SURYANA
SEKOLAH PASCASARJANA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul ”Karakterisasi Fenotipik dan Genetik Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan Dalam Rangka Pelestarian dan Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan” adalah karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.
Bogor,
Mei
2011
Suryana NRP. D161070071
ABSTRACT SURYANA. The Phenotypic and Genetic Characterization of Alabio Duck (Anas platyrhynchos Borneo) in South Kalimantan for it’s Conservation and Sustainable Use. Supervisors of RONNY RACHMAN NOOR, PENI SUPRAPTI HARDJOSWORO and L. HARDI PRASETYO. Alabio ducks is one of the local duck in South Kalimantan as egg producers which characterized by high productivity of eggs. The study was carried out in order to describe the phenotypic and genetic characterization of Alabio duck being kept by smallholder farmers. The study was conducted in Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Tengah (HST) and Hulu Sungai Utara (HSU), South Kalimantan, animal breeding and genetic laboratory and feed technology and nutrition laboratory, Faculty of Animal Science IPB Bogor. Six hundreds (75 males and 525 females) of Alabio ducks were used in this study with ages ranged from 5.5 to 5 months old, 144 of whole blood samples (71 blood plasma and 72 red blood cells) were collected from HSS, HST and HSU. The observed parameters were quantitative and qualitative traits of Alabio duck, genetic variability and nutrition composition. The quantitative traits (body measurement) and genetic polymorphisms of blood protein were analyzed using principal component analysis (PCA) and descriptive analyses. The results showed that for body size measurement of Alabio ducks from HSS, HST and HSU such as length of back, neck, head and depth head as well as body length could be used as variables discriminantor factor. The blood protein polymorphisms of Alabio duck from HSS, HST and HSU displayed six of genotypes i.e. AA, AB, AC, BB, BC and CC with genes frequencies ranged from 0.2917 to 0.7667, heterozigosity value ranged from 0.407±0.120 to 0.661±0.135 and average heterozigocity value of HSS was 0.643±0.232, HST was 0.638±0.219 and HSU was 0.660±0.209. The genetic distances analysis demonstrated that of Alabio duck from HST had relatively closer distance with HSU (0.0148) when compared to HSS (0.2193). The Alabio duck from three locations (HSS, HST and HSU) have different plumage color. The dominant colors of male and famale duck were grayish brown, grayish black, grayish white, blue-green and black. The features of plumage male and female duck were brown spotted, black, blue green and plain. Male and female Alabio duck plumages have the glint of silver and shiny bluegreen. The color of bill, feet and shank of male and female duck were lite yellow, bright orange, pale yellow and black. The average five months eggs production was 67.11%±2.75 (HSS), 75.55%±3.87 (HST) and 76.48%±3.13 (HSU). The feeding duration was 14.99±0.24 minute/hour, feeding frequencies was 2.88±036 time/our and duration of drinking was 2.77±0.50 minutes/hour and moving from feeder to drinker places was 5.99 ±0.23 time/hour. The capability of male duck to mate female were 8.14±0.11bird/male (morning), 6.28±0.18 bird/male (afternoon) and 7.13 ±0.24 bird/male (evening). Key words: Alabio duck, quantitative and qualitative traits, phenotypic and genetic variability, behaviour.
RINGKASAN
SURYANA. Karakterisasi Fenotipik dan Genetik Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan Dalam Rangka Pemanfaatan dan Pelestarian Secara Berkelanjutan. Dibawah bimbingan RONNY RACHMAN NOOR, PENI SUPRAPTI HARDJOSWORO dan L. HARDI PRASETYO. Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) merupakan salah satu plasma nutfah unggas lokal di Kalimantan Selatan yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur. Itik Alabio mempunyai ciri fenotipik berbeda dan performa beragam dibanding itik lokal lain di Indonesia. Namun, di antara itik-itik lokal tersebut terdapat itik yang unggul dapat hidup dan berkembang biak dengan baik, karena secara genetik memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan setempat. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang keragaan atau spesifikasi itik Alabio, baik sifat kuantitatif maupun kualitatif, keragaman fenotipik dan genetik dalam dan antar populasi yang berbeda, tingkah laku menetas, kawin dan memilih pakan, produksi telur, kandungan nutrisi pakan di tingkat lapang /peternak, serta profil peternak itik Alabio. Sebelum penelitian dimulai, diawali dengan survey pendahuluan untuk penentuan lokasi penelitian dan pengambilan sampel selanjutnya. Penelitian dirancang dengan metode survey secara purposive random sampling, yaitu memilih dua kecamatan dari masing-masing kabupaten.Tiap-tiap kecamatan dipilih dua desa yang memiliki populasi itik Alabio terpadat untuk mewakili lokasi lainnya. Adapun desa yang dipilh yaitu Desa Taniran dan Taniran Kubah Kecamatan Angkinang, Desa Daha dan Paharangan Kecamatan Daha Utara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Desa Sei Jaranih dan Murung Taal, Kecamatan Labuan Amas Selatan, Desa Tabat dan Mantaas, Kecamatan Labuan Amas Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Desa Teluk Baru dan Mamar, Kecamatan Amuntai Selatan, Desa Cangkering dan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU). Kegiatan penelitian meliputi karakterisasi sifat kuantitatif (ukuran-ukuran bagian tubuh) dan kualitatif (warna bulu dominan, corak dan fluoresens bulu, warna paruh, kaki dan shank) dilakukan terhadap 600 ekor (75 ekor jantan dan 525 ekor betina), dengan umur berkisar antara 5 - 5.5 bulan atau sudah mengalami masak kelamin, sedangkan data produksi telur diamati selama lima bulan produksi, masing-masing kabupaten diwakili tiga orang peternak. Kegiatan penelitian analisis keragaman genetik antar dan dalam populasi itik Alabio dilakukan di laboratorium, yakni diawali dengan pengambilan sampel darah itik Alabio sebanyak 144 sampel (72 sampel plasma dan 72 sampel whole blood). Masing-masing desa diwakili enam sampel yang diambil melalui vena sayap itik Alabio, dan dimasukkan ke dalam tabung volume 3 ml dengan anti koagulan (EDTA). Sebelum sampel darah dianalisis terlebih dahulu dipisahkan antara plasma dan RBC (red blood cell), dengan cara disentrifugasi pada 6000 rpm selama 15 menit. Sampel darah dianalisis dengan teknik elektroforesis. Sebelum analisis elektroforesis dilakukan, terlebih dahulu dilakukan tahapan kegiatan di laboratorium meliputi: pembuatan campuran bahan kimia, pembuatan gel elektroforesis, penetesan dan proses pemisahan protein, pewarnaan dan pencucian. Lokus yang diamati adalah albumin, post albumin, transferin, post transferin-1, post transferin-2 dan haemoglobin.
Kegiatan penelitian tingkah laku memilih makan, kawin dan menetas dengan pelaksanaan sebagai berikut: tingkah laku memilih pakan dilakukan pada itik Alabio dewasa, yang ditempatkan di dalam kandang individu masing-masing satu ekor sebanyak enam kandang dan diulang tiga kali. Bahan pakan yang digunakan sebanyak enam macam (dedak halus, keong rawa, sagu parut, gabah, pakan komersial dan ikan kering). Pengamatan tingkah laku menetas terlebih dahulu melakukan penetasan telur di laboratorium dengan alat penetas berkapasitas 200 butir. Sebagai pembanding untuk mengetahui keragaan penetasan di tingkat lapang, digunakan tiga buah alat penetasan milik peternak penetas di Desa Mamar, HSU dengan sumber panas kombinasi antara gabah dan listrik, kapasitas masing-masing 1000, 1500 dan 2500 butir. Peubah lainnya yang diamati selama proses penetasan adalah warna dan bentuk telur, bobot telur (g), indeks telur (%), fertilitas (%), perkembangan kantong udara (mm), daya tetas (%), mortalitas DOD (%), bobot tetas (g) dan sex ratio. Pengamatan tingkah laku kawin diawali dengan menempatkan itik Alabio jantan dan betina pada petak kandang kelompok dengan perbandingan jantan:betina (1:10). Waktu pengamatan dilakukan pagi (pukul 07.00), siang (pukul 13.00) dan sore (pukul 17.00), dengan ulangan tiga kali. Kegiatan penelitian profil peternak itik Alabio bertujuan untuk memperoleh informasi tentang keragaan peternak itik Alabio di HSS, HST dan HSU serta mengetahui kandungan nutrisi pakan. Metode yang digunakan adalah wawancara langsung dengan peternak responden, menggunakan daftar pertanyaan atau kuisioner sebanyak 60 responden. Masing-masing desa diwakili lima orang responden, sedangkan pakan masing diambil sebanyak tiga sampel/desa, selanjutnya dilakukan analisis proksimat di laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor peubah pembeda ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSS (panjang leher dan panjang tubuh), HST (panjang paruh atas, inggi kepala, panjang kepala, panjang leher, panjang punggung dan panjang tubuh), dan HSU (panjang paruh bawah, panjang leher, panjang punggung dan panjang tubuh). Berdasarkan hasil analisis protein darah itik Alabio pada lokus albumin, post albumin, transferin, post transferin-1 dan post transferin-2, ditemukan enam macam genotipe adalah AA, AB, AC, BB, BC dan CC, sementara pada lokus haemoglobin ditemukan tiga genotipe yaitu AA, AB dan BC, sedangkan genotipe BB, CC dan AC tidak ditemukan pada darah itik Alabio baik dari HSS, HST maupun HSU, dengan frekuensi gen berkisar antara 0.292 - 0.767. Nilai heterosigositas diperoleh berkisar antara 0.407±0.120 0.661±0.135 dan heterosigositas rataan (0.638±0.219 - 0.660±0.209). Analisis jarak genetik yang didasarkan pada frekuensi gen dari enam lokus protein darah menunjukkan bahwa, itik Alabio dari Kabupaten HST mempunyai jarak genetik yang lebih dekat dengan HSU (0.0184), sementara dengan HSS jaraknya relatif jauh (0.2193). Rataan produksi telur tertinggi yang diperoleh selama lima bulan pengamatan adalah HSU (76.48%±3.13) dan terendah HSS (67.11%±2.75). Itik Alabio dari HSS, HST dan HSU memiliki karakter fenotipik warna dan corak bulu bervariasi. Warna bulu dominan pada itik Alabio jantan adalah coklat keabuan, hijau kebiruan dan hitam, sedangkan itik betina putih keabuan, coklat keabuan, abu kehitaman, hijau kebiruan dan hitam. Warna dominan itik Alabio jantan pada kepala bagian atas adalah hitam, putih, hitam dan putih, sementara betina yakni coklat totol-totol, putih, coklat totol-totol dan putih. Corak bulu itik Alabio jantan didominasi hitam dan hijau kebiruan, sedangkan betina coklat totoltotol, hitam dan polos. Itik Alabio jantan maupun betina memiliki warna fluoresens bulu perak dan hijau kebiruan mengkilap. Warna paruh, kaki dan shank (kuning gading muda, kuning gading tua, kuning gading pucat dan hitam).
Rataan kemampuan itik Alabio jantan mengawini betina pada pagi hari (8.14±0.11 ekor), siang hari (6.28±0.18 ekor) dan sore hari (7.13±0.26 ekor). Rataan lama makan sebesar 14.99 ±0.24 menit/jam, lama minum 2.77 ±0.50 menit/jam, frekuensi makan 6.04±0.50kali/jam, frekuensi minum 2.33±0.25 kali/jam, dan frekuensi pergerakan dari tempat pakan ke tempat air minum 5.99±0.23 kali/jam. Kandungan protein kasar pakan yang berasal dari HST (17.55%) lebih tinggi dibanding HSU (16.16%) dan HSS (11.77%). Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang bermanfaat dan dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk menyusun atau membuat standarisasi itik Alabio bibit/induk di tingkat lapang. Informasi yang tersedia merupakan acuan bagi pemangku kepentingan (stake holder) dalam rangka pengembangan dan pelestarian itik Alabio secara berkelanjutan. Kata kunci: Itik Alabio, sifat kualitatif dan kuantitatif, keragaman fenotipik dan genetik, tingkah laku.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Karya Tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
SURYANA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi/Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA
Penguji pada Ujian Tertutup
:
Dr.Ir. Argono Rio Setioko, M.Sc.Agr. (Peneliti Utama pada Balai Penelitian Ternak Ciawi - Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian) Dr.Ir. Sumiati, M.Sc. (Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor)
Penguji pada Ujian Terbuka
:
Dr.drh. Prabowo Respatiyo Caturroso, M.M. (Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI) Prof. (R) Dr.Ir.Kusumo Diwyanto, M.S. (Profesor Riset pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian)
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Disertasi
:
Karakterisasi Fenotipik dan Genetik Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan dalam Rangka Pelestarian dan Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan
Nama NRP Program Studi/Mayor
: : :
Suryana D161070071 Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP)
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir.Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc. Ketua
Prof. (em) Dr.Peni S. Hardjosworo, M,Sc. Anggota
Dr.Ir.L.Hardi Prasetyo, M.Agr. Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi /Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan
Dr.Ir.Rarah R. A. Maheswari, DEA.
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr.Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 10 Maret 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kekhadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, karunia dan inayah-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi dengan judul “Karakterisasi Fenotipik dan Genetik Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan Dalam Rangka Pelestarian dan Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan”. Disertasi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi/Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan atas dasar bahwa, itik Alabio merupakan salah satu ternak unggas lokal yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur dan sumber plasma nutfah di Kalimantan Selatan. Keberadaan itik Alabio perlu dilestarikan dan dikembangkan, sehingga populasinya meningkat. Perkembangan usaha ternak itik Alabio di Kalimantan Selatan sampai saat ini menunjukkan kemajuan yang pesat, seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya proteih hewani, yang berasal dari telur dan daging itik. Fenomena tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan yang baik dalam rangka pengembangan itik Alabio yang berorientasi agribisnis, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Informasi tentang keragaaan atau spesifikasi itik Alabio, baik sifat-sifat kuantitatif dan kualitatif maupun keragaman genetik dalam dan antar populasi, tingkah laku makan, menetas dan kawin di tingkat lapang belum tersedia secara memadai. Oleh sebab itu, untuk menjawab permasalahan tersebut, perlu dilakukan penelitian tentang karakterisasi fenotipik dan genetik itik Alabio di Kalimantan Selatan. Informasi yang diperoleh tersebut, diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk membuat atau menyusun standarisasi itik Alabio bibit di tingkat lapang. Ketika mulai merencanakan untuk melanjutkan studi ke jenjang S3, berbagai pihak telah terlibat baik langsung maupun tidak langsung. Masing-masing telah memberikan sumbangsihnya, baik berupa semangat dan motivasi, sumbangan pemikiran serta materi kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi. Penelitian dan disertasi ini dapat diselesaikan tentunya atas bantuan dan bimbingan dari Komisi Pembimbing. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:
xvii
1.
Bapak Prof.Dr.Ir.Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Ibu Prof. (Em).Dr.Peni Suprapti Hardjosworo, M.Sc, dan Bapak Dr.Ir.L.Hardi Prasetyo, M.Agr., masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah menyediakan waktu mendampingi penulis dengan penuh kesabaran, memberikan saran, koreksi, arahan, bimbingan dan semangat selama penelitian hingga selesai penulisan disertasi ini.
2.
Bapak Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian selaku Ketua Komisi Pembinaan Tenaga, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program S3.
3.
Bapak Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) Bogor dan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan, yang telah memberikan dorongan dan restu kepada penulis untuk melanjutkan ke jenjang Program S3 di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
4.
Ibu Dr.Ir.Rarah Ratih Ajie Maheswari, DEA, selaku Ketua Program Studi/Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP), Bapak Prof.Dr.Ir.Cece Sumantri, M.Agr.Sc selaku Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang sekaligus sebagai penguji luar komisi pada ujian kualifikasi Doktor dan Bapak Prof.Dr.Ir.Nahrowi Ramli, M.Sc, sebagai penguji luar komisi pada ujian kualifikasi Doktor, Bapak Dr.Ir.Argono Rio Setioko, M.Sc.Agr, dan Ibu Dr.Ir. Sumiati, M.Sc, masing – masing sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, Bapak Dr.drh. Prabowo Respatiyo Caturroso, M.M., dan Bapak Prof. (R) Dr.Ir.Kusumo Diwyanto, M.S masing – masing sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka.
5.
Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Peternakan IPB Bogor dan seluruh jajarannya, yang telah memberikan pelayanan akademik dan administrasi lainnya.
6.
Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan (Biro Kesejahteraan Rakyat) dan Dr.Ir.Hj.Maskamian Andjam, M.M. selaku Kepala Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan yang telah memberikan bantuan dana penelitian, Ir.H. Zaenal Arifin Areo staf Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan, Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Hulu Sungai Selatan, Kepala Dinas Peternakan, Perikanan dan Kehutanan Hulu Sungai Tengah, Kepala Dinas
xviii
Peternakan Hulu Sungai Utara, Kepala BPPV Regional V Banjarbaru, Drh. Anna staf Laboratorium Virologi BPPV Regional V Banjarbaru. 7.
Dr.Jakaria, S.Pt.,M.Si., Erick Andreas, S.Pt., M.Si, Sutikno, S.Pt.,M.Si., yang telah membantu menganalisis sampel darah di Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Ternak, Fakultas Peternakan IPB Bogor.
8.
Sdr M. Faridi, Aidi Murahman S.Pt., Mas Suradi, Purwanto, A.Md. yang telah membantu penelitian di lapang.
9.
Rekan-rekan Ir. Aron Batubara, M.Sc., drh. Bambang Ngaji Utomo, M.Sc., Ir. Eko Handiwirawan, M.Si., Ben Juvarda. S.Pt.,M.Si dan Procula R. Matitaputti, S.Pt., M.Si, yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis. Kepada para peternak itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan yang telah bersedia meminjamkan ternaknya selama penelitian berlangsung. Kepada istri saya tercinta Rofiqah Wahdah dan kedua putri tersayang Rynda
Aulia Surya Utami dan Syafira Rossa Meiliyansari, terima kasih atas perhatian, pengertian, dorongan, pengorbanan dan doa yang diberikan selama ini kepada Penulis, serta kepada semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan di masa mendatang. Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi yang membacanya.
Bogor,
Mei Penulis
xix
2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis di lahirkan di Garut - Jawa Barat pada tanggal 01 Juli 1967 sebagai anak ke lima dari tujuh bersaudara dari pasangan Djadja (alm) dan Yayah (alm). Pendidikan Sarjana ditempuh pada Program Studi Produksi Ternak Jurusan Peternakan
Universitas
Islam
Kalimantan
Muhammad
Arsyad
Al-Banjary
Banjarmasin, lulus tahun 1996. Pada tahun 2002 penulis diterima di Program Magister Studi Ilmu Peternakan pada Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan menamatkannya pada tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang Doktor pada Program Studi/ Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP) Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari DIPA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Penulis bekerja dan diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Sub Balai Penelitian Veteriner Banjarbaru, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sejak tahun 1990. Tahun 2000 diangkat sebagai staf Peneliti bidang budidaya ternak di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Selama mengikuti program S3 Penulis menjadi Anggota Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) Cabang Kalimantan Selatan. Karya Ilmiah yang telah dan sedang diterbitkan dengan judul : 1.
The Color Pattern of Alabio Duck (Anas platyrhynchos Borneo) in South Kalimantan. Journal of The Indonesian Tropical Animal Agriculture Volume 35 Nomor 2 Juni 2010.
2.
Karakteristik Fenotipik Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan. Bulletin Plasma Nutfah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. In Press.
xx
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................
xxiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xv DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xvi PENDAHULUAN .................................................................................
1
Latar Belakang ...................................................................................
1
Tujuan Penelitian ................................................................................
3
Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................
3
Manfaat Penelitian ..............................................................................
3
Kerangka Pemikiran ............................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................
9
Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) .............................................
9
Sistem Pemeliharaan .......................................................................... 12 Produksi Telur Itik Alabio .................................................................... 14 Karakteristik Penetasan ....................................................................... 15 Sifat Kualitatif dan Kuantitatif .............................................................. 16 Sifat Kualitatif ................................................................................ 16 Sifat Kuantitatif ............................................................................. 22 Morfometrik ....................................................................................... 23 Tingkah Laku ....................................................................................... 27 Protein Darah
.................................................................................... 30
Elektroforesis
.................................................................................... 32
Keragaman Genetik Ternak ............................................................... 33 Plasma Nutfah
................................................................................... 35
BAHAN DAN METODE ............................................................................. 39 Tempat dan Waktu Penelitian ..............................................................
xxi
39
Bahan dan Alat .................................................................................... 39 Ternak Itik................................................................................... 39 Telur Tetas dan Alat Penetasan ................................................. 39 Bahan Kimia ............................................................................... 40 Peralatan .................................................................................... 40 Kandang dan Perlengkapannya .................................................. 41 Metode Penelitian ............................................................................... 42 Perancangan Percobaan dan Penelitian ..................................... 42 Prosedur Penelitian dan Pengamatan Peubah .......................... 42 Orientasi Lapangan (Survey Awal) ............................................. 42 Penentuan Lokasi ....................................................................... 42 Penelitian Sifat Kuantitatif dan Kualitatif.............................................. 43 Penelitian Keragaman Genetik (Protein Darah) .................................. 44 Pengambilan Darah dan Persiapan Contoh ................................ 44 Pembuatan Campuran Bahan Kimia .......................................... 45 Pembuatan Gel Elektroforesis .................................................... 46 Penetesan Contoh dan Proses Pemisahan Protein .................... 47 Pewarnaan dan Pencucian ........................................................ 47 Penelitian Tingkah Laku Menetas, Memilih Pakan dan Kawin ............ 47 Penelitian Profil Peternak Itik Alabio .................................................. 49 Analisis Data.......................................................................................... 50
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 55 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ...................................................... 55 Manajemen Pemeliharaan Itik Alabio .................................................. 57 Karakteristik Fenotipik ........................................................................ 58 Sifat Kuantitatif .......................................................................... 58 Analisis Komponen Utama (AKU) ..................................................
61
Produksi Telur .................................................................................... 65 Kandungan Nutrisi Pakan ...................................................................
67
Sifat Kualitatif....................................................................................... 68 Warna Bulu Dominan.................................................................. 68 Corak Bulu Itik Alabio ................................................................ 70 Warna Fluoresens Bulu Itik Alabio ............................................. 71 Warna Paruh, Kaki dan Shank................................................... 72
xxii
Karakteristik Genotipik ..................................................................
74
Karakteristik Protein Darah ....................................................... 74 Jarak Genetik Itik Alabio ..................................................................... 79 Keragaman Genetik Itik Alabio ............................................................ 80 Tingkah Laku ...................................................................................... 83 Tingkah Laku Menetas .............................................................. 83 Tingkah Laku Memilih Pakan ...................................................... 86 Tingkah Laku Kawin .................................................................. 89 Keragaan Penetasan .......................................................................... 90 Profil Peternak Itik Alabio ................................................................... 95
PEMBAHASAN UMUM ........................................................................ 99 SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 105 Simpulan ............................................................................................ 105 Saran ................................................................................................. 106 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 107 DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... 123
xxiii
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Keragaan itik Alabio di Kalimantan Selatan ........................................... 11
2
Daftar gen yang berpengaruh terhadap warna kulit dan bulu unggas ... 19
3
Penampakan warna paruh dan shank ................................................... 22
4
Ukuran bagian-bagian tubuh itik lokal dewasa di Indonesia .................. 26
5
Ethogram tingkah laku makan dan kawin pada unggas ........................ 29
6
Protein darah yang ditemukan pada itik dan ayam kampung ............... 31
7
Gambaran umum manajemen pemeliharaan itik Alabio ........................ 57
8
Rataan (±sd) bobot badan dan ukuran bagian tubuh itik Alabio ........... 58
9
Matrik koefisien korelasi antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSS ............................................................................................... 59
10
Matrik koefisien korelasi antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HST .............................................................................................. 60
11
Matrik koefisien korelasi antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSU ............................................................................................... 60
12
Persamaan ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio .................................. 61
13
Nilai hubungan antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSS HST dan HSU ...................................................................................... 63
14
Hasil analisis nutrisi pakan itik Alabio .................................................. 67
15
Persentase warna bulu dominan itik Alabio ........................................ 69
16
Persentase corak bulu itik Alabio ........................................................ 70
17
Persentase fluoresens bulu itik Alabio ................................................ 72
18
Persentase paruh, kaki dan shank itik Alabio ...................................... 73
19
Penyebaran genotipik dan frekuensi gen lokus protein darah itik Alabio dalam populasi (kecamatan) ..................................................... 75
20
Penyebaran genotipik dan frekuensi gen lokus protein darah itik Alabio antar populasi (kabupaten) ....................................................... 76
21
Nilai heterosigositas (±SE) itik Alabio dalam populasi (kecamatan) ..... 78
22
Nilai heterosigositas (±SE) itik Alabio antar populasi (kabupaten) ....... 78
23
Matrik jarak genetik itik Alabio .............................................................. 79
xxiv
24
Perkembangan telur itik Alabio selama proses penetasan .................. 84
25
Rataan konsumsi pakan ..................................................................... 86
26
Kandungan zat gizi bahan pakan itik Alabio ........................................ 87
27
Rataan lama makan, minum, frekuensi makan, minum dan pergerakan dari tempat makan ke tempat air minum ........................ 87
28
Rataan kemampuan itik pejantan mengawini betina ............................ 89
29
Keragaan hasil penetasan telur itik Alabio ........................................... 91
30
Perkembangan kantong udara telur itik Alabio .................................... 94
xxv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Diagram alir kerangka pemikiran ..........................................................
7
2
Kerangka tubuh itik (Koch 1973) ........................................................
25
3
Alat elektroforesis apparatus merk Protean II vertical .............................
41
4
Peta lokasi penelitian .............................................................................
56
5
Grafik ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSS, HST dan HSU .....
64
6
Grafik produksi telur itik Alabio ................................................................
65
7
Pola penyebaran genotipe protein darah pada itik Alabio .......................
77
8
Pohon filogenik itik Alabio ......................................................................
80
9
Proses penetasan telur itik Alabio ...........................................................
85
a Telur di dalam mesin tetas mulai kerabangnya retak ..........................
85
b Paruh itik mulai keluar pada kerabang telur ........................................
85
c Anak itik mulai keluar dari kerabang telur ............................................
85
d Anak itik berhasil keluar dari kerabang telur ........................................
85
e Anak itik mulai keluar dari kerabang telur dan mengeringkan bulunya ................................................................................................
85
f Anak itik siap dipindahkan ke kandang indukan ..................................
85
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Gambar cara pengukuran, corak dan pola warna bulu itik Alabio ...... 124
1.1
Gambar penampilan itik Alabio jantan................................................ 124
1.2
Gambar penampilan itik Alabio betina ............................................... 124
1.3
Gambar pengukuran panjang paruh ................................................... 124
1.4
Gambar pengukuran lebar paruh ....................................................... 124
1.5
Gambar pengukuran tinggi kepala ..................................................... 125
1.6
Gambar pengukuran panjang punggung ........................................... 125
1.7
Gambar pengukuran panjang leher .................................................. 126
1.8
Gambar pengukuran panjang sayap .................................................. 126
1.9
Gambar pengukuran panjang sternum .............................................. 127
1.10 Gambar pengukuran panjang paha .................................................... 127 1.11 Gambar pengukuran lebar dada ........................................................ 128 1.12 Gambar warna bulu leher, dada dan perut itik Alabio jantan ............. 128 1.13 Gambar warna bulu leher, dada dan perut itik Alabio betina ............. 128 1.14 Gambar itik Alabio jantan nampak dari depan ................................... 129 1.15 Gambar warna bulu itik Alabio betina bagian punggung...................... 129 1.16 Gambar warna bulu ekor itik Alabio jantan ......................................... 129 1.17 Gambar warna bulu ekor itik Alabio betina ......................................... 129 1.18 Gambar warna bulu sayap itik Alabio betina ..................................... 130 1.19 Gambar warna bulu kedua sayap dan punggung itik Alabio .............. 130 1.20 Gambar warna paruh itik Alabio jantan ............................................... 130 1.21 Gambar warna bulu sayap primer dan sekunder itik Alabio betina ...... 130 1.22 Gambar warna bulu ekor itik betina nampak dari samping ................ 131 1.23 Gambar warna bulu ekor itik Alabio jantan bagian samping ............... 131 1.24 Gambar warna bulu badan itik Alabio jantan bagian samping .............. 131 1.25 Gambar warna bulu leher itik Alabio betina dan jantan ....................... 131 1.26 Gambar warna bulu dada itik Alabio betina ....................................... 132 1.27 Gambar warna bulu dada itik Alabio jantan ....................................... 132 1.28 Gambar warna bulu leher depan itik Alabio jantan ............................ 133
xxvii
1.29 Gambar warna bulu leher samping itik Alabio jantan ........................ 133 1.30 Gambar warna bulu leher depan itik Alabio betina ............................ 133 1.31 Gambar warna bulu leher samping itik Alabio betina ........................ 133 1.32 Gambar warna bulu punggung depan itik Alabio jantan .................... 134 1.33 Gambar warna bulu punggung belakang itik Alabio jantan ............... 134 1.34 Gambar warna bulu punggung depan itik Alabio betina ..................... 134 1.35 Gambar warna bulu punggung belakang itik Alabio betina ................. 134 2
Gambar berbagai sistem pemeliharaan itik Alabio ........................... 135
2.1
Pemeliharaan itik Alabio sistem kandang panggung ........................... 135
2.2
Pemeliharaan itik Alabio sistem semi intensif .................................. 135
2.3
Pemeliharaan itik Alabio sistem intensif.......................................... 136
2.4
Pemeliharaan itik Alabio sistem intensif dengan umbaran.................. 136
3
Lembar pertanyaan (kuisioner) ......................................................... 137
4
Profil peternak itik Alabio di Kabupaten HSS, HST dan HSU Kalimantan Selatan ............................................................................. 140
xxviii
PENDAHULUAN
Latar Belakang Itik lokal Indonesia dikenal sebagai itik Indian Runner yang produktif sebagai itik petelur. Meskipun satu rumpun, beberapa itik lokal yang tersebar di seluruh wilayah nusantara mempunyai berbagai nama menurut daerah atau lokasinya masing-masing. Bangsa itik lokal yang cukup dikenal antara lain itik Tegal, itik Bali, itik Mojosari, itik Magelang dan itik Alabio. Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) merupakan salah satu plasma nutfah unggas lokal di Kalimantan Selatan, dan mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur. Populasi itik Alabio di Kalimantan Selatan tahun 2010 sebanyak 4.354.121 ekor dengan tingkat pertumbuhan 4,17%, produksi telur dan daging masing-masing sebesar 27.733.704 kg dan 1.525.615 kg (Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan 2011). Populasi itik Alabio terbesar terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Utara 1.280.591 ekor (BPS Kabupaten Hulu Sungai Utara 2010), Kabupaten Hulu Sungai Selatan 935.927 ekor (BPS Kabupaten Hulu Sungai Selatan 2010), dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah sebesar 947.115 ekor (BPS Kabupaten Hulu Sungai Tengah 2010) dan sisanya tersebar di beberapa kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan. Selain sebagai sumber plasma nutfah, itik Alabio mempunyai nilai ekonomis tinggi. Hal tersebut ditunjukkan sekitar 46.81% merupakan mata pencaharian utama peternak itik Alabio di Kalimantan Selatan (Biyatmoko 2005). Kontribusi terhadap total pendapatan keluarga peternak itik, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara sebesar 42.09% (Rohaeni & Tarmudji 1994) dan 52.80% masing-masing di Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan (Zuraida 2004). Itik Alabio berkontribusi terhadap produksi telur sebesar 47.73% dari total produksi telur unggas di Kalimantan Selatan (Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan 2008). Itik Alabio memiliki ciri fenotipik berbeda serta performa beragam dibanding itik lokal lain di Indonesia. Namun, di antara itik-itik lokal tersebut terdapat itik yang lebih baik dan unggul serta dapat hidup dan berkembang biak, karena secara genetik
memiliki
daya
adaptasi
terhadap
lingkungan
setempat.
Kemampuan itik lokal dalam berproduksi telur selama periode tertentu sangat bervariasi dan keragaman genetiknya diduga masih besar. Keragaman genetik
2 yang besar tersebut, dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki produktivitas dan meningkatkan keseragaman itik yang ada. Keragaman genetik pada ternak penting artinya dalam rangka pembentukan rumpun ternak baru dan akan terus berlanjut sampai masa mendatang. Kenyataan di lapangan, menunjukkan bahwa itik Alabio di beberapa daerah di Kalimantan Selatan memiliki keragaman tinggi, baik sifat-sifat kualitatif (warna bulu, paruh, kaki dan shank serta bentuk tubuh), maupun kuantitatif seperti: bobot badan dewasa, lama produksi telur, umur pertama bertelur, puncak produksi, daya tunas, daya tetas, bobot tetas. Perbedaan-perbedaan keragaman di atas, salah satunya diduga disebabkan oleh manajemen pemeliharaan, pemberian pakan yang berbeda dan sistem perbibitan tanpa memperhatikan program pemuliaan yang rerarah dan terstruktur. Permintaan pasar akan produk itik (telur dan daging) akhir - akhir ini terus meningkat,seiring dengan meningkatnya minat masyarakat untuk mengkonsumsi produk tersebut. Permintaan produk yang meningkat, perlu diimbangi dengan penyediaan bibit itik yang berkualitas dalam jumlah besar dan berkelanjutan, untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi produksi. Kebutuhan produksi bibit dalam jumlah besar, tidak dapat dipenuhi dengan pemeliharaan itik secara tradisional, melainkan harus dilakukan intensif. Perubahan sistem budidaya dari tradisional kepada intensif, perlu didukung ketersediaan teknologi yang memperhatikan prinsip manajemen usaha peternakan modern, berorientasi ekonomis, berwawasan lingkungan untuk mencapai keuntungan optimal. Salah satu upaya untuk menyediakan bibit itik yang baik, dapat dilakukan dengan pemeliharaan itik Alabio secara intensif, yang sebelumnya telah diketahui keragaan atau spesifikasinya di tingkat lapang. Informasi tentang keragaan atau spesifikasi itik Alabio dapat diperoleh dengan melakukan penelitian karakterisasi fenotipik dan genetik, antara lain untuk mengetahui sifat-sifat kuantitatif dan kualitatif, keragaman fenotipik dan genetik dalam dan antar populasi itik Alabio yang berbeda berdasarkan protein darah, mengamati tingkah laku menetas, memilih pakan dan kawin, melakukan pengamatan produksi telur di tingkat peternak, serta menghimpun informasi pendukung lainnya, yaitu tentang profil peternak itik Alabio. Informasi yang diperoleh tentang keragaan atau spesifikasi karakteristik itik Alabio, diharapkan menjadi salah satu bahan pertimbangan untuk membuat atau menyusun standarisasi bibit/induk itik Alabio, dalam rangka
3 pelestarian dan pengembangannya sebagai salah satu sumber plasma nutfah ternak unggas lokal di Kalimantan Selatan.
Tujuan Penelitian 1.
Mendapatkan informasi keragaan atau spesifikasi itik Alabio, baik berupa karakteristik kualitatif dan kuantitatif, maupun keragaman fenotipik dan genetik dalam dan antar populasi yang berbeda, sebagai bahan yang dapat digunakan untuk membuat atau menyusun standarisasi bibit/induk itik Alabio di tingkat lapang.
2.
Memperoleh informasi tentang
aktivitas memilih pakan, kemampuan itik
Alabio jantan mengawini betina. 3.
Mengetahui keragaan penetasan dan komposisi nutrisi pakan di tingkat lapang, serta informasi tentang profil peternak itik Alabio.
Ruang Lingkup Penelitian 1.
Melakukan pengamatan terhadap sifat-sifat kualitatif dan kuantitatif itik Alabio.
2.
Melakukan analisis keragaman genetik dalam dan antar populasi yang berbeda.
3.
Melakukan pengamatan aktivitas menetas, memilih pakan,
kawin dan
mengetahui informasi tentang profil peternak itik Alabio. 4.
Melakukan analisis kandungan nutrisi pakan.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat untuk: 1. Pengembangan itik Alabio dengan memperhatikan keragaman populasi yang ada. 2. Menyediakan khususnya
informasi Dinas
yang
Peternakan
dapat
digunakan
sebagai
Pemerintah
pedoman
dalam
Daerah, menyusun
perencanaan pembangunan peternakan, khususnya pengembangan itik
4 Alabio dalam rangka re-stocking, sekaligus upaya pelestariannya sebagai plasma nutfah di Kalimantan Selatan. 3.
Menyediakan informasi tentang pemanfaatkan ciri-ciri fisik itik Alabio yang dapat digunakan Komisi Bibit, khususnya Komisi Bibit Unggas Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk membuat atau menyusun standarisasi bibit/induk itik Alabio di tingkat lapang.
4.
Menyiapkan bahan untuk digunakan sebagai sumber pembentukan galur bibit itik unggul.
Kerangka Pemikiran Ternak itik merupakan salah satu komponen penting dalam sistem usaha tani di beberapa daerah di Indonesia, termasuk itik Alabio di Kalimantan Selatan. Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) merupakan salah satu unggas lokal yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur. Pengembangan usaha ternak itik Alabio saat, tidak hanya dituntut dari aspek kuantitas produksi saja, melainkan peningkatan kualitasnya sehingga dapat bersaing dengan produk itik lainnya. Itik Alabio memiliki ciri-ciri fenotipik berbeda serta performa beragam dibanding itik lokal lain di Indonesia. Itik Alabio memiliki keunggulan dalam produksi telur, walaupun keragamannya masih tinggi. Keragaan itik Alabio antara lain meliputi: produksi telur 220-250 butir/ekor/tahun, puncak produksi 92.70%, berat telur 59-65 g/butir, konsumsi pakan 155-190 g/ekor/hari, dewasa kelamin 179 hari, daya tunas 84.80-90.83%, daya tetas 79.48%, mortalitas day old duck (DOD) 0.75-1.0%, bobot badan betina umur 6 bulan 1600 g dan jantan 1750 g. Selain sebagai penghasil telur dan daging, itik Alabio penting dilihat juga dari fungsi non pangan, seperti penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan peternak. Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa itik Alabio mempunyai nilai ekonomis tinggi. Hal ini dibuktikan berkisar antara 46.81-52.80% merupakan mata pencaharian utama peternak itik Alabio, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Sebagai komoditas unggulan daerah, itik Alabio saat ini dipelihara secara semi intensif dan intensif. Pergeseran sistem pemeliharaan dari cara lanting kepada sistem intensif yang sepenuhnya
5 terkurung, memerlukan penyediaan faktor-faktor produksi yang berkualitas, terutama bibit dan pakan untuk mencapai kelayakan ekonomi. Pergeseran ini menunjukkan bahwa usaha ternak itik Alabio bukan hanya dipandang sekedar usaha sambilan, melainkan telah mengarah kepada cabang usaha pokok dengan orientasi komersial. Khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara, usaha beternak itik Alabio sudah menjurus kepada spesialisasi usaha, yaitu sebagai penghasil telur konsumsi, itik dara, telur tetas dan bibit/DOD. Bibit itik Alabio dihasilkan dengan menetaskan telur, baik dilakukan secara perorangan maupun kelompok. Saat ini, pembibitan itik lokal telah dilakukan peternak tradisional di masingmasing wilayah pengembangan, namun kualitas dan produktivitasnya masih rendah dan sangat bervariasi. Hal ini tentunya diperlukan pendampingan dan pembinaan intensif dalam pengelolaannya untuk keperluan jangka panjang. Keberadaan itik murni di habitatnya dapat merupakan reservoir bagi kekayaan plasma nutfah, baik sebagai koleksi dan konservasi keanekaragaman hayati, maupun untuk materi pemuliaan di masa mendatang. Sumber daya genetik mempunyai peran penting sebagai material genetik yang dapat dimanfaatkan untuk pembentukan galur unggul. Pemanfaatan sumber daya genetik ternak untuk pengembangan bibit komersial, perlu dijaga eksistensi dan keragamannya, sehingga upaya pelestarian secara berkelanjutan dapat berjalan dengan baik. Seiring dengan meningkatnya permintaan konsumen akan produk itik (telur dan daging), mempunyai konsekuensi terhadap
penyediaan bibit yang
berkualitas dan berkesinambungan. Bibit itik yang dihasilkan peternak penetas tradisional diduga kualitasnya masih beragam. Pemenuhan kebutuhan bibit berkualitas dalam jumlah besar, salah satunya dapat dipenuhi dengan pemeliharaan itik Alabio secara intensif, sementara informasi tentang keragaan atau spesifikasi itik Alabio sebagai penghasil bibit berorientasi agribisnis, belum tersedia secara memadai di tingkat lapang, sehingga diperlukan penelitian untuk mengetahui dan mendapatkan informasi tersebut, yaitu dengan melakukan karakterisasi sifat-sifat kualitatif (warna bulu dominan, corak dan fluoresens bulu, warna paruh kaki dan shank), maupun sifat kuantitatif (bobot badan, bobot telur, bobot tetas, ukuran-ukuran tubuh dan produksi telur), keragaman fenotipik dan genetik dalam dan antar populasi berbeda, dengan menganalisis protein darah menggunakan teknik elektroforesis. Analisis polimorfisme protein darah dilakukan pada lokus protein albumin, post albumin, transferin, post transferin-1, post
6 transferin-2 dan haemoglobin, serta menduga hubungan kekerabatan dengan menggunakan matrik jarak genetik dan pohon filogenetik. Tahap selanjutnya mempelajari tingkah laku memilih makan dan kawin, keragaaan aktivitas menetas dan melakukan analisis kandungan nutrisi pakan itik Alabio yang digunakan di lapang/peternak, serta profil peternak itik Alabio. Informasi tentang profil peternak , diperoleh melalui wawancara langsung dengan peternak responden, menggunakan lembar pertanyaan dalam bentuk kuisioner. Tahapan-tahapan kegiatannya meliputi antara lain: identitas peternak responden, tingkat kepemilikan ternak, sistem pemeliharaan, tujuan pemeliharaan, tingkat produksi telur, aspek penyakit dan upaya penanggulangannya. Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini, diharapakan menjadi salah satu bahan pertimbangan untuk membuat atau menyusun standarisasi bibit/induk itik Alabio di tingkat lapang/peternak. Standarisasi mutu bibit itik Alabio sampai saat ini belum ditetapkan, maka perlu disusun atau dibuat standarnya, sebagai acuan bagi seluruh pengguna (user). Standarisasi itik Alabio dibuat dalam rangka mendukung pelestarian sumber daya genetik ternak asli indonesia, perlindungan terhadap konsumen, peningkatan kualitas itik lokal, peningkatan kinerja agribisnis dan agroindustri. Informasi yang tersedia juga diharapkan dapat dimanfaatkan oleh Komisi Bibit Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, khsususnya Komisi Bibit Unggas, Pemerintah Daerah (Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan), dalam rangka upaya pengembangan, pelestarian dan konservasi plasma nutfah itik Alabio secara berkelanjutan.
7
ITIK ALABIO
POTENSI Sebagai sumber plasma nutfah daerah/nasional Itik penghasil telur produktif Berkontribusi signifikan terhadap pendapatan peternak itik Alabio
PERMASALAHAN Permintaan produk itik (daging dan telur) meningkat Kualitas bibit masih beragam Peyediaan bibit yang berkualitas masih terbatas
ANALISIS TINGKAH LAKU: 1. Tingkah laku memilih pakan 2. Tingkah laku menetas 3. Tingkah laku kawin
ANALISIS MORFOMETRIK: Sifat kualitatif (warna bulu, paruh, kaki dan shank) dan kuantitatif (ukuran tubuh)
ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DARAH (albumin, post albumin, transferin, post transferin 1 & 2 dan hemoglobin)
Status keragaman fenotipik dan genetik
Dimanfaatkan dalam rangka pengembangan itik Alabio sebagai aset nasional secara lestari dan berkelanjutan
Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran.
8
.
TINJAUAN PUSTAKA
Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) Itik lokal di Indonesia sekurang-kurangnya dibedakan atas tiga kelompok utama, yaitu itik Tegal, itik Bali dan itik Alabio yang semuanya dipelihara untuk tujuan produksi telur (Srigandono & Sarengat 1990; Suwindra 1998; Solihat et al. 2003). Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) merupakan salah satu itik petelur lokal produktif yang berasal dari Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan (Nawhan 1991; Wasito & Rohaeni 1994; Suparyanto 2005; Suryana 2007), termasuk ke dalam ordo anseriformes, famili anatidae, genus dan spesies Anas platyrhynchos Borneo (Hetzel 1985; Suwindra 1998; Biyatmoko 2005a). Itik Alabio memiliki beberapa sifat karakteristik antara lain: bentuk tubuh membuat garis segitiga dengan kepala kecil dan membesar ke bawah, berdiri tidak terlalu tegak membuat sudut 45o dengan dasar tanah (Nawhan 1991), postur tubuh condong membentuk sudut 60o (Alfiyati 2008). Warna bulu pada kepala betina coklat kelam, tidak ada kalung putih di leher, dada kecoklatan, bulu badan berwarna coklat agak biru kehijauan, kaki berwarna jingga, serta bagian atas mata terdapat garis kelam menyerupai alis mata (Setioko & Istiana 1999; Susanti & Prasetyo 2007). Paruh jantan maupun betina berwarna jingga kusam dengan bintik hitam pada ujungnya, ujung sayap, ekor, dada, leher dan kepala sedikit kehitam-hitaman (Wasito & Rohaeni 1994; Biyatmoko 2005). Itik jantan memiliki warna bulu pada kepala bagian atas berwarna coklat kelam mengkilap (Alfiyati
2008), itik jantan dewasa terdapat kalung putih di leher (Wasito &
Rohaeni 1994), dada keunguan, bulu badan berwarna coklat muda dan pada ujung ekor terdapat bulu yang melengkung ke atas (Setioko & Istiana 1999; Biyatmoko 2005a; Suparyanto 2005). Fenotipe itik Alabio berbeda dengan galur itik lokal lainnya, karena tingkat keragaman pada pola warna bulunya (Suparyanto 2005), memiliki warna bulu yang khas (Sopiyana & Prasetyo 2008). Hasil identifikasi terhadap fenotipe itik Alabio dan itik lokal Philipina, terdapat beberapa kesamaan sifat fenotipe yang secara geografis jaraknya cukup jauh, bahkan diduga masuknya itik ke Kalimantan Selatan berasal dari Cina melalui Philipina (Hetzel 1985).
10
Berdasarkan frekuensi gen pada lokus polimorf ke delapan dan lokus monomorf kedua belas, yang terdapat pada sepuluh jenis itik lokal di Indonesia termasuk Itik Alabio, dapat disimpulkan bahwa itik Alabio berkerabat dekat dengan itik Lombok, itik Bali, itik Mojosari, itik-itik Jawa Tengah, itik-itik Jawa Barat dan itik Khaki Campbell dari Inggris (Hetzel 1985). Hal ini sesuai hasil penelitian Brahmantiyo et al. (2003), berdasarkan analisis morfometrik itik Alabio dekat kekerabatannya dengan itik Mojosari. Itik Alabio dipelihara masyarakat khususnya di Kalimantan Selatan, dilakukan secara turun temurun, serta mempunyai peranan penting dalam menopang pendapatan peternak dan keluarganya (Zuraida
2004; Biyatmoko
2005). Unggas ini mampu memberikan kontribusi produksi telur sebesar 53.73% terhadap total produksi telur unggas di Kalimantan Selatan (Rohaeni & Rina 2006), kontribusi terhadap pendapatan total keluarga peternak itik sebesar 58% (Zuraida 2004), 42.09-52.80% merupakan mata pencaharian utama peternak itik Alabio, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Hulu Sungai Tengah (HST) dan Hulu Sungai Selatan (HSS) (Ma’amun & Rina 1995; Zuraida 2004; Biyatmoko 2005a), dan 47.50% di Kabupaten Tanah Laut (Rohaeni & Tarmudji 1994), serta 20.65% di Kecamatan Hamayung Kabupaten HSS (Rohaeni & Rina 2006). Peranan itik lokal, termasuk itik Alabio tidak saja sebagai sumber pangan yang cepat menghasilkan (quick yielding) (Solihat et al. 2003), tetapi lebih penting lagi merupakan sumber pendapatan peternak itik Alabio (Hamdan & Zuraida
2007; Hamdan et al. 2010), menciptakan lapangan pekerjaan dan
menambah konsumsi protein hewani bagi peternak dan masyarakat (Jarmani & Sinurat
2004). Mengingat peranan itik Alabio yang signifikan terhadap
peningkatan pendapatan peternak di pedesaan, unggas ini oleh Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, terus dikembangkan dan diupayakan untuk dijaga kelestariannya (Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan 2006), bahkan telah dijadikan sebagai salah satu sumber plasma nutfah (genetic resources) daerah dan nasional (Departemen Pertanian 2006), selain kerbau rawa/kalang (Bubalus carabanensis) yang ada di Kalimantan Selatan (Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan
2006; Suryana
2007). Keragaan
produksi itik Alabio di tingkat lapang masih relatif beragaman, sehingga memungkinkan untuk ditingkatkan produktivitasnya, salah satu dengan program
11
pemuliaan yang terarah dan terstruktur.
Keragaan itik Alabio di Kalimantan
Selatan, disarikan pada Tabel 1. Tabel 1 Keragaan itik Alabio di Kalimantan Selatan Paramater Rataan produksi telur (%) Rataan produksi telur dari itik terseleksi (%) Puncak produksi (%) Umur pertama kali bertelur (hari) Rataan produksi telur terendah (%) Rataan produksi tertinggi (%) Daya tunas (%) Daya tetas (% telur fertil) Bobot telur tetas Bobot tetas (g) Bobot badan betina umur 14 minggu (g) Sumber
:
(1)
Itik seleksi Induk Keturunan I (2) (2) 58.16 59.94 60.65
(2)
80.69 (bulan ke (2) 8) 145-165 (2)
65.50
(2)
93.55 (bulan ke 3) (2)
147-163
(2)
Asal itik Itik kontrol I II (1) (1) 52.80 53.11
BPTU Pelaihari (3) 33.20
SPAKU HSU (4) 61.80
-
-
-
-
71.62 (buan ke (1) 4) 142-165
68.23 (bulan ke (1) 2) (1) 156
-
72.16% (bulan (4) ke 5) -
-
-
(1)
28.49
(2)
31.06
(2)
-
72.89
(2)
72.25
(2)
-
-
-
18.76
(1)
-
-
-
-
84.8
(3)
-
-
-
-
-
30.2
(3)
-
-
-
-
-
64.5
(3)
-
-
-
-
59.83(4) 64.94 (4) 1600
(2)
(3)
35.7 (3) 1448.6
(3)
Purba & Manurung (1999); Setioko et al. (2000); Setioko et al. (2004) Rohaeni & Setioko (2001). Keterangan: BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul), SPAKU (Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan), HSU (Hulu Sungai Utara) (4)
Dalam rentang waktu yang cukup lama, itik Alabio telah beradaptasi baik dengan lingkungan, pakan serta sistem pemeliharaan yang berbeda-beda di setiap daerah di Kalimantan Selatan. Terjadi keragaman yang bervariasi diduga disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Keragaman yang tinggi merupakan tantangan besar yang harus diatasi dalam upaya meningkatkan produktivitas itik lokal, khususnya dalam menyediakan bibit yang seragam dan berkualitas. Keseragaman biologis pada itik Alabio memiliki arti penting untuk
12
mendapatkan keseragaman yang optimal, baik dalam hal pertumbuhan, waktu mulai bertelur, produksi dan puncak produksi telur, daya tunas dan lain-lain, khususnya untuk pengembangannya secara komersial.
Sistem Pemeliharaan Sistem pemeliharaan itik di Indonesia umumnya dibedakan menjadi tiga pola, yaitu sistem ekstensif/tradisional, semi intensif dan intensif (Nawhan 1991; Wasito & Rohaeni 1994; Purba & Manurung 1999; Pingel 2005; Suryana 2007; Hamdan
et
al.
2010).
Sistem
pemeliharaan
tradisional
dengan
cara
menggembalakan itik di rawa atau sungai (Nawhan 1991), mencari makan sendiri di sekitar rumah, sawah, selokan dan kolam (Solihat et al. 2003), serta diberi pakan tambahan seadanya (Alfiyati 2008). Pemeliharaan sistem semi intensif dan intensif, pakan diberikan secara teratur dalam kandang tanpa atau dengan disediakan kolam (Suwindra 1998; Pingel 2005). Perkembangan pemeliharaan itik Alabio yang cepat saat ini, mengarah pada pergeseran dari sistem pemeliharaan lanting/tradisional kepada sistem intensif yang sepenuhnya terkurung. Pergeseran ini menunjukkan bahwa, usaha ternak itik Alabio bukan hanya dipandang sekedar usaha sambilan, melainkan telah mengarah kepada cabang usaha pokok dengan orientasi komersial (Biyatmoko
2005; Prasetyo 2006; Suryana 2007), dengan skala usaha
pemeliharaan disesuaikan dengan kemampuan modal yang dimiliki peternak (Hamdan et al. 2010). Menurut Edianingsih (1991) sistem pemeliharaan intensif dapat
meningkatkan
keuntungan
sebesar
50%
lebih
tinggi
daripada
pemeliharaan ekstensif-tradisional. Usaha
pemeliharaan
itik
Alabio,
menurut
Setioko
(2001)
dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu: a) skala kecil, itik yang dipelihara kurang dari 500 ekor dengan sistem pemeliharaan tradisional dilepas di rawa, sawah atau sungai (Alfiyati 2008); b) skala sedang jumlah pemeliharaan antara 500-5000 ekor/peternak, dan c) skala besar jumlah itik yang dipelihara lebih dari 5000 ekor/peternak dan dipelihara secara intensif. Khususnya di Kabupaten HSU, pemeliharaan itik Alabio sudah mengarah kepada spesialisasi
usaha, yaitu
penetasan (hatchery), penghasil telur tetas (breeding), telur konsumsi (laying) dan pembesaran itik dara (rearing) (Nawhan 1991;Biyatmoko 2005; Suryana & Tiro 2007). Pemeliharaan itik Alabio di Kabupaten HSS dan HST khusus untuk
13
menghasilkan telur konsumsi (Setioko & Istiana 1999) dan sebagian kecil peternak mengusahakan telur tetas sebagai sumber bibit (Suryana 2007). Menurut Nawhan (1991) itik Alabio dahulu dipelihara dengan cara digembalakan di rawa-rawa
dan sungai-sungai atau dikenal dengan “sistem
lanting”. Pemeliharaan sistem lanting khususnya terdapat di Kabupaten HST dan HSU, namun sekarang sudah mulai ditinggalkan dan peternak sudah beralih ke sistem pemeliharaan intensif (Biyatmoko 2005; Suryana 2007; Alfiyati 2008), walaupun ada beberapa peternak di Kabupaten HSU yang masih melakukan pemeliharaan sistem lanting (Rohaeni
2005; Hamdan & Zuraida
2007).
Pemeliharaan sistem lanting dilakukan pada rumah terapung di atas rawa dengan balok-balok sebagai alat pengapung
dan di bagian bawah lantai
dibuatkan kandang itik yang hanya dikelilingi pagar bambu dengan kapasitas 150-200 ekor (Setioko 1990), atau 700 ekor/lanting (Rohaeni
2005).
Berdasarkan analisis ekonomi, usaha beternak itik Alabio sistem lanting dengan digembalakan di Kabupaten HST, skala pemeliharaan 700 ekor selama 5 bulan dilaporkan Rohaeni (2005) lebih menguntungkan, karena biaya pakan dapat dikurangi seoptimal mungkin. Itik yang digembalakan mendapatkan variasi pakan lebih banyak jumlah dan ragamnya, sehingga dapat mengurangi biaya (Hardjosworo et al. 2001), walaupun produksi telurnya relatif sedikit tetapi masih menguntungkan (Edianingsih 1991; Purba & Manurung 1999). Itik Alabio sekarang sudah menjadi salah satu komoditas utama (Hamdan & Zuraida 2007; Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan 2008), pemeliharaannyapun telah beralih dari cara lanting ke sistem semi intensif dan intensif (Setioko 2001; Ketaren 1998; Dinas Peternakan Kabupaten HSU 2000; Biyatmoko 2005a; Suryana 2007). Rohaeni (2005) menyatakan bahwa pemeliharaan itik Alabio yang dilakukan saat ini beragam, bergantung kepada kebiasaan peternak dan kondisi alam. Sebelum terjadi krisis moneter tahun 1997, di daerah sentra produksi seperti Kabupaten HSU dan HST, pemeliharaan itik dilakukan secara semi intensif dan intensif dengan skala pemeliharaan berkisar antara 500-15000 ekor/peternak (Setioko & Istiana 1999; Biyatmoko 2005a). Kenyataan di lapangan, menunjukkan bahwa masih terdapat masyarakat yang memelihara itik Alabio secara semi intensif dengan skala usaha antara 25200 ekor/kepala keluarga, pakan diberikan berupa campuran cangkang udang, ikan rucah, rajungan untuk menambah kualitas warna kuning telur (Setioko & Rohaeni 2001; Biyatmoko 2005; 2005a). Pemeliharaan intensif pada umumnya
14
dilakukan dengan skala kepemilikan berkisar antara 200-7000 ekor/kepala keluarga, pemberian pakan 2-3 kali sehari (Alfiati 2008), bahan penyusun pakan terdiri atas pakan komersial, dedak, gabah, sagu, ikan rucah, siput dan hijauan rawa atau ganggang (Setioko & Rohaeni 2001; Biyatmoko
2005a), serta
serangga kecil lainnya (Suwindra 1998). Sistem pemeliharaan itik Alabio yang berbeda-beda di setiap daerah, diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya keragaman yang bervariasi. Keragaman yang tinggi, baik secara fenotipe maupun genotipe disebabkan belum dilakukan peningkatan kualitas genetik. Peningkatan kualitas genetik pada dasarnya dapat ditempuh melalui dua cara yaitu seleksi dan persilangan yang terstruktur baik digunakan secara terpisah maupun kombinasi.
Produksi Telur Itik Alabio Itik Alabio mempunyai kemampuan berproduksi telur tinggi, walaupun tingkatannya bervariasi (Hardjosworo et al. 2001). Sifat-sifat yang mempengaruhi produksi telur yaitu faktor genetis dan lingkungan (Harahap 2005). Faktor-faktor genetis antara lain umur pertama bertelur, intensitas bertelur dan persistensi bertelur (Solihat et al. 2003), sedangkan lingkungan antara lain manajemen pemeliharaan (pakan, perkandangan, iklim dan kesehatan) (Noor 2008). Produksi telur itik Alabio yang digembalakan umumnya masih rendah hanya 130 butir/ekor/tahun (Rohaeni & Tarmudji 1994), atau 26.9-41.3% (Setioko 1990). Rendahnya produksi telur, menurut Setioko et al. (1992;1994) salah satunya disebabkan oleh pakan yang kurang memadai. Sebaliknya jika pakan tambahan diberikan secara teratur, akan meningkatkan produksi telur itik gembala dari 38.3% meningkat menjadi 48.9% (Setioko el al. 2004). Hardjosworo et al. (2001) dan Ketaren (2002), menyatakan bahwa produksi telur itik yang dipelihara secara tradisional lebih rendah dibanding pemeliharaan semi intensif maupun intensif. Produksi telur itik Alabio yang dipelihara secara intensif, dilaporkan beberapa peneliti menunjukkan peningkatan produksi dibanding yang digembalakan (Edianingsih 1991; Prasetyo & Susanti 1999/2000; Rohaeni 2005; Hamdan & Zuraida 2007; Suryana 2007; Hamdan et al. 2010). Ketaren et al. (1999) melaporkan bahwa produksi telur itik Alabio selama setahun sebesar 69.4%, lebih rendah dibanding yang dilaporkan Setioko & Rohaeni (2001), yakni sebesar 66.86%. Setioko & Istiana (1999) menyatakan bahwa produksi telur itik
15
Alabio selama lima bulan pengamatan sebesar 75.19%, lebih tinggi dari yang dilaporkan Prasetyo & Susanti (1999/2000), bahwa produksi telur itik Alabio dengan kandang lantai sebesar 28.75% dan 59.20% untuk kandang individu. Itik Alabio yang dipelihara intensif sampai umur 72 minggu mampu bertelur sebanyak 220 butir (Purba et al. 2005), lebih banyak dari yang dilaporkan Gunawan et al. (1994) sebanyak 214.7±43.31 butir, tetapi relatif sama dengan yang dilaporkan Setioko (1997) yakni 214.75 butir/ekor/tahun. Berbeda dengan pernyataan Purba & Manurung (1999), bahwa produksi telur itik Alabio yang dipelihara intensif selama duabelas bulan (8 bulan produksi) sebanyak 120.81 butir. Kemampuan itik Alabio dalam memproduksi telur sangat beragam, hal ini diduga karena perbedaan manajemen pemeliharaan, baik pemberian pakan serta manajemen lainnya pada masing-masing lokasi. Perbedaan produksi telur tersebut, salah satunya disebabkan umur pertama bertelur dan perlakuan peternak mengangkat itik Alabio ke dalam kandang menjelang bertelur tiap-tiap daerah pengembangan bervariasi.
Karakteristik Penetasan Penetasan telur adalah usaha untuk menghasilkan anak dari jenis unggas dengan berbagai cara pengeraman (Tanari 2007). Pengeraman telur yang biasa dilakukan secara alamiah dan buatan (Setioko 1998). Penetasan telur itik secara alamiah
umumnya
menggunakan induk unggas lain yang memiliki sifat
mengeram seperti
entog dan ayam kampung, sedangkan penetasan buatan
dilakukan dengan
mesin penetasan dengan sumber panas listrik (Wasito &
Rohaeni 1994; Baruah et al. 2001), gabah/sekam (Setioko 1998), lampu minyak atau kombinasi keduanya (Suryana & Tiro dengan mesin tetas
2007). Prinsip penetasan telur
sama halnya dengan menggunakan induk yang
sesungguhnya (Wibowo et al. 2005). Lama penetasan telur itik memerlukan waktu selama 28-30 hari (Kortlang
1985; Setioko 1998).
sementara ayam
sekitar 21 hari (Wibowo et al. 2005). Keberhasilan penetasan telur itik salah satunya ditentukan oleh faktorfaktor seperti bobot telur, indeks telur, fertlitas dan daya tetas (Istiana 1994; Wibowo et al. 2005). Fertilitas dan daya tetas telur itik memegang peranan penting dalam memproduksi bibit itik (Suryana & Tiro 2007). Kendala yang
16
sering dihadapi dalam penetasan telur itik, antara lain kematian embrio telur selama proses penetasan umumnya tinggi (Baruah et al. 2001; Setioko 2005). Tanari (2007) menyatakan ada dua faktor yang berpengaruh terhadap proses embriogenesis selama penetasan, yaitu faktor biologis dan lingkungan. Menurut Kortlang (1985) faktor biologis dapat mengakibatkan kematian embrio atau embrio cacat, disebabkan oleh spermatozoa tertinggal dalam oviduct dalam waktu lama dan kapasitas sperma yang rendah fertilitasnya. Lebih lanjut dikemukakan faktor lingkungan antara lain temperatur, kelembaban dan konsentrasi gas yang terdapat di dalam telur. Kelembaban berpengaruh terhadap kecepatan hilangnya air dari dalam telur selama proses inkubasi (Setioko 1998). Kehilangan air yang banyak menyebabkan keringnya chario-allantoic untuk kemudian digantikan oleh gas-gas, sehingga sering terjadi kematian embrio dan telur busuk (Baruah et al. 2001). Penetasan telur itik Alabio yang sekarang banyak dilakukan peternak di Kabupaten HSU, HSS dan HST, sebagian besar masih tradisional dengan menggunakan sekam/gabah sebagai sumber panasnya (Nawhan 1991; Setioko 1998; Suryana & Tiro 2007), sumber pemanas listrik (Wasito & Rohaeni 1994), atau kombinasi di antara keduanya (Suryana & Tiro
2007). Kapasitas alat
penetasan telur bervariasi antara 1000-2500 butir/periode penetasan. Menurut Wasito & Rohaeni (1994) cara penetasan sistem sekam/gabah pertama kali di Kalimantan Selatan terdapat di Desa Mamar, Kabupaten Hulu Sungai Utara yang dipelopori oleh Abdurrahman Alwi, dengan mengadopsi cara penetasan telur itik sistem gabah dari Bali (Kecamatan Kediri, Mengwi dan Giayar) pada tahun 1975. Mendatangkan tenaga ahlinya langsung dari Bali, kemudian disebar luaskan kepada masyarakat di Desa Mamar, Kecamatan Amuntai Selatan, HSU. Cara
penetasan
menggunakan
sistem
sekam/gabah
diakui
peternak/penetas memiliki keunggulan dibanding dengan alat penetas boks, di samping daya tetas yang dihasilkan lebih tinggi juga kapasitas alat penetas lebih besar, sehingga dalam periode penetasan tertentu dapat menghasilkan DOD dalam jumlah banyak.
Sifat Kualitatif dan Kuantitatif Sifat Kualitatif Sifat fenotipik adalah penampilan individu yang nampak dari luar, yang dapat dibedakan menjadi sifat kualitatif dan kuantitatif (Hardjosubroto 2001).
17
Sifat-sifat kualitatif adalah sifat yang tidak dapat diukur, tetapi dapat dibedakan dengan jelas seperti warna bulu, ada tidaknya tanduk, cacat/kelainan, atau adanya protein-protein tertentu dalam darah (Martojo 1992), fluoresens bulu, warna paruh dan shank (Sarengat 1990; Suparyanto 2003; 2005). Sifat kualitatif ekspresinya dikontrol sepenuhnya oleh sepasang gen atau lebih (Martojo 1992; Warwick et al. 1995; Noor 2008), sedikit dipengaruhi lingkungan (Hardjosubroto 2001). Sifat kualitatif pada pola warna bulu memiliki pengaruh terhadap performans ternak unggas termasuk itik (Suparyanto 2003). Bulu merupakan ciri khusus yang dimiliki bangsa unggas dan berguna menjaga suhu tubuh atau sebagai insulator (Nasroedin
1995), sehingga dapat terlindung dari cuaca
lingkungan yang buruk. Bulu unggas dikategorikan menjadi bulu kontur, plumulae dan filoplumulae. Bulu kontur adalah bulu penutup tubuh keseluruhan, plumulae bulu di bawah bulu kontur yang memiliki tangkai (rachis) dan bendera lunak. Hardjosubroto (2001) mengemukakan pada ternak dikenal beranekaragam corak dan warna bulu. Pola dan warna bulu sangat berperan dalam penentuan kemurnian suatu bangsa atau breed. Adanya berbagai variasi warna dan corak bulu disebabkan oleh peran aktif berbagai gen. Gen-gen yang mempengaruhi pewarnaan bulu dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu gen penentu warna belang, kombinasi warna, intensitas warna dan pemudaran warna (Hardjosubroto 2001; Noor 2008). Warna bulu pada unggas sebenarnya bukanlah sifat produksi yang memiliki nilai ekonomis tinggi, tetapi dapat menjadi sangat penting dalam pemuliaan (breeding) untuk tujuan tertentu (Lancester 1990; Appleby 2004; Hoffmann 2005). Perbedaan sifat kualitatif hampir seluruhnya ditentukan oleh perbedaan genetik (Hardjosubroto 2001), sedangkan perbedaan lingkungan pengaruhnya relatif kecil bahkan tidak ada, sehingga variasi sifat kualitatif juga merupakan variasi genetik (Martojo 1992; Warwick et al. 1995; Newman 1999). Menurut Lancester (1990) variasi warna bulu itik dikontrol oleh gen putih resesif (c) yaitu bentuk resesif dari gen warna. Variasi warna bulu pada unggas dibagi menjadi dua kelompok, yaitu warna yang dihasilkan oleh adanya pigmen dengan ukuran granul dan warna struktural menunjukkan bulu mematah, menyerap, membelok atau memantulkan cahaya optimal. Pewarisan warna bulu merupakan suatu kompleksitas genetik dan terpenting dalam interaksi inter maupun intra alel (Hardjosubroto
2001). Oleh karena itu, ekspresi warna bulu adalah sifat
18
multigenik dan dipengaruhi oleh aksi gen dominan, epistasis dan interaksi gen (Smyth 1993). Warna dasar yang penting dari itik liar (mallard) hanya dua, yaitu warna abu-abu atau grey (G) umumnya merupakan varitas dari warna buff (kekuningkuningan) dan carrier normal (D) hasil dilusi melanin (hitam) oleh gen d terkait kelamin (sex linkage) (Lancester 1990), yang akan menghasilkan warna coklat lurik-lurik lebih terang sebagaimana dilihat pada pola warna bulu itik Khaki Campbell (Suparyanto 2005). Lancester (1990) mengemukakan bahwa pola mallard pada itik jantan dicirikan dengan kepala dan leher berwarna belang hitam kehijau-hijauan, yang dipisahkan warna merah sampai pada leher dan dibatasi dengan cincin putih. Punggung dan pinggang berwarna hitam kehijau-hijauan, kaki atas bagian sisi dan perut berwarna abu-abu kebiru-biruan. Satu gen pada lokus D sebagai pengontrol pelunturan pigmen yang menyebabkan menurunnya penyerapan cahaya dan pelunturan warna (Noor 2008). Fungsi gen putih (c) untuk meniadakan produksi pigmen (Suparyanto 2003), kecuali pigmen untuk mata, warna hitam (E) dengan pemunculan warna hitam pada bulu penutup tubuh, dilusi khaki (d) yang bertindak merubah warna hitam menjadi coklat, pola Runner (R) secara lokal (spot) akan meniadakan pigmen pada leher, sayap dan perut, biru keabuan (Bl) mengurangi produksi pigmen hitam, warna terang (Li) mengurangi garis-garis pada bagian kepala (Smyth
1993). Pola retriksi (MR) akan mengurangi pigmen spot pada sayap
dorsal, sedangkan dusky (md) berperan untuk meniadakan pigmen hitam dan membuat gelang putih pada leher (Campo 1997), seperti pada itik Alabio jantan dewasa yang memiliki kalung putih pada bagian lehernya, disebabkan adanya peran gen dusky (md). Pola bulu sayap terdapat warna hitam dan putih yang memantulkan cahaya hijau kebiru-biruan mengkilap. Permukaan sayap ventral berwarna putih, sedangkan permukaan dorsal berwarna abu kecoklat-coklatan. Warna bagian kepala pada itik betina coklat kekuning-kuningan, kadang-kadang ditemukan warna gelap pada beberapa daerah tertentu. Warna gelap terdapat pada bagian belakang paruh sampai mata, belakang leher, punggung, bagian sayap ventral berwarna putih, sedangkan bulu primer kebanyakan coklat dengan totot-totol hitam atau coklat belang. Secara teori dapat dijelaskan bahwa gen putih resesif (c/c) sangat efektif dalam menutup atau menghalangi hadirnya pheomelanin (Campo 1997). Pheomelanin adalah pigmen dasar suatu mahluk hidup yang memberikan warna merah coklat, salmon dan buff pada bulu unggas,
19
dan aktivitas pheomelanin akan muncul bila unggas telah mengalami pergantian bulu menjelang dewasa. Daftar gen yang mempunyai pengaruh terhadap warna kulit dan bulu unggas, ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 Daftar gen yang berpengaruh terhadap warna kulit dan bulu unggas Warna Bulu lurik (barred) Bulu perak (silver) Bulu hitam Bulu putih (inhibitor) Kulit dan kaki putih Kulit dan kaki terang Bulu normal Pertumbuhan bulu lambat Bulu terbalik Bulu leher tidak tumbuh Bulu tidak lurik Bulu emas (gold) Bulu putih Bulu berwarna Kulit dan kaki kuning Kulit dan kaki gelap Bulu sutera Pertumbuhan bulu cepat Bulu normal Bulu leher normal
Dominan B*) S*) C I W H Sk*) Fr K*) Na -
Resesif b*) S*) c I w h sk*) k*) fr na
Keterangan Terpaut kelamin Terpaut kelamin
Terpaut kelamin Terpaut kelamin Terpaut kelamin Terpaut kelamin
Terpaut kelamin Terpaut kelamin
Sumber: Hardjosubroto (2001)
Menurut Sarengat (1990), pola warna bulu yang terdapat pada itik lokal Indonesia dibedakan menjadi sembilan macam adalah: 1) warna branjangan, yaitu warna coklat muda yang dihiasi lurik-lurik hitam, 2) warna jarakan adalah warna coklat tua yang dihiasi lurik-lurik hitam (jika terdapat kalung di lehernya disebut jarakan belang), 3) warna bosokan yaitu ketika masih muda berwarna hitam, tetapi setelah dewasa berubah menjadi coklat tua, 4) warna gambiran yaitu hitam dan putih, 5) warna lemahan perpaduan antara coklat muda keabuabauan, 6) warna jalen dan putihan yaitu putih mulus dengan paruh dan kaki berwarna kuning jingga atau kehijauan, 7) warna pudak adalah bulu putih tetapi paruh dan kakinya berwarna hitam, 8) warna irengan bulu hitam kelam, dan 9) warna jambul yakni warna bulu itik yang dominan hitam dan ada bulu jambul di bagian kepalanya.
20
Smyth (1993), membagi kelompok tipe-tipe bulu berdasarkan penampilan corak bulu pada unggas, yaitu: stripping, pencilled, buttercup, single laced, double laced, spangling, motling dan tricolor pattern. Ekspresi dari sifat ini ditentukan oleh banyak pasangan gen (polygen), baik dalam keadaan homozigot maupun heterozigot (Noor 2008), dipengaruhi oleh lingkungan (Martojo 1992; Warwick et al. 1995). Lingkungan dapat berpengaruh langsung terhadap fenotipe seekor ternak melalui pakan, penyakit dan pengelolaan, tetapi tidak dapat mempengaruhi genotipe hewan (Martojo
1992; Hardjosubroto
2001).
Penampilan warna bulu dominan, corak dan fluoresens bulu serta warna paruh, kaki dan shank yang seragam pada itik Alabio merupakan salah satu ciri khas. Warna bulu walaupun tidak memiliki nilai ekonomis tinggi, tetapi sangat penting dalam upaya pemuliaan untuk tujuan komersial. Pengaruh pasangan gen dan lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab perbedaan pada penampilan fenotipik itik Alabio. Warna kulit unggas menjadi perhatian para breeder, karena mempunyai kepentingan ekonomis, yang berhubungan langsung dengan selera konsumen. Menurut Smyth (1993), selera konsumen di suatu wilayah atau negara berbedabeda. Sebagai contoh konsumen di Inggris lebih menyukai unggas yang memiliki warna kulit putih, sementara di Amerika konsumen lebih memilih kulit unggas yang berwarna kuning. Pada sisi lain, segmen pasar bagi kalangan konsumen menengah ke atas di Indonesia, penampakan dan kekompakan produk yang ditawarkan sangat berpengaruh terhadap preferensi konsumen. Karkas yang memiliki warna putih atau terang tingkat penerimaan dan nilai jual akan lebih baik, dibanding dengan karkas yang penampakkannya berwarna coklat atau gelap (Suparyanto 2003). Perbedaan warna kulit dapat diamati berdasarkan warna paruh dan shank. Warna paruh dan shank saling berhubungan satu sama lainnya. Variasi warna kulit termasuk paruh dan shank ditentukan oleh tiga faktor, yaitu struktur kulit, pigmen yang terkandung dalam kulit dan genetik. Faktor genetik menurut Smyth (1993) antara lain adalah gen warna kulit putih (W +) bersifat dominan terhadap warna kuning (w) dan terletak pada otosomal. Penampilan gen W + dan w dapat optimal jika didukung melanin dan xanthopyll dalam jumlah mencukupi. Pigmen melanin dan dermis disebabkan oleh gen id+ yang diwariskan secara sex linkage (Noor 2008). Menurut Suparyanto (2003) munculnya warna putih pada kulit, paruh, kaki dan shank maupun organ tubuh lainnya merupakan sinergi dan derajat variasi
21
melanin pada berbagai jaringan. Pada bangsa itik Peking dan itik White Campbell keberadaan xanthopyll dalam pakan yang diberikan berpengaruh terhadap warna kuning pada kaki dan paruh (Smyth 1993). Deposisi xanthopyll dalam pakan seperti jagung kuning, alfalfa maupun tepung daun yang dikonsumsi unggas berdampak terhadap warna kulit, kaki, shank dan lemak abdominal (Lancester 1990). Warna kulit putih adalah tipe liar sebagai alel W+ otosomal. Gen W+ dapat menghalangi masuknya xanthopyll ke dalam jaringan kulit, paruh, kaki dan shank, sehingga warna kuning tidak muncul (Hardjosubroto 2001). Warna kulit putih yang terkait dengan sex linkage, disebabkan oleh adanya mutasi gen y resesif yang berfungsi mengeliminir pigmen xanthopyll pada kaki dan kulit (Suparyanto 2003). Variasi warna paruh dan shank ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu struktur paruh dan shank, pigmen yang terkandung dalam paruh dan shank serta faktor genetik (Hardjosubroto 2001). Pigmen utama pada paruh dan shank adalah melanin dan xanthopyll (Noor
2008). Melanin merupakan
protein kompleks yang bertanggung jawab untuk memunculkan warna biru dan hitam (Smyth 1993). Warna kuning pada paruh dan shank tidak diproduksi oleh tubuh unggas sendiri seperti halnya melanin, melainkan diproduksi oleh xanthopyll atau karetenoid yang bersumber dari tumbuhan (jagung kuning, tepung alfalfa dan ganggang) (NRC 1994). Unggas mendapatkan sumber xanthopyll dari pakan yang dikonsumsinya (Suparyanto 2005). Warna paruh, kaki dan shank itik Alabio yang dominan adalah kuning gading tua dan kuning gading muda, terutama yang dipelihara secara intensif. Warna tersebut merupakan ciri khas yang dimiliki itik Alabio sebagai itik petelur dan membedakan dengan galur itik lokal lainnya di Indonesia. Warna kuning pada paruh, kaki dan shank pada itik Alabio, salah satunya disebabkan oleh peran gen dan xanthopyll yang bersumber dari pakan yang dikonsumsinya. Penampakan warna paruh dan shank berdasarkan genotipe dan fenotipe pada unggas, disajikan pada Tabel 3.
22
Tabel 3 Penampakan warna paruh dan shank Karoten (xanthopyll) W+ W+ W+ W+ W W W W
Derma melanin Id Id Id+ Id+ Id Id Id+ Id+
Epidermal melanin E e+ E e+ E e+ E e+
Genotipe
Fenotipe
W+ W + id id E E W+ W + id id e+ e+ W+ W + id+ id+ E E W+ W + id+ id+ e+ e+ w w id id E E w w id id e+ e+ w w id+id+ E E w w id+ id+ e+ e+
Putih berulas hitam Putih Hitam berulas putih Biru berulas puith Kuning berulas hitam Kuning Hitam berulas kuning Hijau berulas kuning
Sumber : Smyth (1993)
Sifat Kuantitatif Sifat kuantitatif adalah sifat-sifat yang dimiliki seekor ternak dan mempunyai nilai ekonomis (Hardjosubroto
2001; Noor 2008), dapat diukur
dengan satuan-satuan seperti kilogram, liter, butir atau lainnya (Martojo 1992). Sifat kuantitatif dikenal dengan produksi dan reproduksi (produktivitas) seperti bobot badan, pertambahan bobot badan, ukuran-ukuran tubuh, produksi telur, daging dan susu (Martojo 1992; Hardjosubroto 2001; Noor 2008). Mansjoer (1985) menjelaskan bahwa beberapa sifat kuantitatif yang memiliki nilai ekonomis pada ayam adalah bobot badan, panjang paha (femur), panjang betis (tibia), panjang cakar (shank), tarsometatarsus, lingkar cakar, warna paruh dan shank. Sifat ini dipengaruhi oleh sejumlah besar pasangan gen yang masingmasing dapat berperan additif, dominan dan efistasis (Noor
2008), yang
bersama-sama dengan pengaruh lingkungan (non genetik) (Martojo 1992). Sifat kuantitatif berlaku secara kontinyu berkisar antara minimum dan maksimum dan menggambarkan distribusi normal. Sifat-sifat kuantitatif yang dapat diukur pada itik Alabio antara lain: bobot badan, produksi telur, puncak produksi telur, daya tunas, daya tetas, bobot tetas, dewasa kelamin, bobot badan dewasa yang kesemuanya menentukan produktivitas. Sifat kuantitatif lainnya yang tidak kalah penting adalah ukuranukuran tubuh yang dapat dijadikan faktor peubah pembeda dengan itik lokal lainnya. Ukuran-ukuran bagian tubuh dapat diketahui dengan cara pengukuran, sedangkan untuk mengetahui korelasi antara ukuran dan bentuk tubuh, perlu dilakukan analisis komponen utama (AKU) dan dilanjutkan dengan analisis diskriminan, sehingga dapat diketahui peubah yang merupakan faktor pembeda
23
dan paling banyak berpengaruh terhadap performans itik Alabio yang ada di tingkat lapang.
Morfometrik Itik memiliki morfologi berbeda bila dibandingkan dengan unggas lainnya. Itik mempunyai kaki yang relatif pendek, ketiga jari yang terletak di bagian anterior dihubungkan oleh selaput sehingga ia dapat bergerak dalam air (Metzer et al. 2002). Paruh itik dilapisi oleh selaput lembut dan peka, sedangkan pada bagian ujung dilapisi oleh zat tanduk. Bulu itik berbentuk konkaf yang merapat erat ke permukaan tubuh, dengan permukaan bagian dalam yang lembut dan tebal. Ternak itik mempunyai dua bentuk tubuh yang berbeda, baik jantan maupun betina (Rose 1997). Kerangka itik hampir menyerupai kerangka mamalia, bagian leher
membentuk huruf seperti S (Gambar 2), yang
menghubungkan antara badan dengan kepala dan penyatuan antara tulang belakang dan tubuh. Morfologi merupakan ilmu yang mempelajari ukuran dan bentuk pada spesies dalam populasi, sedangkan morfometrik adalah pengukuran bagianbagian tubuh yang dilakukan pada spesies ternak (Mulyono & Pangestu 1996; Ogah et al.
2009). Menurut Wiley (1981) karakter morfologi adalah tanda
struktural dari satu makhluk hidup dan merupakan sumber utama karakter kebanyakan kelompok makhluk hidup. Ishii et al. (1996) menyatakan bahwa ukuran dan bentuk tubuh ternak sangat berguna untuk menentukan asal usul dan hubungan filogenetik antara spesies bangsa atau tipe ternak, sekaligus digunakan untuk menentukan pertumbuhan dan menilik (judging) ternak. Ukuran dan bentuk tubuh merupakan penduga yang menyeluruh dari bentuk dan deskripsi khas dari berbagai gambaran tubuh, hal ini terbukti bermanfaat dalam menganalisis hubungan antara makhluk hidup (Wiley 1981). Suparyanto (2005) mengemukakan bahwa bentuk tubuh hanya dilihat pada kondisi besar tubuh ternak terkait dengan bobot badan. Bentuk tubuh
lebih banyak memerlukan
pertimbangan, antara lain proporsi setiap anggota tubuh tertentu, yang menurut pengalaman peternak akan memprediksikan munculnya sifat produksi yang baik pada keturunan berikutnya. Sifat-sifat kuantitatif penting untuk penentuan morfologi
pada
unggas
di
antaranya
adalah
panjang
femur,
tibia,
tarsometatarsus, lingkar tulang tarsometatarsus, panjang jari kaki ketiga, sayap
24
dan paruh (maxilla) (Mansjoer et al. 1989). Panjang tibia dan tarsometatarsus selain digunakan untuk menduga konformasi tubuh (Nishida et al. 1982), juga mempunyai korelasi paling dominan dengan bobot badan (Mansjoer et al. 1989). Nishida et al. (1982) menyatakan bahwa panjang tarsometatarsus merupakan penduga yang paling tepat untuk bobot badan, karena panjang tarsometatarsus mempunyai ketelitian pengukuran sangat baik dibadingkan dengan panjang tibia. Brahmantiyo et al. (2003) menyatakan bahwa konformasi tubuh akan lebih akurat jika dilakukan pengukuran tulang masing-masing individu unggas sebagai petunjuk hubungan antara tulang yang satu dengan lainnya. Konformasi tubuh dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk (Nishida et al. 1982). Menurut Mansjoer et al. (1989) pengukuran panjang tulang-tulang mempunyai ketelitian yang lebih baik dibandingkan dengan pengukuran bobot badan. Ukuran tubuh yang penting untuk diamati dan dapat dijadikan sebagai salah satu penentu karakteristik unggas yaitu ayam antara lain;
bobot badan, panjang bagian-bagian kaki,
panjang sayap, paruh dan tinggi jengger (Mansjoer et al. 1989). Keragaman ukuran tubuh ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan (Mansjoer et al. 1989). Mulyono & Pangestu (1996) menyatakan bahwa keragaman fisik unggas dapat dijelaskan berdasarkan perbedaanperbedaan ukuran dan bentuk tubuh, salah satunya dengan pengukuran morfometrik. Pengukuran morfometrik dapat digunakan untuk mengetahui ukuran dan bentuk tubuh ternak (Hayashi et al. 1982; Mulyono & Pangestu 1996; Ogah et al. 2009). Menurut Ogah et al. (2009) analisis morfometrik dapat dilakukan dengan metode principal component analyses (PCA), atau menurut Gaspersz (1992) diterjemahkan sebagai analisis komponen utama (AKU), yaitu salah satu metode multivariat yang populer dan banyak digunakan. AKU menghasilkan komponen utama pertama yang merupakan indikasi ukuran yang diamati (vektor ukuran), sedangkan komponen kedua menjelaskan tentang adanya indikasi dari bentuk tubuh ternak yang diamati.
25
Gambar 2 Kerangka tubuh itik (Koch 1973) Menurut Hayashi et al. (1982); Mulyono & Pangestu (1996), AKU merupakan metode yang populer untuk membedakan keragaman suatu populasi
26
dan penentu diskriminasi di antara populasi ternak. Nishida et al. (1982) dan Everitt & Dunn (1998), menyatakan bahwa AKU dapat digunakan untuk menganalisis keistimewaan suatu spesies, yaitu tentang konformasi tubuh. Metode AKU sudah pernah dilakukan untuk menganalisis ukuran tubuh pada itik Mojosari, Alabio dan Pegagan, dengan hasil yang diperoleh adalah panjang sayap dan panjang femur sebagai peubah penciri bentuk tubuh (Brahmantiyo et al. 2003), panjang leher dan sayap sebagai peubah penciri pada itik Cihateup (Wulandari 2005). Laporan lain dikemukakan Muzani et al. (2005), bahwa panjang leher, panjang jari ketiga, panjang tibia dan femur merupakan faktor peubah pembeda pada itik Cirebon dan Mojosari. Perbandingan ukuran tubuh beberapa jenis itik lokal dewasa di Indonesia, disarikan pada Tabel 4. Tabel 4 Ukuran bagian-bagian tubuh itik lokal dewasa di Indonesia Jenis itik Ukuran tubuh (cm)
Alabio a betina 19.60 27.40 28.30 8.20 5.10 10.10 5.80 2.50 18.30
Cihateup
b
Cirebon
c
c
Mojosari
Pegagan
d
Bali d betina 24.27 11.38 6.48 5.94 -
Panjang leher 20.69 17.84 Panjang sayap 27.04 28.02 25.49 28.50 Lingkar dada 28.24 37.50 Dalam dada 13.71 12.57 Panjang badan 23.27 22.28 Panjang dada 10.41 10.14 Panjang tibia 6.79 11.49 10.11 11.89 Panjang femur 6.88 7.05 5.59 6.88 Panjang maxilla 5.68 5.92 Panjang paruh 6.68 6.56 Lebar paruh Panjang punggung Panjang jari ke-3 5.40 6.79 6.68 a) b) c) Sumber : Susanti & Prasetyo (2007); Wulandari (2005); Muzani et al. (2005); Brahmantiyo et al. (2003)
Analisis
d)
AKU juga dapat digunakan untuk mendriskriminasikan peubah
antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio. Nilai ukuran dan bentuk tubuh diperoleh berdasarkan persamaan yang dilanjutkan dengan matrik koefisien korelasi, dapat menerangkan antara nilai korelasi terbesar dan positif antara peubah satu dengan lainnya, sehingga dapat diperoleh peubah mana yang dapat dijadikan pembeda pada itik Alabio.
-
27
Tingkah Laku Tingkah laku adalah tindak tanduk hewan yang terlihat, baik secara individual maupun bersama-sama (kolektif). Hewan liar yang telah didomestikasi masih memperlihatkan adanya perbedaan dalam tingkah lakunya.
Hal ini
disebabkan oleh kebutuhan hidup yang berbeda, walaupun tetap ada naluri (instinct) yang identik untuk hidup bersama. Tingkah laku hewan merupakan suatu kondisi penyesuaian terhadap lingkungannya. Pada tingkat adaptasi, tingkah laku hewan ditentukan oleh kemampuan belajar untuk menyesuaikan terhadap lingkungan yang baru (Warsono 2009). Perilaku hewan merupakan campuran dari komponen-komponen yang diturunkan/diwariskan atau dibawa dari lahir (naluri) dan yang diperoleh semasa hidupnya. Komponen-komponen yang dibawa dari lahir terdiri atas refleks-refleks sederhana, respons-respons dari berbagai unsur dan pola-pola perilaku kompleks yang dipelajari sehingga menjadi kebiasaan (Craig 1981). Penampilan tingkah laku individu selain dipengaruhi oleh faktor genetik tetuanya (Craig 1981), juga faktor lingkungan internal atau status fisiologis (umur, jenis kelamin, rasa lapar dan kesehatan) (Kilgour & Dalton 1989), serta faktor eksternal lingkungan fisik (nutrisi, temperatur, kelompok seksual dan kontak parental) (Applegate et al. 1998). Perilaku
sosial
dalam
kelompok
ayam
dapat
saja
berbeda
dan
pembentukannya terjadi baik secara lambat maupun cepat, bergantung kepada kondisi kelompok, sifat individu dan banyaknya kelompok (Dukas 2004). Macammacam tingkah laku pada hewan antara lain: bergerak, bernafas, makan, minum, berkelahi, tingkah laku sosial, tingkah reproduksi dan kawin (Mignon-Grasteau 2005), tingkah laku menyusui anak (Kilgour & Dalton 1989), mandi debu (Buitenhuis et al. 2005), berinteraksi sosial (Farland 1986; Tomaszewska & Putu 1989). Ewing et al. (1995) dan Appleby et al. (2004), membagi tingkah laku berdasarkan kebutuhan pokok yang bersifat naluri yaitu: makan, bereaksi, bergerak, mencari tempat hidup, berkelompok, berintorial, mempertahankan diri, bertelur, tidur dan istirahat. Sistem tingkah laku hewan (misalnya tingkah laku makan, minum, tidur dan kawin) terdiri atas tiga fase aktivitas yang terjadi dalam satu rangkaian yaitu fase hasrat (appetite behavior), fase kebiasaan yang konsisten atau naluri (consummatory behavior) dan fase respon kelanjutan yang menguntungkan (refractory behavior) (Craig 1981). Rangsangan atau respons dalam tubuh berupa perasaan lapar, sifat bermusuhan dan nafsu untuk kawin
28
dipengaruhi
oleh
sistem syaraf dan reaksi hormonal dalam tubuh dan
rangsangan dari luar tubuh berupa suara, pandangan mekanis dan kimia. Kriteria tingkah laku pada ternak menurut Dukas (2004), yaitu tingkah laku merumput, memilih habitat, variasi membedakan benda, mendengar, membau, merasa, memilih warna, makan, minum dan kawin. Setioko (2001) menguraikan tingkah laku kawin alami pada itik ada lima tahapan, yaitu tahap perayuan (courtship), tahap naik diatas punggung dan mengatur posisi (mounting and positioning), perangsangan
betina
(stimulating),
ereksi
dan
ejakulasi
(erection
and
ejaculation), dan gerakan setelah kawin (post coital display). Saerang (2010) menyatakan bahwa tingkah laku yang teridentifikasi pada burung maleo, dapat dikelompokkan dalam tiga macam yaitu: tingkah laku berpindah tempat (jalan, lari dan terbang), tingkah laku makan (mencari makan, mengais pakan, makan dan minum), dan tingkah laku istirahat. Tingkah laku makan dan minum merupakan bagian dari seluruh proses energi (baik lingkungan luar maupun dalam). Pada unggas yang termasuk karakteristik tingkah laku makan yaitu
mengkonsumsi pakan, berapa rataan banyaknya
konsumsi/ekor, rataan makan harian, rataan jumlah makan berdasarkan ukuran dan bentuk pakan (Schulze et al. 2003), lama membau, lama makan dan distribusi aktivitas mengkonsumsi pakan secara simultan (Barnard 2004; Cook et al. 2005; Fraser & Broom 2005). Faktor yang mempengaruhi tingkah laku makan ada dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi tingkah laku makan, yaitu
perbedaan
kadar glukosa dalam
sistem pembuluh darah arterial dan venous, serta peran hormonal. Pusat lapar berada pada hipotalamus bagian lateral, sedangkan pusat kenyang terdapat di hypotalamus bagian ventro-medial. Pusat lapar dan kenyang dipengaruhi oleh perubahan kadar glukosa dalam darah.
Jumlah gerakan hewan meningkat,
maka jumlah konsumsi pakan juga meningkat, hal ini dapat terjadi karena hewan/ternak berusaha untuk menyesuaikan kebutuhan energi yang keluar dan masuk (Wahju 1997). Tingkah laku makan salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan (temperatur, pakan dan manajemen). Temperatur tinggi akan terjadi pengurangan keinginan untuk pengambilan pakan, tetapi sebaliknya konsumsi air minum meningkat (Larbier & Leclercq
1994), sedangkan pada suhu rendah
hewan cenderung untuk mengkonsumsi pakan yang terus menerus (Wahju 1997). Faktor eksternal dalam tingkah laku makan adalah seluruh rangsangan
29
dari luar seperti suara, gerakan dan tanda-tanda lainnya. Mekanisme tingkah laku makan terjadi karena adanya proses rangsangan pada saat melihat pakan yang diteruskan melalui nervous opticus ke otak. Rangsangan ini setelah diproses dalam otak kemudian akan merangsang lambung untuk mengeluarkan cairan asam, sehingga timbul rasa lapar (Kilgour & Dalton 1989). Prosesnya antara lain, pertama-tama hewan melihat objek pakan yang menarik, kemudian terjadi proses pengambilan pakan sebagai akibat reaksi penurunan kadar glukosa di dalam darah dan akibat pembentukan cairan hormonal yang terjadi setelah ada rangsangan neural dari elemen-elemen syaraf di daerah hipotalamus bagian lateral. Tingkah laku yang diamati pada unggas umumnya dapat disusun dengan menggunakan katalog Ethogram (Orzech 2005; Riber & Mench 2008). Ethogram merupakan sebuah daftar amatan yang dikategorikan ke dalam jenis perilaku yang ditimbulkan oleh ternak selama dalam pengamatan (Tabel 5). Tabel 5 Ethogram tingkah laku makan dan kawin pada unggas Jenis Perilaku Berpindah tempat
Mencari makan dan minum
Kawin
Aktivitas
Keterangan aktivitas
Jalan
Aktivitas unggas pada saat melangkahkan kaki secara perlahan dan berjalan.
Lari
Aktivitas pada saat unggas berlari.
Loncat
Aktivitas pada saat unggas mencari tempat lain atau berteduh
Makan
Aktivitas mulai saat makan, sampai habis makan dan mencari minum.
Minum
Aktivitas pada saat unggas mencelupkan paruhnya ke tempat air minum sampai selesai minum.
Aktivitas kawin
Aktivitas mulai pejantan dan betina melakukan persiapan saat dan setelah selesai kawin.
Sumber: Orzech (2005); Riber & Mench (2008)
Riber & Mench (2008) menyatakan bahwa ethogram dapat digunakan sebagai paanduan dalam pengamatan perilaku unggas. Ethogram memuat definisi atau pengertian sebagai daftar acuan yang menjelaskan berbagai aktivitas unggas, seperti tingkah laku minum, makan, merumput, pergerakan, bertelur, aktivitas kawin, kanibalisme dan lain-lain.
30
Seperti halnya unggas lain, itik Alabio memiliki kebiasaan dan tingkah laku makan, minum dan kawin serta aktivitas tingkah laku lainnya. Proses tingkah laku makan
perlu diamati, mengingat jenis itik umumnya
mempunyai
kecenderungan tidak efisiennya dalam mengkonsumsi pakan, karena banyak yang terbuang/tercecer pada saat makan yang diikuti minum. Aktivitas tingkah laku kawin terutama pada kemampuan itik Alabio jantan mengawini beberapa betina pada kondisi temperatur lingkungan berbeda, diduga menunjukkan hasil yang berbeda. Perbedaan tingkah laku pada berbagai aktivitas itik Alabio (makan, minum dan kawin), berguna untuk penentuan cara pemberian pakan dan minum yang baik, sedangkan tingkah laku kawin dapat dimanfaatkan sebagai informasi dalam menerapkan sistem perkawinan dengan perbandingan jantan dan betina yang efisien, sehingga diperoleh fertilitas telur optimal.
Protein Darah Protein merupakan salah satu zat dengan bentuk makro molekul yang berfungsi sebagai komponen struktural, bio-katalisator, hormon dan reseptor yang tersusun atas unit-unit molekul kecil yaitu asam amino (Lestari
2002).
Makro molekul adalah biopolimer yang dibentuk dari unit monomer. Unit-unit monomer untuk asam nukleat adalah nukleutida, sedangkan asam amino merupakan derivat gula dan protein. Protein plasma merupakan produk langsung dari gen yang relatif tidak dipengaruhi oleh perubahan lingkungan (Toha 2001), sehingga struktur berbagai protein yang dibedakan atas runutan asam amino yang menggambarkan runutan basa dalam deoxyribonucleic acid (DNA). Protein plasma diklasifikasikan ke dalam tiga golongan, yaitu fibrinogen, albumin dan globulin primer (transferin). Albumin adalah protein yang paling melimpah dalam plasma dan merupakan protein utama dihasilkan hati. Albumin berperan dalam meningkatkan transport berbagai zat di dalam darah dan bertanggung jawab sekitar 80% dari tekanan osmotik potensial dari plasma. Albumin memiliki berat molekul lebih tinggi dan tidak dapat melintasi dinding pembuluh atau kapiler (Toha 2001), merupakan bahan yang paling tinggi konsentrasinya (Lestari 2002). Globulin sebagian besar telah dihilangkan pada saat proses pembekuan dan yang tertinggal hanya albumin dan transferin (Harris 1994). Protein dan enzim terdiri atas satu atau lebih rangkaian polipeptida yang dibawa oleh gen pada lokus yang sama atau berbeda. Protein dan enzim dapat
31
dianggap sebagai penciri penotipe suatu individu ternak. Perbedaan bentuk setiap protein darah dapat dibedakan dengan mendeteksi kecepatan geraknya dalam gel elektroforesis (Harmayanti et al. 2009). Menurut Martojo (1992) sejumlah protein yang berbeda sifat kimiawinya telah ditemukan pada ternak di dalam globulin (transferin), albumin, ezim darah dan haemoglobin. Haemoglobin adalah protein sel darah merah yang berfungsi sebagai pigmen respirasi darah dan sistem penyangga (buffer) instrinsik dalam darah. Haemoglobin sebelum mengikat oksigen berwarna merah keunguan, dan setelah berikatan dengan oksigen menjadi oksihaemoglobin yang berwarna merah cerah. Protein haemoglobin terdiri atas tiga tipe, yaitu tipe I (AA), tipe II (BB) dan tipe II (AB). Enam varitas protein darah yang ditemukan pada ayam kampung (Lestari 2002), itik Talang Benih (Azmi et al. 2006) dan itik Cihateup (Wulandari 2005), seperti disarikan pada Tabel 6. Tabel 6 Protein darah yang ditemukan pada itik dan ayam kampung Protein
Lokus
Sumber
Albumin
1 2,3)
Alb
Serum darah
Post albumin
Pa1 2,3)
Serum darah
Transferin
Tf 1,2,3)
Serum darah
2)
Serum darah
2)
Post transferin 1
PTf-1
Post transferin 2
Ptf-2
Serum darah
Haemoglobin
Hb 1,2,3)
Sel darah merah (RBC)
Sumber :
1)
Lestari (2002),
2)
Wulandari (2005);
3)
Azmi et al. (2006)
Perbedaaan asam amino penyusun molekul protein, menyebabkan perbedaan besar muatan dan kecepatan gerak pada suatu medan listrik, sehingga tergambar sebagai pita protein dengan pola tertentu (Lestari 2002). Molekul yang berukuran kecil akan bergerak lebih cepat dalam satuan waktu yang sama (Toha 2001). Banyaknya kelompok keragaman yang ditemukan dalam protein darah menunjukkan bahwa, karakteristik individu sangat beragam dan setiap kelompok protein darah akan diwariskan dari generasi ke generasi. Protein yang diwariskan merupakan penampilan bentuk satu pita yang dapat ditemukan pada gel elektroforesis. Pembacaan hasil elektroforesis, yakni apabila terbentuk satu pita berarti homozigot, dan dua pita adalah heterozigot (Harris 1994).
Cara ini dapat mengetahui genotipe setiap individu untuk menelusuri
32
hubungan kekerabatan antara individu dalam suatu populasi ternak (Harmayanti et al. 2009). Sebagian besar keragaman secara genetis pada itik ditemukan dalam protein darah seperti albumin, post albumin, transferin, post transferin-1, post transferin- 2 (Azmi et al. 2006) dan haemoglobin (Wulandari 2005).
Elektroforesis Elektroforesis adalah salah satu teknik untuk menyelidiki variasi genetik dan membandingkannya dengan populasi unggas domestik, protein enzimatik dan non enzimatik pada suatu populasi (Toha 2001). Elektroforesis suatu cara analisis kimia yang didasarkan pada gerakan molekul bermuatan didalam medan listrik,
dipengaruhi oleh ukuran, bentuk, besar muatan dan sifat kimia dari
molekul. Berbagai komponen protein seperti plasma darah, pada pH diatas dan dibawah titik iso elektriknya akan bermigrasi dalam berbagai kecepatan dalam larutan tersebut (Harris 1994; Toha 2001). Menurut Lestari (2002) elektroforesis dibedakan menjadi dua tipe, yaitu elektroforesis larutan (moving boundary electrophoresis) dan elektroforesis daerah (zona electrophoresis). Tipe elektroforesis daerah menggunakan suatu bahan padat sebagai media penunjang dan berisi larutan penyangga, dengan contoh yang akan dianalisis diletakkan pada media penunjang dalam bentuk titik atau pita tipis. Media pemisah antara lain gel pati, gel agarose, kertas selulosa asetat dan gel akrilamida (Toha 2001). Tiap-tiap metode kemungkinan akan mengekspresikan pola dan karakteristik berbdeda. Karakteristik yang muncul menunjukkan sifat-sifat dari jenis protein atau enzim. Enzim dan protein terdiri atas satu atau lebih rangkaian polipeptida yang dibawa oleh gen pada lokus yang sama atau berbeda. Kemajuan metode elektroforesis untuk pemisahan protein mampu melihat polimorfisme protein yang menyebar luas (Riztyan 2005). Pola pita polimorfisme protein dapat dianggap sebagai salah satu ciri fenotipik suatu individu, sedangkan adanya variasi polimorfisme protein darah menggambarkan variasi gen yang mengontrol sifat-sifat yang diinterpretasikan oleh pola protein. Polimorfisme protein darah yang ditemukan pada lokus haemoglobin (Hb1 dan Hb2) ayam lokal dan ayam hutan di Indonesia adalah monomorfik dan dibedakan atas tipe ABx disamping AA, AB dan BB. Selanjutnya dijelaskan bahwa tipe ABx terdapat pada pita minor m3 yang bergerak sangat cepat. Polimorfisme protein plasma transferin pada yolk ayam secara genetis dibedakan dari satu lokus
33
otosomal dengan tiga alel, yaitu Tfa, Tfb dan Tfc,, sedangkan albumin dibedakan dari satu lokus dengan empat alel yaitu AlbA, AlbB, AlbC dan AlbD. Azmi et al. (2006) melaporkan bahwa hasil elektroforesis protein darah itik Talang Benih, diperoleh hasil bahwa pada lokus albumin ditemukan tiga pita, yakni AlbA, AlbB dan AlbC, dengan frekuensi gen masing-masing sebesar 0.555 dan 0.315. Menurut Falconer & Mackay (1996); Nei & Kumar (2000), polimorfisme merupakan peristiwa terdapatnya dua atau lebih alel yang berlainan dengan frekuensi gen relatif besar. Bagi gen yang sama, peristiwa tersebut dapat terjadi dalam suatu populasi atau antar populasi, dan menyebabkan terjadinya beberapa bentuk fenotipe (Griffiths 1999). Menurut Riztyan (2005) polimorfisme mempelajari tentang karakteristik berbagai protein seperti dalam darah, telur dan organ tubuh antara lain amilase, alkalinfosfatase, esterase dan transferin. Polimorfisme juga dapat menjelaskan sejarah terdekat ternak sejalan dengan pengetahuan hubungan dominasi (Butlin & Tregenza 1998). Perbedaan polimorfisme protein antar strain berguna untuk membandingkan struktur protein spesifik yang terbentuk pada setiap strain dan untuk menetapkan hubungan serta membuat pohon filogenetik (Nei & Kumar 2000). Metode elektroforesis untuk menganalisis protein darah pada itik Talang Benih (Azmi et al. 2006), itik Cihateup (Wulandari 2005), ayam kampung dan ayam ras (Lestari 2002), yaitu dengan menggunakan teknik polyacrilamide gel electrophoresis (PAGE), dengan hasil data genotipe yang diperoleh pada lokus transferin, post-transferin, albumin dan post-albumin serentak dalam satu waktu pengerjaan. Teknik elektroforesis (PAGE) merupakan cara yang sudah lama relatif murah dan sederhana, namun dapat digunakan untuk menganalisis polimofisme protein darah atau asam-asam nukleat, serta mempunyai kapasitas dan keakuratan yang dapat dipertanggungjawabkan, serta lebih mudah dalam mengoperasionalkannya.
Keragaman Genetik Ternak Keragaman sumber daya genetik ternak (SDGT) merupakan aset yang besar bagi negara Indonesia dan menjadi tugas nasional untuk menjaga/ melestarikannya, serta upaya pengembangannya (Departemen Pertanian 2006), namun usaha pelestarian dan pemanfaatan SDGT tersebut masih terbatas (Setioko 2008). SDGT memiliki potensi dan keunggulan kompetitif beradaptasi pada keterbatasan lingkungan dan relatif mempunyai laju reproduksi yang baik
34
(Kurniawan et al. 2004). Keanekaragaman SDGT perlu dilestarikan untuk kemudian ditingkatkan potensinya dan dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, ketersediaan bahan pangan, terciptanya lapangan pekerjaan dan peningkatan devisa negara (Departemen Pertanian 2006). Pemanfaatan SDGT dapat diusahakan, salah satunya dengan melakukan perkawinan antar bangsa untuk memperoleh keturunan yang lebih baik dari tetuanya (Azmi et al. 2008), atau memanfaatkan efek heterosis (Noor 2008). Sebaliknya, Suparyanto (2003) menyatakan bahwa variasi fenotipik terjadi karena adanya intensitas silang luar secara tak berstruktur, meskipun salah satu sumber dari tetua terdahulunya merupakan satu keluarga. Keberhasilan
suatu
kegiatan
pemuliaan
ternak,
tergantung
pada
keragaman genetik populasi awal dan keragaman fenotipe tinggi, yang disebabkan adanya keragaman besar dalam lingkungan (Hardjosubroto 2001), keragaman genetik akibat segregasi ataupun mutasi (Warwick et al. 1995), migrasi, seleksi dan random drift atau kebetulan (Martojo 1992; Noor 2008). Keragaman genetik dalam spesies atau bangsa tergantung pada letak lokuslokus di dalam gennya (Warwick et al. 1995). Keragaman merupakan koefisien variasi yang sering terjadi pada populasi ternak dan dapat diukur salah satunya dengan teknik molekuler, tetapi tidak selalu berhubungan antara keragaman fenotipik suatu bangsa yang disebabkan oleh lamanya perubahan, grading up dan kawin silang beberapa lama untuk mendapatkan genotipe baru. Sartika et al. (2008) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai keragaman genetik dalam suatu populasi, semakin tinggi pula keragaman sifat-sifat yang dimiliki suatu populasi ternak (Hardjosubroto 2001). Keragaman genetik yang tinggi dapat ditemukan dalam suatu bangsa dalam jumlah populasi dan ukuran floknya lebih besar (Hoffmann
2005).
Menurut Syrstad (1992) peningkatan
genetik ternak per generasi melalui metode seleksi bergantung kepada pertimbangan keragaman sifat-sifat yang dimiliki ternak dalam suatu populasi. Martojo (1992) menyatakan bahwa program seleksi akan efektif apabila terdapat tingkat keragaman yang tinggi dalam populasi. Variabilitas genetik pada itik Alabio diduga salah satunya disebabkan oleh faktor lingkungan. Keragaman genetik merupakan modal untuk melakukan seleksi yang lebih baik dan terstruktur, sehingga dapat diperoleh itik-itik yang lebih unggul dengan produktivitas tinggi. Pemanfaatan keragaman yang ada
35
akan mendukung dalam rangka pengembangan, pemurnian dan pelestarian itik Alabio sebagai salah satu sumber plasma nutfah itik lokal di Indonesia.
Plasma Nutfah Indonesia memiliki banyak ragam sumber plasma nutfah baik hewan, tumbuhan maupun mikroorganisme. Plasma nutfah merupakan bahan genetik yang mempunyai nilai guna, baik secara nyata maupun masih berupa potensi (Kurniawan et al. 2004). Potensi besar yang dimiliki sumber plasma nutfah tersebut dapat
dimanfaatan dan dikembangkan bagi kemaslahatan umat
manusia (Handoko et al. 2005), eksistensinya perlu dilindungi dan dilestarikan (Departemen Pertanian 2006; Setioko 2008). Sumber daya genetik ternak (SDGT), menurut Departemen Pertanian (2006) adalah substansi yang terdapat dalam individu suatu populasi rumpun ternak
yang
dikembangkan
secara genetik dalam
unik,
pembentukan
berpotensi untuk rumpun
atau
dimanfaatkan
galur
unggul.
dan
SDGT
merupakan salah satu unsur penting dalam kegiatan pemuliaan ternak dan mempunyai peranan sangat menentukan, bagi memperoleh bibit ternak yang berkualitas. Bibit ternak yang berasal dari sumber sumberdaya genetik lokal merupakan salah satu sarana dalam mengembangkan usaha peternakan, yang mempunyai peranan dalam upaya peningkatan produksi pangan asal ternak dan meningkatkan pendapatan peternak (Departemen Pertanian 2006). Pala (2004) menyatakan bahwa mempertahankan keragaman SDGT sangatlah penting, karena penurunan rumpun ternak akan membawa kepada kepunahan ternak dan berdampak berkurangnya ketersediaan pangan. Menurut FAO (2002) bangsa ternak lokal penting untuk dilindungi karena mempunyai keunggulan tersendiri, yaitu dapat hidup dengan pakan yang berkualitas rendah, mampu hidup pada tekanan iklim setempat, daya tahan tinggi terhadap penyakit dan parasit, sumber gen yang khas untuk digunakan dalam perbaikan bangsa-bangsa melalui persilangan, lebih produktif dengan biaya rendah, mendukung keanekaragaman pangan dan lebih efektif dalam pencapaian ketahanan pangan lokal. Pemanfaatan SDGT adalah kegiatan pendayagunaan sumber daya genetik ternak untuk bahan pangan dan pertanian, yang dilakukan tanpa membahayakan dan mengancam kelestariannya, baik di dalam maupun di luar habitatnya (Departemen
Pertanian
2006).
Pelestarian
dan
pemanfaatan
SDGT
36
dikategorikan menjadi dua kriteria, yaitu kriteria populasi aman dan populasi tidak aman. Menurut Departemen Pertanian (2006) pelestarian dan pemanfaatan SDGT ternak dengan kriteria tidak aman, mencakup: eksplorasi, identifikasi, karakterisasi, evaluasi, pelestarian, pemanfaatan dan penangkaran. Upaya mencegah terjadinya erosi genetik yang makin meningkat terhadap plasma nutfah, perlu dilakukan kegiatan-kegiatan di antaranya inventarisasi (koleksi), pendataan (dokumentasi) dan pelestarian (konservasi) secara berkelanjutan (Handoko et al. 2005; Setioko et al. 2005; Setioko 2008). Kegiatan konservasi plasma nutfah ternak lokal merupakan aktivitas eksplorasi, identifikasi dan karakterisasi, evaluasi dan pemetaan, serta pelestarian ternak lokal yang memiliki potensi genetik asli Indonesia (Setioko et al. 2005). Pertimbangan untuk melakukan konservasi plasma nutfah antara lain status dan kerentanan populasi, ukuran populasi efektif, silang dalam dan pertimbangan bisnis. Ternak lokal yang telah mengalami seleksi alam maupun buatan oleh manusia memiliki daya adaptasi baik dengan lingkungannya (Hardjosworo 1995). Strategi khusus dan program kerja pemanfaatan dan konservasi plasma nutfah ternak antara lain dapat dilakukan secara morfologik maupun genetik (Syrstad 1992). Upaya pelestarian sumber daya genetik adalah mengenal macam keragaman genetik dan gen-gen yang perlu dipertahankan dalam populasi (Yellita 1998). Upaya konservasi yang dapat dilakukan terhadap sumber plasma nutfah ternak terdiri atas tiga kegiatan yaitu:a) ternak hidup dipelihara dan berkembang biak secara in-situ dan ex-situ, b) penyimpanan kryogenik (kriopreservasi), dan c) jaringan reproduksi dan molekuler (Hodges 1992), semen dan embrio beku (Maijala et al. 1992). Menurut Setioko (2008) kriopreservasi merupakan teknik penyimpanan materi biologi tanpa mengalami kerusakan dalam waktu yang sangat lama hingga ribuan tahun. Kriopreservasi yang sudah dikenal saat ini ada dua macam, yaitu kriopreservasi semen mamalia dan unggas dan sel telur atau embrio. Pelestarian plasma nutfah dapat dilakukan secara insitu dan ex-situ (Departemen Pertanian 2006). Konservasi secara in-situ adalah kegiatan untuk mempertahankan keanekaragaman SDGT di dalam lingkungan tempat ternak tersebut beradaptasi atau dalam lingkungan terbatas secara praktis memungkinkan. Konservasi secara ex-situ adalah kegiatan untuk mempertahankan keanekaragaman SDGT di luar lingkungan produksi normalnya atau habitatnya (Departemen Pertanian 2006). Konservasi ex-situ merupakan bagian dari komponen integral strategi konservasi, difokuskan pada unggas yang
37
sudah langka, tetapi secara umum untuk konservasi semua jenis ternak dengan tujuan mengumpulkan sebanyak mungkin data keragaman genetik (Setioko 2008). Kriteria konservasi didefinisikan sebagai landasan yang luas meliputi kriteria biologis, kriteria praktis, ekonomi dan non biologis yang mencakup sosial, budaya, spiritual dan keagamaan (Mansjoer 2002). Itik Alabio sebagai salah satu SDGT spesifik lokasi di Kalimantan Selatan, perlu diketahui informasi tentang keragaan atau spesifikasinya, baik di dalam maupun di luar habitatnya. Informasi yang dapat dikumpulkan antara lain meliputi: ciri-ciri fenotipik baik secara kualitatif (warna bulu, paruh, kaki dan shank), maupun kuantitatif (bobot badan, produksi telur, bobot telur, bobot tetas, daya tetas, panjang tubuh, lebar paruh, panjang kepala, sayap, sternum dan ukuran tubuh lainnya), produktivitas, ketahanan terhadap penyakit serta jarak genetik. Informasi yang diperoleh diharapkan dapat dimanfaatkan dalam rangka pengembangan itik Alabio, sebagai aset daerah maupun nasional secara lestari dan berkelanjutan.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian karakterisasi sifat-sifat kuantitatif dan kualitatif dilaksanakan selama tujuh bulan (Mei - Nopember 2009) di Kecamatan Daha Utara dan Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kecamatan Labuan Amas Selatan dan Labuan Amas Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kecamatan Amuntai Selatan dan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan. Penelitian keragaman genetik berupa analisis protein darah itik Alabio dengan teknik elektroforesis dilaksanakan selama tiga bulan (Januari - Maret 2010) di Laboratorium Pemuliaan & Genetika Ternak Departemen Ilmu Produksi & Teknologi Peternakan. Komposisi zat gizi pakan itik Alabio dianalisis proksimat di
Laboratorium Ilmu
dan
Teknologi Pakan Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, selama 2 bulan
Bahan dan Alat Ternak Itik Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah itik Alabio dewasa dengan umur berkisar antara 5 - 5.5 bulan (masak kelamin) sebanyak 600 ekor (75 ekor jantan dan 525 betina), milik peternak itik Alabio di Desa Paharangan, Daha Utara, Taniran dan Taniran Kubah (HSS), Desa Sungai Jaranih, Murung Taal, Mantaas dan Tabat (HST), Desa Teluk Baru, Simpang Empat, Cangkering dan Mamar (HSU), masing-masing desa diwakili sebanyak 50 ekor, terdiri atas 5 ekor jantan dan 45 ekor betina.
Telur Tetas dan Alat Penetasan Telur itik yang digunakan dalam kegiatan ini sebanyak 5250 butir diperoleh dari peternak itik Alabio di Desa Teluk Baru Kecamatan Amuntai Selatan, HSU. Sebelum telur-telur tetas dimasukkan ke dalam alat penetasan, terlebih dahulu
40
diseleksi yang memenuhi persyaratan, baik dari bobot, warna kerabang dan kebersihan telur. Alat penetasan yang digunakan sebanyak empat unit, terdiri atas satu unit milik Laboratorium Unggas, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor kapasitas 200 butir (A) dilengkapi dengan thermometer, thermoregulator dan hygrometer, dan tiga unit alat penetasan sistem gabah dengan kombinasi listrik sebagai sumber panasnya, milik peternak penetas di Desa Mamar Kecamatan Amuntai Selatan, HSU dengan kapasitas masing-masing 1000 butir (B), 1500 butir (C) dan 2500 butir (D).
Bahan Kimia Bahan kimia yang digunakan antara lain untuk persiapan contoh dalam analisis elektroforesis dan proksimat. Bahan kimia untuk mengidentifikasi polimorfisme protein darah itik Alabio yaitu: tris (hydroxyl methyl) amino metana, sukrosa akrilamida NN’-methyl diakrilamida, asam khlorida, methanol, TEMED (N,N,N’,N’- tetramethyletilena diamina), asam asetat (glacial acetic acid), kertas saring whatman nomor 1, aquadestilata, coomassie brilliant blue 250 R, amido black 10 R, pounceau S, heparin iodium dan alkohol 70%.
Peralatan Peralatan laboratorium terdiri atas seperangkat alat elektroforesis (PAGE) untuk menganalisis protein darah (Lestari 2002; Wulandari 2005; Azmi et al. 2006), yaitu slab elektroforesis merek Protean II vertical electrophoresis cell BioRad, disc electrophoresis apparatus model OSK 7281 dan power supply model Bio Rad (Gambar 3). Peralatan proksimat untuk menganalisis komposisi zat gizi pakan (protein kasar, kadar air, lemak kasar, serat kasar, kalsium, abu dan fosfor). Peralatan lainnya meliputi: pipet Mohr masing-masing volume 0.1 ml, 1 ml dan 10 ml, gelas piala ukuran 100 ml, 250 ml, 150 ml, 500 ml dan 1000 ml, botol, labu ukur, gelas ukur, alat suntik, bola pipet, baki plastik, bola pipet, timbangan digital sartorius, lemari pendingin, sarung tangan plastik, lampu sinar ultraviolet, gunting, label, sentrifuge kekuatan 6000 rpm, alat penetasan, timer, timbangan O-Haus kapasitas 2610 g dengan ketelitian 0.1 g, foto camera digital,
41
pita ukur, jangka sorong dengan ketelitian 0.05 mm, tempat pakan dan air minum, alat tulis kantor (ATK) dan lain-lain.
Gambar 3 Alat elektroforesis (Protean II vertical)
Kandang dan Perlengkapannya Kandang yang digunakan dalam pengamatan tingkah laku memilih pakan adalah kandang individu sebanyak enam unit, yang terbuat dari bambu dan kayu, masing-masing unit kandang berukuran 75 cm x 75 cm x 75 cm. Kandang dilengkapi tempat pakan dan air minum yang terbuat dari plastik, dan listrik masing-masing 60 watt sebagai penerangan. Masing-masing petak kandang diisi satu ekor itik Alabio dewasa. Sebelum pelaksanaan dimulai, semua itik dimasukkan ke dalam petak kandang sesuai dengan kebiasaan peternak setempat. Bahan pakan yang digunakan sebanyak lima macam, yaitu dedak halus, keong rawa, gabah, sagu parut, ikan kering dan pakan komersial untuk ayam petelur. Bahan pakan dimasukkan ke dalam tempat pakan, masing-masing sebanyak 500 g. Tempat air minum diletakkan agak berjauhan dengan tempat pakan (±150 cm). Setelah selesai pengamatan, bahan pakan yang tersisa ditimbang untuk mengetahui jumlah yang dikonsumsi.
42
Pengamatan tingkah laku kawin, digunakan tiga unit kandang kelompok dengan ukuran masing-masing 150 cm x 100 cm x 75 cm. Tiap-tiap petak kandang diisi 10 ekor betina dan 1 ekor jantan, dilengkapi tempat pakan dan air minum. Pakan diberikan tiga kali sehari, dan air minum secara adlibitum. Pengamatan dilaksanakan pada pukul 07.00 wita, 13.00 wita dan 17.00 wita dengan ulangan tiga kali.
Metode Penelitian Perancangan Percobaan dan Penelitian Penelitian dirancang dengan metode survey dan laboratorium. Metode survey menggunakan purposive sampling, yaitu dengan memilih lokasi yang memiliki populasi itik Alabio terpadat, sehingga dapat mewakili lokasi lainnya. Kegiatan laboratorium untuk menganalisis protein darah dan kandungan nutrisi pakan itik Alabio. Analisis protein darah menggunakan teknik elektroforesis metode polyacrilamide gel electrophoresis (PAGE) model vertical (Ogita & Markert 1979), sedangkan untuk mengetahui kandungan nutrisi pakan dilakukan analisis proksimat (AOAC 2005).
Prosedur Penelitian dan Pengamatan Peubah Orientasi Lapangan (Survei Awal) Orientasi lapangan dilakukan pada dua belas lokasi penelitian, untuk mendapatkan gambaran awal dan kondisi umum lokasi penelitian. Data keadaan dan gambaran umum manajemen pemeliharaan itik Alabio di Kabupaten HSS, HST dan HSU, diperoleh dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan peternak itik Alabio. Data sekunder dikumpulkan dari beberapa instansi terkait (Badan Pusat Statistik Propinsi dan Kabupaten) dan Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan. Setelah itu, dilakukan penentuan lokasi penelitian untuk pengambilan data selanjutnya.
Penentuan Lokasi Penentuan lokasi dilakukan dengan memilih dua kecamatan masingmasing kabupaten, yaitu Kecamatan Daha Utara dan Angkinang (HSS),
43
Kecamatan Labuan Amas Selatan dan Labuan Amas Utara (HST), Kecamatan Amuntai Selatan dan Amuntai Tengah (HSU), Kalimantan Selatan.
Penelitian Sifat Kuantitatif dan Kualitatif Kegiatan
penelitian
mengkarakterisasi
sifat-sifat
ini
bertujuan
kuantitatif.
untuk
Sifat
mengidentifikasi
kuantitatif
diamati
dan
dengan
melakukan pengukuran bagian-bagian tubuh itik Alabio. Metode pengukuran untuk masing-masing peubah dilakukan sebagai berikut: 1.
Bobot badan (g/ekor), diiukur dengan menggunakan timbangan.
2.
Panjang paruh atas (cm), diukur antara jarak pangkal maxilla sampai ujung maxilla dengan jangka sorong.
3.
Panjang paruh bawah (cm), diukur antara jarak pangkal mandibula sampai ujung mandibulla menggunakan jangka sorong.
4.
Lebar paruh (cm), diukur dari pinggir paruh bagian luar sebelah kiri dan kanan menggunakan jangka sorong.
5.
Panjang kepala (cm), diukur mulai dari pangkal paruh hingga kepala bagian belakang menggunakan jangka sorong.
6.
Tinggi kepala (cm), diukur pada bagian kepala yang paling tinggi menggunakan jangka sorong.
7.
Panjang leher (cm), diukur dari tulang first cervical vetebrae sampai dengan last cervical vetebrae menggunakan pita ukur.
8.
Panjang paha (cm), diukur mulai dari persendian pangkal tulang atas tulang tibia sampai dengan persendian bawah tulang tibia, diukur menggunakan jangka sorong.
9.
Panjang sternum (cm), diukur sepanjang tulang sternum dengan pita ukur.
10.
Panjang punggung (cm), diukur mulai batas persendian tulang leher sampai tulang pubis menggunakan pita ukur.
11.
Panjang sayap (cm), merupakan jarak antara pangkal tulang humerus sampai tulang phalangens, diukur menggunakan jangka sorong.
12.
Panjang tubuh (cm), panjang tubuh diukur mulai dari ujung leher sampai ujung tulang ekor menggunakan pita ukur. Sifat kuantitatif lainnya adalah produksi telur itik Alabio. Produksi telur
diamati selama lima bulan (Mei - September 2009), untuk memperoleh gambaran kemampuan produksi telur itik Alabio pada masing-masing lokasi penelitian.
44
Pengamatan produksi telur pada masing-masing kabupaten, diwakili tiga orang peternak meliputi pengamatan produksi telur harian, umur pertama bertelur dan mortalitas itik. Pencatatan produksi telur dilakukan setiap hari (duck day), sedangkan
untuk
memperoleh
persentase
produksi
bulanan
dilakukan
perhitungan menurut Rasyaf (1994), yaitu dengan menjumlahkan produksi telur yang dicapai per minggu dibagi dengan jumlah itik yang ada, dengan rumus sebagai berikut:
Jumlah telur rataan per minggu X 100% Jumlah itik
Sifat-sifat kualitatif yang diamati meliputi: warna bulu dominan, corak dan fluoresens
bulu, warna paruh, kaki dan shank. Pengamatan warna bulu
dominan, corak dan flouresens bulu pada bagian kepala, leher, dada, punggung, sayap dan ekor itik Alabio betina dan jantan, dengan umur berkisar antara 5 5.5 bulan (masak kelamin), pada umur tersebut itik Alabio telah mengalami pergantian bulu dewasa, sehingga lebih mudah untuk membedakannya. Pengamatan dengan mencocokkan warna bulu berdasarkan motif bulu unggas menurut Smyth (1993), selanjutnya dihitung persentasenya.
Penelitian Keragaman Genetik (Protein Darah) Kegiatan penelitian polimorfisme protein darah bertujuan untuk mengetahui keragaman fenotipik dan genetik dalam dan antar populasi itik Alabio. Seratus empat puluh empat sampel darah, yang terdiri atas 72 sampel plasma darah dan 72 sampel eritrosit (RBC), dianalisis menggunakan teknik elektroforesis. Lokus protein yang diamati adalah albumin (Alb), post albumin (Pa), transferin atau globulin (Tf), post transferin-1, (Ptf-1), post transferin-2 (Ptf-2), dan haemoglobin (Hb). Tahapan-tahapan kegiatan meliputi: pengambilan darah dan persiapan contoh, pembuatan gel elektroforesis dan penetesan contoh, proses pemisahan protein, pewarnaan dan pencucian.
Pengambilan Darah dan Persiapan Contoh Contoh darah diambil dari itik Alabio jantan dan betina yang sudah dipersiapkan melalui pembuluh darah vena di bawah sayap. Pengambilan darah
45
dilakukan di sekitar percabangan vena sayap, dengan terlebih dahulu membersihkan bulu sayap. Setelah darah disedot menggunakan spuit 2.5 ml, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang mengandung anti koagulan (EDTA) dan diberi label. Selanjutnya darah disentrifugasi dengan 6000 rpm, selama 10 - 15 menit untuk memisahkan antara plasma dengan butir darah merah (RBC) (Wulandari 2005; Azmi et al. 2008). Plasma darah dimasukkan ke dalam tabung reaksi lainnya menggunakan pipet. RBC diperoleh dengan cara mencuci sebanyak tiga kali menggunakan larutan NaCl fisiologis 0.85%, kemudian disentrifugasi selama satu menit dalam 6000 rpm, dan diencerkan dengan H2O perbandingan 1:1 tanpa pengawet. Sebelum dianalisis disimpan dalam freezer dengan suhu -20
. Tahapan selanjutnya adalah pembuatan
campuran bahan kimia.
Pembuatan Campuran Bahan Kimia Pembuatan campuran bahan kimia untuk gel pemisah (running atau separation gel), buffer elektroda, bahan contoh dan larutan pewarna (staining) berdasarkan metode Ogita & Markert (1979), sebagai berikut:
Bahan Gel Pemisah - Bahan
1 A (39 g akrilamida, 1 g Bis dan 20 ml gliserol, ditambah
aquadestilata sampai dengan 100 ml).
- Bahan 1 B (9.19 g dan Tris 3 ml HCl, ditambah aquadestilata sampai 100 ml). - Bahan 1 C (0.9 g ammonium persulfat ditambah 100 ml aquadestilata). - Bahan 1 D (0.4 ml TEMED ditambahkan 100 ml aquadestilata). Bahan Gel Penggertak - Bahan II A (39 g akrilamida, 2 g Bis dan 20 gliserol ditambah 100 ml aquadestilata).
- Bahan II B (1.5 g Tris, 1 ml HCl ditambah aquadestilata sampai 100 ml). - Bahan II C (0.4 g ammonium persulfat ditambah aquadestilata sampai 100 ml).
- Bahan II D (0.2 ml TEMED ditambah aquadestilata sampai 100 ml).
46
Bahan Buffer Elektroda - Bahan III (1.5 g gliserol, 7.2 glisin ditambah aquadestilata sampai 100 ml). Bahan indikator contoh (cuplikan) - Tris HCl 0.5 M buffer pH 6.8 sebanyak 25 ml dilarutkan dalam 40 ml glicerin brom phenol blue 0.01% sebanyak 20 ml dan H2O 15 ml.
Bahan Pewarna - Bahan IV A teridiri atas: TCA 18 ml, 240 ml aquadestilata, 60 ml methanol, 21 ml asam asetat, ditambah 7.5 ml 1% commassie blue untuk pewarnaan plasma darah.
- Bahan IV B masing-masing trichloroacetic acid 5% dan Ponceau-S 0.5% dalam aquadestilata untuk pewarnaan RBC.
Bahan Pencuci - Bahan V (800 ml aquadestilata + 250 ml methanol ditambah 100 ml asam acetat).
Pembuatan Gel Elektroforesis Gel elektroforesis terdiri atas dua larutan yaitu larutan gel pemisah dan penggertak. Larutan gel pemisah dibuat dengan mencampurkan larutan IA, IB, IC, ID dan aquadestilata, masing-masing 4; 5; 2.5 dan 6 ml. Larutan tersebut dimasukkan ke dalam dua keping kaca, yang telah diberi pembatas untai silinder plastik dan dijepit dengan menggunakan pipet secara perlahan-lahan. Batas ketinggian gel pemisah dalam kaca ditentukan dengan menyisakan ruang untuk gel penggertak setinggi 3 - 4 cm. Supaya permukaan gel pemisah rata, ditambahkan sedikit larutan isobutanol yang dimasukkan ke dalam kaca di atas permukaan gel pemisah. Isobutanol dibiarkan sampai gel pemisah membeku, kemudian dikeluarkan dari keping kaca dengan menggunakan alat suntik atau kertas hisap. Larutan penggertak dibuat dengan mencampur larutan IIA, IIB, IIC, IID dan aquadestilata, masing-masing 2; 5; 2.5 dan 8 ml. Larutan segera dimasukkan ke dalam slab di atas gel pemisah, kemudian sisir pencetak wadah contoh diletakkan pada gel penggertak sebelum membeku. Selanjutnya bagian atas
47
keping kaca ditutup dengan plastik dan disimpan dalam lemari pendingin bertemperatur 4 , untuk batas waktu maksimum tiga hari.
Penetesan Contoh dan Proses Pemisahan Protein Alat elektroforesis disiapkan, kemudian buffer elektroda dituangkan ke dalam alat elektroforesis. Keping kaca berisi gel pemisah dipasang pada alat elektroforesis dengan terlebih dahulu membuka plastik penutupnya. Pencetak wadah contoh pada gel penggertak, dilepas perlahan-lahan dan buffer elektroda dibiarkan masuk ke dalam wadah contoh. Contoh plasma atau sel darah merah diambil dengan alat suntik Hamilton masing-masing sebanyak 0.4 µl dan 0.6 µl, kemudian dimasukkan ke dalam wadah atau sumur contoh pada gel penggertak di keping kaca. Alat elektroforesis di hubungkan dengan sumber tenaga listrik pada tegangan 250 volt dan arus sebesar 20 mA. Proses pemisahan protein hingga terbentuknya pola pita polimorfisme protein darah memerlukan waktu 3 5 jam.
Pewarnaan dan Pencucian Keping kaca berisi gel dipindahkan dari alat elektroforesis. Keping kaca sebelah dilepas dan keping kaca lainnya yang masih terdapat gel hasil elektroforesis, dimasukkan ke dalam wadah plastik dan diberi larutan pewarna. Wadah plastik ditutup bagian atasnya dengan menggunakan alummunium foil dan disimpan pada inkubator dengan temperatur 37
selama tiga jam. Setelah
proses pewarnaan, gel dicuci menggunakan larutan pencuci ke dalam wadah plastik yang sama, dan dibiarkan selama tiga jam pada temperatur ruangan. Agar pita protein yang terbentuk jelas, setelah lebih dari 24 jam larutan pencuci dapat diganti dengan aquadestilata, untuk menghindari terjadinya kekeringan pada gel dan wadah plastik ditutup rapat untuk mencegah masuknya benda lain.
Penelitian Tingkah Laku Menetas, Memilih Pakan dan Kawin a.
Kegiatan penelitian tingkah laku menetas terlebih dahulu diawali dengan melakukan penetasan telur itik Alabio. Tujuan utama selain untuk memperoleh informasi tentang tingkah laku menetas, juga mengetahui keragaan penetasan. Pengamatan terhadap tingkah laku menetas, dilakukan
48
pada telur-telur yang dieramkan dan telah mendekati tahap akhir proses penetasan (umur telur 26-28 hari). Satu unit alat penetasan digunakan untuk mengamati tingkah laku menetas dengan kapasitas 200 butir (A) dan dilaksanakan di laboratorium, sedangkan untuk memperoleh data keragaan penetasan di tingkat lapang, digunakan tiga unit alat penetasan lainnya milik peternak/penetas di Desa Mamar, Kabupaten HSU kapasitas masing-masing 1000 butir (B), 1500 butir (C) dan 2500 butir (D), dengan sumber panas kombinasi antara gabah dengan listrik. Penetasan telur dilakukan menurut petunjuk Setioko (1998), meliputi persiapan dan seleksi telur tetas, pembersihan telur dan persiapan alat penetasan. Aktivitas menetas, diamati mulai dari proses terjadinya retaknya kerabang (umur telur 26 hari dalam alat penetasan) sampai anak itik keluar dari kerabang telur. Peubah lainnya yang diamati meliputi: 1.
Warna kerabang dan bentuk telur, diamati berdasarkan warna kerabang dan bentuk telur.
2.
Bobot telur (g), diukur dengan menggunakan timbangan.
3.
Panjang telur (mm), diukur mulai dari ujung tumpul sampai ujung runcing telur menggunakan jangka sorong.
4.
Lebar telur (mm), diukur dari bagian sisi kanan dan kiri telur menggunakan jangka sorong.
5.
Diameter kantong udara (mm), perubahan perkembangan luas diameter udara telur, mulai umur 1, 7,14, 21 dan 25 hari dalam mesin penetasan dengan cara candling dan diukur menggunakan jangka sorong.
6.
Indeks telur (%), dihitung berdasarkan lebar telur dibagi panjang telur dikali 100%.
7.
Daya tunas (%), dihitung berdasarkan jumlah telur yang tertunas dibagi jumlah telur yang ditetaskan dikalikan 100%.
8.
Daya tetas (%), dihitung berdasarkan jumlah telur yang menetas dibagi jumlah telur yang tertunas dikalikan 100%.
9.
Mortalitas (%), dihitung berdasarkan jumlah DOD yang mati dibagi jumlah yang hidup dikalikan 100%.
10. Bobot tetas (g/ekor), bobot badan anak itik umur sehari (DOD) ditimbang setelah bulu kering. 11. Sex ratio, dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah anak itik jantan dan betina yang menetas.
49
b.
Pengamatan aktivitas tingkah laku memilih pakan digunakan sebanyak enam ekor itik Alabio dewasa, yang ditempatkan pada petak kandang individu masing-masing diisi satu ekor. Bahan pakan yang digunakan dalam pengamatan tingkah laku memilih pakan sebanyak enam macam sesuai dengan kebiasaan peternak setempat gunakan. Keenam jenis bahan pakan tersebut adalah dedak halus, keong rawa, sagu parut, gabah, ikan kering dan pakan komersial ayam petelur. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan, kemudian dibuat catatan sesuai dengan aktivitas amatan. Aktivitas memilih pakan, dihitung mulai itik melakukan aktivitas mematuk pakan sampai berhenti makan, kemudian minum. Frekuensi mengulangi makan dan minum dihitung sesuai berdasarkan aktivitas yang terjadi. Sebelum dan sesudah bahan pakan diberikan ditimbang bobotnya untuk mengetahui jumlah sisa pakan yang tidak habis dikonsumsi.
c.
Pengamatan kemampuan itik Alabio jantan mengawini betina, digunakan itik jantan dan betina dewasa dicampurkan dalam satu petak kandang dengan ratio 1:10 (1 ekor jantan dan 10 ekor betina). Aktivitas harian dicatat berdasarkan scan sampling methods (Tanari 2007), yaitu pengamat mencatat semua aktivitas yang terlihat dalam keseluruhan aktivitas harian. Pengamatan dilakukan secara individual dengan tiga kali ulangan. Aktivitas kawin diamati mulai itik Alabio jantan dan betina melakukan aktivitas sebelum, saat kawin sampai dengan selesai kawin. Pencatatan dilakukan pada setiap waktu pengamatan pagi (pukul 7.00), siang (pukul 13.00) dan sore (pukul 17.00).
Penelitian Profil Peternak itik Alabio Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang profil peternak itik Alabio di Kabupaten HSS, HST dan HSU dan kandungan nutrisi pakan itik Alabio yang digunakan di tingkat peternak/lapang. Tahapan kegiatan melakukan wawancara langsung dengan peternak responden, berpedoman pada daftar pertanyaan (questionnaire) (Lampiran 3), yang bersifat terbuka (Nazir 1998). Penentuan responden diambil berdasarkan purposive sampling dengan metode accidental sampling (Tanari 2007). Tiap-tiap desa diwakili lima orang responden, sedangkan
pengambilan pakan dilakukan sebanyak tiga sampel
masing-masing desa, dengan pertimbangan peternak yang menggunakan pakan
50
sama hanya diwakili satu sampel. Komposisi nutrisi pakan (protein kasar, kadar air, lemak kasar, abu, serat kasar, kalsium, fosfor dan energi bruto), dianalisis proksimat menurut metode AOAC (2005).
Analisis Data Penelitian Sifat Kuantitatif dan Kualitatif Data sifat-sifat kuantitatif berupa ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan itik Alabio, diolah dengan menggunakan paket perangkat lunak statistik SPSS versi 19, dilanjutkan dengan uji t (Gasperzs 1992). Uji t digunakan pada masing - masing populasi yang memiliki ragam berbeda, seperti yang disarankan oleh Steel & Torrie (1993); Mattjik & Sumertajaya (2006), sebagai berikut:
Keterangan : t X1 X2 n1
= = = =
n2
=
nilai t hitung rataan populasi pertama rataan populasi kedua jumlah individu pada kelompok pertama jumlah individu pada kelompok kedua
Hasil uji t diperjelas dengan analisis komponen utama (AKU) matrik kovarian untuk memberikan diskriminasi terhadap ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio, menurut Gasperzs (1992) dan Ogah et al. (2009) sebagai berikut:
Yj = a1j X1 +a2j X2+a3jX3+ ... + a12jX12
51
Keterangan:
Yj
komponen utama ke j (j=1,2; 1=ukuran dan 2=bentuk tubuh) = peubah ke 1,2,3 ... 12 vektor Eigen peubah ke 1,2,3 ... 12 = dengan komponen utama ke-j =
X1,2,3... 12 a1j,2j,3j...12j
Hubungan keeratan (korelasi) dihitung berdasarkan nilai persamaan antara Yj1 (1=ukuran) dan Yj2 (2=bentuk), yaitu pada peubah-peubah sebagai berikut: X1 ( bobot badan), X2 (panjang paruh atas), X3 (panjang paruh bawah), X4 (lebar paruh), X5 (tinggi kepala), X6 (panjang kepala), X7 (panjang leher), X8 (panjang punggung), X9 (panjang sternum), X10 (panjang paha), X11 (panjang sayap) dan X12 (panjang tubuh), menggunakan rumus menurut Gasperzs (1992) sebagai berikut:
rz1Yj = rij = aij S1 Keterangan:
rziYj
=
aij
=
ij
=
S1
=
koefisien korelasi peubah ke-i dan komponen utama ke-j vektor Eigen peubah ke-i dengan komponen utama ke-j nilai Eigen (akar ciri) komponen utama ke-j simpangan baku peubah ke-j
Hubungan keeratan antara komponen utama dan peubah yang diamati, dapat dilihat melalui besarnya nilai koefisien korelasi antara komponen utama, sedangkan nilai Eigen ( i) merupakan jumlah kuadrat dari masing-masing korelasi antara komponen utama dengan peubah yang diamati (rziYj) menurut rumus Gasperzs (1992): 1
= r2z1Y1+r2Z2Yj+ r2z3Yj+... + r2ZnY1
Data sifat-sifat kualitatif berupa warna bulu dominan, corak dan fluoresens bulu, warna paruh, kaki dan shank dimasukkan ke dalam Tabel berdasarkan kelompok variasi warna, corak dan fluoresens bulu. Warna paruh, kaki dan shank
52
dikelompokkan berdasarkan warna kuning gading tua, kuning gading muda, kuning gading pucat dan hitam. Data dianalisis secara deskriptif berdasarkan frekuensi fenotipenya. Perhitungan frekuensi fenotipik menggunakan rumus menurut Stanfield (1983), sebagai berikut: Persentase fenotipik A = Jumlah ternak dengan warna A (ekor) X 100% Jumlah seluruh ternak yang diamati
Penelitian Keragaman Genetik (Protein Darah) Data hasil analisis elektroforesis berupa pola pita protein plasma dan sel darah merah, dihitung berdasarkan jumlah garis pita (band) yang terbentuk dengan metode monitoring genetik (Gahne et al. 1977). Perhitungan frekuensi pola protein didasarkan pada jumlah pita protein yang muncul pada setiap contoh, dibagi dengan jumlah pita yang muncul pada semua contoh yang diamati. Perhitungan frekuensi gen polimorfisme protein darah, ditentukan dengan metode yang dikemukakan oleh Nei (1987) sebagai berikut:
/2n
Keterangan: q1 nii nij n
= = = =
frekuensi gen A1 jumlah individu yang memiliki genotipe A1A1 jumlah individu yang memiliki genotipe A1 Aj total jumlah individu
Pendugaan keragaman genetik itik Alabio dari HSS, HST dan HSU dihitung menggunakan rumus heterosigositas (h) dan heterosigositas rataan ( ) menurut Nei & Kumar (2000), sedangkan frekuensi alel dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Xi = [Xii/(∑Xij)] x 100% Keterangan: Xi Xii Xij
= = =
frekuensi alel ke i frekuensi alel ke ii jumlah seluruh alel
53
Nilai heterosigositas (h) merupakan ukuran keragaman genetik populasi dan dihitung berdasarkan frekuensi alel di setiap lokus, dengan rumus:
h = 1- (∑Xi2) dan
= 1- ∑Xi2 )/ r
Keterangan: Xi r
= =
frekuensi alel ke-i jumlah lokus yang diamati
Standar error (SE) atau nilai kesalahan dihitung sebagai akar dari variasi heterosigositas (√h) tiap lokus dan heterosigositas rataan (√ ):
SE (h) =
)]}
Keterangan: n X1
= =
jumlah ternak yang diamati (ekor) frekuensi gen ke-1
SE ( )√[∑h12-r
2
]/ r (r-1)
Keterangan: r h1
= = =
jumlah lokus yang diamati heterosigositas tiap lokus heterosigositas rataan
Hubungan kekerabatan antara itik Alabio yang berasal dari HSS, HST dan HSU ditentukan dari jarak genetik menurut Nei & Kumar (2000) sebagai berikut:
I = [∑qij x qik/(∑q2ij x ∑q2ik)½] D = - Log (I) Keterangan: qij
=
frekuensi gen pada lokus ke- i kelompok itik ke-j
qik
=
frekuensi gen pada lokus ke- i kelompok itik ke-k
Penelitian Tingkah Laku Menetas, Memilih Pakan dan Kawin Data yang diperoleh dari hasil pengamatan pada kegiatan penelitian tingkah laku menetas, memilih pakan dan kawin dilakukan dengan cara tabulasi dan dianalisis secara deskriptif (Steel & Torrie 1993; Mattjik & Sumertajaya 2006).
54
Penelitian Profil Peternak Itik Alabio Hasil pengamatan pada kegiatan penelitian profil peternak itik Alabio dari tiga lokasi (HSS, HST dan HSU), dilakukan dengan cara tabulasi dan dianalisis secara deskriptif (Steel & Torrie 1993; Mattjik & Sumertajaya 2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terdiri atas Kecamatan Angkinang dan Daha Utara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kecamatan Labuan Amas Selatan dan Labuan Amas Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kecamatan Amuntai Tengah dan Amuntai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Propinsi Kalimantan Selatan. Secara geografis Kalimantan Selatan terletak di antara 114 19’ 13”-116 33’ 28” bujur barat dan 121’ 49”-14 10’ 14” lintang selatan, dan secara administratif terletak di bagian selatan Pulau Kalimantan, dengan luas wilayah sekitar 37530.52 km (Gambar 4). Wilayah Kalimantan Selatan terdiri atas lahan kering, pekarangan, tegalan/kebun, ladang/huma, padang penggembalaan, lahan tidur, hutan rakyat, perkebunan, tambak, kolam, hutan dan rawa yang tidak ditanami. Propinsi Kalimantan Selatan memiliki sebelas kabupaten dan dua kotamadya, dengan jumlah penduduk sekitar 3.201.962 jiwa. Mata pencaharian penduduk sebagian besar petani penggarap, nelayan, wiraswasta, buruh, peternak dan pegawai (Badan Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Selatan 2008). Kabupaten HSU merupakan wiIayah sentra pengembangan itik Alabio, sejak 1999/2000 telah didirikan SPAKU (Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan) itik Alabio, sedangkan HSS dan HST termasuk dua wilayah yang mempunyai potensi besar dalam mendukung pengembangan itik Alabio di Kalimantan Selatan. Kabupaten HSS memiliki luas wilayah 1804.94 km, HST (1.472 km) dan HSU (951.25 km). HSU selain merupakan salah satu lokasi penghasil telur tetas, telur konsumsi dan itik dara, juga produsen bibit itik berupa day old duck (DOD) yang dihasilkan dari sentra penetasan telur itik Alabio di Desa Mamar Kecamatan Amuntai Selatan. Desa Mamar setiap minggunya menghasilkan sekitar 50000-60000 ekor DOD betina siap dipasarkan di pusat penjualan itik Pasar Alabio, Kecamatan Sungai Pandan Kabupaten HSU. Pasar Alabio selain merupakan salah satu tempat penjualan itik Alabio (DOD, itik dara dan itik dewasa) dan telur konsumsi, pakan yang dibutuhkan
juga melayani penjualan bahan-bahan
peternak setempat. Bahan pakan terutama untuk itik,
antara lain dedak, sagu, keong rawa, ikan asin, pakan komersial dan sarana produksi peternakan lainnya.
56
Lokasi Penelitian
Gambar 4 Peta lokasi penelitian
57
Manajemen Pemeliharaan Itik Alabio Secara umum manajemen pemeliharaan itik Alabio di Kabupaten HSS, HST dan HSU dilakukan pada agroekosistem yang relatif sama, dengan pemeliharaan sistem semi intensif dan intensif, seperti tertera pada Tabel 7. Tabel 7 Gambaran umum manajemen pemeliharaan itik Alabio Uraian
Kabupaten HST Daerah rawa lebak dan sepanjang aliran sungai
Lokasi Penelitian
HSS Daerah rawa lebak
Sistem pemeliharaan
Intensif (dikurung dalam kandang)
Semi intensif dan intensif
Semi intensif dan intensif
Sistem pakan
Terjadwal (pagi, siang dan sore)
Terjadwal (pagi dan sore)
Terjadwal (pagi, siang dan sore)
Jenis Pakan
Dedak halus, sagu parut, keong rawa, pakan komersial, ikan kering
Dedak halus, sagu parut, keong rawa, pakan komersial, ikan kering
Dedak halus, sagu parut, keong rawa, pakan komersial, ikan kering, gabah dan ganggang rawa
Sumber bibit
Dari Desa Mamar, HSU
Beli dari pasar dan sekitar desa
Dari Desa Mamar, HSU
pemberian
HSU Daerah rawa
Keterangan: HSS=Hulu Sungai Selatan; HST=Hulu Sungai Tengah; HSU=Hulu Sungai Utara
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum letak geografis daerah pemeliharaan itik Alabio di HSS relatif sama dengan HSU, yakni pada agroekosistem lahan rawa dan rawa lebak, kecuali HST sebagian kecil pemeliharaan itik dilakukan di sepanjang aliran sungai (Tabel 7). Menurut Sudana (2005) agroekosistem lahan rawa memiliki sifat khusus yang berbeda dengan agroekosistem lainnya, terutama disebabkan oleh kondisi airnya. Berdasarkan sumber daya airnya, lahan rawa dikelompokkan menjadi lahan rawa pasang surut dan lahan rawa non pasang surut (lebak). Hamdan et al. (2010) menyatakan bahwa lahan rawa lebak mempunyai ciri spesifik yaitu adanya genangan air dengan ketinggian mencapai lebih dari 200 cm pada musim hujan antara bulan Januari - Maret dan mengalami kekeringan pada musim kemarau, yaitu antara Juli - September. Sistem pemeliharaan yang dilakukan dan jenis pakan serta pemberiannya dari ketiga lokasi penelitian relatif sama, kecuali HSU, bahan pakan yang digunakan untuk itik Alabio ditambah gabah dan
58
ganggang/eceng gondok sebagai sumber hijauan. Cara pemberian pakan di HSS tiga kali sehari (pagi, siang dan sore), sementara HST dan HSU dua kali sehari (pagi dan sore). Sumber bibit itik Alabio yang digunakan di HSS dan HSU diperoleh dari sentra penetasan di Desa Mamar, HSU, sedangkan di HST bibit itik berasal dari pasar dan penetas di desa sekitarnya, hal ini ditunjukkan dari beberapa desa yang ada di HST berkonsentrasi melakukan penetasan telur untuk memperoleh bibit sendiri.
Karakteristik Fenotipik Sifat Kuantitatif Sifat-sifat kuantitatif itik Alabio yang diamati sebanyak duabelas peubah, yang terdiri atas ukuran-ukuran bagian tubuh dan bobot badan. Rataan hasil pengamatan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Rataan (± sd) bobot badan dan ukuran bagian tubuh itik Alabio Ukuran tubuh Bobot badan (g) Panjang paruh atas (cm) Panjang paruh bawah (cm) Lebar paruh (cm) Tinggi kepala (cm) Panjang kepala (cm) Panjang leher (cm) Panjang punggung (cm) Panjang sternum (cm) Panjang paha (cm) Panjang sayap (cm) Panjang tubuh (cm)
HSS 1560a±0.26 5.69a±0.45 5.54a±0.75 2.24a±0.21 4.20a±0.55 5.99a±0.64 22.33a±3.54 22.44a±2.14 11.83a±1.03 11.34a±0.88 38.37a±3.93 29.22a±2.46
Kabupaten HST 1590a±0.23 5.71a±0.46 5.31b±0.33 2.19a±0.17 4.02a±0.55 6.04a±0.70 21.82b±3.59 21.66b±2.00 11.81a±1.22 11.31b±0.13 39.33b±3.03 30.88b±2.83
HSU 1720b±0.20 5.43b±0.58 5.15c±0.47 2.11b±0.10 3.73b±0.31 5.69b±0.49 20.54a±1.21 22.17a±2.09 11.95a±0.80 11.46c±0.78 39.69a±1.85 28.74a±1.16
Keterangan: HSS=Hulu Sungai Selatan; HST=Hulu Sungai Tengah;HSU=Hulu Sungai Utara, huruf superscript yang berbeda pada setiap baris menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)
Berdasarkan hasil perhitungan uji t diketahui bahwa ukuran tubuh itik Alabio dari Kabupaten HSU yaitu panjang paruh atas, lebar paruh, tinggi kepala dan panjang kepala berbeda nyata dengan HST dan HSS (Tabel 8). Panjang kepala
berkorelasi positif dengan bobot badan (0.351), panjang paruh atas
(0.358) dan tinggi kepala (0.296) (Tabel 11). Itik Alabio dari HST memiliki panjang leher, panjang punggung, panjang paha, panjang sayap dan panjang tubuh berbeda nyata dengan HSS dan HSU. Panjang tubuh mempunyai korelasi
59
positif terhadap bobot badan, panjang paruh atas, tinggi kepala, panjang kepala, panjang leher, panjang punggung dan panjang sayap berkisar antara 0.3880.781 (Tabel 10). Perbedaan ukuran tubuh diduga karena sifat kuantitatif merupakan sifat yang dikendalikan oleh banyak gen dan dipengaruhi lingkungan (Falconer dan Mackay 1996; Noor 2008). Itik Alabio yang berasal dari HSU memiliki bobot badan lebih besar, bila dibandingkan dengan HSS dan HST. Itik Alabio dari HSU memiliki rataan bobot badan tertinggi, namun ukuran bagian-bagian tubuhnya lebih kecil bila dibandingkan dengan itik dari HSS dan HST. Perbedaan bobot badan disebabkan akibat perkembangan alat reproduksi progressif pada umur 5 - 5.5 bulan, karena telah mengalami masak kelamin dan siap menjelang bertelur sehingga pertambahan bobot badannya meningkat. Selain itu, peningkatan bobot badan diduga dipengaruhi pemberian pakan pada masa fase pertumbuhan. Hasil penelitian ini senada dengan pendapat Brahmantiyo et al. (2005) bahwa bobot badan itik Alabio pada umur menjelang bertelur menunjukkan bobot yang lebih besar, salah satunya dipengaruhi pemberian pakan. Ogah et al. (2009) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan muscovy duck pada umur masak kelamin dan menjelang bertelur, disebabkan oleh perkembangan alat reproduksi progresif. Matrik korelasi antara ukuran dan bentuk tubuh dengan kedua belas peubah yang diamati pada itik Alabio dari HSS, HST dan HSU, disajikan pada Tabel 9, 10 dan 11. Tabel 9 Matrik koefisien korelasi antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSS BB PPa PPb LP TK PK PL PP PSt PPh PSy PT
BB -
PPa
PPb
LP
0.361* -0.306 0.520
0,400 0.250
-0.349**
-
0.870 0.390** 0.351** 0.198** -0.096 0.143* 0.027 0.262**
0.900 0.216* 0.358** 0.305 -0.112 0.049 -0.067 0.269**
-0.199** -0.611** -0.291** 0.148* 0.305** -0.036 0,211** -0.098
0.133 0.325** 0.164** 0.620 0.185** 0.028 -0.120 0.121
TK
PK
PL
PP
PSt
PPh
PSy
PT
0.296** 0.106 0.640 0.066 0.101 0.073* 0.034
0.480** 0.123 0.261** 0.101 -0.171* 0.182**
0.321* -0.133 0.072 -0.213** -0.188**
0.080 0.246** -0.081 0.088
0.033 0.034 -0.055
0.021 0.128
-0.027
-
Keterangan: BB=bobot badan; PPa=panjang paruh atas; PPb=panjang paruh bawah; LP=lebar paruh;TK=tinggi kepala; PK=panjang kepala; PL=panjang leher; PP=panjang punggung; PSt=panjang sternum; PPh=panjang paha; PSy=panjang sayap dan PT=panjang tubuh; HSS=Hulu Sungai Selatan;HST=Hulu Sungai Tengah; HSU=Hulu Sungai Utara. * ) berpengaruh nyata pada level 5 %, **) berpengaruh sangat nyata pada level 1 %.
60
Tabel 10 Matrik koefisien korelasi antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HST BB BB PPa PPb LP TK PK PL PP PSt PPh PSy PT
0.471** 0.017 -0.052 0.497** 0.388** 0.311** 0.333** 0.019 -0.011 -0.220** 0.384**
PPa
PPb
0.234** 0.038 0.742** 0.638** 0.352** 0.499** -0.032 0.010 -0.300** 0.372**
-0.036 -0.29 -0.006 -0.069 0.040 0.122 0.012 -0.041 -0,064
LP
-0.046 -0.051 -0.118 -0.188** 0.085 0.121 0.163* -0.048
TK
0.781** 0.455** 0.601** -0.102 -0.043 -0.395** 0.526**
PK
0.583** 0.665** 0.601** 0.005 -0.375** 0.563**
PL
PP
0.541* -0.178* -0.011 -0.187** 0.461**
0.138 -0.052 0.297** 0.513**
PSt
PPh
PSy
0.010 -0.006 -0.030
0,101 -0.023
0.308**
PT
-
Keterangan: BB=bobot badan; PPa=panjang paruh atas; PPb=panjang paruh bawah; LP=lebar paruh ;TK=tinggi kepala; PK=panjang kepala; PL=panjang leher; PP=panjang punggung; PSt=panjang sternum; PPh=panjang paha; PSy=panjang sayap dan PT=panjang tubuh; HSS=Hulu Sungai Selatan;HST=Hulu Sungai Tengah; HSU=Hulu Sungai Utara. * ) berpengaruh nyata pada level 5 %, **) berpengaruh sangat nyata pada level 1
Tabel 11 Matrik koefisien korelasi antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSU
BB PPa PPb LP TK PK PL PP PSt PPh PSy PT
BB -
PPa
PPb
LP
TK
PK
PL
PP
PSt
PPh
PSy
PT
0.110 -0.256** 0.038 -0.035 0.040 -0.068 -0.015 0.017 -0.069 0.114 0.255**
-0.365** 0.056 0.001 0.092 0.010 -0.2139** 0.081 0.006 0.052 0.357**
-0.073 0.209** 0.132 0.299** 0.479** 0.170** 0.289** 0.119* -0.176
0.125* -0.258 -0.119 -0,241 -0.008 0,024 -0.129 0.022
0.094 0.136 0.237** 0,260** 0.224** -0.002 -0.113
0.282** 0.247** 0,277** 0.142** 0.007 0.091
0.279** 0.173* 0.034 0.105 0.002
0.252** 0.290** 0.248** -0.093
0.232** 0.023 0.057
0.219 -0.066
0.168**
-
Keterangan: BB=bobot badan; PPa=panjang paruh atas; PPb=panjang paruh bawah; LP=lebar paruh; TK=tinggi kepala; PK=panjang kepala; PL=panjang leher; PP=panjang punggung; PSt=panjang sternum; PPh=panjang paha; PSy=panjang sayap dan PT=panjang tubuh, HSS=Hulu Sungai Selatan;HST=Hulu Sungai Tengah; HSU=Hulu Sungai Utara. * ) berpengaruh nyata pada level 5 %, **) berpengaruh sangat nyata pada level 1%
61
Analisis Komponen Utama (AKU) Analisis komponen utama (AKU) merupakan salah satu cara untuk mengetahui diskriminasi antara ukuran dan bentuk tubuh itik. Hasil persamaan AKU, keragaman total dan nilai Eigen itik Alabio yang berasal dari Kabupaten HSS, HST dan HSU, disajikan Tabel 12. Tabel 12 Persamaan ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio Kabupaten
Komponen Utama
Persamaan
Ukuran tubuh (Y1)
0.332X1+ 0.084X2+ 0.337X3+0.246X4+0.198X5+ 0.468X6+0.401X7+0.120X8+0.204X9+ 0.117X10+0.150X11+0.235X12
Bentuk tubuh (Y2)
0.327X1+0.366X2+0.478X3+0.305X 12.7 4+ 0.118X5+0.177X6+0.014X7+0.316X8+ 0.292X9+0.224X10+0.198X11+ 0.236X12
Keragaman total (%)
Nilai Eigen
23.20
3.02
1.65 12.70
1.65
36.30
4.72
9.80
1.28
19.70
3.06
12.70
1.65
HSS
Ukuran tubuh (Y1)
0.272X1+ 0.351X2 + 0.011X3+ 0.062X4+ 0.402X5 +0.399X6+ 0.300X7 + 0.305X8 +0.062X9+0.023X10 + 0.237X11+0.320X12
HST Bentuk tubuh (Y2)
0.172X1+ 0.351X2 + 0.011X3 +0.353X4+ 0.062X5 +0.048X6 +0.279X7 +0.123X8 + 0.549X9 +0.188X10 +0.057X11 +0.076X12
Ukuran tubuh (Y1)
0.129X1+ 0.188X2 + 0.453X3+0.164X4+ 0.270X5 +0.280X6 +0.317X7 + 0.481X8 +0.279X9 + 0.308X10 + 0.153X11 +0.138X12
Bentuk tubuh (Y2)
0.369X1 + 0.489X2 + 0.124X3+ 0.111X4 +0.080X5 + 0.148 X7 + 0.032X8 + 0.250X9+ 0.051X10 + 0.281 X11 + 0.528X12
HSU
Keterangan: X1= bobot badan, X2=panjang paruh atas, X3=panjang paruh bawah, X4=lebar paruh, X5=tinggi kepala, X6=panjang kepala, X7=panjang leher, X8=panjang punggung, X9= panjang sternum, X10=panjang paha, X11=panjang sayap, X12=panjang tubuh
Berdasarkan hasil persamaan AKU diperoleh komponen utama pertama yang mewakili persamaan ukuran tubuh dan komponen utama kedua mewakili persamaan bentuk tubuh itik Alabio (Tabel 12). Pada Tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa, persamaan ukuran tubuh yang memiliki nilai terbesar pada itik
62
Alabio dari HSS adalah panjang kepala (X6=0.486) dan panjang leher (X7=0.401), dengan keragaman total (23.2%) dan nilai Eigen (3.02), sedangkan bentuk tubuh adalah panjang paruh bawah (X3=0.478), panjang paruh atas (X2=0.366) dan bobot badan (X1=0.327), dengan keragaman total dan nilai Eigen, masingmasing sebesar 12.70% dan 1.65. Itik Alabio dari HST yang memiliki nilai persamaan terbesar untuk ukuran tubuh berturut-turut adalah tinggi kepala (X5=0.402), panjang kepala (X6=0.399) dan panjang leher (X7=0.300), dengan keragaman total (36.3%) dan nilai Eigen (4.72), sedangkan bentuk tubuh adalah panjang sternum (X9=0.549) dan lebar paruh (X4=0.353), dengan keragaman total (9.8%) dan nilai Eigen (1.28). Nilai persamaan terbesar untuk ukuran tubuh itik Alabio dari HSU adalah panjang punggung (X8=0.481) dan panjang leher (X3=0.317), dengan keragaman total (19.7%) dan nilai Eigen (3.06), sedangkan untuk bentuk tubuh adalah panjang tubuh (X12=0.528) dan panjang paruh atas (X2=0.489), dengan keragaman total (12.7%) dan nilai Eigen (1.65). Perbedaan tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh nilai persamaan antara ukuran dan bentuk tubuh. Semakin besar dan positif nilai persamaan yang diperoleh pada masing-masing peubah, maka ukuran tubuh tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu faktor peubah pembeda antara itik Alabio dengan galur itik lokal lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wulandari (2005), bahwa nilai persamaan bentuk dan ukuran yang lebih besar dan positif, dapat dijadikan faktor peubah pembeda pada itik Cihateup dari Garut dan Tasikmalaya, dibanding dengan galur itik lokal lainnya. Nilai hubungan (korelasi) antara ukuran dan bentuk tubuh dengan kedua belas peubah yang diamati pada itik Alabio dari Kabupaten HSS, HST dan HSU, menunjukkan nilai yang bervariasi (Tabel 13). Berdasarkan Tabel 13 dapat dijelaskan bahwa, hubungan persamaan komponen utama pertama pada ukuran tubuh (Y1) dengan kedua belas peubah yang diamati pada masing-masing itik Alabio sebagai berikut: itik dari HSS yang mempunyai nilai terbesar dan positif adalah panjang leher (0.676), sedangkan pada persamaan komponen utama kedua untuk bentuk tubuh (Y2) adalah panjang tubuh (0.816). Ukuran tubuh (Y1) itik Alabio dari HST memiliki nilai hubungan terbesar, berturut-turut adalah panjang kepala (0.755), panjang leher (0.754), panjang punggung (0.752) dan tinggi kepala (0.690), sementara pada bentuk tubuh (Y2) adalah panjang leher dan panjang tubuh, masing-masing sebesar 0.759 dan 0.668. Itik Alabio yang berasal dari HSU yang memiliki nilai hubungan terbesar dan positif untuk ukuran
63
tubuh (Y1) yakni panjang punggung (0.814), sedangkan untuk bentuk tubuh (Y2) adalah panjang tubuh (0.920). Perbedaan nilai hubungan antara ukuran (Y1) dan bentuk tubuh (Y2) itik Alabio dari ketiga lokasi penelitian, disebabkan oleh nilai korelasi yang diperoleh antara ukuran dan bentuk tubuh menunjukkan angka terbesar dan positif. Nilai hubungan antara ukuran dan bentuk tubuh yang lebih besar, cenderung menghasilkan nilai yang besar pula. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dikemukakan Brahmantiyo et al. (2003), bahwa nilai korelasi antara ukuran dan bentuk tubuh yang memiliki angka terbesar dan
positif dapat
dijadikan sebagai faktor peubah pembeda pada galur itik Alabio, Khaki Campbell, Mojosari dan itik Pegagan.
Tabel 13 Nilai hubungan antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSS HST dan HSU Komponen Utama
Ukuran (Y1)
Bentuk (Y2)
Peubah
Persamaan
Kabupaten HSS
HST
HSU
BB PPa PPb LP TK PK PL PP PSt PPh PSy PT
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12
0.472 0.457 -0.153 0.175 0.266 0.464 0.676 0.291 -0.036 0.123 0.067 0.389
0.462 0.554 -0.044 -0.076 0.690 0.755 0.754 0.752 -0.101 -0.192 -0.192 0.503
0.043 -0.006 0.511 -0.186 0.301 0.409 0.515 0.841 -0.450 0.415 0.421 0.177
BB PPa PPb LP TK PK PL PP PSt PPh PSy PT
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12
0.406 0.373 0.102 0.086 0.162 0.217 0.330 0.424 0.158 0.288 0.263 0.816
0.437 0.542 0.114 -0.018 0.575 0.643 0.795 0.600 0.277 0.122 -0.202 0.668
0.274 0.438 -0.053 -0.036 -0.021 0.253 0.182 0.083 0.219 0.051 0.436 0.920
Keterangan:BB=bobot badan;PPa=panjang paruh atas;PPb=panjang paruh bawah;LP=lebar paruh;TK=tinggi kepala;PK=panjang kepala;PL=panjang leher;PP=panjang punggung;PSt=panjang sternum;PPh=panjang paha;PSy=panjang sayap dan PT=panjang tubuh;HSS=Hulu Sungai Selatan;HST=Hulu Sungai Tengah; HSU=Hulu Sungai Utara
64
Sebagai informasi lain dikemukakan Muzani et al. (2005), bahwa panjang leher, panjang jari ketiga, panjang tibia dan panjang femur memberi pengaruh kuat dan dapat dijadikan sebagai salah satu faktor peubah pembeda jenis antara itik Cihateup, Cirebon dan itik Mojosari.
Gambar 5 Grafik ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSS, HST dan HSU Berdasarkan hasil persamaan AKU diketahui bahwa, antara bentuk dan ukuran tubuh itik Alabio yang berasal dari HSS dan HSU, diperoleh grafik kerumunan yang menyatu, sementara dari HST terpisah (Gambar 5), artinya secara morfologis itik Alabio dari kedua lokasi tersebut memiliki hubungan cukup dekat. Meskipun ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HST terpisah, namun terdapat beberapa kesamaan dari peubah yang diamati (Tabel 13). Pada Tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa kesamaan tersebut terdapat pada ukuran tubuh dan bentuk tubuh, masing-masing adalah panjang leher dan panjang tubuh. Kesamaan ukuran dan bentuk tubuh antara itik Alabio dari HSS, HST dan HSU, diduga
bahwa bibit itik yang digunakan oleh ketiga kabupaten berasal dari
sumber bibit yang sama, yaitu dari HSU. Ilustrasi yang diperlihatkan pada Gambar 5, dapat dijelaskan bahwa bentuk tubuh itik Alabio yang berasal dari HSS dan HSU lebih besar bila dibanding HST,
tetapi itik Alabio dari HST
memiliki bentuk tubuh yang relatif lebih ramping dan panjang. Bila dihubungkan
65
dengan membandingkan antara panjang sayap itik Alabio dari HST secara statistik berbeda nyata dengan HSS dan HSU, walaupun sayap itik Alabio dari HSU lebih panjang (Tabel 8). Perbedaan ini diduga ada hubungannya dengan bobot badan yang diperoleh dari HSU lebih besar dibanding HSS dan HST. Semakin panjang ukuran sayap, maka ukuran tubuh akan semakin besar atau sebaliknya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Metzer et al. (2002) bahwa pada itik domestik memiliki sayap panjang dan bobot badan yang besar, sehingga sulit untuk terbang. Pendapat berbeda dikemukakan Ogah et al. (2009) bahwa panjang sayap tidak berkorelasi positif dengan bobot badan pada Muscovy duck betina, karena bobot badan lebih banyak dipengaruhi lingkungan antara lain manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan.
Produksi Telur Produksi telur merupakan salah satu sifat kuantitatif penting yang bernilai ekonomis tinggi dari performa unggas petelur. Rataan produksi telur itik Alabio selama lima bulan pengamatan dari Kabupaten HSS, HST dan HSU, ditampilkan pada Gambar 6.
90 80
Produksi (%)
70 60 50 HSS
40
HST
30
HSU 20 10 0 Mei
Juni
Juli Bulan
Gambar 6 Grafik produksi telur itik Alabio
Agustus
September
66
Gambar 6 memperlihatkan bahwa rataan produksi telur itik Alabio tertinggi selama lima bulan pengamatan diperoleh HSU (76.48%±3.13) dan terendah dari HSS (67.11%±2.75).
Perbedaan produksi telur yang dicapai masing-masing
lokasi pengamatan diduga disebabkan umur pertama bertelur bervariasi. Umur pertama bertelur mengindikasikan bahwa itik tersebut sudah masak kelamin, walaupun mungkin sudah terjadi ovulasi (Hardjosworo et al. 2001). Pendapat senada dikemukakan Purba & Manurung (1999), bahwa perbedaan produksi telur itik salah satunya disebabkan perbedaan umur pertama bertelur dan pemberian pakan. Umur pertama bertelur itik Alabio di HST lebih muda sekitar 6.0 bulan, bila dibandingkan HSU dan HSS berkisar antara 6-6.5 bulan. Hasil penelitian ini sedikit lebih rendah dari yang dilaporkan Prasetyo & Susanti (1999/2000), bahwa umur pertama bertelur pada itik Alabio 203.61 hari±19.68 atau 6.8 bulan, dengan bobot telur pertama 60.21 g±5.64, tetapi lebih tinggi dari laporan Rahmat (1989) yaitu 161.04 hari. Purba & Manurung (1999) menyatakan bahwa umur pertama bertelur itik Alabio yang dipelihara selama 12 bulan sekitar 156±0.54 hari, hampir sama seperti yang dilaporkan Susanti (2003) yakni 150.3±0.7 hari. Selain itu, faktor lainnya yang mempengaruhi produksi telur adalah manajemen pemeliharaan seperti cara pemberian pakan, maupun perlakuan peternak sebelum itik diangkat ke dalam kandang intensif umurnya juga tidak sama. Bila dihubungkan antara rataan produksi telur yang diperoleh dengan kualitas nutrisi pakan yang digunakan pada ketiga lokasi penelitian, terdapat hubungan yang positif. Hal ini ditunjukkan dengan produksi telur yang dicapai HSS relatif rendah, diduga karena kualitas nutrisi pakan berdasarkan hasil analisis
laboratorium
dari
HSS
belum
memenuhi
standar
yang
direkomendasikan, terutama pada kandungan protein kasar (11.77%), sementara HST dan HSU, masing-masing sebesar 17.55% dan 16.16% (Tabel 14). Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Suwindra (1998), bahwa kualitas nutrisi pakan yang rendah akan mengakibatkan produksi telur yang dicapai juga rendah, hal ini sejalan dengan pendapat Yuwono et al. (2005), jumlah dan kandungan nutrisi pakan yang kurang memadai, dapat mempengaruhi proses pembentukan telur, sehingga produksinya menurun. Setioko & Istiana (1999) menyatakan bahwa produksi telur itik Alabio selama 5 bulan yang dipelihara secara intensif mencapai 75.19%, lebih tinggi dari hasil penelitian Prasetyo & Susanti (1999/2000), yang menyatakan bahwa
67
produksi telur itik Alabio selama pengamatan tiga bulan pada kandang lantai dan individu, masing-masing sebesar 28.75% dan 59.20%. Laporan lainnya dikemukakan Hamdan & Zuraida (2007); Hamdan et al. (2010), bahwa produksi telur itik Alabio selama 4 - 6 bulan di Kecamatan Babirik, HSU berkisar antara 66.92 - 70,0%, sementara Rohaeni (1997) menyatakan bahwa produksi telur itik Alabio dengan pemberian pakan lokal selama ±6 bulan sebesar 72.35%, lebih rendah dari hasil yang dikemukakan Rohaeni & Setioko (2001), bahwa rataan produksi telur dengan perlakuan ransum berbeda, berturut-turut sebesar 68.86%, 60.07%
dan
48.09%.
Menurut
Edianingsih
(1991)
faktor-faktor
yang
mempengaruhi perbedaan produksi telur adalah genetik dan lingkungan. Faktor genetik merupakan pewarisan sifat dari tetuanya antara lain dewasa kelamin lebih awal (Hardjosworo et al. 2001), tingginya intensitas peneluran, persentase peneluran dan clutch (Appleby et al. 2004). Pengaruh lingkungan yang lebih dominan adalah pemberian pakan dan cara pemeliharaan (Solihat et al. 2003; Pingel
2005) dan bobot telur (Ketaren et al. 1999). Selain itu, beberapa
karakteristik genetik yang mempengaruhi produksi telur lainnya adalah masak kelamin, intensitas bertelur yang tinggi, panjang masa bertelur dan lama istirahat (Solihat et al. 2003), periode bertelur dan masa rontok bulu atau molting (Purba et al. 2005).
Kandungan Nutrisi Pakan Komposisi pakan yang berkualitas tercermin dari bahan penyusun pakan yang mengandung nutrisi baik. Hasil analisis laboratorium terhadap komposisi nutrisi pakan itik Alabio yang digunakan peternak di Kabupaten HSS, HST dan HSU, disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Hasil analisis nutrisi pakan itik Alabio*) Zat gizi Bahan kering (%) Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) Abu (%) Kalsium (%) Fosfor (%) Energi bruto (kkal/kg)
HSS (n=6) 81.77 11.77 3.31 5.83 9.77 1.56 0.83 3610
Kabupaten HST (n=6) 86.08 17.55 4.51 8.99 13.33 1.78 1.14 3824
HSU (n=6) 90.06 16.16 4.12 6.39 9.70 1.96 1.02 3881
Keterangan: HSS=Hulu Sungai Selatan; HST=Hulu Sungai Tengah; HSU=Hulu Sungai Utara *) Analisis pakan dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB Bogor
68
Berdasarkan Tabel 14 menunjukkan bahwa komposisi nutrisi pakan itik Alabio, terutama kandungan protein kasar dari HST lebih tinggi dibanding HSU dan HSS. Perbedaan kandungan nutrisi pakan, diduga disebabkan oleh komposisi bahan pakan yang digunakan masing-masing peternak berbeda-beda, dan kemungkinan kesalahan pengambilan cuplikan sampel pakan sebelum dianalisis. Kualitas pakan dari HST dan HSU telah mendekati kebutuhan optimal nutrisi itik petelur, sesuai dengan yang direkomendasikan Standar Nasional Indonesia (2006), bahwa komposisi pakan untuk itik petelur yakni protein kasar 18%, lemak kasar 3.5%. serat kasar 7.5%, abu 14%, kalsium 3.25 - 4.0%, fosfor 0.4 %, lisin 0.70%, metionina 0.35% dan energi metabolis 2800 kkal/kg. Apabila dihubungkan dengan produksi telur (Gambar 6) yang dicapai HST dan HSU, berkorelasi positif. Sebaliknya pakan itik Alabio dari HSS kandungan nutrisinya lebih rendah, sehingga untuk kebutuhan proses produksi telur menjadi rendah. Hal ini menunjukkan bahwa produksi telur tinggi yang dicapai HST dan HSU mempunyai korelasi positif dengan kandungan nutrisi pakannya, bila dibanding HSS yang mempunyai rataan produksi telur rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suwindra (1998), bahwa kandungan nutrisi pakan itik yang seimbang antara protein (asam amino) dan energi metabolis akan menghasilkan produksi telur yang tinggi. NRC (1994) dan Ketaren (2002) menyatakan bahwa kebutuhan nutrisi pakan untuk itik periode bertelur, yakni protein kasar antara 17 - 19%, kalsium 2.75%, fosfor 0.4% dan energi metabolis 2700 kkal/kg.
Sifat Kualitatif Warna Bulu Dominan Hasil pengamatan terhadap warna bulu dominan itik Alabio dari Kabupaten HSS, HST dan HSU (Tabel 15). Berdasarkan Tabel 15 dapat dikemukakan bahwa, warna bulu dominan itik Alabio jantan dan betina yang berasal dari tiga Kabupaten (HSS, HST dan HSU) adalah warna putih keabuan, coklat keabuan, hijau kebiruan dan hitam. Terdapat persamaan pada warna bulu dominan itik diduga bahwa aliran gen yang mempengaruhi variasi warna bulu dari ketiga lokasi penelitian adalah relatif sama. Selain itu, faktor lainnya adalah sistem seleksi yang dilakukan masing-masing peternak umumnya sama. Hal ini diketahui dengan kebiasaan peternak melakukan seleksi terhadap itik Alabio
69
petelur,
salah
satunya
berdasarkan
keseragaman
warna
bulu
yang
ditampilkannya. Tabel 15 Persentase warna bulu dominan itik Alabio Bagian tubuh
Leher
Punggung
Dada
Sayap
Ekor
Warna bulu
Kabupaten HSS HST HSU jantan betina jantan betina jantan betina n=25 n=175 n=25 n=175 n=25 n=175 -----------------------------------(%)-----------------------------------
Hitam Putih keabuan Hijau kebiruan Abu kehitaman Coklat Coklat keabuan
12.0 48.0 40.0
46.29 2.29 5.14 46.26
16.0 44.0 40.0
52.0 4.0 2.86 41.14
24.0 56.0 20.0
17.33 49.33 33.33
Hitam Putih keabuan Hijau kebiruan Abu kehitaman Coklat Coklat keabuan
16.0 36.0 20.0 28.0
2.29 18.29 27.43 28.0
12.0 60.0 28.0
26.29 22.86 50.86
28.0 40.0 4.0 28.0
28.57 20.0 51.43
Hitam Putih keabuan Hijau kebiruan Abu kehitaman Coklat Coklat keabuan
48.0 52.0
24.57 12.0 23.43 40.0
20.0 80.0
2.29 1.14 58.86 37.71
28.0 72.0
32.0 68.0
Hitam Putih keabuan Hijau kebiruan Abu kehitaman Coklat Coklat keabuan
18.0 52.0 32.0
8.57 91.43
16.0 56.0 28.0
39.43 60.57
22.86 40.57 36.57
17.33 44.67 21.0
Hitam Putih keabuan Hijau kebiruan Abu kehitaman Coklat Coklat keabuan
84.0 4.0 8.0 4.0
2.29 5.71 92.0
80.0 4.0 12.0 4.0
8.5 91.43
80.0 4.0 16.0
82.33 4.0 6.67 8.0
Keterangan: HSS=Hulu Sungai Selatan; HST=Hulu Sungai Tengah; HSU=Hulu Sungai Utara
Hal ini sesuai dengan pernyataan Diwyanto (2005) bahwa peternak telah memanfaatkan sifat kualitatif dalam upaya seleksi ternak itik antara lain keseragaman penampilan luar seperti warna dan pola warna bulu. Penampilan gen warna coklat (ch) yaitu semua pigmen hitam pada DOD berganti dengan
70
kecoklat-coklatan, sehingga saat dewasa bulu tersebut berwarna coklat (Avanzi dan Crawford 1990; Smyth 1993).
Corak Bulu Itik Alabio Corak bulu merupakan tampilan bulu yang terlihat dari seekor ternak. Persentase corak warna bulu itik Alabio yang diperoleh dari Kabupaten HSS, HST dan HSU, tertera pada Tabel 16. Tabel 16 Persentase corak bulu itik Alabio Kabupaten HSS HST HSU jantan betina jantan betina jantan betina n=25 n=175 n=25 n=175 n=25 n=175 ------------------------------- (%) -----------------------------------
Bagian tubuh
Corak bulu
24.0 -
75.43
36.0 -
80.0
36.0 -
85.0
Leher
Polos Totol-totol coklat Hijau kebiruan Hitam
76.0
24.57
64.0
20.0
64.0
15.0
Polos Totol-totol coklat Hijau kebiruan Hitam
25.0 -
100
40.0 -
25.0 75.0
20.0 -
20.0 80.0
75.0
-
60.0
-
80.0
-
Polos Totol-totol coklat Hijau kebiruan Hitam
25.0
100
30.0
100
25.0
100
75.0
-
70.0
-
75.0
-
Polos Totol-totol coklat Hijau kebiruan Hitam
-
25.0
-
25.0
-
-
100 -
75.0
100 -
75.0
100 -
100
25.0
25.0
30.0
30.0
20.0
35.0
75.0
75.0
70.0
70.0
80.0
65.0
Punggung
Dada
Sayap
Ekor
Polos Totol-totol coklat Hijau kebiruan Hitam
Keterangan: HSS=Hulu Sungai Selatan; HST=Hulu Sungai Tengah; HSU=Hulu Sungai Utara
Berdasarkan Tabel 16 dapat dijelaskan bahwa itik Alabio jantan dari HSU, HST dan HSS memiliki persentase corak bulu warna hitam dan hijau kebiruan
71
tertinggi, dibanding polos dan coklat totol-totol, sebaliknya pada itik Alabio betina corak bulu totol-totol coklat persentasenya lebih tinggi. Adanya variabilitas corak warna bulu, diduga salah satunya disebabkan oleh manajemen pemeliharaan yang berbeda. Cara pemeliharaan itik Alabio di HSS lebih intensif dan dikurung sepenuhnya di dalam kandang, sementara di HST dan HSU dipelihara secara semi intensif yaitu itik-itik dipelihara di dalam kandang yang dilengkapi halaman tempat bermain terbuka dengan intensitas cahaya matahari yang cukup. Intensitas cahaya matahari lebih banyak mempengaruhi intensitas warna bulu, tetapi tidak mempengaruhi corak warna bulu. Hal ini sesuai dengan pendapat Warwick et al. (1995) bahwa perbedaan lingkungan dan penyinaran matahari akan mempengaruhi perbedaan intensitas warna, tetapi bukan pada warna dasarnya.
Warna Fluoresens Bulu Itik Alabio Warna fluoresens pada bulu merupakan pancaran yang ditimbulkan oleh warna bulu ketika terkena cahaya. Cahaya yang optimal mempengaruhi penampilan dan kilau warna fluorensens bulu. Persentase warna fluoresens bulu itik Alabio dari Kabupaten HSS, HST dan HSU tertera pada Tabel 17. Tabel 17 dapat dikemukakan bahwa warna fluoresens bulu itik Alabio jantan tertinggi yang berasal dari HSS, HST dan HSU adalah perak, yakni pada bagian leher, punggung, dada dan ekor, sedangkan pada sayap didominasi warna fluoresens bulu hijau kebiruan mengkilap. Terdapatnya persamaan variasi warna fluoresens bulu pada ketiga lokasi, diduga disebabkan oleh adanya aliran gen dan cara pemeliharaan yang dilakukan dari masing-masing lokasi penelitian relatif sama (Tabel 7), yaitu itik dipelihara di dalam kandang dilengkapi tempat umbaran luas dan terbuka, sehingga intensitas penyinaran matahari lebih optimal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan Sopiyana et al. (2006), bahwa itik Damiaking yang dipelihara di sekitar Pesisir dengan intensitas sinar matahari yang lebih lama warna bulunya lebih mengkilap. Avanzi & Crawford (1990) menyatakan bahwa warna fluoresen bulu selain dipengaruhi gen sepia faiogeno (f) pada penampakan warna, juga faktor lingkungan adalah intensitas penyinaran matahari (Warwick et al. 1995).
72
Tabel 17 Persentase warna fluoresens bulu itik Alabio
Bagian tubuh
Leher
Punggung
Dada
Sayap
Ekor
Warna fluoresens bulu
HSS jantan betina
Kabupaten HST jantan betina
HSU jantan betina
n=25 n=175 n=25 n=175 n=25 n=175 ---------------------------------- (%) -------------------------------------
Perak Emas Hijau kebiruan mengkilap
100 -
100 -
100 -
100 -
100 -
100 -
Perak Emas Hijau kebiruan mengklap
100 -
100 -
100 -
100 -
100 -
100 -
Perak Emas Hijau kebiruan mengkilap
100 -
100 -
100 -
100 -
100 -
100 -
Perak Emas Hijau kebiruan mengkilap
100
10 90
20 80
10 90
15 85
10 90
Perak Emas Hijau kebiruan mengkilap
100 -
100 -
100 -
100 -
100 -
100 -
Keterangan: HSS=Hulu Sungai Selatan; HST=Hulu Sungai Tengah; HSU=Hulu Sungai Utara
Warna Paruh, Kaki dan Shank Persentase warna paruh, kaki dan shank itik Alabio dari Kabupaten HSS, HST dan HSU, ditampilkan pada Tabel 18. Pada Tabel 18 dapat dijelaskan bahwa itik Alabio jantan mapun betina dari HSS, HST dan HSU memiliki persentase warna paruh, kaki dan shank adalah kuning gading muda lebih besar dibanding kuning gading tua, kuning gading pucat dan hitam. Warna kaki itik betina dari HSS didominasi kuning gading pucat, sementara paruh dan shank berwarna kuning gading muda. Bila dibandingkan dengan itik Alabio yang berasal dari HST dan HSU, warna kaki, paruh dan shank kuning gading muda persentasenya relatif lebih rendah. Perbedaan warna paruh, kaki dan shank diduga dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan dan cara pemberian pakan yang
berbeda
(Martojo
1992)
dan
pengaruh
gen
(Suparyanto
2005).
73
Pemeliharaan itik Alabio secara intensif cenderung memiliki warna paruh, kaki dan shank kuning gading pucat, sementara yang dipelihara semi intensif, warna paruh, kaki dan shank lebih dominan berwarna kuning gading tua. Hal ini diduga itik yang dipelihara semi intensif, di samping memperoleh sumber karotenoid atau xanthopyll dari pakan yang diberikan, juga saat diumbar mendapat pakan yang mengandung sumber xanthopyll lebih banyak dari alam. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, beberapa peternak di HSU dalam menyusun pakan itik, cenderung lebih banyak menggunakan campuran ganggang/hijauan rawa, yang merupakan salah satu sumber karotenoid atau xanthopyll, yang dapat membantu pembentukan pigmen warna kuning. Tabel 18 Persentase paruh, kaki dan shank itik Alabio Kabupaten HST HSU jantan betina jantan betina jantan betina n =25 n =175 n =25 n=175 n =25 n=175 --------------------------------------- (%) ------------------------------------------HSS
Bagian tubuh
Paruh: Kuning gading tua Kuning gading muda Kuning gading pucat Hitam Kaki : Kuning gading tua Kuning gading muda Kuning gading pucat Hitam Shank : Kuning gading tua Kuning gading muda Kuning gading pucat Hitam
20.0
28.57
20.0
5.71
16.0
9.14
60.0
52.0
56.0
51.43
56.0
48.57
8.0
11.43
16.0
40.57
24.0
39.43
12.0
8.0
8.0
2.29
4.0
2.86
20.0
20.0
28.0
9.14
28.0
28.0
60.0
24.29
60.0
49.71
68.0
40.0
8.0
42.86
8.0
34.29
-
24.57
12.0
2.86
4.0
6.86
4.0
7.43
44.0
25.71
28.0
6.86
20.0
12.0
40.0
51.43
40.0
44.0
60.0
48.0
12.0
20.0
28.0
44.0
12.0
38.29
4.0
2.86
4.0
5.14
8.0
1.71
Keterangan: HSS=Hulu Sungai Selatan; HST=Hulu Sungai Tengah; HSU=Hulu Sungai Utara
74
Suparyanto (2005) menyatakan bahwa salah satu pasang gen yang menyebabkan warna kuning (w) pada bulu, paruh dan shank salah satu karena adanya xanthopyll. Menurut Smyth (1993) warna kuning pada paruh, kaki dan shank disebabkan oleh adanya lemak atau pigmen lipokrom pada lapisan epidermis, sementara pigmen hitam atau melanin tidak terdapat pada epidermis dan dermis, dipengaruhi oleh gen Id (inhibitor dermal melanin) yang bersifat menghambat peletakkan pigmen melanin pada kulit. Gen derma melanin (Id+) banyak mempengaruhi hitam pada kulit. Melanin dihasilkan dari oksidasi phenol asam amino tyrosin yang dilakukan oleh enzim. Menurut Avanzi & Crawford (1990) bahwa penampakan warna kuning pada paruh dan kaki karena pengaruh gen sepia faiogeno (f) yang bersifat resesif dan terletak pada otosomal. Variasi warna paruh, kaki dan shank ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu struktur kulit, pigmen yang terkandung dalam kulit dan faktor genetik. Pigmen dalam kulit disusun oleh pigmen utama melanin dan xanthopyll. Melanin
merupakan
protein
kompleks
yang
bertanggung
jawab
untuk
memunculkan warna biru dan hitam pada kulit. Warna kuning pada kulit termasuk kaki, paruh dan shank tidak diproduksi oleh sel tubuh itik itu sendiri seperti halnya melanin, melainkan oleh xanthopyll dari tumbuhan dan unggas mendapatkannya dari pakan yang dikonsumsi (Suparyanto 2003; 2005).
Karakteristik Genotipik Karakteristik Protein Darah Hasil analisis elektroforesis protein darah itik Alabio dalam populasi (kecamatan) dan penyebaran genotipik, disajikan pada Tabel 19. Berdasarkan Tabel 19 dapat dijelaskan bahwa penyebaran genotipik pada lokus protein darah albumin, post albumin, transferin, post transferin-1, post transferin-2 dari keenam Kecamatan ANGK dan DAHU (HSS), LAU dan LAS (HST), AmS dan AmT (HSU) bervariasi, dengan frekuensi gen masing-masing berkisar antara 0.208 - 0.600, kecuali pada lokus haemoglobin dari semua kecamatan hanya ditemukan tiga genotipe yaitu AA, BB dan AB, dengan frekuensi gen berkisar antara 0.208 0.800, sedangkan CC, AC dan BC tidak ditemukan.
75
Tabel 19 Penyebaran genotipik dan frekuensi gen lokus protein darah itik Alabio dalam populasi (kecamatan) Protein Darah dan Asal Itik Albumin HSS HST HSU
Kec.
Dahu Angk LAS LAU AmS AmT
AA
2 1 3 4 2 2
BB
3 2 2 1 3 1
Genotipik CC AB
2 3 2 2 2 3
2 1 3 2 2 1
AC
3 2 1 2 2 3
BC
HST HSU
Dahu Angk LAS LAU AmS AmT
3 3 4 4 2 2
1 1 1 2 1 1
4 3 1 2 3 3
2 2 2 2 3
1 2 2 1 2 3
HST HSU
Dahu Angk LAS LAU AmS AmT
Post Transferin -1 Dahu HSS Angk LAS HST LAU AmS HSU AmT Post Transferin - 2 Dahu HSS Angk LAS HST LAU AmS HSU AmT
3 6 3 3 4
3 4 3 2 2 2
2 2 1 3 2 2
3 1 2 2 2 2
1 1 2 1 2 3
3 5 -
3 2 2 2 3
1 3 2 3 4 1
3 4 2 2 4 3
1 2 2 2 3 1
1 2 1 2 3
3 2 1 3 3
1 1 1 4 2 2
3 1 1 2 1 1
2 3 4
HST HSU
A
Pa 0.208 0.208 0.250 0.292 0.292 0.208
4 6 4 6 4 5
2 1 5 3 2
-
3 4 5 4 5
-
Alb 0.333 0.458 0.250 0.202 0.297 0.458
A
C
B
Pa 0.417 0.375 0.250 0.333 0.375 0.375
B
1 1 2 3 2 3
1 2 2 2 -
Tf 0.333 0.625 0.375 0.250 0.458 0.458
Tf 0.333 0.208 0.333 0.333 0.375 0.208
Tf 0.333 0.167 0.292 0.417 0.167 0.333
A
B
3 1 4 3 1 2
Ptf-1 0.417 0.458 0.292 0.292 0.297 0.333
Ptf-1 0.250 0.208 0.333 0.250 0.292 0.458
Ptf-1 0.333 0.333 0.375 0.458 0.417 0.208
A
B
5 4 -
Ptf-2 0.200 0.292 0.200 0.375 0.417 0.458
Ptf-2 0.250 0.375 0.600 0.208 0.125 0.125
Ptf-2 0.550 0.333 0.200 0.417 0.458 0.417
-
Hb 0.611 0.800 0.650 0.600 0.545 0.625
A
Dahu Angk LAS LAU AmS AmT
B
Pa 0.375 0.417 0.500 0.375 0.333 0.417
Haemoglobin HSS
Alb 0.292 0.333 0.333 0.208 0.375 0.208
1 3 1 1 1 2
Transferin HSS
A
Alb 0.375 0.208 0.417 0.500 0.333 0.333
Post Albumin HSS
Frekuensi Gen
B
Hb 0.38 0.200 0.350 0.400 0.455 0.375
C
C
C
C
C
Hb -
Keterangan: Dahu=Daha Utara;Angk= Angkinang; LAS=Labuan Amas Selatan;LAU=Labuan Amas Utara;AmS=Amuntai Selatan;AmT=Amuntai Tengah;HSS=Hulu Sungai Selatan; HST=Hulu Sungai Tengah; HSU=Hulu Sungai Utara.
76
Hasil analisis elektroforesis protein darah itik Alabio antar populasi (kabupaten) dari HSS, HST dan HSU, penyebaran genotipik dan frekuensi gennya, disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Penyebaran genotipik dan frekuensi gen lokus protein darah itik Alabio antar populasi (kabupaten) Protein Darah dan Asal Itik Albumin HSS HST HSU Post Albumin HSS HST HSU Transferin HSS HST HSU
n
AA
BB
24 24 24
3 7 4
4 3 4
24 24 24
24 24 24
Post Transferin -1 HSS 24 HST 24 HSU 24 Post Transferin - 2 HSS 24 HST 24 HSU 24 Haemoglobin HSS HST HSU
6 8 4
9 3 7
7 5 4
4 4 4
2 3 2
4 4 4
2 3 5
3 5 -
Genotipik CC AB 5 4 5
7 3 6
5 4 3
4 5 5
7 4 7
3 5 3
4 2 5
AC
BC
5 3 5
4 2 3
Frekuensi Gen A B C Alb Alb Alb 0.292 0.313 0.396 0.458 0.271 0.271 0.333 0.292 0.375
2 5 2
Pa 0.396 0.438 0.375
3 3 5
3 4 4
3 1 5
3 3 6
2 5 4
4 3 2
2 7
A
Pa 0.208 0.271 0.229
A
1 4 2
Tf 0.479 0.313 0.458 A
4 7 3
Ptf-1 0.436 0.292 0.313
A
5 4 -
Ptf-2 0.250 0.296 0.438
Ptf-2 0.318 0.386 0.125
-
Hb 0.767 0.596 0.605
A
24 24 24
10 10 9
2 6 5
-
3 5 5
-
B
Pa 0.396 0.292 0.396
C
Tf 0.250 0.333 0.292
B
Tf 0.271 0.354 0.250
Ptf-1 0.229 0.292 0.375
B
Ptf-1 0.333 0.417 0.313
B
Ptf-2 0.432 0.318 0.436
C
C
B
Hb 0.233 0.405 0.395
C
C
Hb -
Keterangan: HSS=Hulu Sungai Selatan; HST=Hulu Sungai Tengah; HSU=Hulu Sungai Utara
Seperti halnya penyebaran frekuensi gen pada lokus protein darah itik Alabio dalam populasi (kecamatan) (Tabel 19), maka penyebaran frekuensi gen antar populasi (kabupaten) juga ditemukan enam genotipe yang sama pada lokus protein albumin, post albumin, transferin, post transferin-1, post transferin2 adalah AA, AB, AC, CC, BB dan BC, dengan frekuensi gen berkisar antara 0.208 - 0.479, kecuali pada lokus haemoglobin ditemukan tiga genotipe yaitu AA, BB, AB dengan frekuensi gen berkisar antara 0.233 - 0.767, sedangkan CC, AC dan BC tidak ditemukan pada semua Kabupaten (HSS, HST dan HSU) (Tabel
77
20). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Maeda et al. (1980), bahwa tipe protein haemoglobin pada burung puyuh diperoleh tiga macam genotipe yaitu tipe I (AA), II (BB) dan tipe III (AB). Frekuensi gen adalah peluang munculnya gen atau genotipe dan salah satu parameter genetik yang dapat menggambarkan status genetik suatu populasi ternak (Martojo 1992; Harris 1994; Hardjosubroto 2001; Noor 2008). Perbedaaan frekuensi gen diduga disebabkan itik Alabio di wilayah tersebut, sejak lama telah mengalami seleksi secara alamiah sehingga gennya bervariasi. Hal ini sesuai dengan penyataan Martojo (1992); Hardjosubroto (2001) dan Noor (2008), bahwa perbedaan frekuensi gen salah satunya disebabkan oleh adanya proses seleksi, baik secara alamiah maupun buatan. Frekuensi gen yang diperoleh dalam penelitian ini,
lebih rendah dari yang dilaporkan Wulandari
(2005) pada itik Cihateup dari Tasikmalaya dan Garut berkisar antara 0.327 0.673, tetapi lebih besar dari frekuensi gen yang diperoleh dari itik Talang Benih di Bengkulu 0.236 - 0.354 (Azmi et al. 2006). Pola penyebaran genotipe yang ditemukan pada protein darah itik Alabio yang berasal dari HSS, HST dan HSU, tertera pada Gambar 7. _
+
AA
AB
BB
BC
AC
CC
Gambar 7 Pola penyebaran genotipe protein darah pada itik Alabio
Nilai heterosigositas dan heterosigositas rataan dari masing-masing kecamatan (dalam populasi) dan antar populasi yaitu dari kabupaten HSS, HST dan HSU, disajikan pada Tabel 21 dan 22. Secara umum nilai heterosigositas rataan merupakan indikator yang baik sebagai penciri genetik yang dapat menjelaskan keragaman genetik pada suatu populasi ternak domestik (Moiloli et al.
2004). Tabel 21 menunjukkan bahwa nilai heterosigositas lokus protein
78
albumin, post albumin, transferin, post transferin-1, post transferin-2 di Kecamatan DAHU dan ANGK (0.548±0.223 - 0.663±0.104), Kecamatan LAS dan LAU (0.560±0.265 - 0.653±0.134), dan Kecamatan AmS & AmT berkisar antara 0.617±0.114 - 0.663±0.142, sedangkan nilai heterosigositas pada lokus hemoglobin yang diperoleh relatif rendah berkisar antara 0.320±0.1510.496±0.114. Harris (1994) menyatakan bahwa suatu populasi yang anggotaanggotanya memiliki dua atau lebih fenotipe protein yang dikode oleh dua alel atau lebih pada suatu lokus gen tertentu dikenal dengan istilah polimorfisme, dan apabila frekuensi gennya lebih dari 99% atau 95%, maka lokus tersebut dinamakan polimorfik. Tabel 21 Nilai heterosigositas (± SE) itik Alabio dalam populasi (kecamatan) Lokus Protein
HSS DAHU ANGK
Albumin
0.663± 0.104 0.573± 0.169 0.667± 0.110 0.653± 0.134 0.595± 0.289 0.484± 0.120 0.629± 0.230
Post albumin Transferin Post transferin-1 Post transferin-2 Haemoglobin Heterosigositas Rataan ( ±SE)
0.645± 0.130 0.642± 0.302 0.548± 0.223 0.635± 0.130 0.663± 0.042 0.320± 0.151 0.661± 0.119
Heterosigositas (h±SE) HST LAS LAU 0.653± 0.134 0.625± 0.150 0.664± 0.143 0.662± 0.104 0.560± 0.265 0.465± 0.118 0.662± 0.220
0.662± 0.173 0.663± 0.042 0.653± 0.085 0.637± 0.132 0.642± 0.119 0.480± 0.110 0.616± 0.250
HSU AmS
AmT
0.660± 0.125 0.663± 0.042 0.622± 0.150 0.656± 0.133 0.656± 0.133 0.496± 0.114 0.617± 0.240
0.617± 0.114 0.642± 0.323 0.635± 0.129 0.635± 0.129 0.635± 0.196 0.489± 0.100 0.650± 0.210
Keterangan: DAHU=Daha Utara; ANGK=Angkinang; LAS=Labuan Amas Selatan; LAU=Labuan Amas Utara; AmS=Amuntai Selatan; AmT=Amuntai Tengah
Tabel 22 Nilai heterosigositas (±SE) itik Alabio antar populasi (kabupaten) Heterosigositas (h±SE) Lokus Protein Albumin Post albumin Transferin Post transferin -1 Post transferin - 2 Haemoglobin Heterosigositas Rataan ( ±SE)
HSS
HST
HSU
0.661±0.124 0.643±0.131 0.635±0.130 0.645±0.130 0.649±0.102 0.407±0.120 0.643±0.232
0.643±0.131 0.650±0.132 0.666±0.135 0.656±0.132 0.662±0.125 0.482±0.121 0.638±0.219
0.663±0.126 0.600±0.122 0.642±0.129 0.664±0.127 0.599±0.121 0.572±0.119 0.610±0.209
79
Berdasarkan Tabel 22 dapat dikemukakan bahwa nilai heterosigositas protein darah pada lokus albumin, post albumin, transferin, post transferin 1, post transferin 2 antar populasi itik Alabio (HSS, HST dan HSU) berkisar antara 0.599±0.121 - 0.666±0.135, sedangkan nilai heterosigositas rataan yang diperoleh berkisar antara 0.610±0.209 - 0.643±0.232. Pola protein darah yang berbeda menunjukkan bahwa variasi fenotipe yang mewakili genotipe masingmasing individu akan menghasilkan perbedaan distribusi frekuensi gen pada suatu populasi (Lestari 2002). Menurut Matojo (1992) dan Hardjosubroto (2001), kekuatan – kekuatan yang dapat merubah frekuensi gen adalah migrasi, mutasi, seleksi dan kebetulan.
Jarak Genetik Itik Alabio Jarak genetik merupakan tingkat perbedaan gen di antara suatu populasi atau spesies ternak dalam suatu populasi di wilayah tertentu (Nei & Kumar 2000). Matrik jarak genetik yang didasarkan pada frekuensi gen yang diperoleh dari enam lokus protein darah itik Alabio dari HSS, HST dan HSU, disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Matrik jarak genetik itik Alabio Kabupaten
HSS
HST
HSS
0
HST
0.2193
0
HSU
0.2041
0.0148
HSU
0
Keterangan: HSS = Hulu Sungai Selatan; HST = Hulu Sungai Tengah; HSU = Hulu Sungai Utara
Berdasarkan Tabel 23 dapat dijelaskan bahwa, matrik jarak genetik yang didasarkan pada frekuensi gen dari enam lokus protein darah itik Alabio dari HST mempunyai jarak genetik yang lebih dekat dengan HSU, yaitu sebesar 0.0148, sementara dengan HSS jaraknya relatif jauh (0.2193). Perbedaan ini diduga bahwa secara geografis jarak HST lebih dekat dengan HSU, sementara HSS jaraknya lebih jauh. Jarak yang jauh antar populasi merupakan salah satu penyebab keragaman yang tinggi (Harmayanti et al. 2009).
80
HST HSU HSS
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
Gambar 8 Pohon filogenik itik Alabio
Gambar 8 menunjukkan hubungan kekerabatan antara itik Alabio yang terdapat di tiga lokasi penelitian (HSS, HST dan HSU), terdapat hubungan kekerabatan yang dekat antara itik Alabio dari HST dan HSU, sementara dengan HSS hubungan kekerabatannya relatif jauh. Selain itu, sumber bibit itik yang digunakan di HST sebagian besar berasal dari HSU, walaupun menurut beberapa keterangan peternak setempat, bibit itik yang mereka gunakan diperoleh dari peternak penetas yang ada di desa sekitarnya, namun asal usul induk penghasil bibit tersebut dulunya diduga berasal dari HSU. Selain itu, berdasarkan jarak lokasi antara HSU dan HST relatif dekat, sementara HSS jaraknya lebih jauh, hal ini salah satu penyebab jarak genetik itik Alabio tersebut berbeda. Sebagai informasi jarak genetik yang diperoleh dari penelitian Brahmantiyo et al. (2003), menunjukkan bahwa jarak genetik antara itik Alabio dengan itik Bali, Khaki Campbell dan Mojosari berkisar antara 1420 - 1548. Jarak genetik
dapat
dimanfaatkan
dalam
mempelajari
keragaman
genetik
(polimorfisme), ciri bangsa spesifik dan struktur populasi ternak (Liron et al. 2002).
Keragaman Genetik Itik Alabio Ukuran dan bentuk tubuh ternak dapat digunakan untuk menentukan standar pertumbuhan dan menilai ternak (Ishii et al. 1996), menentukan asal usul dan hubungan filogenetik antara spesies, bangsa dan tipe ternak (Warwick et al.
81
1995). Berdasarkan nilai hubungan (korelasi) yang diperoleh antara ukuran (Y1) dan bentuk tubuh (Y2), dapat dijelaskan bahwa itik Alabio dari HSS yang mempunyai nilai hubungan terbesar dan positif adalah panjang leher dan panjang tubuh, sedangkan dari HST adalah panjang paruh atas, tinggi dan panjang kepala, panjang leher, panjang punggung dan panjang tubuh, sementara dari HSU adalah panjang paruh bawah, panjang leher dan panjang punggung. Berdasarkan nilai hubungan yang memiliki nilai terbesar dan positif antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSS, HST dan HSU, dapat disimpulkan bahwa panjang leher dan panjang tubuh, dapat dijadikan sebagai salah satu faktor peubah pembeda itik Alabio dengan itik lokal lainnya yang ada di Indonesia. Terdapat kesamaan antara ukuran bagian-bagian tubuh itik Alabio yang diperoleh dari HSS, HST dan HSU, diduga disebabkan oleh kesamaan atau perbedaan genotipenya. Hal ini didasarkan pada teori umum yang menyatakan bahwa tampilan fenotipik (P) dipengaruhi oleh faktor lingkungan (E), genotipe (G) serta interaksi antara lingkungan (E) dan genotipe (G) (Martojo 1992; Warwick et al. 1995; Hardjosubroto 2001; Noor 2008). Hal ini membuktikan bahwa kondisi lingkungan dari ketiga lokasi penelitian (HSS, HST dan HSU), memiliki lingkungan makro yang sama (manajemen pemeliharaan dan cara pemberian pakan yang dilakukan peternak) (Tabel 7). Kesamaan atau perbedaan fenotipik dalam
dan
antar
populasi,
diduga
disebabkan
oleh faktor
perbedaan
genotipenya. Selain itu, berdasarkan produksi telur yang diperoleh selama lima bulan pengamatan, dapat dijelaskan bahwa rataan produksi telur dari HST dan HSU relatif sama bila dibanding HSS (Gambar 6). Persamaan produksi telur yang diperoleh, diduga disebabkan oleh para peternak itik Alabio di HST dan HSU menerapkan manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan yang sama, dengan umur pertama bertelur yang sama pula. Sementara di HSS kemungkinan disebabkan manajemen dan pemberian pakan, serta umur pertama bertelur yang berbeda. Berdasarkan pengamatan sifat kualitatif itik Alabio yang meliputi warna bulu dominan, fluresens dan corak bulu serta warna paruh, kaki dan shank dari ketiga Kabupaten (HSS, HST dan HSU) diperoleh hasil relatif seragam. Terdapat persamaan tersebut, diduga aliran gen yang mempengaruhi pola warna bulu di ketiga lokasi penelitian adalah relatif sama. Selain itu, manajemen pemeliharaan termasuk pemberian pakan yang dilakukan peternak berasal dari bahan pakan
82
yang sama, sebagai sumber pembentukan pigmen warna kuning pada paruh, kaki dan shank yaitu karotenoid atau xanthopyll, salah satunya bersumber dari hijauan atau ganggang rawa. Menurut NRC (1994) ganggang mengandung xanthopyll sebesar 2000 mg/kg, lebih tinggi dibanding jagung dan tepung alfalfa, yakni masing-masing sebesar 17 mg/kg dan 220 mg/kg. Keragaman genetik merupakan ekspresi keunggulan variasi genetik antar individu dalam populasi. Keragaman tersebut disebabkan dua hal, yaitu variasi di dalam materi genetik yang ditampilkan oleh semua individu, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan variasi pengaruh lingkungan (pakan, iklim, sistem pemeliharaan dan lain-lain) terhadap setiap individu dalam populasi. Bila dihubungkan dengan keragaman genetik yang diperoleh dari hasil analisis protein
darah
dari
enam
kecamatan
(dalam
populasi),
diperoleh
nilai
heterosigositas rataan berkisar antara 0.616±0.250 - 0.662±0.220 (Tabel 21), sedangkan nilai heterosigositas rataan antar populasi itik Alabio dari HSS, HST dan HSU berkisar antara 0.610±0.209 - 0.643±0.232 (Tabel 22). Hal ini membuktikan bahwa itik Alabio dalam dan antar populasi memiliki keragaman yang cukup tinggi, masing masing berkisar antara 61.60 - 66.20% dan 61.0 64.30%, walaupun dalam jumlah populasi terbatas. Keragaman yang sama dari ketiga kabupaten, kemungkinan telah terjadi aliran gen yang cukup tinggi serta masih memiliki kekerabatan yang dekat satu sama lainnya. Winaya (2010) menyatakan bahwa populasi ternak yang memiliki nilai heterosigositas di atas 50% menunjukkan keragaman genetiknya cukup tinggi. Heterosigositas yang tinggi dalam populasi itik Alabio, diduga adanya aliran alel-alel dari daerah lain yang berbeda sehingga menjadi lebih tinggi. Nilai heterosigositas rataan yang tinggi mempunyai indikasi bahwa itik Alabio, yang terdapat di dalam (kecamatan) dan antar populasi (kabupaten) dapat ditingkatkan produktivitasnya, salah satunya melalui seleksi secara terarah dan terstruktur. Menurut Hardjosubroto (2001) & Noor (2008), seleksi dapat dilakukan antara individu dalam populasi yang memiliki keragaman tinggi. Sutopo et al. (2001) & Marson et al. (2005) menyatakan bahwa nilai heterosigositas memiliki arti penting untuk mendapatkan gambaran variabilitas genetik suatu populasi ternak di wilayah tertentu. Semakin tinggi nilai heterosigositasnya semakin tinggi pula keragaman genetik ternak yang berada dalam suatu wilayah (Marson et al. 2005), dan untuk mengetahui tingkat polimorfisme suatu alel, serta populasi di masa yang akan datang (Falconer & Mackay 1996).
83
Tingkah Laku Tingkah Laku Menetas Tahapan perkembangan telur selama proses penetasan sampai DOD keluar dari kerabang telur, disajikan pada Tabel 24 dan Gambar 9. Berdasarkan Tabel 24 dapat dikemukakan bahwa perkembangan telur selama proses penetasan hingga DOD keluar dari kerabang telur melalui enam tahapan. Tahapan pertama dan kedua merupakan tahapan yang paling menentukan selama proses tersebut. Tahap pertama setelah telur tetas berumur 26 hari dalam alat penetasan, menunjukkan tanda-tanda sudah mulai mengalami keretakan kecil-kecil pada permukaan kerabang telur, karena adanya dorongan gigi (tooth beak) yang terletak di bagian atas untuk memotong kerabang pada bagian ujung runcing telur, kurang lebih pada sepertiga bagian bawah telur. Dorongan ujung runcing paruh (beak) yang berulang-ulang hingga lubang kerabang telur mulai membesar. Selanjutnya tahap kedua yaitu dilanjutkan adanya dorongan paruh yang kuat, sehingga kerabang retaknya semakin membesar dan paruh mulai keluar. Menggunakan leher dan punggung bagian belakang terus mendorong, sehingga anak itik berhasil keluar dari dalam kerabang. Umumnya proses pemecahan kerabang telur pada saat anak unggas akan keluar relatif sama antara itik dan ayam, namun berbeda dengan burung maleo, seperti yang dikemukakan Tanari (2007) dan Saerang (2010), bahwa pada anak maleo sebelum keluar dari kerabang telurnya, terlebih dahulu dimulai dengan adanya desakan tumpuan kedua lutut kaki pada bagian ujung runcing telur, sedangkan pada lubang kerabang telur yang sudah melebar persendian lutut menjadi bebas bergerak, sehingga kaki dan cakar leluasa membantu mendorong untuk lebih memperluas lubang kerabang telur, sehingga terbuka lebar.
84
Tabel 24 Perkembangan telur itik Alabio selama proses penetasan Tahapan
Aktivitas
Gambar
I
Telur yang sudah berumur 26 hari dalam alat penetasan mulai mengalami keretakan kerabang, karena adanya gigi (tooth beak) yang terletak di bagian atas untuk memotong kerabang bagian ujung runcing telur, kurang lebih pada sepertiga bagian bawah telur yang ditandai retaknya kulit luar (shell). Dorongan ujung runcing paruh berulang-ulang sampai lubang kerabang telur mulai membesar.
9a
II
Dengan kekuatan dorongan paruh, kerabang mulai retak membesar dan paruh mulai keluar
9b
III
Pada saat lubang permukaan kulit telur membesar pada bagian bawah, dengan menggunakan leher bagian belakang mendorong kepala dan paruh bagian atas mendorong kerabang hingga pecah
9c
IV
Interval istirahat pada setiap hentakan sama, tetapi pada saat telur mulai pecah interval sentakan semakin kuat sampai menjelang anak itik keluar dari kerabang telur.
9d
V
Anak itik yang sudah terlepas bebas keluar dari kerabang, dengan kondisi bulu masih basah berusaha mulai berdiri perlahan-lahan. Setelah bulu tubuhnya mulai mengering, mereka mengumpulkan tenaga untuk berdiri dan berjalan, serta mematuk-matuk sisa kerabang telur.
9e
VI
Anak itik yang sudah mulai berjalan dan berusaha mematuk-matuk bekas sisa kerabang yang pecah, dan siap untuk dipisahkan ke dalam brooder
9f
85
Gambar 9 a.
Gambar 9 d
Gambar 9 e
Gambar 9 Proses penetasan telur itik Alabio
Gambar 9 b
Gambar 9 c
Gambar 9 f
86
Tingkah Laku Memilih Pakan
Rataan jumlah pakan yang
dikonsumsi
dan sisa pakan
selama
pengamatan tingkah laku memilih pakan, disajikan pada Tabel 25. Komposisi nilai gizi bahan pakan berdasarkan tabel komposisi pakan dan hasil analisisnya, tertera pada Tabel 26. Tabel 25 Rataan konsumsi pakan Ulangan
I
II
III
Jenis bahan pakan
Dedak halus Keong rawa Sagu parut Gabah Ikan kering Pakan komersial ayam petelur (pellet) Jumlah Rataan Dedak halus Keong rawa Sagu parut Gabah Ikan kering Pakan komersial ayam petelur (pellet) Jumlah Rataan Dedak halus Keong rawa Sagu parut Gabah Ikan kering Pakan komersial ayam petelur (pellet) Jumlah Rataan
Jumlah awal (g) 500 500 500 500 500 500
500 500 500 500 500 500
500 500 500 500 500 500
Jumlah dikonsumsi (g) 365.46 316.06 285.28 339.13 347.46 461.43
Sisa (g)
134.54 183.94 214.72 160.87 152.54 38.57
366.72 314.84 295.21 337.18 351.90 470.25
805.18 147.53 133.28 185.16 204.79 162.82 148.10 29.75
370.81 315.51 387.70 340.29 340.24 472.10
863.90 143.99 129.19 184.49 123.30 159.71 159.60 27.90
773.19 128.87
87
Berdasarkan Tabel 25 dapat dikemukakan bahwa, pakan berbentuk pellet (pakan komersial) lebih disukai itik Alabio dewasa, disusul dedak dan ikan kering cincang, hal ini ditunjukkan dengan lebih banyak jumlah pakan yang dikonsumsi. Hasil pengamatan ini sesuai dengan pernyataan Rasyaf (1994) dan Pingel (2005), bahwa pakan berbentuk pellet merupakan bentuk ideal untuk dikonsumsi unggas air, khususnya itik. Tabel 26 Kandungan zat gizi bahan pakan itik Alabio Kandungan zat gizi Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) Kalsium (%) Fosfor (%) Energi metabolis (kkal/kg) Keterangan :
1)
Bahan pakan Ikan Sagu 1) 1) kering parut 56.86 1.45
Dedak 1) halus 13.18
Keong 1) rawa 64.52
Pakan 2) komersial 18.0
Gabah
10.08
3.43
7.43
0.28
3.0
2.05
13.50
0.80
2.20
10.96
6.0
10.10
0.20 0.22 2980
7.50 3.80 3200
8.10 3.60 4675
0.037 2618
4.2 1.0 2950
1.20 0.50 4250
1)
8.90
2
Hasil analisis laboratorium; ) berdasarkan Tabel komposisi pakan ayam petelur.
Rataan lama makan, frekuensi makan, lama minum, frekuensi minum dan pergerakan dari tempat makan ke tempat minum itik Alabio selama pengamatan, ditampilkan pada Tabel 27. Tabel 27
Rataan lama makan, lama minum, frekuensi makan dan pergerakan dari tempat makan ke tempat air minum
Ulangan
Lama makan (menit/jam)
Lama minum (menit/jam)
Frekuensi makan (kali/jam)
Frekuensi minum (kali/jam)
I
15.33±0.25
5.62±0.49
3.00±0.37
2.50±0.25
Frekuensi pergerakan dari tempat pakan ke air minum (kali/jam) 5.66±0.21
II
14.66±0.23
6.80±0.51
2.33±0.35
2.00±0.24
6.00±0.24
III
15.00±0.24
5.71±0.50
3.33±0.38
2.70±0.26
6.33±0.26
Rataan
14.99±0.24
6.04±0.50
2.88±0.36
2.33±0.25
5.99±0.23
Keterangan: Jumlah itik yang digunakan masing-masing ulangan enam ekor
88
Tabel 27 menunjukkan bahwa rataan lama makan sebesar 14.99±0.24 menit/jam, lama minum 6.04±0.50 menit/jam, frekuensi makan 2.88±0.36 kali/jam, frekuensi minum 2.33±0.25 kali/jam dan frekuensi pergerakan dari tempat makan ke tempat minum sebanyak 5.99±0.23 kali/jam. Hasil ini berbeda dengan lama makan itik jantan yang dilaporkan Iskandar et al. (2000) yaitu 57.3 menit/3 jam atau 19 menit/jam. Perbedaan rataan lama makan, diduga disebabkan oleh pengaruh bentuk pakan. Bahan pakan yang disajikan dalam pengamatan ini adalah bentuk mash, pellet dan ikan cincang, sehingga tingkat kesukaannya berbeda-beda (Tabel 25). Beberapa faktor yang menyebabkan efisiensi penggunaan pakan, antara lain adalah perubahan tempat pakan dan air minum. Menurut Hardjosworo (2005) penempatan tempat air minum yang terpisah dari tempat pakan, menyebabkan banyaknya pakan yang tercecer antara tempat minum dan pakan atau ke dalam tempat air minum itu sendiri. Larbier & Leclercq (1994) menyatakan bahwa tingkat kesukaan unggas dalam mengkonsumsi pakan ditentukan oleh faktor fisiologis unggas, bentuk dan jenis pakan yang diberikan. Schulze et al. (2003) mengemukakan bahwa rataan konsumsi pakan, lama konsumsi pakan/hari, lama pergerakan menuju tempat air minum pada ayam bervariasi, tergantung pada kondisi lingkungan, kandang dan bentuk tempat pakan yang digunakan. Rasyaf (1994) menyatakan bahwa perbedaan bentuk pakan menyebabkan kehilangan pakan karena tercecer sebesar 8.7%. Laporan lain dikemukakan Pingel (2005) bahwa perubahan bentuk tempat pakan dan air minum, pada itik Pekin dan entok menyebabkan kehilangan pakan karena tercecer masingmasing sebesar 5% dan 7%, sementara air minum yang terbuang 14.5% dan 6.8%. Hardjosworo (2005) menyatakan bahwa penempatan tempat air minum di bagian tengah dari tempat pakan dapat memperbaiki efisiensi penggunaan pakan. Ketaren et al. (1999) menduga buruknya efisiensi penggunaan pakan pada itik disebabkan oleh tabiat makan itik termasuk kebiasaannya yang segera mencari air minum setelah makan, dan umumnya pakan tercecer pada saat itik pindah dari tempat pakan ke tempat minum. Iskandar et al. (2000) menyatakan bahwa penyebab perbedaan tingkah laku makan pada itik jantan lokal adalah bentuk dan tempat pakan yang digunakan, sementara frekuensi pergerakan dipengaruhi oleh faktor umur dan kebiasaan itik untuk selalu mencari air. Hal ini menunjukkan bahwa
unggas air
sangat
tergantung
pada ketersediaan
(kemudahan pencapaian) air, terutama untuk masuknya pakan kering ke dalam
89
saluran pencernaannya (Rasyaf 1994). Menurut Prasetyo et al. (2005), itik sangat memerlukan bantuan air walaupun hanya sedikit untuk menelan pakan yang akan di mulutnya. Oleh karena itu, itik mempunyai kebiasaan langsung lari ke tempat air minum begitu ada pakan di dalam mulutnya. Larbier & Leclercq (1994) menyatakan bahwa konsumsi air minum dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur unggas dan pakan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pakan yang banyak mengandung sodium atau potasium, serta temperatur lingkungan berpengaruh terhadap konsumsi pakan. Pakan yang mengandung 0.25% sodium akan meningkatkan konsumsi air minum sebesar 10%. Bley & Bessei (2008) mengemukakan bahwa peningkatan konsumsi pakan pada itik dipengaruhi oleh umur dan betuk pakan, sedangkan lama dan kecepatan konsumsi pakan seiring dengan peningkatan umur itik. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku makan adalah tipe ternak, lingkungan sosial, sensor fisiologi dan hormon neural, kecermatan makan, laju pencernaan pakan di dalam usus, kandungan nutrien dan palatabilitas pakan (Ewing et al. 1995), stimulasi konsumsi pakan, pola konsumsi dan kebiasaan ternak mengkonsumsi pakan (Pingel 2005).
Tingkah Laku Kawin Pengamatan yang dilakukan pada aktivitas tingkah laku kawin, adalah difokuskan pada kemampuan itik Alabio jantan mengawini betina selama pengamatan pagi, siang dan sore hari. Rataan kemampuan itik Alabio jantan mengawini betina, tertera pada Tabel 28. Tabel 28 Rataan kemampuan itik pejantan mengawini betina Waktu pengamatan
Pagi (pukul 7.00)
Siang (pukul 13.00)
Sore (pukul17.00)
Ulangan I II III Rataan I II III Rataan I II III Rataan
Rataan itik betina yang dikawini (ekor) 8.00±0.10 8.33±0.13 8.11±0.12 8.14±0.12 6.33±0.19 6.33±0.19 6.22±0.18 6.28±0.0.19 7.33±0.25 6.67±0.29 7.10±0.24 7.13±0.26
Keterangan: Jumlah itik yang digunakan masing-masing ulangan sebanyak 11 ekor (1 jantan & 10 betina).
90
Berdasarkan Tabel 28 dapat dijelaskan bahwa kemampuan itik Alabio jantan untuk mengawini betina pada waktu pengamatan pagi lebih tinggi dibanding siang dan sore hari. Rataan kemampuan itik Alabio jantan mengawini betina pagi hari (8.14±0.12 ekor), siang hari (6.28± 0.19 ekor) dan sore hari sebanyak 7.13±0.26 ekor. Perbedaan kemampuan itik jantan mengawini sejumlah itik betina, diduga disebabkan oleh perbedaan temperatur lingkungan dan aktivitas pergerakan di dalam kandang. Temperatur lingkungan kandang pada pagi hari relatif dingin bila dibandingkan siang dan sore hari. Selain itu, itik belum banyak melakukan aktivitasnya, sehingga libido seksualnya lebih meningkat dibanding siang atau sore hari. Hal ini dibuktikan bahwa selama pengamatan, terutama pada siang hari rataan temperatur lingkungan kandang relatif lebih panas tercatat sebesar 38.52 . Hubungan antara temperatur lingkungan dengan peningkatan libido seksual telah dilaporkan de Ardrede et al. (1977), bahwa temperatur lingkungan ditingkatkan dari 21
menjadi 31
berpengaruh nyata terhadap aktivitas libido seksual pada ternak ayam jantan. Appleby et al. (2004) menyatakan bahwa aktivitas frekuensi kawin pada unggas akan berkurang seiring meningkatnya umur, tetapi dampaknya tidak secara langsung mempengaruhi fertilitas telur (Applegate et al. 1998).
Keragaan Penetasan Keragaan telur tetas dan hasil penetasan merupakan bagian dari penelitian tingkah laku menetas pada itik Alabio yang dilakukan di laboratorium (A). Sebagai
pembanding
untuk
penetasan di tempat peternak
mengetahui
keragaan
penetasan
dilakukan
Desa Mamar, HSU (B, C dan D) (Tabel 29).
Tabel 29 dapat dijelaskan bahwa rataan bobot telur tetas yang digunakan bervariasi. Bobot telur tertinggi pada penetasan D (67.86±3.15 g) dan terendah pada penetasan B (61.53 ±2.12 g). Rataan bobot telur itik Alabio yang dihasilkan dari penelitian ini lebih tinggi dibanding bobot telur itik Alabio, seperti yang dilaporkan Prasetyo & Susanti (1999/2000) yakni 60.21±5.64 g. Bobot telur merupakan sifat yang banyak dipengaruhi oleh faktor genetik, umur induk, posisi telur dalam clutch, musim dan pakan (Solihat et al. 2003). Perbedaan ini diduga disebabkan oleh asal telur tetas yang digunakan sumbernya tidak sama, dihasilkan oleh induk yang mempunyai bobot badan bervariasi. Hal ini sesuai
91
dengan pernyataan Applegate et al. (1998) bahwa bobot telur yang dihasilkan berkorelasi positif dengan bobot induk. Bobot telur dipengaruhi oleh faktor-faktor dewasa kelamin, umur itik, bangsa, tingkat protein dalam pakan, cara pemeliharaan dan temperatur lingkungan (Solihat et al. 2003). Tabel 29 Keragaan hasil penetasan telur itik Alabio Parameter Jumlah telur (butir) Bobot telur (g) Warna telur Bentuk telur Indeks telur (%) Fertilitas (%) Daya tetas (%) Mortalitas DOD(%) Bobot tetas (g) Ratio jantan: betina o Suhu ( C) Kelembaban (%)
Penetasan A
B
C
D
200
1000
1500
2500
65.83±2.28 Hijau kebiruan Oval-lonjong 75.68±2.38
61.53±2.12 Hijau kebiruan Oval-lonjong 74.59±2.31
64.33±1.95 Hijau kebiruan Oval-lonjong 78.29±3.40
67.86±3.15 Hijau kebiruan Oval-lonjong 76.05±3.01
96.50±4.51 50.84±2.01 1.0±0.006
87.30±4.38 59.20±2.33 0.50±0.002
88.27±4.01 60.44±2.14 0.41±0.002
89.72±4.66 58.11±2.11 0.30±0.001
41.30±1.01 1:1
40.65±1.11 1:1
43.10±1.27 1:1
43.92±2.11 1:1
37.5±1.05 70.5±2.33
37.94±1.21 68.87±2.05
38.36±1.11 66.51±2.43
38.35±1.10 67.22±1.22
Keterangan : A = penetasan di laboratorium; B, C dan D = penetasan di peternak (HSU)
Ditinjau dari aspek pakan, Wahju (1997) mengemukakan bahwa penurunan besar telur dapat disebabkan oleh defisiensi asam linoleat ataupun kandungan zat anti nutrisi tertentu dalam pakan seperti nicarbacin dan gossypol. Defisiensi asam linoleat dalam pakan dapat mengakibatkan bobot telur yang dihasilkan rendah sehingga berat embrio juga lebih rendah (Komarudin et al. 2008). Warna kerabang dan bentuk telur yang diperoleh selama pengamatan umumnya adalah hijau kebiruan yang merupakan ciri khas warna kerabang telur itik Alabio. Hal ini sesuai dengan pernyataan Purba et al. (2005), bahwa warna kerabang telur itik Alabio adalah hijau kebiruan dan bentuk telur sebagian besar oval sampai lonjong. Pendapat senada dikemukakan Suparyanto (2003) bahwa sebagian unggas air termasuk itik memiliki warna kerabang hijau kebiruan. Hal ini disebabkan adanya pengaruh gen yang bertanggung jawab terhadap warna kerabang menjadi hijau kebiruan adalah pigmen biliverdin, sedangkan pigmen zick chelate dan protoporpirin IX umumnya ditemukan pada telur yang berkerabang coklat (Washburn 1993). Warna kerabang telur hijau kebiruan
92
merupakan warna dominan otosomal yaitu gen G+ dan masih memiliki sifat liar (Lancaster 1990). Pada itik-itik yang sudah didomestikasi, warna kerabang telur juga sebagian besar hijau kebiruan (Suparyanto 2005) dan putih (Suparyanto 2003), hal ini berbeda dengan itik Bali putih, itik Pekin, dan itik putih Ukrania memiliki warna kerabang telur putih, yang sepenuhnya dikontrol oleh gen g (Romanov et al. 1995). Indeks telur merupakan perbandingan antara panjang telur dibagi lebar dikali 100%. Rataan indeks telur itik Alabio tertinggi diperoleh pada penetasan C (78.29%±3.40), sedangkan terendah 74.59%±2.31 pada penetasan B. Indeks telur yang mencerminkan bentuk telur dan sangat dipengaruhi oleh genetik dan bangsa (Romanov et al. 1995), juga proses-proses yang terjadi selama pembentukan telur, terutama pada saat telur melalui magnum dan isthmus (Larbier & Leclercq 1994). Menurut Wulandari (2005) indeks telur tetas yang normal adalah 79%, sehingga nilai indeks telur yang lebih kecil dari 79% akan memberikan penampilan lebih panjang, sebaliknya indeks telur lebih dari 79% akan lebih bulat. Fertilitas telur adalah perbandingan antara telur yang fertil dengan jumlah total telur yang ditetaskan. Rataan fertilitas telur tertinggi pada penetasan A (96.50%±.51), sementara terendah penetasan B (87.37%±4.38). Perbedaan fertilitas ini diduga disebabkan oleh manajemen pemeliharaan, khususnya pemberian pakan dan perbandingan jantan betina yang kurang tepat. Fertilitas telur dalam penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian sebelumnya, yang dilaporkan Istiana & Setioko (1999), yaitu penetasan itik Alabio kontrol dan terseleksi di Kabupaten HST masing-masing sebesar 73.33% dan 77.4%, sementara Rohaeni et al. (2005) melaporkan bahwa fertilitas telur itik Alabio sebesar 88.16%. Pendapat lainnya dikemukakan Setioko et al. (1999/2000), bahwa fertilitas telur itik Alabio di lokasi Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU) di Kabupaten HSU sebesar 95.57%, sedangkan dilaporkan Suryana & Tiro (2007) fertilitas yang diperoleh selama 26 periode penetasan telur itik Alabio di Kabupaten HSU sebesar 90.38%. Purba et al. (2005) dan Wibowo et al. (2005) menyatakan bahwa rataan fertilitas telur itik di daerah sentra produksi dan penetasan di Kabupaten Blitar, Jawa Timur berkisar antara 86.46-90.49%, sementara Yuwono et al. (2005) melaporkan bahwa fertilitas telur itik lainnya selama
lima
periode
penetasan
sebesar
89.31%.
Faktor-faktor
yang
93
mempengaruhi fertilitas telur adalah rasio jantan dan betina, pakan induk, umur pejantan yang digunakan dan umur telur tetas (Srigandono 1997), jumlah induk yang dikawini oleh satu pejantan dan umur induk (Solihat et al. 2003). Selain itu, hubungan temperatur lingkungan yang semakin meningkat, disinyalir dapat menyebabkan penurunan fertilitas telur atau sebaliknya (Kortlang 1985). Rataan daya tetas tertinggi pada penetasan C (60.44%±2.1), sedangkan terendah pada penetasan A (50.84%±2.0). Rendahnya daya tetas ini diduga disebabkan oleh faktor non teknis, yaitu sarana penetasan yang kurang mendukung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lasmini et al. (1992) bahwa tinggi rendahnya daya tetas bergantung kepada kualitas telur tetas, sarana penetasan dan keterampilan pelaksana, dan lamanya penyimpanan telur (Kortlang 1985). Hasil kajian Setioko (1998) menyebutkan bahwa penyimpanan telur tetas selama 1 - 3 hari diperoleh rataan daya tetas lebih tinggi (73.43%), dibandingkan penyimpanan selama 5-7 hari hanya mencapai 65.03%. Rataan daya tertas telur yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Rohaeni et al. (2005); Suryana & Tiro (2007) bahwa rataan daya tetas telur itik Alabio masing-masing sebesar 79.49% dan 61.77%. Menurut Wilson (1997) daya tetas sangat dipengaruhi oleh status zat gizi pakan induk, sehingga keseimbangan kebutuhan nutrien untuk perkembangan embrio normal tidak terpenuhi dengan baik (Kortlang 1985). Rataan bobot tetas tertinggi diperoleh pada penetasan D (43.92 g±2.11), sementara terendah pada penetasan B (40.65 g±1.11). Perbedaan bobot tetas
yang dihasilkan disebabkan bobot telur tetas yang digunakan berbeda. Pada penetasan D bobot telur relatif lebih tinggi bila dibanding dengan penetasan B. Hal ini sesuai dengan pernyataan Applegate et al. (1998), bahwa bobot telur tetas mempunyai pengaruh signifikan terhadap bobot tetas yang dihasilkan. Bobot tetas yang dihasilkan dalam penelitian ini relatif sama dengan hasil penelitian Lasmini et al. (1992) sebesar 42.22 g, tetapi lebih besar bila dibandingkan hasil yang diperoleh Suryana & dan Tiro (2007) yakni 39.85 g±0.66. Mortalitas DOD itik Alabio yang diperoleh selama penelitian tertinggi (1.0%±0.06) pada penetasan A, sementara terendah pada penetasan D (0.30%±0.002). Rasio jantan : betina dari ke empat alat penetasan yang digunakan, diperoleh hasil sama yakni 1:1. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wibowo et al. (2005), bahwa rasio jantan : betina DOD normal yang diperoleh
94
dari penetasan selama 27 periode sebanyak 42350 ekor, dengan perincian DOD jantan 21023 ekor dan betina 20916 ekor, atau mendekati perbandingan jantan dan betina adalah 1:1. Temperatur dan kelembaban merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan penetasan telur. Rataan temperatur tertinggi pada penetasan A (38.75 ±1.05) dan terendah penetasan B (37.94 ±1.21), sedangkan rataan kelembaban tertinggi pada penetasan B (68.87 ±2.05) dan terendah pada penetasan C (66.51%±2.4).Tingginnya temperatur pada penetasan A disebabkan panas dalam alat penetasan tersebut tidak stabil, sedangkan kelembaban yang berfluktuatif, diduga disebabkan oleh pergantian atau penambahan air yang membantu kelembaban di dalam alat penetasan berubah-ubah. Menurut Setioko (1998) temperatur mesin penetasan yang ideal sekitar 37
dan kelembaban
akhir masa penetasan dinaikkan menjadi 85%. Kortlang (1985) menyatakan bahwa kelembaban relatif selama proses penetasan pada umur telur 1 - 26 hari sebesar 79%. Perkembangan diameter kantong udara (air sac) telur itik Alabio selama proses penetasan yang dilakukan di Laboratorium (Penetasan A), disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Perkembangan kantong udara telur itik Alabio Umur telur (hari)
Rataan diameter (mm)
Keterangan
1
0.551±0.175
Pengamatan dilakukan pada alat penetasan A
7 14 21 25
1.481±0.314 1.674±0.411 1.867±0.601 2.082±0.881
BerdasarkanTabel 30 dapat dikemukakan bahwa, perkembangan diameter kantong udara telur itik Alabio selama proses penetasan bervariasi. Diameter kantong udara pada telur umur 1, 7, 14, 21 dan 25 hari secara berangsur-angsur semakin melebar. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan perkembangan diameter kantong udara, diduga disebabkan laju perubahan kadar air dan oksigen di dalam telur. Semakin meningkat laju perubahan oksigen di dalam telur, semakin besar pula perubahan kantong udara. Menurut Kortlang (1985) telur itik mempunyai pori-pori lebih banyak dibanding telur ayam, sehingga
95
selama proses penetasan lebih mudah dan banyak kehilangan cairan, karena terjadi penguapan yang tinggi.
Profil Peternak Itik Alabio Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan peternak responden di Kabupaten HSS, HST dan HSU, diperoleh informasi tentang profil peternak itik Alabio (Lampiran 4). Identitas peternak responden dari ketiga kabupaten memiliki rataan umur masih dalam kisaran kelompok usia produktif (42.33 tahun±2.12), dengan pengalaman beternak cukup lama (20.85 tahun±3.10),
sehingga memiliki kemampuan untuk melakukan aktivitas usaha beternak itik Alabio yang lebih baik. Pengalaman beternak yang diperoleh dari penelitian ini, lebih tinggi dari yang dikemukakan Biyatmoko (2005), yaitu rataan pengalaman beternak itik Alabio di daerah Hulu Sungai, Kalimantan Selatan sekitar 9.69 tahun, sementara Rohaeni (1997) melaporkan bahwa pengalaman beternak itik Alabio di Kalimantan Selatan umumnya lebih lama dibanding Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, masing-masing 3.92 tahun dan 3.18 tahun. Tingkat pendidikan responden umumnya masih rendah, yaitu SD (91.66%±5.33), walaupun ada yang berpendidikan SMA, tetapi persentasenya lebih kecil
(8.33%±1.63). Pekerjaan utama responden adalah beternak itik (58.33%±2.05) dan
berkebun
pemeliharaan
di itik
sawah/ladang untuk
(41.66%±1.54),
menghasilkan
telur
dengan
konsumsi
tujuan lebih
utama dominan
(90.0%±5.66) dan telur tetas (10.0%±1.00). Hal ini sesuai dengan laporan Setioko & Istiana (1999) bahwa tujuan utama pemeliharaan itik Alabio di Kalimantan Selatan adalah untuk menghasilkan telur konsumsi, dan sebagian kecil peternak merupakan penghasil telur tetas. Kepemilikan ternak itik Alabio di Kabupaten HST lebih tinggi bila dibandingkan HSS dan HSU. Rataan kepemilikan di HSS (395 ekor betina), HST (737 ekor betina) dan HSU (495 ekor betina). Berdasarkan jumlah rataan kepemilikan ternak itik Alabio, maka masing-masing peternak di ketiga lokasi memiliki 415 ekor/peternak, yang menurut Rohaeni & Rina (2006); Hamdan & Zuraida (2007), batas minimal usaha itik Alabio yang layak dan menguntungkan untuk skala keluarga adalah >300 ekor. Sebaliknya Biyatmoko (2005) menyatakan bahwa kepemilikan itik Alabio sebanyak 200 ekor dengan pemberian pakan lokal dan rataan produksi telur 70% masih menguntungkan.
96
Laporan lain dikemukakan Hamdan et al. (2010) bahwa rataan kepemilikan itik Alabio petelur di Kecamatan Babirik, HSU sebanyak 249 ekor/peternak dengan rataan produksi telur 66.29% dan dinilai masih menguntungkan.
Besarnya
rataan kepemilikan itik Alabio di HST yang lebih tinggi dibanding HSS dan HSU, diduga disebabkan kepemilikan modal masing-masing peternak responden berbeda-beda. Modal yang memadai dapat digunakan untuk membeli dan memelihara ternak itik dalam skala lebih besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumadi et al. (2004) dan Sudaryanto (2005), bahwa banyaknya jumlah kepemilikan ternak disebabkan besarnya
modal yang dimiliki, daya dukung
lahan dan sosial ekonomi masyarakat yang berbeda. Pemeliharaan itik Alabio yang dilakukan peternak umumnya sistem intensif (91.67%±3.44) dan hanya sebagian kecil yang masih melakukan pemeliharaan semi intensif (8.33%±1.44), dengan konstruksi bangunan kandang panggung dan kombinasi antara panggung dengan umbaran. Kejadian penyakit yang sering menyerang itik Alabio adalah lumpuh (55.0%±2.55), prolapsus oviduct
(8.33%±1.77) dan penyakit lainnya sebesar
8.33%±1.09. Kejadian penyakit prolapsus oviduct pada itik Alabio pada hasil pengamatan ini, lebih rendah dibandingkan dengan laporan Rohaeni (1997) sebesar 17.02%, tetapi kejadian penyakit lumpuh lebih tinggi (70.21%). Kejadian prolapsus oviduct pada saat itik sedang produksi telur tinggi, diduga karena ukuran alat reproduksi belum optimal disebabkan oleh dewasa kelamin terlalu dini, sehingga sering tersembulnya saluran telur, sedangkan penyakit lumpuh diduga oleh sistem perkandangan yang terlalu sempit sehingga itik kurang leluasa bergerak.
Bila dihubungkan dengan kandungan kalsium pada pakan
yang dianalisis dari HSS, HST dan HSU (Tabel 14), kemungkinan besar kejadian penyakit lumpuh yang relatif tinggi tersebut, karena kurangnya kalsium yang dikonsumsi.
Hal
ini
sesuai
dengan
pernyataan Wahju
(1997),
bahwa
kekurangan zat mineral tertentu antara lain kalsium dalam pakan dapat menyebabkan kelumpuhan pada ternak. Kejadian penyakit yang tinggi umumnya menyerang pada musim pancaroba, yaitu peralihan antara musim kemarau ke penghujan 75.0%±6.77, sedangkan kejadian penyakit lainnya pada musim hujan. Tingkat mortalitas yang disebabkan serangan penyakit bervariasi. Rataan mortalitas tertinggi pada tingkat serangan penyakit 5-10% (50.0%±1.88)
dan
terendah 6.33%±1.11 pada tingkat serangan penyakit (11 - 20%). Upaya yang dilakukan dalam pencegahan penyakit antara lain menggunakan obat tradisional
97
(50.0%±2.66), melapor kepada petugas Dinas Peternakan terdekat untuk melakukan tindakan pengobatan dengan obat komersial (33.33%±1.77) dan belum pernah diobati sebesar 16.67%±1.23. Tingkat kesadaran peternak dalam hal penanganan penyakit sudah baik. Hal ini membuktikan bahwa pentingnya upaya pencegahan (preventif), supaya tidak menyebar luas dan berdampak terhadap kerugian yang lebih besar. Berdasarkan
kenyataan
di
lapangan,
menunjukkan
bahwa
tingkat
pengalaman peternak dalam usahatani itik Alabio cukup lama, walaupun tidak didukung dengan tingkat pendidikan yang memadai. Namun demikian, dengan pengalaman dan kearifan lokal (indigenous knowledge) yang dimiliki peternak, serta didukung kondisi alam yang memungkinkan, merupakan modal yang baik untuk pengembangan itik Alabio secara berkelanjutan. Di sisi lain, tingkat kesadaran dan pengetahuan peternak yang tinggi dalam upaya penanggulangan penyakit pada itik Alabio, baik dengan obat-obatan tradisional maupun obat komersial, dapat mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas ternak itik yang lebih tinggi lagi, sehingga jumlah kepemilikan itik dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan lebih banyak lagi. Bertolak dari uraian di atas, ketersediaan dan kesiapan sumber daya manusia/peternak dalam rangka mengelola usaha ternak itik Alabio dari ketiga Kabupaten (HSS, HST dan HSU) di Kalimantan Selatan sudah memadai. Namun untuk lebih mengembangkan usaha ternak tersebut masih diperlukan dukungan, peran dan campur tangan pemerintah daerah setempat, dalam hal bantuan modal untuk meningkatkan skala usaha ternak itik Alabio berwawasan agribisnis secara komersial yang lebih baik dan menguntungkan.
PEMBAHASAN UMUM
Itik Alabio merupakan salah satu itik lokal di Kalimantan Selatan yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur. Pola pemeliharaan itik Alabio saat ini, sudah bergeser dari cara lanting (tradisional) ke sistem semi intensif dan intensif. Perubahan pola pemeliharaan secara intensif perlu dukungan teknologi yang memperhatikan prinsip manajemen usaha peternakan modern, berorientasi ekonomis dan berwawasan lingkungan, serta didukung penyediaan faktor-faktor produksi yang berkualitas terutama ternak bibit dan pakan. Kebutuhan bibit yang berkualitas dalam jumlah besar, tidak dapat dipenuhi dengan cara pemeliharaan tradisional, melainkan dengan cara intensif. Pemeliharaan itik Alabio secara intensif, salah satu upaya alternatif untuk memenuhi kebutuhan bibit yang berkualitas.
Namun,
terlebih
dahulu
perlu
diketahui
keragaan
atau
spesifikasinya. Informasi keragaan atau spesifikasi itik Alabio penghasil bibit, diperlukan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam menyusun atau membuat standarisasi. Standarisasi perlu dilakukan dalam rangka mendukung pelestarian sumber daya genetik ternak asli Indonesia, perlindungan konsumen, peningkatan kualitas itik lokal dan peningkatan kinerja agribisnis dan agroindustri. Standarisasi itik Alabio sebagai penghasil bibit, dapat disusun antara lain berdasarkan data atau informasi keragaan/spesifikasi yang meliputi sifat-sifat kuantitatif (ukuran-ukuran tubuh, bobot badan dan produksi telur), sifat kualitatif dan keragaman protein darah. Berdasarkan hasil persamaan dan korelasi, menunjukkan bahwa, faktor peubah pembeda antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari Kabupaten HSS, HST dan HSU adalah panjang tubuh (0.668-0.920), panjang kepala (0.643 - 0.755), tinggi kepala (0.575 - 0.690), panjang leher (0.515 - 0.795) dan panjang punggung (0.600 - 0.841). Terdapat kesamaan antara peubah yang diamati pada ukuran dan bentuk tubuh, diduga bibit yang digunakan masing-masing peternak berasal dari sumber yang sama. Sebaliknya, bobot badan yang diperoleh dari ketiga lokasi penelitian tidak dapat dijadikan sebagai faktor peubah pembeda, hal ini disebabkan hasil persamaan dan nilai korelasi yang diperoleh tidak memiliki nilai hubungan yang kuat, hanya berkisar antara 0.043 - 0.472 atau 4.30% 47.2%. Sifat kuantitatif penting yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dari itik Alabio adalah produksi telur. Rataan produksi telur yang diperoleh selama lima bulan pengamatan cukup tinggi berkisar antara 67.11%±2.75 - 76.48%±3.13.
100
Bila dihubungkan dengan kualitas nutrisi pakan, maka produksi telur yang tinggi berkorelasi positif dengan konsumsi pakan dan zat gizi (protein dan asam amino) yang tinggi atau sebaliknya (Suwindra 1998). Produksi telur yang tinggi dapat dimanfaatkan sebagai salah satu kriteria seleksi, untuk memperoleh produksi telur yang tinggi. Warwick et al. (1995) menyatakan bahwa parameter genetik yang perlu diketahui antara lain nilai korelasi genetik pada sifat-sifat produksi yang memiliki nilai ekonomis penting. Warna bulu dominan pada itik Alabio di Kabupaten HSS, HST dan HSU merupakan ciri khas suatu bangsa itik petelur. Selain menjadi ciri atau identitas suatu bangsa, warna bulu juga dapat berpengaruh terhadap sifat produksi (Martojo 1992; Hardjosubroto 2001). Fries & Ruvinsky (1999) menyatakan bahwa warna bulu selain menjadi ciri atau identitas suatu bangsa ternak, juga dapat memberikan dampak terhadap sifat produksi terutama di daerah tropis, dengan intensitas cahaya matahari tinggi. Selain itu, warna bulu juga dapat mempengaruhi tinggi rendahnya harga ternak yang bersangkutan di pasaran. Mengingat standarisasi bibit induk itik Alabio belum ditetapkan, maka perlu disusun standarnya sebagai acuan yang dapat digunakan oleh seluruh pemangku kepentingan (stake holder). Mengacu kepada Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) Nomor 7557 tahun 2009, tentang standarisasi itik Alabio meri (DOD), yang meliputi persyaratan kualitatif, kuantitatif dan produksi yang dominan, maka hasil penelitian yang diperoleh telah memenuhi persyaratan sebagai salah satu bahan pertimbangan rekomendasi, untuk membuat atau menyusun standarisasi bibit/induk itik Alabio di tingkat lapang/peternak, sebagai berikut: 1. Persyaratan kualitatif meliputi warna bulu dominan pada itik Alabio jantan sebagai berikut bagian kepala atas (coklat totol-totol, putih, coklat totol-totol & putih), leher (coklat, abu kehitaman & putih keabuan), punggung (abu kehitaman & coklat), dada (coklat & putih keabuan), sayap (coklat & hijau kebiruan mengkilap), dan ekor (hitam), kerlip bulu (perak & hijau kebiruan mengkilap), corak bulu (polos & hitam), serta warna paruh kaki dan shank adalah kuning gading tua. Itik Alabio betina memiliki warna pada kepala bagian atas (hitam, putih, hitam & putih), leher (coklat keabuan & putih keabuan), punggung (coklat & coklat keabuan), dada (coklat keabuan & coklat), sayap (coklat keabuan & putih keabuan), dan ekor (coklat keabuan).
101
2. Persyaratan kuantitatif yaitu bobot badan itik Alabio betina umur 5-5.5 bulan berkisar antara 1560 - 1720 g dan jantan berkisar antara 1590 - 1720 g. 3. Persyaratan produksi meliputi
rataan produksi telur selama lima bulan
produksi berkisar antara 67.11% - 76.48%, daya tetas (60.44%), bobot telur tetas (61.53 - 67.86 g), bobot tetas (40.65 – 43.92 g) dan warna kerabang telur hijau kebiruan. Hasil karakterisasi fenotipik dan genetik itik Alabio dalam dan antar populasi di Kabupaten HSS, HST dan HSU, berdasarkan protein darah, menunjukkan bahwa keragaman genetiknya berkisar antara 61.0% - 64.30%. Hal ini diduga bahwa masing-masing individu dalam populasi memiliki karakter yang sama. Kenyataan ini, membuktikan bahwa selama berpuluh-puluh tahun dan secara turun temurun, dengan kearifan lokal (indigenous knowledge) yang dimiliki peternak, itik Alabio telah mengalami seleksi secara alamiah. Di sisi lain, dengan keragaman yang cukup tinggi, itik Alabio mempunyai peluang untuk ditingkatkan produktivitasnya. Peningkatan produktivitas itik Alabio, salah satunya dengan sistem pemuliaan secara terarah dan terstruktur, baik terpisah ataupun kombinasi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suparyanto (2003;2005) dan Prasetyo (2006), bahwa untuk meningkatkan produktivitas ternak itik dapat dilakukan program seleksi yang terstruktur, sehingga diperoleh itik yang lebih seragam. Aktivitas tingkah laku memilih pakan pada itik Alabio, menunjukkan bahwa bentuk pakan mempengaruhi tingkat kesukaan itik. Pakan berbentuk pellet lebih disukai itik Alabio dewasa dari pada bentuk mash dan bentuk lainnya. Implikasinya bahwa bentuk pakan pellet lebih efisien penggunaannya dibanding bentuk lainnya, karena tidak banyak yang terbuang/tercecer. Walaupun diakui bahwa itik dalam mengkonsumsi pakan cenderung banyak pakan tercecer atau terbuang. Kemampuan itik Alabio jantan mengawini betina, terutama pada pagi hari lebih baik dibanding siang dan sore hari, hal ini mengindikasikan bahwa untuk memperoleh daya tunas telur yang optimal, cara perkawinan antara itik Alabio jantan dan betina, sebaiknya dilakukan di dalam kandang (terkurung). Hal ini ditunjukkan berdasarkan hasil pengamatan bahwa cara perkawinan yang dilakukan di dalam kandang (terkurung), mampu menghasilkan daya tunas telur berkisar antara 88.27%±4.01 - 96.50%±4.5. Sebagai salah satu sumber plasma nutfah daerah dan nasional, eksistensi itik Alabio sebagai sumber daya genetik spesifik lokasi mempunyai peranan penting, dalam menambah jumlah koleksi
102
keanekaragaman ternak unggas lokal asli Indonesia. Itik Alabio telah beradaptasi dan berkembang biak dengan baiki wilayah Kalimantan Selatan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35/Permentan/OT.140/8/2006, tentang Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik, maka upaya pelestarian dan pengembangan itik Alabio sebagai salah satu sumber plasma nutfah itik lokal di Kalimantan Selatan penting dilakukan. Hal ini salah sdatu upaya untuk mengantisipasi pengurasan populasi itik yang lebih besar lagi. Walaupun itik Alabio belum termasuk populasi dengan kategori terancam, yang menurut Departemen Pertanian (2006), kategori populasi terancam berkisar antara 1000 - 5000 ekor, sementara populasi itik Alabio berdasarkan Direktorat Jenderal Peternakan (2009) tercatat sebanyak 4.194.535 ekor. Pengembangan itik Alabio di Kalimantan Selatan dengan pewilayahan (sumber bibit dan produksi), perlu dipertahankan dan dilaksanakan lebih baik lagi, sesuai dengan potensi dan daya dukung lahan yang ada. Hal ini mengacu kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2009, tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, bahwa untuk mengantisipasi terjadinya penggerusan materi genetik ternak lokal Indonesia, yaitu dengan melaksanakan program pewilayahan yang dibagi atas: a) wilayah sumber bibit, adalah wilayah yang
melaksanakan
pengembangbiakan
secara
murni,
dengan
mempertimbangkan jenis ternak dan rumpun, agroklimat, kepadatan penduduk, sosial ekonomi, budaya serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Seperti yang telah dilakukan di Desa Mamar, Kabupaten Hulu Sungai Utara yakni sebagai sentra penghasil bibit (DOD), b) wilayah produksi, yaitu wilayah yang melakukan pengembangbiakan
dengan
tujuan
komersial,
yang
memungkinkan
menggunakan teknik-teknik perkawinan silang dan penggemukan. Wilayah produksi itik Alabio antara lain Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan dan kabupaten lainnya yang potensial untuk pengembangan itik Alabio sebagai sentra produksi, terutama untuk menghasilkan telur konsumsi dan itik potong, dan c) wilayah konservasi
adalah wilayah yang melakukan aktivitas
penangkaran hewan/ternak asli yang masih ada, atau mengembangbiakan hasil dari suatu wilayah sumber bibit (Departemen Pertanian 2006), baik konservasi secara in-situ maupun ex-situ (Mansjoer 2002; Setioko 2008). Wilayah-wilayah tertentu yang memiliki daya dukung lahan dan sumber pakan, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara, perlu dipertahankan sebagai kawasan konservasi itik Alabio, sehingga
kemurniannya dapat dijaga dengan baik. Selain itu,
103
keberadaan dan peranan asosiasi peternak itik Alabio/pedagang itik yang sekarang kondisinya belum menggembirakan perlu didorong dan ditingkatkan lagi.
Peranan kelembagaan sebagai wadah bagi peternak itik Alabio dalam
bentuk asosiasi ini, diharapkan mampu mempercepat transfer teknologi dari lembaga penelitian sebagai perekayasa teknologi kepada peternak sebagai pelaku usaha. Partisipasi, dukungan dan peran aktif semua pihak dalam menjaga kelestarian itik Alabio sangat diharapkan, sehingga keberadaan itik Alabio dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya genetik ternak lokal dalam program pemuliaan ternak di Indonesia. Didukung dengan kemampuan dan pengalaman peternak dalam budidaya itik Alabio, serta kearifan lokal (indigenous knowledge) yang dimiliki menunjukkan bahwa, pola pelestarian itik Alabio yang telah dilakukan masyarakat peternak di Kabupaten HSS, HST dan HSU, serta didukung oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan sudah baik. Namun demikian, dalam rangka menghadapi pasar bebas upaya perlindungan terhadap plasma nutfah itik Alabio perlu dilakukan dengan baik dan berkesinambungan. Dalam hal ini, dukungan Pemerintah Pusat sangat diperlukan, antara lain menerbitkan Undang Undang Perlindungan Varietas Ternak, biosekuriti secara ketat serta monitoring dan evaluasi berkala dan berkelanjutan. Menurut Biyatmoko (2005), arah pengembangan itik Alabio ke depan dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu: 1. Pengembangan kawasan terpadu. Pengembangan kawasan terpadu dapat dilakukan dengan cara pemetaan kawasan pengembangan itik Alabio secara terarah, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Hulu Sungai Tengah, yang meliputi kawasan pengembangan itik petelur (telur tetas dan konsumsi), itik pembesaran dan itik potong, yang diikuti dengan upaya perbaikan manajemen budidaya itik Alabio (penyempurnaan dan pendampingan teknik perkandangan, pembuatan ransum, pemilihan bibit, pencatatan produksi telur (recording),
pencegahan
dan
pengendalian
penyakit,
serta
teknologi
pengolahan pasca panen. 2. Pembentukan kawasan sentra pengembangan pemurnian itik Alabio. Kawasan sentra pengembangan permurnian itik Alabio atau Village Breeding Unit (VBU). VBU dapat dilakukan dengan cara mengkaji ulang pemetaan kawasan khusus, bagi pengembangan dan pemurnian itik Alabio yang memiliki daya dukung lahan dan potensi pakan yang baik. Selain itu, kerja sama dengan pihak luar untuk melakukan kajian yang komprehensif dan
104
mendalam tentang perbaikan dan peningkatan mutu genetik (genetic improvement) secara intensif dan berkelanjutan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Faktor peubah pembeda antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari Kabupaten HSS, HST dan HSU adalah panjang tubuh, panjang kepala, tinggi kepala, panjang leher dan panjang punggung.
2.
Secara morfologis itik Alabio yang berasal dari Kabupaten HSS, HST dan HSU memilki bentuk dan ukuran tubuh yang relatif sama.
3.
Keragaman genetik berdasarkan protein darah itik Alabio dari Kabupaten HSS, HST dan HSU berkisar antara 61.0 - 64.3%, sehingga itik Alabio mempunyai potensi untuk ditingkatkan produktivitasnya melalui program pemuliaan secara terstruktur dan terarah.
4.
Jarak genetik yang didasarkan pada frekuensi gen menunjukkan bahwa itik Alabio dari HST dan HSU lebih dekat hubungan kekerabatannya bila dibanding dengan HSS.
5.
Warna bulu dominan itik Alabio betina dan jantan adalah putih keabuan, coklat keabuan, hijau kebiruan, abu kehitaman dan hitam. Corak bulu coklat totol-totol, dan hitam, sementara fluoresens bulu hijau kebiruan mengkilap dan polos. Warna bulu pada bagian kepala itik Alabio betina terdiri atas coklat, putih, coklat dan putih, sedangkan pada jantan adalah hitam, putih, hitam dan putih. Warna paruh, kaki dan shank baik jantan maupun betina adalah kuning gading tua.
6.
Pakan berbentuk pellet merupakan pakan ideal untuk itik dewasa, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman dalam penentuan bentuk pakan yang efisien.
7.
Cara perkawinan itik Alabio yang tepat dapat dilakukan pagi hari pada kandang terkurung, untuk memperoleh fertilitas telur yang optimal.
8.
Keragaan atau spesifikasi, baik berupa sifat-sifat kualitatif, kuantitatif maupun produksi dominan itik Alabio yang diperoleh dari penelitian ini, dapat dipertimbangkan sebagai salah satu bahan persyaratan dalam penyusunan atau membuat standarisasi itik Alabio bibit induk di tingkat lapang atau peternak.
106
Saran
Dalam upaya membuat atau menyusun standarisasi itik Alabio bibit di tingkat lapang, hendaknya mengacu kepada persyaratan yang telah ditetapkan yaitu persyaratan kualitatif (warna bulu dominan pada bagian kepala, leher, badan, sayap, punggung dan ekor), persyaratan kuantitatif (bobot badan jantan dan betina dewasa), serta persyaratan produksi (produksi telur, daya tetas, daya tunas, bobot tetas dan warna kerabang telur). Selain itu, untuk lebih melengkapi hasil penelitian ini, sebaiknya pengambilan jumlah sampel yang lebih representatif dan besar serta lokasi yang lebih beragam, sehingga dapat mencerminkan Kalimantan Selatan. Penelitian di bidang
genetika molekuler
yang terarah dan mendalam perlu dilakukan untuk melihat keragaman genetik yang komprehensif. Telaah lebih lanjut tentang kondisi sosial ekonomi peternak itik Alabio dari masing-masing wilayah pengembangan, untuk mengetahui lebih dalam tentang kelayakan usaha beternak itik Alabio yang lebih menguntungkan dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Alfiyati A. 2008. Si Penghasil telur dan daging yang handal dari Kalimantan Selatan. Bibit. Med Info Perb Ternak 2 (1):19-21. [AOAC] The Association of Official Agricultural Chemist. 2005. Official methods of analysis 18th. Rev.ed. Washington DC. Appleby MC, Mench JA, Hughes BO. 2004. Poultry Behaviour and Welfare. Center of Agriculture Bioscientific (CAB) Publishing. London. Applegate TJ, Harper D, Lilburn L. 1998. Effects of hen age on egg composition and embryo development in commercial Pekin ducks. Poult Sci 77:16081612. Avanzi CF, Crawford RD. 1990. Mutation and major variant in muscovy duck. Di dalam: Crawford RD (ed). Poultry Breeding and Genetics. Elsevier. Amsterdam Azmi, Gunawan, Suharnas E. 2006. Karakteristik morfologis dan genetik itik Talang Benih di Bengkulu. Di dalam: Cakrawala Baru IPTEK Menunjang Revitalisasi Peternakan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 5-6 September 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. hlm. 716-722. Azmi, Gunawan, Suharnas E. 2008. Studi karakteristik morfologis dan genetik kerbau Benuang di Bengkulu. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau; Jambi, 22-23 Juni 2007. Dinas Peternakan Propinsi Jambi bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jambi. Baruah KK, Sharma PK, Bora NN. 2001. Fertility, hatchability and embryonic mortality in ducks. J Ind Vet 78:529-530. Barnard C. 2004. Animal Behaviour, Mechanism, Development, Function and Evaluation. Pearson Education Limited. Prentice Hall England. British Library Cataloguing Publication Data. London. Biyatmoko D. 2005. Petunjuk teknis dan saran pengembangan itik Alabio. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. 9 hlm. Biyatmoko D. 2005a. Kajian arah pengembangan itik di masa depan. Ekspose Konsultan Pengembangan Ternak Kerbau dan Itik serta Diseminasi Teknologi Peternakan Tahun 2005; Banjarbaru, 11 Juli 2005. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. 13 hlm. Bley TAG, Bessei W. 2008. Recording of individual feed intake and feeding behavior of Pekin duck kept in groups. Poult Sci 87:215-221.
108
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Hulu Sungai Utara dalam Angka. Amuntai [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Hulu Sungai Tengah dalam Angka. Barabai [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Hulu Sungai Selatan dalam Angka. Kandangan. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Kalimantan Selatan dalam Angka. Banjarmasin. Brahmantiyo B, Prasetyo LH, Setioko AR, Mulyono RH. 2003. Pendugaan jarak genetik dan faktor peubah pembeda galur itik (Alabio, Bali, Khaki Campbell, Mojosari dan Pegagan). JITV 8 (1):1-7. Brahmantiyo B, Mulyono RH, Sutisna A. 2005. Ukuran dan bentuk tubuh itik Pekin (Anas platyrhynchos), entok impor dan entok lokal (Cairina moschata). Di dalam: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional. Prosiding Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm. 266-272. Buitenhuis AJ, et al. 2005. Quantitative trait loci for behavioural traits in chicken. J Livestock Prod Sci 93:95-103. Butlin RK, Tregenza T. 1998. Levels of genetic polymorphism: Marker loci versus quantitative traits. J Phil Trans R Soc 353:187-198. Campo JL. 1997. The hypostatic genotype chichen. Poult Sci 76:432-436.
of the recessive white prat of
Cook RN, Xin H, Nettleton D. 2005. Effects of cage stocking density of feeding behaviours of groups housed laying hens. J Am Agric Biol Eng 49 (1):187192. Craig VJ. 1981. Domestic Animal Behaviour: Causes and Implication for Animal Care and Management. Prentice Hall-Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. de Ardrede AN, Rogler JC, Featherson WR, Alliston CW. 1977. Interrelationships between diet and elevated temperatures (cyclic and constant) on egg productionand shell quality. Poult Sci 56:1178-1188. Departemen Pertanian. 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 235/Permentan/OT.140/8/2006 Tentang Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Ternak. Jakarta: Departemen Pertanian R.I. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan. 2011. Laporan Tahunan. Banjarbaru.
109
Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan. 2006. Evaluasi kinerja pembangunan peternakan 2006 dan rencana kegiatan 2007. Rapat Kerja Evaluasi Pembangunan Peternakan Kalimantan Selatan. Banjarbaru, 16 Januari 2006. 18 hlm. Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara. 2000. Laporan Tahunan. Amuntai. 59 hlm. Diwyanto K. 2005. Perbibitan dan pengembangan unggas air. Di dalam: Merebut Peluang Agribisnis melalui Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Unggas Air. Prosiding Lokakarya Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru; Bogor, 6-7 Agustus 2005. Bekerjasama Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dengan Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia dan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Dukas R. 2004. Evolutionary biology of animal cognition. Ann Rev Ecol Syst 35: 347-374. Edianingsih P. 1991. Performans produksi dan pengukuran keragaman fenotipik itik Alabio pada sistem pemeliharaan intensif. [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Everitt BS, Dunn G. 1998. Applied multivariate data analysis. Halsted Press an imprint of John Wiley and Sons Inc, New York. Ewing SA, Lay DC, Von-Borell E. 1995. Farm Animal Well Being: Stress Physiology, Animal Behaviour and Environmental Design. Practice Hall New Jersey. Falconer DS, Mackay TFC. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. Fourth Edition. Longman Groups Ltd. England. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2002. Conserving and developing farm animal diversity. Rome. Secretariat of the report on the state of the world animal genetic resources. FAO. Rome. Farland D.1986. Animal Behaviour; Psychobiology, Ethology and Evolution. ELBS-English Language Book Society Longman. Fraser AF, Broom DM. 2005. Farm Animal Behaviour and Welfare. CABI Publishing Oxon, United Kingdom. London. Fries R, Ruvinsky A. 1999. The Genetic of Cattle. CABI Publishing: New York USA. Gahne B, Juneja RK, Gromlus J. 1977. Horizontal polyacrilamide gradient gel electrophoresis for the silmotanous phenotyping of transferin, post transferin, albumin and post albumin in blood plasma of cattle. J Anim Blood Biochem Genet 7:59-64. Gasperzs V. 1992. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Jilid 2. Bandung; Penerbit PT Tarsito.
110
Griffiths AJ, William FMG, Jeffery HM, Richard CL. 1999. Modern Genetics Analysis. W.H. Freeman and Co. New York. Gunawan B et al. 1994. Korelasi phenotipik dan genetik beberapa sifat produksi telur itik Alabio, Khaki Campbell, Tegal dan persilangannya. Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Unggas dan Aneka Ternak. Ciawi, 20-22 Februari 1994. Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm. 49-54. Hamdan A, Zuraida R. 2007. Profil usaha ternak itik Alabio petelur pada lahan rawa lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan (Kasus Desa Sungai Durait Tengah Kecamatan Babirik). Di dalam: Revitalisasi Kawasan PLG dan Lahan Rawa Lainnya untuk Membangun Lumbung Pangan Nasional. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Lahan Rawa. Kuala Kapuas, 3-4 Agustus 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Pemerintah Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah. Palangka Raya. hlm. 127-134. Hamdan, A, Zuraida, R, Khairudin. 2010. Usahatani itik Alabio petelur (Studi kasus Desa Prima Tani Sungai Durait Tengah Kecamatan Babirik, Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan), Di dalam: Menjadikan Inovasi Badan Litbang Pertanian Tersedia Secara Cepat, Tepat dan Murah. Prosiding Seminar Nasional Membangun Sistem Inovasi di Perdesaan. Bogor, 15-16 Oktober 2009. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. hlm 256-262. Handoko J, Sisca S, Mastutiningsih. 2005. Sekilas keragaman hayati di Jawa Tengah. Warta Plas Nut Indon 18. Harahap FA. 2005. Pendugaan parameter genetik sifat-sifat produksi telur itik Alabio dan penggunaannya pada seleksi. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hardjosubroto W. 2001. Genetika Hewan. Jogjakarta; Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Hardjosworo PS. 1995. Peluang pemanfaatan potensi genetik dan prospek pengembangan unggas lokal. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hardjosworo PS et al. 2001. Pengembangan teknologi peternakan unggas air di Indonesia. Prosiding Lokakarya Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru; Bogor, 6-7 Agustus 2001. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm. 22-41.
111
Hardjosworo PS. 2005. Pengaruh penempatan air minum pada efisiensi penggunaan pakan. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Harris M. 1994. Dasar-Dasar Genetika Manusia. 3rd ed. Jogjakarta. Gadjah Mada University Press. Harmayanti WA, Johari S, Kurniyanto E. 2009. Keragaman genotipe kerbau lumpur berdasarkan polimorfisme protein darah. J Ilmu Pet Braw 19 (1):4557. Hayashi Y, Otsuka J, Nishida T, Martojo H. 1982. Multivariate craniometrics of wild banteng, Bos banteng and five traits of native cattle in Eastern Asia. Di dalam: The Origin and Phylogeny of Indonesian Native Livestock Investigation on The Cattle. Form and Their Wild Forms. III: 19-30. Hetzel DJS. 1985. Duck breeding strategies the Indonesian example. Di dalam: Farrel DJ and Stapleton P (ed). Duck Production Science and World Practice. University of New England. p.1-5 Hodges J. 1992. The Threat to Indigenous Breeds in Developing Country and Option for Action. Di dalam: Genetic Conservation of Domestic Livestock. Vol. 2. Center of Agriculture Bioscientific (CAB) - International United Kingdom London. p.47-55. Hoffmann I. 2005. Research and investment in poultry genetic resources challenges and option for sustainable use. J World Poult Sci 61:57-70. Ishii T, Oda T, Fukuda K, Fukaya. 1996. Three dimension measuring apparatus for body from of farm animal. Proceed AAAP Soc Zootech Sci. Tokyo. p.544-545. Iskandar S, Susanti T, Juarini E. 2000. Respons tingkah laku anak itik jantan lokal terhadap bentuk tempat dan jenis pemberian pakan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 September 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. hlm. 310-318. Istiana.1994. Kematian embrio akibat infeksi bakteri pada telur tetas di penetasan itik Alabio dan perkiraan kerugian ekonominya. J Peny Hewan 26 (45):3640. Jarmani SN, Sinurat AP. 2004. Pengembangan itik dalam upaya menambah konsumsi protein hewani dan pendapatan masyarakat. Di dalam; IPTEK sebagai Motor Penggerak Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Buku 1; Bogor, 4-5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm.621-627. Ketaren PP. 1998. Feed and feeding of duck in Indonesia. J Indo Agric Res Develop 20 (3):51-56.
112
Ketaren PP, Prasetyo LH, Murtisari T. 1999. Karakter produksi telur itik silang Mojosari x Alabio. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Ketaren PP. 2002. Kebutuhan gizi untuk itik petelur dan itik pedaging. Wartazoa 12 (2):37-46. Kilgour RD., Dalton. 1989. Livestock Behaviour a Practical Guide. Granada London, Sydney, New York Press. Koch T. 1973. Anatomy of The Chicken and Domestic Duck. IOWA. The IOWA State University Press. Komarudin, Rukmiasih, Hardjosworo PS. 2008. Performa produksi itik berdasarkan kelompok bobot tetas kecil, besar dan campuran. Di dalam: Inovasi Teknologi Mendukung Pengembangan Agribisnis Peternakan Ramah Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 11-12 Nopember 2008. Pusat penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm. 604-610 Kortlang CFHF. 1985. The incubation of duck eggs. Di dalam: Farrel DJ and Stapleton P (ed). Duck Production Science and World Practice. University of New England. p.167-177. Kurniawan I, Haranida, Hadiatami S, Asadi. 2004. Katalog data paspor plasma nutfah tanaman pangan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Lancester FM. 1990. Mutations and major variants in domestic duck. Di dalam: Crawford R.D. (ed). Poultry Breeding and Genetics; Departement of Animal and Poultry Science University of Saskatchewan, Saskatoon, Canada. p 381-388 Larbier M, Leclercq B. 1994. Nutrition and Feeding of Poultry. Nottingham University Press. INRA. Perancis Lasmini A, Abelsami R, Parwati NM. 1992. Pengaruh cara penetasan terhadap daya tetas telur itik Tegal dan Alabio. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 September 1992. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. hlm. 31-34. Lestari. 2002. Pengkajian polimorfisme protein plasma darah ayam kampung dan ayam ras menggunakan analisis polyacrilamide gel electrophoresis (PAGE). J Anim Sci Tech 1(1):18-25 Liron
JP et al. 2002. Analysis genetic diversity and population structure in Argentine and Bolivian Creole cattle using five loci related to milk production. Genet Mol Biol 25 (4):413-419.
113
Ma’amun MY, Rina Y. 1995. Kontribusi usaha ternak terhadap pendapatan petani di Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian; Ciawi-Bogor, 2526 Januari 1995. hlm. 456-555. Maeda Y, Washburn KW, Marks HI. 1980. Protein polymorphism in quail population selected for large body. Anim Bloods Gprs Biochem Genet 11:215-260. Maijala K et al. 1992. Conservation of animal genetic resouces in Scandinavian. In. Genetic Conservation of Domestic Livestock. Vol 2. Center for Agriculture Bioscientific (CAB) International. Mansjoer SS. 1985. Pengkajian sifat-sifat produksi ayam Kampung serta persilangannya dengan ayam Rhode Island Red. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mansjoer I, Mansjoer SS, Sayuthi D. 1989. Studi banding sifat-sifat biologis ayam Kampung, ayam Pelung dan ayam Bangkok. [laporan hasil penelitian]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Mansjoer SS. 2002. Konservasi plasma nutfah unggas dan burung di Indonesia. Disampaikan pada Worshop Nasional Persiapan Country Report The State of The World’s Animal Genetic Resources (The SoWANGRI).Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Marson EP. et al. 2005. Genetic characterization of European zebu composite bovine using RFLP marker. Genet Mol Res 4 (3):496-505. Martojo H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor:Institut Pertanian Bogor Press. Metzer F, Scotia N, Feathersite. 2002. Ducks. http www.togan.co.za/farming/duck htm [06 Maret 2002]. Mignon-Grateau et al. 2005. Genetic of adaptation and domestication in livestock. Livestock Prod Sci 93:3-14. Moioli B, Napalitano F, Cattillo G. 2004. Genetic diversity between Piedmontase Marremana and Podolica cattle breeds. J Hered 95:250-265. Mulyono RH, Pangestu RB. 1996. Analisis statistik ukuran-ukuran tubuh dan analisis karakter-karakter genetik eksternal pada ayam Kampung, ayam Pelung dan ayam Kedu. [hasil-hasil penelitian]. Bogor:Tahun 1995/1996. Rayon Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Muzani A, Brahmantiyo B, Sumantri C, Tapyadi A. 2005. Pendugaan jarak genetik pada itik Cihateup, Cirebon dan Mojosari. Med Pet 28 (3):109116.
114
Nawhan A. 1991. Usaha peternakan itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan. Orasi Ilmiah disampaikan pada Lustrum II dan Wisuda VI Sarjana Negara Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad AlBanjary; Banjarmasin, 26 Oktober 1991. 18 hlm. Nazir M.1998. Metode Penelitian. Cetakan keempat. Jakarta: Penerbit PT Galia Indonesia Nei M. 1987. Molecular Evaluationary Genetics. Columbia University Press: New York. p. 512. Nei M, Kumar S. 2000. Molecular Evolution and Genetics. Oxford University Press: New York. Newman S. 1999. Quantitative and molecular genetic effect on animal well being: Adaptive Mechanism. J Anim Sci 71:1641-1653. Nishida T, Hayashi Y, Hashiguchi T, Mansjoer SS. 1982. Distribution and identification of jungle fowl in Indonesia. The origin and phylogeny of Indonesia native livestock Part III. 85-89. Report by The Research Group of Overseas Scientific Survey. Noor RR. 2008. Genetika Ternak. Jakarta: Penerbit PT Penebar Swadaya. [NRC] National Research Council 1994. Nutrient Requirement of Poultry. Washington: National Academy Press Washington DC. Ogah DM, Alaga AA, Momoh MO. 2009. Principal component analysis of the morphostructural traits of muscovy ducks. Intl J Poult Sci 8 (11):1100-1103. Ogah DM, Alaga AA, Momoh MO. 2009a. Principal component factor analysis of the morphostructural traits of muscovy duck. Intl J Poult Sci 8 (11):11041108. Ogita ZL, Markert CL. 1979. A miniatureized systems for electrophoresis on polyacrilamide gel. Anal Biochem 99:233-241. Orzech K. 2005. Sample ethogram.http://tolweb.org/online contributors [25 Februari 2009]. Pala A. 2004. Genetic conservation of livestock and factor analysis. App Ecol Environt Res 2:135-141. Pingel H. 2005. Development of small scale duck farming as a commercial operation. Di dalam: Merebut Peluang Agribisnis melalui Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Unggas Air. Prosiding Lokakarya Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru; Bogor, 6-7 Agustus 2005. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bekerjasama dengan Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia dan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. hlm.317-349.
115
Prasetyo LH, Susanti T. 1999/2000. Seleksi awal bibit induk itik lokal. [laporan hasil penelitian rekayasa tekonologi peternakan]. Bogor; Bagian Proyek ARMP II. Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Prasetyo LH, Ketaren PP, Hardjosworo PS. 2005. Perkembangan teknologi budidaya itik di Indonesia. Di dalam: Merebut Peluang Agribisnis melalui Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Unggas Air. Prosiding Lokakarya Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru; Bogor, 6-7 Agustus 2005. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bekerjasama dengan Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia dan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. hlm.145-161. Prasetyo LH. 2006. Strategi dan peluang pengembangan pembibitan ternak itik. Wartazoa 16 (3):109-115. Purba M, Manurung T. 1999. Produktivitas ternak itik petelur pada pemeliharaan intensif. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I; Bogor,1-2 Desember 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm. 374-380. Purba M, Hardjosworo PS, Prasetyo LH, Ekastuti DR. 2005. Pola rontok bulu itik Alabio betina dan Mojosari serta hubungannya dengan kadar lemak darah (trigliserida), produksi dan kualitas telur. JITV 10 (2): 96-105. Rahmat D. 1989. Pendugaan parameter genetik beberapa sifat produksi telur itik Alabio, Khaki Campbell dan hasil kawin silang antara itik Alabio, Tegal dan Khaki Campbell. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rasyaf M. 1994. Beternak Itik Komersial. Edisi kedua. Jogjakarta: Penerbit PT Kanisius Ribber AB, Mench JA. 2008. Effect of feed and water based enrichmen on activity and cannibalism in muscovy ducklings. Appl Anim Behav Sci 114: 429-440 Riztyan. 2005. Konstitusi gen pada protein putih telur burung puyuh sebagai dasar dalam klasifikasi. J Pengemb Peter Trop 30 (1): 53-61. Rohaeni ES, Tarmudji. 1994. Potensi dan kendala dalam pengembangan peternakan itik Alabio di Kalimantan Selatan. Warta Penel dan Pengemb Pert 26 (1):4-6. Rohaeni ES, Istiana, Tarmudji. 1994. Penetasan itik Alabio di Kalimantan Selatan ditinjau dari aspek manajemen dan kesehatan anak itik yang dihasilkan. J Peny Hewan 24(47):63-69.
116
Rohaeni ES, Setioko AR. 2001. Keragaan produksi telur pada Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU) itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Prosiding Lokakarya Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru; Bogor, 6-7 Agustus 2001. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Rohaeni ES. 1997. Pengaruh tingkat pemberian bahan pakan lokal untuk itik Alabio [laporan hasil penelitian]. Banjarbaru: Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Banjarbaru. Rohaeni ES. 2005. Analisis kelayakan usaha itik Alabio dengan sistem lanting di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, 12-13 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm. 845-850. Rohaeni ES, Hamdan A, Setioko AR. 2005. Usaha penetasan itik Alabio sistem sekam yang dimodifikasi di sentra pembibitan Kabupaten Hulu Sungai Utara. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Buku II. Bogor,12-13 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm. 727-778. Rohaeni ES, Rina Y. 2006. Peluang dan potensi usaha ternak itik di lahan lebak. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Terpadu; Banjarbaru, 2829 Juli 2006. Balai Penelitian Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Banjarbaru. hlm. 387-397. Romanov MN, Veremenyenko RP, Bondarenko YY. 1995. Conservation of waterfowl germplasm in Ukraine. Di dalam: World’s Poultry Science Association. Proceeding 10th European Symposium on Waterfowl, March, 26-31 1995. Halle (Saale) Germany. p. 401-414. Rose SP. 1997. Principle of Poultry Science. London: Center for Agriculture Bioscientific (CAB) International. London. Saerang JLP. 2010. Kajian biologis maleo (Marcocephalon maleo) yang dipelihara secara ex-situ. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sarengat W. 1990. Inventarisasi nama-nama jenis itik berdasarkan warna bulu pada populasi itik lokal di daerah Magelang dan Tegal. Prosiding Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal. hlm.183-187. Sartika T, Wati DK, Rahayu Iman HS, Iskandar S. 2008. Perbandingan genetik eksternal ayam Wareng dan ayam Kampung yang dilihat dari laju introgresi dan variabilitas genetiknya. JITV 13 (1): 279-287.
117
Schulze V et al. 2003. The influences of feeding behaviour on feed intake curve parameters and performance traits of station tested board. J Livestock Prod Sci 82:105-116. Setioko AR. 1990. Usaha pemeliharaan itik di Indonesia. Disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian. Sub Sektor Peternakan; Binuang 19-20 Oktober 1990. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (IPTP) Banjarbaru. Setioko AR. 1998. Penetasan telur itik di Indonesia. Wartazoa 7 (2) 40-46. Setioko AR. 2001. Inseminasi buatan pada itik. Disampaikan pada Acara Pelatihan Inseminasi Buatan pada Itik di BPT HMT Pelaihari Kalimantan Selatan. Tambang Ulang, 30-31 Agustus 2001. 8 hlm. Setioko AR. 2008. Konservasi plasma nutfah unggas melalui kriopreservasi Primordial Germ Cells (PGCs). Wartazoa 18 (2):68-77. Setioko AR et al. 1992. Pengaruh perbaikan nutrisi terhadap produktivitas itik gembala pada masa bero. Prosiding Agroindustri Peternakan di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak Ciawi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Setioko AR, Sinurat AP, Setiadi B, Lasmini A. 1994. Pemberian pakan tambahan untuk pemeliharaan itik gembala di Subang Jawa Barat. JITV 8 (1):27-33. Setioko AR, Istiana. 1999. Pembibitan itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I; Bogor,1-2 Desember 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm. 382-387. Setioko AR, Istiana, Ismadi DI, Rohaeni ES. 1999/2000. Pengkajian teknologi usahatani itik Alabio [laporan hasil pengkajian].Banjarbaru:Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (IPPTP). Banjarbaru.39 hlm. Setioko AR, Istiana, Rohaeni ES. 2000. Pengkajian peningkatan mutu itik Alabio melalui program seleksi pada pembibitan skala pedesaan. Disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian, Sub Sektor Peternakan; Banjarbaru, 15-16 Agustus 2000. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Banjarbaru.13 hlm. Setioko AR, Rohaeni ES. 2001. Pemberian ransum bahan pakan lokal terhadap produktivitas itik Alabio. Prosiding Lokakarya Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru; Bogor, 6-7 Agustus 2001. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Setioko AR, Susanti T, Prasetyo LH, Supriyadi. 2004. Produktivitas itik Alabio dan MA dalam sistem perbibitan di BPTU Pelaihari. Di dalam; IPTEK sebagai Motor Penggerak Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan.
118
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, 45 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Setioko AR, Sopiyana S, Sunandar T. 2005. Identifikasi sifat kuantitatif dan ukuran tubuh pada itik Tegal, itik Cirebon dan itik Turi. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm.786-794. Smyth JR. 1993. Genetic of plumage, skin, eyes pigmentation in chicken. Di dalam: Crawford RD (ed). Poultry Breeding and Genetics. Departement of Animal and Poultry Science. University of Saskatchewan, Saskatoon. Canada. p. 109-168. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2006. Ransum itik petelur (duck layer) SNI Nomor 01-3910 Tahun 2006. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. Standarisasi itik Alabio meri/DOD SNI Nomor 7557 Tahun 2009. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta Solihat S, Suswoyo I, Ismoyowati. 2003. Kemampuan performan produksi telur dari berbagai itik lokal. J Peter Trop 3 (1):27-32. Sopiyana S., A.R. Setioko dan M.E. Yusnandar. 2006. Identifikasi sifat-sifat kualitatif dan ukuran tubuh pada itik Tegal, itik Magelang dan itik Damiaking. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi dalam Mendukung Usaha Ternak Unggas Berdaya Saing. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm.123-130. Sopiyana S, Prasetyo LH. 2008. Menyilangkan itik peking. Poult Indon. Edisi Januari 2008. Jakarta. hlm. 66-67. Srigandono B, Sarengat W. 1990. Ternak itik identitas Jawa Tengah. Prosiding Temu Tugas Sub Sektor Peternakan. Pengembangan Itik di Jawa Tengah. hlm.10-16. Srigandono B. 1997. Ilmu Unggas Air. Jogjakarta; Gadjah Mada University Press. Stansfield WD. 1983. Theory and Problems of Genetics. 2nded. Mc. Graw Hill Company Inc. New York. Steel RGD, Torrie GH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik; Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Sudana W. 2005. Potensi dan prospek lahan rawa sebagai sumber produksi pertanian. Anal Kebijak Pert 3(2):141-151. Sudaryanto B. 2005. Peranan modal kepada petani. Di dalam: Pengembangan Usaha Kecil Lokakarya Unggas Air Sebagai
sebagai upaya percepatan alih teknologi Merebut Peluang Agribisnis melalui dan Menengah Unggas Air. Prosiding Peluang Usaha Baru; Bogor, 6-7 Agustus
119
2005. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bekerjasama dengan Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia dan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. hlm 308-316 Sumadi, Hardjosubroto W, Ngadiyono N. 2004. Analisis potensi sapi potong bakalan di Daerah Istimewa Jogjakarta. Di dalam; IPTEK sebagai Motor Penggerak Pembangunan Sistem Usaha Agribisnis Peternakan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Buku 1. Bogor, 4-5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm. 130-139. Suparyanto A. 2003. Karakteristik itik Mojosari putih dan peluang pengembangannya sebagai itik pedaging komersial. Wartazoa 13 (4):143151. Suparyanto A. 2005. Peningkatan produktivitas daging itik mandalung melalui pembentukan galur induk.[disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suryana. 2007. Prospek dan peluang pengembangan itik Alabio di Kalimantan Selatan. J Penel Pengemb Pert 26 (3):109-114. Suryana, Tiro BW. 2007. Keragaan penetasan telur itik Alabio dengan sistem gabah di Kalimantan Selatan. Di dalam; Percepatan Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Kemandirian Masyarakat Kampung di Papua. Prosiding Seminar Nasional dan Ekspose. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua; Jayapura, 5-6 Juli 2007. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.hlm 269-277. Susanti T. 2003. Strategi pembibitan itik Alabio dan itik Mojosari. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Susanti T, Prasetyo LH. 2007. Panduan Karakterisasi Ternak Itik. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Bogor. 42 hlm. Susanti T, Prasetyo LH. 2009. Pendugaan parameter genetik sifat-sifat produksi telur itik Alabio. Di dalam:Inovasi Teknologi Mendukung Pengembangan Agribisnis Peternakan Ramah Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 11-12 Nopember 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm. 588-610. Sutopo, Nomura K, Sugimoto Y, Amano T. 2001. Genetic relationship among Indonesia native cattle. J Anim Genet 28:3-11 Suwindra IN. 1998. Uji tingkat protein pakan terhadap kinerja itik umur 16 - 40 minggu yang dipelihara intensif pada kandang tanpa dan dengan kolam. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
120
Syrstad O. 1992. Utilization of indigenious animal genetic resources. Di dalam: African Animal Genetic Resources: Their Characterization, Conservation and Utilization. Proceeding of The Research Planning Workshop Held at ILCA. Addis Ababa. Ethiopia, 19-21 Februari 1992. International Livestock Center for Africa. Ethiopia. p.17-21. Tanari M. 2005. Karakterisasi habitat, morfologi dan genetik serta pengembangan teknologi penetasan ex-situ burung maleo (Macrocephalon maleo Sal. Muller 1846) sebagai upaya meningkatkan efektivitas konservasi. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Toha AHA. 2001.Deoxyribo Nucleic Acid: Rekayasa, Keanekaragaman dan Efek Pemanfaatannya. Bandung: Penerbit Alfabeta. Tomaszewska MW, Putu IG. 1989. Behaviour in relation to animal production in Indonesia. Bogor:Institut Pertanian Bogor-Australia Project and Balai Penelitian Ternak Bogor. [UURI] Undang Undang Republik Indonesia. 2009. Undang Undang Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 18 tahun 2009. Republik Indonesia. Jakarta Wahju J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Jogjakarta:Gadjah Mada University Press. Washburn KW.1993. Genetics variation in egg composition. Di dalam: Crawford RD (ed). Poultry Breeding and Genetics. Departement of Animal and Poultry Science. University of Saskatchewan, Saskatoon. Canada. p.781804. Wasito, Rohaeni ES. 1994. Beternak Itik Alabio.Jogjakarta: PT. Kanisius. Warsono IU. 2009. Sifat biologis dan karakteristik karkas dan daging bandikut (Echymipera kalubu). [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Warwick EJ, Astuti JM, Hardjosubroto W. 1995. Pemuliaan Ternak. Edisi kelima. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. Wibowo B, Juarini E, Sunarto. 2005. Analisa ekonomi usaha penetasan telur itik di sentra produksi. Di dalam: Merebut Peluang Agribisnis melalui Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Unggas Air. Prosiding Lokakarya Unggas Air II. Ciawi, 16-17 Nopember 2005. Kerjasama Balai Penelitian Ternak, Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.hlm 261-270. Wiley EO.1981. Phylogenetics. The Theory and Practice of Phylogenetics Systematic. Canada: John Wiley and Sons Inc. Wilson HR.1997. Effecs of maternal nutrient on hatchability. J Poult Sci 76:143146.
121
Winaya A. 2010. Variasi genetik dan hubungan filogenetik populasi sapi lokal di Indonesia berdasarkan penciri molekuler DNA mikrosatelit kromosom Y dan gen cytochrome B. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Wulandari WA. 2005. Kajian karakteristik biologis itik Cihateup. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Yellita Y. 1998. Pola polimorfisme protein darah itik lokal Sumatera Barat. [tesis].Padang: Program Pascasarjana, Universitas Andalas Padang. Yuwono DM, Subiharta, Hermawan A. 2006. Kajian inovasi kelembagaan pembibitan itik Tegal Unggul model inti-plasma. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi dalam Mendukung Usaha Ternak Unggas Berdaya Saing. Semarang, 4 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasana dengan Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang. hlm.176-184. Zuraida R. 2004. Profil pengusahaan ternak itik pada sistem usahatani di lahan rawa lebak (Studi kasus di Desa Setiab Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan). Di dalam; IPTEK sebagai motor penggerak pembangunan sistem dan usaha agribisnis peternakan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Buku 1. Bogor, 4-5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm.614-620. .
.
LAMPIRAN
124
Lampiran 1 Gambar cara pengukuran, corak dan pola warna bulu itik Alabio
Gambar 1.1 Penampilan itik Alabio jantan dewasa
Gambar 1.3 Pengukuran panjang paruh
Gambar 1.2 Penampilan itik Alabio betina dewasa
Gambar 1.4 Pengukuran lebar paruh
125
Gambar 1.5 Pengukuran tinggi kepala
Gambar 1.6 Pengukuran panjang punggung
126
Gambar 1.7 Pengukuran panjang leher
Gambar 1.8 Pengukuran panjang sayap
127
Gambar 1.9 Pengukuran panjang sternum
Gambar 1.10 Pengukuran panjang paha
128
Gambar 1.11 Pengukuran lebar dada
Gambar 1.12 Warna bulu leher, dada dan perut itik Alabio jantan
Gambar 1.13 Warna bulu leher, dada dan perut itik Alabio betina
129
Gambar 1.14 Gambar itik Alabio jantan nampak dari depan
Gambar 1.15 Warna bulu itik Alabio betina bagian punggung
Gambar 1.16 Warna bulu ekor itik Alabio jantan
Gambar 1.17 Warna bulu ekor itik Alabio betina
130
Gambar 1.18 Warna bulu sayap itik Alabio betina
Gambar 1.19 Warna bulu kedua sayap dan punggung itik Alabio betina
Gambar 1.20 Warna paruh itik Alabio jantan
Gambar 1.21 Warna bulu sayap primer dan sekunder itik Alabio betina
131
Gambar 1.22 Warna bulu ekor itik betina nampak samping
Gambar 1.23 Warna bulu ekor itik jantan nampak samping
Gambar 1.24 Warna bulu badan itik Alabio jantan bagian samping
Gambar 1.25 Warna bulu leher itik Alabio betina dan jantan
132
Gambar 1.26 Warna bulu dada itik Alabio betina
Gambar 1.27 Warna bulu dada itik Alabio jantan
133
Gambar 1.28 Warna bulu leher depan itik Alabio jantan
Gambar 1.30 Warna bulu leher depan itik Alabio betina
Gambar 1.29 Warna bulu leher samping itik Alabio jantan
Gambar 1.31 Warna bulu leher samping itik Alabio betina
134
Gambar 1.32 Warna bulu punggung depan itik Alabio jantan
Gambar 1.34 Warna bulu punggung depan itik Alabio betina
Gambar 1.33 Warna bulu punggung belakang itik Alabio jantan
Gambar 1.35 Warna bulu punggung belakang itik Alabio betina
135
Lampiran 2 Gambar berbagai sistem pemeliharaan itik Alabio
Gambar 2.1 Pemeliharaan itik Alabio sistem kandang panggung
Gambar 2.2 Pemeliharaan itik Alabio sistem semi intensif
136
Gambar 2.3 Pemeliharaan itik Alabio sistem intensif
Gambar 2.4 Pemeliharaan itik Alabio sistem intensif dengan umbaran
137
Lampiran 3 Lembar pertanyaan (kuisioner)
DAFTAR PERTANYAAN
I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama Responden : ……………………………… 2. Umur
: ……………………… tahun
3. Pendidikan
: ………………………………
4. Pekerjaan
:
a. Utama
: …………………………….
b. Sampingan : …………………………….. 5. Pengalaman Beternak: ……………….tahun 6. Tanggungan Keluarga:: ……………... orang 7. Alamat
: ……………………………………………………………. …………………………………………………………….
II. KEPEMILIKAN TERNAK
1. Jumlah ternak itik Alabio yang Bapak dimiliki: a. Jantan ……………. ekor
b. Betina ……………….ekor
2. Sistem pemeliharaan apa yang Bapak gunakan? a. Intensif
b. Semi intensif
c. Lanting/umbaran
3. Bentuk kandang itik bagaimanan yang Bapak digunakan: a. Panggung
b. Battrey
c. Lainnya ………..
4. Bagaimana Bapak cara memperoleh bibit itik Alabio ? a. Membeli di pasar
b. Menetaskan sendiri
c. Membeli di sekitar desa
d. Membeli dari luar desa
5. Berapa harga bibit itik yang Bapak beli? Rp. …………………….
138
6. Jenis pakan apa saja yang diberikan : a…………………………….., jumlah dan harga …… Kg, Rp. ………… b. ……………………………., jumlah dan harga…… Kg, Rp. ………… c. …………………………….., jumlah dan harga…
Kg, Rp. ………….
d. …………………………….., jumlah dan harga… Kg, Rp. ………… e. Lainnya sebutkan ………………………………………………. 7. Bagaimana cara Bapak mendapatkan bibit yang berkualitas kualitas baik?: a. Mudah
b. Sulit
c. Lainnya………..
8. Bagaimana cara pemberian pakan yang Bapak lakukan? a. 2 kali sehari
b. 3 kali sehari
c. lain-lain ……………...
9. Apakah Bapak pernah menganalisis kandungan gizi pakan itik yang digunakan ? a. Belum pernah b. Pernah c. Kadang-kadang d. Tidak tahu 10. Dari mana Bapak mendapatkan pakan itik? A. Pasar
b. Di toko Poultry
c. Di Desa sekitar
11. Apakah Bapak kesulitan dalam mendapatkan bahan pakan? a. Mudah
b. Sulit
c. Lainnya……….
Kalau ada kesulitan apa saja, sebutkan ………………………………. 12. Apa tujuan dalam memelihara itik Alabio: a. Menghasilkan telur konsumsi
b. Menghasilkan telur tetas
III. PRODUKSI TELUR
1.
Berapa bulan umur itik Bapak pertama kali bertelur ………………bulan
2.
Berapa persen produksi telur itik Bapak sekarang ……………………%
3.
Pada bulan ke berapa puncak produksi telur dicapai?...........................
4.
Pada bulan keberapa telur itik menurun produksinya?.............................
139
5.
Kemana Bapak menjual telur itik yang hasilkan …………………………
6.
Berapa harga telur tetas ? Rp./butir……………………………
IV.
PENYAKIT
1.
Jenis penyakit apa yang sering menyerang itik Bapak?.........
2.
Penyakit apa saja yang sering menyerang pada umur itik berapa bulan ...
3.
Pada umur berapa penyakit yang sering menimbulkan kematian pada itik ..
4.
Musim apa saja yang sering mewabah penyakit pada itik Bapak? …….
5.
Berapa persen tingkat serangan penyakit dan dapat menimbulkan kematian………
6.
Bagaimana cara Bapak menaggulangi jika ada serangan penyakit?
7.
Bagaimana upaya Bapak dalam mencegah penyakit?
8.
Kalau ada penyakit yang menjangkit itik Bapak. Apakan Bapak melapor kepada petugas Dinas Peternakan setempat atau ditangani sendiri ?
9.
Obat-obatan apa saja yang Bapak gunakan kalau ada itik yang sakit ?
V. PERBIBITAN 1. Bagaimana cara Bapak untuk memperoleh bibit itik yang dipelihara sekarang? ……………………………………………………………………. 2. Bagaimana menurut Bapak ciri-ciri bibit itik yang baik, tolong jelaskan, Jantan………………………………………………………………………….., dan Betina ............................................................................................................ 3. Kalau menetaskan sendiri, berapa butir jumlah telur sekali menetaskan ….. butir 4. Berapa persen daya tunas/periode penetasan ……….. % 5. Berapa persen daya tetas/periode penetasan…………. % 6. Berapa persen anak itik (DOD) yang mati setiap periode penetasan ……% 7. Kemana Bapak menjual bibit itik yang dihasilkan? 8. Berapa harga anak itik (DOD)/ekor. Rp. ………………. 9. Apa masalah yang dihadapi dalam menetaskan telur sebagai bibit?............ 10. Dengan cara apa Bapak menetaskan telur? a. Sistem gabah
b. Alat penetasan listrik
c. Lainnya …..
140
Lampiran 4
Profil Peternak Itik Alabio di Kabupaten HSS, HST dan HSU Kalimantan Selatan
Uraian HSS Jumlah responden (orang)
Kabupaten HST HSU
Rataan
20
20
20
20.0±2.50
Umur responden (th)
46.50
39.75
40.45
42.23±2.12
Pengalaman beternak (th)
18.0
12.25
32.30
20.85±3.10
Pekerjaan utama Beternak itik Bertani Lain-lain
50.0 50.0 -
50.0 50.0 -
75.0 25.0 -
58.33±2.05 41.66±1.54 -
Tingkat pendidikan SD SMP SMA Perguruan Tinggi Tanggungan keluarga (orang)
100 3.0
75.0 25.0 2.0
100.0 3.0
91.66±5.33 8.33±1.63 2.66±1.00
Kepemilikan itik (ekor) Betina Jantan
395 9.0
737 -
491 13.0
541±15.66 7.33±1.02
Sistem pemeliharaan (%) Intensif Semi intensif
100 -
75.0 25.0
100 -
91.67±3.44 8.33±1.44
100 -
75.0 25.0
75.0 25.0
83.33±5.91 16.67±1.55
Cara pemberian pakan (%) 2 kali sehari 3 kali sehari
100 -
100 -
50 50
83.33±4.76 16.67±2.77
Tujuan utama pemeliharaan itik(%) Telur tetas Telur konsumsi
80.0 20.0
100 -
90.0 10.0
90.0±5.66 10.0±1.00
Cara mendapatkan pakan (%) Mudah Sulit
100 -
100 -
100 -
100±1.99 -
Menganalisis pakan (%) Pernah Belum pernah
100
100
100
100±1.99
Umur itik pertama kali bertelur (bln): 6 6.5
50.0 50.0
25.0 75.0
25.0 75.0
33,33±2.22 66.67±4.22
Sistem perkandangan (%) Panggung Kombinasi (panggung umbaran)
dan
141
Puncak produksi telur (bln) 2-6 2-8 2-10
50.0 50.0
25.0 25.0 50.0
50.0 25.0 25.0
25.0±1.44 33.33±1.11 41.67±3.11
10.0 90.0 -
50.0 25.0 25.0 -
25.0 25.0 25.0 25.0
3.33±0.99 55.0±2.55 8.33±1.88 16.67±1.77 8.33±1.77 8.33±1.09
Musim penyakit menyerang (%): Hujan Kemarau Pancaroba
25.0 25.0 50.0
25.0 75.0
100
16.67±1.40 8.33±1.05 75.0±6.77
Tingkat mortalitas (%) 5 -10 11 - 20 21 -30 > 30
50.0 50.0 -
25.0 75.0
100 -
50.0±1.88 8.33±1.11 16.67±1.60 25.0±1.01
Cara pencegahan penyakit Obat tradisional Obat komersial Tidak diobati
50.0 50.0 -
75.0 25.0
25.0 50.0 -
50.0±2.66 33.33±1.77 8.33±1.03
Jenis penyakit yang menyerang itik (%) Flu burung Lumpuh Salesma Berak kapur Prolapsus oviduct Lainnya
sering
142
143
144
145