Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI 614.407.2 Ind r
Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Provinsi Banten 2013.—Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.2013
ISBN 978-602-235-493-2 1. Judul I.HEALTH SERVICES – ORGANIZATION AND ADMINISTRATION II. HEALTH PLANNING III. HEALTH POLICY
Cetakan Pertama, Desember 2013
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang All rights reserved. Kementerian Kesehatan RI, Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Provinsi Banten Tahun 2013, Penulis : Sri Irianti dkk, Editor : Agus Suwandono, Anwar Musadad, Susilowati Herman Cet-1 Jakarta; Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes, 2013, 198 hlm. Uk. 21 cm x 29.7 cm
Diterbitkan oleh : Lembaga Penerbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Anggota IKAPI No. 468/DKI/XI/2013 Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560 Kotak Pos 1226 Telepon: (021) 4261088 pes. 224, (021) 4244228, Faksimile: (021) 4243933 Email:
[email protected]; Website: terbitan.litbang.depkes.go.id Didistribusikan oleh : Tim Riskesdas 2013 Copyright © 2013 pada Lembaga Penerbitan Balitbangkes Jakarta
Sanksi Pelanggaran Undang-undang Hak Cipta 2002 1. Barang siapa dengan sengaja tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
i
614.407 2 Ind r
POKOK-POKOK HASIL RISET KESEHATAN DASAR
PROVINSI BANTEN PENULIS : Sri Irianti, Andre Yunianto, Max J. Herman, Dwi Sisca Kumala Putri, Rini Sasanti Handayani, Mulyono Notosiswoyo, Dasuki, Oster Suriani Simarmata, Kristina Tobing, Sulistyowati Tuminah, Puguh Prasetyoputra, Rina Marina
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI TAHUN 2013 i
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga Riskesdas 2013 telah selesai dilaksanakan. Riskesdas merupakan kegiatan riset kesehatan dasar berbasis masyarakat, yang dilaksanakan secara berkala. Riskesdas menghasilkan indikator kesehatan yang dapat dimanfaatkan untuk perencanaan pembangunan kesehatan. Hasil akhir Riskesdas 2013 disajikan dalam dua buku yaitu buku 1: Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 dan buku 2: Riskesdas 2013 Dalam Angka. Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 berisi hasil analisis variabel utama pembangunan kesehatan, dilengkapi dengan filosofi, teori dan justifikasi pengumpulan variabel dan indikator. Riskesdas 2013 dalam Angka menyajikan hasil lebih rinci dalam bentuk tabel. Kedua buku ini merupakan satu kesatuan, pembaca disarankan membaca buku 1 untuk mendapatkan gambaran komprehensif mengenai Riskesdas dan buku 2 untuk memperoleh informasi lebih rinci. Analisis disajikan secara deskriptif dan kecenderungan untuk melihat perubahan indikator 2007 – 2013. Informasi kecenderungan dapat dimanfaatkan program untuk mengevaluasi strategi yang telah diterapkan, sehingga dapat diidentifikasi kemajuan kinerja provinsi dan perbaikan yang dibutuhkan. Laporan Riskesdas 2013 dapat diunduh melalui website Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan www.litbang.depkes.go.id Ucapan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Direktur Poltekkes, Pimpinan Perguruan Tinggi, Kepala Balitbangda, dan berbagai institusi yang membantu kelancaran Riskesdas 2013. Kontribusi semua pihak dari tahap persiapan, pembuatan instrumen, pengumpulan dan analisis data serta penulisan laporan sangat kami apresiasi. Ungkapan serupa juga kami tujukan kepada para koordinator wilayah beserta jajaran administratornya, para penanggung jawab operasional, para enumerator di lapangan, sehingga pelaksanaan Riskesdas 2013 dapat berjalan lancar. Semoga laporan ini dapat dimanfaatkan bagi para pembaca dan semoga Allah SWT melimpahkan barokah-Nya kepada kita. Wassalamu’alaikum wr.wb. Kepala Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat sebagai Koordinator Wilayah II Riskesdas 2013 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI
Dr. D. Anwar Musadad, SKM, M.Kes.
ii
SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI Assalamu’alaikum wr.wb. Dalam lima tahun terakhir ini Pembangunan Kesehatan telah diperkuat dengan tersedianya data dan informasi yang dihasilkan oleh Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas. Tiga Riskesdas telah dilaksanakan di Indonesia, masing–masing pada tahun 2007, 2010, dan 2013. Riskesdas 2013 berbasis komunitas, mencakup seluruh provinsi di Indonesia dan menghasilkan data serta informasi yang bermanfaat bagi para pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan. Dengan adanya data dan informasi hasil Riskesdas, maka perencanaan dan perumusan kebijakan kesehatan serta intervensi yang dilaksanakan akan semakin terarah, efektif dan efisien. Saya minta agar segenap pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan memanfaatkan data dan informasi yang dihasilkan Riskesdas dalam merumuskan kebijakan dan mengembangkan program kesehatan, demi terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi–tingginya. Saya juga mengundang para pakar perguruan tinggi, para pemerhati kesehatan, para peneliti Badan Litbangkes, dan para anggota APKESI (Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia) untuk mengkaji hasil Riskesdas 2013, guna mengindentifikasi asupan bagi peningkatan Pembangunan Kesehatan dan penyempurnaan Sistem Kesehatan Nasional. Dengan demikian dapat dikembangkan tatanan kesehatan yang semakin baik bagi Rakyat Indonesia. Ucapan selamat dan apresiasi saya sampaikan kepada para responden, enumerator, para penanggung jawab teknis Badan Litbangkes dan Poltekkes, para penanggung jawab operasional dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, para pakar dari universitas dan BPS, serta semua pihak yang terlibat dalam Riskesdas 2013 ini. Peran dan dukungan anda sangat penting dalam mendukung upaya menyempurnakan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi Pembangunan Kesehatan di negeri ini. Semoga buku ini bermanfaat. Billahitaufiq walhidayah, Wassalamu’alaikum wr. wb.
Jakarta, 1 April 2014 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Dr. dr. Trihono, MSc
iii
RINGKASAN HASIL RISKESDAS 2013 Laporan ini berisi hasil-hasil dari Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 (Riskesdas 2013) yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) untuk Provinsi Banten. Riskesdas merupakan Riset Kesehatan berbasis komunitas yang dirancang dapat berskala nasional, propinsi dan kabupaten/kota. Riskesdas dilaksanakan secara berkala dengan tujuan untuk melakukan evaluasi pencapaian program kesehatan sekaligus sebagai bahan untuk perencanaan kesehatan. Pada tahun 2007, Riskesdas pertama telah dilakukan, meliputi indikator kesehatan utama, yaitu status kesehatan (penyebab kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabilitas, dan status gizi), kesehatan lingkungan, konsumsi gizi rumah tangga, pengetahuan-sikap-perilaku kesehatan (Flu Burung, HIV/AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum alkohol, aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan) dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan (akses, cakupan, mutu layanan, pembiayaan kesehatan), termasuk sampel darah anggota rumah tangga (kecuali bayi) pada sub sampel daerah perkotaan (Balitbangkes, 2007). Pada tahun 2013 dilakukan kembali Riskesdas yang serupa dengan tahun 2007 yaitu dengan keterwakilan sampel hingga tingkat kabupaten/kota. Untuk pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut mewakili tingkat provinsi. Desain Riskesdas adalah potong-lintang (cross-sectional) dengan jumlah sampel sebanyak 6.775 rumah tangga dari 271 Blok Sensus (BS) yang berada di 8 kabupaten/kota. Jumlah rumah tangga pada setiap BS adalah 25 rumah tangga. Tidak semua rumah di semua BS dapat dikunjungi dan disurvei, maka response rate rumah tangga sebesar 6.679 rumah tangga (98,58%) dan individu sebesar 24.247 individu (92,27%). Pengumpulan data dilakukan oleh enumerator yang berlatarbelakang pendidikan minimal Diploma III Kesehatan dari kabupaten/kota di Provinsi Banten yang memenuhi syarat recruitment dan telah dilatih terlebih dahulu. Data yang telah dikumpulkan di masing-masing BS kemudian dimasukkan dalam program secara bertahap yang merupakan bagian dari sistem manajemen data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Data yang telah masuk ke dalam sistem manajemen data kemudian dibersihkan, diolah dan dianalisis secara deskriptif yang disajikan dalam dua buku. Buku 1 memuat tentang beberapa indikator dan variabel penting yang disajikan dalam bentuk gambar dan tabel, sedangkan semua variabel Riskesdas dalam tabel disajikan pada buku 2 yaitu Provinsi Banten dalam Angka (Riskesdas 2013). Hasil-hasil Riskesdas Provinsi Banten 2013 sebagai berikut: 1. Akses dan Pelayanan Kesehatan Akses dan pelayanan kesehatan meliputi pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas kesehatan dan keterjangkauan fasilitas kesehatan menurut moda transportasi berdasarkan kabupaten/kota, karakteristik tempat tinggal dan indeks kepemilikan aset. Untuk Provinsi Banten, 67,0 persen rumah tangga mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah, sedangkan rumah sakit swasta diketahui oleh 60,5 persen rumah tangga. Rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah tertinggi di Kota Serang (90,4%) sedangkan terendah di Kabupaten Tangerang (59,5%). Proporsi pengetahuan rumah tangga yang menggunakan berbagai moda transportasi sepeda motor menuju rumah sakit pemerintah berdasarkan tempat tinggal di perkotaan 42,1 persen dan perdesaan 27,9 persen. Rumah tangga yang menggunakan sepeda motor di perkotaan 58,8 persen dan perdesaan 50,8 persen, sedangkan yang jalan kaki di perkotaan 7,8 persen dan perdesaan 13,0 persen.
2. Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Bahasan Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) bertujuan mengetahui proporsi rumah tangga yang menyimpan obat untuk swamedikasi, proporsi rumah tangga yang memiliki pengetahuan benar tentang Obat Generik v
(OG) dan sumber informasi tentang OG. Terdapat 36,6 persen rumah tangga yang menyimpan obat untuk swamedikasi, terdiri dari obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-obat yang tidak teridentifikasi. Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras 28,8 persen dan antibiotika 21,3 persen. Rumah tangga yang menyimpan obat untuk keperluan swamedikasi, dengan proporsi tertinggi rumah tangga di Kota Tangerang Selatan (54,4%) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (20,2%). Dari 36,6 persen rumah tangga yang menyimpan obat, 82,3 persen rumah tangga menyimpan obat keras yang diperoleh tanpa resep dokter. Secara provinsi 50,9 persen rumah tangga menyimpan obat untuk persediaan, dan angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi rumah tangga yang menyimpan obat sisa resep (38,9%). Terdapat 37,8 persen rumah tangga yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG. Dari jumlah tersebut, sebagian besar (86,7%) tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang OG. Sebesar 83,6 persen rumah tangga mempunyai persepsi OG sebagai obat murah dan 71,6 persen obat program pemerintah. Sejumlah 42,5 persen rumah tangga mempersepsikan OG berkhasiat sama dengan obat bermerek. Persepsi tersebut perlu dipromosikan lebih gencar untuk mendorong penggunaan OG lebih luas dan lebih baik di masyarakat. Sejumlah 2.204 (33,0%) dari 6.679 rumah tangga di Provinsi Banten memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir. Jenis Yankestrad yang dimanfaatkan oleh rumah tangga terbanyak adalah keterampilan tanpa alat (78,4%) dan ramuan (40,7%). Proporsi rumah tangga dengan alasan utama ‘coba-coba’ cukup tinggi untuk Yankestrad keterampilan dengan pikiran (16,5%), perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya dampak negatif dari cara pengobatan yang belum terstandarisasi.
3. Kesehatan Lingkungan Lingkup kesehatan lingkungan meliputi air untuk keperluan rumah tangga, air minum, sanitasi, status kepemilikan rumah dan kondisinya. Data kondisi rumah meliputi jenis bahan bangunan, lokasi rumah dan kondisi ruang rumah, kepadatan hunian, jenis bahan bakar untuk penerangan dan memasak, serta penggunaan atau penyimpanan pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah. Di samping itu disajikan data perilaku rumah tangga dalam menguras bak mandi berkaitan dengan risiko penyebaran penyakit tular vektor (DBD dan malaria). Klasifikasi jenis sumber air minum digunakan kriteria Joint Monitoring Programme (JMP) antara WHO – UNICEF 2006. Menurut JMP tersebut, jenis sumber air minum dibagi menjadi dua kategori yaitu sumber air minum improved dan sumber air minum unimproved. Yang termasuk klasifikasi sumber air minum improved adalah ledeng/PDAM, sumur bor/pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung, dan penampungan air hujan (PAH). Sedangkan sumber air minum unimproved meliputi air kemasan (bottle water), air isi ulang, air dari tangki truk, sumur gali tak terlindung, dan mata air tak terlindung. Namun apabila rumah tangga tersebut menggunakan sumber air untuk keperluan lain seperti memasak dan untuk keperluan kebersihan diri (personal hygiene) menggunakan sumber air yang improved, maka air kemasan termasuk dalam klasifikasi sumber air minum improved. Pengertian “improved” tidak berarti lebih baik kualitas air minumnya, tetapi lebih menekankan pada keberlanjutan ketersediaan dan aspek ekonominya. Air kemasan maupun air isi ulang umumnya lebih mahal harganya daripada air ledeng/PDAM. Selanjutnya, proporsi akses air minum improved tersebut akan dibandingkan pula dengan target MDGs nasional pada tahun 2015 untuk air minum sebesar 68,87 persen, dengan rincian untuk perkotaan sebesar 75,29 persen dan perdesaan sebesar 65, 81 persen. Kota Tangerang Selatan paling tinggi proporsinya dalam memenuhi kebutuhan air minum dari sumber yang improved, yaitu sebesar 82,8 persen kemudian diikuti oleh Kabupaten Lebak (80,3%) dan Kabupaten Pandeglang (70,8%). Ke tiga kabupaten dan kota tersebut memiliki cakupan melebihi cakupan provinsi Banten yang hanya 65 persen.
vi
Bila dibandingkan dengan target nasional dalam mencapai tujuan ke 7 dari MDGs tentang akses rumah tangga terhadap air minum improved, ke tiga kabupaten dan kota tersebut di atas telah melampauinya, walaupun masih 2 tahun lagi dari target MDGs. Sebaliknya, ke lima kabupaten dan kota lainnya (Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Serang, Kota Cilegon, Kota Tangerang) masih ketinggalan, baik bila dibandingkan dengan proporsi Provinsi Banten maupun target MDGs. Di antara delapan kabupaten/kota di Provinsi Banten, seluruh rumah tangga di Kabupaten Lebak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi air bagi setiap anggotanya minimum 20 liter atau lebih perhari dan merupakan wilayah yang tertinggi. Sebaliknya, proporsi terendah adalah Kabupaten Tangerang yaitu sebesar 93,9 persen. Secara umum, proporsi kelompok dewasa laki-laki yang mengambil air semakin meningkat searah dengan meningkatnya indeks kepemilikan aset. Sebaliknya, proporsi kelompok dewasa perempuan yang tertinggi adalah pada kuintil terendah, dan menurun seiring dengan meningkatnya indeks kepemilikan aset. Hal ini mengindikasikan bahwa pada kelompok ekonomi terendah, beban perempuan dalam pengambilan air untuk keperluan rumah tangga masih tinggi. Dalam hal sanitasi dasar, Kota Tangerang Selatan merupakan wilayah yang paling besar dalam kepemilikan sanitasi improved (93,5%), sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Pandeglang (46,4%). Bila dibandingkan dengan target nasional MDGs bidang sanitasi (62,4%), Banten telah memenuhi target. Sedangkan kabupaten/kota yang memenuhi target adalah lima kabupaten /kota, yaitu Kota Tangerang Selatan (93,5%), Kota Cilegon (87,2%), Kota Serang (80,9%) Kota Tangerang (80,1%), dan Kabupaten Tangerang (64.4%). Pengelolaan sampah domestik yang baik belum merupakan upaya maksimal yang dilakukan oleh kabupaten/kota yang ada di Banten karena masih banyak rumah tangga yang membakar dan membuang sampahnya secara sembarangan. Hanya 1,8 persen rumah tangga perdesaan dan 48,5 persen di perkotaan yang mengelola sampahnya dengan baik.
4. Penyakit Menular Data penyakit menular yang dikumpulkan terbatas pada beberapa penyakit, yaitu penyakit yang ditularkan melalui udara (infeksi saluran pernapasan atas/ISPA, pneumonia, dan tuberkulosis paru), penyakit yang ditularkan oleh vektor (malaria), penyakit yang ditularkan melalui makanan, air, dan lewat penularan lainnya (diare dan hepatitis). Lima daerah dengan period prevalence ISPA tertinggi adalah Kabupaten Pandeglang (32,1%), Kabupaten Tangerang (29,1%), Kota Serang (28,7%), Kabupaten Serang (27,3%), dan Kota Tangerang (25,7%). Pneumonia ditanyakan pada semua penduduk untuk kurun waktu 1 bulan atau kurang dan dalam kurun waktu 12 bulan atau kurang. Period prevalence dan prevalensi tahun 2013 sebesar 1,5 persen dan 3,8 persen. Lima kabupaten/kota yang mempunyai Period prevalence dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Kabupaten Pandeglang (3,0% dan 5,7%), Kota Tangerang (2,3% dan 5,9%), Kota Serang (2,0% dan 4,4%), Kabupaten Serang (1,9% dan 4,0%), dan Kota Cilegon (1,8% dan 6,1%). Prevalensi penduduk Banten yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan (nakes) tahun 2013 adalah 0.4 persen. Kabupaten Serang adalah daerah dengan prevalensi TB paru tertinggi (0,9%) sedangkan dua daerah dengan prevalensi TB paru tertinggi berikutnya ada di Kabupaten Pandeglang dan Kota Serang dengan prevalensi masing-masing 0,6 persen. Prevalensi hepatitis Banten sebesar 0,7 persen. Dua daerah dengan prevalensi hepatitis tertinggi adalah Kabupaten Pandeglang (1,4%) dan Kota Cilegon (1,0%) sedangkan Period prevalence diare Banten 6,4 persen dan insiden diare untuk seluruh kelompok umur adalah 3,5 persen. Insiden malaria pada penduduk Banten adalah 1,4 persen sedangkan prevalensi malaria adalah 4,3 persen. Empat daerah dengan insiden dan prevalensi tertinggi adalah Kabupaten Pandeglang (4,4% dan 8,5%), Kota Cilegon (2,2% dan 7,1%), vii
Kota Tangerang (2,0% dan 6,3%) dan Kota Serang (1,7% dan 15,1%). Insiden dan prevalensi malaria terendah di Kabupaten Lebak (0,2% dan 1,1%). 5. Penyakit Tidak Menular (PTM) Prevalensi PTM merupakan gabungan kasus penyakit yang pernah didiagnosis tenaga medis/kesehatan dan kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM. Pada kanker, gagal ginjal kronis dan batu ginjal hanya berdasarkan yang terdiagnosis dokter. Prevalensi asma tertinggi terdapat di Kota Tangerang (6,6%), diikuti Kota Serang (5,6%), Kota Cilegon (4,9%), dan Kabupaten Pandeglang (4,2%). Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Kabupaten Pandeglang (4,6%), diikuti Kota Tangerang (3,5%), Kota Serang (3,0%), dan Kabupaten Tangerang (2,7%). Prevalensi kanker tertinggi terdapat di Kota Tangerang (2,4‰), diikuti Kota Tangerang Selatan (1,9‰), Kota Serang (1,7‰), Kabupaten Tangerang (0,8‰), dan Kabupaten Pandeglang (0,5‰). Prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah dan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Asma cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Pada penyakit kanker, prevalensi cenderung lebih tinggi pada pendidikan tinggi dan pada kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan teratas. Prevalensi diabetes (DM) dan hipertiroid di Banten berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar 1,3 persen dan 0,4 persen. DM terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 1,6 persen. Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi maupun yang terdiagnosis dokter dan gejala tertinggi terdapat di empat kabupaten/kota yang sama, yaitu Kota Cilegon (2,2% dan 2,8%), Kota Tangerang (1,8% dan 2,5%), Kota Tangerang Selatan (1,7% dan 1,9%) dan Kabupaten Tangerang (1,4% dan 1,7%). Sedangkan prevalensi hipertiroid tertinggi di Kota Tangerang dan Kota Cilegon (masing-masing 0,9%), Kota Serang (0,7%), dan Kota Tangerang Selatan (0,4%). Prevalensi hipertensi di Banten yang didapat melalui pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar 23,0 persen, tertinggi di Kota Tangerang (24,5%), diikuti Kabupaten Tangerang (23,6%), Kabupaten Pandeglang (23,2%) dan Kabupaten Lebak (22,7%). Prevalensi hipertensi di Banten yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan dan yang didiagnosis nakes serta minum obat masing-masing 8,6 persen. Jadi, responden yang terdiagnosis hipertensi oleh nakes seluruhnya minum obat sendiri. Prevalensi jantung koroner berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Banten sebesar 0,5 persen, dan berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 1,0 persen. Prevalensi jantung koroner berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Kota Tangerang Selatan (1,0%) diikuti Kota Serang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang masing-masing 0,8 persen, 0,7 persen, dan 0,6 persen. Sementara prevalensi jantung koroner menurut diagnosis dan gejala tertinggi di Kabupaten Pandeglang (2,2%) diikuti Kota Cilegon (2,1%), Kota Serang (1,3%) dan Kota Tangerang Selatan (1,2%). Prevalensi gagal jantung berdasar wawancara terdiagnosis dokter di Banten sebesar 0,09 persen dan yang terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 0,2 persen. Prevalensi gagal jantung berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Kabupaten Tangerang (0,20%), disusul Kota Tangerang Selatan (0,15%) dan Kabupaten Serang (0,07%). Prevalensi gagal jantung berdasarkan diagnosis dan gejala tertinggi di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan masing-masing 0,2 persen. Prevalensi stroke di Banten berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 5,1 permil dan yang terdiagnosis nakes dan gejala sebesar 9,6 permil. Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Kota Tangerang Selatan (7,7‰), diikuti Kabupaten Pandeglang (6,6‰), Kabupaten Lebak dan Kota Tangerang masingmasing 5,1 permil dan 5,0 permil. Prevalensi Stroke berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala tertinggi terdapat di Kabupaten Pandeglang (17,0‰),
viii
Kabupaten Serang (12,4‰), Kota Cilegon (9,7‰), diikuti Kota Tangerang sebesar 9,1 permil. Prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Prevalensi PJK tertinggi pada kelompok umur 65 -74 tahun yaitu 2,4 persen menurun sedikit pada kelompok umur 75 tahun ke atas. Berdasar tingkat pendidikan, prevalensi PJK tertinggi pada masyarakat dengan pendidikan paling tinggi (1,1% dan 1,5%). Begitu pula berdasar tingkat kepemilikan, prevalensi PJK tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan teratas yaitu 1,2 persen dan 1,4 persen. Berdasar PJK terdiagnosis dokter maupun berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala prevalensi lebih tinggi diperkotaan daripada diperdesaan. Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis nakes dan yang didiagnosis nakes dengan gejala, meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Prevalensi tertinggi pada umur 75 tahun ke atas (53,8‰ dan 91,7‰). Prevalensi yang terdiagnosis tenaga kesehatan lebih tinggi pada wanita (5,5‰ berbanding 3,8‰), demikian juga yang didiagnosis nakes dengan gejala lebih banyak pada kelompok perempuan daripada laki-laki (10,8‰ berbanding 8,4‰). Prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan diagnosis dokter di Banten sebesar 0,2 persen. Prevalensi tertinggi di Kabupaten Pandeglang sebesar 0,4 persen, diikuti oleh Kabupaten Serang (0,3%), Kabupaten Lebak dan Kota Tangerang Selatan masing-masing 0,2 persen. Sementara Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Serang masing–masing 0,1 persen. Prevalensi penderita batu ginjal berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Banten sebesar 0,4 persen. Prevalensi tertinggi di Kota Cilegon (0,9%), diikuti oleh Kabupaten Pandeglang (0,8%) dan Kota Tangerang (0,7%). Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan di Banten 9,5 persen dan berdasarkan diagnosis dan gejala 20,6 persen. Prevalensi berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Kabupaten Pandeglang (21,0%), diikuti oleh Kabupaten Lebak (13,0%), Kota Tangerang (9,5%) dan Kabupaten Serang (9,0%). Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis nakes dan gejala, tertinggi di Kabupaten Pandeglang (37,7%), diikuti oleh Kota Cilegon (22,6%) dan Kota Tangerang (22,4%). Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter tertinggi pada kelompok umur 45-54 tahun (0,4%) kemudian mengalami penurunan pada kelompok umur 55-64 tahun (0,2%) dan 65-74 taun (0,1%) namun kembali meningkat pada kelompok umur 75 tahun ke atas (0,2%). Prevalensi penyakit batu ginjal berdasarkan wawancara meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas (1,4%). Prevalensi lebih tinggi pada laki-laki (0,5%) dibanding perempuan (0,3%). Prevalensi tertinggi pada masyarakat tidak bersekolah (0,9%), masyarakat perdesaan (0,5%) serta masyarakat petani/nelayan/ buruh (0,6%) dan status ekonomi kuintil indeks kepemilikan terbawah (0,6%). Prevalensi penyakit sendi berdasarkan wawancara yang didiagnosis nakes meningkat seiring dengan bertambahnya umur, demikian juga yang didiagnosis nakes dengan gejala. Prevalensi tertinggi pada umur 75 tahun ke atas (37,9% dan 58,4%). Prevalensi yang didiagnosis nakes lebih tinggi pada perempuan (11,6%) dibanding laki-laki (7,4%) demikian juga yang didiagnosis nakes dengan gejala pada perempuan (24,2%) lebih tinggi dari laki-laki (17,1%).
6. Cedera
Prevalensi cedera menurut provinsi adalah 9 persen. Prevalensi cedera tertinggi ditemukan di Kota Serang (13,7%) dan terendah di Kota Tanggerang Selatan (3,0%). Kabupaten/ kota yang mempunyai prevalensi cedera lebih tinggi dari angka provinsi sebanyak lima kabupaten/kota. Penyebab cedera terbanyak yaitu kecelakaan sepeda motor (45,1%) dan jatuh (38,4%). Adapun penyebab cedera yang mempunyai angka proporsi lebih dari 0% ix
meliputi transportasi darat lain (7,5%), terkena benda tajam/tumpul (6,2%), kejatuhan (1,9%), terbakar (0,6%), gigitan hewan (0,1%) dan lainnya (0,2%). Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Kota Tangerang Selatan (60,1 persen) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (35,3%). Adapun untuk transportasi darat lain proporsi tertinggi terjadi di Kota Serang (10,7%) dan terendah ditemukan di Kabupaten Lebak (2,8%). Proporsi jatuh tertinggi di Kabupaten Lebak (46,5%) dan terendah di Kota Tangerang Selatan (23,0%). Proporsi tertinggi terkena benda tajam/tumpul terjadi di Kabupaten Serang (11,0%) dan terendah di Kabupaten Tangerang (3,6%). Penyebab cedera karena terbakar ditemukan proporsi tertinggi di Kota Serang (1,4%) dan terendah (tanpa kasus) di Kabupaten Lebak, Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan. Untuk penyebab cedera karena gigitan hewan tertinggi terjadi di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang (0,5%) dan terendah (tanpa kasus) terjadi di 5 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Lebak, Kota Cilegon, Kota Tangerang, Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan. Proporsi kejatuhan tertinggi ditemukan di Kabupaten Pandeglang (3,3%) dan terendah (tanpa kasus) di Kota Tangerang Selatan. Secara provinsi, cedera terjadi paling banyak di jalan raya yaitu 42,4 persen selanjutnya di rumah (40,9%), sekolah (5,5%) dan olahraga (3,8%). Kabupaten/ kota yang memilki angka proporsi tempat cedera di rumah dan sekitanya tertinggi adalah Kabupaten Serang (49%) dan terendah di Kota Tangerang Selatan (24,7%). Adapun untuk proporsi tempat cedera di sekolah tertinggi di Kota Cilegon (8,5%) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (1,9%). Tempat kejadian cedera di jalan raya mempunyai proporsi paling tinggi dibandingkan dengan tempat yang lain. Kabupaten/kota yang mempunyai proporsi tempat kejadian cedera di jalan raya yang melebihi angka provinsi sebanyak 4 kabupaten/ kota Proporsi kejadian cedera di jalan raya terbanyak di Kota Tangerang Selatan (56,1%) dan terendah di Kabupaten Serang (29,2%). Kejadian cedera di tempat umum dan industri, proporsinya tampak lebih kecil dibandingkan tempat lain. Sedangkan proporsi di area pertanian menunjukkan angka proporsi yang sangat melebihi angka provinsi (3,3%) yaitu 10,6 persen, terjadi di Kabupaten Pandeglang dan terendah di Kota Tangerang (tanpa kasus). Berdasarkan tempat tinggal, mayoritas proporsi tempat kejadian cedera pada perkotaan lebih tinggi dibanding perdesaan, kecuali pada area pertanian dan tempat terjadinya cedera lainnya. Menurut kuintil indeks kepemilikan tampak bahwa mayoritas kecenderungan proporsi semakin tinggi seiring dengan status ekonomi, kecuali pada tempat kejadian di area pertanian yang menunjukkan sebaliknya, yaitu dengan semakin tinggi tingkat ekonominya kejadian cedera di tempat tersebut semakin rendah. Sedangkan untuk tempat kejadian selain tempat-tempat tersebut menunjukan pola yang tidak teratur.
7. Kesehatan Gigi dan Mulut
Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas sebagian besar (97,1%) menyikat gigi setiap hari. Daerah dengan proporsi tertinggi adalah Kota Tangerang Selatan (98,9%) dan terendah Kabupaten Serang (95,3%). Sebagian besar penduduk juga menyikat gigi pada saat mandi pagi, yaitu sebesar 96,9 persen dengan urutan tertinggi di Kabupaten Pandeglang sebesar 98,3 persen, dan yang terendah di Kota Cilegon sebesar 95,6 persen. Sebagian besar penduduk menyikat gigi setiap hari saat mandi pagi atau mandi sore. Kebiasaan yang keliru hampir merata tinggi di seluruh kelompok umur. Kebiasaan benar menyikat gigi penduduk Banten hanya 1,5 persen, Kota Tangerang Selatan tertinggi untuk perilaku menyikat gigi dengan benar yaitu 4,5 persen. Indeks DMF-T merupakan penjumlahan dari komponen D-T, M-T, dan F-T yang menunjukkan banyaknya kerusakan gigi yang pernah dialami seseorang, baik berupa Decayed/D (merupakan jumlah gigi permanen yang mengalami karies dan x
belum diobati atau ditambal), Missing/M (jumlah gigi permanen yang dicabut atau masih berupa sisa akar), dan Filled/F adalah jumlah gigi permanen yang telah dilakukan penumpatan atau ditambal. Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi permanen. Indeks DMF-T Indonesia sebesar 3,7 dengan nilai masing-masing: D-T=1,6; M-T=2,0; F-T=0,09; yang berarti kerusakan gigi penduduk Indonesia 370 buah gigi per 100 orang. 8. Disabilitas
Kuesioner disabilitas dikembangkan oleh WHO untuk mendapatkan informasi sejauh mana seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, tempat kerja, sekolah atau area sosial lain, hal yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan melakukan aktivitas rutin. Sebanyak 5,9 persen penduduk Banten mengalami kesulitan berdiri dalam waktu lama, Kesulitan untuk berjalan jauh dialami oleh 5,7 persen penduduk banten, dan 5,1 persen penduduk Banten. Prevalensi penduduk Banten dengan disabilitas sedang sampai sangat berat sebesar 5,1 persen, bervariasi dari yang tertinggi di Kota Cilegon (9,9%) dan yang terendah di Kota Tangerang Selatan (2,6%). Rerata hari produktif hilang adalah rerata lama hari seseorang tidak dapat berfungsi optimal dalam satu bulan, karena disabilitas. Rata–rata penduduk Banten tidak dapat berfungsi optimal selama 5,1 hari. Rerata hari produktif hilang tertinggi di Kabupaten Lebak (8,7 hari) dan terendah di Kota Serang (3,2 hari).
9. Kesehatan Jiwa
Indikator kesehatan jiwa yang dinilai pada Riskesdas 2013 antara lain gangguan jiwa berat, gangguan mental emosional serta cakupan pengobatannya. Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham, gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya agresivitas atau katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis dan salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia. Prevalensi gangguan jiwa berat di Banten sebesar 1,1 permil masih di bawah prevalensi gangguan jiwa berat nasional (1,7‰). Prevalensi gangguan jiwa berat berdasarkan tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan dipaparkan pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Proporsi rumah tangga yang pernah memasung anggotanya yang mengalami gangguan jiwa berat sebesar 10,3 persen dan terbanyak di perdesaan. Rumah tangga yang melakukan tindakan pemasungan terbanyak pada kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah.
10. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Perilaku higienis yang dikumpulkan meliputi kebiasaan/perilaku buang air besar (BAB) di jamban dan perilaku mencuci tangan dengan air dan sabun. Rerata perilaku BAB di jamban di Provinsi Banten adalah 83,3 persen. Proporsi terendah ada di Kabupaten Lebak (62,6%) dan tertinggi adalah Kota Tangerang Selatan (99,7%). Proporsi perilaku cuci tangan secara benar di Provinsi Banten adalah 48,3 persen, dengan proporsi terendah ada di Kabupaten Pandeglang (28,5%) dan tertinggi Kota Tangerang Selatan (78,5%). Proporsi perokok saat ini di Banten sebesar 31,3 persen. Proporsi perokok saat ini terbanyak di Kabupaten Pandeglang dengan perokok setiap hari 31,5 persen dan kadang-kadang merokok 3,3 persen. Proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari tertinggi ada pada kelompok umur 50-54 tahun (35,9%) dan terendah 10-14 tahun (0,4%). Proporsi perokok setiap hari pada laki-laki lebih banyak di bandingkan perokok perempuan (49,9% banding 1,2%).
xi
Rerata batang rokok yang dihisap per orang per hari di Banten adalah 12,3 batang (setara satu bungkus). Jumlah rerata batang rokok terbanyak yang dihisap ditemukan di Kota Serang (13 batang). Dalam Riskesdas 2013 indikator yang dapat digunakan untuk PHBS berbeda dengan indicator PHBS pada Riskesdas 2007, yaitu sesuai dengan kriteria PHBS yang ditetapkan oleh Pusat Promkes pada tahun 2011. Secara umum proporsi rumah tangga dengan PHBS baik di Banten adalah 34,2 persen, dengan proporsi tertinggi adalah Kota Tangerang Selatan (56,1%) dan terendah Kabupaten Lebak (12,7%).
11. Pembiayaan Kesehatan
Hasil Riskesdas menunjukkan 54,5 persen penduduk Banten belum memiliki jaminan kesehatan. Askes/ ASABRI dimiliki oleh sekitar 4,8 persen penduduk, asuransi kesehatan swasta sebesar 3,7 persen, tunjangan kesehatan perusahaan sebesar 4,3 persen dan kepemilikan Jamkesda sebesar 2,9 persen. Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesmas (23,9%) dan Jamsostek (8,7%). Dari data tersebut juga menyiratkan adanya kepemilikan jaminan lebih dari satu jenis jaminan untuk individu yang sama. Kepemilikan jaminan kesehatan menurut status pekerjaan menunjukkan kelompok tertinggi yang tidak memiliki jaminan adalah kelompok wiraswasta (66,8%), sedangkan yang terendah adalah pegawai (40,2%). Kelompok wiraswasta ini terdiri dari pedagang besar ataupun eceran, sedangkan untuk kelompok pegawai terdiri dari pegawai formal ataupun non formal. Sebanyak 49,4 persen kelompok petani/nelayan dan buruh masih belum memiliki jaminan kesehatan apapun, sementara bagi yang telah memiliki jaminan sebagian besar adalah Jamkesmas atau Jamsostek. Sedangkan bagi penduduk yang tidak bekerja 54,5 persen diantaranya belum memiliki jaminan. Penduduk daerah perdesaan lebih banyak yang mengobati sendiri dengan cara membeli obat di toko obat atau di warung (29,9%) dari pada perkotaan (26,6%). Sebaliknya dari segi biaya, median biaya yang dikeluarkan perkotaan lebih besar, yaitu sebesar Rp.3.000, lebih besar dari angka provinsi (Rp.2.000). Di perdesaan, median biaya yang dikeluarkan untuk mengobati sendiri dengan membeli obat sebesar Rp.1.500,-. Sebanyak 9,7 persen penduduk Banten dalam satu bulan terakhir melakukan rawat jalan dan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.50.000,-. Penduduk Kota Cilegon merupakan daerah tertinggi yang melakukan rawat jalan (15,2%) dengan median biaya sebesar Rp.50.000. Penduduk Kota Tangerang Selatan merupakan yang terendah dalam pemanfaatkan fasilitas rawat jalan (4,2%) namun dengan pengeluaran rerata sebesar Rp.120.000 yang juga merupakan pengeluaran tertinggi jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya.
12. Kesehatan Reproduksi
Proporsi penggunaan KB saat ini di Banten 61,4 persen. Proporsi penggunaan KB terendah di Kota Tangerang Selatan (50,6%) dan tertinggi Kabupaten Lebak (71,1%). Sedangkan proporsi WUS kawin yang tidak pernah menggunakan KB tertinggi di Kota Serang (12,2%) dan terendah di Kota Cilegon (7,7%). Kelompok KB hormonal terdiri dari KB modern jenis susuk, suntikan dan pil sedangkan kelompok non hormonal adalah sterilisasi pria, sterilisasi wanita, spiral/IUD, diafragma dan kondom. Proporsi penggunaan KB hormonal paling tinggi di Kabupaten Lebak (67,4%) dan paling rendah di Kota Tangerang Selatan (38,9%). Sementara untuk proporsi alat KB non hormonal paling tinggi di Kota Serang (11,5%) dan paling rendah di Kabupaten Pandeglang (2,8%). Sebanyak 95,6 persen dari kelahiran mendapat ANC (K1). Persentase K1 dan ANC minimal 4 kali merupakan indikator ANC tanpa memperhatikan periode trimester saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Cakupan K1 bervariasi dengan rentang antara 90,8 persen (Kabupaten Pandeglang) dan 99,7 persen (Kota Cilegon). xii
Namun untuk ANC minimal 4 kali, Kota Tangerang Selatan (94,6%) merupakan wilayah dengan cakupan paling tinggi dibanding wilayah lainnya. Bidan merupakan tenaga kesehatan yang paling berperan (88,4%) dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu hamil dan fasilitas kesehatan yang banyak dimanfaatkan ibu hamil adalah praktek bidan (55,5%), Posyandu (17,7%) dan Puskesmas/Pustu (10,2%). Sebagian besar persalinan ditolong oleh bidan (65,4% dan 62,0%). Sehingga penolong linakes (persalinan dengan tenaga kesehatan) untuk kualifikasi tertinggi sebesar 84,1 persen dan kualifikasi terendah adalah 76,3 persen.
13. Kesehatan Anak dan Imunisasi
Persentase BBLR di Banten (9,7%) dengan persentase BBLR tertinggi terdapat di Kabupaten Serang (14,4%) dan terendah di Kota Tangerang dan Kota Cilegon masing-masing sebesar (6,0%). Cakupan imunisasi dasar lengkap bervariasi antar kabupaten/kota, yaitu tertinggi di Kota Tangerang (69,7%) dan terendah di Kabupaten Serang (13,3%). Secara provinsi, terdapat 10,4 persen anak 12-23 bulan yang tidak pernah mendapatkan imunisasi dengan persentase tertinggi di Kota Serang (23,1%) dan terendah di Kota Tangerang, tanpa kasus. Persentase imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (53,1%) daripada di perdesaan (29,9%) dan terdapat 14,9 persen anak umur 12-23 bulan di perdesaan yang tidak diberikan imunisasi sama sekali. Persentase kunjungan neonatal pada 6-48 jam adalah 67,0 persen, kabupaten/kota dengan persentase KN1 tertinggi adalah Kota Tangerang (84,9%) dan terendah di Kabupaten Serang (43,5%). Frekuensi penimbangan > 4 kali pada tahun 2013 cukup tinggi yaitu sebesar 35,9%. Anak umur 6-59 bulan yang tidak pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir sedikit lebih rendah (33,9%) begitu pula dengan frekuensi penimbangan 1-3 kali (30,2%). Persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0 - 11 tahun di perkotaan sebesar 76,8% lebih rendah daripada di perdesaan (83,8%). Sedangkan menurut kuintil indeks kepemilikan tampak persentase tertinggi pernah disunat pada anak perempuan usia 0 - 11 tahun pada kuintil menengah bawah dan terendah pada kuintil teratas (64,7%).
14. Status Gizi
Di Provinsi Banten, prevalensi berat-kurang (underweight) pada balita sebesar 17,2 persen, terdiri dari 4,3 persen gizi buruk dan 12,9 persen gizi kurang. Prevalensi berat-kurang Provinsi Banten lebih rendah jika dibandingkan dengan angka prevalensi berat-kurang nasional tahun 2013 (19,6%). Prevalensi balita berat-kurang tertinggi ialah di Kabupaten Serang (24,4%) dan terendah di Kota Tangerang (10,9%). Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi berat-kurang antara 20,0 - 29,0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥ 30 persen. Pada tahun 2013, prevalensi gizi berat-kurang pada anak balita di Provinsi Banten sebesar 17,2 persen, yang berarti masalah gizi berat-kurang di Provinsi Banten masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena mendekati prevalensi tinggi. Prevalensi balita pendek di Provinsi Banten sebesar 33 persen, yang terdiri dari 16,4 persen sangat pendek dan 16,6 persen pendek. Prevalensi balita pendek di Provinsi Banten lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi pendek nasional (37,2%). kabupaten/kota dengan prevalensi balita pendek tertinggi ialah Kabupaten Pandeglang (38,6%) dan terendah ialah Kota Tangerang (28,6%).
xiii
15. Kesehatan Indera
Data yang dikumpulkan untuk mengetahui indikator kesehatan mata pada Riskesdas 2013 meliputi pengukuran tajam penglihatan menggunakan kartu tumbling-E (dengan dan tanpa pin-hole) pada responden umur 6 tahun keatas serta pemeriksaan segmen anterior mata terhadap responden semua umur. Keterbatasan pengumpulan data visus adalah tidak dilakukannya koreksi visus, tetapi dilakukan pemeriksaan visus tanpa pin-hole dan jika visus tidak normal (kurang dari 6/6 atau 20/20) dilanjutkan dengan pemeriksaan dengan pin-hole, seperti yang dilakukan saat Riskesdas 2007. Prevalensi kebutaan Provinsi Banten pada Riskesdas 2013 sebesar 0,3 persen. Angka ini lebih rendah dari prevalensi kebutaan nasional (0,4%). Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas tertinggi ditemukan di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak, masing-masing 1,1%, diikuti Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon dan Kota Serang (masing-masing 0,4%) dan terendah ditemukan di Kabupaten Serang dan Kabupaten Lebak (masing-masing 0,2% dan 0,1%). Prevalensi severe low vision pada usia produktif (15-54 tahun) sebesar 1,0 persen dan prevalensi kebutaan sebesar 0,3 persen. Prevalensi severe low vision dan kebutaan meningkat pesat pada penduduk kelompok umur 54 tahun keatas dengan rata-rata peningkatan sekitar dua sampai tiga kali lipat setiap 10 tahunnya. Prevalensi severe low vision dan kebutaan tertinggi ditemukan pada penduduk kelompok umur 75 tahun keatas sesuai peningkatan proses degeneratif pada pertambahan usia.
xiv
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................................................. i KATA PENGANTAR ............................................................................................................... ii SAMBUTAN ......................................................................................................................... iiii RINGKASAN HASIL RISKESDAS 2013 ................................................................................ iv DAFTAR ISI ......................................................................................................................... xv DAFTAR TABEL.................................................................................................................xviii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................. xxi Daftar Singkatan................................................................................................................ xxvi BAB 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang .................................................................................................................. 1
1.2
Ruang lingkup Riskesdas 2013 ........................................................................................ 2
1.3
Pertanyaan Penelitian ....................................................................................................... 2
1.4
Tujuan Riskesdas 2013 .................................................................................................... 2
1.5
Kerangka Pikir ................................................................................................................... 3
1.6
Alur Pikir Riskesdas 2013 ................................................................................................. 4
1.7
Pengorganisasian Riskesdas 2013 .................................................................................. 6
1.8
Manfaat Riskesdas 2013 .................................................................................................. 6
1.9
Persetujuan Etik Riskesdas 2013 ..................................................................................... 7
BAB 2
METODOLOGI RISKESDAS 2013 .......................................................................... 8
2.1
Disain ................................................................................................................................ 8
2.2
Lokasi ................................................................................................................................ 8
2.3
Populasi dan Sampel ........................................................................................................ 8
2.4
Variabel ............................................................................................................................. 9
2.5
Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data ...................................................... 10
2.6
Manajemen Data ............................................................................................................. 10
2.7
Keterbatasan Riskedas 2013 .......................................................................................... 13
2.8
Pengolahan dan Analisis Data ........................................................................................ 13
2.9
Gambaran Umum Provinsi Banten ................................................................................. 13
BAB 3
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................................15
3.1
Akses dan Pelayanan Kesehatan ................................................................................... 15
3.2
Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional ............................................................. 21
3.3
Kesehatan Lingkungan ................................................................................................... 30
3.4
Penyakit Menular ............................................................................................................ 53
3.5
Penyakit Tidak Menular................................................................................................... 67
3.6
Cedera............................................................................................................................. 80
3.7
Kesehatan Gigi dan Mulut............................................................................................... 90
3.8
Disabilitas ........................................................................................................................ 98
3.9
Kesehatan Jiwa ............................................................................................................. 101
xv
3.10
Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku ............................................................................... 105
3.11
Pembiayaan Kesehatan ................................................................................................ 117
3.12
Kesehatan Reproduksi .................................................................................................. 129
3.13
Kesehatan Anak dan Imunisasi .................................................................................... 143
3.14
Status Gizi ..................................................................................................................... 165
3.15
Kesehatan Indera .......................................................................................................... 178
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................191 LAMPIRAN .........................................................................................................................194
xvi
DAFTAR TABEL Tabel 2.3.1 Distribusi rumah tangga dan anggota rumah tangga sampel kesehatan masyarakat yang dapat dikunjungi (response rate) menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................................................................................................................ 9 Tabel 3.2.1 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan rerata jumlah obat yang disimpan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ................................................... 22 Tabel 3.2.2 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis obat yang disimpan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ....................................................................................... 22 Tabel 3.2.3 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ................................................................... 23 Tabel 3.2.4 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ....................................................................................... 23 Tabel 3.2.5 Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat yang disimpan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ....................................................................................... 24 Tabel 3.2.6 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG ) menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .................................... 25 Tabel 3.2.7 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG ) menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ......................................... 25 Tabel 3.2.8 Proporsi rumah tangga berdasarkan persepsinya tentang obat generik (OG ) menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ........................................................................ 26 Tabel 3.2.9 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat generik (OG) menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ........................................................................ 26 Tabel 3.2.10 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .......................................................................................................................... 28 Tabel 3.2.11 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 .......................................................................................................................... 28 Tabel 3.2.12 Proporsi rumah tangga berdasarkan alasan utama terbanyak memanfaatkan Yankestrad, Provinsi Banten 2013 ........................................................................................ 29 Tabel 3.3.1 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber energi untuk penerangan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ........................................................................ 47 Tabel 3.4.1 Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi pneumonia menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ................................................ 54 Tabel 3.4.2 Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi pneumonia menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 .................................................... 56 Tabel 3.4.3 Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ................................................................................ 57 Tabel 3.4.4 Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ...................................................................................... 58 Tabel 3.4.5 Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ................................................................... 60 Tabel 3.4.6 Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ........................................................................ 61 Tabel 3.4.7 Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .......................................................................................................................... 62 Tabel 3.4.8 Insiden dan prevalen malaria menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ......... 63 Tabel 3.4.9 Insiden dan prevalen malaria menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 .............. 64
xvii
Tabel 3.4.10 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .......................................................................................................................... 65 Tabel 3.4.11 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ....................................................................................................................................... 66 Tabel 3.5.1 Prevalensi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .......................................................................................................................... 68 Tabel 3.5.2 Prevalensi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 .......................................................................................................................... 69 Tabel 3.5.3 Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥ 15 tahun dan hipertensi pada umur ≥ 18 tahunmenurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .................................................. 71 Tabel 3.5.4 Prevalensi diabetes melitus, hipertiroid, hipertensi menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 .......................................................................................................................... 72 Tabel 3.5.5 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥ 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ......................................................... 74 Tabel 3.5.6 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan strokepada umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 .............................................................. 75 Tabel 3.5.7 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendipada umur ≥ 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ......................................................... 77 Tabel 3.5.8 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 .............................................................. 78 Tabel 3.6.1 Prevalensi dan proporsi penyebab cedera langsung menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................................................................................................ 82 Tabel 3.6.2 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 .. 83 Tabel 3.6.3 Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ..................... 84 Tabel 3.6.4 Proporsi jenis cedera menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ........................... 86 Tabel 3.6.5 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ....................................................................................................................................... 88 Tabel 3.6.6 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ...... 89 Tabel 3.7.1 Proporsi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir sesuai Effective Medical Demand menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ........... 91 Tabel 3.7.2 Proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ...................................................................................... 92 Tabel 3.7.3 Persentase penduduk pergi berobat menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ....................................................................................................................................... 93 Tabel 3.7.4 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ................................ 94 Tabel 3.7.5 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ........................................ 95 Tabel 3.7.6 Komponen D, M, F, dan index DMF-T menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ....................................................................................................................................... 96 Tabel 3.8.1 Proporsi tingkat kesulitan menurut komponen disabilitas, Provinsi Banten 2013 ...... 98 Tabel 3.8.2 Indikator Disabilitas menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Banten 2013 ....................... 99 Tabel 3.8.3 Indikator Disabilitas menurut Karakteristik Responden, Provinsi Banten 2013 ....... 100 Tabel 3.9.1 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ... 102 Tabel 3.9.2 Proporsi gangguan jiwa berat menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ............ 102 Tabel 3.10.1 Proporsi Penduduk Umur ≥10 Tahun yang Berperilaku Benar Dalam Buang Air Besar dan Cuci Tangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ......................... 105
xviii
Tabel 3.10.2 Proporsi Penduduk Umur ≥ 10 Tahun menurut Kebiasaan Merokok dan kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .............................................................................. 106 Tabel 3.10.3 Proporsi Penduduk Umur ≥ 10 Tahun menurut Kebiasaan Merokok dan Karakteristik, Provinsi Banten 2013 ................................................................................... 107 Tabel 3.10.4 Rerata Jumlah batang Rokok yang Dihisap Penduduk Umur ≥ 10 Tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ................................................................. 108 Tabel 3.10.5 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten, 2013 .............................................. 108 Tabel 3.10.6 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun sesuai jenis aktivitas fisik menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .............................................................................. 109 Tabel 3.10.7 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun berdasarkan aktifitas sedentari menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................................................................... 109 Tabel 3.10.8 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun berdasarkan aktifitas sedentari menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 .................................................................................... 110 Tabel 3.10.9 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi berisiko menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................................................................... 112 Tabel 3.10.10 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .................................. 113 Tabel 3.11.1 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .............................................................................. 118 Tabel 3.11.2 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan karakteristik, Provinsi Banten 2013 ......................................................................................................... 119 Tabel 3.11.3 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biayanyamenurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ........................................................ 120 Tabel 3.11.4 Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ..................................................................................... 123 Tabel 3.11.5 Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ..................................................................................... 125 Tabel 3.11.6 Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013 .................................................................................... 127 Tabel 3.11.7 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013 ..................................................................................... 128 Tabel 3.13.1 Jumlah sampel dan indikator kesehatan anak, Provinsi Banten 2013 ................... 143 Tabel 3.13.2 Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 .......................................................................................................... 145 Tabel 3.13.3 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................................................................... 146 Tabel 3.13.4 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 .......................................................................................................... 147 Tabel 3.13.5 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................................................................... 148 Tabel 3.13.6 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ..................................................................................... 149 Tabel 3.13.7 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .............................................................................. 150 Tabel 3.13.8 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ..................................................................................... 150 Tabel 3.13.9 Persentase kunjungan neonatal pada anak umur 0-59 bulanmenurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ..................................................................................... 152 Tabel 3.13.10 Persentase kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3) pada anak anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ........................................... 154 xix
Tabel 3.13.11 Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................................................................... 155 Tabel 3.13.12 Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ..................................................................................... 156 Tabel 3.13.13 Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................................................................... 157 Tabel 3.13.14 Persentase proses mulai menyusui anak umur 0-23 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ..................................................................................... 158 Tabel 3.13.15 Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ..................................... 160 Tabel 3.13.16 Persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ......................................................... 162 Tabel 3.13.17 Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0 - 11 tahun yang menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ................................................................. 163 Tabel 3.13.18 Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0 - 11 tahun menurut karakteristik,Provinsi Banten 2013 ...................................................................................... 164 Tabel 3.15.1 Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada penduduk umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ..................................................................................... 183 Tabel 3.15.2 Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada penduduk umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................................................................... 184 Tabel 3.15.3 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada penduduk semua umur menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ...................................................................... 186 Tabel 3.15.4 Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada penduduk semua umur menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013.................. 187 Tabel 3.15.5 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian penduduk umur ≥ 5 tahun sesuai tes konversasi menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013................................... 189
xx
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.5.1 Kerangka pikir Riskesdas 2013 (dikembangkan dari Gabungan Sistem Kesehatan WHO dengan konsep model BLUM ...................................................................... 3 Gambar 1.6.1 Alur pikir Riskesdas 2013 ......................................................................................... 5 Gambar 3.1.1 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................ 15 Gambar 3.1.2 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan bidan praktek atau rumah bersalin menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .......................................... 16 Gambar 3.1.3 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan posyandu menurut kabupaten/kota,Provinsi Banten 2013 .................................................................................. 16 Gambar 3.1.4 Proporsi rumah tangga yang mengetahui moda transportasi ke rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013 .............................................. 17 Gambar 3.1.5 Proporsi rumah tangga yang mengetahui moda transportasi ke Puskesmas berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013.................................................................. 18 Gambar 3.1.6 Proporsi rumah tangga yang mengetahui waktu tempuh menurut fasilitas kesehatan, Provinsi Banten 2013 ......................................................................................... 18 Gambar 3.1.7 Proporsi rumah tangga yang mengetahui waktu tempuh menuju rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013 .............................................. 19 Gambar 3.1.8 Proporsi rumah tangga yang mengetahui biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan terdekat, Provinsi Banten 2013 ........................................................................... 20 Gambar 3.1.9 Proporsi rumah tangga yang mengetahui biaya transportasi menuju UKBM terdekat, Provinsi Banten 2013 ............................................................................................. 20 Gambar 3.2.1 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat yang disimpan,Provinsi Banten 2013 ............................................................................................. 21 Gambar 3.2.2 Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan, Provinsi Banten 2013 .......................... 27 Gambar 3.3.1 Proporsi rumah tangga yang sumber air minumnya improved menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ................................................................................. 31 Gambar 3.3.2 Proporsi rumah tangga yang sumber air minumnya improved menurut tempat tinggal Provinsi Banten 2013................................................................................................. 32 Gambar 3.3.3 Proporsi rumah tangga yang sumber air minumnya improved menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten 2013............................................................................ 32 Gambar 3.3.4 Proporsi rumah tangga menurut kelompok gender yang biasa mengambil air minum, Provinsi Banten 2013 .............................................................................................. 33 Gambar 3.3.5 Proporsi rumah tangga yang mengambil air dari luar rumah menurut gender dan kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .......................................................................... 33 Gambar 3.3.6 Proporsi rumah tangga yang mengambil air dari luar rumah menurut gender dan tempat tinggal, Provinsi Banten ..................................................................................... 34 Gambar 3.3.7 Proporsi rumah tangga yang mengambil air menurut gender dan kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten 2013 ....................................................................................... 35 Gambar 3.3.8 Proporsi rumah tangga yang konsumsi air perharinya memenuhi standar minimum, Provinsi Banten 2013............................................................................................ 36 Gambar 3.3.9 Proporsi rumah tangga yang menggunakan air per harinya memenuhi akses dasar menurut tempat tinggal, Provinsi Banten 2013 ........................................................... 36 Gambar 3.3.10 Proporsi rumah tangga yang konsumsi air per harinya memenuhi standar minimum menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten 2013 ................................... 37 Gambar 3.3.11 Proporsi rumah tangga yang mengolah air sebelum diminum menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ................................................................................. 37 Gambar 3.3.12 Proporsi rumah tangga yang mengolah air sebelum diminum menurut tempat tinggal, Provinsi Banten 2013............................................................................................... 38 xxi
Gambar 3.3.13 Proporsi rumah tangga yang mengolah air sebelum diminum menurut kuintil indeks kepemilikan aset, Provinsi Banten 2013 .................................................................... 38 Gambar 3.3.14 Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air sebelum diminum, Provinsi Banten 2013 ............................................................................................................ 39 Gambar 3.3.15 Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat buang air besar menurut tempat tinggal, Provinsi Banten 2013............................................................................................... 40 Gambar 3.3.16 Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat buang air menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten 2013 ....................................................................................... 40 Gambar 3.3.17 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses ke fasilitas sanitasi yang improved menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ................................................... 41 Gambar 3.3.18 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses ke fasilitas sanitasi yang improved menurut tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten 2013 .... 41 Gambar 3.3.19 Proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah, Provinsi Banten 2013 .......................................................................................................................... 42 Gambar 3.3.20 Proporsi rumah tangga menurut cara pengelolaan sampah domestik, Provinsi Banten 2013 .......................................................................................................................... 42 Gambar 3.3.21 Proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas pengelolaan sampah domestik menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ................................................................... 43 Gambar 3.3.22 Proporsi rumah tangga menurut cara pengelolaan sampah, tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten 2013 .......................................................... 43 Gambar 3.3.23 Proporsi rumah tangga berdasarkan status bangunan tempat tinggal, Provinsi Banten 2013 ............................................................................................................ 44 Gambar 3.3.24 Proporsi rumah tangga menurut kepemilikan rumah dan karakteristiknya, Provinsi Banten 2013 ............................................................................................................ 45 Gambar 3.3.25 Proporsi rumah tangga berdasarkan kepadatan hunian menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ................................................................................ 45 Gambar 3.3.26 Proporsi rumah tangga menurut kepadatan hunian berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013 ............................................................................................................ 46 Gambar 3.3.27 Proporsi rumah tangga berdasarkan bahan bakar/energi utama untuk memasak, Provinsi Banten 2013.......................................................................................... 47 Gambar 3.3.28 Proporsi rumah tangga berdasarkan bahan bakar/energi utama untuk memasak menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .................................................. 48 Gambar 3.3.29 Proporsi rumah tangga berdasarkan bahan bakar/energi utama untuk memasak menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ........................................................ 48 Gambar 3.3.30 Proporsi rumah tangga yang memiliki ventilasi cukup berdasarkan jenis ruangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013..................................................... 49 Gambar 3.3.31 Proporsi rumah tangga yang memiliki ventilasi cukup berdasarkan jenis ruangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013..................................................... 50 Gambar 3.3.32 Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pencegahan gigitan nyamuk, Provinsi Banten 2013 ............................................................................................................ 50 Gambar 3.3.33 Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku menguras bak mandi per minggu menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ...................................................... 51 Gambar 3.3.34 Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku menguras bak mandi menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ...................................................................................... 51 Gambar 3.3.35 Proporsi rumah tangga yang menggunakan/menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............. 52 Gambar 3.3.36 Proporsi rumah tangga yang menggunakan/menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ................... 52 Gambar 3.4.1 Period prevalence ISPA, menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............ 53 Gambar 3.4.2 Period prevalence pneumonia menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ....................................................................................................................................... 54 xxii
Gambar 3.4.3 Insidensi pneumonia per 1000 balita menurut kelompok umur, Provinsi Banten 2013 ....................................................................................................................................... 55 Gambar 3.4.4 Prevalensi TB paru menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013.................... 59 Gambar 3.4.5 Prevalensi Hepatitis menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .................. 59 Gambar 3.4.6 Insidens Diare menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................ 60 Gambar 3.4.7 Insiden Malaria menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ........................... 63 Gambar 3.7.1 Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta mendapat perawatan, dan EMD, Provinsi Banten 2013 ....................................................... 90 Gambar 3.9.1 Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013 ........................................................................................................................ 104 Gambar 3.10.1 Proporsi penduduk ≥10 tahun kurang makan sayur dan buah menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .............................................................................. 111 Gambar 3.10.2 Proporsi penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan berisiko, Provinsi Banten 2013 ........................................................................................................................ 112 Gambar 3.10.3 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menurut frekuensi makanan bersumber tepung terigu ≥1 kali/hari, Provinsi Banten.......................................................................... 113 Gambar 3.10.4 Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .................................. 115 Gambar 3.10.5 Proporsi rumah tangga memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik ......................................................................................................................... 116 Gambar 3.11.1 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biayanya menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ................................................ 121 Gambar 3.11.2 Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .......................................................... 122 Gambar 3.11.3 Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan kabupaten/kota, Provinsi 2013 ....................................................................... 124 Gambar 3.11.4 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat jalan, Provinsi Banten 2013 ..................................................................................................................................... 126 Gambar 3.11.5 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap, Provinsi Banten 2013 ..................................................................................................................................... 127 Gambar 3.12.1 Proporsi penduduk yang sedang hamil berdasarkan laporan rumah tangga menurut kelompok umur dan tempat tinggal, Provinsi Banten 2013 .................................. 129 Gambar 3.12.2 Pengggunaan KB saat ini menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ...... 130 Gambar 3.12.3 Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini WUS kawin dan kelompok umur, Banten 2013 ........................................................................................................................ 130 Gambar 3.12.4 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkankelompok kandungan hormonal menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ..................................................................................................................................... 131 Gambar 3.12.5 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkankelompok jangka waktu efektivitas KB menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ........................................................................................................................ 132 Gambar 3.12.6 Proporsi pemanfaatan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatandalam mendapatkan pelayanan KB, Banten 2013 ........................................................................ 133 Gambar 3.12.7 Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .......................................................................................................... 134 Gambar 3.12.8 Cakupan indikator ANC K1 ideal dan ANC K4 (ANC 1-1-2) menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................................................................... 135 Gambar 3.12.9 Proporsi kelahiran yang melakukan pemeriksaan kehamilan menurut tenaga dan tempat mendapat pelayanan ANC, Banten 2013 ........................................................ 135 Gambar 3.12.10 Proporsi kelahiran yang menurut konsumsi zat besi (Fe) dan jumlah yang dikonsumsi,Provinsi Banten 2013 ....................................................................................... 136 xxiii
Gambar 3.12.11 Proporsi kelahiran menurut kepemilikan buku KIA dan isian 5 Komponen P4K berdasarkan hasil observasi lembar Amanat Persalinan dari yang dapat menunjukkan Buku KIA, Provinsi Banten 2013 ................................................................. 137 Gambar 3.12.12 Proporsi persalinan operasi sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ......................... 138 Gambar 3.12.13 Proporsi persalinan sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancaramenurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ............................................ 138 Gambar 3.12.14 Proporsi kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sd wawancara menurut penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan terendah, Provinsi Banten 2013 .................. 139 Gambar 3.12.15 Proporsi kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut tempat bersalin dan kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013.......................................................... 140 Gambar 3.12.16 Persentase kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut tempat bersalin di RS vs di rumah/lainnya dan karakteristik, Provinsi Banten 2013.......... 140 Gambar 3.12.17 Proporsi kelahiran hidup periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut pelayanan pemeriksaan masa nifas, Provinsi Banten 2013................................. 141 Gambar 3.12.18 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ........................................................................................................................ 141 Gambar 3.12.19 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 ..................................................................................................................................... 142 Gambar 3.13.1 Kecenderungan berat badan lahir rendah (BBLR) pada balita, Provinsi Banten 2013* ....................................................................................................................... 144 Gambar 3.13.2 Kunjungan neonatal, neonatal lengkap, dan tidak kunjungan neonatal, Provinsi Banten 2013 .......................................................................................................... 151 Gambar 3.13.3 Kecenderungan KN1 menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013.............. 151 Gambar 3.13.4 Kecenderungan kunjungan neonatal lengkap menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .......................................................................................................... 153 Gambar 3.13.5 Kecenderungan proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan, Provinsi Banten 2013 ........................................................................................................................ 157 Gambar 3.13.6 Kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan, Provinsi Banten 2013 .......................................................................................................... 159 Gambar 3.13.7 Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan dalam 6 bulan terakhir, Provinsi Banten 2013 .................................................................... 161 Gambar 3.13.8 Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan balita ≥ 4 kali dalam 6 bulan terakhirmenurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ........................................... 163 Gambar 3.14.1 Prevalensi status gizi BB/U <-2SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ..................................................................................................................................... 167 Gambar 3.14.2 Prevalensi status gizi TB/U <-2 SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ..................................................................................................................................... 168 Gambar 3.14.3 Prevalensi status gizi BB/TB <-2 SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ........................................................................................................................ 169 Gambar 3.14.4 Prevalensi pendek anak umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ........................................................................................................................ 170 Gambar 3.14.5 Prevalensi kurus (IMT/U) anak umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Banten 2013 ........................................................................................................................ 170 Gambar 3.14.6 Prevalensi gemuk & sangat gemuk anak umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................................................................... 171 Gambar 3.14.7 Prevalensi pendek remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .......................................................................................................... 171 Gambar 3.14.8Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................................................................... 172 xxiv
Gambar 3.14.9 Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahunmenurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ........................................................ 172 Gambar 3.14.10 Prevalensi pendek (TB/U) remaja umur 16 – 18 tahun menurut Kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................................................................... 173 Gambar 3.14.11 Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................................................................... 174 Gambar 3.14.12 Prevalensi status gizi gemuk (IMT/U) remaja umur 16 – 18 tahunmenurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................................................................... 174 Gambar 3.14.13 Prevalensi status gizi kurus, BB lebih, Obesitas penduduk dewasa (>18 tahun)menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ....................................................... 175 Gambar 3.14.14 Prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15-49 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................................................................... 176 Gambar 3.14.15 Prevalensi risiko KEK wanita usia subur (WUS) Tidak Hamil 15 – 49 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ................................................................. 176 Gambar 3.14.16 Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi (tinggi badan < 150 cm) menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 ............................................................................... 177 Gambar 3.15.1 Prevalensi kebutaan pada responden umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .................................................... 179 Gambar 3.15.2 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kelompok umur, Provinsi Banten 2013 ................................................. 180 Gambar 3.15.3 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut pendidikan, Provinsi Banten 2013 ........................................................ 181 Gambar 3.15.4 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten 2013 ................................. 181 Gambar 3.15.5 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut tempat tinggal, Provinsi Banten 2013 .................................................. 182 Gambar 3.15.6 Prevalensi pterygiumdan kekeruhan kornea menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 .......................................................................................................... 184 Gambar 3.15.7 Proporsi tiga alasan utama penderita katarak belum menjalani operasi menurut kabupaten/kota, Banten 2013 ............................................................................... 187 Gambar 3.15.8 Prevalensi gangguan pendengaran penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013............................................... 190
xxv
Daftar Singkatan µg/L ACT ADA Amanat Persalinan ANC ANC 4x +
: : : : : :
APN ART Asabri ASI Askes BAB Badan Litbangkes Balita BB BB/TB BB/U BBLR BP BPS BS Buku KIA CPR D D1 D3 DG Dinkes DM DO EIU EKG EMD FKM G GAKI GATS GDP GDPP GDS GGK Hb HDL HIV/ AIDS
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
ICCIDD ICF IFCC IMD IMT Indeks DMF-T IPKM
: : : : : : :
microgram per Liter Artemisinin-based combination therapy American Diabetes Assocation Menyambut Persalinan Agar Aman dan Selamat Antenatal care proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil minimal 4 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan. Asuhan Persalinan Normal Anggota Rumah Tangga Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Air Susu Ibu Asuransi kesehatan Buang air besar Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Bawah lima tahun Berat Badan Berat badan/Tinggi Badan Berat badan/umur Berat Badan Lahir Rendah Balai Pengobatan Badan Pusat Statistik Blok Sensus Buku Kesehatan Ibu dan Anak Contraceptive Prevalence Rate Diagnosis dokter/tenaga kesehatan Diploma 1 Diploma 3 Diagnosis atau gejala Dinas Kesehatan Diabetes Mellitus Diagnosis tenaga kesehatan atau minum obat sendiri Eksresi Iodium Urin Elektro Kardio Gram Effective Medical Demand Fakultas Kesehatan Masyarakat Gejala klinis spesifik penyakit Gangguan Akibat Kekurangan Iodium Global Adults Tobacco Survey Glukosa Darah Puasa Glukosa Darah Pasca Pembebanan Glukosa Darah Sewaktu Gagal ginjal kronik Hemoglobin High-Density Lipoprotein Human Immunodeficiency Virus Infection / Acquired Immunodeficiency Syndrome International Council for Control of Iodine Deficiency Disorders International Classification of Functioning International Federation of Clinical Chemistry Inisiasi Menyusu Dini Indeks Massa Tubuh Penjumlahan dari D(Decay), M(Missing), F(Filling)-T (teeth) Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat xxv
ISPA IU IUD Jamkesda Jamkesmas Jamsostek JMP JNC JPK K1
: : : : : : : : : :
K1 ideal
:
K4
:
Kadinkes Kasie litbang Kasie Litbangda Kasie puldata Kasubdin Katim KB KDRT KEK KEPK Kepmenkes Kespro KF
: : : : : : : : : : : : :
KIA KIO3 KIPI KK KLB KMS KN Korwil Lansia LDL LH LiLA Linakes
: : : : : : : : : : : : :
LM LN LP MDGs Menkes MI MKJP MPASI Nakes NCEP-ATP III NLIS Non MKJP
: : : : : : : : : : : :
Infeksi Saluran Pernapasan Akut International Unit Intra Uterine Device Jaminan Kesehatan Daerah Jaminan Kesehatan Masyarakat Jaminan Sosial Tenaga Kerja Joint Monitoring Programme Joint National Committee Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil minimal 1 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil pertama kali pada trimester 1 Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil selama 4 kali dan memenuhi kriteria 1-1-2 yaitu minimal 1 kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2 dan minimal 2 kali pada trimester 3. Kepala Dinas Kesehatan Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Daerah Kepala Seksi Pengumpulan Data Kepala Sub Dinas Ketua Tim Keluarga Berencana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kurang Energi Kronis Komisi Etik Penelitian Kesehatan Keputusan Menteri Kesehatan Kesehatan Reproduksi Pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu selama periode 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. Kesehatan Ibu dan Anak Kalium Iodat Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Kepala Keluarga Kejadian Luar Biasa Kartu Menuju Sehat Kunjungan Neonatal Koordinator Wilayah Lanjut usia Low-Density Lipoprotein Lahir Hidup Lingkar Lengan Atas Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan) Lahir Mati Luar Negeri Lingkar Perut Millennium Development Goals Menteri Kesehatan Missing Indeks Metode Kontrasepsi Jangka Panjang Makanan Pendamping Air Susu Ibu Tenaga Kesehatan National Cholesterol Education Program- Adult Treatment Panel III Nutrition Landscape Information System Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang xxvi
OAT OG OT P4K PB PBTDK PCA PD3I PDBK PERDAMI PERHATI Permenkes Perpres PHBS PJK PM PMT PNS Polindes Poltekkes Poskesdes Poskestren Posyandu PPI Ppm PPS PPOK PSU PT PTI PTM PUS Puskesmas Pustu PWS KIA RB RDT RI Riskesdas RKD RPJMN RS RT RTI SD/MI SDM SKN SKRT SLTA SLTP SMA/MA SMP/MTS SP 2010 SPK SRQ STIKES Susenas
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Obat Anti Tuberkulosis Obat Generik Obat Tradisional Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi Panjang Badan Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Principal Component Analysis Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia Peraturan Menteri Kesehatan Peraturan Presiden Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Penyakit Jantung Koroner Penyakit Menular Pemberian Makanan Tambahan Pegawai Negeri Sipil Pondok Bersalin Desa Politeknik Kesehatan Pos Kesehatan Desa Pos Kesehatan Pesantren Pos Pelayanan Terpadu Program Pengembangan Imunisasi Part per million Probability Proportional To Size Penyakit Paru Obstruksi Kronis Primary Sampling Unit Perguruan Tinggi Performance Treatment Index Penyakit Tidak Menular Pasangan Usia Subur Pusat Kesehatan Masyarakat Puskesmas Pembantu Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak Rumah Bersalin Rapid Diagnostic Test Republik Indonesia Riset Kesehatan Dasar Riskesdas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Rumah Sakit Rumah Tangga Required Treatment Index Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah Sumber Daya Manusia Sistem Kesehatan Nasional Survei Kesehatan Rumah Tangga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah Sekolah Menengah Pertama/MadrasahTsanawiyah Sensus Penduduk 2010 Standar Pelayanan Kebidanan Self Reporting Questionnaire Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Survei Sosial Ekonomi Nasional xxvii
TB TB TB/U TGT TKP TNI/Polri U UI UKBM UNAIR UNHAS UNICEF USI UU WG WHO WHODAS 2 WUS Yankestrad
: : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Tinggi Badan Tuberkulosis Tinggi badan/Umur Toleransi Glukosa Terganggu Tempat Kejadian Perkara Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian RI Ukur Universitas Indonesia Upaya kesehatan Bersumberdaya Masyarakat Universitas Airlangga Universitas Hasanuddin United Nations Children’s Fund Universal Salt Iodization Undang – Undang Washington Group World Health Organization WHO Disability Assessment Schedule 2 Wanita Usia Subur Pelayanan Kesehatan Tradisional
xxviii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Visi rencana pembangunan jangka panjang nasional 2005 - 2025 adalah Indonesia yang maju, adil dan makmur. Visi tersebut direalisasikan pada delapan misi pembangunan. Misi pembangunan kesehatan 2010-2014 adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan; dan menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. Sistem kesehatan nasional pada tahun 2012 memasukkan penelitian dan pengembangan dalam salah satu sub sistem dari tujuh sub sistem yang ada (UU No 17 Tahun 2000). Untuk mencapai visi dan misi di atas, maka salah satu strategi Kementerian Kesehatan RI adalah “Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif”. Untuk itu diperlukan data kesehatan berskala nasional berbasis fasilitas maupun komunitas yang dikumpulkan secara berkesinambungan dan dapat dipercaya (SKN, PP Nomor 72 Tahun 2012). Dalam upaya menyediakan data kesehatan yang berkesinambungan, maka Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI melaksanakan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Riskesdas merupakan Riset Kesehatan berbasis komunitas yang dirancang dapat berskala nasional, propinsi dan kabupaten/kota. Riskesdas dilaksanakan secara berkala dengan tujuan untuk melakukan evaluasi pencapaian program kesehatan sekaligus sebagai bahan untuk perencanaan kesehatan. Pada buku ini laporan difokuskan pada hasil pelaksanaan Riskesdas di Provinsi Banten. Pada tahun 2007, Riskesdas pertama meliputi indikator kesehatan utama, yaitu status kesehatan (penyebab kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabilitas, dan status gizi), kesehatan lingkungan, konsumsi gizi rumah tangga, pengetahuan-sikap-perilaku kesehatan (Flu Burung, HIV/AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum alkohol, aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan) dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan (akses, cakupan, mutu layanan, pembiayaan kesehatan), termasuk sampel darah anggota rumah tangga (kecuali bayi) pada sub sampel daerah perkotaan (Balitbangkes, 2007). Hasil Riskesdas 2007 telah banyak dimanfaatkan oleh para pengambil keputusan dan penyelenggara program kesehatan baik dipusat maupun daerah. Selain telah digunakan sebagai bahan penyusunan RPJMN 2010-2014, data Riskesdas juga telah digunakan sebagai dasar penyusunan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) (Balitbangkes, 2010) yang berguna untuk membuat peringkat kabupaten/kota berdasarkan hasil pembangunan kesehatan serta sebagai dasar Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK) (Permenkes No. 27 Tahun 2012). Pada tahun 2013 dilakukan kembali Riskesdas yang serupa dengan tahun 2007 yaitu dengan keterwakilan sampel hingga tingkat kabupaten/kota. Untuk pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut mewakili tingkat provinsi dan sampel biomedis mewakili tingkat nasional. Tahapan persiapan Riskesdas 2013 telah dilakukan selama satu tahun pada 2012, diawali dengan meninjau kembali indikator kesehatan yang dikumpulkan pada Riskesdas 2007 untuk meningkatkan kualitas data. Selanjutnya beberapa indikator ditambahkan seperti Pemukiman dan Ekonomi, Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional, Kesehatan Mental ditambah informasi mengenai gangguan jiwa berat dan pasung, Kesehatan Reproduksi, Frekuensi Konsumsi Makanan Olahan yang Bersumber dari Tepung Terigu, Kesehatan Indera Pendengaran, Pemeriksaan Iodium dalam Air dan Pemeriksaan Iodium Urin pada Wanita Usia Subur (WUS). Indikator status ekonomi dikembangkan dari komposit variable aset, yang termasuk dalam Blok IX Pemukiman dan Ekonomi. Untuk merespon polemik mengenai sunat perempuan, pada Riskesdas 2013 ditambahkan informasi sunat perempuan. Sebaliknya ada satu indikator Riskesdas 2007 yang tidak dikumpulkan, seperti konsumsi gizi rumah tangga dengan alasan akan dilakukan survei tersendiri. Demikian pula ada beberapa variabel yang tidak 1
dikumpulkan antara lain ketanggapan pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang HIV/AIDS, kebiasaan minum minuman beralkohol, pengetahuan tentang flu burung, dan kebisingan di sekitar rumah tangga.
1.2
Ruang lingkup Riskesdas 2013
Seperti telah diuraikan sebelumnya, fokus Riskesdas 2013 ini adalah untuk mengumpulkan data berbasis masyarakat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi perubahan status kesehatan di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional termasuk IPKM dan indikator MDGs kesehatan.
1.3
Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian untuk Riskesdas 2013 yaitu: 1) 2) 3) 4) 5)
Bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota tahun 2013? Apakah telah terjadi perubahan masalah kesehatan spesifik disetiap provinsi, dan kabupaten/kota dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013? Apa dan bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota? Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan? Bagaimana korelasi antar faktor terhadap status kesehatan?
Laporan ini baru dapat menjawab pertanyaan penelitian 1 dan 2 sedangkan pertanyaan penelitian 3,4 dan 5 akan dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk analisis lanjut.
1.4
Tujuan Riskesdas 2013
Tujuan Umum: Menyediakan informasi berbasis bukti untuk perumusan kebijakan pembangunan kesehatan di berbagai tingkat administrasi. Tujuan Khusus: 1) Menyediakan informasi untuk perencanaan kesehatan termasuk alokasi sumber daya di berbagai tingkat administrasi. 2) Menyediakan peta status dan masalah kesehatan ditingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota pada tahun 2013. 3) Menyediakan informasi perubahan status kesehatan masyarakat yang terjadi dari tahun 2007 ke tahun 2013. 4) Menilai kembali disparitas wilayah kabupaten/kota menggunakan IPKM. 5) Mengkaji korelasi antar faktor yang menyebabkan perubahan status kesehatan.
2
1.5
Kerangka Pikir
FUNGSI SISTEM KESEHATAN
TUJUAN SISTEM KESEHATAN
Visi, Misi, Strategi, dan Kebijakan
Manajemen Sumber Daya
Pembiayaan Kesehatan
Akses Pelayanan Kesehatan
Pendidikan, Pekerjaan, Status Ekonomi Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Kesehatan Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional
Derajat Kesehatan
Pemerataan & Keadilan Pembiayaan Kesehatan
Kesehatan Lingkungan
: tidak dikumpulkan dalam Riskesdas 2013
Status Gizi Kesehatan Reproduksi Kesehatan Bayi dan Balita Morbiditas Penyakit Menular Penyakit Tidak Menular Penyakit Bawaan Gangguan Indera Kesehatan Jiwa & gangguan emosional Gigi dan Mulut Cedera Disabilitas Kecacatan Pemeriksaan Spesimen Darah Status Iodium
Gambar 1.5.1 Kerangka pikir Riskesdas 2013 (dikembangkan dari Gabungan Sistem Kesehatan WHO dengan konsep Model BLUM
3
1.6
Alur Pikir Riskesdas 2013
Alur pikir (Gambar 1.6.1) ini secara skematis menggambarkan enam tahapan penting dalam Riskesdas 2007 dan 2013. Keenam tahapan ini terkait erat dengan ide dasar Riskesdas untuk menyediakan data kesehatan yang sahih, akurat dan dapat dibandingkan serta dapat menghasilkan estimasi yang dapat mewakili rumah tangga dan individu sampai ke tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Siklus yang dimulai dari Tahapan 1 hingga Tahapan 6 menggambarkan sebuah pemikiran yang sistematis dan berlangsung secara berkesinambungan. Dengan demikian, hasil Riskesdas 2013 bukan saja harus mampu menjawab pertanyaan kebijakan, namun dapat memberikan arah bagi pengembangan kebijakan berikutnya. Untuk menjamin kelayakan dan ketepatgunaan dalam penyediaan data kesehatan yang sahih, akurat dan dapat dibandingkan, maka pada setiap tahapan Riskesdas 2013 dilakukan upaya penjaminan mutu yang ketat. Substansi pertanyaan, pengukuran dan pemeriksaan Riskesdas 2013 mencakup data kesehatan yang mengadaptasi sebagian pertanyaan World Health Survey pada tahun 2002 yang dikembangkan oleh World Health Organization dan diacu oleh 70 negara di dunia.
4
1. Indikator Status gizi Kesehatan Ibu & Anak Morbiditas PM, PTM Cedera & Kes. Jiwa Disabilitas Kecacatan Sanitasi lingkungan Perumahan & Pemukiman Pengetahuan, Sikap & Perilaku Farmasi dan Pelayanan Kes.Tradisional Akses Pel. Kesehatan Pembiayaan Kes.
2. Disain Alat Pengumpul Data Kuesioner wawancara, pengukuran, pemeriksaan Validitas Reliabilitas Dapat diterima
Policy Questions
6. Indikator Tabel dasar Hasil pendahuluan nasional Hasil pendahuluan provinsi Hasil akhir nasional Hasil akhir provinsi
Research Questions
Riskesdas 2013
3. Pelaksanaan Riskesdas 2013 Pengembangan Manual Riskesdas Pengembangan modul pelatihan Pelatihan pelaksana Penelusuran sampel Pengorganisasian Logistik Pengumpulan data Supervisi / bimbingan teknis Validasi
5. Statistik Deskriptif Bivariat Multivariat Uji Hipotesis
4. Manajemen Data Riskesdas 2013 Editing Entri data Cleaningfollow up Perlakuan terhadap missing data Perlakuan terhadap outliers Consistency check Analisissyntax appropriateness Pengarsipan
Gambar 1.6.1 Alur pikir Riskesdas 2013
5
1.7
Pengorganisasian Riskesdas 2013
Dasar hukum persiapan Riskesdas 2013 adalah Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 113/MENKES/SK/III/2012 tentang Tim Riset Kesehatan Nasional Berbasis Komunitas Tahun 2012-2014. Organisasi persiapan pelaksanaan Riskesdas 2013 dikukuhkan dengan Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan No. HK.02.04/I.4/15/2013, tanggal 2 Januari 2013 tentang Tim Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Organisasi pengumpulan data Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut: 1. Di tingkat pusat dibentuk Tim Penasehat, Tim Pengarah, Tim Pakar, Tim Teknis, Tim Manajemen dan Tim Pelaksana Pusat : Tim Penasehat terdiri dari Menteri Kesehatan RI, Kepala BPS dan Pejabat eselon I Kementerian Kesehatan. Tim Pengarah terdiri dari Kepala Badan, Pejabat eselon I dan sektor terkait. Tim Pakar terdiri dari para ahli di bidangnya masing-masing. Tim Teknis terdiri dari Pejabat eselon II, Peneliti di lingkungan Badan Litbangkes Tim Manajemen terdiri dari Pejabat eselon II, eselon III dan staf Badan Litbangkes Tim Pelaksana Pusat membentuk Koordinator Wilayah (korwil), setiap korwil yang akan mengkoordinir beberapa provinsi. 2. Di tingkat provinsi dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Provinsi: Tim Pelaksana di tingkat provinsi diketuai oleh Kadinkes Provinsi, Kasubdin Bina Program, Peneliti Badan Litbangkes, dan Kasie Litbang/Kasie Puldata Dinkes Provinsi. 3. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Kabupaten/Kota : Tim Pelaksana di tingkat kabupaten/kota diketuai oleh Kadinkes Kabupaten, Kasubdin Bina Program tingkat kabupaten, Peneliti Badan Litbangkes, Politeknik Kesehatan (Poltekkes), dan Kasie Litbangda Dinkes Kab/Kota. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk tim pengumpul dan manajemen data. Setiap tim pengumpul data mencakup 6 BS (150 Rumah tangga). Tiap tim pengumpul data terdiri dari 5 orang yang diketuai oleh seorang ketua tim (Katim). Kualifikasi tim pengumpul dan manajemen data termasuk Katim, minimal mempunyai pendidikan D3 Kesehatan. Tenaga pengumpul dan manajemen data direkrut dari Poltekkes, STIKES, Universitas (Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kedokteran Gigi), dan lain-lain. Dibeberapa daerah yang kekurangan tenaga pengumpul dan manajemen data digunakan staf dinas kesehatan kabupaten/kota dengan persetujuan kepala bidang masing-masing untuk dibebaskan dari tugas rutin. Untuk Riskesdas 2013 di Provinsi Banten, Dasar Hukumnya adalah Surat Keputusan Kepala Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI,No.HK.02.04/IV.1/1285/2013 Tentang Pembentukan Tim Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 Korwil II.
1.8
Manfaat Riskesdas 2013
Manfaat Penelitian: 1. Untuk kabupaten/kota : a. Mampu menyusun perencanaan program lebih akurat sesuai perkembangan masalah kesehatan dalam enam tahun terakhir. b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti. c. Mampu merencanakan dan melaksanakan survei kesehatan lanjutan di wilayahnya. 2. Untuk provinsi dan pusat : a. Mampu memetakan perubahan masalah kesehatan pembangunan kesehatan antar wilayah. b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti. 6
dan
menajamkan
prioritas
c. Mampu merencanakan penelitian lanjutan sesuai dengan permasalahan kesehatan. 3. Untuk Peneliti a. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut. b. Sebagai sumber data untuk pengembangan indeks kesehatan. 4. Untuk Institusi Pendidikan a. Sebagai sumber data untuk bahan penulisan tugas akhir. b. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut dikaitkan dengan sumber data lainnya.
1.9
Persetujuan Etik Riskesdas 2013
Pelaksanaan Riskesdas tahun 2013, telah memperoleh persetujuan etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK), Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI dengan nomor LB.02.01/5.2/KE.006/2013. Persetujuan etik, naskah penjelasan serta formulir Informed Consent (Persetujuan Setelah Penjelasan) dapat dilihat pada Lampiran.
7
BAB 2 METODOLOGI RISKESDAS 2013 2.1
Disain
Riskesdas di Provinsi Banten adalah sebuah survei yang dilakukan dengan desain cross sectional. Desain Riskesdas Provinsi Banten 2013 terutama dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di seluruh pelosok Provinsi Banten, yang terwakili oleh penduduk provinsi dan kabupaten/kota.
2.2
Lokasi
Sampel Riskesdas 2013 mewakili Provinsi Banten yang tersebar di delapan kabupaten/kota di seluruh Provinsi Banten.
2.3
Populasi dan Sampel
Populasi dalam Riskesdas Provinsi Banten 2013 adalah seluruh rumah tangga yang mewakili delapan kabupaten/kota. Sampel rumah tangga dalam Riskesdas Provinsi Banten 2013 dipilih berdasarkan listing Sensus Penduduk (SP) 2010. Proses pemilihan rumah tangga dilakukan BPS dengan two stage sampling, sama dengan metode pengambilan sampel Riskesdas 2007/Susenas 2007. Berikut ini adalah uraian singkat proses penarikan sampel dimaksud.
2.3.1 Penarikan Sampel Blok Sensus Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Riskesdas Provinsi Banten memilih BS yang telah dikumpulkan SP 2013. Pemilihan BS dilakukan sepenuhnya oleh BPS di masing-masing kabupaten/kota dengan memperhatikan status ekonomi, dan rasio perkotaan/perdesaan. Untuk sampel biomedis, penarikan sampel dilakukan secara stratified random sampling dengan strata berdasarkan besarnya angka prevalensi malaria dan TB-paru hasil Riskesdas 2007. Secara keseluruhan di Banten jumlah sampel yang dipilih untuk kesehatan masyarakat adalah sebesar 271 BS dengan 6.775 rumah tangga. Dari setiap kabupaten/kota diambil sejumlah BS yang representative (mewakili) rumah tangga/anggota rumah tangga di Kabupaten/ Kota tersebut. Riskesdas Provinsi Banten 2013 berhasil mengumpulkan data dari seluruh BS. Jumlah sampel BS, rumah tangga dan anggota rumah tangga yang dapat dikunjungi di setiap Kabupaten/ Kota dapat dilihat pada Tabel 2.3.1.
Tabel 2.3.1 Distribusi rumah tangga dan anggota rumah tangga sampel kesehatan masyarakat yang dapat dikunjungi (response rate) menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
Wawancara
Response Rate (%)
Sampel
34 34 43 34 40 24 27 35
100 100 100 100 100 100 100 100
850 850 1075 850 1000 600 675 875
843 850 1067 841 1000 598 666 814
99,18 100,00 99,26 98,94 100,00 99,67 98,67 93,03
3320 3644 4197 3147 3805 2333 2736 3095
2959 3588 3823 2992 3225 2186 2434 3040
89,13 98,46 91,09 95,07 84,76 93,70 88,96 98,22
271
271
100
6775
6679
98,58
26277
24247
92,27
Response rate (%)
34 34 43 34 40 24 27 35
Dikunjungi
Response Rate (%)
BANTEN
Individu
Dikunjungi
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
Sampel
Kabupaten/kota
Rumah tangga Sampel
Blok Sensus
Penarikan sampel Rumah tangga/Anggota Rumah tangga Dari setiap blok sensus terpilih kemudian dipilih 25 (dua puluh lima) rumah tangga secara acak sederhana (simple random sampling). Pemilihan sampel rumah tangga ini dilakukan oleh Penanggung Jawab Teknis Kabupaten yang sudah dilatih. Penarikan sampel Biomedis Sampel untuk pengukuran biomedis merupakan sub-sampel dari 1.000 BS yang mewakili nasional. Pada BS yang terpilih untuk biomedis di Provinsi Banten (59 BS), rumah tangganya dan anggota rumah tangganya selain dikumpulkan variabel kesehatan masyarakat juga dilakukan pemeriksaan biomedis. Pemeriksaan biomedis meliputi pemeriksaan glukosa darah, hemoglobin dan malaria. Pemeriksaan dilakukan langsung di lapangan sedangkan untuk pengambilan sampel biomedis meliputi pengambilan sampel darah, urin, dan air.
2.4
Variabel
Berbagai pertanyaan terkait dengan indikator bidang kesehatan dioperasionalisasikan menjadi pertanyaan riset dan akhirnya dikembangkan menjadi variabel yang dikumpulkan dengan menggunakan berbagai cara. Dalam Riskesdas 2013 terdapat lebih 315 variabel yang tersebar dalam 2 (dua) jenis kuesioner (lihat file terlampir), dengan rincian variabel pokok sebagai berikut: Blok I. Pengenalan tempat Blok II. Keterangan Rumah tangga Blok III. Keterangan Pengumpul Data Blok IV. Keterangan Anggota Rumah tangga Blok V. Akses dan Pelayanan Kesehatan Blok VI. Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Blok VII. Gangguan Kesehatan Jiwa Berat dalam Keluarga Blok VIII. Kesehatan Lingkungan Blok IX. Pemukiman dan Ekonomi. Blok X. Keterangan Wawancara Individu Blok XI, Keterangan Individu
9
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o.
2.5
Penyakit Menular Penyakit tidak Menular Cedera Gigi dan Mulut Ketidakmampuan/Disabilitas Kesehatan Jiwa Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Pembiayaan Kesehatan Kesehatan Reproduksi Kesehatan Anak dan Imunisasi Pengukuran dan Pemeriksaan Pemeriksaan mata Pemeriksaan THT Pemeriksaan Status Gigi Permanen Pengambilan Spesimen Darah dan Sampel Urin.
Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data Riskesdas 2013 menggunakan alat dan cara pengumpul data dengan rincian sebagai berikut: 1) Pengumpulan data rumah tangga dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan Kuesioner RKD13.RT dan Pedoman Pengisian Kuesioner a. Responden untuk Kuesioner RKD13.RT adalah kepala keluarga atau ibu rumah tangga atau anggota rumah tangga yang dapat memberikan informasi. b. Dalam Kuesioner RKD13.RT terdapat keterangan tentang apakah seluruh anggota rumah tangga diwawancarai langsung, didampingi, diwakili, atau sama sekali tidak diwawancarai. 2) Pengumpulan data individu pada berbagai kelompok umur dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan Kuesioner RKD13.IND dan Pedoman Pengisian Kuesioner. 3) Responden untuk Kuesioner RKD13.IND adalah setiap anggota rumah tangga. 4) Khusus untuk anggota rumah tangga yang berusia kurang dari 15 tahun, dalam kondisi sakit maka wawancara dilakukan terhadap anggota rumah tangga yang menjadi pendampingnya. 5) Instrumen yang akan digunakan pada Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g.
Timbangan badan Alat ukur tinggi badan Alat ukur lingkar pinggang dan lengan atas Lup, senter, pinhole, tali ukur 6 meter, snellen chart Spekulum Kaca mulut, antiseptik, tisu, sarung tangan, masker Peralatan pemeriksaan dan pengiriman spesimen biomedis (darah, urin, air dan garam)
6) Untuk data biomedis, hasil pemeriksaan darah dan pengambilan spesimen dikumpulkan dengan menggunakan formulir tersendiri
2.6
Manajemen Data
Proses manajemen data Riskesdas Provinsi Riau 2013 dilakukan oleh Tim manajemen Data Pusat (Balitbangkes) terdiri dari Receiving Batching, Edit, Entri, Penggabungan Data, Cleaning, dan Imputasi. Seluruh kegiatan tersebut membutuhkan waktu kurang lebih tiga bulan. Proses manajemen data dilakukan di lokasi pengumpulan data dan juga di pusat, yaitu di Balitbangkes Jakarta. Proses yang dilakukan pada lokasi pengumpulan data adalah 10
Receiving Batching, Edit, Entri, pengiriman data, sedangkan proses lainnya dilakukan oleh tim manajemen data di pusat. Tim Manajemen Data yang dipusatkan di Jakarta mengkoordinir manajemen data Riskesdas 2013 secara keseluruhan, baik proses maupun asal data. Terobosan manajemen data Riskesdas 2013 adalah hasil entri di lokasi pengumpulan data dikirim ke tim manajemen data melalui email. Laporan kemajuan pengumpulan data dan manajemen data dapat dikomunikasikan dan dilihat dalam web. Urutan kegiatan manajemen data secara rinci adalah sebagai berikut.
2.6.1 Receiving dan Batching Proses Receiving dan Batching adalah pencatatan penerimaan kuesioner hasil wawancara. Pencatatan dilakukan pada elektronik file yang berisi tentang identitas wilayah yang telah diwawancarai, jumlah Rumah tangga dan Anggota Rumah tangga yang diwawancarai dan jumlah yang telah dientri. Manfaat dari proses ini untuk mencocokkan konsistensi jumlah data yang diwawancarai, dientri, dikirim, dan diterima oleh tim manajemen data. Selain itu untuk memantau sampel yang belum diwawancarai. Hal ini untuk menghindari adanya data yang hilang karena proses-proses input atau pengiriman elektronik.
2.6.2 Editing Pengumpulan data Riskesdas 2013 di laksanakan oleh tim yang terdiri dari empat pewawancara dan salah satunya merangkap menjadi Ketua Tim. Tim tersebut didampingi oleh penanggung jawab teknis (PJT) Kabupaten/ Kota yang berfungsi sebagai supervisor yang terlibat langsung di lapangan selama kurang lebih satu bulan. Dalam pelaksanaan pengumpulan data Riskesdas 2013, editing merupakan salah satu mata rantai yang secara potensial dapat menjadi kontrol kualitas data. Editing mulai dilakukan oleh supervisor atau PJT Kabupaten/Kota semenjak pewawancara selesai melakukan wawancara dengan responden. PJT Kabupaten/ Kota harus memahami makna dan alur pertanyaan. PJT Kabupaten/Kota melakukan editing kuesioner meliputi pemeriksaan kembali kelengkapan jawaban, termasuk konsistensi alur jawaban, untuk setiap responden pada setiap Blok Sensus. Kelengkapan jawaban dan konsistensi alur jawaban, antara lain seperti : 1. Semua pertanyaan terisi sesuai dengan kelompok kriteria yang ditentukan. Contohnya, pertanyaan kesehatan reproduksi hanya diperuntukkan bagi perempuan berumur 15-59 tahun 2. Blok pemeriksaan dan pengukuran sudah terisi 3. Memeriksa kesesuaian kode bahan makanan 4. Kelengkapan formulir TB dan formulir Malaria (T1 dan T2), termasuk stiker nomor laboratorium, sebelum dilakukan entri data.
2.6.3 Entry Program entri data Riskesdas 2013 termasuk Provinsi Riau, dikembangkan menggunakan software CSPro 4.0. Program entri tersebut mencakup kuesioner rumah tangga, individu, konsumsi, dan pemeriksaan Malaria-TB yang dapat diintegrasikan. Entri Data kuesioner kesehatan masyarakat dan hasil pemeriksaan RDT malaria dilakukan oleh tim pengumpul data di lokasi pengumpulan data. Sedangkan data hasil pemeriksaan spesimen TB dari PRM di-entri oleh PJT Kabupaten/Kota. Hasil pemeriksaan apusan darah tebal malaria dilakukan oleh Tim Puslitbang Biomedis dan Farmasi di Jakarta, maka entri data juga dilakukan oleh tim tersebut. Pertanyaan pada kuesioner Riskesdas 2013 ditujukan untuk responden dengan berbagai kelompok umur yang berbeda. Kuesioner tersebut juga banyak mengandung skip questions (pertanyaan lompatan) yang secara teknis memerlukan ketelitian untuk menjaga konsistensi dari satu blok pertanyaan ke blok pertanyaan berikutnya. Oleh karena itu dibuat program entri yang diperkuat dengan batasan-batasan entri secara komputerisasi. Prasyarat ini menjadi penting untuk menekan kesalahan entri. Hasil pelaksanaan entri data ini menjadi salah satu 11
bagian penting dalam proses manajemen data, khususnya yang berkaitan dengan cleaning data. Data elektronik yang berupa file hasil entri data diserahkan oleh pengumpul data kepada PJT Kabupaten/Kota. PJT Kabupaten/ Kota menerima data elektronik tersebut dan mengirimnya ke Tim Manajemen Data melalui email bersama file Receiving Batching bernama “Formulir Kontrol Data.xls”. Pengiriman dilakukan setiap selesai entri 1 (satu) Blok Sensus. Setelah mengirim data elektronik dan file formulir kontrol data, PJT Kabupaten/Kota mengisi laporan kemajuan (progress report) berbasis web di http://puldata.litbang.depkes.go.id/adminweb/. Hasil kemajuan pengumpulan data, penerimaan data dan cleaning data dapat diakses melalui web di alamat http://puldata.litbang.depkes.go.id.
2.6.4 Penggabungan Data File-file data yang telah dikirim oleh PJT Kabupaten/Kota, digabung oleh tim manajemen data. Setiap anggota tim manajemen data di pusat, bertanggung jawab untuk menangani data dari 1 sampai dengan 2 provinsi. Penanggung jawab data melakukan penggabungan data, kemudian transfer data dari *.dat menjadi *.sav. Langkah selanjutnya dilakukan cleaning sementara agar dapat segera memberi umpan balik pada tim pewawancara untuk memperbaiki data. Setelah seluruh data mempunyai status “bersih sementara” selesai digabung, dilanjutkan dengan penggabungan data elektronik secara nasional. Hasil penggabungan data dari 2798 Blok Sensus terdiri dari file Rumah tangga, file daftar Anggota Rumah tangga, file Individu, file bahan makanan, file kandungan bahan makanan, dan file pemeriksaan TB paru.
2.6.5 Data Cleaning Tahapan cleaning dalam manajemen data merupakan proses yang penting untuk menunjang kualitas. Proses ini dilakukan juga dalam Riskesdas 2013. Tim Manajemen Data di pusat melakukan cleaning awal pada data elektronik setiap provinsi pada saat menerima data elektronik dari PJT Kabupaten/Kota. Apabila ada data yang perlu dikonfirmasi ke tim pengumpul data di kabupaten/kota, maka tim Manajemen Data pusat akan berkoordinasi dengan PJT Kabupaten untuk entri ulang bila perlu dan mengirimkan kembali yang sudah diperbaiki melalui email. Cleaning sementara hanya dilakukan pada variabel-variabel tertentu yang dianggap sangat berisiko untuk salah. Setelah penggabungan keseluruhan provinsi, dilakukan cleaning variabel secara keseluruhan. Tim Manajemen Data menyediakan pedoman khusus untuk melakukan cleaning data Riskesdas. Perlakuan terhadap missing values, no-responses, pencilan-pencilan amat menentukan akurasi dan presisi dari estimasi yang dihasilkan Riskesdas 2013.
2.6.6 Imputasi Imputasi adalah proses untuk penanganan data-data missing dan outlier. Tim Manajemen Data melakukan imputasi data elektronik secara nasional. Pada data Riskesdas 2013 imputasi dilakukan untuk data kontinyu yang memiliki pencilan. Sedangkan data missing hanya ada pada pertanyaan Blok Perilaku Seksual dan tetap dipertahankan missing dengan keterangan tidak bersedia menjawab.
12
2.7
Keterbatasan Riskedas 2013
Beberapa keterbatasan yang disebabkan faktor manajemen antara lain adalah: 1) Blok sensus tidak terjangkau, karena ketidak-tersediaan alat transportasi menuju lokasi dimaksud, atau karena kondisi alam yang tidak memungkinkan seperti ombak besar. Riskesdas tidak berhasil mengumpulkan 2 blok sensus yang terpilih. 2) Sejumlah rumah tangga yang menjadi sampel ternyata tidak seluruhnya dapat dijumpai oleh Tim Enumerator 2013. Rumah tangga yang berhasil dikunjungi Riskesdas 2013 adalah sebanyak 98.6 persen yang tersebar diseluruh kabupaten/kota (lihat Tabel 2.3.1). 3) Sejumlah anggota rumah tangga dari rumah tangga yang terpilih tidak seluruhnya bisa diwawancarai oleh Tim Enumerator Riskesdas 2013. Pada saat pengumpulan data dilakukan, sebagian anggota rumah tangga tidak ada di tempat. Jumlah anggota rumah tangga yang berhasil dikumpulkan adalah 92,3 persen. (lihat Tabel 2.3.1) .
2.8
Pengolahan dan Analisis Data
Hasil pengolahan dan analisis data dipresentasikan pada Bab Hasil dan Pembahasan Riskesdas yang mengikuti blok kuesioner Riskesdas. Jumlah sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga Riskesdas 2013 yang terkumpul seperti tercantum pada Tabel 2.3.1. Pada laporan ini seluruh analisis dilakukan berdasarkan jumlah sampel rumah tangga maupun anggota rumah tangga setelah missing values dan outlier dikeluarkan. Seluruh variabel Riskedas pada saat analisis dilakukan prosedur yang sama, yaitu mengeluarkan missing values dan outlier serta dilakukan pembobotan sesuai dengan jumlah masing-masing sampel. Jumlah sampel Riskesdas 2013 cukup untuk kepentingan analisis yang memberikan gambaran nasional maupun provinsi. Pada Bab Hasil dari masing-masing blok menjelaskan jumlah sampel yang digunakan untuk kepentingan analisis
2.9
Gambaran Umum Provinsi Banten
2.9.1 Gambaran Geografi dan Wilayah Administrasi Provinsi Banten sebagai salah satu provinsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ditetapkan berdasarkan UU No 23 tahun 2000 (BPS Provinsi Banten, 2012). Secara geografis Provinsi Banten terletak antara 105° 01’11” sampai 106° 07’’12” Bujur Timur, serta 05° 07’50” sampai 07° 01’01”. Batas-batas wilayah Banten, sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat, sebelah selatan dengan Samudra Hindia, dan sebelah barat dengan Selat Sunda. Wilayah laut Provinsi Banten merupakan salah satu jalur laut potensial. Selat Sunda yang menjadi salah satu wilayah laut Provinsi Banten merupakan Jalur lalu lintas laut yang strategis karena dapat dilalui kapal besar, yang menghubungkan Australia dan Selandia Baru dengan kawasan Asia Tenggara misalnya Thailand, Malaysia, dan Singapura. Di samping itu, Provinsi Banten merupakan jalur penghubung antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Bila dikaitkan posisi geografis dan pemerintahan maka wilayah Provinsi Banten terutama Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang merupakan wilayah penyangga bagi Jakarta. Secara ekonomi wilayah Provinsi Banten memiliki banyak industri. Wilayah Provinsi Banten juga memiliki beberapa pelabuhan laut yang dikembangkan sebagai antisipasi untuk menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut di Jakarta dan ditujukan untuk menjadi pelabuhan alternatif selain Singapura.
13
2.9.2 Gambaran Demografis Jumlah penduduk Provinsi Banten pada tahun 2012 sebanyak 11.248.947 jiwa dengan jumlah laki-laki 5.741.942 dan perempuan 5.507.005. dengan rerata pertumbuhan sebesar 2,16 persen antara tahun 2011-2012 (BPS Provinsi Bnaten, 2012). Persentase distribusi penduduk menurut kabupaten/kota bervariasi dari yang terendah sebesar 3,52 persen di Kota Cilegon hingga yang tertinggi sebesar 26,66 persen di Kabupaten Tangerang. Sex ratio sebesar 105, berarti terdapat 105 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Sex Ratio menurut kabupaten/kota yang terendah adalah Kota Tangerang Selatan sebesar 102 dan tertinggi adalah Kota Serang sebesar 106. Dengan luas wilayah sebesar 9.662,92 km2, rerata hunian per 1 km2 sebanyak 1.164 jiwa. Jumlah rumah tangga adalah 2.687.410 dengan jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4,19 orang per rumah tangga. Penduduk yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 7.124.120 jiwa (67,01%) dan di daerah perdesaan sebanyak 3.508.046 jiwa (32,99%). Angkatan kerja sebanyak 5.125.057 orang dengan rincian jumlah pekerja sebanyak 4.605.847 orang dan pengangguran sebesar 5.125.057 orang. Upah minimum provinsi (UMP) sebesar Rp. 1.004.000,- pada tahun 2012. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2011 sebesar 6.26 persen dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 71.49 serta angka melek huruf sebesar 96,51.
14
BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1
Akses dan Pelayanan Kesehatan
Pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas kesehatan (faskes) yang terdiri dari rumah sakit pemerintah dan swasta, puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, posyandu, poskesdes atau poskestren, dan polindes, terkait erat dengan akses rumah tangga terhadap faskes. Sampel rumah tangga yang diwawancarai dan dianalisis sebanyak 6.679 rumah tangga. Data yang ditampilkan berupa persentase rumah tangga dengan pengetahuan tentang keberadaan faskes tertentu.
3.1.1 Keberadaan Fasilitas Kesehatan Keberadaan fasilitas kesehatan secara nasional menurut provinsi pada pada hasil ini diuraikan tentang pengetahuan rumah tangga pada RS pemerintah, RS swasta, bidan praktek dan posyandu. Data secara lengkap tentang fasilitas kesehatan ini secara nasional dan berdasarkan karakteristik yang diuraikan tentang tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan dapat dilihat pada buku Riskesdas Banten dalam Angka 2013.
Gambar 3.1.1 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.1.1 menunjukkan, secara provinsi 67,0 persen rumah tangga mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah, sedangkan rumah sakit swasta diketahui oleh 60,5 persen rumah tangga. Rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah tertinggi di Kota Serang (90,4%) sedangkan terendah di Kabupaten Tangerang (59,5%). Pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan rumah sakit swasta tertinggi di Kota Tangerang Selatan (87,8%) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (10,4%).
15
Gambar 3.1.2 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan bidan praktek atau rumah bersalin menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Pada Gambar 3.1.2 menunjukkan pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan praktek bidan atau rumah bersalin secara provinsi angkanya 72,0 persen, namun jika dilihat antar kabupaten/kota, maka tertinggi di Kota Cilegon (88,8%) dan terendah di Kabupaten Serang (54,4%).
Gambar 3.1.3 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan posyandu menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan posyandu secara provinsi angkanya 67,5 persen. Jika dilihat menurut kabupaten/kota, maka tertinggi di Kota Cilegon (90,4%) dan terendah di Kabupaten Tangerang (58,3%).
16
3.1.2 Keterjangkauan Fasilitas Kesehatan Keterjangkauan faskes dalam Riskesdas 2013 ini dilihat dari aspek moda transportasi yang digunakan, waktu tempuh (dalam satuan menit), dan biaya transportasi menuju faskes. Moda transportasi yang digunakan menuju faskes dapat berupa mobil pribadi, kendaraan umum, jalan kaki, sepeda motor, sepeda, perahu, transportasi udara (kecuali ke posyandu, poskesdes, dan polindes) dan yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi. Waktu tempuh rumah tangga menuju faskes dihitung dalam satuan menit dan dibagi menjadi 4 kategori, yaitu ≤15 menit; 16 – 30 menit; 31-60 menit; dan > 60 menit. Biaya transportasi menuju faskes dikelompokkan dalam 3 kategori untuk pengobatan modern (rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas, praktek dokter atau klinik dan praktek bidan atau rumah bersalin), yaitu ≤ Rp.10.000; >Rp.10.000 – 50.000 dan >Rp.50.000,-). Biaya transportasi dikelompokkan dalam 2 kategori untuk Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) yaitu di posyandu, poskesdes atau poskestren dan polindes yaitu ≤ Rp.10.000 dan >Rp.10.000.
Gambar 3.1.4 Proporsi rumah tangga yang mengetahui moda transportasi ke rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013 Proporsi pengetahuan rumah tangga yang menggunakan berbagai moda transportasi sepeda motor menuju rumah sakit pemerintah, berdasarkan tempat tinggal di perkotaan 42,1 persen dan perdesaan 27,9 persen. Untuk penggunaan kendaraan umum di perkotaan 31,7 persen dan perdesaan 50,6 persen. Sedangkan yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi, di perkotaan 15,3 persen sedangkan di perdesaan 18,7 persen. Data dapat dilihat pada buku Riskesdas Banten dalam Angka 2013.
17
Gambar 3.1.5 Proporsi rumah tangga yang mengetahui moda transportasi ke Puskesmas berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013 Proporsi pengetahuan rumah tangga menuju puskesmas yang dapat menggunakan kendaraan umum di perkotaan 19,7 persen dan perdesaan 21,0 persen. Sedangkan yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi di perkotaan 13,1 persen dan perdesaan 11,6 persen. Rumah tangga yang menggunakan sepeda motor, di perkotaan 58,8 persen dan di perdesaan 50,8 persen, sedangkan yang jalan kaki di perkotaan 7,8 persen dan di perdesaan 13,0 persen. Menurut kuintil indeks kepemilikan, bahwa yang tertinggi adalah dengan sepeda motor pada rumah tangga menengah atas (60,9%) dan terendah rumah tangga menengah bawah (47,4%). Sedangkan pada kelompok jalan kaki tertinggi pada rumah tangga teratas (13,3%) dan terendah di rumah tangga terbawah (10,3%).
Gambar 3.1.6 Proporsi rumah tangga yang mengetahui waktu tempuh menurut fasilitas kesehatan, Provinsi Banten 2013
18
Waktu tempuh rumah tangga menuju fasilitas kesehatan di rumah sakit pemerintah tertinggi pada 31-60 menit (34,4%) dan terendah < 15 menit (12,4%). Pola ini berbeda dengan waktu tempuh menuju rumah sakit swasta dimana tertinggi pada 16 – 30 menit (41,5%) dan terendah > 60 menit (9,8%). Sedangkan pada fasilitas kesehatan di puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, poskesdes atau poskestren, polindes dan posyandu terbanyak pada waktu tempuh ≤ 15 menit.
Gambar 3.1.7 Proporsi rumah tangga yang mengetahui waktu tempuh menuju rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013 Pengetahuan tentang waktu tempuh rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah menurut tempat tinggal dengan waktu 16-30 menit, tertinggi di perkotaan (35,5%) sementara di perdesaan 20,0 persen. Dengan waktu 31-60 menit di perkotaan 35,2 persen dan perdesaan 31,9 persen. Sedangkan dengan waktu tempuh ≤ 15 menit di perkotaan 15,8 persen dan perdesaan 2,6 persen. Sedangkan menurut kuintil indeks kepemilikan, dengan waktu tempuh 16-30 menit, tertinggi pada rumah tangga menengah (36,0%) dan terendah pada rumah tangga terbawah (16,7%). Dengan waktu tempuh 31-60 menit, tertinggi pada rumah tangga menengah atas (38,6%) dan terendah pada rumah tangga terbawah (29,4%).
19
Gambar 3.1.8 Proporsi rumah tangga yang mengetahui biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan terdekat, Provinsi Banten 2013 Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin dibagi dalam 3 kategori yaitu ≤ Rp.10.000,-; >Rp.10.000 – Rp.50.000 dan > Rp,50.000,-. Biaya transportasi masih didominasi pada ≤ Rp.10.000,- di rumah sakit pemerintah (55,6%), rumah sakit swasta (67,6%), puskesmas atau puskesmas pembantu (88,6%), dokter praktek atau klinik (91,7%) dan praktek bidan atau rumah bersalin (95,6%).
Gambar 3.1.9 Proporsi rumah tangga yang mengetahui biaya transportasi menuju UKBM terdekat, Provinsi Banten 2013 Biaya transportasi menuju Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat seperti poskesdes atau poskestren, polindes dan posyandu dibuat dalam 2 kategori yaitu ≤ Rp.10.000,- dan > Rp.10.000,-. Pada biaya transportasi ini masih banyak yang ≤ Rp.10.000,- yaitu di poskesdes atau poskestren (94,8%), polindes (99,1%) dan posyandu (99,0%).
20
3.2
Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional
Bahasan Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) bertujuan mengetahui proporsi rumah tangga yang menyimpan obat untuk swamedikasi, proporsi rumah tangga yang memiliki pengetahuan benar tentang Obat Generik (OG) dan sumber informasi tentang OG. Pertanyaan Yankestrad mencakup jenis dan alasan memanfaatkan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir. Analisis dikelompokkan menjadi tiga: 1) Obat dan Obat Tradisional (OT); 2) Pengetahuan rumah tangga tentang obat generik (OG), dan 3) Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad). Farmasi dan Yankestrad merupakan bahasan baru yang dikumpulkan informasinya pada Riskesdas 2013.
3.2.1 Obat dan Obat Tradisional (OT) di Rumah tangga Gambar 3.2.1 menunjukkan bahwa 2.445 atau 36,6 persen dari 6.679 rumah tangga yang menyimpan obat untuk swamedikasi, terdapat obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-obat yang tidak teridentifikasi.
Gambar 3.2.1 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat yang disimpan, Provinsi Banten 2013 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras 28,8 persen dan antibiotika 21,3 persen. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan penggunaan obat yang tidak rasional dan ilegal. Table 3.2.1 menggambarkan variasi rumah tangga yang menyimpan obat untuk keperluan swamedikasi, dengan proporsi tertinggi rumah tangga di Kota Tangerang Selatan (54,4%) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (20,2%). Rerata sediaan obat yang disimpan kurang lebih tiga macam, tertinggi di Kota Cilegon (3,9) dan terendah di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang masing-masing 2,5.
21
Tabel 3.2.1 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan rerata jumlah obat yang disimpan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota
Menyimpan obat Rerata jumlah obat 3,2 2,5
Kab. Pandeglang Kab. Lebak
Ya (%) 20,2 29,4
Kab. Tangerang
33,3
2,7
Kab. Serang Kota Tangerang
23,2 45,9
2,5 2,8
Kota Cilegon Kota Serang
45,7 46,9
3,9 2,9
Kota Tangerang Selatan
54,4
2,8
Banten
36,6
2,8
Berdasarkan karakteristik, hampir tidak ada perbedaan dalam hal jenis obat yang disimpan di rumah tangga (Tabel 3.2.2).
Tabel 3.2.2 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis obat yang disimpan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Obat keras
Obat bebas
Antibiotika
Obat tradisional
Obat tidak teridentifikasi
27,7 34,3
87,3 85,9
19,7 28,7
17,8 10,5
1,3 4,4
25,8
82,4
25,8
14,7
0,8
Menengah bawah Menengah
32,1 28,5
84,8 86,3
24,3 16,2
12,1 19,0
3,8 2,9
Menengah atas Teratas
30,0 27,0
87,6 89,5
27,7 16,3
16,2 18,0
0,9 1,1
28,8
87,0
21,3
16,6
1,9
Karakteristik Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah
Banten
Dari 36,6 persen rumah tangga yang menyimpan obat, 82,3 persen rumah tangga menyimpan obat keras yang diperoleh tanpa resep dokter (Tabel 3.2.3). Variasi antar kabupaten/kota, proporsi tertinggi di Kota Tangerang Selatan (90,3%) dan terendah di Kota Cilegon (67,0%). Demikian halnya dengan antibiotika, hampir 85 persen rumah tangga menyimpan antibiotika tanpa resep, dengan proporsi tertinggi di Kota Tangerang Selatan (93,7%) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (75,8%). Tabel 3.2.4 menunjukkan toko obat/warung dan apotek merupakan sumber utama mendapatkan obat rumah tangga dengan proporsi masing-masing 43,4 persen dan 37,1 persen. Berdasarkan tempat tinggal, proporsi rumah tangga yang memperoleh obat di toko obat/warung lebih tinggi di perkotaan, demikian pula proporsi rumah tangga yang memperoleh obat di apotek lebih tinggi di perkotaan. Namun, 19,0 persen rumah tangga memperoleh obat langsung dari tenaga kesehatan (nakes), proporsi tertinggi di perdesaan (33,3%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, cenderung semakin rendah memperoleh obat dari sumber nakes. Proporsi rumah tangga yang
22
mendapatkan obat dari pelayanan kesehatan formal (puskesmas, rumah sakit, klinik) lebih tinggi di perdesaan (22,2%) dari pada di perkotaan (15,5%). Tabel 3.2.3 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Jenis obat tanpa resep
Kabupaten/kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak
Obat keras 75,3 79,7
Antibiotika 75,8 79,4
Kab. Tangerang Kab. Serang
79,2 83,4
81,7 83,2
Kota Tangerang Kota Cilegon
84,4 67,0
88,6 76,0
Kota Serang
81,7
81,1
Kota Tangerang Selatan
90,3
93,7
Banten
82,3
84,9
Tabel 3.2.4 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013
Karakteristik Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Banten
Sumber obat PembeYankes Nakes rian org formal lain
Apotek
Toko obat/ warung
Yankestrad
Penjual OT keliling
40,6 20,2
44,7 37,4
1,2 0,5
15,5 22,2
16,0 33,3
0,8 0,5
1,0 1,3
9,0 27,1 32,5 39,7 51,8
47,5 46,2 49,5 38,9 40,0
1,7 0,8 0,7 0,6 1,6
24,0 17,1 17,2 18,5 12,2
31,3 23,1 18,0 21,7 11,6
0,0 0,0 0,4 0,8 1,7
2,7 1,6 0,7 0,8 0,8
37,1
43,4
1,0
16,6
19,0
0,8
1,0
Tabel 3.2.5 menunjukkan status obat yang ada di rumah tangga untuk tujuan swamedikasi. Status obat dikelompokkan menurut obat yang ‘sedang digunakan’, obat ‘untuk persediaan’ jika sakit, dan ‘obat sisa’. Obat sisa dalam hal ini adalah obat sisa resep dokter atau obat sisa dari penggunaan sebelumnya yang tidak dihabiskan. Di Provinsi Banten, 50,9 persen rumah tangga menyimpan obat untuk persediaan, lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi rumah tangga yang menyimpan obat sisa (38,9%). Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat untuk persediaan juga lebih tinggi di perkotaan dan kuintil indeks kepemilikan teratas.
23
Tabel 3.2.5 Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat yang disimpan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik
Status obat di rumah tangga Sedang digunakan
Untuk persediaan
Obat sisa
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
27,5 35,5
55,9 27,1
36,4 51,0
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah
33,1
22,3
57,3
Menengah bawah
34,8
36,9
41,9
Menengah
27,7
51,6
38,6
Menengah atas Teratas
30,0 24,3
49,6 67,3
38,8 32,4
28,9
50,9
38,9
Banten
3.2.2 Pengetahuan Rumah tangga tentang Obat Generik (OG) Bahasan ini menyajikan informasi proporsi rumah tangga yang mengetahui atau pernah mendengar dan ’berpengetahuan benar’, serta persepsinya mengenai OG. Definisi rumah tangga ’berpengetahuan benar’ tentang OG adalah rumah tangga yang mengetahui bahwa obat generik merupakan obat yang khasiatnya sama dengan obat bermerek dan tanpa menggunakan merek dagang. Selain itu pada sub-blok ini juga disajikan proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi OG. Tabel 3.2.6 menunjukkan bahwa secara provinsi terdapat 37,8 persen rumah tangga yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG. Dari jumlah tersebut, sebagian besar (86,7%) tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang OG. Tabel 3.2.7 menunjukkan pengetahuan benar tentang OG rendah baik di rumah tangga perkotaan maupun di perdesaan. Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi proporsi rumah tangga dengan pengetahuan benar tentang OG. Tabel 3.2.8 menunjukkan 83,6 persen rumah tangga mempunyai persepsi OG sebagai obat murah dan 71,6 persen obat program pemerintah. Sebanyak 42,5 persen rumah tangga mempersepsikan OG berkhasiat sama dengan obat bermerek. Persepsi tersebut perlu di promosikan lebih gencar untuk mendorong penggunaan OG lebih luas dan lebih baik dimasyarakat. Proporsi rumah tangga dengan persepsi bahwa OG adalah obat tanpa merek dagang, cukup rendah (18,0%), padahal persepsi tersebut adalah salah satu persepsi benar yang diharapkan diketahui masyarakat luas.
24
Tabel 3.2.6 Proporsi rumah tanggayang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG ) menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Pengetahuan tentang OG
Kabupaten/kota
Mengetahui tentang OG
Benar
Salah
Kab. Pandeglang
11,3
7,2
92,8
Kab. Lebak
17,4
13,6
86,4
Kab. Tangerang
31,8
13,5
86,5
Kab. Serang
14,6
15,0
85,0
Kota Tangerang
57,9
17,5
82,5
Kota Cilegon
44,8
15,0
85,0
Kota Serang
46,4
9,7
90,3
Kota Tangerang Selatan
74,1
9,0
91,0
Banten
37,8
13,3
86,7
Tabel 3.2.7 Proporsi rumah tanggayang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG ) menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Pengetahuan tentang OG
Mengetahui tentang OG
Benar
Salah
Perkotaan
48,6
13,9
86,1
Perdesaan
11,8
7,1
92,9
5,4
0,9
99,1
Menengah bawah
20,9
14,4
85,6
Menengah
37,8
11,0
89,0
Menengah atas
49,1
12,4
87,6
Teratas
74,3
16,1
83,9
Karakteristik Tempat tinggal
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah
25
Tabel 3.2.8 Proporsi rumah tangga berdasarkan perseps tentang obat generik (OG ) menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Persepsi rumah tangga tentang OG Obat gratis
Obat murah
Obat bagi pasien miskin
Dapat dibeli di warung
Obat tanpa merek dagang
Khasiat sama dg obat ber merek
Obat program pemerin-tah
Perkotaan
35,9
84,6
31,9
13,6
18,5
44,4
72,7
Perdesaan
45,6
74,3
36,6
17,2
13,4
23,6
61,0
Terbawah
53,1
65,5
35,2
21,0
3,7
23,9
58,4
Menengah bawah
46,2
78,4
39,3
14,5
19,0
40,5
73,6
Menengah
37,7
81,4
33,9
13,4
15,1
37,9
67,3
Menengah atas
35,6
85,3
31,3
13,7
17,3
40,3
70,5
Teratas
32,9
86,6
29,7
13,7
21,1
49,3
75,6
36,7
83,6
32,3
13,9
18,0
42,5
71,6
Karakteristik
Tempat tinggal
Kuintil indeks kepemilikan
Banten
Sumber informasi tentang OG di perkotaan maupun perdesaan paling banyak diperoleh dari tenaga kesehatan (66,6%). Informasi oleh tenaga kesehatan ini, juga merata pada semua kuintil indeks kepemilikan (Tabel 3.2.9). Sumber informasi OG dari media cetak dan elektronik lebih banyak di akses oleh rumah tangga dengan kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi.
Tabel 3.2.9 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat generik (OG) menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Sumber informasi tentang OG Karakteristik Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Banten
Media cetak
Media elektronik
Tenaga kesehatan
Kader, toma
Teman, kerabat
Pendidikan
27,3 25,1
58,3 49,5
66,7 65,9
13,7 20,5
13,1 18,6
6,9 7,2
11,1 19,4 21,9 24,0 36,7
42,5 45,1 49,4 56,6 68,4
61,5 61,5 68,0 67,8 66,8
10,8 13,2 13,3 13,6 16,2
13,3 13,3 11,0 9,5 18,7
0,0 2,2 3,7 7,2 10,7
27,1
57,5
66,6
14,3
13,6
6,9
26
3.2.3 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) Yankestrad terdiri dari empat jenis, yaitu Yankestrad ramuan (pelayanan kesehatan yang menggunakan jamu, aromaterapi, gurah, homeopati dan spa), keterampilan dengan alat (akupunktur, chiropraksi, kop/bekam, apiterapi, ceragem, dan akupresur), keterampilan tanpa alat (pijat-urut, pijat-urut khusus ibu/bayi, pengobatan patah tulang, dan refleksi), dan keterampilan dengan pikiran (hipnoterapi, pengobatan dengan meditasi, prana, dan tenaga dalam). Gambar dan tabel pada bahasan berikut ini menyajikan informasi proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam satu tahun terakhir, jenis-jenis Yankestrad yang dimanfaatkan serta alasan utama memanfaatkannya. Satu rumah tangga memanfaatkan lebih dari satu jenis Yankestrad.
Gambar 3.2.2 Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan, Provinsi Banten 2013 Sejumlah 2.204 dari 6.679 (33,0%) rumah tangga di Provinsi Banten memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir. Jenis Yankestrad yang dimanfaatkan oleh rumah tangga terbanyak adalah keterampilan tanpa alat (78,4%) dan ramuan (40,7%) (Gambar 3.2.2). Tabel 3.2.10 menunjukkan proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad bahkan lebih dari satu jenis, dijumpai tertinggi di Kota Serang (48,3%) dan terendah di Kabupaten Serang (13,8%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad ramuan tertinggi di Kabupaten Serang (55,5%) dan yang terendah di Kota Cilegon (19,7%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan dengan alat tertinggi di Kota Tangerang Selatan (29,7%) dan terendah di Kabupaten Serang (3,5%).
27
Tabel 3.2.10 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Pernah memanfaat-kan Yankestrad
Kabupaten/kota
Jenis Yankestrad Ramuan
Keterampilan Dengan alat
Tanpa alat
Dengan pikiran
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
26,4 16,6 40,3 13,8 47,8 42,6 48,3 19,9
29,5 46,6 41,7 55,5 45,5 19,7 44,1 24,3
3,6 6,9 8,9 3,5 11,4 4,4 10,7 29,7
82,3 68,4 74,0 80,9 83,9 91,7 84,7 62,9
0,9 0,4 3,3 2,4 1,7 4,5 0,6 2,2
Banten
33,0
40,7
10,3
78,4
2,2
Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan tanpa alat tertinggi di Kota Cilegon (91,7%) dan terendah di Kota Tangerang Selatan (62,9%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan dengan pikiran tertinggi di Kota Cilegon (4,5%) dan terendah di Kabupaten Lebak (0,4%). Tabel 3.2.11 menunjukkan proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan tanpa alat di perdesaan (80,8%), lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (77,9%). Sebaliknya, pemanfaatan Yankestrad keterampilan dengan alat di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (11,9% vs 3,1%). Yankestrad dengan pikiran dimanfaatkan rumah tangga di perkotaan dan di perdesaan dengan proporsi yang seimbang. Tabel 3.2.11 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik
Pernah memanfaat-kan Yankestrad
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Banten
Jenis Yankestrad Keterampilan Ramuan
Dengan alat
Tanpa alat
Dengan pikiran
38,1 20,7
41,5 36,9
11,9 3,1
77,9 80,8
2,3 2,1
22,0 29,4 34,6 37,3 40,1 33,0
39,0 46,9 40,7 41,6 35,0 40,7
3,7 2,5 6,4 13,7 20,4 10,3
74,5 78,5 81,5 76,4 79,3 78,4
3,4 4,8 0,4 2,2 1,5 2,2
28
Tabel 3.2.12 memperlihatkan alasan utama terbanyak pemanfaatan berbagai Yankestrad oleh rumah tangga. Yankestrad ramuan, keterampilan dengan alat, dan keterampilan tanpa alat sebagian besar dimanfaatkan rumah tangga dengan alasan utama ‘menjaga kesehatan, kebugaran’. Proporsi rumah tangga dengan alasan utama ‘coba-coba’ cukup tinggi untuk Yankestrad keterampilan dengan pikiran (16,5%). Alasan utama karena ‘putus asa’ terlihat sangat dominan pada pemanfaatan Yankestrad keterampilan dengan pikiran (22,7%). Tabel 3.2.12 Proporsi rumah tangga berdasarkan alasan utama terbanyak memanfaatkan Yankestrad, Provinsi Banten 2013 Jenis Yankestrad Yankestradramuan Keterampilandengan alat Keterampilan tanpa alat Keterampilan dengan pikiran
Menjaga kesehatan, Kebugaran 59,8
Alasan memanfaatkan Yankestrad Tradisi, Lebih CobaPutus kepermanjur coba asa cayaan 16,4 13,7 4,8 2,0
Biaya murah 1,8
39,5 57,1
11,1 1,4
18,7 20,5
12,4 15,0
5,9 0,6
8,1 3,4
5,2
13,4
25,8
16,5
22,7
9,3
29
3.3
Kesehatan Lingkungan
Beberapa variabel kesehatan lingkungan yang penting telah dikumpulkan pada Riskesdas 2013 sebagai bahan analisis status kesehatan lingkungan yang dapat digunakan oleh berbagai pemangku kepentingan dalam mengevaluasi program dan kebijakannya dalam rangka pengendalian faktor risiko lingkungan secara efektif dan efisien. Hasil Riskesdas 2013 yang termasuk dalam blok kesehatan lingkungan meliputi air untuk keperluan rumah tangga, air minum, sanitasi, dan status kepemilikan rumah dan kondisi rumah dan perumahan. Data kondisi rumah meliputi jenis bahan bangunan, lokasi rumah dan kondisi ruang rumah, kepadatan hunian, jenis bahan bakar untuk penerangan dan memasak, serta penggunaan atau penyimpanan pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah. Di samping itu, disajikan data perilaku rumah tangga dalam menguras bak mandi berkaitan dengan risiko penyebaran penyakit tular vektor (DBD dan malaria). Sebagai unit analisis adalah rumah tangga, dengan jumlah sampel untuk Provinsi Banten sebanyak 6.779 rumah tangga. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung kondisi rumah dan sekitarnya. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menyajikan status kesehatan lingkungan menurut kabupaten/kota, tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan aset. Jumlah rumah tangga yang berhasil diwawancarai dan diamati kondisi rumahnya sebanyak 6.695 (98,58%).
3.3.1 Air Minum dan Air untuk Keperluan Rumah tangga Ruang lingkup air dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi, jenis sumber air minum, rerata pemakaian air perorang perhari sebagai akses dasar, jarak dan waktu tempuh ke sumber air minum yang terletak di luar rumah, kelompok gender yang mengambil air, kualitas fisik air minum dan pengolahan air minum. Dalam buku laporan ini hanya beberapa variabel penting yang disajikan dalam bentuk gambar dan tabel. Air untuk keperluan rumah tangga diperlukan untuk menghitung proporsi air kemasan yang dapat dimasukkan dalam jenis sumber air minum improved dan tidak disajikan pada laporan ini. Tabel dari seluruh variabel yang dikumpulkan secara lengkap disajikan dalam Buku Riskesdas Provinsi Banten dalam Angka 2013. Klasifikasi jenis sumber air minum digunakan kriteria Joint Monitoring Programme (JMP) antara WHO – UNICEF (WHO, 2006a). Menurut JMP tersebut, jenis sumber air minum dibagi menjadi dua kategori yaitu sumber air minum improved dan sumber air minum unimproved. Yang termasuk klasifikasi sumber air minum improved adalah ledeng/PDAM, sumur bor/pompa (dengan pompa tangan maupun listrik), sumur gali terlindung, mata air terlindung, dan penampungan air hujan (PAH). Sedangkan sumber air minum unimproved meliputi air kemasan (bottle water), air isi ulang, air dari tangki truk, sumur gali tak terlindung, dan mata air tak terlindung. Namun apabila rumah tangga tersebut menggunakah sumber air untuk keperluan lain seperti memasak dan untuk keperluan kebersihan diri (personal hygiene) menggunakan sumber air yang improved, maka air kemasan (bottle water) termasuk dalam klasifikasi sumber air minum improved. Pengertian “improved” tidak berarti lebih baik kualitas air minumnya, tetapi lebih menekankan pada keberlanjutan ketersediaan dan aspek ekonominya. Air kemasan maupun air isi ulang umumnya lebih mahal harganya daripada air ledeng/PDAM. Selanjutnya, proporsi akses air minum improved tersebut akan dibandingkan pula dengan target MDGs nasional pada tahun 2015 untuk air minum sebesar 68,87 persen, dengan rincian untuk perkotaan sebesar 75,29 persen dan perdesaan sebesar 65,81 persen (Bappenas, 2012). Baru pada Riskesdas 2013 yang dikumpulkan data tentang jenis sumber air untuk keperluan rumah tangga, selain data tentang sumber air minum. Sehingga, data nasional tentang proporsi rumah tangga yang mempunyai akses ke sumber air improved telah memasukkan sebagian proporsi rumah tangga yang menggunakan air kemasan yang memenuhi kriteria JMP (air kemasan dapat dimasukkan sebagai sumber air minum improved bila sumber air untuk keperluan rumah tangga lainnya menggunakan sumber air improved). Oleh karena itu, data tingkat nasional tentang kecenderungan rumah tangga menurut jenis sumber air improved tahun 2013 tidak dapat dibandingkan dengan data sejenis pada tahun 2007 dan 2010, karena data jenis sumber air
30
minum improved pada tahun-tahun tersebut tidak memperhitungkan jenis sumber air untuk keperluan rumah tangga lainnya dalam analisis data deskriptifnya. Gambar 3.3.1 menunjukkan proporsi rumah tangga yang mempunyai akses ke sumber air minum improved menurut kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun 2013. Kota Tangerang Selatan paling tinggi proporsinya dalam memenuhi kebutuhan air minum, yaitu sebesar 82,8 persen kemudian diikuti oleh Kabupaten Lebak (80,3%) dan Kabupaten Pandeglang (70,8%). Ke tiga kabupaten/kota tersebut memiliki cakupan akses ke sumber air minum improved Provinsi Banten yang hanya 65 persen. Bila dibandingkan dengan target nasional dalam mencapai tujuan ke 7 dari MDGs tentang akses rumah tangga terhadap air minum improved, ke tiga kabupaten/kota tersebut di atas telah melampauinya, walaupun masih 2 tahun lagi dari target MDGs. Sebaliknya, ke lima kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten masih ketinggalan, baik bila dibandingkan dengan proporsi Provinsi Banten maupun target MDGs dalam air minum, dengan proporsi terendah dimiliki oleh Kota Cilegon (44,7%), meskipun dengan perkiraan peningkatan setiap tahunnya 2 persen (Bappenas, 2012), cakupan air minum improved untuk Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, dan Kota Cilegon tidak dapat memenuhi target MDGs. Kota Cilegon
44.7
Kabupaten/kota
Serang
55.3
52.7
47.3
Tangerang
60.5
39.5
Kota Tangerang
61.5
38.5
Kota Serang
64.1
35.9
BANTEN
65.0
35.0
Pandeglang
70.8
Lebak
29.2
80.3
Kota Tangerang Selatan
19.7
82.8 0%
10%
20%
30%
Improved
40%
17.2 50%
60%
70%
80%
90% 100%
Unimproved
Gambar 3.3.1 Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum improved menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Apabila dilihat dari proporsi rumah tangga yang mempunyai akses ke sumber air minum improved menurut karakteristik wilayah, rumah tangga perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi rumah tangga perkotaan, yaitu 66,6 persen berbanding 64,3 persen. Namun, angka-angka tersebut masih di bawah target MDGs 2015. Bahkan proporsi akses ke sumber air minum improved rumah tangga perkotaan lebih rendah bila dibandingkan proporsi Provinsi Banten yang sebesar 65,0 persen (Gambar 3.3.2).
31
Tempat tinggal
Perkotaan
64.3
35.7
BANTEN
65.0
35.0
Perdesaan
66.6
33.4
0%
20%
40%
Improved
60%
80%
100%
Unimproved
Gambar 3.3.2 Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum improved menurut tempat tinggal Provinsi Banten 2013
Kuintil indeks kepemilikan
Gambar 3.3.3 menggambarkan proporsi rumah tangga yang memiliki akses ke sumber air minum improved menurut indeks kepemilikan aset. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa hanya kuintil teratas dan menengah bawah yang memiliki akses lebih baik dan telah memenuhi target MDGs tahun 2015. Sedangkan ke tiga kuintil lainnya memiliki akses lebih rendah, bahkan pada kuintil menengah atas memiliki akses paling rendah yaitu 50,2 persen.
Teratas
78.3
Menengah atas
21.7
50.2
49.8
Menengah
65.8
34.2
Menengah bawah
67.9
32.1
Terbawah
65.9
34.1
0%
20%
40%
Improved
Unimproved
60%
80%
100%
Gambar 3.3.3 Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum improved menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten 2013 Aspek gender dalam rumah tangga sangat penting untuk diperhatikan dalam kaitan dengan pengelolaan air rumah tangga termasuk pengambilan air minum dari sumber di luar rumah tangga (World Bank, 2010). Pengambilan air di luar rumah berlaku bagi rumah tangga yang mengambil air di luar rumah dalam kurun waktu 6 menit atau lebih atau yang berjarak 100 meter atau lebih. Gambar 3.3.4 menunjukkan proporsi rumah tangga di Provinsi Banten menurut kelompok gender yang mengambil air minum dari luar rumah. Sebagian besar (75,2%) yang mengambil air adalah orang dewasa laki-laki, kemudian diikuti oleh dewasa perempuan (23,7%), kelompok anak lakilaki (0,6%), dan yang terendah adalah kelompok anak perempuan (0,4%).
32
75.2 0.6
1.0
0.4 23.7
Dewasa perempuan
Dewasa laki-laki
Anak perempuan
Anak laki-laki
Gambar 3.3.4 Proporsi rumah tangga menurut kelompok gender yang biasa mengambil air minum, Provinsi Banten 2013
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 00
89.6
83.8
83.0
77.2
75.2
74.7
67.4
66.0 54 44.8
22
24
25
31
33
17 15 1.4 1.2 1.2 1.1 10 0.6 0.4 0.4 0.2 0.1 1.2 0.2 0.2 0.0 0.1 0.0 0.0 0.2 0.0
10 09 08 07 06 05 04 03 02 01 00
Anak-anak
Dewasa
Bila dilihat dari proporsi gender yang mengambil air minum dari luar rumah menurut kabupaten/kota pada Gambar 3.3.5, maka hampir seluruh kota dan kabupaten didominasi oleh laki-laki, kecuali Kabupaten Lebak. Sedangkan bila dilihat dari kelompok anak laki-laki, maka proporsi tertinggi adalah Kabupaten Serang (1,4%) dan dikuti oleh Kota Serang dan Kabupaten Lebak, dengan proporsi yang sama yaitu 1,2 persen. Sebaliknya, proporsi tertinggi untuk kelompok anak perempuan adalah Kabupaten Tangerang (1,2%).
Kabupaten/kota Dewasa perempuan
Dewasa laki-laki
Anak perempuan
Anak laki-laki
Gambar 3.3.5 Proporsi rumah tangga yang mengambil air dari luar rumah menurut gender dan kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Proporsi rumah tangga menurut kelompok gender dan karakteristik wilayah yang mengambil air minum dapat dilihat pada Gambar 3.3.6. Proporsi kelompok dewasa laki-laki di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang sama di perdesaan, yaitu 81,3 persen berbanding 62,3 persen. Bila proporsi dewasa laki-laki di ke dua wilayah perkotaan dan perdesaan tersebut dibandingkan dengan kelompok yang sama di provinsi, maka perkotaan lebih tinggi dibandingkan perdesaan. Sebaliknya, proporsi kelompok dewasa perempuan di wilayah perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan maupun provinsi. Demikian pula bila proporsi kelompok anak
33
laki-laki di ke tiga wilayah tersebut dibandingkan, maka kelompok anak laki-laki di perdesaan paling besar proporsinya, yaitu 1,0 persen dibandingkan dengan 0,6 persen dan 0,5 persen. Sebaliknya, di perkotaan, proporsi anak perempuan lebih tinggi daripada di perdesaan.
0
1
2
3
4
Anak-anak 5
6
1.0
Perdesaan
7
90
100
75.2 23.7
0.4 0.5 0.6 0
10
62.3
0.6
Perkotaan
9
36.6
0.1
BANTEN
8
10
81.3 17.7 20
Dewasa laki-laki
30
40
50 Dewasa
Dewasa perempuan
60
Anak laki-laki
70
80
Anak perempuan
Gambar 3.3.6 Proporsi rumah tangga yang mengambil air dari luar rumah menurut gender dan tempat tinggal, Provinsi Banten Proporsi rumah tangga menurut gender dan kuintil kepemilikan aset dapat dilihat pada Gambar 3.3.7. Secara umum, proporsi kelompok dewasa laki-laki yang mengambil air semakin meningkat searah dengan meningkatnya indeks kepemilikan aset. Sebaliknya, proporsi kelompok dewasa perempuan yang tertinggi adalah pada kuintil terendah, dan menurun seiring dengan meningkatnya indeks kepemilikan aset. Namun hal tersebut tidak terjadi pada kelompok anak laki-laki dan anak perempuan. Proporsi terendah pada kelompok anak laki-laki terdapat pada kuintil menengah bawah (0,1%) dan sedikit meningkat pada kuintil teratas (0,2%) dan tertinggi pada kuintil terbawah. Pada kelompok anak perempuan, proporsi tertinggi pada kuintil menengah atas (0,8%) dan terendah pada kuintil terbawah (0,2%).
34
100
10
90
83.3
Dewasa
06 05
41.7
40
04
29.4
30 20 10
07
56.9
60 50
08
69.8
70
09
1.2 0.2
0 Terbawah
03 15.6
0.6
0.1
0.0
1.1
15.6 0.8 0.6
Dewasa laki-laki
16.3 0.4
02 0.2
01 00
Menengah bawah Menengah Menengah atas Kuintil indeks kepemilikan
Dewasa perempuan
Anak-anak
80
83.1
83.0
Anak perempuan
Teratas
Anak laki-laki
Gambar 3.3.7 Proporsi rumah tangga yang mengambil air menurut gender dan kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten 2013 Menurut WHO (2003), konsumsi air untuk kebutuhan domestik dapat diklasifikasikan berkaitan dengan persyaratan kesehatan dari kebutuhan minimum hingga kebutuhan yang optimal. Konsumsi minimum perorang perhari diperkirakan 20 liter, yang digunakan untuk minum dan personal hygiene, namun 20 liter tersebut belum dapat menjamin terpeliharanya kesehatan secara optimal. Dari 20 liter tersebut, setiap orang perharinya diperkirakan menggunakan air untuk bertahap hidup minimum adalah 7,5 liter dengan memperhitungkan orang yang sedang menyusui (WHO, 2003). Gambar 3.3.8 menggambarkan proporsi rumah tangga berdasarkan kabupaten/kota dan konsumsi minimum air untuk keperluan domestik. Di antara delapan kabupaten/kota di Provinsi Banten, seluruh rumah tangga di Kabupaten Lebak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi air bagi setiap anggotanya minimum 20 liter atau lebih perhari dan merupakan wilayah yang tertinggi. Sebaliknya, proporsi terendah adalah Kabupaten Tangerang yaitu sebesar 93,9 persen. Dari Tabel 3.3.6 (Buku Riskesdas Provinsi Banten dalam Angka 2013) juga dapat dilihat kisaran penggunaan air di Provinsi Banten untuk seluruh kebutuhan rumah tangga perorang perhari dari 7,5 liter sampai dengan lebih dari 300 liter. Dari kisaran tersebut hanya 12,8 persen rumah tangga yang menggunakan air kurang dari 50 liter, di mana batas 50 liter dianggap cukup untuk kebutuhan air perorang perhari dikaitkan dengan kesehatan.
35
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
100.0
99.7
98.8
97.6
98.2
97.5
97.1
97.0
93.9 ≥ 20 L < 20 L
0.0
2.4
1.8
1.2
0.3
2.5
2.9
3.0
6.1
Kabupaten/kota
Gambar 3.3.8 Proporsi rumah tangga yang konsumsi air perharinya memenuhi standar minimum, Provinsi Banten 2013
Tempat tinggal
Bila dilihat dari proporsi rumah tangga menurut tempat tinggal, rumah tangga di perdesaan sedikit lebih rendah proporsinya dalam penggunaan air setiap harinya untuk kebutuhan domestik dasar, yaitu 96,1 persen dibandingkan dengan perkotaan (97,4%). Bila dibandingkan dengan proporsi rumah tangga di seluruh Provinsi Banten, maka proporsi rumah tangga perdesaan juga lebih kecil. Proporsi rumah tangga menurut tempat tinggal dan penggunaan air untuk keperluan rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 3.3.9.
Perkotaan 2.6
97.4
BANTEN 2.9
97.1
Perdesaan 3.9
96.1
0%
10%
20%
30%
40%
< 20 L
50%
60%
70%
80%
90%
100%
≥ 20 L
Gambar 3.3.9 Proporsi rumah tangga yang menggunakan air per harinya memenuhi akses dasar menurut tempat tinggal, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.3.10 menyajikan proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi air sesuai standar minimum menurut kuntil indeks kepemilikan aset. Proporsi rumah tangga yang menggunakan air untuk seluruh kebutuhan rumah tangganya semakin meningkat searah dengan peningkatan kuintil indeks kepemilikan aset. Rumah tangga pada kuintil teratas paling tinggi proporsinya dalam menggunakan air sebanyak 20 liter atau lebih (98,7%).
36
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
96.6
96.5
97.0
97.0
98.7 ≥ 20 L < 20 L
3.4 Terbawah
3.5 3.0 3.0 Menengah Menengah Menengah bawah atas Kuintil indeks kepemilikan
1.3 Teratas
Gambar 3.3.10 Proporsi rumah tangga yang konsumsi air per harinya memenuhi standar minimum menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten 2013 Beberapa cara pengolahan air sebelum diminum dilakukan oleh rumah tangga di delapan kabupaten/kota di Provinsi Banten (Gambar 3.3.11). Proporsi mengolah air terbesar adalah di Kabupaten Pandeglang (91,5%) dan terendah adalah Kota Cilegon (32,7%). Bila dibandingkan dengan proporsi tingkat Provinsi Banten (56,4%), hanya tiga kabupaten yang memiliki proporsi rumah tangga terbesar yang mengolah airnya sebelum diminum, yaitu Kabupaten Pandeglang (91,5%), Kabupaten Lebak (89,5%) dan Kabupaten Serang (69,6%). Ya 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
67.3
32.7
59.2
40.8
53.6
46.4
53.3
46.7
Tidak
53.0
47.0
43.6
56.4
10.5
8.5
89.5
91.5
30.4
69.6
Kabupaten/kota
Gambar 3.3.11 Proporsi rumah tangga yang mengolah air sebelum diminum menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.3.12 menunjukkan proporsi rumah tangga yang mengolah airnya sebelum diminum menurut tempat tinggalnya. Lebih banyak proporsi rumah tangga di perdesaan yang mengolah airnya dibandingkan dengan perkotaan, yaitu 82,9 persen berbanding 45,4 persen. Demikian pula bila dibandingkan dengan di provinsi, rumah tangga di perdesaan tetap lebih tinggi,
37
Tempat tinggal
Perkotaan
45.4
BANTEN
54.6
56.4
Ya
43.6
Tidak Perdesaan
82.9 0%
10%
20%
30%
17.1
40%
50%
60%
70%
80%
90% 100%
Gambar 3.3.12 Proporsi rumah tangga yang mengolah air sebelum diminum menurut tempat tinggal, Provinsi Banten 2013 Berdasarkan indeks kepemilikan aset, dari 56,4 persen rumah tangga yang mengolah airnya, proporsi tertinggi adalah kuintil terbawah (89,0%). Selanjutnya, semakin meningkat indeks kepemilikan aset, semakin menurun proporsi rumah tangga yang mengolah airnya, dengan proporsi terendah sebesar 25,0 persen pada kuintil teratas. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
11 31
37
62
Tidak 75
89 Terbawah
69
63
38
Menengah Menengah Menengah bawah atas Kuintil indeks kepemilikan
Ya
25 Teratas
Gambar 3.3.13 Proporsi rumah tangga yang mengolah air sebelum diminum menurut kuintil indeks kepemilikan aset, Provinsi Banten 2013 Beberapa cara pengolahan air sebelum diminum oleh rumah tangga di Provinsi Banten meliputi, pemasakan/pemanasan, ditambahkan larutan tawas/klorin, disaring/filtrasi, penyinaran matahari, disaring dan ditambah larutan tawas/klorin (Gambar 3.3.14). Dari 56,4 persen rumah tangga yang mengolah airnya, cara pengolahan air yang paling banyak adalah dengan pemasakan/pemanasan (97,8%), sedangkan sisanya sebesar 2,2 persen rumah tangga melakukan cara pengolahan air dengan penyinaran matahari (1,6%), disaring (0,5%), dan disaring sebelum ditambahkan larutan tawas/klorin (0,5%).
38
0.1
0.0 0.5
97.8
2.2
1.6
Pemanasan/dimasak
Penyinaran matahari
Ditambah larutan tawas/klorin
Disaring dan ditambah larutan tawas/klorin
Disaring/filtrasi saja Gambar 3.3.14 Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air sebelum diminum, Provinsi Banten 2013
3.3.2 Sanitasi Pengertian sanitasi secara sempit adalah akses ke tempat pembuangan tinja berupa jamban atau kloset, sedangkan dalam arti luas meliputi pengelolaan sampah dan air limbah secara efektif termasuk perilaku higienis dalam rangka pemeliharaan kesehatan. Variabel sanitasi yang dikumpulkan meliputi kepemilikan sarana buang air besar berdasarkan tempat tinggal dan kuintil kepemilikan aset, jenis tempat pembuangan akhir tinja, sarana sanitasi improved, sarana penampungan air limbah dan pengelolaan sampah rumah tangga/domestik. Menurut Bappenas (2012) target nasional MDGs untuk sanitasi sebesar 62,4 persen dengan rincian, perkotaan sebesar 76,82 persen dan perdesaan sebesar 55,55 persen. Tentu saja, cakupan tersebut harus memenuhi kriteria JMP untuk sanitasi improved, yaitu yang terdiri dari jamban siram/leher angsa yang dialirkan melalui sewer terpusat, jamban dengan leher angsa (water-seal latrine) ke tangki septik, jamban cubluk dengan ventilasi dan dudukan/slab, dan jamban kompos (WHO, 2006a). Pada Riskesdas 2013 ini yang termasuk dalam jenis sanitasi improved adalah jamban leher angsa atau plengsengan yang terhubung dengan tangki septik dan dimiliki sendiri oleh setiap rumah tangga. Gambar 3.3.15 menunjukkan proporsi rumah tangga menurut kepemilikan tempat buang air besar (BAB) dan tempat tinggalnya. Secara keseluruhan di Provinsi Banten, cakupan tempat BAB yang dimiliki sendiri sebesar 76,7 persen. Sisanya terdiri dari milik bersama (6,7%), milik umum (3,4%), dan BAB sembarangan (13,2%). Di perdesaan, proporsi jamban milik sendiri hanya 54,8 persen dan proporsi tersebut lebih rendah dibandingkan perkotaan yang mencapai 85,8 persen dan Provinsi Banten yang mencapai 76,7 persen.
39
Perkotaan BANTEN Perdesaan
Tempat tinggal
54.8
6.6 5.0
33.7
76.7
6.7 3.4
85.8 0%
10%
20% Milik Sendiri
30%
40%
13.2
6.8 2.7 4.7 50%
Milik bersama
60%
Umum
70%
80%
90%
100%
Sembarangan
Gambar 3.3.15 Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat buang air besar menurut tempat tinggal, Provinsi Banten 2013
Kuintil indeks kepemilikan
Proporsi rumah tangga berdasarkan kepemilikan tempat BAB dan kuintil indeks kepemilikan aset dapat dilihat pada Gambar 3.3.16. Pada gambar tersebut terlihat bahwa semakin tinggi indeks kepemilikan aset, semakin tinggi pula proporsi rumah tangga yang memiliki jamban, demikian pula bila digabungkan dengan jamban milik bersama maupun umum, terlihat bahwa proporsinya semakin meningkat sesuai dengan peningkatan indeks kepemilikan aset. Namun masih ada rumah tangga yang BAB sembarangan pada kuintil menengah atas.
Teratas
99.7
Menengah atas
98.8
Menengah
0.9
89.5
Menengah bawah
8.5 2.1
70.8
Terbawah
14.5 0%
Milik Sendiri
16.2
7.4 8.7
6.7 6.3
69.4
20%
40%
Milik bersama
Umum
60%
80%
100%
Sembarangan
Gambar 3.3.16 Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat buang air menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten 2013 Gambar 3 3.17 menyajikan proporsi rumah tangga yang memiliki sarana sanitasi improved menurut kabupaten/kota, yang merupakan komposit dari variable jamban leher angsa, jamban plengsengan, kepemilikan (milik sendiri), dan mempunyai tangki septik. Kota Tangerang Selatan merupakan wilayah yang paling besar dalam kepemilikan sanitasi improved (93,5%), sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Pandeglang (46,4%). Bila dibandingkan dengan target nasional MDGs bidang sanitasi, terdapat lima kabupaten/kota yang memenuhi target, yaitu Kota Tangerang Selatan (93,5%), Kota Cilegon (87,2%), Kota Serang (80,9%) Kota Tangerang (80,1%), dan Kabupaten Tangerang (64.4%), walaupun masih ada waktu kurang dari 2 tahun lagi untuk memenuhi target MDGs 2015.
40
Improved 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
53.6
46.4
48.3
51.7
46.9
53.1
Unimproved
35.6
31.7
64.4
68.3
19.9
19.1
12.8
6.5
80.1
80.9
87.2
93.5
Gambar 3.3.17 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses ke fasilitas sanitasi yang improved menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.3.18 memperlihatkan proporsi rumah tangga menurut karakteristik tempat tinggal dan uintil kepemilikan aset. Berdasarkan tempat tinggal, proporsi rumah tangga yang memiliki sarana sanitasi improved di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan, yaitu 77,9 persen berbanding 45,4 persen. Bila dilihat dari kuintil kepemilikan aset, semakin tinggi kuintilnya semakin tinggi pula proporsi rumah tangga yang memiliki sarana sanitasi improved, walaupun masih terdapat sejumlah kecil rumah tangga yang memiliki sarana sanitasi unimproved. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
20.6
22.1
5.4
2.4
94.6
97.6
46.4
54.6 93.1
79.4
77.9 53.6
45.4
Unimproved Improved
6.9
Unimproved Improved
Tempat tinggal
Kuintil indeks kepemilikan
Gambar 3.3.18 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses ke fasilitas sanitasi yang improved menurut tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten 2013 Jenis sarana penampungan air limbah rumah tangga di Provinsi Banten dapat dilihat pada Gambar 3.3.19. Hanya 17,7 persen rumah tangga yang mempunyai sarana air limbah tertutup yang dapat dikatakan baik, sedangkan sisanya (82,4%) merupakan gabungan dari jenis dan cara pembuangan air limbah rumah tangga, yaitu air limbah dibuang langsung ke got/sungai (54,7%), penampungan terbuka (11,4%), penampungan di luar pekarangan (9,0%) dan 7,3 persen tanpa penampungan (dibuang di atas tanah).
41
7.3 9.0
17.7
82.4
11.4 54.7
Penampungan tertutup/SPAL
Penampungan terbuka
Penampungan di luar pekarangan
Tanpa penampungan (di tanah)
Langsung ke got/sungai
Gambar 3.3.19 Proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.3.20 memperlihatkan beberapa cara pengelolaan sampah domestik yang dilakukan oleh rumah tangga di Provinsi Banten. Membakar sampah masih merupakan cara pengelolaan sampah yang paling banyak dilakukan oleh rumah tangga di Provinsi Banten, diikuti oleh pengelolaan dengan cara diangkut petugas (34,4%), dibuat kompos (0,4%) dan lainnya (20,9%). Proporsi rumah tangga yang mengelola dalam kelompok lainnya meliputi cara-cara ditimbun, ditimbun dalam tanah, dan dibuang sembarangan. Cara-cara pengelolaan sampah yang dianggap baik adalah diangkut petugas dan dibuat kompos.
20.9 44.3
34.4
0.4 Dibakar
Dibuat kompos
Diangkut petugas
Lainnya
Gambar 3.3.20 Proporsi rumah tangga menurut cara pengelolaan sampah domestik, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.3.21 menggambarkan proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas pengelolaan sampah domestiknya di delapan kabupaten/kota yang ada di Banten. Kualitas pengelolaan sampah dianggap baik bila sampah yang dikumpulkan di tingkat rumah tangga akan diangkut petugas secara rutin atau dibuat kompos. Sampah yang diangkut oleh petugas diasumsikan akan diolah pada sanitary landfill atau diolah pada tempat yang telah ditentukan peruntukannya. Sebaliknya, pengelolaan dikategorikan tidak baik bila sampah yang terkumpul dibakar, ditimbun dalam tanah atau dibuang sembarangan termasuk dibuang ke sungai/parit/laut. Secara
42
keseluruhan, proporsi rumah tangga yang mengelola sampahnya dengan baik di Provinsi Banten hanya 34,8 persen. Bila dilihat dari delapan kabupaten/kota, semua kota di Provinsi Banten mempunyai proporsi pengelolaan sampah lebih baik dari provinsinya, yaitu Kota Tangerang (68,2%), Kota Tangerang Selatan (62,9%), Kabupaten Serang (40,9%), dan Kota Cilegon (39,5%). Bila melihat proporsi rumah tangga yang membuat kompos sangat kecil, maka ke empat kota tersebut mengandalkan cara pengelolaan sampahnya dengan cara diolah secara terpusat, baik sanitary landfill atau cara lain yang terpusat.
Baik 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
94.8
94.4
5.6
5.2
94.3
5.7
Tidak baik
69.6
65.2
60.5
59.1
30.4
34.8
39.5
40.9
37.1
31.8
62.9
68.2
Kabupaten/kota
Gambar 3.3.21 Proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas pengelolaan sampah domestik menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.3.22 menunjukkan proporsi rumah tangga menurut cara pengelolaan sampah dan karakteristik tempat tinggal dan kuintil kepemilikan aset. Dapat dilihat pada gambar di bawah ini bahwa rumah tangga di perdesaan jauh lebih sedikit yang mengelola sampahnya dengan baik dibandingkan di perkotaan. Bila dilihat dari indeks kepemilikan, semakin tinggi indeksnya semakin besar proporsi rumah tangga yang mengelola sampahnya dengan baik, dengan kisaran 2,4 persen sampai dengan 74,4 persen. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
25.6 51.5 98.2
97.6
82.3
64.9
56.4
35.1
43.6
74.4 48.5 1.8
2.4
17.7
Tidak baik Baik Tidak baik Baik
Tempat tinggal
Kuintil indeks kepemilikan
Gambar 3.3.22 Proporsi rumah tangga menurut cara pengelolaan sampah, tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten 2013
43
3.3.3 Perumahan Indikator perumahan yang disajikan meliputi beberapa variabel penting seperti status kepemilikan rumah tinggal, rumah menurut karakteristik tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan aset, kepadatan hunian dalam rumah, jenis bahan bakar untuk penerangan, jenis bahan bakar untuk masak, cara pencegahan gigitan nyamuk dalam rumah, dan keberadaan bahan kimia dalam rumah. Seluruh variabel perumahan yang diteliti disajikan dalam bentuk tabel dan dapat dilihat pada Buku Riskesdas Provinsi Banten dalam Angka 2013. Gambar 3.3.23 menyajikan proporsi rumah tangga menurut status kepemilikan rumah yang sedang dihuni di Provinsi Banten. Lebih dari 75 persen rumah tangga memiliki rumah untuk dihuni, sedangkan sisanya sebanyak 24,6 persen statusnya bukan milik sendiri, meliputi kontrak (14,2%), bebas sewa/milik keluarga (8,0%), sewa (1,1%), bebas sewa/milik orang lain (0,8%), rumah dinas (0,4%) dan lainnya (0,1%). 1.1 0.8
8.0 75.4
24.6 14.2
0.4 0.1
Milik sendiri
Kontrak
Sewa
Bebas sewa (milik orang lain)
Bebas sewa (milik keluarga)
Rumah dinas
Lainnya
Gambar 3.3.23 Proporsi rumah tangga berdasarkan status bangunan tempat tinggal, Provinsi Banten 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan karakteristiknya dapat dilihat pada Gambar 3.3.24. Di daerah perdesaan, lebih banyak proporsi rumah yang statusnya adalah milik sendiri (89,3%), sedangkan di perkotaan hanya 69,6 persen. Bila status kepemilikan rumah dilihat dari indeks kepemilikan aset, pada kuintil terbawah hampir sama proporsinya dalam kepemilikan rumah dengan kuintil teratas, yaitu antara 86,9 persen dengan 87,3 persen. Proporsi terendah yang memiliki rumah sendiri terdapat pada kuintil menengah (63,8%).
44
Milik sendiri 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Bukan milik sendiri 10.7
Milik sendiri
Bukan milik sendiri
13.1
30.4
31.9
89.3
36.2
86.9
69.6
68.1
Perkotaan Perdesaan
63.8
24.6
75.4
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
12.7
87.3
Terbawah Menengah Menengah Menengah Teratas bawah atas Kuintil indeks kepemilikan
Tempat tinggal
Gambar 3.3.24 Proporsi rumah tangga menurut kepemilikan rumah dan karakteristiknya, Provinsi Banten 2013 Kepadatan hunian rumah merupakan salah satu faktor dalam penentuan rumah sehat. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 829 Tahun 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, standar kepadatan hunian dalam rumah adalah 8 m2/orang. Secara keseluruhan di Banten, proporsi rumah tangga yang memenuhi persyaratan kepadatan hunian sebanyak 87,5 persen (Gambar 3.3.25). Bila dilihat dari ke semua kabupaten/kota yang ada, hanya Kota Tangerang yang mempunyai proporsi paling rendah (79,0%). Sebaliknya, Kota Cilegon merupakan kota yang proporsi rumah tangganya paling tinggi dalam pemenuhan persyaratan kepadatan hunian (95%). ≥ 8 m2/orang 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
5.0
95.0
<8 m2/orang
7.9
9.6
10.3
10.8
11.3
12.4
12.5
92.1
90.4
89.7
89.2
88.7
87.6
87.5
21.0
79.0
Kabupaten/kota
Gambar 3.3.25 Proporsi rumah tangga berdasarkan kepadatan hunian menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Bila dilihat dari karakteristiknya, di perdesaan (88,1%) sedikit lebih tinggi proporsi rumah tangga yang memenuhi persyaratan kepadatan hunian dibandingkan dengan perkotaan (87,3%) . Sedangkan bila dilihat dari karakteristik kepemilikan, maka semakin tinggi kuintil kepemilikan aset, semakin tinggi pula proporsi rumah tangga yang memenuhi syarat kepadatan hunian rumah, dengan kisaran antara 81,5 persen hingga 97,3 persen.
45
≥ 8 m2/orang 100% 98% 96% 94% 92% 90% 88% 86% 84% 82% 80%
12.7
87.3
<8 m2/orang
≥ 8 m2/orang
<8 m2/orang
18.5
17.4
14.3
9.2
2.7
81.5
82.6
85.7
90.8
97.3
11.9
88.1
Tempat tinggal
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Kuintil indeks kepemilikan
Gambar 3.3.26 Proporsi rumah tangga menurut kepadatan hunian berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013 Tabel 3.3.1 menyajikan proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan di kabupaten/kota di Provinsi Banten. Secara keseluruhan, hampir semua rumah tangga mempunyai sumber penerangan yang relatif aman yaitu listrik lebih 99,0 persen, sedangkan sebagian kecil (0,6%) menggunakan sumber energi yang tidak aman bagi kesehatan, karena bersumber dari minyak tanah/kerosene. Meskipun asap dari minyak tanah belum bisa dibuktikan bersifat karsinogenik, tetapi lampu yang berbahan bakar minyak tanah seperti petromaks, pelita/obor dan sejenisnya dapat mengeluarkan emisi debu partikulat halus (fine particulate matter), CO, NOx, dan SO2 yang merupakan polutan udara dalam rumah (Lam, dkk, 2012). Tidak ada perbedaan yang antara kuintil tertendah dan tertinggi dalam penggunaan listrik, namun sejumlah kecil masih ada rumah tangga yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk penerangan, terutama pada kuintil terbawah perlu mendapat perhatian.
46
Tabel 3.3.1 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber energi untuk penerangan menurut karaktistik, Provinsi Banten 2013 Jenis sumber penerangan rumah Karakteristik
Listrik PLN
Listrik non PLN
Petromaks/aladin
Pelita/sentir/obor
Lainnya
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
99,4 99,4
0,5 0,3
0,1 0,1
0,1 0,2
0,0 0,0
Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
98,5 99,3 99,5 99,8 99,7
0,6 0,6 0,4 0,2 0,3
0,2 0,1 0,1 0,0 0,0
0,5 0,0 0,0 0,0 0,0
0,2 0,0 0,0 0,0 0,0
Gambar 3.3.27 menyajikan proporsi rumah tangga yang menggunakan bahan bakar untuk memasak yang dikelompokkan menjadi aman dan tidak aman. Yang termasuk aman adalah listrik dan gas elpiji, sedangkan yang tidak aman meliputi minyak tanah, arang/briket/batok kelapa dan kayu bakar. Meskipun dalam MDGs perhatian hanya ditujukan pada bahan bakar padat yang dianggap membahayakan kesehatan, namun minyak tanah juga dapat mengeluarkan emisi yang berbahaya bagi kesehatan (Lam, dkk, 2012). Bahan bakar untuk memasak sebagian besar sudah dalam kategori aman dari segi kesehatan (81,8%), namun proporsi rumah tangga yang masih menggunakan bahan tidak aman (18.2%) perlu mendapat perhatian.
17.3 81.8
18.2
0.8 0.1
Bahan bakar aman
Minyak tanah
Arang/briket/batok kelapa
Kayu bakar
Gambar 3.3.27 Proporsi rumah tangga berdasarkan bahan bakar/energi utama untuk memasak, Provinsi Banten 2013 Proporsi rumah tangga yang menggunakan bahan bakar memasak menurut kabupaten/kota dapat dilihat pada Gambar 3.3.28. Kota Tangerang Selatan menempati proporsi terbesar dalam penggunaan bahan bakar aman untuk memasak (99,4%) dan yang terendah adalah Kabupaten Lebak (43,7%).
47
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
56.3
43.7
Aman
Tidak Aman
18.2
11.7
10.1
9.5
2.1
0.6
26.8
81.8
88.3
89.9
90.5
97.9
99.4
73.2
55.7
44.3
Kabupaten/kota
Gambar 3.3.28 Proporsi rumah tangga berdasarkan bahan bakar/energi utama untuk memasak menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Bila dilihat dari karakteristik tempat tinggal, terdapat perbedaan proporsi yang cukup besar dalam penggunaan bahan bakar untuk memasak (Gambar 3.3.29). Di perkotaan proporsinya 93,5 persen dan di perdesaan sebesar 53,7 persen. Demikian pula proporsi antar indeks kepemilikan aset, terlihat kuintil menengah sampai dengan teratas proporsinya lebih dari 96 persen, sedangkan kuintil terbawah hanya 27,2 persen Aman 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Tidak aman
Aman
Tidak aman
6.5
3.1
0.4
0.1
96.9
99.6
99.9
24.1 46.3 72.8 93.5 75.9 53.7 27.2 Perkotaan Perdesaan Tempat tinggal
Terbawah Menengah Menengah Menengah bawah atas
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Teratas
Kuintil indeks kepemilikan
Gambar 3.3.29 Proporsi rumah tangga berdasarkan bahan bakar/energi utama untuk memasak menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Ketersediaan ventilasi alam pada bangunan rumah hunian yang cukup merupakan salah satu persyaratan rumah sehat, yaitu minimum 10 persen dari luas lantai bangunan sesuai Kepmenkes 829/1999 (Depkes, 1999). Ventilasi yang dianggap cukup pada Riskesdas 2013 meliputi pula ventilasi buatan (air conditioner). Gambar 3.3.30 memperlihatkan proporsi rumah tangga yang memiliki ventilasi cukup menurut berbagai tiga jenis ruangan dalam rumah dan kabupaten/kota.
48
Secara keseluruhan, ketersediaan ventilasi cukup di Provinsi Banten masih rendah proporsinya, baik untuk ruang tidur, ruang masak, maupun ruang keluarga. Bila dilihat proporsi antar kabupaten/kota, Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang relatif lebih tinggi proporsi ventilasi yang cukup. Sedangkan bila dibandingkan antar jenis ruangan, maka ruang keluarga yang paling tinggi proporsinya di tiap-tiap kabupaten/kota. 45.9 44.2 52.0
32.2 28.3 37.0
31.3 26.4 39.7
29.0 21.6 30.9
28.9 23.1 32.9
30
26.9 24.7 32.1
40
26.3 21.7 26.6
50 25.8 25.3 33.2
% Ventilasi cukup
60
39.0 37.1 47.9
70
20 10 00
Ruang tidur
Ruang masak
Ruang keluarga
Gambar 3.3.30 Proporsi rumah tangga yang memiliki ventilasi cukup berdasarkan jenis ruangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Proporsi rumah tangga yang berventilasi cukup menurut karakteristik, dapat dilihat pada Gambar 3.3.31. Berdasarkan tempat tinggal, proporsi rumah tangga berventilasi cukup lebih banyak di perkotaan daripada di perdesaan. Bila dibandingkan antar ke lima kuintil, maka dapat dikatakan bahwa semakin tinggi indeks kepemilikan semakin tinggi pula proporsi rumah tangga yang berventilasi cukup. Namun secara keseluruhan, proporsi rumah tangga berventilasi cukup pada kelompok kuintil yang paling atas pun masih di bawah 60 persen.
49
36.4 31.7 41.7
50 40 30 20
58.2
Ruang keluarga
56.3
Ruang masak
50
Ruang tidur
36.3 31.3 42.6
60
29.2 26.7 36.3
Ruang keluarga
24.7 20.4 28.1
Ruang masak
14.9 13.3 19.3
Ruang tidur
22.1 20.1 25.9
70
70 60 50 40 30 20
10
10
0
0
Tempat tinggal
Kuintil indeks kepemilikan
Gambar 3.3.31 Proporsi rumah tangga yang memiliki ventilasi cukup berdasarkan jenis ruangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.3.32 menyajikan proporsi rumah tangga di Banten menurut cara pencegahan dari gigitan nyamuk. Jawaban rumah tangga bisa lebih dari satu jenis cara pencegahan. Karena tidak ada pilihan mengenai kelambu berinsektisida atau tidak, maka diasumsikan bahwa kelambu dalam gambar ini tidak mengandung insektisida, sehingga dapat dimasukkan ke dalam kelompok non kimiawi. Bila dilihat dari cara kimiawi, proporsi yang terbanyak adalah obat nyamuk bakar (43,1%). Sedangkan bila dilihat dari cara non kimiawi, pemasangan kasa nyamuk merupakan proporsi yang lebih besar dibandingkan kelambu. Tetapi bila dilihat secara keseluruhan, caracara kimiawi masih mendominasi dibandingkan cara non kimiawi. 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
43.1 35
18.8
18.5
10.7 0.5 Kelambu
Kasa nyamuk
Obat nyamuk bakar Non-Kimiawi
Repelen
Insektisida Minum obat
Kimiawi
Gambar 3.3.32 Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pencegahan gigitan nyamuk, Provinsi Banten 2013
50
Kabupaten/kota
Gambar 3.3.33 menyajikan proporsi rumah tangga menurut frekuensi menguras bak mandi dalam satu minggu untuk pencegahan jentik nyamuk Aedes Aegypti di delapan kabupaten/kota di Banten. Perilaku menguras bak mandi dikatakan baik bila rumah tangga minimal sekali dalam seminggu melakukannya. Dari sejumlah rumah tangga yang mempunyai bak mandi, proporsi tertinggi yang menguras bak mandi secara baik adalah Kota Tangerang (97,3%) dan Kabupaten Tangerang (96,3%) proporsi terendah adalah Kabupaten Pandeglang (72,0%). Kota Tangerang
42.6
54.7
2.7
Tangerang
43.0
53.3
3.7
Kota Tangerang Selatan
44.7
51.5
3.8
Lebak
71.4
22.3
6.3
Kota Cilegon
52.2
40.4
7.4
Kota Serang
54.6
37.5
7.9
BANTEN
49.0
Serang
42.7
56.2
Pandeglang
22.8
52.7 0%
8.2 21.1
19.3
28.0
10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Satu kali
Lebih dari satu kali
Tidak pernah
Gambar 3.3.33 Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku menguras bak mandi per minggu menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
Tempat tinggal
Kuintil indeks kepemilikan
Berdasarkan tempat tinggal, proporsi rumah tangga yang menguras bak mandinya minimum sekali dalam seminggu lebih banyak di perkotaan (94,6%) dibandingkan di perdesaan (83,4%). Sedangkan bila dilihat dari semua strata indeks kepemilikan, terlihat bahwa semakin tinggi indeks kepemilikan, semakin tinggi baik pula proporsi rumah tangga dalam menguras bak mandi (Gambar 3.3.34). Teratas
47.1
50.7
Menengah atas
48.9
45.2
5.9
Menengah
49.5
43.8
6.7
Menengah bawah
50.9
Terbawah
36.7
47.8
Perdesaan
10% Satu kali
20%
22.5
25.3
45.8 0%
12.3
29.7
58.2
Perkotaan
2.2
16.6
48.7 30%
40%
Lebih dari satu kali
50%
60%
70%
5.4 80%
90% 100%
Tidak pernah
Gambar 3.3.34 Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku menguras bak mandi menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Penyimpanan bahan pestisida dan bahan kimia lainnya di dalam rumah berpotensi untuk terjadinya polusi udara dalam rumah, tergantung jenis bahan kimianya. Gambar 3.3.35
51
menyajikan proporsi rumah tangga yang menyimpan bahan kimia termasuk bahan berbahaya dan beracun (B3) menurut kabupaten/kota di Banten. Secara keseluruhan, proporsi rumah tangga yang menyimpan bahan kimia atau produk kimia sebesar 14, 8%. Di antara delapan kabupaten/kota, Kota Tangerang (23,2%) yang paling banyak menyimpan bahan kimia dan yang paling sedikit adalah Kabupaten Serang (6,7%). Kota Tangerang
23.2
Kota Cilegon
76.8
20.0
80.0
Pandeglang
16.5
83.5
Kota Serang
16.2
83.8
Kota Tangerang Selatan
15.8
84.2
BANTEN
14.8
85.2
Tangerang
12.9
87.1
Lebak
8.0
92.0
Serang
6.7
93.3
0%
20%
40%
Ya
60%
80%
100%
Tidak
Gambar 3.3.35 Proporsi rumah tangga yang menggunakan/menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.3.36 memperlihatkan proporsi rumah tangga yang menyimpan/menggunakan bahan kimia di dalam rumah menurut karakteristik. Berdasarkan tempat tinggal, lebih banyak rumah tangga perkotaan yang menyimpan/menggunakan bahan kimia dibandingkan perdesaan, dengan proporsi 16,6 persen dibandingkan 10,7 persen. Di antara ke lima strata indeks kepemilikan aset, tampak bahwa semakin tinggi indeks kepemilikan, semakin tinggi pula proporsi rumah tangga yang menyimpan/menggunakan bahan kimia tersebut. Ya 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Tidak
Ya
Tidak
83.4
89.3
90.6
88.3
87.8
84.9
16.6
10.7
9.4
11.7
12.2
15.1
Tempat tinggal
73.4
26.6
Kuintil indeks kepemilikan
Gambar 3.3.36 Proporsi rumah tangga yang menggunakan/menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013
52
3.4
Penyakit Menular
Informasi mengenai penyakit menular pada Riskesdas 2013 diperoleh dari seluruh kelompok umur dengan total sampel 24.247 responden di 8 kabupaten/kota seluruh Provinsi Banten. Informasi yang diperoleh berupa insiden, period prevalence dan prevalensi penyakit yang dikumpulkan melalui teknik wawancara menggunakan kuesioner baku (RKD13.IND), dengan pertanyaan terstruktur secara klinis dan informasi laboratorium bila diperlukan. Responden ditanya apakah pernah didiagnosis menderita penyakit tertentu oleh tenaga kesehatan (D: diagnosis). Responden yang menyatakan tidak pernah didiagnosis, ditanyakan lagi apakah pernah/sedang menderita gejala klinis spesifik penyakit tersebut (G: gejala). Jadi insiden, period prevalence dan prevalensi diukur berdasarkan onset penyakit, merupakan data yang didapat dari D maupun G (DG) yang ditanyakan dalam kurun waktu tertentu. Insiden diukur dalam kurun waktu 2 minggu atau kurang, period prevalence dalam kurun waktu 1 bulan atau kurang dan prevalensi dalam kurun waktu 1 tahun atau kurang. Data penyakit menular yang dikumpulkan terbatas pada beberapa penyakit, yaitu penyakit yang ditularkan melalui udara (infeksi saluran pernapasan atas/ISPA, pneumonia, dan tuberkulosis paru), penyakit yang ditularkan oleh vektor (malaria), penyakit yang ditularkan melalui makanan, air, dan lewat penularan lainnya (diare dan hepatitis).
3.4.1 Penyakit yang Ditularkan Melalui Udara Tabel 3.4.1 menunjukkan insiden, period prevalence, prevalensi penyakit yang ditularkan melalui udara, meliputi ISPA, pneumonia, dan tuberkulosis paru menurut kabupaten/kota. Tabel 3.4.2menunjukkan hal yang sama menurut karakteristik.
3.4.1.1 ISPA Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. Period prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Lima daerah dengan ISPA tertinggi adalah Kabupaten Pandeglang (32,1%), Kabupaten Tangerang (29,1%), Kota Serang (28,7%), Kabupaten Serang (27,3%), dan Kota Tangerang (25,7%) (Gambar 3.4.1).
Gambar 3.4.1 Period prevalence ISPA, menurut kabupaten/kota,Provinsi Banten 2013 Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (32,2%). Menurut jenis kelamin, lebih banyak terjadi pada perempuan (16,8%) daripada laki-laki (16,1%). Penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah.(Tabel 3.4.2).
53
Tabel 3.4.1 Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi pneumoniamenurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
Kabupaten/kota
Period prevalence ISPA (persen) D DG
Period prevalence Pneumonia (persen) D DG
Period Prevalence Pneumonia Balita (permil) D DG
Prevalensi pneumonia (persen) D DG
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
18,2 12,3 17,4 20,3 15,3 8,3 16,3 16,1
32,1 15,4 29,1 27,3 25,7 20,7 28,7 21,2
0,0 0,1 0,0 0,5 0,5 0,2 0,5 0,0
3,0 0,2 0,9 1,9 2,3 1,8 2,0 0,6
0,0 0,0 0,0 8,4 5,6 9,5 0,0 0,0
47,1 0,0 21,6 27,4 15,2 21,7 2,0 8,7
1,4 1,2 1,3 2,0 2,1 2,5 1,8 0,9
5,7 1,5 3,0 4,0 5,9 6,1 4,4 2,0
Banten
16,4
25,8
0,2
1,5
2,3
19,4
1,6
3,8
3.4.1.2 Pneumonia Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit), sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang). Pneumonia ditanyakan pada semua penduduk untuk kurun waktu 1 bulan atau kurang dan dalam kurun waktu 12 bulan atau kurang. Period prevalence dan prevalensi tahun 2013 sebesar 1,5 persen dan 3,8 persen. Lima kabupaten/kota yang mempunyai Period prevalence dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Kabupaten Pandeglang (3,0% dan 5,7%), Kota Tangerang (2,3% dan 5,9%), Kota Serang (2,0% dan 4,4%), Kabupaten Serang (1,9% dan 4,0%), dan Kota Cilegon (1,8% dan 6,1%) (Tabel 3.4.1).
Gambar 3.4.2 Period prevalence pneumonia menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
54
Berdasarkan kelompok umur penduduk, Period prevalence pneumonia yang tinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 65-74 tahun dan terus meninggi pada kelompok umur berikutnya. Period prevalence pneumonia balita di Provinsi Banten adalah 19,4 permil. Angka ini lebih tinggi dibanding periode prevalence pneumonia balita nasional sebesar 18,5 per mil. Empat kabupaten/kota yang memiliki proporsi periode prevalence pneumonia balita adalah Kabupaten Pandeglang (47,1‰), Kabupaten Serang (27,4‰), Kota Cilegon (21,7‰), dan Kabupaten Tangerang (21,6‰ ) (Tabel 3.4.1). Insidensi tertinggi pneumonia balita terdapat pada kelompok umur 48-59 bulan (24,8‰) (Gambar 3.4.3). Namun pneumonia balita lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan menengah atas (34,2‰) dan terbawah (31,6‰).
Gambar 3.4.3 Period prevalence pneumonia per 1000 balita menurut kelompok umur, Provinsi Banten 2013
55
Tabel 3.4.2 Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi pneumonia menurut karaktristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) <1 1-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75 Balita (bulan) 0-11 12-23 24-35 36-47 48-59 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas
ISPA (persen) D
DG
26,6 32,2 18,0 12,2 13,0 15,1 15,8 13,9 16,7 20,6
42,2 46,9 28,1 21,2 21,0 22,1 24,8 23,7 26,5 33,9
Period prevalence Pneumonia (persen) D DG 0,0 0,3 0,2 0,2 0,3 0,2 0,1 0,1 0,2 0,3
Period prevalence Pneumonia Balita (per mil) D DG
0,2 2,4 1,0 1,5 1,3 1,4 1,3 2,3 2,7 3,2 0,0 0,0 7,0 4,9 0,0
19,9 21,5 24,5 23,9 24,8
2,0 2,6
18,3 20,4
Prevalensi Pneumonia (persen) D DG 0,6 1,2 1,5 1,2 1,5 1,8 1,9 2,0 2,6 3,1
1,5 1,6 1,5 1,6 1,5 1,6 1,5 1,6 1,5 1,6
1,5 1,6
3,8 3,7
16,1 16,8
25,1 26,6
0,2 0,2
1,5 1,4
16,5 18,3 15,7 14,6 11,7 9,3
30,4 28,9 24,9 22,8 18,6 14,1
0,0 0,2 0,2 0,2 0,2 0,3
2,3 1,4 1,7 1,8 0,9 0,5
2,0 1,9 1,5 1,5 1,4 1,9
5,4 4,0 4,3 4,1 3,2 2,7
14,8 12,4 13,2 14,3 13,8
23,4 19,6 20,7 23,5 24,1
0,2 0,3 0,5 0,0 0,0
1,6 0,8 1,5 1,6 2,2
1,6 1,5 2,5 1,4 2,0
4,0 3,1 4,9 4,2 5,5
15,2 18,9
24,8 27,9
0,2 0,2
1,3 1,7
3,4 0,0
19,0 20,2
1,5 1,7
3,7 3,9
18,2 18,3 16,1 15,2 14,3
29,0 28,6 25,8 24,5 21,0
0,1 0,2 0,2 0,3 0,1
1,9 1,7 1,2 1,7 0,7
0,0 0,0 1,7 8,0 0,0
31,6 4,7 20,2 34,2 3,2
1,8 1,5 1,3 1,8 1,2
4,5 4,0 4,0 4,0 2,3
56
3.4.1.3 Tuberkulosis paru (TB Paru) Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Gejala utama adalah batuk selama 2 minggu atau lebih, batuk disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak, dahak bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari 1 bulan. Penyakit TB paru ditanyakan pada responden untuk kurun waktu ≤2 tahun berdasarkan diagnosis yang ditegakkan oleh tenaga kesehatan melalui pemeriksaan dahak, foto toraks atau keduanya. Tabel 3.4.3 Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota
Diagnosis TB
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
0,6 0,4 0,3 0,9 0,4 0,5 0,6 0,1
Banten
0,4
Gejala TB paru Batuk ≥ 2 mgg Batuk darah 3,3 2,3 1,3 5,9 1,9 6,3 2,8 4,8 4,7 1,7 3,5 2,3 1,9 3,1 2,4 1,9 2,7
3,2
Prevalensi penduduk Banten yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan tahun 2013 adalah 0.4 persen (Gambar 3.4.4) . Kabupaten Serang adalah daerah dengan prevalensi TB paru tertinggi (0,9%), sedangkan dua daerah dengan prevalensi TB paru tertinggi berikutnya ada di Kabupaten Pandeglang dan Kota Serang dengan prevalensi masing-masing 0,6 persen.
57
Tabel 3.4.4 Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristk Kelompok umur (tahun) <1 1-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas
Diagnosis TB paru
Gejala TB paru Batuk ≥ 2 Batuk minggu darah
0,0 0,3 0,3 0,3 0,3 0,6 0,5 1,1 1,6 0,1
1,8 2,6 2,2 2,4 2,7 2,6 3,3 4,8 3,7 3,7
0,0 0,5 1,5 3,1 4,2 4,9 6,8 3,2 3,4 0,0
0,4 0,4
3,0 2,4
3,8 2,5
0,7 0,5 0,5 0,5 0,4 0,1
3,7 2,7 3,2 2,8 2,1 1,8
3,0 4,0 3,5 3,6 4,5 1,9
0,4 0,5 0,7 0,5 0,2
2,5 3,0 3,2 3,2 2,9
2,1 6,5 5,2 5,3 10,4
0,3 0,7
2,9 2,3
2,5 5,0
0,7 0,5 0,4 0,4 0,3
2,3 3,4 3,1 2,2 2,4
4,6 2,7 3,9 2,2 2,7
Proporsi penduduk dengan gejala TB paru batuk ≥2 minggu sebesar 2,7 persen dan batuk darah 3,2 persen (Tabel 3.4.3). Berdasarkan karakteristik penduduk, prevalensi TB paru cenderung meningkat dengan bertambahnya umur dan rendahnya pendidikan. Berdasarkan pekerjaan prevalensi TB paru tertinggi pada wiraswasta dan pada prevalensi di perdesaan lebih tinggi (0,7%) daripada di perkotaan (0,3%). Prevalensi TB paru terendah pada kuintil teratas. (Tabel 3.4.4).
58
Dari seluruh penduduk yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan, hanya 48,7 persen yang diobati dengan obat program. Kota Cilegon dan Kota Tangerang adalah daerah terbanyak yang mengobati TB dengan obat program dengan proporsi masing-masing 75,3 persen dan 75,2 persen (Buku Riskesdas Banten dalam Angka 2013).
Gambar 3.4.4 Prevalensi TB paru menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
3.4.2 Penyakit yang ditularkan melalui makanan, air, dan lainnya Penyakit yang ditularkan melalui makanan, air dan lainnya pada Riskesdas 2013 adalah diare dan hepatitis. Pertanyaan diare yang ditanyakan dalam kurun waktu <2 minggu, sesuai dengan kebutuhan program.
3.4.2.1 Hepatitis Hepatitis adalah penyakit infeksi hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis A, B, C, D atau E. Hepatitis dapat menimbulkan gejala demam, lesu, hilang nafsu makan, mual, nyeri pada perut kanan atas, disertai urin warna coklat yang kemudian diikuti dengan ikterus (warna kuning pada kulit dan/sklera mata karena tingginya bilirubin dalam darah). Hepatitis dapat pula terjadi tanpa menunjukkan gejala (asimptomatis). Prevalensi hepatitis di Provinsi Banten tahun 2013 sebesar 0,7 persen. Prevalensi hepatitis tertinggi di Kabupaten Pandeglang (1,4%) kemudian Kota Cilegon (1,0%). (Gambar 3.4.5)
Gambar 3.4.6 Prevalensi Hepatitis menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
59
Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, kelompok menengah bawah menempati prevalensi hepatitis tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Prevalensi semakin meningkat pada penduduk berusia diatas 15 tahun (Tabel 3.4.6).
3.4.2.2 Diare Diare adalah gangguan buang air besar/BAB ditandai dengan BAB lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja cair, dapat disertai dengan darah dan atau lendir. Riskesdas 2013 mengumpulkan informasi insiden diare agar bisa dimanfaatkan program. Period prevalence diare Banten pada Tabel 3.4.5 sebesar 6,4 persen sedangkan insiden diare untuk seluruh kelompok umur di Provinsi Banten adalah 3,5 persen (Gambar 3.4.6).
Gambar 3.4.7 Insiden Diare menurut kabupaten/kota,Provinsi Banten 2013
Tabel 3.4.5 Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota
Prevalensi Hepatitis
Insiden Diare
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
D 0,1 0,1 0,1 0,1 0,5 0,1 0,2 0,3
DG 1,4 0,3 0,5 0,6 0,8 1,0 0,7 0,5
D 2,1 1,8 2,4 3,3 2,2 1,8 3,5 2,3
DG 3,3 2,1 3,5 5,1 3,5 3,4 6,1 2,6
Banten
0,2
0,7
2,4
3,5
60
Insiden Diare balita D DG 5,5 7,9 3,9 3,9 7,4 9,4 7,8 9,8 5,2 6,8 7,3 8,6 5,5 9,6 6,4 7,0 6,3
8,0
Period prevalence Diare D DG 3,4 6,1 3,3 3,9 4,5 6,3 5,4 7,9 4,1 7,2 3,5 6,1 6,1 10,1 4,2 4,7 4,3
6,4
Tabel 3.4.6 Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) <1 1-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75 Kelompok umur balita (bulan) 0-11 12-23 24-35 36-47 48-59 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas
Prevalensi Hepatitis D DG 0,0 0,0 0,1 0,3 0,3 0,1 0,3 0,2 0,5 0,0
0,0 0,1 0,5 0,7 0,9 0,7 0,8 1,2 1,8 0,5
Insiden Diare D
DG
8,1 5,8 2,3 1,7 1,8 2,0 2,4 2,3 2,6 4,2
10,4 7,4 3,3 2,6 2,9 3,2 3,2 3,6 3,6 4,6
Insiden diare balita D DG
8,1 9,7 6,6 4,1 2,9
10,4 10,8 8,5 5,7 4,7
6,2 6,3
8,5 7,5
Period prevalence Diare D DG 11,4 9,6 4,1 2,8 3,8 3,7 3,8 4,5 3,7 6,3
14,3 12,6 5,7 4,9 5,7 5,7 6,5 6,2 5,8 8,9
4,3 4,3
6,3 6,4
0,3 0,1
0,7 0,6
2,4 2,5
3,4 3,7
0,0 0,2 0,1 0,3 0,5 0,1
0,8 0,6 0,7 0,8 0,8 0,6
2,6 2,5 2,3 2,0 1,3 1,2
4,1 3,4 3,6 3,5 2,0 1,9
4,9 4,3 3,9 4,1 2,5 2,4
7,9 6,0 6,1 6,4 4,2 3,7
0,2 0,7 0,2 0,1 0,0
0,7 0,9 0,7 0,8 1,4
1,9 1,5 2,0 2,6 1,4
3,0 2,2 3,0 3,8 2,5
3,7 3,2 3,4 4,0 3,7
5,9 4,9 5,1 5,7 5,8
0,3 0,1
0,6 0,8
2,2 2,9
3,3 4,0
6,2 6,4
8,0 7,9
4,0 5,0
6,1 7,0
0,2 0,1 0,3 0,2 0,3
0,7 0,8 0,6 0,6 0,6
2,6 2,6 2,7 2,4 1,8
4,3 3,5 3,9 3,5 2,6
5,7 5,6 8,6 5,9 5,2
8,0 7,2 11,3 7,2 6,1
4,6 5,0 4,8 3,5 3,6
7,1 7,1 7,2 5,3 5,1
Empat kabupaten/kota dengan insiden dan period prevalence diare tertinggi adalah Kota Serang (6,1% dan 10,1%), Kabupaten Serang (5,1% dan 7,9%), Kota Tangerang (3,5% dan 7,2%), dan Kabupaten Tangerang (3,5% dan 6,3%) (Tabel 3.4.5).
61
Berdasarkan karakteristik penduduk, kelompok umur balita (12-23 bulan) adalah kelompok yang paling tinggi menderita diare (10,8%). Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, penduduk menengah mempunyai proporsi diare tertinggi (7,2%). Kelompok penduduk yang tidak bekerja mempunyai proporsi tertinggi untuk kelompok pekerjaan (5,9%), sedangkan menurut jenis kelamin dan tempat tinggal menunjukkan proporsi yang tidak jauh berbeda (Tabel 3.4.6). Insiden diare balita di Provinsi Banten adalah 8,0 persen. Empat kabupaten/kota dengan insiden diare balita tertinggi adalah Kabupaten Serang (9,8%), Kota Serang (9,6%), Kabupaten Tangerang (9,4%), dan Kota Cilegon (8,6%) (Tabel 3.4.5). Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan (10,8%), laki-laki (8,5%), tinggal di daerah perkotaan (8,0%), dan kelompok kuintil indeks kepemilikan menengah (11,3%) (Tabel 3.4.6). Tabel 3.4.7 Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota
Oralit
Zn
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
31,3 56,5 16,3 52,0 26,3 43,8 27,0 21,6
9,6 41,0 21,8 29,6 13,6 28,5 10,1 6,6
Banten
29,1
19,5
Oralit dan zinc sangat dibutuhkan pada pengelolaan diare balita. Oralit dibutuhkan sebagai rehidrasi yang penting saat anak banyak kehilangan cairan akibat diare. Kecukupan zinc di dalam tubuh balita akan membantu proses penyembuhan diare. Pengobatan dengan pemberian oralit dan zinc terbukti efektif dalam menurunkan tingginya angka kematian akibat diare. Pemakaian oralit dalam pengobatan diare pada penduduk Provinsi Banten adalah 29,1 persen. Tiga daerah tertinggi penggunaan oralit adalah Kabupaten Lebak (56,5%), Kabupaten Serang (52,0%) dan Kota Cilegon (43,8%). Tiga daerah tersebut juga menjadi daerah tertinggi pemakaian zinc pada pengobatan diare dengan proporsi masing-masing 41,0 persen, 29,6 persen dan 28,5 persen. Sedangkan pengobatan diare dengan menggunakan zinc pada penduduk Banten hanya sebesar 19,5 persen.
3.4.3 Penyakit yang ditularkan oleh vektor (Malaria) Malaria merupakan penyakit menular yang menjadi perhatian global. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena sering menimbulkan KLB, berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi, serta dapat mengakibatkan kematian. Penyakit ini dapat bersifat akut, laten atau kronis. Kepada responden yang menyatakan “tidak pernah didiagnosis malaria oleh tenaga kesehatan” ditanyakan apakah pernah menderita panas disertai menggigil atau panas naik turun secara berkala, dapat disertai sakit kepala, berkeringat, mual, muntah dalam waktu satu bulan terakhir atau satu tahun terakhir. Ditanyakan pula apakah pernah minum obat malaria dengan atau tanpa gejala panas. Untuk responden yang menyatakan “pernah didiagnosis malaria oleh tenaga kesehatan” ditanyakan apakah mendapat pengobatan dengan obat program kombinasi artemisinin dalam 24 jam pertama menderita panas atau lebih dari 24 jam pertama menderita panas dan apakah habis diminum dalam waktu 3 hari.
62
Insiden malaria pada penduduk Banten tahun 2013 adalah 1,4 persen sedangkan prevalensi malaria tahun 2013 adalah 4,3 persen. Empat daerah dengan insiden dan prevalensi tertinggi adalah Kabupaten Pandeglang (4,4% dan 8,5%), Kota Cilegon (2,2% dan 7,1%), Kota Tangerang (2,0% dan 6,3%) dan Kota Serang (1,7% dan 15,1%). Insiden dan prevalensi malaria terendah di Kabupaten Lebak yaitu sebesar 0,2 persen dan 1,1 persen (Tabel 3.4.8).
Gambar 3.4.8 Insiden Malaria menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
Tabel 3.4.8
Insiden dan prevalen malaria menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten2013 Kabupaten/kota
Insiden malaria
Prevalen malaria
D
D/G
D
D/G
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,1 0,0
4,4 0,2 0,9 0,7 2,0 2,2 1,7 1,0
0,7 0,3 0,4 0,4 0,3 0,3 0,6 0,2
8,5 1,1 4,0 2,3 6,3 7,1 5,1 2,5
Banten
0,0
1,4
0,4
4,3
Tabel 3.4.9 menunjukkan, prevalensi malaria pada anak balita relatif lebih rendah dibanding pada orang dewasa, tetapi proporsi pengobatan dengan obat malaria program pada kelompok umur tersebut adalah yang tertinggi dibandingkan kelompok umur lainnya (Tabel 3.4.11). Keadaan ini menunjukkan kewaspadaan dan kepedulian penanganan penyakit malaria pada balita sudah sangat baik.
63
Tabel 3.4.9 Insiden dan prevalensi malaria menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) <1 1-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Pedesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Insiden malaria
Prevalen malaria
D
D/G
D
D/G
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,1 0,0 0,0
0,9 1,2 1,6 1,0 1,3 1,8 1,9 1,1 2,5 2,1
0,2 0,2 0,4 0,3 0,5 0,5 0,3 0,5 0,9 0,3
1,8 4,1 4,3 4,2 4,4 5,2 4,0 3,3 4,2 5,0
0,0 0,0
1,4 1,5
0,3 0,5
4,1 4,6
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2
2,3 1,8 1,9 1,3 1,0 0,6
0,5 0,5 0,5 0,4 0,3 0,5
5,2 4,4 4,4 5,3 3,9 2,5
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
1,7 0,8 1,1 2,0 1,7
0,4 0,5 0,4 0,5 0,4
4,7 4,2 3,8 4,0 6,0
0,0 0,0
1,3 1,7
0,4 0,5
4,3 4,3
0,0 0,0 0,1 0,0 0,0
2,1 1,4 1,2 1,5 1,0
0,4 0,3 0,5 0,4 0,4
4,3 4,2 5,2 4,4 3,4
Pengobatan malaria harus dilakukan secara efektif. Pemberian jenis obat harus benar, dan cara meminumnya harus tepat waktu, sesuai dengan acuan program pengendalian malaria. Pengobatan efektif adalah pemberian ACT pada 24 jam pertama pasien panas dan obat harus diminum habis dalam 3 hari. Proporsi pengobatan efektif di Provinsi Banten adalah 32,4 persen. Kota Tangerang adalah yang tertinggi dalam mengobati malaria secara efektif (67,7%). Penduduk Banten yang mengobati sendiri penyakit malaria yang dideritanya adalah 0,2 persen (Tabel 3.4.11). Kota Cilegon merupakan yang tertinggi untuk pilihan penduduknya mengobati sendiri penyakit malaria (0,6%) (Tabel 3.4.11).
64
Tabel 3.4.10 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Pengobatan malaria Mendapatkan obat ACT program
Mendapatkan obat dalam 24 jam pertama
Minum obat selama 3 hari
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
18,2 0,0 2,0 2,0 25,8 23,5 25,6 0,0
34,7 0,0 0,0 0,0 67,7 0,0 47,9 0,0
93,0 0,0 100,0 0,0 100,0 0,0 0,0 0,0
0,4 0,0 0,1 0,2 0,2 0,6 0,3 0,4
Banten
10,8
44,3
69,0
0,2
Kabupaten/kota
65
Mengobati sendiri
Tabel 3.4.11 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Pengobatan malaria Karakteristik Kelompok umur (tahun) <1 1-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Pedesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Mendapatkan obat ACT program
Mengobati sendiri
Mendapatkan obat dalam 24 jam pertama
Minum obat selama 3 hari
0,0 33,0 1,2 22,0 0,0 14,8 23,3 30,0 0,0 0,0
0,0 0,0 100,0 49,4 0,0 51,5 0,0 90,3 0,0 0,0
0,0 0,0 0,0 100,0 0,0 97,6 47,3 36,5 0,0 0,0
0,5 0,3 0,2 0,3 0,2 0,1 0,2 0,2 0,5 0,2
10,4 11,0
54,0 37,6
80,0 61,3
0,2 0,2
6,9 2,9 13,6 12,1 9,4 20,3
0,0 0,0 44,1 0,0 100,0 100,0
100,0 100,0 42,0 100,0 100,0 100,0
0,1 0,3 0,2 0,2 0,2 0,0
13,5 10,7 0,0 10,7 0,0
52,3 63,1 0,0 24,3 0,0
73,8 63,1 0,0 100,0 0,0
0,2 0,2 0,0 0,2 0,7
14,5 4,4
52,4 0,0
66,3 83,5
0,2 0,2
8,5 4,2 15,2 17,1 4,1
14,7 62,0 62,6 42,6 0,0
85,3 62,0 53,8 73,2 100,0
0,2 0,2 0,2 0,3 0,2
66
3.5
Penyakit Tidak Menular
Penyakit tidak menular (PTM), merupakan penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang. PTM mempunyai durasi yang panjang dan perkembangan yang umumnya lambat. Empat jenis PTM utama menurut WHO adalah penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner, stroke), kanker, penyakit pernafasan kronis (asma dan penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes. Data penyakit tidak menular didapat melalui pertanyaan/wawancara responden tentang penyakit tidak menular yang terdiri dari: (1) asma, (2) penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), (3) kanker, (4) DM, (5) hipertiroid. (6) hipertensi, (7) jantung koroner, (8) gagal jantung, (9) stroke, (10) gagal ginjal kronis, (11) batu ginjal, (12) penyakit sendi/rematik. Jenis pertanyaan meliputi: PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan, besaran PTM berdasarkan keluhan/gejala tertentu yang dialami oleh responden dan onset PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan atau yang dialami responden. Prevalensi penyakit adalah gabungan kasus penyakit yang pernah didiagnosis tenaga medis/kesehatan dan kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM. Pada kanker, gagal ginjal kronis dan batu ginjal hanya berdasarkan yang terdiagnosis dokter. Data penyakit asma/mengi/bengek dan kanker diambil dari responden semua umur, untuk penyakit paru obstruksi kronis umur >30 tahun, untuk penyakit kencing manis/diabetes melitus, hipertiroid, hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal, penyakit sendi/rematik/encok dan stroke ditanya pada umur ≥15 tahun. Riwayat penyakit ditanyakan mengenai umur mulai serangan atau tahun pertama didiagnosis, sedangkan pertanyaan gejala ditanyakan mengenai pernah atau dalam kurun waktu 1 bulan mengalami gejala. Hipertensi dinilai melalui 2 cara, yaitu wawancara dan pengukuran. Untuk hipertensi melalui wawancara, ditanyakan mengenai riwayat didiagnosis oleh nakes dan kondisi sedang minum obat anti-hipertensi saat diwawancarai. Untuk hipertensi berdasarkan hasil pengukuran, dilakukan pengukuran tekanan darah/tensi menggunakan alat pengukur/tensimeter digital. Setiap responden diukur tensinya minimal 2 kali. Jika hasil pengukuran ke-dua berbeda ≥10 mmHg dibanding pengukuran pertama, maka dilakukan pengukuran ke-tiga. Dua data pengukuran dengan selisih terkecil dengan pengukuran terakhir dihitung reratanya sebagai hasil ukur tensi. Informasi hasil analisis penyakit tidak menular (PTM) meliputi (1) asma (2) PPOK (3) kanker (4) DM (5) hipertiroid (6) hipertensi (7) jantung koroner (8) gagal jantung (9) stroke (10) gagal ginjal kronis (11) batu ginjal (12) penyakit sendi/rematik. Informasi disajikan dalam bentuk tabel yang menunjukkan prevalensi tingkat provinsi dan kabupaten/kota, serta karakteristik sosiodemografi. Istilah D dalam tabel berarti telah didiagnosis tenaga kesehatan, D/G adalah hasil diagnosis ditambah gejala (yang belum terdiagnosis). Untuk kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes diberi inisial D, dan gabungan kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes dengan kasus hipertensi berdasarkan riwayat sedang minum obat hipertensi sendiri diberi istilah DO (diagnosis atau minum obat sendiri), hasil berdasarkan pengukuran diberi inisial U.
3.5.1 Asma Asma merupakan gangguan inflamasi kronik di jalan napas. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dan obstruksi jalan napas. Gejala asma adalah gangguan pernapasan (sesak), batuk produktif terutama pada malam hari atau menjelang pagi dan dada terasa tertekan. Gejala tersebut memburuk pada malam hari, adanya alergen (seperti debu, asap rokok), dan sedang menderita sakit seperti demam. Gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan. Didefinisikan sebagai asma jika pernah mengalami gejala sesak napas yang terjadi pada salah satu atau lebih kondisi: terpapar udara dingin dan/atau debu dan/atau asap rokok dan/atau stres dan/atau flu atau infeksi dan/atau kelelahan dan/atau alergi obat dan/atau alergi makanan dengan disertai salah satu atau lebih gejala: mengi dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang dengan pengobatan dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang tanpa pengobatan dan/atau sesak napas lebih berat dirasakan pada malam hari atau menjelang pagi dan jika pertama kali merasakan sesak napas saat berumur kurang dari 40 tahun (usia serangan terbanyak).
67
3.5.2 Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) PPOK adalah penyakit kronik saluran napas yang ditandai dengan hambatan aliran udara khususnya udara ekspirasi dan bersifat progresif lambat (semakin lama semakin memburuk), disebabkan oleh pajanan faktor risiko seperti merokok, polusi udara di dalam maupun di luar ruangan. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang dengan pengobatan. Didefinisikan sebagai PPOK jika pernah mengalami sesak napas yang bertambah ketika beraktifitas dan/atau bertambah dengan meningkatnya usia disertai batuk berdahak atau pernah mengalami sesak napas disertai batuk berdahak dan nilai Indeks Brinkman ≥200. Indeks Brinkman adalah jumlah batang rokok yang diisap, dihitung sebagai lama merokok (dalam tahun) dikalikan dengan jumlah rokok yang diisap per hari. Hasil yang didapat melalui kuesioner akan lebih rendah dibanding pemeriksaan spirometri karena PPOK baru ada keluhan bila fungsi paru sudah menurun banyak.
3.5.3. Kanker Kanker atau tumor ganas adalah pertumbuhan sel/jaringan yang tidak terkendali, terus bertumbuh/bertambah, immortal (tidak dapat mati). Sel kanker dapat menyusup ke jaringan sekitar dan dapat membentuk anak sebar. Diagnosis kanker maupun jenis kanker ditegakkan berdasarkan hasil wawancara terhadap pertanyaan pernah didiagnosis menderita kanker oleh dokter. Tabel 3.5.1 mencakup informasi prevalensi asma, PPOK, dan kanker di Provinsi Banten masingmasing 3,8 persen, 2,7 persen, dan 1,0 per mil. Prevalensi asma tertinggi terdapat di Kota Tangerang (6,6%), diikuti Kota Serang (5,6%), Kota Cilegon (4,9%), dan Kabupaten Pandeglang (4,2%). Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Kabupaten Pandeglang (4,6%), diikuti Kota Tangerang (3,5%), Kota Serang (3,0%), dan Kabupaten Tangerang (2,7%). Prevalensi kanker tertinggi terdapat di Kota Tangerang (2,4‰), diikuti Kota Tangerang Selatan (1,9‰), Kota Serang (1,7‰), Kabupaten Tangerang (0,8‰), dan Kabupaten Pandeglang (0,5‰). Tabel 3.5.1 Prevalensi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/Kota
Asma*
PPOK**
Kab. Pandeglang
4,2
4,6
0,5
Kab. Lebak
0,7
0,9
0,1
Kab. Tangerang
3,1
2,7
0,8
Kab. Serang
2,9
2,4
0,0
Kota Tangerang
6,6
3,5
2,4
Kota Cilegon
4,9
2,6
0,3
Kota Serang
5,6
3,0
1,7
Kota Tangerang Selatan
4,0
1,8
1,9
2,7
1,0
Banten 3,8 *Semua umur berdasarkan wawancara gejala **Usia > 30 tahun berdasarkan wawancara gejala ***Semua umur menurut riwayat diagnosis dokter
Kanker(‰)***
Dari Tabel 3.5.2 menurut karkateristik terlihat bahwa prevalensi asma, PPOK, dan kanker meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi asma pada kelompok umur ≥45 tahun mulai menurun. Prevalensi kanker agak tinggi pada bayi (0,3‰) dan meningkat pada umur ≥15 tahun, dan tertinggi pada umur ≥75 tahun (0,5‰). Prevalensi asma dan kanker pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki, PPOK lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan.
68
Prevalensi asma terlihat sama antara perkotaan dan perdesaan. PPOK lebih tinggi di perdesaan dibandingkan di perkotaan. Prevalensi kanker di perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada di perdesaan. Prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah dan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Asma cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Pada penyakit kanker, prevalensi cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan tinggi dan pada kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan teratas. Tabel 3.5.2 Prevalensi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) <1 1- 4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+ Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Pendidikan* Tidak Sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan** Tidak Kerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruhh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Rumah tangga per Kapita Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas *Wawancara semua umur berdasarkangejala **Wawancara umur > 30 tahun berdasarkan gejala ***Wawancara semua umur menurut diagnosis dokter
Asma*
PPOK**
Kanker(‰)***
0,5 2,6 2,9 4,8 5,4 4,5 2,0 2,4 4,7 4,5
0,0 0,0 0,0 0,0 0,8 1,6 2,9 5,7 8,9 8,9
0,0 0,0 0,1 0,6 0,8 1,2 2,1 1,9 5,9 23,6
3,4 4,2
2,6 2,8
0,7 1,4
3,2 3,5 3,7 5,5 3,8 4,4
8,4 5,8 2,9 1,9 1,1 0,9
0,2 0,6 1,1 0,9 1,4 3,7
4,3 4,0 3,9 3,7 5,2
3,0 0,9 2,2 3,5 6,0
1,9 1,4 0,0 0,1 0,0
4,2 3,0
2,5 3,1
1,4 0,2
3,3 4,4 4,1 4,0 3,2
4,4 4,0 3,1 2,4 1,6
0,6 0,6 0,6 1,1 2,5
69
3.5.4. Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal (WHO, 2006b). Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif. Ada 2 tipe diabetes melitus yaitu diabetes tipe I/ diabetes juvenile yaitu diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe II yaitu diabetes yang didapat setelah dewasa. Gejala diabetes mellitus antara lain: rasa haus yang berlebihan (polidipsi), sering kencing (poliuri) terutama malam hari, sering merasa lapar (poliphagi), berat badan yang turun dengan cepat, keluhan lemah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, impotensi, luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur di bawah lipatan kulit, dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi besar dengan berat badan > 4 kg. Didefinisikan sebagai DM jika pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter, tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala: sering lapar dan sering haus dan sering buang air kecil dalam jumlah banyak dan berat badan turun.
3.5.5. Penyakit Hipertiroid Penyakit hipertiroid adalah suatu keadaan ketika fungsi kelenjar gondok (tiroid) menjadi berlebihan. Kelebihan fungsi kelenjar tersebut meningkatkan produksi hormon tiroid yang mempengaruhi metabolisme tubuh. Gejala penyakit hipertiroid antara lain: jantung berdebardebar, berkeringat banyak, penurunan berat badan, cemas, tidak tahan terhadap udara dingin, dan lain-lain. Didefinisikan sebagai hipertiroid jika pernah didiagnosis hipertiroid oleh dokter.
3.5.6. Hipertensi/Tekanan darah tinggi Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal. Didefinisikan sebagai hipertensi jika pernah didiagnosis menderita hipertensi/penyakit tekanan darah tinggi oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita hipertensi tetapi saat diwawancarai sedang minum obat medis untuk tekanan darah tinggi (minum obat sendiri). Kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan kasus merujuk pada kriteria diagnosis JNC VII 2003, yaitu hasil pengukuran tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku untuk umur ≥ 18 tahun, maka prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah dihitung hanya pada penduduk umur ≥ 18 tahun. Mengingat pengukuran tekanan darah dilakukan pada penduduk umur ≥ 15 tahun maka temuan kasus hipertensi pada umur 15-17 tahun sesuai kriteria JNC VII 2003 akan dilaporkan secara garis besar sebagai tambahan informasi. Dari Tabel 3.5.3 terlihat prevalensi diabetes dan hipertiroid di Provinsi Banten berdasarkan wawancara, yang terdiagnosis dokter sebesar 1,3 persen dan 0,4 persen. DM terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 1,6 persen. Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi maupun yang terdiagnosis dokter dan gejala tertinggi terdapat di empat kabupaten/kota yang sama yaitu Kota Cilegon (2,2% dan 2,8%), Kota Tangerang (1,8% dan 2,5%), Kota Tangerang Selatan (1,7% dan 1,9%) dan Kabupaten Tangerang(1,4% dan 1,7%). Sedangkan prevalensi hipertiroid tertinggi diKota Tangerang dan Kota Cilegon (masing-masing 0,9%), Kota Serang(0,7%), dan Kota Tangerang Selatan(0,4%). Prevalensi hipertensi di Banten yang didapat melalui pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar 23,0 persen, tertinggi di Kota Tangerang (24,5%), diikuti Kabupaten Tangerang (23,6%), Kabupaten Pandeglang (23,2%) dan Kabupaten Lebak (22,7%). Prevalensi hipertensi di Banten yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan dan yang didiagnosis tenaga kesehatan serta minum obat masing-masing 8,6 persen. Jadi, responden yang terdiagnosis hipertensi oleh tenaga kesehatan seluruhnya minum obat sendiri.
70
Tabel 3.5.3 Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥ 15 tahun dan hipertensi pada umur ≥ 18 tahunmenurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
Kabupaten/Kota
Diabetes
Hipertiroid
Hipertensi Wawancara Pengukuran
Kab. Pandeglang
D* 0,6
D/G 1,2
D* 0,3
D** 7,5
D/O 7,5
U 23,2
Kab. Lebak
0,5
0,6
0,1
6,5
6,5
22,7
Kab. Tangerang
1,4
1,7
0,2
8,3
8,3
23,6
Kab. Serang
0,7
1,0
0,0
6,2
6,3
21,6
Kota Tangerang
1,8
2,5
0,9
12,1
12,2
24,5
Kota Cilegon
2,2
2,8
0,9
7,6
7,8
21,1
Kota Serang
0,8
1,3
0,7
9,2
9,3
21,8
Kota Tangerang Selatan
1,7
1,9
0,4
8,8
8,8
22,1
Banten
1,3
1,6
0,4
8,6
8,6
23,0
*) D* = berdasarkan diagnosis dokter *) D** = berdasarkan diagnosis nakes *) D/G = berdasarkan diagnosis dokter atau gejala *) D/O = berdasarkan diagnosis nakes atau minum obat, *) U = berdasarkan pengukuran Dari Tabel 3.5.4 terlihat prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis dokter dan gejala meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun mulai umur ≥ 65 tahun cenderung menurun. Prevalensi hipertiroid cenderung menetap di usia 35-44 tahun dan 45-54 tahun, Prevalensi mulai naik pada umur ≥ 55 tahun. Prevalensi hipertensi berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan pengukuran terlihat meningkat dengan bertambahnya umur. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi di perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada perdesaan. Prevalensi DM cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi dan dengan kuintil indeks kepemilikan tinggi. Prevalensi hipertensi cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan lebih rendah dan kelompok tidak bekerja.
71
Tabel 3.5.4 Prevalensi diabetes melitus, hipertiroid, hipertensi menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013
D*
D/G
D*
Hipertensi** Wawancara Pengukuran D** D/O U
Kelompok umur (tahun) 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+
0,0 0,3 0,9 3,5 5,7 3,2 1,0
0,2 0,7 1,4 4,0 6,1 4,0 1,0
0,3 0,6 0,3 0,3 0,4 0,2 0,0
1,2 4,1 7,9 15,4 21,6 30,4 30,4
1,2 4,1 8,0 15,5 21,7 30,6 30,4
7,2 15,8 24,3 36,5 43,4 55,1 54,7
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan
1,2 1,4
1,6 1,7
0,2 0,5
5,6 11,7
5,6 11,7
19,7 26,4
Pendidikan* Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT
1,1 1,3 1,4 0,9 1,2 2,1
1,3 2,1 1,7 1,3 1,6 2,2
0,2 0,3 0,3 0,2 0,6 0,4
21,9 13,8 10,0 6,4 6,0 8,0
22,0 13,8 10,0 6,4 6,0 8,0
43,3 32,6 26,3 19,9 17,9 20,4
Pekerjaan** Tidak Kerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya
1,3 1,4 2,7 0,3 0,7
1,7 1,7 2,9 0,7 1,7
0,5 0,4 0,2 0,2 0,3
11,6 5,7 10,8 4,6 6,5
11,7 5,8 10,8 4,6 6,7
26,6 18,6 25,0 19,8 20,8
1,6 0,5
2,0 0,9
0,5 0,1
9,4 6,6
9,5 6,6
23,6 21,6
0,3 0,7 1,2 1,9 2,1
0,6 1,3 1,7 2,3 2,2
0,2 0,2 0,3 0,7 0,4
5,8 8,3 9,4 9,8 8,9
5,8 8,3 9,4 9,8 9,0
22,1 21,8 23,6 24,2 23,0
Diabetes*
Karakteristik
Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Hipertiroid*
*Umur > 15 tahun, **Umur ≥18 tahun *) D* = berdasarkanriwayat diagnosis dokteran *) D** = berdasarkan riwayat diagnosis nakes *) D/G = berdasarkan riwayat diagnosis dokter atau gejala *) D/O = berdasarkan riwayat diagnosis nakes atau minum obat, *) U = berdasarkan pengukuran
72
3.5.7. Penyakit Jantung Penyakit jantung pada orang dewasa yang sering ditemui adalah penyakit jantung koroner dan gagal jantung. Responden biasanya mengetahui penyakit jantung yang diderita sebagai penyakit jantung saja. Cara membedakannya dilakukan menanyakan gejala yang dialami responden.
3.5.7.1 Penyakit jantung koroner Penyakit jantung koroner adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Secara klinis, ditandai dengan nyeri dada atau terasa tidak nyaman di dada atau dada terasa tertekan berat ketika sedang mendaki/kerja berat ataupun berjalan terburu-buru pada saat berjalan di jalan datar atau berjalan jauh. Didefinisikan sebagai PJK jika pernah didiagnosis menderita PJK (angina pektoris dan/atau infark miokard) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita PJK tetapi pernah mengalami gejala/riwayat: nyeri di dalam dada/rasa tertekan berat/tidak nyaman di dada dan nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan di dada bagian tengah/dada kiri depan/menjalar ke lengan kiri dan nyeri/tidak nyaman di dada, yang dirasakan ketika mendaki/naik tangga/berjalan tergesa-gesa dan nyeri/tidak nyaman di dada hilang ketika menghentikan aktifitas/istirahat.
3.5.7.2 Penyakit gagal jantung Gagal Jantung/Payah Jantung (fungsi jantung lemah)adalah ketidakmampuan jantung memompa darah yang cukup ke seluruh tubuh yang ditandai dengan sesak nafas pada saat beraktifitas dan/atau saat tidur terlentang tanpa bantal, dan/atau tungkai bawah membengkak.Didefinisikan sebagai penyakit gagal jantung jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung (decompensatio cordis) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung tetapi mengalami gejala/riwayat: sesak napas pada saat aktifitas dan sesak napas saat tidur terlentang tanpa bantal, kapasitas aktivitas fisik menurun/mudah lelah dan tungkai bawah bengkak.
3.5.8. Stroke Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal dan/ atau global, munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi syaraf pada stroke disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan syaraf tersebut menimbulkan gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain. Didefinisikan sebagai stroke jika pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh nakes tetapi pernah mengalami secara mendadak keluhan kelumpuhan pada satu sisi tubuh atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh yang disertai kesemutan atau baal satu sisi tubuh atau mulut menjadi mencong tanpa kelumpuhan otot mata atau bicara pelo atau sulit bicara/komunikasi dan atau tidak mengerti pembicaraan. Tabel 3.5.5 menunjukkan prevalensi jantung koroner berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter Provinsi Banten sebesar 0,5 persen, dan berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 1,0 persen. Prevalensi jantung koroner berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Kota Tangerang Selatan (1,0%) diikuti Kota Serang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang masingmasing 0,8 persen, 0,7 persen, dan 0,6 persen. Sementara prevalensi jantung koroner menurut diagnosis dan gejala tertinggi di Kabupaten Pandeglang (2,2%) diikuti Kota Cilegon (2,1%), Kota Serang (1,3%) dan Kota Tangerang Selatan (1,2%). Prevalensi gagal jantung berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Provinsi Banten sebesar 0,09 persendan yang terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 0,2 persen. Prevalensi gagal jantung berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Kabupaten Tangerang (0,20%), disusul Kota Tangerang Selatan (0,15%) dan Kabupaten Serang (0,07%). Prevalensi gagal jantung
73
berdasarkan diagnosis dan gejala tertinggi di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan masing-masing 0,2 persen. Prevalensi stroke di Provinsi Banten berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 5,1 permil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala sebesar 9,6 permil. Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Kota Tangerang Selatan (7,7‰), diikuti Kabupaten Pandeglang (6,6‰), Kabupaten Lebak dan Kota Tangerang masing-masing 5,1 permil dan 5,0 permil. Prevalensi Stroke berdasarkan terdiagnosis nakes dan gejala tertinggi terdapat di Kabupaten Pandeglang(17,0‰), Kabupaten Serang(12,4‰), Kota Cilegon (9,7‰), diikuti Kota Tangerang sebesar 9,1 permil. Tabel 3.5.5 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥ 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
Kab. Pandeglang
Jantung Koroner D/G D* D/G 0,4 2,2
Gagal jantung D/G D* D/G 0,00 0,2
Stroke (‰) D/G D ** D/G 6,6 17,0
Kab. Lebak
0,1
0,1
0,01
0,0
5,1
7,5
Kab. Tangerang
0,3
0,7
0,20
0,2
4,5
7,0
Kab. Serang
0,2
0,7
0,07
0,1
4,5
12,4
Kota Tangerang
0,6
1,4
0,04
0,2
5,0
9,1
Kota Cilegon
0,7
2,1
0,0
0,0
2,1
9,7
Kota Serang
0,8
1,3
0,04
0,1
3,5
7,0
Kota Tangerang Selatan
1,0
1,2
0,15
0,2
7,7
1,0
0,5 1,0 0,09 *) D* = berdasarkan riwayat diagnosis dokter *) D** = berdasarkan riwayat diagnosis nakes *) D/G = berdasarkan riwayat diagnosis dokter/nakes atau gejala
0,2
5,1
9,6
Kabupaten/Kota
Banten
Tabel 3.5.6 menunjukkan prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 65 -74 tahun yaitu 2,4 persen menurun sedikit pada kelompok umur ≥75tahun. Begitu pula dengan prevalensi PJK yang didiagnosis dokter dan gejala, meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur75 tahun ke atas yaitu 4,6 persen. Prevalensi PJK yang didiagnosis dokter pada perempuan sama besarnya pada laki-laki masing-masing 0,5 persen. Sedangkan prevalensi PJK berdasarkan diagnosis dokter dan gejala sedikit lebih rendah pada perempuan (1,0% berbanding 1,1%). Berdasarkan tingkat pendidikan, prevalensi PJK tertinggi pada masyarakat dengan pendidikan paling tinggi (1,1% dan 1,5%). Begitu pula berdasarkan tingkat kepemilikan, prevalensi PJK tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan teratas yaitu 1,2 persen dan 1,4 persen. Berdasarkan PJK terdiagnosis dokter maupun berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala, prevalensi PJK lebih tinggi di perkotaan daripada di perdesaan.
74
Tabel 3.5.6 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan strok kepada umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik
Jantung Koroner D/G D*
Gagal jantung D/G D*
Kelompok umur (tahun) D/G 15-24 0,1 0,6 0,0 25-34 0,2 0,7 0,0 35-44 0,3 0,7 0,1 45-54 0,8 1,6 0,1 55-64 1,8 2,9 0,4 65-74 2,4 3,6 0,4 75+ 2,1 4,6 1,6 Jenis Kelamin Laki-Laki 0,5 1,1 0,1 Perempuan 0,5 1,0 0,1 Pendidikan* Tidak Sekolah 0,3 1,3 0,0 Tidak Tamat SD 0,6 1,3 0,0 Tamat SD 0,3 1,0 0,1 Tamat SMP 0,3 0,9 0,2 Tamat SMA 0,6 1,0 0,1 Tamat PT 1,1 1,5 0,0 Pekerjaan** Tidak Kerja 0,6 1,3 0,1 Pegawai 0,4 0,8 0,0 Wiraswasta 0,8 1,4 0,0 Petani/Nelayan/Buruh 0,0 0,3 0,0 Lainnya 0,4 2,0 0,7 Tempat Tinggal Perkotaan 0,6 1,1 0,1 Perdesaan 0,2 0,9 0,0 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 0,1 1,0 0,0 Menengah bawah 0,2 0,9 0,1 Menengah 0,4 0,8 0,0 Menengah atas 0,6 1,1 0,1 Teratas 1,2 1,4 0,2 *) D* = berdasarkan riwayat diagnosis dokter *) D** = berdasarkan riwayat diagnosis nakes *) D/G = berdasarkan riwayat diagnosis dokter/nakes atau gejala
Stroke(‰) D/G D**
D/G 0,0 0,0 0,2 0,2 0,4 1,1 2,7
0,3 0,1 3,3 11,4 17,2 36,1 53,8
D/G 0,8 2,6 6,2 17,3 27,8 72,6 91,7
0,1 0,2
3,8 6,5
8,4 10,8
0,3 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2
12,0 9,6 7,5 2,3 3,2 5,0
39,0 19,2 12,6 5,0 5,1 7,0
0,3 0,0 0,0 0,0 0,7
8,1 1,9 5,2 2,4 0,8
13,6 4,5 7,7 6,6 9,6
0,2 0,1
5,6 4,1
9,0 10,8
0,1 0,2 0,2 0,2 0,2
3,1 4,3 5,8 5,6 6,6
9,3 10,8 10,0 9,1 8,6
Prevalensi penyakit gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur < 75 tahun (1,6%) untuk yang terdiagnosis dokter dan cenderung sama pada kelompok umur 55-64 tahun dan 65-74 tahun (0,4%). Untuk yang terdiagnosis dokter dan gejala, tertinggi pada umur ≥ 75 tahun (2,7%). Untuk yang didiagnosis dokter, prevalensi sama banyaknya antara laki-laki dan perempuan (0,1%), dan sedikit lebih tinggi pada perempuan dibanding laki-laki (0,2% berbanding 0,1%) berdasarkan didiagnosis dokter dan gejala. Prevalensi yang didiagnosis dokter dan gejala lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah dan hidup di perkotaan (0,3% berbanding 0,2%). Prevalensi yang didiagnosis dokter, lebih tinggi di perkotaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan tinggi. Sebaliknya untuk yang terdiagnosis dokter dan
75
gejala, lebih banyak di perkotaan tetapi cenderung tetap mulai kuintil indeks kepemilikan menengah bawah hingga teratas. Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis nakes, serta yang didiagnosis nakes dan gejala, meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur ≥ 75 tahun (53,8‰ dan 91,7‰). Prevalensi yang terdiagnosis nakes lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (5,5‰ berbanding 3,8‰) demikian juga yang didiagnosis nakes dan gejala lebih banyak pada kelompok perempuan daripada laki-laki (10,8‰ berbanding 8,4‰). Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah, baik yang didiagnosis nakes (12,0‰) maupun diagnosis nakes dan gejala (39,0‰). Prevalensi stroke di perkotaan lebih tinggi dari di perdesaan, berdasarkan diagnosis nakes (5,6‰) tetapi lebih tinggi di desa dari di kota berdasarkan diagnosis nakes dan gejala (10,8‰). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja baik yang didiagnosis nakes (8,1‰) maupun yang didiagnosis nakes dan gejala (13,6‰). Prevalensi stroke yang didiagnosis nakes dan gejala, lebih tinggi pada kuintil indeks kepemilikan teratas dan menengah bawah masing masing 6,6 permil dan 10,8 permil.
3.5.9. Penyakit ginjal Penyakit ginjal adalah kelainan yang mengenai organ ginjal yang timbul akibat berbagai faktor, misalnya infeksi, tumor, kelainan bawaan, penyakit metabolik atau degeneratif, dan lain-lain. Kelainan tersebut dapat mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Pasien mungkin merasa nyeri, mengalami gangguan berkemih, dan lain-lain. Terkadang pasien penyakit ginjal tidak merasakan gejala sama sekali. Pada keadaan terburuk, pasien dapat terancam nyawanya jika tidak menjalani hemodialisis (cuci darah) berkala atau transplantasi ginjal untuk menggantikan organ ginjalnya yang telah rusak parah. Di Indonesia, penyakit ginjal yang cukup sering dijumpai antara lain adalah penyakit gagal ginjal dan batu ginjal. Didefinisikan sebagai gagal ginjal kronis jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal ginjal kronis (minimal sakit selama 3 bulan berturut-turut) oleh dokter. Didefinisikan sebagai penyakit batu ginjal jika pernah didiagnosis mengalami penyakit batu ginjal oleh dokter.
3.5.10. Penyakit Sendi/Rematik/Encok Penyakit sendi/rematik/encok adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik pada sendi-sendi tubuh. Gejala klinik penyakit sendi/rematik berupa gangguan nyeri pada persendian yang disertai kekakuan, merah, dan pembengkakan yang bukan disebabkan oleh benturan/kecelakaan dan berlangsung kronis. Gangguan terutama muncul pada waktu pagi hari. Didefinisikan sebagai penyakit sendi/rematik/encok jika pernah didiagnosis menderita penyakit sendi/rematik/encok oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau ketika bangun tidur pagi hari pernah menderita salah satu gejala: sakit/nyeri atau merah atau kaku atau bengkak di persendian yang timbul bukan karena kecelakaan. Tabel 3.5.7 menunjukkan prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan diagnosis dokter di Provinsi Banten sebesar 0,2 persen. Prevalensi tertinggi di Kabupaten Pandeglang sebesar 0,4 persen, diikuti Kabupaten Serang (0,3%), Kabupaten Lebak dan Kota Tangerang Selatan masing-masing 0,2 persen. Sementara Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Serang masing– masing 0,1 persen. Prevalensi penderita batu ginjal berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Provinsi Banten sebesar 0,4 persen. Prevalensi tertinggi di Kota Cilegon (0,9%), diikuti Kabupaten Pandeglang (0,8%) dan Kota Tangerang (0,7%). Prevalensi penyakit sendi di Provinsi Banten berdasarkan diagnosis nakes sebesar 9,5 persen dan berdasarkan diagnosis dan gejala sebesar 20,6 persen. Prevalensi berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Kabupaten Pandeglang (21,0%), diikuti Kabupaten Lebak (13,0%), Kota Tangerang (9,5%) dan Kabupaten Serang (9,0%). Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis nakes dan gejala tertinggi di Kabupaten Pandeglang (37,7%), diikuti Kota Cilegon (22,6%) dan Kota Tangerang (22,4%).
76
Tabel 3.5.7 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gagal Ginjal Kronis
Batu Ginjal
D*
D*
D**
D
Kab. Pandeglang
0,4
0,8
21,0
37,7
Kab. Lebak
0,2
0,4
13,0
20,0
Kab. Tangerang
0,1
0,2
6,6
18,5
Kab. Serang
0,3
0,4
9,0
20,1
Kota Tangerang
0,1
0,7
9,5
22,4
Kota Cilegon
0,0
0,9
8,1
22,6
Kota Serang
0,1
0,1
6,9
15,9
Kota Tangerang Selatan
0,2
0,4
5,9
12,1
0,4
9,5
20,6
Kabupaten/kota
Banten 0,2 *) D* = berdasarkan riwayat diagnosis dokter *) D** = berdasarkan riwayat diagnosis nakes *) D/G = berdasarkan riwayat diagnosis nakes atau gejala
Penyakit Sendi
Tabel 3.5.8 menunjukkan prevalensi penyakit gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter tertinggi pada kelompok umur 45-54 tahun (0,4%), kemudian mengalami penurunan pada kelompok umur 55-64 tahun (0,2%) dan 65-74 taun (0,1%). Namun kembali meningkat pada kelompok umur > 75 tahun (0,2%). Prevalensi lebih tinggi pada laki-laki (0,3%), di perdesaan (0,2%), tamat SD, tamat SMA ((0,2%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah sebesar 0,4 persen. Prevalensi penyakit batu ginjal berdasarkan wawancara, meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Prevalesi tertinggi pada kelompok umur > 75 tahun (1,4%). Prevalensi lebih tinggi pada laki-laki (0,5%) dibanding perempuan (0,3%). Prevalensi tertinggi pada masyarakat tidak bersekolah (0,9%), masyarakat perdesaan (0,5%) serta masyarakat petani/nelayan/ buruh (0,6%) dan status ekonomi kuintil indeks kepemilikan terbawah (0,6%).
77
Tabel 3.5.8 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Gagal Ginjal Kronis
Batu Ginjal
D*
D**
D*
D/G
Kelompok umur (tahun) 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+
0,0 0,0 0,2 0,4 0,2 1,0 0,2
0,0 0,2 0,6 0,9 1,2 0,8 1,4
0,9 4,7 11,2 17,7 23,7 35,6 37,9
5,5 13,5 24,2 36,1 43,7 54,6 58,4
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan
0,3 0,0
0,5 0,3
7,4 11,6
17,1 24,2
Pendidikan* Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT
0,1 0,1 0,2 0,1 0,2 0,1
0,9 0,6 0,5 0,2 0,4 0,1
28,3 19,8 13,9 6,5 4,3 3,8
46,7 38,4 28,4 15,7 12,5 9,1
Pekerjaan** Tidak Kerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya
0,1 0,1 0,3 0,3 0,2
0,4 0,4 0,4 0,6 0,1
10,6 4,7 11,3 10,8 9,4
22,1 12,3 23,6 24,1 21,1
Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan
0,1 0,2
0,4 0,5
7,5 13,9
18,3 25,7
0,6 0,3 0,5 0,3 0,4
13,7 10,4 9,3 7,7 6,8
27,9 23,2 20,2 18,6 13,6
Karakteristik
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 0,4 Menengah bawah 0,1 Menengah 0,0 Menengah atas 0,2 Teratas 0,1 *) D* = berdasarkan riwayat diagnosis dokter *) D** = berdasarkan riwayat diagnosis nakes *) D/G = berdasarkan riwayat diagnosis nakes atau gejala
78
Penyakit Sendi
Prevalensi penyakit sendi berdasarkan wawancara yang didiagnosis nakes meningkat seiring dengan bertambahnya umur, demikian juga yang didiagnosis nakes dan gejala. Prevalensi tertinggi pada umur ≥75 tahun (37,9% dan 58,4%). Prevalensi yang didiagnosis nakes lebih tinggi pada perempuan (11,6%) dibanding laki-laki (7,4%) demikian juga yang didiagnosis nakes dan gejala pada perempuan (24,2%) lebih tinggi dari laki-laki (17,1%). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat tidak bersekolah baik yang didiagnosis nakes (28,3%) maupun diagnosis nakes dan gejala (46,7%). Prevalensi tertinggi pada pekerjaan wiraswasta berdasarkan yang didiagnosis nakes (11,3%) dan kelompok petani/nelayan/buruh (24,1%) untuk kasus yang diagnosis nakes dan gejala. Prevalensi yang didiagnosis nakes di perdesaan (13,9%) lebih tinggi dari perkotaan (7,5%), demikian juga yang diagnosis nakes dan gejala di pedesaan (25,7%), di perkotaan (18,3%). Kelompok yang didiagnosis nakes maupun terdiagnosis nakes dan gejala, prevalensi tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan terbawah masing-masing (13,7% dan 27,9%).
79
3.6
Cedera
Cedera merupakan kerusakan fisik pada tubuh manusia yang diakibatkan oleh kekuatan yang tidak dapat ditoleransi dan tidak dapat diduga sebelumnya (WHO, 2004). Kasus cedera diperoleh berdasarkan wawancara. Cedera yang ditanyakan adalah peristiwa yang dialami responden selama 12 bulan terakhir untuk semua umur. Definisi cedera dalam Riskesdas adalah kejadian atau peristiwa yang mengalami cedera yang menyebabkan aktivitas sehari-hari terganggu. Untuk kasus cedera yang kejadiannya lebih dari 1 kali dalam 12 bulan, kasus cedera yang ditanyakan adalah cedera yang paling parah menurut pengakuan responden. Jumlah data yang dianalisis seluruhnya 24.247 orang untuk semua umur. Adapun skema jumlah data yang dianalisis sebagai berikut : Responden diwawancara (semua umur)
Responden tidak alami cedera
Responden alami cedera
Penyebab cedera terbanyak Transportasi sepeda motor
Umur ≥ 1 tahun
Penyebab lain
Umur < 1 tahun
Jenis cedera Tempat kejadian
Bagian tubuh cedera Lama rawat Kecacatan
Pemakaian helm
Keterangan: : ada di laporan Riskesdas Banten dalam Angka 2013 3.6.1 Prevalensi Cedera dan penyebabnya Penyebab terjadinya cedera meliputi penyebab yang disengaja (intentional injury), penyebab yang tidak disengaja (unintentional injury) dan penyebab yang tidak bisa ditentukan (undetermined intent) (WHO, 2004). Penyebab cedera yang disengaja meliputi bunuh diri, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) seperti dipukul orang tua/suami/istri/anak), penyerangan, tindakan kekerasan/pelecehan dan lain-lain. Penyebab cedera yang tidak disengaja antara lain: terbakar/tersiram air panas/bahan kimia, jatuh dari ketinggian, digigit/diserang binatang, kecelakaan transportasi darat/laut/udara, kecelakaan akibat kerja, terluka karena benda tajam/tumpul/mesin, kejatuhan benda, keracunan, bencana alam, radiasi, terbakar dan lainnya. Penyebab cedera yang tidak dapat ditentukan (undetermined intent) yaitu penyebab cedera yang sulit untuk dimasukkan kedalam kelompok penyebab yang disengaja atau tidak disengaja. Penyebab cedera yang dituliskan dalam laporan ini adalah penyebab yang tidak disengaja. Prevalensi dan proporsi penyebab cedera menurut kabupaten/ kota disajikan pada Tabel 3.6.1.
80
Prevalensi cedera Provinsi Banten adalah 9 persen, prevalensi tertinggi ditemukan di Kota Serang (13,7%) dan terendah di Kota Tanggerang Selatan (3,0%). Kabupaten/ kota yang mempunyai prevalensi cedera lebih tinggi dari angka provinsi sebanyak 5 Kabupaten/ kota. Penyebab cedera terbanyak yaitu kecelakaan sepeda motor (45,1%) dan jatuh (38,4%). Adapun penyebab cedera yang mempunyai angka proporsi lebih dari 0% meliputi transportasi darat lain (7,5%), terkena benda tajam/tumpul (6,2%), kejatuhan (1,9%), terbakar (0,6%), gigitan hewan (0,1%) dan lainnya (0,2%). Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Kota Tangerang Selatan (60,1 persen) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (35,3%). Adapun untuk transportasi darat lain proporsi tertinggi terjadi di Kota Serang (10,7%) dan terendah ditemukan di Kabupaten Lebak (2,8%). Proporsi jatuh tertinggi di Kabupaten Lebak (46,5%) dan terendah di Kota Tangerang Selatan (23,0%). Proporsi tertinggi terkena benda tajam/tumpul terjadi di Kabupaten Serang (11,0%) dan terendah di Kabupaten Tangerang (3,6%). Penyebab cedera karena terbakar ditemukan proporsi tertinggi di Kota Serang (1,4%) dan terendah (tanpa kasus) di Kabupaten Lebak, Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan. Untuk penyebab cedera karena gigitan hewan tertinggi terjadi di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang (0,5%) dan terendah (tanpa kasus) terjadi di 5 kabupaten/ kota yaitu Kabupaten Lebak, Kota Cilegon, Kota Tangerang, Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan. Proporsi kejatuhan tertinggi ditemukan di Kabupaten Pandeglang (3,3%) dan terendah (tanpa kasus) di Kota Tangerang Selatan. Adapun untuk gambaran prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik disajikan pada Tabel 3.6.2. Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karakteristik responden yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun (12,2%), laki-laki (48,1%), pendidikan tidak sekolah (10,2%), pada pekerjaan lainnya (9,9%), bertempat tinggal di perkotaan (9,4%) dan pada menengah bawah (10,8%). Ditinjau dari penyebab cederanya, proporsi tertinggi adalah cedera karena kecelakaan sepeda motor (73,3%) pada kelompok umur 15-24 tahun, laki-laki (48,1%), tamat PT (73,5%), pegawai (75,6%), tinggal di perkotaan (45,1%) dan kuintil indeks kepemilikan menengah (48,9%). Selain itu penyebab cedera karena jatuh menempati peringkat kedua menunjukkan proporsi tertinggi yaitu (100%) pada kelompok umur <1 tahun, perempuan (45,5%), tingkat pendidikan tidak tamat SD (56,1%), tidak bekerja (37,6%), tinggal di perkotaan (39,1%), dan kuintil indeks kepemilikan menengah bawah (43%). Sedangkan penyebab cedera transportasi darat lain proporsi tertinggi terjadi pada umur 5-14 tahun (14,8%), laki-laki (8,2%), tidak sekolah (18,9%), status pekerjaan lainnya (9,1%), berdasarkan tempat tinggal di perkotaan dan perdesaan masing-masing 7,5% dan kuintil indeks kepemilikan teratas (8,6%).
81
Tabel 3.6.1 Prevalensi dan proporsi penyebab cedera langsung menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
Cedera
Trans Darat lain
Jatuh
Terbakar
Gigitan Hewan
Kejatuhan
Lainnya
Kab. Pandeglang
9,9
35,3
8,8
42,5
8,8
0,6
0,5
3,3
0,2
Kab. Lebak Kab. Tangerang
4,8 10,8
38,4 47,5
2,8 7,1
46,5 39,7
10,3 3,6
0,0 0,7
0,0 0,1
0,9 1,3
1,1 0,0
8,2
42,5
5,2
38,7
11,0
0,4
0,5
1,7
0,0
Kota Tangerang
11,1
45,9
8,5
36,8
5,0
0,5
0,0
2,9
0,4
Kota Cilegon
10,7
48,3
7,5
33,4
8,4
0,0
00
1,8
0,7
Kota Serang Kota Tangerang Selatan
13,7 3,0
45,5 60,1
10,7 8,5
35,7 23,0
4,8 8,4
1,4 0,0
0,0 0,0
1,8 0,0
0,0 0,0
9,0
45,1
7,5
38,4
6,2
0,6
0,1
1,9
0,2
Kab. Serang
Banten
82
Benda Tajam/ tumpul
Kabupaten/Kota
Sepeda motor
Penyebab cedera
Tabel 3.6.2 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013
Kelompok umur (th) <1 1,9 1–4 8,2 5 – 14 9,7 15 – 24 11,7 25 – 34 7,3 35 – 44 6,6 45 – 54 6,4 55 – 64 6,6 65 – 74 6,9 75+ 8,5 Jenis Kelamin Laki-laki 10,1 Perempuan 6,4 Pendidikan Tidak sekolah 8,6 Tidak tamat SD/MI 8,8 Tamat SD/MI 7,9 Tamat SMP/MTS 9,1 Tamat SMA/MA 8,3 Tamat Diploma/PT 6,2 Status pekerjaan Tidak bekerja 8,4 Pegawai 8,4 Wiraswasta 7,8 Petani/nelayan/ buruh 8,0 Lainnya 8,2 Tempat tinggal Perkotaan 8,7 Perdesaan 7,8 Kuintil Indeks kepemilikan Terbawah 8,3 Menengah bawah 8,4 Menengah 8,4 Menengah atas 8,7 Teratas 7,5
Lainnya
Kejatuhan
Gigitan Hewan
Terbakar
Benda Tajam/ tumpul
Jatuh
Cedera
Trans Darat lain
Karakteristik
Sepeda motor
Penyebab cedera
2,8 6,5 19,0 67,4 56,6 49,8 40,8 30,3 15,3 6,1
1,0 5,4 14,7 4,1 4,4 4,5 5,7 5,6 5,8 4,4
91,3 79,4 57,3 20,4 25,0 29,9 37,7 49,4 67,1 78,2
2,5 4,2 5,4 5,7 9,6 10,6 10,3 9,3 6,5 6,3
0,7 1,5 0,6 0,5 0,9 0,9 0,6 0,6 0,3 0,5
0,0 0,3 0,3 0,2 0,3 0,5 0,6 0,8 0,8 0,8
0,9 2,3 2,4 1,5 2,4 3,3 3,6 3,4 3,4 2,0
0,9 0,5 0,4 0,3 0,8 0,6 0,6 0,6 0,9 1,7
44,6 34,2
7,3 6,8
35,7 49,3
8,1 6,0
0,6 0,8
0,4 0,3
2,7 2,1
0,6 0,5
16,1 21,2 43,0 59,9 63,9 62,6
8,5 12,7 6,7 4,5 4,2 4,3
61,6 54,6 37,3 24,2 21,8 24,6
8,5 7,0 8,7 7,8 6,6 6,0
0,7 0,6 0,5 0,7 0,7 0,7
0,8 0,4 0,4 0,3 0,3 0,2
3,2 2,8 2,9 2,1 2,0 1,1
0,7 0,6 0,5 0,5 0,5 0,5
43,4 65,3 59,3 43,9 53,2
7,5 4,3 5,3 4,5 6,3
39,9 20,0 23,5 33,5 27,4
5,8 6,8 7,7 12,6 8,6
0,6 0,7 0,9 0,6 0,7
0,3 0,3 0,3 0,7 0,3
2,0 2,1 2,4 3,6 2,9
0,5 0,6 0,5 0,5 0,8
42,8 38,2
7,8 6,4
39,7 42,3
5,8 8,9
0,8 0,6
0,3 0,4
2,3 2,7
0,5 0,5
28,1 37,0 41,5 45,1 46,9
5,5 7,2 7,2 7,4 7,8
50,8 43,6 40,0 37,9 35,7
10,4 8,0 7,2 6,0 5,8
0,7 0,5 0,8 0,7 0,9
0,6 0,4 0,3 0,3 0,2
3,6 2,6 2,5 2,1 2,0
0,5 0,6 0,4 0,5 0,6
83
3.6.2 Jenis Cedera Jenis cedera merupakan jenis atau macam luka akibat trauma yang telah dialami yang dapat menyebabkan terganggunya aktifitas sehari-hari. Seseorang bisa mengalami satu atau lebih dari satu jenis cedera (multiple injuries). Gambaran proporsi jenis cedera yang dialami penduduk menurut kabupaten/ kota disajikan pada Tabel 3.6.3. Proporsi jenis cedera di Provinsi Banten didominasi oleh luka lecet/memar sebesar 76,2 persen, terbanyak terdapat di Kota Serang (88,1%) dan yang terendah di Kabupaten Lebak yaitu (65,8%). Jenis cedera terbanyak ke dua adalah terkilir, rata-rata di Provinsi Banten 29,0 persen. Ditemukan terkilir terbanyak di Kabupaten Tangerang sebesar 34 persen. Luka robek menduduki urutan ketiga jenis cedera terbanyak, jenis luka ini tertinggi ditemukan di Kota Tangerang Selatan 29,3 persen di atas angka provinsi yaitu 20,1 persen dan terendah di Kabupaten Tangerang (14,8%). Jenis cedera lainnya proporsinya kecil, patah tulang 6,1 persen, jenis cedera lainnya 1,6 persen, cedera mata 0,4 persen, anggota tubuh terputus, dan gegar otak masing-masing proporsinya di Provinsi Banten sebesar 0,2 persen. Adapun untuk gambaran proporsi jenis cedera menurut karakteristik, disajikan pada Tabel 3.6.4. Tabel 3.6.4 memberikan gambaran proporsi jenis cedera menurut karakteristik responden. Proporsi jenis luka yang menunjukkan 3 urutan proporsi tertinggi adalah luka lecet/memar, terkilir dan luka robek. Berdasarkan kelompok umur, proporsi lecet/memar dan geger otak menunjukkan pola atau kecenderungan yang sama yaitu pada usia <1 tahun proporsinya rendah, meningkat di usia muda dan menurun di usia lanjut. Adapun kecenderungan proporsi yang menggambarkan pola positif yaitu semakin bertambah umur proporsinya tinggi ditunjukkan pada jenis cedera luka robek, patah tulang, anggota tubuh terputus dan jenis cedera lainnya. Kelompok umur yang mempunyai proporsi tertinggi untuk jenis cedera lecet/memar pada umur 5-14 tahun (83%), luka robek pada umur 65-74 tahun (34,7%), patah tulang pada umur >75 tahun (11,6%), terkilir pada umur < 1 tahun (49,5%), anggota tubuh terputus pada kelompok usia >75 tahun sekitar 7,4 persen, cedera mata pada umur 65-74 tahun sekitar 2,4 persen, gegar otak pada umur 25-34 tahun (0,5%) dan jenis cedera lainnya pada umur >75 tahun (10,6%). Tabel 3.6.3 Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Jenis Cedera Lecet/ memar
Luka robek
Patah Tulang
Terkilir
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
72,8 65,8 73,8 78,7 79,7 67,9 88,1 77,5
24,1 24,8 14,8 20,7 23,8 20,9 17,8 29,3
4,2 9,4 5,7 9,3 5,8 5,1 3,6 8,0
Banten
76,2
20,1
6,1
Kabupaten/kota
84
Cedera Mata
Gegar otak
Lainnya
23,8 32,7 34,0 18,9 33,8 19,5 18,3 31,7
Anggota Tubuh Terputus 0,0 0,0 0,1 0,0 0,7 0,4 0,0 0,0
0,3 0,0 0,1 0,0 1,0 1,6 0,4 0,0
0,3 0,7 0,2 0,4 0,0 0,0 0,1 0,0
0,6 1,5 1,4 1,7 1,9 3,2 0,7 3,8
29,0
0,2
0,4
0,2
1,6
Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar proporsi jenis cedera menunjukkan angka proporsi yang lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, kecuali pada jenis cedera lecet/memar dan terkilir. Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar proporsi jenis cedera menunjukkan pola meningkat seiring dengan kenaikan tingkat pendidikan yaitu ada kecenderungan proporsi jenis cedera meningkat sejalan dengan semakin tinggi tingkat pendidikan, kecuali pada cedera mata dan gegar otak. Sedangkan menurut status pekerjaan, proporsi jenis cedera tidak menunjukkan pola tertentu. Berdasarkan pada tempat tinggal, proporsi jenis cedera lecet/memar, luka robek, patah tulang lebih besar terjadi diperdesaan, sedangkan jenis cedera tekilir, anggota tubuh terputus, cedera mata, dan jenis lainnya proporsinya terjadi lebih besar di perkotaan dibandingkan di perdesaan. Menurut kuintil indeks kepemilikan untuk jenis cedera tidak menunjukkan pola tertentu.
85
Tabel 3.6.4 Proporsi jenis cedera menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Jenis Cedera Lecet/ memar
Luka robek
Patah Tulang
Terkilir
Anggota Tubuh Terputus
Cedera Mata
Gegar otak
Lainnya
51,6 74,2 83,0
0,0 11,3 17,8
0,0 3,2 5,9
49,5 22,9 18,4
0,0 0,0 0,0
0,0 0,0 0,5
0,0 0,0 0,2
0,0 2,4 0,6
15 - 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 65 – 74 ≥ 75 Jenis Kelamin
80,1 75,4 73,3 66,5 50,4 64,6 50,8
22,2 27,1 16,7 25,8 20,5 34,7 24,2
5,0 6,8 8,9 5,0 15,2 7,6 11,6
28,7 36,1 39,0 43,2 29,7 34,3 38,2
0,5 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 7,4
0,3 0,3 0,4 0,6 0,9 2,4 0,0
0,3 0,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
0,2 3,5 2,8 1,3 5,3 0,0 10,6
Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah
75,2 77,7
23,4 15,0
7,1 4,5
27,8 30,8
0,2 0,2
0,4 0,3
0,3 0,1
1,6 1,6
69,1
23,7
7,1
23,6
0,0
1,6
0,9
2,7
Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SLTP/MTS Tamat SLTA/MA Tamat Diploma / PT Status Pekerjaan Tidak Bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah keatas Teratas
79,4 75,9 72,4 78,4 74,1
19,0 23,7 23,2 23,4 12,2
6,2 7,9 5,3 7,2 6,3
20,1 31,4 32,0 35,4 45,1
0,0 0,0 0,0 0,8 1,8
0,0 0,7 0,2 0,6 0,0
0,0 0,2 0,4 0,2 0,0
1,4 1,0 0,5 3,1 1,6
76,7 76,6 75,5 67,8 75,0
19,4 18,2 24,6 33,0 23,2
6,2 8,6 10,2 6,3 1,8
28,7 40,8 32,1 29,0 34,4
0,2 0,9 0,0 0,0 0,0
0,6 0,3 0,0 0,5 0,0
0,2 0,0 0,0 0,6 0,0
1,8 2,2 2,4 0,8 2,3
76,1 76,2
19,4 21,9
5,3 8,1
29,6 27,4
0,2 0,1
0,4 0,3
0,2 0,2
1,8 1,0
69,6 78,9 78,0 77,6 74,2
20,8 20,9 20,5 18,9 19,2
6,3 6,7 5,1 3,3 10,4
26,8 23,2 34,3 31,4 29,8
0,0 0,0 0,7 0,0 0,4
0,2 0,3 0,7 0,0 0,9
0,2 0,0 0,0 0,7 0,0
2,3 1,7 1,3 1,0 1,8
Karakteristik Kelompok Umur (tahun) <1 1-4 5 -14
86
3.6.3 Tempat Terjadinya Cedera Tempat terjadinya cedera adalah lokasi atau area dimana peristiwa atau kejadian yang mengakibatkan cedera terjadi. Tempat kejadian cedera hanya menginformasikan data tentang lokasi/tempat tanpa disertai keterangan aktivitas yang sedang dilakukan responden pada saat kejadin cedera di lokasi tersebut. Keterangan tempat rumah dan sekolah termasuk lingkungan sekitarnya (indoor dan outdoor). Ruang lingkup pertanian termasuk perkebunan dan sejenisnya. Gambaran tentang tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota disajikan pada Tabel 3.6.5. Secara provinsi, cedera terjadi paling banyak di jalan raya yaitu 42,4 persen selanjutnya di rumah (40,9%), sekolah (5,5%) dan tempat olahraga (3,8%). Kabupaten/kota yang memilki angka proporsi tempat cedera di rumah dan sekitanya tertinggi adalah Kabupaten Serang (49%) dan terendah di Kota Tangerang Selatan (24,7%). Adapun untuk proporsi tempat cedera di sekolah tertinggi di Kota Cilegon (8,5%) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (1,9%). Tempat kejadian cedera di jalan raya mempunyai proporsi paling tinggi dibandingkan dengan tempat yang lain. Kabupaten/ kota yang mempunyai proporsi tempat kejadian cedera di jalan raya yang melebihi angka Provinsi Banten sebanyak 4 kabupaten/kota. Adapun proporsi kejadian cedera di jalan raya terbanyak di Kota Tangerang Selatan (56,1%) dan terendah di Kabupaten Serang (29,2%). Kejadian cedera di tempat umum dan industri proporsinya tampak lebih kecil dibandingkan tempat lain. Sedangkan proporsi di area pertanian menunjukkan angka proporsi yang sangat melebihi angka provinsi (3,3%) yaitu 10,6 persen terjadi di Kabupaten Pandeglang terendah di Kota Tangerang (tanpa kasus). Gambaran proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik disajikan pada Tabel 3.6.6. Menurut kelompok umur tempat kejadian cedera di sekolah kebanyakan terjadi pada kelompok umur 5–14 tahun (12,0%). Adapun jalan raya merupakan tempat kejadian cedera yang banyak terjadi pada umur produktif dan tampak tertinggi khusus pada umur 15-24 yaitu 66,8 persen. Tempat umum dan industri menunjukkan pola yang sama yaitu kebanyakan terjadi pada kelompok umur produktif, kecuali di area pertanian proporsi tertinggi pada umur 65-74 tahun (9,0%). Menurut jenis kelamin, proporsi tempat kejadian cedera mayoritas lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan kecuali di rumah dan sekolah. Adapun berdasarkan pendidikan yang menunjukkan pola negatif yaitu semakin tinggi pendidikan proporsi cedera semakin rendah terjadi di rumah, sekolah dan pertanian. Sedangkan proporsi menunjukkan pola positif dengan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi proporsi cedera ditunjukkan pada tempat kejadian cedera di area olahraga dan jalan raya. Menurut status pekerjaan tampak proporsi tertinggi pada yang tidak bekerja, demikian juga pada rumah, sekolah dan area olahraga. Sedangkan di jalan raya memperlihatkan proporsi tertinggi pada status pegawai. Adapun untuk area pertanian tampak proporsi tertinggi pada status pekerjaan sebagai petani/nelayan/buruh (11,6%).
87
Tabel 3.6.5 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Tempat terjadinya cedera: Kabupaten/kota
1,9 7,6 4,0 8,3 6,9 8,5 5,9 5,5
Olah raga 2,9 3,1 3,9 4,3 4,7 3,2 2,3 3,4
Jalan Raya 39,1 38,4 44,3 29,2 45,9 40,1 45,8 56,1
Tempat umum 1,2 2,7 2,1 0,0 1,7 3,9 0,5 5,1
5,5
3,8
42,4
1,8
Rumah
Sekolah
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
40,9 41,8 42,7 49,0 37,3 33,8 42,9 24,7
Banten
40,9
Industri Pertanian
Lainnya
1,7 0,7 1,4 1,0 2,5 5,8 1,0 2,0
10,6 5,2 1,6 8,2 0,0 2,5 1,3 1,4
1,7 0,5 0,0 0,0 1,0 2,2 0,4 1,8
1,8
3,3
0,6
Berdasarkan tempat tinggal, mayoritas proporsi tempat kejadian cedera menunjukkan lebih tinggi terjadi di perkotaan dibandingkan perdesaan, kecuali pada area pertanian dan tempat terjadinya cedera lainnya. Menurut kuintil indeks kepemilikan, tampak adanya kecenderungan proporsi semakin meningkat seiring dengan status ekonomi, kecuali pada tempat kejadian di area pertanian menunjukkan sebaliknya yaitu dengan semakin tinggi tingkat ekonominya kejadian cedera di tempat tersebut semakin rendah. Sedangkan untuk tempat kejadian selain tempat-tempat tersebut menunjukan pola yang tidak teratur.
88
Tabel 3.6.6 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Kategori Umur (tahun) <1 1-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+ Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SLTP/MTS Tamat SLTA/MA Tamat Diploma / PT Status Pekerjaan Tidak Bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah keatas Teratas
Tempat terjadinya cedera Jalan Tempat Industri Raya umum
Rumah
Sekolah
Olah raga
100,0 92,2 59,8 16,3 18,6 20,0 39,0 46,8 54,6 71,9
0,0 1,3 12,0 6,0 1,5 2,5 2,3 1,2 0,0 0,0
0,0 1,7 5,7 5,1 3,6 2,1 0,0 0,4 0,3 6,9
0,0 3,4 20,5 66,8 63,0 60,9 40,2 40,7 31,2 12,4
0,0 0,0 0,0 1,9 3,7 1,1 8,1 1,8 2,4 0,0
34,1 51,8
4,9 6,3
6,0 0,2
46,1 36,6
56,6 55,5 30,3 20,2 19,2 15,3
5,8 10,9 6,6 6,3 2,0 1,0
2,9 4,1 4,1 4,0 3,9 10,4
36,9 14,3 25,4 13,7 23,1
9,1 0,9 3,6 2,6 2,0
41,1 40,4 42,3 46,2 33,2 39,3 44,3
Pertanian
Lainnya
0,0 0,3 0,0 1,7 5,2 2,2 3,8 0,4 2,5 0,0
0,0 0,2 1,9 2,1 3,3 8,3 5,7 8,7 9,0 8,7
0,0 0,8 0,1 0,1 1,1 2,8 0,9 0,0 0,0 0,0
1,9 1,5
2,5 0,6
3,8 2,5
0,8 0,4
24,4 25,1 47,3 59,7 67,3 67,3
1,9 0,1 1,5 3,1 3,0 6,0
1,4 0,6 1,8 2,6 3,6 0,0
7,1 3,5 7,1 3,2 0,5 0,0
0,0 0,1 1,3 1,0 0,5 0,0
5,2 4,9 4,0 1,1 4,4
43,7 71,2 58,4 59,8 53,3
0,6 2,7 5,2 3,3 14,0
0,4 5,4 1,0 5,5 2,2
3,9 0,0 2,4 11,6 0,1
0,3 0,6 0,0 2,4 0,9
6,3 3,4
4,3 2,5
42,8 41,5
2,1 1,0
1,9 1,3
1,0 9,0
0,6 0,8
3,4 2,7 7,7 6,5 8,0
3,1 3,7 4,0 4,4 3,5
38,8 40,1 46,1 44,3 42,5
1,6 1,1 3,0 1,6 1,5
0,7 2,2 2,7 2,1 0,3
9,1 3,6 2,0 1,6 0,0
1,1 0,4 1,3 0,2 0,0
89
3.7
Kesehatan Gigi dan Mulut
Survei kesehatan gigi pertama kali dilaksanakan oleh Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan melalui Survei Kesehatan Rumah tangga (SKRT) 1986, selanjutnya secara periodik dilaksanakan melalui SKRT 1995, SKRT 2001, SKRT 2004, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, dan Riskesdas 2013. Riskesdas 2013 mengumpulkan data kesehatan gigi secara komprehensif yang meliputi indikator status kesehatan gigi, indikator jangkauan pelayanan dan perilaku kesehatan gigi. Pengumpulan data melalui wawancara maupun pemeriksaan gigi dan mulut dengan jumlah sampel keseluruhan 24.247 responden. Wawancara dilakukan terhadap responden semua umur. Pertanyaan perilaku ditanyakan kepada kelompok umur ≥10 tahun. Pemeriksaan gigi dan mulut dilakukan pada kelompok umur ≥12 tahun. Hasil ini dapat dibandingkan dengan Riskesdas 2007 sebagai evaluasi keberhasilan intervensi berbagai program perbaikan derajat kesehatan gigi dan mulut penduduk Indonesia. Pada tabel menurut karakteristik responden, ditambahkan juga kelompok umur menurut WHO. Pembagian kelompok menurut WHO ini diperlukan karena pada umur ≥12 tahun, seluruh gigi dari insisivus hingga molar satu sudah tumbuh semua (permanen). Pada umur 15 tahun, seluruh gigi dari insisivus hingga molar 2 sudah tumbuh semua, dan pada umur 18 tahun, seluruh gigi dari insisivus hingga molar tiga diharapkan sudah tumbuh semua. Penilaian dalam dentogram dilakukan untuk gigi permanen saja. Demikian juga pada umur 3554 tahun, diharapkan 20 gigi berfungsi, serta umur ≥ 65 tahun. (Hasil lengkap di buku Riskesdas Banten dalam Angka 2013).
3.7.1 Effective Medical Demand Effective Medical Demand (EMD) didefinisikan sebagai persentase penduduk yang bermasalah dengan gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir dikalikan (x) persentase penduduk yang menerima perawatan atau pengobatan gigi dari tenaga medis.
Gambar 3.7.1 Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta mendapat perawatan, dan EMD, Provinsi Banten 2013 Berdasarkan hasil wawancara, sebesar 23,7 persen penduduk Banten mempunyai masalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir (potential demand). Diantara mereka, terdapat 33,1 persen yang menerima perawatan dan pengobatan dari tenaga medis (perawat gigi, dokter gigi atau dokter gigi spesialis), sementara 66,9 persen lainnya tidak dilakukan perawatan. Secara keseluruhan keterjangkauan/kemampuan untuk mendapatkan pelayanan dari tenaga medis gigi/EMD hanya 7,9 persen (lihat Gambar 3.7.1).
90
Tabel 3.7.1 Proporsi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir sesuai Effective Medical Demand menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/Kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan Banten *) Bermasalah gigi dan mulut (%)
Bermasalah Gigi dan mulut (%)
Menerima perawatan dari tenaga medis gigi (%)
Effective MedicalDemand(%)
26,7 16,8 23,1 24,0 30,7 24,8 27,4
28,1 31,0 29,5 32,8 37,1 40,3 33,2
7,5 5,2 6,8 7,9 11,4 10,0 9,1
16,6
40,5
6,7
23,7
33,1
7,9
Tabel 3.7.1 menggambarkan proporsi penduduk dengan masalah gigi dan mulut yang menerima perawatan dari tenaga medis gigi dalam 12 bulan terakhir menurut kabupaten/ kota. Kota Tangerang mempunyai masalah gigi dan mulut tertinggi (30,7%) dengan EMD 11,4 persen yang juga EMD tertinggi diantara kabupaten/kota lainnya. Sedangkan Kabupaten Lebak mempunyai masalah gigi dan mulut terendah yaitu 16,8% dengan EMD yang paling rendah pula (5,2%).
91
Tabel 3.7.2 Proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik
Bermasalah gigi dan mulut (%)
Menerima perawatan dari tenaga medis gigi (%)
Effective Medical Demand (%)
Kelompok umur <1 1–4 5–9 10 – 14 15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 65 +
3,3 9,3 27,4 23,9 21,2 24,7 27,0 31,2 28,1 20,3
33,1 23,1 39,9 28,9 26,3 35,6 37,5 33,9 31,3 26,6
1,1 2,2 10,9 6,9 5,6 8,8 10,1 10,6 8,8 5,4
Kelompok umur (WHO) 12 15 18 35-44 45-54 55-64 ≥ 65
21,9 22,7 17,5 27,0 31,2 28,1 20,3
33,8 22,9 18,6 37,5 33,9 31,3 26,6
7,4 5,2 3,3 10,1 10,6 8,8 5,4
Jenis kelamin Laki – laki Perempuan
22,1 25,4
30,3 35,7
6,7 9,0
Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
26,9 27,4 26,3 24,7 23,3 22,4
39,6 32,9 27,4 30,4 39,3 46,0
10,7 9,0 7,2 7,5 9,2 10,3
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
25,6 22,4 27,9 24,3 27,9
33,6 37,4 31,0 25,9 28,7
8,6 8,4 8,6 6,3 8,0
Tempat tinggal Perkotaan Pedesaan
24,0 23,0
34,1 31,0
8,2 7,1
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
24,1 24,3 24,2 24,0 21,5
26,3 27,3 33,6 37,5 41,8
6,3 6,6 8,1 9,0 9,0
92
Tabel 3.7.2 menunjukkan proporsi penduduk dengan masalah gigi dan mulut (potential demand) menurut karakteristik. Proporsi tertinggi pada usia produktif 45-54 tahun sebesar 31,2 persen dengan proporsi EMD 10,6 persen. Proporsi EMD pada laki – laki (6,7%) lebih rendah dibanding perempuan (9,0%). Terdapat kecenderungan peningkatan proporsi EMD pada kelompok pendidikan lebih tinggi (11,3%). Berdasarkan jenis pekerjaan, kelompok pegawai memiliki EMD terbesar (9,8%). Berdasarkan tempat tinggal, di daerah perkotaan (8,6%) lebih tinggi dibandingkan perdesaan (7,5%), dan cenderung meningkat pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi. Tabel 3.7.3 memperlihatkan proporsi penduduk berobat gigi berdasarkan jenis tenaga pelayanan menurut kabupaten/kota. Proporsi penduduk yang berobat ke dokter gigi spesialis terbanyak di Kota Tangerang Selatan (11,3%). Responden yang berobat ke dokter gigi lebih banyak di kota besar, seperti di Kota Tangerang Selatan (78,9%) dan Kota Tangerang sebesar 76,5 persen. Pemanfaatan pelayanan dokter gigi terendah di Kabupaten Pandeglang (22,2%), tetapi tertinggi untuk pemanfaatan pelayanan perawat gigi yaitu sebesar 35,5%. Sedangkan pemanfaatan pelayanan perawat gigi terendah di Kabupaten Tangerang (1,7%). Proporsi penduduk berobat gigi berdasarkan jenis tenaga pelayanan menurut karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas Banten dalam Angka 2013. Tabel 3.7.3 Persentase penduduk pergi berobat menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan Banten
Dokter gigi spesialis(%) 1,5 1,0 2,7 2,6 9,5 2,3 9,9 11,3 5,5
Dokter gigi(%) 22,2 22,9 77,0 35,9 76,5 71,7 64,3 78,9
Perawat gigi(%) 35,5 25,0 1,7 12,6 10,2 9,5 2,8 5,3
Paramedik lainnya(%) 28,9 48,0 13,2 33,7 7,6 21,8 21,5 3,2
Tukang gigi(%) 0,3 0,4 0,3 0,3 0,4 0,0 1,6 0,4
61,5
11,0
18,3
0,4
93
Lainnya (%) 24,2 6,1 5,5 18,7 12,2 2,3 3,0 2,4 10,1
3.7.2 Perilaku Menyikat Gigi Setiap orang perlu menjaga kesehatan gigi dan mulut dengan cara menyikat gigi secara benar untuk mencegah terjadinya karies gigi. Pertanyaan tentang perilaku menyikat gigi dalam Riskesdas 2013 bertujuan untuk mengetahui kebiasaan dan waktu menyikat gigi. Definisi berperilaku benar dalam menyikat gigi adalah kebiasaan menyikat gigi setiap hari sesudah makan pagi dan sebelum tidur malam. Tabel 3.7.4 menunjukkan proporsi penduduk umur ≥10 tahun sebagian besar (97,1%) menyikat gigi setiap hari. Daerah dengan proporsi tertinggi adalah Kota Tangerang Selatan (98,9%) dan terendah Kabupaten Serang (95,3%). Sebagian besar penduduk juga menyikat gigi pada saat mandi pagi, yaitu sebesar 96,9 persen dengan urutan tertinggi di Kabupaten Pandeglang sebesar 98,3 persen, dan yang terendah di Kota Cilegon sebesar 95,6 persen. Sebagian besar penduduk menyikat gigi setiap hari saat mandi pagi atau mandi sore. Kebiasaan yang keliru hampir merata tinggi di seluruh kelompok umur. Kebiasaan benar menyikat gigi penduduk Banten hanya 1,5 persen, Kota Tangerang Selatan tertinggi untuk perilaku menyikat gigi dengan benar yaitu 4,5 persen. Tabel 3.7.5 menggambarkan proporsi penduduk umur ≥10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menurut karakteristik. Menurut tempat tinggal, responden di perkotaan lebih banyak berperilaku menyikat gigi benar dibandingkan perdesaan. Laki-laki (1,4%) lebih rendah dibandingkan perempuan (1,6%). Demikian pula semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, maka semakin baik perilaku menyikat gigi dengan benar. Berdasarkan jenis pekerjaan, kelompok lainnya lebih banyak berperilaku menyikat gigi dengan benar. Tabel 3.7.4 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Waktu menyikat gigi Sesudah Sebelum Mandi Sesudah bangun tidur sore makan pagi pagi malam 90,4 1,0 3,3 12,9
Mandi pagi
Kab. Pandeglang
Sikat gigi setiap hari 95,8
Kab. Lebak
97,5
97,9
94,2
0,9
2,2
10,5
2,5
93,0
0,3
Kab. Tangerang
96,8
96,7
87,1
1,9
2,7
28,5
3,9
85,2
0,9
Kab. Serang
95,3
97,3
82,1
2,9
8,2
23,2
5,7
80,8
1,0
KotaTangerang Kota Cilegon
98,4
96,6
81,4
2,5
3,1
37,5
7,5
80,6
2,0
96,3
95,6
81,5
3,5
3,5
31,5
11,3
79,3
2,1
Kota Serang
97,0
97,3
87,2
1,9
5,3
25,7
5,5
86,2
1,4
Kota Tangerang Selatan
98,9
95,7
70,1
5,3
6,0
52,7
3,4
69,3
4,5
Banten
97,1
96,9
84,2
2,4
4,1
29,1
5,0
82,8
1,5
Kabupaten/ kota
98,3
94
Menyikat Sesudah Mandi gigi dengan makan pagi dan benar siang sore 4,7 89,1 0,2
Tabel 3.7.5 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Waktu menyikat gigi Sesudah Sesudah Sebelum makan bangun tidur pagi Pagi malam
Sikat gigi setiap hari
Mandi pagi
Mandi sore
Kelompok Umur ( tahun ) 10 – 14 15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 65 +
96,9 98,8 98,9 98,4 98,0 93,2 71,2
97,9 97,5 96,0 97,3 96,9 95,1 96,2
85,8 84,2 84,5 85,2 82,5 81,1 78,6
1,9 2,2 2,5 3,0 1,7 3,8 3,4
3,3 4,0 4,6 4,2 3,7 4,2 4,2
19,4 32,9 32,6 30,5 27,4 24,4 18,6
3,6 4,4 5,5 5,5 5,9 5,1 3,7
84,8 83,2 82,8 84,2 80,9 79,0 76,6
0,8 1,2 1,8 2,1 1,0 2,5 1,4
Kelompok Umur 12 Th (WHO) 12 15 18 35-44 45-64 55-64 ≥65
97,7 99,8 99,1 98,4 98,0 93,2 71,2
97,8 97,2 98,5 97,3 96,9 95,1 96,2
83,4 88,3 85,4 85,2 82,5 81,1 78,6
1,6 2,4 1,4 3,0 1,7 3,8 3,4
3,5 4,0 4,7 4,2 3,7 4,2 4,2
16,8 32,5 33,1 30,5 27,4 24,4 18,6
4,2 6,5 4,0 5,5 5,9 5,1 3,7
82,4 87,1 85,2 84,2 80,9 79,0 76,6
0,4 0,8 0,4 2,1 1,0 2,5 1,4
Jenis Kelamin Laki – laki Perempuan
96,8 97,5
96,9 96,9
82,6 85,7
2,5 2,4
3,7 4,4
25,4 32,9
3,9 6,1
81,4 84,4
1,4 1,6
Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat PT
82,3 94,4 96,7 98,1 99,4 99,4
96,3 97,4 97,0 97,1 96,9 95,4
82,3 86,9 88,2 86,2 80,2 72,2
3,8 1,5 1,8 2,1 2,6 6,4
3,6 3,3 3,7 3,9 4,4 5,9
13,1 15,7 18,0 30,5 39,7 60,6
8,2 5,0 5,1 5,0 4,5 4,9
80,5 85,2 86,5 84,8 79,5 71,7
1,0 0,5 0,8 1,0 2,0 5,9
Pekerjaan Tidak kerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
96,6 99,1 98,0 96,1 97,3
97,0 97,0 96,0 97,3 96,0
85,7 77,5 85,5 86,6 81,4
2,3 3,5 2,3 1,7 3,2
4,2 4,8 3,9 2,9 4,6
28,4 43,6 27,2 15,8 30,7
5,5 4,6 4,5 3,9 5,9
84,2 77,0 84,0 85,1 79,8
1,2 2,9 1,5 0,6 3,0
Tempat tinggal Perkotaan Pedesaan
97,7 95,9
96,3 98,2
81,3 90,4
2,9 1,5
4,1 3,9
36,4 12,9
5,2 4,4
79,9 89,3
2,0 0,4
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
93,7 96,1 98,6 98,0 98,9
98,1 96,3 97,2 96,5 96,6
88,0 88,7 83,3 83,1 77,7
1,5 2,5 2,4 2,0 3,9
2,6 4,5 4,1 4,4 4,5
11,0 19,0 30,7 33,5 50,0
5,1 5,7 5,0 4,5 4,5
86,8 86,3 82,3 81,8 77,2
0,3 1,3 1,4 1,3 3,3
Karakteristik
95
Sesudah makan siang
Mandi pagi dan sore
Menyikat gigi benar
3.7.3 Indeks DMF-T dan Komponen D-T, M-T, F-T Nilai “X” adalah rata-rata dari D, rata-rata M, rata-rata F dan rata-rata DF. Indeks DMF-T merupakan penjumlahan dari komponen D-T, M-T, dan F-T yang menunjukkan banyaknya kerusakan gigi yang pernah dialami seseorang, baik berupa gigi Decayed/D (merupakan jumlah gigi permanen yang mengalami karies dan belum diobati atau ditambal), Missing/M (jumlah gigi permanen yang dicabut atau masih berupa sisa akar), dan Filled/F adalah jumlah gigi permanen yang telah dilakukan penumpatan atau ditambal. Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi permanen. Tabel 3.7.6 Komponen D, M, F, dan index DMF-T menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik responden Indeks Umur (WHO) 12 15 18 35-44 45-54 55-64 65+ Kelompok Umur 12-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65+ Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat PT Status Pekerjaan Tidak kerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Status ekonomi Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
D-T (X)
M-T (X)
F-T (X)
DF-T (X)
Index DMF-T (X)
1,12 0,92 1,21 2,07 2,22 2,59 1,15
0,44 0,15 0,55 2,65 4,67 9,55 15,32
0,04 0,04 0,02 0,12 0,18 0,20 0,00
0,02 0,00 0,00 0,02 0,05 0,04 0,00
1,58 1,11 1,77 4,83 7,02 12,30 16,47
0,93 1,25 1,96 2,07 2,22 2,59 1,15
0,31 0,32 1,41 2,65 4,67 9,55 15,32
0,03 0,06 0,11 0,12 0,18 0,20 0,00
0,01 0,02 0,04 0,02 0,05 0,04 0,00
1,26 1,61 3,44 4,83 7,02 12,30 16,47
1,62 1,59
1,74 2,25
0,06 0,11
0,01 0,03
3,41 3,92
2,46 1,79 1,78 1,43 1,39 0,95
9,52 2,78 2,31 0,89 1,32 1,76
0,07 0,05 0,04 0,05 0,17 0,46
0,07 0,01 0,02 0,01 0,05 0,05
11,98 4,61 4,12 2,36 2,83 3,13
1,33 1,56 1,48 2,39 2,70
1,75 1,26 2,57 3,15 1,81
0,08 0,21 0,10 0,03 0,04
0,02 0,03 0,04 0,02 0,01
3,15 3,00 4,11 5,55 4,54
1,52 1,78
1,86 2,27
0,11 0,05
0,02 0,03
3,47 4,07
1,81 1,85 1,44 1,74 0,84
2,30 2,55 1,90 1,68 1,24
0,02 0,04 0,09 0,10 0,26
0,01 0,03 0,02 0,03 0,02
4,12 4,39 3,41 3,50 2,32
96
Indeks DMF-T Indonesia sebesar 3,7 dengan nilai masing-masing: D-T=1,6; M-T=2,0; F-T=0,09; yang berarti kerusakan gigi penduduk Indonesia 370 buah gigi per 100 orang. Tabel 3.7.6, menunjukkan indeks DMF-T menurut karakteristik. Index DMF-T meningkat seiring dengan bertambahnya umur yaitu sebesar 1,77 pada kelompok umur 18 tahun, kemudian 4,83 pada umur 35-44 tahun dan 7,02 pada umur 45-54 tahun. Demikian pula pada umur 55-64 dan umur > 65 tahun. Namun untuk kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi kuintil indeks, semakin rendah nilai DMF-T, hal ini terlihat pada kuintil indeks kepemilikan menengah bawah nilai DMF-T nya 4,39 sedang untuk yang teratas nilai DMF-T nya lebih rendah yaitu 2,32.
97
3.8
Disabilitas
Bahasan disabilitas bertujuan mendapatkan pemahaman seutuhnya tentang pengalaman hidup penduduk karena kondisi kesehatan termasuk penyakit atau cedera yang dialami. Setiap orang memiliki peran tertentu, seperti bekerja dan melaksanakan kegiatan/aktivitas rutin yang diperlukan. Kuesioner disabilitas dikembangkan oleh WHO untuk mendapatkan informasi sejauh mana seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, tempat kerja, sekolah atau area sosial lain, hal yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan melakukan aktivitas rutin (WHO 2010). Informasi besaran masalah disabillitas dapat dimanfaatkan untuk menyusun prioritas dan mengevaluasi efektivitas dan kinerja program kesehatan. Instrumen untuk data disabilitas pada Riskesdas 2013 diadaptasi dari WHODAS 2 sebagai operasionalisasi dari konsep International Classification of Functioning (ICF), yang terdiri dari 12 pernyataan/komponen untuk mendapatkan informasi tentang status disabilitas seseorang. Instrumen ini dapat digunakan oleh enumerator non medis. Responden untuk topik disabilitas adalah mereka yang berusia 15 tahun keatas. Data yang dikumpulkan meliputi ada tidaknya kondisi disabilitas dalam kurun waktu satu bulan sebelum survei. Terdapat lima opsi jawaban untuk responden, yaitu 1) tidak ada kesulitan, 2) sedikit kesulitan/ringan, 3) cukup mengalami kesulitan/sedang, 4) kesulitan berat, dan 5) sangat berat/tidak mampu melakukan kegiatan. Selanjutnya bagi responden dengan jawaban 2, 3,4 atau 5 ditanyakan lama hari mengalami kesulitan, terdiri dari jumlah hari sama sekali tidak mampu melakukan aktivitas rutin dan jumlah hari masih dapat melakukan aktivitas rutin walaupun tidak optimal. Tabel 3.8.1 Proporsi tingkat kesulitan menurut komponen disabilitas, Provinsi Banten 2013 1.
Sulit berdiri dalam waktu lama misalnya 30 menit? 2. Sulit mengerjakan kegiatan rumah tangga yang menjadi tanggung jawabnya 3. Sulit mempelajari/ mengerjakan hal-hal baru, seperti untuk menemukan tempat/alamat baru, mempelajarai permainan, resep baru 4. Sulit dapat berperan serta dalam kegiatan kemasyarakatan (misalnya dalam kegiatan keagamaan, sosial) 5. Seberapa besar masalah kesehatan yang dialami mempengaruhi keadaan emosi? 6. Seberapa sulit memusatkan pikiran dalam melakukan sesuatu selama 10 menit? 7. Seberapa sulit dapat berjalan jarak jauh misalnya 1 kilometer? 8. Seberapa sulit membersihkan seluruh tubuh? 9. Seberapa sulit mengenakan pakaian? 10. Seberapa sulit berinteraksi/ bergaul dengan orang yang belum dikenal sebelumnya? 11. Seberapa sulit memelihara persahabatan? 12. Seberapa sulit mengerjakan pekerjaan seharihari?
Tidak ada
Ringan
Sedang
Berat
Sangat berat
94,1
3,0
1,8
0,9
0,2
94,9
2,6
1,5
0,8
0,2
95,6
2,2
1,4
0,7
0,2
95,8
2,2
1,2
0,5
0,2
95,3
2,6
1,4
0,5
0,1
95,8
2,4
1,2
0,5
0,1
94,3
2,5
1,5
1,3
0,4
97,2 97,4
1,9 1,8
0,5 0,5
0,3 0,2
0,1 0,1
97,0
1,8
0,8
0,3
0,1
97,0
1,7
0,9
0,3
0,1
96,0
2,1
1,1
0,5
0,2
Tabel 3.8.1 menunjukkan sebanyak 5,9 persen penduduk Provinsi Banten mengalami kesulitan berdiri dalam waktu lama. Kesulitan untuk berjalan jauh dialami oleh 5,7 persen penduduk Provinsi Banten, dan 5,1 persen penduduk Provinsi Banten. Tabel 3.8.2 dan Tabel 3.8.3 menunjukkan prevalensi disabilitas, rerata hari produktif hilang, dan jumlah hari hilang menurut kabupaten/kota dan karakteristik. Prevalensi penduduk Provinsi Banten dengan disabilitas sedang sampai sangat berat sebesar 5,1 persen, bervariasi dari yang
98
tertinggi di Kota Cilegon (9,9%) dan yang terendah di Kota Tangerang Selatan (2,6%). Rerata hari produktif hilang adalah rerata lama hari seseorang tidak dapat berfungsi optimal dalam satu bulan, karena disabilitas. Rata–rata penduduk Provinsi Banten tidak dapat berfungsi optimal selama 5,1 hari. Rerata hari produktif hilang tertinggi di Kabupaten Lebak (8,7 hari) dan terendah di Kota Serang (3,2 hari). Tabel 3.8.2 Indikator Disabilitas menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Banten 2013 Provinsi Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan Banten
Prevalensi 8,6 3,0 3,7 4,1 7,2 9,9 9,2 2,6 5,1
Rerata hari produktif hilang Total Tidak Masih mampu mampu 4,8 2,1 2,6 8,7 3,7 5,0 4,7 0,9 3,8 4,4 1,6 2,8 5,1 0,4 4,6 5,1 3,8 1,3 3,2 0,6 2,5 7,2 4,0 3,2 5,1 1,6 3,5
Kelompok umur 75 tahun atau lebih merupakan kelompok dengan indikator disabilitas tertinggi. Perempuan cenderung lebih rentan mengalami disabilitas daripada laki-laki pada semua indikator disabilitas. Fenomena serupa terjadi untuk kelompok tidak sekolah, tidak bekerja, dan kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah. Penduduk wilayah perkotaan memiliki kecenderungan yang sama dengan penduduk di wilayah perdesaan untuk mengalami disabilitas.
99
Tabel 3.8.3 Indikator Disabilitas menurut Karakteristik Responden, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Responden Kelompok Umur 15-24 tahun 25-34 tahun 35-44 tahun 45-54 tahun 55-64 tahun 65-74 tahun 75+ tahun
Prevalensi Disabilitas 2,7 3,4 3,2 6,0 9,2 29,0 51,1
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
4,0 6,3
Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT Pekerjaan Tidak Bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
22,3 9,8 5,4 4,4 3,1 2,8 7,6 2,3 3,9 3,2 5,2
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
5,1 5,2
Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas
7,3 5,4 4,6 4,5 4,1
100
3.9
Kesehatan Jiwa
Indikator kesehatan jiwa yang dinilai pada Riskesdas 2013 antara lain gangguan jiwa berat, gangguan mental emosional serta cakupan pengobatannya. Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham, gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya agresivitas atau katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis dan salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia. Gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta masyarakat oleh karena produktivitas pasien menurun dan akhirnya menimbulkan beban biaya yang besar bagi pasien dan keluarga. Dari sudut pandang pemerintah, gangguan ini menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang besar. Sampai saat ini masih terdapat pemasungan serta perlakuan salah pada pasien gangguan jiwa berat di Indonesia. Hal ini akibat pengobatan dan akses ke pelayanan kesehatan jiwa belum memadai. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan adalah menjadikan Indonesia bebas pasung oleh karena tindakan pemasungan dan perlakukan salah merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Disamping gangguan jiwa berat, Riskesdas 2013 juga melakukan penilaian gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia seperti pada Riskesdas 2007. Gangguan mental emosional adalah istilah yang sama dengan distres psikologik. Kondisi ini adalah keadaan yang mengindikasikan seseorang sedang mengalami perubahan psikologis. Berbeda dengan gangguan jiwa berat psikosis dan skizofrenia, gangguan mental emosional adalah gangguan yang dapat dialami semua orang pada keadaan tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan ini dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil ditanggulangi. Prevalensi gangguan mental emosional penduduk Indonesia berdasarkan Riskesdas 2007 adalah 11,6 persen dan bervariasi di antara provinsi dan kabupaten/kota. Pada Riskesdas tahun 2013, prevalensi gangguan mental emosional dinilai kembali dengan menggunakan alat ukur serta metode yang sama. Gangguan mental emosional diharapkan tidak berkembang menjadi lebih serius apabila orang yang mengalaminya dapat mengatasi atau melakukan pengobatan sedini mungkin ke pusat pelayanan kesehatan atau berobat ke tenaga kesehatan yang kompeten. Cakupan pengobatan ditanyakan berdasarkan kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan, termasuk dikunjungi oleh tenaga kesehatan.
3.9.1 Gangguan Jiwa Berat Gangguan jiwa berat dinilai melalui serangkaian pertanyaan yang ditanyakan oleh pewawancara (enumerator) kepada kepala rumah tangga atau ART yang mewakili kepala rumah tangga. Inti pertanyaan adalah mengenai ada tidaknya anggota rumah tangga (tanpa melihat umur) yang mengalami gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) pada rumah tangga tersebut. Angka prevalensi yang diperoleh merupakan prevalensi gangguan jiwa berat seumur hidup (life time prevalence). Rumah tangga yang memiliki ART dengan gangguan jiwa, ditanya mengenai riwayat pemasungan yang mungkin pernah dialami ART selama hidupnya. Pewawancara telah dilatih mengenai cara melakukan wawancara serta pengetahuan singkat mengenai ciri-ciri gangguan jiwa. Pelatihan singkat tersebut memberikan keterampilan kepada pewawancara tentang cara melakukan klarifikasi atau verifikasi terhadap jawaban yang diberikan oleh kepala rumah tangga atau orang yang mewakilinya. Keterbatasan pengumpulan data dengan cara wawancara adalah adanya kemungkinan kasus tidak dilaporkan serta diagnosis yang kurang tepat mengenai gangguan jiwa berat. Upaya untuk mengatasi kelemahan ini dilakukan dengan cara menetapkan batasan operasional bahwa yang dinilai pada Riskesdas 2013 adalah gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) yang dapat dikenali oleh masyarakat umum, sehingga gangguan jiwa berat dengan diagnosis tertentu dan memerlukan kemampuan diagnostik oleh dokter spesialis jiwa, kemungkinan tidak terdata.
101
Tabel 3.9.1 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota
Gangguan Jiwa Berat (psikosis/skizofrenia) (per mil)
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
0,7 0,6 0,8 0,3 2,3 1,7 1,9 1,0
Banten
1,1
Jumlah seluruh rumah tangga yang dianalisis adalah 6.679 terdiri dari 24.247 ART yang berasal dari semua umur.Berdasarkan Tabel 3.9.1, terlihat bahwa prevalensi psikosis tertinggi di Kota Tangerang sebesar 2,3 permil, sedangkan yang terendah di Kabupaten Serang(0,3‰). Prevalensi gangguan jiwa berat di Banten sebesar 1,1 permil masih di bawah prevalensi gangguan jiwa berat nasional (1,7‰). Prevalensi gangguan jiwa berat berdasarkan tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan dipaparkan pada buku Riskesdas Banten dalam Angka 2013. Angka prevalensi seumur hidup skizofrenia di dunia bervariasi berkisar 4 permil sampai dengan 1,4 persen (Lewis dkk.,2001). Tabel 3.9.2 Proporsi gangguan jiwa berat menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Gangguan Jiwa Berat (psikosis/skizofrenia) (per mil)
Karakteristik Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan
1,4 0,4
Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas
2,0 1,0 0,3 0,5 1,9
Selanjutnya dipaparkan proporsi rumah tangga yang pernah melakukan pemasungan terhadap ART dengan gangguan jiwa berat. Metode pemasungan tidak terbatas pada pemasungan secara tradisional (menggunakan kayu atau rantai pada kaki), tetapi termasuk tindakan pengekangan lain yang membatasi gerak, pengisolasian, termasuk mengurung, dan penelantaran yang menyertai salah satu metode pemasungan. Proporsi rumah tangga yang pernah memasung ART gangguan jiwa berat sebesar 10,3 persen dan terbanyak pada rumah tangga di perdesaan.Rumah tangga yang melakukan tindakan pemasungan terbanyak pada kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah. Proporsi cakupan rumah tangga yang membawa ART gangguan jiwa berobat ke fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan dipaparkan pada laporan Riskesdas Banten dalam Angka 2013.
102
3.9.2 Gangguan Mental Emosional Di dalam kuesioner Riskesdas 2013, pertanyaan mengenai gangguan mental emosional tercantum dalam kuesioner individu butir F01–F20. Gangguan mental emosional dinilai dengan Self Reporting Questionnaire (SRQ) yang terdiri dari 20 butir pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan SRQ ditanyakan pewawancara kepada ART umur ≥15 tahun yang memenuhi kriteria inklusi. Ke20 butir pertanyaan ini mempunyai pilihan jawaban “ya” dan “tidak”. Nilai batas pisah yang ditetapkan pada survei ini adalah 6, yang berarti apabila responden menjawab minimal 6 atau lebih jawaban “ya”, maka responden tersebut diindikasikan mengalami gangguan mental emosional. Nilai batas pisah tersebut sesuai penelitian uji validitas yang dilakukan Hartono, 1995. Data yang dikumpulkan menggunakan instrumen SRQ memiliki keterbatasan hanya mengungkap status emosional individu sesaat (±30 hari) dan tidak dirancang untuk mendiagnosis gangguan jiwa secara spesifik. Tabel 3.9.3 Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur 15 ke atas (berdasarkan self reporting questionnaire-20)* menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
Gangguan Mental Emosional 7,8 0,9 6,4 3,5 7,5 9,6 2,4 1,8
Banten *Nilai Batas Pisah (Cut off Point) ≥ 6
5,1
Prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental emosional di tingkat provinsi adalah 5,1%. Kabupaten/kota dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi adalah Kota Cilegon (9,6%), sedangkan yang terendah di Kabupaten Lebak (0,9%). Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan karakteristik individu dan cakupan pengobatan seumur hidup serta 2 minggu terakhir terdapat pada Buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013. Penilaian gangguan mental emosional pada tahun 2007 dan 2013 menggunakan kuesioner serta metode pengumpulan data yang sama. Prevalensi Provinsi Banten serta beberapa prevalensi berdasarkan karakteristik diperlihatkan dalam Gambar 3.9.1.
103
Gambar 3.9.1 Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.9.1 memperlihatkan pola prevalensi gangguan mental emosional sesuai kelompok umur, jenis kelamin, dan pendidikan ART dan tempat tinggal. Prevalensi gangguan mental emosional di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan, lebih banyak terjadi pada perempuan (6,5%) daripada laki-laki (3,7%) dan kelompok usia > 75 tahun sangat mendominasi angka prevalensi gangguan mental emosional.
104
3.10 Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Pengetahuan, sikap dan perilaku dikumpulkan pada penduduk kelompok umur 10 tahun atau lebih. Topik yang dikumpulkan meliputi perilaku higienis, penggunaan tembakau, aktivitas fisik, perilaku konsumsi buah dan sayur, makanan berisiko (makan/minum manis, makanan asin, makanan berlemak, makanan dibakar, makanan olahan dengan pengawet, bumbu penyedap, kopi dan minuman berkafein buatan bukan kopi) dan konsumsi makanan olahan dari tepung terigu.
3.10.1 Perilaku Higienis Perilaku higienis yang dikumpulkan meliputi kebiasaan/perilaku buang air besar (BAB) dan perilaku mencuci tangan. Tabel 3.10.1 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang berperilaku benar dalam buang air besar dan cuci tangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Berperilaku benar dalam hal BAB
Berperilaku benar dalam hal cuci tangan
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
64,4 62,6 85,1 69,1 99,4 92,8 85,6 99,7
28,5 54,3 42,8 52,7 41,3 48,6 41,2 78,5
Banten
83,3
48,3
Kabupaten/kota
Perilaku BAB yang dianggap benar adalah bila penduduk melakukannya di jamban. Perilaku mencuci tangan yang benar adalah bila penduduk mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor (antara lain memegang uang, binatang, berkebun), setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak, setelah menggunakan pestisida/insektisida, dan sebelum menyusui bayi (Promkes,2011). Dari Tabel 3.10.1 rerata proporsi perilaku cuci tangan secara benar di Provinsi Banten menunjukan 48,3 persen dengan proporsi terendah ada di Kabupaten Pandeglang (28,5%) dan tertinggi Kota Tangerang Selatan (78,5%). Rerata perilaku BAB di jamban di Provinsi Banten adalah 83,3 persen. Proporsi terendah ada di Kabupaten Lebak (62,6%) dan tertinggi adalah Kota Tangerang Selatan (99,7%).
3.10.2 Penggunaan Tembakau Informasi perilaku penggunaan tembakau dalam Riskesdas tahun 2013 dibagi menjadi dua kelompok yaitu perilaku merokok dengan hisap dan perilaku penggunaan tembakau dengan mengunyah. Hal tersebut dikarenakan efek samping yang ditimbulkan akibat merokok dengan hisap dan dengan cara kunyah berbeda. Perokok hisap menimbulkan polusi pada perokok pasif dan lingkungan sekitarnya, sedangkan kunyah tembakau hanya berdampak pada dirinya sendiri. Berdasarkan Tabel 3.10.2 rerata proporsi perokok saat ini di Provinsi Banten adalah 31,3 persen. Proporsi perokok saat ini tertinggi di Kabupaten Pandeglang dengan perokok setiap hari 31,5 persen dan kadang-kadang merokok 3,3 persen.
105
Tabel 3.10.2 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kebiasaan merokok dan kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan Banten
Perokok saat ini Perokok Perokok setiap hari kadang-kadang 31,5 3,3 30,2 4,1 25,0 6,9 28,8 4,8 23,0 5,7 24,9 4,7 27,5 4,9 21,7 5,0 26,0
5,3
Tidak merokok Mantan Bukan perokok perokok 3,0 62,2 2,3 63,4 3,3 64,9 2,2 64,2 4,6 66,7 5,7 64,8 3,4 64,2 3,4 69,9 3,3
65,3
Tabel 3.10.3 menunjukkan proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok dan karakteristik. Proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari tertinggi ada pada kelompok umur 5054 tahun (35,9%) dan terendah 10-14 tahun (0,4%). Proporsi perokok setiap hari pada laki-laki lebih banyak di bandingkan perokok perempuan (49,9% banding 1,2%). Berdasarkan pendidikan kelompok dengan tingkat pendidikan tamat SMA memiliki kecenderungan sebagai perokok terbesar (30,7%), sedangkan menurut jenis pekerjaan, petani/nelayan/buruh adalah perokok aktif setiap hari yang mempunyai proporsi terbesar (56,5%) dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya. Proporsi perokok setiap hari cenderung menurun pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi.
106
Tabel 3.10.3 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kebiasaan merokok dan karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik responden
Perokok saat ini Perokok Perokok kadangsetiap hari kadang
Tidak merokok Mantan Bukan perokok perokok
Kelompok umur (tahun) 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65+
0,4 12,8 29,3 31,3 34,8 33,9 35,1 34,7 35,9 31,4 31,6 22,2
0,7 8,9 7,5 5,1 5,5 5,8 6,3 4,4 5,3 4,5 5,0 3,7
0,7 1,5 2,2 1,8 3,1 2,4 4,2 5,5 9,4 8,6 7,0 10,2
98,2 76,8 61,0 61,7 56,6 57,9 54,4 55,4 49,4 55,5 56,3 63,9
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
49,9 1,2
9,6 0,9
5,8 0,8
34,7 97,1
Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT
21,1 18,7 26,9 26,5 30,7 20,2
3,4 2,1 4,1 5,7 8,1 6,0
2,4 2,1 3,0 3,4 3,8 6,0
73,1 77,1 66,0 64,3 57,4 67,9
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lain-lain
8,5 35,5 47,7 56,5 41,5
3,2 8,3 7,3 7,4 7,3
1,9 5,3 6,3 3,9 5,1
86,4 50,9 38,7 32,2 46,1
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
23,9 30,5
5,7 4,6
3,8 2,3
66,6 62,6
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
31,7 30,4 26,3 24,0 17,5
4,3 5,1 6,1 5,2 5,8
2,4 2,6 2,8 4,0 5,0
61,5 61,8 64,8 66,8 71,7
Dari Tabel3.10.4 tampak bahwa rerata batang rokok yang dihisap per orang per hari di Provinsi Banten adalah 12,3 batang (kurang lebih satu bungkus). Jumlah rerata batang rokok terbanyak yang dihisap ditemukan di Kota Serang (13 batang).
107
Tabel 3.10.4 Rerata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur ≥ 10 Tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota
Perokok
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
12,8 12,2 12,2 12,3 12,2 12,5 12,9 11,8
Banten
12,3
Tabel 3.10.5 menjelaskan proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau menurut kabupaten/kota. Terlihat kebiasaan mengunyah tembakau atau smokeless setiap hari di Provinsi Banten sebesar 1,7 persen, sedangkan proporsi pengunyah tembakau terkadang sebesar 0,8 persen. Proporsi tertinggi pengunyah tembakau setiap hari adalah Kabupaten Pandeglang (4,5%) dan terendah Kabupaten Tangerang (0,9%). Tabel 3.10.5 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab.Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
Pengunyah Tembakau saat ini setiap hari kadang-kadang 4,5 1,4 1,9 0,8 0,9 0,6 2,2 1,4 1,2 0,6 1,2 1,2 1,5 0,6 2,0 0,7
Banten
1,7
0,8
3.10.3 Perilaku aktivitas fisik Aktifitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Dikumpulkan data frekuensi beraktifitas fisik dalam seminggu terakhir untuk penduduk 10 tahun ke atas. Aktifitas fisik berat adalah kegiatan yang secara terus menerus melakukan kegiatan fisik minimal 10 menit sampai meningkatnya denyut nadi dan napas lebih cepat dari biasanya (misalnya menimba air, mendaki gunung, lari cepat, menebang pohon, mencangkul, dll.) selama minimal tiga hari dalam satu minggu dan total waktu beraktifitas ≥1500 MET minute. MET minute aktifitas fisik berat adalah lamanya waktu (menit) melakukan aktifitas dalam satu minggu dikalikan bobot sebesar 8 kalori. Aktifitas fisik sedang apabila melakukan aktifitas fisik sedang (menyapu, mengepel, dll) minimal 5 hari atau lebih dengan total lamanya beraktifitas 150 menit dalam satu minggu. Selain dari dua kondisi tersebut termasuk dalam aktifitas fisik ringan (WHO STEPS, 2012a; WHO GPAQ, 2012b). Dalam Riskesdas 2013 ini 108amper108r aktifitas fisik “aktif” adalah individu yang melakukan aktifitas fisik berat atau sedang atau keduanya, sedangkan 108amper108r ‘kurang aktif’ adalah individu yang tidak melakukan aktifitas fisik baik sedang ataupun berat.
108
Perilaku 109amper109ry adalah perilaku duduk atau berbaring dalam sehari-hari baik di tempat kerja (kerja di depan 109amper109ry, membaca, dll), di rumah (nonton TV, main game, dll), di perjalanan/transportasi (bis, kereta, motor), tetapi tidak termasuk waktu tidur. Penelitian di Amerika tentang perilaku 109amper109ry yang menggunakan nilai cutoff point < 3 jam, 3-5,9 jam, ≥ 6jam, menunjukkan bahwa pengurangan aktifitas 109amper109ry sampai dengan < 3 jam dapat meningkatkan umur harapan hidup sebesar 2 tahun (Katzmarzyk, P & Lee, 2012). Perilaku 109amper109ry merupakan perilaku berisiko terhadap salah satu terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan bahkan mepengaruhi umur harapan hidup. Berikut proporsi penduduk melakukan aktifitas fisik “aktif” dan “kurang aktif” pada Tabel 3.10.6. Proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 22,9 persen, tertinggi adalah Kota Cilegon (46,0%). Tabel 3.10.6 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun sesuai jenis aktivitas fisikmenurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Aktivitas Fisik
Kabupaten/kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
Aktif 79,4 75,1 78,5 75,5 77,4 54,0 77,7 80,8
Kurang Aktif 20,6 24,9 21,5 24,5 22,6 46,0 22,3 19,2
Banten
77,1
22,9
Tabel 3.10.7 menunjukkan 109amper separuh proporsi penduduk kelompok umur ≥ 10 tahun dengan perilaku 109amper109ry 3-5,9 jam (50,2%) sedangkan 109amper109ry ≥ 6 jam perhari secara umum meliputi 109amper satu dari empat penduduk. Aktifitas sedentari ≥ 6 jam tertinggi adalah Kota Cilegon (52,0%). Tabel 3.10.7 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun berdasarkan aktifitas sedentari menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan Banten
<3 jam 22,1 5,2 33,8 22,9 15,2 25,3 44,6 39,0 25,9
Aktivitas Sedentar 3-5,9 jam 63,5 55,0 44,0 60,0 51,5 22,7 30,9 53,0 50,2
≥6 jam 14,4 39,8 22,3 17,1 33,3 52,0 24,5 7,9 23,9
Tabel 3.10.8 menunjukkan proporsi perilaku sedentari berdasarkan karakteristik penduduk umur ≥10 tahun. Berdasarkan kelompok umur terdapat variasi ada kecenderungan semakin bertambahnya umur semakin menurun perilaku sedentari ≥ 6 jam, namun mulai meningkat pada kembali pada umur ≥ 50 tahun. Proporsi perilaku sedentari ≥ 6 jam lebih banyak pada
109
perempuan, penduduk dengan pendidikan rendah, tidak bekerja, tinggal di daerah perkotaan, dan penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan menengah bawah. Tabel 3.10.8 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun berdasarkan aktifitas sedentari menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik
<3 jam
Aktivitas Sedentari 3-6 jam
>6 jam
Kelompok umur (tahun) 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65+
20,9 22,6 27,5 27,7 27,3 28,3 29,0 28,6 29,7 26,4 22,7 15,1
48,7 52,4 49,5 48,9 52,3 50,5 50,6 51,5 50,1 48,0 47,1 48,0
30,4 24,9 23,0 23,3 20,4 21,2 20,4 19,9 20,1 25,6 30,2 36,9
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
27,1 24,7
51,7 48,6
21,3 26,7
Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT
23,3 21,7 23,7 26,2 29,4 30,4
47,4 49,7 51,2 49,9 49,6 50,6
29,3 28,6 25,0 23,9 21,0 19,0
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lain-lain
22,0 32,4 26,8 30,0 29,3
48,9 51,2 53,2 52,1 44,7
29,0 16,4 19,9 17,9 26,0
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
27,4 22,7
47,9 55,1
24,8 22,2
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
19,9 23,3 30,0 27,0 28,9
57,5 50,2 47,2 46,9 50,2
22,6 26,6 22,8 26,1 20,9
110
3.10.4 Perilaku konsumsi sayur dan buah Informasi frekuensi dan porsi asupan sayur dan buah dikumpulkan dengan menghitung jumlah hari konsumsi dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk dikategorikan ‘cukup’ konsumsi sayur dan/atau buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan ’kurang’ apabila konsumsi sayur dan/atau buah kurang dari ketentuan di atas. Pada Gambar 3.10.1 telihat bahwa secara umum proporsi kurang konsumsi sayur dan buah di Provinsi Banten 97,6 persen dengan proporsi kurang tertinggi ada di Kabupaten Lebak (99,5%).
99.5
100.0 99.0 97.6
98.0 97.0 96.0
96.0
95.0 Lebak
Kota Cilegon
Kota Serang
Tangerang
Pandeglang
Banten
Serang
Kota Tangerang Selatan
Kota Tangerang
94.0
Gambar 3.10.1 Proporsi penduduk ≥10 tahun kurang makan sayur dan buah menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
3.10.5 Pola konsumsi makanan tertentu Perilaku konsumsi makanan tertentu antara lain kebiasaan mengonsumsi makanan/minuman manis, asin, berlemak, dibakar/panggang, diawetkan, berkafein, dan berpenyedap adalah perilaku berisiko penyakit degeneratif. Perilaku konsumsi makanan berisiko dikelompokkan ‘sering’ apabila penduduk mengonsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap hari. Untuk mengetahui secara umum proporsi penduduk Banten ≥10 tahun menurut jenis makanan beresiko yang dikonsumsi dapat dilihat pada Gambar 3.10.2 sementara Tabel 3.10.9 mempresentasikan proporsi penduduk ≥10 tahun dengan makanan berisiko menurut kabupaten/kota. Konsumsi makanan/minuman manis ≥1 kali dalam sehari secara umum adalah 47,1 persen tertinggi ada di Kabupaten Pandeglang (52,3%). Proporsi penduduk dengan perilaku konsumsi makanan berlemak, berkolesterol dan makanan gorengan ≥1 kali perhari 48,8 persen dengan tertinggi ada di Kota Serang (59,6%). Sekitar empat dari lima penduduk Banten mengonsumsi penyedap ≥1 kali dalam sehari (82,9%), tertinggi di Kota Serang (91,6%), terendah di Kota Tangerang Selatan (74,4%). Untuk mengetahui karakteristik penduduk ≥ 10 tahun yang mengonsumsi makanan berisiko dapat dilihat pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013.
111
Tabel 3.10.9 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi tertentu menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota
Manis
Asin
Berlemak
Dibakar
Hewani berpengawet
Penyedap
Kopi
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
52,3 49,1 43,5 50,2 45,7 44,1 46,0 48,9 47,1
54,1 49,4 28,0 47,7 18,2 19,3 31,0 28,5 33,6
49,0 52,4 58,2 49,5 40,7 40,9 59,6 33,0 48,8
4,3 7,1 2,7 4,1 2,2 3,5 2,8 1,5 3,3
5,7 1,4 3,3 4,9 5,1 4,4 4,3 2,8 3,9
86,9 83,8 88,0 76,7 80,0 83,2 91,6 74,4 82,9
41,7 40,6 31,3 33,5 26,7 30,6 31,3 24,1 31,9
Kafein selain kopi
3.9
Banten
Kopi
Kafein selain kopi 6,6 3,6 3,0 3,2 4,1 4,9 2,0 4,6 3,9
31.9
Penyedap
82.9
Hewani berpengawet
3.9
Dibakar
3.3
Berlemak
48.8
Asin
33.6
Manis
47.1 0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
90.0
Gambar 3.10.2 Proporsi penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan tertentu, Provinsi Banten 2013
3.10.6 Konsumsi makanan olahan dari tepung Perilaku mengonsumsi makanan jadi dari olahan tepung baru dikumpulkan pada Riskesdas 2013. Contoh makanan jadi olahan dari tepung adalah mie instan, mie basah, roti dan biskuit. Analisis jenis makanan ini dapat dilihat pada Gambar 3.10.3.
112
Gambar 3.10.3 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menurut frekuensi makanan berbahan tepung terigu ≥1 kali/hari, Provinsi Banten 2013 Tabel 3.10.10 menunjukkan rerata penduduk Provinsi Banten berperilaku mengonsumsi makanan berbahan tepung terigu dengan pola konsumsi ≥1 kali per hari. Proporsi penduduk Provinsi Banten yang mengkonsumsi mie instan ≥1 kali per hari 11,8 persen, tertinggi adalah Kabupaten Serang (22,3%). Hanya 3,3 persen penduduk mengonsumsi mie basah ≥1 kali per hari. Sebanyak 19,0 persen penduduk Provinsi Banten mengonsumsi roti ≥1 kali per hari dan 14,6 persen mengkonsumsi biskuit ≥1 kali per hari. Informasi yang sama menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada Buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013. Tabel 3.10.10 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan Banten
Makanan olahan tepung ≥ 1 kali per hari Mie instan Mie Basah Roti Biskuit 7,2 1,9 7,5 5,3 10,1 2,5 12,2 9,8 12,7 3,3 18,6 14,4 22,3 6,3 21,6 18,2 11,8 2,8 23,7 17,2 11,0 3,2 25,5 17,5 10,2 3,8 15,2 13,6 5,2 2,6 25,8 19,1 11,8
3,3
19,0
14,6
3.10.7 Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) Indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terdiri dari sepuluh indikator yang mencakup perilaku individu dan gambaran rumah tangga (Promkes 2009). Data PHBS pada tahun 2007 mengacu pada indikator PHBS yang sudah ditetapkan tahun 2004. Pada Indikator individu meliputi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, bayi 0-6 bulan mendapat ASI eksklusif, kepemilikan/ketersediaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, penduduk tidak merokok, penduduk cukup beraktivitas fisik, dan penduduk cukup mengonsumsi sayur dan buah. Indikator Rumah tangga meliputi rumah tangga memiliki akses terhadap air bersih, akses jamban sehat, kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni (≥ 8m2/orang), dan rumah tangga dengan lantai
113
rumah bukan tanah. Pada PHBS tahun 2007, untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10; sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 8 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah delapan (8). PHBS diklasifikasikan “kurang” apabila mendapatkan nilai kurang dari enam (6) untuk rumah tangga mempunyai balita dan nilai kurang dari lima (5) untuk rumah tangga tanpa balita. Pada tahun 2011 telah dibuat indikator PHBS yang baru dan sedikit berbeda dengan indikator PHBS sebelumnya. Indikator PHBS yang ditetapkan pada tahun 2011 oleh Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan mencakup 10 indikator yang meliputi : 1) Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan; 2) melakukan penimbangan bayi dan balita; 3) memberikan ASI ekslusif; 4) penggunaan air bersih; 5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun; 6) memberantas jentik nyamuk; 7) memakai jamban sehat; 8)makan buah dan sayur setiap hari; 9)melakukan aktifitas fisik setiap hari; 10) tidak merokok dalam rumah. Pada PHBS tahun 2013, untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10; sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 7 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah tujuh (7). Penilaian PHBS rumah tangga ‘baik’ diukur dengan batasan yang sama dengan penilaian rumah tangga PHBS tahun 2007 dimana kriteria rumah tangga dengan PHBS baik adalah rumah tangga yang memenuhi indikator baik sebesar 6 indikator atau lebih untuk rumah tangga yang punya balita, dan 5 indikator atau lebih untuk rumah tangga yang tidak mempunyai balita. Dalam Riskesdas 2013, indikator yang dapat dipergunakan untuk PHBS sesuai dengan kriteria PHBS yang ditetapkan oleh Pusat Promkes pada tahun 2011, yaitu mencakup delapan indikator individu (cuci tangan, BAB dengan jamban, konsumsi sayur dan buah, aktifitas fisik, merokok dalam rumah, persalinan oleh tenaga kesehatan, memberi ASI eksklusif, menimbang balita), dan dua indikator rumah tangga (sumber air bersih dan memberantas jentik nyamuk). Pengertian indikator yang digunakan dalam PHBS Riskesdas 2013 ini adalah sebagai berikut: 1. Persalinan oleh tenaga kesehatan, Data ini didapatkan dari data persalinan yang terakhir yang ditolong oleh tenaga kesehatan dari riwayat persalinan dalam tiga tahun terakhir sebelum survey (kurun waktu tahun 2010 sampai tahun 2013) 2. Melakukan penimbangan bayi dan balita, Indikator ini menggunakan variabel individu usia 0 sampai 59 bulan dengan penjumlahan pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir. Pada subbab pemantauan pertumbuhan data frekuensi penimbangan terpisah antara ≥4x, 1-3x dalam 6 bulan terakhir. 3. Memberikan ASI eksklusif, Indikator ini menggunakan data dari riwayat pernah diberikan ASI eksklusif diantara individu baduta usia 0 – 23 bulan, Pengertian pemberian ASI eksklusif dalam analisis ini adalah bayi usia <= 6 bulan yang hanya mendapatkan ASI saja dalam 24 jam terakhir saat wawancara atau individu baduta yang pertama kali diberi minuman atau makanan berumur enam bulan atau lebih. Pada subbab pola pemberian ASI, data pemberian ASI berasal dari bayi 0 - 6 bulan. 4. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, Indikator mencuci tangan dengan benar mencakup mencuci tangan dengan air bersih dan sabun saat sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor, setelah buang air besar, setelah menggunakan pestisida (bila menggunakan), setelah menceboki bayi dan sebelum menyusui bayi (bila sedang menyusui), 5. Memakai jamban sehat, Perilaku menggunakan jamban sehat diukur dari perilaku buang air besar menggunakan jamban saja, 6. Melakukan aktivitas fisik setiap hari, Indikator ini diukur berdasarkan individu yang biasa melakukan aktifitas fisik berat atau sedang dalam tujuh hari seminggu, 7. Konsumsi buah dan sayur setiap hari, Perilaku konsumsi buah dan sayur diukur berdasarkan individu yang biasa konsumsi buah dan sayur selama tujuh hari dalam seminggu, 8. Tidak merokok dalam rumah, Pengertian tidak merokok di dalam rumah adalah individu yang tidak mempunyai kebiasaan merokok di dalam rumah pada saat ada anggota rumah tangga lainnya, serta
114
memperhitungkan juga rumah tangga yang tidak ada anggota rumah tangga yang merokok, 9. Penggunaan air bersih, Perilaku menggunakan air bersih didapatkan dari data rumah tangga yang menggunakan sumber air bersih dengan kategori baik untuk seluruh keperluan rumah tangga. 10. Memberantas jentik nyamuk, Rumah tangga dengan perilaku memberantas jentik nyamuk dalam indikator ini adalah rumah tangga yang menguras bak mandi satu kali atau lebih dalam seminggu, atau yang tidak menggunakan bak mandi dan tidak mandi di sungai, Gambar 3.10.4 menunjukkan proporsi rumah tangga perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan kriteria baik menurut kabupaten/kota di Provinsi Banten. Secara umum proporsi rumah tangga dengan PHBS baik di Provisi Banten adalah 34,2 persen, dengan proporsi tertinggi adalah Kota Tangerang Selatan (56,1%) dan terendah Kabupaten Lebak (12,7%). 56.1
60.0 50.0 40.0
34.2
30.0 20.0
12.7
10.0 Kota Tangerang Selatan
Kota Tangerang
Kota Cilegon
Tangerang
Banten
Kota Serang
Serang
Pandeglang
Lebak
0.0
Catatan: PHBS baik adalah ruta yang memenuhi kriteria >= 6 indikator untuk rumah tangga dengan balita dan >=5 indikator untuk rumah tangga tidak punya balita, Gambar 3.10.4 Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.10.5 menyajikan proporsi rumah tangga dengan PHBS baik lebih tinggi di perkotaan (42,6%) dibandingkan di perdesaan (13,9%). Proporsi rumah tangga dengan PHBS baik meningkat dengan semakin tingginya kuintil indeks kepemilikan (terbawah 8,5% dan teratas 57,5%)
115
70.0 57.5
60.0 50.0
42.6
36.2
40.0 25.0
30.0 20.0 10.0
41.9
13.9
8.5
0.0
Gambar 3.10.5 Proporsi rumah tangga memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013
116
3.11 Pembiayaan Kesehatan Salah satu tujuan sistem kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan (health status), ketanggapan (responsiveness), dan keadilan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan (fairness of financing) (WHO, 2000). Pada topik ini dikumpulkan informasi tentang jenis kepemilikan dan penggunaan jaminan kesehatan, pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan, dan sumber pembiayaan yang paling sering dimanfaatkan penduduk beserta besaran biaya yang dikeluarkannya. Pembiayaan kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan upaya kesehatan/memperbaiki keadaan kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Tujuan dari pembiayaan kesehatan adalah untuk menjamin dana yang cukup, tidak hanya bagi penyedia pelayanan kesehatan, namun juga seluruh penduduk dapat memiliki akses kepada upaya pelayanan kesehatan masyarakat dan perseorangan yang efektif dan berkualitas (WHO, 2000). Jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah (Perpres No. 12 tahun 2013) Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 130, bahwa pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya (Republik Indonesia, 2009). Unsur-unsur pembiayaan terdiri atas sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan. Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, swasta, dan sumber lain. Syarat pokok pembiayaan kesehatan meliputi: (1) jumlah harus memadai untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan tidak menyulitkan masyarakat yang memanfaatkan; (2) distribusinya harus sesuai dengan kebutuhan untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan masyarakat; serta (3) pemanfaatannya harus diatur setepat mungkin agar tercapai efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang optimal (UU No. 36, 2009). Pada Riskesdas 2013, analisis pembiayaan kesehatan meliputi kepemilikan dan penggunaan jaminan kesehatan serta pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap berikut sumber dan besaran biayanya. Sumber biaya dibedakan menjadi Biaya sendiri, Asuransi Kesehatan Sosial (meliputi Askes PNS, Pensiun, Veteran, TNI/Polri), Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja), Asuransi Kesehatan Swasta, Tunjangan kesehatan dari Perusahaan, Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
3.11.1 Kepemilikan jaminan kesehatan Hasil analisis Riskesdas 2013 memberikan informasi tentang proporsi penduduk yang telah tercakup maupun yang tidak tercakup jaminan kesehatan. Jenis jaminan kesehatan terdiri dari; asuransi kesehatan (PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementrian Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda. Untuk kepentingan analisis Askes dan ASABRI dimasukkan dalam satu kelompok dikarenakan pemerintah juga membayar sebagian dari iuran jaminan tersebut.
117
Tabel 3.11.1 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Jenis Jaminan Kesehatan Kabupaten/kota
Jamsostek
Perusaha an 0,2 0,1 4,1
Jamkesmas
0,7 0,4 13,7
Askes Swasta 0,2 0,4 2,0
Jamkesda
41,6 47,5 25,7
0,1 0,2 0,1
Tidak punya 53,8 46,3 52,8
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang
Askes/ ASABRI 3,6 5,3 3,4
Kab. Serang Kota Tangerang
1,1 6,1
7,8 12,7
0,8 7,3
1,0 7,7
27,1 9,1
0,3 10,3
62,4 54,8
Kota Cilegon
3,1
11,6
9,8
11,6
22,6
0,8
46,1
Kota Serang
9,8
7,5
3,3
5,9
16,8
0,7
58,5
Kota Tangerang Selatan
8,5
6,5
9,9
7,8
5,7
7,6
57,7
Banten
4,8
8,7
3,7
4,3
23,9
2,9
54,5
Tabel 3.11.1 menunjukkan 54,5 persen penduduk Provinsi Banten belum memiliki jaminan kesehatan. Askes/ASABRI dimiliki oleh sekitar 4,8 persen penduduk, asuransi kesehatan swasta sebesar 3,7 persen, tunjangan kesehatan perusahaan sebesar 4,3 persen dan kepemilikan Jamkesda sebesar 2,9 persen. Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesmas (23,9%) dan Jamsostek (8,7%). Dari data tersebut juga menyiratkan adanya kepemilikan jaminan lebih dari satu jenis jaminan untuk individu yang sama. Kepemilikan jaminan kesehatan penduduk menurut kabupaten/kota sangat bervariasi. Kota Cilegon menjadi daerah yang paling tinggi cakupan kepemilikan jaminan diantara kabupaten/kota lain, yaitu sekitar 54,5 persen penduduk atau sekitar 45,5 persen yang tidak punya jaminan apapun. Sebaliknya Kabupaten Serang menjadi daerah dengan cakupan kepemilikan jaminan kesehatan yang paling rendah (41,5%), dengan 58,5 persen penduduk tidak punya jaminan. Sejumlah 23,9 persen penduduk Provinsi Banten memiliki Jamkesmas, Kabupaten Lebak merupakan daerah dengan kepemilikan Jamkesmas tertinggi (47,5%). Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan menjadi daerah yang paling rendah kepemilikan Jamkesmas yaitu sekitar 9,1 persen dan 5,7 persen.
118
Tabel 3.11.2 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan karakteristik, Provinsi Banten 2013 Jenis Jaminan Kesehatan Karakteristik
Askes/ ASABRI
Jamsostek
Askes Swasta
Perusahaan
Jamkesmas
Jamkesda
Tidak punya
2,3 3,8 4,3 2,6 5,2 9,8 10,2 9,8 10,0
5,9 5,6 9,1 15,0 12,1 5,7 1,3 0,4 0,0
3,2 3,8 2,7 4,1 5,7 3,5 2,0 1,3 0,6
3,8 4,1 3,8 5,1 5,7 4,6 2,1 0,9 0,8
13,0 28,2 24,4 20,0 24,9 26,8 28,2 31,8 27,0
2,3 2,5 2,7 2,7 3,4 4,2 3,1 2,1 3,1
71,0 54,1 55,7 54,1 47,4 48,1 54,4 54,0 59,3
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
5,4 10,8 3,0 0,3 2,6
4,9 25,9 4,4 8,4 5,0
2,7 9,9 3,6 0,5 1,3
3,6 11,4 2,4 0,9 2,1
27,7 7,1 17,2 40,4 25,2
3,1 3,2 4,0 1,9 3,3
54,5 40,2 66,8 49,4 61,7
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
6,0 2,3
11,6 2,5
5,3 0,2
6,1 0,4
15,2 42,6
4,1 0,3
55,6 52,1
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
0,3 0,8 2,4 5,5 15,7
1,0 4,6 10,0 14,3 12,7
0,2 0,6 1,4 3,7 13,5
0,2 1,5 3,6 4,0 13,0
56,3 35,4 16,5 10,9 2,7
0,3 3,4 4,9 3,8 1,4
42,0 55,7 63,5 60,9 47,3
Kelompok umur (tahun) 0-4 5 -14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+
Tabel 3.11.2 menggambarkan kepemilikan jaminan menurut karakteristik penduduk meliputi kelompok umur, pekerjaan, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut tempat tinggal, penduduk di perkotaan lebih banyak yang memiliki jaminan kesehatan dibanding di perdesaan, terutama untuk jenis selain Jamkesmas. Sebaliknya, kepemilikan Jamkesmas lebih tinggi di perdesaan dibanding perkotaan. Kondisi kepemilikan jaminan menurut kelompok umur memberikan gambaran yang bervariasi antar kelompok bayi, balita, anak, remaja, dewasa dan lanjut usia. Kelompok umur di bawah 5 tahun adalah kelompok tertinggi yang tidak memiliki jaminan (71,0%), sedangkan kelompok umur di atas 55 tahun yang tidak memiliki jaminanan pada kisaran 54,0 persen sampai 59,3 persen. Sementara pada kelompok umur selain balita dan lanjut usia, yang tidak memiliki jaminan kesehatan juga masih tinggi, di atas 46 persen. Kepemilikan jaminan kesehatan menurut status pekerjaan menunjukkan, kelompok tertinggi yang tidak memiliki jaminan adalah kelompok wiraswasta (66,8%), sedangkan yang terendah adalah pegawai (40,2%). Kelompok wiraswasta ini terdiri dari pedagang besar ataupun eceran, sedangkan untuk kelompok pegawai terdiri dari pegawai formal ataupun non formal. Sebanyak 49,4 persen kelompok petani/nelayan dan buruh masih belum memiliki jaminan kesehatan
119
apapun, sementara bagi yang telah memiliki jaminan sebagian besar adalah Jamkesmas atau Jamsostek. Sedangkan bagi penduduk yang tidak bekerja 54,5 persen diantaranya belum memiliki jaminan. Menurut kuintil indeks kepemilikan, Jamkesmas dimiliki oleh kelompok penduduk terbawah, menengah bawah dan menengah, masing-masing sebesar 56,3 persen; 35,4 persen dan 16,5 persen. Akan tetapi Jamkesmas dimiliki juga pada penduduk menengah atas (10,9%) dan teratas (2,7%). Berbeda dengan Jamkesmas, kepemilikan Jamkesda didominasi oleh penduduk menengah (4,9%) dan menengah atas (3,8%) sedangkan kepemilikan terendah oleh kelompok penduduk terbawah (0,3%) berdasarkan kuintil indeks kepemilikan. Pada jenis jaminan kesehatan selain Jamkesmas dan Jamkesda, kecenderungan kepemilikan jaminan kesehatan lebih banyak pada indeks kuintil kepemilikan teratas.
3.11.2 Mengobati sendiri Pola pencarian pengobatan seseorang dikategorikan dalam mengobati sendiri, memanfaatkan rawat jalan, dan memanfaatkan rawat inap. Informasi mengobati sendiri didapatkan dengan mengetahui perilaku seseorang yang pernah mengobati sendiri dengan cara membeli obat di apotik atau toko obat tanpa resep dalam satu bulan terakhir. Besaran biaya juga ditanyakan dan hasil analisis merupakan median besar biaya dalam sebulan terakhir. Gambar 3.11.1 menggambarkan proporsi penduduk Provinsi Banten yang mengobati diri sendiri dalam satu bulan terakhir dengan membeli obat ke toko obat atau ke warung tanpa resep dokter adalah 27,7 persen dengan rerata pengeluaran sebesar Rp.2.000. Kabupaten Pandeglang merupakan daerah tertinggi (45,9%) dengan rerata pengeluaran sebesar Rp. 1.500. Sebaliknya, Kabupaten Lebak merupakan daerah dengan proporsi terendah (14,8%) dengan rerata pengeluaran yang sama yaitu sebesar Rp. 1.500. Tabel 3.11.3 menggambarkan bahwa penduduk di perdesaan lebih banyak yang mengobati sendiri dengan cara membeli obat di toko obat atau di warung (29,9%) dari pada perkotaan (26,6%). Sebaliknya dari segi biaya, median biaya yang dikeluarkan perkotaan lebih besar, yaitu sebesar Rp.3.000, lebih besar dari angka provinsi (Rp.2.000). Di perdesaan, median biaya yang dikeluarkan untuk mengobati sendiri dengan membeli obat sebesar Rp.1.500. Tabel 3.11.3 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biayanya menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Mengobati diri sendiri
Karakteristik
%
Rp
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
26,6 29,9
3.000 1.500
Kuintil Indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
32,8 30,6 28,3 25,1 21,6
1.500 2.000 2.000 3.000 10.000
120
Menurut kuintil indeks kepemilikan, kelompok teratas merupakan kelompok yang paling sedikit mengobati sendiri (21,6%) namun dari sisi biaya yang dikeluarkan adalah terbesar diantara lainnya yaitu Rp.10.000. Median
Gambar 3.11.1 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan median besaran biaya menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
3.11.3 Rawat Jalan Pelayanan rawat jalan adalah semua pelayanan kepada pasien untuk observasi, diagnosis, pengobatan dan pelayanan kesehatan lainnya tanpa tinggal dirawat inap. Pemanfaatan atau utilisasi fasilitas kesehatan ditanyakan dalam satu bulan terakhir termasuk besaran biayanya. Hasil analisis disajikan data secara umum berupa rerata total besar biaya dalam sebulan terakhir (rawat jalan) dengan menggunakan median, tanpa melihat jenis fasilitas kesehatan dan besar biaya. Pemanfaatan rawat jalan menurut fasilitas kesehatan dapat dibaca dalam Buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013.
121
Median
Gambar 3.11.2 Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta median biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.11.2 menggambarkan 9,7 persen penduduk Provinsi Banten dalam satu bulan terakhir melakukan rawat jalan dan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.50.000. Penduduk Kota Cilegon merupakan daerah tertinggi yang melakukan rawat jalan (15,2%) dengan median biaya sebesar Rp.50.000. Penduduk Kota Tangerang Selatan merupakan yang terendah dalam pemanfaatkan fasilitas rawat jalan (4,2%), namun dengan pengeluaran rerata sebesar Rp.120.000 yang juga merupakan pengeluaran tertinggi jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya.
122
Tabel 3.11.4 Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta median biaya yang dikeluarkan (Rp) menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Rawat Jalan
Karakteristik
%
Rp
Kelompok umur 0-4 tahun 5-14 tahun 15-24 tahun 25-34 tahun 35-44 tahun 45-54 tahun 55-64 tahun 65-74 tahun 75+ tahun
19,5 8,3 5,6 8,3 9,3 10,6 13,1 15,4 13,0
40.000 30.000 50.000 50.000 50.000 70.000 50.000 70.000 100.000
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
9,6 9,8
50.000 35.000
9,2 10,6 9,8 10,6 7,9
30.000 40.000 50.000 50.000 100.000
Indeks Kuintil Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Tabel 3.11.4. menggambarkan pemanfaatan rawat jalan di berbagai fasilitas kesehatan dalam satu bulan terakhir. Sebanyak 19,5 persen balita melakukan rawat jalan dan kelompok ini merupakan kelompok proporsi tertinggi yang melakukan rawat jalan dengan median biaya sebesar Rp.40.000, sebaliknya penduduk umur 15-24 tahun adalah kelompok terendah. Makin bertambah umur, penduduk makin banyak yang memanfaatkan rawat jalan dengan median biaya cenderung semakin besar. Penduduk umur 75 tahun ke atas adalah kelompok dengan median pengeluaran rawat jalan terbesar (Rp. 100.000) dan proporsi sebanyak 13,0%. Pemanfaatan rawat jalan di perkotaan dan di perdesaan tidak terlalu berbeda, namun untuk biaya yang dikeluarkan dalam satu bulan terakhir untuk rawat jalan di perkotaan sebesar Rp.50.000, sedangkan di perdesaan sebesar Rp.35.000. Menurut kuintil indeks kepemilikan, median pengeluaran untuk rawat jalan paling tinggi pada kelompok penduduk kuintil teratas (Rp. 100.000) dengan proporsi pemanfaatan terendah (7,9%). Pemanfaatan tertinggi rawat jalan terdapat pada kuintil menengah bawah dan menengah atas dengan median pengeluaran masing-masing sebesar Rp. 40.000 dan Rp. 50.000.
3.11.4 Rawat Inap Rawat Inap merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan kedokteran intensif (hospitalization) yang diselenggarakan oleh rumah sakit, rumah sakit bersalin, maupun rumah bersalin. Pemanfaatan rawat inap ditanyakan dalam kurun waktu dua belas bulan terakhir. Hasil analisis disajikan secara umum tanpa melihat jenis fasilitas kesehatan dan besar biaya merupakan rerata total besar biaya dalam dua belas bulan terakhir (rawat jalan) dengan menggunakan median.
123
Pemanfaatan rawat inap menurut fasilitas kesehatan dapat dibaca dalam Buku 2 Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013. Median
Gambar 3.11.3 Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.11.3 menggambarkan 1,9 persen penduduk Provinsi Banten dalam satu bulan terakhir melakukan rawat inap dan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.3.000.000. Penduduk Kota Tangerang tertinggi dalam pemanfaatan rawat inap yaitu sebesar 3,1 persen dengan median biaya dalam satu tahun terakhir sebesar Rp.4.000.000 disusul oleh Kota Cilegon (3,0%) dengan median biaya sebesar Rp.3.020.000. Penduduk Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak merupakan dua terendah untuk pemanfaatan rawat inap, yaitu masing-masing 0,9 persen dan 0,8 persen. Median biaya di dua daerah tersebut berbeda-beda, di Kabupaten Pandeglang sebesar Rp.800.000 dan Kabupaten Lebak sebesar Rp.2.000.000. Pengeluaran untuk rawat inap terendah di Kabupaten Serang (Rp.650.000) dengan pemanfaatan rawat inap sebesar 1,4 persen sedangkan pengeluaran untuk rawat inap terbesar adalah di Kota Tangerang Selatan, yaitu sebesar Rp.6.000.000 dengan pemanfaatan rawat inap sebesar 1,3 persen.
124
Tabel 3.11.5 Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Rawat Inap
Karakteristik
%
Rp
Kelompok umur 0-4 tahun 5-14 tahun 15-24 tahun 25-34 tahun 35-44 tahun 45-54 tahun 55-64 tahun 65-74 tahun 75+ tahun
2,0 0,9 1,4 2,9 2,1 2,0 1,5 4,5 4,2
2.000.000 2.000.000 3.000.000 2.200.000 3.800.000 4.000.000 8.000.000 5.000.000 2.400.000
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
2,3 1,1
3.000.000 950.000
Indeks Kuintil Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
0,8 1,0 2,2 2,7 2,8
650.000 2.000.000 3.000.000 3.000.000 3.258.213
Tabel 3.11.5. menggambarkan sebesar 2,0 persen balita memanfaatkan rawat inap dan jumlah tersebut lebih tinggi daripada angka provinsi (1,9%). Kelompok usia lanjut merupakan kelompok tertinggi yang memanfaatkan fasilitas rawat inap dan juga besaran biayanya. Pemanfaatan rawat inap di perkotaan dan perdesaan nampak berbeda, begitu pula untuk biaya rawat inap satu tahun terakhir di perkotaan sebesar Rp.3.000.000. Jumlah tersebut lebih dari tiga kali lipat biaya rawat inap di perdesaan, yaitu sebesar Rp.950.000. Menurut kuintil indeks kepemilikan, kelompok penduduk kuintil teratas merupakan kelompok paling tinggi dalam pemanfaatan rawat inap (2,8%) dan pengeluaran sebesar Rp. 3.258.213.
3.11.5 Sumber Pembiayaan Sumber biaya kesehatan menurut SKN terdiri dari biaya pemerintah dan masyarakat. Riskesdas 2013 memberikan informasi tentang proporsi sumber biaya kesehatan penduduk yang memanfaatkan rawat jalan dalam satu bulan terakhir dan atau rawat inap dalam satu tahun terakhir. Sumber biaya dikelompokkan menjadi: biaya sendiri, asuransi kesehatan (PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementerian Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda.
125
Gambar 3.11.4 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat jalan, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.11.4 memperlihatkan bahwa sumber biaya rawat jalan secara keseluruhan untuk Provinsi Banten masih didominasi pembiayaan yang dibayar oleh pasien sendiri atau keluarga (out of pocket) sebesar 67,8 persen, kemudian berturut-turut disusul pembiayaan oleh Jamkesmas (11,2%) dan tunjangan kesehatan Perusahaan (6,4%), dan terendah adalah pembiayaan oleh asuransi swasta (0.8%). Sumber biaya rawat jalan dari Askes/ASABRI sebesar 2,2 persen, Jamsostek 3,9 persen, Jamkesda 4,6 persen, sumber lainnya 2,1 persen. Sebanyak 0,9 persen dibiayai lebih dari satu sumber. Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan kabupaten/kota dapat dibaca dalam Buku 2 Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013 Tabel 3.11.6 memperlihatkan bahwa menurut tempat tinggal, sumber biaya rawat jalan pada sebagian besar jenis fasilitas kesehatan dari berbagai jaminan kesehatan baik Askes/ASABRI, JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, Jamkesda, tunjangan kesehatan perusahaan dan dibiayai dari sumber lainnya banyak dimanfaatkan di daerah perkotaan. Di daerah perdesaan lebih banyak memanfaatkan Jamkesmas dan pembiayaan sendiri. Menurut kuintil indeks kepemilikan, sumber biaya rawat jalan untuk semua jenis fasilitas kesehatan yang berasal dari biaya sendiri pada semua kelompok penduduk mempunyai proporsi lebih dari 63 persen. Pada penduduk kuintil terbawah didapati 65,4 persen melakukan rawat jalan dengan biaya sendiri atau tanpa jaminan kesehatan apapun dan pada penduduk teratas terdapat 63,9 persen. Sumber biaya rawat jalan dari Jamkesmas yang tertinggi adalah pada penduduk kuintil terbawah (28,8%), sebaliknya pada penduduk kuintil teratas ada 0,1 persen yang menggunakannya. Proporsi dan pemanfaatan sumber biaya rawat jalan dari Askes, ASABRI, JPK-Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, dan tunjangan kesehatan perusahaan cenderung meningkat pada kuintil indeks kepemilikan yang semakin tinggi. Sedangkan pemanfaatan sumber biaya lebih dari sumber menunjukan variasi yang tidak terlalu berbeda antar karakteristik penduduk baik menurut tempat tinggal maupun kuintil indeks kepemilikan.
126
Tabel 3.11.6 Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013
Biaya Sendiri
Askes/ ASABRI
Jamsostek
Jamkesmas
Jamkesda
Perusahaan
Sumber Lainnya
Lebihdari satu sumber
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
Asuransi Swasta
Sumber Biaya Rawat inap Semua Fasilitas
63,8 75,9
2,8 0,9
5,3 1,0
1,2 0,1
7,6 18,6
6,5 0,7
8,9 1,2
2,9 0,6
0,9 1,0
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
65,4 73,7 65,5 68,2 63,9
0,6 0,2 1,3 2,9 7,4
0,6 1,1 5,0 8,8 2,6
0,0 0,2 0,5 0,4 4,1
28,8 14,8 8,3 4,7 0,1
1,3 4,9 8,3 5,4 1,1
1,8 3,0 6,2 6,6 17,1
0,4 1,6 2,9 2,3 3,5
1,1 0,5 2,0 0,7 0,1
Karakteristik
Gambar 3.11.5 memperlihatkan bahwa sumber biaya yang dipakai untuk rawat inap pada semua fasilitas kesehatan di Indonesia masih didominasi oleh biaya sendiri (out of pocket), yaitu sekitar 44,6 persen. Kondisi ini dimungkinkan karena masih sekitar 54,5 persen penduduk Banten belum memiliki jaminan kesehatan. Sebanyak 5 kabupaten/kota memiliki persentase out of pocket di atas angka provinsi. Pola pemanfaatan jaminan kesehatan sebagai sumber biaya untuk rawat jalan dan rawat inap tidak berbeda.
Gambar 3.11.5 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap, Provinsi Banten 2013
127
Selanjutnya, sumber biaya yang paling banyak digunakan untuk rawat inap berturut-turut adalah tunjangan kesehatan perusahaan 13,0 persen, Jamkesda 9,5 persen, Jamkesmas 9,1 persen. Sebanyak 8,4 persen penduduk Provinsi Banten yang rawat inap menggunakan Jamsostek dan Askes/ASABRI serta sumber lainnya digunakan oleh masing-masing 4,3 persen. Sementara itu sumber biaya untuk rawat inap dari Asuransi kesehatan swasta digunakan oleh 4,1 persen dan 2,7 persen menggunakan lebih dari satu sumber. Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat inap berdasarkan kabupaten/kota dapat dibaca dalam Buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013. Tabel 3.11.7 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013
Biaya Sendiri
Askes/ ASABRI
Jamsostek
Jamkesmas
Jamkesda
Perusahaan
Sumber Lainnya
Lebihdari satu sumber
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
Asuransi Swasta
Sumber Biaya Rawat inap Semua Fasilitas
41,7 57,5
5,0 1,2
9,4 4,1
4,9 0,4
5,3 26,6
11,6 0,1
15,1 3,3
4,9 1,8
2,2 5,1
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
50,6 54,1 50,7 36,2 43,9
0,0 0,0 1,4 3,3 10,7
0,0 5,1 5,6 14,9 6,9
1,8 3,0 0,0 4,0 8,7
37,1 11,9 11,2 5,2 3,0
0,2 6,9 12,0 15,8 3,7
5,6 14,8 11,3 12,1 16,9
0,0 3,0 6,8 2,7 5,9
4,7 1,2 1,0 5,9 0,4
Karakteristik
Tabel 3.11.7 memperlihatkan bahwa menurut tempat tinggal, sumber biaya rawat inap pada semua jenis fasilitas kesehatan dari berbagai jaminan kesehatan baik Askes/ASABRI, JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, Jamkesda, dan tunjangan kesehatan perusahaan lebih banyak dimanfaatkan di daerah perkotaan. Sumber biaya rawat inap dari Jamkesmas dan biaya sendiri lebih banyak dimanfaatkan di daerah perdesaan. Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi sumber biaya rawat inap dari jaminan kesehatan selain Jamkesmas dan Jamkesda cenderung meningkat seiring dengan makin tingginya kuintil. Sumber biaya rawat inap untuk semua jenis fasilitas kesehatan yang berasal dari biaya sendiri pada semua kelompok penduduk mempunyai proporsi lebih dari 36 persen. Pada penduduk kuintil terbawah didapati 50,6 persen melakukan rawat inap dengan biaya sendiri atau tanpa jaminan kesehatan apapun, dan pada penduduk teratas didapatkan 43,9 persen. Sumber biaya rawat inap dari Jamkesmas yang tertinggi adalah pada penduduk kuintil terbawah (37,1%), sebaliknya pada penduduk teratas hanya 3,0 persen yang menggunakannya.
128
3.12 Kesehatan Reproduksi Kesehatan Reproduksi (Kespro) mulai dimasukkan dalam Riskesdas 2010 yang hanya memberikan gambaran nasional dan provinsi. Riskesdas 2013 menyediakan informasi kesehatan reproduksi baik tingkat provinsi maupun kabupaten, sehingga provinsi dapat menilai cakupan pelayanan kesehatan ibu berbasis komunitas sebagai komplemen dari data rutin. Blok kesehatan reproduksi menyediakan informasi status kesehatan ibu dan beberapa isu kesehatan reproduksi pada semua perempuan umur 10-54 tahun. Informasi yang dikumpulkan meliputi: 1) kejadian kehamilan saat wawancara yang ditanyakan dalam kuesioner rumah tangga; 2) penggunaan alat/cara Keluarga Berencana (KB); 3) cakupan pelayanan kesehatan ibu dari masa kehamilan sampai masa nifas dan 4) masalah Kespro lainnya.
3.12.1 Kehamilan Informasi tentang kehamilan ini memberi gambaran proporsi penduduk Provinsi Banten yang sedang hamil (Gambar 3.12.1). Proporsi kehamilan umur 10-54 tahun di Provinsi Banten adalah 2,6 persen, dan tidak ada perbedaan di wilayah perkotaan maupun perdesaan (2,6%). (lihat buku Riskesdas Provinsi Banten dalam Angka2013, Tabel 3.12.1). Pola kehamilan berbeda menurut kelompok umur dan tempat tinggal. Di antara penduduk perempuan umur 10-54 tahun tersebut, tidak terdapat kehamilan pada umur sangat muda (<15 tahun). Proporsi kehamilan pada umur remaja (15-19 tahun) adalah 2,7 persen, perdesaan (4,4%) lebih tinggi dibanding perkotaan (0,9%). 7.0 6.3
6.0 5.4
5.0 4.4
4.0 3.0
5.8 5.3 4.7
4.0
3.9
3.7
2.7
2.0
2.0
2.9 2.3
3.1
1.5
1.0
0.9
0.8
0.0 10-14
15-19
20-24
Perkotaan
25-29
30-34
Perdesaan
35-39
1.1
0.0 0.0 0.0 40-44 45-49 50-54
Perkotaan+Perdesaan
Gambar 3.12.1 Proporsi penduduk yang sedang hamil berdasarkan laporan rumah tangga menurut kelompok umur dan tempat tinggal, Provinsi Banten 2013
3.12.2 Pelayanan program Keluarga Berencana (KB) Pelayanan KB merupakan upaya untuk mendukung kebijakan program KB nasional. Salah satu indikator program KB yaitu penggunaan KB saat ini dan CPR (Contraceptive Prevalence Rate). CPR adalah persentase penggunaan alat/cara KB oleh pasangan usia subur (PUS) yaitu WUS (umur 15-49 tahun) berstatus menikah atau hidup bersama (Rajaguguk, Omas Bulan, 2010). Pada laporan ini, informasi tentang KB dianalisis pada kelompok WUS berstatus menikah atau hidup bersama. Analisis jenis alat/cara KB yang digunakan merujuk pada alat/cara KB yang paling efektif.
129
a. Pola penggunaan KB saat ini Gambar 3.12.2 menunjukkan proporsi penggunaan KB saat ini di Provinsi Banten sebesar 61,4 persen. Proporsi penggunaan KB saat ini, terendah di Kota Tangerang Selatan (50,6%) dan tertinggi Kabupaten Lebak (71,1%). Proporsi WUS kawin yang tidak pernah menggunakan KB tertinggi di Kota Serang (12,2%) dan terendah di Kota Cilegon (7,7%). Proporsi penggunaan KB saat ini hasil Riskesdas 2013 menurut kabupaten/kota secara rinci dapat dilihat pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013, Tabel 3.12.2.
71.1 61.4
Lebak
Pandeglang
Kota Cilegon
Tangerang
Serang
Banten
Kota Serang
Kota Tangerang
50.6
Kota Tangerang Selatan
80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
Gambar 3.12.2 Pengggunaan KB saat ini menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Penggunaan alat/cara KB terdiri dari alat KB modern dan KB cara tradisional. Penggunaan menurut alat atau cara tersebut juga mencerminkan CPR KB modern dan CPR KB tradisional. Indikator CPR modern merupakan salah satu indikator MDGs kelima dengan target peningkatan CPR modern sebesar 65 persen (Kemenkes RI, 2011). 120.0 100.0
11.2 27.3
19.7
61.4
80.0
42.1 14.8
12.3
7.5
6.8
19.4
27.5
26.5
8.9
14.7
31.9
60.0
48.9 19.6
40.0 65.4
20.0
Sekarang
68.2
64.9
66.7
59.2
38.3
36.4
0.0 15-19
Sekarang
20-24
25-29
30-34
Pernah Ber-KB
35-39
40-44
45-49
Tidak pernah Ber-KB
Gambar 3.12.3 Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini WUS kawin dan kelompok umur, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.12.3 menunjukkan dominasi penggunaan alat/cara KB modern di Provinsi Banten (52,1%). Menurut kabupaten/kota, penggunaan KB modern adalah tertinggi di Kabupaten Lebak (71,1%) dan terendah di Kota Tangerang Selatan (50,3%). Gambar 3.12.3 menunjukkan juga bahwa proporsi penggunaan KB saat ini terbanyak pada kelompok umur 25-29 tahun (68,2%), sedangkan pada kelompok umur 45-49 tahun (36,4%) dan kelompok umur 15-19 tahun (38,3%).
130
Proporsi penggunaan alat/cara KB menurut karakteristik lainnya disajikan pada buku Riskesdas Provinsi Banten dalam Angka 2013, Tabel 3.12.3. Proporsi penggunaan alat/cara KB di perdesaan (66,8%) lebih banyak dibandingkan di perkotaan (59,0%), sedangkan berdasarkan kuintil indeks kepemilikan terbanyak adalah kelompok terbawah (68,5%). WUS kawin yang tidak pernah menggunakan KB lebih banyak pada kelompok yang tamat PT (23,7%) dan pada kelompok umur 20-24 tahun (19,7%). b. Penggunaan KB menurut kandungan hormonal dan jangka waktu efektivitas Penggunaan KB menurut jenis alat/cara KB di Banten didominasi oleh penggunaan KB jenis suntikan KB (39,7%). Penggunaan KB menurut jenisnya dapat dilihat pada buku Riskesdas Provinsi Banten dalam Angka 2013, Tabel 3.12.4 dan Tabel 3.12.5. Berdasarkan jenis alat/cara KB modern dari kedua tabel tersebut dapat dikelompokkan menurut jenis kandungan hormonal dan jangka waktu efektivitas. Kelompok KB hormonal terdiri dari KB modern jenis susuk, suntikan dan pil sedangkan kelompok non hormonal adalah sterilisasi pria, sterilisasi wanita, spiral/IUD, diafragma dan kondom. Kelompok alat/cara KB modern menurut jangka waktu efektivitas untuk MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) terdiri dari susuk, sterilisasi pria, sterilisasi wanita serta, spiral/IUD, sedangkan kelompok non MKJP adalah jenis suntikan, pil, diafragma dan kondom. Pada Tabel 3.12.4 buku Riskesdas Provinsi Banten dalam Angka 2013, memperlihatkan dominasi kelompok hormonal dan non MKJP yang sangat dipengaruhi oleh penggunaan KB suntikan yang tinggi. Gambar 3.12.4 menunjukkan pola penggunaan alat/cara KB modern berdasarkan jenis kandungan hormonal menurut kabupaten/kota. Proporsi penggunaan KB hormonal paling tinggi di Kabupaten Lebak (67,4%) dan paling rendah di Kota Tangerang Selatan (38,9%). Sementara untuk proporsi alat KB non hormonal paling tinggi di Kota Serang (11,5%) dan paling rendah di Kabupaten Pandeglang (2,8%).
80 70 60 50 40 30 20 10 0
5.9
hormonal
Lebak
Pandeglang
Serang
Tangerang
Banten
Kota Cilegon
Kota Serang
Kota Tangerang
Kota Tangerang Selatan
55.2
non hormonal
Gambar 3.12.4 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok kandungan hormonal menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.12.5 adalah variasi proporsi penggunaan KB menurut jenis jangka waktu efektivitas (MKJP dan Non MKJP) di Provinsi Banten. Proporsi penggunaan KB non MKJP tertinggi di Kabupaten Lebak (62,8%) dan paling rendah di Kota Tangerang Selatan (39,7%). Penggunaan alat/cara KB dengan MKJP paling tinggi di Kota Serang (11,2%) sedangkan paling rendah adalah Kabupaten Tangerang (3,8%).
131
80.0 70.0
7.3
60.0 50.0 40.0 30.0
53.8
20.0 10.0
Non MKJP
Lebak
Tangerang
Pandeglang
Serang
Banten
Kota Cilegon
Kota Serang
Kota Tangerang
Kota Tangerang Selatan
0.0
MKJP
Gambar 3.12.5 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok jangka waktu efektivitas KB menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Proporsi penggunaan KB modern kelompok hormonal menurut karakteristik paling tinggi pada kelompok umur 25-29 tahun (64,9%), tamat SD (63,3%), jenis pekerjaan lainnya (63,5%), tinggal di perdesaan (64,4%) dan kuintil indeks kepemilikan terbawah (66,1%) (Tabel 3.12.7 pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013). Proporsi penggunan KB modern berdasarkan jangka waktu efektivifas menurut karakteristik, non MKJP banyak digunakan oleh kelompok umur 25-29 tahun, tamat SD, jenis pekerjaan lainnya, tinggal di perdesaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Pengguna jenis MKJP paling tinggi pada kelompok umur 40-44 tahun, pendidikan tinggi (tamat PT), pegawai, bertempat tinggal di perkotaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan teratas (Tabel 3.12.7 pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013).
132
c. Tempat dan Tenaga untuk pelayanan KB modern Informasi tempat dan tenaga pelayanan KB modern bermanfaat untuk mengevaluasi pelaksanaan program pelayanan KB.
Tenaga Kesehatan
Gambar 3.12.6 Proporsi pemanfaatan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan dalam mendapatkan pelayanan KB, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.12.6 memperlihatkan penggunaan tempat dan tenaga yang memberi pelayanan KB. Terlihat bahwa praktek bidan dan bidan banyak perperan dalam pelayanan KB. Proporsi tersebut bervariasi menurut karakteristik. Tempat yang banyak dikunjungi adalah praktek bidan (60,6%) dan paling kecil adalah tim KB keliling (0,6%). Proporsi WUS kawin berdasarkan tempat mendapatkan pelayanan KB modern menurut kabupaten/kota dan karakteristik yang dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 3.12.8 dan 3.12.9 buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013. Gambar 3.12.6 juga menunjukkan proporsi WUS kawin berdasarkan tenaga kesehatan yang memberi pelayanan KB. Tenaga kesehatan yang paling banyak memberi pelayanan KB adalah bidan (76,4%), dibandingkan tenaga kesehatan lainnya. Proporsi WUS kawin berdasarkan tenaga pemberi pelayanan KB modern menurut kabupaten/kota dan karakteristik dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 3.12.10 dan 3.12.11 buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013.
3.12.3 Pelayanan kesehatan masa kehamilan, persalinan dan nifas Setiap kehamilan dapat menimbulkan risiko kematian ibu. Pemantauan dan perawatan kesehatan yang memadai selama kehamilan sampai masa nifas sangat penting untuk kelangsungan hidup ibu dan bayinya. Dalam upaya mempercepat penurunan kematian ibu, Kementerian Kesehatan menekankan pada ketersediaan pelayanan kesehatan ibu di masyarakat. Riskesdas 2013 menanyakan kepada semua perempuan 10-54 tahun yang pernah melahirkan. Selanjutnya pada responden yang pernah melahirkan (lahir hidup dan lahir mati) pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara, ditanyakan lebih lanjut tentang pengalaman mendapat pelayanan kesehatan selama periode hamil sampai masa nifas. Terdapat 2 indikator MDGs yang diperoleh dari bagian ini yaitu cakupan ANC minimal 1 kali dan ANC minimal 4 kali serta proporsi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.
133
a. Pelayanan kesehatan ibu hamil dan indikator cakupan ANC Antenatal Care (ANC) adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama kehamilannya dan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan/SPK (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010). Tenaga kesehatan yang dimaksud di atas adalah dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat. Pada laporan ini disajikan indikator ANC yang sesuai dengan MDGs (K1 dan ANC minimal 4 kali) maupun indikator ANC untuk evaluasi program pelayanan kesehatan ibu di Indonesia seperti cakupan K1 ideal dan K4. Gambar 3.12.8 menunjukkan bahwa 95,6 persen dari kelahiran mendapat ANC (K1). Persentase K1 dan ANC minimal 4 kali merupakan indikator ANC tanpa memperhatikan periode trimester saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Cakupan K1 bervariasi dengan rentang antara 90,8 persen (Kabupaten Pandeglang) dan 99,7 persen (Kota Cilegon). Namun untuk ANC minimal 4 kali, Kota Tangerang Selatan (94,6%) merupakan wilayah dengan cakupan paling tinggi dibanding wilayah lainnya. Selisih antara K1 dan ANC 4 kali menunjukkan adanya kehamilan yang tidak optimal mendapat pelayanan ANC. Gambar 3.12.9 menyajikan cakupan K1 ideal dan K4. Indikator K1 ideal dan K4 adalah indikator untuk melihat frekuensi yang merujuk pada periode trimester saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Kementerian Kesehatan menetapkan K4 sebagai salah satu indikator ANC (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, 2010). Indikator K1 ideal dan K4 merujuk pada frekuensi dan periode trimester saat dilakukan ANC menunjukkan adanya keberlangsungan pemeriksaan kesehatan semasa hamil. Setiap ibu hamil yang menerima ANC pada trimester 1 (K1 ideal) seharusnya mendapat pelayanan ibu hamil secara berkelanjutan dari trimester 1 hingga trimester 3. Hal ini dapat dilihat dari indikator ANC K4. Cakupan K1 ideal secara umum untuk wilayah Provinsi Banten adalah 83,0 persen dengan cakupan terendah di Kabupaten Pandeglang (70,4%) dan tertinggi di Kota Cilegon (95,0%). Cakupan K4 di Provinsi Banten adalah 70,2 persen dengan cakupan terendah di Kabupaten Pandeglang (46,4%) dan tertinggi di Kota Tangerang Selatan (90,9%). Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat dari K1 ideal sebesar 83,0 persen dan K4 sebesar 70,2 persen, yang berarti 13 persen dari ibu yang menerima K1 ideal tidak melanjutkan ANC sesuai standar minimal (K4). Cakupan ANC menurut karakteristik menunjukkan bahwa semakin muda umur, semakin tinggi pendidikan ibu, semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan dan tinggal di perkotaan, maka ibu cenderung untuk melakukan ANC. Cakupan K1 ideal menurut karakteristik memiliki pola yang hampir sama dengan cakupan K1 (Tabel 3.12.15 pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013). 120.0 100.0 80.0 60.0
99.7
95.6
90.8
91.4
81.6 59.9
40.0 20.0
KOTA CILEGON
KOTA TANGERANG
ANC minimal 4x
KOTA TANGERANG SELATAN
KOTA SERANG
K1
TANGERANG
BANTEN
SERANG
LEBAK
PANDEGLANG
0.0
Gambar 3.12.7 Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
134
100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
ANC K4
Kota Tangerang Selatan
Kota Tangerang
Kota Cilegon
Lebak
Kota Serang
Banten
Tangerang
Serang
Pandeglang
83.0 70.2
K1 Ideal
Gambar 3.12.8 Cakupan indikator ANC K1 ideal dan ANC K4 (ANC 1-1-2) menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 b. Tenaga dan tempat pemeriksa kehamilan Tenaga kesehatan yang kompeten memberi pelayanan pemeriksaan kesehatan ibu hamil adalah dokter kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, 2009). Fasilitas kesehatan disediakan untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil dari rumah sakit hingga posyandu. Gambar 3.12.9 adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan ANC menurut tenaga dan tempat menerima ANC. Bidan merupakan tenaga kesehatan yang paling berperan (88,4%) dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu hamil dan fasilitas kesehatan yang banyak dimanfaatkan ibu hamil adalah praktek bidan (55,5%), Posyandu (17,7%) dan Puskesmas/Pustu (10,2%).
Polindes/ Poskesdes
Bidan
Praktek Bidan
dokter kebidanan kandungan
Lainnya Posyandu RS RB PKM/Pust u
Perawat Praktek dokter/Klini
dokter umum
Gambar 3.12.9 Proporsi kelahiran menurut melakukan pemeriksaan kehamilan menurut tenaga dan tempat mendapat pelayanan ANC, Banten 2013 Proporsi tenaga kesehatan yang memberi pelayanan pemeriksaan kehamilan menurut kabupaten/kota dan karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013 (Tabel 3.12.16 dan 3.12.17). Masyarakat dengan karakteristik tinggal di perdesaan,
135
pendidikan rendah dan berada pada kuintil indeks kepemilikan terbawah hingga menengah cenderung memilih bidan saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Sebaliknya dokter spesialis kebidanan dan kandungan dipilih oleh masyarakat di perkotaan, pendidikan tinggi dan indeks kepemilikan atas. Proporsi fasilitas kesehatan yang dipilih masyarakat untuk pemeriksaan kehamilan menurut kabupaten/kota dan karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013 (Tabel 3.12.16 dan 3.12.17). c.
Konsumsi zat besi
Zat besi sangat dibutuhkan oleh ibu hamil untuk mencegah terjadinya anemia dan menjaga pertumbuhan janin secara optimal. Kementerian Kesehatan menganjurkan agar ibu hamil mengonsumsi paling sedikit 90 pil zat besi selama kehamilannya (Depkes RI, 2001). Pada Riskesdas 2013 ditanyakan apakah mengonsumsi zat besi selama hamil dan berapa hari mengonsumsi zat besi selama hamil. Zat besi yang dimaksud adalah semua konsumsi zat besi selama masa kehamilannya termasuk yang di jual bebas maupun multivitamin yang mengandung zat besi. Gambar 3.12.10 menunjukkan konsumsi zat besi dan variasi jumlah asupan zat besi selama hamil di Provinsi Banten sebesar 89,1 persen.
Tidak mengkonsum si zat besi Mengkonsum si zat besi
Gambar 3.12.10 Proporsi ibu hamil mengkonsumsi zat besi (Fe) dan jumlah yang dikonsumsi, Provinsi Banten 2013 d. Kepemilikan buku KIA dan pelaksanaan P4K Buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA) telah dirintis sejak 1997 dengan dukungan dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Buku KIA berisi catatan kesehatan ibu (hamil, bersalin dan nifas) dan anak (bayi baru lahir, bayi dan anak balita). Buku KIA juga memuat informasi tentang cara memelihara dan merawat kesehatan ibu dan anak. Setiap kehamilan mendapat 1 buku KIA. Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) merupakan program terobosan Kementerian Kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat tentang kesehatan ibu sebagai upaya untuk menurunkan kematian ibu (Factsheet Ditjen Bina Kesehatan Ibu). P4K adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat yang difasilitasi oleh tenaga kesehatan, kader, tokoh agama/tokoh masyarakat untuk meningkatkan peran aktif suami, keluarga dan masyarakat dalam perencanaan persalinan, persiapan menghadapi komplikasi kehamilan/persalinan, perencanaan penggunaan kontrasepsi pasca persalinan bagi setiap ibu hamil dengan menggunakan media stiker sebagai penanda. Sebagai wujud penerapan P4K tersebut juga dituliskan pada Buku KIA dalam lembar ‘Amanat Persalinan’. Setiap kehamilan yang mendapat buku KIA dan membuat perencanaan dituliskan pada lembar tersebut (Kementerian Kesehatan, 1997). Pada Riskesdas 2013, enumerator menanyakan kepemilikan Buku KIA. Apabila responden bisa menunjukkan buku KIA dilanjutkan dengan observasi 5 komponen P4K terhadap lembar Amanat
136
Persalinan yang terkait dengan perencanaan persalinan, persiapan kegawatdaruratan dan perencanaan KB yaitu : 1. Penolong persalinan (nama-nama tenaga kesehatan yang akan menangani saat bersalin). 2. Dana persalinan (rencana sumber pembiayaan yang akan digunakan untuk biaya persalinan). 3. Kendaraan/ambulans desa (kendaraan yang disiapkan untuk membawa ibu hamil menuju tempat bersalin jika sewaktu-waktu akan melahirkan/perlu rujukan). 4. Metode KB (rencana jenis KB yang akan dipilih setelah melahirkan), dan 5. Sumbangan darah (nama-nama calon donor darah apabila sewaktu-waktu terjadi kasus perdarahan/komplikasi lain yang memerlukan sumbangan darah).
40.0
25.8 47.6
35.5
35.0
26.6
30.0 25.0 20.0 15.0
21.0 15.3
14.1 9.4
10.0 Memiliki Buku KIA-bisa menunjukkan
5.0 0.0 Penolong Dana Kendaraan Metode persalinan persalinan KB
Donor darah
Gambar 3.12.11 Proporsi kelahiran menurut kepemilikan buku KIA dan isian 5 Komponen P4K berdasarkan hasil observasi lembar Amanat Persalinan dari yang dapat menunjukkan Buku KIA, Provinsi Banten 2013 Hasil analisis menunjukkan bahwa 74,2 persen mempunyai buku KIA, namun yang bisa menunjukan hanya 26,6 persen. Variasi kepemilikan buku KIA dan bisa menunjukkan buku KIA menurut kabupaten/kota antara cakupan terendah di Kabupaten Tangerang (11,6%) dan tertinggi di Kota Cilegon (48,3%). Gambar 3.12.11 menunjukkan hasil observasi buku KIA terhadap 5 komponen P4K menunjukkan bahwa isian penolong persalinan sebesar 35,5 persen, dana persalinan sebesar 15,3 persen, kendaraan/ambulans desa sebesar 14,1 persen, metode KB pasca salin sebesar 21,0 persen dan 9,4 persen untuk isian sumbangan darah. Kelengkapan isian pada semua komponen sebesar 8,0 persen dan 64,5 persen tidak ada isian. Kepemilikan buku KIA dan isian 5 komponen hasil observasi menurut kabupaten/kota dan karakteristik dapat dilihat pada Tabel 3.12.22 dan 3.12.23 pada Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013.
e. Metode persalinan Masa bersalin merupakan periode kritis bagi seorang ibu hamil. Masalah komplikasi atau adanya faktor penyulit menjadi faktor risiko terjadinya kematian ibu sehingga perlu dilakukan tindakan medis sebagai upaya untuk menyelamatkan ibu dan anak. Bedah sesar hanya dilakukan atas dasar indikasi medis tertentu dan kehamilan dengan komplikasi (Depkes, 2001c). Pada Riskesdas 2013 ditanyakan proses persalinan yang dialami. Gambar 3.12.12 menyajikan proporsi persalinan dengan bedah sesar menurut kabupaten/kota dan Gambar 3.12.13 menurut karakteristik. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan kelahiran bedah sesar sebesar 12,1 persen dengan proporsi tertinggi di Kota Tangerang Selatan (21,9%) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (1,2%) dan secara umum pola persalinan melalui bedah sesar menurut karakteristik menunjukkan proporsi tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan teratas (26,2%), tinggal di perkotaan (16,2%), pekerjaan sebagai pegawai (25,2%) dan
137
pendidikan tinggi/lulus PT (28,9%). Tabel 3.12.24 dan Tabel 3.12.25 buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013 menyajikan proporsi metode persalinan menurut kabupaten/kota dan karakteristik.
25.0
21.9
20.0 15.0
12.1
10.0 5.0
1.2 Kota Tangerang Selatan
Kota Cilegon
Kota Tangerang
Banten
Tangerang
Kota Serang
Lebak
Serang
Pandeglang
0.0
Teratas Menengah atas Menengah Menengah bawah Terbawah
26.2
Perdesaan Perkotaan
16.2
Lainnya Petani/Nelayan/Buruh Wiraswasta Pegawai Tidak berkerja
Pendidikan
Pekerjaan
Tempat Tinggal
Kuintil Indeks Kepemilikan
Gambar 3.12.12 Proporsi persalinan operasi sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
25.2
Tamat PT Tamat SLTA Tamat SLTP Tamat SD Tidak Tamat SD Tidak sekolah
28.9
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
Gambar 3.12.13 Proporsi persalinan sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 f. Penolong persalinan Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten merupakan salah satu indikator MDGs target kelima. Tenaga kesehatan yang kompeten sebagai penolong persalinan (linakes) menurut PWS-KIA adalah dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan. Kementerian Kesehatan menetapkan target 90 persen persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
138
pada tahun 2012 (Depkes, 2000c). Untuk mengukur kemajuan dalam mencapai target ini, responden ditanya mengenai siapa saja yang menolong selama proses persalinan. Dalam analisis Riskesdas, penolong persalinan dinyatakan dalam penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah. Penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi apabila lebih dari satu penolong maka dipilih yang paling tinggi sedangkan penolong persalinan dengan kualifikasi terendah adalah apabila lebih dari satu penolong maka dipilih tenaga dengan kualifikasi yang paling rendah. Gambar 3.12.14 menunjukkan bahwa persalinan kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah. Sebagian besar persalinan ditolong oleh bidan (65,4% dan 62,0%). Sehingga penolong linakes untuk kualifikasi tertinggi sebesar 84,1 persen dan kualifikasi terendah adalah 76,3 persen. 84.1 76.3
3.2 Dukun
0.2 1.2 0.6
Kualifikasi tertinggi
Tidak ada penolong
0.1 Bidan
Dokter umum
0.7 0.3
18.7 0.6 Penolong Linakes
14.9
13.9 Perawat
18.0
62.0
Keluarga/Lainnya
65.4
Dr.kebid & kandungan
90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
Kualifikasi terendah
Gambar 3.12.14 Proporsi kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sd wawancara menurut penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan terendah, Provinsi Banten 2013 Pola penolong persalinan menurut kabupaten/kota untuk kualifikasi tertinggi dengan proporsi penolong linakes terendah di Kabupaten Pandeglang (59,4%), dan tertinggi di Kota Tangerang (98,1%). Pola penolong persalinan menurut karakteristik terlihat bahwa semakin tinggi pendidikan ibu, persentase dokter spesialis kebidanan dan kandungan semakin besar baik kualifikasi tertinggi maupun terendah. Demikian juga pegawai, tinggal di perkotaan dan kuintil indeks kepemilikan teratas. Sebaliknya penggunaan dukun sebagai tenaga penolong persalinan adalah kelahiran dari ibu yang mempunyai pendidikan rendah (tidak tamat SD dan tidak sekolah), petani/ nelayan/buruh tinggal di perdesaan dan kuintil indeks kepemilikan terbawah.
g. Tempat persalinan Tempat persalinan yang ideal adalah di rumah sakit karena apabila sewaktu-waktu memerlukan penanganan kegawatdaruratan tersedia fasilitas yang dibutuhkan, minimal bersalin di fasilitas kesehatan lainnya sehingga apabila perlu rujukan dapat segera dilakukan. Sebaliknya apabila melahirkan di rumah apabila sewaktu-waktu membutuhkan penangan medis segera tidak dapat segera dapat ditangani. Gambar 3.12.15. menunjukkan 70,4 persen kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara terjadi di fasilitas kesehatan dengan persentase tertinggi di rumah bersalin, klinik, praktek dokter/praktek bidan (66,0%) dan terendah di Poskesdes/Polindes (0,7%). Namun masih terdapat 33,3 persen yang melahirkan di rumah/lainnya. Kabupaten dengan persentase melahirkan di rumah yang paling tinggi adalah di Kabupaten Pandeglang (68,7%).
139
120.0 100.0 33.3
80.0 60.0 40.0
66.7
20.0
Faskes dan Polindes/Poskesdes
Kota Tangerang Selatan
Kota Tangerang
Kota Cilegon
Kota Serang
Banten
Tangerang
Serang
Pandeglang
Lebak
0.0
Rumah/Lainnya
Gambar 3.12.15 Proporsi tempat bersalin dari kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.12.16 menyajikan proporsi tempat bersalin di fasilitas kesehatan (RS, RB/klinik/praktek nakes, Puskesmas/Pustu) dan Polindes/Poskesdes dan di Rumah menurut karakteristik. Pada kelompok ibu berumur risiko tinggi (umur ibu kurang dari 20 tahun dan umur 35 tahun ke atas) lebih banyak melahirkan di fasilitas kesehatan dan polindes/poskesdes demikian pula ibu dengan tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan yang tinggi, bekerja sebagai pegawai dan tinggal di perkotaan. Sebaliknya ibu dengan pendidikan rendah, pekerjaan petani/nelayan/buruh, tinggal di perdesaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan terendah memilih melahirkan di rumah. 85.0 69.1
87.6
86.9
82.3 67.5
63.9
74.9
56.0
Umur saat bersalin
Pendidikan
Pekerjaan
Faskes dan Polindes/Poskesdes
Tempat Tinggal
Kuintil Indeks Kepemilikan
Rumah/Lainnya
Gambar 3.12.16 Persentase tempat bersalin dari kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut karakteristik responden, Provinsi Banten 2013
140
Teratas
Menengah atas
Menengah
Menengah bawah
Terbawah
Perdesaan
Perkotaan
Lainnya
Petani/Nelayan/Buruh
Wiraswasta
Pegawai
Tidak berkerja
Tamat D1-D3/PT
Tamat SLTA
Tamat SLTP
Tamat SD
Tidak Tamat SD
Tidak sekolah
≥ 35 th
20-34 th
48.1
< 20 th
100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
h. Pelayanan kesehatan masa nifas Masa nifas masih merupakan masa yang rentan bagi kelangsungan hidup ibu baru bersalin. Menurut Studi Tindak Lanjut Kematian Ibu SP 2010 (Tin Afifah dkk, 2011), sebagian besar kematian ibu terjadi pada masa nifas sehingga pelayanan kesehatan masa nifas berperan penting dalam upaya menurunkan angka kematian ibu. Pelayanan masa nifas adalah pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu selama periode 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. Kementerian Kesehatan menetapkan program pelayanan atau kontak ibu nifas yang dinyatakan dalam indikator : 1) KF1, kontak ibu nifas pada periode 6 jam sampai 3 hari setelah melahirkan 2) KF2, kontak ibu nifas pada periode 7-28 hari setelah melahirkan dan 3) KF3, kontak ibu nifas pada periode 29-42 hari setelah melahirkan.
100.0 78.5
80.0
52.1
60.0
38.5
36.9
40.0 20.0 0.0 6 jam - 3 hr
7-28 hr
29-42 hr
KF Lengkap
Gambar 3.12.17 Proporsi pelayanan masa nifas dari kelahiran hidup periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.12.17 memperlihatkan bahwa cakupan pelayanan kesehatan masa nifas seiring dengan periode waktu setelah bersalin bervariasi. Kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan masa nifas secara lengkap meliputi KF1, KF2 dan KF3 hanya 38,5 persen. Periode masa nifas yang berisiko terjadinya komplikasi pasca persalinan terutama pada periode 3 hari pertama setelah melahirkan. Cakupan pelayanan kesehatan masa nifas periode 3 hari pertama setelah melahirkan bervariasi menurut kabupaten/kota (Gambar 3.12.18) yaitu tertinggi di Kota Tangerang (88,4%) dan terendah di Kabupaten Serang (61,6%). 88.4
78.5
Kota Tangerang
Kota Tangerang Selatan
Tangerang
Kota Cilegon
Banten
Kota Serang
Lebak
Pandeglang
61.6
Serang
100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
Gambar 3.12.18 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
141
Menurut karakteristik pada Gambar 3.12.19 memperlihatkan bahwa semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan maka cakupan KF1 makin besar, proporsi di perkotaan lebih tinggi dibanding perdesaan. Tidak ada perbedaan mencolok menurut karakteristik umur saat bersalin dan pekerjaan.
Kelompok umur
Pendidikan
Pekerjaan
Tempat Tinggal
Kuintil Indeks Kepemilikan
Rincian data cakupan pelayanan KF menurut kabupaten/kota dan karakteristik dapat dilihat pada Tabel 3.12.32 dan Tabel 3.12.33 pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013. Teratas Menengah atas Menengah Menengah bawah Terbawah
95.4
Perdesaan Perkotaan
85.2
Lainnya Petani/Nelayan/Buruh Wiraswasta Pegawai Tidak berkerja
89.8
Tamat D1-D3/PT Tamat SLTA Tamat SLTP Tamat SD Tidak Tamat SD Tidak sekolah
97.3
≥ 35 th 20-34 th < 20 th
80.5
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
Gambar 3.12.19 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013
142
3.13 Kesehatan Anak dan Imunisasi Topik kesehatan anak bertujuan untuk memberikan informasi berbagai indikator kesehatan anak yang meliputi status kesehatan anak dan cakupan pelayanan. Untuk status kesehatan anak meliputi prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR), panjang badan lahir pendek, gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatal, cacat lahir atau kecacatan pada anak balita. Sedangkan indikator yang terkait dengan cakupan pelayanan kesehatan anak meliputi perilaku perawatan tali pusar bayi baru lahir, pemeriksaan bayi baru lahir, imunisasi, kepemilikan akte kelahiran, kepemilikan buku KMS dan KIA, pemantauan pertumbuhan, pemberian kapsul vitamin A, pemberian ASI dan MPASI, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal, ASI eksklusif, dan sunat perempuan. Indikator yang terkait dengan prevalensi gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatal, kepemilikan akte kelahiran anak balita, cakupan kepemilikan KMS dan buku KIA, pemberian kolostrum dan pemberian makanan prelakteal akan ditampilkan dalam buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013. Tabel 3.13.1 menunjukkan jumlah responden yang dianalisis sesuai indikator yang diukur. Tabel 3.13.1 Jumlah sampel dan indikator kesehatan anak, Provinsi Banten 2013 Responden Perempuan umur 0-11 tahun Anak umur 0-59 bulan
Jumlah sampel 2.630 1.924
Anak umur 6-59 bulan
1.759
Anak umur 24-59 bulan Anak umur 0-23 bulan Anak umur 12-59 bulan
1.186 738 1.574
Indikator Sunat perempuan Kunjungan neonatal Berat dan panjang lahir Perawatan tali pusar Kepemilikan KMS dan buku KIA Kepemilikan akte kelahiran Cakupan vitamin A Pemantauan pertumbuhan Kecacatan ASI dan MPASI Imunisasi
3.13.1 Berat dan panjang badan lahir Berat dan panjang badan lahir dicatat atau disalin berdasarkan dokumen/catatan yang dimiliki oleh anggota rumah tangga, seperti buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak lainnya. Persentase anak balita yang memiliki catatan berat badan lahir adalah 48,3 persen. Kategori berat badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu <2500 gram (BBLR), 2500-3999 gram, dan ≥4000 gram. Kecenderungan BBLR pada anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kotatahun 2013 disajikan pada Gambar 3.13.1. Persentase BBLR tahun 2013 (10,2%) dengan persentase BBLR tertinggi terdapat di Kabupaten Serang (14,4%) dan terendah di Kota Tangerang dan Kota Cilegon masing-masing (6,0%).
143
Gambar 3.13.1 Kecenderungan berat badan lahir rendah (BBLR)pada balita, Provinsi Banten 2013* * Berdasarkan 48,3% sampel balita yang punya catatan
Tabel 3.13.2 menyajikan persentase berat badan bayi baru lahir anak balita menurut karakteristik. Karakteristik pendidikan dan pekerjaan adalah gambaran dari kepala rumah tangga. Menurut kelompok umur, persentase BBLR tidak menunjukkan pola kecenderungan yang jelas. Persentase BBLR pada perempuan (11,9%) lebih tinggi daripada laki-laki (7,6%), namun persentase berat lahir ≥ 4000 gram pada laki-laki (10,4%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (2,8%). Menurut pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan terlihat prevalensi BBLR tertinggi pada kelompok tidak tamat SD/MI dan penduduk menengah bawah. Sedangkan persentase BBLR terendah pada kelompok menengah atas (5,3%). Menurut jenis pekerjaan, persentase BBLR tertinggi pada anak balita dengan kepala rumah tangga petani/nelayan/buruh (12,1%). Persentase BBLR di perdesaan (10,4%) lebih tinggi daripada di perkotaan (9,4%).
144
Tabel 3.13.2 Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik
<2500 gr
Berat badan lahir 2500 - 3999 gr
≥4000 gr
Kelompok umur (bulan) 0–5 6 – 11 12 – 23 24 – 35 36 – 47 48 – 59
11,4 6,5 9,8 8,9 11,2 9,9
85,2 85,5 81,9 82,5 85,9 81,5
3,4 7,9 8,3 8,6 2,9 8,6
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
7,6 11,9
82,0 85,3
10,4 2,8
Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
0,0 15,9 10,9 8,5 8,8 10,1
99,6 81,9 82,6 82,9 83,7 85,9
0,4 2,2 6,4 8,7 7,4 4,0
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
5,3 8,9 9,1 12,1 9,0
87,2 84,4 83,1 81,5 87,8
7,4 6,7 7,8 6,4 3,2
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
9,4 10,4
83,9 82,6
6,6 7,0
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
8,7 15,0 11,3 5,3 10,0
84,9 78,3 83,8 86,9 82,6
6,5 6,6 4,9 7,8 7,4
Tabel 3.13.3 menyajikan persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota. Kategori panjang badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu <48 cm, 48-52 cm, dan >52 cm. Persentase panjang badan lahir <48 cm sebesar 21,2 persen dan 48-52 cm sebesar 76,5 persen. Persentase bayi lahir pendek (panjang badan lahir <48 cm) tertinggi di Kabupaten Serang (34,1%) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (11,6%).
145
Tabel 3.13.3 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan Banten
<48 cm 11,6 30,3 20,2 34,1 19,8 27,6 13,9 18,0 21,2
Panjang badan lahir 48 - 52 cm 83,0 68,5 76,5 64,9 79,3 70,5 81,0 81,3 76,5
>52 cm 5,4 1,2 3,2 1,0 1,0 1,9 5,2 0,7 2,3
Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik disajikan pada Tabel 3.13.4. Menurut kelompok umur, bayi lahir pendek tidak menunjukkan adanya pola yang jelas. Persentase bayi lahir pendek pada anak perempuan (24,3%) lebih tinggi daripada anak laki-laki (18,3%). Menurut pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan terlihat adanya kecenderungan semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah persentase anak lahir pendek. Menurut jenis pekerjaan, persentase anak lahir pendek tertinggi pada anak balita dengan kepala rumah tangga yang bekerja sebagai petani/nelayan/buruh (30,3%), sedangkan persentase terendah pada kelompok pekerjaan lainnya (13,3%). Persentase anak lahir pendek di perdesaan (30,1%) lebih tinggi daripada di perkotaan (18,6%).
146
Tabel 3.13.4 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik
<48 cm
Panjang badan lahir 48 - 52 cm
>52 cm
Kelompok umur (bulan) 0–5 6 – 11 12 – 23 24 – 35 36 – 47 48 – 59
21,9 25,3 19,2 23,9 16,3 22,4
75,6 73,4 79,7 74,1 78,2 76,4
2,5 1,3 1,1 2,0 5,5 1,1
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
18,3 24,3
79,3 73,6
2,5 2,1
Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
7,5 37,2 24,2 21,3 20,5 14,5
86,4 62,6 72,9 78,7 76,8 82,3
6,2 0,2 2,9
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
22,7 16,6 20,2 30,3 13,3
76,6 81,1 78,5 67,9 76,9
0,8 2,3 1,4 1,9 9,8
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
18,6 30,1
79,2 67,2
2,1 2,7
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
28,0 23,9 24,8 21,4 13,9
70,0 73,0 74,2 75,7 83,8
2,0 3,1 1,0 2,9 2,3
2,7 3,2
3.13.2 Status Imunisasi Program imunisasi dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1956. Kementerian Kesehatan melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada anak dalam upaya menurunkan kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus serta hepatitis B. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1611/MENKES/SK/XI/2005, program pengembangan imunisasi mencakup satu kali HB-0, satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB, empat kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak. Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan; imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu; imunisasi DPT-HB pada bayi umur dua bulan, tiga bulan empat bulan dengan interval minimal empat minggu; dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan.
147
Informasi cakupan imunisasi pada Riskesdas 2013 ditanyakan kepada ibu yang mempunyai balita umur 0-59 bulan. Informasi imunisasi dikumpulkan berdasarkan empat sumber informasi, yaitu wawancara kepada ibu balita atau anggota rumah tangga yang mengetahui, catatan dalam KMS, catatan dalam buku KIA, dan catatan dalam buku kesehatan anak lainnya. Apabila salah satu dari keempat sumber tersebut menyatakan bahwa anak sudah diimunisasi, disimpulkan bahwa anak tersebut sudah diimunisasi untuk jenis yang ditanyakan. Selain setiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat imunisasi lengkap bila sudah mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Jadwal imunisasi untuk HB-0, BCG, polio, DPT-HB, dan campak berbeda, sehingga bayi umur 0-11 bulan tidak dianalisis. Analisis dilakukan pada anak umur 12-23 bulan, yang telah melewati masa imunisasi dasar. Analisis imunisasi hanya dilakukan pada anak umur 12-23 bulan karena beberapa alasan, yaitu: (1) hasil analisis dapat mendekati perkiraan “valid immunization”; (2) survei-survei lain juga menggunakan kelompok umur 12-23 bulan untuk menilai cakupan imunisasi, sehingga dapat dibandingkan dan; (3) ingatan ibu yang diwawancara pada saat pengumpulan data lebih baik dibanding kelompok umur lebih dari 12-23 bulan. Namun karena ada keterbatasan sampel maka untuk menggambarkan angka kabupaten/kota, analisis dilakukan dari data usia 12-59 bulan. Tidak semua balita dapat diketahui status imunisasinya (missing). Hal ini disebabkan beberapa alasan, yaitu ibu lupa anaknya sudah diimunisasi atau belum, ibu lupa berapa kali sudah diimunisasi, ibu tidak mengetahui secara pasti jenis imunisasi, catatan dalam KMS/ buku KIA tidak lengkap/tidak terisi, tidak dapat menunjukkan karena hilang atau tidak disimpan oleh ibu. Alasan lainnya karena subyek yang ditanya tentang imunisasi bukan ibu balita, memory recall bias dari ibu, ataupun ketidakakuratan pewawancara saat proses wawancara dan pencatatan. Oleh karena itu, perlu menjadi catatan bahwa dalam interpretasi hasil cakupan imunisasi terdapat kekurangan metode survei (desain potong lintang) dalam Riskesdas 2013. Gambar 3.13.5 menunjukkan cakupan imunisasi lengkap pada anak umur 12-59 bulan, yang merupakan gabungan dari satu kali imunisasi HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Cakupan imunisasi lengkap Banten tahu 2013 sebesar 45,8% masih di bawah cakupan imunisasi lengkap nasional yang mencapai 59,2%. Cakupan imunisasi dasar lengkap menurut kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 3.13.5. Cakupan imunisasi dasar lengkap bervariasi antar kabupaten/kota, yaitu tertinggi di Kota Tangerang (69,7%)dan terendah di Kabupaten Serang(13,3%). Secara provinsi, terdapat 10,4 persen anak 12-59 bulan yang tidak pernah mendapatkan imunisasi dengan persentase tertinggi di Kota Serang (23,1%) dan terendah di Kota Tangerang, tanpa kasus. Tabel 3.13.5 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/Kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan Banten
Lengkap 41,6 43,2 42,6 13,3 69,7 69,1 26,6 63,8
Kelengkapan imunisasi dasar Tidak lengkap Tidak imunisasi 50,6 7,8 49,7 7,1 40,4 17,0 72,5 14,2 30,3 0,0 29,2 1,6 50,3 23,1 33,4 2,8
45,8
43,9
10,4
Tabel 3.13.6. menunjukkan cakupan imunisasi dasar lengkap menurut karakteristik. Persentase imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (53,1%) daripada di perdesaan (29,9%) dan
148
terdapat 14,9 persen anak umur 12-59 bulan di perdesaan yang tidak diberikan imunisasi sama sekali. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula cakupan imunisasi dasar lengkapnya. Menurut pendidikan kepala rumah tangga, cakupan imunisasi dasar lengkap anak umur 12-59 bulan tertinggi pada kelompok perguruan tinggi (89,0%) dan terendah pada kelompok tidak tamat SD/MI (17,9%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan semakin tinggi cakupan imunisasi dasar lengkap, tertinggi pada kelompok teratas (67,5%). Menurut pekerjaan, terlihat kecenderungan peningkatan cakupan imunisasi lengkap anak umur 12-59 bulan pada kepala keluarga yang bekerja sebagai pegawai. Tabel 3.13.6 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik
Lengkap
Kelengkapan imunisasi dasar Tidak lengkap Tidak imunisasi
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
49,8 41,8
39,7 48,0
10,5 10,3
Pendidikan KK Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
43,2 17,9 32,3 39,0 60,0 89,0
48,2 56,1 45,8 54,3 39,9 9,5
8,6 25,9 21,9 6,7 0,1 1,4
Pekerjaan KK Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
45,5 67,3 44,8 26,5 41,9
39,6 31,3 43,5 55,9 52,4
14,9 1,4 11,7 17,6 5,8
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
53,1 29,9
38,6 55,2
8,3 14,9
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
24,8 30,0 44,9 57,7 67,5
52,1 48,6 50,7 36,4 31,8
23,1 21,4 4,3 5,9 0,7
149
Tabel 3.13.7 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
HB-0 66,0 54,4 81,2 65,2 90,4 91,8 53,8 93,3
BCG 85,4 90,0 79,0 82,1 90,9 89,3 64,9 87,2
Banten
76,9
83,6
Jenis imunisasi dasar DPT-HB 3 Polio 4 52,8 57,3 77,3 86,1 55,1 55,2 43,2 36,7 87,3 83,8 79,0 75,5 38,0 54,1 79,7 77,1 63,3
64,0
Campak 68,8 77,7 51,0 67,5 84,4 78,8 48,8 83,0 66,7
Tabel 3.13.8 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik
Imunisasi dasar DPT-HB Polio
HB-0
BCG
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
78,1 75,6
84,8 82,5
65,8 60,7
63,0 65,0
69,2 64,1
Pendidikan KK Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
84,8 45,3 56,6 79,3 96,6 98,5
84,8 64,0 72,7 91,0 90,1 98,5
43,2 31,0 51,1 66,6 73,1 97,3
43,2 33,8 54,4 64,0 72,7 97,8
52,0 35,3 59,8 68,0 74,0 94,1
Pekerjaan KK Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
69,5 95,5 76,1 59,6 88,9
67,0 90,9 86,9 76,8 94,2
65,0 83,2 64,3 44,9 46,5
67,1 78,1 63,6 52,0 46,5
63,4 85,6 60,0 55,1 53,0
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
86,3 56,1
85,3 80,0
68,0 52,9
67,1 57,2
67,1 65,7
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
51,9 57,6 85,2 86,3 95,8
75,4 66,7 88,0 92,6 89,9
46,8 48,5 62,4 74,9 79,3
53,2 45,4 67,4 68,8 82,4
55,1 46,4 63,7 81,8 81,6
150
Campak
3.13.3 Kunjungan neonatal Pada Riskesdas 2013 dilakukan pengumpulan data kunjungan neonatal yang meliputi kunjungan pada saat bayi berumur 6-48 jam (KN1), 3-7 hari (KN2), dan 8-28 hari (KN3). Gambar 3.13.2 menunjukkan persentase KN1, KN2 dan KN3 masih cukup tinggi (> 50%). Cakupan kunjungan neonatal lengkap tertinggi pada bayi umur 6-48 jam (67,0%) dan terendah pada bayi umur 8-28 hari (51,0%).
Gambar 3.13.2 Persentase Kunjungan Neonatal, Provinsi Banten 2013 Persentase KN1 pada anak balita menurut kabupaten/kota disajikan pada Gambar 3.13.3 Persentase kunjungan neonatal pada 6-48 jam adalah 67,0 persen, kabupaten/kota dengan persentaseKN1 tertinggi adalah Kota Tangerang (84,9%) dan terendah di Kabupaten Serang (43,5%).
Gambar 3.13.3 Persentase KN1 menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Persentase kunjungan neonatal menurut karakteristik disajikan pada Tabel 3.13.9. Pada Tabel 3.13.9, terlihat persentase kunjungan neonatal 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari setelah lahir semakin rendah seiring dengan bertambahnya umur anak. Persentase kunjungan neonatal menurut jenis kelamin anak hampir tidak ada perbedaan, sedangkan menurut tempat tinggal, persentase kunjungan neonatal di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula
151
persentase kunjungan neonatal pada bayi berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari. Menurut jenis pekerjaan kepala rumah tangga, persentase kunjungan neonatal pada umur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari tertinggi pada kelompok pekerjaan pegawai, yaitu 80,0 persen untuk KN1; 75,8 persen untuk KN2, dan 63,4 persen untuk KN3.
Tabel 3.13.9 Persentase kunjungan neonatal dari anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik
Kunjungan neonatal KN2 (3 – 7 hari)
KN1 (6 – 48 jam)
KN3 (8 – 28 hari)
Kelompok umur (bulan) 0–5 6 – 11 12 – 23 24 – 35 36 – 47 48 – 59
68,7 74,0 67,2 67,8 65,3 62,9
67,5 60,4 64,0 57,7 59,9 58,5
53,5 51,7 53,5 49,2 47,3 52,0
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
66,1 67,9
60,7 61,0
51,6 50,3
Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
44,1 49,7 53,6 62,9 78,7 87,9
54,1 38,8 46,9 63,0 70,9 79,0
33,0 32,8 40,4 46,3 61,3 69,9
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
65,4 80,0 65,7 53,9 67,9
52,7 75,8 57,4 48,6 59,6
54,4 63,4 54,7 35,4 43,0
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
74,6 50,4
68,7 43,5
58,8 33,6
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
40,5 55,3 76,6 74,3 83,3
31,0 48,5 70,5 70,7 77,4
29,0 35,9 57,3 60,0 68,5
Setiap bayi baru lahir sebaiknya mendapatkan semua kunjungan neonatal, yaitu pada saat bayi berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari. Bayi yang mendapat kunjungan neonatal tiga kali yaitu pada saat berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari, dapat dinyatakan melakukan kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3). Persentase kunjungan neonatal lengkap menurut kabupaten/kota disajikan pada Gambar 3.13.4.
152
Gambar 3.13.4 menunjukkan bahwa persentase anak balita dengan kunjungan neonatal lengkap adalah 39,3. Persentase kunjungan neonatal lengkap tahun 2013 tertinggi di Kota Tangerang (63,7%) dan terendah di Kabupaten Serang (15,3%).
Gambar 3.13.4 Kunjungan neonatal lengkap menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Tabel 3.13.10 menunjukkan bahwa hampir tidak ada perbedaan persentase kunjungan neonatal lengkap menurut jenis kelamin anak. Menurut tempat tinggal, persentase kunjungan neonatal lengkap di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Di perdesaan, 35,5 persen anak balita tidak pernah melakukan kunjungan neonatal. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi pula persentase kunjungan neonatal lengkap. Menurut jenis pekerjaan kepala rumah tangga, kunjungan neonatal lengkap tertinggi pada jenis pekerjaan pegawai (56,2%) dan terendah pada kelompok pekerjaan petani/buruh/nelayan (26,6%). Persentase balita yang tidak pernah melakukan kunjungan neonatal semakin rendah seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut jenis pekerjaan, balita yang tidak pernah melakukan kunjungan neonatal tertinggi pada jenis pekerjaan petani/nelayan/buruh (33,1%) dan terendah pada kelompok pekerjaan pegawai (12,3%).
153
Tabel 3.13.10 Persentase kunjungan neonatal pada anak anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik
Tidak pernah KN
Kategori kunjungan neonatal KN tidak lengkap
KN lengkap
Kelompok umur (bulan) 0–5 6 – 11 12 – 23 24 – 35 36 – 47 48 – 59
19,6 15,8 21,4 22,6 22,3 26,6
34,9 43,1 34,8 37,5 40,2 32,4
45,5 41,1 43,8 39,9 37,5 41,0
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
22,1 22,0
37,1 36,7
40,9 41,3
Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
30,6 34,6 32,8 23,1 13,5 8,7
48,3 48,1 38,4 38,3 34,9 26,8
21,0 17,3 28,8 38,6 51,7 64,5
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
24,8 12,3 20,3 33,1 23,7
34,4 31,5 40,8 40,3 39,4
40,8 56,2 38,9 26,6 37,0
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
15,9 35,5
34,3 42,6
49,8 21,9
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
48,4 29,4 12,1 15,8 9,6
35,1 47,6 39,2 33,3 28,7
16,5 23,1 48,7 51,0 61,7
3.13.4 Perawatan tali pusar Riskesdas 2013 menyediakan informasi tentang cara perawatan tali pusar bayi baru lahir. Menurut standar Asuhan Persalinan Normal (APN) tali pusar yang telah dipotong dan diikat, tidak diberi apa-apa. Sebelum metode APN diterapkan, tali pusar dirawat dengan alkohol atau antiseptik lainnya. Tabel 3.13.11 menyajikan persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota. Dari tabel tersebut diketahui bahwa persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa sebesar 14,9 persen, diberi betadine/alkohol sebesar 76,2 persen, dan diberi obat tabur sebesar 0,9 persen. Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa tertinggi di Kota Tangerang (22,1%) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (4,8%).
154
Tabel 3.13.11 Persentase cara perawatan tali pusar dari anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan Banten
Tidak diberi apaapa 4,8 19,6 10,8 13,5 22,1 20,1 11,6 21,9 14,9
Cara perawatan tali pusar Diberi betadine/ Diberi obat alkohol tabur 73,6 0,5 76,7 0,6 83,5 1,5 58,1 1,9 75,9 0,0 74,7 0,8 81,0 0,7 77,7 0,4 76,2 0,9
155
Diberi ramuan/ obat tradisional 21,1 3,0 4,2 26,5 1,9 4,4 6,7 0,0 8,0
Tabel 3.13.12 Persentase cara perawatan tali pusar dari anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik
Tidak diberi apaapa
Cara perawatan tali pusar Diberi betadine/ Diberi obat tabur Diberi ramuan/obat alkohol tradisional
Kelompok umur (bulan) 0–5 6 – 11 12 – 23 24 – 35 36 – 47 48 – 59
23,8 12,0 15,8 15,1 15,6 10,6
71,3 84,5 74,7 74,2 73,9 80,1
0,6 1,7 0,2 0,8 1,4
4,4 3,6 7,8 10,5 9,7 7,9
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
14,3 15,4
78,1 74,4
1,2 0,6
6,3 9,6
Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
2,4 9,0 11,0 13,0 17,8 27,1
87,1 75,8 71,6 78,0 79,9 72,4
2,7
7,9 15,2 15,0 8,7 2,2
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
10,8 20,5 15,2 10,7 7,8
79,5 77,3 73,7 75,3 82,6
3,6 0,1 2,0 0,4 1,2
6,1 2,1 9,1 13,6 8,5
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
16,6 11,3
79,6 69,1
1,0 0,7
2,8 18,8
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
9,5 12,9 14,1 14,3 24,4
69,0 74,3 79,6 81,7 73,9
2,6 1,6 0,3 0,1 0,3
18,9 11,2 6,0 4,0 1,4
2,5 0,4 0,1 0,5
3.13.5 Pola pemberian ASI Dalam Riskesdas 2013 dikumpulkan data tentang pola pemberian ASI dan pola pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada anak umur 0-23 bulan. Data tersebut meliputi: proses mulai menyusu, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelaktal, menyusu eksklusif, dan pemberian MP-ASI. Dalam buku ini ditampilkan proses menyusui dan menyusu ekslusif. Kriteria menyusu ekslusif ditegakkan bila anak umur 0-6 bulan hanya diberi ASI saja pada 24 jam terakhir dan tidak diberi makanan prelaktal. Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya. Bagi bayi, menyusui mempunyai peran penting untuk menunjang pertumbuhan, kesehatan, dan kelangsungan hidup bayi karena ASI kaya dengan zat gizi dan antibodi. Sedangkan bagi ibu, menyusui dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas karena proses menyusui akan merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan (postpartum).
156
Menyusui dalam jangka panjang dapat memperpanjang jarak kelahiran karena masa amenorhoe lebih panjang. UNICEF dan WHO membuat rekomendasi pada ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Sesudah umur 6 bulan bayi baru dapat diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan ibu tetap memberikan ASI sampai anak berumur minimal 2 tahun. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan juga merekomendasikan para ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Gambar 3.13.5 menunjukkan proses mulai menyusu pada anak 0-23 bulan pada 2013. Dari gambar tersebut dapat dinilai bahwa proses menyusu kurang dari satu jam (inisiasi menyusu dini) cukup tinggi yaitu sebesar 33,8 persen.
Gambar 3.13.5 Persentase proses mulai menyusu (IMD) anak umur 0-23 bulan, Provinsi Banten 2013 Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut kabupaten/kota disajikan pada Tabel 3.13.13. Persentase proses mulai menyusu kurang dari satu jam (IMD) setelah bayi lahir di Provinsi Banten adalah 33,8 persen, dengan persentase tertinggi di Kota Tangerang Selatan (45,3%) dan terendah di Kabupaten Lebak (25,5%). Tabel 3.13.13 Persentase proses mulai menyusu (IMD) pada anak umur 0-23 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan Banten
<1 jam (IMD) 32,1 25,5 31,1 36,0 37,7 30,3 31,0 45,3 33,8
Kategori proses mulai menyusu 1-6 jam 7-23 jam 24-47 jam 38,1 0,0 19,5 53,2 0,4 14,7 34,6 6,7 14,7 32,2 4,1 12,3 35,6 4,0 12,9 23,9 3,3 12,7 45,5 2,6 2,9 38,8 2,5 9,2 37,7
3,7
13,5
≥48 jam 10,3 6,2 12,8 15,4 9,8 29,8 18,0 4,2 11,4
Persentase proses mulai menyusu pada anak 0-23 bulan menurut karakterisitik anak, pendidikan kepala keluarga (KK), pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan disajikan pada Tabel 3.13.14. Proses mulai menyusui < 1 jam menurut kelompok umur 0-5 bulan dan 1223 bulan, serta jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Demikian juga menurut pekerjaan KK tidak ada pola kecenderungan yang jelas. Persentase mulai menyusu < 1 jam di perkotaan relatif lebih tinggi daripada di perdesaan. Sedangkan menurut tingkat
157
pendidikan KK dan kuintil indeks kepemilikan terlihat adanya kecenderungan semakin tinggi persentase mulai menyusu < 1 jam dengan meningkatnya kelompok pendidikan dan kuintil.
Tabel 3.13.14 Persentase proses mulai menyusui anak umur 0-23 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik
< 1 jam (IMD)
Kategori proses mulai menyusu 1-6 Jam 7-23 Jam 24-47 jam
≥ 48 jam
Kelompok umur (bulan) 0–5 6 – 11 12 – 23
34,8 26,5 37,4
39,9 43,0 33,6
3,9 4,3 3,2
9,6 12,4 16,0
11,8 13,7 9,8
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
31,7 35,6
40,5 35,3
3,0 4,2
12,9 14,0
11,9 10,9
Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
10,0 15,0 28,8 35,7 39,1 47,3
63,6 58,1 35,2 35,6 35,1 37,7
17,4 18,3 20,5 12,3 9,2 3,8
9,1 8,6 12,9 8,6 12,4 11,2
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
37,0 42,6 36,7 24,9 18,8
42,8 30,8 34,9 43,6 49,2
2,1 3,8 5,4 1,4 13,7
12,2 11,2 14,3 16,2 8,1
5,9 11,7 8,7 13,9 10,2
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
34,8 31,5
36,6 40,2
5,2 0,1
12,9 14,8
10,5 13,5
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
29,6 24,0 31,0 36,4 49,6
40,3 37,8 40,0 35,9 34,4
4,2 3,4 6,8 2,2
19,5 18,3 14,1 10,6 5,1
10,6 15,8 11,5 10,3 8,6
2,6 7,8 4,2
3.13.6 Cakupan distribusi kapsul vitamin A Kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak berumur enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk bayi umur 6-11 bulan dan kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan. Gambar 3.13.6 menunjukkan kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 659 bulan menurut kabupaten/kota pada tahun 2013. Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir tertinggi di Kabupaten Lebak (90,4%) dan terendah di Kabupaten Tangerang (61,6%). Cakupan Provinsi Banten adalah 74,1 persen.
158
Gambar 3.13.6 Cakupan distribusi kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan, Provinsi Banten 2013 Tabel 3.13.15 menyajikan persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir menurut karakteristik anak, pendidikan KK, pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan. Dari Tabel tersebut diketahui bahwa persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir cukup bervariasi di antara kelompok umur balita. Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir pada laki-laki dan perempuan tampak homogen.
159
Tabel 3.13.15 Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik
Menerima kapsul vitamin A
Kelompok umur (bulan) 6 – 11 12 – 23 24 – 35 36 – 47 48 – 59
71,4 75,2 72,6 74,4 75,5
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
74,3 74,0
Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
54,1 62,2 71,8 77,9 78,1 71,7
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
75,2 77,9 72,5 70,7 76,4
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
73,1 76,2
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
70,7 67,2 76,3 79,1 76,1
Menurut pendidikan KK, terlihat adanya kecenderungan peningkatan persentase anak umur 6 59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir dengan semakin meningkatnya pendidikan KK. Sedangkan menurut pekerjaan KK, persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir tampak hampir sepadan di antara jenis pekerjaan KK. Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir di perkotaan sebesar 73,1% lebih rendah daripada di perdesaan (76,2%). Selanjutnya menurut kelompok kuintil indeks kepemilikan tidak tampak pola yang jelas dalam persentase anak umur 6 - 59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir diantara kelompok kuintil indeks kepemilikan.
160
3.13.7 Pemantauan Pertumbuhan Pemantauan pertumbuhan balita sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan pertumbuhan (growth faltering) secara dini. Untuk mengetahui pertumbuhan tersebut, penimbangan balita setiap bulan sangat diperlukan. Penimbangan balita dapat dilakukan di berbagai tempat seperti Posyandu, Polindes, Puskesmas atau sarana pelayanan kesehatan yang lain. Pada Riskesdas 2013, informasi tentang pemantauan pertumbuhan anak diperoleh dari frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir. Idealnya dalam enam bulan anak balita ditimbang minimal enam kali. Gambar 3.13.7 menunjukkan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan dalam enam bulan terakhir pada tahun 2013. Dari gambar tersebut terlihat bahwa frekuensi penimbangan > 4 kali pada tahun 2013 cukup tinggi yaitu sebesar 35,9%. Anak umur 6-59 bulan yang tidak pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir sedikit lebih rendah (33,9%) begitu pula dengan frekuensi penimbangan 1-3 kali (30,2%).
Gambar 3.13.7 Persentase frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan dalam 6 bulan terakhir, Provinsi Banten2013 Tabel 3.13.16 menyajikan persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir menurut karakteristik anak, pendidikan KK, pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut kelompok umur terlihat adanya kecenderungan tingginya persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak ≥ 4 kali pada kelompok umur muda. Persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak ≥ 4 kali pada perempuan sebesar 37,23% lebih tinggi daripada laki-laki (34,6%). Sedangkan menurut pendidikan KK, persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak ≥ 4 kali terlihat meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan KK.
161
Tabel 3.13.16 Persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik
≥ 4 kali
Frekuensi penimbangan 1-3 kali Tidak pernah
Kelompok umur (bulan) 6 – 11 12 – 23 24 – 35 36 – 47 48 – 59
56,8 40,4 35,5 33,0 24,1
31,9 34,3 29,9 29,0 27,0
11,3 25,3 34,6 38,0 48,9
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
34,6 37,2
29,3 31,2
36,1 31,6
Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
27,9 21,2 38,8 34,7 36,5 41,0
28,6 28,0 23,5 31,4 34,7 35,2
43,5 50,8 37,8 34,0 28,9 23,8
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
33,3 37,3 39,0 32,6 38,6
23,5 37,7 23,6 28,0 33,7
43,2 25,0 37,4 39,4 27,6
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
35,7 36,2
33,0 24,6
31,3 39,2
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
41,1 32,1 31,8 35,6 40,3
18,5 31,4 37,9 31,9 29,2
40,3 36,5 30,3 32,5 30,5
Menurut pekerjaan KK, persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak ≥ 4 kali juga bervariasi di antara jenis pekerjaan KK. Persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak ≥ 4 kali di perkotaan sebesar 35,7 persen lebih rendah daripada di perdesaan (36,2%). Menurut kelompok kuintil indeks kepemilikan, persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak ≥ 4 kali terlihat tidak menunjukkan pola kecenderungan yang jelas di antara kelompok kuintil indeks kepemilikan. Persentase tertinggi pada kelompok terbawah (41,1%) dan terendah pada kelompok menengah (31,8%).
162
Gambar 3.13.8 Frekuensi pemantauan pertumbuhan balita ≥ 4 kali dalam 6 bulan terakhir menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
3.13.8 Sunat Perempuan Riskesdas 2013 menyajikan data atau informasi tentang kebiasaan/perilaku sunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun. Persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun menurut kabupaten/kota disajikan pada Tabel 3.13.17. Dari Tabel tersebut dihasilkan persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun di Provinsi Banten sebesar 79,2 persen, tertinggi di Kabupaten Pandeglang (90,7%) dan terendah di Kota Tangerang Selatan (57,2%). Tabel 3.13.18 menyajikan persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun menurut pendidikan KK, pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut pendidikan dan pekerjaan KK, persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun bervariasi di antara tingkat pendidikan KK maupun jenis pekerjaan KK. Persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun di perkotaan sebesar 76,8 persen, lebih rendah daripada di perdesaan (83,8%). Sedangkan menurut kuintil indeks kepemilikan tampak persentase tertinggi pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun pada kuintil menengah bawah dan terendah pada kuintil teratas (64,7%). Tabel 3.13.17 Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun yang menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan
Pernah disunat 90,7 87,6 83,1 80,2 78,1 71,1 70,6 57,2
Banten
79,2
163
Tabel 3.13.18 Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik
Pernah disunat
Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
81,0 91,3 82,6 86,1 75,0 53,7
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
79,2 70,9 80,4 85,8 76,8
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
76,8 83,8
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
82,8 88,0 78,9 79,4 64,7
164
3.14 Status Gizi Uraian lingkup status gizi terdiri dari: (1 ) status gizi balita; (2) status gizi anak umur 5–18 tahun; (3) status gizi penduduk dewasa; (4) risiko kurang energi kronis (KEK); dan (5) wanita hamil risiko tinggi (risti). Informasi lengkap status gizi disajikan secara lengkap baik menurut kabupaten/kota maupun karakteristik di buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013.
3.14.1 Status Gizi Anak Balita 1. Cara penilaian status gizi anak balita Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Berat badan anak balita ditimbang menggunakan timbangan digital yang memiliki presisi 0,1 kg, panjang atau tinggi badan diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm. Variabel BB dan TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB. Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Z-score) menggunakan baku antropometri anak balita WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-scoredari masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi anak balita dengan batasan sebagai berikut : a. Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks BB/U : Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik
: : :
Z-score < -3,0 Z-score ≥ -3,0 s/d Z-score < -2,0 Z-score ≥ -2,0
b. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator TB/U: Sangat pendek Pendek : Normal
: : :
Z-score <-3,0 Z-score ≥- 3,0 s/d Z-score< -2,0 Z-score ≤-2,0
c. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/TB: Sangat kurus Kurus Normal Gemuk
: : : :
Z-score< -3,0 Z-score ≥ -3,0 s/d Z-score< -2,0 Z-score ≥ -2,0 s/d Z-score ≤ 2,0 Z-score> 2,0
d. Klasifikasi status gizi berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB: Pendek-kurus Pendek-normal
: :
Pendek-gemuk TB Normal-kurus TB Normal-normal TB Normal-gemuk
: : : :
Z-score TB/U < -2,0 dan Z-score BB/TB < -2,0 Z-score TB/U < -2,0 dan Z-score BB/TB antara -2,0 s/d 2,0 Z-score ≥ -2,0 s/d Z-score ≤ 2,0 Z-score TB/U ≥ -2,0 dan Z-score BB/TB < -2,0 Z-score TB/U ≥ -2,0 dan Z-score BB/TB antara -2,0 s/d 2,0 Z-score TB/U ≥ -2,0 dan Z-score BB/TB > 2,0
Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut: Berdasarkan indikator BB/U: Prevalensi gizi buruk Prevalensi gizi kurang Prevalensi gizi baik
: : :
(∑ Balita gizi buruk/∑Balita) x 100% (∑ Balita gizi kurang/∑Balita) x 100% (∑ Balita gizi baik/∑Balita) x 100%
165
Berdasarkan indikator TB/U Prevalensi sangat pendek Prevalensi pendek Prevalensi normal
: : :
(∑ Balita sangat pendek/∑Balita) x 100% (∑ Balita pendek/∑ Balita) x 100% (∑ Balita normal/∑Balita) x 100%
: : : :
(∑ Balita sangat kurus/∑ Balita) x 100% (∑ Balita kurus/∑ Balita) x 100% (∑ Balita normal/∑ Balita) x 100% (∑ Balita gemuk/∑ Balita) x 100%
Berdasarkan indikator BB/TB: Prevalensi sangat kurus Prevalensi kurus Prevalensi normal Prevalensi gemuk
Berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB Prevalensi pendek-kurus Prevalensi pendek-normal Prevalensi pendek-gemuk Prevalensi TBnormal-kurus Prevalensi TB normal-normal Prevalensi TB normal-gemuk
: : : : : :
(∑ Balita pendek-kurus/ ∑ Balita) x 100% (∑ Balita pendek-normal/∑ Balita) x 100% (∑ Balita pendek-gemuk/∑ Balita) x 100% (∑ Balita normal-kurus/∑ Balita) x 100% (∑ Balita normal-normal/∑ Balita) x 100% (∑ Balita normal-gemuk/∑ Balita) x 100%
Dalam laporan ini ada beberapa istilah status gizi yang digunakan, yaitu: Berat Kurang Pendek Kurus
: : :
istilah untuk gabungan gizi buruk dan gizi kurang (underweight) istilah untuk gabungan sangat pendek dan pendek (stunting) istilah untuk gabungan sangat kurus dan kurus (wasting)
2. Sifat-sifat indikator status gizi Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena beratbadan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain (masalah gizi akut). Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat darikeadaan yang berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidaksehat, dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek. Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat). Misalnya: terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Indikator BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk. Masalah kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit degeneratif pada saat dewasa (Teori Barker). Masalah gizi akut-kronis adalah masalah gizi yang memiliki sifat masalah gizi akut dan kronis. Sebagai contoh adalah anak yang kurus dan pendek. 3. Status gizi balita menurut indikator BB/U Gambar 3.14.1 menyajikan prevalensi berat-kurang (underweight) pada balita menurut kabupaten/kota. Di Provinsi Banten, prevalensi berat-kurang pada balita pada tahun 2013 sebesar 17,2 persen, terdiri dari 4,3 persen gizi buruk dan 12,9 persen gizi kurang. Prevalensi
166
berat-kurang Provinsi Banten lebih rendah jika dibandingkan dengan angka prevalensi beratkurang nasional tahun 2013 (19,6%). Prevalensi balita berat-kurang tertinggi ialah di Kabupaten Serang (24,4%) dan terendah di Kota Tangerang (10,9%). Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi beratkurang antara 20,0 - 29,0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥ 30 persen (WHO, 2010). Pada tahun 2013, prevalensi gizi berat-kurang pada anak balita di Provinsi Banten sebesar 17,2 persen, yang berarti masalah gizi berat-kurang di Provinsi Banten masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena mendekati prevalensi tinggi.
Gambar 3.14.1 Prevalensi status gizi BB/U < -2 SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 4. Status gizi anak balita berdasarkan indikator TB/U Gambar 3.14.2. menyajikan prevalensi balita pendek (stunting) menurut kabupaten/kota. Prevalensi pendek di Provinsi Banten tahun 2013 sebesar 33 persen, yang terdiri dari 16,4 persen sangat pendek dan 16,6 persen pendek. Prevalensi pendek di Provinsi Banten lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi pendek nasional (37,2%). Kabupaten/kota dengan prevalensi balita pendek tertinggi ialah Kabupaten Pandeglang (38,6%) dan terendah ialah Kota Tangerang (28,6%) Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30 – 39 persen dan serius bila prevalensi pendek ≥40 persen (WHO 2010). Sebanyak enam kabupaten/kota di Provinsi Banten termasuk kategori berat, dengan urutan dari prevalensi tertinggi sampai terendah, yaitu: (1) Kabupaten Pandeglang, (2) Kabupaten Lebak, (3) Kabupaten Serang, (4). Kabupaten Tangerang, (5). Kota Cilegon, dan (6) Kota Serang.
167
Gambar 3.14.2 Prevalensi status gizi TB/U <-2 SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
5.Status gizi anak balita berdasarkan indikator BB/TB Gambar 3.14.3 menyajikan prevalensi balitakurus menurut kabupaten/kota. Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah keadaan sangat kurus yaitu anak dengan nilai Z-score<-3,0 SD. Prevalensi balita sangat kurus di Provinsi Banten tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu 6,5 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan prevalensi sangat kurus nasional (5,3%). Demikian pula halnya dengan prevalensi balita kurus sebesar 7,3 persen, sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan prevalensi balita kurus nasional (6,8%). Sedangkan prevalensi balita gemuk di Provinsi Banten sebesar 11,8 persen, sama dengan prevalensi balita gemuk nasional (11,9%). Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10,0 -14,0 persen, dan dianggap kritis bila ≥ 15,0 persen (WHO 2010). Pada tahun 2013, di Provinsi Banten, prevalensi kurus pada anak balita masih 13,8 persen, yang artinya masalah kurus di Provinsi Banten masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Diantara delapan kabupaten/kota, terdapat lima kabupaten/kota yang masuk kategori serius, dan dua kabupaten/kota yang termasuk kategori kritis, yaitu Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang.
168
Gambar 3.14.3 Prevalensi status gizi BB/TB <-2 SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
3.14.2 Status gizi anak umur 5-18 tahun Status gizi anak umur 5-18 tahun dikelompokkan menjadi tiga kelompok umur yaitu 5-12 tahun, 13-15 tahun dan 16-18 tahun. Indikator status gizi yang digunakan untuk kelompok umur ini didasarkan pada hasil pengukuran antropometri berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang disajikan dalam bentuk tinggi badan menurut umur (TB/U) dan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U). Berdasarkan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-18 tahun, status gizi ditentukan berdasarkan nilai Z-score TB/U dan IMT/U. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score ini status gizi anak dikategorikan sebagai berikut: Klasifikasi indikator TB/U: Sangat pendek : Z-score< -3, Pendek : Z-score≥ -3,0 s/d < -2,0 Normal : Z-score≥ -2,0 Klasifikasi indikator IMT/U: Sangat kurus : Z-score< -3,0 Kurus : Z-score≥ -3,0 s/d < -2,0 Normal : Z-score≥-2,0 s/d ≤1,0 Gemuk : Z-score> 1,0 s/d ≤ 2,0 Obesitas : Z-score>2,0 1. Status gizi anak umur 5 – 12 tahun Gambar 3.14.4 menunjukkan bahwa di Provinsi Banten, prevalensi pendek pada anak umur 5-12 tahun ialah 30,1 persen (11,7% sangat pendek dan 18,4% pendek), hampir sama dengan prevalensi pendek nasional (30,7%). Prevalensi pendek terendah di Kota Tangerang Selatan (15,3%) dan tertinggi di Kabupaten Pandeglang (47,7%). Sebanyak tiga kabupaten/kota dengan prevalensi pendek di atas prevalensi pendek Provinsi dan nasional yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Serang.
169
Gambar 3.14.4 Prevalensi pendek anak umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.14.5. menunjukkan bahwa prevalensi kurus (menurut IMT/U) pada anak umur 5-12 tahun di Provinsi Banten sebesar 11,7 persen, terdiri dari 4,5 persen sangat kurus dan 7,2 persen kurus, tidak jauh berbeda dengan prevalensi kurus nasional (11,2%). Prevalensi kurus paling rendah di Kota Tangerang (9,6%) dan paling tinggi di Kabupaten Tangerang (13,2%). Sebanyak empat kabupaten/kota dengan prevalensi kurus di atas prevalensi kurus provinsi dan nasional, yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, dan Kota Serang.
Gambar 3.14.5 Prevalensi kurus(IMT/U) anak umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Di Provinsi Banten, masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 20,3 persen, terdiri dari gemuk 11,9 persen dan sangat gemuk (obesitas) 8,4 persen. Prevalensi gemuk di Provinsi Banten lebih besar jika dibandingkan dengan prevalensi gemuk nasional (18,8%). Prevalensi gemuk terendah di Kabupaten Serang (12,7%) dan tertinggi di Kota Tangerang (29,4%). Sebanyak tiga kabupaten/kota di Provinsi Banten dengan prevalensi gemuk di atas prevalensi gemuk provinsi dan nasional, yaitu Kabupaten Tangerang (22,6%), Kota Tangerang (29,4%), dan Kota Tangerang Selatan (26,4%).
170
Gambar 3.14.6 Prevalensi gemuk & sangat gemuk anak umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Lebih rinci, data status gizi anak umur 5-12 tahun menurut kabupaten/kota disajikan pada buku Riskesdas Provinsi Banten dalam Angka 2013, pada Tabel 3.14.7 dan 3.14.9, serta data status gizi menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku yang sama pada Tabel 3.14.8. sampai Tabel 3.14.10. 2.Status gizi remaja umur 13 -15 tahun Sama halnya dengan anak 5-12 tahun, untuk kelompok 13-15 tahun penilaian status gizi berdasarkan TB/U dan IMT/U. Gambar 3.14.7. menyajikan prevalensi pendek pada remaja umur 13-15 tahun. Di Provinsi Banten, prevalensi pendek pada remaja sebesar 36,5 persen (15,8% sangat pendek dan 21,7% pendek), sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi pendek nasional (35,1%). Prevalensi pendek terendah di Kota Tangerang (21,1%) dan tertinggi di Kabupaten Lebak (54,9%). Sebanyak tiga kabupaten/kota dengan prevalensi remaja pendek di atas prevalensi pendek provinsi dan nasional yaitu Kabupaten Pendeglang (44,4%)., Kabupaten Lebak (54,9%), dan Kabupaten Serang (53,6%).
Gambar 3.14.7 Prevalensi pendekremaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
171
Gambar 3.14.8 menunjukkan prevalensi kurus pada remaja umur 13-15 tahun di Provinsi Banten sebesar 11,1 persen (4,1 persen sangat kurus dan 7,0 persen kurus), sama dengan prevalensi remaja kurus nasional (11,1%). Prevalensi remaja kurus terlihat paling rendah di Kota Tangerang (5,5 %) dan paling tinggi di Kabupaten Serang (16,9%). Sebanyak tiga kabupaten/kota dengan prevalensi remaja kurus (IMT/U) diatas prevalensi provinsi dan nasional yaitu Kabupaten Pandeglang (12,5%), Kabupaten Serang (16,9%), dan Kabupaten Tangerang (12,3%). Prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di Provinsi Banten sebesar 10,4 persen, terdiri dari 7,9 persen gemuk dan 2,5 persen sangat gemuk (obesitas). Empat Kota di Provinsi Banten memiliki prevalensi gemuk remaja di atas prevalensi provinsi dan nasional. Kabupaten/kota dengan prevalensi gemuk terendah ialah di Kabupaten Lebak (5,5%) dan prevalensi tertinggi di Kota Tangerang (16,2%).
Gambar 3.14.8 Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
Gambar 3.14.9 Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
172
Secara lebih rinci, data status gizi remaja umur 13-15 tahun menurut provinsi disajikan pada Buku 2 Tabel 3.14.11 dan 3.14.13, dan menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada Buku 2 Riskesdas Provinsi Banten dalam Angka 2013, Tabel 3.14.12. sampai Tabel 3.14.14. 3. Status gizi remaja umur 16 – 18 tahun Gambar 3.14.10 menyajikan status gizi remaja umur 16–18 tahun. Di Provinsi Banten, prevalensi pendek adalah 32,5 persen (8,8% sangat pendek dan 23,7% pendek). Prevalensi tertinggi di Kabupaten Lebak (51,8%) dan terendah di Kota Tangerang Selatan (14,7%).
Gambar 3.14.10 Prevalensi pendek (TB/U) remaja umur 16 – 18 tahun menurut Kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.14.11 menyajikan prevalensi kurus pada remaja umur 16-18 tahun di Provinsi Banten sebesar 11,1 persen (2,7% sangat kurus dan 8,4% kurus). Prevalensi tertinggi di Kota Cilegon (16,6%) dan terendah di Kota Tangerang (5,0%).
173
Gambar 3.14.11 Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Prevalensi gemuk di Provinsi Banten pada remaja umur 16 – 18 tahun sebesar 8,0 persen yang terdiri dari 6,2 persen gemuk dan 1,8 persen obesitas. Kabupaten/kota dengan prevalensi gemuk tertinggi ialah Kota Tangerang Selatan (15,9%) dan terendah ialah Kabupaten Pandeglang (2,8%).
Gambar 3.14.12 Prevalensi status gizi gemuk (IMT/U) remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Secara lebih rinci, data status gizi remaja umur 16-18 tahun menurut kabupaten/kota disajikan pada buku dua Tabel 3.14.15 dan 3.14.17, dan menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013, Tabel 3.14.16. sampai Tabel 3.14.18.
3.14.3 Status gizi dewasa Status gizi dewasa penduduk berumur >18 tahun terdiri dari : 1) status gizi menurut Indeks Masa Tubuh (IMT) dan kecenderungan komposit TB dan IMT/U; 2) status gizi menurut lingkar perut (LP); 3) risiko kurang energi kronis (KEK) wanita usia subur wanita hamil dan tidak hamil; 4) wanita hamil risiko tinggi (TB < 150 cm).
1. Status gizi dewasa ( >18 tahun) menurut indeks masa tubuh (IMT) Status gizi menurut Indeks Massa Tubuh (IMT) dinilai dengan rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut: 𝐼𝑀𝑇 = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑘𝑔) ÷ 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚)² Batasan IMT yang digunakan untuk menilai status gizi penduduk dewasa adalah sebagai berikut: Kategori kurus IMT < 18,5 Kategori normal IMT ≥18,5 - <24,9 Kategori BB lebih IMT ≥ 25,0 - <27,0 Kategori obesitas IMT ≥ 27,0 Gambar 3.14.13 menyajikan prevalensi penduduk umur dewasa kurus, gizi lebih dan obesitas menurut IMT/U di masing–masing kabupaten/kota di Provinsi Banten. Prevalensi penduduk
174
dewasa kurus sebesar 12,5 persen, berat badan lebih 11,2 persen dan obesitas 13,6 persen. Prevalensi penduduk kurus terendah di Kota Tangerang Selatan (8,9%) dan tertinggi di Kabupaten Pandeglang (18,7%). Prevalensi penduduk obesitas terendah di Kabupaten Lebak (6,2%) dan tertinggi di Kota Tangerang Selatan (19,9%).
Gambar 3.14.13 Prevalensi status gizi kurus, BB lebih, Obesitas penduduk dewasa (>18 tahun) menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
2. Status gizi dewasa berdasarkan indikator lingkar perut (LP) Obesitas sentral dianggap sebagai faktor risiko yang berkaitan erat dengan beberapa penyakit degeneratif/kronis. Untuk laki-laki dengan LP >90 cm atau perempuan dengan LP >80 cm dinyatakan sebagai obesitas sentral (WHO Asia-Pasifik, 2005). Prevalensi obesitas sentral di Provinsi Banten Sebesar adalah 26,0 persen, hampir sama dengan prevalensi obesitas sentral nasional (26,6%). Prevalensi obesitas sentral terendah di Kabupaten Serang (13,5%) dan tertinggi di Kota Tangerang Selatan (34,1%). Sebanyak lima kabupaten/kota memiliki prevalensi obesitas sentral di atas prevalensi provinsi dan nasional, yaitu Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Cilegon, Kota Serang,dan Kota Tangerang Selatan. Secara lebih rinci, data status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) menurut provinsi disajikan pada Buku 2 Tabel 3.14.19 dan 3.14.22, dan menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013, Tabel 3.14.20. sampai Tabel 3.14.21. 3.Status risiko kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) 15 – 49 tahun Gambar 3.14.14 dan Gambar 3.14.15 menyajikan informasi masalah kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) tidak hamil dan wanita hamil yang berumur 15-49 tahun, berdasarkan indikator Lingkar Lengan Atas (LILA). Untuk menggambarkan adanya risiko (KEK) dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi pada wanita hamil dan WUS digunakan ambang batas nilai rerata LILA < 23,5 cm. Tabel 3.14.14 menyajikan prevalensi risiko KEK penduduk wanita hamil umur 15 – 49 tahun di Provinsi Banten sebanyak 27,4 persen. Prevalensi risiko KEK terendah di Kota Cilegon (12,9 %) dan tertinggi di Kota Serang (45,7 %).
175
Gambar 3.14.14 Prevalensi risiko KEK (LILA < 23,5 cm) wanita hamil umur 15 – 49 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.14.15 menunjukkan prevalensi risiko KEK wanita usia subur (tidak hamil). Prevalensi risiko KEK WUS di Provinsi Banten sebanyak 22,0 persen. Prevalensi terendah di Kabupaten Lebak (14,2 %) dan prevalensi tertinggi di Kabupaten Pandeglang (44,2 %).
Gambar 3.14.15 Prevalensi risiko KEK (LILA <2 3,5 cm) wanita usia subur (WUS) Tidak Hamil 15 – 49 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 4. Wanita hamil berisiko tinggi Pada Riskesdas 2013 disajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi yaitu wanita hamil dengan tinggi badan < 150 cm (WHO 2007). Gambar 3.14.16 menyajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi di Provinsi Banten sebesar 24,1 persen. Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi terendah di Kota Tangerang (10,1%) dan tertinggi di Kota Cilegon (39,8 %).
176
Gambar 3.14.16 Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi (tinggi badan < 150 cm) menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Lebih rinci, data status gizi wanita usia subur dan ibu hamil menurut kabupaten/kota disajikan pada Buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013,Tabel 3.14.25 sampai 3.14.27, dan menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada Buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013, Tabel 3.14.26. dan Tabel 3.14.28.
177
3.15 Kesehatan Indera Sistem indera merupakan salah satu sistem yang sangat berperan dalam mengoptimalkan proses perkembangan setiap individu. Sejak bayi sistem indera merupakan alat utama manusia untuk mengumpulkan berbagai informasi visual, audio, olfaktoris, rasa, dan fisik. Informasi visual ditangkap oleh mata (indera penglihatan), informasi audio ditangkap oleh telinga (indera pendengaran), informasi olfaktoris diterima oleh hidung (indera penciuman), informasi rasa ditangkap oleh lidah (indera perasa) dan informasi fisik diterima melalui permukaan kulit (indera peraba). Sekitar 90 persen informasi berupa informasi visual dan audio, yang dikumpulkan melalui indera penglihatan dan pendengaran. Pengukuran fungsi indera yang lazim dilakukan secara objektif adalah pengukuran fungsi penglihatan (tajam penglihatan/visus) dan fungsi pendengaran (tajam pendengaran). Data nasional yang menggambarkan besaran masalah gangguan indera penglihatan dan pendengaran terakhir dikumpulkan antara tahun 1993-1997, dan belum diperbarui hingga saat ini. Riskesdas 2007 bermaksud menyediakan data tentang prevalensi kebutaan yang lebih mutakhir, tetapi karena metoda pengumpulan data masih dianggap tidak adekuat oleh organisasi profesi, maka data angka kebutaan yang dihasilkan dari Riskesdas 2007 juga dinilai kontroversial. Pada Riskesdas 2007, data termutakhir untuk prevalensi gangguan pendengaran masyarakat tidak dikumpulkan. Riskesdas 2013 kembali mengumpulkan data prevalensi kebutaan dengan metoda yang serupa dengan Riskesdas 2007, tetapi sudah disempurnakan dan merupakan hasil diskusi dengan organisasi profesi. Organisasi profesi Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia (PERHATI) juga melengkapi Riskesdas 2013 dengan studi validasi yang akan dilaksanakan segera setelah semua data Riskesdas 2013 terkumpul. Studi validasi tersebut dimaksudkan untuk memperkuat reliabilitas pengukuran prevalensi kebutaan dan ketulian dalam survei nasional berbasis komunitas.
3.15.1 Kesehatan mata Data yang dikumpulkan untuk mengetahui indikator kesehatan mata pada Riskesdas 2013 meliputi pengukuran tajam penglihatan menggunakan kartu tumbling-E (dengan dan tanpa pinhole) pada responden umur 6 tahun ke atas serta pemeriksaan segmen anterior mata terhadap responden semua umur. Pemeriksaan visus dan observasi morbiditas permukaan mata dilakukan di luar ruangan dengan sumber cahaya matahari, tetapi pemeriksaan lensa dilakukan dalam ruangan redup dengan bantuan pen-light. Pemeriksaan visus dilakukan dengan jarak pengukuran 6 atau 3 meter, dengan kartu E yang dapat diputar ke segala arah (tumbling E) disesuaikan dengan tinggi mata responden yang diperiksa. Responden yang sakit berat dan tidak memungkinkan untuk duduk dan diperiksa visus dieksklusi dalam penghitungan prevalensi kebutaan, begitu pula responden yang menolak atau tidak dapat bekerja sama dengan tim enumerator. Prevalensi low vision dan kebutaan dihitung berdasarkan hasil pengukuran visus dengan atau tanpa kaca mata/lensa kontak koreksi. Kebutaan didefinisikan sebagai visus pada mata terbaik <3/60 atau dengan kata lain buta bilateral. Severe low vision didefinisikan sebagai visus pada mata terbaik <6/60 - 3/60, atau mencakup severe low vision bilateral dan buta unilateral yang disertai severe low vision unilateral. Prevalensi pterygium, kekeruhan kornea, dan katarak dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan dan observasi nakes pada semua responden tanpa batasan umur. Keterbatasan pengumpulan data visus adalah tidak dilakukannya koreksi visus, tetapi dilakukan pemeriksaan visus tanpa pin-hole dan jika visus tidak normal (kurang dari 6/6 atau 20/20) dilanjutkan dengan pemeriksaan dengan pin-hole, seperti yang dilakukan saat Riskesdas 2007. Keterbatasan pengumpulan data prevalensi morbiditas permukaan mata dan lensa adalah kemampuan klinis pengumpul data (enumerator) yang bervariasi dalam menilai permukaan mata dan lensa menggunakan alat bantu pen-light, sehingga prevalensi pterygium, kekeruhan kornea, serta katarak cenderung kurang valid.
178
3.15.1.1 Prevalensi kebutaan dan severe low vision Terdapat perbedaan metoda pengukuran tajam penglihatan/visus antara Riskesdas 2007 yang menggunakan Snellen chart dan Riskesdas 2013 yang menggunakan tumbling E, peraga yang lebih sederhana daripada Snellen chart dan mempunyai keterbatasan mengidentifikasi visus dengan rentang tertentu, bukan visus satu nilai seperti Snellen chart. Tumbling E jauh lebih mudah digunakan dan dilaporkan cukup spesifik mengidentifikasi adanya gangguan penglihatan (Limburg, 2001), sedangkan Snellen chart lebih detail, perlu waktu pemeriksaan lebih lama, dan format pelaporan angka ukuran visus yang lebih rumit. Alat yang dipergunakan untuk pemeriksaan visus adalah tali pengukur jarak sepanjang 6 meter, satu set kartu tumbling E (ukuran besar untuk visus 6/60, sedang untuk visus 6/18, dan kecil untuk visus 6/6), serta penutup mata dengan pin-hole. Disediakan 6 pilihan jawaban untuk kategori visus, yaitu: 1. Dapat melihat E kecil (jarak 6m) 2. Tidak dapat melihat E kecil, tetapi dapat melihat E sedang (jarak 6m) 3. Tidak dapat melihat E sedang, tetapi dapat melihat E besar (jarak 6m) 4. Tidak dapat melihat E besar (jarak 6m), tetapi dapat melihat E besar (jarak 3m) 5. Tidak dapat melihat E besar pada jarak 3m 6. TIDAK DIPERIKSA Interpretasi kode visus tiap mata adalah sebagai berikut: 1) kode 1 berarti visus normal (6/6); 2) kode 2 berarti gangguan visus ringan (visus kurang dari 6/6 sampai 6/18); 3) kode 3 berarti low vision (visus kurang dari 6/18 sampai 6/60); 4) kode 4 berarti severe low vision (kurang dari 6/60 sampai 3/60) dan; 5) kode 5 berarti buta(kurang dari 3/60). Visus tidak diperiksa jika responden berumur 6 tahun ke atas, tetapi tidak kooperatif, atau tidak memungkinkan untuk diperiksa visusnya, seperti responden dengan kelainan jiwa berat atau mereka yang mengalami kelumpuhan total.
Gambar 3.15.1 Prevalensi kebutaan pada responden umur ≥ 6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar 3.15.1 menunjukkan bahwa prevalensi kebutaan Provinsi Banten pada Riskesdas 2013 sebesar 0,3 persen. Angka ini lebih rendah dari prevalensi kebutaan nasional (0,4%). Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun ke atas tertinggi ditemukan di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak, masing-masing 0,5 persen, diikuti Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon dan Kota Serang (masing-masing 0,4%) dan terendah ditemukan di Kabupaten Serang dan Kota Tangerang Selatan (masing-masing 0,2% dan 0,1%).
179
Gambar 3.15.2 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kelompok umur, Provinsi Banten2013 Gambar 3.15.2 memperlihatkan kecenderungan kepemilikan dan pemakaian alat bantu/koreksi penglihatan jauh (kaca mata atau lensa kontak) meningkat sesuai pertambahan umur, prevalensi tertinggi pada kelompok umur 55-64 tahun, tetapi menurun kembali pada kelompok penduduk lanjut usia (65 tahun keatas). Prevalensi severe low vision pada usia produktif (15-54 tahun) sebesar 1,0 persen dan prevalensi kebutaan sebesar 0,3 persen. Prevalensi severe low vision dan kebutaan, meningkat pesat pada penduduk kelompok umur 54 tahun keatas dengan rata-rata peningkatan sekitar dua sampai tiga kali lipat setiap 10 tahunnya. Prevalensi severe low vision dan kebutaan tertinggi ditemukan pada penduduk kelompok umur 75 tahun keatas sesuai peningkatan proses degeneratif pada pertambahan usia. Gambar 3.15.3 dan 3.15.4 memperlihatkan bahwa terdapat kecenderungan, makin tinggi tingkat pendidikan formal dan kuintil indeks kepemilikan penduduk, maka makin tinggi pula proporsi penduduk yang memiliki kaca mata atau lensa kontak untuk melihat jauh. Kepemilikan tertinggi pada kelompok pendidikan perguruan tinggi (18,5%) dan kelompok kuintil teratas (12,7%). Sebaliknya, prevalensi severe low vision dan kebutaan cenderung menurun seiring dengan makin tingginya tingkat pendidikan formal, masing-masing 0,1% untuk prevalensi severe low vision dan kebutaan pada tingkat pendidikan tamat perguruan tinggi. Gambar 3.15.3 dan 3.15.4 juga memperlihatkan bahwa prevalensi severe low vision semakin menurun seiiring meningkatnya kuintil indeks kepemilikan namun kembali meningkat pada kelompok teratas. Begitu pula dengan prevalensi kebutaan yang semakin menurun seiring dengan meningkatnya kuintil indeks kepemilikan dan kembali sedikit meningkat pada kuintil indeks kepemilikan teratas. Prevalensi severe low vision tertinggi pada kelompok teratas (19,0%) sebaliknya prevalensi kebutaan tertinggi pada kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah (1,3%).
180
Gambar 3.15.3 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut pendidikan, Provinsi Banten2013
Gambar 3.15.4 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten2013 Gambar 3.15.5 menunjukkan proporsi penduduk yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak di perkotaan sekitar tiga kali lebih banyak dibandingkan responden di perdesaan. Prevalensi severe low vision cenderung lebih tinggi di perdesaan. Begitu pula dengan prevalensi kebutaan juga cenderung lebih tinggi pada penduduk di perdesaan.
181
Gambar 3.15.5 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut tempat tinggal, Provinsi Banten 2013 Tabel 3.15.1 menunjukkan proporsi pegawai yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak tiga kali lebih banyak dibanding kelompok petani/nelayan/buruh. Penduduk perempuan cenderung lebih banyak yang menggunakan kaca mata atau lensa kontak untuk penglihatan jarak jauh. Penduduk yang tidak bekerja atau bekerja sebagai petani/nelayan/ buruh cenderung lebih banyak yang menderita severe low vision dan kebutaan. Tabel 3.15.2 memperlihatkan distribusi ketersediaan kaca mata atau lensa kontak untuk melihat jauh menurut kabupaten/kota. Proporsi ketersediaan kaca mata atau lensa kontak paling tinggi ditemukan di Kota Tangerang (10,0%) diikuti Kota Tangerang Selatan (9,7%), dan Kota Cilegon (7,0%). Tabel 3.15.2 juga menunjukkan bahwa prevalensi severelow vision penduduk umur 6 tahun ke atas di Provinsi Banten sebesar 0,7 persen lebih rendah dibanding prevalensi severe low vision secara nasional (0,9%). Prevalensi severe low vision tertinggi terdapat di Kabupaten Pandeglang(1,3%), diikuti Tangerang dan Kota Cilegon (masing-masing 1,0%). Kabupaten/kota dengan prevalensi severe low vision terendah adalah Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan (masing-masing 0,2%) diikuti oleh Kota Serang (0,6%). Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun ke atas di Provinsi Banten adalah 0,3 persen. Prevalensi tertinggi ditemukan di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak (masing-masing 0,5%) diikuti Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon dan Kota Serang (masing-masing 0,4%).Prevalensi kebutaan terendah ditemukan di Kota Tangerang Selatan (0,1%).
182
Tabel 3.15.1 Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada penduduk umur ≥ 6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) 6-14
Pakai Kacamata/Lensa kontak
Severe Low vision
Kebutaan
1,3
0,0
0,0
15-24
4,0
0,1
0,1
25-34
3,7
0,2
0,0
35-44
4,5
0,1
0,1
45-54
12,5
1,0
0,3
55-64 65-74
15,7 15,1
3,8 10,9
1,5 5,7
75+
14,0
16,2
10,0
5,2 5,5
0,5 1,0
0,2 0,5
6,8
0,5
0,3
2,2
1,2
0,4
2,1
2,8
1,5
Tidak tamat SD
2,0
0,6
0,7
Tamat SD Tamat SMP
3,3 4,0 8,4 18,5
1,4 0,2 0,2 0,1
0,3 0,2 0,1 0,1
Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta
5,2 9,5 7,9
1,2 0,1 0,6
0,6 0,0 0,1
Petani/nelayan/buruh Lainnya
2,5 6,7
0,7 0,4
0,3 0,2
1,5 1,9 4,6
15,3 16,2 16,0
1,3 1,1 0,8
6,4 12,7
15,8 19,0
0,3 0,4
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Pendidikan Tidak sekolah
Tamat SMA Tamat PT Status Pekerjaan
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
183
Tabel 3.15.2 Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada penduduk umur ≥ 6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurutkabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/Kota
Pakai Kacamata/Lensa kontak
Kab. Pandeglang
1,4
1,3
0,5
Kab. Lebak
2,2
0,8
0,5
3,0 4,5 10,0
1,0 0,9 0,2
0,4 0,2 0,3
Kota Cilegon
7,0
1,0
0,4
Kota Serang
6,3
0,6
0,4
Kota Tangerang Selatan
9,7
0,2
0,1
Banten
5,3
0,7
0,3
Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang
Severe Low vision
Kebutaan
3.15.1.2 Kelainan permukaan mata dan lensa Kelainan atau morbiditas permukaan mata yang diperiksa oleh surveyor adalah pterygium dan kekeruhan kornea, sedangkan kelainan lensa yang diharapkan dapat diidentifikasi oleh enumerator adalah kekeruhan lensa (katarak) yang tebal dan biasanya sudah disertai gangguan penglihatan. Pemeriksaan morbiditas permukaan mata dan lensa ini dilakukan pada semua responden. Jumlah responden semua umur yang dianalisis sebesar 24.247 orang. Pterygium merupakan penebalan konjungtiva (bagian putih mata) pada sisi medial dan atau lateral, biasanya pada orang tua, tetapi bisa juga ditemukan pada dewasa muda, semakin lama semakin meluas kearah kornea. Kekeruhan kornea adalah kelainan pada kornea berupa bercak berwarna putih keruh dan biasanya tidak berkaitan dengan faktor pertambahan usia.
Gambar 3.15.6 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
184
Gambar 3.15.6 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium di Provinsi Banten sebesar 3,9 persen. Prevalensi tertinggi ditemukan di Kota Tangerang (6,7%), diikuti oleh Kota Cilegon (6,5%) dan Kabupaten Pandeglang (6,5%). Kabupaten Tangerang mempunyai prevalensi pterygium terendah yaitu 2,0 persen, diikuti oleh Kabupaten Lebak sebesar 2,1 persen. Prevalensi kekeruhan kornea Provinsi Banten adalah 4,4 persen. Prevalensi tertinggi ditemukan di Kota Cilegon (7,9%), diikuti oleh Kabupaten Pandeglang (6,9%) dan Kota Serang (5,2%). Prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan di Kota Tangerang Selatan (2,2%) diikuti Kabupaten Lebak dan Kota Tangerang (masing-masing 3,2%). Tabel 3.15.3 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Tidak lazim pterygium terjadi pada anak umur 0-5 tahun, sehingga data prevalensi pterygium pada anak balita dalam analisis ini dinilai kurang valid. Prevalensi kekeruhan kornea yang meningkat seiring bertambahnya usia mungkin disebabkan karena kurangnya keahlian enumerator dalam melakukan penilaian untuk kekeruhan kornea, sehingga data yang dikumpulkan cenderung kurang valid. Prevalensi pterygium pada laki-laki (4,0%) cenderung sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi pada perempuan (3,8%). Sebaliknya prevalensi kekeruhan kornea pada perempuan (4,4%) sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi pada laki-laki (4,3%). Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea yang paling tinggi (21,3% untuk pterygium dan 44,6% untuk kekeruhan kornea) ditemukan pada kelompok responden usia 65-74 tahun dan pada responden usia >75 tahun. Kelompok pekerja lainnya mempunyai prevalensi pterygium tertinggi (6,7%) dan sedangkan kelompok petani/nelayan/buruh mempunyai prevalensi kekeruhan kornea tertinggi (8,0%) dibanding kelompok pekerja lainnya. Prevalensi kekeruhan kornea yang tinggi pada kelompok pekerjaan petani/nelayan/buruh mungkin berkaitan dengan riwayat trauma mekanik atau kecelakaan kerja pada mata, mengingat pemakaian alat pelindung diri saat bekerja belum optimal dilaksanakan di Indonesia.
185
Tabel 3.15.3 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada penduduk semua umur menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) 0-5 6-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+
Morbiditas permukaan mata Pterygium Kekeruhan kornea 0,6 0,6 0,7 2,2 6,0 10,2 14,6 21,3 21,1
0,7 0,8 0,9 2,0 4,1 10,9 19,3 34,3 46,1
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
4,0 3,8
4,3 4,4
Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT
8,0 3,2 5,8 3,3 3,8 3,8
15,1 4,7 6,5 3,2 2,9 2,2
Status Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
4,1 4,0 6,6 6,0 6,7
4,9 2,8 6,8 8,0 6,0
Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan
3,9 3,8
4,4 4,3
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
3,9 4,3 3,8 4,0 3,4
5,3 5,0 4,0 4,1 3,3
Penduduk yang tinggal di perkotaan cenderung mempunyai prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea yang lebih besar dibandingkan penduduk di perdesaan. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea tidak menunjukkan pola yang jelas pada kuintil indeks kepemilikan. Pada Tabel 3.15.4 terlihat bahwa prevalensi katarak di Provinsi Banten sebesar 1,8 persen. Prevalensi tertinggi di Kota Serang (3,8%) diikuti oleh Kabupaten Serang (3,5%) dan Kota Cilegon (3,1%). Prevalensi katarak terendah ditemukan di Kota Tangerang Selatan (0,6%) diikuti Kabupaten Lebak (1,1%). Sebagian besar penderita katarak di Provinsi Banten belum menjalani operasi katarak karena faktor ketidaktahuan mengenai penyakit katarak yang dideritanya dan mereka tidak tahu bahwa
186
buta katarak bisa dioperasi/direhabilitasi (69,3%). Alasan kedua terbanyak penderita katarak belum dioperasi adalah karena tidak dapat membiayai operasinya (10,5%) (Gambar 3.15.7). Laporan lengkap tentang prevalensi katarak dan alasan utama belum menjalani operasi katarak menurut karakteristik disajikan dalam Buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013
Gambar 3.15.7 Proporsi tiga alasan utama penderita katarak belum menjalani operasi menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Tabel 3.15.4 Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada penduduk semua umur menurutkabupaten/kota, Provinsi Banten 2013
Kabupaten/kota
Katarak
Alasan Belum Operasi Tidak tahu kalau Tidak mampu Tidak perlu karena katarak membiayai sudah tua 77,0 10,6 1,0
Kab. Pandeglang
2,7
Kab. Lebak Kab. Tangerang
1,1 1,4
61,0 71,1
10,6 11,5
14,5 5,9
Kab. Serang
3,5
76,5
9,8
3,3
Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang
1,2 3,1 3,8
57,8 60,6 67,4
8,2 13,6 11,6
2,4 8,5 4,8
Kota Tangerang Selatan
0,6
50,6
8,5
7,1
Banten
1,8
69,3
10,5
4,8
187
3.15.2 Kesehatan Telinga Data yang dikumpulkan terkait status kesehatan telinga meliputi anatomi liang telinga, kelainan pada telinga tengah dan daerah retroaurikular, keutuhan gendang telinga, serta adanya gangguan fungsi pendengaran. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik oleh nakes terlatih pada responden berumur 2 tahun keatas dan untuk fungsi pendengaran dilakukan tes konversasi bagi responden yang kooperatif dan tidak tuna wicara. Keterbatasan pengumpulan data terkait kesehatan telinga adalah kemampuan klinis nakes yang sangat bervariasi dalam mengenali kelainan telinga dan retroaurikular. Keterbatasan untuk pengukuran tajam pendengaran adalah tidak tersedianya alat audiometer di lapangan, sehingga hanya dilakukan uji/tes konversasi. 3.15.2.1 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian Pada survei ini interpretasi dari skor yang digunakan adalah sebagai berikut: Pemeriksa membisikkan kalimat sederhana dan responden diminta mengulanginya. Jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “0”. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu kalimat dengan volume suara normal dan responden kembali diminta mengulanginya. Jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “1” pendengaran NORMAL. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu kalimat dengan volume suara yang lebih keras dan responden kembali diminta mengulanginya dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “2” gangguan pendengaran ringan. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan meneriakkan satu kalimat pada telinga dengan fungsi pendengaran lebih baik dan responden kembali diminta mengulanginya dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “3 gangguan pendengaran sedang. Jikaresponden tidak dapat mengikuti teriakan kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “4” ketulian. Dalam Riskesdas 2013 di Provinsi Banten, diperoleh prevalensi gangguan pendengaran tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas (39,8%), disusul oleh kelompok umur 65-74 tahun (17,2%). Angka prevalensi terkecil berada pada kelompok umur 25-34 tahun (0,4%) sesuai Tabel 3.16.1. Prevalensi tertinggi ketulian terdapat pada kelompok umur 65-74 tahun(1,2%), sedangkan prevalensi terkecil terdapat pada kelompok umur 5-14 tahun hingga 55-64 tahun (masing-masing di bawah 0,05%). Prevalensi responden dengan gangguan pendengaran pada perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki (1,8% berbanding 1,4%). Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian tertinggi ditemukan pada kelompok tingkat pendidikan tidak sekolah (6,9% gangguan pendengaran dan 0,3% ketulian). Gangguan pendengaran pada kelompok responden tidak bekerja memiliki angka prevalensi tertinggi, yaitu 2,3%, disusul oleh petani/nelayan/buruh sebesar 1,7%. Prevalensi gangguan pendengaran terendah ditemukan pada kelompok pegawai (0,7%). Prevalensi ketulian tertinggi ditemukan pada kelompok responden tidak bekerja (0,1%). Terdapat perbedaan angka prevalensi ketulian dan gangguan pendengaran menurut tempat tinggal. Di perkotaan diperoleh prevalensi gangguan pendengaran sebesar 1,3 persen dan prevalensi gangguan pendengaran di perdesaan cenderung lebih tinggi, yaitu sebesar 2,1 persen.
188
Tabel 3.15.5 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian penduduk umur ≥ 5 tahun sesuai tes konversasi menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+
Gangguan Pendengaran
Ketulian
0,5 0,8 0,4 1,0 1,3 4,6 17,2 39,8
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1,2 0,3
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
1,4 1,8
0,0 0,1
Tipe daerah Perkotaan Perdesaan
1,3 2,1
0,0 0,0
Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT
6,9 1,7 1,9 1,0 0,8 1,2
0,3 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0
Status Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
2,3 0,7 0,9 1,7 1,3
0,1 0,0 0,0 0,0 0,0
Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
2,4 2,1 1,4 1,2 0,9
0,1 0,0 0,0 0,1 0,0
Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian memiliki pola yang sama menurut kuintil indeks kepemilikan, yaitu semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin kecil prevalensi gangguan pendengaran dan ketuliannya. Pada kuintil indeks kepemilikan terbawah ditemukan prevalensi gangguan pendengaran tertinggi (2,4%) dan prevalensi ketulian tertinggi (0,1%). Prevalensi gangguan pendengaran terendah ditemukan pada kuintil indeks kepemilikan teratas (0,9%).
189
*) Berdasarkan tes konversasi
Gambar 3.15.8 Prevalensi gangguan pendengaran penduduk umur ≥ 5 tahun sesuai tes konversasi menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Berdasarkan kabupaten/kota, prevalensi gangguan pendengaran tertinggi terdapat di Kabupaten Pandeglang(2,7%), dan terendah di Kota Tangerang (0,8%). Terdapat tiga kabupaten/kota dengan prevalensi gangguan pendengaran yang lebih besar dari rata-rata Provinsi Banten (1,6%), seperti terlihat pada Gambar 3.15.8.
3.15.2.2 Morbiditas telinga lainnya Untuk mengetahui prevalensi morbiditas (kejadian sakit) telinga, selain gangguan pendengaran dan ketulian, dilakukan pemeriksaan fisik/anatomis terhadap responden umur 2 tahun ke atas. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan luar telinga untuk mengetahui keberadaan abses/fistel retroautrikular, serta pemeriksaan liang telinga untuk mengetahui adanya serumen maupun sekret dalam liang telinga. Sekret dalam liang telinga menandakan adanya infeksi akut/kronis, tumor, maupun kelainan telinga lainnya. Keberadaan abses/fistel retroaurikular dapat menunjukkan adanya infeksi telinga yang sedang berlangsung. Kelompok umur 75 tahun ke atas mempunyai prevalensi tertinggi dalam hal keberadaan serumen dan sekret dalam liang telinga dan abses/fistel retroaurikular, yaitu berturut-turut 40,3%; 0,9%. Prevalensi terendah morbiditas telinga ditemukan pada kelompok umur 15-24 tahun, yaitu untuk prevalensi serumen dan sekret dalam liang telinga (14,0%) dan untuk abses/fistel retroaurikular nampak merata di kelompok umur 2-4 tahun, 15-24 tahun, 25-34 tahun, 35-44 tahun dan 55-64 tahun (masing-masing 0,1%). Berdasarkan kabupaten/kota, prevalensi penduduk dengan serumen dan sekret dalam liang telinga tertinggi terdapat di Kota Serang (35,0%) dan terendah di Kota Tangerang Selatan (6,2%). Laporan lengkap tentang morbiditas telinga lainnya menurut karakteristik dan kabupaten/kota disajikan dalam Buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013.
190
DAFTAR PUSTAKA Balitbangkes, 2007, Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Balitbangkes, 2010, Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Bappenas. 2012. Report on the Achievement of Millennium Development Goals in Indonesia 2011. Bappenas, Jakarta. http://www.undp.or.id/pubs/docs/Report%20on%20the%20Achievement%20of%20the%20 MDGs%20in%20Indonesia%202011.pdf. Diakses tanggal 3 Agustus 2013. Bashiruddin J, Soetirto I. 2010. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss). Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J & Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 49-52. Bhisma Murti, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Gajah Mada University Press 1997:152-79 BPS
Provinsi Banten. 2012. Banten dalam Angka 2013. http://banten.bps.go.id/arc/dda2013_html/dda2013.html, Diakses tanggal 10 Desember 2013.
Dandona R, Dandona L. Sosioeconomic status and blindness. Br J Ophthalmol 2001;95:1494-9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas). 2007 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas). 2007 Departemen Kesehatan RI. 1997. Buku Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta, cetakan tahun 2012. Departemen Kesehatan RI. 1999. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829/1999. Persyaratan Kesehatan Perumahan, DepKes RI, Jakarta. Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Gigi dan Mulut. Jakarta 1999. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI 1996: Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1993-1995. Direktorat Jenderal PP dan PL Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian TB edisi 2 th. 2012 Direktorat Jenderal PP dan PL Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus. 2012 Direktorat PPBB Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan RI. Buku Saku Menuju Eliminasi Malaria. 2011. Foster A. Cataract and “Vision 2020-the right to sight” initiative. Br J Ophthalmol 2001;95:635-7. Katzmarzyk, PT. 2012. Sedentary Behaviour and Life Expectancy in the USA: A Cause Deleted Life Table Analysis, Digital Access to Scholarship at Harvard, diunduh 14 November 2013 www.dash.harvard.edu/bitstream/handle/1/ 10445571/3400064.pdf?sequence=1 Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Modul Tatalaksana Standar Pneumonia. 2012.
191
Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut, 2012 Kementerian Kesehatan RI, 2011. “Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan”, Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. Factsheet Pelayanan KB Pasca Salin. Direktorat Bina Kesehatan Ibu www.kesehatanibu.depkes.go.id/wp-content/.../download.php?id=56. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. 2012. Pemetaan Status Kesehatan Gigi dan Mulut di Indonesia. Jakarta. hal 1-73. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Factsheet Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi, Jakarta. www.kesehatanibu.depkes.go.id/wpcontent/.../download.php?id=59. Kenneth J. Rothman. Epidemiologi Modern . Yayasan Pustaka Nusatama 1995: 33-49. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. Kidney inter., Suppl. 2013; 3: 1—150. Lam, NL dkk. 2012. Kerosene: A review of household uses and the hazards in low-and middleincome countries. J.Toxicol Environ Health B Crit Rev. vol. 15 (6): 396-432. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3664014/pdf/nihms447641.pdf. Diakses tanggal 10 December 2012 Laporan Riskesdas 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes R.I. Limburg H. 2001. Manual for rapid assessment of cataract surgical services. Switzerland: WHO Prevention of blindness and deafness. National Heart, Lung, and Blood Institute, National Institute of Health, US. 2004. The seventh report of the Joint Committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. NIH Publication No. 04-5230, August 2004. (cited 2007 Nov 2). Available from: http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/jnc7full.pdf. Pusat promosi Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, 2009. Rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat. Putri Herman NW. 2011. Prevalensi Gangguan Pendengaran Pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011. Diakses dari: http://perpus.fkik.uinjkt.ac.id/file_digital/NING% 20WIDYA%20PUTRI%20HERMAN.pdf Rajagukguk, Omas Bulan. 2010. Keluarga Berencana dalam Dasar-Dasar Demografi, Salemba Empat, Jakarta. Republik Indonesia. 2000. Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Jakarta. Republik Indonesia. 2002. Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jakarta. Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta. Republik Indonesia. 2012. Undang-Undang RI No. 72 Tahun 2012 tentang Perusahaan Umum Percetakan Negara Republik Indonesia. Jakarta. Rundjan L, Amir I, Suwento R, Mangunatmadja I. Skrining Gangguan Pendengaran pada Neonatus Risiko Tinggi. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 4, Maret 2005: 149-54.
192
Soetjipto, Damayanti. Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian. 2010. Diakses dari: http://ketulian.com/vi/web/ index.php?to=home. Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1993-1995. UNICEF and WHO. 2011. Drinking Water, Equity, Safety and Sustainability.JMP Thematic Report on Drinking Water 2011. UNICEF/WHO.http://www.wssinfo.org/fileadmin/user_upload/resources/report_wash_low.p df WHO Fact Sheet No. 282. http://www.who.int/about/regions/en /index.html. WHO. 2003. Domestic Water Quantity, Service, Level and Health. Geneva: World Health Organization. http://www.who.int/water_sanitation_health/diseases/wsh0302/en/index.html. WHO. 2004. Guidelines for conducting community surveys on injuries and violence. Geneva: World Health Organization. http://whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546484.pdf WHO. 2006a. Core Questions on Drinking Water and Sanitation for Household Surveys. Geneva: World Health Organization Retrieved from http://www.who.int/water_sanitation_health/monitoring/oms_brochure_core_questionsfinal2 4608.pdf. WHO. 2006b. Definition and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate hyperglycaemia. Geneva: World Health Organization. P.9—43. WHO. 2012a. WHO STEPS Instrument Question-by Question Guide (core and expanded). Surveillance and Population-based Prevention. Department of Chronic Diseases and Health Promotion, Geneva: World Health Organization. from www.who.int/chp/steps. WHO. 2012b. Global Physical Activity Questionnaire (GPAC) Analysis Guide. Surveillance and Population-based Prevention. Department of Chronic Diseases and Health Promotion, Geneva: World Health Organization. www.who.int/chp/steps. World Bank. 2010.Mainstreaming Gender in Water and Sanitation: Gender in Water and Sanitation. Washington: World Bank. World Health Organization. Global data on visual impairment 2010. World Health Organization: International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems. 10th revision. Current version. Version for 2003. Chapter VII. H54. Blindness and low vision. Diakses di: http://www.who.int/classifications/icd/en.
193
LAMPIRAN EDITOR Dr. D. Anwar Musadad, SKM, M.Kes. Dr. Ir. Inswiasri, M.Kes
Koordinator Wilayah II Wakil Koordinator Wilayah II
PENYUSUN Sri Irianti, SKM, M.Phil, Ph.D Andre Yunianto, AMKL Drs. Max J. Herman, Apt, M.Kes Dwi Sisca Kumala Putri, SKM, M.Epid Dra. Rini Sasanti Handayani, Apt., M.Kes Dr. Drs. R. Mulyono Notosiswoyo, M.Si Dasuki, SF, M.Sc, Apt. Oster Suriani Simarmata, SKM, MKM Kristina Tobing, SKM, M.Epid Sulistyowati Tuminah, SSi Puguh Prasetyoputra, SE, MHEcon. Rina Marina, SSi
ENUMERATOR Kabupaten Lebak Aep Syaepudin Arum Trys Tya Ayu Sulistyaningsih Devi Widianto Ganda Hardi Kushardi Winata Idha Sukaidah Indah Puspitariani Pranoto Jihad Lis Wirda Sholihah Mia Hermawati Mila Amilia Nina Noviana Nining Farhatin Nining Meilani Anwar Nurul Aisah Phatma Sari Dewi Rena Kurnia Febriana P Rita Rositawati Rumsanah Suryono Susilawati Tanti Hayati Ujung Nasrullohudin Wida Fitriani Agustina Winda Sopha Lestari Wini Sriwiandini Yotang Septiana Youno Ashary Yurike Novita Kusviar
194
Kabupaten Pandeglang Achmad Hidayat, SKM Ade Saepulloh Ade Setiawan, SKM Ade Sumantri, SKM Aep Fradinata Ana Sumarna, Am.Kep Ania Nurwanti Asep Hidayatullah Asep Natawijaya Diguna Dian Ahati Mulyani Dina Khoerina E. Zahrotusaadiyah Endah Nursaadah Frista Septyawan Hadi Purnama Hidayat Hapid Jaka Permas Ali Bedri Juhri Lili Hambali Maman Supriyadi Mas'ah Muhamad Fahruroji Nida Urohmah Siti Hasanah Syifa Pujisuci Tri Cahya Kartika Dewi Vita Arianasari Wahid M. Wawan Setiawan Yuyu Agustiningsih Kabupaten Serang Agus Suwanda Ainul Hayati Akhmad Khumaeni Andriansyah, AMK Asep Saefullah Baehaki Eko Wahyu Saputro Encup Supardi, AMD.Kep Enoh Fauji Ridwan, A.Md Ertih Aryantie, AmKg Fitalia Ibnu Ida Nariah, AMKL Lia Riadoh, A.Md Magdalena Maman Karyuman, Amd.Kep Melida, Am.Keb Miftah Zaini M, Amd.Kep Nani Nopiyanti, SST Neneng Oyah, AMKL Ramiyaningsih Ratna Sari Agustin
195
Retno Endah Budi Astuti Ria Hardini, SKM Roma Eko Widiyanto Rosita Siska Sukardi Windry Destriana Yasin Muhtar Kabupaten Tangerang Ahmad Fauzi Akhmad Karnawan Anggita Rohmasintia Desriyandini Dwi Afria Widyastuti Endang Sutisna Evi Septiani I Gede Suberata Indah Puji Minarti, Amg Ivana Edlin Jujun Junaedi Kristina Maryani Mega Aprillianti Mia Wahdini Nazihatul Aminah Nia Karlina Farid Nicky Aprlilia Nur Chamidah Nur Falah Agustin Nurul Dwipuji Lestari Oki Purwadi Pipit Pitria Resty Agustin Jayadi, Amg Rosalisa Arvianti Nugroho S. Muhammad Rajudin Sari Fitriani Sari Pratiwi Shabrina Lestari Sholehatunnisa Siti Nurazizah Siti Nurrohmah Sofyan Sauri Titin Duratul Y Wafiqotul Ummah Yoyo Mulyawati Kota Cilegon Andriansyah Wijaya, AMd.KL Ayu Firricia Tristianti,AMG David Mardiansyah, A.Md.Kep Dedi Cahyadi, SKM,M.Si Juwita Marheti Wismawati,SKM Lhia Utami Suwandi,SKM Mardiyah,SKM Maryuli,A.Md.KG Ni Luh Ketut Rai.S,A.Md.KG Rizki Nur Rahmawati,A.Md.Gz
196
Sahroni,SKM Sam'un,Amd.SE Septiana Prayuningsih,A.Md,KG Shofitri Fajar Islami,Amd.Keb Sri Suherni,A.Md.Keb Teti Setiawati,S.Gz Tita Rosita, A.Md.Keb Venny Agustiani,M,SP Vivi Aviyani,AMd.Keb Yully Nurlaeli,A.Md.Kep Kota Serang Agus Padmono Akhmad Syahwani Arini Sabra Hayati Chomesah Dewi Pertiwi Diyah Ayu Affriani Fika Andriana Fitria Haryatiningsih Leli Bestiani Alfalah Maryamah Nita Widya Noviyana Nurmalia Intifada Nurul Qomariyah Reni Stefhanie Resih Sri Gunaningsih Sri Sugiyarti Yenyen Yuliana Yusti Novita Lutfiyanti Kota Tangerang Abuchori Amalia Tri Utami Ani Handayani Ani Sutriani Ardy Rahman Firdaus Asmara Edita Br. Karo Dara Sylvarian A Deny Ardiansyah Dian Linda Sari Eka Safitri Farjana Hoque Fiqih Nurlinda Hasrofiyanti Iip Rumiati Ika Nur Latifah Ika Yulianingsih Ita Puspita Sari Latifa Febriani Lestari Indah Palupi Lina Dwi Anggara Linda Kurniawati Luluk Khoirum
197
Mayank Wulandari Nastiti Indira M.S. Neneng Hasanah Noer Widyanti Nur Afni Monalyssa Pravita Sari Widodo, SKM Reni Safitri Yanti Sefiaeni Nur Handayani Siti Solihati Sri Irawati Sri Warsini, SKM, MKM Sumaidah Tri Wahyuningsih Yulianti Triana Dewi Yustina Rossa S. Kota Tangerang Selatan Agus Samsiar Darmawan Anindya Choirunnissa Dewi Intan Purnama Alam Dewi Yulianty Dian Herdina Rahmat Endar Ekawati Fajar Cahyo Riadi Fenty Rahmawati Gabitha Libriliya Hikmawati Irmawati Istianah Mariana Silalahi Nasa Taufik Akbar Nina Irawati Retno Puji Astuti Rien Suci Putriastini Riska Oktarina Sifa Yuniar Siti Rohmaniah Sri Suryanti Suci Rohmaniah Suci Susilowati Sulastri Tresna Triana Desinta Wahyuni Werry Mariska Yelviana Gayatri Yunita Manzili
198
REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIANKESEHATAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
RISET KESEHATAN DASAR 2013 PERTANYAAN RUMAH TANGGA DAN INDIVIDU
RAHASIA
RKD13. RT
I. PENGENALAN TEMPAT 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kabupaten/Kota Kecamatan Desa/Kelurahan Klasifikasi Desa/Kelurahan 1. Perkotaan 2. Perdesaan Nomor Kode Sampel No Bangunan Sensus & Jml Rumah Tangga - Nama kepala rumah tangga: No. Urut Sampel Rumah Tangga Apakah Rumah tangga menyimpan garam? 1. Ya 2. Tidak P.11 Lakukan tes cepat Iodium di seluruh rumah tangga dan catat 1. Cukup (biru tua /ungu tua) kandungan Iodiumnya berdasarkan perubahan warna 2. Tidak cukup (biru muda / ungu muda) Provinsi
*)
*)
3. Tidak ada iodium (Tidak berwarna)
11
Terpilih sampel provinsi
1. Ya
2. Tidak
12
Terpilih sampel nasional
1. Ya
2. Tidak
SAMPEL GARAM UNTUK TITRASI DIAMBIL DARI SAMPEL RUMAH TANGGA NASIONAL 13
Apakah diambil sampel garam?
1.
Ya
2. Tidak
14
Apakah diambil sampel air?
1.
Ya
2. Tidak
TEMPEL STIKER GARAM DI SINI (RXXXXXX) TEMPEL STIKER AIR DI SINI (RXXXXXX)
II. KETERANGAN RUMAH TANGGA 1
Alamat rumah (Tulis dengan huruf kapital)
2
Banyaknya anggota rumah tangga:
3
Banyaknya balita (0-59 bulan)
4
Banyaknya anggota rumah tangga yang diwawancarai:
III. KETERANGAN PENGUMPUL DATA 1 2 3
Nama Pengumpul Data: Tanggal. Pengumpulan data: (tgl-bln-thn) Tanda tangan Pengumpul Data
4
--
5 6
*) coret yang tidak perlu 1 – Design Final
Nama Ketua Tim: Tanggal. Pengecekan: (tgl-bln-thn) Tanda tangan Ketua Tim:
--
IV. KETERANGAN ANGGOTA RUMAH TANGGA No. urut ART
(1)
Nama Anggota Rumah Tangga (ART)
(2)
Hubungan dengan kepala rumah tangga
Jenis Kelamin
[KODE]
1. Laki 2. Perempuan
(3)
(4)
Status Kawin
Tanggal Lahir
[KODE] (5)
1
2
3
4
Status Pendidikan tertinggi yang ditamatkan [KODE]
[KODE]
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(6)
Bln: Thn: Tgl: Bln: Thn: Tgl: Bln: Thn: Tgl: Bln: Thn: Tgl:
Umur Jika umur <1bln isikan dalam kotak“Hari” Jika umur <5thn isikan dlm kotak“Bulan” Jika umur ≥5 thn isikan dlm kotak “Tahun” dan umur ≥ 97 thn isikan “97”
Hr b. Bln c. Thn a. Hr b. Bln c. Thn a. Hr b. Bln c. Thn a. Hr b. Bln c. Thn
Khusus ART >5 tahun
Khusus ART ≥ 10 tahun
Khusus ART Khusus ART ≥ 10 tahun perempuan 10-54 tahun Jika Status Apakah Pekerjaan=2 sedang Status Sebutkan Hamil? Pekerjaan Jenis Pekerjaan utama [KODE]
1. Ya 2. Tidak
Apakah ART semalam tidur mengguna kan kelambu 1. Ya 2.Tidak kolom 14 (12)
Jika “ya” Apakah kelambu berinsektisida?
1. Ya 2.Tidak 8. Tidak tahu (13)
ART diwawancarai?
1.Ya 2.Ya, didampingi 3.Ya, diwakili 4.Tidak (14)
a.
GUNAKAN HALAMAN 3 APABILA JUMLAH ART > 4 ORANG Kode kolom 3: Hubungan dg kepala rumah tangga Kode kolom 5:Status Kawin 01= Kepala RT 04= Anak angkat/tiri 08= Famili lain 1= Belum menikah 2. 4= Cerai hidup 02= Istri/suami 05= Menantu 09= Pembantu rumah tangga 2= Menikah 3. 5= Hidup terpisah 03= Anak kandung 06= Cucu 10= Lainnya 3= Hidup bersama 4. 6= Cerai mati 07= Orang tua/ mertua
Kode kolom 8: Pendidikan Tertinggi 1= Tidak/ belum pernah sekolah 5= Tamat SLTA/MA 2= Tidak tamat SD/MI 6= Tamat D1/D2/D3 3= Tamat SD/MI 7= Tamat PT 4= Tamat SLTP/MTS
2 – Design Final
Kode Kolom 9 1= Tidak bekerja 2= Bekerja 3= Sedang mencari kerja 4= Sekolah
Kode kolom 10: Jenis Pekerjaan Utama 1= PNS/ TNI/Polri/BUMN/BUMD 4= Petani 2= Pegawai swasta 5= Nelayan 3= Wiraswasta 6= Buruh 7= Lainnya
IV. KETERANGAN ANGGOTA RUMAH TANGGA No. urut ART
(1)
Nama Anggota Rumah Tangga (ART)
(2)
Hubungan dengan kepala rumah tangga
Jenis Kelamin
[KODE]
1. Laki 2. Perempuan
(3)
(4)
Status Kawin
Tanggal Lahir
[KODE] (5)
5
6
7
8
Status Pendidikan tertinggi yang ditamatkan
Status Pekerjaan
[KODE]
[KODE]
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(6)
Bln: Thn: Tgl: Bln: Thn: Tgl: Bln: Thn: Tgl: Bln: Thn: Tgl:
Umur Jika umur <1bln isikan dalam kotak“Hari” Jika umur <5thn isikan dlm kotak“Bulan” Jika umur ≥5 thn isikan dlm kotak “Tahun” dan umur ≥ 97 thn isikan “97”
Hr b. Bln c. Thn a. Hr b. Bln c. Thn a. Hr b. Bln c. Thn a. Hr b. Bln c. Thn
Khusus ART >5 tahun
Khusus ART ≥ 10 tahun
Khusus ART ≥ 10 tahun Jika Status Pekerjaan=2 Sebutkan JenisPekerjaan utama [KODE]
Khusus ART perempuan 10-54 tahun Apakah sedang Hamil? 1. Ya 2. Tidak
Apakah ART semalam tidur mengguna kan kelambu
Jika “ya” Apakah kelambu berinsektisida?
1. Ya 2.Tidak kolom 14
1. Ya 2.Tidak 8. Tidak tahu
(12)
(13)
ART diwawancarai?
1.Ya 2.Ya, didampingi 3.Ya, diwakili 4.Tidak (14)
a.
GUNAKAN LEMBAR TAMBAHAN APABILA JUMLAH ART > 8 ORANG Kode kolom 3: Hubungan dg kepala rumah tangga 01= Kepala RT 04= Anak angkat/tiri 08= Famili lain 02= Istri/suami 05= Menantu 09= Pembantu rumah tangga 03= Anak kandung 06= Cucu 10= Lainnya 07= Orang tua/ mertua
Kode kolom 5:Status Kawin 1= Belum menikah 5. 4 = Cerai hidup 2= Menikah 6. 5= Hidup terpisah 3= Hidup bersama 7. 6= Cerai mati
Kode kolom 8: Pendidikan Tertinggi 1= Tidak/belum pernah sekolah 5= Tamat SLTA/MA 2= Tidak tamat SD/MI 6= Tamat D1/D2/D3 3= Tamat SD/MI 7= Tamat PT 4= Tamat SLTP/MTS
3 – Design Final
Kode Kolom 9 1= Tidak bekerja 2= Bekerja 3=Sedang mencari kerja 4= Sekolah
Kode kolom 10: Jenis Pekerjaan Utama 1= PNS/ TNI/Polri/BUMN/BUMD 4= Petani 2= Pegawai swasta 5= Nelayan 3= Wiraswasta 6= Buruh 7= Lainnya
V. AKSES DAN PELAYANAN KESEHATAN Sekarang kami akan menanyakan jenis fasilitas kesehatan terdekat termasuk alat transportasi, waktu tempuh, dan perkiraan ongkos dari rumah ke setiap pelayanan kesehatan terdekat tersebut: (Pengertian dekat: bisa dalam satu atau beda kabupaten/ kota, kecamatan, kelurahan, desa dimana rumah tangga berada) Apakah mengetahui ketersediaan fasillitas
Jenis Fasilitas Kesehatan
1 Ya 2. Tidak Jika jawaban berkode ‘2’ lanjut ke JENIS FASILITAS KESEHATAN berikutnya (1)
1) Rumah Sakit pemerintah? 2) Rumah Sakit swasta ? 3) Puskesmas/Puskesmas Pembantu? 4) Praktek dokter/klinik? 5) Praktek bidan/ Rumah Bersalin? 6) Posyandu? 7) Poskesdes/Poskestren? 8) Polindes?
Alat transportasi yang bisa digunakan sekali jalan dari rumah ke fasilitas kesehatan tersebut 1.Mobil pribadi 2.Kendaraan umum 4.Jalan kaki 8.Sepeda motor
Waktu tempuh
16.Sepeda 32.Perahu 64.Transportasi Udara 128. Lainnya
Kira-kira berapa ongkos perjalanan dari rumah ke fasilitas kesehatan tersebut (Rp)
Jam
Menit
(2)
(3)
(4)
(5)
,, ,, , , , , , ,
Bila jawaban lebih dari 1 jumlahkan kode jawaban alat transportasi yang digunakan
ISIKAN KODE “99999999” ATAU 999999 DI KOLOM 5 UNTUK FASILITAS KESEHATAN YANG ONGKOS PERJALANANNYA TIDAK DIJAWAB OLEH RESPONDEN
4 – Design Final
VI.A. OBAT dan OBAT TRADISIONAL (OT) DI RUMAH TANGGA 1
VI. FARMASI DAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL
Apakah di rumah tangga ini sekarang menyimpan obat dan/atau obat tradisional untuk pengobatan sendiri
1.Ya
2.TidakPVI.B
JIKA JAWABAN ‘YA’, MINTA IZIN PADA RESPONDEN UNTUK MELAKUKAN OBSERVASI OBAT/OT DAN MENANYAKAN PEMANFAATANNYA. CATAT MAKSIMAL 18 OBAT/OT YANG DISIMPAN Jenis [KODE]
Obat/OT digunakan untuk penyakit/keluhan: [KODE]
Dibeli/diperoleh dari mana? [KODE]
Apakah dibeli dengan resep dokter? 1. Ya 2. Tidak
“Status” Obat/OT di Rumah Tangga [KODE]
Biasanya digunakan untuk pengobatan berapa lama? [KODE]
Penilaian terhadap kondisi obat/OT yang disimpan [KODE]
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Nama Obat/OT
(1)
(2)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
GUNAKAN HALAMAN 6 APABILA JUMLAH OBAT/OT YANG DISIMPAN > 9 MACAM Kode Kolom 3 1 = Obat keras (logo merah bertanda K) 2 = Obat bebas/terbatas (logo hijau/biru) 3.= Antibiotika 4 = Obat “telanjang”, tanpa logo 5 = Obat Tradisional 8 = Tidak tahu
Kode Kolom 4 01= influenza, pilek, masuk angin 02= batuk, sakit tenggorokan 03= asma, bengek, sesak napas 04= nyeri/pegal2,rematik, asam urat, sakit .kepala, sakit .gigi 05= demam 06= tuberkulosis 07= malaria 08= infeksi kulit, luka 09= alergi, gatal-gatal 10= darah tinggi 11= kencing manis/diabetes 12= peny.jantung & pembuluh darah 13= KB, memperlancar haid
Kode kolom 5
14= diare 15= sembelit, wasir (ambeien) 16= sakit maag,kembung 17= mual, muntah 18= sakit mata 19= sakit telinga 20= sariawan, bibir pecah2 21= vitamin, suplemen, tonikum, kebugaran/kesehatan 22= kecacingan 23= infeksi virus (DBD, campak, hepatitis, dsb) 24= gangguan tiroid (hiper/hipotiroid) 25= dislipidemia, menurunkan kolesterol 26= lainnya 88= tidak tahu
1= apotek 2= toko obat/warung 3= pemberian orang lain 4= pelayanan kesehatan formal (puskesmas, RS, klinik) 5= Nakes (dokter, apoteker, bidan, mantri,perawat) 6= pelayanan kesehatan Tradisional 7= penjual jamu/OT keliling
5 – Design Final
Kode kolom 7 1= sedang digunakan untuk pengobatan saat ini 2= obat sisa pengobatan sebelumnya 3= disimpan untuk persediaan jika sakit
Kode Kolom 8 1 = 1 – 3 hari 2 = 4 – 7 hari 3 = Lebih dari 7 hari 4 = Lebih dari sebulan/rutin 5 = kalau perlu saja 8 = tidak tahu
Kode Kolom 9 1= Baik (wadah bersih dan kemasan tertutup rapat, dan utuh, dan kondisi obat tidak basah/ tidak lembab, dan jika obat cair tidak ada gumpalan, dan jika obat krim atau suspensi tidak pecah atau memisah, dan jika obat tradisional jamu yang berbentuk segar dibuat baru/recentus paratus, dan etiket/label jelas) 2= Tidak baik (wadah kotor, kemasan tidak utuh; kondisi obat basah, lembab,keruh, ada endapan/pemisahan, etiket/label tidak jelas, dan kadaluarsa)
VI.A. OBAT dan OBAT TRADISIONAL (OT) DI RUMAH TANGGA {LANJUTAN} Jenis [KODE]
Obat/OT digunakan untuk penyakit/keluhan: [KODE]
Dibeli/diperoleh dari mana? [KODE]
Apakah dibeli dengan resep dokter? 1. Ya 2. Tidak
“Status” Obat/OT di Rumah Tangga [KODE]
Biasanya digunakan untuk pengobatan berapa lama? [KODE]
Penilaian terhadap kondisi obat/ OT yang disimpan [KODE]
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Kode kolom 7
Kode Kolom 8
Kode Kolom 9
Nama Obat/OT
(1)
(2)
10 11 12 13 14 15 16 17 18 Kode Kolom 3 1 = Obat keras (logo merah bertanda K) 2 = Obat bebas/terbatas (logo hijau/biru) 3.= Antibiotika 4 = Obat “telanjang”, tanpa logo 5 = Obat Tradisional 8 = Tidak tahu
Kode Kolom 4 01= influenza, pilek, masuk angin 02= batuk, sakit tenggorokan 03= asma, bengek, sesak napas 04= nyeri/pegal2,rematik, asam urat, sakit kepala, sakit gigi 05= demam 06= tuberkulosis 07= malaria 08= infeksi kulit, luka 09= alergi, gatal-gatal 10= darah tinggi 11= kencing manis/diabetes 12= peny.jantung & pembuluh darah 13= KB, memperlancar haid
Kode kolom 5
14= diare 15= sembelit, wasir (ambeien) 16= sakit maag,kembung 17= mual, muntah 18= sakit mata 19= sakit telinga 20= sariawan, bibir pecah2 21= vitamin, suplemen, tonikum, kebugaran/kesehatan 22= kecacingan 23= infeksi virus (DBD, campak, hepatitis, dsb) 24= gangguan tiroid (hiper/hipotiroid) 25= dislipidemia, menurunkan kolesterol 26= lainnya 88= tidak tahu
1= apotek 2= toko obat/warung 3= pemberian orang lain 4= pelayanan kesehatan formal (puskesmas, RS, klinik) 5= Nakes (dokter, apoteker, bidan, mantri,perawat) 6= pelayanan kesehatan tradisional 7= penjual jamu/OT keliling
6 – Design Final
1= sedang digunakan untuk pengobatan saat ini 2= obat sisa pengobatan sebelumnya 3= disimpan untuk persediaan jika sakit
1 = 1 – 3 hari 2 = 4 – 7 hari 3 = Lebih dari 7 hari 4 = Lebih dari sebulan/rutin 5 = kalau perlu saja 8 = tidak tahu
1= Baik (wadah bersih dan kemasan tertutup rapat, dan utuh, dan kondisi obat tidak basah/ tidak lembab, dan jika obat cair tidak ada gumpalan, dan jika obat krim atau suspensi tidak pecah atau memisah, dan jika obat tradisional jamu yang berbentuk segar dibuat baru/recentus paratus, dan etiket/label jelas) 2= Tidak baik (wadah kotor, kemasan tidak utuh; kondisi obat basah, lembab, keruh, ada endapan/ pemisahan, etiket/label tidak jelas, dan kadaluarsa)
VI.B. PENGETAHUAN TENTANG OBAT GENERIK 1
Apakah Anda mengetahui tentang Obat Generik?
2
Apa saja yang Anda ketahui mengenai Obat Generik (OG) (POINT a – g DIBACAKAN) ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK ATAU 8=TIDAK TAHU a. Obat gratis b. Obat murah
1. Ya
c. Obat bagi pasien miskin d. Obat yang dapat dibeli di warung
2. TidakPVI.C
e. Obat tanpa merek dagang f. Khasiatnya sama dengan obat bermerek g.Obat Program Pemerintah
3
Dari manakah Anda mendapatkan informasi mengenai Obat Generik ? (POINT a-f TIDAK DIBACAKAN) ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK
a. Media cetak (koran, leaflet, brosur) b. Media elektronik (radio, tv, internet) c. Tenaga Kesehatan
d. Kader , Tokoh Masyarakat e. Teman, kerabat f. Pendidikan (sekolah, kursus dll.)
VI.C. PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL 1 2
(1)
1.Ya Apakah rumah tangga ini pernah berobat ke Pelayanan kesehatan tradisional dalam 1 tahun 2.Tidak Blok VII terakhir? Alasan utama memanfaatkan Jenis Pelayanan kesehatan tradisional 1. Ya pelayanan kesehatan tradisional (DIBACAKAN) 2. Tidak lanjut ke baris berikutnya (TIDAK DIBACAKAN) [LIHAT KODE KOLOM 4]
(2)
a.
Pelayanan kesehatan tradisional ramuan (Jamu, aromaterapi, gurah, homeopati, spa)
b.
Pelayanan kesehatan tradisional keterampilan menggunakan alat (Akupunktur, Chiropraksi, Kop/Bekam, Apiterapi, Ceragem, Akupresur)
c.
Pelayanan kesehatan tradisional keterampilan tanpa alat (Pijat – urut, Pijat - urut bayi, Patah Tulang, Refleksi)
d.
Pelayanan kesehatan tradisional keterampilan dengan pikiran (Hipnoterapi, Meditasi, Prana, Tenaga dalam)
(3)
(4)
Kode Kolom 4: Alasan Memanfaatkan Pelayanan Kesehatan Tradisional 1.Tradisi/kepercayaan 4. Lebih manjur 7. Biaya murah 2. Putus asa dengan pengobatan moderen 5. Penyakit belum parah 8. Coba-coba 3. Tidak ada sarana pelayanan kesehatan lainnya 6. Lebih aman 9. Menjaga kesehatan/kebugaran
VII. GANGGUAN JIWA BERAT DALAM KELUARGA 1
Apakah ada ART yang pernah menderita gangguan jiwa?
1. Ya 2. Tidak Blok VIII
2
Apakah ART menderita gangguan jiwa berat (Skizofrenia/Psikosis)?
1. Ya 2. Tidak Blok VIII
3
Apakah ART pernah didiagnosis menderita gangguan jiwa berat (Skizofrenia/Psikosis) oleh tenaga kesehatan?
1. Ya 2. Tidak
4
Jika No 2 dan/atau No 3 ya, berapa ART?
5
Apakah pernah berobat ke Rumah Sakit Jiwa dan atau tenaga kesehatan
1. Ya
2. Tidak
6
Apakah pernah dipasung/diasingkan/dikekang atau tindakan mirip pasung?
1. Ya
2. Tidak
------------- orang
7 – Design Final
VIII. KESEHATAN LINGKUNGAN 1
2
3
a. Jenis sumber air yang utama untuk seluruh keperluan rumahtangga: 1. Air ledeng/PDAM 4.Sumur gali terlindung 2. Air ledeng eceran/membeli 5. Sumur gali tak terlindung 3. Sumur bor/pompa 6. Mata air terlindung
b. Berapa jumlah pemakaian air untuk seluruh keperluan rumah tangga seperti untuk minum, masak, ........ liter/hari MCK, dan keperluan lainnya (misalnya menyiram tanaman, mencuci, dll) dalam sehari semalam? Jenis sumber air utama untuk kebutuhan minum? 01. Air kemasan 05. Sumur bor/pompa 09. Mata air tidak terlindung 02. Air isi ulang 06. Sumur gali terlindung 10. Penampungan air hujan 03. Air ledeng/PDAM 07. Sumur gali tak terlindung 11. Air sungai/danau/irigasi 04. Air ledeng eceran/membeli 08. Mata air terlindung
a. Apakah [RUMAH TANGGA] melakukan pengolahan air minum sebelum diminum?
1.Ya
b. Bagaimana cara pengolahan air sebelum diminum/ konsumsi oleh rumah tangga 1. Dengan pemanasan/dimasak 3. Ditambah larutan tawas/klorin 2. Dengan penyinaran matahari/UV 4.Disaring dan ditambah larutan tawas/klorin c. Apa jenis sarana/tempat penyimpanan air siap minum? 1. Dispenser 3. Kendi 2. Teko/ceret/termos/jerigen 4. Ember/panci tertutup 4
6
2. Tidak P.3c
5. Disaring/filtrasi saja 5. Ember/panci terbuka
c. Berasa
b. Berwarna
d. Berbusa
e. Berbau
Bila jawaban P2 = 05 s.d 09 (pompa/sumur/mata air), berapa jarak ke tempat penampungan kotoran/ tinja terdekat? 1. <10 meter 2.≥10 meter 8. Tidak tahu Berapa jarak dan lama waktu yang diperlukan untuk memperoleh air kebutuhan minum? a. Jarak :
1. Dalam rumah
b. Waktu: 1. < 6 menit
2. <=100 meter
3. 101-1000 meter
4. >1000 meter
2. 6-30 menit
3. 31-60 menit
4. >60 menit
Bila jawaban P.6a = 2 s.d 4, siapa yang biasanya mengambil air untuk kebutuhan minum tersebut dari sumbernya? 1. Orang dewasa perempuan 3. Anak perempuan (di bawah 15 tahun) 2. Orang dewasa laki-laki 4. Anak laki-laki (di bawah 15 tahun)
8
Apa jenis tempat pengumpulan/ penampungan sampah basah (organik) di dalam rumah? (BACAKAN POINT a DAN b)
10
11 12 13 14
a. Tempat sampah tertutup
1. Ya
2. Tidak
b. Tempat sampah terbuka
1. Ya
2. Tidak
Bagaimana cara penanganan sampah 1. Diangkut petugas 3. Dibuat kompos 5. Dibuang ke kali/ parit/ laut 2. Ditimbun dalam tanah 4. Dibakar 6. Dibuang sembarangan rumah tangga? Dimana tempat pembuangan air limbah dari kamar mandi/ tempat cuci/ dapur? 1. Penampungan tertutup di pekarangan/ SPAL 3. Penampungan di luar pekarangan 2. Penampungan terbuka di pekarangan 4. Tanpa penampungan (di tanah) 5. Langsung ke got/ sungai P.12 1. Sendiri/ rumahtangga Bagaimana sarana pembuangan air limbah dari kamar mandi /dapur/ tempat cuci? 2. Bersama/ komunal Apa jenis bahan bakar/energi utama yang digunakan 1. Listrik 3. Minyak tanah untuk memasak? 2. Gas/elpiji 4. Arang/briket/batok kelapa 5. Kayu bakar Apakah [RUMAH TANGGA] selama sebulan yang lalu menggunakan/ menyimpan pestisida/ 1.Ya 2. Tidak insektisida/ pupuk kimia di dalam rumah Apa yang biasa [RUMAH TANGGA] lakukan selama ini untuk mencegah penularan penyakit akibat gigitan nyamuk? (JAWABAN TIDAK DIBACAKAN, LAKUKAN PROBING). ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK a.Tidur menggunakan kelambu b.Memakai obat nyamuk bakar/elektrik c.Ventilasi menggunakan kasa nyamuk
d.Menggunakan repelen/ bahan-bahan pencegah gigitan nyamuk e.Rumah disemprot obat nyamuk/insektisida f. Minum obat pencegahan bila bermalam di daerah endemis malaria
15
Berapa kali [RUMAH TANGGA] menguras bak mandi dalam seminggu?
1. Sekali 2. Lebih dari satu kali
16
Apakah rumah tinggal berada di daerah kumuh? (OBSERVASI) 8 – Design Final
3. Tidak pernah 7.Tidak Berlaku (jika tidak menggunakan bak) 1. Ya
2. Tidak
b. a. b. a.
7
9
Bagaimana kualitas fisik air minum? (BACAKAN dan OBSERVASI POINT a SAMPAI DENGAN e) ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK a. Keruh
5
7. Mata air tidak terlindung 8. Penampungan air hujan 9. Air sungai/danau/irigasiP.2
IX. PEMUKIMAN DAN EKONOMI 1.
2.
3.
Apakah status penguasaan bangunan tempat tinggal yang ditempati?
1. Milik sendiri 2. Kontrak 3. Sewa
a. Luas Lantai bangunan rumah
…………………..m2
b. Jumlah orang yang tinggal dalam satu bangunan rumah
........................ orang
Keadaan ruangan dalam rumah (OBSERVASI) Penggunaan Kebersihan Jenis Ruangan
1=Terpisah 2=Tidak Terpisah
1=Bersih, 2=Tidak bersih
(1)
(2)
(3)
a. Tidur b. Masak/dapur c. Keluarga 4.
Ketersediaan jendela 1=Ada, dibuka tiap hari; 2=Ada, jarang dibuka; 3=Tidak ada
1. Keramik/ ubin/ marmer/ semen 2. Semen plesteran retak
5
Jenis dinding terluas:
6
Jenis plafon/langit-langit rumah terluas:
7
Apa jenis sumber penerangan rumah?
8
a. Penggunaan fasilitas tempat buang air besar sebagian besar anggota rumah tangga: b. Jenis kloset yang digunakan:
Ventilasi
Pencahayaan alami
1=Ada, luasnya>=10% luas lantai; 2=Ada, luasnya <10% luas lantai; 3=Tidak ada
1. Tembok 2. Kayu/ papan/ triplek 1. Beton 2. Gypsum 3. Asbes/GRC board
(6)
3. Papan/ bambu/ anyaman bambu/ rotan 4. Tanah 3. Bambu 4. Seng 4. Kayu/ tripleks 5. Anyaman bambu 6. Tidak ada
1. Listrik PLN 2. Listrik Non-PLN
3. Petromaks/ aladin 4. Pelita/ sentir/ obor 1. Milik sendiri 2. Milik bersama
1. Leher angsa 2. Plengsengan
1=Cukup 2=Tidak cukup
(5)
5. Lainnya
3. Umum 4. Tidak ada P.8c
3. Cemplung/ cubluk/ lubang tanpa lantai 4. Cemplung/ cubluk/ lubang dengan lantai
c. Tempat pembuangan akhir tinja:
9
1. Tangki septik 3. Kolam/sawah 5. Lubang tanah 7. Lainnya 2. SPAL 4. Sungai/danau/laut 6. Pantai/tanah lapang/kebun Apakah [RUMAH TANGGA] memiliki barang-barang sebagai berikut: a. Sepeda
1. Ya
2. Tidak
b. Sepeda Motor
1. Ya
2. Tidak
c. Perahu
1. Ya
2. Tidak
d. TV/TV Kabel
1. Ya
2. Tidak
e. AC
1. Ya
2. Tidak
f. Pemanas Air
1. Ya
2. Tidak
g. Tabung gas 12 kg atau lebih
1. Ya
2. Tidak
h. Lemari Es/ Kulkas
1. Ya
2. Tidak
i. Perahu Motor
1. Ya
2. Tidak
j. Mobil
1. Ya
2. Tidak
1. Ya
2. TidakP.12
10
Apakah [RUMAH TANGGA] mendapat pelayanan kesehatan gratis selama 1 tahun terakhir dengan menggunakan kartu tanpa iuran kepersertaan?
11
Jika Ya, kartu/ surat yang digunakan:
12
Apakah [RUMAH TANGGA] pernah membeli/ mendapat beras miskin (raskin) selama 1 tahun terakhir?
1. Jamkesmas/ Jamkesda 2. Kartu PKH
9 – Design Final
(4)
Jenis lantai rumah terluas:
4. Bebas sewa (milik orang lain) 5. Bebas sewa (milik orang tua/sanak/saudara 6. Rumah dinas 7. Lainnya
3. Surat Keterangan Tidak Mampu 4. Kartu Sehat 1. Ya
2. Tidak
CATATAN
10 – Design Final
REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIANKESEHATAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
RISET KESEHATAN DASAR 2013
RAHASIA
RKD13. IND
PERTANYAAN RUMAH TANGGA DAN INDIVIDU PENGENALAN TEMPAT
Prov
Kab/Kota
Kec
Desa/Kel
D/K
Nomor Kode Sampel
No Bangunan Sensus
No.Urut RT
Kutip dari Blok I PENGENALAN TEMPAT RKD13.RT
X.KETERANGAN WAWANCARA INDIVIDU 1 2
Tanggal kunjungan pertama: Tgl -Bln-Thn Tanggal kunjungan akhir: Tgl -Bln-Thn
-- --
3 Nama Pengumpul data 4 Tanda tangan Pengumpul data
XI. KETERANGAN INDIVIDU IDENTIFIKASI RESPONDEN 1
Tuliskan nama dan nomor urut Anggota Rumah Tangga (ART)
Nama ART ……………………
Nomor urut ART:
NO URUT ART UNTUK PERTANYAAN XI.2, XI,3, XI.4 JIKA BUKAN ART DALAM RUTA INI ISIKAN KODE ‘00’ 2
Tuliskan nama dan nomor urut Ayah kandung
Nama ART ……………………
3
Tuliskan nama dan nomor urut Ibu kandung
Nama ART ……………………
4
Untuk ART < 15 tahun/ kondisi sakit/ orang tua yang perlu didampingi, tuliskan nama dan nomor urut ART yang mendampingi
Nama ART ……………………
Nomor urut ART: Nomor urut ART: Nomor urut ART:
A. PENYAKIT MENULAR [NAMA] pada pertanyaan di bawah ini merujuk pada NAMA yang tercatat pada pertanyaan XI.1 PERTANYAAN BAGIAN A01 – A23 DITANYAKAN PADA SEMUA UMUR INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) A01 Dalam 1 bulan terakhir, apakah [NAMA] pernah didiagnosis ISPA (panas, batuk pilek, 1. Ya A03 radang tenggorokan) oleh tenaga kesehatan (dokter/ perawat/ bidan)? 2. Tidak 8. Tidak tahu A02 Dalam 1 bulan terakhir, apakah [NAMA] pernah menderita panas disertai batuk 1. Ya berdahak/ kering atau pilek? 2. Tidak 8. Tidak tahu DIARE/ MENCRET A03 Apakah [NAMA] pernah didiagnosis menderita Diare oleh tenaga kesehatan (dokter/ 1. Ya, dalam≤ 2 minggu terakhirA05 perawat/ bidan)? 2. Ya, > 2 minggu – 1 bulanA05 3. Tidak 8.Tidak tahu A04 Apakah [NAMA] pernah menderita buang air besar lebih dari 3 kali dalam sehari dengan 1. Ya, dalam ≤ 2 minggu terakhir kotoran/ tinja lembek atau cair? 2. Ya, > 2 minggu – 1 bulan 3. Tidak A06 8. Tidak tahu A06 A05 Apakah [NAMA] minum obat untuk penyakit/ keluhan diare tersebut? (BACAKAN POINT PERTANYAAN) ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK a. Oralit
b. Obat resep dokter
c. Obat bebas anti diare d. Obat tradisional 1 – Design Final
e. Obat zinc (untuk balita) f. Obat diare lainnya
PNEUMONIA/RADANG PARU A06 Apakah [NAMA] pernah didiagnosis menderita radang paru (Pneumonia) dengan atau tanpa dilakukan foto dada (foto rontgen) oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan)? A07 A08
1. Ya, dalam ≤ 1 bulan terakhir A09 2. Ya, > 1 bulan – 12 bulan A09
Apakah [NAMA] mengalami gejala penyakit demam, batuk, kesulitan bernapas dengan atau tanpa nyeri dada ?
3. Tidak 8.Tidak tahu
1. Ya, dalam ≤ 1 bulan terakhir 2. Ya, > 1 bulan – 12 bulan
3. TidakA09 8. Tidak tahuA09 Bila ya, bagaimana kesulitan napas yang dialami?(BACAKAN POINT PERTANYAAN DAN PERLIHATKAN GAMBAR) ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK a.
Napas cepat
b.
Napas cuping hidung
1. Ya, dalam ≤ 1 bulan terakhir 2. Ya, > 1 bulan – 12 bulan
3. TidakA14 8. Tidak tahu A14
1. Malaria tropica (P. falciparum) 2. Malaria tertiana (P. vivax)
4. Malaria lainnya 8. Tidak tahu
A11
Apakah [NAMA] mendapat pengobatan obat program kombinasi artemisinin (ACT, lihat alat peraga)?
A12
Kapan[NAMA] mendapat pengobatan obat program kombinasi artemisinin (ACT) tersebut
1. Ya 8. Tidak tahuA16 2. TidakA16 1. dalam 24 jam pertama menderita panas 2. Lebih dari 24 jam pertama menderita panas
A13
Apakah [NAMA] diberi pengobatan kombinasi artemisinin (ACT) selama 3 hari?
1. Ya, diminum habis dalam 3 hari 2. Ya, diminum tidak habis dalam 3 hari
A15
c. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
MALARIA A09 Apakah [NAMA] pernah didiagnosis menderita Malaria yang sudah dipastikan dengan pemeriksaan darah oleh tenaga kesehatan (dokter/ perawat/ bidan)? A10 Jenis malaria apa yang ditemukan dalam pemeriksan darah? (JAWABAN BISA > 1, JIKA > 1 JUMLAHKAN KODE JAWABAN)
A14
LANJUT KE A16 Apakah [NAMA] pernah menderita panas disertai menggigil atau panas naik turun secara berkala, dapat disertai sakit kepala, berkeringat,mual, muntah? Dalam 1 bulan terakhir, apakah [NAMA] pernah minum obat anti malaria dengan atau tanpa gejala panas?
3. Tidak
1. Ya, dalam ≤ 1 bulan terakhir 2. Ya, > 1 bulan – 12 bulan 1. Ya
2. Tidak
3. Tidak 8. Tidak tahu 8. Tidak tahu
TUBERKULOSIS PARU (TB PARU) 1. Ya, < 2 minggu 3. TidakA18
2. Ya, ≥ 2 minggu
A16
Apakah akhir-akhir ini [NAMA] batuk?
A17
Jika ya, apakah batuk tersebut disertai gejala ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK a. Dahak b. Darah/ Dahak bercampur darah
c. Demam d. Nyeri dada e. Sesak nafas
f. Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik g. Nafsu makan menurun h. Berat badan menurun/ sulit bertambah
A18
Apakah [NAMA] pernah didiagnosis TB Paru oleh tenaga kesehatan
A19
Hasil Pemeriksaan apa yang digunakan untuk menegakkan diagnosis ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA 2=TIDAK 3= TIDAK DIPERIKSA a. Pemeriksaan dahak menunjukkan TB
A20
1. Ya, dalam ≤ 1 tahun terakhir 2. Ya, > 1 tahun
3. TidakA21
4. TUNGGU HASIL
8. TIDAK TAHU
b. Pemeriksaan foto dada (Rontgen) menunjukkan TB
Apakah mendapat obat anti TB (OAT) LIHAT ALAT PERAGA
1. Ya
2. Tidak
1. Ya
2. TidakA23 8. Tidak tahuA23
HEPATITIS/ SAKIT LIVER/ SAKIT KUNING A21
Dalam 12 bulan terakhir, apakah [NAMA] pernah didiagnosis menderita sakit liver (Hepatitis) melalui pemeriksaan darah oleh tenaga kesehatan (dokter/ perawat/ bidan)?
A22
Jenis hepatitis yang [NAMA] derita menurut tenaga kesehatan (dokter/ perawat/ bidan) adalah? 1. Hepatitis A B01 3. Hepatitis C B01 2. Hepatitis B B01 4. Hepatitis lainnya B01
A23
Dalam 12 bulan terakhir apakah [NAMA] pernah menderita demam, lemah, mata atau kulit berwarna kuning, gangguan saluran cerna (mual, muntah, tidak nafsu makan), nyeri pada perut kanan atas, disertai urin warna seperti air teh pekat? 2 – Design Final
8. Tidak tahu B01
1. Ya 2. Tidak 8. Tidak tahu
B. PENYAKIT TIDAK MENULAR ASMA/ MENGI/ BENGEK dan PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) ---- (PERTANYAAN B01 – B05 UNTUK SEMUA UMUR) B01
Apakah [NAMA] pernah mengalami gejala sesak napas
B02
Apakah gejala sesak napas tersebut terjadi pada kondisi berikut: ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK a. terpapar udara dingin b. debu
B03
1. Ya
c. asap rokok d. stres
e. flu atau infeksi f. kelelahan
2. Tidak B07
g. alergi obat h. alergi makanan
Apakah gejala sesak napas disertai kondisi di bawah ini:ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK
c.sesak napas berkurang atau menghilang tanpa pengobatan napas lebih berat dirasakan pada malam hari atau d.sesak menjelang pagi
a. Mengi b.sesak napas berkurang atau menghilang dengan pengobatan B04
Umur berapa mulai merasakan keluhan sesak pertama kali?
................Tahun
B05
Apakah sesak napas [NAMA] pernah kambuh dalam 12 bulan terakhir?
1. Ya
2. Tidak
PERTANYAAN B06 DITANYAKAN JIKA ≥ 30 Tahun B06 Apakah dalam satu bulan terakhir [NAMA] mengalami gejala-gejala sebagai berikut? ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1 = YA ATAU 2=TIDAK
a.Batuk berdahak
b.Sesak napas bertambah ketika beraktifitas
c. Sesak napas bertambah dengan meningkatnya usia
KANKER (UNTUK SEMUA UMUR) B07
Apakah [NAMA] pernah didiagnosis menderita penyakit kanker oleh dokter?
1.Ya
B08
Kapan [NAMA] didiagnosis kanker tersebut pertama kali?
Tahun ..............
B09
Kanker apa yang [NAMA] alami? a. Kanker leher rahim (cervix uteri) b. Kanker payudara
ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK ATAU 7=TIDAK BERLAKU
d. Kanker kolorektal/usus besar e. Kanker paru dan bronkus
g. Kanker getah bening h. Kanker darah/leukemia
i. Kanker lainnya, sebutkan …...………………………… Apakah [NAMA] telah menjalani pengobatan kanker seperti di bawah ini :ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK c. Kanker prostat
B10
2.Tidak B11
a.pembedahan/operasi
f. Kanker nasofaring
c.Kemoterapi b.Radiasi/penyinaran
d. Lainnya, Sebutkan ………
JIKA ART BERUMUR 15 TAHUN KE PERTANYAAN B12 JIKA ART BERUMUR <15 KE BLOK C
B11
PENYAKIT KENCING MANIS (DIABETES MELITUS) UNTUK ART > 15 TAHUN B12
Apakah [NAMA] pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter?
B13
Apakah [NAMA] saat ini melakukan hal-hal dibawah ini untuk mengendalikan penyakit kencing manis ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK a.Diet
B14
b.Olah Raga
c.Minum Obat anti diabetik
1. Ya
2.TidakB14
d.Injeksi insulin
d. Berat badan turun
Apakah [NAMA] dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala: (BACAKAN POINT a - d) ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2 =TIDAK a. Sering lapar
b. sering haus
c. sering buang air kecil & jumlah banyak
PENYAKIT HIPERTIROID (ART UMUR 15 TAHUN) B15
Apakah [NAMA] pernah didiagnosis hipertiroid oleh dokter?
1. Ya
2. Tidak
B16
Apakah [NAMA] mengalami pembesaran kelenjar gondok di leher? (berdasarkan laporan responden dan/ atau observasi)
1. Ya
2. Tidak
B17
Apakah [NAMA] dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala:
a. Jantung berdebar-debar
1. Ya
2. Tidak
b. berkeringat banyak
1. Ya
2. Tidak
3 – Design Final
HIPERTENSI / TEKANAN DARAH TINGGI (ART UMUR 15 TAHUN) B18 Apakah [NAMA] pernah didiagnosis menderita hipertensi/ penyakit tekanan darah tinggi oleh tenaga kesehatan (dokter/ perawat/ bidan)?
2. TidakB20
B19
Kapan didiagnosis pertama kali
Tahun ..............
B20
Apakah saat ini [NAMA] sedang minum obat medis untuk tekanan darah tinggi
1. Ya
PENYAKIT JANTUNG KORONER (ART UMUR 15 TAHUN) B21 Apakah [NAMA] pernah didiagnosis menderita penyakit jantung koroner (Angina Pektoris dan/atau Infark Miokard) oleh dokter? B22
Kapan didiagnosis pertama kali?
B23
Apakah [NAMA] pernah mengalami gejala/ riwayat:
2. Tidak
1. Ya
1. Ya
2. Tidak B23
Tahun ..............
a. Nyeri di dalam dada/ rasa tertekan berat/ tidak nyaman di dada b. Nyeri / tidak nyaman di dada dirasakan di dada bagian tengah / dada kiri depan / menjalar ke lengan kiri c. Nyeri / tidak nyaman di dada dirasakan ketika mendaki/ naik tangga /berjalan tergesa-gesa
d. Nyeri/ tidak nyaman di dada hilang ketika menghentikan aktifitas/ istirahat?
1. Ya
2. Tidak B24
1. Ya
2. Tidak
1. Ya
2. Tidak
1. Ya
2. Tidak
PENYAKIT GAGAL JANTUNG (ART UMUR 15 TAHUN) B24
Apakah [NAMA] pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung (Decompensatio Cordis) oleh dokter ?
B25
Kapan didiagnosis pertama kali?
B26
Apakah [NAMA] mengalami gejala/ riwayat:
2. Tidak B26
a. Sesak napas pada saat aktifitas
1. Ya
2. Tidak
b. Sesak napas saat tidur terlentang tanpa bantal
1. Ya
2. Tidak
c. Kapasitas aktivitas fisik menurun/ mudah lelah
1. Ya
2. Tidak
d. Tungkai bawah bengkak
1. Ya
2. Tidak
1. Ya
2. Tidak
1. Ya
2. Tidak
PENYAKIT GINJAL (ART UMUR 15 TAHUN) B27 Apakah [NAMA] didiagnosis menderita penyakit gagal ginjal kronis (minimal sakit selama 3 bulan berturut-turut) oleh dokter? B28
Tahun ................ 1. Ya
Apakah [NAMA] pernah didiagnosis mengalami penyakit batu ginjal oleh dokter?
PENYAKIT SENDI / REMATIK / ENCOK (ART UMUR 15 TAHUN) B29 Apakah [NAMA] pernah didiagnosis menderita penyakit sendi/ rematik/ encok oleh tenaga 1. Ya 2. Tidak kesehatan (dokter/ perawat/ bidan)? B30 Apakah [NAMA] ketika bangun tidur pagi hari pernah menderita (bacakan pilihan jawaban a-d) di persendian yang timbul bukan karena kecelakaan? ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK a. Sakit/ Nyeri
b. Merah
c. Kaku
d.Bengkak
STROKE (ART UMUR 15 TAHUN) B31
Apakah [NAMA] pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan (dokter/ perawat/ bidan)?
1. Ya
B32
Kapan didiagnosis pertama kali?
Tahun ................
B33
Apakah [NAMA] pernah mengalami keluhan secara mendadak seperti di bawah ini: ISIKAN KODE JAWABAN 1=YA ATAU 2=TIDAK a. kelumpuhan pada satu sisi tubuh b. kesemutan atau baal satu sisi tubuh c. mulut menjadi mencong tanpa kelumpuhan otot mata
2. TidakB33
d. bicara pelo e. Sulit bicara/ komunikasi dan atau tidak mengerti pembicaraan
4 – Design Final
C.CEDERA (UNTUK SEMUA UMUR) C01
Dalam 12 bulan terakhir, apakah [NAMA] pernah mengalami peristiwa (seperti kecelakaan, kekerasan, jatuh) yang mengakibatkan cedera SEHINGGA KEGIATAN SEHARI-HARI TERGANGGU?
1. Ya 2. Tidak D01
C02
Dalam 12 bulan terakhir, berapa kali [NAMA] mengalami cedera?
...................... kali
C03
Apakah dirawat ?
1.Ya 2.Tidak point berikutnya
b. Pengobat tradisional
Lama rawat jalan (hari)
Lama rawat inap (hari)
a. Tenaga kesehatan
c. Diobati sendiri
APABILA KEJADIAN CEDERA LEBIH DARI 1 KALI, TANYAKAN CEDERA YANG PALING PARAH MENURUT PENGAKUAN RESPONDEN C04
Bagian tubuh yang terkena cedera: (BACAKAN POINT a SAMPAI DENGAN f) ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK a. Kepala b. Dada
C05
d. Perut/ organ dalam
c. Patah tulang d. Terkilir, teregang
C08
C09
C10
e. Anggota gerak atas f. Anggota gerak bawah
e. Anggota tubuh terputus
g. Gegar otak
h.Lainnya, tuliskan b. Luka iris/ robek f. Cedera mata ……………………. Apakah cedera yang terjadi mengakibatkan kecacatan fisik yang permanen pada bagian tubuh seperti dibawah ini? (BACAKAN POINT a SAMPAI DENGAN c) ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK a. Panca indera tidak berfungsi (buta, tuli, bisu, dll)
C07
c. Punggung
Tempat terjadinya cedera: 1. Rumah dan Lingkungannya 2. Lingkungan sekolah 3. Tempat Olah Raga
b. Kehilangan sebagian anggota badan (jari/tangan/kaki putus, dll) c. Bekas luka permanen yang mengganggu kenyamanan
4. Jalan Raya 5. Area bisnis/jasa/perkantoran/tempat umum 6. Area industri & konstruksi
7. Area Pertanian 8. Lainnya, tuliskan............
Penyebab cedera: 6. Tergigit/ tersengat/ diserang hewan C10 1. Kecelakaan transportasi darat sepeda motor C09 2. Kecelakaan transportasi darat lainnyaC10 7. Kejatuhan/ terkena lemparan benda C10 3. Jatuh (terpeleset, terjatuh dari ketinggian) C10 8. Keracunan C10 4. Terkena benda tajam, tumpul, mesin, dsb C10 9.Lainnya, tuliskan.................... C10 5. Terbakar/ terkena air panas/ bahan kimia C10 Bila kecelakaan transportasi darat sepeda motor, apakah pengguna sepeda motor memakai helm? GUNAKAN KARTU PERAGA GAMBAR JENIS HELM 4. Tidak memakai helm 1. Memakai helm standar terkancing 2. Memakai helm standar tidak terkancing 7. Tidak berlaku (bukan pengendara sepeda motor, misal: pejalan kaki tertabrak sepeda motor) 3. Memakai helm tidak standar (helm untuk: sepeda, proyek, tentara) Penyebab cedera timbul karena kondisi: 1. Tindakan/ kejadian kekerasan 3. Bencana alam 2. Usaha bunuh diri 4. Kelalaian/ ketidaksengajaan 5. Lainnya D. GIGI DAN MULUT (SEMUA UMUR)
Dalam 12 bulan terakhir, apakah [NAMA] mempunyai masalah dengan gigi dan/ atau mulut?
1. Ya
2.Tidak D07
D02
Apakah [NAMA] merasa terganggu dengan masalah gigi dan/ atau mulut yang dialami?
1. Ya
2.Tidak D04
D04
Rata-rata, berapa lama aktivitas sehari-hari [NAMA] terganggu akibat masalah gigi dan/ atau mulut tersebut? Dalam 12 bulan terakhir, apakah [NAMA] menerima perawatan atau pengobatan gigi dan/ atau mulut? 5 – Design Final
D01
D03
Jenis cedera yang dialami: (BACAKAN POINT a SAMPAI DENGAN h) ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK a. Lecet/ lebam/ memar
C06
.................... Hari 1. Ya
2.TidakD07
D05
Kemana [NAMA] pergi berobat? ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK a. Dokter Gigi Spesialis b. Dokter Gigi
D06
c. Perawat Gigi d. Paramedik Lainnya
e.Tukang Gigi f. Lainnya, Sebutkan ..........
Jenis tindakan apa saja yang diterima [NAMA] untuk masalah gigi dan mulut ? (BACAKAN POINT a SAMPAI DENGAN l) ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK i. Pemasangan gigi tanam (implant a. Penumpatan e.Scaling denture) j. Konseling tentang perawatan b. Pengobatan f. Pemasangan gigi palsu lepas sebagian (protesa) kebersihan mulut c. Pencabutan d. Bedah Mulut
g. Pemasangan gigi palsu lepas penuh (full denture) h. Pemasangan gigi tiruan cekat
k. Perawatan ortodonsia l. Perawatan gusi/ periodontal treatment
PERTANYAAN D07 KHUSUS UNTUK ART UMUR > 12 TAHUN D07
Apakah (nama) telah kehilangan seluruh gigi asli?
1. Ya
2. Tidak
JIKA ART BERUMUR < 9 TAHUN LANJUT KE BLOK H. PEMBIAYAAN KESEHATAN JIKA ART BERUMUR 10–14 TAHUN LANJUT KE BLOK G. PENGETAHUAN SIKAP DAN PERILAKU JIKA ART BERUMUR ≥ 15 TAHUN LANJUT KE BLOK E. DISABILITAS/KETIDAKMAMPUAN E. DISABILITAS/ KETIDAKMAMPUAN (ART UMUR 15 TAHUN)
Sekarang saya akan menanyakan keadaan kesehatan menurut penilaian [NAMA] sendiri. Yang dimaksud dengan keadaan kesehatan disini adalah keadaan fisik dan mental [NAMA] E01
Selama 1 bulan terakhir, secara umum, bagaimana kondisi kesehatan [NAMA]?
1. Baik
2. Cukup
3. Buruk
BACAKAN: Untuk lebih mengerti kondisi kesehatan [NAMA] kami akan mengajukan 15 pertanyaan. Kalau [NAMA] kurang mengerti kami akan membacakan sekali lagi, namun kami tidak akan menjelaskan/ mendiskusikan. Jika [NAMA] ada pertanyaan akan kita bicarakan setelah selesai menjawab ke 15 pertanyaan. UNTUK PERTANYAAN E02 – E13 , BACAKAN PERTANYAAN & ALTERNATIF JAWABAN. ISIKAN KODE PILIHAN JAWABAN: 1. TIDAK ADA 2. RINGAN 3. SEDANG 4. BERAT 5. SANGAT BERAT E02 Dalam 1 bulan terakhir seberapa sulit [NAMA] untuk E08 Dalam 1 bulan terakhir seberapa sulit [NAMA] dapat berdiri dalam waktu lama misalnya 30 menit? berjalan jarak jauh misalnya 1 kilometer? E03 Dalam 1 bulan terakhir seberapa sulit [NAMA] untuk E09 Dalam 1 bulan terakhir seberapa sulit [NAMA] melaksanakan atau mengerjakan kegiatan rumah tangga membersihkan seluruh tubuhnya/ mandi? yang menjadi tanggung jawabnya? E04 Dalam 1 bulan terakhir seberapa sulit [NAMA] E10 Dalam 1 bulan terakhir seberapa sulit [NAMA] mempelajari/ mengerjakan hal-hal baru, seperti untuk mengenakan pakaian? menemukan tempat/alamat baru? E05 Dalam 1 bulan terakhir seberapa sulit [NAMA] dapat E11 Dalam 1 bulan terakhir seberapa sulit [NAMA] berperan serta dalam kegiatan kemasyarakatan berinteraksi/ bergaul dengan orang yang belum dikenal (misalnya dalam kegiatan arisan, pengajian, keagamaan, sebelumnya? atau kegiatan lain) seperti orang lain dapat melakukan? E06 Dalam 1 bulan terakhir seberapa besar masalah E12 Dalam 1 bulan terakhir seberapa sulit [NAMA] kesehatan yang dialami mempengaruhi keadaan emosi memelihara persahabatan? [NAMA]? E07 Dalam 1 bulan terakhir seberapa sulit [NAMA] E13 Dalam 1 bulan terakhir seberapa sulit [NAMA] memusatkan pikiran dalam melakukan sesuatu selama mengerjakan pekerjaan sehari-hari? 10 menit?
JIKA SEMUA JAWABAN E02-E13 BERKODE “1” BLOK F. KESEHATAN JIWA JIKA E02-E13 ADA YANG BERKODE “2”, “3”, “4”, “5” KE E14 UNTUK PERTANYAAN E14-E16 BACAKAN & ISIKAN JUMLAH HARI MENGALAMI KESULITAN E14
Dalam 1 bulan terakhir, berapa hari [NAMA] mengalami kesulitan tersebut?
E15
Dalam 1 bulan terakhir, berapa hari [NAMA] sama sekali tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari karena kondisi kesehatan? Dalam 1 bulan terakhir, tanpa menghitung hari [NAMA] mengalami total ketidakmampuan, berapa hari [NAMA] mengurangi kegiatan sehari-hari karena kondisi kesehatan?
E16
6 – Design Final
.…Hari .…Hari ...Hari
F. KESEHATAN JIWA (SEMUA ART UMUR 15 TAHUN) DITANYAKAN UNTUK KONDISI 1 BULAN TERAKHIR Untuk lebih mengerti kondisi kesehatan [NAMA] kami akan mengajukan 20 pertanyaan yang memerlukan jawaban ”Ya” atau “Tidak”. Kalau [NAMA] kurang mengerti kami akan membacakan sekali lagi, namun kami tidak akan menjelaskan/ mendiskusikan secara rinci Jika [NAMA] ada pertanyaan akan kita bicarakan setelah selesai menjawab ke 20 pertanyaan. UNTUK PERTANYAAN F01-F20, ISIKAN DENGAN KODE 1=YA ATAU 2=TIDAK Apakah [NAMA] merasa sulit untuk menikmati kegiatan F01 Apakah [NAMA] sering menderita sakit kepala? F11 sehari-hari? F02
Apakah [NAMA] tidak nafsu makan?
F03
Apakah [NAMA] sulit tidur?
F04
Apakah [NAMA] mudah takut?
F05
Apakah [NAMA] merasa tegang, cemas atau kuatir?
F06
Apakah tangan [NAMA] gemetar?
F07
Apakah pencernaan [NAMA] terganggu/ buruk?
F08
Apakah [NAMA] sulit untuk berpikir jernih?
F09
Apakah [NAMA] merasa tidak bahagia?
F10
Apakah [NAMA] menangis lebih sering?
F12
Apakah [NAMA] sulit untuk mengambil keputusan?
F13
Apakah pekerjaan [NAMA] sehari-hari terganggu?
F14
Apakah [NAMA] tidak mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam hidup?
F15
Apakah [NAMA] kehilangan minat pada berbagai hal?
F16
Apakah [NAMA] merasa tidak berharga?
F17
Apakah [NAMA] mempunyai pikiran untuk mengakhiri hidup?
F18
Apakah [NAMA] merasa lelah sepanjang waktu?
F19
Apakah [NAMA] mengalami rasa tidak enak di perut?
F20
Apakah [NAMA] mudah lelah?
JIKA SALAH SATU JAWABAN F01-F20 BERKODE ‘1=YA’ F21 JIKA SEMUA JAWABAN F01-F20 BERKODE ‘2=TIDAK’ BLOK G. PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU F21 F22
Untuk semua keluhan yang di sebutkan di atas (F1 s/d 20), apakah [NAMA] pernah melakukan pengobatan ke fasilitas kesehatan/ tenaga kesehatan? Untuk semua keluhan yang di sebutkan di atas (F1 s/d 20), apakah [NAMA] pernah melakukan pengobatan ke fasilitas kesehatan/ tenaga kesehatan dalam 2 minggu terakhir?
1. Ya
2.Tidak G
1. Ya
2.Tidak
G. PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU (SEMUA ART UMUR 10 TAHUN) PERILAKU HIGIENIS G01
Apakah [NAMA] selalu mencuci tangan pakai sabun? (BACAKAN POINT a SAMPAI DENGAN f) ISIKAN KODE JAWABAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK ATAU 7= TIDAK BERLAKU
d. Setelah menceboki bayi b. Setiap kali tangan kotor (memegang uang, binatang, berkebun) e. Setelah menggunakan pestisida/ insektisida c. Setelah buang air besar f. Sebelum menyusui bayi a. Sebelum menyiapkan makanan
G02
Dimana [NAMA] biasa buang air besar? (JAWABAN TIDAK DIBACAKAN) 1. Jamban 3. Sungai/danau/laut 2. Kolam/sawah/selokan 4. Lubang tanah
5. Pantai/tanah lapang/ kebun/ halaman
G03
Apakah [NAMA] biasa menyikat gigi setiap hari?
G04
Kapan saja [NAMA] menyikat gigi? (TIDAK DIBACAKAN POINT a SAMPAI DENGAN f) ISIKAN DENGAN KODE 1=YA ATAU 2=TIDAK a.Saat mandi pagi b.Saat mandi sore
1. Ya
c. Sesudah makan pagi d. Sesudah bangun pagi
2. Tidak G05
e. Sebelum tidur malam f. Sesudah makan siang
PENGGUNAAN TEMBAKAU G05
Apakah [NAMA] merokok selama 1 bulan terakhir? (BACAKAN JAWABAN) 1. Ya, setiap hari G06 4. Tidak, tapi sebelumnya pernah merokok kadang-kadang G07 2. Ya, kadang-kadangG07 5. Tidak pernah sama sekali G13 3. Tidak, tapi sebelumnya pernah merokok tiap hariG06 7 – Design Final
G06 G07
Berapa umur [NAMA] mulai merokok setiap hari? ISIKAN DENGAN ”98” JIKA RESPONDEN MENJAWAB TIDAK INGAT Berapa umur [NAMA] ketika pertama kali merokok? ISIKAN DENGAN ”98” JIKA RESPONDEN MENJAWAB TIDAK INGAT
............... tahun ............... tahun
PERTANYAAN G08 KOLOM (1) DIISI JIKA G05 BERKODE 1 ATAU 3 PERTANYAAN G08 KOLOM (2) DIISI JIKA G05 BERKODE 2 ATAU 4 G08
Rata-rata berapa batang rokok/ cerutu/ cangklong (buah) yang [NAMA] hisap perhari atau per minggu?
Batang/mgg (2)
a. Rokok (kretek, putih, dan linting) b. Cerutu/ cangklong G09
Batang/hari (1)
Sebutkan jenis rokok yang biasa [NAMA] hisap: (BACAKAN POINT a SAMPAI DENGAN d) ISIKAN DENGAN KODE 1=YA ATAU 2=TIDAK a. Rokok kretek
b. Rokok putih
c. Rokok linting
d. Cangklong/ Cerutu
JIKA G05 BERKODE 1 ATAU 2 LANJUT KE PERTANYAAN G10 JIKA G05 BERKODE 3 ATAU 4 LANJUT KE PERTANYAAN G12 G10
Dimanakah [NAMA] biasanya merokok? a. Di dalam gedung/ ruangan
1. Ya 2. Tidak 1. YaG14 2. TidakG14 ............... tahun 1. Ya
b. Di luar gedung/ ruangan G11
Apakah [NAMA] biasa merokok di dalam rumah ketika bersama ART lain?
G12
Berapa umur [NAMA] ketika berhenti/ tidak merokok sama sekali? ISIKAN DENGAN ”98” JIKA RESPONDEN MENJAWAB TIDAK INGAT
G13
Seberapa sering orang lain merokok di dekat [NAMA] dalam ruangan tertutup (termasuk di rumah, tempat kerja, dan sarana transportasi
2. Tidak
G14
1. Ya, setiap hari 2. Ya, kadang-kadang 3. Tidak pernah sama sekali Apakah [NAMA] MENGUNYAH TEMBAKAU (nginang, nyirih, susur) selama 1 bulan terakhir? (BACAKAN JAWABAN) 1. Ya, setiap hari 3. Tidak, namun sebelumnya pernah mengunyah tembakau tiap hari 2. Ya, kadang-kadang 4. Tidak, namun sebelumnya pernah mengunyah tembakau kadang-kadang 5. Tidak pernah sama sekali
G15
Apakah [NAMA] setuju dengan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)?
1. Ya
2.Tidak
AKTIVITAS FISIK (GUNAKAN KARTU PERAGA) Berikut adalah pertanyaan aktivitas fisik/ kegiatan jasmani yang berkaitan dengan pekerjaan dan waktu senggang G16
Apakah [NAMA] biasa melakukan aktivitas fisik berat, yang dilakukan terus-menerus paling sedikit selama 10 menit setiap kali melakukannya?
G17
Biasanya berapa hari dalam seminggu, [NAMA] melakukan aktivitas fisik berat tersebut?
G18
Biasanya dalam sehari, berapa lama [NAMA] melakukan aktivitas fisik berat tersebut?
G19
Apakah [NAMA] biasa melakukan aktivitas fisik sedang, yang dilakukan terus-menerus paling sedikit selama 10 menit setiap kalinya?
G20
Biasanya berapa hari dalam seminggu, [NAMA] melakukan aktivitas fisik sedang tersebut?
G21
Biasanya dalam sehari, berapa lama [NAMA] melakukan aktivitas fisik sedang tersebut?
G22
Biasanya berapa lama [NAMA] melakukan duduk-duduk atau berbaring dalam sehari-hari? (baik di tempat kerja, di rumah, di perjalanan (transportasi), termasuk waktu berbincang-bincang, transportasi dengan kendaraan, bis, kereta, membaca, main games atau nonton televisi tetapi tidak termasuk waktu tidur
8 – Design Final
………….hari ……Jam……..Menit 1. Ya 2. Tidak G22 ………….hari ……Jam……..Menit ……Jam……..Menit 1. Ya
2. Tidak G19
PERILAKU KONSUMSI BUAH DAN SAYUR G23 Biasanya dalam 1 minggu, berapa hari [NAMA] makan buah-buahan segar? (GUNAKAN KARTU PERAGA) JIKA TIDAK PERNAH ISIKAN 0 LANJUT KE G25 G24 Berapa porsi rata-rata [NAMA] mengkonsumsi buah-buahan segar dalam satu hari dari hari-hari tersebut? (GUNAKAN KARTU PERAGA) G25
........... hari ……. porsi
Biasanya dalam 1 minggu, berapa hari [NAMA] mengkonsumsi sayur-sayuran? (GUNAKAN KARTU PERAGA) JIKA TIDAK PERNAH ISIKAN 0 LANJUT KE G27
........... hari
G26
Berapa porsi rata-rata [NAMA] mengkonsumsi sayur-sayuran dalam satu hari dari hari-hari tersebut? (GUNAKAN KARTU PERAGA) MAKANAN BERISIKO TANYAKAN G27 TANPA KARTU PERAGA DAN ISIKAN KODE PILIHAN JAWABAN: 1. > 1 kali per hari 3. 3 – 6 kali per minggu 5. < 3 kali per bulan 2. 1 kali per hari 4. 1 – 2 kali per minggu 6. Tidak pernah
…….porsi
G27
Biasanya berapa kali [nama] mengkonsumsi makanan berikut: (BACAKAN POINT a - h)
a. Makanan/minuman manis b. Makanan asin c. Makanan berlemak/ berkolesterol/ gorengan d. Makanan yang dibakar
f. Bumbu penyedap g. Kopi h. Minuman berkafein buatan bukan kopi
KONSUMSI MAKANAN OLAHAN DARI TEPUNG TERIGU (Mie Instant/Roti/Biskuit) G28 Biasanya berapa kali [Nama] mengkonsumsi Mie Instant, Mie Basah, Biskuit, Roti ISIKAN KODE PILIHAN: 1. > 1 kali per hari 3. 3 – 6 kali per minggu 2. 1 kali per hari 4. 1 – 2 kali per minggu
a. Mie Instant b. Mie basah
e. Makanan daging/ ayam/ ikan olahan dgn pengawet
5. < 3 kali per bulan 6. Tidak pernah
c. Roti d. Biskuit
H. PEMBIAYAAN KESEHATAN (UNTUK SEMUA UMUR) Ha.KEPEMILIKAN JAMINAN KESEHATAN Ha01 Apakah [NAMA] mempunyai jaminan pembiayaan kesehatan untuk keperluan berobat jalan/inap dibawah ini? ISIKAN DENGAN 1=YA ATAU 2=TIDAK Jenis jaminan pembiayaan kesehatan Kepemilikan a. Askes/JPK PNS/Veteran/Pensiun
1. Ya
2. Tidak
b. JPK Jamsostek
1. Ya
2. Tidak
c. Asuransi kesehatan swasta
1. Ya
2. Tidak
1. Ya
2. Tidak
1. Ya
2. Tidak
1. Ya
2. Tidak
d. Tunjangan kesehatan perusahaan
f. Jamkesda e. Jamkesmas
Penggunaan
Hb. RAWAT JALAN Hb01 Apakah dalam satu bulan terakhir, [NAMA] pernah mengobati sendiri (dengan membeli obat di apotik / toko obat? Hb02
Berapa biaya yang dikeluarkan untuk membeli obat tersebut?
Rp. ………………..
9 – Design Final
.. 1. Ya
2. Tidak P.Hb03
Hb03
Apakah [Nama] dalam 1 bulan terakhir memanfaatkan fasilitas kesehatan untuk rawat jalan karena [NAMA] mengalami gangguan kesehatan
1. Ya 2. Tidak P.Hc01 Berapa frekuensi Berapa biaya selama 1 bulan(termasuk Dari mana biaya selama 1 bln biaya medis dan obat) tersebut diperoleh
Jenis Fasilitas kesehatan yang dimanfaatkan 1
2.Tidak Hb03c 2.Tidak Hb03d 2.Tidak Hb03e 2.Tidak Hb03f 2.Tidak Hb03g 2.Tidak Hb03h 2.Tidak Hb03i 2.Tidak Hc01
a. RS Pemerintah
1. Ya 2.Tidak Hb03b
b. RS Swasta
1. Ya
c. RS Bersalin
1. Ya
d. Puskesmas/Pustu
1. Ya
e. Praktek dokter
1. Ya
f. Praktek bidan
1. Ya
g. Polindes/ Poskesdes h. Praktek Nakes lainnya
1. Ya 1. Ya
i. Fasilitas Kes di LN 1. Ya
2
3
4
.. .. .. .. .. .. .. .. ..
Kode Sumber biaya untuk kolom 4 1 = Biaya Sendiri 2 = PT ASKES (pegawai)
4 = PT ASTEK/ Jamsostek 8 = ASABRI
16 = Askes Swasta 32 = Jamkesmas
64= Jaminan Kesehatan Daerah 128= Biaya dari perusahaan
256= lainnya
Hc. RAWAT INAP Hc01 Apakah [Nama] dalam 12 bulan (1 tahun) terakhir memanfaatkan fasilitas kesehatan untuk rawat inap karena [NAMA] mengalami gangguan kesehatan?
Jumlah hari Berapa biaya selama 1 tahun (termasuk biaya rawat inap medis dan obat)
Jenis fasilitas kesehatan yang dimanfaatkan 1
a.RS Pemerintah
1. Ya 2.Tidak Hc01b
b.RS Swasta
1. Ya 2.Tidak Hc01c
c. RS Bersalin
1. Ya 2.Tidak Hc01d
d.Puskesmas/Pustu 1. Ya 2.Tidak Hc01e e.Praktek dokter
1. Ya 2.Tidak Hc01f
f. Praktek bidan
1. Ya 2.Tidak Hc01g
g.Polindes/ Poskesdes h.Praktek Nakes lainnya
1. Ya 2.Tidak Hc01h 1. Ya 2.Tidak Hc01i
i. Fasilitas Kes di LN 1. Ya 2.Tidak Hc02
1. Ya 2.Tidak Hc02
2
3
.. .. .. .. .. .. .. .. ..
Dari mana sumber biaya tersebut diperoleh 4
Kode Sumber biaya untuk kolom 4 1 = Biaya Sendiri 2 = PT ASKES (pegawai)
4 = PT ASTEK/ Jamsostek 8 = ASABRI
16 = Askes Swasta 32 = Jamkesmas
64 = Jaminan Kesehatan Daerah 128 = Biaya dari perusahaan
256= lainnya
Hc02. CEK UMUR ANGGOTA RUMAH TANGGA ART 0 – 59 BULAN BLOK J
PEREMPUAN 10 – 54 TAHUN BLOK I
PEREMPUAN 5 – 9 TAHUN BLOK Jc
ART LAINNYA BLOK K (PENGUKURAN DAN PEMERIKSAAN) 10 – Design Final
I. KESEHATAN REPRODUKSI (KHUSUS UNTUK RESPONDEN PEREMPUAN 10-54 TAHUN) Ia. ALAT/ CARA KB Kami akan mencatat tentang penggunaan alat/cara KB kepada semua perempuan 10-54 tahun. Untuk itu mohon maaf apabila [NAMA] belum pernah ber KB sama sekali dan mohon pertanyaan ini dapat tetap dijawab sesuai keadaan [NAMA] Ia01 Apakah [NAMA] atau pasangan, sekarang menggunakan alat/cara 1. Ya, sekarang menggunakan KB untuk mencegah atau menunda kehamilan? 2. Ya, pernah tetapi tidak menggunakan lagiIa06 3. Tidak pernah menggunakan sama sekali Ia07 Apa sajakah alat/ cara KB, yang sedang [NAMA] atau pasangan gunakan? BACAKAN POIN a SAMPAI j Ia02 ISIKAN KODE 1=YA ATAU 2 = TIDAK a. Kondom pria b.Sterilisasi pria c. Pil Ia03
Ia04 Ia05
d. IUD/AKDR/Spiral e. Suntikan f. Sterilisasi wanita
g. Kondom wanita/ Intravag h. Diafragma
i. Susuk / implant j. Jamu
JIKA JAWABAN POIN a SAMPAI j BERKODE 2 SEMUA Ia05 Dimana biasanya mendapat pelayanan alat/cara KB tersebut? CATATAN: JIKA ALAT/ CARA KB YANG DIGUNAKAN 2 JENIS, PILIH KODE JAWABAN BERIKUT UNTUK ALAT/ CARA KB YANG DIGUNAKAN PEREMPUAN 01. RS Pemerintah 05. Puskesmas Pembantu 12. Posyandu 09. Bidan Praktek 02. RS Swasta 06. Klinik/Balai Pengobatan 13. Apotik / Toko Obat Ia05 10. Perawat Praktek 03.RS Bersalin 07.Tim KB Keliling/Tim Medis Keliling 11. Polindes/Poskesdes 14. Lainnya Ia05 04. Puskesmas 08. Dokter Praktek Siapa yang biasanya memberi pelayanan alat/ cara KB tersebut? 1. Dokter kandungan 3. Bidan 2. Dokter umum 4. Perawat Apa [NAMA] atau pasangan menggunakan alat/ cara KB alamiah? BACAKAN POIN a SAMPAI c. ISIKAN KODE 1=YA ATAU 2 = TIDAK a. Metode menyusui alami
b. Pantang berkala/ kalender
c. Sanggama terputus
LANJUTKAN KE BLOK Ib
/ JANGAN MEMBACAKAN ALTERNATIF JAWABAN Menentang memakai Alasan alat/cara KB:
Ia06
Kapan terakhir [NAMA] menggunakan alat/cara KB?
BLN/THN: ............./…..........
Ia07
Alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB ? Alasan status Alasan Fertilitas 1. Belum menikah/Cerai 7. Jarang/ puasa kumpul 2. Belum haid 8. Menophause/ histerektomi 3. Sedang hamil 9. Tidak subur/mandul 4. Sedang menyusui 10. Tidak bisa hamil lagi setelah Kurang pengetahuan: melahirkan terakhir 5. Tidak tahu metode 11. Belum punya anak 6. Tidak tahu sumber 12. Ingin punya anak lagi mendapat KB 13. Kepercayaan
14. Tidak ingin KB/ responden menentang 15. Dilarang pasangan 16. Dilarang orang 17. Dilarang agama
18. 19. 20. 21.
Menjadi gemuk/ kurus Sulit diperoleh Mahal Alat/cara KB yang diinginkan tidak ada 22. Tidak nyaman 23. Kesehatan/ takut efek samping lain
Ib. RIWAYAT KEHAMILAN SEUMUR HIDUP RESPONDEN Ib01 Ib02 Ib03 Ib04 Ib05
Berapa umur [NAMA] ketika menikah atau hidup bersama pertama kali? JIKA BELUM MENIKAH/ BELUM PERNAH HIDUP BERSAMA, ISIKAN KODE “77” Berapa umur [NAMA] pertama kali melakukan hubungan seksual JIKA BELUM PERNAH MELAKUKAN HUBUNGAN SEKSUAL, ISIKAN KODE “77” Apakah sekarang [NAMA] tinggal satu rumah bersama suami/ pasangan atau tinggal terpisah? Apakah [NAMA] pernah/ sedang hamil?
Umur .......... tahun
1. Tinggal bersama 7. Tidak Berlaku 2. Tinggal terpisah 1. Ya 2. Belum pernah Ic41 3. Tidak bisa hamil Ic41 Seumur hidup [NAMA] berapa jumlah kehamilan (termasuk yg sedang hamil), jumlah keguguran, jumlah lahir hidup, dan jumlah lahir mati? a. Jumlah seluruh kehamilan................................ b. Jumlah keguguran.....................................
Ib06
Umur .......... tahun
c. Jumlah lahir hidup.................................... d. Jumlah lahir mati .......................................
Berapa umur [NAMA] ketika pertama kali hamil?
............ tahun
11 – Design Final
Ic. RIWAYAT KEHAMILAN, PERSALINAN DAN MASA NIFAS KHUSUS PEREMPUAN 10-54 TAHUN YANG PERNAH HAMIL DALAM PERIODE 3 TAHUN SEBELUM SURVEI Apakah [NAMA] pernah hamil yang berakhir pada periode 1 Januari 2010 sampai dengan 1. Ya sekarang (termasuk yg sekarang sedang hamil)? 2. Tidak Ic41 Ic02 JIKA YA, jumlah kehamilan sejak 1 Januari 2010 sampai dengan sekarang? ......... kali JIKA KEHAMILAN KEMBAR DIHITUNG BERDASARKAN JUMLAH KEMBAR Sekarang saya akan menanyakan tentang riwayat perawatan kehamilan, persalinan dan masa nifas yang terjadi selama periode 1 Januari 2010 sampai saat ini TANYA SATU PERSATU RIWAYAT KEHAMILAN DIMULAI DARI KEHAMILAN TERAKHIR . Kehamilan Kehamilan Kehamilan UNTUK PERTANYAAN Ic03 – Ic40. JIKA > 1 KEHAMILAN ULANGI PERTANYAAN Ic03-Ic40 UNTUK Terakhir Sebelumnya Sebelumnya
Ic01
KEHAMILAN SEBELUMNYA (KOLOM BERIKUTNYA). JIKA > 3 KEHAMILAN GUNAKAN LEMBAR TAMBAHAN
(1)
(2)
(3)
Ic03
Nomor urutan kehamilan dari keseluruhan kehamilan
Ic04
Nama Anak
Ic05
Nomor Urut Anak dalam RT (MERUJUK/SESUAI BLOK IV)
Ic06
Bagaimana hasil kehamilan?
Ic07
Apakah kehamilan tunggal atau kembar?
Ic08
Usia kandungan saat kehamilan berakhir? JIKA SEDANG HAMIL, ISIKAN USIA KANDUNGAN SAAT WAWANCARA
...... MINGGU
................................... ................
Ic09
Selama kehamilan ini, apakah [NAMA] pernah memeriksakan kehamilan ke tenaga kesehatan (Dokter kandungan, dokter umum, bidan atau perawat)?
1. Ya 2. Tidak Ic14
Ic10
Berapa bulan umur kandungan [NAMA] saat memeriksakan kehamilan pertama kali? Selama kehamilan ini, berapa kali [NAMA] memeriksakan kehamilan pada: JIKA KEHAMILAN BERAKHIR DENGAN KEGUGURAN/ PREMATUR/MASIH HAMIL ISIKAN KODE “77” PADA UMUR KEHAMILAN YANG BELUM DILALUI
Ic11
Ic12 Ic13
Ic14 Ic15 Ic16
Ic17
URUTAN KEHAMILAN KE
JIKA BELUM BERNAMA TULISKAN “ NN” JIKA BUKAN ART / TIDAK ADA PADA BLOK IV TULISKAN “00” 1.Lahir Hidup 2.Lahir Mati
3. Keguguran 4.Sedang hamil Ic08 1. Tunggal
2. Kembar
........ BULAN ISIKAN “88” JIKA TIDAK TAHU a. Umur 0 – 3 bln ........ kali b. Umur 4 – 6 bln ........ kali c. Umur 7 bln-melahirkan ........... kali
Siapa yang paling sering memeriksa kehamilan?
1. Dokter Kandungan 3. Bidan 2. Dokter Umum 4. Perawat Dimana biasanya [NAMA] 1. RS Pemerintah 6. Praktek Bidan memeriksakan kehamilan tersebut? 2. RS Swasta 7 Poskesdes/ Polindes 3. Rumah Bersalin 8. Posyandu 4. Puskesmas/ Pustu 9. Lainnya 5. Praktek Dokter/ Klinik Selama kehamilan apakah [NAMA] mengkonsumsi pil zat besi (Fe)/ 1. Ya tablet tambah darah? PERLIHATKAN KARTU PERAGA 2. Tidak Ic16 Selama kehamilan ini, berapa hari [NAMA] minum pil zat besi (Fe)/ tablet tambah darah? ............ HARI JIKA TIDAK TAHU ISIKAN KODE “998” 1. Ya, bisa menunjukkan Apakah Ibu memiliki Buku KIA? 2. Ya, tidak bisa menunjukkan Ic18 JIKA YA: bolehkah saya lihat? 3. Tidak punya Ic18 JIKA DAPAT MENUNJUKKAN BUKU KIA, a. Penolong persalinan LAKUKAN OBSERVASI HALAMAN 13 DARI b. Dana Persalinan BUKU KIA. 1. Ada Isian c. Kendaraan/ ambulans desa 2. Tidak ada isian d. Metode KB setelah melahirkan e. Sumbangan Darah 12 – Design Final
a. a. a. b. b. b. c. c. c.
KEHAMILAN YANG SUDAH BERAKHIR (Ic06 = 1-3) Ic19 JIKA SEDANG HAMIL (Ic06 = 4) KE Ic31
Ic18
TANYA SATU PERSATU RIWAYAT KEHAMILAN DIMULAI DARI KEHAMILAN TERAKHIR . UNTUK PERTANYAAN Ic03 – Ic40. JIKA > 3 KEHAMILAN GUNAKAN LEMBAR TAMBAHAN Ic19
Pada bulan dan tahun berapa kehamilan berakhir?
Ic20
Bagaimana keluarnya bayi/ janin? 1. Normal 3.Forcep 5. Abortus Spontan 7. Lainnya 2. Vakum 4.Operasi perut/ sesar 6. Kuretase Siapa saja yang menolong [NAMA] pada saat persalinan/ keguguran/ pengguguran ? (JIKA LEBIH DARI SATU, TULISKAN HURUF-HURUF KODE JENIS PENOLONG) A Dokter kandungan C. Bidan E. Dukun beranak B.Dokter umum D. Perawat/nakes lainnya F. Anggota keluarga/ Lainnya Z. Tidak ada yang menolong Dimana tempat [NAMA] melahirkan/ 01. RS Pemerintah 06. Puskesmas keguguran? 02. RS Swasta 07. Puskesmas Pembantu PILIH SALAH SATU JAWABAN 03. Rumah Bersalin 08.Polindes/Poskesdes TEMPAT MELAHIRKAN / 04. Klinik 09. Rumah Ic24 KEGUGURAN 05. Praktek Nakes 10. Lainnya Ic24 Berapa lama [NAMA] dirawat di faskes dari sejak anak ..... HARI dilahirkan/ kejadian keguguran sampai pulang ? JIKA <SEHARI ISIKAN ‘00” Apakah setelah melahirkan/keguguran, [NAMA] mengunjungi fasilitas kesehatan atau dikunjungi petugas kesehatan pada periode berikut? 1. Ya a. 6 jam-3 hari setelah melahirkan 2. Tidak Ic24c
Ic21
Ic22
Ic23 Ic24
BLN/THN ............ / ..............
b. Jika Ya, Dimana mendapat pelayanan petugas kesehatan
(1)
(2)
(3)
BLNBLN THN THN THN BLN
----------------
a. a. b. b.b. c. d.
Apakah pada periode sampai 2 bulan setelah melahirkan/ keguguran, [NAMA] mendapat pelayanan pemasangan alat/ cara KB?
1. Ya
Ic27
Berapa umur [NAMA ANAK] saat ini? (JIKA SUDAH MENINGGAL, Berapa umur saat meninggal?)
KODE: 1.Hari 2. Bulan
13 – Design Final
e.
e.
g.
g.
g.
h.h.
h.
07. Puskesmas 08.Polindes/Poskesdes
UMUR KODE
09. Rumah 10. Lainnya
Kehamilan Sebelumnya
Kehamilan Sebelumnya
(2)
(3)
2. Tidak
UMUR: ............
f.f.
(1)
Apakah [NAMA ANAK] sekarang masih hidup?
c.
f.
JIKA LAHIR HIDUP (Ic06 BERKODE 1) LANJUTKAN PERTANYAAN Ic26 JIKA KEGUGURAN/ LAHIR MATI (Ic06 KODE 2, 3) Ic30 Kehamilan Terakhir Ic26
d. d.
05. Praktek Dokter 06. Praktek Bidan 1. Ya 2. Tidak
c.
Lihat Kode dibawah
03. Rumah Bersalin 04. Klinik
e.
Lihat Kode dibawah
h. Jika Ya, dimana mendapat pelayanan petugas kesehatan
----------------
a.
1. Ya 2. Tidak Ic25 7. Tidak berlaku Ic25
g. 29 hari – 42 hari setelah melahirkan
---------------
Lihat Kode dibawah
f. Jika Ya, Dimana mendapat pelayanan petugas kesehatan
1. Ya 2. Tidak Ic24g 7. Tidak Berlaku Ic25
e. 7 hari -28 hari setelah melahirkan
Ic25
Kehamilan Sebelumnya
Lihat Kode dibawah
d. Jika Ya, Dimana mendapat pelayanan petugas kesehatan
01. RS Pemerintah 02. RS Swasta
Kehamilan Sebelumnya
1. Ya 2. Tidak Ic24e 7. Tidak Berlaku Ic25
c. 4 hari-6 hari setelah melahirkan
Kode Ic24b, Ic24d, Ic24f, Ic24h
Kehamilan Terakhir
UMUR KODE
UMUR KODE
TANYA SATU PERSATU RIWAYAT KEHAMILAN DIMULAI DARI KEHAMILAN TERAKHIR . UNTUK PERTANYAAN Ic03 – Ic40. JIKA > 3 KEHAMILAN GUNAKAN LEMBAR TAMBAHAN 1. Ya Ic28 Apakah [NAMA ANAK] mempunyai catatan/dokumen berat badan lahir? 2. Tidak Ic30 Ic29
Berapa berat badan [NAMA ANAK] waktu lahir?
Ic30
Apakah selama kehamilan, saat persalinan dan masa nifas [NAMA] mengalami gangguan-gangguan/ komplikasi sbb: A.Pernafasan sesak G. Perdarahan (>2 kain) B. Kejang H. Masalah pada janin X. Lainnya C. Demam/ panas I. Bengkak kaki/ badan Z. Tidak ada D. Anemia J. Ketuban pecah dini komplikasi E. Nyeri kepala hebat K.Persalinan > 24 jam F. Nyeri perut hebat L. Hipertensi
Ic31 Ic32
................. gram
JAWABAN BISA LEBIH DARI SATU, TULISKAN KODE/ HURUF JENIS-JENIS KOMPLIKASI YG DIALAMI ATAU HURUF “Z” JIKA TIDAK ADA KOMPLIKASI Pada kehamilan, apakah [NAMA] mendapat jaminan pembiayaan persalinan (Jampersal) dari pemerintah? Apakah [NAMA] menggunakan jampersal pada saat: a. Pemeriksaan kehamilan/ penanganan 1. Ya komplikasi kehamilan 1. Ya b. Persalinan/ penanganan komplikasi 2. Tidak c. Pemeriksaan kesehatan ibu setelah 1. Ya melahirkan (0-42 hr) 2. Tidak d. Pemeriksaan kesehatan neonatal 1. Ya (0-28 hari) 2. Tidak e. KB setelah melahirkan (KB Pasca 1. Ya Persalinan) 2. Tidak
a. Masa hamil
Ic39
Ic40
(2)
(3)
a. ................... a. ...................a...................
c. ....................c...................
c. ....................
1. Ya 2. Tidak Ic33
2. Tidak 7. Tidak Berlaku 7. Tidak Berlaku 7. Tidak Berlaku 7. Tidak Berlaku
Jika ingin menunda, berapa lama jarak kelahiran yang ibu harapkan sebelum ................ BULAN punya [NAMA] ini? Apakah ada upaya (NAMA) untuk 1. Ya 2. Tidak Ic38 mengakhiri kehamilan tersebut? JIKA YA, Apakah alasan utama [NAMA] ingin mengakhiri kehamilan tersebut? (JAWABAN JANGAN DIBACAKAN) 1. Belum lama melahirkan/keguguran 4. Alasan pekerjaan 7. 7. Lainnya, sebutkan.... 2. Umur masih muda 5. Alasan ekonomi 3. Jumlah anak sudah cukup 6. Umur Sudah Tua Upaya apa yang dilakukan [NAMA] untuk A. Jamu E. Sedot mengakhiri kehamilan tsb? B. Pil F. Kuret JAWABAN BOLEH LEBIH DARI SATU, C. Pijat X. Lainnya, sebutkan......... TULISKAN KODE/ HURUF D. Suntik Setelah kehamilan terakhir ini, kapan KODE: 1. HARI 2. BULAN [NAMA] mendapat haid terakhir? JIKA SEDANG HAMIL ISIKAN KODE “2” HAID TERAKHIR : ............ YANG LALU DAN “00” Setelah kehamilan terakhir, apakah 1. Ingin punya anak lagi [NAMA] masih menginginkan anak lagi? 2. Tidak ingin punya anak lagi Ic41 3. Belum mempunyai rencana Ic41 Jika masih ingin anak lagi, berapa jarak kelahiran yang ........... bulan diharapkan untuk anak berikutnya?
Ic38
(1)
c. Masa nifas
Ic34
Ic37
Kehamilan Sebelumnya
b. ..................b .................
Apakah pada kehamilan ini [NAMA] sudah 1.Menginginkan waktu itu Ic35 menginginkan hamil waktu itu/ ingin me2. Ingin Menunda Ic34 nunda/ tidak menginginkan sama sekali? 3.Tidak menginginkan sama sekali Ic35
Ic36
Kehamilan Sebelumnya
b.Saat persalinan b. ...................
Ic33
Ic35
Kehamilan Terakhir
.................. .................. ................. ....................
....................
...................
KODE
JIKA LEBIH DARI 1 RIWAYAT KEHAMILAN KEMBALI KE PERTANYAAN Ic03 UNTUK RIWAYAT KEHAMILAN SEBELUMNYA Ic41
ART PEREMPUAN UMUR 10 – 11 TAHUN BLOK Jc (SUNAT PEREMPUAN) ART PEREMPUAN 12-54 TAHUNBLOK K (PENGUKURAN DAN PEMERIKSAAN) 14 – Design Final
J. KESEHATAN ANAK DAN IMUNISASI Ja. KESEHATAN BAYI DAN ANAK BALITA (KHUSUS ART UMUR 0 – 59 BULAN) Ja01 Apakah [NAMA] mempunyai catatan/dokumen berat badan lahir? (Berat badan lahir adalah berat badan yang ditimbang dalam kurun waktu 24 jam setelah dilahirkan)
1.Ya
Ja02 Salin dari catatan/dokumen berat badan lahir [NAMA]
……………. gram
Ja03 Apakah [NAMA] mempunyai catatan/dokumen panjang badan lahir? (Panjang badan lahir adalah panjang badan yang diukur dalam kurun waktu 24 jam setelah dilahirkan)
1.Ya
Ja04 Salin dari catatan/dokumen panjang badan lahir [NAMA]
……………. cm
2. Tidak Ja03
2. Tidak Ja05
Ja05 Apa jenis obat/ramuan apa yang digunakan untuk merawat tali pusar [NAMA] saat baru lahir 1. Tidak diberi apa-apa 3. Obat tabur (berbentuk bubuk) 8. Tidak tahu 2. Betadine/ alkohol 4. Ramuan/obat tradisional Ja06 Apakah [NAMA] pernah dilakukan pemeriksaan neonatus (bayi baru lahir) 1. Ya Ja08 oleh tenaga kesehatan pada saat umur 0-28 hari? 2. Tidak Pernah
.
8. Tidak Tahu Ja10
Ja07 Mengapa TIDAK PERNAH dilakukan pemeriksaan neonatus oleh tenaga kesehatan pada saat [NAMA] berumur 0-28 hari? JAWABAN DAPAT LEBIH DARI SATU. JIKA LEBIH DARI SATU, JUMLAH KODE JAWABAN 01. Bayi tidak sakit/baik-baik saja
04. Tempat pelayanan jauh
02. Bayi tidak boleh dibawa pergi jauh
08. Tidak punya biaya
LANJUTKAN KE PERTANYAAN Ja10 Ja08
Apakah [NAMA] pernah dilakukan pemeriksaan neonatus (bayi baru lahir) oleh tenaga kesehatan pada saat?
Ja09. Dimana [NAMA] mendapat pemeriksaan kesehatan pada saat itu? (ISI DENGAN PILIHAN KODE JAWABAN)
a. 6-48 jam setelah lahir
1. Ya Ja09 7. Tidak Berlaku 2. Tidak 8. Tidak Tahu
a.
1. Rumah Sakit Pemerintah 6. Poliklinik Swasta a . 2. Rumah Sakit Swasta 7. Praktik Tenaga Kesehatan
b. 3-7 hari setelah lahir
1. Ya Ja09 2. Tidak
7. Tidak Berlaku 8. Tidak Tahu
b.
b . 4. Puskesmas/ Pustu/ Pusling
c. 8-28 hari setelah lahir
1. Ya Ja09 2. Tidak
7. Tidak Berlaku 8. Tidak Tahu
3. Rumah Sakit Bersalin
8. Di Rumah
5. Posyandu/Poskesdes/ Polindes
c.
c .
Ja10 Apakah sejak dilahirkan sampai berumur 28 hari, [NAMA] pernah menderita sakit?
1. Ya 2. TidakJa13
8. Tidak tahuJa13
Ja11 Apa keluhan/sakit yang diderita pada saat [NAMA] berumur 0-28 hari JAWABAN DAPAT LEBIH DARI SATU. JIKA LEBIH DARI SATU, JUMLAH KODE JAWABAN 1. Bayi kuning 4. Sulit bernapas/asfiksia 16. Tali pusar memerah 64. Lainnya, sebutkan............. 2. Kejang 8. Bayi biru 32. Tali pusar bernanah Ja12 Pada saat [NAMA] sakit ketika usia 0-28 hari, apakah berobat ke tenaga kesehatan? 1.Ya
2. Tidak
8. Tidak tahu
Ja13 Apakah [NAMA] mempunyai akte kelahiran
1.Ya CEK tgl lahir pada Blok IV
2. Tidak
8. Tidak tahu
Ja14 Apakah [NAMA] pernah mendapat imunisasi
1.YaJa16
8. Tidak tahuJa16
2. Tidak pernah
Ja15 Apa alasan [NAMA] “TIDAK PERNAH” mendapat imunisasi? JAWABAN DAPAT LEBIH DARI SATU. JIKA LEBIH DARI SATU, JUMLAH KODE JAWABAN
01. Keluarga tidak mengijinkan 04. Anak sering sakit 16. Tempat imunisasi jauh 02. Takut anak menjadi panas 08. Tidak tahu tempat imunisasi 32. Sibuk/repot 77. Lainnya Ja16 Apakah [NAMA] memiliki KMS (Kartu Menuju Sehat)? 1. Ya, dapat menunjukkan 3. Pernah memiliki, tetapi sudah hilang 2. Ya, tidak dapat menunjukkan (disimpan kader/bidan/di Posyandu) 4. Tidak pernah memiliki Ja17 Apakah [NAMA] memiliki Buku KIA (Buku Kesehatan Ibu dan Anak ? 1. Ya, dapat menunjukkan 3. Pernah memiliki, tetapi sudah hilang 2. Ya, tidak dapat menunjukkan (disimpan kader/bidan/di Posyandu) 4. Tidak pernah memiliki Ja18 Apakah [NAMA] memiliki Buku Catatan Kesehatan Anak selain KMS dan Buku KIA? 1. Ya, dapat menunjukkan 3. Pernah memiliki, tetapi sudah hilang 2. Ya, tidak dapat menunjukkan (disimpan di tempat lain) 4. Tidak pernah memiliki
15 – Design Final
JIKA KODE JAWABAN Ja14 ADALAH KODE 2 = Tidak pernah Ja24 JIKA KODE JAWABAN Ja16 S/D Ja18 SEMUANYA BERKODE 2 ATAU 3 ATAU 4 Ja21 JIKA SALAH SATU JAWABAN Ja16 S/D Ja18 BERKODE 1 Ja19 1. Ya 2. Tidak Ja21
Ja19 Apakah di dalam KMS/ Buku KIA/ Buku Catatan Kesehatan Anak [NAMA] ada catatan imunisasi
Ja20 Salin dari KMS/Buku KIA/Buku Catatan Kesehatan Anak, tanggal/ bulan/ tahun, untuk setiap jenis imunisasi. KODE KOLOM (2):
1. Diberikan imunisasi 2. Tidak diberikan imunisasi KE JENIS IMUNISASI BERIKUTNYA 7. Belum waktunya diberikan karena umur anak KE JENIS IMUNISASI BERIKUTNYA 8. Ditulis diberi imunisasi tetapi tgl/ bln/ thn tidak ada KE JENIS IMUNISASI BERIKUTNYA
JENIS IMUNISASI (1) a. Hepatiitis B 0 b. BCG c. DPT-HB Combo 1 d. DPT-HB Combo 2 e. DPT-HB Combo 3
KET. (2)
TG/ BLN/ THN IMUNISASI (3)
JENIS IMUNISASI (1)
// f. Polio 1 //g. Polio 2 // h. Polio 3 // i. Polio 4 //j. Campak
KET. (2)
TG/ BLN/ THN IMUNISASI (3)
// // // // //
JIKA CATATAN IMUNISASI ART LENGKAP, LANJUTKAN KE Ja23 JIKA IMUNISASI ART TIDAK LENGKAP (KODE KOLOM 2 = 2,7,8) LANJUTKAN KE Ja21 Ja21 Apakah [NAMA] pernah mendapat imunisasi berikut: (INFORMASI BERDASARKAN INGATAN RESPONDEN) a. Imunisasi Hepatitis B-0, biasanya diberikan sesaat setelah bayi lahir 1. Ya sampai bayi berumur 7 hari yang disuntikkan di paha bayi?
2. TidakJa21c
8. Tidak tahuJa21c
b. Pada umur berapa hari [NAMA] diimunisasi Hepatitis B 0?
1. 0 - 24 jam
2. >24 jam - 7 hari
c. Imunisasi BCG yang biasanya mulai diberikan umur 1 bulan dan disuntikkan di lengan (kanan) atas serta dapat meninggalkan bekas (scar) di bawah kulit?
1. Ya
d. Pada umur berapa [NAMA] diimunisasi BCG?
1. 0 – 29 hari 2. ≥ 1 bulan 8. Tidak tahu
2. TidakJa21e
8. Tidak tahu
8. Tidak tahuJa21e
e. Imunisasi polio, cairan merah muda atau putih yang biasanya mulai 1. Ya diberikan pada umur 1 bulan dan diteteskan ke mulut? 2. TidakJa21 h 7. Belum waktunya (umur ≤ 1 bulan) Ja21h 8. Tidak Tahu Ja21h f. Pada umur berapa [NAMA] pertama kali diimunisasi polio? ……….. bulan JIKA TIDAK TAHU ISIKAN KODE ”88” UNTUK BULAN g. Berapa kali [NAMA] diimunisasi polio?
………. Kali
h. Imunisasi DPT-HB combo (Diphteri Pertusis Tetanus-Hepatitis B combo) yang biasanya disuntikkan di paha dan biasanya mulai diberikan pada saat anak berusia 2 bulan bersama dengan Polio 2?
1. 2. 7. 8.
Ya Tidak Ja21k Belum waktunya (umur≤ 2 bulan)Ja21k Tidak Tahu Ja21k
i. Pada umur berapa (NAMA) pertama kali diimunisasi DPT-HB Combo. ……….. bulan JIKA TIDAK TAHU ISIKAN KODE ”88” j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo?
………….. kali
k. Imunisasi campak yang biasanya mulai diberikan umur 9 bulan dan 1. Ya disuntikkan di paha atau lengan kiri atas serta diberikan satu kali? 2. Tidak
7. Belum waktunya (umur ≤ 9 bulan) 8. Tidak Tahu
CEK KELENGKAPAN IMUNISASI DARI Ja20 DAN Ja21 (BCG 1x dan POLIO 4x dan DPT-HB 3x dan CAMPAK 1x) JIKA IMUNISASI ART LENGKAP, LANJUTKAN KE Ja23 JIKA IMUNISASI ART TIDAK LENGKAP, LANJUTKAN KE Ja22
16 – Design Final
Ja22
Ja23
Apa alasan utama [NAMA] “TIDAK MENDAPAT IMUNISASI LENGKAP”?
1. Takut anak menjadi panas 3. Vaksin tidak tersedia 5. Tempat imunisasi jauh 7. Belum waktunya lengkap (umur < 9 bulan) 2. Anak sering sakit 4. Petugas tidak datang 6. Sibuk/repot 8. Lainnya Apakah setelah mendapat imunisasi [NAMA] pernah mengalami keluhan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) seperti berikut: (TULIS KODE : 1 = Ya ATAU 2 = Tidak)
a. Demam ringan b. Demam tinggi
c. Bengkak d. Kemerahan
e. Bernanah f. Lainnya, sebutkan ..........
Ja24 Apakah dalam 6 bulan terakhir [NAMA] ditimbang
1. Ya
2. Tidak Ja26
Ja25 Dalam 6 bulan terakhir, berapa kali [NAMA] ditimbang JIKA ”TIDAK TAHU”, ISI KODE ”88”
…………. Kali
LANJUTKAN KE Ja27 Ja26
Ja27
Mengapa dalam 6 bulan terakhir [NAMA] TIDAK PERNAH DIITIMBANG (JAWABAN Ja24 = 2) sebutkan alasan utamanya: 1. Anak sudah besar (≥1 tahun)
4. Bosan kalau hanya ditimbang
7. Tempatnya jauh
2. Anak sudah selesai imunisasi 3. Anak tidak mau ditimbang
5. Lupa/tidak tahu jadwalnya 6. Tidak ada tempat penimbangan
8. Sibuk/repot 9. Malas
Apakah dalam 6 bulan terakhir [NAMA] pernah mendapatkan kapsul vitamin A? (GUNAKAN KARTU PERAGA) 1. Ya
2. Tidak pernah
7. Belum waktunya (umur ≤ 6 bulan)
8. Tidak Tahu
UNTUK PERTANYAAN Ja28 LAKUKAN OBSERVASI ATAU GUNAKAN KARTU PERAGA Ja28
Apakah [NAMA] mempunyai kelainan/cacat baik sejak lahir ataupun karena cedera/kecelakaan) (TULIS KODE : 1 = Ya ATAU 2 = Tidak) a. Tuna netra (penglihatan) b. Tuna rungu (pendengaran)
c. Tuna wicara (berbicara) d. Tuna daksa (bagian tubuh)
e. Bibir Sumbing f. Down Syndrome
JIKA ART PEREMPUAN BERUMUR 24 – 59 BULAN SUB BLOK Jc (SUNAT PEREMPUAN) JIKA ART LAKI-LAKI BERUMUR 24 – 59 BULAN BLOK K (PENGUKURAN DAN PEMERIKSAAN) JIKA ART BERUMUR 0 – 23 BULAN BLOK Jb
Jb. ASI DAN MP-ASI (KHUSUS ART UMUR 0 – 23 BULAN) Jb01 Jb02
Jb03
Jb04 Jb05
a. Apakah ketika baru lahir [NAMA] dilakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) 1. Ya 2. TidakJb03 b. Berapa lama ibu dan bayi melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) 1. < 1 jam 2. ≥ 1 jam Kapan ibu mulai melakukan proses menyusui untuk yang pertama kali, setelah [NAMA] dilahirkan? a. ………… jam JIKA KURANG DARI 1 JAM, TULIS 00; JIKA KURANG DARI 24 JAM, TULIS DALAM JAM; b. ……….. hari JIKA 24 JAM ATAU LEBIH TULIS DALAM HARI Apa yang dilakukan IBU terhadap kolostrum? 1. Diberikan semua kepada bayi 3. Dibuang semua 2. Dibuang sebagian 8. Tidak Tahu Apakah sebelum disusui yang pertama kali atau sebelum ASI keluar/lancar, 1.Ya 8.Tidak tahuJb07 [NAMA] pernah diberi minuman (cairan) atau makanan selain ASI? 2. TidakJb07 Apakah [NAMA] pernah disusui atau diberi ASI (Air Susu Ibu) oleh ibu kandungnya?
1. Ya
2. TidakJb10
Jb06 Apa jenis minuman/makanan yang pernah diberikan kepada [NAMA] sebelum mulai disusui atau sebelum ASI keluar/lancar? (TULIS KODE : 1 = Ya ATAU 2 = Tidak) a. Susu formula b. Susu non formula c. Madu/ Madu + air d. Air gula
e. Air Tajin f. Air kelapa g. Kopi h. Teh Manis 17 – Design Final
i. Air putih j. Bubur tepung/bubur saring k. Pisang dihaluskan l. Nasi dihaluskan
1. Ya Jb09
Jb07 Apakah saat ini [NAMA] masih disusui? Jb08 Pada umur berapa bulan [NAMA] disapih/mulai tidak disusui lagi? BILA TIDAK TAHU TULIS 88 Jb09 Apakah dalam 24 jam terakhir [NAMA] hanya mendapatkan air susu ibu (ASI) saja dan tidak diberi minuman (cairan) dan atau makanan selain ASI?
2. Tidak
…….. bulan Jb10 1.YaJb12
2. Tidak
Jb10 Pada saat [NAMA] umur berapa, IBU pertama kali mulai memberikan minuman (cairan) atau makanan selain ASI? 1. 0 – 7 hari
3. 29 hari – < 2 bulan
5. 3 – < 4 bulan
7. ≥ 6 bulan
2. 8 – 28 hari 4. 2 – < 3 bulan 6. 4 – < 6 bulan 8. Tidak tahu Apa jenis minuman (cairan) atau makanan selain ASI, yang pertama kali mulai diberikan kepada [NAMA] pada umur tersebut? (TULIS Jb11 KODE : 1 = Ya ATAU 2 = Tidak)
a. Susu formula b. Susu non-formula c. Bubur formula
d. Biskuit e. Bubur tepung/bubur saring f. Air tajin
g. Pisang dihaluskan h. Bubur nasi/ nasi tim/nasi dihaluskan
Jb12 Apakah [NAMA] pernah menggunakan botol/dot/kempengan sebelum usia 6 bulan?
1. Ya
2. Tidak
JIKA ART PEREMPUAN BERUMUR 0 – 23 BULAN SUB BLOK Jc (SUNAT PEREMPUAN) JIKA ART LAKI-LAKI BERUMUR 0 – 23 BULAN BLOK K (PENGUKURAN DAN PEMERIKSAAN)
Jc. SUNAT PEREMPUAN (KHUSUS ART PEREMPUAN USIA 0-11 TAHUN) 1. Ya
2. Tidak BLOK K
Jc01
Apakah [NAMA] pernah disunat?
Jc02
Pada umur berapa bulan/ tahun [NAMA] disunat?
Jc03
Siapa yang menyarankan [NAMA] disunat? (TULIS KODE 1 = Ya ATAU 2 = Tidak) 1. Orang tua
Jc04
.
2. Keluarga
Siapa yang melakukan sunat
Satuan umur:
1. Tukang sunat
3. Tokoh agama 2. Dukun bayi
8. Tidak tahu BLOK K 1. Bulan
2. Tahun
4. Tokoh adat
3. Bidan
4. Nakes lainnya
K. PENGUKURAN DAN PEMERIKSAAN BERAT BADAN DAN TINGGI BADAN/ PANJANG BADAN (UNTUK SEMUA UMUR ) K01
K02
a. Apakah ART ditimbang ?
1. Ya
b. Berat Badan (kg)
................................ kg
a. Apakah ART diukurTinggi/Panjang Badan?
1. Ya
b. Tinggi/Panjang Badan (Cm)
2. Tidak K02
2. TidakK03
................................. cm
c. KHUSUS UNTUK BALITA, (Posisi pengukuran TB/PB)
1. Berdiri
2. Telentang
, ,
LINGKAR LENGAN ATAS (LILA) KHUSUS WANITA USIA SUBUR (15-49 TAHUN) DAN/ ATAU WANITA HAMIL K03
a.Apakah ART diukur Lingkar Lengan Atas (LILA) b. Lingkar Lengan Atas (LILA)cm
1. Ya
2. Tidak K04
............................... cm
,
LINGKAR PERUT (KHUSUS ART UMUR ≥ 15 TAHUN) KECUALI IBU HAMIL K04
a. Apakah ART diukur Lingkar Perut
1. Ya
b. Lingkar Perut (Cm)
............................... cm 18 – Design Final
2. Tidak K05
,
TEKANAN DARAH DIUKUR DI LENGAN KIRI ( UNTUK ART UMUR ≥ 15 TAHUN ) K05
a. Apakah dilakukan pengukuran tekanan darah yang pertama:
b. Tekanan darah sistolik (mmHg) K06
a. Apakah dilakukan pengukuran tekanan darah yang kedua :
K07
a. Apakah dilakukan pengukuran tekanan darah yang ketiga :
2. TidakL
c. Tekanan darah diastolik (mmHg) 1. Ya
b. Tekanan darah sistolik (mmHg)
2. TidakL
c. Tekanan darah diastolik (mmHg) 1. Ya
b. Tekanan darah sistolik (mmHg)
1. Ya
2. TidakL
c. Tekanan darah diastolik (mmHg)
L. PEMERIKSAAN MATA PEMERIKSAAN VISUS (UNTUK ART USIA > 6 TAHUN)
L01
Alat bantu apa yang digunakan [NAMA] untuk melihat saat 1.Tanpa kacamata/ lensa kontak 3. Pakai lensa kontak pemeriksaan visus? 2. Pakai kacamata 4. TIDAK DIPERIKSA L02 Pemeriksaan VISUS Mata kanan Mata kiri 1. Dapat melihat E kecil (jarak 6m) Tanpa Dengan Tanpa Dengan 2. Tidak dapat melihat E kecil, tetapi dapat melihat E sedang (jarak 6m) pinhole pinhole pinhole pinhole 3. Tidak dapat melihat E sedang, tetapi dapat melihat E besar (jarak 6m) 4. Tidak dapat melihat E besar (jarak 6m), tetapi dapat melihat E besar (jarak 3m) 5. Tidak dapat melihat E besar pada jarak 3m 6. TIDAK DIPERIKSA L03-L05 (UNTUK SEMUA UMUR) L03 Kelainan Permukaan Mata (LIHAT CONTOH PADA KARTU PERAGA) 1. Ya, Mata kanan 3. Ya, Kedua mata a. Pterygium 2. Ya, Mata Kiri 4. Tidak ada pterygium 5. TIDAK DIPERIKSA 1. Ya, Mata kanan 3. Ya, Kedua mata b. Kekeruhan kornea 2. Ya, Mata Kiri 4. Tidak ada kornea keruh 5. TIDAK DIPERIKSA 1. Lensa normal L04 Lensa mata: Mata kanan Mata kiri 2. Lensa keruh (katarak) 3. TIDAK DIPERIKSA JIKA MATA KANAN BERKODE 1 DAN MATA KIRI BERKODE 3 ATAU SEBALIKNYA KE L06 JIKA KEDUA MATA BERKODE 1 ATAU KEDUA MATA BERKODE 3 KE L06 JIKA SALAH SATU MATA ATAU KEDUA MATA BERKODE 2KE L05 L05 Jika salah satu atau kedua jawaban L04 berkode 2, ditanyakan alasan mengapa [NAMA] belum operasi katarak
a. Alasan Utama
b. Alasan Lain 1. Ada
2. Tidak AdaL06
c. Alasan Lain
1. Ada
Lihat kode KODE JAWABAN L05: 01. Tidak tahu kalau katarak/tidak tahu kalau bisa dioperasi 02. Fasilitas operasi jauh/tidak dapat dijangkau 03. Kehendak Tuhan yang harus diterima 04. Tidak perlu karena masih dapat melihat dgn satu mata 05. Diberitahu bahwa katarak belum matang 06. Tidak perlu karena sudah tua 07. Tidak tahu dimana tersedia fasilitas untuk operasi 08. Tidak perlu karena masih bisa bekerja
2. Tidak AdaL06
Lihat kode
Lihat kode
09. Tidak diizinkan oleh keluarga 10. Takut dioperasi 11. Kurang penting dibanding prioritas hidup lainnya 12. Takut menjadi lebih buta 13. Tidak mampu membiayai 14. Kontraindikasi operasi (penyakit lain/penyerta) 15. Tidak ada yang mendampingi 16. Lainnya
L06 (UNTUK ART < 5 TAHUN) LIHAT KARTU PERAGA L06 Pemeriksaan Xeroftalmia: ISIKAN HASILPEMERIKSAAN SESUAI KELAINAN YANG PALING BERAT 5. Sebagian dari hitam mata melunak seperti bubur 1. Tidak Ada Kelainan kornea 6. Seluruh bagian hitam mata melunak seperti bubur 2. Bagian putih mata kering, kusam, tak bersinar 7. Bola mata mengecil/mengempis 3. Ada bercak seperti busa sabun 8. TIDAK DIPERIKSA 4. Bagian hitam mata kering, kusam, tak bersinar 19 – Design Final
Mata Kanan
Mata Kiri
M. PEMERIKSAAN THT M01 – MO2 (UNTUK ART > 2 TAHUN) M01
M02
PENGAMATAN (OBSERVASI)
Telinga Kanan
Telinga Kiri
a. Anatomi Liang telinga
1. Lapang 2. Sempit
3. Tidak ada liang telingaM02 4. TIDAK DIPERIKSA
b.Kelainan dalam Liang Telinga BILA TERDAPAT LEBIH DARI SATU KELAINAN, JUMLAHKAN SEMUA KODE JAWABAN YANG SESUAI
00. Tidak Ada kelainan 01. Sekret bening encer 02. Sekret keruh kental 04. Sekret dan darah
08. Jaringan Granulasi 16. Serumen 32. Kolesteatoma 88. TIDAK DIPERIKSA
c.Gendang telinga
1. Utuh 2. Perforasi
3. Tidak dapat dievaluasi 4. TIDAK DIPERIKSA
d.Retroaurikuler
1. Normal 2. Fistel
3. Abses 4. Sikatrik 5. TIDAK DIPERIKSA
Apakah [NAMA] mengalami gangguan pendengaran?
1. Ya , satu telinga
3. Ya, gangguan pendengaran hilang timbul
2. Ya, kedua telinga
4. Tidak ada gangguan pendengaran
8. Tidak tahu
M03 (UNTUK ART > 5 TAHUN) M03
Pemeriksaan Konversasi (Dilakukan dalam ruang tertutup) 1. Dapat mendengar dan mengikuti kata-kata yang dibisikkan 2. Dapat mendengar dan mengikuti kata-kata dengan volume normal 3. Dapat mendengar dan mengikuti kata-kata volume keras 4. Dapat mendengar dan mengikuti kata-kata yang diucapkan dengan berteriak oleh pemeriksa pada telinga yang pendengarannya lebih baik 5. Tidak dapat mendengar teriakan pemeriksa 7. Tidak Berlaku (Responden Bisu) 8. TIDAK DIPERIKSA
N. PEMERIKSAAN STATUS GIGI PERMANEN ≥ 12 THN N01
Apakah dilakukan pemeriksaan gigi?
1. Ya
N02
Berilah kode pada setiap kotak dentogram di bawah ini: D = gigi berlubang (decayed) M = gigi telah dicabut/tinggal akar (missing) F = gigi ditambal (filling)
DF = gigi ditambal dan ada lubang pada gigi tersebut BT = gigi belum terlihat/ belum tumbuh S = gigi tanpa lubang dan tanpa tambalan (sehat) Ki
Ka 1
2
4 N03
2. TidakO.01
D-T :
M-T:
F-T:
DF – T
3
Periksa kondisi gigi dan kesehatan mulut a. Gigi Berjejal
1. Ya
2. Tidak
b. Gigi goyah
1. Ya
2. Tidak
c. Karang gigi
1. Ya
2. Tidak
d. Sariawan e. Diskolorasi stain rokok f. Kelainan gusi 20 – Design Final
1. Ya
2. Tidak
1. Ya
2. Tidak
1. Ya
2. Tidak
O. PENGAMBILAN SPESIMEN DARAH DAN SAMPEL URIN O.01
Apakah diambil spesimen darah
1. Ya
O.02
STIKER NOMOR DARAH
O.03
Apakah diambil Urin (ART umur 6 – 12 tahun & ART PEREMPUAN 15-49 tahun )
O.04
STIKER NOMOR URIN
2. Tidak O.03
TEMPEL STIKER DI SINI (XXXXXX) 1. Ya
2. Tidak
TEMPEL STIKER DI SINI (XXXXXX)
CATATAN PENGUMPUL DATA
21 – Design Final
Lampiran
Estimasi Kesalahan Sampling Riskesdas 2013 (Sampling errors estimation, Riskesdas 2013) Berikut ini beberapa contoh perhitungan dari variabel riskesdas yang menyajikan Sampling errors estimation untuk menjadi acuan pemlihan variabel yang dapat mewakili provinsi dengan ketentuan jika nilai Relative Standars Error<25. Proporsi sampel penduduk umur 1-4 tahun
Provinsi
Estimasi (%) 8.27 8.16 7.80 8.59 7.49 7.04 6.92 7.18 7.90 9.18 7.52 7.44 6.55 5.84 6.35 7.74 6.87 8.58 8.67 7.08 8.02 7.92 8.39 6.45 8.22 7.64 8.72 7.47 8.56 9.06 9.53 9.33 8.01
SE
RSE
Deft
Aceh 0.20 2.42 1.06 Sumatera Utara 0.17 2.13 2.23 Suamtera Barat 0.21 2.67 1.25 Riau 0.26 2.99 2.13 Jambi 0.24 3.23 1.17 Sumater Selatan 0.20 2.90 2.06 Bengkulu 0.27 3.84 0.81 Lampung 0.21 2.87 2.07 Bangka Belitung 0.33 4.11 0.81 Kep. Riau 0.56 6.15 3.08 DKI Jakarta 0.30 3.95 5.30 Jawa Barat 0.14 1.86 5.22 Jawa Tengah 0.11 1.72 2.81 DI Yogyakarta 0.30 5.08 2.35 Jawa Timur 0.10 1.50 2.40 Banten 0.24 3.04 3.71 Bali 0.22 3.18 1.27 Nusa Tenggara Barat 0.22 2.61 1.22 Nusa Tenggara Timur 0.19 2.25 0.99 Kalimantan Barat 0.25 3.54 1.78 Kalimantan Tengah 0.24 3.03 0.77 Kalimantan Selatan 0.20 2.55 0.89 Kalimantan Timur 0.28 3.32 1.66 Suluwesi Utara 0.23 3.62 0.88 Sulawesi Tengah 0.23 2.82 0.82 Sulawesi Selatan 0.18 2.36 1.58 Sulawesi Tenggara 0.26 2.95 0.82 Gorontalo 0.31 4.17 0.64 Sulawesi Barat 0.43 4.99 1.20 Maluku 0.36 3.99 1.10 Maluku Utara 0.31 3.20 0.50 Papua Barat 0.38 4.09 0.61 Papua 0.29 3.59 1.55 Catatan: Estimasi – nilai dari variabel ybs; SE : Standard Error; RSE: Relative Standard Error; Deft: Design effect; Confidence Interval: Batas Bawah (estimasi – 2SE); Batas Atas (estimasi + 2SE
Confidence Interval % - 2SE % + 2SE 7.87 8.67 7.81 8.51 7.38 8.21 8.08 9.11 7.00 7.97 6.64 7.45 6.39 7.45 6.77 7.59 7.25 8.55 8.05 10.31 6.92 8.11 7.17 7.72 6.32 6.78 5.25 6.43 6.16 6.54 7.27 8.21 6.44 7.31 8.14 9.03 8.28 9.06 6.58 7.58 7.54 8.51 7.52 8.33 7.83 8.94 5.99 6.92 7.75 8.68 7.28 8.00 8.21 9.24 6.85 8.10 7.71 9.41 8.34 9.79 8.92 10.14 8.56 10.09 7.43 8.58
Proporsi sampel berdasrkan pendiidikan yang ditamatkan (perguruan tinggi)
Provinsi
Estimasi (%) 6.29 5.18 6.50 5.80 4.75 4.77 5.94 3.80 4.36 8.20 8.56 4.45 4.20 10.15 4.43 6.44 7.99 4.73 3.64 3.37 5.62 5.26 4.83 6.38 5.54 6.31 6.98 4.94 4.24 6.76 5.55 5.72 4.77
SE
RSE
Deft
Aceh 0.35 5.51 3.61 Sumatera Utara 0.34 6.59 11.64 Suamtera Barat 0.46 7.12 6.55 Riau 0.48 8.25 9.32 Jambi 0.44 9.19 5.22 Sumater Selatan 0.52 10.95 17.56 Bengkulu 0.60 10.03 4.25 Lampung 0.39 10.27 12.26 Bangka Belitung 0.55 12.62 3.57 Kep. Riau 1.38 16.86 17.75 DKI Jakarta 0.82 9.54 32.15 Jawa Barat 0.29 6.50 33.23 Jawa Tengah 0.22 5.18 14.48 DI Yogyakarta 0.89 8.80 11.91 Jawa Timur 0.21 4.75 15.13 Banten 0.65 10.02 29.53 Bali 0.62 7.79 8.19 Nusa Tenggara Barat 0.37 7.85 5.22 Nusa Tenggara Timur 0.31 8.48 4.89 Kalimantan Barat 0.33 9.85 5.70 Kalimantan Tengah 0.51 9.08 4.22 Kalimantan Selatan 0.45 8.63 5.84 Kalimantan Timur 0.43 8.87 5.83 Suluwesi Utara 0.63 9.88 5.89 Sulawesi Tengah 0.46 8.34 4.15 Sulawesi Selatan 0.54 8.51 14.97 Sulawesi Tenggara 0.59 8.40 4.55 Gorontalo 0.70 14.13 4.25 Sulawesi Barat 0.56 13.19 3.49 Maluku 0.70 10.29 4.63 Maluku Utara 0.54 9.77 2.26 Papua Barat 0.54 9.43 1.66 Papua 0.42 8.74 4.71 Catatan: Estimasi – nilai dari variabel ybs; SE : Standard Error; RSE: Relative Standard Error; Deft: Design effect; Confidence Interval: Batas Bawah (estimasi – 2SE); Batas Atas (estimasi + 2SE
Confidence Interval % - 2SE % + 2SE 5.60 6.99 4.50 5.86 5.57 7.42 4.84 6.76 3.88 5.63 3.73 5.82 4.75 7.14 3.02 4.57 3.26 5.46 5.43 10.96 6.93 10.19 3.87 5.03 3.77 4.64 8.37 11.94 4.01 4.85 5.15 7.73 6.74 9.23 3.98 5.47 3.02 4.25 2.71 4.04 4.60 6.64 4.35 6.17 3.97 5.68 5.12 7.64 4.62 6.47 5.23 7.38 5.81 8.15 3.54 6.33 3.12 5.36 5.37 8.15 4.47 6.64 4.64 6.80 3.94 5.61
Proporsi Sumber Pembiayaan Rawat Jalan Jamkesmas Provinsi
Estimasi (%) 49.41 14.55 18.91 18.09 17.49 19.92 12.40 21.65 15.67 9.41 17.33 13.87 16.34 22.85 11.70 15.79 19.55 18.87 53.54 19.21 22.71 21.46 39.91 20.18 23.87 48.66 39.66 36.35 52.49 33.48 35.67 47.28 66.77
SE
RSE
Deft
Confidence Interval % - 2SE % + 2SE 45.9 52.9 11.5 17.6 16.2 21.6 13.5 22.6 13.3 21.7 15.2 24.7 8.6 16.3 17.2 26.1 11.5 19.8 5.7 13.1 13.6 21.0 12.4 15.3 15.1 17.6 18.2 27.5 10.6 12.8 12.7 18.9 16.8 22.3 15.6 22.1 48.9 58.2 14.7 23.7 17.6 27.9 17.6 25.3 30.6 49.2 16.1 24.2 18.9 28.9 45.6 51.8 33.4 45.9 30.2 42.5 44.2 60.7 25.2 41.8 27.8 43.6 39.3 55.2 60.5 73.0
Aceh 1.76 3.56 3.04 Sumatera Utara 1.53 10.52 6.63 Suamtera Barat 1.36 7.18 1.59 Riau 2.27 12.57 4.36 Jambi 2.10 11.99 2.02 Sumater Selatan 2.37 11.92 5.66 Bengkulu 1.92 15.51 0.83 Lampung 2.22 10.27 5.18 Bangka Belitung 2.07 13.24 1.74 Kep. Riau 1.86 19.74 2.74 DKI Jakarta 1.84 10.63 8.45 Jawa Barat 0.74 5.32 8.68 Jawa Tengah 0.63 3.88 4.81 DI Yogyakarta 2.30 10.08 6.61 Jawa Timur 0.53 4.57 5.57 Banten 1.57 9.93 7.92 Bali 1.38 7.05 2.51 Nusa Tenggara Barat 1.62 8.58 2.86 Nusa Tenggara Timur 2.31 4.31 4.57 Kalimantan Barat 2.27 11.79 2.95 Kalimantan Tengah 2.57 11.32 2.11 Kalimantan Selatan 1.93 8.97 2.15 Kalimantan Timur 4.66 11.68 12.19 Suluwesi Utara 2.03 10.07 1.66 Sulawesi Tengah 2.50 10.46 2.55 Sulawesi Selatan 1.55 3.19 3.24 Sulawesi Tenggara 3.13 7.90 3.05 Gorontalo 3.08 8.47 1.98 Sulawesi Barat 4.13 7.86 1.68 Maluku 4.14 12.37 3.44 Maluku Utara 3.95 11.07 1.98 Papua Barat 3.98 8.41 2.07 Papua 3.14 4.70 7.92 Catatan: Estimasi – nilai dari variabel ybs; SE : Standard Error; RSE: Relative Standard Error; Deft: Design effect; Confidence Interval: Batas Bawah (estimasi – 2SE); Batas Atas (estimasi + 2SE)
Prevalensi Hipertensi, berdasarkan diagnosa tenaga kesehatan (wawancara)
Provinsi
Estimasi (%) 8.89 5.98 7.19 5.57 6.82 6.43 7.21 6.81 9.25 8.31 9.43 9.70 8.84 12.13 10.07 7.89 8.24 6.15 6.58 7.37 9.91 12.18 9.63 14.02 10.69 9.46 6.96 10.28 8.61 6.01 6.30 4.66 2.99
SE
RSE
Deft
Aceh 0.28 3.10 1.26 Sumatera Utara 0.25 4.17 4.04 Suamtera Barat 0.31 4.26 1.98 Riau 0.28 5.06 2.54 Jambi 0.39 5.70 2.26 Sumater Selatan 0.32 4.97 3.83 Bengkulu 0.35 4.82 0.93 Lampung 0.31 4.52 3.40 Bangka Belitung 0.42 4.57 0.82 Kep. Riau 0.66 7.91 3.20 DKI Jakarta 0.42 4.45 6.39 Jawa Barat 0.22 2.27 7.25 Jawa Tengah 0.18 2.03 3.95 DI Yogyakarta 0.52 4.28 2.88 Jawa Timur 0.17 1.66 3.62 Banten 0.35 4.41 5.50 Bali 0.37 4.49 2.28 Nusa Tenggara Barat 0.28 4.63 1.83 Nusa Tenggara Timur 0.29 4.39 1.73 Kalimantan Barat 0.29 4.00 1.59 Kalimantan Tengah 0.42 4.24 1.29 Kalimantan Selatan 0.40 3.30 1.67 Kalimantan Timur 0.46 4.73 2.69 Suluwesi Utara 0.50 3.54 1.42 Sulawesi Tengah 0.43 4.07 1.50 Sulawesi Selatan 0.28 2.93 2.09 Sulawesi Tenggara 0.42 6.09 1.73 Gorontalo 0.61 5.94 1.24 Sulawesi Barat 0.65 7.56 1.75 Maluku 0.46 7.72 1.65 Maluku Utara 0.41 6.46 0.82 Papua Barat 0.44 9.49 1.00 Papua 0.24 7.87 1.69 Catatan: Estimasi – nilai dari variabel ybs; SE : Standard Error; RSE: Relative Standard Error; Deft: Design effect; Confidence Interval: Batas Bawah (estimasi – 2SE); Batas Atas (estimasi + 2SE)
Confidence Interval % - 2SE % + 2SE 8.3 5.5 6.6 5.0 6.0 5.8 6.5 6.2 8.4 7.0 8.6 9.3 8.5 11.1 9.7 7.2 7.5 5.6 6.0 6.8 9.1 11.4 8.7 13.0 9.8 8.9 6.1 9.1 7.3 5.1 5.5 3.8 2.5
9.4 6.5 7.8 6.1 7.6 7.1 7.9 7.4 10.1 9.6 10.3 10.1 9.2 13.2 10.4 8.6 9.0 6.7 7.2 8.0 10.7 13.0 10.5 15.0 11.6 10.0 7.8 11.5 9.9 6.9 7.1 5.5 3.5
Prevalensi Katarak
Provinsi
Estimasi (%) 2.75 1.38 2.29 1.86 2.80 1.74 1.88 1.51 1.84 1.39 0.87 1.51 2.39 1.96 1.61 1.84 2.75 1.56 2.30 1.83 1.36 1.45 1.99 3.66 2.43 2.54 1.83 1.92 1.11 2.15 2.33 1.46 2.41
SE
RSE
Deft
Aceh 0.15 5.33 1.60 Sumatera Utara 0.09 6.40 3.16 Suamtera Barat 0.22 9.82 4.67 Riau 0.15 8.16 3.19 Jambi 0.29 10.38 4.26 Sumater Selatan 0.13 7.74 3.42 Bengkulu 0.32 16.94 4.07 Lampung 0.14 9.43 4.40 Bangka Belitung 0.36 19.56 3.95 Kep. Riau 0.26 18.45 3.85 DKI Jakarta 0.11 12.98 6.05 Jawa Barat 0.10 6.77 13.13 Jawa Tengah 0.13 5.35 9.42 DI Yogyakarta 0.33 17.01 8.48 Jawa Timur 0.08 5.06 6.58 Banten 0.17 9.11 7.28 Bali 0.28 10.28 5.09 Nusa Tenggara Barat 0.13 8.27 2.07 Nusa Tenggara Timur 0.16 7.05 2.40 Kalimantan Barat 0.20 10.99 4.18 Kalimantan Tengah 0.13 9.85 1.28 Kalimantan Selatan 0.15 10.28 2.44 Kalimantan Timur 0.23 11.32 4.27 Suluwesi Utara 0.30 8.23 2.49 Sulawesi Tengah 0.22 9.27 2.44 Sulawesi Selatan 0.18 7.00 4.35 Sulawesi Tenggara 0.19 10.32 1.94 Gorontalo 0.25 13.20 1.56 Sulawesi Barat 0.18 16.08 1.50 Maluku 0.19 8.69 1.13 Maluku Utara 0.25 10.63 1.24 Papua Barat 0.21 14.70 1.13 Papua 0.31 12.81 5.53 Catatan: Estimasi – nilai dari variabel ybs; SE : Standard Error; RSE: Relative Standard Error; Deft: Design effect; Confidence Interval: Batas Bawah (estimasi – 2SE); Batas Atas (estimasi + 2SE
Confidence Interval % - 2SE % + 2SE 2.46 3.05 1.20 1.55 1.84 2.73 1.56 2.16 2.22 3.38 1.47 2.01 1.24 2.52 1.23 1.80 1.12 2.55 0.88 1.91 0.64 1.09 1.31 1.72 2.13 2.65 1.30 2.63 1.45 1.77 1.50 2.17 2.18 3.31 1.30 1.81 1.98 2.63 1.43 2.24 1.09 1.63 1.15 1.75 1.54 2.44 3.05 4.26 1.98 2.88 2.18 2.89 1.46 2.21 1.41 2.43 0.76 1.47 1.78 2.52 1.84 2.83 1.03 1.89 1.80 3.03
Prevalensi Pendek Anak Balita
Provinsi
Estimasi (%) 37.21 38.58 37.87 31.30 34.02 31.69 34.54 38.57 28.50 20.64 22.09 31.65 30.47 19.83 31.11 32.21 22.34 39.57 48.01 38.77 36.86 35.25 26.94 28.33 37.95 35.87 39.89 37.07 45.98 36.80 34.97 35.71 38.84
SE
RSE
Deft
Aceh 0.87 2.33 2.54 Sumatera Utara 0.81 2.09 6.11 Suamtera Barat 0.97 2.57 3.22 Riau 0.94 3.00 4.10 Jambi 1.21 3.55 3.27 Sumater Selatan 0.97 3.06 5.20 Bengkulu 1.02 2.96 1.27 Lampung 1.08 2.81 5.59 Bangka Belitung 1.57 5.52 2.42 Kep. Riau 1.34 6.51 3.11 DKI Jakarta 1.11 5.01 8.88 Jawa Barat 0.63 2.00 12.60 Jawa Tengah 0.49 1.62 5.14 DI Yogyakarta 0.99 4.99 2.54 Jawa Timur 0.50 1.61 5.72 Banten 1.05 3.26 8.86 Bali 0.95 4.24 2.85 Nusa Tenggara Barat 0.98 2.48 3.00 Nusa Tenggara Timur 1.06 2.20 4.01 Kalimantan Barat 1.09 2.81 3.60 Kalimantan Tengah 1.10 2.98 1.89 Kalimantan Selatan 0.96 2.72 2.28 Kalimantan Timur 1.09 4.04 3.60 Suluwesi Utara 0.97 3.43 1.56 Sulawesi Tengah 0.96 2.53 1.81 Sulawesi Selatan 0.75 2.09 3.22 Sulawesi Tenggara 1.08 2.72 2.05 Gorontalo 1.39 3.75 1.53 Sulawesi Barat 1.67 3.64 2.54 Maluku 1.55 4.21 3.06 Maluku Utara 1.37 3.92 1.63 Papua Barat 1.49 4.16 1.42 Papua 1.25 3.21 3.62 Catatan: Estimasi – nilai dari variabel ybs; SE : Standard Error; RSE: Relative Standard Error; Deft: Design effect; Confidence Interval: Batas Bawah (estimasi – 2SE); Batas Atas (estimasi + 2SE
Confidence Interval % - 2SE % + 2SE 35.48 38.95 36.97 40.19 35.92 39.82 29.42 33.18 31.60 36.43 29.75 33.63 32.49 36.59 36.40 40.73 25.35 31.64 17.96 23.33 19.88 24.30 30.39 32.92 29.48 31.46 17.85 21.81 30.11 32.12 30.12 34.31 20.45 24.24 37.61 41.54 45.90 50.12 36.59 40.95 34.66 39.06 33.33 37.16 24.77 29.11 26.39 30.27 36.03 39.87 34.37 37.37 37.72 42.06 34.29 39.85 42.63 49.33 33.70 39.90 32.23 37.71 32.74 38.69 36.34 41.33
Prevalensi Diare berdasarkan diagnosa
Provinsi
Estimasi (%) 7.37 4.26 4.76 3.51 3.49 2.91 3.80 2.86 2.07 2.31 4.96 4.88 4.67 3.81 4.67 4.30 3.58 5.33 6.26 2.82 3.66 3.25 3.43 4.05 4.54 5.59 4.11 4.34 5.32 3.74 2.56 3.92 8.69
SE
RSE
Deft
Aceh 0.35 4.76 3.60 Sumatera Utara 0.20 4.70 5.45 Suamtera Barat 0.25 5.24 2.85 Riau 0.31 8.82 7.19 Jambi 0.38 10.78 5.79 Sumater Selatan 0.21 7.19 5.03 Bengkulu 0.30 7.78 1.77 Lampung 0.20 7.11 4.85 Bangka Belitung 0.24 11.65 1.59 Kep. Riau 0.33 14.12 3.80 DKI Jakarta 0.35 6.98 10.63 Jawa Barat 0.16 3.23 10.04 Jawa Tengah 0.16 3.36 7.46 DI Yogyakarta 0.28 7.39 3.19 Jawa Timur 0.15 3.23 8.08 Banten 0.30 7.08 10.77 Bali 0.22 6.12 2.38 Nusa Tenggara Barat 0.35 6.55 4.64 Nusa Tenggara Timur 0.39 6.31 5.48 Kalimantan Barat 0.20 7.15 2.76 Kalimantan Tengah 0.31 8.38 2.58 Kalimantan Selatan 0.21 6.56 2.29 Kalimantan Timur 0.26 7.56 3.34 Suluwesi Utara 0.28 7.00 2.01 Sulawesi Tengah 0.31 6.76 2.50 Sulawesi Selatan 0.26 4.57 4.24 Sulawesi Tenggara 0.35 8.54 3.07 Gorontalo 0.45 10.41 2.25 Sulawesi Barat 0.62 11.62 3.92 Maluku 0.33 8.73 2.04 Maluku Utara 0.25 9.93 1.20 Papua Barat 0.43 10.92 1.72 Papua 0.76 8.75 10.07 Catatan: Estimasi – nilai dari variabel ybs; SE : Standard Error; RSE: Relative Standard Error; Deft: Design effect; Confidence Interval: Batas Bawah (estimasi – 2SE); Batas Atas (estimasi + 2SE
Confidence Interval % - 2SE % + 2SE 6.67 8.08 3.86 4.67 4.26 5.25 2.89 4.13 2.74 4.25 2.49 3.33 3.21 4.39 2.46 3.27 1.59 2.55 1.66 2.96 4.27 5.66 4.57 5.20 4.35 4.98 3.25 4.38 4.37 4.97 3.69 4.91 3.15 4.02 4.63 6.03 5.47 7.05 2.41 3.22 3.05 4.27 2.82 3.67 2.91 3.94 3.48 4.62 3.93 5.16 5.08 6.10 3.41 4.82 3.44 5.24 4.08 6.56 3.09 4.39 2.05 3.07 3.06 4.77 7.16 10.21
Contraceptive prevalence rate (CPR) modern
Provinsi
Estimasi (%) 55.84 56.88 57.62 62.95 69.57 69.67 70.31 71.02 65.62 58.98 58.35 63.69 64.65 59.13 65.41 62.77 68.03 57.36 55.86 71.86 70.07 65.74 61.86 63.16 63.75 57.04 61.71 68.77 60.61 53.52 58.30 58.80 59.23
SE
RSE
Deft
Aceh 0.94 1.69 1.04 Sumatera Utara 0.94 1.65 2.63 Suamtera Barat 1.02 1.78 1.29 Riau 1.05 1.66 1.99 Jambi 1.02 1.46 1.28 Sumater Selatan 1.04 1.49 2.90 Bengkulu 1.15 1.63 0.85 Lampung 0.81 1.14 1.94 Bangka Belitung 1.32 2.02 0.81 Kep. Riau 2.21 3.74 2.55 DKI Jakarta 1.46 2.51 6.81 Jawa Barat 0.53 0.83 4.39 Jawa Tengah 0.54 0.83 3.24 DI Yogyakarta 1.41 2.39 2.03 Jawa Timur 0.47 0.72 3.05 Banten 1.02 1.62 3.91 Bali 0.99 1.46 1.43 Nusa Tenggara Barat 1.19 2.08 2.13 Nusa Tenggara Timur 1.11 1.98 1.11 Kalimantan Barat 0.88 1.23 1.28 Kalimantan Tengah 0.97 1.39 0.88 Kalimantan Selatan 0.90 1.37 1.18 Kalimantan Timur 1.33 2.15 2.27 Suluwesi Utara 1.22 1.92 1.17 Sulawesi Tengah 1.15 1.81 1.15 Sulawesi Selatan 0.86 1.51 1.55 Sulawesi Tenggara 1.25 2.02 0.94 Gorontalo 1.56 2.27 0.94 Sulawesi Barat 1.83 3.03 1.01 Maluku 1.79 3.35 1.00 Maluku Utara 1.45 2.49 0.61 Papua Barat 1.93 3.28 0.71 Papua 1.83 3.09 1.33 Catatan: Estimasi – nilai dari variabel ybs; SE : Standard Error; RSE: Relative Standard Error; Deft: Design effect; Confidence Interval: Batas Bawah (estimasi – 2SE); Batas Atas (estimasi + 2SE
Confidence Interval % - 2SE % + 2SE 54.0 57.7 55.0 58.8 55.6 59.7 60.9 65.0 67.5 71.6 67.6 71.7 68.0 72.6 69.4 72.6 63.0 68.3 54.6 63.4 55.4 61.3 62.6 64.7 63.6 65.7 56.3 62.0 64.5 66.4 60.7 64.8 66.0 70.0 55.0 59.7 53.6 58.1 70.1 73.6 68.1 72.0 63.9 67.5 59.2 64.5 60.7 65.6 61.4 66.1 55.3 58.8 59.2 64.2 65.6 71.9 56.9 64.3 49.9 57.1 55.4 61.2 54.9 62.7 55.6 62.9
Proporsi rumah tangga berdasarkan Kualitas fisik air
Provinsi
Estimasi (%) 88.15 91.86 94.56 95.42 94.62 93.17 91.16 96.18 97.01 98.32 96.29 94.30 95.25 96.36 96.18 93.79 96.39 93.36 85.26 93.64 88.17 87.12 95.20 94.95 90.84 92.95 93.12 94.99 95.31 92.55 92.84 94.16 78.61
SE
RSE
Deft
Aceh 1.07 1.21 5.93 Sumatera Utara 0.64 0.70 7.77 Suamtera Barat 0.64 0.68 4.48 Riau 0.66 0.70 6.76 Jambi 0.86 0.90 5.25 Sumater Selatan 0.77 0.83 7.65 Bengkulu 1.20 1.32 3.65 Lampung 0.54 0.56 7.07 Bangka Belitung 0.55 0.57 1.69 Kep. Riau 0.42 0.42 2.57 DKI Jakarta 0.43 0.45 6.99 Jawa Barat 0.42 0.44 17.85 Jawa Tengah 0.32 0.33 9.11 DI Yogyakarta 0.57 0.59 4.53 Jawa Timur 0.26 0.27 8.70 Banten 0.86 0.92 16.55 Bali 0.70 0.72 6.81 Nusa Tenggara Barat 0.75 0.80 5.09 Nusa Tenggara Timur 1.37 1.61 7.42 Kalimantan Barat 0.84 0.90 5.93 Kalimantan Tengah 1.33 1.51 4.84 Kalimantan Selatan 1.26 1.45 6.52 Kalimantan Timur 0.65 0.68 4.40 Suluwesi Utara 0.60 0.64 2.21 Sulawesi Tengah 1.16 1.28 5.02 Sulawesi Selatan 0.67 0.72 6.39 Sulawesi Tenggara 1.00 1.07 3.89 Gorontalo 0.89 0.94 2.00 Sulawesi Barat 1.01 1.06 3.10 Maluku 1.26 1.36 3.90 Maluku Utara 1.02 1.10 1.81 Papua Barat 1.27 1.35 3.09 Papua 1.88 2.39 9.26 Catatan: Estimasi – nilai dari variabel ybs; SE : Standard Error; RSE: Relative Standard Error; Deft: Design effect; Confidence Interval: Batas Bawah (estimasi – 2SE); Batas Atas (estimasi + 2SE
Confidence Interval % - 2SE % + 2SE 86.02 90.29 90.59 93.14 93.27 95.85 94.09 96.75 92.91 96.33 91.63 94.72 88.76 93.55 95.11 97.25 95.91 98.11 97.49 99.15 95.43 97.15 93.47 95.13 94.61 95.88 95.22 97.51 95.66 96.71 92.07 95.52 94.99 97.78 91.87 94.85 82.51 88.00 91.96 95.33 85.51 90.83 84.60 89.65 93.90 96.49 93.75 96.16 88.52 93.16 91.61 94.29 91.12 95.12 93.21 96.76 93.29 97.33 90.03 95.07 90.79 94.89 91.61 96.71 74.86 82.36
Proporsi rumah tangga pernah mendengar obat generik
Provinsi
Estimasi (%) 30.84 31.04 25.24 28.96 36.66 24.75 17.89 18.09 33.55 38.93 63.62 38.01 29.09 51.36 25.80 37.81 49.45 20.03 12.02 23.09 25.51 29.17 42.30 36.48 21.40 25.16 28.11 39.25 19.76 23.95 19.25 33.34 17.28
SE
RSE
Deft
Confidence Interval % - 2SE % + 2SE 27.91 33.78 28.62 33.46 22.54 27.95 25.36 32.55 31.86 41.46 21.51 27.99 14.93 20.86 15.76 20.42 29.30 37.80 32.64 45.21 61.07 66.16 36.24 39.77 27.62 30.56 46.77 55.95 24.26 27.34 34.11 41.52 45.57 53.34 17.52 22.54 10.06 13.99 20.13 26.04 22.35 28.67 26.15 32.19 38.52 46.09 32.69 40.27 18.59 24.22 22.58 27.75 24.35 31.87 31.25 47.25 15.63 23.90 19.45 28.45 15.55 22.95 26.49 40.18 14.84 19.72
Aceh 1.47 4.76 5.49 Sumatera Utara 1.21 3.90 9.75 Suamtera Barat 1.35 5.36 5.40 Riau 1.80 6.20 10.52 Jambi 2.40 6.55 9.07 Sumater Selatan 1.62 6.55 11.55 Bengkulu 1.48 8.29 3.06 Lampung 1.16 6.44 8.25 Bangka Belitung 2.12 6.33 3.28 Kep. Riau 3.14 8.07 10.22 DKI Jakarta 1.27 2.00 9.49 Jawa Barat 0.88 2.32 18.32 Jawa Tengah 0.73 2.53 10.76 DI Yogyakarta 2.29 4.47 10.29 Jawa Timur 0.77 2.98 14.37 Banten 1.85 4.90 18.91 Bali 1.94 3.93 7.42 Nusa Tenggara Barat 1.26 6.27 5.59 Nusa Tenggara Timur 0.98 8.15 4.51 Kalimantan Barat 1.48 6.39 6.11 Kalimantan Tengah 1.58 6.19 3.74 Kalimantan Selatan 1.51 5.17 5.06 Kalimantan Timur 1.89 4.47 7.06 Suluwesi Utara 1.89 5.19 4.49 Sulawesi Tengah 1.41 6.58 3.65 Sulawesi Selatan 1.29 5.13 8.25 Sulawesi Tenggara 1.88 6.69 4.36 Gorontalo 4.00 10.20 8.06 Sulawesi Barat 2.07 10.46 3.66 Maluku 2.25 9.40 4.71 Maluku Utara 1.85 9.61 2.53 Papua Barat 3.42 10.27 5.51 Papua 1.22 7.07 4.62 Catatan: Estimasi – nilai dari variabel ybs; SE : Standard Error; RSE: Relative Standard Error; Deft: Design effect; Confidence Interval: Batas Bawah (estimasi – 2SE); Batas Atas (estimasi + 2SE