eJournal Ilmu Hubungan Internasional,2014,2(3) : 601-612 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2014
MANAJEMEN KONFLIK DALAM MENGATASI KONFLIK NEPAL TAHUN 1996-2006 WINDA HANIFI ARDY1 0902045011 Abstract: Conflict often emerged as a result of different need, idea, belief, value, or goal between party which is inevitable. Most problem of every conflict is the armed struggle that took place as a form to achieve their goal. These armed struggle often ignore the basic rights of every human can possibly have. Nepal is not excluded in this term. The armed struggle between Maoist group against the government in Nepal’s conflicts caused a lots of human rights violation. Ironically these violation is mostly done by its government and became the main issue of this complex. The main duty of a state is to protect its citizens from any form of fear. Unfortunately, government of Nepal had not been able to completed this role instead they had been given terror to its citizens and created dilemma towards the powerless Nepal’s society between the government and the rebellions. Keywords : Conflict, Conflict Management, Human Rights. Pendahuluan Konvensi Wina dan Aksi Program yang diadopsi dari Konferensi Dunia Mengenai HAM pada 25 Juni 1993 menegaskan betapa pentingnya bagi komunitas untuk memberikan, menjaga dan melindungi hak-hak dasar manusia bagi setiap individu. Salah satu poin yang dimasukkan dalam konvensi ini ialah masalah mengenai kesetaraan, kehormatan, dan toleransi. Selain komunitas internasional, para pemerintah setiap negara juga didesak untuk melindungi HAM warganegaranya dari segala bentuk rasisme. Meskipun telah dengan jelas dikatakan bahwa setiap negara diharuskan untuk menghilangkan segala bentuk rasisme akan tetapi rasisme masih terjadi di negara Nepal. Negara Nepal secara resmi mendeklarasikan diri sebagai negara Hindu. Salah satu aspek integral dalam agama Hindu ialah sistem kasta yang diterapkan berdasarkan sistem Brahmanic kuno. Sistem kasta kemudian mengakibatkan adanya diskriminasi antar kasta dalam kehidupan sosial masyarakat Nepal. 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
601
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 601-612
Diskriminasi tersebut kerap dirasakan oleh kasta Dalits yang merupakan kasta paling rendah. Dalits tidak diijinkan memasuki fasilitas-fasilitas publik, tidak memiliki kebebasan untuk memilih pekerjaan, diskriminasi pendidikan, dll dimana aksi tersebut jelas bertentangan dengan isi dari Konvensi Wina. Selain itu, kehidupan ekonomi Nepal dapat dikatakan bahwa kondisi negara ini tidak berkembang yang kemudian dijelaskan melalui Nepal Living Standar Survey (1995-1996) yang menunjukkan bahwa sekitar 50% penduduk Nepal hidup dalam garis kemiskinan. Ketidakmampuan pemerintah Nepal dalam memajukan perekonomian Nepal juga menjadi kekecewaan tersendiri bagi warganegaranya. Partai Komunis Nepal (Maoist) merupakan aktor utama yang mengawali peristiwa konflik di Nepal. Dengan tujuan menghilangkan sistem kerajaan Hindu dan membentuk negara republik yang lebih sekuler yang berkomitmen untuk prinsipprinsip gender dan kesetaraan kasta dan menangani eksploitasi yang telah terjadi selama berabad-abad kelompok ini akhirnya melakukan serangan bersenjata terhadap pemerintah Nepal. Sebelum melakukan pemberontakan bersenjata kelompok Maoist terlebih dahulu mengirimkan 40 tuntutan kepada pemerintah Nepal terkait tujuan-tujuan yang mereka usung. Akan tetapi tuntutan tersebut diacuhkan oleh pemerintah Nepal yang mengakibatkan kelompok Maoist melancarkan serangannya pada 13 Februari 1996. Seiring berjalannya konflik Maoist berhasil memperluas daerah kontrol mereka, berawal dari distrik Rolpa dan Rukun kelompok ini berhasil membujuk rakyat Nepal guna memberikan dukungan dalam hal partisipasi yang diwarnai dengan kekerasan dalam gerakan kelompok ini. Hingga pada akhirnya dari 75 distrik di Nepal 66 diantaranya dikuasai oleh kelompok Maoist. Konflik antara pemerintah dan Maoist meningkat terutama pasca diturunkan tentara kerajaan Nepal pada akhir tahun 2001. Salah satu pelanggaran HAM yang kerap dilakukan oleh kedua belah pihak ialah pembunuhan terhadap warga sipil. Tingginya aktivitas pelanggaran HAM yang dilakukan baik pemerintah Nepal maupun kelompok Maoist kemudian memicu respon internasional. Banyak negara yang mengecam tindakan tersebut khususnya terhadap pihak pemerintah Nepal. Dalam menghadapi peningkatan krisis HAM di Nepal, beberapa organisasi internasional dan Komisi HAM PBB telah mengirimkan berbagai rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah Nepal dan Pemimpin Maoist untuk mengobservasi dan menegakkan HAM serta hukum humaniter. PBB merupakan aktor yang aktif berperan dalam misi penegakkan HAM di Nepal. Aktivitasaktivitas yang dilakukan PBB meliputi monitoring terhadap konflik, membuat laporan pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter, serta terlibat dalam negosiasi antara pemerintah Nepal dengan kelompok Maoist pada tahun 2006. Pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi dalam konflik Nepal merupakan isu yang tidak dapat diacuhkan dikarenakan HAM merupakan hal yang mendasar dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya HAM setiap orang harus dilindungi dan dijunjung yang mana hal tersebut tertuang dalam piagam PBB dan Konvensi Wina. Tugas utama sebuah negara ialah untuk melindungi dan mensejahterakan warganegaranya akan tetapi tugas tersebut tidak dapat terpenuhi dalam kasus
602
Manajemen Konflik Dalam Mengatasi Konflik Nepal Tahun 1996-2006 (Winda Hanifi Ardy)
Nepal dikarenakan selain kelompok Maoist, pemerintah Nepal juga merupakan oknum utama yang melakukan pelanggaran HAM selama terjadinya konflik ini. Hal ini kemudian mengakibatkan dilemma bagi warga sipil dimana mereka sebagai rakyat tidak memiliki kuasa untuk mempertahankan HAM mereka baik terhadap pihak pemberontak maupun pemerintah. Kerangka Dasar Konsep 1. Konsep Konflik Konflik dapat didefinisikan sebagai perjuangan atau kompetisi antar masyarakat dengan kebutuhan, ide, keyakinan, nilai, atau tujuan yang berbeda. Konflik dalam suatu kelompok merupakan hal yang tidak terhindarkan akan tetapi hasil konflik tidak dapat diprediksi. Konflik dapat meningkat dan menyebabkan hasil yang non-produktif, atau konflik dapat menghasilkan keuntungan dan membawa produk yang berkualitas. Menurut Michael E. Brown terdapat beberapa tipe konflik yakni, konflik etnis, konflik internal, perang sipil dan konflik regional. Selain itu terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan konflik, seperti faktor struktural, faktor politik, faktor ekonomi/sosial, dan faktor budaya/persepsi. 2. Konsep Manajemen Konflik Manajemen konflik merupakan suatu upaya Mengakhiri pertempuran, membatasi penyebaran konflik dan yang dengan demikian, membawa resolusi konflik yang lebih ambisius, karena mengharapkan pihak yang berkonflik untuk menghadapi bersama ketidakcocokan mereka dan menemukan cara untuk hidup bersama. Atau dapat didefinisikan sebagai usaha untuk mengelola dan membatasi konflik, dan secara berkala mencapai sejarah kompromi dimana kekerasan dapat dikesampingkan dan memulai kembali politik yang normal. Dalam manajemen konflik internasional terdapat beberapa tahapan. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menganalisa suatu konflik dapat digambarkan dengan kurva lonceng yang disebut dengan The Life Cycle Of International Conflict Management / skema dalam manajemen konflik internasional. Tahapan ini menghubungkan pendekatan-pendekatan yang berbeda di dalam manajemen konflik untuk membantu para Stakeholders dalam menentukan langkah terhadap suatu konflik. Selanjutnya, tahapan ini juga tidak menjelaskan mengenai sumbersumber konflik tetapi lebih fokus terhadap dinamika konflik dan waktu yang tepat untuk mengambil tindakan terhadap suatu konflik. Dalam gambar kurva lonceng merepresentasikan bentuk ideal dari pola suatu konflik yang menunjukkan bagaimana suatu konflik meningkat hingga mencapai dampak kekerasan dan kemudian mengalami penurunan ketegangan hingga mencapai pendekatan kembali dan rekonsiliasi. Kurva tersebut juga mengidentifikasi tipe-tipe dalam teknik manajemen konflik yang mungkin efektif pada titik tertentu dalam tahapan konflik. Setelah memahami dinamika konflik proses selanjutnya ialah proses damai guna meminimalisir atau bahkan menghentikan konflik. Proses damai dapat dipahami
603
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 601-612
sebagai proses yang mengarah kearah damai dari situasi kekerasan atau konflik. Konflik sosial merupakan konflik yang cukup kompleks dimana akar konflik berdasarkan dari beberapa dimensi sosial, politik, ekonomi. Dengan mengetahui akar konflik, proses damai memiliki goal untuk transformasi masyarakat dari konflik menjadi situasi damai. Nicole Ball membagi proses damai damai kedalam 2 tingkat : Penghentian Konflik dengan sub-tahapan negosiasi dan penghentian permusuhan serta Membangun Perdamaian dengan sub-tahapan transisi dan konsolidasi. Metode Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analitis, dimana penulis menjelaskan dinamika konflik Nepal dan negosiasi diantara pihak-pihak yang berkonflik dalam usaha menyelsaikan konflik. Data-data yang disajikan adalah data sekunder yang diperoleh melalui telaah pustaka dan literatur-literatur seperti buku, internet, dan lain-lain.Teknik analisis data yang digunakan yaitu illustrative method. Pembahasan A. Tahapan Konflik 1. Konfrontasi Pengakuan Nepal sebagai negara Hindu merupakan salah satu kekecewaan bagi masyarakat Nepal dari pembentukan konstitusi 1990. Jaminan HAM mengenai kesetaraan antar kasta menjadi tidak jelas dikarenakan sistem kasta merupakan bagian dari ajaran agama Hindu. Tidak hanya itu pengembalian sistem multipartai di Nepal mengijinkan partai-partai politik untuk bersaing dalam memperoleh kursi di pemerintahan. Akan tetapi persaingan tersebut mengakibatkan fokus pemerintah hanya dalam bidang politik dan tidak memberikan perhatian yang cukup bagi bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosial dan budaya di Nepal. Sehingga pasca pembentukan konstitusi yang baru tidak memberikan hasil yang berbeda dengan konstitusi-konstitusi yang sebelumnya. Keberhasilan pemberontakan dalam menggulingkan monarki pada 1990 merupakan acuan bagi Maoist untuk melakukan hal yang sama guna mencapai tujuannya membentuk negara republik dan lebih sekuler. Pemberian 40 tuntutan kepada pemerintah Nepal oleh kelompok Maoist menandakan awal mula kelompok ini guna memperbaiki status quo yang tidak memberikan perubahan yang lebih baik warga negara Nepal. Akan tetapi tuntutan tersebut justru tidak dihiraukan oleh pihak pemerintah meskipun Maoist telah memberikan ancaman jika tuntutan tersebut tidak segera dipenuhi kelompok ini akan melancarkan serangan bersenjata agar tuntutannya terpenuhi. Sikap Maoist menunjukkan bahwa pemerintah Nepal tidak mampu untuk melaksanakan tugasnya mensejahterakan warganegara Nepal sehingga menginginkan perubahan dalam sistem politik yang mana perubahan ini menjadi tujuan utama yang harus dicapai baik melalui cara halus maupun melalui cara kasar. Disisi lain pemerintah Nepal justru mengesampingkan tuntutan dan ancaman yang diberikan oleh pihak Maoist. Sebagai partai minoritas tentu saja
604
Manajemen Konflik Dalam Mengatasi Konflik Nepal Tahun 1996-2006 (Winda Hanifi Ardy)
pemerintah tidak mengira bahwa partai ini mampu untuk menggerakkan revolusi yang terjadi selama 10 tahun. Tindakan tidak menghiraukan pemerintah atas tuntutan yang diberikan merupakan langkah yang tidak seharusnya diambil. Meskipun pada akhirnya pemerintah tidak bisa memenuhi tuntutan tersebut setidaknya pemerintah dapat merespon hal tersebut melalui diplomasi halus agar resiko penyerangan kekerasan dimasa mendatang dapat diminimalisir atau bahkan dieliminasi. Sebaliknya tindakan tersebut justru menciptakan pemikiran bahwa pemerintah Nepal tidak mengindahkan suara-suara dan aspirasi dari kaum minoritas pada saat itu. 2. Krisis Tahapan krisis dalam konflik Nepal terjadi pada februari 1996 saat kelompok Maoist secara resmi memulai serangkaian serangan bersenjata terhadap pos-pos polisi Nepal. Serangan Maoist bermula pada distrik Rolpa dan Rukum, seiring dengan perkembangannya serangan ini kemudian meluas ke distrik-distrik lainnya di Nepal. Pada tahun 1998 pemerintah Nepal merespon serangan-serangan Maoist melalui kebijakan Kilo Sierra II. Kebijakan tersebut memperbolehkan kepolisian Nepal untuk melakukan tindakan kekerasan kepada siapa saja yang dicurigai sebagai bagian dari kelompok Maoist. Akibat dari tindakan kekerasan yang sewenang-wenang tersebut membuat masyarakat Nepal mulai mendukung revolusi kelompok Maoist. Dukungan tersebut terlihat dari banyaknya wilayah pengaruh Maoist dimana 66 dari 75 distrik di Nepal berada dibawah pengaruh kelompok ini.
Meluasnya wilayah kontrol Maoist kemudian menimbulkan kekhawatiran legitimasi pemerintahan Nepal. Pada tahun 2000, pemerintah Nepal mengajukan usulan dialog tidak resmi kepada kelompok Maoist akan tetapi usulan tersebut ditolak oleh Prachanda selaku pemimpin kelompok Maoist. Hal tersebut dikarenakan pemerintah tidak dapat memenuhi persyaratan yang diajukan oleh kelompok Maoist seperti seluruh para pemimpin Maoist dan pekerjanya yang berada di penjara harus dibebaskan, deklarasi “terorisme negara” harus dihentikan, nama-nama korban hilang dan terbunuh akibat tindakan kepolisian harus dipublikasikan, investigasi pembunuhan dan penyiksaan harus diinisiasi dan secara tegas harus ditindaklanjuti bagi mereka yang terbukti bersalah dan pemberian kompensasi terhadap korban dari kekerasan polisi Nepal. Sehingga Prachanda memutuskan untuk menolak tawaran dialog pemerintah Nepal. Ketidak stabilan politik Nepal diperparah melalui peristiwa pembunuhan massal keluarga kerajaan Nepal. Peristiwa tersebut menewaskan Raja, Ratu dan Pangeran Mahkota Nepal pada 1 Juni 2001. Kekuasaan kerajaan kemudian diambil alih oleh adik sang Raja, yakni Pangeran Gyanendra. Setelah pengangkatan Raja Gyanendra, pemerintah Nepal dan kelompok Maoist sepakat untuk melakukan gencatan senjata pada 22 Juli 2001 serta diskusi negosiasi untuk pertama kalinya. Dalam negosiasi tersebut kelompok Maoist segera memberikan 3 tuntutan utama kepada pemerintah terkait dengan tujuannya. Akan tetapi hanya satu per tiga tuntutan yang mampu dipenuhi oleh pihak pemerintah Nepal. Akibatnya kedua belah pihak tidak dapat memperoleh kesepakatan damai. Hal tersebut kemudian
605
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 601-612
berimbas kepada peningkatan konflik dimana serangan Maoist dan pemerintah Nepal mencapai skala yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. 3. Perang Pasca gagalnya negosiasi tahun 2001 konflik diantara pemerintah Nepal dan Maoist meningkat ke tahapan puncak konflik yakni perang. Pada 26 November 2001 untuk pertama kalinya pemerintah Nepal mendeklarasi “state of emergency” yang berlangsung selama 90 hari. Situasi “state of emergency” kemudian kembali dideklarasikan pada 25 Februari 2002 dengan jangka waktu yang sama yakni 90 hari. Dan ketiga kalinya pada 27 Mei 2002 selama 90 hari. Situsi tersebut kemudian memungkinkan tentara kerajaan Nepal diturunkan untuk menghadapi peningkatan serangan dari kelompok Maoist. Serangan-serangan yang dilakukan oleh Maoist segera dianggap sebagai bagian dari tindakan terorisme. Negaranegara lain seperti AS dan India kemudian segera mencap Maoist sebagai kelompok terorisme dan memberikan bantuan militer kepada pemerintah Nepal guna menghadapi kelompok ini. Mobilisasi tentara kerajaan Nepal dan deklarasi Maoist sebagai kelompok teroris diikuti dengan kebijakan Terrorist and Destructive Activities Ordinance (TADO). Kebijakan ini memberikan tentara kerajaan Nepal otoritas untuk menghakimi siapa saja yang dicurigai sebagai bagian dari kelompok Maoist. Akibatnya terjadi banyak sekali pelanggaran HAM yang terjadi akibat dari aksi kedua belah pihak baik tentara kerajaan Nepal maupun dari kelompok Maoist. Lebih dari 3.000 jiwa menjadi korban akibat dari serangan bersenjata pihak-pihak yang berkonflik di tahun 2002. Situasi ini merupakan puncak dari perselisihan yang terjadi diantara pemerintah Nepal dan kelompok Maoist dimana kedua belah pihak mengeluarkan seluruh sumber daya yang ada guna menghadapi segala serangan yang dilakukan oleh pihak lainnya. Yang berakibat pada pelanggaran-pelanggaran HAM dengan jumlah korban paling tinggi sepanjang terjadinya konflik Nepal. B. Proses Damai 1. Diskusi Damai 2001 Gencatan senjata dideklarasikan untuk pertama kalinya pada 22 Juli 2001 oleh kedua belah pihak yakni, Maoist dan pemerintah Nepal. Negosiasi damai dimulai setelah penunjukkan kembali S.B. Deuba sebagai perdana menteri pada juli 2001 serta deklarasi gencatan senjata selama tujuh hari dan menominasikan lima anggota komite negosiasi yang dipimpin oleh Chiranjibi Wagle. Dengan pola yang sama, Krishna Bahadur Mahara memimpin tiga anggota dari tim Maoist. Wakil dari pemerintah dan kelompok Maoist memulai diskusi di Godabari Village Resort pada 30 Agustus 2001. Mantan juru bicara Daman Nath Dhugana dan mantan menteri Padma Ratna Tuladhar dinominasikan sebagai fasilitator dalam negosiasi damai tersebut. Pertemuan berlangsung selama satu hari mendiskusikan tiga topik utama yakni, republik, konstitusi baru melalui majelis konstituen dan pemerintahan sementara. Pertemuan kedua dilakukan pada 3 September 2001 yang berlangsung selama dua hari. Meskipun pemerintah siap untuk menerima tuntutan Maoist terkait
606
Manajemen Konflik Dalam Mengatasi Konflik Nepal Tahun 1996-2006 (Winda Hanifi Ardy)
pemerintahan sementara, akan tetapi terdapat perbedaan pendapat diantara kedua belah pihak terkait dua tuntutan lainnya dengan alasan bahwa pembentukan majelis konstituen akan menghapus konstitusi yang ada. Pertemuan ketiga berlangsung pada 21 November 2001, akan tetapi negosiasi tidak berjalan dengan lancar terkait aksi bersikeras kedua belah pihak yang mengakibatkan kelompok Maoist kemudian keluar dari negosiasi dan kembali melakukan penyerangan terhadap pangkalan militer dan polisi di Dang, Pyuthan, Syangja dan di beberapa distrik lainnya. Keputusan untuk melakukan negosiasi dapat dilaksanakan ialah karena adanya keinginan dari pihak pemerintah untuk memperbaiki kondisi yang terjadi. Setelah diacuhkannya 40 tuntutan awal sebelum melakukan serangan oleh kelompok Maoist, pemerintah sepertinya tidak menyangka bahwa partai minoritas ini mampu untuk memobilisasi pergerakannya ke hampir seluruh distrik di Nepal. Isu-isu yang diperjuangkan oleh Maoist terbukti merupakan isu-isu dasar dari kekecewaan rakyat Nepal terhadap pemerintahnya melalui kesediaan masyarakat dalam berpartisipasi mendukung pergerakan kelompok Maoist. Disisi lain, kesediaan Maoist untuk berpartisipasi dalam negosiasi ialah adanya harapan pemerintah akan memenuhi tuntutan mereka setelah berhasil menekan pemerintah melalui pergerakan kelompok ini serta wilayah pengaruh yang luas. Sehingga tujuan yang selama ini diperjuangkan akan dapat terealisasikan dengan segera. Diskusi negosiasi pertama Nepal dilakukan tanpa adanya campur tangan pihak luar untuk memfasilitasi negosiasi tersebut. Keseluruhan proses dilakukan secara internal negara Nepal. Sehingga tingkat pengalaman mengenai tata cara proses negosiasi secara professional masih sangat kurang. Selain itu, negosiasi pertama diantara kelompok Maoist dan pemerintah Nepal juga gagal mencapai kesepakatan. Hal tersebut dikarenakan anggapan pemerintah yang mengganggap tuntutan yang diajukan oleh Maoist terlalu tinggi hingga mencapai batas kemampuan dari pemerintah Nepal. Sehingga dengan tegas pemerintah Nepal tidak dapat mengabulkan tuntutan yang diajukan. Sikap tegas yang ditunjukkan oleh pemerintah menjadikan menurunnya rasa kompetisi untuk memperjuangkan tuntutan kelompok Maoist dalam meja negosiasi karena dirasa tidak akan berpengaruh. Sehingga pada akhirnya kelompok ini memilih mundur dari meja negosiasi dan berencana mengambil tindakan kekerasan guna mempengaruhi keputusan agar tuntutannya dapat dipenuhi oleh pemerintah Nepal. 2. Diskusi Damai 2003 Setelah pemecatan PM S.B. Deuba, raja menunjuk L.B. Chand sebagai PM pada Oktober 2002. Pemerintah dan kelompok Maoist sekali lagi mendeklarasikan gencatan senjata dan setuju untuk melakukan negosiasi damai kembali. Narayan Singh Pun ditunjuk sebagai koordinator diskusi dari pihak pemerintah. Maoist kemudian membentuk tim negosiasi yang terdiri dari lima anggota. Pemerintah juga kemudian membentuk tim negosiasi yang terdiri dari enam anggota pada 16 April 2003. Untuk memfasilitasi diskusi damai tersebut, pemerintah
607
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 601-612
menominasikan Shailendra Kumar Upadhyaya dan Karna Dwhoj Adhikary, sedangkan Maoist menominasikan Daman Nath Dhungana dan Padma Ratna Tuladhar sebagai fasilitator, kedua pihak akhirnya sepakat bahwa keempat individual untuk menjadi fasilitator. Setelah tiga putaran diskusi damai – putaran pertama berlangsung pada 27 April 2003 di distrik Kathmandu dan putaran kedua pada 9 Mei 2003 di tempat yang sama. Pasca putaran kedua diskusi damai, PM Chand mengundurkan diri dari jabatannya pada 30 Mei 2003, Raja kemudian menunjuk S.B. Thapa sebagai PM pada 4 Juni 2003. Memasuki periode PM Thapa, putaran ketiga diskusi damai berlangsung pada 17-19 Agustus 2003. Ia menominasikan Dr. Prakash Chandra Lohani dan Kamal Thapa sebagai negosiator. Sebagai respon dari surat undangan oleh Kamal Thapa, Maoist menuntut komitmen pemerintah dalam implementasi dari keputusan sebelumnya mengenai pembebasan 300 kader Maoist dari hukuman. Dalam diskusi tersebut Maoist tetap bersikeras dengan tuntutan dasar mereka yakni, dewan konstituen. Hal tersebut kemudian kembali ditolak oleh pemerintah. Sebagai hasilnya, Maoist mengundurkan diri dari dialog damai dan kembali pada politik kekerasan dan penghancuran. Hal tersebut membuat pemerintah sekali lagi mendeklarasikan Maoist sebagai teroris pada 28 Agustus 2003. Peningkatan konfrontasi pasca gagalnya negosiasi 2001 membuat isu HAM menjadi topik yang harus diperhatikan. Setelah mendeklarasikan Maoist sebagai teroris dan mendapatkan bantuan militer dari Negara lain segera saja pemerintah Nepal membuat protokol melawan kelompok Maoist yang berakibat pada tingginya pelanggaran HAM yang terjadi. Sehingga kecaman terhadap tindakan pemerintah tersebut terus dilemparkan dari dunia internasional guna menekan pemerintah Nepal. Negara-negara yang sebelumnya memberikan bantuan militer segera menghentikan bantuannya terkait isu HAM yang terjadi. Mempertimbangkan situasi tersebut pemerintah kemudian melakukan pendekatan kembali dengan kelompok Maoist untuk pembicaraan negosiasi. Melihat tekanan yang dilontarkan dunia internasional terhadap pemerintah Nepal merupakan sebuah kesempatan bagi Maoist untuk kembali memperjuangkan tuntutan mereka agar disetujui oleh pemerintah dan sepakat untuk melakukan negosiasi. Disisi lain, kekuatan militer tentara kerajaan Nepal juga turut menekan posisi kelompok Maoist dimana kelompok ini sadar bahwa kekuatan militer mereka tidak dapat mengalahkan kekuatan militer kerajaan Nepal. Negosiasi kedua yang dilaksanakan antar kedua belah pihak tidak jauh berbeda dengan negosiasi pada tahun 2001 dimana aktor-aktor yang terlibat dalam negosiasi merupakan aktor internal negara Nepal dan mengalami jalan buntu seperti yang sebelumnya. Tuntutan utama yang diajukan masih belum dapat dikabulkan oleh pemerintah. Kedua belah pihak masih bersikeras dengan kedudukan masing-masing yang membuat negosiasi tidak dapat mengalami perkembangan yang lebih baik. Disisi lain, pada negosiasi kedua ini tim pemerintah mengalami permasalahan internal yang mengakibatkan putaran pertama dan kedua dibawah pemerintahan PM L.B. Chand sedangkan putaran
608
Manajemen Konflik Dalam Mengatasi Konflik Nepal Tahun 1996-2006 (Winda Hanifi Ardy)
ketiga dibawah pemerintahan PM S.B. Thapa. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya rasa tidak percaya oleh kelompok Maoist dan menganggap pemerintah Nepal tidak kompeten. 3. Diskusi Damai 2006 Proses damai 2006 ditandai dengan persatuan politik melalui kerjasama dari Aliansi Tujuh Partai (ATP) dan Maoist melawan Raja Gyanendra. Setelah Raja Gyanendra secara sepihak membubarkan parlemen pemerintahan. Dan akhirnya mengembalikan kembali pemerintahan parlementer setelah memobilisasi demonstrasi pro-demokrasi secara besar-besar selama 19 hari. Dengan aliansi yang telah terbentuk diantara Maoist dan ATP sebagai partai yang berkuasa di parlemen pemerintahan, pelaksanaan negosiasi kemudian menjadi lebih mudah. Sebelumnya kelompok Maoist dengan tegas mengatakan mengenai 3 tuntutan utama yang ditujukan kepada pemerintah Nepal. Akan tetapi hanya satu per tiga tuntutan yang dapat dipenuhi oleh pemerintah dan mengakibatkan pembicaraan negosiasi mengalam jalan buntu. Saat kerajaan secara sepihak membubarkan parlemen pemerintahan kemudian tercipta musuh bersama bagi ATP dan kelompok Maoist guna melawan kekuasaan monarki. Pada saat inilah kesepakatan secara tidak resmi telah terjalin mengenai pembentukan majelis konstituen guna menghilangkan kekuasaan kerajaan. Dengan kesepakatan tersebut menjadikan dua per tiga tuntutan utama Maoist dipenuhi oleh pemerintah Nepal. Keberhasilan negosiasi tahun 2006 berawal dari kesepakatan yang terjadi diantara ATP dan kelompok Maoist. Kelompok Maoist dan ATP melakukan negosiasi dengan India sebagai fasilitator. Pada 22 November 2005, ATP dan Maoist menandatangani 12-Point Understanding sebagai awal dari kerjasama keduanya. Setelah pemerintahan dikembalikan, negosiasi putaran pertama diantara pemerintah Nepal dan Kelompok Maoist menghasilkan kesepakatan 25-Point Code of Conduct pada 25 Mei 2006. Hal tersebut diikuti dengan penandatangan 8Point Agreement di putaran kedua negosiasi pada 16 Juni 2006. Pada tanggal 9 Agustus 2006, kedua belah pihak Maoist dan pemerintah Nepal sepakat untuk mengirimkan surat kepada PBB untuk membantu pembangunan perdamaian di Nepal. Permintaan tersebut kemudian disanggupi oleh PBB melalui putaran ketiga negosiasi pada 21 November 2006 dimana PBB bertindak sebagai observer. Dan pada negosiasi tersebut Maoist dan pemerintah Nepal menandatangani Comprehensive Peace Accord (CPA) dimana penandatanganan CPA secara resmi mengakhiri satu dekade konflik Nepal. Aktor-aktor yang terlibat dalam negosiasi tahun 2006 lebih bervariasi dibandingkan dengan aktor-aktor dalam negosiasi sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan berbagai peristiwa yang terjadi sepanjang tahun 2005 dan 2006. ATP kemudian muncul sebagai pihak oposisi yang berdiri melawan monarki dan bekerjasama dengan kelompok Maoist. Penyatuan pendapat diantara ATP dan kelompok Maoist merupakan hasil dari bantuan India sebagai fasilitator negosiasi bagi kedua belah pihak tersebut. Keberhasilan ini menjadi awal dari keberhasilan negosiasi diantara pemerintah Nepal dan kelompok Maoist pada tahun 2006.
609
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 601-612
Sebagai bentuk keseriusan pemerintah dan Maoist untuk membangun perdamaian Nepal, PBB kemudian diikutsertakan dalam proses tersebut. Keberadaan PBB pada putaran ketiga negosiasi diantara pemerintah dan kelompok Maoist serta peran India diantara ATP dan kelompok Maoist menjadikan bahwa tidak hanya aktor internal yang turut terlibat dalam proses damai di Nepal namun terdapat pula aktor eksternal lainnya. Pasca penandatangan CPA diantara pemerintah Nepal dan kelompok Maoist, konflik Nepal masuk kedalam tingkatan pembangunan perdamaian. Dalam tingkatan ini tidak hanya pemerintah Nepal dan Maoist yang terlibat melainkan juga PBB turut berpartisipasi didalam terkait permintaan yang telah diajukan. PBB kemudian mengeluarkan resolusi 1740 dan membentuk United Nations Missions In Nepal (UNMIN). UNMIN bertugas untuk membantu proses transisi damai di Nepal dan secara resmi memulai pekerjaan mereka pada 23 Januari 2007. Skema Manajemen Konflik Nepal Perang -Deklarasi “State of Emergency” oleh pemerintah Nepal -Deklarasi Maoist sebagai kelompok teroris -Penurunan Tentara Kerajaan Nepal Krisis -Kelompok Maoist memulai serangan pada februari 1996 -Kelompok Maoist berhasil memperluas daerah pengaruhnya sebanyak 66 dari 75 distrik -Pemerintah mengeluarkan kebijakan Kilo Sierra II untuk merespon tindakan Maoist Konfrontasi -Pemberian 40 tuntutan oleh kelompok Maoist kepada pemerintah Nepal dan ancaman serangan jika tidak dipenuhi -Tidak diacuhkannya tuntutan tersebut oleh pihak pemerintah Nepal Keadaan Tidak Stabil Konstitusi 1990 -Menganut sistem Monarki Konstitusional -Berlangsung selama 6 tahun -Tingkat persaingan tinggi antar parpol -Minimnya perhatian pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat Nepal Keadaan Stabil Periode Panchayat -Menganut sistem Monarki Absolut dan Non-partai -Berlangsung selama 3 dekade -Menggunakan cara non-kekerasan dalam menghadapi segala bentuk protes dari partai-partai politik
610
Negosiasi Negosiasi 2001 : Gagal -2/3 tuntutan Maoist tidak dipenuhi oleh pemerintah Nepal Negosiasi 2003 : Gagal -2/3 tuntutan Maoist tidak dipenuhi oleh pemerintah Nepal Negosiasi 2006 : Berhasil -2/3 tuntutan Maoist dipenuhi oleh pemerintah Nepal
Manajemen Konflik Dalam Mengatasi Konflik Nepal Tahun 1996-2006 (Winda Hanifi Ardy)
Kesimpulan Konflik Nepal merupakan konflik internal negara Nepal guna mengubah konstitusi negara tersebut. Pemicu utama konflik ini terjadi disebabkan oleh faktor sosial yaitu kasta. Kasta yang dilegitimasi oleh pemerintah Nepal menyebabkan diskriminasi dibidang ekonomi. Tekanan politik dari pihak kerajaan monarki dalam pemerintahan Nepal turut berpartisipasi dalam penyebab konflik. Terdapat berbagai aktor yang terlibat dalam konflik ini, aktor internal terdiri atas: Partai Komunis Nepal-Maoist (PKN-M), pemerintah Nepal dan Aliansi Tujuh Partai (ATP) yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM di Nepal sepanjang tahun 1996 hingga 2006. Dan aktor eksternal yang terdiri dari PBB dan India. Manajemen konflik dilakukan melalui tahapan negosiasi yang berhasil mencapai kesepakatan pada tahun 2006 melalui Comprehensive Peace Accord (CPA). Kesepakatan tersebut memungkinkan perubahan pemerintahan Nepal menjadi Majelis Konstituen dimana seluruh kekuasaan monarki dihapuskan. Akan tetapi keberhasilan pencapaian kesepakatan CPA tidak memberikan jaminan terhadap penghapusan praktek kasta di Nepal. Undang-Undang penghapusan kasta telah dibentuk pada konstitusi-konstitusi sebelumnya namun tidak menghambat praktek kasta dalam masyarakat Nepal. oleh karena itu, negara Nepal masih rentan untuk terjadi konflik kembali. Referensi Buku/E-Book Bhattarai Keshav, Nanda R. Shrestha. 2003. Historical Dictionary of Nepal.United States of America: Scarecrow Press ( http://en.bookfi.org, diakses pada tanggal 6 November 2013) Crocker, Chester A., Fen Osler Hampson, Pamela Aall. 2001. Turbulence Peace The Challenges of Managing International Conflict. Washington: United States of America of Peace Swanström, Niklas L.P., Mikael S. Weissmann. 2005. Conflict, Conflict Prevention,Conflict Management and Beyond: a conceptual exploration. Sweden (http://www.ohchr.org/Documents/Countries/NP/OHCHR_Nepal_Conflict _Report_Q_A2012.pdf diakses pada tanggal 6 Mei 2013) The Center for Human Rights and Global Justice. 2005.The Missing Piece Of The Puzzle Caste Discrimination and the Conflict in Nepal. NYU School of Law (http://www.chrgj.org/docs/Missing%20Piece%20of%20the%20Puzzle.pd f diakses pada tanggal 20 Mei 2013) Zartman, I. William, Guy Olivier Faure. 2005. Escalation and Negotiation In International Conflict. United Kingdom: Cambrigde University Press (http://en.bookfi.org/s/?q=escalation+and+negotiation&t=0, diakses pada tanggal 26 September 2013) Jurnal Internasional Do, Quy-Toan, Lakshmi Iyer. “Geography, Poverty and Conflict in Nepal”
611
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 601-612
(http://www.hbs.edu/faculty/Publication%20Files/07-065.pdf, diakses pada tanggal 6 Mei 2013) Farasat, Warisha, Priscilla Hayner. “Negotiating Peace in Nepal: Implications for Justice”. (http://www.initiativeforpeacebuilding.eu/pdf/Negotiating_Peace_in_Nepa l.pdf, diakses pada tanggal 31 Januari 2014) United Nations Office of the High Commissioner for Human Rights. “Nepal Conflict Report 2012” (http://www.ohchr.org/Documents/Countries/NP/OHCHR_Nepal_Conflict _Report_Q_A2012.pdf, diakses pada tanggal 6 Mei 2013) Internet Achim Wennmann, “Socio-Economic Inequalities and Peace in Nepal” http://graduateinstitute.ch/webdav/site/ccdp/shared/6305/CCDP-WorkingPaper-2-Nepal.pdf Ahmad Azem Hamad. The Reconceptualisation of Conflict Management http://www.brad.ac.uk/ssis/peace-conflict-and-development/issue7/Reconceptualisation.pdf Anjana Shakya, “Social Impact of Armed Conflict in Nepal Cause and Impact” http://www.internaldisplacement.org/8025708F004CE90B/%28httpDocu ments%29/BA26441B80B500C5C1257677004DC85F/$file/Social+Impac t+of+Armed++Conflict+in+Nepal+by+Anjana+Shakya.pdf Asian Study Center For Peace and Conflict Transformation. “Peace Process in the Context of Nepal” http://www.aspect.org.np/uploads/pubdoc/document/Peace%20Process%2 0in%20the%20Context%20of%20Nepal%20%28NOV%202010%29.pdf Jagadish Dahal, “Impact of Internal Armed Conflict on Human Rights in Nepal” http://epu.ac.at/fileadmin/downloads/research/rp_1308.pdf Keshab Prasad Bhattarai, “Local dynamics of conflict and the political development in Nepal: A “New Model” for conflict transformation” http://www.nepalresearch.com/publications/bhattarai_2006_1109.pdf Prof. Birendra Prasad Mishra, “Strength and Weaknesses of the Nepalese Peace Process” http://www.fesnepal.org%2Freports%2F2009%2Fseminar_reports%2Fpap ers%2Fpaper_BirendraMishra.pdf&ei=WNAdU7uuKYSolQX0zIGoDQ& usg=AFQjCNFt8pHiu96YJMl4EQygJr2Kr9Rx6w Sukumar Basu, People’s War: Threat to Nepal’s National Security http://www.counterinsurgency.org/Nepal/Basu-PW.pdf United Nations Mission In Nepal, “UNMIN-Archive Site” http://www.un.org.np/unmin-archive/?d=about&p=mandate “Contemporary Conflict Resolution”. Di akses dari http://www.polity.co.uk/ccr/contents/chapters/1.pdf “Understanding Conflict and Conflict Management”. Diakses dari http://www.foundationcoalition.org/publications/brochures/conflict.pdf “Vienna Declaration and Programme of Action”. Diakses dari http://www.ohchr.org/Documents/ProfessionalInterest/Vienna.pdf
612