SENJA MEREKAH DI LANGIT KOTA KEMBANG Oleh: Ana Farkhana
DAFTAR ISI My First Love was in January Absurd Stories Guitar Melody I Want to Say A Mistake A Journey to the West Under the Same Sky The Wonderful of Bandung Is It a Fate? Wild Imagination Like A Puzzle Sunset in January
1 My first Love was in January Januari 2005 Rintik-rintik gerimis mulai membasahi tanah yang kering setelah seminggu ini hujan tak datang.Bau tanah yang khas mulai menghampiri indra penciumanku. Dedaunan dan rerumputan yang menghiasi taman kecil juga sudah mulai basah. Hari masih siang ketika gerimis mulai turun. Ruangan kelas yang hanya berisi 20 siswa yang mana setiap siswa hanya menguasai satu bangku itu terlihat sunyi. Yang terdengar hanyalah suara jarum jam yang tak pernah kenal lelah berputar.Beberapa kali juga terdengar lembaran kertas yang sedang dibuka. Sementara itu, aku duduk di bangku depan sendiri dan masih berusaha keras memutar otak untuk menjawab soal matematika yang sangat rumit ini. Duduk di deretan meja terdepan membuat kepalaku sulit untuk menengok ke kanan, ke kiri dan ke belakang untuk mencari pencerahan dari teman-teman.Dua guru yang mengawasi ujian berdiri tepat di depanku dengan sesekali melayangkan pandangannya ke seluruh kelas. Mencari-cari target yang barangkali sedang berbuat curang dan siap menerkamnya jika telah mendapati mangsanya. Teet…teet…teet… Bel sekolah berbunyi tiga kali menandakan waktu untuk mengerjakan telah habis.Padahal aku belum selesai mengerjakan soal-soal yang tengah disuguhkan.Dengan cepat tanganku menghitung soal yang belum kukerjakan.Masih ada 12 soal yang belum kujawab.Duh, aku mengeluh dalam hati.Soal-soal ini seperti racun. Dapat membuat kenyang seketika dalam satu kali suapan dan setelahnya perut akan mual sehingga akan memuntahkan semua isi yang ada di dalamnya. Buru-buru kusilang indah lembar jawaban pilihan ganda yang tadi belum sempat kujawab.Barangkali saja silangan asal tadi membawa 'bejo' kalaukebetulan cocok dengan kunci jawaban.Yah, matematika adalah pelajaran yang paling kubenci dan dapat membuat kepala pusing plus perut mulas.Otakku memang sulit untuk bersahabat dengan rumus-rumus. Tapi apa daya, Pak Seno guru ter-killer di sekolahku menarik lembar jawabku. “Bentar pak, belum selesai,” pintaku. “Waktu sudah habis.”Pak Seno tanpa ragu tetap mengambil lembar jawabanku tanpa kompromi. Dengan raut muka kecewa, kurelakan lembar jawabku diambil beliau.Saat ini aku duduk di bangku kelas 2 SMP di salah satu sekolah negeri favorit di daerah perbatasan tanah Jawa dan tanah Sunda sebab kabupatenku adalah kabupaten terakhir dari Provinsi Jawa Tengah di sebelah barat. Sebuah keberuntungan dan nilai plus bisa masuk di sekolah ini, walaupun otakku hanya berlevel standar, ditambah lagi selama ini aku bisa memasuki kelas unggulan dari kelas 1. “Nad, ayok pulang,” Sekar menjawilku. Aku sedang melamun memikirkan nasib nilai matematikaku nanti. Namaku Nadia Lintangsari. Teman-temanku memanggilku dengan mempersingkat namaku menjadi „Nad‟ tinimbang „Nadia‟. Lebih simple katanya. Sebelum pulang ke rumah masing-masing, aku dan kelima kawanku Sekar, Rara, Ratih, Linda dan Dea mampir dulu ke warung mie ayam bakso langganan yang berada sekitar 100 meter dari sekolah. Mengisi perut kembali setelah sebelumnya terkuras habis untuk berpikir. Rintik-rintik gerimis pun diterjang demi mendapatkan kehangatan dalam semangkuk mie ayam bakso. Kami berlari-lari kecil dengan tas diletakkan di atas kepala untuk melindunginya agar tidak basah. Namun tanganku tetap saja terkena titik-titik air hujan.Otak dan tubuh kami masih harus tetap fit paling tidaksampai ujian semester berakhir. Jadi jangan sampai rintik-rintik gerimis membuat tenaga kami berkurang karena terserang flu atau demam.Sesampainya di warung yang bangunannya sederhana tetapi selalu ramai pengunjung, seperti biasa aku memesan mie ayam, makanan favoritku. “Aduh pusing deh tadi, sulit banget tadi,” Linda mulai berceloteh. “Banget,” dijawab serempak oleh kami berempat. “Mana tadi Pak Seno ketat banget ngawasinya.Duh, persamaan linear aku nggak bisa,” keluhku. “Eh tadi Andri malah disuruh keluar kelas gara-gara ketahuan nyontek,” kata Sekar yang ruang tes-nya berada di ruang sebelah. “Terus gimana tuh nasib nilainya?” Kami serentak bertanya antusias. Sekar mengangkat bahu.“Ya gitu deh resikonya kalau ketahuan.”
Sambil menunggu pesanan datang, kami mengobrolke sana kemari meskipun rasa bete masih menyelimuti wajah kami gara-gara ujian matematika. Dari mulai ngobrolin tentang pusingnya ujian tadi, kecengan, nge-gosipin teman, sinetron yang lagi trend, hingga tabloid. Maklumlahkami semua sedang menapaki masa-masa puber. Masa-masa di mana ingin menjalajahi semua hal. Saat itu ketika kami sedang asyik bercanda dan tertawa lepas tanpa tahu tempat dan tanpa peduli dengan pelanggan lain yang juga sedang menikmati semangkuk bakso dan mie ayam panas, datanglah segerombolan cowok berseragam putih abu-abu. Sekilas kami sempat melirik segerombolan cowok yang datang dengan baju setengah basah karena terkena hujan yang sudah agak deras, namun dua detik kemudian kami tak menghiraukannya dan melanjutkan dengan obrolan kami.Sudah menjadi hal yang spontan bagi para ABG untuk melirikan matanya sejenak jika tiba-tiba ada cowok yang datang atau hanya sekedar lewat.Apalagi jika tampang cowok itu menyedapkan mata. Salah satu sosok yang kukenalmuncul dari gerombolan itu.Hendra. Iya Hendra, anak dari temannya Mamaku dulu saat masih sekolah. Dia tersenyum sekilas kepadaku ketika dia melihatku, setelah sebelumnya sempat terkejut melihaku.Sempat kulihat sekilas pancaran keterkejutannya saat itu.Lantas aku pun membalas senyumannya sekilas.5 menit kemudian pesanan kami datang. Asap mengepul dari semangkuk mie dan segelas jeruk nipis hangat. Begitu menggoda dan mengundang untuk segera dinikmati saat cuaca yang dingin dan derasanya hujan yang mulai menghantam atap warung.Kami pun segera melahap makanan yang telah tersaji di atas meja sambil terus berkicau ria.Nggak bakal berhenti yang namanya bergosip sampai nanti kami berpisah pulang. Tak lama kemudian pesanan dari anak-anak SMA pun datang. Di sela-sela menikmati makanan, kulayangkan mataku sekilas ke arah anak-anak SMA tadi. Tanpa sengaja aku melihat sepasang mata yang tengah memperhatikanku. Mata kami beradu sejenak, namun tak kutanggapi. Selanjutnya mataku kualihkan kembali ke dalam semangkuk mie.Sebelumnya tadi aku sempat melihat sepasang mata itu buru-buru menurunkan pandangan matanya ketika aku mendapatinya sedang menatapku. Beberapa menit kemudian aku kembali melihat ke arah gerombolan itu.Lagi, aku menangkap basah sepasang mata itu, kemudian orang itu segera menurunkan bola matanya kembali. Mata itu adalah mata Hendra. Aku mengernyitkan dahi. Heran.Apa ada yang salah denganku. Atau mungkin ada sisa makanan yang menempel di bibir/pipiku. Aku berbisik ke Rara menanyakan apakah ada makanan yang menempel di bibirku, kemudian Rara menggelengkan kepalanya.Terus apa? Apa mukaku aneh?
2 Absurd Stories Tanpa terasa waktu terus berlari. Siang dan malam, hari demi hari berganti lembar. Matahari dan bulan bergantian menerangi jagad raya ini. Tak terasa sekarang aku sudah duduk di bangku terakhir SMP. Hari-hariku disibukkan dengan berbagai les. Baik les yang diselenggarakan di sekolah maupun di luar sekolah. Itu semua dilakukan untuk menghadapi UAN tahun 2006. Batas minimal nilai UAN yang dari tahun ke tahun semakin naik membuat banyak siswa memekik keras melihat angka nilai minimal yang telah dipatok pemerintah. Berbicara tentang UAN tak hanya tentang kecerdasan akademik saja, tetapi juga tentang mental.Tak sedikit siswa yang dihantui bayang-bayang jika tidak lulus.Mereka banyak yang cemas dan takut.Para siswa harus berusaha semakin keras untuk mengantongi dan menyimpan rapat-rapat ilmu-ilmu yang telah mereka dapatkan ke dalam otak mereka. Namun bagiku, aku tak terlalu terkejut dengan batas angka nilai minimal rata-rata 4,50 untuk pelajaran Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan Matematika dan batas minimal nilai per mata pelajaran adalah 4,25. Hubunganku dengan Riko memang tak berlanjut semenjak kita tak pernah berjumpa lagi karena jam masuk sekolah yang berbeda.Hanya sesekali saja kebetulan ketemu di bus saat aku pulang sekolah sore hari.Namun pertemuan yang singkat itu selalu berakhir dengan biasa saja.Rasa sukaku untuknya makin lama makin memudar.Akhirnya aku justru ketemu cowok yang berhidung lumayan mancung.Lagi-lagi anak SMA, namanya Dani.Kebetulan kami satu kelas sewaktu les bahasa Inggris di suatu lembaga bimbel bahasa Inggris.Sebenarnya aku les
bahasa Inggris sudah dari kelas 1 SMP dan biasanya kelasnya dijadikan satu dengan anak SMP juga. Namun untuk kali ini dicampur bareng-bareng dengan anak SMA selama setengah tahun. Selang beberapa waktu kemudian, baru tersadar kalau ternyata Dani satu sekolah dengan Hendra. Satu angkatan dengannya dan berada di kelas 2 SMA. Dunia sungguh sempit. Aku mungkin terbilang seorang cewek yang mudah berganti-ganti perasaan ke cowok.Selama SMP sudah banyak cowok yang kusuka, termasuk kakak kelas.Tapi rasa suka itu hanya sebatas rasa suka. Mungkin ini ya yang dinamakan cinta monyet. Cintanya Anak Baru Gede. Bukan-bukan, bisa dibilang ini seperti „nge-fans’ lebih tepatnya. Biasanya setelah suka, selang beberapa waktu kemudian menghilang tak berbekas. Dan kriteria cowok yang selalu kukecengin pasti yang pertama kali dilihat adalah wajah. Harus Oke. Sudah menjadi trend bagi anak ABG kalau yang dilihat pertama kali adalah wajah.Maklum masih ABG, masih puber juga. Belum berpikir jauh seperti orang yang sudah akan menikah. Eits, tapi seorang Nadia bukanlah cewek gampangan yang bisa pacaran dengan cowok manapun.Aku tipekal penyeleksi ketat.Banyak yang menaruh hati kepadaku namun kubuang hati mereka jauh-jauh.Aku hanya bisa didekati jika aku juga memiliki perasaan dengannya. Kalau tidak, jangan harap mereka-mereka yang antri bisa meletakkan hatinya ke hatiku.Jangankan meletakkan hatinya, sekedar bercakap-cakap denganku pun aku tak mau.Aku selalu menghindari setiap orang yang mendekatiku jika aku tak punya perasaan terhadapnya.Aku kabur menjauh begitu saja. Walaupun aku suka sama Dani, namun masih sering teringat bayang-bayang Hendra. Bayang-bayang bola matanya yang sejernih air dan senyumannya yang tak pernah luput dari pikiranku.Tidak-tidak.Bukan pikiranku, tapi mungkin hatiku.Karena pikiranku selalu menampiknya.Kali ini sepertinya pikiranku memang tak ingin bersahabat dengan hatiku.Baru kali ini aku mencoba mengubur perasaan yang muncul dari dalam relung hatiku.Baru kali ini juga hatiku dan pikiranku tak sependapat.Namun aku juga tak tahu alasannya mengapa aku tak mau menerima kenyataan jika sebenarnya memiliki sebongkah perasaan untuknya. Aku selalu berusaha melipat perasaan itu, namun apa yang terjadi? Semakin ditepis, semakin kuat pula perasaan itu. Perasaan bukanlah sesuatu yang bisa dikendalikan oleh otak, sebab perasaan itu muncul dari hati. Lambat laun kusadari bahwa aku ternyata sering bertindak tak masuk akal jika ketemu Hendra.
3 Guitar Melody Tahun ajaran baru 2006/2007 telah di mulai.Sekolah tingkat atas yang menjadi tempatku mengenyam ilmu sekarang adalah sekolah yang dipilihkan orang tuaku.Sebenarnya kemarin sewaktu musim pendaftaran, aku sempat mendaftar ke SMA Bumi Asih.Namun orang tuaku menyuruhku untuk memilih di SMA Satu Bangsa.Ya sudahlah, aku pasrah.Toh, seandainya jika satu SMA dengannya aku hanya memiliki kesempatan satu tahun dapat melihatnya setiap hari di sekolah. Di SMA ini, hanya aku sendiri yang masuk ke sekolah ini. Di sekolah ini aku juga mempunyai lima sahabat lagi. Mereka adalah Nita, Cika, Lia, Tasya dan Ria. Geng „A‟ namanya, karena enam dari kami semua mempunyai nama berakhiran huruf „a‟. Tak pernah sekalipun kusebut nama Hendra di hadapan mereka. Mereka tahunya aku suka sama kakak kelasku yang kebetulan seorang vokalis band. Sebenarnya rasa sukanya hanya sebatas ngefans.Biasa saja, nggak membuat jantung berdebar.Dan aku tak memiliki niat untuk mendekati. Setelah beberapa bulan dari kelulusan, aku baru memberi tahu kelima sahabatku waktu SMP tentang rahasiaku jika sebenarnya aku menyukai Hendra.Namun curhatanku justru disambut dengan tawa oleh mereka, karena selama ini aku selalu sok cuek kalau ngomongin Hendra. “Ealah, sok gaya kamu.Dulu sering nggak peduli, eh ternyata diem-diem suka,” cibir Dea. Mungkin bukan hanya mereka saja yang menertawaiku, bahkan embun di pagi hari pun juga turut menertawaiku.Aku begitu munafik.Selalu berusaha menyapu perasaan ini.Padahal dari akar hatiku, perasaan ini tumbuh kian subur.Akar-akar itu menjalar.Batangnya tumbuh kian membesar.Dedaunannya semakin rimbun.
Cerita tak masuk akal saat aku menjalani masa-masa sebagai siswi putih abu-abu pun tetap berlanjut.Iya cerita ini memang tak masuk akal karena sulit diterima oleh akal manusia yang sehat rohaninya. Aku baru mulai mengenal yang namanya dunia internet ketika duduk di bangku kelas X (saat itu kelas 1 SMA diganti namanya menjadi kelas X). Itupun karena punya teman yang selalu update dengan perkembangan teknologi. Saat itu sosial media yang sedang melejitkeberadaanya adalah friendster. Tak ketinggalan, aku pun membuat akun friendster.Tujuan utamanya barangkali saja bisa berteman di friendster dengan Hendra. Namun tak satu pun kutemukan akunnya sampai friendstermulai tenggelam eksistensinya.Yang kutemukan justru teman-temannya. Kalau seperti ini kapan bisa tahu kalau dia punya pacar atau nggak. Soalnya friendster bisa juga digunakan untuk ajang „stalking‟- cari tahu pacar orang, karena di dalamnya ada fitur untuk memajang foto atau postingan-postingan yang mungkin saja merujuk ke percakapan tentang pacar atau gebetan. Apalagi seandainya dia punya friendster, bisa kucuri fotonya yang terpampang di akunnya. Hihihi... Namun aku tak pernah kehabisan akal. Kebetulan aku mempunyai teman yang sekolah di SMA Bumi Asih, adik kelasnya Hendra. Dia masih kelas X, sama sepertiku. Kuceritakan sama temanku yang bernama Fera kalau aku suka sama kakak kelasnya namanya Hendra. “Fer, kamu tau Hendra kakak kelasmu kelas 3?” tanyaku saat mengunjungi Fera di rumahnya. “Tau, yang tinggi itu kan? Kenapa?” tanyanya. “Jangan bilang siapa-siapa ya. Aku naksir dia. Eh, dia udah punya pacar belum ya?”
4 I Want to Say Suara teriakan Mamaku terdengar samar-samar. “Nad...bangun.” Aku menutup telingaku dengan bantal.Tapi suara itu semakin terdengar jelas.Kubuka mataku sedikit, kulihat jam dinding di sebelah kanan tempat tidurku. 05.45. „Omeged‟. Aku segera beranjak bangun.Aku belum mengerjakan PR kimia dan fisika.Aku berlari menuju kamar mandi.Tak ada 10 menit, aku keluar dan berganti seragam. Aku segera meluncur ke garasi dan memanaskan motorku. “Sarapan dulu Nad,” teriak Mama dari dapur. “Nggak nyampe waktunya Mah.Berangkat dulu ya Mah...” jawabku balas teriak. Aku lalu bergegas melesat ke luar garasi, halaman rumah dan jalan raya. Aku tak sempat mencium tangan Mama dan Papaku. Yang ada di pikiranku cuma PR-PR yang belum sempat kukerjakan.Bukan belum sempat, tapi tak bisa.Semalam aku sudah mencoba mengerjakan tapi ujung-ujungnya nggak tahu jawabannya. Sampai kelas, suasana kelas sudah mulai ramai.Kulihat teman-temanku sedang bergerombol di salah satu meja.Pemandangan yang tak asing.Ada yang berdiri, ada yang duduk.Mereka membawa polpen dan buku tulis di tangannya.Aku segera mengeluarkan buku dan polpen dari dalam tasku.Dan segera ikut-ikutan menggerombol dengan mereka.Aku melongok-longok ke arah atas meja yang sedang dikerubungi teman-temanku.Karena tubuhku lumayan tinggi, aku bisa melihatnya.Namun aku tak bisa melihat dengan jelas tulisan yang tertera di atas buku itu.Buku itu punyanya Ari – teman sekelasku yang rajin dan pintar.Kebiasaanku dan teman-temanku mencontek PR dari teman yang sudah mengerjakan.Setiap pagi pasti ada rutinitas seperti ini. Aku melogok ke bukunya Tia yang berdiri di sebelahku.Dia sudah mendapat banyak yang dikerjakan.Aku menconteknya karena hanya tinggal menoleh ke arah Tia tanpa harus melongok-longok mencoba membaca tulisan Ari yang ada di meja. Bel sekolah berbunyi tiga kali. Tanda jam sekolah dimulai. Tapi aku dan beberapa temanku masih asyik menulis-nulis.Aku menulis di atas punggung Sinta yang sedang asyik membungkuk.Buku Sinta ada di meja.Tapi Sinta tak kebagian tempat duduk sepertiku. “Ayo Nadganti pakaian,” ajak Tasya. Aku diam. Tasya menjawilku. “Apa?” aku menoleh. “Gantai baju olahraga, kan habis ini olahraga.”
Oh iya aku baru ingat kalau jam pertama dan kedua adalah pelajaran olahraga. “Kamu udah selesai?” tanyaku. “Tinggal dikit.Udah diterusin nanti habis olahraga kan nanti pasti ada jeda lama tuh.” Aku menutup bukuku dan berjalan ke arah mejaku.Bukuku kumasukkan ke dalam laci. Olahraga hari ini lari.Aduh, aku mengeluh.Setiap lari, aku pasti juara.Juara dari bawah sendiri.Aku lemah kalau disuruh lari.Perutku pasti sakit dan nafasku tersengal-sengal seperti hubunganku dengan Hendra. Hingga saat ini di pertengahan tahun 2007, hubungan kami hanya berjalan seperti ini. Terkesan monoton.Yangterlihat jelas hanya aku saja yang bertindak agresif.Dia memang tak menunjukan tanda-tanda. Galau dan gundah mulai menyusup ke dalam perasaanku dan rasa itu bercampur jadi satu. Aku didera penantian dan dihantui rasa penasaran akan bagaimana sebenarnyaperasaannya terhadapku. Mungkin Hendra memang tak mempunyai perasaan denganku. Mungkin dia sudah memiliki pacar. Mungkin dia sudah mempunyai cewek yang singgah di hatinya. Berbagai kata „mungkin‟ saling perang di kepalaku. Hendra tak pernah SMS aku, hanya aku saja yang terus-terusan rajin SMS dia dengan berbagai alasan. Dan terkadang dia pun tak membalas SMS-ku. Apa pulsanya habis? Saat itu tarif SMS memang terbilang lumayan mahal bagi anak sekolah dengan iming-iming gratisan setelah mengirim beberapa SMS.Namun kedatangannya dirumahku yang sering mengejutkan tanpa sadar membuatku terus berharap lebih dan menunggunya. Tak hanya itu, sampai sekarang pun aku juga masih sering kirim salam ke radio lokal. „Dari pengagum rahasia yang katanya mau kirim salam untuk Hendra di SMA Bumi Asih anak 3 IPS2. I Love You Hendra’.
5 A MISTAKE Setelah bayangannya lenyap dari penglihatanku, aku tak kuasa menahan derai air mata yang terus mengalir. Wajahku dibanjiri air mata. Seperti inikah rasanya ditolak dan diabaikan?Sesakit inikah?Jika rasa sakit hati yang dirasakan sangat besar itu berarti rasa cinta untuk seseorang juga sangat besar.Oleh sebab itu, jangan terlalu banyak mencintai orang karena ini akan menyakiti diri kita sendiri. Selama ini ternyata aku hanya bertepuk sebelah tangan. Padahal terkadang aku merasa bahwa kami memiliki hati yang sama, namun ternyata tidak. Ketika khayalan tak sesuai dengan kenyataan, hal itu akan membuat rasa sakit dan kekecewaan yang dalam. Malam-malam setelah penolakan itu aku selalu gelisah dan takut ketika malam datang, malam membuatku gelisah dan sulit terpejam.Entahlah, aku seperti berjalan di atas air.Mengapung.Tak tahu di mana tempat yang bisa kugunakan untuk berpijak.Malam-malam yang kulalui membiaskan rasa sakit yang teramat dalam.Aku selalu berusaha untuk menelan rasa getir dan gelisah itu. Aku penasaran seperti apacewek yang bernama Via itu-cewek yang disukainya. Entah hanya sebatas suka ataukah sudah mencintai.Tidak-tidak, jangan mencintainya. Kubuka foto copy album kenangan untuk mencari tahu seperti apa wajahnya. Ternyata cantik sekali.Dari sini aku mengetahui jika tipe cewek idealnya adalah cantik. Sedangkan aku agak jauh di bawah rata-rata.Kelebihanku hanyalah kulit yang sangat Indonesia.Kuning langsat.Bersyukur punya kulit seperti ini.Padahal kedua orang tuaku semuanya berkulit sawo matang.Kedua kakakku dan satu adikku pun begitu.Pernah terpikir olehku jangan-jangan aku anak angkat. Namun tubuhku yang tinggi semampai mewarisi gen dari keluarga ayahku. Warna kulitku yang berbeda dari seluruh keluargaku mungkin dipengaruhi oleh faktor lainnya.Wajahku mungkin terbilang baru 75% untuk standar cewek cantik. Pikiranku menerka-nerka apakah hubungan mereka sudah sampai ke tahap PDKT atau hanya sekedar teman dekat biasa.Lagi-lagi aku harus menggenggam penasaran itu.Namun aku bingung harus menanyakan hal ini kepada siapa. Hendra pernah bilang bahwa hubungannya dengan Via karena „witing tresna jalaran saka kulina‟. Berarti rasa sayang itu tumbuh karena terbiasa bersama.Mengapa dia tak mencobanya denganku?Siapa tahu jika terbiasa bersamaku, maka perasaan itu bisa muncul. Ah, sudah-sudah. Janganlah terlalu menyesali.Hati dan perasaan tak bisa dipaksa atau diskenario.Hati manusia bukanlah robot.
Namun ada satu hal yang sangat kusesali, aku lupa menanyakan alasan kenapa dia menolakku. Ah, sudahlah mungkin karena dia memang tak pernah menaruh hati terhadapku. Bukankan sudah jelas jawabnya saat itu? Aku juga sempat membeli cincin yang muat untuk jari kelingkingku sebagai tanda perjanjian kami.Untuk mengenang perjanjian kami di sore itu saat hujan datang. Bahwa kami pernah berjanji untuk tetap seperti biasanya dan dia tak akan menghindariku. Namun ternyata perjanjian itu tak sesuai dengan apa yang kuharapkan. Hendra memilih untuk mengingkari janji yang telah kami rangkai.Bukan-bukan, lebih tepatnya aku sendiri yang merangkainya.Dia berlagak ketus.Sikapnya sungguh menyudutkanku.Dia menghindariku.Aku merasakan hal itu. Saat tanggal 23 Agustus – sehari setelah kepergiannya ke Bandung, aku menelponnya menanyakan apakah sudah tiba di Bandung atau belum.Kuberanikan diri untuk berbicara melalui telepon.Mengumpulkan keberanian itu cukup sulit.Dia mengangkat teleponku, namun dijawab dengan nada ketus. Sedikit meninggi ke nada „sol‟. Rasa sesak di dada muncul seketika itu. Ingin sekali meneteskan air mata. Sudah nyesek rasanya. “Hallo, udah ada di Bandung?” tanyaku lewat telepon. “Udah.” “Kapan sampainya?” “Kemarin.” Dia hanya menjawab dengan singkat.Lalu kututup telepon sebab tak tahan mendengar nada bicaranya.
6 A JOURNEY TO THE WEST Aku ingin sekali datang ke kota kembang. Kota Bandung. Sebuah kota yang menawarkan kesejukan dan panorama yang sungguh menawan. Sebuah kota di mana laki-laki yang kucintai menapaki kota itu setiap hari. Sejak saat itu hatiku selalu bergetar setiap mendengar nama „Bandung‟. Sungguh penasaran dengan kota itu. Sering membayangkan bagaimana jika tinggal di kota itu. Sepi selalu menghujaniku dengan sayatan-sayatan kerinduan yang tajam.Aku merindukan Hendra.Hanya Hendra satu-satunya tempatku berteduh dari panas dan hujan. Dia mampu melepaskan dahaga yang menyekat di kerongkonganku. Semenjak saat itu aku jadi penasaran dengan Bahasa Sunda. Aku mulai belajar bahasa Sunda. Kebetulan aku punya teman yang berdarah Sunda. Di SMA-ku, sebagian temanku menggunakan bahasa Sunda dalam berkomunikasi sehari-hari. Sebab tempat sekolahku lebih mendekati daerah perbatasan dibanding dengan rumahku. Aku pernah ke toko buku hanya untuk membeli kamus Bahasa Sunda.Awalnya memang agak sulit mempelajarinya.Bahasa Sunda yang kupelajari masih dalam tataran bahasa yang biasa dipakai sehari-hari dengan sesama teman. Bukan bahasa yang lebih halus yang biasa digunakan dengan orang yang lebih tua. Aku rajin menonton film yang berlokasi di tanah Sunda.Biar mendapatkan pengetahuan yang lebih luas tentang Bahasa Sunda.Itung-itung menonton sambil belajar.Mataku selalu berbinar-binar ketika melihat setiap jengkal sudut Bandung. Sempat juga waktu film ‘From Bandung With Love’ dirilis pada tahun 2008, aku sampai rela menonton di bioskop yang ada di Purwokerto. Lambat laun aku memang benar-benar jatuh cinta dengan Bandung. Hingga suatu saat aku memikul tekad untuk datang ke kota itu. Tepatnya saat liburan seusai UAN. Sudah sangat lama aku mendambakan ingin mengunjungi kota itu. Dengan tekad yang membara, aku datang ke kota itu bersama temanku. Cukup berani memang untuk usia anak SMA tingkat akhir hanya datang berdua saja. Apalagi temanku juga seorang perempuan.Saat perjalanan menuju ke barat, aku sangat senang sekali.Benar-benar gembira.Sampai-sampai tak bisa tidur semalaman sebelum berangkat keesokan harinya. Baju dan peralatan lain yang akan kubawa pun sudah kupersiapkan jauh-jauh hari.
7 Under the Same Sky Akhirnya kuputuskan untuk menerbangkan mimpiku selama ini dan membuatnya nyata.Tekadku telah menjulang tinggi. Telah lama aku memikul impian ini. Aku ingin menyatu dengan Bandung.Bandung adalah bagian dari mimpiku selanjutnya.Mimpi bukan untuk diabaikan namun untuk dikejar. Mimpi tak akan menjadi nyata jika hanya berdiam diri. Aku harus melangkahkan kaki dan tubuhku menuju ke kota itu. Kuputuskan untuk meneruskan pendidikanku di kota itu. Tak mudah untuk meyakinkan orang tuaku agar mengizikanku ke Bandung.Jalan yang kuputuskan ini harus melalui perdebatan yang panjang.Aku berusaha meyakinkan mereka.Tak ada yang tak mungkin terjadi jika kita mampu berusaha.Pasti ada jalan yang bisa ditapaki di setiap kerikil-kerikil kecil yang menghadang.Selain berisi cobaan, dalam hidup, manusia juga harus berani mencoba.Mencoba kesempatan dan hal-hal yang berguna bagi dirinya.Sebab hidup bukan hanya tentang menerima tapi berjuang. Berhubung belum menemukan titik temu, akhirnya aku nekat.Tanpa sepengetahuan orang tuaku, aku mendaftar salah satu Universitas Negeri di Bandung ketika tes Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) telah dibuka.Awalnya memang tak kuceritakan hal ini kepada orang tuaku, karena izin belum juga kukantongi.Aku hanya bilang jika aku mengikuti SNMPTN. Baru setelah kartu peserta ujian seleksi tercetak dan nama Nadia Lintangsari tertulis di kartu peserta, kuceritakan kepada mereka. “Ma…please,” rengekku. Mereka memarahiku.Kureda amarah mereka dengan janjiku yang bakal rajin kuliah dan memperoleh predikat Cum Laude seperti kakak-kakakku.Perlahan-lahan hati orang tuaku luluh.Mereka akhirnya memahami keinginanku.Orang tua yang baik adalah orang tua yang mampu melihat impian, harapan, dan keinginan anaknya.Aku direstui untuk mengikuti tes.Jika mereka tak mengijinkan,lantas mau bagaimana lagi. “Ini demi pendidikan, demi masa depan,” ucapku saat meyakinkan orang tuaku. Kenekatankuakhirnya membuahkan hasil yang bagus. Dan akhirnya aku berhasil diterima di salah satu perguruan tinggi negeri yang ada di Bandung, di jurusan Seni Tari.Ketertarikanku dengan bidang tarimembuatku ingin lebih mempelajari ilmu di bidang itu.Tak ingin kusia-siakan bakatku. Orang tuaku pun akhirnya merelakanku untuk mengenyam pendidikan di sana. Inilah yang dinamakan takdir.Takdirku sesuai dengan yang kuinginkan. Semuanya komplit jadi satu baik jurusan yang kuambil, Universitas yang kumasuki dan kota yang akan kutinggali. Semoga ini dapat membawa keberuntungan tersendiri untukku. Melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginan hati akanmerasa nyaman dalam menjalaninya dan dapat membuat lancar segalanya. Beban pun tak akan terasa. Mengeluh pun tak terucap jika dilakukan sesuai niat dan hati.Semangatku begitu menyala-nyala. Akhirnya aku bisa berada di bawah langit yang sama dan berpijak di tanah yang sama dengan Hendra. Laki-laki yang telah tinggal dalam hidupku sejak aku duduk di bangku kelas 2 SMP. Tak seperti sebelum-sebelumnya ketika jauh darinya, aku terlalu malas untuk menjalani kehidupanku dan sering melamun tak jelas. Terlihat jelas guratan kesedihan dan kekecewaan yang terpancar dari wajahku. Apalagi sejak kejadian itu. Kejadian yang membuatku sakit dan malu. Ketika langit telah gelap, aku menyeka malam yang diselimuti oleh dingin. Kerinduan berkumpul ketika malam telah tiba. Berada jauh darinya terasa hampa. Walaupun hati kami tak dapat menyatu, namun aku ingin hati ini berdekatan. Rinduku kepadanya telah merajuk dan bertekad kuat agar dapat berpijak di bumi dan di bawah langit yang sama dengannya. Kehadiranku di kota itu tak kutampakan pada Hendra. Sejak 2 tahun lalu, dia meninggalkan kota kami dan pindah ke Bandung untuk melanjutkan kuliah di sana. Aku tak mengabarinya sama sekali. Walaupun awalnya di sana aku sempat kerepotan untuk mencari tempat tinggal yang cocok karena masih awam dengan daerah-daerah di sana. Pengennya sih mendapat tempat tinggal yang satu daerah dengan Hendra namun tak tahu di mana dia tinggal.Lagipula aku tak mau di cap penguntit. Sebab aku hanya ingin berpijak di tanah yang sama dan di bawah langit yang sama dengannya. Aku ingin menjaga hubungan ini agar dia tak berlanjut menghindariku kembali.Sudah cukup sakit rasanya diperlakukan seperti itu olehnya.Dulu ketika aku sedang melalui masamasa sulit karena dihindari, aku telah berusaha untuk mengemasi goresan luka-luka dan membuangnya jauh-jauh.
Aku pernah SMS dia tanya-tanya seputar jurusan. Kusengaja memang. Meski sebenarnya aku sudah punya option jurusan yang akan kumasuki. Aku hanya ingin tahu bagaimana reaksinya setelah hampir satu tahun aku tak menghubunginya. Beruntung waktu itu pesan singkatku dibalas dengan nada yangtidak datar jika diterjemahkan dalam bahasa suara. Hendra menyambutku dengan susunan kata-katanya yang terlihat menyenangkan.Namun dari situ aku juga tak terus-terusan SMS dia. Hanya 3 kali saja.Aku masih belum berani. Masih takut jika nantinya dia akan memukulku lagi dengan sikapnya itu. Setelah kejadian pedih 2 tahun yang lalu, hubunganku dengan Hendra tersekat tembok beton.Hendra menghindariku.Hingga detik ini, meski balasan sms-nya sudah terlihat agak melunak. Kemudian sekitar dua bulan setelahnya aku menemukan akun facebook-nya.Penemuan tersebut sebenarnya tak disengaja. Setelah menimbang-nimbang apa yang harus kulakukan, aku meng-addakunnya dan syukurlah dia meng-accept-nya. Sepertinya sudah mulai melunak.Namun jangan terlalu senang dulu sebab setiap aku meng-comment statusnya, aku selalu diabaikan.Sikapnya selalu berubah-rubah. Sulit untuk diselami sikapnya dan selalu ada cara untuk melukaiku. Lagi-lagi, aku tak tahan diperlakukan seperti ini olehnya.Aku mempunyai niat yang baik untuk membangun pertemanan.Tak ada maksud untuk membangun hubungan yang lebih dari pertemanan, walaupun masih sangat sulit untuk menghapus dirinya dari hatiku.Saking sudah tak tahan atas sikapnya, akhirnya aku mengirim message lewat facebook.Kutanyakan alasan mengapa menghindariku.
8 The Wonderful of Bandung Aroma bumi Parahyangan mulai tercium ketika aku mendaratkan kakiku di kota Bandung setelah sebelumnya sempat kudaratkan kakiku 2x di kota ini. Yang pertama ketika dulu berpetualang bersama Fina.Selanjutnya yang kedua ketika mengurus tes seleksi masuk. Ah, aroma yang sangat kurindukan. Setelah turun dari kereta, kusempatkan untuk memejamkan mata dan mencium aroma dari kota ini. Bandung selalu menawarkan kerinduan untuk dikujungi. Dan sekarang aku resmi menetap tinggal di sini hingga beberapa tahun ke depan. Kalau bisa seumur hidup tinggal di sini.Tapi itu semua dapat terlaksana jika Tuhan mengizinkan. Jika Tuhan mengizinkan, maka itu akan menjadi takdirku untuk menetap di Bandung. Setiap manusia pasti memiliki keinginan.Setiap keinginan nantinya terdapat 2 macam pilihan hasil yang merujuk pada takdir yang dijalani oleh manusiaYang pertama keinginan terwujud, yang kedua tak terwujud. Pasti semuanya harus disertai dengan doa dan usaha. Dan nantinya tinggal Tuhan yang akan menentukan ke manakah Tuhan akan membawa kita berjalan. Kedatanganku ke kota ini tak kusia-siakan. Aku ingin mengetahui setiap jengkal tentang kota ini. Bukan hanya untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi saja, namun juga menjelajahi pesona alam yang disuguhkan oleh kota ini dan tentunya sejuta kulinernya yang tanpa sadar mampu membuat air liur menetes. Membuat perut terus-terusan lapar walaupun telah diisi. Membuat mulut terus-menerus mengunyah makanan. Kota ini mampu memikat hati dan membuat takjub para pengunjungnya dari berbagai sudut. Mulai dari arsitektur bangunan, kuliner, fashion dan keindahan alam. Penduduk lokalnya juga mampu memikat dengan keramahan yang ditawarkannya.Bandung juga memiliki segudang anak muda yang kreatif dan berbakat.Di sini surganya belanja dan fashion bagi para setiap perempuan sepertiku yang hobi shoping.Saat berjalan-jalan mengelilingi kota Bandung pasti akan banyak menemukan semacam distro dan factory outlet. Toko-toko baju akan berjejeran menghiasi pinggir-pinggir jalan di kota Bandung.
9 Is It a Fate? Hari ini tak ada jadwal ke kampus.Tiap hari Rabu, di semester ini tak ada jadwal kuliah.Tak ada jadwal juga untuk hangout bersama teman-teman maupun mengerjakan tugas.Seharian cocok untuk bermalas-malasan di kasur. Entah itu sambil membaca novel maupun sambil nonton film maupun drama. Korean wave sedang gencar-gencarnya melanda negara-negara di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Tak terkecuali juga aku dan temantemanku. Cuma Kanaya saja yang tak terkena virus ini. Kalau aku dan Tita hanya suka nonton
drama atau film-nya saja. Tapi Galuh malah lebih parah dibanding kami. Dia sampai terkena virus K-Pop dengan segala boyband dan girlband yang jadi tokoh utamanya itu. Sebenarnya drama Korea sudah lama beredar di Indonesia. Hanya saja waktu dulu virus Korea belum meliuk-liuk seperti sekarang ini. Aku pertama kali tahu drama Korea itu semenjak drama Full House terus Sasy Girl Chun-hyang mulai menghiasi layar kaca televisi Indonesia. Saat itu aku rajin nonton drama itu. Waktu masih SMP. Ah, berbicara tentang SMP lantas terlintas tentang sosoknya di pikiranku. Angin perlahan-lahan masuk dari jendela kamar yang kubuka. Angin yang sejuk. Tirai jendela menari-nari terkena hembusan angin. Tak terasa hari sudah hampir siang. Perutku berbunyi. Lantas teringat jika dari tadi belum sarapan. Sejak bangun tidur hanya minum susu dan sepotong roti yang kumakan. Rasanya enggan untuk makan. Entah karena tak nafsu makan atau malas keluar cari makan. Yang jelas sedang tak ingin makan. Aku beranjak dari tempat tidurku, kuambil gitar yang kutaruh di sudut kamar. Aku menarikan jariku di atas senar sambil menyanyi. Lagu yang kumainkan lebih banyak lagu yang pernah menjadi backsound dalam hidupku seperti Laguku, Sebelum Cahaya, Waktu yang Dinanti, Untukmu Selamanya. Aku memang belum mahir bermain gitar, namun berkat Hendra aku bisa bermain walaupun belum banyak kunci yang kubisa. Saat aku berada di bangku akhir SMA, kuputuskan untuk membeli gitar. Bagiku gitar juga menjadi kenangan dalam hidupku. Ada cerita tentang aku, dia dan gitar. Waktu terus merambat. Telah setahun lebih aku berada di kota yang sama dengan Hendra, hingga kini tanpa terasa aku sudah duduk di semester 3. Namun aku tak pernah menghubunginya sama sekali. Tak pernah aku mengabarinya kalau ternyata aku juga di sini. Apalagi beberapa waktu yang lalu dia sempat marah ketika aku menghubunginya lewat inbox facebook. Perkataannya waktu itu sangat menyakitiku. Dia memberikan hadiah luka yang sangat besar kepadaku. Biarlah waktu yang membawa semua ini.Walaupun aku masih sering nongkrong di kampusnya dan sudah berhasil melihatnya dari kejauhan, namun dia tak pernah melihatku. Si Adang – temannya Kanaya - sepertinya tak pernah bercerita ke Hendra kalau dulu pernah ada yang bertanya kepadanya tentang Hendra.Laki-laki memang jarang bergosip seperti kebanyakan perempuan.Obrolan khas laki-laki biasanya mengenai hobi atau sesuatu yang diminati.Akan tetapi laki-laki juga sering membicarakan tentang perempuan. Sudah beberapa kali kusengaja melewati depan kosnya, namun tak pernah melihatnya di depan kos. Teman-temanku pernah mengajakku nongkrong di tempat biasanya Kanaya sering nongkrong dari zaman SMA.Lagi-lagi aku takut jika tiba-tiba ada Hendra di sana. Namun aku teringat kata Adang kalau tempat nongkrongnya Hendra tak sama dengan tempat yang sering dikunjungi Kanaya.
10 Wild Imagination Setelah dua hari berada di rumah, aku mendapat pesan BBM dari Hendra.Mengejutkan memang.Hal yang paling kutunggu-tunggu akhirnnya terkabul saat ini.Hampir 9 bulan dia berada di kontak BBM-ku namun sebelumnya tak sekali pun menghubungiku.Baru kali ini. ‘Lagi di rumah?...’
Penasaran kan dengan kisah selanjutnya? Masih ada 2 bab lagi yang cerita di dalamnya akan membuatmu semakin gregetan. Bagaimana dengan kisah mereka berdua? Apakah Hendra Pangestu akan menjadi milik Nadia dalam dunia nyata ataukah Hendra Pangestu hanya hidup dalam imajinasi Nadia untuk selamanya? Yuk, buruan beli novelnya. Cerita ini mampu membuatmu bernostalgia dengan kisah percintaanmu dengan seseorang. Bahkan cerita ini mungkin akan membuatmu tertawa sendiri karena saking gelinya teringat akan kelakuan kamu yang mungkin kamu pernah berbuat hal yang sama dengan Nadia Lintangsari.