Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
PELATIHAN PENULISAN DAN PEMBUATAN BAHAN AJAR RESPONDEN GENDER BAGI GURU SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Oleh: Pairulsyah, Susetyo, Abdul Syani, Suwarno Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung E- mail:
[email protected] ABSTRACT This training aims to increase participants' understanding of the concept and scope of gender, gender policy in education, gender issues in schools, identify the gender gap in schools, identifying and formulating gender responsive teaching materials. The methods used are lectures, discussion, group work, discussions, and presentations. Training results indicate that, first, there was a significant improvement of the understanding of gender mainstreaming in education. Second, an increase in the skills on how to identify gender issues, redefined gender responsive education policy, and create regional action programs or activities on gender-responsive education. Third, there is increased awareness and commitment of the participants on the importance of implementing gender mainstreaming gender-responsive education of each school. Keywords: Teaching materials, Gender PENDAHULUAN Sekolah berfungsi sebagai agen perubahan dan pelestari nilai dan norma sosial, memberikan instrumen dasar untuk memperluas dan mengelola pengetahuan secara kreatif, sehingga terdapat titik temu antara sosialisasi dan individualisasi yang selalu diaktifkan. Setelah disahkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diharapkan sekolah lebih responsif terhadap amanat perubahan UUD‟45. Penggantian dan penyempurnaan landasan hukum pendidikan nasional ini sebagai respon terhadap tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menerapkan prinsip demokrasi, keadilan dan menjunjung tinggi hak azasi manusia. Pada Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia seutuhnya. Dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) bidang pendidikan juga dinyatakan bahwa prioritas pembangunan pendidikan nasional ke depan secara sistematis diarahkan pada peningkatan mutu dan keunggulan, serta efisiensi pendidikan. Disini, sekolah sebagai salah satu institusi strategis diharapkan dapat mewujudkan tujuan tersebut, termasuk dalam meningkatkan kualitas manusia yang sadar tentang nilai- nilai kesetaraan dan keadilan gender. Oleh karena itu, sekolah menduduki posisi kritikal dalam memelaksanakan pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) bidang pendidikan. Hasilnya adalah terbangunnya sistem pendidikan yang responsif gender secara integratif pada tataran struktur, substansi dan kultur. 57
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Guru sebagai salah satu elemen aktor strategis dalam pembaruan pendidikan di sekolah. Di dalam PPRI No.74 Tahun 2008, Pasal 1 ayat (1) dinyatakan ba hwa tugas utama guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Sesuai dengan amanah UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 di atas, maka kualitas pemahaman guru tentang gender sangat berpengaruh dalam menciptakan sistem pendidikan yang responsif gender. Harapan tersebut ternyata masih jauh berbeda dengan kenyataan. Masih banyak guru dan para penulis dan ilustrator buku pelajaran yang belum memiliki kesadaran gender, sehingga bahan ajar dan buku pelajaran yang dibuat masih bias gender. Fakta tersebut sebagai salah satu persoalan pendidikan kita dan persoalan ini oleh pemerintah provinsi Jawa Tengah direspon menjadi salah satu program utama pendidikan (Suara Merdeka, 2004). Secara khusus, indikator keberhasilan pendidikan adalah terbangunnya sistem pendidikan yang berwawasan gender (Sastriyani, 2007). Kegiatan pembelajaran pada tingkat Dikdas sangat strategis dan instrumental karena terselenggara secara sistematis pada tahapan pembentukan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa. Sosialisasi dini tentang wawasan gender melalui bahan ajar merupakan upaya yang sangat urgen dalam pelembagaan nilainilai, norma- norma, pandangan, sikap, serta perbuatan yang responsif gender. Pengetahuan, pemahaman, analisis, aplikasi, evaluasi (seperti tercermin dalam citra, sikap, perilaku, kepribadian, dan nilai) siswa mengenai kedudukan, peran dan hubungan gender, sangat strategis dibentuk pada masa ini. Selain guru, bahan ajar juga menjadi instrumen penting dalam pembelajaran. Tetapi, hasil penelitian content analysis menemukan bahwa banyak buku pelajaran SD kurikulum 1994 yang masih memperkokoh dan melestarikan stereotipe gender. Apabila keadaan tersebut dibiarkan terus akan berdampak jauh untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender (Fasli Jalal, 2004). Di Provinsi Lampung, fenomena tersebut juga masih ditemukan hingga saat ini, khususnya pada buku pelajaran Bahasa Indonmesia, PKN, IPS, Bahasa Lampung, dan Bahasa Inggris. Oleh kerena itu, salah satu upaya untuk mewujudkan sistem pendidikan yang responsif gender adalah dengan meningkatkan pemahaman guru melalui pelatihan. Beberapa persoalan gender yang menjadi isu penting yang berkaitan dengan kualifikasi guru dalam pendidikan dan pembelajaran di sekolah adalah: (a) masih banyak yang belum memahami gender; (b) banyak buku teks yang belum responsif gender; (c) perencanaan pembelajaran yang belum mengintegrasi persoalan gender; (d) materi pembelajaran yang belum responsif gender; (e) interaksi antara guru dengan siswa di dalam proses pembelajaran di kelas dan di luar kelas yang belum responsif gender. Persoalan utama dalam proses pengelolaan sekolah terletak pada derajat pemahaman, kesadaran dan komitmen guru dalam proses penencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pembelajaran sesuai dengan nilai- nilai kesetaraan dan keadilan gender. Oleh karena itu, permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana upaya meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan komitmen guru dalam pendidikan dan pembelajaran yang setara dan adil gender ? 58
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
2. Bagaimana meningkatkan kete-rampilan guru dalam menemu kenali dan merumuskan bahan ajar yang responsif gender ? Tujuan Kegiatan Setelah mengikuti kegiatan pelatihan ini, peserta diharapkan dapat memahami konsep gender dan ruang lingkupnya, kebijakan gender dalam pendidikan dari nasional hingga tingkat daerah, memahami permasalahan gender di lingkungan pendidikan (sekolah), menemukenali kesenjangan gender di sekolah, menemukenali materi bahan ajar yang kurang responsif gender dan mampu merumuskan kembali materi bahan ajar menjadi responsif gender. Hasilnya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran para guru dan komitmen mereka dalam mewujudkan pendidikan dan pengajaran yang responsif gender, paling tidak di lingkungan sekolah masing- masing. TINJAUAN PUSTAKA Ruang Lingkup Gende r Seks dan Gende r Tabel 1. Perbedaan Gende r dan Seks SEKS/JENIS KELAMIN Anugerah Tuhan Tidak dapat diubah Tidak dapat dipertukarkan fungsinya Berlaku sepanjang masa (hidup) Berlaku di mana saja (universal) Ciri biologis Bersifat kodrati (ciptaan Tuhan): Perempuan: menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui (buah dada, vagina, memproduksi sel telur) Laki- laki: Penis (zakar), teste, memproduksi sperma.
GENDER Bukan kodrat (uatan manusia) Bisa berubah (dinamis) Peran laki- laki dan perempuan dapat dipertukarkan Tidak berlaku universal. Dipengaruhi oleh budaya setempat Terkonstruksi sejak lahir
Seks mengacu pada perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis. Seks melekat secara fisik sebagai alat reproduksi. Oleh karena itu, seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga bersifat permanen dan universal. Sedangkan gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab. Antara laki- laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
59
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Tabel 2. Perbedaan Laki-laki dan Perempuan Dilihat dari Sifat, Fungsi, Ruang Lingkup, dan Tanggungjawab Aspek Sifat Fungsi Ruang lingkup Tanggung Jawab (peran)
Laki-laki Maskulin Produksi Publik Nafkah Utama
Perempuan Femin im Reproduksi Do mestik Nafkah Tambahan
Ketidakadilan Gender Ketidakadilan gender terjadi manakala seseorang diperlakukan berbeda (tidak adil) berdasarkan alasan gender. Misalnya, seorang perempuan yang ditolak kerja sebagai supir bis karena supir dianggap bukan pekerjaan untuk perempuan, atau seorang laki- laki yang tidak bisa menjadi guru TK karena dianggap tidak bisa berlemah lembut dan tidak bisa mengurus anak-anak kecil. Ketidakadilan Gender bisa terjadi pada perempuan maupun laki- laki. Ketidakadilan atau diskriminasi gender sering terjadi dalam keluarga dan masyarakat serta di tempat kerja dalam berbagai bentuk, yaitu: a. Stereotip atau citra baku, yaitu pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang seringkali bersifat negatif dan pada umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Misalnya, karena perempuan dianggap ramah, lembut, rapi, maka lebih pantas bekerja sebagai sekretaris, guru Taman Kanak-kanak; kaum perempuan ramah dianggap genit; kaum laki- laki ramah dianggap perayu. b. Subordinasi atau penomorduaan, yaitu adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Contoh: Sejak dulu, perempuan mengurus pekerjaan domestik sehingga perempuan dianggap sebagai “orang rumah” atau “teman yang ada di belakang”. c. Marginalisasi/Peminggiran, adalah kondisi atau proses peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus/pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan. Misalnya, perkembangan teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh lakilaki. d. Beban ganda (double burden), adalah adanya perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. e. Kekerasan (Violence), yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang, sehingga kekerasan tersebut tidak hanya menyangkut masalah fisik seperti perkosaan dan pemukulan, tetapi juga nonfisik seperti pelecehan seksual, ancaman, paksaan, yang bisa terjadi di rumah tangga, tempat kerja, dan di tempat-tempat umum. Keadilan dan Keserataan Gender Keadilan gender (gender equity) adalah suatu kondisi dan perlakuan yang adil terhadap perempuan dan laki- laki agar keadilan terhadap perempuan dan laki60
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
laki terwujud, maka diperlukan langkah- langkah untuk menghentikan hal- hal yang secara psikhis,politik, dan sosial budaya dapat menghambat perempuan dan lakilaki untuk bisa berperan dan menikmati hasil dari perannya itu. Adapun kesetaraan gender (gender equality) mengacu pada kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki- laki untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati pembangunan tersebut. Inti dari kesetaraan gender adalah menganggap semua orang pada kedudukan yang sama dan sejajar (equality), baik itu laki- laki maupun perempuan. Dengan mempunyai kedudukan yang sama, maka setiap individu mempunyai hak-hak yang sama, menghargai fungsi dan tugas masing- masing, sehingga tidak ada salah satu pihak yang merasa lebih berkuasa, merasa lebih baik atau lebih tinggi kedudukannya dari pihak lainnya. Singkatnya, inti dari kesetaraan Gender adalah kebebasan memilih peluang-peluang yang diinginkan tanpa ada tekanan dari pihak lain, kedudukan dan kesempatan yang sama di dalam pengambilan keputusan dan di dalam memperoleh manfaat dari lingkungan. Bukankah keseimbangan selalu menciptakan kehidupan manusia menjadi lebih baik? Faktor-faktor Penghambat
1.
2.
3.
4.
Beberapa faktor yang menghambat terwujudnya kesetaraan gender, yakni: Sosial Budaya. Kondisi yang diciptakan/direkayasa, dibangun/dikonstruksi oleh sistem norma (adat istiadat) yang membedakan peran dan fungsi laki- laki dan perempuan dalam berbagai aspek dan dimensi kehidupan yang berkaitan dengan kemampuanya, baik kemampuan universal seperti intelektual maupun kemampuan spesifik (khusus) yang berkaitan dengan aspek fisik-biologis. Agama. Penafsiran yang berbeda atau pemahaman yang kurang lengkap terhadap dalil agama akan mewarnai serta mempengaruhi persepsi, sikap dan perilak manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan agar mencapai suasana yang harmonis, damai dan sejahtera. Agama mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan maupun mengatur horizontal antara manusia dengan sesamanya. Ekonomi. Adanya anggapan bahwa perempuan dengan bentuk dan keterbatasan fisik biologis ikut dikondisikan sebagai makhluk yang kurang produktif dalam bidang ekonomi, sedangkan laki- laki dikondisikan sebagai unsur pencari nafkah yang lebih produktif. Laki- laki memperoleh kesempatan untuk berperan dalam berbagai sumber pembangunan. Di Indonesia dalam rumah tangga perempuan dipolakan sebagai unsur pengatur/pengguna penghasilan suami, dengan pembagian tugas antara yang menghasilkan (suami) dan yang mengatur pengeluaran (istri). Peraturan Perundang-undangan dan kebijakan. Secara hukum menurut UUD1945 laki- laki dan perempuan sebagai warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan dan membela negara. Namun bila diamati secara teliti dan cermati dari ketentuan dasar tersebut masih dirasakan adanya pembedaan (diskriminasi) terhadap kaum perempuan dalam berbagai hal, antara lain dalam kesempatan pendidikan, perlakuan dan penggajian 61
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
ditempat kerja, perlindungan terhadap tindak kekerasan termasuk hak-hak reproduksi. Bahan Ajar yang Responsif Gende r Bahan ajar adalah semua bahan yang dipergunakan untuk melaksanakan pembelajaran. Bahan ajar ini dapat diwujudkan dalam bentuk Power Point, Hand Out, Lembar Kerja Siswa, Diktat, Modul, Buku Ajar dan Buku Teks atau buku Referensi. Semua merupakan jenis alat bantu pembelajaran, bahkan dalam arti yang lebih teknis seperti LKS ada yang menggolongkan sebagai jenis alat peraga pembelajaran. Secara umum bahan ajar merupakan perangkat pembelajaran sebagai yang utama, sebagai pelengkap atau sarana pendukung pelaksanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Seperti LKS berupa lembaran kertas yang berupa informasi maupun soal-soal (pertanyaan-pertanyaan) yang harus dijawab oleh peserta didik. Bahan ajar ini baik digunakan untuk menggalakkan keterlibatan peserta didik dalam belajar, baik dipergunakan dalam belajar mandiri, dalam penerapan metode terbimbing maupun untuk memberikan latihan pengembangan. Dalam proses pembelajaran, bahan ajar bertujuan untuk menemukan konsep atau prinsip dan aplikasi konsep atau prinsip sesuai dengan tujuan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Bahan ajar yang secara teknis merupakan instrument pembelajaran merupakan stimulus atau bimbingan guru dalam pembelajaran yang akan disajikan secara tertulis sehingga dalam penulisannya perlu memperhatikan kriteria media grafis sebagai media visual untuk menarik perhatian peserta didik. Paling tidak bahan ajar tersebut sebagai media teks dan gambar. Sedangkan isi pesan bahan ajar tersebut harus memperhatikan unsur-unsur penulisan media gambar, hirarki materi dan pemilihan pertanyaan-pertanyaan sebagai stimulus yang efisien dan efektif. Tujuan dibuat dan digunakannya bahan ajar dalam proses pembelajaran adalah sebagai berikut: (1) memberi pengetahuan, sikap dan keterampilan yang perlu dimiliki oleh peserta didik; (2) mempermudah dalam mengarahkan dan mengevaluasi tingkat pemahaman peserta didik terhadap materi baik yang belum maupun ang telah disajikan; dan (3) mengembangkan dan menerapkan materi pelajaran yang sulit disampaikan secara lisan. Bahan ajar yang dsusun oleh guru hendaknya berwawasan gender, yakni memperhatikan kesetaraan dan keadilan peran laki- laki dan perempuan di dalam semua aspek kehidupan. Di dalam masyarakat terdapat status dan peran yang berbeda kepada laki- laki dan perempuan, dan realitas tersebut terkadang masih bias gender. Gross, Mason, dan McEachern (Suyanto, 1995:492) mendefinisikan peran sebagai seperangkat harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Pendefinisian laki- laki dan perempuan mengacu kepada serangkaian kepercayaan dan pendapat yang menjadi "pola baku" laki- laki dan perempuan, dan kualitas maskulinitas dan femininitas yang kemudian dikukuhkan sebagai hegemoni sebab disosialisasikan secara terus- menerus melalui keluarga, sekolah, agama, dan negara (Susilastuti, 1993:31). Hal inilah yang disebut gender. Fakih (1996:8) mengartikan gender sebagai sifat yang melekat pada kaum lakilaki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Sifat62
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
sifat ini merupakan hasil dari intepretasi mental dan kultural terhadap jenis kelamin, karena itu eksistensinya tergantung pada masyarakat yang mendefinisikan itu sendiri. Dalam suatu masyarakat dengan "citra baku" perempuan dan laki- laki yang didominasi oleh pola-pola man's world atau patriarkhi, laki- laki diletakkan pada posisi superordinat dan perempuan pada posisi subordinat. Perempuan ialah orang kedua, kedudukannya tidak sejajar atau tidak sama pentingnya dengan lakilaki, makhluk sekunder atau the second sex (Kusujiarti, 1997:90). Karena stereotipenya, perempuan dianggap cocok beraktivitas pada urusan domestik dan laki- laki pada urusan publik. Dikotomi ini bersatu dan menjadi elemen penting dalam sebagian besar budaya masyarakat, serta timbul dan dilestarikan melalui proses sejarah yang kompleks dan melingkupi segenap kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Kusujiarti, 1997:91) dan dianggap sebagai ketentuan "kodrat" yang tidak bisa diingkari. Perbedaan gender juga menyebabkan terjadinya pembagian kerja secara seksual di masyarakat. Ada pekerjaan untuk laki- laki dan pekerjaan untuk perempuan (Susilastuti, 1993:29; Sanderson, 1995:395). Peran gender telah menimbulkan "ketidakadilan" sehingga menyebabkan timbulnya marginalisasi dan subordinasi pada salah satu pihak. Secara umum hubungan pria-wanita bersifat asimetris (Ihromi, 1995:433). Jika nilai ini disosialisasikan terus- menerus tanpa intervensi apapun maka dapat dipastikan bahwa demokrasi tidak akan tercapai, karena sistem sosial telah mensosialisasikan individu untuk tumbuh dan berkembang secara tidak adil. Eccles (1995:166) mengemukakan, ketika mengembangkan peran gendernya, anak-anak mengalami dua perubahan penting pada dirinya yaitu kesadaran seks (sex awareness) dan identitas gender (gender identity). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kesadaran seks dan identitas gender memiliki dua konsekuensi besar, yaitu seks menjadi katagori sosial yang penting untuk menciptakan perasaan dunia sosial seseorang, dan memotivasi anak untuk mempelajari perilaku gender yang sesuai, khususnya untuk mempelajari bagaimana cara berperilaku seperti yang diharapkan untuk kelompoknya. Karena itu masyarakat yang dikonstruksi oleh nilai gender tradisional akan mensosialisasikan nilai gender yang tradisional juga dan melestarikan ketidakadilan gender. Guru berperan penting dalam mengembangkan konstruksi gender anak karena guru merupakan sumber informasi dan model, penentu materi sekolah dan buku teks, pengembang proses pembelajaran, dan pencipta lingkungan kelas atau sekolah. Perilaku dan nilai yang dimiliki anak dapat dipengaruhi oleh contoh yaitu orang dewasa yang dikagumi dan karena itu ia ingin menyerupainya (Kagan dan Lang, 1978:64). Di sekolah, terutama di jenjang pendidikan dasar, guru merupakan model yang sangat penting dalam proses sosialisasi nilai. Pengaruh guru terhadap pembentukan peran seks pada anak bergantung pada jenis hubungan yang ada antara guru dan siswa dan nilai hubungan tersebut (Hurlock, 1986:471). Karena itu menciptakan hubungan yang baik, dekat, familiar dan menarik merupakan hal yang sangat penting dilakukan oleh guru dalam rangka sosialisasi nilai sehingga guru akan lebih mudah mempengaruhi anak. Hidden curriculum merupakan aspek yang sering terabaikan dalam proses pembelajaran. Peran guru dalam menentukan sumber belajar siswa turut 63
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
mensosialisasikan nilai gender pada anak. Bagi anak, pesan-pesan yang dikemukakan dalam bentuk pelukisan, seperti komik dan gambar dalam buku cerita atau buku-buku sekolah lebih berarti daripada pesan verbal (Hurlock, 1986:467). Kalimat-kalimat yang dibaca anak sejak dini merupakan pemahaman dasar yang dapat berubah menjadi ideologi bila kelak ia dewasa dan dapat mempengaruhi opini dan sikap anak (Kagan dan Lang, 1975:55). Materi kurikuler yang tertulis dalam buku-buku teks selain memuat materi formal kurikulum, juga mengandung materi kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang berupa nilai- nilai yang diharapkan tertanam pada diri anak (Shaw, 1989:296; Renzetty dan Curran, 1989:88). Seorang guru yang memiliki sensitivitas gender dan kesadaran terhadap nilai yang diajarkan akan cenderung selektif dalam memilih materi sekolah dan buku teks untuk mengajarkan nilai (Kagan dan Lang, 1978:58). Hidden curriculum juga terkandung pada relasi dan interaksi yang diciptakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Guru yang tidak memiliki pengetahuan dan sensitivitas gender akan cenderung berinteraksi secara seksis dengan siswanya (Renzetty dan Curran, 1989:87). Karena itu kesadaran guru terhadap hidden curriculum penting dalam upaya pendekonstruksian nilai gender yang tradisional. Kesadaran ini menjadi sangat penting lagi karena pendidikan di sekolah menengah pertama sangat menunjukkan pembakuan peran-peran sosial perempuan dan laki- laki dalam buku teks yang diberikan. Ada tiga teori sosialisasi, yaitu identifikasi, belajar sosial, dan perkembangan sosial/kognitif. Ketiga teori ini mendasari pentingnya peran guru untuk berperilaku berdasarkan nilai gender egalitarian, yang menempatkan kesetaraan antara laki- laki dan perempuan, dalam keseluruhan proses interaksi di sekolah. Dalam rangka pendidikan gender di PGSD teori yang digunakan untuk membahas dan mengembangkan model pendidikan dan pelatihan gender ialah teori perkembangan sosial/kognitif. Teori Perkembangan Kognitif/Sosial berasumsi bahwa individu dimotivasi untuk memodelkan perilaku orang lain dan mereka secara khusus tertarik untuk mempelajari peran gender dari seks yang sama (Eccles, 1995:173). Menurut teori ini individu berusaha menjadi orang yang ideal melalui sosialisasi-sendiri. Proses aktif ini menjadi dasar bagi penciptaan stereotipe dan naskah peran gender. Selanjutnya setelah terbentuk, konsep-konsep ini menjadi kerangka kerja untuk mengintepretasikan apa yang dilihatnya dan untuk memprediksi perilaku di masa mendatang. Dalam rangka pencapaian keterampilan kognitif yang tepat, diasumsikan bahwa perubahan dalam struktur kognitif sosial bergantung pada tersedianya stimuli sosial yang tepat (Eccles, 1995:175-176). Stuktur tersebut hanya akan berubah bila konteks sosial memberikan informasi yang bertentangan dengan skema sosial yang ada. Karena itu seseorang akan terus mempercayai peran gender tradisional sampai ia memperoleh kecakapan kognitif untuk membayangkan peran-peran yang berbeda dan kesempatan untuk mengobservasi contoh-contoh transendensi peran gender. Dekonstruksi gender tidak mudah dilaksanakan karena terkait denga n perubahan nilai budaya yang telah lama disosialisasikan. Hal ini lebih sulit lagi pada orang dewasa. Meskipun begitu informasi gender tetap akan berguna untuk memberikan alternatif pikiran dan pilihan kepada mereka untuk melihat alternatif aktivitas yang diwarnai oleh stereotipe gender yang non‐tradisional dan kemudian mendekonstruksi konsep gendernya, sebagaimana diungkapkan oleh Eccles 64
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
(1995:187) dan Stangor dan Ruble (dalam Baron dan Byrne, 1991:122). Pengalaman dan informasi baru yang diterima oleh setiap orang dapat menjadi pengetahuan baru yang memungkinkannya memperoleh referensi dalam merekonstruksi pemahamannya tentang sesuatu. Hal tersebut dapat menjadi alternatif berpikir dan pilihan bagi individu yang sudah dewasa, sebagaimana dikemukakan oleh Eccles (1995:187) dan Stangor dan Ruble (dalam Baron dan Byrne, 1991:122). Banyak faktor yang mempengaruhi proses pendekonstruksian gender pada individu dewasa. Selain proses sosialisasi sebelumnya, proses belajar aktif, kemampuan berpikir, dan analisis kritis memiliki peran yang besar dalam proses tersebut. Berkaitan dengan itu, pengalaman pribadi, pengamatan sosial, serta pengetahuan seseorang tentang gender dan peran gender menjadi sumber pelajaran gender. Stimulus yang realistis dan menggugah kesadaran individu tentang suatu fakta ketidakadilan, termasuk di dalamnya ketidakadilan gender, akan dapat menjadi kekuatan yang dapat menumbuhkan pemahaman dan kesadaran baru dalam kerangka nilai seseorang. Individu "harus" dibuat menyadari adanya ketimpangan gender sehingga ia merasa tidak puas terhadap suatu keadaan dan merasa perlu untuk menghadirkan dalam dirinya nilai‐nilai gender yang non‐tradisional. Berangkat dari ketidakpuasan inilah seorang individu dewasa diajak untuk membangun kerangka nilai yang baru a tau penataan ulang sistem nilai yang lama agar lebih relevan dengan harapan. MATERI DAN METODE Peserta dalam kegiatan petatihan ini adalah guru Sekolah menengah pertama (SD) sebanyak 30 orang yang berada di Kota Bandar Lampung. Pendekatan yang digunakan adalah: (a) menjelaskan tentang berbagai persoalan gender di bidang pendidikan, khususnya di sekolah; (b) memberikan tugas kelompok untuk menemukenali berbagai persoalan gender di sekolah masing- masing; (c) melakukan diskusi dan presentasi kelompok. Kemudian dapat dirumuskan beberapa persoalan gender di sekolah secara umum dan berbagai solusi alternatif yang dapat ditawarkan untuk dapat mengatasinya; (d) menemukenali bahan ajar (terutama buku teks) baik berupa teks-teks maupun gambar- gambar yang tidak responsif gender; (e) merumuskan kembali teks dan gambar menjadi yang responsif gender. Materi yang disampaikan disusun dalam bentuk makalah dan simulasi yang terdiri dari: (a) kebijakan program Depdikbud dalam mendukung PUG bidang pendidikan; (b) tinjauan khusus PUG bidang pendidikan di Provinsi Lampung; (c) konsep-konsep kesetaraan dan keadilan gender; (d) pengarusutamaan gender di bidang pendidikan; (e) menemukenali kesenjangan gender dalam praktek pendidikan dan pembelajaran di sekolah; (f) menemukenali teks dan gambar yang bias gender dalam buku pelajaran; (g) praktek merumuskan teks dan gamber yang responsif gender. Metode yang digunakan adalah ceramah dan tanya jawab, kerja kelompok, diskusi, dan presentasi hasil diskusi kelompok. Fokusnya adalah mengidentifikasi berbagai permasalahan kesenjangan gender di sekolah dan merumuskan teks dan gambar yang responsif gender. 65
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Pree test dilakukan dengan menyisipkan pertanyaan-pertanyaan umum mengenai persoalan gender, program atau kegiatan yang responsif, dan bahan ajar responsif gender. Post test dilakukan dengan cara memberi kembali pertanyaanpertanyaan yang sudah diberikan pada saat pree test. Evaluasi keterampilan peserta dilakukan berdasarkan hasil kerja kelompok, pada saat presentasi, dan kemampuan dalam berargumentasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan tentang makna gender dan ruang lingkupnya ternyata juga cukup hangat, dan menjadi menarik karena di antara peserta saling berargumentasi terutama antara peserta laki- laki dan perempuan seakan di antara mereka da lam posisi saling berhadapan (antagonis). Kondisi ini menunjukkan masih ada kesan bahwa masalah gender terkait dengan sensifitas peran perempuan di ranah publik yang akan mengesampingkan peran laki- laki. Tetapi pada proses diskusi selanjutnya terdapat pemahaman yang sama di antara mereka, setelah mendapat tanggapan dan arahan balik dari narasumber. Pemahaman makna konsep gender ini sangat penting untuk bisa berlanjut pada sajian materi berikutnya. Pembahasan tentang kesenjangan gender, faktor penyebab dan isu-isu gender baik tingkat nasional maupun tingkat daerah provinsi Lampung terdapat pendapat yang beragam dari peserta dan ini merupakan sajian yang menarik perhatian dari mereka. Sebagian mengatakan bahwa semua itu perlu ditindaklanjuti bukan hanya dilingkungan sekolah tetapi juga dilingkungan pendidikan pada umumnya, terutama komitmen bagi mereka yang berkedudukan sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan. Khususnya tentang masalah pendidikan dasar 9 tahun mereka lebih antusias untuk segera diselesaikan mengingat masalah ini mereka sadari bukan hanya masalah lokal tetapi menyangkut masalah internasional, menyangkut harkat dan martabat manusia du dunia ini khususnya sebagai warga masyarakat di Indonesia. Beberapa pengalaman nyata dapat mereka kemukakan terkait dengan kuatnya faktor budaya, politik, dan agama yang dianut dan sudah melembaga di daerah, selain faktor ekonomi. Ternyata dalam mengkaji isu- isu gender tersebut para peserta cukup kritis bukan hanya terkait dengan bidang pendidikan, tetapi juga meluas dalam bidang-bidang kehidupan yang lain, bahkan dalam kehidupan keluarga, anak-anak dan remaja. Penyajian wacana gender menurut kacamata agama yang berlaku di Indonesia juga menjadi ajang diskusi yang menarik terutama antara narasumber dengan para peserta dan antar para peserta sendiri. Ternyata masalah agama masih menjadi masalah yang sangat sensitif dan perlu kehati- hatian dalam pembahasannya. Banyak paserta yang kurang sependapat dengan interpretasi dan argumentasi yang disampaikan oleh narasumber terkait dengan masalah gender ini dikaitkan dengan nilai dan norma agama. Berdebatan terjadi dan ini yang dimaui oleh narasumber karena memang selama ini mind-set mereka sudah terstruktur sedemikian rupa sehingga banyak yang tidak cocok dengan mind-set yang dibangun oleh narasumber. Setakah diskusi berlangsung dengan mendalam akhirnya dapat dicapai kesamaan pandangan tentang gender tersebut dan pentingnya PUG di bidang pendidikan dilakukan terutama di sekolah dimana para 66
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
guru menjadi motor utamanya yang berkaitan langsung dengan siswa terkait dengan transfer pengetahuan. Kesulitan peserta terjadi ketika mereka diberi tugas untuk mengidentifikasi persoalan gender pada berbagai bahan ajar (termasuk LKS dan buku cetak SD) yang telah disediakan oleh panitia. Ternyata kesulitan mereka bukan terletak pada dimana dan bagaimana bahan ajar itu terdapat masalah gender, tetapi pada pemahaman mereka tentang gender itu sendiri. Namun demikian, dari hasil kerja mereka, sajian yang disampaikan dan hasil diskusi dalam sajian tersebut dapat disadari bersama bahwa ternyata masih ada permasalahan gender terutama di dalam buku materi pelajaran baik di tingkat SD. Hasil identifikasi mereka juga dapat dilengkapi dengan saling berbagi pengetahuan dan pengalaman praktis yang mereka hadapi di sekolah masing- masing. Bahkan banyak di antara peserta baru menyadari bahwa selama ini mereka melakukan pendidikan dan pengajaran disekolah masih belum memperhatikan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender terutama dalam membuat materi bahan ajar dan dalam praktek mereka di kelas dan di luar kelas. Kesulitan berlanjut ketika bahasan sampai pada analisis tentang faktor penyebab dan isu gender yang ada dalam bahan ajar tersebut. Kemudian ditindaklanjuti dengan bagaimana merumuskan kembali kalimat dan gambar dalam bahan ajar yang responsif gender. Untuk mengatasi masalah ini, oleh narasumber dilakukan kerja kelompok dengan panduan tim narasumber yang ada, maka pemahaman mereka menjadi lebih cepat diperoleh. Beberapa contoh tugas dapat mereka selesaikan dengan baik sesuai dengan harapan narasumber. Kesulitan tersebut merupakan gejala yang dapat difahami mengingat sebagian besar peserta belum pernah mengikuti pelatihan gender dan karena waktu yang singkat membuat mereka merasa kurang dapat bekerja secara maksimal. Namun demikian, dengan hasil kerja kelompok yang dapat mereka capai ditambah dari hasil penyajian dan diskusi yang telah berlangsung ternyata dapat menambah wawasan mereka tentang format dan aplikasi bahan ajar yang responsif gender. Beberapa persoalan gender yang mereka temukan di lingkungan sekolah dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3. Hasil Identifikasi Persoalan Ketidaksetaraan Gender Di Sekolah Menengah Pertama NO A 1. 2. 3. B 1. 2. 3. 4.
PERSOALAN KETIDAKSETARAAN GENDER DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Fisik Sekolah WC sekolah masih campur Meja bagian depan untuk perempuan terbuka Sekolah belum memberi fasilitas untuk kepentingan guru/siswa perempuan, seperti ruang ganti pakaian, toilet. Siswa Sangsi/hukuman masih dibedakan Pemimpin lagu, petugas bendera dan pembacaan tata tertib dalam upacara sebagian besar perempuan Pemimpin upacara (Danton) dan do‟a kebanyakan laki-laki Ketua kelas kebanyakan laki-laki 67
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14
15 C 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
11.
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Sekretaris pengurus kelas umumnya perempuan Dalam struktur kelas yang menjadi bendahara dan sekretaris selalu perempuan Siswa perempuan mayoritas lebih rajin melaksanakan piket kelas,sedangkan siswa laki-laki sering terlambat atau menghindar (jajan). Petugas UKS banyak diambil dari siswa perempuan Ekstra kurikuler Seni Tari didominasi oleh siswa perempuan Mewakili dalam lomba memasak biasanya oleh siswa perempuan. Mata pelajaran Penjas: laki-laki bermain sepak bola, perempuan bermain kasti Paduan suara masih didominasi oleh siswa perempuan Mencuci piring, gelas dan sebagainya ditugaskan kepada siswa perempuan Dalam pembelajaran SBK materi yang cenderung sebagai kegiatan perempuan sering tidak diselesaikan oleh siswa laki-laki. Jika selesai kemungkinan ada partisipasi orang tuanya. Melanjutkan sekolah, laki-laki cenderung masuk STM, sedangkan perempuan ke SMEA Guru dan Pengelola Sekolah Kegiatan sekolah banyak dilimpahkan kepada guru/pegawai laki-laki Laki-laki disuruh menghadapi permasalahan sekolah dan siswa Ketua organisasi dilimpahkan kepada laki-laki Bagian konsumsi banyak dilakukan perempuan Keamanan dan penjaga sekolah dibebankan kepada laki-laki Untuk tugas keluar selalu diberikan kepada laki-laki Bendahara umumnya ditangani oleh guru perempuan Guru penjas umumnya laki-laki Guru SBK umumnya perempuan Dalam kegiatan bersih lingkungan, guru tidak sadar melakukan pembagian kerja yang membeda-bedakan pekerjaan laki-laki dan perempuan. Menyapu dan mengepel diserahkan kepada siswa perempuan, sedangkan mencangkul dan membabat rumput dilakukan laki-laki. Pengambilan keputusan/kebijakan sekolah seperti menjadi ketua dalam struktur kepanitiaan UN, US, dan Ujian Semester cenderung ditunjuk laki-laki, sedangkan posisi perempuan ditempatkan yang ”dianggap” wilayah perempuan seperti bagian konsumsi. Guru kelas rendah (kelas I dan II SD) selalu dibebankan kepada perempuan. Prioritas menjadi bendahara BOS adalah laki-laki dengan alasan geografis yang kurang mendukung Petugas perpustakaan sebagian besar dipegang oleh guru dan TU perempuan Kepala urusan kesiswaan di SMP cenderung ditunjuk laki-laki, karena dianggap lebih tegas dan dapat menyelesaikan masalah siswa. Pembina OSIS dan Pramuka biasanya guru laki-laki. Wali kelas terendah biasanya guru perempuan Dalam rapat rutin sekolah untuk pekerjaan Notulen dan pembawa acara dilakukan oleh perempuan Pekerjaan bendahara kadangkala guru perempuan tidak bersedia karena harus sering bolak-balik keluar dalam mengambil dana, sosialisasi, penyelesaian SPJ, dll.
Sumber: Olahan data primer, 2012
68
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Selain itu, dari hasil analisis terhadap buku ajar yang telah disediakan oleh narasumber, ternyata peserta mudah menemukan teks dan gambar yang masih belum responsif gender. Hasil temuan mereka adalah sebagai berikut: 1. Ada 4 (empat) rangkaian gambar (hal. 9): ”Anak laki- laki membuat kerangka layang-layang, mengelem kertas, bekerjasama dengan teman laki- laki menaikkan layang- layang, dan sekumpulan anak laki- laki bermain layanglayang”. Ilustrasi gambar tersebut masih tampak bias gender (wilayah pekerjaan laki- laki), karena rangkaian tersebut menggambarkan bahwa yang mampu membuat hingga memainkan layang- layang adalah anak laki- laki. 2. Hal. 21: ”Sekarang aku tidak minder dan takut lagi”. Kalimat ini menunjukkan bahwa laki- laki juga memiliki kedua perasaan itu. Hal. 22: ” Ati, kenapa aku sebimbang ini ?” Kalimat ini menunjukkan bahwa laki- laki bisa bersikap tidak tegas. Hal. 19: ”Tubuhnyapun tidak setegap anak-anak cowok laiinya”. Sebaiknya kalimat tersebut menjadi: ” Tubuhnya tidak tegap”, karena tidak semua laki- laki tubuhnya tegap.Hal. 21: ” Kamu lelaki, sungguh cuma kamu kelewat lembut”. Sebaiknya kalimat tersebut menjadi: ” Kamu lelaki yang lembut”, karena sifat lembut itu tidak hanya dimiliki perempuan saja. ” Nuning tampak sedih, tangisnya mulai tumpah”. Sebaiknya kalimat tersebut menjadi” Nuning tampak sedih, matanya berkaca-kaca”, karena kalimat ”tangisnya mulai tumpah” kesannya terlalu berlebihan. 3. Hal. 1: Gambar security adalah laki- laki. Hal.5: Anak laki- laki bermain mobil- mobilan. Hal. 21: Ibu memasak di dapur. Hal. 23: Ibu membantu anak belajar di rumah. Hal. 25: Tukang kebun adalah laki- laki. 4. Bahasa Indonesia SD kelas IV: ”Rasa bakso yang mangkal di sepan Wartel Dedo nikmat rasanya”. Pemberian nama Wartel lebih dominan dengan nama laki- laki (Hal. 8). Pada gambar soal nomor 5 adalah pemimpin barisan lakilaki, sedangkan di barisan tersebut ada perempuannya (Hal. 12). Pada gambar menunjukkan bahwa petugas Bank di bagian pelayanan masyarakat didominasi oleh kaum perempuan (Hal. 109). Permainan bola kaki hanya dimiliki oleh siswa laki- laki (Hal. 69). Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa yang biasa melakukan kegiatan memancing hanya laki- laki (Hal. 23). 5. Bahasa Indonesia Membuatku Cerdas, Kelas VI SD: Hal. 7. Dalam LKS yang mencuci selalu Ibu. Hal. 21. Komentator olah raga laki- laki. Hal. 24. Olah raga bola digambar laki- laki. Hal. 45. Diidentikkan dengan gambar perempuan. Hal. 106. Pemeran dalam soal adalah laki- laki. Hal. 106. pemerannya ayah. 6. Bina Bahasa Indonesia SD kelas 3 Semester 2: Gambar: seorang anak perempuan menggendong adiknya ditemani teman-teman perempuan bersama adiknya. Anak laki- laki dan perempuan mengasuh adiknya (Hal. 1). Teks: Lari pagi ayah dan anak laki- lakinya. Pentng untuk diubah dengan melibatkan ibu dan anak perempuannya (Hal. 5). Dua gambar soal: 1. Pergi ke pasar bersama ibu. 2. Membantu ibu memasak (Hal. 17). ”Pak Abas adalah seorang pemulung”, diubah tidak perlu dicantumkan nama laki- laki karena tidak semua pemulung adalah laki- laki. 7. Bina Bahasa Indonesia SD kelas V Sem 1: Hal. 41: Gambar seorang anak perempuan berbelanja sayuran. Ini dapat dilakukan baik oleh perempuan maupun laki- laki. 69
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
8.
IPS SD kelas V: Proses pembuatan tempe melibatkan laki- laki dan perempuan. Tetapi kegiatan menggoreng hanya dilakukan oleh perempuan, karena asumsinya bahwa urusan dapur adalah perempuan (Hal. 9b).
Diskusi berlanjut tentang bagaimana menindaklanjuti pembuatan materi pelajaran yang responsif gender terkait dengan buk u-buku pelajaran yang dimiliki oleh para guru (yang ternyata masih mengandung permasalahan gender) sudah disediakan oleh sekolah, sesuai dengan kemampuan dan orientasi sekolah masingmasing. Pada akhirnya terdapat kesepakatan bersama untuk melakukan perubahan-perubahan materi bahan ajar terutama pada tingkat sekolah, dan yang lebih khusus pada tingkat guru masing- masing, baik pada pembuatan bahan ajar maupun dalam praktek pendidikan dan pengajaran di sekolah, di dalam dan di luar kelas. Masalahnya terletak pada adanya komitmen lembaga pendidikan itu sendiri dalam mendukung PUG bidang pendidikan. Terutama pada sekolah swasta, kebijakan bukan hanya terletak pada kepala sekolah tetapi juga pada yayasan. Selain itu, dalam implementasi PUG bidang pendidikan di sekolah juga terkait dengan orang tua siswa, komite sekolah, dan para pejabat di dinas pendidikan yang diharapkan dapat bekerja secara sinergis sesuai dengan bidang tugas masing- masing. Hal terakhir ini yang menurut mereka hingga sekarang masih menghadapi kendala. Selain itu, ditemukan juga bahwa ada guru bidang eksakta yang merasa tidak ada kaitannya dengan masalah bahan ajar gender tersebut karena yang mereka ajarkan terkait dengan masalah- masalah lingkungan alam. Fenomena ini tentunya merupakan salah satu kasus yang mungkin terjadi dalam banyak guru eksakta lain di sekolah. Setelah dilakukan diskusi secara mendalam tentang saling keterkaitan antara fenomena alam dengan fenomena sosial dan termasuk pentingnya pemahaman gender bagi guru sendiri terkait denga n sistem PUG pendidikan secara keseluruhan, akhirnya dapat disadari bahwa keberadaan para guru eksakta ternyata tidak terlepas dari para guru lainya dan para pelaksana pendidikan secara keseluruhan. Evaluasi pada kegiatan Penulisan dan Pembuatan Ilustrasi Lembar Kerja Siswa (LKS) yang Responsif Gender Bagi Guru Sekolah menengah pertama seProvinsi Lampung ini dilakukan sebanyak dua kali, yaitu penjajakan awal (pree test) dan evaluasi akhir (post test). Evaluasi awal dilaksanakan sebelum peserta mendapatkan materi pelatihan dan mendiskusikan persoalan gender yang ada di lingkungan sekolah masing- masing. Instrumen ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan awal para peserta sebelum pelatihan berlangsung. Dalam evaluasi awal ini dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan singkat berkaitan dengan materi yang akan diberikan. Untuk setiap jawaban peserta diberi nilai antara 0 sampai 10 poin. Evaluasi akhir dilaksanakan pada akhir kegiatan, setelah para peserta mengikuti semua materi yang diberikan dan sebelum dilakukan penutupan. Evaluasi akhir dilakukan dengan memberikan pertanyaan yang sama dengan evaluasi awal (pree test). Cara ini dilakukan sebagai upaya untuk mengetahui perkembangan pengetahuan para peserta tentang materi yang sudah diberikan. 70
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Sama dengan pree test untuk setiap jawaban peserta diberi nilai antara 0 sampai 10 poin. Analisis di dalam proses evaluasi ini dilakukan menurut kategori nilai. Angka persen per satuan peserta diperhatikan dalam analisis ini, sehinga tidak memperhatikan kategori berdasarkan asal wilayah kabupaten atau kota. Oleh karena itu terjadinya perubahan pemahaman individual guru peserta menjadi perhatian utama, bukan pada perubahan pemahaman kolektif. Dari hasil evaluasi terdapat beberapa peserta yang mengalami peningkatan pemahaman gender yang ekstrim (menonjol) setelah dilakukan pelatihan. Kondisi seperti itu tetap dipertimbangkan di dalam hasil evaluasi, baik yang menyangkut kasus tidak berubah maupun pada kasus terjadinya peningkatan pengetahuan peserta yang sangat menonjol. Gambar 1 Grafik Hasil Pre-Test dan Post Test
Sumber: Olahan data primer, 2012
Sebagaimana telah diduga sebelumnya, dan terbukti tampak disajikan pada Gambar 1, bahwa terdapat gejala umum masih kurangnya pengetahuan dan pemahaman para guru tentang bahan ajar yang responsif gender. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman tersebut memiliki keterkaitan dengan kurangnya keterampilan, kesadaran dan komitmen para guru di dalam melakukan berbagai aktivitas pendidikan dan pembelajaran di sekolah yang responsif gender. Artinya, lebih khusus, dari hasil pemantauan di kelas, ditemukan bahwa semua guru peserta belum merekonstruksi bahan ajar yang reaponsif gender. Hasil pre-test ditemukan masih terdapat keragaman persepsi peserta tentang makna gender, berbagai konsep gender, dan pengarusutamaan gender di bidang pendidikan. Bahkan konsep gender ada yang masih memaknainya hanya berkaitan dengan urusan perempuan. Sebagian besar peserta belum banyak yang tahu tentang kebijakan gender khususnya di bidang pendidikan. Selain itu, dilihat dari latar belakang peserta yang beragam bukan hanya terkait dengan posisi, tetapi juga terkait dengan peran dalam perubahanperubahan kebijakan pendidikan terutama disekolah. Pemahaman yang paling krusial terkait dengan perbedaan antara makna kodrat dengan makna konstruksi 71 gender.
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Keragaman pengetahuan peserta yang sebagian besar masih awam tentang gender khususnya di bidang pendidikan tersebut merupakan masukan tersendiri bagi narasumber untuk melakukan tindakan awal berupa penyamaan persepsi tentang makna gender dan ruang lingkupnya dengan mengangkat berbagai kasus yang mewakilinya sebagai contoh penguat. Hal ini penting dilakukan agar para peserta memiliki gambaran yang konkrit tentang makna gender sesuai dengan pengalaman yang terjadi sehari- hari dalam dunia sosial di sekelilingnya, khususnya di lingkungan pendidikan sekolah. Analisis di dalam proses evaluasi ini dilakukan secara individual guru peserta. Oleh karena itu, angka persen per satuan guru peserta sengaja diperhatikan. Hasilnya selain dapat diketahui terjadinya perubahan pemahaman individual guru peserta juga dapat diketahui perubahan pemahaman secara kolektif sesuai dengan jenjang sekolah. Menurut hasil evaluasi terdapat perubahan-perubahan yang bersifat ekstrim pada kasus-kasus individual peserta. Pada kasus-kasus seperti ini sangat berarti dalam pertimbangan hasil evaluasi, baik yang menyangkut kasus sedikit berubah maupun pada kasus terjadinya peningkatan pengetahuan peserta yang sangat menonjol. Sebagaimana telah diduga sebelumnya bahwa gejala umum kurangnya pengetahuan para guru SD di Provinsi Lampung, sebagai peserta yang mengikuti kegiatan sosialisasi ini. Kurangnya pengetahuan tersebut memiliki keterkaitan dengan kurangnya kesadaran dan komitmen mereka di dalam menciptakan pendidikan dan pengajaran di lingkungan sekolah yang responsif gender. Kondisi ini juga dibuktikan oleh kebijakan, program dan kegiatan sekolah yang belum diarahkan sesuai dengan nilai- nilai kesetaraan dan keadilan gender, atau masih bersifat netral gender. Bahkan di dalam diskusi kelompok terungkap bahwa perilaku ketidaksetaraan gender secara tidak disadari masih dilakukan di banyak sekolah, termasuk di dalamnya pada buku pelajaran (buku teks) yang diajarkan kepada siswa. Untuk peserta guru SD ketika dilakukan pree test jumlah nilai yang didapatkan terkonsentrasi pada interval nilai 51-60 sebanyak 45%, meskipun ada yang masih kurang pengetahuannya (30%), dan ada yang sudah lebih baik, yakni berada pada interval nilai 61-70 sebanyak (25%). Kemudian setelah dilakukan pelatihan dan di uji kembali (post test) terdapat kenaikan yang cukup berarti, yakni nilai mereka sebagian besar (60%) berada pada interval nilai 81-90, sedangkan 40% sisanya pada interval nilai 71-80. Dengan tanpa dilakukan uji statistika sudah dapat diketahui dengan jelas bahwa telah terjadi perubahan-perubahan pengetahuan, kesadaran dan komitmen peserta tentang pentingnya menciptakan kesetaraan dan keadilan gender di lingkungan sekolah. Setalah dilaksanakan kegiatan sosia lisasi ini terhadap para guru SD terjadi peningkatan pengetahuan dan pemahaman mereka yang cukup berarti tentang pentingnya PUG di bidang pendidikan untuk menciptakan sekolah yang setara dan adil gender. Ada hasil yang menarik dan menjadi masukan yang berharga bari tim eveluasi, yakni pada akhir proses pelatihan terjadi peningkatan kesadaran dan komitmen secara individual dan kolektif peserta untuk menciptakan lingkungan sekolah yang berwawasan gender. Perubahan peningkatan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan komitmen para guru untuk menciptakan lingkungan
72
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
sekolah yang responsif gender tersebut bukan suatu yang berlebihan, tetapi dimaknai sebagai kewajaran. Kebijakan PUG sudah dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan sudah ditindaklanjuti oleh pemerintah pro vinsi dan kabupaten/kota. Bahkan program kegiatan PUG di bidang pendidikan juga sudah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Tetapi para peserta belum banyak (sangat sedikit) yang sudah tersentuh dengan program tersebut. Dengan dilakukan kegiatan ini ternyata mereka menyambut dengan cukup antusias dan sesuai dengan yang mereka harapkan. Bahkan telah terjadi suatu titik keterpaduan di antara para guru untuk menciptakan sekolah yang berwawasan gender. Dengan demikian pelatihan ini dapat memberikan kontribusi yang sangat berarti terhadap peningkatan pengetahuan, kemampuan, kesadaran dan komitmen, khsusunya bagi para guru tentang pentingnya menciptakan lingkungan sekolah yang berwawasan gender. Proses ini bisa menjadi added value bagi perkembangan pembangunan gender di bidang pendidikan, khususnya di lingkungan sekolah masing- masing. KESIMPULAN Berdasarkan proses kegiatan, hasil evaluasi awal dan akhir dari kegiatan pelatihan yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Melalui metode penjelasan dan tanya jawab yang diikuti dengan metode diskusi kelompok terarah, kegiatan Pelatihan Penyusunan Rencana Aksi Daerah PUG Bidang Pendidikan se-Provinsi Lampung ini telah meningkatkan pengetahuan dan pemahaman peserta tentang pentingnya PUG di bidang pendidikan. 2. Dilihat dari proses dan hasil diskusi dan presentasi kelompok diperoleh peningkatan keterampilan tentang cara mengidentifikasi permasalahan gender, merumuskan kembali kebijakan pendidikan yang responsif gender, dan membuat program atau kegiatan aksi daerah tentang pendidikan yang responsif gender. 3. Terjadi peningkatan kesadaran dan komitmen peserta tentang pentingnya melakukan PUG bidang pendidikan yang responsif gender. DAFTAR PUSTAKA Baron, Robert A. and Donn Byrne, 1991. Social Psychology: Understanding th
Human Interaction. 6 edition. Boston: Allyn and Bacon. Eccles, Jacquelynne Parsons. 1995. "Gender-Role Socialization" dalam Reuben M. Baron dan William G. Graziano (Eds), Social Psychology (hlm. 160191). Chicago: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hurlock, Elizabeth B. 1984. Child Development, edisi ke-6. London: McGrawHill. Ihromi, T.O. 1995. "Otonomi Wanita." Dalam T.O. Ihromi (Ed). Kajian Wanita dalam Pembangunan (hlm. 430-462). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
73
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Indrianto, Lis. 1998. Pemanfaatan Lembar Kerja Siswa Dalam Pengajaran Matematika Sebagai Upaya Peningkatan Prestasi Belajar Matematika. Semarang: IKIP Semarang. Kagan, Jerome, dan Cynthia Lang. 1984. Psychology and Education: An Introduction. New York: Harcourt Brace Javanovich, Inc. Kusujiarti, Siti. 1997. "Antara Ideologi dan Transkrip Tersembunyi: Dinamika Hubungan Gender dalam Masyarakat Jawa." Dalam Irwan Abdullah (Editor). Sangkan Paran Gender (hlm. 82-100). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rahmawati, Laili. 2006. Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematika Siswa SMP Salafiyah Pekalongan Kelas VII Semester II Tahun 2005/2006 dalam Pembelajaran Garis dan Sudut Melalui Implementasi metode Inkuiri dengan Memanfaatkan Lembar Kerja Siswa (LKS) (Skripsi). Tidak diterbitkan. Renzetti, Claire M. dan Daniel J. Curran, 1989. Women, Men, and Society: The Sociology of Gender. Boston: Allyn and Bacon. Sanderson, Stephen K., 1995. Sosiologi Makro. Diterjemahkan oleh Farid Wajidi dan S. Menno. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Shaw, Beverley, 1989. "Sexual Discrimination and the Equal Opportunities Commission: Ought School to Eradicate Sex Stereotyping?" Journal of Philosophy of Education. Volume 23, Nomor 2. Great Britain: The Philosophy of Education Society. Susilastuti, Dewi H. 1993. „Gender Ditinjau dari Perspektif Sosiologi.“ Dalam Fauzie Ridjal, Lusi Margiyani, dan Agus Fahri Husein (Eds.). Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. (hlm. 29-36). Yogyakarta: Tiara Wacana. Suyitno, Amin, dkk. 1997. Dasar dan Proses Pembelajaran Matematika. Semarang: FMIPA Unnes.
74