Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
KAJIAN DAMPAK PEMBEBASAN LAHAN PEMBANGUNAN KOTA BARU LAMPUNG TERHADAP KONDISI SOSIAL DAN EKONOMI PETANI PENGGARAP LAHAN EKS-LIPI Oleh: I Gede Sidemen Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung Contact Person: 08127919505; E- mail:
[email protected]
ABSTRACT Specifically, this study aims to examine the impact of land acquisition for establishment of Kota Baru Lampung on social, economic, and psychologic of share cropper peasants. The research was conducted by survey and depth interviews with peasants whose lost their land. The surveyed research sample is determined randomly from six villages in Jati Agung District, while the informants who interviewed in depth were determined by purposive and snowball sampling. Data of research survey were analyzed quantitatively using statistics program, while the in-depth interview data were analyzedqualitatively. Based on the data and information obtained from the research, it is known that: (1) Cultivation of Eks-LIPI land by the local community is the impact of the policy of agricultural land clearing in the forest by the Dinas Kehutanan which then controled by LIPI, which in practice allow people to share cropping the land. (2) The implementation of ex-LIPI land acquisition for Kota Baru Lampung which have been cultivated by the peasants decrease the degree of social harmony relations of local communities, decline in the economic quality of life of families who lost their by land acquisition, and increased psychological stress and tention of peasants. Keywords : Land acquisition, share cropper peasants, eks-LIPI land PENDAHULUAN Tanah pertanian merupakan substratum kehidupan. Keterikatan antara petani dengan tanah pertanian berawal dari perubahan budaya manusia dari pola hidup meramu dan berburu ke pola hidup menetap dan bercocoktanam. Pada tahap ini mulai tumbuh keterikatan anatar manusia dengan wilayah tempat tinggal dan lahan pertaniannya. Tempat tinggal yang dikelilingi lahan pertanian yang tetap ini memungkinkan petani menciptakan tata hubungan dan organisasi sosial, mengembangkan lingkungan sosio-kultural pada wilayah non fisik dan tanah pertanian pada lingkup teritorial. Kondisi inilah yang menjadikan tanah pertanian bagi petani sebagai sumber matapencaharian, sumber tatakehidupan, bernilai magis religio-kosmis, sebagai identitas, martabat, power, dan bahkan ideologis. Tanah pertanian tidak bisa dipisahkan dari tenaga kerja petani dan tidak akan menghasilkan sesuatu jika tidak digarap oleh petani. Oleh karena itu tanpa tanah pertanian, maka petani akan kehilangan identitas, martabat, power, dan bahkan ideologinya (Flor, 2002: 15). 110
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Untuk itulah rakyat Indonesia memeberikan amanah kepada negara yang dituangkan dalam Pasal 3 ayat (3) UUD‘45 dan UUPA/1960. Amanah tersebut secara jelas menyatakan bahwa sumber-sumber alam (termasuk tanah) yang dikuasakan kepada negara agar dapat dimanfaatkan untuk memakmurkan rakyat. Petani dalam konteks ini memiliki hak yang sama dalam kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan, dan pengolahan tanah pertanian karena memang hubungan mereka dengan tanah tidak dapat dipisahkan. Semua itu bertujuan agar petani juga dapat menikmati kemakmuran sesuai dengan yang dicita-citakan. Cukup mudah orang melukiskan dan memahami secara teknis bagaimana eratnya hubungan timbal balik antara eksistensi kehidupan petani dengan tanah sebagai sumber utama kehidupannya. Tetapi masalahnya akan lebih rumit dan kompleks ketika sudah masuk pada pemahaman tentang hubungan sosial antar manusianya terkait dengan kebutuhan penguasaan tanah. Sejarah kehidupan petani ternyata selalu lekat dengan proses peminggiran hak- hak hidupnya dan untuk mendapatkan kembali hak-haknya tersebut harus mereka lalui dengan penuh perjuangan yang melelahkan. Realitas dalam lembaran sejarah perjalanan masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa kehidupan petani tidak mengalami perbaikan yang berarti, penuh ketidakpastian, tidak jelas nasibnya, menjadi obyek eksploitasi, dan lekat dengan kemiskinan, kesengsaraan, serta kelaparan. Eksistensi petani berada dalam dimensi lintas waktu yang nasibnya selalu tergantung pada sistem hubungan agraria dengan berbagai variasi sosio-politik, ekonomi, dan kulturalnya masing- masing. Sejalan dengan kondisi tersebut, sejarah petani adalah sejarah perjuangan struktural dan kultural yang tidak pernah selesai hingga saat ini, dan karena itu eksistensi petani dari masa ke masa tidak pernah lekang dari perjuangan sosio-politik, ekonomi, dan kultural menentang sistem hubungan agraria yang berlaku. Kritik yang sering dilontarkan oleh para ahli antara lain adalah bahwa negera-negara berkembang, termasuk Indonesia, lebih berkiblat pada pola Barat dalam mengembangkan termonologi pembangunan yang lekat dengan paradigma modernisasi. Paradigma modernisasi pembangunan ini ternyata kurang memperhatikan kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat setempat, sehingga hasil- hasil yang dicapai justru sering bersifat kontraproduktif terhadap hakekat dari pembangunan itu sendiri (Ngadisah, 2003). Sudah banyak proyekproyek pembangunan yang dirancang oleh pemerintah dan dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan umum, namun bagi masyarakat setempat justru menjadi beban karena mereka harus kehilangan tanah sebagai sumber utama matapencahariannya. Sudah terlalu banyak contoh kasus yang terjadi dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia yang menggambarkan bagaimana penderitaan yang dialami rakyat bawah akibat proyek-proyek pembangunan yang kurang direncanakan secara matang dan kurang mempertimbangkan nasib warga masyarakat setempat. Tentunya berbagai kasus yang terjadi pada masa lalu itu sudah lebih dari cukup untuk dijadikan bahan pelajaran dalam membuat perencanaan pembangunan yang lebih setara, adil, dan ―manusiawi‖. Pelajaran penting yang dapat dipetik dari berbagai hasil penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya adalah bahwa pembangunan proyek fisik dapat menimbulkan berbagai masalah sosial, antara lain: (1) dapat memacu perubahan sosial lebih cepat melebihi kemampuan masyarakat suatu kawasan tertentu untuk 111
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
menyesuaikan diri dengan perubahan itu, sehingga dapat menimbulkan ketegangan sosial; (2) banyak proyek pembangunan fisik yang sebenarnya belum ―layak‖ secara sosial, sehingga menimbulkan resiko dan dampak negatif lebih besar daripada hasil positif yang diharapkan; (3) menimbulkan konflik antar kelompok, antar generasi, atau antara rakyat dengan pemerintah yang menyebabkan gangguan terhadap keharmonisan sosial; (4) proyek fisik yang berada pada suatu lokasi, membawa serta teknologi dan nilai-nilai baru, yang sering merusak lingkungan sosial masyarakat setempat atau nilai-nilai tradisi lama, sehingga rentan terjadi anomi; (5) menimbulkan kesenjangan sosial yang dapat memicu kecemburuan sosial; (6) menimbulkan kerugian secara ekonomi pada masyarakat setempat karena proses atau nilai ganti rugi yang tidak memada i; (7) menimbulkan ketidakpastian hidup masyarakat setempat yang terkena proyek yang telah berkorban demi kepentingan pembangunan karena mereka harus pindah pekerjaan dan tempat tinggal yang belum tentu dapat meningkatkan kualitas hidupnya; (8) bagi mereka yang tergusur, mungkin akan mengalami depresi atau penderitaan secara fisik maupun psikis (Ngadisah, 2003). Pada akhir tahun 2010, kasus serupa juga dialami oleh 345 petani di sembilan desa di Kabupaten Lampung Selatan yang sudah lama menggarap lahan Eks-LIPI seluas 950 hektar. Lahan tersebut akan digunakan untuk membangun Kota Baru Lampung pada akhir tahun 2010 (seluas 350 Hektar lahan garapan petani tersebut sudah diambil alih oleh pemerintah Provinsi Lampung sebagai proses penggusuran Tahap I). Para petani penggarap yang lahannya terkena gusuran tersebut diberi ganti kerugian yang disebut dengan istilah ―Tali Asih‖ oleh Pemerintah Daerah sebesar Rp 5.000.000,00 per hektar. Padahal sebagian besar (65%) petani penggarap hanya memiliki lahan kurang dari 1 (satu) hektar. Terlepas dari kepentingan Pemerintah Daerah tersebut, yang jelas warga masyarakat setempat yang lahannya sudah dan yang terancam akan tergusur akibat Proyek Pembangunan Kota Baru Lampung tersebut, masih banyak yang tidak puas dan merasa diperlakukan tidak adil. Realitas ini menunjukkan bahwa selain telah terjadi hubungan sosial agraria yang tidak seimbang antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah, juga telah terjadi gangguan serius terhadap nasib kehidupan para petani tersebut. Bentuk ketidakpuasan petani ini, terbukti dari berbagai upaya yang telah dan akan terus dilakukan untuk menuntut keadilan melalui suatu wadah organisasi petani yang disebut dengan ―Gabungan Petani Lampung (GPL)‖. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dampak pembebasan lahan garapan terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan psikologis petani. Pada tataran akademis, penelitian ini dimaksudkan untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan sosial, khususnya dalam memperkaya landasan materi teori-teori pembangunan dan perubahan sosial. Sementara pada tataran praktis, penelitian ini dimaksudkan untuk dapat membuat penjelasan tentang praktekpraktek hubungan sosial dalam bentuk konflik pertanahan dan pola penyelesaiannya serta dampaknya terhadap nasib petani. Praktek hubungan sosial tersebut terjadi pada tataran praksis dalam pola hubungan struktural yang berpengaruh terhadap keberlanjutan nasib petani sebagai korban, dan berkaitan 112
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
erat dengan arah kebijakan pemerintah di bidang agraria bagi kesejahteraan petani. Hasilnya sangat berguna sebagai bahan masukan bagi para pengampu kebijakan untuk membuat kebijakan agraria, khususnya kebijakan pertanahan, tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang adil dan manusiawi, serta tidak merugikan masyarakat setempat. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung dengan sampel sebanyak 75 petani korban penggusuran yang ditentukan secara acak (random) dari enam desa di lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan berupa berbagai fakta, opini, pandangan, dan respon para petani korban penggusuran tentang berbagai fenomena yang telah dan sedang terjadi, serta realitas yang mereka alami berkaitan dengan pembebasan lahan yang digarap dan upaya untuk menyelesaikannya, sedangkan data sekunder yang dikumpulkan berupa berbagai teks, gambar-gambar, dan data statistik yang dimiliki oleh sumber data sebagai dokumen. Pengumpulan data atau informasi, baik terhadap para informan maupun responden, dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan substansinya, yakni dengan cara wawancara mendalam (indepth interview), angket (questionaire), dokumentasi, dan observasi. Data dan informasi yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis melalui dua cara, yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitaif (baik dalam bentuk dokumen maupun hasil penyebaran koesioner dan wawancara terstruktur) diolah dalam bentuk tabel-tabel tunggal dan silang berdasarkan persentase, diagram, dan gambar-gambar dengan menggunakan program pengolah statistik. Analisis data didasarkan pada tabel-tabel, diagram-diagram, dan gambargambar dari hasil pengolahan data tersebut. Sementara itu pengolahan dan analisis kualitatif dilakukan berdasarkan pandangan Miles dan Huberman (dalam Sutopo, 2006), yakni melalui proses reduksi, penyajian data, dan verifikasi. Selanjutnya, untuk mengurangi kemungkinan salah interpretasi, maka dalam analisis ini digunakan beragam prosedur yang disebut trianggulasi (triangulation). Dalam penelitian ini, trianggulasi dilakukan dengan mengklarifikasi serta membandingkan data atau informasi yang berasal dari para informan. Dengan demikian, penarikan kesimpulannya tidak sekedar merupakan olah pemikiran secara teoritis belaka, tetapi dibuktikan dari perilaku, wacana, dan hubungan sosial para aktor yang menjadi subyek penelitian. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.
Karakteristik Responden
Pada bagian ini akan dikemukakan informasi yang berhubungan dengan karakteristik responden yang datanya berhasil dikumpulkan melalui penyebaran kuesioner terhadap 75 petani penggarap lahan Eks-LIPI yang merupakan korban penggusuran rencana pembangunan Kota Baru Lampung. Informasi terseb ut antara lain adalah lokasi (desa) tempat tinggal responden, umur dan pendidikan responden, jenis pekerjaan reponden sebelum penggusuran, pendapatan Kepala 113
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Keluarga, dan keterangan-keterangan lain yang berhubungan dengan rumahtangga responden. Di samping itu, untuk mengetahui dampak penggusuran lahan eksLIPI ini, maka uraian pada bab ini juga akan dilengkapi dengan penjelasan tentang kondisi sosial ekonomi rumahtangga responen, yakni kandisi pada saat sebelum dan sesudah lahan garapannya diambil alih pemerintah. a.
Lokasi Tempat Tinggal, Umur, dan Pendidikan
Dilihat dari lokasi tempat tinggalnya, responden penelitian ini cukup beragam. Responden berasal dari 6 (enam) desa di Kecamatan Jati Agung, yaitu Desa Gedung Agung, Desa Margo Rejo, Desa Margodadi, Desa Sinar Rejeki, Desa Sindang Anom, dan Desa Sindang Raya. Informasi selengkapnya mengenai jumlah responden menurut desa tempat tinggalnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sebaran Desa Tempat Tinggal Petani Penggarap Korban Penggusuran Rencana Pe mbangunan Kota Baru Lampung, Tahun 2011 Desa Tempat Tinggal Gedung Agung Margo Rejo Margodadi Sinar Rejeki Sindang Anom Sindang Raya Total
Frequency
Percent
10 2 19 2 41 1 75
13.3 2.7 25.3 2.7 54.7 1.3 100.0
Valid Percent 13.3 2.7 25.3 2.7 54.7 1.3 100.0
Cumulative Percent 13.3 16.0 41.3 44.0 98.7 100.0
Su mber: Data Primer, 2011
Meskipun responden penelitian ini berasal dari banyak desa, tetapi mayoritas berasal dari tiga desa, yaitu Desa Sindang Anom (54,7%), Desa Margodadi (25,3%), dan Desa Gedung Agung (13,3%). Banyaknya jumlah respanden yang berasal dari tiga desa tersebut disebabkan karena desa-desa itu letaknya berdekatan dengan lahan Eks-LIPI yang dibebaskan/digusur oleh Pemda Propinsi Lampung, sementara desa-desa yang lain, letaknya relatif agak jauh. Sementara itu jika dilihat dari umurnya, rata-rata umur petani penggarap lahan Eks-LIPI ini tergolong ke dalam kelompok umur yang masih produktif. Secara keseluruhan, rerata umur responden dalam penelitian ini adalah 44,7 tahun dengan Standard Deviasi (SD) sebesar 12,3 tahun, responden termuda berumur 21 tahun sedangkan yang tertua berumur 76 tahun. Menurut kelompok umurnya, para petani penggarap lahan Eks- LIPI korban penggusuran pembangunan Kota Baru Lampung ini mayoritas berada pada umur 41 sampai 50 tahun (46,7%), disusul oleh petani yang berumur antara 31 sampai 40 tahun (32,0%), dan umur kurang dari 31 tahun (12,0%), sedangkan petani yang umurnya tergolong tua (50 tahun ke atas) jumlahnya tidak banyak, hanya berjumlah 9,3% (7 orang). Salah satu hal yang sangat memprihatinkan dari kondisi para petani korban penggusuran pembangunan Kota Baru ini adalah dari segi pendidikannya. Lebih 114
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
dari separuh responden penelitian ini ternyata pendidikannya hanya setingkat Sekolah Dasar (29,3% tamat dan 25,3% tidak tamat), bahkan terdapat 13,3% responden yang tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah formal. Dari keseluruhan responden penelitian, hanya 14,6% yang tingkat pendidikannya tergolong sudah cukup tinggi, yakni 13,3% tamat S LTA dan 1,3% yang pernah mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi, meskipun tidak tamat. b.
Pekerjaan dan Pendapatan
Mayoritas pekerjaan utama responden sebelum lahannya diambil alih/digusur oleh Pemda Propinsi Lampung adalah sebagai petani. Dari seluruh responden yang diteliti, hanya 3 orang yang mengaku bukan petani, yaitu 1 orang bekerja sebagai PNS dan 2 orang bekerja di perusahaan swasta. Seluruh responden (baik yang berprofesi sabagai petani maupun bukan petani) mengaku bahwa kehidupan rumahtangganya sangat bergantung dari hasil- hasil lalan garapan Eks-LIPI yang sudah lama dikelolanya. Ketergantungan mereka yang sangat besar terhadap pengelolaan lahan EksLIPI ini adalah wajar, selain karena mereka sudah cukup lama mengusahakannya, juga karena lahan yang digarap ternyata cukup luas, selain itu, kabanyakan dari mereka juga mengaku bahwa mereka tidak memiliki lahan di tempat lain, sehingga dari pengelolaan lahan Eks-LIPI itulah rumahtangganya bisa bertahan. Secara keseluruhan, rerata lamanya mereka telah menggarap lahan Eks-LIPI tersebut adalah 15,23 tahun dengan Standard Deviasi (SD) sebesar 9,72 tahun, waktu terlama adalah 40 tahun dan yang terpendek adalah 1 tahun. Sebagian besar lamanya mereka menggarap lahan eks-LIPI adalah antara 10 sampai 14 tahun (52,0%). Menurut pengakuannya, pada waktu itu mereka terlibat dalam proyek Gerhan yang dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan sehingga mendapat kesempatan untuk membuka lahan pengelolaan untuk tanaman produksi. Di luar mereka ini, ada juga yang telah mengelo la lahan eks-LIPI lebih dari 15 tahun, bahkan terdapat 14 responden (18,7%) yang sudah mengelola lebih dari 25 tahun. Mereka ini pada umumnya adalah penduduk setempat yang berinisiatif sendiri membuka lahan garapan sebelum proyek Gerhan dilaksanakan. Dilihat dari luas lahan garapan yang dikuasai, 29,3% responden mengaku menguasai lahan Eks-LIPI lebih dari 2 Ha; 26,7% menguasai antara 1 sampai 2 Ha; 26,7% menguasai antara 0,5 sampai 1 Ha; dan hanya 17,3 yang mengaku menguasai kurang dari 0,5 Ha. Lahan terluas yang dikuasai petani adalah 12,5 Ha sedangkan yang tersempit adalah 2400 m2. Jenis tanaman yang diusahakan para petani di lahan garapan Eks-LIPI ini ternyata sangat beragam, antara lain karet, sawit, kopi, kelapa, jati, cempaka, durian, mahoni, akasia, lamtoro, petai, jengkol, lada, singkong, jagung, padi, dan tanaman palawija serta sayuran lainnya. Bagi petani yang menguasai lahan cukup luas, mereka umumnya mengusahakan lebih dari satu jenis tanaman di lahan garapannya. Jenis tanaman yang diusahakan petani pada umumnya adalah kombinasi dari tanaman karet dan sawit; atau karet, singkong, dan jagung; atau sawit, singkong, dan jagung. Sementara para petani yang lahan garapannya sempit, mereka umumnya mengusakan satu jenis tanaman saja. Jenis tanaman yang mereka usahakan pada umumnya adakah karet dan singkong. Pendapatan yang diperoleh petani penggarap (setelah dikonversi dalam pendapatan satu bulan) dari mengelola lahan Eks-LIPI sebelum diambil 115
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
alih/digusur oleh Pemda Propinsi Lampung ternyata sangat beraga m dan termasuk cukup besar, hal ini sangat tergantung dari luas lahan yang diusahakannya. Secara keseluruhan, rerata pendapatan perbulan petani penggarap dari mengelola lahan eks-LIPI sebelum digusur adalah Rp. 1.580.00; dengan standard deviasi sebesar Rp. 998.000; (pendapatan terbesar petani perbulan adalah Rp. 5.000.000; sedangkan yang terkecil Rp. 400.000;) Dari 75 responden yang diteliti, 30,7% mengaku berpendapatan antara Rp. 1.000.000 sampai Rp. 1.999.999; 20% berpendapatan antara Rp. 2.000.000 sampai Rp. 2.999.999; dan 10,7% berpendapatan lebih dari Rp. 3.000.000; sedangkan petani yang mengaku pendapatannya kurang dari Rp.1.000.000 perbulan sebanyak 38,7%. Setelah lahan garapannya diambil alih/digusur oleh Pemerintah Daerah, para petani mengaku sangat kecewa dan juga merasa sangat dirugikan, banyak diantara mereka yang akhirnya mengalami stress, sakit, dan bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Ini disebabkan karena mereka menjadi kehilangan matapencaharian dan pendapatannyapun menurun drastis. Karena itu, berbagai upaya mereka lakukan agar anggota keluarganya bisa bertahan hidup, diantaranya beralih profesi atau pekerjaan dan melibatkan anggota keluarganya di pasar kerja. Dari 75 petani penggarap korban penggusuran yang diwawancarai, 61,3% mengaku beralih pekerjaan atau profesi setelah lahannya diambil alih pemerintah. Pekerjaan-pekerjaan atau profesi yang mereka geluti setelah lahan garapannya digusur antara lain adalah, menjadi buruh bangunan, buruh pabrik, buruh tani, buruh serabutan, tukang bangunan, sopir, tukang ojek, membuat batu bata, berdagang, dan pembuatan arang. Meskipun banyak diantara mereka yang akhirnya beralih profesi/pekerjaan setelah lahan garapannya digusur, tetapi lokasi tempat mereka bekerja ternyata tidak jauh dari tempat tinggalnya. Hanya 19 dari 43 responden yang beralih profesi ini bekerja di luar desa atau kecamatan, sedangkan selebihnya, semua bekerja di desa atau kecamatan tempat tingglanya. Begitu juga jika dilihat dari cara mereka dalam melakukan pekerjaannya, hanya 7 responden yang mengaku bekerja dengan cara mondok (tinggal sementara) di lokasi tempatnya bekerja, sedangkan yang lainnya, semuanya dilakukan dengan cara dilaju (pulang pergi setiap hari). Alasan-alasan yang dikemukakan sehingga mereka harus beralih pekerjaan atau profesi, antara lain adalah, untuk mencukupi kebutuhan keluarga, desakan ekonomi, tidak punya pekerjaan, pendapatan kurang, dan tidak punya lahan garapan lagi. Pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan atau profesi barunya ini ternyata jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan pendapatan yang diperolehnya dari mengelola lahan Eks-LIPI. Ketika ditanya besar perbedaannya, sebagian besar menjawab lebih dari 50%, 7 responden bahkan mengatakan lebih dari 100%. Secara keseluruhan, rerata pendapatan perbulan petani korban penggusuran ini dari profesi/pekerjaan barunya setelah lahan garapannya diambil alih oleh pemerintah adalah Rp. 342.800.00; dengan Standard Deviasi sebesar Rp. 84.204. Pendapatan terbesar sebanyak Rp. 1.500.000; sedangkan yang terkecil sebanyak Rp. 200.000/bulan. Dilihat dari besarnya pendapatan setelah penggusuran, 18 responden mengaku berpendapatan antara Rp. 300.000 sampai Rp. 599,.999; 14 responden berpendapatan antara Rp. 600.000 sampai Rp. 999,.999; dan 11 responden bahkan 116
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
kini berpendapatan kurang dari Rp. 300.000/bulan. Dari seluruh responden, hanya 2 orang yang mengaku berpendapatan lebih dari Rp, 1.000.000/bulan. Rendahnya pendapatan yang diperoleh setelah lahan garapannya digusur pemerintah menyebabkan para petani kini mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, karena itu, banyak diantara mereka kini harus melibatkan anggota keluarga yang lain untuk bekerja. Selain istri, diantara mereka ada juga yang melibatkan anak-anaknya yang sudah dewasa untuk bekerja. Pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan antara lain adalah sebagai buruh tani, buruh bangunan, buruh pabrik, tukang ojek, dagang, dll. Tempat mereka bekerja, selain ada yang dilakukan di desanya sendiri, ada juga yang dilakukan di desa lain, kecamatan lain, bahkan di luar kabupaten. 2. Dampak Penggusuran Lahan Garapan terhadap Kondisi Kehidupan Petani Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana dampak penggusuran lahan garapan petani terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan psikologis mereka. Dampak sosial lebih ditujukan pada bagaimana hubungan-hubungan sosial antar anggota masyarakat setempat yang tadinya (sebelum terjadi penggusuran lahan garapan Eks-LIPI) terbangun dalam hubungan harmonis, setelah terjadi penggusuran lahan tersebut kemudian muncul tindakan-tindakan hubungan sosial yang mengarah pada ketidakharmonisan. Di antara mereka, baik dalam hubungan horizontal maupun hubungan vertikal terjadi saling curiga, saling menyalahkan, dan semakin berjarak satu sama lain, baik dalam hubungan antar individu maupun antar kelompok di dalam proses dan struktur masyarakat setempat. Dampak ekonomi lebih ditujukan pada perubahan kondisi ekonomi yang dialami petani penggarap lahan Eks-LIPI setelah mengalami penggusuran. Seberapa kuat pengaruhnya terhadap tingkat pendapatan rumahtangga mereka dan bagaimana upaya adaptasinya untuk mendapatkan penghasilan melalui beberapa macam dan jenis pekerjaan baru agar dapat mempertahankan kehidupannya. Sedangkan dampak psikologis petani lebih ditujukan pada derajat tekanan-tekanan dan beban psiklogis petani penggarap lahan Eks-LIPI setelah tanahnya digusur. Derajat tekanan dan beban psikologis petani tersebut dapat dilihat dari kandungan koqnisi, afeksi, sikap, dan perilaku mereka dalam menghadapi kenyataan hidup akibat hilangnya lahan garapan Eks-LIPI yang mereka alami sebagai akibat dari penggusuran lahan tersebut. a. Kondisi Kehidupan Sosial Petani Secara riil, proses pemberian uang ―tali asih‖, proses penggusuran lahan, dan dalam proses perjuangan petani dalam menyelesaikan konflik lahan Eks-LIPI berdampak pada perubahan derajat keharmonisan hubungan sosial, baik dalam derajat kerenggangan hubungan horizontal antar sesama warga masyarakat setempat maupun dalam derajat kerenggangan hubungan vertikal antara petani penggarap dengan aparat desa dan supra desa, seperti dengan aparat kecamatan. Secara umum, terjadinya kerenggangan hubungan sosial tersebut berkaitan dengan bevariasinya sikap antar kelompok warga masyarakat terhadap pemberian uang ―tali asih‖ dan dalam memperjuangkan lahan garapan (baik yang sudah digusur pada Tahap I maupun yang tarancam digusur pada tahap berikutnya). 117
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Bahkan kerenggangan hubungan sosial tersebut sudah masuk pada ranah atau lingkup hubungan saudara (dan kekerabatan) terkait dengan sikap mereka yang kontradiktif antara yang pro dan yang kontra terhadap pembangunan Kota Baru Lampung. Saudara yang satu memilih bersikap kontra dan dengan gigih menolak pembangunan Kota Baru Lampung. Dia lebih berpihak kepada kondisi petani yang semakin tidak jelas keberlanjutan hidupnya baik yang lahannya sudah digusur maupun yang terancam akan digusur. Sedangkan saudara yang lain adalah yang memilih bersikap pro, yakni lebih berpihak kepada keberlanjutan proyek pembangunan Kota Baru Lampung. Menurut keterangan informan, diduga bahwa sikap me reka yang pro tersebut terkait dengan akan dan sudah diperolehnya beberapa keuntungan yang cenderung bersifat material. Pertama, jika proyek pembangunan Kota Baru Lampung berhasil dilaksanakan maka mereka akan memperoleh akses yang lebih besar secara material sejalan dengan semakin ramainya wilayah tersebut dari derap pembangunan fisik. Kedua, mereka lebih mudah mendapatkan akses pekerjaan-pekerjaan dalam menunjang pelaksanaan pembangunan Kota Baru Lampung tersebut dan sebagai konsekuensinya mereka lebih mudah menjadi mitra kerja yang dapat menghasilkan keuntungan material. Ketiga, mereka menjadi anggota ―kaki tangan‖ para pelaksana pemberian ―tali asih‖ yang berhubungan langsung dengan petani penggarap lahan Eks-LIPI yang dengan jasanya itu mereka mendapatkan imbalan materi. Keempat, sikap dan perilaku mereka yang pro tersebut secara sosial-psikologis dapat mempengaruhi (melemahkan) sikap dan perilaku warga masyarakat lainnya, dan dengan sikap dan tindakannya mereka mendapatkan imbalan materi. Pada lingkup hubungan sosial sehari- hari, gesekan-gesekan sikap dan perilaku di antara mereka yang pro dan yang kontra terhadap pembangunan Kota Baru Lampung sering terjadi, terutama terkait dengan proses pemberian ―tali asih‖. Nampaknya, derajat ketidakharmonisan hub ungan sosial vertikal di tingkat desa dan supra desa yang terbangun akibat sikap dan perilaku para tokoh masyarakat (formal dan informal) berjalan seiring dengan derajat ketidakharmonisan hubungan sosial horizontal di tingkat bawah. Dalam rangka mempengaruhi masyarakat bawah agar setuju dengan Pembangunan Kota Baru Lampung, terutama agar para petani merelakan lahannya digusur dan menerima uang ―tali asih‖, maka para tokoh masyarakat tersebut menggunakan ―kaki tangan‖ yang oleh para informan disebut ―preman-preman kampung‖ dengan memperoleh imbalan sejumlah materi. Akibatnya, warga masyarakat yang menolak (kontra) selain berhadapan dengan para tokoh masyarakat yang pro, juga berhadapan dengan para ―preman-preman kampung‖ tersebut. Rasa takut, saling curiga, marah, tidak percaya, trauma, frustasi, dan berbagai perasaan negatif lainnya, bahkan sikap fatalistis (pasrah) menjadi berkembang. Sikap dan perilaku sensitif terhadap pihak luar juga terjadi dan tindakan tersebut berpengaruh terhadap derajat ketidakharmo nisan hubungan sosial di antara warga masyarakat yang ingin terus berjuang. Beberapa kasus pihak luar yang tadinya bersemangat menawarkan jasa untuk ikut membantu dalam menyelesaikan persoalan mereka, ternyata akhirnya mundur meninggalkan begitu saja. Menurut informasi yang diperoleh dari para informan, di antara mereka ada yang mundur dengan alasan tidak menguntungkan secara materi, dan ada yang 118
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
meninggalkannya setelah memperoleh sejumlah uang dari pihak yang pro Pembangunan Kota Baru Lampung. b. Kondisi Kehidupan Ekonomi Petani Terutama bagi para petani penggarap yang lahannya sudah digusur, sebagian besar lahan garapan mereka kurang dari satu hektar dan pendapatannya sangat tergantung dari hasil pertanian yang diusahakan. Secara logis sangat jelas bahwa ketika lahan pertaniannya digusur, maka pendapatan mereka menjadi turun sangat drastis. Menurut pepatah: ―Sudah jatuh ketimpa tangga pula‖. Banyak kasus yang menggambarkan bahwa roda ekonomi rumahtangga mereka menjadi lumpuh setelah tidak memiliki pendapatan dari lahan pertaniannya, sedangkan pekerjaan lain yang tadinya sebagai tambahan tidak dapat dipastikan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Penurunan kondisi ekonomi yang sangat drastis tersebut menimpa sebagian besar petani yang lahannya tergusur. Pada sisi lain, mereka juga tidak memiliki keterampilan dan tidak sempat mempersiapkan diri untuk beralih pekerjaan lain. Tindakan penggusuran dilakukan dalam waktu singkat, dan berdasarkan asumsi bahwa lahan Eks-LIPI yang digarap oleh petani adalah tanah negara, sehingga ketika negara (pemerintah) membutuhkan dapat diambil sewaktu-waktu dan bahkan dengan cara paksa sekalipun. Petani penggarap di lahan Eks-LIPI dituduh sebagai penumpang gelap atau bahkan dianggap sebagai ―perambah hutan‖, sehingga mereka berhak untuk diusir. Tuduhan dan anggapan ―pemerintah‖ seperti itu konsisten dengan sikap dan tindakan-tindakannya terhadap petani penggarap yang cenderung represif, dan pada sisi lain petani sebagai pihak yang lemah tidak sempat mempersiapkan diri dan tidak mampu melakukan strategi adaptasi terhadap pekerjaan lain sebelum lahan garapannya digusur. Uang ―tali asih‖ yang diterima tidak cukup untuk mengatasi kondisi ekonomi mereka yang turun secara drastis. Alih-alih untuk mencari pekerjaan baru sebagai modal kerja, untuk menutupi kebutuhan hidup sehari- hari mereka selama pasca penggusuran saja (dari akhir tahun 2010 hingga bulan Agustus 2001) tidak mencukupi. Upaya mereka berjuang untuk menyelesaikan persoalan pertanahan dengan berbagai pihak juga membutuhkan biaya. Pola strategi adaptasi pekerjaan yang mereka lakukan setelah lahannya digusur lebih tampak sebagai tindakan yang diarahkan sekedar untuk mempertahankan hidup, bukan pekerjaan yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Upaya tersebut antara lain mengandalkan pada usaha peternakan sapi dan kambing (ada yang sekedar gaduh), menjual harta kekayaannya, menjadi buruh tani, berdagang kecil-kecilan (seperti sayuran), menjadi buruh perusahaan, mencari pekerjaan di kota, dan mencari lahan pertanian di luar provinsi (seperti ke Jambi dan Palembang). c. Kondisi Psikologis Petani Penggurusan lahan Eks-LIPI menyebabkan hilangnya lahan garapan petani yang menjadi tumpuan hidup sehari- hari mereka. Hilangnya lahan garapan tersebut secara nyata merupakan tekanan ekonomi tersendiri yang berpengauh terhadap tekanan psikologis bagi para petani Tekanan ekonomi tersebut ditambah dengan tekanan-tekanan eksternal lainnya, seperti jumlah uang ―tali asih‖ yang 119
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
sangat tidak memadai dan perlakuan yang cenderung memaksa di dalam proses pembebasan lahan garapan, menambah beban psikologis tersendiri yang secara nyata dialami petani. Pertama, proses pemberian uang ―tali asih‖ dengan menggunakan berbagai cara, meskipun ada cara-cara yang digunakan masih termasuk kategori tindakan persuasif, tetapi dilihat dari posisi para aktor yang terlibat termasuk lebih tinggi kedudukannya di dalam struktur sosial kemasyarakatan, penampilan dan tindakantindakan yang mereka lakukan cenderung mendekati unsur represif. Belum lagi bagi para petani yang dianggap membandel (menolak) pemberian uang ―tali asih‖, maka tekanan-tekanan represif cenderung untuk digunakan, meskipun masih sebatas menggunakan ―kekerasan secara simbolik‖, belum sampai pada kekerasan secara fisik. Contohnya, dengan menggunakan kata-kata “kamu terima atau tidak uang “tali asih” ini, lahan kamu akan tetap digusur”. Kata-kata tersebut tidak memberikan solusi yang terbaik bagi petani penggarap untuk mengatasi persoalan kelanjutan hidupnya, tetapi mengandung makna paksaan untuk mau atau tidak mau harus menerimanya. Begitu beratnya tekanan psikologis yang dialami petani, maka banyak di antara mereka yang bersikap pasrah, tetapi di dalamnya mengandung makna traumatik. Seperti keluar kata-kata: “pokoknya saya pasrah saja apa yang sudah terjadi, saya tidak mau mengungkit-ungkit membicarakan masalah itu lagi”. Saya ini orang tua dan lemah, tidak berdaya apa-apa”. Contoh lainnya yang lebih ekstrim menimpa salah seorang petani hingga mencapai ajalnya. Sebelumnya dia sudah mendengar bahwa lahan garapannya aka n digusur, dan ketika sedang menuju ke kebun dengan membawa grobaknya, dia melihat lahan garapan kawannya sudah digusur, maka dia langsung jatuh pingsan. Kemudian dia segera di bawa ke puskesmas terdekat, tetapi nyawanya tidak tertolong lagi. Kedua, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparat pemerintah meskipun secara tidak langsung dipersepsi mengandung tekanan tersendiri bagi kalangan petani. Contohnya, hadirnya aparat keamanan dalam pemberian uang ―tali asih‖ yang mendatangi rumah-rumah dengan membawa senjata, hadirnya para ―preman kampung‖, dan seringnya pesawat yang terbang rendah melintas di atas desa-desa, semuanya berpengaruh terhadap meningkatnya derajat tekanan psikologis petani untuk tidak berbuat macam- macam. Sempat juga dibuat surat edaran dari pihak keamanan yang ―mengandung unsur ancaman‖ yang isinya agar para pihak tidak memprovokasi masyarakat untuk menolak pembangunan Kota Baru Lampung. Tekanan-tekanan psikologis, seperti kecemasan, ketakutan, pendapatan yang hilang bersamaan dengan hilangnya lahan garapan, pemberian uang ―tali asih‖ yang sangat tidak memadai, semuanya menyebabkan para petani (baik mereka yang sudah tergusur maupun yang belum tergusur) mengalami kesedihan yang luar biasa dan merasa diperlakukan tidak adil. Tekanan-tekanan dan beban psikologis yang dialami para petani tersebut, sebagian diekspresikan dengan sikap dan perilaku ―pasrah‖ dan sebagian yang lainnya mengekspresikan dengan melakukan tindakan perlawanan dan terus berjuang melalui wadah Gerakan Petani Lampung (GPL). Tujuan mereka adalah sederhana tetapi bersifat mendasar dan prinsip, yakni mencari dan mendapatkan keadilan bagi keberlanjutan hidupnya.
120
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
KESIMPULAN 1. Alas hak petani atas lahan eks. LIPI hanya sebatas pada penguasaan untuk menggarap. Status penguasaan lahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum formal sehingga petani sangat rentan terhadap upaya penggusuran. Penguasan petani terhadap lahan Eks-LIPI tersebut didasarkan pada fakta historis, ijin lisan oleh mereka yang dianggap berwenang, dan transaksi jual-beli dengan penggarap atau yang menguasai lahan sebelumnya. Petani penggarap merasa memperoleh legitimasi lebih kuat setelah mendapat ―dukungan‖ dari Dinas Kehutanan melalui proyek Gerhan. 2. Fakta (dan rencana) penggusuran lahan eks. LIPI yang sudah digarap oleh petani dalam rangka pelaksanaan Proyek Pembangunan Kota Baru Lampung berdampak pada (1) menurunnya derajat keharmonisan hubungan sosial horizontal dan vertikal, baik pada tataran desa maupun supra desa; (2) menurunnya kualitas kehidupan ekonomi; dan (3) meningkatnya tekanan dan beban psikologis petani. DAFTAR PUSTAKA Flor, Alexander G (Editor). 2002. Communication and Culture, Conflict and Cohesion. Philippine: Foundation for Development and Communication. Hariadi, Untoro dan Masruchah (Editor). 1995. Tanah, Rakyat, dan Rekokrasi. Yogyakarta: Forum LSM-LPSM DIY. Leonela, Anu dan Zakaria, Yando (Editor). 2002. Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung. Yogyakarta: Insist Press. Miall, Hugh. 2000. Resolusi Konflik Kontemporer: Penyelesaian, Mencegah, Melola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Ngadisah. 2003. Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Papua. Yogyakarta: Pustaka Raja. Saragih, Henry. 1998. ―Analisis Kasus-Kasus Sengketa Tanah Sepanjang Orde Baru‖, dalam Perlawanan Kaum Tani: Analisis Terhadap Gerakan Petani Indonesia Sepanjang Orde Baru. Medan: Yayasan Sintesa-SPSU. Silaen, Victor. 2006. Perlawanan Komunitas Lokal pada Kasus Indorayon di Toba Samosir: Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta: IRE Press. Sutopo, H. B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Penerapannya dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta.
121