SINOPSIS DAN OVERVIEW ERA BARU PEMBANGUNAN PERTANIAN: STRATEGI MENGATASI MASALAH PANGAN, BIOENERGI DAN PERUBAHAN IKLIM Oleh Budiman Hutabarat, I Wayan Rusastra, Erizal Jamal, dan Handewi P. Saliem
Pendahuluan Pembangunan pertanian saat ini menghadapi tantangan baru dari perubahan lingkungan strategis, terutama yang berkaitan dengan masalah pangan, bioenergi, dan perubahan iklim. Kenaikan permintaan dunia atas bahan pangan memicu kenaikan harga pangan, sementara itu, kenaikan harga-harga sarana produksi, terutama pupuk dan bahan bakar minyak/BBM menyebabkan laju pertumbuhan produksi pangan melemah. Kenaikan harga-harga sarana produksi terjadi karena ketersediaan BBM semakin menyusut, baik di tingkat global maupun nasional, sehingga banyak negara telah mengalihkan sebagian produksi pertaniannya, terutama pangan untuk memproduksi bahan bakar nabati/BBN, yang menyebabkan kelangkaan pangan di pasar dunia. Pembangunan ekonomi konvensional melalui industrialisasi telah mendorong emisi dan menyebabkan penumpukan gas rumah kaca/GRK di atmosfir, perubahan dan ketidak-normalan iklim, serta pemanasan global secara nyata. Perubahan iklim dan pengembangan bioenergi berdampak negatif terhadap perkembangan produksi pangan, bahan baku pakan, produksi komoditas ternak, serta produksi perikanan tangkap dan budidaya. Konsekuensinya adalah terjadi peningkatan harga dan volatilitas harga pangan secara meluas. Swasembada berkelanjutan dan pencapaian swasembada komoditas pangan pokok, terutama beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi masih menjadi sasaran dan arah kebijakan pemerintah. Untuk memperkuat ketahanan pangan dan ketahanan energi, diperlukan pemikiran-pemikiran baru untuk mengatasi masalah-masalah pangan, bioenergi dan perubahan iklim. Kondisi lingkungan strategis domestik dan global hendaknya dilihat sebagai tantangan di dalam memacu percepatan dan peningkatan ekonomi nasional. Kebijakan pokok yang patut mendapatkan prioritas adalah pertumbuhan investasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sesuai dengan kapasitas perekonomian (diatas 7,0%/tahun) yang belum pernah dicapai setelah krisis ekonomi 1997/1998.
xi
Perubahan Iklim dan Strategi Mengatasinya Gejolak dan perubahan iklim telah menyebabkan pemanasan global yang berdampak langsung terhadap fisiologi tanaman. Setiap peningkatan 1oC suhu minimum pada masa pertumbuhan padi, menyebabkan hasil padi akan menurun 10%. Selain itu, gejolak dan perubahan iklim akan menyebabkan kekeringan, banjir, salinitas, dan ledakan hama/penyakit (WBC, HDB, Blas). Pemerintah telah menetapkan bahwa sasaran pengurangan emisi GRK pada tahun 2020, yakni hanya 10 tahun dari sekarang, sebesar 20 juta ton CO2 eq. Di sektor pertanian pemerintah menetapkan pengurangan emisi GRK sebesar 26%. Untuk menanggulangi dampak gejolak dan perubahan iklim dibutuhkan kebijakan dan strategi mitigasi dan adaptasi di bidang pertanian. Kebijakan yang dapat dipertimbangkan dalam mengatasi dampak perubahan iklim ini adalah sebagai berikut : (a) Fokus pada strategi adaptasi di tingkat petani; (b) Penguatan kelembagaan petani dalam mengantisipasi perubahan iklim; (c) Ketersediaan dan akses teknologi dalam upaya peningkatan diversifikasi usahatani dan pertanian. Strategi yang dapat dilakukan adalah melalui investasi di bidang sumber daya insani pertanian dan di bidang penelitian dan inovasi kebijakan. Investasi sumber daya insani pertanian dilakukan dengan kegiatan sekolah lapang yang materi pelajarannya diisi dengan teknik-teknik budidaya yang ramah lingkungan dan tahan terhadap cekaman iklim. Investasi di bidang penelitian didekati melalui inovasi perakitan varietas tanaman dan teknologi yang cocok untuk perubahan iklim. Inovasi kebijakan telah ditempuh melalui penetapan pedoman atau petunjuk untuk penanggulangan banjir dan kekeringan, sistem pengambilan keputusan untuk pengelolaan keputusan iklim dan DAS (Daerah Aliran Sungai), penggunaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit, dan sistem peringatan dini untuk kekeringan, banjir dan kebakaran gambut.
Pemenuhan Kebutuhan Pangan dan Strategi Mengatasinya Masalah-masalah multidimensional yang dihadapi untuk memenuhi permintaan komoditas pangan sangat beragam, dan dalam konteks ini pemerintah telah berusaha untuk terus meningkatkan produksi pangan melalui inovasi teknologi dan penerapan program usahatani pangan. Saat ini sangat diperlukan cara untuk mencapai tingkat ketahanan pangan pada tingkat kecukupan yang memadai. Tingkat keberhasilannya dihadapkan pada tantangan keadaan ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan, besarnya pengangguran, dan meluasnya tingkat kemiskinan. Meningkatnya harga-harga pangan yang menurunkan posisi tawar masyarakat, serta kondisi iklim dan
xii
bencana alam lain yang semakin sulit diprediksi semakin mempersulit tingkat pencapaian ketahanan pangan nasional. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat miskin di perdesaan, pemerintah memperkenalkan Desa Mandiri Pangan/DEMAPAN yang berdimensi utama pengembangan kelembagaan, pemberdayaan masyarakat, pengembangan sarana/prasarana, komitmen pembinaan dan pendanaan daerah dengan sasaran peningkatan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan. Program DEMAPAN dinilai telah berhasil memantapkan ketahanan pangan dan mengurangi tingkat kemiskinan di perdesaan. Dalam periode 2009-2014, pemerintah telah menetapkan tiga kluster pengentasan kemiskinan di perdesaan. Kluster I adalah program bantuan sosial terpadu berbasis rumah tangga, program pemberdayaan PNPM Mandiri (Kluster II), dan program pemberdayaan berbasis UKM (Kluster III) yang diharapkan mampu disinergikan dengan program DEMAPAN. Sinergi dan integrasi program pemberdayaan (peningkatan kapasitas dan akses ekonomi penduduk miskin) dan pertumbuhan ekonomi menjadi sangat penting dengan sasaran percepatan transformasi struktural ekonomi perdesaan dan integrasinya dengan ekonomi perkotaan. Dalam tataran teknis strategis, ciri produk-produk pertanian yang bulky, mudah rusak dan bersifat musiman adalah faktor penghambat penyebar-luasan produk untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk. Salah satu tindakan untuk memecahkan masalah ini adalah melalui pengembangan teknologi pengolahan hasil pertanian, mengubah bentuk mentah menjadi bentuk yang lebih mudah diolah lebih lanjut, dan atau mengolahnya untuk dapat disimpan dalam waktu lama. Pengembangan teknologi pengolahan di berbagai skala usaha dihadapkan oleh kendala utama, yaitu ketersediaan bahan baku secara teratur untuk dipasok ke industri pengolah, ketersediaan teknologi pengolahan, dan potensi keuntungan yang sangat kecil bagi industri pengolahan skala rumah tangga. Untuk komoditas kedelai dan gula, kebutuhan domestik masih belum terpenuhi, sehingga impor masih perlu dilakukan. Permasalahan yang dihadapi dalam mencapai swasembada kedelai dan gula maupun swasembada berkelanjutan untuk beras dan jagung adalah (a) kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global; (b) kondisi infrastruktur pertanian yang belum berfungsi secara optimal; (c) ketersediaan sarana produksi, alat dan mesin pertanian yang masih terbatas; (d) legalitas dan luas penguasaan lahan yang kecil; (e) konversi lahan petanian ke nonpertanian yang tinggi, (f) anggaran subsidi pertanian yang terbatas; (i) kelembagaan petani yang masih lemah; dan (g) kurangnya keterpaduan lintas sektor dalam pelaksanaan pembangunan pertanian. Selain dari sisi peningkatan ketersediaan pangan, melalui peningkatan produksi, kebutuhan atas komoditas pangan tertentu, seperti beras sebetulnya dapat juga diredam dengan penganekaragaman konsumsi terhadap pangan alternatif. Tetapi, ketersediaan pangan alternatif beras, misalnya ubi jalar atau ubi
xiii
kayu masih sangat terbatas dan pangan alternatif ini dipandang inferior terhadap beras. Produksi kedelai dalam negeri sangat kurang karena tidak memberi keuntungan bagi petani dibandingkan komoditas pangan yang lain. Tetapi, kandungan gizi yang dimilikinya jauh mengungguli komoditas pangan sumber karbohidrat lainnya dalam menyehatkan tubuh, sehingga kedelai sebetulnya dapat dikembangkan sebagai pangan fungsional yang memberikan nilai tambah yang tinggi bagi petani. Strategi utama yang diperlukan untuk mengamankan peningkatan produksi komoditas pangan adalah: (a) Adaptasi terhadap perubahan iklim; (b) Pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi dan jalan usahatani; (c) Pencetakan sawah baru; (d) Penyediaan benih unggul bermutu dan pupuk secara efektif; (e) Kebijakan impor yang hati-hati agar tidak merugikan petani produsen; (f) Peningkatan peran Bulog dalam penyerapan produksi dalam negeri dan stabilisasi harga gabah/beras; (g) Peningkatan peran Daerah Otonom dalam penyediaan pangan; (h) Pengurangan konsumsi beras per kapita merupakan upaya strategis dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok; (i) Promosi massal yang cerdas dan sistematis untuk menjadikan pangan alternatif, seperti ubi jalar, ubi kayu dan kedelai sebagai menu penting dan pangan fungsional dalam konsumsi rumah tangga; (i) Memberi perlindungan kepada petani, melalui asuransi pertanian sehingga mereka terhindar dari risiko kerugian karena kehilangan hasil usahatani.
Pengembangan Bahan Bakar Nabati dan Kebijakan Pendukung yang Diperlukan Bioenergi dan biogas merupakan sumber energi alternatif, terbarukan dan seharusnya menjadi energi masa depan di Indonesia. Namun pengembangan bioenergi tidak sesederhana dan selinier seperti yang dibayangkan. Pengembangan bioenergi sangat berhubungan dengan fluktuasi harga BBM dan harga komoditas pangan di tingkat global dan nasional. Teknologi biogas merupakan pilihan yang tepat untuk mengubah limbah pertanian dan peternakan untuk menghasilkan energi dan pupuk sehingga diperoleh keuntungan ganda, secara sosial ekonomi dan pelestarian lingkungan. Pembuatan biogas dapat dilakukan dengan menggunakan bahan dasar sederhana berupa limbah tanaman dan kotoran ternak. Disamping murah dan mudah didapat, manfaat ganda dari pembuatan biogas adalah gas sebagai
xiv
sumber energi, pupuk sebagai penyubur tanah, sludge sebagai pakan ternak, dan memperkecil kemungkinan pencemaran lingkungan. Pengembangan bioenergi di Indonesia telah memiliki landasan yang memadai dimulai dari pembentukan Tim Nasional Pengembangan Bioenergi, dengan target produksi bioenergi sebesar dua persen dari total konsumsi diesel (solar) tahun 2010. Pengembangannya diharapkan mampu menciptakan 3,5 juta kesempatan kerja. Pemerintah juga merencanakan pengembangan 1.000 desa mandiri energi dan 12 zona khusus bioenergi. Sasaran program-programnya adalah pengurangan konsumsi BBM sebesar 10 persen akan dapat dicapai dalam waktu dekat. Untuk merangsang keikutsertaan petani kecil dalam pengembangan komoditas pertanian, di mana selama ini mereka tidak memiliki modal atau sulit memperoleh kredit untuk pengembangan usaha di bidang pertanian, pemerintah telah memperkenalkan satu skim baru khusus untuk pengembangan usahatani komoditas pangan dan komoditas pertanian yang menghasilkan energi, yang disebut skim Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E). Keragaan penyaluran KKP-E cukup baik karena melampaui plafon yang ditetapkan. Disamping itu, jumlah kredit macet atau non-performing loan (NPL) juga relatif kecil. Pengembalian KKP-E umumnya lancar karena usahatani yang dibiayai memang layak secara finansial. Sebagian petani sulit mendapat akses untuk KKP-E, karena (1) bank mempunyai persepsi bahwa usahatani (termasuk ternak) relatif berisiko, kecuali usahatani tebu; (2) harus menjadi anggota kelompok tani; (3) keterbatasan agunan berupa sertifikat tanah yang dipegang petani; (4) berstatus pemilik penggarap atau petani penggarap tetapi harus menperoleh rekomendasi dari kepala desa. Pengembangan bioenergi ke depan akan menjadi salah satu faktor penentu bagi kinerja pembangunan pertanian dan kesejahteraan petani. Kelapa sawit (CPO) menjadi andalan bahan baku bioenergi dalam jangka pendek dan menengah, sedangkan ubi kayu dan tebu masih mengalami kendala pengembangan dari sisi skala ekonomi. Di pihak lain, usahatani pohon jarak masih mengalami kendala dalam dimensi sosial ekonomi yang sampai saat ini belum teridentifikasi secara baik. Bagi Indonesia, pengembangan bioenergi dan biogas, terutama yang berasal dari komoditas pertanian, limbah tanaman dan kotoran ternak sangat penting untuk segera dilakukan, melalui suatu langkah yang terpadu, dari penelitian-pengembangan, perumusan kebijakan, dan pemantauan-evaluasi pelaksanaan kebijakan di lapangan. Berdasarkan fungsi ganda biogas tersebut, maka pemanfaatan biogas patut untuk dimasyarakatkan, khususnya di daerah perdesaan. Kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan bioenergi adalah sebagai berikut : (a) Memantapkan komitmen dan konsistensi pengembangan; (b) Menghindari konflik dengan upaya pemantapan ketahanan pangan;
xv
(c) Menetapkan fokus pada pengembangan komoditas yang paling potensial dengan tingkat kelayakan keberhasilan yang tinggi.
Investasi Sektor Pertanian dan Kebijakan yang Diperlukan Investasi pertanian oleh perusahaan besar (PMDN dan PMA) berdampak positif pada PDB pertanian dan penyerapan tenaga kerja baru. PMDN lebih banyak kontribusinya dalam peningkatan PDB dan penyerapan tenaga kerja subsektor tanaman pangan dan perkebunan, sedangkan PMA lebih banyak kontribusinya dalam peningkatan PDB dan penyerapan tenaga kerja subsektor peternakan. Secara agregat nasional, investasi PMDN memberikan kontribusi lebih besar dalam peningkatan PDB sektor pertanian, tetapi PMA memberikan kontribusi lebih besar dalam penyerapan tenaga kerja baru. Investasi pertanian oleh rumah tangga petani juga berdampak positif pada pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Nilai IRR investasi perkebunan kelapa sawit, karet dan kakao, usaha peternakan pembiakan sapi potong dan usaha peternakan sapi perah, serta pompa air dan traktor tangan, cukup tinggi yaitu diatas 18 persen, yang berarti lebih besar dari suku bunga komersial 18 persen per tahun. Investasi oleh rumah tangga petani juga dapat meningkatkan populasi sapi potong pada usaha pembiakan, dan meningkatkan produksi susu segar lokal pada usaha peternakan sapi perah yang berarti mengurangi impor susu segar. Investasi petani juga mampu meningkatkan luas panen dan produktivitas pertanian (padi, kedelai dan sayuran) pada pompa air di sawah tadah hujan sehingga produksi pertanian dan kesempatan kerja juga meningkat. Investasi mekanisasi pertanian (traktor) juga dapat menurunkan biaya sekaligus mempercepat waktu pengolahan lahan. Kendala utama pengembangan produksi pangan nasional adalah ketersediaan lahan, infrastruktur pertanian dan produksi, ketersediaan dan akses teknologi, keterbatasan permodalan dan tingkat suku bunga yang tinggi, dan iklim usaha dan investasi (khususnya kebijakan fiskal) yang tidak kondusif. Pelaksanaan otonomi daerah di tingkat kabupaten yang dicanangkan sejak tahun 2000 belum memberikan iklim yang kondusif bagi kebijakan pengembangan SDM pertanian, investasi sektor pertanian, dan distribusi/perdagangan komoditas pertanian. Pelaksanaan koordinasi pembangunan pertanian di tingkat provinsi yang belum mantap berdampak negatif terhadap peningkatan produksi dan ketersediaan pangan secara nasional. Dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi, maka strategi besar feed the world adalah pembangunan sektor pertanian menuju swasembada yang kompetitif dan berkelanjutan serta mendorong produk-produk unggulan (15 komoditas pangan unggulan) menjadi primadona dunia. Empat program utama yang patut mendapatkan perhatian adalah perbaikan perencanaan, pembiayaan, peningkatan produktivitas, dan peningkatan nilai
xvi
tambah dan prasarana, yang melibatkan pihak pemerintah, swasta dan masyarakat. Peningkatan produksi pangan oleh pemerintah dan swasta mencakup sedikitnya 8 strategi yaitu ekstensifikasi, intensifikasi, diversifikasi, kemudahan investasi, pemantauan neraca pangan, pengembangan industri berbasis tanaman pangan, pengeloaan rantai pasok, dan pembiayaan yang memadai. Pengembangan pertanian lahan kering merupakan satu alternatif untuk peningkatan produksi pangan nasional, peningkatan pendapatan petani, peningkatan nilai tambah, pemerataaan, dan pelestarian lingkungan. Perkembangan pertanian pada agroekosistem lahan kering (kecuali perkebunan skala besar) dinilai masih sangat kurang. Potensi pemanfaatan lahan kering cukup luas untuk pengembangkan pangan seperti padi gogo, jagung, sorghum, kedelai, dan palawija lainnya. Kebijakan pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat sekitar, memiliki prospek positif dalam peningkatan produksi pangan, pendapatan petani, dan menjaga keamanan dan kelestarian hutan. Beberapa permasalahan yang perlu mendapatkan penanganan dalam pengembangannya diantaranya adalah ketersedian dan akses sarana produksi dan modal, sosialisasi program kepada masyarakat, pola pikir dan perilaku masyarakat di sekitar hutan. Sistem tumpangsari di lahan sela kawasan hutan dapat diarahkan untuk meningkatkan produksi pangan melalui pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi seperti pangan, palawija, dan hortikultura. Kebijakan peningkatan produksi pangan yang direkomendasikan ke depan adalah: (a) Penyediaan lahan bagi perluasan areal produksi pangan; (b) Penyediaan infrastruktur pendukung seperti jalan, pelabuhan ekspor, peti kemas yang terpadu dan berpendingin-udara (consolidated and refrigerated container), dan penjaga laut dan pantai (sea & coast guard), dll.; (c) Peningkatan produktivitas, khususnya melalui pemantapan kegiatan penelitian dan pengembangan (Litbang) (R&D); dan (d) Penyediaan jaminan ketersediaan dan akses pembiayaan sektor pertanian, serta penguatan kemampuan pemasaran.
Penanaman Modal Sektor Pertanian dan Kebijakan Pendukungnya Struktur penanaman modal di Indonesia dalam periode 2000-2009 masih relatif kecil dari jumlah proyek dan nilai total investasi. Peringkat realisasi penanaman modal domestik sektor pangan menempati posisi yang relatif marginal, yaitu tanaman pangan dan perkebunan (peringkat 103), dan lebih-lebih lagi untuk industri pangan (peringkat 285). Sementara itu peringkat realisasi penanaman modal asing untuk industri pangan menempati posisi yang lebih rendah lagi yaitu peringkat 378.
xvii
Kinerja penanaman modal sektor pertanian yang kurang menggembirakan ini merefleksikan skala prioritas, kendala, dan prospek pengembangan investasi pangan nasional yang kurang menggembirakan. Kondisi ini perlu ditangani secara serius mengingat industri pangan merupakan instrumen transformasi struktural strategis dalam pengembangan sektor pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani. Perkembangan realisasi PMA dan PMDN sektor agribisnis dan penyerapan tenaga kerjanya dalam periode 1990-2008 nampak fluktuatif dan tidak konsisten. Hal ini juga merupakan indikasi lemahnya dukungan kebijakan (pengembangan infrastruktur, kelembagaan, pasar masukan dan keluaran) pengembangan agribisnis nasional. Oleh karena itu, kebijakan ini perlu dirumuskan kembali agar mampu menjamin percepatan pertumbuhan penanaman modal pada sektor agribisnis di lapangan. Di samping karet alam dan kakao yang menempati urutan kedua di dunia, maka kelapa sawit Indonesia memiliki keunggulan dilihat dari beberapa indikator. Indonesia sebagai produsen utama CPO dunia, industri sawitnya sangat menguntungkan dan berperan dalam pengentasan kemiskinan. Kelapa sawit merupakan “the most efficient oil-producing crops”. Beberapa kebijakan strategis yang berkaitan dengan perbaikan iklim penanaman modal yang perlu dipertimbangkan adalah: (a) Pelayanan penanaman modal terpadu satu pintu; (b) Sistem pelayanan informasi dan perizinan investasi secara elektronik; (c) Kemitraan pemerintah-swasta dalam pengembangan infrastruktur; (d) Dukungan alih teknologi, insentif fiskal dan non-fiskal yang kondusif; (e) Sistem administrasi pajak dan pabean yang efektif dan efisien; dan (f) Peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan antarpelaku sektor pertanian. Peluang pasar dan kebutuhan penanaman modal pembangunan pertanian di Indonesia masih terbuka luas. Dalam konteks ini dibutuhkan dukungan R&D terkait dengan pengembangan keunggulan kompetitif agribisnis dan inovasi dan transformasi pengembangan agribisnis dan agroindustri. Disamping itu pengembangan investasi dan penanaman modal sektor pertanian membutuhkan dukungan iklim penanaman modal yang kondusif. Kebijakan strategis yang diperlukan untuk itu antara lain: (a) Investasi pertanian, baik oleh perusahaan besar (PMDN dan PMA) maupun rakyat, perlu ditingkatkan dalam upaya meningkatkan PDB sektor pertanian, penyediaan kesempatan kerja, dan peningkatan produksi. (b) Dalam melaksanakan UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, perlu dijaga keberimbangan antara investasi PMA dengan investasi PMDN dan rakyat yang memadai, khususnya investasi yang bersifat land base seperti perkebunan.
xviii
(c) Peningkatan produksi pangan jangka panjang dengan mendorong partisipasi swasta dalam mendukung ketahanan pangan berkelanjutan; (d) Pengembangan biofuel dalam mendukung diversifikasi sumber energi dengan tetap menjamin partisipasi petani dan pemantapan ketahanan pangan; (e) Investasi pangan olahan berbasis pangan dalam rangka mendorong diversifikasi konsumsi dan peningkatan kesejahteraan petani; (f) Pengembangan produksi dari pemasaran produk pertanian bernilai ekonomi tinggi (produk hortikultura, peternakan, perikanan) terkait dengan pasokan pasar modern, sehingga mampu mengurangi impor produk sejenis.
Penutup Era baru pembangunan pertanian dalam perspektif pemantapan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan tidak terlepas dari dinamika lingkungan strategis nasional dan global. Dinamika lingkungan strategis tersebut diantaranya mencakup perubahan iklim dan pengembangan bahan bakar nabati. Perubahan lingkungan strategis ini berimplikasi terhadap status dan strategi pengembangan pertanian ke depan. Pembangunan pertanian ke depan tidak mungkin dilepaskan dari peran investasi dan penanaman modal terkait dengan pengembangan infrastruktur, peningkatan kapsitas produksi, pengembangan agribisnis dan agroindustri dengan sasaran optimasi pertumbuhan ekonomi nasional dan pengembangan pembangunan/pertumbuhan inklusif (pro-growth, pro-job, pro-poor). Pemikiran terkait dengan kebijakan strategis peningkatan produksi pangan, pengembangan BBN, mengatasi perubahan iklim, dan investasi serta penanaman modal sektor pertanian telah dirumuskan. Dalam implementasinya dibutuhkan sosialisasi, advokasi, koordinasi, dan konsolidasi antarinstitusi dan pemangku kepentingan agar pembangunan pertanian berkontribusi nyata dalam mendorong pertumbuhan, pemantapan ketahahanan pangan, dan pengentasan kemiskinan.
xix