SISTEM SATU PAKET DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Sistem Satu Paket dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Implikasinya terhadap Birokrasi Lokal: Studi Kasus Kota Jambi Haris Mubaraka dan Edy Kusnadib Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi a
b
Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis sisi gelap sistem satu paket dalam pemilihan kepala dan wakil kepala daerah dan dampaknya terhadap birokrasi lokal di Kota Jambi. Hal ini karena politisasi birokrasi telah membawa dampak buruk bagi organisasi birokrasi. Ini dapat dilihat dari perkembangan hubungan birokrasi dan politik di Indonesia sejak era kolonial Belanda sampai era Orde Baru. Hadirnya reformasi yang diharapkan mampu memperbaiki persoalan ini ternyata tidak banyak membawa perubahan khususnya di tingkat lokal terutama sekali ketika dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Dengan pendekatan pendekatan kualitatif dengan sumber data utama dari wawancara, tulisan ini mendapati bahwa birokrasi lokal pada dasarnya telah dipolitisasi oleh partai politik ataupun kandidat yang maju dalam pemilihan kepala daerah yang ditandai dengan keterlibatan para pejabat dalam mendukung calon kepala daerah, dan atau tekanan oleh politisi terhadap birokrasi untuk mendukung salah satu calon. Kajian ini juga mendapati bahwa, sistem satu paket di satu sisi membawa implikasi ketidakharmonisan karena tidak ada komitmen untuk menjalankan roda pemerintahan. Dari ketidakharmonisan ini membawa pengaruh kepada birokrasi lokal, yaitu (i) terhambatnya pelayanan publik, (ii) tidak berjalannya organisasi birokrasi dengan baik, (iii) nepotisme, (iv) buruknya administrasi birokrasi dan (v) terpecah belahnya birokrasi. Dengan persoalan ini, komitmen elit politik Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
243
244
HARIS MUBARAK & EDY KUSNADI dan peninjauan terhadap pelaksanaan sistem satu paket perlu dilaksanakan. Kata Kunci: Pemilihan Umum Kepala Daerah, birokrasi, Kota Jambi.
Pendahuluan Reformasi tahun 1997/1998 telah membawa perubahan dalam sistem politik di Indonesia. Demokrasi telah dilaksanakan bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga di tingkat lokal yang dilandasi dengan semangat otonomi daerah. Pelaksanaan demokrasi lokal ini dapat dilihat dalam mekanisme pemilihan kepala daerah langsung dengan sistem paket (kepala dan wakil kepala derah dipilih secara bersamaan) berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004. Sistem ini dianggap mampu untuk menyelesaikan persoalan kepemimpinan di daerah sehingga diharapkan akan melahirkan pemimpin yang berwibawa yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat. Namun persoalannya apakah pemilihan langsung dengan sistem satu paket ini dapat melahirkan kepala dan wakil kepala daerah yang lebih berwibawa, dapat diterima oleh masyarakat luas dan dapat memberikan dampak positif bagi pembangunan di daerah? Data dan fakta dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyak dampak positif yang didapat dalam proses ini terutama sekali terhadap pembangunan di daerah. Namun pada sisi lainnya, sistem ini juga ternyata mempunyai dampak negatif. Persoalan money politics, media yang tidak netral, isu putra daerah dan pendatang,1 premanisme yang masuk dalam arena politik,2 politik jawara, dan munculnya local strongman dan Roving bandit,3 adalah sejumlah catatan buruk yang terjadi di dalam dinamika demokrasi lokal di Indonesia. Dari sekian banyak catatan buruk dalam pelaksanaan demokrasi dan otonomi daerah tersebut, ada persoalan lain yang menjadi catatan penting dalam dinamika ini yaitu pelaksanaan pemilukada dengan sistem satu paket, di mana sistem satu paket ternyata juga membawa ketidakstabilan hubungan kepala dan wakil kepala daerah. Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
SISTEM SATU PAKET DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Sebagaimana pernyataan Kemendagri bahwa 80% kepala dan wakil kepala daerah pecah kongsi ketika akan menghadapi pemilukada, karena kepala maupun wakilnya mempersiapkan diri untuk maju menjadi kepala daerah dalam pemilukada berikutnya.4 Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis sejauhmana praktik pemilihan kepala daerah dengan sistem satu paket ini. Tulisan ini akan menjawab persoalan tersebut dengan melihat peristiwa yang terjadi di Kota Jambi di bawah kepemimpinan walikota dan wakil walikota Jambi (dr. HR Bambang Priyanto dan M. Sum Indra, SE, M.Si). Hubungan keduanya telah menjadi perhatian sejak terpilihnya mereka menjadi walikota dan wakil walikota Jambi pada tahun 2008 terutamanya dari aspek ketidakharmonisan hubungan mereka. Namun persoalan di atas bukanlah satu-satunya yang hendak di analisis, persoalan utama dalam tulisan ini adalah bagaimanakah kedudukan birokrasi dalam pemilihan kepala daerah di kota Jambi? Apakah birokrasi dapat netral dalam mensikapi masalah-masalah yang terjadi antara kepala dan wakil kepala daerah? Atau malah sebaliknya birokrasi terpecah belah secara politiknya? Persoalan inilah yang akan hendak dikaji dan dianalisis dalam tulisan ini.
Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan sumber data utama adalah wawancara tidak terstruktur. Wawancara ini membolehkan peneliti untuk mengembangkan pertanyaan dari wawancara tersebut. Sedangkan informan dalam penelitian ini adalah pegawai negeri di lingkungan Pemda Kota Jambi. Tekhnik yang digunakan untuk menemukan informan adalah dengan tekhnik snowball. Ini karena sulit untuk mewawancarai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan alasan mereka takut dengan atasan. Di samping data primer, data sekunder juga digunakan yang bertujuan untuk mendukung data primer. Data-data yang diperoleh direduksi untuk keperluan analisis dan disesuaikan antara data dilapangan dan penafsiran peneliti.
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
245
246
HARIS MUBARAK & EDY KUSNADI
Kerangka Konsepsual Politisasi Birokrasi Hubungan birokrasi dan politik telah menjadi perdebatan serius di kalangan sarjana, Hegel (1770-1831) seorang filosof Jerman telah menekankan pentingnya birokrasi bebas dari aktivitas politik, karena birokrasi adalah jembatan penghubung antara kepentingan masyarakat dan kepentingan negara, sehingga setiap kepentingan tersebut dapat terpenuhi dengan baik.5 Sosiolog Jerman lainnya yaitu Weber juga menekankan betapa pentingnya birokrasi bersifat impartial sehingga tidak merugikan dan menguntungkan sekolompok orang baik itu etnik, ras, partai politik dan sebagainya.6 Pandangan ini juga sejalan dengan sarjana administrasi publik sejak abad ke 19 seperti Wilson (1887) yang meletakkan fondasi awal perlunya peninjauan kembali kedudukan birokrasi dan politik yang kemudian dilanjutkan oleh Frank Goodnow (1900) yang mempertegas bahwa birokrasi dan politik adalah dua hal yang berbeda, satu pembuat keputusan dan yang lain mengimplementasikan putusan tersebut.7 Sosiolog Jerman lainnya yaitu Marx (1843) agak berbeda memandang birokrasi ini, menurutnya birokrasi adalah organisasi yang dibentuk oleh pemerintah yang didominasi oleh elit kepentingan, sehingga birokrasi tidak akan mampu menjadi jembatan yang netral antara masyarkat dengan pemerintah.8 Pembenaran dari pandangan Marx (1843) ini dapat dilihat secara nyata di negara-negara berkembang seperti di Thailand yang dimulai sejak keruntuhan monarki absolut pada tahun 1932, birokrasi memainkan peranan penting dalam politik sehingga disebut sebagai bureaucratic polity.9 Begitu juga dengan Bangladesh yang masih bergelut dengan reformasi birokrasi dan berusaha melepaskan birokrasi dari lingkaran kekuasan politik.10 Di Indonesia pula, birokrasi dipergunakan oleh elit penguasa untuk kepentingan mereka sendiri khususnya ketika Indonesia di bawah kekuasaan birokrasi kolonial sampai ke era Orde baru. Namun persoalannya adalah apakah mampu birokrasi terlepas dari lingkaran kepentingan politik? Para sarjana pada dasarnya telah mencium gelagat tidak baik dari hubungan politik dan birokrasi tersebut, sehingga memunculMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
SISTEM SATU PAKET DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
kan istilah dikotomi birokrasi dan politik, dengan tujuan agar birokrasi tidak tercemar oleh warna warni kepentingan politik.11 Walaupun demikian, istilah dikotomi tersebut seakan menjadi mitos dan sulit untuk dilaksanakan secara nyata.12 Sebagai jalan penyelesaiannya, Svara (1999) menawarkan model baru yang disebut dengan model complementarity, yaitu ”...is based on elected officials and administrators joining together in the common pursuit of sound governance,”13 dan Administrators accept the control of elected officials and elected officials respect what administrators do and how they do it. At the same time there is interdependency and reciprocal influence between elected officials and administrators who fill distinct but overlapping roles in policy and administration.14
Pada satu sisi, model Svara (1999) ini dapat menjadi landasan dalam membangun hubungan birokrasi dengan politik apalagi di negara maju, tetapi sisi lainnya khususnya negara berkembang, sulit untuk dipraktikkan. Hal ini disebabkan pertama politik di negara maju relatif stabil sehingga membawa pengaruh terhadap birokrasi, sedangkan di negara berkembang sering mengalami gejolak. Kedua, Birokrasi di negara ini adalah birokrasi warisan kolonial ataupun dibangun dengan bantuan negara-barat. Reformasi birokrasi dan segala macam bentuknya yang diadopsi dari negara Barat sulit untuk diaplikasikan di negara berkembang, karena Barat tetap tidak ingin birokrasi di negara berkembang sejajar kedudukannya dengan birokrasi mereka. Barat tetap akan menjadikan negara berkembang bergantung pada mereka Ketiga, di negara maju, negara dan swasta saling bahu membahu membangun ekonomi yang kondusif, birokrasi dikarekteristikan sebagai pasar yang kuat. Namun ini tidak kelihatan di negara berkembang, di mana intervensi negara terhadap pasar begitu kuat, tidak terjalin suasana yang baik antara negara dengan swasta sehingga tidak terbentuk birokrasi yang baik walaupun negara ini mengangkat model ekonomi Barat, tetapi tetap akan mempunyai hasil yang berbeda. Keempat adalah faktor budaya, di mana budaya barat menganut budaya sekuler, individualistik, kompetisi dan berorientasi keuntungan. Karena orientasi ini, birokrasi kemudan Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
247
248
HARIS MUBARAK & EDY KUSNADI
dibangun berdasarkan sistem merit, pengkhusus kerja, rasional, impersonal dan berorientasi prestasi. Di negara berkembang tidaklah demikian, mereka mengangkat sistem Barat, tetapi tetap memakai budaya lokal, sehingga akhirnya tidak mendapatkan hasil yang sama dengan negara Barat.15 Walaupun demikian, politisasi disetiap negara tidaklah sama termasuklah di negara berkembang sendiri. Dalam hal ini ada beberapa bentuk politisasi tersebut baik di negara maju maupun negara berkembang, pertama politicization as participation in political decision making. Di negara maju, birokrat dipertimbangkan untuk dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan, karena mereka yang mengimplementasikan tugas tentunya mengetahui permasalahanpermasalahan yang terjadi di lapangan, tetapi di negara berkembang, birokrasi digunakan untuk menjadi kekuatan politik penguasa dan politisasi ini juga bergantung kepada seberapa kuat pengaruh elit politik tersebut mempolitisasi birokrasi. Kedua, politicization as partisan control over the bureaucracy yaitu meletakkan jabatan birokrat berdasarkan kepada elit yang berkuasa, ataupun dipengaruh oleh aktivitas luar yang berpengaruh pada karir birokrasi. Proses politisasi ini adalah proses legal dan diatur dalam peraturan, karena jabatan dalam birokrat tersebut adalah haknya elit politik dan aktivitas luar seperti kelompok masyarakat sivil juga dapat mengontrolnya. Tetapi persoalan di negara berkembang, jabatan ini berhubungan dengan suap, korupsi dan kolusi, di mana orang-orang yang diletakkan tidak berdasarkan sistem merit. Ketiga, politicization as political involvment, yaitu merujuk pada tingkat keterlibatan birokrasi dalam politik, di negara-negara baru merdeka, birokrasi berperanan menciptakan kestabilan politik, karena kekurangan kelas menengah, lemahnya kepemimpinan, carut marutnya sistem kepartaian dan sebagainya, sehingga birokrasi dipolitisasi oleh kepentingan tertentu. 16 Oleh demikian, politisasi birokrasi merupakan bentuk yang masih sulit dilepaskan karena politisasi birokrasi tersebut bisa dapat dilaksanakan dengan cara legal maupun illegal. Secara legal diatur dalam perundangan seperti menggantikan kedudukan pejabat karMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
SISTEM SATU PAKET DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
ir di level atas, mutasi dan sebagainya. Secara illegal menggunakan birokrasi dan atau bekerjasama dengan birokrat untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Walau bagaimanapun, politisasi baik secara legal tentunya juga membawa dampak baik itu positif maupun negatif kepada organisasi birokrasi itu sendiri, dan ini tergantung kepada elit yang berkuasa dan birokrasi itu sendiri.
Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia Pemilihan kepala daerah di Indonesia dapat dijejaki jauh sebelum Belanda menguasai nusantara dan Indonesia masih berbentuk kerajaan-kerajaan. Kepala daerah saat ini dikuasai oleh individu-individu yang berkuasa yang memperolehnya dari hubungan kekerabatan dengan penguasa ataupun diperoleh atas dasar keturunan. Namun setelah Belanda menguasai nusantara, sistem tersebut diperbarui, kerajaan dihapuskan, upacara-upacara bangsawan dikurangi dan elit priyayi diintegrasikan ke dalam birokrasi moden kolonial. Sebagiannya pula dijadikan sebagai volkshoofd (pemimpin) masyarakat saat itu. 17 Proses pemilihan pertama sekali diperkenalkan oleh Belanda adalah ketika didirikannya Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) yang bertujuan terbentuknya partisipasi dan tersampainya aspirasi masyarakat. Namun lembaga ini lebih banyak menguntungkan pihak kolonial dibandingkan kepentingan rakyat.18 Selama pemerintahan kolonial pemilihan kepala daerah tidak mengalami kemajuan, penunjukkan langsung masih metode yang tepat untuk menjaga kepentingan kolonial. Benih pemilihan kepala daerah dimulai pasca kemerdekaan, pemerintah mulai menata kembali sistem pemerintahan di daerah dengan mengeluarkan UU No.1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Pasal 2 dan 3 menjelaskan bahwa kepala daerah memimpin jalannya pemerintahan di daerah dan dibantu oleh KND. Sedangkan tata cara pemilihan tidak dijelaskan, tetapi saat ini praktiknya kepala daerah masih dipegang elit birokrat, atau penunjukkan langsung pemerintah pusat.19 Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
249
250
HARIS MUBARAK & EDY KUSNADI
Usaha untuk memperbaiki pemerintahan daerah terus diupayakan oleh pemerintah. Di tengah revolusi dan ancaman agresi militer Belanda ke II, pemerintah masih sempat mengeluarkan UU No, 22 Tahun 1948 tentang pemerintahan di daerah. Dalam UU ini diperjelas kedudukan kepala daerah dan tata cara pemilihan kepala daerah. UU ini menjelaskan kepala daerah diusulkan oleh Anggota DPRD kepada presiden bagi provinsi dan Menteri Dalam Negeri bagi Kabupaten.20 Tetapi UU ini tidak dapat dilaksanakan, pertama karena perubahan sistem pemerintahan dari presidensial ke parlementer, kedua situasi politik yang tidak kondusif, di mana banyak pemberontakan, pertukaran kabinet yang relatif cepat, konflik kepentingan partai politik dan sebagainya. Produk demokrasi parlementer adalah keluarnya UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pemerintahan di Daerah. UU ini menjelaskan bahwa pemerintah daerah berhak mengurus rumah tangganya sendiri (pasal 2) dan daerah berhak memilih kepala daerahnya sendiri melalui mekanisme pemilihan di DPR (pasal 23 dan 24). Namun Sebagaimana UU sebelumnya, UU ini juga sulit untuk dilaksanakan karena perubahan sistem pemerintahan dari parlementer ke presidensial pada tahun 1959 di bawah kekuasaan presiden Soekarno. Ketika Soeharto memerintah, beliau mulai mengambil langkah membenahi daerah, pemerintah saat itu mengeluarkan UU No. 5 tahun 1975 tentang Pemerintahan Daerah, dalam undang-undang dijelaskan tentang mekanisme pemilihan kepala daerah, di mana kepala daerah sebagaimana undang-undang sebelumnya dipilih melalui anggota legislatif yang kemudian diusulkan kepada pemerintah pusat. Pemerintah pusatlah yang menentukan siapa saja yang berhak untuk menjadi kepala daerah. Sistem pelaksanaan ini terus berlangsung selama Orde Baru memerintah. Ketika presiden Burhanuddin J. Habibie menggantikan presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, langkah pertama yang diambil oleh Habibie dalam memperbaiki hubungan pusat dan daerah, dengan memberikan otonomi kepada daerah berdasarkan pada UU No. 22 Tahun 1999. UU ini memberikan hak kepada daerah untuk menMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
SISTEM SATU PAKET DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
gurus diri mereka sendiri. Untuk memastikan otonomi ini berhasil, maka pemerintah memberikan kuasa kepada daerah untuk menentukan pemimpin mereka sendiri sesuai dengan kehendak rakyat. Mekanisme yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 2004 tidaklah jauh dari pemilihan sebelumnya, tetapi yang membedakannya adalah kepala daerah ditentukan oleh DPRD sendiri. Sistem pemilihan berdasarkan UU No,22 ini juga dirasakan masih belum mampu melahirkan pemimpin yang tangguh, maka berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah melaksanakan sistem pemilihan umum kepala daerah secara langsung dengan sistem satu paket. Sistem ini pada satu sisi mampu melahirkan pemimpin daerah yang tangguh karena dipilih langsung oleh rakyat dan sisi lainnya melahirkan wakil kepala daerah yang dapat membantu tugas kepala daerah sehingga diharapkan terjalinnya kerjasama yang baik antara daerah dengan kepala daerah.
Hubungan Birokrasi dan Politik di Indonesia Hubungan politik dan birokrasi modern Indonesia di mulai sejak kolonial Belanda, tepatnya ketika diintegrasikan elit priyayi ke dalam birokrasi modern kolonial dengan nama Pangreh Pradja. Birokrasi modern buatan Belanda ini tidaklah seperti birokrasi yang berkembang di Eropa saat itu yang menganut merit system. Tetapi model birokrasi modern yang dibumbui tradisional, di mana birokrat yang direkrut adalah kaum bangsawan yang memiliki strata sosial yang tinggi dalam masyarakat. Birokrasi jelas tidak berkembang sebagaimana pemikiran Weber (1946) yaitu birokrasi yang bersifat impersonal, tetapi yang berkembang sebagaimana dalam pemikiran Marx (1843). Birokrasi yang dibangun oleh Belanda ini hanya bertujuan untuk (i) mempelancar jalannya administrasi kolonial dan mempercepat eksploitasi di tanah jajahan dengan cara menggunakannya untuk mengurus dan mengawasi jalannya pengeksploitasian seperti sistem tanam paksa (ii) mengawasi dan meredam gerakan politik nasional yang menentang Belanda (iii) menghilangkan sepenuhnya kekuasaan tradisional seMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
251
252
HARIS MUBARAK & EDY KUSNADI
hingga dapat dikontrol oleh pemerintah Belanda21 (iv) membangun citra pemerintahan Hindia Belanda baik di mata pemerintah negeri Belanda maupun masyarakat Indonesia.22 Birokrasi modern kolonial ini, tidaklah berdampak negatif keseluruhannya. Sisi positifnya yaitu mampu mengangkat pendidikan kaum pribumi. Lahirnya Boedi Oetomo tahun 1908 tidak terlepas dari pengaruh kaum priyayi tersebut walaupun bentuk pendidikan tersebut masih sebatas untuk mengangkat masyarakat Jawa dan Madura.23 Tapi sisi negatifnya, kekuasaan politik yang dimiliki birokrat aristokrasi ini bertentangan dengan elit politik nasional. Elit politik memandang mereka sebagai manusia yang tidak memiliki jiwa profesional dan hanya mementingkan diri sendiri.24 Ketika Indonesia merdeka, pemerintahan menata kembali kekuasaan birokrasi kolonial dengan meletakkan birokrasi di bawah kontrolnya dan menggantikan pejabat birokrat seperti bupati dengan individu-individu pemimpin politik dan religius dan bahkan organisasi-organisasi kepemudaan dan militer mengambil alih peranan mereka sebagai pelayan publik. Pada tahun 1950an kedudukan birokrasi mulai semakin melemah dan elit birokrat senior sudah mulai berkecimpung dalam aktivitas politik dan kemudian menjadikan anak-anak mereka sebagai birokrat kembali. Birokrasi sendiri terpecah belah secara politiknya, partai-partai politik bersama ideologinya memegang kendali departemen-departemen. Karir birokratpun ditentukan dari hubungan ini. Birokrasi digunakan oleh partai politik untuk memperluas pengaruh mereka di tengah masyarakat.25 Selain terpecah secara politiknya, birokrasi juga terpecah antara kepentingan pusat dan daerah, terutama sekali ketika daerah tidak lagi diperhatikan oleh pemerintah pusat dan bahkan sampai muncul pemberontakan. Birokrasi dipolitisasi oleh kepentingan baik pemerintah daerah maupun pusat. Peresapan politik dalam birokrasi ini sangat mengkhawatirkan pemerintah karena sangat menghambat jalannya implementasi kebijakan pembangunan. Oleh itu pula, pemerintah pada tahun 1961 mengeluarkan undang-undang No. 18 tentang Ketentuan Pokok Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
SISTEM SATU PAKET DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Kepegawaian yang bertujuan memperbaiki keadaan birokrasi sehingga terbentuk birokrasi yang efektif dan profesional. Tetapi dalam prakteknya undang-undang ini ternyata tidak mempertegas hubungan antara birokrasi dan partai politik sehingga akhirnya tetap ada peresapan-peresapan politik dalam birokrasi. 26 Ketika Orde Baru memerintah, usaha untuk memperbaiki birokrasi tetap terus dilaksanakan, pemerintah Orde Baru melarang birokrat terlibat dalam partai politik dan bahkan jumlah partai politik dikurangi sebagai langkah untuk menghindari benturan politik sebagaimana yang terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya. Birokrasi sendiri disatukan dalam wadah organisasi fungsional yaitu Gokar. Namun pemerintah Orde Baru bersikap mendua, pada satu sisi ingin menghindari pengaruh partai politik terhadap birokrasi, tetapi sisi lainnya mempergunakan birokrasi untuk kepentingannya sendiri. Praktek sepertini ini akhirnya menimbulkan keresahan bagi masyarakat karena banyak sekali penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, kolusi, nepotisme dan kronisme telah menjadi rahasia umum, akuntabilitas birokrasi sangat buruk sekali, birokrasi kaku, birokrat seperti elit penguasa yang harus dilayani masyarakat, jual beli jabatan dan kebal dari segala perubahan. Ketika terjadinya reformasi pada tahun 1997/1998, langkah pertama yang diambil oleh Presiden Habibie dalam memperbaiki birokrasi adalah memutus rantai hubungan birokrasi dan partai politik. Birokrat politik yang menjadi pengurus partai politik diberikan pilihan untuk tetap menjadi PNS atau tetap setia pada partai politiknya. Birokrat juga tidak dibenarkan menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan partai tertentu. Sanksi yang diberikan apabila dilanggarnya rambu ini diberhentikan statusnya dari pegawai negeri. 27 Jika melihat realitasnya, banyaknya peraturan ini juga belum sepenuhnya mampu membatasi ruang antara birokrat dan politik, sebagai contoh isu sentral di era presiden Abdurahman Wahid, ketika para menteri yang berasal dari partai politik disorot karena meletakkan kader partainya di tubuh birokrasi. Di Departemen Kehutanan dan Perkebunan misalnya muncul keributan dalam pengangkatan Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
253
254
HARIS MUBARAK & EDY KUSNADI
Sekretaris Jenderal Departemen yang seharusnya di isi oleh pejabat karir, namun ternyata di isi oleh orang yang satu nafas dengan dengan parti politik menterinya.28 Pada tahun 2004 pula misalnya, politisasi juga terdapat dalam jajaran kepolisian, tepatnya ketika pemilihan presiden pada tahun 2004, di mana tertangkap bahwa pihak kepolisan memberikan dukungan pada pasangan calon presiden Megawati Soekarno Puteri dan Hasyim Muzadi. Komisaris Besar (Kombes) Banyumas A.A Maparessa memerintahkan pada anggotanya, perkumpulan isteriisteri polisi (Bhayangkari) dan anggota polisi yang telah pensiun untuk memilih pasangan calon presiden tersebut. Maparessa sendiri kemudian di sidang dan di mutasi ke Markas Besar (Mabes) Polisi.29 Di samping itu, inidikasi politisasi birokrasi juga terjadi dalam pemilu presiden 2004, di mana tertangkapnya Surat Edaran Bupati Subang yang ditanda tangani oleh wakil bupati Subang dengan Nomor 111/1095/Pem. Tertanggal 8 Juni 2008 tentang dana kampanye pasangan calon presiden tertentu yang ditujukan kepada kepala dinas, instansi dan badan lainnya.30 Contoh di atas merupakan sekelumit data bahwa masih ada hubungan antara politik dan birokrasi. Namun yang menjadi persoalan adalah bagaimanapula kedudukan birokrasi lokal? Apakah birokrasi telah menjadi organisasi yang profesional dan terbebas dari kepentingan politik? Persoalan politik dan birokrasi ini sepertinya sulit untuk diletakkan pada kedudukannya masing-masing, bahkan di daerah persoalan ini semakin rumit. Di daerah hubungan birokrasi dan politik tidaklah terputus, mata rantai hubungan birokrasi dan politik sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang hanya sebatas terputusnya dengan Golkar. Pada masa ini malah muncul hubungan baru, baik itu dengan partai politik maupun dengan kandidat-kandidat kepala daerah. Tidak terputusnya mata rantai birokrasi dan politik adalah disebabkan sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia yang masih mencari formatnya ternyata membawa pengaruh terhadap perilaku birokrat. Sistem pemilihan kepala daerah pertama sekali dilaksanaMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
SISTEM SATU PAKET DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
kan pasca reformasi dengan format yang tidak jauh berbeda dengan pemilihan para era sebelumnya, di dalam UU No. 22 tahun 1999 dijelaskan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan oleh anggota DPRD. Pada masa ini, kekuatan-kekuatan lama mencoba untuk bangkit kembali, birokrat misalnya dengan undang-undang ini mereka mencari karir baru dalam bidang politik seperti menjadi bupati atau gubernur, dan ini akan sulit dicapai apabila tidak bersekutu dengan partai politik. Maka ketika pertama sekali ini dipraktikkan, banyak birokrat yang mencari keberuntungan untuk menduduki posisi tertinggi di daerah. Sebagai contoh di Provinsi Jambi, sejak diimplementasikannya UU ini pada tahun 2001, maka kandidat kepala daerah kebanyakannya adalah birokrat dan mereka ini terpilih untuk memimpin daerah, seperti bupati Batang Hari periode 2001-2006 H.Abdulah Fattah, Bupati Muara Tebo (2001-2006) Drs. Majid Muaz, Bupati Sarolangun H.M Madel (2001-2006), Bupati Tanjung Jabung Timur (2001-2006) Drs. H. Abdullah Hich, Bupati Tanjung Jabung Barat (2001-2005) Drs. H. Usman Ermulan (PNS 1973-1981), Bupati Kerinci Fauzi Siin(1999-2004, 2004-2009).31 Begitu juga yang terjadi di daerah lain, seperti di Medan, di mana kekuatan lama seperti birokrat dan militer mulai bangkit kembali dan merebut posisi-posisi penting di dalam pemerintahan.32 Walau bagaimanapun, kehadiran birokrat ini tidaklah mencederai demokrasi dan tidak pula melanggar undang-undang karena sebagai warga negara mereka mempunyai hak yang sama untuk memilih dan dipilih menjadi kepala daerah.
Pemilihah Kepala Daerah, Hubungan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta Politisasi Birokrasi Lokal di Kota Jambi Sejatinya sejak reformasi tahun 1997/1998 birokrasi harus bersikap netral. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menetralkan birokrasi dari kepentingan politik seperti seperti UU No. 43 tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, PP No.5 Tahun 1999 yang kemudian diMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
255
256
HARIS MUBARAK & EDY KUSNADI
rubah lagi dengan PP No. 12 Tahun 1999. Tahun 2004 pemerintah kembali lagi mengeluarkan PP No. 37 Tahun 2004 tentang larangan pegawai negeri menjadi anggota parti politik dan tahun 2005 sebagai antisipasi daripada keterlibatan birokrat dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah telah dikeluarkan Surat Edaran SE/08/M. PAN/3/2005 Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Netralitas Pegawai Negeri Sipil Dalam Pemilihan Kepala Daerah dan sebagainya. Namun persoalan undang-undang juga harus menjadi pertimbangan di dalam mendudukkan persoalan keterlibatan birokrasi dalam politik. Dalam hal ini ada dua bentuk perkara yang akan muncul dari hasil undang-undang atau peraturan ini, pertama, undangundang memang dijadikan sebagai alat pengatur untuk membatasi ruang gerak birokrat dalam politik, tetapi perkara kedua, undangundang ini dijadikan sebagai senjata untuk kepentingan politik, sehingga birokrat yang dianggap tidak mau bekerjasama dengan elit politik akan akan menjadi korban. Dalam hubungan birokrasi dan politik di Kota Jambi, maka terlihat bahwa birokrasi telah terkontaminasi oleh kepentingan politik. Undang-undang yang mengatur hubungan birokrasi dan politik digunakan untuk mengiring birokrat memilih calon tertentu dan menjadikannya untuk kepentingan pemilu yang akan datang. Bentuk seperti ini sulit untuk dihapuskan, karena praktiknya tidak terlihat melanggar peraturan perundangan. Pemilukada 2008 di kota Jambi diikuti oleh empat pasangan yaitu Bambang Priyatno dan Sum Indra, Asnawi A.B dan Nuzul Prakasa, Zulkifli Somad dan Agus S. Roni, Sutrisno dan Effendi Hatta. Tiga dari empat pasangan dalam pemilukada tersebut berasal dari kalangan birokrat. Dr Bambang adalah dokter kesehatan dan pernah menjadi Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jambi yang dicalonkan dari Parti Bulan Bintang, Asnawi A.B adalah Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Jambi yang merupakan sebuah jabatan tertinggi di dalam struktur birokrasi Kota Jambi. Asnawi didukung oleh Partai Golongan Karya dan mendapat dukungan dari Walikota Jambi yaiMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
SISTEM SATU PAKET DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
tu Arifin Manap yang telah memimpin Jambi selama dua periode. Arifin Manap adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) II Kota Jambi. Calon lain adalah Sutrisno yaitu Komandan Korem (Danrem) Provinsi Jambi. Sedangkan Zulkifli Somad adalah Ketua DPRD Kota Jambi dan pernah menjadi birokrat. Isu politisasi birokrasi dimulai ketika calon Walikota Asnawi, menjabat sebagai Sekda Kota Jambi dan didukung oleh Walikota Jambi yang berasal dari Partai Golkar, diisukan telah menggalang kekuatan dari dalam organisasi PNS, di mana Asnawi menjelang pemilihan semakin sering membuat pertemuan-pertemuan dengan para camat dan lurah-lurah. Namun isu tersebut dinilai oleh Asnawi tidak ada sangkut pautnya dengan Pilkada, bahkan beliau menyeru kepada PNS agar bersikap netral di dalam pemilukada nantinya. Bagi Asnawi, Sekda rapat dengan camat maupun lurah adalah suatu hal biasa (Jambi Independent 2008). Walaupun isu adanya penggalangan kekuatan oleh calon yang berasal dari pemerintah ini, tetapi membuktikannya adalah sulit, mengingat bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah seringkali didalihkan kepada kegiatan rutinitas dan tidak adanya aktivitas politik di dalam organsisasi birokrasi. Namun politisasi maupun aktivitas politik birokrat semakin terlihat ketika pemerintah saat itu mengeluarkan surat bernomor 821.2/08/UP/2008 tanggal 29 Januari 2008 kepada Kepala Dinas Tata Kota, Rachman Lani. Beliau dibebastugaskan dari jabatannya karena telah terlibat dalam politik. Rachman Lani saat itu hadir dalam deklrasi pengukuhan pasangan Bambang dan Sum Indra. Bahkan, para pejabat lainnya di bawah Tata Kota juga dibebastugaskan seperti Atmajaya (Kasubdin Penataan dan Pengembangan Kota), dan A Ridwan (Kasubdin Perizinan Dinas Tata kota) yang kemudian disusul elit-elit birokrasi lainnya. Selain dibebas tugaskan karena terlibat politik mendukung calon walikota, beberapa birokrat yang diisukan akan maju dalam pemilihan kepala daerah juga telah dibebas tugaskan seperti Prof. Dr. Haviz Aima yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan kemudian dipindahkan menjadi Kepala Dinas Badan Perencanaan Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
257
258
HARIS MUBARAK & EDY KUSNADI
Daerah (Bappeda) Kota Jambi dan baru saja menduduki jabatan tersebut beliau akhirnya diturunkan (Jambi Ekspres 7 Mei 2008). Kehadiran Rahman Lani dalam deklarasi tersebut jelas telah melanggar aturan yang dibuat oleh Pemerintah bahwa PNS harus bersikap netral dan tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan mereka.33 Proses politisasi dalam birokrasi semakin terlihat, ketika walikota Arifin Manap yang mendukung Asnawi menilai bahwa banyak birokrat terlibat dalam aktivitas kegiatan politik. Penilaian sepihak ini berujung kepada mutasi-mutasi ataupun diturunkannya pejabat tertentu dari jabatannya. Secara keseluruhannya 6 bulan sebelum dilaksanakannya pemilihan kepala daerah sebanyak 95 pejabat di Kota Jambi telah diturunkan oleh Walikota Jambi dengan berbagai alasan. Permasalahan ini tentu menjadi persoalan dalam demokrasi lokal di Indonesia umumnya dan di Jambi khususnya, di mana peraturanperaturan yang melarang PNS terlibat dalam politik dapat dijadikan sebagai senjata untuk kepentingan politik tertentu dan dapat digunakan untuk menggiring PNS untuk mendukung kepentingan kelompok kelompok yang berkuasa. Dalam pemilihan tersebut pasangan dr. Bambang dan Sum Indra terpilih menjadi walikota dan wakil walikota Jambi. Namun baru saja dua bulan terpilih menjadi walikota dan wakil walikota, keduanya mulai tidak sejalan terutama sekali dalam menetapkan pejabat pemerintah di Kota Jambi. Konflik ini dimulai ketika gubernur campur tangan dalam penetapan pejabat di bawah lingkungan pemerintahan Kota Jambi. Bambang dinyatakan oleh gubernur telah melanggar aturan karena melantik dua pejabat eselon II yaitu Mardjani dan Sitanggang yang menjabat sebagai kepala dinas pendapatan daerah dan sebagai staf ahli bidang pembangunan tidak melalui prosedur. Prosedur yang berlaku adalah pengangkatan tersebut harus mendapat persetujuan gubernur Jambi (Jambi Independent, 17 April 2010). Sedangkan walikota sendiri tetap berpegang bahwa prosedur pengangkatan pejabat tersebut tidak melanggar aturan pengangkatan pejabat eselon. Pemprov saat itu tetap bertahan dengan pandanMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
SISTEM SATU PAKET DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
gannya bahwa setiap aktivitas di dalam pemerintahan daerah tingkat II harus diketahui oleh Pemprov, karena Pemprov adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Sedangkan walikota tetap menyatakan bahwa otonomi daerah telah membuka ruang kepada daerah untuk mengurusi dirinya sendiri. Konflik ini terus mengalir dan mulai merembet ke dalam konflik baru yaitu antara walikota dan anggota DPRD periode 2004-2009, di mana DPRD menggalang kekuatan untuk menjatuhkan walikota melalui hak angket terkait masalah tersebut. Persoalan lain yang juga diangkat oleh DPRD adalah persoalan diberhentikannya 27 Kepala sekolah dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan tata ruang kota. Namun persoalan tersebut tidak sampai menjatuhkan kedudukan walikota karena sebelum, selesai masalah tersebut, DPRD ini telah habis jabatannya dan digantikan oleh DPRD baru (Jambi Independent 17 April 2010). Konflik ini pada dasarnya tidak terlepas dari konflik Bambang dengan Sum Indra, karena (i) Sum Indra satu partai dengan Gubernur Jambi dan sekaligus keponakan gubernur, (ii) kedua belah pihak tidak mempunyai komitmen untuk menjalankan pemerintahan bersama.34 Suasana ketidakharmonisan itu semakin diperkeruh oleh demonstrasi-demonstrasi yang menuntut agar Bambang harus mundur dari jabatannya sebagai kepala daerah. Demonstrasi yang berlaku membawa imej bahwa yang memerintah agar terjadinya demonstrasi tersebut adalah Sum Indra untuk menjatuhkan atau memperburuk karakter Bambang sebagai kepala daerah (Jambi Ekpress 16 Juli 2009b). Namun Sum Indera berkilah dan menyatakan bahwa demonstrasi tersebut hanya memperkeruh suasana dan ia merupakan senjata pihak tertentu untuk menjatuhkan dirinya dan bukan untuk menjatuhkan Bambang selaku walikota. Karena orang-orang yang berdemonstrasi selalu mengatasnamakan dirinya sebagai orang yang berada di belakang konflik tersebut (Jambi Ekspress 16 Juli 2009b). Beliau menegaskan bahwa mereka tetap solid antara satu sama lainnya dan tidak ada permasalahan, jikapun ada permasalahan, itupun persoalan biasa yang terjadi dalam hubungan pemerintahan dan seMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
259
260
HARIS MUBARAK & EDY KUSNADI
bagai wakil walikota beliau tetap akan menjalankan tugasnya (Jambi Ekpress, 16 Juli 2009a). Tetapi persoalan tersebut sulit untuk ditutupi, konflik keduanya mulai dirasakan ketika mereka mulai memasang baliho tanpa bersama yang dimulai sejak awal pemerintahan dalam mempersiapkan pemilukada berikutnya. Baliho, iklan di media cetak dan elektronik atas nama Sum Indra sangat gencar dilakukan tanpa mengikut sertakan walikota. Begitu juga dengan walikota yang berkampanye secara tidak langsung dengan mengatasnamakan pemerintah daerah yang terkait dengan masalah-masalah sosial seperti iklan atau baliho tentang KB, menjaga kebersihan, baliho kesehatan dan sebagainya juga tidak pernah mengikutsertakan wakil walikota.. Padahal selaku pemerintah daerah seharusnya keduanya muncul bersama. Di samping itu, ketidakharmonisan juga ditandai dengan seringnya walikota dan wakil walikota tidak hadir dalam satu acara secara bersamaan termasuklah di dalam urusan kerja, di mana wakil walikota seringkali tidak pergi ke kantor jika walikota sedang berada di kantor. Begitu juga dalam acara-acara lainnya termasuklah di dalam acara temu dengan DPRD. Bahkan ketika 37 pejabat dilantik yang tidak dihadiri oleh walikota Jambi dengan asalan sakit, wakil walikota juga tidak terlihat dan dikabarkan keluar daerah.35. Begitu juga yang dinyatakan oleh salah seorang pegawai birokrasi di Pemda Jambi SA36 yang menyatakan bahwa “walikota biasanya datang terlambat, kalau ada walikota maka wakil walikota akan keliling kantor, jika tidak biasanya pergi lagi”. Sama halnya dengan NH yang menyebutkan bahwa “dalam rapat-rapat dengan walikota, wakil walikota tidak terlihat, jikapun ada biasanya berada di luar ruangan.”37 Ketidakharmonisan antara walikota dan wakil walikota telah menjadi rahasia umum. Tetapi persoalannya adalah apakah dengan ketidakharmonisan tersebut membawa implikasi terhadap birokrasi? Menjawab persoalan di atas, birokrasi pada dasarnya adalah organisasi yang terkena dampak langsung dari ketidakharmonisan tersebut. Dampak yang muncul dari ketidakharmonisan tersebut ditandai dengan pergantian pejabat dalam birokrasi yang terjadi dalam Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
SISTEM SATU PAKET DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
relatif cepat dan tidak ada jabatan yang bertahan lama. Situasi ini berdampak pertama terhambatnya pelayan publik, sebagai contoh sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, ketika baru saja walikota terpilih, konflik telah muncul, di mana permasalahan pengangkatan dan pemberhentian kepala sekolah di lingkungan Pemda Kota Jambi menjadi masalah baru. Pengangkatan ini diindikasikan berbau politik dari kepentingan kedua belah pihak, di mana kepala sekolah yang digantikan tersebut adalah orang-orangnya walikota Pengangkatan dan pemberhentian ini tentu saja menghambat jalannya belajar mengajar, sehingga kepala sekolah tidak maksimal menjalankan tugasnya karena takut tergugat kembali.38 Tukar ganti pejabat ini seringkali mendapat reaksi dari dunia akademik dan tokoh-tokoh lainnya yang menganggap bahwa banyak program pemerintah tidak berjalan karena seringnya diganti para pejabat.39 Kedua konflik ini juga mengakibatkan tidak berjalannya organisasi birokrasi, di mana para pejabat yang diangkat selalu bermasalah sehingga seringkali pejabat dinaikkan dan kemudian diturunkan. Selain kasus Mardjani dan Sitanggang, dalam setahun kepemimpinan mereka masih seringkali terjadinya pemberhentian dan pengangkatan pejabat birokrat dan bahkan ada beberapa jabatan yang sempat kosong. Sebagai contoh persoalan pergantian Sekda Kota Jambi yang relatif cepat, ketika dr. Bambang dan Sum Indera menduduki jabatan walikota, selama empat bulan jabatan Sekda kosong, kemudian posisi tersebut diisi oleh Kailani, Kailani harus membenahi sejumlah pejabat yang tidak layak dan tidak sesuai prosedur yang menjadi sorotan anggota DPRD Kota Jambi seperti ada kepala dinas yang belum pernah duduk sebagai eselon III, ada yang beralih fungsi dari fungsional ke struktural dan bahkan menduduki jabatan penting, ada yang duduk menjabat sebagai kabid berpendidikan D-2 yang seharusnya berpendidikan minimal S1.40 Baru setahun lebih berjalan menjadi Sekda, Kailani (2009-2010) mengundurkan diri dan digantikan Ec Marjani sebagai pejabat sementara dan kemudian beliau digantikan oleh Ir. Budidaya (Oktober 2010-2012), hanya setahun menjabat Budidaya didepak oleh walikota dan digantikan oleh Daru Pratomo.41 Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
261
262
HARIS MUBARAK & EDY KUSNADI
Setahun menjabat ketidakharmonisan muncul antara Daru Pratomo (2012-2013) dengan walikota sehingga walikota mengajukan Rifai yang menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan menggantikannya. Situasi ini ditambah lagi dengan pergantian-pergantian yang kerap terjadi di Kota Jambi baik kepala dinas, kepala sekolah sampai pejabat-pejabat kecil lainnya seperti kepala bagian dan sebagainya. Bahkan banyak jabatan yang kosong yang tidak terisi dalam waktu yang cukup lama (Lihat Jambi Independent, 2 November 2009).42 Ketiga, konflik ini berdampak pada nepotisme di dalam pengangkatan pejabat birokrasi yang sesuai dengan kehendak kedua belah pihak. Persoalan nepotisme bukanlah persoalan baru di dalam pengangkatan pejabat di Indonesia sejak sebelum era reformasi. Pada masa inipun, pengangkatan pejabat juga tidak terlepas dari masalah tersebut. Sebagai contoh di Kota Jambi ini pengangkatan Rahman Lani sebagai kepala dinas tata kota Jambi menjadi sorotan tajam. Rahman Lani yang sebelumnya diberhentikan oleh walikota Arifin Manap, karena tetangkap tangan ikut serta dalam deklrasi pasangan Bambang dan Sum Indra yang seharusnya mereka netral ternyata diangkat kembali ketika keduanya menang dalam pemilukada tersebut. Pengangkatan ini jelas menunjukkan kolusi dan nepotisme di dalam organisasi birokrasi, ini karena Rahman Lani adalah besan walikota Jambi dan memberikan dukungan langsung kepada walikota dan wakil walikota terpilih dalam masa kampanye. Bahkan ketika Rahman Lani telah memasuki masa pensiun masa jabatannya dapat diperpanjang kembali oleh walikota. Persoalan yang menjadi sorotan anggota DPRD Kota Jambi adalah selain telah habis masa jabatannya, Rahman Lani juga mempunyai rekor yang kurang baik, karena pernah diperiksa oleh Kejati terkait pajak reklame.43 Implikasi keempat dalam ketidakharmonisan tersebut adalah terpecah belahnya birokrasi secara politiknya. Sebagaimana dijelaskan di atas, dalam meletakkan kedudukan pejabat, walikota dan wakil walikota selalu bersitegang dan mempertahankan orang-orangnya duduk dalam organisasi birokrasi. Persoalan-persoalan ini akhirnya Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
SISTEM SATU PAKET DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
membawa perpecahan dalam organisasi birokrasi, di mana birokrat bersaing secara tidak sehat antara sesama mereka untuk mendapatkan kedudukan dalam organisasi birokrasi, terutama sekali melibatkan elit-elit politik seperti walikota dan wakil walikota. Sebagai contoh, selama kepemimpinan walikota dan wakil walikota Jambi ini telah terjadi cucuk cabut jabatan oleh walikota dan pengangkatan pejabat-pejabat tersebut telah menyalahi prosedur pengangkatan, sekurangnya pada awal pemerintahannya tedapat 28 pejabat termasuk dari pejabat lintas sektoral yang diangkat dan kemudian dicopot kembali karena menyalahi peraturan pengangkatan. Di samping itu, kecurigaan antara sesama birokrat juga semakin tinggi, karena kedekatan dengan salah satu pihak akan berdampak buruk pada jabatan mereka. Inilah yang dijelaskan oleh beberapa PNS di Kota Jambi yang melihat bahwa terkadang seringnya mengikuti kegiatan yang dihadiri oleh wakil walikota saja atau sebaliknya dapat dianggap sebagai pendukung salah satu dari mereka, ini mengakibatkan tingginya gesekan sesama birokrat di Kota Jambi. Apalagi munculnya para pembisik-pembisik atau orang-orang tertentu yang mengambil keuntungan dari situasi ini untuk kepentingan mereka sediri.44 Kelima, sistem administrasi yang tidak berjalan dengan baik, hal ini ditunjukkan dengan banyaknya pejabat yang diturunkan karena tidak memenuhi persyaratan seperti pejabat seharusnya diisi oleh eselon II, tetapi diisi oleh eselon III dan sebagianya sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Tidak berjalannya administrasi dengan baik ini juga disebabkan oleh sering bertukar gantinya pejabat sehingga administrasi yang seharusnya diselesaikan akhirnya tidak selesai karena terjadinya pertukaran. Inilah yang mengakibat situasi yang tidak kondusif bagi birokrat. Dengan demikian, persoalan ketidakharmonisan hubungan antara walikota dan wakil walikota dapat membuat tidak efektifnya organisasi birokrasi. Hasilnya perebutan untuk menjadi nomor satu di Kota Jambi akhirnya menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap mereka sehingga pada pemilihan walikota Jambi pada buMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
263
264
HARIS MUBARAK & EDY KUSNADI
lan 29 Juni 2013, baik dr. Bambang yang berpasangan dengan Yeri Muthalib maupun Sum Indera yang berpasangan dengan dr.Maulana tidak berhasil menduduki kursi Walikota Jambi. Pemilihan walikota dimenangkan oleh Syarif Fasya yang berpasangan Abdullah Sani.
Kesimpulan Pemilihan kepala daerah dengan sistem satu paket, sepatutnya memberikan dampak positif bagi pembangunan di daerah, tetapi dalam kasus Jambi, hubungan kepala dan wakil kepala daerah ternyata tidak mengalami keharmonisan sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang, malah demi kepentingan kekuasaan terutama untuk menjadi orang nomor satu di daerah, keduanya pecah kongsi. Dalam kes Jambi, perpecahan antara walikota Bambang dan wakil walikota Sum Indra sejak diangkat menjadi walikota dan wakil walikota telah menunjukkan bahawa sistem berpasangan yang diatur oleh UU No. 32 Tahun 2004 telah gagal diterapkan di Kota Jambi. Dari perpecahan ini tentunya telah membawa beberapa implikasi negatif bagi birokrasi, terutama sekali masa depan birokrat yang dipermainkan oleh elit-elit politik dengan menggunakan kekuatan kekuasaan, undang-undang dan peraturan-peraturan yang melarang penglibatan birokrasi dalam politik untuk kepentingan mereka sendiri, birokrasi terpecah belah, kolusi dan nepotisme terus berjalan dan sistem administrasi yang sangat buruk. Dari dampak tersebut, sekiranya perlu peninjauan kembali terhadap undang-udang yang mengatur sistem pemilihan secara berpasangan, hal ini kerana pecah kongsi di tengah jalan pemerintahan merupakan salah satu resiko terbesar yang sering dihadapi dalam sistem berpasangan ini. Sebagai solusi, pemilihan secara perseorangan atau tanpa pasangan lebih baik dilaksanakan untuk menghindari persoalan-persoalan pecah kongsi yang dapat membawa buruk bagi pembangunan di daerah itu sendiri.[]
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
SISTEM SATU PAKET DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Catatan: 1
Choi. 2007. Local Elections and Democracy in Indonesia: The Riau Archipelago. Journal of Contemporary Asia Vol. 37 (3) August:326-345. P. 336-337; lihat juga Hidayat. 2009. Pilkada, Money Politics And The Dangers of “Informal Governance” Practices. Dlm. Maribeth Erb Dan Priyambudi Sulistiyanto. Deepening Democracy In Indonesia? Direct Local Election For Local Leader (Pilkada). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies; 125-146.
2 Hadiz, Verdy R. 2003a. Power and politics in North Sumatra: the
uncompleted reformasi. Dlm. Edward Aspinall & Greag Fealy (pnyt.). Local power and politics in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies: 119-131. 3 Leo Agustino dan Mohammad Agus Yussof. 2010. Pilkada dan pemekaran daerah dalam demokrasi lokal di Indonesia: local strongmen and roving bandits. Jebat: Malaysian Journal of History, Politics and Strategic Studies 37: 86-104. 4 Seputar Indonesia 2011, http://www.seputar-indonesia.com/edisic-
etak/content/view/427470/38/: 14 November 2011). 5 Hegel, Georg Wilhelm Friedrich. (1770-1831/2001). Philosophy of
Right. Translated. London: London: G. Bell and Sons. 234. 6 Weber, Marx, 1946. From Max Weber: essays in sociology. Ed.. H.G Gerth & Wright Mill. NewYork: Oxford University Press. 7 Wilson (1887) adalah sarjana administrasi publik yang mencoba meletakkan dasar pemisahan tersebut. Beliau terkagum melihat birokrasi Prussia di bawah kepemimpian Frederich the Great, perubahan-perubahan birokrasi pasca Revolusi Perancis dan perkembangan birokrasi di Eropa yang administrasi berjalan dengan baik. Dari fondasi tersebut kemudian dipertegas oleh Goodnow (1900/1997: 28) yang menyatakan bahwa ”the function of politics consists in the expression of the will of the state”, jika demikian, maka tidak logis jika ia juga terlibat dalam urusan administrasi. Oleh demikian beliau mempertegas perlu adanya peletakkan kedudukan yang berbeda antara keduanya. (Penjelasan lebih lanjut mengenai pandangan para sarjana di atas lihat Shafritz, Jay M and Hyde, Albert C. 1997. Classics of Public Administration. Fourth Edition. Fort Worth: Harcourt Brace College Publishers, hlm. 14-27, 44-52). 8 Lihat Kainz, Howard O. 1974. Hegel’s Philosophy of Right with Marx’s Commentary. The Hague: Martinus Nijhoff: 62-63 9 Istilah Bureaucratic polity ini dipopulerkan oleh Riggs (1966) dalam meneliti politik di Thailand. Menurut Riggs (1966), disebut bureaucratic polity karena besarnya peranan birokrasi dalam politik, bersama-sama dengan kelompok militer dan kaum burjois kota mereka menjalankan kekuasaan negara. Demokratisasi yang melanda Thailand pada tahun 1992 ternyata tidak mampu menggoyahkan kekausaan birokrasi. Bahkan elit politik yang berkuasa tetap harus mampu menjalin komunikasi poliMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
265
266
HARIS MUBARAK & EDY KUSNADI
10
11
12
tik yang baik dengan birokrat, jika tidak birokrat dapat saja menentang dasar atau program yang telah dibuat dan bahkan tidak menjalankan program tersebut (Lihat Ockey, J. 2004. State, Bureaucracy and Polity in Modern Thai Politics. Journal of Contemporary Asia 34(2): 143-162). Politisasi birokrasi masih terjadi di Bangladesh, di mana kedudukan birokrat diisi oleh orang yang loyal kepada partai yang berkuasa sehingga jika penguasa berubah, maka kedudukan birokrat juga berubah, begitu juga dalam proses rekrutmen, promosi, mutasi dan sebagainya sehingga mengakibatkan birokrasi tidak akuntabel, tidak transparan dan sebagainya (Osman, Feerdous Afina. 2010. Bangladesh Politics: Confrotation, Monopoly, and Crisis in Governance. Asian Journal of Political Science 18(3): 310-333 .Hlm. 319-323) Svara, J. H. 1999. Complementarity of Politics and Administrations as a Legitimate Alternative to the Dichotomy Model. Administration and Society 30 (6): 676-705. Hlm. 682. Svara, J. H. 2001. The Myth of the Dichotomy: Complementarity of Politics and Administration in the Past and Future of Public Administration. Public Administration Review 61(2) (Mar. - Apr): 176-183. Svara, J. H. 1999. Hlm. 696
13 14 Svara, J. H. 2006. Complexity In Political-Administrative Relations
And The Limits Of The Dichotomy Concept. Administrative Theory & Praxis Vol. 28, No. 1, 2006: 121–139. Hlm. 132. 15 Haque, Shamsul, M. 1997. Incongruity between bureaucracy and society in developing nations: a crituque. Peace and Change 22(4): 432-462. Hlm. 434-445. 16 Rouban, Luc. 2007. Politization of the Civil Service. In Peters, B. G., & Pierre, J. (Eds.). Handbook of public administration. London: Sage. 199-210, hlm. 200-201. 17 Kata priyayi berasal dari kata para yayi atau adik-adik raja. Namun kata priyayi berkembang dan bukan hanya untuk saudara raja semata, tetapi juga bangsawan, pegawai kerajaan termasuklah penguasa lokal (Sutherland, H. 1975. The priyayi. Indonesia 19 (April) Hlm: 57-58, Lihat juga Maddison, Angus. 1989. Dutch Income in and from Indonesia 1700-1938. Modern Asian Studies 23(4):645-670: 647. Hlm. 657). 18 Volksraad didirikan tahun 1916 sebagai sarana politik masyarakat
di tanah jajahannya. Walaupun akhirnya dewan ini hanya untuk kepentingan kolonial semata (Sutherland, Heather. 1979. The making of bureaucratic elite: the colonial transformation of the Javanese Priyayi. Singapore: Heinemann Educational Books.: 146). 19 Dalam penjelasan UU No.1 Tahun 1945, UU ini adalah sementara, karena tidak menjelaskan mekanisme pemilihan di daerah dan ini akan menimbulkan masalah baru dalam sebuah negara yang baru merdeka. Oleh itu KND adalah pemerintahan sementara sampai diatur dan dilaksanakannya pemilihan umum di daerah. Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
SISTEM SATU PAKET DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH 20 Pasal 18 ayat 1 dan 2. 21 Suntherland 1979. The making of bureaucratic elite, hlm. 153 22 Pemerintahan Belanda di Indonesia telah dikritik oleh anggota parlemen yang berhaluan sosialis dan para jurnalis atas ketidaksejahteraan masyarakat Indonesia, padahal negeri Belanda di bangun dari sumber alam Indonesia. Menindak lanjuti kritikan tersebut akhirnya pemerintah Belanda di Indonesia memenuhi tuntutan tersebut dengan cara merekrut kaum peribumi untuk menjadi birokrat (Maddison, Angus. 1989. Dutch Income in and from Indonesia 1700-1938. Modern Asian Studies 23(4):645-670: 647. Hlm. 657. 23 Para pendiri Boedi Oetomo adalah orang-orang yang belajar di School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) dan mereka adalah kelompok bangsawan. Tujuannya adalah untuk membangun pendidikan bagi masyarakat Jawa dan Madura (Pasal 8 AD/ART Budi Oetomo). Oetomo diambil dari nama salah seorang pendirinya yaitu Soetomo. 24 Suntherland. 1979. The making of bureaucratic elit, hlm: 53-57. Agus Dwiyanto, et.al. 2006. Reformasi birokrasi publik di In25
donesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hlm: 32. 26 Peraturan ini pada dasarmya bukanlah peraturan yang secara rinci menjelakan hubungan antara birokrasi dan partai politik. Peraturan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1961 tentang kepegawaian ini hanya menjelaskan tentang larangan keterlibatan anggota birokrasi ke dalam politik. Namun undang-undang tidak menjelaskan dengan rinci mengenai hubungan antara birokrasi adn politik tersebut (Penjelasan UU No. 18 Tahun 1961 Fasal 10) . 27 Pasal 3 dan 8 PP No. 5 Tahun 1999 28 Dalam kasus ini, Nurmahmudi Ismail yang saat itu menjadi Menteri
Kehutanan yang berasal dari Parti Keadilan disorot karena meletakkan Suripto menjadi Sekjen Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Suripto sendiri saat itu adalah kader Parti Keadilan. Suripto yang berumur 63 tahun pada dasarnya telah memasuki masa pensiun dan pengangkatannya bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No. 43 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 1994. Kontroversi pengangkatan Suripto pada tahun 1999 di warnai demonstrasi dan protes bukan hanya dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tetapi juga dari pegawai di Kehutanan dan Perkebunan. Kontroversi ini karena pengangkatan Suripto berbau kolusi dan dianggap Menteri Kehutanan dan Perkebunan melanggar peraturan di dalam pengangkatan Suripto. UU No 43/1999 dan PP No. 15/1994 menyatakan bahwa sekjen harus berasal dari jabatan karier. Selain itu ditegaskan bahwa batas usia adalah 60 tahun dan untuk mengajukan pejabat eselon satu, menteri harus menyerahkan tiga calon. Calon-calon ini kemudian akan diseleksi oleh tim penilai jabatan. Namun peraturan ini dilanggar oleh Nurmahmudi, di mana beliau Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
267
268
HARIS MUBARAK & EDY KUSNADI
hanya mengajukan nama Suripto yang jelas-jelas bukan dari jabatan karier. Suripto sendiri berasal dari Badan Koordinasi Intelijen Nasional (BAKIN). Walaupun kontroversi, Suripto tetap diangkat menjadi sekjen. Namun pada tahun 2001, nama Suripto mencul kembali kepermukaan, di mana terjadi konflik antara beliau dengan presiden Abdurahman Wahid. Presiden Abdurahman Wahid meminta Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail memberhentikan Suripto dengan alasan Suripto bersama dengan mantan Komandan Jenderal (Danjen) Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Moechdi PR berkomplot merencanakan menggulingkan kekuasaan presiden. Namun Nurmahmudi menolaknya, konflik ini akhirnya berujung pada pemberhentian Nurmahmudi dari kedudukannya. Setelah pergantian tersebut Suripto diberhentikan dan digantikan dengan Harsono Subianto yang saat itu menduduki jabatan Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam (PKA) berdasarkan kepada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 88/M/ 2001. Marzuki Usman menegaskan bahwa pergantian tersebut dikarenakan umur Suripto telah lebih dari 60 tahun. Kompas. 2001. Suripto gugat Presiden Abdurrahman Wahid. 12 Mei atas talian http://www.kompas.com/kompas-cetak/0105/12/nasional/ suri07.htm: 12 Agustus 2008, Kompas. 2001. Marzuki Usman gantikan Nurmahmudi. 17 Mac atas talian http://209.85.175.104/search?q =cache:xMol1L1xRK8J:www2.kompas.com/kompas-cetak/0103/17/ UTAMA/marz01.htm+gusdur+mengganti+sekjen+Dephut: 12 Agustus 2008, Kompas. 2001. Suripto diganti karena usia. 28 Mac atas talian http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0103/28/EKONOMI/suri14.htm: 12 Agustus 2008, Miftah 2002. Reformasi birokrasi pemerintahan. Makalah seminar good governance di Bappenas 24 Oktober atas talian http://www.goodgovernance-bappenas.go.id/ peristiwa_files/Reformasi%20Birokrasi%20(Miftah%20Thoha)%20 241002.pdf: 13 September 2012). 29 Walaupun A.A Maparessa tertangkap tangan berkampanye untuk calon pasangan presiden ini dan kemudian dimutasikan ke Mabes dan disidang kode etik, namun beliau akhirnya dilepaskan (Kompas 29 Juli 2004). Dalam kampanyenya A.A Maparessa pada masa itu menjelaskan tentang tata cara pemilihan presiden, namun dalam penjelasan tersebut beliau menjelaskan program-program pasangan Mega-Hasyim dan masa depan polisi jika presiden ini terpilih menjadi presiden. Sedangkan calon presiden lainnya diberikan nilai negatif oleh beliau. Di samping itu juga, A.A Maparessa tertangkap membagikan uang kepada para peserta yang hadir (Gatra. 2004. Politik tersembunyi VCD polisi, www.gatra.com/2004-08-03/artikel. php?id=42775 - 41k: 13 Agustus 2008. Namun dalam persidangan, uang tersebut dinyatakan bukan politik uang tetapi pengganti uang transportasi dan kegiatan tersebut sendri merupakan kegiatan inMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
SISTEM SATU PAKET DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
ternal polisi (Sinar Harapan. 2004.) Sidang Kode Etik Kasus VCD Banjarnegara. Saksi KPU Ringankan Mapparessa. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0408/19/jab02.html: 17 Agustus 2008 30 Tertangkapnya surat edaran tersebut diungkapkan oleh tim pemenangan calon presiden Wiranto. Surat tersebut meminta dengan tegas bantuan dana kampanye calon presiden tertentu kepada para pejabat birokrat di lingkungan Subang (Kompas 23 Julai 2004). Kasus lainnya mengenai keterlibatan birokrat dalam politik juga ditemukan di beberapa daerah dalam pemilu tersebut, sebagai contoh Panita Pengawa Pemilu (Panwaslu) Kalimantan Tengah menemukan tiga orang birokrat terlibat dalam kampanye calon presiden (Tempo Interaktif. 2004. PNS Kalteng ikut kampanye. http://www.tempointeraktif.com/ hg/nusa/kalimantan/2004/06/13/brk,20040613-04,id.html: 5 Agustus 2008. 31 Pada masa ini, dari sepuluh kabupaten dan kota di Jambi, tujuh kabupaten dikepalai oleh Birokrat dan hanya tiga daerah yang tidak kepalai oleh birokrat yaitu Kota Jambi, Muaro Bungo dan Muaro Jambi. 32 Verdy R. Hadiz. 2003. Reorganizing political power in Indonesia: a
reconsideration of so called “democratic transitions. Pacific Review 16(4): 591-611). 33 Rahman Lani terlibat dalam aktivitas tersebut karena dr. Bambang yang menjadi kandidat pada pemilihan 2008 adalah besan beliau . Setelah dr. Bambang terpilih, Rahman Lani diangkat kembali menduduki jabatannya, bahkan ketika memasuki pensiun, kedudukan beliau tetap diperpanjang. Tindakan beliau tersebut telah mendapat reaksi dari anggota DPRD Kota Jambi. Tetapi walikota tetap mempertahankannya. 34 Jika dilihat dari sejarah awal perkembangan pemilukada di kota Jambi, Bambang Priyatno dan Sum Indra adalah calon walikota, keduanya tetap ingin menjadi orang nomor satu di pemerintahan, namun menjelang pemilihan kepala daerah, terjadinya deal politik antara PAN dengan PBB, di mana kedua belah pihak sepakat menyatukan keduanya. Pertama sekali diusung Sum Indra menjadi calon walikota Jambi dan Bambang wakilnya. Namun perkembangan berikutnya, Zulkifli Nurdin akhirnya meminta posisi walikota dan wakil walikota dibalikkan dan yang menjadi walikota adalah Bambang. Pergantian posisi ini menurut Zulkifli Nurdin yang menjabat sebagai gubernur dan ketua PAN provinsi Jambi, Sum Indra masih muda dan perlu banyak belajar di dalam pemerintahan. Kata ini telah mengindikasikan bahwa pemerintahan berikutnya haruslah dipegang oleh Sum Indra, mengingat bahwa satu periode menjadi wakil walikota sudah cukup bagi Sum Indra untuk belajar bagaimana menjadi seorang pemimpin daerah. 35 Jambi Ekspress. 2010. Walikota sakit, 37 pejabat dilantik. Jumat,
12 Februari: Hlm. 5, lihat juga Jambi Independent. 2010. Eksekutif - Legislatif Rawan Konflik. http://www.jambi-independent.co.id/ Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
269
270
HARIS MUBARAK & EDY KUSNADI
jio/index.php?option=com_content&view=article&id=8467:eksekut if-legislatif-rawan-konflik&catid=1:metrojambi&Itemid=3. 17 April: diakses 20 November 2011. 36 Informan tidak bersedia disebutkan namanya karena menyangkut masa depan karirnya di Pemda Kota Jambi. Data informan tercatat dalam catatan peneliti. Wawancara dilaksanakan dilaksanakan di Pemda Kota Jambi tanggal 19 September 2012. 37 Wawancara dengan PNS Kota Jambi dilaksanakan di Pemda Kota Jambi, tanggal 19 September 2012. 38 Isu pergantian kepala sekolah ini sebenarnya hampir terjadi diselu-
ruh Indonesia, ketika walikota menang maka akan menempatkan orang-orang yang mendukung beliau. Di Kota Jambi hampir setiap tahun terjadi pergantian dan bahkan pergantian tersebut seringkali menimbulkan demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh anakanak sekolah karena dianggap berbau politik (Tribun Jambi. 2011. Siswa protes kepala sekolah diganti. Kamis 3. Februari 2013), 39 Jambi Independent. 2009c. Kekosongan Pejabat Sorotan Utama. http://www.jambi-independent.co.id/jio/index.php?option=com_content&v iew=article&id=4839:kekosongan-pejabat-sorotan-utama&catid=1:metroja mbi&Itemid=3. 2 November. Diakses 20 November 2011. 40 http://www.kotajambi.go.id/id/index2.php?option=com_content&do_ pdf=1&id=460 41 Ir. Budidaya pernah menjadi kepala dinas kehutanan dimasa Gu-
bernur Jambi Hasan Basri Agus menjadi Bupati Sarolangun. Beliau terpilih menjadi sekda Kota Jambi setelah diseleksi oleh Gubernur Jambi Hasan Basri Agus. Terpilihnya beliau menjadi sekda telah lama tersiar karena kedekatannya dengan Gubernur (Kompas. 2010. Budidaya, sekda Kota Jambi. Jumat 5 November. Dapat juga diakses melalui http://nasional.kompas.com/read/2010/11/05/06052836). 42 Wawancara dengan KS, PNS Kota Jambi 27 September 2012 di Pemda Kota Jambi. 43 Rahman Lani juga pernah diperiksa pada tahun 2010 atas pembe-
liah mobil dinas Kijang LGX yang dibeli hanya seharga 20 juta tanpa melalui lelang, tapi berita kasus tersebut mengendap dan belum ada kepastian sampai sekarang (Santana. 2011. DPRD Jambi Sepakat Lengserkan Besan Walikota. http://sentanaonline.com/detail_news/ main/246/1/27/01/2011/DPRD-Jambi-Sepakat-Lengserkan-BesanWalikota. 27 januari. Diakses 20 November 2011; Jambi Ekspress. 2011. Kasus korupsi mandek. Senin 11 November 2012. 44 Wawancara dengan beberapa birokrat di lingkungan Pemda Jambi tanggal 27 Septermber 2012 dan SA tanggal 19 September 2012.
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
SISTEM SATU PAKET DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
DAFTAR PUSTAKA Agus Dwiyanto, et.al. 2006. Reformasi birokrasi publik di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Choi. 2007. Local Elections and Democracy in Indonesia: The Riau Archipelago. Journal of Contemporary Asia Vol. 37 (3) August: 326-345. Hadiz, Verdy R. 2003a. Power and politics in North Sumatra: the uncompleted reformasi. Dlm. Edward Aspinall & Greag Fealy (pnyt.). Local power and politics in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Hadiz. Verdy R. 2003. Reorganizing political power in Indonesia: a reconsideration of so called “democratic transitions. Pacific Review 16(4): 591-611. Haque, Shamsul, M. 1997. Incongruity between bureaucracy and society in developing nations: a crituque. Peace and Change 22(4): 432-462. Hegel, Georg Wilhelm Friedrich. (1770-1831/2001). Philosophy of Right. Translated. London: London: G. Bell and Sons. 234.
Hidayat. 2009. Pilkada, Money Politics And The Dangers of “Informal Governance” Practices. Dlm. Maribeth Erb Dan Priyambudi Sulistiyanto. Deepening Democracy In Indonesia? Direct Local Election For Local Leader (Pilkada). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies; 125-146. Jambi Ekspress. 2011. Kasus korupsi mandek. Senin 11 November
2012. Jambi Independent. 2009c. Kekosongan Pejabat Sorotan Utama. http://
www.jambi-independent.co.id/jio/index.php?option=com_con tent&view=article&id=4839:kekosongan-pejabat-sorotan-utam a&catid=1:metrojambi&Itemid=3. 2 November. Diakses 20 November 2011. Jambi Independent. 2010. Eksekutif-Legislatif Rawan Konflik. http:// www.jambi-independent.co.id/jio/index.php?option=com_conten t&view=article&id=8467:eksekutif-legislatif-rawan-konflik&catid =1:metrojambi&Itemid=3. 17 April: diakses 20 November 2011.
Kompas. 2001. Suripto gugat Presiden Abdurrahman Wahid. 12 Mei Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
271
272
HARIS MUBARAK & EDY KUSNADI
atas talian http://www.kompas.com/kompas-cetak/0105/12/ nasional/suri07.htm: 12 Agustus 2008. Kompas. 2001. Marzuki Usman gantikan Nurmahmudi. 17 Mac atas talian http://209.85.175.104/search?q=cache:xMol1L1xRK8J:ww w2.kompas.com/kompas-cetak/0103/17/UTAMA/marz01.htm+g usdur+mengganti+sekjen+Dephut: 12 Agustus 2008.
Kompas. 2001. Suripto diganti karena usia. 28 Mac atas talian http:// www2.kompas.com/kompas-cetak/0103/28/EKONOMI/suri14.htm: 12 Agustus 2008. Kompas. 2010. Budidaya, sekda Kota Jambi. Jumat 5 November. Dapat juga diakses melalui http://nasional.kompas.com/ read/2010/11/05/06052836. Leo Agustino dan Mohammad Agus Yussof. 2010. Pilkada dan pemekaran daerah dalam demokrasi lokal di Indonesia: local strongmen and roving bandits. Jebat: Malaysian Journal of History, Politics and Strategic Studies 37: 86-104. Lihat Kainz, Howard O. 1974. Hegel’s Philosophy of Right with Marx’s Commentary. The Hague: Martinus Nijhoff. Maddison, Angus. 1989. Dutch Income in and from Indonesia 17001938. Modern Asian Studies 23(4): 645-670. Maddison, Angus. 1989. Dutch Income in and from Indonesia 17001938. Modern Asian Studies 23(4):645-670. Miftah 2002. Reformasi birokrasi pemerintahan. Makalah seminar good governance di Bappenas 24 Oktober atas talian http:// www.goodgovernance-bappenas.go.id/peristiwa_files/Reformasi%20Birokrasi%20(Miftah%20Thoha)%20241002.pdf: 13 September 2012). Ockey, J. 2004. State, Bureaucracy and Polity in Modern Thai Politics. Journal of Contemporary Asia 34(2): 143-162. Osman, Feerdous Afina. 2010. Bangladesh Politics: Confrotation, Monopoly, and Crisis in Governance. Asian Journal of Political Science 18 (3): 310-333. Rouban, Luc. 2007. Politization of the Civil Service. In Peters, B. G., & Pierre, J. (Eds.). Handbook of public administration. London: Sage. 199-210. Santana.
2011.
DPRD
Jambi
Sepakat
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
Lengserkan
Be-
SISTEM SATU PAKET DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
san Walikota. http://sentanaonline.com/detail_news/ main/246/1/27/01/2011/DPRD-Jambi-Sepakat-LengserkanBesan-Walikota. 27 Januari. Diakses 20 November 2011. Seputar Indonesia 2011, http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/427470/38/: 14 November 2011). Shafritz, Jay M and Hyde, Albert C. 1997. Classics of Public Administration. Fourth Edition. Fort Worth: Harcourt Brace College Publishers. Sinar Harapan. 2004.) Sidang Kode Etik Kasus VCD Banjarnegara. Saksi KPU Ringankan Mapparessa. http://www.sinarharapan. co.id/berita/0408/19/jab02.html: 17 Agustus 2008 Sutherland, H. 1975. The priyayi. Indonesia 19 (April): 57-58. Sutherland, Heather. 1979. The making of bureaucratic elite: the colonial transformation of the Javanese Priyayi. Singapore: Heinemann Educational Books.: 146).
Svara, J. H. 1999. Complementarity of Politics and Administrations as a Legitimate Alternative to the Dichotomy Model. Administration and Society 30 (6): 676-705. Svara, J. H. 2001. The Myth of the Dichotomy: Complementarity of Politics and Administration in the Past and Future of Public Administration. Public Administration Review 61(2) (Mar- Apr): 176-183. Svara, J. H. 2006. Complexity In Political-Administrative Relations And The Limits Of The Dichotomy Concept. Administrative Theory & Praxis Vol. 28, No. 1, 2006: 121–139. Tempo Interaktif. 2004. PNS Kalteng ikut kampanye. http:// www.tempointeraktif.com/hg/nusa/kalimantan/2004/06/13/ brk,20040613-04,id.html: 5 Agustus 2008. Tribun Jambi. 2011. Siswa protes kepala sekolah diganti. Kamis 3. Februari 2013. Weber, Marx, 1946. From Max Weber: essays in sociology. Ed.. H.G Gerth & Wright Mill. NewYork: Oxford University Press.
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
273