C
C
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang N0. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atauHak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
C
C
PUTU SETIA
BALI
MERADANG
C
C
Bali Meradang (Buku ketiga dari trilogi Menggugat Bali) Putu Setia No.50. 2006 Penerbit PT Pustaka Manikgeni Jl. Pulau Belitung II/3 - Pedungan- Denpasar 80222 Telepon dan Faks: (0361) 723 765
[email protected] [email protected] Pracetak oleh “Manikgeni Graphics Design” Desain sampul: Nyoman Wirya Suniatmaja, ST Ilustrasi oleh S. Prinka diambil dari buku Menggugat Bali Cetakan pertama Desember 2006 Cetakan kedua April 2008
C
C
Kata Pengantar
D
ua puluh enam tahun yang lalu, pada September 1986, ketika saya meluncurkan buku Menggugat Bali, fokus perhatian saat itu adalah perubahan sosial budaya masyarakat Bali yang diakibatkan oleh pembangunan yang gencar dilakukan pemerintah. Pembangunan di Bali itu tentu dikaitkan dengan pariwisata yang sedang berkembang dengan pesat. Perubahan yang terjadi memang belum menggoncangkan, tetapi cukup mencemaskan karena gerak pembangunan sering dilakukan dengan gegabah. Bali terus bergerak, pariwisata berkembang pesat, perekonomian hidup dan memberikan kemakmuran buat masyarakat, termasuk masyarakat pedesaan yang tidak langsung bersinggungan dengan wisatawan. Namun, bom dasyat meledak di Kuta, 12 Oktober 2002 yang membalikkan keadaan Bali. Perekonomian mendadak lesu. Terjadi perubahan sosial di masyarakat terutama dalam
C
C
kaitan dengan budaya Bali yang jadi tulang punggung perekonomian. Apa sebenarnya yang terjadi, pergeseran apa yang nampak, dan kenapa hal itu terjadi? Perdebatan ini menjadi tak henti-henti dilakukan, meski tanpa hasil akhir. Setelah perekonomian Bali kembali bangkit, bom ternyata masih meledak juga di Bali pada 1 Oktober 2005, yang dikenal sebagai “bom Bali II”. Ini membuat Bali tambah terpuruk, karena belum pulih benar dari “bom Bali I” sudah dihancurkan oleh bom yang kedua. Bali pun meradang. Dari benang merah perjalanan budaya Bali, baik perubahan yang diakibatkan oleh pembangunan yang mengacu ke era industri, maupun langsung atau tidak karena dampak Bom I dan Bom II, saya pun mengumpulkan berbagai tulisan yang tercecer di berbagai penerbitan. Hasilnya adalah dua buku yang saya maksudkan sebagai “sambungan” dari perjalanan budaya yang sejak awal saya rekam dalam buku Menggugat Bali. Kedua buku itu adalah Mendebat Bali dan Bali Meradang. Jadi, ditambah dengan buku awal Menggugat Bali, maka jadilah ini sebuah Trilogi yang merekam sejarah perjalanan budaya dari lebih setengah abad. Mendebat Bali, dimaksudkan sebagai catatan untuk bahan perdebatan, apa yang akan kita lakukan untuk Bali agar kelestarian budaya dan adatnya tetap terjaga. Adat dan budaya yang usang, apalagi yang bertentangan dengan agama, tetapi diwariskan secara turun-temurun, tentu kita buang. Tetapi adat dan budaya yang secara nyata senapas dengan agama Hindu, haruslah kita lestarikan sepanjang zaman. Itu yang saya maksudkan sebagai bahan untuk diperdebatkan dengan hati yang lapang. Buku Bali Meradang, adalah akhir dari Trilogi ini. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002) merujuk kata “meradang” sebagai: “marah sekali; geram; jengkel sekali.“ Ya, orang Bali marah, geram dan jengkel dengan ledakan bom
C
C
kedua ini. Dampak buruk Bom I belum pulih benar, sudah disusul Bom II. Kata “meradang” juga bisa dikaitkan dengan sakit. Bali yang meradang adalah Bali yang sebenarnya sedang sakit. Ini memberi inspirasi buat saya untuk mengumpulkan tulisan yang menunjukkan pada bagian mana Bali yang sakit itu, yang membuat kita jengkel sekali. Tulisan yang kini terkumpul menjadi dua buku untuk melengkapi buku pertama Menggugat Bali, kebanyakan diambil dari rubrik Bondres yang terbit setiap hari Sabtu di harian Bali Post Denpasar. Setelah saya menjadi Pendeta Hindu, saya berhenti menulis di rubrik itu, dan akhirnya rubrik itu juga ditutup. Sebagian kecil tulisan diambil dari Majalah Hindu Raditya, majalah yang saya dirikan 1985. Jadi, tulisan ini sudah “dibuat lama”, kelihatan dari tahun yang diunggah pada akhir setiap tulisan. Namun, sesungguhnya tulisan itu sudah dibaca ulang kembali. Hanya tulisan yang tetap relevan dengan kejadian masa kini yang dikumpulkan pada buku ini -- beberapa tulisan malah ada perbaikan kecil untuk menyesuaikan dengan situasi pada saat buku ini diterbitkan. Dengan demikian, pada hakekatnya, kedua buku ini tetap “baru” karena masalahnya sama sekali tidak kedaluwarsa. Dalam arti, ketika masalah itu ditulis yang tertera pada tahun penulisannya, dengan keadaan sekarang saat diterbitkan sebagai buku, tak ada perubahan apa-apa. Selamat menikmati Bali dengan segala dinamikanya. Denpasar, September 2012
C
C
Daftar Isi
Kata Pengantar ................................................ Bali yang Meradang ....................................... Bali di Titik Nol .............................................. Di Simpang Jalan ............................................ Tak Nyambung ................................................ Adat dan Budaya ............................................. Ikatan Adat ...................................................... Ngayah Adat ................................................... Hukum Kesepekang ........................................ Peradilan Hindu .............................................. Budaya Kekerasan .......................................... Melestarikan Budaya Bali ............................... Kehilangan Subak ........................................... Kembali ke Sawah .......................................... Ajeg Bali atau Hindu ...................................... Etnis Bali ........................................................ Tradisi Kebersamaan ...................................... Pergeseran Ubud ............................................. Banjar Sebagai Ashram ................................... Vishada Ashram .......................................... Nyepi: Pengendalian diri ............................ Nyepi, Merawat Bumi ................................
C
C
v 1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 75 79 83
Nyepi Karya ............................................... Tradisi Keramat .......................................... Pohon Obat ................................................. Asap di Pura ............................................... Seni Wali .................................................... Sekehe Manyi ............................................. Nembang yang Hilang ................................ Balada Trunyan .......................................... Merayakan Galungan ................................. Galungan, Kemenangan Dharma ............... Libur Galungan .......................................... Benteng Kuningan ...................................... Tamiang Kuningan ..................................... Nara Mangsa .............................................. Kidung Perdamaian .................................... Yadnya Untuk Gepeng ............................... Tri Hita Karana ........................................... Tradisi Cuntaka .......................................... Memuja Leluhur ......................................... Leluhur yang Mana .................................... Sejarah yang Ruwet .................................... Wayang dan Mahabharata .......................... Menjadi Panutan ......................................... Kali Yuga .................................................... Hindu dan Judi ........................................... Kepemimpinan Hindu ............................... Kasta yang Sirna ........................................ Seni Ngayah ............................................... Dongeng Untuk Anak ................................ Dongeng itu Indah ..................................... Dongeng Bali ............................................. Sang Penyelamat .......................................
C
C
87 91 95 99 103 107 111 115 119 125 129 133 137 141 145 149 153 157 161 165 169 173 177 181 185 189 193 199 203 207 211 215
Kenapa RUU APP Ditolak ........................ Agama dan Nurani ..................................... Sandhyakalaning Bali Dwipa ....................
219 223 227
Tentang Penulis .........................................
231
C
10
C
Bali yang Meradang
B
om meledak di kawasan Kuta, 12 Oktober 2002, ratusan korban tewas. Bali meradang. Dunia pariwisata Bali hancur. Dan ketika pariwisata sudah agak pulih, bom meledak lagi di Kuta, 1 Oktober 2005, di tempat yang berbeda dengan sebelumnya. Ledakan ini masih ditambah dua ledakan bom di Pantai Jimbaran, pada sebuah kafe. Orang lalu menyebutkan “bom Bali I” dan “bom Bali II”. Akankah Bali kembali meradang? Banyak yang optimistis, dampak sosial bom jilid dua lebih kecil dari bom jilid satu. Orang mulai imun terhadap teror, mulai terbiasa, dan hidup mati seseorang adalah takdir yang sudah disuratkan dari “Atas”. Tak ada orang yang bisa meramalkan kapan ajalnya tiba, dan oleh sebab apa – kecuali terpidana mati dalam kurun waktu 24 jam sebelum eksekusi. Ini salah satu faktor yang membuat orang optimistis. Faktor lainnya, bom meledak di kawasan wisata, yang membantu memulihkan situasi pun banyak. Pemilik hotel, pemilik restoran, pemilik biro perjalanan, kebanyakan orang luar Bali. Juga “pemilik” Bandara Ngurah Rai, bukan orang-orang Bali.
C
11
C
Dengan begitu semangat untuk memulihkan dampak bom pasti berdatangan dari luar Bali. Tetapi, bagaimana kalau yang kena “bom” jagat budaya Bali? Tidak ada orang luar Bali yang bisa membantunya. Budaya urusan yang sangat spesifik, tidak bisa dihitung secara matematis. Dan ini yang terjadi, budaya Bali sudah di-”bom” oleh sebuah budaya global yang membuat kebudayaan Bali terpuruk jatuh. Bali sudah meradang sejak lama, hanya saja tidak begitu dirasakan oleh orang-orang Bali sendiri karena mereka larut dengan kenikmatan racun budaya global itu. Kalau di suatu masa, kebudayaan Bali hancur total dan takluk menyerah pada budaya global, dampaknya pada pariwisata sangat besar. Bali akan seperti Hawaii, kehilangan pariwisata yang bertumpu pada budaya, lalu beralih pada pariwisata yang hanya menjual tempat konperensi, panggung musik gemerlap, keindahan semu di lingkungan hotel, atau pariwisata belanja plus pariwisata judi. Jika itu yang terjadi, industri pariwisata tidak lagi bertumpu pada manusia-manusia Bali sebagai sebuah komunitas. Yang terlibat hanya manusia Bali secara pribadi, dan itu pastilah hanya sebagian saja. Maka sisanya yang lebih besar, lambat laun akan menyingkir, persis orang-orang asli Hawaii. Atau kalau dibawa ke contoh di dalam negeri, seperti orang Betawi di Jakarta, pada terpinggirkan. Seserius apakah budaya global menerjang Bali? Dalam beberapa hal, sudah pada tingkat yang membunuh kebudayaan Bali, khususnya di tataran kesenian, terutama di sektor seni pertunjukan rakyat. Beberapa tokoh agama Hindu di Bali seringkali membagi kesenian sesuai dengan “mandala” (tingkat kesucian) pura. Bahkan ada pendapat, pergelaran kesenian Bali di masa lalu justru berkaitan erat dengan ritual di pura. Ada yang dipentaskan di kanista mandala (jaba) dengan tujuan menarik orang untuk datang ke pura. Misalnya tari legong, joged, janger,
C
12
C
dan banyak lagi. Nah, setelah umat tertarik datang ke pura, maka mereka akan masuk ke madya mandala (jaba tengah). Di sini akan dihibur oleh kesenian yang bermuatan agama atau penelusuran kawitan, misalnya, arja, topeng, gambuh, wayang dan sebagainya. Setelah umat berbekal “ilmu agama” atau tahu silsilah kawitan, maka mereka akan meneruskan persembahyangan ke utama mandala (jeroan). Di sini pun para seniman Bali di masa lalu menciptakan kesenian yang terkait erat dengan ritual, misalnya, rejang, tari baris dan sebagainya. Seni ritual itu sangat ditentukan oleh karakter masyarakat di mana tempat suci itu berdiri, atau desa pekraman itu berada. Itu yang menyebabkan nama rejang boleh sama, tetapi ada berbagai jenis tari rejang. Ada pula berbagai ragam tari baris. Budaya global sudah menyerang kesenian yang dipentaskan di kanista mandala dan madya mandala. Tak ada yang menonton wayang kulit atau topeng, jika pementasan itu tetap berpola pada “tradisi ritual”, yakni memberikan pencerahan agama atau penelusuran kawitan. Tidak ada yang menonton arja kalau tidak disertai banyolan yang jorok-jorok. Apalagi menonton joged, kalau tidak ada “goyang porno” mana ada yang mau. Sekarang saja, ketika orang Bali merayakan Galungan dan Kuningan, seni pertunjukan rakyat Bali kalah dibandingkan kesenian pop yang ditayangkan televisi. Padahal kesenian pop itu sudah punya muatan agama lain (Islam) karena kebetulan Hari Raya Galungan dan Kuningan ini bertepatan dengan bulan Ramadhan yang disucikan umat Islam. Dari sisi ini Bali sudah jelas meradang. Pertahanan yang masih agak kuat adalah seni ritual, seperti berbagai jenis tari rejang dan tari baris itu. Tetapi sampai kapan? Tak ada yang bisa memastikannya. Bahwa kesenian itu pun akan meradang, adalah kekhawatiran banyak orang, mengingat perha-
C
13
C
tian anak-anak muda Bali yang nota bena masih utuh keyakinan Hindu-nya, sangat kecil pada kesenian itu. Apalagi di desa-desa yang tidak memiliki Sekeha Teruna Teruni yang kuat. Pesta Kesenian Bali setiap tahun sesungguhnya banyak berjasa dalam memperkenalkan seni ritual ini. Tetapi kita semua dalam kegamangan, ketika seni Bali dipilah-pilah tingkat kesakralannya menjadi seni wali (sakral) dan seni bali-balihan (profan). Seni bali-balihan bisa dipentaskan di mana saja, karena tak ada unsur sakralnya. Sedangkan seni wali tak bisa dipentaskan di depan umum jika ritual yang terkait tidak ada. Nah, ini jadi masalah. Di satu pihak ada keinginan untuk mempertahankan seni rejang atau seni baris dari bom budaya global, namun di pihak lain ada larangan untuk mementaskan seni ritual itu di tempat umum. Lalu apa langkah kita menyelamatkan kesenian Bali yang masih tersisa ini? Kesenian hanya satu sektor dari kebudayaan. Kehidupan sosial keagamaan orang Bali pun ternyata cukup memprihatinkan. Bom Bali, baik yang pertama maupun yang kedua, betul memporak-porandakan perekonomian Bali, tetapi budaya Bali sesungguhnya sudah mengarah ke porak-poranda, jauh sebelum bom meledak. Dibutuhkan kearifan baru untuk mengatasi ini agar Bali tetap tegak, meski diguncang bom berkali-kali. 8 Oktober 2005
C
14
C
Bali di Titik Nol
J
ika ingin melihat kondisi sosial, ekonomi, dan politik masyarakat Bali dengan benar, ada dua cara. Pertama, keluyuran ke desa-desa, serap apa yang digunjingkan warga desa, dan potret keadaan mereka. Lalu lakukan analisis, jangan melibatkan emosi meskipun Anda orang Bali. Cara kedua, pergi ke luar Bali tiga atau enam bulan. Bergaullah dengan orang Bali perantauan, tanya pada mereka apa komentarnya tentang orang Bali yang tinggal di Bali. Setelah itu cocokkan apa yang dikomentari oleh orang Bali perantauan dengan pulang ke Bali, pelajari kasusnya dan lakukan analisis. Jika salah satu cara ini dilakukan, apalagi keduanya, kemudian punya referensi tentang masyarakat Bali di masa lalu, akan muncul jawaban yang memprihatinkan: Bali dalam keadaan kritis. Bali kehilangan arah, Bali di simpang jalan, Bali bukan Bali yang dulu, dan banyak istilah lagi. Saya sebutkan beberapa contoh dari berbagai sektor. Dalam hal ritual, misalnya, pola pikir masyarakat Bali masih terpaku pada pola lama: banten (sesajen) besar dan jelimet, upacara bermewah-mewah dan berhari-hari, jika perlu berutang. Ritual
C
15
C
seperti ini di masa lalu bisa dilakukan karena masyarakatnya agraris, hasil pertanian subur, dan warga desa punya pekerjaan seragam sebagai petani. Sekarang hasil pertanian hancur dan masyarakatnya sudah tidak agraris. Janur, itik, ayam semuanya didatangkan dari luar Bali dan buah-buahan malah eks impor yang dibeli di pasar swalayan. Warga yang bekerja di pusat industri pariwisata lebih banyak minta izin jika ada ritual, dan itu membuat orang Bali tak akan bisa bersaing merebut jabatan manajer. Mana ada manajer libur melulu untuk ritual? Orang Bali bahagia dengan pola lama ini karena disanjung terus sebagai orang berbudaya tinggi. Sanjungan ini memabukkan, maka apapun yang terjadi di Bali, tak peduli itu bom meledak di Kuta, maka penyelesaiannya selalu ritual: mecaru, melabu gentuh, mulang pekelem, dan berbagai ritual lainnya. Upacara Karipubaya diadakan setelah bom Bali I meledak, sementara pengamanan Bali tak cukup dana. Wanakertih diadakan ketika air danau surut, sementara penghijauan tidak dilakukan dan malah penebangan hutan dibiarkan. Biaya ritual puluhan juta ini membuat makelar janur, itik dan ayam asal Banyuwangi atau Situbondo menjadi kaya dan membeli tanah di Bali seluas-luasnya. Apa yang didapat orang Bali? Kesedihan karena kehilangan pekerjaan dan makin sedih lagi setelah bom Bali II meledak. Orang Bali disanjung sebagai seniman alam. Sementara itu ada orang luar yang mencari peluang, masuk ke sektor riil dan sektor informal. Mereka berdagang di trotoar, mendirikan tenda di terminal, membawa rombong keliling ke desa-desa. Yang dijual bakso, jagung rebus, pecel lele, bahkan pisang goreng yang seharusnya bisa dijual orang Bali. Sanjungan orang Bali sebagai seniman, membuat orang Bali tak mau merambah sektor informal itu, karena malu dan gengsi. Akibatnya terjadilah fenomena yang kini mulai dirasakan, orang luar Bali berjualan
C
16
C
bakso untuk membeli tanah Bali, dan orang Bali menjual tanah untuk membeli bakso. Amati saja faktanya, orang luar Bali tak ada yang berbelanja ke warung orang Bali, mula-mula atas nama agama, namun sesungguhnya yang terjadi adalah solidaritas sosial yang sengaja mereka bangun. Untuk menandakan mana warung Bali dan mana warung luar Bali mereka membikin tulisan: Soto Lamongan, Siomay Bandung, Pencel Madiun, yang terbanyak Warung Muslim dan Warung Jawa. Adapun orang Bali sendiri, tetap berbelanja di mana saja, tanpa ada fanatisme agama dan kesukuan. Akibatnya, pedagang kaki lima pendatang cepat kaya dan membeli tanah-tanah kapling, mengundang saudaranya ke Bali, sementara warung-warung Bali bangkrut. Di tengah kebangkrutan warung Bali ini didatangkan pula “budaya kafe” dan kafe merebak sampai ke pedesaaan. Penjaga kafe gadis menor awalnya berasal dari luar Bali, belakangan muncul “ayam lokal” -- demikian istilah untuk wanita kafe asal Bali. Perkelahian akibat mabuk dan rebutan cewek kafe sudah biasa terjadi. Bali sudah diserang dari sisi moral, tak ada elit politik yang bicara. Pakaian orang Bali dalam melaksanakan ritual juga diatur bisnis dari luar. Dengan dalih orang Bali pencinta seni, maka kain poleng yang dulu hanya hitam putih, sekarang sudah banyak versinya, “poleng” dengan variasi warna lain. Ini semuanya produksi pabrik tekstil di Bandung, plus brokat tembus pandang produksi Jakarta dan Semarang. Kain tenun endek Gianyar, songket Klungkung, dan sebagainya sudah bangkrut. Mana dijumpai orang Bali memakai baju endek ke pura seperti dulu? Keterikatan sosial orang Bali pun rapuh. Sering ada sengketa kalau ada orang meninggal dalam desa pekraman, sementara orang luar yang meninggal di desa pekraman itu tak pernah jadi persoalan. Leteh (cuntaka) hanya untuk warga Bali, warga
C
17
C
non-Bali tak ikut cuntaka. Bukankah ini pola lama? Politikus Bali pun ikut tak tahu malu. Mereka melakukan studi banding ke Kutai Kartanegara mempelajari soal batubara, memangnya ada batubara di Bali yang mau dikembangkan? Contoh seperti ini sangat banyak dan memuakkan, tapi masyarakat Bali tetap tenang karena disanjung sebagai “masyarakat cinta damai”. Paling protes di radio pada acara interaktif atau ngedumel di internet. Nah, karena wajah Bali sudah bopeng, maka perlu ada pencanangan: “Bali Pada Titik Nol”. Kita berembug ulang dan intropeksi besar-besaran, lalu kita tentukan ke mana langkah Bali selanjutnya, jika kita tak ingin Bali masuk dalam “genggaman budaya lain”. Tapi, adakah orang lain yang merasakan, seperti yang saya rasakan ini? Pemda Bali pun agaknya tak punya visi, mau dibawa ke mana Bali ini. 11 Februari 2006
Catatan: * mecaru, melabu gentuh, mulang pekelem = nama jenis-jenis upacara untuk bhuta kala * Karipubaya, Wanakertih = nama upacara dewa yadnya
C
18
C
Di Simpang Jalan
R
emaja Hindu di Bali berada di simpang jalan. Bisa di simpangtiga, simpang empat, simpang enam, atau malah simpangsiur. Dulu di setiap persimbangan di tengah jalan, leluhur orang Bali membuat tempat suci, seolah-olah mengingatkan umat untuk berhenti sejenak sebelum melangkah. Jika ada kebimbangan, mohon petunjuk Hyang Widhi, jalan mana yang harus ditempuh. Di Denpasar, di tengah persimpangan masih banyak ada bangunan suci atau patung sakral. Tidak hanya simpang empat, juga pada simpang tiga. Di bangunan suci yang umumnya berbentuk padmasari itu, orang Bali menghaturkan sesajen. Sekarang mulai banyak pula patung yang hanya untuk memperindah kota berdiri di simpang empat. Patung Catur Muka di pusat kota Denpasar di depan kantor Balai Kota, dulu sakral, karena di sana dijadikan catus pata (perempatan agung). Sekarang sudah ditata jadi taman, ada air mancur, ada pot hiasan dan jalan skitarnya pun dipaping. Begitu pula di simpang yang lainnya, patung didirikan untuk keindahan duniawi. Memang indah dilihat, tetapi tanpa roh.
C
19
C
Apalagi di sekelilingnya dipenuhi berbagai macam spanduk, untuk menggoda manusia memenuhi keserakahan indrianya, entah itu kredit motor murah, bazzar yang memberi diskon, borong barang berhadiah, atau pentas musik. Apakah ini ciri dari generasi yang berada di persimpangan jalan? Entahlah. Yang jelas, generasi muda Bali yang mayoritas pemeluk Hindu memang sebagian besar sedang “tersesat di persimpangan” karena tak ada lagi yang memberikan petunjuk. Mereka tak tahu jalan yang benar, bagaimana bergerak ke arah modernisasi namun harus tetap mempertahankan tradisi. Ini tidak mudah, karena tradisi belum pernah diinventarisasi dan kemudian dirumuskan dari mana titik awal yang diambil sebagai patokan. Tradisi lahir dari adat dan budaya. Adat dan budaya berkembang mengikuti zaman. Dengan begitu titik awal perjalanan tradisi harus dirumuskan dulu, dari mana kita melangkah. Hanya dengan itu tradisi jadi jelas, baru kemudian dievaluasi apakah tradisi itu masih bisa dipertahankan atau tidak. Sebut contoh adat dan budaya melahirkan anak kembar berlainan kelamin. Kalau titik awal tradisi itu dimulai dari tatkala keluarga kerajaan melahirkan anak kembar beda kelamin, adat dan budaya itu sangat bagus dilestarikan. Karena ini simbol kebahagiaan, simbol dari negeri yang makmur sejahtra. Zaman berkembang dan terjadi perubahan. Ketika masyarakat kelas bawah “ikut-ikutan” punya anak kembar beda kelamin, lalu dianggap “menyamai keluarga kerajaan” dibuatlah aturan adat baru: kembar buncing ini dikenai sanksi adat dan dikenallah istilah “manak salah”. Masyarakat yang lugu dan bodoh mengikuti apapun ketentuan adat yang ada dan menjadilah itu tradisi, sampai kemudian dihapuskan pada 1957. Mengapa dihapus? Karena tak ada dasar hukumnya sanksi adat itu. Itu berarti, tradisi yang dijadikan titik awal bukan saat
C
20
C
ada kembar beda kelamin di lingkungan kerajaan. Pertanyaannya adalah, apakah semua masyarakat Bali tahu hal-hal seperti ini? Kalau orangtuanya saja tidak tahu, bagaimana dengan para remajanya? Bahkan mereka yang mengenyam pendidikan tinggi pun ikut bingung dan setuju melestarikan “manak salah” yang jelas melanggar HAM ini. Banyak contoh lain yang membuat remaja Bali berada di simpang siur, karena tidak mendapatkan data yang jelas dari mana dia harus melangkah. Lihatlah, mereka berbondongbondong menuju Pura Sakenan, Pura Uluwatu, Pura Tanah Lot, apalagi Pura Jagatnatha. Mereka bersembahyang bersama, dan itu baik. Tetapi mereka juga memanfaatkan itu untuk sarana berpacaran. Itu pun juga tak salah, namanya saja anak muda. Yang jadi pertanyaan dalam diri mereka tak terjawab: untuk apa menuju pura itu? Bersembahyang untuk menyembah Hyang Widhi? Kalau urusannya menyembah Hyang Widhi, kenapa harus jauh-jauh, kenapa tidak melantunkan Puja Trisandya tiga kali sehari saja di rumah? Atau bersembahyang dekat-dekat rumah saja? Menyembah leluhur? Siapa leluhur yang disembah di tempat itu, kenapa harus disembah? Tak bolehkah disembah dari jauh? Jawaban paling mudah adalah itu tradisi yang harus dipertahankan. Dalam istilah Bali yang sangat populer dan dijadikan sinisme adalah “nak mule keto” (karena beegitu dari dulu). Jadi harus diikuti saja. Lagi-lagi muncul pertanyaan, tradisi yang berawal dari mana cara-cara bersembahyang seperti itu? Kalau titik awalnya dari ajaran Mpu Kuturan, sembahlah leluhur dan Istadewata di merajan keluarga dan di kahyangan tiga -- yaitu tiga jenis pura yang ada di Desa Pekraman, yakni Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem. Tetapi jika tradisi itu titik awalnya dari ajaran Danghyang Nirartha, sembahlah leluhur di tempat peninggalan beliau dan sembahlah Tuhan di depan
C
21
C
Padmasana. Jadi untuk memuja Danghyang Nirartha orang harus ke Pura Uluwatu, untuk memuja Mpu Kuturan harus ke Pura Silayukti. Sedang untuk memuja Tuhan, orang dari Desa Pujungan (Kabupaten Tabanan) dan orang dari Desa Pedungan (Kota Denpasar) bisa bersama-sama duduk menyembah Tuhan di Pura Jagatnatha. Tetapi, bagaimana mungkin orang Pujungan menyembah Tuhan di pura kahyangan tiga desa adat Pedungan? Bukankah berlainan desa adat atau desa pekraman? Contoh di atas tradisi berbau agama. Sekarang tradisi yang murni budaya, katakanlah lomba sanggul dan lomba mengenakan kebaya. Jika disebut mempertahankan tradisi, tradisi yang mana, dan dari mana mulainya? Kebaya berasal dari Jawa, dan kebaya di Jawa ada model Sunda, Solo, Yogya dan sebagainya. Sanggul tradisional pun bermacam-macam, ada versi Karangasem, versi Buleleng dan sebagainya. Lalu ada sanggul untuk remaja, ada untuk orangtua. Kita jangan cepat-cepat menyebutkan mempertahankan tradisi tanpa memberi rincian. Ini yang membuat remaja Bali semakin bertambah bingung. Belum lagi soal nama. Kenapa namaku harus pakai Made? Kenapa di depan namaku ada Anak Agung? Kenapa kalau Anak Agung lalu dibatasi mencari pacar? Kenapa kalau namaku Anak Agung atau Tjokorde dilarang jadi pelayan di kapal pesiar, bukankah berlayar itu cita-citaku? Ini pertanyaan yang tidak gampang, tak bisa hanya dengan menyebutkan hal itu sebagai tradisi. Tugas kita sekarang untuk menuntun mereka, memberikan jalan yang terang. Masalahnya, kita sendiri juga berada di simpang jalan. Ya, amburadul semuanya. 23 Oktober 2004
C
22
C
Tak Nyambung
T
eman saya, seorang pejabat penting pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, berlibur lebaran di Bali. Ia menelepon saya mau mengajak makan malam di Legian. Ketika saya beritahu, saya tidak sedang di Bali, tapi menikmati program pemerintah “cuti bersama” di Solo, ia kaget. “Padahal saya mau mengeluh,” katanya. Mengeluhlah sekarang, mumpung telepon ada diskon saat lebaran, kata saya. Mula-mula ia mengeluh soal yang sangat klasik, orang Bali tak memanfaatkan kedatangan pelancong. Ia memberi contoh, menginap di Legian, di sebuah hotel nonbintang milik orang Jakarta yang pegawainya kebanyakan orang Jawa. Ia naik taksi sopirnya orang Jawa. Ia makan di restoran yang juga milik orang Jawa. “Kenapa peluang ini tak diambil orang Bali? Kalau tahu pendatang umumnya Muslim, orang Bali kan bisa buat restoran yang tidak pakai daging babi? Kita juga ingin makan masakan Bali, tapi yang halal. Yang jual ayam betutu juga orang Banyuwangi, ha..ha..” ia tertawa. Keluhan yang membosankan, kata saya. “Saya mau tanya, apakah sistem subak itu masih ada? Kok sawah pada diserbu
C
23
C
bangunan dan jalan yang tak beraturan? Apa konsep orang Bali membangun rumah itu masih seperti dulu, yang dikagumi orang? Kok saya melihat banyak pura keluarga yang sepertinya semerawut, ada di atas tinggi sekali, ada di bawah dekat orang buang sampah….” “Itu juga membosankan,” kata saya. “Okelah, sekarang yang lain. Kemanakah para local genius Bali saat ini? Apa suara mereka itu masih didengar, kok sepertinya ada yang tak beres?” Sampai di sini hubungan terputus, telepon saya kehabisan baterai. Saya membayangkan teman saya marah. Tapi saya juga tak bisa berbuat apa-apa, saya ada di sebuah candi Hindu yang tak mungkin men-charge baterai telepon selular. Saya sedang di Candi Ceto, di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar. Kalau pun saya bisa isi baterai atau baterai telepon penuh, bagaimana saya harus meladeni sahabat ini? Coba kalau saya juga mengulang pertanyaan seperti itu: ke manakah para jeniusjenius Bali sekarang ini, kok tidak terdengar suaranya? Ayo, siapa bisa menjawab? *** APAKAH kita kekurangan pemikir yang bisa memberi arah ke jalan yang benar untuk membendung budaya luar yang menghancurkan Bali? Apakah kita kekurangan penasehat budaya yang bisa mengingatkan masyarakat dan pemerintah kalau arah perjalanan budaya Bali melenceng? Saya rasa tidak. Memang, kita kehilangan tokoh yang sudah mengharumkan budaya Bali. Apakah dia pemikir, pelukis, penari, undagi, pengarang atau ahli adat dan agama. Sebutlah nama-nama legendaris seperti Cokot, Nyana, Sugriwa, Kakul, sampai “generasi
C
24
C
penerus” seperti I Gusti Ketut Kaler, Ida Bagus Mantra, Ibu Gedong, I GustiNgurah Bagus. Tapi, bukankah masih banyak yang sehat? Masalahnya adalah sejauh mana suara mereka didengar sekarang ini. Masyarakat dibisingkan dengan suara-suara aneh yang datang dari budaya lain, terutama budaya konsumerisme dan budaya aji mumpung untuk kepentingan sesaat. Dan pemerintah lebih memihak kepada budaya konsumerisme ini. Prof L. K. Suryani dan sejumlah pemikir di kampus Unud, masih bisa untuk didengar pendapatnya. Tapi gaungnya kalah dengan hiruk-pikuk yang ada. Suara mereka tak mempan membendung budaya amburadul ini. Contoh tragis adalah tokoh yang dikagumi masyarakat seperti Ida Peranda Gede Made Gunug. Orang berduyun-duyun mendengarkan dharmawacananya, tetapi apa yang disampaikan tak pernah nyambung ke prilaku masyarakat. Peranda sibuk menjelaskan bahayanya judi dan minuman keras, pendengarnya manggut-manggut dan tepuk tangan. Selesai dharmawacana pendengarnya sudah pergi ke tempat tajen atau minum arak di posko yang didirikan partai politik. Begitu pula Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda. Pendeta yang sedang menempuh studi S 3 (doktoral) ini dikenal sering muncul di layar televisi lokal, memberi penerangan tentang berbagai tradisi yang harus ditinggalkan dan bagaimana meningkatkan pemahaman beragama yang benar. Tapi tak ada dampaknya di masyarakat, semuanya seperti tak nyambung. Apa sebenarnya yang terjadi? Tak ada keteladanan yang diberikan oleh mereka yang posisinya sebagai tokoh, baik tokoh adat, tokoh agama, tokoh politik atau tokoh pemerintahan. Jangankan keteladanan, teguran pun tidak jadi budaya. Pemerintah juga tak mendengarnya. Contohnya, Peranda Gunung sudah lama mengatakan ogoh-ogoh Tawur Kesanga salah kaprah dan
C
25
C
menyalahi ajaran agama Hindu. Simbol butha itu semestinya sudah lenyap begitu Tawur Kesanga selesai, karena butha sudah di-somya (dilebur dan berubah fungsi) menjadi dewa. Tetapi, kenapa dihidupkan lagi dan diarak berkeliling? Yang mendengarkan dharmawacana ini berbagai lapisan, dari profesor sampai mahasiswa, dari sulinggih sampai petani. Karena disampaikan di berbagai kesempatan: di kampus-kampus Bali dan di beberapa pura di Jakarta, juga di televisi. Kenapa pemerintah tetap membanggakan pawai ogoh-ogoh dan bahkan menjadikan obyek wisata? Karena suara para budayawan tidak nyambung dengan pelaksana di lapangan, apalagi mempengaruhi kebijakan pemerintah. Artinya, para local geneius di Bali sudah tak dianggap lagi. Suaranya hanya sebatas keluar, lalu terbang ditiup budaya hingar-bingar yang mendewakan konsumerisme. Ini yang bisa menjelaskan kenapa subak yang dipuji dunia itu, kini jadi semacam dongeng. Penataan rumah Bali yang dikagumi dunia karena begitu fungsional, hanya ada dalam buku-buku. Ini juga menjelaskan kenapa orang Bali tak mau jadi supir taksi, tak mau jualan jagung bakar, somay, pecel lele, dan sebagainya, karena pekerjaan itu tak ada dalam mimpi budaya konsumerisme. Lagi pula tak ada gengsinya. 29 November 2003
C
26
C
Adat dan Budaya
U
tsawa Dharma Gita Tingkat Nasional baru saja berlangsung di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Saya kagum me-nyaksikan perlombaan tingkat nasional di bidang pembinaan agama Hindu ini. Sloka-sloka Weda sudah banyak dikuasai umat, dengan berbagai variasi lagunya. Dan begitu menggetarkan. Pada lomba cerdas-cermat yang diikuti oleh para remaja usia SMU, kekaguman saya bertambah-tambah karena ajaran dalam kitab Weda, sudah banyak dikuasai anak-anak itu. Padahal, sesuatu yang ironis, Weda secara utuh belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, baru diproyekkan dalam tahun anggaran 2000 yang dimulai April nanti. Ini pekerjaan besar yang idenya murni dari Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Mayjen (Purn) Ir. Wayan Gunawan yang direspon dengan positif oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Ada yang menarik dalam lomba cerdas-cermat dalam kaitan Utsawa Dharma Gita itu. Beberapa pertanyaan dianulir oleh wakil-wakil kontingen dan disetujui oleh juri. Di antaranya, dua pertanyaan yang dibatalkan. Yang pertama, bunyi pertanyaan
C
27
C
begini: termasuk katagori apakah tari pendet itu? Pertanyaan kedua berbunyi: topeng untuk upacara disebut topeng apa? Kedua pertanyaan ini dibatalkan karena bukan menyangkut agama, tetapi sekitar adat Bali, setidaknya budaya Bali. Bahkan ada teriakan protes, Hindu itu bukan adat Bali. Di mana ditemukan dalam ajaran Hindu — yang terdapat dalam kitab suci — tapi pendet dan topeng sidakarya. Adakah pertanyaan-pertanyaan ini menyebabkan gagalnya kontingen Bali masuk dalam tingkat finalis pada Utsawa Dharma Gita itu? Nampaknya tidak, karena kontingen Bali sudah gugur sebelum itu. Tapi, tiba-tiba saya berpikir lain, apakah pertanyaan yang disusun oleh para pembina agama Hindu yang notabene kebanyakan dari etnis Bali ini, mencerminkan begitu sulitnya orang Bali membedakan yang mana adat dan yang mana agama? Saya banyak menduga ke arah itu. Dan kini, ketika Utsawa Dharma Gita diadakan di luar Bali, dan pesertanya kebanyakan anak-anak muda yang lahir dan besar di luar Bali, kentara betul bagaimana umat Hindu di Bali masih tetap belum selesai dengan persoalan besarnya: mana agama dan mana adat. *** KALAU kita mau mendefinisikannya, gampang sekali. Adat adalah sebuah tradisi yang dibatasi oleh wilayah teritorial. Ada adat Bali, ada adat Jawa, dan sebagainya. Sedang agama dibatasi oleh ajaran yang ada dalam kitab sucinya. Ada agama Hindu, ada agama Islam dan sebagainya. Orang Bali dan orang Jawa yang Hindu, tentu adatnya beda. Begitu pula orang Islam yang Jawa dan orang Islam yang Padang, adatnya lain. Di Bali, orang sering menyebut adat padahal sesungguhnya itu agama. Contoh kecil, di jalan raya sering ada tulisan: hati-hati ada upacara adat. Padahal di sana ada ritual keagamaan, misal-
C
28
C
nya, persembahyangan. Contoh besar, di Bali ada Badan Pembina Lembaga Adat (BPLA), padahal sebenarnya yang dibina itu ujung-ujungnya sebuah kebijaksanaan untuk mempertebal keyakinan dalam pelaksanaan agama Hindu. Semua kegiatan BPLA hampir sebagian besar pembinaan agama Hindu. Barangkali karena itulah tidak pernah dibentuk Badan Pembinaan Ajaran Agama Hindu. Baru belakangan ini disadari pentingnya hal itu dengan ide membentuk Dinas Agama yang akan punya ujung tombak pembinaan agama sampai ke desa-desa. Orang sering mengira, bahasa Bali itu identik dengan agama Hindu. Padahal, umat Nasrani di Dalung, Kabupaten Badung, misalnya, juga punya tradisi membuat kotbah keagamaan dengan bahasa Bali, termasuk kidung rohaninya. Orang juga mengira, nama seperti Wayan, Ketut dan sebagainya identik dengan agama Hindu. Padahal, orang Pegayaman yang Islam punya tradisi juga memberi nama Wayan, Ketut dan sebagainya itu. Semuanya itu karena sama-sama beradat Bali. Bahasa, nama orang, tari, lagu (pupuh), pakaian, gamelan dan sebagainya adalah adat yang beberapa di antaranya melahirkan kesenian. Agama ada di wilayah yang lain, tetapi bisa dipadukan dengan adat dan budaya itu, namun bukannya tak bisa dipilah-pilah. Dan Hindu di Nusantara ini akan menjadi besar kalau ia sudah bisa dipadukan dengan berbagai adat dan berbagai budaya. Itu sudah nampak pada Utsawa Dharma Gita kali ini. Ada peserta mengenakan blangkon dan orang langsung tahu mereka datang dari Jawa, ada yang berkopiah putih (entah siapa yang memulai, itu disebut “kopiah ala Nehru”) yang banyak dipakai umat Hindu dari Kalimantan dan Sumatra, ada yang berdestar gaya Bali. Semua yang dikenakan itu adalah budaya dari adat tertentu. Tak akan mungkin muncul pertanyaan dalam cerdascermat: penutup kepala umat Hindu kalau bersembahyang, disebut apa? Nah, bagaimana menjawabnya, mau disebut apa?
C
29
C
Pakaian itu bukan atribut sebuah agama, ia atribut sebuah budaya yang dilahirkan oleh adat. Soal pakaian, umat Islam di Lombok Barat, cara berpakaiannya persis dengan pakaian masyarakat Bali di pedesaan. Baju kebaya orang Bali, bahkan sampai saat ini masih disebut baju “potongan Jawa”, karena memang berasal dari Jawa. Jadi, salah besar kalau ada yang mengatakan, umat Hindu jika bersembahyang harus memakai kebaya untuk wanitanya, dan berkain untuk prianya. Sembahyang bisa berpakaian apa saja, seperti pemandangan di pura-pura yang ada di Jakarta. Mau memakai celana jin (jeans) pun boleh. Mudah-mudahan kekalahan kontingen Bali di bidang ilmu agama lewat cerdas cermat — meski banyak menang di lomba pembacaan sloka, kidung dan sebagainya — menyadarkan bahwa sesungguhnya umat Hindu di Bali harus lebih giat belajar agama dari buku-buku yang kini sudah banyak diterbitkan. Cerdas-cermat dalam Utsawa Dharma Gita ini adalah pembinaan agama yang sangat bagus. 18 Maret 2000
Catatan: * Utsawa Dharma Gita = lomba dalam bidang keagamaan dan seni pembacaan sloka suci keagamaan, mirip dengan MTQ yang ada pada umat Islam.
C
30
C
Ikatan Adat
M
embicarakan kasus adat di Bali tak akan pernah ada habisnya. Meski lembaga adat berkali-kali ganti nama, kasus adat tetap saja ada dan menimbulkan konflik, baik konflik perorangan, konflik warga, maupun konflik lintas desa adat. Majelis Pembina Lembaga Adat boleh berganti rupa menjadi Majelis Utama Desa Pekraman, tetapi awig-awig adat tak semuanya bisa dikontrol. Pernah ada imbauan agar awig-awig adat disesuaikan dengan hukum formal. Maksudnya, bagaimana agar aturan hukum tradisional ini tidak melanggar aturan hukum yang lebih tinggi yang dibuat oleh negara. Desa adat tidak bisa menjadi negara dalam negara. Apalagi kalau awig-awig itu bertentangan dengan hak asasi manusia yang paling mendasar. Sulitnya adalah masalah adat di Bali selalu dikaitkan dengan agama Hindu, dan orang bahkan menyebutkan antara adat dan agama Hindu tak bisa dipisahkan. Yang menjadi pertanyaan, ajaran Hindu yang mana? Kalau kita bicara Hindu tentu rujukannya adalah kitab suci Weda. Para leluhur kita di masa lalu sudah mengajarkan Weda
C
31
C
melalui lontar-lontar. Cara mengajarkan bisa berupa penafsiran agar lebih jelas diterima masyarakat sesuai tingkat pendidikan, bisa berupa inti sari melalui cerita atau lagu, dan banyak cara lagi. Semuanya ditulis dalam lontar karena memang itu sarana yang ada. Namun, banyak lontar yang tidak merujuk ke ajaran Weda dan memang bukan dimaksudkan sebagai pengajaran agama. Jadi semacam karya fiksi atau catatan situasi pada zamannya. Nah, berabad-abad kemudian, semua lontar itu dianggap keramat dan semuanya dianggap ajaran agama. Padahal belum tentu dan kita harus arif menyikapi masalah ini. Kalau kita perhatikan kasus-kasus adat, banyak hal yang di luar logika dan bahkan tak bisa kita terangkan bagaimana hubungannya dengan ajaran agama. Kasus aktual di Bali, misalnya, masih ada yang memberlakukan hukum adat “manak salah”. Logika mana yang membuat kita setuju, keluarga yang melahirkan “manak salah” itu harus dihukum dan dibuatkan rumah pengasingan dekat kuburan. Ini bukan saja melanggar hukum formal (mengenakan tahanan rumah tanpa ada keputusan pengadilan) juga melanggar HAM. Bukankah pada setiap kelahiran kembar, sang bayi harus dirawat lebih serius dengan penuh perhatian karena berat badannya tidak normal sebagaimana bayi yang tidak kembar? Kebetulan untuk “manak salah” ada banyak lontar dan sebagian umat setia mengikuti lontar itu karena selalu mengira lontar adalah sesuatu yang harus ditaati karena dikaitkan dengan keyakinan agama. Padahal tak ada satupun sloka ajaran agama yang menyebutkan hal itu. Kasus ini tentu akan menimbulkan konflik, bukan saja konflik antara warga (yang pro dan kontra terhadap hukuman itu) tetapi bisa melibatkan konflik lintas warga adat, karena pasti ada “orang luar” yang mempermasalahkan hal ini atas nama
C
32
C
kemanusiaan. Ada banyak hal yang “tak masuk akal” dalam urusan adat. Ada sebuah desa di Bali, yang melarang warganya membawa jenasah di jalan umum yang berada di depan Pura Puseh. Dulu jalan itu adalah Jaba Pura dan dianggap suci. Sekarang, ketika Jaba Pura itu sudah menjadi jalan raya, kesuciannya mau dijaga. Dalam awig-awig adat disebutkan larangan membawa jenasah di jalan raya depan pura itu. Akibatnya adalah, kalau ada warga yang rumahnya dan kuburan dipisahkan oleh pura yang ada di tengah-tengah desa itu, mereka harus mencari jalan melingkar untuk menguburkan jenasah. Bayangkan kalau ngaben, wadah harus naik turun ke jalan-jalan setapak. Begitu pula kalau ada yang meninggal di rumah sakit dan kebetulan rumahnya harus melewati jalan raya itu. Pertanyaannya adalah kalau jenasah itu dianggap mengotori kesucian pura (cuntaka) kenapa itu hanya berlaku untuk warga desa saja? Tak terhitung berapa kali jenasah yang dibawa mobil ambulance hilir mudik dari desa-desa lain yang melewati desa itu. Kenapa itu tidak dilarang pula, kalau mau konsekwen? Jadi, adat ini justru membelenggu warganya sendiri. Dan ketika ada yang mempermasalahkan, langsung menimbulkan konflik antar pribadi. Karena ada yang bersikukuh mempertahankan adat karena dikaitkan dengan keyakinan. Bicara keyakinan, semuanya menyebut beragama Hindu. Kitab Hindu yang mana dijadikan rujukan? Tidak ada, paling larinya pada istilah “mule keto” dan adat yang harus dilestarikan. Contoh seperti ini banyak sekali. Kita terlena dengan kebesaran adat tanpa menangkap semangat yang ada dalam lembaga adat itu. Sejarah desa adat di Bali adalah sejarah yang sudah ada berabad-abad yang lalu, ketika Mpu Kuturan memperkenalkan ikatan warga pekraman yang dicirikan dengan adanya tiga pura yang disebut Tri Kahyangan. Dari situ muncul istilah agama
C
33
C
menjadi jiwa dari adat. Kita lupa bahwa zaman Mpu Kuturan itu ikatan desa pekraman adalah mutlak, karena jumlah desa itu sedikit dan jarak satu desa dengan desa lainnya berjauhan. Mata pencarian penduduk dalam satu desa pun sama. Tetapi ketika desa itu semakin banyak, peduduk berjubel, mata pencarian berbeda, dan pemerintah memperkenalkan desa dinas, keberadaan desa pekraman tak pernah dipikirkan lebih serius, terutama apakah pengikatnya itu, yakni awig-awig adat, masih relevan atau tidak dengan situasi zaman. Ini biangnya konflik. Tapi kita bersyukur, kian banyak awig-awig adat yang sudah diperbarui yang tidak mengekang masyarakat yang menjadi anggota adat itu. 1 Maret 2004
Catatan: * awig-awig = semacam peraturan yang harus ditaati oleh warga adat. * manak salah = kelahiran kembar beda kelamin yang dianggap “anak yang salah lahir”. * ngaben = upacara pembakaran mayat. * wadah = tempat mengusung jenasah saat ngaben. * mule keto = ungkatan yang artinya “memang begitu” yang artinya warisan dari dulu seperti itu.
C
34
C
Ngayah Adat
A
pa difinisi ngayah itu? Seorang tokoh adat menyebutkan, ngayah adalah kerja bakti untuk berbagai keperluan, apakah urusan ritual keagamaan atau pun masalah sosial kemasyarakatan. Kalau sudah disebut sebagai ngayah maka siapa pun yang terlibat tidak mendapatkan upah. Ini kerja gratis. Namun, tidak demikian untuk krama banjar adat. Menjadi krama banjar adat, kalau tidak ikut ngayah akan kena sanksi berupa denda. Besarnya denda tidak seragam di masingmasing banjar adat. Juga tergantung jenis ngayah itu, apakah memperbaiki lingkungan, bekerja menyiapkan sarana upacara, menjenguk dan mengantar ke kuburan saat ada kematian dan sebagainya. Yang lebih unik lagi, warga adat bukannya takut membayar denda, tetapi takut akan ”berapa kali kena denda”. Jadi, bukan tergantung nilai uangnya, tergantung pada berapa kali absen ngayah. Jika dianggap keterlaluan absennya, meski pun semua denda dibayar, warga adat itu bisa dikucilkan dari krama banjar. Pengucilan pada tingkat yang paling sadis adalah kena
C
35
C
kesepekang. Kalau itu terjadi, berbahaya sekali, jika suatu saat ada keluarganya yang meninggal dunia tak bisa dikuburkan, setidaknya dipersulit. Karena kuburan yang ada di desa bukan ”kuburan umum” atau ”kuburan milik agama”, sebagaimana di luar Bali. Kuburan di Bali adalah milik adat. Beratnya beban adat ini sangat dirasakan oleh warga yang merantau. Bayangkanlah, kalau ngayah itu seringkali dilakukan, warga adat yang mencari nafkah di rantau akan kelabakan. Dia harus memilih, mau pulang ke desanya untuk ngayah atau absen ngayah. Absen ngayah bisa kena denda dan bisa kena sanksi sosial, rajin ngayah bisa kena damprat di tempat kerja karena berarti bolos. Ketika krama Bali masih hidup dalam budaya agraris, urusan adat seperti ini tak jadi masalah, karena pekerjaannya sama, yaitu petani. Piodalan di pura atau ngayah memperbaiki lingkungan selalu dikaitkan dengan musim tanam. Jadi ada waktu longgar untuk ngayah. Ketika dunia moderen datang, budaya agraris mulai diganti budaya industri, aturan adat jadi masalah. Bagaimana bisa seorang manager hotel harus ngayah ke pura membuat klakat, sementara dia harus menggelar rapat setiap saat? Bagaimana bisa eksekutif di bank, harus pulang ke desa adat untuk ngayah mengantar warga yang meninggal dunia? Ini salah satu sebab para eksekutif Bali kalah bersaing merebut jabatan menengah ke atas. Untunglah, banyak desa yang sudah punya aturan adat yang bagus. Persoalan ngayah ini disikapi dengan cara-cara moderen. Prinsipnya adalah budaya agraris sudah ditinggalkan maka aturan adat yang mengacu kepada budaya agraris harus pula ditinggalkan. Banyak cara untuk menyikapi masalah ini. Di Denpasar, beberapa banjar adat menerapkan sistem ngayah dengan menyiasati waktu. Kalau ada warga yang menin-
C
36
C
ggal, misalnya, warga adat ngayah mulai pukul lima pagi untuk membuat perlengkapan upacara. Sekitar pukul tujuh semuanya sudah selesai. Jadi warga adat bisa bekerja di kantoran. Ada pun mengantar ke kuburan, tidak dikenakan absensi, jadi bebas mau ikut mengantar atau tidak. Ini tidak mengurangi sisi kekerabatan, karena kalau tidak ikut mengantar, malamnya datang ke rumah duka, menyampaikan ucapan bela sungkawa sambil membawa ”bingkisan duka”. Di beberapa desa, hal ini juga sudah dilakukan. Bahkan mulai ada kemajuan dalam hal menyiapkan sarana upacara keagamaan. Dulu warga ngayah membuat klakat, tusukan sate, dan lain-lain. Ibu-ibu juga begitu, ngayah ke pura untuk membuat banten. Sekarang disiasati dengan masing-masing warga dibebani alat-alat upacara. Misalnya, seseorang harus membawa 100 tusuk sate, orang lain membawa 50 klakat. Barang itu harus diserahkan tepat waktu, tak penting bagaimana mereka mendapatkannya. Apakah membuat sendiri malam-malam di rumah, atau memesan kepada orang lain, atau membeli. Bukankah alat-alat seperti ini sudah banyak yang menjualnya? Lihatlah di sepanjang Desa Kapal, perlengkapan upacara apapun ada yang menjual. Demikian pula dengan banten. Serati pura sudah menetapkan jenis banten apa saja yang digunakan, lalu dibagi kepada warga adat. Seorang ibu, misalnya, kebagian lima buah daksina, lainnya kebagian sesayut, lainnya lagi kebagian banten pengulapan dan sebagainya. Untuk banten besar bisa dikerjakan gotong-royong berdasarkan letak rumah yang berdekatan. Pada satu saat semua banten ini diserahkan. Jadi, tidak perlu ngayah setiap hari, cukup sekali pada saat ”metanding banten”. Jika seorang ibu sibuk bekerja di kantoran dan tak sempat membuat daksina, misalnya, bukankah barang seperti ini bisa dibeli di pasar? Inilah model penerapan adat dalam budaya moderen.
C
37
C
Ada sebuah desa adat yang sama sekali warganya tak pernah ngayah untuk membersihkan pura, tetapi puranya malah tambah bersih dari sebelumnya. Bagaimana menyiasati? Warga urunan untuk biaya pemeliharaan pura. Lalu dicari warga setempat yang bisa bertanggungjawab atas kebersihan pura itu dengan mendapatkan gaji bulanan. Cara moderen seperti ini ternyata membuat pura tetap bersih sepanjang saat dan warga pun tidak ngayah. Lagi pula ada anggapan, ngayah untuk membersihkan pura terlalu mubazir karena pekerjaan hanya sekejap, ngobrolnya yang lama. Padahal untuk ngayah itu mengorbankan waktu produktif untuk bekerja. Bukan saja yang bekerja di kantoran, juga warga yang bekerja sebagai pedagang, tukang ojek dan sebagainya. Terobosan seperti ini harus selalu digulirkan. Tidak usah takut kekerabatan sosial jadi kendor karena ada cara lain untuk tetap menyamabraya. Jika kita terus menerapkan aturan ngayah adat seperti masa lalu, lambat laun Bali ini akan dikuasai oleh para pendatang, yang sama sekali tak terikat oleh ngayah adat. 11 Januari 2008
C
38
C
Hukum Kasepekang
I
stilah hukum kadang terasa aneh. Ada istilah tahanan kota, tahanan rumah, tahanan badan. Tahana rumah semestinya yang ditahan tidak boleh keluar rumah. Tapi kalau orang kaya yang rumahnya banyak, mereka bisa keluar dari satu rumah untuk menuju rumah lainnya. Pak Harto pernah berstatus tahanan kota, tapi bisa pergi menengok anaknya di Nusa Kambangan. Kota bagi Pak Harto begitu luas. Di Bali, ada istilah hukum adat – meskipun tak semua desa adat punya kebiasaan itu – yang disebut kesepekang. Ini pun terasa aneh. Batasannya tidak menyangkut badan (ditahan atau disel), dan tidak juga menyangkut rumah (ia bisa keluar rumah sewaktu-waktu), apalagi menyangkut kota. Ia bisa ke mana saja. Batas dari hukum kesepekang itu adalah mereka dikeluarkan dari desa adat, atau bagi desa adat yang lebih lunak, dinonaktifkan dari desa adat sampai “sang terhukum” membayar kewajiban denda adat. Konon, di sebuah desa yang memperlakukan hukum adat kesepekang secara keras, warga desa adat itu dilarang berbicara kepada orang yang sedang kesepekang. Pokoknya sang terhukum ibarat orang “sakit gede” (pnyebar
C
39
C
penyakit menular yanag dasyat). Warga adat tak boleh bicara dengannya, tak boleh menolong orang itu, dan orang yang sedang menjalani hukuman kesepekang tidak mendapatkan pelayanan apapun dari adat. Pokoknya hubungan putus tuntas. Kalau orang luar Bali mendengar berita ini, akan langsung berkomentar: “kejam betul orang Bali”. Bahkan komentar serupa sering muncul di kalangan orang Bali yang sedang merantau, kenapa ada hukum seperti itu? Tapi, nanti dulu. Orang Bali tidak kejam, kok. Buktinya, mereka toleran benar kepada tamu dan pendatang. Apalagi kalau pendatang itu bukan orang Hindu, wah, halus sekali orang Bali. Mana ada pedagang sate dari Madura yang tinggal di desa adat tertentu mengalami kasus kesepekang? Mana ada pedagang pecel lele dari Jawa Timur yang berjualan di desa adat tertentu kena kesepekang? Orang Bali itu baik sekali kepada orang “nonBali”. Hukum ini hanya untuk orang Bali sendiri, bahkan hanya berlaku terbatas di wilayah desa adat bersangkutan. Dulu di desa adat saya ada tiga keluarga pedagang sate ayam asal Madura. Mereka ikut kegiatan desa, apapun bentuknya, kecuali urusan bersembahyang ke pura. Suatu kali orang Madura itu tak ikut kerja bhakti di jalan karena berdagang di kampung tetangga yang sedang ada upacara. Artinya, ia tak bisa kerja bhakti (di Bali disbut ngayah) karena mecari peluang untuk mendapatkan rejeki, mumpung ada keramaian. Masyarakat maklum saja, seolah-olah itu tak ada masalah, pekerjaannya memang berdagang, mau bagaimana lagi? Lalu, di suatu hari, seorang warga adat yang Bali dan beragama Hindu tidak ikut ngayah memperbaiki selokan, alasannya mendadak diminta lembur oleh perusahaannya karena order meningkat. Warga desa banyak yang marah-marah dan ada yang usul agar orang itu kena hukum kesepekang. Ia harus dihukum, tak berlaku alasannya “pekerjaannya memang di
C
40
C
pabrik”. Untung kepala adat punya wawasan dengan menyebutkan setiap orang punya masalah dengan pekerjaannya dan apa yang disebut ngayah dalam konsep desa adat tak sama dengan “kerja paksa”. Ngayah itu harus dilihat pula dari unsur tulus dan ikhlas. Menyama-braya (persaudaraan) dalam lingkup desa adat adalah memahami masalah-masalah yang dihadapi warga desa dan kemudian menerapkan konsep saling asah, saling asih dan saling asuh. Di desa saya memang tidak ada istilah kesepekang, apapun kasusnya. Tentu saja terasa aneh bin ajaib sesama warga desa yang turun-temurun tinggal di desa saling menghukum, sementara dengan pendatang kita begitu tolerannya. Saya tak mengatakan harus mengurangi toleransi dengan pendatang, tetapi saya ingin mengatakan janganlah sesama orang Bali, apalagi satu agama, saling bertengkar dan mau diadu. Banyak orang bertanya, kalau pun sekarang ini masih ada desa yang menerapkan kesepekang, kok hal itu masih dianggap berat? Bukankah kesepekang tidak seperti tahanan rumah, tahanan kota dan tahanan badan? Tak ada yang ditahan dan dibatasi. Yang ada hanya sanksi adat, dan itu pun sanksi adat di mana “sang terhukum” terdaftar sebagai warga adat. Solusinya kan gampang? Keluar saja dari desa adat itu dan mendaftarkan diri di desa adat yang lain. Atau tak usah ikut-ikut desa adat. Gampang kan? Nah, ini bukan soal gampang, ternyata. Karena di Bali adat itu lebih mencengkeram dibandingkan agama. Adat punya sarana yang mengatur hidup mati orang Bali yang beragama Hindu. Soal hidup kaitannya dengan persembahyangan, pura Tri Kahyangan terkait dengan adat. Soat mati menyangkut kuburan, yang punya kuburan itu adalah desa adat. Kalau tidak ikut dalam suatu desa adat tertentu, kita tak diizinkan menguburkan knazah di sana. Kasus ada penghadangan orang yang
C
41
C
akan menguburkan jenasah ini seringkalu ada di Bali. Apa mau kita hidup dan mati gentayangan? Apa tak ada jalan keluar? Pasti ada, lembaga adat jangan kaku dan harus mengikuti kemajuan zaman. Ini sudah banyak terjadi di Bali, bahkan awig-awig sudah dibuat moderen. Namun, jika lembaga adat tetap kaku, lembaga agamalah yang harus mendobraknya. Dirikan Pura Jagatnatha minimal di setiap kota kabupaten, sehingga orang hidup bisa sembahyang tanpa sekat adat. Buatlah kuburan Hindu apakah dalam bentuk krematorium atau tanah biasa, agar orang mati segera bisa diupacarai. Umat Hindu di luar Bali (termasuk yang etnis Bali) sudah menggunakan sarana ini, karena itu mereka tak kenal istilah kesepekang. 22 November 2003
C
42
C
Peradilan Hindu
A
pakah sesungguhnya yang mendasari niat sebagian tokoh-tokoh Hindu untuk kembali membuka wacana tentang perlunya Peradilan Hindu? Apakah karena maraknya pencurian benda-benda sakral termasuk pratima di sejumlah pura? Apakah karena ada kekhawatiran tentang tindak pidana ini tidak akan mendapatkan hukuman yang setimpal di pengadilan umum, mengingat hakim menjatuhkan vonis hanya atas nilai benda sakral tersebut? Ataukah wacana tentang perlunya Peradilan Hindu karena kenyataan umat Hindu mengalami kesulitan dalam mengurus masalah akte perkawinan, perceraian, bagi waris dan sebagainya? Jadi masalahnya adalah urusan “keluarga”. Atau hanya karena umat lain, yakni Islam, punya Pengadilan Agama (Islam), lalu umat Hindu ikut-ikutan memikirkan hal serupa. Atau mungkin karena memang undang-undang dan sistem ketatanegaraan yang ada di Indonesia memungkinkan adanya peradilan agama, lalu kita ngotot punya Peradilan Agama Hindu? Mari kita coba mengulasnya dengan berpikir jernih dan
C
43
C
berpijak pada bumi yang ada dalam situasi sekarang ini. Jangan kita bermimpi di tahun 3.000 ketika semua umat Hindu paham susastra Hindu. Dengan berpola pikir situasi saat ini, kita kaji apa mungkin membuat Peradilan Hindu itu. Kalau kasusnya adalah masalah “keluarga”, dari perkawinan, perceraian, bagi waris, mengasuh anak dan di sekitar itu, kenapa harus membuat Pengadilan Agama Hindu yang utuh dari pidana sampai perdata. Umat Islam saja hanya punya Pengadilan Agama (Islam) untuk urusan seperti ini, bukan dalam urusan pidana maupun perdata di luar urusan “keluarga”. Urusan di luar “keluarga” itu dipakai hukum positif negara. Memang, hukum Islam (syariah) sedang dicoba di Nanggro Aceh Darussalam, dan kita tahu betapa rumitnya masalah itu. Harus ada polisi syariah, ada hakim syariah dan semacam KUHP Syariah. Sekarang kalau kita membuat Pengadilan Agama terbatas seperti umat Islam, apakah tradisi dalam masyarakat Hindu itu sudah seragam? Apakah ada “perkawinan Hindu”, jangan-jangan yang ada ?perkawinan adat Bali”, atau “perkawinan adat Jawa”, atau “perkawinan adat Kaharingan”. Soal membagi waris saja sudah beda. Umat Hindu dari suku Bali tidak memberikan warisan kepada anak perempuan dengan alasan anak perempuan tidak meneruskan kawitan. Padahal umat Hindu di luar Bali tidak membedakan anak lelaki dan anak perempuan. Bahkan banyak umat Hindu asli Bali – termasuk saya sendiri – yang tetap memberikan warisan kepada anak perempuan. Cuma untuk menghindari masalah adat, anak perempuan itu diberi waris sebelum dia menikah atau pada saat menikah, dan umumnya tidak berupa tanah. Kalau pun berupa tanah, itu bukan “tanah warisan leluhur”. Jadi, bagaimana kita membuat Pengadilan Agama Hindu kalau antara tradisi Hindu suku Bali beda dengan tradisi Hindu suku Jawa, suku Kaharingan, dan sebagainya?
C
44
C
Jadi, sudah gugur secara teori untuk membuat Pengadilan Agama Hindu walau pun cuma terbatas pada urusan “keluarga”. Ini disebabkan, dalam susastra Hindu tidak ada aturan rinci soal itu, bagaimana membagi waris, bagaimana mengasuh anak, dan sebagainya. Kalau pun ini dipaksakan, akan lahir Pengadilan Agama Hindu versi Bali yang tak lain adalah Pengadilan Adat. Jangan-jangan masuk urusan asu pundung, manak salah, nyerod, dan sebagainya yang justru bertentangan dengan HAM (hak asasi manusia). Sekarang mari kita coba ke hal yang lebih besar, yakni urusan pidana. Punyakah kita hukum Hindu? Ada yang menyebutkan punya, karena sudah ada berbagai kitab tentang itu, seperti misalnya Manawa Dharmasastra. Kerajaan Majapahit juga telah mewariskan berbagai kitab tentang hukum Hindu, yang dipergunakan saat itu. Katakanlah hal itu cukup, lalu bagaimana kita menyusun Kitab Undang Undang Hukum Pidana Hindu (KUHP Hindu) dan bagaimana pula melengkapinya dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Hindu (KUHAP Hindu) yang sesuai dengan zaman ini? Kalau itu bertabrakan dengan hukum nasional, dengan tuntutan zaman, apalagi dengan HAM, maka akan terjadi kerumitan yang luar biasa. Kalau pun semua kesulitan itu bisa diatasi, orang bisa bebas menentukan apakah akan menggunakan Hukum Hindu dengan Pengadilan Hindu atau menggunakan hukum negara dengan Pengadilan Negeri. Bisa kosong Pengadilan Agama Hindu. Kita belum berbicara soal siapa yang akan menyusun KUHP Hindu dan KUHAP Hindu itu, dan yang lebih penting lagi siapa yang akan membiayai. Ini memerlukan perhatian yang serius kalau memang kita mau serius ke sana. Berbagai diskusi dan seminar harus dilewati. Saya sangat pesimistis hal ini akan berhasil.
C
45
C
Jangankan bicara masalah hukum yang akan memberi sanksi kepada umat, membicarakan hal-hal yang membantu umat dari kehidupan sehari-hari saja sulit. Parisada pecah dua di Bali, para sulinggih tak bisa bersatu, bagaimana mau duduk bersama membicarakan hukum Hindu? Jadi, membentuk Peradilan Hindu, jauh panggang dari api. Pekerjaan yang sia-sia. Untuk apa membuang-buang energi, lebih baik energi disalurkan untuk pendidikan generasi penerus mengingat SDM Hindu paling buruk di antara SDM umat lain. Lebih baik energi disalurkan untuk pencerahan kepada umat, agat umat tahu bagaimana mempraktekkan agama sesuai susastra Hindu. Akan halnya berkaitan dengan hukum, kita didik hakim-hakim Pengadilan Negeri dengan nilai-nilai Hindu. Kita siapkan saksi ahli Hindu untuk kasus-kasus yang menyerempet agama. Misalnya dalam hal pencurian pratima, sesuatu yang marak yang menyebabkan ada ide tentang pendirian Peradilan Hindu. Kita yakinkan hakim, nilai sebuah pratima bukan dari harga bahannya semata-mata, tetapi ritualnya yang jauh lebih mahal. Jika ini sudah menjadi kesepakatan, maka hakim di dalam menjatuhkan vonis untuk pencuri pratima akan mempertimbangkan nilai itu, yakni nilai yang kasat mata dari bahannya dan nilai yang tak terlihat dari biaya upacaranya. Cara-cara ini leebih logis. Agustus 2006 Catatan: * pratima = simbol-simbol sebagai visualisasi Tuhan atau Dewa yang ada di sebuah pura, ada yang bahannya dari emas, perak, uang kepeng dan sebagainya. *kawitan = garis keturunan.
C
46
C
Budaya Kekerasan
R
ibuan pemedek mengikuti upacara pemerayascita bhumi. Kerbau ditenggelamkan, juga binatang lainnya. Tak ada yang sesekali merenung, bagaimana perasaan kerbau dan binatang yang jadi korban itu. Barangkali kita berpikir, urusan binatang adalah “prikebinatangan”, tak terkait dengan “prikemanusiaan”. Ritual ini adalah yadnya suci berdasarkan petunjuk lontar Dewa Tatwa dan Roga Sangraha Bumi. Tujuannya untuk membersihkan dan menyucikan alam demi kedamaian dan kesejahtraan bumi. Masyarakat tak peduli bagaimana bunyi lontar itu, karena tak pernah disosialisasikan. Siapa penulis lontar itu, kemana rujukan lontar itu dalam Weda, tak ada yang mempersoalkan. Masyarakat patuh mendirikan penjor tanpa tahu dewa mana yang dipuja di penjor itu. Upacara yang disponsori Gubernur Bali ini semestinya bergaung. Tetapi, ketika saya diundang bicara di Masjid Cheng Hoo Surabaya (memberikan masukan damai dari sisi Hindu) saya dicecar dengan pertanyaan: “Kenapa Bali sekarang semakin rusuh, saling bunuh antar anggota parpol, penjudi berani melawan
C
47
C
polisi, bahkan murid-murid SMP tawuran setelah minum arak? Kenapa masyarakat Bali tak lagi religius?” Saya kaget karena baru kemarinnya ada upacara “sangat religius” yaitu pemerayascita bhumi. Tapi kalau upacara ini saya jelaskan, tentu mereka akan makin bingung, bagaimana mungkin upacara dengan “budaya kekerasan” yang mengorbankan binatang, bisa meredam kekerasan? Darah binatang memerahkan bumi Bali, arak, tuak, brem dituangkan dengan istilah “tetabuhan”. Hal seperti itu saja dipersembahkan atas nama menyucikan bumi, pantaslah anak-anak SMP minum arak lalu berkelahi sesama temannya, karena arak ada di mana-mana dengan dalih alat upacara. Penjudi berani melawan, di Singaraja bandar bola adil pernah demo, di Denpasar bebotoh tajen mendatangi Kapolresta. Kalau di luar Bali ada kasus begini, polisi tak perlu repot-repot menggrebek penjudi, langsung saja mereka ditahan, wong sudah ngaku penjudi. Di seantero Nusantara hanya di Bali penjudi berani unjuk gigi. Lalu, bagaimana kita mengatakan bahwa Bali masih pulau yang religius, pulau di mana masyarakatnya taat pada agama? Anakanak kecilpun sekarang sudah tahu, mabuk dan judi bertentangan dengan agama Hindu sesuai dengan kitab Weda, karena sudah begitu tersebarnya buku-buku pelajaran agama. Tapi orang-orang tua di Bali, dan termasuk pejabatnya, masih berpegangan pada lontar. Upaya “membersihkan bumi” dengan ritual yang mahal, kalau berhenti di tataran upacara saja, ini ibarat seorang anak kecil yang cengeng, sedikit gerah langsung mengadu kepada ibunya: “Apa ada yang salah, kenapa anak ibu dikutuk, tolong dong diberi ketenangan.” Padahal kalau sang anak tidak cengeng dan mau melihat kenyataan yang ada, coba atasi sendiri kegerahan itu. Jangan-jangan hanya perlu mandi. Yang perlu dibersihkan dan di-”perayascita” adalah mental
C
48
C
kita, tingkah laku kita sehari-hari. Sudahkah kita memberikan contoh kepada anak-anak kita agar berperilaku sopan, menghargai sesama makhluk, bukan saja makhluk yang bernama manusia, juga khewan dan tumbuh-tumbuhan ciptaan Tuhan. Pohon ditebangi, hutan gundul, tebing sungai rapuh, got dipenuhi sampah, tentu saja akan ada bahaya longsor dan banjir. Ini sudah hukum alam ciptaan Hyang Widhi, tak perlu lagi dicari di lontar-lontar, upacara apa yang mesti dilakukan. Sudah jelas “upacaranya” adalah jangan tebangi hutan dan jaga lingkungan. Wabah demam berdarah memuncak, lalu kita sibuk membuka lontar di mana lagi perlu caru dan berapa ayam disembeleh. Padahal “carunya” sudah jelas, bersihkan lingkungan, kuras air yang tergenang, timbun sampah kaleng yang bertebaran. Anakanak SMP berkelahi, mari kita koreksi diri kita, apakah bukan kita sebagai orangtua yang memberi contoh pada mereka? Orangtuanya sendiri berkelahi, lalu korupsi dan menggaruk uang rakyat dengan mudah – misalnya lewat anggaran purnabhakti yang besar – bagaimana seorang anak bisa menghargai uang? Kalau orangtuanya penjudi, bagaimana mungkin ia mengajarkan anaknya soal toleransi, tatwamasi, sapta timira dan sebagainya? Yang tawuran saat ini adalah murid-murid sekolah farorit. Artinya, orangtuanya cukup mampu dari segi keuangan, tetapi kurang mampu dalam membina anaknya karena sudah terjebak budaya kekerasan yang mungkin tidak disadari itu. Guru di sekolah terlalu sibuk atau mungkin kurang wibawa. Bagaimana tidak, murid-murid naik motor atau dijemput mobil mewah, lalu melambaikan tangan kepada gurunya yang berjalan kaki. Tak pernah ada murid yang berkata: “Pak Guru, ikut kita yuk, satu jurusan kok…” Bali sudah kehilangan arah dan kurang kontrol. Budaya adiluhung dan masyarakat yang religius, sudah jadi masa lalu karena salah dalam transformasi nilai-nilai budaya global. Peredaran nar-
C
49
C
koba paling tinggi, minuman keras bertebaran di warung-warung tanpa pernah ada razia, apalagi sampai dibuldozer sebagaimana di luar Bali. Video porno beredar luas lalu merangsang munculnya joged porno. Judi merebak sampai ke jaba pura. Bahkan di Kabupaten Tabanan, sebuah pabrik miras tanpa izin sudah bertahun-tahun beroperasi di Desa Penyalin. Bukannya pabrik miras itu ditutup, tetapi sebuah pabrik miras baru akan dibangun di Desa Bantas. Polisi hanya menutup pabrik miras di Penyalin untuk sementara begitu masyarakat beraksi, tetapi blakangan dibuka kmbali. Masyarakat sudah mendemo memprotes pembangunan pabrik miras di Bantas, tetapi nyatanya tetap saja dibangun dan kini sudah berproduksi. Alasannya, produksinya untuk memenuhi kebutuhan minuman keras di hotel-hotel dan di luar Bali. Pertanyaan besarnya: apakah pejabat-pejabat di Kabupaten Tabanan tidak menyadari bahwa dari pabrik miras yang ada itu rakyat Bali dan tentu pula rakyat Tabanan, menjadi celaka? Kemerosotan seperti ini adalah “penyakit moderen” yang tak bisa diobati dengan menenggelamkan kerbau ke laut dan danau. Hanya pendidikan moral yang bisa menyelamatkan manusia Bali, ajaran moral dari agama yang sumbernya ada dalam kitab suci. September 2006
Catatan: * penjor = bambu tinggi melengkung yang dihias. * caru = ritual untuk bhuta yadnya, menyucikan alam. * tatwam asi = ajaran Hindu, engkau adalah aku. * sapta timira = ajaran Hindu, 7 hal yang harus dihindari.
C
50
C
Melestarikan Budaya Bali
B
elum pernah ada penelitian yang memotret remaja etnis Bali yang tinggal di luar Bali. Sebenarnya menarik untuk diketahui, bagaimana persepsi remaja Bali itu tentang kebudayaan Bali. Tentu saja pemilahan harus dilakukan terlebih dahulu. Misalnya, mereka yang memang lahir di luar Bali dan besar di sana. Kemudian mereka yang lahir di Bali, katakanlah sampai usia SLTP, setelah itu keluar Bali, entah itu sekolah seorang diri atau ikut orangtuanya. Setelah bergaul erat dengan remaja-remaja dari etnis lain, bagaimana kadar kebalian anak ini? Kalau penelitian itu ada, mungkin akan lebih lengkap lagi jika dikaji pula sejak orangtua dari remaja ini. Soalnya orang Bali di luar Bali sudah ada yang turun-temurun beberapa generasi. Bagaimana mereka memandang Bali dengan kebudayaannya? Penelitian bisa lebih jelimet lagi dengan mengelompokkan di mana mereka bermukim. Apakah mereka berada dalam komunitas yang besar, seperti misalnya di pemukiman transmigrasi ataukah berpencar? Pemukiman orang Bali di NTB, khususnya
C
51
C
di Kota Mataram dan Lombok Barat meski tidak tergolong pemukiman transmigran, namun ciri-cirinya sama dengan pemukiman transmigran di Lampung, Sulawesi dan sebagainya. Kebudayaan Bali di sini berkembang secara alami, karena seluruh komponen budaya itu mereka bawa. Bisa dikatakan, warga pemukiman itu hanya memindahkan suasana Bali keluar. Cuma, dalam menghadapi perkembangan masa kini, di mana arus kesejagatan (global) melanda dunia dan terjadi pembaruan di sana-sini, komunitas orang Bali yang jauh dari saluran komunikasi moderen itu menghadapi berbagai kendala. Begitu pula anak-anak muda mereka. Sehingga yang muncul adalah kegamangan, budaya Bali yang mana yang harus dilestarikan? Ada contoh di sebuah pemukiman transmigrasi, penduduk mewarisi pura keluarga (merajan) dengan begitu banyak pelinggih. Ini budaya yang dibawa oleh generasi sebelumnya begitu keluar dari Bali. Generasi saat ini, ketika ia sudah menjadi dewasa dan mewarisi semuanya, tidak tahu untuk apa sebenarnya pelinggih yang ada di pura keluarga itu, siapa yang dipuja di sana, apa sesajennya, bagaimana doanya, apa makna persembahyangan itu. Ada dua penyebab. Yang pertama, orangtuanya (generasi pertama di pemukiman itu) tidak mewariskan filosofi dari keberadaan pelinggih itu termasuk tata cara persembahyangannya. Atau yang kedua, generasi pertama itu juga tidak tahu apa maknanya, karena mereka menyerahkan sepenuhnya kepada pemangku yang diundang dari Bali. Ini berarti yang diwarisi adalah “ketidak-tahuan” atau sebuah tradisi yang di Bali sendiri sering disebut “gugon tuwon”, begitu diterima dari dulu, begitu dipelihara sekarang. Nah, celakanya, remaja-remaja masa kini yang mendapatkan sentuhan pemahaman global, bergaul antar etnis, antar agama, dan antar budaya, menjadi bingung sendiri. Mereka pun bertanya, sebenarnya apa yang diwarisi dari para
C
52
C
pendahulu dan apa yang harus dilestarikan saat ini? Ada contoh yang lebih gampang, budaya Bali dalam bentuk tari. Dulu, menjadi kebanggaan masyarakat Bali di luar Bali jika mereka bisa melestarikan tari-tari Bali dan dipentaskan ketika ada piodalan di pura. Tetapi sekarang ini, tari Bali juga dipelajari orang lain yang bukan orang Bali dan bukan penganut Hindu. Itu dipentaskan di acara-acara bersifat nasional dan bahkan untuk upacara agama yang bukan Hindu. Pertanyaan remaja Hindu di luar Bali saat ini adalah apakah itu termasuk budaya yang harus dilestarikan dengan label budaya Bali? Kebanggaan apa yang ada, toh etnis lain sudah bisa memainkannya bahkan dengan lebih bagus lagi. Inilah kegamanan orang menghadapi budaya global, seperti halnya di Bali sendiri, banyak ibu-ibu muda anggota PKK di pedesaan yang suka senam pocho bersama-sama. Apakah remaja Hindu di NTB, Lampung, Sulawesi dan lain-lainnya perlu mewarisi kidung wargasari? Pada saat mereka tidak bisa berbahasa Bali dengan baik, kidung wargasari itu menjadi sesuatu yang asing. Lalu, muncul “kidung” masa kini yang lebih moderen untuk ritual keagamaan, mantram dan sloka Weda dalam bahasa Sansekerta. Bagi remaja ini, kedua-duanya adalah “asing”, namun karena yang berbahasa Sansekerta ada dalam kitab suci, maka itulah yang dipelajari. Lalu, apakah mereka bisa disebutkan tidak lagi mewarisi dan melestarikan budaya Bali? Bagi saya, soal kebalian bisa kalah penting dari kehinduan. Namun, jika saya boleh menganjurkan, hal penting yang perlu diwarisi dan dilestarikan oleh orang-orang Bali di perantauan, termasuk para remajanya, adalah penggunaan bahasa Bali. Ini sumber dari segala pelestarian budaya Bali. Bagaimana pun bagusnya menembangkan wargasari tak akan punya roh jika tak paham bahasa Bali.
C
53
C
Lagi pula. dengan keterbatasan sulinggih atau pendeta Hindu di luar Bali, pemahaman akan bahasa Bali sangat membantu di dalam melakukan persembahyangan. Doa-doa dalam persembahyangan bisa dilakukan dengan bahasa Bali. Begitu pula soal tembang suci yang mengiringi persembahyangan, hampir seluruhnya berbahasa Bali, kecuali memang yang digunakan oleh sekte atau aliran Hindu yang disebut sampradaya itu. Mereka punya tembang atau istilah mereka bajan dalam bahasa Sanskerta. Tentu bajan ini tidaklah cocok dipakai mengiringi persembahyangan “versi” Bali. Bahasa Bali perlu dijaga dari kepunahan, oleh orang Bali di manapun berada. Namun di sinilah persoalan muncul. Jangankan di luar Bali, di Bali sendiri pemakai bahasa daerah itu merosot di kalangan remaja. Kalau orang tak peduli bahasa daerah, bagaimana dia bisa melestarikan budaya daerah, kalau orang acuh terhadap bahasa Bali, bagaimana pula dia bisa melestarikan bahasa Bali? Mari kita lestarikan budaya Bali melalui bahasanya. 13 Maret 2004
C
54
C
Kehilangan Subak
P
ada saat ajeg Bali semakin gencar dikumandangkan belakangan ini, diam-diam kita kehilangan budaya Bali yang begitu terkenal di dunia dan bahkan satu-satunya ada di muka bumi ini, yakni budaya subak. Secara sederhana seringkali istilah subak itu disebutkan dengan sistem pengairan. Padahal, sejatinya istilah subak tidak bisa diartikan hanya sebatas ”sistem pengairan”, karena di Jawa banyak sekali ada sistem pengairan yang berbeda-beda di masing-masing tempat. Subak adalah budaya petani tradisional Bali yang cakupannya demikian luas, bukan cuma masalah organisasi membagi air, tetapi juga menentukan saat tanam padi, cara-cara menggarap tanah, memelihara padi, cara memanen, sampai pada urusan ritual. Organisasi membagi air memunculkan istilah telabah, telajakan, temuku. Cara menghitung besaran pembagian air pun sangat rinci. Menentukan saat tanam menimbulkan istilah seperti ”kertha masa” dan ”tangluk merana”, kapan harus mulai menanam padi dan kapan batas akhir menanam. Ini penting karena menyangkut hama, selain berkaitan dengan musim.
C
55
C
Kalau menanam tidak serentak, mengusir hama jadi sulit. Cara menggarap sawah menimbulkan sekehe (kelompok) yang unik. Ada sekehe makal (menggemburkan tanah), sekehe melasah (meratakan tanah yang sudah gembur), ada sekehe munduk (membuat pematang). Memelihara padi memunculkan sekehe ngabut bulih (mencabut benih), sekehe nandur (menanam), sekehe mebulung (membersihkan rumput di sela padi). Setelah panen muncul sekehe manyi (memanen), sekehe mekajang (mengangkut padi dari sawah). Semua tahapan kerja ini memunculkan istilah yang unik. Untuk menghitung jumlah padi, misalnya, dari terkecil sampai terbesar adalah pejangan (segenggam tangan), tatap (dua pejangan), cekel (tiga tatap), tenah (tiga cekel) dan seterusnya. Belum lagi alat-alat kerja yang unik-unik. Sekarang, seberapa banyak yang tahu istilah itu? Kita betulbetul kehilangan subak, budaya adiluhung warisan leluhur yang punya kearifan lokal begitu jenius. Mula-mula subak kehilangan pamornya karena munculnya teknologi akibat kemajuan zaman. Pupuk kimia dan pestisida pembunuh hama datang, menyebabkan tidak diberlakukan lagi ”kertha masa”. Untuk apa lagi menyeragamkan sistem tanam, toh hama mudah disemprot pestisida dan tanah pun selalu subur dengan pupuk kimia. Di sini bukan saja salah satu sistem subak yang hilang, tetapi juga ”hiburan petani” ikut hilang, misalnya, mencari belawuk, klipes, capung, belut sawah dan sebagainya. Tanya anak-anak pedesaan sekarang, apa mereka tahu yang namanya belawuk dan klipes, binatang sawah yang enak dimakan itu? Capung pun sudah tinggal sedikit. Setelah pupuk dan pestisida akrab dengan petani, muncul padi jenis baru berumur pendek, hanya tiga bulan sudah panen, bahkan langsung menjadi gabah di tengah sawah, tak perlu ada ”lesung penumbuk padi”. Sebagian besar istilah yang terkait
C
56
C
dengan subak itu sudah menghilang. Padi rontok di tengah sawah, dan sang perontoknya bukan lagi orang-orang Bali, namun pendatang dari Banyuwangi, Situbondo, Lombok dan sebagainya. Mereka mendirikan kemah-kemah kecil di sawah. Petani Bali sudah benar-benar kehilangan subak. Bahkan yang menyangkut ritual juga hilang. Bagaimana mengusung Dewi Sri ke lumbung kalau padi sudah berbentuk gabah? Lagi pula apa perlu ada lumbung, kalau gabah itu bisa disimpan di rumah biasa, atau langsung dijual untuk membeli VCD dan telepon selular? Selain dihantam gempuran teknologi, subak juga merana karena kebijaksanaan pemerintah yang tidak berpihak ke petani. Karena nilai jual padi tak seimbang dengan harga kebutuhan pokok lainnya, petani mengalih-fungsikan sawahnya menjadi perkebunan. Sudah ribuan hektar sawah di Bali berubah menjadi kebun kopi, kebun cengkeh, kebun coklat dan sebagainya. Beberapa petani di Kecamatan Pupuan, Tabanan, misalnya, sebenarnya ingin mempertahankan menanam padi. Tetapi mereka kehilangan ”sekehe” (kelompok), sehingga sulit untuk memelihara saluran irigasi dengan jumlah orang sedikit. Lagi pula, akibat pembangunan pemukiman yang amburadul, kadang-kadang bangunan baru di bekas sawah menutup saluran irigasi ke sawah yang bertahan. Kalau di pedesaan saja sudah terjadi hal seperti ini, bayangkan saja di pinggiran kota, sudah berapa sawah yang berubah menjadi ruko. Petani kehilangan daya protes karena pemerintah tak memberi dukungan. Kabupaten Tabanan hanya menunggu waktu untuk hilangnya predikat sebagai lumbung beras di Bali. Yang lebih tragis lagi, kita sesungguhnya kehilangan subak dua kali. Kehilangan pertama, subak dalam arti yang sebenarnya. Kehilangan kedua, kita kehilangan Museum Subak. Pemerintah Kabupaten Tabanan yang saat itu didorong oleh Pemerintah
C
57
C
Provinsi Bali membangun Museum Subak di Sanggulan, Kediri. Kini, museum ini sangat merana, bahkan sebagian dijadikan kantor Samsat darurat. Begitu menyedihkan ikon budaya Bali yang bernama subak ini. Museum Subak digagas tahun 1970-an oleh tokoh-tokoh Bali di zamannya, seperti I Gusti Ketut Kaler, I Gusti Bagus Sugriwa yang kini semuanya telah tiada. Beliau sudah ”mencium” gelagat buruk, bahwa kelak subak akan mati. Kalau pun subak sulit dipertahankan (meski mereka tetap ingin pemerintah mempertahankannya), minimal segala bentuk budaya, baik yang berupa alat maupun sistem, harus didokumentasikan. Maka disepakatilah membuat Museum Subak di daerah yang menjadi ”lumbung beras”, yaitu Tabanan. Kini, museum itu dalam keadaan ”mati suri”, bahkan mungkin sudah dilupakan total. Subak sendiri juga akan berangsur hilang. Sepuluh tahun lagi, generasi muda Bali akan bertanya: apa itu subak? Dan mereka akan mengetahuinya dan mengenang warisan leluhurnya lewat buku-buku yang terbit di Eropa dan Jepang. Tragis sekali. 17 November 2007
C
58
C
Kembali ke Sawah
S
etiap bencana membawa hikmah. Datangnya malapetaka menyisakan perenungan. Persoalannya adalah apakah kita akan mau mengambil hikmah dan mau merenungi kembali perjalanan kita di masa lalu untuk dijadikan sesuluh di masa depan? Bali diguncang bom tahun 2002. Kita diberi hikmah bahwa industri pariwisata sangat rentan dengan keamanan. Perekonomian Bali yang bersandar pada dunia pariwisata hancur. Kita sempat merenung sejenak, apakah pariwisata model Bali ini sudah benar bertumpu pada pariwisata budaya? Namun perenungan itu tidak tuntas. Corak pariwisata jauh melenceng dari akar budaya Bali. Kontribusi pelaku budaya tak dihargai oleh hasil pariwisata. Toh, pelaku pariwisata tetap berusaha memulihkan bisnis itu, dan ketika menggeliat, bom kedua meledak Oktober yang lalu. Ada pepatah yang berbunyi: “Pelanduk yang paling tolol tak akan terantuk dua kali pada batu yang sama”. Orang Bali tentu bukan pelanduk yang tolol. Karena itu, setelah dua kali bom mengguncang, sebaiknya kita merenungi, apa yang sebenarnya
C
59
C
terjadi pada Bali? Orang Bali setuju daerahnya menjadi tujuan wisata Indonesia dengan catatan landasannya budaya. Maka lahirlah istilah pariwisata budaya. Artinya, yang dijual kepada wisatawan yang pertama dan utama adalah budaya. Tapi apa yang terjadi? “Halaman rumah” orang Bali, tempat budaya itu lahir, digerogoti terus. Tanah sawah dijadikan hotel atau ruko, jurang-jurang dipenuhi bungalows, air untuk pengairan dialirkan ke hotelhotel, tempat suci direkayasa sehingga tidak lagi ada vibrasi kesucian sebagaimana dahulu. Orang Bali yang semula agraris dipaksa menjalani kehidupan industri, dan pola konsumtif pun diperkenalkan dengan gencar. Hotel, restoran, travel sebagian besar punya orang luar Bali, bahkan pengelola Bandara Ngurah Rai pun tak menyisihkan penghasilannya untuk Bali. Bersamaan dengan itu Bali pun diserang dari “tingkah menengah bawah”. Pendatang yang membawa budayanya sendiri tak bisa dibendung, dan anehnya dibiarkan oleh pemimpin-pemimpin Bali. Maka lahirlah budaya berjualan koran di lampu lalu lintas, ngamen di rumah makan dan terminal, kaki lima di trotoar dan di sepanjang jalan, pemulung ke desa-desa, kafe juga ke desa-desa lengkap dengan wanita tuna susilanya. Rumah-rumah kumuh berdiri yang bertolak belakang dari konsep Tri Hita Karana, belum lagi tempat ibadah dengan segala perlengkapannya. Pola konsumtif orang Bali pun dimanfaatkan dengan baik oleh pendatang, semua kebutuhan ritual orang Bali disuplay dari Jawa Timur, dari janur, bunga, buah sampai telur bebek. Kalau kita mencoba merenung dengan jujur, semua ini menghancurkan budaya orang Bali. Bagaimana mempertahankan subak kalau airnya sudah dibawa ke hotel, sawah dikapling, lalu yang memanen padi orang Jawa atau Lombok yang mendirikan kemah-kemah di jalanan? Berapa ritual yang hilang, dari
C
60
C
mendak toya di pura bedugul sampai ngadegang Dewi Sri…. Bagaimana generasi muda Bali tertarik ke balai banjar untuk belajar menabuh dan mekidung, kalau kafe berdinding bambu dengan wanita menor ada di sudut-sudut desa? Bagaimana orang mau merawat pohon juwet, sotong, duku, dan lainnya, kalau orang Bali diarahkan membeli apel Amerika dan peer dari Cina untuk yadnya ke pura? Apalagi membuat dodol dan apem, lebih praktis dodol Garut dan dodol Kudus, sementara apem diganti roti kukus. Laklak Bali sudah sulit dicari di Denpasar, ada penggantinya, kue serabi dan dawet dari Banyumas. Kalau Bali ingin ajeg dengan budayanya yang tinggi seperti masa lalu, sarana untuk melahirkan budaya itu jangan dihancurkan. Air Bali harus tetap untuk kepentingan subak agar pertanian tetap jalan, karena dari sawah itu berbagai budaya lahir. Kalau hotel-hotel besar membutuhkan air, cari alternatif lain, entah menyuling air limbah atau menyuling air laut. Jadi modal dasar budaya itu jangan digerogoti kalau betul pariwisata Bali diarahkan ke budaya. Apa modal dasar itu? Tak lain adalah tanah dan itu artinya tanah pertanian karena budaya Bali adalah budaya agraris. Pemerintah harus memproteksi tanah pertanian Bali. Tanah Bali tak boleh jatuh ke tangan orang non-Bali. Pemerintah harus mensubsidi pertanian, baik dalam hal pengembangan produk maupun pemasarannya. Pemerintah harus mendorong agar orang Bali bisa mandiri. Jangan biarkan orang Bali tergantung pada orang luar, apalagi untuk kebutuhan menjalankan tirualnya, karena dari situlah sumber adanya budaya Bali yang adiluhung. Tokoh agama harus ikut turun tangan, bagaimana menyadarkan orang Bali bahwa persembahan untuk Tuhan yang paling utama adalah persembahan dari hasil jerih payah yang dihasilkan tanah Bali. Mari kita ubah pola kehidupan di Bali, kita kembali ke
C
61
C
sawah, ke sektor pertanian. Tentu saja menjadi petani moderen yang mempertimbangkan produk unggulan. Intelektual Unud harus menjadi pelopornya, seperti yang dilakukan seorang dosen pertanian Unud yang kini mengembangkan rebung bambu tabah (tiying tabah) di kampung saya. Kembali ke dunia agraris akan melanggengkan budaya Bali. Kalau tetap budaya menjadi tema pariwisata Bali, hasil pariwisata harus dikembalikan kepada petani Bali, pelaku budaya itu sendiri. Jangan serakah semuanya diboyong ke luar Bali. 17 April 2008
C
62
C
Ajeg Bali atau Ajeg Hindu
I
ngat ajeg Bali saya ingat akan perbincangan dengan seorang umat Buddha dan seorang Muslim di Pupuan, Kabupaten Tabanan. Umat Buddha pemilik toko bangunan tempat saya berlangganan. Yang Muslim penjual sate, juga langganan saya kalau lagi berada di kampung. “Umat Buddha sangat mendukung ajeg Bali. Kita ingin agar Bali tetap lestari sepanjang masa. Karena itu kita membangun Wihara dengan arsitektur Bali, Wihara yang ramah lingkungan, Wihara yang bersih. Lihat Wihara kita, begitu asrinya, selintas seperti Pura, tetapi penuh pepohonan yang rindang. Yang jelas kebersihannya lebih bagus dari Pura sekitar sini.” Begitulah umat Buddha membanggakan tempat sucinya. Memang, Wihara yang dibangun di atas tebing di antara Desa Pupuan dengan Desa Pujungan itu sangat besar, indah dan ramah lingkungan. Saya tak bertanya terus-terang, berapa umat Buddha yang ada di Kecamatan Pupuan sehingga bisa membangun Wihara yang begitu megah. Namun dari pengamatan selintas, umat Buddha tak lebih dari 10 KK, hampir semuanya warga keturunan.
C
63
C
Di Pupuan, sebagai ikukota kecamatan, kini sedang dibangun Masjid Raya. Konsep Masjid Raya setiap kecamatan ini agaknya sangat gencar dilakukan. Jika tidak dibangun masjid baru, maka masjid lama yang dirombak. Di Pupuan yang dibangun masjid baru, di pinggir jalan, besar dan sedang dalam pengerjaan. “Masjid ini nantinya akan jadi contoh bagaimana tempat suci itu bersih, punya halaman luas. Pokoknya sesuai dengan konsep ajeg Bali, karena kita hidup di Bali tentu kita sangat mendukung konsep ajeg Bali,” kata teman saya ini. Saya juga tidak tahu berapa banyak umat Muslim yang ada di Pupuan, tetapi kalau bilangannya 40 KK (sebagaimana “syarat” membangun tempat ibadah menurut SKB Menag dan Mendagri tahun 1969) sepertinya tidak ada. Entah kalau ada yang tinggal di desa-desa. Mereka bicara tentang ajeg Bali, kata yang dalam setahun ini begitu populer di Bali. Apapun dikaitkan dengan ajeg Bali. Barangkali umat Kristiani di Dalung, Tuka, Palasari dan tempat-tempat lain, juga punya pandangan serupa bahwa mereka sebagai penduduk sah Pulau Bali akan ikut menjaga dan menegakkan ajeg Bali. Lihat saja Gereja yang mereka bangun, ada candi bentarnya, ada ornamen Bali seperti yang kita temui di Pura. Kalau mereka merayakan Natal, mereka datang ke Gereja seperti halnya umat Hindu datang ke Pura, berpakaian adat Bali, membawa buah-buah yang dirangkai seperti pajegan orang Bali, membakar dupa dan sebagainya. Bahkan di Palasari, Jembrana, ada suara gamelan gong yang biasa dipakai orang Bali, berikut tari-tarian Balinya. Siapakah yang membantah bahwa mereka bukan orang Bali? Karena mereka orang Bali maka adat dan budaya yang mereka pakai adalah adat dan budaya Bali. Cuma dalam keyakinan saja mereka berbeda, mereka tidak menyebutkan Hyang Widhi, tetapi Sanghyang Yesus.
C
64
C
Kembali kepada konsep ajeg Bali. Salah satu cirinya adalah Satyam (kebenaran), Siwam (kesucian), dan Sundaram (keindahan). Semuanya telah mereka penuhi. Bahkan mereka mensucikan tidak saja dalam bentuk phisik, misalnya, cara membuang sampah, tetapi juga non-phisik. Tidak ada judi (tajen, bola adil, permainan dadu) saat persembahyangan di Gereja, Wihara atau Masjid, seperti piodalan di Pura. Sementara pada umat Hindu, piodalan selalu disertai dengan judi, bahkan pura pun kotor oleh sampah. Sikap hidup yang sesuai dengan Tri Hita Karana telah mereka jalankan tanpa banyak terori. Bahkan hubungan antar sesama manusia, melebihi prilaku orang Bali yang selalu bicara Tri Hita Karana. Umat Kristiani gencar membangun Panti Asuhan, umat Muslim gencar membantu temannya yang berdagang baik di kaki lima maupun di pertokoan (ditambah bantuan perbankan yang moderen seperti Bank Sari’ah), umat Buddha juga solidaritasnya tinggi. Sementara umat Hindu, justru anak-anak mereka masuk ke Panti Asuhan umat lainnya. Ajeg Bali seperti itukah yang akan dilanggengkan di Bali? Ajeg Bali di mana setiap tahun jumlah umat Hindu berkurang dalam komposisi penduduk Bali. Prosentase pemeluk Hindu terus menurun setiap tahun di Bali, baik karena populasi yang rendah maupun karena pendatang yang umumnya non-Hindu datang leebih banyak. Bagi saya, ini memprihatinkan karena akan membawa persoalan di kelak hari. Karena itu saya lebih setuju berbicara tentang ajeg Hindu di Bali, bukan ajeg Bali. Dengan ajeg Hindu, maka pertama-tama yang dibuat ajeg adalah kehinduan orang Bali. Cegah orang Bali pindah agama dengan memberikan pendidikan agama Hindu sejak dini kepada anak-anak, meski pindah agama itu sesungguhnya hak asasi manusia. Cegah orang Bali menjual tanahnya dengan menanamkan konsep bhakti kepada leluhur sehingga warisan harus
C
65
C
dipertahankan. Pendirian tempat ibadah umat non-Hindu di kantong-kantong umat Hindu mestinya sesuai dengan aturan yang ada. Sucikan pura dari segala bentuk perjudian, dan sucikan pura dengan menjaga kebersihannya. Ajarkan Manusa Yadnya dengan konsep menolong sesama, bukan cuma membuat banten. Laksanakan ritual Hindu sesuai dengan kemampuan, karena berdasarkan sastra dan ajaran Hindu, ritual itu bisa dibikin besar dan bisa dibuat kecil. Ada sembilan jenjang tingkatan itu. Kalau tidak mampu, sesuaikan pembiayaan ritual mengikuti konsep itu. Jangan dipaksanakan, apalagi sampai mencari utang untuk melaksanakan ritual. Ini membuat kesan ritual Hindu selalu menjadi beban. Dengan tetap ajegnya Hindu di Bali, maka budaya yang ada selama ini menjadi lestari karena budaya itu tetap dalam roh Hindu. Beberapa orang bilang, memang itu tujuan ajeg Bali, melestarikan budayanya. Ya, kalau benar seperti itu, semuanya berangkat dari keyakinan Hindu, kenapa harus muter-muter mencari istilah ajeg Bali yang rumusannya juga tak pernah jelas? Kenapa takut bilang ajeg Hindu, yang jadi sumbernya? Desember 2004
C
66
C
Etnis Bali
P
embauran etnis hampir sesuatu yang mustahil. Dan itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara maju. Orang Jawa tetap menjadi orang Jawa di Suriname. Orang Indian tetap memandang orang kulit putih di Amerika sebagai pendatang. Orang aburigin pun tetap menyebut dirinya penduduk asli Benua Kangguru, semua etnis lain adalah pendatang. Transmigran Bali yang tinggal di Sulawesi Tengah atau di Lampung, sudah beranak pinak selama dua atau tiga generasi. Tetap saja mereka menyebut dirinya orang Bali, bukan orang Lampung. Jangankan urusan transmigran yang terjadi setelah tahun 1950-an, orang Bali di Lombok sudah ada sejak berabad-abad yang lalu ketika pulau itu dalam pengaruh Kerajaan Karangasem, toh tetap saja mereka disebut orang Bali, bukan orang Lombok. Faktor terbesar yang menyebabkan masalah etnis dibawabawa sampai ke generasi berikutnya adalah masalah budaya dan gen. Mereka pergi dari daerah asal membawa budayanya, seperti bahasa, kepercayaan, nama khas, kesenian dan adat ke-
C
67
C
biasaan. Orang Madura pergi ke Kalimantan dan membangun pemukiman di Sampit, misalnya, tetap saja ciri khas Madura nampak meski sudah berpuluh tahun mereka di sana. Sukar sekali budaya Madura itu membaur dengan budaya Dayak. Orang Bali di Lampung juga begitu, puluhan tahun mereka di sana, kebiasaan selama di Bali tetap dipertahankan, sampai kegemaran mengadu ayam. Di Lombok, khususnya Lombok Barat, jumlah orang Bali demikian banyak, bahkan di Kodya Mataram sendiri orang Bali dan orang Sasak berimbang. Struktur budaya orang Bali di Lombok tak ada beda dengan orang Bali di Pulau Bali. Kebiasaan mereka merayakan Galungan, begitu pula merayakan Nyepi, tak ada beda dengan masyarakat Bali sendiri. Kiblat mereka selalu ke Bali, termasuk yang salah-salah dan yang negatif. Misalnya, mengarak ogoh-ogoh setelah tawur kesanga yang salah kaprah itu, judi sabungan ayam dan main ceki. Cap Bali yang masih kuat melekat menyebabkan secara psikologis etnis Bali itu dianggap pendatang di Lombok. Mereka bukan penduduk asli. Di masa orde baru, lahir dikotomi antara penduduk asli dan putra daerah, sesuatu yang sangat disayangkan banyak orang seolah-olah Indonesia belum sepenuhnya menjadi satu bangsa. Dikotomi ini merebak ke seluruh penjuru, dan sampai sekarang masih menjadi ganjalan secara politis, diakui ataupun tidak. Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota akan sulit diikuti oleh orang Bali di Lombok karena mereka bukan “putra daerah”. Orang Bali yang lahir di Lombok, bahkan ibu dan bapaknya juga lahir di Lombok, secara politis kalah bersaing merebut jabatan publik dibandingkan orang Lombok yang lahir dan besar di Jakarta, misalnya. Catatan kelahiran pada kartu tanda penduduk dikalahkan oleh indentitas etnis. Beberapa kebijakan juga mengacu kepada dikotomi itu. Sekolah-sekolah umum di Mataram ada yang mengajarkan
C
68
C
pelajaran wajib bahasa Arab dan menetapkan busana Muslim kepada siswa-siswanya, sementara untuk siswa yang “orang Bali” harus menyesuaikan diri tanpa ada mata pelajaran bahasa Bali atau bahasa Sansekerta, misalnya. Sekat-sekat ini, dirasakan atau tidak, membuat orang Bali di Lombok tidak totalitas berpartisipasi membangun daerahnya. Dan itu bukan semata-mata salah mereka, situasi dan keadaan yang membuatnya seperti itu, karena mereka menyandang predikat sebagai “bukan putra daerah”. Ini bukan kasus di Lombok saja, tetapi hampir di semua pemukiman orang Bali di luar Bali. Dan inipun menimpa orang Jawa, orang Batak dan sebagainya jika mereka merantau. Orang Jawa tak bisa diterima di Aceh sebagai “putra daerah” meskipun mereka sudah diam berganti generasi di Aceh. Di Sumatera Utara di mana orang Jawa sudah menetap lebih dari seabad, mereka dijuluki Pujakesuma (putra Jawa kelahiran Sumatra). Padahal dalam kasus orang Jawa di Aceh dan Sumatra, agama mereka sama-sama Islam. Maka bayangkanlah bagaimana orang Madura di Sampit dan Ketapang diusir oleh orang Dayak yang berbeda agama. Kasihan, orang Madura itu secara psikologis larinya ke Pulau Madura, tetapi di sini mereka tak memiliki apa-apa karena mereka sudah pisah berabad-abad dengan tanah leluhurnya. Adakah pembauran yang berhasil? Penduduk Desa Pegayaman, Buleleng, yang beragama Islam, termasuk berhasil menyatu dengan etnis Bali. Leluhur mereka datang ke sini pada abad ke 15 dari Blambangan, sebagai tentara yang membantu Ki Panji Sakti dalam membela Kerajaan Buleleng. Mereka berhasil total menjadikan dirinya orang Bali karena mereka menyerap adat kebiasaan orang Bali tanpa harus beralih agama. Mereka memakai bahasa Bali, nama depan orang Bali (Wayan, Ketut, Nengah dan sebagainya), pemukimannya memakai sistem
C
69
C
banjar, mereka juga membuat subak. Tak ada orang Pegayaman yang menyebut dirinya orang Jawa, begitu pula orang Bali tak ada menyebut mereka pendatang. Mungkin di situ kuncinya, bagaimana “pendatang” ini harus menyesuaikan diri dengan budaya setempat sehingga statusnya lambat laun berubah menjadi “putra daerah”. Penyesuaian ini tentu tak bisa dipaksakan, ya, kalau mereka sreg. Yang terjadi justru sebaliknya, para pendatang merasa berkewajiban mempertahankan identitas diri yang dibawa dari daerah asal. Inilah problema di seluruh muka bumi, bukan hanya di Indonesia dan bukan hanya etnis Bali di Lombok. 4 Februari 2005
C
70
C
Tradisi Kebersamaan
D
ari sekian banyak tradisi di Bali yang memunculkan makna kebersamaan, salah satunya adalah soal makan. Sampai sekarang di beberapa desa tertentu kebersamaan makan itu tetap dipelihara dan menjadi bagian yang mengasyikkan. Ada yang disebut melimbur. Ini makan bersama dengan masing-masing orang membawa makanan dari rumah. Sampai di tempat yang ditentukan dalam melimbur, masing-masing orang membuka makanannya. Setiap orang membanggakan lauk yang dibawanya dan menawarkan kepada yang lain. Suasana yang dibangun adalah kebersamaan untuk merangsang nafsu makan dengan saling mencicipi makanan dari orang lain. Sebuah tradisi kuno khas masyarakat agraris. Saya menduga tradisi ini muncul dari para petani yang bekerja ke sawah dengan nakil (membawa makanan dari rumah) dan kemudian makan bersama dengan petani-petani tetangganya
C
71
C
yang juga nakil. Selalu ada lahan kosong di perbatasan petak sawah yang biasa dipakai untuk kebersamaan para petani itu. Makan bersama dengan format yang lebih besar disebut megibung. Karena formatnya besar, maka acara megibung tak bisa dilakukan di tengah persawahan atau di bawah pohon kopi yang rindang. Makanan untuk megibung dipersiapkan bersamasama. Setelah makanan jadi, makanan ditaruh dalam sebuah tempat besar, lalu dikitari beberapa orang. Nah, orang-orang itu langsung menyantap makanan dari tempat besar itu, jadi nasi dan lauk bercampur dan siapa pun bisa mengambilnya dengan catatan tempat makanan tidak dipindah-pindah. Sesungguhnya tradisi megibung ini sudah diadaptasi secara moderen dalam bentuk tumpengan. Karena sudah moderen, orang mengambil makanan dan lauk yang ditaruh dalam piring, barulah makan sendiri-sendiri. Di Desa Sambirenteng ada acara megibung yang formatnya lebih unik lagi yang disebut cakcakan. Entah dari mana asal kata cakcakan, mungkin saja dari kata cakcak yang bisa berarti dipotong kecil-kecil atau dipukul sampai remuk. Karena lauk yang dipakai megibung ini adalah daging ayam yang sudah dipotong kecil-kecil yang mengitari nasi dalam sebuah klakat (sejenis nampan terbuat dari anyaman bambu). Satu klakat biasanya dikitari oleh paling banyak 8 orang. Cara makan dan aturannya sama dengan megibung di tempat lain, cuma karena ini massal, kebersamaan yang dibangun lebih besar lagi, tidak sekedar sesama tetangga, tetapi sesama penduduk di desa. Bahkan kalau orang luar mau ikut cakcakan diperbolehkan juga. Tradisi yang dipelihara dengan baik ini tentu layak untuk dilestarikan. Orang yang ikut cakcakan, seperti halnya dalam megibung, merasa sebagai satu keluarga, tidak ada yang merasa rendah dan tidak ada yang merasa lebih tinggi. Status sosial tak lagi menjadi kendala, apakah dia petani yang miskin atau
C
72
C
saudagar yang kaya, apakah dia tukang ojek atau manager hotel. Begitu seseorang ikut cakcakan maka semua yang mengitari klakat adalah saudara. Inilah ajaran Hindu yang luhur dalam konsep lokasamgraha, persatuan antar sesama atau terjemahan bebas yang puitis: semua manusia bersaudara. Yang perlu diluruskan adalah hal-hal yang menyimpang dari ajaran agama. Banyak tradisi kuno yang maksud dan tujuannya baik, namun ada terselip penyimpangan karena dalam proses kelahiran tradisi itu ajaran agama belum dihayati benar. Dalam cakcakan, misalnya, tradisi memakai ayam yang kalah dalam aduan (disebut ayam pecundang) perlu dihapus pelan-pelan. Orang Bali di masa lalu sangat sayang dengan ayamnya, lagi pula ayam tidak sebanyak sekarang ini. Mereka enggan menyembelih ayam hanya untuk makan, itu sebuah kemewahan. Karena itu hanya ayam yang kalah aduan yang bisa diserahkan untuk upacara cakcakan. Ini tentu saja melahirkan sabungan ayam (tajen), apalagi jika disertai taruhan maka masuklah unsur judi. Dua ajaran Hindu sudah dilanggar di sini, yakni penyiksaan terhadap hewan (tergolong himsa) dan berjudi. Makanan yang dihidangkan dengan cara seperti ini tidak lagi menjadi makanan satwika -- makanan suci yang diberkahi. Kini, di mana umat mulai sadar melaksanakan ajaran agama dengan benar, sebaiknya ayam yang dipakai cakcakan bukan ayam pecundang, dengan begitu unsur aduan dihilangkan. Ayam dikumpulkan dan dipotong dengan iringan doa, atau jika jumlahnya banyak diberikan tirta pengening yang sebelumnya dimohon oleh seorang pemangku. Soal waktu yang dipakai upacara cakcakan, yakni tilem kepitu, sudah sangat tepat sesuai ajaran Hindu. Apalagi diselenggarakan setelah upacara pecaruan. Kita tahu, pada pengelong 14 kepitu (sehari sebelum tilem) adalah Mahasiwaratri (di Bali hanya disebut Siwaratri), merupakan saat paling baik untuk
C
73
C
melakukan yoga semadi melebur segala dosa. Umat Hindu melakukan brata yang ketat: jagra (tidak tidur), upawasa (tidak makan), monabrata (tidak bicara). Brata paling minim adalan jagra. Pada tilem kepitu itulah semua pantangan ini berakhir. Dengan demikian, cakcakan adalah sarana kebersamaan setelah melepaskan segala pantangan tadi. Sungguh tinggi nilainya. Karena itu, cakcakan harus diluruskan dengan menghilangkan aduan ayam, apalagi mengadu ayam saat Mahasiwaratri yang justru menambah dosa, bahkan dilakukan di pura. Jika ini bisa diluruskan, meski harus sabar seirama dengan pemahaman agama yang lebih baik, maka dari Desa Sambirenteng memancar sebuah tradisi kebersamaan yang mengharumkan agama Hindu, dan ini yang membuat Bali semakin ajeg. 26 Juli 2003
C
74
C
Pergeseran Ubud
S
eperti umumnya kawasan wisata yang terus berkembang, Ubud mengalami pergeseren yang sangat berarti. Dulu kawasan ini masih berupa kota kecamatan yang mewakili wajah desa tradisional. Ketenangan, keasrian, kesederhanaan adalah ciri-ciri di masa lalu yang kini lambat laun menghilang. Di masa lalu warung-warung yang menjual aneka makanan dan minuman khas Bali masih bertebaran di jalanan, sekarang sudah berganti dengan restoran dan kafe yang moderen. Hasil kerajinan masyarakat di masa lalu mudah ditemukan di pasar tradisional, jika membeli lukisan datang sendiri ke tempat pelukisnya, ada kesederhanaan yang bersuasana kerakyatan. Semuanya berlangsung dengan informal dan santai. Kini kioskios seni dan galery berderet di pinggir jalan, lukisan dipajang dengan rapi, lengkap dengan bandrol. Yang terjadi semata-mata transaksi bisnis, tidak lagi ada dialog antara peminat seni dengan pencipta seni. Di sini masalahnya, hasil kreasi siapakah yang dijajakan di kios-kios seni kawasan Ubud itu? Ternyata tidak semuanya
C
75
C
hasil seniman kawasan Ubud. Produk seni itu, apakah itu lukisan, patung, barang kerajinan (kriya) adalah buah karya seniman luar Ubud yang dibawa para pedagang seni. Kawasan Ubud sudah bergeser dari sentra produksi seni menjadi sentra pemasar seni. Pergeseran seperti ini sudah menjadi sesuatu yang lumrah di Bali. Pariwisata yang terus berkembang di Ubud membuat kawasan ini tidak lagi menyediakan ”perkampungan seniman”, tetapi sangat memanjakan ”perkampungan wisatawan”. Dulu ada sentra-sentra seni tempat para seniman berkumpul dan berkarya, sekarang para seniman itu berpencar dan jarang berkumpul. Masing-masing seniman asyik dengan kesendiriannya, baik dalam berkarya maupun dalam memasarkan hasil karyanya. Padahal kawasan Ubud punya sejarah panjang dan monumental dalam bidang senirupa. Di kawasan inilah lahir paguyuban pelukis yang bernama Pita Maha, tercatat sebagai organisasi pelukis yang pertama di Bali. Pendirinya adalah pelukis-pelukis asing yang menetap di Ubud dan pelukis-pelukis lokal. Ada Walter Spies, Rudolf Bonnet, lalu ada Sobrat, Ida Bagus Made dan lain-lainnya. Pita Maha ini berkembang lebih jauh, bukan hanya menjadi sebuah paguyuban tempat para pelukis ngobrol, tetapi juga menjadikan sebuah ”aliran”, yang memadukan teknik Barat dengan corak tradisional yang sudah berkembang di Ubud. Banyak pelukis yang kemudian bergabung ke dalam Pita Maha, termasuk mengadopsi gaya yang dilahirkan dari kelompok Pita Maha ini. Sebuah terobosan yang sangat berarti adalah dedengkot Pita Maha mendirikan museum seni lukis yang kemudian diberi nama Puri Lukisan Ubud. Museum yang didirikan Rudolf Bonnet (pelukis kelahiran Belanda) bersama Cokorde Gde Agung Sukawati, Cokorde Agung Mas, Cokorde Anom Raka
C
76
C
dan beberapa pelukis lokal lainnya dikelola oleh Yayasan Ratna Warta. Di museum inilah (dirintis tahun 1953 dan dibuka untuk umum 1956) kelompok Pita Maha mengibarkan dirinya. Museum jadi tempat berkumpul, tempat diskusi, juga memamerkan karya-karya mereka. Sekarang, berapa banyak orang yang melirik Puri Lukisan Ubud ini? Meski pun pengelolaannya mendapat bantuan dari pemerintah, namun museum ini tergolong merana. Koleksi lukisan tidak bertambah, yang ada malah semakin kusam, museum jarang lagi dijadikan tempat berkumpul para seniman. Puri Lukisan ini dikepung oleh museum-museum moderen yang dikelola para konglomerat seni. Sebut saja Museum Neka, Museum Arma dan lain-lainnya. Dengan kemegahan museum yang didirikan secara pribadi oleh konglomerat seni ini, membuat Puri Lukisan makin asing. Pendiri Puri Lukisan sudah lama tiada. Bahkan para pengikut ”aliran” Pita Maha juga berpencar. Para pelukis eks Pita Maha itu kemudian mengembangkan gayanya masing-masing dan yang muncul kemudian seolah-olah ada mashab baru dari ”serpihan” Pita Maha ini. Sebagai sebuah gaya itu tentu sah-sah saja dan bagus untuk perkembangan seni rupa, namun perjalanan Pita Maha menjadi makin hilang ditelan masa. Sejalan dengan sirnanya Pita Maha, bahkan jejak-jejaknya sulit lagi dilacak, kawasan Ubud berkembang menjadi kawasan seni yang bersifat global. Para pelukis datang dari berbagai daerah, berdiam sejenak untuk mencari ide dan menghasilkan beberapa karya, kemudian menaruh karyanya itu di galery yang ada, lalu pergi lagi ke tempat lain. Begitu yang dilakukan beberapa pelukis, tak ada lagi komunikasi di antara mereka. Bahkan dengan manajemen moderen yang diterapkan sebuah galery atau museum pribadi, para pelukis bisa pameran tunggal atau bersama di kawasan Ubud tanpa perlu datang ke sana.
C
77
C
Pertanyaan yang tersisa, apakah perlu ada organisasi atau paguyuban pelukis semacam Pita Maha di masa lalu? Apakah sedemikian sulitnya para seniman menghimpun diri dalam sebuah paguyuban? Sulit mencari jawaban karena para seniman umumnya punya ego yang tinggi dan mereka pada dasarnya sulit bersatu dalam ikatan yang formal. Namun, perkampungan seni sebagai sentra para seniman berkarya seharusnya tidak boleh lenyap karena dalam sentra itu sebuah ”aliran” dipertahankan. Sejarah seni lukis Bali memiliki beberapa sentra dengan kekhasan masing-masing, sebut saja Kamasan, Batuan, dan tentu saja Ubud. Bahkan di Ubud sendiri berkembang beberapa gaya, selain Pita Maha yang berupa paduan gaya klasik dengan sentuhan Barat, muncul apa yang disebut young artist dengan dedengkotnya Arie Smith. Mudah-mudahan surutnya perkampungan seni itu bukan karena tanah-tanah orang Bali sudah dimiliki pendatang. 1 Februari 2008
C
78
C
Banjar Sebagai Ashram
S
ebenarnya kalau kita membaca kitab-kitab agama Hindu dan meneruskan apa yang dirintis oleh para leluhur di masa lalu, sistem banjar di Bali adalah tempat menggembleng manusia Hindu untuk menjadi manusia yang andal dalam berbagai bidang kehidupan. Istilah populernya, mencetak SDM (sumber daya manusia) yang tangguh. Kitab Brahma Purana pada sloka 228, 45 menyebutkan tujuan hidup adalah Dharma artha kama mokshanam sarira sadhanam. Lalu kitab Agastia Parwa menyebutkan tahapan dalam perjalanan hidup yang disebut Catur Asrama yaitu Brahmacari Asrama, Grhastha Asrama, Wana Prastha Asrama dan Sanyasin Asrama. Di India asrama ini biasa disebut ashram, di Bali diperkenalkan kata pasraman. Memang, kata asrama untuk Indonesia yang terbayang adalah asrama militer atau asrama mahasiswa, ada sejumlah ruang tidur, ruang belajar, ruang makan, ruang sekretariat, aula dan perlengkapan lainya. Padahal bukan itu yang dimaksudkan. Mpu Kuturan, leluhur orang Bali, memperkenalkan konsep Desa Pekraman yang memiliki Kahyangan Tiga
C
79
C
sebagai sarana untuk mempersatukan umat. Itulah penjabaran asrama yang termuat dalam kitab-kitab Hindu. Di wilayah Desa Pekraman inilah umat menempuh pendidikan yang bertujuan mewujudkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha secara bertahap sesuai dengan tahapan Catur Asrama. Saya tak akan meneruskan “dharmawacana” atau cramah agama ini. Saya ingin mengajak untuk melihat realita yang ada di masyarakat sekarang. Ada yang hilang dari konsep lama ini, yakni unsur pendidikannya. Tapi tentu saja tidak hilang di semua banjar atau Desa Pekraman. Di beberapa tempat masih ada yang bertahan. Namun, secara umum, yang tersisa sekarang ini hanyalah unsur sosial religiusnya, yakni urusan piodalan di pura dan urusan kematian atau di sekitar itu. Urusan pendidikan sudah diserahkan sepenuhnya ke pemerintah atau dalam istilah kerennya pendidikan formal. Banjar tidak lagi menjadi tempat pendidikan. Memang di beberapa banjar ada pesantian, tetapi itu lebih banyak diikuti oleh orangorang tua. Dan itu pun sesugguhnya bukan pendidikan dalam arti untuk diamalkan, tetapi sekedar urusan kesenian. Bedanya adalah jika penekanannya seni, orang hanya mahir menembang atau mewirama, tetapi tidak mengamalkan apa filosofi dari sastra yang dibaca itu. Contoh nyatanya, orang bisa mahir menembangkan berbagai kekawin dan geguritan, hafal Geguritan Sucita Subudi atau Kekawin Ramayana, tetapi kesehariannya masih suka metajen, meceki, mabuk-mabukan dan sebagainya. Yang saya ceritakan di atas adalah kisah kelabu tentang fungsi banjar di Bali. Di luar Bali justru ada gerakan yang menggembirakan. Banjar betul-betul berfungsi sebagai sarana pendidikan. Anak-anak belajar agama di banjar, orang tua yang mengantarkan anak-anaknya, berkumpul mendengarkan berbagai diskusi. Padahal di luar Bali itu warga banjar tidak diikat oleh Kahyangan Tiga. Mereka hanya diikat oleh semacam
C
80
C
perkumpulan suka duka atau paguyuban. Memang ada saja perkecualiannya, misalnya orang tua hanya mengantarkan anak-anaknya belajar sementara dia sendiri sambil menunggu ngobrol di warung. Setidaknya ada dua sistem pendidikan model banjar ini di luar Bali. Yang pertama model di kota-kota besar, di mana umat Hindu tinggal berpencar-pencar. Pendidikan hanya efektif pada hari Minggu saja, atau ditambah pada hari Sabtu. Yang bernama banjar itu, kadang tidak ada “balai banjar” secara khusus. Rumah warga pun bisa difungsikan sebagai “balai banjar”. Model yang kedua ada di daerah-daerah transmigrasi atau untuk umat Hindu etnis Jawa ada di pedesaan di mana tempat tinggal mereka berkelompok. Umumnya mereka punya balai banjar, meskipun sangat sederhana. Pendidikan di sini sangat efektif, bisa setiap malam, dan betul-betul informal. Model seperti inilah yang juga berkembang di Lombok Timur. Kegairahan atau keseriusan mereka mempertahankan model pendidikan informal ini adalah menjawab kebutuhan zaman karena mereka sering bersentuhan dengan lingkungan yang beda agama atau berbeda suku. Mereka sadar kalau tidak terus-menerus mengasah pengetahuan, akan tersisihkan dari persaingan di zaman yang moderen ini. Yang unik dan sekaligus menarik adalah model pendidikan banjar yang berkembang di Lombok Timur itu. Bukan saja bentuknya yang informal tetapi sistem pengajarannya juga tradisional. Yakni, pelajaran diberikan lewat sastra lisan, lewat cerita, dongeng, hikayat, fabel dan sebagainya. Bukankah semuanya ini sudah dikenal oleh umat Hindu sejak dulu kala, ketika para leluhur kita menciptakan dongeng-dongeng tentang kebajikan? Bahkan jika ditelusuri lewat susastra Hindu, inilah konsep pendidikan melalui asrama (asrham atau pasraman). Umat diajarkan pengetahuan melalui Ithiasa (Mahabharata, Ramayana dan
C
81
C
lain-lain) dan juga melalui cerita sejenis Tantri. Di masa lalu, pendidikan model begini tak asing bagi orang Bali. *** AKHIRNYA, pendidikan dalam bentuk ashram (pasraman) diperkenalkan juga secara masal di Bali, mulai awal 2006. Ini membuat ada pemandangan baru di pedesaan-pedesaan Bali di kala hari Minggu. Anak-anak kelas empat sampai enam SD berpakaian adat, membawa canang sari, dan buku catatan. Mereka tidak ke sekolah, tetapi menuju Balai Banjar. Atau menuju wantilan Pura Desa. Kenapa mereka mengorbankan hari libur itu? Mereka mengikuti Pasraman Desa Pekraman, demikian nama resminya. Pasraman ini memang wajib ada karena mendapat suntikan dana dari Pemda Bali sebesar Rp 50 juta untuk enam bulan. Namun, jangka waktu itu bisa diperpanjang kalau dananya memadai, jadi tergantung Bendesa Adat bagaimana mengelolanya. Bisa saja Bendesa Adat berlaku “boros”, misalnya, memberi honor yang besar untuk guru yang mengajar, atau harus menyewa kursi dan papan tulis. Bahkan ada yang “royal” membuat sesuatu yang sifatnya asesoris, misalnya, membuat papan nama pasraman, kop surat dan sebagainya. Ini memang tidak diatur, bahkan ada nama atau tidak juga tak diatur. Di desa saya, tak ada nama apapun, cukup disebut Pasraman Desa Pekraman saja, juga tak perlu bangku dan sebagainya karena belajar di wantilan Pura Desa, kadang di pasraman milik warga yang sudah ada fasilitasnya. Tujuan membuat pasraman di setiap desa pekraman memang sangat mulia, dan sungguh ide yang berilyan. Pemda Bali, terutama instansi yang bersinggungan dengan pembinaan desa pekraman rupanya mulai sadar, bantuan yang rutin diberikan setiap
C
82
C
tahun selalu larinya pada pembangunan phisik. Paling jatuhnya pada pembangunan pura, balai banjar, jalan desa, bahkan untuk menopang pembiayaan ritual yang semakin mahal. Kalau begitu terus-menerus, desa pekraman bisa saja terlihat megah pada kulit luarnya, tetapi keropos isinya. Untuk apa pura yang megah kalau anak-anak mudanya tak paham ajaran agama? Untuk apa setiap tahun mecaru kalau pemuda-pemuda desa setiap malam mabuk-mabuk dengan minuman keras yang mudah dibeli di warung-warung? Desa pekraman perlu dibangun dari dua sisi, pembangunan phisik dan pembangunan moral atau spiritual. Kalau kita memakai jargon masa lalu, pembangunan ke pedesaan diarahkan kepada pembangunan manusia yang seutuhnya, lahir dan batin. Jadi, pura dan balai banjar tetap dibangun, pemahaman ajaran agama juga dibangun. Begitulah idenya, sehingga untuk tahun ini Pemda Bali memberikan bantuan kepada setiap Desa Pekraman dengan catatan ada sebagian, yakni sebesar Rp 50 juta, untuk “pembangunan non phisik”, berupa pemahaman ajaran agama. Sasarannya adalah anak usia sekolah dasar, dan prioritas adalah anak kelas empat ke atas. Bantuan ini menjadi penting artinya tatkala pelajaran agama Hindu di sekolah-sekolah dirasa tidak mencukupi. Tidak cukup dari alokasi waktu dan tidak cukup dari sisi pengajar. Pengangkatan guru agama Hindu sangat seret, jangankan di tingkat nasional, di Bali pun pengangkatan guru agama Hindu sangat sedikit dan kalah dari guru agama lain. Anggaran pembinaan agama Hindu di Bali, berdasarkan alokasi yang dianggarkan Departemen Agama jauh kalah besar dibandingkan anggaran untuk agama Islam, misalnya. Keadaan lebih parah lagi karena Parisada Bali, jika toh ingin membuat program yang menyasar generasi muda Hindu ke pedesaan, tak punya dana. Dengan masalah yang dihadapi itu, maka semakin penting
C
83
C
program yang kini sedang berjalan, yakni adanya pasraman di setiap desa pekraman yang bisa membentengi generasi muda Hindu dari “kelambanannya” dalam belajar agama. Tentu lewat program ini diharapkan pula ke depan, generasi muda Hindu di pedesaan bisa bangkit, minimal tidak terjerumus ke tindakan yang menyimpang dari ajaran agama, apalagi sampai pindah agama. Masalahnya adalah siapakah yang mengontrol pogram pasraman ini? Kepala Desa di Bali punya kedudukan yang sejajar dengan Bendesa Adat, mungkin sisi kontrol itu bisa jadi lemah karena adanya rasa rikuh. Camat sebagai organ terendah sistem pemerintahan setelah Kepala Desa, barangkali bisa melakukan tugas ini. Tetapi, apakah itu efektif mengingat seorang Camat pun bisa rikuh jika mengontrol urusan yang berbau keagamaan? Lalu, Majelis Desa Pekraman, baik Majelis Alit di Kecamatan maupun Majelis Madya di Kabupaten, apakah juga punya posisi sebagai pengontrol? Mungkin tidak, karena pasraman ini otonom. Sebaiknya memang ada mekanisme kontrol sehingga bisa dievaluasi apakah pasraman ini dijadikan kegiatan yang bersambung setiap tahun. Atau sebaliknya ditutup. Kontrol perlu, jangan-jangan ada penyimpangan, pasraman tidak dibuat tetapi dana dipakai untuk membangun pura atau balai banjar atau jalan desa. Atau pasraman dibuat asal jadi, kurikulumnya tidak jelas, nara sumbernya tidak profesional dan sebagainya. Seandainya lembaga-lembaga yang menangani masalah agama Hindu di Bali bisa bersatu, betapa idealnya jika semua lembaga itu dilibatkan. Majelis Desa Pekraman melakukan kontrol dari sisi pelaksanaannya, karena pasraman dikelola Desa Pekraman. Sedangkan Parisada mengontrol dari muatan agamanya. 21 Oktober 2006
C
84
C
Vishada Ashram
V
ishada Ashram yang berlokasi di Bedugul, Kabupaten Tabanan, baru saja diresmikan oleh para pendirinya. Ashram ini memberi banyak contoh kasus yang menunjukkan betapa pembinaan umat Hindu di Bali begitu memprihatinkan. Lemah dalam pembinaan ajaran agama, lemah dalam pemberdayaan umat, dan lemah dalam berorganisasi. Saya akan coba memaparkan satu persatu. Lemah dalam pembinaan ajaran agama. Sudah lama menjadi keprihatinan tokoh Hindu di luar Bali tentang nasib buruk umat Hindu yang ada di pulau yang masih mayoritas pemeluk Hindu ini. Kesemarakan ritual agama hanya berlangsung jika ada piodalan saja. Kesehariannya tidak nampak, tidak banyak umat melaksanakan kewajiban melaksanakan Trisandhya, menjalankan upawasa dan sebagainya. Jarang terlihat di lingkungan perkantoran di Denpasar, orang melaksanakan Trisandhya di siang hari, pada saat-saat istirahat makan siang. Padahal ritual itu hanya membutuhkan waktu kurang dari 10 menit jika dilaksanakan dengan tertib. Akibatnya adalah prilaku keseharian jauh menyimpang
C
85
C
dari ajaran agama. Mabuk-mabukan terjadi, selingkuh marak, putus asa lalu bunuh diri. Dalam lingkungan lebih luas terjadi pertentangan antar kelompok atau banjar. Lemah dalam pemberdayaan umat. Banyak sekali pengangguran pada golongan usia produktif di Bali. Lihatlah ke desa-desa, pemuda penganggur itu gentayangan tak tahu harus melakukan apa. Mereka tak tertampung di sektor-sektor yang membutuhkan keahlian tertentu, dan juga tak bisa ditampung di sektor informal, baik karena tiadanya modal maupun karena gengsi yang berlebihan. Lemah dalam organisasi. Tak ada suatu gerakan yang peduli terhadap masalah ini dan seolah-olah hal itu dirasakan sebagai “sesuatu yang harus terjadi”. Para tokoh agama bahkan punya dalih dengan menyalahkan Zaman Kali, terbukti dengan seringnya dikatakan: “Ya, apa boleh buat, inilah ciri-ciri Kali Yuga.” Bukan saja sikap pasrah yang ada, tetapi keputusasaan. Parisada Hindu Dharma IIndonesia di Bali ada dua dan semuanya mengaku sah, ini sudah berlangsung hampir tiga tahun, tak ada yang berusaha menjembatani, semuanya berdalih; “Ya, ini Kali Yuga, semuanya kemaruk kekuasaan.” Masyarakat jadi bingung, tak ada pegangan, karena “tokoh panutan” mereka bertengkar. Yang satu melaksanakan yadnya Wanakertih, yang satu Ngusaba Bumi, yang satu bilang Galungan Naramangsa yang satu bilang tidak. Apa dampak dari keterpurukan ini? Lemahnya pembinaan agama dimanfaatkan dengan baik oleh para misionaris yang tak bosan-bosannya melakukan penyebaran agama di Bali. Bali diserang dari segala penjuru dan segala aspek. Ada mantan penyanyi populer di tahun 1970-an yang bergerak di bidang pendidikan dan kesenian, tetapi tujuannya adalah mencari pengikut. Ada radio swasta yang muncul di kabupaten-kabupaten yang jelas dimiliki para missionaris dan memberikan pendidikan
C
86
C
agama yang bukan agama Hindu. Panti asuhan, panti jompo milik organisasi keagamaan yang bukan Hindu juga muncul di beberapa tempat. Gereja, masjid dan vihara, tumbuh dengan pesat. Seiring dengan lemahnya pembinaan agama Hindu dan lemahnya pemberdayaan umat, maka kesempatan kerja yang ada sudah dikuasai para pendatang. Orang Bali mulai banyak menganggur, sementara ribuan orang datang setiap hari melalui pintu gerbang Gilimanuk untuk bekerja di Bali. Mereka datang dengan bekal ketrampilan yang sudah dibina dan siap kerja, juga ditunjang oleh lembaga perbankan yang khas. Lalu apa hubungannya semua ini dengan Vishada Ashram yang baru saja didirikan? Para pendiri Vishada Ashram yang hampir semuanya tokoh-tokoh Bali perantauan, prihatin dengan semua ini dan ingin membendung semua kelemahan yang ada. Mereka kemudian mendirikan ashram perintis di Desa Candi Kuning, Bedugul, dan nantinya ashram sejenis akan didirikan di setiap kabupaten. Mereka mendirikan ashram bukan untuk mencetak ahli agama, tetapi memberikan ketrampilan kepada pemuda putus sekolah di Bali dengan pendidikan yang langsung bisa dipraktekkan di masyarakat untuk menciptakan lapangan kerja. Nah, dalam ashram ini ditekankan pula disiplin menjalankan ajaran agama Hindu. Dengan kata sederhana bisa disebutkan, “kalau memang betul menjadi manusia Hindu, bangun pagi laksanakan Trisandhya, terus bekerja dan mengaso siang hari melaksanakan Trisandhya, malam jangan lupa pula Trisandhya.” Kalau hal ini dilakukan dengan rutin, tidak ada yang terasa berat, ini hanyalah masalah kebiasaan saja. Umat Islam — terpaksa mengambil contoh agama lain — tiap hari lima kali sholat. Karena sudah terbiasa, tidak ada yang kikuk menggelar sajadah di samping ruang kerja, sementara teman lainnya yang tidak sholat tetap bekerja. Kenapa orang Hindu
C
87
C
kikuk melaksanakan Trisandhya dengan duduk bersila di samping meja kerjanya? Itulah nilai positif dari berdirinya Vishada Ashram yang ada di Bedugul, yang dirintis oleh orang-orang Bali yang telah sukses di rantauan. Mereka langsung memberi terapi terhadap persoalan nyata yang dialami Bali saat ini, tanpa teori macammacam. Mereka membangun bengkel kerja, bukan perpustakaan Hindu. Bagaimana membaca kitab Weda, kalau perut lapar tidak memperoleh pekerjaan? Yang menarik, pada saat peresmian ashram ini, hadir Dharma Adyaksa (pimpinan tertinggi) PHDI Pusat, Ida Pedanda Sebali Tianyar dan Ketua Umum PHDI Bali “sempalan”, Ida Pedanda Gunung. Secara organisasi mereka berseberangan, saling tidak mengakui, namun mereka datang karena pengelola ashram mengundangnya dengan tulus dan hati bersih. Ternyata keduanya bisa duduk bersama-sama. Kenapa tidak mencoba merukunkan kedua PHDI yang berseteru ini? Juni 2005
Catatan: * upawasa - puasa * PHDI = majelis tertinggi umat Hindu Indonesia, selain ada di pusat juga di provinsi dan kabupateen/kota.
C
88
C
Nyepi, Pengendalian Diri
U
mat Hindu di Indonesia merayakan Hari Raya Nyepi, tahun baru Saka. Pemerintah sudah menetapkan Nyepi sebagai hari libur nasional. Di media masa, koran, majalah dan televisi, ramai ada iklan ucapan Hari Raya Nyepi. Sejatinya, perlukah ada ucapan Selamat Hari Raya Nyepi itu? Tidakkah salah kaprah? Saya cenderung menyetujui pendapat yang pernah dikatakan Kebek Sukarsa yang kini sudah tiada. Penyusun kalender yang berpikir modern ini merasa tak ada gunanya mengucapkan selamat hari raya Nyepi. Karena Nyepi melaksanakan empat pantangan (disebut catur brata penyepian) yang sungguh amat sulit dilaksanakan. Pantangan ini harus dilewati dengan perjuangan yang sangat berat, karena musuh yang dihadapi adalah nafsu yang ada di dalam diri. Yang perlu diucapkan selamat adalah mulainya kita memasuki tahun baru Saka. Jadi, kira-kira kalau mengucapkan selamat, berbunyi: “Mari laksanakan brata penyepian dan Selamat Tahun Baru Saka bagi umat Hindu yang merayakannya”. C 89 C
Yang menjadi masalah sekarang adalah Nyepi identik dengan Tahun Baru Saka, pada hari yang bersamaan. Di masa lalu, katakanlah sebelum era 1960-an, Nyepi dan Tahun Baru Saka berbeda. Nyepi diselenggarakan pada Tilem Kesanga, sedangkan Tahun Baru dimulai esoknya pada penanggal apisan (tanggal satu) sasih Kedasa. Adapun Tawur Kesanga (istilah itu sekarang lebih populer disebut pengerupukan) dilangsungkan pada pengelong 14 (sehari sebelum Tilem atau bulan mati). Kenapa begitu? Pangelong 14 adalah hari tergelap selama sebulan, dan di sanalah Dewa Siwa melangsungkan semadinya. Ini disebut Siwa Ratri alias Malam Siwa. Adapun pengelong 14 pada Sasih Kepitu yang merupakan malam tergelap sepanjang tahun disebut Maha Siwa Ratri. Umat Hindu di Bali sering salah kaprah, Maha Siwa Ratri disebut Siwa Ratri, sedangkan Siwa Ratri itu sendiri (diluar Sasih Kepitu) dilewati begitu saja. Kembali kepada pantangan Nyepi yang berat itu, apa permasalahannya? Pantangan itu (brata penyepian) terdiri dari amati karya (tidak bekerja), amati geni (tidak menyalakan api), amati lelungan (tidak bepergian) dan amati lelanguan (tidak menikmati hiburan). Ini gampang-gampang susah untuk dilaksanakan. Disebut gampang, tinggal mematikan lampu, mengurung diri di dalam rumah, tidak menyetel televisi atau radio, sudah dianggap cukup untuk melaksanakan pantangan ini. Bahkan, bagi mereka yang suka berjudi, saat Nyepi dijadikan ajang untuk main judi domino atau kartu ceki. Yang suka makan, menikmati makanan mewah atau yang spesial, yang disiapkan sehari sebelumnya. Di beberapa desa, masih ada tradisi untuk datang ke kebun memasak makanan yang enak-enak, karena kebun bebas dari pantangan Nyepi, seolah-olah Nyepi hanya berlaku di wilayah pemukiman saja. Lagi pula ada alasan untuk menggampangkan hal ini, yakni: bukankah tidak ada pantangan makan? Tentu hakekat brata penyepian bukan sampai di situ. Inti
C
90
C
utama dari keempat pantangan itu adalah pengendalian diri. Mematikan api adalah mematikan nafsu buruk. Tidak bekerja adalah membiarkan pikiran hening agar kita bisa melakukan perenungan yang dalam, apa yang telah kita lakukan selama setahun, di mana yang salah, sehingga bisa kita jadikan pedoman untuk tahun yang akan datang. Semua kemewahan dan kegemaran yang biasa dilakukan sehari-hari harus dihilangkan dari pikiran, itulah hakekat tidak bepergian dan tidak mencari hiburan. Bagaimana bisa melaksanakan pantangan Nyepi di saat kita dimanja oleh teknologi canggih ini? Itulah seninya. Beberapa tahun yang lalu, saat Nyepi di Bali, listrik dimatikan dari gardu induk. Orang pun protes, karena listrik bukan hanya alat penerangan, tetapi banyak peralatan elektronik yang perlu listrik, misalnya, kulkas, mesin air dan sebagainya. Akhirnya listrik tetap hidup dan pengendalian diri diserahkan ke masing-masing orang. Ya, televisi dinyalakan sembunyi-sembunyi, bukankah televisi nasional tetap siaran? Hiburan yang tak mungkin bisa “disensor” oleh pacalang yang menjaga wilayah desa adat adalah telepon selular. Entah itu bermain pesan pendek antar teman, atau bermain games. Betapa pun angkernya pecalang di jalanan, orang masih leluasa menikmati hiburan ini. Orang yang menjalankan pantangan Nyepi dan merayakan tahun baru Saka dengan baik adalah mereka yang bisa melakukan brata penyepian tanpa ada paksaan dari pihak luar, juga tanpa ada pengawasan dari orang lain. Pengendalian diri harus muncul dari dalam diri sendiri, bukan karena adanya pecalang, bukan karena takut didenda, bukan pula karena keadaan memaksa. Jika sudah sampai dalam tahap seperti itu, hingar bingar di luar tidak lagi menjadi masalah. Itu sebabnya, beberapa anak muda yang menekuni spiritual, lebih senang merayakan Nyepi
C
91
C
di luar Bali, karena jika tantangan makin besar dan lulus menghadapi tantangan itu, rasa nikmat lebih dalam diperoleh. Namun, apa sesungguhnya yang dicari dengan pengendalian diri yang kuat itu? Tak lain adalah perenungan tentang perjalanan hidup di tahun yang lewat untuk melakukan perbaikan di tahun baru. Nyepi membawa kita ke titik nol kembali, atau inilah saatnya jeda dalam siklus kehidupan. Saat ini kita melakukan introspeksi. Jika tahun lalu kita suka curang, emosional, selalu berjanji tanpa bukti, korupsi besar atau kecil, berbuat baiklah di tahun depan. Jika kita tak pernah melakukan perbaikan, tak ada gunanya hari raya Nyepi. Mari kendalikan diri, renungi kehidupan yang lalu, untuk hari esok yang lebih baik. Selamat Tahun Baru Saka. Maret 2010
C
92
C
Nyepi, Merawat Bumi
O
rang Bali sudah tidak asing lagi dengan siklus kehidupan di bumi. Ada kelahiran, ada kehidupan, ada kematian. Bumi dan segala isinya diciptakan, di situ dipuja Dewa Brahma. Semua yang hidup di bumi dirawat dengan baik, di situ dipuja Dewa Wisnu. Pada akhirnya datang pulalah ”ketiadaan”, dari yang ada menjadi tidak ada, di situ dipuja Dewa Siwa. Oleh Mpu Kuturan konsep ini dijadikan pedoman untuk menata kehidupan sosial di masyarakat dan lahirlah desa pekraman dengan pemujaan kepada ketiga dewa itu, Trimurti. Bersamaan dengan itu berdiri pulalah Tri Kahyangan. Kearifan lokal orang Bali bersinergi dengan ajaran Hindu, termasuk dalam hal merawat bumi. Tentu saja, tidak semua kearifan lokal orang Bali yang diwarisi secara turun-temurun ini, terpampang nyata di dalam kitab Weda, kitab sucinya umat Hindu. Namun yang pasti, kearifan lokal itu tidak bertentangan dengan Weda. Bahkan mantram dan sloka dalam kitab Weda pada akhirnya ikut mengisi dan memperkaya kearifan lokal yang sejak dulu diwarisi itu. Hal ini perlu dijelaskan lebih awal untuk menjawab per-
C
93
C
tanyaan yang muncul dari delegasi peserta Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim yang sedang berlangsung di Nusa Dua. Pertanyaan itu secara sederhana berbunyi: ”Apakah Hari Raya Nyepi itu hari raya orang Bali ataukah hari raya umat Hindu?” Pertanyaan ini pun masih bisa diteruskan karena memang banyak istilah yang dilontarkan berkaitan dengan kearifan lokal itu. Misalnya, istilah Tri Hita Karana. Hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam lingkungan, manusia dengan sesama manusia. Belum lagi hari raya lokal (rerainan di Bali) yang dikaitkan dengan kelestarian alam dan isinya, seperti Tumpek Pengatag (Tumpek Uduh) yang memuliakan pepohonan, Tumpek Kandang yang memuliakan hewan. Rerainan ini tentu tidak tercantum dalam Weda dengan istilah yang persis sama. Jadi, Hari Raya Nyepi, Tri Hita Karana, Tumpek Uduh, Tumpek Kandang, apakah itu ajaran Hindu atau ”ajaran” orang Bali? Bukankah umat Hindu di luar Bali, apalagi di luar Indonesia, tidak merayakan hari itu? Memang betul, namun hari raya itu ada pijakannya dalam ajaran Hindu, cuma istilahnya yang tidak sama. Katakanlah konsep Tri Hita Karana yang menggambarkan keharmonisan, dalam Weda ada disebut ”vasudhaiva kutumbakam” yang artinya kita semua bersaudara. Contoh lain, ”savaprani hitankara” yang artinya keselamatan semua makhluk bumi. Dan banyak lagi kalau harus dicari padanannya. Mengingat agama Hindu berkembang di seluruh dunia, tidak ada alasan untuk takut menyebarkan ajaran-ajaran ini guna merawat bumi yang kini lagi sakit. Apa salahnya dalam pelaksanaan merawat bumi ini, praktek ritual keagamaan versi Bali ini dijadikan ”contoh nyata”. Dengan demikian, kalau ingin mengurangi gas racun CO2 agar udara lebih bersih, kenapa tidak melaksanakan Nyepi sebagaimana praktek Nyepi di Bali? Kalau ingin mengatasi penebangan pohon semena-mena, kenapa tidak
C
94
C
mempraktekkan orang Bali yang begitu ”hormat” pada pohon pada saat Tumpek Uduh? Jakarta sudah meniru Nyepi versi Bali, meski pun terbatas pada dilarangnya motor dan mobil hilir mudik pada suatu hari. Gas beracun masih muncul dari, misalnya, kompos gas yang dipakai memasak, rokok yang dihisap. Penyebaran kearifan lokal Bali untuk menyelamatkan bumi tentu tanpa disertai ritual keagamaan. Sehari tanpa deru mobil dan asap rokok, misalnya, tak harus didahului oleh mecaru atau tawur. Bahkan pelaksanaannya pun tak harus bersamaan dengan ritual yang ada di Bali. Nyepi versi Jakarta, misalnya, tak harus bersamaan dengan Hari Raya Nyepi. Memelihara pohon dari kerusakan yang disebabkan oleh tangan jail manusia maupun alam, tak harus bersamaan dengan Tumpek Uduh. Yang diambil adalah semangatnya, rohnya, ”taksu”-nya Bali. Betapa pentingnya bumi ini dirawat. Pemanasan global sudah terjadi, dan suhu di Bali konon sudah naik 2 derajat dari sekitar sepuluh tahun yang lalu. Kalau kenaikan suhu ini terus terjadi dan tak ada upaya sedikit pun untuk ”mendinginkan bumi”, maka gunung-gunung es di kutub akan mencair, air laut meninggi. Sejumlah pulau akan tenggelam. Bali masih untung karena termasuk ”nyegara-gunung”, paling yang hilang hanya pesisir saja, atau kawasan Bukit dan Ungasan menjadi pulau tersendiri karena sekitar bandara Ngurah Rai sudah tenggelam. Ini bukan menakut-nakuti atau sekedar isu, ini adalah fakta. Tentu saja dengan catatan kalau pemanasan global ini tak bisa distop. Memang betul untuk menyetopnya ini bukan cuma urusan warga Bali, ini urusan warga bumi di manapun. Namun karena spirit dan jiwa yang dipakai adalah kearifan lokal Bali, maka tugas manusia Bali menjadi lebih berat. Yaitu, bagaimana memberi contoh agar spirit Nyepi dan sebagainya itu tetap konsisten dilakukan oleh masyarakat Bali selamanya.
C
95
C
Jangan sampai terjadi, masyarakat Bali memberi contoh sebaliknya. Masyarakat memberi sesajen ke pohon-pohon saat Tumpek Uduh namun di lain waktu datang ke hutan lindung untuk menebang kayu. Masyarakat diajak merawat bumi dengan baik, pemerintah memberi investor membangun lapangan golf, pabrik miras, dan sebagainya. Kita meng-”ekspor” konsep Tri Hita Karana, tetapi kita merusak jalur hijau, tebing sungai, dan lingkungan sendiri. Mari kita jaga kearifan lokal ini tetap ajeg, sehingga warga dunia yang mencontohnya bertambah semangat untuk meniru. Bumi kita adalah bumi yang satu, yang satu pralina semua akan pralina. Laut tak bisa dibendung dan udara tak bisa disekat, selamatkan bumi yang tunggal ini. 8 Desember 2007
C
96
C
Nyepi Karya
N
yepi adalah hari raya untuk memperingati tahun baru Saka. Begitulah yang tertulis di dalam buku pelajaran agama Hindu. Begitu pulalah yang sering diceramahkan oleh tokoh-tokoh agama Hindu. Padahal kalau kita telusuri desa-desa tua di Bali, kita akan menemukan nyepi yang lain. Nyepi yang tidak ada kaitannya dengan tahun baru Saka, tetapi hakekat dan inti dari perayaan ini tetap sama. Hening sejenak setelah melakukan pembersihan terhadap alam semesta (bhuwana agung), melakukan tapa brata samadhi untuk menyucikan diri (bhuwana alit). Apa yang dituju? Karena akan ada karya besar, ngusaba desa. Tradisi nyepi di luar pakem ini masih ada di Kabupaten Karangasem, misalnya di Desa Ababi dan Ulakan. Di Kabupaten Tabanan, “nyepi karya” (karena memang menyongsong karya besar di desa) masih dilaksanakan di Desa Pujungan. Mungkin masih ada pula di desa-desa yang lain. Saya menduga tradisi ini sangat kuno dan di masa lalu kemungkinan besar dilakukan di banyak desa. Seiring dengan perjalanan waktu, tradisi itu ditiadakan atau upacaranya diperkecil. Atau jangan-jangan hilangnya
C
97
C
tradisi “nyepi karya” karena ada yang melarang dengan alasan “itu nyepi yang salah”. Nyepi menyongsong ngusaba ini, sepanjang yang saya tahu, pelaksanaannya sama saja, baik di Karangasem maupun di Tabanan. Upacaranya pun sama, termasuk tawur. Tentu saja ini tidak disebut tawur agung Tilem Kesanga, karena memang jatuhnya bukan pada sasih Kesanga. Yang saya tidak perhatikan, apakah di Desa Ababi dan Ulakan itu pada saat tawur (sesungguhnya ini pecaruan) dibuat ogoh-ogoh sebagaimana nyepi untuk menyambut Tahun Baru Saka. Di Pujungan, di kampung saya sendiri, ogoh-ogoh “nyepi karya” itu tidak ada. Bahkan saya berani mengambil kesimpulan, ogoh-ogoh nyepi tahun baru Saka adalah kreasi yang datangnya belakangan untuk menggambarkan Sang Buthakala. Pantangan (brata) pada nyepi ini juga meliputi catur brata penyepian. Orang dilarang memasak atau pekerjaan apapun yang menyalakan api (amati geni), orang tidak bisa bepergian (amati lelungan), tidak boleh bersenang-senang (amati lelanguan), dan harus menghentikan segala jenis pekerjaan (amati karya). Tetapi karena ketentuan ini hanya berlaku untuk warga desa adat, warga desa adat lain boleh saja melanggarnya. Misalnya, di jalanan mobil bebas lewat, namanya saja jalan umum. Cuma, tak akan bisa menaikkan penumpang, karena memang warga desa adat tidak boleh bepergian. Pasar tutup, dan warga desa adat lain yang berjualan ke sana, sudah tahu sebelumnya. Dari keempat catur brata penyepian itu, yang paling banyak dilanggar adalah amati karya. Warga desa saya masih bekerja ke ladang atau ke kebun kopi saat “nyepi karya” itu, tetapi alat-alat kerjanya tidak boleh dipikul atau dijunjung. Siapa yang mengawasi pelanggaran ini, kalau ada? Tidak ada. Tidak ada pecalang petantang-petenteng. Yang mengawasi itu dirinya sendiri, atau rasa malunya sendiri kalau melanggar.
C
98
C
Kalau ada orang yang memikul kayu bakar, orang lain akan menyindir: “De, inget nyepi karya De, petilesang ragane nyanggra piodalan…” Orang yang disindir itu langsung malu sendiri dan menggotong kayu bakarnya, bukan lagi dipikul. *** TERUS terang, “nyepi karya” di kampung saya (Pujungan) lebih khusyuk dibandingkan nyepi tahun Saka. Nyepi itu biasanya diadakan pada tilem (bulan mati) sasih Katiga untuk menyongsong ngusaba nini Purnama Kapat. Saya kira begitu juga di Desa Ababi dan Ulakan. Kenapa bisa lebih khusyuk? Karena pada masyarakat desa ditanamkan pengertian ngrastitining karya atau dalam bahasa populernya berdoa dan konsentrasi untuk suksesnya karya. Seseorang yang melanggar brata penyepian akan dihadapkan pada rasa bersalah, seolah-olah dia tidak ikut berdoa dan konsentrasi menghadapi ngusaba nini Sasih kapat. Rasa bersalah itu akan terus menghantui mereka jika karya itu nanti tidak sukses (misalnya turun hujan terus menerus) seolah-olah dirinyalah yang menjadi penyebab. Apakah desa-desa yang masih menjaga warisan leluhurnya seperti Ababi, Ulakan, Pujungan dan sebagainya ini tergolong desa kuno? Bisa disebut begitu. Tapi apakah kuno itu juga berarti kolot, tidak mengikuti arus globalisasi, kok di zaman moderen ini masih menambah-nambah hari nyepi? (Ada yang bilang, nyepi sekali setahun saja sudah berat, ini kok malah ditambah lagi). Pertanyaan ini bukan saja kurang relevan dan tidak ada hubungan antara kuno dan “tertinggal zaman”, tetapi jelas-jelas salah. Orang moderen pun membutuhkan waktu jeda, waktu untuk merenung, waktu untuk melakukan introspeksi diri dan melakukan koreksi, mengosongkan pikiran untuk membuang
C
99
C
vibrasi buruk dan kembali ke titik nol. Untuk apa? Agar mereka bisa melangkah lebih baik, apalagi menyongsong sebuah hajatan besar seperti ngusaba nini itu. Dikaitkan dengan konsep brata, “nyepi karya” ini sesuatu yang sangat relevan karena ajaran Hindu menyebutkan agar pelaksanaan yadnya dilakukan dengan segala keheningan pikiran, dan konsentrasi yang berkepanjangan sampai puncak yadnya itu adalah juga samadhi. Para leluhur kita sudah mengajarkan dan mempraktekkan kitab Weda dengan simbol-simbol kearifan, bagaimana agar langkah kita meniti kehidupan ini tidak keblablasan. Apakah itu keblabasan mencari materi, menimbun kekayaan, mencari pangkat, memuaskan ego, dan sebagainya. Kita diiingatkan untuk melakukan yadnya (ngusaba salah satu saja) dan sebelum mempersembahkan yadnya itu kita diwajibkan untuk berhenti sejenak melangkah, kita bersihkan diri kita dengan brata dan samadhi, kita koreksi apakah langkah kita selama ini sudah sesuai dharma. Mengejar materi, kekayaan, pangkat, boleh-boleh saja bahkan keharusan, tetapi apakah itu berlandaskan dharma atau tidak? Nah, ibarat mobil, tidak bisa terus menerus berlari kencang, ia perlu direm karena ada tikungan tajam di depan. Nyepi “tambahan” di Ababi dan Ulakan, juga di Pujungan dan desa lainnya lagi, adalah tradisi yang patut ditiru oleh orangorang moderen. Masalahnya adalah bagaimana agar “nyepi karya” itu tetap disosialisasikan makna dan filsafatnya, agar anak-anak muda desa itu tahu, untuk apa dia mengekang diri seharian sementara warga desa lainnya bebas keluyuran. 17 Mei 2003
C
100
C
Tradisi Keramat
B
arangkali tidak banyak yang tahu di mana Pura Turus Gunung. Umat Hindu yang rajin melakukan tirthayatramungkin pula asing dengan pura ini. Maklumlah, ini bukan pura yang enak untuk dikunjungi. Pura ini berada di tengah hutan, lereng barat Gunung Batukaru. Untuk menuju ke sana, jalan terdekat adalah dari Desa Sanda, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan.. Piodalan di pura ini masih dengan cara-cara kuno. Pemedek tidak boleh memakai alas kaki, tidak boleh membawa sesajen yang dibungkus plastik, semuanya harus tradisional — begitulah orang menyebutnya. Jadi pakai buah-buahan khas Bali dan jajan Bali yang dibungkus daun. Yang terasa paling unik adalah suasana piodalan itu yang dilangsungkan malam hari. Tidak boleh ada penerangan yang memakai “alat-alat moderen”, misalnya lampu petromak, apalagi listrik. Saya tak tahu apakah lilin juga tak boleh dinyalakan, karena memang tak ada yang membawanya. Pura ini tak ada pelinggih dari beton atau pun kayu. Yang ada seonggokan tanah tinggi dan berbatu. Orang menyebutnya
C
101
C
bebaturan. Dan itu letaknya persis di tengah areal pura. Jadi, kalau piodalan berlangsung dan orang membakar kayu sebagai bahan penerangan kesannya seperti melakukan Agnihotra di sebuah hutan yang sunyi. Suara burung masih merdu didengar. Tak ada pemedek yang berani melanggar pantangan itu. Umat Hindu yang berkunjung ke pura itu, apalagi di saat odalan, sudah tahu “tata tertib tak tertulis” itu. Siapa yang melanggar konon kena marabahaya. Tetapi siapa yang mematuhinya dan tulus berbhakti di sana, akan mendapatkan pahala. Kata keramat tak perlu lagi dijelaskan dalam konteks keyakinan umat Hindu, apalagi umat Hindu etnis Bali. Tetapi bagaimana mengartikan kata itu dalam kehidupan moderen sekarang ini? Ternyata kata keramat adalah sesuatu yang sangat ampuh untuk menegakkan tradisi. Keramat yang diikuti lagi oleh kata sejenis sakral, sangat ampuh untuk mempertahankan kebiasaan kuno yang berlangsung di masyarakat. Kalau kedua kata itu tak ada, tradisi bisa berubah. Tradisi memang tak semua harus dipertahankan. Kata keramat pun tak selamanya harus dipertahankan. Dulu, pura-pura yang ada di desa saya hampir semuanya ditumbuhi pohon besar, bangunan pelinggihnya lumutan, semak tumbuh di mana-mana, arealnya becek. Hanya saat piodalan saja dibersihkan dan itu pun masih menyisakan kesan kotor dan semerawut. Orangorang tua menyebutkan, pura harus seperti itu supaya keramat dan angker. Tetapi pemahaman umat bertambah maju dari tahun ke tahun. Kalau pura dibuat keramat seperti itu, siapa yang berani untuk sembahyang kalau tidak ramai-ramai? Untuk apa membangun pura kalau cuma didatangi enam bulan sekali atau bahkan setahun sekali? Pura lalu dibuat “tidak keramat”, pohon besar ditebangi agar tidak bikin kotor, pelinggih dibersihkan dari semak-semak, lantai jika perlu disemen. Orang pun bisa datang
C
102
C
setiap saat untuk bersembahyang. Namun, kekeramatan di Pura Turus Gunung memang perlu dipertahankan. Fungsi pura itu juga beda dengan pura yang ada di pedesaan. Dengan berbagai larangan berkedok keramat ini, alam jadi tetap lestari. Di lereng gunung menuju pura itu tak ada sampah plastik berserakan, pohon-pohon pun tetap asri, burung berkicau dengan riangnya. Bandingkan dengan lereng di sebelahnya, apalagi yang dipakai jalan pendakian ke puncak, penuh dengan sampah plastik. Bahkan pohon-pohon disiksa dengan sayatan pisau oleh para pendaki. Begitulah ulah manusia yang tidak mencintai alam, dan begitu pulalah akibat dari tidak ada kata “keramat” di sana. *** KATA keramat juga tetap menggema di desa-desa tradisional Bali yang sering disebut sebagai Desa Bali Mula. Desa yang tersebar di daerah Bangli, Karangasem dan Buleleng itu mempertahankan tradisi secara turun-temurun dengan dalih peraturan yang diwarisi warga desa itu tergolong keramat. Di sini kata keramat tidak lagi mengandung unsur angker, tetapi masih ada unsur sakralnya. Yakni, tak ada orang yang berani melanggarnya karena yakin akan kena akibat buruk. Konsep karma phala diberlakukan di sini, siapa yang melanggar dia sendiri yang menerima akibatnya. Sebutan Desa Bali Mula adalah sebutan-sebutan yang sejenis dengan Desa Bali Aga atau Desa Bali Kuno, yang sesungguhnya bercirikan desa yang mempertahankan tradisi masa lalu. Ini sama sekali tidak berarti desa itu dihuni oleh penduduk yang kolot-kolot atau tertinggal kemajuan zaman. Istilah Bali Mula itu lahir dari sejarah Pasek Bali Mula. Istilah ini muncul ketika Bali sudah tunduk di bawah pemerintahan
C
103
C
Majapahit, 1343. Setelah Dalem Kresna Kepakisan bertahta di Gelgel (di bawah kekuasan Majapahit), penduduk asli Bali berontak kecil-kecilan, menuntut kesetaraan di segala bidang. Maklumlah, sebagai daerah jajahan, orang-orang Majapahit yang datang berduyun-duyun ke Bali merasa sebagai “warga kelas satu”. Pemberontakan itu ditanggapi dengan “bagi-bagi kekuasaan”, di mana tokoh-tokoh masyarakat Bali asli diangkat sebagai Pasek (arti sebenarnya perangkat pemerintahan), dan ikut mengatur pemerintahan. Namun, agar ada perbedaan untuk menyebutkannya, Pasek yang berasal dari penduduk Bali asli itu disebut Pasek Bali Mula, sedang Pasek yang datang dari Majapahit disebut Pasek Gelgel, sesuai dengan nama pusat pemerintahan. Pemukiman Pasek Bali Mula itu yang sekarang seringkali disebut-sebut sebagai desa-desa Bali Mula. Sesungguhnya inilah desa yang memiliki tradisi yang khas Bali tanpa sentuhan “budaya Majapahit”. Tradisi ini yang masih dipelihara di desa itu dengan menempelkan unsur “keramat” untuk menjaga kelanggengannya. Tradisi itu umumnya mengatur warga dalam hubungannya dengan desa adat, seperti hidup bermasyarakat, memelihara tempat-tempat suci, dan menjaga alam sekitarnya. Banyak pantangan yang berlaku dan jika ada pertanyaan kenapa pantangan itu harus ada, jawabannya: ini tradisi yang sudah dikeramatkan. Persoalan sekarang adalah apakah kata “keramat” itu akan menjadi beban warga desa atau tidak? Kalau tidak menjadi beban dan ternyata tradisi itu masih sinkron dengan kemajuan zaman, misalnya tidak membelenggu hak-hak asasi seseorang, tidak ada salahnya kata “keramat” itu terus dipelihara. 26 Juli 2003
C
104
C
Pohon Obat
K
alau kita membaca purana-purana mengenai tanah Bali, maka kita mendapatkan gambaran tentang tanah Bali yang begitu asri. Pantai, sungai, tebing dan hutan yang demikian mempesona. Di situlah para leluhur Bali mendirikan tempat suci. Begitu kaya alam Bali. Berbagai tanaman ada. Kekayaan alam inilah yang dipersembahkan dalam ritual keagamaan di pura. Konsep leluhur orang Bali di masa lalu adalah, tempat suci di Bali harus didukung oleh alam indah dan sarana persembahyangan yang datang dari alam Bali sendiri. Kalau mau dikatakan dengan bahasa sekarang yang lebih moderen, persembahkanlah hasil kekayaan alam sekitar dalam setiap pemujaan. Sayangnya, kini manusia Bali sudah berubah, melupakan warisan leluhurnya dan sudah menyimpang jauh dari purana yang ada. Janur (busung) sudah datang dari Banyuwangi dan Situbondo, demikian pula bunga, ayam, itik dan telur. Buah bertruck-truck datang dari luar Bali termasuk dari luar negeri seperti Amerika, Cina, Thailand dan sebagainya. Sotong, juwet, belimbing, jeruk Bali, sudah kalah gengsi dengan buah peer dari
C
105
C
Cina, apel dari Amerika dan sebagainya. Padahal, tanaman khas Bali yang dipelihara para leluhur orang Bali di masa lalu, bukan saja untuk persembahan di pura kalau ada upacara, juga untuk sarana mengobati orang sakit. Antara tanaman yang tumbuh di tanah Bali dan penyakit yang diderita orang Bali, klop. Keahlian orang Bali dalam meracik hasil-hasil alam ini memunculkan apa yang disebut dengan Usada Bali, sebuah ilmu pengobatan penyakit dari bahan alam. Memang, ilmu semacam ini bukan hanya ada di Bali, di berbagai belahan bumi juga ada. Tapi yang pasti, ilmu ini (Usada Bali) jauh lebih cepat merosot dibandingkan yang dipraktekkan di India maupun Cina. Bahkan dunia kedokteran moderen sudah mengakui keunggulan ini sehingga banyak obat-obatan dan suplemen kesehatan yang memakai racikan dari alam. Herbal, begitulah istilah populernya. Seberapa besarkah kekayaan alam Bali yang menyimpan berbagai tanaman yang bisa dijadikan bahan obat? Syahdan, di masa lalu, Mpu Kuturan melakukan semadhi di kuburan. Beliau melakukan semadhi karena hampir putus asa setelah tidak berhasil mengobati orang sakit. Sebelumnya, selain mengajarkan agama dan menata kehidupan sosial orang Bali, Mpu Kuturan selalu berhasil menyembuhkan orang sakit. Kali ini tidak, untuk itulah ia melakukan semadhi agar mendapatkan ”pewisik”. Karena laku semadhinya yang kuat, ”pewisik” diperoleh. Pohon kepuh yang ada di kuburan bertanya, ”ilmu” apa yang ingin didapatkan. Setelah Mpu Kuturan menjelaskan maksudnya, pohon kepuh berkata: ”Saya, pohon kepuh, memang tidak bisa dipakai menyembuhkan orang sakit, itu sebabnya saya lebih banyak menghuni kuburan. Tetapi, pohon-pohon yang lain, bisa dijadikan obat. Nanti pohon itu akan datang menjelaskan kegunaannya.” Demikianlah, akhirnya satu persatu pohon datang di depan
C
106
C
Mpu Kuturan sambil menjelaskan kegunaannya. Begitu banyak pohon yang mengandung obat, jumlahnya ada 202 buah. Kisah ini dikutip dari lontar Taru Premana yang menggunakan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Meski pun uraian dalam lontar sering tidak logis untuk zaman moderen ini, namun intisari dari apa yang ditulis lontar ini sudah tepat. Dalam terapi pengobatan Usada Bali, khasiat tanaman yang mengandung obat ini diakui kebenarannya. Bahkan dalam brosur-brosur suplemen Herbal yang banyak datang dari luar negeri, khasiat tanaman ini jelasjelas disebutkan. Masalahnya, apakah tanah Bali saat ini masih menyimpan 202 ”pohon obat” itu? Kalau saja separohnya ada, mungkin masih lumayan. Lagi pula yang perlu dipertanyakan, kalau pun ”pohon obat” itu masih ada, masih sempatkah orang Bali membuat racikan dari bahan pohon itu untuk obat? Pertanyaan ini masih bisa diteruskan, misalnya, kalau pun racikan itu masih ada yang membuat, apakah orang Bali sekarang ini masih sreg berobat secara tradisional, sementara Puskesmas sudah ada di desa-desa? Ini masalah besar, karena perilaku orang Bali saat ini sudah ”moderen keblablasan”. Pada saat negara-negara maju kembali ke alam dan kembali menggunakan obat-obatan dari alam (herbal) karena effek samping yang jarang, orang Bali melupakan Usada Bali yang dulu sangat populer itu. Di masa orde baru, ada gerakan ”menanam tanaman obat” di pekarangan rumah yang dilakukan oleh PKK. Istilah yang dipakai saat itu adalah membuat ”apotek hidup”. Yang ditanam, misalnya, jahe, kunyit, sirih, kumis kucing, kemanggi dan sebagainya. Namun gerakan ini hilang. Mungkin orang Bali sudah berpikir ”maju”, untuk apa lagi membuat ”apotek hidup” toh obat-obatan sudah banyak gratis di Puskesmas. Ironisnya adalah ”pohon obat” khas Bali itu kini juga sulit didapat. Jeruk Bali sudah menghilang dari Bali, namun dipeli-
C
107
C
hara dengan baik di Sukabumi, Jawa Barat. Daun jeruk Bali ini bisa diracik dengan menambah cuka untuk mengobati penyakit reumatik. Pohon juwet, sudah langka di Bali. Padahal babakan (kulit) pohon ini bisa ditumbuk halus untuk mengobati penyakit kelamin. Pohon jambu Bali (sotong), memang masih banyak ada dan orang Bali pun tahu kalau buah sotong ini bisa dijadikan obat diare. Tetapi berapa banyak yang tahu kalau daun sotong muda ini jika ditambah dengan ketumber dan digiling halus, bisa dipakai obat jerawat? Jika kini ada gerakan kembali memelihara tanaman obat (usada) nampaknya perlu dibarengi dengan sosialisasi, untuk obat apa saja tanaman itu. Selain melestarikan alam Bali juga meneruskan warisan leluhur di masa lalu tentang pengobatan alternatif dari alam. 2 Mei 2008
C
108
C
Asap di Pura
P
ada saat piodalan di Pura Aditya Jaya, Rawamangun, Jakarta Timur, 18 Februari 2006 malam, seorang petugas pengempon pura menegor lelaki parobaya: “Pak, tolong dimatikan rokoknya.” Lelaki itu nampak kaget sebentar, kemudian mematikan rokoknya sesuai perintah. Saat itu dia sedang berada di Jaba Pura akan menunggu Jaba Tengah. Setelah suasana mencair, petugas pengempon pura (tidak berpakaian pecalang seperti di Bali yang biasanya lebih banyak petantang-petentengnya) menjelaskan: “Bapak baru datang dari Bali ya? Jangan dibawa kebiasaan di Bali, merokok di pura.” Persoalan selesai dan kini semuanya jelas, merokok di Jakarta jangan sembarangan. Di Jakarta ada Peraturan Daerah (Perda) tentang larangan merokok di tempat-tempat umum. Salah satu tempat umum itu adalah tempat ibadah, termasuk pura. Namun, sebelum adanya Perda ini, pura besar di Jakarta seperti Pura Aditya Jaya tidak ada yang merokok di Jaba Tengah, apalagi di Jeroan. Padahal tidak ada tulisan “Dilarang Merokok” namun umat tertib untuk tidak merokok. Mereka tahu, asap yang ada di dalam pura hanyalah asap dupa dan asap pengasepan di
C
109
C
hadapan Pinandita atau Sulinggih. Jangan lagi ada asap lain, apalagi asap rokok. Nah, setelah adanya Perda, maka larangan merokok ini secara otomatis berlaku di Jaba Pura sebagai areal milik umum. Di Bali, larangan merokok itu tidak ada. Orang bebas merokok di mana saja, termasuk di pura. Bahkan para pemangku, kalau tugasnya sudah selesai nganteb banten, biasanya merokok. Ini dilakukan di mana saja bagian pura itu, termasuk di piasan (balai pewedan). Apalagi pura yang terletak di pegunungan, dengan alasan dingin, sebagian besar umat Hindu merokok di dalam pura. Dalam kitab Weda memang tidak ada larangan merokok. Bahkan kata rokok itu sendiri juga tak pernah ditemukan. Namun ada dijumpai kata-kata yang menyebutkan bahwa asap mengepul dari tempat-tempat persembahyangan, dan asap itu datangnya dari api yadnya (dipa dan dupa), tidak dari yang lainnya. Di India semua tempat ibadah Hindu tidak memperbolehkan orang merokok. Begitu pula di ashram-ashram. Ashram Canti Dasa yang didirikan almarhum Ibu Gedong Bagoes Oka di Candi Dasa, Karangasem, termasuk yang ketat menjalankan tradisi dilarang merokok, sejak memasuki ashram itu di pekarangan. “Kalau kalian terbiasa merokok, cobalah tahan beberapa jam saya keinginan merokok itu selama di ashram ini,” begitu Ibu Gedong biasanya menegor tamunya yang kecanduan rokok. Ini termasuk pengendalian diri. Kalau demikian halnya, apakah tidak mungkin dipikirkan oleh pemuka agama Hindu, bagaimana supaya umat tidak merokok selama berada di pura. Larangan itu bisa berupa bhisama dari Parisada, bisa pula ketentuan dari desa pekraman jika bhisama itu belum ada. Ini penting sekali bukan saja bahaya merokok itu besar, tetapi bagaimana kita menjalankan ajaran suci dengan hanya membiarkan asap
C
110
C
yang ada di pura adalah asap dari benda-benda suci untuk ketentuan ritual. Tokoh Hindu dari Buleleng, Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandi, sangat setuju larangan merokok di pura. Cuma beliau juga cukup realistis dengan menyebutkan supaya larangan itu bertahap dulu. Misalnya hanya di jeroan saja. Toh waktunya tidak lama di jeroan. Kalau tidak tahan ingin merokok, keluar dulu ke jaba, merokoklah di sana. Setelah selesai masuk lagi ke jeroan. Piasan atau balai pewedaan sama sekali tidak boleh merokok. Kalau pemangku masih merokok selama duduk di piasan, itu pertanda mereka tidak bisa mengendalikan indriyanya. Kalau mengendalikan indriya saja tak bisa, bagaimana mengendalikan pikiran dan hal-hal lain sebagaimana yang diatur dalam sesana kepemangkuan? Kasus merokok di pura terutama di Bali, memang sudah begitu mengkhawatirkan. Menunggu Pemerintah Bali membuat Perda larangan merokok di tempat umum seperti di Jakarta nampaknya masih jauh, mengingat perhatian pemerintah terhadap keselamatan (termasuk kesehatan) masyarakatnya begitu minim. Maka cara terbaik adalah memberi contoh kepada masyarakat, supaya tidak mengepulkan asap rokok selama berada di pura. Pemuka agama, pemuka adat, tentu terutama pemangku, sulinggih, srati banten dan sebagainya memberi contoh tidak merokok. Kalau pun nafsu merokok itu datang dan tidak bisa dikendalikan, apalah sulitnya keluar ke jaba pura sesaat dan merokok di sana. Setelah itu masuk kembali. Bahaya merokok yang paling besar adalah kanker. Karena itu pemerintah mewajibkan setiap bungkus rokok dicantumkan adanya larangan ini. Sekarang ditemukan lagi penyebab kanker yang sumbernya dari asap, yakni asap dupa yang mutunya rendahan. Ini sudah menunjukkan betapa berbahayanya asap-asap yang ada di dalam pura, kalau tidak dikendalikan dengan baik.
C
111
C
Dalam sastra Hindu selalu disebutkan api di dalam pengasepan hendaknya bersumber dari rempah-rempah harum dan kayu tertentu, tak bisa kayu sembarangan. Mengenai kayu ini bisa dikontrol, tetapi bagaimana mengontrol bahan dupa dari rempah sembarangan itu? Umat tahunya hanya menyalakan dupa, tanpa pernah menduga kalau itu menyebabkan kanker. Mari hati-hati memilih dupa, jangan asal murah dan mari kurangi asap yang tak perlu di pura. *** AKHIRNYA Pemerintah Daerah Bali berhasil juga menyusun Peraturan Daerah yang melarang orang merokok di tempat umum, termasuk di pura. Peraturan ini disahkan DPRD Bali tahun 2011 dan kemudian untuk kepentingan sosialisasi karena ada unsur pidananya baru diberlakukan bulan Juni 201k ada2. Tapi apa yang terjadi di lapangan? Meski sosialisasi sudah begitu panjang dan dalam Perda ini ada denda sampai Rp 50 juta kalau ketahuan merokok di temat umum, peraturan ini bak macan ompong. Pelanggaran begitu banyak. Peraturan hanya efektif untuk di sekolah, rumah sakit dan perkantoran yang memang mudah diawasi. Di tempat umum seperti terminal, apalagi pura, pelanggaran seperti hal yang biasa. Tak ada pengawasan yang menegakkan peraturan ini. Di pura-pura yang letaknya di pegunungan, di mana udara dingin membuat orang banyak merokok, Perda itu sudah sama sekali tak berlaku. Beberapa orang bahkan menyebutkan, lebih baik tidak datang bersembahyang ke pura kalau dilarang merokok. Apakah ini karena masih “belum terbiasa” atau karena umat kurang terlatih mengekang dirinya? Bisa kedua-duanya. Maret 2006 September 2012
C
112
C
Seni Wali
M
embicarakan kesenian sakral di Bali dalam konteks menjaga kelestariannya, memang serba susah. Difinisi sakral itu sendiri bisa kabur karena hal ini menyangkut ritual. Jika urusannya ritual maka ujung-ujungnya adalah keyakinan. Kalau keyakinan itu goyah, ritual pun jadi setengah hati, kesakralan bisa pudar. Barong itu sakral, kalau ada ritual di pura. Kalau barong itu dipertunjukkan di depan turis, kadar kesakralannya bisa disebut berkurang, apalagi kalau barong itu dipajang di toko kesenian, itu bukan benda sakral lagi. Padahal sama-sama barong. Belum lagi kalau kita mempersoalkan apakah kesenian sakral itu menjadi inti ritual atau tidak. Ukurannya, kalau kesenian sakral itu tidak tampil, apakah mempengaruhi makna ritualnya atau tidak? Ada kisah dari desa saya, tentang kesakralan barong “duwen” Pura Dalem. Sudah menjadi tradisi di masa lalu, setiap ada piodalan di Pura Dalem, barong dan rangda harus dipertunjukkan. Suatu hari saat piodalan, barong dan rangda tak bisa dipertunjukkan karena penari rangda lagi sakit. Yang bisa membawakan rangda sakral itu tentu tak sembarang orang,
C
113
C
orang-orang desa saya menyebutnya “tapakan” atau “dasaran’. Memang ada penggantinya, tetapi penggantinya ini juga berhalangan sedang bepergian jauh. Lalu ada pengumuman dari staf adat, persembahyangan tetap dilanjutkan dan sama sekali tidak mengurangi makna persembahyangan karena yang kita puja adalah Bethara Dalem dan Hyang Widhi Wasa dalam fungsinya sebagai Dewa Siwa. Sejak itu, pada piodalan-piodalan selanjutnya, barong dan rangda “duwen pura” ini tak mesti tampil. Kalau sedikit saja ada gerimis, tidak dipertunjukkan, takut bulu dan hiasannya rusak. Atau kalau penarinya kurang enak badan, ya, tidak dipertunjukkan. Tetapi persembahyangan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Itu bedanya dengan “rejang nini” ketika ada Ngusaba Desa di Pura Baleagung. Rejang ini adalah bagian dari ritual, kalau tidak ada, ya, ritual keseluruhannya tidak bisa jalan. Jenis tari yang disebut juga “seni wali” ini harus muncul. Sekarang, bagaimana sikap kita kalau berbicara soal pelestarian “seni wali’ itu? Jika pelestarian itu dikaitkan dengan keindahan seni tarinya, orang mungkin akan bertanya: untuk apa dilestarikan? Geraknya begitu-begitu saja dari tahun ke tahun. Tari barong di pura tak pernah berubah dari pola-pola yang ada, karena tarian ini bukan dilihat “seninya” tetapi kesakralannya. Barong untuk turis bisa dimainkan semaunya, berguling-guling dengan penari monyet juga bisa. Coba kalau barong di desa saya dibawakan dengan gaya itu, suasana bisa kacau karena banyak orang “kerauhan”. Demikian pula “rejang nini”, secara estetika tidak ada apa-apanya. Tetapi karena rejang ini harus ada, otomatis masyarakat melestarikannya dan bahkan ada orang-orang yang diminta wajib untuk menarikannya dengan imbalan bebas “ngayah” di bidang lainnya. Lalu, apa yang terjadi dengan tektek (telek?) di Klungkung?
C
114
C
Kenapa seni yang tergolong wali (sakral) ini menjadi langka dan kurang dilestarikan oleh para pendukungnya? Jawabannya bisa dianalogikan dengan keberadaan barong dan rejang nini di desa saya itu. Semuanya sakral, semuanya tergolong seni wali. Yang membedakannya adalah apakah seni wali itu menjadi inti dari persembahyangan ataukah hanya sebagai pelengkap? Kalau dikatakan inti dari persembahyangan, bagaimana ceritanya, apa dasarnya, adakah sastra yang menyebutkan hal itu? Kalau runtutan kisahnya jelas, saya kira masyarakat otomatis punya sikap: dijaga kelestariannya atau dibiarkan punah. Tidak selalu kepunahan itu harus diprihatinkan. Bisa saja kepunahan itu karena memang tuntutan kemajuan zaman, ketika ajaran agama dalam sastra tertulis (kitab suci) mulai diamalkan dan dijadikan pedoman oleh masyarakat. Pada saat itu masyarakat akan menimbang-nimbang, rentetan upacara ritual yang terlalu banyak seninya itu, apakah tidak merepotkan? Kalau memang merepotkan, baik dari segi waktu maupun persiapannya, kenapa tidak dihilangkan saja jika tidak mengacu ke ajaran dalam kitab? Toh inti ritualnya sendiri tidak terganggu atau malah menjadi lebih tepat berpijak ke kitab-kitab agama. Dalam hal seni wali itu punya kekhasan yang tinggi apalagi tidak ada yang menyamai, memang ada baiknya pemerintah melalui Dinas Kebudayaan setempat turun tangan. Seni yang khas itu dilestarikan, seniman setempat dirangsang untuk mempertahankan seni itu. Apakah kemudian seni itu tetap dijadikan seni wali atau bisa dialihkan ke “seni bali-balian’ (tontonan semata-mata) itu bisa dikompromikan. Banyak contoh soal ini, misalnya berbagai tari baris sakral. Ia dilestarikan sebagai seni wali dan menjadi inti upacara di sebuah pura, karena memang punya kekhasan baik dalam busana maupun dalam gerak. Namun, agar tak percuma dilestarikan hanya untuk ritual, tari ini sesekali diturunkan derajatnya men-
C
115
C
jadi “seni bali-balian”, misalnya, untuk pawai Pesta Kesenian Bali. Acara ini masih tergolong “berwibawa”, asal jangan tari baris sakral itu ditampilkan di panggung pameran elektronik. Kembali ke masalah seni wali yang berkaitan dengan upacara persembahyangan di pura yang lazim disebut Dwa Yadnya. Rejang Dewa adalah seni wali yang sangat penting, karena “bertugas” mengantar dan menjemput Ida Bethara yang dilambangkan dalam sebuah atau beberapa pratima. Seharusnya tari ini selalu disuguhkan.. Pelestarian tari ini juga tak begitu sulit karena gerakannya tidaklah sukar amat. Tapi yang menyebabkan tari ini mulai berkurang ditampilkan karena ada kepercayaan di beberapa tempat penarinya harus gadis yang belum menstruasi. Pada saat usia menstruasi semakin muda, sulit mendapatkan penari ini. Kalau dipaksakan, penarinya gadis-gadis cilik yang mungkin akan kesulitan mengatur komposisi karena situasi sebuah pura tidak sama, begitu pula alur “perjalanan” Ida Bethara. Akhirnya, rejang dewa banyak digantikan oleh tari pependetan yang bisa ditarikan oleh wanita segala usia. Memang, perjalanan seni wali dipengaruhi oleh banyak faktor. 31 Januari 2004
C
116
C
Sekehe Manyi
S
ekaa manyi ternyata masih ada. Anak-anak di kota pasti tidak tahu bagaimana mengetam padi dengan ani-ani. Di Museum Subak Kediri, Tabanan, yang bernama ani-ani atau ketam ini, barangkali sudah berdebu atau bahkan hilang dari pajangan. Ketika petani masih menanam padi Bali, sebutan untuk padi yang berusia panjang, banyak muncul sekaa yang lahir dari sawah. Selain sekaa manyi, ada sekaa mekajang, yakni sekumpulan orang yang mengangkut padi dari sawah ke rumah dan dimasukkan lumbung. Ada sekaa mebulung, yakni sekumpulan orang yang membersihkan padi dari rumput liar yang mengganggu. Ada sekaa ngabut bulih, yakni sekelompok orang yang mencabut benih padi dan dibawa ke petak-petak sawah. Sementara anak-anak mereka asyik mencari capung, blawuk, klipes dan serangga sawah lainnya. Budaya agraris ini bukan saja melahirkan sekaa yang begitu
C
117
C
aneh untuk ukuran zaman moderen, tetapi juga melahirkan kesenian spontan. Ibu-ibu yang tergabung dalam sekaa mebulung trampil memainkan alat pembersih yang mirip dengan alat pel di rumah gedongan, sementara dari mulutnya keluar tembang yang sangat liar. Disebut liar karena lirik tembangnya mengenai kehidupan sehari-hari bahkan dibuat dengan spontanitas yang tinggi, tetapi tetap dalam alur pupuh yang sudah ada. Ketika padi sedang panen, yang memanen biasanya kaum ibu, sementara kaum lelaki bertugas mengikatnya dengan hitungan yang seragam dari urutan paling kecil, yakni pejangan (segenggam tangan), tatap (dua pejangan), cekel (tiga tatap), tenah (tiga cekel) dan seterusnya. Kesibukan di tengah sawah ini tetap diwarnai tembangtembang, kadang saling menyambung dari petak-petak sawah, disertai cekikikan tawa riang. Pesta panen padi itu masih pula diwarnai suara seruling dari batang padi yang digemari anakanak, ada yang menimbulkan suara dengan tangga nada, ada yang sekedar bunyi layaknya terompet. Orang Bali di masa lalu, ketika kehidupan agraris masih menjadi urat nadi keseharian, belajar menembang di tengah sawah atau di kebun kopi. Inilah arena latihan mereka, alam yang terbuka. Tidak ada yang memburu waktu mereka, karena padi yang dipanen akan tetap dijemur di tengah sawah sampai kering. Dari arena latihan alam ini, terseleksi siapa yang merasa punya kemampuan lebih, lalu ikut sekaa seni yang lebih formal, misalnya membentuk sekaa arja. Tapi, tujuannya bukan materi atau alih profesi. Mereka tak akan meninggalkan kehidupannya sebagai petani. Mereka hanya menyalurkan hoby yang sederhana, yang hakekatnya mengasah rasa estetika. ***
C
118
C
BUDAYA agraris sekarang sudah menjadi masa lalu. Industrialiasi masuk ke Bali dan orang muladipompa untuk hidup dikejar-kejar oleh waktu. Semuanya serba terburu-buru dan alat-alat moderen untuk memburu waktu, juga didapat dengan mudah. Untuk apa menanam padi Bali yang baru dipanen setelah lima atau enam bulan? Kelamaan, dan diperkenalkan padi usia pendek, hanya tiga bulan sudah panen. Tanah tak perlu terlalu digemburkan, beri saja banyak pupuk. Maka kebiasaan petani untuk bergotong royong membajak sawah mulai hilang. Pupuk ditebarkan ke sawah. Rumput-rumput liar juga berkurang, sekaa mebulung menjadi lenyap. Zat kimia pupuk ini melenyapkan pula binatang kecil mainan anak-anak di masa lalu, seperti klipes, belawuk, capung bahkan belut sawah. Padi berusia pendek, dan pendek pula wujudnya. Kaum ibu tak perlu lagi memanennya dengan ani-ani. Para lelakilah yang menebas padi itu langsung dari batangnya dan langsung dirontokkan di tengah sawah. Karung-karung sudah disediakan untuk menampung gabah. Tak ada suara tembang, dan nada itu pastilah tak pas dengan ritme merontokkan padi yang memerlukan tenaga dan ketergesa-gesaan. Tak ada hitungan cekel, tatap, tenah, semuanya diganti dengan hitungan industri, berapa karung atau berapa kilogram. Padi tak lagi masuk ke lumbung, Dewi Sri sudah mulai dilupakan. Sekaa mekajang? Ah, apa pula itu, yang ada deru tukang ojek dengan motornya yang siap mengangkut karung-karung gabah ke perusahaan penyosohan. Semuanya serba cepat. Suatu hari saya berkunjung ke rumah mertua karena mendengar sawahnya akan panen. Sudah saya bayangkan, budaya industri akan bergerak ke tengah sawah itu, akan ada laki perempuan merontokkan padi, lalu ada tumpukan karung dan sebagainya. Saya sebenarnya sedih, karena sepuluh tahun lalu, sekaa manyi masih ada di sini. Betapa terkejutnya saya
C
119
C
ketika menyaksikan keluarga mertua saya tenang-tenang saja di rumahnya. Saya bertanya: Katanya panen, tidak ke sawah? “Untuk apa repot-repot. Sudah ada tengkulak yang membeli padinya. Bapak beri harga Rp 4 juta, ditawar Rp 3 juta, ya, sudahlah, Wayan tak sabaran ingin punya VCD,” kata mertua saya. Luar biasa. Ini bukan lagi budaya industri, ini sudah “budaya judi”, padi belum dipanen sudah dijual dengan sistem “tebak-tebakan”. Jika sekarang sekaa manyi masih ada, kekuatan apa yang membuat mereka bertahan dari rongrongan budaya industri? Mudah-mudahan ini panggilan Dewi Sri dan adanya kesadaran untuk berhenti sejenak dari penjajahan waktu. 7 Februari 2004
Catatan: * sekaa = kelompok, grup, perkumpulan * manyi = menuai, memetik padi.
C
120
C
Nembang yang Hilang
T
radisi nembang sudah lewat. Kehidupan moderen di mana orang selalu tergesa-gesa dikejar waktu, telah membunuh kebiasaan nembang. Lihatlah masa-masa lalu, ketika tradisi nembang itu masih ada. Betapa indahnya hidup, betapa harmonisnya alam lingkungan ini. Orang-orang memetik kopi menembang tak habis-habisnya. Sahut bersahut. Dari tebing sana suara wanita mengalun menembangkan pupuh sinom. Ada saja komentar yang datang dari arah lain. Atau mengartikan tembang itu dengan kata-kata yang juga berirama. Lalu tembang pun mengalun lagi, bisa dari arah lain. Ketika mulut melantunkan tembang, tangan dengan penuh perasaan memetik buah-buah kopi yang merah. Begitu lembutnya tangan-tangan itu seolah disihir oleh tembang. Orang yang tidak menembang dan hanya mendengarkan lagu yang mengalun, juga memetik buah-buah kopi merah dengan kehalusan perasaan. Seolah-olah pohon itu merelakan buahnya dipetik untuk menyumbangkan kehidupan kepada pemiliknya. C 121 C
Sore pun tiba. Para pemetik kopi berkumpul sejenak menunggu rekannya yang lain untuk pulang bersama-sama. Takkala menunggu ada saja yang masih menembang. Bahkan ketika berjalan beriringan di jalan setapak, suara burung di k ejauhan berbaur dengan tembang-tembang petani yang pulang membawa hasil panennya. Sekarang semuanya dilindas zaman. Orang memetik buah kopi tanpa lagi menggunakan perasaan. Ambil ranting yang ada buahnya, plorot semua buah tanpa lagi memilih yang berwarna merah. Kopi yang matang dan kopi yang muda campur baur, bahkan termasuk daunnya masuk ke dalam karung. Pohon-pohon kopi seperti diperkosa dengan kejam dan tak ada bentuk pengucapan terimakasih apapun. Lalu suara motor dari pengojek datang menderu-deru. Suara bisingnya bercampur dengan asap racun buangan dari knalpot. Si tukang ojek pun tak kalah keras suaranya: “Sudah ada sekarung? Cepat, kalau tidak saya ke tempat lain.” Dan iringan-iringan ojek pun menderu membawa buah kopi ke tengkulak di desa. Begitu terburu-buru, kadang ojek itu menyenggol petani wanita yang berjalan . “Bangsat,” teriak petani yang disenggol. “Bangsat juga,” teriak si pengojek membalas. Sumpah serapah pun berhamburan. Alam pegunungan yang dulu terasa membahagiakan kini sudah porak-poranda. Harga kopi merosot tajam setiap tahun. Bagaimana tidak, kualitasnya sudah rendah. Pohon kopi dipelihara dengan dendam tentang nasib yang buruk karena diukur dari kehidupan orang kota yang kemana-mana memamerkan handphone. Buah kopi dipetik dengan segera, jika perlu tak usah sampai merah (matang) betul, agar secepatnya bisa membeli handphone. Maklum antene Telkomsel sudah terpancang tinggi di pegunungan. Budaya materialis dan konsumerisme sudah merasuk jiwa orang-orang desa, dan jalan pintas pun sering ditempuh. Tradisi menembang hilang, kehidupan sudah
C
122
C
hingar-bingar, dan akal budi sudah pada tumpul. *** SAYA pernah membaca buku yang berisi penelitian bagaimana sebuah tanaman bisa tumbuh subur dan berbuah lebat ketika tanaman itu diajak berdialog dan diperdengarkan musik-musik yang manis. Diukur dengan tanaman lain yang tidak diberikan musik apa-apa, ternyata hasilnya jauh lebih banyak. Saya menyaksikan sendiri, bagaimana sebuah keluarga petani di Jepang memelihara tomat dengan sentuhan kehalusan budi, dielus-elusnya pohon itu setiap hari seolah-olah tak boleh ada seekor semut pun hadir, lalu mereka memainkan musik yang indah dan menembangkan lagu-lagu yang tidak saya tahu artinya, tetapi sangat syahdu. Mereka mengatakan, hasil tanamannya luar biasa. Kurang moderen apakah petani itu? Pintu rumahnya terbuka secara otomatis memakai alat sensor ultra merah. Budaya Hindu di Bali mengenal hari-hari di mana orang menghaturkan sesajen ke pohon. Banyak ragamnya, tetapi intinya sama mengharapkan pohon-pohon itu menghasilkan buah yang bagus. Petani kopi menyebut upacara ini “ngerasakin”, petani padi menyebut “ngulapin”, sementara sebulan sebelum Galungan ada yang hari yang disebut Tumpek Pengarah. Dulu, ketika saya kecil dan digandeng ibu ke kebun-kebun, ibu menembang setelah menghaturkan sesajen. Bahkan saya disuruh berdialog dengan pohon itu, yang intinya minta agar segera berbuah karena saya tak bisa menembang. Kalau dikenang lucu juga, pohon-pohon itu saya peluk dan saya seperti ngomong sendiri: “Kaki-kaki, enggal-enggal mebuah nah…” Sekarang, mana ada anak yang mau melakukan itu? Kuno, katanya. Padahal di dunia Barat, sudah ada penelitiandialog seperti itu menyuburkan tanaman.
C
123
C
Tradisi menembang diyakini bisa menjaga kesehatan, karena napas jadi panjang. Tapi apakah menembang bisa dikembalikan pamornya seperti masa lalu? Agak sulit karena menyangkut perubahan gaya hidup. Namun saya percaya, kalau iklimnya diciptakan, orang bisa tertarik pelan-pelan. Misalnya lewat lomba menembang. Memang, kesannya terlalu formal dan dipaksakan, tapi kalau kegiatan itu diperbanyak dan bersambung terus, orang bisa tertarik. Mari menembang, menghaluskan budi, agar otot tidak digunakan untuk nafsu yang merusak. 13 Desember 2003
Catatan: * pupuh = jenis tembang tradisional Balli berdasarkan jumlah liriknya. * sinom = salah satu nama dari pupuh itu. * Kaki-kaki, enggal-enggal mebuah nah = kakek-kakek, cepat berbuah ya...
C
124
C
Balada Trunyan
T
runyan, sebuah desa di pinggir Danau Batur, adalah desa yang unik. Yang lebih unik dan sekaligus kontroversial sekarang ini adalah bagaimana kita menangani Desa Trunyan, bagaimana kita membina masyarakat di sana, termasuk kesejahtraan dan pendidikan warganya. Apa yang harus kita lakukan untuk mengangkat martabat orang Trunyan sehingga mereka sejajar dan punya hak serta kewajiban sama sebagai warganegara. Ini tidak mudah karena di satu pihak ada maksud pemerintah ingin melestarikan adat istiadat mereka untuk kepentingan pariwisata. Ada kasus yang bisa dijadikan contoh dari luar Trunyan. Yang pertama, masyarakat Papua. Orang Papua di masa lalu masih tergolong primitif, hanya memakai koteka untuk kesehariannya. Apakah kita tega melihat itu, sementara di daerah lain sudah begitu maju? Dari sudut lain, kalau rakyat Papua meninggalkan kotekanya, lalu apa obyek pariwisata di pulau ini? Masyarakat Papua pun dipersilakan memilih, dan mereka memilih untuk “ikut maju bersama saudara lainnya”. Koteka
C
125
C
ditinggalkan sebagai “busana harian” tetapi tetap dilestarikan sebagai cindera mata. Kasus kedua adalah Suku Baduy. Mereka terisolir dengan adat yang ketat. Dilihat dengan kacamata kehidupan moderen, mereka terbelakang, miskin, walau pun luar biasa polosnya. Apakah mereka tidak ingin maju seperti saudara-saudaranya yang lain? Tenyata tidak, terutama bagi Suku Baduy Dalam. Sampai sekarang pun mereka ketat dengan aturan adatnya, termasuk berjalan ke Jakarta tanpa alas kaki kalau menjual hasil tenunannya. Uniknya, mereka mempertahankan budaya ini tanpa ada maksud menggaet wisatawan. Wisatawan mau datang ke kampung mereka atau tidak, sama sekali mereka tak peduli. Desa Trunyan, mau dijadikan model yang mana? Kalau mau jadi “model Papua”, masyarakat di sana memang harus diberdayakan, pendidikan dan kursus-kursus dibuat. Jika pendidikan maju dan penduduk asli terbuka wawasannya dengan dunia luar, barangkali pemahaman akan tradisi dan kaitannya dengan keyakinan tertentu akan mereka kaji ulang. Bisa saja mereka mempertahankan keyakinan tidak menguburkan jenasah, tetapi harus dicarikan pijakannya dari sudut agama. Apakah itu keyakinan Hindu atau keyakinan pra-Hindu yang bukan dari ajaran kitab suci Hindu? Resikonya, pasti akan ada perubahan budaya, dan kalau itu berpengaruh terhadap kunjungan wisatawan, sesuatu yang tak bisa dihindari. Namun, kalau Trunyan dijadikan “model Baduy”, orang luar termasuk pemerintah harus hormat kepada tradisi setempat. Jika model ini dipilih pemerintah bisa bertindak lebih jauh lagi, menjadikan kawasan Trunyan sebagai Cagar Budaya. Pilihan ini tentu harus dirundingkan dengan pemuka dan para “local jenius” setempat. Karena resikonya besar, kalau sampai berstatus Cagar Budaya (ini kalau diterima) segala perubahan
C
126
C
harus meminta izin. Dampaknya, orang luar akan tetap datang berkunjung karena mereka akan menikmati kawasan yang beda, tiada duanya. Celakanya adalah sudah sejak lama Desa Trunyan ditangani tanpa konsep mau dibawa ke mana. Leluhur penduduk asli di sana pastilah bukan beragama Hindu, mereka memegang keyakinan setempat. Pada abad ke 14 desa ini sudah didatangi oleh penyebar agama Hindu dari Kerajaan Gelgel. Para penyebar agama ini tak berhasil mengubah tradisi setempat, namun sukses meyeragamkan sebutan dewa-dewa yang dipuja di sana dengan dewa-dewa di luar Trunyan. Upaya “menghindukan” warga Trunyan terus berlangsung setelah Indonesia merdeka sampai di masa orde baru, bahkan mungkin sampai saat ini. Simbol-simbol Hindu dikirim ke sana, candi bentar, bangunan suci dari bahan moderen seperti semen, juga banten-banten. Bahkan para Sulinggih. Hasilnya, warga Trunyan mengenal leluhur yang mereka puja dengan sebutan Ratu Sakti Pancering Jagat, sebuah istilah yang khas Bali. Padahal warga asli Trunyan di masa lalu menyebut leluhur tertinggi yang mereka puja itu Da Tanta, yang berarti “Tuhan kita”. Dan sebutan-sebutan khas Hindu versi Bali pun mau tak mau diikuti masyarakat Trunyan. Lantas bagaimana dengan kuburan (setra wayah) di mana tengkorak bertebaran? Keyakinan pra-Hindu ini tidak dicoba untuk dicarikan rujukannya dalam Hindu. Jika ada orang bertanya, apakah konsep penguburan di Trunyan itu sesuai Hindu atau tidak, pasti jawabannya mengambang. Kalau yang bertanya itu kritis lantas menohok ke pertanyaan mendasar, agama apa yang dipeluk warga Desa Trunyan, maka jawabannya pun juga mengambang. Situasi mengambang inilah yang terjadi pula pada warga Trunyan, sehingga mereka sebenarnya tak punya sikap, diapakan
C
127
C
tengkorak-tengkorak yang ada di kuburan itu. Tradisi setempat tidak mengatur hubungan antara tengkorak dengan “pewaris tengkorak”, karena begitu mayat ditaruh di kuburan tanpa ditanam, hubungan mereka putus. Penduduk Trunyan sendiri sering mempermainkan tengkorak itu untuk meminta sumbangan dari pelancong. Nah, kalau tiba-tiba ada orang mengambil satu atau dua tengkorak di kuburan Trunyan, siapakah yang harus disalahkan? Bagaimana mungkin penduduk Trunyan menjaga kuburannya siang malam agar orang luar tak mencuri tengkorak, karena mereka sendiri tak punya keterikatan dengan tengkoraktengkorak tanpa dikenali lagi identitasnya itu. Inilah balada Trunyan, karena kita tak merumuskan sejak awal, bagaimana menangani tradisi unik itu. 15 Mei 2004
C
128
C
Marayakan Galungan
S
yahdan, Raja Bali Sri Jaya Kesunu, heran tak kepalang kenapa bencana terus-menerus terjadi di Bali. Angin puting beliung merobohkan rumah penduduk, kekacauan sering terjadi di masayarakat. Dan, ini yang lebih aneh lagi, raja-raja pendahulunya selalu berumur pendek. Sri Jaya Kesunu naik tahta pada tahun 1126 Saka atau 1204 Masehi menggantikan Sri Dhanadi yang meninggal dunia tanpa sebab yang jelas. Tak ada disebutkan kapan Sri Dhanadi naik tahta, tetapi dia menggantikan Sri Eka Jaya yang juga berumur pendek. Tak jelas pula berapa usia Sri Eka Jaya tatkala meninggal dunia, tetapi beliau memegang tapuk pemerintahan pada 1103 Saka atau 1181 Masehi. Begitu naik tahta, Sri Jaya Kesunu langsung melakukan dewa sraya, artinya mendekatkan diri dengan dewa. Inilah cara beliau untuk mencari tahu kenapa bencana terus-menerus menggoyang Bali dan kenapa umur raja pendek-pendek. Mendekatkan diri kepada dewa itu dilakukan di Pura Dalem Puri, sebuah pura yang dekat dengan Pura Besakih. Sri Jaya Kesunu melakukan tapa brata dan yoga samadhi. Berkat ketekunan Jaya Kesunu melakukan tapa brata, ter-
C
129
C
dengarlah pembisik (pawisik) dari Dewi Durga, sakti (kekuatan suci) dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durga menjelaskan kenapa bencana selalu datang dan umur raja pendek. Penyebabnya tiada lain, Hari Raya Galungan, tidak lagi dirayakan. Selama Galungan tidak dirayakan, bencana akan terus datang. Dewi Durga meminta kepada Jaya Kesunu untuk kembali merayakan Galungan jika ingin ada ketentraman. Tentu saja Sang Raja yang bijaksana dan religius ini langsung memenuhi janji Sang Dewi yang dalam versi India sangat cantik dan versi Bali sangat menyeramkan itu. Kepada masyarakat langsung diinstruksikan untuk merayakan Hari Raya Galungan sesuai jadwalnya, yakni hari Budha (Rabu) Kliwon wuku Dungulan sesuai dengan wariga yang berlaku. Konon, sejak itulah bencana bisa berkurang di Bali. Hikayat di atas dipetik dari lontar Purana Bali Dwipa. Bahwa banyak yang tidak jelas, begitulah salah satu ciri lontar. Tak semua lontar merupakan catatan sejarah yang otentik, atau bahkan tak semua lontar bisa disejajarkan dengan prasasti. Lontar adalah “catatan yang ditulis di daun rontal” oleh seseorang pada zamannya, jadi bisa berupa opini tanpa dasar, bisa pula kisah yang benar adanya, dan banyak berupa pedoman ritual. Lontar di masa lalu adalah bentuk penyampaian pikiran dengan sarana yang ada di saat itu. Kalau dibandingkan dengan masa kini, sama dengan buku atau CD (compact disk) atau flashdiks yang menyimpan berbagai buah pikiran. Tak semua “buah pikiran” itu berdasarkan fakta, bahkan banyak “buah pikiran” itu berupa cerita fiksi. Purana Bali Dwipa juga menyebutkan hal penting, bahwa Hari Raya Galungan di Bali dirayakan sejak tahun 804 Saka (882 Masehi), tepat pada Purnama Kapat. Lontar itu memuat begini: Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasi kecatur, tanggal 15, icaka 804. Bangun indra bhuwana ikang
C
130
C
Bali rajya. Ini bahasa Jawa Kuno (Kawi) yang terjemahan bebasnya: Perayaan (upacara) Galungan itu dimulai (pertama) pada Bhuda Kliwon Dungulan sasih kapat bulan purnama (penanggal 15) tahun 804 Saka. Keadaan pulau Bali bagaikan indra loka. Perayaan Galungan ini dihentikan tiba-tiba ketika Sri Ekajaya memegang tapuk pimpinan pada 1103 Saka. Entah apa penyebabnya, tak pernah diceritakan dalam lontar itu. Sejak itulah terjadi bencana. Jadi selama 23 tahun rakyat Bali tak merayakan Galungan dan terus-menerus digoncang bencana tanpa diketahui sebabnya, sampai saatnya Sri Jaya Kesunu mendapat “jawaban” itu di Pura Dalem Puri. Bencana yang dikaitkan dengan absennya perayaan Galungan juga ada pada legenda Raja Mayadenawa. Kisah ini bahkan tanpa sumber yang jelas, jadi bisa berbeda versi di masing-masing wilayah di Bali. Namun, inilah kisah yang lebih melekat pada orang Bali dibandingkan lontar Purana Bali Dwipa itu. Disebutkan Raja Mayadenawa mengaku sebagai Dewa itu sendiri, sehingga rakyat Bali tak boleh lagi menyembah para dewa. Dialah yang harus disembah. Jangankan merayakan Galungan, bentuk persembahan yang kecil pun dilarang. Tak ada dewa selain Mayadenawa, mungkin begitu slogan yang dikumandangkan Raja Diraja ini. Apa yang terjadi selama Sang Raja memerintah secara diktator? Bencana demi bencana datang. Rakyat bertambah melarat tetapi Mayadenawa tak pernah peduli akan nasib rakyatnya. Sampailah muncul sang pahlawan yang bernama Dewa Indra, beliau memimpin pasukan menyerang dan membinasakan Mayadenawa. Pesta perayaan kemenangan melawan Sang Diktator dilakukan secara meriah dan entah kebetulan atau memang dipaskan harinya, bertepatan pada Rabu Kliwon wuku Dungulan. Itulah Hari Raya Galungan yang kemudian terus dirayakan setiap enam bulan dalam hitungan wariga Bali – hitungan kal-
C
131
C
ender Masehi setiap 210 hari. Apakah dua kisah di atas adalah rekaan para leluhur orang Bali dalam memberikan “wawasan dan penerangan” mengenai agama dan ritual yang disesuaikan dengan kemampuan daya serap pada zamannya? Entahlah. Jika itu rekaan, maka itu adalah “kearifan lokal” bagaimana menjelaskan ajaran agama sementara bahan bacaannya tidak ada atau sangat terbatas. Adalah suatu hal yang sangat dipuji – sampai saat ini— bahwa leluhur orang Bali terkenal ahli membuat hikayat dan dongeng yang intinya menyebarkan ajaran agama yang penuh kedamaian dan kasih sayang. Sampai akhir dekade 1970-an, orang Bali pedesaan menidurkan anaknya sambil mendongeng tentang “kedamaian dan kasih sayang” itu. Baru 1980-an dan puncaknya saat ini, anak-anak Bali tak lagi mengenal dongeng karena disibukkan oleh Daremon dan sejenisnya, sementara orang tuanya – kalau televisinya lebih dari satu – menonton sinetron tentang hantu. Hari Raya Galungan memang hari raya yang “mengusir” bencana, terutama bencana yang datang dari pikiran yang jahat. Pikiran jahat itu dikatagorikan sebagai adharma (bertentangan dengan kebenaran atau dharma). Adharma harus dibunuh sehingga yang muncul adalah dharma alias kebenaran. Adharma bisa disimbolkan dari datangnya virus jahat itu melalui Sang Kala (Bhuta) Tiga yang terdiri dari Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Bhuta Galungan muncul pada Minggu (Redite) wuku Dungulan, Bhuta Dungulan pada Senin (Soma) esok harinya, sedangkan Bhuta Amangkurat muncul pada Selasa (Anggara), esok harinya lagi, sehari sebelum Galungan. Jadi ketiga bhuta (simbol kejahatan) ini datang tiga hari berturut-turut menjelang Galungan dan itu yang harus kita perangi sehingga pada hari Rabu kita merayakan kemenangan dharma. Sayangnya, kini memerangi bhuta itu tidak dengan pengendalian diri dan membunuh nafsu
C
132
C
hewani, tetapi betul-betul menggorok hewan, maka babi pun disembelih dan bau arak berseliweran di antara lawar. Galungan sebagai kemenangan dharma juga hari bersyukur kepada Hyang Widhi atas terwujudnya bumi yang makmur subur. Berbagai ornamen sesajen Galungan memunculkan lambang kemakmuran, seperti penjor yang dihiasi hasil alam dari padi, jagung, kelapa, buah-buahan dan berbagai jajan. Begitu pula bahan persembahyangan ke pura penuh buah-buahan. Buah dari mana? Buah dari bumi pertiwi di mana kita menumpang hidup. Leluhur orang Bali “menciptakan” sebuah hari yang disebut Tumpek Pengarah, 25 hari sebelum Galungan. Di sini umat memuja Hyang Sangkara, dewa tumbuh-tumbuhan. Orang datang ke kebun memberi sesajen kepada segala pohon yang berbuah, dari pisang, kelapa, pepaya, durian, nangka, jambu, dan sebagainya. Orang Bali “mepengarah” (memberitahu) kepada semua pohon itu supaya cepat-cepat berbuah agar bisa dihaturkan pada Hari Galungan, itu sebabnya disebut Tumpek Pengarah. Ritual itu sampai sekarang dilaksanakan, meski beberapa jenis pohon sudah hilang seperti juwet, sotong, wani, boni dan sebagainya. Nanas, durian, jambu, masih ada. Tapi, apakah sekarang ini ada orang Bali menghaturkan nanas dan durian saat Galungan? Tidak, karena kalah gengsi. Lebih enak buah impor seperti apel. peer, sunkis dan ini semua dibeli di mini market yang sudah bertebaran di pedesaan. Penjor Galungan masih tetap lestari, kata seorang pejabat. Memang betul, tetapi semua ornamen penjor bisa dibeli di Desa Kapal, Lukluk dan sekitarnya, termasuk padi, kelapa, dan palawija yang menggantung di penjor itu. Kelapa dan telor datang dari Jawa, busung datang dari Sulawesi, padi entah masih dari Penebel atau datang dari Cianjur, Jawa Barat – karena sawah di Bali sudah ditanami “padi nigtig”. Itukah hasil “bumi pertiwi”
C
133
C
yang dipersembahkan? Jika sekarang ini bencana muncul di Bali – bentrok antar warga, pencurian pratima di pura, berkelahi soal kuburan, rabies yang tak kunjung tuntas diberantas dan penyakit sosial lainnya lagi – itu bukan karena Galungan tidak dirayakan, tetapi (jangan-jangan) karena Galungan dirayakan dengan salah kaprah, jauh dari kemenangan dharma. Lihatlah saat ini ada ritual yang jor-joran, ada Dhanu Kertih, Segara Kertih, Wana Kertih dan sebagainya. Boleh saja ada Dhanu Kertih tetapi kalau danau tidak dikeruk, tak ada manfaatnya. Wana Kertih berbiaya mahal, tetapi biaya gerakan menanam pohon kecil, bagaimana hutan lestari? Gubernur Bali Made Mangku Pastika memberi contoh “yadnya yang utama”, bukan dengan ritual tetapi gerakan nyata menanam bambu. Bayangkan kalau bambu punah dari Bali, maka lengkaplah sudah, penjor Galungan betul-betul “diimpor” dari luar, orang Bali menghaturkan hasil bumi penduduk luar Bali. Bagaimana Bali bisa ajeg? Mari kita merayakan Galungan apa adanya, persembahkan isi alam Bali, karena Galungan memang hari raya umat Hindu etnis Bali, umat Hindu yang bukan etnis Bali sama sekali tak merayakannya. September 2005
C
134
C
Galungan, Kemenangan Dharma
T
idak ada orang yang bersedih jika merayakan kemenangan Tak ada yang lebih mulia dari merayakan kemenangan dharma. Dharma adalah kebenaran. Semestinya, kebenaran itu selalu menang. Tetapi dalam hidup ini tidak selalu yang benar itu menang, ada kalanya yang benar itu disalahkan. Ini disebabkan para “penentu kebenaran” dimasuki nafsu buruk yang disebut sifat adharma. Melawan adharma ini sulit, membutuhkan perjuangan. Apalagi adharma yang bercokol dalam diri kita sendiri, padahal yang menjadi “penentu kebenaran” juga ada dalam diri sendiri. Karena itu ketika kita berhasil mengalahkan adharma dan memenangkan dharma, kita wajib bersyukur. Itulah galungan, yang berarti kemenangan. Itulah pula yang dinamakan dungulan, yang juga berarti kemenangan. Dalam bahasa Sanskerta disebut wid jaya yang juga sama artinya. Umat Hindu diwajibkan untuk merayakan kemenangan ini. Tetapi mengajak umat yang tingkat pemahamannya tidak sama, perlu ada simbol-simbol kemenangan. Untuk umat yang pemahamannya belum mendalam, sulit untuk diyakinkan bahwa
C
135
C
kemenangan itu bisa terjadi setiap saat tanpa kenal waktu, misalnya setelah melakukan brata, yoga, semadi. Karena itu dicarikan rujukan, apa yang bisa dijadikan simbol dari perayaan kemenangan itu. Supaya lebih mudah dihayati, simbol pun dicari langsung dari budaya setempat. Di India kemenangan dharma dirayakan dua kali setahun, sebenarnya filosofinya mirip dengan di Bali hanya cara menghitung waktu yang beda. Hari raya itu disebut Wijaya Dasami. Perayaan Wijaya Dasami di bulan Waisaka (April) mengambil cerita dari kemenangan Dewi Parwati mengalahkan raksasa Durgha yang bersembuyi di dalam tubuh Mahasura. Hari raya ini juga disebut Durga Nawa Ratri. Perayaan kedua di bulan Kartika (Oktober) mengambil kisah kemenangan Rama atas raksasa Alengka yang dipimpin Rahwana. Perayaan ini juga disebut Rama Nawa Ratri. Inti dari kedua perayaan itu hampir sama, bersyukur dan bersukaria selama 10 hari merayakan kemenangan dharma. Di Bali, simbol itu mungkin terasa jauh, apalagi di masa lalu hubungan spiritual Bali dan India tidak sedekat sekarang. Maka dicarilah legenda yang pas. Apa itu? Kemenangan rakyat Bali mengalahkan Prabu Mayadenawa yang melarang rakyatnya menyembah Tuhan karena dialah yang mengaku Tuhan. Dalam lontar Usana Bali disebutkan pemimpin perlawanan ini adalah Dewa Indra. Legenda inilah yang dilekatkan pada Hari Raya Galungan dan Kuningan, perayaan kemenangan dharma selama 10 hari. Yang perlu dikaji lagi adalah kapan Hari Raya Galungan di Bali itu dikaitkan dengan legenda Mayadenawa. Juga perlu diperjelas, apakah karena dikaitkan dengan legenda yang berlokasi di Bali Selatan itu yang menyebabkan umat Hindu di Bali Utara merayakan Galungan biasa-biasa saja. Begitu pula umat Hindu etnis Jawa, tidak ikut merayakan Galungan karena dilekatkan
C
136
C
dengan legenda yang “Bali sentris”. Kidung Panji Amalat Rasmi dan Kidung Pararaton menyebutkan, perayaan Galungan sudah ada di masa Kerajaan Majapahit. Perayaan itu sangat meriah karena disatukan dengan peringatan kemenangan perang. Yang tidak jelas adalah apa yang dijadikan simbol dan kemenangan perang mana yang diperingati. Begitu pula, apakah harinya berdasarkan perhitungan tahun Surya atau tahun Chadra atau Pewarigan, mengingat tradisi Wariga dan Wuku yang dikenal di Bali sudah dari dulu ada di Jawa. Kegelapan ini terjadi karena putusnya sejarah Hindu setelah Majapahit runtuh dan masuknya Islam yang membuat penganut Hindu terdesak ke Bali atau ke pegunungan di Jawa. Di Bali sendiri Galungan itu dirayakan secara rutin sejak tahun 1126 pada pemerintahan Si Jayakasunu. Jadi ada rentang yang panjang di mana umat Hindu tidak merayakan kemenangan dharma. Barangkali legenda Mayadenawa dimasukkan setelah itu. Melihat sejarah ini sebaiknya umat Hindu di Jawa juga merayakan Galungan. Penetapan harinya tak perlu berbeda, toh urusan Panca Wara, Sapta Wara, dan Wuku yang jadi patokan Hari Raya Galungan sudah dikenal pula di Jawa. Adapun masyarakat Buleleng, sepanjang yang saya tahu, biasa-biasa saja merayakan Galungan. Kelebihan masyarakat Buleleng adalah mereka merayakan Pagerwesi seimbang dengan Galungan, sementara masyarakat Bali Selatan hampir tak merayakan Pagerwesi kecuali mebanten Budha Kliwon. Padahal Pagerwesi adalah hari penting sebagai pemujaan Hyang Pramesti Guru, guru paling utama dalam filosofi Hindu, yakni Tuhan itu sendiri. Di India ada hari yang juga memuliakan para guru, disebut Guru Purnima. Lantas, kenapa kesannya Galungan kalah meriah dari Pagerwesi di Buleleng, khususnya kota Singaraja? Seorang teman
C
137
C
memberi analisa begini. Kalau Galungan, penduduk pendatang di Singaraja pulang ke kampung asalnya merayakan Galungan, jadi kota kelihatan sepi. Kalau Pagerwesi, penduduk pendatang tidak pulang karena tak merayakan Pagerwesi di kampungnya, jadi Singaraja kelihatan ramai dan justru para pendatang malah ikut merayakan Pagerwesi. Boleh jadi pengamatan itu benar. Kalau begitu, berarti masyarakat Buleleng semakin lengkap merayakan hari suci Hindu. Masyarakat Bali Selatan yang mestinya mencontoh bahwa Pagerwesi adalah hari yang tak kalah pentingnya dengan Galungan. 7 Agustus 2004
C
138
C
Libur Galungan dan Kuningan
H
ari Raya Galungan dan Kuningan di bulan Oktober ini, bertepatan dengan bulan Ramadhan yang amat disucikan umat Islam. Maka, jangan diharapkan akan ada gebyar siar Hindu di media masa, apakah itu koran atau pun media elektronik seperti radio dan televisi. Meskipun Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat telah memiliki organ Badan Penyiaran Hindu, diperkirakan badan itu tak akan bisa berbuat banyak untuk menyelipkan siar Hindu di televisi di tengah-tengah gencarnya siar Islam di bulan Ramadhan. Bahkan kita sudah melihat, sebelum bulan puasa itu datang pun, berbagai tayangan di televisi sudah dipenuhi oleh tayangan yang Islami. Seandainya pun Hari Raya Galungan dan Kuningan tidak bertepatan dengan bulan puasa, seperti halnya di masa lalu, kita juga tidak menemukan adanya “kampanye agama Hindu” di media masa. Umat Hindu seperti tidak punya tradisi untuk memperkenalkan dirinya, atau ini sebuah kenyataan untuk mengatakan bahwa SDM Hindu tidak siap untuk hal-hal seperti ini. Berbeda dengan umat beragama lain, bahkan dengan umat Buddha yang jumlahnya lebih sedikit, umat Hindu masih kalah.
C
139
C
Pemerintah telah menetapkan adanya hari libur keagamaan. Dulu di bulan puasa, siswa libur penuh selama sebulan. Sekarang ada pilihan, ada yang libur penuh dan ada yang libur pada minggu pertama puasa dan menjelang datangnya Hari Raya Lebaran. Umat Hindu di Bali juga mendapat dispensasi libur selama Galungan dan Kuningan. Dengan adanya libur keagamaan ini pemerintah berharap para siswa dapat menjalankan ibadah dengan baik dan mendapatkan pencerahan agama di luar sekolah. Apakah itu pendidikan agama di dalam keluarga atau dalam lingkungan masyarakat. Umat beragama lain melakukan itu dengan baik. Siswa Islam ada yang dimasukkan ke pesantren dan dikenal dengan pesantren kilat, ada yang melakukan di rumah dengan mengundang guru ngaji. Yang jelas, setiap malam ada acara pengajian di masjid-masjid setelah buka puasa dan pengajian subuh setelah makan sahur. Tetapi apa yang dilakukan siswa Hindu tatkala libur keagamaan ini? Tidak begitu banyak yang memikirkan membawa anak-anaknya memperdalam pelajaran agama di ashram (pesraman). Di lingkungan keluarga pun tidak ada pendidikan agama yang bisa disebut agak sistematis. Siswa Hindu malah bergabung dengan pemuda-pemuda pedesaan dan mereka melakukan kegiatan hura-hura yang jauh dari pencerahan agama. Misalnya, membuat bazar di balai banjar. Kadang-kadang disertai pula dengan mabuk-mabukan, walau pun tidak semuanya begitu. Kalau demikian, pentingkah libur keagamaan bagi siswa Hindu? Kenapa tidak tetap saja bersekolah dan hanya libur pada Hari Raya Galungan saja, atau ditambah Penampahan dan Manis Galungan. Jadi cukup tiga hari, dan sehari pada saat Hari Raya Kuningan. Jadi persis dengan libur pegawai negeri. Ini akan bisa mengejar ketertinggalan mata pelajaran sehingga mutu pendidikan bagi siswa-siswa Hindu bisa lebih baik.
C
140
C
Namun, pasti banyak orang yang tidak setuju hal ini. Mereka tetap ingin adanya libur keagamaan. Alasannya, siswa-siswa Hindu pada libur Galungan dan Kuningan akan berkumpul dengan keluarganya dan otomatis mendapatkan “pendidikan agama”. Pendidikan itu, misalnya, bagaimana membuat bebanten bagi murid perempuan. Bagi murid lelaki misalnya tahu bagaimana membuat penjor, bagaimana membuat klakat, bagaimana membuat lawar. Pertanyaannya adalah apakah “pendidikan agama” itu berkesinambungan selama dua pekan, dan sedemikian pentingkah sampai harus mengorbankan pendidikan di sekolah? Dalam kenyataannya, lebih banyak libur keagamaan ini dijadikan sarana untuk berhura-hura dan mencari hiburan, termasuk membuat bazar di balai banjar. Tentu yang sangat ironis lagi, hiburan yang termurah dan bahkan gratis adalah menonton televisi. Nah, televisi kebetulan sedang “demam Ramadhan”, hampir seluruh tayangan dari sinetron, musik, kuis interaktif semuanya bernuansa Islami. Siswa-siswa Hindu yang sedang menikmati libur keagamaan, mau tak mau akan menerima suguhan “agama lain” lewat media elektronik itu. Kita harus memikirkan untuk masa depan bagaimana membuat program mengisi libur keagamaan Hindu ini. Kalau kita percaya bahwa pembinaan SDM Hindu begitu rendahnya dan siar Hindu begitu miskinnya, maka semua pihak harus ikut terlibat. Tugas seperti ini tak bisa dilakukan oleh organisasi keagamaan yang resmi seperti Parisada saja. Ormas Hindu seperti Peradah, Pemuda Hindu, FIMHD, KMHDI, WHDI dan LSM Hindu lainnya harus menciptakan program-program yang bermanfaat untuk siswa-siswa Hindu yang menikmati libur keagamaan ini. Pengelola ashram (pasraman) seharusnya juga membuat program “pendidikan kilat” dalam masa liburan ini. Hari-harinya
C
141
C
bisa dipilih setelah Manis Galungan sampai menjelang Kuningan. Kalau pun itu tidak memungkinkan, karena bagaimana pun pengelola ashram juga merayakan Galungan dan Kuningan, setidaknya ada ceramah-ceramah agama yang dilakukan di ashram di malam hari. Masyarakat dilibatkan dalam ceramah ini, jadi tidak sekedar siswa-siswa Hindu saja yang mendengarkan ceramah. Yang juga perlu digarap adalah bagaimana melaksanakan tirtayatra yang ideal selama Galungan dan Kuningan. Umumnya umat Hindu bersembahyang pada masa-masa itu ke Pura Dang Kahyangan dan Sad Kahyangan. Acara persembahyangan itu hendaknya diisi dengan dharmawacana, suatu hal yang sudah biasa dilakukan pada setiap persembahyangan di luar Bali. Nah, ini harus dibiasakan di Bali, dharmawacana bisa dilakukan saat menunggu selesainya nunas tirtha. Dengan demikian, persembahyangan pun bisa mencerahkan, selain secara niskala dengan menghaturkan puja bhakti itu, juga secara skala dengan memperoleh “pelajaran agama”. Mari kita pikirkan bersama langkah-langkah ini. Sudah kentara sekali umat Hindu tertinggal dan mari kita introspeksi, kenapa libur keagamaan tidak diisi dengan pencerahan agama. Oktober 2005
C
142
C
Benteng Kuningan
M
erayakan Kuningan bagi umat Hindu di Bali lebih banyak ditujukan kepada leluhur. Karena itu yang dominan di sini adalah tumpeng. Bahwa tumpeng itu warnanya kuning, tidak jelas sumber sastranya. Mungkin juga leluhur kita di masa lalu tak begitu jelimet harus mengacu kepada sastra agama, tetapi lebih pada kebiasaan masyarakat setempat bahwa tumpeng kuning itu enak dipandang dan enak dimakan. Kebiasaan membuat tumpeng kuning sudah ada sejak lama sebelum Hindu masuk di Indonesia. Namun, Hari Raya Kuningan tidak spesifik diatur dalam Kitab Weda. Sebagaimana halnya hari raya lain, semuanya mengacu kepada tradisi lokal, hanya jiwanya saja ada dalam ajaran agama. Misalnya, umat Hindu dianjurkan untuk merayakan hari kemenangan dharma setelah simbo-simbol adharma ditumbangkan. Umat Hindu di India memakai mitologi kemenangan Rama atas Rahwana, umat Hindu di Bali memakai mitologi Mayadanawa. Jadi, nama hari raya bisa beda dan kapan dirayakan serta bagaimana cara merayakannya juga berbeda-beda. Tapi, ada aturannya yang bersifat lokal.
C
143
C
Sayangnya, aturan merayakan Kuningan hanya sedikit dan itu dimuat dalam lontar Sundarigama. Disebutkan di situ, hendaknya umat menghaturkan sesaji pada pagi hari dan jangan menghaturkan sesaji setelah lewat tengah hari. Kenapa begitu? Karena yang dihaturkan sesaji berupa tumpeng berwarna kuning itu adalah Dewa Pitara alias leluhur kita sendiri. Para leluhur ini akan “kembali ke sorga” pada tengah hari. Umat Hindu menyembah (dalam hal ini lebih baik digunakan istilah memuliakan) leluhur dan menyembah Hyang Widhi. Dalam ajaran Hindu juga disebutkan roh para leluhur menyatu dalam sinar suci Hyang Widhi, bukan “berada di sisiNya” sebagaimana keyakinan umat beragama lain. Karena itu, kalau pada pagi hari kita tidak sempat menyembah leluhur, bersembahyanglah sore atau malam hari ke hadapan Hyang Widhi, toh para leluhur kita sudah “menyatu dalam sinar suci” Hyang Widhi. Hanya, tentu saja sarana persembahyangan kepada Hyang Widhi berbeda bentuknya dengan sarana persembahyangan kepada leluhur. Beberapa pura besar melangsungkan piodalan pada saat Hari Raya Kuningan, seperti Pura Sakenan di Pulau Serangan, Pura Pekendungan di Tabanan, dan banyak lagi pura kawitan. Tradisi merayakan Kuningan juga disertai dengan adanya simbol “tamiang”. Ini adalah alat untuk menangkis serangan musuh, semacam perisai untuk membentengi diri. Siapa yang dibentengi? Bisa leluhur yang sedang menikmati “suguhan tumpeng” sehingga dalam perjalanannya selamat kembali ke sorga (mur mwah maring swarga), bisa pula simbol untuk diri kita sendiri agar selalu bisa selamat dari serangan musuh. Kita baru saja mengalahkan adharma dan merayakan kemenangan dharma pada Hari Raya Galungan. Sepuluh hari larut dalam kemenangan dharma dengan melakulan silakrama (silaturahmi) dan tirtayatra (menghaturkan bhakti ke pura-pura), maka kini
C
144
C
saatnya kita membentengi diri kita dari musuh-musuh yang baru. “Tamiang” harus selalu berada dalam kehidupan kita sehari-hari. Sekarang, bagaimana kita menerjemahkan penghormatan kepada leluhur itu serta membentengi diri dari musuh-musuh yang baru? Menghormati leluhur adalah mewarisi dan menjaga peninggalan beliau. Peninggalan itu banyak sekali, dari harta benda yang diwariskan kepada keturunannya langsung maupun peninggalan berupa pura, kitab sastra, dan sebagainya. Warisan ini yang seringkali luput dijaga oleh umat Hindu di Bali, sehingga banyak sekali tanah-tanah di Bali berpindah tangan ke orang luar Bali. Di sinilah lemahnya orang Bali yang tidak bisa membentengi dirinya dengan “tamiang”, sehingga mudah sekali diserang. Serangan yang paling berbahaya adalah serangan berupa konsumerisme, mengejar materi untuk kenikmatan duniawi yang sifatnya terbatas. Mereka hanya mengejar kesenangan sesaat. Beli sepeda motor atau mobil dengan menjual warisan orangtua, misalnya. Atau menjual warisan dengan alasan untuk biaya ngaben leluhurnya, padahal biaya itu tidak begitu besar. Menjaga warisan kolektif juga sangat kendor di Bali. Lingkungan Pura Sakenan sudah rusak parah sejak menyatunya Pulau Serangan dengan Pulau Bali. Aura magis sudah berbeda dengan masa lalu, ketika umat Hindu harus menyeberang laut menuju pura peninggalan Danghyang Nirartha ini. Kegiatan yang jauh dari religius sudah menjamah kawasan ini, misalnya, musik hingar-bingar yang dipentaskan secara marathon. Kasus Pura Sakenan hanya satu contoh dari begitu banyak kasus-kasus yang mulai menurunkan tingkat kesucian tanah Bali. Kesucian Bali yang diwariskan leluhur kita dari pendahulunya, sudah rusak di tangan generasi Bali saat ini. Kita tak kuasa membentenginya lagi, kita sudah tak punya “tamiang” yang bagus untuk itu. Barangkali itu sebabnya daya pertahanan
C
145
C
Bali jadi lemah, bom mudah meledak di Kuta dan Jimbaran. Dulu, teroris yang berniat menghancurkan Bali, bomnya meledak di perjalanan menuju Bali. Seperti ada kekuatan magis yang menangkisnya karena Bali masih suci. Marilah kita merayakan Kuningan dengan lebih kuat membentengi diri, dan membentengi Bali dengan “tamiang niskala” yang tangguh dan suci. 15 Oktober 2005
C
146
C
Tamiang Kuningan
S
ebagai hari raya keagamaan, Kuningan seringkali disebut embel-embel. Dalam penyebutan saja kata “Kuningan” selalu di belakang kata Galungan. Jarang sekali orang menyampaikan “Selamat Hari Raya Kuningan” secara utuh dan berdiri sendiri. Selalu ia berada di belakang kata Galungan. Tidak seluruh penduduk Bali yang beragama Hindu merayakan Kuningan. Di kampung saya yang merayakan Kuningan hanya sebagian saja. Yang sebagian itu pun, termasuk keluarga saya, baru beberapa tahun ini merayakannya. Dulu-dulu tidak. Kuningan bagi masyarakat pegunungan dan masyarakat Bali Utara di masa lalu, hanyalah pertanda dari berakhirnya rangkaian hari raya Galungan. “Supaya adil dan seimbang. Orang Bali Selatan merayakan Kuningan, orang Bali Utara merayakan Pagerwesi. Orang Bali Tengah boleh memilih, mau ke utara atau ke selatan,” ini kata seorang pemuka agama. Uraian ini menunjukkan betapa gelapnya makna dan filosofis dari Kuningan itu sebagai hari raya. Memang rujukan tentang Kuningan tidak banyak. Galungan bisa dirujuk di banyak lontar, dan berbagai aturan bisa ditemukan
C
147
C
untuk merayakan Galungan. Bahkan Galungan disebut sebagai “rerainan jagat” (hari raya dunia). Bagaimana dengan Kuningan? Tidak disebut sebagai “rerainan jagat”. Lontar Sundarigama hanya menyebutkan secara sekilas saja. Pada Kuningan, hendaknya umat menghaturkan sesaji pada pagi hari dan hindari menghaturkan sesaji lewat tengah hari. Memangnya kenapa? Di situ disebutkan, pada lewat tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara “mur mwah maring swarga”. Artinya, sudah kembali terbang ke sorga. Kalau sekarang kita tanya kepada anak-anak muda di Bali Selatan, kenapa merayakan Kuningan di pagi hari dan jangan telat sampai siang hari, jawabannya sudah lebih moderen. Lewat tengah hari, katanya, sudah akan pergi ke Pura Sakenan. Sembahyang sambil pacaran dan sambil membeli sate penyu. Apakah ke Pura Sakenan itu masih seunik dulu ketika naik jukung sambil bersenda-gurau, dan apakah sate penyu masih dijual ketika penyu menjadi hewan yang dilindungi, itu tidak jadi masalah. Pokoknya kesan itu masih melekat sampai kini, tatkala Pura Sakenan sudah dikepung sepeda motor dan mobil. Selebihnya, Kuningan bagi anak-anak muda Hindu saat ini tak punya arti lain lagi. Bagi orang-orang dewasa pun, khususnya kaum ibu yang menghaturkan sesaji di banyak tempat suci, beda Tumpek Kuningan dengan tumpek-tumpek yang lain hanya soal tamiang. Kalau Galungan sejumlah tempat suci dihias dengan gantungan biasa, atau mungkin ditambah lamak yang kecil-kecil, Kuningan seperti tidak sah kalau tempat suci itu tidak dihias dengan tamiang. Bahkan belakangan berkembang lebih jauh, pojokpojok rumah pun dihias dengan tamiang, juga mobil. Tamiang adalah simbol dari alat perang, sebuah perisai untuk menangkis serangan pihak lawan. Siapa yang menyerang kita di hari Kuningan itu? Bukankah para Dewata dan Dewa Pitara turun di pagi hari dan kembali ke “dunianya” siang hari? Tak mungkin para Dewa
C
148
C
itu melakukan serangan, atau adakah Beliau itu membantu umat menghadapi serangan musuh? Tak jelas, karena Kuningan tidak didahului oleh godaan dari para bhuta, seperti halnya Galungan kita mengenal adanya Sang Bhuta Galungan. *** KURANGNYA informasi tentang Kuningan inilah yang menyebabkan umat Hindu di Bali dalam merayakan Kuningan belum mempunyai aturan yang standar. Juga tidak mempunyai pengertian filosofis yang seragam. Mereka yang merayakan Kuningan berpedoman kepada sastra tutur (gugon tuwon) bahwa hari itulah leluhur kita akan datang, sehingga Tumpek Kuningan itu seringkali disebut sebagai pemujaan kepada leluhur. Yang unik, di beberapa tempat nasi untuk punjung menyerupai tumpeng yang kita kenal di Jawa, dan warnanya pun dibuat kuning. Bisa jadi karena permainan kata-kata saja, Kuningan perlu berkuning-kuning. Saya seringkali mengajukan pertanyaan yang menggoda ini, kenapa makanan dibuat serba kuning? Terakhir saya mendapat jawaban: “Tumpeng untuk dimakan kalau warnanya putih tidak enak.” Saya kira ini jawaban yang paling jujur. Apapun yang kita persembahkan sebagai sesaji, sebaiknya surudan (prasadam) haruslah “layak makan”. Tidak ada salahnya kita membuat nasi kuning yang enak-enak di hari Kuningan, kita persembahkan kepada leluhur, dan kemudian kita makan prasadamnya. Lalu apa hubungan Kuningan dengan hiasan gantung berupa tamiang itu? Bahwa tamiang sebagai simbol perang memang sudah pengertian yang seragam. Tetapi apakah dengan tamiang itu, kita sedang menghadapi serangan atau mengupacarai peralatan perang? Ini yang tidak seragam. Ada yang mencarikan makna bahwa leluhur yang datang pagi hari di hari raya Kuningan itu harus dilindungi dari musuh-musuh jahat, harus ada perisai berupa
C
149
C
tamiang agar leluhur itu baik-baik saja turun ke bumi. Tapi ada yang mencarikan arti lain, dengan mengkaitkan Kuningan sebagai penutup dari perayaan Galungan. Kita mengenal Galungan sebagai hari kemenangan dharma melawan adharma, kemenangan kebenaran melawan ketidak-benaran. Kemenangan yang terjadi itu tentulah setelah melewati sebuah peperangan. Nah, tamiang sebagai simbol alat perang perlu dipajang dan disucikan kembali. Orang bisa mencari arti sendiri-sendiri dan itu tak apa-apa sepanjang yang menyangkut ornamen. Yang penting esensinya tidaklah kabur benar. Bahkan ada yang menyebutkan membuat tamiang pada hari Kuningan semata-mata untuk tidak melupakan warisan luhur budaya Hindu di Bali, bagaimana beragamnya seni membuat hiasan janur. Seni hiasan itu harus diwariskan dan dipertahankan semata-mata demi seni itu sendiri, tidak perlu lagi dicari-cari artinya ke sana ke mari. Ya, kalau arti yang ditemukan benar dan masuk akal, kalau salah bisa lebih konyol lagi. Tahun lalu, ketika Kuningan tiba, teman saya menghias mobilnya dengan tamiang, dan digantung persis menutupi plat mobilnya di depan. Saya tanya, apa artinya semua itu? Jawab teman saya: “Tamiang ini simbol perang. Sekarang saya sedang berperang dengan polisi, mobil ini telat disamsat, jadi supaya tidak ketahuan saya tutupi nomor platnya dengan tamiang.” Saya tertawa. Saya kira ini pun jawaban yang jujur, kalau kita tidak tahu kenapa harus menjawab muter-muter? 4 Mei 2002
Catatan: * tamiang = hiasan dari janur yang berbentuk bundar, semacam perisai.
C
150
C
Nara Mangsa
I
stilah nara mangsa memang belum populer di kalangan masyarakat Bali. Nara mangsa adalah satu dari sekian banyak istilah yang mengandung pantangan. Nara mangsa ini termuat di dalam lontar Sunarigama, sebuah lontar yang dijadikan rujukan untuk beberapa hari raya, antara lain, Galungan dan Kuningan. Nara berarti manusia, mangsa berarti makan. Tapi nara mangsa bukan berarti “manusia makan” namun “makan manusia” karena istilah-istilah dalam bahasa Kawi atau Jawa Kuno yang banyak digunakan lontar memakai hukum DM (diterangkan – menerangkan). Maksudnya, jika pantangan itu dilanggar, maka akan ada mara bahaya, entah itu bencana alam, wabah penyakit dan sebagainya yang menimbulkan korban. Manusia-manusia bisa celaka dan menjadi obyek korban itu sendiri karena “dimakan” oleh Sang Maha Kala Raja. Orang Bali tradisional menyebut itu kena pastu (ya, terjemahkan saja dengan kutukan) dari Sang Maha Kala Raja. Lalu, makhluk apa pula yang mengaku-aku bernama Sang Maha Kala Raja, kok bisa memberi kutukan sekejam itu? Tidak ada penjelasan yang
C
151
C
rinci, kita harus mengupasnya. Sang Maha Kala Raja adalah “rajanya waktu”, simbol dari kemaha-kuasaan yang menentukan apakah hari itu punya pantangan tertentu atau tidak. Dalam “pastu nara mangsa” pantangannya adalah tidak boleh menyembelih hewan apapun pada saat Penampahan Galungan jika hari itu (sang waktu) bertepatan dengan Tilem (bulan mati). Konsekwensi dari tidak boleh menyembelih hewan ini adalah Hari Raya Galungan tidak boleh dirayakan dengan makan daging hewan. Kalau makan daging tidak boleh, itu berarti semua sesajen Galungan juga tidak boleh berisi daging, karena begitulah ajaran agama Hindu yang benar, semua makanan harus dipersembahkan dulu kepada Hyang Widhi dan kita hanya memakan “surudan” alias prasadam. Coba buka Bhagawadgita, pasti ada sloka itu. Pertanyaan selanjutnya, kenapa kalau Penampahan Galungan bertepatan dengan tilem tidak boleh makan daging, dan konsekwensinya tak boleh menghaturkan sesajen yang berisi daging hewan? Pertanyaan ini harus dicarikan rujukan dalam kitab-kitab Weda, bahwa sesungguhnya umat Hindu diwajibkan untuk melaksanakan upawasa (puasa) sejak pengelong 14 (sehari sebelum Tilem) dan berakhir (lebar) ketika persembahyang Tilem dilakukan. Dalam kitab-kitab Hindu, pengelong 14 itu disebut Siwaratri, di mana Dewa Siwa melakukan samadhi di malam yang gelap dan umat manusia yang mengikuti “jejak Siwa” mendapatkan anugerahnya. Dalam 12 kali Siwaratri, ada yang disebut Mahasiwaratri, ini malam tergelap dibandingkan Siwaratri yang lain, dan itu terjadi pada pengelong 14 Sasih Kepitu. Nah, di Indonesia, khususnya Bali, Mahasiwaratri ini disebut Siwaratri dan Siwaratri yang datang setiap bulan diabaikan begitu saja oleh kebanyakan orang. Tanpa menjalani tapa brata semadhi,
C
152
C
apalagi puasa. Tokoh-tokoh Hindu di masa lalu yang menguasai ajaran Weda, kesulitan dalam menyebarkan agama ke masyarakat. Maklum, sarana penyebaran Weda ada kendala karena tidak adanya alat tulis seperti sekarang ini, dan teknik menyebarkan Weda yang dipakai untuk lingkungan terbatas adalah sistem aguron-guron, tatap muka antara guru dan murid. Sedangkan untuk masyarakat luas yang tak ada waktu melaksanakan aguron-guron diberi “pelajaran agama” lewat mitologi, legenda, cerita kebajikan, kidung, dan sejenisnya. Maka lahirlah berbagai lontar tentang itu. Jadi lontar itu sesungguhnya hanya sarana penyebaran buah pikiran seseorang, sama dengan kertas (buku) di masa kini atau CD yang lebih moderen. Ada buah pikiran yang memang serius mengupas ajaran agama dengan sumber yang benar, ada buah pikiran yang mungkin salah dalam merujuk ke sumber, ada yang sekedar membuat hiburan, atau hanya menuliskan sebuah pengalaman pribadi tanpa ada maksud untuk mengupas ajaran agama. Karena itu tidak semua lontar harus dijadikan acuan, apalagi disakralkan. Almarhum ayah saya banyak mewarisi lontar, dan dulu semuanya disakralkan. Setelah dibaca-baca belakangan, ada lontar yang isinya tentang mengadu untung kalau berjudi, misalnya Saniscara Wage duduklah di barat, dan sebagainya. Karena ketidak-tahuanlah, lontar begini, yang jelas menyimpang dari ajaran Hindu, disakralkan dan ikut diberi sesajen. Sunarigama termasuk lontar yang merujuk ke ritual agama dengan sumber yang tidak bertentangan dengan Weda. Karena itu isi lontar ini sudah sering dijadikan bahan diskusi untuk diambil kesepakatan bersama, bagaimana melaksanakannya supaya seragam. Dalam hal nara mangsa, kesepakatan itu sudah diambil dalam Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-Aspek Ajaran
C
153
C
Hindu di tahun 1980-an. Sayang sekali seminar Kesatuan Tafsir yang sangat penting ini mandeg belakangan, padahal menurut saya perlu dilembagakan, karena banyak sekali tafsir yang mesti disatukan. Bagaimana dengan Tumpek Landep, Tumpek Wayang, Saraswati, Pagerwesi dan hari-hari raya lain yang berdasarkan wariga, dan kebetulan saat itu jatuh pada tilem? Menurut saya, semuanya itu bisa terkena nara mangsa. Alasannya adalah ajaran Hindu berpatokan pada peredaran bulan (sasih) dan dalam Weda tidak dikenal patokan hari raya berdasarkan wariga. Wariga ini adalah budaya lokal, karena itu yang lokal harus mengalah kepada sumber utama. Para tetua kita di Bali sudah mempraktekkan hal itu, misalnya, dalam mencari hari baik untuk berbagai keperluan yadnya, wariga selalu mengalah pada sasih. 22 Januari 2005
C
154
C
Kidung Perdamaian
M
enjadi orang kantoran seringkali dihinggapi rasa jenuh. Bekerja setiap hari di belakang meja, membuat otak tidak begitu kreatif karena terlalu rutin. Tetapi kalau tidak ada yang dikerjakan, hanya duduk santai sambil membaca koran atau main catur dengan sejawat menunggu jam tutup kantor, juga tidak enak. Batin tersiksa karena merasa dapat gaji buta, otak pun tidak kreatif karena target pekerjaan tidak ada. Menghindari kejenuhan, banyak pegawai kantoran menciptakan suasana yang bisa menyegarkan pikiran dengan mengalihkan perhatian kepada hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan rutin. Pegawai negeri umumnya punya hari krida, diisi kegiatan olahraga dan kesenian. Sekarang pegawai swasta pun meniru pola itu. Di luar Bali hari krida itu dilakukan pada hari Jumat, sehingga waktunya bisa lebih lama karena digabungkan dengan sholat Jumat untuk yang beragama Islam. Pegawai negeri dan swasta yang beragama Hindu di Jakarta memanfaatkan hari Jumat itu untuk kegiatan mengasah rohani. Ada yang mengadakan diskusi, mengundang seorang tokoh un-
C
155
C
tuk memberikan dharmawacana, ada yang belajar yoga, ada pula yang belajar megegitaan, baik menembang sekar alit maupun mewirasa dengan kekawin. Semestinya di Bali kegiatan ini lebih gencar lagi karena pegawai yang beragama Hindu lebih banyak. Tetapi, apakah acaranya juga menyegarkan rohani atau mendalami tatwa agama, ini yang masih dipertanyakan. Kalau menyegarkan rohani, apa dampak yang bisa diukur dari kegiatan ini? Memang sulit diukur, lebih-lebih jika alat ukur itu masih diperdebatkan. Namun setidaknya ada hasil yang diharapkan, betapa pun kecilnya, dari kegiatan ini. Langkah yang ditempuh oleh Pemerintah Kabupaten Klungkung untuk menggairahkan sekaa gitasanti di kantor-kantor dinas adalah langkah yang patut dipuji. Olahraga menyehatkan tubuh, tetapi tidak semua karyawan kantoran bisa pas melakukan olahraga bersama-sama. Kesenian jadi alternatif lain, karena seni mengasah jiwa dan dalam keadaan tertentu kesenian membuat budi pekerti lebih halus. Apalagi jika itu forumnya disebut gitasanti, yang bisa diterjemahkan dengan keren sebagai kidung perdamaian. Jika yang dikidungkan mengkhususkan pada tembang-tembang keagamaan bisa disebut dharmagita. Gitasanti ini kemudian diperlombakan menyambut harihari besar. Itu sah-sah saja karena kompetisi akan melahirkan rangsangan untuk menjadi yang terbaik. Adapun targetnya agar kegiatan sejenis menular ke pedesaan dan tidak cuma marak di perkantoran, juga langkah yang bagus dan strategis. Yang jadi masalah adalah apakah kegiatan yang bersifat “dinas” ini tidak mengekang keratifitas dalam berolah seni karena ada muatan tertentu? Sering dalam kasus-kasus seperti ini mucul keinginan yang kuat dari seorang pimpinan untuk memaksakan selera kepada bawahannya. Selera itu bisa berwujud jenis-jenis tembang, bisa pula tema dalam gitasanti. Di masa lalu, kesenian sering
C
156
C
menjadi propaganda sesaat dari kegiatan politik. Kalau itu bisa dihindari tentu bagus sekali. Para seniman boleh saja menciptakan tembang tentang bahaya narkotika, penyakit AIDS atau menyoroti berbagai ketimpangan sosial yang harus dicarikan solusinya sehingga terwujud masyarakat yang damai. Namun hendaknya dihindari penciptaan tembang yang bernada menghasut dan memusuhi sesama warga masyarakat hanya karena perbedaan politik. Pelajaran berharga pada era 1960-an adalah kesenian, termasuk gegitaan, dijadikan alat politik untuk saling menjelek-jelekkan lawan. Banyak tembang Bali baik yang tradisi (berdasarkan pupuh) maupun yang moderen (dinyanyikan paduan suara) ketika itu tergelincir pada politik yang mengadu-domba masyarakat. Ini sudah jauh melenceng dari nama gitasanti, kidung perdamaian. Sasaran jangka panjang juga harus disiapkan, yakni menciptakan masyarakat yang damai, baik lahir maupun bathin. Selama ini berkembang pesatnya sekaa santi di pedesaan dan kota, juga lewat radio, tidak memberikan arti apa-apa di tengah kehidupan masyarakat. Setiap hari pendidikan budi pekerti dibahas lewat geguritan Sucita Subudi, setiap malam sekaa santi membahas nasehat Rama kepada Wibisana lewat Kekawin Ramayana, tetapi apakah masyarakat bertambah tentram? Perkelahian masih terjadi, nafsu untuk berkuasa dengan segala cara masih ditempuh. Orang masih mabuk-mabukan, bahkan perjudian masih terjadi di mana-mana secara terang-terangan. Kidung Sarasamuscaya dibaca bergantian di malam hari, wiramanya memukau, yang memberi arti pun pinter. Tetapi di siang hari, orang mengadakan sabung ayam di jaba pura. Lalu, apa makna semua gegitaan ini? Dari Kabupaten Klungkung lahir ide menggerakkan gitasanti di perkantoran, mudah-mudahan dari sini pula ada gerakan sosial yang mengarah kepada pembentukan manusia-manusia
C
157
C
Bali yang mewarisi tradisi Kerajaan Gelgel, yaitu manusia cinta damai dan berbudi luhur. Tanpa ada cita-cita seperti itu, gerakan gitasanti ini tidak akan ada artinya, hanya gerakan pemanis bibir dan penyedap telinga, tidak ada getaran yang masuk ke dalam hati. Padahal seni harus mengasah jiwa. 14 Agustus 2004
C
158
C
Yadnya untuk Gepeng
M
isalkan kita dalam perjalanan menuju pura yang jauh dan naik mobil pribadi. Kita membawa sesajen yang berisi ketupat, pisang, dan kue. Lalu di perempatan jalan mobil berhenti karena ada lampu merah. Seorang pengemis dengan muka pucat mengetuk kaca mobil. Ia memberi tanda dirinya haus dan lapar. Apa sikap kita? Pernahkah kita mengambil kue atau buah di sesajen itu untuk diberikan kepada pengemis yang kelaparan? Mungkin tidak. Dan mungkin pula, terpikirpun tidak. Malah kita akan menutup kaca mobil rapat-rapat. Maaf, ini pengamatan selintas di Bali. Kalau diamati lebih teliti, saya kira masih ada orang yang ikhlas merelakan sesajennya untuk pengemis. Saya termasuk orang yang pelit memberi sesuatu kepada pengemis, kalau pengemis itu masih sehat dan kekar. Tetapi terhadap gelandangan yang betul-betul memerlukan bantuan mendesak, saya sering tersentuh. Saya pernah memberikan sesisir pisang kepada gelandangan yang menggedong anak kecil yang saya lihat sangat lapar, padahal pisang itu sudah dirangkai dalam bentuk sesajen. Sebelum sampai ke pura,
C
159
C
saya membeli pisang di pasar sebagai pengganti. Saya merasa lebih plong bersembahyang, tidak diusik oleh wajah anak kecil yang kelaparan itu. Dalam kisah kehidupan para sanyasin, banyak ditemukan teladan bagaimana menolong sesama manusia. Ada kisah sanyasin, kalau tak salah ingat, namanya Rahji. Suatu ketika keluarga ini mau menghaturkan sesajen di pura (mandir) di atas bukit. Di perjalanan ia menemukan gelandangan yang hampir sekarat karena haus dan lapar. Istri Rahji berkata: “Kita teruskan saja perjalanan ke bukit. Sepulang dari bersembahyang, baru kita berikan makanan sesajen ini.” Rahji mula-mula sepakat, bukankah dalam ajaran Hindu kita wajib mempersembahkan semua makanan kepada Hyang Widhi, dan kita hanya menerima prasadam (bahasa Bali: surudan) saja? Dalam tradisi di Bali ada istrilah ngejot atau mesaiban sebelum kita makan, dan bagi umat Hindu yang lebih moderen (karena tahu ada mantramnya) berdoa sebelum makan, sehingga yang kita makan semuanya adalah prasadam. Tapi, Rahji berubah pendapat. Ia mengambil makanan dalam sesajen itu dan memberikan kepada gelandangan. Alasannya: “Kalau kita menunggu perjalanan ke atas bukit baru memberikan makanan dalam bentuk prasadam, jangan-jangan gelandangan ini keburu meninggal dunia. Kita harus selamatkan mereka.” Dan keluarga Rahji memberikan makanan itu kepada gelandangan yang sekarat. Gelandangan menjadi segar dan Rahji pun meneruskan ke bukit melakukan persembahyangan. Bhagawan Gita menyebutkan, dalam keadaan yang sangat sederhana, Tuhan bisa dipuja dengan hanya sekuntum bunga dan setangkai daun. Saya kira semua ajaran agama menempatkan hubungan horisontal sesama manusia sebagai hal yang utama, melebihi hubungan vertikal antara manusia dengan Hyang Widhi. Kisah-
C
160
C
kisah sufi dalam ajaran Islam, yang banyak memberi contoh tentang kebajikan antar manusia, bahkan menjadi buku yang sangat digemari. Dalam sastra Hindu, kisah-kisah itu tercecer di sana-sini. Umat Hindu mengenal konsep Tri Hita Karana. Saya tak tahu apakah ada sumber sastra yang merujuk bagaimana membakukan urutan konsep ini. Namun, dalam kebiasaan kita (khususnya saya), urutan itu dimulai dari hubungan harmonis kita sesama manusia, kemudian hubungan harmonis manusia dengan alam, barulah hubungan rohani manusia dengan Hyang Widhi. Artinya, keharmonisan sesama umat manusia itu hal yang paling utama. Kenapa utama? Karena kita menjaga keharmonisan sesama makhluk ciptaan Tuhan. Dalam konsep yadnya, kita juga mengenal ajaran manusa yadnya. Sayangnya, ajaran ini, khsususnya lagi di Bali, banyak yang diartikan sempit hanya untuk menyelenggarakan upacara kepada manusia. Lalu rujukannya pun dicari dalam tradisi budaya. Maka, yang disebut manusa yadnya itu adalah megedong-gedongan, kepus pungsed, tutug kambuhan, telu bulanan, otonan, menek bajang, potong gigi, lalu perkawinan. Kenapa manusa yadnya tidak dikembalikan sebagai yadnya untuk kemanusiaan? Ini yang harus diberi pencerahan oleh tokoh-tokoh umat Hindu, agar masyarakat Hindu menjadi peduli sesama manusia. Lihat di sekeliling kita, pengemis dan gelandangan mulai bertebaran dan mulai memenuhi jalan-jalan raya. Anak yatim piatu tidak ada yang menampungnya, banyak anak tak bisa sekolah di desa-desa, orang-orang miskin pun masih banyak ada di pedesaan. Kita kurang peduli kepada mereka. Justru umat lain yang membantu mereka. Panti asuhan, panti jompo dan rumah-rumah sosial kebanyakan milik umat Kristen dan di sana ditampung orang-orang Bali yang beragama Hindu.
C
161
C
Menyedihkan sekali, apalagi kalau kemudian kita tahu, anakanak yang ditampung di sana memberikan balas jasa berupa “pindah agama”. Mari kita bantu mereka dengan memberikan lapangan pekerjaan, menjadi orangtua asuh, atau mendirikan panti asuhan Hindu, yang sekarang jumlahnya sangat sedikit. Dengan cara itulah kita melaksanakan ajaran manusa yadnya dan Tri Hita Karana, jangan hanya pandai mengucapkan saja, mari laksanakan. 11 September 2004
C
162
C
Tri Hitakarana
S
udahkah kita melaksanakan ajaran Tri Hitakarana? Bisa jadi sudah, namun apa yang kita laksanakan belum sesuai benar dengan konsep Tri Hitakarana itu sendiri. Atau kita hanya melaksanakan sebagian kecil saja, sementara yang kita langgar justru lebih banyak. Tri Hitakarana adalah ajaran yang berisi menciptakan hubungan harmonis untuk tiga hal penting menyangkut kehidupan manusia. Yang pertama, hubungan harmonis manusia dengan Tuhan yang sering diistilahkan parahyangan. Yang kedua hubungan harmonis antarsesama manusia yang diistilahkan pawongan. Yang terakhir hubungan harmonis antara manusia dengan alam lingkungan yang sering disebut palemahan. Hubungan harmonis manusia dengan Tuhan tentu bisa diciptakan oleh pribadi-pribadi dan sesungguhnya tidak harus
C
163
C
melibatkan orang lain. Dialog manusia dengan Tuhan memang sangat pribadi dan berbagai cara bisa dilakukan untuk itu. Bisa dengan cara samadi, meditasi, japa, yoga, bhakti, datang ke pura baik rombongan maupun sendiri-sendiri. Dalam hal keharmonisan ini sulit diukur sejauh mana umat Hindu melaksanakan ajaran Tri Hitakarana. Ada orang yang tak pernah datang ke pura, tetapi tekun melakukan persembahyangan di kamar suci rumahnya. Bagaimana kita mengatakan mereka itu tidak harmonis dengan Tuhan? Tidak harmonis dengan sesama manusia karena jarang bersosialisasi barangkali benar, tetapi dalam konsep parahyangan ini, mereka tidak memiliki kesalahan apa-apa. Yang jadi masalah mengenai Tri Hitakarana bagian pertama ini adalah, seringkali dalam hal mencari keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan yang bersifat pribadi itu, harus berbenturan dengan pihak lain. Ini jika menyangkut cara-cara yang tidak lazim. Ambil contoh jika kita melakukan yadnya dengan cara agni hotra, tak semua orang setuju. Begitu pula melantunkan Gayatri Mantram berulang-ulang sambil berjapa, terasa aneh bagi sebagian yang lain. Mempersembahkan daging hewan untuk bhuta yadnya, misalnya, terjadi polemik boleh apa tidak. Sepanjang saling menghormati dalam perbedaan mencari keharmonisan itu, sesungguhnya tidak masalah. Yang terjadi justru yang satu menyalahkan – apalagi kemudian melarang – yang satu ngotot melaksanakan. Hubungan antar sesama manusia (pawongan) banyak menimbulkan masalah di kalangan umat Hindu, khususnya yang berada di Bali. Di luar Bali, keharmonisan itu hampir tak pernah menemui ganjalan. Kenapa di Bali banyak masalah? Penyebabnya adalah dalam konteks keharmonisan antarmanusia, terdapat perangkat yang mau tak mau mengambil peran, yakni adat. Manusia Bali yang beragama Hindu dibelenggu
C
164
C
oleh sistem adat, karena tanpa menjadi warga adat mereka seperti kehilangan pengayoman meski mereka termasuk penduduk sah di sebuah desa dinas. Beragam kasus adat muncul di Bali, ini bisa jadi pertanda bagaimana sistem adat di Bali belum mengantisipasi kemajuan zaman. Ketatnya aturan adat membuat orang Bali tidak bisa meningkatkan prestasi kerjanya, jika mereka bekerja di sektor yang bukan pertanian, karena adat di Bali itu sesungguhnya lahir dari komunitas petani. Bagaimana mungkin sebuah pimpinan bank, misalnya, setiap saat harus pulang ke desanya untuk urusan adat, ngayah ke pura, kerja bhakti, melayat orang meninggal yang waktunya telah ditetapkan, dan sebagainya. Jika kewajiban adat ini dilanggar, resikonya sangat tinggi, dia bisa dikeluarkan dan tak bisa menggunakan fasilitas adat. Ini fatal, karena kuburan di Bali masih berstatus milik adat, belum ada (kecuali di Denpasar) kuburan berstatus milik Hindu. Itulah yang menyebabkan hilangnya keharmonisan hubungan antarmanusia. Tentu saja masih ada faktor lain yang menjadi penyebab munculnya kasus ketidak-harmonisan sesama manusia di Bali, yakni, masih adanya semangat untuk mempertahankan feodalisme sehingga ada kelompok yang merasa status sosialnya lebih tinggi dan tidak mau berbaur dengan kelompok yang mereka sebut status sosialnya rendah. Yang paling parah dilanggar dari ajaran Tri Hitakarana ini tentu saja masalah ketiga, pelemahan, hubungan harmonis manusia dengan alam lingkungan. Lingkungan di Bali sudah sangat rusak dan upaya untuk terus merusaknya tak pernah berhenti. Tempat-tempat suci sudah dikepung oleh sarana wisata dan bisnis, meski pun Parisada sudah mengeluarkan bhisama tentang kesucian pura. Tanah di Bali sudah banyak yang beralih ke tangan orang luar Bali, dan mereka tentu saja bukan Hindu. Bali menjadi
C
165
C
padat dengan membanjirnya pendatang yang mengais rejeki. Muncul pemukiman yang jelas-jelas penataannya tidak lagi mengikuti konsep Tri Hitakarana. Dapat disimpulkan, sesungguhnya ajaran Tri Hitakarana baru berupa wacana yang sering diobral di berbagai pertemuan, namun pelaksanaannya masih banyak yang menyimpang. Desember 2005
C
166
C
Tradisi Cuntaka
M
asalah cuntaka (disebut juga sebel dan leteh) bagi umat Hindu di Bali masih belum ada keseragaman. Di luar Bali, perbedaan bisa diatasi karena masyarakatnya majemuk dan tidak berasal dari satu desa di Bali sehingga tidak ada tradisi dari daerah asal yang dipakai. Yang dijadikan patokan di luar Bali adalah sastra agama atau malah tak perlu lagi membuka-buka sastra agama karena sudah ada pegangannya, yaitu hasil Seminar Kesatuan Tafsir mengenai cuntaka. Di Bali tradisi begitu kuat, hasil Seminar Kesatuan Tafsir bisa tidak mempan. Jika di suatu desa masyarakatnya tak mau mengubah tradisi, maka kebiasaan masa lalu yang tak jelas rujukannya itu tetap saja dipakai. Tetapi jauh lebih banyak desa-desa adat yang sudah menyesuaikan dirinya dengan perkembangan baru yang merujuk kepada sastra agama. Di desa saya di masa lalu, tradisi cuntaka juga begitu ketat. Setiap ada orang meninggal dunia, membatalkan piodalan di pura yang ada di desa, apakah itu pura panti, paibon, atau tri kahyangan. Dulu, penduduk yang sedikit, tidak ada masalah.
C
167
C
Paling hanya sesekali saja piodalan batal karena cuntaka. Tetapi, dengan jumlah penduduk yang besar, melebihi seribu kepala keluarga, akan membuat masalah. Bayangkanlah kalau persiapan piodalan sudah dilakukan jauh-jauh hari, banten sudah dibuat lengkap, teruna-teruni siap untuk ngayah, ada orang meninggal dunia, lalu piodalan batal. Bukankah ini kerugian yang sangat besar? Mengubah tradisi memang tidak mudah, perlu memberi pemahaman kepada orang-orang tua “penjaga tradisi”. Jika berhasil, dalam beberapa hal perlu ada masa transisi. Misalnya, kalau ada kematian sementara akan ada piodalan, dicarikan akal agar desa dianggap tidak cuntaka. Apa akal itu? Jenasah dikuburkan malam hari setelah matahari terbenam, pada kesempatan pertama. Tidak boleh jenasah diinapkan di rumah, tidak boleh memukul kentongan, tidak boleh ada upacara apapun di rumah duka, semua upacara dilakukan di kuburan. Dengan akal-akalan seperti ini desa tetap dianggap “bersih” karena penguburan itu disebut “ngemaling” (mencuri atau di luar aturan). Piodalan tetap berlangsung, hanya keluarga yang kematian saja tak boleh ke pura. Namun, sekarang ketentuan itu sudah dihilangkan juga. Tak ada penguburan malam hari karena hal ini sangat merugikan keluarga yang berduka. Bagaimana kalau keluarga itu belum kumpul, masih ada yang ditunggu karena tinggal di rantauan, bukankah kesempatan untuk menyaksikan penguburan itu tidak mungkin? Akhirnya ditetapkan, penguburan seperti biasa. Piodalan pun tetap berlangsung, yang kena cuntaka dan yang tidak boleh ke pura hanya keluarga yang kematian. Ini sesuai dengan hasil Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-Aspek Agama Hindu yang merujuk pada Lontar Catur Cuntaka. Di sana disebutkan, cuntaka kematian hanya berlaku untuk keluarga yang kematian dan paling jauh pada tingkat mindon (sepupu
C
168
C
tingkat dua). Tidak ada suatu wilayah di luar pekarangan rumah duka yang menjadi “kotor” hanya karena ada kematian. Persoalannya adalah sosialisasi kesepakatan yang diambil pemuka agama, seperti Seminar Kesatuan Tafsir, macet ke masyarakat bawah. Jika pun ada sosialisasi, penjelasannya tidak banyak dilakukan, sehingga tak mampu mengubah pikiran para “penjaga tradisi” yang umumnya orang-orang tua. Ada sebuah desa adat di Bali yang jarang sekali melakukan piodalan di desanya, hanya karena terkena cuntaka. Jenis cuntaka yang bisa membatalkan piodalan itu banyak sekali, bukan sekedar kematian, tetapi juga kelahiran. Bahkan ada yang menyebutkan, piodalan juga batal hanya karena ada anjing beranak. Bisa bertahun-tahun tak ada piodalan di pura desa itu. Cobalah lantas dibayangkan, bagaimana umat Hindu menjalankan ritual agamanya kalau dikekang dengan tradisi cuntaka seperti ini? Untuk apa pula membangun pura kalau tidak digunakan sebagai tempat bersembahyang? Sekali lagi, mengubah tradisi sangat pelik, karena sejumlah orang tua menganggap tradisi itu sebuah “agama”. Dengan menyebutkan “nak mula keto” (memang sudah begitu) mereka agak sulit diyakinkan bahwa agama yang benar mempunyai ajaran yang baku. Kalau tradisi itu melanggar ajaran agama, ya, harus diputus habis. Masalahnya bagaimana menunjukkan dan kemudian meyakinkan umat di lapisan bawah bahwa ada ajaran Hindu yang harus dijadikan pedoman di luar tradisi. Saat ini di beberapa desa pekraman di Bali Timur, ada tradisi di mana mayat dikuburkan malam hari karena ada persiapan piodalan. Tentu hal ini adalah butir-butir tradisi yang masih dipelihara tanpa lagi ada upaya untuk merujuk ke ajaran agama sesuai dengan kitab suci. Orang luar tak bisa berbuat apa-apa, jika tradisi itu telah disepakati warga desa. Sepanjang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia yang kini gencar
C
169
C
dicanangkan, masalahnya tidak akan melebar keluar. Beda dengan tradisi yang masih memberlakukan hukuman kepada orang yang melahirkan kembang buncing (manak salah), di sana ada hukuman fisik berupa diasingkannya anak kembar dan ibunya ke luar desa. Ada HAM yang dilanggar, karena orang dikekang kebebasannya tanpa ada proses peradilan yang diakui negara. 18 September 2004
C
170
C
Memuja Leluhur
S
esekali ada pertanyaan yang mengusik kita, bagaimanakah para leluhur kita di masa lalu mengajarkan masalah moral, budi pekerti, keyakinan agama, dan ritual-ritual yang ada? Apakah mereka memberikan dharma wacana sambil mengutip buku-buku suci yang selalu dibawanya? Mungkin tidak, teknik penyampaiannya pasti sederhana dengan cara bercerita. Sekarang, guru atau tokoh agama mengutip kitab-kitab suci dalam melakukan dharma wacana. Maklum, pendengarnya juga kritis, semua hal yang bersifat anjuran, pantangan, dan sebagainya, selalu dimintai rujukannya di kitab suci. Namun, ada pula pendharma wacana yang sebentar-sebentar mengutip sloka suci supaya kelihatan lebih keren. Padahal, orang-orang di desa begitu polos menjalankan ritual agama dan juga memaknai kehidupan beragama. Kalau ada piodalan di pura, mereka datang tanpa rumit memikirkan apakah yang akan mereka puja di pura itu leluhur atau dewa atau Hyang Widhi. Istilah bethara, dewa, dan Tuhan masih rancu di kalangan orang-orang yang polos itu. Banyak sekali umat Hindu di pedesaan tak tahu dan tak perlu tahu apa beda difinisi
C
171
C
bethara, dewa dan Tuhan. Kalau piodalan di pura ada orang yang kerauhan (trance) dan orang yang kerauhan itu menyebutkan kelinggihan Ida Bethara tertentu, umat sulit menjelaskan siapa Ida Bethara tertentu itu. Kalau ada yang bertanya apakah Ida Bethara itu Tuhan, mereka dengan mudah saja menjawab: ya. Ini yang sering sekali membuat orang non-Hindu bingung, kalau jawabannya seperti itu kenapa agama Hindu masih tegas menyatakan Tuhan itu Esa? Kenapa Hindu masih menyebut agama monotheisme? Bahkan beberapa buku sejarah dan sosial menyebutkan Tuhan umat Hindu itu ada banyak. Berjalanlah ke desa-desa tua di Bali, tua dalam pengertian warga setempat mempertahankan tradisi dengan baik. Misalnya ke Desa Sembiran di Buleleng. Di sini pemujaan kepada leluhur mendapatkan tempat yang utama. Barangkali warga di sini tak perlu rumit dan ruwet mendefinisikan soal leluhur itu. Bagi mereka memuja leluhur sudah cukup untuk membuktikan bahwa mereka menjalankan ritual agama, tentu saja agama Hindu. Dengan hanya memuja leluhur, mereka tetap yakin sebagai bagian yang sah dari orang Bali, dan juga tidak ragu untuk menyebutkan agama mereka, yakni Hindu. Salahkah mereka yang hanya memuja leluhur? Perlukah kita mencibir mereka sebagai “terbelakang” atau “kurang paham ajaran agama” atau sebutan lainnya, yang mengesankan seolaholah kita lebih tahu masalah agama dibandingkan mereka? Jangan cepat-cepat melontarkan tuduhan seperti itu. Tradisi yang mereka pelihara dan mereka pertahankan itu pastilah dulunya ditanamkan dengan penuh keyakinan oleh leluhur mereka yang paham soal agama. Kalau sekarang kita melakukan “pengecekan” apakah penduduk desa kuno Sembiran itu menjalankan ritualnya sesuai kitab suci atau tidak (jangan bicara benar dan salah), banyak sekali sloka-sloka suci yang menyebutkan pemujaan kepada
C
172
C
leluhur. Saya ingin mengutip dari kitab suci Bhagawadgita, karena kitab ini paling banyak beredar dibandingkan Rg Weda. Tak perlu bahasa aslinya, cukup terjemahannya saja. Sloka VII-21 mengatakan, “apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama supaya tetap teguh dan sejahtra”. Sloka ini adalah kelanjutan dari penjelasan bagaimana jika umat menyelengarakan ritual untuk memuja dewata. Di sini jelas disebutkan bahwa perbedaan dalam melakukan pemujaan itu hasilnya sama saja menuju Aku (Tuhan Yang Esa). Pada sloka IX-25 disebutkan. “Yang memuja dewata pergi kepada dewata, kepada leluhur perginya yang memuja leluhur mereka, dan kepada roh alam perginya yang memuja roh alam, tetapi mereka yang memuja-Ku, datang kepada-Ku.” Ketiga bentuk pemujaan ini, baik kepada dewa-dewa, leluhur, maupun roh suci yang ada di alam, semuanya mendapatkan pahala. Semuanya bisa dibenarkan, namun Krisna mengajarkan jika umat memuja Tuhan secara langsung, itulah yang terbaik. “Yang terbaik” tidak harus diartikan itulah jalan satu-satunya. Apalagi diartikan itu jalan yang paling benar, sementara yang lainnya salah. Dalam kepercayaan Hindu, seseorang yang telah meninggal dunia, rohnya (atman) menyatu dengan Tuhan. Bukan seperti kepercayaan agama lain, “berada di sisi Tuhan”. Karena roh atau atman menyatu dengan Tuhan, mereka yang memuja leluhur otomatis memuja Tuhan juga. Ibarat pepatah, sambil berenang minum air, sambil memuja leluhur, kita memuja Tuhan. Dengan pemahaman seperti ini, tradisi warga Desa Sembiran yang mengutamakan pemujaan kepada leluhur bukanlah sesuatu yang salah. Yang penting adalah kita tahu di mana posisi kita berada dalam melakukan pemujaan, apakah itu kepada leluhur
C
173
C
(bethara), dewa, atau Tuhan. Leluhur menyatu dengan Tuhan, dewa adalah sinar sucinya Tuhan, jadi sesungguhnya obyek yang dipuja sama saja. Jika kita tidak ingin membuat persoalan jelimet, jangan bikin ruwet. Kalau kita mampu mencapai tingkat kesadaran spiritual yang lebih tinggi, dan didukung oleh sarana yang ada, lakukan hal itu. Namun, jangan mudah menyebutkan “jalan” orang lain itu salah. 8 Oktober 2004
C
174
C
Leluhur yang Mana
A
gama Hindu memberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk memuja leluhur. Hormat kepada leluhur adalah hormat kepada kawitan, hormat kepada orang yang telah melahirkan kita, melahirkan ayah dan ibu kita, melahirkan nenek dan kakek kita. Meski demikian dalam Bhagawadgita ada sloka yang menyebutkan, kalau kita memuja leluhur maka kita akan sampai ke alam leluhur, kalau kita memuja dewa akan menuju ke alam dewa, tetapi jika kita memuja Hyang Widhi maka kita akan menuju ke pada-Nya. Sloka ini menyebabkan ada penafsiran bahwa pemujaan kepada leluhur beda dengan pemujaan kepada Istadewata dan berbeda pula dengan pemujaan kepada Hyang Widhi. Perbedaan ini dipraktekkan nyata di luar Bali. Di Bali budaya lokal begitu kuat. Pemujaan kepada leluhur menjadi sangat dominan bahkan umat Hindu di Bali – terutama di masa lalu – lebih banyak memuja leluhur ketimbang memuja Hyang Widhi. Hanya belakangan setelah ritual keagamaan ditata dengan mendekatkan pada sastra agama, pemujaan kepada Hyang Widhi juga mendapatkan porsi penting. Caranya dengan
C
175
C
menggabungkan rangkaian pemujaan itu. Kalau kita mau kritis, cobalah dipertanyakan. Untuk memuja siapa kita datang bersusah payah ke Pura Dalem Sakenan? Memuja Tuhan atau memuja leluhur kita, Danghyang Nirartha, yang mewariskan pura itu? Untuk memuja siapa kita datang ke Pura Silayuksi, memuja Hyang Widhi atau memuja Mpu Kuturan? Pertanyaan ini bisa diteruskan dengan mengacu ke banyak pura. Pasti orang Bali akan bingung menjawabnya. Kalau dijawab memuja Tuhan, kenapa harus jauh? Di rumah juga bisa. Kalau dijawab memuja leluhur, rasanya belum memeluk agama, masih seperti sebelum 1959 di mana Hindu Bali disebut “kepercayaan”. Bagi yang paham perbedaan antara memuja leluhur dan Hyang Widhi, juga punya sikap berbeda tentang siapa yang dipuja lebih dulu. Contoh bagus menjelaskan hal ini adalah di Pura Besakih. Ada orang yang datang langsung ke Padma Tiga (simbol pemujaan kepada Tri Murthi atau Hyang Widhi), setelah itu baru menuju Pura Pedharman untuk memuja kawitannya. Alasannya, adalah Tuhan yang paling utama disembah, jangan yang lain. Tapi ada orang yang menuju Pura Pedharman lebih dulu, baru ke Padma Tiga. Alasannya, kita berbakti dulu kepada kawitan dan meminta restu Beliau sebelum memuja Hyang Widhi di Padma Tiga. Keduanya tidak bisa diperdebatkan karena kedua alasan ini ada rujukannya. Nah, persoalan yang tajam di Bali dan perkembangannya sangat mengkhawatirkan adalah tentang siapa leluhur yang kita puja. Banyak orang Bali yang belakangan ini bingung lalu mencari-cari kawitannya. Kebingungan yang sesungguhnya dibuat-buat, karena sebelumnya mereka sudah tenang dengan kawitan yang mereka puja itu. Namun karena ada masalah, entah ada keluarganya yang sakit atau apa, lalu mereka menemui “orang pintar” (balian) dan di sana bertanya siapa kawitannya.
C
176
C
Ini masalah keyakinan, tak bisa diperdebatkan memakai rujukan kitab suci, sastra agama, atau globalisasi. Ketika balian menyebutkan kawitan yang mereka puja selama ini salah, dan harusnya memuja kawitan yang lain, keluarga itu pun menyempal dengan keluarga besarnya. Jika tak ada kesepakatan maka keretakan keluarga muncul dari sini. Banyak kasus begini di Bali. Belum lagi persaingan antar soroh (klan) yang sesungguhnya bermuara kepada leluhur mana yang dipuja. Leluhur orang Bali itu sesungguhnya satu, ini ucapan yang sering dilontarkan Ida Pedanda Gede Puniatmaja ketika masih walaka (Ida Bagus Oka Puniatmaja). Leluhur yang satu itu menurunkan banyak orang. Lalu orang Bali mencari-cari leluhurnya yang pas untuk dirinya sendiri dengan berhenti pada satu nama (orang) leluhur. Misalnya, kami keturunan Arya Putih, dan berdasarkan babad, Arya Putih adalah pendeta, maka keturunan kami semuanya wangsa brahmana. Kamu keturunan Arya Hitam, menurut babad Arya Hitam selama hidupnya tidak melakukan dwijati, maka keturunannya bukan brahmana. Kemudian Arya Hitam dan Arya Putih punya anak, punya cucu, yang keahliannya berbeda-beda. Orang Bali lalu mematut-matutkan leluhur hanya pada seorang nama, entah itu Arya Hitam, Arya Putih, anak-anaknya, atau cucu-cucunya. Bukan leluhur pada satu kesatuan. Maka muncullah banyak wangsa atau soroh. Banyak pura kawitan dibangun. Fanatisme buta pada soroh membuat orang Bali pecah, yang merasa tinggi tak mau mebanjar jika ketua banjar dianggapnya rendah. Padahal siapa yang lebih tinggi dan lebih rendah, bukankah Arya Hitam dan Arya Putih termasuk anak dan cucunya datang dari satu kawitan? Konsep pemujaan leluhur dalam sastra Hindu adalah satu kesatuan, yang dipuja leluhur yang sudah meninggal dunia dan amoring achintya (istilah umumnya sudah diaben). Dari yang
C
177
C
paling rendah (ibu dan ayah) sampai pada kawitan yang paling luhur (utama), tanpa disekat-sekat nama. Karena itu dalam pelinggih rong dua atau rong tiga, kita menstanakan leluhur dengan sebutan purusa dan pradana, laki dan perempuan, bukan menyebut Men Lanying, Pekak Mokoh atau nama lain. Tidak ada lagi stana untuk nenek, kumpi, buyut, arya ini arya itu, mpu ini mpu itu, danghyang ini danghyang itu. Semuanya adalah leluhur. Pemujaan leluhur atau bhakti kepada kawitan intinya adalah persaudaraan dan kekerabatan. Semua manusia bersaudara, Bhagawadgita menyebutkan: Lokasamgraham eva ‘pi. 10 Desember 2005
C
178
C
Sejarah yang Ruwet
S
ejarah Bali adalah cerita yang menarik. Penuh ritme, intrik, pergolakan, perang, perebutan kekuasaan. Di selasela itu ada loyalitas kepada pimpinan yang luar biasa. Juga heroisme yang menggebu-gebu sehingga terjadi apa yang disebut “puputan”. Kata ini begitu populer, tetapi tak dikenal di daerah lain. Yang jadi pertanyaan, apakah seluruh orang Bali tahu sejarah pulaunya ini secara runtut? Ini tentu saja mustahil. Kalau mustahil, apakah ada buku sejarah Bali yang runtut? Ini juga tidak. Sejarah Bali tersebar di berbagai buku dan itu pun meloncat-loncat tergantung buku apa. Tidak semuanya berlabel buku sejarah. Ada buku mengenai PuraTanah Lot, tetapi isinya syarat dengan sejarah perjalanan Danghyang Nirartha. Ada buku tentang Pura Besakih, di situ ada sekelumit sejarah Rsi Markendya. Ada buku tentang Pemda Buleleng dan di sana bisa dibaca sejarah Puputan Jagaraga. Belum lagi buku pariwisata yang memuat sejarah yang terpenggal-penggal mengenai obyek wisata itu. Puputan Badung, perang yang begitu dasyat, ditulis dengan berbagai cara. Ada yang melalui tembang, dilakukan Bapak Alit
C
179
C
Konta, kini almarhum. Ada yang menulis dengan pendekatan sejarah murni oleh Bapak Rai Mirsa. Masih ada beberapa versi lagi. Penulis babad terkenal yang kini sudah tiada, Jero Mangku Ketut Subandi, punya kebiasaan dalam menulis babad, apapun judulnya, selalu memulainya dari keadaan Bali yang sunyi dan labil. Karena labilnya, Pulau Bali terombang-ambing di lautan. Maka, Hyang Pasupati memotong Gunung Semeru di Jawa Timur untuk ditancapkan di Bali. Bali pun menjadi tenang dan gunung yang dibawa ke Bali dinamai Gunung Agung. Ada banyak kisah babad mengenai Bali yang dimulai dari perjalanan seorang resi dari tanah Jawa. Agar perjalanannya tidak diikuti para bromocorah, maka resi itu menggoreskan tongkatnya membuat garis dan menjadilah itu Segara Rupet yang kemudian dikenal dengan Selat Bali. Pulau Jawa dan Bali yang dulu menyatu, sejak itu dipisahkan oleh laut. Kalau buku sejarah ditulis dengan pendekatan dongeng dan dijadikan bahan pelajaran di sekolah, siapa yang percaya saat ini? Kalau memang benar Bali dan Jawa dulu menyatu, satu-satunya teori yang bisa dipercaya untuk menjelaskan hal ini adalah mencairnya es pada ribuan tahun yang lalu. Itu pun kalau memang ada data sejarahnya. Ketika saya di SD (dulu SR, Sekolah Rakyat) ada mata pelajaran yang namanya “membaca”. Isinya macam-macam, namanya saja membaca. Salah satu yang dibaca adalah kisah tentang Maya Denawa. Tak jelas sesungguhnya, buku itu bercerita tentang dongeng atau sejarah. Demikian melekat kisah itu dibenak saya sehingga saya pun menganggapnya sebagai bagian dari sejarah Bali, apalagi ada tempat-tempat yang bisa dijadikan bukti dari sejarah itu. Sampai saya menginjak remaja dan giat berkesenian, kisah itu sering saya angkat sebagai cerita drama gong, dan Maya
C
180
C
Denawa selalu dianggap raja laki-laki yang sangat sakti, ia hanya kalah oleh Dewa Wisnu dan Dewa Indra. Tak pernah bisa dijelaskan siapa Maya Denawa itu dan siapa pula Dewa Wisnu dan Dewa Indra itu. Baru beberapa tahun yang lalu saya ketemu catatan kepustakaan, ternyata Maya Denawa adalah wanita yang menjadi raja (ratu) di Batur dengan nama Sri Ratu Ugrasena. Adapun yang disebut Dewa Wisnu adalah raja yang bertahta di Besakih yang bergelar Sri Kesari Warmadewa, dan Dewa Indra adalah panglima perangnya. Perang kedua kerajaan itulah diabadikan dalam mitologi yang menggunakan simbol-simbol. Raja yang jahat disebut Maya Denawa (raksasa yang sakti bisa menghilang) sedang raja yang baik prilakunya disebut titisan Dewa Wisnu. Siapa yang membuat simbol-simbol ini pada awalnya? Tentulah para “penulis sejarah” yang bercerita dengan segala keterbatasan sarana dan berbilang tahun kemudian “sejarah” ini didramatisir terus-menerus. Pertanyaan sekarang, tidak adakah ahli-ahli sejarah yang mencoba merangkaikan kisah seperti ini sehingga ia tidak berhenti menjadi sebuah legenda? Penulis babad Nyoman Djoni Gingsir sekarang sedang menyiapkan buku tentang Mitologi Galungan dengan memperjelas kedudukan legenda Maya Denawa ini dan ia menelusuri leluhur Sri Ratu Ugrasena dan leluhur Sri Kesari Warmadewa. Saya salut atas usaha itu, tetapi saya pun meragukan nilai sejarahnya seratus persen karena buku ini niat awalnya bukan untuk memperjelas sejarah Bali pada abad IX, tetapi menulis tentang asal-usul Galungan. Ruwetnya penulisan sejarah “Bali Kuno” karena bercampur antara fakta dan legenda. Ini membuat generasi muda Bali tak serius membaca sejarah Bali. Celakanya, sejarah “Bali Moderen” pun mereka jadi tak berminat. Banyak anak muda Bali yang tidak jelas, apakah pahlawan nasional I Gusti Ngurah
C
181
C
Rai bertempur untuk perang kemerdekaan atau membela kemerdekaan. Padahal di situlah sisi heroiknya, Ngurah Rai tak mau melakukan diplomasi, tugasnya hanya berperang. Sungguh merisaukan jika kita di Bali punya lembaga Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional tetapi tidak ada upaya untuk menyusun sejarah Bali yang lebih runtut dan diterima akal sehat. Apalagi kalau pelajaran sejarah itu tidak diperkenalkan di bangku sekolah, mau dibawa ke mana generasi muda Bali? 6 November 2004
C
182
C
Wayang dan Mahabharata
J
ika kita bertanya, wayang itu milik siapa? Maka jawabannya akan beragam, tergantung kepada siapa dan di mana pertanyaan itu disampaikan. Di luar negeri orang akan menyebutkan wayang itu budaya Jawa. Alasannya, wayang masih tetap hidup di Jawa, baik itu wayang kulit maupun wayang orang. Buku-buku tentang wayang semuanya tentang wayang kulit Jawa. Pementasan di televisi secara nasional juga wayang kulit Jawa. Kalau ada pejabat yang hadir secara formal menonton wayang kulit, maka itu pun peristiwanya hanya ada di Jawa. Namun, kalau kita bertanya di kalangan suku Sunda, baik di Jawa Barat maupun di Banten, milik siapakah wayang itu? Mereka akan menjawab milik orang Sunda karena mereka hanya mengenal wayang golek. Pertunjukan wayang golek masih tetap semarak di kalangan masyarakat Sunda. Begitu pula kalau kita bertanya ke Bali, milik siapakah wayang itu? Jawabnya milik orang Bali. Meski pementasan wayang sudah tak banyak dan VCD wayang kulit Bali isinya sangat dangkal dari sisi cerita, orang Bali masih memiliki kes-
C
183
C
enian wayang kulit itu. Sekarang kalau pertanyaan kita lebarkan. Milik siapakah ephos Mahabharata dan Ramayana yang biasa dijadikan cerita wayang? Umat Hindu umumnya menjawab, kedua kitab itu milik umat Hindu, karena keduanya menjadi Ithiasa. Di dalam ephos Mahabharata-lah lahir dialog antara Krisna dan Arjuna yang terkenal dengan Bhagawadgita. Bahkan banyak sekali umat Hindu yang begitu percaya akan kebenaran sejarah Mahabharata sebagai sesuatu yang fakta. Tempat-tempat yang kini disebut peninggalan jaman Mahabharata menjadi tempat kunjungan suci di India. Mereka yang melakukan perjalanan tirthayatra ke India pasti mengunjungi peninggalan sejarah itu. Namun, para penggemar wayang kulit di Jawa, termasuk para dalangnya, hampir tak pernah menyebutkan Mahabharata sebagai milik Hindu, apalagi kalau dikatakan cerita yang benarbenar fakta. Bagi mereka ini adalah karya sastra yang universal, walau mereka mengakuinya sumbernya dari India. Salah satu alasan yang mereka pakai bahwa Mahabharata sebuah kitab universal karena kisah ini dikenal oleh banyak penduduk dunia. Kitab Bhagawadgita pun dipelajari oleh berbagai umat di Indonesia. Komik Mahabharata yang paling lengkap dibuat oleh orang yang bukan dari Bali dan bukan Hindu, yakni Kosasih. Terjemahan Bhagawadgita yang pertama juga bukan dari kalangan umat Hindu, tetapi konon penyair Sanusi Pane. Alasan lain yang digunakan oleh Ki Dalang dari Jawa untuk membantah Mahabharata hanya milik umat Hindu adalah, mereka tak pernah mendengar Ki Dalang di Bali dan masyarakat Bali menonton pementasan wayang kulit semalam suntuk yang membeber pesan-pesan moral dalam kitab Mahabharata. Kalau ada hajatan resmi secara nasional yang menanggap wayang kulit, pejabat itu umumnya bukan orang Hindu dan wayang yang digunakan juga bukan wayang Bali. Ada bahkan dengan sedikit
C
184
C
bergurau berkata: “Apa ya Mahabharata itu milik umat Hindu, kalau ya, pelihara dong oleh umat Hindu, kenapa pementasan wayang kulit di Bali hanya beberapa jam saja dan hanya berisi lelucon, jangan-jangan Ki Dalang Bali tak mengenal dengan baik Mahabharata.” Saya sendiri sering mendengar obrolan begini, baik dari Ki Dalang yang senior maupun Ki Dalang muda yang gambleng seperti Sujiwo Tejo yang bekas wartawan Kompas. Bahkan bagi mereka, dewa-dewa seperti Wisnu, Narada, dan sebagainya bukan cuma milik Hindu, karena mereka sendiri sering memainkannya kalau mendalang. Jadi, mereka memang merasa aneh, kalau tiba-tiba Dewa Wisnu harus diberikan label yang baku dalam idiom Hindu, padahal bagi budaya Jawa, idiom dan simbol-simbol Dewa Wisnu itu bisa saja berbeda. Kalau Hindu punya simbol baku tentang Dewa Wisnu, ya, silakan dipakai, tetapi kalau di Jawa punya simbol yang berbeda, ya bisa dipakai pula. Apalagi kalau hanya menyebutkan dewa tanpa diikuti nama khas. Tak bisa orang Hindu marah-marah kalau orang Jawa bilang ada dewa suka berpesta-pora, karena istilah dewa ada di mana-mana, bahkan dalam masyarakat Yunani Kuno, dewa begitu banyaknya. Apa yang bisa dipetik dari pernyataan di atas adalah kita harus berhati-hati melakukan klaim terhadap sesuatu yang universal. Saya sendiri tak pernah mengatakan bahwa Bhagawadgita hanya milik umat Hindu, karena saya tahu kitab itu dipelajari oleh begitu banyak orang. Di Indonesia saja, pemimpin kita dari Soekarno sampai Susilo Bambang Yudhoyono membaca Bhagawadgita. Tetapi untuk pegangan ke dalam umat, apalagi ke pribadi, saya yakin bahwa Bhagawadgita adalah ajaran untuk umat Hindu, karena itu Bhagawadgita disebut juga Pancamoweda, Weda yang kelima. Kemudian soal wayang, betul sekali kita kalah dengan sauda-
C
185
C
ra-saudara kita di Jawa. Di tanah Jawa, meski tidak semuanya bagus, Ki Dalang tetap lancar memaparkan keindahan pesan dari Mahabharata. Kalau pun mereka membuat “carangan” (cerita agak menyimpang dari babon) tidak terlalu mengada-ada dan tetap mengutamakan pesan moral yang adiluhung. Sementara di Bali, dalangnya hanya bisa membuat lelucon. Kalau dalang Bali bikin cerita “carangan” bahkan jauh sekali menyimpang, misalnya, tualen dari caru… Namun masih untung kita di Bali punya kekawin yang berkisah tentang Ramayana maupun cuplikan dari Mahabharata yang bisa kita ulas dalam kegiatan pesantian. Kalau tidak ada itu, kita bisa malu sekali, kita menyebut Mahabharata milik Hindu sementara komik, buku, film, wayang yang memakai kisah Mahabharata semuanya karya-karya umat non-Hindu. September 2004
C
186
C
Menjadi Panutan
K
ali Yuga, kata orang, adalah zaman di mana nilai moral terjungkir balik. Tapi, bukankah Kali Yuga itu sudah berlangsung berabad-abad yang lalu? Kenapa baru belakangan ini terjungkir balik, kenapa tidak dari dulu? Pertanyaan ini datang dari seorang penganut Hindu etnis Dayak ketika saya memberikan dharmatula di Pontianak, beberapa hari yang lalu. Saya katakan, meski zaman Kali itu buruk, tidak berarti tidak ada yang baik. Hanya saja kalau diprosentase seluruh baik dan buruk dalam sepanjang Kali Yuga, keburukan yang lebih dominan. Apalagi menjelang peralihan zaman, yang diyakini sedang kita lalui saat ini, adalah klimak dari sifat Kali. Kalau benar ini puncak dari keburukan Kali Yuga, maka yuga akan berganti dengan munculnya gerakan kesadaran baru. Masalahnya, bagaimana kita menghindar dari klimak keburukan Kali Yuga? Sesuatu yang sulit, tetapi bukan suatu hal yang tak bisa kita hindari. Salah satu cara adalah menegakkan nilai-nilai moral. Tak usah terlalu menggebu-gebu untuk menegakkan nilai moral bangsa, karena kita bukan Menteri Kebudayaan. Juga jangan berambisi menegakkan moral untuk
C
187
C
komunitas yang lebih luas, karena kita bukan gubernur, bupati, atau pemimpin umat. Kalau itu bisa kita lakukan dan posisi kita memang di situ, ya, tentu saja baik. Tetapi menegakkan nilai moral yang sangat penting adalah dari lingkungan yang terkecil, yakni keluarga. Orangtua harus bisa menanamkan moral yang baik kepada anak-anaknya. Orangtua harus bisa mejadi panutan dari anak-anaknya. Kalau moral dalam keluarga baik, dan banyak orang melakukan hal itu, maka lingkungan yang lebih luas akan baik pula moralnya. Pamer kemewahan, pamer kekayaan, pamer pengetahuan, dan segala kecongkakan lainnya memang sudah gentayangan tanpa diimbangi nilai moral. Seorang ibu membanggakan anaknya: “Anakku pinter sekali, matematika dapat nilai sepuluh, selalu ranking satu di kelasnya.” Tetapi apakah anaknya dibekali nilai moral yang universal? Sang anak membuang sampah seenaknya di dalam rumah. Makan sembarangan, kadang sambil duduk di depan televisi memainkan play station, kadang sambil berteriak-teriak kepada pembantu rumah tangganya. Tidak ada kesopanan apapun yang ditanamkan kepada anak itu. Sang ibu juga tak ambil pusing, toh ada pembantu yang akan membereskan kebersihan rumah. Akan menjadi apa anak itu di kemudian hari? Dia akan menjadi orang yang tidak peduli terhadap lingkungan sosial. Dia memang tetap pinter, tetapi mungkin akan menjadi koruptor kalau dia menjabat, karena sejak kecil diperkenalkan dengan budaya mewah dan gampang cari uang. Akan menjadi pemimpin yang hanya bisa memerintah, karena sejak kecil memerintah pembantu rumah tangga keluarganya. Akan tumpul nuraninya karena tidak pernah menghargai setiap kehidupan. Kalau ada konflik akan dihadapi dengan kekerasan, karena tidak terbiasa berdialog. Mari kita lihat masyarakat Jepang. Saya agak kaget sekarang
C
188
C
karena Jepang sudah membuka diri begitu luas kepada masyarakat luar. Dua puluh tahun yang lalu, penunjuk jalan dan berbagai informasi masih sangat minim menggunakan ejaan latin dan bahasa Inggris. Jepang sangat konsisten mempertahankan budaya tradisionalnya, termasuk bahasa. Saat ini, dalam hal bahasa, mereka sudah membuka diri karena globalisasi mengharuskan terjadinya interaksi dan kita hidup dalam satu planet bumi. Tapi, ada yang tetap mereka pertahankan: nilai moral. Nilai-nilai lama yang membuat bangsa ini menjadi terhormat. Datanglah ke pedesaan Jepang, anak-anak makan dengan tertib, tak ada yang berdiri, apalagi berlari. Anak begitu hormat kepada orangtuanya, setiap pergi pasti pamit, dan orangtua tahu ke mana anaknya pergi. Orang Bali di masa lalu pun seperti itu. Nilai moral yang ditanamkan orangtua kepada anaknya luar biasa, meskipun dibalut dengan simbul-simbul. Makan harus tertib, tak boleh ada sisa nasi di piring, agar membiasakan diri untuk menghargai makanan. Tak boleh menduduki bantal, karena bantal adalah sandaran untuk kepala, agar mereka tahu apa yang harus dihormati. Kalau tidur, kepala di arah gunung atau arah matahari terbit, supaya tahu bahwa gunung dan terbitnya matahari adalah lambang kesucian, ke arah itulah kita melakukan persembahyangan. Sekarang hal itu dianggap kuno. Itu juga karena kita salah menanamkan nilai moral yang masih menggunakan simbol, pada saat pendidikan membaik. “Jangan menduduki bantal, nanti bisulan.” Anak-anak zaman sekarang tentu tertawa, apa hubungan bantal dengan bisul? Akhirnya mereka menganggap pesan moral leluhur orang Bali di masa lalu semuanya takhayul. Padahal inti dari pesan itu tetap universal, bagaimana kita memfungsikan sebuah benda pada kegunaannya. Jadilah tokoh panutan dalam lingkungan terkecil, mulai dari
C
189
C
keluarga, meningkat ke lingkungan banjar, lalu ke desa, dan boleh diteruskan ke lingkungan organisasi atau pemerintahan. Syarat seorang panutan adalah satunya kata dengan tindakan, satya wacana, konsisten, punya integritas, wawasan luas dan tidak terjebak pada kelompok sempit. Sekarang ini banyak pemimpin yang suka berceramah tentang moral, banyak agamawan yang memberi dharma wacana, tetapi mereka belum tentu menjadi tokoh panutan, karena prilaku dalam keseharian sangat menyimpang dari apa yang mereka ceramahkan. Ini juga termasuk ciri buruk manusia di Kali Yuga. 2 April 2004
C
190
C
Kali Yuga
K
apankah Kali Yuga dimulai? Kitab-kitab Weda, setahu saya, tak pernah memerinci. Mungkin ada yang menjelaskan hal itu, tapi saya belum menemukan setelah membolak-baliknya. Maklum, yang bernama Kitab Weda, tak seluruhnya ada di Nusantara ini, masih banyak yang “tersembunyi” di India. Dimulainya zaman Kali, berdasarkan dugaan semata-mata. Dugaan ini tentu berdasarkan tafsir dari beberapa kitab, dan seperti halnya tafsir, orang bebas untuk tidak sepakat. Ada yang bilang, Kali Yuga dimulai pada hari kesepuluh Perang Bharatayuda. Nah kapan itu persisnya? Tak ada seorang pun yang bisa menghitung dengan tepat, karena adanya perubahan sistem kalender. Kalau sejarah Mahabharata saja tak bisa diungkap persis tahunnya, bagaimana menghitung hari kesepuluh Perang Bharatayuda? Ada yang menyebutkan Kali Yuga dimulai pada penobatan Raja Parikesit. Penafsiran ini lebih banyak muncul di Jawa, karena tokoh Parikesit lebih hidup di Jawa. Jarang sekali wayang kulit Bali sampai melakonkan era Parikesit, “kurang meriah”
C
191
C
karena tokoh-tokoh leluhur Parikesit seperti Panca Pandawa sudah hilang. Jadi, Kali Yuga adalah zaman yang tergelap dari zaman (yuga) yang lainnya, sekaligus kita sendiri sebenarnya tak mampu untuk menjawab pertanyaan yang mendasar tadi: kapan zaman itu dimulai dan kapan zaman itu berakhir? Kemampuan berpikir manusia sudah dibatasi oleh Sang Pencipta, apalagi pergantian zaman dalam ajaran Hindu sesungguhnya sangat sulit untuk dipastikan. Ini rahasia Tuhan, mau apa lagi makhluk manusia yang lemah ini? Ada empat Yuga disebutkan dalam kitab-kitab Weda. Satya Yuga adalah zaman yang paling baik, menyusul Treta Yuga, Dvara Yuga dan terakhir Kali Yuga. Umur masing-masing Yuga ribuan tahun, bahkan Satya Yuga berumur 1,8 juta tahun. Apa ini bisa dibayangkan oleh manusia-manusia zaman globalisasi? Pergantian Yuga dicirikan oleh sejauh mana empat tiang penyangga dharma itu kokoh. Empat tiang penyangga dharma itu adalah pengendalian diri (tapah), kesucian (saucam), sifat karunia (daya) dan kejujuran (satyam). Di zaman Satya, keempat tiang penyangga dharma ini kokoh kuat, di zaman Treta mulai berkurang, di zaman Dvara mulai keropos, di zaman Kali sudah ambruk. Inilah zaman terburuk dalam sejarah waktu yang tak terbayangkan oleh kemampuan berpikir manusia, sudah ribuan tahun berjalan. Kalau demikian halnya, kenapa baru belakangan ini – katakanlah sepuluh tahun terakhir – orang ribut menyebutkan Kali Yuga? Kenapa kejelekan Kali Yuga baru diumbar sekarang ini, bukankah di zaman keemasan Kerajaan Majapahit, zaman Kali itu sudah berlangsung atau di masa pemerintahan Dalem Waturenggong, zaman Kali sudah ada? Kenapa Mpu Kuturan dan Danghyang Nirartha yang menata kehidupan agama Hindu di Bali tak pernah menyebut-nyebut Kali Yuga?
C
192
C
Sekarang ini apa pun dikaitkan dengan Kali Yuga. Anggota DPRD meceki saat pulang kampung, ah, itu zaman Kali. Pegawai Departemen Agama korupsi, ah, itu zaman Kali. Bupati menerima honor dari Bank Pembangunan Daerah (memang apa urusan bupati dengan bank?) dikaitkan dengan Kali Yuga. Orang mabuk, orang membuang bayi di got, tawuran antar banjar, bertengkar soal kuburan, sulinggih yang gemar membuat “proposal caru”, semuanya dikaitkan dengan Kali Yuga. Dua puluh tahun yang lalu, misalnya, kenapa Bali bisa lebih aman, tak ada mayat digeletakkan di jalanan, tak ada Parisada pecah dua, jarang orang mabuk, tak ada ledakan bom. Bukankah itu juga zaman Kali? Karena itu, yang salah bukan zaman Kali, yang jadi “kambing hitam” bukan Kali Yuga, tetapi memang mutu manusia semakin merosot karena kurang baik menyelaraskan diri dengan alam. Dulu orang-orang masih taat pada Tri Kaya Parisudha. Sekali bicara menolak PLTP Bedugul, seterusnya akan menolak, bukannya berbalik “setuju asal tidak diperluas”. Dulu orangorang masih taat pada Tri Hita Karana, sungai punya wilayah bebas yang disebut telajakan, sekarang pinggir sungai sudah dibangun villa. Dulu konsep Tri Sadaka betul-betul berdasarkan paham, sekarang dibelokkan ke klan/soroh. Dulu Tri Kahyangan dibangun dengan konsep menyatukan desa pekraman, sekarang Tri Kahyangan diperebutkan untuk memecah desa pekraman. Pokoknya segala Tri-Tri tadi sudah diobrak-abrik oleh orang Bali. Kenapa Kali Yuga dibawa-bawa, bukankah Kali Yuga sudah berumur ribuan tahun? Nah, sejatinya yang terjadi adalah orang-orang masa kini kurang bisa mengendalikan diri, sedangkan di masa lalu pengendalian diri itu sangat kuat. Maka mulailah berlatih mengendalikan diri. Lakukan pengendalian lidah, jangan bicara yang tak perlu, termasuk memberi janji-janji yang tak mungkin ditepati.
C
193
C
Dalam ajaran Dasa Niyama Brata ada monabrata, pengendalian ucapan. Jika perlu “puasa bicara” kalau memang tak paham masalahnya. Sering-sering menyebut nama suci Tuhan. Kalau jadi anggota DPRD, ketika menerima tunjangan perumahan lebih banyak dari gaji, sebut nama suci Tuhan. Tuhan akan “menjawab” dari dalam hati, uang itu tidak layak, kembalikan. Jika tetap diterima, larinya keluar dari jalur dharma. Dulu orang Bali rajin melakukan tapa, meditasi, perenungan dan sebagainya. Itu sebenarnya ajaran yoga dengan berbagai cabangnya, yang berfungsi mengendalian diri. Ini yang mesti ditiru dan ditularkan, bukannya bersikap masa bodoh lalu berkata-kata: “ah, sudahlah, ini kan Kali Yuga”. Memangnya Kali Yuga baru kemarin sore? 8 April 2006
C
194
C
Hindu dan Judi
P
ada tahun 1986, saya meluncurkan buku Menggugat Bali, sebuah reportase bergaya feature tentang perjalanan budaya Bali. Salah satu babnya adalah tentang perjudian, dengan ulasan panjang pada sabungan ayam (tajen). Inilah bagian yang paling sering dikutip para peneliti dan penulis asing. Kenapa? Karena sabungan ayam itu ada juga di Jawa, Sumatra, Sulawesi dan bahkan di pedalaman Kalimantan, tetapi tak ada seunik di Bali. Apakah itu mengenai aturan mengadu ayam, sistem taruhan, atau penyiksaan yang luar biasa terhadap ayam yang kalah dalam aduan. Ada satu alasan lagi kenapa bab itu yang paling diminati para peneliti tajen. Perjudian lokal yang khas ini dikait-kaitkan dengan ajaran Hindu, mesti itu salah kaprah, yakni tabuh rah. Lalu, judi lokal yang memasyarakat ini diduga bakalan lenyap setelah pemerintah melahirkan UU Anti Judi pada 1 April 1981. Kabangkitan Hindu di Nusantara juga akan menghilangkan secara berangsur-angsur “budaya tajen”, karena tajen sebagai judi memang dilarang dalam ajaran Hindu. Belum lagi menyiksa binatang yang bisa digolongkan dalam himsa karma, perbuatan
C
195
C
yang sangat nista. Tanda-tanda tajen akan hilang memang meyakinkan. Balai wantilan yang ada di desa-desa mulai berubah bentuknya. Dulu, panggung pendek itu ada di tengah-tengah, dan itulah arena sabungan ayam. Perubahan terjadi, panggung dibangun di salah satu arah dan dibuat tinggi, dan itulah panggung kesenian. Nama wantilan lama-lama juga diganti menjadi arena. Polisi di Bali juga sering kali menggrebek tajen liar, sehingga para bebotoh pergi ke hutan-hutan untuk menyabung ayam, dikenal dengan istilah branangan. Namun, setelah reformasi bergulir 1999, ternyata tajen tetap ada dan semakin subur. Tentu saja tajen tanpa izin. Tajen dengan izin lumrah terjadi sebelum adanya UU Anti Judi. Kebangkitan Hindu memang tejadi. Di mana-mana berdiri kelompok spiritual, pusat-pusat kajian Weda terbentuk, Hindu Centre ramai didirikan, masyarakat semakin gairah melaksanakan ritual. Kidung, bhajan dan telaah buku agama marak dilakukan. Kitab suci Hindu banyak diterjemahkan. Pemda Bali bersama Kanwil Departemen Agama Bali membukukan hasil Seminar Kesatuan Tafsir yang antara lain ada mengenai tajen. Di situ jelas disebutkan, tajen tidak ada hubungannya dengan tabuh rah, dan tajen adalah judi. Namun semua itu bertolak belakang dengan keadaan yang nyata dalam masyarakat, tajen justru hidup dengan subur lagi setelah era reformasi. Apa yang terjadi? UU Anti Judi tak pernah dicabut. Yang terjadi adalah rakyat merasa bebas keblablasan melakukan setiap aksi, termasuk aksi metajen. Polisi jadi takut, dan justru rakyat semakin berani melawan polisi. Kalau mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa saja berani melawan polisi, kenapa para bebotoh yang biasanya memegang taji (senjata kecil tajam untuk ayam) takut pada polisi? Nah, inilah yang tedadi sehingga tajen pun seperti didiamkan saja. Situasi yang terjadi kembali ke era
C
196
C
sebelum 1981, di mana ada penggalian dana dari menyelenggarakan tajen ini. Bahkan penggalian dana untuk perbaikan pura dilakukan dengan mengadakan tajen. Ironis sekali. Bom Kuta meledak bulan November 2002. Tapi itu tak ada hubungannya dengan tajen. Itu terorisme dengan sentimen keagamaan. Namun, banyak orang kemudian membuat annlisa, jika perjudian terus berkembang di Bali tanpa kendali, tak mustahil suatu saat sentimen agama akan ikut menertibkan judi ini. Bagaimana kalau sentimen agama itu datangnya dari luar Hindu dan luar Bali? Di Jawa muncul gerakan memberantas judi dengan kedok agama, misalnya, dilakukan oleh Front Pembela Islam. Kalau mereka datang ke Bali dengan niat memberantas judi, apakah itu mustahil? Sebagian orang menganggap mustahil dan sebagian orang menganggap: bisa saja terjadi. Karena mereka bisa berdalih melindungi umat Islam yang ada di Bali, melindungi kawasan masjid yang banyak terdapat di Bali. Analisa ini memang sedikit mencemaskan, apalagi gerakan pendatang yang masuk ke Bali tak bisa dibendung, begitu pula pendirian tempat ibadah non-Hindu semakin banyak. Maka muncullah Gerakan Anti Tajen (Genta) di Bali yang dipelopori anggota Kelompok Diskusi Hindu Dharma Net, says salah satunya. Tujuan gerakan ini tak begitu muluk untuk menghapuskan tajen. Lebih banyak tujuannya untuk memberikan opini, bahwa eksponen masyarakat Hindu di Bali tidak semuanya “membiarkan tajen”. Ada banyak yang menentang tajen, salah satunya adalah Genta. Jadi, jangan mengundang pihak luar untuk menertibkan tajen dengan cara kekerasan, biarlah masyarakat Bali sendiri yang menertibkan judi ini. Sayang, gerakan ini tak mendapat sambutan dari masyarakat dan para pejabat. Tajen malah terjadi di Pura Dalem yang berada dalam komplek Pusat Pemerintahan di Renon dan hanya
C
197
C
beberapa meter dari kantor Kanwil Departemen Agama. Sangat mencolok dan sangat menghina ajaran Hindu. Kecemasan akan maraknya tajen ini akhirnya masuk dalam sidang-sidang Pesamuan Agung Parisada di Mataram, NTB, pada November 2003. Peserta mendesak agar Parisada mengeluarkan bhisama mengenai larangan tajen. Namun, ada kompromi, bhisama bukan tentang tajen tetapi tentang tabuh rah. Alasannya, urusan apa Parisada dengan judi, bukankah judi tak ada dalam ajaran Hindu? Bhisama dikeluarkan hanya ada untuk urusan agama. Says termasuk yang setuju dengan pendapat itu, toh inti dari bhisama itu sama saja, hanya judulnya yang beda. Sayang sekali, bhisama ini pun tidak tersosialisasikan dengan baik. Tajen tetap marak. Dan Made Mangku Pastika akhirnya diangkat menjadi Kapolda Bali. Sebagai orang yang besar di luar Bali dan tahu persis bagaimana tajen itu menjadi ikon buruk boat Bali, beliau pun melakukan gebrakan untuk melawan tajen, juga judi judi lainnya. Kini, semangat Mangku Pastika dilecut lagi dengan diangkatnya Jenderal Sutanto sebagai Kapolri, yang kebetulan sangat anti judi. Tak ada cara lain bagi umat Hindu di mana saja, kecuali mendukung gerakan anti judi secara nasional. Ini adalah momentum untuk menyelamatkan agama Hindu di Nusantara, khususnya Bali. Agustus 2005
C
198
C
Kepemimpinan Hindu
P
emimpin baru akan segera lahir di Bali dengan cara dipilih langsung oleh rakyat. Juni nanti, masyarakat di Kabupaten Tabanan, Badung, Bangli dan Karangasem akan memilih siapa yang menjadi bupati. Untuk Kodya Denpasar juga dilangsungkan pemilihan Walikota. Mestinya pemilihan ini mengasyikkan, bisa jadi pesta rakyat. Meskipun orang Bali sudah biasa memilih langsung kelihan adat dan kepala desa, tetapi untuk memilih bupati secara langsung belum punya pengalaman. Para calon sudah mendaftarkan diri. Ada muka lama, ada muka baru, ada yang bahkan masih menjabat. Saya kenal beberapa calon bupati itu, bahkan saya pernah diundang khusus untuk memberi masukan masalah agama dan budaya, tapi sungguh aneh bahwa saya tak mengenal calon bupati dan wakilnya dari wilayah saya sendiri, Kabupaten Tabanan. Karena itu saya sulit menjawab pertanyaan warga desa, siapa yang akan dipilih pada Pilkada nanti. Lagi pula, apakah pertanyaan itu perlu saya jawab? Toh masyarakat sudah mulai pintar. Ada yang memilih karena diberi uang untuk beli arak dan mabuk-mabukan di
C
199
C
posko, ada yang memilih karena takut diintimidasi oleh para “kader”, ada yang memilih karena memang melihat prestasi para calon tanpa takut tekanan apapun. Pemilih terakhir ini boleh disebut pemilih cerdas. Salah satu yang diharapkan para pemilih cerdas adalah bupati dan wakilnya nanti tahu dan paham masalah agama dan adat. Ukurannya bukan seberapa banyak mereka menyumbang untuk pembangunan pura dan seberapa sering mereka bersembahyang ke pura. Tetapi bagaimana moralnya, bagaimana kepeduliannya terhadap masa depan Hindu, dan bagaimana gaya kepemimpinannya membawa umat Hindu menjadi umat yang berkualitas di masa depan. Secara sederhana adalah sebuah pertanyaan, apakah bupati dan walikota baru nanti bisa menerapkan kepemimpinan Hindu atau tidak? Jangan menganggap enteng masyarakat pedesaan saat ini. Mereka tahu kepemimpinan Hindu karena mereka seringkali membahas masalah itu ketika membaca Kekawin Ramayana. Dalam kekawin itu ada wejangan Rama kepada Wibisana bagaimana pemimpin yang baik, dikenal dengan ajaran Asta Brata. Kata Asta Brata sendiri berarti delapan kewajiban yang dipegang teguh oleh seorang pemimpin. Tradisi umat Hindu di Bali mempelajari agama adalah melalui Ithiasa. Ramayana dan Mahabharata merupakan kitab Ithiasa yang paling banyak dibaca. Namun, kalau belajar agama langsung ke kitab-kitab suci, ajaran Asta Brata ini sumbernya ada di Kitab Manawa Dharmasastra. Betapa rincinya diatur di sana, bagaimana seorang pemimpin harus melaksanakan kewajibannya dengan meniru sifat-sifat alam. Kitab Rgveda dan Yayurveda juga banyak memuat sloka tentang kepemimpinan. Tetapi berapa banyakkah umat Hindu yang memiliki kitab-kitab Weda, meskipun saat ini kedua kitab itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Apalagi di
C
200
C
masa lalu saat terbatasnya sarana. Menyiasati hal itu, Ki Patih Gajah Mada, seorang intelektual Hindu di Kerajaan Majapahit, merumuskan kepemimpinan Hindu yang digali dari kitab suci dengan sebutan Asta Dasa Pramiteng Prabu. Dari 18 sifat-sifat kepemimpinan ini, 15 di antaranya dimuat dalam Negara Kertagama, sebuah naskah yang dijadikan pedoman dasar dalam menjalankan kerajaan. Sangat menarik mengupas ciri-ciri kepemimpinan Hindu itu jika diterapkan pada masa kini, apalagi kalau dipakai tolok ukur untuk menentukan pemilihan bupati dan walikota di bulan Juni nanti. Akan membutuhkan uraian panjang dan tidak cukup dengan tulisan yang singkat seperti ini. Katakanlah kita mengupas Asta Brata point satu, yakni Indra Brata. Di situ disebutkan, seorang pemimpin harus meningkatkan kecerdasan rakyat untuk terciptanya kesejahtraan lahir batin yang merata sampai ke lapisan masyarakat bawah. Nah, siapa calon bupati yang punya konsep seperti itu? Berapa banyak calon bupati yang memikirkan pendidikan rakyat untuk melahirkan sumber daya manusia yang andal di masa depan? Jarang ada calon bupati yang punya gagasan seperti itu, kecuali Bupati Bangli Nengah Arnawa, yang mendirikan Pasraman Gurukula. Padahal dalam bidang pendidikan inilah letak kemerosotan manusia Bali, yang sekarang bisa kita lihat akibatnya, selalu kalah bersaing dengan orang non-Bali. Itu baru Indra Brata, belum lagi point kedua yakni Yama Brata, yang intinya adalah penegakan hukum. Tidak ada orang yang kebal hukum, dari keluarga pejabat sampai ke masyarakat bawah. Siapakah di antara calon bupati yang aktif membantu kepolisian dalam memberantas perjudian seperti sabungan ayam, togel, dan sebagainya, yang jelas-jelas melanggar hukum? Tidak nampak di permukaan, justru kegiatan melanggar hukum ini – dan juga melanggar agama — seperti dibiarkan
C
201
C
oleh aparat pemerintah kabupaten sehingga polisi bertindak sendiri menertibkannya. Banyak sekali yang harus dicecar dari calon bupati dan walikota itu. Kalau saja ada kampanye yang cerdas, misalnya melalui debat publik, kita bisa bertanya kepada para calon, sejauh mana mereka akan menerapkan point-point Asta Brata, Asta Dasa Pramiteng Prabu maupun menjabarkan konsep kepemimpinan yang ada dalam lontar Rajaniti. Jangan-jangan mereka yang merebut jabatan bupati/walikota itu malah tidak pernah membaca ajaran kepemimpinan Hindu, meskipun hal ini bukan kesalahan fatal karena ajaran kepemimpinan Hindu sudah diadopsi dalam buku-buku moderen. Januari 2008
C
202
C
Kasta Sudah Sirna
K
etika Mayor Jenderal Polisi I Made Mangku Pastika mencalonkan diri sebagai Gubernur Bali, ada elite politik di Jakarta yang tak yakin dengan kemenangannya. Alasannya ternyata sangat aneh. Dia mengatakan, pemimpin di Bali harus dari orang yang berkasta tinggi. Kalau kastanya rendah tak akan bisa terpilih sebagai Gubernur Bali. Lantas dia menyebut nama gubernur-gubernur Bali sebelumnya, seperti Dewa Beratha, Ida Bagus Oka, Ida Bagus Mantra. Pernyataan ini membuktikan bahwa masalah kasta di Bali masih membingungkan banyak orang di luar Bali dan masalah kasta masih dikait-kaitkan dengan berbagai macam pekerjaan. Di Bali sendiri masalah kasta sudah tidak relevan lagi dibicarakan, dan boleh disebutkan sudah tidak lagi menjadi “kesalahpahaman”. Masyarakat sudah makin sadar bahwa itu kesalahan leluhur orang Bali di masa lalu yang memang dikondisikan oleh para penjajah yang ingin mengadu domba masyarakat. Sekarang mungkin hanya tersisa di beberapa pedesaan dan itu pun pada kalangan tua. Generasi muda Bali sudah lama meninggalkan kasta. Dengan demikian menjadi aneh terdengar justru di luar
C
203
C
Bali orang masih membicarakan kasta dengan segala embelembelnya seperti di masa lalu. Bahkan dijadikan alat politik untuk menjatuhkan atau menaikkan seseorang. Kasta sebenarnya ada di mana-mana ketika peradaban belum begitu maju. Kemudian kelas-kelas sosial di masyarakat ini berusaha dilestarikan oleh golongan tertentu yang kebetulan “berkasta tinggi” untuk kepentingan kelompok. Dari sini muncul istilah-istilah yang sesungguhnya adalah versi lain dari kasta, seperti “berdarah biru”, “kaum bangsawan” dan sebagainya yang menandakan mereka tidak bisa dan tak mau disamakan dengan masyarakat biasa. Bagi mereka yang berada “di atas” entah dengan sebutan “darah biru” atau “bangsawan” umumnya mempunyai komplek pemukiman yang disebut keraton atau puri. Di masa sekarang ini, kraton atau puri tentu tak punya kuasa apa-apa jika budaya keraton itu tidak dikembangkan, namun penghuninya berusaha untuk tetap melestarikannya. Ada pun penerimaan masyarakat berbeda-beda, ada yang mau menghormati ada yang bersikap biasa saja. Di Jawa, sebut saja Yogyakarta, Solo dan Cirebon, wibawa keraton masih ada karena budaya keraton itu dilestarikan dan mendapat pengakuan dari masyarakat. Di Bali, budaya itu sudah tidak ada lagi. Di India kasta itu jumlahnya banyak sekali. Hampir setiap komunitas dengan kehidupan yang sama menyebut dirinya dengan kasta tertentu. Para pembuat gerabah pun membuat kasta tersendiri. Jadi, kasta di India itu bisa berdasarkan fungsional pekerjaan, bisa pula dikaitkan dengan masalah kerohanian. Di Bali juga unik. Ketika Bali dipenuhi dengan kerajaankerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Yang mana “politik pemecah belah masyarakat” dan yang mana
C
204
C
“ajaran agama Hindu”. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi” untuk mempertahankan kedudukannya. Ajaran Catur Warna dalam Hindu adalah menempatkan fungsi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Orang boleh memilih fungsi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Catur Warna itu terdiri dari Brahmana, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan. Kesatria, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja, patih, dan staf-stafnya. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu adalah kepala pemerintahan, para pegawai negeri, polisi, tentara dan sebagainya. Wesya, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial menggerakkan perekonomian. Dalam hal ini adalah pengusaha, pedagang dan sebagainya. Kemudian Sudra, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga. Fungsi sosial ini bisa berubah-ubah. Pada awalnya semua akan lahir sebagai Sudra. Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orangtuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Kesatria atau Wesya. Begitu pula kalau orangtuanya Sudra, anaknya bisa saja Brahmana. Itulah ajaran Catur Warna dalam agama Hindu. Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali di masa penjajahan itu, nama-nama kasta yang dipakai adalah nama Catur Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu semua fungsi Catur Warna diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya. Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun temurun, diberikan kepada anak-anaknya tak peduli apakah anak itu menjalankan fungsi sosial yang sesuai
C
205
C
dengan ajaran Catur Warna atau tidak. Contohnya, kalau orang tuanya bergelar Cokorde, jabatan raja untuk di daerah tertentu, anaknya kemudian otomatis diberi gelar Cokorde pada saat lahir. Kalau orangtuanya Anak Agung, juga jabatan raja untuk daerah tertentu, anaknya yang baru lahir pun disebut Anak Agung. Demikianlah bertahun-tahun, bahkan berganti abad, sehingga antara kasta dan ajaran Catur Warna ini menjadi kacau. Kekacauan ini lama-lama menjadi kesalah-pahaman. Misalnya, ada anggapan bahwa yang berhak menjadi rohaniawan (pendeta Hindu) hanyalah mereka yang keturunan Brahmana versi kasta, yang nama depannya biasanya Ida Bagus. Mereka yang tak punya nama depan Ida Bagus disebut bukan keturunan Brahmana, jadi tak bisa menjadi pendeta. Begitu pula kasta lainnya, yang berhak menjadi pemimpin hanya keturunan Kesatria. Orang seperti I Made Mangku Pastika yang tak punya “nama gelar” sebagai Kesatria versi kasta, tak akan bisa menjadi pemimpin karena kastanya hanya Sudra, jika dilihat dari namanya. Demikianlah kesalah-pahaman itu, akhirnya dikoreksi terus menerus setelah majelis agama Hindu (Parisada Hindu Dharma Indonesia) berdiri pada 1959. Majelis tertinggi umat Hindu ini mengambil-alih pelurusan masalah kasta tanpa henti, bahkan sampai melahirkan Bhisama (semacam fatwa bagi umat Islam) yang disebur Bhisama Tentang Catur Warna. Tetapi jauh sebelumnya, yakni pada 1951, DPRD Bali sudah menghapus larangan perkawinan “antar-kasta” yang merugikan “kasta” bawah seperti Sudra. Kesulitan yang dihadapi dalam menghapus kasta di Bali itu tentu karena masalah ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan berganti abad, sehingga masyarakat mengira itu adalah budaya agama Hindu, bahkan ajaran Hindu itu sendiri. Namun, secara perlahan masyarakat mulai sadar bahwa setiap orang dilahirkan sama sederajat, dan
C
206
C
tak ada orang yang minta dilahirkan sebagai orang puri dan dilahirkan sebagai orang luar puri. Kesalah-pahaman itu bisa perlahan dijernihkan juga adanya toleransi dan merupakan kesepakatan yang tak perlu ditulis, yakni masyarakat akhirnya memperlakukan nama-nama depan yang dulu merupakan gelar pemberian penjajah tetap bisa dipakai sebagai nama keturunan. Maka, “kesamaan nama” itu dijadikan ikatan karena memang juga berarti “kesamaan leluhur”, maka lahirlah istilah soroh. Soroh atau klan ini mengacu kepada kesamaan leluhur atau lumrah disebut “kesamaan kawitan”. Maka muncullah berbagai istilah soroh atau klan, seperti Bujangga, Arya, Pande, Pasek, Kabayan, Pradewa, Dalem, Bendesa dan banyak lagi. Tetapi soroh atau klan ini tidak ada kaitan dengan fungsi sosial, juga tak ada kaitan dengan ajaran Catur Warna. Artinya, siapa pun berhak menjadi Brahmana (rohaniawan atau pendeta), tidak harus dari keluarga atau soroh tertentu. Siapa pun berhak menjadi pemimpin (misalnya Bupati atau Gubernur), tak harus dari yang bergelar Kesatria versi kasta masa lalu. Cuma, karena semuanya ini dikembalikan kepada “kesamaan leluhur” atau kawitan, gelar bisa berubah. Misalnya yang paling mudah, gelar untuk seorang Brahmana sesuai ajaran Catur Warna. Karena siapa pun boleh menjadi Brahmana, maka soroh yang bernama Ida Bagus setelah menjadi Brahmana (pandita atau pendeta Hindu) gelarnya (istilah di Bali: bhiseka) menjadi Ida Pedanda. Dari kalangan Pande bergelar Sire Mpu. Dari kalangan Pasek bergelar Ida Pandita Mpu. Dari Bujangga bergelar Ida Rsi, dari soroh Dalem bergelar Ida Bhagawan. Meski gelarnya berbeda, kedudukannya sama sebagai pendeta Hindu, tak ada yang lebih rendah, tak ada yang lebih tinggi, semuanya disahkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia. Era modernisasi ikut mengubur perjalanan kasta di Bali. Banyak orang yang tidak memakai nama depan yang “berbau
C
207
C
kasta”, dan nama itu hanya dipakai untuk kaitan upacara di lingkungan keluarga saja. Apalagi nama-nama orang Bali modern sudah kebarat-baratan atau ke india-indiaan. Juga faktor pekerjaan di mana orang yang dulu disebut berkasta Sudra, misalnya, kini memegang posisi penting, sementara yang berkasta di atasnya menjadi staf. Dengan demikian hormat-menghormati sudah tidak lagi berkaitan berdasarkan “kasta” yang feodal itu. I Made Mangku Pastika pun bisa menjadi Gubernur Bali, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Sudra. Wakil Gubernur adalah Anak Agung Puspayoga, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Kesatria. Staf di kantor gubernuran banyak yang bernama depan Ida Bagus, yang jika dikaitkan dengan kasta masa lalu adalah Brahmana. Bayangkan kikuknya Mangku Pastika memerintah bawahannya, andaikata kasta di Bali masih dipertahankan seperti dulu kala. Terbuktilah kini, bahwa kasta masa lalu itu sudah terkubur. Yang tetap berlaku adalah ajaran Catur Warna, orang diberi kebebasan untuk menjadi Brahmana, Kesatria, Wesyaa maupun Sudra, asalkan mampu melaksanakan kewajiban itu. Februari 2008
C
208
C
Seni Ngayah
B
etapa pun masyarakat Bali berkembang ke arah materialistis dan kegiatan individu mulai menonjol, tetapi jika ada kegiatan ritual mereka siap untuk mengorbankan aktifitas pribadinya. Inilah energi budaya yang sangat sulit untuk dijelaskan secara ilmu moderen karena semangat seperti ini tidak dijumpai di daerah lain. Jika pun ada, kadarnya tidak sekuat yang ada di masyarakat Bali. Semangat itu disebut dalam bahasa Bali: ngayah. Kata ini sulit dicarikan padanan yang pas dalam bahasa Indonesia. Ngayah bisa diartikan bekerja tanpa mendapatkan imbalan, tetapi bukan karena paksaan. Ngayah menyiratkan ada keikhlasan untuk berkorban, baik mengorbankan waktu maupun tenaga. Tak jarang seseorang yang sudah ngayah masih harus mengorbankan materi, dan semuanya itu dianggap sebagai persembahan jika ngayah dikaitkan dengan ritual keagamaan. Karena itu dalam bahasa Bali sering ada plesetan, ngayah, mayah, layah. Sudah mengorbankan waktu untuk melakukan suatu pekerjaan, masih mengeluarkan uang (mayah) untuk mensukseskan pekerjaan itu, belum lagi dalam bekerja tak ada yang menyediakan makanan
C
209
C
dan akhirnya lapar (layah). Karena ritual keagamaan di Bali sebagian besar mengakomodasikan unsur seni, maka semangat ngayah ini sangat mendongkrak kegiatan berkesenian di Bali. Omong kosong kalau pariwisata yang menggerakkan kesenian di Bali. Jangan di balik-balik, ketika masyarakat Bali masih berkutat dengan kegiatan agraris, kesenian sudah marak. Sampai sekarang pun orang ngayah mempersembahkan hasil seni untuk kegiatan ritual tak pernah memperhitungkan apakah itu ada manfaatnya untuk industri pariwisata atau tidak. Cobalah hari-hari ini kita datang ke Sukawati. Suara gamelan bersahut-sahutan dari balai banjar yang jaraknya juga berdekatan. Apalagi menjelang sore setelah orang pulang dari kerja kantor atau sekolah. Tua muda berlatih menabuh gamelan, atau mempersiapkan sebuah seni pertunjukan yang akan mereka pentaskan. Adakah pertunjukan itu untuk dipertontonkan kepada turis untuk mendapatkan imbalan? Tidak, kegiatan ini murni untuk persembahan. Persembahan itu jelas ditujukan kepada Tuhan, karena masyarakat Desa Sukawati akan menyongsong piodalan besar di Pura Dalem. Inilah kegiatan seni yang tak bisa diukur secara bisnis, sekian uang yang dikeluarkan, sekian uang yang harus diperoleh kembali. Orang menyebut kegiatan ini sebagai “seni persembahan”. “Seni persembahan” semacam ini adalah khas Bali, bukan hanya milik Desa Sukawati atau sebuah tempat kecil di Bali. Juga bukan khas masyarakat pedesaan, tetapi sudah merasuk ke dalam hati setiap orang Bali termasuk yang di perkotaan yang bersentuhan dengan dunia moderen. Lihat saja, misalnya, bagaimana para pengempon Pura Majapahit di Denpasar mementaskan tari gandrung sakral. Ini fenomena yang menarik. Masyarakat Bali bisa menyuguhkan kesenian-kesenian sakral yang sesungguhnya jika dilihat dari kaca mata tari moderen,
C
210
C
kesenian itu memenuhi unsur estetika yang tinggi. Toh, mereka tak pernah berpikir, apakah keseniannya ditonton turis atau tidak, mengundang wisatawan atau tidak. Semangat ngayah menjadi bukti nyata bagaimana kesenian Bali menggeliat dan tetap seperti dulu. Tak ada degradasi menuju kemerosotan. Sekarang, mari kita lihat kesenian yang ada di luar “semangat ngayah”, seni pertunjukan rakyat di luar ritual keagamaan dan seni pertunjukan yang sengaja “dipersembahkan” untuk turis. Apa yang terjadi? Ada kemerosotan yang luar biasa, ada kedangkalan, dan orang Bali punya cara untuk menyebut hal ini sebagai kehilangan taksu. Tari joged sudah menjadi seni goyang porno yang memprihatinkan banyak orang. Seni arja sudah jatuh menjadi seni banyolan, apalagi dengan sengaja kesenian arja diambil sepenggal-sepenggal untuk ditempelkan pada pementasan lawak Bali. Topeng dan wayang, yang sebenarnya ada bagian yang bisa disakralkan, juga merosot total. Bagaimana menjelaskan penyebab ini? Memang tak ada penelitian. Namun, ada sesuatu yang sudah bisa diduga sebagai penyebab, yakni tak ada semangat ngayah di sana. Dengan demikian yang muncul adalah ego dan berbagai kepentingan. Ada yang bernafsu menjadi sutradara, ada yang merasa pas harus memainkan peran tertentu tanpa mengukur kemampuan dirinya, ada yang dominan mungkin untuk popularitas atau juga pembagian keuntungan. Sementara bagi yang merasa terpinggir, keikut-sertaannya tidak didukung sepenuh kemampuannya, asal ikut saja demi solidaritas. Bandingkan dengan kesenian yang lahir dengan semangat ngayah. Seseorang memposisikan dirinya secara pas, dan kalau pun orang itu ditunjuk untuk fungsi tertentu, penunjukan itu sepenuhnya berdasarkan penilaian kemampuan orang itu. Ada yang menjadi penari, ada yang menjadi penembang, ada yang
C
211
C
menjadi penabuh, andilnya sama karena semuanya dalam posisi ngayah. Semuanya untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Semangat ini yang menyebabkan orang-orang itu (seniman atau pun orang biasa, tak ada bedanya) menumpahkan seluruh energinya, termasuk energi kreatifnya. Luar biasa “taksu” orang Bali jika panggung kesenian itu berstatus ritual keagamaan. 24 Desember 2005
C
212
C
Dongeng Untuk Anak
D
ulu anak-anak butuh dongeng mengantar tidurnya. Generasi saya termasuk yang sangat menggemari dongeng. Orang tua di masa lalu itu punya bahan yang tak habis-habisnya untuk mendongeng. Ada yang jelas pakemnya, terbukti cerita itu di mana-mana sama. Ada yang sangat lokal sekali. Ada yang nampaknya dikarang-karang, pokoknya asal ada saja yang diceritakan orangtua sambil mengeloni anaknya menjelang tidur. Sungguh keratif, padahal bahan bacaan hampir tak ada. Tetapi generasi saya mulai tak bisa mendongengkan kepada anaknya sebanyak yang ia terima di masa kanak-kanak. Suasananya memang beda. Ketika saya kecil, menjelang tidur suasana temaram oleh lampu minyak. Ibu menceritakan dongeng lokal Nang Dudu yang jahat dan suka mencuri air di temuku (pembagi air subak). Karena jahat lalu dibunuh oleh raksasa, dan saya pun ketakutan, mulai memejamkan mata. Samar-samar terdengar inti cerita, janganlah berbuat jahat nanti dicari raksasa. Dan ketika saya dewasa, punya anak yang perlu diberikan
C
213
C
dongeng ketika tidur, cerita Nang Dudu tak mempan menidurkan anak. Suasana terang benderang karena ada listrik. Ketika saya ceritakan Nang Dudu akhirnya dikejar-kejar akan dibunuh seorang raksasa, anak saya bukannya memejamkan matanya, tapi bertanya: “Raksasa itu kayak apa, manusia atau binatang?” Waduh, saya jadi kewalahan. Televisi kemudian mengambil alih fungsi dongeng ini dengan menawarkan cerita Si Unyil. Generasi anak saya adalah generasinya Si Unyil. Dongeng tradisional jadi hilang pelanpelan, anak-anak berkumpul menyaksikan Unyil, Ucrit, Pak Raden, Pak Ogah dan lain-lainnya. Celakanya, TVRI yang merupakan media masa pemerintah satu-satunya saat itu, sangat sarat dengan pesan-pesan pembangunan. Cerita Si Unyil jadi menyimpang ke mana-mana. Lagi pula, Si Unyil terus menerus diputar, dan ketika anak saya mulai besar dan naik kelas terus di SD, Si Unyil tetap saja kecil. Film setengah kartun ini tak lagi menarik. Dan Unyil pun akhirnya hilang tanpa bekas setelah muncul “Unyil versi Jepang” seperti Satria Baja Hitam, Sperman, Doremon dan sejenisnya, dengan teknik yang jauh lebih maju. Film kartun ini dalam sekejap telah menenggelamkan dongeng-dongeng tradisional. Anak-anak sudah tak tahu lagi siapa itu Gatotkaca atau Kelenting Kuning, apalagi Nang Dudu atau Cangak Meketu. Sejalan dengan derasnya film kartun itu, konsumen mainan anak-anak membanjiri pasar dengan barangbarang plastik. Bagaimanapun ini adalah industri yang saling kait-berkait. Anak-anak sudah melupakan permainan pistol dari pelepah pisang atau mobil-mobilan dari kulit jeruk, karena pistol dan mobil plastik dijajakan di mana-mana dengan atribut yang keren sesuai dalam film kartun. ***
C
214
C
FILM kartun, kini tak hanya muncul di televisi, tetapi juga lewat VCD yang banyak ditemui di rental-rental, sampai di pelosok desa. Yang mengkhawatirkan, film kartun ini tak semuanya untuk anak-anak. Ada film kartun untuk orang dewasa, yang penuh dengan kecabulan. Tetapi karena gambarnya memang lucu, selintas seperti tontonan anak-anak. Hati-hati, moral anak akan rusak jika “dongeng orang dewasa” ini sampai diintip anak-anak. Film kartun porno ini, tentu saja lebih mudah diawasi agar tidak ditonton anak-anak. Tinggal kecekatan para orang tua untuk mengawasinya. Tetapi bagaimana dengan dampak buruk film kartun televisi dari negeri jiran? Para psikolog pendidikan meminta agar orangtua menjelaskan kepada sang anak, apa dan bagaimana isi film kartun itu. Karakter tokohnya beda, budaya dan suasana yang ditampilkan pun beda. Seorang pahlawan di film kartun asing, harus dijelaskan di mana kepahlawanannya jika diukur dalam budaya Indonesia. Salah menjelaskan hal ini kepada anak-anak, akan membuat mereka punya persepsi lain, yang bisa lebih runyam lagi ketika lingkungan sekitarnya berbeda dengan persepsi yang tertanam pada diri sang anak. Sudah banyak orang khawatir terhadap perkembangan ini. Munculnya lomba-lomba mendongeng dan rangsangan membuat komik Indonesia — yang siapa tahu nanti bisa dikartunkan — sudah dimulai. Bahkan sekarang ini, karena tuntutan sejumlah orang tua yang khawatir terhadap hilangnya tradisi dongeng dan cerita domestik, komik klasik RA Kosasih mengenai ephos Ramayana dan Mahabharata diterbitkan lagi dengan bahasa yang disesuaikan dengan anak-anak masa kini. Komik RA Kosasih itu di Jawa dikenal sebagai “cerita wayang klasik”, padahal Ramayana dan Mahabharata sebenarnya adalah “cerita dari India” dan erat kaitannya dengan agama Hindu. Tetapi di Jawa, seperti halnya pergelaran wayang kulit, ephos itu tetap berupa
C
215
C
“dongeng tentang kebajikan” yang tak berkaitan dengan agama tertentu. Kini, “dongeng kebajikan” itulah yang mau dilestarikan lagi karena anak-anak muda di Jawa sudah banyak yang lupa siapa itu Arjuna, Gatotkaca, Duryadana dan sebagainya. Kekhawatiran yang sebenarnya juga terjadi di Bali, anak-anak Bali sekarang ini sudah lupa-lupa ingat siapa itu Krisna dan Bima. Jangan-jangan suatu ketika, anak-anak Bali (yang beragama Hindu) bertanya kepada anak-anak Jawa (yang bukan Hindu): “Siapa sih Sri Krisna itu?” Padahal, Krisna “mewahyukan” kitab suci Bhagawadgita yang jadi pegangan umat Hindu. Masa depan anak-anak Bali perlu diperhatikan serius. Pesta Kesenian Bali belum memberi tempat untuk menghidupkan kembali “dongeng kebajikan”. Sanggar Kukuruyuk yang dipimpin Made Taro (saya kira Made Taro pendongeng yang paling bertahan di Bali) tak banyak mendapat perhatian, apalagi bantuan. Pentasnya di televisi semakin berkurang. Bagaimana ia menularkan dongeng dan permainan tradisional anak-anak Bali yang mulai langka, jika kesempatan tampil itu berkurang? Saya memang agak cemas. Pada piodalan sasih kapat yang lalu, di tengah-tengah tari rejang sakral yang mengusung pratima pura, anak-anak kecil berlari menembakkan pistol plastik yang ada pelurunya: dor… Jangan-jangan si anak berteriak dalam batinnya: “Horee… aku hebat… berhasil menembak musuh di pratima itu….” Sementara ayahnya bukannya di pura, tetapi memutar VCD di rumah menonton “dongeng kamasutra versi Jepang” dalam bentuk kartun. Wah! 11 November 2000
C
216
C
Dongeng itu Indah
S
iapakah yang masih suka dongeng? Datanglah ke Bali. Pulau ini adalah gudangnya dongeng. Dari ujung barat ke ujung timur bertebaran dongeng-dongeng, yang mungkin belum diketahui masyarakat luas. Dongeng dari kawasan Jembrana, misalnya, belum tentu diketahui oleh masyarakat Karangasem. Di desa saya ada dongeng dengan nama tokoh Nang Dudu. Ceritanya sederhana, lelaki yang suka usil dan mengganggu temuku (pembagi air) di sawah-sawah. Kalau sawah mestinya dialiri air, ia menutup temuku. Kalau sawah dikeringkan sejenak, ia mengalirkan air. Meski usilnya kelewatan tak ada yang berani menegor Nang Dudu karena ia lelaki misterius. Sampai saatnya di sebuah senja, Nang Dudu meninggal dunia, juga secara misterius, dan masyarakat menabuh gamelan bersuka ria. Dongeng yang tak jelas juntrungannya ini uniknya didokumentasikan dalam sebuah tabuh gamelan dan menjadi salah satu tabuh sakral di desa saya. Kalau ada piodalan, tabuh Nang Dudu ini pasti diperdengarkan. Siapa pun yang suka dongeng, datang saja ke Bali dan
C
217
C
telusuri pedesaan, tanya kepada orang-orang tua. Selebihnya datangi perpustakaan, karena banyak dongeng tradisional Bali yang sudah dibukukan. Bersiap-siaplah membaca dongeng dengan segala jenis “format” karena ada yang berbentuk prosa, ada yang berbentuk puisi tradisional, yaitu geguritan. Memang, banyak dongeng yang sudah menjadi “pengetahuan wajib” masyarakat Bali. Penyebabnya karena dongeng itu dikaitkan dengan mistik, dilekatkan dengan sejarah, atau bahkan bersinggungan dengan agama dan tempat-tempat suci. Dongeng itu memang indah. Tapi dulu, ketika anak-anak sulit tidur dan ibu atau ayahnya menceritakan dongeng di tengah remang-remangnya lampu templok minyak tanah. Dongeng itu pun tetap indah bagi penggemar sastra untuk melihat kekayaan sastra lokal. Sekarang, berapa banyakkah anak muda Bali yang tahu dongeng dari tanah kelahirannya sendiri? Tidak banyak. Ini karena tradisi mendongeng secara lisan sudah tak ada lagi. Lalu minat baca rendah padahal dongeng sudah dibukukan. Tetapi, anak-anak muda Bali tetap suka dongeng, yakni dongeng dari manca negara atau dari daerah lain yang bisa disaksikan di layar televisi. Doraemon, Cinderela, Angling Dharma, Si Manis Jembatan Ancol adalah dongeng-dongeng jenis baru yang gentayangan di layar kaca. Yang perlu dipertanyakan adalah apakah dongeng milenium ketiga yang disebarkan dengan teknologi canggih ini tidak merusak anak-anak Bali? Jawabnya bisa ya bisa tidak, tergantung sejauh mana ada filter dan pengawasan dari orang tua. Jika tanpa pengawasan, dan semua dongeng moderen itu dilalap, anak-anak Bali akan kehilangan akar budaya Bali. Dongeng Bali itu lain, keindahannya adalah pada pesan-pesan moral yang menjadi inti cerita, pesan moral tentang kebajikan. Upaya mengembalikan tradisi mendongeng sudah dilakukan
C
218
C
di berbagai kota, tetapi hasilnya tak nampak. Lomba mendongeng diadakan, namun hanya berhenti sebatas lomba. Waktu berkumpul anak-anak dan orangtuanya saat ini sudah semakin sempit. Semua punya kesibukan tersendiri dan mencari hiburan masing-masing dengan cara yang mudah karena teknologi sudah menyediakannya. Anak-anak pun sudah punya kamar sendiri. Kalau dia sudah capek belajar atau nonton video atau main games, ia langsung masuk kamar dan tidur. Tak lagi dibutuhkan cerita Siap Selem atau Pedanda Baka agar sang anak segera terlelap tidur. Jika kita prihatin dengan mutu dongeng dari luar yang akan meracuni akar budaya anak-anak Bali, maka ini harus dilawan. Caranya tentu saja tidak kembali ke masa lalu, semua listrik dimatikan dan lampu penerangan kembali memakai minyak tanah, televisi disingkirkan dan anak-anak kembali dikeloni tidur. Itu perlawanan yang tak masuk akal. Yang masuk akal adalah mengangkat dongeng-dongeng Bali ke media moderen seperti televisi atau rekaman video. Dongeng tidak lagi dituturkan, tetapi ditonton. Transformasi budaya mendongeng sudah harus dilakukan. Dulu dongeng dituturkan, kemudian dongeng dibaca, dan kini dongeng ditonton. Bagaimana agar dongeng-dongeng made in Bali bisa ditonton? Ya, harus digarap dengan format tontonan. Bisa dalam bentuk drama, semi drama, sinetron atau monolog dengan alatperaga. Semuanya punya kekuatan dan kelemahan tersendiri. Jika dalam format drama, dibutuhkan orang-orang teater. Jika semi drama, selain orang teater perlu orang yang jadi nara sumber, semacam komentator. Jika dijadikan sinetron dibutuhkan tim yang lebih profesional lagi. Adapun cara monolog, ini memang betul-betul harus orang yang sangat menguasai akting dan vokal. Di Bali banyak ada dalang dan pemain topeng bondres, barangkali bisa dicoba untuk monolog seperti yang
C
219
C
dilakukan seniman asal Yogya, Butet Kartarejasa. Yang jelas semuanya butuh dana besar. Juga perencanaan yang matang dari sejak menginventarisasi jenis dongeng yang akan ditampilkan. Kalau takut menganggarkan dana untuk menyelamatkan generasi penerus, ya, jangan heran kalau manusia Bali suatu kelak akan kehilangan karakter dan jati dirinya sebagai orang Bali. Tanda-tanda kemerosotan itu sebenarnya sudah nampak, tapi yang peduli tidak banyak. Menyedihkan. Maret 2004
C
220
C
Dongeng Bali
M
asyarakat Bali kaya dengan dongeng lokal. Kebiasaan mendongeng pun di masa lalu menjadi tradisi yang diwariskan turun-menurun. Anakanak Bali tidak bisa tidur kalau belum diberikan dongeng oleh ayah atau ibunya. Setiap malam ada saja yang didongengkan. Kalau kehabisan dongeng lokal, cuplikan kisah Itihasa seperti Ramayana dan Mahabharata bisa disampaikan. Begitu pula fabel (cerita dari dunia binatang) yang diambil dari Tantri, banyak yang dihafal para orang tua untuk diwariskan kepada anak-anaknya. Kenapa tradisi ini hilang? Penyebab pertama adalah kemajuan teknologi dengan masuknya radio, disusul televisi, dan kini VCD (DVD) yang merambah ke desa-desa. Anak-anak sudah mendapatkan dongeng baru dari media elektronik itu. Dongeng moderen dengan teknologi yang tinggi, entah itu film kartun dari Jepang, film produksi Hollywood dan Bollywod, maupun produksi dalam negeri. Sementara ibu anak-anak asyik dengan telenovela dari Amerika Latin (yang di sana sudah dicampakkan), dan bapak anak-anak memelototi film kungfu
C
221
C
Mandarin. Penyebab kedua, teknik mendongeng itu sendiri sudah ketinggalan zaman. Gaya hidup berubah pesat di pedesaan Bali tatkala listrik masuk desa, apalagi setelah media elektronik merambah ke desa. Dongeng tak bisa lagi dipakai menidurkan anak-anak kecil, walaupun dengan menyelipkan cerita yang berimajinasi menakutkan. Kamar tidur sudah terang menderang dengan penerangan listrik, bagaimana anak-anak bisa ketakutan dengan raksasa, apalagi imajinasi tentang raksasa, hantu, leak dan sebagainya, sulit dibayangkan lagi oleh generasi baru ini. Penyebab ketiga, dongeng Bali terbiasa disampaikan dengan monoton dan tanpa disertai tafsir apapun. Banyak orangtua di Bali yang malas (atau malah tidak tahu) apa makna di balik simbol-simbol dongeng lokal itu. Satua (dongeng) Siap Selem, Angsa lan Empas, Cangak Maketu atau Pedanda Baka, disampaikan hanya kulit luarnya saja tanpa disertai kupasan tentang simbol itu. Bahkan masyarakat Bali di pedesaan jarang yang tahu kalau Kakawin Lubdaka yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan brata Siwaratri semuanya adalah simbol. Karena Lubdaka disampaikan kulit luarnya saja, banyak orang Bali pemeluk Hindu yang mengira dengan hanya bergadang semalam suntuk seperti Lubdaka, Dewa Ciwa sudah melebur dosa-dosa yang ada. Demikian mudahnya menghapus dosa. Mereka tak tahu kalau berburu itu adalah simbol, naik ke pohon bila adalah simbol, daun bila pun simbol, menjatuhkan daun bila sebanyak 108 kali juga simbol, kolam dan lingga Siwa pun juga simbol. Nah, penyebab hilangnya dongeng Bali dan menyurutnya tradisi mendongeng itu, harus dicarikan jalan keluar, bagaimana mensiasatinya. Pertanyaan awalnya tentu adalah untuk apa menghidupkan tradisi mendongeng pada anak-anak dan untuk apa mengembangkan kembali dongeng lokal? Jawaban dari pertanyaan ini jelas menyangkut pembinaan akhlak anak-anak,
C
222
C
artinya dongeng masih dirasakan keampuhannya untuk menanamkan pendidikan budi pekerti. Kalau kita sepakat dengan ini, maka teknik mendongeng dan materi dongeng harus disesuaikan dengan kekinian dan kebiasaan sehari-hari anak itu. Jika mendongeng itu di lingkungan rumah, seorang ibu harus menyediakan waktu untuk membacakan dongeng dari buku. Tidak harus di tempat tidur anak-anak, bisa di ruang tamu. Dongeng dibacakan sambil menjelaskan apa simbol dan makna tersembunyi di balik dongeng itu. Sudah banyak buku dongeng yang terbit, baik dongeng lokal Bali, dongeng Nusantara, maupun dongeng internasional. Sebaiknya diganti-ganti jenis dongengnya. Tapi, itu terlalu ideal, mungkin hanya terjadi di perkotaan saja atau pada keluarga yang punya perpustakaan dan minat bacanya tinggi. Dengan minat baca yang rendah pada orang Bali pedesaan, apa mungkin seorang ibu membacakan dongeng untuk anaknya? Belum lagi wanita Bali disibukkan membuat sesesajen setiap hari, seolah-olah semua permasalahan bisa diselesaikan dengan ritual. Orang Bali lebih mementingkan membeli daksina dibandingkan membeli buku, meski harganya sama-sama Rp 5.000. Karena itu tempat mendongeng harus diperbanyak di luar lingkungan rumah. Bisa di balai banjar, sanggar belajar, pesraman, meski pun mungkin akan jalan di beberapa tempat saja. Di Bali sulit mengajak masyarakat desa berpartisipasi dalam urusan yang bukan yadnya – menurut pengertian mereka. Yang paling mungkin adalah di sekolah, dan apa boleh buat, ini berarti harus membagi waktu dengan belajar yang lainnya. Menurut Made Taro, pensiunan guru yang sudah banyak melahirkan dongeng anak-anak, minat anak-anak mendengarkan dongeng di sekolah sudah mulai bagus. Dongeng itu sendiri pun sudah berkembang karena adanya berbagai lomba mengarang.
C
223
C
Jika ini benar, tentu saja amat menggembirakan. Tetapi, apakah kelangsungannya berusia panjang dan tidak sekedar hidup di saat ada lomba saja? Ini yang dikhawatirkan. Yang diperlukan adalah pembinaan. Ada orang yang menaruh perhatian besar dalam hal dongeng-mendongeng. Jumlah orang seperti Made Taro harus diperbanyak. Kalau kita sepakat pendidikan budi pekerti amat penting, dan jalan ke arah itu bisa dilakukan lewat sarana dongeng, harus ada lembaga yang mengurusi masalah ini sehingga kegiatannya bisa berlangsung ajeg. 4 Februari 2006
C
224
C
Sang Penyelamat
N
ama banjar pernah populer luar biasa di Indonesia ketika pemerintah mengkampanyekan keluarga berencana. Saat itu, BKKBN Bali berhasil menciptakan metode yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam mensukseskan program keluarga berencana dengan sebutan “KB Sistem Banjar”. Sejak saat itu, nama banjar menjadi milik nasional. Presiden Soeharto berkali-kali memuji sistem banjar ini sebagai elemen terendah dalam masyarakat yang bisa menggerakkan roda pembangunan. Namun, di masa Soeharto pula nama banjar nyaris hilang, gara-gara menteri dalam negeri keluar dengan konsep menyeragamkan sebutan instansi yang berhubungan dengan desa. Diperkenalkan nama kelurahan untuk mengganti desa. Belakangan terjadi pertentangan sehingga kedua istilah ini tetap dipakai, kelurahan dipakai, desa juga dipakai. Nama wilayah di bawah kelurahan diseragamkan dengan sebutan dusun, termasuk di Bali. Ketika itu semua nama banjar di Bali berganti menjadi dusun atau dipakai kedua-duanya dengan singkatan Br/Ds. Nama tempekan yang dikenal di beberapa tempat di Bali, dan
C
225
C
di daerah luar Bali biasa disebut Rukun Tetangga, diseragamkan menjadi “lingkungan”. Syukurlah aturan itu sudah mulai compang-camping. Meski bekas-bekasnya masih ada, nama banjar kembali muncul dan nama dusun mulai hilang pelan-pelan. Apalagi jika dikaitkan dengan adat, maka banjar adat menjadi sesuatu yang penting sebelum berurusan dengan desa adat, yang kini dikembalikan penyebutannya dengan desa pekraman. Mpu Kuturan berjasa memberi batasan dan syarat bagaimana sebuah wilayah teritorial bisa disebut desa pekraman. Salah satu syarat itu adalah punya Tri Kahyangan dan kuburan. Jika kita meneliti sejarah pemerintahan desa dari zaman keemasan Majapahit, syarat-syarat seperti ini adalah warisan budaya Nusantara, karena sudah diterapkan sejak dulu. Jadi, ini salah satu warisan budaya Nusantara yang tetap dipertahankan di Bali. Bayangkan kalau budaya ini luntur dan orang seenaknya bisa memilih banjar adat dan desa pekraman hanya karena tidak setuju kepada kelihan dan bendesa, bisa runyam jadinya. Dari Mpu Kuturan kita pindah ke Bung Karno. Tokoh ini dikenal sebagai penggali budaya Nusantara untuk dijadikan spirit dalam membangun bangsa. Pancasila diakui terus-terang oleh Bung Karno sebagai mutiara budaya bangsa. Yang paling inti dari budaya bangsa ini adalah semangat gotong royong. Itu yang membuat Bung Karno sering “mempermainkan” Pancasila, bisa diperas tiga menjadi Trisila, lalu diperas satu menjadi Ekasila, itulah gotong royong. Bali mewarisi semangat gotong royong yang jauh lebih kental dibandingkan suku bangsa yang lain. Apa pun yang dilakukan masyarakat Bali di masa lalu, pasti dengan muatan gotong royong. Membangun rumah atau mengerjakan sawah, semuanya dilakukan dengan gotong royong. Meski pun gotong royong ini memudar di sektor ekonomi, namun di sektor sosial
C
226
C
keagamaan, tak pernah pudar sampai saat ini. Jika dibandingkan dengan suku bangsa yang lain, semangat gotong royong masyarakat Bali yang kini merosot, tetap menjadi yang terbaik di Nusantara. Apa artinya? Kemerosotan budaya Nusantara di Bali belum seberapa karena di wilayah lain budaya Nusantara itu lebih merosot lagi. Karena itulah belakangan ini, beberapa pengamat budaya dan tokoh spiritualitas seringkali memuji Bali sebagai “sang penyelamat” budaya Nusantara. Julukan yang sepintas nampak main-main, namun kalau dikaji lebih jauh julukan itu memang pada tempatnya. Kenapa budaya Nusantara tetap bertahan di Bali? Karena tidak ada intervensi dari budaya mayoritas ke budaya minoritas, tidak ada tekanan untuk membuat keseragaman, tidak ada pemaksaan untuk mengikuti kemauan mayoritas. Dengan kalimat sederhana bisa dikatakan, ada kemerdekaan untuk tetap mempertahankan identitas lokal, betapa pun kecilnya. Budaya Nusantara berkembang justru karena ada pernik-pernik budaya lokal yang tetap tumbuh. Semua ini didukung oleh adat dan budaya Bali yang tidak kaku dalam membelenggu budaya lokal itu. Ambil contoh, nyepi di Desa Banyuning beda dengan nyepi di desa lainnya di Bali, kalender di Tenganan Pegringsingan beda dengan kalender pada umumnya di Bali. Upacara ngaben di desa pegunungan beda dengan ngaben di luar pegunungan. Busana tradisi lokal pun bisa beda, bahkan mepusungan (mengikat wambut wanita) juga berbeda di masing-masing daerah. Tak ada lembaga adat dan instansi pemerintah yang mencoba menyeragamkan hal ini atau menuduh yang “menyimpang” itu salah dan harus dipaksa mengikuti yang mayoritas. Kebebasan itu nampak pula dalam bidang kesenian. Joged mau merias dirinya seperti penari legong, boleh saja. Joged merias dirinya dengan pakaian adat madya yang sederhana,
C
227
C
juga boleh. Wayang kulit Bali mau pakai gamelan gender klasik, gamelan gambuh, angklung, suling, gong gede, bahkan gamelan “campur aduk” seperti dilakukan wayang Cenk-Blonk, bolehboleh saja. Di daerah lain, mana bisa seperti itu? Tari bedaya dan wayang kulit Jawa, kalau menyimpang dari pakemnya, bisa disebut “memble” (mengada-ada). Dengan dibahasnya RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang mencoba menyeragamkan budaya nasional dengan muatan ajaran agama tertentu, menjadi tantangan buat Bali, sejauh mana melakukan perlawanan. Jika berhasil melawan, “sang penyelamat budaya Nusantara” akan menjadi tumpuan untuk sebuah kemerdekaan budaya secara luas. 25 Maret 2006
C
228
C
Kenapa RUU APP Ditolak
S
eorang teman bertanya pada saya: “Apakah Anda setuju pornografi?” Saya jawab tegas: tidak! Dia bertanya lagi, “Apakah Anda tidak khawatir terhadap generasi muda yang dicekoki barang-barang porno?” Saya jawab tegas: ya! Lalu dia menyebutkan sejumlah pelacuran terselubung marak di Bali, kafe-kafe yang tersebar di desa mulai mesum, VCD porno menyebar ke desa-desa, dan dia bertanya, “Apakah Anda khawatir soal ini?” Saya jawab tegas: khawatir sekali! Teman saya lalu memperbaiki tempat duduknya. Dia pun mulai bicara betapa pentingnya RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) untuk segera disahkan. Ide dasarnya ada pada semua masalah tadi, bagaimana melindungi ahklak bangsa, melindungi generasi muda dari kerusakan moral. “Jadi,” begitu dia mulai bertanya ke saya, “Anda tentu setuju dong RUU ini segera disahkan, agar generasi muda bisa diselamatkan. Ya, kan?” Saya pun jawab dengan sangat tegas: “Tidak! Dan saya akan menolak RUU APP ini sampai kapan pun, sampai saya berhenti bisa bicara dan menulis.” Saya berbalik memberi ceramah. Pornografi dan undang-
C
229
C
undang anti pornografi adalah dua hal yang berbeda. Pornografi sesuatu yang kita jauhi, karena bertentangan dengan harkat kehidupan manusia dan juga bertentangan dengan agama, termasuk agama Hindu. Namun undang-undang tentang anti pornografi, tidak bisa saya terima karena masalah porno tak bisa dirumuskan secara seragam, apalagi dalam pemahaman budaya yang berbeda. Porno atau tidaknya sesuatu hal menyangkut pikiran. Pikiran dipengaruhi oleh situasi lingkungan dan dalam budaya Bali dikenal dengan desa, kala, patra. Seorang wanita mendandani tubuhnya dengan mulus, dia tidak pernah bermaksud porno, tetapi pikiran lelaki yang melihatnya itu yang porno. Kenapa harus wanita yang dipersalahkan? Tidak bolehkah wanita memperlihatkan tangan, wajahnya, lehernya, karena di sana ada pernik-pernik perhiasan yang harus mereka kenakan? Turis berbusana amat minim berjemur di pantai Kuta. Kenapa harus dilarang memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya? Orang Bali di pedesaan juga masih mandi di pancuran umum, atau di kali dengan telanjang. Konsentrasinya pada mandi, bukan untuk menarik perhatian orang. Salah para lelaki kalau mau melirik dan lebih salah lagi kalau yang melirik itu melontarkan tuduhan: porno. Ketelanjangan ini yang disamakan dengan pornografi oleh penyusun RUU APP. Jelas salah besar, karena porno dan tidaknya tergantung bagaimana posisi pikiran pada saat itu. Kalau pikiran sudah diset ke porno, wanita dibungkus bak pocong pun akan membangkitkan birahi. Kalau busana yang tertutup itu dilepaskan dan wanita itu ternyata kurus, kudisan, panuan, apa itu masih merangsang birahi? Begitu pula masalah pornoaksi, kosa-kata baru yang populer untuk menunjukkan kepornoan yang lahir dari gerak. Goyang sensual itu yang seperti apa? Semua tarian Nusantara bersumber
C
230
C
dari goyangan. Tari seudati di Aceh, tari lilin di Sumatra Barat, tari gambyong di Jakarta, tari Jaipong di Jawa Barat, tari tayub di Jawa Tengah, tari gandrung di Jawa Timur, tari legong dan joged di Bali, tak bisa lepas dari gerak pinggul. Bagaimana menentukan goyang ini pornoaksi dan goyang itu tidak? Apa harus diukur dengan penggaris? Teman saya mulai nimbrung. “Sekarang Pansus RUU sudah mengadakan revisi, sejumlah pasal dihapuskan, semua pasal yang mengenai pidana dibuang. Pasal soal porno akan diperbaiki juga.” Saya jawab: “Saya akan tetap menolak RUU APP itu meskipun sudah direvisi. Semakin direvisi semakin kentara ada muatan lain dalam RUU APP ini, yakni memaksakan masuknya budaya Timur Tengah yang akan menyerang budaya Nusantara.” Sebelum teman saya menggugat saya berceramah lagi. Jika pasal mengenai pidana dihapuskan, lalu di mana kekuatan UU itu nanti setelah disahkan? Aneh bin ajaib ada aturan ketatanegaraan berupa undang-undang yang tidak memberikan sanksi, atau rujukan sanksinya ke KUHP. Jika memang begitu maunya, kan tidak usah membuat UU Anti Pornografi, gabungkan saja di KUHP. Ya kan? “Begini saja,” kata teman saya. “Seandainya nanti RUU APP ini dibuat pengecualiannya, misalnya, tidak berlaku untuk agama Hindu atau tidak berlaku di Provinsi Bali. Anda tetap menolak?” “Tetap,” jawab saya tegas. “Karena itu berari penghinaan terhadap agama Hindu.” Saya jelaskan, bahwa saya tahu ada undang-undang seperti itu di Malaysia. Jika nanti setelah resmi menjadi UU Anti Pornografi dan UU ini dinyatakan tidak berlaku bagi umat Hindu, artinya secara resmi negara mengakui Hindu itu identik dengan kepornoan. Tapi karena “dikecualikan”
C
231
C
umat Hindu tidak apa-apa. Nah, bukankah predikat porno untuk Hindu itu sebuah penghinaan, karena umat Hindu pun anti porno, porno dalam ukuran budaya ketimuran. Sekarang, kalau Bali dikecualikan.Ini bisa menjadi trend untuk undang-undang lain yang menyusul dan dalam jangka panjang berbahaya bagi negara kesatuan. Akan ada kedudukan yang tidak sederajat antar sukubangsa dalam wadah republik ini. Bagaimana bisa dikatakan sederajat kalau yang satu bisa diatur, dan yang lain tidak diatur? Pasti akan lahir warganegara kelas 1 dan warganegara kelas 2, diskriminasi pun akan terjadi. Jelas suku Bali akan dijadikan warganegara kelas 2. Jadi, penolakan saya dan seluruh masyarakat Bali sudah harga mati. Kembalikan saja draf RUU APP ini kepada anggota Komisi VIII DPR untuk disimpan dengan ucapan terimakasih. Jangan dibahas lagi. April 2006
C
232
C
Agama dan Nurani
D
i desa saya masih banyak orang polos, lugu, sederhana, jika dikaitkan dengan masalah agama. Kalau mereka disebut miskin sekali, tidak tepat, karena sebagai petani penggarap mereka cukup makan, punya rumah meski tak ada perabotan moderen. Sosialisasi ke masyarakat juga bagus. Salah satunya adalah pasangan yang saya kagumi itu. Di rumahnya tidak ada buku, apalagi buku-buku agama. Oya, anak-anak mereka sudah bekeluarga dan tinggal jauh. Seharihari lelaki itu berada di kebun. Istrinya jarang membuat sesajen, meskipun itu hanya canang sari. Tidak sempat, katanya. Sanggah kemulan di rumahnya yang terbuat dari pohon dadap (jadi disebut turus lumbung) ditumbuhi rumput tinggi, pertanda memang jarang dikunjungi. Keluarga ini mengaku baru membuat sesajen jika ada piodalan di pura panti, itu pun sederhana. Mereka datang ke pura dengan baju seadanya, bukan baju putih potongan safari atau baju koko, destarnya juga dari batik yang lusuh. Ketika pemedek melantunkan Trisandhya, dia diam saja. Apakah dia tidak beragama? Kalau ditanya begitu, jawabnya
C
233
C
malah tertawa: “Ya, sing nawang agama, sing nawang apaapa…” (Ya, tak tahu agama, tak tahu apa-apa). Tak tahu satu bait pun mantram. Ia lebih asyik dengan sapi-sapinya jika ada waktu senggang, dibandingkan misalnya ikut pesantian. Apakah akhlaknya rusak? Sama sekali tidak. Pasangan yang sudah berumur senja ini sama sekali tak pernah mencuri, tak pernah menyakiti orang lain, jauh dari kesombongan. Tetangga dekatnya adalah anggota pesantian yang setiap malam berkumpul, mengupas berbagai kidung dan wirama yang berisi pertuah-petuah kebajikan. Tetapi tetangganya suka berselingkuh. Tetangganya yang lain sangat aktif dalam kegiatan agama, sore hari terdengar Tri Sandhya dari rumahnya, setiap hari raya keagamaan ke pura dengan baju safari putih dan destar putih. Kalau ada rapat di banjar atau dharmatula, dia paling rajin bersuara, kutipan sloka-sloka suci meluncur dari mulutnya. Sayangnya ia pernah terlibat dalam kasus korupsi koperasi petani. Rumah tangganya juga nampak tidak tenang, istrinya suka ribut bersama anak-anaknya, konon satu anaknya terjerat narkoba. Siapakah yang sesungguhnya “sudah beragama”? Lelaki yang setiap malam mengupas Kekawin Ramayana tetapi pagi harinya metajen, lelaki yang tiap hari melaksanakan Puja Trisandhya tetapi masih suka menipu orang, atau lelaki yang tak tahu apa-apa soal agama tetapi hidup tenang dan bahagia dengan “ketidak-tahuannya” itu? Saya sering sekali mendapat pertanyaan begini. Dan saya harus hati-hati menjawabnya, karena jawabannya tidak mudah. Tidak ada alat pengukur dalam masalah ritual dan pemahaman beragama. Membanding-bandingkannya dengan hal lain di luar agama, juga sulit dan bisa nalar bisa tidak. Sekarang di Kabupaten Tabanan ada upacara Panca Walikrama, biayanya besar, dari APBD Rp 50 juta, masih ditambah iuran Rp 1 juta dari masing-masing desa pekraman. Kenapa Panca Walikrama
C
234
C
dilangsungkan di kabupaten dan bukankah ini semestinya hanya ada di Pura Besakih? Apa dasar sastranya, mana lebih baik dengan membangun Pura Jagatnatha (Tabanan sampai saat ini tak punya Pura Jagatnatha) atau memperbaiki jalan yang rusak sehingga membantu memasarkan hasil kebun petani? Menjawab hal ini sulit, tetapi mempertanyakannya mudah. Contoh lain, menyikapi turunnya debit air di danau Beratan dan kemungkinan rusaknya lingkungan. Upacara Wanakertih diselenggarakan dengan biaya jutaan rupiah, caru besar digelar, dan sebagainya. Mana lebih baik jika uang itu dipergunakan langsung untuk membeli benih pohon dan menanamnya di hutan yang gundul sekitar danau? Kalau Anda punya profesi sebagai pembuat banten dan Anda yang punya profesi sebagai penjual tanaman, jawabannya akan berbeda. Rakyat sendiri sudah lama tidak diasah otaknya untuk menjawab pertanyaan begini, sepanjang uangnya sendiri tidak keluar manggut-manggu saja, buat pecaruan bilang inggih, menanam pohon juga inggih. Orang bijak bilang, sesungguhnya ada jawaban yang paling benar, yakni temui di dalam hati nurani sendiri. Sayangnya, menemukan jati diri dan tahu di mana letak hati nurani, membutuhkan latihan yaitu bagaimana membunuh ego. Dalam hal melaksanakan agama, inilah yang kemudian disebut “beragama ke dalam diri sendiri”. Misalnya, ketika kita melihat istri orang cantik, kita bertanya ke dalam diri sendiri, apa layak istri orang itu kita goda. Kita tak perlu membuat daksina pejati atau membuka sloka-sloka suci hanya untuk mencari jawabannya. Sekarang makin banyak orang menuding: dia tidak beragama, kelompok ini beragama secara salah. Yang dipakai ukuran adalah tingkah lakunya sendiri, bukan hati nuraninya. Baru sebulan hafal Trisandhya langsung menuding orang yang tak hafal Trisandhya sebagai bukan beragama Hindu. Dalam skala nasional, tuding-menuding seperti itu juga bermunculan.
C
235
C
Ketika melihat wanita memakai sanggul yang anggun, memoles pipinya dengan bersih, membiarkan sekitar leher terbuka agar kalung permata nampak indah, langsung menyebutnya porno, hanya karena menurut mereka wanita itu harusnya menutup segala aurat, bak ninja kampung yang hanya kelihatan mata saja. Maka dibuatlah RUU APP yang berdasarkan selera sekelompok orang. Nah, bagaimana kita bisa jujur pada nurani sendiri? 18 Maret 2006
C
236
C
Sandhyakalaning Balidwipa
S
ejarah memang terus berulang kembali, karena ia tunduk pada perputaran zaman yang diandaikan sebagai roda pedati. Tetapi orang bisa belajar dari sejarah, sehingga perputaran zaman tidak menghancurkan sebuah peradaban. Tentang topik pembicaraan kita kali ini, mengenai Pulau Bali dengan penduduknya yang mayoritas beragama Hindu, yang melahirkan budaya tinggi, kita bisa belajar dari kasus runtuhnya Kerajaan Majapahit. Mengapa Majapahit bisa runtuh dan agama Hindu digantikan oleh agama Islam yang datang dari pesisir. Mengapa terjadi Sandhyakalaning Majapahit. Dengan mempelajari hal itu, kita bisa segera melakukan langkah nyata agar Sandhyakalaning Bali Dwipa tidak akan terjadi, dan tak pernah terjadi. Kenapa Majapahit runtuh dan penduduknya segera bisa pindah agama? Kita mulai menyoroti dari atas, di tingkat elit. Pada elit kerajaan terjadi perbedaan pendapat yang tajam yang ujung-ujungnya memang ingin merebut kekuasaan. Para elit politik merangkul sejumlah purohito (para pendeta) sehingga terjadi kelompok-kelompok pendeta. Akibatnya energi para
C
237
C
pendeta habis untuk saling membela dan menyerang kelompok sehingga pembinaan agama ke bawah tidak berjalan dengan baik. Rakyat dibiarkan lepas tanpa pengayoman. Para pendeta yang juga pujangga berhasil membuat karyakarya sastra bermutu, termasuk mewariskan ajaran Veda dalam karya sastranya itu. Namun di lapisan bawah pendidikan kurang diperhatikan, sehingga ada jurang yang besar dalam hal pemahaman tatwa. Masuknya agama Islam yang dibawa para pedagang dari pesisir pada awalnya tidak dianggap sebagai ancaman. Toleransi tinggi para elit kerajaan menyebabkan lapisan bawah dengan mudah dipengaruhi oleh ajaran Islam. Budaya Hindu semuanya dimasuki unsur Islam, dan umat Hindu dengan senang dan bahkan bangga bahwa budayanya dianggap bisa sejalan dengan Islam. Misalnya, kesenian wayang kulit mulai disisipi ceritacerita tentang Islam, bahkan kemudian para penyebar Islam, terutama Wali Songo (sembilan wali) memakai wayang kulit sebagai peraga dakwah. Istilah-istilah pun bisa beralih secara perlahan, misalnya, senjata sakti kalimosodo menjadi kalimat syahadat, dan seterusnya. Jadi ada gempuran dari atas dan dari bawah. Di atas diadu domba dengan iming-iming kekuasaan, di bawah digempur dengan menyebutkan “beralih agama hanyalah berganti baju, budaya tetap dipertahankan”. Bentuk sesaji, tumpeng dan sebagainya, tidak berubah, tetapi mantram Veda lama-lama berubah menjadi ayat suci dalam Quran. Tentu secara berangsur hal itu dimurnikan kemudian, namun sampai sekarang kita masih melihat sisa-sisa percampuran itu. Nah, bagaimana dengan Bali? Pada awalnya yang “menggempur Bali” hanyalah misionaris Protestan dan Katolik, namun belakangan ini Islam dan Buddha juga mendapat lahan subur untuk menyebar di Bali. Ini tak lepas dari munculnya
C
238
C
klik-klik di tingkat atas, baik dalam pemerintahan maupun tokoh agama dan adat. Perbedaan pendapat misalnya terjadi dalam menentukan konsep Bali ke depan, apakah sepenuhnya dalam bidang pariwisata atau pariwisata yang tidak mematikan pertanian. Dicari jalan tengah “pariwisata budaya” namun tak ada kesepakatan bagaimana rumusan yang benar. Parisada membuat bhisama tentang kesucian lingkungan pura, pemerintah melanggar bhisama itu jika ada investor lebih kuat. Kasus Bali Nirwana Resort hanya satu contoh. Kini contoh serupa makin banyak termasuk proyek PLTP Bedugul. Di lapisan bawah, budaya Hindu dipakai oleh agama lain dengan aman. Gereja dengan style Bali, canang, penjor, pakaian adat, kidung, gamelan, semuanya bisa dipakai oleh umat yang sudah pindah agama. Persis ketika menjelang Majapahit runtuh, “pindah agama tak masalah toh kebiasaan sehari-hari tetap seperti dulu”, itu kampanyenya. Maka gereja bisa dibuat di mana-mana. Belakangan, pengaruh Islam datang lewat membanjirnya pendatang. Umat Hindu diminta untuk toleransi, apalagi dengan dalih “kerajaan-kerajaan di Bali semuanya memandang umat Islam sebagai nyama braya, terbukti ada istilah selam,” demikian pembenarannya. Maka masjid pun berdiri di banyak tempat, dimulai dari yang kecil seperti mushola. Sementara itu masyarakat bawah tetap diminta untuk “ajeg Bali”, memelihara ritual yang membutuhkan biaya mahal karena bantennya besar. Namun, sarana ritual itu sebagian besar sudah jatuh di tangan pendatang: janur, ayam, itik, telur, sampai buahbuahan impor. Jeruk Bali, sotong, kaliasem, langsat semua sudah ditebang, karena ada apel dari Malang, buah pier dari Australia. Akibatnya, orang Bali menjual tanah untuk ngaben atau potong gigi, sementara pendatang membeli tanah untuk mengajak ke-
C
239
C
luarganya datang berduyun-duyun. Moral orang Bali pun dirusak secara sistematis. Kafe dibangun sampai di desa dengan perempuan orderan dari seberang. Sementara tokoh agama pecah (ada dua PHDI Bali) pembinaan agama hanya sampai pada ritual besar yang menguntungkan pendatang, sementara tatwanya kurang. Sebentar lagi tatwa itu akan diambil-alih agama lain. Nah, kalau kita sudah tahu penyakit yang diderita orang Bali sekarang ini, mari kita cari obatnya. Mari kita bergerak agar Bali tidak mengalami sandhyakala. Ayo, sekarang bergerak, kita sudah terlambat banyak. Juni 2006
C
240
C
Tentang Penulis
P
utu Setia dilahirkan di Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali, pada 4 April 1951. Ayahnya seorang budayawan, juga tokoh spiritual. Nama yang diberikan ayahnya memang cuma itu, tanpa ada embel-embel apapun di depan nama Putu Setia -- sesuatu yang tidak lazim di Bali, saat itu. Dalam catatan yang memakai huruf Bali, di belakang namanya hanya tertulis hari kelahiran, Budha Paing Krulut. Putu Setia adalah anak kelima dari sembilan bersaudara, tetapi ia lelaki yang pertama. Selepas sekolah menengah, Putu mengenyam pendidikan jurnalistik di sebuah universitas swasta dan kursus jurnalistik yang diselenggarakan LP3ES di Jakarta. Ia kemudian bergabung sebagai wartawan harian Bali Post yang terbit di Denpasar merangkap koresponden Majalah Tempo di Bali. Tahun 1978 ia sepenuhnya bekerja di Majalah Tempo dan dipindahkan ke Yogyakarta. Selama lima tahun di Yogyakarta, Putu suka mengunjungi pesantren-pesantren dan ia, misalnya, sangat akrab dengan KH Hamam Djafar (kini almarhum), pimpinan Pesantren Pabelan, Muntilan.
C
241
C
Tahun 1982 ia dipindahkan ke Jakarta, sampai ia pensiun dari Tempo pada April 2006 dengan status Redaktur Senior. Kini ia kembali pulang ke kampungnya di Bali, menulis dan membina pasraman (ashram), menjadi pendeta. Ia dinobatkan sebagai pendeta Hindu dengan bhiseka (nama baru kependetaan): Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, pada 21 Agustus 2009. Sudah banyak buku yang diterbitkannya, dari fiksi dan nonfiksi. Setelah menjadi pendta Hindu, ia menulis juga buku-buku keagamaan.
C
242
C