ANALISIS KEBIJAKAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI (KBK) DAN DESAIN MODEL KURIKULUM BERWAWASAN LINGKUNGAN SEKOLAH MENENGAH ATAS (Studi Kasus pada Sekolah Menengah Atas di Jakarta dan Bekasi)
NITA NORIKO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul: Analisis Kebijakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Desain Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan Sekolah Menengah Atas (Studi Kasus pada Sekolah Menengah Atas di Jakarta dan Bekasi ) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Oktober 2007
Nita Noriko P-062024274
ABSTRAK
NITA NORIKO, 2007. ANALISIS KEBIJAKAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI (KBK) DAN DESAIN MODEL KURIKULUM BERWAWASAN LINGKUNGAN SEKOLAH MENENGAH ATAS (Studi Kasus pada Sekolah Menengah Atas di Jakarta dan Bekasi). M. SYAMSUL MA’ARIF, sebagai Ketua Komisi Pembimbing, SURJONO HADI SUTJAHJO dan HASIM sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
Berbagai kasus kerusakan lingkungan yang terjadi di antaranya dapat disebabkan oleh terbatasnya wawasan sebagian masyarakat Indonesia terhadap lingkungan. Wawasan tentang lingkungan hidup dan kecakapan mengelola sumberdaya alam yang berkelanjutan dapat dibangun dengan pembekalan melalui jalur pendidikan formal. Berpijak dari adanya fenomena kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia maka tujuan penelitian ini adalah membuat Analisis Kebijakan Kurikulum 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang berkaitan dengan kompetensi lingkungan hidup siswa, menemukan faktor penting dalam PLH untuk meningkatkan kompetensi siswa tentang lingkungan hidup melalui KBK, menemukan faktor kendala utama dalam PLH, menemukan langkah stratgis dalam PLH melalui KBK, membuat Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan, dan membuat alternatif skenario implementasi Kurikulum Berwawasan Lingkungan pada tingkat SMA. Hasil analisis kebijakan menunjukkan komponen pendukung Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) pada sekolah yang menggunakan KBK, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, dan Kurikulum 1994 bervariasi pada setiap sekolah dan pada umumnya belum dilengkapi secara utuh. Kompetensi siswa tentang lingkungan hidup belum mencapai ketuntasan belajar. Hasil penelitian menunjukkan kompetensi siswa tentang lingkungan hidup bukan dipengaruhi oleh jenis kurikulum dan jurusan, tetapi lebi disebabkan oleh faktor kondisi sekolah. Berdasarkan hasil Analisis Prospektif dapat diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) faktor penting dalam pelaksanaan PLH, yaitu Manajemen Berbasis Sekolah yang mendukung PLH, Program Kegiatan PLH, dan Inovasi dalam Metode PLH. Hasil analisis Interpretative Structural Modelling (ISM) menemukan 3 (tiga) faktor kendala utama dalam PLH yaitu Kebijakan Pemerintah yang masih top down, Manajemen Berbasis Sekolah yang belum mendukung PLH, dan Tim Monitoring dan Evaluasi PLH yang belum efektif. Sedangkan langkah strategis dalam Kurikulum Berwawasan Lingkungan adalah mengadakan diskusi tentang lingkungan melalui kegiatan ekstra kurikuler. Selanjutnya dari hasil Analisis Prospektif dan ISM dibuat Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan yang dalam penerapannya di lapangan dapat dilakukan melalui tiga skenario. Kata Kunci: Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)
ABSTRACT
NITA NORIKO, 2007. The Policy Analyze Competency Based Curriculum (KBK) and Design Model Curriculum Having Environment Concept Senior High School (Case Study on Senior High School in Jakarta and Bekasi). SYAMSUL MA’ARIF, as a Chairman, SURJONO HADI SUTJAHJO and HASIM as members of the Advisory Commitee.
The limited environmental concept of a part of Indonesian is one of causes of the environmental destruction cases. The environmental concept and the ability for continuously managing natural resources can be built by provision through formal educational line. On the basis of the environmental destruction phenomena in Indonesia, the purposes of this reseach are to analyze the policy on Competency Based Curriculum (KBK), to find out main constrain factors for grading up compentency of students on environment through KBK, to find out main constrain factors in Environmental Education, to design an educational policy model on KBK under the environmental concept in Senior High School (SMA) level and to make an alternative educational policy scenario on KBK under the environmental concept in SMA level. The research result show that the supporting components of Environmental Education (PLH) in school using KBK and Curriculum 1994 are various in each school and they have yet to be fully equipped. Competency of student’s behaviors on environment concept has yet to reach learning completely. This condition is not caused by their lack of concept and behavior competency because the data shows that their concept and behavior competency have reached the Minimum Competency Limit Standard (SKBM). Beside, this condition is also not caused by the types of curriculum and department but is more caused by the school condition factors. Based on Prospective Analysis, there are three important in the implementation of PLH namely School Based Management, Activity Program Supporting the PLH and Innovation in Learning Method PLH. The results of Interpretative Structural Modeling (ISM) shows that there are constrain factors which can be included in the controlled inputs in the Input Output Diagram as well as activities supporting the PLH. Based on the result of Prospective Analysis and ISM, environmental base KBK Model is created, of which in its field application can be carried out through three scenarios. Key words: Competency Based Curriculum (KBK), Environmental Education (PLH)
Hak cipta milik Insitut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
ANALISIS KEBIJAKAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI (KBK) DAN DESAIN MODEL KURIKULUM BERWAWASAN LINGKUNGAN SEKOLAH MENENGAH ATAS (Studi Kasus pada Sekolah Menengah Atas di Jakarta dan Bekasi)
Oleh NITA NORIKO P. 062024274
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar DOKTOR Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Disertasi
: Analisis Kebijakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Desain Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan Sekolah Menengah Atas (Studi Kasus pada Sekolah Menengah Atas di Jakarta dan Bekasi).
Nama
: NITA NORIKO
Nomer Pokok
: P-062024274
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma’arif, M.Eng. Ketua
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Anggota
Dr. Drh. Hasim, DEA Anggota
Diketahui 2. Ketua Program Studi PSL
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S
Tanggal Ujian: 31 Oktober 2007
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MSc.
Tanggal lulus:
R1WAYAT H1DUP
Nita Noriko lahir di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1964, merupakan anak pertama dari H. Siradjuddin Sanusi dan Hj. Siti Rafi’ah. Penulis mengikuti pendidikan SD, SMP dan SMA di Jakarta. Selanjutnya mengikuti pendidikan S1 pada jurusan Biologi di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta (1983), pendidikan S2 pada jurusan Biologi Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta (1990), dan pendidikan S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di IPB (2003 - sekarang). Penulis saat ini bertugas sebagai Dosen pada Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Fisioterapi Universitas Indonusa Esa Unggul, Guru Yayasan Pesantren Islam Al Azhar, Guru SMAN 8 Jakarta, dan Pengajar Bimbingan Belajar BTA. Penghargaan yang telah diterima adalah Guru Teladan Kotamadya Bekasi tahun 2000, Pembina Asian Physic Olympiade 2001 terbaik II, Pembina Lomba Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) terbaik ke II tingkat Nasional tahun 2002. Karya ilmiah yang dipublikasikan diantaranya adalah Pengaruh Ekstrak Bawang Putih Terhadap Pertumbuhan Sel Kanker Mencit, Kurikulum Imtaq dan Biologi, serta Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) melalui Kurikulum SMA. Kursus yang pernah diikuti adalah
Genetika Manusia,
HIV dan AIDS,
Biotechnologi, Organic Farming, E-Learning, Life Science,
Patologi dan
Anatomi, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Evaluasi Pengajaran, Penyusunan Modul untuk Siswa Akselerasi, dan Persiapan Sekolah Bertaraf Internasional. Penulis menikah dengan Ir Supriatna, MSi pada tanggal 19 Juli 1987 dan dikaruniai 3 orang anak
yaitu: Valdi Sina Ilman, Fildza Ilmi Khumaira dan
Muhammad Fahman Al Ghifari.
Bogor, Oktober 2007
Nita Noriko
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas hidayah Nya penyusunan Draft Disertasi ini dapat diselesaikan. Judul Disertasi ini adalah Analisis Kebijakan Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK)
dan Desain Model
Kurikulum Berwawasan Lingkungan Sekolah Menengah Atas (Studi Kasus pada Sekolah Menengah Atas di Jakarta dan Bekasi). Penulisan disertasi dilatarbelakangi oleh banyaknya kerusakan sumberdaya alam yang terjadi di Indonesia yang disertai dengan penurunan kualitas lingkungan. Hal ini terjadi tidak terlepas dari perilaku masyarakat terhadap lingkungan yang disebabkan oleh terbatasnya wawasan sumberdaya manusia terhadap lingkungan. Karena itu pembekalan bagi para siswa khususnya Sekolah Menengah Atas
tentang pentingnya pengelolaan
sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan sangat diperlukan sebagai bagian dari upaya peningkatan manusia yang
kualitas lingkungan.
kompeten
Dalam rangka menyiapkan sumberdaya
dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian
lingkungan dibutuhkan suatu Disain Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Prof. Dr Ir M Syamsul Ma’arif, M Eng, Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS, Dr. Drh. Hasim, DEA atas segala bimbingannya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Terimakasih yang sebesarbesarnya juga saya sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Prof. Dr. Ir. Marimim, MSc selaku Sekretaris Program Doktor
Sekolah Pascasarjana
IPB atas segala bantuannya .
Kepada Dr. Ir. Eti Riani
saya ucapkan terima kasih karena telah memberikan
bantuan dan dukungan moril dalam mcnghadapi berbagai tantangan selama proses penyelesaian disertasi ini. Terima kasih juga saya
haturkan kepada
para penguji
disertasi selain pembimbing yaitu Prof. Dr. Ir Cecep Kusmana, Prof. Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi , Dr. Drs. Adisyahputra, MS dan Dr . Ir. Kholil, M Com terima kasih secara khusus saya sampaikan kepada ibunda
Ucapan
Hj. Siti Rafi’ah dan
ayahanda H. Siradjuddin Sanusi atas segala dorongan dan do’anya. Terimakasih
juga saya sampaikan kepada yang suami saya tercinta Ir Supriatna, MSi dan anakanakku Valdi Sina Ilman, Fildza Ilmi Khumaira, Muhammad Fahman Al Ghifari yang telah memberikan izin, semangat, dorongan dan do’a
dalam menempuh
pendidikan.. Saya menyadari bahwa disertasi ini merupakan rancangan kajian yang relatif singkat dan terbatas serta jauh dari sempurna, oleh sebab itu masih diperlukan banyak masukan dari berbagai pihak untuk menjadi disertasi yang final. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Bogor, 31 Oktober 2007
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR……………………………………………………..... DAFTAR ISI………………………………………………………………… DAFTAR TABEL…………………………………………………………… DAFTAR GAMBAR………………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... I. PENDAHULUAN………………………………………………………… 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 1.6. 1.7.
Latar Belakang………………………………………………………... Identifikasi Masalah .............................................................................. Tujuan Penelitian……………………………………………………… Manfaat Penelitian . ……………………………………………… .. Kerangka Pikir Penelitian …………………………………………….. Lingkup Penelitian ……………………………………………………. Nilai Kebaruan (Novelty) ……………………………………………..
II. TINJAUAN PUSTAKA …………… ……………………………………
i iii vi vii viii 1 1 6 7 8 8 9 11 14
2.1. Kondisi Lingkungan Hidup dan Pendidikan …… ………………….. 14 2.2. Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), serta Kaitannya dengan PLH ……………...................................................................……… 22 2.3. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) …..…………………………… 43 2.4. Sejarah Pendidikan Lingkungan Hidup di Indonesia ……………….. 47 2.5. Upaya Meningkatkan Kompetensi Lingkungan … . ……………….. 51 2.6. Komite Sekolah dan PLH….……………………………………….. 57 2.7. PLH di Beberapa Negara ..................................................................... 58 2.8. Teori Organisasi dan Pendidikan ………….………………………… 62 2.9. Analisis Kebijakan…………………………………………………….. 72 2.10.Berpikir Sistemik (System Thinking) ................................................... 73 2.10.1. Analisis Prospektif .................................................................. 77 2.10.2. Teknik Permodelan Interpretasi Struktural (ISM) ................... 80 III. METODOLOGI PENELITIAN ………………………………………. 3.1. Lokasi Penelitian………………………………………………………. 3.2. Jenis dan Sumber Data ……….. ……………………………………… 3.3. Definisi Operasional dan Kriteria ...…………………………………... 3.3.1. Kriteria Kompetensi ……………………………………………. 3.3.2. Kriteria Pakar …………………………………………………... 3.4. Tahapan Penelitian ……………………………………………………. 3.4.1. Tahap 1 ……………………………………………………….. 3.4.2. Tahap 2 .……………………………………………………….. 3.4.3. Tahap 3 ………………………………………………………... 3.4.4. Tahap 4 ………………………………………………………...
82 82 83 83 84 85 85 87 89 89 89
3.4.5. Tahap 5 ………………………………………………………...
IV. KONDISI UMUM SEKOLAH YANG DITELITI…….………….. …. 4.1. Kondisi Umum SMA Negeri 81 Jakarta .. ………….….…………... 4.1.1. Bidang Akademik …………………………………………….. 4.1.2. Bidang Kesiswaan …………………………………………….. 4.1.3. Bidang Humas dan Umum …………………………………….. 4.1.4. Bidang Sarana dan Prasarana ………………………………….. 4.1.5. Bidang Bimbingan Konseling ...……………………………….. 4.2. Kondisi Umum SMA Islam Al Azhar 4 Bekasi ……………………… 4.2.1. Bidang Kurikulum …………………………………………….. 4.2.2. Bidang Agama …………………………………………………. 4.2.3. Bidang Bimbingan Konseling ………………………………….. 4.2.4. Bidang Ketahanan Sekolah, Kesejahteraan, Humas, Sarana dan Prasarana …………………………………………. 4.3. Kondisi Umum SMA Islam Al Azhar 1 Jakarta ……………………... 4.3.1. Bidang Kurikulum ……………………………………………... 4.3.2. Bidang Agama …………………………………………………. 4.3.3. Bidang Kesiswaan …………………………………………….. 4.4. Kondisi Umum SMA Negeri 77 Jakarta……………….…………….. 4.4.1. Bidang Akademis ……………………………………………... 4.4.2. Bidang Kesiswaan ……………………………………………. 4.4.3. Bidang Sarana dan Prasarana ……………………………….. 4.5. Kondisi Umum SMA Labschool Jakarta ……………………….….. 4.5.1. Bidang Kurikulum ………………………………………….. 4.5.2. Bidang Kesiswaan ………………………………………….. 4.6. Kondisi Umum SMA Negeri 27 Jakarta ……………………………. 4.7. Kondisi Umum SMA Negeri 8 Jakarta .............................................. V. HASIL DAN PEMBAHASAN ….…………………………………... 5.1. 5.2. 5.3. 5.4. 5.5.
Analisis Kebutuhan ………………………………………………. Formulasi Masalah ……………………………………………….. Identifikasi Sistem ……………………………………………….. Model KBK dalam Pelaksanaan PLH …………………………... Kondisi Eksisting Pelaksanaan PLH ...…………………………… 5.5.1. SMA Negeri 81 Jakarta ……………………………………. 5.5.2. SMA Islam Al Azhar 4 Bekasi …………………………….. 5.5.3. SMA Islam Al Azhar 1 Jakarta …………………………….. 5.5.4. SMA Labschool Jakarta …………..………………………. 5.5.5. SMA Negeri 27 Jakarta …………………………………….. 5.5.6. SMA Negeri 77 Jakarta …………………………………….. 5.5.7. SMA Negeri 8 Jakarta ............................................................ iv
89
90 90 91 93 96 97 97 98 100 100 100 101 101 102 103 103 104 105 105 106 109 110 113 114 115 118 118 120 120 122 125 126 127 127 128 129 130 131
5.6. Analisis Perbandingan ……………………………………………...
134
5.7. Analisis Kuesioner …………………………………………………...
141
5.8. Analisis Mata Pelajaran pada KBK…………………… …………... 5.8.1. Mata Pelajaran Biologi ……………………………………… 5.8.2. Mata Pelajaran Geografi ……………………………………. 5.8.3. Mata Pelajaran Kimia ……………………………………….. 5.8.4. Mata Pelajaran Fisika ……………………………………….. 5.8.5. Mata Pelajaran Ekonomi …………………………………… 5.8.6. Mata Pelajaran Ilmu Sosial dan Kewarganegaraan ……….... 5.9. Model Kendala dalam PLH ………………………….……………... 5.10. Model Langkah Strategis PLH melalui KBK ................................... 5.11. Desain Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan SMA .............. 5.12. Skenario PLH melalui KBK ................. ……………………………
144 144 146 147 148 149 150 151 161 163 172
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ………………........ ………………………. 175 6.1. Kesimpulan ........................................................................................... 6.2. Saran......................................................................................................
175 175
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………
175
LAMPIRAN …………………………………………………………………….
190
v
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1. 2. 2 2. 3. 3.1. 5.1. 5.2. 5.3.
Teks
Halaman
Perbedaan Kurikulum 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompetensi …..... Kriteria Manajemen Berbasis Sekolah ………………………………. Pedoman Penilaian Pengaruh Variabel ………………………………. Analisis Kebutuhan Stakeholder Pendidikan …………………………. Daftar Kebutuhan Stakeholder Pendidikan …………………………… Hasil Verfikasi Model dengan Kondisi Eksisting ..................................... Hasil Penelitian Ketuntasan Belajar tentang Lingkungan Hidup …….
35 45 78 87 118 125 133
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. 1. 1. 2. 2. 1. 2. 2. 2. 3. 2. 4. 2. 5. 2. 6. 2. 7. 2. 8. 2. 9. 3. 1. 5. 1. 5. 2. 5. 3. 5. 4. 5. 5.
Teks
Halaman
Peranan Pendidikan dalam Pembangunan Berkelanjutan ......................... Kerangka Pikir Penelitian ……………………………………………. … Model PLH Berdasarkann Kondisi Setempat ............................................ Model PLH dengan Pelatihan .................................................................... Proses Konversi Organisasi Pembelajaran ………………………….….. Urutan Langkah Kesuksesan Organisasi ………………………………. Dua Dimensi Kreasi Pengetahuan …………………………………… .. Sistem Terbuka ..………………………………………………….…….. Sistem Tertutup ……………………………………………………….... Tingkat Pengaruh dan Ketergantungan…………………………………. Langkah –langkah dalam Analisis Prospektif…………………………. . Bagan Alir Tahapan Penelitian ………............…………………… .. … Identifikasi Sistem …………………………………………………….. Identifikasi Sistem yang Disederhanakan ................................................ Siklus Pengetahuan ................................................................................... Diagram Model Struktural Elemen Kendala dalam PLH melalui KBK ... Matriks Driven Power Dependence untuk Elemen PLH melalui KBK..................................................................................... 5.6. Matriks Driven Power Dependence untuk Elemen Langkah Strategis PLH melalui KBK....................................................... 5. 7. Model PLH melalui KBK ...........……………………………… ......... 5. 8. Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan SMA ...................................
10 13 61 62 64 66 70 74 75 79 79 86 121 122 141 154 160 162 167 171
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Teks
Halaman
Evaluasi Sekolah .............................................................................. ... Komponen Penukung PLH melalui KBK ...................................... ... Diagram Cartisian Komponen Pendukung PLH melalui KBK............ Kuesioner Kognitif (Pengetahuan) Siswa ........................................... Kuesioner Afektif (Sikap) Siswa........................................................... Kuesioner Psikomotorik (Perilaku) Siswa............................................ Kuesioner Kognitif (Pengetahuan) Guru............................................. Kuesioner Afektif (Sikap) Guru .......................................................... Kuesioner Psikomotorik (Perilaku) Guru ............................................ Peta Indikator ........................................................................................ Kuesioner Pendapat Guru..................................................................... Pendapat Stakeholder Tentang Penidikan Lingkungan melalui KBK (Kurikulum 2004) untuk Siswa SMA ........................................... Hasil Kompetensi Lingkungan Hidup Siswa ........................................... Hasil Analisis Statistik Kompetensi Pengetahuan .................................. Hasil Analisis Statistik Kompetensi Perilaku (Psikomotorik (Kognitif... Struktural Self Interaction Matrix Elemen Kendala dalam PLH.............. Struktural Self Interaction Matrix Elemen Kendala dalam PLH..............
190 198 199 226 230 233 236 240 243 246 248 249 252 264 265 266 267
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam dalam konteks lingkungan hidup erat kaitannya dengan sumberdaya manusia, karena kemampuan manusia dalam
mengelola lingkungan
hidup akan mempengaruhi kualitas lingkungan. Untuk menciptakan lingkungan yang berkualitas baik menurut Wahjoedi (1990) diperlukan
adanya kondisi
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara unsur-unsur sumberdaya alam, dan sumberdaya manusia melalui upaya konservasi alam. Konservasi sumberdaya alam adalah suatu usaha pengelolaan sumberdaya alam yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana dan berkelanjutan. Pengelolaan terhadap sumberdaya alam perlu menjamin adanya kesinambungan antara persediaan dan penggunaannya. Wawasan tentang lingkungan hidup dan kecakapan mengelola sumberdaya alam yang berkelanjutan dapat dibangun dengan pembekalan melalui jalur pendidikan formal (Soeryani, 2005). Pendidikan lingkungan dalam era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang harus memberdayakan manusia untuk mampu beradaptasi dalam kehidupan yang selalu berubah. Oleh karena itu
pendidikan
lingkungan harus mampu memberdayakan manusia untuk tegar tetapi lentur dengan kearifan agar mampu menghasilkan kompromi dalam berbagai hal yang memerlukan pendekatan dari dimensi yang berbeda. Dengan demikian faktor penting untuk membentuk dasar kearifan manusia dalam berperilaku terhadap lingkungan adalah melalui pendidikan lingkungan hidup (PLH).
Konsep PLH
adalah
program
pendidikan yang diarahkan untuk menciptakan pengetahuan, sikap, dan perilaku seseorang agar
memiliki wawasan konservasi yang bermuara pada peningkatan
kualitas hidup. Berbagai kasus kerusakan lingkungan yang terjadi disebabkan oleh terbatasnya lingkungan lingkungan
di antaranya dapat
wawasan sebagian masyarakat Indonesia terhadap
(Kusuma, 2003). Tiga pilar utama untuk memperbaiki adalah
kebijakan
yang
berpihak
pada
pelestarian
kualitas
lingkungan,
kelembagaan, dan pendidikan dalam arti luas baik formal atau informal (Soerjani,
2
1991).
Dengan demikian peranan pendidikan terhadap upaya perbaikan kualitas
lingkungan sangat penting. Sholahuddin (2001) mengemukakan untuk menumbuhkan sikap positif terhadap lingkungan lingkungan.
diperlukan
pengetahuan yang baik terhadap
Zahara (2002) juga mengemukakan bahwa perilaku berwawasan
lingkungan perlu dikembangkan dalam rangka terbinanya
keserasian manusia dan
lingkungan. Usaha memasukkan wacana tentang lingkungan hidup ke dalam kurikulum di sekolah
menengah telah dilakukan melalui Kurikulum 1984 (Soekmono, 1984)
dan 1994 secara terintegrasi dalam mata pelajaran. Selain itu pelatihan guru SMA untuk Pendidikan Lingkungan Hidup juga telah dilakukan. Akan tetapi keberhasilan penanaman tentang wawasan lingkungan pada siswa SMA masih dipertanyakan mengingat masih kurangnya perhatian pendidikan terhadap
dari
masyarakat sebagai produk dari
lingkungan. Sikap dan perhatian masyarakat yang rendah
terhadap lingkungan diantaranya terbentuk akibat pendidikan formal yang selama ini berlangsung kurang menanamkan wawasan tentang lingkungan. Sejauh ini metode pembelajaran cenderung teori dan jarang dikaitkan dengan lingkungan siswa berada. Akibatnya
siswa dan lulusan SMA
yang tidak melanjutkan pendidikan
tidak
mampu menerapkan materi yang dipelajari di sekolah guna memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan keseharian, terutama
yang berkaitan dengan
lingkungan. Demikian pula halnya dengan lulusan SMA yang melanjutkan diharapkan dengan bekal kompetensi lingkungan hidup yang dimiliki akan menimbulkan dampak keberpihakan terhadap lingkungan hidup. Krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia menyebabkan tingginya angka putus sekolah. Data menunjukkan pada tahun 2003 terdapat 88 % dari lulusan SMA tidak
melanjutkan pendidikan
ke Perguruan Tinggi.
Jumlah
pengangguran yang berasal dari lulusan pendidikan sekolah dasar dan menengah meningkat sebanyak 4 juta orang pada tahun 1997, menjadi 6 juta orang pada tahun 2001. Jumlah pengangguran lulusan sekolah menengah terus meningkat dari 2.1 juta pada tahun 1997 menjadi 2.5 juta orang pada tahun 2000. Pada tahun 2002 angka pengangguran di Indonesia mencapai 40 juta orang (Depdiknas, 2001). Peningkatan
3
angka putus sekolah menimbulkan masalah lingkungan karena berkaitan dengan tuntutan kebutuhan ekonomi yang cenderung memicu manusia untuk memanfaatkan sumberdaya alam dengan cara yang keliru misalnya menjadi peladang berpindah, membakar hutan, ikut dalam kegiatan illegal loging, penggunaan logam-logam berat untuk pertambangan illegal,
penggunaan bahan kimia berbahaya dalam industri
rumah tangga, pembuangan limbah
dengan tidak memperhatikan
jenis limbah,
rendahnya perhatian masyarakat terhadap pengelolaan sampah, dan pemanfaatan racun potas untuk menangkap ikan. Beberapa contoh perilaku masyarakat
yang menimbulkan masalah
lingkungan dan sering dijumpai sehari-hari ditunjukkan pada kenyataan berikut ini. Setiap hujan turun sejak tahun 1990 di daerah Kelurahan Pekayon Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur terjadi penimbunan limbah busa di saluran pembuangan yang berasal dari rumah tangga setinggi 2 sampai 10 meter hingga menutupi rumah warga.
Menurut Kepala Bidang
Pengendalian dan Pencemaran
Lingkungan
BPLHD sumber limbah tersebut mengandung detergen dan terindikasi mengandung senyawa aktif biru metilene dan fosfat. Sumber air yang masuk ke Situ Tipar bersumber dari permukiman di sekitarnya seperti permukiman penduduk di bagian Timur jalan raya Bogor, Pasar PAL di jalan Raya Bogor, Pasar Cisalak, dan industri kecil tahu tempe. Disamping itu juga berasal dari beberapa industri besar yang sebenarnya
telah memiliki pengolahan limbah sendiri (Republika, 23 Desember
2004). Contoh lain adalah limbah cair dari sabun cuci juga memenuhi Pintu Air Pejompongan Tanah Abang Jakarta karena warga telah terbiasa membuang limbah rumah tangga ke pintu air tersebut (Republika, 8 Desember 2005). Adanya ancaman bagi keanekaragaman hayati dikemukakan oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam DKI Jakarta yaitu perburuan dan perdagangan satwa langka yang dilakukan oleh masyarakat. Satwa liar yang banyak diburu dan diperdagangkan tersebut adalah
Siamang, Burung Merak, Kakak Tua Jambul
Kuning, Nuri Kepala Hitam, Dara Mahkota, Kakak Tua Raja, Rangkong, Elang Bondol, Elang Ular, dan Arwana Irian. Jika keadaan ini terus dibiarkan maka akan terjadi gangguan terhadap ekosistem (Republika, 14 Desember 2004).
4
Terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menekankan bahwa kurikulum disusun diantaranya dengan memperhatikan tuntunan dunia kerja, keragaman potensi daerah dan lingkungan, pembangunan daerah dan nasional, serta dinamika perkembangan global. Perubahan Kurikulum 1994 menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004 merupakan upaya Pemerintah untuk mempersiapkan sumberdaya manusia Indonesia agar memiliki kompetensi terutama dalam menghadapi pasar bebas di dengan
negara-negara ASEAN dan Asia Pasifik (APEC) yang sering dikaitkan isu-isu tentang lingkungan hidup.
dilaksanakan pada tahun 2004 perlu memberikan
Karena itu
KBK yang mulai
muatan pendidikan lingkungan
hidup. Hal ini juga terkait dengan masalah lingkungan yang dihadapi Indonesia dimana pemecahannya harus dilakukan secara holistik. Dengan demikian dunia pendidikan juga diharapkan berperan dalam membantu mengatasi masalah kerusakan lingkungan. Pembekalan lingkungan hidup melalui pendidikan adalah salah satu alternatif pemecahan masalah lingkungan namun dampaknya baru dapat dirasakan setelah selang waktu yang panjang. Disamping KBK Undang Undang No. 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dasar bagi upaya pembenahan sistem pendidikan di Indonesia agar
dijadikan
ikut berperan
dalam pelestarian lingkungan hidup. Kebijakan Pemerintah yang dituangkan dalam undang-undang tersebut dan Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada intinya menjelaskan bahwa sebaiknya kabupaten/kota yang secara operasional menangani pendidikan dasar dan menengah. Oleh karena itu program-program pendidikan dan penerapan kurikulum seyogyanya ditangani oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, sementara peran Pemerintah Pusat lebih banyak sebagai inisiator dan pendamping.
Keberhasilan otonomi pendidikan
membutuhkan
komitmen, visi, dan misi daerah untuk terus meningkatkan kualitasnya. Bupati melalui Dinas Pendidikan saat ini memiliki kewenangan penuh dalam menentukan kualitas pendidikan di daerahnya baik melalui sistem penerimaan siswa, pembinaan profesionalisme guru, rekruitmen Kepala Sekolah, penentuan sistem evaluasi, dan
5
hal lainnya (Suryadi, 2004). Jika dikaitkan dengan penerapan KBK yang pengembangannya di lapangan dapat disesuaikan dengan kondisi dan potensi tiap daerah maka KBK diharapkan dapat ikut berperan untuk memajukan daerah melalui bekal kompetensi. KBK yang diterapkan di seluruh Indonesia menitikberatkan pada pembekalan kompetensi berupa kecakapan hidup (life skill). Pembekalan ini menurut Departemen Pendidikan Nasional (2001) meliputi kecakapan mengenal diri (self awarness), kecakapan berpikir rasional (thinking skill), kecakapan sosial (social
skill),
kecakapan akademik (academic skill), dan kecakapan vokasional (vocational skill). Penanaman kecakapan mengenal diri dapat menimbulkan kompetensi kemampuan mengukur
potensi yang dimiliki dan dikembangkan sehingga seseorang dapat
mengikuti tuntutan perubahan dengan melihat peluang yang dikaitkan dengan potensi yang dimiliki. Kecakapan berpikir rasional dapat melahirkan kompetensi untuk memecahkan masalah, pengambilan keputusan dari
pengumpulan informasi.
Kecakapan sosial akan menanamkan sikap kemampuan berkomunikasi, berinteraksi, dan empati dengan lingkungan sekitar. Sedangkan kecakapan akademis merupakan kemampuan berpikir ilmiah yang dicirikan dengan logis, obyektif sistematis, terencana, andal, valid, dan akumulatif. Kecakapan vokasional adalah kompetensi ketrampilan pada kejuruan tertentu seperti pertanian, perbengkelan, perikanan, dan pertamanan. Target kecakapan hidup
yang merupakan tujuan dari KBK memerlukan
media untuk melatih siswa. Media tersebut dapat berupa wahana untuk menanamkan wawasan
lingkungan
yang
menitikberatkan
pada
kompetensi
pengelolaan
sumberdaya alam berkelanjutan. Penanaman wawasan lingkungan hidup melalui proses dan media pembelajaran
tentunya akan menyentuh kecakapan-kecakapan
yang diharapkan yaitu self awarness, social skill, vocational skill, academic skill dan thinking skill. Pembekalan bagi para peserta didik yang berada di daerah agraris dapat berupa kompetensi dalam bidang pertanian dan perkebunan yang dilakukan secara terpadu dengan perikanan dan peternakan. Pada daerah pesisir kompetensinya dapat
6
meliputi
pengembangan sektor bahari berupa
budidaya rumput laut, mutiara,
tambak, dan keramba jala apung. Bagi peserta didik yang berada di sekitar kota besar pembekalannya
dapat
berupa
bidang
industri,
jasa,
pelayanan
kesehatan,
perbengkelan, manajemen dan pemasaran, serta komputerisasi. Dengan kecakapan hidup yang telah dibekali dari sekolah tingkat dasar hingga menengah maka siswa yang putus sekolah diharapkan
dapat mempertahankan hidupnya dengan
mengembangkan potensi sumberdaya alam daerahnya yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi untuk membangun daerah tanpa merusak sumberdaya alam yang ada. Sedangkan bagi yang melanjutkan pendidikan dapat dijadikan pengalaman belajar yang berguna pada tingkat pendidikan selanjutnya dan bekal pada waktu terjun di masyarakat. Oleh sebab itu memperbaiki kualitas lingkungan melalui jalur pendidikan sudah saatnya diperhatikan dengan seksama.
1.2. Identifikasi Masalah KBK diharapkan dapat meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia
Indonesia secara utuh termasuk kompetensi pada aspek lingkungan hidup. Timbulnya masalah lingkungan dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan adanya gejala penurunan kualitas lingkungan.
Umumnya masalah lingkungan disebabkan oleh
reaksi alam terhadap ulah manusia yang memanfaatkan sumberdaya alam tanpa memperhatikan pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan.
Upaya untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya alam dapat berhasil jika dilakukan secara menyeluruh dari berbagai aspek tak terkecuali pendidikan.
Peranan pendidikan
dalam mempersiapkan sumberdaya manusia menghadapi masalah diantaranya dari aspek Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Sarana dan Prasarana,
Pendanaan,
Sumberdaya Manusia, Program Kegiatan , Kerjasama Kelembagaan, dan Ketahanan Sekolah, demikian pula halnya dalam memberikan pembekalan tentang lingkungan hidup.
Berdasarkan
adanya
berbagai
masalah
yang dihadapi Pendidikan di
Indonesia maka masalah penelitian dibatasi pada lima hal yaitu : 1. Apakah KBK dapat memberikan bekal kompetensi lingkungan hidup?
siswa tentang
7
2. Apa kendala utama PLH melalui KBK ? 3. Apa langkah strategis dalam PLH ? 4. Bagaimana model Kurikulum Berwawasan Lingkungan ? 5. Bagaimana alternatif skenario pelaksanaan model Kurikulum Berwawasan Lingkungan ?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian sebelumnya maka pembekalan wawasan lingkungan bagi siswa melalui jalur pendidikan secara formal sangat diperlukan. Program pendidikan lingkungan yang selama ini diberikan kepada siswa SMA serta upaya pendidikan lingkungan hidup masih memerlukan perhatian mengingat banyaknya kasus-kasus perusakan lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat secara langsung.
Berpijak
dari hal tersebut maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.3.1. Tujuan Umum : Membuat analisis kebijakan Kurikulum Berbasis Kompetensi tentang kompetensi lingkungan hidup siswa, desain Model
Kurikulum Berwawasan Lingkungan
Sekolah Menengah Atas dan alternatif skenario implementasi model Kurikulum Berwawasan Lingkungan. 1.3.2. Tujuan khusus : 1. Membuat analisis kebijakan KBK yang berkaitan dengan PLH 2. Menemukan kendala utama PLH melalui KBK 3. Menemukan langkah strategis dalam PLH 4. Membuat model Kurikulum Berwawasan Lingkungan 5. Membuat alternatif skenario dalam pelaksanaan Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan.
1. 4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
yaitu proses
pembuatan model kebijakan pendidikan lingkungan yang diharapkan dapat mengaplikasikan system thinking yang selanjutnya dapat diterapkan dalam
8
penyusunan kebijakan. Manfaat praktis penelitian ini adalah berupa bahan kajian dan pertimbangan Depdiknas untuk berperan serta dalam memperbaiki kualitas lingkungan melalui Desain Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan. Disamping itu model ini dapat juga dijadikan dasar dalam pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup di Indonesia.
1.5. Kerangka Pikir Penelitian Kebijakan Kurikulum Pendidikan Berbasis Kompetensi (KBK) diharapkan dapat memberikan bekal kompetensi pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan perilaku (psikomotor) kepada siswa SMA tentang lingkungan. Hal ini berkaitan dengan prinsip KBK yaitu pendidikan berbasis luas dengan memperhatikan potensi sumberdaya alam setempat serta menekankan kecakapan
sosial,
kecakapan
akademik,
kecakapan dan
berpikir rasional,
kecakapan
vokasional.
Dengan demikian diharapkan siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolah setelah tamat SMA maupun yang dapat melanjutkan pendidikan
jika terjun di masyarakat
akan dapat menerapkan kompetensi tentang lingkungan yang dimilikinya. Untuk mengetahui sejauh mana
KBK dalam pelaksanaan Pendidikan Lingkungan Hidup
(PLH) memberikan kompetensi lingkungan hidup diperlukan analisis kebijakan dengan melakukan penelitian terhadap kondisi nyata. Jika pelaksanaannya telah sesuai dengan yang diharapkan maka kebijakan tersebut dapat diteruskan dan jika tidak maka perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut: 1. Menemukan faktor penting untuk meningkatkan kompetensi siswa tentang lingkungan hidup melalui KBK 2. Menemukan kendala utama PLH melalui KBK 3. Menemukan langkah penting dalam PLH 4. Membuat Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan
9
5. Membuat
alternatif skenario dalam pelaksanaan Model Kurikulum
Berwawasan Lingkungan Diharapkan disain Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan dapat dijadikan rekomendasi untuk kebijakan selanjutnya sehingga dapat diaplikasikan dengan beberapa alternatif skenario pelaksanaan. Dengan demikian penerapan Model ini akan memberikan pengaruh terhadap kompetensi lingkungan hidup siswa yang pada akhirnya akan ikut berperan dalam memperbaiki kualitas lingkungan. Kerangka pikir penelitian ini selengkapnya disajikan pada Gambar 1.1.
1.6. Lingkup Penelitian Lingkungan hidup merupakan sistem yang terdiri atas subsistem-subsistem yang dibangun oleh komponen-komponen yang saling terkait dan selalu bersifat dinamis. Tujuan dari sistem tersebut adalah pembangunan berkelanjutan dengan sumberdaya manusia
sebagai
komponen penting untuk menggerakkan sistem
tersebut, seperti yang disajikan pada gambar 1.1. merupakan
Organisasi pembelajaran
faktor penting dalam meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia
melalui pemberdayaan masyarakat. Menurut Tilaar (2000) ada empat pemain inti dalam pemberdayaan masyarakat yaitu masyarakat lokal, Universitas, Lembaga Pemerintahan Daerah dan Lembaga Pendidikan. Dengan demikian pendidikan khususnya pendidikan formal merupakan salah satu pilihan yang strategis dalam membekali kompetensi lingkungan hidup.
Sesuai dengan tujuan penelitian maka
lingkup penelitian ini dibatasi pada analisis kebijakan KBK yang dilanjutkan dengan desain Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan dan skenario implementasinya.
10
INDIKATOR PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN EKONOMI
SOSIAL
EKOLOGI
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Perilaku yang mendukung Pembangunan Berkelanjutan
Kebijakan yang memperhatikan perbaikan lingkungan lokal
Kebijakan yang memperhatikan perbaikan lingkungan global
Penegakan Hukum
Regulasi SDM :
Pendidikan dan Partisipasi Masyarakat
Gambar 1.1. Peranan Pendidikan dalam Pembangunan Berkelanjutan
11
Keterangan : Indikator ekonomi : tersedianya lapangan pekerjaan, penghasilan rumah tangga, tingkat kemiskinan, kemampuan memiliki rumah,
biaya kesehatan,
jumlah
pengangguran, penyediaan tenaga kerja, penyediaan latihan kerja, pertumbuhan industri, keanekaragaman industri, keanekaragaman tenaga kerja, kewirausahaan, dan inovasi teknologi. Indikator Sosial : populasi dan sumberdaya, tingkat kejahatan, pelayanan pada masyarakat, perpustakaan, keadilan dan hukum, kelahiran bayi normal,
keikut
sertaan dalam pemilihan, kemampuan menulis pada orang dewasa, kesehatan fisik inividu, kesehatan mental individu, asuransi
kesehatan, partisipasi masyarakat.
jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat. Indikator Ekologi : tingkat pencemaran, penerapan program perlindungan alam, energi, tingkat pemanasan global, standar industri ramah lingkungan, air, limbah cair dan
padat,
area
hijau,
pengelolaan
sumberdaya,
teknologi
pertanian,
keanekaragaman hayati, tanah, tersedianya pedesterian. (Haryadi dan Setiawan, 2002).
1.7. Nilai Kebaruan ( Novelty) Penelitian lain yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan
belum
tercapainya kompetensi lingkungan hidup yang diharapkan. Hal ini dikemukakan oleh Sholahuddin (1993) signifikan
antara
yang menyatakan
materi pelajaran
bahwa tidak ada hubungan yang
IPA di SMA dengan sikap siswa untuk
melestarikan lingkungan. Mashudi (1999) juga menegaskan
pemberian materi
pelajaran IPA belum dapat menumbuhkan sikap positif dalam pelestarian lingkungan. Oleh sebab itu dengan diberlakukannya KBK atau Kurikulum 2004 dan pengembangannya yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) agar tujuan pembelajaran PLH dapat dicapai, maka analisis kebijakan khususnya tentang PLH perlu dilakukan.
12
Analisis kebijakan terhadap KBK tentang kompetensi lingkungan hidup siswa selama ini belum pernah dilakukan,
demikian
pula pembuatan
desain model
Kurikulum Berwawasan Lingkungan. Penelitian ini dapat mengetahui implementasi PLH dalam KBK dan kompetensi lingkungan hidup siswa SMA. Di samping itu melalui penelitian ini dapat ditemukan kendala utama, dan langkah strategis dalam pelaksanaan
PLH melalui KBK. Untuk mengimplementasikan Kurikulum
Berwawasan Lingkungan dibuat skenario pelaksanaan.
13
LULUSAN SMA
12% lulusan SMA melanjutkan pendidikan (2003)
88% lulusan SMA tidak melanjutkan pendidikan (2003)
KBK ( Kurikulum 2004)
Analisis Kebijakan KBK
Perangkat Pendukung
MBS
Kompetensi Guru
Kompetensi LH siswa
Ya Kondisi Nyata
Model KBK
Rekomenasi Tidak
K. 1994
KBK
KTSP
Kendala PLH
Sesuai ?
DISAIN MODEL
Alternarif Skenario
Gambar 1.2. Kerangka Pikir Penelitian
Langkah Strategis PLH
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Kondisi Lingkungan Hidup dan Pendidikan Perhatian masyarakat dunia terhadap lingkungan hidup baru berlangsung pada sekitar tahun 1972, yaitu sejak ditandatanganinya Deklarasi Stockholm. Sejak saat itu mulai disadari bahwa ternyata keadaan lingkungan hidup sangat memprihatinkan dan banyak mengalami kerusakan yang berarti. Pencemaran atmosfer yang pada sebelum abad 21
hanya berskala
lokal telah berubah
menjadi global dan diikuti dengan pemanasan bumi. Air laut juga mengalami pencemaran
yang terus meningkat dari pencemaran yang bersifat sporadis
menjadi pencemaran limbah padat, cair, bahan beracun dan berbahaya (B3), kerusakan terumbu karang, dan instrusi garam terhadap air tanah. Permasalahan air bersih
yang pada awalnya hanya berupa
pencemaran pada skala
lokal
menjadi masalah terbatasnya air yang berkualitas dan makin sulitnya air bersih diperoleh. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Yudhoyono (2007) bahwa kondisi sumberdaya air di Indonesia yang sudah mencapai tahap kritis akibat tekanan, pengelolaan, serta kuantitas dan kualitas sumberdaya air. Padahal Indonesia merupakan negara sebagai penyedia 6 % sumber air dunia dan 21% di Asia Pasifik. Permasalahan lainnya adalah terbentuknya lahan penggundulan
hutan,
penggurunan, longsor
kekeringan,
penciutan
lahan
kritis, banjir,
pertanian
yang semakin luas, terancamnya
produktif,
sumberdaya hayati,
kebakaran hutan, dan illegal logging. Di beberapa daerah kawasan hutan yang seharusnya merupakan kawasan konservasi sekarang ini jumlahnya berkurang karena terdesak oleh
kegiatan masyarakat sekitar seperti
penebangan liar,
permukiman penduduk, serta perambahan hutan yang tak terkendali (Wildensyah, 2007). Sejalan dengan itu menurut Siburian (2006) pengambilan kayu dari hutan oleh
masyarakat disebabkan rendahnya pengetahuan
tentang
dampak
lingkungan yang ditimbulkan. Godwin Limberg peneliti Cifor dalam Kompas Senin 24 September 2007
halaman 23 mengemukakan
bahwa
adanya
perambahan hutan pada Taman Nasional Kutai. Menurut Asdak (2002) banjir bandang di wilayah hilir Daerah Aliran Sungai
berhubungan dengan penebangan hutan di wilayah hulu DAS. Hal ini
15
disebabkan
kurangnya
pemahaman masyarakat
tentang keterkaitan
antara
vegetasi, air dan tanah. Tingkat pemahaman masyarakat juga berkaitan dengan tingkat keberhasilan perbaikan kampung oleh pemerintah, masyarakat, maupun swasta
dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejateraan,
sehingga
banyak program perbaikan kampung yang belum dapat dicapai.
Keadaan yang sama juga terjadi pada upaya rehabilitasi hutan Mangrove yang kondisinya mengkhawatirkan. Keadaan
ini disebabkan penebangan oleh
masyarakat, pembangunan tambak, dan abrasi seperti yang terjadi di kecamatan Pemangkat kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Upaya rehabilitasi yang mengalami hambatan disebabkan oleh rendahnya partisipasi masyarakat. Sebagai akibat dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Risyanto dan Widyastuti (2004) mengemukakan ada kaitan antara perilaku penduduk dan kualitas air sungai Gajahwong dengan sumber pencemar limbah rumah tangga, pertanian, dan industri. Rendahnya pendidikan masyarakat juga merupakan penyebab pemanfaatan bahan peledak
untuk menangkap ikan oleh nelayan di pulau
Kodinggareng Sulawesi Selatan sehingga merusak terumbu karang
(Bachtiar
dkk, 2003). Rario dkk (2005) mengemukakan pengetahuan petani dalam penggunaan pestisida
berhubungan nyata dan berpengaruh besar terhadap persepsi dan
perilaku penggunaan pestisida. Selain itu dikemukakan pula bahwa persepsi tentang pestisida berhubungan nyata dan berpengaruh besar terhadap perilaku penanganan pestisida seperti alasan penggunaan, cara penyimpanan, dan pemusnahan.
Irham dan Mariyono ( 2001) juga mengemukakan banyak petani
menggunakan pestisida keadaan serangan hama
dengan dasar pencegahan tanpa mempertimbangkan dan penyakit sehingga penggunaannya
cenderung
berlebih. Kegiatan masyarakat yang menimbulkan masalah lingkungan juga dikemukakan oleh Agus dkk (2005). Penambangan emas tanpa izin
di desa
Jendi Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah telah menurunkan kualitas air sungai akibat penggunaan
merkuri dalam penambangan
dan
terindikasi telah melewati baku mutu air. Dampak merkuri terhadap makhluk hidup adalah bersifat racun, sulit untuk dihancurkan dan dapat terakumulasi pada tiap makhluk hidup dalam jaring makanan. Sungai Kahayan di Kalimantan
16
Tengah juga tengah mengalami tekanan lingkungan
karena adanya limbah
merkuri yang berasal dari penambangan emas tradisional. Dampak merkuri yang mencemari sungai telah diindikasikan ada pada ikan Baung (Mytus nemurus) yang biasa dikonsumsi masyarakat. Kegiatan masyarakat lainnya yang dapat merusak lingkungan pembuang
limbah domestik, industri, dan pertanian
adalah
ke dalam badan air.
Menurut Sudarso dkk (2005) kondisi waduk Saguling telah terkontaminasi Pb dan Cu seingga menimbulkan gangguan pada ekosistem perairan disamping blooming algae. Penelitian terhadap pembuangan limbah rumah tangga yang berasal dari permukiman, perdagangan, rekreasi di Makasar yang
kemudian
dialirkan langsung ke tempat yang lebih rendah seperti sungai dan laut telah melampaui baku mutu
untuk kualitas air
golongan 1 yaitu air yang dapat
digunakan untuk minum dengan parameter DO, fosfat, BOD, dan deterjen. Sahubawa (2001) mengemukakan bahwa aktifitas masyarakat selama 15 tahun terakhir di perairan teluk Ambon seperti pembuangan limbah domestik dan industri dan pengrusakan hutan mangrove telah menurunkan kecerahan perairan yang menghambat
proses fotosintesis tumbuhan air dan pertumbuhan ikan.
Penelitian terhadap perilaku petani juga telah dilakukan oleh Baroroh dan Utami (2001) yang mengemukakan bahwa pada umumnya petani kentang dan kubis di dataran tinggi Dieng Jawa Tengah tidak melaksanakan teknik konservasi tanah yang memadai untuk dapat menekan erosi dan aliran permukaan, kehilangan hara yang akibatnya menurunkan produktifitas dan kerugian ekonomi. Pengolahan tanah budidaya sayuran yang dilakukan oleh petani kurang memperhatikan aspek garis kontur, dan petani membuat guludan yang memotong garis kontur dengan alasan bahaya penyakit layu yang disebabkan oleh jamur (Phytopthora infestan). Cara pengolahan tanah dengan guludan searah lereng pada kemiringan yang curam dan curah hujan yang tinggi sangat potensial menimbulkan erosi yang tinggi. Akibatnya dapat mengurangi kemampuan lahan dalam berproduksi. Lebih jauh dikemukakan oleh Fujisaki (1995) bahwa kerusakan lingkungan secara lokal akibat aktifitas manusia dapat menimbulkan kerusakan dalam skala global. Hal ini juga dijelaskan oleh Rich dan Neilsen (2004) serta Verma dkk (2004). Perubahan iklim yang terjadi saat ini disebabkan oleh perilaku manusia (BBC World Service dalam Republika 17 Oktober 2007 halaman 14).
17
Cowwie dkk (2007) juga mengemukakan bahwa pemanasan global terjadi akibat aktifitas manusia. Hal lain yang dilaporkan Cowie dkk (2007) adalah perubahan lingkungan global yang terjadi merupakan sinergi dari perubahan iklim,
penurunan keanekaragaman hayati, dan desertifikasi. Dengan demikian
maka diperlukan upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan global (Hohne dkk, 2007). Upaya pelestarian sumberdaya hayati yang telah dilakukan selama ini adalah pelestarian flora dan fauna dalam habitatnya. Akan tetapi upaya tersebut belum dapat mengimbangi tingkat kerusakan yang terjadi
sehingga perlu
diperluas dengan upaya pelestarian tingkat plasma nutfah, jenis, dan ekosistem. Upaya penanggulangan kesehatan
manusia juga mengalami perubahan
dari
pengendalian penyakit kekurangan gizi dan penyakit menular terutama di negara berkembang
menjadi
lingkungan hidup.
penyakit yang berkaitan dengan penurunan kualitas
Penyakit-penyakit
tersebut adalah gangguan pernafasan,
jantung, alergi, stress, dan kanker. Belajar dari permasalahan lingkungan seperti yang dikemukakan di atas, maka tujuan pembangunan seharusnya bukan hanya menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi untuk mencapai kemakmuran tetapi juga harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup dan sumberdaya alam serta pemerataan pembangunan yang nyata pada tingkat lokal, nasional, regional, dan global (Soeriatmadja, 2004). Masalah lingkungan saat ini menurut Perhimpunan Cendekiawan Ilmu Lingkungan Se Indonesia (2005) adalah emisi karbondioksida dari pembakaran bahan bakar fosil dan pencemar lainnya yang menyebabkan berlangsungnya pemanasan global yang memberikan dampak pada perubahan iklim. Selain itu juga pemanasan global merupakan
dampak dari deforestasi, degradasi hutan,
devegetasi (Schlamadinger dkk, 2007).
Hal ini juga dilaporkan oleh Povellato
dkk (2007) bahwa diperlukan strategi untuk mengurangi gas rumah kaca karena dampaknya karena
terhadap pemanasan global.
Ozon telah mengalami kerusakan
terlepasnya CFC yang menurut
Derwent dkk (2007) juga dapat
disebabkan oleh alkohol, ester, ketone, ether, alkana, cyckloalkana dan glycol. Ribuan spesies
tumbuhan dan hewan
setiap tahun punah akibat
penebangan hutan, dan kerusakan lingkungan alam seperti trace (kelumit) dari bahan kimia (toksik) dijumpai
pada banyak danau dan ekosistem lainnya
18
termasuk lautan. Hujan asam yang disebabkan oleh emisi sulfur dioksida dari pusat pembangkit tenaga listrik dengan pembakaran batu bara jatuh di daerah sangat luas di bumi. Sumberdaya air terkuras oleh pemakaian berlebihan di banyak daerah di dunia. Jalur transportasi air tercemar dan terdegradasi oleh limpasan limbah cair rumah tangga dan pertanian, serta pembuangan limbah kimia. Bappenas (2003) dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Universitas Indonesia menggambarkan SDA dan lingkungan hidup Indonesia pada tahun 2025 sebagai berikut : 1. Total populasi diperkirakan akan mencapai 260 juta dengan persebaran yang semakin terkonsentrasi di daerah perkotaan yaitu 70% dari total penduduk dan
terkonsentrasi di daerah pesisir. Peningkatan
penduduk akan mempengaruhi
aktifitas
jumlah
ekonomi dan sosial ke arah
konsekuensi upaya ekspansif termasuk penggunaan lahan. 2. Kebutuhan SDA yang melebihi ketersediaannya perambahan aktifitas memiliki
dapat mengakibatkan
ekonomi dan sosial ke wilayah-wilayah
penurunan kualitas
lingkungan, terutama
konservasi. Selain berkurangnya
yang
di hutan-hutan
keanekaragaman hayati
juga
berkurangnya luas hutan dan bertambah luas daerah dan volume erosi tanah sehingga menyebabkan bencana banjir. 3. Perubahan daerah rawa dan ruang hijau yang berfungsi untuk menyimpan air
akan beralih fungsi
menjadi tanah persawahan dan pemukiman.
Fenomena di atas menggambarkan
adanya resiko
degradasi kualitas
sumberdaya air, khususnya di daerah perkotaan oleh besarnya tekanan penduduk dan pengelolaan sumberdaya air. 4. Indonesia akan mengalami berkurangnya nilai sumberdaya laut akibat kebijakan pembangunan di masa lalu yang sekarang masih berjalan tanpa disadari. 5. Permasalahan pengelolaan sumberdaya air, tanah, dan udara serta unsurunsur yang terkait dapat menimbulkan konflik sosial,
budaya, dan
ekonomi sebagai akibat kelangkaan ketesediaan SDA. 6. Penyediaan energi yang terbatas akibat cadangan minyak yang semakin menipis dan bergeser pada gas alam. Pendistribusian sumberdaya energi
19
yang tidak merata akan memungkinkan terjadinya konflik sosial dan ekonomi. Perubahan kualitas lingkungan dan sumberdaya alam yang cepat serta bersifat global
tidak dapat dihindari oleh setiap individu, masyarakat, dan
pemerintah. Namun demikian kini telah ada kesadaran masyarakat dunia termasuk Indonesia untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Disamping adanya kesadaran juga diperlukan upaya untuk menyatukan pandangan terhadap masalah dunia dan melakukan satu aksi untuk menyelamatkan planet bumi sebagai tempat yang aman dan berkelanjutan (sustainable development). Untuk dapat merealisasikan hal tersebut maka pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam proses transformasi kesadaran yang menjadi satu kesatuan nilai pengetahuan, sikap, dan perilaku. Kondisi lingkungan global yang cenderung kian
memburuk memicu
lahirnya program Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan atau Education for Sustaianable
Development (ESD) yang dicanangkan melalui resolusi
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Nomor 57 tahun 2004. Ada tiga tahapan untuk dapat memahami ESD yaitu memahami konsep sustainable development dan memahami peran pendidikan dalam merealisasi sustainable development. Hal ini mempresentasikan visi baru bagi pendidikan
yaitu visi yang
masyarakat berbagai usia untuk mengerti dunia tempat tinggal
menolong secara baik,
sanggup menghadapi kompleksitas dan keterkaitan masalah seperti ekonomi, ekologi, dan sosial. Menurut Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Universitas Indonesia (2006)
pendidikan untuk
sustainable development
merupakan: 1. Pendidikan
yang mendorong orang untuk memperoleh keahlian,
kapasitas, nilai, dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjamin terwujudnya pembangunan berkelanjutan. 2. Pendidikan merata di semua tingkat dan konteks sosial (keluarga, sekolah, tempat kerja, dan komunitas). 3. Pendidikan yang menghasilkan warga negara yang bertanggung jawab serta mengusung nilai demokrasi dengan mengizinkan individu dan komunitas-komunitas kewajibannya.
memperoleh
haknya
dan
menjalankan
20
4. Pendidikan berdasarkan prinsip pembelajaran seunur hidup. 5. Pendidikan yang membantu pembangunan individu yang seimbang Powers (2004) mengemukakan bahwa kesempatan yang diberikan kepada sekolah
untuk mempengaruhi masyarakat dengan
cara
memberikan bekal
kompetensi pengetahuan, sikap, dan pengalaman kepada siswa dapat membentuk tingkah laku masyarakat yang positif terhadap lingkungan sehingga terbentuk lingkungan alami dan sosial yang sehat. Sebagai produk dari sikap individu, masyarakat, dan pemerintah berhubungan dengan
terhadap lingkungan
sikap atau perilaku. Sikap
maka kualitas lingkungan merupakan
refleksi dari
pemahaman pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembelajaran, sedangkan perilaku adalah tindakan yang merefleksikan pengetahuan dan sikap.
Proses
pembelajaran merupakan rangkaian informasi pendidikan baik formal maupun informal yang
senantiasa mengalami perubahan.
Dengan demikian dunia
pendidikan dituntut untuk mengantisipasi cepatnya perubahan sehingga perlu segera menangkap informasi lingkungan yang saat ini mendapat perhatian yang besar, khususnya jika dikaitkan dengan kondisi sumberdaya alam dan kualitas lingkungan yang semakin menurun. Pendidikan dasar dan dapat menanamkan transfer pengetahuan
menengah dinilai
norma, cara pandang, dan etika yang dibangun melalui secara formal untuk selanjutnya akan menjadi jiwa
peradaban bangsa. Pada Rencana Pembangunan Berkelanjutan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) dijelaskan bahwa indikator keberhasilan dalam bidang Pendidikan adalah
memberikan
pengetahuan,
pemahaman
dan
pembangunan berkelanjutan melalui penyelenggaraan
wawasan
mengenai
dan pengembangan
pendidikan formal, informal, dan nonformal sehingga dihasilkan sumberdaya manusia Indonesia yang berbudaya, paham, tanggap, dan kreatif terhadap tiga pilar pembangunan berkelanjutan.
Ada dua hal yang mendasar
dibenahi yaitu kesadaran masyarakat
terhadap lingkungan
yang harus
dan
penegakan
hukum yang masih kurang dan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) adalah upaya
untuk memberikan kesadaran terhadap lingkungan.
Namun berkaitan
dengan pelaksanaan PLH, Kusumo (2003) mengemukakan bahwa PLH dengan sasaran sustainable development yang sudah dilaksanakan mengalami beberapa hambatan yaitu berupa:
di Indonesia
21
1. Terbatasnya jumlah tenaga pengajar yang dapat menyusun materi ajar PLH
dan yang menguasai pengetahuan lingkungan hidup. Dengan
demikian diperlukannya pendidikan lingkungan hidup untuk calon guru seperti yang
dikemukakan oleh
Heimlich dkk (2004) melalui
penelitiannya di Amerika. 2. Terbatasnya kualitas dan kuantitas bahan dan materi ajar tentang lingkungan hidup. 3. Masih kurangnya inisiatif dan partisipasi dari masyarakat
dalam
pengembangan dan pelaksanaan PLH 4. Masih terbatasnya
jaringan kerjasama antara pihak terkait
baik
pemerintah, swasta, industri, peruguan tinggi, lembaga pendidikan formal dan non formal, serta lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup. 5
Masih terbatasnya sarana dan prasarana
6. Terbatasnya dana dalam pengembangan dan pelaksanaan PLH. Selain itu menurut Saragih ( 2000) Pandangan dan cara hidup masyarakat sukar diperbaiki dalam jangka waktu yang singkat. Pola pikir dan pola hidup yang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat tidak dapat dikendalikan dan diperbaiki dengan cara perundangan. Untuk memperbaiki hal seperti itu cara pendidikan formal maupun informal mungkin efektif walaupun
tidak dapat
dilakukan dalam kurun waktu yang singkat. Pelatihan tentang lingkungan hidup sudah mulai digalakkan pada tahun 1989/1990 hingga sekarang terhadap guru-guru Sekolah Dasar dan Menengah dengan nama Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan hidup (PKLH), Pelaksanaan PKLH Dikdasmen didukung
oleh 12 Pusat Pengembangan
Penataran Guru (PPPG). Pengamatan PPPG menunjukkan bahwa kemampuan tenaga kependidikan untuk mengajarkan lingkungan hidup telah dapat ditingkatkan tetapi implementasinya di sekolah masih lemah. Alkarhami (2000) juga mengemukakan bahwa PLH yang disampaikan melalui Kurikulum 1984 belum memberikan hasil yang menggembirakan. Realita sehari-hari
hampir
semua lulusan sekolah belum menampilkan kinerja ramah lingkungan. Dengan demikian kondisi aktual di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan nasional belum menyentuh paradigma lingkungan hidup. Hasil evaluasi terhadap
22
Proyek PLH Dikdasmen yang dilakukan oleh oleh IPB (2001) memperlihatkan bahwa: 1. Pola pelatihan yang belum efektif 2. Metode pengajaran lebih didominasi ceramah 3. Kurikulum sangat padat waktu terbatas dan sulit diintegrasikan ke dalam kurikulum. 4. Penegakan hukum yang masih rendah. 5. Tidak ada target yang jelas dalam pelaksanaan PLH. 6. Keterlibatan lembaga lain masih rendah.
2.2. Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendiikan (KTSP) serta Kaitannya dengan PLH Salah satu kelengkapan penyelenggaraan pendidikan yang sangat penting adalah
kurikulum.
Kurikulum
Tahun 1994 yang selama sepuluh tahun
dilaksanakan pada SMA telah mendapat evaluasi dari kalangan masyarakat. Hasilnya antara lain menyimpulkan bahwa materi kurikulum ini dinilai sangat padat dan sukar dipahami oleh siswa bahkan oleh guru. Selain itu kurang menyentuh kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh materi tentang pengelolaan sumberdaya alam (SDA) yang terdapat pada lingkungan sekitar dan potensi daerah tidak dituangkan dan digali dalam Kurikulum Pendidikan 1994. Padahal materi lingkungan hidup sangat penting mengingat kenyataannya sumberdaya alam bersifat terbatas sehingga jika pemanfaatannya atau pengelolaannya keliru dapat menyebabkan unrenewable
kerusakan atau kepunahan. Pemanfaatan
perlu dilakukan
SDA yang
secara hemat maupun mencari alternatif
pengganti agar kehidupan dapat berlangsung secara berkelanjutan. Demikian juga halnya dengan SDA yang bersifat renewable juga tidak dapat diabaikan karena sumberdaya ini dapat mengalami kepunahan yang akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif bagi ekosistem secara keseluruhan. Mempertahankan eksistensi SDA bukan hal yang mudah karena membutuhkan upaya dan kesungguhan. Oleh sebab itu dalam mendukung keberlangsungan kehidupan, selain diperlukan kompetensi
untuk
mengelola
mempertahankan keberadaan
SDA
juga
diperlukan
SDA. Kompetensi
kompetensi
untuk
tersebut dapat berupa
23
pembekalan kompetensi akan
teknologi yang ramah lingkungan di berbagai
bidang misalnya pertanian, industri, dan informasi sehingga siswa
memiliki
kompetensi yang handal dan mampu bersaing secara global. Djajadiningrat (2001) mengemukakan individu perlu peduli terhadap lingkungan karena individu merupakan bagian integral dari seluruh mata rantai lingkungan hidup, dan sebagai pengelola SDA manusia adalah pelaku aktif yang bertindak sebagai konsumen, produsen, dan pembina ekosistem.
Perwujudan
pembangunan berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui masyarakat yang hidup dalam prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. Menghormati dan memelihara komunitas kehidupan. 2. Memperbaiki kualitas lingkungan manusia. 3. Melestarikan lingkungan hidup dan keragaman bumi. 4. Menghindari pemborosan sumberdaya yang tak terbarukan. 5. Berusaha untuk tidak melampaui kapasitas daya dukung bumi. 6. Mengubah sikap dan gaya hidup. 7. Mendukung kreatifitas
masyarakat untuk memelihara lingkungan
sekitarnya. 8. Menyediakan kerangka
kerja nasional untuk memadukan upaya
pembangunan dan pelestrian. 9. Menciptakan kerjasama global. Dengan demikian untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) memiliki peranan yang sangat besar. Menurut
Dewan Riset Nasional (2003) isu pokok bidang lingkungan salah
satunya adalah PLH. Selain itu isu lingkungan juga meliputi pembangunan yang belum berwawasan lingkungan, konservasi dan rehabilitasi, peluang pengelolaan dan penyelamatan SDA, serta peningkatan kemampuan hukum dan institusi. PLH merupakan kunci penting untuk menjawab rasa ingin tahu sebagai dasar kearifan manusia
dalam berperilaku.
Perilaku yang menjamin
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan perlu dikemas dalam berbagai program pembangunan yang bermuara pada peningkatan kualitas hidup. PLH dalam era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang harus memberdayakan setiap individu untuk mampu beradaptasi dalam kehidupan yang selalu bergolak. Oleh karena itu
PLH harus mampu memberdayakan
24
manusia untuk tegar tetapi lentur dengan kearifan agar mampu menghasilkan kompromi dalam berbagai hal yang memerlukan pendekatan dari dimensi yang berbeda (Soeryani, 2005).
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Soemarwoto (1981) bahwa sikap manusia terhadap ekosistem adalah faktor penentu kualitas lingkungan. Penurunan SDA, erosi, polusi, kepunahan spesies dan berbagai masalah adalah refleksi hubungan manusia dan lingkungannya. Sebagai konsekuensinya pendidikan lingkungan hidup harus mendapat perhatian yang besar. Untuk mencapai hal tersebut SDM masyarakat sekolah khususnya Kepala Sekolah dan guru
perlu terus melakukan pembelajaran khususnya mengenai
lingkungan dengan kesadaran yang tinggi. Karena itu menerus untuk memutakhirkan pengetahuan
tuntutan agar
terus
menjadi suatu keharusan. Agar
lulusan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sesuai dengan standar mutu nasional dan internasional dengan tidak mengabaikan lingkungan. Dengan demikian maka kurikulum perlu dikembangkan dengan pendekatan Kurikulum Berwawasan Lingkungan.
Melalui upaya ini diharapkan terjadi peningkatan
kompetensi SDM terhadap pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sehingga
dapat dicapai perbaikan kualitas
lingkungan yang berdampak pada kesejahteraan bangsa. Upaya untuk mencapai kesejahteraan bangsa SDA bukan merupakan faktor yang utama, tetapi yang lebih besar peranannya adalah kompetensi dari SDM yang dimiliki. Adanya perubahan yang cepat menyebabkan perlunya pembaruan paradigma kompetensi lulusan Sekolah Menengah, khususnya SMA. Kompetensi yang diharapkan dari pembelajaran mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di tingkat sekolah menengah mengalami perubahan yaitu dari
penguasaan
materi menjadi kompetensi
mengembangkan materi pembelajaran yang berpijak pada
untuk dapat Pembangunan
Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan (PBBL). Menurut Soeriatmadja (2004) pembaruan pendidikan di tingkat SMA baik IPA maupun IPS pada abad 21 adalah berperan aktif
dalam PBBL. Hal ini berbeda dengan pendidikan
SMA pada abad 20 yang terfokus pada peningkatan dan penguasaan pelajaran, dan lebih pada pengembangan lokal dan nasional. Materi IPA dan IPS yang pada
25
awalnya bersifat spesialisasi menjadi interdisiplin dan bergerak menuju pola holistik. Pembelajaran dalam PBBL memuat tiga aspek yaitu tujuan ekonomi, ekologi, dan sosial. Tujuan utama pembelajaran ekonomi adalah memberikan pemahaman stabilitas.
tentang
pertumbuhan ekonomi, pemerataan, ekoefisiensi, dan
Tujuan utama
pembelajaran
ilmu sosial adalah pemberdayaan
sumberdaya manusia, partisipasi masyarakat, kebersamaan, identitas budaya, pembinaan kelembagaan, dan pengentasan kemiskinan. Sedangkan target pembelajaran ekologi adalah kemampuan mengidentifikasi ekologi, keutuhan ekosistem, pelestarian keanekaragaman hayati khususnya pada daerah tropika, daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan hidup (carrying capacity), pengenalan IPTEK yang ramah lingkungan, penghematan sumberdaya alam, dan tanggap terhadap isu lingkungan global. Adapun tujuan akhir ke tiga aspek tersebut adalah kemampuan menjalin dan membina kemitraan dalam masyarakat (Soeriatmadja, 2004). Dalam pencapaian kompetensi tersebut di atas materi dan metode pembelajaran perlu disesuaikan dengan tingkat usia, lingkungan,
dan
potensi daerah. Pembekalan pemahaman terhadap pelestarian lingkungan sebaiknya telah ditanamkan sejak dini dan secara formal di tingkat sekolah dasar. Tetapi sangat disayangkan upaya pembekalan terhadap pelestarian lingkungan masih kurang memadai dan hanya diberikan pada pelajaran tertentu seperti Biologi dan Geografi secara terbatas dan kurang
mengangkat serta
menganalisis isu
kerusakan sumberdaya alam di daerah sekitarnya. Diberlakukannya kemudian
Undang-Undang Nomor 22
tahun 1999
yang
direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah serta adanya tuntutan otonomi dan demokratisasi dalam bidang pendidikan telah merubah cara pandang dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia. Sejalan dengan itu penyelenggaraan pendidikan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang semula bersifat sentralistik perlu diubah menjadi desentralistik.
Dengan demikian pengembangan kurikulum dapat disesuaikan
dengan kondisi daerah setempat. Hamid (2000) mengemukakan keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan ekonomi merupakan suatu realita dalam masyarakat.
26
Selain
itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Bab II Pasal 3 menegaskan
bahwa
pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pada Pasal 4 ditegaskan bahwa sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah: 1. Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup 2. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup. 3. Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan 4. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup 5. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana 6. Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Sasaran pengelolaan Pengelolaan
lingkungan hidup dalam Undang-Undang tentang
Lingkungan Hidup merupakan payung untuk mendukung PLH
melalui kurikulum pada tingkatan pendidikan. Pemahaman Kurikulum menurut Beaucham (1972) adalah rencana instruksional, dengan konsep tersebut berupa pengetahuan yang
maka
menimbulkan pengaruh
yaitu
dihafal dan diingat siswa dan sedikit sekali
berkontribusi pada perkembangan kepribadian, tingkah laku, dan sikap siswa (Zais, 1976). Pemahaman tentang kurikulum berkembang sebagai bekal yang memadai
kepada siswa untuk
berhasil dalam kehidupannya (Ornstein dan
Hunkin (1984). Selanjutnya kurikulum saat ini dibuat dengan mengangkat issue yang sedang berkembang, kultur, dan politik dan ada selalu disertai kontrol sosial ( Grifin, 1983). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, kurikulum adalah seperangkat rencana, pengaturan, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
27
untuk melaksanakan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dengan kata lain kurikulum pendidikan berfungsi sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan tertentu.
Kurikulum memberikan dasar-dasar pengetahuan yang dapat dikembangkan, ketrampilan pengalaman belajar untuk membangun integritas sosial,
serta
membudayakan dan mewujudkan karakter nasional. Pada hakikatnya kurikulum disusun untuk dapat dijadikan instrumen yang membantu peserta didik untuk berkembang menjadi individu sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Kurikulum juga
bertujuan untuk mengembangkan
kompetensi siswa secara
keseluruhan. Kompetensi merupakan keunggulan yang fundamental dari seorang individu sehingga mencerminkan sikap dan kinerja di dunia kerja. Menurut Hall dan Jones (1976) kompetensi adalah wujud penampilan yang ditimbulkan dari integrasi kompetensi pengetahuan dan sikap. Kompetensi pengetahuan adalah pengertian dan pemahaman dari suatu informasi, kompetensi sikap berhubungan dengan nilai,
minat, dan apresiasi, sedangkan kompetensi perilaku adalah
demonstrasi atau tindakan yang diharapkan. Keputusan Mendiknas No. 045/U/2002 mendefinisikan kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas di pekerjaan.
Kompetensi terdiri dari kemampuan
akademik, ketrampilan hidup, pengembangan moral,
pembentukan karakter
yang kuat, kebiasaan hidup sehat, semangat bekerja sama, dan apresiasi estetika yang terdapat di dunia sekitar. Prinsip–prinsip pengembangan kurikulum adalah penekanan keseimbangan etika, dan logika. Pengembangan etika dilaksanakan dalam rangka penanaman nilai-nilai sosial dan moral termasuk menghargai dan mengangkat nilai-nilai
pluralitas dan
universal.
Pengembangan estetika
menempatkan pengalaman belajar secara total untuk memberikan pengalaman estetik melalui berbagai kegiatan yang dapat mengekspresikan gagasan, rasa, dan karsa. Logika yang dikembangkan adalah kemampuan berpikir kreatif inovatif disertai keseimbangan kompetensi merupakan
dan
antara pengetahuan dan emosi. Disamping itu
pengetahuan ketrampilan dan nilai-nilai dasar yang
direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak
secara konsisten
dan terus menerus
memungkinkan seseorang
menjadi kompeten dalam arti memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai
28
dasar untuk melakukan sesuatu. Pemikiran menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah sebagai berikut : 1. Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan
sesuatu
sesuai dengan konteks yang diharapkan. 2. Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten. 3. Kompetensi merupakan hasil belajar yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran. 4. Kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur. KBK digulirkan dalam keadaan pendidikan Indonesia yang menghadapi masalah seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya. Selain
itu
pendidikan di SMA dihadapkan pada masalah- sebagai berikut: 1.
Masih rendahnya prestasi akademik lulusan SMA.
2.
Jumlah lulusan SMA yang melanjutkan studi sangat kecil
3.
Lulusan SMA tidak dibekali ketrampilan khusus untuk masuk dunia kerja.
4.
Persaingan global dunia kerja menuntut kualitas SDM yang bermutu tinggi.
5.
Kesulitan membentuk sumber belajar yang peduli terhadap lingkungan guna mengatasi
berbagai masalah lingkungan seperti pencemaran, sampah,
banjir, kelangkaan sumber air bersih maupun pelestarian sumber alam hayati. Masalah tersebut di atas diikuti pula dengan rendahnya daya saing kompetensi SDM Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. Human Development Report (2000) melaporkan kualitas SDM Indonesia berada pada urutan 105 dari 108 negara dan jauh tertinggal dengan Filipina yang berada pada urutan ke 77, Thailand ke 71, Malaysia ke 61, Brunai Darussalam ke 32, Korea Selatan ke 30, dan Singapura ke 24. International Educational Achiefment (IEA) mengemukakan bahwa kemampuan membaca siswa Sekolah Dasar Indonesia terdapat pada
urutan
Mathematics and
ke 38 dari 39 negara yang disurvey. Studi Third
Science
Study (TMSS)
memperlihatkan kemampuan
matematika siswa SMP di Indonesia berada pada urutan ke 34 dari 38 negara sedangkan IPA pada urutan ke 32 dari 38 negara. Fakta di atas diantaranya dapat
29
disebabkan oleh kompetensi dan profesionalisme SDM yang bergerak dalam dunia pendidikan yang masih belum dapat diharapkan. Selain itu disebabkan oleh kurikulum yang selama ini belum dapat menjembatani pemahaman pengetahuan yang diperoleh dengan permasalahan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. KBK memiliki ciri menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, dengan demikian kompetensi yang diharapkan akan dapat dicapai oleh semua siswa. Selain itu KBK berorientasi pada hasil belajar
dengan keragaman potensi, oleh sebab itu penyampaian dalam
pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang serasi. Prinsip dalam pelakasanaan kurikulum adalah nilai dan budi pekerti,
penguatan identitas
nasional, keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika. Kesamaan memperoleh kesempatan pengetahuan dan teknologi informasi sehingga mengembangkan kemampuan berpikir dan belajar dengan akses, memilih, dan menilai pengetahuan untuk mengatasi situasi yang cepat berubah. Di samping itu juga dikembangan ketrampilan hidup yaitu kurikulum perlu memasukkan unsur ketrampilan, sikap menghadapi
dan perilaku adaptif, kooperatif
tantangan dan tuntutan kehidupan
Kurikulum perlu diintegrasikan dengan
dan kompetitif dalam
sehari-hari
secara efektif.
unsur-unsur penting yang menunjang
kemampuan untuk bertahan hidup. Siswa dilatih untuk belajar sepanjang hidup manusia dalam rangka mengembangkan dan menambah kesadaran untuk selalu belajar
memahami dunia
yang selalu berubah
dalam berbagai bidang.
Kemampuan belajar sepanjang hayat dapat dilakukan melalui pendidikan formal dan nonformal
serta pendidikan alternatif yang diselenggarakan baik oleh
pemerintah maupun masyarakat. Pendidikan berpusat pada anak dengan penilaian yang berkelanjutan dan komprehensif dengan pendekatan menyeluruh dan kemitraan. Tujuan penyelenggaraan sekolah adalah kompetensi lulusan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki karakter, kecakapan dan ketrampilan yang kuat untuk digunakan dalam
mengadakan
hubungan timbal balik dengan
lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja dan pendidikan lebih lanjut. KBK yang juga dikenal dengan Kurikulum 2004 dilaksanakan di Indonesia berdasarkan keputusan Mendiknas No 232/U/2002. Pada KBK fokus kebijakan pengembangan kurikulum bukan hanya pada tingkat pusat saja tetapi
30
juga berada pada pemerintahan tingkat daerah maupun sekolah. Berdasarkan hal tersebut maka
daerah atau sekolah memiliki kewenangan yang cukup untuk
merancang dan menentukan pengembangan
materi, metode pengajaran,
pengalaman belajar, dan evaluasi informasi kurikulum. Dengan digulirkannya otonomi pendidikan kewenangan Pemerintah Pusat adalah menetapkan standar kompetensi, sedangkan
Pemerintah Daerah
mendukung penyelenggaraan pendidikan dan melaksanakan penyelenggaraan pendidikan yang mencakup kewenangan menyusun Silabus Mata Pelajaran dan pengendalian mutu. Daerah berpeluang besar
untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia. Bupati melalui Dinas Pendidikan memiliki kewenangan penuh untuk menentukan kualitas SDM yang diharapkan. Sekolah juga memiliki kewenangan untuk melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang selama ini kurang diperhatikan oleh stakeholder pendidikan. Dalam pengelolaan kurikulum berbasis sekolah, selain pihak sekolah terdapat pihak-pihak lainnya yang mempunyai peran dan tanggung jawab yang terkait dalam bidang pendidikan di daerah yang bersangkutan yaitu: 1. Dinas Pendidikan Provinsi -
Menjadi
fasilitator
pembentukan,
pelatihan,
dan
pembinaan
tim
pengembangan Silabus Mata Pelajaran pada tingkat Kabupaten / Kota. -
Membuat kebijakan operasional pelaksanaan KBK dan penyusunan Silabus Mata Pelajaran bagi seluruh Kabupaten Kota.
-
Memonitor penyusunan dan implementasi Silabus Mata Pelajaran pada tingkat Kabupaten/ Kota.
-
Memberikan dukungan sumber-sumber daya pendidikan yang diperlukan dalam penyusunan Silabus Mata Pelajaran.
-
Mengusahakan dana secara rutin untuk kegiatan penyusunan, penilaian, dan monitoring Silabus Mata Pelajaran.
-
Melakukan
supervisi, penilaian, dan monitoring
untuk kepentingan
informasi pendidikan tingkat provinsi. -
Melakukan koordinasi vertikal dengan unit-unit kerja terkait di lingkungan Depatemen Pendidikan Nasional.
31
2. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota -
Mengusahakan tersedianya dialokasikan
dana dari APBD Kabupaten/Kota
yang
untuk penyusunan, evaluasi, dan perbaikan Silabus Mata
Pelajaran. -
Membuat rambu-rambu pengembangan Silabus Mata Pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan.
-
Membentuk tim pengembang Silabus Mata Pelajaran pada tingkat Kabupaten/Kota.
-
Melakukan sosialisasi KBK berkenaan dengan segala implikasi perubahan dalam tatanan penyelenggaraan pendidikan.
-
Memberikan pengesahan terhadap Silabus Mata Pelajaran yang dibuat oleh Tim Pengembangan Silabus.
-
Mengkaji Silabus Mata Pelajaran yang dibuat oleh sekolah yang mampu membuatnya sendiri.
-
Mendistribusikan Silabus Mata Pelajaran ke sekolah yang tidak menyusun Silabus Mata Pelajaran.
-
Mengkaji kelayakan sekolah yang akan memulai penggunaan KBK, supervisi, penilaian, dan monitoring Sekolah.
3. Sekolah -
Mengajukan usulan kegiatan penyusunan Silabus Mata Pelajaran kepada Dinas Kabupaten/Kota bagi sekolah yang akan menyusun sendiri Silabus Mata Pelajaran.
-
Melaksanakan Silabus Mata Pelajaran bagi sekolah yang mampu menyusun sendiri Silabus Mata Pelajaran.
-
Melaksanakan Silabus Mata Pelajaran yang telah disiapkan terlebih dahulu oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
-
Meningkatkan Capacity Building
tenaga kependidikan melalui berbagai
pelatihan. -
Melibatkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah untuk meningkatkan efektifitas dan mutu pelaksanaan Silabus Mata Pelajaran sebagai penjabaran KBK.
-
Mengkomunikasikan implikasi KBK kepada orang tua siswa dan anggota masyarakat lainnya.
32
Ciri lain dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah berbasis luas (broad based education) yaitu pendidikan yang berbasis pada masyarakat luas dengan orientasi kecakapan untuk hidup (life skill). KBK berorientasi pada ketrampilan hidup tetapi tidak menjadikan pendidikan hanya sebagai latihan kerja. Pendidikan yang diberikan membuka kesempatan kepada setiap anak didik untuk mengembangkan potensinya. Proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik jika ada keterlibatan langsung antara siswa, obyek, peristiwaperistiwa dan situasi serta kondisi alam kehidupan yang dipelajari. Kemampuan mengingat, mengatakan dan melakukan akan mencapai tingkat keberhasilan 90%, mengatakan mencapai 70%, melihat dan mendengar mencapai 50%, melihat
mencapai 30%, mendengar
mencapai 20%, dan membaca
hanya
mencapai 10% (Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2002). Selama ini pendidikan memberikan perlakuan yang kurang memberikan tantangan kepada siswa untuk memanfaatkan adanya muatan lokal dan potensi lingkungan sekolah sebagai sumber belajar. Hal tersebut dapat dilakukan dengan masukan unsur budaya daerah, ketrampilan-ketrampilan khusus yang menggunakan nara sumber dari masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan di daerah tersebut. Hal ini merupakan usaha untuk meningkatkan kebermaknaan materi kurikulum sehingga dapat merangsang gairah belajar siswa dan semangat mengajar guru dengan memanfaatkan potensi lingkungan sekolah. Selain itu juga memberikan bekal ketrampilan dan keahlian yang dapat dijadikan sumber penghidupan. KBK juga memberikan kesempatan untuk pengembangan potensi daerah yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan latar belakang
budaya masyarakat
daerah. Life skill merupakan orientasi pendidikan yang mengarah pada pembekalan kecakapan untuk hidup yang meliputi general life skill dan specific life skill. General life skill terdiri atas self awareness, thingking skill, dan social skill. Self awareness adalah penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan serta menyadari kelebihan dan kekurangannya. Thinking skill
adalah kecakapan
menggali dan menemukan, mengolah informasi, dan mengambil keputusan serta kecakapan memecahkan masalah secara kreatif. Social skill adalah kecakapan berkomunikasi, berempati, dan bekerjasama. Specific life skill meliputi kemampuan untuk mengidentifikasikan variable, merumuskan hipotesis dan
33
melaksanakan penelitian yang terdiri dari academic skill dan vocational skill. Academic skill adalah kemampuan berpikir ilmiah sedangkan
vocational skill
disebut juga ketrampilan kejuruan yaitu ketrampilan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang tedapat di masyarakat.
Menurut Depdiknas
(2001) tujuan life skill adalah: 1. Kemampuan menghitung dengan atau tanpa bantuan teknologi. 2. Kemampuan teknologi dalam aneka ragam lapangan kehidupan antara lain pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan, kerumahtanggaan, kesehatan, komunikasi, informasi, dan transportasi. 3. Kemampuan mengelola SDA, sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan untuk bisa hidup mandiri dan otonomi. 4. Kemampuan bekerja sama yang merupakan tuntutan ekonomi saat ini. 5. Kemampuan untuk terus belajar (learning process). Sasaran kompetensi seperti yang diharapkan sangat tepat dan dibutuhkan untuk mensiasati perubahan lingkungan global dan masalah kerusakan lingkungan yang dihadapi. Visi
kurikulum juga mengalami perubahan
dari kurikulum
efisiensi sosial ke kurikulum yang fleksibel dan egaliter serta demokratik. KBK diharapkan dapat dijadikan strategi mengembangkan
untuk membelajarkan manusia dan
potensi individu. Pembelajaran akan
terfokus
pada
pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung melalui kontak sosial dan kultural, sehingga dapat mendorong siswa membangun kompetensi. KBK memiliki perbedaan dibandingkan dengan Kurikulum Pendidikan 1994 karena menitikberatkan pada kompetensi secara keseluruhan yaitu perpaduan antara pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Perbedaan yang mendasar adalah pada Kurikulum Pendidikan 1994 materi pelajaran telah ditetapkan dari pusat (sentralistik) dan sepenuhnya disampaikan secara utuh kepada siswa, walaupun di lapangan ketuntasan belajar sulit tercapai. Sedangkan KBK menuntut penguasaan materi dengan kompetensi pada ranah kognitif, psikomotor, dan afektif. Di samping itu KBK bersifat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan daya serap siswa. Walaupun demikian ada standar kompetensi minimal yang telah ditentukan dan harus dicapai. Selanjutnya pada KBK materi pelajaran selalu dikaitkan dengan lapangan pekerjaan yang ada pada
34
masyarakat setempat. Hal ini disebabkan tujuan KBK adalah memberikan bekal kecakapan hidup yang dapat dimanfaatkan pada waktu masyarakat. Dengan demikian pembelajaran
siswa terjun di
KBK dapat disesuaikan dengan
pengembangan potensi daerah melalui pemberdayaan sumberdaya alam, kondisi ekonomi, perhatian pada pranata sosial dan budaya setempat sehingga bersifat desentralistik. Evaluasi belajar yang dilakukan disesuaikan dengan kemampuan yang dapat dicapai oleh rata-rata siswa dalam kelas, dengan demikian
akan
dijumpai variasi perbedaan kompetensi antar kelas dan bersifat individual. Hasil yang maksimal dapat dicapai melalui pengertian yang
berkembang dari
pemahaman dan pengetahuan sendiri melalui pengalaman belajar. Dengan KBK standar yang akan dicapai dalam pendidikan terdiri atas dua jenis, yaitu Standar Akademis Kompetensi
(Performances
(Academic Content Standards) dan Standar
Standards).
Standar
akademis
merefleksikan
pencapaian pengetahuan dan kerampilan esensial dari suatu disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh peserta didik. Sedangkan standar kompetensi adalah suatu kegiatan yang dapat didemonstrasikan oleh peserta didik sebagai penerapan dari pengetahuan dan ketrampilan yang telah dipelajari. Standardisasi tersebut dapat dicapai melalui tiga hal yang diterapkan dalam KBK yaitu adanya pergeseran dari pembelajaran kelompok ke individual, pengembangan konsep belajar tuntas, dan memperhatikan bakat siswa (Mulyasa, 2004).
Tiga konsep pembelajaran
tersebut akan mendorong guru untuk memacu potensi siswa secara individu dan penguasaan materi pelajaran pada setiap siswa. Melalui KBK target kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang diharapkan sebagai implementasi dari standar akademik dan standar kompetensi dapat dicapai.
Standar kompetensi
tidak hanya ditentukan oleh Depdiknas tetapi dapat ditentukan oleh masyarakat setempat yang disampaikan melalui sekolah sesuai dengan kebutuhan daerah. Potensi sumberdaya alam lokal juga dapat dimanfaatkan dalam pengalaman belajar. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab X yang pada intinya bahwa kurikulum dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan potensi daerah dan peserta didik. Disamping
itu
penyelenggaraan
pendidikan
juga
berbasis
pendidikan berdasarkan
pada
masyarakat
sehingga
kekhasan agama, sosial budaya,
aspirasi, dan potensi masyarakat. Dengan demikian pendidikan kejuruan dan
35
kewirausahaan berbasis lokal dengan potensi sumberdaya alam di sekitarnya pada tingkat SD, SMP, dan SMA dapat dikembangkan. Sejalan dengan itu Hewindati (2003) mengemukakan bahwa pendidikan dan ketrampilan dalam pengelolaan lingkungan perlu dilaksanakan secara terpadu dalam berbagai mata pelajaran melalui kurikulum pendidikan dan pelatihan. Dengan demikian implementasi KBK
sangat dimungkinkan
untuk mengisi muatan ketrampilan
dalam
pengelolaan lingkungan. Penerapan KBK di lapangan mengalami berbagai kendala diantaranya yaitu stakeholder pendidikan masih menganut pemahaman pola konvensional yang hanya mengukur kompetensi dari segi kognitif seperti pada Kurikulum Tahun 1994. Pemahaman KBK yang berbeda pada stakeholder pendidikan menimbulkan kerancuan disebabkan terbatasnya informasi, sarana, dan prasarana untuk mendukung program tersebut. Kendala lainnya adalah lemahnya ketiga kompetensi yang selayaknya dimiliki oleh guru yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Menurut Suparno (2004) lemahnya kompetensi tersebut disebabkan universitas pendidikan penghasil guru yang kurang menekankan penguasaan materi, kurangnya praktik mengajar mahasiswa keguruan, motivasi sehingga perubahan Kurikulum Pendidikan
dan rendahnya
1994 menjadi KBK
menimbulkan kesan kurang dapat diterima pada masyarakat sekolah. Secara rinci perbedaan antara Kurikulum Pendidikan 1994 dan KBK disajikan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1.
Perbedaan Kurikulum 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompetensi
ASPEK
KURIKULUM 1994
Landasan Hukum dan Legalitas
Seluruh perangkat kurikulum ditetapkan oleh Pusat (Keputusan Mendikbud No 061/ U / 1993) Mulai Buku I (Landasan), Buku II (GBPP), Buku III (Pedoman Pelaksanaan) berbagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis ditetapkan oleh pusat menjadi wewenang Pusat
KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI Pusat menetapkan kebijakan umum dan mengembangkan kompetensi menurut PP No 25 tahun 2000 pasal 2 ayat 2 Kewenangan Daerah adalah membuat Silabus, panduan pembelajaran dan penilaiaan sesuai dengan kebutuhan masing-masing dan menentukan sumber-sumber belajar yang cocok untuk mendukung pembelajaran
36
Dokumen
Pendekatan Konten
Persiapan
Waktu belajar Penjurusan
Seluruh dokumen kurikulum Kompetensi dan materi direncanakan, dibuat, dan pokok dikembangkan di pusat sedangkan Silabus dikembangkan oleh Pusat. dan bahan ajar dikembangkan oleh Daerah. Diformulasikan secara rigid Memberi peluang yang luas dan kurang dinamis sehingga kepada guru/sekolah /daerah kurang memberikan peluang untuk mengembangkan kepada daerah, sekolah, dan potensinya sesuai dengan guru untuk mengembangkan kebutuhan daerah/sekolah. potensinya. Kurang jelas menyajikan Disajikan secara jelas target yang ingin dicapai di kemampuan-kemampuan setiap jenjang. yang harus dicapai pada setiap jenjang dan kelas. Berbasis konten Berbasis kompetensi Materi padat dan tumpang Materi dibentuk untuk tindih, banyak hafalan, kurang mengarah kepada mengarah pada pembentukan kompetensi yang dituntut, sikap ilmiah dan kepribadian karena berbasis kompetensi melalui pengembangan maka materi pokok bukan ketrampilan dan sikap. merupakan materi untuk hafalan tetapi mengarah pada kompetensi yang dituntut seperti yang dapat diperagakan dan didemonstrasikan. Tidak dan kurang melalui Melalui tahap-tahap uji coba tahap tahap uji coba dimana terbatas mulai tahun 2002 sekolah langsung menerapkan /2003 di 40 SMA mulai di kurikulum baru di kelas 1 kelas 1 Guru diminta untuk mebuat AMP prota proca program satuan pelajaran dan rencana pembelajaran.
Guru diminta membuat Silabus prota prosem dan rencana/ skenario pembelajaran.
Menerapkan sistem Cawu.
Menerapkan sistem Semester. Dimulai di kelas 2 Terdiri dari IIA, IIS dan bahasa. Penjurusan dilakukan dengan mempertimbangkan bakat dan minat siswa disamping kemampuan siswa pada mata pelajaran – mata pelajaran yang menjadi kekhususan program/jurusan.
Dimulai di kelas 3 Terdiri dari program IPA, IPS, dan Bahasa. Penjurusan dilakukan kurang memperhatikan minat siswa, kebanyakan berdasarkan kemampuan siswa terhadap mata pelajaran tertentu.
37
Faktor penilaian dari guru pembimbing (bimbingan konseling) kurang mendapat perhatian. Tidak ada aturan tentang perpindahan jurusan yang tidak diminati atau tidak sesuai bagi siswa.
Pelaksanaan
Guru mengalami kesulitan mengembangkan topik-topik tertentu. Beberapa materi ada yang sulit diajarkan guru dan ada yang sulit dipahami siswa sehingga terjadi penumpukkan materi pada cawu tertentu. Dalam pelaksanaan kurang memperhatikan learning to know, learning to do, learning live together, learning to be. Yang ada kebanyakan adalah learning to know. Formulasi dan pelaksanaan kurikulum kurang memperhatikan keutuhan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam pembelajaran siswa dijadikan sebagai obyek pendidikan. Kecakapan hidup (life skill) kurang terakomodasi dalam kurikulum dan proses pembelajaran karena mengejar target kurikulum. Berorientasi pada proses (proses oriented) dan curiculum target oriented. Kurang diterapkan sistem belajar tuntas. Seorang siswa dinyatakan tuntas belajar jika telah menguasai 65% atau lebih dari suatu topik tertentu (tuntas secara individu). Sedangkan tuntas klasikal apabila 85 % atau lebih dari seluruh siswa dalam satu kelas
Masukan dari guru pembimbing (BK) terhadap keadaan siswa sangat diperlukan. Menerapkan sistem multy entry multy exit yang artinya seorang siswa dapat pindah ke jurusan lain bila ia tidak berminat /tidak sesuai jurusan. Guru diberi kebebasan untuk berkreasi dan mengembangkan secara kreatif materi-materi pokok untuk mencapai kompetensi tertentu. Learning to know, learning to do, learning life together, dan learning to be diakomodasikan secara integratif dan proporsional. Aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik merupakan suatu keutuhan dalam pencapaian kompetensi dan kemampuan dasar. Siswa sebagai subyek pendidikan (student centered learning) Kecakapan hidup (life skill) terakomodasi secara terpadu dan proporsional dalam kurikulum dan proses pembelajarannya. Berorientasi pada output /kompetensi siswa. Sistem belajar tuntas benarbenar dituntut untuk diterapkan karena seorang siswa dituntut untuk master atau kompeten sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Seorang siswa bisa pindah melanjutkan ke kompetensi lain jika
38
telah mencapai dan menguasai 65 % suatu topik tertentu. Belum/kurang diterapkan sistem manajemen berbasis sekolah dalam melaksanakan kurikulum. Penilaian
Diversifikasi
Menerapkan sistem penilaian berbasis konten yang lebih banyak menekankan aspek kognitif. Sistem penilaian dilakukan secara konvensional dan berbasis pada pokok bahasan dan sub pokok bahasan
komnpetensi sebelumnya telah dimiliki. Diperlukan sistem manajemen sekolah dan partisipasi seluruh stakeholder untuk melaksanakan kurikulum. Menerapkan sistem penilaian berkelanjutan yaitu mengacu pada keberlangsungan proses dan sistem penilaian berbasis kelas (Classroom Based Assessment) yang berbentuk tes uraian, porto folio, dan tugas (project work). Ulangan/tagihan harian, ulangan akhir semester, dan Ujian Akhir SMA. Ujian akhir disebut Ujian Akhir SMA yang mengacu pada kemampuan dan kisikisi yang ditetapkan oleh pusat. Ujian Akhir Nasional dilakukan untuk mata pelajaran tertentu yang merupakan mata pelajaran wajib setiap jurusan seperti Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dan mata pelajaran yang menjadi kekhasan program jurusan seperti Matematika, Ekonomi, dan Bahasa Asing
Ulangan harian, ulangan umum, akhir Cawu, Ebta dan Ebtanas. UUB dan Pra EBTA. Ujian akhir yang disebut EBTANAS sampai tahun 2001- 2002, 7 mata pelajaran disiapkan oleh Pusat sedangkan Ebta disiapkan oleh sekolah. Sedangkan mulai tahun 2002/2003 dilakukan Ujian Akhir Nasional yang bahannya disiapkan dari pusat (7 mata pelajaran) dan Ujian Akhir Sekolah yang bahannya disiapkan oleh sekolah dengan mengacu pada standar kemampuan yang telah ditetapkan oleh Pusat. Penilaian dilakukan dengan Penilaian dilakukan dengan menggunakan acuan norma menggunakan criterian (norm reference test). referenced test karena berdasarkan kompetensi yang dituntut. Tidak mengakui kompetensi / Adanya pengakuan hasil hasil pembelajaran siswa belajar awal (recognition of sebelumnya. prior learning). Tidak berjalan sebagaimana Menerapkan diversifikasi mestinya, artinya di beberapa kurikulum dengan sekolah tertentu hanya klasifikasi siswa normal, menangani siswa yang cepat sedang, dan tinggi. Siswa belajar (di atas normal), yang normal dituntut untuk sedangkan yang lambat memiliki minimum
39
belajar dianggap siswa normal. Selain itu penggalian karakteristik lokal yang berbeda–beda kurang diterapkan dan diintgrasikan pada materi-materi pembelajaran.
Akselerasi Belajar
Laporan hasil belajar, kelulusan, dan sertifikasi
Dilaksanakan pada sekolahsekolah tertentu dengan memberikan materi kompetensi yang harus dimiliki untuk satu jenjang dan bisa diambil dari materi cawu berikutnya sehingga seorang siswa bisa menyelesaikan program belajarnya di SMA selama 2 tahun. Berbentuk rapor yang lebih banyak menekankan aspek kognitif. Hasil belajar tiap mata pelajaran dinyatakan dengan angka dimana mata pelajaran tertentu tidak boleh kurang dari 6. Kenaikan kelas dipertimbangkan berdasarkan nilai raport cawu. Untuk kenaikan kelas nilai K tidak boleh lebih dari 5 dan tidak boleh memiliki angka 3 dengan menggunakan rumus tertentu. Menerapkan sistem tamat pada siswa untuk akhir jenjang. Sertifikasi ketamatan siswa dinyatakan dengan STTB dan Daftar Nilai Ujian Nasional.
kompetensi yang dipersyaratkan. Sedangkan siswa yang tinggi bisa memiliki kompetensi yang lebih tinggi dengan mempelajari materi-materi pengayaan. Dengan adanya kebebasan guru untuk mengembangkan materimateri yang akan diajarkan untuk mencapai kompetensi tertentu pada siswa maka penggalian karakteristik lokal bisa diterapkan melalui sumber belajar yang ada. Dilaksanakan dengan memperhatikan kompetensi yang harus dimiliki untuk satu jenjang dalam masa belajar yang lebih cepat dari masa belajar yang ditetapkan pada suatu sekolah.
Rapor berbentuk profil yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hasil belajar tiap mata pelajaran dinyatakan lulus atau belum lulus. Minat belajar dinyatakan memenuhi syarat dan belum memenuhi syarat. Batas kelulusan 75% menguasai bahan ajar. Kenaikan kelas diterapkan dengan klasifikasi naik kelas murni dan naik kelas dengan syarat, yang artinya seorang siswa harus memiliki kompetensi yang ditetapkan sebelumnya dan bisa dilakukan dengan mempelajari materi yang diperlukan untuk kompetensi tersebut. Menerapkan sistem lulus pada siswa untuk akhir jenjang SMA. Sertifikasi
40
kelulusan dinyatakan dengan Ijazah dan Sertifikat Lulus.
Pengembangan KBK adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun dan dilaksanakan oleh satuan pendidikan pada tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Tujuan KTSP untuk pendidikan
menengah
adalah
meningkatkan
kecerdasan,
pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. KTSP diberlakukan di Indonesia mulai tahun ajaran 2006/2007, menggantikan Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Satuan pendidikan ini telah melakukan uji coba melalui KBK atau kurikulum 2004
secara
menyeluruh
dan
diperkirakan
mampu
secara
mandiri
mengembangkan kurikulum berdasarkan Standar Kompetensi kelulusan (SKL), Standar Isi (SI) dan berpedoman pada Panduan penyusunan KTSP oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Standar isi juga merupakan pedoman
untuk pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, Kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan Kalender pendidikan. Pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Menggunakan
Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati dan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang dapat disesuaikan dengan potensi siswa, kondisi
sekolah
dan
daerah
tempat
sekolah
tersebut
berada
http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_Tingkat_Satuan_Pendidikan. KTSP yang menekankan pada kompetensi memiliki ciri ketercapaian kompetensi siswa secara individual dan kelompok,
berorientasi pada
pada hasil belajar dan
keberagaman, penilaian terhadap proses belajar, pembelajaran dengan berbagai metode, sumber belajar yang bukan hanya terbatas pada guru. KTSP diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
41
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pengembangan KTSP berdasarkan prinsip : 1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya Kurikulum dikembangkan berasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki potensi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta
bertanggung jawab. Untuk
mendukung pencapaian tujuan tersebut
pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki potensi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik. 2. Beragam dan terpadu Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial, ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta isusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antar substansi. 3. Tanggap teradap perkembangan ilmu dan teknologi Kurikulum dikembangkan atas asar kesadaran
bahwa ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan
perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni. 4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan Pengembangan
kurikulum,
dilakukan
dengan
melibatkan
kepentingan (stakeolder) untuk menjamin relevansi
pemangku
pendidikan dengan
kebutuhan kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. 5. Menyeluruh dan berkesinambungan
42
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan. 6. Belajar sepanjang hayat Kurikulum diarahkan pada proses
pengembangan, pembudayaan, dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur penidikan formal, nonformal, informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang . 7. Seimbang antara kepentingan Nasional dan Daerah Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Muatan KTSP meliputi sejumlah mata pelajaran,
muatan lokal dan
kegiatan pengembangan diri. Muatan mata pelajaran berpedoman pada struktur kurikulum yang tercantum dalam standar isi. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi sesuai dengan ciri khas dan potensi daerah termasuk keunggulan daerah. Kegiatan pengembangan diri
adalah
kegiatan yang bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Menurut Subandrijo dan Hidayanto (2001) kurikulum yang tepat dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan menekankan pada
Community Based
Education yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat tanpa meninggalkan pengetahuan dan kebutuhan siswa. Berdasarkan Pusat Kurikulum dalam Enoh (2005) dasar
pemikiran menggunakan
konsep kompetensi dalam kurikulum
adalah :kompetensi yang berkaitan konteks tertentu yang berkaitan
dengan
bidang kehidupan. Enoh (2004) mengemukakan bahwa dalam desentralisasi pendidikan terdapat sejumlah implikasi yaitu melaksanakan langkah strategis yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan siswa, meningkatkan kapasitas sekolah,
meningkatkan partisipasi masyarakat
memperkuat
fungsional
pendidikan
dalam kegiatan pendidikan,
dengan
kebutuhan
masyarakat,
43
menumbuhkan manajemen yang efisien, efektif, produktif, serta meningkatkan kreatifitas dan kemandirian kelembagaan. 2. 3. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan PLH Untuk menunjang
pelaksanaan KBK di lapangan maka
memiliki hak manajemen yaitu
sekolah perlu
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Hak
otonomi ini diperlukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan sehingga sekolah mempunyai keleluasaan untuk menyusun dan mengembangkan Silabus Mata Pelajaran. Hal penting yang diharapkan dari adanya MBS adalah dapat mengakomodasi potensi sekolah, kebutuhan dan kemampuan peserta didik, serta kebutuhan masyarakat sekitar sekolah. Pembelajaran yang dilakukan mendorong terjalinnya kerjasama antar sekolah, masyarakat, dan dunia kerja. Masyarakat melalui Komite Sekolah dapat berpartisipasi aktif dalam pengembangan kurikulum. Dengan demikian KBK sulit diimplementasikan tanpa adanya MBS. MBS merupakan bentuk sekolah, karena sekolah
manajemen
organisasi dalam kepemimpinan
mendapat kewenangan dari pusat
untuk menyusun
rencana sekolah dan merumuskan kebijakan untuk sekolah, menjamin adanya komunikasi yang efektif antar sekolah dan masyarakat terkait serta
adanya
pertanggung jawaban antara sekolah dan masyarakat. MBS ditandai dengan adanya otonomi yang luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat, dengan kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi tersebut kesempatan
bagi sekolah
memberikan
untuk memprioritaskan kebutuhan masyarakat
setempat. Masyarakat dituntut untuk berpartisipasi dalam dunia pendidikan, membantu, dan mengontrol pengelolaan
pendidikan.
Dalam proses belajar
mengajar sekolah diharapkan mampu mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap kebutuhan siswa dan masyarakat. Peranan Kepala Sekolah untuk melaksanakan program ini sangat besar yaitu sebagai kepala perencanaan dan keuangan. Berkaitan dengan ciri yang dimiliki oleh KBK maka kompetensi Kepala Sekolah yang berperan dalam manajemen berbasis sekolah sangat menentukan pelaksanaan KBK di lapangan. Dengan demikian kompetensi Kepala Sekolah secara tidak langsung akan mempengaruhi suksesnya pelaksanaan otonomi daerah secara keseluruhan.
Kepala Sekolah dituntut untuk
dapat
membaca perubahan dan perkembangan global untuk bertindak lokal serta mampu untuk membaca kondisi daerah setempat. Di samping peranan Kepala Sekolah,
44
guru juga sangat berperan dalam implementasi KBK. Guru juga dituntut untuk dapat mengaitkan materi pelajaran sebagai dasar pijakan pengetahuan materi pelajaran dengan lingkungan hidup. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang memadai tentang pengelolaan sumberdaya alam, ekonomi, sosial, dan budaya setempat. Menurut Suriani (2004) kompetensi guru
dibedakan menjadi tiga
bagian, yaitu kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Ketiganya merupakan syarat untuk mendapatkan kompetensi yang diharapkan dari siswa. Dari berbagai proses pembelajaran maka pendekatan individual merupakan hal terpenting yang perlu diperhatikan untuk mencapai standar akademis dan standar kompetensi. Melalui cara ini maka potensi siswa dapat ditumbuhkan, dikembangkan, dan dibina.
Selain faktor-faktor di atas
keseriusan pemerintah pusat dan aparat daerah juga merupakan faktor penting yang menentukan suksesnya pelaksanaan KBK. Pelaksanaan MBS memerlukan pendekatan sistem karena di dalammya terdapat stakeholder terkait dengan berbagai kepentingan seperti politik, ekonomi, sosial budaya, teknologi, dan ekologi. MBS yang dapat diterapkan dalam desentralisasi adalah: 1. Manajemen Kurikulum dan program pengajaran yaitu kewenangan sekolah mengelola dan mengembangkan standar minimal kurikulum yang berlaku pada tingkat dasar dan menengah, mengaitkan dengan potensi dan kondisi daerah setempat dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial budaya, dan ekonomi. 2.
Manajemen Tenaga Kependidikan yaitu kewenangan dan kebebasan sekolah untuk merekrut guru dan pegawai dibutuhkan, meningkatkan kompetensi,
sesuai dengan kompetensi yang pembinaan dan penghargaan
terhadap SDM pendidikan. 3. Manajemen Kesiswaan yaitu
kewenangan dan kebebasan sekolah dalam
proses belajar mengajar, evaluasi, kegiatan pembinaan, dan segala aktifitas yang mendukung kompetensi siswa. 4. Manajemen Keuangan dan Pembiayaan yaitu kewenangan dan kebebasan sekolah dalam pengelolaan keuangan yang bersumber dari pemerintah, orang tua, peserta didik, dan masyarakat.
45
5. Manajemen Sarana dan Prasarana yaitu kewenangan dan kebebasan sekolah untuk mengatur peralatan dan perlengkapan yang langsung maupun tidak langsung untuk digunakan sebagai penunjang proses pendidikan baik yang diperoleh dari pusat maupun hasil kerjasama dengan masyarakat. 6. Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat yaitu sekolah sebagai bagian integral dari sistem sosial mempunyai kewenangan dan kebebasan bekerja sama dengan komponen yang terdapat pada masyarakat. Dengan demikian tujuan hubungan sekolah dengan masyarakat yaitu memajukan kualitas pembelajaran dan target kompetensi, memperkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup
dan penghidupan masyarakat,
serta
menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sekolah dapat terlaksana. Sedangkan berdasarkan dimensi kebutuhan masyarakat fungsi sekolah adalah untuk memajukan
dan meningkatkan
masyarakat, membantu memecahkan berbagai
kesejahteraan
masalah yang dihadapi
masyarakat, dan menjamin relevansi program sekolah dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Menurut Mantja (2000)
fungsi manajemen
pendidikan adalah
perencanaan, pengorganisasian, aktualisasi, dan pengendalian. Berkaitan dengan MBS Pidarta (1981)
mengemukakan terdapat tiga macam ketrampilan yang
harus dimiliki Kepala Sekolah yaitu ketrampilan konseptual berupa ketrampilan untuk memahami dan mengelola organisasi, ketrampilan untuk bekerjasama, memotivasi dan
memimpin, serta ketrampilan teknik
pendekatan berbagai
metoda agar implementasi KBK dapat berjalan dengan baik. Sejalan dengan itu Mulyasa (2004) mengemukakan tentang kriteria MBS seperti yang disajikan pada tabel 2.2. Tabel 2.2. Kriteria Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Organisasi
Proses Belajar
Sumberdaya
Sumberdaya dan
Sekolah
Mengajar
Manusia
Administrasi
Menyediakan
Meningkatkan
Memberdayakan
manajemen
kualitas belajar
staf dan
organisasi
siswa
menempatkan
diperlukan
personel yang
mengalokasikan
kepemimpinan
Mengidentifikasi sumberdaya yang dan
46
transformasional
dapat melayani
sumberdaya
dalam mencapai
keperluan siswa
tersebut
tujuan sekolah
sesuai
dengan kebutuhan
Menyusun
Menggambarkan
Memilih staf
rencana sekolah
kurikulum yang
yang memiliki
dan merumuskan
cocok dan tanggap
wawasan
kebijakan untuk
terhadap
manajemen
sekolah masing-
kebutuhan siswa
berbasis sekolah
masing
dan masyarakat
Mengelola
dana
sekolah
sekolah Mengelola
Menyelenggarakan
Menyediakan
Menyediakan
kegiatan
pengajaran yang
kegiatan untuk
dukungan
operasional
efektif
pengembangan
administrasi
sekolah
profesi pada semua staf
Menjamin adanya
Menyediakan
Menjamin
Mengelola dan
komunikasi yang
program
kesejahteraan staf
memelihara
efektif antara
pengembangan
dan siswa
gedung dan sarana
sekolah dan
yang diperlukan
masyarakaat
siswa
lainnya
terkait (school community) Menjamin akan
Program
Kesejahteraan staf
Memelihara
terpeliharanya
pengembangan
dan siswa
gedung dan sarana
sekolah yang
yang diperlukan
bertanggung
siswa
jawab (akuntabel) kepada masyarakat dan pemerintah
lain
47
2. 4. Sejarah Pendidikan Lingkungan Hidup di Indonesia Pendidikan
Lingkungan
Hidup
di
Indonesia
diawali
dengan
diadakannya Lokakarya Internasional di Beograde, Jugoslavia pada tahun 1975 (www. men LH. go. id) yang dikenal dengan The Beograde Charter a Global Framework for Environtmental Educational yang bertujuan untuk: 1. Meningkatkan kesadaran
dan perhatian terhadap keterkaitan
bidang
ekonomi, sosial, politik, serta ekologi di perkotaan maupun di pedesaan. 2. Memberi kesempatan bagi setiap orang untuk mendapatkan
pengetahuan,
ketrampilan, sikap dan perilaku, motivasi, serta komitmen yang diperlukan untuk bekerja secara individu dan kolektif untuk menyelesaikan masalah lingkungan saat ini dan mencegah munculnya masalah baru. 3. Menciptakan satu kesatuan pola tingkah laku baru
individu, kelompok-
kelompok dan masyarakat terhadap lingkungan hidup. Berdasarkan Beograde Charter a Global Framework for Environtmental Educational maka embrio Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) dilahirkan oleh IKIP Jakarta pada tahun 1975 dengan cara merintis penyusunan Garis-garis Besar Program Pengajaran. Selanjutnya Pendidikan Lingkungan Hidup diujicobakan pada 15 Sekolah Dasar di Jakarta pada periode tahun 1977/1978. Perkembangan Pendidikan Lingkungan Hidup dilanjutkan dengan Proyek Nasional Program Kependudukan
(PNPK) bekerjasama dengan BKKBN.
Program
diklat
kependudukan mulai dintegrasikan ke dalam pendidikan lingkungan dan dilaksanakan sejak tahun 1978. Kegiatan pembangunan yang diharapkan adalah pembangunan yang berkelanjutan yang hasilnya dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Oleh sebab itu model penyelenggaraan melibatkan
semua mata pelajaran
merupakan tanggung jawab semua
PLH di SMA
perlu
karena pemeliharaan lingkungan hidup warga dan bagian integral dari kegiatan
pembelajaran di sekolah baik melalui program intra kurikuler maupun ekstra kurikuler. Pengetahuan ekologi yang tersedia untuk tercapainya pengetahuan lingkungan belum dapat terlaksana. Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional yang diselenggarakan oleh UNPAD pada bulan Mei 1977 menyimpulkan bahwa hanya
48
dalam lingkungan hidup yang baik manusia dapat berkembang secara maksimal, dan hanya dengan manusia yang baik lingkungan dapat berkembang ke arah optimal. Lingkungan sekolah sebagai sumber belajar siswa bukan hanya dapat mengembangkan pengetahuan, sikap, dan pembekalan ketrampilan kepada siswa untuk mengenal dunia kerja, pengelolaan dasar mengatasi berbagai
tetapi
juga
untuk membuka wawasan
dan
lingkungan, serta menimbulkan kesadaran untuk peduli masalah lingkungan yang lebih luas. Pengembangan
wawasan lingkungan sekolah akan sangat berarti dengan adanya muatan lokal. Misalnya dengan perusahaan setempat yang dijadikan sumber belajar sehingga siswa memperoleh pengalaman praktis. Sejak tahun 1987/1988 mulai dirasakan bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dengan
lingkungan hidup
sehingga
materi lingkungan hidup
dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dan berubah menjadi proyek Pendidikan Kependudukan
dan Lingkungan Hidup (PKLH). Pelaksanaan PKLH mulai
terealisasi sejak tahun 1992/1993.
Tujuan
PKLH adalah meningkatkan
kepedulian, ketrampilan, partisipasi seluruh warga sekolah dalam memecahkan permasalahan lingkungan. Melalui
Kurikulum Pendidikan
1984 dan sesuai
dengan keputusan Mendikbud nomor 0209/V/1984 tanggal 2 Mei 1984 PKLH secara
integratif terdapat pada mata pelajaran yang relevan. Melalui PKLH
diharapkan akan terjadi perubahan perilaku masyarakat sehingga meningkatkan pengetahuan, menanamkan sikap, ketrampilan, dan kesadaran masyarakat tentang nilai-nilai lingkungan dan isu permasalahan lingkungan yang pada akhirnya dapat menggerakkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pelestarian dan keselamatan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang, serta
rasional dan bertanggungjawab terhadap masalah kependudukan. Kusumo (2003) mengemukakan visi PLH yang dikembangkan saat ini
adalah adalah terwujudnya manusia Indonesia ketrampilan, dan kesadaran
yang memiliki pengetahuan,
untuk berperan aktif
dalam melestarikan
meningkatkan lingkungan hidup Dalam mencapai visi PLH maka
dan
Misi yang
dilaksanakan adalah mendorong pendidikan lingkungan sedini mungkin yang terdiri atas pengetahuan, ketrampilan dan kesadaran manusia Indonesia dalam melestarikan, memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan baik di tingkat lokal, nasional, regional, dan global. Latar belakang pengembangan PLH adalah
49
jumlah penduduk Indonesia yang besar sehingga mengakibatkan kebutuhan akan SDA semakin meningkat. Disamping itu juga pertumbuhan ekonomi menurunkan
turut
tersedianya SDA karena kesadaran akan menjaga kualitas
lingkungan yang rendah yang diperlihatkan dengan banyaknya kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan. Peningkatan kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup memunculkan tuntutan tanggung jawab dalam pelestarian lingkungan. Oleh sebab itu materi PLH yang diintegrasikan dalam kurikulum adalah: 1. Kegiatan manusia yang dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan. 2. Kualitas lingkungan dan daya dukung lingkungan. 3. Berbagai isu masalah lingkungan seperti illegal logging, green house efeect, hujan asam, kebakaran hutan, pencemaran air, udara, tanah, kerusakan lahan. 4. Kebijakan hukum, standar dan baku mutu lingkungan. 5. Pengetahuan dasar teknik pengelolaan lingkungan (air, udara, B3, tanah, dan lahan). 6. Berbagai issue tentang
lingkungan global seperti lapisan ozon,
pemanasan global, dan perpindahan limbah berbahaya. Untuk menunjang program PLH diharapkan setiap
pembelajaran
bermuatan PLH dan mengembangkan sistem nilai dengan mengaitkan pembelajaran dengan 9 aspek PLH menurut Depdiknas (2002) yaitu: 1. Pengertian dasar lingkungan. 2. Pengertian sistem dan ekosistem. 3. Pengertian sumberdaya alam dan permasalahannya. 4. Upaya menanggulangi isu-isu lingkungan hidup global. 5. Aspek sosial dalam pengelolaan lingkungan. 6. Pengertian pengelolaan SDA dalam kaitannya dengan lingkungan. 7. Pengertian ekonomi lingkungan. 8. Pengertian pembangunan berkelanjutan. 9. Pendekatan dan alat pengelolaan lingkungan. Adapun kajian dalam PLH yang berkaitan dengan isu yang dihadapi adalah pemanasan global,
penurunan dan hilangnya keanekaragam hayati,
penipisan dan lubang ozon, masalah sampah, hujan asam, pencemaran air, aspek sosial ekonomi, budaya, dan kependudukan.
50
Aspek lain yang perlu disampaikan dalam PLH adalah Ekonomi Lingkungan yang
menyinggung masalah hubungan ekonomi dan ekologi
terutama pengkajian secara analisis manfaat dan biaya yang dalam teori dan prakteknya
mempertimbangkan
mencerminkan
faktor
efisiensi
akutansi lingkungan secara baik.
dan
optimalisasi
Dalam hal ini
yang
ekonomi
lingkungan merupakan penerapan prinsip ekonomi terutama ekonomi mikro yang mempelajari
pengambilan
keputusan
menyangkut
pengembangan
dan
pengelolaan SDA sehingga dampak lingkungan suatu kegiatan seimbang dengan kebutuhan lingkungan. Dalam aspek sosial, partisipasi dan kemitraan faktor penting
merupakan salah satu
yang harus diperhatikan dalam pengelolaan lingkungan.
Masyarakat dapat dijadikan sumber potensi untuk pengembangan sekolah baik secara urun pendapat, sumber pendanaan, nara sumber maupun sumber tenaga gotong royong dalam rangka membudayakan sikap peduli dan cinta lingkungan. Pelaksanaan PLH
dapat memberikan manfaat bagi daerah yang
melaksanakan diantaranya adalah: 1. Menyelesaikan masalah lingkungan global, nasional, dan lokal. 2. Menyiapkan SDM dalam mencapai Pembangunan berkelanjutan. 3. Menghemat SDA dan biaya pemulihan lingkungan. 4. Menunjang program pemerintah seperti ADIPURA. 5. Meningkatkan kesehatan dan harapan hidup masyarakat. 6. Memberikan peluang harapan hidup generasi yang lebih baik. Saragih (2000) menjelaskan rendahnya keberhasilan PLH di lapangan dapat disebabkan oleh keadaan yang belum menempatkan guru sebagai agen perubahan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia
khususnya
kompetensi dalam pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Kompetensi guru untuk mengemban profesi kependidikan dirasakan masih kurang. Upaya peningkatan kompetensi guru menurut Suroso (2003) dapat dilakukan dengan melakukan seleksi dalam penerimaan guru. Di samping itu diperlukan pembinaan untuk menambah wawasan melalui pelatihan, kursus, maupun pendidikan, adanya jenjang peningkatan karier guru serta perhatian terhadap fasilitas guru. Dalam upaya peningkatan kompetensi maka penjenjangan karier guru juga sebaiknya berorientasi pada penghargaan prestasi. Dengan demikian dalam meningkatkan
51
profesionalismenya guru akan selalu berusaha untuk belajar dan membaca perubahan yang terjadi di masyarakat lokal maupun global. 2. 5. Upaya Meningkatkan Kompetensi Lingkungan 2. 5. 1. Sekolah Model Berbudaya Lingkungan (SBL) Salah satu upaya memunculkan gagasan pendekatan baru PLH adalah membuat Sekolah Model Berbudaya Lingkungan (SBL) atau Sekolah Hijau (SH). Pelaksanaan proyek ini terdapat pada tiap provinsi dengan masing-masing satu SD, SMP, dan SMU. Walaupun demikian diharapkan nantinya akan memberikan imbas pada sekolah-sekolah lain. Sebagai pelaksana awal pembinaan SBL adalah proyek PKLH (Pusat) pada tahun 2001, selanjutnya pembinaan dilakukan oleh Dinas di tingkat Provinsi dan Dinas Kabupaten atau Kota. Tahap berikutnya pembinaan diserahkan kepada daerah. Konsep Sekolah Hijau adalah model sekolah yang mengimplementasikan lingkungan dalam penyelenggaraan kegiatan kurikulernya. Salah satu program PLH tersebut adalah memilih sekolah yang layak melaksanakan program. Program SBL berlangsung tahun 2000 hingga 2001. Adapun kegiatannya
diantaranya berupa penghijauan, membantu
program pemerintah seperti langit biru, kali bersih, pengadaan alat kebersihan, sarana kegiatan pendidikan lingkungan hidup yang terintegrasi dalam mata pelajaran, dan pelaksanaan ekstra kurikuler yang relevan dengan SBL. Tujuan dan pengembangan program SBL adalah agar sekolah mampu: 1.
Meningkatkan
kualitas
pengetahuan
warga
sekolah
tentang
permasalahan lingkungan hidup yang ada, baik dari lingkungan pribadi, sekolah, masyarakat, regional maupun global. 2.
Meningkatkan kualitas kepedulian warga sekolah terhadap permasalahan lingkungan hidup yang ada dan secara sadar mau membangun lingkungan ke arah yang lebih baik.
3.
Memotivasi warga sekolah
untuk mengambil peran sebagai pelopor
dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. 4.
Mewujudkan sekolah yang berbudaya lingkungan sehingga dapat dijadikan contoh bagi sekolah lain dan sekitarnya. Indikator keberhasilan dari program ini adalah
setiap guru mampu
mengintegrasikan PLH dalam materi pelajaran, perilaku warga sekolah yang sadar
lingkungan, lingkungan sekolah, dan kelas. Agar program SBL dapat
52
berlanjut maka pengembangannya akan dikaitkan dengan permasalahan masyarakat di wilayah sekolah
sehingga masyarakat merasa mendapatkan
manfaat dari program tersebut. Konsep SBL adalah model sekolah yang mengimplementasikan konsep lingkungan dalam penyelenggaraan kegiatan kurikuler. Dalam pelaksanaannya SBL didukung oleh lingkungan fisik yang memadai dari segi penghijauan, estetika, dan
fasilitas lingkungan yang alami. Dengan demikian dalam
pelaksanaan
proses
lingkungan
sekolah
belajar mengajar yang
baik
dapat mendorong untuk
memahami,
pada penciptaan merasakan,
dan
mengimplementasikan aspek-aspek lingkungan hidup dalam seluruh kegiatan sekolah sehingga seluruh warga sekolah
akan berperilaku arif terhadap
lingkungan dan bermanfaat bagi daerah sekitarnya. Penyelenggaraan
model SBL diharapkan
lingkungan yang kondusif
untuk memotivasi
akan menciptakan kondisi belajar. Siswa mengelola
lingkungan sehingga memberikan dampak terhadap kesehatan Disamping itu juga membantu memecahkan
masyarakat.
masalah-masalah lingkungan di
daerah maupun isu-isu lingkungan. Melalui program SBL lingkungan dan kondisi sekolah dikelola secara baik dengan lahan yang cukup luas yang ditanami dengan tanaman untuk kesehatan lingkungan seperti tanaman pengisap racun, tanaman hias, tanaman hijau berbunga, tanaman obat, tanaman penyerap air hujan. Lingkungan sekolah dilengkapi dengan taman sekolah, warung hidup, kantin sekolah yang mencukupi dan tempat pembuangan sampah, sumber air bersih dan sistem pembuangan limbah MCK, laboratorium sekolah dan kelengkapannya, perpustakaan sekolah yang mendukung kegiatan pendidikan lingkungan hidup, tempat ibadah sebagai pembinaan mental spiritual siswa, serta lapangan olah raga sebagai sarana kebugaran dan kesehatan jasmani siswa. Hal-hal tersebut akan membuka wawasan dalam pendidikan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sehat juga meningkatkan motivasi belajar siswa dan memperoleh pengalaman bekal ketrampilan hidup (life skill) bagi kehidupan di masyarakat. Selain itu lingkungan alam dapat memberikan berbagai inspirasi pendidikan dan nilai untuk kehidupan manusia dalam bermasyarakat seperti nilai religius, nilai pendidikan, nilai intelektual, dan nilai sosial politik. Dengan kegiatan memilih
sumber
pelajaran
manusia
tidak
akan
menggali, meniru,
kehabisan
ide
untuk
53
mensejahterakan kehidupan yang diikuti dengan kemampuan berpikir, bersikap, perilaku kritis, analitis, kreatif, inovatif, dan produktif dalam menerapkan sistem nilai yang ada. Adanya pembelajaran berpikir yang berbasis sistem nilai maka akan menghasilkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Yang Maha Kuasa sehingga pada akhirnya peduli terhadap pemeliharaan dan pelestarian lingkungan yang sehat. Dengan
menerapkan
prinsip ekologis terhadap pembangunan
pendidikan di sekolah dapat diwujudkan hubungan timbal balik antara sekolah dengan masyarakat
sekelilingnya. Kemajuan sekolah bergantung
besarnya dukungan
partisipasi
kepada
masyarakat terhadap sekolah tersebut dan
kepercayaan masyarakat kepada sekolah bergantung kepada prestasi yang dicapai sekolah. Dalam pembangunan jaring-jaring
stakeholder
sekolah ditantang
sampai sejauh mana sekolah dapat memenuhi tuntutan dan menanggulangi kebutuhan masyarakat termasuk dalam penanggulangan masalah lingkungan sekitar maupun isu-isu lingkungan global. Melalui program SBL juga dilakukan pembangunan lingkungan fisik seperti taman/ kebun sekolah, halaman, bangunan sekolah yang ditata
secara asri
melalui program 7 K yaitu Keindahan,
Kerindangan, Kebersihan, Keamanan, Kekeluargaan, Ketertiban, dan Kesehatan. Model SBL
diharapkan mampu menerapkan konsep pembangunan
berkelanjutan menuju sekolah yang mampu mengintegrasikan aspek dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dimensi ekonomi mencakup pertumbuhan, pemerataan, dan efisiensi. Penyelenggaraan Berwawasan
Lingkungan
aspek
Model Sekolah
mengarah kepada profit (keuntungan) dan benefit
(kemanfaatan) untuk menjadi model sekolah mandiri yang berkeunggulan. Dimensi lingkungan sekolah yang dikembangkan adalah integritas ekosistem, pemeliharaan, pemanfaatan dan pelestarian lingkungan, penanggulangan masalah isu-isu global, dan daya dukung lingkungan sebagai sumber belajar, maupun pasar bagi para alumninya. Siswa memperoleh
pembekalan substantif, kognitif,
ketrampilan dasar, maupun pembinaan sikap dan perilaku
dalam kerangka
mengembangkan wawasan dan pengelolaan dasar lingkungan bagi siswa dan masyarakat sekitar sekolah serta instansi terkait sehingga dihasilkan SDM yang berkualitas sebagai daya dukung pembangunan berkelanjutan. Secara rinci tujuan
54
yang akan dicapai melalui program ini adalah siswa SMA yang
memiliki
kemampuan sebagai berikut: 1. Memiliki keyakinan dan ketakwaan yang tercermin dalam perilaku seharihari sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. 2. Memiliki nilai dasar humaniora (nilai religius, nilai pendidikan, nilai sosio politik, nilai intelektual, dan nilai praktis) untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan. 3. Mengusai pengetahuan, ketrampilan akademik, dan sikap serta beretos belajar untuk melanjutkan pendidikan. 4. Mengalihgunakan kemampuan akademik dan ketrampilan hidup (life skills) di masyarakat lokal, regional, nasional maupun global. 5. Berpartisipasi aktif, kritis, analitis, kreatif, inovatif, produktif, demokratif
serta
dan
berwawasan lingkungan dan kebangsaan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. 6. Mampu menciptakan 7 K (Ketertiban, Keamanan, Kebersihan, Keindahan, dan Kesehatan) hingga ditambah satu kriteria K (Kecerdasan) lagi yaitu untuk terselenggaranya lingkungan yang sehat dan serasi. 7. Memacu motivasi belajar siswa dari lingkungan sekolah yang kondusif untuk belajar sehingga menghasilkan siswa yang unggul dalam uji coba kecerdasan dalam berbagai kesempatan, khususnya masalah pengetahuan dan pengelolaan dasar lingkungan hidup baik di tingkat lokal, regional, nasional, maupun internasional. 8. Memberikan kesempatan dan menghimpun siswa yang memiliki bakat khusus dan kecerdasan tinggi agar dapat dikembangkan secara optimal dalam mambangun daerahnya dengan pembekalan life skill, terutama dalam pengelolaan SDA yang berwawasan lingkungan hidup dengan menerapkan asas pembangunan berkelanjutan. Upaya membangun
kepedulian lingkungan dari warga sekolah melalui
pendekatan proyek tampaknya masih kurang menyentuh akar permasalahan dalam pendidikan lingkungan hidup. Hal ini disebabkan masyarakat diluar sekolah yang langsung mengalami masalah lingkungan masih belum dilibatkan. Di samping itu perhatian sekolah terhadap permasalahan lingkungan di masyarakat sekitar sekolah masih kurang.
Penyebab lainnya adalah rendahnya
keterlibatan
55
masyarakat dalam kegiatan sekolah.
Kebanyakan masyarakat awam masih
menganggap bahwa kegiatan sekolah adalah proses pembelajaran materi pelajaran semata, yang dipersiapkan untuk menghadapi ujian dan memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu terbatasnya pemahaman masyarakat terhadap masalah lingkungan menyebabkan kurangnya perhatian
terhadap
kegiatan sekolah yang berkaitan dengan lingkungan. Kegiatan pembinaaan siswa terhadap lingkungan melalui integrasi mata pelajaran terkait masih kurang dianggap penting oleh guru dan bersifat fakultatif yang tidak termasuk dalam parameter keberhasilan belajar. Inovasi baru yang tidak memperhatikan masukan guru dan siswa baik dalam proses perencanaan dan pelaksanaan berpeluang untuk ditolak karena dianggap tidak memberikan keuntungan. Dengan demikian pencapaian sasaran proyek ini yaitu meningkatkan kualitas pengetahuan warga sekolah
tentang permasalahan
lingkungan hidup pada tingkat
masyarakat,
regional, maupun global kemungkinan masih kurang berhasil. Oleh sebab itu perlu penyempurnaan program pembelajaran PLH di sekolah. 2.5.2. Western Java Environtmental Management Keterlibatan Departemen selain Depdiknas dalam PLH di antaranya adalah
Depkimpraswil melalui Western Java Environtmental Management
Project
2003.
Salah
satu
laporan
tahunannya
diantaranya
adalah
mengikutsertakan sekolah dalam program pemantauan lingkungan. Pemerintah Daerah menyiapkan satu sekolah menengah yang diharapkan dapat memberikan informasi pada sekolah lain. Peningkatan kesadaran lingkungan dicapai melalui
para siswa
pembelajaran mengenai lingkungan, pelatihan pemantauan
lingkungan, dan memberikan informasi kepada siswa lain. Hal yang dijumpai di lapangan dalam melaksanakan proyek ini adalah rendahnya partisipasi guru yang menganggap mata pelajaran yang diajarkan tidak ada kaitan dengan topik lingkungan yang diangkat dalam penelitian. Selain itu ada kecenderungan warga sekolah yang kurang peduli terhadap kegiatan-kegiatan lingkungan sehingga tidak dimasukkan dalam program evaluasi kegiatan belajar mengajar.
Target
ketuntasan dalam menyesaikan
kurikulum untuk dapat
mencapai kelulusan 100% dan prosentase masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) turut merendahkan partisispasi warga sekolah untuk mensukseskan proyek lingkungan hidup. Harapan untuk memberikan imbas pengetahuan lingkungan
56
hidup untuk sekolah lain juga menghadapi kendala yang disebabkan rendahnya pengetahuan lingkungan
dan perhatian masyarakat terhadap pentingnya
lingkungan hidup. 2. 5. 3. Balai Pelatihan Guru (BPG) Pengembangan PLH juga dilakukan
oleh Balai Penataran Guru
Yogyakarta pada tahun 2003 melalui pembuatan contoh penataan lingkungan pada lahan Balai Pelatihan Guru (BPG). Kegiatan dilakukan melalui analisis kesesuaian lahan untuk mendapatkan
tanaman yang sesuai dan cocok untuk
tumbuh dan berkembang dengan memperhatikan estetika, ekologi, buffer dan produktifitas alam. Selain itu dibuat pula pengelolaan air bersih, pengelolaan air limbah, pengelolaan sampah, pemanfaatan limbah dapur, serta pemanfaatan air limpasan.
Model pengelolaan lingkungan tersebut diharapkan dapat menjadi
contoh pembinaan lingkungan hidup bagi siswa. Saat ini PLH masih dilakukan secara sporadis yang ditunjukkan dengan sistem pembelajaran yang dilakukan pada sekolah-sekolah tertentu. Demikian juga pembelajaran lingkungan hidup hanya dilakukan terhadap guru-guru yang mengajar Fisika, Kimia, Biologi, dan Geografi yang lolos seleksi. Melalui cara ini diharapkan terjadi arus informasi pengetahuan lingkungan terhadap siswa dan masyarakat. Akan tetapi harapan ini mengalami kendala yang menurut Depdiknas (2003) disebabkan: 1. Kebanyakan guru mengalami kesulitan
menentukan inti pesan
materi
lingkungan yang dikaitkan dengan materi pelajaran. 2. Persepsi sebagian guru bahwa PLH bukan materi yang wajib diajarkan. 3. Belum adanya pembinaan, pemantauan, evaluasi, dan penilaian terhadap proses pembelajaran PLH oleh Kepala Sekolah dan stakeholder pendidikan lainnya. 4. Sistem pembinaan mata pelajaran yang terintegrasi dengan PLH masih belum mantap. Pada Rencana
Tindak Pembangunan Berkelanjutan Menteri Negara
Lingkungan Hidup (2004) dijelaskan bahwa indikator keberhasilan dalam bidang
Pendidikan adalah memberikan pengetahuan, pemahaman dan
wawasan mengenai
pembangunan berkelanjutan melalui penyelenggaraan
dan pengembangan pendidikan formal, informal, dan nonformal sehingga
57
dihasilkan sumberdaya manusia Indonesia yang berbudaya, paham, tanggap, dan kreatif terhadap tiga pilar pembangunan berkelanjutan. Ada dua hal yang mendasar
yang harus dibenahi yaitu kesadaran masyarakat
terhadap
lingkungan dan penegakan hukum yang masih kurang dan PLH adalah upaya untuk memberikan kesadaran terhadap lingkungan. 2.6. Komite Sekolah dan PLH Komite Sekolah masyarakat
adalah
badan mandiri yang mewadahi peran serta
dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi
pengelolaan pada satuan pendidikan. Komite Sekolah dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 044/U/2002 tentang Komite Sekolah. Tujuan dibentuknya kelembagaan ini
adalah
mendukung tujuan pendidikan nasional dengan cara menyatukan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah.
Keberadaan Komite Sekolah
dalam penyelenggaraan pendidikan berlandasan pada partisipasi masyarakat sehingga dapat membantu meningkatkan
kualitas
pelayanan
dan hasil
pendidikan sesuai dengan fungsi kedua badan tersebut yaitu: 1.
Mendorong perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
2.
Bekerja sama dengan masyarakat baik perorangan, organisasi, dunia usaha, industri, dan pemerintah.
3.
Menampung dan menganalisis
aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai
kebutuhan pendidikan yang diajukan masyarakat. 4.
Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan
mengenai
kebijakan dan program pendidikan,
Rencana
Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS), kriteria kinerja satuan pendidikan, kriteria tenaga pendidikan, kriteria fasilitas pendidikan, dan mendorong orang tua serta masyarakat
untuk berpartisipasi dalam
pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan, serta melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan. Keanggotaan Komite Sekolah orang tua,
adalah unsur masyarakat yang terdiri
tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, dunia usaha dan industri,
organisasi profesi tenaga kependidikan, wakil alumni, dan wakil peserta didik.
58
Unsur-unsur
lainnya
adalah Lembaga Swadaya Masyarakat di bidang
pendidikan, Birokrat, dan Legislatif. Komite Sekolah merupakan wadah yang
memberikan kesempatan pada
masyarakat untuk menyalurkan kebutuhannya khususnya mengenai kompetensi lulusan yang diharapkan. Jika peluang ini dapat dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya maka akan dapat meningkatkan mutu sekolah. Kondisi masyarakat sekitar sekolah dan lingkungannya yang berbeda-beda merupakan potensi yang besar untuk pengembangan organisasi sekolah. Dengan demikian pembelajaran terhadap masyarakat sangat diperlukan. Upaya ini dapat dilakukan oleh lembaga yang ada di masyarakat misalnya tingkat RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, dan organisasi lain. Tanpa pembelajaran maka masyarakat akan kurang mengenal permasalahan yang dihadapi dan tidak mampu mengidentifikasi permasalahan sehingga sulit mencari pemecahannya terutama masalah lingkungan. 2.7. PLH di Beberapa Negara Sejak Agenda 21 digulirkan pendidikan dan ditingkatkan dalam rangka
capacity building terus
pembangunan berkelanjutan.
Issue penting alam
pembangunan berkelanjutan adalah pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, konsumsi yang berlebihan, perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, sosial, dan ekonomi. Pendidikan yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan bukan hanya pengetahuan dan pemahaman tetapi juga termasuk ketrampilan dan kemampuan untuk merencanakan, motivasi, dan pengaturan di dalam organisasi, komunitas, maupun industri. Berikut ini adalah program pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan negara-negara
di
Australia. (Tilbury, 2004). 1. Pendidikan Lingkungan untuk Tujuan dari Action Plan berkaitan dengan
Action Plan Pembangunan berkelanjutan.
adalah
mengkoordinir semua aktifitas yang
pembangunan pendidikan formal
dan pendidikan
masyarakat. 2. Konsultan Pendidikan Lingkungan Hidup yang memberikan masukan dan saran pada Kementerian Lingkungan Hidup. Badan ini terdiri atas stakeholder dari kalangan
bisnis, industri, pendidik dari
Universitas Pendidikan. 3. Kerjasama negara-negara di Australia untuk PLH
berbagai sekolah,
dan
59
4. Institut yang menggarap penelitian Pembangunan Berkelanjutan Dissamping itu PLH yang terintegrasi dalam kurikulum dimasukkan pada mata pelajaran sebagai berikut: 1. Sains dan Lingkungan
khususnya di Barat Australia menekankan pada
konteks pembangunan berkelanjutan. 2. Sains:
khususnya di Selatan Australia yang menekankan pembelajaran
lingkungan. 3. Bahasa Inggris yang dikaitkan dengan issue-issue lingkungan. 4. Matematika yang berkaitan dengan lingkungan seperti pemetaan. 5. Pendidikan Kesehatan menekankan lingkungan yang sehat. 6. Teknologi yang berkaitan dengan peningkatan kualitas lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. 7. Seni yang dikaitkan dengan pemahaman lingkungan.
Sehubungan dengan integrasi PLH dalam mata pelajaran, Jacobus (2004) menambahkan PLH juga dapat diberikan melalui pendidikan moral dan spiritual. Penelitian lain seperti yang dilakukan oleh Amstrong dkk (2004) melaporkan bahwa Pengelolaan Limbah dalam bentuk Reduce, Reuse dan Recycle
telah
diimplementasikan dalam kegiatan pada 900 sekolah di Victoria dan 300 di Australia. Program ini telah berhasil merubah sikap dan perilaku
siswa yang
juga berdampak pada perilaku masyarakat sekolah termasuk orang tua siswa. Disamping itu juga
memberikan
perbaikan lingkungan sekolah,
keuntungan kepada sekolah
pendidikan, sosial dan ekonomi.
dalam
hal
Sedangkan
WWF dalam Backmore (2007) mengemukakan bahwa konteks pembangunan berkelanjutan telah diintegrasikan pada kurikulum mata pelajaran di negaranegara Eropa. Di Amerika PLH sudah dijalankan sejak 30 tahun terakhir dengan penekanan pada empat program yang saling terkait yaitu guru, siswa, sekolah dan masyarakat. Hal yang mendasar dalam PLH adalah sumberdaya, issue dari masyarakat setempat yang kemudian diintegrasikan dalam tingkatan pendidikan, sehingga diperlukan kerjasama antara sekolah dan masyarakat. yang dilakukan menitikberatkan pada masyarakat dengan
prestasi siswa dan
Pembelajaran
memberdayakan
lingkungan, sosial dan ekonomi. Sekolah menerima
masyarakat dan masyarakat menerima siswa untuk belajar di berbagai dimensi.
60
Kruse dan
Card (2004) melaporkan penelitiannya
pada sekolah di Florida
dengan program Pendidikan Konservasi dengan cara merawat hewan, memberi makanan, mengamati perilaku hewan yang kemudian didiskusikan telah meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku siswa. Hal yang positif dari PLH pembelajaran pelayanan,
yang terus menerus
di Amerika
adalah
terjadinya iklim
dari tingkat masyarakat,
dan kegiatan pembangunan
yang
proyek-proyek,
mengintegrasikan
konsep
lingkungan Power (2004). Model PLH di Amerika diilustrasikan pada gambar 2.1. Raymon dkk, 1994 menambahkan masyarakat yang berpartisipasi dalam pengelolaan sampah secara Reduce, Reuse dan Recycle
telah berhasil
meningkatkan perilaku lingkungan. Evaluasi terhadap sistem pembelajaran ini
menunjukkan hasil yang
memuaskan baik terhadap siswa maupun masyarakat. Siswa
mendapatkan
informasi pengetahuan secara langsung dari textbook maupun kondisi nyata. Beberapa efek positf adalah siswa apat mengembangkan kemampuannya, guru merasa puas dan dapat meningkatkan keprofesionalannya, dan masyarakat dekat dengan sekolah.
Ada enam dampak dari PLH yaitu menggunakan lokasi dan
sumberdaya setempat, pengajaran antar disiplin ilmu, kolaborasi dari berbagai guru, melatih kepemimpinan, kemandirian, dan pengembangan kurikulum..
61
Pemahaman Kondisi Setempat (Pengetahuan dan Pengalaman)
Peranan Sekolah dan Masyarakat
Peningkatan Sikap
Ketrampilan (Pengetahuan dan Pengalaman )
Peningkatan Kompetensi
Partisipasi Masyarakat (Perubahan Tingkah Laku)
Peningkatan Sosial dan Ekonomi Masyarakat
Sosial dan Lingkungan yang lebih baik Gambar 2. 1. Model PLH Berdasarkan Kondisi Setempat
Shi Jang Hsu (2004) melaporkan pelaksanakan PLH di Taiwan yang menunjukkan bahwa tingkah laku yang responsif terhadap lingkungan dapat tercapai dengan model seperti yang disajikan pada gambar 2.2. Melalui model tersebut siswa perlu dilatih untuk melakukan investigasi terhadap isu-isu lingkungan.
Dampak dari pelatihan
adalah terbentuknya
sikap yang peka
terhadap lingkungan dan meningkatkan pengetahuan tentang ekologi dan mampu menganalisis isu-isu
yang ada. Dengan demikian dapat menemukan langkah
strategis dalam pemecahan masalah lingkungan, yang selanjutnya berpengaruh terhadap tingkah laku yang responsif terhadap lingkungan.
Wrigt
(2004)
menjelaskan bahwa aktifitas Problem Solving dengan kompetensi pengetahuan,
62
informasi, sosial dan pembelajaran dapat mendukung kapasitas individu, sosial dan organisasi. Akan tetapi alam proses pembelajaran juga perlu memperhatikan tipe dari pengetahuan yang dimiliki oleh kelompok organisasi yang
pada
umumnya heterogen (Klein dkk, 2004).
Intervensi Pendidikan PLH: investigasi isu dan training
Sikap peka terhadap lingkungan dan pengetahuan ekologi
Kemampuan menganalisis isu dan respon terhadap lingkungan
Pengetahuan dan ketrampilan yang digunakan dalam langkah strategi permasalahan lingkungan
Tingkah laku yang responsif terhadap lingkungan
Gambar 2. 2. Model PLH dengan Pelatihan
2.8. Teori Organisasi dan Pendidikan Pendidikan memiliki peranan yang besar dalam mengantisipasi perubahan dan globalisasi. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan wahana pembelajaran yang berlangsung secara terus menerus. Pendidikan merupakan suatu bentuk organisasi dan merupakan
sistem karena terdiri dari sejumlah komponen yang
63
berkaitan untuk mencapai tujuan tertentu. Kurang berhasilnya suatu organisasi dalam mencapai
visi dan misinya merupakan ancaman bagi keberlangsungan
suatu organisasi. Organisasi dapat tumbuh jika dapat beradaptasi secara dinamis dengan cara terus berusaha mendapatkan informasi sehingga perubahan dapat diantisipasi. Pendidikan berwawasan global bersifat sistemik organik dengan ciri fleksibel dan kreatif.
Sistemik organik adalah sekumpulan proses yang
bersifat interaktif dan merupakan interaksi dari keseluruhan interaksi yang ada. Organisasi juga menyerupai makhluk hidup yang eksistensinya ditentukan oleh kemampuannya untuk beradaptasi atas berbagai keterbatasan sumberdaya dan gerak perubahan lingkungan hidupnya (Syafar, 1995). Upaya yang digunakan untuk mendapatkan informasi dengan jalan memahami, menciptakan pengetahuan, dan membuat keputusan ( Choo, 1998). Memahami yaitu melakukan interpretasi dari data yang diperoleh melalui strategi informasi untuk mendapatkan pengetahuan yang baru melalui organisasi. Pengetahuan
dicapai melalui
pengenalan
pembelajaran
pada hubungan yang
sinergik antara tacit dan eksplisit. Tacit adalah pengetahuan personal yang bersifat subyektif, simultan, analog, dan berupa pengetahuan yang lahir dari pengalaman. Explisit adalah pengetahuan formal yang mudah ditransfer dengan mudah antar individu dan organisasi yang
bersifat pengetahuan, rasional,
sistematik, dan kuantitatif. Organisasi membutuhkan kemampuan untuk merubah tacit menjadi explisit agar tercipta inovasi dalam baru. Sosialisasi merupakan
proses
mengembangkan produk
memberikan pengetahuan tacit
melalui
pengalaman. Externalisasi adalah proses mengubah pengetahuan tacit menjadi konsep eksplisit dengan menggunakan metaphora, analogi, atau model. Kombinasi adalah proses menciptakan pengetahuan eksplisit dari sejumlah sumber. Internalisasi adalah membangun pengetahuan eksplisit ke dalam tacit. Adapun proses konversi pengetahuan organisasi disajikan pada gambar 2.3 .
64
Gambar 2.3. Proses Konversi Organisasi Pembelajaran Sumber : Nonaka dan Takeuchi (1995)
Tiga model informasi yang digunakan dalam organisasi adalah Sense Making, Knowledge Creating, dan Decision Making. Sense Making
adalah
memahami yaitu aktifitas untuk mengumpulkan informasi dari lingkungan yang kemudian diinterpretasi sehingga terbentuk konstruksi yang berarti.
Knowledge
Creating yaitu pembelajaran organisasi dengan cara membuat pengetahuan baru dengan
output yang dicapai adalah
pengetahuan explicit dan tacit untuk
melahirkan inovasi baru. Proses kreasi pengetahuan adalah hasil dari suatu interaksi yang dinamik diantara pelaku dalam organisasi. yaitu membuat keputusan dengan
meneliti dan
Decision making
melakukan seleksi terhadap
alternatif serta informasi untuk dianalisis sehingga dapat dilakukan pemecahan masalah.
Baskerville dan Dulipovici (2006) mengemukakan pentingnya
pengelolaan pengetahuan berasarkan informasi ekonomi, strategi manajemen, kultur organisasi, perilaku organisasi, struktur organisasi dan pengukuran kemampuan organisasi. Implikasi dari pendidikan yang berwawasan global
65
adalah perlu memperhatikan mekanisme pasar disamping aspek sosial. Menurut Ma’arif dan Tanjung (2003) dalam pasar yang sangat terbuka dan konsumen yang sangat kritis serta mempunyai organisasi yang kuat, produsen dituntut tanggung jawabnya terhadap produk yang dihasilkan. unggul termasuk unggul melayani konsumen
Hanya produsen yang
yang akan keluar
sebagai
pemenang dalam persaingan bisnis. Produsen wajib memberikan informasi yang jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan jasa yang dihasilkan. Salah satu keberhasilan perusahaan dalam jangka panjang adalah selalu waspada dalam menciptakan customer retension yaitu konsumen pembelian berulang. Sekolah sebaiknya dipandang sebagai
yang
melakukan
suatu perusahaan
yang menjual jasa penghasil SDM dengan kompetensi keunggulan tertentu kepada masyarakat. Masyarakat saat ini adalah masyarakat modern yaitu masyarakat pasar atau masyarakat bisnis atau juga masyarakat konsumen. Dengan demikian diperlukan strategi untuk mendapatkan keunggulan yang bertahan lama dengan cara seperti yang dikemukakan oleh Grant (1995) sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi
sumberdaya
yang meliputi
kekuatan dan kelemahan
pesaing. 2. Mengidentifikasi kemampuan yang dapat dilakukan. 3. Menilai sumberdaya
yang
potensial menciptakan, mempertahankan dan
menggali keuntungan. 4. Memilih strategi untuk menggali kemampuan. 5. Mengidentifikasi kesenjangan sumberdaya yang perlu ditambahkan. Tahap persaingan untuk masa depan adalah kepemimpinan intelektual yaitu memperoleh wawasan ke depan, mengembangkan suatu sudut pandang kreatif tentang evolusi potensial dari fungsionalitas, kompetensi diri, dan perhatian terhadap pelanggan (Hamel dan Prahalad, 1995). Perusahaan Jepang yang sukses dan menjadi perusahaan global mampu mengembangkan pengetahuan, secara terus menerus, melakukan inovasi, dan melakukan kompetisi. Organisasi sekolah perlu mengembangkan semangat berkompetisi untuk dapat diterima masyarakat sebagai sekolah yang memiliki keunggulan tertentu. Menurut Nonaka (1995) ketiga hal tersebut dapat memberikan penguatan seperti yang pada Gambar 2.4
66
Kreasi Pengetahuan
Inovasi terus menerus
Kompetisi
Gambar 2.4. Urutan Langkah Kesuksesan Organisasi Sumber: Nonaka (1991)
Blackmore (2007) menjelaskan bahwa dalam pembangunan berkelanjutan diperlukan stakeholder yang dapat mengantisipasi
pengetahuan yang selalu
berkembang, pembelajaran, dan keinginan untuk mengetahui. Pemahaman yang diperlukan adalah pemikiran yang dapat mengintegrasikan berbagai informasi, membangun kerjasama, pengelolaan yang baik, pemanfaatan sumberaya alam yang efisien, pengetahuan yang baik, dan tanggap terhadap masalah sosial. Collins dkk (2007) menambahkan pendekatan sistem dengan melibatkan berbagai stakeholder akan memicu proses pembelajaran sehingga proses pengambilan keputusan dapat dilalui dengan berbagai pertimbangan.
Steyaert dan Jiggins
(2007) berpendapat bahwa dalam pemerintahan dengan situasi lingkungan yang kompleks diperlukan pembelajaran sosial. Sebagai contoh pemecahan perubaan iklim yang berkaitan dengan siklus Carbon memerlukan pembelajaran yang berkaitan dengan sains, teknologi dan sosial. (Dilling, 2007). Demikian juga aktifitas manusia yang menyebabkan kerusakan tanah ( Thornton dkk, 2007) dan masalah-masalah lingkungan yang berkaitan dengan kesehatan ( Corburn, 2007). Proses pembelajaran
organisasi juga telah dilakukan
juga oleh Departemen
Pertanian di Colorado dalam pemecahan perubaan iklim seperti pengetahuan lanjutan tentang pertanian, lingkungan, kesehatan, dukungan masyarakat, dan pendidikan (Logar dan Conant, 2007).
67
Disamping itu dalam pembelajaran organisasi juga perlu memprediksi keadaan ke depan seperti yang dilakukan oleh Lucas dkk (2007) hingga tahun 2100 dalam penelitiannya tentang pengurangan gas-gas yang menimbulkan efek rumah kaca selain
CO2 seperti
CH4,
N2 O
dan gas Flour seperti
Sulfurhexafloria. Gas-gas tersebut diantaranya dapat berasal dari minyak bumi, kotoran hewan,
landfills, pertanian lahan basah, transportasi
dan limbah
domestik. Dalam bidang pendidikan Kepala Sekolah sebagai manajer senior perlu mengembangkan iklim
pembelajaran
dan memiliki kemampuan untuk
berorientasi terhadap arah pelaksanaan kurikulum, disamping efisien dan efektif dalam penggunaan sumberdaya yang dimiliki guna mencapai tujuan. Selain itu perlu adanya penanaman semangat belajar di lingkungan sekolah maupun di masyarakat secara terus menerus. Mardi (2003) menyatakan bahwa sumberdaya dalam organisasi yang paling vital adalah informasi dan pengetahuan. Oleh sebab itu organisasi pendidikan perlu bersifat fleksibel dan adaptif yang berarti pendidikan ditekankan sebagai sesuatu proses pembelajaran. Selain itu juga mengembangkan sikap kreatif demokratis artinya pendidikan menekankan pada sikap mental untuk senantiasa menghadirkan sesuatu yang baru dan orisinil (Zamroni, 2004). Melalui cara ini diharapkan dapat menciptakan masyarakat belajar. Dengan demikian reformasi kelembagaan pendidikan secara total agar pendidikan nasional memiliki kemampuan untuk melaksanakan peran, fungsi, dan misinya. Menurut Gaffar (2002) fungsi utama Kepala Sekolah adalah sebagai manajer
pendidikan tingkat sekolah
yang perlu memahami
konsep dan
penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Model manajemen ini sedang dikembangkan dalam era otonomi dengan mengembangkan kemandirian semua unsur di sekolah melalui pemberdayaan yang efisien dan efektif. Pemimpin perlu selalu mengantisipasi perubahan sehingga menjadikan organisasi tersebut mendapat pasar, respon, dan efektif dibandingkan pesaingnya. Empat tahapan yang perlu dilakukan untuk mengelola perubahan yaitu strategi, operasi, kultur, dan penghargaan. Perubahan diawali dari pemicu perubahan, ketidakstabilan situasi bisnis, melakukan perkiraan pemasaran, keputusan untuk perubahan, perencanaan perubahan, dilanjutkan dengan aktifitas (Berger dkk, 1994).
68
Penanganan masalah lingkungan yang saat ini mengalami penurunan kualitas salah satunya dapat dilakukan melalui jalur pendidikan membutuhkan pendekatan secara organisasi. Pendekatan melalui organisasi merupakan pendekatan secara sistematis dan memerlukan
model yang dapat disimulasi
untuk membuat, menganalisis, maupun kontrol terhadap kebijakan. Penerapan kebijakan
lapangan tidak dapat
dilakukan secara langsung karena
membutuhkan proses pembelajaran sehingga ada faktor keterlambatan (delay). Faktor keterlambatan perlu diantisipasi agar pemecahan masalah yang merupakan issue actual dapat segera dipecahkan. Pentingnya penanganan masalah dengan segera erat kaitannya dengan cepatnya perubahan yang bergerak secara dinamis. Keterlambatan penanganan menimbulkan masalah baru yang lebih besar, terlebih jika penanganan yang dilakukan hanya bersifat simtomatis. Oleh sebab
itu
pembelajaran dalam organisasi sangat penting untuk dibangun. Ison dkk (2007) mengemukakan bahwa pembelajaran
juga dilakukan pada implementasi
managemen keberlanjutan keberadaan
air di Eropa, disamping itu beberapa
pembelajaran yang dilakukan dengan observasi lainnya sepert keberlanjutan agroekosistem (Toderi dkk, 2007), penggunaan pestisida. Steyaert dkk (2007) juga
berpendapat pentingnya
organisasi pembelajaran dari stakeholder yang
terlibat alam masalah lingkungan seperti
pengelolaan lahan basah
pesisir
Atlantik Perancis. Proses pembelajaran dalam organisasi adalah mengelola informasi pengetahuan pada organisasi.
Pengetahuan dalam organisasi
merupakan hal
penting dibandingkan sumber lain seperti finansial, posisi pasar, dan asset lain. Pengetahuan adalah nutrisi untuk pertumbuhan organisasi karena organisasi membutuhkan pengetahuan eksternal dan internal untuk pengembangan. Nonaka (1991) mengemukakan sukses suatu organisasi adalah kemampuan organisasi tersebut dalam berkreasi untuk mendapatkan pengetahuan baru. Ada empat subsistem dalam knowledge yaitu Acquisition, Creation, Storage, dan Transfer Knowledge. Acquisition adalah mengumpulkan data dan informasi dari dalam dan luar organisasi.
Creation adalah kemampuan organisasi untuk mendapatkan
pengetahuan baru dan kemampuan memecahkan masalah. Storage adalah menyimpan dengan tertib informasi pengetahuan sehingga mudah diperoleh.
69
Transfer dan
utilization adalah penyebaran dan
Pembelajaran organisasi
penggunaan
pengetahuan.
adalah suatu proses belajar organisasi dengan
pembelajaran yang kuat dan kolektif yang dilanjutkan dengan transformasi. Pembelajaran organisasi menjelaskan sistem prinsip dan karakter dari organisasi belajar dan secara kolektif. Menurut Marquardt (1996) anggota organisasi perlu selalu melakukan
pembelajaran sehingga
sukses
di masa depan, belajar
berkelanjutan, fokus pada kreativitas, berpikir sistem, dapat informasi dan data diakses oleh masyarakat, penghargaan, dan akselerasi individu, bekerja sama dan inovasi, fleksibel, semua bergerak dengan keiginan kualitas dan melanjutkan pengembangan, mengembangkan kompetensi, beradaptasiterhadap pembaharuan, revitalisasi, dan respon terhadap perubahan lingkungan. Pembelajaran terdiri dari
beberapa tingkatan yaitu tingkat
individual, kelompok, dan organisasi
seperti yang disajikan pada gambar 2.3. Hal ini dapat dilakukan melalui dialog, diskusi, dan berbagi pengalaman. Sedangkan tipe pembelajaran adalah adaptasi, antisipasi,
dan umum. Pembelajaran adaptif adalah pembelajaran dari
pengalaman dan refleksi. Pembelajaran antisipasi adalah proses mendapatkan pengetahuan untuk mengharapkan masa yang akan datang. Pembelajaran umum adalah pembelajaran kreatifitas.
Enam kunci pembelajaran organisasi yang
memberikan dampak maksimal yaitu: 1. Berpikir sistem yaitu
menunjukkan konsep suatu susunan kerja
yang
digunakan untuk membuat pola yang jelas, dan membantu untuk melihat sejauh mana langkah yang diambil memberikan perubahan efektif. 2. Mental model yaitu asumsi mendalam
yang dipengaruhi bagaimana
mengerti. 3. Kemampuan individu menunjukkan
tingginya
tingkat kepandaian dan
keahlian. 4. Pembelajaran kelompok adalah kapasitas suatu kelompok untuk belajar dan dapat mencapai yang diinginkan. 5. Berbagi visi yaitu mau mendengar, memberikan gambaran masa depan yang akan dicapai. 6. Dialog adalah tingkatan tertinggi yaitu mendengar dan berkomunikasi.
70
Epistological dimension
Explicit knowledge
Ontological dimension Tacit knowledge
Individual
Group
Organization
Inter-Organization
Knowledge level
Gambar 2.5. Dua Dimensi Kreasi Pengetahuan Sumber: Nonaka (1991)
Berdasarkan
gambar 2.5. pengembangan
kerangka teori dengan
menjelaskan pada dua dimensi yaiu epistemology dan ontology mengenai kreasi pengetahuan organisasi. Dimensi
epistemology menunjukkan
konversi
pengetahuan tacit menjadi eksplisit. Sedangkan dimensi ontology yang diwakili oleh garis horizontal memperlihatkan pengetahuan diciptakan melalui individuindividu
yang kemudian
ditransformasikan pada
kelompok
secara terus
menerus dan saling ketergantungan. Konversi pengetahuan secara terus menerus membentuk spiral. Pemimpin harus berani menghidupkan suatu perubahan dan merupakan tantangan yang harus dihadapi. Tiga macam tacit knowledge yang
71
dimiliki pemimpin yang sukses menurut White (1996) dalam Fransisca (1997) yaitu : 1. Tacit knowledge berupa cara mengatur diri dan menunjukkan motivasi diri, organisasi serta aspek wawasan seorang Manajer. 2. Tacit knowledge
berupa pengetahuan
yang ditunjukkan dengan
cara
mengatur orang lain. 3. Tacit knowledge berupa pengetahuan yang ditunjukkan dengan kemampuan melakukan tugas–tugas manajemen dan menspesifikasikan dengan baik. Senge (1990) juga mengemukakan terdapat lima dimensi penting dalam organisasi yang ingin membangun yaitu berpikir sistem, penguasaan pribadi, mental model, membangun wawasan bersama, dan belajar dalam tim. Selain itu membangun organisasi berarti mengelola kultur sehingga dapat mengantisipasi perubahan, beberapa hal yang dibutuhkan menurut Clarke (1994) adalah sebagai berikut : 1. Organisasi struktur rancangan prosedur, filosofi, pemikiran. 2. Membuat kriteria penghargaan dan status. 3. Membina masalah dan kegagalan. 4. Mempertimbangkan pengaruh model, pengajaran, dan pelatihan. 5. Kriteria untuk rekruitmen, promosi, pensiun, dan pemberhentian. 6. Pengukuran, kontrol, dan perhatian. Keberhasilan KBK dalam memberikan pemahaman aspek lingkungan kepada siswa erat kaitannya dengan tuntutan ISO 140001. Jika SDM tidak dipersiapkan
sejak dini
tentunya Indonesia tidak dapat bersaing
dalam
perdagangan global karena melalui pembelajaran yang berkelanjutan perubahan cepat dipahami, diantisipasi, dan dijadikan peluang inovasi baru.
Manajemen
Berbasis Sekolah diharapkan dapat mendukung keberhasilan KBK sehingga perlu memperhatikan pengelolaan organisasi modern yang berbasis pada pembelajaran. Hal ini berkaitan dengan misi pemberdayaan dalam MBS yang meliputi: 1. Pemberdayaan
yang
berhubungan
dengan
peningkatan
kemampuan
masyarakat untuk memegang kontrol dengan memperhatikan pembangunan yang bersifat lokal, mengutamakan aksi sosial, dan menggunakan pendekatan organisasi masyarakat setempat.
72
2. Adanya kesamaan dan kesepadanan kedudukan
dalam hubungan
kerja.
Upaya yang dilakukan adalah manajemen swakelola oleh para guru dan Kepala Sekolah,
tumbuhnya rasa memiliki
pada masyarakat
terhadap
program sekolah, pemantauan dari pemerintah daerah, dan rasa kebersamaan. 3. Menggunakan pendekatan
partisipatif
dengan cara
merumuskan tujuan
bersama antara sekolah dan masyarakat, serta menyikapi program dengan dialog. 4. Pendidikan untuk keadilan adalah konsepsi yang diimplementasikan dengan cara mengembangkan kesadaran yang kritis, menggunakan metode diskusi, menggunakan sarana untuk simulasi,
memusatkan perhatian pada sistem
sosial, menyelesaikan konflik dengan win-win solution, dan menjalin hubungan antar manusia. 2.9. Analisis Kebijakan Pemerintah mempunyai peran yang besar dalam melaksanakan keadilan, penyelenggaraan
pemerintahan,
desentralisasi,
mengatur perekonomian,
menjaga keamanan dan persatuan, memelihara lingkungan, melindungi hak asasi manusia, serta meningkatkan kemampuan dan moral masyarakat. Untuk mencapai
tujuan
tersebut,
maka
diperlukan
suatu
kebijakan.
Menurut
Partowidagdo (1999) dalam menyusun kebijakan diperlukan suatu proses, yaitu: 1. Perumusan permasalahan, yaitu berupa permasalahan
yang berasal dari
publik. 2. Formulasi, yaitu
membuat alternatif-alternatif
yang berkaitan
dengan
masalah yang telah dirumuskan. 3. Adopsi, yaitu upaya agar suatu alternatif kebijakan dapat diterima dan disahkan. 3. Implementasi, hal ini berkaitan dengan stakeholder yang terlibat, pemilihan metode agar kebijakan dapat terlaksana, serta mengantisipasi dampak akibat pelaksanaan kebijakan. 4. Evaluasi, yaitu untuk mengukur efektifitas pelaksanaan suatu kebijakan. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam implementasi kebijakan adalah
peraturan yang logis, pihak yang berperan berkepentingan dalam
implementasi,
dan
mengkoordinasikan
organisasi terwujudnya
atau
lembaga
kebijakan.
yang
Melalui
menyusun
kebijakan
dan
peranan
73
pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan diharapkan dapat berfungsi secara optimal. Berdasarkan adanya masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan maka peranan
analisis kebijakan dalam pemecahan persoalan dinilai sangat besar.
Berbagai fenomena dan persoalan akibat dijalankannya suatu kebijakan dapat dikoreksi dan disempurnakan melalui
analisis kebijakan.
Sehingga analisis
kebijakan didefinisikan sebagai nasehat yang relevan dengan keputusan publik yang dipengaruhi oleh nilai sosial (Weimer dan Vining, 1999). Hal ini sesuai dengan pendapat Parto (1999) yang mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah penasehat kebijakan dan bukan penentu kebijakan. Analisis kebijakan bertujuan untuk menganalisis dan mempresentasikan alternatif yang tersedia bagi penyelenggara pemerintahan untuk menyelesaikan masalah dalam masyarakat. Sintesis
penelitian dan teori
yang tersedia
dapat digunakan untuk
memperkirakan konsekuensi dari beberapa alternatif keputusan. Penyelesaian analisis kebijakan berhubungan dengan keputusan yang spesifik, akan tetapi kelemahannya
adalah sempitnya pandangan yang diakibatkan oleh orientasi
penyelenggara pemerintahan dan tekanan waktu. Ma’arif (2004) mengemukakan bahwa dalam analisis kebijakan diperlukan proses
perumusan permasalahan,
pembuatan model hubungan sebab akibat, pengembangan model dinamis, pengembangan perencanaan skenario, pembelajaran organisasi, dan implementasi.
2.10. Berpikir Sistemik (System Thinking) Penelitian dengan tujuan untuk melakukan merekayasa
model perlu
analisis kebijakan dan
dilakukan dengan pendekatan sistem yang disebut
dengan system thinking yaitu cara memandang masalah sebagai sebuah sistem yang kompleks (Maani dan Cavana 2000). Hal tersebut disebabkan banyaknya variabel yang terkait
dan dalam kondisi dinamis yaitu kondisi yang
selalu
berubah karena adanya pengaruh waktu. Dengan adanya gejala yang selalu mengalami perubahan setiap waktu dan merupakan variabel yang kompleks maka disebut system dynamic. Menurut Eriyatno (2003) dalam pendekatan sistem harus memenuhi karakteristik kompleks yaitu adanya interaksi antar elemen yang cukup rumit, dinamis yaitu adanya faktor yang berubah menurut
74
waktu
dan ada pendugaan ke masa depan, probabilistik yaitu diperlukannya
fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Hal yang mendasar pada system thinking yaitu sistem memiliki karakteristik cybernistic, holistic, dan efektif. Cybernistic artinya dalam sistem tersebut terdapat
tujuan yang akan dicapai dengan jangkauan masa depan.
Holistic yaitu mengkaji sistem secara menyeluruh dengan melibatkan berbagai komponen terkait dan selalu dalam kondisi yang dinamis serta mengalami perubahan
karena waktu, sedangkan efektif dan
efisien adalah cara untuk
mencapai tujuan tersebut bersifat sistemik, tepat, dan hemat. Berdasarkan adanya umpan balik dalam sistem maka sistem terdiri atas sistem terbuka dan tertutup. Pada sistem terbuka input masuk ke dalam proses dan selanjutnya memperoleh output. Output tidak memberikan efek umpan balik dan tidak ada faktor koreksi sehingga dibutuhkan faktor eksternal. Contoh dari sistem terbuka
adalah jam tangan, radio dan sebagainya. Pada sistem tertutup
terdapat umpan balik sehingga output dikembalikan sebagai input ke dalam sistem. Sistem
tertutup adalah
sistem dimana output
yang dihasilkan
merupakan tanggapan dari input dan perilaku sistem akan dipengaruhi output tersebut. Dengan demikian sistem tertutup menyediakan sarana koreksi dalam rangka pencapaian tujuan sistem. Gambar 2.6 dan 2.7. menyajikan skema sistem terbuka dan tertutup.
Input
Proses
Gambar 2.6. Sistem Terbuka Sumber : Eriyatno (2003)
Out put
75
Input
Proses
Output
Umpan Balik Gambar 2.7 Sistem Tertutup Sumber : Eriyatno (2003)
Berdasarkan cara mengkajinya maka sistem dapat digolongkan dalam tiga cara yaitu melalui sistem analisis, desain, dan kontrol. Pada sistem analisis input dan proses sudah diketahui sedangkan output dari sistem yang ingin diketahui. Pada
sistem desain
input dan output telah ditentukan tetapi proses belum
diketahui, sedangkan pada sistem kontrol input belum diketahui sehingga perlu dicari sedangkan proses dan outputnya sudah diketahui. Berdasarkan tujuan yang akan dicapai dan masukan yang ada maka penelitian ini termasuk sistem analisis karena melakukan menganalisis
pengaruh kebijakan pendidikan
terhadap
pengetahuan siswa terhadap lingkungan. Penelitian dengan pendekatan sistem berangkat dari kondisi ideal dengan kondisi yang nyata. Selanjutnya adalah penetapan kesenjangan,
pembuatan
analisis, penyusunan kebijakan, dan memperkirakan dampak (Aminullah, 2004). Pengungkapan kejadian nyata adalah memaparkan keadaan sebenarnya sebagai hasil dari proses nyata dalam pengubahan masukan menjadi keluaran. Penentuan output yang diharapkan adalah sasaran yang diprogramkan. Oleh karena itu bersifat rencana sehingga merujuk kepada waktu mendatang. kesenjangan adalah
perbedaan antara kejadian nyata
Penetapan
dengan kejadian yang
diinginkan. Pembuatan analisis adalah menganalisis jalan yang perlu ditempuh untuk mengisi kesenjangan diinginkan.
antara kejadian nyata dengan
Penyusunan kebijakan dilakukan dengan
kejadian yang
menetapkan pilihan
tindakan atau keputusan yang akan diambil untuk mempengaruhi proses nyata dalam sistem
yang menghasilkan
kejadian nyata.
Memperkirakan dampak
76
adalah mempertimbangkan kemungkinan adanya penolakan dari lingkungan sistem terhadap pilihan tindakan atau keputusan yang akan diambil. Menurut Hartisari (2004) tahapan dalam pendekatan sistem dimulai dari analisis kebutuhan, formulasi masalah, identifikasi sistem,
membuat model,
verifikasi, dan validasi. Analisis Kebutuhan adalah menginventarisasi kebutuhan stakeholder yang dimasukkan dalam batasan sistem. Melalui analisis tersebut dapat diketahui disusun
kebutuhan yang sinergis dan berbeda.
Perbedaan
kebutuhan tersebut merupakan masalah dalam sistem yang perlu diformulasikan. Variabel sinergis dan yang berbeda merupakan dasar dalam melakukan identifikasi sistem untuk selanjutnya dibuat model. Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah
yang harus dipecahkan
untuk mencukupi
kebutuhan tersebut. Hal ini digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop).
Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan
suatu gejala yang ada di dunia nyata. Dengan demikian model yang dibangun dapat menggambarkan
kondisi
keseluruhan asalkan
faktor dominan yang
berlaku sama, sehingga model di lokasi studi kasus berlaku secara luas. Model dapat digunakan untuk memudahkan menganalisis kebijakan setelah dilakukan simulasi,
validasi dan verifikasi. Model digunakan untuk analisis kebijakan
karena simulasi model tidak membutuhkan waktu yang lama, lingkup sangat luas, efisien, dan relatif mudah dikerjakan. Model terdiri dari model kuantitatif, kualitatif, dan
ikonik. Causal Loop
Diagram (CLD) atau diagram sebab akibat berikut model Stock Flow Diagram (SFD) atau diagram alir termasuk model kualitatif. CLD adalah hubungan antara satu unsur dengan unsur lainnya dengan hubungan positif dan negatif. Hubungan positif jika
terjadi peningkatan unsur yang satu
akibat peningkatan
kenaikan unsur yang lain demikian pula jika terjadi penurunan. hubungan negatif
terjadi jika
peningkatan unsur yang satu
atau
Sedangkan
menyebabkan
pengurangan atau penurunan unsur yang lain. Model yang dibuat dari data kuantitatif merupakan hard system untuk simulasi dapat digunakan Powersim atau Visual Basic .
Diagram dasar dari
simulasi adalah eksponensial growth, eksponensial collapse, decay, goal seeking, sigmoid (kurva S), dan osilasi. Simpal kausal negatif memperlihatkan perilaku
77
menyeimbangkan yaitu mempunyai kecenderungan melawan perubahan dalam sistem untuk stabilitas sistem menuju goal (keadaan yang dikehendaki) dan peluruhan (decay). Diagram simpal kausal
positif untuk memperkuat sehingga
menyebabkan exponential growth atau exponential collaps. Diagram alir (SFD) adalah diagram simpal kausal yang telah diperluas dan dipresentasikan dengan menggunakan simbol-simbol perangkat lunak. Hasil simulasi model dapat berupa Kurva S (Sigmoid) terjadi karena percepatan pertumbuhan akibat pengaruh simpal positif, kemudian mengalami perlambatan karena ditekan oleh oleh simpal negatif
yang bekerja
setelah
pertumbuhan mencapai maksimum.
Sedangkan Osilasi adalah suatu kondisi dimana perilaku model menunjukkan gejala osilasi yaitu gerakan turun naik secara berkala. Hasil simulasi model dapat bervariasi berdasarkan model simulasi dasar. Dalam kehidupan nyata terdapat 8 jenis model baku yang dikenal dengan archetype. Model baku tersebut adalah Fixes That Fail, Shifting The Burden, Limits To Success, Drifting Goal, Growth and Underinvestment,
Success to Successful, Escalation, Tragedy of
the Commons ( Kim dan Anderson, 1998)
Model yang dibangun dan disimulasi
perlu dilakukan kalibrasi melalui pustaka atau perbandingan antara output yang dihasilkan dengan nilai acuan dari pustaka atau hasil pengukuran langsung dari lapangan. Jika terjadi perbedaan maka dilakukan perubahan beberapa parameter hingga perbedaan tersebut tidak nyata (Hartrisari dan Handoko, 2004). Pembuatan
model berdasarkan pengetahuan termasuk dalam soft
sistem dengan metode pengolahan diantaranya adalah Analisis Prospektif dan Interpretative Struktural Modelling (ISM).
2 10.1. Analisis Prospektif Analisis
Prospektif bermanfaat untuk mempersiapkan tindakan
strategis, dan melihat apakah dibutuhkan perubahan di masa depan. Menurut Hartisari (2004) tahapan dalam melakukan analisis prospektif adalah menemukan faktor kunci
dari sistem yang akan dikaji, menentukan tujuan strategis dan
kepentingan pelaku utama, membangun alternatif skenario model kebijakan, serta menentukan alternatif saran kebijakan. Langkah-langkah dalam Analisis Prospektif adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi faktor penentu di masa depan
78
2. Menemukan elemen kunci di masa depan. 3. Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan. Tahapan untuk mengidentifikasi faktor penentu di masa depan adalah identifikasi kriteria yaitu mencari variabel yang mempengaruhi tujuan studi melalui lokakarya. Jumlah variabel yang diharapkan berkisar 15 sampai 20, yang selanjutnya dilakukan analisis antar faktor dengan cara menyiapkan tabel dan melihat hubungan secara timbal balik. Adapun pedoman penilaiannya adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3. Pedoman Penilaian Pengaruh Variabel
Skor
Keterangan
0
Tidak ada pengaruh
1
Berpengaruh Kecil
2
Berpengaruh Sedang
3
: jika tidak ada pengaruh terhadap faktor lain :jika ada pengaruh kecil terhadap faktor lain : jika ada pengaruh sedang terhadap faktor lain
Berpengaruh sangat kuat: jika ada pengaruh sangat kuat terhadap faktor lain
Selanjutnya data yang diperoleh dari pakar diolah dengan program Analisis Prospektif untuk mendapatkan hasil pemetaan sehingga dapat diketahui variable yang mempunyai pengaruh besar dan ketergantungan kecil yang disebut Variabel Penentu Input. Melalui program juga dapat diketahui posisi variable lain sesuai dengan gambar 2.8, sedangkan langkah-langkah dari Analisis Prospektif disajikan pada Gambar 2 9
79
Pengaruh
Variabel Penentu Input
Variabel Penghubung Stakes
Variabel Autonomous
Variabel Terikat Out Put
Unused
Gambar 2.8. Tingkat Pengaruh dan Ketergantungan Ketergantungan
Pengaruh Timbal Balik
Menemukan Elemen Kunci Untuk Masa Depan
Mencatat seluruh Elemen Penting
Faktor
Mengidentifikasi Keterkaitan
Membuat tabel Untuk Menggambarkan Keterkaitan
Memilih Elemen Kunci Masa Depan
Visualisasi Software Gambar 2.9. Langkah-langkah dalam Analisis Prospektif
80
2.10.2. Teknik Permodelan Interpretasi Struktural (ISM) Teknik Permodelan Interpretasi Struktural (ISM) termasuk dalam Soft System Methodology (Checkland dan Scholes, 1990). Menurut Eriyatno (2003) ISM adalah
proses pengkajian
kelompok
dengan menghasilkan Model
Struktural dalam memotret perihal yang komplek dari suatu sistem melalui pola yang dirancang
secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat.
Metode ISM dapat
menganalisis elemen-elemen sistem dan memecahkannya
dalam bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Marimin (2004) mengemukakan bahwa Teknik ISM menggambarkan pengaturan dari elemen-elemen dalam membentuk suatu sistem
berkenaan dengan
interpretasi dari hubungan antar elemen dari suatu sistem yang didasarkan atas hubungan konstektual tertentu. Jenis hubungan konstektual adalah pengaruh, membantu,
kontribusi, kepentingan, mendorong., tahapan dan langkah ISM
adalah: 1. Menentukan tujuan dan output dari kajian. 2. Mental Process melalui Studi Pustaka, Diskusi, Brainstorming, dan Survey Pakar. 3. Menentukan elemen dan sub elemen dari sistem dan jenis hubungan konstektual. 4. Menentukan tingkat hubungan konstektual antar elemen dan sub elemen. 5. Structured Self Interaction Matrix (SSIM). 6. Transformasi SSIM ke Reachability Matrix. 7. Reachability Matrix (RM). 8. RM Transitive ----- Modifikasi SSIM ------ SSIM revised. Sedangkan Teknik ISM adalah: 1. Identifikasi elemen: elemen sistem diidentifikasikan dan didaftar melalui brainstorming. 2.
Hubungan
Kontekstual: Sebuah hubungan kontekstual
antar elemen
dibangun tergantung pada tujuan dari permodelan. 3. Matriks interaksi tunggal terstruktur Struktural Self Interaction Matrix / SSIM. Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap elemen hubungan yang dituju yaitu: V........ hubungan dari elemen Ei terhadap Ej
81
tetapi tidak sebaliknya. A........ hubungan dari elemen E j terhadap E i tetapi tidak sebaliknya. X........ hubungan antara E i dan E j dapat sebaliknya. O........ antara E i dan E j tidak berkaitan. 4. Matriks Reachability yang dipersiapkan untuk mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner. 5. Tingkat partisipasi dilakukan dengan mengklasifikasikan elemen dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM. 6.
Matriks Canonical: Pengelompokan elemen-elemen
dalam level yang
sama mengembangkan matriks. Matriks memiliki sebagian besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi dari 0 dan terendah 1. 7. Diagraph: sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung dan level hirarki. Diagraf awal dipersiapkan dari matriks canonical. Diagraf awal selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua komponen yang transitif untuk membuat Diagraf Akhir. 8. Interpretive Struktural Model dibangkitkan dengan memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual.
III.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem karena banyak melibatkan faktor-faktor terkait untuk mencapai tujuan sistem. Out put yang diharapkan dalam pembuatan desain model adalah siswa yang memiliki kompetensi pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan perilaku (psikomotorik) lingkungan hidup. Untuk mencapai tujuan tersebut banyak stakeholder yang terkait dan masing-masing mempunyai kebutuhan yang berbeda sehingga perlu dilakukan analisis kebutuhan formulasi masalah.
Stakeholder yang terkait dalam penelitian ini adalah
pendidikan di tingkat Provinsi, Kepala Sekolah, Guru, Siswa, dan
instansi
Komite Sekolah.
Verifikasi dilakukan dengan membandingkan model terhadap kondisi nyata. Teknik permodelan yang digunakan adalah Analisis Prospektif dan Interpretasi Struktural (Interpretative Structural Modelling). Untuk menentukan skenario alternatif rekomendasi kebijakan di masa mendatang dipakai metode Analisis Prospektif.
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengambil studi kasus pada enam SMA terdiri dari 3 (tiga) SMA yang telah melaksanakan Kurikulum 2004 (KBK) sejak tahun pelajaran 2002, 3 (tiga) SMA yang masih melaksanakan Kurikulum 1994 sampai tahun ajaran 2005 /2006 dan 1 (satu) SMA yang melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Penelitian dilaksanakan sejak Januari 2005 hingga Desember 2006 di Jakarta. SMA yang telah melaksanakan KBK adalah: 1. SMA Negeri 81 Jakarta 2. SMA Islam Al Azhar 1 Jakarta 3. SMA Islam AlAzhar 4, Kemang Pratama Bekasi. SMA yang masih melaksanakan Kurikulum1994 sampai 2006 adalah : 1. SMA Negeri 77 Jakarta 2. SMA Negeri 27 Jakarta 3. SMA Labschool Jakarta SMA yang melaksanakan KTSP sejak tahun 2006 adalah SMAN 8 Jakarta
83
3.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang terdiri dari pendapat pakar, pengamatan langsung terhadap komponen model yang terbentuk dan kompetensi siswa tentang lingkungan hidup Data sekunder berupa informasi tentang kondisi sekolah dalam bentuk dokumen-dokumen.
3.3. Definisi Operasional dan Kriteria Kompetensi tentang lingkungan hidup merupakan kesatuan dari pengetahuan, sikap dan perilaku yang
tercermin dalam pemikiran, pengambilan keputusan, dan
tindakan yang positif terhadap ke tiga aspek lingkungan yaitu aspek sosial, ekonomi, dan ekologi. Dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah materi pelajaran tentang lingkungan hidup terintegrasi dalam mata pelajaran khususnya Biologi, Geografi, Kimia, Fisika, Sosiologi, Ekonomi, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Agama. Penilaian kompetensi pada KBK terdiri atas kompetensi pengetahuan (kognitif). Sikap (afektif), dan perilaku (psikomotorik). Kompetensi pengetahuan dalam proses belajar mengajar
di sekolah dilakukan melalui evaluasi terhadap materi yang telah
disampaikan dengan batas ketuntasan tertentu. Penilaian terhadap kompetensi sikap (afektif) dalam proses belajar mengajar dilakukan melalui pengamatan guru terhadap antusias siswa mengikuti pelajaran, selain itu dapat juga dilakukan melalui
pendapat
siswa terhadap pemecahan suatu masalah. Sedangkan penilaian perilaku (psikomotorik) dilakukan melalui pengukuran kompetensi siswa dalam melakukan tindakan sesuai dengan kompetensi dasar yang telah ditentukan seperti kemampuan melakukan praktikum, kebiasaan siswa merapihkan bahan dan alat praktikum, kebiasaan siswa membuang sampah di tempatnya, kebiasaan siswa untuk tidak merokok, kebiasaan siswa menjaga kebersihan dan kerapihan kelas, kemampuan bersosialisasi, bekerja sama, kemampuan siswa berdiskusi, menyampaikan pendapat, kemampuan membuat laporan, kemampuan mengemukakan pemikiran melalui bahasa. Pada Kurikulum 1994 penilaian kompetensi lebih ditekankan pada aspek pengetahuan, sedangkan kompetensi sikap dan
84 perilaku dimuat dalam Buku Raport yang mencakup
Kerapihan, Kerajinan, dan
Kelakuan. Pada penelitian ini penilaian kompetensi pengetahuan tentang lingkungan hidup dilakukan
dengan mengacu pada materi yang terdapat pada kurikulum yang telah
diterima siswa selama 3 tahun masa pendidikan di SMA. Materi pengetahuan lingkungan hidup diklasifikasikan berdasarkan peta indikator yang terdiri dari aspek ekologi, sosial, dan ekonomi seperti yang disajikan pada tabel Lampiran, yang selanjutnya dimuat dalam kuesioner pengetahuan, sikap, dan perilaku seperti yang terdapat pada Lampiran 3, 4, 5. Untuk penilaian terhadap kompetensi sikap dan perilaku juga dilakukan berdasarkan peta indikator aspek kajian lingkungan hidup (Lampiran).
Melalui penilaian yang
mengacu pada peta indikator akan diperoleh gambaran
mengenai kompetensi
pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa tentang lingkungan.
3.3.1. Kriteria Kompetensi Siswa dikatagorikan memiliki kompetensi lingkungan hidup jika memiliki pencapaian kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku dengan nilai 75. Sedangkan ketuntasan belajar tercapai jika 100 % siswa mendapatkan nilai lebih besar atau sama dengan 75. Batasan nilai 75 diperoleh berdasarkan pendapat beberapa guru dengan mempertimbangkan
tingkat kesulitan kuesioner yang dibuat. Bobot jawaban
yang
terdapat pada kuesioner dibuat dengan skala, sehingga terdapat 5 pilihan jawaban dengan nilai yang berbeda yaitu : 1. Sangat Setuju mendapat nilai
: 5
2. Setuju mendapat nilai
: 4
3. Ragu-ragu mendapat nilai
: 3
4. Tidak Setuju mendapat nilai
: 2
5. Sangat Tidak Setuju mendapat nilai: 1 Jawaban kuesioner menunjukkan siswa lulus dan memiliki kompetensi pada item tersebut jika menjawab Sangat Setuju dan Setuju, sedangkan jawaban Tidak Setuju, dan Sangat Tidak Setuju
Ragu-ragu,
menunjukkan siswa tidak lulus dan belum
memiliki kompetensi khususnya pada item tersebut. Dengan
jumlah soal 40 untuk
kuesioner kompetensi pengetahuan maka siswa termasuk dalam
kriteria lulus jika
85 mendapat nilai sama atau lebih besar 120, sedangkan untuk kuesioner sikap dan perilaku kriteria lulus jika mendapat nilai sama atau lebih besar dari 90. 3.3.2. Kriteria Pakar Kriteria Pakar dalam penelitian ini adalah: 1. Pendidikan minimal S1 tidak dibatasi pada disiplin ilmu tertentu. 2. Sudah berkecimpung dalam bidang pendidikan khususnya pada sekolah lanjutan minimal 10 tahun. 3. Memahami KBK dan Kurikulum 1994 khususnya yang berkaitan dengan PLH. 4. Terlibat langsung dengan kegiatan yang terdapat Instansi Pendidikan. 5. Mempunyai minat yang besar untuk meningkatkan PLH. 6. Menjadi narasumber dalam peningkatan mutu pendidikan khususnya pada SMA 7. Bersedia memberikan pemikiran.
3.4. Tahapan Penelitian Dalam rangka mencapai tujuan penelitian, maka
dilakukan 5 tahap penelitian
yaitu sebagai berikut: Tahap 1 melakukan analisis kebijakan KBK dalam pelaksanaan PLH Tahap 2 membuat model kendala PLH melalui KBK Tahap 3 membuat model langkah strategis PLH melalui KBK Tahap 4 membuat Desain Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan Tahap 5 menyusun Alternatif Skenario Kebijakan. Bagan alir tahapan penelitian secara lengkap disajikan pada Gambar 3.1.
86
Kebijakan KBK
Tahap 1
Perangkat Pendukung KBK
Analisis Kebijakan KBK
MBS
Kompetensi Guru
Kompetensi LH siswa
Model KBK
Kondisi Nyata
Ya K.1994
KBK
KTSP
Sesuai Tidak
Tahap 2
Kendala PLH
Tahap 3
Langkah Strategis PLH
Tahap 4
Disain Model
Tahap 5
Alternatif Skenario
Rekomenasi
Gambar 3.1. Bagan Alir Tahapan Penelitian
Y Y Y
87 3.4.1. Tahap 1 Langkah-langkah yang dilakukan pada penelitian Tahap I adalah: a. Analisis Kebutuhan dari stakeholder terkait dalam sistem pendidikan dilakukan untuk mencapai out put yang diharapkan, yaitu siswa yang memiliki kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang lingkungan. Hasil analisis selengkapnya disajikan pada tabel 3.3. b. Formulasi Masalah disusun berdasarkan analisis kebutuhan stakeholder yang berbeda-beda yang selanjutnya digunakan
sebagai dasar penyusunan identifikasi
sistem.
Tabel 3.1. Analisis Kebutuhan Stakeholder Pendidikan No.
Stakeholder
1
Dinas Pendidikan Provinsi
2.
Kepala Sekolah
3.
Guru
4.
Masyarakat
5.
Siswa
Kebutuhan Pelaku Sistem
c. Identifikasi Sistem Identifikaai sistem dibuat berdasarkan formulasi masalah dengan memperhatikan hubungan sebab akibat
dari variabel-variabel yang terkait dalam
sistem dengan
menggunakan Diagram Causal Loop. d. Membuat Model PLH melalui KBK Membuat model KBK dalam pelaksanaan PLH dilakukan melalui survei Pakar. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan
Analisis Prospektif.
Pakar dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Kepala SMAN 1 Jakarta
2. Kepala Seksi Kesiswaan Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta dengan latar belakang Guru dan Kepala Sekolah SMAN 68 Jakarta
88 3. Dosen Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta. 4. Direktur Pendidikan dan Pengajaran YPI Al Azhar dan mempunyai latar belakang Kepala Sekolah . 5. Kepala Bidang Kurikulum SMA Islam Al Azhar 4 dan Guru Bahasa Indonesia 6. Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas SMA Negeri 77 Jakarta dan
Guru
Matematika. 7. Pembina KBK Tingkat Nasional, Guru Biologi dan Staf Bidang Kurikulum SMA Negeri 1 Jakarta 8. Kepala SMA Islam Al Azhar 2 Pejaten Jakarta 9. Sekretaris Komite Sekolah SMA Taruna Nusantara, Magelang. 10. Dosen Program Ilmu Lingkungan dan Ekologi Manusia, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia 11. Pembina Kegiatan Lingkungan Hidup SMA DKI Jakarta 12. Wakil Kepala SMAN 81 Jakarta bidang Kurikulum 13. Dosen jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta dan Guru Biologi SMA Labschool e. Verifikasi Model Pada tahapan ini dilakukan
verifikasi model dengan melakukan
penelitian
terhadap kondisi nyata di lapangan terhadap KBK dalam pelaksanaan PLH. Verifikasi dilakukan terhadap aspek-aspek sbb: 1. Kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang lingkungan hidup siswa SMA dengan menggunakan kuesioner. 2
Kompetensi Guru tentang Lingkungan Hidup khususnya yang mengajar mata pelajaran Biologi, Fisika, Kimia, Geografi, Sosiologi, Ekonomi, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Agama dengan menggunakan kuesioner.
3. Komponen Model PLH melalui KBK Verifikasi model KBK dalam Pelaksanaan PLH juga dilakukan terhadap sekolah yang melaksanakan Kurikulum 1994 an KTSP
Siswa yang digunakan sebagai responen pada tiap sekolah adalah siswa kelas XII jurusan yaitu IPA dan IPS dengan jumlah sampel lebih besar atau sama dengan 25%
89 dari polulasi. Sedangkan untuk responden Guru diambil masing-masing 1 orang guru untuk setiap mata pelajaran. Berdasarkan pengamatan di lapangan, terdapat 1 sampai 3 orang guru yang mengajarkan tiap mata pelajaran pada setiap sekolah. Untuk membantu dalam analisis kebijakan maka data yang berkaitan dengan kompetensi siswa diolah dengan Metode Chaid. 3.4.2. Tahap 2 Tahap ke dua adalah pembuatan Model Kendala pelaksanaan PLH dengan metode ISM. Faktor-faktor kendala tersebut selanjutnya akan dijadikan sebagai variabel Input Terkontrol dan Tidak Terkontrol pada Diagram Input Output.
Dengan demikian
variabel-variabel yang tergolong dalam Input Terkontrol dapat dikelola dalam Disain Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan. 3.4.3. Tahap 3 Tahap ke tiga adalah membuat model langkah strategis yang mendukung PLH dengan metode ISM sehingga dalam Desain Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan juga dapat diketahui langkag strategis yang dapat meningkatkan kompetensi lingkungan hidup. 3.4.4. Tahap 4 Tahap ke empat adalah membuat disain model kurikulum berwawasan lingkungan dengan metode Analisis Prospektif,
disamping itu juga mengelola faktor kenala an
langkah strategis alam PLH. 3.3.5.Tahap 5 Tahap ke 5 adalah
penyusunan
skenario
berdasarkan masukan dari para
Pakar. Langkah pertama dari tahapan ini adalah menunjukkan kepada Pakar variabelvariabel yang mempunyai pengaruh besar dan ketergantungan kecil. Selanjutnya kepada para Pakar diminta pemikirannya tentang skenario yang mungkin terjadi saat ini dan masa mendatang. Dari pendapat Pakar disusun alternatif skenario yang optimis dapat dilaksanakan saat ini, disamping itu juga skenario-skenario yang dapat dilaksanakan pada masa mendatang dengan output yang ideal tetapi dengan syarat kondisi tertentu.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis kebutuhan dari berbagai stakeholder pendidikan merupakan dasar untuk mengidentifikasi masalah yang ada dalam sistem pendidikan khususnya dalam pelaksanaan PLH melalui KBK. Hasil identifikasi masalah tersebut selanjutnya diformulasikan dan dijadikan bahan untuk melakukan identifikasi sistem. Tahapan pendekatan sistem selanjutnya adalah membuat Diagram
Input Output sehingga
dapat diketahui kinerja sistem. Berikut ditunjukkan hasil analisis kebutuhan, formulasi masalah, identifikasi sistem, Causal Loop, dan penyusunan model KBK khususnya tentang pelaksanaan PLH. Model yang diperoleh selanjutnya diverifikasi dengan melakukan penelitian kondisi eksisting di lapangan. 5.1. Analisis Kebutuhan Stakekholder Pendidikan yang
berhubungan dengan pelaksanaan
PLH
melalui KBK terdiri dari Dinas Pendidikan Provinsi, Kepala Sekolah, Guru, Siswa, dan Masyarakat yang dalam penelitian ini diwakili oleh Komite Sekolah. Berdasarkan analisis kebutuhan yang dilakukan menunjukkan bahwa kebutuhan dari stakeholder pendidikan dalam
pelaksanaan PLH
melalui KBK memperlihatkan
persamaan dan perbedaan sesuai dengan
peran dan fungsinya.
beberapa
Hasil analisis
kebutuhan selengkapnya disajikan pada tabel 5.1.
Tabel 5.1. Daftar Kebutuhan Stakeholder Pendidikan No. 1.
Stakeholder
Kebutuhan
Dinas
Informasi masalah lingkungan
Pendidikan
Pelatihan PLH
Provinsi Kabupaten
dan
Dana implementasi PLH melalui KBK Stakeholder
pendidikan
yang
memiliki
kompetensi lingkungan hidup Sarana dan prasarana PLH Tim
Supervisi dan Monitoring khususnya
yang berkaitan dengan PLH Standar Kompetensi PLH dari Depdiknas.
119 Penghargaan atas
prestasi yang berkaitan
dengan PLH. 2.
Kepala
Manajemen Berbasis Sekolah
Sekolah
Informasi masalah lingkungan Guru
yang
mampu
memberikan
bekal
kompetensi lingkungan hidup kepada siswa Sarana dan prasarana PLH Dana untuk implementasi PLH melalui KBK Penghargaan prestasi PLH
3.
Guru
Informasi masalah lingkungan hidup Pelatihan PLH Metode pembuatan Silabus Mata Pelajaran yang berkaitan dengan PLH Penghargaan terhadap prestasi PLH Fasilitas Belajar dan Mengajar PLH Pelatihan PLH melaui KBK Otonomi pelaksanaan belajar mengajar
4.
Komite Sekolah
Sekolah yang dapat memberikan dampak positif terhadap lingkungan Lulusan yang siap bekerja Lulusan yang memiliki kompetensi untuk melanjutkan sekolah
6.
Siswa
Guru yang memiliki kompetensi tentang lingkungan hidup Adanya integrasi aspek lingkungan hidup dengan mata pelajaran Dukungan
masyarakat
dan
stakeholder
pendidikan terhadap PLH Penghargaan terhadap prestasi PLH Fasilitas belajar dan mengajar PLH
120 Suasana belajar yang menyenangkan Lulus
Ujian
Sekolah,
Nasional
dan
melanjutkan
5.2. Formulasi Masalah Berdasarkan analisis kebutuhan dari stakeholders maka disusun formulasi permasalahan sebagai berikut: 1. Terbatasnya informasi tentang lingkungan di masyarakat. 2. Terbatasnya wawasan stakeholder pendidikan tentang lingkungan hidup 3. Kesulitan dalam memberikan kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku bagi para stakeholder pendidikan. 4. Terbatasnya dana, sarana, dan prasarana belajar PLH 5. Kurangnya pelatihan implementasi PLH melalui KBK 6. Kurangnya pengembangan Silabus Mata Pelajaran yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan serta potensi daerah. 7. Terbatasnya Penghargaan prestasi bagi stakeholder pendidikan di bidang lingkungan. 5.3. Identifikasi Sistem Dari formulasi masalah dibuat identifikasi sistem pelaksanaan PLH melalui KBK. Hasil identifikasi sistem menggambarkan kebutuhan-kebutuhan
yang
telah
suatu rantai hubungan antara
diformulasikan.
Hasil
identifikasi
sistem
selengkapnya disajikan pada gambar 5.1 yang jika disederhanakan disajikan pada gambar 5.2
121
+
+ Manajemen Berbasis Sekolah
Pembelajaran Stakeholder +
+ +
+ +
Penghargaan thd prestasi
+
+
+ Penerapan KBK
+
+ Fasilitas
+ Motivasi Siswa
Motivasi Guru
+ kualitas lingkungan
komite sekolah
Dana
+ + +
Kompetensi Siswa
+
Perbaikan lingkungan
+ Informasi
+
+ +
+
Pelatihan Guru
+
+ Kompetensi Guru
lingkungan sekolah
+
+
+
Penghasilan guru
+ Dukungan Masyarakat Dukungan Masyarakat untuk pendidikan
+ lingkungan masyarakat
+
+ Kesehatan masyarakat
+
+
+
Gambar 5.1. Identifikasi Sistem
+
122
MBS yang mendukung PLH
+
+ +
Penghargaan Prestasi LH
Pelaksanaan PLH melalui KBK
+
+
Komite Sekolah yang mendukung PLH
Perbaikan kualitas lingkungan sekolah Kompetensi LH siswa
+
+
-
+
Waktu Belajar PLH di SMA +
Perbaikan Kualitas lingkungan
Gambar 5. 2. Identifikasi Sistem yang Disederhanakan
5.4. Model KBK dalam Pelaksanaan PLH Model PLH melalui KBK dibuat berdasarkan pendapat Pakar yang terdiri dari 9 orang stakeholder pendidikan. Hasil Survei Pakar memperlihatkan bahwa terdapat 18 (delapan belas) faktor penyusun model 18 yang diuraikan sebagai berikut: 1. Manajemen Berbasis Sekolah yang memperhatikan aspek lingkungan hidup Selain melaksanakan MBS seperti yang disajikan pada Evaluasi Sekolah, Kepala Sekolah juga perlu memperhatikan PLH diantaranya dengan mewajibkan guru
123 untuk
mengintegrasikan
mata
pelajaran
dengan
aspek
lingkungan,
menyelenggarakan kegiatan intra dan ekstrakurikuler, serta penyampaian muatan lokal yang berkaitan dengan aspek lingkungan hidup. 2. Pelaksanaan KBK Sekolah perlu melaksanakan KBK secara utuh dengan berbagai kompetensi yang diharapkan yaitu yang dikaitkan dengan PLH dengan standar kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku dan dilengkapi dengan evaluasi ke tiga aspek tersebut. 3. Komite Sekolah yang mendukung Pendidikan Lingkungan Hidup Komite Sekolah perlu diikutsertakan
untuk
memberikan masukan dalam
penyusunan materi Muatan Lokal sesuai dengan aspirasi masyarakat
terutama
yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Dengan demikian maka masyarakat akan memberikan dukungan terhadap kegiatan yang diselenggarakan sekolah. 4. Alokasi Dana yang mendukung Pendidikan Lingkungan Hidup Dana dengan jumlah yang memadai sangat diperlukan untuk mendukung PLH karena itu perlu adanya alokasi dana yang bersumber dari RAPBS. 5. Sarana Prasarana yang mendukung Pendidikan Lingkungan Hidup Sarana dan Prasarana
yang dapat mendukung PLH diantaranya adalah
Laboratorium IPA dan Komputer, Jaringan Internet, Kebun Sekolah, Tanaman Obat Keluarga, Rumah Kaca, Tempat sampah Organik dan Anorganik, Tempat Pendaurulangan sampah sekolah menjadi kompos. 6. Rasio guru dan siswa yang ideal 1:20. Dengan nilai rasio tersebut
Rasio ideal antara guru dan siswa adalah guru yang
mengajar
dapat melakukan
pembinaan individual yang optimal terhadap siswa. 7. Standar Kompetensi Lingkungan Setiap mata pelajaran yang terkait langsung dengan PLH perlu memiliki standar kompetensi yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional atau dari sekolah yang telah disepakati bersama oleh seluruh Dewan Guru, misalnya untuk mata pelajaran Biologi, Fisika, Kimia, Geografi, Sosiologi, Ekonomi Akutansi, Pendidikan Kewarganegaraan , dan Agama. 8. Program Kegiatan Lingkungan Hidup Sekolah perlu melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup yang dimasukkan dalam Program Intrakurikuler dan Ekstrakurikuler. 9. Penambahan waktu belajar untuk Pendidikan Lingkungan Hidup
124 Penambahan waktu belajar dilakukan dengan mengalokasikan waktu pelajaran secara khusus dari sekolah untuk mendukung PLH. 10. Silabus Mata Pelajaran Silabus Mata Pelajaran perlu dikembangkan dan diberikan muatan lokal yang mendukung PLH 11. Inovasi dalam Metodologi Pembelajaran Inovasi dalam metodologi pelajaran perlu dilakukan secara aktif oleh guru sehingga dapat menarik siswa dalam pembelajaran PLH. 12. Peningkatan Kompetensi Guru Adanya upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dalam PLH akan memberikan dampak positif sehingga guru dapat mengerti, memahami, dan melaksanakan PLH. 13. Sosialisasi manfaat lingkungan hidup Pemerintah dituntut untuk berperan aktif dalam sosialisasi tentang pentingnya lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan dan dampak negatif yang akan timbul akibat kurangnya perhatian masyarakat terhadap masalah lingkungan. 14. Kerjasama Lembaga dengan Sekolah Sekolah perlu berperan secara aktif untuk melakukan kerjasama dengan lembaga – lembaga yang dapat mendukung PLH. 15. Informasi tentang Lingkungan Hidup Pemerintah secara aktif perlu memberikan informasi yang berhubungan dengan lingkungan hidup kepada sekolah. 16. Evaluasi dan Monitoring Evaluasi dan Monitoring perlu dilakukan secara berkala oleh DinasPendidikan terhadap lingkungan sekolah, kegiatan PLH, dan
kompetensi siswa terhadap
lingkungan. 17. Lomba yang berkaitan dengan PLH Sekolah perlu secara aktif mengikuti lomba yang dapat mendukung program PLH. 18. Penghargaan terhadap Prestasi Penghargaan atau apresiasi perlu diberikan baik dari masyarakat maupun Instansi Pemerintah
terhadap prestasi sekolah yang telah melaksanakan Pendidikan
Lingkungan Hidup dengan baik.
125 5.5. Kondisi Eksisting Pelaksanaan PLH melalui KBK , Kurikulum 1994 dan KTSP Verifikasi
model
dilakukan
dengan
pelaksanaan KBK khususnya untuk PLH
melakukan
penelitian
terhadap
pada tiga sekolah yaitu sekolah yang
sudah melaksanakan KBK sejak tahun 2002 secara sukarela. Dengan demikian sampai saat penelitian berlangsung yaitu tahun 2006 sekolah-sekolah tersebut telah melaksanakan KBK selama 4 tahun. Hasil verifikasi disajikan pada tabel 5.2 Disamping itu untuk mengetahui keberhasilan KBK juga dilakukan penelitian yang sama
pada sekolah yang masih melaksanakan Kurikulum 1994 yaitu untuk siswa
kelas III pada SMA Labschool, SMAN 77, dan SMAN 27 dan sekolah yang sudah melaksanakan KTSP yaitu SMAN 8 Jakarta .
Tabel 5.2. Hasil Verifikasi Model dengan Kondisi Eksisting
PENCAPAIAN KURIKULUM 1994
KBK
Telah Terlaksana
Kegiatan yang berkaitan dengan PLH
Kegiatan yang berkaitan dengan PLH
Belum dilaksanakan sepenuhnya
MBS yang mendukung PLH, Dana, Komite Sekolah, Informasi lingkungan hidup, penghargaan lingkungan hidup, silabus LH, sosialisasi manfaat PLH, Peningkatan kompetensi guru untuk lingkungan hidup
MBS yang mendukung PLH, Dana, Komite Sekolah, Informasi lingkungan hidup, penghargaan lingkungan hidup, silabus LH, sosialisasi manfaat PLH, Peningkatan kompetensi guru untuk lingkungan hidup
Belum Dilaksanakan
Rasio guru dan siswa, Evaluasi LH, Penambahan waktu belajar LH, Kerjasama kelembagaan, Pengembangan Standar Kompetensi
Rasio guru dan siswa, Evaluasi LH, Penambahan waktu belajar LH, Kerjasama kelembagaan, Pengembangan Standar Kompetensi
KTSP
MBS yang mendukung PLH, Dana, Komite Sekolah, Informasi lingkungan hidup, penghargaan lingkungan hidup, silabus LH, sosialisasi manfaat PLH, Peningkatan kompetensi guru untuk lingkungan hidup Kegiatan yang berkaitan dengan PLH, Rasio guru dan siswa, Evaluasi LH, Penambahan waktu belajar LH, Kerja sama kelembagaan, Pengembangan Standar Kompetensi
126 5.5.1 SMA Negeri 81 Jakarta Hasil penelitian terhadap SMA Negeri 81 menunjukkan bahwa MBS khususnya untuk PLH belum terlaksana sepenuhnya seperti yang ditunjukkan dalam Lampiran. Perhatian sekolah
terhadap lingkungan hidup dinilai telah ada. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya Sarana dan Prasarana, Pendanaan, Program Kegiatan Lingkungan,
Kerjasama
mendukung PLH.
Kelembagaan, dan Ketahanan Sekolah yang dapat
Sarana dan Prasarana yang mendukung PLH telah dilengkapi
sesuai dengan aturan dan dilaksanakan dengan baik . Akan tetapi dari segi Kurikulum terdapat beberapa komponen yang dinilai belum dapat mendukung PLH yaitu Evaluasi Kompetensi sikap dan perilaku yang belum dirumuskan sesuai dengan kompetensi lingkungan hidup (Lampiran 3) Hasil evaluasi terhadap kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku guru mata pelajaran Biologi, Fisika, Kimia, Geografi, Sosiologi, Ekonomi, Tata Negara, PPKN, dan Agama, SMA Negeri 81 memperlihatkan hasil yang memuaskan karena 100 % guru telah memiliki kompetensi lingkungan hidup. Disamping itu semua guru yang dijadikan responden
memandang pentingnya PLH untuk pembangunan
berkelanjutan. Sejalan dengan itu semua guru juga mengemukakan bahwa mata pelajaran yang diajarkan telah memuat materi yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Namun masih terdapat kelemahan yaitu belum adanya rumusan standar kompetensi sikap dan perilaku siswa yang diharapkan, sedangkan untuk kompetensi pengetahuan telah terlaksana dalam proses belajar mengajar. Selanjutnya hasil penelitian terhadap kompetensi siswa menunjukkan belum mencapai ketuntasan belajar. Hal ini ditunjukkan dengan persentasi siswa jurusan IPA yang mencapai
ketuntasan belajar untuk kompetensi
pengetahuan, sikap, dan
perilaku siswa masing-masing sebesar 95.60 %, 94,40 %, dan 51.10 %, sedangkan untuk siswa jurusan IPS adalah sebesar 90,50 %, 96.80 %, dan 20.60 % (tabel 5.3.). Dengan demikian kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku lingkungan hidup belum mencapai hasil yang diharapkan. Berdasarkan analisis statistik dengan derajat kepercayaan 0,05 menunjukkan bahwa untuk kompetensi sikap dan perilaku tidak ada perbedaan yang nyata
antara jurusan IPA dan IPS. Dengan demikian jurusan
(IPA dan IPS) tidak mempengaruhi kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku.
127 5.5.2. SMA Islam Al Azhar 4 Bekasi Hasil penelitian terhadap SMA Islam Al Azhar 4 menunjukkan bahwa MBS khususnya untuk PLH belum terlaksana sepenuhnya seperti yang ditunjukkan dalam Perhatian sekolah Prasarana,
SDM,
terhadap lingkungan hidup Pendanaan,
Program
ditunjukkan oleh Sarana dan
Kegiatan
Lingkungan,
Kelembagaan, dan Ketahanan Sekolah yang dapat mendukung PLH. sarana yang belum dimiliki diantaranya
Kerjasama Beberapa
rumah kaca, slogan, dan moto tentang
lingkungan hidup, serta jaringan internet pada waktu penelitian berlangsung belum dapat dengan mudah diakses oleh siswa. Disamping itu dari aspek kurikulum yang belum tersedia adalah evaluasi kompetensi sikap dan perilaku. keikutsertaan dalam mengikuti lomba tentang lingkungan hidup,
pencarian dana untuk kegiatan
lingkungan hidup, kerjasama kelembagaan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, dan
sangsi terhadap pelanggaran kebersihan belum terlaksana dengan baik
(Lampiran 3). Dari sudut wawasan guru
Biologi, Kimia, Fisika, Sosiologi, Ekonomi
Akuntansi, PPKN, Tata Negara, dan Agama memperlihatkan kompetensi lingkungan hidup yang baik dan berpendapat akan pentingnya PLH untuk pembangunan berkelanjutan. Disamping itu semua guru mata pelajaran di atas
mengemukakan
bahwa belum terdapat standar kompetensi dan evaluasi untuk kompetensi sikap dan perilaku terhadap lingkungan. Hasil penelitian terhadap kompetensi siswa menunjukkan
kompetensi
pengetahuan, sikap dan perilaku siswa jurusan IPA dicapai oleh 74.50 %, 80.20 %, dan 51 % siswa. Sedangkan untuk siswa jurusan IPS sebesar 67.30 %, 94%, dan 53% (Tabel 5.3.). Analisis
Statistik menunjukkan pada derajat kepercayaan 0,05 tidak
ada perbedaan yang nyata dalam pencapaian ketiga kompetensi untuk jurusan IPA dan IPS.
5.5.3. SMA Islam Al Azhar 1 Jakarta Secara umum pada SMA Islam Al Azhar 1 MBS khususnya untuk PLH belum terlaksana sepenuhnya seperti yang ditunjukkan dalam Lampiran. Perhatian terhadap lingkungan hidup ditunjukkan oleh Sarana dan Prasarana, SDM, Pendanaan, Kerjasama Kelembagaan, dan Ketahanan Sekolah yang dapat mendukung PLH . Walaupun demikian terdapat beberapa hal yang belum dilengkapi yaitu rumah kaca, poster dan moto lingkungan yang masih perlu mendapat perhatian, juga taman
128 sekolah yang kurang dirasakan keberadaannya oleh siswa (Lampiran 3). Hal ini disebabkan lokasi SMA Islam Al Azhar 1 terletak
pada lantai 6 dengan keadaan
sekolah yang tertutup. Siswa tidak dapat langsung merasakan manfaat taman sekolah untuk kesegaran dan keindahannya. Komponen Kurikulum yang perlu mendapat perhatian adalah evaluasi sikap dan perilaku untuk aspek lingkungan yang belum dirumuskan dengan baik, demikian pula program kegiatan lingkungan hidup, ektrakurikuler, dan penambahan waktu belajar untuk keterampilan hidup. Untuk aspek ketahanan sekolah yang masih lemah adalah sangsi untuk pelanggaran yang berkaitan dengan PLH seperti sangsi dalam membuang sampah yang tidak pada tempatnya. Dari segi Pendanaan alokasi dana untuk PLH juga masih perlu mendapat perhatian. Hasil analisis terhadap pendapat guru menunjukkan bahwa guru Biologi, Kimia, Fisika, Sosiologi, Ekonomi Akuntansi, PPKN,
Tata Negara, dan Agama
memberikan pendapat akan pentingnya PLH untuk diajarkan di sekolah. Selain itu kompetensi guru untuk pengetahuan, sikap, dan perilaku menunjukkan pencapaian kompetensi lingkungan. Persentasi siswa yang telah memiliki
kompetensi
pengetahuan, sikap, dan perilaku untuk jurusan IPA masing-masing adalah 83.90 %, 96.80 %, dan 32.30 %, sedangkan untuk IPS masing-masing adalah 60.70 %, 85.70 %, dan 28.60% (tabel 5.3). Hasil analisis Statistik pada derajat kepercayaan 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata dalam pencapaian ketiga kompetensi untuk ke dua jurusan.
Kompetensi siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar
baik jurusan IPA dan IPS dapat disebabkan oleh kondisi sekolah yang belum cukup memberikan bekal kompetensi.
5.5.4. SMA Labschool Jakarta Pada SMA Labshool, MBS khusus untuknya PLH belum
terlaksana
sepenuhnya seperti yang ditunjukkan dalam lampiran 3. Perhatian terhadap PLH ditunjukkan oleh Sarana dan prasarana, SDM, Program Kegiatan Lingkungan Hidup, Pendanaan, Kerjasama
Kelembagaan, dan Ketahanan Sekolah yang dapat
mendukung PLH. Hal yang penting untuk mendapat perhatian adalah belum adanya Silabus Mata Pelajaran yang dikembangkan dan dikaitkan dengan PLH, standar kompetensi tentang lingkungan hidup, alat evaluasi kompetensi sikap dan perilaku yang dikaitkan dengan PLH juga sangsi untuk pelanggaran PLH (Lampiran 3) akan tetapi kompetensi lingkungan hidup untuk guru telah tercapai.
129 Persentase siswa yang mencapai ketuntasan belajar untuk kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku untuk jurusan IPA masing-masing adalah 86.50 %, 86.50 %, dan 29.70 %. Sedangkan IPS masing-masing adalah 84.60 %, 82.00 %, dan 36.00 % (Tabel 5.3). Hal ini menunjukkan telum tercapainya ketuntasan belajar. Hasil analisis
statistik dengan derajat kepercayaan 0,05 menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata
dalam pencapaian ketiga kompetensi untuk ke dua jurusan
(IPA dan IPS). Kompetensi perilaku yang rendah dari ke dua jurusan menunjukkan bahwa kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang dilaksanakan belum berpengaruh terhadap kompetensi perilaku siswa. Komponen evaluasi kompetensi perilaku yang
belum dirumuskan dapat menjadi penyebab rendahnya kompetensi
perilaku. Selain itu kompetensi perilaku yang dijadikan parameter umumnya hanya dikaitkan dengan kemampuan siswa dalam
melaksanakan praktikum
sehingga
perilaku yang mencerminkan PLH belum dicermati secara seksama oleh guru. Disamping itu standar kenaikan kelas yang lebih cenderung
memperhatikan
kompetensi pengetahuan ikut mempengaruhi perilaku siswa.
5.5.5. SMA Negeri 27 Jakarta Pada SMA Negeri 27 MBS khususnya untuk PLH belum terlaksana sepenuhnya seperti yang ditunjukkan dalam lampiran 3. Perhatian sekolah terhadap lingkungan hidup ditunjukkan oleh terdapatnya sarana dan praarana, Program Kegiatan Lingkungan Hidup, kerjasama dengan Kelembagaan, dan Ketahanan Sekolah yang mendukung PLH. Walaupun demikian ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian yaitu belum tersedianya sarana audiovisual,
poster, slogan
tentang lingkungan hidup, dan pendanaan untuk kegiatan PLH. Dalam bidang kurikulum
guru belum mengembangkan Silabus Mata Pelajaran dan penetapan
standar kompetensi untuk aspek lingkungan. Evaluasi sikap dan perilaku untuk PLH juga belum dirumuskan dengan baik. Program life skill dan ekstra kurikuler untuk PLH juga belum sepenuhnya diselenggarakan. Beberapa jenis ekstra kurikuler yang telah dilaksanakan terbatas pada PMR, Paskibra, Rohani Islam, Rohani Kristen, Kelompok Ilmiah Remaja, Kesenian, dan Olah Raga. Perhatian sekolah terhadap PLH ditunjukkan dengan telah dilaksanakannya program 7 K dan penghijauan yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang harmonis. Kegiatan lainnya yang secara rutin dilaksanakan adalah Pekan Ilmiah dan Pameran yang merupakan program yang diadakan dalam rangka menambah wawasan dan ilmu pengetahuan
130 siswa. Jenis-jenis kegiatannya adalah diskusi, serta seminar.
kuis, pembuatan alat peraga, ceramah, dan
Apresiasi terhadap prestasi cukup mendapat perhatian di
SMAN 27 yang diwujudkan dalam bentuk
pameran dalam rangka aktualisasi
kegiatan dan karya siswa. Hubungan dengan masyarakat lingkungan sekolah, instansi pemerintah, perusahaan, dan perguruan tinggi yang berkaitan dengan PLH belum sepenuhnya terlaksana. Selain itu kegiatan seminar untuk guru dan karyawan kerap kali diadakan yang bertujuan untuk meningkatkan profesional dan kompetensi. Kompetensi lingkungan hidup untuk guru Biologi, Kimia, Fisika, Sosiologi, Ekonomi Akuntansi, PPKN, Tata Negara, dan Agama sudah menunjukkan hal yang positif. Persentase siswa yang mencapai ketuntasan belajar untuk kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku untuk jurusan IPA adalah 92.10 %, 92.00 %, dan 63.20 %, sedangkan untuk IPS masing-masing adalah 88.20 %, 97.00 %, dan 66.00% (Tabel 5.3). Berdasarkan data kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa jurusan IPA dan IPS belum mencapai ketuntasan belajar. Analisis statistik pada derajat kepercayaan 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pencapaian ketiga kompetensi untuk jurusan IPA dan IPS. bahwa
dalam
Hal ini menunjukkan
kegiatan sekolah untuk dapat menunjang PLH masih perlu ditingkatkan
terutama melalui intrakurikuler dan ekstrakurikuler. 5.5.6. SMA Negeri 77 Jakarta Pada SMA Negeri 77 Jakarta, MBS belum terlaksana sepenuhnya seperti yang dalam lampiran . Perhatian terhadap lingkungan hidup ditunjukkan oleh Sarana dan Prasarana,
Pendanaan, Program Kegiatan Lingkungan Hidup, Kerjasama dengan
Kelembagaan, dan Ketahanan Sekolah telah memiliki sarana dan prasarana yang dapat mendukung PLH seperti yang disajikan pada lampiran 3.
Upaya PLH di
sekolah ini yang dijadikan ciri sekolah adalah tersedianya tempat sampah organik dan anorganik. Secara alamiah siswa dengan penuh kesadaran telah mampu dan mudah memisahkan
sampah organik dan anorganik pada waktu membuang sampah .
Disamping itu program 7 K, slogan, dan poster tentang PLH juga diperhatikan di SMAN 77, hal ini merupakan bentuk kepedulian Kepala Sekolah terhadap PLH. Akan tetapi Kerjasama dengan Kelembagaan,
Pendidikan Tinggi, dan tokoh
masyarakat yang berkaitan dengan lingkungan hidup belum sepenuhnya terealisir. Belum ada upaya untuk mencari sumber dana dalam kegiatan PLH. Kesulitan dalam memantau siswa yang membuang sampah sembarangan merupakan hal yang masih
131 belum sepenuhnya ditegakkan dalam ketahanan sekolah. Dalam bidang Kurikulum PLH masih mengalami kelemahan yaitu belum adanya upaya untuk mengaitkan materi pelajaran dengan PLH,
belum dirumuskannya standar kompetensi PLH,
belum dirumuskannya Evaluasi sikap, dan perilaku,
juga progran lifeskill dan
ekstrakurikuler yang terkait langsung dengan PLH.
Hal ini
berkaitan dengan
terbatasnya kompetensi guru untuk membuat rencana pengajaran yang dikaitkan dengan PLH.
Walaupun demikian kompetensi guru untuk lingkungan hidup telah
tercapai. Persentase siswa yang mencapai ketuntasan belajar untuk kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku untuk jurusan IPA masing-masing adalah 73.00 %, 91.90 %, dan 70.30 %. Sedangkan untuk jurusan IPS masing-masing adalah 65.70%, 88.60 %, dan 57.10% (Tabel 5.3). Analisis statistik pada derajat kepercayaan 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata dalam pencapaian ketiga kompetensi untuk jurusan IPA dan IPS. Kompetensi yang belum mencapai ketuntasan dapat disebabkan oleh materi lingkungan hidup yang berkaitan dengan ekologi yang terbatas pada jurusan IPS, sedangkan untuk IPA lebih disebabkan oleh kegiatan PLH dalam intra dan ekstrakurikuler yang masih belum menyentuh PLH.
5.5.7. SMAN 8 Jakarta MBS yang berkaitan dengan lingkungan diterapkan dalam bentuk perhatian yang besar terhadap kebersihan
dan penghijauan sekolah.
Kepala Sekolah
melakukan pengawasan langsung pada semua sarana yang tersedia di sekolah. Akan tetapi kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan belum dilakukan oleh seluruh siswa. Keterlibatan siswa dalam aspek lingkungan adalah mewajibkan membuang sampah di tempat yang tersedia. Akan tetapi sangsi terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan lingkungan yang sudah dibakukan dalam tata tertib sekolah sulit dijangkau karena tiak terlihat secara langsung. Aktifitas lingkungan lainnya seperti kebersihan lingkungan, penghijauan dan perawatan tanaman
diserahkan kepada
petugas kebersihan yang setiap waktu membersihkan sarana yang ada
Dengan
demikian lingkungan sekolah bersih dan sangat kondisif untuk belajar. Adapun sarana pembelajaran lingkungan hidup di sekolah masih terbatas pada laboratorium IPA dan audiovisual. Hal lain
yang merupakan ciri
sekolah ini adalah mulai
2007
diberlakukannya ISO 9001 2000 plus 5S yang menekankan pada aspek managemen, menerapkan disiplin secara otomatis, organisasi yang baik, lingkungan yang bersih,
132 menciptakan kemudahan dan keamanan serta institusi yang terus berkembang ke arah yang lebih baik. Penciptaan kondisi di atas sangat sulit karena ISO 9001 2000 plus baru dimulai paa tahun 2007. Dalam praktiknya banyak dijumpai siswa yang masih membuang sampah di alam kelas khususnya di tempat tersembunyi. Poster-poster tentang tentang lingkungan hidup tidak
dijumpai, demikian pula halnya dengan
pengembangan silabus khususnya pada mata pelajaran yang berkaitan
langsung
dengan lingkungan. Guru Kimia dan Fisika mengemukakan bahwa materi lingkungan hidup yang dibahas dari sudut ilmu kimia dan Fisika sebenarnya sangat menarik, akan tetapi untuk KTSP muatan lingkungan hidup tidak ada pada pelajaran kimia dan Fisika. Hal ini disebabkan telah dibahas dalam pelajaran Biologi, sedangkan mata pelajaran Biologi menurut guru Biologi masih kekurangan waktu untuk membahas lingkungan secara mendalam. Untuk mata pelajaran Geografi yang banyak kaitannya dengan lingkungan hanya diberikan dalam 45 menit dalam satu minggu pada kelas X, XI IPS dan XII IPS sedangkan jurusan IPA tidak mendapatkan Geografi. Dengan kondisi sekolah seperti yang telah dijelaskan maka kompetensi lingkungan hidup yang diperoleh untuk aspek pengetahuan mencapai nilai lebih dari 75 telah dicapai oleh seluruh siswa baik IPA maupun IPS. Akan tetapi untuk aspek sikap jurusan IPA kompetensi dicapai oleh 39,59%.
dan IPS 19% . Sedangkan
untuk aspek perilaku jurusan IPA 19,88% dan IPS 18%.
Kondisi ini dapat
disebabkan sekolah lebih mempersiapkan siswa untuk menguasai target kurikulum untuk menghadapi Ujian nasional dan Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang diminati siswa sehingga pembekalan kompetensi tentang lingkungan masih belum dikembangkan. Adapun perguruan tinggi yang diminati adalah UI,
ITB
dan
melanjutkan sekolah di luar negeri dengan beasiswa. Sedangkan jurusan yang diminati
adalah Kedokteran, Teknik, Psikologi, Ekonomi dan Bisnis. Data
menunjukkan rata-rata 90% siswa mendapatkan jurusan yang diminati. Dengan pengembangan silabus
yang
merupakan
ciri KTSP yang difokuskan pada
pengayaan materi pelajaran menyebabkan siswa disibukkan dengan pembahasan soal. Kegiatan kesiswaan yang
diikuti siswa adalah
Olympiade Sains Nasional,
Kelompok Ilmiah Remaja, Bimbingan Belajar yang diberikan oleh alumni, Klinik belajar , Bahasa Asing, Olah Raga, dan Seni. Keikutsertaan sekolah untuk mengikuti lomba yang berkaitan dengan lingkungan juga belum dilakukan hal ini berkaitan dengan tingginya aktifitas guru dengan kegiatan di sekolah. Adapun kesibukan yang
133 membutuhkan perhatian besar dari para guru selain mengajar adalah menyelesaikan administrasi pembelajaran yang telah diprogramkan oleh Dinas Pendidikan dalam bentuk Sistem Administrasi Sekolah (SAS).
Dengan program SAS yang diakses
melalui internet maka sistem pencatatan kompetensi siswa dapat tersimpan dan tersusun dengan baik
Tabel 5.3. Hasil Penelitian Ketuntasan Belajar Tentang Lingkungan Hidup
Pengetahuan
Sikap
Perilaku
Persentase Siswa dengan
Persentase Siswa dengan
SKBM > 75
SKBM > 75
(KBK)
(Kurikulum 1994)
Sekolah
IPA
IPS
Sekolah
IPA
IPS
SMAN 81
95.60
90.50
SMA Lab.
86.50
84.80
SMAIA 1
83.90
60.70
SMAN 27
92.10
88.20
SMAIA 4
74.50
64.60
SMAN 77
73.00
65.70
Rata2
80.46
70.19
Rata2
83.88
79.66
SMAN 81
94.40
96.80
SMA Lab.
86.50
84.80
SMAIA 1
96.80
85.70
SMAN 27
92.10
97.10
SMAIA 4
80.20
81.20
SMAN 77
91.90
88.60
Rata2
90.46
87.90
Rata2
90.16
90.16
SMAN 81
51.10
20.60
SMA Lab.
29.70
33.30
SMAIA 1
32.30
28.60
SMAN 27
63.20
67.60
SMAIA 4
51.00
52.10
SMAN 77
70.30
57.10
Rata2
44.80
33.73
Rata2
54.40
51.60
Berdasarkan hasil yang diperoleh jika dibandingkan maka kompetensi lingkungan hidup pada sekolah yang melaksanakan KTSP lebih rendah. Keadaan ini dimungkinkan terjadi juga pada sekolah lain, karena tuntutan masyarakat melalui Komite Sekolah terbatas pada aspek akademis.
Masyarakat kurang memahami
pentingnya PLH. Keadaan ini perlu mendapat perhatian dunia pendidikan karena memberikan pemahaman lingkungan kepada masyarakat lebih sulit. Hal lain yang juga perlu
diperhatikan
mengingat
lulusan SMA unggulan
pada umumnya
melanjutkan pendidikan dan nantinya akan menentukan arah kebijakan.
134 5.6. Analisis Perbandingan Berdasarkan analisis statistik terhadap kompetensi pengetahuan pada sekolah yang diteliti terdapat perbedaan yang signifikan antara kompetensi pengetahuan siswa pada masing-masing sekolah. Selanjutnya dengan menggunakan katagori Chaid (Lampiran 14) maka sekolah-sekolah tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu : 1. SMAN 81 dengan ketuntasan belajar dicapai oleh 96,08% siswa 2. SMA Labschool dan SMAN 27 dengan ketuntasan belajar dicapai oleh 83,03% siswa 3. SMA Islam Al Azhar 1, SMA Islam Al Azhar 4, dan SMAN 77 dengan ketuntasan belajar dicapai oleh 68,68% siswa Hasil analisis statistik terhadap kompetensi sikap pada derajat kepercayaan 0.05 juga tidak menunjukkan perbedaan pada sekolah yang diteliti (Lampiran 15). Dengan demikian jenis kurikulum dan jurusan tidak mempengaruhi kompetensi sikap. Akan tetapi berdasarkan hasil analisis statistik yang juga dilakukan terhadap kompetensi perilaku diperoleh tiga kelompok sekolah yaitu: 1. SMAN 27 dan SMAN 77 dengan ketuntasan belajar dicapai oleh 67,07 % siswa. 2. SMA Islam Al Azhar 4 dan SMAN 81 dengan ketuntasan belajar dicapai oleh 54.31 % siswa. 3. SMA Islam Al Azhar 1 dan Labschool dengan ketuntasan belajar dicapai oleh 35,00 % siswa. Kelompok
kompetensi
yang
berbeda
pada
masing-masing
sekolah
menunjukkan bahwa kompetensi lingkungan hidup tidak dipengaruhi oleh jenis kurikulum dan jurusan. Pengelompokan kompetensi disebabkan oleh kondisi sekolah yang erat kaitannya dengan MBS yang bervariasi pada tiap sekolah. Disamping itu kompetensi guru pada tiap sekolah dalam melaksanankan PLH juga berbeda, akibatnya pengalaman belajar siswa yang dikaitkan dengan lingkungan hidup akan berbeda pada setiap sekolah. Pengembangan Silabus Mata Pelajaran dapat berupa kegiatan intrakurikuler, eksrakurikuler maupun kecakapan hidup. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku untuk semua mencapai
sekolah dan ke dua
ketuntasan belajar.
jurusan (IPA dan IPS) belum
Pengamatan langsung
di lapangan juga
memperlihatkan perilaku siswa yang belum menunjukkan sikap positif terhadap lingkungan. Sebagai contoh kebiasaan siswa yang membuang sampah pada laci meja,
135 banyaknya sampah di halaman sekolah walaupun tempat sampah telah tersedia, mencoret dan merusak fasilitas sekolah.
Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan
sekolah baik intrakurikuler maupun ekstrakurikuler pada jurusan IPA dan IPS belum cukup mampu membekali kompetensi perilaku siswa. Kondisi ini dapat disebabkan oleh terbatasnya pemberian materi pelajaran yang bermuatan lingkungan sebagai dampak dari rendahnya kompetensi guru untuk mengaitkan materi pelajaran dengan lingkungan hidup. Selain itu juga disebabkan oleh kesulitan guru untuk menemukan metode yang menarik dalam mengaitkan materi pelajaran dengan lingkungan hidup. Hal ini didukung oleh
pendapat sebagian besar guru yang dijadikan responden
mengemukakan bahwa PLH yang diintegrasikan pada materi mata pelajaran lebih menekankan kepada aspek kompetensi pengetahuan. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dikemukakan beberapa peneliti sebelumnya. Sholahudin (1993) mengemukakan bahwa tidak ada hubungan antara materi pelajaran IPA di SMA yang memiliki muatan lingkungan hidup dengan sikap siswa untuk melestarikan lingkungan. Susilo (1997) yang melakukan penelitian di SMAN 8 Jakarta dan Savitri (1998) pada SMAN 13 Jakarta juga menyimpulkan bahwa pemahaman pelestarian lingkungan
siswa di kedua sekolah tersebut
memperlihatkan hasil yang positif tetapi belum dapat dibuktikan secara afektif dan psikomotor. Sedangkan Soeharto (1993) menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan formal dengan perilaku arif terhadap lingkungan. Akan tetapi kedudukan formal dalam organisasi atau lembaga kemasyarakatan seperti ketua RT/RW, tokoh masyarakat, dan aparat desa akan menjadikan mereka untuk berperilaku arif terhadap lingkungan. Hal ini menunjukkan adanya antusiasme kelompok masyarakat ini terhadap lingkungan tanpa
dibatasi oleh
tingkat
pendidikan. Artinya pemahaman tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup baru dapat dirasakan setelah seseorang
terjun di masyarakat dan menghadapi
permasalahan lingkungan. Hasil observasi Depdiknas (2002) juga menunjukkan pelaksanaan
program
PLH di sekolah yang selama ini menitikberatkan
pada
pendekatan pengintegrasian konsep-konsep dasar lingkungan hidup pada pokokpokok bahasan yang relevan belum memberikan pengaruh positif terhadap siswa. Hasil penelitian ini menunjukkan ketuntasan belajar untuk
kompetensi
pengetahuan dan sikap telah dicapai lebih dari 80% siswa . Hal ini dapat disebabkan karena adanya perubahan dalam penyelenggaraan PLH di sekolah ke arah yang lebih baik. Pengintegrasian materi PLH ke dalam
mata pelajaran telah
memberikan
136 dampak yang berarti
terhadap kompetensi pengetahuan dan sikap namun belum
memberikan dampak terhadap perilaku siswa. Kepedulian warga sekolah termasuk siswa terhadap kebersihan, penghematan penggunaan sumberdaya, penghijauan, dan ketertiban masih sangat kurang. Dengan demikian sekolah sebagai agen perubahan perilaku
peduli lingkungan
dinilai masih kurang berhasil dalam menjalankan
misinya. Depdiknas (2003) mengemukakan pula bahwa hasil pelatihan terhadap tenaga kependidikan diakui lingkungan hidup, tetapi
telah dapat meningkatkan
pengetahuan tentang
pada implementasinya masih belum dapat berpengaruh
terhadap kompetensi sikap dan perilaku siswa. Pencapaian kompetensi perilaku yang lebih tinggi pada sekolah yang masih menggunakan Kurikulum 1994 dibandingkan dengan KBK
walaupun tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata dapat disebabkan oleh pengaruh Kurikulum 1994 yang berorientasi pada kompetensi pengetahuan.
Pada Kurikulum 1994
penyajian kompetensi perilaku siswa dalam buku Raport
tidak ditampilkan secara
terpisah tetapi
terintegrasi dengan nilai pengetahuan. Berbeda dengan kurikulum
KBK yang penyajiannya terpisah atara kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku. Menurut beberapa stakeholder pendidikan ada indikasi kekhawatiran siswa pada sekolah yang melaksanakan Kurikulum 1994 yaitu jika tidak melakukan perilaku yang positif akan mengurangi nilai pengetahuan, hal sebaliknya pada kurikulum KBK ada indikasi persepsi siswa bahwa nilai kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku terpisah dan tidak saling
mempengaruhi. Disamping itu persepsi bahwa nilai
kompetensi pengetahuan lebih diperhitungkan dalam kenaikan kelas dibandingkan dengan nilai sikap dan perilaku. Faktor inilah yang turut mempengaruhi lebih tingginya keberhasilan KBK dalam pencapaian kompetensi perilaku. Pencapaian kompetensi perilaku pada SMAN 77 dan 27 memperlihatkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan SMA lainnya. Kondisi ini dapat disebabkan karena perhatian sekolah-sekolah tersebut yang tinggi terhadap lingkungan. Sebagai contoh
di halaman SMAN 77 tersedia tempat sampah organik dan anorganik juga
slogan-slogan tentang lingkungan hidup. Hasil pengamatan juga memperlihatkan perhatian yang besar dari SMAN 27 terhadap lingkungan dengan menggiatkan program 7 K yang ditunjukkan dengan kebersihan dan penghijauan yang digalakkan pada sekolah tersebut. SMA Islam Al Azhar 4
dan SMAN 81 memiliki pencapaian ketuntasan
belajar untuk kompetensi perilaku yang lebih tinggi dibandingkan dengan
SMA
137 Islam Al Azhar 1 dan Labschool. Keadaan ini dapat disebabkan oleh pengaruh kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang menekankan pada aspek perilaku untuk
dijadikan pengalaman belajar siswa pada sekolah-sekolah tersebut. Pada
SMAN 81 diselenggarakan kegiatan lingkungan hidup yang langsung ke masyarakat dan wajib diikuti siswa yaitu Trip Observation. Terpilihnya SMAN 81 Jakarta menjadi Sekolah Sehat ikut mempengaruhi pencapaian kompetensi psikomotorik. Kepedulian Kepala Sekolah SMAN 81 yang tinggi terhadap pendidikan lingkungan hidup yang ditunjukkan dengan banyaknya poster dan slogan tentang lingkungan hidup yang terdapat
pada koridor kelas. Adanya penghijauan di halaman dan
koridor sekolah, juga diadakannya kegiatan tentang pemanfaatan kebun sekolah dan green house untuk kegiatan belajar mengajar menunjukkan tingginya kepedulian sekolah tersebut terhadap lingkungan hidup. Perhatian SMA Islam Al Azhar 4
terhadap pendidikan lingkungan
ditunjukkan dengan adanya alokasi waktu kecakapan hidup untuk mata pelajaran seperti Kimia, Geografi, dan Sosiologi yang mengadakan praktek langsung ke lapangan seperti ke lokasi TPA Bantar Gebang, serta adanya Desa Binaan siswa di Muara Gembong,
Bekasi. Selain itu
pada SMA Islam Al Azhar 4 juga
didokumentasikan hasil-hasil karya siswa yang berkaitan dengan lingkungan hidup untuk dijadikan bahan pameran pendidikan. Hal tersebut dapat memberikan motivasi kepada siswa untuk berperilaku positif terhadap lingkungan. Pada
SMA Islam
Al Azhar 1
kepedulian Kepala Sekolah
terhadap
pendidikan lingkungan hidup ditunjukkan dengan adanya aktivitas sebagian siswa untuk berpartisipasi pada kegiatan lingkungan hidup seperti mengikutsertakan siswa pada lomba-lomba yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Di samping itu juga ada upaya pemilahan dalam menempatkan sampah organik dan anorganik di ruang guru. Akan tetapi usaha tersebut masih belum dapat mempengaruhi perilaku seluruh siswa. Kurangnya dukungan sarana dan prasarana untuk melatih kecakapan hidup siswa seperti kebun sekolah, green house, ekstra kurikuler yang berkaitan dengan pendidikan lingkungan hidup, penambahan waktu belajar untuk kecakapan hidup, juga poster tentang lingkungan hidup dapat menyebabkan rendahnya kompetensi psikomotorik.
Rendahnya
sangsi terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan
lingkungan seperti kebersihan
memberikan dampak pada rendahnya pencapaian
kompetensi perilaku. SMA Labschool juga melibatkan siswa untuk berperan aktif
138 dalam kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup akan tetapi pencapaian kompetensi perilaku masih belum memuaskan. Kompetensi perilaku yang
belum mencapai standar ketuntasan
bukan
disebabkan oleh pengetahuan dan sikap yang kurang, karena dari data yang ada kompetensi pengetahuan dan sikap telah mencapai Standar Kelulusan Batas Minimal (SKBM)
75.
Rendahnya
perilaku siswa
bukan disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan siswa maupun sikap siswa. Analisis kuesioner
memperlihatkan rata-
rata siswa mengalami keengganan dalam berperilaku positif terhadap lingkungan. Keengganan ini dapat disebabkan karena siswa belum atau tidak dilatih untuk membiasakan diri sekolah untuk berperilaku positif terhadap lingkungan walaupun sebenarnya sudah mengetahuinya.
Faktor lain yang menyebabkan siswa kurang
berperilaku positif terhadap lingkungan adalah terdapatnya
kebiasaan masyarakat
yang umumnya kurang memperhatikan lingkungan hidup seperti membuang sampah sembarangan, merokok di tempat umum, dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas melalui PLH siswa perlu dibekali pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang lingkungan hidup sehingga siswa menjadi mengetahui dan mengerti, serta dapat melakukan dan mau melakukan sesuatu untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Kompetensi perilaku yang positif siswa terhadap sumberdaya alam selanjutnya akan melahirkan perilaku yang disebut partisipatif untuk melestarikan lingkungan. Selanjutnya partisipatif akan merangsang siswa sebagai bagian dari masyarakat menjadi lebih aktif dan kreatif melaksanakan pembangunan yang terarah dan berencana. Masyarakat tidak akan mau berpartisipasi di dalam program pembangunan kecuali mereka memperoleh manfaat dari sesuatu yang
dilakukan.
Sholahudin
(2001)
juga
mengemukakan
manusia
dalam
kehidupannya sangat tergantung pada lingkungan karena itu upaya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan mutlak dilakukan sehingga tidak terjadi kerusakan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menumbuhkembangkan sikap positif pada lingkungan melalui pendidikan formal. Melalui pendidikan seseorang dapat memperoleh pengetahuan yang merupakan pangkal dari sikap, sedangkan sikap mengarahkan pada tindakan seseorang.
Karena itu mata pelajaran IPA (Biologi,
Fisika, dan Kimia) yang mengandung materi
yang sarat
dengan pengetahuan
lingkungan hidup perlu lebih diberdayakan untuk menumbuhkembangkan sikap positif terhadap lingkungan.
139 Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa teori yang dikemukakan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) tentang proses konversi organisasi pembelajaran masih belum terlaksana dalam pembelajaran lingkungan hidup di SMA. Pengetahuan formal tentang lingkungan yang diperoleh siswa masih terbatas dari silabus kurikulum yang kurang dikembangkan, demikian pula halnya dalam mewujudkan pengetahuan formal menjadi tacit. Hal ini yang menyebabkan pengetahuan tentang lingkungan unrtuk siswa SMA tidak berkembang, karena kompetensi pengetahuan yang diberikan di sekolah dimungkinkan baru pada tahapan tahu (know), kompetensi sikap belum mencapai menghargai dan bertanggungjawab, sedangkan kompetensi perilaku baru mencapai praktik terpimpin.. Menurut Bloom (1983) ada 6 tingkatan kompetensi pengetahuan dan 4 tingkatan kompetensi sikap yaitu: 1. Tahu (know) yaitu pengetahuan sebagai informasi yang telah diperoleh sebelumnya. 2. Memahami
(comprehension)
yaitu
pengetahuan
yang
dapat
menginterpretasikan informasi yang diperoleh. 3. Aplikasi (aplication) yaitu pengetahuan yang dapat diaplikasikan pada situasi yang lain. 4. Analisis (analysis) yaitu kemampuan seseorang untuk menjabarkan suatu informasi dan menemukan hubungan antara komponen satu dan lainnya. 5. Sintesis yaitu
kemampuan seseorang untuk merangkum
komponen-
komponen pengetahuan yang dimiliki dalam suatu hubungan yang logis. 6. Evaluasi (evaluation)
yaitu kemampuan untuk ,melakukan penilaian
terhadap obyek tertentu. Kompetensi sikap mempunyai tingkatan yaitu sebagai berikut : 1. Menerima (receiving) yaitu kemuan seseorang untuk mau menerima timulus. 2. Menanggapi (responding) yaitu dapat memberi tanggapan
terhadap
pertanyaan. 3. Menghargai (valuing) yaitu dapat memberikan penilaian terhadapa stimulus 4. Bertanggung jawab (responsible) terhadap keputusan yang telah diyakini.
140 Kompetensi perilaku dapat diamati langsung maupun tidak langsung yang terdiri atas 3 tingkatan yaitu 1. Praktik terpimpin
(guided response) yaitu tindakan yang masih
tergantung pada tuntunan. 2. Praktik secara mekanisme yaitu tindakan yang secara otomatis dilakukan tanpa seruhan orang lain. 3. Adopsi (adoption) yaitu tindakan yang otomatis dilakukan dan berkualitas. Berdasarkan pendapat Hasan dkk (2006) maka
PLH
dalam konversi
organisasi pembelajaran dapat diimplementasikan sebagai berikut : 1. Sosialisasi (dari tacit ke tacit) : PLH yang diberikan dengan metode praktik dimana
siswa melakukan praktik langsung. Metode ini
dapat memicu siswa
untuk menciptakan praktik yang lainnya yang telah dikembangkan. 2. Eksternalisasi (dari tacit ke explicit) : PLH yang diberikan dengan metode praktik kemudian
dilanjutkan dengan
pembuatan
laporan,
menganalisis
data,
menginterpretasikan hasil pengamatan, membuat kesimpulan, mempresentasikan dan mendiskusikan. 3. Kombinasi (dari explicit ke explicit) : Proses pembelajaran yang dilanjutkan dimana hasil pengamatan yang telah dibuat dimasukkan dalam majalah ilmiah. 4. Internalisasi (dari eksplisit ke tacit) ketika siswa mampu menjadi ahli dalam pengetahuan yang telah diperoleh. Jika hasil penelitian tentang kompetensi siswa dikaitkan dengan teori organisasi pembelajaran menurut Choo (1998) yang mengatakan bahwa organisasi pembelajaran merupakan kegiatan
sense making, knowledge creating,
making, maka dapat dikatakan pengetahuan tacit yang kurang dilatih. menyebabkan sense making yaitu
mengerti dan memahami situasi
decision
Hal tersebut lingkungan
menjadi tidak terbiasa demikian halnya dengan yang diaktualisasikan dalam perilaku, siklus pengetahuan disajikan seperti pada gambar 5.3. Menurut Wright (2005) proses pengetahuan bagi individu dan organisasi meliputi upaya untuk memecahkan masalah.
yang sederhana dan kompleks. Sedangkan Dubravka dan Kecmanovik
(2004) berpendapat bahwa sense making dapat berlangsung dari tingkat indvidu, gabungan individu, organisasi, dan budaya masyarakat. Penerapan teori organisasi pembelajaran lingkungan hidup di SMA memerlukan desain model agar teori dua dimensi kreasi pengetahuan dari Nonaka
141 dan Takeuchi (1991) yang mengemukakan pembelajaran seperti suatu proses spiral dari tingkat organisasi hingga antar organisasi.
Stream of experience
Sense Making
Adaptive behavior
Knowledge Creating
Decision Making
Gambar 5.3. Siklus Pengetahuan
5.7. Analisis Kuesioner Kuesioner yang disusun digunakan untuk mengukur indikator kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku pendidikan lingkungan hidup siswa IPA dan IPS meliputi aspek sosial, ekonomi, dan ekologi, yaitu: 1. Sosial terdiri dari Pemberdayaan Masyarakat, Partisipasi, Mobilisasi Sosial, Identitas Kultur Budaya, dan Pengembangan Kelembagaan. 2. Ekonomi terdiri dari Pertumbuhan, Pemerataan, Efisiensi, dan Stabilitas. 3. Ekologi terdiri dari Identifikasi Ekologi dan Keutuhan Ekosistem Hasil analisis terhadap kuesioner menunjukkan bahwa kompetensi perilaku aspek sosial belum dapat dilaksanakan oleh siswa jurusan IPA. Hal ini ditunjukkan dengan pencapaian kompetensi siswa yang masih kurang yang berkaitan dengan aspek tersebut yaitu: 1. Partisipasi siswa untuk menjaga kebersihan sekolah.
142 2. Partisipasi siswa dalam program penghijauan yang diadakan oleh sekolah. 3. Keikutsertaan siswa untuk bersama masyarakat melakukan penghijauan. 4. Menyarankan masyarakat untuk tidak membuang limbah di sungai dan membuat sumber air dekat dengan MCK. 5. Berperan aktif dalam memecahkan masalah di masyarakat yang berkaitan dengan lingkungan hidup seperti limbah yang mencemari pemukiman penduduk. 6. Menyarankan masyarakat untuk tidak menebang pohon sebagai kayu bakar sehubungan dengan kelangkaan BBM. 7. Menyarankan masyarakat untuk menggunakan biogas. 8. Menyarankan masyarakat untuk tidak membuka usaha yang menimbulkan masalah lingkungan 9. Tanggap terhadap masalah lingkungan seperti limbah pada lokasi permukiman penduduk. Kurangnya pencapaian dalam aspek identitas kultur budaya ditunjukkan oleh rendahnya keinginan siswa untuk mengetahui kultur budaya suku-suku di Indonesia yang berkaitan dengan lingkungan hidup yang ditayangkan pada televisi. aspek sosial yang
Untuk
berkaitan dengan pengembangan kelembagaan, kurangnya
pencapaian kompetensi
ditunjukkan dengan
keengganan siswa memasukkan
kegiatan lingkungan hidup dalam kegiatan OSIS. Adapun aspek sosial tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Tanggungjawab semua lapisan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan. 2. Hak dan kewajiban masyarakat yang sama untuk menjaga lingkungan. 3. Perlunya
kerjasama
antar lembaga
untuk memperbaiki kualitas
lingkungan. Kurangnya pencapaian kompetensi dalam aspek ekonomi diperlihatkan oleh kompetensi perilaku siswa yaitu kurangnya efisiensi siswa terhadap penggunaan sumberdaya yang ditunjukkan dengan keraguan siswa untuk berperilaku efisien misalnya terhadap waktu, buku, dan sumberdaya lain, seperti yang terdapat pada kuesioner yaitu: 1. Merobek lembaran buku catatan untuk membuat mainan kertas. 2. Mengikuti aksi coret-coret di lingkungan sekolah 3. Membeli barang –barang yang tidak diperlukan.
143 4.
Membantu
program
pemerintah
dalam
meningkatkan
pendapatan
masyarakat 5. Mengambil makanan secukupnya Sedangkan kurangnya pencapaian kompetensi
dalam
aspek ekologi
diperlihatkan oleh kompetensi perilaku siswa Hal ini ditunjukkan dengan perilaku yang menunjukkan keengganan
untuk aktif dalam kegiatan pengelolaan sampah,
air tanah, sungai dan laut, fungsi tanaman dalam mengatur siklus oksigen (O2 dan CO2),
kesuburan tanah, fungsi keanekaragaman hayati untuk kehidupan, daya
dukung, serta isu global seperti yang terdapat pada kuesioner perilaku, yaitu: 1. Penanganan sampah di ruang kelas. 2. Berpartisipasi untuk kegiatan penghijauan di sekolah dan di masyarakat. 3. Memperbaiki knalpot kendaraan pribadi yang mengeluarkan asap hitam. 4. Menyarankan teman untuk tidak membuang sampah di selokan. 5. Menyarankan warga untuk tidak membuat sumber air bersih dekat MCK. 6. Menyarankan masyarakat untuk tidak membuang limbah ke laut. 7. Menyarankan teman untuk tidak membakar limbah dari bahan plastik. 8. Memperbaiki selokan yang mengeluarkan bau. 9. Menolak usulan untuk membangun MCK di bantaran sungai. 10. Membuat ventilasi 11. Menggunakan bibit unggul hasil rekayasa genetika yang belum diteliti lebih lanjut. 12. Penebangan pohon untuk untuk menanggulangi kelangkaan BBM. 13. Pembangunan perumahan di bantaran sungai.. 14. Menyarankan pemanfaatan biogas. 15. Membuat peternakan di permukiman penduduk. Berdasarkan hasil kuesioner perilaku maka hal-hal yang belum bisa dilaksanakan oleh siswa SMA jurusan IPS adalah: 1. Menjaga kebersihan, kerapihan ruang kelas, lingkungan sekolah, dan rumah. 2. Efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya yang berkaitan dengan siswa seperti kertas, seragam, dan kendaraan. 3. Keikutsertaan siswa untuk bersama masyarakat melakukan penghijauan. 4. Membantu program pemerintah dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dengan cara mensosialisasikan lahan kosong.
144 5. Menyarankan masyarakat untuk tidak membuang limbah ke sungai dan membuat sumber air dekat dengan MCK. 6. Berperan aktif dalam memecahkan masalah di masyarakat yang berkaitan dengan lingkungan hidup seperti limbah yang mencemari pemukiman. penduduk. 7. Menyarankan masyarakat untuk tidak menebang pohon sebagai kayu bakar sehubungan dengan
kelangkaan BBM.
8. Menyarankan masyarakat untuk menggunakan biogas. 9. Tidak menganjurkan membuka usaha yang menimbulkan masalah seperti limbah pada lokasi pemukiman penduduk. 10. Menyarankan untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati.
5. 8. Analisis Mata Pelajaran pada KBK 5.8.1. Mata Pelajaran Biologi Dalam mata pelajaran ini dijelaskan biologi sebagai ilmu yang mengkaji makhluk hidup dan permasalahannya dari tingkat sel, jaringan, organ, sistem organ, individu, populasi, komunitas, ekosistem, dan biosfer. Mata pelajaran pelajaran ini memberikan pengetahuan adanya sistem dalam kehidupan yang ada dari sub sistem tingkat sel hingga biosfer. Siswa dilatih untuk memecahkan masalah dari tingkat sel hingga ekosistem dengan metode ilmiah. Keanekaragaman hayati ditekankan pada segi manfaatnya, dan juga ekosistem yang mendukung kehidupan. Biogeografi yang dihubungkan dengan persebaran makhluk hidup dan permasalahan yang menjadi ancaman bagi tanaman dan hewan yang khas di daerah tersebut dibahas melalui proses pembelajaran. Daur materi yang terdiri siklus air, oksigen dan karbondioksida, nitrogen, sulfur dan fosfor serta aliran energi juga diberikan pada siswa dalam kaitannya mempertahankan kehidupan.
Daur materi dapat berlangsung
karena
adanya makhluk hidup oleh sebab itu punahnya makhluk hidup yang mendukung daur materi tersebut menyebabkan hambatan dan ancaman bagi keberlanjutan kehidupan. Kajian keanekaragaman hayati meliputi virus, monera, protista, fungi, plantae, dan animalia serta dikaitkan dengan ancaman bagi keanekaragaman hayati berupa perusakan yang mengganggu kestabilan lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran air, tanah, udara, dan suara oleh limbah organik maupun anorganik. Disamping itu dibahas upaya
pelestarian lingkungan dengan cara penghijauan,
penggunaan bahan yang ramah terhadap lingkungan, dan kebijakan
tentang
145 pembangunan
yang berkelanjutan
serta pembangunan berwawasan lingkungan.
Selain isue lingkungan lokal seperti illegal logging, kebakaran hutan, banjir, erosi, hilangnya plasma nutfah, hujan asam, air bersih dan permasalahannya juga dibahas pula yang masalah bersifat global seperti pemanasan global dan tanaman transgenik. Pemecahan masalah lingkungan membahas pengolahan dan pendaurulangan limbah organik dan anorganik serta pemanfaatannya sebagai pupuk, dan juga sumber energi alternatif juga dikaitkan
dengan etika lingkungan dan Undang Undang tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup No 23 tahun 1997. Selain itu itu siswa juga diberi pengalaman untuk praktikum, penelitian, dan membuat produk dari limbah. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan juga diperkenalkan kepada siswa dalam rangka menanamkan pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian siswa dapat memahami pentingnya telaah lingkungan dalam pembangunan. Upaya pelestarian alam berupa Hutan Lindung, Cagar Biosfer, Taman Nasional Gunung Leuser, Ujung Kulon, Gunung Gede Pangrango, Baluran, dan Pulau Komodo, Kerinci Seblat, Gunung Leuser, Pelestarian Eksitu.
Revolusi Hijau dan dampaknya bagi pembangunan
berkelanjutan merupakan sub bab tersendiri juga upaya pengembangan Revolusi Biru. Untuk materi bioteknologi siswa diperkenalkan dengan bioteknologi tradisional seperti pembuatan tape, keju, oncom, hingga yang mutakhir seperti pembuatan obatobatan, enzim, hormon, monoklonal antibodi, juga kultur jaringan. Dari uraian di atas dapat ditunjukkan bahwa mata pelajaran Biologi dapat memberikan pembekalan kompetensi pengetahuan,
sikap, dan perilaku. Hal ini
ditunjang oleh adanya indikator pada Silabus Mata Pelajaran yang memberikan penilaian kompetensi pengetahuan, sikap dan
perilaku, sebagai contoh siswa
ditugaskan untuk mendisain produk pengolahan limbah melalui unjuk kerja. Jika petunjuk dalam Silabus Mata Pelajaran tersebut dilaksanakan maka diharapkan akan tercapai ketuntasan belajar. Akan tetapi sangat disayangkan dalam proses belajar mengajar di sekolah lebih banyak dijumpai penekanan pada kompetensi pengetahuan. Untuk materi pelajaran yang dianggap mudah seperti tentang lingkungan hidup pada umumnya Guru tidak membahas materi secara mendalam tetapi hanya menyarankan siswa
untuk mempelajari sendiri. Sebagai
contoh dalam penyampaian
mata
pelajaran Kimia. Materi Kimia Lingkungan kebanyakan guru kurang memberikan pengalaman belajar kepada siswa dalam bentuk praktikum di laboratorium maupun praktik lapangan. Demikian juga halnya pada mata pelajaran Biologi, guru hanya menekankan pemahaman materi Ekologi dalam cakupan yang sempit. Pemahaman
146 tentang Ekologi diberikan tanpa memperlihatkan kondisi lapangan secara langsung seperti
kondisi ekologi di sekitar sekolah ataupun tempat tinggal siswa.
Permasalahan yang ada di sekitar siswa tidak dikaji dan dikaitkan dengan aspek lingkungan. Akibatnya materi Ekologi diberikan hanya dalam bentuk pengetahuan yang lebih menekankan pada aspek mengingat sehingga siswa tidak terlatih untuk melakukan analisis dan sintesis. Selain itu dalam proses belajar mengajar sehari-hari guru lebih memilih menggunakan metode ceramah yang diyakini akan lebih memberikan hasil kompetensi pengetahuan yang dapat mencapai ketuntasan belajar karena evaluasi yang selama ini dilakukan
lebih menekankan pada aspek
pengetahuan. Disamping itu rumusan kompetensi perilaku belum bersifat aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.
5.8.2. Mata Pelajaran Geografi Penekanan bahan kajian Mata Pelajaran Geografi untuk siswa SMA adalah tentang gejala-gejala alam dan kegiatan kehidupan di dunia. Gejala alam dipandang sebagai hasil dari proses alam yang terjadi di bumi. Akan tetapi dapat pula gejala alam dianggap sebagai
dampak dari kegiatan makhluk hidup seperti banjir, tanah
longsor, kekeringan, hujan asam, dan pemanasan global. Dalam kaitannya dengan mempelajari gejala alam pelajaran ini mengembangkan pemahaman siswa tentang organisasi spasial, masyarakat, tempat, dan lingkungan pada muka bumi. Siswa didorong untuk memahami proses-proses fisik yang membentuk pola-pola muka bumi, karakteristik dan persebaran spasial ekologis di muka bumi. Dengan demikian siswa diharapkan dapat memahami bahwa manusia mengembangkan wilayah untuk mendukung kehidupannya. Siswa juga dimotivasi secara aktif
untuk menelaah
kebudayaan. Siswa diharapkan bangga akan warisan budaya dengan memiliki kepedulian kepada keadilan sosial, proses-proses demokratis, dan kelestarian ekologis yang pada gilirannya
dapat mendorong siswa
untuk meningkatkan kualitas
kehidupan di lingkungannya pada masa kini dan masa depan. Pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai yang diperoleh diharapkan dapat membentuk siswa agar mampu mengembangkan darma baktinya untuk menjalin kerjasama dan mengurangi konflik di masyarakat. Dengan demikian
siswa
memiliki cara pandang sosial, spasial, dan ekologis serta bertanggung jawab, sebagai bekal hidup di masyarakat dalam menghadapi fenomena lingkungan yang semakin terancam dan perekonomian global yang semakin kompetitif. Tujuan pembelajaran
147 Geografi dari aspek kompetensi pengetahuan adalah mengembangkan konsep dasar Geografi
yang
berkaitan
dengan
pola
keruangan
dan
proses-prosesnya.
Mengembangkan pengetahuan sumberdaya alam, peluang dan keterbatasannya untuk dimanfaatkan. Mengembangkan konsep dasar Geografi yang berhubungan dengan lingkungan sekitar.
Sikap yang ditumbuhkan adalah meningkatkan kesadaran
terhadap perubahan fenomena geografi yang terjadi di lingkungan sekitar, mengembangkan sikap melindungi
dan bertanggungjawab terhadap kualitas
lingkungan hidup, mengembangkan sikap kepekaan terhadap pemanfaatan sumber daya, sikap toleransi terhadap perbedaan sosial dan budaya, cinta tanah air dan persatuan bangsa. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa kompetensi siswa dari pengetahuan dan sikap yang dicapai melalui pembelajaran Geografi telah mencapai ketuntasan belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat guru Geografi yang dijadikan responden bahwa pembelajaran mata pelajaran Geografi dapat memberikan bekal untuk kompetensi pengetahuan dan sikap terhadap lingkungan hidup. Tetapi kompetensi perilaku yang positif terhadap lingkungan belum mencapai ketuntasan belajar. Hal ini berkaitan dengan masih kurangnya pencaian kompetensi perilaku atau ketrampilan yang diharapkan dari mata pelajaran Geografi dalam pelaksanaan belajar mengajar di sekolah. Adapun kompetensi ketrampilan dari mata pelajaran Geografi adalah mengamati lingkungan fisik, lingkungan sosial dan lingkungan binaan, mengembangkan mengumpulkan, mencatat data dan informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan, mengembangkan analisis, sintesis, kecenderungan dan hasil dari interaksi berbagai gejala geografis. Pengamatan dalam proses belajar mengajar di sekolah menunjukkan bahwa kurangnya pencapaian kompetensi perilaku disebabkan oleh kurangnya kompetensi guru dalam memahami materi dan mendapatkan inovasi metodologi yang menarik siswa dan dukungan sekolah.
5.8.3. Mata Pelajaran Kimia Ilmu Kimia mempunyai kedudukan yang sangat penting
karena dapat
menjelaskan secara mikro tingkat molekuler terhadap fenomena yang bersifat makro. Di samping itu ilmu Kimia memberi kontribusi yang penting dan berarti terhadap perkembangan ilmu terapan seperti Pertanian, Kesehatan, Perikanan, dan Teknologi. Mata pelajaran Kimia di SMA mempelajari segala sesuatu tentang zat yang meliputi komposisi, struktur dan sifat, transformasi, dinamika, dan energetika zat dengan menggunakan ketrampilan dan penalaran. Salah satu tujuan pembelajaran
148 mata pelajaran Kimia adalah meningkatkan kesadaran tentang aplikasi sains yang bermanfaat dan merugikan masyarakat dan lingkungan, serta menyadari pentingnya mengelola dan melestarikan lingkungan demi kesejahteraan masyarakat. kompetensi
meliputi
Standar
mendemonstrasikan pengetahuan dan ketrampilan dalam
melakukan kerja ilmiah, berkomunikasi ilmiah, menunjukkan kreatifitas dan memecahkan masalah, serta bersikap ilmiah. Berdasarkan Silabus Mata Pelajaran, materi pokok mata pelajaran Kimia di SMA adalah: Struktur atom, sistem periodik, ikatan kimia dan senyawa yang terbentuk, hukum dasar Kimia dan Konsep Mol, senyawa karbon, sumber pencemaran lingkungan, dampak pencemaran, dan cara pencegahan. Reaksi kimia yang dipelajari melibatkan perubahan energi, teorikinetika, kesetimbangan, sistem larutan elektrolit dan non elektrolit, larutan asam basa, pH, teori asam basa, koloid, sifat koligatif larutan, karakteristik unsur penting, kegunaan, dan bahaya yang terdapat di alam. Berdasarkan Silabus Mata Pelajaran Kimia seperti yang diuraikan di atas maka materi lingkungan hidup yang terkait dengan mata pelajaran Kimia di sekolah seharusnya dapat memberikan kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk siswa bukan hanya kognitif dan afektif seperti yang telah diperoleh. Pendapat guru mata pelajaran Kimia yang dijadikan responden terhadap kaitan Ilmu Kimia dan lingkungan hidup adalah kurangnya muatan kompetensi psikomotorik khususnya yang berkaitan dengan perilaku lingkungan. Ketidaktuntasan belajar
kompetensi
psikomotorik siswa disebabkan oleh faktor kompetensi guru yang kurang melatih perilaku siswa dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari dengan cara memberikan contoh keterkaitan kehidupan sehari-hari lingkungan hidup dengan Ilmu Kimia.
Kompetensi guru merupakan faktor kendala dalam mencari metodologi
disamping pengembangan soal yang belum banyak dihubungkan dengan lingkungan hidup. Kepedulian Kepala Sekolah untuk mendukung PLH melalui Ilmu Kimia masih perlu ditingkatkan karena dalam proses belajar mengajar di sekolah PLH lebih menekannkan pada mata pelajaran Biologi.
5.8.4. Mata Pelajaran Fisika Berdasarkan Silabus Mata Pelajaran Fisika kurikulum Fisika menyediakan pengalaman belajar Sehingga siswa
kepada siswa untuk memahami konsep
dapat menanggapi isu
dan proses sains.
lokal, nasional, kawasan, dunia, sosial,
ekonomi, lingkungan, dan etika. Menilai secara kritis perkembangan dalam bidang
149 sains dan kelangsungan
dan teknologi serta dampaknya, memberikan sumbangan terhadap perkembangan sains dan teknologi. Materi pokok mata pelajaran
Fisika di SMA meliputi
besaran,
pengukuran dan vektor,
karakteristik gerak,
penerapan hukum Newton, tata surya, suhu dan kalor, cahaya, hakekat gelombang elektromagnetik, listrik dinamis. Berdasarkan Silabus Mata Pelajaran, materi pokok ditekankan pada lifeskill sebagai dasar untuk program IPA pada waktu penjurusan. Untuk kelas XI dan XII yang dipelajari adalah gerak dan analisis vektor, energi, usaha, dan daya, impils dan momenum, momentum sudut, rotasi benda tegar, fluida, teori kinetik gas, dan termodinamika. Gaya listrik dan medan listrik, medan magnet, gaya Lorentz dan induksi elektromagneti, gelombang dan bunyi, radiasi benda hitam, teori atom, relativitas, zat padat semi konduktor, radioaktif, dan jagat raya. Dalam pelaksanaan belajar mengajar sehari-hari pada umumnya guru meninggalkan aspek PLH dan kurang menyadari keterkaitan materi pelajaran dengan lingkungan hidup selain itu juga kurangnya pemahaman guru tentang pentingnya pembangunan berkelanjutan. Pendapat tersebut didukung dengan adanya guru yang mengajarkan Fisika pada sekolah yang dijadikan studi kasus beranggapan bahwa mata pelajaran Fisika sedikit kaitannya dengan lingkungan hidup. Anggapan ini berpangkal dari kurangnya penalaran guru dan kompetensi guru dalam mengaitkan lingkungan dengan materi mata pelajaran Fisika. Kurangnya perhatian Kepala Sekolah mengikutsertakan guru mata pelajaran Fisika untuk terlibat dalam PLH menambah kesenjangan antara materi fisika dan lingkungan hidup.
5.8.5. Mata Pelajaran Ekonomi Ketetapan MPR No.IV/1999 bidang Pendidikan yang menyatakan pentingnya dilakukan pembaruan Sistem Pendidikan dan Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2000 tentang Otonomi Daerah maka sebagai tindak lanjutnya pembenahan kurikulum yang dapat mengakomodasikan
perlu dilakukan
potensi sumberdaya
di
masing-masing daerah. Untuk mata pelajaran Ekonomi pembenahan kurikulum yang dilakukan adalah menyangkut materi pelajaran yang menuntut agar siswa aktif merekam peristiwa ekonomi yang terjadi di lingkungan sekitar dan mengambil manfaatnya untuk kehidupan yang lebih baik Standar kompetensi mata pelajaran Ekonomi untuk kelas X adalah siswa mampu memahami hubungan kelangkaan, biaya peluang dan pengalokasian sumberdaya
melalui ekonomi pasar
yang didasarkan atas ketergantungan
dan
150 spesialisasi pekerjaan. Untuk kelas XI standar kompetensi adalah kemampuan memahami ekonomi pemerintahan dan kebijakan yang dilakukan berdasarkan spesialisasi dan pembagian XII adalah
kemampuan memahami perekonomian
Internasional, Sistem Ekonomi Indonesia, Manajemen. Wirausaha, Tenaga Kerja dan Model Pemecahan Masalah Ekonomi. Berdasarkan Silabus Mata Pelajaran Ekonomi seperti yang telah diuraikan di atas maka materi lingkungan hidup yang terkait dengan mata pelajaran Ekonomi di sekolah seharusnya dapat memberikan kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku yang positif terhadap lingkungan untuk siswa.
Akan tetapi hasil penelitian
menunjukkan pencapaian kompetensi baru terbatas pada aspek pengetahuan dan sikap. Hal ini disebabkan karena pada umumnya guru mata pelajaran Ekonomi tidak melakukan evaluasi terhadap kompetensi perilaku lingkungan yang dikaitkan dengan materi ekonomi tetapi hanya pada kemampuan siswa melakukan psikomotorik yang mendukung pengetahuan misalnya menguraikan, mendefinisikan, menghitung, dan menganalisa. Kebijakan Kepala Sekolah yang kurang mengikutsertakan guru mata pelajaran Ekonomi dalam PLH merupakan faktor pembatas dari keberhasilan PLH yang dikaitkan dengan mata pelajaran Ekonomi. Walaupun demikian guru mata pelajaran Ekonomi yang dijadikan responden seluruhnya setuju akan pentingnya PLH, karena pengelolaan sumberdaya alam tidak terlepas dari manajemen ekonomi khususnya yang berkaitan dengan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbarui.
5.8.6. Mata Pelajaran Ilmu Sosial dan Kewarganegaraan Standar Kompetensi bahan kajian ilmu-ilmu Sosial dan Kewarganegaraan adalah tercapainya kompetensi memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang sistem sosial dan budaya dalam rangka : 1. Mengembangkan sikap kritis dalam situasi sosial sebagai akibat perbedaan yang ada di masyarakat, menentukan sikap terhadap proses
perkembangan dan
perubahan sosial budaya, dan menghargai keanekaragaman sosial budaya dalam kultur masyarakat. 2. Mewujudkan persatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, membiasakan untuk memenuhi norma, menegakkan hukum, dan menjalankan peraturan. Berpartisipasi dalam mewujudkan masyarakat dan pemerintahan yang demokratis, menjunjung tinggi, melaksanakan, dan menghargai HAM.
151 Berdasarkan
Standar
Kompetensi
Mata
Pelajaran
Sosiologi
dan
Kewarganegaraan seperti yang telah diuraikan di atas maka materi lingkungan hidup yang terkait dengan mata pelajaran Sosiologi dan Kewarganegaraan
di sekolah
seharusnya dapat memberikan kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku yang positif terhadap lingkungan. Akan tetapi hasil penelitian menunjukkan pencapaian kompetensi baru terbatas pada aspek pengetahuan dan sikap. Hal ini disebabkan karena pada umumnya guru mata pelajaran Sosiologi dan Kewarganegaraan kurang melakukan evaluasi terhadap kompetensi perilaku lingkungan yang dikaitkan dengan materi Sosiologi dan Kewarganegaraan. Walaupun demikian guru mata pelajaran Sosiologi dan Kewarganegaraan yang dijadikan responden seluruhnya setuju akan pentingnya PLH.
5.9. Model Kendala dalam PLH Model
Kendala yang dihadapi dalam melaksanakan PLH melalui KBK
disusun berdasarkan pendapat Pakar Pendidikan dengan memperoleh 18 komponen yang diuraikan sebagai berikut : 1. Pengetahuan
dan
Pemahaman
masyarakat
yang
rendah
terhadap
lingkungan Pakar berpendapat bahwa dukungan yang rendah terhadap PLH di sekolah disebabkan oleh rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap lingkungan.
Kebanyakan anggota masyarakat
memandang bahwa produk
pendidikan hanya terbatas pada keberhasilan siswa dalam Ujian Nasional dan Ujian Sekolah. Masyarakat kurang memahami pentingnya kompetensi terhadap lngkungan hidup bagi siswa sehingga masyarakat tidak menyadari dampak dari kompetensi perilaku yang kurang terhadap lingkungan dari lulusan SMA jika terjun di masyarakat. 2. Sarana dan Prasarana dalam mendukung PLH yang rendah.
Pakar
berpendapat bahwa sarana dan prasarana PLH di sekolah tidak dimanfaatkan secara maksimal, disamping itu ada sekolah yang mengabaikannya baik dalam arti pengadaan maupun pemeliharaan. 3. Alokasi dana yang kurang untuk PLH. Pakar berpendapat bahwa kebanyakan sekolah belum mengalokasikan dana Rancangan Anggaran Pendapat dan Belanja Sekolah (RAPBS) dalam jumlah yang memadai untuk PLH.
152 4. Kebijakan Pemerintah yang masih top down membuat sekolah berkewajiban melaksanakan program pemerintah yang belum tentu cocok dengan kondisi lokal. Upaya untuk mengembangkan Silabus Mata Pelajaran sering terhalang oleh masalah keterbatasan waktu, beban pelajaran yang penuh, dan beban mengajar guru. 5. Partisipasi masyarakat untuk mendukung PLH masih rendah. Pakar berpendapat bahwa pengetahuan masyarakat yang rendah terhadap lingkungan akan mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk berpartisipasi dalam PLH. 6. Sangsi bagi pelanggaran lingkungan yang rendah di sekolah. Menurut Pakar sangsi bagi pelanggaran lingkungan hidup di sekolah belum ditegakkan. Pola pikir masyarakat yang masih menganggap hal yang biasa jika seseorang membuang sampah di sembarang tempat terbawa oleh masyarakat sekolah. Akibatnya penegakkan sangsi bagi pelanggaran tata tertib
terutama yang
berkaitan dengan kebersihan lingkungan sekolah kurang dapat dilaksanakan. 7. MBS yang belum sepenuhnya dilaksanakan. Pelaksanaan sistem pendidikan di sekolah masih bersifat sentralistik dan pada umumnya sekolah belum percaya diri untuk membuat inovasi dalam pengembangan sekolah sebagai satuan pendidikan. 8. Informasi tentang lingkungan hidup yang kurang.
Informasi
tentang
lingkungan hidup terbaru baik dari dalam maupun luar negeri jarang diangkat di sekolah untuk dijadikan sebagai bahan pembahasan dalam materi pelajaran. Hal ini dapat terjadi karena tidak semua sekolah memiliki sarana untuk mengakses informasi lingkungan hidup. 9. Kurangnya Kerjasama dengan instansi terkait. Kerjasama dengan instansi untuk mendukung Pendidikan Lingkungan Hidup yang masih rendah menurut Pakar disebabkan oleh keterbatasan waktu guru akibat tugas yang banyak dari sekolah selain mengajar, beban mengajar yang besar, keterbatasan dana
dan
informasi. 10. Evaluasi dan Monitoring yang rendah. Menurut pendapat Pakar, Tim Evaluasi dan Monitoring tentang lingkungan belum mengevaluasi terutama yang berkaitan langsung dengan
secara maksimal
kompetensi siswa. Evaluasi
baru
terbatas pada sarana dan prasarana lingkungan sekolah. 11. Kompetensi guru khususnya tentang Pendidikan Lingkungan Hidup yang rendah. Menurut pendapat Pakar, guru belum sepenuhnya memahami materi
153 tentang lingkungan hidup terutama jika dikaitkan dengan materi mata pelajaran dan inovasi dalam metodologi pembelajaran. 12. Materi pelajaran yang diintegrasikan dengan Pendidikan Lingkungan Hidup yang
rendah. Menurut pendapat Pakar, dalam proses belajar mengajar materi
pelajaran yang dikaitkan dengan PLH belum dilakukan oleh guru. Hal ini selain tidak ada penekanan dari Departemen Pendidikan Nasional dan Kepala Sekolah juga erat kaitannya dengan terbatasnya kompetensi guru. 13. Beban pelajaran yang tinggi. Menurut pendapat Pakar beban pelajaran yang tinggi merupakan salah satu kendala pada PLH, karena pada umumnya sekolah akan berkonsentrasi untuk menyiapkan siswa menghadapi mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional. Hal ini berkaitan dengan pencapaian persentase kelulusan siswa sehingga mempengaruhi kondite sekolah di masyarakat. 14. Alokasi pelajaran untuk Pendidikan Lingkungan Hidup yang belum ada. Menurut pendapat Pakar tidak ada sekolah yang menambahkan waktu belajar secara khusus untuk PLH. Disamping itu guru dan siswa belum terbiasa dengan pola pikir yang holistik, sehingga ada persepsi pada sebagian guru dan siswa bahwa setiap mata pelajaran berdiri sendiri dan tidak ada kaitannya dengan lingkungan. 15. Rasio guru dan siswa yang ideal. Menurut pendapat Pakar dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar guru memiliki kewajiban mengajar dengan jumlah jam mengajar dan jumlah kelas yang banyak, disamping itu guru juga dikejar target materi pelajaran akibatnya pembinaan siswa untuk PLH masih terabaikan. 16.Peranan keluarga dalam PLH yang rendah. Menurut pendapat Pakar, keluarga lebih menekankan kelulusan siswa dalam menempuh Ujian Nasional dan Ujian Sekolah,
sehingga
diperhatikan.
PLH
merupakan
program
pendidikan
yang
kurang
Disamping itu Pakar mengemukakan bahwa keluarga belum
sepenuhnya memberikan PLH di rumah. 17.Penghargaan terhadap prestasi lingkungan hidup yang kurang. Menurut pendapat Pakar, guru dan siswa
yang memiliki perhatian
yang terhadap
lingkungan sekolah kurang mendapat apresiasi dari sekolah karena dianggap bukan prestasi yang dapat membawa nama sekolah. 18.Peranan Komite Sekolah terhadap Pendidikan Lingkungan Hidup yang rendah.
Menurut pendapat Pakar, sekolah belum mengajak Komite Sekolah
154 untuk berpartisipasi dalam PLH karena dianggap tidak ada kaitannya dengan Komite Sekolah. Selanjutnya faktor kendala dibuat
model struktur elemen seperti yang
disajikan pada gambar 5.4 berikut.
I
11. Kompetensi Guru
II
3. Dukungan Dana
III
IV
V
17. Penghargaan
9. Kerja sama dengan instansi
5. Partisipasi
8. Informasi
18. Komite Sekolah
12. Materi Pelajaran
VI
1 Pengetahuan Masyarakat
VII
14. Alokasi Waktu
VIII
IX
2. Sarana
13. Beban Pelajaran
4. Kebijakan Top down
6. Sangsi
15. Rasio ideal
16. Peranan Keluarga
7.MBS
10. Tim Monev
Gambar 5.4. Diagram Model Struktural Elemen Kendala dalam PLH melalui KBK
155 Berdasarkan model yang disajikan pada gambar 5.4 dapat diketahui bahwa kendala yang dihadapi dalam PLH adalah kebijakan Pemerintah khususnya tentang Pendidikan Lingkungan Hidup yang masih bersifat sentralistik. Materi lingkungan hidup terintegrasi dalam mata pelajaran khususnya Biologi, Kimia, Geografi, Fisika, Sosiologi, Ekonomi, PKN sehingga dalam penyampaian materi tersebut
guru
dibatasi pada paket materi yang telah ditentukan dan kurang dikembangkan sesuai dengan kondisi sekolah serta potensi daerah. Dengan demikian kompetensi yang dapat dicapai hanya terbatas pada
aspek pengetahuan yang sulit
diaplikasikan.
Dalam proses belajar mengajar guru hanya melaksanakan Silabus Mata Pelajaran yang telah ditetapkan pemerintah. Dengan diberlakukannya Otonomi Daerah kini telah ada upaya
dari pemerintah untuk memberikan kewenangan untuk
mengembangkan Silabus Mata Pelajaran, akan tetapi di lapangan guru mengalami kesulitan untuk mengaitkan materi pelajaran dengan PLH. Hal ini berkaitan dengan terbatasnya kompetensi guru. Kebijakan Pemerintah yang berpengaruh pada
sentralistik
pada waktu yang lalu masih
pelaksanaan MBS sehingga ada kesan bahwa
Kepala Sekolah
hanya menjalankan kebijakan dari pusat. Dengan demikian Pendidikan Lingkungan Hidup di sekolah yang terintegrasi dalam mata pelajaran tidak dikembangkan dan diaplikasikan menjadi kegiatan yang bermanfaat bagi siswa dan masyarakat. Salah satu indikasi kurangnya perhatian pada PLH
adalah
sangsi bagi pelanggaran
lingkungan hidup di sekolah yang rendah. Pada umumnya pemantauan terhadap siswa yang membuang sampah di sembarang tempat masih kurang dan sangsi terhadap pelanggaran hanya bersifat persuasif. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh lemahnya monitoring dan evaluasi terhadap sekolah. Dalam pelaksanaannya kegiatan Monitoring dan Evaluasi lebih menekankan pada kelengkapan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan lingkungan dan tidak memperhatikan pencapaian kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap lingkungan siswa. Pengaruh kebijakan yang sentralistik terhadap sekolah
juga masih berdampak pada kegiatan belajar
mengajar sehingga guru mengejar target kurikulum dengan cara memberikan beban pelajaran yang berat
kepada siswa dan mengabaikan PLH. Hal ini ditunjukkan
dengan tidak adanya alokasi waktu di sekolah untuk PLH. Selain itu juga belum ada standar kompetensi kompetensi yaitu
tentang lingkungan yang perlu dicapai untuk ketiga aspek pengetahuan, sikap dan perilaku.
Walaupun telah terjadi
perubahan paradigma kurikulum, namun dalam pelaksanaannya di lapangan masih
156 menekankan kompetensi pengetahuan. Disamping itu terdapat peranan keluarga sebagai faktor
intern siswa yang
lebih menekankan
kelulusan siswa dalam
menempuh Ujian Nasional dan Ujian Sekolah dan kurang memperhatikan pendidikan lingkungan di rumah.
Kurikulum Pendidikan yang mengabaikan PLH memberikan
dampak pada rendahnya pengetahuan masyarakat tentang lingkungan yang ditunjukkan sikap masyarakat
yang kurang peduli terhadap timbulnya berbagai
masalah lingkungan. Pengetahuan masyarakat yang rendah terhadap lingkungan menyebabkan masyarakat kurang
merasakan manfaat lingkungan sebagai faktor
penting yang mendukung kehidupan. Pengetahuan masyarakat yang rendah juga berdampak pada rendahnya partisipasi masyarakat dalam mendukung PLH. Hal ini diperlihatkan dengan rendahnya tuntutan masyarakat terhadap sekolah untuk melaksanakan PLH. Selanjutnya
terbatasnya pengetahuan masyarakat juga akan menyebabkan
kurangnya masukan masyarakat dalam hal PLH kepada sekolah melalui Komite Sekolah.
Dalam pelaksanaan pendidikan sehari-hari tuntutan Komite Sekolah
terhadap
PLH dapat dikatakan rendah karena pencapaian kompetensi yang
diharapkan masyarakat hanya terbatas pada kelulusan dari Ujian Sekolah dan Ujian Nasional serta dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Sedangkan bagi lulusan SMA yang tidak
melanjutkan sekolah berharap dapat segera bekerja dengan
bekal
kompetensi tentang lingkungan yang terbatas. Tidak adanya tuntutan masyarakat terhadap PLH menyebabkan kurangnya inovasi guru untuk bekerjasama dengan instasi yang terkait dengan PLH. Kurangnya instansi untuk mendukung PLH di sekolah juga disebabkan oleh kegiatan sekolah yang
lebih terkonsentrasi pada paket Silabus Mata Pelajaran
yang harus
diselesaikan. Disamping itu juga disebabkan oleh tugas guru yang padat sebagai dampak dari rasio guru
dan siswa yang belum ideal sehingga menyebabkan
kurangnya guru dalam melakukan pembinaan terhadap siswa. Tugas guru yang padat juga berdampak pada terbatasnya kesempatan guru untuk memperoleh informasi tentang lingkungan hidup yang erat kaitannya dengan pengembangan materi pelajaran. Dalam proses belajar mengajar informasi materi pelajaran hanya terbatas pada buku pegangan, sedangkan upaya untuk memperoleh informasi lain
kurang dilakukan baik oleh guru maupun siswa. Padahal menurut
Sunaryo (2002) ada hubungan yang positif antara penerimaan informasi meskipun diberikan secara nonformal dan perilaku dalam pengelolaan lingkungan.
157 Kurangnya perhatian Komite Sekolah
juga memberikan dampak pada
rendahnya penghargaaan bagi siswa dan sekolah yang berprestasi di bidang PLH. Kendala lainnnya adalah mempengaruhi upaya
alokasi dana untuk PLH yang sangat terbatas sehingga
peningkatan kompetensi guru terutama untuk menemukan
metode yang kreatif dalam PLH.
Hasil penelitian ini sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Kusuma (2003) bahwa hambatan dalam proses belajar mengajar di sekolah adalah terbatasnya jumlah tenaga pengajar yang menguasai pengetahuan lingkungan hidup. Hambatan lainnya adalah ketersediaan bahan-bahan dan materi ajar tentang lingkungan hidup masih kurang baik secara kualitas maupun kuantitas. Berbeda dengan yang dikemukakan Kusuma (2003), hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari segi materi pelajaran khususnya Biologi, Kimia, Fisika, Geografi, Sosiologi, Ekonomi menunjukkan muatan materi lingkungan hidup yang sangat banyak. Namun muatan materi yang banyak tersebut sebagian besar tidak dihubungkan dengan masalah-masalah lingkungan yang dihadapi siswa sehingga menjadi faktor penghambat pencapaian kompetensi siswa. Sebagai contoh dalam pelajaran Biologi khususnya dalam materi fotosintesis siswa dituntut untuk dapat menjelaskan proses biokimia di dalam kloroplast tanpa dikaitkann dengan respirasi, pencemaran udara, dan pemanasan global. Hal tersebut menimbulkan persepsi bagi siswa bahwa fotosintesis dan masalah lingkungan merupakan hal yang terpisah, apalagi jika dikaitkan dengan gerakan penghijauan di sekolah dan keterkaitannya dengan kesehatan. Contoh lainnya dalam pokok bahasan tentang keanekaragaman hayati siswa
hanya dituntut untuk mengingat
jenis tumbuhan dan hewan pada
ekosistem tersebut tanpa mengaitkannya dengan rantai makanan dan dampak yang ditimbulkan jika adanya komponen yang hilang dari ekosistem tertentu.
Upaya
untuk memberikan pemahaman tentang lingkungan hidup dilakukan dengan meningkatkan kapasitas kelembagaan pelaksanaan PLH di sekolah dan luar sekolah, pengembangan kualitas SDM
stakeholder yang berkaitan dengan
mengembangkan sarana dan prasarana PLH dengan cara berinteraksi
pendidikan, langsung
dengan ekosistem, laboratorium, perpustakaan dan sebagainya. Peningkatan anggaran PLH, adanya materi yang berkaitan dengan PLH, pemanfaatan teknologi informatika, peran serta masyarakat, dan pengembangan metode pelaksanaan PLH. Dari sebanyak 18 faktor hambatan dalam pelaksanaan PLH tersebut di atas sebagian sesuai dengan faktor hambatan pelaksanaan PLH melalui kurikulum 1994 seperti yang dikemukakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
158 Departemen Pendidikan Nasional (2003) yaitu padatnya kurikulum, guru yang belum banyak mendapat pelatihan, materi PLH di sekolah yang belum aplikatif, dan rendahnya komitmen warga sekolah untuk mengimplementasikan PLH. Beberapa pendapat Pakar tersebut juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kusuma (2003) bahwa faktor penghambat PLH dalam Kurikulum 1994 adalah: 1. Kurangnya inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PLH. 2. Terbatasnya jaringan kerjasama antara pihak terkait baik dengan Pemerintah, Swasta, Industri, Lembaga Pendidikan Formal dan Non Formal serta Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup. 3. Kurangnya informasi mengenai PLH sehingga pemahaman pelaku pendidikan terhadap pelaksanaan PLH masih kurang. 4. Kebijakan sekolah yang belum mendukung PLH. 5. Materi
PLH kurang mendukung
penyelesaian permasalahan lingkungan
sekitarnya. 6. Sarana, prasarana, serta anggaran yang masih kurang memadai. 7. Lemahnya koordinasi antar instansi terkait dengan para pelaku pendidikan. 8. Pada beberapa Kabupaten belum ada Peraturan Daerah yang secara spesifik mengatur masalah PLH Sejalan dengan itu hasil penelitian Mashudi (1999) menunjukkan bahwa materi pelajaran IPA belum dapat menunjukkan sikap positif pada upaya pelestarian lingkungan karena kurikulum terlalu padat, adanya target Ebtanas dan UMPTN, materi yang berkaitan
dengan lingkungan dianggap mudah sehingga cenderung
ditinggalkan dan dianggap tidak penting. Menurut Zahara (2001) sikap inovasi yang akan menumbuhkan perilaku berwawasan lingkungan belum disentuh dalam proses belajar mengajar. Untuk mendapatkan solusi yang tepat dalam menghadapi hambatan pelaksanaan PLH maka faktor-faktor hambatan tersebut perlu dimodelkan, sehingga akan diketahui faktor-faktor yang dapat dikatagorikan sebagai input terkontrol maupun input tidak terkontrol. Selanjutnya faktor hambatan yang termasuk dalam input terkontrol perlu dikelola sehingga dapat memperbaiki pelaksanaan PLH dalam sistem pendidikan di sekolah. Berdasarkan model kendala dalam pendidikan lingkungan hidup terdapat 13 faktor yang termasuk pada
input terkontrol berupa
faktor-faktor kendala yang dapat dikendalikan oleh sekolah yaitu: 1. MBS yang mendukung PLH
159 2. Sangsi terhadap pelanggaran lingkungan hidup di sekolah 3. Alokasi waktu untuk Pendidikan Lingkungan Hidup 4. Sarana dan prasarana 5. Kerjasama dengan Komite Sekolah. 6. Kerjasama dengan instansi terkait 7. Akses informasi 8. Peningkatan kompetensi guru 9. Pendanaan 10. Penghargaan terhadap prestasi 11. Beban pelajaran 12. Rasio ideal guru dan siswa 13. Materi PLH terintegrasi dengan mata pelajaran Dengan demikian sekolah merupakan komponen yang strategis untuk dapat memecahkan kendala dalam PLH. Salah satu faktor kendala dalam PLH adalah MBS yang pemecahannya dapat dilakukan dengan kebijakan pemerintah yang mendorong pelaksanaan otonomi pendidikan sehingga MBS dapat mendukung terlaksananya PLH dengan baik. Kepala Sekolah mempunyai peranan yang besar dalam MBS, sehingga dengan dukungan stakeholder pendidikan yang memahami PLH sekolah akan mampu menyelenggarakan PLH dengan mengelola 12 faktor hambatan lainnya. Sedangkan 4 faktor kendala yang digolongkan dalam input tak terkontrol, yaitu berupa faktor kendala yang tidak dapat diselesaikan oleh sekolah adalah: 1. Kebijakan yang top down, merupakan faktor yang sulit dikelola oleh sekolah karena berkaitan dengan pemerintah. 2. Pengetahuan masyarakat tentang lingkungan, merupakan faktor yang sulit dikelola oleh sekolah karena banyak faktor lain yang terkait. 3.
Partisipasi masyarakat, merupakan faktor yang sulit dikelola sekolah karena sekolah tidak dapat menekan masyarakat untuk berpartisipasi dalam PLH.
4. Tim Monitoring dan Evaluasi, merupakan faktor yang sulit dikelola sekolah karena berada diluar sistem sekolah. Hasil analisis ISM juga memperlihatkan bahwa kendala dalam PLH adalah berupa Kebijakan
Pemerintah yang dirasakan masih top down sehingga kurang
memberikan otonomi kepada sekolah untuk melaksanakan MBS.
Padahal MBS
merupakan faktor penggerak dengan ketergantungan yang kecil dalam meningkatkan kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa tentang lingkungan seperti yang
160 dapat dilihat
pada sektor IV dalam gambar 5.5.. Faktor penggerak lainnya dengan
ketergantungan kecil yang dapat meningkatkan kompetensi lingkungan hidup adalah Tim Monitoring dan Evaluasi PLH. Hasil analisis ISM dalam bentuk Matriks Driven Power Dependence selengkapnya disajikan pada Gambar 5.5.
18 17 16 15
4
7
14 13 12 11 10
10
1
2
3
4
5
6
7 14
8 1
13
16
9 8
18 2 9
11
1
10 11 12 13 14 15 16 17 18 8
5 3
7 6
15 12
5 4
6
3 2
17
1
Gambar 5.5. Matriks Driven Power Dependence untuk Elemen Kendala PLH melalui KBK Keterangan Gambar: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pengetahuan Masyarakat Sarana Dukungan Dana Kebijakan Top down Partisipasi Masyarakat Sangsi MBS Informasi Kerja sama dengan
Sumbu
X :
Dependence,
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Tim Monev Kompetensi Guru Materi Pelajaran Beban Pelajaran Alokasi Waktu PLH Rasio Ideal Guru dan Siswa Peranan Keluarga Penghargaan terhadap Prestasi LH Komite Sekolah
Sumbu Y : Driven PowerRatio Ideal Guru dan
SiswaPelajaran 2.1122.1212Ko Komptensi 12Sumbu222GuruKompetensi Guru
161 petensi Guru Kompeteni Guru 5.10. Model Langkah Strategis PLH melalui KBK Untuk menentukan langkah strategis yang dapat meningkatkan kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa terhadap lingkungan maka dibuat Model langkah stategis (Gambar 5.6). Penyusunan model dilakukan melalui survey pakar sehingga diperoleh 6 (enam) langkah strategis yang dapat meningkatkan kompetensi siswa, yaitu: 1. Inovasi dalam metodologi pengajaran intrakurikuler yang mendukung PLH seperti eksperimen, studi lapangan, teknologi informatika, audio visual, membuat karya dalam bentuk tulisan ilmiah, alat peraga, maupun teknologi. 2. Memasukkan kegiatan PLH dalam program OSIS seperti penghijauan, pecinta alam, desa binaan, dan bakti sosial. 3. Siswa memberikan penyuluhan lingkungan hidup melalui kegiatan ekstrakurikuler kepada masyarakat sekitar sekolah seperti pengelolaan sampah,
sanitasi,
pengelolaan air, dan MCK yang sehat. 4. Mengikuti kegiatan lingkungan hidup yang diselenggarakan oleh Instansi terkait, maupun mengadakan seminar dengan mengundang narasumber. 5. Meningkatkan kompetensi guru tentang PLH. 6. Mengadakan kegiatan intra dan ekstrakurikuler dalam bentuk diskusi tentang lingkungan. Dari enam langkah strategis tersebut di atas faktor yang memiliki pengaruh besar dengan ketergantungan kecil adalah mengadakan kegiatan intra ekstrakurikuler dalam bentuk diskusi. Hal ini sesuai dengan penelitian Gralton dkk (2004) yang mengemukakan bahwa untuk meningkatkan sikap dan perilaku siswa dibutuhkan inisiatif untuk mencari metode dalam PLH diantaranya melalui kegiatan diskusi intra dan ekstrakurikuler. Salah satu metode yang
dapat meningkatkan
kompetensi
pengetahuan, sikap dan perilaku adalah melibatkan siswa dalam program konservasi lingkungan karena siswa akan aktif melakukan lingkungan
diskusi yang berkaitan dengan
(Kruse dan Card, 2004). Sejalan dengan itu Heimlich dkk (2004)
mengemukakan bahwa
PLH perlu dimasukkan dalam kurikulum peningkatan
kompetensi guru untuk dapat diimplementasikan. Sevillano dkk (2007) menyatakan bahwa
diskusi tentang lingkungan setelah mengikuti tayangan yang berkaitan
dengan lingkungan dapat meningkatkan kesadaran lingkungan hidup. Peningkatan
162 kesadaran akan lingkungan hidup setelah mengikuti program televisi yang berkaitan dengan lingkungan juga dilaporkan oleh Lyons dan Breakwell (1994). Peningkatan sikap dan perilaku juga diperoleh setelah dilakukan pembahasan tentang lingkungan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan kehidupan manusia dan alam
materi
keseimbangan antara
proteksi lingkungan, keseimbangan daya dukung (Scott dan Willits, 1994). Selain itu pembahasan
lingkungan yang dikaitkan dengan ekonomi juga dapat meningkatkan sikap dan perilaku
(Young dkk, 1994).
Diskusi
dapat melahirkan pengetahuan dan
menimbulkan ide baru karena adanya tukar menukar informasi (Lin, 2004). Hal ini juga didukung oleh Spies dkk (2005) yang mengemukakan bahwa dalam manajemen pengetahuan selain tukar menukar informasi juga
terdapat pengembangan
pengetahuan melalui berbagai sumber informasi. Untuk menemukan faktor penting dalam disain model Kurikulum berwawasan lingkungan dilakukan Analisis Prospektif untuk menyusun model KBK yang berkaitan dengan PLH, yang disajikan pada Gambar 5.7.
5 1 4 2 , 3 , 4 , 5 1 1 1 1
6 3
0
1
2
3
4
5
2
1
0
Gambar 5.6. Matriks Driven Power Dependence untuk Elemen Langkah Strategis PLH melalui KBK
163 Keterangan Gambar : 1. Mencari metodologi pengajaran yang mendukung PLH seperti eksperimen, studi lapangan, teknologi informatika, audio visual, membuat karya dalam bentuk tulisan ilmiah, alat peraga, maupun teknologi. 2. Memasukkan kegiatan PLH dalam program OSIS seperti penghijauan, pecinta alam, desa binaan, dan bakti sosial. 3. Melakukan penyuluhan lingkungan hidup kepada masyarakat sekitar sekolah seperti pengelolaan sampah,
sanitasi, pengelolaan air, MCK yang sehat, dan
sebagainya 4. Mengikuti kegiatan lingkungan hidup yang diselenggarakan oleh Instansi terkait, maupun mengadakan seminar dengan mengundang narasumber. 5. Meningkatkan kompetensi guru tentang PLH. 6. Mengadakan kegiatan ekstrakurikuler dalam bentuk diskusi tentang lingkungan. Sumbu X : Dependence Sumbu Y : Driven Power
5.11 Desain Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan SMA Berdasarkan model PLH melalui KBK (Gambar 5.7) maka dapat diketahui kedudukan faktor-faktor tersebut pada kuadran yang menunjukkan besarnya pengaruh dan ketergantungan. Faktor-faktor dari model tersebut terletak pada empat kuadran dengan tingkat pengaruh dan ketergantungan yang berbeda-beda. Komponen dari sistem yang mempunyai pengaruh yang besar dan ketergantungan kecil sebanyak 3 (tiga) faktor penting yaitu : 1. Manajemen Berbasis Sekolah yaitu wewenang sekolah untuk menentukan arah kebijakan seperti mengalokasikan sumber dana sesuai dengan kebutuhan sekolah, melaksanakan administrasi yang terbuka, membuat program peningkatan mutu sekolah sesuai dengan kondisi sekolah khususnya yang berkaitan dengan PLH. 2. Program Kegiatan yang mendukung PLH adalah inovasi dan inisiatif dari semua stakeholder pendidikan di sekolah untuk membekali kompetensi siswa tentang lingkungan hidup. Penekanan kompetensi bukan hanya ditinjau dari sudut ekologi tetapi dipandang juga secara keseluruhan dengan mengaitkannya dengan aspek sosial dan ekonomi. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa
164 program kegiatan yang memiliki ketergantungan kecil hanyalah kegiatan yang bersifat intrakurikuler. 3. Inovasi dalam Metode Pengajaran PLH yaitu metode pengajaran yang perlu diterapkan dalam rangka memberikan kompetensi kepada siswa mengenai lingkungan hidup. Inovasi dalam metode pengajaran sangat erat kaitannya dengan inisiatif guru. Untuk mengembangkan metode mengajar yang dilakukan oleh guru perlu kerjasama dengan stakeholder pendidikan lainnya dengan dukungan Kepala Sekolah. Kepala Sekolah sebagai titik sentral Manajemen Berbasis Sekolah sangat berperanan penting dalam kesuksesan pengajaran lingkungan hidup, karena melalui Kepala Sekolah akan dapat berimbas pada tersedianya perangkat sekolah lainnya seperti keterlibatan guru mata pelajaran lainnya, wali kelas, dana, sarana dan prasarana, serta Komite Sekolah. Tiga faktor kunci PLH dengan kurikulum KBK sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Amstrong dkk (2004) di Australia yang telah berhasil meningkatkan kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku lingkungan disamping peningkatan ekonomi, sosial, lingkungan sekolah. Penelitian tersebut melibatkan sekolah untuk melaksanakan Program Kebijakan Pengelolaan Limbah
yang dimasukkan dalam
kurikulum. Program integrasi PLH tersebut sangat didukung oleh Kepala Sekolah dan orang tua. Pengelolaan limbah berasal dari sampah sekolah berupa kertas, botol, kaleng
karet menetekankan
aspek
reduce, reuse, recycle.
Penelitian
yang
dilakukan oleh Shih Jang Hsu (2004) di Taiwan bertujuan untuk meningkatkan kompetensi perilaku lingkungan dilakukan dengan memberikan informasi terbaru tentang lingkungan dan pemberian pelatihan.. Ke tiga komponen yang memiliki pengaruh yang besar dan ketergantungan yang kecil sehingga jika dilaksanakan dengan baik akan memberikan pengaruh yang besar terhadap kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa. Dengan demikian ke
tiga
faktor
tersebut
ketergantungannya dengan
merupakan
hal
yang
sangat
komponen lain yang kecil,
strategis
karena
sehingga
dalam
pelaksanaanya bersifat independensi. Komponen yang mempunyai pengaruh besar tetapi dengan ketergantungan yang juga besar terhadap komponen lain terdiri dari 6 (enam) faktor yaitu: 1. Penghargaan terhadap Prestasi adalah pemberian apresiasi terhadap stakeholder pendidikan yang berprestasi maupun peduli terhadap lingkungan. Pengaruh komponen ini besar karena dapat memacu kinerja stakeholder pendidikan tetapi
165 ketergantungannya
dengan
komponen
lain
juga
besar.
Salah
satu
ketergantungannya adalah diperlukan dana yang umumnya ketersediaannya di sekolah sangat terbatas
apalagi jika pendanaan tersebut berkaitan
dengan
institusi lain. 2. Dana merupakan sumber energi bagi pelaksanaan kegiatan di sekolah seperti untuk penyediaan sarana prasarana, fasilitas, pelatihan guru, mengikuti lomba, dan transportasi. Dana mempunyai pengaruh yang besar dalam memberikan kompetensi lingkungan hidup kepada siswa tetapi ketergantungan dengan komponen lain juga besar. Dana yang terbatas dari pemerintah umumnya sulit di alokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang mendukung PLH karena masih banyaknya kegiatan lain yang berkaitan dengan sekolah yang belum terpenuhi. Salah satu solusinya adalah dengan melibatkan Komite Sekolah dalam pengumpulan dana tetapi besarnya dana yang dapat terkumpul sangat tergantung pada perhatian masyarakat sekolah namun hal tersebut juga
dipengaruhi oleh
tingkat ekonomi juga pengetahuan dan perhatian masyarakat terhadap lingkungan yang masih kurang. 3. Peningkatan Kompetensi Guru terutama yang berkaitan dengan PLH dapat berupa mengikutsertakan Guru pada Seminar, Pelatihan, dan
melanjutkan
Pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Upaya ini akan memberikan pengaruh yang
besar dalam peningkatan kompetensi siswa. Akan pada kenyataannya
upaya ini sulit direalisasikan mengingat hal ini sangat tergantung pada ketersediaan dana di sekolah. Di samping itu terdapat kendala lain yaitu beban guru dalam mengajar dan keterbatasan waktu yang ada karena rasio guru dengan siswa yang belum ideal. 4. Pelaksanaan KBK dinilai sangat strategis untuk PLH karena selain terintegrasi dalam mata pelajaran juga membuka peluang untuk dikembangkan sesuai dengan output yang dikehendaki sekolah dan pengembangan potensi daerah setempat. Dengan demikian
pelaksanaan KBK dapat meningkatkan kompetensi siswa
khisusnya tentang lingkungan hidup. Akan tetapi dalam pelaksanaanya tergantung pada faktor lain seperti Kepala Sekolah, Kompetensi Guru, Komite Sekolah, Sarana dan Prasarana. 5. Sarana
dan Prasarana merupakan salah satu komponen yang dapat
meningkatkan PLH
akan tetapi memiliki ketergantungan dengan faktor lain
166 seperti tersedianya dana dan kompetensi guru. Sarana dan prasarana yang cukup akan dapat memberikan pengalaman belajar bagi siswa. Kondisi di lapangan menunjukkan
sarana dan prasarana di sekolah terbatas, selain itu dengan
kompetensi guru tentang lingkungan hidup yang terbatas sulit bagi guru untuk berkreatifitas dalam memanfaatkan potensi daerah setempat dalam pembelajaran lingkungan hidup. 6. Sosialisasi tentang pentingnya PLH melalui sarana sekolah maupun media masa secara terus menerus dapat meningkatkan kompetensi stakeholder pendidikan. Akan tetapi memiliki ketergantungan dengan komponen lain seperti ketersediaan dana untuk pelaksanaan sosialisasi.
167
1.60 Sosialisasi 1.40 Sarana Pras 1.20
Dana Inovasi Prog Keg LH
1.00
Pengaruh
Inform LH 0.80 Kerjasama Kelemb
MBS
Penghargaan Pres Rasio Guru Lomba Sekolah Sht Komite Sekolah Silabus
Pelaks KBK Pening Komp
Penamb Waktu Alat Evaluasi
Standar Komp
0.60
0.40
0.20
-
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
Ketergantungan
Gambar 5.7. Model PLH melalui KBK
1.20
1.40
168
Ke enam komponen di atas walaupun pengaruhnya besar dalam meningkatkan kompetensi siswa tetapi dalam kenyataannya
di lapangan
sulit dilaksanakan
mengingat ketergantungannya yang besar terhadap komponen-komponen lain seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Hasil Analisis Prospektif
juga menunjukkan bahwa terdapat 1 (satu)
komponen yang memiliki pengaruh yang kecil terhadap peningkatan kompetensi lingkungan hidup namun ketergantungan dengan komponen lain besar yaitu Rasio Guru dan Siswa yang ideal. Oleh sebab itu upaya untuk memenuhi rasio guru dan siswa yang ideal bukan langkah yang tepat. Disamping itu terdapat 8 (delapan) komponen yang memiliki pengaruh kecil tetapi ketergantungan juga kecil yaitu: 1. Informasi tentang
Lingkungan Hidup baik melalui media maupun yang
disampaikan langsung
ke sekolah akan kecil pengaruhnya jika tidak ada
kreatifitas dari guru untuk mengintegrasikan informasi tersebut dengan mata pelajaran yang diajarkan. Hal ini bisa terjadi mengingat tidak ada himbauan dan dukungan dari Kepala Sekolah.
Padahal informasi dapat diakses oleh siapapun
dengan dana yang tidak terlalu besar sehingga
dapat dikategorikan memiliki
ketergantungan yang kecil. 2. Pelaksanaan Lomba Sekolah seperti Sekolah Sehat, untuk mempersiapkan mengikuti lomba pada umumnya sekolah mengadakan penghijauan, kebersihan, dan kerapihan sekolah secara insidentil yaitu hanya dilakukan menjelang lomba dan kurang melibatkan siswa. Pada umumnya setelah lomba program untuk mendukung lingkungan hidup tidak dilaksanakan lagi, sehingga
pelaksanaan
lomba lingkungan hidup kecil pangaruhnya terhadap peningkatan kompetensi siswa. Disamping itu untuk mengikuti lomba sekolah tidak ada keharusan sehingga lebih menekankan pada keaktifan sekolah
dengan demikian tingkat
ketergantungannya tergolong kecil. 3. Silabus Mata Pelajaran yang mengintegrasikan pengetahuan tentang lingkungan hidup seperti yang telah dilaksanakna sejak Kurikulum 1994 hanya memberi pengaruh yang kecil karena materi yang diberikan lebih menekankan aspek pengetahuan yang kurang diaplikasikan di sekolah. Akibatnya selama ini belum
169 dapat memberikan dampak yang positif terhadap kompetensi
perilaku. Peranan
Silabus Mata Pelajaran di sekolah memiliki ketergantungan yang kecil karena sudah disusun oleh Depdiknas. 4. Komite Sekolah termasuk memiliki pengaruh yang kecil
karena standar
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar masih dapat berlangsung hanya dengan dukungan Pemerintah melalui Depdiknas.Disamping itu Komite Sekolah juga memiliki tingkat ketergantungan yang kecil karena aktifitasnya di sekolah tidak tergantung dengan komponen lain. Oleh sebab itu Komite Sekolah yang aktif mendukung program sekolah akan lebih memungkinkan untuk mengembangkan kompetensi siswa. 5. Penambahan Waktu Belajar untuk PLH termasuk memiliki pengaruh yang kecil terhadap kompetensi siswa jika waktu yang diberikan hanya bersifat pembekalan kompetensi pengetahuan.
Di samping itui termasuk memiliki ketergantungan
yang kecil karena pelaksanaannya dilakukan hanya melalui kesepakatan bersama antara guru dan kepala sekolah dengan cara memasukkan PLH dalam kegiatan ekstrakurikuler.. 6. Standar Kompetensi tentang Lingkungan Hidup termasuk memiliki pengaruh yang kecil karena standar kompetensi yang ada selama ini lebih menekankan pada aspek pengetahuan. Komponen ini memiliki ketergantungan yang kecil dengan komponen lain karena telah ditetapkan dari Depdiknas yang sebenarnya masih bisa dikembangkan sesuai dengan kondisi sekolah dan potensi daerah. 7. Alat Evaluasi tentang Lingkungan Hidup akan kecil pengaruhnya jika hanya menekankan aspek pengetahuan seperti yang
dilakukan selama ini, tetapi
ketergantungannya kecil karena guru dapat melakukan evaluasi sesuai dengan materi yang diajarkan. . 8. Kerjasama Kelembagaan termasuk kecil pengaruhnya terhadap siswa secara keseluruhan karena selama ini yang terjadi di lapangan hanya beberapa siswa saja yang dilibatkan. untuk mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh Lembaga tertentu. Selanjutnya untuk menentukan faktor yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa tentang lingkungan hidup dilakukan Analisis Prospektif.
Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui
faktor-faktor penting dalam sistem pendidikan di sekolah yang mendukung PLH seperti yang terdapat pada Gambar 5.7 yaitu :
170 1.
Manajemen Berbasis Sekolah yang mendukung PLH.
2.
Inovasi dalam metodologi pengajaran PLH.
3.
Kegiatan yang mendukung PLH. Hasil Analisis Prospektif
sebagian sesuai dengan Model Struktural dan
Elemen Kendala Utama. dimana faktor yang berperan dan yang menjadi kendala adalah MBS. Sedangkan faktor lainnya yang dapat dilaksanakan untuk mendukung PLH menurut hasil Analisis Prospektif adalah Inovasi dalam Metodologi Pengajaran dan Kegiatan yang Mendukung PLH. Model Kurikulum Berwawasan lingkungan (gambar 5.8) dibuat berdasarkan faktor penting dalam PLH melalui KBK, faktor kendala, dan langkah strategis, dan diagram input output.
Model di atas masih mengacu pada
KBK yang telah
dikembangkan menjadi KTSP. Akan tetapi diperlukan MBS yang mendukung program-program PLH. Melalui program-program yang disesuaikan dengan kondisi sekolah tersebut siswa.
diharapkan
Kepala sekolah juga
metodologi
dapat meningkatkan kompetensi lingkungan hidup perlu memotivasi guru untuk berinovasi dalam
belajar khususnya yang berkaitan dengan PLH, sedangkan langkah
strategis yang apat dilakukan adalah mengaktifkan siswa melakukan diskusi dalam kegiatan ekstrakurikuler yang berkaitan dengan lingkungan.
Selain itu sekolah
diharapkan dapat mencari solusi pemecahan faktor kendala yang termasuk pada input terkontrol. Sedangkan faktor kendala yang termasuk dalam input tak terkontrol perlu mendapat perhatian dari pemerintah terutama dalam kebijakan pemerintah masih top down, program kerja Tim Monotoring
dan Evaluasi,
yang
dan upaya
peningkatan pengetahuan masyarakat tentang lingkungan. Sedangkan partisipasi masyarakat dan peranan keluarga dalam PLH diharapkan akan terus meningkat jika masyarakat memahami pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
171
Input Lingkungan : 1. UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 2. UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 3 UU RI No 23 Tahun1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Input Tak Terkontrol: Kebijakan yang top down, Pengetahuan Masyarakat, Partisipasi Masyarakat, Peranan Keluarga, Tim Monitoring dan Evaluasi
Output yang diharapkan : siswa yang memiliki kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang lingkungan
Sistem PLH di sekolah yang memperhatikan faktor penting PLH yaitu: 1. MBS yang menekankan pendidikan lingkungan hidup 2. Kegiatan yang menukung PLH 3. Inovasi Metodologi Input Terkontrol: MBS, Sangsi, Beban Pelajaran, alokasi waktu PLH, akses informasi, materi PLH terintegrasi, kerjasama dengan instansi, Komite Sekolah, Sarana dan Prasarana, Penghargaan, Kompetensi Guru, Rasio Guru dan Siswa, Dana
Manajemen Pendidikan
Output yang tidak diharapkan : Siswa yang tidak memiliki kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang lingkungan
Gambar 5.8. Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan SMA
172
5.12. Skenario PLH melalui KBK Untuk dapat mengimplementasikan ke tiga faktor tersebut dalam pelaksanaan PLH
maka perlu disusun alternatif skenario pelaksanaan. Berdasarkan pendapat
Pakar terdapat 3 skenario yang dapat dijalankan dalam pelaksanaan PLH. Skenarioskenario tersebut disusun dan diurutkan dari yang pelaksanaannya optimis dilakukan dan memberikan pengaruh pada peningkatan kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku hingga yang pesimistis untuk dapat dilaksanakann, yaitu sebagai berikut: 1. Skenario ke Satu (Optimis Dilaksanakan dengan efisiensi dan efektifitas yang tinggi) MBS yang memperhatikan PLH dan disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi sekolah juga masyarakat sekitar tanpa meninggalkan issue global tentang lingkungan. Sebagian Program PLH diatur oleh Departemen Pendidikan Nasional dan wajib dilaksanakan dan yang lainnya diserahkan pada sekolah. Kegiatan Pendidikan Lingkungan Hidup dimasukkan dalam program intra dan ekstrakurikuler sekolah. Inovasi Metodologi Pengajaran yang menuntut siswa
berperan
aktif
seperti melalui diskusi, eksperimen, studi lapangan, teknologi informatika, audio visual, membuat karya dalam bentuk tulisan ilmiah, alat peraga maupun teknologi. Skenario ini optimis dilaksanakan mengingat pelaksanaan MBS di lapangan secara utuh masih menemui kendala. Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan, pemahaman dan perilaku tentang lingkungan hidup dari sumberdaya manusia di sekolah termasuk Kepala Sekolah.
Namun
kesulitan jika tanpa dilengkapi dengan
pelaksanaannya akan mengalami
Silabus Mata Pelajaran
dan Standar
Operasional Pelaksanaan (SOP) yang berkaitan dengan PLH dari Departemen Pendidikan Nasional.
Dengan adanya acuan yang ditetapkan dari Departemen
Pendidikan Nasional akan memudahkan sekolah untuk mengembangkan PLH sesuai dengan kondisi masyarakat. Disamping itu PLH yang dimasukkan dalam program intrakurikuler dengan diintegrasikan dalam materi pelajaran akan berpengaruh langsung kepada siswa. Hal tersebut disebabkan karena siswa merasa sangat berkepentingan untuk mendapatkan nilai yang dapat mencapai standar kelulusan atau Standar Kompetensi Batas Minimal (SKBM)
dengan parameter kompetensi
pengetahuan, sikap, dan perilaku. Agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik maka guru juga dituntut untuk secara aktif mencari inovasi metodologi pengajaran
173 dalam PLH. Departemen Pendidikan Nasional hendaknya juga memberikan contohcontoh metodologi sehingga akan memudahkan guru untuk mengembangkan dan menyesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada. Dalam skenario ini Pendidikan Lingkungan Hidup juga dimasukkan dalam ekstrakurikuler yang diselenggarakan sekolah karena intrakurikuler tidak dapat menampung semua kegiatan akibat keterbatasan waktu. Kegiatan ekstrakurikuler dan berkaitan dengan PLH juga akan efektif dalam pencapaian kompetensi. Skenario ini perlu didukung oleh masyarakat melalui Komite Sekolah. 2. Skenario 2 (Sulit Dilaksanakan ) MBS yang
memperhatikan PLH sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
sekolah serta masyarakat sekitar tanpa meninggalkan issue global tentang lingkungan. Departemen Pendidikan Nasional tidak berperan dalam PLH. Kegiatan yang mendukung PLH dimasukkan dalam program intra kurikuler sekolah.
Dengan
demikian seluruh siswa akan mengikuti PLH. Sekolah mengalokasikan waktu untuk PLH yang diintegrasikan dengan mata pelajaran maupun kegiatan-kegiatan intrakurikuler. Inovasi Metodologi Pengajaran yang menuntut siswa berperan aktif seperti melalui diskusi. Skenario ini dapat dilaksanakan jika sumberdaya manusia di sekolah dan Komite Sekolah memiliki komitmen dan kesadaran yang tinggi akan pentingnya PLH pada tingkat SMA. 3. Skenario 3 (Sangat Sulit Dilaksanakan) MBS yang memperhatikan PLH sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sekolah serta masyarakat sekitar tanpa meninggalkan issue global tentang lingkungan. Departemen Pendidikan Nasional tidak berperan dalam PLH. Kegiatan Pendidikan Lingkungan Hidup dimasukkan dalam program intra dan ekstra kurikuler sekolah. Inovasi Metodologi Pengajaran yang menuntut siswa berperan aktif seperti melalui diskusi, eksperimen, studi lapangan, teknologi informatika, audio visual, membuat karya dalam bentuk tulisan ilmiah, alat peraga maupun teknologi. Berdasarkan skenario ini sekolah mendapat otonomi secara utuh dalam membuat Silabus Mata Pelajaran
yang berkaitan dengan PLH tanpa intervensi Departemen Pendidikan
Nasional. Semua materi PLH disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan lokal yang diintegrasikan dalam mata pelajaran, disamping itu PLH juga dimasukkan dalam kegiatan ekstrakurikuler. Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan dalam Evaluasi dan Monitoring pelaksanaan.
174 Skenario ini
dapat dilaksanakan jika semua komponen sekolah terutama
sumberdaya manusia telah memiliki pengetahuan
dan pemahaman tentang
lingkungan hidup yang baik. Komite Sekolah secara aktif memberikan masukan kepada sekolah mengenai masalah lingkungan yang dihadapi masyarakat sehingga issue lokal dapat diangkat dalam materi pelajaran. Selain itu Komite Sekolah dapat memfasilitasi
kebutuhan
sekolah
dalam
penyelenggaraan
PLH.
Kegiatan
ekstrakurikuler yang mendukung PLH diselenggarakan sesuai dengan potensi dan kondisi setempat.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1
Hasil Analisis Kebijakan menunjukkan bahwa KBK belum dapat memberikan kompetensi siswa SMA tentang lingkungan.
Hal ini dimungkinkan karena
faktor-faktor pendukung PLH dalam KBK belum dilaksanakan sepenuhnya. Variabel yang menentukan kompetensi LH adalah Kondisi Sekolah. 2. Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan SMA desain dengan memperhatikan kendala utama, langkah strategis dan tiga faktor penting
dalam PLH. Faktor
kendala utama PLH dalam KBK adalah kebijakan Pemerintah yang dirasakan masih top down, MBS yang mendukung PLH belum sepenuhnya dilaksanakan, lemahnya Tim Monitoring dan Evaluasi khususnya untuk PLH. Sedangkan faktor kendala lainnya adalah kurangnya atau lemahnya faktor-faktor berikut: sangsi terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan PLH, materi PLH yang terintegrasi dengan mata pelajaran, alokasi waktu PLH, tingginya beban belajar, prasarana,
sarana
pendanaan, rasio guru dan siswa yang ideal, kerja sama dengan
Instansi, kerjasama dengan Komite Sekolah, akses informasi,
kompetensi guru
dalam pengembangan silabus mata pelajaran, penghargaan terhadap prestasi yang berkaitan dengan PLH,
pengetahuan masyarakat terhadap
lingkungan,
partisipasi masyarakat, serta peranan keluarga dalam PLH.. Langkah strategis yang dapat meningkatkan PLH adalah mengadakan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler dalam bentuk diskusi tentang lingkungan. dapat meningkatkan kompetensi lingkungan adalah
Faktor penting yang Manajemen Berbasis
Sekolah yang mendukung PLH, inovasi dalam metodologi mengajar PLH, serta program kegiatan yang mendukung PLH. 3. Implementasi Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan di SMA dapat dilaksanakan melalui tiga skenario 6.2. Saran Dalam rangka meningkatkan kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa SMA tentang lingkungan hidup,
Pemerintah perlu melakukan upaya
peningkatan kompetensi Kepala Sekolah tentang
lingkungan hidup sehingga
memahami pentingnya PLH untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, dalam menentukan kebijakan
Kepala Sekolah akan selalu berorientasi
176 pada aspek lingkungan hidup. Selain itu dalam pelaksanaan MBS diperlukan Tim Monitoring dan Evaluasi yang berkaitan dengan PLH termasuk faktor-faktor yang mendukung prasarana, lingkungan
terselenggaranya proses belajar mengajar PLH seperti sarana dan pendanaan, kurikulum, sumberdaya manusia, program kegiatan hidup,
kerjasama
kelembagaan,
dan
ketahanan
sekolah
tanpa
meninggalkan aspek akademis. Peningkatan mutu sekolah khususnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup perlu dilakukan dengan upaya percepatan, mengingat kondisi kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun. Hal tersebut dapat dilakukan menciptakan
dengan cara
iklim kompetisi antar sekolah yang berkaitan dengan PLH tanpa
meninggalkan aspek akademis. Dengan demikian masyarakat dapat menilai serta memilih sekolah sesuai dengan indikator dan output yang dihasilkan. Perlu langkah strategis untuk mengantisipasi tingginya lulusan SMA yang yang tidak melanjutkan
pendidikan dengan cara membatasi jumlah SMA dan
mengalihkan menjadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Hal ini
mengingat
sulitnya memberi muatan kecakapan hidup dalam bentuk ketrampilan dan perilaku secara bersamaan dengan target kompetensi pengetahuan untuk menyiapkan siswa SMA melanjutkan ke perguruan tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Alkarhami, S. K. 2000. Program PKLH Jalur Sekolah Kajian dari Kurikulum dan Hakekat Belajar Mengajar 26: 525-540.
Perspektif
Agus, C., Sukandarrumidi, Wintolo, D. 2005. Dampak Limbah Cair Hasil Pengolahan Emas Terhadap Kualitas Air Sungai dan Cara Mengurangi Dampak dengan Menggunakan Zeolit: Studi Kasus Penambangan Emas Tradisional di Desa Jendi Kecamatan Selogiri kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah. Manusia dan Lingkungan Vol VIII No. 13-19. Aminullah, E. 2004. Berpikir Sistemik untuk Pembuatan Kebijakan Publik, Bisnis, dan Ekonomi. PPM, Jakarta. Amstrong, P., Sharpley, B., dan Malcom, S. 2004. The Waste Wise Schools Program: Evidence of Educational, Environmental, Social and Economic Outcomes at the School and Community Level. Australian Journal of Environmental Education, vol 20 (2): 1-11. Asdak, C. 2002. Hutan dan Perilaku Aliran Air: Klarifikasi Keberadaan Hutan dan Pengaruhnya Terhadap Banjir dan Kekurangan Air. Manusia dan Lingkungan Vol VIII No 40-49. Bachtiar, S.A., Setiawan, B., Sunarto. 2003. Persepsi Perilaku Nelayan dalam Memanfaatkan Sumberdaya laut di Pulau Kodingareng, Sulawesai Selatan. Manusia dan Lingkungan Vol X No 3: 148-155. Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Baskervile, R. and Dulipovici, A. 2006. The Theoretical Foundation of Knowledge Management. Knowledge Management Research & Practice Vol 4 : 83-105. Baroroh, U.dan Utami, L. 2001. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah Terhadap Aliran Permukaan, Erosi, Kehilangan Hara, dan Penghasilan pada Usaha Tani Kentang dan Kubis. Manusia dan Lingkungan Vol VIII No 98-107. Berger, L.A. Sikora, M.J. Berger, D.R. 1994. The Change Management Handbook A Road Map to Coorporate Transformation. Irwin Professional Publishing. Chicago. Beauchamp, G.A. 1972. Curriculum Theory. Willmate, Illlinois: The Kag Press. Bloom, HL. 1983. Expanding Health Horizon from Generalsystem Concept of Health to A National Policy. Third Party Publishing Company, California.
178
Blackmore,C. 2007. What Kind of Knowledge, Knowing and Learning are Required for Adressing Resource Ilemmas ?: A Theorical Overview. Environmental Science and Policy (10): 512-525. Bouma, J. and Droogers, P. 2007. Translating Soil Science into Environmental Policy: A Case Study on Implementing The EU Soil Protection Strategy in The Netherlands. Environmental Science and Policy Vol 10: 454-465. Checkland and Scholes . 1990. Soft Systems Methodology in Action. Singapore: Jhon Wiley & Sons. Choo, C.W. 1998. The Knowing Organization How Organization Use Information to Construct Meaning, Create Knowledge, And Make Decisions. Oxford University Press, New York Oxford. Clarke, L. 1994. The Essence of Change. Prentice Hall International (UK) Ltd. Collins, K., Blackmore., Morris, D., Watson, D. 2007. A Systemic Approach to Managing Perspectives and Stakeholding in Water Catchments: Some Findings Form Three UK Case Studies. Environmental Science and Policy Vol 10: 305321. Cowie, A., Kirschbaum, M.U.F., Ward, M. 2007. Opption for Including all Lands in Future Greenhouse Gas Counting Framework. Environmental Science and Policy Vol 10: 536-550. Cowie A., Schneider, U.A., Montanarella, L. 2007. Potential Synergies between Existing Multilateral Environmental Agreements in The Implementation of Land Use, Land Use Change and Forestry Activities. Environmental Science and Policy Vol 10: 335-352. Corburn, J. 207. Community Knowledge in Environmental Health Science: Co Producing Policy Expertise. Environmental Science and Policy Vol 10: 159-161. Dangnga, M.S. 2001. Kajian Pengelolaan Kualitas Limbah Rumah Tangga di Kota Makassar. Manusia dan Lingkungan Vol VIII No 16-32. Dharoko, A. 2006. Respon Masyarakat terhadap Kegiatan Perbaikan Kampung; Kasus Kampung Kota di Yogyakarta. Manusia dan Lingkungan Vol 13 No 2006. 1-8. Departemen Pendidikan Nasional Tim Board Based Education. 2001. Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) Buku I. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Menengah Umum. 2002. Pola Induk Pengembangan
179 Program Penyelenggaraan Pendidikan Berwawasan Khusus di SMU. Pedoman Khusus Lingkungan Hidup. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup. 2002. Pedoman Pelaksanaan Program Sekolah Model Berbudaya Lingkungan. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Standar Kompetensi Mata Pelajaraan Biologi Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Standar Kompetensi Mata Pelajaraan Ekonomi Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Standar Kompetensi Mata Pelajaraan Fisika Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Standar Kompetensi Mata Pelajaraan Geografi Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Standar Kompetensi Mata Pelajaraan Kimia Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Standar Kompetensi Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Ekonomi SMA dan Madrasah Aliyah. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Standar Kompetensi Mata Pelajaraan Sosiologi Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Standar Kompetensi Mata Pelajaraan Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup. 2002. Pedoman Pelaksanaan Program Sekolah Model Berbudaya Lingkungan. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 2003.Greening School Program Sekolah Hijau untuk Tingkat Pendidikan Dasar, Lanjutan Pertama, dan Menengah.
180
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 2003. Sekolah Berbudaya Lingkungan (Sekolah Hijau). Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Tata Perkotaan Tata Pedesaan. 2003. Panduan Peserta Lokakarya Aser Green School. Central Program Support Unit. Dewan Riset Nasional. 2003. Tantangan dan Peluang Lingkungan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Drewent, R.G., Jenkin, M.E., Passant, N.R., Pilling, M.J. 2007. Reactivity Based Strategies for Potochemical Ozone Control in Europe. Environmental Science and Policy Vol 10: 445-453. Dilling, L. 2007. Toward Science in Support of Decission Making Characterizing in The Supply of Carbon Cycle Science. Environmental Science and Policy: 48-61 Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional 2003. Pengembangan Konsep PKLH pada Era Otonomi Daerah Akhir PKLH. Djajadiningrat, S T. 2001. Pemikiran Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Studio Tekno Ekonomi ITB Bandung. Djunaedi, J. Tahun XIX. Hubungan antara Pengetahuan Lingkungan dan Kepedulian terhadap Lingkungan dengan Motivasi Memelihara Lingkungan Hidup. Parameter. Dubravka and Kecmanovic, C. 2004. A Sensemaking Model of Knowledge in Organization: a Way of Understanding Knowledge Management and The Role of Information Technologies. Knowledge Management Research & Practice Vol 2 : 155-165. Dunn, W. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gajah Mada University Press. Dweyer. W. and Leeming, F.C. 1993. Critical Review of Behavior Intervention to Preserv The Environment Research Since 1980. Environmental and Behavior. Vol 25 (3) : 275-321. Eriyatno, 2003. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press, Bogor. Enoch, M. 2005. Pendekatan Pembelajaran Pengetahuan Sosial dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jurnal Ilmu Pendidikan Jilid 12 No 1: 26 -33.
181 Fitradi, Gunawan, T., Rijanto. 2005. Peranan Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove: Kasus Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Manusia dan Lingkungan Vol 12 No 1: 122-129. Fransisca, Y. 1997. Change Management : Upaya Menghidupkan Kembali Organisasi. Usahawan No. 11 Tahun XXVI November. Fujisaki, S. 1995. Development and Environment Experience of Japan and Industrializing Asia. Development and Environment Serries No. 1. Institut of Developing Economics. Tokyo, Japan. Gamba, R.J. and Oskam, S. 1994. Factor Influencing Community Residents Partisipation in Commingled Curbside Recycling Program. Environmental and Behavior. Vol 26 (5) : 587-612. Gaffar, M. F. Fungsi Manager Pendidikan dalam Mengelola Pendidikan di Daerah Otonom. Makalah Disampaikan pada Konferensi Nasional Manajemen Pendidikan di Hotel Indonesia, Jakarta 8 sampai 10 Agustus 2002. Gralton, A., Sinclair, M, Purnel, K. 2004. Change in Attitudes, Beliefs and Behavior: A Critical Review of Research into the Impacts of Environmental Education Initiatives. Australian Journal of Environmental Education, Vol 20(2). Griffin, C. 1983. Curriculum Theory in Adult and Lifelong Education. Croom Helm, London. Hall, GE dan Jones, HL. 1976. Competency Based Education: A Process for the Improvement of Education. Prentce-Hall, Inc., Englewood Cliffs, N.J. Hamel, G dan Prahalad, C. K. 1995. Kompetisi Masa Depan. Binarupa Aksara. Hamid, S H. 2000. Pendekatan Multikultural untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 026 Tahun ke 6. Herianto, E. 2004. Otonomi Guru Pada Era Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jurnal Ilmu Penidikan . Jilid 2 (1): 1-15. Haryadi dan Setiawan, B. 2002 Penyusunan Indikator-Indikator Keberlanjutan Kota di Indonesia Manusia dan Lingkungan Vol VIII No 113-139. Hartrisari. 2004. Kuliah Analisis Sistem. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Hartrisari, H dan Handoko. 2004. Batasan, Bentuk, Hierarki, dan Tujuan Model. Pelatihan Dosen tentang Teknologi Informasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam.
182
Heimlich. J.E., Braus,J., Olivolo,. Mc Kemon, R., and Smith, LB. 2004. Environmental Education an Preservice Teacher preparation: National Study. 2004. Winter 35 (2): 17-21. Hewindati. 2003. Pengintegrasian Materi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) untuk Siswa SLTP. Departemen Pendidikan Nasional. Hasan, H. 2000. Pendekatan Multikultural untuk Menyempurnakan Kurikulum Nasional . Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No 026 tahun ke 6 Oktober 2000. Hasan, Q., Machado,M., Tsukamoto, M., and Umemoto, K. 2006. Knowledge Creation for Science and Technology in Academia Laboratorios: Pilot Study. Knowledge Management Research & Practice Vol 4 : 162-169. Herianto, E. 2004. Otonomi Guru pada Era Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jurnal Ilmu Pendidikan Jilid II Nomor 1: 1-15. Hohne, N., Wartmann, S., Herold, A., Annete, F. 2007. The Rule of land Use, Land Use Change and Forestry under The Kyoto Protocol Lessons Learned for Future Cliomate Negotiations. Environmental Science and Policy Vol 10: 353-369. http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_Tingkat_Satuan_Pendidikan. 1 September 2007. Indrawan A. 2002. Latar Belakang Penyebab Kerusakan Sumberdaya Alam. Makalah dalam Workshop Penetapan Kriteria Perhitungan Biaya Kerusakan Sumberdaya Alam. Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Institut Pertanian Bogor. 2001. Evaluasi Proyek PKLH. Irham dan Mariyono, J. 2001. Perubahan Cara Pengambilan Keputusan Oleh Petani Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam Menggunakan Pestisida. Manusia dan Lingkungan Vol VIII No 91-97. Ison, R., Rolling, N., Watson, D. 2007. Chalanges to Science and Sosiety in the Sustainable Management and Use of Water: Investigating the Role of Social Learning. Environmental Science and Policy Vol 10: 499-511. Jacobus, R.J. 2004. Understanding Environmental Theology: Environment Educator. Spring 35 (3): 35 -41.
A Summary for
Jiggins, J., Slobbe , E.V., Rolling, N. 2007. The Organisation of Social Learning in Respons to Perceptions of Crisis in the Water Sector of The Netherland. . Environmental Science and Policy Vol 10: 516-536.
183 Kamdi, W. 2004. Paradigma Baru Pendidikan. Dosen FT dan Bekerja pada Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran Universitas Negeri Malang. Kompas. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Rencana Pembangunan Berkelanjutan. Kementerian Negara Lingkungan Hidup dengan Universitas Indonesia. 2006. Strategi Pelaksanaan Dekade Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Sumberdaya Air Kritis. Serasi Media Komunikasi Lingkungan. Kim, D. H dan Anderson, V. 1998. System Archetype Basic. Pegasus Communication Inc, USA. Klein, J.H. Connell, NAD. Meyer. 2005. Knowlege Characteristic of Community of Practice. Knowledge Management Research & Practice Vol 3 : 106-114. Kompas Senin 24 September 2007 halaman 23. Kehancuran Lingkungan: Taman Nasional Kutai Contoh Paling Mutahir. Kusuma, J. 2003. Rapat Kerja Pengembangan Konsep PKLH di Sekolah pada Era Otonomi Daerah, Bandung 31 Oktober sampai 1 November 2003. Kebijakan Pendidikan Lingkungan Strategi untuk Menumbuhkan Partisipasi Berbagai Pihak di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup. Kruse, KC dan Card, JA. 2004. Effect of Conservation Education Camp Program on Camper Self Reported Knowledge, Attitude and Behavior. Summer Vol (35) No 4 Lin, H. F. 2006. Impact of Organizational Support on Organizational Intention to Facilatate Knowlege Sharing. Personal. Knowledge Management Research & Practice Vol 4 : 26-35. Logar, N.J and Conant, R.T. 2007. Reconciling the Support of and demand for Carbon Cycle Science in U.S. Agricultural Sector. . Environmental Science and Policy: 48-61. Lucas, P., Vuuren, D. V.V. Oliver, J., G., J. , Mivhel G.J 2007. Long Term Reduction Potential of Non CO2 Greenhouse Gases. Environmental Science and Policy Vol 10: 85-103. Lyons E. and Breakwell, G.M. 1994. Factor Preicting Environmental Concern and Indifferrence in 13 to 16 Years Olds. Environmental an Behavior Vol 25 (1): 223-238.
184 Maani, K. E dan Cavana, R. Y. 2000. System Education. (15): 20-45.
Thinking and Modelling. Pearson
Maarif, M.S dan Tanjung, H. 2003. Manajemen Operasi. Grasindo, Jakarta. Maarif, M.S. 2004. Perkembangan Paradigma dan Teori Analisis Kebijakan. Kuliah Analisis Kebijakan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Mantja. W. 2000. Manajemen Penidikan dalam Era Reformasi. Jurnal Ilmu pendidikan. Jilid 2 no 2: 87-95. Marimin. 2004. Teknik Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo, Jakarta Marquardt, J. M. 1996. Building The Learning Organization A System Approach to Quantum Improvement and Global Success. Mc.Graw-Hill. Mardi. 2003. Knowledge Creating Organization Strategi Pengembangan Organisasi Masa Depan. Econosains Volume 1 No. 1 Maret. Mashudi. 1999. Menggusur Kurikulum Padat. Pendidikan dan Kebudayaan (18) 5: 1-9. Muhammadi. Aminullah, E. Soesilo, B. 2001. Analisis Sistem Dinamis Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Universitas Muhammadiyah Jakarta Press. Mulyasa, E. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah: Implementasi. PT Remaja Rosdakarya Bandung.
Konsep,
Strategi,
dan
Mulyasa, E. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Nonaka, I dan Takeuchi, H. University Press.
1991. The Knowledge Creating Company. Oxford
Ornstein, A.C. dan Hunkin, F.P. 1988. Curriculum Foundation, Principles and Issue. New Jersey Prentice-Hall Panda, A., Nitimulyo, KH., Djohan, T S. 2003. Akumulasi Merkuri Pada Ikan Baung ( Mytus nemurus) di Sungai Kahayan Kalimantan Tengah. Manusia dan Lingkungan Vol X No 3: 120-130 Parto, W. 1999. Memahami Analisis Kebijakan Kasus Reformasi Indonesia. Program Studi Pembangunan Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
185 Pawukir, E.S. dan Maryono, J. 2002. Hubungan Antara Penggunaan Pestisida dan Dampak Kesehatan Studi Kasus di Dataran Tinggi Sumatera Barat. Manusia dan Lingkungan Vol VIII No 126-139 Perhimpunan Cendekiawan Ilmu Lingkungan Se Indonesia. Reuni Akbar Alumni Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia 19 Februari 2005. Pidarta, M. 1988. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Powers, AL. 2004. An Evaluation of Four Place Based Education Programs. Summer Vol (35):4. Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. 2002. Kegiatan Belajar Mengajar. Departemen Pendidikan Nasional. Povellato, A., Bosello., F., Giupponi., C. 2007. Cost Effectiveness of Greenhouse Gases Mitigation Measures In The European Agro Forestry Sector: A Literatures Survey. Environmental Science and Policy Vol 10: 474-490 Rario, B., Kasto, Ritohardoyo, S. 2005. Persepsi dan Perilaku Petani dalam Penanganan Resiko Pestisida pada Lingkungan di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau Kota Palangkaraya. Manusia dan Lingkungan Vol 12 No 1 : 43-52. Republika, 23 Desember 2004. Warga Pekayon Hidup dengan Hiasan Limbah. Republika, Kamis 8 Desember 2005. Limbah Cair dari Sabun Cuci Memenuhi Pintu Air Pejompongan Tanah Abang Jakarta. Republika, 14 Desember 2004. Perburuan dan Perdagangan Satwa Liar Tak Ada Henti. Republika 17 Oktober 2007. Manusia Sebabkan Perubahan Iklim. Rapat Kerja Penyusunan dan Pengembangan Program PKLH Bandung 31 Oktober sampai dengan 2 Nopember 2003. Potensi BPG /LPMP Yogyakarta dalam Pengembangan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup PKLH. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Balai Penataran Guru LPMP Yogyakarta. Rich, JP dan Nielsen, OA. 2004. Assesment of Traffic Noise Impact. The International Journal of Environmental Studies 61 (1): 19-30. Risyanto dan Widyastuti, M. 2004. Pengaruh Perilaku Penduuk dalam Membuang Limbah terhadap Kualitas Air Sungai Gajah Wong. Manusia dan Lingkungan Vol IX No 2: 73-85.
186 Safitri D. 1998. Penguasaan Konsep Lingkungan Hidup Siswa SMUN 13 Jakarta. Program Pasca Sarjana. Program Studi Ilmu Lingkungan. Sahubawa, L. 2001. Dampak Pembuangan Limbah Terhadap Perubahan Kualitas Oseanografi Biofisik, Kimia dan Prouksi Ikan Teri ( Stolephorus spp.) di Perairan Laut Teluk Ambon. Manusia dan Lingkungan Vol VIII No 113-39. Sailah, I. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Pelatihan Pengembangan Sistem Pembelajaran Perguruan Tinggi. Institut Sains dan Teknologi Akprindo, Yogyakarta Bekerjasama dengan Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (Ditjen Dikti-Depdiknas). Saragih. 2000. Pendidikan Mengenai Lingkungan Hidup dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Ilmu Pendidikan Agustus (7): 186-193. Scott, D and Willits, F. 1994. Environmental Attitudes and Behavior. A Pennsylvania Survey. Environmental an Behavior Vol 25 (1): 239-260. Sevilla CG. Ochave, JA. Salam Twila TG, Regala BP, Uriarte E. 1993. Pengaturan Metode Penelitian Universitas Indonesia. Sedarmayanti. 2000. Restrukturisasi dan Pemberdayaan Organisasi untuk Menghadapi Dinamika Perubahan Lingkungan Ditinjau dari Beberapa Aspek Esensial dan Aktual. Mandar Maju, Bandung. Sclamadinger, B. Johns, T., Ciccarese, L., Mathias, B., Sato, A., Senyaz, A., Takashi, M., Zhang, X. 2007. Options For Including lan Use in A Climate Agreement Post 20012: Improving the Kyoto Protocol Approac. Environmental Science and Policy Vol 10: 295-305. Senge, P.M. 1990. The Fifth Dicipline The Art and Practice of The Learning Organization, New York, NY: Doubleday. Senge, P. M.1999. The Dance of Change. Doubleday New York. Sholahudin, A. 2001. Pembelajaran Mata Pelajaran IPA dalam Upaya Menumbuhkembangkan Sikap Positif terhadap Lingkungan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 32 (7): 25-39. Shi Jang Hsu. 2004. The Effect of An Environmental Education Program on Responsible Environmental Behavior and Associated Enviromental Literacy Variables in Taiwanese College Student. Winter Vol 35: No 2. Siburian, R. 2006. Antara Komitmen dan Implementasi Perilaku di Sekitar Kawasan Konservasi. Jurnal Masyarakat Indonesia LIPI Press Jilid XXXII No 1: 85-106.
187 Sevillano, Van Aragones, J. I. 2007. Perspectiva Taking, Environmental Concerní, an the Moerating Role of Dispositional Empathy. Environment and Behavior. Vol (5): 685-705 Siswosudarmo, M. Aminullah, E. Soesilo, B. 2004. Modul Praktikum Mata Kuliah Analisis Sistem dan Aplikasi Komputer. Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Skuts, M., Bird, N, Trines, E., Dutschake, M., Frumoff, P., De Jong, B.H.J., Laake, V.P., Masera., Muriyarso, D. 2007. Clearing the way for reucing emissions from Tropical Deforestation. Environmental Science and Policy Vol 10: 322-334. Soeharto, B. 1993. Pembinaan dan Pengembangan Perilaku Arif terhadap Lingkungan Hidup. Fakultas Ilmu Pendidikan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Soekmono, Dj. 1984. Kurikulum 1984. Analisa tahun VIII No 5: 360- 371. Soeriatmadja. 2004. Tantangan Perkembangan dan Pembaharuan Pendidikan IPA dan IPS Abad 20 ke Abad 21. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Soerjani, M. 1991. Kuliah Ekologi Pascasarjana. Pusat Studi Lingkungan Universitas Indonesia. Soerjani, M. 2005. Pengertian Dasar Lingkungan Hidup dalam Pelaksanaan Pendidikan. Reuni Akbar Alumni Ilmu Lingkungan Universistas Indonesia. Soemarwoto, O. 1981. Environmental Education and Research in Indonesia Universities. Maruzen Asia. Soesilo, T. E. B. 1997. Evaluasi Pelaksanaan Pendidikan Lingkungan Hidup di Sekolah Menengah Umum Plus DKI Jakarta (Studi Kasus di SMU Negeri 8 Jakarta). Universitas Indonesia. Sogoz, C.K. 2004. Aplikasi Teknik KBK di SMU Islam Al Azhar 4. Yayasan Pesantren Islam Al Azhar, Jakarta. Spies, M., Clayton, A.J. and Noormuhammaian, M. 2004. Knowlege Management in Decentralized Glogal Financial Services provier: Case Study With Allianz Group. Knowledge Management Research & Practice Vol 3 : 24-36. Steyaert, P., Brazman, M., Billaud, J.P., Brives, H., Hubert, B., Olliver, G., and Roche, B. 2007. The Role of Knowledge and Research in Facilitating Social Learning among Stakeholder in Natural Resources Management in The French Atlantic Coastal Wetlands. Environmental Science and Policy Vol 10: 536-550.
188 Steyaert, P and Jiggins, J. 207. Governance of Complex Environmental Situation Through Social Learning: A Synthesis of SLIM’s Lessons for Research, Policy and Practice. Environmental Science and Policy Vol 10: 575-586. Subandrio, E. dan Hadiyanto, D.N. 2001. Pengembangan Pendidikan Berbasis Daerah. Jurnal Ilmu Pendidikan Jilid 8 No 2: 118- 128. Sudarsono, Y., Yoga, G.P., Suryono, T. 2005. Kontaminasi Logam Berat di Sedimen: Studi Kasus Pada Waduk Saguling, Jawa Barat. Manusia dan Lingkungan Vol 12 No 1: 28-42. Sunaryo. 2002. Perilaku Ibu Rumah Tangga dalam Pengelolaan Lingkungan Rumah Tinggal. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. Suparno, P. Kompas 26 Oktober 2004. Calon Guru Tidak Profesional. Suriani. Tahun XIX. Efektifitas Manajemen Kelas Studi Korelasi antara Konsep Diri, Motivasi Berprestasi, Pengetahuan tentang Kompetensi Guru dengan Efektifitas Manajemen Kelas. Parameter : 1-19. Suroso. 2003. Menempatkan Guru Sebagai Agen Perubahan. Suara Pembaharuan. Suryadi, A. 2004. Otonomi Pendidikan dan Pengawasan. Forwas (17): 30-35. Syafar, A.W. 1995. Organisasi Belajar Suatu Tinjauan Teoritis. Usahawan (11) November tahun XXIV. Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta Tilbury, D. 2004. Rising to Chalange Eucation for Sustainability in Australia. Australian Journal of Environmental Education Vol 20 (2) : 103-113. Tim Broad Based Education. 2001.Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) Buku 1. Departemen Pendidikan Nasional. Todery, M., Powel, N. Sedaiu, G., Roggerro, P.P., Gibbon. 2007. Combining Social Learning With Agroecologidal Research Practice for More Effective Management of Nitrate Pollution. . Environmental Science and Policy Vol 10: 551-563. Thornton, G., Franz, M., Edward, D., pahlen., Nathanail. 2007. The Challenge of Sustainability: Incentives for Brownfield Regeneration in Europe. Environmental Science and Policy Vol 10: 116-134. Undang-undamg Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
189 Verma, P, George, K.V., Singh, H.V, Matthew, T.P, and Singh R.N. Stimulating Water Movement and Its Uptake by Plant Roots in Unsaturated Zones. The International Journal of Environmental Studies 61 (1): 39-48. www. men lh.go.id. Sejarah Pendidikan Lingkungan Hidup di Indonesia. 1 September 2007. Wahjoedi. 1990. Konsep dan Persoalan Pengembangan Pendidikan Konservasi Sumberdaya Alam di IKIP/FKIP. Seminar dan Lokakarya Pendidikan Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan IKIP Yogyakarta. Waspodo, A. 2003. Kebebasan Individu Sebagai Bentuk Komitmen Sosial. Econosain, Volume 1 No1. Weimer, D.L. dan Vinning, A.R. 1999. Policy Analysis: Concept and Practice (3rd Edition). Prentice Hall. Wieldansyah.2007. Hutan dan Fenomena Banjir Tahunan.Environmental Magazine.Vol 2 Willems, P. and De Lange. 2007. Concept of Technical Support to Science Policy Interfacing With to The Implementation of The European Water Framework Directive. Environmental Science and Policy Vol 10: 464-473. Wright, K. 2005 . Personal Knowlege Management: Supporting Iniviual Knowlege Worker Performance. Knowledge Management Research & Practice Vol 3: 156-165. Young, R. 1993 . Promoting Source Reduction Behavior The Role of Motivation Information. Environmental and Behavior Vol 25 (1): 70-141. Zahara T. 2002. Perilaku Berwawasan Lingkungan dalam Pembangunan Berkelanjutan Dilihat dari Keinovatifan dan Pengetahuan Tentang Lingkungan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan (36). Zais, R.S. 1976. Currícullum: Principles and Foundation. New Cork: Harper and Row Publisher. Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Bigraf Publishing.