakin memanas, pemerintah mengancam akan mentraktor rumah mereka jika tidak mau pindah juga, dalam situasi ini datang lagi seorang bernama Ahmad Jimbul. “Keadaan jadi bertambah hangat, dan ketika tiba perintah orangorang harus pindah, kalau tidak rumah-rumah mereka akan ditraktor, maka datang pula orang-orang yang mengaku diri mereka kaum komunis, pembela rakyat jelata dan kaum proletar. Seorang Ahmad Jimbul amat baiknya berpidato.” 5 “Gubernur telah menerima sogok dari kaum kapitalis asing, polisi dan pamong pradja telah menjadi kaki tangan kaum onderneming asing. Dan sekarang kawan-kawan, mereka mengancam akan mentraktor rumah kawan-kawan. Traktor maut
2
Mochtar Lubis, Perempuan Kumpulan Cerpen, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), h. 92. 3 Ibid. 4 Ibid. 5 Ibid., h. 93.
47
mereka siapkan untuk menghancurkan gerakan kaum tani yang menuntut perbaikan nasib.” 6 “Turutlah sekarang kami. Kita akan pimpin perjuangan saudara memertahankan hak-hak saudara melawan kaum imperialis dan kapitalis asing, Bukankah jerih payah dan cucuran keringat saudara yang membuka tanah itu? Mengapa sekarang mesti dikembalikan kepada kaum kapitalis asing? Adalah jadi kewajiban semua orang yang cinta kepada rakyat untuk membela tanah-tanah itu.” 7 Kedatangan Ahmad Jimbul pun sama seperti Jusuf Bandar, hanya saja Ahmad Jimbul lebih memprovokasi para petani dengan mengatakan bahwa tanah-tanah itu adalah hasil jerih payah mereka, jadi tidak perlu dikembalikan, bahkan pemerintah saja dengan teganya akan mentraktor rumah para petani yang ingin memperbaiki nasib di zaman yang sudah merdeka. Kata-kata Ahmad Jimbul begitu meyakinkan, hingga pada akhirnya seorang haji bernama Jala dimanfaatkan oleh Ahmad Jimbul dan juga Jusuf Bandar untuk membujuk para petani bersama-sama memberontak dan meminta gubernur yang baru. Upaya ini dilakukan karena para petani dan rakyat lainya begitu menghormati sosok haji. Sehingga Haji Jala adalah sasaran yang tepat. Kritik dalam cerpen ini disampaikan secara implisit dengan menampilkan sosok propagandis dari dua kubu partai yaitu PNI dan PKI, keduanya digambarkan sebagai sosok yang licik, memperalat para petani yang notabene tidak paham politik. “Ah, kita sampai sekarang pada soal politik Tuan Haji,” kata jusuf bandar. “Saya khawatir Tuan Haji tidak akan mengerti. Baiklah Tuan Haji turut saja apa yang saya katakan.” 8 Kutipan di atas menggambarkan kelicikan Jusuf Bandar yang sedang membujuk Haji Jala untuk mengikuti segala macam perintahnya. Sementara Ahmad Jimbul pun melakukan hal yang sama sebagaimana kutipan berikut:
6
Ibid. Ibid., h. 96. 8 Ibid., h. 97. 7
48
“orang kampung tahu apa. Bodoh-bodoh semuanya. Buta politik. Kalau saudara haji jala menyuruh mereka, tentu mereka turut.” 9 Ahmad Jimbul menganggap orang-orang kampung itu bodoh semua, tidak mengerti politik, sekali diperintah oleh orang yang terpandang seperti Haji Jala maka semuanya akan menurut. Kedua kutipan tersebut memberikan gambaran bahwa politik itu kotor, penuh kecurangan, dan ketidakadilan, terutama bagi rakyat-rakyat kecil yang tidak begitu mengerti permainan politik. Dengan cerita ini Lubis seolah membongkar cara-cara pemimpin dalam meraih jabatan. Apa pun yang Jusuf Bandar dan Ahmad Jimbul lakukan adalah salah satu pembunuhan karakter terhadap gubernur atau pemerintah pusat, karena demi menaikkan gubenur baru, mereka menghasut rakyat dengan menjelek-jelekkan kebijakan pemerintah pusat. b. “Ceritera dari Singapura” Tema yang diangkat dalam cerpen “Ceritera dari Singapura” ini adalah perjuangan para pemuda Indonesia dalam memperoleh senjata dan bantuan lain di Singapura yaitu saat revolusi Indonesia sedang memuncak di tahun 1946-1947. Peristiwa tersebut terdapat dalam kutipan berikut: “...sebuah panitia di Singapura yang banyak memberikan sokongan kepada revolusi Indonesia, menampung pemuda-pemuda dengan segala macam tugas yang syah dan tidak syah yang datang ke Singapura, mengirimkan obat-obatan ke Indonesia dan sebagainya.” 10 Kutipan di atas menjelaskan bentuk kerjasama Indonesia dan Singapura di tahun 1947. Singapura pada saat itu mendukung revolusi Indonesia dengan
memberikan
bantuan
berupa obat-obatan
atau
menampung para pemuda yang datang. Dijelaskan bahwa para pemuda yang datang ke Singapura membawa berbagai tugas, baik yang sah atau tidak syah. Dalam hal ini tugas tidak sah adalah penyelundupan senjata yang dilakukan secara diam-diam oleh orang-orang tertentu baik dari pihak Singapura maupun Indonesia. Dikisahkan bahwa seorang tokoh 9
Ibid. h. 98. Ibid. h. 79.
10
49
bernama Dr. Bannerjee pernah mengobati pemuda dari Indonesia yang terluka akibat memainkan peluru senapan mesin berat, peluru itu meledak dan melukai dada si pemuda. Saat luka tersebut semakin parah, Dr. Bannerjee mengusulkan agar pemuda itu segera dibawa ke rumah sakit, tetapi kawan si pemuda itu melarangnya karena takut polisi akan memeriksa dan menyita senjata-senjata
tersebut, seperti pada kutipan
brikut: “Orang Melayu itu terkejut bukan kepalang, dan mukanya penuh ketakutan. ‘Tetapi jika dibawa ke rumah sakit’, katanya ‘maka lukanya yang kena peluru itu harus dilaporkan oleh rumah sakit kepada polisi. Polisi akan melakukan pemeriksaan. Rumah ini akan digeledah. Kami semua akan ditangkap. Senjata ini akan dirampas. Tuan dokter obati dia di sini. Jangan dibawa ke rumah sakit.” 11 Kutipan di atas menjelaskan bahwa perjuangan pemuda Indonesia dalam memperoleh senjata tidaklah mudah, banyak resiko yang mungkin terjadi misalnya kecelakaan akibat senjata yang bisa meledak kapan saja, atau
penggeledahan oleh polisi
sehingga terjadi penangkapan atau
pemutusan kerjasama tersebut, sehingga perlu kekompakan dan kehatihatian yang tinggi demi kelancaran revolusi atau disebut juga dengan perang kemerdekaan. Dalam cerpen ini, Dr. Bannerjee adalah jembatan untuk melihat peristiwa revolusi Indonesia di tahun 1946. c. “Si Djamal Anak Merdeka” Tema pada cerpen “Si Djamal Anak Merdeka” adalah kritik terhadap kebijakan pemerintah (pemimpin) di akhir masa revolusi fisik hingga awal masa percobaan demokrasi, yaitu sekitar tahun 1950. Kritikan tersebut digambarkan melalui beberapa pemuda yang sedang bercakapcakap di sore hari (petang) dalam keadaan hujan gerimis. Mereka kecewa atas sikap pemerintah yang terkesan tidak konsisten dan hanya mengumbar janji palsu perihal kesejahteraan rakyat. “Satu tahun merdeka,” kata Idris amat marahnya, matanya melotot, “apa yang ada perubahan untuk rakyat? Mula-mula dijanjikan 11
Ibid, h. 86.
50
kalau kita sudah merdeka, maka orang akan bekerja memperbaiki nasib rakyat. Kemudian ketika sudah merdeka, maka dijanjikan lagi, baru kalau Irian sudah kembali, orang dapat bekerja untuk kemakmuran rakyat. Dan sekarang setelah Irian tidak kembali, maka berteriak lagi—Hapuskan KMB dan Unie dahulu! Apa kita memangnya sapi-sapi tolol yang ditarik kian kemari?” 12 Dari kutipan tersebut terlihat bahwa sebelumnya pemerintah berjanji akan memberi pekerjaan guna meningkatkan kemakmuran rakyat, namun setelah merdeka—setidaknya di mata hukum internasional, pemerintah belum juga memenuhi janji tersebut, malah pemerintah kembali menjanjikan kalau Irian Barat telah kembali baru orang-orang bekerja untuk kesejahteraan rakyat. Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil dari perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang semula dilaksanakan untuk menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda juga memberikan
dampak
negatif
kepada
rakyat,
karena
bukannya
kesejahteraan yang dicapai, melainkan muncul permasalahan baru yang tidak kunjung selesai, yaitu masalah hak atas Irian Barat di mana Belanda begitu keras kepala untuk mempertahankannya. Sekumpulan pemuda itu sepenuhnya menyalahkan pemimpin khususnya kepada Sukarno dan tidak ada satu pun di antara pemuda-pemuda itu yang suka dengan Sukarno. “Ini semua salah tracee-baru Sukarno,” tambah Idris.” 13 “Memang dalam kumpulan petang gerimis itu, tidak ada seorang juga yang cinta dan memuja Sukarno.” 14 Kutipan di atas merupakan tuturan dari tokoh Idris dan tokoh “Aku” yang menunjukkan rasa tidak sukanya kepada Sukarno, secara tidak langsung tuturan tersebut juga memberikan gambaran bahwa karisma Sukarno mulai menurun dan banyak rakyat yang mulai berani menentang Sukarno. Tidak seperti di awal-awal revolusi, di mana sosok Sukarno sangat berpengaruh dalam meredakan emosi rakyat yang meledak-ledak. “Kalau aku ceriterakan semua kritikan dan makian yang dilemparkan kepada Bung Karno dan pemimpin-pemimpin lain, maka aku akan ditangkap esok-lusa oleh PM, dituduh merusakkan 12
Ibid., h. 157. Ibid., h. 156. 14 Ibid. 13
51
ketentraman umum, mencoba menghilangkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah, melanggar kesaktian pemimpin atau presiden, dan entah apa lagi.” 15 Kutipan di atas menjelaskan bahwa kritikan-kritikan untuk Sukarno dan pemimpin-pemimpin lain di Indonesia sudah begitu banyak. “Aku” tidak akan menceritakan semua kritikannya karena takut dituduh merusak ketentraman dan kepercayaan rakyat oleh Perdana Menteri. Sebab jika semakin banyak rakyat mengkritisi, maka tidak ada satu pemimpin yang mampu mempertahankan kedudukannya. Hal ini tentu berkaitan dengan Mochtar Lubis selaku pengarang dari cerpen tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa Moctar Lubis adalah pengkritik tajam, keberaniannya mengkritik tidak mengenal tempat dan tidak perduli dengan siapa ia berhadapan. Sebagai contoh sekitar tahun 1987, ia pernah mengkritik Sukarno melalui tulisan dalam surat kabarnya, yaitu: “Sukarno mengabaikan perekonomian, dia bukan seorang administrator, dan malahan melakukan politik menyebarkan perpecahan dan pertentangan (devide et impera) di antara partaipartai politik....” 16 “Sukarno telah menindas kebebasan pers, memenjarakan pengkritik dan tokoh-tokoh oposisi terhadap rezimnya, menghapuskan demokrasi di Indonesia, membikin dirinya jadi presiden seumur hidup, dan menghidupkan kultus pribadi yang serba besar dan unggul.” 17 Baik melalui surat kabar atau fiksi Mochtar Lubis tetap konsisten pada apa yang dinilainya kurang baik, ia tidak segan-segan mengkritik siapapun meski risikonya harus ditahan dalam penjara. Pada kutipan sebelumnya yang menjelaskan tentang tokoh “Aku” bisa saja ditangkap jika menceritakan semua kritikan kepada pemimpin-pemimpin sepertinya hanya sebagai sindiran kepada pemerintah yang selalu membungkam para pengkritisi termasuk dirinya.
15 16
Ibid., h. 157. Atmakusumah, Mochtar Lubis Wartawan Jihad, (Jakarta: Harian Kompas, 1992), h.
31. 17
Ibid.
52
Selanjutnya, di dalam cerpen Si Djamal Anak Merdeka juga terdapat kritikan untuk orang-orang asing yang ada di Indonesia. Dalam hal ini penggambaran dilakukan oleh tokoh Djamal yang memiliki rencana untuk memperbaiki hidupnya di tahun depan yaitu tahun 1951. “Rencanaku untuk tahun 1951, ialah aku mesti punya satu rumah batu di Menteng, satu bungalow di Puncak, dan satu mobil sedan besar. Coba engkau pikir, masa bangsa asing saja yang boleh tinggal di Menteng.” 18 Djamal mengungkapkan hal demikian kepada kawan-kwannya supaya mereka pun ikut berpikir seperti dia, sebagai anak merdeka jangan mau dikalahkan oleh bangsa-bangsa asing, jika mereka bisa membuat rumah batu, bungalow, dan mempunyai mobil sedan, mengapa mereka sebagai anak merdeka tidak bisa. 2. Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau drama, sedang penokohan (characterization) adalah penghadiran tokoh dalam fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya. 19 Di bawah ini akan diuraikan tokoh dan karakter (penokohan) dalam ketiga cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis. a. “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung
Diri”
(CSMHJMD) Adapun tokoh dan penokohan dalam cerpen ini adalah sebagai berikut: a) Haji Jala Haji Jala adalah tokoh utama dalam cerpen ini, ia merupakan propagandis dadakan yang dibentuk oleh Ahmad Jimbul dan Jusuf Bandar. Sebenarnya Haji Jala digamabarkan sebagai penduduk kampung
18 19
Lubis, Op. Cit., h. 160. Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 247.
53
yang amat patuh terhadap pemimpin, penuh semangat, mencintai rakyat, dan dermawan: “Tetapi pamong pradja sudah perintahkan kami semua mesti pindah,” Kata Haji Jala mendebat. “Bukankah rakyat harus menurut perintah?” 20 “Haji Jala memang seorang pecinta rakyat. Dia paling rajin memberi sedekah, membayar fitrah, dan tiap-tiap pekerjaan orang sekampung selalu dia ikut membatu. Mendirikan rumah baru, atau ada pernikahan atau kenduri kematian, maka selalu Haji Jala mengirim sokongannya berupa bambu atau atap, beras, ayam dan lain-lain.” 21 Penggambaran yang dilakukan Lubis memang padat dan jelas, dengan membaca dua kutipan di atas saja pembaca langsung bisa mengenali karakter tokoh Haji Jala. Akan tetapi ada satu karakter negatif yang dihadirkan dalam tokoh utama ini, yaitu sifat lugu. Keluguannya terlihat ketika ia tanpa sadar menjadi korban permainan politik. Dalam cerita, Haji Jala dihasut oleh dua orang propagandis untuk mengajak para tani agar tetap bertahan di atas tanah onderneming. Haji Jala pun benar-benar mengajak buruh tani untuk bertahan dan menentang perintah gubernur kala itu. Bahkan sampai gubernur telah berganti, sehingga terjadilah kesalahpahaman dan sampailah pada satu titik di mana Haji Jala harus memutar kembali kata-katanya dan membujuk rakyat untuk segera pindah dari tanah onderneming. Buruh tani kecewa karena merasa dipermainkan, mereka meminta pertanggunjawaban dari Haji Jala. Kejadian tersebut memengaruhi karakter dan pemikiran Haji Jala karena di akhir cerita Haji Jala mengalami perubahan sikap yang signifikan, dengan kata lain tokoh utama dalam cerpen ini adalah tokoh berkembang.
Desakan-desakan
tersebut
memengaruhi
kualitas
mentalnya, karakter Haji Jala berubah dari yang penuh semangat, berani, dan pantang menyerah kini menjadi orang yang pendiam, seperti kutipan berikut:
20 21
Lubis, Op. Cit., h. 92. Ibid., h. 95.
54
“Haji Jala jadi pendiam, dan jadi malu bertemu dengan orang. Sembahnyang ke mesjid dia tidak berani lagi, takut ditanya orang, mengapa sekarang dia berdiam diri, sedang dia dahulu yang paling keras menganjurkan orang supaya melawan perintah gubernur.” 22 Kondisi
psikologisnya
benar-benar
terganggu
hingga
menimbulkan depresi berkepanjangan dan menyebabkan dia mengambil jalan pintas dengan cara bunuh diri. Lubis menggunakan titel Haji karena sosok Haji begitu dihormati, dipercaya, dan menjadi contoh bagi orang banyak, itulah mengapa tokoh ini sangat kuat dalam memengaruhi pemikiran tokoh lainnya yaitu buruh tani. b) Jusuf Bandar Jusuf Bandar adalah salah satu anggota PNI yang datang mencari dukungan di desa yang letaknya dekat dengan tanah onderneming. Ia adalah penghasut rakyat, gaya bicaranya to the point dan tidak terlalu menekan, seperti kutipan berikut: “Ah, kita sampai sekarang pada soal politik tuan,” kata Jusuf Bandar. “Saya khawatir tuan haji tidak akan mengerti. Baiklah tuan haji turut saja apa yang saya katakan.” “Akan tetapi bagaimana sekarang saya dapat memutar ayat-ayat Qur’an yang dulu saya pakai menyuruh orang tidak mau pindah?” “Ha, pintar tuan haji sajalah”, kata Jusuf Bandar, dan dia terus pergi. 23 Pada kutipan tersebut terlihat bahwa Jusuf Bandar berkepribadian agak santai dan tidak mau ambil pusing, karena meskipun ia memperalat Haji Jala namun ia masih memberikan kebebasan kepada Haji Jala untuk menyelesaikan masalah tersebut. c) Ahmad Jimbul Sama
seperti Jusuf Bandar, Ahmad Jimbul pun mencari
dukungan atas nama PKI. Karakter Ahmad Jimbul lebih emosional.
22 23
Ibid., h. 99. Ibid., h. 97.
55
Gaya penuturannya lebih meyakinkan, perlahan namun mampu menyelusup ke hati rakyat. ““kawan-kawan,” katanya, “datanglah waktunya kelas tani dan kelas buruh bersatu-padu menghadapi siasat jahat kaum imperialis dan kapitalis. Seluruh kaum buruh internasional mendukung perjuangan kita di bawah pimpinan Stalin, Malenkov, dan kawan Mao Tse-tung.” 24 Ahmad
Jimbul
meyakinkan
rakyat
untuk
tidak
takut
memperjuangkan hak proletar karena kaum buruh di seluruh dunia mendukung mereka, sehingga jika terjadi apa-apa pasti akan dibantu oleh Stalin dan kawan-kawan. Di balik kata-katanya yang seolah baik, ternyata ada sisi tegas Ahmad Jimbul, hal itu terlihat ketika ia marah dengan Haji Jala: “pandai hajilah” kata ahmad jimbul, “pakailah ayat-ayat Qur’an, kan saudara haji fasih dalam soal-soal ini. Pendeknya putarbalikkan dari dahulu!” “kalau saya tidak mau?” tanya Haji Jala, kehilangan akal. “Haji Jala akan ditangkap, karena melawan pemerintah!” kata Ahmad Jimbul.”25 d) “Aku” Penggambaran tokoh “Aku” begitu singkat. Ia adalah orang yang menceritakan penyebab mengapa Haji Jala menggantung dirinya dengan kata lain “Aku” bertugas sebagai narator. Di tahap perkenalan (alur) pengarang memberikan informasi bahwa “Aku” berprofesi sebagai guru SR (Sekolah Rakyat) yang sudah mengajar selama dua puluh tahun, dan semua anak Haji Jala adalah muridnya. “Aku” sendiri adalah teman dekat Haji Jala seperti kutipan berikut: “Aku bukan keluarga Haji Jala, dan bukan anggota sesuatu partai. Aku hanyalah guru sekolah rakyat, dan telah dua puluh tahun lamanya mengajar di kampung itu. Semua anak-anak Haji Jala bekas muridku. Dan Haji Jala sendiri teman baikku.” 26
24
Ibid., h. 93. Ibid., h. 99. 26 Ibid., h. 90-91. 25
56
b. “Ceritera dari Singapura” Tokoh dalam cerpen “Ceritera dari Singapura” adalah sebagai berikut: a.
Dr. Bannerjee Dr. Bannerjee adalah tokoh utama dalam cerpen ini. Ia
digambarkan sebagai dokter yang aktif dalam sebuah panitia di Singapura yang mendukung revolusi Indonesia dalam berbagai hal. Usia Dr. Bannerjee terbilang tua, walaupun pengarang tidak menyebutkan berapa usianya namun hal tersebut dapat diketahui melalui kutipan berikut: “Dia menghela napas sedikit, dan menatap rombongan turis-turis Amerika yang riuh rendah bercakap-cakap dan bersenda gurau, dan sebentar seakan ada bayangan melintas menggelap di muka dokter tua yang baik itu, yang kemudian segera hilang kembali, dan Dr. Bannerjee berpaling padaku, dan tertawa: “Maafkan orang tua sebagai saya. Semakin tua, semakin banyak yang mengganggu pikiran,” katanya.” 27 Dilihat dari penuturannya, Dr. Bannerjee gemar menyaksikan pacuan kuda, bahkan ia sendiri memiliki kuda yang sudah dikirim ke Penang (tempat pacuan kuda) dengan pesawat. Hal ini menunjukkan bahwa Dr. Bannerjee termasuk ke dalam golongan kelas atas karena biasanya hanya orang-orang berada saja yang mampu menyaksikan pacuan kuda. Berikut kutipannya: “Engkau hendak ke Penang melihat pacu kuda? Kudaku telah kukirimkan ke sana degan pesawat terbang. Tak mau lagi aku mengirimkan kuda dengan kapal. Pertama kali aku berbuat demikian, maka kuda mabuk laut. Tak ada gunanya lagi di pacuan. Dengan kereta api aku khawatir. Maklumlah sekarang sebentar-sebentar kereta api diserang gerombolan.” 28 Kemampuannya dalam segi ekonomi tentu tidak lepas dari profesinya sebagai dokter yang rata-rata memiliki penghasilan besar. Selanjutnya jika ditinjau dari mental tokoh, Dr. Bannerjee memiliki sikap yang penuh rahasia, pembaca dapat mengetahuinya ketika Dr.
27 28
Ibid., h. 78-79. Ibid.
57
Bannerjee berterus terang kepada “Aku” mengenai suatu hal yang selama ini dipendamnya: “Surat itu mengejutkanku. Mengingatkan aku pada sesuatu yang lama aku coba lupakan. Saya berceritera padamu. Telah terlalu lama benar saya pendam rahasia itu sendiri saja. Dengarlah ceritaku ini hingga selesai. Kemudian terserahlah padamu sendiri.” 29 Pada umumnya orang yang sering memendam rahasia hanya mau bercerita kepada orang terpercaya saja, sebagaimana Dr. Bannerjee yang percaya pada tokoh “Aku”. Dr. Bannerjee bercerita bahwa dirinya pernah mengalami rasa bersalah karena gagal menyelamatkan pasien (pemuda dari Indonesia). Rasa bersalah itu membuat Dr.Bannerjee memilih untuk merahasiakannya. Sikap tersebut tentu dipengaruhi oleh masalah eksternal di mana ketika itu tokoh utama dihadapkan pada situasi yang membingungkan sebagaimana kutipan betikurt: “Tidak harus aku ikut campur dalam urusan mereka,” kata Dr. Bannerjee kembali. “Aku sebagai dokter berkewajiban menolong orang yang sakit. Dan menurut pengetahuanku sebagai dokter anak muda itu harus dibawa ke rumah sakit dengan segera, jika jiwanya hendak ditolong. Sebaliknya perkataan orang Melayu itu membingungkan hatiku. Dalam pikiranku tergores apa yang akan terjadi, jika luka anak muda itu dilaporkan kepada polisi, bagaimana senjata itu akan disita, keluarga di rumah itu akan ditangkap, dan mungkin sekali seluruh organisasi pembelian senjata Indonesia itu akan hancur.” 30 Dr. Bannerjee dihadapkan pada situasi sulit. Di satu sisi, menolong orang adalah kewajiban baginya, tidak perduli siapa dan dari mana asalnnya, namun di sisi lain ia teringat dengan perkataan orang Melayu tadi bahwa jika pemuda itu dibawa ke rumah sakit maka akan sangat berbahaya karena polisi
pasti menggeledah senjata-senjata
tersebut, dan bisa saja organisasi pembelian senjata Indonesia di Singapura akan dilenyapkan. Karena peraturan militer di Singapura pada saat itu amat keras maka Dr. Bannerjee tidak dapat berbuat banyak. Tokoh utama mengalami konflik batin, ia merasa terbebani oleh sebuah 29 30
Ibid., h. 84-85. Ibid., h. 87.
58
tugas yang bertentangan dengan keadaan. Saat dihadapkan dengan situasi yang demikian, Dr. Bannerjee berusaha mencari jawaban apakah tindakan yang akan diambilnya benar atau salah, hal ini ditunjukkan Lubis melalui arus kesadaran, yaitu ketika Dr. Bannerjee bertanya pada dirinya sendiri: “Timbullah perjuangan yang amat pelik sekali dalam hatiku. Bolehkah aku mengorbankan jiwa anak muda itu? Mengorbankan jiwanya untuk menjaga supaya organisasi pembelian senjata orang Indonesia dapat selamat? Siapa aku untuk dapat mengambil putusan yang demikian? Adakah hakku? Sebagai manusia? Sebagai dokter? Sebagai pecinta perjuangan kemerdekaan manuia? Dapatkah aku menganggap anak muda itu tewas dalam melakukantugasnya sebagai seorang serdadu? Dapatkah jiwaku akan tenteram, jika aku tidak paksa membawanya ke rumah sakit?” 31 Melalui kutipan di atas juga terdapat informasi bahwa tokoh utama memiliki sifat ragu-ragu dan penakut. b.
“Aku” “Aku”
adalah
tokoh
tambahan.
Penokohan
“Aku”
tidak
digambarkan secara detail, pengarang hanya memberikan informasi bahwa “Aku” adalah orang Indonesia, sebagaimana kutipan berikut: “anak Indonesia, bolehkah saya bicara dengan saudara berdua-dua sebentar saja? Amat penting benar.” 32 Kutipan di atas adalah saat “Aku” didatangi oleh pemuda bernama Ramli di sebuah hotel bernama Adelphie. Rupanya ada sesuatu yang amat penting yang ingin disampaikan Ramli kepadanya. Pemuda itu tahu bahwa “Aku” adalah orang Indonesia, oleh karenanya Ramli memberikan sebuah bingkisan beserta surat untuk disampaikan kepada salah satu keluarga di Indonesia. “Baiklah,” kata saya, “tentu akan saya sampaikan, tidakkah saudara hendak duduk ke dalam?”33
31
Ibid. Ibid., h. 81. 33 Ibid. 32
59
Kutipan di atas merupakan jawaban “Aku” yang menyanggupi permintaan Ramli. Hal ini menunjukkan bahwa “Aku” memiliki pribadi yang baik dan senang menolong sesama. Dalam kutipan tersebut juga dapat diidentifikasi bahwa “Aku” adalah orang yang sopan santun, buktinya ia menawarkan Ramli untuk duduk ke dalam, secara tersirat dapat dipahami bahwa maksud “Aku” adalah mengajak Ramli untuk bergabung bersama dirinya dan Dr. Bannerjee. Selanjutnya “Aku” juga digambarkan sebagai orang yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi bahkan demi memuaskan rasa penasarannya, “Aku” terpaksa melawan sikap sopan santunnya kepada Dr. Bannerjee yang masih mengajaknya bicara. “Tangan saya masuk ke saku hendak mengambil sapu tangan, tersentuh pada bungkusan yang disampaikan orang di hotel tadi. Tiba-tiba timbul hasrat hatiku hendak segera membaca surat dalam bungkusan itu.” 34 “Maafkan aku,” kataku pada Dr. Bannerjee, rasa ingin hatiku mengalahkan sopan santunku, “aku hendak membaca surat dahulu!” 35 Kemudian di akhir cerita “Aku” digambarkan sebagai orang yang setia dan pandai menjaga hubungan pertemanan seperti kutipan berikut: “Pada saat serupa itu, ketika seorang manusia menelanjangi jiwanya dengan luka-lukanya yang masih ngilu itu, maka terasa benar serba kekuranganku untuk mencari kata-kata yang dapat dan patut diucapkan. Dan apa yang dapat aku katakan? Tiada berubah perasaan persahabatanku terhadap dirinya setelah mendengar ceriteranya yang amat hebat itu,....” 36 Kutipan tersebut adalah bentuk penilaian “Aku” terhadap Dr. Bannerjee dan terhadap dirinya sendiri. Ia menilai bahwa apa yang dialami Dr. Bannerjee adalah sesuatu yang amat hebat meskipun pada akhirnya pengalaman itu meninggalkan luka hingga membuat jiwa Dr. Bannerjee seolah telanjang. Ia juga menilai bahwa dirinya adalah orang yang tidak pandai dalam merespon, mulutnya seperti kelu karena tak 34
Ibid. h. 83. Ibid. 36 Ibid., h. 89. 35
60
bisa berkata-kata layaknya orang yang sedang mendengarkan curahan hati
sahabatnya.
Kemudian dari kutipan itu juga tergambar betapa
tokoh “Aku” memiliki hati yang tulus dalam menjaga hubungan persahabatan, karena meski kejadian dalam cerita itu berkaitan dengan nasib pemuda pejuang kemerdekaan Indonesia yang pada akhirnya gugur karena kerguan hati kawannya itu, rasa persahabatan “Aku” sama sekali tidak berubah. c.
Ramli Seperti telah disebutkan sebelumnya pada pembahasan tokoh
“Aku”, Ramli adalah pemuda yang memberikan sebuah bingkisan beserta surat kepada “Aku”. Ia digambarkan sebagai seorang pemuda yang misterius seperti kutipan-kutipan berikut: “Saya menoleh ke pintu, dan melihat seorang muda beridiri dekat pintu memandang ke meja kami.” “Penuh ingin tahu saya berdiri ke pintu. Dia segera mendapatkan saya, menarik tangan saya ke luar, dan berdiri di samping sebuah pot besar tempat pohon palem.” “Nama saya Ramli,” katanya,....” “Dia tergesa-gesa menjabat tangan saya, mengucapkan banyak terima kasih, dan kemudian menghilang begitu saja.” 37 Pada kutipan-kutipan di atas dapat ditemukan informasi mengenai sosok Ramli yang misterius, pertemuannya dengan “Aku” begitu singkat dan tertutup, hal itu dapat dilihat pada kutipan kedua yang menjelaskan bahwa: ketika “Aku” menghampiri, Ramli segera menarik tangan “Aku” lantas berdiri di samping pot besar tempat pohon palem, artinya Ramli tidak ingin dirinya dilihat orang lain karena ia lebih memilih tempat tersembunyi, bahkan setelah ia menjelaskan maksudnya dan mendapat respon baik dari “Aku”, Ramli segera berlari tergesa-gesa dan lagsung menghilang begitu saja.
37
Ibid., h. 81.
61
d.
Pemuda Pemuda dalam cerpen ini berfungsi sebagai objek cerita Dr.
Bannerjee, menurutnya pemuda tersebut berasal dari Indonesia yang datang ke Singapura untuk memperoleh bantuan berupa senjata. Pemuda itu pun nantinya akan membawa semua senjata-senjata yang sudah dibeli ke Sumatera dengan kapal laut. Pemuda itu berusia 24 tahun, wajahnya pucat, dan memiliki wajah yang manis, seperti kutipan berikut: “Di tempat tidur kelihatan terbaring seorang muda. Umurya masih muda benar, kutaksir kurang lebih 24 tahun. Mukanya pucat benar, yang kelihatan menonjol ke luar dari kain selimut tipis. Raut mukanya halus dan manis. Segera aku bukakan selimutnya, dan alangkah terkejutnya aku melihat dadanya telah penuh dengan darah merah yang mengental. Aku memandang pada orang Melayu yang memanggil aku, dan sedang aku memeriksa lukanya, maka orang Melayu itu berceritera, bahwa anak muda itu datang dari Indonesia mencari senjata ke Singapura. Dan dia dapat celaka ketika memain-mainkan peluru senapan mesin berat yang dipukulpukulkannya ke meja, dan tiba-tiba meledak dan melukai dirinya sendiri.” 38 Pemuda memainkan
itu
tidak
sengaja
mengalami
peluru senapan hingga meledak dan
kecelakaan
karena
melukai dadanya.
Kejadian tersebut terjadi karena sikap cerobohnya yang tidak berfikir dahulu sebelum melakukan sesuatu. c. “Si Djamal Anak Merdeka” Dalam cerpen “Si Djamal Anak Merdeka” terdapat dua tokoh penting yang memengaruhi jalannya cerita, yaitu tokoh “Aku” dan tokoh Djamal. Sementara tokoh Idris dan Dullah hanya sebagai pelengkap. a. Djamal Dilihat dari judulnya yaitu “Si Djamal Anak Merdeka”, maka sudah pasti tokoh Djamal adalah tokoh utama atau tokoh sentral. Dalam pelukisannya, pengarang tidak mendeskripsikan secara jelas mengenai umur, wajah, atau pengawakannya, pengarang hanya menjelaskan melalui tingkah laku, pemikiran, dan tuturan. Dijelaskan bahwa Djamal adalah
38
Ibid., h. 85-86.
62
kawan lama dari tokoh “Aku” yang tiba-tiba datang dan ikut masuk ke dalam perbincangan “kumpulan petang gerimis” itu. Melalui tuturan tokoh “Aku” dapat ditemukan informasi bahwa Djamal adalah sosok yang ceria dan penuh semangat seperti dalam kutipan berikut: “Karena itu aku girang melihat si Djamal masuk sebagai hantu kebasahan dari hujan gerimis, dan berdiri di pintu dan berteriak: “Merdeka Bung!” 39 Kutipan di atas menjelaskan bahwa Djamal tetap ceria dan semangat meski dalam kondisi kedinginan akibat kehujanan. Sikap tersebut timbul akibat rasa bahagia Djamal atas kemerdekaan Indonesia. Ia bahkan tidak perduli ketika salamnya tidak dijawab oleh tokoh lain yang selama ini menganggap bahwa salam merdeka itu sudah usang. Melalui kutipan tersebut juga dapat diketahui bahwa kedatangan Djamal yang semula tidak diharapkan ternyata bermanfaat juga karena Djamal mampu mengalihkan percakapan yang mulai memanas di antara kupulan petang gerimis itu. Selanjutnya digambarkan juga bahwa Djamal ternyata orang yang tidak sopan: “Djamal berjabatan tangan dengan Idris dan Dullah, dan tidak meminta permisi, terus diambilnya jagung dari meja” 40 Dari kutipan di atas terlihat melalui tingkah laku Djamal yang mengambil jagung tanpa permisi dulu, hal demikian dirasa kurang sopan, khususnya untuk orang Indonesia yang segala sesuatunya diatur oleh etika. Mengenai tingkah laku Djamal yang seperti itu, “Aku”, Dullah, dan Idris tidak memberikan respon. Bagi “Aku” itu adalah hal biasa karena “Aku” sudah kenal lama dengan Djamal. Sementara bagi dua tokoh lainnya memang tidak ditemukan informasi mengenai respon mereka, baik melalui sikap atau melalui pikiran, hal ini karena dibatasi oleh sudut pandang orang pertama, “Aku” tidak mungkin menjelaskan apa yang ada di luar pengetahuannya. Selain semangat dan tidak sopan, ternyata Djamal juga memiliki banyak pengalaman, terbukti dari cerita-ceritanya yang terdengar hebat: 39 40
Ibid., h. 158. Ibid., h. 159.
63
“Apa kerjamu sekarang?” tanyaku, dan cepat aku menyesal bertanya demikian. Karena menurut pengalaman yang sudahsudah, maka si Djamal pasti akan keluar dengan cerita-cerita segala macam. Tetapi dengan si Djamal aku tidak bisa berbuat lain. Selamanya ada saja ceritanya yang hebat-hebat.” 41 Kutipan di atas menunjukkan bahwa Djamal memiliki banyak pengalaman hebat yang bisa diceritakan kepada orang-orang sekitarnya. Terlepas dari benar atau tidaknya peristiwa-peristiwa yang dituturkan, tokoh Djamal mampu membuat orang-orang yang mendengar ceritanya merasa kagum. Cerita-cerita tersebut dikemukakan Djamal dengan sikap percaya diri dan optimis. Keoptimisan Djamal dapat dilihat saat ia memulai pembicaraan: “Sekarang kita sudah merdeka, maka mesti juga bersifat sebagai anak merdeka. itu dasar hidupku sekarang,” kata si Djamal dengan bangga. Seakan-akan dia seorang ahli penyelidik pengetahuan yang telah menemui sebangsa baksil baru.” 42 Dasar hidup yang dianut Djamal mampu membuatnya menjadi orang yang optimis. Ia percaya bahwa sebagai orang yang telah merdeka harus bersifat merdeka juga, membebaskan diri dan tidak terlalu ambil pusing dengan segala hal. Itu sebabnya Djamal memiliki harapan tinggi dengan berencana agar bisa memperbaiki kehidupan sebagaimana orangorang asing yang mampu membuat rumah batu di Menteng, menghabiskan akhir pekan di Bungalow, dan naik mobil sedan mewah. Rencana itu memberikan motivasi kepada Djamal untuk memperoleh pekerjaan yang tepat agar uang yang dihasilkan mampu membantunya mencapai target. Berdasarkan pengakuannya, Djamal memiliki banyak tawaran pekerjaan, mulai dari perusahaan ekspor-impor milik Tionghoa sampai diminta untuk menjadi direktur sebuah penerbit buku di Surabaya, namun semuanya ditolak. Untuk perusahaan milik Tionghoa ia memiliki alasan bahwa dirinya tidak ingin menjadi boneka sebagaimana kebanyakan importirimportir di Indonesia sekarang. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan:
41 42
Ibid. Ibid., h. 160.
64
“Ini dia ada seorang Tionghoa menawarkan padaku capital berapa saja. Maksudnya untuk membikin N.V. eksport-import Indonesia dengan orang Indonesa jadi direktur. Dan dia minta saya Gaji 2.500 sebulan. Tetapi aku sudah tolak, karena aku tidak hendak jadi boneka, sebagai kebanyakan importir-importir Indonesia sekarang....” 43 Sementara untuk direktur penerbit buku di Surabaya ia beralasan bahwa ia tidak mau pindah ke Surabaya, karena Jakarta merupakan pusat pemerintahan. “Hanya aku keberatan untuk pindah ke Surabaya, karena di Jakarta adalah pusat pemerintahan dan kebudayaan yang lebih penting.” 44 Kedua kutipan di atas menunjukkan sikap Djamal yang penuh kehati-hatian dalam memperoleh pekerjaan, ia tidak ingin sembarangan karena harus sesuai dengan syarat-syarat yang dibuatnya agar rencana untuk tahun 1951 dapat tercapai. Perwatakan Djamal selanjutnya adalah sikap yang keras, terlihat ketika tokoh “Aku” mengingat riwayat badan penerbit milik Djamal: Aku tahu riwayat badan penerbit si Djamal itu. Dia ada naskah buku yang tidak sebuah penerbit juga mau terbitkan. Karena kesal maka si Djamal bersumpah akan menerbitkan sendiri bukunya. Akhirnya dia bertemu juga sebuah percetakan yang dapat dikocoknya, hingga percetakan itu bersedia mencetakkan bukunya, dan baru dibayar setelah buku-buku itu selesai dicetak. 45 Jika ada suatu hal yang diinginkannya, sampai kapan pun ia akan terus memperjuangkannya. b. “Aku” Tokoh “Aku” merupakan tokoh tambahan. Sama halnya seperti penggambaran tokoh Djamal, tokoh “Aku” pun tidak dijelaskan bagaimana wujud fisiknya, usianya, atau bahkan pekerjaannya. Dilihat dari penuturan tokoh “Aku” saat mengamati keadaan di sekitar, “Aku” memiliki sifat lebih penakut. Misalnya saat percakapan kumpulan petang gerimis itu mulai melantur, tokoh “Aku” berpikir bahwa kawan-kawannya
43
Ibid., h. 161. Ibid., h. 162. 45 Ibid. 44
65
akan berbuat sesuatu yang melanggar hukum sebagai ungkapan kekecewaan terhadap pemimpin: “Pembicaraan sungguh-sungguh sudah mulai melantur, hingga aku benar-benar mulai takut, kalau kawan-kawan akan membentuk sesuatu organisasi gelap untuk menumbangkan pemerintah yang dicap tidak kapabel, bodoh, tolol, tukang janji kosong, dan menipu rakyat.” 46 Kutipan di atas menunjukkan bahwa situasi percakapan sudah tidak sehat lagi. Situasi tersebut otomatis memengaruhi mental tokoh “Aku” sehingga ia menjadi takut, padahal rasa takut itu timbul dari pikirannya sendiri dengan membayangkan sesuatu yang belum terjadi. Selanjutnya, rasa takut tokoh “Aku” juga dapat dilihat dalam hal-hal kecil, misalnya saat Djamal datang dengan baju basah kuyup dan langsung duduk di bangku milik “Aku”. “Aku keberatan menyilakan si Djamal duduk, karena bajunya basah. Aku takut kursi akan kotor dan dibasahinya nanti. Apa yang aku takutkan lekas terjadi,....” 47 Dari kutipan di atas terliat bahwa tokoh “Aku” sebenarnya merasa keberatan mempersilahkan Djamal duduk, karena kondisi Djamal yang basah kuyup itu dapat mengotori kursi miliknya. Ketakutan tersebut didasari oleh sifat “Aku” sendiri yang menyukai kebersihan. Selain memiliki rasa takut, tokoh “Aku” juga merupakan orang dengan karakter yang lebih tenang, terbukti saat Idris dan Dullah semakin bernafsu untuk mengata-ngatai pemimpin, tokoh “Aku” justru mencoba menahan mereka: “Aku coba-coba menahan mereka. Aku katakan, bahwa kita sebagai rakyat harus insyaf dan patuh kepada pemimpin dan pemerintah, karena kemerdekaan tidak berarti orang lantas merdeka semau-maunya, tetapi harus tunduk pada aturanaturan....” 48 Kutipan di atas menjelaskan sisi positif “Aku”, dengan tuturan tersebut kita dapat mengetahui bahwa sikap tenang “Aku” didasari oleh pikirannya yang rasional. Dalam pikiran “Aku”, rakyat yang baik haruslah 46
Ibid, h. 157. Ibid, h. 159. 48 Ibid., h. 158. 47
66
patuh kepada pemerintah karena dalam suatu negara yang sudah merdeka tidak berarti rakyat bebas semaunya, melainkan harus tunduk kepada aturan yang berlaku. “Aku”
masih bisa mengontrol emosi, dan lebih
memilih berada di zona aman. Tidak hanya itu tokoh “Aku” merupakan orang yang baik, dan tidak pelit, sikap tersebut dapat dilihat saat Djamal harus meminjam uang karena dompetnya tertinggal, di antara kumpulan petang gerimis itu hanya tokoh “Aku” lah yang meminjamkan Djamal uang, meski akhirnya tokoh “Aku” tersadar dari kebebalannya dan menyesal telah meminjami uang karena sampai kapan pun uang lima rupiah itu tidak akan dikembalikan. Aku berikan dia lima rupiah, dan si Djamal melompat ke luar berlaru, dan menghilang di jalan. Baru aku teringat kebebalanku meminjamkan dia uang lima rupiah. Lama baru aku akan bertemu dengan si Djamal, dan selama-lamanya aku tidak akan bertemu kembali dengan uang lima rupiah itu. 49 c. Idris Tokoh Idris digambarkan sebagai orang yang memiliki karakter kasar dalam bertutur kata terlihat dari tuturannya yang menggunakan kata-kata tidak sopan seperti kutipan berikut: “Dan sekarang setelah Irian tidak kembali, maka berteriak lagi— Hapuskan KMB dan Unie dahulu! Apa kita memangnya sapisapi tolol yang ditarik kian kemari?” 50 Kata-kata sapi tolol itu sangat tidak sopan dan menimbulkan kesan kasar. Penggunaan kata-kata tersebut umumnya digunakan oleh orang-orang kalangan bawah atau orang yang berpendidikan rendah, maka penulis menyimpulkan bahwa Idris adalah termasuk orang golongan menengah ke bawah. d. Dullah Dullah merupakan tokoh yang humoris karena sesekali ia mengalihkan kekesalannya dengan candaan-candaan ringan seperti dalam kutipan berikut:
49 50
Ibid, h. 163-164. Ibid., h. 157.
67
“Dan Dullah akan berkata: “Ya, pajak ini dan itu diadakan. Tetapi uangnya ke mana? ke mana?” Dan dia belagak, cari-cari di belakang kursi, di bawah meja, dan di bawah taplak meja.” 51 Tingkah laku Dullah yang terdapat dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa Dullah berusaha ingin menghibur atau sekadar mencairkan suasana agar tidak terlalu serius. 3. Sudut Pandang Secara umum sudut pandang merupakan tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu, dan gayanya sendiri. 52 a. “Cerita Sebenarnya Mengpa Haji Jala Menggantung Diri” (CSMHJMD) Sudut pandang dalam cerpen ini adalah “Akuan” tak sertaan. Si “Aku”-lah yang menceritakan pengalaman tokoh utama. Mengutip dari Albertine Mindrop bahwa “Akuan” tak sertaan adalah teknik penceritaan yang digunakan bila pencerita tidak terlibat langsung dalam cerita walaupun ia ada di dalamnya. Si pencerita bisa saja sebagai tokoh protagonis yang sedang memaparkan sisi kehidupan tokoh lain kepada pembaca. 53 Dalam cerpen ini “Aku” menceritakan kepada pembaca mengapa Haji Jala menggantung diri, seperti kutipan berikut: “Karena itu, ketika aku menerima surat dari anaknya yang tertua, yang sedang bersekolah di Jakarta, menanyakan padaku apa sebab ayahnya menggantung diri, maka terpaksa aku menceritakan cerita yang sebenarnya mengapa Haji Jala menggantung diri. Tak bisa aku berdusta pada anaknya.” 54 Si “Aku” mengetahui kejadian yang menimpa Haji Jala lantaran pada suatu hari Haji Jala pernah datang kepadanya untuk menceritakan permasalahan
yang dialami, Kemudian cerita tersebut
dikisahkan
kembali oleh “Aku” dari awal hingga akhir.
51
Ibid., h. 157-158. Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 151. 53 Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 107-108. 54 Lubis, Op, Cit., h. 91. 52
68
b. “Ceritera dari Singapura” Dalam
cerpen
“Ceritera
dari
Singapura”
ini,
pengarang
menggunakan sudut pandang persona pertama “Aku” sebagai tokoh tambahan, si “Aku” menampilkan tokoh lain dan membiarkan
tokoh
tersebut bercerita tentang dirinya sendiri. “Aku” hanyalah sebagai saksi, bagi si “Aku” tokoh utama merupakan tokoh “diaan” terbatas, dalam hal ini tokoh “diaan” terbatas adalah Dr. Bannerjee yang sekaligus menjadi tokoh utama, sebagaimana kutipan berikut: Aku jadi cemas. “Sakitkah engkau dokter?” tanyaku. Dia menghapus mukanya yang basah dengan keringat dingin dengan sehelai sapu tangan yang besar dan berkata per lahan-lahan, suaranya serak: “Surat itu mengejutkanku. Mengingatkan aku pada sesuatu yang lama aku coba lupakan. Saya berceritera padamu. Telah terlalu lama benar saya pendam rahasia itu sendiri saja. Dengarlah ceritaku ini hingga selesai. Kemudian terserahlah padamu sendiri. 55 Kutipan tersebut adalah penggalan cerita ketika Dr. Bannerjee mengaku bahwa surat yang diberikan “Aku” mengingatkannya pada masa lalu, yaitu saat revolusi Indonesia sedang memuncak di tahun 1946, ia dihadapkan pada sebuah kebimbangan yang membuatnya menyesal seumur hidup karena tidak bisa menyelamatkan pemuda dari Indonesia yang mencari bantuan senjata di Singapura, sehingga ia memutuskan untuk memendam rahasia itu sendirian, namun “Aku” adalah sosok yang dapat dipercaya, oleh karena itu Dr. Bannerjee pada akhirnya menceritakan juga rahasia itu. Dr. Bannerjee menceritakan pengalamannya sendiri dan tokoh “Aku” hanya mendengarkan kemudian memberi penilaian terhadap Dr. Bannerjee di akhir cerita. c. “Si Djamal Anak Merdeka” Sama seperti cerpen “Ceritera dari Singapura”, cerpen “Si Djamal Anak Merdeka” juga menggunakan sudut pandang persona pertama “Aku”
55
Ibid., h. 84.
69
sebagai tokoh tambahan, dimana tokoh “Aku” berfungsi sebagai pengantar cerita. “Apa kerjamu sekarang?” tanyaku, dan cepat aku menyesal bertanya demikian. Karena menurut pengalaman yang sudahsudah, maka si Djamal pasti akan keluar dengan cerita-cerita segala macam. Tetapi dengan si Djamal aku tidak bisa berbuat lain. Selamanya ada saja ceritanya yang hebat-hebat. 56 Melalui kutipan di atas terlihat tokoh “Aku” berfungsi sebagai pengantar, ia memberitahukan kepada pembaca bahwa Djamal akan bercerita tentang segala macam pengalamannya, karena berdasarkan pengalaman tokoh “Aku”, jika Djamal sudah mulai bercerita maka akan muncul cerita-cerita lainnya. Setelah itu, Djamal pun mulai bercerita tentang pengalaman-pengalaman hebatnya dalam memperoleh tawaran pekerjaan. 4. Alur Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian. Aristoteles mengemukakan dalam Nurgiyantoro bahwa alur terdiri dari tahap awal, tengah, dan akhir. a. “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri” (CSMHJMD) Alur yang digunakan dalam cerpen ini adalah alur mundur. Kisah diawali ketika orang-orang menguburkan Haji Jala. Pada tahap awal ini pengarang menggambarkan suasana duka yang dirasakan oleh istrinya ketika mengantarkan Haji Jala ke tempat peristirahatan yang terakhir sebagaimana kutipan berikut: “Kawan-kawan yang menguburkannya melemparkan sodok-sodok tanah terakhir ke kuburannya yang digali di tanah yang subur dan gembur itu, dan istrinya yang tua terisak-isak menangis mencangkung di sebelah kuburan.” 57 Selain menghadirkan suasana duka, kutipan di atas juga sekaligus mengenalkan 56 57
Ibid., h. 159. Ibid., h. 90.
tokoh
utama
yaitu
Haji
Jala.
Tidak
lupa
Lubis
70
menggambarkan situasi ketika beberapa orang yang mengantar jenazah saling menduga-duga penyebab Haji Jala meninggal. Ada yang menduga bahwa Haji menggantung diri, ada pula yang menduga bahwa Haji Jala sakit panas, dan dugaan-dugaan lainnya, seperti kutipan berikut: “Percakapan orang-orang pulang dari kubur itu segera menjadi soal hebat dalam kampung kami di Sumatera Timur, yang terletak dekat dengan tanah konsesi onderneming. Orang-orang PKI dan PNI dalam kampung kami mengatakan Haji Jala membunuh diri karena dia jatuh gila. Sebaliknya keluarganya mengatakan, karena dia sakit demam panas. Dan orang-orang dari partai lain mengatakan orang komunis yang membunuh Haji Jala.” 58 Selain pengenalan situasi, kutipan di atas juga berisi pengenalan latar tempat dan tokoh-tokoh lain yang nantinya akan terlibat dalam cerita. Sedangkan pengenalan yang terakhir adalah pengenalan tokoh “Aku” yang nantinya akan menceritakan penyebab Haji Jala meninggal dunia. Pengenalan “Aku” begitu singkat karena cerita langsung berlanjut pada masa lalu (flashback) di mana tahap ini mulai muncul konflik. Dikisahkan bahwa setelah “Aku” menerima surat dari anak Haji Jala yang menanyakan prihal kematian Ayahnya,
maka “Aku”
menceritakan peristiwa yang sebenarnya. Peristiwa tersebut dimulai ketika zaman pendudukan Jepang di mana orang-orang diwajibkan berladang di atas tanah-tanah onderneming yang hasilnya diserahkan kepada Jepang. Kemudian ketika Jepang kalah dan revolusi pecah maka tanah-tanah tersebut disuruh dikuasai oleh para buruh tani. Namun ketika undang-undang berlaku kembali, para tani itu disuruh mengembalikan tanah-tanah tersebut kepda pihak asing. Di sinilah konflik memanas karena datang beberapa propagandis yang menghasut para tani untuk menentang pemerintah, hasutan tersebut semakin kuat ketika mereka menggunakan Haji Jala sebagai alat untuk membujuk para petani. “Karena itu Haji Jala amat aktif dan sibuk sekali jadi propagandis orang-orang tani supaya melawan saja, dan jangan mau pindah58
Ibid.
71
pindah. Sampai-sampai Qur’an dibawa-bawanya untuk alasan, bahwa orang tidak perlu pindah untuk mengembalikan tanah kepada kafir dan orang-orang munafik.” 59 Dengan kepolosannya, Haji Jala sampai menggunakan ayat AlQur’an untuk meyakinkan rakyat, dan seketika itu Haji Jala menjadi populer di kalangan PKI dan PNI, mereka menjadikan Haji Jala contoh pembela rakyat yang sengsara. Usahanya pun berhasil karena gubernur lama telah lengser dan diganti dengan yang baru. Cerita terus berlanjut dan sampailah pada tahap tengah yaitu klimaks. Bagian klimaks ini terlihat saat gubernur baru yang didukung oleh PKI dan PNI itu memerintahkan agar para petani meninggalkan tanah-tanah garapan, namun Haji Jala tidak mengerti permainan politik dan tetap mengajak para tani untuk menolak perintah tersbut. Jusuf Bandar (PNI) dan Ahmad Jimbul (PKI) marah, keduanya meminta agar Haji Jala membujuk para tani untuk turut pemerintah sekarang. Ketika hal itu dilakukan oleh Haji Jala, para tani marah, mereka mendesak agar Haji Jala menjelaskan semuanya. Hingga akhirnya Haji Jala menjadi pendiam, ia lebih memilih mengisolasikan diri dari dunia luar. Bagian ini sudah masuk ke dalam tahap akhir, yaitu peleraian karena cerita sudah mendekati akhir. “Haji jala jadi pendiam, dan jadi malu bertemu dengan orang. Sembahnyang ke mesjid dia tidak berani lagi, takut ditanya orang, mengapa sekarang dia berdiam diri, sedang dia dahulu yang paling keras menganjurkan orang supaya melawan perintah gubernur.” 60 Kemudian cerita ini ditutup dengan tindakan bodoh Haji Jala yang menggantung dirinya akibat tidak sanggup menerima serangan dari PKI, PNI, dan juga dari para tani. “Saudara, saya tidak tahan lagi pertanyaan-pertanyaan kawankawan sekampung. Malu saya sudah tercoreng di kening!” Esoknya haji jala kedapatan menggantung diri di kamarnya!” 61
59
Ibid., h. 95. Ibid., h. 99. 61 Ibid. 60
72
b. “Cerita dari Singapura” Alur yang digunakan dalam cerpen “Ceritera dari Singapura” ini adalah alur campuran, kisah berawal dari masa sekarang kemudian berlanjut ke masa lalu, dan berakhir di masa sekarang lagi. Tahap awalnya adalah pengenalan latar tempat yaitu Singapura, tepatnya di hotel Adelphi yang riuh ramai oleh turis-turis asing dari Amerika. Kemudian berlanjut pada pengenalan tokoh Dr. Bannerjee seperti kutipan berikut: “Dr. Bannerjee sambil mengunyah bistiknya menunjuk dengan garpunya kepada rombongan turis Amerika itu,” “Dia menghela napas sedikit, dan menatap rombongan turis-turis Amerika yang riuh rendah bercakap-cakap dan bersenda gurau, dan sebentar seakan ada bayangan melintas menggelap di muka dokter tua yang baik itu” 62 Melalui kutipan tersebut pembaca memperoleh informasi bahwa tokoh utama dalam cerpen ini adalah seorang dokter laki-laki dengan usia yang tak muda lagi dan berkeprbadian baik bernama Bannerjee. Informasi itu dituturkan sepenuhnya oleh tokoh “Aku” lewat pengamatannya. Kisah pun berjalan ke masa lalu, yaitu ketika “Aku” teringat akan pertemuannya dengan Dr. Bannerjee untuk pertama kali, yaitu saat diadakannya Konfrensi Inter-Asia di New Delhi tahun 1947. Pertemuan mereka tidak hanya sampai di situ, ternyata tiap kali “Aku” datang ke Singapura Dr. Bannerjee selalu mengajaknya makan malam, baik di rumahnya atau pun di restoran. “... dan menjadi kebiasaan baginya mengajak saya tiap kali singgah di Singapura untuk makan sekali di rumahnya, dan kemudian makan di luar rumah. Sekali harus makan di rumahnya bersama dengan keluarganya, isterinya, seorang anaknya perempuan yang telah gadis, yang setiap kali telah makan menggesek biola kemudian menyanyikan lagu-lagu India dengan suaranya yang merdu, dan tiga orang anak-anak yang masih kecil-kecil.” 63
62 63
Ibid., h. 78. Ibid., h. 79-80.
73
Setelah kenangan singkat “Aku” selesai, alur cerita kembali lagi pada masa sekarang, ditandai dengan datangnya seorang pelayan hotel tempat mereka menikmati bistik tadi (hotel Adelphie). Pelayan itu membawa sehelai kertas yang diberikan kepada “Aku”: Pelayan hotel datang ke meja kami, dan memberikan pada saya sehelai kertas yang ditulis dengan potelot tergesa-gesa: bolehkah saya berbicara dengan saudara sebentar? Dan surat itu tidak ditandatangani. Saya menoleh ke pintu, dan melihat seorang muda berdiri dekat pintu memandang ke meja kami. 64 Kutipan di atas juga berisi informasi bahwa akan ada tokoh baru yang muncul. Ternyata tokoh itu adalah pemuda bernama Ramli, ia membawa sebuah bingkisan dan surat. Barang tersebut di berikannya kepada “Aku” untuk disampaikan di Indonesia. Dalam tahap awal ini tikaian pun sudah dimunculkan, yaitu saat latar berpindah dari hotel Adelphie ke restoran atap lapangan terbang Kalang, tepatnya ketika tokoh “Aku” mengalami kegelisahan karena hatinya diliputi oleh rasa penasaran terhadap bingkisan yang baru saja diterima dari Ramli. Surat dan bingkisan itu berisi tentang kabar tewasnya seorang pemuda Indonesia yang ikut bergerilya dengan pemuda-pemuda Malaya melawan tentara Inggris, hal itu menjadi cikal bakal Dr. Bannerjee menceritakan rahasianya selama ini. Kemudian tahap tengah atau klimaks terdapat ketika alur cerita kembali ke masa lalu (flashback) di tahun 1946, yaitu saat tokoh utama diliputi situasi membingungkan, ia harus memilih antara menyelamatkan pemuda dari Indonesia atau patuh pada peraturan Singapura. Dalam situasi seperti itu, tokoh utama tidak dapat berbuat apa-apa, sebagaimana kutipan berikut: ““waktu itu”, kata Dr. Bannerjee meneruskan ceriteranya, “aku kehilangan akal, tidak tahu apa harus kuperbuat. Dan aku merasa amat tidak adil dia meletakkan jiwa anak muda itu ke dalam tanganku.” 65 Pergolakan dalam hati Dr. Bannerjee semakin menggangu, kragu-raguan itu menghambat Dr. Bannerjee untuk menolong pemuda 64 65
Ibid. Ibid. h. 86-87.
74
tersebut, ia hanya dapat membantu sebisanya. Akhirnya semuanya terlambat, pemuda itu pun meninggal dunia. “Mereka pergi dengan tiada berkata apa-apa lagi, tetapi setelah aku selesai membalut lukanya, tahula aku, bawha jiwa anak muda itu tidak akan tertolong lagi, biarpun dia dibawa juga ke rumah sakit. Seperempat jam kemudian dia meninggal, dan sejak itu, amat kerap benar timbul dakwaan dalam jiwaku sendiri, bahwa aku telah bersalah, dan akulah yang bertanggung jawab atas kematian anak muda itu. Dan apakah matinya itu sungguh-sungguh berguna untuk bangsanya?”. 66
Kutipan di atas merupakan akhir cerita dari Dr. Bannerjee yang sekaligus menjadi antiklimaks, artinya alur sudah memasuki tahap akhir. Ciri tahap akhir selain ada antiklimaks juga ada penutup, dan penutup dalam cerpen ini adalah ketika latar waktu kembali ke masa sekarang, tepatnya di restoran atap lapangan terbang Kalang: Dr. Bannerjee menghapus mukanya dengan sapu tangannya, dan dia menatap mukaku. Di matanya ada satu sinar yang mencoba sekuatkuatnya menajuk lubuk hatiku, dan sesaat aku merasa, seakan waktu berhenti mengalir, musik dansa menjauh menghilang, dan yang ada hanya angkasa kelam dengan ribuan bintang yang berkelip-kelip, dan ini seorang manusia—Dr. Bannerjee—yang bertahun-tahun menderita sendirian dalam kesepian jiwanya, dan sekarang jiwa telanjang dibukakannya demikian. 67
Pada kutipan di atas Lubis
menutupnya dengan suasana
keheningan hingga menambah kesan dramatis bagi pembaca. Setelah bercerita wajah Dr. Bannerjee berubah sendu seakan penyesalan itu tidak akan pernah hilang sampai kapan pun. Sementara “Aku” berusaha mengalihkan situasi tersebut dengan membahas perempuan yang ada di restoran itu: “Dokter, itu Stella sungguh seorang perempuan yang menggairahkan hati!” Dan aku tahu Dr. Bannerjee mengerti rasa hatiku, karena ketika dia meneguk wiskinya, terasa kudengar dia berkata – terima kasih!. 68
66
Ibid., h. 88. Ibid. 68 Ibid., h. 89. 67
75
c. “Si Djamal Anak Merdeka” Alur dalam cerpen “Si Djamal Anak Merdeka” menggunakan alur mundur. Tahap awal dalam cerpen ini adalah pengenalan tokoh “Aku” yang mengatakan bahwa dirinya sudah lama sekali tidak bertemu dengan Djamal: “Sudah lama benar aku tidak bertemu dengan si Djamal.” 69 Tidak hanya tokoh “Aku” yang dikenalkan, dalam kutipan tersebut, dalam kutipan tersebut Lubis juga memperkenalkan tokoh Djamal yang jelas-jelas kemunculannya belum terlihat. Melalui narasi singkat di awal cerita tersebut Lubis seolah ingin memberi tahu bahwa tokoh Djamal adalah tokoh penting dalam cerita. Kemudian kisah berjalan mundur (flashback) karena “Aku” mulai menceritakan kejadian sebelum dia dan kawan-kawannya bertemu dengan Djamal, diawali dengan penggambaran latar waktu, tepatnya saat hujan gerimis di sore hari (petang): “Petang itu kami sedang asyik minum-minum kopi tubruk di rumah dan obrolan pulang balik, repot seperti induk ayam yang asyik mengumpulkan anak-anaknya yang bertebaran. Hari hujan gerimis pula, hingga kopi panas semakin lezat terasa membakar lidah. Dan harum jagung muda yang direbus panas-panas naik memenuhi kamar dari atas meja, hingga lidah semakin enak melonjak-lonjak makan jagung dan ngobrol.” 70 Kutipan di atas masih terbilang tahap awal karena fungsi tahap awal sendiri untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan beragai hal yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya, salah satunya latar, kutipan di atas menjelaskan latar waktu dan suasana di mana waktu petang dalam keadaan hujan gerimis adalah waktu yang cocok untuk berbincangbincang karena dengan begitu kehangatan akan tercipta. Pengenalan berlanjut kepada tokoh Dullah dan Idris yaitu saat keduanya mulai menunjukkan kekesalannya terhadap pemerintah: “Sekarang kita harus putuskan Unie dan batalkan perjanjian KMB,” kata Dullah bersemangat, memukul meja. Sayang efek perkataannya yang seru dihilangkan oleh jagung yang tersembur 69 70
Ibid, h. 156. Ibid.
76
dari mulutnya yang melahap seperti kuda kelaparan. “Ini semua salah tracee-baru Sukarno,” tambah Idris. 71 Selain memperkenalkan tokoh Dullah dan Idris, kutipan di atas juga menggambarkan kondisi Indonesia yang masih belum stabil setelah kemerdekaan, sebab lagi-lagi Indonesia harus dihadapkan pada keegoisan Belanda. Tahap ini termasuk juga ke dalam tahap pemunculan konflik, karena permasalahan yang akan terus berkembang berawal dari masalah kesepakatan Indonesia-Belanda tersebut. Setelah pemunculan konflik, tahap selanjutnya adalah konflik atau tikaian yang merujuk pada pengertian: sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi atau dialami tokoh-tokoh cerita. 72 Pada tahapan ini konflik terjadi ketika Idris mulai marah hingga matanya melotot dan mengeluarkan kata-kata kurang sopan: “ “Satu tahun merdeka,” kata Idris amat marahnya, matanya melotot, “apa yang ada perubahan untuk rakyat? Mula-mula dijanjikan kalau kita sudah merdeka, maka orang akan bekerja memperbaiki nasib rakyat. Kemudian ketika sudah merdeka, maka dijanjikan lagi, baru kalau Irian sudah kembali, orang dapat bekerja untuk kemakmuran rakyat. Dan sekarang setelah Irian tidak kembali, maka berteriak lagi—Hapuskan KMB dan Unie dahulu! Apa kita memangnya sapi-sapi tolol yang ditarik kian kemari?” 73 Kutipan tersebut menunjukkan kemarahan Idris yang begitu berapi-api, kekesalannya atas janji pemerintah membuat rakyat terombang-ambing tidak jelas. Permasalahan terus berlanjut hingga memasuki tahap tengah. Di dalam tahap tengah terdapat klimaks, yaitu titik pertemuan antara dua atau lebih hal (keadaan) yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana permasalahan akan diselesaikan. 74 Dalam cerpen ini klimaks mulai terlihat saat Dullah menanggapi kemarahan Idris dengan mengeluhkan dana pajak yang tidak jelas, sementara uang
71
Ibid. Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 179. 73 Lubis, Loc. Cit. 74 Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 185. 72
77
puluhan ribu dapat dihabiskan untuk keperluan tersier petinggi-petinggi negara seperti dalam kutipan berikut: “Delapan puluh lima ribu rupaih untuk beli perabotan rumah seorang kolonel,” sambung Dullah, sekian puluh ribu untuk belikan mobil buick untuk menteri anu, dan puluhan ribu lagi untuk bayar cocktail party duta di London.” 75 Dilanjutkan dengan kedatangan Djamal yang mulai bercerita segala macam mengenai tawaran pekerjaan yang ia tolak semua karena berbagai sebab dan pertimbangan, juga cerita Djamal untuk mendapatkan lisensi percetakan karena Djamal memiliki sebuah penerbit bernama KESUMA HATI yang isinya kumpulan karya-karya Djamal seperti roman, kumpulan sandiwara, sajak, dan penggeli-penggeli hati yang dinamakan “Kuncup Bahagia”. Setelah kisah-kisah Djamal hampir selesai maka tahapan telah memasuki akhir, dalam akhir ada antiklimaks dan penyelesaian. Antiklimaks terdapat pada saat cerita Djamal hampir selesai, semua yang berada dalam kumpulan petang gerimis itu mulai melupakan soal janji pemerintah yang sempat mereka kata-katai sebelumnya. Mereka lebih tertarik pada cerita Djamal yang terdengar begitu hebat: “kami bertiga terdiam mendengar betapa beruntungnya orang seperti si Djamal ini. Begitu banyak tawaran-tawaran hebat diberian kepadanya, hingga dia jadi pusing memilihnya.” 76 Kemudian penyelesaian masalah dalam cerpen ini terlihat saat Djamal benar-benar menyelesaikan cerita terakhir: Ah, aku lupa menceritakan, bahwa koran si Samuel juga minta aku jadi pemimpin redaksi. Dia mau bayar gaji seribu lima ratus, tetapi aku minta duduk jadi anggota direksi. Masa aku jadi kuli tinta saja. Dia tolak, dan aku juga tolak! Ah, hujan sudah berhenti,” kata si Djamal, “Aku hendak ada rundingan sidikit dengan menteri Sumitro. 77 “Dia melompat berdiri menjabat tangan kami berganti-ganti, dan berlari tergesas-gesa ke pintu. Di pintu dia berdiri, berhenti ragu,
75
Lubis, Loc. Cit. Ibid., h. 163. 77 Ibid. 76
78
menggaruk celananya, dan berpaling: “Ah, pinjami aku lima rupiah sebentar, dompetku ketinggalan.” 78 Begitulah cerita-cerita si Djamal yang terlihat luar biasa, bahkan di akhir ceritanya ia beralasan ingin bertemu dengan menteri. Saat Djamal meminjam uang, tokoh Aku pun langsung meminjaminya meski pada akhirnya tokoh Aku menyesal karena selama-lamanya ia tidak akan bertemu dengan uang lima rupiah yang dipinjamkan kepada Djamal. Terlepas dari benar tidaknya cerita Djamal, dia tetaplah anak merdeka. 5. Gaya Bahasa Gaya bahasa merupakan pemakaian bahasa dalam karya sastra dengan gaya yang indah sehingga dapat menyentuh emosi pembaca. Biasanya penggunaan gaya bahasa yang indah ditandai dengan adanya majas-majas, baik itu metafora, personifikasi, simile, dan sebagainya. Dalam ketiga cerpen Mochtar Lubis ini pada umumnya menggunakan bahasa yang lugas dan apa adanya, sehingga pembaca tidak perlu repotrepot memahami makna di balik kalimat-kalimat yang disuguhkan. Akan tetapi, bagaimana pun juga Mochtar Lubis adalah seorang sastrawan, ia tetap ingin memberikan variasi bahasa sehingga penggunaan majas dapat ditemukan di beberapa kalimat walaupun jummlahnya tidak terlalu banyak. a. “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri” (CSMHJMD) Gaya bahasa pada cerpen ini cenderung kepada bahasa seharisehari tetapi tidak lepas dari gaya khas pengarang yang lugas dan tegas. Hanya saja ditemukan istilah ondrneming yang pada zaman sekarang tidak semua orang tahu apa itu onderneming. Onderneming merupakan perkebunan yang diusahakan secara besar-besaran, dimulai sejak zaman kolonial Belanda kemudian berlanjut hingga pendudukan Jepang. Penggunaan istilah onderneming mulai terlihat saat alur berubah mundur: 78
Ibid.
79
“Kecelakaan ini sebenarnya telah mulai semenjak zaman pendudukan militer Jepang. Karena Jepang memerlukan banyak bahan makanan maka kepada penduduk tani di kapung-kampung sekitar tanah-tanah onderneming oleh Jepang dianjurkan untuk berladang dan bersawah di tanah-tanah onderneming.” 79 Selain penggunaan istilah onderneming, ditemukan juga majas simile yaitu majas perbandingan yang langsung dan eksplisit. 80 seperti kutipan berikut: “Kemudian ketika Jepang kalah perang, dan revolusi pecah, maka pemimpin-pemimpn rakyat ketika itu tumbuh seperti jamur.” 81 Kutipan tersebut menjelaskan bahwa pada saat revolusi di Indonesia pecah, banyak pemimpin bermunculan untuk mengobarkan semangat rakyat. Dalam hal ini banyaknya pemimpin-pemimpin yang muncul diibaratkan dengan jamur, yang sekali saja tumbuh maka akan menyebar ke seluruh permukaan. b. “Ceritera dari Singapura” Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa secara keseluruhan pengarang menggunakan bahasa lugas namun tetap disisipi kalimatkalimat yang mengandung majas. Dalam cerpen ini, sebagai contoh gaya bahasa yang menunjukkan kelugasan terdapat dalam kutipan berikut, yaitu saat Dr. Bannerjee hendak mengobati pemuda yang terluka dadanya, ia melihat ada beberapa senjata api di bawah tempat tidur. Senjata-senjata itu sudah siap diangkut ke Indonesia melalui jalur laut: “Di bawah tempat tidur tempat anak muda yang malang itu terbaring, telah ada tiga peti senjata api dan peluru,....” 82 Pada kutipan di atas, pengarang mendeskripsikan keadaan dengan bahasa apa adanya yang lazim dipakai oleh orang-orang dalam kehidupan sehari-hari. Padahal pengarang bisa saja menggunakan kata ganti, misalnya kata peluru diganti dengan amunisi. Namun penggunaan kata 79
Ibid., h. 91. Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 400. 81 Lubis, Op. Cit., h. 91. 82 Ibid., h. 86. 80
80
peluru adalah kata yang paling tepat sebab semua orang dapat memahaminya. Selanjutnya, penggunaan majas terdapat dalam kutipan berikut: “Dr. Bannerjee membaca surat itu, dan tiba-tiba air mukanya berubah. Kulitnya yang hitam kelihatan sebagai kelabu,....” 83 Kutipan di atas terjadi saat tokoh “Aku” meminta Dr. Bannerjee membaca sebuah surat, dan secara tidak sengaja surat itu mengingatkan Dr. Bannerjee pada kejadian getir di masa lalu sehingga ketika ia selesai membacanya, ekspresi wajah Dr. Bannerjee berubah. Untuk menjelaskan perubahan ekspresi wajah tersebut, Lubis kembali menggunakan majas simile. Salah satu ciri majas simile adalah penggunaan kata sebagai. Dalam kutipan tesebut sebagai digunakan untuk menyamakan warna kulit Dr. Bannerjee yang hitam dengan warna kelabu, menandakan kemuraman hati Dr. Bannerjee yang tiba-tiba teringat masa lalunya. Penggunan majas metafora juga dapat ditemukan dalam cerpen ini, tepatnya saat Dr. Bannerjee mengakhiri ceritanya pada tokoh “Aku”: Dr. Bannerjee menghapus mukanya dengan sapu tangannya, dan dia menatap mukaku. Di matanya ada satu sinar yang mencoba sekuat-kuatnya menajuk lubu hatiku, dan sesaat aku merasa, seakan waktu berhenti mengalir, musik dansa menjauh menghilang, dan yang ada hanya angkasa kelam dengan ribuan bintang yang berkelip-kelip, dan ini seorang manusia—Dr. Bannerjee—yang bertahun-tahun menderita sendirian dalam kesepian jiwanya, dan sekarang jiwa telanjang dibukakannya demikian. 84 Majas metafora yang terdapat dalam kutiapan di atas adalah kalimat jiwa telanjang dibukanya demikian yang memiliki makna jiwa yang kosong dan seolah-olah telanjang. Kemudian secara keseluruhan kutipan tersebut terlihat lebih puitis atau sastrawi dibandingkan
dengan
kutipan-kutipan
lainnya.
Tidak
hanya
penggunaaan majas, pengarang juga mencampurkan beberapa istilah dari
83 84
Ibid., h. 84. Ibid., h. 88.
81
bahasa asing. Istilah tersebut dituturkan oleh Dr. Bannerjee saat ia sedang memperhatikan seorang perempuan bernama Stella: “Stella,” kata Dr. Bannerjee setelah mereka berputar kembali menjauh dari meja, kembali ke tengah lantai dansa, “dia dulu stewardess Malayan Airways, kemudian bekerja jadi chief hostess di sebuah night club, dan sekarang dipelihara orang itu. Orang kaya. Kerjanya ... ah, siapa yang mau periksa?”85 Mencampurkan dua bahasa atau lebih dalam suatu ujaran diebut juga campur kode. Pencampuran bahasa dalam kutipan di atas memberikan penegasan mengenai latar tempat (Singapura), dimana bahasa resmi Singapura adalah bahasa Inggris, dan Dr Bannerjee adalah warga Singapura. Stewardess sendiri artinya pramugari, kemudian chief hostess berarti kepala pelayan, dan night club adalah klub malam atau diskotik. c. “Si Djamal Anak Merdeka” Dalam cerpen ini penggunaan gaya bahasa yang menunjukkan kelugasan dan kesan apa adanya dapat ditemukan hampir pada keseluruhan cerita, misalnya pada kutipan berikut, saat menggambarkan sikap kawan-kawan si Djamal yang tidak merespon salam merdekanya: Kami tidak balas salam merdekanya dengan ucapan merdeka. Karena menurut Mr. Jusuf Wibisono dalam sebuah laporannya tentang misi Indonesia ke Moskow yang tidak kunjung habis-habis itu, maka ketika Samaun juga memberi salam merdeka padanya, maka dia (Jusuf Wibisono) juga tidak balas dengan salam merdeka!.... 86 Pada kalimat “sebuah laporannya tentang misi Indonesia ke Moskow yang tidak kunjung habis-habis itu” menunjukkan kesan apa adanya, benar-benar seperti mengalir begitu saja dari pikiran pengarang tanpa dilebih-kurangkan. Selanjutnya penggunaan majas dapat ditemukan pada awal cerita. Saat mereka tengah asik menikmati jagung dan kopi sambil berbincang-bincang:
85 86
Ibid., h. 83. Ibid., h. 158-159.
82
“Petang itu, kami sedang asyik minum-minum kopi tubruk di rumah obrolan pulang balik, repot seperti induk ayam yang asik mengumpulkan anak-anaknya yang bertebaran.” 87 “Hari hujan gerimis pula, hingga kopi panas semakin lezat terasa membakar lidah. Dan harum jagung muda yang direbus panaspanas naik memenuhi kamar....” 88 Dilihat dari susunan kalimat pada kutipan pertama, terdapat kata “seperti”, maka dapat diketahui bahwa majas yang digunakan adalah majas simile. “Seperti” digunakan untuk menunjukkan bahwa obrolan pemuda-pemuda tersebut begitu kompleks/repot sebagaimana induk ayam yang sedang menggiring anaknya, sementara pada kutipan kedua menggunakan majas personifikasi, yaitu memberikan sifat-sifat benda mati dengan sifat kemanusiaan. Hal tersebut dapat dilihat dari kalimat “kopi panas semakin lezat terasa membakar lidah” dan “harum jagung muda yang direbus panas-panas naik memenuhi kamar”. Aroma jagung dan kopi yang notabene adalah benda mati dapat dibuat seperti manusia yang bisa membakar dan naik. Selain kedua majas tadi, Mochtar Lubis juga menggunakan majas ironi, yaitu majas yang digunakan untuk mengungkapkan sindiran dengan intensitas yang rendah seperti dalam kutipan: “... karena dengan tidak menunggu ajakan (yang sebenarnya tidaklah akan datang) maka si Djamal terus duduk di kursi (engkau lihatlah betapa sopan santunnya bangsa Indonesia kita ini!)” 89 Kalimat betapa sopan santunnya bangsa Indonesia kita sebenarnya bermakna kebalikan, yaitu orang-orang Indonesia sekarang mulai tidak sopan, Djamal merupakan contoh kecilnya. Lubis menggunakan kalimat tersebut agar sindirannya terdengar lebih halus.
87
Ibid., h. 156. Ibid. 89 Ibid., h. 159. 88
83
6. Latar a. “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri” (CSMHJMD) 1. Latar Tempat Secara keseluruhan cerpen ini berlatar di Sumatera Timur, tepatnya di daerah yang dekat dengan tanah konsesi onderneming. Seperti kutipan berikut: “Percakapan orang-orang pulang dari kubur itu segera menjadi soal hebat dalam kampung kami di Sumatera Timur, yang terletak dekat dengan tanah konsesi onderneming.” 90 Sejak zaman penjajahan, Sumatera memang menjadi pusat perkebunan. Tanah yang subur membuat penjajah memanfaatkan wilayah tersebut untuk sumber pangan mereka. Pernah terjadi sengketa tanah di Sumatera timur, yaitu ketika revolusi pecah dan banyak orang-orang yang merebut hak tanah itu dari tangan bangsa asing atau dari para tuan tanah yang bekerjasama dengan penjajah. Sengketa itu tidak ada habisnya dan terus berlanjut hingga di tahun 50-an. Momen ini pun dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang mencari keuntungan dengan memprovokasi para tani bahwa pemerintah pusat tidak adil dan egois. “Gubernur telah menerima sogok dari kaum kapitalis asing, polisi dan pamong pradja telah menjadi kaki tangan kaum onderneming asing. Dan sekarang kawan-kawan, mereka mengancam akan mentraktor rumah kawan-kawan. Traktor mau mereka siapkan untuk menghancurkan gerakan kaum tani yang menuntut perbaikan nasib.” 91 Kutipan di atas adalah bentuk provokasi dari seorang Ahmad Jimbul yang menjelaskan bahwa gubernur mendapat sogokan dari kaum kapitalis asing sementara pamong pradja pun sudah menjadi pengikut kaum onderneming asing, siapa saja yang menentang pemerintah pusat dengan tetap tinggal di tanah onderneming, maka pemerintah akan menggusur rumah mereka dengan traktor. Ancaman traktor oleh pemerintah pusat dilakukan agar para buruh tani yang dianggap liar itu 90 91
Ibid., h. 90. Ibid., h. 93.
84
mau segera pindah, namun Ahmad Jimbul menjadikan ancaman itu sebagai senjata untuk menghasut rakyat agar mereka mau mendukung komunis. Di dalam latar Sumatera ini ada sebuah masjid yang menjadi tempat bagi para tani mengadakan rapat bersama orang dari luar kampung, di situ terjadilah perdebatan hangat antara pihak yang turut serta pemerintah dan yang menentang pemerintah “Dalam mesjid pernah timbul perdebatan hangat, ketika orangorang dari luar kampung datang dan mengadakan rapat-rapat dengan kaum tani. Mula-mula sekali datang seorang bernama Jusuf Bandar yang mengaku dia orang Perserikatan Nasionalis Indonesia. “Saudara-saudara,” katanya dalam sebuah rapat, “Saudarasaudara jangan mau pindah partai kami akan mempertahankan nasib hak dan saudara-saudara. Gubernur yang memberi perintah itu telah menjadi kaki tangan kaum onderneming dan modal asing.” “Tetapi pamong pradja sudah perintahkan kami semua mesti pindah,” Kata Haji Jala mendebat. “Bukankah rakyat harus menurut perintah?” 92 2. Latar Waktu Adapun latar waktu dalam cerpen “CSMHJMD” adalah sebagai berikut: a) Masa Penjajahan Jepang Pada masa ini banyak penduduk tani yang berladang dan bersawah di atas tanah-tanah onderneming. Semua itu mereka lakukan atas perintah Jepang, karena Jepang membutuhkan bahan makanan untuk persediaan perang. Siapa saja yang membuka tanah konsesi itu maka akan mendapat pujian dan dianggap pahlawan sebagaimana kutipan berikut: “Karena Jepang memerlukan banyak bahan makanan maka kepada penduduk tani di kapung-kampung sekitar tanah-tanah onderneming oleh Jepang dianjurkan untuk berladang dan bersawah di tanah-tanah onderneming. Maka banyaklah orangorang tani yang membuka tanah onderneming, bersawah dan berkebun dan banyak pula yang mendirikan rumah-rumah di sana. Pamong pradja mulai dari yang tertinggi sampai pada lurah 92
Ibid., h. 92.
85
dan camat-camat memuji-muji orang yang suka membuka tanah onderneming-onderneming. Pendeknya ketika itu siapa yang suka bercocok tanam di tanah-tanah onderneming dianggap pahlawan.” 93 Pujian yang dilontarkan oleh pamong pradja, camat, dan sebagainya itu didasarkan atas hak istimewa yang diberikan oleh pihak Jepang kepada mereka. Rata-rata mereka adalah pengusaha-pengusaha onderneming yang bekerjasama dengan Jepang. b) Masa Revolusi Pada masa ini semangat kemerdekaan begitu bergejolak pada tiaptiap orang. Maka banyak orang-orang yang tiba-tiba menjadi pemimpin mengatasnamakan kemerdekaan rakyat. “Kemudian ketika Jepang kalah perang, dan revolusi pecah, maka pemimpin-pemimpn rakyat ketika itu tumbuh seperti jamur lebihlebih mengorbankan semangat rakyat.” 94 Pemimpin-pemimpin itu memerintahkan para buruh tani untuk merebut tanah garapan milik musuh. Mendudukinya dengan cara memperluas wilayah perkebunan dan menanaminya dengan pohon dan buah-buahan. “Ketika zaman revolusi dianjurkn menyita tanah-tanah milik musuh, maka dia pun memperbesar tanahnya, menanam pohon buah-buahan, membuka tempat untuk ikan, dan menambah ladangnya.” 95 Kutipan di atas adalah penggambaran Haji Jala yang begitu patuh kepada pemerintah, bahkan ketika masa revolusi, ia langsung melebarkan tanahnya dengan menanam buah-buahan dan sebagainya. Sikap Haji Jala mewakili para buruh tani yang juga mengikuti pemerintah ketika itu. c) Beberapa Lama Setelah Merdeka Pada masa ini segala sesuatu mulai dibenahi, karena masa revolusi cukup menyisakan kekacauan meski pada akhirnya kemerdekaan
93
Ibid., h. 91. Ibid. 95 Ibid., h. 92. 94
86
seutuhnya di tangan rakyat Indonesia. Akan tetapi sisa-sisa revolusi itu masih ada dan masih menjadi permasalahan yang tidak kunjung selesai. Dalam hal ini adalah sengketa tanah garapan onderneming antara buruh tani dengan pemerintah: “Kemudian setelah beberapa lama merdeka, dan undang-undang serta hukum yang ada rupanya berlaku kembali maka datang perintah supaya tanah-tanah onderneming harus dikembalikan.” 96 Salah satu rencana pemerintah dalam memperbaiki keadaan Indonesia adalah dengan mengembalikan tanah-tanah itu kepada orangorang asing, yaitu kepada Belanda karena sesuai hasil sidang KMB, Indonesia menanggung hutang Hindia Belanda, dan
salah satu cara
mengatasinya dengan hal tersebut. Banyak rakyat yang tidak terima, buruh tani menolak karena di tanah itu ada bekas jerih payah mereka, sampai datanglah sebuah propaganda dari PKI dan PNI untuk menggulingkan gubernur lama dan menggnti gubernur baru yang mereka dukung. Namun setelah rencana itu berhasil, nasib para buruh tani tidak berubah: “Akan tetapi beberapa bulan kemudian ke luar perintah dari gubernur baru supaya orang-orang tani yang menduduki tanah onderneming secara tidak sah harus juga pindah ke tmpat-tempat yang telah ditentukan pemerintah.” 97 d) Malam Pada waktu malam Haji Jala didatangi oleh kedua propagandis tersebut, hanya saja waktunya yang berbeda. Malam yang pertama Haji Jala didatangi oleh Jusuf Bandar, setelah ia tahu bahwa Haji Jala tetap mengajak rakyat untuk menolak perintah gubernur yang baru (yang mereka sokong). “Pada suatu malam dia didatangi Jusuf Bandar, dan Jusuf Bandar berkata padanya: “Tuan haji bikin susah kita sekarang!” “Mengapa?” Tanya haji jala. “Sekarang tuan haji harus menyuruh dan mengajak orang tani supaya mau pindah. Pemerintah sekarang pemerintah yang kita sokong, jadi apa-apa perbuatannya harus kita sokong. Inilah namanya main politik. Kalau pemerintah menyuruh kita pindah, 96 97
Ibid. Ibid., h. 95-96.
87
maka kita harus pindah. Dahulu kita melawan, pemerintahannya tidak kita sokong. Mengertikah haji?” 98
karena
Sementara Ahmad Jimbul datang pada malam berikutnya, sebagaimana kutipan berikut: “Hingga suatu malam dia didatangi Ahmad jimbul, dan setelah berdehem-dehem, Ahmad Jimbul berkata: “wah saudara Haji Jala. Sudah bikin susah kita ini!” “Mengapa pula saya menyusahkan saudara?” tanya Haji Jala keheranan. “orang-orang kampung berkuat hati sekarang untuk melawan perintah pindah,” katanya. Ahmad jimbul menggosok dagunya, mengubah air mukanya dengan wajah keras bersungguh-sungguh, dan berkata: “Untuk kepentingan kelas buruh dan tani, haji jala sekarang harus propaganda menyuruh rakyat patuh pada perintah gubernur yang baru. Tanah-tanah onderneming itu mesti dikosongkan. Ini perlu untuk menyokong pemerintah. Kabinet baru adalah kabinet yang progresif, dan disokong oleh partai komunis. Karena itu rakyat tani harus ikut menyokong. Sekarang menjadi kewajiban rakyat meninggalkan tanah-tanah 99 onderneming.” Mereka mendatangi Haji Jala di malam hari karena waktu tersebut aktiftitas warga sudah berkurang, sehingga tidak akan ada orang yang tahu jika mereka bertemu Haji Jala dan juga tidak ada yang tahu tujuan mereka itu. 3. Latar Sosial Latar sosial dalam cerpen ini adalah banyaknya rakyat kecil yang berpikiran sempit, dalam hal ini pemikiran sempit tidak hanya digambarkan oleh orang-orang yang mudah menerima begitu saja hasutan para propagandis, tetapi sikap putus asa yang dilakukan Haji Jala pun termasuk akibat dari pemikiran yang sempit. “Malamnya dia akan menggantung diri, Haji Jala berkata pada saya setelah kami bersama-sama sembahyang ashar di rumahnya. “Saudara, saya tidak tahan lagi pertanyaan-pertanyaan kawankawan sekampung. Malu saya sudah tercoreng di kening!”
98 99
Ibid., h. 96. Ibid., h. 97-98.
88
Esoknya haji jala kedapatan menggantung diri di kamarnya!” 100 b. “Ceritera dari Singapura” 1. Latar Tempat Singapura menjadi latar utama dalam cerpen ini. Hampir semua peristiwa terjadi di sini, salah satu yang paling utama adalah peristiwa tentang pemuda-pemuda Indonesia yang datang mencari bantuan dan dukungan kepada Singapura, kondisi mereka terancam oleh peraturan ketat Singapura yang melarang orang-orang menyimpan senjata atau peluru, juga terancam oleh senjata-senjata yang tentunya berbahaya. Pada awal cerita saja Lubis sudah memberi penegasan langsung mengenai lokasi cerita, seperti kutipan berikut; “Singapura malam hari.” 101 Akan tetapi, dalam latar tersebut ada beberapa tempat khusus yang memengaruhi jalannya cerita, berikut penjelasannya: a) Hotel Adelphi Hotel Adelphi digunakan sebagai pengawal kisah. Di hotel tersebut “Aku” dan Dr. Bannerjee sedang menikmati makan malam sambil bercakap-cakap, dalam percakapannya Dr. Bannerjee seperti sedang bersedih hati hingga ia mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai dengan kepribadiannya sepeti dalam kutipan berikut: “Akan tetapi saya tidak pernah melihat dia mabuk. Sebenarnya juga Dr. Bannerjee seorang yang amat baik hati, dan ucapanucapannya demikian tidak sungguh-sungguh dimaksudnya, hanya kelakarnya untuk menghilangkan banyak kenangkenangannya yang tidak indah barangkali.” 102 Selain itu, di hotel Adelphi juga tokoh “Aku” menerima sebuah bingkisan beserta surat dari pemuda bernama Ramli. Surat itulah yang membuat Dr. Bannerjee mengingat kesalahan yang pernah diakukannya waktu itu.
100
Ibid., h. 99-100. Ibid., h. 78. 102 Ibid., h.80-81. 101
89
b)
New Delhi Latar ini tidak banyak menampilkan peristiwa, New Delhi hanya
dijelaskan sebagai tempat “Aku” dan Dr. Bannerjee bertemu untuk pertama kalinya di acara Konferensi Inter-Asia tahun 1947. “Saya kenal Dr. Bannerjee mula-mula sekali ketika delegasi Indonesia mengunjungi konferensi Inter-Asia di New Delhi dalam tahun 1947,....” 103 c)
Restoran (atap gedung lapangan terbang Kalang) Setelah selesai makan, Dr. Bannerjee mengajak “Aku” mencari
angin di restoran lapangan terbang Kalang. Di latar tersebut “Aku” membaca isi surat yang tadi diberikan oleh pemuda bernama Ramli. “Aku” diminta untuk menyampaikan surat dan bingkisan itu kepada salah satu kelurga yang tinggal di Sumatera. Isi surat tersebut mengenai matinya seorang pemuda dari Sumatera saat tengah membantu Melayu melwan tentara Inggris. “Surat dalam bingkisan itu pendek saja, dari seorang yang tidak aku kenal, dan tidak pernah mendengar namanya. Dia menerangkan, bahwa dia seorang Indonesia, dan ikut bergerilya dengan pemuda-pemuda Melayu melawan Inggris, dan di dalam bingkisan itu ada sebuah gambar dan cincin kawannya, juga seorang anak Indonesia, tetapi telah tewas dalam sebuah pertempuran dengan pasukan Inggris.” 104 Kemudian di tempat tersebut, Dr. Bannerjee juga bercerita kepada “Aku” tentang rahasianya itu. d)
Kamar (Di bawah tempat tidur) Berdasarkan cerita Dr. Bannerjee, ia dibawa ke dalam kamar dan
didapati seorang pemuda tergolek lemah dengan wajah pucat karena banyaknya darah yang keluar dari dadanya. Rupanya kamar tersebut digunakan untuk menyimpan senjata-senjata belian yang sudah siap untuk di bawa ke Sumatera melalui jalur laut. Senjata-senjata itu disimpan di bawah tempat tidur, sebagaimana kutipan berikut:
103 104
Ibid., h. 79. Ibid., h. 83.
90
“Di bawah tempat tidur tempat anak muda yang malang itu terbaring telah ada tiga peti senjata api dan peluru, yang menurut anak muda itu sebelum terjadi kecelakaan pada dirinya, akan diangkut ke Sumatera dan hanya menunggu kapal saja.” 105 2. Latar Waktu Penggunaan latar waktu dalam cerpen Ceritera dari Singapura ini adalah sebagai berikut: a) 1946 Pada awal tahun 1946 Singapura menjadi salah satu tempat yang berpengaruh bagi kelancaran revolusi di Indonesia. Alat-alat militer yang berhasil diselundupkan dari Singapura sangat membantu orang-orang yang ada di Indonesia untuk menumpas Belanda dan sekutu. Selain senjata atau alat kemiliteran lainnya Singapura juga mengrimkan obat-obatan sebagaimana kutipan berikut: “Surat ini mengingatkan saya pada suatu hari dalam permulaan tahun 1946, ketika revolusi di Indonesia sedang memuncaknya, dan banyak anak-anak muda Indonesia datang kemari mencari senjata, minta bantuan dan sebagainya.” 106 Di tahun ini, peraturan militer Singapura masih begitu ketat, tidak boleh sembarang orang memegang senjata, jika ketahuan maka akan dikenakan hukuman mati: “Singapura ketika itu masih di bawah peraturan militer yang amat keras. Orang preman dilarang menyimpan senjata api atau peluru, dan dapat dihukum mati jika melanggar peraturan itu.” Hal yang terdapat dalam kutipan tersebut tentu menjadi ancaman bagi pemuda-pemuda Indonesia yang semula mengharapkan bantuan dan perlindungan, namun pada kenyataannya posisi mereka tetap tidak aman. b) 1947 Tahun ini adalah tahun pertemuan Dr. Bannerjee dengan “aku”. Sebgaimana yang telah dijelaskan pada latar tempat, mereka bertemu dalam sebuah konferensi yang dihadiri oleh berbagai negara asia, di antaranya Indonesia dan Singapura. 105 106
Ibid., h. 86. Ibid., h. 84-85.
91
3. Latar Sosial Latar sosial pada cerpen ini berkaitan dengan prialaku kehidupan sosial di masyarakat, seperti dalam kutipan berikut yang menggambarkan perilaku masyarakat luar negeri, mereka sering meminum wiski terutama saat udara terasa dingin, dalam hal ini penggambaran dilkukan melalui Dr. Bannerjee: “Saya syak dia suka mengajak saya makan ke luar rumahnya itu untuk menjaga agar isterinya dan anak-anaknya jangan mendengar pembicaraannya yang suka lepas-lepas saja tentang segala macam soal. Apalagi jika telah minum beberapa gelas wiski.” 107 Selain gaya hidup kebarat-baratan, latar sosial dalam cerpen ini juga terkait dengan sikap masyarakat Singapura terhadap orang Indonesia. Sikap tersebut ditunjukkan dengan sikap terbuka namun tetap dengan kewaspadaan. Sikap tersebut tetap direpresentasikan melalui tokoh Dr. Bannerjee. c. “Si Djamal Anak Merdeka” 1. Latar Tempat Latar tempat dalam cerpen ini adalah Jakarta. Latar tersebut tidak dijelaskan di awal cerita sebagaimana yang terdapat pada kedua cerpen sebelumnya, karena penejelasan latar dalam cerpen ini terdapat di bagian tengah yaitu saat Djamal menolak pindah ke Surabaya, seperti kutipan berikut: “Sebuah penerbit lain meminta aku menjadi direktur penerbit dan toko buku besar di Surabaya,” sambung si Djamal. “Gaji 2.000 sebulan, dapat mobil dan rumah gratis. Haya aku keberatan untuk pindah ke Surabaya, karena di Jakarta adalah pusat pemerintahan dan kebudayaan yang lebih penting. 108 Dari kutipan tersebut dijelaskan bahwa Djamal tetap ingin berada di Jakarta, lantaran Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan kebudayaan.
107 108
Ibid., h. 80. Ibid., h. 162.
92
Penggunaan latar Jakarta yang digunakan oleh pengarang sepertinya untuk menguatkan kesan perkotaan, agar sikap para tokoh yang kritis dan paham politik dapat diterima secara logis, sebab Ricklefs mengatakan bahwa “mereka yang melek politik hanyalah sekelompok kecil masyarakat perkotaan.” 109 2. Latar Waktu Latar waktu dalam cerpen ini adalah sekitar tahun 1950, tahun tersebut merupakan masa-masa akhir revolusi fisik, banyak pembenahanpembenahan yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan kekacauan bekas sisa-sisa revolusi di tahun 1945-1949, di antaranya adalah masalah perebutan Irian Barat, masalah kerjasama Uni Indonesia-Belanda, masalah ekonomi, pendidikan, korupsi, dan sebagainya. Untuk menentukan latar waktu sendiri penulis menyimpulkannya berdasarkan kutipan: “Satu tahun merdeka,” kata Idris amat marahnya, matanya melotot, “apa yang ada perubahan untuk rakyat?” 110 “Rencanaku untuk tahun 1951, ialah aku mesti punya satu rumah batu di Menteng, satu bungalow di puncak, dan satu mobil sedan besar.” 111 Kutipan yang pertama merujuk pada penggalan satu tahun merdeka, maksud dari kalimat tersebut adalah merdeka dari ancaman Belanda dan Sekutu yang ditandai dengan pemberian kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia, yaitu pada tahun 1949, sehingga jika dihitung satu tahun kemudian maka tahun dalam cerpen ini adalah tahun 1950. Sementara pada kutipan yang ke dua sangat jelas terlihat bahwa tokoh Djamal sedang membuat resolusi untuk tahun depan yaitu 1951. 3. Latar Sosial Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi, di samping itu latar sosial juga berhubungan dengan 109
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Terj. dari A History of Modern Indonesia Since c. 1200 oleh Satrio Wahono, dkk. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-II, h. 472. 110 Lubis, Loc. Cit. 111 Ibid., h. 160.
93
status sosial tokoh yang bersangkutan. Dalam cerpen ini latar sosial berkaitan dengan status sosial para pemimpin, kaum-kaum elite, atau bangsa asing seperti terdapat dalam kutipan: Coba engkau pikir, masa bangsa asing saja yang boleh tinggal di Menteng. Buat apa kita jadi anak merdeka. Masak orang-orang asing saja yang saban sabtu dan minggu pergi cari hawa segar di puncak, dan kita tidak. Buat apa jadi anak merdeka. Kalau mereka bisa, mengapa kita tidak bisa? Engkau tahu, mereka bisa bikin uang sampai 5.000 atau 10.000 seminggu. 112 “Delapan puluh lima ribu rupaih untuk beli perabotan rumah seorang kolonel,” sambung Dullah, sekian puluh ribu untuk belikan mobil buick untuk menteri anu, dan puluhan ribu lagi untuk bayar cocktail party duta di London.” 113 Berdasarkan kedua kutipan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa orang-orang kelas atas identik dengan kemewahan. Orang asing kebanyakan tinggal di Menteng yang sejak zaman kolonial dikenal dengan kawasan elite, yaitu sebuah lingkungan perumahan yang ditujukan khusus untuk orang-orang Eropa dengan tatanan khas dan tidak tercampur dengan pemukiman penduduk pribumi. Selain orang asing, para petinggi negara pun ikut larut dalam gaya hidup mewah, seperti dalam kutipan ke dua yang menjelaskan bahwa perlu menghabiskan uang puluhan ribu rupiah untuk memenuhi kebutuhan seorang kolonel, menteri, dan juga duta. Mereka jauh dari kata sengsara dalam hal keuangan. Kehidupan seperti itu justru berbanding terbalik dengan orang kelas bawah, oleh karena itu timbul rasa tidak adil bagi mereka. Di saat mereka merasa kelaparan atau tinggal di tempat yang tidak layak, para kaum elite dengan bahagianya memperoleh kemewahan dunia. Selain itu kaum menengah bawah kebanyakan sulit untuk mendapat pekerjaan, salah satu faktornya adalah kurang terbukanya lapangan pekerjaan untuk mereka, maka dalam hal ini peran pemerintah sangat dibutuhkan.
112 113
Ibid. Ibid. h. 158.
94
7. Amanat Amanat dapat dikatakan sebagai gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Amanat biasanya tersirat dan sangat bergantung pada interpretasi si pembaca, oleh karena itu amanat yang ditangkap oleh pembaca satu dengan pembaca lainnya seringkali berbeda. a. “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri” (CSMHJMD) Amanat dalam cerpen “CSMHJMD” adalah jangan sekali-kali mempermainkan hak rakyat kecil, apalagi menjadikan mereka sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Sebaliknya rakyat kecil juga jangan mau diperalat, harus tegas, ketika pemimpin benar maka ikuti peraturannya, namun jika salah harus berani menegur, sebagaimana kutipan berikut. “Ha,” kata Jusuf Bandar tertawa, “itulah salah sangka rakyat banyak. Kita hidup dalam negara demokrasi. Pemerintah itu tidak selamanya benar. Kalau salah, rakyat harus menyangkal.” 114 b. “Ceritera dari Singapura” Amanat dalam cerpen “Ceritera dari Singapura” ini adalah jangan pernah ragu untuk menolong seseorang sekalipun resiko terberat akan menghampiri, juga jangan takut untuk membela negara walaupun nyawa adalah taruhannya. Hal tersebut berdasarkan kutipan berikut: “Timbullah perjuangan yang amat pelik sekali dalam hatiku. Bolehkah aku mengorbankan jiwa anak muda itu? Mengorbankan jiwaya untuk menjaga supaya organisasi pembelian senjata orang Indonesia dapat selamat? Siapa aku untuk dapat mengambil putusan yang demikian? Adakah hakku? Sebagai manusia? Sebagai dokter? Sebagai pecinta perjuangan kemerdekaan manusia? Dapatkah aku menganggap anak muda itu tewas dalam melakukan tugasnya sebagai seorang serdadu?....” 115
114 115
Ibid., h. 93. Ibid., h. 87.
95
c. “Si Djamal Anak Merdeka” Amanat dalam cerpen “Si Djamal Anak Merdeka” ini adalah jangan menyalah artikan sebuah kemerdekaan. Merdeka memang memiliki arti kebebasan, tidak hanya terbebas dari penjajah melainkan bebas dalam hal apa pun. Akan tetapi kita sebagai manusia harus sadar bahwa dalam kebebasan tetap ada batasan-batasan tertentu yang mengatur agar semua tidak keluar dari koridornya, baik koridor hukum negara atau agama. Kemudian jika kita menjadi seorang pemimpin (di zaman apa pun) harus memberikan yang terbaik untuk rakyat, sebab rakyat selalu menagih bukti bukan janji. Apabila keduanya saling kerjasama maka kesejahteraan akan tercapai. Amanat tersebut berdasarkan kutipan: “Aku coba-coba menahan mereka. Aku katakan, bahwa kita sebagai rakyat harus insyaf dan patuh keada pemimpin dan pemerintah, karena kemerdekaan tidak berarti orang lantas merdeka semau-maunya, tetapi harus tunduk pada aturan-aturan. Tetapi mereka jadi semakin bernafsu.” 116 B. Potret Sejarah Revolusi Indonesia dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis Potret merupakan gambaran atau lukisan (dalam bentuk paparan) sehingga
pada
fokus
analisis
ini
penulis
mencoba
memaparkan
potret/gambaran mengenai sejarah yang terjadi selama masa revolusi di Indonesia (pasca kemerdekaan) dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis dengan cara menghubungkan isi cerpen dengan kehidupan nyata (pada masanya) melalui pendekatan mimetik. Berikut analisisnya: 1. Potret Peristiwa yang Terjadi Selama Masa Revolusi Indonesia dalam cerpen CSMHJMD, Ceritera
dari Singapura, dan Si Djamal Anak
Merdeka Pada 17 Agustus 1945, Indonesia telah lahir sebagai bangsa baru yang terbebas dari genggaman tangan asing. Tetapi pihak sekutu yang sama sekali tidak mengetahui keadaan Indonesia selama masa perang, 116
Ibid.
96
dengan tergesa-gesa merencanakan kedatangan mereka ke Indonesia untuk menerima penyerahan pihak Jepang dan memulihkan kembali rezim kolonial. Selama masa itu lah sekutu bersama Belanda menghadapi serangan dari pihak revolusioner di Indonesia. Pada 10 Februari 1946 Letnan Gubernur Jenderal H.J. van Mook mengajukan usul untuk mendirikan sebuah negara Indonesia serikat, dengan janji akan berada dalam hubungan persemakmuran dengan kerajaan Belanda. Perundingan ini diawasi oleh Inggris dan menghasilkan perjanjian Linggarjati. 117 Belanda mengakui bahwa RI sebagai penguasa de facto di daerah Jawa dan Sumatera. Keduanya pun bersepakat untuk membentuk sebuah negara federasi yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS) yang salah satu wilayahnya adalah Sumatera. Akan tetapi empat bulan kemudian yaitu pada 21 Juli 1947 Belanda melanggar perjanjian Linggarjati dan mereka melancarkan serbuan besar (polisionil) terhadap RI. Lewat operasi-operasi mereka meluaskan kekuasaan mereka atas sekitar dua pertiga Pulau Jawa dan daerah Sumatera yang meliputi perkebunan maupun ladang-ladang minyak di pulau tersebut. 118 Sejak dulu Sumatera khususnya Sumatera Timur memang menjadi wilayah yang diperebutkan oleh kekuatan asing seperti Belanda dan Inggris, mereka membuat perjanjian/kontrak politik dengan kesultanan agar bisa membuka perkebunan. Wilayah tersebut diperebutkan lantaran tanah di Sumatera Timur begitu subur, selain itu letaknya pun strategis sehingga menjadikannya sebagai perkebunan terbesar pada masa penjajahan. Usaha perekebunan itu disebut juga dengan onderneming seperti dalam cerpen berikut:
117
Audrey R. Kahin, Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, Terj. dari Regional Dynamics of the Indonesian Revolution oleh Satyagraha Hoerip, (Jakarta: temprint, 1990) h. 13. 118 Ibid.
97
a. “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri” (CSMHJMD) Cerpen ini menampilkan permasalahan yang menjadi salah satu sebab akibat terjadinya pemberontakan di tanah air pada masa revolusi. Akan tetapi sebelum membahas pada bagian revolusi, penulis mengaitkan terlebih dahulu pada kejadian sebelum merdeka
agar kronologisnya
berurutan. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa Sumatera Timur merupakan
tempat yang subur, dan strategis. Di sana ada sebuah
perkebunan atau tanah konsesi milik Belanda yang disebut dengan Onderneming seperti kutipan berikut: “Percakapan orang-orang pulang dari kubur itu segera menjadi soal hebat dalam kampung kami di Sumatera Timur, yang terletak dekat dengan tanah konsesi onderneming.” 119 Pada
kutipan
tersebut,
Lubis
tanpa
basa-basi
langsung
menyebutkan kedua tempat sekaligus, yaitu Sumatera Timur dan tanah onderneming. Luas perkebunan onderneming sendiri mendekati satu juta hektar, menghasilkan karet, tembakau, minyak kelapa sawit, dan sisal yang pada tahun 1938 merupakan 64% dari seluruh nilai ekspor keresidenan itu. Banyak buruh yang diangkut dari luar Sumatera seperti dari Cina Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur untuk menggarap tanahtanah tersebut. Hal ini mengakibatkan kelompok pribumi di Sumatera Timur yaitu Karo, Melayu, dan Simalungun menjadi kaum minoritas, orang Jawa menjadi etnis terbesar dan menysul Cina. 120 Perpindahan buruh ini telah dimulai dari akhir abad ke-19, tepatnya saat perkebunan terebut memerlukan tenaga kerja yang murah, dan buruhburuh tersebut diikat oleh semacam kontrak. 121 Namun sayangnya ada sebuah jurang budaya dan sosial yang memisahkan antara buruh pendatang dan keangkuhan kolonial tuan kebun Belanda. Hal ini tidak 119
Lubis., Op. Cit., h. 90. Kahin., Op, Cit., h. 120-121. 121 Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 119. 120
98
hanya menciptakan perbedaan status yang menghimpit antara yang satu dengan yang lain, tetapi melahirkan stereotip watak masyarakat kolonial yang tidak beres. Kemudian zaman perang mengubah segalanya. 122 Jepang masuk dan Belanda pun terusir, bahkan orang-orang sipil Belanda yang berperang melawan Jepang ditahan, kecuali sedikit penguasa onderneming dipertahankan oleh penguasa militer sebagai administratur masa perang khususnya masalah perekebunan onderneming bekas Belanda. Jepang yang saat itu membutuhkan makanan untuk persiapan perang, mulai memperluas produksi pangan, hal ini disampaikan oleh narator (Aku) saat menjelaskan awal mula permasalahan yang menyebabkan Haji Jala menggantung diri : “Kecelakaan ini sebenarnya telah dimulai semenjak zaman pendudukan militer Jepang. Karena Jepang memerlukan banyak makanan maka kepada penduduk tani di kampung-kampung sekitar tanah-tanah onderneming oleh Jepang dianjurkan untuk berladang dan bersawah di tanah-tanah onderneming.” 123 Kutipan di atas menjelaskan bahwa pada masa pendudukan Jepang sejumlah besar perkebunan diambil alih seluruhnya oleh buruh-buruh asal Jawa dan petani-petani setempat. Atas perintah Jepang mereka diperintahkan untuk menjadikan area tanah itu sebagai persawahan: “maka banyaklah orang-orang tani yang membuka tanah onderneming, bersawah dan berkebun dan banyak pula yang mendirikan rumah-rumah di sana.” 124 Mengutip dari Pelzer bahwa tanah-tanah yang dijadikan kebun masing-masing seluas 0,6 hektar guna diberikan kepada petani-petani yang tidak mempunyai tanah. Maka banyak ribuan tani yang tidak mempunyai tanah dengan tiba-tiba mampu menanam pangan mereka sendiri. Banyak di antara mereka yang meninggalkan bangsal-bangsal perkebunan dan mendirikan rumah-rumah sederhana di bidang tanah yang mereka peroleh. Mereka pun mulai mengembangkannya dengan menanam pohon-pohon 122
Amir Imran, dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), h. 281. 123 Lubis., Op. Cit., h. 91. 124 Ibid.
99
buah, tanaman pagar, dan lain-lain. 125 Peraturan yang dibuat Jepang memberikan sumbangan besar kepada peningkatan kesadaran akan kedudukan yang belum pernah diberikan sebelumnya. Hal ini membuat para tani berpikir bahwa suatu saat ketika Jepang angkat kaki dari Indonesia maka semua tanah-tanah itu mutlak menjadi milik mereka sepenuhnya. Apa yang dipikirkan pun terjadi, Jepang kalah perang dan Indonesia merdeka. Namun Belanda mencoba menguasai kembali seluruh daerah Nusantara. Rakyat Indonesia yang merasa sudah merdeka dan terbebas dari perintah asing mencoba sekuat tenanga untuk menggagalkan niat mereka, dan masa ini disebut masa-masa revolusi yang melahirkan banyak pemimpin revolusioner. Seperti dalam kutiipan berikut: “Kemudian ketika Jepang kalah perang, dan revolusi pecah, maka pemimpin-pemimpin rakyat yang ketika itu tumbuh seperti jamur lebih-lebih megorbankan semangat rakyat.” 126 Melalui kutipan tersebut Lubis menampilkan potret semangat perjuangan rakyat Indonesia yang sangat berkobar di masa revolusi. Wujud semangat tersebut terlihat dari banyaknya rakyat Indonesia yang ingin
menjadi
pemimpin.
Para
pemimpin
pergerakan
nasional
memprakarsai strategi untuk bisa melepaskan Indonesia dari tangan Belanda, berbagai cara ditempuh baik melalui kerjasama atau dengan menuntut hak kebebasan langsung dari Belanda. Euforia kemerdekaan memang membuat seluruh masyarakat bahagia, mereka antusias menyambut kebebasan, tetapi nasib
baik
rupanya belum 100% berpihak pada RI karena Belanda kembali hadir untuk merusak cita-cita RI. Semangat yang berapi-api sisa penjajahan masih melekat pada masyarakat, mereka yang sadar akan butuhnya sosok pemimpin dalam melawan bangsa asing melahirkan banyaknya pemimpinpemimpin yang mengatasnamakan “perjuangan”. 125
Karl J. Pelzer., Toean Keboen dan Petani Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatra Timur 1863-1947. Terj. dari Planter and Peasant, Colonial Policy and the Agrariant Struggle in East Sumatera 1863-1947 oleh J. Rumbo. (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), h. 154-155. 126 Lubis., Loc. Cit.
100
Khusus untuk di Sumatera Timur pemimpin revolusioner dibagi ke dalam empat kelompok yaitu berdasarkan kombinasi kelas, orientasi ideologi, senioritas sebagai nasionalis, dan mobilitas sosial. 127 Kelompok pertama merupakan anggota terkemuka dari penguasa kolonial yang bersimpati kepada kemerdekaan Indonesia yaitu Teuku Mohammad Hasan, Dr. Mohammad, dan Mr. Abdul Abas. Kelompok kedua adalah mereka yang pernah menjadi aktvis terkemuka dalam gerakan nasionalis sebelum PD II. Secara ideologis mereka mengikutkan spektrum yang luas, termasuk di dalamnya orang-orang radikal seperti Abdul Xarim MS dan Natar Zainuddin, para tokoh PKI, lalu para tokoh PNI, kaum nasionalis Islam yang moderat maupun yang kolot seperti HAMKA,dan Haji Abdul Rahman Syihab. Kelompok ketiga yaitu kaum nasionalis muda yang mencapai kedudukan senior lewat organisasi militer buatan Jepang seperti Mohammad Yakub Siregar, Selamet Ginting, Ahmad Tahir, dan Hopman Sitompul. Kemudian kelompok terakhir adalah mereka yang menjadi terkemuka pada masa revolusi. Latar belakang mereka pun beragam, ada yang dari golongan aristokrat, kelas menengah kota, proletar, dan petani. Khas dari kelompok keempat ini adalah para pemimpin laskar seperti Bejo, Timur Pane, Payung Bangun, Saragiras, Nip Xarim, Sarwo S. Sutarjo, dan Liberty Malao. 128 Hal yang paling mendasar dalam kepemimpinan di daerah biasanya faktor kesukuan, namun terkadang kesukuan itu kerap menimbulkan berbagai ketegangan, seperti peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur pada Maret 1946. Revolusi yang terjadi di Sumatera Timur itu lebih kepada pelampiasan dendam terhadap penjajah dan kaki tangannya yaitu sultan atau para elite. Buruh dan petani berusaha merampas apa saja yang dimiliki oleh mereka yang pernah menjadi kaki tangan bangsa asing termasuk perkebunan onderneming:
127 128
Kahin, Op. Cit, h. 126. Ibid., h. 126-127.
101
“Sekarang bukan saja penduduk dianjurkan, melainkan disebutkan berkewajiban menduduki tanah-tanah onderneming129 onderneming.” Seperti yang digambarkan Lubis dalam kutipan tersebut, setelah revolusi pecah, tanah konsesi onderneming di Sumatera Timur wajib diduduki oleh petani. Sebagaimana yang dikemukakan Pelzer bahwa sepanjang tahun 1946-1947 Belanda dan pejabat sipil terkurung di Medan. Bahkan, para pasukan bersenjata Indonesia menghentikan pasokan dari pedalaman ke kota. 130 Peristiwa ini berawal dari pemberontakan yang terjadi pada tahun 1946 oleh kelompok pergerakan yang menyerukan agar dilaksanakan nasionalisasi atas perkebunan, menentang setiap perundingan dengan pihak asing, dan menuduh sultan-sultan di Sumatera Timur melakukan gerakan bawah tanah untuk mengembalikan pemerintahan Hindia Belanda dan pengusaha onderneming barat. 131 Ketika itu pemuda-pemuda bersenjata menyerang seluruh wilayah Sumatera Timur dengan membabi buta, termasuk di dalamnya ada kesatuan-kesatuan laskar seperti Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Nasionalis Pemuda Indonesia (Napindo) Barisan Harimau Liar, Barisan Merah (PKI), dan Hizbullah didukung oleh kaum buruh Jawa di semua perkebunan dan kaum tani Karo dan Toba. Kelompok-kelompok tersebut mengobrak-abrik rumah para pejabat atau bangsawan, mereka merampas, membunuh, serta menyita milik penduduk. 132 Hal tersebut sejalan dengan pendapat beberapa pakar yang meyakini bahwa revolusi memerlukan keterlibatan kekerasan. Perkebunan di seluruh wilayah Sumatera Timur diduduki oleh unitunit laskar, dan tanah-tanah milik perkebunan dibagi-bagikan kepada buruh-buruhnya atau kepada petani non-Melayu: 133 129
Lubis., Loc. Cit . Pelzer, Op. Cit., h. 164 131 Ibid. 132 Kahin., Op. Cit., h. 130. 133 Ibid. 130
102
“Ketika zaman revolusi dianjurkan menyita tanah-tanah milik musuh, maka dia pun memperbesar tanahnya, menanam pohon buah-buahan, membuka tempat untuk ikan, dan menambah ladangnya.” 134 Sikap patuh terhadap pemimpin yang direpresentasikan oleh Haji Jala pada kutipan di atas sengaja dibuat Lubis untuk mewakili sikap petani secara umum pada masa revolusi kala itu. Para petani atau pemuda dianjurkan untuk menyita tanah-tanah milik musuh dengan memperbesar tanah, dan menanam segala macam pohon buah-buahan. Dalam hal ini musuh mereka adalah Belanda dan suku Melayu, sebagaimana yang dikutip dari Kahin yaitu “para pemuda Jawa dan Batak bersama-sama menyerang Melayu dengan alasan, ipso facto, bahwa mereka merupakan pendukung kaum bangsawan atau mata-mata Belanda.” 135 Merujuk pada beberapa aliran teori utama revolusi yang dibahas pada bab sebelumnya, maka peristiwa pemberontakan ini sesuai dengan aliran psikologi, dimana aliran ini berkaitan dengan ketidakadilan. Perasaan tidak adil tersebut tumbuh dalam kondisi sosial yang kaku, yang secara berbeda melarang satu kelompok mencapai kondisi yang dinikmati oleh kelompok lain. 136 Maka, motivasi terpenting yang mendasari revolusi di Sumatera Timur ini adalah nafsu untuk menghancurleburkan apa yang mereka anggap sebagai golongan penguasa yang memeras, karena sejak zaman penjajahan, Melayu mendapatkan hak istimewa dari Belanda dimana tanah-tanah perkebunan merupakan milik para Sultan, sementara buruh tani hanya sebagai pekerja kontrak yang dibayar dengan upah minim. Ketidakadilan itu menjadi sebuah tekanan yang mengacu pada perubahan fundamental, dan untuk mencapai itu diperlukan keterlibatan massa rakyat yang jumlahnya besar, tergabung dalam satu gerakan revolusioner, dalam masalah ini massa rakyat yang terlibat adalah petani.
134
Lubis., Op. Cit., h. 92. Kahin., Op. Cit., h. 131. 136 Piötr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Terj. dari The Sosiology of Social Change oleh Alimandan, (Jakarta: Prenada, 2011), Cet. ke-6, h. 369. 135
103
Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan Sztompka bahwa dalam banyak kasus revolusi melibatkan pemberontakan petani. Meski pada zaman Jepang hak tersebut telah dicabut namun pada kenyataannya setelah kemerdekaan, Belanda kembali datang dan bisa saja peraturan tersebut diadakan lagi. Maka, pada akhir tahun 1946 dibentuklah struktur panglima perang (warlord) yang memberi daya gerak besar kepada perjuangan bersenjata. Mereka membentuk tanah-tanah jabatan teritorial berdasarkan kekuasaan atas pemerintahan sipil, perdagangan, dan perniagaan setempat, hingga akhirnya pada tahun 1950, kekuasaan ekonomi dan politik berada di tangan tentara RI. Tepatnya saat Sumatera Timur bersama Tapanuli digabungkan dalam satu propinsi. 137 Dalam cerpen ini Lubis juga menggambarkan bagaimana kelanjutan kisah perebutan tanah onderneming yang terjadi di tahun 19461947. Sengketa tanah itu terus berlanjut hingga tahun 1950-an, Lubis menampilkannya lewat usaha propaganda beberapa partai, salah satunya PKI. PKI berusaha menghasut para petani agar
mereka mau
mempertahankan tanah onderneming di Sumatera Timur yang menjadi sengketa sejak masa revolusi: “Kawan-kawan,” katanya, “datanglah waktunya kelas tani dan kelas buruh bersatu-padu menghadapi siasat kaum imperialis dan kapitalis. Seluruh kaum buruh internasional mendukung perjuangan kita di bawah pimpinan Stalin, Malenkov, dan kawan Mao Tse Tung.” 138 “Saya menyerukan jangan takut kawan-kawan. Kita tidak berjuang sendiri. seluruh rakyat proletar di Rusia, di RRT , di mana-mana, di seluruh dunia menyokong perjuangan kita yang suci.” 139 Kutipan di atas sebenarnya diperkirakan terjadi pada tahun 50-an (beberapa tahun setelah masa revolusi) akan tetapi hal tersebut mengingatkan kita bahwa masalah pemberontakan di Sumatera Timur memang tidak lepas dari pengaruh PKI, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu kelompok yang ikut melakukan penyerbuan 137
Kahin, Op. Cit, h. 134-135. Lubis, Op.Cit., h. 93. 139 Ibid., h. 94. 138
104
secara membabi buta di Sumatera Timur adalah PKI. Keterlibatan PKI dalam revolusi di Sumatera Timur semakin terlihat ketika Mr. Amir mengangkat M. Yunus Nasution sebagai residen Sumatera Timur. Selanjutnya, pembahasan lain dalam kutipan tersebut adalah Lubis menggambarkan bahwa salah satu kekuatan PKI yaitu adanya dukungan dari komunis internasional. Hubungan tersebut menimbulkan rasa kuat dan percaya diri, hal demikian dapat kita lihat pada kutipan pertama, di mana PKI nampak merasa kuat karena mereka yakin bahwa Stalin, Malenkov, dan Mao Tse Tung akan mendukung perjuangan mereka dalam melawan kaum imperialis dan kapitalis, sementara kutipan kedua digunakan Lubis untuk memperkuat pernyataan mereka dengan menyebutkan kalimat ‘di mana-mana, di seluruh dunia menyokong perjuangan kita yang suci’. Hubungan PKI dengan komunis internasional memang sudah terbentuk jauh sebelum Indonesia merdeka, hingga pada tahun 1947 aktivitas-aktivitas PKI mulai muncul kembali tepatnya ketika komunisme internasional kembali pada doktrin Zhdanov dan dengan mengikuti garis itulah PKI menentang semua langkah diplomatik RI dengan Belanda. 140 Komunis internasional bersatu demi satu tujuan, apabila salah satu negara menghadapi suatu masalah maka kekuatan-kekuatan tersebut membantunya baik dalam bentuk moril maupun materi. Sebagai contoh, tokoh Komunis Kuba, Fidel Castro, gagal dalam pemberontakannya tahun 1952 dan berhasil ditangkap oleh Batista (penguasa Kuba). Namun, tiba-tiba pemerintah Stalin Rusia memprotes tindakan Batista dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuba. Demikian juga usaha komunis Rusia untuk menindas gerakan anti komunis di Hongaria pada tahun 1956 dan tekanan-tekanan RRT terhadap golongan anti komunis di Tibet (1959) merupakan beberapa contoh tentang dukungan Komunis Internasional yang diberikan kepada gerakan komunis di berbagai negara. 141 140
Anonim, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994), Ed.1; Cet. 2, h. 15. 141 Anonim, Komunisme Indonesia dalam Matapadi Pressindo http://matapadi.com/2015/10/09/komunisme-di-indonesia/ diunduh pada Minggu , 17 Januari 2016 Pukul , 11:37 WIB
105
Hubungan kerjasama seperti ini didasari oleh ajaran Marxis yang bersifaat universal. Ideologi teresebut menyatukan para pengikutnya dalam bentuk kerjasama yang kuat, dan berkiblat pada Rusia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Meski kuat dalam bentuk kerjasama, gerakan komunis baik itu komunis internasional maupun PKI di Indonesia tidak pernah mempunyai sikap menguntungkan RI. b. “Ceritera Dari Singapura.” Mengingat sejarah revolusi Indonesia tentu tidak lepas dari penyelundupan senjata, karena senjata adalah alat vital untuk mengusir bangsa asing ketika itu, baik pemberontakan yang terjadi di Sumatera Timur maupun di wilayah lainnya, senjata menjadi modal utama mereka dalam menjalankan revolusi melalui “jalur kekerasan”. Cerpen ini menampilkan gambaran pemuda-pemuda Indonesia yang menyelundupkan senjata dari Singapura dan diangkut ke Sumatera di tahun 1946. Hal tersebut
tentu
merupakan
bagian
dari
proses
revolusi.
Berikut
pembahasannya: Penyelundupan senjata dari luar negeri, terutama dari Singapura dan Malaka merupakan sumber yang sangat penting dalam perolehan senjata RI pada masa revolusi (sebagian orang menyebutnya dengan perang kemerdekaan), karena pada saat itu senjata yang dimiliki RI tidak cukup memadai. Berbagai hal menjadi faktor penyebabnya, seperti banyaknya senjata pejuang yang hilang akibat Agresi Militer I, kerusakan akibat cuaca atau tidak biasa merawat senjata dengan baik, dan tidak adanya tempat yang tersedia untuk memperbaiki senjata-senjata yang rusak. Dengan adanya faktor tersebut lama kelamaan RI semakin kekurangan senjata. Pada 1946 saat revolusi sedang memuncaknya, Indonesia mencari senjata ke Singapura, hal ini karena jalur ke Singapura sangat dekat dan terbuka untuk Indonesia. Pencarian senjata tersebut terdapat dalam kutipan berikut: “Surat ini mengingatkan saya pada suatu hari dalam permulaan tahun 1946, ketika revolusi di Indonesia sedang memuncaknya,
106
dan banyak anak-anak muda Indonesia datang kemari mencari senjata, minta bantuan dan sebagainya.” 142 Melalui kutipan tersebut, secara tersirat Lubis menggambarkan potret kondisi Indonesia pada masa revolusi di tahun 1946. Di tahun itu perjuangan bangsa Indonesia setelah merdeka tengah memuncak dalam melawan serangan Belanda dan Sekutu, belum lagi Indonesia juga harus mengatasi kekacauan yang ditimbulkan dari pemberontak golongan kiri dan sebagainya, sehingga Indonesia membutuhkan bantuan dari berbagai pihak salah satunya dari Singapura. Lubis menyebutkan bahwa ketika itu (1946) banyak sekali anakanak muda yang mencari bantuan senjata ke Singapura. Hal tersebut dikarenakan pemuda yang dibentuk untuk mempertahankan RI wajib bersenjata, baik senjata api, samurai, atau bambu runcing. Mereka begitu berambisi dan dibuai oleh nilai-nilai kepahlawanan dan etika militer serta mempunyai keyakinan bahwa perjuangan kemerdekaan sedang dalam perjalanan, shingga tidak diragukan lagi jika kebanyakan pemuda-pemuda bersenjata merasa bertanggungjawab atas tercapainya cita-cita revolusi nasinonal. 143 Para pemuda disatukan dalam bentuk laskar-laskar. Setelah senjata-senjata itu berhasil didapatkan, para pemuda tidak langsung serta merta membawanya dengan mudah, tetapi mereka harus menyembunyikannya terlebih dahulu seperti kutipan berikut: “Di bawah tempat tidur tempat anak muda yang malang itu terbaring ada tiga peti senjata api dan peluru, yang menurut anak muda itu sebelum terjadi kecelakaan pada dirinya, akan diangkut ke Sumatera dan hanya menunggu kapal saja.” 144 Lubis melalui kutipan tersebut menggambarkan bahwa senjatasenjata yang diperoleh, sementara disembunyikan terlebih dahulu sebelum dibawa ke Indonesia, salah satu tempat yang tepat untuk menyembunyikan senjata adalah di bawah tempat tidur, hal ini bisa jadi karena mereka takut ketahuan pihak Singapura: 142
Lubis, Op. Cit., h. 85. Imran., Op. Cit., h. 137. 144 Lubis, Op. Cit., h. 86. 143
107
“Singapura ketika itu masih di bawah peraturan militer yang amat keras. Orang preman dilarang menyimpan senjata api atau peluru, dan dapat dihukum mati jika melanggar peraturan itu.” 145 Melalui kutipan tersebut pembaca akan mengetahui betapa ketatnya peraturan Singapura ketika itu sampai-sampai mereka akan menghukum mati siapa saja khususnya orang preman yang berani menyimpan senjata. Peraturan ini tentu sangat berbahaya bagi pemuda pejuang RI yang bekerjasama dengan makelar atau agen penjual senjata di sana. Oleh karena masa-masa tersebut masa yang sangat rentan dan penuh kecurigaan maka seluk beluk pembelian senjata seringkali sangat rumit dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari otoritas Singapura. Para pemuda selalu dalam keadaan yang menegangkan bahkan dalam situasi darurat seperti yang dialami tokoh pemuda dalam cerpen ini. Pemuda Indonesia yang bertugas menyelundupkan senjata dari Singapura tersebut mendapat luka yang parah dan harus segera mendapatkan perawatan medis agar nyawanya dapat tertolong: “Orang Melayu itu terkejut bukan kepalang, dan mukanya penuh ketakutan. ‘Tetapi jika dibawa ke rumah sakit’, katanya, ‘maka lukanya yang kena peluru itu harus dilaporkan oleh rumah sakit kepada polisi. Polisi akan melakukan pemeriksaan. Rumah ini akan digeledah. Kami semua akan ditangkap. Senjata ini akan dirampas. Tuan dokter obati dia di sini. Jangan dibawa ke rumah sakit.” 146 Secara tersirat, dalam kutipan tersebut Lubis menggambarkan potret hiudup dan mati yang dialami pemuda penyelundup senjata. Hak yang seharusnya didapatkan oleh seorang manusia untuk menerima pengobatan medis tidak didapatkan di sana lantaran terbentur oleh peraturan yang bisa saja mengancam kerjasama penyelundupan senjata antara Indonesia dan Singapura di masa revolusi tersebut. Jiwa mereka sebetulnya terancam oleh para polisi Singapura yang tentu saja akan bertindak tegas dengan menggeledah seluruh isi rumah serta seluruh anggota-anggota yang selama ini bekerjasama untuk menyelundupkan senjata. Dari hal tersebut 145 146
Ibid., h. 85. Ibid., h. 86.
dapat dilihat betapa sebenarnya masa-masa
108
revolusi sangat tidak nyaman, kalau saja bukan atas nama perjuangan, tidak mungkin para pemuda bertaruh nyawa di negeri orang demi mendapat senjata. Sebagai contoh ada seorang tokoh penyelundup terkenal bernama John Lie yang merupakan seorang perwira angkatan laut keturunan Cina. Kapal yang dikendarai John Lie membawa muatan karet dari Aceh ke Bukhet-Thailand. Melalui bantuan dari seorang perwakilan Indonesia di Bangkok, kapal John Lie bisa masuk pelabuhan tanpa ada masalah dengan pejabat bea cukai. Pembelian senjata seringkali memerlukan uang kontan dengan perantara khusus yang memahami persoalan “barang soelit” (istilah lazim untuk menyebut senjata) dalam kegiatan penyelundupan, dan hal ini biasanya diperoleh di Singapura. 147 Namun dalam kegiatan penyelundupan tidak selamanya berjalan mulus, John Lie pernah ditangkap perwira Inggris namun saat diadili di pengadilan Singapura dia tidak jadi dihukum karena terbukti tidak bersalah. John Lie bisa dikatakan sebagai salah satu orang yang beruntung karena dapat selamat dari hukuman, sementara banyak pemuda yang tidak tercatat dalam sejarah yang tidak seberuntung John
Lie. Kegiatan penyelundupan senjata ini
terus berlangsung, dari tahun ke tahun pun semakin banyak tokoh-tokoh yang terkenal ahli dalam menyelundupkan senjata. Selanjutnya, jika pada bagian awal penulis membahas tentang nasib pemuda yang terancam saat menyelundupkan senjata, maka pada bagian ini penulis akan membahas bentuk kerjasama (kegiatan transasksi) antara Indonesia dengan Singapura dan juga India. Setelah perjanjian Linggarjati ditandatangani pada 25 Maret 1947 terdapat kemajuan ke arah peningkatan pengakuan dan simpati internasional. Akan tetapi pada pertengahan 1947, hubungan luar negeri RI masih terbatas pada hubungan regional di tiga negara yaitu New Delhi, Mesir, dan Singapura. Dari ketiga negara tersebut, yang menjadi titik tumpu utama adalah Singapura karena akses RI lebih terbuka dibanding 147
Imran, dkk. Op. Cit., h. 338.
109
dengan negara lainnya. Sebagaimana yang dikemukakan Imran bahwa hubungan kerjasama antara Indonesia dengan Singapura sudah dimulai sejak Oktober 1945, bahkan di negara tersebut sudah berdiri Persatuan Kaum Buruh Indonesia (PKBI) kemudian berubah menjadi Persatuan Indonesia (PI) yang bergerak untuk memajukan Indonesia melalui berbagai cara, baik perdagangan atau gerakan politik. 148 Singapura memberikan bantuan berupa obat-obatan, menampung para pemuda, dan menyediakan perlengkapan perang, seperti kutipan berikut: “... dan ikut aktif dengan sebuah panitia di Singapura yang banyak memberikan sokongan kepada revolusi Indonesia, menampung pemuda-pemuda dengan segala macam tugas yang syah dan tidak syah yang datang ke Singapura, mengirimkan obat-obatan ke Indonesia dan sebsagainya.” 149 Dari kutipan tersebut Lubis menjelaskan bahwa pada saat revolusi ada sebuah panitia yang dibentuk di Singapura yang tugasnya membantu kelangsungan revolusi Indonesia. Berbagai macam obat disiapkan untuk membantu mengobati para pejuang yang terluka akibat perang melawan bangsa asing, tidak hannya itu dalam kutipan tersebut juga dijelaskan bahwa Singapura menampung pemuda-pemuda yang datang dengan segala tugas yang syah dan tidak sah, dalam hal ini tugas yang tidak sah adalah penyelundupan senjata. Dalam memperoleh senjata tersebut, Indonesia tidak semata-mata menerima bantuan dari Singapura dengan cuma-cuma. Ada sebuah kerjasama di mana Indonesia mengirimkan hasil bumi seperti karet, kopi, kopra, beras, dan candu sebagai alat barter yang akan ditukarkan dengan senjata.
Kegiatan
tersebut
tidak
dilakukan
sendiri-sendiri
tetapi
diperantarai oleh sebuah organisasi yang bertugas mengatur ekspor impor hasil bumi dan senjata sebagaimana kutipan berikut:
148 149
Imran, dkk., Op. Cit, h. 239. Lubis., Op. Cit., h. 79.
110
“Bolehkah aku mengorbankan jiwa anak muda itu? Mengorbankan jiwanya untuk menjaga supaya organisasi pembelian senjata orang Indonesia dapat selamat?” 150 Kutipan di atas adalah penggalan cerita saat Dr. Bannerje merasa kebingungan, karena harus mengorbankan satu hal yang paling penting di antara yang terpenting, yaitu antara nyawa seorang pemuda Indonesia dengan sebuah organisasi pembelian senjata. Di situ Lubis menyebutkan adanya “organisasi pembelian senjata orang Indonesia”, jika merujuk pada sejarah, memang pada saat itu ada sebuah badan atau organisasi yang bertugas mengkoordinasi ekspor impor RI, yaitu Banking and Trading Company (BTC), sebagaimana dikutip dari Imran: Koordinator kegiatan ekspor impor Republik Indonesia berada di bawah kendali Banking and Trading Company (BTC), sebuah “tranding house” semi pemerintah. Sekitar 20 orang komisaris perusahaan besar milik pribumi dan Cina membuka cabang di hampir setiap daerah di Jawa dan Sumatera serta luar negeri. BTC bertugas membeli hasil komoditas pertanian Indonesia, seperti karet, gula, kopi, tembakau, opium, dan sejumlah komoditas lainnya dari rakyat, kemudian menjualnya ke luar Indonesia dengan transaksi sistem barter. Hampir semua komoditas pertanian yang diekspor dikembalikan dalam bentuk barang, umumnya adalah alat-alat keperluan kantor dan industri, serta obat-obatan dan perlengkapan militer. 151 Meski dalam kutipan tersebut dijelaskan bahwa hampir semua komoditas eskpor dikembalikan dalam bentuk barang, bukan berarti transaksi tersebut benar-benar barang ditukar dengan barang, misal beras ditukar senapan, tetapi harus melalui proses penjualan terlebih dahulu. Setelah hasil bumi itu dikumpulkan, maka badan yang bersangkutan menjualnya ke pedagang di singapura, karena dalam transaksi persenjataan memerlukan uang kontan, sesudah itu mereka baru mencari makelarmakelar atau agen penjual senjata dengan uang penjualan hasil bumi tadi, baru kemudian senjata-senjata tersebut diangkut ke Sumatera melalui jalur laut, seperti dalam kutipan berikut:
150 151
Lubis, Op. Cit., h. 87. Imran, Op. Cit., h. 338.
111
“Di bawah tempat tidur tempat anak muda yang malang itu terbaring ada tiga peti senjata api dan peluru, yang menurut anak muda itu sebelum terjadi kecelakaan pada dirinya, akan diangkut ke Sumatera dan hanya menunggu kapal saja.” 152 Melalui kutipan di atas Lubis menjelaskan bahwa pada waktu itu senjata-senjata yang diselundupkan dibawa ke Indonesia melalui jalur laut dan berlabuh di Sumatera terlebih dahulu sebelum dibawa ke daerahdaerah lain, sebagaimana yang dikutip dari Imran bahwa “sejak awal 1946 sampai
1949
berbagai
jenis
senjata
dan
perlengkapan
militer
diselundupkan ke Sumatera dan juga ke Jawa melalui jalan laut, seringkali dengan
pengangkutan
berantai
antarpelabuhan
guna
menghindari
pengawasan Belanda”. 153 Untuk akses ke Singapura pelabuhan atau dermaga yang utama dalam membantu proses perdagangan adalah dermaga Langsa di Aceh Selatan, Pangkalan Susu di Langkat, Tanjung Balai di Asahan, dan Labuhan bilik di Labuhan Batu. 154 Kegiatan ini tidak lepas dari peran A.K Gani yang kita kenal sebagai menteri perekonomian dalam kabinet Hatta tahun 1948. Beliaulah yang merancang kegiatan BTC, selain itu kemampuannya dalam menyelundupkan senjata sempat membuat Belanda kewalahan karena mampu menembus blokade Belanda hingga ia dijuluki sebagai the greatest smuggler of Southeast Asia (raja penyelundup). India: Selanjutnya, selain menggambarkan tentang hubungan Indonesia dengan Singapura, dalam cerpen ini pun digambarkan tentang hubungan Indonesia dengan India serta negara-negara lainnya meski hanya sekilas, tetapi hal tersebut bisa menjadi informasi sejarah bagi pembacanya, yaitu ketika “Aku” pertama kali bertemu dengan “Dr. Bannerjee”, mereka dipertemukan di New Delhi dalam sebuah konferensi.
152
Lubis, Op. Cit., h. 86. Imran, Op. Cit., h. 338. 154 Kahin, Op. Cit., h. 146. 153
112
“Saya kenal Dr. Bannerjee mula-mula sekali ketika delegasi Indonesia mengunjungi konferensi Inter-Asia di New Delhi dalam tahun 1947,....” 155 Lubis dalam kutipan ini menggambarkan bahwa pada tahun 1947, bertepatan dengan masa-masa revolusi Indonesia pernah diselenggarakan sebuah konferensi internasional di New Delhi, India. Konferensi yang dihadiri oleh beberapa negara Asia ini dinamakan Konferensi inter-Asia, dan Indonesia turut andil di dalamnya. Keikutsertaan Indonesia dalam konferensi tersebut merupakan salah satu usaha Perdana Menteri Sjahrir dalam memperoleh pengakuan dunia Internasional atas kemerdekaan Indonesia. Tujuannya adalah agar seluruh negara Asia bersatu dalam mencapai cita-cita kemerdekaan, tidak memihak kepda satu blok, dan ikut menjaga perdamaian dunia. Dalam konferensi tersebut Sjahrir mendapat sambutan hangat dari negara-negara peserta, ia mengirimkan rombongan sebanyak tiga puluh orang delegasi RI yang diketuai oleh dr. Abu Hanifah dan H. Agus Salim sebagai penasihat. 156 Pada konferensi yang dilaksanakan bulan Maret ini, delegasi Indonesia-lah yang menjadi pusat perhatian dan perjuangan Indonesia mendapat dukungan besar dari wakil bangsa-bangsa yang hadir karena selain menyampaikan pidatonya yang berjudul “One Asia, One World” (Satu Asia, Satu Dunia), PM Sjahrir juga banyak melakukan pendekatan kepada negara peserta, menurutnya konferensi ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk mengembangkan sayapnya di dunia internasional, sehingga pada waktu itu masalah yang dialami Indonesia menjadi fokus di panggung dunia. 157 Konferensi ini merupakan bentuk kerjasama Indonesia dengan India (New Delhi) yang sebelumnya sudah diadakan kerjasama terlebih dahulu tepatnya saat April 1946 ketika Indonesia memberikan bantuan beras kepada India sebagai langkah awal revolusi melalui jalur diplomatik. Pada tanggal 27 Juli sekertaris urusan pangan India menandatangani
155
Lubis., Op. Cit., h. 79. Imran, dkk. Op. Cit., h. 239. 157 Ibid. 156
113
sebuah perjanjian, yaitu RI harus membantu sebanyak 700.000 ton beras untuk membantu mengatasi kelaparan di India, sementara sebagai imbalannya, India mengirimkan peralatan pertanian, tekstil dan bemacammacam barang yang diperlukan. Akan tetapi prestasi yang dicapai di bidang internasional lebih penting sebagaimana yang dikatakan Hatta yaitu “faktor ketiga yang melekat dalam penawaran beras kami ke India adalah aspek politik, yang otomatis menjadi bagian dari paket transkaksi”. 158 c. “Si Djamal Anak Merdeka” Cerpen yang pertama menggambarkan usaha perlawanan rakyat dengan jalan kekerasan, cerpen kedua menggambarkan bagaimana usaha para pemuda untuk mendapatkan senjata sebagai modal untuk melawan Belanda dengan jalan kekerasan pula, maka cerpen ketiga ini menggambarkan perlwanan RI dengan cara diplomasi, karena untuk menghadapi Belanda, RI menggunakan dua jalan yaitu jalan kekerasan (senjata), dan jalan diplomasi, untuk mempertahankan kemerdekaan RI dari tangan penjajah. Tidak lama setelah perjanjian Renville dibuat, Belanda kembali berkhianat dengan melancarkan agresi mliter yang kedua. Indonesia dengan dipimpin oleh jenderal Sudirman ketika itu pun melakukan perang gerilya melawan Belanda. Ketegangan di antara kedua belah pihak memaksa keduanya untuk melakukan perundingan kembali, maka 26 Februari 1949 telah diumumkan bahwa akan diadakannya Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi tersebut akan diadakan di Belanda pada 23
Agustus
1949
guna
membicarakan
masalah
Indonesia
dan
merundingkan syarat-syarat “penyerahan” kedaulatan, serta pembentukan Uni Indonesia—Belanda. Berbagai jaminan diberikan kepada investasi-investasi Belanda di Indonesia dan disepakati bahwa akan diadakan konsultasi mengenai
158
P. R. S. Mani, Jejak Revolusi 1945 Sebuah Keaksian Sejarah , Terj. dari The Story of Indonesian Revolution 1945-1950 oleh Lany Kristono. (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1989), h. 126.
114
beberapa masalah antara kedua belah pihak. Hampir semua rakyat Indonesia menganggap rencana tersebut sebagai pembatasan yang tidak adil
terhadap
kedaulatan
mereka. 159
Apalagi
Belanda
tetap
mempertahankan hak mereka atas Irian Barat sampai ada perundingan lebih lanjut terkait status wilayah tersebut, seperti dalam kutipan berikut: “Perundingan telah sampai kepada persetujuan, bahwa dalam soal Irian, Belandalah yang kepala Batu.” 160 Dalam kutipan tersebut Lubis menggambarkan bahwa pada masamasa akhir revolusi Belanda begitu keras kepala dalam mempertahankan Irian Barat. Sebagaimana kita ketahui pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda secara resmi telah memberikan kedaulatannya kepada Indonesia, namun tidak termasuk Papua. 161 Belanda tetap mempertahankan Papua/Irian Barat dengan alasan bahwa etnik Papua berbeda dan terpisah dengan Indonesia. Alasan tersebut tidaklah masuk akal mengingat kekayaan sumber daya alam di Papua begitu kaya. Belanda pun melakukan penguatan di bidang ekonomi dan politik agar Papua dapat dipisahkan dari Indonesia. Kabinet Hatta pun pada saat itu terus membentuk hubungan yang baik dengan Belanda, tujuannya agar Belanda mau menyerahkan Irian Barat. Maka pada bulan April 1950, atas usulan pihak RI dilaksanakanlah Konferensi Tingkat Menteri di Jakarta untuk yang pertama. Dalam konferesni itu dibahas prihal sengketa Irian Barat yang menghasilkan sebuah komisi Irian dengan tugasnya yaitu menyelidiki Irian Barat serta melaporkan hasilnya. Lalu dilaksanakanlah Konferensi kedua di Den Haag pada 4 Desember 1950. M. Roem yang saat itu menjadi ketua delegasi RI mengajukan dua usul yaitu pengakuan kedaulatan harus dilaksanakan pada 27 Desember 1950, sedangkan penyerahannya dapat dilaksanakan pada pertengahan tahun 1951. Namun Belanda tetap keras kepala karena mereka hanya akan berdaulat atas Irian Barat pada Uni Indonesia—Belanda, sementara de facto tetap di tangan 159
Ricklef, Op. Cit., h. 466 Lubis., Op. Cit., h. 156. 161 Ricklef, Op. Cit., h. 466. 160
115
Belanda. Dengan demikian Belanda tetap kepala batu. pemerintah
memutuskan
perundingan tidak membuahkan hasil dan
162
Hal ini menimbulkan kekecewaan, sehingga
hubungan
Uni
Indonesia—Belanda
dan
membatalkan perjanjian KMB sebagaimana kutipan berikut: “sekarang kita harus putuskan Unie dan perjanjian KMB,” 163 “Dan sekarang setelah Irian tidak kembali, maka berteriak lagi— Hapuskan KMB dan Unie dahulu.” 164 Melalui
kutipan
tersebut,
Lubis
menggambarkan
potret
ketidakkonsistenan pemerintah yang dirasakan oleh rakyat. Hal ini karena RI merasa dirugikan akhirnya RI berencana untuk memutuskan kerjasama dalam bentuk Uni tersebut serta menghapus perjanjian KMB. Akan tetapi hal ini tidaklah mudah, karena Belanda tetap saja keras kepala. Maka beberapa usaha terus dilakukan seperti perundingan-perundingan, lewat bantuan PBB, dan lewat dukungan negara-negara lain, sampai akhirnya KMB dan Uni baru bisa dihapus pada tahun 1956, jauh setelah masa-masa revolusi berakhir tepatnya saat kabinet Burhanuddin Harahap, seperti dikutip dari pernyataan Bung Tomo dalam Sanit, yaitu “Alhamdulillah, akhirnya kabinet Burhanuddin Harahap menghapuskan perjanjian KMB itu secara keseluruhan, setelah Belanda bersitegang dalam perundingan dengan pihak RI di Jenewa mengenai pengembalian Irian Barat ke wilayah Indonesia.” 165 Lamanya proses pemutusan Uni dan KMB selain dari pihak Belanda yang keras kepala juga karena Sukarno yang belum juga mengambil keputusan, walaupun sudah meminta kepada PNI untuk menghapuskan keduanya namun tidak ada tindakan sebagaimana yang dikatakan Bung Tomo bahwa “Apakah Bung Karno yakin bahwa PNI sanggup menghapuskan perjanjian KMB, karena sebelum itu Bung Karno
162
Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 208. 163 Lubis, Op. Cit., h. 156. 164 Ibid., h. 157. 165 Arbi Sanit, Menembus Kabut Gelap Bung Tomo Menggugat, Pemikiran, Surat, dan Artikel Politik (1955-1980), (Jakarta:Visimedia, 2008), h. 121.
116
selalu menyatakan kekesalan hatinya kepada saya bahwa PNI sudah diminta menghapuskan Uni Belanda—Indonesia, tetapi PNI tidak pernah berusaha ke arah itu.” 166 Hal tersebut tentu menimbulkan kekecewaan, bahkan kekecewaan rakyat terhadap Sukarno sudah terlihat sejak tahun 1950, seperti terdapat dalam kutipan berikut: “Memang dalam kumpulan petang gerimis itu, tidak ada seorang juga yang cinta dan memuja Sukarno. Kalau menurut istilah-istilah pemimpin-pemimpin rakyat, maka orang seperti yang berkumpul dalam petang gerimis itu, adalah termasuk orang-orang yang bandel dan bodoh, dan tidak patuh pada pemerintah.” 167 Cerpen Si Djamal Anak Merdeka ini berlatar tahun ’50, dan kutipan di atas mewakili potret beberapa golongan yang tidak menyukai kinerja Sukarno, sebab ada beberapa tindakan beliau yang dirasa kurang tegas, misalnya dalam kutipan berikut: “Sebab yang kami bicarakan ialah umpamanya bagaimana Sukarno teriak-teriak akan jadi pemimpin gerilya, tetapi, ketika Belanda menyerbu, bukannya dia cabut kerisnya, tetapi tunggu Belanda di Istananya. Dan macam-macam lagi yang lain.” 168 Kutipan di atas menjelaskan tentang pemikiran rakyat yang menilai Sukarno pengecut karena perkataan tidak sesuai dengan kenyataan di mana ia berjanji akan menjadi pemipin perang namun saat itu ia malah diam, seolah takluk dengan Belanda. Tapi itu dilihat dari kacamata rakyat yang menilai jelek kepemimpinan Sukarno. Padahal diamnya Sukarno bukan tanpa sebab, ada alasan yang membuat ia diam, yaitu karena RI kekurangan senjata sebagaimana yang dijelaskan Bung Tomo: Saudara Adam Malik pada waktu itu memberikan gambaran kepada saya bahwa Bung Karno bersikap sangat menjengkelkan generasi muda dan rakyat Jakarta. Tentara Inggris dan NICA sudah berbuat semena-mena di Jakarta, sedangkan Presiden Soekarno diam saja, tidak bersikap tegas.
166
Sanit, Op. Cit., h. 122. Lubis., Loc. Cit. 168 Ibid. 157. 167
117
Untuk mengecek kebenaran informasi yang diberikan oleh saudara Adam Malik saya temui Presiden Soekarno di Pegangsaan Timur. Memberikan jawaban atas pertanyaan saya mengapa Bung Karno tidak memerintahkan atau membiarkan pemuda dan rakyat Jakarta menyerang pasukan-pasukan asing yang sudah berada di Jakarta, berkatalah Bung Karno, “Senjata apa yang hendak mereka gunakan? Kalian di Surabaya sudah punya senjata. Di sini tidak. Setelah Bung Karno mendengarkan penjelasan saya mengenai bagaimana cara kita di Surabaya melucuti tentara Jepang dan kemudian saya usulkan agar cara itu dipergunakan di daerahdaerah lain, maka Bung Karno segera memberikan intruksi agar cara Surabaya yang saya kemukakan itu dilasksanakan pula di daerah-daerah lain. Realisme Bung Karno tampak sekali waktu mengatakan, “Persenjatailah dulu pemuda dan rakyat kita.” 169 Jadi dapat disimpulkan bahwa Sukarno bukan membiarkan tetapi sedang mencari jalan keluar. Meski masalah yang terdapat dalam cerpen ini terjadi sekitar tahun 1950 dan peristiwa yang terjadi merupakan akhir dari masa revolusi di Indonesia namun dapat dikaitkan dengan aliran struktural, dimana revolusi adalah hasil hambatan dan ketegangan struktural terutama dalam hubungan khusus antara rakyat dan pemerintah. Tema utamanya berkaitan dengan bidang politik yakni penataan ulang, serta penyatuan ulang pemerintah dan administrasinya oleh elit politik baru yang mulai berkuasa setelah menyingkirkan rezim lama. 170 Hal tersebut terlihat dari usaha Indonesia dalam membentuk negara yang berdaulat dan mandiri (terlepas dari kolonial Belanda), walaupun ketika itu Indonesia dan Belanda masih tergabung dalam satu Uni yang otomatis membuat rakyat merasa kedaulatan Indonesia tidak sesuai dengan tujuan. Akan tetapi pada akhirnya kekuatan Indonesia mampu mengalahkan kecurangan Belanda hingga Indonesia menjadi sebuah negara yang benar-benar berdaulat tanpa tergabung dalam Uni, hanya saja yang menjadi PR besar Indonesia adalah bagaimana mensejahterakan rakyat setelah menjadi negara merdeka. 169 170
Sanit, Op. Cit, h. 111-112. Sztompka, Op. Cit., h. 371.
118
Selain para pemimpin dan rakyat yang tergabung dalam laskarlaskar,
para sastrawan
pun
turut
andil dalam
memperjuangkan
kemerdekaan, yaitu melalui karya-karyanya, seperti sajak, drama, roman, dan film. Karena karya-karya tersebut bukan semata-mata hiburan tetapi juga bisa menjadi media yang dapat memengaruhi opini rakyat terhadap kemerdekaan. Karya yang dihadirkan pada masa kemerdekaan tersebut tentu berkaitan dengan perjuangan, hak rakyat, politik, dll yang bersifat revolusioner. Dalam cerpen ini sedikit digambarkan mengenai karya sastra: “Bukankah aku sudah terbitkan bukuku sendiri, roman dan kumpulan cerita sandiwara, sajak, dan penggeli-penggeli hati yang aku namakan “BADAN PENERBIT KESUMA HATI”. Kalau aku minta atas nama badan penerbit ini, masa tidak dapat lisensi. Bukanakah kita harus memberikan bacaan-bacaan yang baik dan murah kepada rakyat?” 171 “Dan sekarang aku sedang membikin skenario film untuk Perushaan Film Negara.” 172 Kedua kutipan di atas menggambarkan bahwa karya sastra cukup diperhitungkan
keberadaannya.
memberikan bacaan
Tumbuhnya
karya
adalah
untuk
dan tontonan yang baik kepada rakyat. Lubis
menyisipkan informasi ini melalui tokoh Djamal yang memiliki penerbit sendiri. Penerbit tersebut berusaha memberikan bacaan yang baik kepada rakyat. Sastrawan brersuara bahwa Indonesia bukan sekadar warna kulit yang sawo matang tetapi Indonesia itu lebih kepada pemikiran dan hati yang menginginkan suatu kehidupan baru yang sehat. Untuk perfilman sendiri pada tahun 1950 Usmar Ismail membentuk sebuah Perusahaan Film Nasional Indonesia yang berkantor di Menteng, Jakarta. Selanjutnya, pada cerpen pertama dan kedua terdapat potret atau gambaran mengenai hubungan/kerjasama dengan negara lain, maka dalam cerpen ini pun demikian, terdapat juga potret hubungan dengan luar negeri 171 172
Lubis., Op. Cit., h. 161 Ibid., h. 162.
119
sebagai salah satu
cara yang diambil untuk mendapatkan pengakuan
internasional bahwa Indonesia sudah berdaulat. Meski singkat atau lebih tepatnya hanya sebagai sisipan saja, tetapi jika digali, maka bagian tersebut memberikan informasi atau sekadar mengingatkan kita bahwa Indonesia dan Rusia menjalin hubungan baik: “Kami tidak balas salam merdekanya dengan ucapan merdeka. Karena menurut Mr. Jusuf Wibisono dalam sebuah laporannya tentang misi Indonesia ke Moskow yang tidak kunjung habis-habis itu, maka ketika Samaun juga memberi salam merdeka padanya, maka dia (Jusuf Wibisono) juga tidak balas dengan salam merdeka!” 173 Melalui kutipan di atas penulis ingin menekankan pada kalimat “misi Indonesia ke Moskow yang tidak kunjung habis-habis itu”. Penggalan kalimat tersebut mengingatkan kita pada tahun 1950, dimana Uni Soviet/Moskow mengakui Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Pengakuan itu disampaikan secara tertulis oleh Menteri Luar Negeri Uni Soviet A. Vyshinsky kepada PM M. Hatta. Ia mengatakan bahwa pihak Uni Soviet
berkeinginan menjalin hubungan
diplomatik
dengan
Indonesia. Menanggapi pengakuan tersebut Indonesia mengirim telegram ke Uni Soviet, memberikan jawaban kepada mereka bahwa Indonesia menerima dengan rasa hormat atas pengakuan tersebut dan akan menjalin hubungan diplomatik. Pada Mei 1950 delegasi Indonesia yang salah satu anggotanya adalah Yusuf Wibisono
berkunjung ke Moscow dengan
dipimpin oleh N. Palar guna melakukan perundingan dan hasil dari perundingan tersebut disampaikan pada Sidang Kabinet yang dihadiri Presiden Soekarno, 16 Mei 1950, yaitu kesepakatan untuk saling membuka Kedutaan Besar dan tanggapan positif Uni Soviet mengenai masuknya Indonesia menjadi anggota PBB. Sehingga dapat dikatakan bahwa misi Indonesia ke Moskow adalah untuk melakukan kerjasama
173
Lubis., Op. Cit., h. 158-159.
120
diplomatik dan juga untuk meminta dukungan agar Uni Soviet bersedia membantu Indonesia menjadi anggota PBB. 174 Sehingga dapat dikatakan bahwa misi Indonesia ke Moskow adalah untuk melakukan kerjasama diplomatik dan juga untuk meminta dukungan agar Uni Soviet bersedia membantu Indonesia menjadi anggota PBB. Demikian pembahasan mengenai proses revolusi Indonesia yang begitu rumit, semua elemen masyarakat turut berjuang mempertahankan kemerdekaan baik melalui jalan kekerasan, diplomasi, atau dengan pendekatan lain seperti karya sastra dan film. Sekilas cerita dari ketiga cerpen tersebut memang berbeda-beda, itu karena memang peristiwa revolusi di Indonesia adalah peristiwa yang terpotong-potong, tetapi jika disatukan maka keseluruhannya dapat saling terkait karena sama-sama muncul pada masa-masa revolusi Indonesia (1945-1950). Dari cerpen yang pertama terlihat bahwa gejolak revolusi yang ada dalam diri mereka didasarkan pada rasa dendam terhadap penjajah dan kaki tangannya yang telah merenggut kebebasan sebagai manusia, mereka melakukan perlawanan dengan cara kekerasan yang secara tidak langsung pasti menggunakan senjata. Senjata-senjata tersebut salah satunya didapat dari hasil penyelundupan di Singapura yang dibahas juga pada cerepn kedua, dengan menampilkan bagaimana perjuangan pemuda di Singapura yang ternyata juga mengancam diri mereka, namun karena didasari rasa tanggungjawab
mempertahankan
kemerdekaan
mereka
rela
mempertaruhkan nyawa. Setelah melakukan berbagai macam perlawanan hingga berhasil membuat Belanda kalah dan berdaulat atas Indonesia, ternyata masalah belum juga usai, Belanda keras kepala ingin mempertahankan Irian Barat, hal ini dibahas pada cerpen ketiga. Selanjutnya, demi menggapai cita-cita menegakkan sebuah negara, Indonesia tentu membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan tersebut dikemas dalam bentuk kerjasama, baik yang dilakukan oleh 174
Anonim, Indonesia Rusia, Hubungan Bilateral antara Indonesia dan Rusia 19452011 dalam http://portal.kemlu.go.id/moscow/Pages/CountryProfile.aspx?IDP=8&l=id diunduh pada Minggu, 07 Februari 2016 pukul 09.30 WIB
121
pemerintah RI maupun yang dilakukan oleh “pihak lain”. Itulah segelintir peristiwa yang pernah terjadi yang mewakili potret revolusi di Indonesia, banyak kekcauan yang menjadi PR besar bagi pemimpin ketika itu. 2. Dampak Masa Revolusi Indonesia Sztompka
menyatakan
bahwa
revolusi
tak
memperbaiki
penindasan naluriah, justru kekacauan pascarevolusi meningkatkan kesukaran dalam memenuhi kebutuhan pokok. 175 Akan tetapi, segala sesuatu pasti memiliki dampak positif dan negatif, begitu juga dengan dampak masa revolusi.Oleh karena itu penulis akan membahas dampak dari masa revolusi yang terjadi di Indonesia. a. “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri” (CSMHJMD) Berawal dari hasil perjanjian/perundingan KMB, Indonesia mendapat pengakuan dari Belanda dan dunia, namun sebagai imbalannya, Belanda meminta Indonesa untuk membayar seluruh hutang HindiaBelanda dan juga mengembalikan ribuan hektar lahan perkebunan. “Kemudian setelah beberapa lama merdeka, dan undang-undang serta hukum yang ada rupanya berlaku kembali, maka datang perintah supaya tanah-tanah onderneming harus dikembalikan.” 176 Melalui kutipan di atas Lubis menampilkan potret permasalahan baru yang muncul setelah Indonesia mendapatkan kedaulatannya, yaitu rakyat harus mengembalikan tanah onderneming kepada pemerintah. Tanah-tanah yang sempat diperjuangkan dan berhasil menjadi milik petani kini tiba-tiba harus dikembalikan untuk melunasi hutang Hindia-Belanda. Hal ini memicu pertentangan dari para petani khsususnya yang mendapat provokasi dari PKI dan PNI. Mereka membujuk agar para petani mempertahankan hak yang sudah semestinya menjadi milik mereka. Pada saat itu M. Roem sebagai Menteri dalam Negeri berusaha mengimbau para tani atau penggarap liar itu untuk segera pindah, namun bujukan dari
175 176
Sztompka, Op, Cit., h. 368. Lubis, Op Cit., h. 92.
122
PKI dan PNI yang mengatasnamakan “membela hak proletar” semakin kuat: “Keadaan jadi bertambah hangat, dan ketika tiba perintah orang-orang harus pindah, kalau tidak rumah mereka akan ditraktor,...” 177 Melalui kutipan tersebut Lubis menggambarkan sebuah ancaman yang dirasakan oleh buruh dan petani. Pemerintah mengusir paksa penggarap
liar
yang
keras
kepala
mempertahankan
hak
tanah
onderneming, dengan mengerahkan sejumlah traktor untuk meratakan rumah dan lahan milik mereka. Peristiwa ini cukup menjadi sorotan karena sempat terjadi penembakan yang menewaskan beberapa korban jiwa. Kejadian tersebut dikenal dengan tragedi Tanjung Morawa atau disebut juga dengan “Traktor Maut” pada tahun ’50-an, yaitu insiden antara polisi dan penyerobot tanah perkebunan milik negara yang didukung oleh PKI. 178 Permasalahan ini merupakan salah satu implikasi dari masa revolusi di Indonesia, karena masalah lama seolah tidak terselesaikan hanya dengan sebuah kedaulatan. KMB yang menjadi tanda akhir-akhir masa revolusi malah melahirkan masalah baru, salah satunya pelunasan hutang dengan membiarkan tanah onderneming diberikan kembali kepada pengusaha asing, sehingga masalah sengketa tanah di Sumatera Timur (kini menjadi Utara) terus berlanjut hingga beberapa tahun kemudian. b. “Ceritera dari Singapura” Dalam cerpen ini terlihat adanya orang-orang Indonesia yang membantu Malaya melawan tentara Inggris, seperti pada kutipan berikut: “Pada permulaannya Inggris main keras terhadap orang komunis dan kamu nasionalis Malaya yang mereka anggap radikal, dan banyak pemimpin Malayan Nasionalist Party umpamanya yang ditangkapi, atau melarikan diri mereka. Di antara mereka ada yang ikut lari ke hutan-hutan dan mengangkat senjata melawan Inggris. Ada pula anak-anak Indonesia yang ikut karena macam-macam soal. Ada yang merasa perjuangan bangsa Melayu adalah 177
Ibid., h. 93. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Op. Cit., h. 26.
178
123
perjuangan Indonesia juga, ada yang karena hubungan pribadi, dan sebagainya.” 179 Kutipan tersebut memang tidak menampilkan peristiwa revolusi di Indonesia melainkan peristiwa peperangan yang terjadi antara pihak Inggris dengan kaum nasionalis Melayu yang berhaluan kiri di Malaysia, akan tetapi di dalam kutipan dijelaskan oleh Lubis bahwa ada anak-anak Indonesia ikut melawan tentara Inggris dengan berbagai macam alasan, baik karena perjuangan Melayu merupakan perjuangan Indonesia juga, atau karena adanya hubungan pribadi. Hal
yang
demikian
terjadi
karena
dalam
perkembangan
nasionalisme di Malaysia, pengaruh pergerakan kebangsaan dari Indonesia cukup penting terutama di kalangan masyarakat kelas bawah, pemikiran Soekarno dalam memimpin revolusi di Indonesia sangat berpengaruh. Selain itu juga karena adanya kedekatan antara para anggota Malayan Nasionalist Party dengan orang-orang komunis di Indonesia seperti Tan Malaka. 180 Maka secara tidak langsung keberhasilan Indonesia mengusir penjajah dapat membentuk rasa empati (perasaan sama dengan kelompok lain) anak-anak Indonesia terhadap Malaya, terlebih lagi Indonesia dan Malaysia tergabung dalam kepualauan Melayu. c. “Si Djamal Anak Merdeka” Di akhir tahun 50’an menjelang ‘51 orang mulai banyak yang gelisah karena selain negara masih berurusan dengan Belanda juga kesejahteraan yang belum dirasakan rakyat, seperti dalam kutipan-kutipan berikut: “Satu tahun merdeka”, kata Idris amat marahnya, matanya melotot, “apa yang ada perubahan untuk rakyat?” 181 “Dan Dullah akan berkata: “Ya, pajak ini dan itu diadakan. Tetapi uangnya kemana?” ke mana?” 182 179
Lubis., Op. Cit., h. 84. Linda Sunarti, “Politik Luar Negeri Malaysia Terhadap Indonesia, 1957-1976 : Dari Konfrontasi Menuju Kerjasama” dalam Jurnal Kajian Sejarah dan Pendidikan Sejarah 2 (1) Maret 2014. h. 71-72. 181 Lubis, Op. Cit, h. 157. 180
124
“Delapan puluh ribu rupiah untuk beli perabotan rumah seorang kolonel,” sambung Dullah, sekian puluh ribu untuk belikan mobil Buick untuk menteri anu, dan puluhan ribu lagi untuk bayar cocktail party duta di London.” 183 Dari ketiga kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa di akhir tahun ’50 setelah Belanda menyerahkan kedaulatan, Indonesia mulai berperang dengan diri sendiri dalam arti berperang untuk membenahi yang selama ini terbengkalai. Perubahan yang cemerlang baru dilihat pada posisi yang tadinya terjajah menjadi bebas (tidak terjajah). Namun permasalahan tidak berhenti sampai di situ. Banyak rakyat yang merasa bahwa Indonesia tidak ada perubahan, hal ini dikarenakan pemimpin telah gagal dalam memenuhi harapan rakyat, seperti yang dikutip dari Ricklef bahwa “Sebagaian sejarah bangsa Indonesia sejak tahun 1950 merupakan kisah tentang kegagalan rentetan pemimpin untuk memenuhi harapan-harapan tinggi yang ditimbulkan oleh keberhasilan mencapai kemerdekaan.” 184 Pajak tetap dibebankan kepada rakyat sementara gaya hidup mewah para pemimpin sangat timpang dengan rakyat biasa. Rakyat Indonesia kebanyakan buta huruf, miskin, terbiasa dengan kekuasaan yang otoriter dan paternalistik, sehingga mereka memaksa pertanggunjawaban atas perbuatan politisi di Jakarta. Meskipun periode ini sudah mulai sedikit demi sedikit memasuki masa percobaan demokrasi namun apa yang terjadi merupakan akibat dari masa revolusi. Dari ketiga poin di atas dapat disimpulkan bahwa dampak revolusi di Indonesia
ada yang positif dan juga negatif. Positif karena
menimbulkan rasa empati, sementara negatif karena masih banyak hal yang belum terselesaikan, dalam Sztompka “revolusi tak menyisakan apapun seperti keadaan sebelumnya. Revolusi menutup epos lama dan membuka epos baru, dalam artian ini revolusi adalah tanda kesejahteraan sosial.” Namun di Indonesia kekacauan masih terjadi bahkan hingga beberapa tahun setelah revolusi berakhir. 182
Ibid. Ibid., h. 158. 184 Ricklef, Op. Cit, h. 471. 183
125
3. Persamaan dan Perbedaan dari Ketiga Cerpen (“CSMHJMD”, “Ceritera Dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka”) Setelah melakukan pembahasan pada kedua poin di atas maka dapat dilihat adanya persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah pertama, sama-sama membahas tentang peristiwa/kegiatan yang terjadi selama masa revolusi Indonesia. Kedua, adanya hubungan/kerjasama dengan negara lain. Pada cerpen “CSMHJMD” terdapat hubungan/kerjasama antara PKI dengan berbagai negara komunis. Pada cerpen “Ceritera dari Singapura” terdapat hubungan/kerjasama antara Indonesia dengan negara Singapura dan India, sementara
pada
cerpen
“Si
Djamal
Anak
Merdeka”
terdapat
hubungan/kerjasama dengan Uni Soviet/Moscow. Ketiga, terdapat gambaran mengenai dampak dari masa revolusi. Pada
cerpen
“CSMHJD”,
dampaknya
yaitu
permasalahan
tanah
onderneming terus berlanjut meskipun Indonesia sudah menerima kedaulatan. Pada cerpen “Ceritera dari Singapura”, dampaknya yaitu tumbuhnya rasa empati dalam diri pemuda Indonesia sehingga mereka rela membantu Malaya dalam melawan tentara Inggris. Dan pada cerpen “Si Djamal Anak Merdeka” dampaknya adalah masalah kesejahteraan yang belum dirasakan rakyat dan timbulnya ketimpangan sosial antara rakyat biasa dengan pejabat dan bangsa asing. Perbedaannya terletak pada aliran yang digunakan, karena tidak semua cerpen dapat dikaitkan dengan aliran teori revolusi Sztompka. Pada cerpen “CSMHJMD” aliran yang digunakan yaitu aliran psikologi, pada cerpen “Si Djamal Anak Merdeka” aliran yang digunakan yaitu aliran struktural, sementara pada cerpen “Ceritera dari Singapura” tidak termasuk ke dalam aliran manapun karena yang ditampilkan dalam cerpen tersebut lebih kepada salah satu kegiatan yang dilakukan pemuda dalam bentuk kerjasama selama masa revolusi di Indonesia. Pada Intinya masa revolusi Indonesia lebih banyak didominasi oleh kekerasan dibanding diplomasi. Kekerasan tersebut sebenarnya dapat
126
menciptakan masyarakat yang bersifat pemberontak karena negara seolah melegalkan penyelesaian masalah melalui jalur kekerasan. Akan tetapi, apa pun jalan yang ditempuh, Indonesia sudah berhasil memerdekakan diri dari cengkraman bangsa asing, baik dari kolonialisme maupun imperialisme, juga sudah mampu berdiri sendiri serta mendapat pengakuan dari negara luar, sebab pada dasarnya revolusi adalah penataan ulang kehidupan masyarakat untuk menuju ke kehidupan yang lebih baik. C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Karya sastra memiliki sifat yang multifungsi, karena perannya tidak hanya sebagai hiburan tetapi sebagai bahan pelajaran. Ilmu apa pun dapat disandingakan dengan sastra seperti ilmu kedokteran, hukum, filologi, dan sebagainya. Akan tetapi, sastra lebih sering dikaitkan dengan pelajaran Bahasa Indonesia, hal ini karena pembelajaran sastra sudah memiliki porsi khusus dalam mata pelajaran tersebut. Tujuan diajarkannya sastra di sekolah adalah untuk memperkenalkan sebuah karya sastra yang bernilai kepada peserta didik sehingga mereka terdorong untuk membacanya, karena dengan membaca sastra mereka diharapkan memperoleh pengertian yang jelas tentang manusia dan kemanusiaan, dan dapat mengenal nilai-nilai spiritual, serta menemukan ide-ide baru untuk menambah khasanah dan kekayaan rohaniah. 185 Dengan kata lain karya sastra dikenalkan dan diajarkan di sekolah adalah untuk mencapai kemampuan apresiasi kreatif. J. Grace dalam Semi mengatakan bahwa apresiasi kreatif adalah sebuah respon sastra. Respon ini meliputi aspek kejiwaan, terutama perasaan, imajinasi, dan daya kritis yang keseluruhannya dapat dilatih melalui penelaahan sastra. 186 Banyak pendekatan yang dapat digunakan dalam pengajaran sastra di antaranya pendekatan kesejarahan, sosiopsikologis, emotif, analisis, dan didaktis. Akan tetapi
pendekatan-pendekatan tersebut masing-masing
memiliki kelemahan dan kekuatan, oleh karena itu sebelum menggunakan
185
M. Atar Semi, Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1990), h. 97. 186 Ibid., h. 153.
127
salah satu dari beberpa pendekatan tersebut dianjurkan untuk melihat terlebih dahulu tujuan pembelajarannya, kebutuhan peserta didik, watak dan minat peserta didik, dan sebagainya agar peserta didik mampu dengan mudah mengapresiasi
sesuai
kebutuhan
mereka.
Karena
berkaitan
dengan
pemahaman peserta didik tentang sastra di sekolah maka pendekatan analisis dirasa lebih cocok sebab pendekatan tersebut memusatkan perhatian kepada analisis segi intrinsik dan ekstrinsik. Dengan pendekatan ini guru cenderung untuk menunjukkan komponen-komponen yang terdapat dalam suatu karya sastra, sehingga dapat memancing daya kritis peserta didik agar memenuhi kemampuan apresiasi kreatif sebagaimana yang dikatakan J. Grace, yang telah dibahas sebelumnya. Lagipula saat mempelajari intrinsik dan ekstrinsik, hal-hal
yang berkaitan dengan emotif, psikologis, bahkan sejarah dapat
disisipkan pula tergantung kekreatifan guru dalam mengajar. Selain pendekatan, dalam kegiatan belajar mengajar juga diperlukan sebuah metode untuk membantu proses pemahaman peserta didik, dalam hal ini adalah memahi karya sastra. Sama seperti dengan pendekatan, metode pun beragam macamnya, salah satunya adalah metode diskusi. Metode ini dikatakan cukup menarik untuk dipakai dalam pengajaran sastra, karena melalui
sebuah diskusi maka permasalahan yang dibahas akan terus
berkembang sehingga peserta didik dapat memberikan pandagan dengan sikap kritis. Selain itu juga dapat menjaga komunikasi antara guru dengan peserta didik. Dalam cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis ini khususnya pada ketiga cerpen yang dipilih sudah pasti dapat pembelajaran
untuk
memahami
karya
sastra
digunakan sebagai media melalui
intrinsik
dan
ekstrinsiknya, kemudian cerpen ini juga dapat digunakan sebagai alternatif bagi peserta didik untuk memahami sejarah Indonesia karena di dalamnya terdapat gambaran mengenai kondisi Indonesia setelah kemerdekaan (revolusi), maka dengan membaca cerpen ini (dan dengan bimbingan guru), diharapkan rasa nasionalisme peserta didik yang masih “tidur” dapat bangkit kembali. Tidak hanya itu, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya pun
128
banyak,
seperti nilai kemanusiaan, persahabatan, pengorbanan dan
sebagainya untuk ditanamkan kepada peserta didik. Peserta didik pun akan memahami bahwa karya sastra khususnya karangan-karangan sastrawan terdahulu punya sisi lain yang dapat dibahas bersama. Media pembelajaran ini dapat diterapkan pada kurikulum Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Berdasarkan silabus Bahasa Indonesia kelas XII SMA semester satu terdapat Standar Kompetensi (7) yang menuntut peserta didik untuk memahami wacana sastra puisi dan cerpen, dimana Kompetensi Dasarnya (7.2) adalah menjelaskan unsur intrinsik cerpen (tema, alur, latar, penokohan, dan pesan). Dengan pendekatan dan metode yang telah dibahas di atas serta SK dan KD tersebut maka dapat dilangsungkan kegiatan belajar mengajar dengan membagi peserta didik menjadi tiga kelompok dan masing-masing kelompok membaca
terlebih dahulu salah satu cerpen, yaitu
“Cerita Sebenarnya
Mengapa Haji Jala Menggantung Diri” (CSMHJMD) , “Ceritera dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka” dalam kumpulan cerpen Perempun karya
Mochtar Lubis, kemudian tiap kelompok mengutus
perwakilan untuk menceritakan kembali isi cerpen yang dibaca, setelah itu tiap kelompok mendiskusikan dan menjelaskan unsur intrinsik dari cerpen tersebut untuk dipresentasikan di depan kelas. Sebagaima yang terdapat dalam KD, salah satu unsur intrinsik yang dibahas adalah latar. Maka dalam latar inilah peserta didik dapat belajar sastra sekaligus belajar sejarah Indonesia. Dengan demikian terbukti bahwa sastra tidak hanya sebagai hiburan melainkan juga sebagai pembelajaran.
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan analisis yang dilakukan pada ketiga cerpen dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis khususnya mengenai potret sejarah revolusi Indonesia beserta implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Ketiga cerpen yang menampilkan sejarah revolusi Indonesia dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis adalah “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung
Diri” (CSMHJMD),
“Ceritera dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka”. Melalui ketiga cerpen tersebut pengarang menampilkan potret kondisi Indonesia pasca kemerdekaan, di mana ketika itu Indonesia belum sepenuhnya merdeka, banyak masalah yang harus dihadapi rakyat dan pemerintah, potret tersebut dibaagi ke dalam tiga poin yaitu: 1) Potret peristiwa yang terjadi selama masa revolusi Indonesia dalam cerpen “CSMHJMD”, “Ceritera
dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak
Merdeka”: di dalamnya terdapat gambaran mengenai pemberontakan di Sumatera Timur, mengenai kondisi pemuda Indonesia yang menyelundupkan senjata dari Singapura, mengenai hasil keputusan KMB, dan kerasnya Belanda dalam mempertahankan Irian Barat. Kemudian, terdapat juga potret kerjasama/hubungan dengan negara lain, seperti adanya organisasi penyelundupan senjata antara Indonesia-Singapura, lalu Indonesia ikut dalam konferensi Inter-Asia di
New Delhi tahun 1947 untuk menarik simpati negara lain,
kemudian Indonesia juga bekerjasama dengan Uni Soviet agar negara
129
130
tersebut mau membantu Indonesia menjadi anggota PBB, dan bentuk kerjasama
lain
dilakukan
oleh
PKI,
dalam
perjuangannya
mempertahankan tanah onderneming, mereka meminta dukungan dari negara koumunis pimpinan Malenkov, Stalin, dan Mao Tse Tung. 2) Potret dampak masa revolusi Indonesia: dampaknya adalah tumbuh rasa empati dalam diri pemuda Indonesia, dan adanya beberapa masalah lama yang tidak kunjung selesai. 3) Persamaan dan perbedaan: persamaannya adalah sama-sama membahas peristiwa selama masa revolusi, membahas hubungan dengan negara lain, dan menampilkan dampak dari masa revolusi. sementara perbedaan terletak
pada
menggunakan
aliran aliran
yang
digunakan.
psikologi,
“Si
Cerpen
Djamal
“CSMHJMD”
Anak
Merdeka”
menggunakan aliran Struktural, sementara “Ceritera dari Singapura” tidak termasuk ke dalam aliran mana pun karena yang ditampilkan hanya salah satu kegiatan di masa revolusi. 2. Dari hasil analisis terhadap ketiga cerpen ini, maka implikasi terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah cerpen-cerpen tersebut
dapat
dijadikan
media
untuk
mengidentifikasi
dan
mendiskusikan unsur intrinsik khususnya tema, alur, latar, penokohan, dan pesan pada pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia kelas XII SMA dengan SK: Memahami wacana puisi dan cerpen. Melalui latar, peserta didik juga dapat memahami fakta sejarah Indonesia setelah kemerdekaan atau dikenal juga dengan masa revolusi yang terdapat dalam cerpen terebut, sehingga peserta didik akan menyadari bahwa sastra
tidak
hanya
sekadar
hiburan
tetapi
juga
banyak
pengetahuan/pelajaran yang terkandung di dalamnya. Peserta didik juga akan dilatih untuk berpikir kritis dan berusaha menumbuhkan rasa nasionalisme.
131
B. Saran 1. Secara keseluruhan ada sembilan belas judul cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis yang tentunya dikemas dengan cerita dan nilai yang berbeda-beda, oleh karena itu penulis menyarankan agar cerpen ini dijadikan referensi untuk melatih peserta didik baik dalam mengenal unsur intrinsik dan ekstrinsik, melatih berpikir kritis, menerapkan nilai-nilai yang terkandung, serta memperkenalkan karya-karya sastrawan Indonesia. 2. Guru sebagai mediator harus mampu membimbing peserta didik dalam menyerap makna dibalik sebuah cerita yang disuguhkan agar peserta didik tidak salah persepsi karena hal ini sangat bergantung pada kreatifitas guru dalam menciptakan suasanan yang menyenangkan dan kondusif.
132
DAFTAR PUSTAKA Abrams, M.H. 1953. The Mirror and The Lamp Romantic Theory and The Critical Tradition. London: Oxford University Press. Anonim. 1994. Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia:Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. Ed. 1; Cet.2. Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra. Padang: Angkasa Raya. Budianta, Melani dkk. 2006. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera. Cribb, Robert Bridson. 1990. Gejolak Revolusi Di Jakarta 1945-1949 Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni. Terj. dari Jakarta in the Indonesian Revolution, 1945-1949 oleh Hasan Basri. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. Djojosuroto, Kinayati, dan Surastina. 2009. Pembelajaran Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Hayati, A, dan Winarno Adiwardoyo. 1990. .Latihan Apresiasi Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh. Imran, Amrin, dkk. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah Perang dan Revolusi. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve. Kahin, Audrey R. 1990. Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan. Terj. dari Regional Dynamics of the Indonesian Revolution oleh Satyagraha Hoerip. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Lubis, Mochtar. 2010. Perempuan Kumpulan Cerita Pendek. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Luxemburg, Jan Van, dkk. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. dari Inleiding in de Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia. Mani, P. R. S. 1990. .Jejak Revolusi 1945 Sebuah Kesaksian Sejarah. Terj. dari The Story of Indonesian Revolution 1945-1950 oleh Lany Kristono. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Minderop, Albertine. 2005. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. Moody, H. L. B. 2000. Metode Pengajaran Sastra. Saduran Bebas dari The Teaching of Literature oleh B. Rahmanto. Yogyakarta: Kanisius. Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi.. Yogyakarta: Gadjah Mada University, Edisi Revisi. Pelzer, Karl. J. 1985. Toean Keboen dan Petani Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatra Timur 1863-1947. Terj. dari Planter and Peasant, Colonial Policy and the Agrariant Struggle in East Sumatera 1863-1947 oleh J. Rumbo. Jakarta: Sinar Harapan.
133
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Edisi Revisi Ricklefs, M. C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Terj. dari A History of Modern Indonesia Since c. 1200 oleh Satrio Wahono, dkk. Cet. II. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Sanit, Arbi . 2008. Menembus Kabut Gelap Bung Tomo Menggugat, Pemikiran, Surat, dan Artikel Politik (1955-1980). Semi, M. Atar . 1990. Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa. Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Terj. dari An Introduction of Fiction oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Irsyad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suroto. 1989. Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga. Sztompka, Piötr. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial. Terj. dari The Sosiology of Social Change oleh Alimandan. Jakarta: Prenada. Tarigan, Henry Guntur. 2011. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Terj. dari Theory of Literature oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Widjojoko, dan Endang Hidayat. 2006. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: UPI Press. Anonim, “Cerita Tentang Ilham”, dalam Waspada, Tahun XXXIV Nomor 12323, Rabu, 23 April 1980. Atmakusumah. “Mochtar Lubis Wartawan Jihad.” Jakarta: PT Gramedia, 1992 Baskoro, L.R dan ign Haryanto, “Mochtar Lubis: Surga Si Kepala Granit”, dalam Majalah Forum Keadilan, Edisi Khusus Lima Puluh Tahun Indonesia Merdeka, Agustus 1995. Bowo. “Mochtar Lubis Kreativitas Dimampatkan” dalam Majalah Vista, Nomor 01, 1-14 Januari 1992 Linda Sunarti, “Politik Luar Negeri Malaysia Terhadap Indonesia, 1957-1976 : Dari Konfrontasi Menuju Kerjasama” dalam Jurnal Kajian Sejarah dan Pendidikan Sejarah 2 (1) Maret 2014. Sularto, Agus. “Ibarat Gemuruh Guntur di Siang Bolong” dalam Media Indonesia, Tahun XXIII Nomor 4447, Minggu, 16 Agustus.
134
Anonim,“Indonesia Rusia, Hubungan Bilateral antara Indonesia dan Rusia 1945 2011”dalamhttp://portal.kemlu.go.id/moscow/Pages/CountryProfile.aspx?I DP=8&l=id diunduh pada Minggu, 07 Februari 2016 pukul 09.30 WIB Anonim, “Komunisme Indonesia” dalam Matapadi Pressindo http://matapadi.com/2015/10/19/komunisme-di-indonesia/ diunduh pada Minggu, 17 Januari 2016 pukul, 11: 37 WIB Ilmia, Zaratul, “Tokoh-tokoh Liyan dalam Cerpen-cerpen Pada Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis”, Skripsi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, 2013, dalam http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-sl-2013ilmiazarat31177&node=1681&start=6&PHPSESSID=501605dldlea61d8f af34c9dd5abe060 diunduh pada Selasa, 16 September 2015 pukul, 17:31 WIB Karmiasih, Lisa, “Analisis Unsur Tema, Latar, dan Penokohan Pada Kumpulan Cerpen Perempuan Karangan Mocntar Lubis dan Pembelajarannya Di Kelas IX SMPN 2 Bantargadung”, Jurnal PBSI S2 Pascasarjana, Universitas Suryakancana Cianjur, 2015, dalam http://s2pbsiunsurcianjur.ac.id/images/stories/dinamika/volume7.pdf diunduh pada Selasa, 22 September 2015, pukul 07:24 WIB Suci, Dina Wulan, dan Maman Suryaman, “ Konflik Tokoh Utama Perempuan dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis (Pendekatan Psikologi Sastra)”, E-Journal Universitas Negeri Yogyakarta, 2013, dalam http://journal.student.uny.ac.id/jurnal/artikel/3372/36/376 diunduh pada Selasa, 15 September 2015, pukul 20:52 WIB
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) NAMA SEKOLAH MATA PELAJARAN KELAS /SEMESTER ASPEK PEMBELAJARAN STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR
SMA Negeri 95 Jakarta Bahasa dan Sastra Indonesia XII/II Membaca 7. Memahami wacana sastra puisi dan cerpen 7.2. Menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerpen Nilai Budaya dan Kewirausahaan/ Indikator Pencapaian Kompetensi Karakter Bangsa Ekonomi Kreatif Bersahabat/ Keorisinilan • Menceritakan kembali isi cerpen. komunikatif Kepemimpinan • Menjelaskan unsur-unsur intrinsik Gemar membaca cerpen (tema, latar, alur, Tanggung jawab penokohan, dan pesan) Rasa hormat dan perhatian Kreatif ALOKASI WAKTU 4 x 40 menit (2 pertemuan) TUJUAN PEMBELAJARAN TUJUAN • Peserta didik mampu menceritakan kembali isi cerpen. • Peserta didik mampu menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerpen (tema, latar, alur, penokohan, dan pesan). MATERI POKOK PEMBELAJARAN
• Pengertian cerpen • Unsur-unsur intrinsik cerpen (tema, latar, alur, penokohan, pesan)
METODE PEMBELAJARAN Tanya jawab Ceramah Diskusi kelompok CTL (Contextual Teaching and Learning) Penugasan dan resitasi SUMBER BELAJAR Pustaka rujukan •
• •
Bahasa dan Sastra Indonesia 3 untuk Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah Kelas XII Program Studi IPAIPS karya Demas Marsudi, dkk., terbitan Pusat Perbukuan 2009 halaman 45. Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis, terbitan Yayasan Obor Indonesia 2010. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia Karya Widjojoko dan Endang Hidayat, terbitan UPI Press 2006.
•
Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan Nurgiyantoro, terbitan Gadjah Mada University, Edisi Revisi 2013.
KEGIATAN PEMBELAJARAN TAHAP
KEGIATAN GURU
Pertemuan ke 1 PEMBUKA Guru mengucapkan salam dan menanyakan kabar kepada peserta didik. Guru dan peserta didik berdoa bersama sebelum pembelajaran. Guru melakukan absensi kelas. Guru mengingatkan peserta didik tentang tugas sebelumnya yakni membentuk tiga kelompok dan masing-masing kelompok membaca cerpen yang telah ditentukan oleh guru yaitu: “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri” (kelompok 1), “Ceritera Dari Singapura” (kelompok 2), dan “Si Djamal Anak Merdeka” (kelompok 3), dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis. Guru memberikan informasi mengenai kompetensi, materi, tujuan, manfaat, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan. INTI Eksplorasi Guru memberikan stimulus kepada peserta didik untuk mengukur pengetahuan mereka tentang cerpen, baik terkait konsep maupun cerpen yang pernah dibaca sebelumnya. Guru memberikan umpan balik terhadap jawaban
KEGIATAN SISWA
ALOKASI WAKTU
Peserta didik menjawab 10 menit salam dan kabar dari guru. Peserta didik dipimpin oleh ketua kelas berdoa bersama guru. Peserta didik menyebutkan teman sekelas yang tidak hadir. Peserta didik diharapkan menyimak apa yang disampaikan guru terkait informasi kompetensi, meteri, tujuan, manfaat, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan.
15 menit Peserta didik diharapkan menjawab dengan antusias. Peserta didik menyimak penjelasan dari guru. Peserta didik mencatat hal-hal penting dari penjelasan guru mengenai beberapa
peserta didik. unsur intrinsik yaitu Guru menjelaskan secara tema, latar, alur, penokohan, dan pesan lebih mendetail beberapa unsur intrinsik yaitu tema, yang akan menjadi fokus pembahasan. latar, alur, penokohan, dan pesan yang akan menjadi Peserta didik diharapkan fokus pembahasan dalam bertanya dengan bahasa tayangan slide. yang santun. Guru memberikan Peserta didik berkumpul kesempatan kepada peserta dengan kelomok didik untuk bertanya apabila masing-masing. ada penjelasan yang belum dimengerti. Guru mengintruksikan kepada peserta didik untuk segera berkumpul dengan kelompok masing-masing yang telah dibentuk pada pertemuan sebelumnya. Elaborasi Guru menunjuk salah satu Salah satu anggota anggota tiap kelompok kelompok yang ditunjuk untuk menceritakan kembali menceritakan kembali isi 35 menit isi cerpen yang telah dibaca cerpen dengan bahasa (“Cerita Mengapa yang santun. Sementara Sebenarnya Haji Jala anggota kelompok yang Menggantung Diri”, lain mendengarkan dengan antusias dan “Ceritera Dari Singapura”, penuh rasa hormat. dan “Si Djamal Anak Merdeka”) dalam kumpulan kelompok diharapkan cerpen Perempuan karya fokus dalam berdiskusi Mochtar Lubis. dan memastikan anggota Guru memberi tugas secara kelompok dapat berkelompok untuk mengerjakan tugas yang menguatkan informasi yang diberikan: telah didapat, peserta didik • menjelaskan unsurditugaskan: unsur pembangun sastra (tema, latar, • untuk mendiskusikan unsur-unsur pembangun alur, penokohan, dan sastra (tema, latar, alur, pesan) dengan data penokohan, dan pesan) yang mendukung. dengan data yang mendukung. • menjelaskan unsur intrinsik (tema, latar, • menjelaskan unsur intrinsik (tema, latar, alur, penokohan, dan alur, penokohan, dan pesan) pada cerpen pesan) pada cerpen “Cerita Mengapa
“Cerita Mengapa Sebenarnya Haji Jala Sebenarnya Haji Jala Menggantung Diri”, “Ceritera Menggantung Diri”, Dari “Ceritera Dari Singapura”, dan “Si Singapura”, dan “Si Djamal Anak Djamal Anak Merdeka” Merdeka” dalam dalam kumpulan cerpen kumpulan cerpen Perempuan karya Perempuan karya 10 menit Mochtar Lubis dengan Mochtar Lubis data yang mendukung. dengan data yang Guru memberitahu waktu mendukung. pengerjaan tugas kelompok Tiap kelompok dapat dan mengingatkan agar mengatur proses dapat menyelesaikan penyelesaian tugas dengaan tepat waktu dengan tepat waktu. Konfirmasi Guru menanyakan kepada Tiap kelompok tiap kelompok kendala mengemukakan apa saja yang didapat saat kendala yang didapat proses pengerjaan tugas. saat proses penyelesaian tugas. didik 10 menit PENUTUP Guru menyimpulkan hasil Peserta pembelajaran dan diharapkan menyimak mengingatkan tugas untuk apa yang disampaikan pertemuan selanjutnya guru terkait simpulan yakni mempresentasikan hasil pembelajaran dan hasil diskusi. informasi tugas untuk Guru meminta ketua kelas pertemuan selanjutnya. memimpin doa. Peserta didik berdoa. Pertemuan ke 2 PEMBUKA Guru mengucapkan salam dan menanyakan kabar peserta didik. Guru dan peserta didik berdoa bersama sebelum pembelajaran. Guru melakukan absensi kelas. Guru memberikan informasi kompetensi, meteri, tujuan, manfaat, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan.
Peserta didik menjawab 10 menit salam dan kabar dari guru. Peserta didik dipimpin oleh ketua kelas berdoa bersama guru. Peserta didik menyebutkan teman sekelas yang tidak hadir. Peserta didik diharapkan menyimak apa yang disampaikan guru terkait informasi kompetensi, meteri,
tujuan, manfaat, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan.
INTI
Eksplorasi Guru kembali Peserta didik memberikan stimulus diharapkan menjawab kepada peserta didik dengan antusias. untuk mengukur Peserta didik pengetahuan mereka diharapkan menyimak tentang pelajaran penjelasan dari guru. sebelumnya Guru memberikan umpan balik terhadap jawaban peserta didik. Elaborasi Guru meminta peserta Peserta didik berkumpul didik untuk berkumpul dengan kelompok dengan kelompok masingmasing-masing. masing. Secara bergantian, nomor Guru memanggil salah satu yang dipanggil nomor peserta didik di melaporkan hasil setiap kelompok. diskusinya. Guru memberikan nilai, Kelompok lain diberi ulasan dan tanggapan atas kesempatan untuk setiap hasil presentasi memberikan tanggapan. kelompok.
10 menit
40 menit
Konfirmasi Guru meminta peseta didik Peserta didik 10 menit mengungkapkan mengungkapkan pengetahuan mereka pengetahuan mereka tentang sejarah revolusi tentang sejarah revolusi Indonesia yang terdapat Indonesia yang terdapat dalam cerpen. dalam cerpen
PENUTUP
Guru memberikan kuis “Teka-teki Silang” untuk menilai pemahaman peserta didik mengenai konsep-konsep yang telah dipelajari. Guru meminta ketua kelas memimpin doa.
Peserta didik menjawab kuis “Teka-teki Silang” untuk mengetahui pemahaman mereka mengenai konsep-konsep yang telah dipelajari. Peserta didik berdoa.
10 menit
PENILAIAN TEKNIK Tugas: DAN • Peserta didik diminta membaca cerpen “Cerita Mengapa BENTUK Sebenarnya Haji Jala Menggantung Diri”, “Ceritera Dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka” dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis. • Peserta didik (salah satu anggota kelompok) diminta untuk menceritakan kembali cerpen yang telah dibaca, yaitu: “Cerita Mengapa Sebenarnya Haji Jala Menggantung Diri” (kelompok 1), “Ceritera Dari Singapura” (kelompok 2), dan “Si Djamal Anak Merdeka” (kelompok 3) dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis. • Berdiskusi untuk memahami unsur intrinsik (tema, alur, latar, penokohan, dan pesan) pada cerpen “Cerita Mengapa Sebenarnya Haji Jala Menggantung Diri”, “Ceritera Dari Singapura”,dan “Si Djamal Anak Merdeka” dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis. • Secara kelompok peserta didik diminta untuk menjelaskan unsur pembangun sastra (tema, alur, latar, penokohan, dan pesan) cerpen “Cerita Mengapa Sebenarnya Haji Jala Menggantung Diri”, “Ceritera Dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka” dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis dengan data mendukung. • Peserta didik diminta untuk mengungkapkan pengetahuan mereka tentang sejarah revolusi Indonesia yang terdapat dalam cerpen. Observasi kinerja/Demontrasi: • Tiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi secara bergantian. • Kelompok lain menyimak dan menanggapi setiap hasil presentasi kelompok. Tes tulis: • Peserta didik menjawab kuis “Teka-teki Silang” untuk mengukur pemahaman mengenai konsep-konsep yang telah dipelajari.
Tangerang, 24 April 2016 Mengetahui, Kepala Sekolah
Guru Bahasa Indonesia
........................... NIP./NIK.
................................... NIP./NIK.
Uraian Materi A. Pengertian Cerpen Cerita pendek atau disingkat dengan cerpen adalah cerita yang melukiskan sebuah peristiwa atau kejadian apa saja yang menyangkut persoalan jiwa atau kehidupan manusia. 1 Edgar Allan Poe dalam Nurgiyantoro mengatakan bahwa “cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam”. 2 Nurgiyantoro mengatakan “Ada cerpen yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali: bekisar 500-an kata; ada cerpen yang panjang (long short story), yang teridiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata.” 3 Widjojoko dan Hidayat membagi cerpen berdasarkan perkembangannya, yaitu: (1) Cerita pendek sastra (cerita serius) yaitu cerpen yang mengandung nilai sastra (moral, etika, dan estetika); (2) Cerita pendek hiburan (cerita pop) yaitu cerita pendek yang umumnya untuk menghibur, lebih mengutamakan selera pembaca dan kurang memperhatikan unsur didaktis, moral, dan etika. 4 Keduanya juga menjelaskan tiga belas ciri-ciri cerita pendek, yaitu: (1) Penyampaian cerita secara singkat dan padat; (2) Jalinan jiwa dan kejadian dan kejadian bulat dan padu, dan di dalamnya mengandung unsur pertikaian yang akhirnya mencapai klimak dan diakhiri dengan penyelesaian masalah; (3) tema cerita tentang nilai kemanusiaan, moral, dan etika; (4) Membicarakan masalah tunggal dan dapat dibaca dalam waktu singkat. (5) Memusatkan perhatian pada tokoh protagonis; (6) Unsur utama yang terdapat dalam cerpen adalah adegan, tokoh, gerak; (7) Adanya kebulatan kisah (cerita); (8) Bahasa yang dipergunakan dalam cerpen tajam, sugestif, dan menarik perhatian; (9) Sebuah cerita pendek mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung; (10) Sebuah cerita pendek harus menimbulkan efek dalam pikiran pembaca; (11) Dalam cerita pendek terdapat suatu kejadian atau persoalan yang menguasai jalan cerita; (12) Cerita pendek bergantung pada satu situasi; (13) Pelaku utama mengalami perubahan nasib dan cerita berkembang 1
Widjojoko, dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia,(Bandung: UPI Press, 2006), h. 37. 2 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2013), Edisi Revisi, h. 12. 3 Ibid. 4 Widjojoko, dan Hidayat, Loc.Cit.
secara memusat. Alur cerita berpusat pada peristiwa yang memberi rangsangan pada pembaca. 5 B. Unsur Intrinsik Cerpen Cerpen merupakan cerita pendek yang dibangun oleh unsur-unsur intrinsik. Unsur intrinsik ialah unsur yang membangun karya sastra (cerpen) dari dalam seperti tema dan amanat, alur/plot, penokohan, seting/latar, gaya bahasa dan pusat pengisahan. Perhatikanlah penjelasan unsur-unsur di atas berikut ini!
a. Tema adalah gagasan utama atau maksud utama yang mendasari sebuah cerita, biasanya mengambil hal yang menarik dan aktual, mengangkat masalah kehidupan manusia, hewan, dan lain sebagainya. Untuk menemukan tema bisa
dimulai dengan memahami tokoh terlebih dahulu, terutama tokoh utama, karena tokoh utama biasanya “dibebani” tugas membawakan tema, maka pembaca perlu memahami itu dengan mengajukan pertanyaan seperti: permasalahan apa yang dihadapi, apa motivasi bersikap dan berperilaku, bagaimana perwatakan, bagaimanakan sikap dan pandangannya terhadap permasalahan itu, apa dan bagaimana cara yang dipikir, dirasa, dan dilakukan, serta bagaimana keputusan yang diambil, dan sebagainya. Kerja selanjutnya adalah memahami alur cerita dengan menafsirkan konflik, khususnya konflik utama. Konflik utama lazimnya menjadi fokus utama pengembangan cerita, jika konflik utama tersebut berhasil ditemukan, secara garis besar cerita fiksi yang bersangkutan sudah dapat dipahami, dan ini menjadi modal penting untuk sampai pada penemuan tema. Dalam sebuah cerita fiksi lazimnya ada tokoh utama, konflik utama, dan tema utama. Ketiganya saling berkaitan, karena pelaku atau pemilik konflik utama pasti adalah tokoh utama, dan di situlah umumnya letak tema utama. 6 b. Alur, merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. Secara umum, dalam cerpen terbagi menjadi beberapa tahap penyajian, yatu: 1. pengenalan, penulis mengenalkan tokoh utama, problem yang dihadapi, suasana hati tokoh utama, waktu dan tempat terjadinya peristiwa tersebut. 2. timbulnya pertikaian/konflik, tokoh utama mulai mengalami konflik.
5 6
Ibid., h. 38. Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 136-137.
3. Konflik memuncak/klimaks, tokoh utama menghadapi tantangan berat yang hampir menghancurkan hidupnya, penuh dengan lukisan yang menegangkan. 4. Penyelesaian masalah, yaitu memberikan jalan keluar bagi tokoh utama terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi c. latar/setting adalah Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah
peristiwa dalam cerita, semseta yang berinteraksi dengan peristiwaperistiwa yang sedang berlangsung, meliputi tempat, waktu, suasana terjadinya cerita, dan sosial d. Point of view/sudut pandang pengarang, yaitu sudut pandang orang pertama (dengan tokoh aku/saya) dan sudut pandang pengamat yang serba tahu (pengarang berdiri di luar cerita, pengarang banyak menjadi penonton cerita, berlaku seperti dalang yang serba tahu). e. Pesan/amanat adalah sesuatu yang secara tersirat/tersurat merupakan misi yang ingin disampaikan kepada pembaca. f.
Gaya bahasa. Penggunaan gaya bahasa disesuaikan dengan kebutuhan pengarang agar ceritanya tidak terlalu monoton (sedikit bervariasi).
g. Tokoh dan penokohan: Tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam
cerita fiksi atau drama, sedang penokohan (characterization) adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas lewat kata dan tindakannya.
PENILAIAN KINERJA KELOMPOK a. Penilaian Tugas kelompok No 1
2
3
4
Aspek Penilaian Menceritakan kembali isi cerpen a. Sesuai (5) b. Kurang Sesuai (3) c. Tidak Sesuai (1) Kemampuan mendiskusikan dan menjelaskan unsur intrinsik a. Tepat (5) b. Kurang Tepat (3) c. Tidak Tepat (1) Menemukan unsur sejarah dalam cerpen a. Tepat (5) b. Kurang Tepat (3) c. Tidak Tepat (1) Kemampuan menyimpulkan hasil diskusi (presentasi) a. Tepat (5) b. Kurang Tepat (3) c. Tidak Tepat (1)
Bobot 5
Nilai
5
5
5
Skor = jumlah skor yang diperolehx 100 skor maksimal (20) b. Penilaian Sikap Kelompok keAnggota kelompok Kelas Tanggal penilaian No.
: : : :
Aspek-aspek yang dinilai A
1. 2.
Antusiasme peserta kelompok dalam penyusunan tugas. Kemampuan bekerjasama atau berdiskusi.
3.
Ketuntasan menyelesaikan tugas.
4.
Keberanian dalam mengemukakan pendapat. Tingkat perhatian pada kelompok lain yang sedang mempresentasikan hasil diskusi.
5.
Nilai B
C
D
Petunjuk: Lembar ini diisi oleh guru untuk menilai kelompok dalam menyelesaikan tugas dan mengemukakan pendapat. Berilah tanda ceklis (√) pada kolom skor sesuai dengan sikap sosial yang ditunjukkan oleh peserta didik dalam kelompok dengan kriteria sebagai berikut: Baik sekali (A) : skor 81-90 Baik (B) : skor 71-80 Cukup (C) : skor 61-70 Kurang (D) : skor 51-60
Kuis Teka – teki Silang Isilah teka-teki silang di bawah ini dengan jawaban yang tepat sesuai perntanyaan, baik menurun maupun mendatar! 1.
4.
2.
3.
5.
6.
7.
8.
9. 10.
Mendatar: 1. Lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semseta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. 5. Tokoh utama menghadapi tantangan berat yang hampir menghancurkan hidupnya, penuh dengan lukisan yang menegangkan.
7. Pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung. 9. Rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. 10. Jika cerpen yang bernilai sastra disebut sastra serius, maka cerpen yang hanya bersifat hiburan disebut cerpen?
Menurun:
2. Gagasan utama yang mendasari sebuah cerita. 3. Pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya. 4. Unsur yang membahas tentang struktur cerpen. 6. Nama latar selain latar tempat, waktu, suasana. 8. Cerita yang dapat dibaca dalam sekali duduk disebut?
Jawaban “Kuis Teka – teki Silang” 2.
4. 7.
P
E
5.
I
L A
2.
T
3.
A
E
M
R
L
I
M
A
K
O
H
A
N
O
T
A
S
R
T
I
N
O
K
6.
K
I N S
S
8.
A 9.
A
L
C
E U
R 10.
P
I
E
K
N
Jumlah benar x 10 = 100
O
P
BIOGRAFI PENULIS
Ade Nurfadilah, lahir di Jakarta pada 14 April 1993. Anak ke enam dari enam bersaudara ini tinggal di Rawa Bokor, kota Tangerang Provinsi Banten. Pendidikan yang pernah
ditempuhnya
yaitu
Madrasah
Ibtidaiyah Nurul Khairaat (1999-2004) lalu pindah
ke
Madrasah
Ibtidaiyah
Nurul
Hikmah (2005). Setelah lulus, ia memutuskan untuk terus mengenyam pendidikan agama di Madrasah Tsanawiyah Da’il Khairaat (2008), dan Madrasah Aliyah Da’il Khairaat (2011), hingga akhirnya melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Motto hidupnya adalah “Hadirkan Allah dalam setiap usaha”.