KontraS
Salam Dari Borobudur
KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dibentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan
dengan
kegiatan politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh dan Papua maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Selanjutnya, ia berkembang menjadi organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktek kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. KontraS diprakarsai oleh beberapa LSM dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIPHAM, LPHAM, YLBHI dan PMII
S
etelah puluhan tahun rakyat Aceh, hidup dalam belenggu konflik, 15 Agustus 2005, menjadi momentum penting bumi Serambi Mekah ini. Pada hari itu, di Helsinski, Filandia, Pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan Gerakan Aceh Merdeka. Meski sejumlah kalangan bahkan penjabat memprotes isi perjanjian nota kesepahaman tersebut, merpati perdamaian memang layak terbang bahkan menetap di bumi Aceh. Cukup sudah rasanya semua penderitaan, darah, airmata, serta nyawa yang harus dibayar rakyat Aceh. Yang harus tetap dilakukan adalah menjaga serta mengawal agar perdamaian itu bukan hanya berakhir diatas sebuah kertas kesepakatan, namun DAMAI itu harus menjadi milik selamanya rakyat Aceh. Namun ironisnya, saat kedamaian menjelang di Aceh, saudara kita tercinta, Papua masih berkonflik bahkan dua hari menjelang nota kesepahaman Aceh ditandatangani, rakyat Papua mengembalikan otonomi khusus pada pemerintah pusat. Mereka menganggap bahwa otonomi khusus yang diberikan pusat selama ini hanya sembohyang belaka. Ketidak adilan, derita, masih dirasakan oleh saudara-saudara kita diujung timur. Sebuah tugas berat dan perjuangan harus terus dilakukan demi keadilan dan kebenaran. Bukan untuk Aceh, Papua, Poso, Ambon, dan wilayah konflik lainnya. Tapi untuk semua persoalan, hak asasi manusia, kebenaran dan keadilan. Tidak ada tawarmenawar untuk ini. Di edisi Juli-Agustus ini sejumlah kabar daerah mulai dari kasus Bojong, Ambon, Poso, serta berita lainnya tetap kami informasikan. Sedang di rubrik Jejak Kasus, persidangan Munir mulai berjalan. Kita juga berharap sambil terus berjuang agar persidangan Munir tidak hanya berhenti di Polly atau berakhir seperti kasus-kasus lainnya. Apapun taruhannya, perjuangan harus tetap dilakukan, tanpa takut.
“Kita harus lebih takut pada rasa takut itu sendiri. Karena rasa takut menghilangkan akal sehat”
Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri,
Redaksi
Ndrie, Nining, Abu, Victor, Sinung, Haris, Harits, Islah, Papang, Bonang, Helmi, Nur’ain, Bobby, Rintar, Ati, Dini, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri.
Sekretariat Federasi Kontras Mouvty, Ori, Gianmoko, Bustami,
Berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Penanggung Jawab: Usman Hamid Pemimpin Redaksi: Indria Fernida Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati, Sidang Redaksi: Haris Azhar, Nining Nurhaya, Edwin Partogi dan Mufti Makaarim & Ali Nursyahid Layout: Segitiga comm
Asiah (Aceh), Oslan (Sumatera Utara), Pieter Ell (Papua). Badan Pekerja Kontras dibantu oleh relawan-relawan yang tersebar di seluruh Indonesia
Redaksi Berita KontraS menerima kritik, saran dan tulisan untuk Berita
Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia. Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821 Email:
[email protected], website: www.kontras.org KontraS sebuah lembaga Organisasi, yang berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2-072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Nining di 3926983 atau
[email protected]
KontraS
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
2
BERITA UTAMA
Menuju Damai Aceh, Menghangat di Papua Merpati perdamaian akhirnya sampai di bumi serambi Mekkah. Perjanjian damai Pemerintah Indonesia dengan GAM ditandatangani Senin, 14 Agustus 2005, oleh Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia. Pihak Indonesia diwakili Ketua Delegasi Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, sedangkan dari pihak GAM diwakili oleh Perdana Menteri GAM Malik Mahmud. Saksi penandatanganan adalah mantan Presiden Filandia Martti Ahtisari yang juga Ketua Dewan Eksekutif Crisis Management Initiative, lembaga yang memfasilitasi perundingan. Penandatangan ini merupakan buah dari Perundingan selama 25 jam dan kurun waktu lima bulan, mulai dari Januari 2005 sampai Juli 2005.
H
amid Awaluddin, dalam sambutan sesaat setelah penandatangan tersebut mengatakan bahwa telah tercipta sejarah baru, sejarah perdamaian di Aceh. “Dengan perdamaian kita bisa membangun keadilan dan HAM. Selain itu, dengan perdamaian anak—anak kita juga bisa hidup lebih baik, karena perdamaian juga berarti bebas dari rasa takut, bebas dari intimidasi dan provokasi,”ujar Hamid.
otonomi khusus yang diklaim pemerintah sebagai penyelesaian yang final, tuntas, dan menyeluruh bagi persoalan yang ada di Papua. Lalu, apa sesungguhnya terjadi di Aceh dan Papua? Mengapa sampai terjadi perbedaan penyelesaian konflik di Aceh dan Papua? Layakkah Papua mendapatkan perdamaian seperti Aceh? Kekerasan Demi Kekerasan Aceh dan Papua memang bukan dua daerah yang dapat disamakan dalam segala hal. Tetapi keduanya merupakan daerah yang sudah dikenal oleh masyarakat nasional maupun internasional perihal intensitas kekerasan. Dua daerah ini memang berbeda tetapi kedua masyarakatnya akan lelah jika ditanyai perasaannya perihal kekerasan dan kemiskinan.
Sedangkan Malik Mahmud melontarkan harapannya bahwa damai akan terwujud di Aceh. Menurutnya, Aceh akan memasuki era baru setelah bertahun-tahun terlibat konflik militer. “Ini adalah awal dari proses keadilan bagi seluruh rakyat Aceh. Dengan kesepakatan ini, kita akan segera memasuki masa depan yang lebih Kedua daerah ini memiliki sejarah kekerasan yang panjang. baik,”ungkap Malik. Bagi Aceh, kekerasan dan konflik telah menjadi sejarah KontraS sendiri memandang positif ditandatanganinya Nota kelam bagi masyarakatnya. Konflik, Perang dan segala Kesepahaman di Helsinki ini. Upaya ini menunjukkan bentuk kekerasan telah berlangsung sejak tahun 1873, saat perubahan sikap mendasar pada kedua belah pihak dalam Belanda menyatakan perang terhadap Sultan Aceh. Maka memilih jalan damai untuk menyelesaikan masalah (Kekerasan) mulailah Aceh berperang hingga dapat ditaklukkan oleh di Aceh yang telah berlangsung hampir selama 30 tahun. Belanda pada tahun 1904. Apa yang terjadi dengan Aceh justru berbeda dengan apa yang terjadi di Papua. Tiga hari sebelum Nota Kesepahaman Aceh ditandatangani, tepatnya 12 Agustus 2005, puluhan ribu warga Jayapura melakukan aksi ujuk rasa. Saat itu, Dewan Adat Papua (DAP) mengembalikan status Otonomi Khusus Papua kepada pemerintah Pusat melalui DPRD Papua.
Pada 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan kebijakan dan memberikan status daerah khusus untuk Aceh, terkait dengan ciri khas wilayah ini dalam kehidupan agama, pendidikan, dan budaya. Namun, ternyata kebijakan yang diberikan oleh Soekarno tersebut hanya bersifar normatif, dan tidak berjalan dengan baik. Hal ini terbukti dari Sekretaris Pemerintahan DAP, Fadal Al-Hamid, membacakan eksploitasi sumber daya alam Aceh yang kaya raya, tetapi Komunike Masyarakarat Adat Papua tentang ketidak- hasilnya dinikmati oleh pemerintah pusat dan para pejabat. sungguhan pemerintah RI melaksanakan UU Otonomi Khusus Rakyat Aceh dibiarkan menjadi miskin dan bodoh. bagi Propinsi Papua sebagai amanah rakyat Indonesia. Fadal menegaskan, berdasarkan keputusan sidang III DAP di Akibatnya pada 1976, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Manokrawi, sebelumnya masyarakat adat Papua menilai terbentuk resmi. Sejak itu GAM terus melakukan gerakanpemerintah bersungguh-sungguh melaksanakan kebijakan gerakannya melawan pemerintah. Buntutnya, Presiden
3
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
BERITA UTAMA
Soeharto di bulan Mei 1990, memberlakukan Operasi Militer di Aceh terkait dengan meningkatnya aktivitas bersenjata GAM. Hal yang kemudian dikenal dengan Daerah Operasi Militer (DOM).
Gus Dur, telah dilakukan sejumlah tindakan-tindakan politis. Untuk Aceh diadakan Join of Understanding antara Pemerintah RI dengan GAM. Demikian juga dengan Papua, Gus Dur membuka ruang dialog dengan tokoh-tokoh Papua, seperti Theys H. Eluay. Sayangnya tindakan-tindakan politik tersebut dipatahkan oleh politik kekerasan oleh segelintir pihak yang bangga dengan identitas nasionalisme sempit.
Berbeda tetapi bernasib sama, dialami Papua. Bila dilihat dari hasil pelaksanaan Penentuan pendapat rakyat Irian Barat dikenal dengan Papera, (sebagai realisasi persetujuan New York, 15 Agustus 1962), yang berlangsung 14 Juli Pada akhirnya kedua UU otonomi khusus diatas dikhianati 1969 sampai dengan 2 Agustus 1969, mayoritas anggota oleh kebijakan-kebijakan pusat lainnya. UU NAD yang didukung oleh JoU dan Memorandum of Dewan Musyawarah Pepera (DMP) Understanding (2002) diabaikan dengan saat itu menyatakan Irian Barat adalah serangkaian kebijakan Darurat Militer bagian integral NKRI. Sejarah integrasi pada 2003. UU otonomi khusus Papua itu sendiri sebelumnya diwarnai dengan tidak pernah direalisasikan karena peristiwa Trikora yang dilancarkan Pemerintah Pusat, memaksakan pada 19 Desember 1961. Pertentangan keinginannya untuk memekarkan wilayah demi pertentangan mewarnai kehidupan Papua. Padahal Undang-undang nomor masyarakat Papua. Walhasil, hanya 45 tahun 1999 tentang pemekaran tindakan represi yang jadi tontonan dan Propinsi Papua, justru diabaikan oleh rasa bagi masyarakat Papua. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI pada tahun 1999 yang memutuskan Pada masa pemerintahan Orde Baru, perlunya pemberian otonomi khusus pada dua daerah ini, mengalami eksploitasi propinsi Irian Jaya, yang akhirnya mene Sumber Daya Alam yang luar biasa. Hal lurkan UU.NO.21/2001. ini tidak lepas dari kekayaan alam yang dikandung oleh dua daerah ini; Aceh dan Papua. Di Aceh kaya dengan Gas alam dan minyak bumi. Sementara Papua Momentum atau kebutuhan? Paska Tsunami di Aceh, baru disadari bahwa konflik dan kaya dengan Emas. kekerasan di Aceh harus dihentikan. Kesadaran inilah yang Bahkan paska masa otoriterian Orde Baru, Aceh dan akhirnya mendorong hingga 5 kali pertemuan antara pihak Papua masih dirundung kegelisahan terkait dengan pemerintah RI dan GAM di Helsinki Finlandia. Hingga akhirnya rangkaian operasi keamanan dan militer yang diterapkan perjanjian perdamaian ditanda tangani pada 15 Agustus 2005. di Aceh dan Papua. Yang mengherankan, meskipun kekerasan terus terproduksi di kedua daerah ini, Meskipun demikian, perdamaian Aceh tidaklah mudah dicapai. pemerintah pusat juga melahirkan serangkaian kebijakan Beberapa kalangan penjabat pemerintah termasuk anggota guna penyelesaian konflik di Aceh dan Papua. Tetapi DPR seakan “menentang” perdamaian ini. Sebelum nota kebijakan-kebijakan tersebut tetap saja tidak bernilai kesepahaman damai ditandatangani, kalangan ini mengeluarkan sejumlah “manuver” kecurigaan dan keberatannya. Pada perdamaian apapun bagi masyarakat Aceh dan Papua. episode ini terlihat jelas bagaimana masih gencarnya pihakPolitik Hukum pihak yang tidak menginginkan kedamaian ada di Aceh. Untuk Aceh dikeluarkan Undang-undang Nanggroe Aceh Sejumlah kalangan yang menentang tersebut mengkhawatirkan Darussalam (NAD) nomor 18 tahun 2000. Untuk Papua nasib “keutuhan NKRI”. dikeluarkan Undang-undang Otonomi Khusus nomor 21 tahun 2001. Dari kedua undang-undang ini diharapkan ada Pro-kontra kian gencar setelah penandatanganan dilakukan. otonomi yang berkarakter atau beraspirasi lokal sesuai Beberapa isi dari kesepakatan dijadikan ajang debat bahwa kebutuhan dan keresahan masyarakat di masing-masing Aceh telah Merdeka. Bahkan ada yang meminta isi daerah; Aceh dan Papua yang telah menderita selama kesepakatan itu dibatalkan. Entah, dan mengapa, Aceh dianggap belum pantas merasakan angin kedamaian. Pihak puluhan tahun. GAM-pun terus dicurigai akan kembali keluar dan membelot Diluar mekanisme Hukum, sebetulnya di era pemerintahan dari kesepakatan yang telah ditandatangani itu.
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
4
BERITA UTAMA
Sementara KontraS tetap menyambut baik dan positif nota damai ini, terlebih dengan dimasukkannya agenda HAM diantara butir kesepakatan damai di Aceh. Persoalannya kemudian apakah Papua juga membutuhkan Tsunami untuk menyadarkan semua pihak agar mau berdamai dan menciptakan perdamaian di Papua? Jelas Papua tidak membutuhkan Tsunami atau penderitaan apapun untuk “ada damai” di Papua. Demikian juga bagi pihakpihak yang kompeten mewujudkan damai di Papua tidak perlu menunggu terjadinya penderitaan yang berlebih untuk mewujudkan damai di Papua. Sejumlah persoalan telah menumpuk di kepala masyarakat Papua. Persoalan tertinggalnya pembangunan diberbagai sektor dirasakan rakyat Papua sebagai bentuk-bentuk ketidakadilan pemerintah pusat dalam menjalankan programnya selama ini. Tak heran jika sampai saat ini masih banyak suku di pendalaman Papua hidup dalam kondisi yang masih sangat terbelakang. Bahkan dari data statistik tahun 2000, dari sekitar dua juta penduduk Papua, hampir 53 persen masuk kategori miskin. Ironisnya, dari sisi kekayaan alam, potensi terolah di wilayah ini sangat mencengangkan. Merujuk pada produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita wilayah ini, propinsi Papua menduduki urutan keempat setelah propinsi Kalimantan Timur, Jakarta, dan Riau. Demikian juga dari sisi pertumbuhan PDRB, Papua satu-satunya propinsi yang mencatatkan pertumbuhan yang selalu positif, rata-rata di atas 10 persen. Timpangnya distribusi kekayaan ini mengundang ketidakpuasan masyarakat. Tidak heran, apabila ada sebagian kalangan masyarakat Papua yang secara radikal berkeinginan untuk melepaskan diri dari NKRI. Salah satunya adalah gerakan perlawanan yang dilakukan oleh Organisai Papua Merdeka (OPM), sebagai salah satu organisasi yang bertujuan melepaskan Papua dari negara kesatuan republik. Sudah sepantasnya pemerintah Indonesia melakukan serangkaian tindakan yang patut dan manusiawi bagi masyarakat Papua. Ketidak-cerdasan Pemerintah Indonesia yang hanya berkali-kali menegaskan dirinya sebagai pihak yang sah menguasai Papua melalui serentetan kebijakan bukanlah cara yang baik. Hal ini terbukti dari berbagai peristiwa dalam bentuk aksi di Papua. Masyarakat Papua semakin tidak yakin dengan ulah politis Jakarta.
hasilnya 351 lawan 78. UU ini berkaitan dengan kebijakan PBB diwaktu lalu terhadap Papua. Mereka mengharuskan Menteri Luar Negeri dan Departeman Luar Negeri Amerika menguji kembali UU Otonomi Khusus yang seharusnya memberikan otonomi kepada Papua, karena dinilai tidak dilaksanakan sesuai harapan rakyat Papua. Selain itu, Kongres AS menyatakan pelaksanaan Act of Free Choice (Pepera) pada Juli dan Agustus 1969 tidak sesuai dengan isi persetujuan New York yang ditandatangani Belanda dan Indonesia pada 15 Agustus 1962. Menurut persetujuan New York itu, Pepera harus dilakukan sesuai praktik-praktik internasional, yakni one man, one vote. Tetapi, dalam pelaksanaannya, menggunakan sistem DMP (sistem perwakilan). Mereka juga menilai janji-janji Otonomi Khusus tidak dipenuhi secara efektif. Bahkan yang terjadi adalah kotradiksi peraturan perundang-undangan yang berakibat pada pemekaran propinsi tanpa disetujui pemerintah setempat . UU HR 2601 itu juga memuat tentang operasioperasi militer yang dilakukan di daerah pegunungan tengah Papua yang berakibat pada kesengsaraan rakyat setempat.
Jika kita sebagai bangsa menolak intervensi Asing, seperti Amerika, sudah saatnya orang Papua diperlakukan sebagai manusia. Oleh karenanya mereka punya hak yang sama sebagai warga negara. Orang Papua juga punya keinginan untuk hidup damai merasakan kebebasan dan kecukupan ekonomi seperti warga negara Indonesia lainnya. Kalau Aceh bisa Damai kenapa Papua tidak? Mari singkirkan Ketidak jelasan ulah pemerintah pusat justru semakin pikiran-pikiran picik terhadap masyarakat Papua. membuka ruang bagi politisasi secara internasional. Hal ini Tindakan-tindakan politik masyarakat Papua harus dilihat terbukti ketika Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat sebagai hak kewarganegaraannya. Jangan melulu, mengesahkan UU Otorisasi Hubungan Luar Negeri HR 2601 “Jakarta” yang menentukan hak orang Papua. UU Otonomi untuk tahun anggaran 2006, melalui pemungutan suara yang khusus harus segera diimplementasikan.***
5
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
BICARA
Rehabilitasi Bagi Yang
Di-GAM-kan Oleh : Edwin Partogi*
P
ada Agustus 2005, Pemerintah memenuhi salah satu butir MoU Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk memberikan amnesti umum maupun individual terhadap mereka yang terlibat dalam kegiatan GAM. Sekalipun tidak disebutkan dalam MoU, pemerintah memberikan abolisi untuk meniadakan penuntutan hukum terhadap sejumlah anggota GAM. Ini adalah langkah yang tepat. Abolisi merupakan konsekuensi politik yang sulit dihindari sebagai bagian dari pengakhiran permusuhan dengan GAM yang telah berlangsung lama. Esensi dasar dari pengakhiran permusuhan melalui MoU, adalah pengampunan terhadap seluruh anggota GAM, tanpa terkecuali. Secara konstitusional, upaya penghentian proses penuntutan terhadap pelaku pidana melalui abolisi menjadi absah.
Dalam konteks perang Aceh, banyak warga sipil yang terlibat dalam kegiatan GAM kemudian menjadi korban dari kebijakan represi aparatur keamanan. Disadari atau tidak oleh pihak yang berunding di Helsinki, absennya keterwakilan masyarakat sipil berakibat tidak diperhitungkannya satu faktor penting. Faktor itu adalah fakta bahwa tidak semua mereka yang pernah dituduh dan atau diputus bersalah terlibat GAM adalah benar anggota GAM. Diantara mereka yang dipersalahkan terkait dengan GAM tersebut adalah warga biasa atau aktivis kemanusiaan. Mereka biasanya dipersalahkan dengan tuduhan “membantu” GAM. Tindakan “membantu” yang biasa dilakukan biasanya merupakan suatu tindakan yang sulit mereka hindari, karena keadaan atau panggilan kemanusiaan. Contoh, menolong anggota GAM yang sakit atau terluka.
Tindakan semacam ini telah diberikan tafsir tunggal yang sering Sementara amnesti adalah konsep penghapusan kesalahan. bersinggungan antara pilihan pengelompokan yang dibentuk Artinya, bagi mereka yang melakukan tindak pidana atau oleh mereka yang berkonflik sebagai “kawan” atau “lawan”. mereka telah diputus bersalah oleh pengadilan Tidak hanya itu, bila sial ketahuan berbincang-bincang dengan mendapatkan pemutihan dari kesalahan masa lalunya. anggota GAM. Disadari atau tidak, terlepas dari konteks Namun dalam upaya memperoleh keadilan, pemberian pembicaraannya, dapat menjadi alasan kuat untuk amnesti ini biasanya dibatasi bukan untuk diberikan kepada memasukkan siapapun kedalam penjara. pelaku pelanggaran berat HAM, genosida dan kejahatan Bila pada masa orde baru orang dapat dipidana karena perang. memiliki buku yang beraliran kiri/komunis, maka di Aceh Dalam kasus Aceh, mereka yang terlibat dalam kegiatan mereka yang memiliki buku GAM disamakan sebagai anggota GAM tidak terbatas pada mereka yang sudah pernah dari gerakan tersebut. Disini, definisi GAM mengalami dinyatakan bersalah sehingga bisa diberi amnesti individual. perluasan dan tidak terbatas mereka yang jelas-jelas anggota Tetapi juga mencakup mereka yang terlibat dalam kegiatan GAM. Hubungan kekeluargaan dan kekerabatan pun menajdi GAM yang belum pernah dihukum atau dinyatakan bagian yang tak terpisah bagi aparat keamanan untuk bersalah, sehingga diberikan amnesti umum. Sementara itu, menyatakan mereka sebagai GAM juga. Lebih dari itu, dalam
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
6
BICARA
relasi sosial tersebut penyanderaan, penahanan, dipenjarakan, bahkan kekerasan menjadi ‘sah’diberlakukanterhadap mereka. Inilah yang saya maksud dengan korban peng-GAM-an.
Praktek-praktek kriminalisasi terhadap mereka yang terkena dampak perang tidak boleh diabaikan, tapi harus diakhiri. Pengakhirannya tidak terbatas pada tindakan dimasa depan yang lebih menghormati hukum dan hak asasi manusia, namun juga dengan memulihkan nama baik korban yang selama ini terlanjur tercemar. Pemerintah tentu tidak boleh menghindar dari pemenuhan hak korban ini, bila rasa keadilan seluruh warga Aceh menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan dari upaya perdamaian. Apalagi negara telah memberi kewenangan kepada Presiden pada UUD 1945 pasal 14 ayat(1) untuk memberikan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Korban peng-GAM-an ini tentu tidak boleh menjadi bagian yang terpisah dari upaya membangun Aceh baru yang damai. Semua pihak,khususnya pemerintah, GAM dan AMM tentu sebaiknya tidak menutup mata dari penderitaan warga sipil Aceh yang selama ini mengecap hidup sebagai ‘pesakitan’. Oleh karena itu,sebenarnya pemerintah bisa saja menyertakan pemberian rehabilitasi nama baik bagi korban kriminalisasi tersebut Rehabilitasi disini adalah sebagai salah satu agenda pemulihan nama baik bagi Reintegrasi sebagaimana mereka yang dinyatakan tercantum dalam point bersalah padahal mereka tidak 3.2.5,yakni“....kompensa bersalah.Tindak si bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena penghukuman bagi mereka yang tidak bersalah ini dampak....” merupakan suatu kelaziman yang dilakukan oleh pemerintah yang represif. Tentu pemberian kompensasi bagi kalangan sipil yang terkena Dari uraian diatas maka, pemberian amnesti dan abolisi ini dampak ini bisa diperluas tidak sebatas pemenuhan kebutuhan sebaiknya diikuti juga dengan pemberian rehabilitasi nama material tetapi juga pengembalian kehormatan yang baik bagi warga sipil yang selama ini menjadi korban dari dirampas akibat stigmasi GAM selama konflik. Untuk konflik bersenjata antara TNI/POLRI dan GAM. Sebab memenuhi kebutuhan akan pemberian rehabilitasi ini rehabilitasi amat penting artinya bagi penegakan hukum pemerintah dapat memulai membuka pos khusus untuk dan pemenuhan rasa keadilan untuk seluruh warga negara menerima laporan dari masyarakat atau korban siapa saja Aceh, tanpa kecuali. Melewatkan pemberian rehabilitasi khususnya mereka yang pernah dinyatakan bersalah oleh sama saja melestarikan kejahatan yang menjadi ancaman pengadilan , karena terkait dengan GAM. Lalu diikuti dengan bagi perdamaian itu sendiri. klarifikasi (penelitian) untuk memutuskan pemberian rehabilitasi tersebut. * Kepala Bidang Operasional Badan Pekerja KontraS
Rehabilitasi amat penting artinya bagi penegakan hukum dan pemenuhan rasa keadilan untuk seluruh warga negara Aceh, tanpa kecuali. Melewatkan pemberian rehabilitasi sama saja melestarikan kejahatan yang menjadi ancaman bagi perdamaian itu sendiri.
7
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
SUARA KORBAN
Surat Buat Presiden II Bapak Presiden yang Terhormat,
S
idang kasus Munir telah memasuki tahap pembacaan jawaban jaksa penuntut umum atas eksepsi pembela terdakwa. Sejak pembacaan terdakwa, saya sangat kecewa dengan isi dakwaan tersebut, bahwa Polly dianggap dalang dari pembunuhan Munir. Bagi saya, Polly hanyalah pelaku lapangan, dimana dia berperan menghubungi Munir untuk memastikan keberangkatannya, lalu mengondisikan Munir dalam lingkaran para pelaku pembunuh lainnya didalam pesawat. Belum ada tanda-tanda bahwa para fasilitator dan otak pembunuhnya akan dijadikan tersangka, apalagi ditangkap. Padahal banyak bukti yang ditemukan oleh Tim Pencari Fakta (TPF) yang bisa dipakai untuk menangkap fasilitator bahkan otak pelaku tersebut. Misalnya bukti kepemilikan senjata Badan Intelijen Negara (BIN) oleh Pollycarpus, rekaman komunikasi Pollycarpus dengan kantor BIN, dan surat penugasan tersangka dari seorang pilot menjadi aviation security yang cacat hukum. Dan masih banyak temuan TPF yang harusnya ditindaklanjuti oleh kepolisian dan kejaksaan. Bapak Presiden, Tentu kita tidak lupa dengan tragedi pembunuhan politik ini. Sampai hari ini saya, dan masyarakat Indonesia, Photo : Itang Sanjana yang peduli pada penuntasan kasus ini tidak melihat penanganan yang profesional dan serius, khususnya dari pihak aparat penegak hukum. Sejak sidang kabinet yang mengumumkan hasil TPF Munir dikembalikan kepada Polri sebagai lembaga penyelidik dan penyidik, serta kejaksaan sebagai penuntut, bagi saya kasus ini hanya tinggal menunggu waktu untuk tenggelam dan masuk peti es. Padahal, sejak awal, ketika saya bertemu dengan Bapak, harapan tertinggi satu-satunya saya letakkan pada bapak. Sepertinya saya akan menuai kecewa. Kepala Polri menunjuk Marsudhi Hanafi sebagai ketua tim penyidik pada 20 Juli 2005 dengan 30 orang anak buah yang
didepan publik ditampilkan seolah-olah bekerja full team. Pada kenyataannya, muncul keluhan dari kepolisian sendiri bahwa tim ini tidak solid dan semakin menjadikan kasus ini berjakan terseok-seok. Apakah ini karena mereka diam-diam mengetahui pembunuh suami saya dan lebih baik diam demi keselamatan mereka sendiri? Selayaknya Presiden secepatnya tanggap apabila hal ini memang tercipta di lapangan dan mengingat reputasi kepolisian kita. Bukannya saya tidak percaya, tapi saya melihat bagaimana kerja mereka, yang saya tahu membutuhkan dukungan dari kita semua dan terutama Bapak sebagai orang nomor satu di Republik ini. Mereka juga perlu bekerja sama dengan komisi atau apapun namanya yang akan mendorong kerja mereka secara maksimal. Bapak Presiden, Keprihatinan melihat perkembangan kasus ini bagi saya bukan sematamata karena Munir adalah suami dan kawan perjuangan saya. Bukan pula karena teror dan intimidasi yang saya dan kawan-kawan terima. Lebih dari itu, sebetulnya pemerintah yang berkuasa sekarang mempunyai legitimasi politik yang demikian kuat. Maka sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengumumkan hasil temuan TPF agar dugaan impunity tidak terlegitimasi, dan menghindari tuduhan terhadap Bapak yang juga seorang mantan militer. Tidak mencemari upaya yang telah dilakukan dengan menjaga temuan TPF tersebut tentunya akan menyakinkan publik akan komitmen Bapak pada kasus ini. Kejaksaan Agung seharusnya bisa memberikan klarifikasi isi dakwaan yang tidak sesuai dengan temuan TPF. Mengapa Polly dijadikan pelaku utama dan tunggal dalam kejahatan tersebut? Padahal Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum untuk kejahatan ini adalah mantan anggota TPF. Saya melihat dan merasakan bahwa pembunuhan Munir suatu pertanda yang demikian jelas bagaimana sulitnya proses transisi
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
8
SUARA KORBAN
politik di Indonesia. Sulitnya pemerintah mengungkapkan kasus ini memberikan isyarat bahwa di Indonesia masih ada masalah yang serius. Pertama, independensi pemerintah terhadap kekuatan-kekuatan masa lalu. Kedua, independensi dan profesionalitas lembaga kepolisian. Ketiga, pengendalian terhadap lembaga intelijen. Keempat, perlindungan terhadap pembela hak asasi manusia. Kelima, yang tak kalah seriusnya, praktek peradilan terhadap berbagai bentuk kejahatan hak asasi manusia. Semuanya membuat kemungkinan pengungkapan kasus ini menjadi sangat terbatas. Namun, kita juga tidak boleh hanya diam dan menerima kemungkinan itu menjadi kenyataan. Bagi saya, sangat penting kalau kita terus-menerus mengusahakan perubahanAksi dalam bidang militerIndia dan intelijen, di Depan Kedubes serta perubahan mendasar pada sistem peradilan yang lebih fair dan independen. Juga terbangunnya sistem perlindungan terhadap human rihgts defender (pembela hak asas manusia) di seluruh pelosok Tanah Air. Ini adalah momentum yang sangat tepat bagi Bapak Presiden untuk membuktikan komitmen. Saatnya Presiden menunjukkan itikad baiknya yang penuh hati untuk mengawal dan mengusut tuntas kasus ini. Presiden harus berani mengeliminasi faktorfaktor yang dapat menghambat seluruh proses pengungkapan kasus ini. Melawan ketidakadilan bukan sebatas kata-kata, tapi harus diwujudkan dalam tindakan. Publik jelas sangat mendukung kasus ini untuk diusut tuntas. Semoga pemerintah dan penegak hukum tidak menyia-nyiakan legitimasinya. Jangan
sampai masalah ini hilang sia-sia. Sebab, jika akhirnya hanya kesia-siaan yang kita hasilkan, hal itu akan menjerumuskan bangsa ini dalam dominasi premanpreman. Saya sangat berharap para pelaku kasus ini dihukum untuk menjawab rasa keadilan kami. Mungkin ini akan memperbaiki dan memulihkan penegakan hukum dan keadilan serta memutus rantai impunitas yang selama ini merantai dan membelenggu sistem peradilan kita. Namun, temtunya luka jiwa kami tidak mungkin bisa terobati. Luka jiwa abadi sepanjang usia saya dan anak-anak kami tidak mungkin diperbaiki. Setidaknya, jika dalang pembunuhan ini terungkap, saya bisa optimis dan lega menghirup udara keadilan di negeri ini. Dan yang lebih penting, agar saya bisa menceritakan kepada kedua anak saya bahwa ada sejarah terang di negeri ini. Dan itu adalah kasus bapaknya, karena kita mempunyai presiden yang Dok Kontras mempunyai komitmen tinggi. Semoga ini bukan mimpi! Akhirnya, yakinlah racun arsenik yang dimasukkan ke dalam tubuh Munir tidak hanya dimasukkan untuk membungkam Munir. Bila pengungkapan kasus ini gagal dan pelaku bebas dari hukuman, sesungguhnya, racun arsenik itu tidak hanya membunuh Munir, tapi juga membunuh perabadan manusia di manapun berada. Suciwati, istri Almarhum Munir
Ziarah Ke Leuweng Grubug (Ibu Sumini - korban 65) Sayup-sayup bisikan meminta keadilan terdengar dari Leuweng sunyi itu. Bisikan itu tidak hanya untuk dirinya sendiri yang berada dalam kesendirian yang begitu sunyi, namun juga bagi semua kawan-kawan yang tersebar dimana-mana, hidup atau keadilan, keadilan, hanya pun mati keadilan. Bukan pembalasan oleh dan atau kebencian abadi. Hanya keadilan….
H
ari itu, 23 Juli 2005, kami ibu-ibu tua, setengah baya dan muda, bersama empat kawan-kawan bapak-bapak, yaitu Pak Setiadi, Pak Puji, Pak Dardi, Pak Giri dan pemuda Yudi, dengan carteran bis pergi ke Gunung Kidul untuk menziarahi tempat pembunuhan ratusan kawan 39 tahun yang lalu. Nama tempat itu Leuweng Grubug, agaknya dari sumber air yang kata orang, airnya langsung mengalir ke selatan, 50 km jauhnya ke Samudera Indonesia.
kilometer dari jalan ke tempat Leuweng. Tapi, aku bersikeras, apalagi karena tahu, ibu-ibu yang sebaya dengan diriku juga akan pergi. Dan, aku telah memetik semua bunga ditaman dan telah kubawa dari limo ke Yogya, untuk nantinya kutaburkan ke dalam Leuweng sebagai tanda asih dan rasa hormat kepada kawan-kawan yang telah dibunuh disitu.
Perjalanan terus berlalu hingga sampai pada jalan berkelokMula-mula Masli telah melarang aku ikut, karena akan terlalu kelok, naik lagi namun jalan ini masih beraspal mulus. capek katanya. Karena, kita masih harus berjalan empat Melewati banyak desa, keadaan jalan mulai buruk sekali
9
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
SUARA KORBAN sehingga kami harus duduk terguncang-guncang. Dikanan kiri jalan ada pohon-pohon sengon, pohon jati sebatang dua besar, tapi lebih banyak masih muda. Agaknya ditanam untuk penghijauan bukit yang sebelumnya gundul. Disanasini ada tanaman jagung dan singkong yang kurus-kurus, namun ada juga kulihat sebidang kecil tanah dengan gaplek di atasnya yang sedang dijemur. Alangkah panjangnya jalan ke Leuweng Grubug itu. Aku membayangkan bagaimana ratusan kawan-kawan dibawa kesana, dalam truk-truk mungkin sambil berdiri sepanjang perjalanan, dijaga oleh militer. Yang aku tahu empat kawan, yakni Pak Ahmad, Pak Marwan, Bung Nardi dan Bung Okhsan, diberangkatkan pada sore hari dari Benteng Nrendburg. Kuingat, hari itu sekitar jam 16.00 kami disana telah menyiapkan kepergiannya. Nama-nama yang kutahu, hanya empat orang yang diberangkatkan dari Benteng, plus Martono, Kyai Sadikun, Bung Boentoredjo Kartowinoto dan Bung Binar Purba. Selebihnya yang jumlahnya ratusan, yang bagiku hanya bernama, Kawan. Aku tidak mengetahui nama mereka. Kalau mereka semua diangkut pada sore hari, maka sesampai di Wonosari hari sudah gelap, apalagi setelah sampai di Leuweng, tempat yang menyeramkan itu. Bis berhenti di pertigaan jalan, dan kami turun menuju Leuweng tiada jalan kesana, setapakpun tidak. Kami harus melewati hutan jati muda, diantaranya baru setinggi sekitar 60 cm, semak-belukar, dan naik turunnya dideretan batu yang bertumpuk merupakan pagar rendah. Aku dituntun terus oleh nak Yudi dan mbak Dewi, ditarik tanganku oleh ibu Soemini kalau harus menaiki tumpukan batu. Begitu pula ibu-ibu yang sudah tua dan ada yang berkain panjang seperti aku. Daun-daun jati kering berkresek-kresek dibawah kaki kami. Akhirnya sampailah kami di tempat Leuweng berada. Betapa suram, dalam dan mengerikan Leuweng itu. Ada dua batang pohon besar dan tinggi melekat dari dasarnya. Ketika aku akan melongok kedalamnya, musti cepat-cepat menarikku kembali. “Awas bu, seperti ada magnetnya!”. Aku jadi ingat ibu, ketika berpuluh tahun yang lalu di Tawangmangu, beliau berdiri dekat jurang Grojogan Sewu, beliaupun seperti berlari mendekati bibir jurang itu. Pak Setiadi memberi penjelasan mengenai pembunuhan 39 tahun yang lalu. Karena aku agak tuli, aku tidak begitu jelas mendengar penjelasan tersebut. Namun kudengar kawan-kawan itu didorong dan ditendang kedalam
kegelapan Leuweng. Terdengar dengan jelas, membuat aku meremas-remas jari-jari tanganku karena geram. Aku tidak tahu bagaimana militer telah menemukan Leuweng itu. Tapi aku tak habis mengerti pikirannya, bagaimana mereka yang menganggap dirinya manusia telah mendapat ide. Ide untuk melempar ratusan sesama manusia hidup-hidup kedalamnya. Kuingat kembali, waktu dibenteng pada dinihari setelah sore sebelumnya keempat kawan diberangkatkan, ada prajuritprajurit dari Yan C yang menjaga kampung Benteng nampak duduk termenung sendirian. Ia ternyata termasuk regu yang telah mengawal kawan-kawan ke ke Gunung Kidul. Di Benteng ada kawan yang hampir tak pernah tidur, dipanggil Pariman Yenshut, ia melihat prajurit itu, menghampirinya dan aku bertanya “Ada apa Pak?.” Prajurit itu menghela napas dalam, lalu berkata dengan sedih. “Tugas yang dibebankan pada kami, sering terasa begitu berat. seperti yang telah kami alami ini.” Ia mengeleng kepalanya lambat-lambat seperti putus asa “Ya, begitu berat, namun tak bisa kami tolak. Karena itu berarti insubordinasi.”. Ia lalu menceritakan apa yang memberatkan kaki dan pikirannya kepada Parman Jenshut. Aku yakin dia tidak termasuk yang mendorong dan menendang kawan-kawan kebawah. Tidak semua militer berhati batu dan juga bertindak kejam. Prajurit itu tentu dihantui oleh adenganadengan dipinggir Leuweng yang telah disaksikannya. Setelah memberi penjelasan dan menjawab pertanyaanpertanyaan kami, Pak Setiadi mengajak kami berdoa. Mau tak mau mataku dipenuhi airmata. Mbak Siti Aisyah menangis terus, bersama Mbak Karti yang kakaknya dan kawan-kawan yang telah dibunuh disitu, kulemparkan (karena tak mungkin ditaburkan) bunga melati itu kedalam Leuweng sambil berkata dalam hati. “ Ini Dik Nardi dan semua kawan yang lain, sedikit tanda asih dari kamp,”. Sedangkan Mia menjeprat- jepret mengambil photo. Katanya, akan dibagikan pada semua ibu peserta ziarah. Sambil berjalan kembali kebis, aku memungut beberapa batu berwarna keputih-putihan yang berserakan dimana-mana untuk kenang-kenangan. Nak Yudi juga membantu membawakanya untukku. Malam itu aku ditanya oleh Mbak Muhayati, “Tidak capek bu?,” saat itu aku menjawab “Tidak. Kan aku sudah mendapat berkat di Leuweng sana.” ***
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
SUARA KORBAN
10
JEJAK KASUS SANG PEJUANG
Terdakwa Pembunuh Munir, Pollycarpus, Mulai Disidangkan Suara dari setiap nurani kebenaran yang selalu saja terjuntai oleh keadilan yang sumir. Sungguhkah harapan nurani itu akan bersenda, bergetar? Atau bahkan bergema di penjuru negeri ini.(Harapan Suciwati pada proses hukum kasus Munir).
D
ua puluh hari setelah Tim Pencari Fakta (TPF) kasus kematian aktivis Hak Asasi Manusia, Munir, menyerahkan kesimpulan dan rekomendasi hasil kerja enam bulannya kepada Presiden SBY, hingga saat ini belum juga ada kejelasan mengenai tindak lanjut penanganan pemerintah. Ketika kesimpulan dan rekomendasi TPF Munir diserahkan kepada Presiden pada 24 Juni 2005, dalam jumpa pers, Ketua TPF Munir Bridjen (Pol) Marsudi Hanafi mengemukakan, Presiden menjanjikan segera merespon dan mengolah dalam waktu singkat.
ke mayarakat luas apa yang sebenarnya terjadi di balik pembunuhan Munir maupun untuk meneruskan komitmen Presiden membongkar tuntas kejahatan ini. Sidang kabinet ini juga memutuskan bahwa penyelesaian kasus Munir diserahkan kepada mekanisme dan prosedural biasa. Dalam Keputusan Presiden Nomor III Tahun 2004 butir kesembilan jelas disebutkan, pemerintah akan mengumumkan hasil penyelidikan TPF kasus kematian Munir pada masyarakat. Semakin lama tidak diumumkan dikhawatirkan akan membuat kasus Munir tidak pernah terungkap.
Sedangkan Sekretaris “Kami percaya proses Kabinet Sudi Silalahi juga pengusutan masih terus menegaskan, Presiden dilakukan oleh jajaran POLRI segera menganalisis dan dan juga jajaran kejaksaan. mencarikan penyelesaian Akan tetapi, sulit bagi kami untuk kasus Munir dan memanggil membiarkan pengungkapan sejumlah penjabat terkait. kasus ini semata pada POLRI, Penjabat itu antara lain Jaksa Kejaksaan dan Pengadilan, Agung, Kepala Kepolisian tanpa dukungan ekstra yang luar Negara RI, Panglima TNI, biasa dari Presiden. Beban Kepala Badan Intelijen politik dalam konspirasi Negara, Menteri Hukum dan pembunuhan Munir amat tinggi Hak Asasi Manusia, serta sehingga diperlukan dukungan Menteri Koordinator Politik, nyata langsung otoritas Presiden. Doc. KontraS Hukum, dan Keamanan. Kami berpendapat, kasus ini Namum hingga kini semua akan sulit dibongkar secara rekomendasi dan kesimpulan yang diberikan TPF tetap belum tuntas bila hanya diserahkan kepada mekanisme dan ada titik kejelasanya. prosedur yang normal atau cara-cara konvensional, “ jelas Asmara Nababan, salah seorang mantan anggota TPF, Di akhir Juli 2005, KontraS sendiri mengeluarkan penyataan yang juga anggota Badan Pengurus KontraS mendesak pemerintah segera mengumumkan kepada public hasil penyelidikan TPF kasus kematian Munir. Pengumuman Untuk itu, dibutuhkan dibentuknya sebuah kelembagaan tersebut sangat penting untuk menjelaskan kepada masyarakat yang mewakili otoritas Presiden dan mampu secara luas apa yang sebenarnya terjadi di balik pembunuhan Munir. langsung memastikan tuntasnya pengungkapan kasus Munir. Bukan saja terhadap proses hukum yang berlangsung di KontraS juga menyesalkan hasil keputusan sidang Kabinet tingkat penyidikan, tapi juga hingga tingkat penuntutan pada 20 Juli 2005 yang memutuskan tidak dibentuknya sebuah maupun pemeriksaan di pengadilan. kelembagaan baru paska bubarnya TPF kasus meninggalnya Munir. Padahal, langkah ini diperlukan, baik untuk menjelaskan Selanjutnya, komposisi dari kelembagaan tersebut dapat
11
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
JEJAK KASUS SANG PEJUANG
terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat dengan kualifikasi keahlian dan intergrasi moral yang tinggi. Kelembagaan ini juga sebaiknya dilengkapi dengan kesewenang-wenangan khusus yang dapat lebih memaksimalkan proses hukum dari bayang-bayang hambatan politis. Dengan demikian, muara akhir dari pengungkapan kasus munir tidak mengalami kebuntuan.
Percepatan penyelidikan kasus Munir juga disampaikan Sekretaris Jenderal Asian Federation Againts Involuntary Disappearances (AFAD) Mary Aileen De Bacalso. AFAD mengultimatum, apabila hingga September mendatang tidak ada kemajuan, pihaknya akan membawa kasus Munir ke Pelapor Khusus PBB.
Pertanyaan Uni Eropa
Sedang dalam kesempatan yang sama, Suciwati, mengaku kecewa melihat perkembangan penanganan kematian suaminya. Ia menilai tidak ada ekmajuan yang signifikan, terutama setelah TPF Munir dibubarkan. Untuk itu, Suciwati berharap dapat bertemu dengan Presiden untuk menanyakan kembali komitmen Presiden.
Misteri meninggalnya aktivis hak asasi manusia ternyata terus menjadi perhatian inetrnasional, termasuk delegasi Parleman Uni Eropa. Dalam kunjungannya ke Komisi I DPR, Parlemen Uni Eropa-pun mempertanyakan perkembangan penyidikan kasus Munir. “Munir salah seorang aktivis HAM yang terkenal. Karena itu, menjadi salah satu kasus yang sangat diperdulikan Parlemen Eropa,” ujar Ana Maria Gomes, anggota Parlemen Eropa dari Portugal (26/7). Gomes didampingi Luisa Morgantini (Italia), Max van den Berg (Belanda), Nirj Deva (Inggris), Jurgen schroder (Jerman), dan Alessandro Battilocchio
(Italia). Rombongan diterima Ketua Komisi I Theo L Sambuarga, Wakil Ketua Komisi I Sidarto Danubroto, dan Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen Amris Hassan. Selaku juru bicara Parlemen Eropa, Gomes secara tersirat mengharapkan agar penyidikan kasus meninggalnya Munir tidak berlarut-larut dan segera diketemukan pelakunya. “Kami mendukung upaya mencari kebenaran dan menghukum siapapun yang bertanggungjawab,”ujar Gomes.
Di tempat lain, Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Sutanto menegaskan, pihaknya tetap berpedoman pada aturan hukum dalam menangani kasus pembunuhan Munir. Polri akan tetap terus menyidik meskipun menemukan keterlibatan “orang kuat”, apakah itu pejabat atau mantan pejabat. “Siapa yang berbuat tentu akan dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku. Hukum tidak melihat si A, B, atau si C. Hukum tidak melihat itu dan tidak membedakan mereka,” tegasnya dalam konferensi pers di Markas Besar Polri (29/7). Mengometari apakah ada jaminan Polri akan jalan terus jika bukti mengarah pada keterlibatan orang yang dekat dengan kekuasaan. Kembali Sutanto berujar “Insya Allah kalau bukti dan saksi-saksi kuat, pasti kami akan melangkah kesana.” Meskipun pada kesempatan tersebut, Sutanto, enggan mengungkapkan sampai sejauh mana penyidikan telah berjalan serta kendala yang dihadapi penyidik.
Komisi I DPR menjelaskan, DPR membentuk Panitia Khusus tentang kasus Munir. Sidarto menyatakan, pansus DPR terus mengamati peradilan tersebut. Menanggapi hal tersebut, Usman Hamid mulai mengkhawatirkan kelanjutan penyelesaian kasus Munir. Menurutnya, ada kecenderungan mendiamkan kasus ini. Sedang apa yang dilakukan oleh Parlemen Eropa memberi arti penting. Kasus ini bukan kasus domestik, tetapi menjadi perhatian dunia. Seharusnya pemerintah memang tidak menyianyiakan dukungan publik tersebut, tegas Usman.
Sutanto menjelaskan, Polri telah menunjuk Brigdjen (Pol) Marsudhi Hanafi sebagai Ketua Tim Penyidik. Penunjukan tersebut dilakukan karena yang bersangkutan dahulunya menjabat sebagai ketua TPF. “Sekarang yang bersangkutan ditunjuk dengan maksud supaya ada kesinambungan. Dimana hasil temuan TPF ditindaklanjuti tim sekarang ini sehingga mantan anggota TPF dapat berhubungan dengan Brigdjen Marsudhi,” kata Susanto.
Komitmen Presiden Dipertanyakan Komitmen Presiden SBY dalam mendorong terungkapnya kasus pembunuhan Munir dipertanyakan kalangan lembaga swadaya masyarakat dan juga isteri Munir, Suciwati. Meski kematian Munir sudah hampir 11 bulan, mereka menilai tidak adanya kemajuan berarti dalam penanganan kasus tersebut.
Pembunuhan Munir memasuki babak baru. Terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda, mulai diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, lantai II, ruang sidang V, (9/ 8). Sidang dipimpin ketua Majelis Hakim Cicut Sutiarso, dengan materi sidang adalah pembacaan Dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dalam agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut
Sidang Pertama Munir
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
12
JEJAK KASUS SANG PEJUANG
Umum, Pollycarpus dikenai dakwaan melanggar Pasal 340 pembunuhan berencana dan Pasal 263 KUHP tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemalsuan surat.
Dakwaan Terhadap POLLYCARPUS BUDIHARI PRIYANTO No Perkara : 1305/JKT.PST/07/2005 Kejahatan Yang Dituduhkan
:
01. Terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto baik bertindak 06. dengan pintu pesawat, terdakwa saat itu melihat Munir. secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama dengan Yeti Terdakwa menunjukan letak tempat duduk Munir di 40 G kelas Susmiarti dan Oedi Irianto (dalam berkas terpisah) pada Ekonomi. Terdakwa menawarkan tempat duduknya di Bisnis hari Senin tanggal 06 September 2004 sampai dengan Selasa Class no 3 K kepada Munir. Untuk menghilangkan kecurigaan tanggal 7 September 2004 atau setidak-tidaknya pada suatu terdakwa memberitahu kepada Bramanie Hastawati selaku waktu tertentu dalam bulan September 2004 bertempat di dalam pesawat Garuda Indonesia Airways Nomor 07. purser perihal perubahan tempat duduk. penerbangan GA-974 tujuan Jakarta-Singapura telah Brahmanie Hastawati mempersilahkan terdakwa duduk di kelas melakukan, menyuruh, melakukan atau turut melakukan premium, dan Oedi Irianto selaku pramugara menyiapkan perbuatan dengan sengaja dan direncanakan terlebih welcome drink. Terdakwa beranjak dari tempat duduknya dahulu menghilangkan jiwa orang lain yaitu jiwa korban berjalan menuju pantry dekat bar premium, pada saat di mana Munir SH.(Pasal 340 KUHP dan Jo pasal 55 (1) ke-1 KUHP) terdakwa memasukan racun arsenik dalam jumlah banyak ke 02. Terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto baik bertindak 08. dalam minuman orange juice. secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama dengan Yeti Susmiarti, sebagai pramugari mengambil dua gelas berisi Ramelgia Anwar dan Rohanil Aini (dalam berkas terpisah) wine dan dua gelas orange juice yang telah dimasukan racun pada hari Senin tanggal 6 September 2004 bertempat di arsen, dan diatur dalam nampan secara selang-seling masingkantor PT. Garuda Indonesia Airways Bandara Sukarno masing dua gelas di depan berisi wine dan orange juice, serta Hatta Cenngkareng telah melakukan, menyuruh melakukan dua gelas dibelakang dengan komposisi yang sama. Lalu atau turut melakukan perbuatan dengan sengaja memakai ditawarkan kepada saksi Lie Khien Ngian, warga negara surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, dan Belanda terlebih dahulu yang duduk di sebelah Munir. Saksi pemakain surat itu menimbulkan kerugian. (Pasal 263 Lie mengambil wine. Yeti dan Oedi tahu Lie Khie Ngian pasti ayat (2) KUHP jo pasal 55 (1) ke-1 KUHP) akan memilih wine dan Munir akan mengambil orange juice, Alur Alur Kejahatan : 09. karena Munir tidak minum alkohol. Kejahatan : Munir tanpa curiga mengambil orange juice yang disajikan 01. Memonitor kegiatan Munir, SH baik secara langsung paling depan. maupun tidak langsung, hingga mengetahui rencana korban akan berangkat ke Belanda Peran Polycarpus : Merencanakan pembunuhan terhadap Munir, dengan melakukan monitoring dan kepastian keberangkatan Munir, 02. Pada 4 September 2004, terdakwa memastikan mengatur strategi pembunuhan, mengganti tempat duduk Munir keberangkatan Munir dengan cara menelepon ke HP Munir, dan memasukkan racun arsen ke dalam minuman orange juice. saat itu yang menerima adalah Suciwati isteri Munir. Barang bukti terdiri dari kaos lengan pendek warna abu-abu dan 03. Meminta perubahan tugas penerbangan sebagai extra biru, celana panjang jeans warna hitam, kaos kaki warna biru dan crew, sedangkan jadwal tugasnya pada tanggal 5 celana dalam warna coklat. Satu buah kaos lengan pendek warna September 2004 - 9 September 2004 dan semestinya abu-abu dan biru, satu buah celana panjang jeans warna hitam berangkat ke Peking (China). positif mengadung arsen. (Semua barang bukti tersebut milik almarhum Munir). 04. Kemudian dirubah menjadi tanggal 6 September 2004 ke Singapura, dibuat oleh Ramelgia Anwar (terdakwa lain atas Majelis Hakim (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat), terdiri dari tuduhan pemalsuan surat) selaku Vice President. Cicut Sutiarso (Hakim Ketua) dan Hakim Anggota, yaitu Sugito, Pada 6 September 2004 terdakwa terbang ke Singapura Lileik Mulyadi, Agus Subroto dan Ridwan Mansur dengan nomor penerbangan GA-974, pesawat yang Jaksa Penuntut Umum berjumlah delapan orang terdiri dari ditumpangi Munir. 05. Setelah melakukan check in, terdakwa menuju pesawat melalui koridor yang menghubungkan ruang tunggu
13
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
Domu, P Sihite, SH. MH, selaku ketua tim JPU serta Suroto dan Edi Saputra serta lima anggota JPU lainnya. Pengacara berjumlah sepuluh orang, diantaranya oleh Soehardi Soemomulyono dan Mohammad Assegaf.
JEJAK KASUS SANG PEJUANG
Situasi Sidang
mengajak masyarakat lainnya, mengingat bahwa hari Selasa merupakan hari dibunuhnya Munir. Selain itu, menggunakan
Persidangan kasus pembunuhan Munir dengan terdakwa Pollycarpus dihadiri oleh sekitar 500-an orang yang khusus datang untuk melihat dan mengikuti persidangan pertama ini. Para hadirin yang datang berasal dari berbagai latar kepentingan, tetapi mayoritas merupakan para anggota masyarakat yang mendukung penuntasan kasus Munir. Bersama dengan Suciwati (Istri Alm. Munir), KontraS, UPC, Imparsial, FPPI, SKP-HAM serta sejumlah keluarga korban dari berbagai kasus pelanggaran HAM seperti Penculikan dan penghilangan orang secara paksa 1998, Semanggi I (1998), Semanggi II (1999), kerusuhan Mei 1998, Tanjung Priok dan penggusuran di berbagai daerah di Jakarta tampak menyimak jalannya persidangan. Hadir pula beberapa sekitar 40-60 wartawan cetak dan elektronik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Situasi Sidang Kasus Munir, Suciwati selalu menghadirinya Persidangan yang menyedot banyak perhatian publik ini tampak dikawal oleh sejumlah aparat keamanan dari Kepolisian RI yang berjaga di depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, di dalam ruang sidang dan di depan/pintu masuk ruang sidang. Pada persidangan pertama ini, Suciwati, isteri korban (Almarhum Munir), mengatakan “semoga ini tidak menjadi persidangan sandiwara dan semoga sidang ini dapat membuka siapa pihak-pihak dibalik pembunuhan”. Sidang dibuka Hakim ketua Cicut Sutiarso dan langsung mempersilahkan JPU membacakan dakwaan. Surat Dakwaan dibacakan oleh ketua JPU Domu P Sihite, SH, MH. Surat dakwaan setebal 8 halaman tersebut dibacakan sekitar 20 menit dan ditandatangani oleh ketua JPU (Domu P. Sihute, SH. MH, Jaksa Utama Pratama NIP. 230016855) tertanggal 27 Juli 2005.
motor juga bagian dari upaya mengenang Munir yang identik dengan “Motor” dalam mobiltas sehari-hari. Dakwaan Meragukan Menanggapi dakwaan JPU terhadap Pollycarpus, Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) menyatakan bahwa dakwaan tersebut tidak menggambarkan konspirasi pembunuhan seperti ditemukan oleh TPF kasus meninggalnya Munir. Lebih lanjut, KASUM juga melihat bahwa dakwan JPU mengarahkan pembunuhan berencana atas nama terdakwa Polly menjadi pembunuhan yang bersifat tunggal. Bukan menggambarkan bangunan konspirasi atau pemufakatan jahat seperti yang ditemukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir.
Setelah selesainya acara persidangan, dengan segera terdakwa diamankan oleh aparat kepolisian dan langsung menuju mobil tahanan kejaksaan. Sementara diluar sejumlah anggota masyarakat melakukan aksi dan berorasi. Salah satu spanduknya bertuliskan “Ungkap dalangnya, we don’t need a scapegoat!”.
Padahal, bangunan konspirasi amat penting untuk menunjukkan sifat perencanaan yang luar biasa. Antara lain bisa dilihat dari pilihan jenis racun, dan lokasi pembunuhan. Kematian karena racun arsenikum hanya bisa diketahui dengan otopsi, karena dokter dengan fasilitas medis yang terbatas akan melihatnya sebagai penyakit umum seperti mual, dan diare. Sementara pilihan lokasi diatas pesawat, ditujukan untuk mencegah korban mendapat pertolongan yang memadai.
Selanjutnya, sejumlah aktifis KontraS dan beberapa korban pelanggaran HAM melakukan pawai bersama menggunakan motor menuju Istana Negara dan Bundaran HI dan membagi-bagikan sticker Munir. Hal ini merupakan kegiatan rutin yang akan terus dilakukan KontraS dengan
Selanjutnya, dakwaan JPU juga mengenyampingkan faktafakata seputar dugaan keterlibatan pihak-pihak tertentu di lingkungan manajemen Garuda dan Badan Intelijen Negara (BIN). Dakwaan justru lebih mengarah pada pelaku lapangan yang belum tentu memiliki kepentingan langsung untuk
Aksi Motor untuk Munir
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
14
JEJAK KASUS SANG PEJUANG
mengakhiri hidup Munir. Akhirnya, sulit untuk menyakini konspirasi ini terbatas pada peran terdakwa Polly bersamasama dengan tersangka Yeti Susmiarti dan tersangka Oedi irianto. Begitu juga peran Rameldia Anwar dan Rohainil Aini dalam pemalsuan surat.
dakwaan jaksa penuntut umum tak lengkap, tak cermat, dan prematur. Maka majelis hakim diminta menyatakan surat dakwaan batal demi hukum.
Mereka membacakan eksepsi (tangkisan) setebal 30 halaman secara bergantian. Menurut Assegaf, salah satu Karenanya, KASUM memandang, karakter dakwaan JPU pengacara terdakwa, surat dakwaan “lebih banyak mengikuti pola yang terjadi pada kasus penculikan aktifis oleh didasarkan atas imajinasi dan spekualsi sehingga terkesan Tim Mawar kopassus, yang diadili oleh Mahkamah Militer pada mengada-ada.” Dakwaan pun dianggap ganjil dan kabur. tahun 1998. Dalih membunuh karena alasan menegakkan NKRI dan karena kritik Munir terhadap program pemerintah Tim pengacara juga mempertanyakan atribut kliennya sangat tidak cukup. Tidak terkecuali pengetahuan seluk-beluk sebagai aktivis Negara Kesatuan Republik Indonesia administrasi penerbangan Garuda dan akses terhadapnya. dalam surat dakwaan. Atribut itu dinilai karangan untuk Atas kondisi inilah, KASUM meminta penyidik Polri untuk menjadikan kliennya terdakwa tunggal dengan dalih : tak melengkapi bukti yang lebih kuat bagi dakwaan JPU dalam senang dengan kegiatan Munir sehingga mendorongnya proses persidangan berikutnya. Kasum juga meminta JPU untuk untuk membunuh. tidak mengenyampingkan fakta-fakta yang dihimpun penyidik dan TPF. JPU harus mampu mengembangkan dakwaannya Diakhir pembacaan eksepsinya, tim meminta majelis hakim demi mengungkap pembunuhan dan aktor utama pembunuh menyatakan dakwaan batal demi hukum, membebaskan terdakwa dari segala dakwaan, memerintahkan jaksa Munir sehingga motifnya ditemukan secara pasti. melepaskan terdakwa dari tahanan, serta membebankan ongkos perkara kepada negara. Majelis menskor sidang Tersangka Baru satu pekan untuk memberi kesempatan jaksa penuntut menanggapi eksepsi. Sementara itu, dalam pengembangan lain, penyidik Polri menahan Ery Buyamin (38), seorang pengacara yang berada Sementara itu, pada pertengahan Agustus, Polda Metro dalam satu pesawat dengan Munir dalam penerbangan Jakarta- Jaya menentapkan usman Hamid dan Rachland Nashidik Amsterdam. Ery ditahan di Markas Besar Kepolisian negara sebagai tersangka pencemaran nama baik A.M. RI berkaitan dengan sangkaan membuat surat palsu atau Hendropriyono, bekas Kepala BIN. Menurut Direktur memalsukan surat palsu atau melanggar Passal 263 KUHP. Kriminal Umum Komisaris Besar Suhardi Alius, kasus itu Ery adalah penumpang kelas bisnis ke-15 di pesawat Garuda sudah dilaporkan pada 29 Mei 2005. yang ditumpangi Munir, setelah dilakukan pendataan terhadap semua penumpang terdapat keanehan pada data Ery. “Masih Tanggapan atas Eksepsi Terdakwa terlalu dini jika dikatakan penahanan Ery Pada sidang ketiga ini, disebabkan keterkaitan Jaksa Penuntut Umum, langsung dengan kasus Domu F.Sihite, menolak pembunuhan Munir,” kata menanggapi nota Wakil kepala Divisi keberatan atau eksepsi Humas Mabes Polri yang diajukan tim Bridjen Soenarko D penasehat hukum Ardhanto. Pollycarpus yang terlalu banyak berisi opini. Eksepsi Penasehat Hukum Terdakwa Menurut Domu, opini dalam eksepsi itu tidak Tim pengacara mempunyai nilai yuridis Pollycarpus, dalam untuk dibahas dalam eksepsinya di sidang perkara ini. Nota kedua menyatakan, Sidang Munir di PN - Jakarta Pusat keberatan terkesan
15
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
JEJAK KASUS SANG PEJUANG
menciptakan opini untuk mempengaruhi proses persidangan dan di luar lingkup meteri eksepsi. Karena itu, Jaksa Penuntut Umum meminta majelis hakim yang menolak eksepsi yang diajukan. Putusan Sela Mejelis hakim pada putusan selanya, diakhir Agustus (30/ 8), menolak eksepsi tim penasehat hukum terdakwa. Majelis hakim menilai eksepsi tersebut tidak memiliki dasar hukum. Majelis hakim juga memerintahkan agar sidang dilanjutkan dengan mendengarkan kesaksian keluarga korban. Jaksa diminta menghadirkan lima saksi, yaitu Suciwati, Indra Setiawan, Ramelia Anwar, Rohainil Aini, dan Fauziah, pada sidang berikutnya, Selasa (6/9). Ketua Majelis hakim Cicut menyatakan, seluruh nota keberatan yang diajukan oleh tim penasehat hukum tidak dapat diterima. Eksepsi yang menyatakan bahwa dakwaan jaksa kabur, tidak jelas, tidak lengkap, dan prematur dipatahkan majelis hakim. Mejelis hakim berpendapat sebaliknya, dakwaan jaksa terhadap Pollycarpus sudah jelas, lengkap, dan memenuhi persyaratan. “Uraian dakwaan telah disusun secara lengkap dan jelas. Mengenai tempus dan locus delicti (waktu dan tempat), serta uraian
tentang cara-cara yang dipergunakan terdakwa juga diuraikan terdakwa, telah diuraikan dalam surat dakwaan,” kata Majelis hakim. Menangapi putusan tersebut, anggota tim penasehat hukum Pollycarpus, Mohammad Assegraf, menyatakan banding. Dia tetap berpendapat bahwa dakwaan kabur. Disebutkan dalam dakwaan bahwa Polly bukan pelaku utama. Polly hanya pelaku pembantu. “Kalau diadili, seharusnya dalangnya dulu dan bukan pembantunya,”ujar Asegaf. Mengamati jalannya persidangan yang sudah digelar empat kali ini, beberapa LSM dan keluarga korban pelanggaran HAM menyatakan bahwa pembunuhan yang terencana dan sistematis apalagi dengan dalih untuk membungkam ekspresi tetaplah merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Untuk itu, seharusnya, meski dengan segala keterbatasannya, persidangan ini dapat mampu membuka siapa sebenarnya dalang dari pembunuh Munir serta upaya konspirasinya. Untuk itu diharapkan pula, agar Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum dapat menjalankan pengadilan yang transparan, adil, inovatif serta mendasarkan diri pada prinsipprinsip independency judiciary dalam ranah HAM. ***
Tahukah Anda ??? Bahwa, di negeri kita telah terjadi peristiwa-peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dimana para pelaku dan pihak yang bertanggungjawab belum dibuat jera. Berbagai peristiwa itu antara lain : 1
Peristiwa Pembantaian Tahun, 65 (1965-1971). Jumlah korban antara 800 ratus ribu sampai dengan 3 juta orang meninggal, dan ribuan bahkan jutaan orang ditahan selama puluhan tahun tanpa proses peradilan. 2 Peristiwa Tanjung Priuk (1984). Jumlah korban 20 orang meninggal, 98 orang luka, 10 orang hilang, dan 96 orang ditahan. 3 Peristiwa Talangsari, Lampung (1987). Jumlah korban 550 orang meninggal, 218 orang hilang, dan 35 orang ditahan. 4 Peristiwa 27 Juli (1996). Sejumlah orang meninggal, hilang, dan ditahan. 5 Peristiwa Penculikan Aktivis Pro-Demokrasi (1998). Jumlah korban, 9 orang dikembalikan masih hidup, dan 14 orang hilang. 6 Peristiwa Trisakti 912 Mei 19980. Jumlah Korban empat mahasiswa meninggal, dan 27 orang luka. 7 Peristiwa Mei,98 (13-15 Mei 1998). Jumlah korban 1.217 orang meninggal, dan 91 orang luka. 8 Peristiwa Semanggi I (13 November 1999). Jumlah korban enam orang mahasiswa dan sebelas warga masyarakat meninggal dunia, serta 456 orang luka-luka. 9 Peristiwa Semanggi II (24 September 1999). Jumlah korban satu orang mahsiswa dan tujuh orang warga masyarakat meninggal,serta 223 orang luka. 10 Peristiwa Pembunuhan Munir (7 September 2004). Masih banyak peristiwa lain, seperti pembunuhan terhadap Marsinah, Udin, dan sebagainya. Mohon doa dan dukungan anda, agar demi keadilan, berbagai kasus pelanggaran HAM itu diselesaikan melalui pengadilan HAM. Terimakasih. Jakarta, Medio Agustus 2005 Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK)
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
16
BERITA DAERAH
Intimidasi Tak Henti Bagi Korban 65 Sidang pengadilan Stigma G30S/PKI selain ditunda beberapa kali, selalu diwarnai unjuk rasa dan aksi menolak sidang untuk dilanjutkan. Para korban stigma ini ternyata harus terus menanggung stigma itu seumur hidupnya Meski mereka telah membayar semua itu sepanjang hidupnya.
C
atatan sejarah menunjukkan, tragedi 65 telah menyebabkan jutaan orang meninggal dibunuh dan ribuan orang lainnya ditahan secara sewenang-wenang, tanpa proses hukum. Puluhan tahun korban dan keluarga korban hidup dalam stigma sebagai warga negara kelas dua, dan mendapati berbagai diskriminasi yang tersistematis. Setelah penguasa rezim orde baru turun tahta, tampaknya keadilan masih sangat jauh dijangkau.
maka jelas telah terjadi diskriminasi dan pelanggaran HAM. Tujuh Kelompok Perjalanan panjang dari perjuangan kasus ini telah dimulai setahun yang lalu. Dari pengumpulan data tersebut, berhasil dihimpun 20 juta orang korban. Karena jumlah korban yang begitu besar, dan tidak mungkin diajukan satu persatu, maka mekanisme hukum yang diajukan adalah gugatan perwakilan kelompok atau yang lebih dikenal ‘class action’. Pada akhirnya korban sepakat untuk mengajukan gugatan ganti kerugian atas tindakan diskriminasi yang dialaminya, yang didalamnya juga menyangkut pemulihan nama baik.
Nyatanya, lengsernya sang penguasa Soeharto, dilanjutkan kepemimpinan Habibie, Gus Dur, Megawati hingga pemerintahanan SBY, kasus 65 seakan tetap terpetieskan dan korban tetap terabaikan. Atas dalih agar tidak terjadi perang saudara, atau itu merupakan bagian dari perjalanan bangsa, peristiwa kelam ini seakan ingin dilupakan. Bahkan seakan ingin dikubur hidup-hidup untuk selamanya. Kebijakan yang dibuat Gus Dur dengan mencabut beberapa aturan yang Pada akhirnya gugatan class action tersebut diwakili oleh mendiskriminasi korban 65 belum mampu menjawab rasa 16 orang yang terbagi dalam tujuh kelompok, yaitu mereka keadilan yang bertahun-tahun diperjuangkan korban. yang dipaksa mengundurkan diri atau berhenti kerja, mereka yang belum mendapatkan pensiun PNS/TNI/ Berangkat hal tersebut, korban 65 di hampir seluruh wilayah Polri, mereka yang menjadi korban penelitian khusus dan Indonesia mengajukan gugatan Class Action Korban Stigma G30S/PKI kepada Presiden dan mantan Presiden RI, dengan tidak bersih lingkungan atau dengan tuduhan terlibat PKI. didampingi oleh kuasa hukumnya dari LBH Jakarta. Gugatan Selain itu kelompok lainnya adalah mereka yang dicabut yang diajukan merupakan gugatan stigma, yang bukan hanya tunjangan veteran dan jasa-jasa kepahlawanannya, mereka diperuntukkan bagi korban 65. Perjalanan sejarah juga yang dikeluarkan dari sekolah mencatat, bahwa stigma PKI dan tidak dapat melanjutkan selalu diberikan untuk jenjang pendidikan lebih tinggi, siapapun yang berpikir kritis, mereka yang dirampas tanah dan demi sebuah perubahan di bangunannya dan terakhir, mereka negara ini. yang dihambat kreasi seni d a n Gugatan kelompok itu sendiri dihambat untuk merupakan upaya untuk mempublikasikan hasil menggugat hak individu dari pemikirannya. para korban Secara kons titusional, hak para korban ini diakui dalam UUD 45. Maka Majelis Hakin yang diketuai oleh ketika mereka dianggap tidak Cicut Sutiarso dimulai pada 13 layak hidup di negeri ini, April 2005 di Pengadilan Negeri dianggap tidak layak diberi Jakarta Pusat. Selanjutnya, kesamaan untuk dapat Doc. KontraS sejumlah penundaan persidangan berhubungan dengan masyarakat dan pemerintahan Suasana Persidangan di PN Jakarta Pusat dilakukan. Selain itu, persidangan
17
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
BERITA DAERAH
diwarnai intimidasi terhadap korban dan pengacara BERITA DAERAH terdakwa. Pada sidang tanggal 3 Agustus 2005, sekitar 300 orang yang tergabung dalam (Front Pembela Islam) FPI, Pelajar Islam Indonesia (PII), Pergerakan untuk tanah air (Pintar), Brigade Hisbullah, dan lainnya menggelar unjuk rasa menentang hidupnya kembali PKI. Saat persidangan para demontras memaksa masuk ke dalam lokasi PN Jakarta Pusat. Bahkan puluhan perwakilan ormas tersebut ikut masuk kedalam ruang persidangan. Mereka juga sempat mengejar para pengacara para eks tapol/napol dari LBH Jakarta. Aksi juga sempat membakar bendera PKI berwarna merah bergambar palu dan arit.
jelas. Stigma sebagai anggota PKI melekat kuat sampai ke anak cucu mereka. Bahkan, banyak dari mereka datang dari kota-kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Balikpapan.
Mereka hanya ingin hidup sama sebagai warga negara lain. Mereka telah “diadili” dihukum, dibuang, bahkan dibunuh. Selama itu, anak, cucu mereka yang tak pernah mengenal apapun harus menanggung semuanya. Dikucilkan dan dicap sebagai pengkhianat negara. Namun, ketika kini mereka ingin mencari keadilan itu, meraka kembali diteror, diintimidasi, bahkan kembali menerima perlakuan sebagai Sedang disisi lain, puluhan orang lelaki, perempuan yang “manusia yang dibuang”.Keadilan bagi mereka tetap telah berusia lanjut, yang hadir sebagai penggugat adalah terlalu jauh untuk diperjuangkan dan diraih. Bahkan, mereka yang pernah dibuang di Pulau Buru atau setelah hukuman-hukuman yang ada telah mereka Nusakambangan selama belasan tahun tanpa alasan yang jalani***
Perguruan Rakyat Merdeka Nyanyian Merah Mengenang Sobat Munir Sebuah CD berisi sejumlah lagulagu yang khusus diciptakan dan didedikasikan pada teman, sahabat, guru tercinta, Munir. Sebuah lagu yang menyuarakan tentang langkah perjuangannya, mengenal Munir lebih dekat, kesedihan yang mendalam akan kematiannya, ketika Berita Duka itu harus kita terima dan sebuah lagu yang “membakar” kita untuk terus berjuang, dalam Rakyat Bersatu, karena kita harus yakin, Kita Pasti Menang. Berjuang meneruskan cita-citanya dalam kebenaran dan keadilan. Sebuah kumpulan CD kumpulan lagu-lagu Nyanyian Merah Yang wajib kita miliki Dapatkan segera di Kontras Jalan Borobudur No.14 Jakarta
Persediaan terbatas!!! Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
18
BERITA DAERAH
Bom Kembali Menguncang Ambon, Delapan Orang Terluka Belum lagi Investigasi kerusuhan Ambon 1999 diumumkan pada publik, sebuah bom kembali meledak di Ambon. Entah apa dan mengapa, nyatanya, masyarakat Ambon masih tetap harus merasakan suasana mencekam pasca kerusuhan yang terjadi tujuh tahun lalu. Sedang aparat keamanan tetap tak mampu mengamankan wilayah ini. Untuk mencegah terulangnya peledakan bom, polisi kembali mengaktifkan penyisiran di jalanan. ebuah bom meledak di jalan masuk menuju Terminal bagian badan, wajah dan kaki akibat terkena serpihan Mardika, Ambon, Kamis (25/8), sekitar pukul 14.30 bom. WIT. Ledakan bom berasal dari dua kardus yang diletakkan di sebuah becak di depan salah satu kios, di pintu Pelaku Ditangkap masuk Terminal Mardika dari arah Hotel Ambon Manise. Sementara itu, sehari setelah peristiwa ledakan bom diatas, Kepala Kepolisian Resor Ambon dan Pulau-Pulau Lease Ajun polisi berhasil menangkap salah seorang pelaku peledakan Komisaris Besar Leonidas Braksan mengatakan, meski bom tersebut, yaitu Kasim Lamani (18 thn), warga Desa ledakan itu cukup kuat dan kerusakan yang ditimbulkan cukup Ketapang, Kabupaten Seram Bagian Barat, yang sehariparah, pihaknya belum dapat memastikan jenis bom terkait. hari berjualan di sekitar pasar di depan Hotel Amans, Namun, Braksan mengatakan kemungkinan bom berasal dari Mardika, Ambon. Selang dua hari berikutnya polisi jenis bom bakar karena bau belerang yang tercium berhasil menangkap lima orang lagi sebagai pengembangan menunjukkan bom sudah terbakar. Braksan juga menjelaskan penyidikan kasus bom tersebut. Kelima orang tersebut motif ledakan diduga sama dengan kasus-kasus ledakan lainnya adalah warga Dusun Ketapang, Desa Lokki, Piru, Seram yang terjadi di tempat keramaian, yakni untuk memprovokai Bagian Barat. massa. Pada saat terjadi ledakan, pemerintah daerah Maluku Akibat ledakan tersebut, dua mobil angkutan umum dan dua tengah bertandang ke Istana Wakil Presiden Jusuf Kalla sepeda motor yang berada di dekat sumber ledakan rusak dan menanyakan hasil investigasi Tim Independen Nasional cukup parah. Becak yang digunakan untuk mengangkut kardus yang mengusut penyebab kerusuhan di Propinsi Maluku berisi bom tersebut hancur hingga hanya tersisa rangkanya. pada 1999. Menurut Gubernur Maluku Karel Albert Ledakan ini mengakibatkan delapan orang yang berada di Ralahalu, hingga saat ini hasil investigasi tim belum juga sekitar lokasi terluka.para korban umumnya terluka pada diumumkan pemerintah kepada publik.***
S
“ Hari ini kutuntut apa yang selayaknya kudapatkan, yang sesuai dengan butir keringat yang tercurah dari tubuhku pun tuk itu harus kutukar dengan selembar nyawaku “ ( Marsinah ) “ Janganlah takut menegakan hukum dan jangan takut mati demi menegakkan hukum “ ( Baharudin Lopa ) 19
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
BERITA DAERAH
Petrus Terus Meminta Korban Delapan tahun lebih peristiwa Konflik Poso terjadi, namun situasi keamanan tak jua datang. Sang penembak misterius masih terus gentayangan. Meski operasi Sintuwu Maroso diperpanjang, korban masih terus berjatuhan. Bukti lemahnya aparat keamanan ataukah memang ini sesuai skenario?
K
embali penembakan terhadap warga sipil terjadi di Poso. Budiyanto (3/8) dan Sarlito (4/8), keduanya warga Kelurahan Gebang Rejo, Poso Kota. Peristiwa tersebut terjadi hanya dalam kurun waktu delapan jam. Penembakan kedua terjadi kurang lebih 100 meter dari penembakan pertama, dimana persitiwa penembakan misterius ini terjadi dalam jarak 500 m dari PolresPoso.
Penembakan Misterius (Petrus) ini adalah peristiwa pertama sejak operasi Sintuwu Maroso VII di perpanjang pada Juli lalu. Namun teryata Petrus terus berulang sejak konflik Poso hingga saat ini. Setidaknya dalam catatan KontraS telah terjadi Petrus sebanyak 26 peristiwa (26 korban), sejak tahun 2003 sampai dengan peristiwa yang terkahir. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tidak ada korelasi signifikan antara operasi Sintuwu Maroso dengan pengakhiran tindak kekerasan disana. Padahal Poso adalah wilayah yang tidak begitu luas dibandingkan daerah konflik lain. Tidak pernah terungkapnya secara jelas pelaku dan motif dari Petrus maupun pengeboman selama ini dapat menimbulkan pertanyaan di masyarakat akan peran TNI/Polri dan intelijen selama ini dalam
menjalankan operasi Sintuwu Maroso. Fakta ini tentu akan semakin merendahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sendiri. KontraS menilai bahwa pemerintah belum menunjukkan upaya serius dalam pengakhiran kekerasan di Poso. Pemerintah masih mengandalkan pola lama yang menitikberatkan penyelesaian dengan model pengerahan pasukan dan perpanjangan operasi. Negara tidak pernah secara sungguh-sungguh melakukan evaluasi terhadap efektifitas dari kebijakan itu serta memastikan tidak adanya keterlibatan aparat di lapangan yang malah memperkeruh keadaan. Oleh karena itu KontraS mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja aparat keamanannya termasuk intelijen dilapangan. Pemerintah juga harus jujur mengevaluasi efektivitas dari pelaksanaan operasi Sintuwu Maroso selama ini, yang tidak menunjukkan berubahnya situasi keamanan. Selain itu, segala tindak pelanggaran serta penyimpangan yang dilakukan aparat keamanan dan pemerintah daerah setempat harus diselesaikan secara hukum. Pemerintah dan Komnas HAM juga harus pro aktif untuk melakukan penyelidikan atas kasus-kasus kekerasan yang selama ini terjadi di Poso dan menghukum dalang dibalik segala tindak kekerasan ini.***
Doc. KontraS
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
20
BERITA DAERAH
Komnas HAM Bentuk Tim Pemantau Ahmadiyah Komnas HAM BentukKasus Tim Pemantau Kasus Ahmadiyah Pelanggaran terhadap hak asasi manusia terjadi lagi. Kini, giliran jemaat Ahmadiyah yang mengalami segala bentuk teror, intimidasi bahkan kekerasan. Sebuah jalan kekerasan kembali dilakukan untuk menyelesaikan perbedaan dan salah paham.
K
omisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai ada indikasi pelanggaran HAM dalam kasus penyerangan kampus Al Mubarok di Parung, Bogor, milik jemaat Ahmadiyah pertengahan Juni lalu. Saat itu ribuan orang beratribut Front Pembela Islam (FPI) dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Islam (LPPI) mengepung Kampus, saat diadakannya pertemuan tahunan (Jalsah Salamah) Jemaah Ahmadiyah Indonesia. Berangkat dari kejadian tersebut, Komnas HAM akan melakukan penyelidikan lanjutan untuk mengungkap kasus penyerangan itu. Ketua Sub Tim Peristiwa Ahmadiyah Komnas HAM, MM Billah mengatakan bahwa aksi kekerasan pada 6 dan 15 Juli 2005 lalu telah menimbulkan rasa tidak aman. Menurut Billah, aksi ini merupakan indikasi adanya pelanggaran hak asasi. Tim yang dibentuk oleh Komnas HAM telah malakukan pemantauan ke kampus Mubarak (22/7). Dari hasil pemantauan tersebut, Komnas HAM melihat bahwa ada sejumlah pelanggaran atas hak milik, hak untuk bebas berserikat, berkumpul dan berorganisasi, serta hak kebebasan pribadi. Bahkan, Komnas HAM juga menilai adanya suatu pembiaran (act by ommision) dari aparat keamanan saat aksi penyerangan itu berlangsung. Hal itu jelas terlihat saat kunjungan anggota tim Komnas HAM ke tempat kejadian.
Komnas HAM berencana untuk melanjutkan penyelidikan. Komnas HAM berencana akan memeriksa sejumlah saksi, termasuk orang-orang yang melakukan penyerangan. “Pemeriksaan juga akan kami lakukan kepada pihak kepolisian, satuan polisi Pamong Praja, pemerintah daerah setempat, pejabat Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pihak Depertemen Agama,” ungkap Billah. Billah juga menegaskan kalau jemaah Ahmadiayah Indonesia merupakan suatu organisasi berbadan hukum. Oleh karena itu, pembubaran organisasi itu harus melalui pengadilan dan bukan kewenangan pejabat atau melalui aksi kekerasan massa. Tidak Perlu dimusuhi Sementara itu mantan Ketua MPR Amien Rais yang juga Mantan Ketua PP Muhammadiyah menyatakan Ahmadiyah sudah ada di Indonesia sejak ia masih kecil, baik versi Canadi maupun Lahore. Karenanya, ia mengaku heran mengapa terjadi peristiwa pengrusakan kantor dan kampus Ahmadiyah serta menganggap perusakan itu sebagai tindakan kriminal. “Peristiwa ini masih misteri, karena sebelumnya tidak pernah ada masalah dengan Ahmadyah, namun mengapa saat ini muncul tindak anti Ahmadiyah,” tegas Amien.
“Ketika kami berkunjung, kampus Al Mubarok telah dilengkapi police line namun masih bisa dimasuki oleh kelompok Habib Abdurrahman Assegaf. Polisi tidak berusaha mencegah mereka bahkan terlihat mempersilakan orang-orang Di sisi lain, Amien Rais juga mengingatkan cara-cara itu untuk masuk,” ujar Billah, seperti dikatakan dalam sebuah anarki lewat cara perusakan kantor, kampus termasuk media. mushola Ahmadiyah tidak dapat dibenarkan. Karena menurut, Amien, Al-Quran menyebutkan tidak ada Selain itu, Komnas HAM juga menemukan aset dan paksaan dalam beragama. Amin juga meminta MUI agar beberapa bangunan dalam kampus. umah milik jemaah membuat formulasi fatwa yang lebih santun, dan sering dibakar, bahkan ada yang melapor kalau rumah mereka mengadakan dialog agar tidak terjadi salah paham dijarah. Selain melihat adanya indikasi pelanggaran HAM itu, sekaligus klarifikasi soal Ahmadiyah.***
21
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
BERITA DAERAH
Uji Coba TPST Bojong Terus Berlanjut Ditengah Penolakan Warga Pada tanggal 22 November 2004 telah terjadi penolakan oleh masyarakat yang terdiri dari warga sekitar Bojong, Situsari, Ciuncal, Ciupecang, Singasari dan Mampir terhadap adanya uji coba Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bojong. Namun, aksi ini malah dijawab brutalitas polisi dengan menembak 6 orang warga, melakukan kekerasan dan penahanan secara sewenang terhadap 35 orang warga lainnya, yang menolak uji coba TPST.
N
yatanya, rencana uji coba pengoperasian tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) di desa Bojong, Kecamatan Klapanunggal, kabupaten Bogor, tetap akan dilaksanakan (28/7), meskipun pada akhirnya rencana tersebut gagal. Namun kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah Propinsi DKI Jakarta b e r s a m a Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor dan PT Wira Guna Sejahtera (WGS) masih bertekad melanjutkan proyek itu.
dokumen Negara dan sudah menjadi keputusan politik DPR yang harus dihormati,”ujar Trimedya.
Tim TPST DPR ini dibentuk atas keputusan pemimpin DPR yang keanggotaannya terdiri dari unsur Komisi Pemerintahan, Komisi Hukum, dan Komisi Lingkungan yang berjumlah 15 orang. Menurut Trimedya, rekomendasi dari tim TPST Bojong telah dibacakan dalam sidang paripurna masa sidang keempat Juni lalu. “Itu
Menurut Ridha, ada baiknya dibuat forum dialog yang juga melibatkan Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Riset dan Teknologi, dan Menteri Pekerjaan Umum. Dalam forum tersebut harus dibicarakan secara netral penggunaan teknologi yang diterapkan TPST. Apa pun keputusan dari forum tersebut harus dituangkan dalam bentuk semacam
Sementara itu, Ridha Saleh, Deputi Eksekutif Nasional Walhi, mengatakan, saat ini posisi pihak-pihak yang berseteru, yakni warga Bojong dan pihak WGS, ada pada tensi tinggi, dalam artian tidak ada titik temu. Warga Bojong tetap menolak TPST, sedangkan WGS tetap memutuskan uji coba TPST.
Untuk itu, tegas Ridha, pemerintah harus berani T r i m e d y a membuka dialog Pandjaitan, salah dengan warga satu anggota tim Bojong. Selama ini TPST Bojong yang Pemerintah dibentuk DPR, Kabupaten Bogor menyesalkan sikap dinilai hanya Doc. KontraS pemerintah daerah emmbangun dan DPRD Bogor kebencian warga Aksi Unjuk rasa warga Bojong akhir juli lalu yang membuka Bojong kepada peluang bagi uji coba tempat tersebut. Tim TPST DPR pemerintah karena tidak ada keterbukaan dan kejujuran Bojong, menurut Trimedya, telah mengeluarkan pemerintah dalam membahas masalah TPST.” Kini harus ada rekomendasi agar uji coba tempat itu dihentikan. Bahkan, keberanian pemerintah menerima kritikan masyarakat Bojong dalam rekomendasinya, tim juga meminta pencabutan untuk mencari solusi bersama. Harus ada dialog yang pembangunan TPST. menurunkan tensi,”kata Ridha.
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
22
BERITA DAERAH
nota kesepahaman antara Pemkab dan warga Bojong, yang kemudian harus diatati semua pihak. “ Jadi, memang harus ada fasilitator untuk membuka dialog antara Pemkab Bogor dengan warga Bojong,”tutur Ridha.
tetap konsisten melakukan penolakan terhadap pengoperasian TPST. Usman juga menyesalkan adanya kekerasan, teror, dan intimidasi yang dilakukan oleh sejumlah orang kepada warga yang konsisten menolak keberadaan TPST. Harusnya polisi dapat memberikan Sementara warga Bojong bersama tim Advokasi warga Bojong keamanan dan perlindungan terhadap warga Bojong yang terdiri dari KontraS, LBH Jakarta, Walhi, dan lainnya, tersebut. terus mengadakan serangkaian pertemuan untuk membahas agenda yang dilakukan. Pada tanggal 24 Juli diadakan Hingga kini, warga tetap pada keputusannya untuk terus Panggung Rakyat dan tablig Akbar di lapangan Rawa Jeler memperjuangkan keberadaan TPST Bojong. Sementara kampong Bojong. Acara diisi dengan dzkir, orasi dari warga pihak WGS tetap ingin melanjutkan pengoperasian proyek maupun pendamping, yang dihadiri sekitar seribu orang warga ini. Yang penting, pihak kepolisian harusnya tidak berpihak dari tujuh desa. Sehari sesudahnya, 25 Juli, diadakan pada pengusaha, karena semestinya ia (polisi-red) harus konferensi Pres di Bojong. Dalam kegiatan ini, Koordinator memberikan rasa aman dan tentram pada masyarakat. KontraS, Usman Hamid mengungkapkan hendaknya Sedang dengan telah dibentuknya Tim TPST DPR bukti pemerintah harus belajar dari bentrokan yang terjadi pada 22 bahwa hendaknya tidak ada lagi kesewenang-wenangan November tahun lalu, dimana masayarakat sampai sekarang dari pihak manapun.***
Politik Dalam Transisi Demokrasi Indonesia Catatan KontraS Paska Perubahan Rezim 1998 Setelah lima tahun reformasi berjalan, sudahkah Indonesia meninggalkan praktek dwifungsi signifikan? Lalu, mengapa pula perwira tinggi TNI aktif dan purnawirawan tetap bernapsu naik ke panggung politik yang bukan porsi militer? Sementara itu, paradigma baru TNI terasa gamang dalam mengambil sikap untuk berjarak dengan aktifitas politik praktis. Ini terlihat dari diperkuatnya kekuasaan teritorial saat ini. Terbukti, dulu, hanya 10 Kodam setelah 1998 bertambah menjadi 12 Kodam. Ini adalah sebuah buku, tentang catatan dari penulisan laporan yang khusus ditujukan bagi para pengambil kebijakan di badan legislatif dan eksekutif negara , baik periode saat ini maupun yang akan datang. Diharapkan, laporan ini menjadi masukan dalam prosaes pengambilan kebijakan politik, terutama berkenaan dengan reformasi kelembagaan di tubuh negara. Buku ini menjadi penting bagi kita, agar terus dapat aktif mengamati jalannya reformasi militer paska mundurnya Presiden Soeharto.
Buku ini dapat diperoleh di KontraS Jl. Borobudor No.14 Jakarta
23
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
REMPAH-REMPAH
Pembentukkan KKP Sarat Politik Tanggal 11 Agustus 2005 Komisi Kebenaran dan Persahabatan resmi di bentuk. Komisi ini beranggotakan masing-masing lima orang dari Indonesia dan dari Timor Timur, ditambah masing-masing tiga anggota cadangan. Namun, komisi ini tak akan merekomendasikan pengadilan bagi pelanggar HAM. Benarkah KKP hanya alat politik untuk lari dari tanggungjawab?
M
enteri Luar Negeri, Hasan Wirajuda, (4/8), mengatakan KKP tidak akan mengajukan pelanggar HAM ke pengadilan, komisi ini hanya akan meminta orang - orang yang tahu permasalahan kerusuhan sebelum, saat, dan sesudah penentuan jajak pendapat di TimorTimur mau mengatakan kebenaran yang terjadi pada waktu itu. Lebih lanjut Hasan menyatakan KKP hanya akan bekerja, melaporkan dan memberikan rekomendasi kepada kedua negara atas peristiwa pelanggaran HAM. Pada masa akhir kerjanya KKP melaporkan dan memberikan rekomendasi kepada kedua negara tentang hasil temuan atas ihwal peristiwa yang terjadi sebelum, menjelang , dan sesudah penentuan pendapat di TimorTimur. KKP juga akan memberikan rekomendasi merekonsiliasikan pihak yang berkonflik saat itu sekaligus memajukan persahabatan dan kerjasama kedua negara. “ Tidak ada temuan mereka ungkap untuk dibawa ke pengadilan,” tegas Hasan Wirajuda.
Yuri Oktavian Thamrim, Juru Bicara Departemen Luar Negeri, mengatakan bahwa KKP mulai aktif pada Agustus, ditandai dengan pengumuman 10 anggota KKP. Indonesia Timor LesteLeste Indonesia Timor Anggota Anggota Acham Ali Jacinto Alves Acham Ali Jacinto Alves Babo Wisber Loeis Diorinicio Wisber Loeis Diorinicio BaboSoares Soares Benjamin Mangkoedilanga A n i c e t o Benjamin Mangkoedilanga Aniceto GuterresGuterres Lopes Lopes Mrg Petrus Turang Felicidade Mrg Petrus Turang Felicidade Guterres Guterres Agus Widjojo Ciricio Valadales Agus Widjojo Ciricio Valadales Cristovao Cristovao Selain itu masing-masing negara menunjuk tiga anggota cadangan. Indonesia; Sjamsiah Ahmad, Antonius Sujata, Mudji Sutrisno dan Timor Leste; Maria Olandina Caerio alves, Isabel Fereira, dan Rui Pereira Dos Santos.
Bunga dibakar dia yang tidak mau mati sebelum mati Bulan September 2004, Indonesia dikejutkan oleh meninggalnya Munir, tokoh gerakan Hak Asasi Manusia yang konsisten dengan perjuangannya. Film ini mencoba merekontruksi perjalanan hidup dan perkembangan kejiwaan serta pergolakan batinnya. Dari seorang Munir, aktivis muslim yang sangat ekstrim, menjadi seorang Cak Munir yang menjunjung tinggi toleransi, menghormati nilai-nilai kemanusiaan, anti kekerasan dan berjuang tanpa kenal lelah melawan praktek-praktek otoritarian serta militeristik. Munir juga seorang manusia. Ia juga mengenal rasa takut. Namun yang justru menginspirasi adalah kata-katanya “…kita harus lebih takut kepada rasa takut itu sendiri, karena rasa takut itu menghilangkan akal sehat dan kecerdasan kita.” Munir justru dibunuh pada saat era dimana demokrasi dan keterbukaan serta harapan akan hadirnya sebuah Indonesia yang dia cita-citakan mulai tumbuh. Bunga indah itu telah dibakar dengan keji.
Anda layak mempunyai CD ini. Dapatkan segera di kontraS Jalan. Borobudur No.14 Jakarta
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
24
REMPAH-REMPAH
Yuri juga mengatakan, KPP memiliki masa tugas satu tahun, namun bisa diperpanjang bila masih dibutuhkan. Para anggota KKP dijamin kebebasan bergeraknya, akses kesemua dokumen, dan hak untuk mewawancarai siapapun, serta dijamin keamanannya. Namun, KPP tidak akan menjadi jaksa penuntut umum. Mekanisme kerja KKP akan dimulai dari melakukan review atas berbagai dokumen yang ada, kemudian menguji dan menetapkan kebenaran terkait dengan pelanggaran HAM. Berdasarkan itu, komisi akan merekomendasikan langkah-langkah dalam kerangka rekonsiliasi dan persahabatan. Menanggapi pembentukkan KKP ini, Rafendi Djamin (HRWG), Usman Hamid (KontraS), Agung Yudha (Elsam) menyatakan bahwa LSM HAM menolak pembentukan KKP, selain hanya menjadi alat politik dari pelaku kejahatan untuk lari dari tanggungjawab keadilan, KPP juga menjadi alat bargaining politik Indonesia dan TimorTimur.
Sementara, Benjamin Mangkoedilaga, ketua KKP RI menyatakan KKP akan diberi mandat untuk memeriksa setiap instansi, puluhan ribu dokumen dari kejahatan serius Timor Leste, untuk kemudian diteliti. Fakta yang didapat akan disampaikan kepada pemerintah RI dan Timor Leste. KKP kemudian akan merekomendasikan pemberian amnesti kepada pelaku, bila mereka minta maaf dan mengakui kesalahannya. Menurutnya, ada dua macam penyelesaian dalam kasus pelanggaran HAM, lewat pengadilan atau rekonsiliasi, jika tidak dengan proses pengadilan bisa dengan jalur rekonsiliasi. Saat ini komisi dari kedua negara sedang mempelajari beberapa masalah yang terjadi setelah peristiwa jajak, tebalnya satu ribu halaman. Dari Indonesia sudah digandakan berkas kasus pelanggaran HAM TimTim, termasuk yang sudah pengadilan HAM ad hoc, sementara itu pihak Timor Leste juga punya bekas serupa versi mereka.
Entah dagelan atau sandiwara apa yang ingin dimainkan. Nyatanya, para pelaku pelanggaran HAM berat hingga kini masih sangat sulit untuk diadili dan untuk dimintai pertanggung jawabannya
Di sisi lain pembentukan KKP menunjukkan bahwa keadilan dan penegakan HAM di Indonesia sulit terwujud. Hal ini semakin diperkuat dengan tidak adanya perubahan subtansi dalam kerangka acuan KKP. Padahal, kerangka acuan tersebut sudah dikritik sejak ditandatangani oleh Presiden kedua negara ini. Dimana, kerangka acuan yang disepakati kedua negara ini banyak kelemahan, tidak membedakan antar pelaku dan saksi, mencampuradukan orang yang bertanggungjawab atas kejahatan serius dan biasa, tidak memiliki mekanisme untuk menindak kejahatan serius. Bahkan, didalamnya ada amnesti untuk pelaku kejahatan yang tak diperbolehkan mendapat amnesti sesuai standar internasional. Untuk itu, LSM HAM menolak pembentukan KKP karena sarat dengan kepentingan politik, dan juga menolak pembentukan KKP sampai adanya amandemen terhadap kerangka acuan KKP. “Kami juga mengecam kesepakatan presiden SBY dan Presiden Timor Leste Xanana Gusmao tentang jaminan KKP tak akan merekomendasikan pengadilan bagi pelanggar HAM,” tegas Rafendi Djamin.
25
Pelajari Berkas
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
Menurut Kristio Wahono, Kepala Sekretariat KKP sejak (30/8) sekretariatan KKP mulai difungsikan, Sekretariat KKP didukung 12 staf, dua diantaranya berasal dari Timor Leste. Seluruh biaya operasional sekretariat ditanggung Deplu Indonesia. Dijadwalkan KKP mulai bersidang 1-5 September di Denpasar, agendanya menentapkan kerangka kerja komisi yang memfokuskan pekerjaanya pada pengungkapan pelanggaran HAM di Timor-Timur pada jajak pendapat 1999. Agaknya kedua negara hingga kini masih terus mengadakan “perjanjian politik” untuk persoalan KKP ini. Entah apa yang ada, kedua negara sepakat untuk hanya ingin mencari, mempelajari berkas, dan barganing politik lainnya. Salah stunya, KKP tidak akan membawa para pelanggran HAM ke meja hijau untuk disidangkan, namun hanya untuk diwawancarai dan diminta kesaksiannya. Entah dagelan atau sandiwara apa yang ingin dimainkan. Nyatanya, para pelaku pelanggaran HAM berat hingga kini masih sangat sulit untuk diadili dan untuk dimintai pertanggungjawabannya.***
REMPAH-REMPAH REMPAH-REMPAH REMPAH-REMPAH
Putusan Bebas Kasus Priok Penegakan HAM : Kembali ke Titik Nol Pengadilan kembali menjadi tempat dagelan sandiwara belakangan. Para terdakwah kasus pelanggaran Ham Tanjung Priok divonis bebas, meski sebelum telah divonis bersalah. Keadilan dan kebenaran telah hilang dan kembali ke titik nol.
K
orban Pelanggaran HAM Tanjung Priok bersama KontraS mempertanyakan kredibilitas putusan pengadilan tinggi yang membebaskan Butar-Butar dan Sutrisno yang sebelumnya divonis bersalah dalam putusan tingkat pertama. Putusan tersebut dinilai bisa mengembalikan penegakan HAM ke titik nol. Karena, berarti tidak ada satupun pihak/tersangka yang bertanggung atas peristiwa tersebut. Untuk hal tersebut pihak korban dan KontraS akan menuntut Jaksa Agung segera mengajukan kasasi ke MA. Lebih lanjut, korban juga menuntut Presiden memerintahkan Jaksa Agung membuka kembali kasus ini dengan mengajukan tersangka baru sesuai rekomendasi Komnas HAM. Selain itu, Presiden dan DPR harus mengambil keputusan politik untuk memberikan kompensasi dan rehabilitasi sebagai agenda paralel demi keadilan bagi korban. Langkah ini harus dilakukan agar pengadilan tidak digunakan sebagai sarana membebaskan para terdakwa pelanggaran berat hak asasi manusia. Fakta dari kejadian ini membuktikan, proses pengadilan kian kehilangan orientasi untuk membuktikan bahwa keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan. Bahkan memutus tuntutan publik bagi dibongkarnya kejahatan-kejahatan masa lalu. Kemandirian peradilan menjadi tidak ada karena pengaruh kuat militer. Bukan saja di dalam persidangan, tapi telah mempengaruhi seluruh struktur negara maupun pelaku politik, guna memastikan tidak ada penghukuman atas kasus pelanggaran hak-hak asasi mausia. Disini, arena politik dan hukum didominasi keinginan militer mempertahankan kekebalannya untuk bertanggungjawab atas kejahatan yanng telah dilakukannya. Hal ini jelas sangat mengecewakan, karena artinya pengadilan menjadi lumpuh total ketika berhadapan dengan unsur-unsur kekuasaan dan kekuatan-kekuatan politik. Berbeda dalam kasus bom Bali, yang pelakunya jauh dari unsur negara sehingga
bisa ditindak tegas dan keras. Disamping itu, putusan bebas ini adalah kemunduran politik Indonesia yang serius. Juga mundurnya kemampuan sistem hukum yang semula diharapkan menjadi peluang baru bagi keadilan justru bertindak sebaliknya, memberi pembenar terhadap kejahatan-kejahatan itu. Kenyataan ini juga berarti, sistem hukum kita telah memberi lampu hijau kembali bagi militer untuk mengulang tindakan semacam itu, tanpa takut dan harus khawatir akan bisa dituntut oleh hukum atau dihukum. Kenyataan yang jelasjelas telah gagal ini telah memberi pelajaran penting bagi kemanusiaan bahwa telah hadir kembali sinyal gelap bagi masa depan hak-hak asasi manusia dan demokrasi. Audiensi ke Pengadilan Tinggi Kabar atas dibebaskannya para terdakwa didapat korban Tanjung Priok dan Kontras saat melakukan audensi ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, 6 Juli 2005 dan diterima oleh Husyaini Andin Kasim, SH (Kahumas Pengadilan Tinggi Jakarta). Audiensi ini dilakukan karena selama ini dirasa kurangnya komunikasi antara Kejaksaan Agung selaku pihak yang mewakili kepentingan korban dan masyarakat, dengan pihak korban sendiri. Audiensi ini juga dilakukan untuk mengetahui perkembangan kasus yang ada. Saat itu Kahumas memperlihatkan petikan keputusan pengadilan tinggi HAM kasus Tanjung Priok untuk Doc. KontraS terdakwa Rudolf Adolf Butar-Butar dan Sutrisno Mascung cs. Dimana salah satu amar putusan yang diperlihatkan antara berkas yang menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi Jakarta dengan mengadili mengadili sendiri, menyatakan terdakwa Rudolf Adolf butar-Butar tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana serta membebaskan terdakwa dari semua yang ada. Artinya, dari berkas keputusan yang ada, jelas adanya bahwa pihak/tersangka yang seharusnya jelas-jelas bertanggungjawab atas peristiwa pelanggran berat HAM kasus Tanjung Priok bebas berlenggang dan bebas dari segala jerat hukuman. Sebuah bukti kembali, bagaimana keadilan dan hukum telah mati. Bagaimana hukum juga telah kembali pada titik nol.*** Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
26
REMPAH-REMPAH
Konvensi Bagi Mereka yang HILANG Konvensi Bagi Mereka yang HILANG Kasus penghilangan paksa telah menjadi fenomena dunia. Perjuangan menuntut keadilan dan penghentian terhadap tindakan penghilangan secara paksa, terus diperjuangkan oleh keluarga korban, khususnya perjuangan di tingkat internasional. Sebuah perjuangan tanpa henti.
S
aat ini sebuah kelompok kerja PBB untuk penghilangan orang secara paksa sedang membahas draft Konvensi tentang Perlindungan setiap orang terhadap tindakan penghilangan paksa. Instrumen ini telah lebih dari 20 tahun diperjuangkan oleh kelompok korban di wilayah Amerika Latin yang tergabung dalam organisasi FEDEFAM (The Latin American Federation of Associations of Relatives of Disappeared-Detainess).
Badan Monitoring
Keluarnya Deklarasi Perlindungan bagi Semua Orang dari Penghilangan Paksa (diproklamirkan oleh Majelis Umum dalam resolusi 47/133 tanggal 18 Desember 1992) merupakan langkah awal untuk mencapai perjuangan mereka dalam mencegah keberulangan praktek penghilangan orang secara paksa. Saat ini kelompok kerja PBB untuk Penghilangan secara Paksa sedang terus mengupayakan Di Indonesia sendiri kasus orang hilang bergerak dari pembahasan draf Konvensi tentang Perlindungan bagi Semua desas-desus menjadi masalah publik setelah solidaritas dan Orang dari Penghilangan secara Paksa. Hadirnya draf keprihatinan muncul terekspresi secara konkret dengan Konvensi ini menjadi satu bentuk perhatian yang diberikan tumbuhnya keberanian sementara kalangan sipil, untuk oleh komunitas internasional untuk menghentikan keberulangan melaporkan soal itu secara resmi dan mengumumkan terhadap praktek penghilangan secara paksa. kepada masyarakat luas. Tanpa dimulai dengan keberanian itu, kasus ini selamanya hanya akan menjadi desas-desus. Salah satu point penting yang muncul dalam draf konvensi itu Satu demi satu laporan mengenai kasus hilang muncul. mengenai pentingnya Badan Monitoring. Badan monitoring yang dimaksud adalah badan monitoring yang lebih effisien, Dari proses pengungkapan kasus orang Hilang Jakarta responsif, independen untuk mengontrol penerapan Konvensi. dan di wilayah lain juga dalam tragedi-tragedi yang terjadi Posisi badan monitoring dalam konvensi berbeda dengan yang semasa Orde baru berkuasa perlahan-lahan terungkap dan terdapat dalam UNWGEID (Kelompok kerja PBB untuk bahkan mulai terdata. Hingga akhir Mei 2003, KontraS kasus penghilangan paksa). Perbedaanya adalah dalam hal mencatat 1.292 kasus penghilangan secara paksa yang mandat. Di UNWGEID, mandat yang diberikan adalah terjadi sejak tahun 1965, dengan alasan-alasan, tuduhan sebatas individual complain dan penegasan via surat kepada PKI, konflik agraria, aktivis keagamaan, operasi militer, pemerintah yang bersangkutan. Sedangkan monitoring body kasus subversif, aktivis politik, kerusuhan, Darurat Sipil (Badan monitoring) yang terdapat dalam draf konvensi dan konflik sosial. Penghilangan paksa ini mempunyai mandat lebih luas sampai pada proses hukum.selain itu juga seputar masalah “Masa Sayangnya, pengungkapan beberapa kasus orang hilang Kadaluarsa” (Statute of Limitation) yang penekanannya dalam proses perjalanannya belum mencapai hasil yang untuk negara-negara yang telah memiliki masa kadaluarsa maksimal. Persidangan Tim Mawar, misalnya, tidak dalam proses hukum pidananya. Maka untuk kejahatan mengungkap keberadaan 14 orang yang masih hilang penghilangan paksa ini, negara harus menghapuskan masa hingga sekarang. Begitu juga dengan KPP HAM yang kadaluarsa tersebut dengan pertimbangan yaitu kasus dibentuk Komnas HAM untuk kasus Penghilangan Paksa penghilangan paksa membutuhkan waktu yang cukup panjang aktivis tahun 1997 dan kasus Mei 1998. karena menyangkut kejahatan yang cukup serius.
27
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
REMPAH-REMPAH Berangkat dari persoalan diatas, maka dikelar satu diskusi “Pentingnya Konvensi tentang Perlindungan setiap Orang terhadap tindakan Penghilangan Paksa” kerjasama HRWG, IKOHI dan KontraS, serta Radio 68H, yang berlangsung pada 12 Juli bertempat di Studio Radio 68H Jakarta. Bentuk Tim Pelaksana Joni Sinaga, Direktorat HAM, Kemanusiaan dan Sosial Budaya, Departemen Luar Negeri, mengatakan bahwa maka nantinya Konvensi ini akan memperkuat perundang-undangan nasional, karena hukum nasional Indonesia sudah mengatur bahkan memberikan sangsi. Saat ini sudah pula dirumuskan tentang perlunya dibentuk satu tim untuk mengawasi pelaksanaan konvensi tersebut. Sementara nantinya, untuk negara yang sudah meratifikasi konvensi tersebut harus memberikan laporannya kepada PBB tentang bagaimana pelaksanaannya di lapangan. Setelah itu, penting pula dipantau sejauh mana ketentuan-ketentuan yang telah disepakati itu bisa dilaksanakan. Sedangkan Rafensi Djamin, Direktur HRWG, mengungkapkan memang harus ada state entity yang berwenang untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan dari Konvensi tersebut. Bagaimana mekanisme perlindungannya, bagaimana pencegahannya, dan juga bagaimana penerapannya.semua itu harus dilaporkan kepada tim tersebut yang akan dibentuk oleh konvensi. Terakhir Mugiyanto (IKOHI), menegaskan, masih ada kontradiksi antara penyataan-pernyataan yang diucapkan oleh presiden terhadap hak asasi manusia, kontradiksinya dengan praktek di lapangan. Ternmasuk juga pernyataan bahwa Departemen Luar Negeri punya komitmen terhadap usahausaha ratifikasi, memastikan bahwa undang-undang diratifikasi dan sebagainya. Namun, di lapangan hal itu belum terlihat ada. Mugiyanto juga mengingatkan bahwa yang terpenting adalah bagaimana statemen-statemen, retorika-retorika dari penjabat publik itu betul-betul menjadi realita di lapangan dalam mempraktekkan kebijakan-kebijakan tersebut. Kirim Petisi Sementara itu, 30 Agustus, di hari yang selalu diperingati oleh komunitas internasional di segala penjuru dunia sebagai hari untuk mereka yang dihilangkan secara paksa, Kontras,
IKOHI, dan para korban melakukan aksi demo di depan Istana Negara. Aksi ini dilakukan setelah menghadiri sidang kasus terbunuhnya Munir. Aksi yang diikuti sekitar seratus orang meminta agar tidak pernah ada lagi penghilangan orang secara paksa atas dasar apapun juga. Aksi juga menuntut agar mereka yang bertanggungjawab untuk beberapa kasus penghilangan paksa yang terjadi di Indonesia dituntut dan diadili. Aksi ini juga mengeluarkan sikap, bahwa sebagai warga negara semua orang memiliki hak konstitusional yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Karenanya, korban dan siapapun, berhak untuk meminta pertanggungjawaban negara atas terjadinya praktek penghilangan secara paksa. Kontras dan IKOHI menghimbau agar masyarakat dapat mengadukan kasus penghilangan secara paksa kepada aparat negara dan Komnas HAM, serta mengirimkan petisi kepada pemerintah RI atau Presiden SBY. Petisi tersebut berisi desakan kepada pemerintah RI agar mendorong dihasilkannya sebuah Konvensi Internasional Menentang Penghilangan Paksa, karena dapat mengikat komitmen politik negara untuk mempertanggungjawabkan tindakannya, baik di muka rakyatnya maupun di muka komunitas internasional. Sebelumnya korban dan juga keluarga korban didampingi KontraS, IKOHI dan Fobmi melakukan aksi dan audiensi ke Komnas HAM. Di awal Juli (1/7) aksi mendesak Komnas untuk melakukan Subpoena atas ketidak koopetatifan para pelaku yang masih berlindung dibalik ketiak kekuasaan. Abdul Hakim Garuda Nusantara yang didampingi Ruswiyati, dan beberapa anggota Komnas lainnya menjelaskan bahwa Komnas akan mengadakan pemanggilan paksa terhadap para jenderal dan akan menyurati presiden agar meminta TNI bekerjasama dalam pemeriksaan kasus penghilangan orang secara paksa 97-98. Audiensi yang kedua dilakukan (19/7) ke Komnas HAM untuk mempertanyakan perkembangan kasus penculikan 1998. Saat itu Abdul Hakim Garuda Nusantara menjelaskan bahwa Komnas HAM telah mengirimkan surat kepada Presiden pada tanggal 11 Juli 2005, tetapi hingga kini belum ada jawaban.***
“Setiap tindakan penghilangan orang dengan paksa merupakan suatu tindak pidana terhadap martabat manusia. Tindakan ini dinyatakan sebagai pengingkaran terhadap tujuan-tujuan piagam perserikatan bangsa-bangsa, dan sebagai suatu pelanggaran hak asasi manusia. Dan kebebasan-kebebasan dasar yang serius dan nyata.” (Pasal 1 Deklarasi perlindungan bagi setiap orang dari penghilangan paksa)
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
28
REMPAH-REMPAH
Refleksi TanpaMerdeka Henti TanpaMerdeka Henti Refleksi Merdeka –kah kita kini? Apa yang telah kita lakukan bagi bumi persada ini. Bagaimana keadilan hidup di pertiwi? Lalu benarkah kita telah berefleksi untuk arti merdeka dan kemerdekaan itu sendiri?
T
anggal 17 Agustus momentum penting sebagai Hari Kemerdekaan RI. Dalam bulan ini, serangkaian acara biasanya digelar untuk mengenang atau menyambut hari bersejarah tersebut. Beberapa kegiatan yang merefleksikan eksistensi kemerdekaan masyarakat juga dilakukan. Refleksi bagaimana perjalanan dan arti sebuah kemerdekaan saat telah berumur 60 tahun. Benarkah kita, dan seluruh rakyat Indonesia telah merasakan arti sebuah kemerdekaan itu? Karena hakikat dari kemerdekaan itu sendiri adalah pencapaian kesejahteraan, bebas dari kemiskinan, bebas mengeluarkan pendapat, d a n b e b a s berdemokrasi. Di sisi lain merdeka dari segala bentuk kekerasan dan p e n i n d a s a n kemanusiaan. Dan merdeka, berarti hukum telah memihak mereka yang teraniaya.
kampung, pemutaran film dan kegiatan warga lainnya. Hadir dalam serangkaian kegiatan sosialisasi ini, Suciwati (isteri armarhum Munir), Romo Sandhi, korban Priok, Semanggi I dan II, Mei, yang didampingi oleh KontraS, IKOHI dan Fobmi.
Acara yang dikelar atas kerjasama Sanggar Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta, pada akhirnya dapat mempererat persahabatan diantara korban dan juga pendamping, disamping untuk kembali mengingatkan bahkan menyosialisasi masyarakat mengenai berbagai kasus pelanggaran HAM. Animo masyarakat sendiri sangat besar untuk semua kegiatan tersebut. Begitu juga keluarga korban yang tiap hari datang untuk melakukan serangkaian sosialisasi, guna mencari dukungan bagi penuntasan kasus Doc. KontraS pelanggaran HAM yang ada. Refleksi dan Bazar, 17 Agustus 2005
Dalam perayaan kemerdekaan tahun ini, keluarga korban pelanggaran HAM yang tergabung dalam komunitas Swabela Korban Pelanggaran HAM Doc. KontraS mengadakan refleksi dan bazar. Kegiatan ini juga menjadi ajang konsolindasi dan bagian dari usaha membangun kemandirian korban. Bazar juga diisi dengan konsolidasi kasus pelanggaran HAM dan dukungan masyarakat terhadap perjuangan keluarga korban. Acara ini juga diisi dengan diskusi, panggung kreasi seni, pameran market
29
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
Refleksi akan menjadi sebuah moment penting ketika kita diam terpekur, merenung dan mencari arti kemerdekaan yang hakiki. Merdeka dalam segala bentuk penindasan. Namun, lewat serang kaian kegiatan yang telah dilakukan ini, kita juga berefleksi langsung dalam tindakan atas semua yang terjadi. Termasuk juga berefleksi untuk semua perjuangan yang telah dan akan terus kita perjuangkan. Perjuangan atas ama kebenaran dan keadilan ***
REMPAH-REMPAH
Menagih Janji Para Wakil Rakyat Tanpa lelah dan putus asa. Korban dan keluarga korban Tragedi Mei tak henti mengusung kasus dan mengajak pihak-pihak yang peduli akan proses penuntasan kasus ini. Diantaranya, melakukan serangkaian audiensi ke wakil rakyat. PDIP dan PAN berjanji mendukung pengungkapan kasus ini.
B
erbagai cara terus dilakukan untuk terus menggalang dukungan dari berbagai pihak. Setelah sebelumnya korban Mei 1998 meminta dukungan dari para pemuka agama di negeri ini, kali ini permintaan dukungan ini ditujukan kepada partai-partai politik. Dukungan ini memang dirasa sangat penting agar pihak-pihak lain yang secara tidak langsung mempunyai hubungan “erat” dengan kebijakan negara melihat bahwa tragedi Mei adalah kasus pelanggaran HAM. Oleh karenanya, kasus ini harus terus diperjuangkan agar para pelaku atau otak dari skenario peristiwa tragedi Mei dapat diusut tuntas untuk akhirnya diadili.
Keesokan harinya, audiensi serupa dilakukan. Kali ini menemui DPP PAN. Hal yang sama diharapkan agar DPP PAN juga dapat memberi perhatian dan dukungan termasuk pula didalamnya membantu kebuntuan antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM. Rombongan diterima oleh Wasekjend PAN, Yoga dan Ali Taher. Mereka juga berjanji bahwa PAN akan berjuang agar kasus Mei diusut tuntas. Persoalan ini juga akan dibawa ke Rapat Pleno. Selain itu, para petinggi PAN ini juga berjanji akan berusaha agar kasus ini menjadi agenda partai sehingga bisa diteruskan ke fraksi-fraksi lain yang ada di DPR. Untuk itu, sebelumnya mereka meminta agar berkasberkas yang berkaitan dengan semua permasalahan yang ada dilengkapi. Hal ini penting dilakukan agar dari segi kelengkapan admintrasi kasus ini dok.kontras dapat dibuktikan dengan jelas.
Karenanya pada tanggal 10 Agustus 2005, korban dan keluarga korban didampingi oleh KontraS, Doc. KontraS SNB, dan TRK melakukan audiensi ke Salah satu diskusi yang dilakukan untuk pengungkapan tragedi Mei Sedangkan dengan Partai Golongan Partai Perjuangan Karya, pada hari Senin (8/8), para Demokrasi Indonesia (PDIP). Langkah ini dilakukan agar PDIP korban tidak dapat menemui para pimpinan partai, karena sebagai salah satu partai besar, dapat memberikan perhatian para pimpinan DPP tidak ditempat. Selanjutnya, lewat dan dukungan terhadap kasus Mei 98. Di sisi lain koban dan pembicaraan via telpon, Ketua DPP Muladi menyatakan bisa keluarga korban juga berharap agar PDIP dapat berperan menerima korban pada tanggal 10 Agustus. Namun, setelah dalam memecah kebuntuan antara Kejaksaan Agung dan hari tersebut tiba, para korban kembali kecewa karena Muladi Komnas, terlebih untuk hal-hal yang berkenaan dengan proses masih berada di luar kota. Sehingga pertemuan ini kembali penyelidikan yang dilakukan Komnas dan penyidikan oleh ditunda, tanpa kejelasan tanggal pertemuan selanjutnya. Kejagung. Hal ini perlu agar kasus Mei ini tidaklah jalan di tempat. Janji-janji para anggota Partai Politik adalah hal lumrah yang selalu dilakukan, bahkan saat kampanye Dalam pertemuan yang diwakili oleh Firman Jaya D, Ketua mulai berlangsung. Sejauh ini, belum ada bukti yang DPP Bidang Hukum dan HAM, Firman mengungkapkan tampak atas janji-janji tersebut. Maka, belajar dari bahwa PDIP sebagai partai oposisi tetap konsisten dalam upaya perjuangan yang dilakukan dari kasus-kasus lainnya, pengungkapan kerusuhan Mei secara tuntas. Firman juga kita lihat saja, sejauh mana para wakil rakyat tersebut berjanji akan membawa aspirasi korban kepada fraksi agar konsisten untuk memperjuangkan hak-hak dapat ditindak lanjuti. rakyatnya.***
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
30
Siaran Pers No: 22/SP/KontraSMIl/200S Tentang
Mou Helsinki dan Prospek Pengadilan HAM RETROAKTIF PENTING UNTUK RAKYAT ACEH Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memandang positif ditandatanganinya Nota kesepahaman di Helsinki antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka/GAM. Upaya ini menunjukkan perubahan sikap mendasar kedua belah pihak dalam memilih jalan damai untuk menyelesaikan masalah Aceh yang telah berlangsung hampir selama 30 tahun. KontraS juga memandang positif dengan dimasukkannya agenda HAM diantara butir kesepakatan damai tersebut. Agenda HAM penting untuk membangun keadilan selama proses menuju perdamaian. Tanpa keadilan, perdamaian tidak akan berumur panjang. Bukan semata untuk kesepakatan bersama GAM, tetapi lebih dari itu untuk rakyat Aceh. Namun mencermati perkembangan pasca penandatanganan Nota Kesepahaman, KontraS mulai khawatir dengan adanya beda-penafsiran dalam hal Pengadilan HAM untuk Aceh. Pemerintah RI menilai pendirian Pengadilan HAM hanya berlaku untuk kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi paska perjanjian damai ditandatangani. Dengan kata lain Pengadilan HAM hanya dibentuk untuk kasus yang terjadi pasca 15 Agustus 2005. KontraS memandang sikap Pemerintah RI tersebut keliru. Indonesia yang dikenal sebagai satu-satunya negara yang memiliki mekanisme Pengadilan HAM nasiona1 membolehkan digelarnya suatu Pengadilan HAM untuk kasus masa lalu atau berlaku secara retroaktif.Beberapa alasan mengapa Pengadilan HAM bisa digelar secara retroaktif untuk masa1ah Aceh. Pertama, secara universal kasus pelanggaran berat HAM berlaku asas retroaktif dan tidak mengenal batasan waktu (kadaluarsa). Asas ini dipakai sejak digelarnya Tribunal Nuremberg, Tribunal Tokyo hingga Tribunal Yugoslavia dan Rwanda.
31
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2005
Kedua, hukum positif di Indonesia sendiri tidak mengena1 kadaluarsa dan membolehkan asas retroaktif untuk kasus pelanggaran berat HAM. Tidak dikenalnya kada1uarsa diatur oleh Pasal 46 UU 26/2000 dan pemberlakuan retroaktif diatur Pasal 43 UU 26/2000 yakni untuk kasus masa lalu digelar lewat Pengadilan HAM ad hoc. Contoh, kasus Timor Timur dan Tanjung Priok. Sementara bila kasus terjadi sesudah tahun 2000 digelar lewat Pengadilan HAM permanen, seperti yang terjadi untuk kasus Aberpura. Ada tidaknya Mou 15 Agustus 2005, pelanggaran berat HAM di Aceh sejak tahun 2000 berlaku juga pengadilan HAM.
Ketiga, pemberlakuan asas retroaktif ini kembali ditegaskan oleh putusan Mahkamah Konstitusi/MK (Perkara No.065 /PUU-II/2004) ketika menolak gugatan Abilio Soares. Menurut MK asas retroaktif bisa diterapkan pada kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Pelanggaran berat HAM terrnasuk kategori kejahatan luar biasa. Selain alasan di atas KontraS memandang keperluan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu di Aceh bukan hanya karena adanya kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan GAM. Tetapi lebih penting dari itu, adalah tanggung jawab negara untuk menegakkan HAM dan memberikan keadilan bagi korban.
Jakarta, 19 Agustus 2005 Badan Pekerja KontraS
Usman Hamid