Seri Data dan Informasi Sosek KP No.05 Kajian Desain Program dan Implementasi Industrialisasi Perikanan Berbasis Perairan Umum Daratan
Zahri Nasution, dkk
BBPSEKP
IMFISERN
i
Seri Data dan Informasi Sosek KP No.05 Kajian Desain Program dan Implementasi Industrialisasi Perikanan Berbasis Perairan Umum Daratan ISBN: 978-979-3893-87-7 Diterbitkan Oleh: Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan(BBPSEKP) bekerja sama dangan Indonesian Marine and Fisheries Socio-Economics Research Network(IMFISERN) Penanggung Jawab: Kepala Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Penyunting: Budi Wardono Rikrik Rahadian Penulis: Zahri Nasution Muhadjir Elly Reswati Rani Hafsaridewi Rismutia Hayu Deswati Design Cover: Ari Suswandi Tata Letak: Irawati Arifa Desfamita Asep Jajang Setiadi Santi Astuti
ISI DAPAT DIKUTIP DENGAN MENYEBUTKAN SUMBERNYA
Publikasi ini dicetak dengan menggunakan Anggaran Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2013
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya buku Seri Data dan Informasi Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan ini dapat diselesaikan. Buku data dan informasi ini merupakan salah satu keluaran dari kegiatanPenelitian Kajian Desain Program dan Implementasi Industrialisasi Perikanan Berbasis Perairan Umum Daratanyang dibiayai dari APBN tahun 2013. Paket data ini berisikan berbagai tabel dan hasil analisis, yang dimuat dalam Laporan Teknis Akhir kegiatan penelitian tersebut. Data yang ditampilkan merupakan hasil olahan dari data sekunder dan primer hasil penelitian. Data yang tercantum meliputi data perikanan tingkat nasional dan data perikanan dari 3 tipologi yaitu waduk,danau dan sungai rawa di enam lokasi penelitian, yaitu di Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Kerinci, Kabupaten Barito Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Brebes. Terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Kepala Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBPSEKP) yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan kegiatan Kajian Desain Program dan Implementasi Industrialisasi Perikanan Berbasis Perairan Umum Daratan ini. Tim Peneliti menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Penanggung Jawab dan Tim Lab Data BBPSEKP yang telah menyunting dan menerbitkan buku seri data dan informasi ini. Terima kasih juga diucapkan kepada berbagai pihak, yang telah banyak membantu kelancaran dalam pengumpulan data lapangan kegiatan sehingga terselesaikan buku data dan informasi ini. Akhirnya, semoga buku seri data dan informasi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Saran perbaikan yang bersifat positif konstruktif sangat diharapkan.
Jakarta,
Desember 2013
Tim Peneliti
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... iii DAFTAR ISI............................................................................................................................ iv DAFTAR TABEL ...................................................................................................................... v DAFTAR GAMBAR................................................................................................................ vii BAB I PENGANTAR................................................................................................................. 1 METODOLOGI........................................................................................................................ 3 KONSEP DAN DEFINISI .......................................................................................................... 3 BAB IIDATA DAN INFORMASI .............................................................................................. 21 BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 62
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Tingkat produksi perikanan tangkap yang berasal dari perairan umum daratan beserta jumlah nelayan, RTP, unit penangkapan dan nilai produksi secara nasional tahun 2007 hingga 2011. ........................................................................................................ 3
Tabel 2.
Tingkat Kenaikan Penurunan Produksi Perikanan Tangkap, Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan dan Nilai Produksi Perikanan yang berasal dari Perairan Umum Daratan Tahun 2007 hingga 2011. ......................................................................................... 4
Tabel 3.
Tingkat Produktivitas Produksi Perikanan Tangkap, Nilai Produksi Perikanan Perairan Umum Daratan per Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan Tahun 2007 hingga 2011. ........................................................................................................................... 5
Tabel 4.
Tingkat Produktivitas Produksi Perikanan Tangkap dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Perairan Umum Daratan per Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan Tahun 2007-2009 dan 2010-2011. ......................................................................................... 5
Tabel 5.
Tingkat produksi perikanan tangkap yang berasal dari perairan umum daratan beserta jumlah nelayan, RTP, unit penangkapan dan nilai produksi secara nasional tahun 2007 hingga 2011. ...................................................................................................... 21
Tabel 6.
Tingkat Produktivitas Produksi Perikanan Tangkap, Nilai Produksi Perikanan Perairan Umum Daratan per Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan Tahun 2007 hingga 2011. ......................................................................................................................... 21
Tabel 7.
Tingkat Produktivitas Produksi Perikanan Tangkap dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Perairan Umum Daratan per Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan Tahun 2007-2009 dan 2010-2011. ....................................................................................... 23
Tabel 8.
Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya di Ogan Ilir, Tahun 2008 - 2012 ...................... 24
Tabel 9.
Produksi dan Nilai Produksi Tiap Jenis Ikan Tangkap di Perairan Umum Kab. Ogan Ilir Tahun 2009 ...................................................................................................................... 24
Tabel 10. Produktivitas Perikanan Perairan Umum Sungai dan Rawa di Kab. Ogan Ilir Tahun 2006-2012 ............................................................................................................................ 25 Tabel 11. Produksi Perikanan Di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2009 dan 2012 ...................................... 26 Tabel 12. Produksi Perikanan Budidaya di Kab. Ogan Ilir Tahun 2009 dan 2012. ................................ 27 Tabel 13. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Budidaya Berdasarkan Jenis Ikan Dan Jenis Usaha di Perairan Umum Kab. Ogan Ilir 2009 ................................................................................ 28 Tabel 14. Jenis dan jumlah alat tangkap ikan di Kab. Ogan Ilir 2009 ................................................... 30 Tabel 15. Kalender Musim Tangkap di Kabupaten Ogan Ilir ................................................................ 30 Tabel 16. Harga beli dan harga jual ikan pada tingkat pedagang pengecer......................................... 31 Tabel 17. Jumlah Pengolah Kerupuk/Kemplang di Kab. Ogan Ilir ........................................................ 32 Tabel 18. Luas Wilayah Per Kecamatan di Kabupaten Barito Selatan .................................................. 38 Tabel 19. Produksi Perikanan Darat Menurut Kecamatan (ton) di Kabupaten Barito Selatan ............ 38 Tabel 20. Areal dan Produksi Budidaya Kabupaten Hulu Sungai Utara ............................................... 42 Tabel 21. Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Kerinci Tahun 2009 - 2011............... 43 Tabel 22. Produksi Berbagai Macam Ikan Di Kabupaten Kerinci Tahun 2012 ...................................... 44 Tabel 23. Produksi, konsumsi ikan dan peran perikanan tangkap di Kabupaten Kerinci, Jambi Tahun 2009 – 2011 ............................................................................................................... 45 Tabel 24. Infrastruktur pendukung industrialisasi perikanan di Kab. Kerinci, Tahun 2013.................. 45 Tabel 25. Jumlah alat tangkap dan nelayan di Kabupaten Kerinci Tahun 2012 ................................... 46
v
Tabel 26. Jenis dan volume dan harga ikan yang diperdagangkan seorang pedagang tiap bulan sesuai musim tangkap di Kabupaten Kerinci, Jambi. ................................................. 47 Tabel 27. Jenis-jenis Alat Tangkap yang Digunakan Nelayan Kabupaten Simalungun Tahun 2008-2011 ............................................................................................................................ 51 Tabel 28. Komposisi jenis ikan di Waduk Malahayu Kab. Brebes Jawa Tengah. .................................. 57
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.Kawasan Pengembangan Minapolitan di Kabupaten Ogan Ilir ............................................ 29 Gambar 2.Saluran pemasaran ikan tangkap di Ogan Ilir ....................................................................... 33 Gambar 3.Rantai Nilai Ikan Gabus segar di Kabupaten Ogan Ilir .......................................................... 34 Gambar 4.Rantai Nilai 2 Ikan Gabus segar di Kabupaten Ogan Ilir ....................................................... 35 Gambar 5.Rantai Nilai 3 Ikan Gabus bentuk olahan (kerupuk) di Kab. Ogan Ilir ................................... 35 Gambar 6.Rantai Nilai 4 ikan sepat segar .............................................................................................. 36 Gambar 7.Rantai Nilai 5 ikan sepat segar .............................................................................................. 37 Gambar 8.Alat – Alat Tangkap Nelayan di Kabupaten Barito Selatan ................................................... 39 Gambar 9.Rantai Pasok ( Supply Chain) Perikanan di Kabupaten Barito Selatan ................................. 40 Gambar 10. Gambar 11.
Rantai pemasaran ikan gabus ..................................................................................... 40 Value chain analysis ikan gabus rantai 1 ............................................................................... 41
Gambar 12. Rantai pemasaran ikan hasil tangkap di Kabupaten Kerinci .............................................. 47 Gambar 13.
Rantai Pasok Ikan di Kabupaten Kerinci, Jambi ........................................................... 48
Gambar 14.
Rantai pemasaran ikan hasil tangkap di Danau Kerinci............................................... 49
Gambar 15. Kawasan perairan Danau Toba yang meliputi 7 kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. ................................................................................................................... 50 Gambar 16.
Rantai Pemasaran Ikan Bilih di Kab. Simalungun, Sumut ............................................ 55
Gambar 17.
Rantai pasok komoditas ikan Gabus di Kabupaten Brebes ......................................... 58
Gambar 18.
Rantai pasok komoditas nila Waduk Malahayu .......................................................... 59
Gambar 19. Sistem pohon industri ikan gabus...................................................................................... 60 Gambar 20. Sistem pohon industri komoditas gabus dari nelayan ke pengumpul dan ke pengecer ............................................................................................................................... 61
vii
BAB IPENGANTAR
Industrialisasi perikanan merupakan “proses perubahan sistem produksi hulu dan hilir” dengan tujuan untuk meningkatkan produksi, produktivitas, dannilai tambah produk kelautan dan perikananyang berdaya saing tinggi dan berorientasi pasar (KKP, 2012). Kemudian, juga untuk mempercepat pembangunan ekonomiberbasis kelautan dan perikanan melaluimodernisasi sistem produksi danmanajemen, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan (KKP, 2012). Sejalan dengan yang dikemukakan diatas, Satria (2011) mengemukakan, dalam arti luas, industrialisasi perikanan adalah transformasi ke arah perikanan yang bernilai tambah, dengan tujuan meningkatkan nilai tambah produksi perikanan lokal yang dinikmati para pelaku usaha kecil dan menengah. Industrialisasi bukan hanya sekadar membangun pabrik, tetapi lebih pada terciptanya sistem yang menjamin meningkatnya mutu produk perikanan nelayan dan pembudidaya ikan yang bernilai tambah, berkelanjutan, dan meningkatkan kesejahteraan mereka (Satria, 2011).Dengan demikian, industri tidak semata teknologi, tetapi orientasi nilai budaya baru, di mana industri mengait pada sumber daya lokal, sehingga pelaku lokal di hulu terlibat secara dalam dan karena itu keberlanjutan sumber daya menjadi penting untuk menjamin keberlanjutan produksi. Kemudian, dalam arti sempit, industrialisasi perikanan adalah membangun pabrik-pabrik pengolahan ikan, yang bertujuan untuk meningkatkan produksi ikan olahan.baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Secara konseptual industrialisasi perikanan menganut prinsip-prinsip (KKP, 2012): (1) Meningkatkan nilai tambah dan daya saing: peningkatan nilai tambah dan daya saing produk untuk ekspor dan memenuhi kebutuhan dalam negeri; (2) Modernisasi sistem produksi: efisiensi dan modernisasi sistem produksi hulu dan hilir; (3) Penguatan pelaku industri kelautan dan perikanan: peningkatan jumlah, kapasitas, dan kualitas industri kelautan dan perikanan dan pembinaan hubungan antar entitas bisnis dan industri pada semua tahapan value chain untuk memperkuat struktur industri kelautan dan perikanan; (4) Berbasis komoditas, wilayah, dan sistem manajemen kawasan; (5) Konsentrasi pada komoditas unggulan, potensi wilayah dan manajemen sentra-sentra produksi potensial sesuai dengan prospek pertumbuhannya di masa depan; (6) Berkelanjutan: prinsip keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan berjangka panjang; (7) Transformasi sosial: perubahan cara berfikir dan perilaku masyarakat modern. Berdasarkan ke tujuh prinsip tersebut, maka arah kebijakan industrialisasi adalah: (1) Peningkatan produktivitas, nilai tambah dan kesejahteraan rakyat; (2) Peningkatan daya saing dan modernisasi berorientasi pasar, dan (3) Swasembada dan manajemen kelautan dan perikanan berkelanjutan: integrasi hulu dan hilir berwawasan lingkungan. 1
Terkait dengan konsep pembangunan ekonomi berbasis pada potensi wilayah, maka muncul gagasan pembangunan kawasan minapolitan di perairan umum daratan, yang juga dapat dikembangkan sebagai kawasan industrialisasi perikanan.Dalam hal ini, pemanfaatan potensi perairan umum daratan yang mencapai 12 juta hektar (Sukadi and Kartamihardja) dapat memberikan dukungan terhadap pencapaian IKU KKP khususnya terkait dengan peningkatan produksi kelautan dan perikanan, tingkat konsumsi dan peningkatan nilai ekspor produk perikanan (BBPSEKP, 2013). Konsep minapolitan memiliki kaitan penting dalam mempercepat implementasi industrialisasi pembangunan ekonomi masyarakat berbasis potensi wilayah dengan mengandalkan potensi sumber daya lokal (Sunoto, 2011) termasuk perikanan perairan umum daratan. Beberapa aspek yang harus dipertimbangkan dalam upaya peningkatan produksi perikanan perairan umum adalah aspek sumber daya dan tata ruang, aspek masyarakat dan bisnis, aspek kelembagaan, keberadaan infrastruktur serta dukungan kebijakan dan governance (BBRSEKP, 2010).Disamping itu, industrialisasi perikanan menghendaki keterkaitan antara industri penyedia bahan baku (produksi), dengan industri pengolahan dan pemasaran (Sharif, 2011). Salah satu upaya mendukung industrialisasi perikanan tersebut, KKP memprioritaskan peningkatan daya saing dan nilaitambah melalui program peningkatan "supply chain and value chain management". Sharif (2011) mengemukakan juga bahwa terdapat empat strategi dalam mendukung industrialisasi perikanan, yaitu;Pertama, meningkatkan produksi perikanan tangkap melalui berbagai program; Kedua,meningkatkan produksi perikanan budidaya. Ketiga, meningkatkan produksi produk olahan bernilai tambah tinggimelalui peningkatan kapasitas UKM dan industrialisasi pengolahan. Keempat, mengembangkan industripendukung serta industri terkait lainnya.Terkait dengan strategi tersebut terdapat beberapa faktor-faktor penting terkait desain program dan implementasi industrialisasi perikanan1. Dengan demikian terlihat bahwa penting untuk mengkaji desain program dan implementasi induistrialisasi berbasis perikanan pada kawasan minapolitan perairan umum daratan serta berbagai aspek terkait terhadap industrialisasi tersebut terutama perdagangan dan pemasaran komoditas yang dihasilkan pada kawasan program tersebut.
1
Faktor-faktor tersebut adalah peningkatan nilai tambah, daya saing produk untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor, efisiensi dan modernisasi sistem produksi hulu dan hilir, peningkatan jumlah dan kapsitas bisnis, pembinaan hubungan pada entitas bisnis pada semua tahapan value chain untuk memperkuat struktur industri KP, konsentrasi pada komoditas unggulan, potensi wilayah dan manajemen sentra produksi potensial, keseimbangan antara pemanfaatan dan perlindungan lingkungan jangka panjang, perubahan cara berpikir dan perilaku masyarakat modern (KKP, 2012).
2
METODOLOGI
Penelitian dilakukan pada bulan Januari – Desember 2013. Lokasi penelitian yang dipilih merupakan lokasi-lokasi yang sudah ditetapkan menjadi kawasan minapolitan dan juga merupakan lokasi penerapan industrialisasi perikanan yaitu di Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Kerinci, Kabupaten Barito Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Brebes. Penelitian ini menggunakan metode survey dengan mengumpulkan data primer dan sekunder selama kegiatan penelitian.Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif dengan melakukan analisis kebijakan yang mendukung industrialisasi perikanan di tiap lokasi penelitian, analisis value chain dan analisis pohon industri pada setiap komoditas unggulan di lokasi penelitian.Secara khusus untuk dasar penyempurnaan desain program industrialisasi berbasis perikanan di kawasan perairan umum daratan dilakukan analisis per tipe ekosistem dengan membandingkan antara kondisi saat ini (existing condition) terhadap kondisi ideal industrialisasi perikanan yang ditunjukkan oleh beberapa variabel kunci prinsip penting dalam industrialisasi perikanan (KKP, 2012). Analisis komparatif (perbandingan) dilakukan pada sektor hulu, proses dan hilir. KONSEP DAN DEFINISI
Produksi Perikanan Perairan Umum Daratan (PUD) Nasional Produksi perikanan tangkap yang berasal dari perairan umum daratan, jumlah nelayan, RTP, unit penangkapan dan nilai produksinya terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Tingkat produksi perikanan tangkap yang berasal dari perairan umum daratan beserta jumlah nelayan, RTP, unit penangkapan dan nilai produksi secara nasional tahun 2007 hingga 2011.
Uraian
Produksi
Tahun 2007
2008
2009
2010
2011
310.467
301.182
296.736
344.972
347.720
(ton) Nilai Produksi
3.406.284.057 4.143.679.692 4.402.230.140 4.968.927.106 5.694.220.000
(Rp.000) Nelayan
523.827
496.499
472.688
457.835
492.870
RTP
353.562
334.169
309.932
313.849
313.270
3
Unit
Penang-
818.411
820.273
714.724
538.855
n.a
901
1.369
1.419
1.452
1.452
kapan Pokmaswas
Sumber: Statistik Kelautan dan Perikanan 2011. Berdasarkan Tabel 1 diatas, maka dapat ditunjukkan bahwa apakah terjadi peningkatan ataukah penurunan pada setiap hal-hal yang dijelaskan dalam tabel tersebut, sebagaimana terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 memperlihatkan bahwa tingkat produksi perikanan yang berasal dari perairan umum daratan dari tahun 2007 hingga tahun 2011 rata-rata meningkat sebesar 9.178 ton per tahun. Terlihat pula bahwa peningkatan yang terjadi mulai tahun 2009 hingga tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi suatu peningkatan sebagai akibat adanya suatu program tertentu. Namun demikian, meskipun tingkat produksi rata-rata meningkat sedikit, tetapi nilai produksi selalu meningkat setiap tahunnya. Rata-rata peningkatan nilai produksi selama periode 2007-2011 adalah sebesar Rp.571.983.986.- per tahun. Tabel 2. Tingkat Kenaikan Penurunan Produksi Perikanan Tangkap, Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan dan Nilai Produksi Perikanan yang berasal dari Perairan Umum Daratan Tahun 2007 hingga 2011.
Uraian
Tahun
Rata-Rata
2007-2008
2008-2009
2009-2010
2010-2011
Per Tahun
- 9.825
- 4.446
+ 48.236
+ 2.748
9.178
+737.395.635
+258.550.448
+566.696.966
+725.292.894
571.983.986
Nelayan
- 27.328
- 23.811
- 14.853
+ 35.305
- 7.672
RTP
- 19.393
- 24.237
+ 3.917
- 579
- 10.073
+ 1.862
- 105.549
- 175.869
n.a
- 93.185
+ 468
+ 50
+ 33
0
138
Produksi (ton) Nilai
Prod.
(Rp.000)
Unit
pe
-
nangkapan Pokmaswas Sumber: Diolah dari Tabel 1.
Di lain pihak, semua yang merupakan unsur upaya bersifat rata-rata menurun baik nelayan, RTP, maupun unit penangkapan per tahun, sedangkan jumlah Pokwasmas setiap tahunnya rata-rata meningkat 138 kelompok. Jumlah nelayan rata-rata menurun sejumlah 7.672 nelayan, sedangkan RTP menurun sejumlah 10.073 RTP per tahun dan unit penangkapan menurun rata-rata 93.185 unit per tahun.
4
Tabel 3. Tingkat Produktivitas Produksi Perikanan Tangkap, Nilai Produksi Perikanan Perairan Umum Daratan per Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan Tahun 2007 hingga 2011.
Uraian
Tahun
Produksi(kg) per nelayan Nilai Produksi(Rp.000) per nelayan Produksi(kg) per RTP Nilai Produksi(Rp.000) per RTP Produksi(kg)
per
unit
penang
2007
2008
2009
2010
2011
593
607
628
753
706
6.503
8.346
9.313
10.853
11.553
878
901
957
1.099
1.110
9.634
12.399
14.204
15.832
18.177
379
367
415
640
na
4.162
5.052
6.159
9.221
na
kapan Nilai Produksi(Rp.000) per unit penangkapan Sumber: Tabel 2, diolah Efektivitas kebijakan dan program yang dilaksanakan pada tataran Nasional terhadap pembinaan produksi dan nelayan serta unit penangkapan ikan di perairan umum daratan dalam hal ini dapat dilihat dari volume produksi per nelayan atau produksi per RTP atau produksi per unit penangkapan. Disamping itu juga dilihat dari nilai produksi per nelayan atau per RTP atau per unit penangkapan ikan sebagaimana terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 memperlihatkan bahwa selama lima tahun mulai dari tahun 2007 hingga tahun 2011, tingkat produksi perikanan perairan umum daratan selalu meningkat baik terhadap jumlah nelayan, RTP maupun unit penangkapan ikan. Begitu pula untuk nilai produksi perikanan perairan umum daratan pada periode tersebut baik terhadap jumlah nelayan, RTP maupun unit penangkapan ikan. Berdasarkan Tabel 3 selanjutnya dibedakan atas dua periode yaitu periode tahun 2007 hingga 2009 yang dapat menggambarkan sebelum adanya program minapolitan, sementara tahun 2010 dan 2011 memperlihatkan adanya pengaruh program minapolitan. Perbandingan kedua periode tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Tingkat Produktivitas Produksi Perikanan Tangkap dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Perairan Umum Daratan per Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan Tahun 2007-2009 dan 2010-2011.
Rata-Rata Per Tahun Per Periode Uraian
2007-2009
2010-2011
% Perbedaan
Produksi (kg) per Nelayan Nilai Produksi (Rp.000) per nelayan Produksi (kg) per RTP
609
729,5
19,7
8.054
11.203
39,0
912
1.104,5
21,1
5
Nilai Produksi (Rp.000) per RTP Produksi (kg) per unit penang kapan Nilai
Produksi
(Rp.000)
per
unit
12.079
17.004,5
40,7
387
640
65,3
5.124
9.221
79,9
penangkapan Sumber: Tabel 3, diolah Berdasarkan Tabel 4 diperoleh gambaran bahwa rata-rata produktivitas produksi dan produktivitas nilai produksi baik per nelayan, per RTP maupun per unit penangkapan menunjukkan adanya peningkatan dengan adanya program minapolitan. Tabel 4 memperlihatkan bahwa peningkatan produktivitas produksi per nelayan pada 2 periode tersebut terdapat perbedaan sebesar 19,7%, sedangkan perbedaan nilai produksi per nelayan mencapai 39,0%. Tabel 4 tersebut juga menunjukkan bahwa perbedaan produktivitas produksi per RTP antar 2 periode tersebut sebesar 21,1%, sedangkan perbedaan produktivitas nilai produksi per
RTP mencapai 40,7%.
Sementara perbedaan produktivitas produksi per unit penangkapan antar 2 periode tersebut sebesar 65,3%, sedangkan untuk produktivitas nilai produksi per unit penangkapan perbedaannya mencapai 79,9%. Hal ini menunjukkan bahwa adanya efektivitas kebijakan dan program yang dijalankan dalam kerangka peningkatan produksi perikanan di perairan umum daratan. Pada program minapolitan misalnya pengembangannya dilakukan melalui tahapan pemilihan daerah yang akan dibangun kawasan yang cocok untuk peningkatan produksi. Peningkatan produksi tersebut dilakukan baik melalui upaya peningkatan produksi minapolitan perikanan tangkap maupun minapolitan perikanan budidaya. Sebagai contoh pengembangan kawasan minapolitan perikanan tangkap ditetapkan pada kawasan Danau Toba, Danau Kerinci dan wilayah sungai dan rawa di Sumatera Selatan. Dalam pengembangan kawasan minapolitan, terlihat bahwa pusat dan daerah secara bersama membiayai kegiatan tersebut sehingga pembangunan perikanan tangkap perairan umum daratan dilakukan tidak hanya oleh pemerintah daerah atau hanya oleh pemerintah. Kemudian, dalam penetapan kawasan minapolitan juga dipertimbangkan pengembangan komoditas unggulan dan diminati pasar sehingga dapat menangkal kemungkinan kelebihan produksi. Disamping itu, juga dilakukan perbaikan teknologi pasca panen dan pengembangan sistem rantai dingin. Bahkan kawasan minapolitan inilah nantinya yang ditetapkan sebagai embrio kawasan industrialisasi perikanan. Industrialisasi perikanan akan dilaksanakan melalui pengembangan komoditas unggulan dan produk-produk bernilai tambah berorientasi pasar. Dalam pelaksanaan program industrialisasi perikanan dimulai dari asesmen jenis dan kapasitas industri yang dapat dikembangkan berdasarkan analisis potensi dan trend pasar. Selain itu, upaya peningkatan produksi perikanan itu akan ditempuh 6
sejalan dengan upaya yang memberikan nilai tambah bagi pelaku usaha, diantaranya melalui peningkatan kualitas SDM atau modernisasi nelayan dan pembudidaya ikan.
Industrialisasi Perikanan Berbasis Perairan Umum Daratan Secara nasional tentang industrialisasi perikanan mulai dikumandangkan pada awal tahun 2012 sejalan dengan adanya penyempurnaan rencana strategis Kementeriam Kelautan dan Perikanan (KKP). Dalam kaitannya dengan dukungan terhadap industrialisasi perikanan, maka penelitian pengembangan kawasan minapolitan di masing-masing lokasi penelitian diarahkan untuk mendukung industrialisasi perikanan yang dimaksud, dengan catatan bahwa pengertian secara luas yang terkandung dalam kawasan minapolitan dikembangkan ke arah mendukung industrialisasi perikanan. Minapolitan merupakan konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan dan sistem manajemen kawasan dengan prinsip-prinsip, integrasi, efisiensi, kualitas, dan akselerasi. Dalam kaitannya dengan konsep ini, pada tahun 2011, KKP membangun kawasan minapolitan (kawasan produksi kelautan dan perikanan yang terintegrasi) di 28 kabupaten sebagai pilot project untuk meningkatkan produksi perikanan di Indonesia. Pada prinsipnya tahapan pengembangan kawasan minapolitan dilakukan dengan cara terlebih dahulu memilih beberapa daerah yang akan dibangun kawasan minapolitandengan maksud untuk meningkatkan produksi ikan dengan harga ikan yang murah dan terjangkau masyarakat. Pada tahap ini misalnya sekitar 60 persen biaya budidaya ikan berasal dari harga pakan ikan. Harga pakan ikan mempengaruhi harga ikan menjadi mahal atau murah.Harga ikan budidaya saat ini berkisar antara Rp.9.000–Rp.11.000 per kg.Agar biaya budidaya ikan lebih murah, maka perlu membuat industri pakan ikan yang dikelola oleh masyarakat pembudidaya ikan itu sendiri. Dalam pengembangan kawasan minapolitan, menurut panduan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia sedikitnya ada enam syarat dalam membangun kawasan minapolitan yang benar dan ideal. Pertama, adanya komitmen daerah melalui rencana strategis, adanya kucuran dana atau tepatnya alokasi dana melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD Kabupaten maupun APBD Provinsi) dan penetapan tata ruang yang seimbang. Kedua, adanya komoditas unggulan, misalnya ikan Patin, ikan Mas, ikan Gurami, ikan Gabus, ikan Baung dan jenisjenis ikan lainnya yang diminati pasar. Ketiga, letak geografis yang strategis serta secara alamiah cocok untuk usaha perikanan.Keempat, sistem mata rantai produksi dari hulu ke hilir, misalnya lahan budidaya dan pelabuhan perikanan dan diperlukan adanya dermaga perikanan. Kelima, adanya fasilitas pendukung atau sarana dan prasarana, misalnya jalan, aliran listrik, pusat pemerosesan ikan,
7
sarana angkutan, dan ketersedian bibit ikan dan pakan ikan yang tersedia sepanjang waktu. Keenam, kelayakan lingkungan dengan kondisi yang baik atau tidak merusak. Dengan demikian, minapolitan merupakan konsep pengembangan sektor kelautan dan perikanan yang berbasis wilayah. Minapolitan merupakan pengembangan sektor perikanan secara terintegrasi dari hulu ke hilir, mulai dari pembudidayaan/penangkapan, proses olahan, hingga pemasaran, yang dalam hal inilah sejalan dengan upaya ke arah mendukung industrialisasi perikanan.Terkait dengan industrialisasi perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Cicip Sharif Sutardjo, mengatakan pada tanggal 18 Januari 2012, bahwa konsep industrialisasi perikanan yang diusung oleh pihak KKP dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah yang berorientasi kepada pasar. "Industrialisasi kelautan dan perikanan akan dilaksanakan melalui pengembangan komoditas unggulan dan produk-produk bernilai tambah berorientasi pasar," Oleh karena itu, pelaksanaan program industrialisasi perikanan dimulai dari asesmen jenis dan kapasitas industri yang dapat dikembangkan berdasarkan analisis potensi dan tren pasar. Selain itu, lanjutnya, pihak KKP juga akan mengukur beragam kekuatan yang dimiliki oleh sejumlah produk perikanan nasional terhadap produk yang didatangkan dari negara-negara pesaing. Sektor hulu kelautan dan perikanan juga dikembangkan sesuai dengan perhitungan pertumbuhan industri pengolahan dengan cara menggerakan semua potensi, mulai dari produksi bahan baku skala kecil sampai dengan skala besar. Dalam upaya meningkatan kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat kelautan dan perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan terus berupaya untuk meningkatkan produksi perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya, Menteri Kelautan dan Perikanan menegaskan, upaya peningkatan produksi perikanan itu akan ditempuh sejalan dengan upaya industrialisasi perikanan yang memberikan nilai tambah bagi pelaku usaha. Industrialisasi perikanan tersebut, dilakukan dengan membenahi sektor hulu hingga hilir, diantaranya melalui peningkatan kualitas SDM atau modernisasi nelayan dan pembudidaya. "Dengan industrialisasi ini diharapkan mampu menciptakan mata rantai industri perikanan nasional yang kuat dan berdaya saing”. Dalam upaya mendukung industrialisasi perikanan, KKP memprioritaskan peningkatan daya saing dan nilai tambah melalui program peningkatan "supply chain and value chain management" dengan empat strategi, meliputi: 1) Meningkatkan produksi perikanan tangkap melalui berbagai program seperti pengadaan kapal bantuan untuk para nelayan, 2) Meningkatkan produksi perikanan budidaya, 3) Meningkatkan produksi produk olahan bernilai tambah tinggi melalui peningkatan kapasitas UKM dan industrialisasi pengolahan, serta
8
4) Mengembangkan industri pendukung serta industri terkait lainnya. Salah satu program yang menunjang industrialisasi perikanan yang terkait dengan peningkatan produksi perikanan adalah Pengembangan Usaha Mina Pedesaan pelaksanaan Perikanan
program
(PUMP) yaitu bagian
dari
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan
(PNPM Mandiri
KP) melalui
bantuan pengembangan usaha dalam menumbuh-
kembangkan usaha perikanan sesuai dengan potensi desa (Anonim, 2011). Dijelaskan pula bahwa PNPM Mandiri KP adalah program pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan pendapatan serta penumbuhan wirausaha kelautan dan perikanan. Di lain pihak, Kelompok Usaha Kelautan dan Perikanan yang selanjutnya disingkat KUKP adalah kelompok usaha berupa kelompok nelayan atau kelompok pembudidaya ikan atau kelompok pengolah/pemasar (poklahsar) ikan dalam rangka mengembangkan usaha produktif untuk
mendukung peningkatan pendapatan dan penumbuhan wirausaha kelautan dan perikanan.
Sementara, Rencana
Usaha
Bersama
(RUB)
adalah
rencana usaha untuk pengembangan
wirausaha kelautan dan perikanan yang disusun oleh KUKP berdasarkan kelayakan usaha dan potensi desa. Pelatihan adalah proses pembelajaran baik teori maupun praktek yang bertujuan meningkatkan dan mengembangkan kompetensi atau kemampuan akademik, sosial dan pribadi di bidang pengetahuan, keterampilan dan sikap serta
bermanfaat
bagi
pesertanya
dalam
meningkatkan kinerja pada tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Pendampingan adalah kegiatan yang dilakukan oleh tenaga pendamping dalam rangka pemberdayaan nelayan, pembudidaya, pengolah dan pemasar ikan dan masyarakat petambak garam rakyat dalam melaksanakan PNPM Mandiri KP. Kemudian, Kelompok Usaha Bersama (KUB) adalah badan usaha non badan hukum yang berupa kelompok yang dibentuk oleh nelayan berdasarkan hasil kesapakatan/musyawarah seluruh anggota yang dilandasi oleh keinginan bersama untuk berusaha bersama dan dipertanggungjawabkan secara bersama guna meningkatkan pendapatan anggota. Kelompok Pembudidaya Ikan yang selanjutnya disingkat Pokdakan adalah kumpulan pembudidaya ikan yang terorganisir.
Kebijakan Umum Pengembangan Industrialisasi Perikanan Berbasis Perairan Umum Daratan Pengembangan kawasan sentra produksi perikanan perairan umum daratan menjadi kawasan minapolitan memberikan implikasi menjadikan perairan umum daratan sebagai kawasan yang perlu pengaturan. Oleh karena itu perairan umum daratan, sebagaimana sumberdaya alam lainnya menjadi “state property” sehingga semua perairan umum daratan di Indonesia harus diatur 9
menggunakan peraturan perundang-undangan yang berimplikasi harus dipatuhi semua sektor. Untuk itu, minimal harus diatur menggunakan “peraturan pemerintah” atau PP, yang sudah tentu harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang telah ada termasuk hak komunal yang telah berlaku atau diberlakukan pada wilayah tertentu di daerah. Dengan dasar bahwa semua perairan umum daratan harus diatur, maka bagi daerah yang belum mengatur perairan umum daratan yang berada di wilayahnya seyogyanya sudah harus memikirkan bagaimana pengaturannya guna pemanfaatan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, dapat diikuti langkah-langkah sebagai berikut; a. Pertama-tama perairan umum daratan yang memiliki sumberdaya perikanan dengan produktivitas yang cukup tinggi dan menjadi sumber penghidupan masyarakat nelayan dan atau pembudidaya ikan harus dikelola oleh pemerintah daerah melalui pembinaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota. b. Suatu hal yang mendasar adalah menetapkan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum daratan yang bersifat ko-manajemen. Dalam hal ini, instansi pembina dinas kelautan dan perikanan kabupaten/kota bekerja sama dengan kelembagaan nelayan membentuk pola pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum daratan. Dalam hal ini diutamakan untuk mengembangkan perikanan tangkap dan mengendalikan perikanan budidaya di perairan umum daratan berdasarkan prinsip pemanfaatan dan pendayagunaan yang berkelanjutan. c. Bentuk peraturan yang dapat diberlakukan antara lain adalah Peraturan Bupati Tentang Pengembangan Perikanan Tangkap Menggunakan Pendekatan Culture Base Fishery (CBF) dan sekaligus mengendalikan kegiatan budidaya ikan di perairan umum daratan tersebut. Pengembangan perikanan tangkap dengan menggunakan pendekatan CBF dapat dilakukan mengikuti langkah protokol penebaran ikan yang baik dan benar. d. Untuk perikanan budidaya, jika belum ada budidaya ikan yang berkembang di perairan umum daratan tersebut lebih baik tidak dikembangkan tipe perikanan budidaya sistem keramba di danau, waduk, ataupun sungai. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa tipe perikanan budidaya tersebut lambat laun akan merusak lingkungan ekologis waduk, danau ataupun sungai tersebut. e. Kerusakan lingkungan perairan umum daratan sebagai akibat tidak terkendalinya jumlah unit budidaya yang dikembangkan oleh pembudidaya ikan. Hingga saat ini belum terlihat bahwa tipe perikanan budidaya seperti itu dapat dikendalikan di Indonesia. Kerusakan ini telah banyak bukti di Indonesia, misalnya di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur di Jawa Barat serta perairan sungai di Kalimantan Selatan.
10
Disamping itu, kegiatan kelautan dan perikanan yang harus dilakukan dalam kaitannya dengan pengembangan perikanan tangkap dan pengendalian perikanan budidaya di wilayah perairan umum daratan dapat dibagi menjadi dua bagian besar kegiatan yang perlu diperhatikan yaitu pengembangan perikanan tangkap pola Culture Based Fishery (CBF) dan pengendalian atau pembatasan atau pelarangan pengembangan perikanan budidaya sistem keramba jaring apung, atau sistem keramba kayu di lingkungan perairan umum daratan. a. Pengembangan
perikanan
tangkap
menggunakan
pendekatan
CBF
pada
perinsipnya
mengembangkan pola pemanfaatan dan pendayagunaan perairan umum dengan cara menebar ikan asli kembali ke perairan umum daratan yang dikelola. Ikan yang ditebar merupakan pemanfaatan relung pakan dan atau peningkatan produksi ikan asli. Kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum daratan dengan menggunakan pendekatan CBF. b. Berdasarkan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan menggunakan pendekatan CBF, dapat dikemukakan kegiatan kelautan dan perikanan yang perlu difasilitasi oleh pemerintah daerah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota setempat adalah sebagai berikut;
Fasilitasi pembentukan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan yang dapat berupa kelembagaan pelaku usaha (nelayan).
Peningkatan peran masyarakat nelayan dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan (termasuk didalamnya sistem pengawasan sumberdaya).
Fasilitasi pembentukan aturan pemanfaatan dan pendayagunaan sumberdaya perikanan termasuk penggunaan alat tangkap, penetapan wilayah konservasi, penetapan otoritas dalam kaitannya dengan pengaturan sanksi (penegakan peraturan).
Penebaran ikan asli dan atau peningkatan produksi ikan asli termasuk pengaturan mata jaring untuk penangkapan ikan dan pengaturan waktu penggunaan alat tangkap tertentu.
Fasilitasi
pembentukan
sistem
pengawasan
oleh
masyarakat
(Siswasmas)
dan
pembentukan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). Selanjutnya, dikemukakan apa yang harus dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota terkait dengan sistem rantai pasok dalam hubungannya dengan upaya pengembangan perikanan tangkap dan pengendalian perikanan budidaya di wilayah perairan umum daratan, baik sungai & rawa, waduk maupun danau. a. Dengan adanya dua bagian besar kegiatan yaitu pengembangan perikanan tangkap pola Culture Based Fishery (CBF) dan pengendalian perikanan budidaya sistem keramba jaring apung, atau sistem keramba kayu di lingkungan perairan umum daratan, terdapat perubahan sistem rantai pasok di suatu wilayah kabupaten atau kota.
11
b. Sistem rantai pasok ikan perairan umum di pasar kabupaten yang semula sebagian besar berasal dari luar kabupaten berubah menjadi ada pasokan baru dari daerah pengembangan kawasan minapolitan perairan umum daratan. Kawasan pengembangan minapolitan yang terdiri atas zona inti (daerah minapolis) dapat berfungsi sebagai pemasok tambahan baru terhadap pasar kabupaten. Tambahan pula jika telah ada pengembangan perikanan budidaya, maka pemasok bertambah dari sekitar minapolis. c. Pola pengembangan perikanan tangkap dengan pendekatan penerapan prinsip CBF memerlukan pasokan benih minimal sekitar 1 juta ekor per kali penebaran per perairan di satu wilayah pedesaan. Oleh karena perubahan rantai pasok benih ini memerlukan perluasan produksi benih. Dalam hal ini dapat dikembangkan Unit Pembenihan Rakyat (UPR) yang tentunya menjadi tugas dan fungsi Balai Benih Ikan (BBI Kabupaten) yang secara lokal terdapat di setiap wilayah kabupaten. Begitu pula pasokan benih untuk pengembangan perikanan budidaya yang sudah terlanjur ada (masih dalam kapasitas dukung lingkungan) memerlukan benih paling tidak jutaan ekor per kali tanam. d. Hasil produksi ikan dari perairan umum tersebut diatas merupakan pasokan ikan yang harus pula dipasarkan baik pada tingkat lokal sekitar kecamatan ataupun pada tingkat kabupaten (pasar ibukota kabupaten). Oleh karena itu perlu pembangunaan fasilitas pasar input yang terkait dengan pengembangan perikanan tangkap maupun perikanan budidaya di tingkat kecamatan. Termasuk di dalamnya pengadaan pasar benih ikan, pakan ikan serta peralatan penunjang usaha perikanan yang lainnya. Lebih lanjut, fasilitas sarana jalan dari dan ke pedesaan pusat pengembangan kawasan minapolitan merupakan suatu hal yang dibutuhkan dalam kaitannya dengan kelancaran usaha perikanan di kawasan minapolitan. Di lain pihak, sistem rantai nilai merupakan upaya perbaikan yang dilakukan dengan jalan memperbaiki sistem rantai nilai yang terjadi mulai produk ikan di produksi hingga ke tangan konsumen. Dalam banyak kasus, pengambil manfaat terbesar dalam rantai nilai adalah para pedagang yang menjadi perantara pemasaran produk dari produsen (nelayan/pembudidaya) sampai ke tangan konsumen akhir.Melalui penguasaan modal dan kemampuan akses terhadap pasar dan informasi pasar, pedagang dapat mengambil marjin keuntungan yang sangat tinggi, sementara nelayan/pembudidaya hanya mendapat marjin laba yang rendah.Untuk ini perlu upaya peningkatan kapasitas nelayan/pembudidaya khususnya terhadap informasi harga pasar dan peluang pasar sehingga nelayan/pembudidaya dapat memiliki posisi tawar yang lebih baik dalam pemasaran produknya.
12
Analisis Kebijakan, Daya Saing dan Nilai Tambah Dalam Mendukung Pengembangan Industrialisasi Perikanan Analisis kebijakan terkait pengembangan industrialisasi perikanan dilakukan terhadap kebijakan dan atau regulasi serta program dan kegiatan yang dibuat terkait dengan upaya mendukung (supporting system) industrialisasi perikanan di perairan umum daratan pada level nasional maupun lokal. Hal ini dilakukan atas pertimbangan bahwa pelaksana yang bertugas dalam proses perumusan kebijakan terletak pada para pejabat pemerintah atau pegawai negeri sipil disuatu lembaga pemerintah. Keterlibatan pihak lain, yaitu lembaga-lembaga non pemerintah, umumnya terbatas pada pengusulan isu dan agenda kebijakan serta pengevaluasiannya. Pemain kebijakan atau stakeholder kebijakan terdiri atas individu, kelompok atau lembaga yang memiliki kepentingan suatu kebijakan, yang dapat dikelompokkan menjadi menjadi stakeholder yang mendukung ataupun stakeholder yang menolak kebijakan.Untuk itu, stakeholder kebijakan terdiri atas mereka yang mendukung ataupun yang menolak. Terkait dengan posisi dan perannya dalam proses perumusan kebijakan, stakeholder kebijakan dapat dibedakan kedalam tiga kelompok (Putra 2005):
a) Stakeholder kunci: mereka yang memiliki kewenangan secara legal untuk membuat keputusan. Stakeholder kunci mencakup unsur eksekutif, legislatif dan lembaga-lembaga pelaksanaan program pembangunan sesuai tingkatannya.
b) Stakeholder primer: mereka yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program atau proyek. Mereka biasanya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terutama dalam penyerapan aspirasi publik. Stakeholder primer dapat mencakup (a) masyarakat yang diidentifikasi akan terkena dampak (baik positif maupun negatif) oleh suatu kebijakan, (b) tokoh masyarakat dan (c) pihak manajer publik, yakni lembaga atau badan publik yang bertanggung jawab dalam penentuan dan penerapan suatu keputusan.
c)
Stakeholder sekunder: mereka yang tidak memiliki kaitan kepentingan langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek, namun memiliki kepedulian dan perhatian sehingga mereka turut bersuara dan berupaya untuk mempengaruhi keputusan legal pemerintah. Kelompokkelompok kritis, organisasi profesional (PGRI, IDI, HIPMI), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Sosial (Orsos), dan lembaga-lembaga keuangan internasional dapat dikategorikan sebagai stakeholder sekunder. Dengan demikian, kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan industrialisasi perikanan
berbasis perairan umum daratan dapat yang berasal dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap terutama Direktorat Sumber Daya Hayati Ikan, Direktorat Perbenihan (DJPB) KKP, Asosiasi, Lembaga, Dinas Teknis. Sementara, target analisis kebijakan industrialisasi perikanan berbasis perairan umum 13
daratan diantaranya adalah: (1) Sistem produksi, (2) Modernisasi, (3) Penguatan kelembagaan, (4) Transformasi sosial, dan (5) Peluang investasi. Dalam hal ini, kebijakan, regulasi, program dan kegiatan dari supporting sistem dikaji keselarasan dan pengaruhnya terhadap pelaksana kebijakan dan bisnis (main system). Dalam hal ini main system adalah pelaku-pelaku yang ada dalam sistem usaha sektor perikanan yang dapat berupa: penyedia input, produsen, pedagang, pengolah skala rumah tangga, unit pengolah ikan, eksportir, dan lainnya. Keselarasan dan pengaruh tersebut khususnya terkait dengan value chain dan sistem pohon industri komoditas utama ikan perairan umum daratan.Hal ini tentunya harus sejalan pula dengan analisis daya saing dan nilai tambah dalam mendukung industrialisasi perikanan. Analisis daya saing dan nilai tambah merupakan keluaran yang diharapkan dari hasil AnalysisValue Chainyang dilakukan untuk dapat merumuskan bagaimana meningkatkan nilai (value) dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Pemanfaatan tersebut dimulai dari sistem produksi (penangkapan) sebagai sumber bahan baku, proses transformasi pada berbagai level perantara pemasaran (intermediary) hingga pemasaran produk perikanan; sebagaimana yang dikemukakan oleh Hellin dan Meijer (2006) dan White (2009). Dalam konteks industrialisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan ini harus lebih efisien.
Peran Kelembagaan Nelayan Dalam Mendukung Pengembangan Industrialisasi Perikanan Melalui Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Perairan Umum Daratan Secara Berkelanjutan2 Dalam konteks sumber daya alam, kelembagaan dapat bermakna bagaimana manusia mengelola akses terhadap sumber daya dan pemanfaatannya dan merupakan titik penting dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut (Smajgl and Larson, 2006). Kelembagaan terkait dengan pengelolaan sumber daya perikanan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) tipe yang ekstrim, yaitu pengelolaan sumber daya ikan oleh pemerintah atau dikenal dengan istilah pengelolaan sentralistis. Kedua, pengelolaan sumber daya ikan berbasis masyarakat (Arsyad, 2007). Model pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat adat terdapat di beberapa daerah di Indonesia dengan aturanaturan
lokalnya
atau
tradisi
(adat-istiadat)
masyarakat
yang
diwarisi
secara
turun
temurun.Pengintegrasian kedua rezim ini dikenal dengan nama manajemen kolaborasiatau komanajemen (co-management), yang di Indonesia mulai diperkenalkan sekitar 1990-an. Ko-manajemen perikanan dapat diartikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya perikanan (Nikijuluw, 2002).Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa dalam ko-manajemen terjadi 2
Bahan kajian ini diambil dari bahan yang merupakan konsep dasar penulisan dalam mempersiapkan orasi ilmiah kandidat professor riset bidang sosial ekonomi kelautan dan perikanan Balitbang Kelautan dan Perikanan, KKP yang dibuat pada bulan Desember 2012.
14
pembagian tanggung-jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam (Pomeroy and Williams, 1994).Tujuan utarna ko-manajemen adalah pengelolaan perikanan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata (Nikijuluw, 2002).Namun demikian, prinsip kelembagaan dalam ko-manajemen menyatakan bahwa setiap aturan permainan dapat saja diubah asalkan telah merupakan suatu kesepakatan bagi pengguna dan pembuat aturan itu sendiri (Pomeroy, 1991). Variasi bentuk ko-manajemen tergantung sejauhmana peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan (Nikijuluw, 2002). Kemudian, bentuk tugas dan fungsi manajemen yang dapat atau akan dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat atau didistribusikan diantara kedua pihak hingga tahap proses manajemen (ketika kerjasama pengelolaan diwujudkan sejak perencanaan, implementasi, pengawasan dan evaluasi). Terkait dengan hal ini, pola komanajemen kooperatifyang menempatkan masyarakat nelayan dan pemerintah pada tingkat yang sama atau sederajat merupakan pola yang saat ini hendak dikembangkan dan dikehendaki oleh masyarakat secara umum. Pengembangan kelembagaan nelayan dalam mendukung pengelolaan sumber daya perikanan PUD berkelanjutan menghadapi beberapa permasalahan dan hambatan pada wilayah PUD yang telah terlanjur dikelola dengan sistem aturan main yang juga sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan demikian, terdapat tiga kepentingan terhadap sumber daya perikanan PUD tersebut yaitu kepentingan konservasi guna keberlanjutan sumber daya perikanan PUD, sebagai sumber penghidupan masyarakat nelayan, dan sebagai sumber PAD (Nasution et al., 1992). Akibatnya terjadi degradasi terhadap sumber daya perikanan PUD dan lingkungannya. Produktivitas ikan hasil tangkapan nelayan menurun dari tahun ke tahun dan ukuran individu ikan yang semakin kecil (Nasution, 2012). Kondisi kepentingan yang demikian dapat menghambat fungsi kelembagaan pelaku utama nelayan yang diharapkan dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan masyarakat nelayan. Pengelolaan sumberdaya perikanan PUD memerlukan kelembagaan yang kondusif guna berlangsungnya keberlanjutan produksi dan pengelolaan (termasuk pemanfaatan) sumber daya perikanan PUD tersebut (Welcomme dan Henderson, 1976; Welcomme, 1985; Ostrom, 2008). Kelembagaan nelayan yang tidak berkembang dan dibentuk hanya untuk tujuan mendapatkan hak usaha penangkapan terbukti tidak mendukung pengelolaan sumber daya perikanan PUD yang berkelanjutan (Nasution dan Sumarti, 2010), sebagaimana terjadi di areal PUD yang dilelangkan di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Pengembangan dan atau penguatan kelembagaan (institutional development) merupakan proses memperbaiki kemampuan lembaga (baik organisasi maupun aturan main) guna
15
mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dan sumber dana yang tersedia (Israel, 1987; Dasgupta, 200). Proses ini secara internal dapat digerakkan oleh manajer sebuah lembaga atau difasilitasi dan dipromosikan oleh pemerintah dan atau badan-badan pembangunan tertentu. Namun demikian, pada prinsipnya peningkatan kapasitas kelembagaan dapat berupa upaya yang dilakukan pada tingkatan individu (individual level), pada tingkat organisasi (organizational level), dan pada tingkatan sistem (system level)(Milen, 2006). Kelembagaan Nelayan Pada Tingkat Individu Kelembagaan nelayan pada tingkat individu berkaitan dengan permasalahan kehidupan masyarakat nelayan baik kondisi sosial, ekonomi, budaya, maupun politik (Nasution et al., 2012). Termasuk didalamnya masyarakat nelayan PUD yang terutama berada di wilayah sungai-sungai besar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Hasil penelitian pada masyarakat nelayan di Sungai Lempuing, Sumatera Selatan menunjukkan bahwa secara individu, nelayan menghadapi berbagai masalah terkait dengan peran mereka dalam berorganisasi ataupun peran mereka terkait dengan aturan main dalam pengelolaan (termasuk pemanfaatan) sumber daya perikanan PUD (Nasution et al., 2011). Pada areal PUD yang dikelola dengan sistem lelang di Sumatera Selatan, secara individu meskipun nelayan menguasai sumber daya perikanan yang melimpah, namun mereka tetap menerima bagian pendapatan yang kecil dari hasil usahanya (Ramadhan dan Nasution, 2010). Hal ini sebagai akibat adanya kewajiban membayar sewa perairan yang tinggi terhadap pemilik modal yang berfungsi sebagai pemenang lelang (pengemin)(Nasution, 2005). Di bagian wilayah lainnya terlihat pula bahwa masyarakat nelayan secara individu sebagian besar terikat terhadap kelembagaan ekonomi informal yaitu para pemilik modal (Nasution dan Sumarti, 2010). Nelayan pada tingkat individu belum menyadari pentingnya manfaat membentuk kelompok nelayan, sehingga berakibat semakin lemahnya posisi tawar nelayan tersebut dalam melaksanakan usaha penangkapan ikan di perairan umum (Nasution dan Sastrawidjaja, 2010). Padahal dalam hal ini, kelembagaan dapat berfungsi sebagai pranata sosial, yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas manusia untuk memenuhi sejumlah kebutuhan yang kompleks dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1997). Artinya kelembagaan sangat penting bagi upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat nelayan perairan umum daratan (Nasution et al., 1991). Dengan demikian, adanya nelayan sebagai suatu kelembagaan pada tingkat individu merupakan modal dasar bagi masyarakat nelayan untuk dapat melaksanakan usaha penangkapan ikan secara baik dan benar. Hal ini sesuai dengan fungsi kelembagaan sebagai sesuatu yang memberi
16
pedoman berperilaku kepada individu-individu atau masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah di masyarakat terutama terkait dengan kebutuhanmereka sebagai individu (Cernea, 1988).
Kelembagaan Nelayan Pada Tingkat Organisasi Kelembagaan nelayan pada tingkat organisasi dapat disamakan dengan organisasi nelayan. Organisasi kenelayanan saat ini masih banyak yang tergabung dengan kelembagaan petani, sehingga disebut sebagai Kelompok Tani Nelayan (Nasution dan Sumarti, 2010). Hasil penelitian di Desa Berkat, Kabupaten Ogan Komering Ilir (Kab. OKI) menunjukkan bahwa belum ada kelembagaan pelaku usaha yang khusus nelayan (Shafitri dan Pranowo, 2010). Kelembagaan yang ada di desa ini yaitu Kelompok Tani Sekawan, yang juga beranggotakan nelayan, disamping petani. Akibatnya antara lain adalah kelompok tersebut belum pernah mendapatkan pelayanan atau bantuan atau pembinaan di bidang kenelayanan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menunjang usaha mereka. Kelembagaan khusus kelompok nelayan di wilayah Kab. OKI yang ada antara lain dibentuk untuk keperluan masyarakat nelayan mengikuti proses “lelang lebak lebung”yang diadakan pemerintah kabupaten setempat (Nasution et al., 1992). Kelompok nelayan ini disahkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan setempat. Kelompok nelayan yang terbentuk digunakan sebagai syarat jika masyarakat nelayan ingin mengikuti proses lelang lebak lebung guna mendapatkan hak usaha penangkapan ikan di PUD yang ada di wilayah Kab. OKI. Ada pula pembentukan kelompok nelayan bersifat mendadak dengan tujuan menerima paket bantuan program pemerintah atau pemerintah daerah (Nasution et al., 2012). Di lain pihak, kelembagaan nelayan pada tingkat organisasi yang diperlukan masyarakat nelayan adalah kelembagaan yang mendukung usaha mereka, yaitu kelembagaan penyediaan input usaha; kelembagaan penyediaan permodalan usaha; kelembagaan penyedia tenaga kerja; kelembagaan pengolahan dan pemasaran hasil perikanan (Nasution dan Sastrawidjaja, 2010). Dengan adanya kelembagaan tersebut diharapkan dapat mendukung kelancaran usaha nelayan terutama dalam mengakses hal-hal yang terkait sumber daya (resources) termasuk informasi pasar (harga). Hingga saat ini kelembagaan usaha pada masyarakat nelayan sebagian besar berupa kelembagaan informal, yaitu kelembagaan yang terbentuk diantara masyarakat nelayan itu sendiri sesuai dengan keperluan mereka dalam melaksanakan usaha penangkapan ikan (Nasution et al., 2003). Dalam hal permodalan dan penyediaan input usaha termasuk kebutuhan akan pangan serta kebutuhan keluarga, kebanyakan nelayan sangat tergantung kepada pemilik modal baik sebagai 17
pedagang, toke, bos ataupun patron (Nasution dan Sumarti, 2010). Bahkan untuk nelayan yang mengikuti sistem “lelang lebak lebung” di Sumatera Selatan, masyarakat nelayan sudah terikat sejak awal usaha penangkapan ikan terhadap pemilik modal yang berfungsi sebagai pemenang lelang yang membebani nelayan dengan berbagai persyaratan yang memberatkan masyarakat nelayan (Nasution, 2011). Dalam hal ini tidak jarang nelayan masih berhutang pada akhir tahun setelah adanya perhitungan antara pembayaran yang dilakukan nelayan melalui ikan hasil tangkapan (Rifai dan Nasution, 1988). Suatu kelembagaan pada tingkatan organisasi yang sudah mendukung kepentingan masyarakat nelayan di perairan umum daratan adalah kelembagaan Kelompok Nelayan Nila Jaya di perairan umum Waduk Malahayu. Kelembagaan nelayan ini telah menerapkan sistem pengelolaan sumber daya perikanan berupa pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya (Culture Based Fishery; CBF) (Nasution dan Sastrawidjaja, 1999). Dalam hal ini, meskipun hanya satu kelembagaan saja, tetapi kelembagaan ini di dalamnya memiliki berbagai fungsi yang diperlukan masyarakat nelayan mulai dari penyediaan input usaha hingga kepada pemasaran ikan hasil tangkapan masyarakat nelayan. Fungsi lainnya yang dimiliki kelembagaan kelompok nelayan di waduk Malahayu tersebut adalah fungsi pengawasan dan fungsi pembinaan terkait dengan penerapan peraturan pengelolaan sumber daya perikanan di perairan umum waduk tersebut (Nasution dan Purnomo, 2010).
Kelembagaan Nelayan Pada Tingkatan Sistem Pada tingkatan sistem, aturan main (rule of the game) terkait dengan pengelolaan sumber daya perikanan PUD diharapkan dapat memberikan ruang yang mempermudah nelayan melaksanakan usaha penangkapan ikan. Kemudian, kelembagaan lainnya pada tingkatan sistem adalah kelembagaan penyuluhan perikanan, kelembagaan dinas pembina terkait terutama Dinas Kelautan dan Perikanan setempat. Sistem aturan main terkait pengelolaan sumberdaya perikanan PUD berbeda antar wilayah di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya sebagian besar wilayah PUD di Indonesia belum ada pengaturan secara rinci terkait pengelolaan (termasuk pemanfaatan) sumber daya perikanan PUD di wilayah tertentu, kecuali hanya terdapat pada beberapa wilayah tertentu (Wardoyo dan Nasution, 2004; Sastrawidjaja dan Nasution, 2006; Yanti et al., 2011). Terkait dengan kondisi ini, pengembangan kelembagaan nelayan menjadi suatu sistem pendukung yang penting agar sumber daya perikanan PUD dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Hal ini sesuai pula dengan hasil kajian pengembangan sentra perikanan PUD pada berbagai tipe ekosistem yang menunjukkan bahwa untuk meningkatkan produksi dan pendapatan masyarakat nelayan melalui 18
program apapun, maka areal PUD harus dikelola oleh masyarakat dengan fasilitasi pemerintah daerah (Nasution et al., 2011). Pemerintah daerah dalam hal ini dilaksanakan oleh masing-masing Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten atau Kota melalui pengembangan pola pengelolaan sumber daya perikanan PUD yang berkelanjutan. Sebagai contoh, di wilayah PUD Waduk Malahayu di Jawa Tengah memperlihatkan bahwa kelembagaan nelayan yang dibentuk dari, oleh dan untuk nelayan dengan fasilitasi pemerintah menunjukkan hasil yang baik. Dalam hal ini, tingkat produksi dan pendapatan nelayan dapat ditingkatkan dari tahun ke tahun karena kelembagaan nelayan (organisasi) dan sistem aturan mainnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan dan pengelolaan sumber daya perikanan PUD yang dikelola dengan prinsip berkelanjutan. Bahkan, dalam kelembagaan nelayan sudah ada pengaturan terkait dengan pola pengorganisasian hubungan dan jaminan sosial diantara masyarakat (antara nelayan, bakul, satuan tugas, pengurus lembaga nelayan) (Nasution dan Purnomo, 2010). Pada tingkatan sistem, kelembagaan penyuluhan perikanan pada lokasi nelayan umumnya telah terbangun dan telah diatur untuk tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan dan pedesaan (Nasution et al., 2009). Pada tingkat propinsi telah ada kelembagaan Badan Koordinasi Penyuluh (Bakorluh), meskipun pada wilayah tertentu belum ada alokasi dana operasional dan belum lengkapnya kepengurusan (Nasution et al., 2010). Begitu pula untuk tingkat kabupaten, kecamatan dan desa telah ada kelembagaannya, meskipun belum banyak berfungsi sesuai dengan tujuan pembentukannya bagi masyarakat nelayan. Kelembagaan penyuluhan pada tingkat kabupaten dinamakan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP4K) yang merupakan lembaga fungsional setara eselon II yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati (Nasution dan Sastrawidjaja, 2010). Sementara kelembagaan penyuluhan pada tingkat kecamatan dinamakan Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K) yang juga merupakan lembaga fungsional yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Kelembagaan penyuluhan pada tingkat pedesaan disediakan satu Penyuluh Perikanan Lapangan (PPL) untuk dua desa yang menjadi wilayah kerja PPL tersebut, dan ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati. Dengan demikian, pada prinsipnya pengembangan kelembagaan nelayan dapat dilakukan setiap tingkatan yang dilaksanakan secara bersamaan (Milen, 2006).Namun demikian, proses pengembangan kelembagaan nelayan di lapangan harus digerakkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan pada tingkat kabupaten atau kota sebagai instansi pembina masyarakat di sektor kelautan dan perikanan. Oleh karena itu, petugas teknis yang berada pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota merupakan ujung tombak sebagai fasilitator kegiatan pembinaan terhadap kegiatan
19
pengembangan kelembagaan terkait dengan pengelolaan sumber daya perikanan PUD di wilayahnya.
20
BAB IIDATA DAN INFORMASI
DATA & INFORMASI PERIKANAN PERAIRAN UMUM DARATAN TINGKAT NASIONAL Tabel 5. Tingkat produksi perikanan tangkap yang berasal dari perairan umum daratan beserta jumlah nelayan, RTP, unit penangkapan dan nilai produksi secara nasional tahun 2007 hingga 2011. Uraian
Tahun 2007
2008
2009
2010
2011
310.467
301.182
296.736
344.972
347.720
3.406.284.057
4.143.679.692
4.402.230.140
4.968.927.106
5.694.220.000
Nelayan
523.827
496.499
472.688
457.835
492.870
RTP
353.562
334.169
309.932
313.849
313.270
818.411
820.273
714.724
538.855
n.a
901
1.369
1.419
1.452
1.452
Produksi (ton) Nilai Produksi (Rp.000)
Unit
Penang-
kapan Pokmaswas
Sumber: Statistik Kelautan dan Perikanan 2011. Pada Tabel 5 diatas dijelaskan bahwa tingkat produksi hasil tangkapan nelayan di perairan umum daratan yang tersebar di seluruh Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Diiringi juga dengan penambahan jumlah masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan tangkap. Perairan umum daratan dalam hal ini terdiri atas berbagai tipologi yaitu waduk,danau,sungai dan rawa.
Tabel 6. Tingkat Produktivitas Produksi Perikanan Tangkap, Nilai Produksi Perikanan Perairan Umum Daratan per Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan Tahun 2007 hingga 2011. Uraian
Tahun
Produksi(kg) per nelayan Nilai Produksi(Rp.000) per nelayan Produksi(kg) per RTP Nilai Produksi(Rp.000) per RTP Produksi(kg) per unit penang kapan Nilai
Produksi(Rp.000)
per
unit
2007
2008
2009
2010
2011
593
607
628
753
706
6.503
8.346
9.313
10.853
11.553
878
901
957
1.099
1.110
9.634
12.399
14.204
15.832
18.177
379
367
415
640
na
4.162
5.052
6.159
9.221
na
penangkapan
Sumber: Tabel 6, diolah 21
22
Tabel 7. Tingkat Produktivitas Produksi Perikanan Tangkap dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Perairan Umum Daratan per Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan Tahun 2007-2009 dan 2010-2011. Rata-Rata Per Tahun Per Periode Uraian
2007-2009
2010-2011
% Perbedaan
Produksi (kg) per Nelayan Nilai Produksi (Rp.000) per nelayan Produksi (kg) per RTP Nilai Produksi (Rp.000) per RTP Produksi (kg) per unit penang kapan Nilai Produksi (Rp.000) per unit penangkapan
609
729,5
19,7
8.054
11.203
39,0
912
1.104,5
21,1
12.079
17.004,5
40,7
387
640
65,3
5.124
9.221
79,9
Sumber: Tabel 3, diolah Tabel 3 menjelaskan bahwa terjadi peningkatan baik dari produksi maupun nilai produksi antara periode sebelum adanya program minapolitan (2007-2009) dengan sesudah adanya program minapolitan (2010-2011). Minapolitan merupakan konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan dan sistem manajemen kawasan dengan prinsip-prinsip, integrasi, efisiensi, kualitas, dan akselerasi. Sejak tahun 2012 pengembangan kawasan minapolitan yang melibatkan sektor hulu ke hilir diarahkan menuju industrialisasi perikanan.
DATA & INFORMASI PERIKANAN PERAIRAN UMUM DARATAN BERDASARKAN TIPOLOGI
TIPOLOGI SUNGAI DAN RAWA
SUNGAI OGAN, KABUPATEN OGAN ILIR, SUMATERA SELATAN Kabupaten Ogan Ilir terbentuk melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003 merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ilir dengan luas wilayah 2.666,07 km 2 atau 266.607 hektar dengan jumlah kecamatan sebanyak 6 kecamatan (tahun 2012 berjumlah 16 kecamatan, 14 kelurahan dan 241 desa).Kabupaten Ogan Ilir dialiri oleh satu sungai besar yaitu sungai Ogan yang mengalir mulai dari Kecamatan Muara Kuang, Rantau Alai, Tanjung Raja, Indralaya Pemulutan Selatan, Pemulutan Barat dan Pemulutan, serta bermuara di Sungai Musi di Kertapati-Palembang. Sedangkan sungai kecil antara lain sungai Kelekar, sungai Rambang, sungai Keramasan, sungai 23
Kuang, dan sungai Randu. Danau yang ada merupakan danau kecil yang disebut danau Lebung Karangan yang terletak di sebelah Barat Desa Tanjung Sejaro Kecamatan Indralaya.
Tabel 8. Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya di Ogan Ilir, Tahun 2008 - 2012
2008
Tahun 2010
2009
2011
2012
No Jenis usaha
1 Ikan tangkap Ikan 2 budidaya
Ton
%
Ton
%
7,398
73
7,398
73
2,772
27
2,772
27
Ton
%
Ton
%
Ton
7.398
71
7.914
54
8.290
2.984 29 6.613 46 7.076 10.38 14.52 10 Total 10,170 100 10,170 100 2 100 7 0 15.366 Sumber: Laporan Tahunan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Ogan Ilir, Sumsel, diolah.
% 54 46 100
Tabel 9. Produksi dan Nilai Produksi Tiap Jenis Ikan Tangkap di Perairan Umum Kab. Ogan Ilir Tahun 2009
Jenis Ikan
Tahun 2009 Produksi (ton)
Nilai Produksi (Rp)
01. Jelawat
52,321
470.889
02. Lampam
366,600
3.299.400
03. Jambul
746,459
6.718.131
04. Gabus
887,462
13.311.930
05. Lais
380,780
3.427.020
06. Toman
594,328
11.886.560
07. Sepat Siam
967,080
8.703.720
08. Tambakan
809,859
7.288.731
10. Betutu
136,431
2.046.465
2.083,446
18.778.014
12. Udang lainnya
221,532
2.658.384
13. Kodok
150,021
1.350.189
11. Ikan (Lele, Betok, Nilem, Mujair)
Jumlah 7.399,319 Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Ogan Ilir
79.939.433
Pada Tabel 9 digambarkan bahwa jumlah produksi perikanan baik tangkap maupun budidaya yang diperoleh di perairan umum daratan di Kabupaten Ogan Ilir meningkat setiap tahunnya. Peningkatan yang tinggi terjadi pada usaha budidaya ikan yang kini mulai bermunculan kerambakeramba di sepanjang sisi sungai. Namun selain usaha budidaya dari perikanan tangkap di
24
Kabupaten Ogan Ilir juga mengalami peningkatan setiap tahunnya, dimana pada Tabel 5 dijelaskan terdapat 13 jenis ikan yang tertangkap di perairan umum daratan di kabupaten tersebut. Ikan sepat siam dan ikan gabus merupakan komoditas utama yang paling banyak tertangkap di kabupaten itu. Sedangkan pada tabel 6 digambarkan peningkatan produktivitas perikanan tangkap perairan umum di Kabupaten Ogan Ilir. Tabel 10. Produktivitas Perikanan Perairan Umum Sungai dan Rawa di Kab. Ogan Ilir Tahun 2006-2012
No . 1 a) b) 2 a) b) 3 4 a) b) 5 a) b) c) d) e) 6 a) b) 7 8 9 a)
Uraian Produksi ikan tangkap (ton/th) - Sungai Rawa/Rawa Banjiran Jumlah nelayan (rtp/th) - Sungai Rawa/Rawa banjiran Jumlah perahu Luas areal tangkap ikan (ha) - Sungai Rawa/Rawa banjiran Jumlah alat tangkap (Unit) - Jaring insang hanyut/tetap - Jaring anco/sero - Bubu - Pancing/pancing rawai - Lain-lain Produktivitas nelayan (ton/org) - Nelayan sungai - Nelayan rawa Produktivitas perahu(ton/kapal ) Produktivitas alat tangkap Produktivitas areal tangkap - Sungai (ton/ha)
2007
2008
Tahun 2009
2010
7,225.0
7,225.2
7,398.2
7,399.3
7,398.4
7,913.7
8.289,6
1,634.3
1,534.3
1,613.7
1,614.2
1,613.8
1,667.1
1.746,3
5,590.7
5,690.9
5,784.5
5,785.1
5,784.6
6,246.6
6.543,3
16,670
16,687
16,691
16,691
16,750
16,771
16.771
5,498
5,504
5,506
5,506
5,541
5,590
5,590
11,172
11,183
11,185
11,185
11,209
11,181
11,181
4,976
5,022 55,018. 8 1,132.2 53,886. 6
5,045 55,042. 1 1,155.5 53,886. 6
5,107 55,042. 1 1,155.5 53,886. 6
5,112 55,042. 1 1,155.5 53,886. 6
5,112
5,112 55,042. 1 1,155.5 53,886. 6
6,239
6,300
6,364
6,698
6,766
6,766
6,766
1,879
1,898
1,850
1,969
1,972
1,972
1,972
993 1,154
1,004 1,163
985 1,141
1,077 1,273
1,077 1,285
1,077 1,285
1,077 1,285
1,019
1,029
1,093
1,138
1,158
1,158
1,158
1,194
1,206
1,295
1,241
1,274
1,274
1,274
0.30 0.50
0.28 0.51
0.29 0.52
0.29 0.52
0.29 0.52
0.30 0.56
0.30 0.56
1.45
1.44
1.47
1.45
1.45
1.55
1.55
1.16
1.15
1.16
1.10
1.09
1.17
1.17
1.44
1.36
1.40
1.40
1.40
1.44
1.44
2006
55,018.8 1,132.2 53,886.6
2011
55,042.1 1,155.5 53,886.6
2012
25
b) - Rawa (ton/ha) 0.10 0.11 0.11 0.11 0.11 0.12 Sumber: Laporan Tahunan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Ogan Ilir, Sumsel, diolah
0.12
Kabupaten Ogan Ilir merupakan salah satu kabupaten yang terpilih menjadi kawasan pengembangan minapolitan dimana salah satu dasar pemilihan lokasi karena daerah ini memiliki potensi produksi perikanan yang tinggi sebagaimana dijelaskan pada tabel 6. Di setiap kecamatan tingkat produksi perikanannya tinggi dan meningkat dari tahun ke tahun. Tabel 11. Produksi Perikanan Di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2009 dan 2012
Kecamatan No 1 2
421.492 963.850
102.457 132.024 64.054 138.762 85.442 64.028 218.830
305.223 273.339 135.933 262.568 234.763 230.792 857.807
93.638 85.042 197.527
232.095 352.522 903.682
77.990
213.286
533.711 1.073.13 4 407.680 405.363 199.987 401.330 320.205 294.820 1.076.63 7 325.733 437.564 1.101.20 9 291.276
131.895 61.354 71.711
631.799 231.986 292.186
763.694 293.340 363.897
67.669 273.476 345.145 1.641.23 5.785.0 1.746.25 Jumlah 5 48 7.399.319 7 Sumber: Laporan Tahunan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Ogan Ilir
6.543.32 3
8.289.58 0
10 11 12 13 14 15 16
105.98
394.5
500.48
69.562 96.677 60.455 60.458 130.93 80.636 60.455
541.286 285.33 220.33 125.255 247.697 221.466 220.33
610.83 382.356 280.785 188.713 378.672 302.102 280.785
206.429 88.336 80.225
802.9 221.85 332.614
1.009.329 309.916 412.866
67.669
273.476
341.145
73.6 124.45 57.9
201.26 591.458 218.943
274.86 715.908 276.843
Produksi Tahun 2012 (Kg) Sungai Rawa Jumlah 112.219 109.284
3 4 5 6 7 8 9
Muara Kuang Rambang Kuang Lubuk Keliat Tanjung Batu Payaraman Rantau Alai Kandis Tanjung Raja Rantau Panjang Sungai Pinang Pemulutan Pemulutan Selatan Pemulutan Barat Indralaya Indralaya Utara Indralaya Selatan
Produksi Tahun 2009 (Kg) Sungai Rawa Jumlah
Di samping perikanan tangkap Kab. Ogan Ilir juga memiliki potensi perikanan budidaya yang dilakukan dengan sistem budidaya di kolam, sawah, keramba dan kerung buluh.Kecamatan penghasil ikan budidaya dan jenis usahanya dapat dilihat pada Tabel 12.Berdasarkan Tabel 12 di bawah dapat diketahui daerah penghasil ikan budidaya terbesar ada di Kec.Indralaya Selatan dengan jenis usaha terbesar budidaya Kerung Buluh (pence system). Sedangkan Kec. Tanjung Batu sebagai 26
lokasi sentra minapolitan (Desa Burai) hanya berkontribusi sebesar 1,5% terhadap total produksi Kab. Ogan Ilir dan 66% produksi ikan budidaya di Kec.Tanjung Batu berasal dari budidaya dalam keramba (di sungai). Tabel 12. Produksi Perikanan Budidaya di Kab. Ogan Ilir Tahun 2009 dan 2012. Produksi Ikan Budidaya Tahun 2009 (Kg) Kecamatan
Jumlah (Kg)
Kolam
Sawah
Keramba
Kerung Buluh
Muara Kuang Rambang Kuang
312
301
26.545
0
27.158
0
0
42.846
0
42.846
Lubuk Keliat
346
115
64.612
0
65.073
Tanjung Batu
15.556
0
32.525
0
48.081
Payaraman
2.892
0
20.517
0
23.409
Rantau Alai
654
185
32.286
339.874
363.999
Kandis
465
125
28.19
0
28.78
Tanjung Raja Rantau Panjang
1.034
312
74.941
1.673
77.96
975
381
54.088
0
56.044
Sungai Pinang
886
322
38.284
0
39.492
Pemulutan Pemulutan Selatan Pemulutan Barat
1.587
906
119.809
15.4
137.702
1.015
312
105.287
0
106.623
720
230
117.296
445.658
563.904
Indralaya
1.367
451
143.965
1.35
147.133
1.56 1.084.74 0 1.890.25 5
73.151
Indralaya Utara Indralaya Selatan
789
260
70.542
1.794
574
74.186
Jumlah
30.392
5.083
1.036.919
Produksi Ikan Budidaya/Tahun 2012 (Kg) Kerun Keramb Kolam Sawah g a Buluh 824 234 72.078 -
73.136
-
-
116.930
-
116.930
953
162
175.298
-
176.413
36.88 2 7.020
-
70.887
-
107.769
-
45.404
-
52.424
1.714
318
51.330
853.661
1.290
282
61.397
800.2 99 -
2.627
506
161.807
4.174
169.114
2.441
1.784
146.852
-
151.077
2.222
447
83.447
-
86.116
4.018
1.271
258.531
300.307
2.554
466
283.783
36.48 7 -
1.897
337
252.297
1.304.787
3.665
732
387.781
1.050. 256 5.532
1.949
144
153.100
8.856
164.049
4.435
1.022
199.785
2.772.844
74.49 1
7.705
2.520.70 7
2.567. 602 4.473. 206
1.161.294 2.962.649
Jumlah (Kg)
62.969
286.803
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Ogan Ilir, diolah
Produksi ikan budidaya di Kab. Ogan Ilir berasal dari jenis-jenis ikan Patin, Nila, Mas, Lele dan Gurame yang dibudidayakan di kolam, keramba, sawah, dan Kerung buluh (pence system) seperti pada Tabel 12. Dari Tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa dalam periode 2006-2009 semua jenis usaha sektor perikanan budidaya mengalami peningkatan kecuali budidaya di sawah.
27
397.710
7.076.109
Tabel 13. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Budidaya Berdasarkan Jenis Ikan Dan Jenis Usaha di Perairan Umum Kab. Ogan Ilir 2009 Kolam Jenis Ikan
(1)
Produksi
Nilai Produksi
Keramba Nilai Produ prod ksi uksi
Kerung Buluh Produksi
Nilai Produksi
Sawah Produksi
Nilai produksi
(2)
(3)
(4)
(5)
(2)
(3)
(4)
(5)
1. Mas
4,862
87.522
0
0
0
3.034
54.62
2. Gurame
2,787
55.729
0
0
5,115
92.066
0
0
4. Lele
4,604
50.644
0
7,628
91.542
0
0
6. Lainnya
5,369
53.955
0
0
367.56
0 11.232.0 00 3.640.10 4
0
5. Patin
0 930.4 57 585.5 63 11.18 3.931
262.519
3. Nila
0 51,69 2 53,23 3 931,9 94
0 5.250.35 5 5.670.86 8
2.049
20.496
Jumlah
30,392
431.458 413.665
62.995
29,221
410.421
4.216
62.292
2006
27,249
264.282
25.938.3 40 25.725.6 68 25.687.8 92 17.809.2 00
4.216
2007
1.890.25 5 1.874.75 5 1.872.00 0 1.830.00 0
75.098
29,451
12.69 9.951 10.53 2.103 9.469 .292 7.010 .479
5.083
2008
1.036 ,919 863,5 41 776,3 99 722,7 19
9.083
?
315.048 0 945.128
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Ogan Ilir
Sebagai salah satu kawasan minapolitan, Kabupaten Ogan Ilir sudah mempersiapkan masterplan yang isinya mengenai lokasi yang akan dijadikan desa minapolis dan daerah-daerah yang akan dijadikan daerah hinterland (pendukung). Dalam konsep Laporan Akhir Masterplan Minapolitan Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2011 ditetapkan Desa Burai Kec. Tanjung Batu sebagai kawasan sentra minapolitan, didukung daerah-daerah lain sebagai penyangga (hinterland) meliputi kecamatan:. Indralaya, Indralaya Utara, Indralaya Selatan, Pemulutan, Pemulutan Barat, Pemulutan Selatan, Muara Kuang, Rambang Kuang dan Lubuk Keliat. Diharapkan nantinya lokasi-lokasi yang sudah ditetapkan ini dapat berfungsi baik sehingga bisa mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakan perikanan di Kabupaten Ogan Ilir tersebut.
28
Gambar 1.
Kawasan Pengembangan Minapolitan di Kabupaten Ogan Ilir
Usaha Penangkapan Ikan di Kabupaten Ogan Ilir
Dalam hal produksi ikan, Kab. Ogan Ilir dalam lima tahun terakhir selalu surplus ikan (sekitar dua ton/tahun). Produksi ikan dalam lima tahun terakhir masih didominasi perikanan tangkap walaupun kontribusinya semakin menurun (tahun 2009 masih 71% dan menjadi 55% tahun 2012). Produksi perikanan tangkap di Kab.Ogan Ilir berasal dari ekosistem sungai dan rawa banjiran yang mendominasi wilayah perairan. Nelayan di Kab. Ogan Ilir dalam melakukan penangkapan menggunakan perahu dayung (tanpa motor) dan menggunakan alat tangkap jaring insang (hanyut dan tetap), pancing/pancing rawai, sero dan bubu (kemilar) yang digunakan untuk menangkap ikan di sungai dan rawa (Tabel 10).Dari Tabel 10 dapat diketahui bagaimana kondisi ekosistem sangat mempengaruhi penggunaan alat tangkap. Ekosistem sungai selalu ada air sepanjang tahun, sementara rawa/rawa banjiran dipengaruhi oleh tinggi-rendah permukaan air yang dipengaruhi musin. Pada musim kemarau bahkan ada wilayah rawa yang menjadi daratan dan menjadi lahan pertanian.Dalam kondisi ini masyarakat setempat sepenuhnya tidak melakukan aktivitas penangkapan ikan.
29
Tabel 14. Jenis dan jumlah alat tangkap ikan di Kab. Ogan Ilir 2009
Ekosistem Perairan Umum
Jenis Alat penangkap Ikan
Jumlah
Sungai
Rawa
01. Jaring Insang Hanyut
957
0
957
02. Jaring Insang Tetap
64
948
1.012
03. Pancing
229
149
378
04. Rawai Sejenisnya
75
685
760
05. Sero
63
394
1.077
06. Bubu
318
955
1.273
07. Lainnya
735
506
1.241
Jumlah 3.061 3.637 Sumber : Laporan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Ogan Ilir, diolah
6.693
Kegiatan usaha perikanan tangkap di kabupaten Ogan Ilir yang dilakukan oleh masyarakan sudah dilakukan secara turun menurun.Kegiatan usaha penangkapan terbagi dalam tiga musim yaitu musim paceklik, musim sedang dan musim puncak.Perubahan iklim mengacaukan kalender musim tangkap ini sehingga tidak mudah mendapatkan jawaban nelayan untuk menetapkan kapan persisnya dimulai untuk masing-masing periode (sangat bervariasi).Variasi juga juga terjadi antara nelayan tangkap di sungai dan nelayan tangkap di rawa/rawa banjiran karena pengaruh ketinggian air.Namun jawaban pedagang pengumpul dinilai cukup mewakili karena merupakan rangkuman dari puluhan puluhan nelayan. Hasil wawancara dengan pedagang pengumpul bahwa musim puncak terjadi pada bulan Juni – Juli, musim sedang terjadi pada bulan Maret – Mei dan bulan Agustus Nopember, sedangkan musim paceklik terjadi pada bulan Desember – Februari. Hasil tangkapan perhari rata-rata tiap nelayan pada musim puncak 10 kg – 20 kg, musim sedang 3 kg – 5 kg dan musim paceklik 0,6 kg – 2 kg. Tabel 15. Kalender Musim Tangkap di Kabupaten Ogan Ilir No
Kalender musim
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
tangkap 1
Musim paceklik
2
Musim sedang
3
Musim puncak
0,6 – 2 kg 3 – 5 kg
3 – 5 kg/hari 10 – 20 kg
Sumber : data primer diolah, 2013
30
Kondisi bisnis usaha perikanan Seluruh masyarakat nelayan di Kabupaten Ogan Ilir menjadikan profesi nelayan sebagai pekerjaan sambilan atau musiman disamping pekerjaan lain yang berkaitan dengan pertanian, perkebunan, kehutanan atau buruh. Perahu yang digunakan untuk menangkap ikan pada umumnya perahu dayung dan sedikit perahu bermotor/tempel.Banyak jenis alat tangkap yang digunakan dan penggunaannya disesuaikan dengan musim (kemarau atau penghujan). Beberapa jenis yang banyak digunakan diantaranya: jaring insang hanyut/tetap, bubu, pancing rawai, jaring anco/sero. Berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang ikan bahwa pedagang pengecer ikan di pasar kabupaten (pasar Indralaya), mendapatkan ikan dari pengumpul ikan dari daerah : Tanjung putus, Tanjung rajo, Meranjat, Mara Penimbung, Talang ngawur, Burai Senawar dan Tanjung Pring. Jenis ikan tangkapan yang dipasarkan di pasar Indralaya: gabus, baung, seluang, sepat siam, toman dan lais. Sedangkan ikan budidaya umumnya ikan patin, nila, mas, gurame.Informasi yang diperoleh dari pedagang pengecer di pasar, harga jual dan beli ikan dapat dilihat pada table 9 di bawah ini. Tabel 16. Harga beli dan harga jual ikan pada tingkat pedagang pengecer No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Ikan Patin Gabus Baung Seluang Sepat siam Toman Lais
Harga beli per kg per musim (Rp) Sedang Puncak 17.500 13.000 27.000 15.000-20.000 25.000-27.000 15.000-20.000 17.000 12.000 10.000-12.000 5.000-6.000 45.000 30.000 30.000 12.000-15.000
Harga jual per kg per musim (Rp) Sedang Puncak 20.000 17.500 30.000-40.000 20.000-30.000 35.000-40.000 20.00-25.000 20.000 15.000 20.000 8.000-10.000 60.000 45.000 45.000 15.000-20.000
Sumber: Data primer diolah, 2013.
Kegiatan transaksi penjualan ikan hasil tangkapan di Pasar Indralaya dan Pasar Tanjung Batu di mulai pada jam lima pagi, dimana pedagang pengumpul atau pedagang ikan asin sudah mulai transaksi dengan pedagang pengecer, hari pasar ikan di Kecamatan Tanjung Batu adalah hari Senin dan Kamis, sedangkan di Pasar Indrajaya adalah Selasa dan Kamis. Pedagang pengumpul pada umumnya sudah mempunyai nelayan yang tetap dalam pembelian ikan hasil tangkapannya, biasanya pedagang pengumpul mempunyai nelayan binaannya adalah berkisar 10- 30 orang dan sudah mempunyai ikatan modal dengan pedagang pengumpul yaitu dengan cara memberikan modal usaha seperti untuk pembelian alat tangkap. Sistem pembayarannya kepada pedagang adalah dengan cara menyicil setiap hasil penjualan lebih dari Rp.30.000 baru pedagang memotong pinjamannya. Selain penjualan ikan dalam bentuk segar di Kabupaten Ogan Ilir juga melakukan penjualan ikan olahan. Di kabupaten ini kegiatan pengolahan ikan sudah berjalan sejak puluhan tahun bahkan 31
bersifat turun temurun. Teknologi pasca panen ikan hasil tangkapan diperairan umum dapat berupa: pengolahan ikan segar, pengolahan untuk bahan industry, pengawetan. Pengolahan ikan segar dapat dilakukan untuk semua jenis ikan yang diolah menjadi berbagai aneka masakan khas daerah maupun masakan nasional. Pengolahan untuk bahan industry umumnya ikan gabus yang digunakan dagingnya sebagai bahan baku pembuatan kerupuk ikan, empek-empek, tekwan, bakso. Pengawetan dapat berupa ikan asin, dan ikan asap/salai. Ikan asin umumnya berbahan baku ikan sepat. Ikan asap/salai dapat menggunakan ikan lais, patin, lele. Jenis ikan dominan yang diolah adalah ikan gabus yang bernilai ekonomis tinggi. Seluruh usaha pembuatan kerupuk dan kemplang di Kab.Ogan Ilir masih skala rumah tangga (tradisional) dan dengan teknologi yang sederhana (manual). Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pembuatan kerupuk adalah 3 - 4 orang dengan upah perorang Rp.50.000. Jumlah pengolah kerupuk dan kemplang di kabupaten Ogan Ilir dapat dilihat pada Tabel 13dibawah ini. Tabel 17. Jumlah Pengolah Kerupuk/Kemplang di Kab. Ogan Ilir
No
Kecamatan/Kel/Desa
Jumlah
Klasifikasi
Produk
Perizinan
(orang) 1
2
3
Kec. Indralaya Utara
42
Tanjung Pering)
42
Kec. Indralaya
3
Talang Aur
Usaha kecil
Krupuk Kemplang
Belum ada
1
Usaha kecil
Krupuk kemplang
Belum ada
Sakatiga Seberang
1
Usaha kecil
Krupuk kemplang
Belum ada
Tanjung Gelam
1
Usaha kecil
Krupuk kemplang
Belum ada
Kec. Indralaya Selatan
37
Tebing Gerinting Selatan
26
Usaha kecil
Krupuk kemplang
Belum ada
Meranjat I
2
Usaha kecil
Krupuk kemplang
Belum ada
Meranjat II
4
Usaha kecil
Krupuk kemplang
Belum ada
Meranjat III
1
Usaha kecil
Krupuk kemplang
Belum ada
Meranjat Ilir
1
Usaha kecil
Krupuk kemplang
Belum ada
Tanjung Lubuk
1
Usaha kecil
Krupuk kemplang
Belum ada
Sukaraja Lama
1
Usaha kecil
Krupuk kemplang
Belum ada
Sukaraja Baru
1
Usaha kecil
Krupuk kemplang
Belum ada
32
No
Kecamatan/Kel/Desa
Jumlah
Klasifikasi
Produk
Perizinan
(orang) 4
Payaraman
5
Payaraman Barat
2
Usaha kecil
Krupuk kemplang
Belum ada
Payaraman Timur
1
Usaha kecil
Krupuk kemplang
Belum ada
Rengas II
1
Usaha kecil
Krupuk kemplang
Belum ada
Tebedak II
1
Usaha kecil
Krupuk kemplang
Belum ada
TOTAL
87
Sumber : Laporan Tahunan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Ogan Ilir, 2012.
Saluran Pemasaran ikan di sungai dan rawa Kabupaten Ogan Ilir Ikan-ikan yang dipasarkan di sekitar Ogan Ilir
berasal dari dalam kabupaten dan luar
kabupaten. Jenis ikan yang dipasarkan diantaranya adalah ikan baung, lais, toman, gabus dan sepat.Dari hasil wawancara dengan responden di ketahui bahwa rantai pasokan ikan di Ogan Ilir yang berjalan yaitu ikan hasil tangkapan nelayan biasanya ada yang langsung dijual ke pedagang pengecer ada juga yang dijual melalui pedagang pengumpul . Kemudian oleh pedagang pengumpul dijual ke pedagang pengecer di pasar Indralaya dan pasar Tanjung Raja yang kemudian dipasarkan ke berbagai konsumen diantaranya untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga. Selain jalur rantai pemasaran seperti tersebut diatas, untuk jenis ikan gabus dan ikan sepat oleh pengumpul sebagian di jual ke pengolahyang ada di dalam Kabupaten yang kemudian oleh pengolah tersebut di jual ke konsumen di dalam dan luar kabupaten.Untuk jenis ikan gabus biasanya diolah menjadi kerupuk, empek-empek atau tekwan dan bakso. Sedangkan untuk jenis ikan sepat selain dijual segar sebagian di jual dalam bentuk olahan atau diasinkan. Untuk lebih jelasnya saluran pemasaran ikan di Ogan Ilir dapat dilihat dalam gambar berikut:
Pengolah Nelayan
Konsumen dalam Kabupaten
Pengumpul Pedagang pengecer
Gambar 2.
Konsumen dalam dan luar kabupaten
Saluran pemasaran ikan tangkap di Ogan Ilir
33
Analisis Nilai Tambah ( Value Added) untuk ikan gabus segar dan olahan Pada Gambar 3 dibawah ini menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp 26.614 /kg dengan biaya untuk menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp 25.386 per kg.Dilihat dari jumlah pertambahan nilai, nelayan menerima bagian lebih kecil (44.03%) tetapi biaya yang dikeluarkan juga lebih kecil (20.80%) dibanding dengan pengecer.Pengecer menerima pertambahan nilai lebih besar (55.97%) dan menghabiskan biaya lebih besar (79.20%). Pengecer menghabiskan sebagian dari biaya tersebut untuk biaya tidak tetap sebesar (81.90%) untuk biaya input produksi seperti biaya operasional, transportasi dan tenaga kerja. Pengecer memperoleh keuntungan lebih besar tetapi biaya yang dikeluarkan juga lebih besar.
Pedagang Pengecer 1. Investasi : 0.74 % 2. Biaya tidak tetap : 81.90 % (input produksi) 3. Biaya tetap : 17.36 % (penyusutan dan perawatan)
Rantai Nilai 1 Nelayan
cost Value
Pedagang Pengecer
(20.80%)
Pengumpul 20.105 kecil (79.20%)
11.719 (44.03%)
14.895 (55.97%)
5.281 Nelayan
Konsumen dalam Kabupaten
Value added Rp 26.614 /kg
Added Gambar 3.
Rantai Nilai Ikan Gabus segar di Kabupaten Ogan Ilir
Seperti pada Gambar 4 rantai nilai 2 menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp 24.459 /Kg dengan biaya untuk menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp.10.541 per kg. Dilihat dari jumlah pertambahan nilai, disini nelayanmenerima bagian terbesar (47.91%) tetapi biaya yang dikeluarkan juga lebih besar (50.10%). Nelayan menghabiskan sebagian dari biaya tersebut untuk biaya tidak tetap sebesar 84.68% (biaya input produksi seperti pembelian ikan untuk umpan ). Sementara pedagang pengumpul dan pedagang pengecer memperoleh penambahan nilai masing masing 32.07% dan 20.01%, tetapi biaya yang dikeluarkan juga lebih kecil dibanding dengan nelayan.
34
Nelayan 1. Investasi : 10.57 % 2. Biaya tidak tetap : 84.68 % (input produksi) 3. Biaya tetap : 4.75 % (penyusutan dan perawatan)
Rantai Nilai 2 Nelayan
Pedagang Pedagang Pengumpul
PengumpulN cost
5.281 (50.10%)
Value
11.719 (47.91%)
elayan 2.156 (20.45%)
Pengumpul 7.844 kecil
(32.07%)
Pedagang Pengecer
Konsumen dalam kabupaten
3.105 (29.45%)
Value
added
Rp24.459 /Kg
4.895 (20.01%)
Added Gambar 4.
Rantai Nilai 2 Ikan Gabus segar di Kabupaten Ogan Ilir
Pada Rantai nilai gambar5 dibawah ini total pertambahan nilai yang diperoleh sebesar Rp 30.182 per kg dengan biaya untuk menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp 56.819 per kg.Dilihat dari jumlah pertambahan nilai, pengolah menerima bagian lebih besar (74.01%) dan mengeluarkan bagian lebih besar dari sisi biaya (66.29%). Pengolah mengeluarkan sebagian dari biaya tersebut untuk biaya tidak tetap seperti biaya operasional dari proses pengolahan ikan hingga pengemasan, sebesar 82.78%. Sementara pengumpul memperoleh penambahan nilai 25.99%, tetapi biaya yang dikeluarkan juga lebih kecil dibanding dengan pengolah. Pengolah memperoleh keuntungan lebih besar hal ini dikarenakan biaya operasional yang dikeluarkan juga lebih besar.Pada saluran pemasaram ke pengolah ini banyak biaya yang dihabiskan untuk menghasilkan pertambahan nilai.Oleh karena itu, pertambahan nilai yang dihasilkan adalah juga semakin banyak.
Pengolah 1. Investasi : 14.11 % 2. Biaya tidak tetap : 82.78 % (input produksi) 3. Biaya tetap : 3.11 % (penyusutan dan perawatan) Rantai Nilai 3 Pedagang
Pengolah
PengumpulN
dan luar
19.156(33.71%) cost elayan 37.663(66.29%) 7.844(25.99%) 22.338(74.01%) Value Pengumpul
Adde d
Konsumen dalam
kabupaten
Value
added
Rp 30.182 / Kg
kecil
Gambar 5.
Rantai Nilai 3 Ikan Gabus bentuk olahan (kerupuk) di Kab. Ogan Ilir
35
Analisis Nilai Tambah ( Value Added) untuk ikan sepat segar Seperti pada Gambar 6 Rantai nilai 4 menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp 16.114 per kg dengan biaya untuk menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp.8.886 per kg. Dilihat dari jumlah pertambahan nilai, pedagang pengecer menerima bagian lebih besar (73.82%) dan mengeluarkan bagian terbesar juga dari sisi biaya (91.21%). Pengecer menghabiskan sebagian dari biaya tersebut untuk
biaya
tidak
tetap
sebesar
82.36%
(biaya
input
produksi
seperti
ikan
dan
transportasi).Pedagang pengecer memperoleh keuntungan lebih besar hal ini dikarenakan biaya operasional yang dikeluarkan juga lebih besar. Sementara nelayan dan memperoleh penambahan nilai sebesar 26.18% tetapi biaya yang dikeluarkan juga lebih kecil dibanding dengan pedagang pengecer.
Pengecer 1. Investasi : 0.16 % 2. Biaya tidak tetap : 82.36% (input produksi) 3. Biaya tetap : 17.48 % (penyusutan) Rantai nilai 4 Nelayan
cost Value
781(8,79%) 4.219(26.18%)
Pedagang pengecer
Konsumen dalam kabupaten
8.105(91.21%)
Value added
11.89(73.82%)
Rp 16.114/kg
Added Gambar 6.
Rantai Nilai 4 ikan sepat segar
Seperti pada Gambar 7 Rantai nilai 5 menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp 15.268 per kg dengan biaya untuk menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp.4.732 per kg. Dilihat dari jumlah pertambahan nilai, pedagang pengecer menerima bagian terbesar (45.16%) dan mengeluarkan bagian terbesar juga dari sisi biaya (65.62%). Pengumpul besar menghabiskan sebagian dari biaya tersebut untuk biaya tidak tetap sebesar 81.90% (biaya input produksi seperti ikan dan transportasi).Pedagang pengecer memperoleh keuntungan lebih besar hal ini dikarenakan biaya operasional yang dikeluarkan juga lebih besar. Sementara nelayan dan pedagang pengumpul memperoleh penambahan nilai masing masing 27.63% dan 27.21% tetapi biaya yang dikeluarkan juga lebih kecil dibanding dengan pedagang pengecer.
36
Pengecer 4. Investasi : 0.72 % 5. Biaya tidak tetap : 81.90 % (input produksi) 6. Biaya tetap : 17.38 % (penyusutan) Rantai nilai 5 Nelayan
cost Value Added
Pengumpul
Pedagang pengecer
781 (16.50%)
846(17.88%)
4.21
4.154(27.21 %)
(27.63%)
Gambar 7.
Pedagang dalam kabupaten 3.105 (65.62%) 6.895(45.16 %)
Value added Rp 15.268/kg
Rantai Nilai 5 ikan sepat segar
Hasil analisis value added menunjukkan bahwa bentuk rantai nilai pada gambar 5c rantai nilai 3 ( rantai nilai ikan gabus bentuk olahan) merupakan keragaan yang lebih baik dibandingkan dengan rantai nilai yang lain hal ini dapat dilihat dari prosentase antara value added dengan biaya yang dikeluarkan pada rantai nilai ikan gabus dalam bentuk olahan ini mempunyai prosentase value added yang paling besar dibanding dengan bentuk rantai nilai yang lain. Bentuk rantai nilai ini merupakan rantai nilai dari kegiatan usaha pengumpul menjual hasil tangkapannya ke pengolah hasil perikanan yang kemudian dipasarkan ke konsumen yang berasal dari dalam kabupaten maupun luar Kabupaten.Pada rantai pemasaran produk olahan tersebut, terlihat bahwa pengolah menerima bagian terbesar dari pertambahan nilai.Hal ini menunjukan bahwa terjadi efisiensi produksi pada rantai pengolahan, dimana dengan rantai yang relatif lebih pendek dibanding dengan rantai pemasaran yang lain, namun dapat menghasilkan laba/pertambahan nilai yang lebih besar.
SUNGAI BARITO, KABUPATEN BARITO SELATAN, KALIMANTAN TENGAH Kabupaten Barito Selatan yang beribukota di Buntok adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah yang mengalami pemekaran pada tahun 2002 menjadi Kabupaten Barito Selatan dan Barito Timur yang terletak pada : Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Barito Utara Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Barito Timur Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kalimantan Selatan) Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kapuas Secara geografis terletak membujur dan memanjang Sungai Barito dengan letak astronomi 1020’ Lintang Utara – 2035’ Lintang Selatan dan 1140 – 1150 Bujur Timur. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 8.830 km2 yang terdiri dari 6 kecamatan. 37
Tabel 18. Luas Wilayah Per Kecamatan di Kabupaten Barito Selatan No.
Kecamatan
2
Luas Wilayah ( km )
% Luas Kabupaten Barito Selatan
708
8,02
1
Jenamas
2
Dusun Hilir
2.065
23,39
3
Karau Kuala
1.099
12,45
4
Dusun Selatan
1.829
20,71
5
Dusun Utara
1.196
13,54
6
G. Bintang Awai
1.933
21,89
Jumlah
8.830
100,00
Sumber : BPS Kabupaten Barito Selatan, 2012 Di Kabupaten Barito Selatan terdapat satu sungai besar yaitu Sungai Barito dan banyak sungai kecil / anak sungai. Sungai Barito dengan panjang mencapai sekitar 900 km dengan rata-rata kedalaman 8 m merupakan sungai terpanjang di Barito Selatan. Hal ini tentunya menjadikan kabupaten ini memiliki potensi perikanan yang cukup besar sebagaimana tergambar dalam tabel 19.
Tabel 19. Produksi Perikanan Darat Menurut Kecamatan (ton) di Kabupaten Barito Selatan
No.
Kecamatan
Perikanan Darat Perairan Umum
Budidaya
Jumlah
1.
Jenamas
900,85
261,80
1.162,65
2.
Dusun Hilir
968,26
195,50
1.163,76
3.
Karau Kuala
943,41
250,20
1.193,61
4.
Dusun Selatan
1.060,20
298,15
1.358,40
5.
Dusun Utara
1.019,79
99,85
1.119,64
6.
G.Bintang Awai
806,67
64,15
870,82
Jumlah
5.699,23
1.169,65
6.868,88
Tahun 2007
5.739,63
1.005,21
6.744,84
Tahun 2008
5.739,53
994,57
6.734,10
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Barito Selatan, 2010
Usaha perikanan tangkap yang dilakukan nelayan Kabupaten Barito Selatan merupakan penangkapan ikan perairan darat. Lokasi penangkapan ikan biasa di Sungai Barito dan anak-anak sungai di sekitarnya. Jenis ikan perairan umum yang banyak ditangkap di wilayah ini yaitu patin, lais,
38
baung, toman, nila, lele, sepat siam dan gabus. Teknik penangkapan dan alat tangkap yang digunakan di perairan sungai dan rawa di Barito Selatan terdiri atas macam-macam jenis. Berdasarkan data yang dikumpulkan teknik penangkapan ikan yang dilakukan di perairan umum sungai dan rawa diantaranya adalah ; a. Memaksa ikan untuk memasuki daerah alat penangkap dan menghadang arus pada arah kiri dan kanan, penghadang makin lama makin menyempit sehingga arus mencapai suatu kecepatan yang tidak mampu lagi dilawan oleh ikan. Dengan demikian ikan masuk kedalam alat penangkap (misalnya Selambau). b. Menghadang arah renang ikan-ikan (misalnya jaring insang). c. Mengajak atau menggiring lalu menyesatkan ikan ke alat perangkap (misalnya pada hampang). d. Mengusahakan ikan masuk ke alat penangkap dengan mudah, tetapi mempersulit keluar atau mengurung (misalnya bubu). e. Menjerat (misalnya jaring). f. Terkait dan tidak terlepas lagi (misalnya pacing). g. Mencemarkan keadaan lingkungan hidup ikan dan shock elektrik. Berikut di bawah ini contoh alat-alat tangkap yang digunakan nelayan di Kabupaten Barito Selatan
Bubu
Tampirai
Selambau
Jaring insang
Gambar 8.
Alat – Alat Tangkap Nelayan di Kabupaten Barito Selatan
39
Saluran Pemasaran Ikan Hasil Tangkapan Di Kabupaten Barito Selatan 15%
PPI Buntok
Pengecer lokal
Konsumen lokal
100 %
Nelayan
Pengumpul
100 %
Pedagang besar Banjar
Pengecer Banjar
Konsumen Banjar
85%
Gambar 9.
Rantai Pasok ( Supply Chain) Perikanan di Kabupaten Barito Selatan
Sistem Rantai Nilai (Value Chain) Komoditas Utama Komoditas Ikan Gabus Rantai pemasarankomoditas ikan gabus terdiri dari dua rantai, yaitu rantai dari nelayan ke pengumpul lalu ke pengecer di Buntok dan rantai dari nelayan ke pedagang pengumpul lalu ke pedagang besar dari Kabupaten Banjar kemudian ke pengecer disana.Kedua rantai tersebut disajikan pada Gambar 7.
Rantai 1
Rantai 2
Nelayan
Pengumpul
Pengecer Buntok
Pengumpul
Pedagang besar Banjar
Nelayan
Gambar 10.
Pengecer Banjar
Rantai pemasaran ikan gabus
40
Operasional laut : 22,7%
transportasi
Ransum
BBM
: 21,4%
Operasional darat :55,9%
: 9,1% : 68,2%
transportasi BBM
: 91,7%
: 8,3%
Tenaga kerja : 22,7%
C & P per kg
3669(46,62%) & 10000
Nelayan
2200(27,96%) & 18000
Pengumpul
2000(25,42%) & 22000
Pengecer Buntok
Total value added Rp 13.256/kg
5456(30,18%)
5800(41,04%)
2000(14,15%)
VA
Gambar 11.
Value chain analysis ikan gabus rantai 1
KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA, KALIMANTAN SELATAN Kabupaten Hulu Sungai Utara secara geografis, terletak antara koordinat 2˚17-2˚33 Lintang Selatan dan antara 114˚52-115˚24 Bujur Timur. Pasca pemekaran dengan Kabupaten Balangan, total luas wilayah Kabupaten yang beribukota di Amuntai ini secara keseluruhan, 892,7 km 2 (89.270 Ha) atau 2,38%, dibandingkan dengan luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Hulu Sungai Utara memiliki 10 Kecamatan dan 219 Desa/Kelurahan. Jumlah penduduk 218.109 jiwa, yang terdiri dari 108.639 jiwa laki-laki dan 109.470 jiwa perempuan yang tersebar dalam 10 kecamatan. Secara hidrologi, didominasi oleh Sungai Tabalong dan Sungai Balangan yang bertemu di Sungai Nagara. Curah hujan rata-rata mencapai 2.520 mm per tahun, dengan jumlah hari hujan ratarata 125 hari per tahun.Tipologi lahan kabupaten Hulu Sungai Utara berupa lahan rendah, yang setiap tahun terjadi banjir. Masyarakat Kabupaten Hulu Sungai Utara adalah masyarakat agraris, karena sebesar 41,42% masyarakatnya bekerja di sektor pertanian, sedangkan yang bekerja di sektor perdagangan (19,74%), jasa (5.08%), dan lainnya. Produksi penangkapan ikan yang dihasilkan dari rawa dan sungai mencapai 15.931,1 ton.Selain penangkapan, kegiatan budidaya juga telah berkembang baik.Areal dan produksi budidaya di Kabupaten Hulu Sungai Utara, dapat dilihat pada Tabel 20.
41
Tabel 20. Areal dan Produksi Budidaya Kabupaten Hulu Sungai Utara
Jenis Budidaya
Luas Areal (Ha)
Produksi (Ton)
Kolam
19.229
47.16
Keramba
7.489
56.99
Fish pence
-
45.00
Net tancap
-
77.44
Sumber: Anonimous (2011)
Saluran Pemasaran Ikan Pemasaran hasil perikanan di Kabupaten Hulu Sungai Utara, sebagian dipasarkan untuk konsumsi dan sisanya untuk industri pengolahan. Pedagang yang paling berperan dalam rantai pemasaran produksi perikanan adalah pedagang pengecer. Sistem transportasi ikan yang dipasarkan ke luar kota dilakukan dengan menggunakan mobil/sepeda motor, sedangkan transportasi ikan yang dipasarkan untuk konsumen di dalam kota dilakukan menggunakan motor dengan cool box. Sistem pembayaran hasil perikanan yang dipasarkan dilakukan secara tunai. Kabupaten Hulu Sungai Utara tidak memiliki pasar benih ikan, serta dan jenis lembaga pembiayaan yang ada yaitu bank dan koperasi. Bentuk jaminan yang diperlukan berupa surat berharga, dan pembayaran pinjaman dilakukan dengan cara dibayar secara bertahap. Bentuk pengembalian pinjaman berupa uang tunai dengan jangka waktu pembayaran secara bulanan. Lama waktu peminjaman dilakukan selama 1 musim dengan suku bunga sebesar kurang dari 10%. Rantai pasar ikan menurut alokasi pemanfaatannya diketahui, bahwa di Hulu Sungai Utara ikan segar (70%) dipasarkan ke kota Amuntai (50%) dan Balangan (10%) (di dalam provinsi), sedangkan di luar provinsi ke kota Kandangan (5%) dan Barabai (5%). Rantai pasar untuk bahan baku olahan sebesar 30%, dipasarkan di dalam provinsi ke kota Amuntai (20%) dan Kota Balangan (5%), sedangkan di luar kota provinsi dipasarkan ke kota Kandangan (5%).
TIPOLOGI DANAU
DANAU KERINCI, KABUPATEN KERINCI, JAMBI Danau Kerinci merupakan salah satu danau yang berada di Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Secara geografis danau ini berada di 2°7′28″ sampai 2°8′14″ LS dan 101°31′34″ BT sampai 101°26′50″ BT. Danau ini terbentuk akibat adanya letusan gunung berapi, oleh karena itu danau ini
42
bertipe vulkanik. Danau Kerinci memiliki luas 46 Km2, dengan volume air 1,6 juta m3 dengan kedalaman rata-rata danau mencapai 97 m. Elevasi permukaan berada pada ketinggian 710 m dari atas permukaan laut. Inflow berasal dari catchment area di sekitar danau dan sumber-sumber air, sedang outlet utamanya berada di Sungai Segara Agung dan sungai Batang Kali.Air yang masuk danau berasal dari lima sungai utama: Sungai Kerinci, Sungai Tebingtinggi, Sungai Siulak, Sungai Kapur, Sungai Jujun, dan sungai-sungai kecil. Danau Kerinci dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti: (1) Irigasi, untuk mengairi sawah yang berada dihilir output danau tepatnya sawah-sawah yang berada disekitar sungai merangin. Namun pemanfaatannya masih bersifat konfensional; (2) Pembangkit Tenaga Listrik, saat ini sedang dilaksanakan pembangunan PLTA oleh PT. Bukaka bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Propinsi Jambi; (3) Usaha Perikanan, yang dikelola oleh masyarakatdisekitar danau. Jenis ikan yang dibudidayakan berupa ikan nila, mujair dan ikan mas; (4) Tempat Rekreasi /Pariwisata, berupa wisata memancing dan wisata air; (5) Sumber Air Baku, sejak semula sudah dimanfaatkan untuk suplai air minum, mandi dan mencuci di daerah Sungai Penuh. Saat ini air Danau Kerinci telah dimanfaatkan sebagai sumber air baku, yaitu : PDAM Kab. Kerinci.. Potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Kerinci meliputi: budidaya di kolam (daratan), budidaya di KJA/KJT di danau, budidaya di keramba bambu (sungai), budidaya di kolam air deras, budidaya minapadi (di sawah) dan penangkapan ikan di sungai dan danau Kerinci. Namun pemanfaatan potensi tersebut masih sangat rendah, kecuali pemanfaatan danau untuk perikanan tangkap. Tabel 21. Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Kerinci Tahun 2009 - 2011
No
Jenis Kegiatan
Potensi
Dimanfaatkan (ha)
Pemanfaatan
(Ha)
(%) 2009
2010
2011
670
112.6
126,5
126,5
18,8
1
Budidaya Kolam
2
Budidaya di (KJT/KJA)
42,08
1,03
1,03
1,9
4,5
3
Keramba bambu
17,08
0,02
0,02
0,02
0,1
4
Budidaya kolam air deras
58
-
-
-
0
5
Budidaya minapadi
186
-
-
-
0
6
Penangkapan ikan di danau
4.255
4.255
4.255
4.255
100
5.228,16
4.368,6
4.380,1
4.383,4
JUMLAH
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Kerinci, (diolah)
43
Jenis ikan yang dibudidayakan meliputi ikan: Nila dan Mas yang dibudidayakan di kolam darat di seluruh kecamatan, di beberapa sungai dan di KJA/KJT di danau Kerinci. Sedangkan jenis ikan tangkap meliputi: ikan Barau, Semah dan Medik yang ditangkap di Danau Kerinci dan sungai sungai yang ada di Kec. Air Hangat, Air Hangat Timur, Air Hangat Barat, Depati Tujuh, Sitinjau Laut, Keliling Danau, Danau Kerinci, Gunung Raya, Batang Marangin, dan Bukit Kerman .Jenis ikan dan daerah penghasil ikan di Kab.Kerinci dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Produksi Berbagai Macam Ikan Di Kabupaten Kerinci Tahun 2012
No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Kecamatan
JENIS IKAN Barau Semah (ton) (ton) 0,01 0,04 0,01 0,04 0,01 0,04 0,20 0,85 5,23 58,13 5,30 58,09 0,37 2,75 7,26 19,72 0,45 3,36 0,01 0,05
Nila Mas (ton) (ton) 1 Kayu Aro 130,89 21,10 2 Gunung Tujuh 78,91 10,44 3 Gunung Kerinci 75,65 12,15 4 Siulak 19,39 2,66 5 Air Hangat 74,17 9,64 6 Air Hangat Timur 11,75 1,72 7 Depati Tujuh 189,86 25,09 8 Sitinjau Laut 22,30 3,80 9 Keliling Danau 649,83 81,80 10 Danau Kerinci 644,07 83,00 11 Gunung Raya 51,57 8,89 12 Batang Merangin 221,50 33,00 13 Kayu Aro Barat 96,45 12,76 14 Siulak Mukai 23,70 3,25 15 Air Hangat Barat 63,03 10,86 16 Bukit Kerman 90,65 11,79 2.443,7 2.443,7 Jumlah tahun 2012 331,94 18,86 2 4 Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Kerinci, 2013
Medik (ton) 0,04 0,04 0,04 0,85 96,56 100,62 4,61 33,09 5,64 0,05
Lainnya (ton) 0,53 0,23 0,60 0,18 0,08 0,15 0,08 2,83 39,93 41,61 1,91 13,66 0,28 0,22 2,33 0,10
143,08
241,55
Jumlah (ton) 152,53 89,58 88,40 22,23 83,99 13,72 215,13 30,83 931,49 932,68 70,10 328,23 109,48 27,17 85,68 102,65 104,72
Dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya terhadap konsumsi ikan, Kabupaten Kerinci selalu mengalami kekurangan sehingga mendatangkan ikan dari luar daerah khususnya dari Sumatera Barat (Maninjau untuk ikan budidaya, dan daerah pesisir untuk ikan tangkap laut) dan Riau. Bahkan menurut informasi dari seorang pedagang ikan di pasar kabupaten/kota, ikan tangkap laut dapat didatangkan dari pulau Jawa dan Sumatera Selatan. Dalam lima tahun terakhir ketergantungan pasokan ikan dari luar tersebut semakin mengecil dan kebutuhan ini dipenuhi dari ikan budidaya seperti dapat dilihat pada Tabel 19.
44
Tabel 23. Produksi, konsumsi ikan dan peran perikanan tangkap di Kabupaten Kerinci, Jambi Tahun 2009 – 2011 No
Uraian
2009
1.
Produksi Ikan Budidaya (ton/th)
2010
Peran terhadap total prod (%)
708.6
1.462,9
1.822,2
41,8
59,3
61,8
415,8
936,2
1.120,9
36,2
57
13,3
1)
Budidaya di kolam
2)
Budidaya di keramba di sungai
3)
Budidaya di KJA/KJT di danau
256,6
469,7
688,0
Produksi ikan tangkap (ton/th)
985,0
1.005,4
1.124,4
Peran terhadap total prod (%)
58,2
40,7
38,3
1)
Ikan tangkap di sungai
192
191,3
218,6
2)
Ikan tangkap di danau
793,0
814,1
905,8
Total Vol. Prod (ton/th)
1.693,6
2.468,3
2.946,6
Total konsumsi (ton/th)
4.836,1
4.883,5
5.168,4
(3.142,5)
(2.415,2)
(2.222)
35%
51%
57%
2.
II
2011
Surplus (Minus) Peran produksi thd konsumsi (%)
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Kerinci, (diolah) Dalam mendukung industrialisasi perikanan semua sektor harus menunjang baik dari sisi produksi dan juga infrastruktur. Di Kabupaten Kerinci telah dilakukan pembangunan di beberapa sektor terutama di sektor infrastruktur pendukung seperti yang dijelaskan pada tabel 24. Tabel 24. Infrastruktur pendukung industrialisasi perikanan di Kab. Kerinci, Tahun 2013 No 1.
Infrastruktur Jalan penghubung
Kondisi Baik/beraspal
2.
Dermaga pendaratan ikan tangkap Pasar (khusus) ikan
85%
4.
Hatchery Semah)
100%
5.
BBI Sentral dan BBI Lokal
100%
6.
Listrik
7.
BBM
8.
Pakan ikan
Tersedia, terbatas Tersedia, cukup Tersedia, cukup
3.
(khusus
ikan
95%
Keterangan Pengaspalan jalan di sekeliling danau sudah dilakukan dan selesai tahun 2012 Dibangun di Semerap Kec. Keliling Danau tahun 2012 (bangunan utama) dan akan diselesaikan tahun 2013 Dibangun tahun 2012 sebanyak 3 buah (di Semerap, Koto Patai, dan Sanggaran Agung). Belum berfungsi, masih perlu penambahan fasilitas pendukung (air bersih, listrik). Selesai dibangun di Koto Patai Kec. Danau Kerinci tahun 2012 dan sudah berhasil memijahkan ikan Semah. Sekitar 10.000 benih sudah ditebar di sungai dan danau Sebagian besar benih ikan Nila kebutuhan pembudidaya di Kerinci dipenuhi oleh BBI Sentral. Berasal dari PLN, masyarakat menilai kapasitasnya masih kurang SPBU ada di luar kawasan sentra produksi perikanan Disediakan pedagang di luar kawasan sentra produksi
Sumber: data primer diolah, 2013
45
Masyarakat sekitar danau Kerinci yang meliputi kecamatan Keliling Danau, kecamatan Danau Kerinci dan kecamatan Batang Merangin melakukan usaha penangkapan ikan menggunakan perahu dayung (tanpa mesin/jukung) ukuran 3,5 meter dan melakukan penangkapan secara perorangan. Alat tangkap yang umum digunakan berupa jaring tetap dengan panjang 100 meter untuk tiap ukuran mata jaring. Menurut nelayan, idealnya tiap nelayan memiliki 3 sampai 5 unit jarring untuk tiap ukuran mata jaring. Sedangkan jaring yang digunakan dari berbagai ukuran mulai dari 1,25” sampai ukuran 4,5” (bergantung pada musim ikan dan ikan apa yang akan ditangkap). Pemasangan jaring umumnya pada sore hari dan diangkat pada dini hari.Di samping jaring, beberapa nelayan menggunakan jala dalam menangkap ikan dan dilakukan umumnya pagi atau sore hari. Alat tangkap lain yang juga digunakan adalah perangkap ikan (bubu/lukah) yang dipasang di perairan dangkal. Tabel 25. Jumlah alat tangkap dan nelayan di Kabupaten Kerinci Tahun 2012
No
Kecamatan
1
Jenis Kegiatan
Nelayan
Jukung
Jaring
Jala
Bubu
(KK)
Danau Kerinci
258
566
76
550
291
2
Keliling Danau
244
515
74
700
278
3
Batang Merangin
105
225
22
225
120
4
Lain-2 Kecamatan
55
64
32
125
10
652
1.370
204
1.600
709
JUMLAH
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Kerinci, 2012
Sistem Pemasaran Pemasaran ikan tangkap dilakukan melalui satu rantai pemasaran yaitu nelayan tangkap menjual langsung hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul yang datang ke tempat nelayan, pedagang tersebut kemudian menjual kembali di pasar secara eceran maupun dijual ke pedagang pengecer yang ada di pasar. Sistem pembayaran tunai atau tempo selama satu sampai empat hari.Pedagang umumnya adalah masyarakat lokal, satu pedagang dapat memiliki 10 sampai 15 orang nelayan langganan yang semua ikan hasil tangkapannya harus diambil.Dalam beberapa kasus (jika hasil tangkapan sedikit) nelayan kadang menjual hasil tangkapannya langsung ke pasar di desa terdekat.Sedangkan pedagang pengumpul yang mendatangkan ikan dari luar daerah, berasal dari Kota Kerinci dan dari luar kabupaten.
46
Nelayan tangkap
Pedagang pengumpul
Pedagang pengecer
Konsumen di pasar kabupaten
Gambar 12. Rantai pemasaran ikan hasil tangkap di Kabupaten Kerinci
Perikanan tangkap di Kabupaten Kerinci sebagian besar (80%) berasal dari Kecamatan Danau Kerinci dan Kecamatan Keliling Danau yang nelayannya melakukan penangkapan di Danau Kerinci.Ikan hasil tangkapan dari jenis ikan Mas, Nila, dan ikan lokal seperti Barau, Semah, Medik dan Seruang serta ikan jenis lainnya (rucah). Seperti yang telah disampaikan di bagian terdahulu bahwa kalender tangkap ikan di Danau Kerinci mengenal tiga musim yaitu musim puncak (Januari, Februari, Maret, Nopember dan Desember), musim sedang (Maret, April) dan musim paceklik (Juni, Juli, Agustus) sehingga hasil tangkapan dan harga ikan tangkap serta jumlah trip prip hari dipengaruhi oleh musim tangkap ini. Alat tangkap yang digunakan adalah jala dan jaring dari berbagai ukuran mata jaring (2”, 3”, 4” dan 5”) yang penggunaannya disesuaikan dengan musim ikan (jenis ikan yang akan ditangkap). Tabel 26. Jenis dan volume dan harga ikan yang diperdagangkan seorang pedagang tiap bulan sesuai musim tangkap di Kabupaten Kerinci, Jambi. No Jenis ikan Volume (Kg) Harga (Rp) Keterangan Paceklik 300
Sedang 400
Puncak 600
Paceklik 45.000
Sedang 40.000
Puncak 30.000
350
550
50.000
45.000
35.000
125
90.000
80.000
60.000
650 1.925
30.000
25.000
20.000
1
Barau barau
2
Medik
250
3
Semah
20
50
4
Seruang/Nila Jumlah
350 920
500 1.300
Keuntungan bersih tiap kg rata rata Rp.1.500,-
Sumber: Data Primer (2012). Rantai pemasaran ikan hasil tangkapan di Danau Kerinci cukup pendek yaitu langsung ke pasar desa yang ada di 6 desa di kawasan danau (sekitar 10% dari hasil tangkapan), atau menjualnya ke padagang yang merupakan penduduk setempat. Pedagang tersebut menjual kembali kepada pedagang pengecer di pasar Sei Penuh atau pedagang tersebut menjualnya secara eceran di pasar yang sama. Laba kotor tiap kg ikan jika dijual kepada pedagang pengecer sebesar Rp.2.000,Sedangkan pedagang pengecer di pasar Sei putih mendapat laba kotor sebesar Rp.3.000/kg. Dari hasil wawancara dengan pedagang diketahui bahwa rata rata keuntungan bersih pedagang pengumpul sebesar Rp1.500/kg dan pedagang pengecer Rp2.000/kg untuk semua jenis ikan tangkap.Biaya operasional pedagang pengumpul meliputi biaya bahan bakar/transportasi, makan, minum dan rokok, serta sewa lapak (untuk pedagang pengecer). Karena volume produksi ikan di
47
Kabupaten Kerinci masih di bawah kebutuhan konsumsi, seluruh ikan (tangkap dan budidaya) dijual dalam bentuk ikan segar. Kalaupun ada yang diolah, sebatas untuk kebutuhan rumah tangga atau dengan tujuan pengawetan. Rantai pasok ikan di Kabupaten Kerinci Dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya untuk mengkonsumsi ikan, Kabupaten Kerinci memenuhinya dari ikan hasil tangkap di sungai dan danau, ikan budidaya di sungai dan danau, serta mendatangkan ikan hasil tangkap laut dari daerah pesisir Sumatera Barat, Jawa Tengah, Batam, Bengkulu dan juga Palembang, serta ikan budidaya dari Danau Maninjau, Sumatera Barat (ikan Nila) dan Bangkinang, Riau (ikan Mas/Rayo). Komposisi pasokan dari masing-masing daerah seperti pada Gambar 14.
Ikan tangkap laut dari pesisir Sumbar, Jateng, Batam, Bengkulu, Sumsel Ikan tangkap sungai/
Ikan Nila dari Maninjau,
(20%
Sumbar
danau dari Kerinci (20%)
(15%) Ikan Mas/Rayo dari
KABUPATEN
Ikan budidaya
Bangkinang, Riau
KERINCI
sungai/danau dari Kerinci
(10%)
(35%) Gambar 13.
Rantai Pasok Ikan di Kabupaten Kerinci, Jambi
Rantai Pemasaran Ikan hasil Tangkap Hasil penangkapan ikan di danau Kerinci dipengaruhi oleh musim (penghujan dan kemarau) sehingga hasil panen dapat dikelompokkan ke dalam tiga fase yaitu musim puncak, musim sedang dan musim paceklik.Dalam satu tahun umumnya musim puncak terjadi selama dua bulan (di musim hujan), musim paceklik selama tiga bulan, yang diapit musim sedang (tujuh bulan) yang biasanya terjadi pada peralihan musim (kemarau ke hujan atau musim hujan ke kemarau).Musim ini juga mempengaruhi jenis ikan hasil tangkap sehingga dalam menggunakan jaring/jala ukuran mata jaringnya disesuaikan dengan musim ikan yang aklan ditangkap.Akibatnya, tiap nelayan memiliki beberapa ukuran mata jaring dan setiap ukuran dimiliki sebanyak 3-5 unit.Ikan hasil tangkap
48
didominasi jenis ikan Medik, ikan Barau, dan ikan Nila/Mujair, di samping ikan Semah dan ikan Seluang. Dalam memasarkan hasil tangkapannya, hanya ada satu rantai pemasaran yaitu dari nelayan ke pedagang pengumpul yang juga bertindak sebagai pedagang pengecer yang memasarkan ikannya di pasar kecamatan atau pasar Kota Kerinci.Jika hasil tangkapan sedikit, sesekali nelayan memasarkannya ke tetangga atau di pasar desa terdekat. Seluruh hasil tangkapan dijual dalam bentuk ikan segar dan untuk konsumsi rumah tangga atau rumah makan.
Nelayan
90%
Pedagang
100% %
Rumah tangga/ rumah makan
10%%
Gambar 14.
Rantai pemasaran ikan hasil tangkap di Danau Kerinci
DANAU TOBA, KABUPATEN SIMALUNGUN, SUMATERA UTARA Danau Toba adalah danau yang terletak di Provinsi Sumatera Utara dan merupakan danau terbesar di Asia Tenggara dengan luas daerah tangkapan air sebesar 369.854 Ha, yang terdiri dari 190.314 Ha daratan (keliling luar danau), luas daratan Pulau Samosir sebesar 69.280 Ha dan luas permukaan danau sebesar 110.260 Ha. Secara geografis Kawasan Danau Toba terletak di Pegunungan Bukit Barisan Provinsi Sumatera Utara. Luasnya daerah tangkapan Danau Toba tentunya menunjukkan bagitu banyaknya potensi sumber daya ikan yang terkandung didalamnya. Di perairan danau ini terdapat berbagai jenis ikan endemik maupun ikan yang diintroduksi ke perairan ini baik alami maupun hasil budidaya (penebaran, keramba jaring apung). Jenis ikan endemik adalah ikan Batak (Lissochilus sumatranus dan Labeobarbus soro) yang sudah mulai langka sedangkan jenis ikan introduksi diantaranya ikan Masa, Mujair, Nila, Tawas, Lele, Gabus dan Bilih. Hasil produksi Danau Toba memberikan kontribusi sebesar 59.3% (atau sekitar 40 ton) terhadap produksi ikan hasil tangkapan perairan umum di wilayahKabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.
49
Kawasan Danau Toba dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 15.
Kawasan perairan Danau Toba yang meliputi 7 kabupaten di Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, Kawasan Danau Toba meliputi 7 (tujuh) kabupaten yaitu : Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Karo, Kabupaten Dairi, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Samosir. Oleh karena itu pengelolaan ekosistem dan tata ruang danau toba merupakan tanggung jawab dari ketujuh kabupaten tersebut. Di Danau Toba terdapat aktivitas perikanan yang terdiri atas usaha penangkapan dan budidaya. Sebagian besar masyarakat di sekeliling Danau Toba berprofesi sebagai nelayan. Nelayan ini semakin hari semakin berkurang jumlahnya karena banyak yang mulai beralih profesi sebagai pembudidaya, pedagang ataupun usaha lainnya. Usaha penangkapan di Danau Toba terutama yang dilakukan oleh nelayan di Kabupaten Simalungun termasuk skala kecil. Perahu yang digunakan terdiri atas perahu dayung berukuran kecil dengan ukuran panjang 5 m, lebar 80 cm dan tinggi 50 cm dan perahu motor tempel dengan mesin 13 PK. Beberapa tempat pendaratan ikan tersedia di sekitar perairan Danau Toba, antara lain di Parapat, Tongging, Porsea, Balige dan Silalahi. Jenis ikan yang tertangkap didominasi oleh ikan mujair dan nila namun beberapa waktu belakangan ini mulai tertangkap ikan pora-pora dan ikan bilih. Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) merupakan ikan yang diintroduksi ke Danau Toba pada tahun 2003.Ikan Bilih ini merupakan ikan endemik yang berasal dari Danau Singkarak, Sumatera Barat. Pada awalnya ikan Bilih ini ditebar sebanyak 2.840 ekor, dengan ukuran panjang total 4,1 – 5,7 cm dan berat antara 0,9 – 1,5 gram/ekor (Kartamihardja dan Purnomo, 2006). Pada 50
tahun 2003, jumlah ikan Bilih yang diintroduksi ke Danau Toba sebanyak 2,840 ekor, dengan kisaran berat 0,9 – 1,5 gram/ekor. Adanya kesesuaian bio-ekologi Danau Toba menyebabkan perkembangan ikan Bilih yang pesat. Jenis alat tangkap yang digunakan oleh para nelayan diantaranya adalah berupa jaring insang (gillnet), pancing baik berupa pancing rawai (longlines) maupun pancing biasa (hooklines), bubu (trap) dan bagan. Berikut jumlah penggunaan jenis-jenis alat tangkap di Kabupaten Simalungun sebagaimana yang disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Jenis-jenis Alat Tangkap yang Digunakan Nelayan Kabupaten Simalungun Tahun 2008-2011
Jenis Alat
2008
2009
2010
2011
Jukong
464
100
110
108
Perahu kecil
125
30
30
30
Perahu sedang
78
20
20
18
Bubu
801
200
200
200
Pancing
510
150
150
-
210
200
200
200
Tangkap
Jaring
Insang
Tetap Sumber : BPS Kabupaten Simalungun berbagai tahun.
Musim tangkap yang terjadi di Danau Toba dibagi menjadi 3 musim yaitu: 1) Musim paceklik dimana ombak sangat besar yaitu sekitar bulan Januari – April; 2) Musim sedangpada bulan Mei – September dan; 3) Musim puncak dimana arus sangat tenang sehingga tidak membahayakan nelayan dan mudah mengumpulkan ikan yaitu pada bulan Oktober – Desember. Nelayan di Kabupaten Simalungun sebagian besar merupakan one day fishing yang berangkat jam 5 pagi dan kembali jam 12 dan langsung menjual hasil tangkapannya kepada pengumpul.
Kondisi Bisnis Perikanan Aktivitas bisnis perikanan di Danau Toba sudah berjalan dengan baik terlihat dari hasil perikanan baik tangkap maupun budidaya yang selalu terserap di pasar baik lokal maupun luar kabupaten. Untuk usaha perikanan budidaya sebenarnya juga memiliki hasil yang menjanjikan, dengan komoditas utamanya adalah ikan nila dan mas. Ikan nila yang dihasilkan pembudidaya Danau Toba banyak diminati oleh masyarakat provinsi lain seperti Sumatera Barat dan Riau. Namun, 51
permasalahan untuk budidaya ini adalah sulitnya mendapatkan benih dan tingginya harga pakan, sehingga para pembudidaya banyak yang mulai meninggalkan usahanya dan meninggalkan kerambakeramba mereka secara berantakan di sisi-sisi Danau Toba. Pengolahan ikan di kawasan Danau Toba tepatnya di Kabupaten Simalungun sudah mulai banyak berkembang dengan komoditas utama ikan bilih. Hasilnya berupa ikan bilih asin dan ikan bilih crispy yang dipasarkan ke lokal dan luar kabupaten. Adanya usaha pengolahan ikan bilih ini memberikan nilai tambah pada hasil perikanan di Kawasan Danau Toba. Kegiatan pasca panen hasil perikanan di Kawasan Danau Toba terlihat pada tumbuhnya usaha pengolahan ikan komoditas utama disana yaitu ikan bilih. Pengolah ikan bilih sebagian besar terdapat di Kecamatan Ajibata (Kabupaten Toba Samosir) dan Kecamatan Palipi (Kabupaten Samosir). Pengolah ikan bilih ini biasanya para istri nelayan dengan bahan utamanya merupakan ikan bilih hasil tangkapan suami atau tangkapan sendiri. Selain itu biasanya juga diperoleh dengan membeli dari tokek atau pedagang pengumpul dengan harga Rp 4.000/kg – Rp 6.000/kg. Di Kabupaten Simalungun teridentifikasi pengolah ikan bilih masih sedikit sekitar 2-5 orang saja.Pengolahannya menjadi ikan bilih kering asin, ikan goreng (kering 80%), dan ikan goreng krispi.
Sistem Pemasaran Kelembagaan pemasaran yang ada di Kawasan Danau Toba terdiri atas pedagang pengumpul dan pedagang pengecer yang kesemuanya didominasi oleh penduduk lokal Kabupaten Simalungun. Ikan-ikan tersebut dari nelayan dan pembudidaya langsung dijual ke para pedagang pengumpul yang sudah menanti di sisi dermaga dalam bentuk ikan segar. Langkah selanjutnya pedagang pengumpul tersebut ada yang mendistribusikan ke pasar-pasar di dalam kecamatan dan kabupaten dan ada yang dipasarkan ke luar kawasan Danau Toba atau luar kabupaten. Ikan yang sudah dibeli dari nelayan dikemas dalam box gabus kapasitas 33 kg yang dilapisi plastik dan es agar tetap segar sampai lokasi tujuan. Ikan yang sudah dikemas tersebut kemudian diantarkan menggunakan mobil pick up sewaan yang menghabiskan biaya operasional sekitar 1,3 – 1,5 juta (Gambar 3). Selain ke pedagang pengumpul nelayan juga biasa menjual ikannya kepada para pedagang pengecer yang menunggu di pasar-pasar seperti Pasar Tigaraja. Tidak adanya keterikatan atau peraturan dalam praktek jual beli ikan antara nelayan dan pedagang maka sistem yang berlaku di Kawasan Danau Toba ini tergolong bebas. Nelayan dan pembudidaya bebas memilih pengumpul manapun begitu juga sebaliknya. Pengumpul bisa menerima hingga 1 ton ikan setiap harinya sedangkan pedagang pengecer karena adanya keterbatasan modal biasanya hanya menerima 5-6 nelayan sejumlah 500 kg, kecuali pada hari pasar seperti yang diadakan di Pasar Tigaraja tiap hari kamis maka pedagang pengecer bisa menerima hasil
52
penjualan dari 10 nelayan. Sistem pembayaran pun tidak ada ikatan atau waktu tertentu bisa 2 hari sekali, seminggu sekali atau langsung dibayar saat transaksi. Pembayaran dengan waktu tertunda biasanya menunggu ikan tersebut laku di pasaran. Jalur pemasaran ikan bilih asin memenuhi pasar lokal baik dari tingkat kecamatan seperti di Pasar Tigaraja, tingkat kabupaten di Pematang Siantar hingga ke luar seperti Padang dan Pekanbaru. Pada Kabupaten Simalungun terdapat fasilitas pasar di tingkat kecamatan, Pasar Tigaraja salah satunya. Pasar ini tidak tertata dengan rapi dimana setiap pedagang hanya memiliki lapak untuk tempat menjual secara tidak teratur dan tidak ada biaya retribusi untuk keamanan dan kebersihan pasar. Dari sisi komoditas yang dijual bukan hanya ikan tetapi juga semua perlengkapan rumah tangga dan sembako. Jumlah pedagang yang teridentifikasi ada sekitar 40-50 orang dengan jam operasional pasar antara jm 08.00 – 14.00 WIB. Keberadaan pasar ini mampu memenuhi kebutuhan lokal masyarakat kecamatan Girsang Sipanganbolon. Di kabupaten ini juga terdapat hari pasar yang bergerak setiap hari diantaranya hari Rabu di Porsea (Kabupaten Toba Samosir), hari Jumat di Balige (Kabupaten Toba Samosir) dan hari Sabtu di Tigaraja (Kabupaten Simalungun).
Implementasi Prinsip Industrilisasi Perikanan pada Kawasan Minapolitan Perairan Umum Daratan Danau Toba Kabupaten Simalungun. Industrialisasi perikanan pada kawasan minapolitan PUD di Danau Toba pada prinsipnya terkonsentrasi pada komoditas unggulan yaitu ikan bilih. Peningkatan produksi ikan bilih hasil tangkapan nelayan ini pada prinsipnya meningkatkan kapasitas bisnis ikan bilih di kawasan Danau Toba baik yang mencakup wilayah kabupaten di sekeliling Danau Toba maupun bisnis perdagangan ikan bilih ke luar wilayah kawasan Danau Toba. Bisnis ikan bilih ini tidak saja terbatas pada penjualan ikan segar, tetapi juga ikan bilih dalam bentuk olahan (baik yang digoreng maupun dibuat ikan asin atau ikan kering). Hubungan entitas bisnis ikan bilih dalam kaitannya dengan upaya untuk memperkuat struktur industrialisasi ikan bilih di Danau Toba dapat dijelaskan dengan cara melihat sejauhmana terdapat hubungan yang mendukung diantara para pemanfaat baik pemanfaat langsung maupun tidak langsung terhadap upaya menjaga keberlanjutan populasi ikan bilih di Danau Toba. Pada umumnya pemasaran ikan bilih berlangsung dalam bentuk segar baik yang menggunakan es atau tanpa es. Pemasaran tanpa menggunakan es terjadi antar nelayan dan pedagang pengumpul terutama di perairan atau di pasar lokal di tingkat desa. Peningkatan nilai tambah dilakukan oleh pengolah dengan cara menggoreng ikan bilih tersebut setelah mengalami pembersihan dengan cara membuang kotoran ikan tersebut. Pada beberapa pengolah di tingkat rumah tangga, ikan bilih yang telah digoreng dibungkus menggunakan plastik dan tanpa label.
53
Terkait dengan upaya pengembangan pemasaran ikan bilih ini, maka perubahan cara berpikir dan perilaku masyarakat pengolah perlu dirubah, sehingga mereka dapat melaksanakan usaha pengolahan yang memperhatikan aspek kesehatan produk dan kesehatan lokasi dan lingkungan industri pengolahan. Di lain pihak, perilaku masyarakat modern yang menginginkan jaminan keamanan dan kesehatan produk ikan bilih perlu kiranya dipertimbangkan penggunaan label halal dan izin kesehatan yang diketahui dari keberadaan izin industri rumah tangga (P.IRT) yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan setempat. Hal ini merupakan suatu peluang yang dapat meningkatkan nilai tambah produk yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan kelompok pengolah ikan bilih. Lebih lanjut, keberlanjutan usaha pengolahan ini akan dapat dicapai secara terus-menerus, maka diperlukan pula perubahan perilaku pada masyarakat nelayan terkait dengan pentingnya keseimbangan antara upaya penangkapan dan upaya penyelamatan populasi ikan bilih ini. Oleh karena itu upaya konservasi lingkungan pemijahan ikan bilih ini menjadi penting, disamping pembatasan upaya penangkapan yang tidak selektif, terutama terhadap alat tangkap yang memotong sungai.
Rumusan Strategi Penetrasi Pasar Dalam Rangka Pengembangan Pemasaran Produksi ikan bilih di Danau Toba (khususnya Kab. Simalungun) sebagian besar (80%) dijual dalam bentuk ikan segar (gelondongan) keluar kota meliputi: Provinsi Riau (Pekanbaru, Dumai, Duri, Batam), ke Provinsi Sumatera Barat (Padang, Bikittinggi, Solok, Padang Panjang) dan ke Padang Sidempuan (Sumatera Utara). Sedangkan untuk dalam kabupaten dan kabupaten sekitarnya dijual dalam bentuk segar ke hotel, restoran/rumah makan, rumah tangga, dan ke pengolah ikan bilis (goreng kering, goreng krispy, dan belah/asin). Besarnya porsi ikan yang dikirim ke luar kabupaten ini sebagian dipengaruhi oleh masalah sosial karena ikan bilis dianggap ikan murahan sehingga masyarakat setempat tidak banyak yang mengkonsumsinya.
54
Riau (Pekanbaru, Dumai, Batam, Duri)
60 30
Pedagang pengumpul besar 80%
10
Sumut (Padang Sidempuan)
Nelayan bagan Nelayan tradisional 20% 35
Pengumpul pengecer
Sumbar (Padang, Bukittinggi, Solok, Padang Panjang)
Hotel/restoran/ rumah makan
kecil/ 20
10
Rumah tangga Pengolah (goreng kering, goreng krispi, belah/asin Luar kabupaten
35
Gambar 16.
Rantai Pemasaran Ikan Bilih di Kab. Simalungun, Sumut
Dari rantai pemasaran di atas dapat diketahui rendahnya porsi konsumsi masyarakat lokal terhadap ikan bilih. Harga jual ikan bilih di tingkat nelayan sebesar Rp 3.000 – Rp 5.000 per-kg kepada pedagang yang kemudian dijual eceran dalam kota atau dikirim ke luar kota dengan mengambil keuntungan bersih Rp 2.000 – Rp 3.000 per-kilogram . Namun jika diolah (goreng) harga dapat mencapai Rp 50.000/kg (bahkan di Jakarta harganya dapat mencapai Rp 80.000 – Rp 100.000/kg. Mengingat rendahnya konsumsi ikan bilih oleh masyarakat setempat dan cukup jauhnya kesenjangan harga dari produsen (nelayan) hingga ke konsumen akhir, beberapa strategi penetrasi pasar yang dapat disarankan dalam rangka pengembangan pemasaran adalah: 1) Menggalakkan minat masyarakat setempat untuk mengkonsumsi ikan bilih, dapat dilakukan melalui even-even yang mengenalkan berbagai masakan olahan berbahan ikan bilih. Melalui even ini diharapkan kesan ikan bilih sebagai ikan yang “murah” dan murahan dapat berkurang dan minat masyarakat dalam mengkonsumsi ikan bilih meningkat sehingga harga di tingkat produsen (nelayan) dapat meningkat 2) Danau Toba merupakan kawasan obyek wisata (ke pulau Samosir) yang dikunjungi orang dari berbagai daerah sehingga berpotensi sebagai pasar “camilan/oleh-oleh” berupa produk olahan berbahan baku ikan bilih. Kondisi saat ini, pengolahan ikan bilih di Simalungun (khususnya Parapat) tidak lebih dari sepuluh orang yang dilakukan dalam skala rumah
55
tangga. Pengolahan dalam bentuk ikan goreng (80% kering), ikan goreng krispi, dan ikan belah/asin. Itupun diolah dalam lingkungan yang kurang higienis, tanpa label/label halal. Perlu dilakukan pembinaan secara menyeluruh terkait dengan manajemen usaha, manajemen keuangan, permodalan, dan peningkatan kemampuan kewirausahaan (enterpreunership).
TIPOLOGI WADUK
WADUK MALAHAYU, KABUPATEN BREBES, JAWA TENGAH
Waduk Malahayu memiliki luas 620 ha dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1930 dengan fungsi utamanya adalah sebagai penyedia air baku untuk kebutuhan rumah tangga dan irigasi. Seiring dengan berubahnya waktu maka fungsi tadi pun juga berubah, yaitu untuk pengembangan perikanan tangkap (masyarakat tidak menghendaki pemanfaatan perairan untuk usaha penangkapan ikan dalam keramba jaring apung), pariwisata dan transportasi air (Purnomo et al., 2009). Sumber air waduk ini adalah berasal dari aliran Sungai Ciomas dan Cikabuyutan. Waduk ini relatif masih bersih dari ancaman gulma air seperti eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan kayambang (Salvinia molesta), kecuali di bagian hulunya yang relatif dikelilingi oleh daerah pertanian.Waduk Malahayu termasuk waduk yang subur (eutrofik) dengan kelimpahan fitoplankton berkisar antara 107.198-237.312 sel/L dan zooplankton 19482-75954 indiv/L (Purnomo et al., 2009). Disamping fito dan zooplankton, makanan alami yang tersedia bagi ikan adalah bentos (organisme dasar) seperti siput (moluska), cacing, insekta dan detritus.Plankton, benthos dan detritus yang berlimpah ini merupakan makanan alami penting bagi pertumbuhan ikan yang hidup di Waduk Malahayu. Jenis ikan utama yang merupakan hasil tangkapan nelayan di perairan umum waduk Malahayu adalah ikan nila, gabus dan mas.Jenis ikan lainnya yang juga tertangkap adalah baung, patin, dan berbagai jenis ikan lainnya yang berukuran kecil.Hasil percobaan penangkapan ikan memakai experimental gillnet ukuran mata jaring 1,0 – 3,5 inci di Waduk Malahayu setelah diidentifikasi maka diketahui ada 16 jenis ikan, dimana kelimpahannya relatif tinggi. Diantara jenisjenis ikan yang ditemukan beberapa diantaranya dikenal masyarakat sebagai ikan predator, yaitu ikan gabus, goldsom, keril, keting, lele, oskar dan sili. Ikan goldsom, keril dan oskar bentuknya sekilas mirip dengan ikan nila (Chiclidae).
56
Tabel 28. Komposisi jenis ikan di Waduk Malahayu Kab. Brebes Jawa Tengah.
No.
Jenis ikan
Kelimpahan relatif (%)
1
Betok
(Anabas testudineus)
2
Beunteur
(Puntius binotatus)
3
Gabus
(Channa striata)
4
Goldsom
(Aequidens goldsom)
5
Keril
(Aequidens rivulatus)
6
Keting
(Mystus nigriceps)
7
Lele
(Clarias batrachus)
8
Mujair
(Oreochromis mossambicus)
9
Nila
(Oreochromis niloticus)
10
Nilem
(Osteochilus hasseltii)
11
Oskar
(Amphilophus citrinellus)
12
Patin
(Pangasianodon hypophthalmus)
1.1
13
Sepat
(Trichogaster trichopterus)
0.4
14
Sili
(Mastacembelus erythrotaenia)
0.1
15
Tawes
(Barbonymus gonionotus)
0.1
16 Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) Sumber: Purnomo et al., (2009).
35.4 2.5
0.2 2.1 36.5
0.2
Purnomo et al., (2009) mengemukakan bahwa berdasarkan hasil perhitungan potensi produksi ikan Waduk Malahayu adalah sekitar 1556,5 – 2044,8 kg/ha/th, sedangkan berdasarkan data monitoring hasil tangkapan ikan setiap hari yang dicatat oleh beberapa enumerator diketahui bahwa produksi tangkapan ikan di Waduk Malahayu adalah mencapai 318,4 ton/th (513,5 kg/ha/th). Hal ini memberikan arti bahwa tingkat produksi ikan hasil tangkapan masih jauh berada dibawah nilai potensinya, sehingga tingkat pemanfaatan sumberdaya di Waduk Malahayu dapat dikatakan baru mencapai sekitar 25,1 - 33,0%. Dengan demikian masih terbuka peluang di perairan Waduk Malahayu untuk meningkatkan capaian produksi saat ini, antara lain melalui industrialisasi perikanan namun tetap berdasarkan prinsip pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.
Usaha penangkapan ikan Pemanfaatan sumberdaya ikan oleh masyarakat nelayan yang melaksanakan usaha penangkapan ikan di Waduk Malahayu tergolong intensif (Kartamihardja et al., 2011).Jenis alat tangkap yang umum digunakan oleh masyarakat nelayan adalah jaring insang, jaring bekem, jala, anco dan pancing.Alat tangkap yang dominan digunakan adalah jaring insang (“jaring bekem”).Alat
57
ini dioperasikan pada siang dan malam hari. Mata jaring yang digunakan sudah sesuai dengan peraturan tentang ukuran mata jaring harus lebih besar dari 2,5 inci. Jumlah nelayan yang beroperasi di Waduk Malahayu adalah 200 orang.Sebagian besar nelayan tersebut berkelompok menjadi dua kelompok; kelompok tersebut berkembang berdasarkan kedekatan tempat tinggal nelayan yang bersangkutan. Kelompok nelayan untuk pertama kali didirikan pada tanggal 3 April 2001 dan diberi nama Kelompok Nila Jaya. Dalam perkembangannya, pada saat ini telah terbentuk dua Kelompok nelayan bersangkutan.Kelompok nelayan tersebut selanjutnya disebut sebagai Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nila Jaya I yang beranggotakan 64 orang nelayan dan KUB Nila Jaya II yang beranggotakan 61 orang nelayan.
Sistem rantai pasok ikan Gabus Sistem rantai pasok ikan Gabus hasil tangkapan nelayan di Waduk Malahayu di Kabupaten Brebes.terdapat dua rantai pasok, rantai pasok ikan gabus di Waduk Malahayu dapat dilihat bahwa rantai pasok ikan Gabus terdapat dua saluran seperti Gambar 18. 80%
Nelayan
Pedagang Pengumpul
100
Pedagang Besar
%
20%
Gambar 17.
Pedagang pengecer
Rantai pasok komoditas ikan Gabus di Kabupaten Brebes
Nelayan yang mendaratkan ikan hasil tagkapan baik ikan gabus maupu ikan nila di dermaga parawisata , jenis alat tangkap yang digunakan alat tangkap Bekem, bekem adalah alat tangkan sejenis gillnet, akan tetapi dalam pengoperasiannya agak berbeda dengan gillnet. Nelayan ini menangkap ikan dengan alat tangkap bekem bisa dilakukan hampir 24 jam, namun biasanya nelayan dalam satu hari mengoperasikan alat tangkap bekem hanya 6-8 jam. Nelayan mendaratkan ikan hasil tangkapan di dermaga dimana pedagang pengumpul berada dan biasanya dermaga pedagang pengumpul tidak jauh denga lokasi penangkapan. Dalam penangkapan ikan kapal yang digunakanoleh nelayan adalah kapal motor temple, Ukuran kapal yang digunakan beberapa nelayan adalah 70 cmx 70cm dengan bobot mesin 6 PK Gambar 15 di atas menunjukkan rantai pasok ikan Gabus di Waduk Malahayu Kabupaten Brebes, gambaran tersebut dapat dilihat dari berbagai saluran sebagai berikut :
58
Pertama dari Nelayan dijual ke - pedagang pengumpul dari pedagang pengumpul dijual kePedagang Perantara dari pedagang perantara di jaula ke pedagang besar yang ada di luar kabupaten seperti Jakarta, Cirebon dan Kuningan, sedangak saluran pemasaran yang kedua adalah dari nelayan di jual langsung ke pedagang pengecer dan dari pedagang pengecer di jual ke konsumen akhir. Pennjualan ikan ke pedagang pengecer tidak banyak karena kemampuan daya beli pedagang pengecer hanya 50 Kg. Pada saluran 1, nelayan menjual hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul sebanyak 80%.Pedagang pengumpul ini biasanya sudah menpunyaiikatan modal dengan nelayan yaiti dengan diberikan modal untuk pembelian alat tangkap, sehingga nelayan memberikan beberapa hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul menjual ikan Gabus ke pedagang perantara 100% hasil pembelian ikan dari nelayan ke pedagang pengecer karena pedagang pengecer ini akan menjual ikan Gabus ke beberapa pasar di luar Kecamatan maupun Kabupaten. Pedagang pengecer ini memiliki ikatan kerja dengan pedagang besarr, sehingga ikan yang dibeli oleh pedagang besar seluruhnya akan dijual ke pedagang pengecer. Sistem rantai pasok nila
Nelayan
80%
90%
Pedagang Perantara
Pedagang Pengumpul Pengumpul
Luar Kabupaten 10%
Pedagang Pengecer
20%
Konsumen 100%
Gambar 18.
Luar Kota dan
lokal Rantai pasok komoditas nila Waduk Malahayu
Nelayan yang menggunakan alat tangkap bekem mendaratkan ikan hasil tangkapanya di dermaga pedagang pengumpul dan biasanya nelayan sudan mempunyai ikatan dengan pedagangan pengumpul. sebagian besar ikannya ke pedagang pengumpul sebanyak 80%. Dari pedagang pengumpul di jual ke pedagang perantara dari luar kecamatan atau kabupaten sebanyak 100% dan pedagang perantara menjual langsung ke pedagang pengecer
59
Sistem pohon industri ikan Gabus Berdasarkan sistem rantai pasok di atas, komoditas ikan gabusWaduk Malahayu terdiri dari 2 saluran (rantai), yaitu : 1. Nelayan di jual ke pedagang pengecer 2. Nelayan di jual ke pedagang Pengumpul dan Pedagang Perantara Gambar 17 menggambarkan sistem pohon industri ikan gabus dengan melihat saluran I (NelayanPedagang Pengecer). Dapat dilihat pada gambar tersebut komoditas hasil tangkapan nelayan seluruhnya atau 100% dijual ke pedagang pengecer dengan harga jual rata-rata Rp 16.000 per Kg. Ikan yang telah masuk ke rantai pedagang pengecer, ikan tersebut disortir berdasarkan mutu (hidup dan mati) dengan persentase sebesar 85% ikan kualitas hidup dan 15% kondisi mati dari total volume komoditas tersebut. Selanjutnya ikan yang masuk ke dalam kualitas utuh langsung dijual ke konsumen disekitar Waduk Malahayu dengan harga jual rata-rata sebesar Rp. 16.000 per Kg. Ikan kualitas mati akan dijadikan ikan asin , sehingga hasil pendapatan ikan yang mati dijadikan ikan asin tersebut sebesar Rp 35000 per Kg.
Nelayan
Pedagang Pengecer 85%
Ikan Segar
Konsumen 100
Utuh
100%
%
Utuh
Rp. 16.000/Kg
Rp. 6.000/Kg
Mati 15%
segar
Buan g Rp.35000 0/Kg
Gambar 19. Sistem pohon industri ikan gabus
Sedangkan pada saluran yang ke dua menggambarkan pohon industri dengan rantai nelayan ke pedagang pengumpul selanjutnya ke pedagang perantara pada saluran ini nelayan menjual hasil tangkapan ke pedagang pengumpul dengan persentase sebesar 100% dengan harga jual rata-rata sebesar Rp.11.000/ Kg. Ikan yang masuk ke rantai pedagang pengumpul, ikan tersebut akan di sortir berdasarkan kualitas, yaitu kualitas hidup danmati dengan persentase masing-masing sebesar 85% dan 15% dari total volume ikan tersebut. Ikan dengan kualitas baik (hidup) akan langsung di jual ke pedagang perantara dengan harga sebesar Rp. 16.000 per Kg, Sedangkan ikan yang masuk dalam kualitas mati seperti badan, kepala dan ekor rusak akan akan dijadikan ikan asin ,sehingga ikan mati akan mempunyai nilai jual yag lebih baik yaitu sebesar Rp. 35000/Kg. Selanjutnya ikan yang dijual akan di distribusikan ke pedagang perantara yang berada diluarWaduk Malahayu. Ikan yang masuk ke rantai pedagang perantaraselalu akan dilakuka penyotiran seperti yang dilakukan pedagang
60
pengumpul yang dilihat berdasarkan kualitas. Persentase ikan yang dijual sendiri sebesar 98% dengan harga jual rata-rata sebesar Rp. 23.000 per Kg. Nelayan
Pedagang Perantara
Pedagang Pengumpul
98% 85%
Ikan Segar
98%
Hidup
100%
2%
Mati 15%
Gambar 20.
Buan
98%
n hidup
Rp. 23.000/Kg
Rp. 9.000/Kg
Rp. 5.000/Kg
Hidup
Konsumen
mati Rp. 0/Kg
g Rp. 0/Kg
Sistem pohon industri komoditas gabus dari nelayan ke pengumpul dan ke pengecer
61
BAB IIIPENUTUP
Paket data dan informasi Kajian Desain Program dan Implementasi Industrialisasi Perikanan Berbasis Perairan Umum Daratan ini berisi kumpulan data primer dan sekunder hasil kajian tersebut yang dilaksanakan selama tahun anggaran 2013. Pada prinsipnya, paket data dan informasi ini sebagai bahan untuk mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi masyarakat perikanan dan implementasi industrialisasi dilokasi yang ditetapkan sebagai kawasan minapolitan. Paket ini juga menjadi bahan untuk mengevaluasi program dan merancang konsep program di tiap wilayah dalam mendukung industrialisasi perikanan . Dalam perjalanannya paket data dan informasi ini masih memerlukan penyempurnaan sesuai dengan perkembangan dan dinamika yang dihadapi masyarakat perikanan di Indonesia.Oleh sebab itu, pokok-pokok bahasan yang telah disajikan saat ini dapat dijadikan referensi sementara dalam rangka evaluasi dan kajian desain program industrialisasi perikanan.
62