REFORMULASI AL-MASLAHAH: Relevansi dan Implementasinya dalam Pengembangan Pemikiran Hukum Islam Kontemporer Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama (M.A.)
Oleh Ahmad Ali NIM: 05.2.00.1.01.01.0046
KONSENTRASI SYARIAH
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H./2008 M.
i
ii
iii
iv
MOTTO
ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺘﻔﻘﻪ ﻓﻲ ﻣﻘﺎﺻﺪ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻓﻬﻤﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮ وﺟﻬﻬﺎ
”Siapapun yang tidak mendalam wawasannya tentang
maqâsid al-Syarî`ah, pemahamannya tidaklah tepat sasaran”.
(al- Syâtibî, al- I`tisâm)
v
Persembahan
Ku persembahkan karya ini kepada kedua orang tuaku, Ayahanda Kyai Muhammad Muslim Daroini, Ibunda Natijah, dan adikku, Mahmud Khomsun, serta siapapun yang berharap pada pemikiran hukum Islam dengan selaksa harap….
vi
Pedoman Transliterasi
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ه ء ي
b t ts j h kh d dz r z s sy s d t z ` gh f q k l m n w h ’ y
tidak dilambangkan be te te dan es je h dengan garis bawah ka dan ha de de dan zet er zet es es dan ye es dengan garis di bawah de dengan garis di bawah te dengan garis di bawah zet dengan garis di bawah koma terbalik di atas hadap kanan ge dan ha ef ki ka el em en we ha apostrof ye
Penulisan Vokal
vii
Untuk vokal tunggal: ( ـــــَــــــfathah) : a ( ـــــِـــــــkasrah) : i Untuk vokal rangkap (diftong): ــَــي : ai (a dan i) ــَـــﻮ
( ــــــُــــــdammah) : u : au
(a dan u)
Untuk vokal panjang (mâd): َـﺎ :â (a dengan topi di atas) ي ْ ِـ :î (i dengan topi di atas) ُـ ْو :û (u dengan topi di atas) Penulisan Kata, Kata Sandang, dan Nama Kata sandang ال: ditulis al, dengan huruf kecil, bukan kapital, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-Syarî`ah alDakhîrah, al-maslahah, al-Qur’ân, Najm al-Dîn al-Tûfî, dan Wahbah al-Zuhailî. Nama tokoh/penulis asal Nusantara, tidak dialihaksarakan, dan ditulis sesuai dengan ejaan namanya. Contoh: Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Muhammad Quraish Shihab. Setiap kata, baik kata kerja (fi`l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara terpisah. Contoh: اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻘﺼﻮدة: al-Maslahah al-Maqsûdah أﺻﻮل اﻟﻔﻘﻪ : usûl al-fiqh اﻟﻔﻘﻪ اﻹﺳﻼﻣﻲ وأدﻟﺘﻪ: al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuh Penulisan Tâ’ Marbûtah Ditulis dengan huruf /h/pada: kata yang berdiri sendiri atau diikuti oleh kata sifat (na`at). Contoh: ﻋﺪاﻟﺔ : `adâlah اﻟﻜﻠﻴﺔ اﻟﺨﻤﺴﺔ: al-kulliyyah al-khamsah Ditulis dengan huruf /t/ ketika diikuti kata benda (ism), atau susunan izâfiyyah. Contoh: ﻣﺮاﻋﺔ اﻟﻔﻄﺮة: murâ`at al-fitrah ﻧﻈﺮﻳﺔ اﻟﺤﺪود: nazariyyat al-hudûd
viii
ABSTRAK Ahmad Ali Reformulasi al-Maslahah: Relevansi dan Implementasinya dalam Pengembangan Pemikiran Hukum Islam Kontemporer Penelitian ini membuktikan bahwa metode al-Maslahah al-Maqsûdah ( )اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻘﺼﻮدةadalah metode ijtihâd alternatif kontemporer (manhaj al-ijtihâd al-mu`âsir), karena relevansinya dengan maqâsid al-Syarî`ah dan HAM Internasional. al-Maslahah al-Maqsûdah merupakan bentuk baru (wajhun jadîd) dari reformulasi al-maslahah konvensional. al-Maslahah al-Maqsûdah adalah model al-maslahah post-kontemporer. Rumusan baru itu dibuat karena model al-maslahah konvensional dipandang tidaklah tepat, terlebih lagi klasifikasi maslahah mulghah, sehingga perlu direformulasi. Wujud reformulasi ini adalah sebuah kontruksi baru yang penulis sebut dengan al-Maslahah al-Maqsûdah sebagai metode ijtihâd alternatif kontemporer (manhaj al-ijtihâd al-mu`âsir). Relevansi al-Maslahah al-Maqsûdah dengan maqâsid al-Syarî`ah dan HAM tersebut berwujud dalam bentuk penggunaan maqâsid al-Syarî`ah dan HAM sebagai paradigma al-Maslahah al-Maqsûdah dalam merumuskan hukum (ijtihâd). Pada satu sisi al-Maslahah al-Maqsûdah menekankan maqâsid alSyarî`ah yang telah diformulasikan secara lebih luas. Pada sisi yang lain, alMaslahah al-Maqsûdah bersinergi dengan HAM. Hubungan antara keduanya (maqâsid al-Syarî`ah dengan HAM) sangatlah erat dan sinergis/integral. Maqâsid al-Syarî`ah lebih bernuansa teosentris, moral-transendental (ilâhiyyah), karena ia merupakan ”wahyu”, meskipun dalam bentuk formulasi yang dihasilkan oleh kreatifitas manusia. Dalam Maqâsid al-Syarî`ah kemaslahatan umum (maslahah al`âmmah, public interests) lebih dijamin daripada kemaslahatan pribadi (maslahah al-fard, individual interests). Sedangkan HAM lebih bernuansa antroposentris, sebagai produk dan realitas kemanusiaan (tajribat alinsâniyyah). Dalam HAM kemaslahatan individu (individual interests) lebih dijamin daripada kemaslahatan umum (public interests). Dengan menempatkan maqâsid al-Syarî`ah sebagai spirit hukum yang bernuansa religius, dan HAM sebagai sebuah realitas konsensus dunia internasional, yang bernuansa kemanusiaan, keseimbangan antara hak individu dan hak masyarakat akan terjalin dan lebih terjamin. Implementasi al-Maslahah al-Maqsûdah dalam menjawab berbagai masalah-masalah hukum memperkuat pengutamaannya sebagai metode ijtihâd alternatif kontemporer. Implementasi al-Maslahah al-Maqsûdah mencakup semua bidang hukum, baik ibadah, maupun muamalah, yang meliputi perdata dan pidana. Masalah-masalah hukum yang dikupas dengan metode al-Maslahah
ix
al-Maqsûdah, antara lain: zakat include dalam pajak, zakat perkebunan, dan zakat perusahaan; perkawinan beda agama (PBA), dan waris beda agama (WBA); hukuman potong tangan terhadap tindak pidana korupsi, hukuman mati terhadap tindak pidana terorisme dan narkotika. Kesimpulan besar (Tesis) ini dihasilkan melalui kitab-kitab/karya-karya tulis yang membahas tentang al-maslahah, baik oleh ulama klasik Abad Pertengahan maupun kontemporer, yang dikaji secara kritis. Kajian kritis ini menggunakan pendekatan filsafat, khususnya filsafat hukum Islam, hermeneutika, dan content analysis. Adapun rumusan al-Maslahah alMaqsûdah dibuat dengan menggunakan 4 (empat) teori: ”open texture”, rekonstruksi konsep qat`î-zannî, topicsnya Vieweg, dan reaktualisasi/ revitalisasi ajaran Islam. Penelitian (Tesis) ini menghasilkan suatu rumusan (formulasi) baru, yaitu al-Maslahah al-Maqsûdah sebagai metode ijtihâd alternatif kontemporer yang berbeda dengan metode/teori alternatif yang lain. Sedangkan beberapa penelitian lainnya tentang tema al-maslahah tidak menawarkan rumusan almaslahah dalam bentuk yang komprehensif dan sistematis, yang memadukan maqâsid al-Syarî`ah dan HAM. Perbedaan metode al-Maslahah al-Maqsûdah dengan metode yang lain terletak pada paradigma (acuan) yang dipakai dan cara kerjanya. al-Maslahah al-Maqsûdah berpijak pada paradigma maqâsid al-Syarî`ah dan HAM Internasional. Cara kerjanya diawali dengan maqâsid al-Syarî`ah dan disinergikan dengan HAM. Sedangkan metode/pendekatan yang lain, seperti teori naskh Mahmüd M. Taha hanyalah menggunakan maqâsid al-Syarî`ah saja dalam kerangka model ”religious utilitarianism”, atau menggunakan pendekatan liberal saja, misalnya hermeneutika, atau HAM Internasional, seperti Nazariyyat al-Hudûd (Teori Batas) Muhammad Syahrûr, dan Teori the Double Movement (Gerak Ganda) Fazlur Rahman, dalam kerangka model ”religious liberalisme”.
x
اﻟﻤﻠﺨﺺ أﺣﻤﺪ ﻋﻠﻲ ﺗﺠﺪﻳﺪ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ :ﻣﻨﺎﺳﺒﺘﻪ وﺗﻄﺒﻴﻘﺘﻪ ﻓﻲ ﺗﻮﺳﻴﻊ اﻟﻔﻜﺮ ﻷﺣﻜﺎم اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ هﺬﻩ اﻷﻃﺮوﺣﺔ دﻟﺖ ﻋﻠﻰ أن ﻣﻨﻬﺞ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻘﺼﻮدة هﻮ ﻣﻨﻬﺞ اﻹﺟﺘﻬﺎد اﻹﺧﺘﻴﺎري اﻟﻤﻌﺎﺻﺮ ﻟﻤﻨﺎﺳﺒﺘﻪ ﺑﻤﻘﺎﺻﺪ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ وﺣﻘﻮق اﻹﻧﺴﺎن اﻟﺪوﻟﻴﺔ. اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻘﺼﻮدة هﻲ وﺟﻬﺔ ﺟﺪﻳﺪة ﻣﻦ ﺗﺠﺪﻳﺪ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻄﺮدة .اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻘﺼﻮدة هﻲ وﺟﻬﺔ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﻋﻤﺪة اﻟﻤﻌﺎﺻﺮة. ﺑﻨﻴﺖ ﺗﻠﻚ اﻟﻮﺟﻬﺔ ﻷن اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻄﺮدة ﻓﻲ أﺻﻮل اﻟﻔﻘﻪ ﻏﻴﺮ ﻣﻮاﻓﻘﺔ ،ﺧﺼﻮﺻﺎ ﻗﺴﻢ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻠﻐﺔ ،اﻟﺘﻲ دﻋﺖ إﻟﻰ ﺗﺠﺪﻳﺪ .هﺬا اﻟﺘﺠﺪﻳﺪ هﻮ وﺟﻪ ﺟﺪﻳﺪ اﻟﺬي ﺳﻤﻴﺘﻪ ﺑﺎﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻘﺼﻮدة ﻣﻨﻬﺞ اﻹﺟﺘﻬﺎد اﻹﻓﻀﺎﻟﻲ اﻟﻤﻌﺎﺻﺮ. أﻣﺎ ﻣﻨﺎﺳﺒﺔ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻘﺼﻮدة ﺑﻤﻘﺎﺻﺪ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ وﺣﻘﻮق اﻹﻧﺴﺎن اﻟﻌﺎﻟﻤﻴﺔ ﺗﺒﺮز ﺑﺎﺳﺘﻌﻤﺎﻟﻬﻤﺎ ﻧﻈﺮة ﻟﻠﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻘﺼﻮدة ﻓﻲ اﻹﺟﺘﻬﺎد .اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻘﺼﻮدة ﻓﻲ أﺣﺪ اﻟﺠﻬﺔ ﺗﻘﺪم ﻣﻘﺎﺻﺪ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ اﻟﻤﻮﺳﻌﺔ؛ وﻓﻲ ﺟﻬﺔ أﺧﺮى هﻲ ﻳﺘﻌﻠﻖ ﺑﺤﻘﻮق اﻹﻧﺴﺎن .اﻟﺘﻌﻠﻖ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ أﻋﻨﻲ ﻣﻘﺎﺻﺪ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ وﺣﻘﻮق اﻹﻧﺴﺎن هﻮ ﺗﻌﻠﻖ اﻹﺗﺤﺎدﻳﺔ .ﻣﻘﺎﺻﺪ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ أﻧﺴﺐ ﺑﺎﻹﻟﻬﻴﺔ أو اﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ﻷﻧﻬﺎ ﻳﻨﺘﺎﺟﻬﺎ اﻟﻤﺠﺘﻬﺪ ﻣﻦ "اﻟﻮﺣﻲ" )اﻟﻘﺮءان( ,ﺣﺘﻰ آﺎﻧﺖ ﻣﻨﺘﺎج وﺗﺠﺮﺑﺔ اﻹﻧﺴﺎﻧﻴﺔ .ﻓﻲ ﻣﻘﺎﺻﺪ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻣﺼﻠﺤﺔ اﻟﻌﺎﻣﺔ ﻣﻘﺪﻣﺔ ﻣﻦ ﻣﺼﻠﺤﺔ اﻟﻔﺮد .أﻣﺎ ﺣﻘﻮق اﻹﻧﺴﺎن أﻧﺴﺐ ﺑﺎﻹﻧﺴﺎﻧﻴﺔ ،أي ﻣﻨﺘﺎج وﺗﺠﺮﺑﺔ اﻹﻧﺴﺎﻧﻴﺔ .ﻓﻲ ﺣﻘﻮق اﻹﻧﺴﺎن ﻣﺼﻠﺤﺔ اﻟﻔﺮد ﻣﻘﺪﻣﺔ ﻣﻦ ﻣﺼﻠﺤﺔ اﻟﻌﺎﻣﺔ .وﻋﻠﻰ ﺗﻠﻚ اﻟﻨﻈﺮﺗﻴﻦ ﻳﺤﺼﻞ اﻟﺘﻮازن ﺑﻴﻦ اﻟﻤﺼﻠﺤﺘﻴﻦ. ﻓﺘﻄﺒﻴﻖ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻘﺼﻮدة ﻋﻠﻰ اﻟﻮﻗﺎﺋﻊ ﻳﺪﻋﻮ إﻟﻰ ﺗﻔﻀﻴﻠﻬﺎ ﻣﻨﻬﺠﺎ ﻟﻺﺟﺘﻬﺎد اﻹﻓﻀﺎﻟﻲ اﻟﻤﻌﺎﺻﺮ .وﻳﺸﻤﻞ ﺗﻄﺒﻴﻘﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺟﻤﻴﻊ اﻟﻔﺮوﻋﻴﺔ ،ﻋﺒﺎدة آﺎﻧﺖ أو ﻣﻌﺎﻣﻠﺔ :ﻣﺴﺎﺋﻞ اﻷﺣﻮال اﻟﺸﺨﺼﻴﺔ واﻟﺤﺪودﻳﺔ .ﺗﻠﻚ اﻟﻤﺴﺎﺋﻞ اﻟﺘﻲ ﻳﺒﺤﺜﻬﺎ هﺬﻩ اﻟﻤﻨﻬﺞ ﻣﺜﻞ :إدﺧﺎل اﻟﺰآﺎة ﺑﻌﻀﺎ ﻣﻦ اﻟﺠﺰﻳﺔ ،وزآﺎة اﻟﺰراﻋﺔ وزآﺎة أﻣﻮال اﻟﺸﺮآﺔ اﻟﺘﻲ ﻻﻳﺬآﺮهﻤﺎ اﻟﻨﺺ ،وﻣﺴﺌﻠﺔ اﻟﻨﻜﺎح واﻟﻮراﺛﺔ ﺑﻴﻦ أهﻞ اﻟﻤﻠﺘﻴﻦ ،وﻣﺴﺎﺋﻞ اﻟﺘﻲ ﺗﺘﻌﻠﻖ ﺑﺎﻟﺠﺮﻳﻤﺔ ﻣﺜﻞ ﺟﺮﻳﻤﺔ اﻷﻓﻌﺎل اﻟﺘﻲ ﺗﺴﻤﻰ ﺑﻜﻮرﻓﺴﻲ واﻟﺘﻴﺮورﺳﻤﻲ واﻟﻨﺮآﻮﺗﻴﻜﺎ. اﻟﻨﺘﻴﺠﺔ ﻟﻬﺬﻩ اﻷﻃﺮوﺣﺔ ﺗﺤﺼﻞ ﺑﺪراﺳﺔ اﻟﻜﺘﺐ دراﺳﺔ ﺗﺤﻠﻴﻠﻴﺔ وﺗﺤﻘﻴﻘﺔ اﻟﺘﻲ ﺗﺒﺤﺚ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﻣﻦ ﻋﻠﻤﺎء زﻣﺎن اﻷوﺳﻄﻴﺔ .هﺬﻩ اﻟﺪراﺳﺔ ﺗﻌﻤﻞ ﻋﻠﻢ اﻟﻔﻠﺴﻔﺔ ،وهﺮﻣﻴﻨﻴﻮﺗﻜﺎ .وأﻣﺎ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻘﺼﻮدة ﺗﺮﺳﻢ ﺑﺄرﺑﻌﺔ اﻟﻨﻈﺮﻳﺎت (”open tecture”) :وﺗﺠﺪﻳﺪ اﻟﻘﻄﻌﻲ واﻟﻈﻨﻲ ,وﻣﻮﺿﻮع ﻟﻔﻴﻮﻳﻎ )(Viewig’s Topic ,وﺗﻘﻮﻳﺔ ﻣﻌﺎﻟﻢ اﻹﺳﻼم. واﻟﻔﺮﻗﺔ ﺑﻴﻦ هﺬﻩ اﻷﻃﺮوﺣﺔ واﻷﻃﺮوﺣﺔ اﻷﺧﺮى هﻲ اﻟﻨﺘﻴﺠﺔ اﻟﻤﺤﺼﻮﻟﺔ :ﻓﻲ اﻷوﻟﻰ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻘﺼﻮدة اﻟﺘﻲ هﻲ ﻣﻨﻬﺞ اﻹﺟﺘﻬﺎد اﻹﻓﻀﺎﻟﻲ اﻟﻤﻌﺎﺻﺮ .وأﻣﺎ اﻷﻃﺮوﺣﺔ اﻷﺧﺮى ﻋﻦ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﻟﻢ ﺗﻘﺪم ﻓﻜﺮة اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﻋﻠﻰ وﺟﻪ ﺷﺎم اﻟﺘﻲ ﺗﺠﻤﻊ ﻣﻘﺎﺻﺪ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ وﺣﻘﻮق اﻹﻧﺴﺎن. واﻟﻔﺮﻗﺔ ﺑﻴﻦ ﻣﻨﻬﺞ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻘﺼﻮدة واﻟﻤﻨﻬﺞ اﻷﺧﺮ آﺎﻧﺖ ﻓﻲ ﻧﻈﺮة ﻣﻘﺎﺻﺪ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ وﺣﻘﻮق اﻹﻧﺴﺎن اﻟﻌﺎﻟﻤﻴﺔ .وﺗﻄﺒﻴﻘﺘﻬﺎ ﺗﺄول ﺑﻤﻘﺎﺻﺪ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ وﺗﻮﺣﺪ ﺑﺤﻘﻮق اﻹﻧﺴﺎن .وأﻣﺎ اﻟﻤﻨﺎهﺞ اﻷﺧﺮى ﺗﻌﻤﻞ ﺑﻤﻘﺎﺻﺪ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻗﻂ ﻋﻠﻰ ﺷﻜﻞ "ﻣﺼﻠﺤﻴﺔ اﻟﺪﻳﻨﻴﺔ" )” ،(”religious utilitarianismأوﻧﻈﺮة اﻟﻌﻘﻠﻴﺔ اﻟﻤﺮﺳﻠﺔ ،ﺷﻜﻞ "اﻟﻌﻘﻠﻴﺔ اﻟﺪﻳﻨﻴﺔ" )” (”religious liberalismآﻬﺮﻣﻴﻨﻴﻮﺗﻜﺎ أو ﺣﻘﻮق اﻹﻧﺴﺎن اﻟﻌﺎﻟﻤﻴﺔ. ABSTRACT
xi
Ahmad Ali The Reformulation of al-Maslahah: It’s Relevance and Implementation in Expand of Contemporary Islamic Law Thought This research proves that method of al-Maslahah al-Maqsûdah is a method of contemporary alternative ijtihâd (manhaj al-ijtihâd al-mu`âsir), because of it’s relevance to maqâsid al-Syarî`ah and Human Rights. al-Maslahah al-Maqsûdah is new form (wajhun jadîd) of reformulation of conventional al-maslahah. al-Maslahah al-Maqsûdah is a model of postcontemporary al-maslahah. The new formula is contructed because of the model of conventional almaslahah is not acurates, particularly on classification of al-maslahah al-mulghah (discredited maslahah). So, It needs to reformulate. This reformulation is a new contruction of al-maslahah that I call it al-Maslahah al-Maqsûdah as a method of contemporary alternative ijtihâd (manhaj al-ijtihâd al-ifdâlî al-mu`âsir). The relevance of al-Maslahah al-Maqsûdah with maqâsid al-Syarî`ah and Human Rights form is in the form of usage of maqâsid al-Syarî`ah and Human Rights as paradigm of al-Maslahah al-Maqsûdah in ijtihâd (formulating law). At one side, al-Maslahah al-Maqsûdah emphasizes maqâsid al-Syarî`ah which has been formulated broaderly. And the other side, al-Maslahah alMaqsûdah relates to Human Rights. The relation of both, maqâsid al-Syarî`ah and Human Rights, is very tightly and sinergic/integral. Maqâsid al-Syarî`ah is more teocentris nuance, moral-transcendental (ilâhiyyah), because it’s formulation from the ”revelation” (al-Qur’ân), or by mujtahid. So, it is more guaranteed than personal interest (rights). While human rights is more anthropocentric nuance, humanity reality, where individual rights are more crucial than common rights. By placing maqâsid al-Syarî`ah as spirit of law, and human rights as reality, the balance between individual rightses and public rightses becomes more guaranted. By placing maqâsid al-Syarî`ah as a spirit of religion law, and Human Rights as a international consensus reality, which have humanity nuance, the balance of individual rightses and publics rightses will intertwin and more well guaranted. The implementation of al-Maslahah al-Maqsûdah in replying various problems of contemporary laws strengthens it’s majoring as method of contemporary alternative ijtihâd. Implementation of al-Maslahah al-Maqsûdah includes or covers all law areas: `ibâdah (good of religious service), and also mu`âmalah (human relations), covering crime and civil. Problems of law which pared by method of al-Maslahah al-Maqsûdah, are like problem of zakâh (almstax, legal alms) including the tax, problem of zakâh of plantation and company; problem of marital and heir of different religion; hand cut off crime penaltie to corruption criminal, dead penalties to crimes of terrorism and narcotic. The conclusion of this researches is constructed through many refferences studying on al-maslahah, either by moslem scholar of classical, Middle Ages and
xii
also contemporary. That is studied critically. This study applies approachs of philosophy, expecially Islamic law philosophy, hermeneutic, and content analysis. An the formula of al-Maslahah al-Maqsûdah is made by using 4 ( four) theories: ”open texture”, reconstruction of concept of qat`î-zannî (definite and probable), the topics of Vieweg, and reactualisation or revitalisation of Islamic teaching. This Research (Thesis) makes an new formula (formulation). It is alMaslahah al-Maqsûdah as method of contemporary alternative ijtihâd that different with other alternative method or theory. We know that some other researchs wich concer of al-maslahah themes doesn’t offer the formulation of almaslahah in systematic and comprehensive form, that combines maqâsid alSyarî`ah and Human Rights. So, the difference between method of al-Maslahah al-Maqsûdah with other method is in this paradigm (reference), the aplied and the mode of action paradigm. al-Maslahah al-Maqsûdah treads on two paradigms: maqâsid alSyarî`ah and Internasional Human Rights. The mode of action is started with maqâsid al-Syarî`ah and relatied with Human Rights, while another methods or approachs are only using maqâsid al-Syarî`ah, like Taha’s abrogation theory. It is just in framework of ”religious utilitarianism” model, or applying of liberally approach of ”religious liberallism” model only, like hermeneutic, or using Human Rights theory, like Limit Theory of Syahrûr, and Double Movement of Rahman.
xiii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah s.w.t., yang berkat karunia dan rahmat-Nya, penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam, semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang telah mengajarkan penghormatan hak-hak asasi manusia (HAM). ”Kemaslahatan” merupakan sesuatu yang dicita-citakan semua orang. Pembahasan ini menjadi penting artinya bagi realisasi cita-cita ini, dari tataran teoritis, hingga praktisnya. Pilihan tema ini didorong oleh keinginan untuk terusmenerus mengembangkan pengkajian pemikiran Islam, terutama bidang hukum, agar dapat relevan, reasonable dan applicable dengan zaman kontemporer, dan memberikan kontribusi yang besar, baik teoritis maupun praksisnya, bagi kemajuan dunia, khususnya, bidang hukum. Selesainya studi ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Untuk itu, sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada pembimbing tesis ini, sekaligus sebagai penguji dalam sidang ujian Tesis ini, Prof. Dr. Amir Syarifuddin, yang dengan sungguh-sungguh telah memberikan bimbingan dan menyatakan puas dengan sidang ujian tersebut, dan menilai karya ini sebagai karya yang berkualitas. Kepada para penguji: Dr. H. Muhammad Masyhoeri Naim, Dr. (Phil) Asep Saepudin Jahar, M.A, dan Prof. Dr. Suwito, M.A., yang telah memberikan masukan yang berharga. Para pejabat di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor, maupun ketika menjabat sebagai Direktur SPs., dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., Direktur SPs., maupun ketika menjabat sebagai Rektor; beserta segenap
pembantu/asdir/deputinya,
yang
semuanya
telah
dan
sedang
menjalankan tugas untuk memajukan almamater ini. Para Dosen di almamaterku
xiv
tercinta, terkhusus, perlu penulis sebut kembali, Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., yang mendorong agar penulis konsen pada pemikiran hukum Islam. Kepala dan staf Perpustakaan SPs., Bpk. Suali, dan Syukron, yang telah memberikan pelayanan yang baik untuk studi kepustakaan, serta segenap pegawai UIN, tempat penulis studi, dalam semua levelnya, tanpa terkecuali yang telah bekerja dalam menjalankan tugas, dan ikut serta memajukan almamater ini. Selain itu, tentu saja harus dan selayaknya penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang berperan penting dalam mendukung selesainya studi ini. Di antaranya: Drs. Saidun Derani, M.A. (Abang Angkat), yang telah banyak meminjamkan literatur perpustakaannya, dan teman diskusi dalam berbagai persoalan; dr. Saharawati Mahmouddin, Sp.P., FCCP. (Tante Angkat), dan Drs. Hasbi Hasan, M.H. (Abang Angkat), yang telah banyak memberikan dukungan moril dan materiil, serta Drs. Edi Riyadi, M.H. (Paman Angkat). Semoga keempatnya diberikan kesehatan, dan kemudahan, dapat segera menyelesaikan studi S3nya di almamater yang sama. Ibu Dra. Lily Zakiyah Munir, MA. (antropolog dan aktivis HAM), Direktur Center for Pesantren and Democracy Studies (CePDeS) yang darinya banyak penulis dapatkan literatur berbahasa Inggris, dan tempat penulis banyak menuangkan ide, terkait dengan maqâsid al-Syarî`ah dan HAM. Ucapan terima kasih patut penulis sampaikan kepada Bpk. Letjen (Purn.) Dr. (HC) Moerdiono, mantan Sekneg., dan KH. Salahuddin Wahid (Gus Salah), pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang, yang telah memberikan bantuan di awal-awal studi penulis. Tak tertinggal pula untuk Mas Marno, dan Mbak Sri, di Ciganjur, tempat pertama penulis memulai hidup di Jakarta. Kawan-kawan, tanpa terkecuali, di P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Jakarta, tempat penulis belajar banyak menuangkan tulisan dan mencari ”ma`îsyah”; maupun di tempat-tempat living cost/kontrakan, Ciputat: Firdaus, Cak Kholiq, Romi, Mas Arif, Rifqi, Masykur, dan teman-teman kuliah: Arip Purkon dan Silahuddin; sahabat dari almamater IKAHA, Iswahyudi, M.A., dan Taryono. Ucapan terima kasih patut penulis sampaikan kepada KH. Masdar F. Mas’udi, dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah, keduanya yang telah
xv
memberikan surat rekomendasi pada penulis masuk di SPs ini. Terkhusus untuk adinda Elkhairati, S.HI., M.A. yang telah memberikan supports, ”menemani” dan ”mengisi” perjalanan hidup penulis, dalam suka dan duka. Last but not least, dukungan dari saudara-saudara sekandung saya di Lampung: Mas Yasir, Dik Fatimah, dan Dik Khomsun; dan semua keluarga di Lampung/Sumatera, Jakarta, dan Jawa, kepada mereka semua, ucapan terima kasih penulis sampaikan. Ini pula kesempatan bagi penulis untuk mengenang jasa-jasa para guru, baik di lembaga pendidikan formal, maupun nonformal, yang telah bersaham dalam membentuk kepribadian ilmiah penulis. Salam dan do’a penulis untuk KH. Dzulqurnain (Pengasuh Pesantren Liraf, Sumberagung, Tanggamus), Zamzurie, SH. (almarhum) dan Ir. Bambang Eko Prayitno, (yang pertama pembina, dan yang kedua ketika menjadi Kepala Sekolah, maupun guru Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Bimasakti, Lampung), KH. Imam Sukhrowardi (pengasuh Asrama Perguruan Islam Salafiyah [APIS], Blitar), Pak Abu Jalal, Pak Rafiq Faizin, dan Pak Hasyim Jalal (guru-guru APIS), KH. Drs. Musta’in Syafi’i, M. Ag., dan Drs. H. Hamim Supaat, M.Hi. (Dosen IKAHA Tebuireng Jombang), RH. Riyan Iskandar (Pimpinan Padepokan Welas Asih, Parung Bogor), dan lain-lain. Di atas itu semua, tentu saja, dukungan moril dan doa orang tua, Ayahanda Kyai Muhammad Muslim Daroini, dan Ibunda Natijah, jauh di sebuah pedesaan, Datarajan Ulu Belu Tanggamus, Lampung. Keduanya telah memberikan kebebasan untuk studi dan menjalani kehidupan ini, jarang bersama penulis, merupakan nilai yang amat berharga bagi pribadi penulis. Untuk itulah, sepatutnya penulis berkewajiban membalas jasa besar keduanya. Semoga kesehatan, rahmat, taufiq, dan hidayah Allah s.w.t., kemuliaan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, tercurah kepada keduanya. Amin. Semoga, karya akademik ini, menjadi bermanfaat, terutama bagi diri penulis, dan bagi semua pihak, serta dapat dikembangkan lebih lanjut. Saran dan kritik konstruktif dengan terbuka diterima demi kesempurnaan karya ini, meskipun tentu saja ”tiada gading yang tak retak”.
xvi
Ciputat: Rabu, 18 Maulid 1429 H./26 Maret 2008 M. Penulis, Ahmad Ali
xvii
DAFTAR ISI
JUDUL......................................................................................................................i PERNYATAAN KEASLIAN.................................................................................ii PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................................................iii PENGESAHAN………………………………………………………………………………............iv MOTTO....................................................................................................................v PERSEMBAHAN..................................................................................................vi PEDOMAN TRANSLITERASI..........................................................................vii ABSTRAK……………………………………………………………………………………...............ix KATA PENGANTAR………………………………………………………………………….......xiv DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………........xvii DAFTAR SINGKATAN......................................................................................xxi DAFTAR SKEMA DAN TABEL......................................................................xxii DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................xxiii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………............1 B. Permasalahan………………………………………………………………...........12 C. Tujuan Penelitian…….……………………………………………………….......13 D. Signifikansi Penelitian.…………………………………………………...........13 E. Kajian Pustaka…………………………………………………………................14 F. Kerangka Teori.................................................................................19
xviii
G. Metodologi Penelitian……………………………………………………......... 22 H. Sistematika Penulisan…………………………………………………….........28 BAB II
REFORMULASI AL-MASLAHAH DALAM KONTEKS DINAMIKA PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
A. Dinamika Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Kontemporer...30 1. Model Utilitarianisme Religius………………………………….......... 32 2. Model Liberalisme Religius………………………………………..........35 B. al-Maslahah al-Maqsûdah: Model Reformulasi al-Maslahah 1. Perkembangan Konsep al-Maslahah a. Konsep al-Maslahah Klasik................................................ 43 b. Konsep al-Maslahah Kontemporer.....................................71 2. al-Maslahah al-Maqsûdah Sebagai Metode Ijtihâd Alternatif a. Kerangka Reformulasi al-Maslahah........................................89 b. Definisi al-Maslahah al-Maqsûdah…………..…………………101 c. Kerangka Operasional........................................................103
BAB III RELEVANSI AL-MASLAHAH AL-MAQSÛDAH DENGAN MAQÂSID AL-SYARÎ`AH DAN HAK ASASI MANUSIA
A. Relevansi al-Maslahah al-Maqsûdah dengan Maqâsid al-Syarî`ah 1. Maqâsid al-Syarî`ah dan Pengembangan Pengertian........... 113
xix
2. Maqâsid al-Syarî`ah Sebagai Paradigma al-Maslahah al-Maqsûdah............................................................................124 B. Relevansi al-Maslahah al-Maqsûdah dengan Hak Asasi Manusia 1. Hak Asasi Manusia...................................................................126 a. Makna, Sejarah dan Kategorisasi HAM Internasional..........126 b. Makna, Prinsip-prinsip dan Deklarasi HAM Islam...........134 c. Respons Kaum Muslim terhadap HAM Internasional......143 d. Sekilas Komparasi HAM Internasional dan HAM Islam..........145 2. Hak Asasi Manusia Sebagai Paradigma al-Maslahah al-Maqsûdah............................................................................148
BAB IV IMPLEMENTASI AL-MASLAHAH AL-MAQSÛDAH DALAM MENGHADAPI MASALAH-MASALAH HUKUM KONTEMPORER
A. Bidang Hukum Ibadah 1. Zakat Include dalam Pajak.......................................................15o 2. Zakat Hasil Perkebunan...........................................................158 3. Zakat Perusahaan.................................................................... 162 B. Bidang Hukum Perdata 1. Perkawinan Beda Agama.........................................................170 2. Waris Beda Agama...................................................................184 C. Bidang Hukum Pidana
xx
1. Eksekusi Potong Tangan bagi Tindak Pidana Korupsi.......... 192 2. Esksekusi Mati bagi Tindak Pidana Terorisme...................... 201 3. Esksekusi Mati bagi Tindak Pidana Narkotika.......................206 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………………….........214 B. Implikasi…..……………………………………………………………….....…….217 C. Rekomendasi………………………………………………………………….......217
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………..……….………………………...218 Lampiran-Lampiran…………………………………………………………………………….229 Biodata Penulis…………………………………………………………………………………....243
xxi
DAFTAR SINGKATAN
a.l. CDHRI dsb. DUHAM Ed. Ekosob H. HAM HR. ICCRP ICESCR KUHP M. MA RI. MM MUI No. NU OKI PBA. PBB PKP Pph. PTKP QS. RI. RUU s.a.w. s.w.t. Sipol TK/o Ttp. Tp. tt. UDHR UU
: antara lain : The Cairo Declaration on Human Rights in Islâm : dan sebagainya : Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia : editor : Ekonomi, Sosial, dan Budaya : Hijriah : Hak Asasi Manusia : Hadis Riwayat : International Covenant on Civil and Political Rights : International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights : Kitab Undang-undang Hukum Pidana : Masehi : Mahkamah Agung Republik Indonesia : al-Maslahah al-Maqsûdah : Majelis Ulama Indonesia : Nomor : Nahdhatul Ulama : Organisasi Konferensi Islam : Perkawinan Beda Agama : Perserikatan Bangsa-bangsa : Penghasilan Kena Pajak : Pajak penghasilan : Penghasilan Tidak Kena Pajak : Qur’ân Surat : Republik Indonesia : Rancangan Undang-undang : Sallallâhu `alalih wasallam : Subhânahu Wata`âlâ : Sipil dan politik : Tidak kena pajak/orang : Tanpa tempat penerbit : Tanpa Penerbit : tanpa tahun : Universal Declaration of Human Rights : Undang-undang
xxii
Vol. w. WBA WTC
: Volume : wafat : Waris Beda Agama : World Trade Center
xxiii
DAFTAR SKEMA DAN TABEL
I. Skema Skema 1: Kedudukan Maslahah dalam Usûl al-Fiqh Konvensional......... Skema 2: Sistematika/Struktur al-Maslahah al-Maqsûdah sebagai Metode Ijtihâd Alternatif Kontemporer............................................... Skema 3: Cara Kerja al-Maslahah al-Maqsûdah.................................. II. Tabel Tabel 1:
Perbandingan Model Maslahah Klasik..................................
Tabel 2:
Perbandingan Model Maslahah Kontemporer........................
Tabel 3:
Perbandingan HAM Islam dan HAM Internasional................
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) Lampiran 2 The Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI) Lampiran 3 Berita Acara Ujian Tesis Lampiran 4 Curriculum Vitae Penulis
xxv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembaruan hukum Islam1 telah berlangsung di Indonesia. Pembaruan itu terlihat dari beberapa keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI.) yang banyak didasarkan pada maslahah mulghah.2 Dalam konteks pembaruan hukum
Islam
tersebut,
khususnya
dalam
kaitannya
dengan
masalah
kemaslahatan yang banyak terkait dengan kepentingan umum (maslahah al`âmmah), menurut Abdul Manan (Hakim Agung MA RI.), dalam penelitian Disertasinya,3 metode al-maslahah selayaknya digunakan tanpa membedakan antara maslahah
mu`tabarah, maslahah mursalah,4 maupun maslahah
mulghah, dalam rangka mewujudkan maqâsid al-Syarî`ah bagi warga negara.5
1 Hukum Islam yang dimaksud adalah produk pemikiran hukum Islam, yang meliputi ”fiqh”, jurisprudensi, fatwa, kompilasi, dan perundang-undangan. 2 Maslahah mulghah adalah salah satu dari 3 (tiga) kategorisasi maslahah--secara bahasa berarti manfaat atau kepentingan (manfa`ah, interests)-- dalam usul al-fiqh konvensional, yaitu maslahah mu`tabarah (maslahah yang diungkapkan secara langsung baik dalam al-Qur’ân maupun dalam hadîts), maslahah mulghah (maslahah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber hukum tersebut), dan maslahah mursalah (maslahah yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber hukum tersebut dan tidak pula bertentangan dengan keduanya). Jumhur ulama sepakat menggunakan maslahah mu`tabarah, tetapi mereka juga sepakat dalam menolak maslahah mulghah. Sedangkan maslahah mursalah sebagai metode dalam berijtihad tetap menjadi kontroversi (polemik) di kalangan ulama. Lihat Najm al-Dîn Abî al-Rabî` Sulaimân bin `Abd al-Qawî bin `Abd al-Karîm ibn Sa`îd al-Tûfî, Syarh Mukhtasar al-Raudah (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1990), Juz III, h. 204-217, Amir Syarifuddin, Usûl al-Fiqh (Jakarta: Logos, 2005), Jilid 2, h. 332, juga Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 141-143. 3 Disertasi S3 pada Program Doktor Ilmu Hukum di Program Pascasarjana (PPs.) Universitas Sumatera Utara Medan, 2004. 4 Maslahah mursalah, dalam pengertian sebagai tujuan, adalah kemaslahatan yang tidak ada petunjuk dari nass maupun ijmâ’ yang mengakuinya (i`itibâr) maupun mengabaikannya (ilghâ’), seperti kodifikasi mushaf, dan pembuatan lembaga-lembaga ilmu dan sebagainya. Lihat Muhammad `Abd Allâh Darrâz dalam al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, Juz II, h. 27. 5 Lihat Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 336-340.
xxvi
al-Maslahah ()اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ6 atau al-istislâh ( )اﻻﺳﺘ ﺼﻼحitu merupakan salah satu konsep dalam usûl al-fiqh7 yang mengalami dinamika polemik di kalangan Usûliyyîn (ulama usûl al-fiqh). al-Maslahah atau al-istislâh lebih lanjut dapat dilihat dari dua sisi: sebagai metode penggalian hukum (manhaj al-ijtihâd),8 dan tujuan atau alasan hukum (maqâsid al-Syarî`ah au `illat al-hukm, ﻣﻘﺎﺻﺪ اﻟ ﺸﺮﻳﻌﺔ أو )ﻋﻠ ﺔ اﻟﺤﻜ ﻢ. Sebagai metode ijtihâd, ia telah berperan sangat penting dalam menjadikan hukum Islam bersifat fleksibel dan dinamis. Ijtihâd yang menggunakan maslahah disebut al-ijtihâd al-istislâhî ()اﻹﺟﺘﻬ ﺎد اﻹﺳﺘ ﺼﻼﺣﻲ.9 Sungguhpun demikian, tetap saja kontroversi. Pada mulanya, menurut 6 al-Maslahah sendiri sebagai sebuah konsep dalam epistemologi usûl al-fiqh, telah mengalami perkembangan. Ia telah dirumuskan oleh para ulama/intelektual klasik dan didukung atau dikembangkan oleh para pemikir modern. Para ulama klasik misalnya, Imâm Mâlik, alJuwainî, al-Ghazâlî, Fakhr al-Dîn al-Râzî, al-Qarâfî, al-Tûfî, dan al-Syâtibî. Konsep maslahah mereka telah memberikan pengaruh terhadap sejumlah pemikir kontemporer. Di antara pemikir kontemporer adalah Subhî Mahmâsânî (Libanon), `Allâl al-Fâsî (Maroko), Mahmûd Muhammad Taha (Sudan), Muhammad al-Tâhir ibn `Âsyûr (Tunisia), `Abd al-Wahhâb Khallâf (Mesir), dan Sa`îd Ramadân al-Bûtî (Syiria). Dalam penelitian Felicitas Opwis (dari Yale University, Departement of Near Eastern Languages and Civilizations, New Haven), Mahmâsânî, al-Fâsî, dan Taha merupakan pendukung konsep maslahahnya al-Syâtibî. Sedangkan Khallâf dan al-Bûtî merupakan pendukung konsep maslahahnya al-Ghazâlî/al-Râzî --konsep yang lebih terbatas (restrictive) dibandingkan dengan konsep al-maslahahnya al-Syâtibî. Lihat Facilitas Opwis, ”Maslahah in Contemporary Islamic Legal Theory”, dalam Islamic Law and Society 12, 2, Leiden, (2005), h. 201 dst. 7 Usûl al-Fiqh= teori hukum Islam. Yakni penyimpulan dengan metode induksi (istiqrâ’) hal-hal (prinsip-prinsip) yang universal dari dalil-dalil (Syarî`ah) dengan cara sedemikian rupa hingga mereka menjadi pedoman bagi mujtahid. Lihat Abû Ishâq al-Syâtibî Ibrâhim bin Mûsâ alLakhamî al-Gharnatî al-Mâlikî, al-I`tisâm, Maktab al-Buhûts wa al-Dirâsah, ed. (Beirut: Dâr alFikr, 2003), Juz 1, h. 22. Lihat juga al-Syâtibî, al-Muwâfaqât fî Usûl al-Syarî`ah, `Abd Allâh Darrâz, ed. (Beirût: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2003), Juz II, h. 29-31. Definisi lainnya, yang serupa, Usûl al-Fiqh adalah prinsip-prinsip yang dipergunakan oleh mujtahid untuk menarik hukum-hukum Syarî`ah yang bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang spesifik. Lihat misalnya, Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law: The Methodology of Ijtihâd, (Islamabad: Islamic Research Institute, t.t.), h. 29. 8 Ijtihâd menurut bahasa berarti ”pengerahan kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit”. Atas dasar ini maka tidak tepat jika kata ”ijtihâd” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan. Pengertian ijtihâd menurut bahasa ini relevan dengan pengertian ijtihâd menurut terminologi, di mana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu dilakukan oleh setiap orang. Ijtihâd, menurut terminologi fuqahâ’, adalah pengerahan segenap kesanggupan dalam melakukan pengkajian terhadap sesuatu yang terpuji, disertai daya kekuatan (badzl al-majhûd wa istifrâ` al-wus` fî fi`l syai` fîhî kulfah wa juhd). Tentang ijtihâd lihat misalnya Fakhr al-Dîn al-Râzî, al-Mahsûl fî `Ilm al-Usûl, Tâhâ Jâbir al-`Alwânî, ed. (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1992), Juz VI, h. 6 dst. Hasan Hanafî, Min alNass ilâ al-Wâqi` (Kairo: Markaz al-Kitâb li al-Nasyr, 2005), Jilid II, h. 444 dst., Muhammad Hâsyim Kamâlî, Principles of Islamic Jurisprudence, reprint (Cambridge: Islamic Texts Society, 1991), h. 366 dst. 9 Kamâlî, Principles of Islamic Jurisprudence, h. 379-380.
xxvii
Muhammad Khâlid Mas`ûd, maslahah merupakan metode umum pengambilan keputusan hukum (ijtihâd) oleh para yuris dan karenanya merupakan prinsip yang bebas,10 tetapi kemudian, dalam disiplin usûl al-fiqh konvensional, dipersempit aplikasinya hanya pada maslahah mursalah saja. Sedangkan sebagai tujuan atau ilat hukum, maslahah hanya dibatasi (dipersempit) aplikasinya pada maslahah mu`tabarah dan maslahah mursalah saja.11 Bahkan, seringkali maslahah digunakan dalam pengertian yang terbatas (mu`tabarah) dan
direduksi
sebatas
maslahah
darûriyyah
(maslahat
yang
bersifat
keniscayaan, emergency).12 Tentu saja, penyempitan ini menimbulkan implikasi penafsiran atau penetapan hukum yang mendalam, karena sesuatu yang dikategorikan sebagai maslahah mulghah maka tidak boleh digunakan untuk landasan hukum (dalil, hujjah). Padahal dari segi substansinya ada yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam atau tujuan-tujuan Syarî`ah (maqâsid al-
10 Muhammad Khâlid Mas`ûd, Islamic Legal Philosophy: a Study of Abû Ishâq alSyâtibî’s Life and Thought, (Delhi: International Islamic Publishers, 1989), h. 160. 11 Pembatasan (penyempitan) maslahah tersebut, ”secara ketat” pada maslahah mu`tabarah dilakukan oleh pengikut Syâfi`î dan sejumlah mutakallimûn: bahwa maslahah dapat diterima hanya ketika memiliki basis tekstual (asl) yang spesifik. Sedangkan penyempitan maslahah ”secara lebih longgar sedikit” dibandingkan kelompok pertama, dilakukan oleh imam Syâfi`î dan mayoritas pengikut Hanafî. Bagi kelompok ini, maslahah masih dapat diterima sepanjang ia masih serupa dengan maslahah yang secara anonim diterima (syabîhah bi almasâlih al-mu`tabarah) atau yang secara tekstual telah mapan. Adapun Imam Mâlik, pendiri mazhab Mâlikî, menggunakan maslahah mursalah ”secara paling longgar” (mutlak, tanpa persyaratan tersebut). Artinya tanpa pertimbangan apa pun mengenai kondisi keserupaan atau apakah ia sejalan dengan nass-nass ataukah tidak, namun pertimbangannya adalah lebih bersifat reasonable (ra`y; ma`qûliyyah). Lihat al-Juwainî, al-Burhân, h. 161-162; al-Syâtibî, al-I`tisâm, 351- 368. Juga Masud, Islamic Legal Philosophy, h. 150-151. Namun, maslahah mursalah dalam mazhab Mâlik kemudian diberi persyaratan, misalnya, oleh al-Syâtibî, di samping reasonable juga relevan (munâsib) dengan kasus hukum yang ditetapkan, serta bertujuan memelihara sesuatu yang darûrî dan menghilangkan kesulitan (raf` al-haraj). Lihat al-Syâtibî, al-I`tisâm, Juz II, h. 93-94. Jadi, dalam usul al-fiqh konvensional terdapat 3 (tiga) kategorisasi maslahah yaitu maslahah mu`tabarah, maslahah mulghah, dan maslahah mursalah. Jumhur ulama sepakat menggunakan maslahah mu`tabarah, tetapi mereka juga sepakat dalam menolak maslahah mulghah. Sedangkan maslahah mursalah sebagai metode dalam berijtihad tetap menjadi kontroversi (polemik) di kalangan ulama, sebagaimana telah disinggung di atas. Lihat al-Tûfî, Syarh Mukhtasar al-Raudah, Juz III, h. 204-217, Syarifuddin, Usûl al-Fiqh, Jilid II, h. 332, juga Djamil, Filsafat Hukum Islam, h. 141-143. 12 Muhammad Muslih al-Dîn, Philoshopy of Islamic Law and The Orientalist (A Comparative Study of Islamic Legal System) (Delhi: Markaz Maktab Islâmî, 1985), h. 168.
xxviii
Syarî`ah), seperti keadilan (al-`adâlah, justice), kesetaraan (al-musâwah, equality), dan kebebasan (al-hurriyyah, freedom).13 Dengan demikian, dalam literatur Usûl al-Fiqh konvensional, baik konsep al-Ghazâlî (450-505 H./1058-1111 M.), al-Râzî (544-606 H./1149-1210 M.), alQarâfî (w. 684 H.), al-Tûfî (w. 716 H./1316 M.), maupun al-Syâtibî (w. 790 H./1388 M.), misalnya, belum ada formulasi ulang yang utuh dan sistematis terhadap maslahah mulghah. Meskipun konsep al-Tûfî dianggap oleh banyak pemikir kontemporer, seperti Muhammad Mustafâ Syâlabî, Muhammad Abû Zahrah, Khallâf, Mustafâ Zaid, dan al-Bûtî,14 lebih maju dalam hal: maslahah lebih diutamakan ketika berbenturan dengan nass dalam persoalan mu`âmalah, tidak dalam persoalan `ibâdah dan hudûd (hukuman yang telah ada ketentuan syar`înya)15 atau muqaddarât (ketentuan-ketentuan mengenai ukuran yang berdasarkan syar`î),16 seperti persoalan pembagian harta warisan. Nass yang dimaksud al-Tûfî menurut mereka adalah nass yang bersifat qat`î (meyakinkan, pasti)17. Padahal, dalam penelitian Yûsuf al-Qarâdâwî,18 bahwa nass yang dimaksud itu, bukanlah nass yang bersifat qat`î, tetapi zannî (tidak meyakinkan, tidak pasti).
13 Contohnya adalah model pembagian waris setara antara laki-laki dan perempuan dikategorikan sebagai maslahah mulghah, sehingga tidak dibolehkan secara hukum Islam/fiqh. Padahal model pembagian seperti ini sesuai dengan prinsip kesetaraan (al-musâwah) dan keadilan (al-`adâlah), yang merupakan ciri-ciri ajaran Islam. 14 Muhammad Mustafâ Syâlabî dalam kitab Ta`lîl al-Ahkâm; Muhammad Abû Zahrah dalam kitab Mâlik, dan Ibn Hanbal; dan Usûl al-Fiqhnya; Syaikh Khallâf dalam Masâdir alTasyrî` fî Mâ Lâ Nass fîh; Mustafâ Zaid dalam al-Maslahah fî al-Tasyrî` al-Islâmî wa Najm alDîn al-Tûfî; serta al-Bûtî dalam Dawâbit al-Maslahah fî al-Syarî`ah al-Islâmiyyah. Demikian penelitian kritis yang dilakukan oleh Yûsûf al-Qarâdâwî. Lihat Yûsûf al-Qarâdâwî, al-Siyâsah alSyar`iyyah fî Da’ui Nusûs al-Syarî`at wa Maqâsidihâ (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998), h. 160. 15 Hudûd jamak dari hadd: `uqûbah muqaddarah syar`an, hukuman kejahatan yang telah ditentukan oleh syara`. Hadd berbeda dengan ta`zîr, yaitu hukuman yang diputuskan berdasarkan atas pendapat qâdi (hakim). Lihat `Abd al-Rahmân Dimasyqiyyah, Mausû`at Ahl alSunnah (Riyâd: Dâr al-Muslim, 1997), Juz 2, h. 954. 16 Lihat al-Tûfî, Syarh al-Arba`în, dalam apendiks Mustafâ Zaid, al-Maslahah fî Tasyrî` al-Islâmî wa Najm al-Dîn al-Tûfî (Kairo: Dâr al-Fikr al-`Arabî, 1954), h. 18. Lihat juga al-Zuhailî, Usûl al-Fiqh al-Islâmî, h. 818. 17 Qat`î adalah istilah lain dari muhkam, yaitu nass yang jelas penunjukannya terhadap hukum, tidak dapat dinasakh, baik karena nass itu sendiri atau karena tidak ada nass lain yang menasakhnya. Lihat Syarifuddin, Usûl al-Fiqh, h. 12. 18 Lihat al-Qarâdâwî, al-Siyâsah al-Syar`iyyah, h. 160.
xxix
Jadi, menurut Mas`ûd, konsep maslahah yang mulanya merupakan metode umum pengambilan keputusan oleh para yuris (ijtihâd) dan karenanya merupakan prinsip yang bebas, akhirnya dibatasi oleh penentangnya melalui dua pertimbangan.
Pertama,
adanya
determinisme
teologis
yang
cenderung
mendefisikan maslahah sebagai apa saja yang diperintahkan Tuhan. Kedua, adanya determinisme metodologis yang, dengan tujuan menghindari apa yang nampak sebagai kesemena-menaan metode, mencoba mendudukkan maslahah kepada qiyâs dengan tujuan mengaitkannya dengan suatu landasan yang lebih pasti. Lanjut Mas`ûd, kedua pertimbangan ini tidaklah memadai. Alasan atau argumentasinya adalah, pertama, untuk memutuskan bahwa sesuatu adalah maslahah, bahkan mengatakan bahwa perintah-perintah Tuhan didasarkan pada maslahah, suatu kriteria yang berada di luar perintah-perintah tersebut mutlak harus diterima. Inilah persisnya yang diingkari oleh determinisme teologis. Kedua, untuk bergerak lebih jauh kepada qiyâs, orang mesti mencari `illah, yang diingkari karena alasan-alasan teologis atau ditafsirkan sebagai ”ayat”. Implikasi-implikasi pandangan ini jelas sekali. Di satu pihak, ia bersikukuh bahwa perluasan aturanaturan haruslah dalam satuan-satuan; setiap kesimpulan baru harus memiliki kaitan spesifik dalam Syarî`ah. Ia mengingkari perluasan hukum secara keseluruhan. Di lain pihak, ia menolak mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan sosial, karena ia bersikukuh pada penyimpulan hukum dari aturan-aturan spesifik Syarî`ah, bahkan tidak dari tujuan umum hukum (maqâsid al-Syarî`ah).19 Kedudukan al-maslahah dalam usûl al-fiqh konvensional tergambar dalam skema berikut.
al-Mu`tabarah al-Maslahah
al-Mulghah
muttafaq `alaih Implikasi
al-Mursalah
mardûd mukhtakaf fîh
Seringkali tidak selaras dengan prinsip-prinsip fundamental/tujuan Syarî`ah (maqâsid al-Syarî`ah)/HAM Islam, dan HAM Internasional Skema 1: al-Maslahah dalam Usûl al-Fiqh Konvensional 19
Mas`ûd, Islamic Legal Philosophy, h. 160.
xxx
Dengan demikian, studi usûl al-fiqh konvensional masih berputar-putar pada pendekatan doktriner-normatif-deduktif, dan bersifat sui-generis. Hal ini diakibatkan karena hukum Islam masih sangat didominasi dengan model penarikannya yang diderivasikan dari teks-teks wahyu saja (min adillatihâ altafsîliyyah; law in book), sedangkan realitas sosial empiris yang hidup dan berlaku di masyarakat (living law) kurang mendapatkan perhatian yang memadai dan tempat yang proporsional dalam kerangka metodologi hukum Islam klasik tersebut. Pada intinya, ”keterkungkungan” pada pendekatan doktriner-normatif-deduktif, dan bersifat sui-generis dalam metode penemuan hukum Islam selama ini, disinyalir oleh banyak pihak, seperti `Abd al-Hamîd Abû Sulaimân,20 Wael B. Hallaq,21 Akh. Minhaji,22 dan Luoy Safi,23 disebabkan karena miskinnya analisis sosial empiris (lack of empiricism).24 Hal tersebut dapat dilihat dari orientasi utama dalam kajian Usûl al-Fiqh, sebagaimana dikatakan oleh al-Tâhir ibn `Âsyûr, ”Sungguh ruang terbesar persolan-persoalan usûl al-fiqh tidaklah berorientasi pada pelayanan hikmah syar`i dan tujuannya, tetapi berputar-putar orientasinya pada penarikan hukumhukum dari lafal-lafal Syâri`(istinbât al-ahkâm min alfâz al-Syâri`), dengan melalui kaidah yang dapat digunakan oleh seorang yang mengetahui hukumhukum tersebut dari penyimpangan cabang-cabang darinya atau dari sifat-sifat yang dapat ditarik darinya melalui prinsip qiyâs, yang dinamakan `illah .”25 20 Pimpinan Research Board of the International Islamic University Malaysia. Kritiknya lihat `Abd al-Hamîd A. Abû Sulaimân, Towards an Islamic Theory of International Relation: New Direction for Methodology and Thought, 2th Edition (Herdon: Virginia, IIIT), seperti dikutip dalam Mahsun Fuad, Hukum Islam di Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 257-258. 21 Guru Besar Hukum Islam di McGill University. Kritiknya tersebut lihat dalam Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunnî Usûl al-Fiqh, (United Kindom: Cambridge University, 1997), h. 245-253. 22 Guru Besar Hukum Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijogo Yogyakarta. Kritiknya tersebut lihat dalam Akh. Minhaji, ”Reorientasi Kajian Usûl al-Fiqh”, dalam al-Jâmi`ah: Journal of Islamic Studies, No. 63/VI tahun 1999, h. 16-17. 23 Intelektual asal Malaysia. Kritik itu seperti tampak dalam bukunya The Foundation of Knowledge: A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry (Kualalumpur: International Islamic University Malaysia dan International Institute of Islamic Thought, 1996). 24 Lihat Fuad, Hukum Islam di Indonesia, h. 257-258. 25 Muhammad al-Tâhir ibn `Âsyûr, Maqâsid al-Syarî`ah al-Islâmiyyah (Kairo: Dâr alSalâm, 2005), h. 4.
xxxi
Dalam konteks pemikiran hukum Islam kontemporer, untuk memecahkan problematika tersebut, setidaknya ada beberapa pembaruan pemikiran, yakni pendekatan alternatif dalam memahami hukum Islam (ijtihâd), misalnya yang dilakukan oleh Taha, asal Sudan (w. 1985), Fazlur Rahman, sarjana dan pembaru Pakistan (w. 1988),26 Masdar F. Mas’udi, intelektual Muslim Indonesia (1954-…),27 dan Muhammad Syahrûr, pemikir jenius asal Syiria. Teori/pendekatan ijtihad alternatif tersebut, misalnya Nazariyyat al-Hudûd (Teori Batas) yang dirumuskan oleh Syahrûr. Dalam teorinya, klasifikasi maslahah mulghah tidak digunakan lagi.28 Implikasinya meskipun sesuatu itu termasuk maslahah mulghah --menurut konsep ulama klasik-- dalam Teori Batas bila terdapat ”kemaslahatan” dapat dipergunakan. Misalnya dalam persoalan waris: dalam Teori Batas, perempuan dapat memperoleh 26 Metodologi Rahman, dalam memahami hukum Islam, sebagaimana dikatakan Hallaq, adalah ”the Double Movement Theory” (Teori Gerak Ganda). Gerak pertama berawal dari yang partikular kepada yang general (yakni menghadirkan prinsip-prinsip umum dari kasus-kasus tertentu). Sedangkan gerak kedua, prinsip general yang didapatkan dari sumber wahyu dihadirkan pada kondisi masyarakat Muslim saat ini. Lihat Hallaq, A History, h. 244. 27 Pendekatan alternatif yang ditawarkan Mas’udi adalah rekonstruksi penafsiran hukum dengan menggunakan rekonstruksi konsep qat`î-zannî sebagai basis rekonstruksi penafsiran dan metode penemuan hukum. Menurutnya, pandangan umum mengenai ijtihâd yang selama ini berjalan, bisa dikatakan hanya menjangkau hal-hal yang bersifat zannî, dan kurang mencermati dimensi ajaran yang diyakini sebagai qat`î. Dengan meletakkan kembali maslahah sebagai asas ijtihâd, maka konsep lama tentang qat`î-zannî terasa begitu gagap untuk menyahuti pelbagai persoalan kontemporer yang terus berkembang. Dari sini, Masdar melihat pentingnya merekonstruksi kedua konsep qat`î dan zannî tersebut agar lebih punya power (tenaga) dalam memberikan assist dan kontitum pemecahan berbagai masalah. Lihat Masdar F. Mas’udi, ”Meletakkan Kembali Maslahah sebagai Acuan Syarî`ah”, dalam `Ulûm al-Qur’ân, No. 3, Vol. VI, (1995), h. 97. 28 Demikian itu karena Syahrûr tidak memaknai arti hukum dan kandungannya dalam suatu nass, ayat al-Qur`an tentang pembagian waris, misalnya, secara literal, menurut arti bunyi nass itu, tetapi kandungan hukumnya ditempatkan dalam kerangka batas, yang dikenal sebagai teori hudûd; di mana ada batas atas dan ada batas bawah, yang mana ketentuan hukum dalam satu titik (dapat) bergerak dalam batasan bawah dan atas, sehingga dalam banyak hal ketentuan tekstual nass akan tampak menjadi lebih bersifat longgar dan fleksibel. Pembacaan tersebut dilakukan dengan pembacaan kontemporer (qirâ’ah mu`âsirah), bukan dengan pendekatan/ konsep maslahah klasik. Dalam masalah tersebut, Syahrûr menggunakan metode ”metaforik saintifik” yang diadopsi dari ilmu-ilmu eksakta metaforik. Lebih terperinci dalam soal penafsiran ayat-ayat waris ia menerapkan ilmu eksakta/matematika modern, yang diletakkan dasar-dasarnya oleh Rene Descartes, yang memadukan antara hiperbola (al-kamm al-muttasil) dan parabola (alkamm al-munfasil). Juga matematika analitik tentang konsep keturunan (diferensial/al-musytaq) dan integral (al-takâmul) yang digagas oleh Newton, teknik analitik dan teori himpunan (nazariyyat al-majmû`ât), di samping matematika klasik masih digunakan. Lihat Muhammad Syahrûr, Nahwa Usûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî: Fiqh al-Mar’ah [al-Wasiyyah, al-Irts, alQiwâmah, al-Ta`addudiyyah, al-Libâs] (Suriyyah: al-Ahâlî li al-Tibâ`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî`, 2000), h. 222.
xxxii
bagian yang sama dengan laki-laki,29 meskipun menurut konsep maslahah klasik, pembagian model itu termasuk ke dalam kategori maslahah mulghah.30 Meskipun terdapat sejumlah pembaruan pemikiran kontemporer, berupa teori/pendekatan alternatif dalam memahami hukum Islam, seperti yang diajukan oleh Taha, Rahman, dan Syahrûr, maupun Mas’udi di atas, terasa masih belum memberikan jawaban yang tegas tentang persoalan miskinnya analisis sosial empiris (lack of empiricism).31 Memang ada kajian yang mengarahkan dari kajian teks kepada realitas (min al-nass ilâ al-wâqi`). Realitas kehidupan kemanusiaan diteropong oleh si pembaca teks tersebut, sehingga, menurut Hasan Hanafî, meskipun pengalaman kemanusiaan itu satu, sesungguhnya pengalaman sang pengarang teks itu sendiri adalah pengalaman sang pembaca teks, walaupun terjadi perubahan masa. Keadaan inilah yang menjadikan adanya satu tujuan, yaitu tujuan teks itu sendiri, tujuan sang empunya teks, dan tujuan si pembaca teks.32 Meskipun demikian, penekanan pada realitas sosial belum menjadi orientasi utama dalam pendekatan hukum Islam yang ada selama ini. Dengan demikian, kecenderungan mendasar tekstualitas sekaligus kurangnya analisis empiris dalam metode penemuan hukum Islam masih belum terselesaikan secara tepat. Untuk itu, upaya mereformulasi konsep al-maslahah merupakan sebuah dinamisasi,33 di mana, sebagaimana dikatakan oleh cendekiawan terkemuka, Nurcholish Madjid (almarhum), ”Dalam dinamika itu tidak perlu takut salah, karena Muhammad Syahrûr, al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu`âsirah (Mesir: Sînâ li alNasyr al-A`âlî, 1992), h. 487-488, Munawir Sjadzali termasuk di antara tokoh nasional yang gencar menegaskan tentang pembagian warisan yang setara tersebut. Karena pembagian waris antara laki-laki dan perempuan: 1: 2 dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan. Lihat Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 4 dst. 30 Model pembagian waris perempuan bisa sebanding dengan laki-laki merupakan maslahah mulghah di atas sebagaimana secara eksplisit dicontohkan Amir Syarifuddin. Lihat Syarifuddin, Usûl al-Fiqh, h. 331-332. 31 Pendapat demikian, seperti dikemukakan oleh Hallaq. Lihat Hallaq, A History, h. 245-254. 32 Hasan Hanafî, Min al-Nass ilâ al-Wâqi`, al-Juz al-Awwal: Takwîn al-Nass, Muhâwalah Li’i`âdâh Binâ’ `Ilm Usûl al-Fiqh, (Kairo: Markaz al-Kitâb li al-Nasyr, 2004), h. 27. 33 Hal serupa tentang reformulasi al-maslahah, yakni pengembangan prinsip maslahah/istislâh di atas juga diusulkan oleh A. Qadri Azizy. Lihat A. Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar menuju Ijtihad Sesuai Saintifik-Modern (Jakarta: Teraju, 2003), h. 94-101. 29
xxxiii
takut salah itu sendiri adanya kesalahan yang paling fatal.”34 Reformulasi almaslahah tersebut menghasilkan formulasi baru yang disebut al-Maslahah alMaqsûdah ( )اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻘﺼﻮدةyang dijadikan sebagai sebuah metode ijtihâd alternatif dalam konteks pengembangan pemikiran hukum Islam kontemporer. al-Maslahah al-Maqsûdah didefinisikan sebagai sebuah metode (manhaj) yang berangkat dari cita-cita Islam dan tujuan-tujuan Syarî`ah (maqâsid alSyarî`ah), disertai dengan pertimbangan hak asasi manusia (HAM) dan realitas sosial, tanpa mempertimbangkan apakah mu`tabarah, mulghah, ataupun mursalah, untuk memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan hukum yang lebih membawa kepada kemaslahatan manusia. Upaya reformulasi al-maslahah yang dikaitkan dengan maqâsid alSyarî`ah, juga didorong oleh sebuah hasil penelitian yang dilakukan David Johnston, bahwa kajian hukum Islam pada abad ke-20 beralih dari alur pendekatan tekstual kepada pendekatan maqâsid al-Syarî`ah35 atau substansialkontekstual. Dalam penelitian Johnston dan Wael B. Hallaq, disebutkan bahwa pendekatan yang menegaskan dan menekankan pada maqâsid al-Syarî`ah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua alur (model): pendekatan ”religious utilitarianism” (utilitarianisme religius) atau pendekatan maqâsidi (”purposeful” atau ”purposive”); dan pendekatan religious liberalism (liberalisme religius).36 Pendekatan utilitarian/pendekatan maqâsidî dalam teori hukum Islam adalah teori yang berangkat dari tujuan-tujuan hukum wahyu dan bergerak dari yang general kepada yang spesifik, bukan hanya menggunakan pertimbangan kepentingan publik (maslahah) dan keniscayaan (darûrah) sebagai perangkatperangkat pembimbing ke arah perumusan hukum, tetapi juga mendasarkan pada perintah-perintah etis (imperatives ethical) seperti keadilan (justice), dan terlebih lagi, perdamaian dan rekonsiliasi. Sedangkan pendekatan kelompok 34 Nurcholish Madjid, ”Taqlîd dan Ijtihâd: Masalah Kontinuitas dan Kreativitas dalam Memahami Pesan Agama”, dalam Budhy Munawar-Rachman, ed., Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, cet. ke-2 (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 349. 35 Lihat dalam Hallaq, A History, h. 214, dan David Johnston, ”A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Tweentieth Century Usûl al-Fiqh”, dalam Islamic Law and Society, 11, 2, (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2004), h. 255. 36 Hallaq, A History, h. 214, dan David Johnston, ”A Turn”, h. 255.
xxxiv
kedua itu berpijak pada pengungkapan pemahaman wahyu baik teks dan konteksnya. ”Ini berarti bahwa hubungan antara teks wahyu dan masyarakat modern tidak didasarkan pada penekanaan terhadap hermeneutika literalist, namun lebih pada interpretasi spirit dan (penekanan) atau tujuan utama yang terdapat di balik bahasa spesifik teks”.37 Perhatian pada maqâsid al-Syarî`ah itu juga diperlukan bagi pelbagai proyek Islam saat ini. Sebagaimana ditegaskan oleh Walid Saif untuk kebutuhan saat ini proyek Islam harus ditekankan pada prinsip-prinsip Islam dan tujuan Syarî`ah (maqâsid al-Syarî`ah) untuk memproduk sebuah model modern bagi kemajuan dan peradaban yang merefleksikan nilai-nilai universalnya. Ini pada esensinya merupakan proses kesejarahan yang dapat dicapai dengan pencerahan (enlightenment), partisipasi aktif dalam pelbagai urusan dunia, produksi pengetahuan dan akumulasi kemajuan-kemajuan dalam semua level kehidupan sosial (masyarakat).38 Di samping itu, penelitian terhadap metode al-maslahah dengan pendekatan maqâsidî dan relevansinya dengan perkembangan hukum Islam kontemporer menjadi pertimbangan tersendiri untuk melakukan reformulasi, karena belum ditemukan kajian akademik dalam bentuk skripsi, tesis maupun disertasi yang membahas pemikiran/konsep al-maslahah dengan pendekatan (paradigma) maqâsidî secara komprehensif. Yaitu kajian kritis dengan mengemukakan berbagai teori para pemikir klasik yang diperbandingkan (komparasi), antara konsep para pemikir klasik, maupun antara konsep para pemikir kontemporer.39 Upaya mereformulasi al-maslahah dikaitkan dengan maqâsid alSyarî`ah juga didasarkan pada alasan adanya manfaat yang dapat diperoleh, Lihat Johnston, ”A Turn”, h. 233-235. Lihat Walid Saif, ”Human Rights and Islamic Revivalism”, dalam Tarik Mitri (ed.) Religion, Law and Society: a Cristian-Muslim Discussion (Geneva: WCC Publication, 1995), h. 123. 39 Dalam penelitian ini dilakukan perbandingan antara konsep maslahah al-Ghazalî/alRâzî, dengan al-Qarâfî, al-Syatibî dan al-Tufî. Adapun konsep para pemikir kontemporer seperti konsep maslahahnya al-Khallâf, al-Bûtî, Taha, dan Mas’udi. Di samping juga teori Gerak Ganda Rahman dengan Teori Batasnya Syahrûr. Perbandingan ini dimaksudkan untuk pengembangan pemikiran hukum Islam kontemporer. 37
38
xxxv
yaitu dapat memperkaya dan memperkuat pemikiran Islam kontemporer, serta mengarahkan kepada sasaran yang tepat.40 Lebih lanjut, konsep maqâsid al-Syarî`ah sendiri ternyata terus mengalami reformulasi oleh para pemikir kontemporer. Kajian maqâsid alSyarî`ah semakin dikembangkan lagi muatannya lebih dari sekedar maqâsid alSyarî`ah yang dikenal dengan al-kulliyyah al-khamsah (lima tujuan universal): hifz al-dîn (perlindungan agama), hifz al-nafs (perlindungan jiwa/kehidupan), hifz al-nasl (perlindungan keturunan), hifz al-`aql (perlindungan akal), dan hifz al-mâl (perlindungan harta), tetapi lebih mendasar lagi meliputi al-`adâlah (justice, keadilan), al-musâwah (equality, egalitarian), al-hurriyyah (freedom, kebebasan), al-huqûq al-ijtimâ`iyyah wa al-iqtisâdiyyah wa al-siyâsiyyah (hak-hak sosial, ekonomi, dan politik).41 Dalam konteks modern, pengertian perlindungan prinsip-prinsip tersebut dikenal sebagai HAM (hak asasi manusia), meskipun dalam tataran konsepnya berbeda. al-Kulliyyah al-khamsah yang merupakan maqâsid al-Syarî`ah diambil dari spirit Islam yang berdasarkan wahyu, sedangkan HAM universal (HAM Internasional), merupakan produk akal manusia. HAM universal tersebut dideklarasikan oleh Perserikatan BangsaBangsa (PBB) pada tahun 1948, yang dikenal dengan Universal Declaration of Human Rights (UDHR, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia [DUHAM]). Sungguhpun demikian, keduanya saat ini sama-sama dipandang bersifat universal, penting untuk dijadikan sebagai landasan gerak dalam berbagai sendi kehidupan.
B. Permasalahan
Lihat Ahmad al-Raisünî, ”Tasdîr (Pengantar)”, dalam `Abd al-Rahmân Ibrâhîm alKailânî, Qawâ`id al-Maqâsid `inda al-Imâm al-Syâtibî: `Ard-an wa Dirâsah (Damaskus: Dâr alFikr dan al-Ma`had al-`Âlamî li al-Fikr al-Islâmî, 2000), h. 7-9. 41 Lihat lebih lanjut dalam Jamâl al-Dîn `Atiyyah, Nahwa Taf`îl Maqâsid al-Syarî`ah (Damaskus: Dâr al-Fikr dan al-Ma`had al-`Älamî li al-Fikr al-Islâmî, 2001), h. 98 dan seterusnya. 40
xxxvi
1. Identifikasi Masalah Dalam penelitian ini, terdapat beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi, antara lain sebagai berikut: a. ditinjau dari perspektif HAM Internasional, sebagai konstruksi manusia modern, banyak hukum yang ditarik dari konsep almaslahah konvensional, khususnya kategori maslahah mulghah, berbenturan dengan HAM; b. ditinjau dari prinsip-prinsip Islam atau tujuan-tujuan utama Syarî`ah (maqâsid al-Syarî`ah), yang berdimensi ”wahyu” (ilâhiyyah), karena diformulasikan dari al-Qur’ân, seperti keadilan, dan kesetaraan, banyak hukum yang ditarik dari konsep al-maslahah konvensional, terutama maslahah mulghah, berbenturan dengan prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan utama tersebut; c. ditinjau dari analisis sosial (sosiologi hukum), berbagai pendekatanpendekatan hukum Islam yang ditawarkan para pemikir kontemporer pun masih kekurangan analisis sosialnya sehingga implikasinya hukum yang ditarik dari pendekatan tersebut kurang mencerminkan realitas yang perlu diakomodir; dan d. ditinjau dari keperluan untuk terus melahirkan hukum yang membawa kemaslahatan bagi manusia, maka diperlukan sebuah metode/pendekatan alternatif yang relevan dengan konteks pemikiran hukum Islam kontemporer. 2. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, agar penelitian terfokus dan memperoleh hasil penelitian yang maksimal, maka permasalahan yang tertulis dalam judul mengenai reformulasi al-maslahah, relevansi dan implementasinya dalam pengembangan pemikiran hukum Islam kontemporer, dibatasi dengan tinjauan maqâsid al-Syarî`ah, dan HAM.
xxxvii
3. Perumusan Masalah Masalah utama yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana rumusan al-Maslahah al-Maqsûdah dapat dijadikan sebagai metode ijitihâd alternatif kontemporer. Masalah utama ini dikongkritkan ke dalam rumusan masalah: mengapa metode al-Maslahah al-Maqsûdah dijadikan sebagai metode ijtihâd alternatif kontemporer, apakah karena relevansinya dengan maqâsid al-Syarî`ah atau karena mendukung HAM yang merupakan realitas empiris, ataukah kedua-duanya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membangun konsep almaslahah dengan pendekatan maqâsid al-Syarî`ah, yang disebut al-Maslahah al-Maqsûdah, sebagai salah satu metode ijtihâd alternatif kontemporer dalam memahami dan menetapkan hukum Islam. Sedangkan tujuan khusus adalah untuk menjelaskan alasan mengapa metode al-Maslahah al-Maqsûdah dijadikan sebagai metode ijtihâd alternatif kontemporer, apakah karena relevansinya dengan maqâsid al-Syarî`ah atau karena mendukung HAM yang merupakan realitas empiris, atau kedua-duanya.
D. Signifikansi Penelitian
Penelitian ini diharapkan secara teoritis berguna untuk mengembangkan sebuah pendekatan alternatif baru dalam rangka memahami dan menetapkan hukum Islam kontemporer (ijtihâd), sehingga dapat memberikan jawaban hukum yang lebih tepat dengan kebutuhan (kemaslahatan) manusia. Sedangkan secara praktis penelitian ini berguna untuk menjadi bahan kajian, pemikiran maupun penelitian lebih lanjut dalam konteks pengembangan pemikiran hukum Islam kontemporer.
xxxviii
E. Kajian Pustaka
Telah ada beberapa penelitian dalam bentuk buku, dan artikel, yang berkaitan dengan tema pembahasan al-maslahah/maqâsid al-Syarî`ah dan pemikiran hukum Islam kontemporer, antara lain: 4. ”Maslahah in Contemporary Islamic Legal Theory”, Facilitas Opwis dalam Islamic Law and Society, 2005. Dalam artikel ini, Opwis menguraikan konsep maslahah klasik dan modern (kontemporer). Tesis yang diangkatnya adalah bahwa ada empat model maslahah klasik.42 Yaitu model al-Ghazâlî/alRâzî, model al-Qarâfî, model al-Tûfî, dan model al-Syâtibî. Dalam konsep maslahah kontemporer ada kecenderungan atau model yang mendukung atau mengembangkan konsep maslahah klasik tersebut. Mahmâsânî, al-Fâsî, dan Taha merupakan pendukung konsep maslahahnya al-Syâtibî. Sedangkan Khallâf dan al-Bûtî merupakan pendukung konsep maslahahnya al-Ghazâlî/al-Râzî -konsep yang lebih terbatas (restrictive) dibandingkan dengan konsep almaslahahnya al-Syâtibî.43 Namun, setelah menguraikan dan menganalisa masingmasing konsep tersebut, Opwis tidak melakukan rekonstruksi atau reformulasi terhadap konsep maslahah mulghah. Opwis juga belum memberikan tawaran metode/teori ijtihâd alternatif terhadap konsep maslahah yang ditelitinya untuk memberikan jawaban hukum terhadap persoalan-persoalan kontemporer. Konsep maslahah Taha di atas, misalnya, yang dibungkus dalam teori naskhnya, menekankan pada prinsip-prinsip universal seperti: kebebasan (alhurriyyah), kesetaraan (al-musâwah), dan keadilan (al-`adâlah).44 PrinsipOpwis, ”Maslahah”, h. 193-197. Opwis, ”Maslahah”, h. 201 dst. 44 Ia menegaskan bahwa perbudakan yang masih terdapat dalam pesan pertama Islam, bukanlah ajaran murni Islam; al-hijâb bukanlah ajaran murni Islam, yang merupakan ajaran murni Islam adalah al-sufur, karena sesuai dengan prinsip kebebasan, persamaan/kesetaraan (almusâwah): misalnya dalam hal kesetaraan ekonomi, kesetaraan politik dan kesetaraan sosial, dan keadilan (al-`adâlah), misalnya poligami yang masih ada dalam pesan pertama Islam, bukanlah ajaran murni Islam. Pengertian al-hijâb seperti yang dimaksudkan oleh Syarî`ah, adalah menutupi seluruh bagian tubuh perempuan hingga yang tampak hanya bagian wajah dan tangannya. al-Sufur, di lain pihak, lawan dari al-hijâb boleh memakai pakaian menurut selera tradisi modern. Al-Sufur ini merupakan salah satu prinsip asli dalam Islam, karena ia konsisten 42 43
xxxix
prinsip tersebut dijadikan bingkai/kerangka yang yang disebutnya dengan istilah pesan kedua Islam (al-risâlah al-tsâniyyah min al-Islâm; the second message of Islâm).45 Teori naskh Taha di atas menarik untuk dijadikan sebagai salah satu teori/landasan bagi reformulasi maslahah yang menjadi kajian utama penelitian ini. Hal itu karena konsep naskh merupakan konsep yang berasal dan berakar kuat dari tradisi Islam. Dan dengan demikian, diasumsikan (diharapkan) mempunyai signifikansi yang lebih dapat diterima oleh kalangan Muslim sendiri.46 Lebih lanjut, karena konsep naskh Taha mempunyai keunikan, yakni berbeda dengan konsep naskh klasik konvensional.47 Taha menerapkan arti naskh dalam pengertian menunda pemberlakuan suatu ajaran/ketentuan yang lebih awal karena adanya situasi yang belum memungkinkan bagi penerapan ajaran/ketentuan tersebut.48 5. ”A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Twentieth Century Usûl al-Fiqh”, karya David Johnston, dan A History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunnî Usûl al-Fiqh, karya Hallaq. Kedua karya ini membahas dengan prinsip asli kebebasan (the original principle of freedom). Lihat Mahmûd Muhammad Taha, al-Risâlah al-Tsâniyyah min al-Islâm, edisi ke-5 (T.Tp.: TP, t.t.), h. 131-133, Mahmûd Muhammad Taha, The Second Message of Islâm, penerjemah `Abd Allâh Ahmad al-Na`îm (New York: Syracuse University Press, 1996), h. 143-145. 45 Lihat dalam bukunya al-Risâlah al-Tsâniyyah atau The Second Message of Islam. 46 Perihal signifikansi sesuatu yang punya akar kuat dalam tradisi Islam ini misalnya seperti dikatakan oleh Khâlid Abû al-Fadl, bahwa ”Penting untuk tidak mencangkokkan sebuah epistemologi yang tidak benar-benar mencerminkan pengalaman umat Islam sendiri. Tetapi yang penting adalah kenyataan bahwa pendekatan-pendekatan epistemologis tertentu kemungkinan hanya sedikit memperoleh legitimasi dalam konteks Islam tidaklah kemudian menjadi rekomendasi bagi pendekatan-pendekatan konservatif yang mengakui struktur kekuasaan dan gagasan tentang hirarki. Ini bukan berarti bahwa mengambil epistemologi dari satu budaya tertentu untuk dicangkokkan pada budaya lainnya tidak dibenarkan, tapi saya hanya mengatakan bahwa pencangkokan semacam itu harus dilaksanakan dengan terukur dan rasional sehingga gugus budaya yang menerima proses pencangkokan itu tidak bereaksi keras.” M. Khâlid Abû alFadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women, (Oxford: Oneworld, 2001), h. 100. 47 Dalam teori naskh klasik umumnya naskh diartikan sebagai penghapusan terhadap ajaran/ketentuan yang terdahulu oleh ajaran/ketentuan baru (yang belakangan). Naskh secara lughawî digunakan untuk arti al-izâlah yang berarti al-i`dâm (menghilangkan), dan al-naql (mengalihkan). Secara terminologi, menurut al-Âmidî, misalnya, merupakan ketentuan atau hukum (khitâb) yang menunjukkan penghapusan terhadap hukum yang berlaku pada ketentuan sebelumnya. Lihat al-Âmidî, al-Ihkâm fî Usûl al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Fikr, 1416/1996), Juz III, h. 72-74. 48 Lihat al-Na`îm, ”Introduction”, dalam Taha, The Second Message of Islam, h. 40.
xl
tentang perkembangan pemikiran hukum Islam kontemporer. Tesis yang diangkat dalam kedua karya tersebut adalah bahwa ilmu-ilmu Syarî`ah dan kajian-kajian keislaman saat ini, sejak abad ke-20 M., mengalami kebangkitan dan consern dalam lapangan maqâsid al-Syarî`ah dan pemikiran al-maqâsidî (”purposeful”, ”purposive”). Pendekatan yang menekankan maqâsid al-Syarî`ah ada dua alur (model), seperti dikatakan Hallaq dan Johnston, yaitu: pendekatan ”religious utilitarianism” (utilitarianisme religius), dan ”religious liberalism” (liberalisme religius). 49 Di antara teori yang termasuk ke dalam model liberalisme religius adalah Nazariyyat al-Hudûd (Teori Batas) Syahrûr. Secara singkat, Teori Batas Syahrûr ini dapat dijelaskan bahwa hukum yang merupakan titah wahyu yang diungkapkan dalam al-Kitâb dan al-Sunnah, mempunyai Batas Bawah (a Lower Limit) dan Batas Atas (a Upper Limit); Batas Atas mewakili ketentuan minimum yang legal mengenai kasus tertentu (partikular), dan Batas Atas merupakan batasan maksimumnya. Batasan minimum tersebut adalah ketentuan yang diperkenankan oleh hukum, dan tak ada ketentuan hukum yang melebihi batasan maksimum tersebut dinyatakan sebagai ketentuan yang absah. Kedudukan batasan-batasan ini sangat penting, karena hukuman-hukuman dapat terjamin (terpenuhi), dalam standar yang dapat diterapkan terhadap suatu pelanggaran hukum.50 Dengan demikian, dalam Teori Batas Syahrûr, di antaranya yang terkait dengan pembagian warisan setara antara anak laki-laki dan anak perempuan, terdapat kelenturan hukum bila dibandingkan dengan konsep/teori maslahah klasik: khususnya maslahah mulghah. Berbagai pendekatan hukum Islam di atas, baik yang tergolong ”religious utilitarianism” maupun ”religious liberalism” tidak lepas dari kritik. Meskipun Hallaq mengkritik pendekatan pemahaman hukum Islam tersebut, namun ia tidak menawarkan pendekatan alternatif lain dalam memahami hukum Islam agar mampu memberikan jawaban terhadap persoalan hukum kontemporer. Sebagaimana halnya Hallaq, Johnston juga melakukan kritik, namun tetap tidak
49 50
Lihat Footnote No. 35 dan 36. Lihat Hallaq, A History, h. 248.
xli
memberikan pendekatan alternatif dalam menjawab permasalahan hukum kontemporer. Dia hanya menegaskan bahwa kesiapan untuk melakukan perdebatan terbuka berkenaan kesejarahan al-Qur’ân perlu dilakukan. Tanpa pergulatan serius dengan persoalan ini, ia meragukan teori hukum Islam kontemporer mampu mengartikulasikan sebuah sistem yang komprehensif, koheren, dan konteks yang spesifik.51 6. Reformasi Hukum Islam di Indonesia, karya Abdul Manan, 2006.52 Tesis yang disimpulkan di sini adalah bahwa pembaruan hukum Islam telah berlangsung di Indonesia. Pembaruan itu terlihat dari beberapa keputusan MA RI. yang banyak didasarkan pada maslahah mulghah. Jadi dalam konteks pembaruan hukum Islam, khususnya dalam kaitannya dengan masalah kemaslahatan yang banyak menyangkut kepentingan umum, menurut penulis buku ini, Abdul Manan (Hakim Agung MA RI), metode al-maslahah selayaknya digunakan tanpa membedakan antara maslahah
mu`tabarah, maslahah
mursalah, maupun maslahah mulghah, dalam rangka mewujudkan maqâsid alSyarî`ah bagi warga negara.53 Buku ini memang tidak memberikan pendekatan alternatif secara sistematis dan utuh, namun cukup mendukung upaya reformulasi al-maslahah dalam konteks pengembangan pemikiran atau pembaruan hukum Islam di Indonesia. Beberapa karya dalam kajian kepustakaan di atas menunjukkan perlunya suatu pendekatan yang tepat dalam menghadapi permasalahan hukum kontemporer. Selain itu, setidaklah juga ditutnjukkan perlunya upaya reformulasi al-maslahah; tesis yang hendak dibangun dalam penelitian ini. Dalam konteks inilah, upaya reformulasi al-maslahah perlu dilakukan. Reformulasi al-maslahah ini berarti merumuskan ulang konsep al-maslahah konvensional yang ada selama ini. Hasil reformulasi al-maslahah tersebut dinamakan al-maslahah al-maqsûdah, yaitu suatu bentuk metode ijtihâd Johnston, ”A Turn”, h. 282. Buku ini berasal dari disertasi S3 Program Doktor Ilmu Hukum di PPS Universitas Sumatera Utara Medan, 2004. 53 Lihat Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 336-340. 51
52
xlii
alternatif kontemporer, yang menggunakan paradigma maqâsid al-Syarî`ah dan HAM. Penelitian ini merupakan penelitian pertama dalam bentuk tesis mengenai pemikiran al-maslahah yang bersifat spesifik, dan bersifat holistik (komprehensif), dalam konteks pengembangan pemikiran hukum Islam. Dikatakan spesifik karena menggunakan maqâsid al-Syarî`ah dan HAM sebagai paradigma metode alMaslahah al-Maqsûdah. Dikatakan komprehensif karena dapat diaplikasikan ke dalam pelbagai persoalan hukum kontemporer. Selain itu, karena mengambil sisi positif dari pelbagai konsep, model maupun pendekatan yang telah ditawarkan para ulama klasik maupun pemikir kontemporer. Komprehensifitas itu juga terlihat dari segi pemakaian rujukan (literatur) yang digunakan untuk melakukan reformulasi maslahah. Literatur tersebut merupakan kombinasi berbagai literatur ulama klasik dan pemikiran para pemikir kontemporer, seperti teori naskh Tâhâ, teori maslahah Masdar F. Mas’udi, dan Nazariyyat al-Hudûd Syahrûr, untuk melakukan sebuah formulasi al-Maslahah al-Maqsûdah di atas. Dengan demikian penelitian ini bersifat kritis dan konstruktif yang memang menjadi tugas disiplin filsafat.54 Yakni suatu bentuk penafsiran/ pemikiran yang bersifat membangun kembali atau mengembangkan terhadap suatu konsep/pemikiran yang telah ada. Ini bukan berarti meruntuhkan total konsep/pemikiran tersebut, tetapi memberikan pengembangan dengan alternatif atau sudut pandang tertentu, dengan mempertimbangkan dan memperhatikan penggunaan analisis sosial empiris, sehingga lebih memberikan jawaban solutif terhadap persoalan kontemporer.
F. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini, dipergunakan beberapa teori yang mendukung upaya melakukan reformulasi al-maslahah, sehingga menjadikannya lebih diutamakan, dapat dijadikan sebagai metode alternatif ijtihad kontemporer. Antonius Cahyadi, dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum (Jakarta: Kencana, 2007), h. 21-22. 54
xliii
Teori-teori yang dimaksud sebagai berikut. Pertama, teori ”open texture” (tekstur terbuka) yang dikemukakan oleh H. L. A. Hart. Bahwa teks hukum itu tidaklah kaku, namun terbuka terhadap interpretasi. Menurutnya, semua sistem hukum, baik yang diwariskan secara tradisional atau yang bersifat legislatif, menunjukkan persesuaian antara dua persyaratan hukum, yaitu ”perlunya aturan-aturan tertentu” dan ”perlunya untuk tetap terbuka”. Lanjutnya, ”Dalam setiap sistem hukum salah satu bidang yang besar dan penting tetap dibiarkan terbuka untuk memberikan keleluasaan terhadap hakim.55 Berdasarkan teori ini, sebuah struktur norma hukum dalam suatu nass, baik al-Qur’ân maupun hadis, yang tertulis secara kaku, terbuka terhadap interpretasi. Teori tentang hukum sebagai suatu ”tekstur terbuka” tersebut, sebagaimana dikatakan Bassam Tibi,56 dapat membantu upaya untuk melakukan reformulasi hukum Islam. Dalam konteks ini, teori tentang tekstur terbuka dapat membantu (mendukung) upaya reformulasi al-maslahah yang pada akhirnya akan memunculkan suatu hukum yang tidak harus sama dengan yang tersebut dalam teks (nass). Kedua, teori rekontruksi penafsiran qat`î-zannî. Teori ini menyatakan bahwa yang qat`î adalah prinsip-prinsip Islam (maqâsid al-Syarî`ah) yang berupa kemaslahatan, dan keadilan,57 kesetaraan, kerahmatan, dan kebijaksanaan. Sedangkan nass yang memuat hukuman teknis aplikatif bersifat zannî, dalam arti tidak baku, dan temporer. Berbeda dengan pandangan konvensional bahwa yang qat`î adalah nass yang menunjukkan arti yang jelas yang tidak mengandung naskh (perubahan/pembatalan). Nass dimaksud adalah ayat-ayat atau hadis-hadis yang memuat hukum yang bersifat teknis-aplikatif, seperti tentang hukum potong tangan, rajam, dan perkawinan serta beda agama. Teori rekontruksi penafsiran qat`î-zannî misalnya dikemukakan oleh Mas’udi dan Taha. Teori rekonstruksi penafsiran qat`î-zannî tersebut mendukung upaya H. L. A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Clarendon, 1970), h. 102. Bassam Tibi, Islâm and the Cultural Accomodation of Social Change, penerjemah Clare Krojzl, (Boulder, San Francisco & Oxford: Westview Press, 1991), h. 70. 57 Mas’udi, ”Melatakkan Kembali Maslahah ”, h. 97-98. 55
56
xliv
reformulasi al-maslahah, di mana menjadikan maqâsid al-Syarî`ah sebagai paradigmanya, sehingga melahirkan penafsiran hukum yang relevan dengan semangat Islam, yang tercermin dalam etika atau prinsip-prinsip Islam tersebut. Ketiga, teori ”topics”nya Viehweg. Topics di sini merujuk pada ”teknik berpikir yang memfokuskan pada berbagai permasalahan”, di mana pengertiannya merupakan teknik berpikir dengan batasan permasalahan.58 Etika Islam memiliki karakter yang sangat sistematik, sehingga orientasi permasalahan yang terpisah dapat muncul dan, di salah satu sisi, memper-timbangkan kebutuhan masyarakat Muslim dalam proses perkembangan dan, di sisi lain, juga memungkinkannya untuk berintegrasi dalam sistem etika Islam, tanpa harus mengikuti pendapat kaku dari doktrin fiqh scholastik.59 Untuk hukum Islam, adopsi metode ini akan memunculkan gagasan tentang hukum yang dimunculkan dari permasalahan masyarakat Islam dan tidak semata-mata dari teks. Suatu pengantar wacana topikal tentang Islam berarti memahami ide bahwa fungsi tema-tema topikal terletak pada ”penyajian pembahasan masalah”. Tema-tema topikal, yang ikut membantu, memberikan arti masing-masing dari permasalahan itu sendiri.60 Dalam hal inilah, permasalahan seputar tema-tema hukum Islam, seperti zakat include dalam pajak, zakat perkebunan dan perusahaan, perkawinan beda agama (PBA), dan waris beda agama (WBA), serta hukuman terhadap tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika, disajikan secara tematik dan dilakukan interpretasi. Interpretasi dilakukan dengan metode al-Maslahah al-Maqsûdah. Interpretasi (penafsiran) tersebut, merupakan salah satu unsur dalam teknik berpikir topikal, di mana interpretasi ini melibatkan pembentukan kemungkinan baru untuk memunculkan arti tanpa merusak arti yang lama. Hal ini terjadi dengan cara mengikuti penandaan baku yang telah dibuat tetapi dengan mengubahnya menjadi sudut-sudut baru, yang seringkali muncul dalam berbagai hubungan yang sangat berbeda, dan kini menawarkan suatu kesempatan 58 Theodor Viehweg, Topik and Jurisprudenz, dikutip dalam Tibi, Islâm and the Cultural Accomodation, h. 71. 59 Tibi, Islâm and the Cultural Accomodation, h. 71-72. 60 Tibi, Islâm and the Cultural Accomodation, h. 71-72.
xlv
untuk memberikan aplikasi baru pada aturan lama.61 Teori berpikir topikal ini bermanfat bagi penafsiran baru terhadap arti al-maslahah, sehingga menjadi suatu bentuk nuansa baru. Keempat, teori reaktualisasi/revitalisasi ajaran Islam. Konsepsi tentang reaktualisasi/revitalisasi penafsiran ajaran Islam mengimplikasikan bahwa penafsiran-penafsiran ajaran Islam yang masih dominan yang ada sekarang berasal dari upaya mengadaptasikan ajaran tersebut ke dalam situasi masa lampau. Karena itu, penafsiran tersebut telah terlalu dipengaruhi oleh proses perkembangan historis dan kultural. Jadi, reaktualisasi/revitalisasi berarti melepas beban-beban sejarah dan budaya itu guna diberi alternatif-alternatif baru yang diharapkan lebih responsif, kontekstual, dan selaras dengan kebutuhan manusia. Dengan kata lain, warisan keagamaan Islam tradisional banyak yang dipandang tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan zaman.62 Reaktualisasi penafsiran ajaran Islam, dalam hal ini hukum Islam, bisa dilakukan dengan cara merumuskan teori yang relevan dengan tujuan-tujuan Islam (maqâsid al-Syarî`ah). Oleh karena itu, berbagai teori untuk ijtihâd alternatif, yang diusulkan para pemikir kontemporer dari berbagai disiplin ilmu, perlu diapresiasi secara baik, dan dikembangkan lebih lanjut. Beberapa teori para pemikir tersebut, di antaranya ada yang diambil atau digunakan untuk membantu reformulasi al-maslahah. Dalam teori reaktualisasi, ada beberapa pasangan pilihan yang dapat dipertimbangkan, yaitu pilihan wahyu dan akal; pilihan kesatuan dan keragaman; pilihan idealisme dan realisme; dan pilihan stabilitas dan perubahan.63 Untuk menjadikan hukum Islam itu dapat selalu aktual, maka langkah reaktualisasi yang digunakan adalah dengan menggunakan pertimbangan akal, pertimbangan keragaman, realisme, dan perubahan. Dalam konteks inilah, hukum yang ditarik dari metode al-Maslahah al-Maqsûdah, sangat ditentukan oleh pertimbangan akal, Viehweg, dalam Tibi, Islâm and the Cultural Accomodation, h. -72. Yusdani, Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum Islam: Kajian Konsep Hukum Islam Najm al-Din al-Tûfî (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 2. 63 Lihat Atho’ Mudzhar, ”Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam MunawarRachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam, h. 371-375. 61
62
xlvi
sehingga memunculkan keragaman hukum, dalam arti hukum tidak harus sama dalam setiap tempat, hukum tersebut mencerminkan realitas kehidupan masyarakat, dan pada akhirnya hukum itu dapat selaras dengan tuntutan perubahan, tidak kaku, namun fleksibel.
G. Metodologi Penelitian
Untuk melakukan penelitian ini, digunakan sumber data, metode yang relevan. Selain itu, agar tidak bias, sehingga fokus, dibuat definisi operasional untuk memperjelas judul dan maksud yang diangkat dalam penelitian. 1. Sumber Data Penelitian
ini
merupakan
penelitian
kepustakaan
(library
research), data-data yang digunakan berasal dari sumber data kepustakaan. Sumber data kepustakaan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua macam: sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yang digunakan adalah karya-karya: al-Ghazâlî, al-Mustasfâ min`Ilm al-Usûl;64 al-Râzî, al-Mahsûl fî`Ilm al-Usûl al-Fiqh;65 al-Qarâfî, Nafâ’is al-Usûl fî Syarh al-Mahsûl;66 al-Tûfî, Syarh al-Arba`în, dalam apendiks Mustafâ Zaid, al-Maslahah fî Tasyrî` al-Islâmî wa Najm al-Dîn
64 Dari kitab ini diperoleh konsep al-maslahah al-Ghazâlî. al-Maslahah diartikannya sebagai perlindungan al-kullliyah al-khamsah (al-muhâfazah `alâ maqsûd al-syar`). Maslahah digolongkannya kepada dalil yang tidak mandiri, dan diklasifikasikan menjadi tiga: mu`tabarah, mulghah dan mursalah, berikut contoh-contohnya. 65 Dari kitab ini diperoleh konsep al-maslahah al-Râzî, yang mirip dengan konsep almaslahah al-Ghazâlî, meskipun ada beberapa perbedaan dalam detail-detailnya. 66 Syihâb al-Dîn Ahmad ibn Idrîs al-Qarâfî, Nafâ’is al-Usûl fî Syarh al-Mahsûl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2000), 4 Jilid. Dari karya ini diperoleh konsep al-maslahah al-Qarâfî yang tampak adanya perbedaan dengan model al-Ghazâî/al-Râzî. Ada sesuatu, yang dikategorikan oleh keduanya sebagai maslahah mulghah, namun menurut al-Qarâfî, bukan mulghah. Meskipun demikian, pada umumnya, konsep ketiganya mirip, karena al-Qarâfî mengembangkan dan menggabungkan konsep maslahah al-Ghazâlî dan al-Râzî.
xlvii
al-Tûfî; dan Syarh Mukhtasar al-Raudah;67 al-Syâtibî, al-Muwâfaqât Fî Usûl al-Syarî`ah;68 Khallâf, `Ilm Usûl al-Fiqh, dan Masâdir al-Tasyrî` al-Islâmî Fî Mâ Lâ Nass Fîh;69 al-Bûtî, Dawâbit al-Maslahah;70 Taha, alRisâlah al-Tsâniyyah min al-Islâm;71 Syahrûr, Nahwa Usûl Jadîdah li alFiqh al-Islâmî, dan al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu`âsirah;72 Mas’udi, ”Meletakkan Kembali Maslahah sebagai Acuan Syarî`ah”, dalam `Ulûm al-Qur’ân No. 3 Vo. VI, (1995);73 Jamâl al-Dîn `Atiyyah, Nahwa Taf`îl Maqâsid al-Syarî`ah;74 UDHR,75 dan The Cairo Declaration on Human Rights in Islâm (CDHRI).76 Adapun sumber sekunder (secondary sources) yang digunakan adalah karya-karya: Opwis, Maslahah in Contemporary Islamic Legal Theory;77 Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunnî Usûl
67 Dari kedua buku al-Tûfî ini diperoleh konsep al-maslahahnya al-Tûfî. Dalam kitab Syarh Mukhtasar al-Raudah, misalnya, al-Tûfî tidak mengklasifikasikan maslahah menjadi tiga macam mu`tabarah, mulghah dan mursalah, tetapi ia menempatkan maslahah itu sebagai maslahah mujarradah. al-Tûfî, Syarh Mukhtasar al-Raudah, h. 314. 68 Dari kitab ini diperoleh konsep al-maslahah menurut al-Syâtibî yang dijabarkan ke dalam teori maqâsid al-Syarî`ah. 69 Dari buku ini diperoleh pandangan Khallâf, bahwa ijtihâd tidak berlaku dalam wilayah yang ada teks hukumnya. 70 Dari kitab ini diperoleh model al-maslahah al-Bûtî, yang lebih mengukuhkan model maslahah al-Ghazâlî/al-Râzî. 71 Dari kitab ini diperoleh model maslahah Taha yang dikemas dalam teori naskhnya yang menempatkan ayat-ayat Makkiyyah, berisi prinsip-prinsip Islam seperti keadilan, kesetaraan, dan kemerdekaan, sebagai bentuk kemaslahatan yang bersifat kekal, menggantikan ayat-ayat Madaniyyah yang bersifat temporer. 72 Dari kitab ini diperoleh data tentang Teori Batas (nazariyyat al-hudûd) yang menghasilkan pandangan, seperti, bahwa bagian waris untuk anak perempuan bisa sebanding dengan anak laki-laki. 73 Dari sumber ini diperoleh pemikiran Masdar tentang maslahah yang menjadi asas ijtihâd. 74 Dari kitab ini diperoleh berbagai pandangan ulama tentang maqâsid al-Syarî`ah, dan formulasinya oleh `Atiyyah, menjadi empat segmen, yaitu segmen personal (majâl al-fard), segmen keluarga (majâl al-usrah), segmen umat (majâl al-ummah), dan segmen kemanusiaan (majâl al-insân). Lihat `Atiyyah, Nahwa Taf`îl, h. 183-184. 75 Dari sumber ini diperoleh data HAM Internasional. 76 Dari sumber ini diperoleh data tentang Deklarasi HAM dalam Islam. 77 Dari tulisan ini diperoleh konsep al-Maslahah merurut para ulama klasik, dan para pemikir kontemporer, yang dapat diklasifikasikan menjadi empat model, yaitu model alGhazâlî/al-Râzî, model al-Qarâfî, model al-Tûfî, dan model al-Syâtibî. Bahwa di antara para pemikir kontemporer ada yang cenderung dan mendukung konsep al-maslahah al-Ghazâli/alRâzî, dan ada yang mendukung konsep al-maslahah al-Syâtibî.
xlviii
al-Fiqh;78 Mas`ûd, Islamic Legal Philosophy: a Study of Abû Ishâq alSyâtibî’s Life and Thought;79 Jamâl al-Bannâ, Nahwa Fiqh Jadîd;80 Ahmad al-Raisûnî dan Muhammad Jamâl Bârût, al-Ijtihâd: al-Nass, alWâqi`, al-Maslahah;81 Baderin, International Human Rights and Islamic Law,82 Louay Safi, The Foundation of Knowledge: a Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry;83 dan Kamâlî, Principles of Islamic Jurisprudence.84 2. Metode Penelitian Untuk mendapatkan gambaran secara utuh konsep al-maslahah dalam teori hukum Islam klasik maupun kontemporer digunakan metode deskriptif, yakni memberikan gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fenomena atau hubungan antar fenomena yang diselidiki,85 --dalam konteks ini konsep al-maslahah tersebut. Kemudian untuk menganalisa al-maslahah ter-sebut digunakan metode/ pendekatan content analysis (analisis isi). Model analisis data isi ini adalah metode perbandingan tetap (constant comparative method), yaitu Dari sumber ini diperoleh beragam informasi mengenai metode-metode hukum Islam, juga metode atau pendekatan alternatif yang diusulkan para pemikir kontemporer, seperti Rahman, Syahrûr, Muhammad al-`Asymâwî, dan Hasan Turâbî. 79 Dari buku ini diperoleh informasi filsafat hukum al-Syâtibî. 80 Dari kitab ini diperoleh pandangan al-Bannâ yang sangat kontras dengan pandangan mayoritas ulama, misalnya ia tidak menggolongkan hifz al-dîn ke dalam klasifikasi maqâsid alSyarî`ah, karena konsistensi dengan pembagian bidang Islam ke dalam bidang `aqîdah/ imâniyyah dan syar`iyyah/ahkâmiyyah yang masing-masing mempunyai karakteristik dan kolaborasinya tersendiri. Lihat Jamâl al-Bannâ, Nahwa Fiqh Jadîd (Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmi, t.t.), h. 78-79. 81 Dari buku ini diperoleh informasi bahwa ijtihad fiqih yang benar (al-ijtihâd al-fiqh alhaqq) adalah fiqh yang berinteraksi dengan realitas sosial, yakni saling take and give antara keduanya (fiqh dan realitas). Ahmad al-Raisûnî, dan Muhammad Jamâl Bârût, Al-Ijtihâd: al-Nass, al-Wâqi`, al-Maslahah, (Sûriyyah: Dâr al-Fikr, 2002), h. 62. 82 Dari buku ini diperoleh kajian tentang HAM Internasional, terutama dilihat dari perspektif hukum Islam. 83 Dari buku ini diperoleh komparasi tentang metode-metode hukum Islam dan hukum Barat, dan sebuah tawaran alternatif ke arah metode yang terpadu. 84 Dari buku ini diperoleh informasi, seperti klasifikasi ijtihâd, dan bisa dijadikan bahan untuk melakukan pengkajian terhadap metodologi ijtihâd konvensional. 85 Tentang pengertian deskriptif lihat dalam Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2001), h. 137. 78
xlix
memperbandingkan satu datum dengan datum yang lain, dan kemudian secara tetap membandingkan kategori dengan kategori lainnya.86 Dalam hal ini, konsep al-maslahah para ulama/pemikir diperbandingkan dengan melihat isi dan kategorisas-nya. Pendekatan hermeneutika, yakni teori atau seni untuk memahami teks-teks,87 dalam hal ini teks-teks terkait dengan al-maslahah di atas, juga digunakan untuk mempertajam analisis tersebut, untuk melihat relevansi tidaknya dengan konteks kekinian. Karena penelitian ini bersifat rekonstruktif-interpretatif, maka untuk upaya mereformulasi al-maslahah, digunakanlah metode ilmiah, khususnya filsafat, termasuk Filsafat Hukum Islam.88 Dalam hal ini, filsafat lebih menekankan penampilan argumentasi penalaran keilmuan yang memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil olah pikir peneliti mengenai suatu masalah/topik kajian, dalam penelitian ini tentang maslahah,
maqasid
al-Syarî`ah,
dan
pemikiran
hukum
Islam.
Pendekatan filsafat ini dipilih karena ia mampu mengemukakan agumentasi dalam menangani pertanyaan-pertanyaan secara ketat, konsepsional, metodis, koheren, sistematis,89 mendasar (radikal),90
Lihat Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 287-288. Hermeneutika adalah sebuah teori mengenai cara kerja pemahaman dalam kaitannya dengan penafsiran terhadap teks-teks, dalam (the theory of the operations of understanding in their relation to the interpretation of texs). Paul Ricoeur, Hermeneutics & the Human Sciencis, penerjemah dan editor, John B. Thomson. (Melbourne: Cambridge University Press, 1990), h. 43. 88 Filsafat Hukum Islam adalah filsafat yang menganalisis hukum Islam secara metodis dan sistematis sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya. Lebih lengkapnya adalah suatu pemikiran atau pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan hukum Islam, baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya, atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, menguatkan, dan memelihara hukum Islam, sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah menetapkannya di bumi, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Lihat Djamil, Filsafat Hukum Islam, h. 14. 89 Sistematis di sini artinya pertanyaan yang dicapai melalui berpikir logis, yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggungjawab dan salinghubungan yang teratur. Gazalba, Sistematika Filsafat: Buku Pertama Pengantar Kepada Dunia Filsafat, cet. ke-6 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 27. 90 Radikal berasal dari radix (bahasa Yunani), artinya akar. Maksudnya, sampai ke akarakarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai pada konsekuensi yang terakhir. Dengan demikian, mendasar di sini, berati tidak separuh-separuh, tidak berhenti di jalan, tapi terus sampai ke 86 87
l
universal dan komprehensif, rasional, serta obyektif atau bertanggung jawab.91 Pendekatan sosiologi92 hukum, yakni suatu ilmu pengetahuan yang secara teoritis analitis dan empiris menyoroti pengaruh gejala sosial lain terhadap hukum, dan sebaliknya,93 juga digunakan untuk melengkapi implementasi reformulasi al-maslahah dalam kasus-kasus hukum. Digunakannya pendekatan sosiologi hukum ini karena beberapa kegunaan
yang
memberikan
kemampuan-kemampuan
untuk:
(1)
pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial, (2) mengadakan analisis terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, dan sarana untuk mengatur interaksi agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu, dan (3) mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat.94 Dalam konteks inilah, perubahan hukum yang terjadi dalam suatu masyarakat dapat dilihat secara sosiologis.
3. Definisi Operasional ”Reformulasi al-maslahah” yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perumusan ulang terhadap konsep al-maslahah para ulama klasik dan pemikir kontemporer, sehingga menghasilkan sebuah formulasi baru
ujungnya. Tidak ada yang tabu, tidak ada yang suci, tidak ada yang terlarang bagi berpikir yang radikal ini. Gazalba, Sistematika Filsafat, h. 4, dan 27. 91 Lihat Djamil, Filsafat, h. 14-15. 92 Sosiologi dapat didefinisikan secara luas dan secara sempit. Secara luas sosiologi didefinisikan sebagai ilmu tentang masyarakat dan gejala-gejala mengenai masyarakat. Sedangkan secara sempit sosiologi didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku sosial ditinjau dari kecenderungan individu dengan individu lain dengan memperhatikan simbol-simbol interaksi. Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Agama, (Jakarta, Logos, 1997), h. 13. 93 Lihat Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, edisi ke-16 (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 25. 94 Lihat Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, h. 25-27.
li
al-maslahah. Formulasi baru al-maslahah ini dinamakan dengan alMaslahah al-Maqsûdah ()اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻘﺼﻮدة. ”al-Maslahah” yang direformulasi di atas adalah al-maslahah sebagai sebuah tujuan Syarî`ah dan al-maslahah penarikan hukum Islam,
sebagai metode
yang dirumuskan dalam karya tulis ulama
tradisional abad pertengahan Islam (the ”middle period”), yakni dari tahun 945-1503 M., dan karya tulis pemikir masa kontemporer, yakni abad XIV H./XX M.95 ”Relevansi” yang dimaksud adalah kesesuaian formulasi baru almaslahah tersebut bagi pengembangan pemikiran hukum Islam kontemporer.
Sedangkan
”implementasi”
yang
dimaksud
adalah
penerapan formulasi baru al-maslahah itu dalam pengembangan pemikiran hukum Islam kontemporer. Adapun yang dimaksud ”pemikiran hukum Islam kontemporer” adalah pemikiran hukum Islam pada masa awal abad ke-20 M. hingga sekarang, yang dibatasi pada model ”utilitarianisme religius” (religious utilitarianism) dan ”liberalisme religius” (religious liberalism). Sedangkan yang dimaksud hukum Islam itu sendiri adalah ketentuan Syâri` (Allah s.w.t) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w., baik yang bersifat tekstual (eksplisit, mansûsah) maupun substansial (implisit, ghair mansûsah), yang dihasilkan melalui jalan istinbât atau ijtihâd.
H. Sistematika Penulisan
95 Yang dimaksud para pemikir hukum Islam kontemporer di sini adalah para pemikir hukum Islam generasi kedua setelah para reformis awal (Jamâl al-Dîn al-Qâsimî [1865-1935 M.], Muhammad `Abduh [w. 1905 M.], dan Muhammad Râsyid Ridâ [1865-1935 M.]). Mereka antara lain: Khallâf (1305-1375/1888-1956) asal Mesir, al-Bûtî (l. 1347-1348/1929) asal Syiria, dan Taha (1327 atau 1329-1405 H./1909 atau 1911-1985 M.) asal Sudan, dan Masdar F. Mas’udi (l. 1945-…) asal Indonesia.
lii
Sistematika penulisan penelitian ini dikelompokkan menjadi lima bab. Bab I berisi pendahuluan, terdiri atas: latar belakang masalah; permasalahan yang memuat identifikasi, pembatasan, dan perumusan masalah; tujuan penelitian, signifikansi penelitian; kajian pustaka; metodologi penelitian; dan sistematika penulisan. Urutan penempatan demikian karena latar belakang merupakan dasar pijakan pertama dalam penelitian ini, karena memuat alasan mengapa tema penelitian ini dipilih dan dan layak dibahas. Selanjutnya permasalahan yang terdapat dalam latar belakang masalah diidentifikasi lebih lanjut, diberikan pembatasan, dan dirumuskan, agar menghasilkan penelitian yang terfokus, maksimal, dan tepat sasaran. Adapun tujuan penelitian dimaksudkan agar penelitian ini tidak melenceng dari rumusan masalah sehingga memperoleh jawaban terhadap permasalahan dimaksud. Manfaat penelitian dimaksudkan agar penelitian ini berguna baik secara teoritis dan praktis. Secara teoritis untuk pengembangan pemikiran hukum Islam kontemporer. Secara praktis dapat digunakan sebagai bahan penelitian lanjutan. Kajian pustaka dimaksudkan agar menjadi kerangka konseptual/teori bagi penelitian ini. Metodologi penelitian dimaksudkan untuk mengarahkan penelitian ini berdasarkan sumber data, dan metode penelitian yang dipilih. Terakhir, sistematika penulisan dimaksudkan agar pembahasan dalam penelitian ini saling berkaitan (sinergis). Bab II akan membicarakan tentang reformulasi al-maslahah dalam konteks dinamika perkembangan pemikiran hukum Islam kontemporer. Bab ini meliputi sub bahasan perkembangan pemikiran hukum Islam kontemporer, yang meliputi model utilitarianisme religius, dan model liberalisme religius; dan alMaslahah al-Maqsûdah: model reformulasi al-maslahah yang meliputi bahasan konsep al-maslahah dalam teori pemikiran hukum Islam klasik dan kontemporer, dan al-Maslahah al-Maqsûdah sebagai metode ijtihâd alternatif. Bab ini dimaksudkan untuk mendapatkan kerangka teori/konseptual yang lebih jelas mengenai tema yang dimaksud bagi upaya reformulasi al-Maslahah.
liii
Bab III berupaya untuk memaparkan relevansi al-Maslahah alMaqsûdah dengan maqâsid al-Syarî`ah dan HAM. Di sini dipaparkan makna dan pengembangan maqâsid al-Syarî`ah, dan relevansi maqâsid al-Syarî`ah sebagai paradigma al-Maslahah al-Maqsûdah, serta makna HAM, dan HAM sebagai acuan al-Maslahah al-Maqsûdah. Bab ini menunjukkan bahwa alMaslahah al-Maqsûdah perlu dijadikan sebagai metode ijtihâd alternatif kontemporer karena relevansinya dengan maqâsid al-Syarî`ah dan HAM. Bab IV membahas implementasi metode al-Maslahah al-Maqsûdah bagi pengembangan pemikiran hukum Islam kontemporer. Implementasi alMaslahah al-Maqsûdah ini meliputi bidang hukum ibadah, hukum perdata, dan hukum pidana. Bidang Hukum Ibadah meliputi bahasan zakat include dalam pajak, zakat perusahaan, dan zakat hasil perkebunan. Bidang Hukum Perdata meliputi perkawinan beda agama (PBA), dan waris beda agama (WBA). Bidang Hukum Pidana meliputi kajian eksekusi potong tangan bagi koruptor, dan eksekusi mati bagi pidana terorisme, dan narkotika. Bab ini sangat penting sebagai kelanjutan dari bab tiga sebelumnya. Dalam bab ini akan dihasilkan bentuk dan implementasi teoritis dan praksis dari al-Maslahah al-Maqsûdah, dalam konteks pengembangan pemikiran hukum Islam kontemporer, sehingga mendukung alasan perlunya al-Maslahah al-Maqsûdah dijadikan sebagai metode alternatif ijtihâd kontemporer. Bab V merupakan penutup penelitian ini, yang secara khusus berisi kesimpulan berupa jawaban-jawaban terhadap masalah yang menjadi fokus penelitian ini. Di samping juga memuat implikasi dari kajian yang dilakukan ini bagi perkembangan pemikiran hukum Islam kontemporer maupun aplikasinya dalam konteks kekinian. Selain itu juga memuat rekomendasi atau saran-saran yang dianggap penting terkait dengan penelitian ini.
liv
BAB II REFORMULASI AL-MASLAHAH DALAM KONTEKS DINAMIKA PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM KONTEMPORER
C. Dinamika Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Kontemporer Pemikiran hukum Islam mengalami dinamika perkembangan yang signifikan dari masa ke masa. David Johnston dalam penelitiannya, sebagaimana telah disebutkan dalam bab terdahulu, mengatakan bahwa kajian hukum Islam pada abad ke-20 beralih dari alur pendekatan tekstual (literal) kepada pendekatan
maqâsid
al-Syarî`ah96
atau
substansial-kontekstual.
Kajian
terhadap maqâsid al-Syarî`ah sebagai kajian dan tema tersendiri (mâddah mustaqillah), tidak dicampurkan dengan kajian-kajian lainnya, dalam sejarah ilmu-ilmu keislaman, menurut al-Raisûnî,97 dilakukan oleh Muhammad al-Tâhir ibn `Âsyûr yang kemudian ditulis dalam kitabnya ﻣﻘﺎﺻﺪ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ.98 Kemudian 96 David Johnston, ”A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Tweentieth Century Usûl al-Fiqh”, dalam Islamic Law and Society, 11, 2 (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2004), h. 233-235. 97 Lihat Ahmad al-Raisünî, ”Tasdîr (Pengantar)”, dalam `Abd al-Rahmân Ibrâhîm alKailânî, Qawâ`id al-Maqâsid `inda al-Imâm al-Syâtibî: `Ard-an wa Dirâsah (Damaskus: Dâr alFikr dan al-Ma`had al-`Âlamî li al-Fikr al-Islâmî, 2000), h. 7. 98 Dalam sejarah, sebagaimana tampak dari berbagai literatur, sebelum lahirnya sistematisir teori tentang maqâsid Syarî`ah dalam menetapkan hukum Islam, telah ada metode yang bercorak deduktif-teologis yang dirumuskan al-Syâfi`î, sebagaimana dalam kitabnya al-Risâlah meski di dalamnya juga ada metode istiqrâ` (induksi), namun masih sangat terkungkung dalam teks dan lingustik, karena ia menggunakannya untuk menunjukkan sifat keumumam (`umûm) dan sifat khusus (khusûs) dari terma-terma hanya dapat ditentukan jika ia dikaji dalam suatu konteks linguistik khusus. Baru kemudian konsep al-Syâfi`î itu dielaborasikan oleh imam alHaramain (imam al-Juwainî) dalam kitabnya al-Burhân dalam hubungannya dengan `illat. Selanjutnya konsep al-Juwainî ini dielaborasikan lebih dalam lagi oleh muridnya, al-Ghazâlî dalam kitabnya al-Mustasfâ yang memberikan dua kontribusi pokoknya, yaitu: (1) memperkenalkan dan menegaskan penerapan metode induksi dalam kajian hukum Islam, di mana sebelumnya ijtihâd hukum lebih bersifat deduktif; dan (2) introdusir konsep tujuan hukum (maqâsid syarî`ah) yang salah satu tujuan hukum itu adalah maslahah (maslahat). Pengenalan konsep ini membuka peluang bagi pendekatan-pendekatan sosial (social approaces) terhadap hukum Islam. Kemudian gagasan-gagasan al-Ghazâli ini dikembangkan dan diartikulasikan secara lebih jelas oleh `Izz al-Dîn ibn al-Salâm, seperti terlihat dalam kitabnya Qawâ`id al-Ahkâm, dengan konsepnya jalb al-manâfi` wa daf` al-mafâsid. Selanjutnya --tataran-- konsep ini dikembangkan dan diartikulasikan lebih konkrit lagi oleh al-Syâtibî yang menawarkan pendekatan
lv
usaha ini diikuti `Alâl al-Fâsî, yang diajarkan sebagai mata kuliah di universitas, di mana kemudian ditulisnya dalam buku ( ﻣﻘﺎﺻﺪ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ وﻣﻜﺎرﻣﻬﺎTujuantujuan dan Kemuliaan Syariat Islam).99 Dalam penelitian Hallaq dan Johnston, disebutkan bahwa pendekatan yang menegaskan dan menekankan pada maqâsid al-Syarî`ah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua alur (model):100 pendekatan ”religious utilitarianism” (utilitarianisme
religius)
atau
pendekatan
maqâsidi
(”purposeful”
atau
”purposive”); dan pendekatan ”religious liberalism” (liberalisme religius).101 Menurut Hallaq, secara teologis kedua kecenderungan di atas mengambil kerangka yang luas dari doktrin keagamaan yang diajukan oleh Muhammad `Abduh.102 Kedua model tersebut juga mencanangkan kesamaan tujuan, yakni perumusan kembali teori hukum dalam suatu cara yang (dapat) membawa kepada sintesa nilai-nilai keagamaan dasar Islam secara berhasil, pada satu sisi, dan suatu hukum substantif yang cocok untuk kebutuhan masyarakat modern yang sedang berubah, pada sisi lainnya. Metode-metode yang mereka gunakan untuk sampai pada tujuan ini berbeda secara signifikan. Para utilitarianis keagamaan menuliskan teori mereka terutama dalam kaitannya dengan kepentingan umum (maslahah al-`âmmâh), yang secara tradisional merupakan suatu prinsip penerapan yang agak terbatas, meskipun demikian telah mereka perluas untuk dijadikan sebagai komponen terdepan dari teori dan metodologi hukum. Para utilitarianis ini memberi kontribusi terhadap serangkaian prinsip-prinsip integralistik dan komprehensif berupa induktif-deduktif (istiqrâ` tâmm, istiqrâ’ ma`ânî) ke dalam metodologi yang utuh sebagai alternatif pendekatan aksiomatik sebelumnya. Kemudian dalam tataran konsep, konsep maslahahnya al-Syâtibî diliberasikan oleh al-Tûfî. 99 Buku tersebut ditulis pada tahun 1963 di Rabat, dan diterbitkan oleh Maktabat alWahdah al-`Arabiyyah, al-Dâr al-Baidâ’, tt. 100 Kata ”model” di sini berarti contoh, acuan, ragam, atau macam. Lihat. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, edisi ke-12 (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 653. 101 Tentang pengertian kedua pendekatan tersebut lihat dalam Bab I, footnote nomor 31. Dalam konteks perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia terdapat model pemikiran yang termasuk dalam kedua model di atas, yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu model pemikiran kontekstualisasi fiqh mazhab klasik, dan rekonstruksi penafsiran. Selain dua model ini, masih ada dua model yang lain, yaitu fiqh madzhab nasional, dan fiqh sosial. Tentang hal ini lihat Mahsun Fuad, Hukum Islam di Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LKiS, 2005). 102 Hallaq, A History, h. 214, dan Johnston, ”A Turn”, h. 255.
lvi
partikular yang diletakkan oleh para fuqahâ’ awal dan abad pertengahan. Akan tetapi, menurut Hallaq, prinsip ini kemudian ditanamkan oleh mereka secara agak nominal (dangkal), dimanipulasi, dan prinsip-prinsip itu disusun kembali ke arah yang lebih maju.103 Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh para fuqahâ’ tradisional dan pemaknaan mereka, pada satu sisi, dibuang oleh para liberalis keagamaan secara keseluruhan, --meskipun masih jauh dari perkembangan yang baik--, merupakan fenomena baru dalam peradaban Islam. Sungguhpun demikian, hal itu bukanlah asumsi-asumsi substantif mereka. Tampaknya mereka telah mengambil aspek rasional dari tesis `Abduh bersama-sama pemikiran yang dikembangkan para penerusnya, dalam hal ini `Abduh mungkin diklaim, secara paradoks, sebagai bapak ideasional kaum utilitarianis, dan sekaligus intelektual-moderat yang jauh dari kaum liberalis.104 Berikut akan diuraikan kedua model pemahaman hukum Islam tersebut. 1. Model Utilitarianisme Religius Pada bagian ini pembahasan akan dibatasi pada bibit atau akar utilitarianisme religius dan sebuah pemikiran kelanjutan darinya. Pemikiran hukum yang termasuk dalam aliran utilitarianisme religius, di antaranya, juga akan dibahas pada pembahasan tentang ”Konsep Maslahah dalam Teori Hukum Islam Klasik dan Kontemporer”. Bibit utilitarianisme religius ini, sebagaimana dalam penelitian Hallaq, dan Johnston,105 berasal dari tulisan `Abduh, yang diwariskan kepada Ridâ, seorang pengikutnya, yang dimaksudkan untuk memberi bentuk dan isi bagi ide yang secara potensial penuh dengan kekuatan. Landasan tesis aliran utilitarianisme ini adalah konsep al-maslahah yang, seperti akan
Hallaq, A History, h. 214. Hallaq, A History, h. 214. 105 Lihat Hallaq, A History, h. 214 , dan Johnston, ”A Turn”, h. 256. 103
104
lvii
dibahas pada bagian selanjutnya,106 juga telah menjadi agak kontroversial di kalangan para juris tradisional. Singkatnya, tentang doktrin Ridâ, sebagaimana dikatakan Halaq, sama dengan penolakan total terhadap teori hukum Islam tradisional. Teori Ridâ menarik karena konsep yang sangat terbatas dan minor dalam teori hukum tradisional tersebut digambarkan oleh Ridâ secara ekstensif dan diberikan penekanan pada konsep kepentingan (darûriyyah) dan kebutuhan atau minat (hâjah/tahsîniyyah).107 Gagasan-gagasan tentang kepentingan, kebutuhan dan minat ini, terutama dikemukakan al-Tûfî dan al-Syâtibî, menjadi paradigma yang mapan dalam teori Ridâ. Dengan demikian, di samping masalah-masalah ibadah ritual keagamaan yang tetap berada dalam wilayah wahyu, Ridâ menguatkan teori hukum secara ketat yang berhenti pada hukum alami, di mana pertimbanganpertimbangan kebutuhan, kepentingan dan keperluan akan sangat mengemuka dalam uraian bangunan hukumnya. Teks-teks wahyu tertentu, secara epistemologis mungkin dapat dikesampingkan bila bertentangan dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut. Tampaknya, Ridâ sedang mempersiapkan landasan bagi pemisahan total keagamaan dari bidang non keagamaan yang ketat, masalah-masalah duniawi. Akan tetapi, ia merupakan teori yang tersusun dari perubahan radikal dari nilai-nilai keagamaan hukum tersebut, nilai-nilai yang sulit dilepaskan oleh dunia Muslim. Kesulitan ini terjadi karena alternatif yang ditawarkan Ridâ kehilangan dasar keagamaan yang benar dan kedalaman teoritisnya yang
Yakni pada pembahasan Sub B tentang Konsep Maslahah Klasik. Ridâ berpandangan bahwa anggapan para mayoritas fuqahâ’ tradisional tentang maslahah sebagai sesuatu yang asing, sumber yang kontroversi (masdar al-tasyrî` al-mukhtalaf fîh), merupakan sebuah miskonsepsi umum. Dengan berdasarkan fakta ia menegaskan bahwa maslahah adalah metode integral untuk proses-proses penemuan ratio legis (alasan hukum) yang tentu saja mempunyai kecocokan (munâsabah) atau relevan (mulâ’amah). Lebih jauh tentang pandangan Ridâ lihat Rasyîd Ridâ, Yusr al-Islâm wa Usûl al-Tasyrî` al-Amîn (Kairo: Matba`at Nahdat Misr, 1956), h. 72-76, dan 130. 107 Lihat Hallaq, A History, h. 219. 106
lviii
dapat bersaing, secara sukses, serta sesuai dengan prestasi-prestasi intelektual yang telah mengesankan dari teori hukum tradisional.108 Di antara pemikir yang mengikuti cara Ridâ dalam pemikiran tersebut adalah Hasan Turâbî, seorang pemikir dan politisi Sudan. Meskipun demikian, pemikiran Turâbî ini tidaklah berarti sama dengan pemikiran hukum Ridâ. Turâbî termasuk orang yang meninggalkan konvensi teori hukum yang dianggapnya sebagai sesuatu yang telah usang dan tidak ada hubungannya dengan realitas dan permasalahanpermasalahan kehidupan modern. Menurutnya, tantangan-tantangan masyarakat modern memerlukan pendekatan yang holistik terhadap persoalan-persoalan hukum, dan teori konvensional justeru mengurangi mekanisme itu untuk mengakomodasikannya menjadi suatu pendekatan. Meskipun metode eklektik yang diadopsi dalam pembaruan hukum modern telah menguatkan ikatan-ikatannya dengan teori konvensional, tetapi metode itu sendiri ternyata kekurangan suatu bangunan teori yang terartikulasikan secara baik. Oleh karena itu sepanjang identitas hukum diperhatikan, Turâbî benar-benar sadar akan ketertinggalan teori konvensional yang juga membutuhkan artikulasi sebagai teori alternatif yang
dapat
mendukung,
secara
sukses,
struktur
pokok
hukum.
Bagaimanapun, menurutnya, struktur ini mungkin diperlukan.109 Dalam konteks teori alternatif tersebut, Turâbî mengusulkan dua teori, yang sebenarnya berakar dari teori hukum tradisional. Kedua teori itu disebutnya sebagai ( اﻟﻘﻴﺎس اﻹﺟﻤﺎع اﻟﻮاﺳﻊal-qiyâs al-ijmâ` li al-wâsi`), yakni analogi yang menyeluruh dan ekspansif, dan ( اﻹﺳﺘﺼﻼح اﻟﻮاﺳﻊalistislâh al-wâsi`), yakni al-istislâh yang ekspansif). Yang pertama, dia persamakan dengan apa yang dinamakannya sebagai ﻗﻴﺎس اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﺮﺳﻠﺔ (qiyâs al-maslahah al-mursalah, analogi kepentingan umum). Namun, ia tidak mendefinisikan makna qiyâs ini secara tepat, dan penilaian
108 109
Hallaq, A History, h. 219-130. Lihat Hasan Turâbî, Tajdîd Usûl al-Fiqh (Beirut dan Khartum: Dâr al-Fikr, 1980), h. 7-11.
lix
terhadapnya sepenuhnya diserahkan kepada pembacanya. Sedangkan istilah istislâh al-wâsi`, dikatakannya diambil dari teori tradisional, tetapi dengan cara pemutarbalikan. Agama, menurutnya, tidak pernah bermaksud membatalkan (naskh) semua yang telah mendahuluinya. Nabi, misalnya, tidak mengubah semua praktik dan hukum-hukum praIslam, tetapi beliau lebih bertujuan membetulkan kembali aspek-aspek kehidupan yang telah berlangsung salah dan melawan prinsip-prinsip agama baru (Islam).110 Singkatnya, tajdîd teori hukum Turâbî masih bersifat umum dan tidak jelas. Dengan demikian, karena tidak ada artikulasi sebuah teori yang terurai dan rinci yang dibuat Turâbî, dapat dikatakan, ia tidak menawarkan sebuah program hukum yang memadai untuk mendukung apa yang disebut sebagai ”Revolusi Turâbî”.111 Berdasarkan analisis di atas, pada akhirnya, dapat dinyatakan bahwa kepercayaan atas konsep istislâh dan keperluan (necessity), dua unsur utama dalam teori-teori yang didukung oleh aliran utilitarianisme keagamaan, menjadi suatu subyektivisme yang kurang signifikan dalam pandangan beberapa reformis yang berlawanan dengan aliran ini.112 Meskipun
demikian,
usulan
yang
dikemukakan
Turâbî
tersebut
memperkuat upaya penggalian metode ijtihâd alternatif. Secara lebih spesifik, hal itu mendukung perlunya reformulasi al-maslahah yang menjadi konsen penelitian ini. 2. Model Liberalisme Religius Menurut Hallaq,113 pendekatan liberalis ini dipandang sebagai prinsip-prinsip yang bermanfaat karena kebutuhan (darûrah), dan keperluan (hâjâh/tahsîniyyah), yang dipandang oleh Liberalis sebagai Lihat Hallaq, A History, h. 228. Lihat Hallaq, A History, h. 230. 112 Hallaq, A History, h. 231. 113 Hallaq, A History, h. 231. 110 111
lx
prinsip yang diadopsi oleh para reformis, namun metodologi mereka tidaklah sama. Minimnya penggunaan metodologi tersebut, tidak dapat disangkal,
membawa mereka kepada hal-hal negatif daripada positif,
yakni kecenderungan mereka menafsirkan teks secara literal tradisional yang di samping tidak tepat juga tidak bisa mengadopsi hukum pada setiap perubahan situasi. Di antara pemikiran yang termasuk dalam aliran liberalisme ini adalah pemikiran hukum al-`Asymâwî,114 Rahman, dan Syahrûr. Berikut akan diuraikan pemikiran hukum mereka, secara berurutan. Kerangka teori al-`Asymâwî sangat membedakan antara agama sebagai ide murni dan sebagai pemikiran untuk menguraikan ide murni tersebut. Agama sebagai suatu ide atau sistem ide dan kepercayaan bersifat
Ketuhanan
dan
tidak
bisa
diletakkan
dalam
konteks
kemanusiaan. Sementara pemikiran keagamaan seluruhnya adalah produk manusia dan sangat berkaitan dengan masyarakat, tidak bisa dipisahkan dari realitas tertentu dan sejarah masyarakat.115 Dengan pemahaman akan perbedaan antara agama dengan pemikiran
ini,
pertama-tama
al-`Asymâwî
membebaskan
hukum
tradisional dari sisi-sisi idealis keagamaannya. Sisi-sisi idealis ini dikupasnya secara lengkap dalam apa yang disebutnya sebagai ”Usûl alSyarî`ah” (Prinsip-prinsip Umum Syariat).116 Prinsip-prinsip umum ini memuat beberapa prinsip yang dilegitimasi oleh al-Qur’ân dan lingkungan (konteks) di mana al-Qur’ân diturunkan (asbâb al-nuzûl).117
114 al-`Asymâwî adalah seorang yang mempunyai karir akademis dan pengacara, memegang jabatan sebagai penasehat pengadilan tinggi dan anggota komisi pemerintah pembuat UU. Ia juga menjadi ketua pengadilan perkara pidana dan guru besar bidang hukum Islam dan perbandingan di Universitas Kairo. 115 al-`Asymâwî, Usûl al-Syarî`ah, (Beirut: Dâr Iqrâ’, 1983), h.52-53. 116 Lihat al-`Asymâwî, Usûl al-Syarî`ah, h. 55. 117 Prinsip-prinsip umum tersebut sebagai berikut. Pertama, penurunan Syarî`ah berhubungan dengan berdirinya masyarakat-agama, dan penerapannya bergantung pada keberadaan masyarakat ini. Artinya Syarî`ah lebih dari sekedar kumpulan UU dan sanksi. Syarî`ah adalah pandangan hidup (weltanschaung), jika kita menghendakinya. Kedua, Syarî`ah turun karena sebab-sebab yang menghendakinya, dan sebab-sebab turunnya Syarî`ah itu tidak
lxi
Pengelaborasian prinsip-prinsip umum tersebut, dikatakan al`Asymâwî, bukanlah hanya sekedar menyusun teori tetapi lebih, dan ini tujuan utamanya, sebagai landasan bagi sistem hukum positif yang fungsinya untuk menghadapi, secara efektif, realitas yang terjadi di masyarakat maupun perubahan situasi dan kondisi (lingkungan)nya. Namun, sebagai teori hukum yang membatasi dirinya pada sebuah visi ideal, konsekuensinya adalah justeru akan terpisah dari realitas masyarakatnya dan kemudian menjadi sangat kontradiksi dengan semangat Islam.118 Adapun pemikiran hukum Rahman, yang termasuk dalam kategori liberalisme religius ini, adalah The Double Movement Theory (Teori Gerak Ganda). Teori Gerak Ganda ini memuat dua gerakan: gerakan pertama adalah pemunculan prinsip umum dari khusus ke umum, dan dari umum ke khusus. Adapun gerakan kedua dimulai dari pandangan memiliki kesesuaian (munâsabah) dengannya. Prinsip ini berarti bahwa interpretasi yang benar terhadap Syarî`ah adalah harus mendasarkan kepada alasan-alasan khusus untuk dilaksanakan bersama realitas manusia. Ketiga, prinsip bahwa Syarî`ah dipandang untuk maksud melayani kepentingan umum, dan penghilangan terhadap salah satu ayat oleh ayat yang lain (nâsikh) tidak memiliki fungsi untuk melayani kepentingan itu. Keempat, prinsip bahwa perubahan ayat alQur’ân yang secara langsung atau tidak berkenaan dengan Nabi, mengacu pada pembagian hukum klasik dan pertengahan, yaitu ayat yang mempunyai arti universal dan ayat yang khusus untuk diri Nabi. Yang pertama diperuntukkan untuk seluruh manusia, sementara yang kedua tidak, meskipun kebanyakan ayat secara jelas memiliki suatu klasifikasi, ada juga ayat yang tidak secara jelas bisa diklasifikasikan/dikategorikan. Ayat seperti ini melalui penafsiran bisa ditentukan masuk dalam salah satu dari dua kategori tersebut. Kelima, hubungan dengan masa lalu (praIslam) tidak terputus, akar-akarnya juga tidak terputus dari masyarakat tempat diturunkan Syarî`ah, tetapi Syarî`ah mengambil sesuatu dari pranata-pranata dan budaya-budaya masyarakat untuk dijadikan sebagai hukum. Keenam, kesempurnaan Syarî`ah bisa diraih dengan menyesuaikan pada kondisi sosial dan kepentingan manusia yang terus menerus berubah. Di sini ia kembali pada perbedaan antara agama, sebagai ide murni, dan sistem agama sebagai kreasi manusia yang didasarkan pada ide murni tersebut. Syarî`ah tidak lain kecuali suatu cara atau metode (minhâj) untuk menyatakan kepercayaan manusia kepada Tuhan, dan masing-masing kelompok atau negara menyusun cara tertentu yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk menyatakan kepercayaannya pada satu-satunya Tuhan. Lihat al-`Asymâwî, Usûl al-Syarî`ah, h. 55-70. Signifikansi prinsip di atas dikritik Hallaq, bahwa tidak seluruhnya jelas. Mungkin yang menarik untuk dipertimbangkan dalam agenda liberal al-`Asymâwî adalah bahwa ia memperkenalkan prinsip supaya bisa menggali doktrin Abad Pertengahan, di mana doktrin Abad Pertengahan ini mengacu pada ayat-ayat yang relevan pada diri Nabi, tetapi tidak relevan secara universal, dan jumlah ayat ini sedikit. Dengan hanya mengupas isi ayat-ayat yang berkaitan (terbatas) hanya pada diri Nabi, secara terbatas, mungkin bisa disimpulkan bahwa al-`Asymâwî ingin mengurangi sejumlah ayat dan meminimalisir peran al-Qur’ân dengan hukum positif kontemporer, tetapi pendapatnya ini belum jelas dalam tulisannya. Hallaq, A History, h. 234-235. 118 Lihat Hallaq, A History, h. 236.
lxii
umum (yakni, yang telah disistematisasikan melalui gerakan pertama) menjadi pandangan-pandangan spesifik (the spesific view) yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang ini. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum tersebut harus dirumuskan (embodied) dalam konteks sosio-historis yang kongkret sekarang ini.119 Maksud dari gerakan kedua, adalah agar prinsip-prinsip umum yang diperoleh dari pemahaman ayat dikontekstualisasikan dengan kondisi masyarakat Islam dewasa ini, sebagaimana perlunya asbâb al-nuzûl untuk memahami maksud ayat. Ketika situasi sekarang ini tidak bisa diidentikkan dengan situasi pada zaman Nabi dan ketika bisa dibedakan dari hal-hal penting tertentu, maka prinsip-prinsip umum al-Qur’ân (dan Sunnah) perlu diterapkan pada situasi sekarang dengan cara mengembangkan yang baik dan apa yang seharusnya ditolak. Tetapi, di sini Rahman menjelaskan secara jelas untuk menjawab pertanyaan tentang kriteria apa yang digunakan untuk menolak hal penting tersebut. Sebab jika hal ini penting dan tetapi dinetralisir, makin tidak ada jaminan bahwa unsur pokok al-Qur’ân atau Sunnah atau bahkan prinsip-prinsipnya tidak akan dibatalkan. Metodologi Rahman ini pun, tidak lepas dari kritik, dipandang masih menyisakan kelemahan. Hal itu karena tidak disandarkan pada semua mekanisme gerakan kedua, yakni pengaplikasian prinsip-prinsip yang sistematis yang didapat dari teks dan konteksnya pada situasi baru. Lebih lanjut, seperti dikatakan Hallaq, beberapa kasus yang kadangkadang dia ulang dalam tulisannya tidak mewakili semua spektrum kasus hukum. Metodenya tidak berupa outline (garis besar) yang komprehensif, yang bisa disumbangkan kepada dunia Islam modern untuk memecahkan problem-problem mereka secara alamiah. Hal ini tampak berbeda dari
Fazlur Rahman, Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, 8th edisi (Chicago: The University of Chicago Press, 1996), h. 7. 119
lxiii
apa yang selalu dikatakannya.120 Meskipun tetap saja ada kelemahan dalam pendekatan Rahman tersebut, pendekatan yang ditawarkannya, terkait dengan penelusuran konteks ayat (asbâb al-nuzûl), menjadi penting dalam merumuskan metode ijtihâd yang bersandar para prinsipprinsip umum, dalam hal ini maqâsid al-Syarî`ah. Inilah relevansi pendekatan Gerak Ganda yang ditawarkan Rahman, yang bida dikembangkan untuk mendukung upaya reformulasi al-maslahah. Adapun pemikiran hukum Syahrûr, yang termasuk dalam model liberalisme religius ini, adalah ( ﻧﻈﺮﻳﺔ اﻟﺤﺪودTheory of Limits, Teori Limit [Teori Batas]). Tampaknya Teori Batas ini lebih revolusioner dan jelas dibandingkan dua teori sebelumnya. Teori Batas Syahrûr dapat dijelaskan bahwa perintah Tuhan yang diekspresikan dalam al-Kitâb121 dan al-Sunnah mengatur/memberikan batas yang lebih rendah (اﻟﺤﺪ اﻷدﻧﻰ, a Lower Limit) dan batas yang lebih tinggi (اﻟﺤﺪ اﻷﻋﻠﻰ, a Upper Limit) kepada seluruh perbuatan-perbuatan manusia, Batas Bawah mewakili ketentuan hukum minimum dalam sebuah kasus tertentu (partikular), dan Batas Atas yang merupakan batasan maksimumnya. Batasan minimum tersebut adalah ketentuan yang diperkenankan secara hukum, dan tak ada sesuatu yang melebihi batasan maksimum yang mungkin diterima menurut hukum. Ketika batasan-batasan ini dipentingkan, hukuman-hukuman menjadi dapat dijamin, sesuai dengan ukuran pelanggaran (kesalahan) yang dilakukan.122
Elaborasi metodologi Rahman dikritik oleh Hallaq, tampaknya lebih terbatas pada pemahaman teks al-Qur’ân daripada mengelaborasikan suatu metodologi hukum yang lebih sempurna. Hallaq, A History, h. 236. 121 Syahrûr membedakan istilah al-Qur’ân dan al-Kitâb. Yang terakhir lebih luas cakupannya dari daripada yang pertama. al-Qur’ân merupakan bagian dari al-Kitâb. Al-Kitâb adalah istilah umum (generic term) yang mencakup pengertian seluruh kandungan teks tertulis (mushaf), yang dimulai dari surat al-Fâtihah dan diakhiri dengan surat al-Nâs. Sedangkan alQur’ân adalah istilah khusus yang hanya mencakup salah satu bagian dari al-Kitâb. Hal ini telah terlihat dari judul bukunya Muhammad Syahrûr, al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu`âsirah, (Mesir: Sînâ li al-Nasyr- al-A`âlî, 1992). 122 Syahrûr membagi 6 (enam) tipe Batas. Tentang keenam tipe Batas ini lihat Syahrûr, alKitâb wa al-Qur’ân, h. 453-466, Hallaq, A History, h. 248-250. 120
lxiv
Teori Batasnya Syahrûr di atas menggunakan Sunnah sepadan dengan al-Kitâb. Sunnah, dalam pandangannya, merefresentasikan sebuah model metodologi hukum. Sunnah --dinyatakannya secara jelas, sebagaimana al-Kitâb, tidak memberikan ketentuan secara niscaya terhadap kasus-kasus hukum spesifik dan kongkret, tetapi lebih menyediakan jalan metodologi (minhâj) untuk konstruksi sebuah sistem hukum. Bagian-bagian dalam Sunnah yang demikian adalah kondusif untuk membuat metodologi, dan Teori Batas yang akan diambil sebagai sesuatu teori yang relevan. Hal itu, tidak akan diambil sebagai sesuatu yang ekslusif begitu saja dari kehidupan pribadi Nabi dan sebagai yang tidak mengikat seorang pun, tapi mengikat mereka yang hidup pada masa beliau. Artinya, sunnah bersifat temporer, tidak permanen, tidak berlaku untuk setiap zaman, namun berlaku pada masa sunnah itu berlangsung. Teori Batas Syahrûr tersebut dihasilkan melalui pembacaan kontemporer (ﻗﺮاءة ﻣﻌﺎﺻﺮة, qirâ’ah mu`âsirah) terhadap konsep al-Qur’ân dan Sunnah (tepatnya pembacaan hermeneutika hukum al-Qur’ân kontemporer). Qirâ’ah mu`âsirah didasarkan kepada prinsip-prinsip pembacaan kontemporernya. 123 Dalam
Teori
Batas
Syahrûr,
yang
dihasilkannya
melalui
pembacaan kontemporer, terutama dialektika antara al-istiqâmah dan alhanîfiyyah tersebut, tampak bahwa kemaslahatan dibingkai dengan batasan yang terdapat dalam ketentuan yang tersebut dalam suatu nass. 123 Prinsip-prinsip ini memuat antara lain konsep al-Tanzîl al-Hakîm, tentang tidak adanya nâsikh-mansûkh di antara lembaran-lembaran mushaf yang mulia itu (al-Qur'an). Setiap ayat memiliki area dan setiap hukum memiliki ruang untuk pengamalannya. Prinsip-prinsip ini merupakan hal yang relevan untuk dijadikan landasan bagi pembacaan kedua (al-qirâ’ah altsâniyyah) terhadap al-Qur’ân dan Sunnah yang diakui Syahrûr bukanlah sesuatu yang telah final. Melalui pembacaannya terhadap ayat-ayat al-Qur’ân ia menemukan kandungan dua istilah yaitu hanîfiyyah dan istiqâmah. Hanîfiyyah diartikan oleh Syahrûr sebagai penyimpangan dari jalan yang lurus. Istiqâmah, sebagai lawan hanîfiyyah, berarti mengikuti jalan yang lurus. Hubungan antara keduanya (hanîfiyyah dan istiqâmah) itu sepenuhnya dialektis, kesatuan dan perubahan, yang saling mengikat. Dialektika ini diperlukan karena hal itu menunjukkan bahwa hukum itu bisa atau dapat beradaptasi di setiap waktu dan tempat (sâlih likulli zamân wa makân). Hubungan inilah yang melahirkan Teori Batas di atas. Lihat Muhammad Syahrûr, Nahwa Usûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî: Fiqh al-Mar’ah [al-Wasiyyah, al-Irts, al-Qiwâmah, al-Ta`addudiyyah, al-Libâs], (Suriyyah: al-Ahâlî li al-Tibâ`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî`, 2000), h. 189-193.
lxv
Kemaslahatan yang diambil tetap harus berada dalam lingkaran kemaslahatan yang ditunjuk oleh nass, -- dalam konsep Usûl al-Fiqh konvensional disebut maslahah mu`ta-barah, meskipun tidak harus persis sama dengan ketentuan eksplisit nass. Adapun kasus hukum yang tidak ada ketentuan eksplisitnya dalam nass, seperti masalah pajak, bea cukai, dan semisalnya, di mana terdapat kemaslahatan di dalamnya, maka termasuk ke dalam kategori masâlih mursalah.124 Di sinilah relevansi Teori Batas Syahrûr, di mana lebih fleksibel jika dibandingkan dengan pendekatan literalis yang memahami hukum berdasarkan tekstual nass. Meskipun demikian, Teori Batasnya tetap saja mengandung kelemahan, antara lain, masih terikat pada batasan yang ada dalam nass. Meskipun demikian, dia telah memberikan kontribusi yang penting bagi pemikiran hukum Islam. Menurut Hallaq, dari seluruh usaha untuk mereformulasi teori hukum, baik dari aliran utilitarianisme religius maupun liberalisme religius, pandangan-pandangan Syahrûr, hingga kini paling meyakinkan, walaupun pandangan Rahman tidak tertinggal jauh. Menurut Hallaq,125 puncak keberhasilan dari suatu metodologi hukum bergantung tidak hanya integritas intelektual dan tingkat kepintaran dalam berteori akan tetapi bergantung juga pada kemungkinan dibuatnya metodologi hukum itu dalam konteks sosial. Inilah letak perbedaan lain yang mungkin dapat dibuat antara apa yang disebut Hallaq dengan kaum utilitarianis yang sedikit banyak telah terimplementasikan dalam sistem-sistem hukum di banyak negara-negara Islam. Pada kenyataannya, mazhab `Abduhlah yang
124 Dalam kasus-kasus demikian, yakni masalah-masalah yang tidak ada nassnya, Syahrûr mengikuti tradisi para juris tradisional, yang menempatkan masalah tersebut ke dalam lingkup masâlih mursalah, yang semuanya harus ditentukan aturannya sendiri oleh sebuah otoritas pemerintahan atau lainnya. Negara dan masyarakatlah yang menetapkan ketentuannya terhadap persoalan-persoalan yang tidak diatur ketentuannya oleh nass. Dalam masalah pajak, misalnya, Batas Bawah adalah nol (zero), sedangkan Batas Atasnya (harus) ditentukan sesuai dengan kondisi-kondisi sosial dan ekonomi yang cocok dengan suatu tempat dan waktu tertentu. Syahrûr, al-Kitâb wa al-Qur’ân, h. 474-475. 125 Hallaq, A History, h. 253-254.
lxvi
telah memainkan peranan utama dalam membawa bentuk perubahanperubahan. Kaum utilitarianis belakangan, seperti Khallâf,126 telah merasionalisasikan kemapanan, daripada menelorkan suatu teori hukum baru atau merumuskan sebuah metodologi. Di lain pihak, pemikir aliran keagamaan liberalis seperti Syahrûr ternyata telah menghadapi tantangan keras dari sebuah kelompok pergerakan Islamis yang kuat dan besar. Syahrûr merupakan salah satu dari pemikir liberalis religius yang secara khusus menawarkan konsepsi hukum dan metodologi hukum baru yang telah dibuktikannya, meskipun tidak lepas dari pelbagai kelemahan, yang hingga kini pun masih asing bagi mayoritas umat Islam.127 Penolakan terhadap kaum liberalis tersebut terasa aneh dan ironis, karena mereka tidak hanya menawarkan metodologi hukum yang padu dan baik, tetapi juga lebih menjalankan sistem pemikiran yang Islami. Kaum keagamaan utilitarian, seperti Ridâ, Turâbî, dan lainnya, memberikan tidak lebih dari sekedar lips service terhadap nilai-nilai hukum Islam. Puncak bingkai rujukan mereka tetap terbatas pada konsep-konsep bunga, kebutuhan (darûriyyât), dan keperluan (hâjiyyât). Dalam analisis terakhir ini, teks-teks wahyu menjadi patuh kepada perintah-perintah dari konsep-konsep tersebut. Di lain pihak, metodologimetodologi Rahman dan Syahrûr tidak mau menerima pada konsep-konsep itu. Penggunaan ide-ide yang tersusun dari analisis tekstual dan kontekstual dimaksudkan untuk menempatkan sebuah hukum humanis yang akan mendorong dan membimbing secara umum, dan bukan didekte secara literal dan tekstual oleh maksud wahyu.128 Dalam konteks inilah, pendekatan yang diusulkan Rahman dan Syahrûr tersebut lebih dekat kepada maksud wahyu yang lebih bersifat substantif. Maksud wahyu yang 126 Dalam hal ini termasuk juga al-Fâsî. Ia mengadopsi konsep hukum al-Syâtibî, al-Fâsî berpendapat bahwa hukum Islam bisa menjadi sistem hukum bagi negara modern. Dia berpendapat bahwa Syarî`ah berbeda dari setiap sistem hukum yang lain dalam menegakkan keadilan (`adl, `adâlah). Tentang pandangan al-Fâsî lihat Opwis, ”Maslahah”, h. 206. 127 Hallaq, A History, h. 254. 128 Hallaq, A History, h. 254.
lxvii
substantif tersebut merupakan maqâsid al-Syarî`ah yang menjadi paradigma bagi upaya reformulasi al-maslahah.
D. al-Maslahah al-Maqsûdah: Model Reformulasi al-Maslahah 1. Perkembangan Konsep al-Maslahah a. Konsep al-Maslahah Klasik Sebelum melakukan reformulasi al-maslahah, terlebih dahulu akan dikemukakan tentang perkembangan konsep al-maslahah itu sendiri, dari klasik sampai kontemporer. Hal ini penting agar tidak kehilangan kesinambungan dinamika yang ada dalam konsep almaslahah itu sendiri satu masa dengan model reformulasinya. Dalam hukum Islam, aturan-aturan yang didasarkan atas pertimbangan maslahah atau kebaikan sosial telah ditemukan dalam karya-karya hukum sepanjang abad ke-2 H./ke-8 M. dan ke3 H./ke-9 M. Menurut Opwis,129 sebagai istilah teknis kata istislâh telah digunakan oleh Muhammad bin Ahmad al-Khawarazmî (w. pasca 387/997), dalam karyanya Mafâtih al-`Ulûm (Kunci-Kunci Pembuka Ilmu), ketika menyebut disiplin-disiplin intelektual dan materi-materi subjek mereka. Pada saat mendaftar sumber-sumber hukum (usûl alfiqh), penggunaan istislâh itu dinisbatkannya kepada mazhab Mâlikî. Namun, di antara karya-karya paling awal tentang teori legal yang memuat kajian maslahah masih dalam bentuknya yang belum tersusun secara sistematis dan jelas, misalnya karya yuris Hanafî Abû Bakr al-Jassâs (w. 370/980). Meskipun demikian, terobosan konsep maslahah telah berlangsung pada akhir abad ke-5/11, ketika al-
Facilitas Opwis, ”Maslahah in Contemporary Islamic Legal Theory”, dalam Islamic Law and Society 12, 2, Leiden, (2005), h. 188. 129
lxviii
Ghazâlî, yuris Syâfi`î, mendefinisikan maslahah dalam sebuah model yang terukur. Pertimbangan maslahah yang diterapkan sebagai sarana untuk membawa
perubahan
hukum
ternyata
masih
kontroversial.
Kontroversi itu terpusat pada epistemologi; apakah mungkin akal mampu mengungkap maslahah tanpa petunjuk (dalil) yang jelas dari sumber-sumber hukum suci. Secara teknis perdebatan tersebut adalah seputar maslahah mursalah, yang tidak ada petunjuk dalam Qur’ân, Sunnah, maupun ijmâ`. Jika jawabannya adalah ya, maka para juris perlu merancang cara-cara yang tepat digunakan untuk mengidentifikasi dan membatasi apakah sesuatu itu dipandang sebagai maslahah yang valid secara hukum. Menurut Opwis,130 secara teoritis, para yuris dapat mencapai kepastian hukum melalui dua cara. Mereka dapat mengadopsi rasionalitas legal formal atau legal substantif (a formal or a substantive legal rationality). Istilah ini digunakannya dengan mengikuti tipologi rasionalitas legal Weber, yang menerima dua kategori ini sebagai ”tipe ideal” (”ideal types”) baik dari tipe yang eksis dalam konsistensi logis penuh dalam setiap sistem hukum yang kongkret maupun teori hukum; daripada yang konsistensinya sebagai tipe campuran (mixed types). Ketika yuris mengikuti rasionalitas legal formal dalam proses-proses penemuan hukum, maka keabsahan ketentuan hukum yang diderivasikan tersebut bergantung kepada penerapan aturan-aturan prosedural yang terbatas; kebenarankebenarannya dari prosedur yang lebih sistematis dan logis tersebut mendukung kepastian legal dan meminimalisir subjektivitas dan kesewenang-wenangan. Metode qiyâs dengan prosedur formalnya untuk menentukan ratio legis (`illah) adalah contoh bagi rasionalitas legal formal. Dalam qiyâs, dengan analisis logis, yuris membuat satu 130
Opwis, ”Maslahah”, h. 192.
lxix
atau beberapa kriteria yang mengidentifikasi ratio legis dalam kasus asli, ketentuan pokok (asl), yang, jika diakui terdapat dalam situasi baru, maka mendukung penggolongan suatu kasus cabang (far`) kepada ketentuan hukum yang sama seperti yang ada pada ketentuan hukum asal. Ketentuan hukum bagi kasus baru tersebut memperoleh validitasnya dari penerapan metode penemuan hukum yang benar, seperti qiyâs. Jadi, langkah-langkah formal dalam menentukan ratio legis (`illah) yang benar adalah langkah yang paling penting dalam metode ini, yang harus diikuti yuris. Sebaliknya, kalangan yuris yang mengikuti rasionalitas substantif dalam proses penemuan hukum (the law-finding process) melakukan evaluasi apakah hukum yang diturunkan dari hukum asal itu sesuai dengan tujuan etis wahyu (the ethical purpose of the law); hukum yang lebih dekat dengan tujuan hukum (maqâsid alSyarî`ah), lebih dekat dengan kepastian legal. Validitas ketentuan hukum yang dicapai melalui cara seperti itu tidak terlalu berpijak pada penerapan secara formal metode penemuan hukum yang benar, namun lebih menekankan pada keserasiannya dengan norma-norma dan persepsi-persepsi abstrak yang dibuat untuk mewakili alasanalasan penting dan tujuan hukum. Alasan-alasan mendasar itu biasanya dirumuskan sebagai prinsip-prinsip umum. Misalnya, ketika membuat ketentuan-ketentuan dasar perihal hukum akad, para yuris bisa membuat identifikasi yang memberikan tujuan untuk melindungi harta (hifz al-mâl).131 Sebagai contoh untuk rasionalitas substantif adalah prinsip sadd al-dzarâ’i`, yakni eliminasi jalan-jalan yang pada asalnya boleh, apakah secara formal suatu transaksi legal itu mengarah kepada sesuatu yang berlawanan dengan tujuan hukum,
131
Bandingkan dengan Weiss, The Spirit, h. 80.
lxx
dijadikan pertimbangan bagi transaksi yang ilegal dan batal, seperti jual beli kredit (bay` al-âjâl) karena adanya ribâ.132 Logika formal dan rasionalitas substantif akan dibahas dengan konsep maslahah di bawah ini. Yuris yang menekankan penalaran formal dalam memperoleh hukum yang dekat dengan kepastian hukumnya pada intinya menggunakan pertimbangan-pertimbangan maslahah
ke
dalam
prosedur
qiyâs;
sebaliknya
yuris
yang
menekankan kepada rasionalitas substantif memerankan maslahah sebagai standar independen terhadap suatu ketentuan hukum agar menjadi absah. Kemungkinan yuris yang menerapkan rasionalitas formal atau rasionalitas substantif akan dapat mempengaruhi bukan hanya terhadap suatu cara yang ia gunakan untuk menyatukan konsep maslahah ke dalam proses penemuan hukum namun seringkali gerak logis ini akan mencakup perluasan maslahah yang menjadikan maslahah itu sendiri sebagai sarana bagi perubahan hukum.133 Wacana hukum periode pertengahan Islam yang terkait dengan maslahah dapat dibedakan menjadi empat model. Dalam model ini konsep maslahah diintegrasikan ke dalam proses-proses hukum yang mengikat yang didasarkan pada keunggulan penalaran hukum formal atau substantif (the predominance of formal or substantive legal reasoning).134 Keempat model di atas adalah model maslahah alGhazâlî/al-Râzî, model maslahah al-Qarâfî, model maslahah al-Tûfî, dan model maslahah al-Syâtibî. Pembahasan tentang konsep maslahah dalam teori hukum Islam klasik, yang dibatasi pada periode pertengahan Islam (the middle period of Islam), di sini akan dibatasi pada konsep maslahah 132 Bandingkan dengan Syihâb al-Dîn Ahmad ibn Idrîs al-Qarâfî, al-Dakhîrah, Muhammad Hajjî, ed. (Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1994), Jilid I, h. 145; Muhammad Hâsyim Kamâli, Principles of Islamic Jurisprudence, reprint (Cambridge: Islamic Texts Society, 1991), h. 315-317. 133 Opwis, ”Maslahah”, h. 193. 134 Opwis, ”Maslahah”, h. 193.
lxxi
al-Ghazâlî/al-Râzî, al-Qarâfî, al-Tûfî, dan al-Syâtibî.135 Berikut uraian singkat keempat model maslahah tersebut. 1) Model Maslahah al-Ghazâlî/al-Râzî al-Maslahah dalam pengertian terminologi menurut alGhazâlî adalah memelihara tujuan Syariat (maqâsid al-Syarî`ah), yang mencakup lima hal: memelihara agama, kehidupan, akal, keturunan, dan harta, serta memelihara sesuatu yang memastikan terpeliharanya prinsip ini dan menghilangkan hal-hal yang merugikannya.136 Dengan kata lain, maslahah menurut al-Ghazâlî adalah tujuan Tuhan (maqsûd, j. maqâsid) yang merupakan hukum wahyu, yang secara lebih kongkret tujuan ini adalah untuk melindungi
manusia
dalam
lima
elemen
esensial
bagi
kesejahteraan mereka, yaitu yang dinamakan dengan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka.137 Apa yang melindungi semua elemen esensial ini dan menghindarkan kemafsadatan menurut al-
135 Pembatasan ini bukan berarti menafikan konsep maslahah para ulama lainnya, baik sebelum atau sesudah mereka. Pilihan terhadap kelima ulama ini didasarkan alasan kelimanya mempunyai konsep maslahah yang tertuang dalam kitabnya masing-masing, di samping itu, konsep mereka, terutama al-Ghazâlî, al-Tûfî, dan al-Syâtibî, berpengaruh pada ulama-ulama berikutnya, dan banyak dijadikan rujukan bagi karya-karya tulis ilmiah, baik pada masa klasik maupun modern. Lebih khusus lagi, penempatan al-Ghazâlî dalam bahasan pertama di atas, karena para ulama setelah al-Ghazâlî,, --antara lain al-Râzî, yuris mazhab Syâfi`î, al-Qarâfî, yuris mazhab Mâlikî, al-Âmidî (631/1234), yuris mazhab Syâfi`î, Ibn Hâjib (646/1249), yuris mazhab Mâlikî, dan Ibn `Abd al-Salâm, yuris mazhab Syâfi`î--, banyak yang dipengaruhi oleh konsep/ pemikirannya. Pilihan terhadap kelima tokoh di atas cukup representatif untuk menampilkan kajian tentang konsep maslahah dalam teori hukum Islam klasik. Berikut uraian secara singkat masing-masing keempat model maslahah tersebut. 136 Definisi maslahah yang dibuat al-Ghazâlî sebagai berikut:
وﻟﺴﻨﺎ ﻧﻌﻨﻲ ﺑﻪ ذﻟﻚ؛ ﻓﺈن ﺟﻠﺐ اﻟﻤﻨﻔﻌﺔ،أﻣﺎ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﻓﻬﻲ ﻋﺒﺎرة ﻓﻲ اﻷﺻﻞ ﻋﻦ ﺟﻠﺐ ﻣﻨﻔﻌﺔ أو دﻓﻊ ﻣﻀﺮة ﻟﻜﻨﺎ ﻧﻌﻨﻲ ﺑﺎﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﺤﺎﻓﻈﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻘﺼﻮد،ودﻓﻊ اﻟﻤﻀﺮة ﻣﻘﺎﺻﺪ اﻟﺨﻠﻖ وﺻﻼح اﻟﺨﻠﻖ ﻓﻲ ﺗﺤﺼﻴﻞ ﻣﻘﺎﺻﺪهﻢ ﻓﻜﻞ ﻣﺎ ﻳﺘﻀﻤﻦ، وهﻮ أن ﻳﺤﻔﻆ ﻋﻠﻴﻬﻢ دﻳﻨﻬﻢ وﻧﻔﺴﻬﻢ وﻋﻘﻠﻬﻢ وﻧﺴﻠﻬﻢ وﻣﺎﻟﻬﻢ: وﻣﻘﺼﻮد اﻟﺸﺮع ﻣﻦ اﻟﺨﻠﻖ ﺧﻤﺴﺔ،اﻟﺸﺮع . وآﻞ ﻣﺎ ﻳﻔﻮت هﺬﻩ اﻷﺻﻮل ﻓﻬﻮ ﻣﻔﺴﺪة ودﻓﻌﻬﺎ ﻣﺼﻠﺤﺔ،ﺣﻔﻆ هﺬﻩ اﻷﺻﻮل اﻟﺨﻤﺴﺔ ﻓﻬﻮ ﻣﺼﻠﺤﺔ Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî, al-Mustasfâ fî `Ilm al-Usûl. Muhammad `Abd al-Salâm `Abd al-Syâfî, ed. (Beirut: Dâr al-Kutub al`Ilmiyyah, 2000), h. 174. 137 al-Ghazâlî, al-Mustasfâ, h. 174.
lxxii
Ghazâlî adalah maslahah dan mengabaikannya merupakan mafsadah.138 Maslahah, sebagaimana yang dipahami dalam definisi di atas, dengan melihat ada tidaknya dukungan syara` terbagi menjadi tiga kategori berikut.139 Pertama, jenis maslahah yang memiliki bukti tekstual yang mendukung pertimbangannya (maslahah mu`tabarah). Kedua, jenis maslahah yang diingkari oleh bukti tekstual (maslahah mulghah). Ketiga, jenis maslahah yang tidak didukung ataupun disangkal oleh bukti tekstual (maslahah mursalah). Kategori yang pertama adalah maslahah yang sahîh merupakan hujjah dan bisa menjadi dasar bagi qiyâs. Kategori kedua jelas terlarang, seperti fatwa kepada raja agar berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai kafarat berhubungan badan di siang hari bulan Ramadân yang dilakukannya. Kategori ketiga itulah yang memerlukan pertimbangan lebih lanjut. Karenanya, unsur maslahah yang terkandung dalam kategori ketiga diperiksa lebih lanjut dari segi kekuatannya. Dari segi ini ada tiga tingkatan maslahah: yaitu darûrât (elementer), hâjât (komplementer), dan tahsînât atau tazyînât (suplementer). Terpeliharanya kelima prinsip di atas dicakup dalam tingkatan darûrât. Ini adalah jenis maslahah yang paling kuat. Derajat kedua terdiri dari masâlih dan munâsabât yang tidak esensial (fundamental) dalam sendirinya tetapi diperlukan untuk merealisasikan masâlih pada umumnya. Jenis yang ketiga tidak termasuk ke dalam kedua derajat yang tersebut di atas, tetapi hanya ada untuk memperbagus keadaankeadaan (tahsîniyyât). Dengan mengingat klasifikasi ini, hanya al-masâlih almursalah sajalah, yakni maslahah-maslahah yang tidak didukung
138 139
al-Ghazâlî, al-Mustasfâ, h. 174. al-Ghazâlî, al-Mustasfâ, h. 173-174.
lxxiii
oleh bukti tekstual, yang akan diterima, dengan syarat memiliki tiga sifat: darûrah (emergensi, kemestian), qat`iyyah (pasti) dan kulliyyah (universal).140 Hal ini dijelaskan al-Ghazâlî dengan sebuah contoh standar, yaitu kasus jika orang-orang kafir melindungi diri mereka dengan berperisaikan sekelompok tawanan Muslim. Dalam kasus ini, meskipun al-Qur’ân (al-An`âm [6]: 151)141 melarang membunuh orang mukmin yang tidak berdosa tersebut, al-Ghazâli berpendapat bahwa boleh tidak mengikuti ketentuan ini, yakni membunuh tawanan Muslim tersebut, untuk menyelamatkan masyarakat Islam.142 Uraian di atas menunjukkan bahwa maslahah yang diperkenankan untuk dijadikan sandaran dalam menarik ketentuan hukum dalam konsep maslahah al-Ghazâlî adalah maslahah mu`tabarah dan maslahah mursalah yang mempunyai sifat darûriyyah, qat`iyyah, dan kulliyyah. Jika maslahah mu`tabarah maka penalarannya disebut qiyâs. Jika tidak mu`tabarah maka ia disebut istislâh, yang serupa dengan istihsân, dan penalaran seperti ini dianggap tidak sahîh.143 al-Ghazâlî menempatkan istislâh dan istihsân sebagai metode penalaran yang tidak memiliki kesahihan seperti yang dimiliki qiyâs. Dia menyebut metode-metode seperti itu sebagai “usûl mawhûmah”144 yaitu prinsip-prinsip di mana para mujtahid
140 141
al-Ghazâlî, al-Mustasfâ, h. 176. Teks ayat di atas: ☯
…
Artinya: ”...Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).” Yang dimaksud dengan sesuatu (sebab) yang benar adalah sesuatu (sebab) yang dibenarkan oleh syara’ seperti qisâs, yakni membunuh orang yang melakukan pembunuhan sebagai bentuk balasan yang setimpal. 142 Lihat al-Ghazâlî, al-Mustasfâ, h. 175-176. 143 Lihat al-Ghazâlî, al-Mustasfâ, h. 175, 180. 144 al-Ghazâlî, al-Mustasfâ, h. 173.
lxxiv
lebih menyandarkan diri pada imajinasi atau pertimbangannya sendiri daripada tradisi. Jadi menurut al-Ghazâlî, metode penalaran
dengan
maslahah,
dalam
arti
maslahah
ghair
mu`tabarah tidak diperkenankan. Dengan demikian, al-Ghazâlî mengintegrasikan maslahah ke dalam qiyâs dengan cara mengidentifikasikannya dengan munâsabah (kesesuaian, keserasian), sebagai sebuah kriteria untuk membatasi ratio legis dari ketentuan yang berdasarkan teks. Maslahah yang tidak menjadi dalil dalam model ini secara konseptual menempati posisi ratio legis.145 Sependapat dengan Masud bahwa dari perlakukan alGhazâli atas maslahah, dapat disimpulkan secara umum bahwa kesukaannya menteologisasikan fiqh dan kesukaannya kepada 145 Qiyâs, harus diingat, adalah sebuah prosedur yang memberikan perluasan hukum kepada situasi-situasi baru. Sungguhpun demikian, ia tidak dapat digunakan untuk mengadaptasi atau menyesuaikan perintah-perintah tekstual yang tetap kepada keadaan-keadaan yang berubah. Dalam teori ini, karena memanfaatkan sebuah maslahah yang bukan menjadi dalil hukum sebagai ratio legis menjadikan seorang yuris mampu melakukan apa saja dengan cara mengakurasikan ketentuan baru yang mungkin jumlahnya lebih besar melebihi ketentuan yang mapan dari kasus yang saling berebut klaim-klaim --hukum. Contoh yang standar, telah dikemukakan di atas tentang kasus sekelompok tawanan Muslim yang dijadikan perisai orangorang kafir melindungi dirinya. Meskipun al-Qur’ân (al-An`âm [6]: 151) melarang membunuh orang mukmin yang tidak berdosa tersebut, al-Ghazâli berpendapat bahwa untuk menyelamatkan masyarakat Islam, ketentuan larangan ini boleh tidak diikuti. Munâsib didefinisikan al-Ghazâlî sebagai ”sesuatu yang, seperti halnya masâlih, menjadi teratur (dicapai secara rasional: intazama) begitu ia dikaitkan dengan perintah (hukm)”. Untuk pembahasan mengenai makna, klasifikasi serta derajat munâsib, al-Ghazâlî merujuk kepada tambahan yang cukup penting mengenai pembahasan tentang maslahah dan derajat-derajatnya.. Hubungan maslahah dengan munâsib tersebut sangatlah erat. Maslahah dalam pandangan al-Ghazâlî adalah bagian dari munâsib. Konsekuensinya, maslahah yang diterimanya adalah maslahah yang relevan (munâsib) dengan nass secara umum. Maslahah demikian disebutnya sebagai maslahah mursalah. Sedangkan maslahah yang secara langsung ditunjukkan oleh atau terdapat keterangan nass, meskipun secara implisit, maka merupakan maslahah mu`tabarah, yang masuk dalam kategori qiyâs. Namun, munâsabah dan maslahah tidaklah identik. Meskipun al-Ghazâlî menganalisis munâsib juga dalam batasan efektifitas dan kesahihan dengan cara yang sama dengan yang dilakukannya terhadap maslahah, tetapi rinci-rincinya berbeda. Di antara berbagai klasifikasi munâsib, satu di antaranya secara khusus penting bagi kita, karena ia menjelaskan hubungan antara munâsib dan maslahah dan juga perbedaan antara istihsân dan istislâh di mata al-Ghazâlî. Menurutnya, munâsib dibagi menjadi tiga kategori besar: mu’atstsir, mulâ’im, dan gharîb, yang dijabarkan menjadi empat macam. Tentang keempat macam ini lihat al-Ghazâlî, al-Mustasfâ, h. 311-315, dan Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy: a Study of Abû Ishâq alSyâtibî’s Life and Thought (Delhi: International Islamic Publishers, 1989), h. 155-156.
lxxv
qiyâs sebagai metode penalaran, telah membawanya untuk memeriksa konsep maslahah dengan sikap menahan diri. Dari sudut pandang teologi, al-Ghazâlî menolak konsepsi maslahah dalam pengertian kemanfaatan manusiawi; lebih lanjut, ia menjadikan metode penalaran dengan maslahah tunduk kepada qiyâs. al-Ghazâlî tidak menolak maslahah sama sekali, seperti dilakukannya
terhadap
istihsân,
namun
kualifikasi
yang
diajukannya bagi penerimaan maslahah tidak memungkinkan-nya menjadi prinsip penalaran yang mandiri.146 Sungguhpun demikian, konsepsi maslahah al-Ghazâlî sebagai tujuan hukum Tuhan dan dihubungkan dengan hifz alkulliyyah al-khamsah, merupakan pengembangan yang signifikan. Teori
maslahahnya
mendamaikan
antara
dua
pendekatan
intelektual dalam pemikiran Islam ke arah pengetahuan moral, posisi kalangan rasionalis dan subjektivis.147 Posisi objektivisme rasionalis, yang diasosiasikan dengan madzhab teologi Mu`tazilah, menyatakan bahwa perbuatan itu secara tak terpisahkan adalah baik atau buruk dan manusia mampu mengetahui nilai baik dan buruknya perbuatan itu tanpa bantuan wahyu. Pada intinya, baik atau buruknya suatu perbuatan itu diukur berdasarkan nilai kemanfaatan atau kemafsadatannya, yang dicapai oleh akal.148 Dengan
mengarah
kepada
pembagian
ketentuan-ketentuan
hukum, posisi atau mazhab ini menyatakan bahwa sebuah ketentuan hukum itu dikatakan benar dan legitimate ketika ia membolehkan perbuatan yang bermanfaat atau melarang sesuatu Lihat Masud, Islamic Legal Philoshopy, h. 156. Di sini penulis sependapat dengan Opwis, menggunakan istilah Hourani untuk menyebut dua kelompok kepada pengetahuan etis (ethical knowledge) sebagai objektivisme rasionalistik (rationalistic obhectivism) dan subjektivisme teistik (theistic subjectivism). Lihat Facilitas Opwis, ”Maslahah in Contemporary Islamic Legal Theory”, dalam Islamic Law and Society 12, 2, Leiden, (2005), h. 188. 148 Qâdî al-Qudâh `Abd al-Jabbâr ibn Ahmad, Syarh al-Usûl al-Khamsah (Kairo, Maktabah Wahbah, 1996), h. 147. 146 147
lxxvi
yang membahayakan.149 Posisi lainnya, dikemukakan mazhab teologi Asy`ârî, ditandai dengan subjektivisme teistik.150 Mazhab pemikiran ini menekankan bahwa akal tidak dapat mencapai pengetahuan moral secara independen (mandiri), tanpa wahyu. Para penganut mazhab ini berpendapat bahwa sesuatu itu baik hanya karena Tuhan memerintahkannya dan sesuatu itu buruk hanya karena Dia melarangnya.151 Jadi sebuah ketentuan hukum bisa legitimate ketika diturunkan (ditarik) dari hukum wahyu. Pada puncaknya, menurut Opwis152 dua kubu objektivisme rasionalistik dan subjektivisme teistik bisa mengarah kepada irrelevance (ketidak relevansiannya) hukum wahyu. Suatu isu hukum yang tidak secara langsung dinyatakan dalam sumbersumber hukum suci dapat diputuskan dengan ijtihâd melalui penelitian rasional tanpa dukungan wahyu, karena hukum yang didasarkan pada wahyu akan terus berkurang seiring berlalunya masa dan perubahan sosial (al-nusûs tatanâhâ wa al-asyyâ’ lâ tatanâhâ). Konsekuensinya, hukum Tuhan, sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’ân dan Sunnah, akan kehilangan kesigapannya dalam pengaturan interaksi hukum manusia. Sedangkan, posisi subjektivisme teistik, selagi mengabaikan penyelinapannya ke dalam sekularisme, tetap saja menyisakan pertanyaan yang tak terjawab, yaitu bagaimana mengetahui ketentuan Tuhan terhadap persoalan ketika tidak secara jelas dikemukakan dalam sumber-sumber hukum suci. Jika hukum wahyu tidak bisa menjangkau pada kondisi-kondisi yang baru dan berubah, pada akhirnya ia akan kehilangan kemampuannya dalam Opwis, ”Maslahah”, h. 189. Opwis, ”Maslahah”, h. 188. 151 al-Asy`ârî, Kitâb al-Lumâ’, (Beirut: al-Maktabah al-Kâtûlîkiyyah, 1952), h. 71; alSyahrastânî, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 42. Pendapat ini juga dianut oleh alRâzî, dalam kitabnya al-Mahsûl fî `Ilm al-Usûl, Tâhâ Jâbir al-`Alwânî, ed. (Beirut: Mu’assasat alRisâlah, 1992), h. Juz 1, h. 160, al-Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal, h. 42. 152 Opwis, ”Maslahah”, h. 188-189. 149
150
lxxvii
merespons problem-problem hukum yang berkembang di bawah situasi dan kondisi yang berbeda tersebut. Dalam sejarah, dua kubu ini dalam bentuknya yang asli telah berlangsung secara fair. Meskipun mazhab subjektivisme teistik menjadi mapan sebagai pandangan mainstream Islam Sunnî, salah satu faktor yang membantu kelangsungan dan pengaruhnya kepada Islam ortodok adalah keserasiannya dengan posisi rasionalis dalam lapangan teori hukum. Jurisprudensi Islam dari dua kecenderungan Mu`tazilah dan Asy`ârî membangun prosedur-prosedur penalaran hukum yang bertujuan untuk mengontrol penggunaan nalar yang tak terbatas dalam bidang hukum agama dan untuk membuat proses penemuan hukum tanpa kesewenang-wenangan dan agar hukum itu lebih objektif. Upaya-upaya sistematisasi penalaran hukum dicapai pada abad ke5/11 dalam teori hukum yang secara koheren mengelaborasikan proses penemuan hukum berdasarkan empat sumber hukum yang diterima oleh kalangan Asy`ârî maupun Mu`tazilî yaitu, al-Qur’ân, Sunnah, ijmâ`, dan qiyâs.153 Dalam konteks inilah, barangkali, sebagai akibat dari usaha-usaha untuk memecahkan dilema hukum di atas, para yuris Asy`âri, dan khususnya al-Ghazâlî, membangun konsep maslahah sebagai sebuah metode istibât/ijtihâd yang fungsinya bukan saja untuk memperluas hukum wahyu kepada kasus-kasus baru yang Dari keempat sumber hukum ini, ijmâ` dan qiyâs adalah sumber-sumber derivatif, yang fungsi utamanya ijmâ` dan qiyâs digunakan untuk memperluas ketentuan-ketentuan Qurani dan sunnah kepada situasi-situasi baru. Namun, pengertiannya, ijmâ` dan qiyâs tidak dapat digunakan untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum di luar sumber wahyu. Ketika merevisi atau tidak mengindahkan terhadap ketentuan-ketentuan yang telah mapan dan telah diakui, yuris menggunakan prinsip-prinsip hukum cabang, seperti istihsân dan `urf. Kalangan yuris yang berpegang pada mazhab teologi Asy`ârî dalam kedua prinsip ini mengalami kelemahankelemahan; istihsân telah bercampur dengan pendapat yang ”sewenang-wenang” (ra`y), dan `urf tidak dapat diklaim sebagai bagian dari hukum wahyu. Kehendak agar ketentuan-ketentuan hukum itu diturunkan dari sumber-sumber hukum suci telah disuarakan pada masa yang paling awal, misalnya dalam al-Risâlah al-Syâfi`î, bukan sebelum abad ke-4/10 dan ke-5/11 yang tuntutan itu dihasilkan dalam sistem penemuan hukum yang koheren. Lihat Hallaq, A History, h. 30-37. 153
lxxviii
tidak ditunjukkan oleh sumber-sumber suci, namun juga untuk merubah hukum yang mapan dalam nuansa situasi-situasi tertentu. Meskipun demikian, model maslahah al-Ghazâlî tersebut masih bersifat sederhana, doktriner-normatif, karena masih sangat ketat berada dalam ranah nass. Adapun model al-maslahah al-Râzî juga mirip dengan model al-Ghazâlî. al-Maslahah dibahas dalam kaitannya dengan munâsib. Ia tidak mendefinisikan al-maslahah, namun tampak dalam pemikirannya munâsib dan maslahah saling berkaitan erat. Dia memberikan dua definisi munâsib. Pertama, munâsib didefinisikan sebagai ”apa yang membawa manusia kepada apa yang baik (yuwâfiq) baginya baik dalam ”pemerolehan” (tahsîl) maupun ”pelestarian” (ibqâ’).154 Kedua, munâsib, menurut al-Râzî, adalah diberikan sebagai apa-apa yang biasanya cocok dengan perbuatan orang-orang bijaksana ()اﻟﻤﻼﺋﻢ ﻷﻓﻌﺎل اﻟﻌﻘﻼء ﻓﻲ اﻟﻌﺎدة.155 Secara singkat dapat dikatakan, bahwa al-Râzî menekankan tidak ada motif ataupun sebab yang bisa dinisbatkan kepada Redaksi aslinya: أﻧﻪ اﻟﺬي ﻳﻔﻀﻲ إﻟﻰ ﻣﺎ ﻳﻮاﻓﻖ اﻹﻧﺴﺎن ﺗﺤﺼﻴﻼ وإﺑﻘﺎء. Tahsîl menurutnya berarti mencari ”manfaat” dan manfaat adalah kesenangan (ﻟﺬة, ladzdzah) atau sarananya. Ladzdzah adalah mencapai apa yang cocok ()إدراك اﻟﻤﻼﺋﻢ. Begitu juga ibqâ’ dijelaskan sebagai menghilangkan kemudaratan () دﻓﻊ اﻟﻤﻀﺮة, yaitu rasa sakit (alam) atau sarananya. Baik ladzdzah maupun alam adalah hal-hal yang nampak nyata dan tidak bisa didefinisikan. Jadi, munâsib dalam analisis akhirnya berkaitan dengan ladzdzah dalam pengertian positif dan alam dalam pengertian negatif. al-Râzî, al-Mahsûl, Juz V, h. 157-158. 155 Definisi yang pertama diterima oleh mereka (seperti golongan al-Mâturîdiyyah, alHanâbilah, dan al-Mu`tazilah) yang menisbatkan hikam dan masâlih sebagai sebab-sebab atau motif-motif dari perintah-perintah Tuhan. Sedangkan definisi yang kedua digunakan oleh mereka (seperti golongan al-Asyâ`irah) yang tidak menerima kausalitas di atas. Penjelasan ini, menurut Masud, membawa kita kembali kepada pandangan al-Râzî sendiri tentang masalah kausalitas dan perintah-perintah Tuhan. Persoalan ini mula-mula dibahas dalam alur pembicaraan mengenai apakah kebaikan atau keburukan itu bersifat rasional ataukah ditetapkan oleh Syariat. Ia menyatakan bahwa sejauh menyangkut definisi dan pemahaman tentang kebaikan sebagai sesuatu yang ”cocok dengan watak (manusia),” atau sebagai ”sifat kesempurnaan”, yang tak syak lagi bahwa kebaikan dan keburukan itu bersifat rasional. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah adakah kebaikan dan keburukan bisa didefinisikan dengan merujuk kepada pujian atau celaan seperti yang telah dilakukan kaum Mu`tazilah. Berdasarkan analisisnya, al-Râzî menyimpulkan bahwa jika didefinisikan dalam pengertian yang belakangan ini, maka kebaikan dan keburukan hanya bisa ditetapkan oleh Syariat. Lihat dalam al-Râzî, al-Mahsûl, h. 158-165, Taqî al-Dîn `Alî bin `Abd al-Kâfî al-Subkî, dan Tâj alDîn `Abd al-Wahhâb Ibnu `Alî al-Subkî, al-Ibhâj fî Syarh al-Minhâj `alâ Minhâj al-Wusûl ilâ `Ilm al-Usûl, Muhammad Amîn al-Sayyid, ed. (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2004), Juz III, h. 38. 154
lxxix
perbuatan atau perintah Tuhan. Tetapi dia mengakui bahwa perintah-perintah Tuhan adalah demi maslahah manusia, dan maslahah atau munâsabah ini bisa dipandang sebagai `illah dari perintah tersebut. Paradoks dalam posisi ini diselesaikan oleh dua penjelasan; pertama, bahwa masâlih ini bersifat kebetulan belaka, tidak dalam pengertian sebab dan akibat, dan kedua, bahwa ia telah terjadi dengan cara demikian tidak sebagai korelasi yang musti antara maslahah dan perintah, karena Tuhan berkewajiban untuk berbuat secara demikian. Alih-alih, Tuhan telah berbuat seperti yang telah dilakukanNya itu sebagai rahmat, agar supaya suatu ayat bisa ditegakkan untuk menjadikan perintah-Nya diketahui.156 Pemikiran al-Râzi tersebut memuat nilai plus-minusnya. Nilai plus itu karena ia telah menawarkan penjelasan-penjelasan tersebut mengingat keberatan-keberatan yang mungkin terhadap penerimaannya pada ta`lîl af`âl Allâh (menisbatkan sebab-sebab kepada perbuatan-perbuatan Tuhan). Sependapat dengan Masud, bahwa al-Râzî mengemukakan kritik yang mungkin terhadap pandangannya dengan rincian yang panjang lebar, pada satu sisi, namun pertahanannya sendiri sangatlah lemah dan betul-betul tidak memuaskan, pada sisi yang lain. Dengan demikian, al-Râzî bisa mempertahankan bahwa munâsabah atau maslahah merupakan bukti-bukti `illah, dan tetap bisa bersikukuh bahwa perintah-perintah Tuhan tidak dilandasi motif. Dengan pertimbangan inilah al-Râzî nampaknya menerima definisi pertama tentang munâsib. Ini juga merupakan alasan mengapa ia membagi munâsib dalam dua kategori: yang hakiki (haqîqî) dan yang nampaknya saja (iqnâ’î).157 Yang pertama ( ﻣﻨﺎﺳﺐ )ﺣﻘﻴﻘﻲadalah yang terdiri dari suatu maslahah, baik di dunia ini Lihat al-Râzî, al-Mahsûl, h. 176 dst. Yang pertama terdiri dari 3 macam: karena untuk menjaga maslahah, ada kalanya berada pada level darûrah, atau hâjah, atau tidak pada keduanya. al-Râzî, al-Mahsûl, h. 159. 156 157
lxxx
atau di akhirat nanti.158 Sedangkan yang kedua ( )ﻣﻨﺎﺳﺐ إﻗﻨﺎﻋﻲhanya nampaknya saja munâsib, padahal sesungguhnya bukan.159 al-Râzî juga, sebagaimana al-Ghazâlî, membagi maslahah menjadi maslahah darûrî, maslahah hâjî, dan maslahah tahsînî. Ia membagi munâsib sesuai dengan ta’tsîr (pengaruh hukum) dan syahadât al-syar` (bukti tekstual), dan mulâ’amah. Dalam hal ini, pandangannya tentang maslahah tersebut, pada umumnya, berkesesuaian dengan pandangan al-Ghazâlî, meskipun terdapat beberapa
perbedaan
tertentu
menyangkut
rincian-rincian
maslahah.160 Dengan demikian, ringkasnya, konsep maslahah yang mulanya merupakan metode umum pengambilan keputusan oleh para yuris dan karenanya merupakan prinsip yang bebas, akhirnya dibatasi oleh para penentanganya melalui dua pertimbangan. Pertama,
adanya
determinisme
teologis
yang
cenderung
mendefinisikan maslahah sebagai apa saja yang diperintahkan Tuhan (maslahah mu`tabarah bi al-nass). Kedua, ada determinisme metodologis yang, dengan tujuan menghindari apa yang nampak
158 Redaksi aslinya: أوﻟﻤﺼﻠﺤﺔ، إﻣﺎ أن ﻳﻜﻮن ﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﺗﺘﻌﻠﻖ ﺑﺎﻟﺪﻧﻴﺎ، آﻮن اﻟﻤﻨﺎﺳﺐ ﻣﻨﺎﺳﺒﺎ:أﻣﺎ اﻟﺤﻘﻴﻘﻲ – ﻓﻨﻘﻮل ﺗﺘﻌﻠﻖ ﺑﺎﻷﺧﺮة. al-Râzî, al-Mahsûl, h. 159. 159 Redaksi aslinya: ﻟﻜﻨﻪ إذا ﺑﺤﺚ ﻋﻨﻪ، اﻟﺬي ﻳﻈﻦ ﺑﻪ ﻓﻲ أول اﻷﻣﺮآﻮﻧﻪ ﻣﻨﺎﺳﺒﺎ:اﻟﻤﻨﺎﺳﺐ اﻹﻗﻨﺎﻋﻲ ﻓﻬﻮ ﻳﻈﻬﺮ أﻧﻪ ﻏﻴﺮ ﻣﻨﺎﺳﺐ،ﺣﻖ اﻟﺒﺤﺚ. al-Râzî, al-Mahsûl, h. 168.
Hal tersebut tampak dalam upaya al-Râzî dalam menyelesaian problem teologisasi konsep maslahah oleh al-Ghazâlî. al-Ghazâlî berkeberatan bahwa suatu konsepsi maslahah yang merujuk kepada kemanfaatan manusiawi semata-mata dan tidak bergantung pada penentuan Tuhan, secara teologis adalah tidak mungkin. Terhadap keberatan ini, al-Râzî memberikan suatu muatan teologis yang spesifik. Ia menjadikannya jelas bahwa menisbatkan pertimbangan maslahah dalam pengertian manfaat manusiawi kepada perintah Tuhan, berarti menisbatkan kausalitas kepada perbuatan-perbuatan-Nya dan karenanya secara teologis tidak mungkin. Kedua pandangan ini bermuara kepada semacam ijbâr (determinisme). Keduanya menyiratkan bahwa perintah-perintah Tuhan menuntut kepatuhan pada haknya sendiri, bukan karena adanya maslahah. Jika ada muatan maslahah dalam Syarî`ah, maka hal itu mesti dijelaskan sebagai rahmat Tuhan atau karena kebetulan saja, sebagaimana pandangan al-Râzî.. Pandanganpandangan ini, seperti dikatakan Masud, menjadikan persoalan tanggungjawab moral dan hukum menjadi tidak punya arti. al-Râzî mengakui adanya implikasi seperti itu bagi pandangannya mengenai masalah taklîf serta masalah penalaran dengan qiyâs, namun ia tidak memerinci lebih jauh. al-Râzî, al-Mahsûl, h. 159-161, 175. 177, Mas`ûd, Islamic Legal Philoshopy, h. 160. 160
lxxxi
sebagai otoritarianisme metode, mencoba menundukkan maslahah kepada qiyâs dengan tujuan mengaitkannya dengan suatu landasan yang lebih pasti (maslahah mu`tabarah bi al-qiyâs). Kedua pertimbangan
ini,
sebagaimana
pendapat
Masud,
tidaklah
memadai.161 Argumentasinya, setidaknya ada dua: pertama, untuk memutuskan bahwa sesuatu adalah maslahah, bahkan mengatakan bahwa perintah-perintah Tuhan didasarkan pada maslahah, suatu kriteria yang berada di luar perintah-perintah tersebut mutlak harus diterima. Inilah persisnya yang diingkari oleh determinisme teologis. Kedua, untuk bergerak lebih jauh kepada qiyâs, orang mesti mencari `illah, yang diingkari karena alasan-alasan teologis atau ditafsirkan sebagai ”ayat”. Implikasi-implikasi pandangan ini sangatlah jelas. Di satu pihak, ia bersikukuh bahwa perluasan aturan-aturan haruslah dalam satuan-satuan (juz’iyyât); setiap kesimpulan baru harus memiliki kaitan yang spesifik dalam Syarî`ah. Ia mengingkari perluasan hukum secara keseluruhan. Di lain pihak, ia menolak mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan sosial, karena ia bersikukuh pada penyimpulan hukum dari aturan-aturan spesifik Syarî`ah, bahkan tidak dari tujuan umum hukum (maqâsid al-Syarî`ah).162 Dengan demikian, model maslahah al-Ghazâlî/al-Râzî di atas memperketat aplikasi maslahah, yang implikasinya membawa kepada penyempitan hukum, akibat sulit beradaptasi dengan perubahan sosial. 2) Model Maslahah al-Qarâfî
161 162
Mas`ûd, Islamic Legal Phylosophy, h. 160. Mas`ûd, Islamic Legal Phylosophy, h. 160
lxxxii
al-Qarâfî mengintegrasikan konsep maslahah163 ke dalam teori hukum ke dalam dua cara. Pertama, dia menggunakan maslahah untuk memperluas (mengembangkan) hukum melalui prosedur analogi legal (qiyâs). Di sini dia mengadopsi kategorikategori formal al-Râzî untuk mengidentifikasi karakter-karakter yang sesuai (munâsib) yang secara valid bisa menjadi rationes legis, termasuk maslahah mursalah.164 al-Qarâfî menerima maslahah mursalah secara mutlak, baik dalam level darûrât, hâjât, maupun tatimmât.165 Kedua, al-Qarâfî memanfaatkan konsep maslahah dalam area kaidah-kaidah hukum (qawâ`id). Atas dasar maslahah dia merasionalisasikan kaidah-kaidah seperti mengeliminasi jalan-jalan yang dapat menghantarkan kepada tujuan yang tidak absah secara hukum (sadd al-dzarâ’i`) dan memberikan izin sebagai perkecualian (istitsnâ’) untuk melakukan sesuatu yang pada dasarnya dilarang (rukhsah, j. rukhas).166 Jadi, hukum-hukum wahyu harus disisihkan ketika tidak membawa maslahah dalam kasus yang telah diverifikasi tersebut. Dengan diterapkan ke dalam kaidah-kaidah legal, fungsi-fungsi maslahah sebagai sebuah standar mandiri (independen), menjadikan sebuah ketentuan yang didasarkan kepadanya menjadi valid; di mana yuris
163 Menurut al-Qarâfî, maslahah menjadi landasan bagi perintah dan larangan agama. Ada tingkatan maslahah (kemaslahatan), dalam tingkat yang paling rendah mencapainya adalah sunah, dan maslahah dalam tingkat yang tertinggi mencapainya adalah wajib. Kemaslahatan itu kemudian bertingkat dan kesunahan itu pun bertingkat pula menurut tingkat kemaslahatan, sehingga mencapai tingkat kesunahan yang paling tinggi setelah tingkat kewajiban. Demikian juga halnya dengan kemafsadatan. Tingkat kemakruhan semakin meninggi menurut kadar tingginya mafsadah, sehingga mencapai tingkat kemakruhan yang tertinggi di bawah tingkat keharaman yang paling rendah. Karena itulah, kemaslahatan untuk mencapai sesuatu yang sunah, tidaklah cocok untuk sesuatu yang wajib. Syihâb al-Dîn Ahmad ibn Idrîs al-Qarâfî, Kitâb al-Furûq: Anwâr al-Burûq fî Anwâr al-Furûq, Muhammad Ahmad Sarrâj dan `Ali Jum`ah Muhammad, ed. (Kairo: Dâr al-Salâm, 2001), h. 845. 164 Lihat Syihâb al-Dîn Ahmad ibn Idrîs al-Qarâfî, al-Dakhîrah, Muhammad Hajjî, ed. (Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1994),Jilid I, h. 119-130. 165 Syihâb al-Dîn Ahmad ibn Idrîs al-Qarâfî, Nafâ’is al-Usûl fî Syarh al-Mahsûl (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2000), Jilid IV, h. 699-700-. 166 Lihat al-Qarâfî, al-Dakhîrah, Jilid I, h. 127, 144-146, al-Qarâfî, al-Furûq, Jilid II, h. 32-34.
lxxxiii
tidak secara langsung mendapatkan sumber-sumber materi hukum, seperti dalam prosedur qiyâs. Model maslahah al-Qarâfî, yang memadukan penalaran legal formal dan substantif, menambah kemampuan untuk mengadaptasikan hukum-hukum yang mapan kepada keadaankeadaan baru dibandingkan model maslahah al-Ghazâlî/al-Râzî.167 Hal ini tampak dalam pandangan al-Qarâfî terhadap persoalan fatwa kepada raja yang membatalkan puasa Ramadân, sebab bersetubuh,
agar berpuasa
dua
bulan berturut-turut;
jika
difatwakan kepadanya agar memerdekakan budak, maka hal itu terasa mudah. Fatwa seperti ini oleh al-Ghazâlî dan al-Râzî dikatakan sebagai maslahah mulghah. Akan tetapi al-Qarâfî memandangnya bukan termasuk maslahah mulghah, karena adanya perbedaan antara para raja dengan yang selainnya. Fatwa semacam ini menurutnya termasuk ke dalam penalaran maslahah (maslahah mursalah). Fatwa tersebut sebagai bentuk kafarat yang tepat, karena dimaksudkan untuk menimbulkan jera, di mana para raja tidaklah akan jera dengan kafarat memerdekakan budak.168 Artinya, hukuman tersebut tetap sesuai dengan nass, yang didasarkan atas pemilihan (takhyîr) di antara tiga hukuman yang disebutkan dalam nass. Meskipun demikian, dalam model maslahah al-Qarâfî klasifikasi maslahah mulghah masih tetap tidak beranjak dari model para pendahulunya tersebut. Artinya maslahah tersebut belum dirumuskan secara lebih radikal.
3) Model Maslahah al-Tûfî
167 168
Opwis, ”Maslahah”, h. 194-195. Lihat al-Qarâfî, Nafâ’is al-Usûl, Jilid IV, h. 698-699.
lxxxiv
al-Tûfî
tidak
mengklasifikasikan
maslahah
menjadi
mu`tabarah, mulghah, dan mursalah, serta tidak dengan pertimbangan segi perbedaan tingkatannya, yaitu darûrî, hâjî ataupun tahsînî. Dengan kata lain, ia menolak integrasi maslahah ke dalam prosedur-prosedur dan kategori-kategori formal seperti darûrah, hâjah, dan tahsînah/tatimmât, serta secara ekslusif banyak mengadopsi rasionalitas yang substantif. Artinya, al-Tûfî tidak membuat klasifikasi maslahah menjadi tiga macam, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Ghazâlî, al-Râzî, dan alQarâfî.169 Menurut al-Tûfî, klasifikasi tersebut termasuk ke dalam upaya pembebanan diri. Baginya, jalan yang lebih umum dan lebih dekat --kepada kebenaran-- untuk mengetahui ketentuan tentang maslahah adalah menjaga syara` (murâ`at al-syar`) dengan pertimbangan suatu maslahah dan mafsadah secara global.170 al-Tûfî
memandang
maslahah
itu
sebagai
sebuah
kemaslahatan apa adanya (maslahah mujarradah), yang harus dicapai. Mafsadah adalah kemafsadatan apa adanya (mafsadah mujarradah) yang harus dinafikan.171 Jika dalam suatu perbuatan terdapat kemaslahatan dan kemafsadatannya, maka dilakukan
Inilah salah satu perbedaan model maslahah al-Tûfî ini dengan model al-maslahah sebelumnya, di samping ada persamaannya. Pengertian al-maslahah yang dikemukakan al-Tûfî, ditinjau dari segi pengertian kebahasaan (lughawî) dan `urf, adalah sejalan dengan pengertianpengertian, baik yang terdapat di dalam kamus-kamus Arab maupun yang dikemukakan beberapa ulama lainnya. al-Maslahah yang dimaksudkan al-Tûfî, ditinjau secara syar`î, adalah al-maslahah yang sejalan dengan tujuan syara` sebagaimana yang dimaksudkan ulama lainnya, bukan yang di luar itu, atau tegasnya, bukan al-maslahah yang didasarkan atas pendapat akal (ra`y) semata, -sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian ulama dan pemikir kontemporer. al-Maslahah yang dimaksudkan al-Tûfî, ditinjau dari segi karakteristik penggunaannya sebagai dalil hukum, juga tidak sama dengan al-maslahah al-mursalah yang dinisbatkan kepada madzhab Mâlikî. Sebab almaslahah yang dimaksudkannya adalah lebih luas daripada al-maslahah al-mursalah. Lihat Abd Rahman, ”Konsep al-Maslahah Menurut Najm al-Dîn al-Tufî” (Disertasi S3, SPs Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998), h. 318-319. 170 al-Tûfî, Syarh Mukhtasar al-Raudah, Juz III, h. 214. 171 al-Tûfî, Syarh Mukhtasar al-Raudah, Juz III, h. 214. 169
lxxxv
upaya tarjîh dan pemilihan (takhyîr). Sesuatu yang lebih besar maslahahnya, maka itulah yang didahulukan.172 Oleh karena itulah, dengan menjadikan tujuan hukum (maqâsid al-Syarî`ah), al-Tûfî memahami maslahah sebagai sebuah kriteria yang independen untuk merumuskan (menarik) ketentuan-ketentuan hukum. Baginya, maslahah adalah dalil hukum yang paling penting –sesuatu yang telah diketahui dengan pasti dan dapat dibedakan oleh akal.173 Dalam faktanya, teori al-Tûfî berarti
bahwa
apa
saja
yang
membawa
maslahah
atau
menghindarkan bahaya (mafsadah) adalah sepadan dengan maqâsid al-Syarî`ah itu sendiri. Untuk mengadaptasi (menyesuaikan) hukum kepada
situasi-kondisi,
al-Tûfî
berpendapat
bahwa
sebuah
ketentuan yang memerlukan maslahah harus diperioritaskan di atas ketentuan yang berlawanan dengannya, baik ketentuan itu wahyu ataupun bukan.174 Dia membatasi supremasi maslahah dalam proses penemuan hukum dengan mengeluarkan perbuatanperbuatan ibadah (`ibâdât) dari bidangnya dan dengan menetapkan bahwa maslahah bukan ketentuan-ketentuan pasti (muqaddrât) ataupun dalil khusus (dalîl khâss) dari al-Qur’ân, Sunnah atau ijmâ’.175 Dengan demikian, al-Tûfi dikatakan telah mengambil pandangan yang sangat ekstrem bahwa kepentingan umum merupakan sumber hukum, bahkan secara eksplisit melampaui nass yang ada. Namun, sebenarnya, jika seseorang meneliti tulisan al-Tûfî maka akan terbukti bahwa ia membicarakan kepentingan semacam itu sebagai darûrî dan ini sama dengan kebutuhan dan al-Tûfî, Syarh Mukhtasar al-Raudah, Juz III, h. 214. Lihat Zaid, al-Maslahah, h. 206-217. Zaid secara kritis mengedit komentar al-Tûfî atas hadîts “lâ darar wa lâ dirâr” dalam studinya tentang maslahah (Zaid, al-Maslahah, h. 206-240). Tentang konsep maslahah al-Tûfî juga lihat Hallaq, A History, h. 150-153. 174 Zaid, al-Maslahah, h. 231. 175 Zaid, al-Maslahah, h. 210, 232-238. 172 173
lxxxvi
secara alamiah hukum harus mengalah jika terjadi konflik dengan kepentingan semacam ini, karena darurat tidak mengenal hukum.176 Argumen al-Tûfî didasarkan pada sabda Nabi: ﻻﺿﺮر وﻻ ﺿﺮار (Janganlah seseorang menimbulkan kesulitan, jangan pula seseorang
membalasnya
dengan
kesulitan
lain).177
Ia
beranggapan bahwa hal ini merupakan prinsip pertama Syarî`ah. Dengan demikian, menurutnya, maslahah adalah untuk mencegah kesulitan yang diperlukan guna memberikan kemudahan bagi orang yang berhadapan dengan kesulitan dan ini berarti kebutuhan yang harus ada. Lebih lanjut ia mengatakan, jika nass dan ijmâ’ harus menyesuaikan diri dengan maslahah dalam suatu kasus tertentu, maka keduanya harus segera diterapkan. Tetapi, jika nass dan ijmâ’ menentangnya maka pertimbangan adanya kemaslahatan haruslah dimenangkan. Namun, harus digarisbawahi, bahwa hal ini dilakukan melalui proses pembatasan
(takhsîs)178
dan
keterangan (bayân)179 –tidak dengan menyerang maslahah tersebut— sebagaimana Sunnah terkadang didahulukan atas al-
Muslehuddin, Philoshopy, h. 164. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah, Ahmad bin Hanbal, dan al-Baihaqî. Ibnu Mâjah, pada bab ( ﻣﻦ ﺑﻨﻰ ﻓﻲ ﺣﻘﻪ ﻣﺎ ﻳﻀﺮ ﺑﺠﺎرﻩOrang yang Membangun di dalam Tanah Miliknya Sesuatu yang membahayakan tetangganya), hadis No. 2340 dari jalur `Ubâdah ibn Sâmid, dan 2341 dari jalur Ibnu `Abbâs r.a. Lihat Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, Muhammad Fu’âd `Abd alBâqî (ed.), Juz II (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 784; Ahmad, hadis No. 22830 dalam Ahmad ibn Hanbal Abû `Abd Allâh al-Syaibânî, Musnad Ahmad, (Mu’assasah Qurtubah, t.t.), Juz V, h. 326; al-Baihâqî, pada Bab Lâ Darâr wa Lâ Dirâr, hadis No. 11166, dan 11167, dari Abû Sa`îd alKhudzrî, hadis No. 11657 dari `Ubâdah bin al-Sâmit. Ahmad bin al-Husain bin `Alî bin Mûsâ Abû Bakr al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Muhammad `Abd al-Qâdir `Atâ, ed. (Makkah alMukarramah: Maktabah Dâr al-Bâz, 1994), Juz VI, h. 69, 156, dan Juz X, h. 133. 178 Takhsîs adalah penjelasan yang memberikan pengertian spesifikasi (bayân takhsîs) terhadap ketentuan yang sebelumnya. `Abd al-Hâdî al-Fadlî, al-Wasît fî Qawâ`id Fahm al-Nusûs al-Syar`iyyah, (Beirut: al-Intisyâr al-`Arabî, 2001), h. 215-220. 179 Bayân suatu penjelasan yang diberikan oleh suatu ketentuan terhadap suatu ketentuan yang lainnya, baik berupa penjelasan interpretasi (tafsîr), tafsîl (perincian), penggantian (tabdîl), maupun spesifikasi (takhsîs). Al-Fadlî, al-Wasît, h. 215-220. 176 177
lxxxvii
Qur’ân dengan maksud sebagai bayân baginya.180 Kata-kata ”kasus tertentu” dan proses ”takhsîs” serta proses ”bayân” mengacu pada sifat maslahah tertentu yang tidak lain kecuali kebutuhan (necessity, darûriyyah) dan keperluan (need, hâjiyyah).181 Model al-maslahah al-Tûfî, dilihat dari sisi penerapannya, yakni ruang lingkup al-maslahah sebagai dalil hukum, hanya terbatas dalam bidang mu`âmalah dan yang disamakan dengannya, bukan dalam bidang `ibâdah dan yang disamakan dengannya.182 Dalam bidang yang pertama, dalil yang terkuat adalah al-maslahah, sedang dalam bidang yang terakhir, dalil yang dipedomani adalah al-nass dan al-ijmâ`. Yang termasuk ke dalam hal-hal yang disamakan dengan ibadah ialah ketentuan-ketentuan yang berbicara tentang hudûd dan `uqûbât (ancaman-ancaman hukuman atas pelaku tindak pidana), muqaddarât (ketentuan-ketentuan hukum yang memiliki ukuran dan batasan tertentu), yang semuanya didasarkan atas nass.183 Pengutamaan maslahah atas nass dan ijmâ’, dalam bidang mu`âmalah dan yang disamakan dengannya, oleh al-Tûfî didorong oleh keyakinannya bahwa sumber-sumber tekstual maupun pendapat yang diklaimkan ijmâ’nya adalah beragam, tidak konsisten dan seringkali bertentangan. Adapun prinsip maslahah adalah metode pengambilan keputusan yang konsisten.184 Akan tetapi al-Tûfî tidak memerinci kriteria masâlih secara konkrit, bagaimana mereka mesti diputuskan, khususnya dalam kasus di mana terdapat persoalan memilih di antara lebih dari satu maslahah. Dalam hal ini dia melangkah pada sikap ekstrim
al-Tûfî, Syarh Arba`în, dalam Zaid, al-Maslahah, Appendix, h. 17-18. Muslih al-Dîn, Philoshopy, h. 165. 182 Rahman, Konsep al-Maslahah, h. 318-319. 183 Rahman, Konsep al-Maslahah, h. 319. 184 al-Tûfî, Syarh Arba`în, h. 35-37. 180 181
lxxxviii
dengan menyarankan untuk membuat keputusan dengan cara mengundi,185 dalam arti luas voting. Dengan demikian, sebenarnya dalam model maslahah alTûfî belum tampak adanya reformulasi maslahah mulghah yang terumuskan
secara
sistematis
dan
implementatif.
Inilah
kelemahan pengembangan maslahah al-Tûfî sebagai prinsip mendasar penalaran. Kritik ini misalnya dikemukakan oleh Masud.186 Secara jelas hal ini terletak pada kenyataan bahwa dalam analisis terakhirnya ia pun masih memandang maslahah dalam perspektif ”empat sumber tradisional”. Baginya berpaling kepada maslahah adalah perlu hanya setelah sumber-sumber tradisional gagal.187 Meskipun demikian, model al-Tûfî memberikan kepada para juris makna-makna yang lebih mudah diterapkan untuk memperluas dan mengadaptasi hukum dengan menggunakan maslahah sebagai sebuah dalil hukum yang mandiri.188 Model maslahah al-Tûfî di atas tampak lebih liberal dibandingkan dengan dua model maslahah sebelumnya. Dengan demikian, model maslahah al-Tûfî merupakan terobosan yang sangat signifikan dalam upaya melakukan reformulasi maslahah ke arah yang lebih sistematis dan terperinci, agar lebih mengadaptasi hukum kepada realitas sosial. Relevansi model maslahah al-Tûfî bagi upaya reformulasi maslahah yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah penghilangan keterikatannya pada klasifikasi atau kategori maslahah menjadi mu`tabarah, mulghah dan mursalah. Meskipun demikian, tetap saja ada batasan yang dimaksudkan untuk mempertahankan nass, dalam soal ibadah dan yang disamakan dengannya. al-Tûfî, Syarh Arba`în, h. 47. Mas`ûd, Islamic Legal Philosophy, h. 165. 187 Mas`ûd, Islamic Legal Philosophy, h. 165. 188 Opwis, ”Maslahah”, h. 195. 185
186
lxxxix
4) Model al-Maslahah al-Syâtibî al-Syâtibî, seorang ulama mazhab Mâlikî,189 mendefinisikan maslahah dalam pengertiannya yang mutlak.190 Akan tetapi, Syâtibî juga memperhitungkan berbagai pengertian lain di mana maslahah bisa dikaji.191 Masâlih adalah salah satu dari dua unsur: keduniaan atau keakhiratan. Lebih jauh, masâlih ini bisa dilihat sebagai sebuah sistem; termasuk dalam berbagai derajat dan hubungan yang bisa didefinisikan satu dengan yang lain.192 Unsur kedua dalam arti maslahah adalah pengertian ”perlindungan kepentingan”. Syâtibî menjelaskan bahwa Syarî`ah berurusan dengan perlindungan masâlih yang bisa dicapai dengan salah dari dua cara. Pertama, dengan cara yang positif (murâ`atuhâ min jânib al-`wujûd), misalnya ketika, demi memelihara eksistensi masâlih, Syarî`ah mengambil tindakantindakan untuk menopang landasan-landasan masâlih tersebut. Kedua, dengan cara preventif (murâ`atuhâ min jânib al-`adam); untuk mencegah hilangnya masâlih, ia mengambil tindakantindakan untuk melenyapkan unsur apa pun yang secara aktual atau potensial merusak masâlih.193 Syâtibî membagi maqâsid atau masâlih berdasarkan tingkat signifikansinya bagi manusia menjadi tiga macam: yang
189 Nama lengkapnya adalah Abû Ishâq al-Syâtibî Ibrâhim bin Mûsâ al-Lakhamî alGharnatî al-Mâlikî. Untuk biografi kehidupan al-Syâtibî, karya-karya, dan fatwa-fatwanya dapat dilihat dalam Mas`ûd, Islamic Legal Philosophy, h. 35-143. 190 Definisi dimaksud:
وﻧﻴﻠﻪ ﻣﺎ ﺗﻘﺘﻀﻴﻪ أوﺻﺎﻓﻪ اﻟﺸﻬﻮاﻧﻴﺔ واﻟﻌﻘﻠﻴﺔ،وأﻋﻨﻲ ﺑﺎﻟﻤﺼﺎﻟﺢ ﻣﺎ ﻳﺮﺟﻊ إﻟﻰ ﻗﻴﺎم ﺣﻴﺎة اﻹﻧﺴﺎن وﺗﻤﺎم ﻋﻴﺸﻪ . ﺣﺘﻰ ﻳﻜﻮن ﻣﻨﻌﻤﺎ ﻋﻠﻰ اﻹﻃﻼق،ﻋﻠﻰ اﻹﻃﻼق ”Yang saya maksud dengan maslahah adalah apa-apa yang menyangkut rizki manusia, pemenuhan kehidupan manusia, dan pencapaian apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertiannya yang mutlak, sehingga ia merasakan kualitas tersebut secara mutlak --pula”. al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, juz 2, h. 20. 191 Mas`ûd, Islamic Legal Philosophy, h. 225. 192 al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, juz II, h. 7. 193 al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, juz II, h. 7.
xc
bersifat darûrî (musti/primer),194 hâjî (diperlukan/sekunder),195 dan tahsînî (dipujikan/tersier).196 Dari pembahasan maslahah al-Syâtibî menyimpulkan beberapa aturan sebagai ciri-ciri maslahah, yaitu:197 pertama, 194 Maqâsid darûrî dikatakan mesti karena mutlak diperlukan dalam memelihara masâlih dîn (agama dan akhirat), dan dunyâ, dalam pengertian bahwa jika masâlih tersebut rusak maka stabilitas masâlih dunia pun rusak. Kerusakan masâlih berakibat pada terputusnya kehidupan di dunia, dan di akhirat berakibat pada hilangnya keselamatan dan rahmat. Kategori masâlih darûrî terdiri dari kelima bidang berikut: agama, jiwa akal, keluarga, dan harta, yang menurut para ulama, telah diterima sebagai lima prinsip universal. Dalam menganalisa tujuan-tujuan kewajiban syar`î, ditemukan bahwa Syarî`ah juga memandang kelima hal tersebut sebagai mesti. Kewajiban-kewajiban syar`î bisa dibagi dari sudut pandang cara-cara perlindungan yang positif dan preventif menjadi dua kelompok. Termasuk dalam kelompok cara yang positif adalah `ibâdât (ritus, penyembahan), `adât (kebiasaan, adat istiadat), serta mu`âmalât (transaksi), dan termasuk dalam kelompok preventif adalah jinâyât (hukum pidana). `Ibâdât bertujuan melindungi agama, contohnya adalah zakat. `Adât bertujuan melindungi jiwa dan akal, contohnya mencari makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Mu`âmalât juga melindungi jiwa dan akal, tetapi dengan melalui `âdât. al-Syâtibî mendefinisikan jinâyât sebagai apa-apa yang menyangkut kelima hal di atas secara preventif; kelima masâlih menggariskan dihilangkannya apa-apa yang mencegah realisasi kepentingan-kepentingan tersebut. Untuk menjelaskan jinâyât, al-Syâtibî memberikan contoh qisâs (kisas) dan diyât (tebusan darah) bagi jiwa, dan hadd (hukuman untuk minum minuman keras) bagi perlindungan akal. al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, juz II, h. 7-8, dan juz III, h. 3-9. 195 Masâlih hâjiyât, dinamakan demikian, karena dibutuhkan untuk memperluas (tawassu`) tujuan maqâsid dan menghilangkan keketatan makna harfiah yang aplikasinya membawa kepada rintangan dan kesulitan, dan pada akhirnya berakibat kerusakan maqâsid (tujuan-tujuan). Jadi, jika hâjiyât tidak dipertimbangkan bersama dengan darûrât, maka manusia secara keseluruhan akan menghadapi kesukaran dan kesulitan. Akan tetapi, rusaknya hâjiyât tidaklah merusak seluruh masâlih, sebagaimana halnya darûriyât. Contoh-contoh hâjiyât adalah sebagai berikut: dalam `ibâdât, keringanan-keringanan dalam shalat dan puasa dikarenakan sakit (marad) atau melakukan perjalanan (safar), yang jika tidak ada keringanan tersebut pasti akan timbul kesulitan dalam shalat, puasa, dan lain-lain; dalam `âdât, dihalalkannya berburu; dalam mu`âmalât, dibolehkannya qirâd (menghutangkan uang), musâqâh (asosiasi pertanian) dan dalam jinâyah (tindak pidana, dibolehkannya bukti yang lemah dan tak mencukupi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kepentingan umum. al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, juz II, h. 9. 196 Masâlih tahsîniyyât (fasilitas, tersier) pengertiannya sebagai berikut. Tahsîniyyât berarti mengambil apa yang sesuai dengan kebiasaan (`âdât) yang paling baik dan menghindari cara-cara yang tidak disukai oleh orang-orang yang bijaksana. Jika kategori sebelumnya dimaksudkan untuk menghilangkan hal-hal negatif, maka kategori yang terakhir ini dimaksudkan untuk menguatkan dan mengembangkan sisi positif dalam kehidupan manusia. Tetapi, seperti dikatakan Safi, meskipun di sini al-Syâtibî tidak mengidentifikasi secara detail, atau bahkan hal yang bersifat general atau prinsipil, tetapi ia berpendapat bahwa tipe ini ”termasuk wilayah kebaikan dan moralitas” (makârim al-akhlâq). Tingkat tahsîniyyah ini juga berlaku pada bidang ibadah, adat, muamalah, dan jinayah. Dalam bidang adat seperti adab makan dan minum, menjauhi makanan yang terkena najis, minuman yang kotor, dan menghindari pemborosan (tabdzîr) atau terlalu irit dalam mengkonsumsi makanan dan minuman. al-Syâtibî, alMuwâfaqât, juz 2, h. 9-10, lihat Louay Safi, The Foundation of Knowledge: A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry (Kualalumpur: International Islamic University Malaysia dan International Institute of Islamic Thought, 1996), h. 93. 197 al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, juz II, h. 28-29.
xci
tujuan legislasi (tasyrî`) adalah untuk menegakkan masâlih di dunia ini dan di akhirat nanti, tetapi dengan cara yang tidak merusak sistem syariat; kedua, Syâri` menghendaki masâlih agar bersifat mutlak; dan ketiga, alasan bagi kedua pertimbangan di atas adalah bahwa Syariat telah dilembagakan sebagai abadî (kekal), kullî (universal), dan `âmm (umum) dalam kaitannya dengan semua jenis kewajiban (takâlif), mukallafîn (subyek hukum) dan ahwâl (kondisi, keadaan).198 Dengan demikian, model maslahah al-Syâtibî adalah penekanan pada bagian awal wahyu al-Qur’ân. Dia berpendapat bahwa surat-surat Makkiyyah berwujud pesan umum Islam di mana
sumber-sumber
kuliyyah).
universal
Sumber-sumber
hukum
universal
yang
diturunkan dipelihara
(usûl atau
dijadikan tujuan Syarî`ah (maqâsid al-Syarî`ah), sebagaimana telah disebutkan, ada lima: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.199 Dalam pandangan al-Syâtibî, karena sifat universalnya itu, maqâsid al-Syarî`ah adalah qat`î, dari segi landasan hukum, dapat dipertanggung jawabkan. Ia menjadi sesuatu yang penting dalam penetapan hukum.200 Surat-surat
Madaniyyah,
sebagaimana
halnya
Sunnah,
melembagakan hukum yang bersifat partikular (juz’iyyât), untuk Ciri-ciri tersebut menuntut maslahah yang bersifat mutlak sekaligus universal (kullî). Kemutlakan berarti masâlih tidak boleh bersifat relatif dan subyektif. Relativitas biasanya didasarkan pada penyamaan maslahah dengan salah satu hal berikut: ahwâ’ al-nufûs (selera pribadi), manâfi` (keuntungan pribadi), nail al-syahawât (pemenuhan kehendak nafsu), dan aghrâd (kepentingan individu). Sedangkan universalitas berarti tidak dipengaruhi oleh takhalluf (kekurangan) dalam hal-hal khususnya (juz`iyyât). Sebagai contohnya, bahwa sanksi hukum dikenakan atas dasar aturan universal bahwa sanksi itu pada umumnya mencegah manusia dari melakukan kejahatan. Dengan kata lain, sanksi hukum itu menimbulkan efek jera bagi pelakunya, dan agar orang lain tidak melakukan tindakan (perbuatan) serupa. Namun, ada manusia yang meskipun dikenai sanksi tetap tidak mau berhenti melakukan kejahatan. Meskipun demikian, perkecualian-perkecualian (istitsnâ’iyyât) seperti ini tidaklah mempengaruhi kesahihan aturan tetang sanksian. al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, juz II, h. 29-31, juz III, h. 5-11, dan Mas`ûd, Islamic Legal Philosophy, h. 234. 199 al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, juz III, h. 33-36. 200 al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, juz III, h. 3-5. 198
xcii
memberikan penjelasan (bayân/tafsîl), pengkhususkan (takhsîs), pensyaratan (taqyîd) atau pelengkap (bast) terhadap surat-surat alQur’ân yang awal.201 Dia mempertimbangkan sumber-sumber universal hukum, yang ada pada ayat-ayat Makkiyyah, agar menjadi pasti (qat`î) dan kekal (abadî), tidak menerima naskh,202 sedangkan bagian-bagian tertentu al-Qur’ân dan Sunnah adalah bersifat tidak pasti dan bisa berubah (zannî, probable and subject to change).203 Bagi al-Syâtibî, menarik maslahah dan menghindarkan mafsadah (jalb al-masâlih wa daf` al-mafsadah) berada pada tingkat kemestian (darûriyyah), kebutuhan (hâjiyyah), dan kelengkapan (tahsîniyyah) yang merupakan sumber universal hukum ( أﺻﻮل اﻟﺸﺮﻋﻴﺔ )اﻟﻜﻠﻴﺔ.204 Sebuah situasi yang tidak mempunyai dalil tekstual harus diputuskan sebagai peneguhannya pada suatu hukum melalui evaluasi maslahahnya.205 Dalam kasus di mana terdapat sebuah ketentuan partikular baik dari al-Qur’ân atau Sunnah yang bertentangan dengan sumber universal, seperti maslahah, alSyâtibî mengutamakan (memberikan pertimbangan lebih besar kepada) sumber universal.
Meskipun demikian, dia tidak
menjadikan maslahah lebih diutamakan dalam setiap kasus (peristiwa). Yang dimaksudkan hanyalah pengecualian ketentuanketentuan partikularnya yang berupa keringanan (rukhas, j. rukhsah)
atau
kekhususan
(takhsîsât).206
Lebih
dari
itu,
pertimbangan-pertimbangan maslahah tidak boleh membawa perubahan terhadap
perbuatan-perbuatan
ibadah
(`ibâdât),
perbuatan-perbuatan yang telah terjadi atau sedang terjadi selama masa Nabi dan yang telah menerima sebuah ketentuan, dan al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, juz III, h. 33-36, 304-305, 315, juz IV, h. 9-15. Lihat al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, juz III, h. 77-79. 203 al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, juz I, h. 19-27. 204 al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, juz I, h. 20-21, juz 3, h. 3-5 205 al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, juz I, h. 27-28, juz II, h. 251-253, juz III, h. 53-55, dan juz IV, h. 149-152. 206 al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, juz III, h. 6-11. 201
202
xciii
praktek yang terus berlangsung dari masyarakat Islam awal.207 Perbuatan lainnya mungkin diputuskan menurut maslahah yang memerlukan prasyarat-prasyarat tertentu, yang, tentu, beragam menurut tempat (makân, place), waktu (waqt, time), dan orang (syakhs, person).208 Teori al-Syâtibî dengan sistem komprehensif menyuguhkan kepada para yuris untuk memperluas dan mengadaptasikan hukum kepada keadaan-keadaan baru.209 Model maslahah al-Syâtibî lebih luas cakupannya dibandingkan dengan model maslahah al-Ghazâlî/al-Râzî, karena tidak membatasi maslahah pada level darûriyyah saja. Keempat model maslahah yang telah diuraikan di atas telah berkembang lebih dari empat abad yang lalu. Sedangkan elemenelemen unsur dalam konsep maslahah tersebut tidaklah berubah setelah al-Ghazâlî memberikan penjelasannya pada akhir abad ke5/11, namun penggunaan konsep hukum ini telah berubah pada periode ini (akhir abad ke-5/11) dari sebuah prinsip hukum cabang (al-Ghazâlî) kepada prinsip fundamental (pokok) di mana keseluruhan teori hukum dan penemuan hukum telah dibangun (al-Syâtîbî). Transformasi ini, yang didasarkan pada perubahanperubahan
dalam
logika
hukum
dan
epistemologi,
telah
berpengaruh pada suatu perluasan di mana maslahah dapat dipakai untuk perluasan dan adaptasi hukum terhadap situasisituasi baru. Jadi, maslahah, sebagai sebuah sarana untuk merubah hukum, berpijak pada penekanan seorang yuris pada penalaran hukum formal atau substantif dan cara di mana ia mengintegrasikan maslahah ke dalam proses penemuan hukum.210
al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, juz III, h. 37. al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, juz II, h. 6-11. 209 Opwis, ”Maslahah”, h. 196-197. 210 Lihat Opwis, ”Maslahah”, h. 197. 207
208
xciv
Meskipun demikian, masâlih yang dipahami oleh para ulama itu adalah masâlih yang bukan mulghah, sebab yang tergolong mulghah, menurut mereka tidak dapat dijadikan pertimbangan hukum. Dalam keadaan seperti ini, tidak jarang apa yang tergolong masâlih mulghah itu sendiri justru sesuai dengan prinsip-prinsip Islam seperti keadilan, dan kemaslahatan, dan maksud hukum dalam suatu sanksi hukum dilihat dari pespektif sosiologis untuk menimbulkan efek menjerakan, yang termasuk dalam tindakan preventif dan tindakan kuratif, seperti dalam kasus pemberian fatwa terhadap salah seorang raja yang melakukan hubungan badan pada siang hari di bulan Ramadân agar berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Untuk memperjalas keempat model maslahah yang telah diuraikan di atas, berikut ditampilkan tabel perbandingannya.
N
M
K
Implikasi/
o
o
l
.
d
a
e
s
l
i f
M
i
a
k
s
a
l
s
a
i
h
/
a h
P e n
xcv
Tingkat Aplikasi
e k a n a n .1
m•
maslahah mu`tabarah •
l
a
diterima secara mutlak
-
s
G
l
h
a
a
h
diterima
z
a
syarat
â
h
(darûriyyah, qat`iyyah,
a
maslahah
mulghah • ditolak
maslahah mursalah • dengan ketat dan kulliyyah)
l î
d
/
i
a
k
s
l
l
a
a
s
h
i
a
f
h
a l R â z
m •
i
î
k
s
a
a
s
n
i
g
k
a
a
t
n k
xcvi
m
e
e
t
n
a
j
t
a d i 3 : m u ` t a b a r a h ; m u l g h a h ; m
xcvii
u r s a l a h p• e r l i n d u n g a n m a k s u d S y â r i `
xcviii
( t e k s t u a l n a s s )
.2
m •
i
a l Q
d
a
e
s
m
l
a
a
r
h
â
a
f
h
î m u r s a
xcix
l a h d i t e r i m a p a d a s e m u a l e v e l : d a
c
r û r i y y a h , h â j i y y a h , m a u p u n t a h s î n
ci
i y y a h l • e b i h l o n g g a r .3
t • maslahah
a l
a
-
n
T
p
û
a
f k
î
l a s i f i k
cii
adalah •
hujjah/dalil mandiri paling longgar •
a s i ( m a s l a h a h m u j a r r a d a h ) ; y a n g
ciii
m e n j a d i t o l o k u k u r a d a l a h k e m a s l a
civ
h a t a n i t u s e n d i r i , d a n s e b e r a p a b
cv
e s a r t i n g k a t p e r b a n d i n g a n a n t a r a
cvi
m a s l a h a h d a n m a f s a d a h n y a p • e r l i n d u
cvii
n g a n k e m a s l a h a t a n m a n u s i a ( m a s â l i
cviii
h a l ` i b â d ) .4
i •
a
m •
l
d
a
-
e
s
S
m
l a
y â
d
h
t
e
a
i
n
h
b
g
î
a
m
n
u r
k
s
l
a
a
l
s
a
i
h
f
cix
i
d
k
i
a
t
s
e
i
r i
a
m
l
a
G
p
h
a
a
d
z
a
â l
s
î
e
/
m
a
u
l
a
R
l
â
e
z
v
î
e
/
l
a
:
l -
d
Q
a
a
r
r
û
â
r
f
i
î
y y
cx
p •
a
e
h
n
,
e k
h
a
â
n
j
a
i
n
y y
p
a
a
h
d
,
a m b
a
a
u
g
p
i
u
a
n
n t a
a
w
h
a
s
l
î n
w
i
a
y
h
y
y
a
u
h d •
cxi
a
a
l
p
-
a
Q
t
u r
m
’
e
â
n
n
j a
y
d
a
i
n g
d a
b
l
e
i
r
l
i
/
s
H
i
u j
p
j
r
a
i
h
n s
o
i
d
p
e
-
r
p
a
r
t
i n s
cxii
m •
i p u m u m ( M a q â s i d a l S y a r î ` a h )
Tabel 1: Perbandingan Model al-Maslahah Klasik b. Konsep al-Maslahah Kontemporer
cxiii
Pada perkembangan selanjutnya, tepatnya pada awal abad ke20 ada model rumusan maslahah, dibuat para ahli hukum Islam setelah gerakan reformis awal yang diwakili oleh Rasyîd Ridâ dan ulama semisalnya, berbeda dari model maslahah al-Tûfî, di mana penafsiran maslahahnya masih diragukan sebagai tipe doktrin utilitarianisme. Para kritikus menuduh al-Tûfî perihal penggunaan nalar untuk membatasi perintah-perintah Tuhan dan dalam merubah keputusan hukum wahyu.211 Ada
beberapa
faktor
yang
mendorong
para
yuris
itu
mereformulasi konsep al-maslahah al-Tûfî dan memilih model lainnya yang dibuat para yuris pada periode Pertengahan. Pertama, adanya keraguan menggolongkan model al-maslahah al-Tûfî sebagai doktrin utilitarian. Kedua, adanya marjinalisasi hukum Islam yang terus berlangsung di negeri-negeri Timur Tengah dan Afrika Utara. Sedangkan pada permulaan abad ke14/20 hukum Islam dan pendukung-pendukungnya pengaruh
kekuasaan,
masih
yang
mempertimbangkan
pengaruh
ini
kemudian
adanya semakin
mengendur seiring kehancuran kekuasaan Utsmânî setelah Perang Dunia I dan pembentukan serta kebangkitan negara-negara bangsa (nation states). Kebanyakan negeri-negeri itu membangun prinsipprinsip hukumnya yang secara luas didasarkan pada hukum Barat. Sedangkan hukum keluarga dan hukum status personal (family and personal status law, ahwâl al-syakhsiyyah), yang secara besar termuat dalam hukum Islam, dikodifikasi. Pertumbuhan dalam legislasi
sekular,
mengidentifikasi
seringkali dengan
dilakukan
oleh
ideologi-ideologi
pemerintah
yang
bukan
yang agama,
mempersempit kepentingan sosial hukum Islam. Mesir dan Tunisia, misalnya, menghapuskan peradilan Syarî`ahnya pada tahun 1370-an/ 211 Bandingkan Badrân Abû al-`Ainain Badrân, Usûl al-Fiqh al-Islâmî (Alexandria: Mu’assasat Syabâb al-Jâmi`ah, 1984), h. 213; `Abd al-Wahhâb Khallâf, Masâdir al-Tasyrî` al-Islâmî Fî Ma Lâ Nassa Fîh (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1414/1993), h. 101; dan Opwis, ”Maslahah”, h. 201.
cxiv
1950-an. Tuntutan agar hukum Islam dapat berfungsi dalam sistem negara modern dan agar tidak tereduksi kepada persoalan-persoalan status personal saja merupakan isu penting bagi para ahli hukum Islam sepanjang abad ke-14/20.212 Berdasarkan
penelitian
Opwis,213
ada
dua
trend
atau
kecenderungan umum yang dapat dibedakan di antara para ahli hukum Islam yang menggunakan konsep maslahah setelah para reformis awal. Para yuris yang termasuk dalam keagamaan tradisional yang mapan, yaitu muftî atau para guru besar hukum Islam, yang berpendidikan dan/atau berperan di lembaga seperti al-Azhar, lebih bersandar kepada model maslahah al-Ghazâlî/al-Râzî dan al-Qarâfî. Sedangkan para juris yang memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah bergaya Barat dan/atau yang secara dekat terlibat dengan sektor negara non-keagamaan, seperti pengacara atau politisi, lebih tertarik kepada teori hukum al-Syâtibî. Di antara pemikir kontemporer yang membahas tentang maslahah adalah al-Khâllâf, al-Bûtî, Taha, dan Mas’udi. Di sini pembahasan konsep maslahah kontemporer dibatasi pada keempat pemikir tersebut. Pembatasan ini didasarkan beberapa alasan, di antaranya, keempatnya
mempunyai pemikiran tentang maslahah
yang berbeda. Keempatnya mempunyai karya yang terkait langsung dengan pembahasan maslahah. Bahkan di antara karya dan pemikiran mereka
menjadi
kontroversi.214
Di
samping
itu,
keempatnya
mempunyai pengaruh yang kuat di tempatnya masing-masing, sehingga dapat dianggap mewakili tempatnya tersebut.215
Opwis, ”Maslahah”, h. 201-202. Opwis, ”Maslahah”, h. 202. 214 Misalnya karya Mas’udi, Agama Keadilan, pernah menjadi kontroversi karena di dalamnya dikemukakan pendapatnya bahwa zakat dan pajak adalah sama. 215 Khallâf merefresentasikan Mesir, al-Bûtî merefresentasikan Tunisia, Taha merefresentasikan Sudan, dan Mas’udi merefresentasikan Indonesia, sebagai negara demokrasi yang berpenduduk mayoritas Muslim, bahkan terbesar di dunia. 212 213
cxv
Berikut diuraikan sekilas tentang model maslahah para pemikir kontemporer dimaksud, secara berurutan, mulai dari alKhallâf, al-Bûtî, Taha, hingga Mas’udi. 1) Model Maslahah Khallâf Konsep maslahah yang digunakan Khallâf adalah model maslahah al-Ghazâlî/al-Râzî.216 Tujuan eksplisitnya adalah untuk menolak klaim orientalis bahwa sumber-sumber Syarî`ah tidak fleksibel dan tidak dapat beradaptasi dengan perkembangan masyarakat. Dia ingin menunjukkan bahwa sumber-sumber legislasi Islam tidaklah terbatas pada teks-teks atau konteks historis tertentu namun lebih dari itu, termasuk praktek ijtihâd, mewariskan kemajuan legislatif dan pembuatan hukum yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan negara-negara Muslim. Di sinilah peran ijtihâd.217 Meskipun Khallâf mendiskusikan maslahah mursalah lagi di bawah kerangka istislâh, dia sama sekali tidak menambahkan dimensi ataupun membuat teori atau pendekatan ijtihâd yang baru. Seperti halnya yang dia sebutkan bahwa maslahah mursalah itu berada dalam kerangka ini hanya untuk membedakannya dari metode istihsân. Istislâh, menurut Khallâf, berada di dalam kategori analogi legal (qiyâs) dan ratio legisnya munâsib mursalah.218 Derivasi suatu hukum berdasarkan maslahah mursalah merupakan Lihat Opwis, ”Maslahah”, h. 210. Uraian maslahahnya dimuat dalam bukunya, Masâdir al-Tasyrî` al-Islâmî fî Mâ lâ Nassa Fîh (Sumber-sumber Legislasi Islam dalam Kasus tanpa Nass). 217 `Abd al-Wahhâb Khallâf, Masâdir al-Tasyrî` al-Islâmî fî Mâ lâ Nassa Fîh, (Kairo: Dâr al-Qalam, 1979), h. 156-157, Opwis, ”Maslahah”, h. 210. Pada masa Khallâf hukum Islam semakin termarjinalkan dalam pengadilan orang-orang Mesir, di mana hukum Islam saat itu memperoleh model pembuatan perundangan-undangan yang diinspirasi oleh hukum Barat. Khallâf, sebagaimana kalangan reformis awal, berusaha mengcounter tantangan yang dihadapi hukum Islam tersebut dengan cara mempromosi-kan prinsip hukum yang dapat diterima oleh beragam kelompok Islam. Baginya konsep maslahah tersebut merupakan cara untuk mencapai kesatuan -dan kekuatan-- dalam legislasi Islam. Opwis, ”Maslahah”, h. 209-210. 218 Khallâf, Masâdir al-Tasyrî`, h. 85-88. 216
cxvi
metode yang sangat penting bagi persoalan-persoalan yang tidak ada petunjuk nassnya secara jelas.219 Persoalan pokok istislâh tersebut adalah semua bidang kecuali bidang`ibâdât, hudûd, dan kaffârât, bagian-bagian diberikan
warisan,
ketentuannya
dan
persoalan-persoalan
dalam
al-Qur’ân,
yang
misalnya
telah `iddah
perempuan yang dicerai (`iddat al-mutallaqah) atau `iddah karena kematian suaminya (`iddat al-mutawaffâ `anhâ zaujuhâ).220 Dengan demikian, model maslahah Khallâf semakin meneguhkan model maslahah para ulama Abad Pertengahan yang lebih membatasi maslahah pada maslahah yang mu`tabarah. Akan tetapi, Khallâf hanya sedikit memperluas maslahah mursalah, walaupun ia tetap mengabaikan maslahah mulghah secara mutlak. 2) Model Maslahah al-Bûtî Model maslahah al-Bûtî mendapatkan pengaruh dari model maslahah al-Ghazâlî/al-Râzî. 221 al-Bûtî, dengan mengadopsi definisi maslahah al-Ghazâlî/al-Râzî, menekankan bahwa akal saja tidak mampu menyerap aturan yang telah diberikan dalam Syarî`ah atau mengerti maksud urgensi suatu kemestian (darûrât).222 Demikian juga, al-Bûtî menolak ide bahwa maslahah dapat dibatasi/ ditentukan dengan kebiasaan (adat) masyarakat atau dengan tingkat kebahagiaan personal dari seorang individu atau sebuah Khallâf, Masâdir al-Tasyrî`, h. 85. Khallâf, Masâdir al-Tasyrî`, h. 39. 221 al-Bûtî merekapitulasi kembali sejumlah karya penting tentang konsep maslahah para ulama dari rumusan-rumusan klasik kepada periode kontemporer. Dia mengkritik penafsiran maslahah yang liberal, pada saat yang bersamaan ia pun memberikan kriteria detail untuk menentukan apakah sesuatu yang dinyatakan sebagai maslahah itu bisa dijadikan sebagai dasar yang valid bagi pembentukan ketentuan hukum. Dia ingin menghidupkan kembali penggunaan maslahah sebagai sarana untuk membuat atau merubah ketentuan hukum tekstual dan bangunan hukum yang telah dibangun oleh para ulama generasi sebelumnya tanpa memilih pada sumbersumber hukum seperti al-Qur’ân, Sunnah, dan qiyâs. Muhammad Sa`îd Ramadân al-Bûtî, Dawâbit al-Maslahah Fî al-Syarî`ah al-Islâmiyyah, edisi ke-4 (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1982), h. 11-15. 222 al-Bûtî, Dawâbit al-Maslahah, h. 48, 50, 58-61, 65-66. 219
220
cxvii
kelompok.223
Maslahah
duniawi
hanya
dapat
ditentukan
berdasarkan atas sejumlah pernyataan tekstual al-Qur’ân, Sunnah dan analogi yang benar terhadap teks (qiyâs sahîh).224 Lebih lanjut, maslahah agar absah secara legal harus menyinggung pada perlindungan lima elemen-elemen esensial (al-kulliyyah alkhamsah): agama, jiwa/kehidupan, akal, keturunan, dan harta. Singkatnya maslahah, bukanlah dalil hukum yang mandiri sebagaimana pemikiran al-Tûfî.225 al-Bûtî menolak formulasi, yang berulangkali digunakan Khallâf, bahwa ”dimanapun seseorang menemukan
maslahah¸
maka
di
sanalah
terdapat
Syariat
Tuhan.”226 Di samping fakta bahwa al-Bûtî mengadopsi model maslahah al-Ghazâlî/al-Râzî dan, seperti kita lihat, elemen-elemen pemikiran al-Qarâfî, dia meletakkan elaborasi maslahahnya dalam bahasa yang digunakan al-Syâtibî. Dia mempertimbangkan realisasi maslahah orang mukmin menjadi pengertian hukum yang universal; partikular-partikular yang menyinggung pada pengertian universal adalah ketentuan-ketentuan yang jelas yang bergantung pada
kriteria
yang
mengindikasikan
maslahahnya.
Ketika
memerankan berbagai pertimbangan maslahah dalam proses penemuan hukum, adalah mungkin bahwa sebuah aturan partikular berlawanan dengan aturan universal untuk mencapai maslahah orang mukmin. Untuk mencapai keselarasan dan harmonitas di antara ketentuan-ketentuan yang (tampak) berlawanan itu, al-Bûtî menerapkan dua strategi: pertama, pengertian maslahah universal
al-Bûtî, Dawâbit al-Maslahah, h. 25-28. al-Bûtî, Dawâbit al-Maslahah, h. 15, 60. 225 al-Bûtî mengkritik al-Tûfî, lihat al-Bûtî, Dawâbit al-Maslahah, h. 129, 140, 202-215. 226 al-Bûtî, Dawâbit al-Maslahah, h. 147; Khallâf, Masâdir al-Tasyrî`, h. 90, 101, 160. 223
224
cxviii
diikat (dibatasi) dengan batasan-batasan (dawâbit); dan kedua, maslahah itu dihubungkan dengan dalil-dalil hukum yang jelas.227 Menurut
al-Bûtî,
batasan-batasan
yang
tepat
yang
membatasi pengertian maslahah universal, pada satu sisi, adalah maslahah yang valid secara legal harus mengandung perlindungan (al-kulliyyah al-khamsah) pada tingkat kemestian (darûriyyât), kebutuhan (hâjât), atau tersier (tahsîniyyât); dan pada sisi lainnya, maslahah itu tidak bertentangan dengan ketentuan alQur’ân, Sunnah maupun qiyâs. Misalnya, penghapusan poligami berpijak pada kerangka maslahah, seperti yang diundangundangkan di Tunisia, menurut al-Bûtî tidaklah benar bahkan merupakan maslahah mauhûmah. Demikian juga, pembagian warisan sama untuk saudara-saudara perempuan dan anak laki-laki bukanlah didasarkan pada maslahah yang nyata, dan bertentangan dengan ketentuan al-Qur’ân sehingga tidaklah absah.228 al-Bûtî, Dawâbit al-Maslahah, h. 115-116. Dari pandangan al-Bûtî di atas, tampak jelas bahwa ia tetap berpegang pada klasifikasi maslahah mulghah. Bahwa apa yang bertentangan dengan teks nass, meskipun terdapat kemaslahatan, seperti kemaslahatan dihapuskannya poligami untuk menghindarkan kemadaratan yang ditimbulkannya, dan keadilan serta kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam pembagian warisan tersebut, haruslah diabaikan (maslahah mulghah). Menurut penulis, pada dasarnya dalam kasus pertama, yakni poligami, ada kemaslahatan, sehingga poligami boleh dilakukan. Meskipun demikian, dalam kasus tertentu, poligami bisa dibatasi, bukan berarti dihapuskan secara total. Artinya, tidak semua orang diperkenankan poligami. Dalam hal ini, syaratsyarat yang ketat perlu diterapkan, dan negara melalui lembaga pengadilan punya peran memberikan izin ataupun tidak terhadap seorang yang akan berpoligami. Penghapusan total poligami itu berarti meniadakan kemaslahatan yang bisa dicapai dari poligami itu. Sedangkan dalam kasus kedua, jelas keadilan merupakan tujuan Syariat yang mesti diwujudkan. Karena itulah, pembagian waris setara antara anak perempuan dan anak laki-laki selaras dengan tujuan Syariat, berupa keadilan, dan pemenuhan prinsip kesetaraan. Dalam konteks inilah, keadilan berarti fifty-fifty. Sungguhpun demikian, makna keadilan tersebut juga erat kaitannya dengan tanggung jawab yang dipikul oleh masing-masing ahli waris dalam hal ini anak laki-laki dan anak perempuan. Ketika tanggung jawab anak perempuan tersebut lebih besar dibandingkan saudara laki-lakinya, --misalnya ia yang membiayai nafkah orang tua mereka, atau saudara-saudara laki-lakinya yang sama-sama menjadi ahli waris orang tua yang meninggal dunia itu,-- maka sudah sewajarnya anak perempuan tersebut mendapatkan bagian setara dengan bagian saudara laki-lakinya, bahkan bisa jadi lebih banyak dibandingkan bagian saudara laki-lakinya tersebut. Inilah makna keadilan yang kedua, yaitu keadilan sesuai dengan besar kecilnya tanggung jawab yang dipikul. Menurut al-Bûtî satu-satunya metode yang benar untuk membatasi ketentuan asli teks adalah takhsîs (spesifikasi). al-Bûtî membahas beragam spesifikasi ini, termasuk kasus di mana ketentuan umum al-Qur’ân dan Sunnah ditakhsîs dengan ketentuan hukum yang ditarik malalui 227
228
cxix
Teori maslahah al-Bûtî telah menjadi pola tersendiri setelah model maslahah al-Ghazâlî/al-Râzî, meskipun dia lebih keras daripada para pendahulunya dalam menjadikan peran maslahah dalam memperluas hukum yang hanya dapat dilakukan melalui prosedur qiyâs. Dia menafsirkan kembali maslahah ghairu mu`tabarah dengan menggunakan prosedur pengecualian penggunaannya dari mengadaptasi hukum yang mapan. Dalam teori hukum al-Bûtî aturan-aturan wahyu lebih sedikit dapat diadaptasi
atau
diikuti
daripada
teori
hukumnya
Khallâf.
Dibandingkan dengan para juris lainnya, dia beranjak lebih jauh dalam mempertahankan hukum Islam dalam bagian partikularnya. qiyâs. Misalnya, ayat al-Qur’ân yang melarang merampas atau mengambil harta milik orang lain secara paksa bisa ditakhsîs dengan qiyâs kepada al-Qur’ân yang membolehkan memakan bangkai (ma’itah) ketika dalam keadaan darurat. Dalam kasus darurat seperti itu boleh mengambil uang yang menjadi hak milik orang lain. Tipe takhsîs yang lainnya adalah ketika pernyataan-pernyataan tekstual ditakhsîs dengan persepsi-persepsi hukum, seperti ”kesukaran itu menarik kepada kemudahan” (al-masyaqqat tajlib al-taisîr). Validitas ketentuan hukum yang spesifik di atas ketentuan cabang-cabang umum menjadi ketentuan universal yang bertujuan pada pencapaian maslahah bagi orang mukmin. Namun, bagi al-Bûtî, spesifikasi berarti bahwa ketentuan yang spesifik mempunyai dasarnya dalam teks-teks al-Qur’ân dan Sunnah. Maslahah yang tak terbatas tidak dapat menjadi mukhassîs dan berada di luar ketentuan tekstual atau salah satunya berpijak pada qiyâs. Jadi, adaptasi hukum yang mapan dari al-Qur’ân dan Sunnah kepada situasi-situasi baru dibatasi untuk membandingkan (menyamakan) ketentuan-ketentuan yang didasarkan kepada teks yang berbeda dan menentukan. Strategi al-Butî yang kedua untuk mencapai keserasian antara hukum yang bersifat universal, dalam rangka mencapai maslahah mukmin, dan ketentuan-ketentuan konkret yang bersifat partikular adalah mengelaborasi kriteria apakah yang menetapkan sebuah maslahah dalam kasus di mana nass diam, tidak membicarakannya. Dalam kasus seperti ini dia secara dekat mengikuti model maslahah al-Ghazâli/al-Râzî dan menyatukan maslahah mursalah dibawah rubrik qiyâs dalam bentuk karaktrek-karakter yang sepadan (munâsib mulâ’im). Maksud dari skala al-Bûtî tersebut merefleksikan tujuan umumnya untuk menerapkan maslahah sebagai sebuah dalil independen dalam proses pencarian hukum, secara langsung, tanpa mengalami kesulitan memberlakukan sumber-sumber hukum. Dalam konsep teori hukum al-Bûtî, maslahah berfungsi sebagai sebuah kriteria untuk memperluas hukum di dalam kerangka qiyâs ketika nass tidak membicarakan hukum itu. Dengan mengadopsi model maslahah alGhazâlî/al-Râzî, al-Bûtî mampu memberikan ketentuan hukum yang diletakkan dalam kitab suci. Ini berarti bahwa maslahah tidak dapat digunakan untuk mengadapsi hukum dengan membentuk ketentuan-ketentuan lain yang telah mapan dalam al-Qur’ân dan Sunnah. Ketentuan teks yang sahîh hanya mungkin tidak diikuti karena sejumlah ketentuan teks yang lain, yakni maslahah mursalah, dengan cara-cara mengkhususkan (takhsîs) atau persepsi-persepsi hukum seperti menghilangkan kesukaran (raf` al-haraj), darurat (emergency), atau memberikan kemudahan (taisîr). Penggunaan persepsi-persepsi hukumnya menyerupai model maslahah al-Qarafî, meskipun ada sedikit perbedaan di mana al-Bûtî tidak mengikatkan persepsi-persepsi hukum itu kepada maslahah namun kepada pernyataan-pernyataan dari al-Qur’ân dan Sunnah.
cxx
Contoh-contoh kasus yang dia kemukakan di atas menunjukkan bahwa hukum Islam adalah
sistem
hukum yang mampu
memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan masa modern dewasa ini. Meskipun demikian ketentuan-ketentuan hukum yang dihasilkan itu mungkin tidak begitu memenuhi keinginan kaum Muslim bagi pendapat-pendapat hukum, yang dalam pemikiran alBûtî
merupakan
tujuan
Syâri`
yang
tidak
kekal
dalam
mewahyukan hukum-Nya.229 Dengan demikian, model maslahah al-Bûtî tetap belum beranjak jauh dari model maslahah konvensional; yakni tetap mengabaikan maslahah mulghah secara mutlak. 3) Model Maslahah Mahmûd Muhammad Taha Maslahah dalam pemikiran Taha diletakkan dalam teori naskh (evolusi) tentang hukum-hukum yang prinsipil dan hukumhukum yang cabang. Model Maslahah Taha banyak dipengaruhi oleh model Maslahah al-Syâtibî.230 Maslahah dalam pemikiran Taha diletakkan dalam teori naskhnya tentang hukum-hukum yang prinsipil (usûl) dan hukum-hukum yang cabang (furû`). Taha menekankan bahwa wahyu Makkah yang pertama adalah berwujud prinsip-prinsip (usûl al-Qur’ân) yang tetap (tidak berubah, qat`î), sedangkan wahyu hukum yang termasuk dalam surat-surat Madaniyyah adalah cabang-cabang turunannya (furû` al-Qur’ân),231 yang sifatnya tidak tetap (ghair qat`î). Prinsip-prinsip universal, yang menjadi landasan pemikiran Taha di atas, antara lain adalah kebebasan (al-hurriyyah,
Opwis, ”Maslahah”, h. 220. Model maslahah al-Syâtibî lihat pada bahasan sebelumnya. 231 Lihat Taha, al-Risâlah al-Tsâniyyah, h. 116-119, The Second Message, h. 130-134. 229
230
cxxi
freedom),232 kesetaraan (al-musâwah, equality),233 dan keadilan (al-`adâlah, justice).234 Prinsip-prinsip ini dijadikan bingkai/ kerangka yang disebutnya dengan istilah pesan kedua Islam (alRisâlah al-Tsâniyyah min al-Islâm, the Second Message of Islam),235 yang bersifat permanen, terkandung dalam ayat-ayat Makkiyah,
yang
tepat
diterapkan
pada
abad
XX-an
ini,
menggantikan pesan pertama Islam yang lebih bersifat temporer, seperti ketentuan-ketentuan hukum Islam abad VII hijrah.236 Taha berpendapat bahwa wahyu Madaniyyah yang berasal dari hukum-hukum yang prinsipil itu mewakili aturan-aturan yang sesuai bagi masyarakat di mana wahyu al-Qur’ân itu diturunkan.237 Sebagaimana al-Syâtibî, pemahamannya pada hukum-hukum Islam Berdasarkan prinsip kebebasan, dia menegaskan bahwa perbudakan yang masih terdapat dalam pesan pertama Islam, bukanlah ajaran murni Islam; al-hijâb bukanlah ajaran murni Islam; ia merupakan cabang saja (al-far`), yang merupakan ajaran murni (al-asl) Islam adalah al-sufur, karena sesuai dengan prinsip kebebasan. Demikian itu, karena tujuan Islam adalah `iffah (kesucian) yang terletak dalam hati. Menurut Taha, prinsip kebebasan dalam Islam ini adalah mutlak. Kebebasan mutlak ini merupakan hak setiap individu sebagai manusia (HAM), tanpa memandang agama ataupun etinisnya. Namun, perlu digaribawahi, bahwa kebebasan mutlak ini merupakan hak yang harus diimbangi dengan kewajiban. Hak tersebut harus diimbangi dengan kewajiban, dan kewajiban tersebut adalah menggunakan kebebasan secara baik. Kebebasan menjadi terbatas hanya ketika kebebasan tidak diimbangi dengan sikap konsisten dengan kewajibannya. Dalam kondisi seperti ini, kebebasan dicabut untuk kemudian dibatasi dengan batas-batas di mana ia tidak sanggup (untuk menjalankannya), dan dicabut dengan UU. UU dalam Islam (al-qawânîn al-dustûriyyah fî al-Islâm) adalah suatu peraturan yang memiliki kemampuan untuk memadukan antara kebutuhan individu (hâjat al-fard) terhadap kebebasan mutlak individual dengan kebutuhan kelompok (hâjat al-jamâ`ah) terhadap keadilan sosial yang menyeluruh. UU ini tidak mengorbankan individu untuk kepentingan kelompok (maslahah aljamâ`ah), dan tidak pula mengorbankan kelompok untuk kepentingan individu (maslahah alfard) tetapi merupakan UU yang seimbang antara keduanya. Jadi, menurut Taha kebebasan akan terwujud ketika UU tersebut diaplikasikan, dengan segala bagian-bagiannya, kepentingan individu dan kepentingan kelompok secara bersama-sama, dalam satu sistem yang sama. Lihat Mahmûd Muhammad Taha, al-Risâlah al-Tsâniyyah min al-Islâm, edisi ke-5 (T.Tp.: TP, t.t.), h. 39; Mahmûd Muhammad Taha, The Second Message of Islâm, penerjemah `Abd Allâh Ahmad alNa`îm (New York: Syracuse University Press, 1996), h. 64-65. 233 Prinsip kesetaraan yang berwujud kesetaraan ekonomi (economic equality), kesetaraan politik (political equality) dan kesetaraan sosial (social equality), menjadi landasan untuk membentuk masyarakat yang baik (اﻟﻤﺠﺘﻤﻊ اﻟﺼﺎﻟﺢ, the good society). Lihat Taha, al-Risâlah alTsâniyyah, h. 142-143, The Second Message, h. 152-153. 234 Berdasarkan prinsip keadilan, misalnya, poligami yang masih ada dalam pesan atau misi pertama Islam, bukanlah ajaran murni Islam. 235 Lihat dalam Taha, al-Risâlah al-Tsâniyyah, h. 134 dst., The Second Message, h. 146-dst. 236 Lihat Taha, al-Risâlah al-Tsâniyyah, h. 9-10, The Second Message, h. 40-41. 237 Taha, al-Risâlah al-Tsâniyyah, h. 134-135 , The Second Message, h. 146-147. 232
cxxii
yang prinsipil di atas bersandar pada penafsiran kembali (reinterpretasi)
terhadap
konsep
naskh.238
Menurut
Taha,
pembatalan ayat-ayat al-Qur’ân tidaklah dimaksudkan permanen, namun lebih karena penerapannya itu dimaksudkan untuk ditunda sampai masyarakat siap memahami dan menerima pesan Islam yang benar.239 Hukum-hukum yang bersifat historis dari wahyu Madaniyyah, menurutnya, tidak hanya menghilangkan keaslian pengikatannya di bawah situasi yang mengalami perubahan, bahkan harus dirubah ketika penerapan hukum-hukum yang prinsipil itu dapat dicapai.240 Menurut Taha, masyarakat kontemporer telah meningkatkan perluasan agar ketentuan-ketentuan hukum dalam ayatayat Madaniyyah di atas bisa terjadi.241 Namun, dalam hal ini, sebagaimana kebanyakan juris Islam, Taha mengecualikan ketentuan-ketentuan seputar `ibâdât dari adanya perubahan, namun ia berpendapat bahwa hukum-hukum yang berkaitan dengan
perbuatan-perbuatan
ibadat
mungkin
mengalami
perubahan. Misalnya, zakât adalah sebuah kewajiban yang tetap (tidak berubah), namun ukuran-ukuran zakat harus ditafsirkan dalam
kerangka
aturan-aturan
prinsipil
atas
pemerataan
kesejahteraan.242 Dalam pandangan al-Na`îm, implikasi utama dari argumen Taha di atas terkait dengan maksud studi pembaruan metodologi pemahaman Islam, di mana hukum publik Syarî`ah selama ini lebih didasarkan pada al-Qur’ân dan Sunnah periode Madinah daripada masa Makkah. Hal ini dilakukan oleh para ahli hukum 238 Taha, al-Risâlah al-Tsâniyyah, h. 110, The Second Message, h. 126, Opwis, ”Maslahah”, h. 207. 239 Taha, al-Risâlah al-Tsâniyyah, h. 108-111, The Second Message, h. 124-126. 240 Dikutip dalam Opwis, ”Maslahah”, h. 207. 241 Lihat Taha, al-Risâlah al-Tsâniyyah, h. 164, The Second Message, h. 167, Opwis, ”Maslahah”, h. 207. 242 Lihat Taha, al-Risâlah al-Tsâniyyah, h. 161-166, The Second Message, h. 126, 166-169.
cxxiii
perintis melalui proses naskh, dengan berpegang pada teks-teks alQur’ân dan Sunnah periode Madinah untuk mengganti dan menghapus --demi tujuan hukum positif Syarî`ah-- semua teks periode
Makkah
yang
tidak
sesuai
dengan
diturunkan
sebelumnya.243 Masalahnya apakah naskh itu permanen, yang dengan demikian teks-teks Makkah yang lebih awal tidak dapat dipraktekkan di masa depan. Menurut Taha, ini tidaklah mungkin! Sebab jika demikian halnya, maka tidak ada gunanya pewahyuan teks-teks tersebut (mubadzir, sia-sia belaka). Ia juga berpendapat bahwa membiarkan naskh (dalam arti menghapuskan pesan-pesan teks-teks Makkah) menjadi permanen berarti membiarkan umat Islam menolak bagian dari agama mereka yang terbaik. Ia menjelaskan bahwa naskh secara esensial merupakan proses logis dan dibutuhkan dalam penerapan teks-teks yang tepat dan menunda penerapan teks-teks yang lain sampai saat memungkinkan penerapan teks-teks itu tiba.244 Dalam konteks itulah, maslahah dipahami sebagai aturanaturan prinsipil yang tidak mengalami perubahan. Menerapkan hukum dari pesan-pesan Islam yang prinsipil itulah, menurut Taha, harus menerima maslahah individual dan maslahah publik. Dia memimpikan agar penggunaan penafsiran hukum Islamnya itu mengantarkan sebuah masyarakat pada kesetaraan, sosialisme, dan demokrasi, nilai-nilai yang dia terima sebagai pesan Islam yang prinsipil sebagaimana yang diwahyukan dalam surat-surat Makkiyah.245 Prinsip
penafsiran
evolusioner
Taha
tersebut
dapat
diterapkan terhadap paket-paket hukum yang spesifik yang `Abd Allâh Ahmad al-Na`îm, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law (New York: Syracuse University Press, 1996), h. 109. 244 al-Na`îm, Toward an Islamic Reformation, h. 110. 245 Lihat Taha, Risâlah al-Tsâniyyah, h. 134-160, The Second Message, h, 146-167, Opwis, ”Maslahah”, h. 208. 243
cxxiv
dianggap diskriminasi terhadap perempuan dan nonMuslim. Misalnya, tentang larangan perkawinan antara seorang perempuan Muslim dan laki-laki non-Muslim. Aturan ini didasarkan pada kombinasi perwalian laki-laki, dalam hal ini suami, atas isterinya, dan perwalian seorang Muslim atas nonMuslim. Karena seorang suami yang nonMuslim tak mungkin menjadi wali atas isterinya yang Muslim, maka perkawinan demikian diharamkan Syarî`ah. Atas dasar ditolaknya perwalian seorang suami atas isterinya, atau seorang Muslim atas nonMuslim, menjadikan pembenaran larangan terhadap perkawinan antara seorang perempuan Muslim dan laki-laki non-Muslim. Kedua bentuk perwalian itu yang berujung pada pelarangan perkawinan beda agama (PBA), dalam hal ini perkawinan antara perempuan Muslim dengan laki-laki nonMuslim ditiadakan oleh Taha. Dengan teori nasknya, yang menempatkan prinsip-prinsip kesetaraan (nondiskriminasi), dan kebebasan, yang menjadi standar HAM, memberikan pandangan positif terhadap perempuan.246 Model maslahah Taha yang dikemas dalam teori naskh-nya di atas relevan dijadikan sebagai salah satu metode ijtihâd alternatif. Argumentasinya adalah karena teori naskh ini berpijak kuat pada prinsip-prinsip ajaran Islam yang merupa-kan maqâsid al-Syarî`ah, yang sifatnya qat`î, dalam penger-tian tepat diterapkan untuk segala ruang dan waktu. Selain itu, karena teori naskh tersebut berasal dan berakar kuat dari tradisi Islam, meskipun penggunaan term naskh itu berbeda. Dengan berakar pada tradisi Islam, teori naskh tersebut diasumsikan (diharapkan) mempunyai signifikansi yang lebih dapat diterima oleh kalangan
246
al-Na`îm, Toward an Islamic Reformation, h. 180-181.
cxxv
Muslim sendiri.247 Dalam fakta-nya, teori naskh Taha sangat relevan dengan HAM yang menjadi tuntutan dewasa ini. HAM itu sendiri, jika ditelusuri secara teliti, dalam kajian keislaman, inspirasinya berasal dari konsep maslahah/maqâsid al-Syarî`ah. 4) Model al-Maslahah Masdar F. Mas’udi al-Maslahah dijadikan Masdar sebagai asas ijtihâd, untuk merekonstruksi penafsiran hukum. Begitu pentingnya maslahah bagi asas ijtihâd, ia membuat suatu kaidah maslahah yang berbunyi: ( إذا ﺻﺤﺖ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﻓﻬﻮ )ﻓﻬﻲ( ﻣﺬهﺒﻲJika sahih suatu maslahah maka ia menjadi peganganku). Kaidah ini sebagai respons dan sekaligus revisi atau rekonstruksi terhadap kaidah yang selama ini dipegang teguh di dunia fiqh, yang berbunyi: إذا ﺻﺢ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻓﻬﻮ ﻣﺬهﺒﻲ (Jika sahih suatu hadîts maka ia menjadi peganganku). Untuk membangun penafsiran hukum yang baru yang berasaskan maslahat, terlebih dahulu perlu dilakukan rekonstruksi terhadap konsep qat`î-zannî, yang kemudian dijadikan sebagai basis rekonstruksi penafsiran dan metode penemuan hukum (ijtihâd). Menurutnya, pandangan umum mengenai ijtihâd yang selama ini berjalan, bisa dikatakan hanya menjangkau hal-hal yang bersifat zannî, dan kurang mencermati dimensi ajaran yang diyakini sebagai qat`î. Dengan meletakkan kembali maslahah sebagai asas ijtihâd, maka konsep lama tentang qat`î -zannî terasa begitu gagap untuk menyahuti pelbagai persoalan kontemporer yang terus berkembang. Dari sini, Masdar melihat pentingnya merekonstruksi kedua konsep qat`î dan zannî tersebut agar lebih punya tenaga (power)
Perihal signifikansi sesuatu yang punya akar kuat dalam tradisi Islam ini misalnya seperti dikatakan oleh Khâlid Abû al-Fadl. Lihat Abû al-Fadl, Speaking in God’s Name, h. 100. 247
cxxvi
dalam memberikan assist dan kontitum pemecahan berbagai masalah.248 Dalam pandangannya, apa yang disebut sebagai dalil qat`î -sesuai makna harfiyahnya, sebagai sesuatu yang bersifat pasti (tetap), tidak berubah-ubah sehingga bersifat fundamental-adalah nilai kemaslahatan dan keadilan itu sendiri yang merupakan ruh (jiwa) dari hukum itu sendiri. Sedangkan yang masuk dalam kategori zannî adalah seluruh ketentuan hukum (teks), yakni ketentuan normatif yang dimaksudkan untuk menerjemahkan yang qat`î (nilai kemaslahatan dan keadilan) dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, benar adanya jika dikatakan bahwa ijtihâd tidak bisa terjadi pada wilayah qat`î, dan hanya bisa dilakukan dalam wilayah zannî.249 Berdasarkan hal ini, ketentuan-ketentuan teknis dalam nass, semisal potong tangan atas pencuri, rajam (lempar batu bagi pezina), presentase jumlah pembagian waris, monopoli hak talak bagi suami, keterlibatan wali dalam nikah, dan ketentuan-ketentuan teknis lainnya, yang bersifat nonetis, masuk ke dalam kategori nass yang zannî. Ketentuan-ketentuan
ini
pada
gilirannya
akan
mengalami
perubahan, sebab secara teoritis, ’perubahan atas ketentuanketentuan syara` (baik al-Qur’ân maupun hadis, apalagi hasil ijtihâd ulama) yang bersifat teknis adalah bisa dan mungkin, walaupun tidak harus berubah.250 Secara eksplisit, rekonstruksi konsep qat`î-zannî ini mengancam ketentuan formalitas. Kecenderungan yang begitu kuat dalam mengubah ketentuan-ketentuan yang bersifat teknis itu, dengan sendirinya akan menanggalkan banyak ketentuan Masdar F. Mas’udi, ”Meletakkan Kembali Maslahah sebagai Acuan Syarî`ah”, dalam `Ulûm al-Qur’ân, No. 3, Vol. VI, (1995), h. 97. 249 Mas’udi, ”Melatakkan Kembali”, h. 97-98. 250 Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak–hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh Pemberdayaan (Bandung: Mizan, 1997), h. 37 dan 39. 248
cxxvii
legal-formal,
karena
dipandang
tidak
lagi
sesuai
dengan
kebutuhan. Cita kemaslahatan dicoba diletakkan di atas patokan formal. Cita kemaslahatan itu mengendalikan arah pemahaman terhadap ketentuan nass yang legal-formal. Ayat-ayat teknis, aplikatif, dan instrumental itu tidak mengikat, dan karenanya tidak harus diubah. Sebab relevansinya masih dapat dipakai pada konteks tertentu. Namun si sisi lain, terbuka bagi kita untuk membangun tawaran teknis baru, yang akan terasa lebih efektif untuk diaplikasikan. Dengan demikian, perubahan yang terjadi, semata tergantung pada rasa keadilan kita.251 Cita kemaslahatan inilah yang harus menjadi landasan bagi ketentuan formal atau legal dalam perundang-undangan. Salah satu bentuk aplikasi dari metode rekonstruksi qat`îzannî yang dilandasarkan kepada cita kemaslahatan adalah masalah zakat (pajak).252 Berangkat dari konsep qat`î-zannî yang ditawarkan tersebut, Masdar menawarkan konsep baru tentang zakat (pajak). Dalam pengamatannya, zakat merupakan ajaran pokok Islam yang paling dekat dengan inti persoalan yang banyak dihadapi umat manusia, yakni ketidakadilan. Menurutnya, umat Islam, terutama para pemimpin dan ulama, tidak bisa melepaskan tanggung jawab atas terjadinya ketidakadilan semesta yang disebabkan oleh negara. Dengan memisahkan ajaran zakat dari lembaga
pajak,
umat
Islam
dapat
dikatakan
benar-benar
memisahkan negara dari agama. Akibat yang ditimbulkan dari pemisahan ini adalah umat Islam menanggung beban berat (beban ganda, doble duty), melaksanakan dua kewajiban: menunaikan zakat sebagai kewajiban agama dan membayar pajak sebagai kewajiban Lihat Mas’udi dalam Mujammil Qamar, NU ”Liberal”, h. 204. Masalah lainnya adalah perluasan harta-harta yang wajib dizakati, dan masalah hakhak reproduksi perempuan. 251
252
cxxviii
warga negara. Akibatnya, kewajiban mengeluarkan zakat seringkali bahkan bisa selalu terkalahkan oleh keharusan membayar pajak. Relasi
antara
”zakat”
sebagai
konsep
keagamaan
(keruhanian), pada satu sisi, dan ”pajak” sebagai konsep keduniawian (kelembagaan), pada sisi yang lain, sama sekali bukan dualisme yang dikotomis, melainkan hubungan keesaan wujud yang dialektis. Pembayaran pajak dengan niat zakat akan menumbuhkan kesadaran bahwa pajak yang dibayarkan itu bukan sebagai persembahan atau pembayaran utang kepada negara, melainkan kewajiban yang harus ditunaikan karena Allah s.w.t., sesuai dengan perintah-Nya. Menurutnya, ikrar batiniah ini dapat menjadikan pembayaran pajak ini bersifat duniawi namun bernilai ukhrawi, dan sekaligus memberian efek pembebasan dari kungkungan negara. Ide integrasi (penggabungan) antara zakat dan pajak yang digagas Masdar ini merupakan ide yang memang sangat kontroversial dan sering disalahpahami sebagai upaya menyamakan antara zakat dan pajak. Dalam hal ini, ia sebenarnya hanya ingin mengatakan bahwa zakat adalah sebuah konsep etik dan moral untuk pajak. Pada akhirnya, pemikiran Masdar agar tidak ada beban ganda tersebut diadopsi dalam perundang-undangan di Indonesia. Sungguhpun demikian, adopsi tersebut belum secara keseluruhan, hanya bagian kecil dari maksud agar tidak terkena beban ganda. Maksudnya, zakat hanya merupakan salah satu pengurang harta kena pajak. Perundang-undangan dimaksud adalah UU No. 38/1999 Tentang Pengelolaan Zakat.253 253 Dalam pasal 14 ayat (3) UU tersebut disebutkan, ”Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Ini menunjukkan pemberlakuan pajak dalam zakat dengan alasan agar tidak terjadi beban dua kali
cxxix
Pemikiran hukum Masdar seperti yang diuraikan di atas cenderung
menampakkan
sisi-sisi
kritis
terhadap
ideologi
pembangunan, terutama ketika ideologi ini diambil menjadi pola kebijakan dan pembanguan resmi negara.254 Relevansi pemikiran Masdar tentang maslahah di atas dengan upaya reformulasi maslahah yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah rekontruksi penafsiran qat`î-zannî. Bahwa yang qat`î adalah prinsip-prinsip keadilan dan kemaslahatan, dan inilah yang penulis maksud dengan maqâsid al-Syarî`ah, yang sejalan dengan HAM. Untuk memperjelas keempat model maslahah yang telah diuraikan di atas, berikut ditampilkan tabel perbandingannya. K M o o
d
.
e l
T i p e
I l
m
a
p
s
l
i
i
f
k
i
a
(beban ganda) bagi umat Islam, sebagaimana secara jelas dinyatakan dalam penjelasan ayat 14 (3) UU tersebut yang berbunyi, ”Pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran membayar zakat dapat memacu kesadaran membayar pajak.” Tampaknya penggunaan metode istihsân/al-maslahah sangat berperan dalam rumusan pasal di atas. Kemaslahatan yang dimaksud adalah untuk menghindarkan beban ganda wajib zakat dan pajak, maka zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak. Lihat UU ini dalam Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat (T.Tp.: 2000), h. 7 dan 19. 254 Pemikiran Masdar mengenai integrasi zakat dan pajak di atas sangat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Karl Marx, yang menurutnya telah memberikan pencerahan untuk memahami Islam. Tentang pengaruh pemikiran Karl Mark terhadap pemikiran integrasi zakat dan pajak ini lihat tulisan Masdar, ”Zakat: Konsep Harta Yang Bersih”, dalam Munawar-Rachman, (ed.), Kontekstualisasi, h. 423-429.
cxxx
k
s
a
i
s i / K r i t e r i a .1
K
T
s
m
h
r
e
a
a
a
p
s
l
d
e
l
l
i
r
a
â
s
t
h
f
i
i
a h
o n
h
a
a
m
l
l
u
n
l
y
g
a
h a
k
h
l a
cxxxi
t
s
i
i
d
f
a
i
k
k a
b
s
i
i
s a
y a
d
n
i
g
j a
d
d
i
i
b
k
u
a
a
n
t h o
u
l
j
e
j
h
a h
a l G h a z
cxxxii
â l i / a l R â z î
.2
t
a
I
m
l
r
d
a
-
a
e
s
B
d
m
l
û
i
a
t
s
h
î
i
a
o
h
n a
m
l
u l g h a h t i d a k
cxxxiii
b i s a d i j a d i k a n h u j j a h
.3
T
l
t
m
a
i
i
a
h
b
d
s
a
e
a
l
r
k
a h
a l
m
a
/
e
h
m
m o
b
d
d
u
i
cxxxiv
e
a
p
r
t
a
n
h k
a
(
l
m
m
a
i
a
s
s
i
s
l
f
e
a
i
b
h
k
a
a
a
g
h
s
a
i
i
i
s
a
k
e
t
e
p
u
m
e
r
a
r
a
s
t
n
i
-
d
d
a
a
d
t
l
u
u
a
a
r
m
a m
n
T
o
e
d
p
o
e
r
r
l
i
i
n
cxxxv
m
s
N
a
i
a
s
p
s
l
i
k
a
l
h
h a
(
h
m a
d
q
i
â s
a
i
t
d
a s
a
.
l -
A
S
y
y
a
a
t
r
-
î
a
`
y
a
a
h
t
)
M
y
a
a
k
n
k
g
i
cxxxvi
y
t
a
i
h
d a
b
k
e r
m
s
e
i
n
f
g
a
a
t
l a
q
m
a
i
t `
p
î
e r
,
u b
m
a
e
h
n
a
g
n
g
;
a
cxxxvii
n
m
t
e
i
r
k
u
a
p
n
a
k a
a
y
n
a t
d
-
a
a
l
y
i
a
l
t h M
u
a
k
d
u
a
m
n i y y a h y a n g b e r s i f
cxxxviii
a t z a n n î
.4
M
l
h
t
a
i
i
u
s
b
d
k
’
e
a
u
u
r
k
m
d
a
i
l
m
h
/
e
u
n
k
o
g
u
d
k
m
e
l
r
a
d
a
s
a
t
i
l
,
f
a
i
m
-
m
(
k
r
a
n
e
n
a s
k o
m
s
n
a
-
s
s
n
t
l
a
cxxxix
r
a
s
u
h
s
k
a
s
h
h u
i q
k
k
e
u m
a t
d
`
a
y
î
l
a
-
a
n
z
m
g
n
m
b
n
u
e
î
`
r
t
s
a
i
b
f
a
s
r
t
a
a h
t
,
e k
m
n
u
i
l
s
g
,
h
cxl
a
a
h
p
,
l i
d
k
a
a
n
t i
m
f
u
,
r s
d
a
a
l
n
a h
i n s t r u m e n t a l , s e p e r t
cxli
i r a j a m , t i d a k l a h q a t ` î , t e t a p i b
cxlii
e r s i f a t t e m p o r e r . a l M a s l a h a h a d a l
cxliii
a h d a l i l h u k u m .
Tabel 2: Perbandingan Model al-Maslahah Kontemporer
2. al-Maslahah al-Maqsûdah Sebagai Metode Ijtihâd Alternatif a. Kerangka Reformulasi al-Maslahah Epistemologi255 digunakan dalam
Usûl
al-Fiqh
sangatlah
penting
kajian hukum Islam/fiqh, sebab ia
merupakan landasan untuk ”menelurkan” fiqh. Fiqh sendiri menempati ruang terbesar dalam peradaban Arab (hadârat Epistemologi dalam filsafat ilmu adalah suatu cabang filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan khususnya empat pokok persoalan seperti kebahasaan, struktur, batas, dan sumber. Lihat Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: Remaja Rosda Karya Offset, 1995), h. 96-97, Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume Sampai Thomas Kuhn (Jakarta: Teraju, 2002), h. 17-18, dan Ainur Rafiq, Menawarkan Epistemologi Jamâ`î sebagai Epistemologi Usûl al-Fiqh: Sebuah Tinjauan Filosofis, dalam Ainur Rafiq, ed, ”Madzhab” Yogya: Menggagas Paradigma Usûl al-Fiqh Kontemporer (Yogyakarta: ar-Ruzz Press, 2002), h. 52. 255
cxliv
al-`Arab) yang merupakan peradaban teks, sebagaimana dikatakan al-Jâbirî.256 Terdapat tiga epistemologi (pola pikir) dalam nalar Arab/Islam, episteme (paradigma) bayânî, paradigma burhânî dan paradigma `irfânî.257 Bahwa usûl al-fiqh tidak hanya mengambil satu paradigma saja di antara tiga paradigma di atas, namun sesungguhnya usûl
al-fiqh
tersebut.258
melingkupi
trilogi
epistemologi
al-Jâbirî
Argumentasi yang mendukung pemikiran ini
adalah bahwa usûl al-fiqh itu tidak sekadar berkenaan dengan salah satu aspek saja dari ketiga aspek itu, yakni aspek bahasa atau linguistik yang dikaji melalui pendekatan bayânî,
atau
pendekatan
aspek
burhânî,
rasionalitas maupun
yang
aspek
dikaji
dengan
esensi/substansi
(haqîqah/rûh al-Syarî`ah) yang dikaji dengan pendekatan `irfânî saja. Tetapi kajian usûl al-fiqh meliputi semua aspek di atas (baik teks, prilaku praksis manusia mukallaf, hubungan keadilan,
vertikal
dan
kebebasan,
horizontal,
dan
ketidak
juga
intuisi:
nalar
terbelengguan
yang
berimplikasi psikologis). Oleh karenanya pendekatan yang ada dicakup dan dikombinasikan (ditalfiqkan) sebagai epistemologi
jamâ`î
Usûl
al-Fiqh
(epistemologi
Muhammad `Âbid al-Jâbirî, Takwîn al-`Aql al-`Arabî (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafî al-`Arabî, t.t.), h. 6. 257 Pola penalaran (epistemologi) bayânî ialah pola pemikiran keislaman atau tauhid yang lebih menekankan atau mengedepankan pemahaman pada teks-teks naqliyyah (wahyu atau nass) --dengan sedikit “bumbu” `aqliyyah-- secara tekstual. Burhânî ialah pola pikir atau pendekatan yang lebih menekankan pada peranan rasio dan bukti empiris atau dengan kata lain pendekatan yang lebih mendasarkan diri pada rasio yang dilakukan melalui dalil-dalil logika dan hukumhukum sosial serta ilmu humaniora. Sedangkan `irfânî ialah pola pikir yang lebih bersifat afektif dan eksperiensif karena unsur utama yang mendukung epistemologi ini adalah perasaan atau dzauq. Lihat dalam Ainur Rafiq, (ed.), ”Madzhab” Jogja: Menggagas Paradigma Usûl al-Fiqh Kontemporer (Yogyakarta: al-Ruzz Press, 2002), h. 50-52; dan M. C. Jandra, ”Islam dalam Konteks Budaya dan Tradisi Plural”, dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan (ed.), Agama dan Pluralitas Kebudayaan Lokal (Yogyakarta: PSB-PS UMS, 2003), h. 77. 258 Mengenai sejarah trilogi al-Jâbirî ini lihat bukunya Takwîn al-`Aql al-`Arabî (Formasi Nalar Arab). 256
cxlv
komprehensif),
karena
bisa
bersumber
pada
teks,
menggunakan pendekatan bi dalâlat al-nass (tekstual) atau bayânî, maupun nonteks: realitas alam, sosial, humanitas (teks kauniyyah dan ijtimâ`iyyah) dengan pendekatan burhânî, juga tidak lepas dari pengetahuan Tuhan yang diperoleh melalui wujdâniyyah dan hati nurani manusia dengan pendekatan `irfânî.259 Untuk itulah, salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah rekonstruksi sistematika sumber-sumber dan urutan dalil-dalil atau metode Usûl al-Fiqh itu sendiri. Bahwa dalam Usûl al-Fiqh konvensional, sumber-sumber hukum (masâdir al-ahkâm) yang disepakati oleh al-a’immah alarba`ah260 --yang mengakui qiyâs--
ada empat, yaitu al-
Qur’ân, Sunnah, ijmâ` dan qiyâs.261 Di samping juga sumber-sumber/dalil-dalil hukum yang diperselisihkan di antara ulama (mukhtalaf fîh), seperti maslahah mursalah, istihsan, dan sadd al-dzarî`ah.262 Ijmâ` dan qiyâs tersebut
Lihat Rafiq, ed., ”Mazhab” Jogja, h. 50-52. Imam madzhab empat, yakni Hanâfî, Mâlikî, al-Syâfi`î dan Ahmad ibn Hanbal. 261 Muhammad Amîn al-Ma`rûf bi Amîr Bâdasyâh, Taisîr al-Tahrîr Syarh `alâ Kitâb alTahrîr fî Usûl al-Fiqh al-Jâmi` Baina Istilâhai al-Hanafiyyah wa al-Syâfi`iyyah li Kamâl al-Dîn Muhammad ibn `Abd al-Wâhid ibn `Abd al-Hamîd ibn Mas`ûd al-Syahîr bi Ibn Hummâm alDîn al-Askandarî al-Hanafî (T.Tp: Dâr al-Fikr, t.t.), Juz 4, h. 171. 262 Menurut klasifikasi Wahbah al-Zuhailî, bahwa manhaj yang mukhtalaf fîh ada yang masyhûr dan ada yang ghairu masyhûr. Yang pertama ada 7 (tujuh) macam, dan yang kedua terbagai 2 (dua) macam: ada sumber (lebih tepatnya dalil --pen.) fiqh syar`iyyah yang meliputi 3 macam: al-asl fî al-asyyâ’ (pertimbangan hukum menurut asalnya yakni haram pada sesuatu yang membawa kepada kemadlaratan, dan selainnya (kemanfaatan) berati halal), al-istiqrâ’ (penelitian empirik), dan al-akhdz bi aqalli mâ qîla `inda al-Syâfi`î (mengambil pendapat yang paling sedikit/ringan menurut yang dipegangi Syafi’î). Sedang yang kedua sumber fiqh ghairu syar`iyyah yang meliputi 4 (empat) macam, yaitu at-tasyrî` atau al-`aql (perundang-undangan atau hasil kreativitas nalar manusia), al-tafwîd (perwakilan/parlementer) atau al-`ismah (keterpeliharaan imam), yakni memberikan kekuasaan kepada Nabi, atau pakar (alim) untuk membuat keputuskan hukum sesuai kehendaknya, mengenai berbagai masalah tanpa berdasarkan dalil, al-ihâlah (pengelakan hukum, suatu cara untuk mengelakkan suatu aturan hukum dengan cara hukum), dan al-qanûn ar-Rumânî (undang-undang Rumawi). Dalil-dalil syara` secara umum –baik yang disepakai maupun yang diperselisihkan menurut fuqahâ’ mencapai 19 dalil, bahkan menurut sebagian fuqahâ’ termasuk al-Tûfî mencapai 40 lebih (lih. al-Zuhailî, Usûl alfiqh al-Islâmî, juz 2, h. 734-927). 259
260
cxlvi
lebih tepat disebut sebagai metode penggalian hukum (manhaj al-ijtihâd au al-istidâl), daripada sumber hukum. al-Qur’ân dan Sunnah itulah yang dapat dan tepat dikatakan sebagai sumber hukum. Untuk itu yang lebih relevan dikatakan
adalah
bahwa sumber
naqliyyah
(al-Qur’ân
dan
hukum
sunnah),
dan
adalah teks
teks
qhairu
naqliyyah, yaitu nalar (al-`aql), realitas empiris atau alam semesta
(ayah
kauniyyah),
sosial
kemanusiaan
(ijtimâ`iyyah) dan intuisi (wujdân). Bila dipersempit lagi sumber hukum tersebut hanya ada dua, yakni sumber hukum yang tertulis (naqliyyah, nass) dan sumber hukum yang tak tertulis (ghairu al-nass: ayat-ayat kauniyyah, ijtimâ`iyyah dan wujdâniyyah). Dengan demikian, rekonstruksi sistematika urutan sumber/ dalil hukum menjadi: pertama, al-Qur’ân al-Karîm wa al-Sunnah, kedua, manzûmah al-qayyim al-hâkimah li alQur’ân al-Karîm wa al-Sunnah,263 yakni prinsip-prinsip kebijaksanaan yang terdapat dalam al-Qur’ân dan Sunnah atau disebut sebagai tujuan-tujuan hukum (maqâsid alSyarî`ah); kedua, akal; dan ketiga, al-`urf264 atau ghairu nass: teks kauniyyah, ijtimâ `iyyah dan wujdâniyyah). Sedangkan rekonstruksi sistematika metode Usûl al-Fiqh kontemporer
dapat
diurutkan
menjadi:
pertama,
al-
Maslahah al-Maqsûdah (al-maslahah bi al-manhaj al-jadîd), kedua, istihsân, ketiga, qiyâs, dst. Pada intinya, metode-metode konvensional itu dapat diringkas dalam dua metode yang prinsipil. Pertama, metode yang beranjak dari penalaran ”pencarian `illah”, 263 Bandingkan dengan Jamâl al-Bannâ, Nahwa Fiqh Jadîd (Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmi, t.t.), Juz III, h. 194 dst. 264 al-Bannâ, Nahwa Fiqh Jadîd, Juz III, h. 194.
cxlvii
disebut metode qiyâs. Ijtihâd yang menggunakan metode ini disebut ijtihâd qiyâsî/ijtihâd ta`lîlî. Kedua, metode yang beranjak
dari
tujuan-tujuan
Syarî`ah
(maqâsid
al-
Syarî`ah). Ijtihâd yang menggunakan metode ini disebut ijtihâd istislâhî.265 Bila dibandingkan antara kedua metode tersebut, yakni metode yang beranjak dari penalaran illat dengan metode
yang
beranjak
dari
tujuan
hukum,
terdapat
perbedaan yang signifikan. Sungguhpun demikian, kedua metode penalaran tersebut tetap mengalami keterbatasanketerbatasan. Metode yang pertama, yakni metode yang mengarah tajam kepada setiap hukum dengan mencari `illah yang diduga sebagai dasar dari pertimbangan Syâri` (Sang
Pembuat
Syariat)
dalam
mengeluarkan
hukum
tersbeut, kemudian metode ini berusaha meneruskannya, yaitu dengan menggeneralisasi hukum tersebut atas setiap keadaan di mana `illah itu ditemukan. Dengan demikian, metode ini memuat kelebihan dan kekurangan. Metode ini lebih bersifat sederhana dan operatif, yakni bermanfaat dan mudah diterapkan, namun hanya pada saat persoalan hukum tersebut terkait dengan masalah-masalah khusus yang sejenis, yang salah satu dari masalah itu ada hukumnya. Sedangkan ketika berhadapan dengan masalah-masalah khusus yang tidak berafiliasi
265 Ijtihâd qiyâsî/ta`lîlî dan istislâhî di atas merupakan bagian dari jenis ijtihad. Berdasarkan prosedurnya, ijtihâd terbagi menjadi empat jenis. Pertama, ijtihâd yang merupakan bentuk qiyâs yang berpijak pada ilat. Kedua, ijtihâd yang berpijak pada perkiraan (zann) tanpa adanya `ilat, seperti praktek penentuan waktu shalat dan arah kiblat. Ketiga, ijtihâd bayânî, yaitu yang berisi penafsiran terhadap materi sumber dan deduksi hukum dari sebuah dalil yang mapan. Keempat, ijtihâd istislâhî, yaitu ijtihâd yang didasarkan pada maslahah dan penarikan hukum dengan berpegang teguh pada spirit dan tujuan Syarî`ah, yang bisa berbentuk istislâh, istihsân, dan sadd al-dzarî`ah. Lihat Kamâli, Principle, h. 379-380.
cxlviii
kepada jenis yang sama, atau berhadapan dengan masalahmasalah kontemporer, maka ia tidak bisa menemukan hukum pada salah satu dari masalah tersebut, sehingga operasinya menjadi rumit, dan ”pencarian `illah” menjadi dipaksakan dan lemah. Selain itu terkadang hal ini berujung pada sikap berhenti (tawaqquf) atau taqlîd dari sang mujtahid, karena kawasan di mana ia bergerak, yaitu kawasan ”pencarian `illah”, analogi, dan penelusuran makna-makna merupakan kawasan sempit yang tidak memungkinkan bagi kontinuitas ijtihâd tanpa terputus sedikit pun. Sedangkan metode kedua, yang beranjak dari tujuan-tujuan Syarî`ah (maqâsid al-Syarî`ah) dalam operasi pemberian dasar rasionalitas atas hukum-hukum, dan ia adalah operasi yang tanpanya tidak mungkin Syarî`ah diterapkan pada masalah-masalah baru (aktual, kontemporer), tidak pula pada berbagai keadaan yang berbeda dan bertentangan. Kelebihan metode ini daat menjangkau persoalan-persoalan dalam kawasan yang tidak ada keterangan dalam nass secara tegas. Persoalan-persoalan kontemporer dapat diselesaikan melalui metode ini.266 Sebab, metode ini akan terbebas dari cengkraman analogi dan kata-kata nass.267 Meskipun demikian, penalaran metode kedua, dalam Usûl al-Fiqh konvensional, masih mengalami keterbatasan juga. Keterbatasan ini terletak pada penekanan tujuan hukum (maqâsid al-Syarî`ah) yang sangat ketat, dan belum diperluas. Dengan demikian, pada dasarnya metode-metode Usûl
al-Fiqh
menghadapi
266 267
konvensional beberapa
tersebut,
keterbatasan
al-Jâbirî, al-Dîn wa al-Tatbîq al-Syarî`ah, h. 162-163, 166. al-Jâbirî, al-Dîn wa al-Tatbîq al-Syarî`ah, h. 166.
cxlix
misalnya dan
qiyâs,
kekurangan.
Keterbatasan metode qiyâs dapat dijelasakan dalam tiga hal berikut. Pertama, metode ini tidak lebih hanyalah berupa dugaan (bukan kepastian) pencarian illat hukum, yang mungkin --menurut dugaan pelaku pendekatan ini-- `illat yang dipertimbangkan pembuat syari`ah dalam hukum itu. Hal ini dapat dilihat dari sudut pandang bahwa perluasan keputusan hukum itu dilakukan di antara dua objek partikular. Padahal, seperti disadari oleh al-Sakkâkî dalam Miftâh al`Ulûm, sebagaimana dikutip oleh Safi,268 agar perluasan itu pasti, seseorang harus yakin bahwa sifat yang menurut pemahaman dimiliki oleh kedua objek sebagai alasan penetapan hukum (`llah) harus benar, suatu syarat yang menurut al-Sakkâkî, hampir tidak dapat dicapai melalui qiyâs. Kedua, metode ini juga mengikat pelakunya kepada bahasa atau kata (yakni teks hukum), yang akibatnya bahasa memberikan andil dalam pembuatan hukum, dan ini juga berupa dugaan maksud teks tersebut. Dan akibat dari sifat keterkungkungan pelaku qiyâs pada teks, menimbulkan kesan dan anggapan bahwa qiyâs adalah seolah-olah satusatunya bentuk ijtihâd, padahal ijtihâd itu luas dan tidak terbatas pada teks dengan model qiyas. Ketiga, lebih lanjut dengan tidak adanya kepastian, yang terutama didasarkan pada prosedur qiyâs untuk menerapkan ketentuan wahyu ke dalam kondisi masyarakat yang berkembang, akan mengakibatkan fragmentasi aturanaturan Syarî`ah, karena tidak ada prinsip yang memadai. Dengan demikian singkatnya bahwa metode qiyâs berpijak pada dugaan, bukan kepastian, dan karenanya fiqh 268
Safi, The Foundation of Knowledge, h. 90-91.
cl
yang dibangun dengan metode ini semuanya bersifat dugaan (zannî) yang berakibat pada fragmentasi dan kekakuan aturan hukum. Sehingga untuk lepas dan bebas dari situasi ”menduga” ini, dan agar tidak menyempitkan peran ijtihâd dalam rangka membangun hukum-hukum berdasarkan ”kepastian”, dan untuk menghidarkan fragmentasi dan kekakuan hukum, tidak ada jalan lain kecuali dengan menjadikan tujuan-tujuan syari’at (maqâsid al-Syarî`ah) dan kemaslahatan (maslahah) sebagai dasar pijakan (titik star) bagi pembuatan hukum (istinbât al-ahkâm). Untuk itulah, metode penalaran yang beranjak dari tujuantujuan syari’at (maqâsid al-Syarî`ah) dan kemaslahatan (maslahah) penting mendapatkan perhatian dan pengembangan lebih lanjut. Dalam konteks inilah, al-Maslahah al-Maqsûdah merupakan bentuk pengembangan model penalaran yang kedua di atas. al-Maslahah alMaqsûdah merupakan bentuk reformulasi al-maslahah konvensional, baik model klasik maupun model kontemporer. Oleh karena itulah alMaslahah al-Maqsûdah adalah model al-maslahah post kontemporer. Pengertian
al-Maslahah
al-Maqsûdah
adalah
maslahah
yang
menggunakan paradigma baru, yaitu sesuatu (apa saja, baik berupa pemikiran maupun aksi praksis) yang selaras dengan maqâsid alSyarî`ah (the objective of Islamic law), khususnya yang dilandaskan pada rasionalitas terlebih lagi kalau diback up oleh naql/teks agama. Jadi, tidak terbatas apakah itu mu`tabarah, mulghah ataukah mursalah. Dengan demikian, metode al- maslahah dengan paradigma baru (al-Wajhu al-jadîd li manhaj al-maslahah) sebagai metode sentral usûl al-fiqh (manhajan asasiyyan li usûl al-fiqh) adalah metode penggalian hukum yang menekankan pada maqâsid alSyarî`ah --dengan tidak terikat pada kategori mu`tabarah, mulghah maupun mursalah. Artinya, bahwa bila terdapat maslahah baik itu
cli
disebutkan oleh nass untuk diraih, maupun disebutkan oleh nass untuk dihindari, maupun sama sekali tidak ada keterangan nass baik yang memerintahkan untuk diraih maupun yang melarang untuk dijauhi, maka itulah maqâsid al-Syarî`ah (tujuan hukum) yang harus dijadikan pertimbangan, pijakan dan diterapkan dalam suatu interpretasi terhadap nass maupun untuk memecahkan masalah apapun. Maqâsid al-Syarî`ah itu tidaklah terbatas pada al-kulliyyah al-khamsah (Panca prinsip universal), tetapi mencakup prinsipprinsip Islam yang melandasi kelima prinsip tersebut, berupa keadilan, kesetaraan, hikmah, rahmat, dan kemaslahatan. Berdasarkan pemikiran di atas, dari manhaj-manhaj tersebut dapat dikembangkan rekonstruksi lanjutan bahwa ada
manhaj
sentral/pokok
sentral bagi
dan
Usûl
manhaj
al-Fiqh
turunan.
kontemporer
Metode adalah
metode maslahah yang telah direkonstruksi/ direformulasi (maslahah dengan paradigma baru), yang dinamakan alMaslahah al-Maqsûdah. Dengan demikian, al-Maslahah alMaqsûdah ini merupakan اﻟﻮﺟﻪ اﻟﺠﺪﻳﺪ ﻟﻠﻤﻨﻬﺞ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﻣﻨﻬﺠﺎ أﺳﺴﻴﺎ ﻷﺻﻮل ( اﻟﻔﻘﻪ اﻟﻤﻌﺎﺻﺮal-wajh al-jadîd li al-manhaj al- maslahah manhaj usûl al-fiqh al-mu`âsir), yakni metode maslahah dengan paradigma baru sebagai metode sentral Usûl al-Fiqh kontemporer. Paradigma baru yang dimaksud, sebagaimana telah dijelaskan di atas, pengertiannya adalah metode ini tidak terikat dengan tiga kategori maslahah: maslahah mu`tabarah, mursalah.269
maslahah Sedangkan
mulghah
dan
metode-metode
maslahah
Usûl
al-Fiqh
lainnya adalah metode parsial (turunan), yang mengalami Sebagaimana telah dikemukakan di bagian awal, maslahah mu`tabarah adalah maslahah yang disebutkan dan diperintahkan oleh nass secara ekplisit maupun implisit untuk diraih. Maslahah mulghah adalah maslahah yang disebutkan dan dilarang oleh nass secara ekplisit maupun implisit untuk dijauhi. Sedangkan maslahah mursalah adalah maslahah yang tidak ada keterangan dari nass yang memerintahkan maupun melarangnya. 269
clii
keterbatasan-keterbatasan, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sistematika/Struktur al-Maslahah al-Maqsûdah (MM) sebagai bentuk reformulasi al-maslahah konvensional menuju Metode Ijtihâd Alternatif Kontemporer dapat diilustrasikan dalam skema berikut. Klasik al-Maslahah
al-Maslahah
Konvensional
Post Kontemporer
MM
Kontemporer Metode Ijtihâd Alternatif Kontemporer Skema 2: Sistematika/Struktur al-Maslahah al-Maqsûdah sebagai Metode Ijtihâd Alternatif Kontemporer Gagasan atau ide untuk membangun metode maslahah dengan paradigma baru tersebut berawal dari perlunya upaya yang dilakukan secara terus-menerus untuk memformulasikan hukum/memecahkan problematika yang dihadapi umat Islam. Upaya memecahkan suatu masalah tersebut tentunya, suatu cara yang mesti dilakukan adalah memperlebar ruang gerak ijtihâd, dan tidak ada jalan lain kecuali dengan memberikan porsi yang besar pada nalar kritis. Dengan demikian ijtihâd menjadi kebutuhan yang terus menerus berlangsung (hâjah dâ’imah), karena persoalan-persoalan baru terus berkembang, terjadinya perubahan sosial masyarakat, dan Syarî`ah Islam itu relevan untuk setiap zaman, ruang, dan sebagai pemutus terhadap semua persoalan manusia.270 Syarî`ah Islam agar relevan senantiasa memerlukan ijtihâd, karena adanya perkembangan dan perubahan situasi dan kondisi, akibat berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), seperti yang terjadi dewasa ini.
Yûsûf al-Qarâdâwî, al-Ijtihâd al-Mu`âsir Bain al-Indibât wa al-Infirât, (T.Tp.: Dâr alTauzî` wa al-Nasyr al-Islâmiyyah, 1994), h. 6. 270
cliii
Terkait dengan ijtihâd tersebut, usaha-usaha kaum Muslimin dalam menjawab persoalan kontemporer tersebut ternyata belumlah memuaskan, karena metode yang umumnya dikembangkan oleh para pembaru Islam dalam menangani isu-isu hukum masih bertumpu pada takhayyur (mengkontruksi sebuah prinsip umum atau ketentuan spesifik dari beragam sumber atau memilih pendapat dari berbagai madzhab jurisprudensi Islam dan tidak mementingkan pada pendapat yang dominan di dalam suatu madzhab)271 dan talfîq (mengambil dari berbagai
pendapat
yang
berbeda
mengenai
sesuatu
masalah
amaliah).272 Kritik ini misalnya dikemukakan oleh J. N. D. Anderson dan John L. Esposito,273 dalam penelitiannya mengenai pembaruan/ pengembangan hukum di dunia Islam-- masih bertumpu pada pendekatan parsial dengan mengekspolitasi takhayyur dan talfîq. Penerapan dua pendekatan ini dikatakan tidak memuaskan karena justru akan mempersempit ruang gerak ijtihâd apabila dihadapkan pada masalah yang belum dipecahkan oleh mujtahid manapun. Selain itu, pendapat seorang mujtahid tidak terlepas dari kondisi daerah dan zamannya, sehingga belum tentu sesuai untuk wilayah dan masa lain. Inilah yang dinamakan bermadzhab secara qaulî (madzhab qaulî) yang akan mengalami kesukaran ketika pendapat itu belum ada atau sudah ada namun tidak relevan lagi dengan kondisi daerah dan zaman di mana pendapat mujtahid tersebut akan diterapkan. Kondisi seperti ini akan berakibat kepada terjadinya kevakuman hukum yang dapat menimbulkan anarkhi hukum. Padahal anarkhi hukum haruslah dihindari sesuai dengan kaidah lâ darar wa lâ dirâr (tidak boleh menimbulkan kemadaratan/anarkhi baik pada diri sendiri maupun
Lihat al-Na`îm, Toward an Islamic Reformation, h. 45, dan 252. Lihat al-Zuhailî, Usûl al-Fiqh al-Islâmî, Juz 2, h. 1142. 273 Dikutip dalam Yusdani, Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum Islam: Kajian Konsep Hukum Islam Najm al-Din al-Tûfî, (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 2. 271
272
cliv
pada orang lain, dalam bentuk apapun, termasuk bentuk hukum atau ketiadaan hukum).274 Memang talfîq qaulî seperti ini secara metodologis kurang tepat, seperti dikatakan oleh al-Na`îm, bahwa pendapat dan putusan ahli hukum individual, diambil keluar dari konteks dan digabung sesuai dengan preferensi personal penggunanya. Sehingga suatu otoritas kadang-kadang digunakan untuk mendukung kesimpulan yang tidak didasarkan pada posisi penulis aslinya. Selain itu talfîq semacam ini, menurutnya, tidak akan memadai sebagai basis atau teknik hukum Islam modern karena bahan mentah talfîq adalah Syarî`ah yang sama yang terbatasi oleh keterbatasan-keterbatasannya.275 Karena talfîq qaulî sudah tidak memadai lagi kemudian beralih pada talfîq manhajî (menggunakan berbagai metode Usûl al-Fiqh dalam istinbât au istidlâl al-hukm),276 --dalam rumusan Munas Nahdhatul Ulama (NU) di Lampung dalam kerangka madzhab manhajî,277 maka arah ini kemudian mendorong penulis untuk merumuskan metode almaslahah dengan paradigma baru di atas. Paradigma baru ini berupaya menjadikan metode al-maslahah sebagai metode ijtihâd alternatif kontemporer. Ijtihâd menjadi kata kunci untuk perkembangan dan kemajuan hukum Islam. Dalam konteks inilah, penalaran hukum melalui ijtihâd istislâhî menjadi relevan dan penting dikembangkan. Ijtihâd istislâhî dikatakan relevan karena ia berpijak pada penalaran yang menggunakan paradigma maqâsid al-Syarî`ah. Maqâsid al-Syarî`ah menempati posisi yang sangat penting dalam ijtihâd untuk bisa mendapatkan hukum yang tepat Ahmad Ali, ”Talfîq Manhajî Sebagai Epistemologi Jama`î Usûl al-Fiqh untuk Pengembangan Hukum Islam”, (Skripsi di Fakultas Syariah Institut Keislaman Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, 2003), h. vii, 21. 275 Lihat al-Na’im, Toward an Islamic Reformation, h. 33, dan Schacht, An Introduction, h. 106. 276 Tentang talfîq manhajî lihat Ali ”Talfîq Manhajî Sebagai Epistemologi Jama`î Usûl alFiqh untuk Pengembangan Hukum Islam”. 277 NU dalam Munas tersebut menegaskan peralihan dari madzhab qaulî ke madzhab manhajî. Lihat Qamar, NU ”Liberal”, h. 114. 274
clv
terhadap suatu kasus yang diijtihadi (al-mujtahad fîh). Pemahaman terhadap maqâsid al-Syarî`ah menjadi sesuatu yang mutlak. Ijtihâd istislâhî dengan paradigma maqâsid al-Syarî`ah sangat penting untuk dikembangkan lebih lanjut. Dalam disiplin usûl al-fiqh klasik, setidaknya penekanan ijtihâd pada paradigma maqâsid alSyarî`ah sudah dirumuskan oleh al-Syâtibî. Dalam bukunya alMuwâfaqât, dalam bahasan jenis-jenis ijtihâd, ia menegaskan bahwa paradigma itu sebagai ijtihâd bi tahqîq al-manât, yang dalam prakteknya tidak memerlukan pemahaman pada lafal nass, tetapi pemahaman pada maqâsid al-Syarî`ah. Menurutnya, ijtihâd ada beberapa macam,278 yang terpenting adalah, takhrîj al-manât, tanqîh almanât, dan tahqîq al-manât. Takhrîj al-manât, istilah yang populer adalah ijtihâd alqiyâsî,279 yaitu ijtihâd berdasarkan penalaran analogi, melalui penemuan ilat hukum. Dengan kata lain takhrîj al-manât ialah penelitian dan pengkajian `illah (ratio legis, ilat hukum) yang nass dan ijmâ` menunjukkan hukum tanpa disertai dengan penunjukan `illatnya.280 Tanqîh al-manât, bisa disebut sebagai ijtihâd ta`lîlî adalah pengkajian
dan
penelitian
untuk
menetapkan
sifat-sifat
yang
ditunjukkan oleh nass secara tidak tegas sebagai `illah (ilat hukum) dengan cara mengabaikan sifat-sifat yang tidak cocok. Sedangkan tahqîq al-manât,281 adalah ijtihâd untuk menetapkan hukum dengan berdasar pada sumber syar`î namun dengan pengkajian yang seksama.
al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, Juz IV, h. 64-69. al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, Juz IV, h. 69. 280 al-Âmidî, al-Ihkâm, Juz III, h. 204. 281 Menurut penulis kitab al-Minhâj, tahqîq al-manât adalah realisasi ilat yang telah disepakati pada suatu cabang, yakni mengejawantahkan dalil atas wujudnya ilat pada suatu kasus cabang tersebut. Menurut al-Âmidî, tahqîq al-manât adalah penelitian untuk mengetahui dan memastikan adanya ilat pada furû` (kasus) yang akan diqiyaskan, baik ilat tersebut bersifat mansûsah (tercantum dalam nass) maupun mustanbatah (tidak tercantum dalam nass, yakni dihasilkan melalui penelusuran maksud syara` atau maqâsid al-Syarî`ah). al-Syâtibî, alMuwâfaqât, Juz IV, h. 64-68, al-Âmidî, al-Ihkâm, Juz III, h. 204, Hasan Hanafî, Min al-Nass ilâ al-Wâqi` (Kairo: Markaz al-Kitâb li al-Nasyr, 2005), Jilid II, h. 445. 278 279
clvi
Istilah lain bagi tahqîq al-manât adalah ijtihâd istislâhî. Model ijtihâd yang terakhir inilah, yang menurut al-Syâtibî, penting dengan pemahaman yang mendalam terhadap maqâsid al-Syarî`ah. Dalam hubungannya dengan model ijtihâd istislâhî inilah, istilah ijtihâd insyâ’î (ijtihâd kreatif) menjadi relevan untuk melahirkan suatu ”produk hukum” yang baru. Ijtihâd insyâ’î adalah penalaran hukum yang tidak didasarkan pada nass tetapi didasarkan pada paradigma maqâsid al-Syarî`ah, di samping juga didukung berbagai pertimbangan, seperti pertimbangan aspek sosiologis, sosial budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Ijtihâd insyâ’î ini relevan untuk zaman kontemporer.282 Pengutamaan metode al-maslahah dengan paradigma baru ini, sebagai pengembangan ijtihâd istislâhî lebih lanjut dapat dianalisa dengan argumentasi berikut. Pertama, bahwa ia sangat dihajatkan pada masa kini. Kedua, apalagi status hukum belum ada atau sudah ada seperti tertulis dalam kitab-kitab klasik, namun tidak relevan lagi dengan konteks saat ini. Ketiga, umat Islam tidak boleh ragu untuk menciptakan dan menggunakan suatu produk, asal tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang selaras dengan maqâsid al-Syarî`ah. Keempat, hukum harus ditempatkan sebagai pedoman, penuntun dan pemberi norma, terutama ketika menghadapi perubahan sosial dan
282 Menurut al-Qarâdâwî, ijtihad kontemporer (al-ijtihâd al-mu`âsir) mengambil bentuk ijtihâd intiqâ`î (ijtihâd selektif), dan ijtihâd insyâ’î di atas. Ijtihâd intiqâ`î dalam arti memilih secara selekif pendapat-pendapat fiqh, baik fatwa ulama, maupun baik jurisprudensi atau keputusan hukum pengadilan (qadâ’), --yang dianggap tepat untuk dijadikan jawaban terhadap suatu persoalan yang muncul. Lih. al-Qarâdâwî, al-Ijtihâd al-Mu`âsir, h. 19 dst. Ijtihâd jenis ini mengalami keterbatasan, karena tidak semua masalah hukum kontemporer ada pendapat atau jurisprudensinya, di samping itu belum tentu cocok diterapkan pada suatu kasus yang dihadapi. Istilah lain untuk jenis ijihâd ini adalah penalaran takhyîr atau talfîq, yang karena keterbatasannya, dikritik oleh para pemikir kontemporer, seperti Anderson, Esposito, dan al-Na`im.
clvii
penemuan-penemuan baru yang dihasilkan melalui perkembangan dan kemajuan saintek (sains dan teknologi).283 Penggunaan metode al-maslahah lebih diperioritaskan dalam membuat legislasi dan menjadi pijakannya, ketika seorang mujtahid tidak menemukan aturan secara eksplisit dalam nass-nass, sebab ia harus segera menangani kebutuhan itu sehingga kebutuhan itu dapat terealisasi. Ini telah diteguhkan bahwa tujuan Tuhan (God’s purpose) dalam membentuk syari’at adalah untuk mengangkat kesejahteraan manusia (man’s welfare) dan untuk mencegah terjadinya korupsi atau penindasan di muka bumi.284 b. Definisi al-Maslahah al-Maqsûdah Berdasarkan kerangka reformulasi al-maslahah di atas, alMaslahah al-Maqsûdah dapat didefinisikan dengan melihat dua hal: al-Maslahah al-Maqsûdah sebagai tujuan (maqsûd), dan alMaslahah al-Maqsûdah sebagai metode (manhaj). Pengertian al-Maslahah al-Maqsûdah sebagai tujuan hukum adalah sesuatu yang selaras dengan maqâsid al-Syarî`ah (the objective of Islamic law), khususnya yang dilandaskan pada rasionalitas terlebih lagi diback up (didukung) oleh naql/teks agama. Jadi tidak terbatas apakah itu mu`tabarah, mulghah, ataukah mursalah . Berdasarkan pengertian di atas, sebagai bandingan dari alMaslahah al-Maqsûdah ada maslahah ghairu maqsûdah. Yang dimaksud dengan maslahah ghairu maqsûdah adalah sesuatu yang tidak selaras dengan maqâsid al-Syarî`ah (the objective of Islamic law). Sebagai contoh maslahah ghairu maqsûdah adalah perbuatan zina atau free sex. Sungguhpun dalam zina terdapat maslahah yang 283 Bandingkan dengan Abd. Salam Arief, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita: Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmûd Syaltût (Yogyakarta: LESFI, 2003), h. 179. 284 Kamâli, Principles, h. 168.
clviii
dirasakan pelakunya, dan oleh sebagian kalangan (orang Barat) dikatakan bukan perbuatan buruk, tetapi jelas-jelas ia bertentangan dengan salah satu prinsip Islam yang merupakan maqâsid al-Syarî`ah berupa kehormatan diri (al-karâmah). Kehormatan atau kemuliaan diri dalam hubungan intim seseorang dengan lawan jenisnya dalam Islam dilakukan melalui lembaga nikah. Filosofi yang jelas dari lembaga atau pranata nikah yang merupakan manifestasi dari prinsip kehormatan atau kemuliaan diri adalah mengangkat derajat manusia yang membedakannya dengan derajat binatang (hewan). Hewan tidak terkena taklîf, sehingga tidak ada lembaga nikah baginya. Adapun al-Maslahah al-Maqsûdah sebagai metode ijtihâd didefinisikan sebagai metode penggalian hukum (manhaj al-ijtihâd) dengan penalaran yang menekankan pada maqâsid al-Syarî`ah -dengan tidak terikat pada kategori mu`tabarah, mulghah maupun mursalah. Artinya, bahwa bila terdapat maslahah yang sesuai dengan prinsip-prinsip
Islam
dan
tujuan-tujuan
Syarî`ah,
memenuhi
kebutuhan atau realitas kehidupan manusia, baik itu disebutkan oleh nass untuk diraih, maupun disebutkan oleh nass untuk dihindari, maupun sama sekali tidak ada keterangan nass baik yang memerintahkan untuk diraih maupun yang melarang untuk dijauhi, maka itulah maqâsid al-Syarî`ah yang harus dijadikan pertimbangan, pijakan dan diterapkan dalam suatu interpretasi terhadap nass (istidlâl) maupun untuk memecahkan masalah hukum apapun tanpa melalui nass (ijtihâd). c. Kerangka Operasional Kerangka operasional ini dimaksudkan untuk memperjelas mekanisme kerja metode al-Maslahah al-Maqsûdah. Dengan adanya kerangka operasional ini, letak perbedaan antara metode al-Maslahah al-Maqsûdah dengan metode-metode yang lainnya akan menjadi
clix
jelas. Mekanisme kerja metode al-Maslahah al-Maqsûdah diuraikan sebagai berikut. Pertama, titik starnya dalam memahani nass (ijtihâd/ istinbât) berangkat dari tujuan-tujuan Syari`ah (maqâsid al-Syarî`ah), bukan dari bunyi tekstual nass (اﻟﻌﺒﺮة ﺑﺎﻟﻤﻘﺎﺻﺪ ﻻ ﺑﺎﻷﻟﻔﺎظ, al-`ibrah bi al-maqâsid lâ bi Alfâz).285 Maqâsid al-Syarî`ah ini adalah qat`î, dari segi landasan hukum, dapat dipertanggungjawabkan. Qat`î yang dimaksud adalah qat`î bukan dalam arti mutlak-hakiki, sebab maqâsid alSyarî`ah merupakan hasil rumusan manusia (ijtihâd), sehingga tetap bersifat nisbi, karena bisa benar dan bisa salah. Oleh karena itu, ia menjadi sesuatu yang penting dalam penetapan hukum.286 Maqâsid al-Syarî`ah itu tidak terbatas pada al-kulliyyah al-khamsah an sich, yakni hifz al-dîn (melindungi agama dan kebebasan beragama), hifz al-nafs (melindungi jiwa, termasuk melindungi kehormatan diri), hifz al-nasl (melindungi keturunan/generasi), hifz al-`aql (melindungi kebebasan berpendapat), dan hifz al-mâl (melindungi harta), tetapi meliputi keadilan (al-`adl/al-`adâlah), kesetaraan (al-musâwah), kebebasan (al-hurriyyah), kerahmatan (al-rahmah), kebijaksanaan (al-hikmah), sebagai landasan dan prinsip yang mendasar, yang praktisnya dikongkritkan ke dalam hak-hak sosial-kemasyarakatan, perekonomian,
kebudayaan,
dan
perpolitikan
(al-huqûq
al-
ijtimâ`iyyah wa al-iqtisâdiyyah wa al-tsqâfiyyah wa al-siyâsiyyah). Untuk memperjelas mekanisme ini, berikut diberikan beberapa contohnya. Tentang sesuatu yang memabukkan, misalnya. Dengan menggunakan mekanisme ini, yakni dengan berdasarkan tujuan Syarî`ah berupa memelihara akal (hifz al-`aql), misalnya, maka sesuatu yang memabukkan, merusak akal adalah haram. Biasanya metode atau pendekatan yang dipakai adalah qiyâs. Jika ditelaah, 285 Achmad `Aly MD, ”Mengembangkan Fikih Etika”, Artikel diakses pada 13 Juli 2007 dari http://www. islamemansipatoris.com/artikel.php?id=194 286 Lih. al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, Juz III, h. 3-5.
clx
sebenarnya qiyâs tersebut menandaskan pada maslahah. Minuman yang memabukkan dikiyaskan kepada khamr dalam hal adanya persamaan `illat hukumnya, yaitu memabukkan (li ajl au li al-iskâr), atau mengacaukan akal, padahal memelihara kejernihan akal adalah wajib termasuk dalam lima prinsip universal (al-kulliyyât alkhamsah, al-maqâsid al-khamsah). Dengan demikian sebenarnya metode qiyâs ini sudah cukup dihandle oleh metode al-Maslahah alMaqsûdah. Karena alur metode al-maslahah ini adalah berangkat dari tujuan Syarî`ah, bukan berangkat dari teks. Berbeda dengan qiyâs yang berangkat dari nass. Berdasarkan tujuan Syarî`ah itu, karena untuk memelihara akal (hifz al-`aql), maka apapun yang merusak dan atau mengacaukan akal, maka hukumnya haram. Dengan kata lain, karena
mengacaukan
dan
atau
merusak
akal,
padahal
ini
bertentangan dengan maqâsid al-Syarî`ah, maka sesuatu yang dimaksud itu diharamkan. Meskipun kesimpulan hukum yang ditarik melalui penalaran qiyâs dengan al-Maslahah al-Maqsûdah sama, namun jelas cara istidlâlnya berbeda. Uraian ini membuktikan bahwa metode al-Maslahah al-Maqsûdah dapat menggantikan metode qiyâs, dan lebih luas jangkauannya dibandingkan qiyâs. Atas dasar inilah, minum khamer adalah perbuatan buruk, sehingga harus dijauhi. Lebih lanjut, untuk membuktikan bahwa metode al-Maslahah al-Maqsûdah ini dapat menggantikan metode yang lain, istihsân, misalnya, berikut aplikasi mekanisme tersebut. Mengenai kasus tidak boleh melihat aurat orang lain, berdasarkan teks (menggunakan qiyâs) hukumnya haram, namun bagi seorang dokter boleh melihat aurat
pasiennya
ketika
untuk
mengobatinya,
menjadi
boleh
berdasarkan istihsân. Sebenarnya bolehnya melihat aurat dalam kasus itu hanya karena adanya kemaslahatan. Dengan demikian metode istihsân ini juga cukup dihandle oleh metode al-maslahah tersebut. Karena adanya hajat tujuan untuk mengobati pasien yang tidak bisa
clxi
dihindarkan terlihatnya aurat pasien tersebut, maka melihat aurat dalam kasus ini menjadi boleh. Jika pada model istihsân dasarnya karena darurat, namun pada
al-Maslahah al-Maqsûdah landasan
atau pertimbangan hukumnya adalah karena adanya kemaslahatan untuk si pasien. Untuk memperjelas aplikasi mekanisme yang pertama dari metode al-Maslahah al-Maqsûdah tersebut, lebih lanjut dapat dipergunakan untup menjawab sebuah kasus berikut. Sebuah pengandaian mengenai kasus perkawinan jika dilakukan seorang perempuan yang telah berganti alat kelaminnya melalui operasi medis, seperti Dorce, apakah hukumnya boleh ataukah tidak. Berdasarkan metode al-Maslahah al-Maqsûdah, karena memelihara kehormatan diri (hifz al-`ird) dalam memenuhi kebutuhan biologisnya sebagai fitrah manusia --maupun memelihara keturunan meski oleh medis dinyatakan mandul (karena memelihara keturunan/memperoleh anak saat ini bisa ditempuh melalui berbagai cara, kalau hifz al-nasl hanya seperti ini merupakan tujuan dari perkawinan), maka hukumnya boleh. Namun jika konsisten dengan pendekatan qiyâs yang dipakai, maka hukum perkawinan seperti itu tidak boleh. Pendekatan qiyâs ini, sebagai implikasi lanjutan dari fatwa NU di Jawa Timur tahun 1989, yang menetapkan haramnya operasi ganti kelamin tersebut, sehingga ia tetap dihukumi sebagai laki-laki (hukum asal), meskipun faktanya secara
medis
sudah
berbeda:
ia
menjadi
berjenis
kelamin
perempuan.287 Padahal implikasi dari penelaran seperti ini justeru tidak menghilangkan beban/kesukaran (raf` al-haraj), dan tidak mempermudah atau memberikan keringanan dalam persoalan interaksi manusia (mu`âmalah), justeru malah mempersulitnya dan 287 Fatwa NU tersebut dihasilkan dalam Seminar yang bertema ”Tinjauan Syariat Islam tentang Operasi Ganti Kelamin yang diadaan oleh PWNU Jatim bekerjasama dengan Jawa Pos di pesantren Nurul Jadid Probolinggo pada 26-28 Agustus 1989. Tentang hal ini lihat Qamar, NU ”Liberal”, h. 129.
clxii
tidak selaras dengan tujuan Syarî`ah itu sendiri yang merupakan rahmat dan kemaslahatan bagi manusia. Kedua, nass ditempatkan sebagai tekstur terbuka terhadap interpretasi. Interpretasi ini menggunakan pertimbangan maqâsid alSyarî`ah dan HAM atau realitas sosial. Atas dasar inilah, beberapa nass menjadi bersifat zannî, di mana hukum yang ditarik darinya dapat mengakomodasi pelbagai perubahan sosial yang terjadi, seiring perkembangan sains dan teknologi. Ketiga, memerankan akal (al-`aql/al-ra’y) secara penuh dalam mencermati realitas sosial dengan mengkorelasikannya pada maqâsid al-Syarî`ah dan HAM, serta mengolah, dan menerapkannya dalam suatu kasus. Sebab akal adalah dalil mandiri (dalîl mustaqill),288 juga menjadi sumber Syari`ah dan alat penting dalam menerapkan interpretasi dan ijtihâd.289 Dalam ijtihâd ini perlu digunakan trilogi kesadaran, yaitu kesadaran historis, kesadaran linguistik atau ideal (kesadaran eidetis), dan kesadaran praksis. Yang dimaksud dengan kesadaran historis adalah kesadaran terhadap teks-teks keagamaan khususnya wahyu al-Qur’ân, tidak menafikannya. Bahwa ajaranajaran moral/etiknya sangatlah vital. Kesadaran eidetis ialah kesadaran dalam membangun interpretasi teks-teks wahyu untuk memahami dan mencapai maknanya yang lebih tepat (relevan) sehingga
bisa diarahkan pada kehidupan praksis. Adapun yang
dimaksud kesadaran praksis ialah kesadaran yang muncul sebagai produk dari kesadaran historis yang menjamin validitas historis wahyu, baik dari oral maupun tulisan, dan juga produk puncak dari kesadaran eidetis yang membangun pemahaman dan interpretasi. Perhatiannya 288 al-Tûfî, dalam Abdullah M. al-Husain al-Amiri, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam: Pemikiran Hukum Najm al-Dîn al-Tûfî, penerjemah Abdul Basir (Pamulang: Gaya Media Pratama, 2004), h. 42. 289 Muhammad Hâsyim Kamâli, ”Law and Society”: the Interplay of Revelation and Reason in the Syarî`ah”, dalam John. L. Esposito, ed., The Oxford History of Islam (New York: Oxpord University Press, 1999), h. 123.
clxiii
adalah untuk merealisasikan orientasi-orientasi wahyu, pelaksanaan tuntutan-tuntutan pikiran dan melakukan tindakan praksis bagi persoalan yang kontekstual bagi manusia,
yakni tujuan terciptanya
kemaslahatan. Oleh karena itulah, dalam interpretasi terhadap teks agar selaras dengan maqâsid al-Syarî`ah ini, jelas akal selalu dibutuhkan dan lebih diutamakan. Hal ini karena ketentuan yang didukung oleh akal (nalar) dipandang lebih kuat daripada ketentuan yang tidak didukung oleh nalar. 290 Keempat, di samping berangkat dari maqâsid al-Syarî`ah, juga harus dilingkarkan dengan realitas/fakta yang terjadi pada seseorang atau masyarakat. Karena ijtihâd yang tepat adalah suatu rumusan hukum yang dihasilkan dari kolaborasi, take and give (interaksi positif) antara hukum dan realitas.291 Realitas-realitas dimaksud, misalnya hak kebebasan, dan nondiskriminasi, sebagai HAM yang telah diakui HAM Internasional, yakni UDHR (DUHAM), maupun sejumlah UU RI. UU dimaksud adalah UUD 1945 hasil Amandemen Kedua dan Ketiga,292 UU No. 39/1999 Tentang HAM, dan dua UU lainnya, yaitu UU No. 11 dan UU No. 12 tahun 2005.293 Kelima, dalam hal memformulasikan kemaslahatan atau kebijakan publik (maslahah al-`âmmah), yang dipakai adalah pertimbangan rasio publik (al-`aql al-mujtama`) dengan tetap berpijak pada substansi nass (maqâsid al-Syarî`ah), bukan bunyi tekstualnya (ﺗﺤﻘﻴﻖ اﻟﻨﺼﻮص ﺑﻌﻘﻞ اﻟﻤﺠﺘﻤﻊ/اﻟﻌﺒﺮة ﺑﺎﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻌﺎﻣﺔ هﻲ ﻋﻘﻞ اﻟﻤﺠﺘﻤﻊ, al`ibrah bi al-maslahah al-`âmmah hiya `aql al-mujtama`/tahqîq al-
Mengenai ketentuan ini lihat Abû al Fadl, Speaking in God’s Name, h. 45. Lihat Ahmad al-Raisûnî, dalam al-Ijtihâd: al-Nass, al-Wâqi`, al-Maslahah, Edisi ke-2 (Suriyah, Dâr al-Fikr, 2002), h. 62. 292 Lihat misalnya Pasal 28E ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi: ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. 293 UU RI No. 11/2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), dan UU RI No. 12/2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik). 290 291
clxiv
nusûs bi `aql al-mujtama`). Dalam konteks ini kemaslahatan publik diutamakan daripada kemaslahatan individu, sebab ketentuan yang mendukung kepentingan umum dipandang lebih kuat daripada ketentuan yang mendukung kepentingan pribadi.294 Kriteria yang digunakan dalam maslahah al-`âmmah ini secara umum ada dua, yaitu memelihara kepentingan umum dengan kebajikan umum (hifz masâlih al-`âmmah bi masâlihihâ) dan mewujudkan kepentingan umum (tahqîq masâlih al-`âmmah) dengan bersandar utamanya kepada dua segi, yaitu keadilan dan kebenaran.295 Kepentingan umum di sini dapat dikatakan mutlak, ketika menjadi konsensus, yang diwujudkan dalam perundang-undangan, sehingga kemudian bersifat mengikat pada semua orang yang berada di bawah perundangundangan tersebut. Meskipun, tetap ada yang tidak mematuhinya, hal ini termasuk dalam mustatsnayât atau istitsnâ’iyyât (perkecualian). Untuk membuat suatu kebijakan publik yang baik setidaknya harus terpenuhi di dalamnya 3 (tiga) hal pokok: pertama, di dalamnya ada aturan hukum atau peraturan perundangan yang legitimate. Kedua, adanya aspek prosedural yang harus diikuti, yaitu mulai dari pembuatan hingga implementasinya harus melalui prosedur atau aturan main yang telah ada, dan tidak boleh menyimpang dari prosedur yang sudah ada. Ketiga, yang tidak kalah pentingnya adalah adanya substansi yang betul-betul memihak pada kepentingan publik dari kebijakan-kebijakan publik tersebut.296 Konsep kebijakan publik ini sebenarnya hadir dan diciptakan untuk memudahkan sebuah 294 Mengenai ketentuan ini lihat Abû al-Fadl, Speaking in God’s Name, h. 45. Kaidah ini pada dasarnya tidak berarti menafikan kemaslahatan personal, sebab maslahah al-`âmmah majmû`ah min masâlih al-afrâd (kemaslahatan publik itu bermula dari sekumpulan maslahat personal). Maksudnya, memang kemaslahatan publik itu benar-benar kemaslahatan yang terbentuk dari atau mencerminkan kemaslahatan individu. Aplikasi kaidah maslahah al-`âmmah muqaddamah ` alâ maslahah al-afrâd mesti harus ditempatkan dalam konteks tertentu. 295 Bandingkan Yusdani, Peranan Kepentingan Umum, h. 117. 296 Muchsin dan Fadilah Putra, Hukum dan Kebijakan Publik: Analisis atas Praktek Hukum dan Kebijakan Publik dalam Pembangunan Sektor Perekonomian di Indonesia, (Malang, Averroes Press, 2002), h. 175.
clxv
konstitusi dasar yang merupakan jelmaan dari sebuah cita-cita luhur mayoritas menjadi sebuah kenyataan.297 Dalam menyoroti keragaman hukum Islam dan wujud taqnîn (perundang-undangan) di pelbagai belahan negara Islam, kita melihat tidakadanya keseragaman yang menunjukkan universalitas ajaran Islam di satu pihak dan elastisitasnya di pihak lain. Universalitas dan elastisitasnya itu menunjukkan bahwa ajaran Islam mengadaptasi aspekaspek sosial-budaya masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam seperti keadilan dan kesetaraan di bawah hukum dan tujuan-tujuan syariat. Tradisi atau budaya masyarakat memainkan peran yang menentukan bagi formulasi hukum Islam. Dengan didukung oleh fakta, bahwa banyak hukum Islam telah mengakar dalam tradisi/budaya masyarakat Arab pada masa nabi saw. Ini tidaklah berarti bahwa setiap masyarakat muslim di luar Arab ”harus” memformulasikan hukum Islam sesuai dengan praktek masyarakat Arab tersebut. Berbagai perbedaan tradisi dalam terma politik, ekonomi, dan struktur sosial, muslim nonArab telah memformulasikan inti pokok dari hukum Islam meskipun berbeda selama masih didasarkan pada prinsip-prinsip Islam (Islamic principles, maqâsid al-Syarî`ah).298 Keenam, ketika terjadi pertentangan antara tekstual nass, baik al-Qur’ân, Sunnah, maupun ijmâ’, dengan kemaslahatan sebagai inti dari maqâsid al-Syarî`ah, maka yang dijadikan pijakan dalam merumuskan hukum adalah kemaslahatan ( ﻗﺮأﻧﺎ آﺎن،ﺗﻘﺪﻳﻢ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺺ أو ﺳﻨﺔ أو إﺟﻤﺎﻋﺎ, taqdîm al-maslahah `alâ al-nass, Qur’ânan kâna au sunnah ijmâ`an). Nass yang dimaksud adalah nass yang bersifat teknis aplikatif, seperti yang memuat jenis hukuman tertentu, bukan 297 Muchsin, Hukum dan Kebijakan Publik, h. 177. Artinya, keanekaragaman ini memungkinkan dinamika dan pembaruan fiqh yang tidak pernah berhenti. 298 Lihat Akh. Minhaji, Islamic Law under the Ottoman Empire, dalam The Dynamics of Islamic Civilization, Issa J. Boullata (peng.), (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 198-199.
clxvi
seperti nass tentang haramnya zina. Taqdîm yang dimaksud adalah bentuk bayân, tafsîr atau takhsîs. Sebab kemaslahatan manusia pada dasarnya adalah tujuan di dalam dirinya sendiri. Dalam hal ini, kemaslahatan dimaksudkan sebagai sesuatu yang ”menjelaskan” (bayân/tafsîr/takhsîs) terhadap maksud nass tersebut. Implikasinya, memelihara (perlindungan) kemaslahatan manusia (hifz masâlih alinsân) merupakan prinsip hukum tertinggi atau sumber hukum yang paling kuat (aqwâm adillati al-syar`), bukan sumber-sumber hukum tradisional para ahli hukum, dan merupakan tujuan utama Islam atau poros tujuan hukum (qutb maqsûd al-syar`).299 Di samping itu karena memelihara kemaslahatan manusia adalah sesuatu yang substansial, prinsipil dan riil yang tidak diperselisihkan lagi (ri`âyat al-maslahah amrun darûriyyun lâ yukhtalafu fîh).300 Ini tidak berarti menentang ketentuan nass, tetapi sesungguhnya menerapkan substansi tujuan dari nass itu sendiri, yakni mewujudkan kemaslahatan, sebagaimana pernah dilakukan oleh `Umar ibn al-Khattâb.301 Di samping itu karena maqâsid al-Syarî`ah itulah yang ”qat`î”, dan kebanyakan teks-teks tidaklah qat`î, sebab masih mengandung berbagai kemungkinan makna
Hal ini seperti pandangan al-Tûfî dalam al-Husain al-Amiri, al-Tufi’s Refutation, h. 42. al-Tûfî dalam al-Husain al-Amiri, al-Tufi’s Refutation, h. 42, lhat juga al-Zuhailî, Usûl al-Fiqh, Jilid 2, h. 804. 301 Berikut contoh pendapat/kebijakan (ra’y, j. arâ’) `Umar r.a., yang merupakan ijtihâd al-tatbîqiyyah. Ia menghapuskan bagian zakat yang diberikan kepada orang-orang Muslim atau nonMuslim tertentu untuk ”mendekatkan atau melunakkan hati mereka” (mu’allaf qulûbuhum), sebagaimana diperintahkan QS. al-Taubah (9): 60. Ia tidak membagi-bagikan tanah rampasan perang (ghanîmah) di Irak dan Syiria kepada para sahabat (tentara) yang berperang, namun ia cenderung pada keuntungan yang didapat kaum Muslimin secara umum (masâlih al-`âmmah) daripada kepentingan masing-masing mereka (masâlih al-afrâd). Keadilan sosial menuntut bahwa tanah tersebut tidak dibagikan di antara tentara yang berperang. Inilah contoh dari penyimpangan diri dari aturan yang sudah mapan demi kepentingan keadilan dan kesejahteraan sosial. Demikian juga ia tidak menerapkan hukuman potong tangan terhadap pencuri ketika musim paceklik, maupun terhadap sejumlah budak yang mencuri seekor unta betina, menyembelih dan memakannya beramai-ramai. Justeru ia memerintahkan pemilik budak-budak itu agar membayar diyat, yaitu mengganti unta betina itu dengan dua kali harganya dan mencabut perintah sebelumnya, yaitu pemotongan tangan pada pencurinya.. Jelas dalam penerapan diyat tersebut didasarkan kepada maqâsid al-Syarî`ah, berupa kemaslahatan, keadilan, kebijaksanaan, dan kerahmatan. Tentang arâ` `Umar ihat Ahmed Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1994), h. 119-121. 299
300
clxvii
dan interpretasi menurut konteks ruang, waktu, dan kondisi parsial yang berbeda. Bahwa telah maklum hukum itu (dapat) berubah sesuai dengan ada tidaknya suatu `illat hukumnya (legislative cause). Bahwa hukum dapat berubah sesuai dengan perubahan/perbedaan waktu, ruang,
kondisi
manusia,
motivasi
dan
adat-istiadat/kebiasaan
(taghayyur al-fatwâ [al-ahkâm] wa ikhtilâfuhu bi hasb taghayyur al-azminah wa al-ahwâl wa al-niyyât wa al-`awâ’id).302 Dengan demikian, yang tidak qat`î mengikuti yang qat`î, karena yang qat`ilah yang bisa dijadikan dasar secara menyakinkan, sebab yang tidak qat`î merupakan dugaan-dugaan (zann/wahm) belaka. Hal lain yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa perhatian manusia adalah bagaimana mengunifikasi maqâsid al-Syâri` dan maqâsid almukallaf, dan mewujudkan kepentingan Tuhan di dalam kepentingan manusia. Berdasarkan hal ini, ketentuan yang mengedepankan tujuan hukum, berupa kemaslahatan manusia (tahqîq masâlih al-`ibâd) dipandang lebih kuat daripada ketentuan yang tidak mengedepankan tujuan hukum tersebut.303 Ketujuh, sebagai kelanjutan dari rekonstruksi sistematika metode-metode penalaran hukum, konsekuensinya, metode cabang, yang sifatnya lebih operatif, seperti qiyâs, tidak boleh bertentangan dengan metode sentral, sebab seperti kaidah fiqh al-tâbi` tâbi`, yakni al-tâbi` yatba` al-matbû` (yang parsial atau turunan, tidak bisa lepas dari mengikuti yang pokok). Suatu bangunan parsial (furû`) mengikuti pondasi atau yang sentral, pokok (usûl). Bangunan itu berpijak pada fondasinya. Maksudnya, pada hakikatnya metode cabang itu hanyalah sebagai pelengkap bagi metode sentral agar lebih praktis, meskipun sudah bisa dihandle oleh metode sentral tersebut.
302 Hal ini sebagaimana pandangan Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Lihat Ibn Qayyim alJauziyyah, I`lâm al-Muwaqqi`în, Jilid II, h. 3. 303 Tentang ketentuan ini lihat Abû al-Fadl, Speaking in God’s Name, h. 45.
clxviii
Cara kerja al-Maslahah al-Maqsûdah dapat diilustrasikan dalam skema berikut.
MM Hasil Ijtihâd (Produk Hukum) R MSy
HAM
MM: al-Maslahah al-Maqsûdah MSy: Maqâsid al-Syarî`ah HAM: Hak Asasi Manusia
: Arah gerak pijakan : Interaksi Sinergis
Skema 3: Cara Kerja al-Maslahah al-Maqsûdah Selanjutnya kejelasan keterkaitan metode al-Maslahah alMaqsûdah dengan maqâsid al-Syâri`ah dan HAM, sehingga memperkuat kerangka operasionalnya diuraikan lebih lanjut pada Bab III).
clxix
BAB III RELEVANSI AL-MASLAHAH AL-MAQSÛDAH DENGAN MAQÂSID AL-SYARÎ`AH DAN HAK ASASI MANUSIA
A. Relevansi al-Maslahah al-Maqsûdah dengan Maqâsid al-Syarî`ah 1. Maqâsid al-Syarî`ah dan Pengembangan Pengertiannya Kata Maqâsid al-Syarî`ah merupakan gabungan dari dua kata maqâsid (bentuk jamak dari maqsûd), yang berarti tujuan-tujuan, dan Syarî`ah,304 yang berarti jalan, --dalam arti luas ajaran Islam. Secara bahasa maqâsid al-Syarî`ah berarti tujuan-tujuan Syarî`ah.305 Tujuan Syarî`ah pada intinya adalah kemaslahatan (al-masâlih) yang bersifat langgeng, universal, dan umum (أﺑﺪﻳﺎ وآﻠﻴﺎ وﻋﺎﻣﺎ, abadiyyan wa kulliyyan wa `âmman).306 Prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar Islam mengenai 304 Syarî`ah secara literal berarti sumber air, jalan, atau jejak langkah. Istilah Syarî`ah pada mulanya mengacu kepada ajaran Islam secara keseluruhan, baik bidang akidah, hukum, dan moral (akhlâq). Pengertian demikian diambil dari makna ayat QS. al-Syûrâ (42): 13 dan QS. alJâtsiyyah (45): 18. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, istilah itu mengalami penyempitan makna sebatas ajaran agama yang menyangkut hal-hal lahiriah (eksoterik), sehingga pengertian Syarî`ah menjadi identik dengan fiqh (hukum Islam), kendati keduanya mengandung perbedaan kecil. Sementara itu pengertian fiqh sendiri juga mengalami penyempitan makna dari pemakaian istilah semula (secara bahasa berarti pemahaman atau pengertian) mengandung makna pemahaman terhadap ajaran agama secara keseluruhan. Pengertian demikian berakar dari ekspresi al-Quran (QS. al-Taubah [9]:122). Singkatnya, Syarî`ah berbeda dengan fiqh. Syarî`ah adalah kehendak Tuhan dalam bentuk yang abstrak dan ideal, tetapi fiqh merupakan hasil upaya manusia memahami Kehendak Tuhan tersebut. Dalam pengertian ini, Syarî`ah selalu dipandang sebagai yang terbaik, adil dan seimbang, sementara fiqh hanyalah upaya untuk mencapai cita-cita dan tujuan Syarî`ah (maqâsid al-Syarî`ah). Menurut fuqahâ, tujuan Syarî`ah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia (tahqîq masâlih al-`ibâd), dan tujuan fiqh adalah untuk memahami dan menerapkan Syarî`ah. Tentang karakteristik Syarî`ah lihat al-Syâtibî, al-Muwâfaqât fî Usûl al-Syarî`ah, `Abd Allâh Darrâz, ed. (Beirût: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2003), Juz II, h. 29, 44-53, 104 dst., Syams al-Dîn Abî `Abd Allâh Muhammad bin Abî Bakr Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I`lâm al-Muwaqqi`în `an Rabb al-`Alamîn, Sidqî Muhammad Jamîl al-`Attâr, ed. (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003), Jilid II, h. 3. 305 Lihat Bernard G. Weiss, The Spirit of Islamic Law (London: the University of Georgian Press, 1998), h. 80. 306 Kemaslahatan sebagai tujuan inti syariat di atas, adalah pendapat sebagian ulama yang meringkas tujuan-tujuan Syarî`ah yang banyak jumlahnya. Jamâl al-Dîn `Atiyyah, Nahwa Taf`îl Maqâsid al-Syarî`ah, (Damaskus: Dâr al-Fikr dan al-Ma`had al-`Älamî li al-Fikr al-Islâmî, 2001), h. 111. Tentang sifat tujuan Syarî`ah itu lihat al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, Juz II, h. 29.
clxx
kemaslahatan ini secara garis besarnya telah tercantum dalam kitab suci al-Qur’ân. al-Qur’ân adalah totalitas Syarî`ah, mata air kebijaksanaan, dan sumber Syarî`ah. Sebuah kitab yang menjadi way of life umat Islam sepanjang masa untuk kemaslahatan mereka baik di dunia dan akhirat. Lebih lanjut, tujuan utama syarî`at (a`lâ maqâsid al-Syarî`ah) begitu banyak, dan beragam pendapat ulama, yang dapat disingkat ke dalam keadilan, kerahmatan, kemaslahatan, dan kebijaksanaan.307 Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa Syarî`ah yang integral dengan maqâsid al-Syarî`ah itu begitu mulia, luhur dan penuh perhatian pada kebutuhan manusia di dunia sekalipun. Secara singkat semua tujuan Syarîah di atas adalah masâlih (kemaslahatan). Kemaslahatan inilah yang menjadi kunci dan sekaligus tujuan syariat (maqâsid al-Syarî`ah). Dalam hal ini al-Syâtibî membuat premis/kaidah yang menjadi penjelasan bagi doktrin maqâsid al-Syarî`ahnya: وﺿﻊ اﻟﺸﺮاﺋﻊ إﻧﻤﺎ هﻮ ﻟﻤﺼﺎﻟﺢ اﻟﻌﺒﺎد ﻓﻰ اﻟﻌﺎﺟﻞ ( واﻷﺟﻞ ﻣﻌﺎwad` al-syarâi` innamâ huwa li masâlih al-`ibâd fî al-`âjil wa Beragam pendapat ulama di atas sebagai berikut: a. Menurut sebagian ulama, tujuan syariat yang tertinggi itu ditarik dari ayat-ayat alQur’ân al-Karîm yang secara jelas menunjukkan tujuan risâlah (pengiriman rasul) dan pewahyuan kitab-kitab kepada mereka, yaitu hidâyah (petunjuk), ta`lîm (pengajaran), salâh (kebaikan), tanwîr (penerangan), haqq (kebenaran), rahmah (rahmat, kasih sayang), `adl (keadilan), hikmah (kebijaksanaan), al-musâwah (egalitarian, kesetaraan), quwwatu nizâm al-ummah (penguatan tatanan umat), ta`aqqul (pencerdasan), taharrur (pemerdekaan), takhalluq (beretika, bermoral mulia), al-tawahhud (persatuan, kesatuan), dan al-takammul (penyempurnaan). b. Sebagian ulama mengkhususkan atau menitikberatkan tujuan syariat pada `ibâdat Allâh (ibadah, penyembahan kepada Allah), khilâfat `anhu (kepemimpinan, perwakilan Tuhan di bumi), dan `imârat al-ard (kesejahteraan dan kemakmuran dunia). c. Sebagian ulama yang lain, seperti Ibn `Abd al-Salâm, meringkas pada jalb al-masâlih (penarikan kemanfaatan, kebaikan) dan dar al-mafâsid (penolakan kemafsadatan, kerusakan). d. Di antara ulama ada yang menghubungkan adanya keseimbangan antara maqâsid altâ`ah (tujuan-tujuan ketaatan), dan maqâsid al-maslahah (tujuan-tujuan kemanfaatan manusia) kepada jawaban masalah: apakah penciptaan manusia untuk beribadah (menyembah Tuhan) ataukah ibadah disyariatkan untuk tujuan manusia. e. Sebagian ulama yang lain memasukkan ke dalam cakupan maqâsid apa saja yang termasuk pemahaman-pemahaman (al-mafâhim), karakteristik-karakteristik (al-khasâ’is), wasilah-wasilah (al-wasâ’il), dan alat-alat (al-âliyyât), seperti mempermudah dan menghilangkan kesulitan (al-taisîr wa raf` al-haraj), menjaga kesucian, liberalitas, dan mencegah tipudaya (murâ`at al-fitrah wa al-samâhah wa man` al-tahâyul), menjaga jalan-jalan yang menghantarkan kepada sesuatu yang dilarang atau diperbolehkan (murâ`at al-dzarâi`), dan menghormati peraturan hukum/perundang-undangan (ihtirâm al-tasyrî`). Lihat `Atiyyah, Nahwa Taf`îl Maqâsid al-Syarî`ah, h. 111, dan Abû Muhammad Izz al-Dîn Abd al-`Azîz Ibn `Abd al-Salâm alSalmî, Qawâ`id al-Ahkâm fî Masâlih al-Anâm, (Beirut; Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1999), Juz I, h. 11. 307
clxxi
al-âjil ma`ân), yakni ”Syariat dibuat sesungguhnya demi kemaslahatan manusia, baik yang bersifat segera (dunia), maupun untuk masa yang akan datang (akhirat)”.308 Tujuan utama Syarî`ah, keadilan, rahmat, kebijaksanaan, dan kemaslahatan. Pada umumnya, maqâsid al-Syarî`ah dirumuskan para ulama ke dalam perlindungan lima prinsip universal yang populer disebut al-kulliyyah al-khamsah ()اﻟﻜﻠﻴﺔ اﻟﺨﻤﺴﺔ, yaitu hifz al-dîn (melindungi agama, dan kebebasan berkeyakinan), hifz al-nafs (melindungi kehidupan/jiwa), hifz al-nasl (melindungi keturunan, generasi dan berkembangnya komunitas), hifz al-mâl (melindungi kepemilikan, dan harta benda), dan hifz al-`aql (melindungi eksistensi akal, kebebasan berpikir dan berpendapat). Kelima prinsip universal ini adalah al-umûr al-darûriyyah (kebutuhan mendasar) bagi manusia. Dari sinilah inspirasi istilah dan formulasi HAM dalam Islam dewasa ini.309 Pemenuhan eksistensi kebutuhan atau tujuan Syarî`ah tersebut melalui dua macam: pertama, dengan memenuhi kebutuhan atau tujuan itu. Inilah yang disebut hifz al-maqâsid au murâ`atuhâ min jânib alwujûd (pemeliharaan internal). Contohnya dilembagakannya nikah untuk memenuhi kebutuhan biologis atau hifz al-nasl. Kedua, dengan 308 Maqâsid al-Syarî`ah berdasarkan peringkatnya, dapat dibedakan menjadi alMaqâsid al-Syarî`ah pokok (maqâsid asliyyah) dan ada yang turunan atau mengiringi (maqâsid tâbi`iyyah) yang merupakan penguat atau pelengkap bagi yang asal (khâdimah wa mukmilah li maqâsid al-asliyyah). Yang pertama terdiri dari yang bersifat kewajiban primer-personal atau primer individual (darûriyyah `ainiyyah) dan yang kedua bersifat kewajiban primer-delegatif (darûriyyah kifâ’iyyah), sedangkan yang kedua dimaksudkan untuk memelihara porsi mukallaf. Lebih detail menurutnya, al-maqâsid al-Syarî`ah mengandung 4 (empat) unsur, yaitu (1) syari’at diberlakukannya untuk memelihara dan menjaga kepentingan dan kemaslahatan manusia, yang dikelompokkan menjadi darûriyyah (primer), hâjiyyah (sekunder) dan tahsîniyyah (tersier). (2) Syari’ah diber-lakukan untuk dipahami dan dihayati oleh umat manusia. Karena wahyu diturunkan dalam bentuk bahasa bangsa Arab, makanya harus dipa-hami dan dihayati dua aspeknya, yakni kebahasaan (lughâwiyyah) dan aspek realitas kehidupan bangsa Arab. (3). Syari’at mengandung taklîf, yakni pembebanan hukum-hukumnya kepada manusia. (4) Syari’at melepaskan manusia dari belenggu hawa nafsu. Menjadikan manusia agar kreatif, sebagaimana kodrat kemanusiaannya. Lihat al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, Juz II, h. 3-4. 309 Pendapat seperti ini, misalnya, dikemukakan oleh Ali Yafie yang mendukung HAM dengan argumen maslahah (kepentingan umum), yang diperkenalkan oleh para fuqahâ’ klasik. Lihat Ali Yafie, ”Hak Individu dan Masyarakat dalam Khazanah Pesantren” dalam Pesantren, Vol. 4. No.1, (1987), h. 6.
clxxii
meninggalkan atau meniadakan segala yang dapat mengurangi atau merusakkan kebutuhan atau tujuan itu. Inilah yang disebut hifz almasâlih au murâ`atuhâ min jânib al-`adam (pemeliharaan eksternal). Contohnya adalah diterapkannya jinâyah (hukum pidana) terhadap orang yang mabuk-mabukan, tujuannya untuk menegakkan tujuan syariat berupa hifz al-`aql.310 Dalam konteks kontemporer dewasa ini, karena perubahan situasi dan kondisi, adanya perkembangan dan kemajuan sains dan teknologi, tentu saja kebutuhan mendasar dalam teori hukum Islam klasik itu dapat dikembangkan
lebih
lanjut
berdasarkan
prinsip
ijtihâd.
Bahwa
hukum/fatwâ, dalam arti sebagai respons terhadap realitas kontemporer, bisa mengalami perubahan sesuai tempat, zaman, situasi, kondisi, adatistiadat atau tradisi, dan motivasi (taghayyur al-ahkâm bi taghayyur alazminah wa al-amkinah wa al-ahwâl wa al-`awâ’id wa al-niyyât). Berpijak di atas pemikiran ini, maka kelima prinsip universal yang dirumuskan para ulama klasik di atas tetap secara aktual, bukan didekonstruksi, namun direformulasi dan dikembangkan lebih lanjut agar memenuhi kebutuhan manusia dewasa ini. Pengembangan yang dimaksud di sini adalah penambahan, atau perluasan, perincian, dan sistematisasi. Beranjak dari pengertian pengembangan ini, pengertian Maqâsid al-Syarî`ah, yang oleh para ulama klasik dibatasi pada al-kulliyyah al-khamsah, dapat ditambah, diperluas, dirinci lebih lanjut dan disistematisasikan. Tujuan dari pengembangan ini adalah untuk mengakomodasi perkembangan zaman, lebih memperjelas keberadaan kemaslahatan atau hak pada
suatu
segmen tertentu, dan lebih memperjelas hubungan antara setiap segmen dengan segmen lainnya, sehingga dapat dihindari tumpang tindih antara satu kemaslahatan dengan kemaslahatan yang lainnya.
310
Lihat al-Syâtibi, al-Muwâfaqât, juz II, h. 7-8.
clxxiii
Pengembangan pengertian maslahah/maqâsid al-Syarî`ah tersebut, misalnya, dilakukan oleh Jamâl `Âtiyyah (pemikir progresif). `Atiyyah memperjelas segmen maslahah/maqâsid al-Syarî`ah menjadi empat macam: segmen individu (ﻣﺠﺎل اﻟﻔﺮد, majâl al-fard), segmen keluarga ( ﻣﺠﺎل اﻷﺳﺮة, majâl al-usrah), segmen umat (ﻣﺠﺎل اﻷﻣﺔ, majâl al-ummah), dan segmen kemanusiaan (ﻣﺠﺎل اﻹﻧﺴﺎن, majâl al-insân).311 Keempat segmen di atas diuraikan secara berurutan, dari segmen individu, segmen keluarga, segmen umat, hingga segmen kemanusiaan. a. Segmen individu Bidang ini meliputi lima macam: melindungi jiwa (hifz alnafs); akal; keberagamaan (al-tadayyun); kehormatan (al-`ird); dan harta (al-mâl). Pertama, melindungi jiwa atau kehidupan. Maksudnya adalah melindungi jiwa dari kerusakan total, dan melindungi organorgan tubuh dari kerusakan, yaitu anggota-anggota tubuh yang rusaknya
akan
berakibat
rusaknya
manfaat
pada
kehidupan.
Perusakan terhadapnya merupakan kesalahan yang berakibat diyat (ganti rugi) total. Inilah yang disebut hak hidup dan kehormatan tubuh (haqq al-hayâh wa hurmat al-jism).312 Kedua,
melindungi akal (aktivitas berpikir). Akal dipandang
sebagai perbuatan, dan bukan sebagai organ tubuh. Organ tubuh adalah
Lihat `Atiyyah, Nahwa Taf`îl, h. 139. Hifz al-nafs ini direalisasikan dengan cara-cara: a. memenuhi rasa aman dari ancaman musuh; b. memenuhi kebutuhan jiwa terhadap segala keperluan tubuh: makanan dan minuman, pakaian, tempat tinggal, dan menjaga dari berbagai penyakit dan segala yang mengancam kehidupan, seperti kebakaran, tenggelam, serta mengobati segala penyakit yang menimpa tubuh. Semua itu adalah sarana yang menjadikan sempurnanya perlindungan jiwa, sehingga sarana itu menempati posisi tujuan mendasar (primer); c. perlindungan jiwa itu juga dengan memenuhi kebebasan individual (al-hurriyah al-syakhsiyyah), kemuliaan atau kehormatan manusia (alkarâmah), sebagai perwujudan pemuliaan Allah kepada manusia sebagai makhluk yang mulia dibandingkan hewan, sebab manusia bukan saja makhluk yang bersifat fisik atau jasmani saja, namun juga makhluk maknawi, ruhani. Perlindungan manusia itu dengan cara melindungi semua elemen ini, yang juga menempati posisi tujuan primer. 311
312
clxxiv
otak dan pancaindera serta jaringan otot bagi tegaknnya hubungan antara pancaindera dan otak.313 Ketiga,
melindungi
keberagamaan
(hifz
al-tadayyun).
Maksudnya adalah melindungi keberagamaan seseorang dan bukan wujud agama itu sendiri. Berdasarkan pengertian ini tujuan melindungi keberagamaan seseorang ditempatkan setelah melindungi jiwa dan akalnya. Urutan ini berdasarkan tinjauan bahwa pertama-tama yang wajib adalah melindungi jiwa yang menjadikan tegaknya perbuatan manusia, lalu melindungi akal yang menjadikan manusia mendapatkan taklîf, kemudian melindungi keberagamaan. Keempat, melindungi kehormatan (hifz al-`ird).314 Maksudnya adalah menjaga kehormatan manusia dari kemerosotan harga diri dan kemuliaannya, baik dalam diri sendiri, orang tuanya, dan orang yang menjadi
tanggung
jawabnya,
menjaga
tempat
yang
pantas
mendapatkan pujian atau penghargaan dan sebaliknya, yakni mengindarkan caci maki terhadapnya, atau menjaga sesuatu yang layak dibanggakan, berupa pekerjaan dan kedudukan mulia, juga terkadang diartikan untuk menjaga orang tua, nenek moyang, dan 313 Jadi yang dimaksud dengan melindungi akal adalah: a. Melindungi keselamatan otak, panca indera, dan jaringan otot, serta menjauhi sesuatu yang merusaknya, seperti segala yang memabukkan dan membahayakan, serta mengobati penyakit yang menyerangnya baik penyakit psikologi, penyakit jaringan tubuh, dan penyakit akal; b. Melindungi aktivitas akal, berpikir, berekspresi, yang tidak terbatas pada persoalan akidah dan ibadah, namun juga apa yang disebut dalam istilah pendidikan kontemporer sebagai pengajaran fundamental (al-ta`lîm al-asasî) yang merupakan kewajiban individual (fard `ain); c. Demikian juga menjauhi perilaku yang menghantarkan berkurangnya aktivitas akal atau mempengaruhi aktivitas itu, seperti mengikuti hawa nafsu dan taklid buta (al-taqlîd al-a`mâ), debat kusir, dan kesombongan yang menafikan esensi berpikir ilmiah; d. Juga memenuhi bidang yang menjadi objek bersama antara melindungi akal dan melindungi harta, terwujud dalam mencari ilmu pengetahuan dan keahilian khusus untuk memakmurkan bumi, mencari rizki dalam lapangan profesi dan keahilan yang termasuk dalam kewajiban kolektif (fard kifâyah); e. Mendorong anjuran al-Qur’ân agar menjadikan akal sebagai karakteristik naluriah (kamalakah fitriyyah); f. Untuk menguji kemampuan akal melaksanakan tugas luhur, yaitu penaraan ilmiah, penalaran induksi, dan sejarah yang dapat mencapai pada preposisi mayor, maka disyariatkan ibadah akal: berpikir, merenung, berdzikir, meneliti, dan mengambil pelajaran. Bidang ini juga menjadi objek bersama antara melindungi akal dan melindungi agama. `Atiyyah, Nahwa Taf`îl, h. 143-144. 314 Melindungi kehormatan ini oleh para intelektual, seperti al-Qarâfî, al-Tûfî, al-Subkî (w. 771 H.), al-Syaukânî (w. 1250 H.), dimasukkan ke dalam tujuan primer melindungi keturunan (atau nasab menurut sebagian versi).
clxxv
perilaku
yang
mulia.
Pengertian
kehormatan
ini
lebih
luas
dibandingkan pembatasan kehormatan pada dimensi jenis saja, dengan begitu mencakup dimensi sesuatu yang terkait dengan kemuliaan manusia (sebagaimana tesebut dalam bidang sesuatu yang menyempurnakan perlindungan jiwa, dan pembahasan di sini lebih tepat) dan kemuliaan kehidupan privasinya.315 Kelima, melindungi harta. Yang dimaksud harta di sini adalah harta individu, sedangkan harta keluarga dan umat masuk dalam bahasan segmen keluarga, dan segmen umat. Dalam teori Islam bahwa pada dasarnya harta itu milik Allah, sedangkan manusia hanyalah pelaksana harta itu, yang dituntut untuk dipergunakan bagi kesejahteraan dunia. Berdasar-kan pengertian yang pertama bahwa dalam kepemilikan itu ada tugas atau tanggung jawab sosial (wazîfah ijtimâ`iyyah), bukan hak mutlak. Sedangkan berdasarkan pengertian kedua bahwa usaha itu adalah wajib dan bukan mencari rizki an sich, tetapi juga untuk kemakmuran dunia, dan dalam konteks inilah terdapat batasan-batasan tersendiri. Dalam melindungi harta ini telah diberlakukan hukum-hukum khusus terkait usaha dan transaksi untuk peralihan kepemilikan harta, pewarisan, melestarikan sesuatu yang boleh, melestarikan bumi dan sebagainya. b. Segmen Keluarga Bidang ini meliputi antara lain: penataan hubungan antara dua jenis manusia (tahqîq al-`alâqah bain al-jinsain), melindungi keturunan (generasi), realisasi ketenangan, cinta kasih dan rahmat 315 Dalam pengertian ini termasuk juga melindungi kehormatan dari permusuhan agar manusia bisa menjaga dari sesuatu yang merugikan dengan cara-cara yang mudah dilakukan, yaitu berbicara. Dalam konteks ini telah ada nass-nass yang melarang merendahkan kehor-matan manusia dengan menuduh zina, ghibah (gosip) dan lainnya, serta memperberat hukuman terhadap pelanggar nass tersebut, misalnya hukuman khusus terhadap orang yang menuduh zina, dan hukuman ta`zîr terhadap pelanggaran selain menuduh zina.
clxxvi
(tahqîq al-suknâ wa al-mawaddah wa al-rahmah), melindungi garis keturunan (hifz al-nasab), melindungi keagamaan anggota keluarga bagi keharmonisan dan kuatnya ikatan keluarga (hifz al-tadayyun li al-usrah), dan penataan bidang fundamental keluarga (tanzîm aljânib al-mu’assis li al-usrah), serta penataan bidang keuangan keluarga (tanzîm al-jânib al-mâlî li al-usrah).316 Tentang melindungi keturunan (generasi), misalnya, dilakukan dengan pernikahan. Pembentukan keluarga berencana (KB) juga bisa dimaksudkan dalam pengertian ini, namun harus berdasarkan kesepakatan suami isteri. c. Segmen Umat Bidang umat ini meliputi penataan landasan dasar umat; menjamin keamanan, menegakkan keadilan, melindungi agama dan akhlaq, tolong menolong, pertanggungan dan asuransi, penyebaran ilmu dan melindungi kecerdasan atau kreatifitas umat. Segmen umat ini sangat penting dalam menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, terutama dalam negara yang terdiri dari beragam suku, bahasa, dan agama, seperti di Indonesia. d. Segmen Kemanusiaan Bidang kemanusiaan ini meliputi: saling kenal-mengenal, saling tolong menolong dan saling menyempurnakan (ta`âruf, ta`âwun
wa
takâmul);
merealisasikan
kepemimpinan
umum
manusia; realisasi perdamaian dunia yang berpijak pada keadilan (tahqîq al-salâm al-`alâmî al-qâ’im `alâ al-`adl); pelaksanaan tanggung jawab negara bagi HAM (اﻟﺤﻤﺎﻳﺔ اﻟﺪوﻟﻴﺔ ﻟﺤﻘﻮق اﻹﻧﺴﺎن, al-himâyah al-dauliyyah li huqûq al-insân); dan penyebaran dakwah Islam 316
Keterangan lebih lanjut tentang hal di atas lihat `Âtiyyah, Nahwa Taf`îl, h. 148-154.
clxxvii
(nasyr da`wah al-Islâm) yang dilaksanakan secara substantif dan kontekstual. Segmen kemanusiaan ini sifatnya lebih luas, menyeluruh, relevan dengan tuntutan zaman, berupa pemenuhan dan penegakan HAM, tanpa memandang batas-batas agama, budaya, dan negara. Keempat segmen ini didasarkan pada kondisi zaman modern yang berbeda dengan kondisi zaman klasik. Jika pada zaman klasik rumusan maqâsid al-Syarî`ah dibatasi pada al-kulliyyah al-khamsah yang pengertiannya
lebih
pada
perlindungan
jamâ`ah/umat.
Menurut
`Atiyyah, peringkasan maqâsid al-Syarî`ah menjadi al-kulliyyah alkhamsah hanyalah ijtihâd al-Ghazâlî yang ditarik dari hukumanhukuman qisâs dan hudûd yang diterapkan untuk melindungi kelima prinsip ini.317 Artinya, bahwa al-Ghazâlî merumuskan kelima prinsip itu berdasarkan ijtihâd yang tidak terlepas dari konteks ruang dan waktu pada zamannya yang lebih didasarkan pada tekstualitas nass khususnya nass tentang qisas dan hudûd. Rumusan al-Ghazâlî itu pun juga diikuti alSyâtibî, yang meskipun membagi level maslahah darûriyyah itu menjadi `ainiyyah dan kifâ’iyyah, tetapi pemikirannya tetap tidak beranjak dari maqâsid al-jamâ`ah, belum memberikan perluasan pemikirannya pada sisi maqâsid al-fard (tujuan-tujuan atau hak-hak individual). `Atiyyah, dapat dikatakan telah berusaha mengembangkan, memerinci dan mensistimatisasikan maqâsid al-Syarî`ah ke dalam bidang maqâsid al-fard yang ditempatkan dalam segmen individu (majâl al-fard). Untuk memperkuat argumentasinya, ia mengutip Muhammad al-Ghazâlî (ulama kontemporer), bahwa al-kulliyyah al-khamsah mesti ditambah, sebab tidak ada alasan untuk menarik manfaat dari pengalaman umat Islam di abad ke-14 M ini. Oleh karenanya, perlu disandarkan kepada kelima prinsip ini, prinsip kebebasan dan keadilan. Kelima prinsip itu memang niscaya untuk standar-standar bagi
317
`Atiyyah, Nahwa Taf`îl, h. 98.
clxxviii
persoalan-persoalan cabang, tetapi untuk stabilitas negara diniscayakan adanya kebebasan.318 Berdasarkan alasan di atas, dapat dikatakan bahwa `Atiyyah, telah mengembangkan, dalam arti menambah, memperluas, memerinci, dan mensistematisasikan maqâsid al-Syarî`ah al-`ulyâ (tujuan-tujuan utama Syarî`ah) ke dalam empat segmen tersebut. Pengelompokan
keempat
segmen
tersebut
menunjukkan
keberadaan masing-masing hak yang berada dalam segmen dimaksud. Segmen individu menunjukkan keberadaan hak-hak individu. Segmen keluarga menunjukkan keberadaan hak-hak kelompok. Segmen umat menunjukkan hak-hak masyarakat secara lebih luas. Sedangkan segmen kemanusiaan menunjukkan hak-hak kemanusiaan lintas batas agama, budaya, dan negara. Keempat segmen tersebut saling terkait. Segmen individu lebih memperhatikan hak-hak individu, sedangkan segmen keluarga, lebih memperhatikan hubungan individu dalam suatu keluarga. Kedua
segmen
ini
selanjutnya
menopang,
membangun,
dan
memperkokoh segmen umat dalam arti luas bangsa. Artinya dengan terpenuhinya hak-hak individu dan keluarga, maka semakin mudah terwujudnya hak-hak umat. Pada akhirnya dengan terjalinnya ketiga segmen ini segmen kemanusiaan bisa dicapai. Segmen kemanusiaan ini tidaklah terbatas pada batas-batas agama, budaya, dan regional. Selanjutnya dalam konteks untuk menghindarkan terhadap berbagai penafsiran Syarî`ah yang tidak tepat, yang biasanya tercermin dalam bentuk politisasi Syarî`ah, maka promosi maqâsid al-Syarî`ah perlu dilakukan. Penekankan pada maqâsid al-Syarî`ah itu, menurut Walid Saif,
diperlukan bagi pelbagai proyek Islam saat ini, untuk
memproduk sebuah model modern bagi kemajuan dan peradaban yang merefleksikan nilai-nilai universalnya. Ini pada esensinya merupakan proses kesejarahan yang dapat dicapai dengan pencerahan (enlightenment), 318
`Atiyyah, Nahwa Taf`îl, h. 98.
clxxix
partisipasi aktif dalam pelbagai urusan dunia, produksi pengetahuan dan akumulasi kemajuan-kemajuan dalam semua tingkat kehidupan sosial (masyarakat).319 Promosi maqâsid al-Syarî`ah dilakukan di berbagai bidang. Hal ini penting, agar teori atau konsep maqâsid al-Syarî`ah itu dapat memberikan kemaslahatan, kemanfaatannya secara jelas.320 Bidangbidang yang dimaksud antara lain bidang pendidikan, dakwah, politik, dan ekonomi.321 319 Lihat Walid Saif, ”Human Rights and Islamic Revivalism”, dalam Tarik Mitri, ed., Religion, Law and Society: a Cristian-Muslim Discussion (Geneva: WCC Publication, 1995), h. 123. 320 Hal ini, seperti direfleksikan oleh Mâlik Bi al-Nabî, bahwa perlu diperhatikan adanya tiga level yang saling terkait dan jangan sampai dipisah-pisahkan untuk mensinergikan antara gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan dalam berbagai bentuknya termasuk dalam rupa kebijakan-kebijakan praksis-strategisnya. Ketiganya, adalah hubungan antara gagasan-gagasan (pemikiran) dan parameter tindakan (parameters of actions), yang mesti melihat pada tiga level, yakni: pertama, level politik, ideologi dan etika terkait dengan individual; level logika, filsafat dan sains untuk mencapai ide, gagasan atau pemikiran yang segar; dan ketiga, level sosial, ekonomi dan teknik untuk mencapai sasaran atau tujuan kemaslahatan. Lihat Mâlik Bi al-Nabî, The Question of Ideas in the Muslim World, penerjemah Muhammad al-Tahir al-Misâwî (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2003), h.37. 321 Pendidikan perlu diarahkan pada tujuan pencerahan dan bukan doktriner dan dogmatisme. Demikian juga dakwah, bukan dakwah parsial, namun dakwah komprehensif, dakwah inklusif, dan pluralis, dakwah yang memberdayakan umat. Politik pun menjadi politik substansial, dan bukan sekadar prosedural. Demikian juga ekonomi akan menjadi ekonomi yang mensejahterakan masyarakat, bukan mendukung kesenjangan sosial. Lebih lanjut, dakwah, misalnya, yang berdasarkan pemahaman dan wawasan yang luas terhadap maqâsid al-Syarî`ah, dapat selaras dengan tujuan Islam itu sendiri, yaktu rahmatan li al-`âlamîn. Dengan demikian, dakwah bukan berarti amar makruf nahi munkar, dengan memahami teks hadis Nabi riwayat Abû Sa`îd al-Khudzrî secara letterlijk, namun lebih memahaminya dengan berpijak pada maqâsid al-Syarî`ah, mengarah pada tercapainya rahmat, yang tercermin dalam kehidupan harmonis, toleran, terwujudnya perdamaian, dan kesejahteraan. Strategi dakwah berdasarkan maqâsid al-Syarî`ah dapat berwujud dalam bentuk dakwah humanis, inklusif, pluraris dan toleran. Hal ini sebagaimana diajarkan al-Qur’ân, yakni dakwah dilakukan dengan cara bijaksana, dialogis, dan proporsional (Lih. QS. al-Nahl [16]: 125-126). Nahi munkar tersebut sangat terkait dengan kewajiban berdasarkan persyaratan yang ketat. Menurut Mankdim, seorang ulama Mu`tazilah, kewajiban ini bisa dilakukan bila memenuhi empat syarat: pertama, berwawasan hukum (knowledge of law). Kedua, mengetahui fakta terjadinya kemunkaran (knowledge of fact). Ketiga, tidak menimbulkan efek yang buruk (absence of worse side-effects). Keempat, mujarab, manjur (efficacy). Dan kelima, tidak menimbulkan madarat yang lebih besar pada diri pada orang lain (absence of danger to people). Hadis Nabi diriwayatkan oleh Abû Sa`îd al-Khudzrî tentang amar makruf nahi munkar dengan tangan, lidah, dan hati, ditafsirkan secara baik oleh Syaikh `Abd al-Qadir al-Jîlânî alHasanî (470-561 H.). Menurutnya, amar makruf-nahi munkar itu dilakukan sesuai kompetensi (kewenangan) masing-masing. Nahi munkar dengan tangan dilakukan oleh penguasa/aparat berwenang. Nahi mungkar dengan mulut, nasehat bijaksana, dilakukan oleh ulama, intelektual. Sedangkan nahi munkar dengan hati dilakukan oleh orang biasa. Dalam amar makruf nahi munkar ini, al-Jîlânî juga membuat lima syarat, hampir mirip yang dibuat Makhdîm.
clxxx
Dengan demikian, seluruh tindakan yang terkait dengan tanggung jawab individual maupun kolektif memang seharusnya ditempatkan dalam kerangka maqâsid al-Syarî`ah. Karena agama Islam itu bertujuan untuk menebarkan rahmat bagi semesta alam: kemaslahatan manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, ras, warna kulit, suku, bangsa, maupun agama dan keyakinan. 2. Maqâsid al-Syarî`ah Sebagai Paradigma al-Maslahah alMaqsûdah Berdasarkan
maqâsid
al-Syarî`ah
dan
pengembangan
pengertiannya dalam arti penambahan, perluasan, perincian, dan sistematisasi yang telah diuraikan di atas, dapat ditegaskan bahwa maqâsid al-Syarî`ah adalah paradigma al-Maslahah al-Maqsûdah. Maqâsid al-Syarî`ah yang dimaksudkan tersebut adalah maqâsid alSyarî`ah bukan hanya yang memuat lima prinsip universal (al-kulliyyah al-khamsah), namun mencakup prinsip-prinsip yang melandasi kelima prinsip
di
atas,
yaitu
keadilan,
kesetaraan,
kebebasan,
rahmat,
kebijaksanaan, dan kemaslahatan itu sendiri, dalam berbagai aspeknya, baik ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Dalam operasionalisasi al-Maslahah al-Maqsûdah,
maqâsid
al-Syarî`ah
senantiasa
dijadikan
sebagai
paradigma untuk menarik kesimpulan hukum (istinbât/ijtihâd). Atas dasar itulah, penerapan al-Maslahah al-Maqsûdah sebagai metode ijtihâd alternatif kontemporer menjadikan maqâsid al-Syarî`ah sebagai salah satu titik pijaknya. Maqâsid al-Syarî`ah dalam pengertian yang
Demikian juga dengan jihâd harus dilandaskan pada maqâsid al-Syarî`ah. Jihâd teroris maupun kekerasan lainnya tidaklah sejalan dengan tujuan Islam. Jihâd humanislah yang mencerminkan tujuan Islam ini. Lihat lebih lanjut dalam Michael Cook, Forbidding Wrong in Islam (New York: Cambridge University Press, 2003), h. 45-56, Syaikh `Abd al-Qâdir al-Jîlânî alHasanî, al-Ghunyah li Tâlib Tarîq al-Haqq fî al-Akhlâq wa al-Tasawwuf wa al-Âdâb alIslâmiyyah (Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, t.t.), Juz I, h. 50-52.
clxxxi
telah dikembangkan tersebut mempunyai sifat yang saling terkait, dan saling menguatkan antara satu dan lainnya. Pilihan paradigma tersebut didasarkan beberapa alasan, antara lain, karena maqâsid al-Syarî`ah pada dasarnya adalah ”wahyu Tuhan”, yang lebih lanjut diformulasikan oleh para ulama. Dikatakan sebagai ”wahyu Tuhan”, dalam arti ada teks al-Qur’ân yang
langsung
menyebutkan secara eksplisit tentang, misalnya, keadilan, dan kebebasan, maupun secara implisit, seperti persaudaraan.322 Fomulasi maqâsid alSyarî`ah sebagai produk kreatifitas ulama didasarkan pada cita-cita Islam yang tertuang dalam wahyu Tuhan, seperti rahmah (rahmat) sebagai maksud Tuhan dalam mengutus Nabi/Rasul.323 Oleh karena itulah, ia merupakan sesuatu yang ideal, yang berlaku universal. Pada dasarnya prinsip-prinsip, seperti keadilan, kehormatan, perdamaian, dan kemerdekaan diakui oleh semua agama. Dalam konteks sekarang perbudakan, misalnya, berdasarkan prinsip kemerdekaan, dan kehormatan manusia tersebut, tidak diperkenankan lagi. Di samping itu, maqâsid alSyarî`ah itu bersifat ”qat`î”, yang tidak mengalami perubahan, sehingga hukum yang didasarkan padanya bersifat meyakinkan dan dapat mengakomodasi perkembangan zaman. Berdasarkan uraian tersebut, tampak jelas relevansi al-Maslahah al-Maqsûdah dengan maqâsid al-Syarî`ah. Mekanisme kerja alMaslahah al-Maqsûdah senantiasa didasarkan pada maqâsid alSyarî`ah dalam pengertian tersebut. Relevansi ini mengarahkan metode al-Maslahah al-Maqsûdah menjadi salah satu metode ijtihâd alternatif di era kontemporer.
322 323
Misalnya dalam ayat al-Hujurât (49): 13. Lihat QS. al-Anbiyâ’ (21): 107:
☺ Artinya: ”Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
clxxxii
B. Relevansi al-Maslahah al-Maqsûdah dengan Hak Asasi Manusia 1. Hak Asasi Manusia a. Makna, Sejarah dan Kategorisasi HAM Internasional Hak asasi manusia (HAM), dalam bahasa Inggris human rights, adalah hak yang dimiliki seseorang karena dia adalah manusia. Istilah HAM ini mengacu kepada hak-hak yang diakui oleh dan didukung melalui hukum dan lembaga-lembaga internasional. Meskipun hak-hak konstitusional dasar dan HAM internasional keduanya berhubungan dengan jenis yang sama; yang pertama berkaitan dengan klaim-klaim dan atau pemberian hak tersebut dalam konteks sistem perundang-undangan domestik, sementara yang kedua berkaitan dengan klaim-klaim atau pemberian hak dalam konteks sistem hukum internasional.324 HAM dimiliki semua orang secara sama, universal, dan selamanya.325 Konsekuensinya adalah HAM tidak tercabutkan, tidak dapat dikurangi (non-derogable), tidak terbagikan atau terceraikan (indivisible), dan saling bergantung. Maksudnya seseorang tidak dapat kehilangan hak-hak ini kecuali jika ia berhenti sebagai manusia. Demikian juga seseorang itu tidak dapat ditolak memiliki suatu hak karena ”tidak dianggap penting” atau ”tidak esensial”. Selajutnya, HAM itu merupakan bagian yang saling melengkapi dari suatu kerangka kerja. Misalnya, hak seseorang untuk berpartisipasi dalam pemerintahan secara langsung dipengaruhi oleh 324 `Abd Allâh Ahmad al-Na`îm, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law (New York: Syracuse University Press, 1996), h. 161. 325 Preambule UDHR. Definisi HAM juga diberikan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menurut kedua UU ini, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 39/1999 dan UU No. 26/2000.
clxxxiii
haknya untuk menyatakan pendapat, memperoleh pendidikan, dan mendapat kehidupan yang layak.326 Oleh karena itulah, menurut Lily Zakiyah Munir,327 aktivis HAM, sebagai hak yang melekat dengan kodrat manusia, HAM dapat menjadi tolok ukur bersama untuk menilai prestasi kemanusiaan yang perlu dicapai oleh seluruh masyarakat di dunia. Sifat HAM yang universal menimbulkan internasionalisasi HAM. Akibatnya, seringkali batas yuridiksi HAM domestik suatu negara menjadi kabur. HAM juga sering dipandang sebagai hak untuk memperoleh kebebasan, keadilan, dan kedamaian. Jika ini tidak diperoleh seseorang, maka telah terjadi pelanggaran HAM terhadap orang tersebut. Perlindungan dan pensosialisasian HAM menjadi tanggung jawab negara. Bila terjadi pelanggaran HAM di suatu yuridiksi tertentu maka dianggap sebagai masalah dan kompetensi bagi masyarakat internasional, karena universalitas HAM tersebut. Adapun sejarah ringkas lahirnya HAM yang ada sekarang didahului oleh serangkaian dokumen yang lahir sebelum abad ke-20. dokumen itu antara lain Magna Carta (1215)328 di Kerajaan Inggris, yang membatasi kekuasaan absolut raja dan meminta pertanggung jawaban raja di depan hukum. Semangat ini mendorong lahirnya Bill of Rights di Inggris (1689),329 yang mempopulerkan adagium ”equality before the law”. Asas persamaan ini nantinya mendasari 326 Lily Zakiyah Munir, ”Hak Asasi Manusia: Sejarah, Konsep, dan Implementasinya di Indonesia”, makalah disampaikan dalam ”Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat: Kese-hatan adalah Hak Asasi Manusia”, diselenggarakan oleh CePDeS, Jombang, Juli-September 2007, h. 2-3. 327 Munir, Hak Asasi Manusia, h. 1-2 328 Magna Charta terasebut ditandatangani oleh Raja John Lackland, merupakan sejarah awal perjuangan untuk mengukuhkan gagasan HAM. Memang, Magna Charta sendiri saat itu hanya sekedar jaminan perlindungan bagi kaum bangsawan dan Gereja dan belum merupakan perlindungan HAM seperti yang didengungkan saat ini. Namun, dilihat dari segi perjuangannya, momen ini dapat dikatakan sebagai yang pertama dalam sejarah HAM. 329 Lahirnya Bill of Rights yang ditandatangai oleh Raja Wilhem III pada tahun 1689, yang dianggap sebagai kemenangan parlemen atas raja, merupakan awal perjuangan yang nyata seputar HAM. Perkembangan selanjutnya, kemudian lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiranpemikiran John Locke dan Rousseau.
clxxxiv
hak-hak lain seperti kebebasan (freedom), keadilan (justice), dan perdamaian dunia (world peace), seperti tercermin dalam Konsideran Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Right, UDHR) tahun 1948, yang dideklarasikan di Paris. Kelahiran PBB merupakan tonggak sejarah penting bagi perjuangan mencapai HAM. Upaya-upaya di abad ke-19 untuk melarang perdagangan budak dan membatasi perang yang mengerikan merupakan contoh usaha melindungi HAM. Lahirnya Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada tahun 1919 bertujuan memantau perjanjian yang melindungi hak-hak pekerja termasuk kesehatan dan keselamatan mereka. Perhatian untuk hak-hak kaum minoritas dimunculkan oleh Liga Bangsa-Bangsa di akhir Perang Dunia I. Gagasan HAM semakin menguat setelah Perang Dunia II. Pemerintah negara-negara di dunia mendirikan PBB, dengan tujuan utama untuk mendorong perdamaian dunia dan mencegah konflik. Mereka ingin memastikan bahwa tidak seorangpun akan ditolak haknya secara semena-mena untuk hidup, memperoleh kebebasan, makanan, tempat tinggal, dan kebangsaan. Inti dari prinsip-prinsip HAM tercermin dalam Pidato State of the Union Presiden Franklin Delano Rosevelt pada tahun 1941 mengenai empat kebebasan dasar:330 pertama, kebebasan berbicara dan berekspresi (freedom of expression); kedua, bebas untuk menyembah Tuhan dengan caranya sendiri (freedom of faith); ketiga, bebas dari rasa ingin (freedom of wants); bila diterjemahkan berarti pemahaman ekonomi yang menjamin setiap bangsa dapat memberikan kehidupan damai yang sehat bagi setiap penduduknya; dan keempat, bebas dari rasa takut (freedom of fear); bila diterjemahkan berarti penurunan persenjataan di seluruh dunia hingga mencapai tahap di mana tak satupun bangsa berada dalam posisi untuk melakukan tindak agresi fisik kepada tetangganya. 330
Munir, Hak Asasi Manusia, h. 2.
clxxxv
Rumusan HAM yang menjadi standar hingga kini adalah HAM yang dideklarasikan oleh PBB pada 10 Desember 1948 dan dikenal sebagai UDHR (DUHAM]). Deklarasi ini terdiri dari 30 pasal yang pokok-pokoknya sebagai berikut: Pasal 1 dan 2 berisi penegasan tentang kesetaraan semua umat manusia. Pasal 3 hingga 21 menetapkan Hak-hak Sipil Politik (Hak Sipol) sebagai berikut: 1) hak untuk hidup, kemerdekaan, dan keamanan (the right to life, liberty, and security of person, pasal 3); 2) hak kebebasan: bebas dari perbudakan dan kerja paksa (freedom from slavery and servitude, pasal 4); 3) bebas dari penganiayaan, tindakan/perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak berperikemanusiaan atau bersifat merendahkan/menghina (freedom from torture and cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, pasal 5); 4) bebas bergerak (pasal 13), bebas untuk menikah dan membentuk keluarga, tanpa adanya diskriminasi (pasal 16); 5) bebas berpikir, berkeyakinan, dan beragama, (freedom of thought, conscience, and religion, pasal 18); 6) bebas mengeluarkan pendapat (freedom of opinion and expression, pasal 19); 7) bebas berkumpul dan berserikat (pasal 20); dan hak turut andil dalam pemerintahan (pasal 21). Selanjutnya pasal 22 hingga 27 menentukan Hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (Hak Ekosob) yang meliputi antara lain: hak atas jaminan sosial (pasal 22), hak untuk bekerja, dan hak atas upah yang sama (pasal 23), hak atas istirahat dan waktu senggang (pasal 24), hak standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan (pasal 25), hak atas pendidikan (pasal 26), hak atas budaya (pasal 27).331 Setelah DUHAM, langkah selanjutnya adalah merancang dua kovenan internasional tentang HAM, yang merupakan bagian dari
331
Tentang DUHAM ini lihat dalam Lampiran.
clxxxvi
instrumen-instrumen umum HAM:332 tentang hak-hak ekosob dan hak-hak sipol. Ini dimaksudkan agar hak-hak dalam DUHAM menjadi perangkat hukum yang mengikat. Kedua kovenan tersebut adalah Kovenan internasional ekonomi sosial budaya/ekosob (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, disingkat ICESCR), dan Kovenan sipil politik/sipol (International Covenant on Civil and Political Rights, disingkat ICCPR), diadopsi PBB pada tahun 1966, dan keduanya mulai memiliki kekuatan pada tahun 1976. Kedua kovenan ini dan UDHR (DUHAM) disebut International Bill of Rights (UU HAM Internasional). Kedua Kovenan itupun telah disahkan dalam UU RI, yaitu UU No. 11/ 2005,333 dan UU No. 12/2005.334 ICCPR memuat dua puluh empat hak-hak sipol, yang tertuang dalam pasal 1-27.335 Adapun ICESCR, memuat sembilan hak-hak ekosob, yang tersebut dalam pasal 6-15:336 Instrumen-instrumen umum HAM meliputi: a) Piagam PBB 1948; b) DUHAM; c ) ICCPR; d) ICSECR; e) Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang Ditujukan pada Penghapusan Hukuman Mati; f) Kovenan Internasional tentang Hakhak Ekonomi, Sosial dan Budaya; g) Proklamasi Teheran; h) Piagam tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Ekonomi Negara, 3281 (XXIX); i) Resolusi 1503 (XLVIII) Prosedur untuk Menangani Surat Pengaduan tentang Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia; j) Resolusi 1235 (XLII) Pelanggaran HAM dan Kebebasan Dasar, termasuk Kebijakan-kebijakan Diskriminasi Rasial dan Pemisahan Rasial dan Apartheid; k) Piagam Afrika tentang HAM dan Hak-hak Rakyat; l) Deklarasi Amerika tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Manusia; m) Konvensi Amerika tentang HAM; n) Konvensi bagi Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar; dan o) Piagam Sosial Eropa. Lihat http://www.ham.go.id/peraturan_ instrumen.asp diakses pada 28 Januari 2008. 333 UU RI No. 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Social, Economic and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya). 334 UU RI No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik). 335 Pasal-pasal dimaksud sebagai berikut. Pasal 1: Hak bagi perlindungan diri. Pasal 3: Kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Pasal 6: Hak hidup. Pasal7: Bebas dari penyiksaan atau kekejaman, perlakuan tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya. Pasal 8: Bebas dari perbudakan. Pasal 9: Hak kebebasan dan keamanan personal. Pasal 10: Hak memperoleh sistem penahanan yang ramah. Pasal 11: Bebas dari hukuman penjara karena kewajiban kontrak. Pasal 12: Hak untuk memperoleh kemerdekaan bergerak atau memilih tempat tinggal. Pasal 13: Bebas bagi orang asing dari pengusiran yang sewenang-wenang. Pasal 14: Hak memperoleh tatap muka yang adil dan memperoleh hak perlindungan/pembelaan diri. Pasal 15: Bebas dari hukum kriminal yang berlaku surut. Pasal 16: Hak memperoleh pengakuan sebagai orang di depan hukum. Pasal 17: Hak memperoleh kesucian diri. Pasal 18: Hak kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Pasal 19: Hak untuk kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pasal 20: Perlindungan dari propaganda. Pasal 21: Hak memperoleh kebebasan berkumpul (peaceful 332
clxxxvii
Dengan demikian, secara umum di dunia internasional pembidangan HAM mencakup hak-hak sipil dan politik (hak sipol), hak-hak bidang ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob), serta hakhak atas pembangunan. Hak-hak tersebut bersifat individual dan kolektif.337 Hak-hak sipol tersebut sering disebut ”hak asasi generasi pertama.” Ini merupakan hak-hak ”tradisional” yang berkaitan dengan kebebasan dan keadilan bagi setiap orang yang dapat diharapkan dari negara. Hak-hak ini merupakan favorit dari negara-negara Barat, bahkan ada yang beranggapan bahwa inilah satu-satunya HAM yang benar. Selain hak untuk menentukan nasib sendiri, hak-hak sipol ini lebih bersifat individual. Dewasa ini UU HAM internasioal menyediakan saluran untuk menyampai-kan tuntutan agar hak-hak ini terpenuhi.338 Hak-hak ekosob sering disebut ”hak generasi kedua.” Ini adalah hak-hak yang mutlak diperlukan untuk menjaga kehormatan manusia, dan negara harus mengambil tindakan positif untuk memenuhinya. Meskipun mutlak diperlukan untuk kenikmatan dan kehormatan hidup manusia, hak-hak ekosob sering dianggap utopis dan tidak beralasan. Padahal HAM tidak ada artinya bila di dunia ini sebagian manusia hidup dalam kelebihan dan sebagian lain dalam assembly). Pasal 22: Hak kebebasan berserikat. Pasal 23: Hak untuk kawin dan membangun keluarga. Pasal 24: Hak-hak anak. Pasal 25: Hak-hak politik. Pasal 26: Hak memperoleh kesetaraan di depan hukum. Pasal 27: Hak-hak bagi minoritas etnis, keagamaan, atau kebahasaan. Lihat dalam Baderin, International Human Rights, h. 49. 336 Pasal-pasal dimaksud sebagai berikut. Pasal 6: Hak memperoleh pekerjaan. Pasal 7: Hak memperoleh syarat-syarat pekerjaan yang adil dan baik. Pasal 8: Hak-hak serikat buruh. Pasal 9: Hak memperoleh keamanan sosial dan perlindungan sosial. Pasal 10: Hak-hak keluarga. Pasal 11: Hak memperoleh standar hidup yang layak. Pasal 12: Hak memperoleh standar pelayanan terbaik bagi kesehatan fisik dan mental. Pasal 13-14: Hak memperoleh pendidikan. Pasal 15: Hak memperoleh kehidupan kebudayaan dan kemanfaatan dari kemajuan-kemajuan sains. Lihat dalam Mashood A. Baderin, International Human Rights and Islamic Law (New York: Oxford University Press, 2003), h. 117. 337 Lihat http://www.ham.go.id/spt_subtansi.asp?menu=02 diakses pada tanggal 28 Januari 2008. 338 Lihat dalam Baderin, International Human Rights, h. 21.
clxxxviii
kekurangan. Sementara mereka yang kelebihan tidak merasa berkewajiban membantu mereka yang miskin. Keadilan dan hukum internasional mengharuskan negara kaya berbagi kekayaannya yang berlimpah
dengan
berjuta-juta
manusia
yang
kelaparan
dan
kekurangan gizi di seluruh dunia.339 Pembagian HAM menjadi generasi pertama dan kedua tersebut bisa disalahartikan (misleading), seolah-olah hak-hak ekosob tidak penting dan merupakan kelas dua. Karena itu banyak ahli menolak istilah ini. Promosi hak-hak sipol yang gencar dalam sistem hukum internasional demi alasan politis dan ideologis bukan berarti bahwa hak-hak ekosob kalah penting.340 Selain hak-hak generasi pertama dan kedua, ada hak-hak generasi ketiga, yang merupakan hak-hak kolektif, bukan individual. Ini mencakup hak solidaritas antar manusia, yang lahir atas dasar persaudaraan
antar
manusia.
pembangunan
(development),
Hak hak
atas atas
perkembangan kedamaian,
hak
atau atas
lingkungan yang sehat dan seimbang, hak memperoleh perumahan yang layak, hak memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai, merupakan bagian dari hak generasi ketiga ini.341 HAM
internasional
tersebut
sifatnya
adalah
universal.
Meskipun demikian standar universalitas HAM dan persoalan pemberlakuannya masih diperdebatkan.342 Hal ini karena adanya perbedaan kultur, khususnya agama, di mana setiap tradisi mempunyai sumber-sumbernya sendiri sebagai acuan kebenaran ajaran dan norma-normanya. Sungguhpun demikian, hal itu tidak berarti bahwa tidak ada standar yang universal dan mengikat, atau bahwa usaha-usaha penerapannya harus ditinggalkan. Posisi yang Lihat dalam Baderin, International Human Rights, h. 21-22. Lihat dalam Baderin, International Human Rights, h. 22. 341 Lihat dalam Baderin, International Human Rights, h. 22-23, dan http://www.ham. go. id/spt_subtansi.asp?menu=02 diakses pada tanggal 28 Januari 2008. 342 al-Na`im, Toward and Islamic Reformulation, h. 162. 339
340
clxxxix
dipegangi adalah bahwa tetap ada standar-standar universal tertentu yang mengikat berdasarkan hukum internasional, dan setiap usaha harus diupayakan untuk dapat memberlakukannya. Karena itulah, prinsip menghormati dan melindungi HAM digambarkan sebagai jus cogens, yakni semacam prinsip dasar hukum internasional yang tak boleh dilanggar oleh suatu negara. Penghormatan dan perlindungan HAM adalah benar secara prinsip.343 Dalam konteks itulah, menurut al-Na`îm, universalitas HAM dapat ditopang dengan suatu prinsip umum yang dimiliki semua tradisi besar, jika dipahami dengan cara yang tercerahkan. Prinsip dimaksud adalah prinsip timbal-balik (reciprocity), yaitu prinsip yang menyatakan bahwa seseorang harus memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin diperlakukan.344 Dengan demikian, standar-standar universalitas HAM adalah standar-standar yang diterima oleh berbagai macam tradisi budaya karena menyangkut harkat dan martabat seluruh umat manusia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama. 345 Pada intinya, HAM itu terletak pada keadilan,346 sebagaimana tersebut dalam Pancasila. HAM yang ada pada pembukaan UUD 1945, telah mendahului HAM Internasional. Menurut Sulastomo,347 para pendiri bangsa Indonesia, yang merumuskan Pembukaan UUD 1945, adalah kumpulan orang bijak, intelektual, pejuang yang paripurna. Mereka adalah the greatest generation dari bangsa ini. Menurutnya, falsafah dan pemikiran mereka tentang HAM, dan demokrasi, al-Na`im, Toward and Islamic Reformulation, h. 162. al-Na`im, Toward and Islamic Reformulation, h. 162-165. 345 al-Na`im, Toward and Islamic Reformulation, h. 164. 346 Persoalan keadilan ini, pada dasarnya, merupakan penghargaan pada nilai dan martabat manusia. Ini disebabkan karena manusia dinilai dari nilai kemanusiaannya yang tentu saja bermakna memanusiakan manusia. Itu pula sebabnya dalam konsep keadilan setidaktidaknya mengandung pengertian seperti persamaan, keseimbangan, dan pemberian hak kepada orang yang memang berhak untuk menerimanya. 347 Sulastomo, ”Quo Vadis” Demokrasi Kita?”, artikel diakses pada 28 Januari 2008 dari http://www.kompascetak. com/kompas-cetak/0712/14/nasional/4079683.htm 343
344
cxc
melampaui
pemikiran
Barat.
Para
pendiri
bangsa
itu
telah
menyatakan bahwa ”kemerdekaan adalah hak segala bangsa” ketika dunia Barat masih sebagai penjajah banyak negara berkembang. Para pendiri bangsa ini juga telah menyampaikan pesan ”perikemanusiaan yang adil dan beradab”, mendahului Piagam HAM PBB (1948). Dengan demikian, HAM, yang mencakup hak sipol, ekosop, dan hak pembangunan tersebut, menjadi salah satu acuan yang penting dalam kehidupan, baik kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa, maupun bernegara. Hal ini karena sifat universalitas HAM, terutama pada prinsip perhormatan dan perlindungan HAM tersebut, yang tidak boleh dilanggar oleh suatu negara pun. b. Makna, Prinsip-prinsip, dan Deklarasi HAM dalam Islam Dalam bahasa Arab HAM diterjemahkan sebagai huqûq alinsân atau huqûq al-âdamiyyîn,348 secara literal adalah hak-hak manusia
atau
hak-hak
keturunan
Adam.
Istilah
HAM
dan
formulasinya baru populer di dunia Islam pada awal ke-20. Secara esensial HAM ini sudah diakui oleh Islam sejak awal,349 sebagaimana yang tertuang dalam Konstitusi Madinah. Hal ini disebabkan karena pada umumnya ajaran agama lebih menekankan kewajiban daripada hak. Hak akan muncul dengan sendirinya jika seseorang telah memenuhi kewajibannya. Dalam konteks itulah, para ulama klasik telah memformulasikan istilah al-umûr al-darûriyyah (kebutuhan manusia) dan al-umûr al-hâjiyyah (kepentingan manusia), yang harus dipenuhi dan dipertahankan dalam kehidupan manusia,
Istilah huqûq al-âdamiyyîn, misalnya digunakan oleh Abû al-Fadl, Guru Besar Hukum Islam di UCLA Amerika Serikat. Abû al-Fadl, Speaking in God’s Name, h. 301. 349 Lihat Maskuri Abdillah, ”Theological Responses to the Concepts of Democracy and Human Rights: the Case of Contemporary Indonesian Muslim Intellectual”, dalam Studi Islamika, Vol. 3, No. 1, 1996, h. 24. 348
cxci
sebagaimana telah diuraikan di atas. Istilah-istilah ini serupa dengan konsep HAM dewasa ini.350 Kata haqq (jamak: huqûq) tersebut sebetulnya merupakan kata yang bermakna ganda, karena ia dapat berarti ”benar” (sawwâb, vrai/true) sebagai lawan dari ”salah” (bâtil, faux/wrong).351 Kata haqq juga berarti al-yaqîn, ”keyakinan setelah keraguan”, 352 dan kata al-haqq juga dipakai untuk menyebut Allah. Dalam wacana Arab kata haqq berkaitan dengan kata wâjib. Ada relasi yang tidak dapat dipisahkan antara hak dan kewajiban. Apa yang merupakan hak seseorang merupakan teman dari apa yang wajib baginya. Ketika kedua sisi saling memasuki dalam hak-kewajiban, maka kewajiban seseorang merupakan hak bagi yang lain. Karena itulah, dalam tradisi Islam, HAM harus diarahkan pada ”kewajiban”. Dari sinilah muncul dua kategori hak. Hak-hak Allah (huqûq Allâh), misalnya, merupakan kewajiban bagi manusia untuk tunduk dan beribadah kepadaNya. Demikian pula HAM adalah kewajiban-kewajiban bagi manusia untuk melakukan ”pemuliaan”. Dapat dikatakan bahwa HAM dalam Islam adalah semua urusan materiil dan maknawi yang wajib atas seseorang karena Tuhan memuliakannya dan melebihkannya atas semua makhluk lainnya. Atas dasar keseimbangan antara hak dan kewajiban itulah, secara jelas hak itu berbeda dengan ”semau gue” atau kebebasan tanpa batas. Seseorang yang melakukan sesuatu tanpa batas-batas atau norma-norma agama tertentu, maka sebenarnya ia telah terjebak dalam
perangkap
”kebebasan”
yang
menafikan
derajat
dan
Oleh karena itu, perkataan Alasdair MacIntyre, sebagaimana dikutip Masykuri Abdillah, bahwa gagasan tentang hak tidak dapat ditemukan dalam setiap masyarakat, yang didukung oleh kenyataan tidak adanya pernyataan dalam bahasa zaman kuno atau zaman pertengahan yang secara tepat dapat diterjemahkan dengan ”hak” hingga hampir akhir abad pertengahan, tidak dapat diterima. Dikutip dalam Abdillah, ”Theological Responses”, h. 25. 351 Lihat al-Sayyid al-Syarîf Abî al-Hasan `Alî ibn Muhammad ibn `Alî al-Husainî alHanafî al-Jurjânî, al-Ta`rîfât, edisi ke-2 (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2003), h. 94. 352 Lihat al-Munjîd, h. 144. 350
cxcii
kehormatan atau kemuliaan dirinya. Dengan mengatakan ”semau gue” berarti ia tidak mengerti atau tidak menyadari makna hak dan kewajiban.353 Dengan demikian, dalam wacana Islam, ada dua macam hak, yaitu hak Allah dan hak manusia. Hak Allah, lebih mudah didefinisikan, sebagai sesuatu yang merupakan hak masyarakat dan ditentukan hukumnya untuk kemaslahatan umum, bukan untuk kemaslahatan seseorang secara khusus. Adanya hak Allah itu termasuk dari tatanan umum, dan tidak dimaksudkan untuk kemanfaatan individu tertentu, yang dihubungkan kepada Tuhan seluruh manusia.354 Misalnya ibadah-ibadah mahdah, seperti shalat, pusa, zakat, dan haji, dan segala ibadah yang dibangun di atas keimanan dan Islam, semuanya dan asas-asasnya itu dimaksudkan untuk menegakkan agama yang merupakan keniscayaan bagi tatanan masyarakat, dan hikmah disyariatkannya setiap ibadah di atas di antaranya adalah untuk maslahah `âmmah, bukan maslahah mukallaf saja. Sedangkan huqûq al-`ibâd, adalah hak individu atas individu lain, yang pelanggaran terhadapnya tidak akan diampuni kecuali jika pihak yang dirugikan telah memberikan maaf.355 Semua kategorisasi Achmad `Aly MD, ”Antara Hak dan Semau Gue”, dalam Harian Merdeka, 18 Maret 2004. `Abd al-Wahhâb Khallâf, `Ilm Usûl al-Fiqh, edisi ke-3 (Singapura: al-Haramain, 2004), h. 211. Abû al-Fadl memberikan definisi hak Tuhan atas manusia, --dibedakan dengan huqûq al-`ibâd, sebagai hak yang pelanggaran terhadapnya bisa atau tidak bisa diampuni. Abû alFadl, Speaking in God’s Name, h. 301. Maksud bisa atau tidak bisa diampuni tersebut adalah bahwa pengampunan dan tidaknya itu bergantung pada rahmat dan kebijaksanaan Tuhan. Misalnya, orang yang meninggalkan shalat fardu, ia berarti melanggar hak Allah, ia bisa diampuni oleh pengampunan-Nya, yang berdasarkan rahmat-Nya, permohonan ampunan terhadap pelanggaran hak tersebut. Sedangkan orang yang berbuat syirik terhadapNya, berdasarkan tekstual ayat al-Qur’ân, tidak akan diampuni olehNya. 355 Abû al-Fadl, Speaking in God’s Name, h. 301. Dari dua macam hak di atas, yakni hakhak Allah dan HAM dilihat dari segi tingkat prioritas yang didahulukan di antara keduanya dibedakan menjadi tiga macam: yang sepadan kualitasnya; yang berbeda; dan yang masih diperselisihkan antara tingkat persamaan dan perbedaannya. Jenis pertama, yakni yang sepadan tingkat perioritasnya ada beberapa macam, yaitu bidang hak-hak Allah yang berbeda tingkat prioritasnya; yang sama prioritasnya; dan yang masih diperselisihkan tingkat prioritasnya. Demikian juga bidang HAM, antara HAM yang satu dengan HAM yang lainnya. Misalnya tentang 353
354
cxciii
hak di atas dibangun dalam kerangka maqâsid al-Syarî`ah, mengenai kemaslahatan darûriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât. HAM dalam Islam tersebut setidaknya berpijak pada tujuh prinsip dasar atau pilar, yaitu kebebasan (al-hurriyyah, freedom),356 kebenaran (al-haqq), persamaan (al-musâwah, equality), kehormatan (al-karâmah, dignity), keadilan (al-`adl, al-`adâlah, justice),357 persaudaraan (al-ukhuwwah), dan moralitas (al-akhlâq).358 Prinsipprinsip ini, meminjam istilah Taha, merupakan pesan kedua Islam (alrisâlah al-tsâniyyah min al-Islâm, the second message of Islâm), yang bersifat permanen, terkandung dalam ayat-ayat Makkiyah, yang jenis HAM yang diperioritaskan daripada hak-hak Allah sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada manusia di dunia, terjadi ketika ada pertentangan antara keduanya, antara lain dalam kasusberikut. Mengucapkan kata-kata kekufuran ketika dalam keterpaksaan, tujuannya untuk melindungi jiwa dan anggota tubuh manusia agar, dalam keadaan ini, dapat terpelihara eksistensi dan kemualiannya, dapat melaksanakan tugas-tugasnya melaksanakan ketaatan dan ibadah. Meninggalkan shalat dan puasa dan semua hak Allah yang wajib segera dilaksanakan karena adanya pemaksaan yang membahayakan dirinya. Mengakhirkan puasa ketika dalam keadaan sakit dan bepergian (safar). Adapun mengenai jenis hak yang masih diperselisihkan mana yang diperioritaskan antara keduanya, adalah dalam kasus, misalnya, ketika seseorang meninggal dunia masih mempunyai beban hutang dan zakat. Dalam kasus ini jika nisab zakat masih ada (terpenuhi) maka didahulukan pembayaran zakat itu, karena ketergantungan zakat pada nisab serupa dengan ketergantungan hutang pada pinjaman; namun jika nisab zakat itu menjadi tidak terpenuhi, maka dalam hal ini terjadi ikhtilâf: beberapa ulama berpendapat hutang itu harus didahulukan daripada membayar zakat karena melihat kemaslahatan dalam hak manusia itu lebih kuat --dibandingkan kemaslahatan Tuhan. Namun sebagian ulama berpendapat zakat itu harus didahulukan karena memandang kemaslahatan dalam hak Allah. Lihat Ibn `Abd al-Salâm, Qawâ`id al-Ahkâm, h. 117-118. 356 Prinsip al-hurriyah, misalnya, pada ayat al-Qur’ân yang menerangkan tentang kebebasan beragama, bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk agama (QS. al-Baqarah [2]: 256). Sebab pada dasarnya Islam itu membawa petunjuk kebenaran yang dapat dilaksanakan dengan baik jika berdasarkan kesadaran diri (taslîm, ikhtiyâr), bukan karena pemaksaan atau keterpaksaan (ikrâh, ijbâr). Menurut Taha, --sebagaimana telah disebutkan di muka,-- prinsip kebebasan dalam Islam ini adalah mutlak. Lihat Taha, al-Risâlah al-Tsâniyyah, h. 39; The Second Message, h. 64-65. 357 Selanjutnya ketika kebebasan itu telah terwujud, maka orang-orang yang telah merdeka memerlukan standar untuk mengukur hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mesti dipenuhi. Atas dasar inilah Islam dan agama-agama samawi sebelumnya sangat meneguhkan penegakan keadilan. Prinsip keadilan ini disebutkan, misalnya, dalam al-Quran surat al-Hadîd (57): 25: ”...agar manusia dapat melaksanakan keadilan”. Islam telah menggariskan kaidahkaidah sosial, perekonomian, dan politik sebagai metode manusia untuk mencapai keadilan. 358 Bandingkan dengan Hamdân Wildatâh, yang menetapkan empat prinsip/pilar HAM dalam Islam, yakni al-hurriyyah, al-haqq, al-`adâlah, dan al-akhlâq. Lihat Hamdân Wildatâh, Huqûq al-Insân wa al-Tanmiyyah, dalam Râbitah al-`Alâm al-Islâmî, Nadwah Huqûq al-Insân fî al-Islâm: `Arad Wisâ’iqî, (Makah: Râbitah al-`Alâm al-Islâmî, t.t.), h. 153. Lihat pula Chandra Muzaffar, ”Islam and Shared Universal Values in a Globalising World”, artikel diakses pada 22 Oktober 2007 dari http://www.inwent.org/ef-texte/cultures/muzaffar.htm
cxciv
tepat diterapkan pada abad XX-an ini, menggantikan pesan pertama Islam yang lebih bersifat temporer, seperti ketentuan-ketentuan hukum Islam abad VII hijrah.359 Berdasarkan beberapa nilai dan prinsip Islam di atas, menurut Abû al-A`lâ al-Maudûdî,360 hak-hak dasar (basic human rights) atau HAM dalam Islam mencakup delapan macam: 1) Hak hidup (the right to life);361 2) Perhatian pada kesucian perempuan (respect for the chastity of women);362 3). Hak mendapatkan keselamatan hidup (the right to the safety of life);363 4) Hak mendapatkan standar hidup dasar (the right to a basic standard of life);364 5) Hak kesederajatan/ persamaan (equality of human beings);365 6) Hak memperoleh keadilan (the right to justice);366 7) Hak kebebasan individu (individual’s right to freedom), karenanya perbudakan dihapuskan. Hak keberagamaan termasuk dalam hak kebebasan ini; dan 8) Hak berkumpul dan tidak berkumpul (the right to co-operate and not to co-operate).367
Lihat Taha, al-Risâlah al-Tsâniyyah, h. 39; The Second Message, h. 64-65. Lihat Abû al-A`lâ al-Maudûdî, ”Human Right in Islam”, artikel diakses pada 22 Oktober 2007 dari http:/www.witness-pioner.org/vil/Books/M_hri/index.htm 361 Hak hidup ini merupakan hak yang paling alami dan utama. Dasarnya adalah firman Allah yang melarang pembunuhan manusia (QS. al-Nisâ [4]:29, dan al-Mâ’idah [5]: 32.), kecuali dengan proses hukum yang sah (QS. al-An`âm [6]:151). Islam memperhatikan hak hidup ini sejak awal munculnya ruh dalam kandungan. Karena itu, Syarî`ah melarang untuk membunuhnya, dan siapa saja yang membunuhnya akan mendapatkan balasan material yang setimpal (qisas/diyyat). 362 Dasarnya adalah QS. al-Isrâ’ (17): 32 yang melarang berbuat zina. 363 Berdasarkan QS. al-Nisâ’ (4): 89-90 tentang melindungi diri dari orang-orang kafir yang menyerang Islam. 364 Berdasarkan QS. al-Dzâriyyât [51]: 19, mengenai hak ekonomi, bahwa di dalam harta orang-orang kaya ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. 365 Hak ini didasarkan pada prinsip persamaan yang ditegaskan Allah dalam al-Quran mengenai asal penciptaan, bahwa manusia itu sederajat. (QS. al-Hujûrât [49]: 13). Prinsip persamaan manusia adalah syarat wajib untuk menegakkan keadilan yang al-Qur’ân jadikan sebagai tujuan kenabian. Prinsip kesederajatan ini pertama kali dideklarasikan Nabi di waktu hajj al-wadâ’ (haji perpisahan). 366 Berdasarkan perintah agar menegakkan keadilan kepada siapapun tanpa pandang bulu (QS. al-Nisâ’ [4]:135, dan 58, al-Mâ’idah [5]: 8, dan al-Hadîd [57]: 25). 367 Berdasarkan QS. al-Mâ’idah (5) ayat 2 tentang perintah saling tolong-menolong dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan larangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. 359
360
cxcv
Selain hak-hak dasar di atas Islam juga mencakup hak-hak publik, yakni hak-hak warga negara, dan hak-hak musuh dalam peperangan. Hak-hak warga negara (rights of citizens), di antaranya:368 1) Hak keamanan hidup dan harta milik (the security of life and property);369 2) Pemeliharaan kehormatan diri;370 3) Kesucian dan keamanan kehidupan pribadi (the sanctity and security of private life);371 4) Keamanan kebebasan personal, dalam arti mendapatkan keamanan dalam penyelesaian perkara di pengadilan;372 5) Hak melakukan perlawanan terhadap kezaliman (the right to protest against tyranny); 6) Kebebasan berekspresi (freedom of expression);373 7) Kebebasan berserikat (freedom of association);374 8) Kebebasan memeluk agama dan berkeyakinan (freedom of conscience and conviction);375
9)
Memelihara
sentimen-sentimen
keagamaan
368 Menurut al-Maudûdî ada 11 macam. Lihat al-Maûdûdî, ”Human Right in Islam”, dalam www.witness-pioneer.org. 369 Hak ini berdasarkan, misalnya, larangan membunuh seorang mukmin dengan sengaja, dan adanya ancaman yang besar terhadap hal ini, yaitu Jahannam, kekal di dalamnya, mendapat murka, dan kutukan Allah, serta azab yang besar (QS. al-Nisâ’[4]: 93). Dan larangan memakan harta orang lain dengan jalan yang batil, dan larangan membawa (urusan) harta itu kepada hakim, untuk tujuan agar dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan dosa, yang dilakukan dengan sengaja (QS. al-Baqarah [2]: 188). 370 Berdasarkan QS. al-Isrâ’ (17): 70 tentang Tuhan telah memuliakan anak keturunan Adam (manusia), dan al-Hujurât (49): 11 tentang larangan mengolok-olok orang lain. 371 Berdasarkan QS. al-Hujurât (49): 12 tentang larangan mencari-cari keburukan dan menggunjingkan orang lain, dan QS. al-Nûr (24): 27 tentang larangan masuk rumah tanpa izin dan perintah memberi salam kepada si penghuninya. 372 Berdasarkan, misalnya, QS. al-Nisâ (4): 58 tentang perintah untuk memutuskan hukum secara adil. 373 Berdasarkan, misalnya, QS. al-Taubah (9): 71 tentang kebebasan berekspresi dalam mendakwahkan yang makruf atau kebaikan/kebajikan, dan mencegah kemungkaran. Konsep kebebasan berekspresi lebih tinggi dibandingkan dengan konsep Barat. Kebebasan berekspresi untuk mempromosikan (dakwah) kebajikan dan kebenaran bukan hanya sebagai hak bahkan sebagai kewajiban dalam Islam. Lihat al-Maûdûdî, ”Human Right in Islam”. 374 Dasarnya, antara lain, QS Ali `Imrân (3) ayat 110 dan 104 tentang umat Islam sebagai umat terbaik yang punya tanggung jawab kolektif, atau perwakilan untuk menyeru kebajikan dan kebenaran. Hak berserikat, membentuk partai dan organisasi ini dimaksudkan untuk memenuhi tanggung jawab itu: mengajak kebajikan dan kebenaran dan bukan untuk menyebarkan keburukan dan kejahatan. Lihat al-Maûdûdî, ”Human Right in Islam”. 375 Berdasarkan QS. al-Baqarah (2) ayat 256 bahwa tidak ada paksaan dalam agama (pluralisme).
cxcvi
(protection of religious sentiments);376 10) Hak kebutuhan-kebutuhan dasar hidup (the right to basic necessities of life);377 11) Hak kesetaraan (kesamaan, al-musâwah) di hadapan hukum (equality before law); 12) Penguasa tidak di atas hukum (rules not above the law);378 13) Hak menjauhi dosa (the right to avoid sin);379 dan 14) Hak berpartisipasi dalam urusan-urusan negara (the right to particiapte in the affairs of state).380 al-Maudûdi menyebutkan 15 hak warga negara di atas, beserta klasifikasnya ke dalam hak dasar dan hak warga negara di negara Islam. Hak-hak yang dimaksud al-Maudûdî di atas, merupakan perincian terhadap al-kulliyyah al-khamsah. Akan tetapi, sayangnya, justru hak memperoleh pendidikan/pengajaran (haqq al-tarbiyyah wa al-ta`lîm) tidak disebutkan ke dalam dua bagian di atas. Padahal hak ini sangat penting, termasuk ke dalam hifz al-`aql. Mungkin saja hal ini terlewatkan dalam tulisannya (sabq al-qalam). Adapun hak-hak musuh dalam peperangan meliputi hak-hak orang-orang yang berperang, dan hak-hak orang-orang yang tidak berperang dari negeri musuh. Untuk yang pertama, seperti, hak tidak boleh dibakar, memelihara orang yang terluka, larangan merusak lingkungan, dan ketentuan-ketentuan perang lainnya. Yang kedua, Berdasarkan QS. al-An`âm (6): 108 tentang larangan memaki sesembahan orang lain, juga QS. al-`Ankâbût (29): 46 tentang larangan berdebat dengan Ahli Kitab kecuali dengan caracara yang baik. 377 Berdasarkan QS. al-Dzâriyyât (51): 19, mengenai hak ekonomi, bahwa di dalam harta orang-orang harta ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. Di sinilah tanggung jawab negara bagi kesejahteran masyarakat. 378 Berdasarkan, misalnya, hadis Nabi, ”…jika Fatimah putri Muhammad mencuri pastilah aku sendiri yang akan memotong tangannya”. Hadis ini ditakhrijkan oleh Bukhârî dan Muslim dari `Âisyah r.a. Sahîh al-Bukhârî, hadis No. 3288, Juz III, h. 1282, 4053, Juz IV, 1566; 6405, 6406, Juz VI, h. 2491, Sahîh Muslim, hadis No. 1688, Juz III, h. 1315.. 379 Berdasarkan misalnya, hadis Nabi diriwayatkan al-Tabrânî, bahwa ”tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Sang Khâliq”. al-Tabrânî dari `Imrân bin Husain, hadis No. 381, dalam al-Tabrânî, al-Mu`jam al-Kabîr, Juz XVIII, h. 170. 380 Berdasakan QS. al-Nûr (24): 55 mengenai orang-orang beriman dan beramal shaleh dipilih menjadi khalifah (pemimpin), dan QS. al-Syûrâ (42): 38 mengenai musyawarah dalam berbagai persoalan. Dalam hal ini warga negara punya hak ikut andil dalam urusan-urusan negara. 376
cxcvii
seperti larangan membunuh perempuan, anak-anak, orang tua, orang yang lemah, dan sebagainya.381 Dengan demikian, HAM Islam bersifat komprehensif, bahkan Islam melebihi beragam konvensi dan deklarasi HAM internasional. Islam lebih dari sekedar HAM, karena al-Qur’ân, misalnya, memperhatikan seputar tanggung jawab manusia, hubungan manusia dan peran manusia.382 HAM Islam yang telah diuraikan di atas, kemudian pada tanggal 14 Muharram 1411 H./5 Agustus 1990 dideklarasikan oleh negaranegara Muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Deklrasi HAM Islam itu dinamakan The Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI).383 Sebelum Deklarasi HAM Islam Kairo ini telah ada deklarasi HAM Islam yang dirumuskan oleh para intelektual Muslim di Paris pada tahun 1981.384 HAM dalam Islam yang dituangkan dalam CDHRI tersebut kemudian menjadi standar HAM Islam hasil kodifikasi masa kini yang telah diterima oleh Negara-negara Muslim.385 Deklarasi HAM Kairo ini memuat 25 pasal yang mencakup hakhak individu (sipil), politik (sipol),386 ekonomi, sosial, dan budaya
Dasarnya adalah hadis Nabi riwayat Ahmad ibn Hanbal tentang larangan membunuh kelompok ini. Lihat al-Maûdûdî, ”Human Right in Islam”. 382 Pendapat tentang komprehensifitas HAM Islam, misalnya, lihat Chandra Muzaffar, ”Islam and Human Rifght”, artikel diakses pada 22 Oktober 2007 dari http://www.justinternational. orgarticle_print.cfm?newsID=20000240 383 Imran Ahsan Nyazee, ”Islamic Law and Human Rights”, dalam Islamabad Law Review, Faculty of Syarî`ah & Law International Islamic University Islamabad, Vol 1 No. 1 & 2, (2003), h. 36-37, dan Abdillah, ”Theological Responses”, h. 25. 384 Lihat ”Universal Islamic Declaration of Human Rights,” Islamic Council of Europe, dalam AG. Nourani, Islam & Jihad: Prejudice Versus Reality, (London: Zed Books, 2002), h. 133-144. 385 Lihat Baderin, International Human Rights, h. 48. 386 Hak-hak sipil dan politik dalam Deklarasi HAM Kairo antara lain: a. Hak persamaan dalam martabat manusia, kewajiban dan tanggung jawab dasar (pasal 1). b. Hak hidup yang merupakan pemberian Tuhan (pasal 2). c. Hak mendapatkan keamanan, hak perlindungan nama baik dan kehormatan (pasal 4). d. Hak persamaan antara wanita dan laki-laki dalam hak dan kewajiban, hak perlindungan nama baik dan keturunannya (pasal 6). e. Hak persamaan di depan hukum (pasal 19). f. Hak menyatakan pendapat secara bebas sejauh tidak bertentangan dengan Syarî`ah Islam (pasal 22). 381
cxcviii
(ekosob).387 Dalam deklarasi ini terdapat klausul yang menyatakan bahwa semua hak dan kebebasan yang terdapat dalam deklarasi ini merupakan subyek Syarî`ah Islam (pasal 24), yang secara tepat disebutkan sebagai satu-satunya sumber rujukan untuk menjelaskan atau klarifikasi setiap pasal dalam deklarasi (pasal 25). Beragam hak-hak politik tersebut dirumuskan oleh para juris dan filosof Muslim dengan berlandaskan al-Qur’ân.388 Mereka menyatakan bahwa ”setiap individu dan setiap orang mempunyai hak kebebasan dalam semua bentuk yang tidak (dapat) dicabut –fisik, kultur,
ekonomi
dan
politik--
dan
harus
ditegaskan
untuk
diperjuangkan dengan segala cara yang tepat melawan terhadap setiap pelanggaran atau penghapusan hak; dan setiap individu atau orang yang tertekan memiliki klaim yang diakui untuk mendukung individuindividu yang lain dan/atau orang-orang dalam setiap perjuangan”. Lebih khusus, Islam menyatakan secara eksplisit bahwa ”merupakan hak dan kewajiban setiap Muslim untuk memprotes dan bekerja keras (dalam batasan-batasan hukum –Syarî`ah) melawan penekanan sekalipun menghadapi tantangan otoritas tertinggi dalam negara.”389 Dalam bidang sosial dan ekonomi, deklarasi ini mencakup berbagai hak fundamental, tetapi dalam bidang politik tidak menyebutkan berbagai hak politik yang sebenarnya fundamental, 387 Hak-hak sosial dan ekonomi mencakup antara lain: a. Hak memperoleh pendidikan (pasal 9). b. Hak untuk bekerja (pasal 13). c. Hak mendapatkan penghasilan secara sah (pasal 14). d. Hak untuk memiliki kekayaan (pasal 15). e. Hak untuk memenuhi kebutuhan hidup yang memadai, dan hak kesehatan (pasal 17). f. Hak untuk hidup aman bagi diri seseorang, agama, tanggungan, kehormatan, dan hartanya (pasal 18), dan sebagainya. 388 Muzaffar, ”Islam and Human Rifght”, dalam http://www.just-international. org. 389 Lihat bagian X poin (c) ”Universal Islamic Declaration of Human Rights,” Islamic Council of Europe, dalam AG. Nourani, Islam & Jihad, h. 137. Mengenai hak kebebasan tersebut, misalnya hak kebebasan memeluk agama dan beribadah, disebutkan dalam pasal 10, bahwa ”Islam adalah agama yang murni. Dilarang melakukan pemaksaan apa pun kepada manusia atau mengeksploitasi kemiskinan atau kebodohan untuk menariknya kepada agama lain atau atheisme.” Secara jelas deklarasi ini berpijak di atas nilai-nilai dan prinsip-prinsip al-Qur’ân dan Sunnah tentang tidak ada paksaan dalam beragama. Adapun prinsip-prinsip Islam yang dijadikan landasan Deklarasi ini disebutkan dalam bagian pendahuluan Deklarasi HAM Islam Kairo. Lihat ’The Cairo Declaration on Human Rights in Islam”, dalam Lampiran 3, atau dalam Baderin, International Human Rights, h. 237.
cxcix
misalnya hak untuk berkumpul, padahal sebenarnya didukung oleh Islam.390 Hal ini, menurut Masykuri Abdillah, mungkin karena sebagian besar, jika tidak yang terbesar, negara-negara Muslim yang menandatangani deklarasi ini belum sepenuhnya menjamin hak-hak politik warga negara.391 c. Respons Kaum Muslim terhadap HAM Internasional Halliday, sebagaimana dikutip Baderin,392 mengidentifikasi paling tidak ada empat respons kaum Muslim terhadap HAM internasional. Pertama, Islam sesuai dengan HAM internasional. Kedua, HAM yang sebenarnya hanya dapat direalisasikan di bawah Islam. Ketiga, tujuan HAM internasional merupakan agenda imperialis yang harus ditolak. Keempat, Islam tidak sesuai dengan HAM internasional. Ada respons kelima yang tidak disebut oleh Halliday, yaitu bahwa tujuan HAM internasional memiliki agenda anti agama yang tersembunyi. Jika dilihat secara kritis, berbagai respons ini merupakan reaksi kaum Muslim terhadap apa yang sering disebut sebagai standar ganda dari negara-negara yang mengaku sebagai kampiun HAM. Respons ini menyiratkan bahwa HAM seringkali terjebak antara misi kemanusiaan dan politik internasional, dan bukan sikap kaum Muslim yang tidak setuju dengan konsep HAM dalam hukum Islam.393 Mengenai respons yang pertama di atas, para intelektual Muslim Indonesia, misalnya, mendukung seluruh hak-hak yang ditetapkan dalam Deklarasi HAM Internasional, meskipun pendapat mereka berbeda-beda. Ali Yafie, misalnya, menyatakan, bahwa hak-
Lihat Abdillah, ”Theological Responses”, h. 25. Lihat Abdillah, ”Theological Responses”, h. 25. 392 Baderin, International Human Rights, h. 13-16. 393 Baderin, International Human Rights, h. 13-16. 390 391
cc
hak dalam HAM internasional itu sebenarnya termasuk di antara darûriyyah dan hâjiyyah.394 Pandangan pertama bahwa Islam selaras dengan HAM inilah yang memang cocok dengan prinsip-prinsip hukum Islam (maqâsid al-Syarî`ah). Ini bukan semata-mata pandangan yang apologetik dengan mencocokkan HAM Internasional dengan prinsip-prinsip Islam. Sumber dan metode hukum Islam memuat prinsip-prinsip umum tentang pemerintahan yang baik dan kesejahteraan manusia yang mengabsahkan cita-cita HAM internasional modern. Perhatian pada keadilan, perlindungan jiwa dan kehormatan, misalnya, adalah prinsip-prinsip utama yang inheren dalam Syarî`ah yang tidak diperdebatkan lagi.395 Salah satu prinsip dalam HAM Internasional itu adalah prinsip persamaan. Terhadap prinsip persamaan ini, para intelektual Muslim Indonesia, misalnya, mendukung persamaan sebagai karakter alamiah (fitrah), malaupun terdapat perbedaan konsepnya. Nurcholish Madjid, misalnya, menekankan persamaan itu dalam wilayah etik dan politik, sedangkan Amien Rais dan Thahir Azhary menekankan persamaan hukum (persamaan di muka hukum).396 Lebih lanjut prinsip persamaan itu, menurut para intelektual Muslim Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari prinsip keadilan. Mereka menganggap keadilan sebagai nilai-nilai Islam yang paling
Ali Yafie, Pesantren, h. 6-7. Baderin, International Human Rights, h. 13. 396 Masalah penting yang lain tentang persamaan dalam Islam adalah isu ”tentang kedudukan antara laki-laki dan perempuan yang tidak sama”. Mengenai kedudukan wanita, ada beragam pendapat intelektual Muslim Indonesia, yang dapat digolongkan menjadi dua kategori: pertama, mereka yang setuju untuk menafsirkan kembali status wanita sesuai dengan perubahan sosial dan budaya untuk merealisasikan persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan wanita. Kategori ini, misalnya diwakili oleh Munawwir Sjadzali, dan Abdurrahman Wahid. Kedua, mereka yang masih menyetujui apa yang telah ditentukan secara eksplisit oleh al-Qur’ân dan hadîts, dan berusaha menjelaskannya secara rasional. Yang termasuk dalam kategori kedua ini, seperti, Amien Rais, dan Azhar Basyir. Lebih lanjut lihat Abdillah, ”Theological Responses”, h. 20-22, 30-33. 394 395
cci
penting dalam kehidupan fundamental.397 Berdasarkan perspektif maqâsid al-Syarî`ah, prinsip persamaan dan keadilan merupakan prinsip mendasar dan menjadi tujuan utama Syarî`ah, yang harus diwujudkan demi tercapainya kemaslahatan manusia. d. Sekilas Komparasi HAM Internasional dan HAM Islam HAM universal (HAM Internasional) jika dibandingkan dengan HAM Islam dalam Deklarasi Kairo itu terdapat intersection (titik pertemuan) yang nyaris sempurna. Hanya Islam lebih bersifat protektif terhadap wanita sesuai dengan kodratnya. Yang berbeda adalah dalam praktik penekanan hak-hak itu. Kalau negara-negara liberal
lebih
memberikan
prioritas
pada
hak-hak
individual,
sedangkan negara-negara Sosialis lebih memberikan prioritas pada hak-hak kolektif, maka Islam menjaga keseimbangan antara hak individual dan hak kolektif.398 Menjaga keseimbangan antara hak individual dan hak kolektif ini didasarkan bahwa dalam Islam, hak-hak dan kewajiban-kewajiban, larangan-larangan dan perintah-perintah semuanya bersifat agama. Sepintas lalu nampak bahwa hubungan timbal balik harus tegas karena hukum yang diwahyukan itu berlaku untuk segala keadaan. Tetapi hukum Islam melihat dari segi individual dan kolektif, dalam dua konsep yang tidak berbeda akan tetapi serupa. Di sinilah gerak keseimbangan antara hak perseorangan (huqûq al-fard) dengan keharusan sesuatu untuk kebaikan masyarakat selalu ada meskipun nampak dari segi yang khusus dalam Islam, dan harus mendapatkan keseimbangan dengan jalan memperlakukan hukum yang diwahyukan secara tepat.399 Hukum yang dibelakukan secara tepat ini tentu Lebih lanjut lihat Abdillah, ”Theological Responses”, h. 20-22. Lihat lihat Abdillah, ”Theological Responses”, h. 27. 399 Marcel A. Boisard, Humanism in Islam (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2003), h. 66. 397
398
ccii
dengan dilandaskan pada prinsip-prinsip ajaran Islam sebagaimana dirumuskan dalam maqâsid al-Syarî`ah. Adanya beberapa kesamaan antara HAM dalam Islam dengan HAM internasional dalam kenyataannya diletakkan di atas kerangka berpikir yang berbeda. HAM Islam diletakkan di atas kesadaran penuh akan perintah Allah. Inilah yang terpenting, dan manusia mematuhi semua perintah-Nya, termasuk perintah yang berkaitan dengan penghormatan terhadap HAM dan saling tolong menolong. HAM Barat, sebaliknya, secara umum, memandang manusia sebagai pusat dan ukuran dari segalanya. Manusia sebagai individu adalah titik tolak dari semua pemikiran dan perbuatan HAM.400 Secara umum, dapat ditegaskan di sini, bahwa HAM di negaranegara Barat dipandang sebagai produk liberalisme Barat, yang mendukung nilai-nilai, seperti kebebasan (freedom), kemerdekaan (liberty), individualisme, dan toleransi. Tetapi, di banyak negara Muslim, liberalisme Barat dipandang sebagai sesuatu yang begitu permissif dan selaras dengan kerusakan nilai-nilai moral masyarakat, seperti yang dijabarkan dalam Syarî`ah. Bagaimanapun juga, mengakui liberalisme dan HAM sebagai penekanan kemerdekaan dan kebebasan total individual untuk melakukan apa saja yang dia inginkan, adalah salah, karena bertentangan dengan pondasi dasar politik dan otoritas legal.401 Di bawah hukum Islam otoritas politik mempunyai kewajiban bukan hanya kepada rakyat tetapi juga kepada Tuhan untuk melanggar kebebasan dan kemerdekaan terhadap ketentuan tanpa justifikasi (pembenaran). Prinsip pembenaran (the justificatory principle) mendapatkan dukungan dari fakta yang terdapat dalam alQur’ân, ketentuan justifikasi itu biasanya erat hubungannya dengan
400 401
Munir, ”Hak Asasi Manusia”, h. 5-6. Lihat Baderin, International Human Rights, h. 44-46.
cciii
larangan yang terkait dengan interaksi manusia (mu`âmalât). Parameter justifikasi dalam hukum Islam tersebut terdapat dalam alQur’ân sendiri.402 Perbedaan HAM dalam Islam dan HAM Internasional dapat diringkas dalam tabel berikut:403
N
H
H
O
A
A
.
M
M
I
d
n
a
t
l
e
a
r
m
n a
I
s
s
i
l
o
a
n
m
a l .1
B
B e
e
Baderin, International Human Rights, h. 44-46. Dimodifikasi dari Ahmad Kosasih, dengan diberi penambahan pada poin terakhir. Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam: Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), h. 40, dan Abdillah, tentang kritiknya terhadap HAM Islam Kairo. 402 403
cciv
r
r
s
s
u
u
m
m
b
b
e
e
r
r
p
p
a
a
d
d
a
a
p
a
e
j
m
a
i
r
k
a
i
n
r a
a
n
l -
f
Q
i
u
l
r
o
’
s
â
o
n
f
ccv
i
d
s
a n
s e
S
m
u
a
n
t
n
a
a h
.2
B
B
ccvi
e
e
r
r
s
s
i
i
f
f
a
a
t
t
a
t
n
e
t
o
r
s
o
e
p
n
o
t
s
r
e
i
n
k
t r i k .3
S
L e
e
b
i
i
m
h
b a
m
n
e
g
m e
a
n
n
t
t
i
a
n
r
g
a
k a
h
n
a k
h a
d
k
a n
d a
ccvii
k
r
e
i
w a
k
j
e
i
w
b
a
a
j
n
i b a n .4
L
L e
e
b
b
i
i
h
h
b
m
e
e
r
m
s
p
i
e
f
r
a
h
t
a t
ccviii
i
i
n
k
d
a
i
n
v i
k
d
e
u
p
a
e
l
n t i n g a n s o s i a l
.5
M
M
ccix
a
a
n
n
u
u
s
s
i
i
a
a
p
d
e
i
m
t
i
i
l
t
i
i
k
p i
p e
h
n
a
u
k
h d h
a
a
s
k
a r
d a
o
s
l
a
e
r
h
. T u h a n
ccx
, k a r e n a i t u w a j i b m e n s y u k u r i
ccxi
d a n m e n j a g a .6
H
H a
a
k
k
P
p
o
o
l
l
i
i
t
t
i
i
k
k
d
d
i
a
p
l
e
a
r
m
h
ccxii
a
H
t
A
i
M
k a
I
n
s l a m K a i r o b e l u m d i p e r h a
ccxiii
t i k a n ; n a m u n d a l a m I s l a m d i p e r
ccxiv
h a t i k a n
Tabel 3: Komparasi HAM Islam dan HAM Internasional
2.
Hak Asasi Manusia sebagai Acuan al-Maslahah al-Maqsûdah HAM yang telah diuraikan di atas yang secara umum meliputi hak-hak sipol, hak-hak ekosob, dan hak-hak pembangunan, yang merupakan hak-hak individual dan kolektif, sangat sejalan dengan konsep maqâsid al-Syarî`ah. Keduanya (HAM dan maqâsid alSyarî`ah) saling berkaitan secara erat, bahkan di antaranya integral. Secara sederhana maqâsid al-Syarî`ah, pada dasarnya, sebagai kerangka awal dan kerangka umum bagi HAM Islam, sedangkan HAM Internasional merupakan rumusan lanjutan yang lebih sistematis dan spesifik, dan telah dideklarasikan seperti dalam Deklarasi HAM Islam Kairo dan Paris. Ada beberapa alasan yang menjadikan HAM sebagai acuan alMaslahah al-Maqsûdah. Pertama, HAM internasional telah diakui dan diterima oleh negara-negara di dunia ini. Ini merupakan salah satu bentuk konsensus dunia modern. Realitas inilah yang menjadikan HAM tersebut punya posisi yang sangat penting di dunia. Kedua, universalitas HAM menjadikannya harus dilaksanakan, secara konsekuen, dalam setiap sendi kehidupan. Ketiga, pada dasarnya, ada
ccxv
keselarasan antara HAM dengan maqâsid al-Syarî`ah, di mana yang kedua menjadi inspirasi HAM. Alasan-alasan di atas menunjukkan relevansi HAM dengan alMaslahah
al-Maqsûdah.
Relevansi
HAM
menjadikan
dirinya
dijadikan sebagai salah satu pertimbangan atau acuan bagi metode alMaslahah al-Maqsûdah. Berdasarkan pemikiran di atas, tampak jelas adanya relevansi antara metode al-Maslahah dengan HAM. Dengan kerangka pikir inilah, implementasi metode metode al-Maslahah lebih berorientasi pada pemenuhan HAM. Berdasarkan uraian terdahulu, tampak jelas adanya relevansi maqâsid al-Syarî`ah dan HAM dengan metode al-Maslahah alMaqsûdah. Maqâsid al-Syarî`ah lebih berarti sebagai spirit atau nilai ideal yang dimaksudkan Tuhan dalam wahyu-Nya, sehingga meskipun telah diformulasikan oleh para ulama, sehingga menjadi produk manusia yang bersifat religius-transendental. Adapun HAM lebih merupakan produk akal manusia, yang lebih bersifat antroposentris. Dengan demikian, terjadi keseimbangan (equiblirum, balance) antara maqâsid al-Syarî`ah dan HAM. Atas dasar inilah, keduanya menjadi relevan dijadikan sebagai paradigma al-Maslahah al-Maqsûdah. Relevansi al-Maslahah al-Maqsûdah dengan maqâsid alSyarî`ah dan HAM Internasional menjadi semakin jelas ketika diimplementasikan ke dalam masalah-masalah hukum kontemporer. Implementasi al-Maslahah al-Maqsûdah tersebut menggunakan penerapan yang seimbang antara hak-hak individu, yang lebih ditekankan dalam HAM Internasional, dan hak-hak kolektif yang lebih ditekankan dalam maqâsid al-Syarî`ah atau HAM Islam. Demikian ini akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya (Bab IV).
ccxvi
BAB IV IMPLEMENTASI METODE AL-MASLAHAH AL-MAQSÛDAH DALAM MENGHADAPI MASALAH-MASALAH HUKUM KONTEMPORER
Metode al-Maslahah al-Maqsûdah, sebagimana telah disebutkan dalam bagian terdahulu, dapat diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan terkait dengan aspek hukum, baik bidang hukum ibadah, maupun muamalah, yang meliputi perdata, dan pidana. Masalah-masalah hukum yang masih kontroversial dikaji di sini dengan metode al-Maslahah al-Maqsûdah. Dalam bidang hukum ibadah dikaji zakat include dalam pajak, zakat perusahaan, dan zakat perkebunan. Sedangkan dalam bidang hukum perdata yang dikaji perkawinan beda agama, dan warisan beda agama. Adapun dalam masalah yang terakhir, bidang hukum pidana, dikaji eksekusi hukum potong tangan bagi terpidana korupsi, eksekusi mati bagi tindak pidana terorisme, dan eksekusi mati bagi pelaku tindak pidana kejahatan narkotika.
A. Bidang Hukum Ibadah
1. Zakat Include dalam Pajak Zakat secara lughawî berarti berkembang dan bertambah. Sedangkan zakat menurut syara`, pengertian secara sederhana, adalah haqq yang wajib (dikeluarkan) dalam harta.404 Pengertian zakat menurut terminologi, secara lebih luas, banyak dikemukakan dalam berbagai mazhab, misalnya menurut Hanafiyyah, zakat adalah memberikan milik terhadap sebagian dan dari harta yang tertentu kepada seseorang yang tertentu pula (mustahiqq al-zakâh), yang ditentukan Syâri` karena (mencari rida) Allah. Definisi yang sederhana dikemukakan Syâfi`iyyah, bahwa zakat adalah nama bagi sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau jiwa menurut 404
ccxvii
Zakat include dalam pajak405 merupakan persoalan yang masih kontroversi. Kontroversi ini timbul lantaran pemahaman umum yang berkembang selama ini, bahwa zakat adalah kewajiban yang berdasarkan agama, sedangkan pajak adalah kewajiban yang berdasarkan keduniawian (kelembagaan). Zakat dipandang sebagai kewajiban agama ini didasarkan pada ayat dan hadis yang berisi perintah zakat, di samping adanya penjelasan hadis terhadap ukuran dan nisabnya. Atas dasar itulah, kewajiban zakat ini telah diketahui secara pasti dari agama (ma`lûm min al-dîn bi al-darûrah), yang didasarkan pada al-Qur’ân, Sunnah Rasul dan Ijmâ` ummat. Zakat merupakan salah satu rukun dari lima rukun Islam.406 Adapun pajak merupakan kebijakan penguasa (pemerintah), yang menurut al-Qur’ân juga harus ditaati.407 Ayat tentang zakat yang dimaksud, misalnya...ﺰآَﺎ َة اﻟ ﱠ
َوءَا ُﺗ ْﻮا...
”...dan tunaikanlah oleh kalian zakat” (QS. al-Baqarah [2]: 43). Adapun Sunnah Rasul yang dimaksud, misalnya, adalah hadis tentang ”Islam dibangun atas lima fondasi, ...menunaikan zakat”. (Muttafaq `Alaih)408
jalan yang ditentukan. Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu: al-Syâmil li alAdillah al-Syar`iyyah wa al-Ârâ’ al-Mazhabiyyah wa Ahammi al-Nazariyyât al-Fiqhiyyah wa Tahqîq al-Ahâdîts al-Nabawiyyah wa Takhrîjihâ Mulhiqân Fahrasah Alfabâ’iyyah Syâmilah li al-Maudû`ât wa al-Masâ’il al-Fiqhiyyah, cet. ke-4 (Suriah: Dâr al-Fikr, 1989), Juz II, h. 730-731. 405 Terdapat beberapa definisi pajak. Achyar Rusli mengutip definisi yang dibuat Rochmat Sumitro dan Ray M. Sommerfeld. Menurut Sumitro, ”Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Sedangkan menurut Sommerfeld, ”Pajak adalah perpindahan harta, sumber ekonomis dari sektor swasta kepada sektor pemerintah. Perpindahan itu bukan karena denda atau hukuman namun dapat dipaksakan, aturannya telah ditetapkan terlebih dahulu tanpa imbalan khusus bagi yang membayar, gunanya untuk mencapai tujuan negara dalam bidang ekonomi dan sosial”. Berdasarkan kedua definisi di atas, dapat dijabarkan lima unsur yang menjadi ciri pajak: 1) iuran rakyat atau keikutsertaan masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional; 2) harus disetor ke Kas Negara; 3) berdasarkan UU (dapat dipaksakan). Lihat Achyar Rusli, Zakat=Pajak: Kajian Hermeneutik terhadap Ayat-ayat Zakat dalam al-Qur’ân (Jakarta: Renada, 2005), h. 63. 406 `Abd al-Rahmân al-Jazîrî, al-Fiqh `alâ Madzâhib al-Arba`ah (T.Tp.: Dâr al-Bayân al`Arabî, 2005), Juz I, h. 476, dan al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî, Juz II, h. 733. 407 Lihat QS. al-Nisâ’ (4): 59, tentang perintah mentaati Allah, mentaati Rasul-Nya, dan ûli al- amr (pemimpin/pemerintah). 408 Berikut redaksi lengkap al-Bukhârî:
ccxviii
Dalam sejarahnya, zakat difardukan (diwajibkan) di Madinah pada bulan Syawal tahun kedua hijriyah, setelah diwajibkannya puasa Ramadan dan zakat fitrah.409 Menurut ijmâ` kewajiban zakat ini tidak berlaku pada para Nabi, karena zakat itu menjadi pembersih terhadap orang yang berdosa, dan para Nabi dibersihkan (diampuni) dari dosa.410 Dalam konsep Islam, pada dasarnya pajak (jizyah)411 tidaklah dikenakan pada orang Islam, tetapi dikenakan pada nonIslam. Oleh karena itulah, ketika suatu negara menarik pajak dari orang Islam, jelas mereka menanggung beban ganda, pajak dan zakat sekaligus. Oleh karena itu muncul masalah, mana yang harus dilaksanakan umat Islam, apakah pajak ataukah zakat? Zakat berdasarkan nass yang jelas, sedangkan pajak berdasarkan kebijakan pemimpin (pemerintah) sebagai penanggung jawab negara yang juga harus ditaati. Kontroversi pemikiran agar zakat dimasukkan ke dalam pajak memang wajar, karena jelas-jelas ada ketentuan normatif, berupa ayat
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﻴﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻣﻮﺳﻰ ﻗﺎل أﺧﺒﺮﻧﺎ ﺣﻨﻈﻠﺔ ﺑﻦ أﺑﻲ ﺳﻔﻴﺎن ﻋﻦ ﻋﻜﺮﻣﺔ ﺑﻦ ﺧﺎﻟﺪ ﻋﻦ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎل ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺑﻨﻲ اﻹﺳﻼم ﻋﻠﻰ ﺧﻤﺲ ﺷﻬﺎدة أن ﻻ إﻟﻪ إﻻ اﷲ وأن ﻣﺤﻤﺪا رﺳﻮل اﷲ .وإﻗﺎم اﻟﺼﻼة وإﻳﺘﺎء اﻟﺰآﺎة واﻟﺤﺞ وﺻﻮم رﻣﻀﺎن al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, hadis No. 8, Juz I, h. 12. 409 al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî, Juz II, h. 733. 410 al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî, Juz II, h. 733. 411 Jizyah secara umum, dan pada dasarnya, adalah suatu bagian kekayaan yang diambil dari dan sebagai kewajian orang-orang non-Muslim sebagai bentuk kompensasi atas perlindungan negara terhadap musuh di dalam maupun dari luar wilayah pemerintahan Islam. Secara khusus jizyah ada beberapa macam. Ibnu Rusyd menamakan jizyah untuk segala macam pajak. Menurutnya jizyah diklasifikasikan menjadi tiga macam: pertama, jizyah `unwiyyah, yaitu pajak yang dibebankan kepada kafir harbi setelah kalah perang, yang dalam istilah Rasyîd Ridâ disebut darâ’ib. Kedua, jizyah sulhiyyah, yaitu pajak yang dikeluarkan oleh kafir harbi sebagai tanda bentuk damai dengan kaum Muslim. Ketiga, jizyah `usyriyyah, yaitu pajak yang dikeluarkan oleh seluruh warga di bawah pemerintahan Islam yang terdiri dari kaum Muslim, kâfir dzimmî dan ahl al-harbi. Disebut `usyriyyah karena ia wajib dikeluarkan 10 % bagi kâfir harbî sebagai jaminan keamanan bagi mereka; 5 % (nisf al-`usyr, 1/10) bagi dzimmî, dan 2,5 % bagi kaum Muslim, yang disebut al-Syaukânî dengan al-kharrâj. Dengan kata lain, kharâj adalah bagian dari kekayaan yang dikeluarkan oleh setiap penduduk, baik Muslim maupun non-Muslim, yang tunduk di bawah kekuasaan pemerintahan Islam, bagi yang memiliki tanah pertanian dan perkebunan. Lihat Ibnu Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid, Juz I, h. 296-297. Pajak tanah yang dikenakan oleh para sahabat, sepeninggal Nabi s.a.w. pada orang Islam ini dasarnya bukanlah nass, tetapi maslahah mursalah. Lihat `Abd al-Wahhâb Khallâf, `Ilm Usûl al-Fiqh, edisi ke-3 (Singapura: al-Haramain, 2004), h. 85-86, Muhammad Hâsyim Kamâli, Principles of Islamic Jurisprudence, reprint (Cambridge: Islamic Texts Society, 1991), h. 267.
ccxix
dan hadis yang menegaskan tentang kewajiban zakat. Landasan pemikiran penyatuan zakat dalam pajak tersebut adalah agar umat Islam tidak terkena beban ganda (doble duty), yaitu membayar pajak, dan membayar zakat. Dalam perkembangan selanjutnya, di Indonesia, maksud agar umat Islam tidak terkena beban ganda kemudian diadopsi ke dalam UU tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, meskipun tidak secara utuh. Maksudnya, UU ini hanya menegaskan bahwa zakat merupakan pengurang dari beban kena pajak. Beban dasar kena pajak dihitung setelah dikenakan zakat. Dengan kata lain, zakat belum include dalam pajak, yang implikasinya, umat Islam, sama sekali masih menanggung beban ganda: membayar pajak dan membayar zakat. Penghilangan beban ganda, dalam arti zakat masih sebagai pengurang harta kena pajak, yang tertuang dalam UU tersebut, tidak terlepaskan dari pemikiran para intelektual Muslim Indonesia, seperti Masdar F. Mas’udi, dan Sjaichul Hadi Permono.412 Menurut Masdar, ajaran zakat bukanlah ajaran untuk kepentingan umat Islam saja, melainkan ajaran untuk kemaslahatan dan keadilan semesta (rahmatan li al-`âlamîn). Inti ajaran zakat yang mutlak, universal, dan tidak berubah adalah: (1) siapa pun yang memiliki kelebihan harta maka ia harus menginfaqkan sebagian harta (rizki) yang diterimanya; (2) harta (rizki) yang diinfaqkan oleh atau dipungut dari yang mampu itu harus ditasarufkan untuk kemaslahatan seluruh anggota masyarakat, dengan memperioritaskan mereka yang lemah.413 Selama ini, zakat dipahami secara terpisah dari lembaga pajak, yang implikasinya adalah suatu bentuk pemisahan negara dari agama. Pemisahan ini menyebabkan umat Islam menanggung beban yang sangat berat karena harus melaksanakan dua kewajiban, yaitu menunaikan zakat sebagai kewajiban agama, dan membayar pajak sebagai kewajiban warga Guru Besar IAIN Sunan Ampel Surabaya. Masdar F. Mas’udi, ”Zakat dan Pajak: Jawaban Masdar Farid Mas’udi untuk Kiai Kholil Bisri Rembang”, Aula No. 7, Agustus (1992), h. 70-71. 412 413
ccxx
negara. Akibatnya, kewajiban mengeluarkan zakat selalu terkalahkan oleh keharusan membayar pajak. Relasi antara ”zakat” sebagai konsep keagamaan (keruhanian), di satu sisi, dan ”pajak” sebagai konsep keduniawian (kelembagaan), di sisi yang lain, sama sekali bukanlah dualisme yang dikotomis, melainkan hubungan keesaan wujud yang dialektis. Zakat bukanlah suatu yang harus dipisahkan, diparalelkan, dan apalagi dipertentangkan dengan ”pajak”, melainkan ia justeru harus disatukan sebagaimana disatukannya ruh dengan badan, atau jiwa dengan raga. ”Zakat” merasuk ke dalam ”pajak” sebagai badan atau raga. Oleh karena itu, menurut Masdar, pertanyaan yang menyangkut operasionalisasi dan ketentuan tersebut adalah pertanyaan yang hanya relevan untuk pengaturan pajak, bukan zakat. Zakat adalah soal niat, soal motivasi, soal komitmen spiritual-moral yang ada pada pribadi-pribadi beriman selaku rakyat yang membayarkan pajak.414 Berdasarkan keimanannya itu, orang bukan saja merasa berkewajiban membayar pajak pada atau melalui negara, akan tetapi ia juga berhak mentransendentasikan pembayaran pajaknya itu sebagai penunaian
zakat.415
Pembayaran
pajak
dengan
niat
zakat
akan
menumbuhkan kesadaran bahwa pajak yang dibayarkan itu bukan sebagai persembahan atau pembayaran utang kepada negara, melainkan kewajiban yang harus ditunaikan karena Allah s.w.t., sesuai dengan perintah-Nya. Ikrar batiniah ini dapat menjadikan pembayaran pajak ini bersifat duniawi namun bernilai ukhrawi, dan sekaligus memberikan efek pembebasan dari kungkungan atau belenggu negara.416 Berdasarkan konsep ini, maka pesan zakat sebagai konsep keruhanian dan pajak sebagai konsep lembaga menjadi jelas dengan dua
Masdar F. Mas’udi, ”Kembalikan Konsep Zakat-Pajak pada Tempatnya”, Aula, No. 5, Juni, (1992), h. 79. 415 Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (Jakarta: P3M, 1991), h. 119. 416 Mas’udi, ”Kembalikan Konsep Zakat-Pajak”, h. 78. 414
ccxxi
hal:417 Pertama, terkait dengan rakyat yang membayarnya, maka pajak seharusnya dibayar bukan semata-mata tekanan dari luar, melainkan atas kesadaran yang dalam untuk menegakkan kesucian. Inilah yang merupakan pesan transendental; kedua, terkait dengan pihak negara yang mengelola seharusnya dana pajak yang terhimpun dari masyarakat bukan digunakan
semata-mata
untuk
memperkuat
negara,
melainkan
mentasyarufkan/mendistribusikan pajak itu untuk kepentingan seluruh rakyat yang dimulai dari yang paling lemah, baik secara ekonomi, politik dan budaya. Inilah pesan transformasi, bersifat antroposentris. Dalam konteks Indonesia, memang telah terdapat UU No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, khususnya pasal 9 yang menjadikan zakat sebagai pengurang atas penghasilan yang kena pajak.418 Sungguhpun UU ini telah menjadikan zakat sebagai pengurang harta kena pajak, yang dimaksudkan agar tidak terjadi beban ganda atas umat Islam, namun UU ini pun belum menjadikan zakat sebagai bagian yang integral dengan pajak. Zakat dan pajak masing-masing berdiri sendiri. Kewajiban ganda di sini masih ada, yaitu kewajiban membayar zakat pada satu sisi, dan kewajiban membayar pajak sekaligus, pada sisi yang lain. Jadi, dalam UU zakat dan pajak, zakat hanyalah pengurang dari harta kena pajak. Dengan demikian, dalam perundang-undangan tersebut masih terdapat beban ganda yang dipikul orang Islam. Beban ganda ini terasa besar dan berat, ketika dilihat dari tarif pajak, dan zakat. Sebagai misal, secara sederhana, untuk Pph (pajak penghasilan) bagi pembuat akta tanah, notaris dan pekerjaan bebas bidang konsultan, terkena tarif pajak Mas’udi, Agama Keadilan, h. 118. Pasal 9 UU tersebut berbunyi sebagai: ”Bahwa untuk menentukan besarnya penghasilan kekayaan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, tidak boleh dikurangkan oleh harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan dan warisan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 3 huruf a dan huruf b, kecuali atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan pemerintah”. Lihat UU No. 17/ 2000 dalam http://www.indonesia.go.id. 417
418
ccxxii
perhitungan 55 %, untuk wilayah 10 kota propinsi di Indonesia. Sedangkan tarif zakat profesi konsultan adalah 2,5 %. Misalnya dalam tahun 2008 penghasilan brutonya Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dalam hal ini, ia akan terkena pajak dan zakat sebesar Rp. 6.430.000,00 (enam juta empat ratus tigapuluh ribu rupiah). Sedangkan jika membayar pajak saja, tanpa zakat, maka sebesar Rp.4.180.000,00 (empat juta seratus delapan puluh ribu rupiah). Jadi ada selisih Rp.2.250.000,00 (dua juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) antara orang yang membayar pajak plus zakat, dengan orang yang membayar pajak saja. 419 Dalam menghadapi problematika di atas, metode al-maslahah almaqsûdah dapat diperankan. Dalam konteks inilah ayat yang menjadi landasan utama kewajiban zakat harus dipandang sebagai ”tekstur terbuka”. Berdasarkan penalaran untuk menghindarkan beban ganda, yang merupakan salah satu tujuan hukum (maqâsid al-Syarî`ah), yakni tidak mempermudah dan tidak memberatkan (al-taisîr wa raf` al-haraj), 419 Perhitungan demikian, sebagai berikut: Tarif penghitungan 55 % x Rp.100.000.000,00 Zakat: 2,5 % x Rp.100.000.000,00 Penghasilan neto setelah zakat PTKP, penghasilan tidak kena pajak (TK/0)
: : : :
Rp. 55.000.000,00 Rp. 2.500.000,00 Rp. 52.500.000,00 Rp. 13.200.000,00 -
PKP
:
Rp.39.300.000,00
Pph orang pribadi 10 % x Rp.39.300.000,00
:
10 % x Rp.41.800.000
:
Rp. 3.930.000,00 setelah kena zakat Rp. 4.180.000,tanpa zakat
Pajak + zakat
:
Total pajak dan zakat
:
Selisih antara yang membayar zakat dengan yang membayar pajak saja
:
(Penghasilan kena pajak)
Rp. 3.930.000,00 Rp. 2.500.000,00 + Rp. 6.430.000,00
Rp. 4.180.000,00 Rp. 2.250.000,00 Tentang penghitungan pajak dan zakat, lebih lanjut, misalnya lihat Gustian Djuanda, ed.al., Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan (Jakarta: RajaGravindo Persada, 2006), h.172-174, 201-203, 225-227.
ccxxiii
maka zakat dapat include dalam pajak. Orang yang membayar pajak dapat dianggap sudah membayar zakat sekaligus. Atas dasar ini, hak individu menjadi lebih diperhatikan. Dalam konteks inilah, distribusi pajak juga harus memuat sasaran atau bidang yang menerima zakat (muzakki). Sebagai konsekuensi dari pemikiran ini, perlu dibuat UU yang lebih lanjut mengenai zakat include dalam pajak, di mana distribusi pajak memuat objek penerima zakat. Dengan demikian, terdapat keadilan, tidak adanya beban ganda yang ditanggung orang Muslim sebagai warga negara. Beban pajak itu sekaligus menjadi kewajiban yang bersifat religius. Karena zakat include dalam pajak, maka distribusi pajak pun harus mencakup di anataranya asnaf tsamâniyyah (delapan kelompok yang berhak menerima zakat). Dalam hal ini, jatah fakir miskin, misalnya, dipergunakan
untuk
memperluas
lapangan
kerja,
menyediakan
kebutuhan pokok dan pelayanan kesehatan fakir miskin, jatah sabîlillâh dapat digunakan untuk seluruh sarana dan prasarana kemaslahatan umum/kepentingan masyarakat banyak seperti sektor pendidikan, dan jatah ibn sabîl dapat digunakan pada perhubungan yang tidak berbau maksiat.420 Berdasarkan uraian di atas, dengan berpijak pada prinsip kesamaan, dalam hal ini kesamaan kedudukan sebagai warga negara, yang merupakan HAM, --tidak ada diskriminasi berdasar perbedaan agama--, maka semestinya tidak ada perbedaan kewajiban pajak. Dalam fiqh klasik, terdapat perbedaan pajak yang dikenakan pada warga Muslim dan nonMuslim. Untuk itulah pajak dikenakan atas seluruh warga negara, baik Muslim maupun nonMuslim, tanpa ada perbedaan. Dalam hal ini, pajak benda tak bergerak, seperti tanah, bangunan rumah, dan gedung, serta benda bergerak seperti kendaraan. Demikian juga untuk pajak harta penghasilan, juga tidak ada perbedaan, hanya saja untuk warga Muslim,
Sjeichul Hadi Permono, Pendayagunaan Zakat dalam Rangka Pembangunan Nasional, cet. ke-2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 79. 420
ccxxiv
dari sekian persen pajak itu merupakan zakat. Dengan demikian umat Islam tidak terkena beban ganda, kewajiban pajak tersendiri, dan kewajiban zakat tersendiri. Cara seperti ini dapat dipandang sebagai kemaslahatan bagi kaum Muslim sebagai warga negara. Kemaslahatan tersebut terdapat dalam tiadanya beban ganda yang ditanggung mereka. Pandangan ini dimaksudkan untuk menjadi landasan bagi mereka yang merasa berkeberatan dengan adanya beban ganda tersebut. Dengan pandangan ini, diharapkan bagi mereka yang hanya membayar pajak saja tetap bisa meniatkan sebagiannya sebagai ibadah zakat. 2. Zakat Hasil Perkebunan Landasan hukum mengenai objek zakat adalah al-Qur’ân dan Sunnah. al-Qur’ân hanya menyebutkan secara umum tentang infâq, misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 267.421 Sedangkan mengenai jenis zakat disebutkan secara terperinci dalam Sunnah. Mengenai zakat hasil pertanian/perkebunan secara eksplisit disebutkan dalam hadis Nabi:
ﻻ ﺗﺄﺧﺬا ﻓﻰ:ﻋﻦ أﺑﻰ ﻣﻮﺳﻰ اﻷﺷﻌﺮي وﻣﻌﺎذ أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﻟﻬﻤﺎ )رواﻩ اﻟﻄﺒﺮاﻧﻰ. اﻟﺸﻌﻴﺮواﻟﺤﻨﻄﺔ واﻟﺰﺑﻴﺐ واﻟﺘﻤﺮ:اﻟﺼﺪﻗﺔ إﻻ ﻣﻦ هﺬﻩ اﻷﺻﻨﺎف اﻷرﺑﻌﺔ .(واﻟﺤﺎآﻢ واﻟﺪارﻗﻄﻨﻰ ”Dari Abû Mûsâ al-Asy`arî dan Mu`âdz bahwa Nabi s.aw. bersabda kepada keduanya --ketika mengutus keduanya ke Yaman untuk mengajarkan persoalan agama kepada manusia--: 421
Ayat dimaksud adalah: ☺ ☺ ☺ ☺
☺ ☺ ⌧ Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. al-Baqarah [2]: 267).
ccxxv
”Janganlah kalian mengambil shadakah (zakat) kecuali dari empat jenis ini: jemawut (jelai, gandum), biji gandum, anggur, dan kurma.” (HR. al-Tabrânî, al-Hâkim, al-Dâruqutnî, dan alBaihaqî).422 Berdasarkan tekstual hadis di atas tidaklah wajib zakat kecuali pada empat jenis makanan tersebut (dua jenis biji-bijian, dan dua jenis buah-buahan), bukan selainnya. Inilah pendapat al-Hasan al-Basrî, alHasan bin Sâlih, al-Tsaurî, al-Sya`bî, dan Ibnu Sîrîn. Bahkan diriwayatkan dari Ahmad: menurut mereka tidaklah wajib zakat pada bijibijian (al-dzurrah) dan semacamnya.423 Namun al-Syâfi`î, dan Mâlik,424 mewajibkan zakat pada segala macam biji-bijian tersebut dengan diqiyâskan pada keempat jenis makanan di atas, yaitu segala macam bijibijian yang dijadikan makanan pokok dalam keadaan normal, bukan makanan
yang
dimakan
dalam
keadaan
tidak
normal,
seperti
kelaparan.425 Pendapat yang menerapkan qiyâs tersebut mendasarkan dalilnya pada `illah diwajibkannya zakat yaitu makanan tersebut dipergunakan sebagai makanan pokok (`illat al-iqtiyât). Sebaliknya, yang tidak menerapkan qiyâs, tidak berpendapat seperti ini. Namun ada pendapat lain, yaitu Abû Hanîfâh,426 dan al-Hâduwiyyah427 yang mewajibkan zakat pada setiap yang tumbuh di bumi berdasarkan dalil yang bersifat umum, seperti hadis: ”Pada tanaman yang diairi hujan (zakatnya) sepuluh persen, dan yang diairi dengan
422 al-Dâruqutnî, Sunan Al-Dâruqutnî (Beirut: Dâr al-Ma`rifah, 1966), hadis No. 15, Juz II, h. 98; al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dâr al-Bâz, 1994), hadis No. 7242, Juz IV, h. 125. al-Baihaqî, sebagaimana dikutip al-San`ânî, mengatakan: ”para perawi hadis tersebut adalah tsiqât (terpercaya) dan bersambung sanad-nya (muttasil)”. Muhammad bin Ismâ`il al-Kahlânî, al-San`ânî, Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillat al-Ahkâm (T.Tp.: Dâr al-Fikr, t.t.), Juz II, h. 132. 423 al-San`ânî, Subul al-Salâm, Juz 2, h. 133. 424 Ibnu Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid, Juz 2, h. 184. 425 al-San`ânî, Subul al-Salâm, Juz 2, h. 133. 426 Ibnu Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid, Juz 2, h. 184. 427 al-San`ânî, Subul al-Salâm, Juz 2, h. 133.
ccxxvi
peralatan (zakatnya) sepersepuluh (lima) persen,428 kecuali rerumputan, kayu bakar, dan bambu,429 karena sabda Nabi riwayat Abû Hurairah: ”Manusia itu berserikat dalam tiga macam, yaitu air, rumput, dan api”.430 Menurut Ibnu Rusyd perbedaan pendapat tersebut terletak pada perbedaan mereka dalam memandang ketergantungan zakat keempat jenis tersebut apakah karena bendanya (`ain) ataukah karena `illat yang ada padanya, yaitu dijadikan sebagai makanan pokok (al-iqtiyât).431 Pendapat yang menyatakan karena bendanya hanya membatasi objek zakat pada keempat jenis tersebut; sedangkan pendapat yang menyatakan karena `illat dijadikan makanan pokok menghitung kewajiban itu pada semua jenis makanan yang dijadikan sebagai makanan pokok. Menurut al-San`anî, hadis riwayat Abû Mûsâ al-Asy`ârî dan Mu`âdz di atas menjadi mukhassis terhadap nass al-Qurân maupun hadis yang berifat `âmm, sehingga nass yang bersifat `âmm maupun qiyâs tidak dapat diterapkan, karena adanya hadis tersebut.432 Sunnah sebagai penjelas al-Qur’ân (bayân) hanya menyebutkan beberapa harta saja yang terkena zakat, yaitu hasil pertanian dari keempat jenis makanan tersebut. Hasil pertanian ini hanya empat jenis saja yang 428 Teks Arabnya: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﺳﻘﺖ اﻟﺴﻤﺎء واﻟﻌﻴﻮن اﻟﻌﺸﺮ وﻓﻴﻤﺎ ﺳﻘﻲ ﺑﺎﻟﻨﻀﺞ ﻧﺼﻒ اﻟﻌﺸﺮ. (HR. Ibnu Mâjah, dari Abû Hurairah r.a.). Lihat Muhammad bin Yazîd Abû `Abd Allâh
al-Qazwainî, Sunan Ibn Mâjah, Muhammad Fû’ad `Abd al-Bâqî, ed. (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), Juz I, h. 580. 429 Ibnu Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid, Juz I, h. 184. 430 Redaksi Aslinya: اﻟﻨﺎس ﺷﺮآﺎء ﻓﻲ ﺛﻼث ﻓﻲ اﻟﻤﺎء واﻟﻜﻸ واﻟﻨﺎر, Lihat al-San`ânî, Subul alSalâm, Juz 2, h. 133, Abû al-Faraj `Abd al-Rahmân bin Ahmad bin Rajab al-Hanbalî, Jâmi` al`Ulûm wa al-Hikam (Beirut: Dâr al-Ma`rifah: 1408 H.), Juz I, h. 308. Dalam redaksi Ahmad digunakan lafaz اﻟﻤﺴﻠﻤﻮنsebagai ganti lafaz اﻟﻨﺎس. Lihat Musnad Ahmad, hadis No. 23132, Juz V, h. 364. Dalam Tafsîr al-Manâr, jenis makanan yang selain keempat tersebut merupakan wilayah kehati-hatian (mahall ikhtiyât), baik diambil zakat maupun tidaknya, namun yang terkuat adalah tidaklah diambil (dikeluarkan) zakat dari selain keempat jenis tersebut. al-San`ânî berpendapat bahwa pada dasarnya yang pasti adalah harta seorang Muslim itu haram diambil zakatnya (al-asl al-maqtû` hurmat mâl al-Muslim), dan tidaklah dikeluarkan zakat darinya kecuali berdasarkan dalil yang qat`î. Selain itu, menurutnya, pada prinsipnya tidak ada beban kewajiban (al-asl barâ’at al-dzimmah). Berdasarkan dua dasar/argumen ini, maka bukanlah termasuk kehati-hatian (al-ikhtiyât), kecuali tidak mengambil zakat dari biji-bijian dan sejenisnya berdasarkan nass yang bersifat umum saja, yang telah ditakhsîs. 431 Ibnu Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid, Juz 2, h. 184. 432 al-San`ânî, Subul al-Salâm, Juz 2, h. 133.
ccxxvii
disebutkan dalam nass Sunnah. Atas dasar Sunnah, maka hasil pertanian atau perkebunan lain yang tidak disebutkan dalam nass Sunnah ini, maka tidak terkena kewajiban zakat. Akan tetapi, terasa tidaklah adil, jika zakat dikenakan terbatas pada beberapa macam tanaman saja. Sedangkan jenis tanaman yang lain tidak dikenai zakat. Untuk memperjelas ini, misalnya petani padi dikenai zakat hasil panen padinya. Sebaliknya petani kelapa sawit, kopi, karet dan sejenisnya tidak dikenai zakat. Alasan bahwa zakat terbatas pada beberapa hasil pertanian saja, yang kemudian oleh sebagian mazhab
dikembangkan
pada
makanan-makanan
pokok,
kurang
menyentuh rasa keadilan. Oleh karena itulah, berdasarkan prinsip keadilan dan kemaslahatan sosial, beberapa hasil perkebunan dan pertanian lain selain yang disebut dalam nass Sunnah juga terkena kewajiban zakat. Beberapa hasil perkebunan/pertanian yang tidak disebut nass, namun bisa dikenakan zakat, misalnya, kelapa sawit, kopi, karet, lada, dan sebagainya. Perluasan zakat hasil pertanian atau perkebunan di atas selaras dengan pandangan Abû Hanîfah dan al-Hâduwiyyah, yang menyatakan bahwa semua hasil bumi, selain tiga macam: rerumputan, kayu bakar, dan bambu, terkena kewajiban zakat. Namun, dasar penalaran pandangan tersebut dengan penalaran al-Maslahah alMaqsûdah berbeda. Pandangan Abû Hanîfah semata-mata didasarkan kepada kemaslahatan. Sedangkan pandangan dengan al-Maslahah alMaqsûdah
didasarkan
pada
pertimbangan
prinsip
keadilan
dan
kemaslahatan sekaligus. Perluasan objek zakat tersebut tentu saja menambahkan beban terhadap
seorang
mukallaf,
pada
satu
sisi,
tetapi,
membawa
kemaslahatan, dan keadilan bagi masyarakat umum, pada sisi lainnya. Berdasarkan metode al-Maslahah al-Maqsûdah dengan berpijak pada prinsip keadilan, dan kemaslahatan, sebagai paradigma metode ini, maka beberapa hasil perkebunan lain yang tidak disebutkan dalam nass juga terkena kewajiban zakat. Cara pandang demikian selaras dengan maqâsid
ccxxviii
al-Syarî`ah, berupa keadilan, dan kemaslahatan. Perluasan obyek zakat ini tentu saja diperuntukkan atas orang yang tetap ingin mengeluarkan zakat, di samping membayar pajak. 3. Zakat Perusahaan Persoalan zakat perusahaan merupakan sebuah fenomena baru. Gejala ini dimulai dengan prakarsa para ulama, pengusaha, dan manajer Muslim modern untuk mengeluarkan zakat perusahaan. Sebab aspek zakat yang prinsipil dalam Islam adalah untuk tujuan kesejahteraan umat manusia (maslahat al-ummah). Mungkin, konsep zakat perusahaan ini mengikuti konsep pajak, yang membedakan antara pajak perorangan (individual tax) dan pajak perusahaan (corporate tax). Sebagai sebuah gejala baru, paling tidak untuk konteks Indonesia, wajar saja bila persoalan zakat perusahaan ini menimbulkan kontroversi. Menurut M. Dawam Rahardjo433 (salah seorang pakar ekonomi Islam dan intelektual Muslim), wajib zakat itu tidak terkena pada perusahaan atau badan hukum, karena perusahaan atau badan hukum tidak melakukan ibadah mahdah. Yang terkena taklif zakat adalah orang yang bekerja atau karyawan pada perusahaan atau badan hukum tersebut. Tetapi, perusahaan atau badan hukum sangat terpuji bila melakukan infak dan sedekah. Dengan demikian menurutnya, perusahaan atau badan hukum tidak terkena nisab tarif sebesar 2,5 % dari nilai kekayaan bersih (net worth). Lain halnya bila perusahaan itu milik perorangan, maka di sini, zakat perusahaan itu identik dengan zakat pemiliknya. Menurutnya,434 jika diberlakukan kewajiban zakat atas pemilik dan perusahaannya, maka akan terjadi dua kali zakat. Selain itu, masih perlu diperhitungkan dari mana tarif 2,5 % itu dihitung, dari laba bersih atau kekayaan bersih atau kedua-duanya? 433
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: LSAF, 1999), h.
434
Rahardjo, Islam dan Transformasi, h. 487.
487.
ccxxix
Pemikiran Rahardjo ini berlawanan arus dengan mayoritas ulama. Pendapatnya yang tidak mewajibkan zakat perusahaan berangkat dari pemikiran bahwa zakat adalah ibadah mahdah, sedangkan perusahaan atau badan hukum tidak melakukan ibadah mahdah. Pendapat ini berbeda dengan pendapat mayoritas ulama yang memandang zakat bukan saja sebagai ibadah mahdah an sich tetapi mengandung fungsi sosial yang lebih luas di bidang ekonomi, baik dari sudut pendanaan, fungsi penanaman modal, dan fungsi pemerataan. Mayoritas ulama tersebut menyatakan adanya kewajiban zakat perusahaan, karena memang zakat itu bukan semata-mata sebagai ibadah mahdah, tetapi di dalamnya terdapat dimensi sosial, yaitu untuk mengangkat kesejahteraan sosial (masyarakat, terutama kalangan yang lemah dan miskin, al-mustad`afîn, wa al-fuqarâ’ wa al-masâkîn).435 Pendapat
mayoritas
ulama
itu,
misalnya
terdapat
dalam
rekomendasi Muktamar Internasional I tentang Zakat di Kuwait, pada 29 Rajab 1404 H./3 April 1984 M., yang menyatakan bahwa perusahaan wajib mengeluarkan zakat, karena keberadaan perusahaan sebagai wadah usaha menjadi badan hukum (reeht person).436 Perusahaan, menurut hasil muktamar tersebut, termasuk ke dalam syakhsan i`tibâriyyan (badan hukum yang dianggap orang),437 atau menurut Mustafâ Ahmad Zarqâ’,
438
perusahaan disebut syakhsiyyah hukmiyyah. Landasan lain
yang dijadikan argumentasi dalam Muktamar tersebut, adalah karena di antara individu-individu itu, baik dalam maupun luar perusahaan, Menurut para ulama tersebut, perusahaan wajib mengeluarkan zakat, karena keberadaan perusahaan adalah sebagai badan hukum (reeht person) atau yang dianggap orang. Karena itu, di antara individu tersebut kemudian timbul transaksi meminjam, menjual, berinteraksi dengan pihak luar, dan juga menjalin kerjasama. Segala kewajiban dan hasil akhirnya pun dinikmati secara bersama-sama pula, termasuk di dalamnya kewajiban kepada Allah Swt dalam bentuk penunaian zakat. Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 101. 436 Lihat `Alî Ahmad al-Sâlûs, al-Iqtisâd al-Islâmî wa al-Qadâyâ al-Fiqhiyyah alMu`âsirah (Beirut: Dâr al-Tsaqâfah, 1998), h. 646. 437 al-Sâlûs, al-Iqtisâd al-Islâmî, h. 649. 438 Mustafâ Ahmad Zarqâ’, al-Fiqh al-Islâmî fî Tsaubihi al-Jadîd (Damaskus: 1948), Juz III, h. 277. 435
ccxxx
melakukan transaksi, meminjam, menjual, berhubungan dengan pihak lain, dan juga menjalin kerjasama. Segala kewajiban dan hasil akhirnya pun dinikmati secara bersama-sama, termasuk di dalamnya kewajiban kepada Allah Swt. dalam bentuk mengeluarkan zakat. Di Indonesia sendiri, wacana tentang zakat perusahaan masih terbilang baru. Walaupun UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat telah menyebut perusahaan sebagai harta yang dikenai pajak (Bab IV pasal 11 ayat [2] bagian b.),439 tetapi implementasinya di lapangan masih menemui banyak hambatan. Hambatan itu sekurang-kurangnya berasal dari 3 (tiga) hal. Pertama, dari aspek fikih yang belum seragam, kecuali
pendapat
Rahardjo
yang
mengatakan
--walaupun
untuk
sementara-- bahwa perusahaan tidak terkena wajib zakat, juga belum semua perusahaan menyadari dirinya sebagai muzaki (wajib zakat). Kedua, dari aspek manajemennya; potensi zakat perusahaan yang begitu besar digalang belum digalang dan dimanfaatkan secara optimal. Kecuali karena belum ada data akurat tentang pola dan perilaku perusahaan dalam menyumbang, juga karena belum ada lembaga amil zakat yang berkonsentrasi secara khusus untuk zakat perusahaan ini. Ketiga, tak kalah pentingnya adalah, bahwa UU tentang zakat tersebut tidak mengatur tentang sanksi terhadap muzaki yang tidak menunaikan zakatnya, sebab UU ini lebih dimaksudkan untuk mengatur pengelolaan zakat,
di
mana
sanksi
dikenakan
terhadap
pengelola
yang
menyelewengkan dana zakat tersebut. Dalam konteks fiqh, studi tentang muzaki (subyek zakat, orang yang terkena taklif kewajiban zakat, wajib zakat) banyak terdapat dalam bab mengenai ”syarat-syarat wajib zakat”.440 Pada hakikatnya, syaratsyarat wajib zakat terkait pada 2 (dua) hal. Pertama, syarat yang 439
Lihat UU 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dalam Departemen Agama RI, h.
6.
440 Hampir semua kitab fikih membahas tentang syarat-syarat wajib zakat. Misalnya, karya Taqî al-Dîn Abî Bakr ibn Muhammad al-Husainî, Kifâyat al-Akhyâr fî Halli Ghâyah alIkhtisâr (Bandung: al-Ma`ârif, t.t.), h. 173.
ccxxxi
berkaitan dengan individu muzaki itu sendiri.441 Kedua, syarat yang berkaitan dengan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya.442 Dengan demikian, syarat-syarat yang ada pada diri muzakkî tidak secara otomatis menjadikan dirinya berkewajiban mengeluarkan zakat. Sebab, kewajibannya baru muncul apabila dipenuhi juga syarat-syarat yang terdapat pada harta. Artinya, bahwa untuk menetapkan kewajiban zakat harus diperhatikan 2 (dua) kondisi sekaligus: kondisi muzaki dan kondisi zakat yang dimilikinya. Menurut
al-Zuhailî,
dalam
bukunya
al-Fiqh
al-Islâm
wa
Adillatuhu, persyaratan zakat, baik syarat terkait muzaki maupun harta yang dizakati, ada 9 (sembilan) macam,443 yaitu: (1) bebas atau merdeka (al-hurriyyah); (2) Islam (al-Islâm);444 (3) Baligh-berakal (al-bulûgh wa al-`aql); (4) harta tergolong wajib dizakati (kaun al-mâl mimmâ tajibu fîh al-zakâh); (5) harta sampai nisab atau seukuran nisâb (kaun al-mâl nisâban au miqdâran bi qîmah nisâb); (6) kepemilikan penuh (al-milk al-tâmm li al-mâl, al-milkiyyah al-tâmmah); (7) harta yang dimiliki sudah sampai setahun atau mencapai setahun bulan Qamariyyah (madâ `âm au hawalân haul qamarî `alâ milk al-nisâb); (8) muzaki tidak mempunyai utang (`adam al-dain); dan (9) sudah dapat memenuhi (melebihi) kebutuhan pokoknya (al-ziyâdah `an al-hâjât al-asliyyah), sebelum ia membayar zakat. Adapun syarat-syarat wajib zakat yang berkaitan dengan diri muzaki, menurut Taqî alDîn Abî Bakr (seorang ulama klasik mazhab Syâfî`iyyah), misalnya, ada 2 (dua), yaitu: Islam dan merdeka (bukan budak [hamba sahaya]). Kedua syarat ini ditambah oleh Wahbah al-Zuhailî (seorang ulama kontemporer) dengan dua syarat lainnya, yakni: baligh dan berakal. Sementara syarat-syarat wajib zakat yang berkaitan dengan harta ada 6 (enam), yaitu: berkembang, cukup senisab, milik penuh (milk al-tâmm), berlaku setahun (haul), bebas dari utang, dan lebih dari kebutuhan biasa (pokok). Ibn Muhammad al-Husainî, Kifâyat al-Akhyâr, h. 173, al-Zuhailî, alFiqh al-Islâmî, Juz II, h. 739-740. 442 Sementara syarat-syarat wajib zakat yang berkaitan dengan harta ada 6 (enam), yaitu: berkembang, cukup senisab, milik penuh (milk al-tâmm), berlaku setahun (haul), bebas dari utang, dan lebih dari kebutuhan biasa (pokok). al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî, Juz II, h. 740-750. 443 al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî, Juz II, h. 738-750. 444 Menurut Mâlikiyyah, Islam merupakan syarat sahnya zakat, bukan syarat wajibnya. Jadi zakat juga wajib atas orang kafir. Lihat al-Jazâ’iri, al-Fiqh al-Islâmî `alâ Madzâhib alArba`ah, Juz I, h. 477. 441
ccxxxii
Dalam kaitannya dengan persyaratan zakat tersebut, timbul masalah bila pada zaman dahulu kepemilikan harta lebih bersifat individual,
sementara
pada
zaman
modern
dewasa
ini
banyak
kepemilikan harta bersifat kolektif, seperti dalam bentuk perusahaan, yayasan, koperasi, dan lain-lain. Dalam konteks ini apakah semua bentuk kepemilikan kolektif itu terkena zakat? Secara spesifik, apakah hukumnya zakat perusahaan? Untuk melihat problematika zakat perusahaan ini, kita perlu merujuk langsung kepada sumber utama hukum Islam, yaitu al-Qur’ân dan Sunnah. Di dalam al-Qur’ân dan Sunnah terdapat ketentuan tentang zakat. Namun al-Qur’ân maupun Sunnah tidak menentukan secara spesifik tentang zakat perusahaan. Dalam surat al-Bâqarah ( 2) ayat 267, misalnya, terdapat ayat yang bersifat umum yang memerintahkan untuk berinfaq.445 Adapun hadis Nabi, yang menunjukkan tentang zakat, misalnya, diriwayatkan Imam al-Bukhârî,446 dari Muhammad ibn `Abd Allâh alAnsârî dari bapaknya, ia berkata bahwa Abû Bakr r.a. telah menulis sebuah surat yang berisikan kewajiban yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw: ( )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري.اﻟﺼﺪﻗﺔ
447
وﻻ ﻳﺠﻤﻊ ﺑﻴﻦ ﻣﺘﻔﺮق وﻻ ﻳﻔﺮق ﺑﻴﻦ ﻣﺠﺘﻤﻊ ﺧﺸﻴﺔ
”…Janganlah disatukan (dikumpulkan) harta yang mula-mula terpisah. Sebaliknya, jangan pula 445
Ayat dimaksud adalah:
.... ☺ ”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu”. (QS. al-Bâqarah [2]: 267). 446 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, (Riyâd: Dâr al-Salâm, 2000), h. 114. 447 Redaksi lengkapnya:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ اﻷﻧﺼﺎري ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻲ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺛﻤﺎﻣﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ أﻧﺲ أن أﻧﺴﺎ ﺣﺪﺛﻪ أن أﺑﺎ ﺑﻜﺮ آﺘﺐ ﻟﻪ ﻓﺮﻳﻀﺔ اﻟﺼﺪﻗﺔ اﻟﺘﻲ ﻓﺮض رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ وﻻ ﻳﺠﻤﻊ ﺑﻴﻦ ﻣﺘﻔﺮق وﻻ ﻳﻔﺮق ﺑﻴﻦ ﻣﺠﺘﻤﻊ ﺧﺸﻴﺔ . اﻟﺼﺪﻗﺔ
ccxxxiii
dipisahkan harta yang pada mulanya bersatu, karena takut mengeluarkan zakat”. (HR. al-Bukhârî). Hadis Nabi di atas, pada awalnya –berdasarkan asbâb alwurûd
(kronologis
munculnya
hadis),
berkaitan
dengan
perkongsian (syirkah) dalam hewan ternak.448 Ayat
dan
hadis
yang
telah
dikutip
di
atas
tidak
menyebutkan secara spesifik tentang zakat perusahaan. Ayat dan hadis di atas harus ditempatkan sebagai tekstur terbuka terhadap interpretasi yang baru. Oleh karena itulah, zakat perusahaan termasuk ke dalam masalah ijtihâdî. Dalam memandang persoalan zakat perusahaan, metode al-Maslahah al-Maqsûdah dapat diterapkan. Atas dasar untuk kemas-lahatan umat, yang merupakan salah satu dari tujuan Syarîah (maqâsid al-Syarî`ah), perusahaan dapat dikenai zakat. Memang dilihat dari sudut pandang nass, zakat perusahaan itu akan menambah beban taklîf (kewajiban), yang pada asalnya tidak diwajibkan, pada satu sisi. Hal ini termasuk dalam kategori barâ’at al-dzimmah. Akan tetapi, dilihat dari sudut pandang ketentuan umum al-Qur’ân yang berisi prinsipprinsip kemaslahatan, penetapan hukum kewajiban zakat perusahaan ini menjadi relevan dan signifikan, pada sisi yang lain.
Selain
itu,
untuk
mendukung
argumentasi
yang
didasarkan pada prinsip kemaslahatan umum tersebut, jika dilihat
dari
keberadaan
perusahaan
itu
sendiri,
maka
perusahaan dapat dinilai sebagai wadah usaha yang menjadi badan hukum (reeht person), sehingga digolongkan ke dalam syakhsan i`tibâran (badan hukum yang dianggap orang), atau syakhsiyyah hukmiyyah. Dalam konteks inilah, ketika terjadi pertentangan antara satu kemaslahatan dengan kemaslahatan 448
Abû `Ubaid al-Qasîm ibn Salâm, al-Anwâl (Beirût: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1986), h. 398.
ccxxxiv
lainnya,
dalam
hal
ini
kemaslahatan
umat
dengan
kemaslahatan perusahaan, maka kemaslahatan yang lebih besar, yakni kemaslahatan umat itulah yang diutamakan. Adapun tentang kewajiban zakat perusahaan itu, tentu saja bila
telah memenuhi berbagai persyaratan tertentu,
seperti nisab, haul, dan persyaratan lainnya sebagaimana persyaratan yang terkait dengan zakat perdagangan (zakât altijârah). Dengan demikian, segala yang bersangkut paut dengan cara-cara penghitungan zakatnya pun haruslah diikuti. Dalam hal ini, cara-cara penghitungan zakat perusahaan, sebagai bentuk kemudahan, sebab masalah zakat perusahaan ini merupakan bidang ijtihâdî, karena tidak ada ketentuan nass yang secara sarîh menerangkan tentang kewajiban zakat perusahaan dan tata cara penunaiannya.449 Untuk memperjelas persyaratan dan tata cara, dan teknik penghitungan zakat perusahaan, yang dipandang sebagai syakhsiyyah i`tibâriyyah, sebagaimana difatwakan dalam Muktamar Zakat di Kuwait, dikutip oleh al-Sâlus, adalah sebagai berikut. Pertama, telah ada peraturan perundang-undangan yang menetapkan kewajiban zakat perusahaan. Dalam UU Pengelolaan Zakat telah ditetapkan adanya zakat perusahaan. Kedua, sistem yang fundamental telah menetapkan perusahaan sebagai badan hukum. Ketiga, perusahaan telah diakui sah secara hukum. Keempat, adanya kerelaan dari para pemilik saham (al-musâhimûn) terhadap perusahaan sebagai badan hukum. Adapun tatacara pengukuran tarif zakat perusahaan (kaifiyyat taqdîr zakât al-syirkât) adalah dipersamakan dengan tarif zakat perdagangan yaitu 2,5%. Besar tarif ini adalah untuk haul yang menggunakan tahun Qamariyyah (Hijriyah). Apabila menggunakan tahun Syamsiyyah (Masehi), maka tarif zakatnya perlu disesuaikan. Pada Muktamar Zakat di Kuwait, telah disepakati bahwa waktu bulan Syamsiyyah lebih panjang dibanding dengan tahun Qamariyyah, yaitu sekitar 11 (sebelas) hari. Karena itu, pengguna tahun Syamsiyyah harus memperhitungkan perbedaan (selisih waktu) tersebut. Akibatnya, tarif zakat perusahaan yang menggunakan hitungan Syamsiyyah (365 hari) menjadi 2,575% (dibulatkan menjadi 2,58 %) yaitu 2,5% x 365/354, tidak dengan tarif 2,5%. Adapun nisab zakat perusahaan, untuk mempermudah, dipersamakan dengan zakat perdagangan, karena dipandang dari aspek legal dan ekonomi. Kegiatan sebuah perusahaan intinya adalah berpijak pada kegiatan trading atau perdagangan (tijârah). Karena itu, nisabnya adalah sama dengan nisab zakat perdagangan, yaitu 85 gram emas. Adapun teknik penghitungan zakat perusahaan, untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Rahardjo, perlu dikemukakan hal berikut. Bahwa setiap perusahaan, paling tidak, memiliki 3 (tiga) macam harta. Pertama, harta dalam bentuk barang, baik yang berupa sarana dan prasarana maupun yang berupa komoditas 449
ccxxxv
Singkatnya, ada beberapa poin penting yang menjadi titik sentral dalam perhitungan zakat perusahaan: pertama, uang (setara
kas);
kedua,
barang
yang
siap
diperdagangkan
(persediaan); ketiga, piutang; dan keempat, utang-utang. Pola perhitungan zakat perusahaan ini, disimpulkan oleh pakar akuntansi Islam Kamâl `Âtiyyah,450 adalah didasarkan pada neraca (balance sheet) yaitu dengan mengurangkan kewajiban lancar atas aktiva lancar. Metode perhitungan ini biasa disebut dengan metode syar`iyyah atau net assets. Metode ini digunakan di Saudi Arabia dan beberapa negara Islam lainnya sebagai pendekatan perhitungan zakat perusahaan. Di samping metode net assets, masih terdapat metode kedua, dikenal sebagai metode kebalikan dari metode yang pertama yaitu metode net equity.451 perdagangan. Kedua, harta dalam bentuk uang tunai, yang biasanya disimpan di bank. Dan ketiga, harta dalam bentuk piutang. Harta perusahaan yang wajib dizakati adalah ketiga bentuk harta tersebut, dikurangi harta dalam bentuk sarana dan prasarana dan kewajiban mendesak lainnya, seperti utang yang jatuh tempo atau yang harus dibayar saat itu juga. Dengan melihat jenis harta tersebut, maka pola perhitungan zakat perusahaan didasarkan pada laporan keuangan (neraca) dengan mengurangkan kewajiban atas aktiva lancar. Atau, seluruh harta (di luar sarana dan prasarana) ditambah keuntungan, dikurangi pembayaran utang dan kewajiban lainnya, lalu dikeluarkan 2,5 % sebagai zakatnya. Sementara menurut pendapat lain, bahwa yang wajib dikeluarkan zakatnya hanyalah keuntungannya saja. al-Sâlûs, al-Iqtisâd alIslâmî, h. 649-652, dan 654, Hasanuddin Ibnu Hibban, ”Zakat Perusahaan: Aspek Fiqh dan Managemen”, dalam Mimbar Agama & Budaya, Vol XXI, No. 4, (2004), h. 348, Hafidhuddin, Zakat, h. 101. 450 Kamâl `Âtiyyah, Accounting and Auditing Standards for Financial Institutions, dikutip dalam Ibnu Hibban, ”Zakat Perusahaan”, h. 350-353. 451 Langkah-langkah yang dilakukan untuk menghitung zakat perusahaan, sebagai berikut. Pertama, menentukan dan menilai harta (asset) yang dikenai zakat secara syariat, yaitu aktiva lancar. Sumber data untuk menentukan dan menilai harta yang dikenai zakat adalah neraca (balance sheet) dengan penyesuaian-penyesuaian. Kedua, menentukan dan menilai kewajiban yang mengurangi harta (asset) kena zakat, yaitu utang jangka pendek. Sebagaimana harta yang dikenai zakat, sumber data untuk menentukan dan menilai kewajiban yang dapat mengurangi harta yang dikenai zakat adalah neraca (balance sheet) dengan penyesuaian-penyesuaian. Ketiga, menghitung nilai zakat dengan kadar yang telah ditentukan, yaitu sesuai dengan tarif zakat perdagangan (2,5 %). Sementara, kekayaan perusahaan yang harus dizakati adalah selisih antara harta yang kena zakat (poin 1) dikurangi nilai kewajiban yang mengurangi harta yang kena zakat (poin 2) sekurang-kurangnya harus senilai 85 gram emas. Ibnu Hibban, ”Zakat Perusahaan”, h. 350-353.
ccxxxvi
Pemikiran tentang zakat perusahaan di atas di atas memperkuat argumentasi para ulama yang mewajibkan zakat ini. Di samping itu juga memperkuat UU tentang Pengelolaan Zakat yang mewajibkan zakat perusahaan
untuk
dipatuhi.
Meskipun
tidak
menunaikan
zakat
perusahaan tidak dikenai sanksi menurut UU tersebut, namun kesadaran umat Islam tetap diperlukan. Kesadaran ini tentu saja harus ditopang dengan landasan yang kuat tentang kewajiban zakat perusahaan. Dalam kaitan inilah, pemahaman terhadap penalaran yang menggunakan metode al-Maslahah al-Maqsûdah menjadi penting. Perluasan obyek zakat ini tentu saja diperuntukkan atas orang yang tetap ingin mengeluarkan zakat, di samping membayar pajak.
B. Bidang Hukum Perdata
a. Perkawinan Beda Agama Perkawinan beda agama (interfaith marriage), selanjutnya disingkat PBA, yang dimaksud di sini, adalah perkawinan yang dilakukan antara orang yang berlainan agama, yaitu orang Islam (pria/wanita) dengan orang nonIslam, lawan jenisnya (pria/wanita). Masalah PBA, sampai saat ini, tetap kontroversial dan mendapat sorotan kritis khususnya oleh para pengamat dan aktivitas HAM baik dari kalangan Muslim maupun dari nonMuslim.452 452 Pada umumnya mereka terbagi dalam tiga kategori:452 pertama, dikenal liberal dan dekat dengan Barat, yang mencoba mendekonstruksi tafsir teks-teks Islam agar selaras dengan HAM universal, khususnya pasal 16 ayat (1) tentang kebebasan perkawinan, bisa diterima oleh umat Muslim yang mempunyai pandangan keras mengenai hal ini. Di sana didapatkan pernyataan: ”Men and women of full age without any limitation due to race, nationality, or religion, have the right to marry and to found a family”. Artinya: ”Pria dan wanita yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk nikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan pada saat perceraian.” Maksud dari pasal tersebut adalah bahwa laki-laki ataupun wanita yang cukup umur tanpa adanya pembatasan yang bertalian dengan ras, kewarga-
ccxxxvii
Problematika PBA ini akan dikaji dalam perspektif hukum Islam, dengan menggunakan metode al-maslahah al-maqsûdah. al-Qur’ân, sebagai sumber utama hukum Islam, telah memberikan ketentuan tentang PBA. Terdapat beberapa ayat al-Qur’ân yang menjelaskan tentang PBA ini. Dalam al-Quran, PBA secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu perkawinan orang Mukmin (Muslim) dengan orang Ahl al-Kitâb; dan orang Mukmin (Muslim) dengan orang musyrîk. Term Ahl al-Kitâb dan musyrik adalah berbeda. Ahl al-Kitâb adalah orang yang mempercayai salah seorang nabi dari nabi-nabi dan salah
satu
kitab
dari
kitab-kitab
samawi,
baik
sudah
terjadi
penyimpangan pada mereka dalam bidang akidah atau amalan. Sedangkan orang musyrîk adalah bukan hanya mempersekutukan Allah s.w.t. tapi juga tidak mempercayai salah satu dari kitab-kitab samawi, baik yang telah terdapat penyimpangan ataupun yang masih asli; di samping tidak seorang nabi dari nabi-nabi pun yang mereka percayai. Sedangkan yang disebut orang-orang mukmîn adalah orang-orang yang percaya dengan risalah Nabi Muhammad s.a.w. baik mereka lahir dalam Islam ataupun kemudian memeluk Islam, yang berasal dari Ahl al-Kitâb atau kaum musyrîk, ataupun dari agama mana saja.453 Ayat al-Qur’ân yang terkait dengan PBA, antara lain, adalah surat al-Mâ’idah (5) ayat 5 yang berkaitan dengan Ahl al-Kitâb, dan surat alBaqarah (2) ayat 221 yang berkaitan dengan orang musyrik, yang dijadikan sebagai dasar bagi PBA. negaraan, dan agama berhak melangsungkan perkawinan dan membangun keluarga. Kedua, yaitu kelompok yang mempertahankan teks-teks Islam serta menolak beberapa ketentuan HAM, khususnya pasal 16 di atas. Pada umumnya ulama/mufasir dan umat Islam termasuk ke dalam golongan yang kedua ini. Ketiga, mereka yang agnostik sekuler, yang menganggap isu perkawinan adalah hak personal manusia, tanpa campur tangan agama. Dewi Sukarti, Perkawinan Antaragama menurut al-Qur’ân dan Hadîts, Seri ”Isu-isu Kontemporer dalam Perspektif al-Qur’ân dan Hadîts” (Jakarta: PBB UIN dan KAS, 2003), h. 1-2. 453 Lihat Abû al-A`lâ al-Maudûdî dalam al-Islâm fî Muwâjahah al-Tahaddiyah alMu`âsarah, dan Badrân Abû al-`Ainain Badrân, al-`Alâqah al-Ijtimâ`iyyah Bain al-Muslimîn wa Ghair al-Muslimîn, dikutip Zainun Kamal, ”Menafsir Kembali Perkawinan antar Umat Beragama”, dalam Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga (ed.), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan dan Pluralisme (Jakarta: KAPAL Perempuan, 2004), h. 150.
ccxxxviii
☺ ☺ ⌧ ⌧ ☺
”…(Dan dihalalkan kamu mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang diberi al-Kitâb sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik…”. (QS. al-Mâ’idah [5]: 5) 454
⌧
☺
454 Bustami A. Gani, dkk., Al-Qur’ân dan Tafsirnya (T.t.p.: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’ân Departemen Agama R.I. 1982/1983, t.t.), Jilid II, h. 377. Ayat di atas berkenaan dengan beberapa orang Islam yang menyatakan tentang bagaimana hukum mengawini wanita-wanita ahli kitab, padahal mereka berlainan agama. Ibn Jarîr meriwayatkan dari Qatâdah, bahwa dia berkata, diceritakan kepada kami, bahwa ada beberapa orang Islam yang mengatakan, ”Bagaimana wanita-wanita mereka itu kita kawini?” Maksudnya, wanita-wanita Ahl al-Kitâb. ”Sedang mereka itu berlainan agama dengan kita?” Maka diturunkanlah oleh Allah, "…وﻣﻦ ﻳﻜﻔﺮ.” Jadi, dihalalkannya mereka oleh Allah untuk dikawini, bukanlah tanpa ilmu. Ayat itu juga bertujuan menegaskan betapa agungnya nilai dari apa yang dihalalkan Allah dan apa yang diharamkanNya, di samping merupakan ancaman berat bagi siapa pun yang sengaja menentang atau melanggarnya. Pada ayat ini Allah menerangkan tiga macam yang halal bagi orang mukmin, di antaranya mengawini perempuan-perempuan merdeka (bukan budak) dari perempuan-perempuan mukmin dan perempuan ahli kitab. Menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksudkan dengan al-muhsanât adalah perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dirinya. Lihat Ahmad Mustafâ alMarâghî, Tafsir al-Marâghî (Beirut: Dâr al-Fikr, 2006), Jilid II, h. 267, Alî al-Sâyis, Tafsîr Âyât alAhkâm (Mesir: Mu’assasat al-Mukhtar, 2001), Jilid I, h. 347.
ccxxxix
⌧ ☺
☺ ⌧ ”Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu mengkawinkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintahperintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS. al-Baqarah [2]: 221) Berdasarkan tekstual kedua ayat di atas, PBA dapat dibedakan menjadi dua macam, pertama, perkawinan orang Muslim dengan Ahl alKitâb, yang meliputi perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahl alKitâb yang hukumnya dibolehkan, namun perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki Ahl al-Kitâb secara mafhûm mukhâlafah tidak dibolehkan; kedua, perkawinan orang Muslim baik laki-laki maupun perempuan dengan orang musyrik diharamkan. Dengan menerapkan al-Maslahah al-Maqsûdah, berdasarkan maqâsid al-Syarî`ah berupa prinsip kesetaraan, kebebasan, khususnya kebebasan memeluk beragama, maupun berkeyakinan, dan prinsip kemaslahatan, maka PBA tersebut hukumnya boleh. Kebolehan ini tentu saja bukan didasarkan pada tekstual ayat tersebut, namun didasarkan pada prinsip-prinsip yang merupakan maqâsid al-Syarî`ah, berupa
ccxl
kesetaraan, kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan rahmat, serta kemaslahatan. Lebih lanjut, masalah perkawinan bukanlah ibadah makhdah, ia lebih tepat digolongkan ke dalam bidang mu`âmalah, hukum perdata (ahwâl al-syakhsiyyah). Pada bidang hukum perdata ini, pada dasarnya lebih fleksibel dibanding dengan ketentuan bidang ibadah. Dengan demikian, pada dasarnya PBA ini boleh hukumnya. Meskipun demikian, hukum itu kemudian, tidak dapat diterapkan begitu saja untuk semua orang. Sebagaimana halnya kaidah bahwa hukum itu dapat berubah sesuai dengan masa, ruang, person, adat-istiadat, dan motivasi. Hukum bolehnya PBA yang ditarik melalui metode al-Maslahah alMaqsûdah ini, juga serupa dengan salah satu pendapat ulama atau pemikir kontemporer, meskipun dengan metode atau pendekatan yang berbeda. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam berbagai literatur, khususnya fiqh klasik, pembahasan masalah PBA ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam: perkawinan antara laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitâb, dan perempuan Muslimah dengan laki-laki Ahl al-Kitâb, serta perkawinan antara laki-laki Muslim dengan perempuan Musyrikah maupun sebaliknya. Pertama, halâl laki-laki Mukmin (Muslim) mengawini perempuan Ahl al-Kitâb, dengan (syarat-syarat) memberikan mahar, sebagai kewajiban,455 dan tidak ada maksud untuk berzina secara terang-terangan atau
sembunyi-sembunyi,
maupun
dijadikan
gundik.456
Kedua,
perempuan Mukmin (Muslim) haram kawin dengan laki-laki baik Ahl alKitâb.457
Menurut al-Marâghî diikatnya kehalalan menikahi dengan keharusan membayar mahar, adalah sebagai tekanan bahwa mahar itu memang benar-benar wajib, bukan hanya merupakan syarat kehalalan pernikahan. al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid II, h. 267. 456 al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid I, h. 211. 457 al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid I, h. 211. 455
ccxli
Pendapat di atas merupakan pendapat Jumhur Ulama, dan ala’immah al-arba`ah (imam empat),458 yakni Imam Mâlik, Abû Hanîfah, alSyâfi`î, dan Ahmad bin Hanbal. Pendapat seperti ini dikemukakan juga, misalnya, oleh al-Marâghî459 dalam Tafsîr al-Marâghî,460 Rasyîd Ridâ dalam Tafsîr al-Manâr,461 Muhammad `Alî al-Sâbǔnî dalam Tafsîr Âyât al-Ahkâm min al-Qur’ân, para penulis (pengarang) dalam al-Qur’ân dan Tafsîrnya,462 dan Hamka dalam Tafsîr al-Azhar.463 Para ulama yang membolehkan perkawinan laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitâb masih berbeda pendapat tentang siapa Ahl al-Kitâb pada ayat tersebut. Sebagian ulama membatasi Ahl al-Kitâb terbatas pada penganut Yahudi dan Nasrani (Kristen) di masa Rasul saja, sementara sebagian ulama lainnya, termasuk Muhammad Quraish Shihab, memaknai Ahl al-Kitâb mencakup semua penganut Yahudi dan Nasrani (Kristen), dari keturunan siapa pun, sampai masa kini.464 AlMarâghî termasuk ulama yang tidak membatasi Ahl al-Kitâb pada zaman Rasul saja.465
458 Muhammad `Alî al-Sâbǔnî, Tafsîr Âyat al-Ahkâm min al-Qur’ân (Beirut: Dâr alKutub al-`Ilmiyyah, 1999), Jilid I, h. 203. 459 Guru Besar Hukum Islam dan Bahasa Arab pada Fakultas Dâr al-`Ulûm Mesir. 460 al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid II, h. 267. 461 al-Sayyid al-Imâm Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm al-Masyhǔr bi Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1999), Jjilid VI, h. 159. 462 Para mufasir Indonesia dalam al-Quran dan Tafsirnya, yang diterbitkan oleh Depag R.I., berpendapat bahwa laki-laki mukmin boleh mengawini perempuan tersebut dengan kewajiban memberikan nafkah asalkan tidak ada maksud-maksud lain yang terkandung dalam hati seperti mengambil mereka untuk berzina dan tidak pula untuk dijadikan gundik. Ringkasnya laki-laki mukmin boleh mengawini perempuan-perempuan ahli kitab dengan syarat-syarat seperti tersebut di atas. Akan tetapi wanita-wanita Islam tidak boleh kawin dengan laki-laki ahli kitab apalagi dengan laki-laki kafir yang bukan ahli kitab. Alasan mengapa tidak ada maksud-maksud berzina, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi adalah karena, tujuan perkawinan adalah agar si laki-laki terpelihara dan isterinya juga terpelihara, masing-masing memelihara kesuciannya terhadap yang lain, dan menjadikan perkawinan sebagai benteng yang dapat mencegahnya dari perbuatan mesum dalam bentuk apapun. Jadi, si laki-laki hendaknya jangan berzina secara terang-terangan maupun rahasia, dengan memelihara seorang gundik khusus untuknya. Demikian pula si wanita. Gani, dkk., al-Quran dan Tafsirnya, h. 379, lihat pula Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 144. 463 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1983), Juz VI, h. 143. 464 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996), h. 368. 465 al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid II, h. 267.
ccxlii
Argumentasi yang digunakan oleh jumhur ulama/kelompok pertama antara lain, bahwa QS. al-Baqarah (2) ayat 221 bukanlah sebagai yang menasakh (menghapuskan hukum) ayat al-Mâ’idah (5) ayat 5 di atas, karena al-Baqarah merupakan permulaan ayat/surat yang turun di Madinah, sedangkan al-Mâ’idah merupakan yang turun kemudian. Dan kaidah yang berlaku adalah bahwa al-muta’akhkhir yansakh almutaqaddim lâ al-`aks (bahwa ayat yang turunnya kemudian itu menasakh ayat yang turun sebelumnya, bukan sebaliknya).466 Menurut Hamka, alasan pelarangan Islam terhadap perempuan mukmin (Muslim) bersuamikan Ahl al-Kitâb, adalah sebab bagaimanapun perempuan tidaklah akan melebihi kekuasaan suaminya dalam rumah tangganya, apalagi dalam agama-agama lain yang tidak memberikan jaminan kebebasan yang luas dalam peraturan agamanya terhadap perempuan, sebagaimana dipunyai oleh Islam.467 Menurut Mahmûd Syaltût, dalam kitabnya Min Tawjihât al-Islâm, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, hikmah dibolehkannya pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitâb adalah sebagai salah satu strategi dakwah. Dalam posisi sebagai suami, laki-laki memiliki hak untuk mendidik keluarga: istri dan anak-anak mereka dengan akhlak Islam. Pernikahan itu diharapkan untuk mengeliminir kebencian dan dendam orang-orang nonMuslim terhadap Islam, terutama di hati istri. Demikian juga, istri dengan perlakuan suaminya yang baik terhadapnya diharapkan akan lebih mengenal keindahan dan keutamaan Islam, sehingga dari dampak perlakuan baik itu, ia mendapatkan ketenangan dan kebebasan beragama, serta hak-haknya yang sempurna. Akan tetapi, kalau harapan itu tidak dapat diwujudkan sebaiknya pernikahan tersebut dilarang.468 `Alî al-Sâbǔnî, Tafsîr Âyât al-Ahkâm, h. 204. Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz II, h. 195-196. 468 Mahmûd Syaltût dikutip Syihab, Wawasan al-Quran, h. 198; juga Musdah Mulia, ”Menafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama,” dalam Anshor dan Sinaga (ed.), Tafsir Ulang 466 467
ccxliii
Kedua, perkawinan laki-laki Muslim dengan perempuan musyrik; dan perempuan Muslimah dengan laki-laki musyrik. Menurut Ridâ, yang dilarang dalam surat 2:221 adalah perkawinan laki-laki Muslim dengan perempuan musyrik (musyrikât), dalam arti perempuan musyrik zaman Nabi. Kata musyrikât dalam surat 2:221 adalah perempuan musyrik Arab di zaman Nabi.469
QS. (2): 221
digunakan sebagai dalil PBA, tepatnya antara orang Islam dengan orang musyrik. Asbâb al-nuzûl ayat ini (QS. 2:221), menurut suatu riwayat oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hâtim dan al-Wâhidi yang bersumber dari Muqâtil, adalah sebagai petunjuk atas permohonan Ibnu Abi Murtsid alGhanawî yang meminta idzin kepada Nabi s.a.w. untuk menikah dengan seorang wanita musyrik yang cantik dan terpandang.470 Namun menurut al-Suyûti, sebagaimana dikutip oleh `Alî al-Sâbûnî, riwayat tersebut bukanlah merupakan sebab turunnya ayat di atas (QS. al-Baqarah [2]: 221), tetapi merupakan sebab turunnya ayat al-Nûr (24) ayat 3: 471 Perkawinan Lintas Agama, h. 123. Mengomentari pendapat Syaltût di atas, Quraisy Shihab mengatakan kalau pernikahan perempuan Muslim dengan laki-laki nonMuslim dilarang karena kekhawatiran akan terpengaruh oleh agama suami, maka demikian pula sebaliknya, pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitâb harus pula tidak dibenarkan jika dikhawatirkan ia atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Syihab, Wawasan al-Quran, h. 199. 469 Lihat Ridâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid VI, h. 159. 470 Lihat al-Suyûtî, Lubab al-Nuqûl fî Asbâb al-Nuzul, dalam Ahmad al-Sâwî al-Mâlikî, Hâsyiyyat al-`Allâmah al-Sâwî `alâ Tafsîr al-Jalâlain, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), Juz I, h. 142, juga Saleh, dkk., Asbâb al-Nuzûl: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Quran, (Bandung: Diponegoro, 1990), h. 73. 471 al-Sâbûnî, Tafsîr Âyat al-Ahkâm, Juz I, h. 220. Ayat dimaksud adalah:
⌧ ⌧ ☺ ”Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” Dalam riwayat lain oleh al-Wâhidi dari al-Suddî dari Abî Mâlik yang bersumber dari Ibnu `Abbâs, dikemukakan bahwa kelanjutan ayat tersebut di atas, dari ” …”وﻷﻣﺔsampai akhir ayat, berkenaan dengan Abdullah bin Rawâhah yang mempunyai seorang hamba sahaya wanita (amat) yang hitam. Pada suatu waktu ia marah kepadanya, sampai menamparnya. Ia sesali kejadian itu, lalu menghadap kepada Nabi s.a.w. untuk menceritakan hal itu: ”Saya akan merdekakan dia dan mengawininya”. Lalu ia laksanakan. Orang-orang pada waktu itu mencela dan mengejeknya atas
ccxliv
Dalam masalah ini juga terdapat dua pendapat. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan orang Muslim dengan orang musyrik selama belum beriman (masuk Islam), baik laki-laki Muslim dengan wanita musyrik, maupun wanita muslim dengan laki-laki musyrik secara mutlak menurut nass ayat di atas, maupun ijmâ` almuslimîn adalah haram.472 Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain, al-Marâghî, para penafsir al-Quran dan Tasfirnya, dan Hamka. Adapun argumentasi kelompok pertama, kelompok yang tidak membolehkan perkawinan orang Islam dengan orang nonMuslim (musyrik), secara mutlak, yakni baik laki-laki Muslim dengan wanita nonMuslim (musyrik) maupun perempuan Muslimah dengan laki-laki nonMuslim (musyrik), menurut al-Marâghî, misalnya, karena perempuan adalah tempat lelaki meletakkan kepercayaan (إذ اﻟﻤﺮءة ﻣﻮﺿﻊ ﺛﻘﺔاﻟﺮﺟﻞ, idz almar’ah maudi` tsiqat al-rajul).473 Lelaki mempercayakan dirinya, anakanaknya dan hartanya kepadanya. Sedangkan kecantikan tidak menjamin seorang wanita itu bisa diberi kepercayaan. Perempuan musyrik tidak mempunyai agama yang melarangnya berlaku khianat, memerintahkannya berlaku kebajikan dan melarangnya berbuat kejelekan. Dan seorang perempuan musyrik, terkadang mengkhianati suaminya serta merusakkan akidah anak-anaknya.474 perbuatannya itu. Ayat tersebut (2:221) juga menegaskan bahwa kawin dengan seorang hamba sahaya Muslimah, lebih baik daripada kawin dengan wanita musyrik. al-Sâbûnî, Tafsîr Âyat alAhkâm, Juz 1, h. 73-74. 472 Lihat al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâm, Juz 9, h. 6613-6614. 473 al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid I, h. 211. 474 al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid I, h. 211. Hamka juga memberikan argumentasi tentang pelarangan Islam terhadap perempuan mukmin (Muslim) kawin dengan laki-laki musyrik. Menurutnya, perempuan Muslim bersuamikan laki-laki Ahl al-Kitâb, tetap saja ia tidaklah akan melebihi kekuasaan suaminya dalam rumah tangganya, apalagi dalam agamaagama lain yang tidak memberikan jaminan kebebasan yang luas dalam peraturan agamanya terhadap perempuan, sebagaimana dipunyai oleh Islam. Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz II, h. 195196. Sedangkan orang musyrik bukanlah tergolong orang yang beragama seperti Ahl al-Kitâb. Dalam al-Qur’an dan Tafsirnya disebutkan bahwa ketidak halalan perkawinan antara orang Muslim dengan orang musyrik juga sangat terkait dengan persoalan agama. Perkawinan, erat hubungannya dengan agama. Orang musyrik bukan orang beragama. Mereka menyembah selain Allah. Di dalam soal perkawinan dengan orang musyrik ada batas tembok yang kuat, tetapi dalam soal pergaulan, bermasyarakat itu bisa saja terjadi. Sebab perkawinan, erat hubungannya dengan
ccxlv
Perkawinan perempuan Muslim dengan Ahl al-Kitâb memang tidak disebut secara langsung dalam Qur’ân surat al-Mâ’idah (5): 5. Artinya berdasarkan tekstual ayat, laki-laki Muslim boleh kawin dengan perempuan Ahl al-Kitâb. Karena perkawinan perempuan Muslim dengan laki-laki Ahl al-Kitâb tidak disebut secara eksplisit dalam ayat ini, tentu saja dapat dipahami perkawinan ini boleh. Meskipun demikian, dalam praktek, orang-orang tidak menyetujui perkawinan perempuan Muslim dengan laki-laki Ahl al-Kitâb sejak zaman dahulu. Karena, perempuan dari golongan agama lain, memang akan merasa senang jika tinggal dalam rumah tangga orang
Islam, mengingat kedudukan dan hak yang
diberikan oleh Islam kepada kaum wanita; tetapi wanita Islam akan merasa susah jika tinggal dalam keluarga bukan orang Islam, karena mereka kehilangan hak yang mereka nikmati dalam masyarakat Islam.475 Berdasarkan atas praktek di atas, ia berkesimpulan perkawinan perempuan Muslim dengan laki-laki Ahl al-Kitâb tidak diperbolehkan. Maulana Muhammad Ali termasuk mufasir yang tergolong mengharamkan perkawinan perempuan Muslim dengan laki-laki Ahl alKitâb dan musyrik. Menurutnya, terdapat permusuhan antara orang Muslimin dengan orang musyrik; orang musyrik hendak menghancurkan kaum Muslimin. Hal ini akan menyebabkan timbulnya keadaan baru. Perkawinan dengan orang yang sedang dalam keadaan perang dengan kaum Muslimin, pasti menyebabkan kesukaran besar dan menimbulkan banyak keruwetan. Bahkan lanjut Muhammad Ali, ditegaskan bahwa, karena perang, hubungan suami-isteri dengan pihak mereka harus dihentikan. Oleh sebab itulah, perkawinan mereka dilarang. Dengan demikian konteks dilarangnya perkawinan antara orang Muslim baik lakilaki maupun perempuan dengan orang musyrik karena situasi tidak keturunan dan keturunan berhubungan dengan harta pusaka, berhubungan dengan makan dan minum dan ada hubungannya dengan pendidikan dan pembangunan serta masa depan Islam. 475 Maulana Muhammad Ali, The Holy Qur’an: Arabic Text, English Translation and Commentary (Qur’an Suci: Teks Arab, Terjemah dan Tafsir Bahasa Indonesia), penerjemah M. Bachrun, cet. ke-3 (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1984), h. 312.
ccxlvi
normal, yaitu perang, di mana hubungan Islam dengan orang-orang musyrik masih bermusuhan.476 Atas dasar inilah, ketika kondisi zaman berbeda, di mana dalam sebuah negara, hubungan antara orang-orang Muslim dengan orang-orang musyrik stabil/normal, maka perkawinan antara mereka diperbolehkan. Karena
perkawinan
dengan
orang
musyrik
dianggap
membahayakan seperti keterangan di atas, maka tegas-tegas Allah melarang perkawinan dengan mereka. Golongan orang musyrik itu akan selalu menjerumuskan umat Islam ke dalam bahaya di dunia, dan menjerumuskannya ke dalam neraka di akhirat, sedang ajaran-ajaran Allah kepada orang-orang mukmin selalu membawa kepada kebahagiaan dunia dan masuk surga di akhirat.477 Kelompok kedua, para intelektual Indonesia, seperti
Zainun
Kamal dan Siti Musdah Mulia,478 yang berpendapat bahwa boleh perkawinan Muslim dengan nonMuslim, tidak terbatas bagi laki-laki saja, melainkan juga bagi perempuan. Dalam hal ini yang dimaksud nonMuslim bukanlah orang musyrik pada zaman Nabi s.a.w. Selain itu, Nuryamin Aini, termasuk dalam kelompok ini, bahkan menggunakan alasan bahwa adanya kekhawatiran perkawinan antara perempuan Muslimah dengan laki-laki nonMuslim akan berakibat pada si isteri itu dan masa depan anak-anaknya akan menjadi murtad, tidak relevan lagi. Argumentasi kelompok ini adalah nass al-Quran surat al-Baqarah ayat 221 di atas, di samping juga surat al-Mumtahanah (60): 10 dan alMâ’idah (3): 5. Namun, pembacaan kelompok yang berpendapat demikian, berbeda dengan pembacaan kelompok yang pertama. Menurut kelompok yang memperbolehkan perkawinan tersebut adalah bahwa ayat 221 surat al-Baqarah di atas hanya melarang pernikahan seorang muslim dengan musyrik, di mana menurut Ridâ, yang dikehendaki dengan Muhammad Ali, The Holy Qur’an, h. 118-119. Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz II, h. 396-397. 478 Musdah Mulia, dalam Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: h. 124. 476 477
ccxlvii
perempuan-perempuan musyrik dalam ayat 221 di atas adalah terbatas pada perempuan musyrik Arab --di zaman Nabi.479 Dan itulah pendapat yang dipilih dan yang diunggulkan oleh Ibnu Jarîr al-Tabarî. Bahwa orang Majusi, Sabi’în, penyembah berhala baik orang Hindia, Cina dan semisalnya adalah sebagaimana al-yâbâniyyîn yaitu para pemilik kitabkitab yang mencakup tauhîd sampai sekarang ini. Dan yang zâhir dari sejarah dan penjelasan al-Qur’ân adalah bahwa pada semua umat itu ada seorang rasul yang diutus untuk mereka, dan kitab-kitab mereka adalah kitab-kitab samâwîyah di mana terjadi penyimpangan terhadapnya seperti terjadi pada kitab-kitab Yahudi dan Nasrani yang merupakan kitab-kitab paling awal dalam sejarahnya.480 Lebih lanjut, kata Ridâ, pendapat yang dipilih (al-mukhtar) menurut kami adalah bahwa pada asalnya (hukum) dalam perkawinan itu adalah boleh (al-asl fî al-nikâh al-ibâhah) dan karenanya datang nass tentang perempuan-perempuan yang haram dinikahi, dan bahwa firman Allah setelah menjelaskan perempuan-perempuan yang haram dikawini pada QS. al-Nisâ’ (4): 23-24 (dan dihalalkan bagi kamu apa-apa yang selain itu (QS: 4:24) memberikan pengertian hukum halalnya mengawini perempuan mereka (selain yang disebutkan di ayat tersebut), sehingga tidak ada seorang pun yang boleh mengharamkan kecuali dengan nass yang menasakh ayat ini atau mentakhsîs keumumannya.481 Argumentasi lain yang digunakan mereka yang memperkuat alasan bolehnya perkawinan antara laki-laki Muslim dengan perempuan nonMuslim dan sebaliknya, pada zaman sekarang, adalah bahwa dalam teks ayat itu di samping disebutkan larangan kawin dengan orang musyrik juga diikuti anjuran kawin dengan budak. Ini menunjukkan bahwa konteks diharamkannya perkawinan itu adalah perkawinan yang
Lihat Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân, h. 159. Lihat Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân, h. 159-160. 481 Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân, h. 160. 479
480
ccxlviii
dilakukan dengan orang-orang musyrik di zaman Nabi, dan mereka sudah tidak ada lagi sekarang.482 Untuk menunjukkan bahwa alasan dilarangnya perempuan Muslim kawin dengan laki-laki nonMuslim adalah terkait dengan masa depan si pasangan yang Muslim dan anak-anaknya yang dapat menjadi murtad. Padahal kecenderungan agama dari anak pasangan PBA menarik untuk dijadikan pertimbangan boleh tidaknya PBA ini. Dalam Islam, lakilaki muslim tidak jadi soal menikahi perempuan nonMuslim, tetapi tidak sebaliknya; perempuan Muslim kawin dengan laki-laki nonMuslim. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Nuryamin Aini,483 didapatkan data bahwa pada tahun 1980, laki-laki Muslim yang menikah (kawin) dengan perempuan nonMuslim, 50% dari anaknya menjadi Muslim. Akan tetapi
bila
ibunya
Muslim
dan
bapaknya
nonMuslim,
angka
kecenderungan anak menjadi Muslim justru lebih tinggi: sampai 77%. Angka itu naik lagi pada tahun 1990 menjadi 79%. Jadi bisa dikatakan bahwa kemampuan perempuan Muslim untuk mengislamkan anaknya ketika
menikah
dengan
laki-laki
nonMuslim
jauh
lebih
tinggi
dibandingkan laki-lakinya yang muslim. Dominasi figur ibu tak dapat dipisahkan dari peran nurturancei-nya dan intensitas waktu yang lebih banyak
untuk
berinteraksi
dengan
anak-anaknya.
Atas
dasar
kekhawatiran itulah, larangan perempuan Muslim kawin dengan laki-laki nonMuslim zaman sekarang menjadi kurang relevan lagi. Dengan demikian, konteks kekhawatiran anak-anak pasangan PBA akan menjadi nonMuslim, menjadi dugaan semata. Menurut Zainun Kamal, karena dewasa ini, pendidikan anak-anak lebih banyak, kalau tidak sepenuhnya, diarahkan oleh ibu. Karena itu, masa depan akidah anak-anak cenderung diarahkan oleh sang ibu pula. Di lain segi, tidak ada Pendapat Zainun Kamal dan Musdah Mulia, masing-masing lihat dalam Anshor, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama, h. 166, dan 124. 483 Lihat ”Fakta Empiris Nikah Beda Agama”, Wawancara Ulil Abshar-Abdalla (Jaringan Islam Liberal, JIL) dengan Nuryamin Aini, diakses pada 31 Januari 2008 dari http://islamlib.com/id/index. php ?page=article&id=347 482
ccxlix
jaminan bahwa laki-laki lebih teguh dalam memegang prinsip akidah (agama)nya dibandingkan perempuan. Menurutnya, adagium, “perempuan mengikuti agama suaminya,” kini, sudah sulit memperoleh pembenaran. Bahkan, dalam banyak kasus, justru perempuanlah yang berhasil menarik suaminya, atau calon suaminya, mengikuti agama yang dianutnya.484 Ringkasnya, penafsiran para ulama/cendekiawan terhadap PBA terbagi menjadi tiga: pertama, semua ulama sepakat, pada prinsipnya perkawinan antara lali-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kitâb adalah boleh (al-ibâhah) berdasarkan QS. al-Mâ’idah (5): 5; tetapi jika dapat menimbulkan mafsadat, seperti si lelaki (suami) menjadi murtad, atau terabaikannya pendidikan anak-anak mereka menurut ajaran Islam, perkawinan tersebut menjadi tidak dibolehkan.485 Kedua, terdapat perbedaan pendapat mengenai perkawinan wanita Muslim dengan lakilaki Ahl al-Kitâb. Menurut Jumhur ulama perkawinan ini hukumnya haram, tetapi menurut sekelompok pemikir Indonesia, perkawinan tersebut adalah boleh, sebagaimana perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kitâb. Alasannya, bahwa larangan perkawinan dengan Ahl al-Kitâb konteksnya terkait dengan situasi perang. Ketiga, terdapat kesepakatan tentang hukum haram secara mutlak perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita musyrikat Arab zaman Nabi, maupun sebaliknya, yakni wanita Muslim dengan lelaki musyrik Arab zaman Nabi, berdasarkan QS. al-Baqarah (2): 221. Hukum haram itu terkait dengan konteksnya, bahwa ketika itu umat Islam sedang dalam keadaan perang dengan orang-orang musyrik, di mana hubungan dengan perempuan mereka dapat menimbulkan bahaya dan kesukaran. Tetapi terdapat perbedaan pendapat tentang perkawinan antar mereka di zaman Kamal dalam Anshor, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama, h. 166. Hal itu karena anak yang dilahirkan dari hubungan mereka berstatus Islam, mengikuti ayahnya, dalam hal ini Muslim,-- maka perkawinan itu dilarang, bukan persis sama dengan pengertian diharamkan, artinya tidak sama persis hukumnya dengan hukum haram, sebab haram dasarnya adalah nass al-Qur’an atau sunnah/hadis Nabi s.a.w. Tetapi sama-sama dapat berimplikasi dosa melakukan perkawinan dalam kasus tersebut. 484 485
ccl
sekarang. Jumhur mufasir tetap mengharamkannya, namun sekelompok mufasir, seperti Ridâ membolehkannya, berdasarkan penafsiran terhadap makna kata musyrik dalam ayat di atas, yang diartikan terbatas pada musyrik Arab zaman Nabi saja. Adapun al-Qur’ân surat al-Mumtahanah (60): 10 yang melarang mengembalikan perempuan yang telah menjadi Mu’min kepada laki-laki (suami)nya, sangatlah terkait dengan konteks ketika itu. Pada masa itu umat Islam masih mengadakan perjanjian Hudaibiyyah dengan kafir Quraisy Makkah, yang isinya agar jika orang kafir (dalam arti umum, baik laki-laki maupun perempuan) hijrah ke Madinah, tanpa seidzin walinya, agar dikembalikan ke orang kafir di Mekah, namun jika orang Muslim bergabung dengan orang kafir, tidak dikembalikan. Pada akhirnya perjanjian itu pun dihapus, karena di kemudian hari diingkari oleh kaum kafir tersebut.486 Menurut sekelompok orang, bahwa perihal keumuman dalam akad perjanjian itu bukan berasal dari wahyu, namun merupakan ijtihâd Nabi.487 Jadi jelas konteks larangan mengembalikan perempuan kafir yang telah masuk Islam adalah konteks hubungan kedua pihak (kaum Muslim dan kafir) yang masih belum stabil. Di antara pendekatan tafsir yang digunakan di atas, terdapat kesimpulan hukum yang membolehkan PBA. Kesimpulan ini sama dan sekaligus mendukung terhadap kesimpulan yang diperoleh dengan menggunakan metode al-Maslahah al-Maqsûdah. Dengan metode alMaslahah al-Maqsûdah, berdasarkan prinsip-prinsip, seperti, kebebasan beragama, kesetaraan, kerahmatan, dan kemaslahatan, yang merupakan maqâsid al-Syarî`ah dan HAM, PBA secara mutlak boleh atau halal hukumnya. Dalam hal ini, ayat yang terkait dengan PBA ditempatkan sebagai tekstur terbuka yang menerima interpretasi, konsekuensinya 486 al-Sâyis, Tafsîr Âyât al-Ahkâm, Juz IV, h. 334, Yohanan Friedmann, Tolerance and Coercion in Islâm: Interfaith Relations in the Muslim Tradition (New York: Cambridge University Press, 2003), h. 175-176. 487 al-Sâyis, Tafsîr Âyât al-Ahkâm, Juz IV, h. 335.
ccli
tekstual ayat tersebut tidaklah qat`î. Interpretasi yang dimaksud di sini menggunakan metode al-Maslahah al-Maqsûdah yang berlandaskan prinsip-prinsip di atas, di samping didukung dengan data/fakta empiris. Meskipun kesimpulan hukum sama, metode atau pendekatan yang digunakan jelas berbeda. Pendekatan tafsir yang digunakan dengan cara mengkaji ulang terhadap ayat yang mengharamkan perkawinan antara wanita Muslim dengan laki-laki Ahl al-Kitâb dan perkawinan orang Muslim dengan orang musyrik zaman sekarang, baik laki-laki Muslim dengan wanita musyrik maupun perempuan Muslim dengan laki-laki musyrik, berpijak pada konteks pengharaman PBA tersebut. Konteks diharamkannya itu terkait dengan keadaan perang, di mana hubungan suami istri antara mereka dilarang. Untuk konteks sekarang dalam rangka menjalankan kehidupan sosial yang harmonis, PBA ini menjadi signifikan. Di samping itu, musyrik zaman sekarang juga mempunyai kitab-kitab (suci) yang mengajarkan kedamaian, dan kebaikan. b. Waris Beda Agama al-Qur’ân telah memberikan ketentuan tentang warisan secara umum, namun tidak memberikan ketentuan mengenai waris beda agama (selanjutnya disingkat WBA). Dalam ayat-ayat waris,488 al-Qur’ân tidak membedakan antara yang Muslim dan non Muslim, yang merdeka maupun budak, yang membunuh dengan sengaja maupun yang tidak membunuh. Penjelasan dan perincian tentang warisan di atas ada dalam Sunnah, karena Sunnah berfungsi sebagai bayân terhadap al-Qur’ân. Penjelasan mengenai WBA ini ada dalam hadis-hadis Nabi, antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Usâmah bin Zaid ra. berikut:
488
Ayat dimaksud adalah Surat al-Nisâ’ (4) ayat 8, 11, 12, dan 13.
cclii
ﻻ ﻳﺮث اﻟﻤﺴﻠﻢ اﻟﻜﺎﻓﺮ وﻻ ﻳﺮث اﻟﻜﺎﻓﺮ:أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل 489
.()ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ.اﻟﻤﺴﻠﻢ
”Seorang Muslim tidak mewarisi seorang kafir, dan seorang kafir juga tidak mewarisi seorang Muslim”. (Muttafaq `Alaih) Hadis ini ditakhrîjkan oleh para ahli hadis, al-Bukhârî, Muslim, alTirmîdzî, Abû Dâwud, Ibn Mâjah, Ahmad bin Hanbal, dan al-Dârimî, dalam kitabnya masing-masing.490 Hadis ini secara jelas berkualitas sahîh, karena diriwayatkan oleh al-Syaikhâni, dan termasuk hadis muttafaq `alaih (disepakati oleh keduanya, yakni hadis yang ditakhrîjkan oleh keduanya secara bersamasama dari jalan satu sahabat),491 yaitu Usâmah bin Zaid. Berdasarkan hadis ini, seorang muslim tidak dapat mewarisi kepada seorang kafir, dan begitu pula sebaliknya, seorang kafir tidak bisa mewarisi kepada seorang Muslim. Jadi haram saling waris mewarisi di antara keduanya. Ini adalah pendapat Jumhûr. Pendapat jumhur ini, selain didasarkan kepada hadis tersebut,492 sebagaimana diakui Ibnu Rusyd, juga didasarkan kepada ayat yang bersifat umum, yaitu QS. al-Nisâ (4): 141.493 Hadis ini ditakhrîjkan oleh al-Bukhârî, dalam ﺑﺎب ﻻ ﻳﺮث اﻟﻤﺴﻠﻢ اﻟﻜﺎﻓﺮ وﻻ اﻟﻜﺎﻓﺮ اﻟﻤﺴﻠﻢ وإذا أﺳﻠﻢ ﻗﺒﻞ أن ﻳﻘﺴﻢ اﻟﻤﻴﺮاث ﻓﻼ ﻣﻴﺮاث ﻟﻪ, yang redaksi lengkapnya: ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ ﻋﺎﺻﻢ ﻋﻦ ﺑﻦ ﺟﺮﻳﺞ ﻋﻦ ﺑﻦ ﺷﻬﺎب ﻋﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺣﺴﻴﻦ ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﻋﺜﻤﺎن ﻋﻦ أﺳﺎﻣﺔ ﺑﻦ زﻳﺪ .رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﻻ ﻳﺮث اﻟﻤﺴﻠﻢ اﻟﻜﺎﻓﺮ وﻻ اﻟﻜﺎﻓﺮ اﻟﻤﺴﻠﻢ 489
Dalam redaksi lainnya, hadis No. 4032, al-Bukhârî menggunakan redaksi اﻟﻤﺆﻣﻦbukan
اﻟﻤﺴﻠﻢsebagai berikut: .... ﻗﺎل ﻻ ﻳﺮث اﻟﻤﺆﻣﻦ اﻟﻜﺎﻓﺮ وﻻ ﻳﺮث اﻟﻜﺎﻓﺮ اﻟﻤﺆﻣﻦ... 490 Hadis ini ditakhrîjkan oleh al-Bukhârî dalam Kitâb al-Hajj no. 1485, dan al-Farâid, hadis No. 6267, Muslim dalam al-Farâid, hadis No. 3027, al-Tirmîzî: al-Farâid no. 2033, Abû Dâwud: al-Farâid no. 2521, Ibn Mâjah: al-Farâid, No. 2719 dan 2720, Ahmad ibn Hanbal Juz 5 h. 200, 201, 202, 208, dan 209, Mâlik: al-Farâid no. 959, dan al-Dârimî: al-Farâid no. 2870, 2872, dan 2873. Lihat CD Room, al-Bayân, hadis No. 943. 491 Tentang pengertian hadis muttafaq `alaih di atas misalnya dikemukakan oleh Imâm al-Kahlânî (1059-1182). Lihat Muhammad bin Ismâ`il al-Kahlânî al-San`ânî al-Ma`rûf bi al-Amîr, Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillat al-Ahkâm (T.Tp.: Dâr al-Fikr, t.t.), juz I, h. 13. 492 Selain hadis di atas, juga hadis riwayat `Abd Allâh bin `Umar r.a.:
ccliii
Dengan demikian, menurut Jumhûr, hadis-hadis tersebut menjadi mukhasssis al-Qur’ân, yang bersifat umum.494 Berdasarkan hadis-hadis dan ayat di atas, menurut Jumhur WBA hukumnya haram. Tetapi ada pendapat lainnya, yaitu orang Muslim dapat mewarisi dari orang kafir, namun
tidak
sebaliknya.
Versi
ini
diriwayatkan
dari
Mu`âdz,
Mu`âwiyyah, Masrûq, Sa`îd bin al-Musayyab, Ibrâhîm al-Nakha`î, dan Ishâq. Pendapat ini dipegangi oleh al-Imâmiyyah dan al-Nâsir. Dasar yang dijadikan pijakan adalah hadis Nabi riwayat Mu`âdz, ia mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:495ﻳﻨﻘﺺ
أن اﻹﺳﻼم ﻳﺰﻳﺪ وﻻ
(”Islam itu
bertambah dan tidak berkurang, maka ia (orang Islam) mewarisi orang non-Islam” (HR. Ahmad).
.ث أهﻞ اﻟﻤﻠﺘﻴﻦ ُ ل ﻟَﺎ َﻳ ِﺮ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﻲ ﻦ اﻟﱠﻨ ِﺒ ﱢ ْﻋ َ ”Dari Nabi s.a.w. beliau bersada: ”Tidaklah saling mewarisi pemeluk dua agama (yang berbeda)”. (HR. Ahmad, Abû Dâwûd, Ibn Mâjah, al-Tirmîdzî, al-Nasâ’î, dan al-Hâkim). Dua agama yang dimaksud di atas menurut Jumhûr adalah agama kafir dan Islâm, sehingga ketentuan hadis tersebut sama dengan hadis riwayat Usâmah di atas. Hadis tersebut mempunyai dua isnâd: pertama, sahîh ditakhrîj oleh al-Tirmîdzî dari Jâbir, dan al-Nasâ’î dan alHâkim dari Usâmah. Kedua, hasan, ditakhrîj oleh Ahmad, Abû Dâwûd, dan Ibn Mâjah, dari Ibn `Amr. Lihat dalam al-Kahlânî, Subul al-Salâm, Juz 3, h. 99. 493 Ayat dimaksud adalah: .... ⌧ ”…Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” 494 Lihat al-Kahlânî, Subul al-Salâm, Juz 3, h. 99. 495 Ditakhrîj oleh Ahmad dalam Musnad Ahmad, hadis No. 22058, Jilid V, h. 203; hadis No. 22110, Juz V, h. 236. Abû Dâwûd, hadis No. 2912. Lihat Muhammad `Alî al-Sâyis, Tafsîr Âyât al-Ahkâm, editor `Abd al-Hamîd Hindâwî, (Kairo: Mu’assasat al-Mukhtâr, 2001), Jilid I, h. 234. Berikut redaksi lengkapnya riwayat Ahmad, hadis No. 22058:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺣﺪﺛﻨﻲ أﺑﻲ ﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺟﻌﻔﺮ ﺛﻨﺎ ﺷﻌﺒﺔ ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ أﺑﻲ ﺣﻜﻲ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﺑﺮﻳﺪة ﻋﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﻳﻌﻤﺮ ﻋﻦ أﺑﻲ اﻷﺳﻮد اﻟﺪﻳﻠﻲ ﻗﺎل آﺎن ﻣﻌﺎذ ﻇﺎهﺮا ﻓﺎرﺗﻔﻌﻮا إﻟﻴﻪ ﻓﻲ زﻓﺮ ﻣﺎت وﺗﺮك أﺧﺎ ﻣﺴﻠﻤﺎ ﻓﻘﺎل ﻣﻌﺎذ اﻧﻰ ﺳﻤﻌﺖ .رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮل ان اﻹﺳﻼم ﻳﺰﻳﺪ وﻻ ﻳﻨﻘﺺ ﻓﻮرﺛﻪ Menurut al-Kahlânî hadis ini, yang menjadi landasan pendapat yang kedua di atas, didukung oleh hadis yang ditakhrîjkan oleh Musaddad: ”Bahwa ada dua orang bersaudara seorang Muslim dan Yahûdi yang mengadukan perkaranya kepada Mu`âdz yang ayah keduanya seorang Yahûdî meninggal dunia. Anaknya yang Yahûdî itu memperoleh warisannya, saudaranya yang Muslim menentangnya. Kemudian Mu`âdz (membuat keputusan) memberikan warisan itu kepada seorang Muslim tersebut”. Ibn Abî Syaibah dari jalan `Abd Allâh bin Maghfal mengeluarkan hadis, ia berkata: ”Saya tidak melihat keputusan yang paling baik dibandingkan keputusan Mu`âwiyyah, kami mewarisi dari Ahl al-Kitâb, namun mereka tidak mewarisi kami, seperti halya bagi kita halal nikah dengan mereka, namun mereka tidak halal nikah dari (perempuan) kita”. Lihat al-San`ânî, Subul al-Salâm, Juz III, h. 99.
ccliv
Menurut al-Kahlânî, hadis ini diriwayatkan oleh Abû Dâwud dan disahihkan oleh al-Hâkim. Akan tetapi, menurut Muhammad `Alî alSâyis, hadis ini da`îf diriwayatkan oleh Ahmad dan Abû Dâwud. Lanjut al-Sâyis, hadis ini pun bukan merupakan nass adanya orang Muslim mewarisi dari orang kafir (nonMuslim), sebagaimana halnya orang kafir tidak dapat mewarisi dari Muslim ia pun tidak bisa menghalangi orang Muslim mendapatkan warisan. Namun menurut Ibn Mas`ûd, orang kafir itu dapat menghalangi orang Muslim mendapatkan warisan. Menurut alSâyis496 perkataan Ibn Mas`ûd ini bukanlah dalil yang jelas; karena Syarî`ah menjadikan orang kafir dalam bidang waris sebagaimana (hukum) sesuatu yang tidak ada, demikian halnya dalam bab penghalang warisan, karena hal ini termasuk dalam salah satu hukum warisan, dan demikian pula orang kafir itu tidak termasuk dalam ayat ”Allah berwasiat pada anak-anak kalian”,497 juga ia tidak masuk dalam ayat ”jika ia memiliki seorang anak”.498 Jumhûr ulama menilai bahwa hadis yang muttafaq `alaih di atas merupakan nass tentang larangan (halangan) pewarisan tersebut, dan hadis Mu`âdz itu bukan merupakan petunjuk pada pengkhususan warisan, namun ia hanya memuat ikhbâr (informasi) bahwa agama Islam melebihi semua agama selainnya, ia bertambah tinggi dan tidak berkurang.499 Adapun hikmah di balik larangan saling mewarisi antara orang Muslim dan nonMuslim, menurut `Alî Ahmad al-Jurjâwî,500 karena orang kafir itu keluar dari agama dan persaudaraan Islam (ikhwah alIslâmiyyah) yang merupakan ikatan yang paling kokoh antara sesama Muslim. Jadi landasan penghalang waris karena prinsip persamaan agama dan persaudaraan seislam. Padahal, di lain pihak menurutnya, Alî al-Sâyis, Tafsîr Âyât al-Ahkâm, Jilid I, h. 234. QS. al-Nisâ’ (4): 11. 498 QS. al-Nisâ’ (4): 12. 499 Lihat al-San`ânî, Subul al-Salâm, Juz 3, h. 99. 500 Al-Jurjâwî, Hikmat al-Tasyrî`, h. 269. 496 497
cclv
syariat waris itu tujuannya adalah untuk saling mengasihi (ta’âluf), tolong menolong (ta`âwun), dan kemanfaatan bagi para kerabat (isâl almanfa`ah ilâ al-aqârib).501 Justru dengan adanya saling mewarisi tersebut, tujuan saling mengasihi, tolong menolong, dan memberikan kemanfaan itu menjadi terwujud. Dalam hal ini, tidak dibedakan antara yang Muslim dan yang nonMuslim. Berdasarkan uraian di atas, ditinjau dari dalil yang dijadikan landasan hukum, pendapat Jumhurlah yang râjih. Dengan demikian, berdasarkan nass Sunnah tersebut, hukum WBA, yakni antara orang Muslim dengan non Muslim, adalah haram. Pemandangan ini menjelaskan, bahwa para ulama terdahulu masih mencoba untuk mencari ”jalan alternatif” dalam kaitannya dengan agama lain. Hal ini tampak dalam masalah WBA tersebut. Dalam kasus ini, terdapat perbedaan cara pandang terhadap agama lain. Akan tetapi, yang tersosialisasikan kadangkala hanya pandangan mayoritas (aljamâhir), sedangkan pandangan ulama minoritas yang membela hak-hak nonMuslim cenderung ”dilupakan” atau dihilangkan begitu saja. Pandangan kelompok kedua yang memberikan ruang WBA merupakan wilayah ijtihadi yang perlu diapresiasi, karena mau mengakomodasi nonMuslim.502 Meskipun demikian, dalam pandangan kelompok kedua itu pun, tetap saja berimplikasi diskriminasi atau marjinalisasi terhadap nonMuslim. Diskriminasi atau marjinalisasi ini tampak jelas dalam kasus orang Muslim dapat mewarisi orang nonMuslim, namun tidak sebaliknya. Terhadap ayat, yakni yaitu QS. al-Nisâ (4): 141, yang dijadikan dalil pengharaman WBA di atas, tidaklah tepat, karena ayat tersebut bersifat umum. Justru hadis yang dijadikan dalil oleh Jumhur itulah yang bersifat khusus, mentakhsis ayat tersebut. Dengan demikian ayat tersebut tidak serta merta dapat dijadikan landasan untuk melarang WBA. Sedangkan
501 502
Al-Jurjâwî, Hikmat al-Tasyrî`, h. 269. Sirri, (ed.), Fiqh Lintas Agama, h. h. 166.
cclvi
hadis di atas masih perlu dikaitkan dengan ayat-ayat al-Qur’ân yang bersifat substantif, mengenai akomodasi terhadap agama-agama samawi, selain Islam (Kristen, Yahudi, dan Sabi’in) dan mereka yang beramal saleh. Dalam ayat ini mereka pun dijanjikan akan mendapatkan surga di hari akhirat kelak.503 Oleh karena itulah, dalam meyoroti problematika kawin beda agama
ini,
metode
al-Maslahah
menjadi
penting
dan
relevan
diaplikasikan. Metode ini, sebagaimana diuraikan di muka, menggunakan paradigma
maqâsid
al-Syarî`ah
yang
telah
dikembangkan,
dan
menggunakan acuan HAM. Telah jelas bahwa dalam Islam ada prinsipprinsip mendasar (maqâsid al-Syarî`ah), yaitu prinsip kesetaraan, prinsip kebebasan memeluk agama, persaudaraan, dan keadilan, di samping prinsip kemaslahatan. Prinsip-prinsip ini selaras dengan HAM. Prinsip kesetaraan (al-musâwah) menegaskan bahwa pada hakikatnya manusia itu kedudukannya adalah setara. Tidak ada perbedaan yang mendasar antara manusia baik yang berbeda jenis kulitnya, rasnya, maupun agamanya. Sebenarnya yang menjadi ukuran kualitas manusia adalah kualitas ketakwaan, dan kebaikannya.504 Ketakwaan ini lebih terkait dengan hubungan vertikal. Sedangkan kebaikan lebih terkait dengan hubungan horisontal. Baik Muslim maupun nonMuslim bisa meraih kualitas kebaitan dalam level horisontal ini. 503
Ayat dimaksud, misalnya, QS. al-Baqarah (2): 62, sebagai berikut:
☺ ☯ ”Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabi’în, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. Sabi’în ialah orang-orang yang mengikuti syari'at nabi-nabi zaman dahulu atau orangorang yang menyembah bintang atau dewa-dewa. Amal saleh ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama Islam, baik yang berhubungan dengan agama atau tidak. 504 Hal ini berdasarkan QS. al-Hujurât (49): 13 yang artinya: ”…Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu…”.
cclvii
Prinsip kebebasan beragama (al-hurriyah, freedom of faith) mengakui eksistensi masing-masing manusia, tidak memandang nonMuslim sebagai golongan nomor dua yang akibatnya didiskriminasikan. Kualitas kemulian seseorang tidak hanya diukur berdasarkan agama, yang lebih tepatnya hubungan vertikal (habl min Allâh), namun berdasarkan hubungan horizontal yang baik (habl min al-nâs). Adapun Prinsip persaudaraan
(al-ukhuwwah)
sebenarnya
persaudaraan
seagama,
sempit
lebih
lagi
tidaklah seIslam,
terbatas namun
pada juga
persaudaraan kemanusiaan (al-ikhwah al-insâniyyah). Demikian juga, terasa tidaklah adil jika sama-sama anak, misalnya, hanya karena ada yang berbeda agama dengan orang tua yang meninggal (pewaris), maka ia tidak memperoleh warisan. Demikian juga, terdapat kemaslahatan dari adanya saling waris mewarisi antara agama ini, yaitu bisa menimbulkan hubungan yang harmonis antara pemeluk agama yang berbeda. Kemaslahatan inipun jelas ada jika harta waris itu menjadi hak tanpa memandang perbedaan agama. Bagaimana jika keadaannya, salah satu dari dua orang anak yang orang tuanya sebagai pewaris seorang Muslim, sedangkan anak yang kebetulan nonMuslim dalam keadaan miskin dan sangat membutuhkan, sedangkan saudaranya seorang yang berkecukupan bahkan kaya raya. Dalam kasus inilah, jelas tidak ada rasa keadilan, dan kemaslahatan tidak didapatkan anak yang miskin tersebut jika ia tidak mendapatkan hak warisan, bukan karena adanya penghalang lain, semisal pembunuhan yang dilakukannya terhadap pewaris yang meninggal dunia tersebut.505 505 Di samping model pembagian warisan di atas, memang masih ada cara lain agar ahli waris meskipun berbeda agama dapat saling mewarisi. Cara lain dimaksud adalah melalui wasiyyah wajîbah. Wasiyyah wajîbah adalah diberikan kepada seseorang yang tidak termasuk dalam dzawî al-furûd (ahli waris yang mendapatkan bagian warisan berdasarkan ketentuan nass), seperti anak angkat, dan cucu yang ayahnya sudah meninggal terlebih dahulu (ahli waris pengganti). Wasiyyah wajîbah ini dapat dilakukan oleh hakim atas dasar kemaslahatan, karena ahli waris nonMuslim itu sangat membutuhkannya, sedangkan pewaris ketika masih hidupnya tidak pernah dirugikan oleh ahli waris yang nonMuslim itu. Pemberian porsi ahli waris nonMuslim atas dasar wasiyyah wajîbah tersebut kadar bagiannya dari harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris adalah sama dengan bagian ahli waris Muslim yang lainnya. Cara seperti ini misalnya, telah ditempuh oleh MA dalam
cclviii
Dalam konteks HAM, larangan saling mewarisi antara agama di atas bertentangan dengan HAM. Sebab hak kesetaraan, hak keadilan, hak kebebasan beragama adalah HAM yang harus direalisasikan.506 Dengan demikian, hadis tentang larangan WBA tersebut tidak sejalan dengan maqâsid al-Syarî`ah dan HAM. Oleh karena itu, agar hadis tersebut sejalan dengan maqâsid al-Syarî`ah dan HAM, maka ia harus ditempatkan sebagai tekstur terbuka, menerima interpretasi baru: dimaknai secara temporer (terbatas), yakni ia berlaku pada waktu itu, ketika hubungan Muslim dan nonMuslim masih belum normal. Maksudnya, hadis tentang larangan WBA bukan dibuang, namun ditempatkan dalam kerangka konteks historis hubungan orang Muslim dengan nonMuslim zaman Nabi, yang berada dalam hubungan yang tidak harmonis. Di samping itu, kedudukan orang nonMuslim pada masa awal Islam, masih subordinat dari orang Muslim. Berbeda dengan konteks saat ini, di mana orang Muslim maupun nonMuslim sama-sama sebagai warga negara yang mempunyai kedudukan dan hak-hak (HAM) yang sama. Selain itu, hadis tersebut tidak dapat digunakan untuk mentakhsîs keumuman al-Qur’an, terlebih lagi prinsip-prinsip yang ditarik dari alQur’ân itu sendiri, yakni prinsip kesetaraan, kebebasan beragama, persaudaraan, dan keadilan. Dalam persoalan inilah, metode al-Maslahah al-Maqsûdah menekankan pada prinsip kesetaraan, kebebasan, dan persaudaraan ini. Dari perspektif ini, maka terdapat maslahat dari waris tersebut. Sebaliknya konsep maslahah konvensional memandang maslahat Putusan Kasasinya, Nomor 51.K/AG/1999, terhadap kasus WBA tersebut. Landasan wasiyyah wajîbah itu adalah kemaslahatan. Akan tetapi model wasiyyah wajîbah ini berbeda dengan model pembagian waris tanpa ada batasan agama, karena pada wasiyyah wajîbah porsi warisan hanya dibatasi sepertiga dari harta warisan saja. Sementara dalam pembagian waris tanpa memandang perbedaan agama terdapat kemungkinan porsi waris lebih besar dari model wasiyyah wajîbah (sepertiga harta tersebut). Tentang wasiyyah wajîbah dapat dilihat dalam Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihâd: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporerdi Indonesia, ed. Abdul Halim (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 88-89, 132-133, dan Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 316-322. 506 Lihat Pasal-pasal DUHAM, dalam lampiran.
cclix
tersebut sebagai maslahah mulghah yang harus dihindarkan, karena jelas-jelas ada nass yang menjelaskan larangan saling mewarisi ini. Jadi maslahat yang muncul dari saling mewarisi antar beda agama ini adalah dapat meningkatkan hubungan yang harmonis, persaudaraan dan perdamaian antara mereka. Justru dengan adanya saling mewarisi ini hubungan-hubungan yang harmonis di antara mereka dapat lebih terwujud. Dengan demikian, hukum WBA secara mutlak, baik Muslim terhadap nonMuslim, dan sebaliknya, maupun sesama nonMuslim, adalah boleh (mubâh/halâl).
C. Bidang Hukum Pidana 1. Eksekusi Hukuman Potong Tangan atas Tindak Pidana Korupsi Korupsi merupakan salah satu masalah yang sangat serius. Secara harfiah istilah korupsi507 berarti segala macam perbuatan yang tidak baik, sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Orang yang melakukan korupsi disebut koruptor. Di Indonesia telah ada empat UU, dan satu peraturan pemerintah (PP) tentang korupsi.508 Pengertian korupsi yang dimaksud di sini,
Istilah korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa Latin yakni corruptio atau corruptus yang disalin ke berbagai bahasa. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut disalin menjadi corruption atau corrupt, dalam bahasa Perancis menjadi corruption dan dalam bahasa Belanda disalin menjadi istilah coruptie (korruptie). Menurut Andi Hamzah, agaknya dari bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi dalam bahasa Indonesia. Dikutip dalam Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), h. 1. 508 UU tersebut adalah UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disatukan dengan UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi; UU No. 28/1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; dan UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun PP tersebut adalah PP No. 71/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak 507
cclx
diambil dari UU tersebut. Adapun yang dimaksud tindak pidana (perbuatan) korupsi adalah suatu perbuatan pidana yang terjadi apabila si pembuat melakukan kejahatan atau pelanggaran yang (1) merugikan negara, atau (2) yang dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan, atau (3) tindak pidana lainnya yang merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara, keuangan daerah, atau keuangan badan hukum yang memperoleh bantuan dari negara.509 Dengan demikian, korupsi adalah perbuatan/tindakan penyalahgunaan kekuasaan/wewenang yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau kelompok yang merugikan negara, orang banyak (rakyat), dan pihak lain.510 Dalam konteks fiqh, ada beberapa macam perbuatan yang dapat digolongkan ke dalam bentuk korupsi, yaitu risywah (suap), khiyânah (seperti mark up, penyalahgunaan fasilitas negara), ghulûl (penggelapan), dan mukts (perampasan).511 al-Qur’ân maupun hadis tidak memberikan ketentuan hukuman terhadap tindak pidana korupsi. al-Qur’ân hanya memberikan ketentuan secara umum tentang perbuatan yang merusak kehidupan (fasâd fî alard). Selain itu secara spesifik memberikan ketentuan hukuman potong tangan terhadap pelaku pencurian. Ayat yang terkait dengan perbuatan merusak kehidupan, dan ancaman hukumannya, antara lain, QS. al-Mâ’idah (5) ayat 32-33.512 Ayat
Pidana Korupsi. Tentang UU dan PP ini lihat pada bagian Lampiran yang terdiri dari 4 Lampiran, dalam Chazawi, Hukum Pidana, h. 1-144. 509 Lihat Chazawi, Hukum Pidana, h. 2-5. 510 Achmad `Aly MD, ”Membangun Fiqh Anti Korupsi (Catatan dan Sosialisasi Hasil Bahtsul Masa’il Nasional)”, dalam Harian Umum Pelita, 9 Juni 2004. 511 `Aly MD, ”Membangun Fiqh Anti Korupsi”. 512 Ayat dimaksud sebagai berikut: ☺ ⌧
⌧ ☺ ☺
⌧
cclxi
yang pertama ini menerangkan tentang pelanggaran terhadap hak hidup seseorang
merupakan
perbuatan
yang
mengancam
kemanusiaan,
sehingga dikenai hukuman, seperti dalam ayat 32 di atas. Dalam ayat yang terakhir ini (ayat 33)513 disebutkan hukuman terhadap orang yang ☺ ☺
⌧ ⌧ ”Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Siapapun yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.*) Dan Siapapun yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu (yakni sesudah kedatangan Rasul membawa keterangan yang nyata) sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi”. ”Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapatkan siksaan yang besar”. (QS. al-Mâ’idah [5]: 32-33). Yang dimaksud dengan ”bukan karena orang itu (membunuh) orang lain” ialah membunuh orang bukan karena qisas. *) Yang dimaksud dengan hukum ini bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai manusia seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu adalah sebagai membunuh manusia seluruhnya, karena orang seorang itu adalah anggota masyarakat dan karena membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya. Yang dimaksud dengan dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, ialah dipotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan. Sedangkan yang dimaksud diasingkan di sini ada pendapat berbeda. Diasingkan berarti dipenjara. Ini adalah pendapat Abû Hanîfah dan Para Sahabatnya. Pendapat lainnya, adalah dikeluarkan dari negaranya ke negara lain lalu dipenjara. Ini adalah pendapat yang dipilih Ibnu Jarîr. Lihat Ibnu Katsîr, Tafsîr Ibnu Katsîr (T.Tp.: Dâr Misr li al-Tibâ`ah, t.t.), Juz II, h. 4, dan 53, Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân, cet. ke-5 (Beirut: Muassasat alA`lâmî li al-Matbû`ât, 1403-1983), Jilid V, h. 326-328. 513 Ada beberapa asbâb al-nuzul ayat 33 di atas. Ibnu Katsîr menyebutkan beberapa riwayat terkait asbâb al-nuzûl ayat ini, antara lain: pertama, turun berkenaan dengan orangorang Musyrik. Ini merupakan riwayat Ibnu Jarîr, dan riwayat Abû Dâwûd dan al-Nasâ’î dari jalan `Ikrimah dari Ibnu `Abbâs. Kedua, berkenaan dengan orang-orang al-Harûriyyah. Ini riwayat Ibnu Mardawaih. Ketiga, berkenaan dengan golongan pertama rombongan al-`Urâniyyîn, yaitu dari Bajîlah. Ini perkataan Anas, yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr dari Yazîd bin Abî Habîb, bahwa `Abd Allâh bin Marwân menulis surat kepada Anas menanyakan tentang ayat ini, maka Anas membalasnya dengan memberitahukan bahwa ayat ini turun pada orang-orang al`Urâniyyîn yang murtad dari Islam, membunuh si penggembala dan membawa untanya --alhadîts. Menurut al-Suyûtî, hadis serupa juga ditakhrîj dari Jarîr, dan ditakhrîj juga oleh `Abd alRazzâq dari Abû Hurairah. Ibnu Katsîr sendiri berpendapat bahwa ayat ini bersifat umum, bagi
cclxii
melakukan perbuatan memerangi Allah dan rasul-Nya, berbuat kerusakan di muka bumi. Hukuman tersebut berupa hukuman mati, disalib, dipotong tangan, dan buang di suatu tempat atau dipenjara.514 Pengertian memerangi Allah dan rasul-Nya (muhârabah) adalah makna
majâzî,
yaitu
memerangi
manusia,
mengacungkan
atau
meodongkan senjata tajam, merampok, yang berakibat kemadaratan terhadap manusia. Bahkan menurut al-Jassâs,515 termasuk muhârabah tersebut adalah melakukan perbuatan maksiat. Dalam arti luas, maksiat adalah perbuatan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Al-Tabâtabâ’î menyatakan, bahwa pengertian luas (ma`na wasî`), memuat penyimpangan terhadap hukum Syarî`ah dan setiap kezaliman, berbuat berlebih-lebihan (isrâf), di samping juga meme-rangi Rasul berarti membenci sebagian yang ada pada beliau.516 Pengertian berbuat kerusakan di bumi itu (fasâd au al-ifsâd fî alard) berwujud pada semua jenis kejelekan (keburukan), bahkan banyak kalangan Salaf, di antaranya Sa`îd bin al-Musayyab, berkata: ”Bahwa menahan (menimbun) dirham dan dinar itu termasuk berbuat kerusakan di muka bumi.517 Ayat yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa berbuat kerusakan di muka bumi berakibat hukuman mati ( أن اﻟﻔﺴﺎد ﻓﻲ اﻷرض ﻣﻌﻨﻰ
orang-orang Musyrik dan selainnya dari golongan orang yang melakukan sifat-sifat ini: memerangi Allah dan Rasul-Nya, berbuat kerusakan di muka bumi. Dengan kata lain, ayat di atas, turun menyangkut kasus al-`Urâniyyîn, tetapi karena redaksinya bersifat umum, maka tentu saja, --sesuai dengan kaidah tafsir—pemahaman teks ayat bukan berdasar sebab turunnya tetapi berdasar redaksinya yang bersifat umum. Lihat Ibnu Katsîr, Tafsîr Ibnu Katsîr, h. 49, al-Suyûtî, Lubâb al-Nuzûl, Juz I, h. 371, al-Jassâs, h. 573 dst., dan Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2004), Juz III, h. 79. 514 Menurut al-Jassâs, ada sepuluh kandungan hukum dalam ayat tersebut, antara lain: pertama, ada hukum-hukum yang wajib dipegangi, pengertian hukum di sini dapat diqiyaskan; kedua, boleh membunuh jiwa sebagai balasan pembunuhan terhadap jiwa (qisas); ketiga, orang yang membunuh jiwa ia berhak mendapatkan hukuman bunuh. Lebih lanjut lihat al-Imâm Abû Bakr Ahmad al-Râzî al-Jassâs, Ahkâm al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Fikr, 1414-1993), Juz III, h. 569-571. 515 al-Jassâs, Ahkâm al-Qur’ân, Juz III, h. 571. 516 al-Jassâs, Ahkâm al-Qur’ân, Juz III, h. 326. 517 Ibnu Katsîr, Tafsîr Ibnu Katsîr, h. 49.
cclxiii
)ﻳﺴﺘﺤﻖ ﺑﻪ اﻟﻘﺘﻞ.518 Ayat ini menunjukkan betapa melindungi jiwa itu sangat esensial (HAM). Karenanya, membunuh satu jiwa saja, tanpa alasan yang benar, sama dengan membunuh seluruh manusia.519 Berbuat kerusakan di muka bumi itu dapat bersifat langsung dan terasa akibatnya, seperti pembunuhan, pembakaran pasar, dan perusakan jembatan, maupun tidak langsung, seperti tindak pidana korupsi, dalam hal menyalahgunakan jabatan (wewenang). Dengan demikian, perbuatan korupsi dapat dikategorikan ke dalam perbuatan melakukan kerusakan di muka bumi. Tentang problem hukuman terhadap koruptor ini, metode alMaslahah
al-Maqsûdah
dapat
diterapkan.
Berdasarkan
tujuan
memelihara harta (hifz al-mâl), baik harta keuangan negara, daerah, dan lembaga lain yang memperoleh bantuan dari negara, maka pelanggaran terhadap perlindungan harta ini merupakan korupsi yang dapat dikenai hukuman pidana. Dengan kata lain, karena merugikan keuangan negara, keuangan daerah, atau keuangan badan hukum yang memperoleh bantuan dari negara, maka hukuman dapat diterapkan. Hukuman yang dimaksud dapat berupa hukuman potong tangan.520 Artinya, hukuman
Al-Jassâs, Ahkâm al-Qur’ân, Jilid II, h. 569. Demikian itu, tidak terlepas dari keberadaan seorang manusia itu sendiri. Seseorang selaku pribadi sangat mustahil dipisahkan dari masyarakatnya. Pemisahan ini hanya terjadi di dalam teori, tetapi dalam kenyataan sosiologis, bahkan psikologis, seseorang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, walaupun ia hidup dalam gua sekalipun. Intinya seseorang membutuhkan selainnya. Pada saat itu pula seorang anggota masyarakat itu mempunyai kedudukan yang sama. Semua harus dihargai, sehingga siapa pun yang membunuh seorang manusia tanpa alasan yang sah, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Demikian juga sebaliknya, yakni seorang yang mejamin kehidupan seseorang, maka seakan-akan ia telah menjamin kehidupan manusia seluruhnya. Ayat ini sekaligus menunjukkan bahwa dalam pandangan al-Qur’ân semua manusia, apapun ras, keturunan, dan agamanya, adalah sama dari segi kemanusiaan, dan ini sekaligus membantah pandangan yang mengklaim keistimewaan satu ras atas ras yang lain, baik dengan mengatasnamakan agama, --sebagai anak-anak dan kekasih Tuhan, seperti orang-orang Yahudi-maupun atas nama ilmu dan ”kenyataan”, seperti pandangan kelompok rasialis Nazi dan semacamnya. Shihab, Tafsîr al-Misbah, Juz III, h. 76-77. 520 Hukuman potong tangan juga secara jelas disebutkan dalam al-Qur’ân terkait dengan pencurian. Dalam konteks hukuman potong tangan bagi pencuri ini dapat ditafsirkan sebagai salah satu alternatif hukuman Islam, tetapi bukan satu-satunya hukuman yang harus diterapkan. Artinya hukuman seperti ini bisa diterapkan sesuai dengan konteksnya, dan ketika telah terpenuhi 518 519
cclxiv
terhadap pelaku korupsi adalah hukuman setimpal, bisa diperberat sampai
hukuman
potong
tangan,
bahkan
eksekusi
mati.
Dasar
filosofisnya, adalah bahwa hukuman ini dijatuhkan agar dapat membuat koruptor jera, tidak mengulangi kejahatan tersebut, dan orang lain pun tidak melakukan perbuatan serupa. Dalam konteks fiqh, hukuman tersebut termasuk ke dalam bentuk ta`zîr,521 yang keputusannya dijatuhkan oleh penguasa,522 melalui keputusan hakim di peradilan. Hukuman itu dijatuhkan setelah melalui verifikasi terhadap tanda-tanda, gejala-gejala dan bukti-bukti yang jelas (al-qarâ’in al-bayyinah).523 Menegakkan hukum pidana ini, menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, hukumnya wajib atas para penguasa. Hukuman pidana itu dijatuhkan terhadap perbuatan yang diharamkan atau pelanggaran terhadap kewajiban.524 Ada beberapa ulama yang memperkenankan ta`zîr dengan eksekusi mati. Mereka adalah Abû Hanîfah, Mâlik,
sebagian kolega
Ahmad (Ashâb Ahmad), dan Jamaah pengikut Ahmad dan al-Syâfi`î.525
berbagai persyaratannya. Hukuman seperti ini bisa dikembangkan terhadap tindakan korupsi. Ayat yang dimaksud tersebut sebagai berikut: ⌧
⌧
☺
☺
”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Mâ’idah [5]: 38). 521 Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Al-Turuq al-Hukmiyyah fî al-Siyâsah al-Syar`iyyah au al-Firâsah al-Mardiyyah fî Ahkâm al-Siyâsah al-Syar`iyyah, Sayyid `Imrân, ed, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2002), h. 225-226.`Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrî` al-Jinâ’î al-Islâmî (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1998), Jilid I, h. 677-678. 522 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Al-Turuq al-Hukmiyyah, h. 225. 523 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah, h. 225. 524 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah, h. 225. 525 Menurut Abû Hanîfah, ta`zîr bisa berupa eksekusi mati, karena untuk kemaslahatan, seperti eksekusi mati terhadap orang yang banyak melakukan perbuatan homoseksual (al-muktsir min al-liwât), dan terhadap pembunuh, yang eksekusinya tersebut dengan menggunakan alat yang berat.525 Imam Mâlik berpendapat eksekusi mati terhadap orang yang (al-jâsûs al-muslim). Pendapat ini diikuti oleh sebagian kolega Ahmad. Imam Mâlik, dan para Jamaah pengikut Ahmad, dan al-Syâfi`î, juga berpendapat eksekusi mati terhadap penyeru bid`ah. Ibn Qayyim alJauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah, h. 22.
cclxv
Tujuan diterapkannya hukum pidana adalah untuk memelihara kemaslahatan umat, yang tidak akan tercapai tanpa hukum tersebut, bahkan kemaslahatan itu akan lenyap, dan tatanan kehidupan akan rusak.526 Hukum pidana ini termasuk ke dalam bidang siyâsah Syar`iyyah
(politik
hukum
Islam).527
Kemaslahatan
itulah
yang
merupakan tujuan hukum. Kemaslahatan tersebut terlihat dalam unsur yang terkandung dalam penjatuhan hukuman, yaitu pencegahan (al-radd wa al-zajr), dan pengajaran serta pendidikan (al-islâh wa al-tahdzîb).528 Pengertian
pencegahan
ialah
menahan
pelaku
agar
tidak
mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak terus-menerus memperbuatnya, di samping pencegahan terhadap orang lain selain pelaku agar ia tidak memperbuat jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan terhadap orang yang melakukan perbuatan serupa adalah sama. Dengan demikian, manfaat pencegahan ini adalah rangkap, yaitu menahan terhadap pembuat sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya dan menahan orang lain untuk tidak memperbuatnya pula dan menjauhkan diri dari lingkungan jarimah. Oleh
karena
tujuan
hukuman,
secara
spesifik,
adalah
pencegahan,529 maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup untuk mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Dengan demikian, hukuman itu Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah, h. 225. Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah, h. 225. 528 Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, h. 191. 529 Hukuman yang dijatuhkan terhadap perbuatan kejahatan (tindak pidana) dimaksudkan, selain sebagai bentuk pencegahan, maupun pendidikan dan pelajaran, untuk membentuk masyarakat yang baik dan dikuasai oleh rasa saling hormat-menghormati dan cintamencintai antar sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya. Suatu jarîmah (kejahatan) pada hakikatnya adalah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan serta mem-bangkitkan rasa kemarahan masyarakat terhadap pelakunya, di samping menimbulkan rasa kasih sayang terhadap si korban. Atas dasar itulah, hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan tidak lain merupakan salah satu cara untuk menyatakan reaksi dan balasan dari masyarakat terhadap pelaku kejahatan yang telah melanggar kehormatan masyarakat, sekaligus merupakan usaha untuk memberikan penenangan terhadap diri korban. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, h. 191-192. 526 527
cclxvi
dimaksudkan untuk memberikan rasa derita yang harus dialami si pelaku kejahatan, sebagai alat penyuci dirinya, dan dengan demikian terwujudlah rasa keadilan. Jadi, kemaslahatan akan terwujud dengan diterapkannya suatu hukuman. Dengan diterapkannya hukuman tersebut akan tercapai perlindungan kemaslahatan umum, kemaslahatan orang banyak. Dalam konteks inilah, kemaslahatan umum lebih dikedepankan daripada kemaslahatan personal, sebagaimana kaidah populer yang berbunyi: almaslahah al-`âmmah muqaddam `alâ al-maslahah al-fardiyyah. Kemaslahatan personal yang dimaksud, seperti pelaku korupsi itu tidak kehilangan tangannya, dengan tidak diterapkannya hukum potong tangan. Hukuman potong tangan atas koruptor bisa menjadi alternatif yang layak dipertimbangkan.530 Hal ini didasarkan pertimbangan antara lain, bahwa hukuman penjara terhadap koruptor ternyata tidaklah membuat dirinya menjadi jera.531 Adapun penerapan hukuman potong tangan, yang merupakan hukuman alternatif, dapat dilakukan setelah terpenuhinya beberapa persyaratan, misalnya, kadar atau ukuran korupsi, besarnya kerugian yang diakibatkan korupsi tersebut, dan kuantitas tindakan yang dilakukan. Mengenai kuantitas atau jumlah tindakan yang dilakukan itu misalnya sudah mencapai dua kali, dan sudah pernah mengalami Saat ini, di Indonesia, sudah ada Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) yang dalam waktu dekat akan diserahkan ke DPR RI. Dalam RUU Tipikor ini ternyata dipastikan tidak akan dicantumkan ancaman hukuman mati. Sebab, menurut Andi Hamzah, Ketua Tim Perumus RUU tersebut, jika ancaman hukuman mati dicantumkan, akan membuka peluang bagi para koruptor yang melarikan ke luar negeri untuk menolak diekstradisi. Lihat http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=6651& Itemid =701 diakses pada 31 Januari 2008. 531 Salah satu contoh, kasus korupsi Dicky Iskandar Di Nata. Pada tahun 1991 ia dijatuhi hukuman pidana penjara, oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena terbukti melakukan korupsi, membobol Bank Duta, yang merugikan negara Rp 750 miliar. Ia kemudian bebas pada tahun 1996 setelah diskon remisi karena kelakuan baik. Akan tetapi, setelah sepuluh tahun menghirup udara bebas, pada tahun 2006 lalu, ia kembali terlempar ke kamar penjara karena disangka ikut korupsi, membobol dana Bank Negara Indonesia (BNI) hingga merugikan negara sebesar Rp 1,2 triliun. Ganti rugi Rp 800 miliar dalam kasus pertama pun belum dibayarnya, ia sudah tersandung kasus kedua. Hukuman yang dituntut Jaksa tidaklah tanggung-tanggung, hukuman mati. Berdasarkan tuntutan Jaksa itulah, Dicki menjadi tersangka koruptor pertama di negeri ini yang dituntut hukuman mati. Lihat Tempo, Majalah Berita Mingguan, Edisi 19-25 Juni (2006), h. 96-99, dan 23. 530
cclxvii
hukuman selain hukuman potong tangan. Dalam konteks ini, UU lah yang menjadi dasar hukumnya. Keputusan tentang hukuman terhadap tindak pidana korupsi ini dijatuhkan melalui peradilan dengan berdasarkan kepada perundang-undangan yang berlaku. Hukuman potong tangan itu tidaklah berarti hukuman tersebut tidak manusiawi (a-humanis). Dalam kasus hukuman tersebut yang menjadi patokan adalah terpenuhinya rasa keadilan ataukah tidak. Dilihat dari berbagai sudut pandang, baik aspek filosofis, hukuman potong tangan tersebut tidaklah berarti mengabaikan kehormatan manusia atau melanggar HAM. Justru keadilan dan kemaslahatan umumlah yang hendak ditegakkan. Akan tetapi dilihat dari aspek yuridis, dan sosiologis, perlu adanya UU yang mengaturnya, di samping juga harus telah menjadi tuntutan masyarakat luas. Kenapa koruptor dapat dikenai hukum potong tangan. Alasannya adalah bahwa hukum potong tangan itu dapat dijadikan sebagai alternatif hukuman yang dapat menjerakan pelaku korupsi, dan agar orang lain tidak melakukannya. Dalam konteks Indonesia, orang masih melihat bahwa hukuman potong tangan sebagai hukuman yang mengerikan. Jika dilihat dari sisi ini, maka maksud hukum untuk menjerakan yang mengantarkan pada social control dan social engineering akan lebih dapat tercapai, dibandingkan dengan hukuman penjara, yang telah dirasakan sebagai hukuman yang biasa saja, tidak menjerakan. Sungguhpun dalam satu sisi tampak bertentangan dengan HAM, dalam hal ini hak individu pelaku korupsi, tetapi haknya diabaikan untuk menjaga hak orang lain, masyarakat, bahkan negara. Dilihat dari sisi ini, hukuman potong tangan terhadap koruptor tidaklah melanggar HAM. Berbeda dengan seorang yang memotong tangan orang lain tanpa alasan yang dibenarkan hukum. Perbuatan ini termasuk ke dalam tindak kejahatan, yang dalam Islam, dapat dikenai hukum qisas.
cclxviii
2. Eksekusi Mati atas Tindak Pidana Terorisme Sejak beberapa tahun belakangan, istilah terorisme mulai populer. Hal ini terkait dengan berbagai aksi terorisme yang terjadi di tanah air, dan di luar negeri.532 Terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahetraan masyarakat.533 Lebih lanjut, dituliskan bahwa terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well organized), bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran indiskriminatif).534 Bahkan menurut UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, ditegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.535 Berdasarkan definisi di atas, dalam terorisme terdapat tiga unsur: sifat, tujuan, dan objek/cara. Sifat terorisme adalah merusak (ifsâd) dan anarkhis/chaos (faudâ). Tujuan terorisme adalah untuk menciptakan rasa takut dan/atau menghancurkan pihak lain. Objek terorisme adalah apa saja tanpa ada batasan aturan atau sasaran. Adapun pelaku terorisme dinamakan teroris. Jadi, teroris adalah siapa saja yang melakukan kerusakan di muka bumi, termasuk mengancam stabilitas keamanan dengan tindakan atau cara apapun. Tindakan terorisme itu biasanya dilakukan dalam berbagai modusnya, 532 Di tanah air, misalnya, telah banyak aksi terorisme dalam bentuk bom yang menyebabkan banyak korban manusia meninggal dunia, seperti bom Bali, dan bom Kuningan. Istilah terorisme semakin populer lagi setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat yang menghancurkan WTC (World Trade Center), yang merenggut ribuan jiwa manusia. 533 Definisi ini misalnya, dikemukakan oleh Majlis Ulama Indonesia, Fatwa MUI tentang Terorisme (T.Tp.: MUI, 2005), h. 12. 534 Majlis Ulama Indonesia, Fatwa MUI tentang Terorisme, h. 12-13. 535 Lihat Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
cclxix
seperti peledakan bom. Peledakan bom tersebut merupakan salah satu modus pelaku terorisme yang telah menjadi fenomena umum di beberapa negara.536 Salah satu hukuman terhadap kejahatan terorisme adalah hukuman mati. Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.537 Hingga tahun 2006, di Indonesia tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),538 UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti Terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.539 Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD ’45, pasal 28 ayat (1), menyebutkan: ”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, tetapi peraturan perundang-undangan di bawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati. Hukuman mati tersebut ternyata masih kontroversial. Ada kelompok yang berpendapat bahwa hukuman mati itu melanggar HAM. Lihat penjelasan UU No. 15/2003 di atas. Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati, yaitu: pancung kepala (Saudi Arabia dan Iran); sengatan listrik (Amerika Serikat); digantung (Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura); suntik mati (Tiongkok, Guatemala, Thailand, AS); tembak (Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, dan lain-lain); dan rajam (Afganistan, dan Iran). Dalam sejarahnya, di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik. Wikipedia, diakses pada 10 Januari 2008. 538 Ancaman hukuman mati misalnya terdapat dalam pasal 479o ayat (2) KUHP, tepatnya UU RI No. 4 tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/ Prasarana Penerbangan. 539 Wikipedia, diakses pada 10 Januari 2008. 536 537
cclxx
Kelompok
lainnya,
mereka
adalah
pendukung
hukuman
mati,
beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati. Problematika hukuman mati terhadap tindak pidana terorisme menarik dikaji. Hal ini, karena istilah terorisme, merupakan istilah modern, yang baru muncul dan populer pada abad XXI, khususnya pascatragedi WTC. Dalam perspektif Islam, terdapat beberapa ayat alQur’ân dan hadis Nabi s.a.w yang dapat dikaitkan dengan terorisme dan hukumannya. Ayat-ayat al-Qur’ân di antaranya QS. al-Mâ’idah (5) ayat 32-33,540 al-Baqarah (2) ayat 195, 541 dan al-Nisâ’ (4) ayat 29-30.542 Para ahli ta`wîl sepakat, bahwa maksud ayat 29 surat al-Nisâ di atas adalah larangan membunuh terhadap sesama manusia. Secara tekstual ayat tersebut melarang membunuh diri sendiri dalam mengejar dunia dan mencari kekayaan, misalnya yang mengakibatkan dirinya
Ayat dimaksud telah dikutip di atas terkait dengan ayat tentang tindak pidana korupsi. Ayat dimaksud adalah: ... ☺ ...”…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…”. (QS. al-Baqarah [2]: 195). 542 Ayat dimaksud adalah: ... ☺ ⌧ ☺ 540 541
”…Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan Barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. al-Nisâ’ [4]: 29-30). Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan. Dalam konteks larangan membunuh diri sendiri inilah, al-Qurtûbî mengutip suatu riwayat, bahwa ayat tersebut dijadikan hujjah oleh `Amr bin `Âs untuk tidak mandi sewaktu berhadats besar ketika dalam peperangan di mana air sangat dingin, karena mengkhawatirkan atas dirinya. Alasannya tersebut mendapatkan taqrîr (pembenaran) Nabi s.a.w.; di mana beliau tertawa, dan tidak berkomentar apapun. HR. Abû Dâwûd dan selainnya. Lihat Abû `Abd Allâh Muhammad bin Ahmad al-Ansârî al-Qurtûbî, al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.t), Jilid III, Juz 5, h. 103.
cclxxi
kepada kerusakan. Demikian juga mencakup larangan dendam atau marah-marah.543 Adapun hadis Nabi s.a.w yang terkait dengan tindakan terorisme ini, antara lain, hadis yang ditakhrîjkan oleh Abû Dâwûd:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎن اﻟﺪﻓﻊ ﺛﻨﺎ ﺑﻦ ﻧﻤﻴﺮﻋﻦ اﻷﻋﻤﺶ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻳﺴﺎرﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ أﺑﻲ ﻟﻴﻠﻲ ﻗﺎل ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺻﺤﺎب ﻣﺤﻤﺪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ أﻧﻬﻢ آﺎﻧﻮا ﻳﺴﻴﺮون ﻣﻊ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﻨﺎم رﺟﻞ ﻣﻨﻬﻢ ﻓﺎﻧﻄﻠﻖ ﺑﻌﻀﻬﻢ إﻟﻰ ﺣﺒﻞ ﻣﻌﻪ ﻓﺄﺧﺬﻩ ﻓﻔﺰع ﻓﻘﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻻ ﻳﺤﻞ ﻟﻤﺴﻠﻢ أن ﻳﺮوع 544
.ﻣﺴﻠﻤﺎ
”…Dari `Abd al-Rahmân bin Abî Lailâ ia berkata telah menceritakan kepada kami Sahabat-Sahabat Muhammad s.a.w. bahwasanya mereka berjalan bersama Nabi s.a.w. lalu salah seorang di antara mereka tertidur kemudian sebagian mereka pergi ke gunung bersamanya, lalu ia terbangun dan terkejut, maka Rasûlullâh bersabda: ”Tidak halal bagi seorang Muslim menakut-nakuti orang Muslim lainnya”. (HR. Abû Dâwûd) Hadis di atas545 secara jelas menyatakan hukum menakut-nakuti, mengancam atau melakukan teror tidak diperbolehkan. Meskipun
Lihat al-Qurtûbî, al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur’ân, Jilid III, Juz 5, h. 103. Hadis ini disebutkan dalam Abî Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz IV, h. 301, hadis No. 5004; Abû al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad al-Tabrânî, al-Mu`jam al-Ausat, (Kairo: Dâr alHaramain, 1415 H.), Juz II, h. 188, hadis No. 1673. Hadis serupa diriwayatkan oleh Ahmad dan alTabrânî dari `Abd al-Rahmân bin Abî Lailâ. Zain al-`Irâqî berkata: ”Ini adalah Hadis Hasan, dan al-Suyûtî mensahîhkannya”. Lihat Ibrâhîm bin Muhammad al-Husainî, al-Bayân wa al-Ta`rîf, Saif al-Dîn al-Kâtib, ed., (Beirut: Dâr al-Kitâb al-`Arabî, 1401 H.), Juz II, h. 292. 545 Hadis lainnya yang terkait dengan tema ini adalah, dua hadis berikut: 543
544
ﻋﻦ ﺑﻦ ﺳﻴﺮﻳﻦ ﺳﻤﻌﺖ أﺑﺎ هﺮﻳﺮة ﻳﻘﻮل ﻗﺎل أﺑﻮ اﻟﻘﺎﺳﻢ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻣﻦ أﺷﺎر إﻟﻰ أﺧﻴﻪ ﺑﺤﺪﻳﺪة ﻓﺈن .اﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﺗﻠﻌﻨﻪ ﺣﺘﻰ وإن آﺎن أﺧﺎﻩ ﻷﺑﻴﻪ وأﻣﻪ ”… Dari ibn Sîrîn Saya mendengar Abû Hurairah berkata: ‘Abû al-Qasim s.a.w. bersabda: ”Siapasaja yang mengacungkan senjata tajam kepada saudaranya (Muslim), maka sungguh Malaikat akan melaknatnya bahkan walaupun saudaranya itu adalah saudara sebapak dan seibunya (saudara kandung)”. (HR. Muslim dari Abû Hurairah r.a.)
ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳﺮة رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﻣﻦ ﺗﺮدى ﻣﻦ ﺟﺒﻞ ﻓﻘﺘﻞ ﻧﻔﺴﻪ ﻓﻬﻮ ﻓﻲ ﻧﺎر ﺟﻬﻨﻢ ﻳﺘﺮدى ﻓﻴﻪ ﺧﺎﻟﺪا ﻣﺨﻠﺪا ﻓﻴﻬﺎ أﺑﺪا وﻣﻦ ﺗﺤﺴﻰ ﺳﻤﺎ ﻓﻘﺘﻞ ﻧﻔﺴﻪ ﻓﺴﻤﻪ ﻓﻲ ﻳﺪﻩ ﻳﺘﺤﺴﺎﻩ ﻓﻲ ﻧﺎرﺟﻬﻨﻢ ﺧﺎﻟﺪا ﻣﺨﻠﺪا ﻓﻴﻬﺎ .أﺑﺪا وﻣﻦ ﻗﺘﻞ ﻧﻔﺴﻪ ﺑﺤﺪﻳﺪة ﻓﺤﺪﻳﺪﺗﻪ ﻓﻲ ﻳﺪﻩ ﻳﺠﺄ ﺑﻬﺎ ﻓﻲ ﺑﻄﻨﻪ ﻓﻲ ﻧﺎر ﺟﻬﻨﻢ ﺧﺎﻟﺪا ﻣﺨﻠﺪا ﻓﻴﻬﺎ أﺑﺪا cclxxii
demikian, apa yang dimaksud dengan kata-kata menakut-nakuti di atas dapat berarti luas. Dalam hal inilah hadis ini harus ditempatkan sebagai teks terbuka (open texture) terhadap penafsiran yang relevan dengan konteks kekinian. Dengan
menggunakan
metode
al-Maslahah
al-Maqsûdah,
tindakan terorisme adalah bertentangan dengan maqâsid al-Syarî`ah, terutama hifz al-nafs. Demikian juga terorisme bertentangan dengan HAM. Atas dasar itulah, maka terorisme hukumnya haram. Berdasarkan ketentuan ini, maka hukuman terhadap tindak pidana terorisme sesuai dengan besar kecilnya akibat yang ditimbulkan dari tindakan kejahatan tersebut. Bila tindakan teorisme itu sampai menimbulkan jatuhnya jiwa manusia, maka pelaku teroris itu dapat dikenai eksekusi mati. Eksekusi mati ini ditinjau dari hak hidup individu pelaku kejahatan tersebut memang melanggar HAM. Akan tetapi hak hidup korban dan bahkan orang banyak (masyarakat), juga merupakan HAM yang harus dijamin. Oleh karena itu, ketika terjadi pertentangan antara dua hak ini, maka hak hidup si korban dan orang banyak lebih diutamakan daripada hak hidup individu pelaku kejahatan dalam kasus demikian.
”… Dari Abû Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w. bersabda: ”Siapa saja yang menjatuhkan diri dari sebuah gunung lalu ia terbunuh maka ia masuk neraka, terhempas di dalamnya, kekal lagi dikekalkan di dalamnya; Siapa saja yang memasukkan sesuatu racun yang membunuhnya, maka di neraka nanti ia akan masuk ke neraka jahannam, kekal lagi dikekalkan di dalamnya; Siapa saja yang membunuh dirinya dengan senjata tajam, maka nanti ia datang dengan senjata tajam yang ada di tangannya menusukkan ke dalam perutnya di neraka Jahannam, ia kekal lagi dikekalkan di dalamnya selama-lamanya”. (HR. al-Bukhârî, Muslim, Ahmad, alTirmîdzî, dll.) Hadis yang pertama ditakhrîjkan oleh Muslim dalam ( ﺑﺎب اﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ اﻹﺷﺎرة ﺑﺎﻟﺴﻼح إﻟﻰ ﻣﺴﻠﻢBab Larangan Mengacungkan Pedang kepada orang Muslim), hadis No. 2616, dalam Sahîh al-Muslim, Jilid IV, h. 2020. Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Tirmîdzî dari Abû Hurairah dalam Sunan alTirmîdzî, Jilid IV, h. 463; Ahmad, hadis No. 7470, 10565, dalam Musnad Ahmad, Jilid II, h. 256, 505; Jilid VI, h. 266; dan al-Tabrânî, hadis No. 6671, dalam al-Mu`jam al-Ausat, Jilid VI, h. 378. Redaksi hadis yang kedua di atas adalah milik al-Bukhârî, ditakhrîjkan dari Abû Hurairah, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, hadis No. 2179; al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî, Juz IV, h. 386, hadis no. 109; Ahmad, Musnad Ahmad, Juz II, hadis No. 7441, h. 254, No. 10198, h. 478, No. 10342, h. 488. Lihat al-Maktabah al-Alfiyyah, 1,5, dalam al-Mausû`ah al-Dzahabiyyah li alHadîts al-Nabawî al-Syarîf wa `Ulûmuhu, 1997, (CD Room).
cclxxiii
3. Eksekusi Mati atasTindak Pidana Narkotika Di Indonesia telah ada UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.546 Dalam Pasal 1 UU ini disebutkan pengertian Narkotika. ”Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini547 atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan”.548 Mahkamah Konstitusi (MK)549 menyatakan bahwa kejahatankejahatan yang telah diatur dalam UU No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika tersebut, yaitu Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a, tergolong ke dalam kelompok kejahatan yang paling serius baik menurut UU Narkotika maupun menurut ketentuan hukum internasional yang berlaku pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dengan demikian, menurut MK, kualifikasi
Lihat dalam Undang-undang Narkotika (UU No. 22 Th. 1997), & Psikotropika (UU No. 5 Th. 1997), (Jakarta: Sinar Grafika, 2005). 547 Dalam bagian Penjelasan Pasal 2 UU Narkotika, golongan-golongan narkotika tersebut digolongkan ke dalam tiga macam, yaitu: ”Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan”. Dalam Lampiran UU tersebut, disebutkan yang termasuk ke dalam golongan I ada 26 macam; golongan II 87 macam; dan golongan III 14 macam. Lihat Undang-undang Narkotika (UU No. 22 Th. 1997), h. 74-80. 548 UU No. 22 Th. 1997 Tentang Narkotika. 549http://www.indonesia.go.id/id/produk_uu/isi/uu2000/index.php?option=com_content &task=view&id=5934&Itemid=701, diakses pada 17 Desember 2007. 546
cclxxiv
kejahatan pada pasal-pasal UU Narkotika di atas dapat disetarakan dengan ”the most serious crime” menurut ketentuan Pasal 6 ICCPR.550 Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa tindak pidana narkotika merupakan kejahatan yang serius, karena sangat mengancam kehidupan manusia. Oleh karena itulah, sudah sewajarnya jika tindak pidana narkotika itu dikenaki hukuman yang berat. Adapun pelanggaran narkotika yang dapat dikenai hukuman mati menurut UU Narkotika adalah pelanggaran golongan narkotika I. Hal ini, sebagaimana dikatakan Jeane Mandagi, konsultan ahli Badan Narkotika Nasional (BNN), bahwa berdasarkan Pasal 80 jo Pasal 81 jo Pasal 82 UU No 22 tahun 1997 tentang Narkotika, ancaman hukuman mati hanya dikenakan kepada mereka yang memproduksi, mengedarkan, menjual narkotika golongan I saja. Sedangkan terhadap narkotika golongan II dan III, ancaman hukuman mati tidak diberlakukan.551 Henry Yosodiningrat, Ketua Umum DPP Gerakan Anti Narkotika (Granat), berpendapat ancaman hukuman mati hanya dikenakan kepada pengedar narkotika yang terkait dalam sindikat pengedar yang lebih besar. Sedangkan pada pengedar biasa yang motifnya memang benar-benar sekedar untuk mengisi perut, ancaman hukumannya bukanlah hukuman mati.552 Dalam konteks hukum Islam, hukuman tindak pidana narkotika tidak disebutkan secara jelas (spesifik), baik dalam al-Qur’ân maupun Hadis. al-Qur’ân maupun hadis memang tidak memberikan ketentuanketentuan yang spesifik terkait dengan hukumam pidana terhadap pelanggaran narkotika, seperti eksekusi mati. Ayat al-Qur’ân yang terkait dengan hukuman pidana, seperti eksekusi mati, antara lain: QS. alMaidah (5) ayat 32-33, al-Baqarah (2): 178, al-Isrâ’ :33. Dalam al-Qur’ân surat al-Mâ’idah, sebagaimana telah dikutip di atas, disebutkan tentang beberapa hukuman terhadap perbuatan merusak kehidupan. Berbuat Lihat ICCPR dalam Baderin, International Human Rights, h. 66. http://hukumonline.com/detail.asp?id=16544&cl=Berita diakses pada 26 November 2007. 552 http://hukumonline.com/detail.asp?id=16544&cl=Berita 550 551
cclxxv
kerusakan di bumi itu (fasâd fî al-ard) dapat berwujud perusakan secara tidak langsung terhadap kehidupan dan akal manusia. Perbuatan narkotika sangat mengancam kehidupan dan akal. Adapun Hadis-hadis Nabi saw. yang terkait dengan hukuman bunuh, antara lain, hadis riwayat `Abd Allâh berikut:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺣﻔﺺ ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻲ ﺣﺪﺛﻨﺎ اﻷﻋﻤﺶ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻣﺮة ﻋﻦ ﻻ ﻳﺤﻞ دم اﻣﺮئ ﻣﺴﻠﻢ:ﻣﺴﺮوق ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﻗﺎل ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﺸﻬﺪ أن ﻻإﻟﻪ إﻻ اﷲ وأﻧﻲ رﺳﻮل اﷲ إﻻ ﺑﺈﺣﺪى ﺛﻼث اﻟﻨﻔﺲ ﺑﺎﻟﻨﻔﺲ واﻟﺜﻴﺐ اﻟﺰاﻧﻲ 553
.واﻟﻤﻔﺎرق ﻟﺪﻳﻨﻪ اﻟﺘﺎرك ﻟﻠﺠﻤﺎﻋﺔ
”Dari `Abd Allâh ia berkata: ’Rasulullâh s.a.w. bersabda: ”Tidak di halalkan darahnya seseorang muslim yang mengakui bahwasa-nya tidak ada Tuhan selain Allah dan aku ini utusanNya kecuali disebabkan salah satu dari tiga macam: (1) Duda/ Janda yang berzina, (2) Membunuh orang dengan sengaja, dan (3) Orang yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri, dari Jama’ah (murtad)”. (Muttafaq `Alaih) Dalam hal ini, menurut penulis, hukuman mati, seperti dalam bentuk rajam terhadap orang yang melakukan zina muhsan merupakan salah satu alternatif hukuman yang diberikan Tuhan kepada manusia, sesuai dengan konteks perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia ketika itu. Artinya, hukuman tersebut tidak bersifat qat`î (tidak dapat berubah, permanen), namun bersifat zannî dan temporer. Dasar Hadis di atas adalah redaksi milik al-Bukhârî. Hadis tersebut ditakhrîj oleh al-Bukhârî, hadis No. 6484 dalam Sahîh al-Bukhârî, Juz VI, h. 2521; dan Muslim, hadis No. 1676 dalam Sahîh Muslim, Juz III, h. 1302. Selain hadis di atas, berikut juga hadis terkait dengan hukuman bunuh: 553
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻔﻴﺎن ﻋﻦ أﻳﻮب ﻋﻦ ﻋﻜﺮﻣﺔ أن ﻋﻠﻴﺎ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﺣﺮق ﻗﻮﻣﺎ ﻓﺒﻠﻎ ﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻓﻘﺎل ﻟﻮ آﻨﺖ أﻧﺎ ﻟﻢ أﺣﺮﻗﻬﻢ ﻷن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﻻ ﺗﻌﺬﺑﻮا ﺑﻌﺬاب اﷲ وﻟﻘﺘﻠﺘﻬﻢ آﻤﺎ ﻗﺎل اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ .ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﺑﺪل دﻳﻨﻪ ﻓﺎﻗﺘﻠﻮﻩ ”…Barang siapa yang mengubah agamanya (kemudian memusuhi kaum muslimin), maka bunuhlah dia”. (HR. al-Bukhârî dari ibn `Abbâs r.a.). Hadis semacam ini juga ditakhrîjkan oleh al-Tirmîdzî, Abû Dâwud, Ahmad, Ibnu Mâjah, al-Dârûqutnî, al-Baihâqî, semuanya dari Ibnu `Abbâs r.a.
cclxxvi
yang dijadikan pembeda antara yang permanen dan yang temporer adalah al-maqâsid al-Syarî`ah. Apabila nass sejalan dengan al-maqâsid alSyarî`ah maka ia tergolong bersifat permanen. Sedangkan bila tidak sejalan dengannya, maka ia tergolong bersifat temporer. Lebih jelasnya, suatu nass yang terkait dengan jenis sanksi hukum, maka sifatnya adalah temporer, sedangkan yang terkait dengan jenis perintah atau larangan yang sejalan dengan al-maqâsid al-Syarî`ah maka sifatnya permanen. Yang permanen itulah yang sebenarnya merupakan Syarî`ah. Sedangkan yang temporer itu merupakan fiqh. Terkait dengan hukuman pidana tersebut, menurut Ahmad Hanafi, ada 3 unsur untuk menilik suatu tindakan sebagai jarîmah. Pertama, unsur formil (rukun syar`î), yakni adanya nass yang melarang dan memberikan ancaman. Kedua, unsur material (rukun maddî) ialah tindakan. Dan ketiga, unsur moril (rukun adabî), ialah pelakunya mukallaf.554 Atas dasar inilah, terdapat nass yang melarang berbuat kerusakan di muka bumi, dan memberikan ancamannya, berupa dibunuh, dipotong tangan, disalib, dan diasingkan, dapat di-pahami sebagai dipenjara. Akan tetapi nass yang telah dikutip di atas tidak secara jelas dan spesifik melarang tindak pidana narkotika dan memberikan hukumannya. Nass di atas bersifat umum. Dalam menyoroti problem eksekusi mati terhadap tindak pidana narkotika tersebut, metode al-Maslahah alMaqsûdah dapat diterapkan. Berangkat dari tujuan Syarî`ah berupa hifz al-nafs, hifz al-`aql, segala yang merusak pemeliharaan tujuan tersebut maka harus dicegah. Upaya pencegahan ini dapat berbentuk hukuman preventif dan sanksi kuratif. Tindak pidana narkotika dapat digolongkan sebagai tindakan kejahatan yang sangat mengancam kehidupan dan aktivitas akal. Bahaya narkotika ini tidak hanya mengancam individu tapi juga masyarakat bahkan lebih besar lagi. Semakin besar mafsadat yang 554
Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, h. 6.
cclxxvii
ditimbulkan dari tindakan pidana ini, maka semakin besar atau berat pula ancaman dan hukuman yang dikenakan kepada pelakunya. Larangan melakukan kejahatan narkotika yang didasarkan pada hifz al-nafs/hifz al`aql sebagaimana larangan terhadap minuman keras. Mengonsumsi minuman
keras
dipandang
dapat
merusak
akal,
bahkan
dapat
menghantarkan diri ke dalam kematian, sehingga dilarang. Berdasarkan alur pemikiran di atas, hukuman mati terhadap terpidana narkotika dapat diberlakukan. Dalam hal ini, hukuman mati tersebut dikenakan terhadap mereka yang memproduksi, mengedarkan, menjual narkotika golongan I saja. Demikian juga kepada pengedar narkotika yang terkait dalam sindikat pengedar yang lebih besar, bukan pengedar biasa yang motifnya memang benar-benar sekedar untuk mengisi perut. Tujuan hukuman mati tersebut adalah untuk melindungi kehidupan yang lebih besar. Artinya agar tindakan kejahatan ini tidak semakin melebar. Dengan demikian, dilihat dari sisi filosofis, hukuman ini dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku maupun orang lain agar tidak melakukan kejahatan yang serupa. Di samping itu, dilihat dari sisi sosiologis, hukuman mati ini dapat menjaga kemaslahatan, dan ketenteraman masyarakat. Hukuman mati tersebut memang masih diperlukan. Pendapat seperti ini, antara lain, dikemukakan Rudi Satriyo, ahli Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), menilai pidana mati masih dibutuhkan dalam sistem hukum di Indonesia. Hukuman mati berfungsi untuk memberikan efek jera kepada anggota masyarakat yang lain. Selain itu, pidana mati memiliki manfaat secara sosiologis yaitu melindungi masyarakat dari kejahatan.555 Kesimpulan hukuman mati terhadap terpidana narkotika tersebut yang dihasilkan melalui metode al-Maslahah al-Maqsûdah didasarkan kepada tujuan hukum, berupa kemaslahatan umum (maqâsid al555
http://hukumonline.com/detail.asp?id=16544&cl=Berita
cclxxviii
Syarî`ah), di samping juga didasarkan pada beberapa pertimbangan, seperti pertimbangan filosofis, yuridis (legalitas), dan sosiologis.556 Pertimbangan ini merupakan salah satu acuan al-Maslahah al-Maqsûdah yang mempertimbangkan realitas empirik. Dalam konteks inilah, HAM bagi seorang pelaku kejahatan narkotika harus dibatasi dengan HAM orang lain dan orang banyak. Sebagai penjelas seluruh uraian di atas, perlu ditegaskan beberapa hal berikut terkait hak-hak yang terdapat dalam HAM Internasional, dan syarat-syarat penggunaan metode al-Maslahah al-Maqsûdah. Pertama, bahwa
dalam
keseluruhan
hak-hak
yang
terdapat
dalam
HAM
Internasional tersebut, haruslah ditempatkan dalam kerangka hubungan antara satu hak dengan hak yang lain. Dengan kata lain, hak individu tidak mutlak berdiri sendiri, namun terkait dengan hak orang lain, bahkan hak orang banyak. Misalnya, hak hidup individu terkait dengan hak hidup orang lain, bahkan orang banyak. Ketika seorang individu menuntut hak hidup, tetapi mengabaikan hak hidup orang lain, karena perbuatan yang dilakukannya merugikan orang lain itu, maka hak hidupnya dapat diabaikan, demi menjaga hak hidup orang lain tersebut. Kedua, penerapan HAM Internasional berhubungan dengan perundang-undangan lokal (negara). Sepanjang hukum lokal masih Pertama, pertimbangan aspek filosofis, mengenai untuk apa dan kepada siapa hukum itu dimaksudkan. Hukum itu ditujukan kepada manusia untuk menciptakan kemaslahatan, yang berupa ketenteraman, ketertiban, dan kedamaian masyarakat. Artinya hukum itu bukan untuk hukum itu sendiri, tapi untuk tujuan yang mulia, kemanusiaan, keadilan sosial, kemaslahatan individu dan publik. Keadilan, dan kemaslahatan individu dan publik merupakan bagian dari prinsip-prinsip Islam (maqâsid al-Syarî`ah). Kedua, hukuman pidana diterapkan agar pelaku pelanggaran menjadi jera, tidak mengulanginya lagi, dan orang lain pun tidak meniru melakukan pelanggaran yang serupa. Ketiga, dalam melihat suatu bentuk hukuman, yang mesti diperhatikan adalah apakah hukuman tersebut efektif dan bagaimana pula implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keempat, pertimbangan aspek sosiologis menjadi penting ketika suatu hukuman hendak diterapkan. Artinya masyarakat telah siap dan sepakat dengan suatu peraturan. Selain aspek sosiologis, penerapan hukuman pun harus mempertimbangkan berbagai aspek lain: aspek psikologis, aspek ekonomis, politis, dsb. Kelima, pertimbangan aspek legalitas/yuridis. Artinya suatu hukuman punya dasar pijakan berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks ini, telah ada UU tentang Narkotika yang menentukan hukuman pidana atas pelaku tindak pidana tersebut. Tentang pertimbanganpertimbangan lihat Achmad `Aly MD, ”Hukum Cambuk, Humanis dan Adilkah?”, Republika, 15 Juli 2005. 556
cclxxix
sejalan dengan HAM Internasional, maka dapat dilaksanakan. Sebaliknya, ketika hukum lokal secara nyata bertentangan dengan HAM Internasional, maka hukum lokal itu harus disesuaikan. Adapun penerapan metode al-Maslahah al-Maqsûdah haruslah memperhatikan beberapa syarat berikut: Pertama, bertujuan untuk merealisasikan
maqâsid
al-Syarî`ah,
pada
satu
sisi,
dan
HAM
Internasional pada sisi yang lain. Kedua, di samping untuk merealisasikan tujuan itu, dalam penerapannya terhadap kasus-kasus hukum harus dengan mempertimbangan berbagai aspek terkait, yaitu pertimbangan psikologis, sosial, ekonomis, dan aspek politik, dalam arti perundangudangan yang masih berlaku. Ketiga, dipergunakan sebagai metode ijtihâd alternatif. Artinya, bukan sebagai satu-satunya metode ijtihâd. Demikianlah implementasi metode al-Maslahah al-Maqsûdah sebagai metode ijtihâd alternatif kontemporer, berikut penjelasan syaratsyarat implementasinya. Berdasarkan uraian tersebut, metode alMaslahah al-Maqsûdah dapat digunakan untuk pengembangkan hukum Islam yang lebih kontekstual, baik dalam konteks hukum personal maupun konteks publik/hukum negara. Dengan kata lain, bahwa dengan mengoptimalkan aplikasi atau implementasi metode al-Maslahah alMaqsûdah sebagai metode usûl al-fiqh kontemporer, hukum Islam akan mampu berkembang, dapat mampu menjawab problematika zaman secara lebih memuaskan. Hal ini dikarenakan, aplikasi metode alMaslahah al-Maqsûdah memperhatikan spirit hukum (maqâsid alSyarî`ah) dan realitas sosial, yang terwujud dalam HAM. Hukum yang ditarik melalui metode al-Maslahah al-Maqsûdah tersebut menjamin keberadaan manusia sebagai seorang individu, dan sebagai anggota masyarakat atau bagian dari kolektifitas manusia, sehingga keseimbangan akan terwujud antara hak individu dan hak masyarakat. Dengan demikian, dengan menerapkan metode al-Maslahah alMaqsûdah sebagai salah satu wujud optimalisasi trademarke usûl al-fiqh,
cclxxx
bisa diharapkan hukum yang dirumuskan akan reasonable dan aplicable, relevan dan sesuai dengan kebutuhan manusia. Lebih lanjut, hukum yang diterapkan tersebut dapat menjadi social control (kontrol masyarakat, warga negara) dan as a tool of social engineering (menjadi perangkat perubahan positif bagi masyarakat).
cclxxxi
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan terdahulu diambil kesimpulan, bahwa metode al-Maslahah al-Maqsûdah ( )اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻘﺼﻮدةadalah metode ijtihâd alternatif kontemporer (ﻣﻨﻬﺞ اﻹﺟﺘﻬﺎد اﻹﺧﺘﻴﺎري اﻟﻤﻌﺎﺻﺮ, manhaj al-ijtihâd al-ikhtiyârî almu`âsir), karena relevansinya dengan maqâsid al-Syarî`ah dan HAM Internasional. Relevansi ini berwujud dalam bentuk penggunaan maqâsid alSyarî`ah dan HAM sebagai paradigma al-Maslahah al-Maqsûdah dalam menarik hukum (ijtihâd). Pada satu sisi, al-Maslahah al-Maqsûdah menekankan maqâsid al-Syarî`ah yang telah diformulasikan secara lebih luas. Pada sisi yang lain, al-Maslahah al-Maqsûdah bersinergi dengan HAM. Hubungan antara keduanya (maqâsid al-Syarî`ah dengan HAM) sangatlah erat dan integral. Maqâsid al-Syarî`ah lebih berdimensi teosentris (ketuhanan, ilâhiyyah) atau moral-transendental, karena diformulasikan dari wahyu (al-Qur’ân) oleh mujtahid, sebagai hasil dari kreatifitas manusia. Dalam Maqâsid al-Syarî`ah kemaslahatan umum (maslahah al-`âmmah, public interests) lebih dijamin daripada kemaslahatan pribadi (maslahah alfard, individual interests). Sedangkan HAM lebih berdimensi antroposentris (kemanusiaan, insâniyyah), sebagai produk dan realitas kemanusiaan (tajribat al-insâniyyah). Dalam HAM kemaslahatan individu (individual interests) lebih dijamin daripada kemaslahatan umum (public interests). Ijtihâd dengan berpijak pada paradigma maqâsid al-Syarî`ah, sebagai spirit hukum yang berdimensi ilâhiyyah, dan HAM, sebagai sebuah realitas
cclxxxii
kesepakatan dunia internasional, yang berdimensi insâniyyah, keseimbangan antara hak individu dan hak umum akan terjalin dan lebih terjamin. Keseimbangan antara kedua hak tersebut menjadi penting bagi ijtihâd dengan menggunakan al-Maslahah al-Maqsûdah. al-Maslahah al-Maqsûdah merupakan bentuk baru (wajhun jadîd) dari model al-maslahah konvensional, baik klasik maupun kontemporer. Model almaslahah konvensional dipandang tidaklah tepat, terlebih lagi klasifikasi menjadi maslahah mulghah, sehingga perlu direformulasi. Wujud reformulasi ini adalah sebuah kontruksi baru al-Maslahah al-Maqsûdah baik sebagai tujuan hukum (maqâsid al-Syarî`ah) dan metode (manhaj). al-Maslahah alMaqsûdah adalah metode ijtihâd alternatif kontemporer (manhaj al-ijtihâd almu`âsir) yang berangkat dari cita-cita Islam dan tujuan-tujuan Syarî`ah (maqâsid al-Syarî`ah), disertai dengan HAM dan realitas sosial, tanpa mempertimbangkan apakah mu`tabarah, mulghah, ataupun mursalah, untuk memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan hukum yang lebih membawa kepada kemaslahatan manusia. Dengan al-Maslahah al-Maqsûdah adalah model al-maslahah post-kontemporer. Pengutamaan al-Maslahah al-Maqsûdah sebagai metode ijtihâd alternatif kontemporer lebih jelas dengan diimplementasikannya dalam menjawab berbagai masalah-masalah hukum. Implementasi al-Maslahah alMaqsûdah mencakup semua bidang hukum, baik ibadah, maupun muamalah, yang meliputi perdata dan pidana. Masalah-masalah hukum yang dikupas dengan metode al-Maslahah al-Maqsûdah, seperti zakat include dalam pajak, zakat perkebunan, dan zakat perusahaan; perkawinan beda agama (PBA), dan waris beda agama (WBA); hukuman potong tangan terhadap koruptor, hukuman mati terhadap terpidana terpidana terorisme, dan narkotika. Maqâsid al-Syarî`ah dan HAM dijadikan paradigma atau acuan dalam menarik kesimpulan hukum dalam persoalan-persoalan tersebut. Zakat dapat include dalam pajak, didasarkan pada prinsip kesetaraan sebagai warga
cclxxxiii
negara, dan prinsip kemaslahatan individual yang lebih dijamin, yang dimaksudkan agar seorang Muslim tidak terkena beban ganda (doble duty): kewajiban membayar zakat dan membayar pajak sekaligus. Dengan memasukkan zakat ke dalam pajak, maka secara otomatis beban ganda itu menjadi hilang. Berbeda dengan maksud zakat include dalam pajak, yang kemaslahatan individu lebih dikedepankan, dalam masalah zakat perkebunan dan zakat perusahaan, kemaslahatan umum lebih ditekankan. Dalam zakat perkebunan dan perusahaan terdapat kemaslahatan umum yang lebih diutamakan daripada kemaslahatan individual. Prinsip keadilan menjadi landasan bagi kedua jenis zakat ini, di mana terasa tidak ada keadilan jika zakat hanya dikenakan pada objek zakat seperti yang hanya tertera dalam nass. Berdasarkan keadilan dan kemaslahatan, kedua jenis hasil perkebunan dan perusahaan dikenai zakat. Zakat ini merupakan perluasan dari objek zakat, meskipun berdasarkan tekstual nass, kedua jenis zakat tersebut tidak wajib. Perluasan obyek zakat ini tentu saja diterapkan atas orang yang tetap ingin mengeluarkan zakat, di samping membayar pajak. Sedangkan dalam masalah PBA dan WBA, kemaslahatan atau hak individu lebih dijamin, berdasarkan prinsip kesetaraan, keadilan, dan kebebasan beragama, sebagai HAM, di mana segala bentuk diskriminasi gender dan agama dalam perkawinan dan warisan ini dihapuskan. PBA dan WBA hukumnya boleh (halal), meskipun berdasarkan tekstual nass, khususnya perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik, dan WBA diharamkan. Dalam hal ini, nass tersebut ditempatkan sebagai ”tekstur terbuka” terhadap interpretasi. Interpretasi yang dimaksud di sini adalah interpretasi yang menggunakan maqâsid al-Syarî`ah, pada satu sisi, dan HAM, pada sisi yang lain. Adapun dalam masalah hukuman pidana korupsi, terorisme, dan narkotika, karena sangat merugikan dan membahayakan kehidupan yang menyangkut orang banyak, maka kemaslahatan umum lebih dijamin. Dalam hal ini hak untuk tidak cacat tangan si koruptor, dan hak hidup terpidana
cclxxxiv
terorisme
dan
narkotika
diabaikan
untuk
melindungi
hak
umum.
Berdasarkan tekstual nass, tidak ada petunjuk langsung tentang hukuman potong tangan terhadap koruptor dan hukuman mati terhadap terpidana terorisme dan narkotika. Sebab, istilah korupsi, terorisme, dan kejahatan narkotika, merupakan istilah modern, yang persoalannya berbeda dengan apa yang terjadi pada masa Islam klasik. Sungguhpun demikian, atas dasar alMaslahah al-Maqsûdah dengan berpegang pada paradigma maqâsid alSyarî`ah, berupa prinsip kemaslahatan, dan kedamaian, hukuman-hukuman tersebut dapat diberlakukan. Dalam hal ini tampak adanya pertentangan dengan HAM, namun sebenarnya hanyalah pertentangan antara HAM individu dan HAM publik. Dalam keadaan demikian ini, HAM publik lebih dikedepankan.
B. Implikasi
Penerapan metode al-Maslahah al-Maqsûdah ini berimplikasi pada perwujudan yang seimbang antara hak-hak individu dan hak-hak umum. Hukum yang ditarik dari metode al-Maslahah al-Maqsûdah ini menjadi fleksibel dan aplicable.
C. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian ini, metode al-Maslahah al-Maqsûdah perlu
digunakan
dalam
berijtihad,
menjawab
problematika
hukum
kontemporer. Untuk itulah, dalam pengambilan kesimpulan dan keputusankeputusan hukum, hendaknya metode al-Maslahah al-Maqsûdah digunakan oleh lembaga-lembaga yang terkait, seperti Lembaga Fatwa MUI, Lajnah Bahtsul Masâ’il NU, Majlîs Tarjîh Muhammadiyah, dan Dewan Hisbah Persis,
cclxxxv
yang kemudian dapat direkomendasikan kepada pemerintah/dewan legislatif untuk mengambil kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
cclxxxvi
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku 1. Usûl al-Fiqh/Fiqh/Hukum Islam al-Âmidî, Saif al-Dîn Abi al-Hasan `Alî ibn Abî `Alî ibn Muhammad. al-Ihkâm fî Usûl al-Ahkâm. Beirut: Dâr al-Fikr, 1996. 2 Jilid. Amîr Bâdasyâh, Muhammad Amîn. Taisîr al-Tahrîr Syarh `alâ Kitâb al-Tahrîr fî Usûl al-Fiqh al-Jâmi` baina Istilâhai al-Hanafiyyah wa alSyâfi`iyyah li Kamâl al-Dîn Muhammad ibn `Abd al-Wâhid ibn `Abd alHamîd ibn Mas`ûd al-Syahîr bi Ibn Hummâm al-Dîn al-Askandarî alHanafî. T.Tp.: Dâr al-Fikr, t.t. Audah, Abd al-Qadir. al-Tasyrî` al-Jinâ’î al-Islâmî. Beirut: Mu’assasat alRisâlah, 1998. 2 Jilid. Baderin, Mashood A. International Human Rights and Islamic Law. New York: Oxford University Press, 2003. al-Bannânî. Hâsyiyyah al-`Allâmah al-Bannânî `alâ Syarh al-Jalâl Syams alDîn Muhammad ibn Ahmad al-Mahallî `alâ Matn Jam` al-Jawâmi`. Editor `Abd al-Rahmân al-Syarbînî. Beirut: Dâr al-Fikr, 2003. 2 Jilid. Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Djuanda, Gustian, ed.al. Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan. Jakarta: RajaGravindo Persada, 2006. al-Fadlî, `Abd al-Hâdî. al-Wasît fî Qawâ`id Fahm al-Nusûs al-Syar`iyyah. Beirut: al-Intisyâr al-`Arabî, 2001. al-Fâsî, `Alâl. Maqâsid al-Syarî`ah al-Islâmiyyah wa Makârimuhâ. T.Tp.:: Maktabah al-Wahdah al-`Arabiyyah, t.t. al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad. alMustasfâ min `Ilm al-Usûl. Editor Muhammad `Abd al-Salâm `Abd alSyâfî. Beirut: Dâr al-Kutub al`Ilmiyyah, 2000.
cclxxxvii
Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunnî Usül al-Fiqh. United Kindom: Cambridge University, 1997. Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Edisi ke-6. Jakarta: Bulan Bintang, 2005. Haq, Hamka. al-Syâtibî: Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitâb alMuwâfaqât. Jakarta: Erlangga, 2007. Ibn `Âsyûr, Muhammad al-Tâhir. Maqâsid al-Syarî`ah al-Islâmiyyah. Kairo: Dâr al-Salâm, 2005. al-Jassâs, al-Imâm Abû Bakr Ahmad al-Râzî. Ahkâm al-Qur’ân. Beirut: Dâr alFikr, 1414-1993. Ibn Qayyim al-Jauziyyah. al-Turuq al-Hukmiyyah fî al-Siyâsah al-Syar`iyyah au al-Firâsah al-Mardiyyah fî Ahkâm al-Siyâsah al-Syar`iyyah. Editor Sayyid `Imrân. Kairo: Dâr al-Hadîts, 2002. ---------. I`lâm al-Muwaqqi`în `an Rabb al-`Alamîn. `Abd al-Rahmân al-Wakîl. Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1969. Ibn al-Rusyd. Bidâyat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid. T.T.p.: Dâr alKutub al-Islamiyyah, t.t. al-Jazîrî, `Abd al-Rahmân. al-Fiqh `Alâ Madzâhib al-Arba`ah. Al-Azhar: Dâr alBayân al-`Arabî, 2005, 5 Jilid. al-Jurjâwî, `Alî Ahmad. Hikmat al-Tasyrî` wa Falsafatuhu. Beirut: Dâr al-Fikr, 2007. al-Juwainî, Imâm al-Haramain Abî al-Ma`âlî `Abd al-Mâlik bin `Abd Allâh bin Yûsûf. al-Burhân fî Usûl al-Fiqh. Salâh bin Muhammad bin `Uwaidah, ed. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1997. al-Kailânî, `Abd al-Rahmân Ibrâhîm. Qawâ`id al-Maqâsid `inda al-Imâm alSyâtibî: `Ardan wa Dirâsah. Damaskus: Dâr al-Fikr dan al-Ma`had al`Älamî li al-Fikr al-Islâmî, 2000. Kamâli, Muhammad Hâsyim. Principles of Islamic Jurisprudence. Cetak ulang. Cambridge: Islamic Texts Society, 1991. --------. ”Law and Society: the Interplay of Revelation and Reason in the Shariah”. Dalam John. L. Esposito, ed., The Oxford History of Islam. New York: Oxpord University Press, 1999, h. 107-193.
cclxxxviii
Khallâf, `Abd al-Wahhâb. `Ilm Usûl al-Fiqh. Edisi ke-3. Singapura: al-Haramain, 2004. --------. Masâdir al-Tasyrî` al-Islâmî fî Mâ Lâ Nass fîh. Kairo: Dâr al-Qalam, 1979. Masud, Muhammad Khalid. Islamic Legal Philosophy: a Study of Abû Ishâq alSyâtibî’s Life and Thought. Delhi: International Islamic Publishers, 1989. Majelis Ulama Indonesia. Fatwa Munas VII Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: MUI, 2005. Minhaji, Akh. ”Islamic Law under the Ottoman Empire”, dalam Issa J. Boullata (peng.), The Dynamics of Islamic Civilization. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998. Nyazee, Imran Ahsan Khan. Theories of Islamic Law: The Metodology of Ijtihâd. Islamabad: Islamic Research Institute, t.t. Rahman, Zainal Azam Abd. ed. Islamic in the Contemporary World. Kuala Lumpur: Institue of Islamic Understanding Malaysia, 2003. al-Qarâdâwî, Yûsûf. Fî Fiqh al-Aulawiyyât wa Dirâsah fî Dau’ al-Qur’ân wa alSunnah. Kairo: Maktabah Wahbah, t.t. -------. al-Siyâsah al-Syar`iyyah fî Da’ui Nusûs al-Syarî`at wa Maqâsidihâ. Kairo: Maktabah Wahbah, 1998. -------. al-Ijtihâd al-Mu`âsir Baina al-Indibât wa al-Infirât. T.Tp.: Dâr al-Tauzî` wa al-Nasyr al-Islâmiyyah, 1994. al-Qarâfî, Syihâb al-Dîn Ahmad ibn Idrîs. al-Dakhîrah. Editor Muhammad Hajjî. Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1994. 14 Jilid. -------. Nafâ’is al-Usûl fî Syarh al-Mahsûl. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2000, 4 Jilid. -------. Kitâb al-Furûq: Anwâr al-Burûq fî Anwâr al-Furûq. Editor Muhammad Ahmad Sarrâj dan `Ali Jum`ah Muhammad. Kairo: Dâr al-Salâm, 2001. Rahman, Fazlur. Islamic Methodology in History. Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1994. al-Raisûnî, Ahmad, dan Bârût, Muhammad Jamâl. al-Ijtihâd: al-Nass, al-Wâqi`, al-Maslahah. Sûriyyah: Dâr al-Fikr, 2002. al-Râzî, Fakhr al-Dîn. Al-Mahsûl fî Usûl al-Fiqh. Tâhâ Jâbir al-`Alwânî, ed. Beirut Muassasah al-Risâlah, 1992.
cclxxxix
al-Sâlûs, `Alî Ahmad. al-Iqtisâd al-Islâmî wa al-Qadâyâ al-Fiqhiyyah alMu`âsirah. Beirut: Dâr al-Tsaqâfah, 1998. 2 Jilid. al-Sâyis, Muhammad `Alî. Tafsîr Âyât al-Ahkâm. Editor `Abd al-Hamîd Hindâwî. Kairo: Mu’assasat al-Mukhtâr, 2001. 2 Jilid. al-San`ânî, Muhammad bin Ismâ`il al-Kahlânî. Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillat al-Ahkâm. T.Tp.: Dâr al-Fikr, t.t. 2 jilid. al-Subkî, Taqiyy al-Dîn `Alî bin `Abd al-Kâfî, dan Ibnu `Alî al-Subkî, Tâj al-Dîn `Abd al-Wahhâb. al-Ibhâj fî Syarh al-Minhâj `alâ Minhâj al-Wusûl ilâ `Ilm al-Usûl. Muhammad Amîn al-Sayyid, ed. Beirut: Dâr al-Kutub al`Ilmiyyah, 2004. Syarifuddin, Amir. Usûl al-Fiqh. Jakarta: Logos, 2005. 2 Jilid. al-Syâtibî, Abû Ishâq Ibrâhim bin Mûsâ al-Lakhamî al-Gharnatî al-Mâlikî. AlKitâb al-I`tisâm. Editor Maktabah al-Buhûts. Beirut: Dâr al-Kutub al`Ilmiyyah, 2003. -------. al-Muwâfaqât fî Usûl al-Syarî`ah. Editor `Abd Allâh Darrâz. Beirût: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2003, 2 Jilid. Taha, Mahmûd Muhammad. al-Risâlah al-Tsâniyyah min al-Islâm. Edisi ke-5. T.Tp.: TP, t.t. ------. The Second Message of Islam of Islâm. Penerjemah, `Abd Allâh Ahmad alNa`îm. New York: Syracuse University Press, 1996. Tarigan, Azhari Akmal, (eds.). Pergumulan Ekonomi Syariah di Indonesia: Studi tentang Persentuhan Hukum & Ekonomi Islam. Bandung: Citapustaka Media, 2007. al-Tûfî, Najm al-Dîn Abî al-Rabî` Sulaimân bin `Abd al-Qawî bin `Abd al-Karîm ibn Sa`îd. Syarh al-Arba`în, dalam apendiks Mustafâ Zayd, al-Maslahah fî Tasyrî` al-Islâmî wa Najm al-Dîn al-Tûfî. Kairo: Dâr al-Fikr al-`Arabî, 1954. -------. Syarh Mukhtasar al-Raudah. Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1990, 3 Jilid. Weiss, Bernard G. The Spirit of Islamic Law. London: the University of Georgian Press, 1998. al-Zuhailî, Wahbah. Usûl al-Fiqh al-Islâmî. Beirut: Dâr al-Fikr, 1986, 2 Jilid. -------. al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu: al-Syâmil li al-Adillah al-Syar`iyyah wa al-Ârâ’ al-Mazhabiyyah wa Ahammi al-Nazariyyât al-Fiqhiyyah wa
ccxc
Tahqîq al-Ahâdîts al-Nabawiyyah wa Takhrîjihâ Mulhiqân Fahrasah Alfabâ’iyyah Syâmilah li al-Maudû`ât wa al-Masâ’il al-Fiqhiyyah. Edisi ke-4. Suriah: Dâr al-Fikr, 1989. 8 Jilid. 2. Pemikiran Hukum Islam al-Bannâ, Jamâl. Nahwa Fiqh Jadîd. Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmi, t.t. Abû al-Fadl, Khâlid M. Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women. Oxford: Oneworld, 2001. Anshor, Maria Ulfah, dan Sinaga, Martin Lukito, ed. Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan dan Pluralisme. Jakarta: KAPAL Perempuan, 2004. Arief, Abd. Salam. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita: Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmûd Syaltût. Yogyakarta: LESFI, 2003. `Atiyyah, Jamâl, dan al-Zuhailî, Wahbah. Tajdîd al-Fiqh al-Islâmî. Beirut: Dâr al-Fikr, 2002. `Atiyyah, Jamâl al-Dîn. Nahwa Taf`îl Maqâsid al-Syarî`ah. Damaskus: Dâr alFikr dan al-Ma`had al-`Älamî li al-Fikr al-Islâmî, 2001. al-`Awwâ, Muhammad Salîm. al-Fiqh al-Islâmî fî Tarîq al-Tajdîd. Edisi ke-2. Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1998. Azizy, A. Qodri. Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihâd Sesuai Saintifik-Modern. Jakarta: Teraju, 2003. Fuad, Mahsun. Hukum Islam di Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris. Yogyakarta: LKiS, 2005. Hanafî, Hasan. Min al-Nass ilâ al-Wâqi`. Kairo: Markaz al-Kitâb li al-Nasyr, 2004. 2 Jilid. Hasan, Ahmed. The Early Development of Islamic Jurisprudence. Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1994. Madjid, Nurcholish, dkk. Fiqih Lintas Agama. Edisi ke-7. Jakarta: Paramadina, 2005. Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: RajaGravindo Persada, 2006.
ccxci
Mas’adi, Ghufron A. Metodologi Pembaruan Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1997. Mas’udi, Masdar F. ”Zakat dan Pajak: Jawaban Masdar Farid Mas’udi untuk Kiai Kholil Bisri Rembang”. Artikel dalam Aula No. 7, Agustus (1992). --------. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam. Jakarta: P3M, 1991. Muslehuddin, Muhammad. Philoshopy of Islamic and The Orientalist (A Comparative Study of Islamic Legal System). Delhi: Markaz Maktab Islâmî, 1985. al-Na`îm, Abdullâhi Ahmad. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law. New York: Syracuse University Press, 1996. Permono, Sjechul Hadi. Pendayagunaan Zakat dalam Rangka Pembangunan Nasional. Cet. ke-2. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995. Qamar, Mujamil. NU Liberal: Dari Tradisionalisme Universalisme Islam. Bandung: Mizan, 2002.
Ahlussunnah
ke
Rafiq, Ainur, ed. ”Madzhab” Jogja: Menggagas Paradigma Usûl al-Fiqh Kontemporer. Yogyakarta: al-Ruzz Press, 2002. Safi, Louay. The Foundation of Knowledge: a Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry. T.tp.: International Islamic University Malaysia Press, 1996. Sjadzali, Munawir. Ijtihad Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina, 1997. Syahrûr, Muhammad. Nahwa Usûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî: Fiqh al-Mar’ah (al-Wasiyyah, al-Irts, al-Qiwâmah, al-Ta`addudiyyah, al-Libâs). Suriyyah: al-Ahâlî li al-Tibâ`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî`, 2000. Syarifuddin, Amir. Meretas Kebekuan Ijtihâd: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia. Editor Abdul Halim. Jakarta: Ciputat Press, 2002. Yusdani. Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum Islam: Kajian Konsep Hukum Islam Najm al-Dîn al-Tûfî. Yogyakarta: UII Press, 2002. 3. Umum
ccxcii
Abdullah, Syamsuddin. Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Agama. Jakarta: Logos, 1997. Baderin, Mashood, dkk., ed. Islâm and Human Rights: Advocacy for Social Change in Local Contexts. New Delhi: Global Media Publications, 2006. Baidhawy, Zakiyuddin, dan Jinan, Mutohharun, ed. Agama dan Pluralitas Kebudayaan Lokal. Yogyakarta: PSB-PS UMS, 2003. Chazawi, Adami. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing, 2005. Cahyadi, Antonius, dan Manullang, E. Fernando M. Pengantar ke Filsafat Hukum. Jakarta: Kencana, 2007. Gani, Bustami A., dkk. al-Quran dan Tafsirnya. Jilid I. T.t.p.: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’ân Departemen Agama R.I. 1982/1983. Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat: Buku Pertama, Pengantar Kepada Dunia Filsafat. Edisi ke-6. Jakarta: Bulan Bintang, 1996. Hamka. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1983. Hart, H. L. A. The Concept of Law. Oxford: Clarendon, 1970. Ibn Katsîr. Tafsîr Ibnu Katsîr. T.Tp.: Dâr Misr li al-Tibâ`ah, t.t. Ibn Muhammad al-Husainî, Ibrâhîm. Al-Bayân wa al-Ta`rîf. Editor Saif al-Dîn al-Kâtib. Beirut: Dâr al-Kitâb al-`Arabî, 1401 H. Juz II. al-Jurjânî, al-Sayyid al-Syarîf Abî al-Hasan `Alî ibn Muhammad ibn `Alî al-Husainî al-Hanafî. Al-Ta`rîfât. Edisi ke-2. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2003. Madjid, Nurcholish, et.al. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995. ---------. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1995. al-Marâghî, Ahmad Mustafâ. Tafsir al-Marâghî. Beirut: Dâr al-Fikr, 2006, 8 Jilid. Mitri, Tarik, ed. Religion, Law, Society: a Cristian-Muslim Discussion. Geneva: WCC Publication, 1995. al-Mausû`ah al-Dzahabiyyah li al-Hadîts al-Nabawî al-Syarîf wa `Ulûmuhu, 1997, CD Room.
ccxciii
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet. ke-23. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007. al-Qur’ân al-Karîm. al-Qurtûbî, Abû `Abd Allâh Muhammad bin Ahmad al-Ansârî. al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.t. Jilid III. Rahardjo, M. Dawam. Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi. Jakarta: LSAF, 1999. Rahman, Fazlur. Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Edisi ke-8. Chicago: The University of Chicago Press, 1996. Ricoeur, Paul. Hermeneutics & the Human Sciencies: Essays on Language, Action, and Interpretation. Penerjemah John B. Thompson, ed. T. Tp.: Cambridge University Press, 1990. Ridâ, al-Sayyid al-Imâm Muhammad Rasyîd. Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm alMasyhûr bi Tafsîr al-Manâr. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1999. al-Sâwî al-Mâlikî, Ahmad. Hâsyiyyat al-`Allâmah al-Sâwî `alâ Tafsîr alJalâlain. Beirut: Dâr al-Fikr, 1992, 4 Jilid. Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Quran: Tafsir Maudû`î atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996. ------. Tafsîr al-Misbâh. Jakarta: Lentera Hati, 2004, 15 Jilid. Saebani, Beni Ahmad. Sosiologi Hukum. Bandung: Pustaka Setia, 2006. al-Sâbûnî, Muhammad `Alî. Tafsîr Âyat al-Ahkâm min al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1999. 2 Jilid. Syahrûr, Muhammad. al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu`âsirah. Mesir, Sînâ li al-Nasyr al-A`âlî, 1992. Salvatore, Armando dan LeVine, Mark. Religion, Social Practice, and Contested Hegemonies: Reconstructing the Public Sphere in Muslim Majority Societies. New York: Palgrave Macmillan, 2005. Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Edisi ke-16. Jakarta: Rajawali Press, 2006. ------. Pengantar Penelitian Hukum. Edisi ke-3. Yogyakarta: UI Press, 2006.
ccxciv
Suprayogo, Imam, dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. al-Tabâtabâ’î, al-`Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain. Al-Mîzân fî Tafsîr alQur’ân. Edisi ke-5. Beirut: Muassasat al-A`lâmî li al-Matbû`ât, 1983. Tibi, Bassam. Islâm and the Cultural Accomodation of Social Change. Penerjemah Clare Krojzl. Boulder, San Francisco, & Oxford: Westview Press, 1991. al-Tirmîdzî. Sunan al-Tirmîdzî. Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-`Arabî, t.t. B. Jurnal/Majalah/Koran/Website Abdillah, Masykuri. ”Theological Responses to the Concepts of Democracy and Human Rights: the Case of Contemporary Indonesian Muslim Intellectual”. Artikel dalam Studi Islamika, Vol. 3, No. 1, 1996. `Aly MD, Achmad. ”Antara Hak dan Semau Gue”. Artikel dalam Harian Merdeka, 18 Maret 2004. --------.”Membangun Fiqh Anti Korupsi (Catatan dan Sosialisasi Hasil Bahtsul Masa’il Nasional)”. Artikel dalam Harian Umum Pelita, 9 Juni 2004. --------.” Hukuman Cambuk, Humanis dan Adilkah?”. Artikel dalam Republika, 15 Juli 2005. --------. ”Mengembangkan Fiqh Etika”. Artikel diakses pada 13 Juli 2007 dari http://www. islamemansipatoris.com/artikel.php?id=194 http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=vie&id=6 651&Itemid=701 diakses pada 31 Januari 2008. http://www.indonesia.go.id/id/produk_uu/isi/uu2000/index.php?option=com_co ntent&task=view&id=5934&Itemid=701 diakses pada 17 Desember 2007. http://hukumonline.com/detail.asp?id=16544&cl=Berita November 2007.
diakses
pada
26
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=347 diakses pada 31 Januari 2008. http://en.wikipedia.org/wiki/Human_rights diakses pada 31 Januari 2008.
ccxcv
http://en.wikipedia.org/wiki/Rights diakses pada 31 Januari 2008. http://www.un.org/Overview/rights.html diakses pada 31 Januari 2008. http://www.ham.go.id/peraturan_instrumen.asp diakses pada 28 Januari 2008. http://www.ham.go.id/spt_subtansi.asp?menu=02 diakses pada 28 Januari 2008. Johnston, David. ”A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Tweentieth Century Usûl al-Fiqh”. Artikel dalam Islamic Law and Society, 11, 2, Leiden, Koninklijke Brill NV, (2004), h. 233-282. Ibnu Hibban, Hasanuddin. ”Zakat Perusahaan: Aspek Fiqh dan Managemen”. Artikel dalam Mimbar Agama & Budaya, Vol XXI, No. 4, (2004). al-Maududi, Abul A’la. ”Human Right in Islam”. Artikel diakses pada 22 Oktober 2007 dari http://www. witnesspioner.org/vil/Books/M_hri/ index.htm Muzaffar, Chandra. ”Islam and Human Rifght”. Artikel diakses pada 22 Oktober 2007 dari http://www. justinternational.orgarticle_print.cfm ?newsID= 20000240 ------. ”Islam and Shared Universal Values in a Globalising World”. Artikel diakses pada 22 Oktober 2007 dari http://www.inwent.org/ef-texte/ cultures/muzaffar.htm Nyazee, Imran Ahsan. ”Islamic Law and Human Rights”. Artikel dalam Islamabad Law Review, Faculty of Syarî`ah & Law International Islamic University Islamabad, Vol 1 No. 1 & 2, (2003), h. 13-63. Opwis, Facilitas. ”Maslahah in Contemporary Islamic Legal Theory”. Artikel dalam Islamic Law and Society 12, 2, Leiden, (2005), h. 182- 223. Tempo, Majalah Berita Mingguan. Edisi 19-25 Juni (2006). Yafie, Ali. ”Hak Individu dan Masyarakat dalam Khazanah Pesantren”. Artikel dalam Pesantren, Vol. 4. No.1, (1987). C. Covenan, Deklarasi, dan Perundang-undangan CDHRI ICCESR ICCPR
ccxcvi
KUHP UDHR UU No. 17/2000 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. UU RI No. 11/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Social, Economic and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya). UU RI No. 12/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik). UU No. 22/1997 tentang Narkotika. UU RI No. 15/2003 tentang Penetapan Perpu 1/2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi UU. UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disatukan dengan UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. UU No. 28/1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. D. Referensi Tidak Dipublikasikan Ali, Ahmad. ”Talfîq Manhâjî sebagai Epistemologi Jamâ`î Usûl al-Fiqh untuk Pengembangan Hukum Islam”. Skripsi S1 di Fakultas Syari’ah Institut Keislaman Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang, 2003. Munir,
Lily Zakiyah. ”Hak Asasi Manusia: Sejarah, Konsep, dan Implementasinya di Indonesia”. Makalah disampaikan dalam ”Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat: Kesehatan adalah HAM”, diselenggarakan oleh CePDeS, Jombang, Juli-September 2007.
Rahman, Abd. ”Konsep al-Maslahah Menurut Najm al-Dîn al-Tufî”. Disertasi S3, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1998.
ccxcvii
Universal Declaration of Human Rights Preamble
Whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world, Whereas disregard and contempt for human rights have resulted in barbarous acts which have outraged the conscience of mankind, and the advent of a world in which human beings shall enjoy freedom of speech and belief and freedom from fear and want has been proclaimed as the highest aspiration of the common people, Whereas it is essential, if man is not to be compelled to have recourse, as a last resort, to rebellion against tyranny and oppression, that human rights should be protected by the rule of law, Whereas it is essential to promote the development of friendly relations between nations, Whereas the peoples of the United Nations have in the Charter reaffirmed their faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person and in the equal rights of men and women and have determined to promote social progress and better standards of life in larger freedom, Whereas Member States have pledged themselves to achieve, in cooperation with the United Nations, the promotion of universal respect for and observance of human rights and fundamental freedoms, Whereas a common understanding of these rights and freedoms is of the greatest importance for the full realization of this pledge, Now, therefore, The General Assembly,
ccxcviii
Proclaims this Universal Declaration of Human Rights as a common standard of achievement for all peoples and all nations, to the end that every individual and every organ of society, keeping this Declaration constantly in mind, shall strive by teaching and education to promote respect for these rights and freedoms and by progressive measures, national and international, to secure their universal and effective recognition and observance, both among the peoples of Member States themselves and among the peoples of territories under their jurisdiction. Article 1 All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood. Article 2 Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. Furthermore, no distinction shall be made on the basis of the political, jurisdictional or international status of the country or territory to which a person belongs, whether it be independent, trust, non-self-governing or under any other limitation of sovereignty. Article 3 Everyone has the right to life, liberty and security of person. Article 4 No one shall be held in slavery or servitude; slavery and the slave trade shall be prohibited in all their forms. Article 5 No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. Article 6 Everyone has the right to recognition everywhere as a person before the law.
ccxcix
Article 7 All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protection of the law. All are entitled to equal protection against any discrimination in violation of this Declaration and against any incitement to such discrimination. Article 8 Everyone has the right to an effective remedy by the competent national tribunals for acts violating the fundamental rights granted him by the constitution or by law. Article 9 No one shall be subjected to arbitrary arrest, detention or exile. Article 10 Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal, in the determination of his rights and obligations and of any criminal charge against him. Article 11 1. Everyone charged with a penal offence has the right to be presumed innocent until proved guilty according to law in a public trial at which he has had all the guarantees necessary for his defence. 2. No one shall be held guilty of any penal offence on account of any act or omission which did not constitute a penal offence, under national or international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time the penal offence was committed. Article 12 No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks. Article 13 1. Everyone has the right to freedom of movement and residence within the borders of each State.
ccc
2. Everyone has the right to leave any country, including his own, and to return to his country. Article 14 1. Everyone has the right to seek and to enjoy in other countries asylum from persecution. 2. This right may not be invoked in the case of prosecutions genuinely arising from non-political crimes or from acts contrary to the purposes and principles of the United Nations. Article 15 1. Everyone has the right to a nationality. 2. No one shall be arbitrarily deprived of his nationality nor denied the right to change his nationality. Article 16 1. Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family. They are entitled to equal rights as to marriage, during marriage and at its dissolution. 2. Marriage shall be entered into only with the free and full consent of the intending spouses. 3. The family is the natural and fundamental group unit of society and is entitled to protection by society and the State. Article 17 1. Everyone has the right to own property alone as well as in association with others. 2. No one shall be arbitrarily deprived of his property. Article 18 Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.
ccci
Article 19 Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers. Article 20 1. Everyone has the right to freedom of peaceful assembly and association. 2. No one may be compelled to belong to an association. Article 21 1. Everyone has the right to take part in the government of his country, directly or through freely chosen representatives. 2. Everyone has the right to equal access to public service in his country. 3. The will of the people shall be the basis of the authority of government; this will shall be expressed in periodic and genuine elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret vote or by equivalent free voting procedures. Article 22 Everyone, as a member of society, has the right to social security and is entitled to realization, through national effort and international co-operation and in accordance with the organization and resources of each State, of the economic, social and cultural rights indispensable for his dignity and the free development of his personality. Article 23 1. Everyone has the right to work, to free choice of employment, to just and favourable conditions of work and to protection against unemployment. 2. Everyone, without any discrimination, has the right to equal pay for equal work. 3. Everyone who works has the right to just and favourable remuneration ensuring for himself and his family an existence worthy of human dignity, and supplemented, if necessary, by other means of social protection. 4. Everyone has the right to form and to join trade unions for the protection of his interests.
cccii
Article 24 Everyone has the right to rest and leisure, including reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay. Article 25 1. Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control. 2. Motherhood and childhood are entitled to special care and assistance. All children, whether born in or out of wedlock, shall enjoy the same social protection. Article 26 1. Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Technical and professional education shall be made generally available and higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit. 2. Education shall be directed to the full development of the human personality and to the strengthening of respect for human rights and fundamental freedoms. It shall promote understanding, tolerance and friendship among all nations, racial or religious groups, and shall further the activities of the United Nations for the maintenance of peace. 3. Parents have a prior right to choose the kind of education that shall be given to their children. Article 27 1. Everyone has the right freely to participate in the cultural life of the community, to enjoy the arts and to share in scientific advancement and its benefits. 2. Everyone has the right to the protection of the moral and material interests resulting from any scientific, literary or artistic production of which he is the author. Article 28 Everyone is entitled to a social and international order in which the rights and freedoms set forth in this Declaration can be fully realized.
ccciii
Article 29 1. Everyone has duties to the community in which alone the free and full development of his personality is possible. 2. In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society. 3. These rights and freedoms may in no case be exercised contrary to the purposes and principles of the United Nations. Article 30 Nothing in this Declaration may be interpreted as implying for any State, group or person any right to engage in any activity or to perform any act aimed at the destruction of any of the rights and freedoms set forth herein.
ccciv
The Cairo Declaration on Human Rights in Islam
The Member States of the Organization of the Islamic Conference, Reaffirming the civilizing and historical role of the Islamic Ummah which God made the best nation that has given mankind a universal and well-balanced civilization in which harmony is established between this life and the hereafter and knowledge is combined with spiritual faith; and the role that this Ummah should play to guide a humanity confused by competing trends and ideologies and to provide solutions to the chronic problems of this materialistic civilization. Wishing to contribute to the efforts of mankind to assert human rights, to protect man from exploitation and persecution, and to affirm his freedom and right to a dignified life in accordance with the Islamic Shari’ah. Convinced that mankind which has reached an advanced stage in materialistic science is still, and shall remain, in dire need of faith to support its civilization and of a self motivating force to guard its rights. Believing that fundamental rights and universal freedoms in Islam are an integral part of the Islamic religion and that no one as a matter of principle has the right to suspend them in whole or in part or violate or ignore them in as much as they are binding divine commandments, which are contained in the Revealed Books of God and were sent through the last of His Prophets to complete the preceding divine messages thereby making their observance and act of worship and their neglect or violation an abominable sin, and accordingly every person is individually responsible -and the Ummah collectively responsible- for their safeguard. Proceeding from the above-mentioned principles, Declare the following : Article 1 : a) All human beings form one family whose members are united by submission to God and descent from Adam. All men are equal in terms of basic human dignity and basic obligations and responsibilities, without any discrimination on the grounds of race, colour, language, sex, religious belief, political affiliation, social
cccv
status or other conside-rations. True faith is the guarantee for enhancing such dignity along the path to human perfection. b) All human beings are God’s subjects, and the most loved by Him are those who are most useful to the rest of His subjects, and no one has superiority over another except on the basis of piety and good deeds. Article 2 : a) Life is a God-given gift and the right to life is guaranteed to every human being. It is the duty of individuals, societies and states to protect this right from any violation, and it is prohibited to take away life except for a Shari’ah prescribed reason. b) It is forbidden to resort to such means as may result in the genocidal annihilation of mankind. c) The preservation of human life throughout the term of time willed by God is a duty prescribed by Shari’ah. d) Safety from bodily harm is a guaranteed right. It is the duty of the State to safeguard it, and it is prohibited to breach it without a Shari’ah prescribed reason. Article 3 : a) In the event of the use of force and in case of armed conflict, it is not permissible to kill non-belligerents such as old men, women and children. The wounded and the sick shall have the right to medical treatment; and prisoners of war shall have the right to be fed, sheltered and clothed. It is prohibited to mutilate dead bodies. It is a duty to exchange prisoners of war and to arrange visits or reunions of the families separated by the circumstances of war. b) It is prohibited to fell trees, to damage crops or livestock, and to destroy the enemy’s civilian buildings and instal-lations by shelling, blasting or any other means. Article 4 : Every human being is entitled to the inviolability and the protection of his good name and honour during his life and after his death. The State and Society shall protect his remains and burial place. Article 5 :
cccvi
a) The family is the foundation of society, and marriage is the basis of its formation. Men and women have the right to marriage, and no restrictions stemming from race, colour or nationality shall prevent them from enjoying this right. b) Society and the State shall remove all obstacles to marriage and shall facilitate marital procedure. They shall ensure family protection and welfare. Article 6 : a) Woman is equal to man in human dignity, and has rights to enjoy as well as duties to perform; she has her own civil entity and financial independence, and the right to retain her name and lineage. b) The husband is responsible for the support and welfare of the family. Article 7 : a) As of the moment of birth, every child has rights due from the parents, Society and the State to be accorded proper nursing, education and material, hygienic and moral care. Both the fetus and the mother must be protected and accorded special care. b) Parents and those in such like capacity have the right to choose the type of education they desire for their children, provided they take into consideration the interest and future of the children in accordance with ethical values and the principles of the Shari’ah. c) Both parents are entitled to certain rights from their children, and relatives are entitled to rights from their kin, in accordance with the tenets of the Shari’ah. Article 8 : Every human being has the right to enjoy his legal capacity in terms of both obligation and commitment, should this capacity be lost or impaired, he shall be represented by his guardian. Article 9 : a) The question for knowledge is an obligation and the provision of education is a duty for Society and the State. The State shall ensure the availability of ways and means to acquire education and shall guarantee educational diver-sity in the interest of Society so as to enable man to be acquainted with the religion of Islam and the facts of the Universe for the benefit of mankind.
cccvii
b) Every human being has the right to receive both religious and worldly education from the various institutions of, education and guidance, including the family, the school, the university, the media, etc., and in such and integrated and balanced manner as to develop his personality, stren-gthen his faith in God and promote his respect for and defence of both rights and obligations. Article 10 : Islam is the religion of unspoiled nature. It is prohibited to exercise any form of compulsion on man or to exploit his poverty or ignorance in order to convert him to another religion or to atheism. Article 11 : a) Human beings are born free, and no one has the right to enslave, humiliate, oppress or exploit them, and there can be no subjugation but to God the MostHigh. b) Colonialism of all types being one of the most evil forms of enslavement is totally prohibited. Peoples suffering from colonialism have the full right to freedom and self-determination. It is the duty of all states and peoples to support the struggle of colonized peoples from the liqui-dation of all forms of colonialism and occupation, and all states and peoples have the right to preserve their independent identity and exercise control over their wealth and natural resources. Article 12 : Every man shall have the right, within the framework of Shari’ah, to free movement and to select his place of residence whether inside or outside his country and if persecuted, is entitled to seek asylum in another country. The country of refuge shall ensure his protection until he reaches safety, unless asylum is motivated by an act which Shari’ah regards as a crime. Article 13 : Work is a right guaranteed by the State and Society for each person able to work. Everyone shall be free to choose the work that suits him best and which serves his interests and those of Society. The employee shall have the right to safety and security as well as to all other social guarantees. He may neither be assigned work beyond his capacity nor be subjected to compulsion or exploited or harmed in any way. He shall be entitled without any discrimination between males and females - to fair wages for his work without delay, as well as to the holidays allowances and promotions which he deserves. For his part, he shall be required to be dedicated and meticulous in his work. Should workers and employers
cccviii
disagree on any matter, the State shall intervene to settle the dispute and have the grievances redressed, the rights confirmed and justice enforced without bias. Article 14 : Everyone shall have the right to legitimate gains without monopolization, deceit or harm to oneself or to others. Usury (riba) is absolutely prohibited. Article 15 : a) Everyone shall have the right to own property acquired in a legitimate way, and shall be entitled to the rights of ownership, without prejudice to oneself, others or to society in general. Expropriation is not permissible except for the requirements of public interest and upon payment of immediate and fair compensation. b) Confiscation and seizure of property is prohibited except for a necessity dictated by law. Article 16 : Everyone shall have the right to enjoy the fruits of his scientific, literary, artistic or technical production and the right to protect the moral and material interest stemming therefrom, provided that such production is not contrary to the principles of Shari’ah. Article 17 : a) Everyone shall have the right to live in a clean environment, away from vice and moral corruption, an environment that would foster his self-development and it is incumbent upon the State and Society in general to afford that right. b) Everyone shall have the right to medical and social care, and to all public amenities provided by Society and the State within the limits of their available resources. c) The State shall ensure the right of the individual to a decent living which will enable him to meet all his requirements and those of his dependents, including food, clothing, housing, education, medical care and all other basic needs. Article 18 : a) Everyone shall have the right to live in security for himself, his religion, his dependents, his honour and his property.
cccix
b) Everyone shall have the right to privacy in the conduct of his private affairs, in his home, among his family, with regard to his property and his relationships. It is not permitted to spy on him, to place him under surveillance or to besmirch his good name. The State shall protect him from arbitrary interference. c) A private residence is inviolable in all cases. It will not be entered without permission from its inhabitants or in any unlawful manner, nor shall it be demolished or confiscated and its dwellers evicted. Article 19 : a) All individuals are equal before the law, without distinction between ruler and ruled. b) The right to resort to justice is guaranteed to everyone. c) Liability is in essence personal. d) There shall be no crime or punishment except as provided for in the Shari’ah. e) A defendant is innocent until his guilt is proven in a fair trial in which he shall be given all the guarantees of defence. Article 20 : It is not permitted without legitimate reason to arrest an individual, restrict his freedom, to exile or to punish him. It is not permitted to subject him to physical or psychological torture or to any form of humiliation, cruelty or indignity. Nor is it permitted to subject an individual to medical or scientific experimentation without his consent or at the risk of his health or of his life. Nor is it permitted to promulgate emergency laws that would provide executive authority for such actions. Article 21 : Taking hostages under any form or for any purpose is expressly forbidden. Article 22 : a) Everyone shall have the right to express his opinion freely in such manner as would not be contrary to the principles of the Shari’ah. b) Everyone shall have the right to advocate what is right, and propagate what is good, and warn against what is wrong and evil according to the norms of Islamic Shari’ah.
cccx
c) Information is a vital necessity to Society. It may not be exploited or misused in such a way as may violate sanctities and the dignity of Prophets, undermine moral and ethical values or disintegrate, corrupt or harm Society or weaken its faith. d) It is not permitted to arouse nationalistic or doctrinal hatred or to do anything that may be an incitement to any form of racial discrimination.
Article 23 : a) Authority is a trust; and abuse or malicious exploitation thereof is absolutely prohibited, so that fundamental human rights may be guaranteed. b) Everyone shall have the right to participate directly or indirectly in the administration of his country’s public affairs. He shall also have the right to assume public office in accordance with the provisions of Shari’ah. Article 24 : All the rights and freedoms stipulated in this Declaration are subject to the Islamic Shari’ah. Article 25 : The Islamic Shari’ah is the only source of reference for the explanation or clarification of any of the articles of this Declaration.
cccxi
cccxii
cccxiii
cccxiv
cccxv
CURRICULUM VITAE PENULIS
1. Nama Lengkap
: Ahmad Ali, S.Hi. (Achmad `Aly MD)
2. Tempat & Tanggal Lahir
: Datarajan, 15 September 1977
3. Agama
: Islam
4. Nama Orang Tua
: Kyai Muhammad Muslim Daroini (Ayah), Natijah (Ibu)
5. Status dalam Keluarga
: Putera kedua dari 4 bersaudara
6. Alamat Asal/Domisili
: Datarajan Blok I Ulu Belu Kab. Tanggamus Lampung/Jl. M. Khafi II No. 9A Rt/Rw. 005/004 Ciganjur Jagakarsa Jakarta Selatan
5. Email/Hp
:
[email protected] 0813-877 86 810
6. Pendidikan
:
a. Formal: MI Alkhairiyah Datarajan Kec. Pulau Panggung (sekarang Kec. Ulu Belu) Kab. Lamsel (sekarang Kab. Tanggamus) Lampung, tidak tamat. SDN 1 Datarajan Kec. Ulu Belu Kab. Lamsel (sekarang Kab. Tanggamus) Lampung. MTs. Mamba’ul Ulum Margoyoso Gunung Batu Kec. Sumberjo Tanggamus Lampung, tidak tamat. MTs. Darussalam Datarajan Ulu Belu Tanggamus Lampung, tamat 1996. MA. Darussalam Datarajan Ulu Belu Tanggamus Lampung, tamat 1999. S1 Fakultas Syari’ah Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKAHA) Tebuireng Jombang Jawa Timur, 1999-2003. S2 Program Pengkajian Islam, Konsentrasi Syari’ah Sekolah Pascasarjana (SPs.) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005-2008. b. Nonformal: Pondok Pesantren (Pontren) Miftah al-`Ulûm Liraf Sumberagung Margodadi Kec. Sumberjo Kab. Tanggamus Lampung, 1992-1995. MA Ma’arif NU dan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Salafiah (APIS) Blitar, Jatim, 1996-1999. Pontren Seblak Kwaron Jombang Jawa Timur, 1999-2001. Ponntren Kwagean Kediri Jawa Timur, 2001.
cccxvi
Kursus Bahasa Inggris di Mahesa Institute dan Harvard School, Pare Kediri Jatim, 2001. Pesantren Cililitan, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta, 2004. 7. Pengalaman Organisasi, Kerja, Partisipasi Kegiatan, dan Pengabdian:
•
Mengajar di Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Bimasakti Datarajan Ulu Belu Tanggamus Lampung, 1995 sekarang; Koord. Bahtsul Masâ’il Pontren APIS Blitar Jatim, 1998-1999; Koord. Departemen Pengembangan Intelektual BEM Fak. Syari’ah IKAHA Tebuireng Jombang Jatim, 2001-2002; Koord. Pendidikan dan Pengajaran Pontren Seblak Kwaron Jombang Jatim, 2001-2002; Ketua Panitia Seminar Nasional: ”Legalisasi Penerapan Syari’at/Hukum Islam di Indonesia: Efektivitas dan Implikasinya dalam Kehidupan Bemasyarakat, Berbangsa dan Bernegara”, diselenggarakan oleh IKAHA Tebuireng Jombang Jatim, 2002; Pimred Majalah Yarfa’ PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Tebuireng Jombang Jawa Timur, 2002-2003; Wakil Pengasuh Pontren Hayatur Riyadl, Datarajan Ulu Belu Tanggamus Lampung, 2002; Peserta dan Ketua Komisi Hukum dan HAM dalam Simposium Nasional tentang ASWAJA DAN PERGERAKAN, diselenggarakan PB-PMII di Kediri, 2003; Delegasi di berbagai Forum Bahtsul Masail Koorda Blitar dan Trenggalek, Korda Karisidenan Kediri (dari 1998-1999), dan se-Jawa Timur di Jombang Jatim pada 2003; Mengajar di Madrasah Diniyah dan Pontren Seblak Kwaron Jombang Jatim, 2000-2002, dan di Ponpes Tebuireng Jombang Jatim, 2002-2003; Staf Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PP LDNU), Jakarta 2003 – 2004; Staf Peneliti, dan Editor/Redaktur www.islamemansipatoris.com, P3M, Jakarta, 2004-2005; Narasumber/Moderator Talkshow Perspektif Progresif di radio Jakarta News 97,5 FM (almarhum), Pondok Indah Jakarta, 2004/2005); Narasumber Hikmah Ramadhan di Radio Heartline 100,6 FM Karawaci Tangerang Banten (2005), dan Tim redaksi Naskah Talkshow Keislaman di TVRI, P3M, 2005; Peserta Pelatihan Legal Drafting diselenggarakan INN-RED International di Hotel Oasis Amir Jakarta, pada 28-29 April 2006; Peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (CePDeS), Jakarta, 2007-sekarang; Trainer pada Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat, Kesehatan sebagai Hak Asasi Manusia, dalam Program Pesantren dan Tata Pemerintahan yang Baik (Pesantren and Good Governance), diselenggarakan oleh CePDeS kerjasama dengan TAF, di Jombang-Jatim, Agustus-September 2007;
cccxvii
• • •
Mengajar di Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah, 2007 sekarang; Mengajar di Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (Institut IPTIQ), Jakarta, 2008; Dll.
8. Karya Tulis: a. Karya Akademik/Buku: Menyingkap Makna Sa`ban: Membuka Lembaran Baru, Tazkia@Com, Jombang, 2002. Talfiq Manhajî sebagai Epistemologi Jama’î Usûl al-Fiqh untuk Pengembangan Hukum Islam (Skripsi pada Fakultas Syariah IKAHA Tebuireng Jombang, tidak diterbitkan 2003). Kala Fatwa Jadi Penjara (kontributor), The Wahid Institute, Jakarta 2006. REFORMULASI AL-MASLAHAH: Relevansi dan Implementasinya dalam Pengembangan Pemikiran Hukum Islam Kontemporer (Tesis di SPs. UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta), 2008. KESEHATAN, ISLAM, DAN HAM (Tim Penulis, dan Editor), sedang dalam proses penerbitan, oleh CePDeS dan TAF, Jakarta. Kunci Sukses Menggapai Hidup Bahagia, dalam proses terbit. b. Artikel dan Makalah: Beberapa artikel di berbagai media al.: Indo-Islamika, Journal of Islamic Sciences, SPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; Kompas, Republika, Sinar Harapan, Pelita, Duta Masyarakat, Harian Merdeka, Harian Suara Karya; Majalah Bina Pesantren, Depag. RI. dan P3M; Buletin Jum’at al-Nadar, P3M Jakarta, Buletin al-Tasâmuh, Jakarta; www.islam emansipatoris. com, dan www. islamlib.com, dll. Kesehatan dalam Islam, paper disiapkan untuk Semiloka Program Pesantren dan Tata Pemerintahan yang Baik, diselenggarakan oleh CePDeS kerjasama dengan TAF, Jombang, 16-17 Juni 2007; Kesehatan sebagai Maqâsid Syarî`ah dalam Perspektif Islam, dipresentasikan dalam Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat, Kesehatan sebagai HAM, dalam Program Pesantren and Good Governance, diselenggarakan oleh CePDeS kerjasama dengan TAF, di Jombang-Jatim, Agustus-September 2007.
cccxviii
cccxix