Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang N0. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atauHak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
PUTU SETIA
MENGGUGAT
BALI
Menelusuri Perjalanan Budaya
Menggugat Bali: Menelusuri Perjalanan Budaya Putu Setia Ilustrasi oleh: S. Prinka Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta Cetakan Pertama 1986 Cetakan Kedua 1987 Cetakan Ketiga oleh PT Pustaka Manikgeni Denpasar 2000 ISBN 979-444-032-9
Pengantar Penerbit
S
etiap pembangunan niscaya membawa pergeseran nilai. Dan Bali tak luput dari hukum besi itu. Bahkan di sini -- sebuah kawasan yang paling gencar dilanda industri pariwisata -- gerak laju pergeseran nilai berjalan jauh lebih cepat dan bagi banyak pihak terasa mencemaskan: akan ke mana Bali dengan khasanah kebudayaannya yang luhur itu? Putu Setia, seorang putra Bali asli, bisa disebut pengamat permanen atas perubahaan yang terjadi di pulaunya. Ia bergelut erat dengan budaya Bali dengan segala pernik-perniknya, kemudian meninggalkan Bali pada awal 1978, merantau di budaya yang lain. Dalam suatu kesempatan, ia berkunjung kembali ke tanah kelahirannya pada awal 1986 yang memungkinkan baginya untuk mengamati dari dekat serta merenungkan secara intens perkembangan berbagai aspek budaya Bali. Hasilnya: ia menggugat. Atau dengan kata lain, ia mempertanyakan perubahan sosial budaya yang terjadi akibat pembangunan yang diterapkan secara menggebu, dan
mungkin ada sebagian yang salah. Meski menggugat, Putu Setia masih melihat celah. Ia bukan orang yang emoh dengan perubahan, melainkan sekadar mendambakan perubahan yang berakar. Ia ingin melihat suatu dinamika yang sehat dari masyarakat Bali sebagai perbenturan nilai yang tidak terelakkan. Hasil pengamatan itu adalah buku Menggugat Bali, terbit 1986 oleh Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, grup Tempo di mana Putu Setia bekerja. Buku ini mendapat hadiah pertama sebagai buku non-fiksi terbaik dari Yayasan Buku Utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1986. Buku ini pun diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dan menjadi rujukan wisatawan Jepang yang ingin mempelajari budaya Bali. Untuk menjaga keaslian buku ini, pada edisi online ini tak ada perubahan apa pun yang dilakukan penulisnya. Dengan demikian rekaman perjalanan budaya Bali ini dampai dengan tahun 1986 pada saat buku edisi cetak ini diterbitkan. Ada rencana untuk melanjutkan menulis perjalanan budaya Bali itu untuk menguji apakah yang ditulis dalam buku ini berubah atau tida. Tunggu Menggugat Bali edisi Update. Selamat menikmati Bali yang bergerak dengan sangat dinamis.
Daftar Isi
SEBUAH PROLOG UNTUK BALI (Pengantar Penulis di Buku “Menggugat Bali” 1986) -- 9 II. PADA AWALNYA I KETUT BANGBANG GDE RAWI, (Tentang Kalender Bali dan Baik Buruknya Hari) -- 20 III. SALAH KAPRAH. KATA I GUSTI AGUNG GDE PUTRA (Selintas Arsitektur Bali dan Kelengkapan Upacara yang Berubah Fungsi) -- 36 IV. BEBAN I WAYAN NESA WISUANDHA (Upacara Pembakaran Mayat (Ngaben) yang Sederhana) -- 47 V. PENYAKIT GURUN TEKO (Berbagai Bentuk Judi I.
Tradisional Bali) -- 64
VI. I DEWA PUTU KARSA DALANG LEAK (Mengenai Ilmu Hitam dan Mahkluk Halus) -- 92 VII. KETIKA IDA BAGUS NGURAH MEMBANYOL (Nasib Arja, Teater Rakyat Bali yang Merana) -- 108 VIII. DEWA AYU PUTU RAI ALIAS N1 LUH SUKETI (Perjalanan Teater Rakyat Topeng, Janger, dan Drama Gong) -- 119 IX. MADE TARO DI SASIH KARO (Pasang Surut Sastra Bali Moderen & Tradisi) -- 139
X.
MADU DAN RACUN ANAK AGUNG MADE CAKRA (Cerita Tentang Lagu Pop Bali yang Marak) -- 164 XI. BUAH UPAKARTI I NYOMAN TOGOG (Seni
Kerajinan di Tengah Arus Pariwisata) -- 171
XII. LANGKAH-LANGKAH PANDE WAYAN SUTJA NEKA (Lukisan Bali dan Museum Seni) -- 186 XIII. I GUSTI ADNYA SUBRATA DI KUTA MIMBA (Kasus Desa Kuta di Tengah Arus Pariwisata) -- 201 XIV. PARA PEWARIS RATU SAKTI PANCERING JAGAT (Kasus Kepariwisataan di Desa Trunyan) -- 219 XV. KECEMASAN DARI DESA KI PATIH TUJUNG BIRU (Kasus Kepariwisataan di Desa Kuno Tenganan) -- 241 XVI. NYONYA GEDONG BAGUS OKA, GOOD NIGHT (Ashram Hindu Gerakkan Dunia Wisata Candi Dasa) -- 255 XVII. ASSALAMU’ALAIKUM NENGAH IBRAHIM (Melihat Kampung Muslim Pegayaman) -- 272 XVIII. RINI WAHYUNI SEBUAH EPILOG (Ritual Bali dan Wajah Hindu Nusantara) -- 280 KEPUSTAKAAN -- 296 TENTANG PENULIS -- 298
I Pengantar Penulis di Buku “Menggugat Bali” 1986
Sebuah Prolog Untuk Bali Di Bali: pantai, gunung, tempat tidur, dan pura telah dicemarkan.
T
EMAN saya, seorang penyair muda di Yogyakarta, membaca sajak Rendra yang berjudul Sajak Pulau Bali yang diambil dari buku Potret Pembangunan dalam Puisi yang diterbitkan Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta. Sajak itu tidak dibacanya di panggung, tetapi di ruang kerja saya, ketika saya bermukim di Yogyakarta. la membacanya dengan keras dan lebih keras lagi ketika sampai pada tiga baris penutup seperti di atas. Maksudnya mengejek saya, tentu. Apalagi, setelah pembacaan sajak gratis itu, ia menambahkan, “Bali benar-benar komersial.
Daerah itu berjalan menuju neraka.” Saya tersenyum. Rentetan umpatan sang penyair muda ini memang masih panjang. Upacara adat dan upacara agama di Bali, katanya, sudah bisa dibeli. Tari sakral sudah bisa dijinakkan oleh dolar. Tari itu bisa main di mana saja, kapan saja, asal ada dolar. Bahkan bisa diperpanjang dan diperpendek, tergantung acara tamu. “Apa lagi yang bisa dipertahankan oleh Bali-mu?” Tetapi, teman saya tak membutuhkan jawaban dari mulut saya. Ia menjawab sendiri, “Kukira tidak ada lagi. Pasir putih di pantai dan lambaian nyiur bukan lagi milik nelayan Bali. Pantai itu milik orang Jakarta, atau mungkin orang asing. Kau dengar, lelaki Bali sekarang cukup menjadi budak cewek bule? Kau tahu, sepasang turis dari Jepang atau Australia, aku tak jelas, kawin dengan upacara Bali secara besar-besaran? Kau tahu, Kuta sekarang ini sudah menjadi daerah asing seperti bukan bagian dari Indonesia ini? Kau tahu . . ..” Saya agak malu menyebutkan sejumlah umpatan teman saya seterusnya. Juga tidak lagi ingat kata-katanya yang persis. Yang saya ingat, rasanya saya bertanya kepadanya, berapa lama ia mengunjungi Bali. “Saya tiga hari penuh berkeliling dengan menyewa sepeda motor. Ini kunjungan saya yang pertama, dan saya kecewa.” *** SEHARI itu dua puluh empat jam. Tiga hari berarti tujuh puluh dua jam. Tak mungkin ia terus-menerus bepergian tanpa tidur. Katakanlah sehari tidur enam jam, berarti ia menikmati Bali selama 54 jam. “He, Bung, apa yang kau lihat selama 54 jam itu? Bali tidak hanya Denpasar, Pantai Kuta, Sanur, Ubud, Tanah Lot, atau Sangeh. Bali seluas 5.808,8 km2 dengan penduduk hampir tiga juta jiwa. Kesenian Bali tak cuma kecak, barong, fragmen Ramayana. Teman, kukira kesimpulanmu keluar terlalu eepat.” Teman saya, tentu saja, tidak mendengarnya. Pledoi saya ini, hanya dalam batin, setelah teman saya pergi. 10
Saya yakin, tuduhan teman saya berlebihan. Banyak suara sumbang tentang Bali, dari orang-orang yang melakukan kunjungan serba singkat. Namun, saya pun menyadari, tuduhan itu sebagian benar. Perubahan telah menimpa pulau kelahiran saya, ini tak mungkin saya bantah. Dinamika perubahan itu tak cuma melanda daerah-daerah turis di Bali bagian selatan dan timur, tetapi juga keseluruhan Bali. Hanya memang, di kantung-kantung turis di Bali itu, gerak laju perubahan terasa lebih cepat. Perubahan, seperti pula yang terjadi di mana saja di dunia ini, tentu tak semuanya menakutkan. Saya bersyukur, menyaksikan sebagian perubahan itu berjalan. Saya mengikuti sebagian jalannya, walau tidak dengan kecermatan. Boleh jadi, saya berada di dalamnya, dan ikut menggelinding bersama perubahan itu. Ketika Hotel Bali Beach dibangun di pantai Sanur — hotel pertama yang paling tinggi di Bali — saya termasuk sekian bocah yang merengek-rengek kepada Ibu, agar diantarkan melihat proyek raksasa itu. Dalam usia seorang anak sekolah dasar, dan tinggal di pegunungan, saya terbengong-bengong menyaksikan bagaimana bangunan luar biasa itu dikerjakan. Dan, malam harinya, saya menggigil ketakutan, ketika ibu saya bercerita, betapa banyak hantu dan leak yang mengganggu buruh yang sedang bekerja di proyek itu. Kata Ibu, malam-malam, hantu di pantai Sanur gentayangan. Di adonan pasir dijumpai tengkorak, begitu diangkat, hilang. Di tangga dijumpai rangda dengan mukanya yang seram. Kata Ibu, leak dan hantu itu protes, karena hotel itu dibangun di atas pekuburan, tanpa menggusur kerangka-kerangka yang ada di sana. Desa Sanur, ketika saya masih bocah, adalah desa yang menyeramkan, pusat segala yang menakutkan. Mendengar nama Sanur saja, seperti bercanda dengan maut. Ibu saya sering bercerita tentang leak Sanur, untuk menidurkan adik-adik saya. Siang hari, kalau kami bermain kelereng, untuk menghardik anak yang bandel dan curang, saya biasanya mengumpat dengan kata-kata, “Pantas curang, nenekmu dari Sanur, ya?” Juga untuk menunjukkan suatu tempat yang jauh, misalnya, kelereng lawan bisa saya pukul jauh, 11
saya berteriak, “Hore, . . . kelerengmu tiba di Sanur.” Bukankah suatu perubahan yang besar, jika sebuah pusat ilmu hitam, sebuah daerah yang menjadi lambang keangkeran, tiba-tiba di atasnya berdiri sebuah hotel besar? Dan, kini menjadi kawasan wisata yang ramai? Terbawa nasib, saya berada lebih dekat dengan kancah perubahan itu — kalau biang perubahan di Bali disepakati karena faktor pariwisata. Selama tiga tahun, saya bekerja sebagai juru gambar di sebuah perusahaan instalatir listrik. Waktu itu, setiap permohonan pemasangan listrik perlu disertai gambar instalasi yang lebih ruwet dibandingkan sekarang. Puluhan hotel, losmen, bungalow, home stay — apa pun namanya lagi — baik yang baru berdiri, yang dipugar, yang ditambah, memerlukan gambar instalasi untuk pengadaan daya listrik yang lebih besar. Di sektor ini saya banyak terlibat. Bahkan jaringan listrik di seluruh kawasan Sanur dan sekitarnya, dan juga ke jalur Nusa Dua yang dikerjakan oleh perusahaan tempat saya bekerja, bukan saja gambar perencanaannya yang saya buatkan, tetapi saya ikut mengawasi pekerjaan di lapangan. Mau tak mau, saya menyaksikan dari dekat, dari hari ke hari, bagaimana sebuah desa, sebuah kawasan, mengalami perubahan. Jalan hidup saya ikut berubah — dan perubahan ini saya senangi karena semakin dekat dengan perjalanan perubahan pulau saya. Awal 1974, saya memulai karier baru sebagai wartawan, keluar dari perusahaan instalatir listrik itu. Pekerjaan sebagai wartawan, membuat saya banyak berjalan, banyak melihat, dan banyak terlibat. Lebih-lebih saya terjun di bidang kebudayaan dan pariwisata, yang saya minati setengah mati. Saya pun merasa diuntungkan pula, banyak mengikuti perjalanan Gubernur Bali (waktu itu) Soekarmen, yang sangat suka menyelusup ke desa, menginap di sebuah kota kabupaten — padahal berapa, sih, jarak kota kabupaten di Bali dengan Denpasar? — dan tak kenal lelah berjalan di perkampungan yang becek, sambil menyapa rakyat dengan bahasa Bali yang ama janggal. (Gubernur Mantra — pengganti Soekarmen — juga banyak turun ke desa, tetapi saya sudah meninggalkan Bali 12
beberapa saat sebelum budayawan ini dilantik). *** KETIKA saya meninggalkan Bali di akhir 1977, saya merasakan, saya banyak tahu tentang perjalanan pulau ini. Ada kecemasan yang saya bawa ke Pulau Jawa, tetapi lebih banyak ketidakcemasan yang saya taruh di Bali. Yang tak perlu saya cemaskan itu, alasannya, masyarakat Bali sejak dulu kala terbukti pandai menyaring, bagian mana kebudayaan luar yang bisa diserap, dan bagian mana yang tidak. Ada filter pengaman yang ampuh. Ada dinamisme dalam menyesuaikan diri dengan faktor luar yang datang. Lihat saja upacara keagamaan atau berbagai bangunan, unsur budaya Cina sangat dominan. Uang kepeng, misalnya, masih merupakan alat kelengkapan sesajen, yang barangkali di daratan Cina sana, sudah sulit ditemukan. Berbagai bentuk tari-tarian menyerap tari dari luar, dipadukan, memperkaya, dan kemudian menjadi bagian kebudayaan Bali. Kecemasan yang saya bawa adalah terganggunya pikiran saya tentang menderunya laju pariwisata, sementara masyarakat Bali tak siap menyambut datangnya dolar yang besar itu. Akibat yang terjadi, mereka hanya mengais sisa-sisa dolar dari mereka yang lebih siap: entah itu pemilik hotel, biro perjalanan, guide — yang lebih banyak datang dari luar Bali. Dalam kais-mengais sisa ini, beberapa hal diserahkan dengan kesadaran mengalah. Misalnya saja, kesenian mutunya turun karena disesuaikan dengan keinginan turis — sesungguhnya lebih tepat disebut keinginan guide yang menggembalakan turis itu. Disesuaikan dalam hal: lama pementasan, busana penari, dan tempat pertunjukan. Sebelum saya meninggalkan Bali, saya melemparkan kecemasan itu dengan kata-kata yang lebih dramatis, atau mungkin sinis. Saya katakan, biro perjalanan, termasuk di dalamnya pramuwisata, bisa memesan pertunjukan sesukanya, apakah ia perlu semangkuk kecak atau cuma setengah mangkuk. Atau sepiring barong ditambah secangkir fragmen Ramayana. Para grup tari dengan senangnya 13
pula meladeni pesanan itu, dengan busana yang gemerlapan, bukan mendukung jalannya cerita, tetapi supaya lebih pas dan wah dipotret turis. Dengan cara itulah grup tari memperoleh dolar. Jadi, sesungguhnya saya mempunyai kecemasan dan kekhawatiran tentang perjalanan pulau kelahiran saya, walau tidak sebesar kecemasan — atau ketakutan — teman saya, penyair muda kota gudeg tadi. *** HAMPIR sepuluh tahun saya rneninggalkan Bali. Dalam rentang waktu yang panjang itu, saya tak seratus persen melupakan Bali. Saya masih memperhatikannya, walaupun takaran perhatian itu menyusut dari tahun ke tahun. Tahun pertama, saya masih rajin melayangkan tulisan mengenai berbagai masalah di bidang pariwisata untuk media yang terbit di Denpasar. Tahun 1979, misalnya, ketika Pemda Provinsi Bali mengadakan sayembara penulisan pariwisata, saya melayangkan tulisan dari Yogya. Saya tuangkan gagasan, betapa perlunya membuka jalur wisata baru untuk mengurangi kepadatan turis di Bali selatan dan timur. Perlu menggiring turis ke utara dan barat. Asalkan obyek dan kesenian itu ditata rapi, tak kalah menariknya. Tulisan saya itu memenangkan lomba sebagai juara pertama. Tahun-tahun berikutnya, perhatian saya mulai berkurang. Tidak lagi perhatian aktif. Saya merasa kerasan di daerah budaya baru, budaya Jawa. Lagi pula, untuk sebuah partisipasi aktif, saya merasa semakin kekurangan data aktual. Lama-lama, saya pun merasakan punya jarak. Melihat Bali di peta bumi sama saja seperti melihat Sulawesi, atau Sumatera. Memikirkan Bali — kadang-kadang masih sempat menggoda — terbagi dengan “memikirkan” jalur wisata Solo – Prambanan – Borobudur - Dieng, dan sebagainya. Malah beberapa daerah wisata lain di luar Bali mengganggu pikiran saya. Tentang Nias yang mirip Tenganan, tentang Tanah Toraja di Sulawesi yang bisa disambung ke Danau Tentena, Sulawesi Tengah, yang ada gua-gua 14
yang mirip kuburan Trunyan. Akhirnya, saya pun sadar betul, saya telah jadi Malin Kundang baru. Coba saja, dalam bentang waktu ribuan hari itu, saya hanya empat kali pulang ke tanah Bali. Itu pun, sungguh-sungguh, tanpa niat melihat Bali. Saya pulang ke kampung, terlibat dalam urusan persembahyangan keluarga. Letak kampung saya, kalau dicari dari pintu gerbang domestik pelabuhan laut Gilimanuk, sama sekali tak bersentuhan dengan turis asing. Lewat pintu itulah saya pulang, dan kemudian balik lagi ke tanah Jawa. *** SI anak durhaka, Malin Kundang, mulai terbunuh di dada saya, Agustus 1985. Sebuah awal yang sangat sepele. Saya ditugasi ke Bali, menulis tentang upacara ngaben — pembakaran mayat — melengkapi tulisan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Goenawan Mohamad, yang sebelumnya mereportase pembakaran jenazah keluarga Puri Gianyar. Saya menyiapkan rencana yang matang, karena tulisan ini untuk rubrik Selingan, lembaran khusus yang halamannya panjang. Inilah saat saya bercumbu lagi dengan Bali. Banyak hal yang mengejutkan. Banyak perubahan yang saya lihat. Hotel yang dulu dibanggakan tiba-tiba jadi bangkrut. Kegersangan yang dulu menakutkan, disulap jadi kemewahan tiada tara. Juga tentang manusiamanusia Bali. Lalu, ada kekagetan jenis lain, katakanlah kaget positif. Apa yang dikhawatirkan orang luar, bahwa Bali menuju neraka, sebenarnya kekhawatiran berlebihan. Dalam beberapa hal, perjalanan Bali menuju surga. Bercumbu selama tiga setengah hari dengan Bali mengentalkan keyakinan saya bahwa saya benar-benar telah punya jarak. Keyakinan ini penting, karena dengan itu rangsangan saya untuk menyetubuhi Bali sampai orgasme bergelora. Delapan tahun lebih, cukup untuk membuahkan rindu. Ibarat gadis, dulu saya kenali betul lekuk-lekuk tubuhnya, sampai debur jantungnya. Kini, saya ingin memeriksanya, apakah lekuk itu masih ada, masih di tem15
patnya semula, atau sudah pindah, atau bertambah. Kesempatan itu datang. Saya boleh mengambil cuti sejak akhir Januari sampai pertengahan Februari 1986. Saya ke Bali, tanpa ada persembahyangan, tanpa ada hari besar keagamaan. Betul-betul ingin melihat Bali. Dan lantaran ada jarak itu, kini saya merasa mampu melihat dengan lebih jernih, suatu hal yang mungkin sulit saya lakukan kalau saja saya tak pernah “bercerai” dengan gadis Bali. *** BUKU ini adalah hasilnya. Tidak! Buku ini tidak merupakan hasil penelitian yang ilmiah. Saya tak melakukan penelitian, seperti yang dilakukan para ahli. Dan, tentu saja, saya tak sanggup melakukan hal itu, saya tak punya dasar yang baik sebagai peneliti. Buku ini hanya coretan dari sebuah perjalanan. Dengan amat sadar, perjalanan yang saya lakukan sejak awal dibekali semangat untuk mencari perbandingan dengan masa “lampau” yang saya kenali itu. Tentu saja, terbatas pada bidang-bidang yang saya minati. Saya tak menulis soal olah raga, misalnya, walau kini ada yang membuat saya takjub, seperti olah raga menyelam itu. Tidak, itu dunia yang tidak saya kenali. Saya berjalan, mencari lekuk-lekuk wanita yang bernama Bali ini. Saya mendengar dari orang-orang, apa saja yang telah terjadi pada gadis saya. Lalu, saya membuka catatan lama. Kemudian saya menuliskannya, menuturkannya, dan sedikit berkomentar. Saya tulis kasus per kasus sesuka hati saya, kadang mirip laporan seorang wartawan, kadang ikut menuangkan opini, dan ada pula seperti menulis sepotong otobiografi. Pada akhirnya pula, lewat buku ini saya melampiaskan sekadar rasa kurang puas saya, mengenai banyak buku tentang Bali, baik oleh para penulis asing maupun para penulis domestik. Memang, jasa para sarjana asing yang melakukan penelitian di Bali — dan kemudian membukukan hasil penelitiannya itu — besar manfaatnya bagi kemajuan pariwisata di Bali. Sampai-sampai di luar neg16
eri, konon, nama Bali lebih terkenal dari nama Indonesia. Mereka, sebut saja: R. Gorris, Vicki Baum, Jane Belo, Miguel Covarrubias, Clifford Geertz dan istrinya Hildred, Geoffrey Gorer, Colin McPhee, Hiekman Powell, Willard A. Hanna, dan mungkin masih banyak yang lain, yang bukunya belum sempat saya miliki. Saya bisa mengatakan bahwa buku-buku mereka ini adalah hasil penelitian di bawah tahun 1960-an, tetapi sampai kini mewakili kepustakaan mengenai Bali. Padahal, zaman berubah, Bali juga. Sejumlah prasasti ditemukan, lembaga adat dan lembaga keagamaan mulai menata diri setelah berakhirnya masa gontokgontokan di zaman PKI. Sejumlah lontar mulai dikaji. Maka, buku para penulis asing itu, yang terbit atau diterbitkan ulang setelah 1970-an, terasa sebagai sebuah dongeng masa silam. Karya Hugh Mabbett, The Balinese, tergolong buku baru, hasil perjalanan baru, terbit 1985. Karena itu, Hugh Mabbett sudah banyak menyuarakan ketakutan, termasuk juga celaan. Namun, di luar data baru itu, ia pun banyak mengacu kepada kepustakaan buku-buku penulis asing di atas, terutama karya Geertz — yang tak lagi relevan. Yang lebih parah, justru buku yang dihasilkari penulis domestik, berbahasa Indonesia, yang umumnya dibuat dengan tergesagesa tanpa berkencan lebih lama dengan wanita yang bernama Bali itu. Kesalahan yang diperbuatnya bisa dimaklumi, karena mereka tidak mengenal rohnya Bali. Bayangkanlah, kalau ada yang tidak mengetahui beda antara puri dan pura, sehingga menyebutkan pura sudah begitu dikomersialkan. Lalu ada yang mencaci-maki subak, bahwa itu bukan khas Bali. Penulis ini rupanya mendapat informasi, subak itu adalah sawah di pegunungan yang meliuk-liuk dengan petak yang indah, seperti tertulis di brosur pariwisata. Di Pangalengan, Jawa Baral — dan di daerah pegunungan lainnya — banyak dijumpai bentuk sawah seperti itu, tentu saja. Padahal, subak, pada mulanya, memang khas Bali, karena ia sistem pengairan yang dikaitkan dengan adat dan upacara keagamaan — agama Hindu. Kalau sistem pengairan itu sudah diekspor ke Jawa dan wilayah lain, memang benar. Di Jawa Tengah, 17
misalnya, dikenal organisasi Dharma Tirta, sistemnya mencontoh subak, minus upacara keagamaannya. Jadi, subak bukanlah bentuk fisik petak-petak sawah. *** PADA saat catatan perjalanan ini dalam proses penulisan, awal April 1986, saya berkesempatan lagi pulang ke Bali selama satu minggu. Kesempatan baik ini saya pergunakan untuk — apa yang lazim dilakukan seorang wartawan — cheek and recheek. Mencocokkan kembali data dan bahan yang telah saya peroleh. Antara lain, saya bertemu dengan I Ketut Suwija, Ketua Yayasan Gedong Kirtya, Singaraja. Di “gedong” inilah tersimpan sejarah masa lampau Bali. Jika kemudian catatan perjalanan ini banyak menyebutkan sejumlah nama orang, maka sepanjang tidak ada penjelasan tambahan di belakang nama-nama itu, orang itu benar-benar ada. Tidak semuanya tokoh yang terkenal, tetapi pasti mereka punya kaitan dengan konteks yang saya ketengahkan. Adapun tentang nama-nama yang dijadikan judul setiap permasalahan, tidak berarti orang itu paling banyak tahu dan paling banyak dikutip. Judul itu sebuah kenakalan yang disengaja, dengan maksud sampingan, memperkenalkan berbagai variasi nama orang Bali. Kepada mereka yang namanya disebutkan itu sudah selayaknya saya menyampaikan terima kasih. Khusus kepada Gde Aryantha Suthama, Wayan Budiartha, Ketut Syahruwardi Abbas, mereka yang banyak memberikan informasi dan kadang-kadang menjadi teman selama perjalanan, saya menyampaikan terima kasih yang tulus. Ketiga anak muda ini sedang berjuang keras untuk menghadirkan sebuah media yang menulis masalah-masalah kebudayaan di Denpasar, melalui penerbitan yang bernama Karya Bhakti. Saya salut pada perjuangan mereka, yang hingga kini masih menghadapi berbagai tantangan — terutama permodalan. Cita-cita mereka juga cita-cita saya, sejak dulu. Lalu, ada seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 18
Udayana yang banyak membantu saya, terutama mengumpulkan catatan-catatan dan arsip-arsip tulisan saya yang oleh suatu sebab tidak dibawa ke Jawa. Mahasiswa itu, Wayan Supartha, adik kandung saya sendiri. Made Sukarnithi, Rini Wahyuni, Wirya Suniatmaja, istri dan kedua anak saya, rasanya tak patut dilewatkan untuk sebuah terima kasih. “Kehidupan” tiga orang yang dekat dengan saya ini menggampangkan saya menulis sebuah epilog — yang banyak menyinggung soal praktek menjalankan ibadat. Terutama Rini dan Wirya, dua anak yang dibesarkan dalam lingkungan budaya Jawa, berbahasa Jawa, akrab dengan masjid dan gereja, tetapi keduanya mempelajari agama Hindu secara intensif di Pura Rawamangun Jakarta — suatu pelajaran yang tidak pernah diterima ayah ibunya di sekolah. Bagi saya sendiri, catatan perjalanan ini adalah sebuah pertanda, sampai kini saya masih memperhatikan Bali — dari seberang laut. Ciputat, Mei 1986
19
II Tentang Kalender Bali dan Baik Buruknya Hari
Pada Awalnya I Ketut Bangbang Gde Rawi
J
IKA kamu mengadakan perjalanan jauh, perhatikanlah hari baik dan hari buruk. Perjalanan pada hari yang baik sudah merupakan awal dari suatu keberhasilan. Ayah sudah mengajarkan bagaimana caranya mencari hari yang baik.” Itulah kira-kira pesan ayah saya, kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pesan yang disampaikan ketika usia saya berjalan sebelas tahun pada 1962, sehari sebelum saya meninggalkan keluarga. Saya pergi “jauh”, untuk pertama kalinya dilepas seorang diri, ke kota kecamatan melanjutkan di SMP. Kakak dan ibu saya bersedih dengan perpisahan ini. Maklum, saya anak lelaki pertama, dan pergi seorang diri sejauh 26 km. Ya, cuma 26 km. Pesan Ayah pasti tidak mengada-ada. Dalam usia sebelas tahun, saya menguasai sebagian ilmu wariga, khususnya yang berkenaan dengan pedewasaan — mencari hari buruk dan hari 20
baik. Misalnya, kalau bepergian ke arah barat sebaiknya pada hari ini, kalau mau potong rambut pada hari itu. Yang paling mudah saya hafalkan, tentulah kalau berkaitan dengan judi. Saya gemar berjudi di waktu kecil. Ayah punya sedikitnya tujuh lontar mengenai ilmu wariga. Saya boleh membacanya. Mencari hari baik dan hari buruk itu (ala ayuning dewasa) umumnya memakai unsur pawukon (perwuku-an). Dalam penanggalan tradisional Bali, ada 30 wuku, masing-masing berumur 7 hari. Wuku pertama bernama Sinta dan yang ketiga puluh bernama Watugunung, hampir sama dengan penanggalan Jawa. Jadi, setiap hari untuk wuku yang sama berulang setelah 210 hari. Selain wuku ada kelompok-kelompok hari berdasarkan siklus edarnya, yang disebut wewaran, yang terdiri dari sepuluh wara. Yaitu, ekawara, dwiwara, triwara, caturwara, pancawara, sadwara, saptawara, astawara, sangawara, dan dasawara. Dilihat dari namanya saja, masing-masing beranggotakan satu, dua, tiga sampai sepuluh hari. Sebuah hari dalam kalender Bali tradisional, “isi”-nya harus sama. Yang saya maksudkan, misalnya, hari Senin wuku Sinta 16 Januari 1986, harus sama komponennya dengan hari Senin wuku Sinta tanggal 4 Agustus 1986. Begitu pula harus sama dengan Senin wuku Sinta di tahun 1987 dan seterusnya. Isinya itu, beteng dari unsur triwara, laba dari unsur caturwara, pon dari unsur pancawara, dan seterusnya. Untuk triwara yang terdiri dari pasah, beteng, kajeng, pancawara yang terdiri dari umanis (di Jawa: legi), pahing, pon, wage, kliwon, sadwara yang terdiri ari tungleh, aryang, urukung, paniron, was, mahulu, dan saptawara yang rinciannya redite, coma, anggara, buda, wraspati, sukra, saniscara, tidak timbul masalah dengan peredaran ini, karena 210 hari habis dibagi tiga, lima, enam, tujuh. Tetapi untuk caturwara yang beranggotakan sri, laba, jaya, menala, astawara yang beranggotakan shri, indra, guru, yama, rudra, brahma, kala, uma, dan sangawara yang beranggotakan dangu, jangur, gigis, nohan, ogan, erangan, urungan, tulus, dadi, akan timbul masalah karena 210 tidak habis dibagi empat, delapan, 21
dan sembilan. Maka, agar peredaran hari itu tetap membuat sebuah hari komponennya sama, terjadi penyesuaian pada wuku tertentu, dan ini telah ditetapkan rumusnya, tak bisa diubah-ubah. Untuk caturwara dan astawara penyimpangan terjadi di wuku Dungulan (wuku ke sebelas), dari hari Minggu sampai Selasa isinya berturut-turut jaya (unsur caturwara) dan kala (unsur astawara). Orang Bali menyebut penyimpangan ini kala-tiga (karena selama tiga hari kala melulu), dan esoknya Rabu wuku Dungulan adalah Hari Raya Galungan. Sedang untuk sangawara, penyimpangan dilakukan pada wuku Sinta mulai hari Minggu sampai Rabu. Selama empat hari itu isinya dangu melulu. Adapun ekawara yang anggotanya cuma luang, dwiwara yang beranggotakan menga, pepet, dan dasawara yang beranggotakan pandita, pati, suka, duka, shri, manuh, manusha, raja, dewa, raksasa, walaupun 210 hari itu bisa dibagi habis satu, dua, dan sepuluh, penempatan anggota wara-nya tidak berurutan. la bergantung pada urip (nilai hari) yang dihitung dari urip unsur triwara dan pancawara pada saat itu. Rumus-rumus seperti itu sudah saya kuasai sejak — kalau tak salah — kelas empat sekolah dasar. Mencari hari dengan segala komponennya cukup menggunakan ruas jari tangan kiri dan telunjuk kanan menghitungnya. Kalau unsur-unsur hari itu sudah diketahui, urip juga diperoleh, tinggal dicocokkan dengan keperluan, baik atau tidak hari itu melaksanakan keperluan tadi. Saya masih ingat, ketika Ayah meninggal dunia. Saat itu menjelang kenaikan ke kelas dua SMP, dan pemberitahuan saya terima di dalam kelas. Yang pertama kali saya lakukan ketika mendengar berita sedih itu, mencari dewasa untuk penguburan mayat. Saya hitung-hitung ruas tangan kiri, seperti memijit kalkulator — tapi waktu itu ‘kan belum ada kalkulator. Dan akhirnya saya bisa mempersiapkan diri pulang kampung lebih tenang, dan tidak terburu-buru mencari kendaraan, karena saya agak yakin, jenazah Ayah baru bisa dikuburkan dua hari kemudian. Ternyata, benar. Sebab, saya tahu kapan hari pantang menguburkan jenazah, dan kapan kesempatan pertama diperbolehkan. Dalam hal menguburkan jenazah, tak ada hari baik, yang ada hari pantangan. 22
*** PESAN almarhum Ayah yang sudah berumur 24 tahun tibatiba terngiang kembali, ketika saya merencanakan pulang ke Bali melakukan perjalanan ini. Saya merasa perlu mencari hari baik untuk melakukan perjalanan. Akhirnya sia-sia, dan saya ketawa dalam hati. Saya telah lupa pada banyak hal ilmu pedewasaan. Kalau nama wuku yang 30 biji itu masih bisa saya ucapkan di luar kepala dengan lancar. Nama wara-wara masih juga lancar, paling yang tersendat astawara, sangawara, dan dasawara. Tetapi kapan suatu hari ada unsur kliwon yang bercampur dengan dangu dan beteng, misalnya, sudah lupa rumusnya, apalagi cara menghitungnya. Juga saya lupa pada urip. Dan yang paling penting, saya juga lupa berapa urip yang baik untuk berjalan ke arah timur, dari Jakarta ke Bali. Saya mencoba cara lain. Ada kalender Bali karya I Ketut Bangbang Gde Rawi. Saya telusuri ala ayuning dewasa di situ. Ternyata, tak ada tertulis hari baik untuk melakukan perjalanan. Yang ada hari baik untuk menanam benih, menanam padi, memelihara sapi, membuat pancing, dan sebagainya. Tiba-tiba saya merasa tak puas pada cara Gde Rawi mencantumkan hari baik itu, lebih banyak masalah pertanian dan peternakan. Saya memutar waktu ke belakang, kenapa saya sampai melupakan ilmu warisan orangtua. Ayah meninggal saat saya menginjak usia 12 tahun, pada 1963. Ibu melarang saya membawa lontar Ayah ke tempat kos di kota, dan itu sudah saya duga. Anak-anak di zaman saya kecil tidak boleh membaca lontar, aja wera — bisa kualat belajar ilmu untuk orang tua. Ayah saya melawan arus, memang. Pada Ayah tak ada istilah aja wera. Lalu, di SMP dan SLTA saya tak menerima pelajaran agama Hindu. Bahkan di SLTA saya tak menerima pelajaran huruf Bali sama sekali. Faktor itu yang menyebabkan saya jadi melupakan ilmu wariga. Kalau pun ada yang masih saya ingat sekarang adalah hari baik untuk memotong rambut. Yaitu hari Rabu Umanis. Disebut di sana istilah mitra asih, artinya kurang lebih “membuat disenangi 23
banyak kawan, terutama bisa jadi daya tarik perempuan”. Kalau sampai sekarang saya ingat hal itu, dan sering rnemotong rambut pada hari Rabu — tanpa peduli umanis atau kliwon — pasti tak lagi karena arti yang tersirat dari mitra asih. Kebetulan hari Rabu waktu saya banyak kosong dari pekerjaan kantor, majalah tempat saya bekerja sudah naik cetak dan beredar. Begitulah, saya pun berangkat ke Bali tanpa pusing apakah harinya baik atau tidak. Setiba saya di kampung, dan selama saya berjalan di pulau kelahiran saya, sering saya menguji seseorang, apakah dia tahu bagaimana menentukan hari baik dan hari buruk untuk suatu hal. Jawaban yang saya terima, sebagian besar responden saya tidak tahu, dan tidak pernah belajar. Di sekolah pun tak lagi diajarkan, kecuali di SMP Dwijendra (milik swasta dari sebuah yayasan keagamaan) dan di Institut Hindu Dharma. “Untuk apa? Lihat saja kalender Gde Rawi. Kalau toh tidak dicantumkan, tanya saja pada sulinggih (ulama/pendeta),” ini jawaban dari generasi saya, juga dari generasi yang lebih tua. Memasyarakatnya kalender Gde Rawi mempunyai dampak buruk terhadap jalannya ilmu wariga dan ilmu pedewasaan. Kalaupun Gde Rawi tak mencantumkan hari baik tertentu, karena lembar kalender sudah penuh, setiap hari dalam kalender itu sudah dilengkapi dengan unsur-unsurnya. Bahkan tabiat sebuah hari juga ditulis lengkap. Tinggal mencocokkan dengan keperluan. Kebanyakan orang Bali, jika mereka melakukan pekerjaan yang penting, menyangkut kehidupan, berkaitan dengan keagamaan dan kepereayaan, pada awalnya selalu mencari kalender I Ketut Bangbang Gde Rawi. *** DIA, kini, sudah memasuki usia senja. Menginjak 76 tahun. Ia menjadi perbekel (kepala desa) di kampungnya, Desa Celuk, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, sejak sebelum kemerdekaan, pada 1941. Dalam tugasnya itulah ia sering dimintai tolong oleh warga desanya, untuk mencarikan dewasa. Gde Rawi 24
memang tahu banyak soal itu, ia mewarisi banyak lontar. Ia pun ringan tangan membantu orang. Selain sebagai perbekel — pekerjaan ini benar-benar pengabdian tanpa tanah catu seperti umumnya di Jawa — Gde Rawi bekerja di kantor distrik (sekarang kecamatan) di Ubud. Rekan sekerjanya pun sering meminta tolong supaya dicarikan hari baik untuk berbagai hal. Lama-lama, kemampuan Gde Rawi itu semakin tersiar luas dan diketahui banyak oleh para sulinggih, sebutan pendeta di kalangan Hindu. Berkali-kali Gde Rawi didesak oleh para sulinggih di sekitar Gianyar, agar bersedia menyusun ilmunya itu secara tertulis dalam huruf Latin. Awalnya Gde Rawi menolak. “Wewenang membeberkan wariga dan pedewasaan adalah wewenang para pendeta, saya ini orang kecil,” begitu alasannya. Tetapi ia terus didesak dan akhirnya terpojok. Ia mengajukan syarat: bersedia menuliskan wariga dan menyusunnya dalam sebuah kalender yang juga berlaku umum, asalkan ada anugerah (izin) dari para sulinggih. Pada 1948 atau 1949 (Gde Rawi lupa), ada rapat para sulinggih se-Bali dan Lombok. Salah satu keputusan rapat itu, memberi kepercayaan kepada Gde Rawi membuat kalender yang dilengkapi wariga. Maka, 1950 lahirlah kalender Gde Rawi yang pertama dalam bentuk yang amat sederhana. Penerbitnya Pustaka Balimas, penerbit dan toko buku terbesar di Bali, saat itu. Nama Gde Rawi dengan cepat dikenal orang. Pergaulannya yang luas, terutama dekatnya dengan para ulama, menyebabkan ia diangkat menjadi anggota DPRD GR (Gotong Royong) Provinsi Bali pada 1951. Setelah itu, kalender ciptaannya dipasangi potret dirinya. Sebuah potret yang gagah, memakai kaca mata dan dasi, maklum diambil di dalam gedung DPRD-GR. Uniknya, potret itu terus terpampang sampai kini, tak pernah diganti-ganti, bahkan mungkin seterusnya. Gde Rawi boleh saja tua renta, muka keriput dengan rambut memutih, berjalan memakai tongkat karena rematik, tetapi potret yang menyertai lembar demi lembar kalendernya selalu yang itu, foto diri sewaktu muda. “Kalau foto itu diganti, banyak orang yang ragu-ragu mem25
beli kalender saya, apa betul karangan saya atau tidak,” kata Gde Rawi. Sekali pernah foto diganti, sekitar tahun 1960-an (ia tidak ingat kapan persisnya, ia mengaku sangat pelupa sekarang). Dipasang foto baru, disesuaikan dengan dirinya yang semakin tua, dan karena tak lagi menjadi anggota DPRD-GR, ia merasa kikuk dengan potret berdasi. Ternyata, kalender itu tak laku dan malah ada protes datang ke rumahnya. Maka, jika kini atau nanti masih juga didapati kalender dengan lelaki ganteng berkaca mata dan berdasi, itu lebih merupakan merk dagang ketimbang identitas yang tertulis di bawahnya: disusun oleh I Ketut Bangbang Gde Rawi. Nama Bangbang ini pun sama uniknya dengan potret. Mestinya Bambang. Karena salah cetak, nama Bambang ditulis Bangbang, dan itu terus dipakai. Tetapi untuk diucapkan, tetap Bambang. “Bambang itu nama anak lelaki perkasa, anak lelaki saya semua memakai Bambang,” katanya. Kalender Gde Rawi pernah mendapat saingan di awal tahun 1960-an. Kalender tandingan itu dikeluarkan oleh Djawatan Agama Otonom (begitu namanya dulu). Penyusunnya enam orang, tokohtokoh yang dikenal sebagai sulinggih dan ahli sastra Bali. Adanya dua kalender ini membuat umat Hindu bingung, karena terjadi perbedaan pada perhitungan wariga. Bukan saja pedewasaan menjadi kacau, hari raya pun menjadi berbeda. Ada beda pendapat dalam menentukan peredaran bulan, dan terjadi selisih walau cuma sehari. Akibatnya, perayaan Hari Raya Nyepi berbeda di antara dua kalender itu. Gde Rawi menuturkan contoh kekacauan itu. Di sebuah desa, orang merayakan Nyepi berdasarkan kalender Djawatan Agama Otonom, sementara desa tetangganya mengadakan tawur kesanga berdasarkan kalender Gde Rawi, pada hari yang sama. Tawur Kesanga adalah ritual sehari sebelum Nyepi yang hingar-bingar, sementara Nyepi adalah hari yang sangat sepi. Karena umat bingung, Gde Rawi siap mengalah dan menarik diri sebagai penyusun kalender. Tapi umat menghendaki, Gde Rawi yang jalan terus. Alasannya, selain sudah berpengalaman, sebuah 26
kalender disusun oleh lebih dari seorang, apalagi enam orang, tidak bisa dipegang kesatuan pendapatnya. Akhirnya, Gubernur Bali, waktu itu, Anak Agung Sutedja, memerintahkan Gde Rawi agar tetap menyusun kalender, dan Djawatan Agama Otonom tidak boleh menerbitkan kalender lagi. Setelah Parisada Hindu Dharma berdiri (1959), lembaga tertinggi umat Hindu inilah yang meminta agar Gde Rawi tetap membuat kalender, sampai sekarang. “Jadi, saya selalu diberi kepercayaan. Sekarang saya tinggal menyerahkan naskah, Parisada yang mencetak dan menerbitkan, juga yang menyalurkan. Soal honor juga tak pernah saya tanyakan, anak saya yang mengurusnya. Karena saya tak boleh mundur, dan selalu diberi anugerah, tujuan saya cuma meladeni umat, agar terjadi ketenteraman, tidak ada tumpang tindih dalam wariga,” kata Gde Rawi. Upaya peningkatan setiap tahun dilakukan Gde Rawi, memasukkan penanggalan dari daerah lain, misalnya, penanggalan Jawa, Arab, Cina, dan kini Jepang. Para pemuka umat agama di luar Hindu juga memberikan bahan-bahan. “Dulu kalender saya, yang berisi tahun Cina, pada kolom hari rayanya saya tulis hari raya Cina, ternyata salah. Pemuka agama Kong Hu Cu datang ke sini, meminta supaya istilah itu diganti menjadi hari raya Kong Hu Cu. Ya, saya turuti, dia lebih ahli,” ujar Gde Rawi. *** BALI punya dua jenis hari raya, berdasar cara menghitungnya. Yang satu peredaran pawukon dan wewaran, jadi siklusnya 210 hari. Satunya lagi berdasarkan peredaran bulan atau disebut sasih. Yang pertama, misalnya, Hari Raya Galungan yang jatuh pada Rabu Kliwon wuku Dungulan, Hari Raya Kuningan jatuh pada Sabtu Kliwon wuku Kuningan, Hari Raya Saraswati (turunnya ilmu pengetahuan) hari Sabtu Umanis (Sabtu Legi) wuku Watugunung, Hari Raya Pagerwesi hari Rabu Kliwon wuku Sinta. Ini yang besar-besar. Kemudian hari raya yang lebih khusus dan tingkatannya kecil, misalnya Tumpek Landep, hari Sabtu Kliwon wuku Landep, 27
untuk mengupacarai segala jenis benda yang dibuat dari besi: keris, tombak, gergaji, pahat, sampai mobil. Pada saat itu mobil di Bali pasti ada hiasan di depannya, dan para pengukir tidak akan bekerja. Lalu ada Tumpek Kandang hari Sabtu Kliwon wuku Uye, semacam hari raya untuk binatang-binatang peliharaan. Ibu-ibu rumah tangga “membuang” sesajen di kandang peliharaan ini, dan tentu memerciki air suci ke binatang itu. Kemudian, persembahyangan di tempat-tempat suci juga banyak ditentukan oleh siklus ini. Bahkan pada orang Bali, ulang tahun secara tradisional (otonan) memakai peredaran pawukon dan wewaran ini. Untuk menentukan hari raya berdasarkan hitungan hari yang 210 ini, tak akan terjadi salah hitung, biarpun ada dua atau lebih kalender yang disusun para ahli wariga yang berbeda. Bahkan tanpa melihat kalender pun orang bisa mencari hari-hari itu secara mudah, seperti yang pernah saya hafalkan sewaktu “kanakkanak”. Yang dapat berbeda adalah hari raya berdasarkan peredaran bulan. Misalnya, Hari Raya Nyepi atau tahun baru Caka, yang sudah dijadikan hari libur nasional. Hari raya ini jatuh pada tanggal pisan (tanggal satu) sasih Kedasa. Sehari sebelum ini, yaitu pada penutup tahun, dilangsungkan upacara tawur kesanga, yang dilakukan di perempatan jalan. Dalam perhitungan kalender Bali, jika hari menuju bulan besar (bulan purnama) disebut tanggal atau penanggal. Kalau hari menuju bulan mengecil atau bulan mati (tilem) disebut pengelong. Jadi, ada penanggal 1 sampai 15 lalu disusul pengelong 1 sampai 15. Masalahnya, tidak selalu satu sasih terdiri dari tanggal dan pengelong yang berumur 15 hari. Adakalanya berumur 14 hari. Penyimpangan inilah yang sering menimbulkan silang pendapat di antara para ahli, kapan penyimpangan itu terjadi. Selisihnya tidak banyak, paling satu hari. Tetapi justru selisih satu hari itu menimbulkan masalah besar, kalau dua pendapat itu tak bisa disatukan. Sebab, ini akan mempengaruhi Hari Raya Nyepi. Di Kota Denpasar, yang dibelah Sungai Badung, pernah terjadi keganjilan, ketika beredar dua kalender. Di sebelah timur 28
sungai, orang merayakan tawur kesanga, di sebelah barat sungai merayakan Nyepi. Tentu yang menjalankan ibadat Nyepi sangat terganggu, karena upacara tawur kesanga dan rentetannya yang disebut ngerupuk, sebuah upacara ingar-bingar. Kentongan dipukul, anak-anak memukul drum, membuat petasan bambu, dan pawai obor. Bagaimana suasana Nyepi bisa khusyuk kalau tetangga berpesta-pora. Seperti halnya menentukan Hari Raya Idulfitri — sama-sama berdasarkan peredaran bulan — sering dijumpai silang pendapat di antara umat muslim. Namun, beda pendapat — dan beda pelaksanaan salat Ied — tidak mencuat ke permukaan, karena Departemen Agama, lewat suatu surat keputusan, menetapkan kapan hari raya itu. Di Bali tak ada ketetapan pemerintah mengenai Nyepi. Selama ini orang selalu berpedoman kepada kalender Gde Rawi. Apalagi, kalender ini dicetak, diterbitkan, dan disalurkan oleh lembaga tertinggi umat Hindu itu. Boleh disebut, kalender itulah SK yang patut dijadikan pegangan. *** SAMPAI kapan Gde Rawi memonopoli penyusunan kalender? Ini sudah terjawab memasuki tahun 1986. Sangat mengagetkan, ada tiga jenis kalender yang beredar di Bali, kalender yang dilengkapi wariga. Yakni susunan Gde Rawi, tanpa keterangan tambahan, dan satu lagi disusun oleh I Wayan Gina dengan embel-embel “Diperiksa oleh Parisada Hindu Dharma Kabupaten Daerah Tingkat II Karangasem”. Pada setiap lembar kalender ini, di bagian atasnya terpampang lambang besar Golkar, dan ada tulisan DPD Golkar Tingkat II Karangasem. Seolah-olah partai itu ikut menyebarkan kalender ini. Kalender Gde Rawi mudah dikenali, karena begitulah coraknya selama bertahun-tahun. Berbingkai ukiran dedaunan, di atasnya ada lambang swastika dengan tulisan kecil Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. Lalu foto Gde Rawi di masa masih menjadi ang29
gota DPRGR. Pada kolom hari, ada empat versi nama-nama hari. Versi bahasa Indonesia paling atas dan paling besar, dengan ejaan khas Gde Rawi: Ahad, Senen, Selasa, Rebo, Kemis, Jumat, Sabtu. Kecuali Ahad, yang asing bagi lidah orang Bali, ejaan Gde Rawi itu memang sesuai yang diucapkan orang Bali pada umumnya. Jadi, bukan Rabu, tetapi Rebo. Di bawah nama hari versi Indonesia ini ada versi bahasa Bali. Tentu yang dicantumkan di sana anggotaanggota Saptawara: Redite, Coma, Anggara, Buda, Wraspati, Sukra, Saniscara. Di bawahnya lagi dalam bahasa Inggris. Nah, di bawahnya ini sejak 1986 — sesuai dengan awal dimasukkannya penanggalan Jepang — terdapat nama hari dalam bahasa negeri Sakura itu: Nieiyobi, Getsuyobi, Kayobi, Suiyobi, Mokuyobi, Kinyobi, Doyobi. Di setiap lembar kalender Gde Rawi, tak ada bidang kosong. Dalam satu kotak hari, ada tanggal (tanggal internasional, bukan tanggal Bali) yang ditulis besar mencolok. Tanggal ini dikelilingi “huruf-huruf” kecil. Jika diamati secara saksama, ada penanggalan Jawa, penanggalan Cina, yang semuanya dilengkapi dengan nama bulannya. Lalu ada penanggalan Bali, yang ditulis cuma tanggal atau pengelong saja. Tanggal ditulis kecil dalam huruf berwarna merah, dan jika tanggal 15 atau bulan purnama, ada bulatan merah yang cukup besar. Pengelong ditulis dengan huruf juga, berwarna hitam. Jadi, pada bulan mati (tilem) ada bulatan hitam. Dalam kotak ini pun segala anggota wewaran dimasukkan, tentu dengan huruf kecil-kecil. Juga nama sasih, watak hari untuk menentukan hari baik atau buruk. Pokoknya, penuh. Pada pinggir kanan tercantum ala ayuning dewasa yang harus dikupas artinya, dan ini hanva bisa dimengerti oleh mereka yang mempelajari ilmu wariga. Misalnya, untuk tanggal 31 Agustus 1986, yang jatuh pada hari Minggu. Ciri-ciri hari itu tertulis: Semut sedulur, Kl (singkatan dari kala) dangu, pepedan, bojog munggah, laku bintang, lebu ketiup angin, Ek (singkatan dari ekajala resi) kemertaan, Per (singkatan dari pertiti) jati. Nah, apa artinya? Tak ada dicantumkan di kalender ini. Tetapi para sulinggih, dan banyak 30
orang tua di Bali, tahu arti ungkapan-ungkapan itu. Dulu, sebagian dari ungkapan itu saya pelajari, tetapi sekarang sudah banyak yang saya lupa. Yang saya ingat cuma semut sedulur, yaitu sebuah hari yang tidak boleh (pantang) untuk menguburkan jenazah. Saya selalu mengingat ini karena teringat pada kematian Ayah. Untuk masyarakat awam, di bagian bawah kalender ini ada ala ayuning dewasa yang tak memakai ungkapan, dan tak perlu dikupas lagi. Misalnya, hari baik belajar menari, lengkap dengan jamnya. Hari baik memancing, hari baik membangun sumur, dan banyak lagi — tapi tak ada hari baik melakukan perjalanan dan hari baik berjudi. Di sebelah petunjuk praktis ini ada lagi seleret petunjuk, di mana ada persembahyangan. Tentu itu bisa diketahui, karena persembahyangan di pura yang besar selalu mengikuti siklus hari yang 210 itu. Gde Rawi betul-betul anti bidang kosong. Kalau ketemu bidang kosong, ia menyelipkan kata-kata mutiara dari falsafah Hindu, yang terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, maaf, jelek sekali. Sering pula tak jelas apa maunya. Lihat contoh lembar kalender 1986 bulan Januari. Di pojok kanan bawah, ia menulis, saya kutip asli dengan ejaannya: “PERHATIAN: PARA WISATAWAN dari dalam-Luar Negeri semakin meningkat berkembang dengan baik dan mengagumkan yang bersumber dari pada aslinya. Sehingga terwujud PESTA SENI, hiburan hati nurani yang mendalam”. Apa maksudnya? Pesta seni itu sendiri diadakan pemerintah daerah antara bulan Juli dan Agustus. Di sini amat kentara bahwa tak ada editor untuk karya besar yang mulia ini, baik dari putraputra Gde Rawi, dari penerbit, dan dari tokoh lain di Parisada, misalnya. Leiaki usia senja ini sudah membentuk pola kalender yang persis di lembar besar yang dikerjakan di rumahnya. Ia menulis dengan balpoin biasa, berwarna hitam dan merah. Di kertas itu, Gde Rawi sudah memenuhi bidang yang dikehendakinya. Ketika saya menyaksikan bagaimana Gde Rawi bekerja membuat lembar kalender untuk bulan Juni 1987, saya tanyakan kenapa kata-kata mutiara bahasanya janggal, dan seperti ada yang salah. Jawabnya, “Memang ada kata yang salah, tapi terpaksa diteruskan. Kalau 31
dihapus tak bisa, ini tinta bukan pensil.” Ketika saya katakan ada penghapus tinta atau bisa memakai tipp-ex, ia menjawab, “Nanti bisa kotor.” Lho, ini ‘kan bukan barang jadi, ‘kan baru naskah? “Bagi saya ini hasil jadi, ini lukisan. Toh orang bisa mengerti membacanya.” Begitulah, naskah awal kalender itu merupakan hasil seni coretan tangan Gde Rawi, tak sekadar naskah percetakan. Namun, perkara nama-nama hari, Gde Rawi ingin pula menggantinya. “Tapi saya pikir, nanti ada yang protes lagi, dikiranya bukan kalender saya. Ya, biarlah tertulis Rebo dan Kemis. Masyarakat payah, potret saya saja tak boleh diganti-ganti,” ujarnya sambil tertawa. Dua kalender yang lain tak lagi orisinil. Bahkan kalender yang tidak mencantumkan nama penyusunnya itu jelas-jelas jiplakan dari kalender Gde Rawi. Kalender ini hanya memindahkan kolom mengenai hari raya, digeser-geser, dikurangi, dan sebagainya. Isinya sama, malah kotak-kotak hari itu tak berbeda sedikit pun. Tulisan dan lambang Parisada Hindu Dharma dihilangkan. Kalender ini ternyata laku, karena diedarkan sebelum kalender Gde Rawi terbit. Kalender jiplakan ini untuk tahun 1986 sudah beredar September 1985, sementara kalender Gde Rawi — seolah seperti disengaja — baru diedarkan pertengahan November 1985. Banyak orang terjebak, karena mengira kalender jiplakan itu adalah susunan Gde Rawi, yang hanya mencopot potretnya saja. Bahkan ada yang menduga, Gde Rawi sudah meninggal dunia. Kenapa hal itu bisa terjadi? “Saya menyerahkan semua lembar kalender terlalu cepat. Untuk kalender 1986 saya menyerahkan ke penerbit bulan Juni 1985,” ujar Gde Rawi dengan polos. Ia merasa dirugikan, tetapi tak tersirat untuk protes atau menuntut atau mempersoalkan. “Saya bekerja untuk menenteramkan umat. Tak pernah berpikir soal uang, honor kalender ini pun diurus anak saya, saya tak tahu berapa jumlahnya,” kata Gde Rawi lagi. Asal tahu saja, tahun 1985 kalender Gde Rawi konon dicetak 600.000 eksemplar dan setiap tahun kebutuhan akan kalender yang lengkap wariga ini bertambah. Setiap rumah tangga di Bali hampir punya kalender model ini. Bahkan sudah diedarkan ke Jawa. Apalagi 32
harganya relatif murah, Rp 800. Karena dicetak dalam jumlah ratusan ribu eksemplar, kalender memang jadi bisnis menarik. Dan kalender ketiga, karangan I Wayan Gina, tampaknya asli karya dia sendiri, walau unsur peniruan terhadap karya Gde Rawi juga besar sekali. Sepanjang tahun 1986 tidak ada perbedaan pawukon dan wewaran (kalau ini sampai beda keterlaluan), juga tak ada perbedaan sasih. Jadi, aman, tak ada bahayanya. Tetapi ala ayuning dewasa (baik buruknya waktu) ada perbedaan kecil. Untuk sekadar contoh, tanggal 31 Agustus 1986 itu, versi I Wayan Gina ini menambahkan satu tabiat hari: Kala Tampak. Ternyata, “tabiat” hari ini tak banyak dikenal orang, apa artinya. Yang menarik pada karya I Wayan Gina, ia sudah memakai ejaan baku. Ia tak menulis Rebo, tetapi Rabu. Bukan Kemis, tetapi Kamis. Ahad tidak dipakainya, diganti Minggu. Bahasanya pun lebih segar. Petunjuk praktis untuk hari baik dan hari buruk sedikit sekali, seperti ia menyadari, orang sudah mulai tak menghiraukan hal itu lagi. Yang juga menarik — dan ini kelebihannya — pada lembar kosong ia memberikan pelajaran dasar ilmu wariga. Ia membuat rumus wewaran, ia menyusun tabel-tabel bagaimana mencari wewaran dan pawukon, dan itu berlaku sampai tahun 2013 Masehi. Dan tabel itu pun, konon, bisa diprogram ke mesin komputer. Jadi, ia menjanjikan masa depan yang baik untuk generasi muda Hindu, bagaimana mencari tabiat hari menggunakan kotak ajaib yang bernama komputer itu. Selebihnya, kalender I Wayan Gina ini terpengaruh Gde Rawi. Dan unsur “peniruan” ini besar, karena kalender ini beredar bersamaan dengan kalender Gde Rawi. Apalagi, ketiga kalender ini dicetak di tempat yang sama, percetakan milik Parisada Hindu Dharma Pusat di Denpasar. Besar kemungkinan ada oknum percetakan yang curang, memanfaatkan bisnis ini untuk kepentingan prihadi, bukan kepentingan umat. Dari Parisada, anehnya, belum ada tanda-tanda mempermasalahkan hal ini. 33
*** APAKAH di masa datang nanti, setiap orang yang merasa mampu dan punya uang bisa menerbitkan kalender yang lengkap dengan wariga itu? Perkembangan ini sangat menarik. Apalagi, kalau misalnya terjadi perbedaan dalam menghitung peredaran bulan, pemerintah daerah Bali atau Parisada toh bisa meniru Departemen Agama yang mengeluarkan SK untuk Idul Fitri. Atau, karena Nyepi sudah jadi libur nasional, sekalian Departemen Agama melahirkan SK untuk penentuan Nyepi. Kenapa tidak? Lantas bagaimana dengan tabiat hari untuk menentukan hari baik dan hari buruk? Akankah kesimpangsiuran terjadi, jika beredar banyak kalender? Ini kekhawatiran para orang tua di Bali, tetapi tidak pada anak-anak muda. Sepanjang baik-buruknya hari yang berkaitan dengan upacara keagamaan, itu sudah ada ketetapannya, sudah menjadi ilmu yang eksak. Pemuka desa adat punya hak menentukan hari baik dan hari buruk untuk upacara keagamaan yang berlaku di wilayahnya. Ini disesuaikan dengan falsafah Hindu: desa, kala, patra — tempat, waktu, dan keadaan, maksudnya situasi dan kondisi setempat. Yang dikhawatirkan orang tua — dan sekaligus sebaliknya bagi anak muda — tak ada lagi yang hirau hari baik dan hari buruk untuk kegiatan non-agama, misalnya: mulai belajar menari, membeli hewan piaraan, membuat sumur, dan bepergian. Juga, orang tua khawatir, anak muda sekarang kurang menangkap pertanda alam. Misalnya, kalau terjadi gempa bumi pada hari Senin, harus dicarikan rumusnya, apa arti gempa itu. Bagi anak muda, gempa itu artinya ada gunung mau meletus, atau pergeseran kerak bumi, dan kalau ukurannya besar berarti bencana. Bagi orang tua di Bali, gempa bisa berarti pertanda kemakmuran kalau terjadinya di sasih ini, wara-nya ini, ini, ini . . . . Pergeseran nilai-nilai terus terjadi di masyarakat Bali, dan ini tak selalu berarti buruk. Aktivitas kehidupan, faktor ekonomi, juga pendidikan, ikut menguburkan sebagian ilmu pedewasaan, terutama yang “mengatur” kehidupan non-agama. Di kampung halaman, 34
suatu hari saya menegur sahabat lama yang mencukur rambutnya pada hari Jumat. “Cukur rambut hari Jumat tidak baik. Itu hari buruk,” kata saya. Teman saya, pedagang hasil bumi, menjawab dengan kalem, “Hari baik dan hari buruk, itu urusan orang masa lalu. Tak ada hari yang perlu ditakuti, kecuali harimau . . . .”
35
III Selintas Arsitektur Bali dan Kelengkapan Upacara yang Berubah Fungsi
Salah Kaprah, Kata I Gusti Agung Gde Putra
K
ITA sudah tiba di Bali. Lihat gapura itu,” seorang ayah menunjuk candi bentar besar di dermaga Gilimanuk. Empat anak beserta ibunya segera berpaling ke arah yang ditunjuk ayahnya. Ferry membunyikan peluit pertanda sebentar lagi akan berlabuh. Mesin mobil truk pun sudah menderu tak sabar, walau pintu ferry belum dibuka. Candi bentar, gapura yang terbelah dua itu, sepintas bentuknya mirip gapura yang biasa dijumpai di Jawa Timur, atau juga di Jawa Tengah. Perbedaan mencolok tentu saja pada bentuk candi bentar yang lebih langsing meninggi dan ukiran-ukiran yang lebih rumit. Juga warna candi bentar kebanyakan warna merah bata, sedang gapura di Jawa sering berwarna hitam. Candi bentar di Gilimanuk memang dibuat lebih tinggi sehingga mudah terlihat dari kejauhan, dari tengah Selat Bali. Selepas Gilimanuk, di mana-mana candi bentar. Boleh dise36
butkan, simbol Bali dalam dasawarsa ini adalah candi bentar. Di Bandara Ngurah Rai pun ada candi bentar, dalam bentuk yang lebih disesuaikan dengan bangunan di sekitarnya. Kira-kira separuh dari candi bentar dermaga Gilimanuk. Di jalan-jalan raya, sebelum menjumpai sebuah desa, bisa dilihat ada bangunan candi bentar, satu bidang di kiri jalan, satu bidang di kanan jalan. Kita berjalan di tengah candi bentar. Lalu ada tulisan: Selamat Datang Di Desa .... Candi bentar saat ini juga simbol selamat datang. Sebagai pintu gerbang memasuki apa saja: pulau, kota, desa, rumah, stadion, gedung pertunjukan, bahkan terdapat juga di kuburan Trunyan di tepi Danau Batur. Pada obyek-obyek pariwisata, keberadaan candi bentar itu seperti sebuah keharusan, tak peduli apakah itu sudah sepantasnya atau mengganggu obyek itu sendiri. Di sepanjang jalan raya dari Desa Kapal sampai Desa Lukluk, Kabupaten Badung, berderet-deret orang menjual candi bentar dalam bentuk mini. Pabrik candi bentar —juga berbagai bentuk sanggah — yang berbahan baku campuran pasir plus semen termasuk laris. Alat cetaknya sedemikian rupa, sehingga begitu diangkat dari cetakan, ukirannya sudah menyembul. Tentu, bentuknya lebih besar dan kaku. Barang seharga Rp 45.000 sampai Rp 70.000 (di Jakarta Rp 125.000 sampai Rp 200.000) itu sudah banyak menghias rumahrumah penduduk. Adakah yang salah? Ketika Drs. I Gusti Agung Gde Putra masih menjabat Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali — beliau sejak 1985 menjabat Dirjen Bimas Hindu dan Budha Departemrn Agama — dalam berbagai ceramah dan kuliahnya di Institut Hindu Dharma selalu menilai “kemajuan” ini sebagai salah kaprah. Mewabahnya candi bentar sebagai pajangan barang seni — dan seni ini pun bisa diperdebatkan lagi dengan munculnya candi bentar cetakan — membuat “roh” bangunan itu sudah tidak ada lagi. Dalam bahasa Bali dikenal dengan istilah campah — kurang lebih berarti hambar, tak punya nilai magis. Akibat lain, banyak orang di Bali sudah mulai tak mengerti lagi falsafah bangunan ini. Mereka tak lagi ingin tahu kenapa bangunan itu dulu didirikan para leluhurnya, 37
dan bagaimana asal-usulnya. Candi bentar adalah bangunan suci. Ia bagian tak terpisahkan dari bangunan suci di sebuah pura. Tempat ibadat umat Hindu, sebagai lambang bersemayamnya Yang Mahakuasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Ciwa adalah kompleks pura dengan tiga bangunan: candi bentar, kori agung, dan meru. Ketiganya ini adalah simbol Gunung Mahameru. Candi bentar sebagai pangkal gunung, kori agung sebagai tubuh (badan tengah) gunung, meru sebagai puncak. Memang dari ketiga bangunan ini, candi bentar yang nilai sakralnya paling “rendah”. Tetapi, pembangunan candi bentar di halaman rumah, atau perkantoran, apalagi di kuburan, oleh kalangan orang tua dianggap sebagai satu bentuk penghinaan. Berarti, kori agung dan meru sama nilainya dengan kantor, atau rumah, atau kuburan. *** BERUBAH fungsinya bangunan suci menjadi hiasan, memang tak cuma candi bentar. Di beberapa hotel besar, sanggah — yaitu hangunan kecil untuk persemhahyangan keluarga yang biasa juga disebut tunggun karang — sudah dijadikan tempat lampu taman. Atau bangunan itu didirikan begitu saja untuk aksi-aksian, lalu diselimuti kain poleng — yang hitam putih berkotak-kotak seperti papan catur itu — padahal bangunan itu tanpa diupacarai sama sekali. Bangunan itu betul-betul disesuaikan dengan keindahan lingkungan, tidak ada lagi fungsinya secara sakral. Sanggah atau tunggun karang ini didirikan oleh setiap keluarga penganut Hindu, tak terkecuali yang menetap di Jakarta — sepanjang ia punya rumah. Semiskin-miskinnya orang Bali, ia pasti mengusahakan adanya tempat ibadat kecil ini. Bisa dibuat dari bata, batako, atau beli jadi di “pabrik” Desa Kapal itu. Dalam keadaan darurat, tancapkan saja empat pohon dadap, lalu dipasang anyaman bambu tempat menaruh sesajen di atas tiang dadap itu. Biarkan pohon itu tumbuh. Fungsi sakral bangunan ini adalah untuk menjaga keselamatan 38
seluruh isi rumah dari kekuatan-kekuatan luar yang mengganggu. Di sana bersemayam Bhatara Kala. Dalam mitologi Hindu, Bhatara Kala ini selalu merusak dan mengambil korban. Untuk itulah dibuatkan sanggah agar ia tenang dan justru dimanfaatkan untuk menjaga seisi pekarangan. Tunggun karang, dalam arti harfiahnya, penunggu pekarangan. Jadi, sejenis satpam atau tentara yang menjaga rumah pejabat penting. Bangunan sanggah ini kebetulan pula mirip rumah monyet atau gardu jaga. Umbul-umbul — kain panjang yang menghias bambu tinggi melengkung itu — yang biasanya bergambar naga atau wayang dari tokoh kera, Hanoman, juga jatuh nilai sakralnya. Umbul-umbul ini sudah dipasang di jalan-jalan menyambut ulang tahun proklamasi atau pekan olah raga, juga di depan toko kerajinan yang bertebaran di jalur pariwisata. Ia dipasang untuk hiasan, bukan lagi sebagai petunjuk bahwa di sana ada persembahyangan. Sementara itu, di tempat suci yang ada upacara persembahyangannya, umbul-umhul yang dipasang sudah dekil tak terawat, dan terkesan asal-asalan. Ini sudah gejala umum dalam dasawarsa terakhir, dan memprihatinkan banyak pemuka Hindu. Yang lebih parah lagi adalah penjor. Ia mirip umbul-umbul. Cuma di bambu tinggi melengkung itu bukan hiasan kain, tetapi dari janur. Penjor yang semula dipasang di depan pura pada saat upacara persembahyangan, atau dipasang di jalan depan rumah pada saat Hari Raya Galungan, kini sudah dijumpai di mana-mana sebagai hiasan semata. Pembukaan penataran, peresmian gedung, penyambutan grup turis, bahkan di Jakarta — bukan cuma pemeluk Hindu —penjor sudah umum dipasang sebagai pertanda, di sana ada “keramaian” atau orang punya hajat, pesta perkawinan atau sunatan. Penjor dengan segala kelengkapannya adalah perwujudan rasa terima kasih kepada Ida Sanghyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) karena manusia terhindar dari segala bencana terutama kelaparan. Karena itu, di penjor digantungkan berbagai hasil bumi. Pada pangkal hiasan janur, digantungkan kelapa, jagung, ketela. Naik ke atas dihias dengan padi. 39
Penjor juga sebagai simbol Sang Hyang Naga Basuki, yang dalam mitologi Hindu bermukim di Gunung Agung. Di lereng gunung ini ada Pura Besakih — asalnya dari Basukian, tempat (Naga) Basuki. Sanggah kecil di depan penjor itulah simbol kepala Naga Basuki. Kemudian hiasan janur yang melengkung dengan bulatan kecil-kecil itu simbol bulu Naga Basuki, dan ekornya adalah ujung penjor yang ada hiasan rangkaian janur yang disebut sampean. Satu bentuk lagi yang sudah “dikomersialkan” untuk dunia wisata adalah canang sari. Ini sesajen kecil, dibuat dari rangkaian janur, ada kembang, beras, uang kepeng. Ini bentuk paling sederhana dari sebuah sesajen vang dipersembahkan kepada Yang Mahakuasa untuk memohon keselamatan. Sekarang, tamu penting, juga turis, yang turun dari pesawat di Bandara Ngurah Rai, selalu disambut tari Pendet dan pada klimaksnya tamu itu mendapat sekuntum canang sari. Nah, semakin jatuhlah nilai suci alat keagamaan ini. Persembahan kepada Tuhan diterima seorang manusia yang entah beragama apa. Dalam kaitan seperti inilah — candi bentar yang terlihat di mana-mana, sanggah yang dijumpai di hotel mewah, dan canang sari untuk para tamu atau hiasan meja — orang luar lalu punya alasan menuding, upacara keagamaan di Bali sudah mulai dikomersialkan hanya untuk tujuan menarik wisatawan. Yang menuding tidak salah. *** TELAH berulang kali diselenggarakan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu di Bali. Salah satu materi yang sudah pernah dibahas adalah alat-alat kelengkapan upacara yang disalah-fungsikan ini. Keputusan yang diambil memang longgar dan berupa kompromi. Semua alat kelengkapan itu bisa digunakan sebagai benda seni, asalkan tidak lagi “lengkap”. Misalnya, penjor untuk hiasan seni tak boleh disertai sanggah kecil di depannya, tak boleh digantungi kelapa dan padi. Canang sari tak boleh disertai uang kepeng dan beras, apalagi dupa yang menyala. 40
Lalu namanya diganti. Candi bentar disebut bebentaran (tiruan dari candi bentar), penjor menjadi pepenjoran (alias penjor-penjoran), canang sari diganti menjadi urap-sari. Tapi apalah artinya nama. Orang tetap saja menyebut candi bentar, penjor, dan canang sari. Dan, tidak ada usaha mempopulerkan nama baru itu. Yang memprihatinkan sebagian orang — tetapi tidak bagi sebagian yang lebih besar — umat Hindu di Bali mulai menganggap remeh alat kelengkapan upacara seperti itu. Gde Aryantha Suthama, penyair dan pemimpin redaksi Karya Bhakti di Denpasar, mulamula mengaku heran, kenapa untuk upacara keagamaan orang membuat penjor asal jadi. Bambu yang dipakai asal ujungnya melengkung, tak lagi menghiraukan kemulusan lengkungan. Kemudian hiasan janurnya (di pegunungan yang tak tumbuh kelapa dipakai ambu — daun enau muda) tidak merata, hanya sekadar mengisi bulatan saja. Bahkan untuk mengikat bulatan janur itu tidak dibuatkan tali khusus dari bambu, tetapi dipergunakan tali rafia. “Tak ada nilai artistiknya sama sekali,” kata Gde Aryantha. Lalu, ia membantah bahwa jiwa seni orang Bali sudah macet dalam urusan penjor ini. “Ketika ada festival penjor di kawasan Nusa Dua, muncul penjor yang bagus-bagus. Soalnya, hadiahnya ratusan ribu,” ujarnya. Bahkan ketika dua hotel besar di Nusa Dua diresmikan, masyarakat Desa Bualu mendapat order rnembuat penjor. Satu penjor berharga Rp 200.000. “Ya, tentu saja dibuat teliti dengan hiasan sedemikian rapi. Dan, saya tak heran lagi. Masalahnya, faktor ekonomi.” Demikian pula nasib canang sari yang dihadiahkan kepada tamu penting di Bandara Ngurah Rai dan di hotel-hotel berbintang. Anyaman janurnya begitu rapi, bunganya segar, penuh rumbairumbai yang indah. Satu canang sari harganya sampai Rp 25.000. Lalu berapakah harga candi bentar di Ngurah Rai, di kawasan Nusa Dua, di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta? Sudah pasti jutaan rupiah. Jauh lebih mahal dari candi bentar di sebuah pura yang hingga kini berfungsi sebagai tempat suci. Pada akhirnya memang benar, apa yang dulu berkaitan erat dengan keagamaan, toh menjadi runtuh ketika uang mulai bicara. 41
Dalam bentuk lain, misalnya, candi bentar di kuburan Trunyan (Lihat: PARA PEWARIS RATU SAKTI PANCERING JAGAT) masalahnya tidak cuma uang, tetapi kekuasaan. Barangkali betul juga, orang Bali tidak lagi intens mengerjakan hasil seni untuk Tuhan-nya, seintens mengerjakan untuk imbalan uang. *** DAN ini kasus yang lain, tetapi mirip, atau entah apa namanya. Pemerintah, lewat berbagai aparatnya, menganjurkan — lebih tepat memerintahkan — agar bangunan-bangunan di pinggir jalan disesuaikan dengan arsitektur Bali. Terjemahan dari anjuran ini, di gedung-gedung yang dibangun bertingkat, pada toko-toko dan rumah-rumah, terutama di bagian depan, ada bidang yang berukir. Ya, pemilik bangunan menerjemahkan arsitektur tradisional Bali itu sebagai memasang ukiran. Ukiran itu lalu menempel di dinding depan, entah di pojok-pojok, di samping pintu dan jendeia, atau menjadi bingkai nama toko. Bahkan yang banyak terlihat, di antara dinding beton itu terpajang paras — batu padas lunak yang bisa diukir — dalam keadaan aslinya. Alasannya, tentu saja, pemilik bangunan siap memenuhi anjuran itu, tetapi belum punya ongkos mencari tukang ukir. Maka, adalah pemandangan yang biasa kalau di bangunan beton yang bagus itu tiba-tiba ada paras segi empat yang lumutan. Atau paras itu sudah dibentuk-bentuk, tinggal diukir. Anehnya, yang menganjurkan juga merasa puas. Tentu saja, itu bukan arsitektur Bali. Itu hanya penempelan ukiran Bali. Lantas, arsitektur tradisional Bali yang mana? Kompleks Werdi Budaya (orang lebih senang mengucapkan art centre) yang penuh ukir-ukiran itu? Kompleks gubernuran di Niti Mandala itu? Atau gedung Jaya Sabha yang dibangun secara besar-besaran di pusat Kota Denpasar itu? “Semua itu bukan arsitektur Bali, itu style Bali,” kata seorang arsitek asli Bali di Denpasar. Style Bali adalah bangunan yang lebih terencana penempatan ukir-ukirannya dibandingkan main tempel seperti bangunan di pinggir jalan. Jagonya dalam style Bali ini adalah Ida Bagus Tu42
gur. Dialah yang mengarsiteki bangunan induk di pusat kesenian Werdi Budaya, kompleks kantor gubernur di Niti Mandala, Renon — pinggir timur Kota Denpasar. Gedung ini, sedemikian rupa direncanakan sejak awal, di mana ada ukirannya, apa fungsi ukiran itu, apakah lingkungan di sekitarnya mendukung ukiran itu. Sayangnya, di sekitar gedung ini, “penyesuaian” terlalu mengada-ada. Memang lebih rapi sedikit dibandingkan “asal ada ukiran Bali” seperti pada toko-toko milik Cina di Denpasar, tetapi tetap saja terkesan ganjil. Lihatlah bangunan kantor pos, gedung BKKBN, gedung Kanwil Departemen P & K Bali, dan banyak lagi yang bertebaran di Renon. Ukiran di sana-sini sama sekali tak membuat gedung itu bertambah anggun. Ibarat perempuan mengenakan rok, tetapi berselendang dan bersanggul, serta memakai sepatu boot. Gejala seperti inilah yang mewabah di Bali belakangan ini, pada kantor-kantor pemerintah dan pada kelas menengah di kota. Arsitektur tradisional Bali, sumbernya ada dalam lontar Asta Kosala Kosali. Ini dua jenis lontar, Asta Kosala tentang cara dan ukuran membuat menara pengusung jenazah (bade) dan bangunan tinggi lainnya, Asta Kosali berisi ukuran dan aturan membuat rumah. Semua ukuran panjang di sini memakai anggota tubuh, khususnya tangan dan kaki. Misalnya, jengkal adalah panjang dari ujung ibu jari ke ujung jari tengah ketika tangan dimekarkan, cengkang, ukuran dari ujung ibu jari ke ujung telunjuk, hasta ukuran panjang dari siku ke pergelangan tangan, dan banyak lagi contoh lain. Terlalu teknis kalau hal ini ditulis. Yang jelas, sama sekali tidak memakai ukuran modern: sentimeter, meter, dan sebagainya. Pola menetap masyarakat Bali tradisional yang benar-benar mencerminkan kedua lontar tadi terdiri dari: merajan yaitu tempat persembahyangan keluarga, bale daja atau sering disebut gedong yaitu tempat tidur orangtua dan tempat untuk menyimpan harta kekayaan keluarga, bale dauh yaitu tempat tidur keluarga, bale dangin atau sering juga disebut bale adat yaitu tempat dilangsungkannya upacara keluarga, seperti tiga bulan anak, enam bulan anak, potong gigi, membaringkan jenazah, atau ruang bermalas-malasan, paon yaitu dapur untuk kegiatan memasak. Jika tanah pekarangan 43
masih tersisa setelah bangunan ini lengkap, baru dibangun jineng yaitu lumbung untuk menyimpan hasil bumi. Dalam arsitektur tradisional yang bersumber dari dua lontar itu, jarak satu bangunan ke bangunan lain juga ditentukan ukurannya. Karena jarak ini lebih panjang, tidak memakai jengkal tetapi depa. Ada depa agung yaitu jarak kedua rentangan tangan dengan jari terbuka, dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang satu lagi depa alit jarak kedua rentangan tangan dengan jari tergenggam. Begitu pula untuk saka atau tiang balai yang akan dibangun. Kalau memakai ukuran panjang 25 rahi maurip anyan kacing bernama Prabu Murti Jinem. Kalau panjangnya 19 rahi maurip anyan linjong bernama Mitra Asih. Arahi (satu rahi) adalah sepanjang telunjuk, dari panggal sampai ke ujungnya. Sedang anyari artinya satu ruas jari paling ujung. Racing, itu jari kelingking, linjong jari tengah. Jadi, 25 rahi maurip anyari kacing sama dengan 25 panjang jari telunjuk ditambah satu ruas atas jari kelingking. Seseorang yang membangun rumah tentu saja sudah menentukan, sepanjang berapa saka bangunan itu, berdasarkan hari kelahiran si empunya rumah, letak pekarangan, kayu yang dipergunakan, dan banyak pertimbangan lagi. Semua ukuran itu menggunakan tangan orang dewasa, kalau tidak si pemilik rumah, bisa tangan undagi (arsitek) yang merancang bangunan itu. Tentu tidak hanya saka dan jarak bangunan punya ukuran tertentu. Yang lain juga, seperti iga-iga, tempat tidur, mengatur air jatuh dari atap. Diperlukan kitab tersendiri untuk menjelaskan segala ukuran ini, termasuk arti yang terkandung di dalamnya. Selain ukuran, ada aturan. Gedong, menurut aturan ini, nyaris merupakan bangunan tertutup tanpa jendela. Pencipta arsitektur ini — para leluhur, entah siapa dan di zaman apa — menempatkan fungsi tempat tidur benar-benar untuk tidur, tidak mengerjakan apa-apa. Karena itu, tak perlu pencahayaan terang, tak ingin dilihat dari luar, tak ingin diintip. Tetapi kesegaran udara tetap terjamin, karena dinding tak sampai penuh ke atas. Di antara dinding dan usuk ada kerenggangan yang membuat udara tetap segar. 44
Sebaliknya, bale dangin merupakan balai terbuka. Di sanalah anak-anak bermain, orangtua mengajari anaknya membaca lontar dan sastra kuno, juga untuk bermalas-malasan. Adapun dapur terletak paling depan. Jadi, begitu memasuki pekarangan rumah, disongsong oleh bangunan dapur. Mungkin, karena dulunya para leluhur orang Bali itu petani semua, sehingga begitu memasuki kompleks rumah langsung menyerahkan hasil buminya ke dapur. Dalam mitologi Hindu sendiri, dapur ini juga “rumah” Dewa Brahma (dewa api). Jadi, kalau orang lain bermaksud jahat, belum sampai ke gedong sudah hangus dibakar api. Hal-hal seperti inilah — kalau dijelaskan mendetail tentu luar biasa panjangnya — yang disebut arsitektur tradisional Bali. Jadi, bukan ukir-ukiran itu. Sama sekali tak disebut ada ukir-ukiran di dalam kedua lontar itu. Apakah arsitektur model begini masih bertahan sekarang? Masih, tetapi di beberapa tempat saja, dan itu pun umumnya pada orang-orang berada. Ada dua jenis kebertahanannya. “Bertahan murni”, dalam pengertian tetap sesuai dengan pedoman lontar itu, dan tetap berfungsi seperti yang disebutkan. “Bertahan tidak murni”, semua bangunan itu masih tetap utuh dan patuh pada persyaratan-persyaratan sebuah arsitektur Bali, tetapi tidak berfungsi sebenarnya. Bale dangin untuk menjual barang kerajinan yang sudah jadi, bale dauh tempat para pengukir bekerja, paon dijadikan gudang ukiran atau hasil kerajinan lainnya. Itu rumah I Nyoman Togog, perajin yang meraih Hadiah Upakarti 1985 di Desa Peliatan. Atau kompleks perumahan berfungsi sebagai museum, seperti Museum Neka di Ubud. Bale dauh sampai dapur hanya untuk memajang lukisan. Pada kebanyakan orang, arsitektur tradisional Bali sudah merupakan “masa lalu”. Tantangan untuk kelestariannya adalah penduduk Bali yang semakin berjubel. Di mana ditempatkan keluarga-keluarga baru itu, sementara tanah pekarangan mahal dan sulit? Maka, jalan praktis ditempuh. Ketimbang menerapkan “ajaran lama”, lebih baik membangun empat rumah yang modern, masing-masing dilengkapi dapur, ruang tidur, ruang tamu, dalam satu pekarangan yang sama luasnya. 45
Sungguh ironis, kalau pada masa kini orang berteriak, kembali ke arsitektur Bali, sementara yang mereka artikan itu adalah menempelkan sebagian padas di depan rumahnya. Arsitektur tradisional Bali, sebuah ilmu warisan para leluhur yang sebenarnya tak banyak diketahui orang Bali sendiri, apalagi dipahami orang luar Bali. Di Fakultas Teknik Universitas Udayana memang diajarkan. Tetapi toh semua orang bisa mengucapkannya, dan sering terdengar orang memperbincangkannya — dengan pengertian yang salah.
46
IV Upacara Pembakaran Mayat (Ngaben) yang Sederhana
Beban I Wayan Nesa Wisuandha
A
DA asap hitam mengepul di bagian timur Kota Denpasar. Ada tercium bau tak sedap, seperti daging panggang yang gosong. Ada sedikit kemaeetan di jalan. Ada pengendara sepeda motor yang mulutnya ditutupi sapu tangan. Apa yang terjadi? Ah, sesuatu yang biasa. Asap datang dari api yang berkobar di tengah kuburan. Sore itu, ada pembakaran mayat. Istilah Bali-nya ngaben. Jenazah yang dibakar, seorang penduduk dari Banjar Kelandis, tak jauh dari kuburan itu. Kuburan itu kecil. Kalau tak salah hitung, mungkin kurang dari satu hektar. Letaknya betul-betul di tengah kota. Di sisi jalan raya yang ramai, yang menghubungkan pusat kota dengan bagian timur kota, arah pusat-pusat pendidikan, pusat kesenian, dan bahkan arah ke pantai Sanur. Dulu, jalan di sisi kuburan itu bernama Jalan Sanur, kini menjadi Jalan Hayam Wuruk. Persis di timur kuburan, terletak kompleks militer, perkantoran, dan asrama tentara. Orang 47
menyebutnya Asrama Kayumas. Di depan kuburan, sebelah utara di seberang jalan, berdiri pertokoan, yang kemudian disambung pusat perbelanjaan Pasar Kamboja. Di selatan kuburan sebagian asrama tentara, dan sebagian lagi perkampungan. Di baratnya, mula-mula bengkel sepeda motor, lalu ada perkantoran swasta. Awal tahun 1970-an, kantor tempat saya bekerja, di lokasi itu. Jadi, bau tak sedap dan suasana seperti itu, bagi saya, tak asing lagi. Yang agak mengherankan sekarang, ada sebuah bis turis, dan dua bis yang mengangkut rombongan pelajar sebuah SMA di Jawa Timur yang nongkrong di sisi jalan dekat kuburan. Penumpangnya masuk ke lokasi kuburan, menonton pembakaran mayat. Dulu, sewaktu saya masih berkantor di sebelah kuburan itu, pembakaran mayat di sini bukanlah tontonan. Di kuburan ini, tak biasa ada pembakaran mayat yang diselenggarakan besar-besaran, menggunakan menara pengusung jenazah yang disebut bade. Apalagi yang memakai prosesi meriah. Bukan karena lokasi kuburan di tengah keramaian kota. Atau kuburan berukuran kecil. Tetapi, penduduk desa-desa di sekitar kuburan ini sudah terbiasa ngaben scara sederhana. Juga pada sore itu. Lihatlah, hanya ada tungku pembakaran yang terbuat dari batang pohon pisang, agar tak mudah dimakan api. Lalu, sekitar empat Ielaki dengan tongkat kayu, membalikbalikkan mayat yang sedang dilalap api, bagai menggoreng ikan. Lelaki yang lain mengawasi dari jarak sekitar lima meter, sambil siap melemparkan kayu bakar, atau mengambil alih tugas. Puluhan yang lain jongkok di bawah pohon, berteduh dari panas matahari. Para wanita, tidak begitu banyak, menyiapkan sesajen. Semua memandang ke arah api. Ada sekitar sepuluh turis yang berbaur dengan puluhan pelajar dari seberang Bali juga memandang ke pusat api. Ada yang memotret, ada yang menutup hidung. Ada yang berteriak kecil, ketika sepotong tubuh nyangkut di tongkat pengaduk. “iih, ngeri, deh . . . kok kejam, ya,” komentar seorang pelajar putri sambil mendekap bahu temannya. Namun, ketika kobaran api mulai 48
padam, wajah-wajah mereka — terutama turis asing itu — mengandung ketidakpuasan. “Sudah saya tanya ke mana-mana, harihari ini tak ada pembakaran mayat secara besar. Apa boleh buat, mereka ingin sekali, saya bawa ke sini,” kata pramuwisata (guide) yang mengantar rombongan orang asing itu. Seorang pelajar bahkan bertanya, “Ini upacara apa, Mas? “Setelah saya katakan, ini upacara ngaben, dia seolah tak percaya. “Kok rasanya tidak. Saya sudah mendengar, upacara seperti itu ‘kan meriah. Ada itunya, apa tuh namanya, yang tinggi itu. Yang ini, orang di jalan saja nggak peduli. Ngaben apaan tuh.” Temannya menimpali. “Ini ‘kan di kota, ‘kali lain. Katanya di desa di Gianyar, besar-besaran.” Saya memberi penjelasan singkat bahwa di desa pun upacara ngaben kebanyakan seperti ini, dengan pengusung jenazah yang tidak bertingkat dan dihias seadanya, dan tidak melibatkan banyak orang. “Ah, Mas kayaknya tahu aja, ‘kali yang ini bukan orang Hindu asli,” komentar mereka. Memang sulit menjelaskan. Apalagi dengan kalimat sederhana dalam waktu yang pendek. Lebih sulit lagi menuding siapakah sebenarnya yang bersalah, kalau ada yang sampai terjebak. Brosurbrosur pariwisata yang gemerlapan itu atau buku-buku yang ditulis orang asing itu. Mungkin juga para pelukis, yang kalau memberi judul ngaben dalam lukisannya selalu tentang bade yang tinggi, atau lembu indah yang dibakar. Ngaben tak selalu seperti itu. Besar-besaran, berhari-hari, melibatkan ribuan orang, berhura-hura. Ngaben adalah upacara penyempurnaan jasad, mengembalikan unsur-unsur yang membentuk tubuh manusia ke asalnya. Dalam agama Hindu, tubuh manusia itu dibentuk oleh zat yang sama dengan alam semesta — karena itu dikenal istilah bhuwana agung dan bhuwana alit. Seseorang yang meninggal dunia, tubuhnya ditinggal pergi oleh roh (Sang Atma). Maka, tubuh itu tak ubahnya sebagai benda rongsokan. Ibarat sampah, ia harus segera dihanguskan, supaya baur dengan alam semesta. Unsur-unsur di dalam tubuh (bhuwana alit) sama seperti yang ada di jagat raya (bhuwana agung). Dalam agama 49
Hindu disebut Panca Maha Bhuta. Yakni: pertiwi, apah, teja, bqyu, dan akasa. Bahkan dikatakan, unsur dalam badan manusia itu bukan saja persis dengan alam, tetapi meminjam unsur alam. Pinjaman itu yang harus dikembalikan, jika Sang Atma meninggalkan badan kasar. Pengembalian pinjaman itu semakin cepat semakin baik, agar Sang Atma yang gentayangan lancar menemukan tempat istirahatnya terakhir: surga, atau mungkin neraka. Jika mayat cuma dikuburkan di dalam tanah, proses kehancuran untuk menyatu dengan tanah tentulah berlangsung berpuluh tahun. Sementara itu, Sang Atma tetap saja berutang, dan tentu waswas ke tempatnya istirahat. Itulah sebabnya ada ngaben, yang dilakukan oleh ahli warisnya. Ngaben juga bukan hanya demi sang roh. Ritus ini pun menjadi kewajiban ahli waris, kewajiban membayar utang. Agama Hindu mengajarkan, setiap orang berutang kepada orangtua yang melahirkannya. Yaitu utang kama bang dan kama putih — ini hormon laki dan perempuan yang menyebabkan terjadinya kelahiran. Dengan ngaben, utang dua jenis kama itu dianggap lunas. Kalau sesederhana itu masalahnya, cuma hancur-menghancurkan agar cepat berbaur ke alam, kenapa ada upacara ngaben yang menghabiskan biaya besar dan bertele-tele? Jawabnya, bisa saja dikembalikan dengan pertanyaan: kenapa untuk meresmikan sebuah gedung, jembatan, pabrik, atau pelantikan lurah, bupati, gubernur, juga menghabiskan biaya besar dan bertele-tele? Sama dengan ngaben, ada sesuatu yang perlu mendapatkan kepuasan, yakni: emosi, citarasa, keharuan, keindahan, basa-basi, gengsi, atau sengaja pamer. Semua kepuasan itu diberi jalan oleh agama. Karena itu, ada tiga macam cara yang biasa dan bisa ditempuh umat dalam melaksanakan kewajiban ngaben. Yaitu cara nista, madia, dan utama — tingkat rendah, menengah, dan tinggi. Dalam pelaksanaannya, ketiga cara ini masih bisa dipecah masing-masing menjadi tiga lagi. Ada nistaning nista (paling rendah), madianing nista (setengah rendah), dan utamaning nista (cukup rendah). Tingkat-tingkat inilah yang mempengaruhi jalannya upacara. Inilah yang membuat besar 50
kecilnya sesajen. Pada akhirnya, menyangkut waktu yang disita, orang yang dilibatkan, dan biaya yang dikeluarkan. Tingkatan ngaben ini tidak ada hubungannya dengan kasta. Kasta itu, dulu, suatu pengelompokan masyarakat karena tugas sosialnya, bukan ajaran agama. Besar kecilnya upacara, dan biaya ngaben, ditentukan oleh keadaan sosial ekonomi keluarga yang punya hajat. Kalau punya uang, bisa menempuh cara paling tinggi (utamaning utama) tanpa memandang asal-usul. Begitu sebaliknya. Ngaben, salah satu dari lima jenis pengorbanan suci, apa yang disebut Pancayadnya. Ia tergolong Pitra Yadnya, artinya berkorban untuk kebahagiaan leluhur. Seperti halnya setiap yadnya (pengorbanan suci), seseorang diwajibkan melaksanakan upacaranya, sebatas kemampuan dan seberapa jauh sudah menjadi “beban”. Dan itu, tentu saja, tidak sama pada setiap orang. Kalau seorang pengusaha hotel, atau pemilik toko kesenian yang punya penghasilan bersih 100 dolar sehari — jenis orang kaya baru di jalur pariwisata Bali — tentu saja tidak memikul beban berat jika ia harus ngaben dengan biaya satu juta rupiah. Sebaliknya, masyarakat pedesaan, yang hidupnya pas-pasan, yang belum menikmati gemerincing dolar yang dibawa orang asing, ngaben dengan biaya Rp 25 ribu sudah merupakan beban seumur hidup. Untunglah, tak ada agama yang sengaja menurunkan aturan yang membuat hidup jadi susah. Ada petunjuk ngaben secara hemat. Itu dimuat dalam lontar Yama Purwana Tatwa. Misalnya diberi petunjuk, seberapa sajen yang perlu dibuat sampai memenuhi kebutuhan minimum, sehingga tidak memakan biaya besar. Dan, kalau saja orang mati itu pas harinya, artinya tidak bersamaan dengan upacara persembahyangan di pura (Dewa Yadnya), atau tidak pada bulan purnama atau bulan tilem (bulan mati), pokoknya ada dewasa (Lihat: Pada Awalnya, I Ketut Bangbang Gde Rawi), pada hari itu pula upacara ngaben bisa diselesaikan. Sehari tuntas. Secara garis besar, pelaksanaannya begini. Mayat dibungkus kain. Sesajen disiapkan, tirta (air suci) dimohonkan kepada yang berhak, misalnya pendeta. Kemudian jenazah diusung dari rumah 51
ke kuburan. Di kuburan sudah siap tungku pembakaran, cukup berdindingkan pohon pisang — agar tak mudah dimakan api — lengkap dengan kayu bakarnya. Sebelum mayat dibaringkan di tungku, upacara sederhana diadakan. Kain pembungkus jenazah dibuka. Tubuh yang lemas tak bernyawa itu diperciki toya panembak — ini air suci untuk menyatakan jasad itu sudah tak bernyawa lagi. Kemudian diperciki lagi tirta pangentas — air suci yang dimohonkan dari pendeta tadi. Maksudnya, agar roh yang dulu menghuni tubuh manusia mati itu menjauh dari badan kasarnya. Sang roh pergi, sehingga yang dibakar benar-benar badan kasar. Di sisi tubuh yang telentang itu dipenuhi sesajen kecil. Berbagai bentuk, agak rumit dan terlalu panjang untuk dijelaskan. Lewat sesajen inilah dimohonkan bantuan Yang Mahakuasa, agar jenazah itu cepat hangus. Lalu, pembakaran pun dimulai. Setelah jadi abu, beberapa daging yang sulit terbakar langsung ditanam, pembakaran dihentikan. Sejumput abu diambil dari bekas kepala, tangan, punggung, dada, paha, dan kaki. Tentu, tidak persis abu kepala benar-benar dari bekas kepala. Sebab, ketika api berkobar, mayat itu diobrak-abrik, dibolak-balik. Pada akhirnya mana abu kepala, mana abu kaki, sulit ditentukan. Lalu diputuskan saja, kalau waktu telentangnya tadi kepala berada di ujung sana, maka abu yang diambil dari ujung itu dianggap saja abu kepala. Abu kakinya, tentu, di ujung yang satu lagi. Abu lain bisa diperkirakan saja. Setelah dikumpulkan abu-abu ini, kemudian dimasukkan ke dalam buah kelapa gading yang masih muda. Dilengkapi sedikit sesajen lagi, abu ini pun dibawa ke laut, dihanyutkan. Kalau upacara itu di sebuah desa pegunungan, sedangkan keluarga yang punya hajat tidak bisa menyewa mobil, abu cukup dihanyutkan ke sungai. Orang Bali percaya, setiap air yang mengalir di sungai bermuara ke laut jua. Sederhana dan hemat. Mungkin, jalan itu yang ditempuh oleh keluarga yang punya hajat yang melakukan pembakaran mayat di kuburan Kayumas, Denpasar, sore itu. Namun, dulu, ketika penduduk Bali masih belum membludak, sawah dan kebun masih cukup memberi kehidupan yang layak, 52
mereka seperti terbiasa mengadakan upacara ngaben mengikuti warisan “kebudayaan” para raja sebelum kemerdekaan. Petunjuk dalam lontar Yama Purwana Tatwa ini seperti dilupakan. Petunjuk ini baru dihidupkan lagi, dikampanyekan oleh pemerintah daerah bersama Parisada Hindu Dharma —lembaga tertinggi umat Hindu — dan Departemen Agama. Dan, memang ada sebabnya. Waktu itu, 1960, sudah direncanakan persembahyangan besar seratus tahun sekali di Pura Besakih, pura induk umat Hindu di lereng Gunung Agung. Upacara yang disebut Eka Dasa Rudra itu diniatkan sekitar bulan April 1963. Syarat utama dari upacara luar biasa ini adalah semua jenazah umat Hindu di Bali harus sudah bersih dibakar. Semua jenazah harus sudah lebur ke alam semesta, semua roh harus sudah berada di tempatnya masing-masing. Sementara itu, pemerintah menyadari, keadaan sosial ekonomi masyarakat sedang payah. Jangankan ngaben — dalam pengertian warisan zaman raja-raja itu — penduduk waktu itu masih antre beras dan minyak tanah. Tapi, mau apa, kalau saatnya telah datang, seratus tahun sekali? Dibantu panitia upacara Karya Agung di Besakih, kampanye ngaben hemat ini berhasil di desa-desa. Ada yang mengikuti persis petunjuk dalam lontar tadi. Ada yang mengambil jalan tengah, yakni tetap membuat bade indah dan besar, tetapi biaya ditanggung secara kolektif. Populer disebut: ngaben gerit. Bade-nya. hanya satu, sesajennya satu paket, tetapi jenazah yang diupacarai ada banyak, bisa sampai puluhan. Dengan demikian, pada puncak acaranya, kelihatan bahwa pengabenan itu seperti besar. Dampak positif dari niat upacara Eka Dasa Rudra tahun 1963, umat diingatkan kepada ajaran yang lama “didiamkan” para raja, ngaben hemat itu, selain munculnya variasi baru, ngaben secara kolektif. Sayang, karya besar di Besakih itu batal. Gunung Agung meletus dengan hebat, dua bulan sebelum upacara direncanakan, pada saat Bali hampir bersih dari jenazah yang belum diaben. Dan, setelah amukan gunung itu mereda, para pemuka agama berkumpul 53
untuk “membaca pertanda alam”. Ditemukanlah sesuatu, yang mencengangkan masyarakat. Ternyata, tahun 1963 bukan waktu yang tepat untuk upacara seratus tahun di Besakih. Para pemuka agama ternyata salah hitung. Hitungan yang tepat baru terjadi 1979. Dan, seperti yang sudah diketahui, Eka Dasa Rudra dalam abad ini dilangsungkan dengan mulus tahun 1979, dihadiri Presiden Soeharto sebagai simbol raja. Ini memang salah satu syarat bahwa pemimpin tertinggi masyarakat harus hadir, sementara raja di Bali sudah tak ada lagi sejak kemerdekaan, baik formal maupun spiritual. Tentu saja, menjelang 1979, di mana-mana masyarakat menyelenggarakan upacara ngaben. Karena kehidupan sudah lebih baik, masyarakat lebih “maju”, pemerintah tak lagi mengkampanyekan ngaben hemat. Semua diserahkan kepada masyarakat. Hemat, silakan. Berhura-hura, tak dilarang. *** ADA banyak hal yang masih saya kenang, ketika ayah saya meninggal dunia pada 1962. Beliau wafat ketika sudah direncanakan ada ngaben kolektif yang dilaksanakan keluarga besar kami, yang terhimpun dalam satu persembahyangan — namanya warga dadia. Bahkan kepastian upacara ngaben dan harinya, ayah saya ikut menentukannya. Ketika persiapan sudah dilakukan, kira-kira sebulan sebelum harinya, Ayah tutup usia. Keluarga memutuskan, Ayah ikut diaben. Tetapi, karena keluarga kami bukan orang kaya, jenazah Ayah dikuburkan secara biasa, dan pada saatnya nanti, “digali kembali dari kubur” untuk diupacarai. Bayangkan saja, kalau jenazah disimpan di rumah, dan selama sebulan menjamu warga desa. Belum lagi merawat jenazah, supaya tidak berbau. Kenapa tidak ngaben sendirian, yang sederhana, sehari tuntas itu? Mungkin karena rencana ngaben kolektif sudah pasti, atau warga dadia ingin kelihatan ngaben secara besar. Untuk ngaben kolektif, biasanya ada seseorang yang menjadi sponsor. Tentu, ia adalah keluarga yang lebih mampu. Ketika itu, 54
sponsornya adalah keluarga Pemangku Puseh. Jenazah keluarga itu sudah ditanam di sebuah tanah kebun, tak jauh dari kuburan, satu setengah tahun sebelumnya. Inilah yang disebut mekingsan, artinya jenazah dititipkan dulu. Tahap penitipan ini gunanya untuk memberi kesempatan kepada keluarga si mati mengumpulkan biaya. Titipan di dalam tanah itu tak boleh lebih dari dua tahun. Sebabnya, selama masih ada jenazah titipan, warga desa kami tak boleh menyelenggarakan persembahyangan di Pura Luhur, di puncak Gunung Batukaru yang tingginya 2.276 meter di atas permukaan laut. Jadi, sesungguhnya, keluarga yang menitipkan jenazah itu siap untuk mengadakan upacara ngaben sendirian. Dalam hal ini, para pendompleng, termasuk keluarga kami, bisa saja ditolaknya. Tentu saja, tak tega menolak para pendompleng yang masih satu warga dadia. Kalau tak salah ingat, waktu itu ada tujuh pendompleng, yang, tentu saja, jenazah yang ikut diaben itu dikuburkan biasa di kuburan. Sebulan sebelum puncak upacara ngaben, masyarakat sudah berbondong-bondong bergotong-royong mempersiapkan upacara. Pusat upacara, tentu saja, di rumah sang sponsor. Perempuanperempuan membuat sesajen, siang dan malam. Para lelaki membuat balai-balai, panggung-panggung hiburan, dan membantu membuat bade. Dikatakan membantu karena arsitek bade itu sendiri orang upahan, dari Klungkung, Bali Selatan. Tujuh hari sebelum puncak acara, jenazah yang dititipkan di tanah kebun itu digali. Ini namanya mungkah. Yang diambil hanya tulang-tulangnya saja karena memang seusia itu jenazah biasanya tinggal kerangka. Dan sejak tulang-tulang itu dibawa ke rumah, ditempatkan di sebuah balai khusus, tiap malam selalu ada keramaian: hiburan dan juga judi kecil-kecilan, misalnya, main domino. Esok hari setelah mungkah, para pendompleng datang ke kuburan. Mereka tidak menggali jenazah yang dikuburkan, tetapi mengambil sejumput tanah kuburan untuk simbol jenazah — tentu lewat upacara yang banyak memakan sesajen. Masyarakat Bali 55
tak mengenal penggalian jenazah dari dalam kubur — kecuali belakangan ini ada beberapa untuk urusan perkara kriminalitas. Mungkah versi simbolis ini disebut nyewasta, artinya upacara ngaben yang tidak menggunakan jenazah secara langsung. Istilah ini juga digunakan untuk mengabenkan orang yang mayatnya tak diketahui lagi, misalnya, kecemplung di tengah laut. Esoknya lagi, semua jenazah — baik berupa tulang maupun yang simbolis — mulai dimandikan ke sebuah tempat permandian khusus, yang letaknya sekitar dua kilometer. Lagi-lagi, di sini simbol dibuatkan. Tidak tulang yang dibungkus kain putih itu digotong beramai-ramai, tetapi dibuatkan sebuah boneka pipih, mirip wayang golek, yang dibuat dari kayu cendana. Ini dinamakan pengawak. Begitu pula yang lain, yang jenazahnya diwakili tanah kuburan itu, juga dibuatkan pengawak. “Wayang golek” yang penuh hiasan plus cincin, kalung, dan perhiasan emas lainnya — tergantung kaya miskinnya keluarga itu — digendong ke permandian dalam suatu prosesi yang meriah. Sanak keluarga yang diaben rebutan ingin menggendong boneka ini, sebagai wujud bakti kepada orangtuanya. Ada sesuatu yang berkesan di benak saya, dalam perkara gendong-menggendong ini. Kakak sulung saya, suatu ketika, menggendong boneka simbol ayah saya. Ketika mendaki tebing pulang dari permandian, jalannya tertatih-tatih kepayahan sehingga berada di urutan belakang. Keluarga kami menganggap soal itu sangat biasa. Saya, saat itu pelajar kelas I SMP yang berusia sebelas tahun, tak bisa menerima alasan yang diberikan. Dan, ketika suatu kali sempat diberi kepercayaan menggendong boneka itu, ketika mendaki tebing, saya juga kepayahan dan malah jauh tertinggal. Kenapa? Menurut keyakinan, boneka itu benar-benar mewakili orang yang diupacarai, ketika hidupnya. Ayah saya memang sakitsakitan, tak kuat mendaki tebing, bukan lelaki yang suka berburu sebagaimana kegemaran orang di kampung kami. Maka, betapapun kuatnya yang menggendong, kalau yang menjiwai boneka itu tak kuat, ya, si penggendong tetap kepayahan. Setelah kejadian “aneh” itu, saya lama berpikir, kenapa bisa be56
gitu. Apakah karena semalaman saya begadang, ikut main domino sehingga, ketika pas diberi kepercayaan menggendong, saya lemah. Ingin rasanya menggendong lagi, tapi tentu tak mungkin. Yang antre begitu banyak, saudara kandung, saudara sepupu, dan juga anggota grup kesenian yang dipimpin ayah saya. Dua hari sebelum puncak acara dinamai hari nyuwung. Maksudnya, menyepi menjelang karya besar. Segala kerepotan yang berurusan dengan upacara dihentikan karena memang telah selesai. Sesajen sudah komplet, bade sudah siap. Tak ada pekerjaan, prosesi memandikan pengawak sudah usai pula. Yang ada hiburan melulu, siang dan malam — meski tahap itu disebut menyepi. Siang hari, para ahli waris masing-masing mempertunjukkan keahliannya menari. Saya ingat betul, saat itu saya menari baris. Seadanya, karena memang tidak ahli, sekadar menunjukkan kepada roh Ayah bahwa kami, putra-putrinya, masih setia berkesenian. Malam harinya ada pementasan wayang kulit. Ceritanya, Pandawa mencari air suci, tirta amerta. Dan ketika di layar, Pandawa memperoleh tirta itu melalui perjuangan berat, Ki Dalang juga membuat tirta untuk kepentingan puncak acara esok harinya. Tirta ini termasuk yang dipercikkan ke jenazah di pekuburan, esok harinya. Dengan begitu, penyajian wayang kulit semalam suntuk itu tidak semata hiburan — walau penuh gelak tawa — melainkan juga pertunjukan suci. Pada puncak acara ngaben — disebut palebon — pagi-pagi, bade sudah diletakkan di jalan, dekat dengan rumah yang jadi sponsor. Tentu saja, seisi kampung menonton bade yang baru diperlihatkan itu. Sementara itu, undaginya membuat upacara pemelaspasan, meresmikan bade itu sebagai benda suci. Ini penting. Semua alat kelengkapan upacara sebelum dipakai pasti dipelaspas. Sebab, bukan mustahil bahan-bahan bade diperoleh dengan jalan tak suci, misalnya ada bambu hasil curian. Atau, kertas-kertas yang tergeletak ketika menghias bade ada yang dilangkahi perempuan yang sedang “kotor”. Yang masih saya kenang, setelah undagi bade melaksanakan pemelaspasan, ia segera pergi jauh. Seorang undagi bade tak akan 57
melihat hasil karya seninya diusung ke kuburan, untuk dimusnahkan. Sampai sekarang saya belum paham — tak ada sumber yang meyakinkan yang saya peroleh — kenapa bisa begitu. Waktu masa bocah itu, saya pikir, arsitek itu hanya tak tega melihat hasil karyanya berhari-hari, ukiran kertas dan bunga-bunga kapas warna-warni yang dibuatnya dengan tekun, musnah dalam beberapa jam. Jenazah — tulang dan tanah kuburan itu — dikeluarkan dari balai dan diusung ke ruang yang telah disediakan di bagian tengah bade. Para pemikul, dengan kain putih yang melilit kepala masing-masing, sudah siap mengitari bade. Di dasar bade, persis di atas yang dipikul itu, ada seperangkat gender wayang kulit, yang ditabuh mengalunkan suara memilukan, mengiringi perjalanan sang atma meninggalkan jasad kasar. Sedang untuk mengiringi arak-arakan ke pekuburan, ada seperangkat gong baleganjur dengan suara ingar-bingar yang memekakkan. Selain untuk menambah semangat para pemikul bade, gong ini, konon juga berfungsi membangunkan Panca Maha Butha yang akan menerima badan kasar yang meninggal itu. Masih ada simbol penting lagi. Pada tubuh bade seorang lelaki berdiri, mengawal jenazah. Satu tangannya memegang erat tiang bade agar tidak jatuh, satu tangannya lagi membawa tongkat yang bermahkotakan seekor burung Cenderawasih — yang diawetkan, tentu. Burung itu di Bali dijuluki Manuk Dewata, konon jenis burung yang bisa mondar-mandir di dua dunia: yang fana ini, dan dunia surga-neraka. Cenderawasih itulah yang akan menuntun sang atma pergi ke dunia lain, agar tidak kesasar. Ini legenda yang hidup di Bali, walaupun burung Cenderawasih tak pernah hidup di Bali, apalagi di kampung saya — entah kalau beratus tahun yang lalu. Di kuburan, sebelum jenazah diturunkan, seseorang melemparkan ayam yang tadinya ditaruh di sekitar jenazah. Ini juga perlambang bahwa roh siap pergi meninggalkan badan kasar. Ayam ini boleh jadi rebutan orang, tapi tidak boleh diambil oleh keluarga yang punya hajat. Dan upacara ngaben pun mendekati akhir, jenazah — tulang yang dibungkus dan tanah kuburan simbolis itu — diturunkan. Pendeta memimpin upacara, jenazah dibakar seeara 58
simbolis dengan tiga dupa harum, kemudian ditanam. Bade dibawa ke sudut kuburan, direbahkan, dan jadi rebutan orang. Ada yang mengambil kaca-kacanya, hiasannya, gambarnya. Desa kami, Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan, termasuk desa yang unik. Di sini tidak ada pembakaran mayat dalam arti yang sebenarnya ketika upacara ngaben berlangsung. Pembakaran mayat — termasuk pembakaran tulang-tulang itu — dianggap mengganggu kesucian Pura Luhur, yang terletak di puncak Gunung Batukaru, jika sampai abu jenazah terbang dibawa angin dan mengotori puncak bukit. Itulah sebabnya, di sini tak dikenal tungku pembakaran, atau lembu-lembu (petulangan). Ngaben kolektif yang meriah ini menghabiskan biaya seratus kuintal kopi — penduduk desa kami memang petani kopi, segala biaya dihitung dari berapa butir kopi yang dihabiskan. Itu masih ditambah tak kurang dari seratus lima puluh ekor babi. Biaya-biaya ini, selain untuk sesajen — banyak contoh sesajen yang berunsurkan babi — juga untuk honorarium arsitek bade, ongkos pendeta yang didatangkan dari Bali selatan, juga untuk menjamu sekian manusia hampir selama sebulan — setidaknya dalam dua minggu menjelang pelebon — siang dan malam. Saya tak tahu persis berapa para pendompleng ditarik iuran oleh sponsor untuk upacara ini. Tapi, saya tahu pasti, keluarga kami dimintai delapan kuintal kopi. Karena tak punya stok kopi, Ibu menggadaikan sebidang kebun, dan saya sebagai lelaki tertua — walau baru berusia sebelas tahun — harus ikut membubuhkan tanda tangan di depan bendesa (sekarang Perbekel/Kepala Desa) untuk urusan surat gadai. Kebun kopi yang digadaikan itu sekarang telah dijual, karena utang bertumpuk-tumpuk, kami tak bisa melunasi. *** KEHIDUPAN petani kopi di kampung kami memang merosot terus setiap tahun, karena kopi yang tua-tua itu terlambat diremajakan. Di tengah keprihatinan ini, pada 1977, warga dadia kami 59
mengadakan lagi ngaben kolektif, dan sponsornya I Wayan Nesa Wisuandha. Ia memang seorang tokoh, baik formal maupun informal. Ia kepala desa, dan ia juga ketua dadia. Ketika ngaben 1962, ia pula yang dimintai tolong memimpin sebagai ketua panitia. Apa yang saya bayangkan semula, ngaben ini akan berhurahura seperti dulu, tak terjadi. Justru saya yang kaget — mungkin pula karena saya “merantau”, tak lagi mengikuti perkembangan di desa. Nesa tidak menitipkan jenazah kakeknya di luar kuburan. Itu berarti, sang sponsor juga menggunakan jenazah secara simbolis. Tiga pendomplengnya tidak dimintai iuran sama sekali, alias gratis. Ngaben ini tidak memakai bade bertingkat tujuh, sebagaimana lazimnya di desa kami. Nesa tak membutuhkan waktu sebulan, atau seminggu, tetapi hanya tiga hari. Dan yang sangat “berani”, Wayan Nesa tidak membutuhkan seorang pendeta yang berstatus peranda — dari kalangan brahmana — sebagaimana yang sudah mentradisi. Ia mengundang hanya seorang sri empu — sulinggih/ulama dari kalangan warga Pasek — dan tugas ulama ini cuma mengawasi. Yang memimpin dan menyelesaikan upacara pengabenan itu Wayan Nesa sendiri. Suatu kejutan dan suatu penyimpangan buat masyarakat desa kami. Upacara mungkah — yang simbolis itu — dilakukan dua hari menjelang palebon. Bersama para penngikutnya, mereka datang ke kuburan, membangunkan roh untuk menempati badan kasar yang diwakili sejumput tanah kuburan. Esoknya diadakan upacara pembersihan, yaitu memandikan boneka-boneka yang disebut pengawak itu. Tidak ada hari nyuwung. Tak ada hiburan, tak ada pementasan wayang kulit. Masyarakat yang datang pun tidak banyak. Pada hari palebon, yang mengusung bade kecil ini tak lebih dari enam orang. Memang, ada seperangkat gong mengiringi usungan ke pekuburan, tetapi ditabuh sekitar delapan anak-anak kecil, dan asal bunyi saja. Tak ada gender. Tak ada burung cenderawasih. Tidak ada ayam yang dilemparkan. Tak ada hiruk-pikuk. “Toh, upacaranya selesai secara agamawi,” kata Wayan Nesa. “Kalau 60
menunggu sampai terkumpul uang banyak, kapan bisa ngaben? Dan, dari mana mengumpulkan uang?” Untuk upacara ngaben hemat ini, ia hanya mengeluarkan Rp 300.000 (tiga kuintal kopi). Itu sudah termasuk menjamu warga desa yang datang, dan juga beberapa undangan dari kota kecamatan dan kota kabupaten. Boleh jadi, Wayan Nesa tokoh pembaru di desa kami. Bukan cuma dalam masalah duniawi — ia membawa desa kami menjadi juara pertama lomba desa se-Provinsi Bali tahun 1980 — tetapi juga urusan rohani. Ketika saya temui kembali pada awal 1986 ini, ia masih tetap mengaku terus-menerus berpikir bagaimana menyederhanakan bentuk-bentuk upacara keagamaan tanpa menyimpang dari ajaran agama. “Apa yang saya renungkan adalah bagaimana menyesuaikan upacara keagamaan dengan situasi dan kondisi,” katanya. Ketika saya singgung soal ngaben yang hemat dan cukup membuat banyak orang tercengang itu — untuk desa kami — ia punya alasan yang layak didengar. “Biaya ngaben yang besar itu sudah di luar batas beban. Padahal beban lain masih banyak, bagaimana membiayai pendidikan anak-anak. Apalagi kalau ngaben dengan berutang dan menjual kebun, sementara pendidikan anak-anak tidak mendapat perhatian. Saya memilih yang terakhir,” katanya lagi. Dan, Wayan Nesa mengakui, cara yang ditempuhnya itu, yang sesuai dengan ajaran agama, dan pernah dikampanyekan menjelang 1963, memang sulit dipahami oleh sebagian masyarakat yang terbiasa ngaben berfoya-foya. “Ngaben foya-foya hanya mengikuti tradisi leluhur kita, yang waktu itu memang sesuai dengan kondisi,” katanya. Wayan Nesa, di kampung kami, seorang intelektual. Lepas umur 30-an, ia tekun mempelajari agama secara otodidak dan mengumpulkan sendiri lontar-lontar dari sana-sini. Pendidikan formalnya lumayan, drop out sekolah menengah atas di Yogyakarta. Setelah itu ia terjun di politik, menjadi pimpinan partai di tingkat kecamatan, dan bertahun-tahun menjadi anggota DPRD (GR) tingkat kabupaten mewakili Partai Nasional Indonesia. Ketika PNI 61
berfusi ke PDI — dan sungguh partai ini tidak populer di kampung kami yang pernah jadi basis PNI — ia keluar dari kancah politik dan tekun mempelajari agama. Hanya karena sulit mencari kepala desa (bendesa), ia mau menjalankan tugas pengabdian itu, sambil tetap menekuni agama. Ketika “ilmu agama”-nya dirasakan cukup, ia mediksa kepada seorang pendeta. Mediksa ini semacam ujian kerohanian. Ia dinyatakan “lulus” dan dianggap cukup mampu memimpin upacara vadnya, tetapi tidak meneruskan sampai ke jenjang sulinggih, pendeta Hindu. Kini ia melepaskan jabatan kepala desa — karena berhasil menciptakan kader. Ia membabat kebun kopinya, diganti cengkih. Ia aktif mengadakan semacam pengajian. Bahkan di kebun cengkihnya itu, ia seperti mendirikan sebuah pesantren mini, pesantren Hindu. Di kamarnya, yang selalu tercium dupa wangi, tergeletak pesawat radio komunikasi. “Saya suka ngebrik. Saya pernah menuntun seseorang yang kesurupan setan dengan radio ngebrik ini. Yang kesurupan jauhnya sebelas kilometer dari sini, saya memberi petunjuk-petunjuk lewat ngebrik,” ujar Nesa. Pesawat ORARI memang lagi mode di desa-desa pegunungan ini. Tapi, apakah mantra-mantra bisa disampaikan oleh radio ini? “Tentu tidak. Saya paling tidak setuju kalau kemajuan teknologi digunakan untuk kelengkapan upacara keagamaan. Bagaimana kalau nantinya puja-mantra ulama Hindu dikasetkan, dan kaset itu diputar untuk kepentingan agama? Itu hemat yang keblinger,” katanya sambil ketawa. Masalahnya sekarang, bagaimana menerjemahkan kata hemat itu untuk kewajiban yadnya. Nesa kembali mengajak membicarakan hal-hal dasar dari arti yadnya, yakni beban. Ia ngaben hemat, dengan biaya Rp 300.000, karena saat itu ia sedang membabat kebun kopinya yang tua, dan membeli bibit cengkih. Ia juga banyak mengeluarkan biaya untuk anak-anaknya yang disekolahkannya di Denpasar. Semuanya adalah beban. “Kalau eengkih saya nantinya membuat saya kaya, dan kewajiban ngaben itu datang lagi, saya akan membuat ngaben yang lebih besar. Kita bekerja keras untuk mendidik anak dan membahagiakan leluhur,” katanya. 62
Ia memang memimpikan ngaben besar lagi, dan memandangnya perlu. “Karena ngaben bukan sekadar urusan menyempurnakan roh leluhur, tetapi ngaben yang besar berarti pula menghidupkan kesenian, menumbuhkan ikatan sosial, semangat gotong royong.” Ia kemudian merenung sesaat. “Saya percaya, ngaben besar, yang dulunya lebih banyak dilangsungkan di puri-puri, akan masih tetap ada. Kalau tidak di lingkungan puri, ya, di tempat-tempat lain di luar puri, pada keluarga-keluarga kaya,” katanya. . Desa kami, 65 km dari Denpasar, sama sekali tidak berurusan dengan turis. Kegiatan upacara keagamaan berlangsung tenang, tanpa digoda. Jika pun di sana-sini perubahan cara melaksanakan upacara keagamaan berlangsung juga, itu semata-mata soal biasa, gerak dinamis sebuah agama.
63
V Berbagai Bentuk Judi Tradisional Bali
Penyakit GurunTeko
B
ALI sedang dilanda gemuruh pariwisata. Hotel internasional bermunculan di kawasan Nusa Dua, daerah yang sepuluh tahun lalu masih sepi dengan bukit-bukit kapur gersang. Pulau ini dibanjiri turis asing dari tahun ke tahun, dan banyak orang menjadi kaya dengan memanfaatkan demam baru ini. Tetapi, Gurun Teko tetap saja tak peduli. Ia, Gurun Teko, jauh dari Nusa Dua, jauh dari daerah turis. Ia penduduk Banjar Merta Sari, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan. Ia selalu menyebut dirinya “orang gunung”. Dengan predikat itu, ia merasa tak berhak disangkut-pautkan dengan turis. Dari tahun ke tahun, ia tetap saja seperti itu. Badannya gemuk, suaranya keras menggelegar. Ia kocak dan tak pernah kekurangan bahan guyon — terutama menertawakan dirinya sendiri. Bukan berarti kampung itu dilewati oleh perubahan. Buah kopi sudah mulai langka. Pohon-pohon kopi robusta sudah banyak yang bertumbangan. Gantinya, berdiri cengkih atau vanili. Sepeda mo64
tor sudah pula berlalu lalang membelah kampung itu. Kuda, yang biasa ditunggangi anak-anak gunung itu, sekarang tinggal satu dua. Permainan gasing pun sudah tak lagi jadi kegemaran penduduk. Tak ada sarana bermain gasing, karena tanah padat untuk permainan itu sudah tak ada lagi. Dulu, ketika buah kopi usai dijemur, lahan itulah yang digunakan bermain gasing. Kini, empat buah meja bilyar di kampung itu, barangkali, bisa menggantikan gasing. Orang pada ngantre mengadu nasib di meja ini: ya, seperti halnya gasing, bilyar pun dipakai sarana bertaruh. Ada satu lagi kemajuan yang sangat layak dicatat. Di beberapa rumah, kelihatan ada antena menjulang. Itu antena pesawat radio komunikasi, radio dua meteran. Tetapi, Gurun Teko, tetap saja tak berubah. Menurut penuturan orang, tak pernah ada yang melihat Gurun Teko mampir bermain bilyar. Ia tetap tak bisa berpisah dengan ayam-ayamnya. “Kegemaran saya, ya, hanya satu itu, tajen. Kalau sehari tak melihat ayam, saya bisa sakit,” katanya suatu kali. Tajen adalah sabungan ayam. Di sebuah siang yang sejuk di lereng Gunung Batukaru itu, saya melihat Gurun Teko tergopohgopoh dengan bungkusan di tangan kanannya. Semula, saya mengira ia membawa pupuk, dan pergi ke kebun cengkih milik orang lain — sudah lama saya mengenalnya sebagai orang upahan. “Beh, kapan pulang dari Jawa. Ayo ikut Guru. Di Jawa, pasti tak ada tajen sehebat di Bali. Ayam Guru pasti menang. Dewa ratu, semalam Guru mimpi disambut bidadari,” katanya sambil ketawa. “Bidadari menyambut Guru yang tak pernah mandi ini, ha... ha... ha....” Ia terpingkal-pingkal sambil mencari daki di lengannya. Guru adalah panggilan seorang anak untuk ayahnya di kampung itu. Si ayah juga menyebut dirinya Guru jika berbicara kepada si anak, atau orang lain yang bisa dianggap anak. Gurun menunjukkan seorang lelaki berkeluarga yang telah mempunyai anak kandung, dan nama anaknya itu melekat di belakang kata Gurun itu. Jadi, lelaki kocak bertubuh bagai atlet angkat berat ini, punya anak sulung bernama Teko, sehingga nama panggilannya — istilah di Bali pungkusan — menjadi Gurun Teko. Saya tak tahu siapa nama asli Gurun Teko — seperti pula anak-anak muda di kampung 65
itu, jarang yang tahu siapa nama asli ayah-ayah mereka. “Coba pegang bungkusan ini,” ujar Gurun Teko lagi. Saya meraba, dan kaget sekali. Ada ayam terbungkus karung bekas pupuk. Kok teganya menyiksa ayam seperti itu? “Pakai otak, pakai otak. Kalau polisi pakai otak, bebotoh juga punya otak. Kalau ayam tidak dimasukkan karung, polisi akan cepat mengetahui ada tajen,” katanya setelah ia membaca keheranan saya. “Jangan bilang-bilang, Putu. Tajen hampir tiap hari ada. Omong kosong bisa dihapuskan begitu saja. Ini warisan nenek moyang, enak saja dihapus, beh. . . beh. . ..” Gurun Teko kembali ketawa. Dalam angannya, mungkin, ia telah berhasil mengecoh polisi. Kalau dipaksakan mencari perubahan pada diri Gurun Teko, selain usianya yang bertambah, ya, kebiasaannya membawa ayam aduan itu. Perubahan yang tentu bukan kemauannya. Sejak pemerintah menghapuskan segala bentuk perjudian 1 April 1981, dan sabungan ayam ikut dibreidel, ayam yang setiap hari dielus-elus itu harus tega dimasukkan karung pupuk yang ujungnya diikat kuatkuat. Dulu, ayam seperti itu, dimasukkan kisa — sangkar khusus yang tak jarang berukir pula. Sabungan ayam pun tak lagi mudah diketahui oleh yang bukan bebotoh (penjudi). Tempatnya berpindah-pindah, dan biasanya — untuk kawasan kampung itu — di sebuah tegalan kosong di tengah-tengah perkebunan kopi. Atau di kuburan desa. Siang itu, setelah berjalan sekitar dua kilometer ke arah gunung, kami sampai ke tempat sabungan ayam. Ada sekitar lima puluh petaruh yang hadir. Lalu, sejumlah anak-anak keeil. Ada yang memanjat pohon bermain-main sambil menunggu orangtuanya berjudi. Ada pula anak kecil yang ikut berjudi. Di bawah pohon nangka, seorang perempuan paruh baya, yang dibantu anak lelakinya, berjualan nasi. Saya cepat mengenalnya, dulu, perempuan itu pun penjudi juga. Dalam suasana seperti ini, perkebunan kopi menjadi saksi bisu sebuah kemeriahan. Kalau ayam menjelang berlaga, suara para petaruh menyatu menjagokan ayam pilihannya dan berusaha mendapat lawan taruhan. Iramanya indah, bagai paduan suara 66
yang diiringi sebuah orkestra. Gurun Teko bertindak sebagai saya — semacam wasit yang mengawasi pertarungan ayam itu. Dan ia satu-satunya saya di tajen gelap itu. Belum lagi dua ayam itu dilepas oleh pakembar masing-masing, terdengar mesin sepeda motor menderu. Semua orang menoleh ke arah jalan setapak. Perempuan yang berjualan nasi itu juga dengan sigap mengemasi dagangannya. “Tenang, tenang. Tak ada polisi. Ini bebotoh dari Sanda datang,” teriak seorang anak dari atas pohon kopi. “Bangsat, bangsat, dewa ratu, tolong mesin honda itu dimatikan, beh. . . beh. . .,” teriak Gurun Teko mengumpat penjudi yang mengagetkan itu. Si penjudi yang berboncengan itu menuntun Yamaha trail ke bawah pohon nangka dekat penjual nasi — di kampung itu setiap sepeda motor, apa pun merknya, disebut honda. Si penjual nasi, perempuan bergigi emas, dengan ramah menerima titipan honda itu. Tapi toh, ia juga mengumpat. “Ndas keleng, bikin sakit jantung saja,” katanya. Umpatan kasar-kasar seperti ini hampir sama fungsinya dengan selamat siang atau selamat pagi di Jakarta metropolitan. 0, ya, kalau sabungan ayam sampai digerebek polisi, pedagang ikut diperiksa dan dagangannya disita, dengan tuduhan membantu perjudian, setidak-tidaknya mengetahui ada rencana perjudian tetapi tidak melaporkan ke pihak yang berwajib. “Ayo mulai, ayo mulai. Sudah ada yang berjaga-jaga mengawasi polisi. Ayo . . . ,” teriak Gurun Teko. Para penjudi pun mulai ramai lagi bersuara. Cok . . . Cok . . . buik . . . buik . . . gasal. . . gasal.... Teriakan para penjudi ini ada dua jenis: tentang ayam yang dijagokan, dan tentang sistem taruhan. Suara itu mendadak lenyap, manakala ayam sudah dilepas oleh pakembar (pemegang ayam aduan di arena sabungan), dan ayam mulai berlaga. Hanya dua sabetan, seekor ayam kena pukul, tetapi belum ada darah mengucur. “Saya . . . saya . . .,” teriak seorang pakembar yang ayamnya berhasil memukul, tetapi lawannya tidak apa-apa. Teriakan ini maksudnya memberi tahu wasit, ada sesuatu yang tidak beres. 67
Pluk! Gurun Teko memukul sepotong batang bambu di depannya, bunyinya jeiek sekali. Artinya, sebagai wasit ia sependapat, ada yang tak beres. Pakembar yang berteriak tadi langsung menyambar punggung ayamnya, walau kedua makhluk itu sedang asyik “bertengkar”. Agaknya, ada yang tak beres pada benang yang mengikat taji — pisau kecil bermata dua yang tajam sekali — di kaki ayam buik itu. Sementara ikatan itu diperbaiki dengan menambah tali benang, para petaruh mulai kedengaran suaranya satu dua, masih mencari lawan taruh. Tidak seramai tadi, memang. Tentu saja, terlalu riskan bertaruh setelah melihat dua sabetan pertarungan itu. “Lebang . . .,” teriak Gurun Teko memberi aba-aba. Harap maklum, perintah dalam sabungan ayam selalu harus diteriakkan secara lantang, bukan karena kebetulan Gurun Teko terbiasa berkata keras-keras. Perintah tadi berarti, ayam segera dilepas lagi. Tiga kali sabetan, seekor ayam mengucurkan darah dari perutnya. Tetapi, ia tak mau menyerah begitu saja. Keduanya terus bertarung. Ayam yang mengucurkan darah itu sudah terseok-seok, tetapi bulu lehernya terus berkibar, pertanda tak gentar. Ciat… Satu pukulan lagi dari si buik. Si putih yang terseok itu telentang. Darah mengucur terus membasahi bulunya yang indah. Gurun Teko menghitung sebelas kali “sa, dua, tlu, pat, lima, nem, pitu, kutus, sia, dasa, sa.” Pluk, pluk, pluk. Gurun Teko memukul bambu di depannya dan berteriak lagi: “Kawon. . ..” Teriakan terakhir ini berarti, ada yang telah kalah, dan ada yang telah menang. Tentu saja, tak perlu ditunjukkan kepada petaruh, yang mana kalahmenang itu. “Beh, beh, bagus sekali ayam buik itu berkelahi, tak Guru sangka. Guru bertaruh pada si putih. Kalah dua ribu,” ujar Gurun Teko kepada saya. Tak perlu heran, walaupun ia diangkat menjadi wasit, ia juga bertaruh. Tak ada larangan wasit terlibat dalam taruhan. Dan, walau yang dipertaruhkan itu sedang nahas, wasit tak akan berpihak atau berat sebelah. Risikonya adalah nama baik — dan ini penting sekali untuk seorang penjudi. Sementara itu, ayam-ayam yang akan diadu dicarikan lawan tanding. Satu per satu ayam dikeluarkan dari kantung pupuk, me68
nikmati kebebasan sesaat. Para penjudi yang tidak membawa ayam ikut berkelompok di tempat pemilik ayam. Yang lainnya membeli nasi, sambil menghitung-hitung uang. Gurun Teko mentraktir saya di warung yang satu-satunya itu. Ia kalah dua ribu, itu berarti lima ribu rupiah. Taruhan adu ayam di Bali selalu menggunakan hitungan ringgit (Rp 2,50). Sejak dulu begitu, entah kenapa. *** SAYA baru pertama kali menyaksikan sabungan ayam gelap seperti ini, di tengah perkebunan kopi dan tersembunyi pula. Sebagai putra Bali yang lahir di lereng gunung, saya akrab dengan sabungan ayam yang resmi, yang dipergelarkan di sebuah balai khusus sabungan ayam yang disebut wantilan. Menyaksikan sabungan seperti tadi, tentu saja, saya merasakan kehilangan sesuatu. Banyak sekali sesuatu itu. Wasit — atau yang disebut saya — di sebuah sabungan besar yang resmi dengan izin pemerintah, ada lima orang. Empat saya mengawasi setiap sudut di tengah arena, karena itu dinamai saya bilang bucu. Ia bertugas menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di antara pakembar, dan memberi aba-aba kepada saya yang satu lagi. Saya yang satu itu, duduk di atas menara, membawa kempur — itu gong keeil. Alat yang berbunyi nyaring ini sering pula disebut kemong, karena bunyinya mong . . . mong .... Saya itu pun disebut saya kemong. Sarana penting lain yang dihadapi saya kemong adalah sebuah belanga yang penuh air. Lalu ada gayung dari tempurung kelapa yang bawahnya berlubang kecil, disebut ceeng. Gayung tak bertangkai ini, kalau diletakkan di atas air di belanga itu, maka ia akan tenggelam perlahan-lahan. Tiga kali ia tenggelam, adalah waktu yang konon sama dengan hitungan sebelas. Inilah penunjuk waktu dalam adu ayam. Dan kekuasaan saya kemong adalah yang tertinggi. Kalau dalam pertandingan sepak bola, dialah wasitnya, sedang saya bilang bucu adalah hakim garis. Barangkali ada baiknya saya menuturkan perihal tajen ini 69
lebih rinci. Setidak-tidaknya, inilah upaya saya untuk merekam sebuah budaya judi, yang pada suatu masa nanti mungkin hanya tinggal dongeng. Wantilan itu hampir dipunyai setiap desa adat, sebuah wilayah yang tak sama persis dengan luas kelurahan. Bangunan ini luasnya sekitar 50 X 50 meter. Dibuat berundak-undak menurun ke tengah. Tetapi, persis di tengah itu, dibuat meninggi lagi, nah inilah arena perkelahian ayam. Arena itu bentuknya bujur sangkar dengan sisi sepuluh langkah kaki orang dewasa. Di tengah-tengah arena, ada lagi bujur sangkar kecil bersisi satu langkah, ditandai dengan garis. Ayam yang siap dengan taji dibawa oleh pakembar. Bagi pakembar yang fanatik, ia pasti ke tengah arena lebih awal, untuk kemudian memilih dari arah mana ia melepas ayamnya. Kalau pakembar pertama berada di timur, pakembar kedua mau tak mau harus berada di barat. Langkah awal adalah memperkenalkan kedua ayam kepada petaruh yang mengelilingi arena. Caranya, kedua pakembar membawa ayamnya ke tengah bujur sangkar keeil, dihadap-hadapkan, diadu, tetapi tidak dilepas. Akan kelihatan bagaimana kedua jago itu berdiri tegak dengan leher menjulang. Atau ketika diadu perkenalan, betapa bulu di leher kedua ayam itu mekar bak ekor burung cenderawasih yang kasmaran. Para penjudi mulai menebak, mana yang layak dijagokan. Ketika sudah cukup perkenalan itu, dan pakembar berdiri, penjudi di luar arena mulai bertaruh. Pakembar itu pun mengacung-acungkan tangannya yang memegang ayam. Tak jarang, dia juga mencari lawan taruhan lagi, mungkin tidak puas bertaruh dengan pakembar apalagi kalau ayamnya itu unggulan. Ayam diberi nama dari warna dan keadaan bulunya — tidak seperti memberi nama burung perkutut. Bihing nama ayam berbulu merah. Ijo berbulu hijau. Buik, bulunya campuran, warna-warni. Wangkas, pada sayap berwarna merah sedangkan dadanya berisi bulu putih. Serawah, badan dan sayap umumnya berwarna putih, tetapi bulu leher ada yang berwarna hitam. Kelau, bulu berwarna abu-abu. Sa, artinya putih mulus. Brumbun, kombinasi warna 70
merah, putih, dan hitam. Grungsang, pada bulu sayapnya melingkar seperti kuncir, tanpa mempedulikan warna bulu. Memang, untuk tanda-tanda yang menonjol, nama keadaan bulu itu yang disebutkan. Misalnya, walaupun bulu ayam itu putih mulus, kalau bulu di sayapnya ada kuncir naik, ayam itu disebut grungsang, bukan sa. Keadaan bulu lainnya adalah ook, yaitu bulu lehernya sangat lebat. Godeg, ini ayam yang kakinya tumbuh bulu. Godeg derupa sama dengan godeg tadi tetapi di dekat lutut tumbuh bulu lagi. Jambul, ini sudah umum dikenal, yaitu ada jambul di atas kepala ayam. Khusus untuk sebutan jambul, hanya dipakai jika dua ayam yang bertarung warna bulunya sama. Misalnya, kedua ayam brumbun bertarung, ayam brumbun yang berjambul disebut jambul. Yang satunya tetap brumbun. Tetapi kalau ayam brumbun berjambul itu bertarung melawan ayam buik, maka ia disebut brumbun, bukan jambul. Kemudian ada ayam jantan — semua ayam yang diadu tentu saja ayam jantan — yang sepintas kelihatan seperti ayam betina. Ayam ini, tanpa memandang warna bulunya, disebut papak. Begitu pula kalau bulu ekornya melingkar turun, disebut ayam sangkur, apa pun warna bulunya. Untuk bertaruh, nama-nama itulah yang disebut. Pada setiap pertarungan, selalu ada ayam unggulan. Begitu pakembar mengadakan perkenalan singkat berhadap-hadapan di bujur sangkar kecil, seseorang berteriak: bihing . . . bihing . . .. Kalau sampai pakembar berdiri tidak ada teriakan yang lain, berarti ayam bihing itulah ayam unggulan. Suara petaruh selanjutnya tidak lagi bihing — atau menyebut nama ayam — tetapi sebutan yang mengarah ke sistem taruhan: cok, gasal, dapang, tindo, apit, satu teng, dan sebagainya. Cok adalah sistem taruhan dengan perbandingan tiga lawan empat. Misalnya begini. Setelah diketahui ayam unggulan itu bihing, jika seseorang berteriak: cok . . . cok . . . artinya yang berteriak cok itu memegang ayam yang jadi musuh si bihing. Dengan catatan, kalau ia menang ia mendapat uang sebesar taruhan, tapi jika kalah hanya membayar tiga perempat dari besar taruhan. 71
Misalnya kesepakatan bertaruh empat puluh ribu (ingat: ringgit) atau Rp 100.000, jika yang bersuara cok itu menang, ia mendapat utuh Rp 100.000. Kalau kalah, ia hanya membayar Rp 75.000. Gasal artinya sistem taruhan lima banding empat. Dapang, sepuluh berbanding sembilan. Tindo, tiga berbanding dua. Apit, dua berbanding satu. Yang paling ekstrem permintaannya, satu teng atau juga disebut teluin, tiga berbanding satu. Seorang petaruh cukup meneriakkan sistem taruhan, dan yang berminat melawannya tinggal angkat tangan, tanpa berteriak apaapa. Jadi, petaruh yang berpihak ke ayam bukan unggulan saja yang berteriak-teriak, karena ia berkepentingan mengajukan penawaran sistem taruhan. Kecuali kalau dua ayam yang bertarung padu baret — kelihatan seimbang. Dalam situasi begini, nama ayam masih sering disebut-sebut. Para penjudi bisa melakukan transaksi taruhan dari jarak jauh. Tak perlu datang berhadap-hadapan — bayangkan kalau ini terjadi, lalu lintas jadi kacau dan semrawut. Para penjudi itu memakai kode jari tangannya, sementara uang taruhan tetap di saku atau dompet masing-masing. Kalau pertandingan usai, justru yang kalah datang ke tempat yang menang. Atau kalau jarak cukup dekat, uang digulung dan dilemparkan. Uang-uang yang dilemparkan itu tak akan disabet orang lain yang tak berhak. Para penjudi ini tak mengenal kamus curang, misalnya, kalau ada gelagat kalah, buru-buru kabur dan menyelinap di kerumunan orang ramai, atau diam-diam menghilang dan pulang — suatu hal yang sangat mudah dilakukan. Para penjudi seperti punya etika dan mereka yakin, di tempat lain suatu hari pasti bertemu lagi. Yang tadi, cara bertaruh para penjudi yang tak ada sangkut pautnya dengan si empunya ayam. Pemilik ayam punya aturan lain lagi. Perundingan di antara sesama pemilik ayam terjadi pada saat jedah, saat ketika ayam-ayam saling dicarikan lawan. Masa jedah itu biasanya setelah lima pasang pertarungan. Pada saat jedah begini, penjudi tanpa ayam menyerbu judian lain di halaman wantilan, atau membeli nasi, atau membeli pakaian untuk oleh-oleh anak istri di rumah, atau menonton tukang obat yang 72
memperagakan sulap. Sistem taruhan di antara pemilik ayam dan kelompoknya (antara lain pakembar, pemilik ayam yang tak berani sebagai pakembar, dan pemilik taji) selalu padu baret, artinya satu banding satu. Ini juga ketentuan panitia penyelenggara tajen, untuk memudahkan memungut komisi — yang besarnya sepuluh persen dari jumlah taruhan. Pemilik ayam tak mengenal istilah cok, gasal, dapang, dan sebagainya. Sebagai kompensasi, karena tak mungkin dua ayam sama besar dan sama kukuh, terjadilah “penyimpangan” dalam memasang taji. Ayam yang lebih kecil dan dianggap lebih lemah selalu mendapat perlakuan istimewa. Taji dipasangkan sedemikian rupa di jari tengah kaki kiri ayam itu dengan benang yang kuat dan panjang. Pasangan taji membentuk sudut kira-kira 30 derajat dan lurus dengan kaki ayam dilihat dari arah depan. Ayam yang lebih besar mengalah, sampai pada batas-batas yang disepakati. Ada beberapa jenis pasangan yang mengalah itu, yakni merang, mesor, ngacing, ngepe. Merang dibagi lagi dua macam: merang samping, artinya taji tetap diikat pada jari tengah ayam, tetapi arahnya agak ke samping dilihat dari arah depan, dan merang dalem, artinya taji juga diikat pada jari tengah tetapi sudutnya lebih dalam, sekitar 15 derajat. Mesor, yaitu pasangan taji tidak di jari tengah, tetapi di pinggirnya. Tentu saja, tak ada yang menjepit, dan pasti tidak sekuat pasangan taji yang dijepit antara jari tengah, bagaimanapun cara mengikatnya. Ngepe lebih konyol, selain pasangan tajinya tidak kuat seperti mesor itu, taji yang dipasang lebih pendek ukurannya dari lutut ayam — taji normal sama tinggi dengan lutut ayam ketika ayam berdiri tegak. Pemasangan taji disaksikan oleh saya yang jumlahnya empat itu. Pemasang taji begitu profesional, amat cepat, tangannya berputar-putar mengulurkan benang yang tadinya tergulung, punya aturan-aturan baku, kapan harus menjepit, kapan berputar, dan sebagainya. Petaruh di luar arena tak harus diberi tahu adanya penyimpangan pemasangan taji ini. Mereka otomatis dianggap tahu, 73
ketika pakembar mengadakan perkenalan di bujur sangkar kecil. Mong . . . Wasit memukul kemong. Pakembar, yang mondarmandir di arena setelah melewati babak perkenalan itu, diminta kembali menghadapi garis bujur sangkar keeil. Kedua ayam kembali diadu berhadap-hadapan. Ini bukan lagi perkenalan, tetapi uji coba, apakah kedua ayam masih sama beringas. Petaruh pun mulai bertambah keras suaranya, terutama yang belum dapat lawan, karena ini kesempatan terakhir. Pada saat inilah biasanya ada petaruh yang meneriakkan apit, atau satu teng, saking penasarannya. Mong! “Lebang . . . ,” teriak wasit kepala, yang di menara itu. (Lebang artinya lepaskan). Artinya, wasit kepala sudah menyaksikan kedua jago tetap bergairah berlaga, sehingga diputuskan dilepas. Pakembar berdiri, mundur beberapa langkah sampai di pinggir arena. Dari sinilah ayam itu dilepas. Dua jago itu saling menyongsong lawannya, saling tubruk dan langsung bergumul. Jika terjadi penyimpangan, misalnya, taji menusuk tanah sehingga ayam itu tak bisa bangkit, atau seekor ayam tertusuk taji lawannya, dan taji itu menancap terus tak bisa lepas, saya yang mengawasi pertarungan itu memberi tanda dengan tangannya. Wasit kepala memukul kempur: mong! Pakembar mengambil ayamnya. Setelah dibenahi sambil menggelitik jago masing-masing, ayam dilepas kembali dari jarak jauh. Pertarungan bisa berlama-lama, karena sama kuat, atau sama lemah — ayam itu hanya menggebuk sesekali dan lebih banyak berputar-putar. Atau dalam keadaan sekarat, tak jarang ayam itu hanya mendekati lawannya, tetapi tidak berlaga. Begitu ayam tidak berlaga, saya kemong menaruh ceeng di belanga yang penuh air. Jika tempurung kelapa itu tenggelam sampai tiga kali, ayam itu tetap juga tidak berlaga, kemong dipukul. Kedua pakembar mengambil ayamnya masing-masing, kemudian membawa ayam itu ke garis bujur sangkar kecil di tengah arena. Dalam posisi berhadapan langsung itu, ayam dilepas. Sebelumnya leher ayam dipijit, pangkal pahanya digelitik, bulu dekat hidung ditarik, mulut ayam ditiup, badan ditepuk. Maksudnya, supaya ayam itu tambah beringas. Biasanya ayam terangsang untuk berlaga lagi, sampai 74
ada yang betul-betul terkapar kalah. Ayam dinyatakan kalah jika kedua lututnya menyentuh tanah. Sering pula terjadi, ayam itu ngambek, walau sudah berhadapan langsung. (Siapa tahu mereka sadar diperdayakan manusia.) Saya kemong menghitung lagi dengan tempurung kelapa yang dibenamkan ke air itu. Dan jika waktunya tiba, ayam tetap saja bandel, kemong dibunyikan. Seorang saya di arena berteriak: pruput. Nah, inilah adegan yang menegangkan bagi penjudi sabungan ayam, seperti adu penalti dalam pertandingan sepak bola. Seorang saya mengambil kurungan dari anyaman bambu. Seorang saya lagi mengambil kedua ayam. Dalam posisi yang bertolak belakang, kedua ayam itu dilepas di dalam kurungan dengan perhitungan ketat dari saya kemong. Ayam mana yang mematuk lawannya lebih dulu, itu dinyatakan menang, asalkan dalam batas waktu hitungan pruput itu lawan yang dipatuk tidak membalas. Tetapi jika dalam batas waktu pruput itu terjadi patuk-mematuk, kurungan diangkat kembali, dan saya berteriak: palu .... Artinya, status kedua ayam dinyatakan berlaga, tak ada menang, tak ada kalah. Sabar, pertandingan belum selesai. Ronde selanjutnya diulang seperti tadi, dilepas dari jarak panjang, lalu jarak pendek, dan jika tetap tak ada kalah, kembali pruput. Di ronde pruput ini, sering terjadi keajaiban. Ayam yang lebih parah, lebih menderita, lebih lemah, tiba-tiba mengambil inisiatif mematuk, dan tentu saja dinyatakan menang, kalau lawannya tak membalas. Dalam kasus seperti ini, pakembar ayam yang menang dipuji setinggi langit, karena berhasil merangsang ayam yang sekarat itu. Tak jarang, ia menerima hadiah dari petaruh yang menang banyak. Yang jelas, ia akan “laris” sebagai pakembar. Keajaiban sebaliknya, ayam yang segar tiba-tiba di ronde pruput merebahkan lututnya hingga menyentuh tanah. Wah, sial, ayam itu dinyatakan kalah. Pakembar yang sial itu bisa berbulan-bulan tak dipakai pemilik ayam. Ia disebut cali artinya tukang sial. Tidak setiap pruput persoalan kalah menang bisa diselesaikan. Sering pula terjadi, dalam jangka waktu pruput itu, kedua ayam tidak saling mematuk, tetapi juga tak ada yang runtuh sampai lu75
tutnya menyentuh tanah. Maka, dinyatakan seri, alias draw. Seri di ronde pruput ini, kedua ayam diambil pemiliknya dan langsung disembelih. Ayam yang sial. Kalau seri sebelum berlaga — pada waktu perkenalan atau saat sebelum dilepas dari jarak panjang — ada juga, misalnya, salah satu ayam mogok bertanding. Ayam yang mogok itu dipelihara baik-baik, dan tidak dinyatakan ayam sial. Ayam yang kalah menjadi hak pemilik ayam yang menang, disebut cundang. Sedang pemilik taji yang ayamnya menang mendapat bagian sepotong paha dari ayam cundang itu, selain tentu saja menang bertaruh. Pemilik taji yang ayamnya kalah mendapat betis ayam cundang — mungkin supaya praktis mengembalikan taji ke pemiliknya, tak usah lagi membuka ikatan benangnya pada saat itu. Arena sabungan ayam adalah pesta pora masyarakat pedesaan. Hura-hura yang dinanti-nantikan warga desa. Ketika saya kecil, tak jarang sampai bolos sekolah, atau pulang sebelum waktunya, agar bisa ke tempat sabungan ayam. Lebih-lebih, letak sekolah berdekatan dengan wantilan, bahkan halaman sekolah jadi tempat parkir dan tempat tukang sulap menjajakan obatnya. (Begitu kami menyebut, karena kami menganggap jual obat itu sambilan. Buktinya, ketika tukang sulap mulai menawarkan obat, kerumunan menghilang, dan kemudian datang lagi ketika sulapan dimulai). Di sebuah desa yang ada sabungan ayam, warga desa itu tidak dipungut karcis masuk ke kompleks wantilan. Namun, setiap kepala keluarga, suka atau tidak suka berjudi, wajib membawa ayam, disebut kena uran (kemungkinan besar kata ini berasal dari iuran). Ketentuan ini umum ada di mana-mana, di seluruh pelosok desa di Bali. Secara tak langsung, setiap lelaki dewasa di Bali diwajibkan menjadi penjudi — dengan wajib kena uran itu. Kalau tidak, didenda. Maka, saya teringat seorang paman saya, yang tak fanatik berjudi. Setiap ada sabungan ayam di desa, yang panitianya dipimpin kepala adat karena untuk menggali dana guna perbaikan pura atau persembahyangan, ia meminjam ayam dari ayah saya. Kalau ayah tak punya stok ayam yang layak dipertandingkan, Paman 76
diberi ayam yang belum siap dengan pesan “jangan diperlagakan”. Risikonya, Paman hanya membawa ayam itu ke wantilan untuk dilaporkan ke panitia, kemudian diam-diam, ayam disembunyikan di sebuah warung. Supaya tidak ada pakembar atau petaruh lain yang coba-coba mencarikan lawan tanding. Setiap ayam berstatus uran, yang tempatnya di pinggir bawah arena, boleh diambil setiap penjudi untuk dicarikan lawan. Tetapi jadi tidaknya berlaga ditentukan oleh pemiliknya, dengan alasan yang cukup diterima akal sehat — untuk ukuran penjudi. (Kalau alasannya tak punya uang taruhan, atau tak suka berjudi, itu sih “akal sakit” bagi penjudi, dan saya memutuskan ayam diperlagakan). Ayah saya, terutama pada saat beliau kembali punya kesibukan mengurus kesenian, juga sering membohongi panitia tajen. Beliau memasukkan ayam uran, kemudian dijaganya terus. Setiap ada yang mau mengambil, Ayah mengatakan, sudah diperlagakan tadi. Beberapa jam kemudian, Ayah keluar wantilan, dengan senyumsenyum. Kalau ditanya, dikatakannya ayamnya sudah menang. Kok tidak ada cundang? “Dijual ke warung, tanya saja anak saya ini,” jawab Ayah. Dan ketika saya ditanya, saya mengangguk, sesuai dengan pesan Ayah. (Suatu hari, saya pernah bertanya: apakah berbohong itu baik dan bukannya dosa, dan jawaban Ayah — sampai kini saya kenang sebagai sebuah “ajaran” — orang dibenarkan berbohong kepada lima jenis orang: antara lain, boleh berbohong kepada penjudi untuk menghindari judi itu sendiri). Sabungan ayam tetap saja pesta di tengah langkanya hiburan di pedesaan, sebelum 1980-an itu. Anak-anak, yang memang bebas dari karcis masuk, lebih banyak berjudi di halaman wantilan. Atau hilir mudik mencari bulu ayam di saat jedah pertarungan. Atau melayani penjudi yang menang, misalnya, membelikan rokok akan diberi uang lelah yang cukup untuk makan mewah di warung nasi. Tapi, uang lelah ini umumnya dipakai berjudi. Di keramaian sabungan ayam, taruhan dan judi tak hanya pada ayam-ayam yang berlaga. Di luar itu, judi jenis lain bertebaran. *** 77
SAYA, tentu saja, sangat akrab dengan judi-judi itu. Tak ingat, kapan persisnya saya belajar berjudi. Mungkin ketika di kelas 3 sekolah rakyat (SR), ketika usia baru saja delapan tahun. (Saya memasuki SR pada usia lima tahun). Di kelas itu, saya pertama kali mendapat pelajaran huruf Bali. Dan, saya tak puas dengan pelajaran di sekolah, saya pun belajar pada Ayah di rumah. Ayah banyak memiliki lontar. Ada lontar mengenai pengobatan, dewasa ayu, upacara, dan lontar pegangan untuk penjudi. Lontar terakhir ini yang paling mudah dibaca. Hurufnya lebih besar dan lebih jelas. Selain itu, kalau saya membaca lontar yang lain, kakak-kakak saya sering mengejek, “belum apa-apa sudah membaca lontar untuk orang dewasa, nanti giginya putus semua.” Jadilah saya asyik membaca lontar pegangan untuk penjudi. Dan, saya pun mempraktekkannya, bagaimana kita berebut arah kalau menghadapi arena judi, berdasarkan baik-buruknya waktu dan juga berdasarkan “urip” sebuah hari. Kurang lebih, pada masa itulah saya mengenal judi tingkat pemula, yakni bermain dadu. Di desa saya, permainan ini disebut kocok-kocok, lantaran sebelum ditebak, dadu yang berjumlah tiga itu dikocok dulu di kaleng yang tertutup. Lewat pengetahuan yang diperoleh di lontar, saya memilih tempat duduk. Misalnya, hari Senin Pahing. Senin urip-nya sekian, Pahing sekian, lalu digabung, dan dicocokkan, maka duduknya sebelah sana. Selasa Umanis (di Jawa, Selasa Legi; Umanis/Manis = Legi) tentu lain lagi. Pelajaran-pelajaran itu komplet ada dalam lontar. Dari Ibu, saya selalu memperoleh uang untuk berjudi. Saya lelaki pertama setelah keempat kakak saya semua perempuan, jadi saya amat dimanja. Kakak sulung saya, yang kawin dengan guru sekolah — itu sebabnya saya bisa sekolah dalam usia lebih muda — sering juga memberi uang, dengan perjanjian kalau menang, hasilnya dibagi. Dia — dan suaminya — tak melarang saya berjudi. Meski sudah mempraktekkan isi lontar, saya merasa tak sering menang. Masih amat kecil, saya sering diajak Ayah ke tempat sabungan ayam yang jauh dari desa saya, dengan berkendaraan carteran. 78
Saya ingat, pernah diajak ke Pura Taman Ayun, Mengwi, tempat sabungan ayam yang paling bergengsi hingga tahun 1970-an. Ayah selalu membawa ayam. Tapi Ayah tak pernah menjadi pakembar, karena Ayah takut memegang ayam yang sudah dipasangi taji. Lagi pula, tampaknya Ayah takut menjadi pusat perhatian ribuan — ya, kalau di Taman Ayun ada sabungan ayam lebih dari ribuan — penjudi. Saya tak pernah bisa bertaruh untuk ayam. Saya tak akrab dengan ayam, jadi tak tahu mana yang pantas diunggulkan. Kalau ke tempat sabungan ayam, saya bermain judi di luar wantilan. Urutan kegemaran saya, ini sesuai dengan tingkat usia: main dadu, keles, trui. Kalau terpaksa, baru saya ikut judi togtog. Main dadu agaknya tak perlu dijelaskan. Mudah sekali. Ada tiga buah dadu ditaruh di dalam sebuah piring, kemudian ditutup kaleng, lalu dikocok, lantas ditebak oleh petaruh, lewat selembar kain yang digelarkan yang sudah berisi angka-angka berupa lambang, sesuai dengan mata dadu. Permainan ini pun semakin matang dalam teknik mengocok. Belakangan, tak perlu bandar mengocok keras hingga berbunyi, tetapi digoyang ringan saja. Bahkan di bawah piring ada alas yang empuk, sehingga tak kedengaran bunyi dadu berbalik di dalam kotak. Sukar sekali menebak, apakah dadu itu benar-benar berbalik, dan ke arah mana. Saya biasanya punya teknik menebak. Kalau bandar mengangkat piring itu ke atas, maka sisi depan menjadi di atas. Kalau digeser ke kiri lalu diangkat kecil, angka di sisi kanan yang di atas. Tentu tak pasti, tergantung seberapa keras mengocoknya. Lagi pula, harus diperhatikan posisi dadu sebelum ditutup kaleng, kemudian harus pula diperhatikan, apakah bandar dadu tidak memutar piring itu. Kalau diputar, berapa sudut. Soalnya, mata dadu sudah ada ketentuannya. Di bawah bilangan satu, pasti enam, di bawah dua angka lima, di bawah tiga angka empat. Atas dan bawah selalu angkanya berjumlah tujuh. Kalau permainan dadu, petaruh langsung melawan bandar, tetapi keles, trui, dan togtog berbeda. Penyelenggara judian ini disebut belandang. Dia hanya menarik jasa dari permainan itu. 79
Dari setiap penjudi yang menang, belandang memungut cukai — istilahnya memang begitu — sepuluh persen. Bandar taruhan berganti-ganti di antara penjudi. Siapa yang menang taruhan paling banyak, dia yang berhak dan ditunjuk menjadi bandar taruhan. Ketiga jenis judi ini menggunakan empat bidang taruhan, sesuai dengan arah empat mata angin: utara, barat, selatan, dan timur. “Nilai” satu yang menang utara, dua barat, tiga selatan, dan empat timur. “Nilai” selanjutnya berputar seperti itu, jadi lima dan sembilan yang menang utara, enam dan sepuluh barat, dan seterusnya. Kalau yang menang bidang barat, pemasang di bidang timur kalah. Utara dan selatan, draw. Petaruh yang menang di barat dibayar lebih dulu dari uang petaruh yang kalah di timur. Kalau yang menang di barat lebih banyak sehingga tak eukup dibayar dari uang taruhan yang kalah di timur, barulah bandar taruhan mengeluarkan uangnya, sampai sebatas yang diperjanjikan sebelumnya. Artinya, bandar kalah. Putaran selanjutnya, kedudukan bandar diganti oleh pemenang terbesar. Kalau yang menang di barat itu lebih kecil dari yang kalah di timur, berarti bandar taruhan menang. Ia berhak terus sebagai bandar. Kemujurannya, tergantung sisa uang dari selisih timur dan barat itu, dan berapa jumlah modal sang bandar. Misalnya, bandar hanya mengumumkan bermodal Rp 100.000, uang itu ditaruh didepan tempat duduknya, sementara selisih uang di timur dan barat di atas seratus ribu, kelebihan uang itu dikembalikan kepada pemasang yang terkecil, yang kalah di timur tadi. Kenapa yang terkecil? Untuk permainan keles dan trui, yang paling berkuasa adalah jumlah taruhan terbesar. Siapa yang besar taruhannya, ia yang paling awal menerima bayaran, dan risikonya paling awal pula diambil uangnya jika kalah. Yang kecil-kecil dilayani terakhir. Keles menggunakan uang kepeng Cina, tetapi bukan yang digunakan untuk upacara keagamaan. Bentuk uangnya lebih besar, tetapi lebih tipis. Gambarnya lebih indah. Disebut pipis jai. Jumlahnya seratus dua puluh biji. Uang itu digeletakkan di depan belandang. Bandar mengambil uang itu sebagian dengan tangan kanannya. Supaya lebih dramatis dan membuat asyik ditebak, cara 80
mengambilnya sedemikian rupa seperti memijit-mijit. Kemudian digenggam dan diangkat, tak boleh berceceran. Uang jai itu lalu dimasukkan ke tempat yang telah disediakan, biasanya mangkuk. Nah, petaruh memasang uangnya berdasarkan perkiraan, berapa jumlah uang kepeng yang diambil bandar itu. Jika petaruh sudah meletakkan uangnya di bidang yang diingininya, belandang bertanya kepada bandar apakah ia menaikkan modalnya. Tentu saja, bandar akan melihat posisi taruhan sebelum menentukan sikap. Ia tentunya punya tebakan, berapa jumlah uang yang diraihnya tadi. Bisa jadi tebakannya meleset, namanya saja judi. Namun, penjudi profesional selalu menebak tepat berapa jumlah kepeng yang berada di genggamannya. Yang disebut modal itu sebesar ia tadi menang taruhan setelah dipotong cukai. Tak boleh modal dikurangi dari jumlah itu. Kalau ditambah, silakan. Setelah bandar menentukan sikapnya, ditambah atau tidak modalnya, belandang menghitung uang kepeng. Caranya, dikeluarkan empat-empat. Cepat sekali, dan persis empat-empat. (Kalau tak bisa menghitung persis dan cepat, jangan harap bisa jadi belandang yang digemari petaruh). Setelah uang kepeng itu tinggal belasan di tangan belandang, biasanya dikeluarkan dengan serentak, dilempar lurus berbaris. Kalau sisa itu sebelas, penjudi akan berteriak: selatan. Ini bagi yang menang. Sebelas dibagi emat tentu sisa tiga, nah, tiga itu milik selatan. Permainan trui hampir sama dengan keles, cuma alat yang dipakai berbeda. Yakni bola bundar putih dari sejenis batu-batuan atau kristal, lebih kecil dari telur ayam. Tidak persis bundar seperti bola, memang. Pada dua ujung yang lonjong (lonjongnya juga kentara sedikit saja) ditaruh angka kecil: satu dan dua. Tentu bukan angka Latin, tapi perlambang seperti halnya mata dadu atau mata domino. Kemudian sisi lain lambang bilangan tiga sampai enam. Dua bola trui itu oleh bandar taruhan diputar di sebuah piring khusus, bersih mengkilat tanpa debu sedikit pun, dan letaknya rata betul. Dalam permainan keles, penjudi memasang setelah bandar mengambil uang kepeng, tetapi main trui kebalikannya. Penjudi 81
memasang lebih dulu pada bidang-bidang yang tersedia. Setelah usai, belandang memberi perintah kepada bandar taruhan untuk melepas dua bola trui itu ke piring. Cara memutar terserah tabiat para bandar. Bisa dua beriringan mengarah putaran jarum jam, bisa sebaliknya, bisa pula hanya satu bola diputar, yang lain diam sehingga terjadi benturan. Sekali lagi, tergantung perangai dan ulah si bandar. Namun, ada syaratnya, tentu. Kalau bola trui itu sampai keluar dari piring, satu kali dapat ampun. Dua kali dalam satu periode sebagai bandar, ia didenda. Modal dasar bandar diambil paksa dan dibagikan kepada pemasang dengan urutan yang terbanyak bertaruh, tak peduli bidang mana. Ini namanya bandar kena gebog. Dua bola trui itu memang bergulir sangat rawan menjelang putarannya habis. Di sini, petaruh biasanya memberi semangat dengan menggoyangkan badannya ke samping atau ke belakang. Tidak boleh menggoyangkan badan ke depan, ke arah piring itu, karena bisa menimbulkan angin dan mempengaruhi gerak bola. Setelah kedua bola berhenti, diperkirakan tidak akan bergoyang lagi, belandang mencolek piring, pertanda angka paling atas dari kedua bola trui itu sah untuk nilai kemenangan. Dua angka itu digabung. Misalnya, yang satu angka enam, satunya lagi angka empat, berarti sepuluh. Barat yang menang. Kalau ada petaruh yakin sampai bisa mengalahkan bandar, ia langsung mengambil dua mata trui itu dengan cara khas penjudi, ditangkap seperti menyambar ayam. Lalu dikocok-kocok sampai menimbulkan bunyi. Ini luapan kegembiraan. Petaruh jenis judi ini tak boleh meluapkan rasa senangnya melalui teriakan, seperti misalnya dalam sabungan ayam. Untuk permainan keles dan trui, petaruh bisa memegang dua bidang. Ini dinamakan pasangan ngurat. Yaitu uang ditaruh pada garis pemisah dua bidang berdekatan, utara barat, utara timur, selatan barat, selatan timur. Penjudi yang bertaruh ngurat utara barat, akan kalah kalau yang menang timur. Juga kalah, kalau yang menang selatan. Sebaliknya, ia menang jika utara atau barat yang beruntung. Tak ada istilah seri untuk sistem ini. 82
Cara ini juga bisa dipakai untuk mendapat hasil kemenangan berlipat, lebih besar dari uang taruhan. Disebut gandeng. Misalnya, saya bertaruh di barat Rp 25.000, dan Gurun Teko memasang di selatan dalam jumlah yang sama. Saya bisa berunding dengan Gurun Teko, bagaimana kalau gandeng. Kalau Gurun Teko setuju, tentu saja, pasangan ditaruh ngurat barat selatan, berarti taruhan itu bernilai Rp 50.000. Nah, kalau barat menang, saya mendapat bayaran Rp 50.000 padahal uang yang dipertaruhkan cuma Rp 25.000. Uang Gurun Teko dikembalikan. Celakanya, kalau kemujuran berada di utara, uang saya ikut amblas. Padahal, kalau tidak gandeng, mestinya seri. Dalam sistem gandeng, seri hanya terjadi kalau pasangan gandeng kita yang mujur. Kemudian ada lagi petaruh tingkat tinggi, yang hanya berani memegang satu bidang saja. Namanya pasangan deris. Prinsipnya sama dengan gandeng, tetapi pemain gandeng itu sekaligus jadi lawan kita. Kalau dalam contoh tadi, kemujuran berada di barat, maka dari uang taruhan saya yang hanya Rp 25.000 itu, saya mendapat bayaran Rp 75.000. Lima puluh ribu bayaran biasa, Rp 25.000 lagi dari Gurun Teko. Dalam hal ini tak ada istilah seri. Kalau tidak kalah, ya, menang. Taruhan dalam permainan togtog sedikit beda. Togtog memakai uang kepeng sebanyak 16 biji. Ada seonggok kayu atau bata merah sebagai alas tangan menangkap uang kepeng. Bandar memegang uang itu di tangan kanan. Tangan kiri siap menangkap uang yang dilempar tangan kanan. Menangkapnya dengan telapak tangan bertumpu ke kayu itu, seperti menepuk nyamuk di lantai. Petaruh menebak bunyi uang yang ditangkap bandar, karena tak mungkin bisa melihat uang yang ditangkap itu. Prosesnya terlalu cepat. Bedanya dengan keles atau trui, petaruh saling mendahului melempar uang taruhannya pada bidang-bidang taruhan. Yang paling cepat menebak dan memasang uangnya, berarti uangnya berada di deretan terdepan. Nantinya, paling awal pula dilayani, baik menang maupun kalah, walau jumlahnya kecil. Setelah semua petaruh memasang, dengan urutan siapa paling cepat, belandang memberi isyarat kepada bandar, apakah uang 83
kepeng di bawah telapak tangan kiri itu ditambah lagi atau tidak. Menambahnya tentu saja di luar, tidak dimasukkan. Jika ditambah, petaruh juga berhak berpindah sesuai dengan tambahan uang kepeng itu. Misalnya, kalau diperkirakan uang kepeng di bawah telapak tangan kiri bandar cuma lima, petaruh tentu memasang di utara. Kalau ditambah dua, berarti ada tujuh, petaruh pindah ke selatan. Apa, sih, gunanya menambah uang kepeng itu? Inilah seni togtog. Togtog tak mengenal nilai angka kemenangan di atas sepuluh. Kalau uang kepeng sepuluh, yang menang bidang barat — seperti judi lainnya — tetapi di atas sepuluh sampai enam belas, tetap saja yang menang bidang barat. Di sinilah bandar dan petaruh saling mengadu kelicikan. Seorang profesional bisa memberi kesan uang kepeng yang ditangkap tangan kirinya sedikit sekali, padahal sebenarnya jumlah itu banyak. Atau kedengarannya banyak, tapi sesungguhnya sedikit. Teknik ini bisa dipelajari dari cara memegang uang kepeng — longgar atau padat — dan cembung tidaknya tangan kiri yang menangkap itu. Contohnya, bandar taruhan mengatur — memang bisa diatur sebelum dilempar oleh tangan kanan — uang kepeng itu delapan biji. Setelah ia melihat banyak petaruh memasang di timur, tentu saja ia akan kalah. Bandar pasti main coba-coba dengan jalan menambah uang kepeng itu. Mula-mula satu, pemasang di timur bergeser ke utara. Tambah satu lagi, petaruh bergeser ke barat. Tambah satu lagi, berarti sebelas, ada petaruh yang bergeser ke selatan. Tambah satu lagi, sekarang dua belas, ada petaruh yang bergeser lagi ke timur. (Kalau saya berjudi di sini, saya pasti batal bertaruh, saya mudah terjebak). Kenapa petaruh itu terus mengikuti jumlah uang kepeng tambahan? Mereka tadi memasang di timur, karena mengira uang kepeng di tangan kiri bandar hanya empat, bukan delapan. Empat ditambah empat menjadi delapan, sama saja yang menang timur. Terjebak, petaruh ini akhirnya kalah, karena uang kepeng yang dua belas itu memenangkan barat. Begitulah akal-akalan judi ini. Bandar taruhan yang cerdik bisa memasukkan uang kepeng sepuluh biji dengan bunyi seolah-olah 84
cuma dua. Tapi bisa memasukkan dua dengan bunyi seperti banyak. Tentu saja, petaruh pun cukup cerdik menebak. Juga dengan cerdik melihat perubahan wajah bandar taruhan. Si bandar juga pintar bermain sandiwara. Misalnya, sebelum menambah, ia pura-pura menghitung uang yang sisa, kesannya ada banyak sisa, padahal hanya beberapa biji. Penjudi togtog adalah aktor-aktor yang baik. Terus terang, saya lebih sering kalah berjudi di tempat ini, sulit menebak, apalagi dengan cepat. Saya hanya bermain togtog kalau keles dan trui sudah penuh sesak. Keles, trui, togtog, dan kocok-kocok selalu ada di luar arena tajen, di halaman wantilan. Fungsinya memanfaatkan waktu jedah sabungan ayam. Namun judian ini juga muncul di keramaian, misalnya, di luar arena pertunjukan kesenian, bahkan tragisnya di halaman pura ketika persembahyangan berlangsung. Masih ada judi tradisional Bali, yang lebih bersifat pribadi, karena pemainnya terbatas, yaitu ceki dan domino. Ini judi kelas rumah. Ceki — dimainkan lima orang, karena itu secara bergurau disebut judi pancasila — menggunakan kartu Cina (tapi sudah dicetak di Bali), berjumlah seratus dua puluh. Semuanya punya nama. Setiap jenis berjumlah empat, jadi dari keseluruhan kartu itu ada tiga puluh macam. Tiga puluh ini terbagi lagi menjadi sepuluh persekutuan. Cara berjudi ini rumit dan sulit menjelaskan tanpa “praktek langsung”. Saya sudah bisa “memainkan” sejak kelas lima sekolah dasar (sekolah rakyat), dan sampai sekarang masih tetap hafal nama-nama kartu itu — walau bertahun-tahun tak pernah memainkan lagi. Akan halnya domino, saya kurang suka. Main domino di Bali menggunakan kartu lima di tangan, dan satu kartu diletakkan sebagai pembuka, tidak diturunkan oleh pemain, seperti umumnya main gaple di Jawa. Dengan begitu, ada kartu sisa yang tidak dipakai, karena pemain domino hanya empat orang. Kalau seorang pemain tak bisa menjalankan kartunya, ia harus mematikan sebuah kartunya dan menaruh di bawah tertelungkup. Jadi, selain menebak 85
kartu lawan, penjudi domino versi Bali juga harus bisa menebak kartu apa yang tidak main. Penjudi profesional di Bali akan heran melihat permainan domino di Jawa yang umumnya semua kartu dimainkan, dan kalau tidak jalan lewat begitu saja. “Gampang sekali, tinggal menebak kartu di tangan pemain,” begitu komentar orang di desa saya, ketika saya memperkenalkan permainan gaple versi Jakarta. Mengocok domino di Bali tak boleh lebih dari dua kali. Kartu itu cukup dihura-hura di bawah, kemudian setelah terkumpul, dikocok sekali saja. Lebih dari sekali, apalagi berkali-kali, tidak sah. Dianggap curang, karena bisa mengatur letak kartu-kartu itu. Memang penjudi domino di Bali cerdik sekali mempermainkan kartu yang hanya 28 buah itu, kalau boleh dikocok lebih dari sekali. Beda dengan di Jawa, kartu malah dikocok berkali-kali untuk menghindari tuduhan curang. Karena agak pribadi itulah, dan sifatnya membutuhkan ketenangan, judi ini diselenggarakan di rumah-rumah, atau menemani begadang melayat orang kematian. Jarang menemani judi yang ingar-bingar seperti tajen itu. *** SEJAK 1 April 1981, semua jenis judi itu, secara resmi, telah jadi hikayat masa silam. Keponakan saya bercerita, seorang polisi pernah memaksa dua anak di desa saya memakan sebuah kartu domino, sebagai bentuk hukuman. Sabungan ayam, ada kekecualian. Masih ada yang resmi dengan izin pemerintah. Tetapi tanpa embel-embel taruhan, tanpa hukum-hukum yang berlaku sebagaimana sabungan ayam untuk para bebotoh. Ini adalah jenis sabungan ayam yang berkaitan dengan upacara keagamaan, yang disebut tabuh rah. Karena itu pula, tempatnya tidak di wantilan, tetapi di jaba pura — bagian paling luar sebuah pura. Jumlah pertarungan dibatasi hanya tiga pasang, lazim disebut tiga saet. Tabuh rah mempunyai landasan konsepsional dalam agama 86
Hindu. Yakni merupakan sarana untuk mengharmoniskan hubungan bhuwana agung dengan bhuwana alit. Di dalam pengertian harmonis, terjadilah penyatuan unsur-unsur yang sesuai. Jadi, yadnva (pengorbanan suci) kepada Panca Maha Bhuta haruslah menggunakan “sarana yang sesuai” dengan unsur-unsur di dalam Panca Maha Bhuta itu. Unsur itu, yang paling dominan, adalah zat cair. Di bhuwana agung zat cair ini diwakili oleh air, sedang di bhuwana alit diwakili oleh darah merah. Di dalam ajaran agama Hindu disebutkan, kalau mengharmoniskan hubungan antara dua jagat itu datangnya dari bhuwana agung ke bhuwana alit, maka sarananya adalah air, ini yang disebut tirta atau air suci. Sebaliknya, dari badan kecil ke dunia mahaluas, sarananya adalah darah hewan, dan ini disebut tabuh rah. Upacara ini tergolong Bhuta Yadnya, salah satu dari Panca Yadnya itu. Masalahnya adalah, kenapa untuk acara tabuh rah itu, dua ayam mesti diperlagakan. Kenapa tidak disembelih saja, dan darahnya dipercikkan di tempat upacara? Kembali lagi kepada ciri khas orang Bali sejak dahulu, selalu me-”nyeni”-kan jalannya upacara. Diperkirakan, “kesenian” tabuh rah ini muncul di awal abad ke sebelas, pada pemerintahan Raja Udayana. Ini diperkuat dengan ditemukannya prasasti Batur Abang bertahun 933 Saka (1011 Masehi). Ada sepotong kalimat bertulis: “Mwang yan pakaryyakarya, masanga kunang, wegila ya manawunga makanlang tlung parahatan, ithanya. tanpamwila tan pawwata ring nayaka saksi.” Arti bebas: “Bila mengadakan upacara-upacara, misalnya tawur kesanga, patutlah mengadakan sabungan ayam tiga angkatan (saet) di desanya, tidaklah (perlu) minta izin, tidaklah memberitahukan kepada pengawas (pemerintah).” Prasasti Batur Abang ini didukung lagi dengan prasasti Batuan yang bertahun 944 Saka (1022 Masehi), yang menulis sebagai berikut: “Kunang yan manawanga ing pangudwan maka tang tlung marahatan, tan pamwitan ring nyaka saksi mwang sawung tunggur. tan hana minta pamili.” Artinya: “Adapun bila mengadu ayam di tempat suci dilakukan tiga angkatan (saet) tidak minta 87
izin kepada pemerintah dan juga kepada pengawas sabungan tidak dikenai pajak.” Dari kedua prasasti yang ditemukan di tempat terpisah itu, diduga penyelenggaraan tabuh rah sudah “diselewengkan” sejak beratus tahun yang lalu. Tabuh rah ini memang dilakukan tatkala tawur ke sanga (sehari sebelum Hari Raya Nyepi — tahun baru Saka), dan juga diselenggarakan di tempat suci (pura) setelah selesai upaeara Dewa Yadnya. Namun, ketika para pemuka agama di Bali mengadakan seminar Januari 1983, yang membahas acara tabuh rah ini, tak ditemukan dalam lontar dan kitab suci ajaran Hindu bahwa tabuh rah mesti dengan perkelahian dua ayam. Dengan begitu, prasasti Balur Abang dan Batuan, keduanya tidak relevan untuk dikaitkan dengan agama. Prasasti itu lebih berbicara sebagai catatan tentang sabungan ayam, bukan dalam kaitan pelaksanaan tabuh rah. Seminar akhirnya menetapkan bahwa tabuh rah tidak harus dilakukan dengan menyabung ayam, boleh dengan menyembelih. Sebuah kesimpulan lunak untuk menjaga perasaan umat. Masyarakat Bali adalah penganut gugon tuwon. Apa yang sudah diwarisi berabad lalu seolah senilai sama dengan agama. Antara warisan budaya dan ajaran agama, terkadang sulit diadakan pemisahan, lebih-lebih bagi masyarakat pedesaan yang berpendidikan rendah. Jadi, mereka tak bisa melepaskan begitu saja tabuh rah dalam versi lama, yakni menyabung ayam. Dan pemerintah daerah, dalam rangka menjaga perasaan umat beragama itu, mengizinkan adanya sabungan ayam tiga saet di tempat suci — pada bagian luar yang disebut jaba. Mencegah adanya penyimpangan, izin baru diberikan setelah pukul tiga sore hari. Maksudnya, kalau penyelenggara nakal, mengadakan lebih dari tiga pasang pertarungan, malam pun keburu datang. Pantang menyabung ayam pada senjakala. Tentu saja, dalam izin itu dilarang keras adanya taruhan — suatu hal yang amat sulit dikontrol, karena jaba pura adalah tempat bersenang-senang. Kalau sekarang ini ada sabungan ayam yang resmi, jenis inilah adanya. 88
*** KAMI pulang menjelang sore. Gurun Teko tak mau berterus terang apakah ia menang atau kalah. “Besok ada lagi tajen di dekat kuburan. Kalau mau ikul, datanglah lebih pagi,” ujarnya. Apa tidak takut digerebek polisi? Ia ketawa. “Beh, jangan takut. Di sini banyak hate. Di kuburan, ada panitia yang membawa hate, di jalan orang yang mengawasi polisi juga membawa hale. Begitu ada polisi, hate-hate itu saling ngebrik. Beh, beh, polisi di sini, hate saja tidak punya. Ha ... ha ... ha ... polisi kalah, kalah alat, kalah akal, kalah macam-macam . . . .” Gurun Teko ketawa terpingkal-pingkal. Ini memang kemajuan lain lagi dari begitu mewabahnya pesawat komunikasi radio amatir, terutama jenis HT — kebanyakan pesawat liar atau setidak-tidaknya baru memperoleh izin lokal dari ORARI setempat tanpa callsign dari Perumtel. Para penjudi pun sudah memakai sarana ampuh ini, untuk mengumumkan di mana dan kapan ada sabungan ayam, juga memonitor gerak-gerik polisi. Judi gelap juga bukan milik desa-desa pegunungan. Di Denpasar, kota yang sedikit banyak dibangun pula dari hasil judi, sabungan ayam gelap tetap ada. Dulu, sabungan ayam resmi berpusat di bagian barat kota dengan kompleks yang bernama Taman Hiburan Setra Gandamayu Pemedilan. Sebelum judi dihapuskan, Pemda Kabupaten Badung mendapat uang rata-rata Rp 40 juta sebulan dari judi ini. Sekarang sabungan ayam gelap pindah ke bagian timur kota, di sekitar wilayah Yang Batu. Para penjudi menyebutnya branangan. Di wilayah Bali timur — Kabupaten Gianyar, Klungkung, dan Karangasem — lahir pula istilah baru untuk menyebut sabungan ayam. Yakni gamang. Gamang sebenarnya nama salah satu makhluk halus versi Bali. yang pekerjaannya menyembunyikan anak kecil. Semula saya tak mengerti, ketika suatu hari mampir di sebuah warung babi guling di Gianyar, mendengar obrolan 89
begini, “Sekarang, di mana ada gamang?” tanya pemilik warung. “Di Lebih ada, di Peliatan juga ada. Kalau yang ramai di Lebih, dari pagi sampai sore,” jawab lelaki perlente yang baru selesai makan. “Apa polisi tidak bisa menemukan tempat gamang”. Lelaki perlente itu menjawab santai saja, sambil mengambil tusuk gigi. “Lama-lama polisi juga malas mengurusi gamang. Polisinya juga orang Bali.” Saya tak habis pikir, urusan apa polisi dengan makhluk halus? Baru beberapa saat kemudian saya tahu, dari pemilik warung, gamang sekarang artinya sabungan ayam. Itu pun baru diberitahukan setelah saya berbasa-basi akan ikut berjudi. Istilah seperti gamang dan branangan tentu pula tak akan bertahan lama, maklum, istilah gelap. Lain bulan, istilah yang dipakai bisa berganti. Penjudi segera tahu apa kata sandi yang baru. Penjudi di Bali — mungkin juga di daerah lain — seperti sebuah organisasi tanpa bentuk dan tanpa nama. Perjudian, tentu saja, haram hukumnya dalam setiap agama. Termasuk dalam agama Hindu. Uraian kitab Manawa Dharma Sastra IX seloka (bait) 221, 222, 223. 224, dan 227 jelas-jelas melarang umatnya berjudi. Bahkan seorang pendeta dianggap tidak sah memimpin upacara agama jika ia masih digoda nafsu bebotoh. Toh, judi tetap subur, terutama sabungan ayam. Yang mengherankan, keles, trui, togtog, dadu bisa menghilang. Kenapa? “Karena ada penggantinya, buntut undian harapan, dan buntut-buntut lain. Itu judi untuk orang-orang sekolahan, kutak-kutik angka. Guru tak suka judi itu. Guru tak mengerti,” ini alasan Gurun Teko. Masuk akal juga. Dan, tidak hanya di kota, tapi di pelosok desa pun beredar banyak buntut dari TSSB (Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah) yang oleh masyarakat masih tetap disebut undian harapan. Untuk menebak angka yang keluar itu, beredar selebaran stensilan yang berisi ramalan-ramalan. Kertas yang penuh dengan angka dan gambar-gambar binatang. Jenis judi buntut ini — judi orang-orang sekolahan menurut Gurun Teko — memang berkembang dengan subur. Ditambah lagi munculnya Porkas Sepak Bola setiap minggu. Petaruh bisa 90
memasang nomor di kios koran, di tempat penjual rokok tertentu, di terminal bus antarkota, atau ada orang yang hilir mudik datang ke desa-desa. Tak ada bedanya dengan judi buntut di Jawa, atau di pulau lain lagi di wilayah Nusantara ini. Ini judi yang sudah menasional, dan penjudi di Pulau Bali — sebagian — menemukan penyaluran baru, yang ternyata tetap saja judi. Ibarat sakit keturunan, yang obatnya suatu saat hilang kini muneul obat pengganti. Hanya penyakit yang diderita Gurun Teko-Gurun Teko tak bisa sembuh oleh obat versi baru yang setengah halal ini. Beh, beh, beh . . . .
91
VI Mengenai Ilmu Hitam dan Mahkluk Halus
I Dewa Putu Karsa Dalang Leak
D
IAH Ratna Menggali parasnya cantik. Tapi aneh tidak ada pemuda yang melamarnya, naksir pun tidak. Mengapa? Ratna diduga bisa ngeleak — bisa menjadi leak. Dugaan ini didasarkan kepada “hukum keturunan”. Kalau ibunya bisa ngeleak, anaknya pun mewarisi ilmu hitam itu. Sang ibu, Calonarang, seorang janda, sedih bercampur berang. Sedih, karena ia khawatir, putrinya bakal menjadi perawan tua. Itu berarti ia tidak bakalan pernah memomong cucu. Berang, karena putrinya dituduh bisa ngeleak. Maka, pada suatu malam yang kelam, Calonarang memanggil murid-muridnya. Di depan anak didiknya itu, Calonarang memberikan perintah: buatlah gerubug — wabah yang bisa mematikan — di wilayah Kediri. Betul! Kerajaan Kediri gempar. Tak sedikit penduduk yang tiba-tiba jatuh sakit, tanpa ketahuan sakit apa. Lalu, mati. Peman92
dangan yang tampak sehari-hari adalah, orang mengusung mayat ke kuburan dalam selisih waktu yang singkat. Seseorang yang tadinya mengantar mayat ke kuburan, tidak berselang lama, ia sendiri yang diusung ke kuburan. Anjing pun melolong-lolong sepanjang malam. Burung gagak bersenandung saban malam, menyanyikan lagu kematian. Raja Kediri pun panik. Mpu Bharadah segera dipanggil untuk dimintai nasihat. Sang mpu lalu mengatur siasat dan strategi. Mpu Bahula, putra Mpu Bharadah, diminta mengawini Diah Ratna Menggali. Bukan untuk melenyapkan kemarahan Calonarang karena putrinya ada yang meminang, tapi Mpu Bahula diharapkan berhasil mencuri rahasia ilmu pengeleakan milik janda sakti itu. Dengan diketahuinya “ajaran” ilmu hitam itu, Mpu Bharadah tentu bisa menyiapkan ilmu penangkisnya, dan pada akhirnya bisa menanggulangi bencana gerubug. Singkat cerita, Mpu Bahula meminang Diah Ratna Menggali, lalu kawin, dan berhasil mencuri ilmu milik mertuanya. Setelah ilmu itu diserahkan ke ayahnya, maka pertarungan pun terjadi. Pertarungan yang hebat antara Mpu Bharadah dan pengikutnya, dengan Calonarang bersama anak didiknya. Peperangan seram, karena ilmu hitam yang bertempur. Penuh kejadian yang tak masuk akal, lengkingan teriakan yang menakutkan. Belum jelas, siapa yang menang dan siapa yang kalah. Tiba-tiba, kayon ditancapkan di kelir. *** PERTUNJUKAN wayang kulit yang mengambil lakon Calonarang itu membuat saya kecewa, karena pertunjukan itu sangat mengabaikan unsur seni dan keindahan. Tetikasan (gerak tari wayang) semrawut, seadanya saja. Sesendon atau juga disebut tandak (nyanyian ki dalang, dalam wayang kulit Bali tak ada waranggana seperti wayang kulit Jawa) tidak serasi dengan irama gender yang mengiringi pementasan itu. Tapi, yang membuat saya heran, penonton membludak. Bahkan 93
pertunjukan wayang kulit, yang dulu tak pernah dikomersialkan di Bali, saat itu cukup ampuh untuk menggali dana. Wantilan — dulu arena sabung ayam — Desa Pupuan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, itu penuh sesak hingga bernapas pun terasa sulit. Desa itu hanya 3 km dari kampung saya, dibatasi kebun kopi yang tak habis-habisnya. Sejak berangkat dari rumah, Ketut Grundung, yang mengajak saya ikut menonton, tak henti-hentinya berceloteh, “Saya ingin sekali melihat leak, bagaimana bentuknya. Siapakah yang kalah, dalang atau leak. Bli (kakak) pasti melihat pemandangan yang aneh, tapi jangan pulang sebelum pertunjukan selesai. Di tengah jalan kita bisa dihadang leak, saya takut.” Celotehan Ketut Grundung, keponakan saya yang masih kelas 6 SD, tentu saja karena pengaruh kampanye panitia pertunjukan wayang kulit Calonarang siang harinya. Juru kampanye itu berteriak dengan mikrofon tangan mengatakan pada pertarungan Mpu Bharadah melawan Calonarang, terjadi pula pertempuran antara ki dalang dan semua leak di Kecamatan Pupuan. Ki dalang dari Yang Batu, Kabupaten Badung, itu sudah menantang dan mengundang leak se-Kecamatan Pupuan untuk mengeroyok dirinya. Karena desa kami termasuk Kecamatan Pupuan, kalau pulang sebelum waktunya, ada kemungkinan ketemu leak di jalan — leak yang berangkat perang. Begitu jalan pikiran Ketut Grundung. Ternyata, sampai kayon ditancapkan di kelir, tak terjadi apaapa. Saya pulang dengan kecewa dan heran, bukan karena leak, tapi mutu pementasan itu. Ketut Grundung pulang mungkin dengan kecewa juga, tak bisa menemui leak yang sudah kalah dan jinak. Leak, ternyata, sudah dikomersialkan di Bali. Leak bisa berpartisipasi dalam pembangunan, menghimpun dana. *** TERUS terang, seperti halnya keponakan saya, seumur ini saya pun belum pernah melihat leak. Keeuali leak-leakan dalam pementasan topeng atau drama gong, malah saya sering memainkannya. Karena belum pernah membuktikan keberadaan leak itu, 94
saya pun antara percaya dan tidak. Percaya, karena banyak orang bisa bercerita dengan yakin. Tidak, ya, karena tak pernah melihat, tak ada fakta. Ketika saya baru berpisah dengan keluarga kurang lebih tiga bulan — bersekolah di SMPN Bajera — Ayah mengunjungi saya di tempat kos. Ketika Ayah bertanya, apa tidak takut tidur sendirian, saya bilang takut. Takut kalau dicari leak. Ayah ketawa sambil memeluk saya — saya begitu dimanja sebagai lelaki pertama setelah empat anak Ayah perempuan melulu. Dan Ayah bilang, leak itu omong kosong. Leak itu tidak ada. Leak itu berasal dari kata liat (bahasa Indonesianya melihat). Misalnya seseorang yang memang penakut, dan pikirannya dibayang-bayangi makhluk seram. Di tengah malam ia melihat daun pisang yang bergoyang diembus angin, apalagi jika daun pisang itu basah dan diterpa sinar bulan, maka daun itu bisa kelihatan seperti makhluk aneh yang membawa kain putih. Itu semata-mata salah liat. Saya tak mudah percaya. Tetapi, Ayah kemudian bilang, kurang lebih begini, “Putu, keluarga kita tak akan pernah melihat leak. Melihat saja tidak, apalagi sampai diganggu. Kakekmu seorang pemangku. Ayah juga. Kita berdarah panas, dekat dengan Tuhan. Rajinlah sembahyang, leak tak akan berani.” Saya tak ingat pembicaraan selanjutnya. Mungkin saya tertidur dikeloni Ayah. Ketika Ayah meninggal dalam statusnya sebagai pemangku — rohaniawan yang memimpin persembahyangan di pura desa kami — semua kata-kata di tahun-tahun akhir hayatnya itu saya tulis. Yang membuat saya bingung, “pesan” Ayah bertentangan. Di satu pihak mengatakan leak itu hanya dari perasaan takut kita sendiri, di lain pihak leak itu tak akan bisa mengganggu saya, keturunan pemangku di sebuah desa yang disebut orang sebagai desa suci, karena letaknya paling dekat dengan puncak Gunung Batukaru. Jadi, leak itu bisa diusir dengan rajin sembahyang, seperti kata Ayah. Kalau begitu, leak itu ada atau tidak? “Leak itu memang betul-betui ada,” kata I Gusti Ketut Kaler, seorang tokoh agama, pensiunan Kepala Bimas Hindu dan Budha 95
Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali. Menurut Pak Kaler, ilmu leak ini bisa dipelajari dari lontar-lontar yang memuat serangkaian ilmu hitam, yakni: cambrabrag, sampaian emas, tang ting mas, jung biru. Yang jelas, lontar-lontar itu tak ada dalam koleksi keluarga saya. Lontar itu, menurut Pak Kaler pula, ditulis pada zaman Erlangga, yakni pada masa Calonarang hidup. Lontar itu, berikut ajaran-ajarannya, merembet ke Bali, tak jelas sejarahnya, siapa yang membawa. Lontar itu tergolong aji wegig. Aji berarti ilmu, wegig berarti begig, yaitu suatu sifat yang suka mengganggu orang lain. Karena sifatnya yang negatif, maka ilmu itu sering disebut ngiwa, yang berarti melakukan perbuatan kiwa alias kiri. Sebagai lawannya, disebut aji usada, ilmu putih yang bisa dipakai untuk menyembuhkan orang yang sakit karena diganggu leak. Karena aji usada berhaluan kanan, maka disebut tengen. Entah di mana lontar itu bisa diperoleh sekarang. Tetapi banyak orang mengatakan, ilmu tentang leak bisa dipelajari tanpa lewat lontar itu, cukup dibimbing oleh leak senior. Bahkan alat untuk bisa menjadi leak bisa dibeli. Ilmu yang bisa dibeli itu berupa sabuk (ikat pinggang) sehingga sebenarnya lebih tepat disebut alat ketimbang ilmu. Siapa pun yang memakai sabuk sakti itu bisa ngeleak, sesuai dengan pamor sabuk. Kalau sabuk itu memang spesialisasinya untuk jadi rangda, ya, orang itu bisa berubah rupa menjadi rangda. Kalau untuk menjadi monyet, ya, jadi monyet. Tentu semakin tinggi tingkatannya, semakin sakti sabuk itu, semakin mahal pula harganya. Tingkatan leak, paling tinggi menjadi bade (menara pengusung jenazah), di bawahnya menjadi burung, di bawahnya binatang-binatang lain. Para pedagang yang ingin jualannya laris, konon, bisa membeli salah satu bagian dari ilmu hitam itu, juga sejenis sabuk. Ilmu untuk pedagang ini namanya panglatih. Tapi, bila yang empunya alat tidak mampu memelihara alat itu, tak mampu menyediakan korbannya, tak mampu menahan pantangannya, alat itu bisa mencelakakan. Amit-amit. 96
Di tengah-tengah penumpasan orang-orang PKI di kampung saya, 1966, sejumlah pemuda mengadakan penggeledahan. Sasarannya tertuju pada orang-orang yang dicurigai bisa ngeleak atau yang punya ilmu hitam berupa alat-alat itu. Tak tanggungtanggung. Seorang ibu tua ditelanjangi di sebuah balai desa, karena menyimpan sabuk di lipatan setagennya. Sabuk itu memang ditemukan, kemudian dibakar di perempatan jalan desa dengan disaksikan ratusan penduduk. Saya sendiri ikut menyaksikan, warnanya putih. Menurut Pak Kaler, kalau orang bisa menjadi leak dari cara memakai sabuk itu, maka ilmunya masih rendah, karena banyak dibantu alat yang sudah setengah jadi. Yang berilmu tinggi tak perlu alat. Ia cukup memakai kain putih di atas lutut, seperti sering dilihat dalam pementasan teater rakyat di Bali. Ada tempat-tempat tertentu. Bila ingin menjadi monyet, ngelekas (bersalin rupa dengan mengucapkan mantra-mantra) di depan pintu luar rumah. Jika ingin jadi bangkung (babi betina), berubah wujudlah di kandang babi. Bila ingin jadi rangda, tempatnya ngelekas di perempatan jalan atau di kuburan. Tentu saja pada tengah malam buta. Saya memang sejak dulu suka sekali mendengar kisah-kisah tentang leak. Mungkin karena saya “bernasib sial”, belum pernah melihat barang ajaib itu. Berikut ini, saya ceritakan beberapa kisah yang ada kaitannya dengan dunia per-leak-an, yang terjadi di tahun-tahun terakhir ini, yang saya kumpulkan dari beberapa sumber selama melakukan perjalanan di “tanah air leak”.
Dalang leak
I Dewa Putu Karsa, bukan nama sebenarnya, sejak kecil suka mendalang. Sewaktu bocah, ia memakai wayang daun nangka atau daun kamboja. Dengan teman-teman sebayanya, ia pentas di seputar desanya, di Kabupaten Gianyar. Penanggapnya juga dari kalangan anak-anak, dengan honor uang kepeng. Tentu tanpa panggung, cukup di halaman rumah dipanggang terik mentari. Menginjak remaja, ia terus mempelajari cara-cara memainkan wayang dan menghafal cerita-cerita pewayangan. Namun, pada 97
saat itu pula ia terkena semacam sakit ingatan. Di rumahnya, ia suka bertelanjang bulat, kadang menangis meraung-raung, kadang tertawa terbahak-bahak. Keluarganya pun mengurung Putu Karsa, dengan alasan malu dilihat orang. Sudah banyak dukun dimintai pertolongan, tak juga ada kemajuan. Seorang dukun, akhirnya, memberikan pengobatan berupa nasihat. “Seorang dalang harus mempelajari asal-usul leluhurnya lebih dahulu, sebelum mempelajari dan mengotak-atik leluhur keluarga Pandawa, Kurawa, Rama, dan sebagainya. Sungguh kualat kalau mempelajari asal-usul keluarga tokoh wayang itu tapi tidak tahu asal-usul leluhur sendiri,” nasihat sang dukun. Setelah menyatakan sanggup mengikuti nasihat itu, I Dewa Putu Karsa sembuh berangsur-angsur. Ia pun belajar menjadi dalang yang sebenarnya, termasuk ilmu kebatinan yang wajib dimiliki seorang dalang di Bali. Selain itu ia belajar menatah wayang sendiri. Pekerjaan terakhir ini sangat ditekuninya. Ia sibuk mencari contoh bentuk wayang yang bagus. Di Desa Payangan, tak jauh dari desanya, ia menemukan wayang kulit dengan tokoh rangda. Wayang rangda — wayang ini tak lazim — disimpan di sebuah pura, tentu saja keramat. Kekeramatannya, wayang kulit itu pantang dicontoh. Konon, sudah dua orang menjadi korban karena lancang mencontoh wayang rangda itu. I Dewa Putu Karsa, setelah sempat ragu, akhirnya punya akal. Ia tetap mencontoh wayang rangda itu, bentuknya, besarnya, ciricirinya. Tapi, warnanya dibedakan. Jadi, tak persis. Putu Karsa ternyata tidak kualat. Dengan jimat wayang itu, ia menjadi terkenal sebagai dalang Calonarang — pementasan wayang kulit yang mengundang leak. Di Nusa Penida, ia pernah membuat heboh. Ceritanya, tatkala ia sedang pentas mengundang leak, seorang penonton pulang, padahal sudah dinasihatkan jangan pulang sebelum pementasan berakhir kalau pengecut. Penonton yang pulang itu ketemu leak yang wujudnya berupa rangda pula. Lalu ia berlari balik ke tempat pementasan dan menceritakan kepada penonton lain. Gempar. Akhirnya 98
pementasan wayang kulit dihentikan, karena orang-orang meminta ki dalang turun dulu mengusir leak yang gentayangan. Di Buleleng, Putu Karsa punya pengalaman lain. Seperti diminta oleh penanggapnya, ia kembali mengundang leak dalam pementasannya. Penonton patuh menunggu sampai pementasan berakhir. Ketika pergelaran usai, terjadilah sebuah keanehan. Dua wanita setengah haya tetap mematung berdiri di pinggir panggung. Mereka merengek-rengek minta tirta — air suci yang memang tersedia di sesajen Ki Dalang. Puluhan penonton ikut menyaksikan keajaiban itu. Penonton yang tampaknya tahu dua wanita itu adalah leak yang kalah — dan kembali menjadi manusia — mengejek, “Apa mau tirta dari air kencingku?” Penonton lain berteriak kepada Ki Dalang. “Jangan diberi tirta, Pak Dalang” Tetapi, I Dewa Putu Karsa memberikan juga tirta. Dan wanita itu pun kembali ke rumahnya. “Saya tak tega mengikat mereka lebih lama. Mereka sudah minta ampun, ya, saya ampuni,” kata dalang itu, yang mengakui telah mengikat kedua wanita tadi dengan ilmu batinnya. Di mana rahasia kesaktian Putu Karsa? Tanpa panjang lebar memberi penjelasan, ia segera mengambil wayang rangda dari dalam gedog — tempat penyimpanan wayang kulit itu. Putu Karsa kini laris memainkan cerita Calonarang, dan penggemarnya jarang yang tahu siapa nama aslinya. Di setiap saat bisa berbeda, dan untuk gampangnya, ia disebut dengan Pak Dalang Leak.
Baju Harimau
Seorang tukang kayu dari Desa Tapesan, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, mendapat pekerjaan di Desa Wanagiri, Kecamatan Selemadeg, kabupaten yang sama. Ia bersama temantemannya menginap di rumah yang diperbaiki itu. Suatu malam, ada pertunjukan joged bumbung di Desa Sarinbuana, yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari Wanagiri. Ketut Krubuk, demikian nama tukang kayu itu, mengajak temantemannya menonton. “Apa kalian tidak takut di jalan?” tanya tuan rumah. 99
“Apa yang harus ditakuti?” jawab Ketut Krubuk bernada meremehkan. “Toh terang bulan, saya tak takut leak.” “Baiklah,” kata tuan rumah, lelaki tua yang kumis dan janggutnya mulai memutih. Pertunjukan joged bumbung itu meriah. Tari pergaulan mudamudi sejenis jaipongan ini memang digemari di pedesaan, apalagi penontonnya bisa ngibing. Karena itu, Ketut Krubuk dan temantemannya pulang sampai larut. Dalam perjalanan pulang, yang harus menempuh jalan setapak di perkebunan kopi, Ketut Krubuk dan teman-temannya mendengar suara harimau mengaum di belakangnya. Ketika Krubuk menoleh, dilihatnya harimau betulan. Tanpa aba-aba, mereka mengambil langkah seribu. Tiba di pemondokannya, tak lama kemudian, tuan rumahnya muncul. “Lha, kok pada pucat?” “Kami dikejar harimau,” jawab Ketut Krubuk. “Ha ... ha ...” tuan rumah ketawa. “Kalian pengecut. Harimau yang tadi itu, aku sendiri. Kalian mau menjadi harimau?” Semua yang mendengar bengong. Tapi, diam-diam, Ketut Krubuk ingin juga menjadi harimau, ingin merasakan kebolehan itu. Tanpa setahu teman-temannya, ia mendekati tuan rumahnya. “Baiklah, besok kau coba ilmu itu. Tapi harus di tempat yang sepi,” nasihat tuan rumahnya. Keesokan harinya, tuan rumahnya memberi sebuah baju kecil, dan mantra yang pendek saja, sebelum memakai baju itu dan sebelum melepasnya. Ketut Krubuk pun memanggil teman-temannya, diajaknya berjalan di kebun. Pada saat itu, Ketut Krubuk mencari tempat sepi, dan memakai baju pemberian tuan rumahnya tadi. Ia merasa biasa-biasa saja, ia tak merasa menjadi harimau. Karena itu, ia menyusul teman-temannya. Tapi, teman-temannya itu malah pada lari, karena yang dilihatnya betul-betul harimau. Ketut Krubuk yang merasa ditinggal itu ikut mengejar kawan-kawannya sambil memanggil-manggil. Kawan-kawannya justru lari semakin kencang karena mendengar suara harimau mengaum. Sial, harimau 100
terus berlari kehilangan jejak, sementara kawan-kawan Krubuk tampaknya berlari pulang. Ketut Krubuk yang merasa dirinya biasa-biasa saja ikut pulang. Tetapi setiap ketemu orang, orang itu lari tunggang langgang. Ketut Krubuk pun akhirnya sadar, karena baju yang dipakainya itu. Ia melepaskan bajunya itu, tapi ia lupa mantranya. Tentu saja, orang lain tetap melihat wujud harimau, sehingga penduduk desa itu pun gempar. Untung, tuan rumah tempat Ketut Krubuk menumpang segera datang. Padahal, beberapa penduduk sudah siap-siap mengeluarkan senapan. “Saya kapok, saya kapok . . .,” berulang-ulang Ketut Krubuk menyesal. “Tukang kayu tak sepantasnya belajar macammacam.” Ia kini tinggal di desanya, tetap sebagai tukang kayu.
Perang Antarleak
Orang belajar leak tak cuma bisa bikin onar. Keahlian ini pun suka didemonstrasikan antardunia leak, mungkin semacam POAL (Pekan Olah Raga Antar-Leak). Perang — entah itu perang-perangan atau perang sungguhan — dikenal dengan sebutan siat wengi. Orang Bali di pedesaan, kalau mendadak meninggal dunia, tak ada yang sampai berpikir kena penyakit jantung atau pendarahan otak dan sebagainya. Keluarga si mati diam-diam mencari tahu, lewat menyiramkan air klungah (kelapa muda) ke tubuh mayat. Kalau ada bagian tubuh yang berwarna biru, itu berarti almarhum kalah di pertempuran malam hari, siat wengi. Jika ahli warisnya memiliki ilmu itu, akan mencari tahu, siapa yang mengalahkan, lalu ditantang. Tentu antardunia perleakan. Bagaimana suasana siat wengi itu? Tentu sulit direportase oleh mata telanjang biasa, sementara leak-man dan leak-wati akan no eomment kalau ditanya perkara ini. (0, ya, bagaimana menanyakannya, bukankah orang Bali sangat tersinggung kalau dituduh bisa ngeleak?) Maka, banyak cerita yang bisa dihimpun dari mereka yang kebetulan melihat selintas. Pan Miasa, misalnya, menuturkan pengalamannya sebagai berikut: 101
Suatu malam, guru sebuah SMA di Gianyar ini mencari ikan dengan temannya, membawa lampu petromaks. Alat penangkap ikannya bukan pancing, tetapi sebuah jala kecil yang disebut sau. Ketika sedang asyik di pinggir sungai, tiba-tiba sekelebat bola api sebesar telur ayam muncul di depannya. Ia terkejut. “Wah, bahaya. Ayo kita pulang,” ajaknya kepada temannya, Ketut Karta. Temannya tak menanggapi. Tetapi tiba-tiba, temannya ketakutan juga. Malah berteriakteriak dengan wajah pucat, dan bergerak seperti menghindari sesuatu, sampai kecemplung ke kali. Sambil basah kuyup, Ketut Karta kemudian menuturkan, ia hampir saja ditubruk pesawat terbang keeil. Karena sama-sama mengalami suatu hal yang tak beres, keduanya sepakat pulang. Keesokan harinya, Pan Miasa menuturkan peristiwa aneh itu kepada Pan Mayun, tetangganya. Ternyata, Pan Mayun juga melihat sesuatu dari kejauhan. “Semalam aku di gubukku. Dari jauh, aku melihat dengan jelas percikan api yang jumlahnya ratusan di kali itu. Peperangan sangat dahsyat semalam. Mengapa engkau berani menangkap ikan di kali itu?” Pan Miasa pun melongo. Rupanya, sungai keeil itu menjadi stadion siat wengi. Yang lebih menarik adalah siat wengi yang terjadi di seputar pantai Padang Galak, sekitar 2 km sebelah timur Hotel Bali Beach, Sanur. Tapi kejadian ini agak lama, di tahun 1980. Siat wengi itu berlangsung beberapa malam, sempat disaksikan ratusan penonton di sepanjang Jalan Tanjung Bungkak, pinggiran timur Kota Denpasar. Tua muda, laki perempuan, berebut menyaksikan peperangan antarleak itu. Koran yang terbit di Denpasar, bahkan juga sebuah majalah hiburan yang terbit di Jakarta, meliput peristiwa itu dengan bumbu-bumbu yang menarik. Kabarnya, menurut penonton di sekitar Padang Galak — yang terdekat dengan tempat kejadian — berkali-kali terjadi benturan api. Perang leak itu betul-betul perang sungguhan, antara sekelompok leak dari Desa Lebih dan sekelompok leak dari Desa Sanur. 102
Kedua desa itu memang dari dulu dikenal sebagai pusat ilmu hitam. Tak jelas apa yang diperebutkan kedua kelompok leak itu. Mungkin berebut pengaruh, karena di pantai Padang Galak ada kuburan orang-orang asing korban pesawat Pan Am yang jatuh di Bali pada 1974. Tempat itu sering dikunjungi orang, tentu para leak ingin menguasai daerah itu. Ini barangkali, lho. Ribuan orang yang sempat berduyun-duyun menyaksikan perang leak itu, ada yang mengaku bisa melihat api beterbangan, dan entah benda apa lagi. Ada pula yang tak melihat apa-apa. Konon begitu, ada orang yang bisa melihat leak, ada yang tidak, walau mereka di tempat yang sama. Yang jelas, bemo ke jurusan Tanjung Bungkak penuh sesak setiap malam. Waktu itu, saya masih di Yogya, dan berniat pulang ke Bali. Tapi teman di Denpasar keburu mengirim surat, kata dia, itu cuma akal-akalan sopir bemo yang trayeknya harus melewati daerah Tanjung Bungkak.
Men Rempun Sadar
Ini kisah seorang janda yang sudah tua. Panggilan sehariharinya Men Rempun, tinggal di Desa M, Kabupaten Badung. Ia dikenal ramah. Di balik keramahannya, konon, sudah banyak orang yang jadi korban. Keponakannya, gadis cilik bernama Made Sudi, suatu hari sakit keras. Dokter Puskesmas sudah berusaha mengobati, Made Sudi tetap tak sembuh-sembuh. Pilihan terakhir, biasa, tertuju kepada seorang dukun. Hasil pemeriksaan dukun, ada musuh di dalam selimut. Lalu, orang pun menuding Men Rempun. Dan, yang dituding mengaku secara diamdiam menyakiti Made Sudi dan berjanji tidak melakukan perbuatan buruk itu lagi. Pengakuan ini disampaikan secara rahasia hanya kepada dukun itu, karena diancam. Maklum, dukun itu rupanya lebih sakti. Made Sudi pun berangsur-angsur sembuh. Beberapa bulan kemudian, Nyoman Ruta kena giliran sakit. Keponakan Men Rempun yang lain ini, sebelum jatuh sakit sempat dipijit-pijit oleh janda sakti itu. Pertolongan dokter juga tak membuahkan hasil. Maka, seperti juga Made Sudi, keluarga si sakit 103
menanyakan kepada seorang dukun. Hasil pemeriksaan, lagi-lagi Men Rempun disebut biang keladinya. Men Rempun pun berjanji lagi untuk tidak menyakiti Nyoman Ruta. Mengapa tega menyakiti keponakan sendiri? Memelihara “alat” atau jimat pangeleakan ada banyak syaratnya. Pada taraf awal bisa ngeleak, konon, harus berhasil membunuh sebelas bayi, agar ilmu leak-nya bertambah tinggi. Celakanya, tatkala ilmu itu sudah tinggi, orang itu akan selalu kecanduan dan selalu ingin menyakiti orang, terutama anak-anak. Kalau tak ada anak tetangga, akhirnya keluarga sendiri. Dalam keadaan kepepet dan ketagihan memuncak, konon, tega pada anaknya sendiri. Itu pulalah yang terjadi pada Men Rempun. Ia melihat keponakannya sendiri sebagai “makanan” yang lezat di malam hari. Karena sudah telanjur diketahui keluarga, Men Rempun diminta melepaskan ilmu jahatnya itu. Ternyata, sulit dilakukan sendiri. Maka, dukun sakti tadi diundang untuk menghilangkan kesaktian Men Rempun. Pada saat peleburan ilmu itu, anggota keluarga yang lain berjaga-jaga, kalau terjadi sesuatu. Benar juga, setelah sang dukun mengucapkan mantra, tiba-tiba Men Rempun meronta sekuat tenaga. Ia dipegang erat-erat. Dalam keadaan seperti itu, janda tua ini lebih kuat dari pada biasanya. Sambil berteriak entah apa yang diucapkannya, dari lipatan kainnya keluar seekor ular kecil sebesar anak belut. Ular kecil itu berlari ke luar pintu gerbang pekarangan dan dilindas mobil yang kebetulan lewat. Men Rempun kemudian lemas, lalu ia dilepas. Esok harinya, ia seperti biasa, ramah, suka bergurau dan menampakkan kasih sayang yang lebih kepada seluruh anggota keluarganya. Ia menjadi orang tua yang sadar.
Leak mencuri vanili
Satu komplotan penjahat yang mencuri vanili di kebun-kebun sekitar Negara (Bali barat) menggunakan teknik leak. Seorang dari komplotan itu berubah wujud menjadi rangda — itu tokoh jahat dalam kepercayaan orang Bali yang bertaring serta berambut 104
panjang terurai yang biasa ditarikan sebagai musuh barong. Leak yang berupa rangda itu masuk gubuk di sebuah kebun vanili, suatu malam. Penjaga kebun yang terbangun langsung pingsan melihat makhluk yang mengerikan itu. Karena penjaga malam sudah teler, komplotan pencuri ini langsung menggasak habis buah vanili tua yang ada di pohon-pohon. Tanpa sisa lagi. Berita itu tersebar luas dengan cepat. Petani vanili lalu melakukan penjagaan ketat. Siskamling ditingkatkan, melibatkan pula tokoh-tokoh kebatinan. Beberapa malam kemudian, komplotan pencuri dengan seseorang yang berupa rangda itu muncul lagi. Mula-mula yang terlihat hanya rangda saja, komplotan lainnya diduga masih mengawasi situasi. Tetapi pemilik kebun sudah siap menghadapi leak ini. Ada yang membawa pentungan dari kayu sua dan kayu peradah — jenis kayu yang ditakuti leak. Begitu leak itu muncul, langsung dikejar ramai-ramai. Rangda itu lari pontang-panting dan rambutnya tersangkut di sebuah dahan. Rambut itu, setelah diteliti, ternyata dari ijuk. Petani vanili ini pun semakin bernafsu mengejar rangda yang sudah gundul itu. Berhasil, rangda itu terkepung. Lalu, rangda itu pun melepaskan atributnya. Maka, terlihatlah seorang lelaki biasa yang meringis minta ampun, sambil memegang topeng rangda yang banyak dijual di toko-toko kesenian. Persoalan selanjutnya memang berbuntut panjang, menjadi urusan polisi. Tapi bukan pencuri yang bertopeng rangda itu yang diperiksa polisi, melainkan petani vanili. Soalnya, si pencuri telanjur digebuki ramai-ramai sampai tewas. *** VIEKY Baum dalam bukunya, A Tale of Bali, menulis, Bali yang dikenal sebagai pulau kahyangan, tempat para dewa dan dewi turun, juga dikenal sebagai pulau hantu, tempat setan dan roh-roh jahat gentayangan. Vieky pun sadar, dunia mistik ini sulit diteliti secara ilmiah. Ada benarnya. Tetapi seperti kebanyakan penulis asing, mereka 105
umumnya tak paham benar beda antara leak dan makhluk halus. Leak adalah perwujudan lain dari seorang manusia sakti. Orang yang ilmu leak-nya tinggi, ia bisa seperti tidur di kamarnya, dan badan halusnya yang keluar menjelma menjadi leak, gentayangan mencari mangsa. Leak jenis ini kelihatan menjadi api, cahaya, burung, pesawat, dan bentuk lain yang berkelebat dan bisa terbang. Sedang yang ilmunya rendah, apalagi memakai alat seperti sabuk, baju, dan sejenisnya, bentuknya menjadi monyet, kambing, harimau, dan lainnya. Sedang makhluk halus, yang di Jawa, misalnya, dikenal sebagai tuyul, gendruwo, dan lain-lain, di Bali dikenal dengan nama memedi, samar alias gamang, banaspati, dan lainnya lagi. Dan makhluk halus ini bukan perwujudan lain dari manusia. Seperti umumnya di Jawa — dan mungkin pula di daerah lain — makhluk halus versi Bali itu juga menyukai tempat-tempat yang memang dengan mata telanjang menimbulkan kesan seram. Misalnya di sebuah pohon beringin yang lebat, atau di pohon kepuh yang tinggi dan rimbun. Banaspati termasuk yang paling mengerikan, ini kata orang. Wujudnya seperti barong, atau sejenis dengan itu. Ia bisa melahap orang. Memedi itu hanya makhluk halus yang profesinya menggoda orang. Ia tidak jahat, konon. Ia hanya melenggang-lenggok atau mencibir atau menari dengan tawanya yang cekikikan. Samar alias gamang termasuk makhluk halus yang paling “berbudaya”. Konon, mereka seperti manusia juga. Bentuk tubuhnya mirip dengan manusia, hanya di antara bibir dan hidung tidak ada cekungan. Samar ini punya dunia tersendiri, punya perkampungan. Menurut cerita-cerita orang yang pernah “kesasar” ke perkampungan samar, kebudayaan mereka dan pembangunan di dunia mereka itu jauh lebih maju dari dunia kita ini. Ada seorang pemuda yang terpikat dengan gadis bangsa samar. Dan pemuda ini tatkala lepas dari dunia samar itu bisa menuturkan bagaimana keajaiban perkampungan mereka. Semuanya serba gemerlapan. Namun, kalau diintip tingkah laku pemuda itu pada saat kencan dengan 106
“pacar”-nya, yang terlihat si pemuda itu duduk merenung di pinggir sungai, atau di bawah kayu di tengah kebun yang sepi. Ada pula cerita mengenai dalang wayang kulit yang ditanggap oleh masyarakat samar. Ki dalang sama sekali tak curiga. Mereka menjamunya seperti umumnya di dunia kita ini. Mereka ketawa kalau pementasan wayang kulit itu sudah lucu. Tetapi begitu pertunjukan usai, ki dalang melihat dirinya berada di tebing sebuah sungai. Banyak contoh lain di sekitar pertemuan manusia dengan masyarakat samar ini. Tetapi lebih banyak yang rasanya sulit dipercaya.
107
VII Nasib Arja, Teater Rakyat Bali yang Merana
Ketika Ida Bagus Ngurah Membanyol
S
EBUAH pesta yang memprihatinkan, pada pertengahan Februari 1986. Di Pusat Kesenian Bali (Art Centre) Abian Kapas, Denpasar, berlangsung Pekan Arja se-Bali. Delapan kabupaten di Bali mengirimkan wakil-wakil untuk mempertunjukkan kebolehannya dalam mementaskan arja — sebuah teater rakyat yang begitu lengkap unsur-unsurnya, ada tari, tabuh, drama, vokal, seni rias, seni busana, dan entah apa lagi. Dahulu, kegiatan seperti ini selalu disertai ingar-bingar. Kalau saja pekan arja itu berlangsung dua puluh tahun yang lalu, bukan saja masyarakat Denpasar, tapi mungkin seluruh penduduk Bali mengarahkan perhatiannya ke Abian Kapas. Sekarang tidak. Delapan arja yang masing-masing mewakili kabupaten ini pun datang dengan niat sekadar memenuhi undangan. Atau lebih tegas, sekadar untuk menunjukkan bukti bahwa arja masih bisa digarap. 108
Kesenian arja sudah sedemikian jatuh gengsinya di masyarakat Bali. Tontonan ini tak lagi menggetarkan pemuda dan pemudi desa. Lamban, melempem, bikin ngantuk, begitu-begitu saja, tontonan masa lalu, begitu komentar anak-anak muda. Pertunjukan ini memang harus dilihat dengan serius, harus dinikmati dengan telaten, tembangnya harus disimak dengan tenang. Tanpa itu, tak ada pesan apa pun yang bisa ditangkap. Tontonan ini pun tak laku dijual kepada turis asing, apalagi turis domestik. Bukan karena tergolong tari sakral, tetapi dialogdialognya agak sulit dicerna untuk mereka yang tidak punya akar sastra Bali. Nah, kalau sastra tradisional Bali itu sendiri sudah lama pingsan, bagaimana kesenian ini bisa hidup. Arja tak laku lagi; kasarnya, tak bisa memancing dolar, juga rupiah. Maka, desa-desa yang dulu menjadi pusat kesenian ini, kini telah dilupakan. Kalaupun sekarang ini ada arja, maka itu tak lagi mewakili sebuah desa, tetapi mungkin kecamatan, atau kabupaten, seperti pekan arja se-Bali itu. Sifatnya pun temporer. *** ARJA muncul abad ke-19, pada pemerintahan I Dewa Gde Sakti di Puri Klungkung. Menantu Gde Sakti, I Gusti Ayu Karangasem, mengadakan upacara pembakaran mayat untuk suaminya, I Dewa Agung Gde Kusamba, dan madunya, I Gusti Ayu Jambe. Pada upacara itu semua raja di Bali diundang. Atas prakarsa I Dewa Agung Manggis, dibuatlah suatu tontonan yang pemainnya semua lelaki, tetapi sebagian berperan sebagai wanita. Lakon yang dipentaskan, Kesayang Limbur, suatu sindiran untuk I Gusti Ayu Karangasem yang sempat dimadu. Pada saat itu, konon, musik yang mengiringinya begitu sederhana, dan para pemain bertembang bersahutan. Selesai seseorang memerankan tokohnya, ia duduk di tikar. Kalau tokoh itu diperlukan, berdiri lagi. Kesenian ini akhirnya berkembang di Singapadu, Kabupaten Gianyar. Pada awal abad ke-20 itu, dikenal dengan sebutan Arja Doyong. Penarinya masih tetap laki-laki semua. Tidak ada langse 109
(layar yang terbelah bak kelambu) tempat keluar-masuknya penari, seperti pola pertunjukan arja sekarang ini. Pemain semuanya berjongkok, menari pun jongkok, seperti salah satu jenis tari keraton di Yogyakarta. Dialog pemain lewat tembang-tembang yang diucapkan pelan dan lambat. Adalah Raja Gianyar yang kemudian mengembangkan drama tari arja ini. Mula-mula dikembangkan di Sukawati. Busana penari mulai dibenahi, musik dipakai yang sederhana, terdiri dari kendang, kempur, kajar, klenang, dan suling. Gamelan sederhana yang lebih banyak mengalun sedih ini disebut geguntangan. Lakon yang dipentaskan Pakangraras, salah satu jenis cerita panji. Tentu saja, para pemainnya masih tetap laki-laki. Pada 1930 revolusi drama tari arja terjadi. Pemain wanita mulai masuk. Bukan saja untuk peran-peran wanita, tetapi juga untuk peran raja yang pembawaannya halus, yang disebut Mantri. Pemain laki-laki hanyalah Punta dan Wijil — yang berfungsi sebagai panakawan kakak beradik. Dan sejak itu, lakon yang dipentaskan selalu soal raja, terutama Raja Daha, Raja Pajarakan, Raja Kediri atau cerita Jayaprana yang ada Raja Kalianget. Pokoknya, raja sentris. Arja jenis inilah yang berkembang dan mendapat tempat di masyarakat. Pertumbuhannya sampai melewati batas Kerajaan Gianyar. Bahkan ketika raja-raja sirna dari Bali, diganti dengan pemerintahan republik, arja hidup subur. Di mana-mana muncul arja. Di kampung halaman saya pun muncul juga sekeha (grup) arja. Dan Ayah, almarhum, adalah pelatihnya, tepatnya pelatih pendamping untuk merangkai cerita, sementara pelatih tarinya dari Kabupaten Gianyar. Saya nyaris diikutkan bermain, tetapi karena masih kecil dan “belum cukup umur” menjadi Wijil, saya hanya puas menjadi tukang pukul klenang — yang dibuat dari bambu. Bunyinya, plir . . . plir . . . plir. *** KALAU diukur dengan begitu beragamnya drama tari sekarang 110
ini, arja memang membosankan. Soalnya, ia punya pakem yang sulit dikembangkan lagi — kalau masih mau disebut arja. Yang bisa dibuat variasinya, paling-paling ceritanya; itu pun harus mencari (dengan membuat karangan baru) yang ada tokoh raja. Pakem itu menyangkut jumlah pemain dan urutan-urutan keluarnya. Yang pertama muncul Inya, seorang pelayan yang setia. Sebelum keluar dari langse, ia menyanyi. Sambil terus menyanyi ia membuka langse perlahan-lahan, sampai satu bait sekar alit — biasanya pupuh Sinom — lalu diteruskan satu bait lagi dengan menari mengitari panggung. Usai tari dan nyanyi ini, ia berdialog seorang diri (monolog) dan menceritakan kegembiraannya menjadi emban seorang putri yang cantik. Setelah cukup menjelaskan kegembiraan dan keberadaannya (di kerajaan mana), maka ia pun pura-pura baru sadar, kok ngomong sendiri. Maka, tuan putri pun dipanggil sambil bersimpuh di depan langse. Tuan putri itu adalah Galuh. Pola keluarnya juga sama dengan Inya— bahkan semua pola keluar pelaku arja sama saja, menyanyi di dalam, diteruskan menyanyi sambil menari di langse lalu mengitari panggung. Hanya saja, ketika Galuh menyanyi dan menari setelah lepas dari langse, setiap baris nyanyiannya diselingi dialog pujian dari Inya. Begitulah sampai bait lagu berakhir. Di sini yang dipamerkan adalah kemahiran menembang dan kepintaran menari. Setelah pamer nyanyi dan tari, cerita pun dimulai. Inya bertanya dengan dialog yang lambat mengalun — seperti dialog wayang wong Jawa tetapi diakhiri bunyi meninggi, kadang melengking — apa yang menyebabkan tuan putri keluar. Galuh, yang tadi membelakangi Inya, menoleh dengan gerak tari halus, lalu menceritakan maksudnya. Galuh tak boleh berbicara seperti Inya. Galuh selalu menembang. Itulah sebabnya, drama tari arja ini dianggap sebagai cikal-bakal perkembangan sastra tradisional jenis sekar alit. Walau bahasa yang dipakai Galuh dalam tembangnya bahasa Bali madya, dan penonton umumnya paham, Inya selalu menerjemahkan lewat dialog tanpa tembang, dengan bahasa yang lebih 111
lumrah. Dan, dari dialog-tembang itu, penonton mudah menebak apa yang keluar selanjutnya. Kalau Galuh menceritakan menemui ibunya, maka yang keluar nanti adalah pasangan Limbur dengan embannya bernama Desak Rai. Tapi, kalau yang dicari suaminya atau ayahnya (Raja), pokoknya orang laki, yang keluar setelah itu pasangan Punta dan Wijil. Tapi, tunggu dulu, pasangan yang keluar selanjutnya, selalu setelah pasangan yang ada di panggung masuk ke dalam. Katakanlah yang keluar adalah pasangan Limbur dan Desak Rai. Walau Desak Rai ini emban, yang lebih dulu keluar selalu Limbur. Setelah melewati “aturan-aturan keluar panggung” itu, Limbur berdialog sendiri. Nah, bahasanya adalah bahasa Kawi. Intinya sama, menceritakan keberadaan dirinya. Setelah kehabisan bahan (kalau arja dari desa yang pelakunya berpendidikan rendah, kadar improvisasinya miskin sekali, apa yang dilatih, itu saja yang dikeluarkan) Limbur memanggil Desak Rai. Bahasanya kasar, maklum bicara dengan pembantu. Desak Rai ini seorang pembantu yang urakan. Ia pun pura-pura sedang tidur, lalu mendengar orang berteriak, dan ia ngomel dari dalam dengan bahasa yang kasar juga. Maksudnya memancing ketawa. Limbur tentu marah, kemudian berbicara lebih kasar sambil mengatakan apakah Desak Rai tidak tahu siapa yang memanggil. Desak Rai pun menjawab, tahu siapa yang memanggil itu, yakni: pedagang garam (kalau arja itu bermain di desa pinggir laut), atau buruh pemetik kopi (kalau pentas di pegunungan). Dan keduanya berdebat, tetapi tetap Desak Rai berada di dalam langse, belum dilihat penonton. Debat-debat ini — perdebatannya pun sudah ada pakemnya — terus berlanjut sampai penonton tidak ada yang ketawa. Akhirnya, ya, Desak Rai sadar siapa yang diajaknya bicara. Maka, ia pun berjanji akan keluar, cuma perlu mempersiapkan diri, misalnya, perlu berdandan. (Bagi pemain arja yang pengetahuannya banyak, di sini kesempatan mengkritik bagaimana wanita hanya bersoiek saja, misalnya. Tetapi, ketika ayah saya memimpin arja di tahun 1960-an, sepuluh kali pentas, bicaranya tetap saja itu-itu, ya, maklum pemainnya 112
SD pun tidak tamat). Saat Desak Rai mengucapkan janji bersiap keluar, itu berarti pertanda agar Limbur masuk ke dalam langse, mengaso dulu. Setelah panggung kosong, Desak Rai keluar, juga dengan “aturan-aturan” tadi, tari dan tembang. Setelah satu bait lagu selesai, baru Desak Rai menyanyikan satu bait lagu gembira, diiringi tari yang rada “miring”. Juga diselingi ucapan-ucapan yang jenaka. Soal keperawanannya, soal tak ada pemuda yang melamar, soal gemah-ripahnya kerajaan. Terakhir, ia bicara soal pribadi induk semangnya, si Limbur itu. Mula-mula diceritakannya baik, lalu cerita buruk-buruk. Saat menceritakan segi negatif ini, diam-diam Limbur keluar dari langse. Desak Rai pura-pura tidak tahu. Akhirnya nanti berdebat lagi. Lelucon lagi. Pasangan selanjutnya, Punta dan Wijil. Yang keluar dulu Punta, dengan tembang Durma dan tabuh berbunyi keras. Pola pepeson (keluarnya pemain) sama dengan Limbur. Punta pun, setelah cukup menari dan monolog, memanggil adiknya, Wijil. Perdebatan pun terjadi, mirip Limbur-Desak Rai. Hanya saja, Wijil keluar tak perlu “mempersiapkan diri”, langsung membuka langse dengan mata diusap-usap. Maka, Wijil dimarahi dan dinasehati bagaimana bertingkah sebagai seorang pemuda harapan kerajaan, yang tahu tata krama. Penonton digurui oleh sopan santun dan berbagai wejangan — kalau pemain memang punya bekal yang cukup. Setelah Wijil — di beberapa desa juga disebut Kartala — sadar cara keluarnya tadi salah, ia pun menuju langse kembali, dan menari dengan iringan tembang Dangdang Gula. Karena ini pupuh sedih, isi tembang itu tentang kesengsaraan menjadi pemuda yang menghamba — yang tentu saja dikomentari oleh Punta: jangan berputus asa. Kedua panakawan ini mengabdi ke seorang raja (tergantung cerita, bisa pula anak raja) yang disebut Mantri Cenik. (Cenik berarti kecil, karena drama tari arja punya dua mantri). Mantri Cenik ini diperankan seorang wanita yang sangat pandai menembang — karena ia memang tak boleh berdialog biasa — dan paling cantik di antara pelaku. Bertubuh langsing, karena ia me113
merankan seorang laki-laki dan berpakaian mirip Punta. Selama Punta dan Wijil mendampingi Mantri Cenik ini, tidak boleh ada lelucon. Mantri yang satu ini selalu serius dan memang tak boleh menghadirkan humor. Pasangan terakhir adalah pasangan yang paling banyak ditunggu penonton, karena biasanya paling meriah dengan lelucon. Punta dan Wijil yang mengabdi kepada seorang raja yang tamak — disebut Mantri Buduh (buduh berarti gila). Pola keluarnya sama saja dengan Punta dan Wijil yang pertama. Cuma, kedua panakawan ini tidak memanggil rajanya, tetapi raja gila itulah yang memanggil-manggil, dengan bahasa campur aduk. Kadang kasar, kadang halus, kadang dengan bahasa asing, Cina — entah beneran atau tidak -- yang penting lancar. Punta dan Wijil pun menerjemahkan kata asing ini sekenanya — ini memang maksudnya melucu. Rangkaian cerita baru disusun kembali setelah semua pemain keluar. Siapa yang menemui siapa, siapa yang membunuh siapa. Teater rakyat Bali hampir selalu ada bunuh-bunuhan (supaya sedih dan penonton menangis), tetapi cerita harus happy ending, jadi yang mati tadi dihidupkan oleh seorang yang sakti — dilambangkan dengan teriakan dari dalam langse, diiringi gamelan keraskeras, kemudian bunga dilempar. Soalnya, tak ada sisa pemain lagi yang memerankan tokoh sakti, karena pemain sudah ditentukan jumlahnya. Kecuali untuk cerita yang mengharuskan adanya dua putri, yang biasanya kedua putri itu bertengkar memperebutkan raja yang masih perjaka. Maka, ada pemain tambahan, yakni anak dari Limbur. Ia disebut Liku — yaitu putri yang serakah, gila, suka merebut pacar orang, pokoknya yang negatif. Orang yang memerankan ini biasanya dicari yang pintar, sama pintarnya dengan Mantri Buduh. Dituntut improvisasi yang tinggi, karena ia tak hanya pintar menembang, melainkan juga berbicara kasar, halus, sembrono. Juga pada cerita tertentu, seperti Jayaprana, yang mengharuskan ada seorang mahapatih, yang bertugas khusus membunuh. Disisipkan pemain pria yang disebut Pengrancab. Ia pun orang pintar, yang bisa berkhotbah, bagaimana membunuh tanpa kena 114
dosa, bagaimana perjalanan roh orang yang akan dibunuhnya, bagaimana menceritakan kesangsian melakukan pekerjaan membunuh itu, dikaitkan kemudian dengan kewajiban seorang mahapatih yang mengabdi pada raja. Dalam sejarah arja di Bali, tokoh yang tiada duanya memerankan ini adalah Ida Bagus Ngurah dari Desa Buduk, seorang dalang wayang kulit yang amat tersohor, dan kini sudah almarhum. Permainan arja semalam suntuk, dan panggungnya memakai tapal kuda. Tak ada dekorasi apa-apa. Bahkan pemain pria (Punta dan Wijil) bisa saja di tengah-tengah pentas memompa lampu petromaks yang mau mati, atau menghalau anjing yang masuk arena pentas. Masa jaya arja mulai kelihatan suram ketika drama gong muncul di tahun 1968. Drama gong ini kesenian ingar-bingar yang meriah, karena diiringi seperangkat gong lengkap — jauh beda dengan arja yang memakai gamelan dari bambu. Masyarakat pun tersentak. Di mana-mana muncul grup drama gong. Rupanya, para karyawan kesenian daerah RRI Denpasar — yang setiap Minggu siang, sampai sekarang, menyiarkan arja selama tiga jam — tak kekurangan akal dalam upaya menghidupkan arja. Mereka menghimpun penari arja terkenal dari seluruh Bali, yang populer kemudian dengan sebutan Arja Bon Bali. Bahkan belakangan diberi nama baru, Arja Candra Metu RRI Denpasar. Kelompok ini melakukan revolusi dengan membuang gamelan geguntangan (dari bambu itu) dan digantinya dengan seperangkat gong lengkap, seperti drama gong. Jadinya lebih meriah. Bahkan pola pepeson dijungkir-balikkan. Desak Rai, dalam suatu kali (tidak selalu) keluar lebih dahulu, tak lagi menjadi simbol wanita malas. Perubahan besar terjadi pada pasangan Punta dan Wijil yang menghamba Mantri Buduh. Punta dimainkan oleh Sadru, Wijil dimainkan oleh Monjong, dan Mantri Buduh oleh Ribu. Trio Sadru-Monjong-Ribu (entah siapa nama-nama lengkap ketiga seniman ini) sangat populer di Bali. Punta keluar ke pentas pertama kali, bahkan tak perlu menyanyi. Ia langsung berdialog, kadang-kadang memakai bahasa Indonesia dan menyebut dirinya 115
pemimpin. Untuk membuktikan dirinya pemimpin, ia memerintahkan juru tabuh menari, maka para penabuh gong lengkap yang tak kurang dari 25 orang ini menari kecak, mengikuti perintah Punta. Monjong pun jarang menembang — walau suaranya bagus sekali. Ia menyanyi dengan irama lagu Jawa atau lagu Sunda atau mungkin lagu Batak, ditingkah ilustrasi gamelan yang memang sudah berpadu. Humor trio ini selalu segar dengan kritiknya yang tajam. Misalnya, ketika ia menceritakan bagaimana makmurnya kerajaan, ia pun menyebutkan, penduduk menyimpan pakaiannya yang begitu banyak di lumbung, sampai-sampai turis asing tak bisa membeli pakaian — karena setiap muncul pakaian baru diborong penduduk. Turis pun berpakaian setengah bugil. Para pejabat, pemuka agama, tak lewat dari kritikannya. Ida Bagus Ngurah, yang dikenal sebagai Pengrancab tiada duanya dalam memamerkan ilmu filsafatnya, ikut-ikutan membanyol. Ketika dalam cerita ia bertugas membunuh Galuh, ia pun berkata ke arah penonton, “Tak usah berpanjang lebar, ini perintah atasan. Namanya monoloyalitas, kalau tak mau memilih perintah ini, nanti dipecat,” begitu kira-kira ucapannya dengan bahasa campuran, Indonesia—Bali, sambil memberi isyarat kepada pemain yang akan “dibunuh” masuk ke langse saja. Ucapan seperti ini membuat gedung pertunjukan bergemuruh dan tepuk tangan berkepanjangan. Bayangkanlah, kalau ucapan itu dikeluarkan menjelang Pemilu 71, saat ketika mayoritas PNI digiring menjadi mayoritas Golkar, dan pegawai negeri kena garis monoloyalitas memilih Golkar. Lakon paling populer Arja Bon Bali ini adalah Sampik Ingthai — ejaan ini sudah amat populer di Bali. Ini kisah tentang Sampik yang bersekolah di kota dan indekos bersama Ingthai yang menyamar sebagai pria. Mereka berjanji sehidup semati sebagai teman. Tetapi ketika tamat sekolah dan ketahuan Ingthai seorang wanita, Sampik pun penasaran jatuh cinta, sembari menyesal berkepanjangan karena selama sekamar sudah sering tidur saling peluk. Sampik terlambat melamar Ingthai karena kurang cerdik 116
menafsirkan perjanjian. Ingthai dikawinkan dengan Macun (ini cerita dari Cina, entah bagaimana ejaan yang benar). Sampik pun patah hati, tidur terus-menerus di kamar. Yang memerankan ayah Sampik ini adalah Ida Bagus Ngurah, sebagai tokoh sisipan — dan pola arja membenarkan, karena Pengrancab tidak ada. Bisa dibayangkan, bagaimana nasihat-nasihat yang keluar dari Ida Bagus Ngurah, dan kritiknya yang tajam kepada anak-anak sekolah. Kerewelan ayah Sampik ini akhirnya membuat marah ibu Sampik (Limbur), apalagi ternyata — dan ini tentu dicari-cari — ayah Sampik itu kawin nyentana. Ini perkawinan adat Bali di mana lelaki yang menumpang ke rumah sang istri. Dalam status perkawinan begini, yang berhak atas anak-anak adalah ibu. Limbur pun mempreteli pakaian ayah Sampik di atas pentas, yang tinggal hanya celana kolor. Tubuh Ida Bagus Ngurah yang gendut dengan celana kolor kedodoran, dan sikapnya yang kemudian bloon — pergi ke kursi penonton minta rokok dan ulahulah lain — membuat penonton terpingkal-pingkal. Belum lagi adegan trio Sadru-Monjong-Ribu. Ribu, sebagai Macun (Mantri Buduh) yang kaya, keluar dengan tari kreasi baru yang melambangkan naik mobil sedan mewah, maklum pengusaha Cina. Sadru dan Monjong tidak menyebut dirinya Punta atau Wijil, tetapi memakai nama-nama Cina, diambil dari nama-nama pengusaha terkenal. Populernya Arja Bon Bali ini tak lepas dari kritikan. Para seniman tua gelisah, karena arja ini merusakkan pakem yang telah ada, dan mengarah ke drama gong. Tetapi mayoritas orang mengacungkan jempol, karena kreasi mereka — terutama tabuhnya dan humornya — selalu berganti-ganti. Maklum, mereka karyawan kesenian daerah RRI yang tiap hari berkumpul. Arja kelompok ini bertahan terus, seirama dengan mewabahnya drama gong, kesenian modern berlatar belakang tradisional — cerita dan musiknya. Akibatnya, jika orang menyebut arja, maka yang dimaksud adalah kelompok Arja Bon Bali itu. Sudah tentu, kelompok Arja Sebunan — grup yang anggotanya tinggal di satu desa — berangsur mati. Kalaupun masih ada, sudah tidak berarti 117
lagi, paling dipertunjukkan di lingkungan desanya sendiri jika ada upacara keagamaan dengan gratis. Sampai datang 1986. Tak ada lagi grup arja selain milik RRI Denpasar dan “arja mendadak” dari mahasiswa Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bali. Sampai pemerintah merasa perlu membuat Pekan Arja se-Bali — dan menurut sebuah sumber pemainnya juga dari mahasiswa ASTI yang “pulang ke desa”, hanya untuk keperluan mewakili kabupaten dalam pekan ini. Kesenian arja yang tragis. Kepada siapakah tuduhan harus dialamatkan, sebagai penanggungjawah kepunahan teater rakyat Bali yang satu ini? Sadru, Monjong, Ribu, Ida Bagus Ngurah, atau masyarakat sendiri yang selalu menoleh, membuat perbandingan, dan terpengaruh pada kesenian yang datang menyusul?
118
VIII Perjalanan Teater Rakyat Topeng, Janger, dan Drama Gong
Dewa Ayu Putu Rai Alias Ni Luh Sukerti
S
ATU bentuk kesenian yang sudah memasyarakat bisa saja tiba-tiba lenyap. Setidak-tidaknya, ia berangsur-angsur ditinggalkan masyarakat penontonnya. Orang terguncang oleh satu bentuk kesenian yang baru muncul. Masyarakat merasa diwakili oleh bentuk kesenian yang datangnya belakangan. Itulah sisi lain perjalanan teater rakyat di Bali. Gambuh, yang di masa sebelum kemerdekaan, konon, mendapat tempat di hati masyarakat, tiba-tiba menyurut ketika topeng muncul sebagai teater yang lebih akrab. Topeng dan arja yang bisa hidup berdampingan, yang sempat menggebu-gebu itu, pudar juga ketika drama gong mewabah di Bali. Dalam perjalanannya kemudian — saat ini — drama gong pun sudah sampai pada titik gawat ketika layar tancep memasuki pedesaan dengan cerita-cerita yang mudah dikenal masyarakat, legenda Jaka Tarub, Nyai Blorong, Nyai Roro 119
Kidul, Jaka Gledek, Jayaprana, dan banyak lagi. Dibandingkan dengan gambuh dan arja, topeng barangkali tak akan mati sungguh-sungguh. Masalahnya, topeng dalam pengertian penutup wajah itu — di Bali disebut tapel — masih banyak disimpan dan di beberapa tempat ditaruh di sebuah pura. Dengan kata lain, tapel itu dikeramatkan. Tetapi topeng sebagai seni pertunjukan tidak digolongkan tari sakral, seperti misalnya Tari Sang Hyang. Drama tari ini digolongkan jenis tari bebali — artinya suatu pertunjukan yang sering kali diadakan dalam rangkaian upacara persembahyangan di sebuah pura, sebagai hiburan umat yang datang bersembahyang. Cerita yang dipergelarkan selalu diambil dari sejarah Bali. Karena itu, tidaklah salah kalau kesenian ini disebut pengungkap sejarah, entah itu sejarah yang lebih besar — kisah-kisah para raja di Bali — atau sejarah berdirinya sebuah desa, sebuah pura, dan sebagainya. Tentu saja, semua kisah ini tak bisa dikarang-karang. Adapun ceritanya diambil dari Babad Bali, dari Prabu Mayadanawa, Kerajaan Gelgel di abad ke-15, sampai perang Puputan Badung di abad ke-20. Adalah kesenian ini yang paling banyak punya beban untuk membentuk “manusia Bali seutuhnya”. Lewat teater topeng, masyarakat diajak membuka lembar-lembar sejarah masa lalunya, dikuliahi masalah agama, digurui soal sopan santun. Bentuk kesenian ini adalah sarana pendidikan, penerangan, dan bahkan propaganda politik. Di masa penjajahan, para penari topeng banyak yang dijebloskan ke penjara karena menghina pemerintah kolonial. Drama tari topeng memang kelanjutan gambuh — sebuah drama tari klasik yang lebih tua dari arja. Gambuh dan arja tidak menggunakan tapel, dan kedua drama tari ini lebih ketat dengan pakem, baik tari maupun ucapan. Tetapi topeng lebih banyak menyediakan tempat untuk improvisasi, baik itu improvisasi tari maupun dialog. Musik pengiring (gamelan) dalam topeng sudah tersedia dalam bentuknya yang pendek-pendek. Dan itu kemudian diulang sesuai dengan keinginan pemain. Dalam drama tari ini, pemainlah yang memberi isyarat, tabuh apa yang dibunyikan. Itu bedanya dengan gambuh yang penarinya terikat oleh pakem tabuh, 120
yang tak bisa diubah seenaknya dalam satu pergelaran. Bagi pemain yang tidak boleh berdialog, misalnya Dalem (Raja) dan Pepatih, pada drama tari gambuh gerak tari pemain itu lebih indah, luwes, dan mengesankan gerakan yang abstrak. Sedang penari topeng dalam tokoh yang sama memungkinkan gerak yang lebih lincah dengan gaya pantomim. Begitu pula untuk pemain yang bebas berdialog. Pada gambuh dialog-dialog itu diucapkan halus, nyaris berlagu, dan sangat serius tanpa humor. Sebaliknya pada topeng. Apalagi kalau sudah muncul topeng bebondresan, topeng-topeng lucu yang menggambarkan berbagai perangai dan bentuk wajah manusia di masyarakat. Tapel hanya menutup wajah di atas bibir, sehingga pemain tak terhalang suaranya. Pemain bebas mengekspresikan tapel yang digunakan, ada yang pura-pura tuli bisu, suka marah-marah, dan sebagainya. Seperti halnya pada setiap bentuk teater rakyat Bali, tak ada skenario tertulis sebelum pementasan itu dimulai. Kendatipun begitu, sebelum pementasan para pemain berkumpul dan seseorang membeberkan cerita. Siapa yang lebih menguasai cerita, dialah yang biasanya menjadi penasar (panakawan), karena dari pemain ini — yang bebas berdialog -- cerita diuraikan ke penonton. Yang tak menguasai cerita — atau kurang sreg dengan cerita yang dipentaskan — bermain sebagai dalem atau pepatih, yang tugasnya hanya menari dan memberi gerak-gerak bergaya pemain pantomim. Atau menjadi pemain bebondresan, topeng yang boleh bicara ngawur, hanya membuat lelucon. Pembeberan cerita beberapa saat sebelum pentas itu penting karena para penari topeng tak mesti menghimpun diri dalam satu sekeha (grup) permanen. Bisa saja para penari dicomot dari desa-desa yang berlainan dan mereka baru berkumpul pada saat pementasan itu. Jumlah penari untuk satu pementasan juga tidak tentu. Berapa pun jumlah penari yang tersedia, pementasan bisa jalan — jadi beda lagi dengan gambuh atau arja. Hal ini dimungkinkan, karena terbukanya kesempatan untuk main rangkap. Dengan tiga penari saja, pementasan cerita sudah komplet, asalkan tentu saja tapel 121
tersedia dalam jumlah yang cukup banyak. Bahkan ada pementasan topeng yang dimainkan oleh seorang saja. Disebut topeng pajegan. Untuk jenis ini, tentulah pemain harus matang betul. Selain setiap saat berganti tapel ia harus bisa memberi kesan kepada penonton, ada tokoh yang tidak terlihat, hanya bayang-bayang. Teater topeng yang digolongkan tari bebali ini pernah diangkat menjadi tari bali-balian — yaitu bentuk kesenian yang bisa dipentaskan setiap saat untuk hiburan (dan dikomersialkan) dan tidak harus dalam rangkaian upacara keagamaan. Ada yang mencapai sukses, yaitu grup topeng dari Carangsari, Kabupaten Badung. Di tahun-tahun 1970-an, grup ini begitu digemari masyarakat. Tentu saja bukan tarinya yang digemari, tetapi leluconnya, yang lebih banyak mengarah ke porno. Apalagi, di antara topeng bebondresan itu, grup ini punya tapel yang menggambarkan seorang wanita yang nakal. Dari sinilah lelucon itu diangkat. Dan karena para pemainnya orang-orang yang punya wawasan lebih luas, lelucon mengalir dengan lebih banyak mengaitkan pada masalah-masalah aktual di masyarakat, termasuk melontarkan kritik. Bahkan porsi ini yang lebih dominan, sehingga “pengungkapan sejarah” yang menjadi misi teater ini, pada grup Topeng Carangsari, hampir hanya menjadi sampiran. Jika grup ini akhirnya menanggalkan statusnya sebagai tari bali-balian — karena sudah mulai jarang ditanggap — ada sebab lain yang mempercepat kejatuhannya, yakni kaset. Cerita-cerita grup topeng ini banyak yang direkam, tentu saja atas izin. Dan kaset ini diperjual-belikan secara luas. Celakanya, penyebaran kaset —juga lewat pemutaran di radio amatir — lebih cepat ketimbang “memproduksi” banyolan baru. Akibatnya, pementasan grup topeng ini tak lagi menggigit, banyolannya banyak yang mengulang. Sering terjadi, penonton berteriak mengejek, dan bahkan penonton lebih pintar dengan mengucapkan kata-kata yang belum diucapkan pemain. Jadilah, kesenian ini kembali memasuki sangkarnya, sebagai tari bebali — sebagai sarana hiburan pada upacara keagamaan. Di sana ia memang tak tertandingi, salah satu sebab karena bentuk 122
tari arja dan drama gong yang berlarut-larut itu tidak cocok untuk hiburan di saat menjalankan ibadat agama. Topeng, keistimewaannya yang lain, bisa dipersingkat, bisa diperpanjang tergantung waktu yang disediakan. Bisa pula hanya beberapa puluh menit, yang dipentaskan beberapa topeng pengelembar — yakni topeng tanpa cerita. Yang membuat jenis teater rakyat ini menyingkir dari panggung-panggung pertunjukan komersial, munculnya satu bentuk kesenian baru yang tidak jelas pakemnya, tidak mudah ditebak urutan ceritanya — karena lebih banyak fiktif. Yakni: drama gong. *** DI masa pergolakan partai-partai, kesenian janger berkembang di Bali. Tari muda-mudi ini digemari karena seleret remaja laki berbalas pantun dengan seleret remaja wanita. Di sela-sela pantun itu ada tari-tari gembira. Seorang pemain — ibarat seminar ia menjadi moderator — disebut dag. Ia yang memimpin dan mengawasi pantun-pantun itu, yang umumnya soal percintaan dan janji-janji gombal — memang sengaja dibuat lucu. Karena kemasukan “semangat partai”, syair-syair itu tak melulu soal cinta, tetapi sudah diracuni kampanye partai. Lekra merancang syair untuk PKI, LKN merancang syair janger untuk PNI. Temanya sama saja. Mula-mula penari lelaki merayu si wanita, si wanita mula-mula menolak. Kemudian penari lelaki menyebutkan, ia adalah kader partai yang ingin menikah dengan kader partai sealiran. Nah, si wanita menerimanya, karena ia juga kader partai. Begitulah, dengan syair-syair yang dilagukan secara kompak, program partai dikumandangkan. Dag kemudian berfungsi sebagai komentator, tak kalah dengan juru kampanye yang akan berpidato di podium. (Kesenian janger ini lebih banyak pentas sebagai hiburan menunggu pemimpin partai berbicara). Tarian kaum lelaki dalam janger itu pun kemudian berkembang. Tak lagi asal saling tuding, berlenggang berkacak pinggang, tetapi sudah kena “jurus-jurus partai”. Janger Lekra, misalnya, 123
membuat tarian orang mengetukkan palu dan menyabit rumput, sambil meneriakkan koor: “Sama rasa, sama rata”. Janger LKN memperagakan banteng yang mendengus dengan membungkukkan tubuh dan mengibaskan kepalanya, sambil berkoor: “Marhaen Menang, Pancasila Jaya”. Ketika konfrontasi dengan Malaysia sedang digalakkan, dan para sukarelawan dilatih di mana-mana, kesenian janger ikut pula terpengaruh. (Ini memang kesenian gampangan, di kelas III SMP itu, 1964, saya ikut sebagai penari Janger dari kelompok GSNI — Gerakan Siswa Nasional Indonesia). Para penari lelaki pun dalam syairnya bercerita akan berangkat ke medan perang, menghancurkan negara boneka Malaysia. Baik syair maupun slogan dan komentar dag diucapkan dalam bahasa gado-gado, campuran bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Pada masa konfrontasi ini, muncul pula di Tabanan, janger yang bercerita. Tidak memakai dag. Sederet penari lelaki keluar, bernyanyi, lalu duduk. Kemudian sederet penari wanita muncul satu per satu bernyanyi, lalu duduk berhadapan dengan deretan pria. Mereka bersyair sebentar sebagai pembuka dan basa-basi kepada penonton. Lalu menceritakan keadaan masa sekarang yang sedang berjuang menghancurkan Malaysia. Muncullah drama, pemain-pemain keluar. Walaupun ceritanya soal pengiriman sukarelawan ke Malaysia, kemudian ada adegan perang segala, pemain lelaki (dari kelompok drama, bukan penari laki janger itu) selalu menyebut identitas dirinya. Misalnya, “aku si marhaen, orang yang akan membawa rakyat menuju adil makmur, akan berangkat bersama marhaen-marhaen lain ke pedalaman Kalimantan,” memakai bahasa Indonesia yang secara tata bahasa — apalagi dialek — tak ketulungan jeleknya. Tapi penonton kagum, ya, kesenian ini memang untuk orang-orang desa yang mungkin sulit menangkap bahasa Indonesia. , Setelah era hitam G-30-S/PKI lewat, janger pun menguap. Kampanye politik memang sudah tak ada lagi. PNI tak punya saingan lagi, setelah PKI dibubarkan. Ada satu dua janger yang masih pentas. Dan menariknya, pementasan itu sudah mulai komersial, 124
penonton membayar karcis. Janger jenis ini, janger yang bercerita, yang memang cerita itu yang diharap-harapkan penontonnya. Tidak lagi banyak mengumbar kata-kata marhaen — mungkin karena saingannya tak ada lagi — walau kelompok kesenian ini tetap mengatasnamakan LKN. Ceritanya pun lebih panjang, lebih urut, misalnya, kepahlawanan Untung Surapati. Janger inilah embrio drama gong. Janger itu sendiri menghilang, dan tinggal dramanya. Karena tak lagi ada “berbalas pantun”, musik pengiringnya diganti dengan yang lebih meriah, yakni seperangkat gong. Bahasa yang dipakai tetap bahasa Indonesia, kecuali pada leluconnya yang agak dicampur-campur. Drama gong ini boleh disebut lahir di Kabupaten Gianyar, tokohnya Anak Agung Raka Payadnya dari Desa Abian Base. Pemunculan drama gong ini segera menjalar ke kabupaten lainnya. Mula-mula Klungkung lalu Badung, kemudian Bangli, dan akhirnya di seluruh Bali. LKN memprakarsai festival drama gong se-Bali pada 1968. Sementara itu, polemik pun muncul di surat-surat kabar, soal nama. Kenapa harus memakai gong, kenapa tidak cukup drama saja. Polemik ini juga menandakan bahwa drama gong tidak sekadar kesenian orang desa, tetapi sudah menjadi kesenian orang kota. Dramawan “tanpa gong”, seperti Abu Bakar, Hemannegara, Yudha Paniek, Sutikno, terlibat dalam urusan ini. Mungkin karena bahasa Indonesianya itu, atau semangat kepartaian yang saat itu masih tetap lengket. Wabah drama gong merayapi Bali. Di desa, di kota, di sekolah, muncul drama gong. Ketika orang desa saya mendengar, saya ikut drama gong di Denpasar, saya pun berkali-kali disuruh pulang kampung, melatih drama gong. Yang diharapkan para pemuda-pemudi desa bukan latihan akting, cara bermain, vokal, dan sebagainya. Itu soal mudah buat mereka, tak perlu latihan, cukup meniru pementasan sebelumnya. Yang mereka maui, buatkan cerita, dan buatkan dialog-dialog. Jadi, pada mulanya drama gong muncul, teater ini sudah memakai skenario tertulis. Tetapi begitulah, dialog pendek-pendek. Kalau menonton 125
drama gong di desa, banyak sekali kata-kata janggal. Misalnya, pada adegan pertengkaran antar pepatih, terdengar ucapan “kuseret darahmu”. Bagaimana darah diseret? Sabar, seret itu dalam bahasa Bali berarti meneguk. Jadi, “kuseret darahmu” berarti darah itu diteguk setelah lawan dicekik tak berkutik. Atau kata-kata ini: “Apa kataku?” Maksudnya, “apa katamu?” Atau lagi: “Jangan mencuci maki begitu”, maksudnya “mencaci maki”. Penonton tak ada yang ketawa dengan kata yang salah itu, mungkin pula tak menangkap apa artinya. Yang dilihat, pemain bertengkar, habis perkara. Kira-kira dua tahun setelah festival drama yang diselenggarakan LKN, Drama Gong Abian Base pimpinan Raka Payadnya ini mengubah pementasannya, bukan saja ceritanya mulai “mendekati” Bali, tetapi bahasanya memakai bahasa Bali. Terkenal saat itu, lakon Jayaprana. Sambutan penonton luar biasa. Hampir tiap malam drama gong ini ditanggap. Penanggap bahkan memesan sampai empat bulan di muka. Para petani Abian Base sudah melepaskan cangkulnya. Sawah-sawah di desa itu dicarikan penggarap orang luar. Pembaruan ini tentu membawa akibat lain. Bahasa Bali ternyata lebih sulit dipelajari orang desa, terutama di desa-desa Tabanan, Buleleng, Badung. Sulitnya, karena cerita drama gong selalu mengenai raja-raja, sehingga jika memakai bahasa Bali tentu berbagai bentuk hormat dipakai. Adegan di kerajaan, para pepatih atau rakyat akan berbicara dengan bahasa Bali halus kepada raja. Dalam adegan di luar kerajaan, dipakai bahasa Bali menengah. Adegan pertengkaran memakai bahasa Bali kasar. Dan tingkat-tingkat bahasa ini sangat sulit untuk daerah-daerah yang jauh dari puri. Apalagi buat anak-anak muda. Maka, banyak grup yang rontok tiba-tiba — termasuk grup di sekolah saya. Ada yang bertahan dengan tetap memakai bahasa Indonesia, misalnya Drama Gong Kacang Dawa di Klungkung. Sebagai pemikat, grup ini menyelipkan tiupan seruling, seperti banyak terlihat dalam film-film India. Bunyi seruling itu mengalun ditingkahi bunyi gong, merupakan eksperimen baru dilihat dari segi musiknya. Yang populer dari grup ini, lakon Sukrasena, seorang 126
manusia yang mengawini bidadari. Seruling itu berbunyi kalau sang tokoh memanggil bidadari. Musik seruling itu pun ditiru di banyak grup. Karena tak lagi punya keistimewaan, drama gong dari Kabupaten Klungkung ini ikut memakai bahasa Bali, tetapi kalah pamornya dari drama gong Gianyar yang begitu menguasai tata krama bahasa Bali. Masyarakat Gianyar sehari-harinya memang menggunakan bahasa Bali dalam berbagai tingkat ini, sehingga pemain drama gong dari sini tinggal mengangkat bahasa Bali keseharian itu ke pentas. Itu bedanya dengan drama gong di luar Gianyar, yang harus berkutat berbulanbulan mempelajari bahasa Bali dalam bentuk hormat. Di Kabupaten Buleleng, Jembrana, dan sebagian Tabanan, untuk menutupi kelemahan berbahasa Bali, grup drama gong melengkapi pentasnya dengan layar-layar bergambar, seperti pementasan ketoprak di Jawa. Bahkan tidak sekadar layar yang bisa digulung-diturunkan, tetapi juga berbagai kreasi, misalnya, hujan buatan, awan buatan, tetamanan dengan air mancur buatan, sampai dengan sungai yang berair deras yang dibuat dari berbagai layar tipis, benang, dan tata cahaya. Pemilihan umum pertama di masa Orde Baru, 1971, ternyata membawa pengaruh juga. Drama gong di beberapa tempat berantakan, karena wadah bernaung kesenian itu, LKN, rontok. Golkar masuk dengan cepat dan mendadak, membuat PNI bubar seketika, dibubarkan atau membubarkan diri. Kesenian yang sudah merakyat ini pun pingsan pula. Setelah situasi “normal”, ekses peng-Golkar-an rampung dan dilupakan masyarakat, pemerintah dengan aparat Listibiya (Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan) menyelenggarakan festival drama gong. Tidak antargrup, tetapi mewakili delapan kabupaten se-Bali. Bahkan juga difestivalkan drama gong anakanak — maksudnya pemainnya adalah anak-anak sekolah dasar. Dari sinilah lalu muncul grup drama gong dengan nama tertentu, tidak memakai nama desanya, karena memang para pemainnya tidak bergabung dalam satu desa. Grup bon ini tumbuh banyak di Bali bagian selatan, sementara di Bali utara grup bekas LKN 127
di beberapa tempat masih tetap bertahan, tinggal mencopot kata LKN-nya. Denpasar punya stasiun pemancar dan stasiun produksi televisi. Drama gong pun masuk ke kotak ajaib itu. Setiap Ahad malam, TVRI Denpasar menyiarkan acara drama gong. Ternyata, acara ini semacam publikasi terselubung untuk grup-grup yang muncul. Grup yang muncul itu memang lebih profesional, baik dari segi penguasaan pada drama-drama sebenarnya, akting, vokal, cara bercerita, maupun tata bahasanya. Maka, semakin rontoklah grup drama gong yang berada di desa-desa. Kini, menginjak 1986, grup drama gong sudah bisa dihitung dengan jari. Pemain-pemain yang baik pun tidak begitu banyak. Pementasan juga sangat jarang. Grup yang masih aktif, baik pentas maupun rekaman kaset, semuanya grup bon di Bali bagian selatan. Yakni, grup Dewan Kesenian Denpasar, Kerti Bhuwana, Duta Bon Bali, Bintang Bali Timur. Itu pun dengan pemain yang sering pindah-pindah. Misalnya, Dewa Ayu Rai, yang sekarang bermain di Drama Gong Kerti Bhuwana, suatu saat bisa saja bermain di Drama Gong Duta Bon Bali. Dewa Ayu Rai adalah pemain putri yang paling populer saat ini di Bali. Pemain putranya, I Wayan Lodra, dikenal sangat ahli berfilsafat dengap tutur bahasanya yang bagus. Memang, ia karyawan Kanwil Departemen Agama yang biasa mengadakan penyuluhan-penyuluhan di desa. Kepopuleran I Wayan Lodra periode 1980-an ini sama dengan populernya Anak Agung Raka Payadnya pada periode 1970-an. *** SEBAGAI salah satu bentuk teater rakyat, drama gong memang lebih bebas dibandingkan gambuh, arja, maupun topeng. Jumlah pemain tidak terbatas. Jumlah tabuh (jenis musik pengiringnya) tidak pula dibatasi, bahkan sangat dimungkinkan eksperimen baru. Namun, pola ceritanya hampir seragam. Dan selalu tentang 128
raja-raja, walau itu dibuat-buat. Tiru-meniru — dengan mengubah judul dan nama tokoh dalam cerita — selalu terjadi ketika wabah drama gong itu melanda. Abian Base punya cerita top berjudul Tapa Lara, seminggu kemudian muncul drama gong lain dengan judul Made Lara. Menyusul Sukra Tapa. Ceritanya itu-itu juga, tinggal dibolak-balik, atau dibongkar sana-sini. Selalu ada dua raja muda (pangeran), yang satu raja muda yang sopan jujur, bahasanya bagus, dan biasanya diambil dari pemain yang ganteng. Masyarakat menyebutnya pemain muda. Yang satu lagi, raja muda yang kasar, bicaranya ngawur, rakus, dan masyarakat Bali menyebutnya raja buduh — arti persisnya raja gila. Kedua raja ini diiringi panakawan yang sifat-sifatnya sama dengan raja mudanya. Lalu ada raja tua, raja yang masih memegang tampuk pemerintahan. Bisa ada dua, tiga, atau lebih. Raja ini pun punya pepatih. Di antara pepatihnya itu, ada dua “golongan”, yang bertabiat buruk — suka memfitnah dan menjilat untuk kepentingan jelek — ada pepatih yang setia. Dalam sidang kerajaan, dua pepatih ini berdebat, dan mengalirlah berbagai pelajaran keagamaan, filsafat, masalah kenegaraan menurut agama, dan bermacam-macam. Selain kelompok raja, ada kelompok masyarakat biasa. Dan selalu sepasang suami istri yang mandul, sehingga disebut Pan Bekung dan Men Bekung. Tokoh-tokoh ini menjadi semacam jembatan, di antara dua raja yang bertengkar. Ciri yang lain lagi adalah celuluk — sejenis rangda yang kepalanya botak-- topeng yang banyak dijual di toko-toko kesenian. Celuluk ini bisa simbol binatang buas, atau bisa pula naik tingkat menjadi “utusan Bethara” yang akan menghidupkan tokoh yang meninggal dunia. Teater rakyat Bali sangat menghindari cerita berakhir sedih. Karena itu, setelah kematian ada adegan menghidupkan kembali. Pokoknya, setiap pertengkaran, setiap pergulatan, pada akhirnya selalu yang menang pihak yang benar. Dan kalau yang benar ini pada pertengahan cerita meninggal dari tokoh jahat, Tuhan berbaik hati untuk menghidupkannya. Celuluk itu pun muncul di pentas. 129
Saya berkali-kali mengikuti grup drama gong di desa saya, memainkan lakon Jayaprana — lakon yang “angker” karena cerita ini benar-benar pernah terjadi. Kalau bermain di kota, atau pinggiran kota, cerita dibiarkan berakhir dengan kesedihan. Yaitu meninggalnya Jayaprana secara pasrah di Teluk Terima setelah dibunuh Pepatih Sawunggaling atas perintah Raja Kalianget. Ini memang adegan yang memilukan. Sawunggaling sebenarnya tak tega membunuh Jayaprana, karena bukan lawan, dan bukan orang jahat. Pepatih ini menusuk leher Jayaprana di pangkuannya dengan pelan, dengan linangan air mata. Jayaprana memang pasrah, karena ia sejak kecil diasuh di kerajaan, dibesarkan dan dididik di tembok puri. Kalau raja membesarkannya, dan kini atas perintah raja pula kematiannya datang, untuk apa harus dicegah? Justru Jayaprana bersyukur, hidupnya bisa diperpanjang oleh raja, karena dipungut dalam keadaan sekarat di masa keeil, ditinggal mati ayah ibunya. Adegan antara Sawunggaling dan Jayaprana yang penuh kesedihan ini bisa menguras air mata penonton. Apalagi adegan itu berlanjut terus dengan sedih, bagaimana Layonsari mencari tahu, kenapa suaminya belum pulang dari Teluk Terima. Bagaimana Sawunggaling tak tega menceritakan kematian itu kepada Layonsari. Dan akhirnya Layonsari bunuh diri, setelah tahu, kematian Jayaprana atas kehendak raja dengan maksud raja menikahi Layonsari. Cerita berakhir. Bagi penduduk pedesaan, cerita model begini tidak bisa diterima. Itu sebabnya, setiap cerita di luar Jayaprana — walaupun polanya meniru Jayaprana — tak akan berakhir dengan tragedi seperti itu. Maka, pada suatu pentas, atas permintaan penanggap yang ingin cerita Jayaprana tetapi tak ingin cerita berakhir sedih, saya memelencengkan cerita di bagian akhir. Setelah Layonsari bunuh diri, Raja Kalianget mengamuk. Rakyat ramai-ramai menyerang kerajaan dan memaki-maki raja yang sudah tewas. Dengan banyolan itu — yang dalam kisah sebenarnya tak pernah ada — penonton melupakan kesedihannya. Atau suatu kali ada teknik baru. Begitu selesai Layonsari bunuh 130
diri, layar tipis bergambar awan diturunkan. Tata cahaya lampu diatur. Jayaprana keluar dari “awan” mendatangi mayat Layonsari, dibawanya naik ke awan. Lalu, layar awan digulung naik, diganti layar tetamanan. Jayaprana dan Layonsari muncul lagi, kali ini menari gembira dengan gamelan riang dan dialog-dialog yang menandakan kebahagiaan, bahwa mereka toh berkumpul di surga. Penonton puas dan bergembira. *** INILAH cerita Ni Luh Sukerti, yang kasetnya direkam atas nama Drama Gong Bintang Bali Timur, produksi Aneka Stereo Record. Cerita ini tamat dalam empat kaset dan menurut produser, sudah dicetak lebih dari 200.000 kaset. Raja Kauripan punya dua putra. Yang pertama bernama Angga Pati, adiknya bernama Jaya Semara. Angga Pati, yang digambarkan sebagai anak yang bodoh, gemar berjudi, agak sinting, sudah mengambil istri, yakni Putri Pejarakan — anak Raja Pajarakan. Jaya Semara masih membujang. Dalam suatu sidang kerajaan, Raja mengutarakan maksudnya untuk menyerahkan tahtanya ke Angga Pati, karena sesuai dengan tradisi sebagai putra tertua. Tetapi Angga Pati menolak. Alasannya ngawur saja, tidak suka menjadi raja. Dibujuk-bujuk oleh adiknya, dengan alasan akan dibantu memimpin kerajaan, Angga tetap tidak bersedia. Malah dia menawarkan tahta itu kepada adiknya. Pembicaraan belum selesai, karena ayam yang dibawa panakawan Angga Pati lari. Pangeran sinting ini ikut mengejar ayam itu, dan tak muncul-muncul lagi. Sepeninggal Angga Pati, Raja bingung mengambil keputusan. Patih Anom, yang dimintai pendapatnya, memberikan usul agar Jaya Semara saja dikukuhkan sebagai raja. Setelah cukup mengadu argumentasi, Jaya Semara menyanggupi, dengan catatan ia diperkenankan menumut ilmu ke tengah hutan kepada seorang resi. Keputusan ini di pihak lain menjadi bibit pertentangan antara 131
Patih Anom dan Patih Agung — yang tak setuju Jaya Semara menjadi raja. Sementara itu, Putri Pejarakan juga kesal, karena suaminya belum bisa menjadi raja. Padahal, sebelum ia dibawa ke Kauripan, ia sudah mengajukan syarat, bersedia diajak kawin asal nantinya menjadi permaisuri. Pada saat ia mengumbar kekesalan itu, Jaya Semara datang mengabarkan tentang Angga Pati yang menolak menjadi raja. Jaya Semara pun mengabarkan, dirinya akan segera menuntut ilmu, karena dipersiapkan menjadi raja. Putri Pejarakan terpukul, walau itu disimpannya dalam-dalam. Ketika Jaya pergi, muncul Angga, katanya baru pulang dari tempat sabungan ayam. Langsung saja pangeran ini disemprot habis-habisan oleh istrinya. Sekali lagi istrinya meminta agar Angga tetap menjadi raja. Tersebutlah kisah lain, di tengah hutan. Ada seorang resi atau dukuh yang bijak. Ia punya dua anak: Ni Luh Sukerti dan Luh Mongkeg. Keduanya juga punya perangai yang berbeda. Sukerti halus, tutur bahasanya baik; sementara Mongkeg suka ceplas-ceplos, urakan, dan sering mengumpat-umpat. Di tempat inilah Jaya Semara belajar. Bukan saja ilmu yang diperolehnya, tetapi juga ia mengikat tali cinta dengan Sukerti. Dan akhirnya, lewat berbagai teknik dan taktik, Jaya Semara berhasil mengawini Sukerti dan diboyongnya ke Puri Kauripan. Sementara itu, di Kauripan, pada saat Angga Pati meminta uang kepada ayahnya untuk bekal berjudi, Jaya Semara muncul dan langsung memperkenalkan Sukerti. Ketika Raja bertanya, apakah ilmu yang didapat Jaya Semara cukup, pangeran ini menjawabnya, belum. Untuk itu, besok pagi, ia akan pergi ke tempat resi yang lain untuk melengkapi ilmunya. Sepeninggal Jaya, Angga pun terpikat pada Sukerti. Angga berusaha membujuk dan memaksa Sukerti meladeni nafsu jahatnya. Pada saat tarik-tarikan ini, Putri Pejarakan datang. Tentu sang putri marah dan langsung mengusut siapa yang membuat onar lebih dulu. Putri semakin dendam pada Sukerti. Di bagian lain, di tengah perjalanan, Jaya Semara diingatkan 132
oleh panakawannya karena tak membawa keris pusaka. Ia balik pulang dan sebelum sampai di puri berjumpa dengan Putri Pejarakan. Sang putri langsung mengatakan, memang ada niat menyusul Jaya. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya, yakni niat jahat Sukerti yang menggoda suaminya. Singkat kata Sukerti difitnah. Jaya pun marah luar biasa. Akhirnya Jaya menyiksa istrinya, rnengumpat dengan kata-kata yang kasar. Sukerti diusir. Sukerti yang malang itu pulang ke tempat ayahnya. Semula ayahnya marah, tetapi ketika Sukerti menjelaskan ia kena fitnah, dan dilakukan oleh Putri Pejarakan, sang resi diam terpaku. Rupanya, ada suatu misteri. Dan benar, beberapa saat, resi itu sungkem dan menyembah Sukerti. Ia menjelaskan, Sukerti dipungut sejak keeil, tak lain dari Putri Daha — anak Kerajaan Daha. Negeri ini hancur karena suatu pertempuran licik. Yang menghancurkan Kerajaan Pejarakan. Sukerti pun lantas bangkit dan menantang Putri Pejarakan, suatu saat nanti. Kembali kisah ke Istana Kauripan. Putri Pejarakan memanggil Patih Agung untuk menyusun siasat, bagaimana caranya membunuh Raja. Targetnya, setelah mertuanya terbunuh, lalu disusul membunuh suaminya. Patih Agung meminta agar mencuri keris Angga Pati. Keris itulah yang nantinya akan dipakai Patih Agung membunuh Raja. Rencana buruk itu berjalan lancar. Raja mati di kamar tidurnya, sesuai dengan skenario Patih Agung. Rakyat pun gempar. Ketika dilacak, ditemukanlah keris Angga Pati. Tuduhan langsung kepada pangeran yang agak sinting ini. Pada saat diusut, Angga Pati tak mengakui telah berbuat jahat seperti dituduhkannya. Tetapi karena banyak suara yang menuduh dirinya dan dengan alasan ketenteraman, Angga bersedia dibunuh. Jaya Semara langsung mencabut kerisnya, dan berkata kepada rakyat: hukum tak pandang bulu, siapa pun yang bersalah harus dibunuh, tak terkecuali saudara sendiri. Pada saat ia menusuk kakaknya, Patih Anom menghalangi. Patih ini berjanji akan mencari si pembunuh dalam waktu tiga hari. Jaya akhirnya setuju. Patih Anom melihat gerak-gerik Patih Agung mencurigakan. 133
Tetapi yang ia usut adalah panakawan Angga Pati, orang yang dibawa dari Pejarakan. Panakawan ini mengaku, melihat Patih Agung membawa keris menuju kamar Raja. Maka, Patih Agung dikejar, dan Putri Pejarakan pun diusir oleh suaminya sendiri. Angga Pati juga berjanji untuk mengubah tabiatnya, sementara Jaya Semara menyesal telah mengusir Luh Sukerti. Ia berjanji mencari Sukerti dan meminta maaf. Kaset berakhir. *** CERITA drama gong memang sederhana. Selalu hitam dan putih. Tetapi setelah dipergelarkan secara khusus dengan penonton terbatas untuk kepentingan rekaman, pemain drama gong ini bisa menyuguhkan cerita dalam masa putar lebih dari empat jam. Banyak sekali variasi. Bisa diurut dari awal. Satu pangeran didampingi dua panakawan, berarti ada empat panakawan. Bayangkanlah berapa waktu tersita untuk banyolan para panakawan ini, apalagi kalau sedang menggoda seorang dayang — emban Putri Pejarakan. Kemudian pertengkaran Angga Pati dengan istrinya mengalir berbagai ajaran, bagaimana seharusnya menjadi raja dan meninggalkan mental penjudi. Di tengah hutan, pun diselipkan pertengkaran Sukerti dengan Mongkeg, dan di sini berhamburan pula sopan santun, bagaimana menghormati orangtua. Lalu gaya bercinta Jaya Semara dengan Sukerti, yang sudah memakai rayuan gaya modern, seperti pada film-film Indonesia. Terselip pula masalah kasta, karena Sukerti mempersoalkan hal itu, sebagai “orang kebanyakan” yang akan dikawini orang ningrat. Jaya Semara, dengan segala keahliannya, membentangkan bagaimana soal kasta itu sudah kuno, apalagi dikaitkan dengan perkawinan. Pada saat bercinta secara gombal, lalu berfilsafat dan sebagainya, tak terasa hari menjadi malam. Nah, kepergok Mongkeg, lalu dilaporkan kepada ayahnya. Maka, khotbah pun meluncur, bagaimana seharusnya hubungan lelaki dan 134
perempuan sebelum perkawinan. Perpisahan Sukerti dengan ayahnya pun penuh dengan nasihat, tentu dari sang ayah. Begitu pula perpisahan Sukerti ketika ditinggal Jaya Semara di puri, banyak nasihat meluncur. Yang paling berpanjang-panjang, tetapi mengasyikkan didengar, cara Jaya Semara mencaci-maki Sukerti, setelah adanya fitnah itu. Diperbandingkan penderitaan Sukerti di hutan dan gemerlapan istana. Kesedihan Sukerti berjalan pulang ke hutan juga panjang, dan di sini musik berkesempatan memamerkan lagu-lagu duka. Sebagai puncak tentu saja cara Patih Anom mengusut panakawan, dan sebelum itu ada kisah kebimbangan Jaya Semara untuk membunuh kakaknya. Pemain drama ini boleh disebut kalangan “intelektual”. Orang seperti I Wayan Lodra (yang menjadi Jaya Semara), I Gde Yudana (Angga Pati), Dewa Ayu Putu Rai (Sukerti), Anak Agung Rai Kalam (Patih Anom), sehari-harinya memang sudah terlibat dalam berbagai masalah keagamaan. Kalau lakon Luh Sukerti itu dipentaskan tanpa maksud direkam, tentu cerita tak berakhir di situ. Kisah akan dilanjutkan, sampai Sukerti kembali ke Puri Kauripan dan perkawinan dilangsungkan besar-besaran. Dan rakyat berperang melawan Putri Pejarakan — yang tentu saja dilukiskan bisa menjadi leak. Boleh jadi pula, untuk mengulur-ulur waktu — pementasan drama gong di pedesaan berakhir sampai pagi — beberapa sisipan adegan dilakukan. Misalnya, adegan Angga Pati ke tempat sabungan ayam, dan sabungan ayam itu sendiri. Adegan ini untuk memperjelas betapa jeleknya tabiat pangeran ini, selain untuk bahan lelucon. Juga adegan Sukerti menangis ke tengah hutan akan lebih berpanjang-panjang dalam pementasan biasa. Muncul burung-burung, binatang-binatang — dan apa saja yang ada topengnya — membantu Sukerti berjalan, mencarikan makanan. Pokoknya, seisi hutan solider dalam tangis. Penonton biasanya ikut larut dalam tangis. Dewa Ayu Putri Rai, gadis berlesung pipit yang sehari-hari karyawan sipil di Polda Nusa Tenggara di Denpasar, kini tak lagi 135
dipanggil Rai, atau Ayu Rai, atau Putu Rai. Nama pemberian orangtuanya itu seperti tak laku lagi untuk panggilan. Ia kini dipanggil Sukerti. Bahkan ia sendiri sampai mengaku sering lupa, punya nama yang panjang. I Wayan Lodra, ketika mengadakan penyuluhan agama di desadesa, sering dipanggil Pak Jaya Semara. Begitu pula I Gde Yudana, sehari-hari adalah letnan polisi, sudah terbiasa — dan tidak marah — kalau teman-temannya memanggil Raja Buduh. Kenyataan ini menunjukkan perkembangan baru, drama gong sudah mulai mengenal sistem bintang. Masyarakat di pedesaan juga mulai menokohkan para pemain teater rakyat itu sejajar dengan bintang-bintang film yang mereka kenal baik. Dulu masyarakat tak peduli dengan “bintang-bintang” itu. Mereka hanya mengenal, drama gong ini baik, yang ini jelek. Mungkin, karena begitu banyaknya drama gong, masyarakat penonton tidak sempat menokohkan para bintang. Akibat sistem bintang ini, pemain-pemain top yang merasa dirinya jadi bintang suka mengembara dari satu grup ke grup yang lain. Dewa Ayu Rai, misalnya, pernah bermain di grup Bintang Bali Timur, lalu ke grup Kerti Bhuwana, kemudian di grup Dewan Kesenian Denpasar. I Wayan Lodra bahkan lebih leluasa, selain di tiga grup di atas, ia juga sering nampang di grup Bhara Budaya — grup drama gong yang di bawah pembinaan Polda Nusa Tenggara. Sudah tentu pasangan-pasangan dalam permainan tidak tetap. I Wayan Lodra sebagai raja muda kadang berpasangan dengan Komang Anggreni yang bermain sebagai putri (peran utama wanita). Dewa Ayu Rai sekali waktu berpasangan dengan Supadma yang bermain sebagai raja muda (peran utama pria). Jadi, sudah mirip pembuatan film. Ada yang diuntungkan dengan sistem ini. Tentu saja pemain top itu. Ia bisa mengajukan harga tinggi untuk sebuah pementasan. Dewa Ayu Rai dibayar Rp 30.000 sampai Rp 50.000 untuk setiap pementasan. Dibandingkan dengan artis nasional — katakanlah penyanyi atau bintang film — tentu angka itu tak seberapa. Tetapi sebagai ukuran pendapatan seorang seniman di Bali, harga untuk 136
Dewa Ayu Rai sudah kelewat tinggi. Bandingkanlah dengan pemain pembantu yang hanya dibayar Rp 5.000. Atau para penabuh yang hanya dibayar Rp 50.000 untuk satu grup yang beranggotakan sekitar 20 orang. Ini berarti para seniman di Bali — walaupun baru terbatas pada pemain top drama gong — sudah menghargai keahliannya dengan uang. Suatu hal yang dulunya tak begitu dipikirkan para seniman tradisional. Karena itu, pertunjukan drama gong sekarang ini sudah menjadi mahal. Hampir mencapai jumlah Rp 500.000 untuk sekali pentas. Panitia amal di desa-desa berpikir banyak kali untuk memutuskan apakah memilih drama gong atau yang lainnya, untuk menarik dana dari masyarakat. Jika mereka memilih drama gong, mereka harus merebut pemain top, kalau bisa pasangan yang populer dalam lakon Sukerti itu — walau ceritanya boleh diganti. Juga harus diperhitungkan, apakah hari cerah atau hujan. Dan pilihan yang risikonya kecil sudah tersedia. Mendatangkan layar tancep alias film keliling. Dengan modal Rp 150.000 sampai Rp 200.000 sudah bisa mendatangkan dua film cerita, yang diputar berurutan. Dengan modal yang jauh lebih kecil, penonton yang digaet sama banyak, sehingga keuntungan lebih besar. Soalnya harga karcis masuk untuk pentas drama gong itu ditarik sama besar untuk dua film cerita itu. Pilihan ini yang banyak terjadi sekarang. Apakah drama gong menjadi kian mati? Tidak. Karena grup yang ada sekarang itu — jumlahnya di bawah sepuluh tetapi kian profesional — masih tetap melayani pementasan-pementasan. Pada akhirnya, memang, kalau jumlah yang kecil itu melayani seluruh luas Pulau Bali, terasa sekali ketidak-beradaannya. Bukti lain, masyarakat tetap berbondong-bondong menatap televisi setiap Ahad malam, ketika TVRI Stasiun Denpasar memancarkan siaran drama gong. Julukan yang paling tepat, barangkali seperti apa yang dikatakan Gde Dharna, seniman drama — baik drama gong maupun drama modern — yang mengatakan drama gong sekarang sedang pingsan. “Kesenian ini musiman. Nanti pasti tumbuh lagi,” katanya. 137
Pingsannya drama gong itu, karena faktor dari dalam, juga karena faktor luar: terdesak film-film yang masuk desa. Mudahmudahan betul hanya pingsan.
138
IX Pasang Surut Sastra Bali Moderen & Tradisi
Made Taro di Sasih Karo Sasih karo ring Bali sediain saput alembar suryane ngedengang raga, nanging kenyem ipun dingin katiba ring kopine acangkir Angin daret tur angin pesisi mayus ipun ngupinin taru-taruan rauh ring puncak meru nenten wenten kidung rahina mangkin mawinan nenten rahinan katur ring suryan jagat, angin tur garba Sasih karo ring Bali ambil saput alembar 139
kurung ragane serahina ngiring mapaos raga-raga sareng kopi acangkir
T
EMAN saya agak heran ketika menemukan sajak berbahasa Bali di atas, di antara tumpukan buku tentang kesusastraan Indonesia. Ia menyebutkan, belum pernah mendengar ada sajak berbahasa Bali. Dan lebih luas, ia belum pernah mendengar kesusastraan Bali modern ada di tengah-tengah kesusastraan Indonesia. “Bisa diterjemahkan?” pintanya. Sajak karya Made Taro di atas yang berjudul Sasih Karo Ring Bali saya terjemahkan untuk menghormati seorang kawan yang tampaknya begitu berminat. Sasih Karo di Bali Sasih karo di Bali sedialah selembar selimut matahari menampakkan diri, tapi senyumnya dingin pada secangkir kopi Angin darat dan angin laut kemalasannya menerpa pepohonan sampai ke puncak-puncak meru tiada yang didendangkan hari ini karena tiada hari raya bagi matahari, angin dan hati nurani Sasih karo di Bali ambillah selembar selimut dan bungkuslah diri sehari-hari mari berdialog sendiri bersama secangkir kopi Sajak ini ditulis Made Taro pada 1976 dan sudah dimuat dalam 140
kumpulan puisi Galang Kangin yang diterbitkan Yayasan Saba Sastra Bali Denpasar. Ia melukiskan suasana Bali pada Sasih Karo (bulan kedua tahun Saka, atau sekitar bulan Agustus) yang memang udaranya agak dingin. “Apakah puisi jenis ini masih banyak di Bali? Apakah penyair sastra Bali ini cukup banyak jumlahnya?” Pertanyaan teman saya yang agak kekanak-kanakan ini hampir saja membuat saya terpingkal-pingkal. Tentu saja banyak. Di Jakarta, saya masih memiliki beberapa koleksi, antara lain, kumpulan puisi Ganda Sari (1973) dan Joged Bungbung (1975). Ada lagi, Kembang Rampe Kasusastraan Bali Anyar (1978), yang diterbitkan Balai Penelitian Bahasa Singaraja yang memuat bunga rampai kesusastraan Bali modern dalam bentuk prosa dan puisi. Buku-buku ini memang tipis, dicetak sederhana, dan karena itu terselip di antara buku-buku lain. Memang sebuah buku yang sama sekali tidak menarik perhatian. Saya berjanji kepada teman saya, dalam perjalanan pulang ke Bali ini akan mengumpulkan buku mengenai sastra Bali yang lebih banyak. Ketika saya meninggalkan Bali, pemerintah daerah Bali tampaknya berminat sekali mengembangkan sastra ini. Harian Bali Post, pada edisi Minggunya, sering memuat puisi Bali modern — begitu istilahnya untuk sajak sejenis karya Made Taro ini. Sayembara pun sering diadakan oleh pemerintah. Saya pikir, sastra Bali modern masih menggairahkan. ***. TERNYATA, saya meleset. Kehidupan sastra Bali modern boleh disebut pingsan di awal 1986. Dari pembicaraan dengan beberapa teman, saya mendapatkan kabar lebih buruk, sastra Bali modern itu sudah lama pingsan, memasuki tahun 1980-an. Harian Bali Post tidak lagi memajang sajak-sajak berbahasa Bali. Penerbitan yang dikelola Yayasan Saba Sastra Bali — betapapun sederhana dan tidak menarik-nya — juga macet. Pemerintah daerah pun, entah pertimbangan apa, tak lagi gencar mengadakan 141
sayembara-sayembara. Dari para penyair timbul keluhan, tidak ada media yang menampung karya-karya mereka. “Penulis akan menulis kalau ada yang mau membacanya. Buat apa membikin puisi atau cerpen kalau orang lain tidak membacanya?” ini kata Made Taro, penyair dan guru SMA di Denpasar yang dulu mengasuh ruang sastra Bali di harian Bali Post itu. Dari kalangan penerbit muncul pula keluhan, pembaca sastra Bali jenis ini tidak banyak sehingga sama sekali tidak laku. Adalah pertimbangan bisnis kalau media yang dulu memuat sastra Bali sekarang mulai menghentikan rubrik itu. Tentang ini, yakni berkurangnya peminat sastra Bali modern, agaknya perlu sebuah penelitian untuk membuktikan kebenarannya. Meskipun, memang, sastra jenis ini adalah konsumsi kalangan pelajar, mahasiswa, dan orang-orang kota. Sastra Bali modern, kehidupannya memang sejak dulu tertinggal dibandingkan sastra Jawa atau sastra Sunda, misalnya. Sebelum kemerdekaan, pada masa Balai Pustaka, begitu banyaknya roman berbahasa Jawa terbit, Bali hanya diwakili 2 buah saja. Nemu Karma karya Wayan Gobiah diterbitkan Balai Pustaka 1931. Kemudian menyusul Melancaran ke Sasak karya Gde Srawana yang dimuat bersambung di majalah Jatayu, yang terbit di Bali saat itu. Kedua roman (novel) ini menjadi tonggak kehidupan sastra Bali modern. Sayangnya, tonggak itu tidak bertunas, tidak bercabang lagi, dalam jenisnya. Sampai saat ini (1986) tetap tidak ditemukan bentuk roman (novel) berbahasa Bali. Sastrawan Bali rupanya kehabisan napas untuk menuangkan cerita yang panjang. Dua puluh delapan tahun kemudian, yakni 1959, baru ditemukan sajak bebas (puisi) berbahasa Bali. Judulnya, Basa Bali, karya Suntari Pr yang dimuat dalam majalah Medan Bahasa pada rubrik Bahasa Bali. Majalah ini terbit di Yogyakarta. Puisi ini pula merupakan puisi pertama berbahasa Bali — walaupun tidak diketahui apakah pengarangnya orang Bali yang memakai nama samaran atau benar-benar orang luar Bali, melihat dari namanya. Puisi itu lengkapnya begini: 142
Basa Bali Tan uning titiang ring karananipun Sukseman titiange kadi kategul antuk benang sutra Ngeranjing manyusup tulang ngantos kasumsum Sane dados bagian awak titiange Sareng maurip saking ayunan ngantos kelih Seduke ngipi memanah tur ngamedalang rasa Ring sajroning basa ibu Manah titiange sampun kelih antuk cayane Maborbor sukseman titiange antuk cayane Titiang manggihin pribadin titiange Titiang magubugan ring masarakat Terus masemetonan sareng sawitra Baktin titiang ring rerama nenten ja kirang Kasih kinasihan sareng alit-alite Sane encen kirang terang kapikayun Titiang nyelipang raos anyar Anggen titiang payas sane cocok ring kala punika Kapanggih rupanipun ngenyagang manah Puisi berbahasa Bali yang menggugah orang untuk menulis memakai bahasa ibu karya Suntari Pr itu, tetap saja tidak menggerakkan sastrawan Bali memakai bahasa ibunya. Kekosongan tetap terjadi. Bisa jadi, dalam masa-masa itu puisi berbahasa Indonesia pun tidak banyak punya “pengikut” di Bali. Kalau bentuk puisi berbahasa Indonesia saja tak punya peminat, apalagi memindahkan bahasa Bali ke bentuk itu. Tiba-tiba saja, I Ketut Suwija, pada 16 Juni 1968, lewat harian Angkatan Bersenjata edisi Nusa Tenggara yang terbit di Denpasar memasang karyanya, sebuah sajak berjudul Angin. Ini adalah terjemahan bebas dari karya Boris Pasternak dalam bukunya yang tersohor, Doctor Zhivago. Sajak yang aslinya berjudul Wind 143
merupakan bagian dari The Poems of Yum Zhivago. Dalam buku Dokter Zhivago terjemahan Trisno Sumardjo terbitan PT Pustaka Jaya, puisi-puisi ini tidak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Sajak itu aslinya begini: Wind I have died, but you are still among the living And the wind, keening and complaining Makes the country house and the forest rock Not each pine by it self But all the trees as one Together with the illinestable distance It makes them rock as the hulls of sailboats Rock on the mirrorous waters of a boat basin And this the wind does not out of bravado Or in a senseless rage But so that in its desolation It may find words to fashion a lullaby for you.
ini:
I Ketut Suwija menerjemahkan ke bahasa Bali seperti di bawah Angin Ragane lampus, nanging jerone sinarengan ngemong jiwita Miwah angin, ngrubeda masesambatan Ngardiang alase miwah pondok-pondok panegarane magejeran Nenten saking wit camara masiok pragayan Sami ipun tarune dados mingsiki Santukan taler i kapal tan mari mogahan Mombakan ring sagara masuluh danu genah melayar Tan sangkaning angine kaon Geleng ring kamurkan kandugi tanwenten pisaratang
144
Pikenoh ipun ring jalaran pangrusake Mangda manggihin gita pangiket Anggen pralambang katur ring jerone. Karya inilah yang menggetarkan para tokoh bahasa. Terutama disebabkan oleh mampunya bahasa Bali berbicara secara terhormat, menerjemahkan bahasa asing, Inggris. Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja lantas merangsang sastrawan Bali berkarya. Lembaga ini mengadakan sayembara, tahun itu juga, dengan maksud agar Angin tak berhenti bertiup. Agar Angin yang didatangkan I Ketut Suwija terus berembus. Dalam sayembara ini, selain dilombakan puisi berbahasa Bali, juga drama dan cerita pendek berbahasa Bali. Angin baru bertiup. Tak disebutkan berapa banyak peserta sayembara. LBN I Singaraja hanya menyebutkan, “pesertanya banyak”. Pemenangnya juara I, Ngurah Yupa dengan sajaknya Bali. Pemenang II, Ida Bagus Arthanegara dengan sajaknya Geguritan Pianak Bendega, pemenang III, Wayan Rugeg Nataran dengan sajaknya Pura Agung Jagatnatha, dan pemenang harapan, Ketut Putru dengan sajaknya Galang Bulan. Karya Ngurah Yupa betul-betul dipuji para juri. Selain bentuknya, juga isinya yang mengisahkan cinta kasih seseorang pada Bali, pada alamnya, pada masyarakatnya, pada kebudayaannya. Lihatlah: Bali Tabuh, solah lan wirama deriki masikian idup kaidupang antuk dasar manah suci suara bajra ida pedanda melarapan weda-weda juru kidung matimpuh ngidungang wargasari sekadi maayunan ring muncuk-muncuk penjore megejeran ring oncer canang sari luhur masucian tur dahating ngulangunin sajroning manah 145
(Buin pidan tiang liang apang liang dini di tengah-tengah oleg tamulilingan) Ngiring mangkin sikiang ragane nyegjegang warisan leluhur sami mabalik sumpah ring manah soang-soang anggen sanjata dahating sakti pacang warisin oka putune ungkuran (Buin pidan tiang sebet apang sebet dini katembangan pupuh semarandana) Wentenke becikan ring hidup pasuka-dukan salunglung sabiantaka ngulangunin suara suling pangangon bajang-bajang nembang ngalih saang semar pagulingan di jaba pura wentenke? (Buin pidan tiang mati apang mati dini keanterang kakawin prihantemen) Boleh jadi, puisi ini tidak begitu bergetar kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Karena “rasa” atau mungkin “roh” bahasa Ball sulit diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Kenikmatan setiap bahasa tentu berbeda-beda. Coba lihat, terjemahan puisi Bali itu yang dikerjakan oleh Made Taro — seorang guru yang juga banyak menulis cerita untuk anak-anak, berbahasa Indonesia. Bali Tabuh, tari dan lagu di sini berpadu saling menghidupkan dari hati yang suci 146
suara genta pendeta beriring mantra-mantra orang-orang bersimpuh menyanyikan wargasari seakan berayun-ayun di puncak penjor menggetarkan canang sari begitu suci dan mempesona sampai ke hati (bila saatnya aku bersuka-ria biar bersuka di sini di tengah tari tamulilingan) Satukanlah dirimu kini tegakkan warisan leluhur bersumpahlah di hati masing-masing untuk senjata yang ampuh diwariskan anak-cucu kemudian hari (bila saatnya aku berduka biar berduka di sini diiringi lagu semarandana) Adakah yang lebih baik dari hidup bersuka-duka senasib sepenanggungan menikmati seruling gembala dan tembang gadis-gadis mencari kayu api dan suara semar pegulingan di halaman pura adakah? (bila saatnya aku mati biar mati di sini diantar kekawin prihantemen). Sajak ini juga berhasil karena lambang-lambang yang dipakainya tepat. Tari Tamulilingan, suatu tari riang yang melambangkan muda-mudi sedang bercinta, bermesraan. Semarandana, suatu kidung sedih yang sering sekali dialunkan kalau seseorang mengalami hati yang pilu. Semarandana ini termasuk salah satu dari sekar alit 147
(macapat di Jawa), lainnya adalah Sinom, Pucung, Dangdang Gula, Ginada, dan banyak lagi. Adapun prihantemen ini nama dari satu jenis kekawin berbahasa Kawi, lagu duka yang dinyanyikan untuk mengiringi jenazah. Tahun 1969, kembali LBN I Singaraja mengadakan sayembara serupa. Puisi yang masuk: 14 karya asli dan satu karya terjemahan. Juri menetapkan pemenang pertama sebuah puisi yang diakui sangat sulit untuk dimengerti, karya Putu Sedana, berjudul Mati Nguda. Puisi ini tidak konsisten dalam menggunakan sor-singgih (bentuk hormat dan jenjang-jenjang) bahasa Bali. Ia mencampuradukkan bahasa kasar, menengah, dan bahasa Bali halus. Kalau tiga puisi tadi, Sasih Karo ring Bali, Basa Bali, dan Bali, semuanya menggunakan bahasa tingkat menengah, Matli Nguda sangat menyepelekan tingkat-tingkat bahasa itu. Coba diperhatikan: mati nguda madiane magantung sanjata lanang sirahne matekes bendera gelah barak-barak lembene maulas kenyung putih-putih karsane tulus mulus legal pangkung katerabak tan sawetara matatah mirah parangan ngarorok duin urip mirib mapinunas jelap lekad apang maan buka keto sambilanga sing nawang nyen nunden miwah ngajinin ingat sukune pancer gumi sukane aketi mabakti ken pertiwi takut surane sing katimpalan masuriak nyerit belanda musuh kai suara barak suria barak laksana barak anggane tidong gelah 148
kentelan serbuk tanah idupe tungkulang suling tawah atmane sing dadi puun ngawewehin surane tandi cadik musuhe katon kalepon lantas marumbag pagelaran yuda masuriak nyerit belanda musuh kai kanti nepukin unduk buka jam madiane magantung sanjata lanang sirahne matakes bendera gelah marengin kenyitan apine kuning bering nyohsoh maserah angga marep pretiwi magrebiug tangkahe belong barak-barak lambene maulas kenyung putih-putih karsane tulus mulus ambune sumirit ngebekin jagat Sajak ini bercerita tentang kepahlawanan seorang pejuang yang mati muda dalam pertempuran melawan Belanda. Tidak bisa ditangkap apakah mati muda itu tatkala masih anak-anak, atau remaja, atau yang dimaksud, mati sebelum pertempuran yang sengit — muda dalam pengertian usia peperangan. Lain halnya kalau, misalnya, ditulis mati truna artinya mati saat remaja. (Sajak ini sulit saya terjemahkan ke bahasa Indonesia karena takut menyimpang artinya). Munculnya sajak ini sebagai pemenang, ternyata, membuat puisi Bali modern ikut-ikutan “mati muda”. Tak ada kegairahan mengarang sajak berbahasa Bali yang rumit-rumit — orang selalu mencontoh sajak pemenang sebagai panutan karya berikutnya. Koran-koran yang terbit di Denpasar mulai kekurangan naskah sajak berbahasa Bali. Yang banyak justru lagu pop berbahasa Bali. 149
Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibya) Bali pada 1972 menyelenggarakan sayembara mengarang puisi berbahasa Bali bersamaan dengan sayembara mengarang sekar alit dan kekawin — yang ini memakai bahasa Kawi. Dua yang terakhir ini bentuknya juga seperti puisi, cuma ia punya aturan jumlah kata setiap baris, bunyi tertentu pada akhir baris dan jumlah baris dalam satu bait. Keduanya memang didendangkan sesuai dengan pupuhpupuh-nya. Misalnya pupuh Sinom aturannya lain dengan pupuh Pangkur atau pupuh Mas Kumambang, dan sebagainya. Yang menarik dari hasil sayembara ini, juri memilih sajak berjudul Suara Saking Setra, karya I Made Sanggra, sebagai pemenang pertama. Puisi berbahasa Bali ini dipengaruhi oleh puisi mbeling (dalam bahasa Indonesia) yang saat itu lagi populer di media massa terbitan Jakarta. Coba saja tengok bentuknya: Suara saking Setra haaaa ... ha .. . ha, ha ... hi . .. hi... hi, hi. . . suwud ja, suwud. . . ! entegang bayune! . . . ah, suwud . . . mapelalian aji api tondenke merasa limane puwun? ingsun tan purna tan lila yen gegumuk ingsun kasambehin kembang ura ngatahun … nanging lali ring sasana tiwal ring swadharma haaaa .. . ha. . . ha, ha . . . 150
hii ... hi. .. hi, hi. . . suwud ja, suwud. . . ! patutang rawose! . . . ah suwud mageburan marep ring anak malalung tonden ke merasa ragane lepeg belus? indayang tingalin tangkahe tolih tundune kengken. . . ? nah ne jani dabdabang tindakane sadereng gonge macegur haaaa.. . . ha .. . ha, ha . . . hiiii ... hi. . . hi, ... suwud ja, suwud. . . ! tunggalang idepe! Terjemahannya: Suara dari Kuburan haaaa ... ha . . . ha, ha. . . hiiii... hi. . . hi, hi... hentikanlah, hentikan! tenangkan jiwamu! . . . ah, berhentilah bermain dengan api belum juga terasa tanganmu terbakar? belum puas aku belum puas bila nisanku ditaburi kembang ura tiap tahun 151
tiap lupa kewajiban lalai swadharma haaaa.... ha. . . ha, ha.. . hiiii... hi. . . hi, hi. . . hentikanlah, hentikan . . . ! bicaralah yang benar! . , . ah, berhentilah berhamburan menghadap orang yang telanjang belumkah merasa diri basah kuyup? coba lihat dadamu lihat punggungmu bagaimana . . . ? nah sekaranglah atur langkahmu sebelum gong dipukul haaaa . . . ha . . . ha, ha . . . hiiii... hi ... hi. ; ... hentikanlah, hentikan . . . ! satukanlah hatimu! Sajak mbeling berbahasa Bali ini merangsang kembali lahirnya puisi-puisi Bali modern. Beberapa seniman kembali aktif menulis. Made Taro, misalnya, yang menangani langsung harian Bali Post edisi Minggu di rubrik sastra Bali modern, kewalahan menampung sajak-sajak yang masuk. Pengarang-pengarang yang aktif, antara lain, Made Dharna, Wayan Jendra, Raka Teja, Nyoman Manda, Yudha Paniek (nama aslinya I Gusti Ngurah Yudha), Uttara Wungsu (nama aslinya I Gusti Ketut Kaler), Made Rena, Rugeg Nataran. Menyusul generasi mudanya, pengarang yang banyak memanfaatkan sayembara-sayembara itu, seperti Made Suarsa, Agastia, Ngurah Parsua, Nyoman Nada Sariada, Arthanegara, Nyoman Tusthi Eddy. Empat yang terakhir ini juga aktif di sastra Indonesia. Masih banyak yang lain. Menggairahkan sekali kehidupan sastra 152
Bali modern, kala itu. Semua puisi berbahasa Bali hasil sayembara Listibya dibukukan. Pada 1973, muncul pula buku Ganda Sari, diterbitkan Yayasan Dharma Bhudaya, Gianyar, yang berisi 34 sajak berbahasa Bali karya Made Sanggra dan Nyoman Manda. Made Sanggra, seorang veteran tua yang keempat anak lelakinya menjadi wartawan, menerbitkan pula kumpulan cerita pendek berbahasa Bali berjudul Ketemu ring Tampak Siring, 1975. Nyoman Manda tak mau kalah. Pada tahun yang sama, ia menerbitkan pula kumpulan cerita pendek sejenis, berjudul Togog. Di Denpasar, Yayasan Saba Sastra Bali juga menerbitkan kumpulan puisi Bali modern. Buku yang cukup populer adalah Galang Kangin, 1976, berisi 18 sajak karya bersama Agastia, Aryottama, Raka Tedja, Uttara Wungsu, Made Taro, Wayan Jendra, dan Made Sanggra. Sajak-sajak yang dimuat di sini merupakan sajak pilihan. Sementara itu, di Bali utara, Made Dharna tetap aktif menulis naskah drama (modern) berbahasa Bali, dan mementaskannya bersama Sanggar Embun Pagi. Para sastrawan Bali yang berkarya dengan bahasa ibu ini umumnya datang dari kalangan terpelajar. Mereka mahasiswa Institut Hindu Dharma, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Udayana, guru SMA, pegawai di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yang di luar itu umumnya adalah tokoh panutan di bidang agama. Karya-karya mereka juga menangkap “perubahan zaman” selain tetap mengikuti perkembangan puisi modern berbahasa Indonesia. I Gusti Ketut Kaler, tokoh tua seangkatan dengan Made Sanggra, misalnya, banyak melahirkan puisi mbeling yang berisi nasihat-nasihat dan peringatan untuk kaum muda. Karya-karya Made Sanggra pun banyak bercerita tentang kekhawatiran akibat ekses negative pariwisata di Bali. Mungkin karena ia tinggal di Sukawati, Gianyar, daerah yang padat turis. Agastia, yang kala itu mahasiswa Fakultas Sastra Unud, termasuk pengarang produktif yang banyak menulis perubahan hidup di pedesaan karena masuknya berbagai teknologi. Salah 153
satu karyanya: Selip pidan, di teban pan polose tuara jejeh luh-luhe ngetelang peluh nguyeng ngiu napinang jijih nyajah tuyuh mesuang gending dag dig dug deg dag dig dug deg dag deg dug dag dig deg dug dag dig dug deg dag jani, di sisin jalan aspale elah luh-luhe buka nuduk taluh maan meneman makutu lulus baan aluh namping selip mata kiap bungut nguab nagih pules ningehang gending mameneng sing matembang duddudduddudduddudduddudduddudduddudduddud beh aluh negak bangun maduhan tuyuh magae pulese ngengkis Sajak yang ditulis Agastia bertanggal 10 Maret 1975 ini mengisahkan perbandingan masa lalu dan masa sekarang di pedesaan. Dulu, para wanita dengan gembira dan penuh keringat menumbuk padi di lesung. Irama yang muncul dari lesung itu mampu mengusir kelelahan. Sekarang, para wanita justru kelelahan duduk di pinggir jalan aspal, menunggu beras mereka selesai dikerjakan pabrik penyosohan. Deru mesin yang begitu-begitu saja membuat wanita ini mengantuk, kesakitan, mengaduh, padahal tanpa kerja dan tanpa keringat. Dalam kumpulan Galang Kangin, penyair ini juga menulis sajak yang mempermainkan kata-kata. Sajak-sajak pendek, tetapi 154
berseri, berjudul Kumbang. Tentu, sajak seperti ini dipengaruhi besar oleh perkembangan sajak berbahasa Indonesia, kala itu. Coba baca Kumbang (1). Kumbang (1) kembange kembang kumbange liang kembange layu kumbange tanpa bayu. Terjemahannya begini: Kumbang (1) kembang berkembang kumbang riang kembang layu kumbang pun lesu. *** MENYEDIHKAN, jika kegairahan yang telah pernah ada kini hilang tanpa ditemukan siapa sebenarnya yang membunuh sastra Bali modern itu. Kalau pun ditelusuri liku-likunya, yang ditemui hanya lingkaran setan, tiada berujung dan bertepi. Agastia, Made Sanggra, dan kawan-kawannya sudah tak lagi menciptakan puisi berbahasa Ball. Made Sanggra sudah tua, beliau menyendiri momong cucunya di desa. Pak Kaler sudah uzur, lagi pula beliau sakit-sakitan. Agastia, yang kini sudah sarjana, lebih banyak terlibat di organisasi kemasyarakatan. Ia malah menjadi Ketua Dewan Pimpinan Daerah Peradah Bali — organisasi pemuda Hindu yang dekat dengan Golkar . Ida Bagus Arthanegara pun terjun di kelompok “kader” memimpin KNPI Daerah Bali, sambil tetap bekerja di lingkungan Departeman P dan K. 155
Atau barangkali mereka masih tetap menulis puisi berbahasa Bali dan menaruhnya di laci mejanya? Mungkin. Jika itu terjadi, memang patut disayangkan, tidak ada penerbitan di Bali yang bermurah hati menyalurkan karya-karya itu. ‘ Sastra Jawa masih kukuh dengan tegak, barangkali betul karena penerbitan berbahasa Jawa masih mudah dijumpai. Mekar Sari dan Jaka Lodang di Yogya. Panyebar Semangat (Surabaya), Darma Kanda (Solo) masih tetap laku dijual. Juga sastra Sunda masih bisa berjaya. Mangle, majalah berbahasa Sunda itu, bahkan dengan mudah dibeli di toko-toko di Denpasar, seperti halnya membeli majalah Mekar Sari yang terbitan Yogyakarta. Penerbitan yang berbahasa Ball? Tidak ada. Apresiasi sastra Bali di sekolah-sekolah pun boleh disebut mengalami kemacetan. Sulit diperoleh guru yang berminat dalam mata pelajaran itu — kalaupun beberapa sekolah mencantumkan itu sebagai mata pelajaran. Bahkan pelajaran bahasa Bali di sekolah-sekolah di Bali, kurikulumnya sedang disusun oleh Pemerintah Daerah Bali. Sampai Februari 1986, seperti yang diceritakan oleh seorang guru yang banyak tahu soal itu, kurikulum itu pun belum rampung seluruhnya. Di televisi Denpasar, lebih dari sekali saya menyaksikan ada deklamasi yang diiringi seperangkat gong Bali. Semula, suasananya menjanjikan suasana Bali, perempuan yang berdeklamasi itu berkain khas Bali. Tapi, ketika suaranya keluar, yang diteriakkannya adalah puisi berbahasa Indonesia. Juga beberapa tabuh kreasi baru yang sudah direkam ke dalam kaset, dan ramai dijualbelikan, ada beberapa sajak sebagai variasi: berbahasa Indonesia. Rasanya, amat sia-sia perjalanan saya menelusuri perkembangan sastra Bali modern di awal 1986 ini. Sastra Bali itu ternyata telah macet lagi, sudah lama, mungkin empat atau lima tahun yang lalu. *** BAGAIMANA nasib saudara tuanya, sastra Bali tradisional? 156
Atau orang banyak menyebutnya sastra Bali klasik? Kalau yang dimaksudkan adalah karya cipta baru, lebih tragis. Sudah macet puluhan tahun lalu. Orang yang gemar mendendangkan sekar alii selalu mengambil kitab-kitab lama, cerita Dukuh Suladri, Dukuh Siladri, Jayaprana, Basur, Japatuan, Cupak Grantang, Sampik Ingthai — yang terakhir ini diangkat dari legenda Cina. Mungkin masih ada beberapa lagi. “Puisi” ini adalah puisi tembang. Di Bali, sekar alit (macapat) tergolong tembang yang mudah dipelajari. Setidak-tidaknya ada 14 macam pupuh (irama lagu berdasarkan jumlah bait), yakni Sinom, Ginada, Durma, Dangdang, Pangkur, Ginanti, Semarandana, Pucung, Mas Kumambang, Mijil, Megatruh, Gambuh, Demung, dan Adri. Setiap pupuh ini masih juga dibagi, khusus untuk iramanya — sementara baris dan suara akhir setiap kalimat tak boleh diubah — misalnya ada Dangdang Gula, ada Dangdang Lumrah, ada Sinom Sasak, Sinom Wug Payangan, Sinom Silir, dan berbagai jenis pembagian lagi. Pecahan-pecahan baru ini diduga karena perubahan setempat, disesuaikan dengan dialek bahasa — bahasa Bali punya berbagai macam dialek — yang kemudian populer melewati batas dialek. Satu cerita yang utuh, terbagi dalam berbagai pupuh, mirip pembagian bab dalam sebuah buku. Misalnya dalam cerita Sampik Ingthai, dipakai pupuh Sinom, Pangkur, Kinanti dan Mas Kumambang. Setiap pupuh mewakili suasana tertentu. Untuk adegan marah, suasana yang tegang, biasa dipergunakan pupuh Durma. Untuk suasana gembira dipergunakan pupuh Sinom, Ginada, Adri. Untuk melukiskan kesedihan, dipakai Semarandana, Mas Kumambang, Demung. Melukiskan suasana aman dipakai pupuh Mijil, Pucung. Untuk “benang merahnya cerita” biasanya dipakai Ginada atau Sinom. Ada beberapa penyimpangan yang dikenal dalam sastra tradisional ini. Yakni cerita Jayaprana dan Basur. Kedua karya sastra ini memakai satu jenis pupuh, yakni Ginada. Namun, kedua Ginada itu iramanya lain. Pada cerita Basur, yang tegang dan menyeramkan itu — bercerita soal ilmu hitam — tembangnya lebih mencekam, 157
dan disebut saja Ginada Basur. Sedang cerita Jayaprana, tentang kepasrahan seorang pemuda yang bersedia menerima ajal, ditembangkan dengan agak sendu — tapi tidak sesendu Semarandana — lalu disebut Ginada Jayaprana. Bisa saja orang menyanyikan (membaca) cerita Jayaprana dengan tembang Ginada Basur, karena hukum baris, bunyi akhir dan bait — disebut padanglingsa — tidak ada perbedaan. Cuma, tentu saja, kalau itu dinyanyikan di depan umum, terasa janggal dan bisa ditertawakan orang. Cerita-eerita ini — mungkin karena tak terlalu banyak jumlahnya — sudah menjadi milik setiap orang Bali, semua orang tahu meski tidak utuh. Setiap orang bisa saja menciptakan “puisi” Sinom, karena memang mudah. Saya sering menciptakannya, ketika di SMP — ketika sekar alit menjadi mata pelajaran penting dan bagian dari mata pelajaran seni suara. Tetapi tidak merupakan suatu cerita panjang, sehingga layak disebut sebuah karya sastra. Paling hanya dua bait, dan itu tentu saja tak akan bisa dimasyarakatkan. Pada harian Bali Post — sejak 1974 sampai 1977 ketika saya masih di sana — di sela-sela puisi Bali modern juga ada beberapa bait pupuh. Tentang turis bugil di pantai Kuta, nasihat untuk anak muda yang berpacaran, dan guyonan lainnya. Belakangan, pada edisi pedesaan harian itu, ada sekar alit yang lebih panjang, bisa mencapai sepuluh atau lima belas bait. Isinya, mengenai Pancasila, program PKK, dan, tentu saja, kampanye keluarga berencana. Semuanya ini tak bisa digolongkan sebagai karya sastra, yang sejajar dengan karya-karya Dukuh Siladri, misalnya, yang terdiri dari ratusan bait, yang penuh dengan petuah, filsafat, dalam suatu roman yang utuh. Pada awal 1977, Anak Agung Alit Konta menerbitkan kisah Puputan Badung dengan “puisi” melalui sekar alit itu. Motivasinya menerbitkan kisah ini, karena Alit Konta, yang merasa banyak punya koleksi lontar tentang Puputan Badung, dan pewaris dekat Raja Pemecutan yang melakukan perang puputan itu, tak tega melihat kesimpangsiuran eerita perjuangan melawan Belanda ini, yang selama ini beredar dalam bentuk prosa biasa. Kalau ini bisa disebut sebagai karya sastra tradisional Bali — memang me158
menuhi syarat sebagai karya sastra — inilah cipta yang terakhir dari seorang pengawi (pengarang) Bali. Namun, kisah ini tidak populer di masyarakat pedesaan, karena lebih banyak tentang perjuangan fisik, lebih banyak “reportase”. Yang dibutuhkan orang-orang desa — masyarakat pendukung sastra tradisional ini — kisah yang penuh pergulatan dalam batin, yang mengandung ajaran agama, dan legenda atau dongeng. Singkatnya, sebuah fiksi yang tidak mengkultuskan seseorang atau anak-cucu pewaris yang masih hidup. Pada kalangan terpelajar, katakanlah mereka yang ingin mengenal sejarah Puputan Badung, karya Alit Konta ini juga tidak populer lantaran bahasa Bali yang dipakainya bahasa Bali halus. Ini memang tidak lazim. Kisah-kisah Jayaprana, Sampik, dan lain-lain itu semuanya memakai bahasa Bali madya (menengah), dan memang begitulah tingkat bahasa yang dipakai untuk jenis sekar alit. Saya sertakan beberapa contoh kutipan, sambil memperkenalkan jenis pupuh — yang ada kemiripan dengan macapat di Jawa — yang semuanya diambil dari buku Puputan Badung ini. Satu bait pupuh Sinom: Ing tahun Sunia Segara kala nuju wulan mei tanggal pitu likur mangko kapal Srikomala kampih kapal Wangkang Banjarmasin tekania makapus apus nyelap wantah kekandasang dadalania ngardi wiwil sida lebur ing pasisi Padanggalak , Bayangkanlah, betapa sulitnya mengartikan kalimat-kalimat ini bagi mereka yang tak mengenal bilangan tahun, ungkapan-ungkapan khas bahasa kromo inggil. Bait di atas bercerita tentang, 159
pada tahun 04 — Sunia Segara — maksudnya 1904, kebetulan bulan Mei tanggal 27, kapal Srikomala kandas di pantai Padanggalak. Kapal milik Cina Wangkang Banjarmasin itu sengaja dikandaskan Belanda untuk menyulut peperangan. Satu bait lagi pupuh Dangdang Mandda bagia tandangku mangdadi jana pada rasa tanpa guna ye mon mengkene uripe tinilar de re sanghulun kaya tanpa yayah bibi bingung tanpa ngadiyaya siapa pinakaruk susuhan usus lebar ya manunggal amor ri sira Hyang Widhi lah panon uga manira Bahasa yang dipakai Alit Konta sudah bercampur-baur dengan bahasa Kawi. Masuk akal kalau cerita yang sebenarnya penting ini — dari segi sejarah — akhirnya kandas karena penggunaan bahasa yang tidak tepat. Kenapa tidak sekalian saja memakai bentuk kekawin? *** KEKAWIN adalah bentuk yang paling tua dari sastra Bali tradisional. Bahkan para pengamat kebudayaan menyebutkan, kekawin adalah kesusastraan Jawa kuno yang sampai kini masih hidup di Bali, walau tidak sesubur masa lalu. Karya sastra ini adalah Ramayana, Bharata Yudha, Sutasoma, Arjuna Wiwaha, Tantri, dan Niti Sastra. Kekawin pun berbentuk puisi, dan bukan prosa. Salah satu 160
contoh, saya kutipkan satu bait yang mengawali Kekawin Ramayana — sebuah bait yang begitu populer sehingga banyak dihafal orang. hana sira ratu dibya rengen pracastha ring rat musuh nira pranata jaya pandita ring aji kabeh Sang Dasaratha nama ta moli sira ta triwikrama pita pinaka bapa batara wisnu mangjanma inaka nikang bhuwana kabeh ya ta donira, nimitaning janma gunamanta sang dasaratha wruh sira ring weda bhakti ring dewa tar malupeng pitra puja masih ta sireng swagotra kabeh Ada perkumpulan khusus untuk membaca kekawin pada sekelompok masyarakat. Perkumpulan ini disebut pesantian dan kegiatannya disebut mabebasan atau mapepaosan. Seseorang membaca teks dengan wirama (lagu) tertentu yang kedengarannya agak mendekati mantra-mantra pendeta. Kemudian seseorang lagi menerjemahkan apa yang dibaca itu dengan tafsirannya sendiri. Pada saat pembaca dan penerjemah melakukan tugasnya, anggota pesantian yang lain tekun mendengarkan. Kalau ada wirama yang tidak cocok atau terjemahan kurang tepat, setiap orang langsung memberi tanggapan. Perdebatan seperti ini sering terjadi, terutama dalam menafsirkan. Apalagi kalau menyangkut dialog-dialog sang tokoh dalam karya sastra itu, yang penuh dengan pesan berupa simbol. Karya sastra ini memberi kemungkinan yang banyak untuk ditafsirkan. Mabebasan ini dilakukan oleh kelompok pesantian secara berkala. Biasanya sebulan sekali, misalnya setiap tumpek (Sabtu Kliwon). Di tahun 1970-an, kelompok pesantian ini masih tumbuh dengan subur. Hampir di setiap desa adat ada grup pesantian. Bah161
X Cerita Tentang Lagu Pop Bali yang Marak
Madu dan Racun Anak Agung Made Cakra
B
ANGUNAN tempat tukang cukur itu tetap saja tak berubah. Saya tak tahu pasti apakah kursi-kursi dan balai-balai di tukang cukur itu pernah diganti atau tidak. Sekitar tahun 1971-1974 saya sering berkunjung ke sana. Yang jelas, tukang cukurnya sendiri tetap saja dia, Anak Agung Made Cakra. Kalau sekarang saya datang mengunjungi Anak Agung Made Cakra, maksud utamanya tentu saja bukan cukur rambut atau sekadar berkangen-kangenan dengan orang tua yang suka humor itu. Dulu pun, setelah 1974, sesekali saya suka mampir di sini, tidak ada urusan dengan cukur-mencukur. Made Cakra punya profesi lain, yang agak sulit dicari hubungannya dengan gunting, yakni bermain musik. Ia jago memainkan biola. Pernah, ketika pekan seni pelajar di pertengahan 1976, ia mendapat julukan Idris Sardi-nya Pulau Bali. Dan predikat itu terus melekat. Bukan cuma pemain biola — suatu profesi yang menyimpang 162
bagi kesenimanan orang Bali tradisional — Made Cakra juga pelopor penciptaan musik pop Bali. Bahkan bersama Band Putra Dewata yang dipimpinnya, ia memelopori rekaman musik pop Bali, pada 1976. Saat itu, di mana-mana di seantero Bali terdengar lagu Kusir Dakar dari kaset yang diputar keras-keras. Kaset itu dicetak 100.000 buah dan direkam oleh perusahaan kaset di Banyuwangi, Jawa Timur. Habis terjual. Kusir Dakar, sebuah lagu humor, berkisah tentang kusir dokar yang memacu kudanya lari kencang sampai menabrak tukang obat di pinggir jalan. Dalam kaset ini ada 13 lagu lainnya, tetapi hanya lagu itu, yang kebetulan dijadikan sampul kaset, yang top hit. Sejarah musik pop Bali — memakai bahasa Bali tentu saja — termasuk baru. Apalagi kalau diiringi oleh seperangkat band atau orkes atau biola saja. Kalau lagu pop bersyair Bali tanpa diiringi “alat-alat modern”, sudah dikenal di awal 1960-an, ketika masyarakat diguncang hampir setiap malam oleh kampanye partaipartai. Syair lagu pop itu hampir seluruhnya mencela lawan partainya, dan menjadi alat propaganda, dinyanyikan pemuda-pemudi partai, di sela-sela pidato pemimpin partai. Lagu ini dinyanyikan dalam bentuk koor, kalaupun ada pengiringnya, itu biasanya dari angklung. Made Dharna, seniman LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) di Singaraja tercatat paling produktif mengarang syair untuk menjagoi PNI. Kemunculan Band Putra Dewata di Denpasar pada 1963 hanya terdengar suaranya di sekitar kelahirannya. Ia tenggelam oleh gemuruhnya lagu-lagu partai yang berkumandang di desa-desa, dinyanyikan oleh pemuda-pemudi yang berbaju hitam (PNI) atau berbaju merah (PKI). Baru, setelah pemberontakan G-30-S/PKI yang gagal itu, Band Putra Dewata mulai kedengaran namanya. Lagu ciptaan Made Cakra, yang kebanyakan syairnya bernada canda, dinyanyikan oleh pemuda-pemuda desa, sebagai lagu yang netral. Dan barangkali cukup untuk menghibur diri di sela-sela bayangan seram penumpasan orang-orang PKI di Bali. Putra Dewata pun sudah menggunakan alat-alat modern, ada gitar, biola, drum, dan sebagainya. 163
“Walaupun peralatan waktu itu sangat sederhana. Drumnya dari piring seng,” kata Made Cakra mengenang. Bekas penyanyi keroncong dan guru musik di perguruan Saraswati ini sering pula diminta main di pentas-pentas hiburan. Tapi masih tetap kalah dengan cabang seni yang sedang demam pada masa itu, drama gong. Wabah drama gong mulai menyurut setelah Pemilu 1971 — salah satu sebab, hancurnya PNI di Bali dilanda Golkar, dan grup drama gong yang bernaung di bawah LKN membubarkan diri atau dibubarkan. Pada saat itulah Band Putra Dewata seperti bangkit dan mulai mengkampanyekan syair-syair lagu berbahasa Bali. Sampai akhirnya, sebuah perusahaan rekaman kaset — yang sebelumnya banyak merekam drama gong — mencari Made Cakra untuk masuk dapur rekaman. Tukang cukur ini bersedia. “Rekaman itu ternyata sulit, perlu waktu tiga bulan,” kata Made Cakra. Memang, ini pengalaman baru buat mereka, juga buat perusahaan rekaman itu. Kalau merekam drama gong cukup menaruh mike rekaman di panggung pertunjukan, merekam lagu ini harus di studio tersendiri. Dan itu dilakukan di Banyuwangi. Produser rekaman di Denpasar itu pun akhirnya bekerja sama dengan pengusaha rekaman di Banyuwangi. Begitulah kisah meledaknya kaset Kusir Dakar. Radio-radio swasta di Bali mulai memutar lagu-lagu pop Bali. Radio Menara Denpasar, yang punya daya pancar kuat dan bisa diterima di daerah pegunungan, setiap hari mengumandangkan lagu pop Bali. Kalau acara “pilihan pendengar lagu Bali” sebelumnya diputar gending-gending Bali — baik itu gamelan Bali maupun kerawitan Bali — kini diganti lagu pop Bali versi Made Cakra. Harian Bali Post, terutama edisi Minggunya juga memuat ciptaan baru lagulagu pop Bali. Ladang baru buat Made Cakra. Di sela-sela menunggu langganannya yang mencukur rambut, ia mencorat-coret kertas, mengarang lagu. Produser kaset yang membawanya ke tangga popularitas itu juga menunggu tak sabar. Hanya enam bulan setelah Kusir Dakar, muncul albumnya yang lain, Putri Bali. Enam bulan lagi 164
muncul Galang Bulan. Satu album paling sedikit ada sembilan lagu. Sementara itu, di Tabanan muncul pula grup band yang sejenis Putra Dewata, yang menyanyikan khusus lagu pop Bali. Grup ini dipimpin Putu Joni. Ia pun rekaman pula, tentu dari produser yang lain dengan produsernya Made Cakra. Juga di Gianyar, muncul grup band, yang langsung masuk ke dapur rekaman. Anak Agung Made Cakra, bangsawan yang jadi tukang cukur itu, memang tak sampai meninggalkan pekerjaannya menggunting rambut. Tetapi dari tangannya terus mengalir lagu-lagu pop Bali. Ia mulai menggarap tema-tema cerita rakyat dan legenda. Muncullah kemudian album-album yang berjudul Sampek Ingthai, Raja Pala, I Durma. Seperti biasanya, lagu-lagu ini laku keras. Seratus ribu kaset terjual, untuk ukuran Bali, sungguh terlalu banyak. Demam lalu berakhir. Tidak drastis, tetapi pelan-pelan saja. Apa yang terjadi? TVRI yang jadi biang kerok kali ini. Siaran televisi pusat mulai dapat ditangkap di Bali, dan masuk ke desadesa. Apalagi setelah Denpasar punya stasiun produksi, dan hampir seluruh daerah Bali bisa menikmati siaran ini. Masyarakat pedesaan — memang penggemar lagu pop Bali itu daerah pedesaan — mulai berkenalan dengan kotak ajaib ini. Mereka menyaksikan berbagai ragam lagu dari penjuru tanah air. Dan, tiba-tiba saja, dendang pop Bali seperti “sudah kuno” atau sangat “ketinggalan zaman”. Lebihlebih, ketika di kotak ajaib itu muncul grup vokal anak-anak Bali, yang dipelopori sekolah-sekolah menengah di Denpasar, juga dari Bina Vokalia Denpasar. Celakanya, grup vokal ini, dengan begitu bergairah dan bersemangat, mendendangkan lagu berbagai daerah. Lagu pop Bali tiba-tiba tidak menggigit lagi. “Sekarang di desa, kalau ada keramaian, muda-mudi setempat pasti mementaskan grup vokal. Lagunya Made Cakra tak laku lagi,” cerita seorang pemuda di kampung saya. Ada apa dengan lagu-lagu pop Bali ciptaan Made Cakra, yang dinyanyikannya sendiri bersama putrinya? Iramanya monoton, irama slendro dan melodinya banyak pengulangan. Syair-syair ciptaan Made Cakra mulai menggurui, dari sopan santun berpacaran 165
sampai nasihat untuk tidak melakukan korupsi. Semua ini dinyanyikan dalam gaya bertutur dengan irama seriosa. Kadang pula dengan irama keroncong. Sebagian besar nyanyian itu dibawakan seperti orang bergumam akan penyesalan. Irama riang seperti Kusir Dakar, entah kenapa, ditinggalkan Made Cakra. Lagu pop Bali memang tidak mati — cuma demamnya yang hilang. Putu Joni, misalnya, sudah tidak memproduksi kaset lagi. Grup bandnya juga menghilang. Made Dharna lebih banyak menulis naskah drama berbahasa Bali, ketimbang menulis lagu Bali. Made Cakra masih melemparkan dua album di tahun 1984, berjudul Guna Karya dan Kepupungan, masing-masing berisi dua belas lagu. Tahun 1985, sebuah kaset lagi ia keluarkan, tetap dengan produsernya yang lama, Bali Record, berjudul Dagang Koran. Di kaset ini ada 13 lagu dinyanyikan enam penyanyi: I Made Mudira, Anak Agung Rai Sukani, Ketut Bimbo, Mulyono, Mud Mainah, dan Anak Agung Antara. Dari segi syair, tak ada kemajuan apa-apa pada ciptaan Made Cakra. Gaya bercandanya tak muncul lagi, malah kebanyakan berisi pesan-pesan pembangunan. Misalnya, Bali Pulau Taman, lagu yang terdapat di kaset Dagang Koran, isinya hanya pujian-pujian tentang alam Bali yang hijau dan indah. Lagu ini pun dinyanyikan I Made Mudira dengan irama yang mendekati keroncong. Beda sekali dengan musik tradisional Bali, misalnya, termbang janger atau berbagai gending yang mengiringi tarian Bali, penuh keriangan. Dan, satu hal lagi, Made Cakra tak lagi menyanyi, dengan alasan tua, suaranya sudah lain. Usianya kini 56 tahun. Salah seorang penyanyi Band Putra Dewata, Ketut Bimbo — kata orang ini nama samaran — sempat “berdiri sendiri” dengan menyanyikan lagu ciptaannya sendiri. Ia tidak menggunakan Band Putra Dewata, dan entah di mana pula mendapatkan musik pengiring. Album Ketut Bimbo ini, menurut penyalur kaset di Denpasar, tergolong laku. Sudah dua album dilahirkan Ketut Bimbo sejak kemunculannya yang terpisah dengan Putra Dewata. Saya tak berhasil mendapatkan album pertamanya. Album keduanya, Aksi Boss, berisi sepuluh lagu, dari segi syair sudah menunjukkan 166
gejala memberontak kepada lagu pop Bali yang didominasi Made Cakra. Ketut Bimbo banyak mengejek, antara lain, lewat lagu Aksi Boss, Ojek, Kumpul Kebo. Lagu ini pun dibawakan dengan sangat dipengaruhi lagu Iwan Fals. Selebihnya, pengaruh Made Cakra baik dalam syair maupun irama masih tersisa. Misalnya lagu Sing Nau Nau Jumah (tak kerasan di rumah) syairnya tidak begitu jeiek, tetapi iramanya, dan cara mendendangkannya, seperti orang menyesal berkepanjangan. Monoton sekali iramanya. Kaset lagu pop Bali yang paling laku sampai akhir 1985 ternyata grup baru yang tak keruan juntrungannya dan alamatnya, Sagita & Sayub. Kaset ini diproduksi Aneka Record. Toko Aneka di Denpasar, yang menjadi penyalur utama kaset ini, juga tak tahu alamat kedua penyanyi itu. Tampaknya antara Aneka yang toko dan Aneka yang merekam, tidak ada hubungan, atau entah mereka mengelak — dengan alasan curiga pada saya yang dikiranya akan merazia kaset bajakan atau kaset tanpa pita cukai, mungkin. Kaset ini laris karena judulnya: Madu teken Tube (Madu dan Racun). Sudah bisa ditebak, lagu ini adalah terjemahan Madu dan Racun yang sangat populer itu. Terjemahannya memang bebas dan kata-kata yang dipakai bukan bahasa Bali bentuk hormat. Mereka mencantumkan dalam kaset itu, syairnya diciptakan Ionk.S, entah siapa pula orang ini. Begini syairnya: Madu & Tube Luh sane jegeg Kenyiran manis Care gule ental Keneh tiang demen Tekening iluh Nanging tiang bingung Kerane tiang tiwas Tur tuara ngelah pokok 167
Cara jani jaran Jepang anggo pengeger Ref. Madu di lime kenawan Tube di kebot iluhe Tiang sing nawang sane ken Lakar luh serahang jak tiang Kalau diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia, begini: Madu & Racun Engkau yang cantik Senyummu manis Seperti gula aren Ingin aku jatuh cinta Kepada engkau Tapi aku bingung Lantaran aku miskin Dan tidak punya modal Zaman ini kuda Jepang buat pemikat Ref. Madu di tangan kananmu Racun di tangan kirimu Aku tak tahu yang mana Akan engkau serahkan padaku Lagu ini menarik karena iramanya betul-betul meniru Madu dan Racun yang populer itu. Orang-orang Bali yang menyanyikan lagu ini sudah mengganti kata tube menjadi racun karena kata racun itu sudah umum sekali, seperti halnya kata bingung yang tak perlu lagi diterjemahkan. Dari dua belas lagu dalam album Madu teken Tube ini, hanya lagu ini yang layak didengar telinga. Selebihnya jelek, baik 168
musiknya maupun vokalnya. Padahal, syairnya, terutama yang dibuat oleh Ionk.S bagus-bagus, walaupun sedikit jorok. Syair lagu ini mengingatkan saya pada syair lagu Doel Sumbang, penyanyi dari Bandung itu. Nakal, jorok, bermain-main, dan menyelip-nyelipkan kata Inggris. Dilihat dari perkembangan ini, lagu pop Bali memang belum mati. “Di beberapa radio, lagu saya masih diputar, walaupun tidak lagi tiap hari. Di desa-desa masih laku, juga di daerah transmigrasi,” ujar Made Cakra. Bagi tukang cukur ini, musik pop Bali bukan saja menelurkan kaset, tetapi juga piagam Kerti Budaya yang diterimanya dari Pemda Bali pada 1980. *** SAYA menaruh kecurigaan yang besar, tidak berkembangnya lagu pop Bali — apalagi sampai ke tingkat nasional — sama dengan sastra Bali modern, orang Bali tak begitu fanatik dengan bahasanya. Bisa dicari contoh lain soal ini, misalnya tidak adanya penerbitan populer yang berbahasa Bali. Atau, gejala yang umum belakangan ini, kalau dua orang Bali ketemu di luar Bali, keduanya lebih senang memakai bahasa Indonesia. Bahkan, selama saya berada di Bali, berjalan dari ujung selatan ke utara, dari ujung barat ke timur, mereka yang paham bahasa Indonesia lebih senang mempergunakan bahasa itu ketimbang berbahasa Bali. Dapat dimengerti, kalau mereka berbahasa Bali, mereka harus tahu sor singgih bahasa. Para generasi muda Bali sudah banyak tak lancar lagi dalam soal berbahasa sor singgih itu, sehingga jalan pintas pun diambil, pakai bahasa Indonesia. Maka, “kemunduran” ini membawa pengaruh surutnya kebanggaan menggunakan bahasa Bali. Kebanggaan yang kurang ini menyebabkan produk-produk kesenian yang menggunakan bahasa Bali seperti tidak banyak mendapat dukungan, baik oleh orang Bali di Bali — terutama di kota-kota — maupun oleh orang Bali di luar Bali. Nasib itulah yang mempengaruhi lagu pop Bali, tak bergema di kalangan 169
orang Bali di luar Bali, dan juga tak bergema di kalangan orang Bali terpelajar. Mungkin ada sebab lain. Yaitu tidak ada warna khas untuk lagu-lagu pop Bali, seperti halnya pop Jawa, pop Batak, atau lagu Sunda. Lalu, karena tidak didukung kalangan terpelajar, tidak ada “bintang” yang mempopulerkan lagu pop Bali itu. Para penyanyi pop Indonesia, katakanlah itu orang Bali, hampir tak pernah terdengar membawakan lagu pop Bali. Made Cakra pernah mengatakan, seorang produser di Jakarta meminta dia mengirim dua album lagu pop Balinya untuk dicoba pada suara Hetty Koes Endang. Berita selanjutnya tidak ada lagi. Lagu pop Bali memang ada, dan masih ada, tetapi seperti tak pernah tampak keberadaannya. Sayang ....
170
XI Seni Kerajinan di Tengah Arus Pariwisata
Buah Upakarti I Nyoman Togog
D
ESA Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, sudah lama dikenal sebagai perkampungan seniman. Segala bentuk kesenian lahir di desa ini, dan terkenal melewati batas laut dan mancanegara. Sekeha gong Peliatan sudah melanglang buana ke berbagai negara sebelum 1960-an. Penduduk desa, yang sejak dulu bertani, memanfaatkan waktu senggangnya untuk melukis dan memahat. Masuknya pelukis-pelukis luar memberi kegairahan pelukis lokal. Mereka mendapat pelajaran dan pengalaman secara tak langsung. Kini, kegiatan kesenimanan tidak lagi merupakan kegiatan sampingan. Tetapi pekerjaan bertani tidak pula ditinggalkan. Warga Desa Peliatan semuanya mengaku bertani dan berkesenian. Desa itu tetap menampakkan sebuah “wajah desa”. Tidak seperti wajah desa tetangganya, Desa Ubud dan Desa Mas, yang berderet-deret toko kesenian, galeri, dan sejenisnya. Yang mem171
bedakan dengan desa-desa lain di pedalaman Bali adalah, Desa Peliatan dipenuhi papan-papan nama di pinggir jalan, yang menyebutkan di sana berdomisili para pelukis dan pengukir. Papan itu pun tidak terlalu mencolok mata. Kecil saja, seperti papan nama praktek dokter. Di pinggir gang sempit, sebuah papan nama kecil yang rnuram bertuliskan I Nyoman Togog Wood Carver. Gang itu sepi, tak ada anak-anak berkeliaran, tak ada turis yang lalu lalang. Kesannya, tidak ada kegiatan di sekitar gang kampung ini. Sekitar seratus meter dari jalan raya, di sebuah rumah dalam gang, baru ditemukan kegiatan. Puluhan perempuan dan beberapa lelaki, asyik bekerja di sebuah bangunan. Di antaranya beberapa anak kecil. Mereka kebanyakan menghaluskan ukir-ukiran dengan amplas di tangan. Yang lainnya memberi warna, dengan pelan, teliti, dan penuh konsentrasi. Bangunan-bangunan lain di dalam kompleks itu dipenuhi berbagai barang kerajinan, baik yang telah jadi maupun yang setengah jadi. Walaupun sudah dipajang dengan penataan yang rapi, karena berjubelnya benda seni itu, bangunan tampak seperti gudang yang kesesakan. Itulah kompleks rumah I Nyoman Togog, peraih penghargaan Upakarti Departemen Perindustrian pada akhir 1985. Penghargaan tertinggi bidang perindustrian ini “nilainya” sama dengan penghargaan Kalpataru di bidang lingkungan hidup, yang sudah dikenal sebelumnya. Ini tempat tinggal I Nyoman Togog, sejak ia lahir, dewasa, dan terkenal seperti saat ini. Dilihat dari komposisi dan struktur bangunan rumahnya, ia masih setia pada arsitektur tradisional Bali. Ada pemerajan, ada gedong, ada bale dangin, ada bale dauh, ada paon, dan ada jineng. Bangunan yang lengkap sesuai dengan pola menetap masyarakat Bali tradisional, yang tersurat dalam lontar Asta Kosali. Karena Nyoman Togog kini telah hidup melesat dan karya seninya telah bersentuhan dengan turis, serta kehidupannya membaik, bangunan-bangunan itu pun disesuaikan dengan kebutuhan modern. Lantai sudah kena tegel, bahkan marmar yang mahal. Saka bangunan berukir dan berwarna-warni. Apalagi pemerajan, 172
tempat suci di keluarga itu, dikelilingi tembok dengan ukiran halus — bukan ukiran cetakan. Jika pola bangunan itu masih bertahan dengan arsitektur tradisional Bali, fungsinya sudah berubah sama sekali. Mungkin, fungsi yang tak pernah dibayangkan oleh para leluhur yang menciptakan arsitektur Bali itu, kecuali pemerajan, yang tetap utuh menjadi tempat persembahyangan keluarga. Gedong dipenuhi dengan ukir-ukiran yang sudah jadi. Ada ukiran pohon pisang kecil, ukiran bunga anggrek, berbagai bentuk binatang, susunan sesajen persembahyangan, patung kecil melukiskan tokoh-tokoh wayang. Selebihnya, berderet piagam penghargaan yang diterima Nyoman Togog selama hidupnya, dari piagam tingkat kabupaten sampai tingkat nasional. Lalu, berbagai potret yang bisa membanggakan keluarga ini. Dari Nyoman Togog diterima Bupati Gianyar sampai “ngobrol” dengan Presiden Soeharto. Bale dangin, balai adat menurut fungsi arsitektur Bali itu, penuh juga dengan ukir-ukiran jadi yang lebih besar. Tak ada bidang kosong sedikit pun di sini. Isinya ukiran melulu, tanpa piala dan potret lagi. Paon, yang semestinya berfungsi sebagai dapur keluarga, di sini menjadi “laboratorium” tempat menampung berbagai jenis ukir-ukiran. Yang unik, Togog membuat perbandingan antara karyanya dan karya seniman lain yang meniru karyanya. Misalnya, ukiran pohon pisang karyanya sendiri dipersandingkan dengan ukiran pohon pisang karya orang lain yang tidak diketahui siapa pembuatnya. Ukiran pepaya karya Togog didampingi ukiran pepaya orang lain. Begitu seterusnya. Karya jiplakan itu dibelinya di toko-toko kesenian di pinggir jalan. Togog ingin mengatakan kepada pengunjung — setelah ia menerima Upakarti banyak juga pejabat yang berkunjung — bagaimana mutu ukirannya dibandingkan karya orang lain. Apakah itu perbedaan bahan baku, kerapian memahat, ketelitian memberi warna, juga masalah harga. Bale dauh, yang fungsi aslinya sebagai tempat tidur keluarga, dijadikan ruang terbuka tempat bengkel kerja seni. Di sinilah puluhan perernpuan duduk bersimpuh menghaluskan ukiran-ukiran 173
kayu dengan arnplas di tangannya. Di sinilah warna-warna diberikan. Togog mempekerjakan 35 “buruh” di rumahnya. Sementara itu, puluhan orang lagi bekerja di rumahnya masing-masing, dan hasilnya disetor ke rumah Togog. Di manakah keluarga ini tidur? Ada jineng, yang fungsi aslinya lumbung keluarga tempat menyimpan segala hasil bumi. Dan bangunan inilah disulap menjadi tempat tidur keluarga. Toh, pada sudut lain, masih tergeletak seonggok ukiran besar setengah jadi, ukiran pohon pisang. Ini ukiran yang dikerjakan sendiri oleh sang tokoh. Sesuai dengan yang diizinkan oleh arsitektur tradisional Bali (Lihat: Salah Kaprah. Kata I Gusti Agung Gde Putra) yaitu adanya bangunan tambahan sepanjang ada sisa tanah perumahan, Nyoman Togog membangun balai lain di sekhar jineng itu. Dan bangunan terbuka ini ia fungsikan sebagai gudang ukir-ukiran yang belum disentuh amplas dan pewarnaan. Dari keadaan bangunan ini, ada kesan Nyoman Togog tak ingin kualat, misalnya jika mengubah bentuk bangunan itu dari arsitektur tradisional Bali menjadi yang sesuai dengan kebutuhan. Kekayaan Nyoman Togog tak mengubah kepatuhannya pada warisan teluhurnya. Ya, rumah ini warisan orang tuanya, warisan neneknya. *** IA lahir sebagai anak yang melarat dari sebuah keluarga yang tidak memiliki tanah sawah, kecuali tanah perumahan itu. Ayahnya seorang undagi — tukang bikin rumah yang bekerja dari satu desa ke desa lainnya. Togog, yang lahir 1944, tidak bisa menikmati masa kecilnya secara layak. Ia harus bekerja, apa saja yang bisa mendatangkan uang atau makanan. Ia tak bisa meneruskan sekolahnya, karena tak punya batu tulis. Ia berhenti sekolah menjelang naik ke kelas dua sekolah rakyat (SD sekarang), pada saat semua murid harus punya batu tulis untuk belajar menulis huruf. Jangankan membeli batu tulis, makan pun harus dibagi bersama kakak dan 174
adiknya. Di Bali, kehidupan di masa itu memang sedang timpang. Kaum ningrat hidup dengan segala kemewahannya, dengan berhektarhektar tanah. Di luar tembok keningratan ini tergeletak rakyat miskin yang serba kekurangan. Para ningrat memang masih bersedia memberi makan kaum jelata ini, asalkan bersedia menghamba di puri, menjadi parekan atau jongos dalam istilah masa kini. Maka, Nyoman Togog, menginjak usia sembilan tahun, menyerahkan hidupnya di Jero Peliatan. “Saya menjadi babu, menjadi jongos, seperti di Srimulat itu. Malahan lebih menderita,” cerita Togog membuat perbandingan. Pada usia sepuluh tahun, Togog tak tahan terkungkung dalam tembok puri, bekerja di bawah perintah orang lain, dengan makan yang tetap saja tidak teratur. Ia minggat dari sana. Ia kembali ke pangkuan ayah dan ibunya. Tapi ia tetap bingung apa yang akan dikerjakannya. Ia melihat banyak anak sebayanya yang melukis di desanya. Ia melihat banyak anak-anak bisa memahat di Desa Uud, desa tetangganya. “Ingin saya melukis dan memahat, tapi saya tak mungkin membeli pahat dan membeli cat,” kenang Togog. Akhirnya, ia bekerja sebagai tukang panjat pohon kelapa. Trauma bekerja di Jero Peliatan dibawa terus lelaki ini. Ia tak ingin bekerja diperintah orang lain, sekalipun itu sebagai tukang panjat pohon. Malam hari, diam-diam, Togog mencuri pahat ayahnya. Ia membuat binatang-binatangan dari kayu yang dipungutnya di jalan. Ia membuat kodok-kodokan, mengukir burung hantu. Dengan pahat untuk membuat rumah, yang tentu tak cocok untuk pahat tukang ukir, Togog mengerjakan patung kodok dan burung hantu itu dengan tekun. Itulah awal hidupnya sebagai pengukir di tahun 1956. Kodok dan burung hantu itu ia bawa sendiri ke kios kesenian di belakang Bali Hotel, Denpasar — dulu kios di sini sangat akrab dengan seniman kecil. Pemilik kios menerima pahatan anak kecil ini dengan bayaran yang murah. Tetapi Togog puas, apalagi ketika hasil bayaran murah itu bisa untuk membeli pahat bekas yang sangat tumpul. Di suatu hari yang bersejarah — Togog kini menyesal 175
tak bisa mengingat hari apa bulan apa — pahat bekas itu ia asah di rumahnya seharian tanpa mengisi perutnya dengan nasi. Ibunya tak menyisihkan nasi untuk anak ketiga ini. Togog hanya mengganjal perutnya dengan tiga butir ketela rambat, pemberian tetangga. Esok harinya, esoknya lagi, dan terus esok-esoknya, Togog mengukir. Ia tetap membuat kodok. Kodok dan kodok melulu, sesuai dengan permintaan pemilik kios di belakang Bali Hotel itu. Burung hantu tak mau, karena pahatannya masih kasar. Namun, suatu hari, ketika Togog membawa patung burung hantu dengan pahatan lebih halus, pemilik kios kerajinan itu menerimanya. Dan esoknya, si pemilik toko yang mendatangi Togog, meminta agar dibuatkan burung hantu yang lebih banyak. Maka, berhari-hari Togog mengerjakan patung burung hantu. Togog, yang sudah mulai menikmati uang dari pahat bekasnya, lama-lama mendapat saingan, entah siapa dan entah dari mana. Tiba-tiba berbagai kios sudah dipenuhi patung kodok dan burung hantu. Begitulah kehidupan seni di Bali, penjiplakan bukanlah perbuatan nista. Hal ini membuat Togog merasa ditantang untuk menciptakan bentuk patung yang lain. Pada 1968, ia keluar dari jenis patung kodok dan burung hantu, ia membuat ukiran buahbuahan. Yang pertama kali dibuatnya, buah manggis, lalu buah pisang, kemudian buah pepaya. Ternyata, laku keras. Di suatu bulan pada 1968 itu, Togog mendapat pesanan untuk membuat ukiran buah-buahan dalam jumlah yang banyak. Saking gembiranya, ia langsung berniat mengawini pacarnya, gadis sedesanya. Kegembiraan Togog ternyata buntu. Si pemesan membatalkan secara sepihak, dan buah-buahan itu tak diambilnya. Dijual ke kios tak semuanya laku. Sementara itu, Togog pun kawin. “Perkawinan diadakan dalam keadaan masih melarat. Istri saya bingung melihat ukiran buah-buahan yang tak laku itu, lalu ia iseng-iseng memberi warna,” tutur Togog. Warna itu menolong, ukiran itu laku dijual. Mulai 1969, yang beredar di kios kerajinan hanya ukiran buah-buahan berwarna. Dan, lagi-lagi kreasi Togog ini ditiru dalam waktu yang singkat. Perkenalannya dengan seniman Ida Bagus Tilem membawa 176
udara baru bagi bekas babu Jero Peliatan ini. Ida Bagus Tilem, seniman pemahat dan putra seniman Ida Bagus Nyana di Desa Mas, ini meminta kepada Togog agar berkarya lebih tekun dan membuat ukiran lebih halus, jangan asal dapat duit saja. Tentu dengan janji, hasil karya Togog boleh dipajang di galeri Ida Bagus Tilem. Togog menurut, karena memajang karya di galeri terkenal seperti itu berarti menaikkan statusnya sebagai pengukir. Ternyata, ukiran buah-buahan Togog laku di galeri itu, setelah ditata menjadi satu himpunan buah seperti layaknya buah di meja makan rumah gedongan. Itu berarti, karya Togog naik tingkat. Selama ini hanya disalurkan di kios pinggiran jalan, sekarang bisa laku di kelas galeri. Malah ada turis yang penasaran, dan langsung datang ke rumah Togog, ingin melihat bagaimana ukiran buah-buahan ini dibuat sehingga persis aslinya. Pada 1977, sejarah baru terkuak. Ida Bagus Tilem menganjurkan lagi, agar Togog tidak hanya membuat ukiran buah-buahan saja, tetapi disarankan juga membuat pepohonan. Togog kemudian berpikir, pohon apa yang layak dan indah diukir yang ada buahnya. Ia memilih pohon pisang. Ukiran pohon pisang pertama kali itu dibuat setinggi 1,5 meter, ia kerjakan selama enam bulan terus-menerus. Sesudah diberi warna, karena tak puas, diukirnya lagi. Ida Bagus Tilem sampai mangkel, karena sudah tiga kali ukiran pohon pisang itu dimintanya, Togog belum juga merasa sreg menyerahkannya. Yang keempat kalinya berhasil, terutama karena Ida Bagus Tilem segera pameran di Jakarta. Ukiran pohon pisang itu diangkut ke Jakarta. Dan, konon, langsung dibeli Ibu Tien Soeharto ketika pameran. Sejak itu, mengalir pesanan “patung” pohon pisang ke rumah Nyoman Togog. Ia pun kewalahan, dan mulai mencari “anak buah”. Di bawah pengawasan Togog, anak buahnya ini mulai memahat patung pohon pisang. Togog memberi gambar, bagaimana lekuk daunnya, bagaimana komposisi pohon dan buahnya. Sementara anak buah Togog mengerjakannya, ia memulai ukiran lain, patung pohon kelapa dan pohon pepaya. Pada 1983, Departemen Perindustrian membawa ukiran-ukiran 177
Togog untuk dipamerkan di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, yang dibuka Ibu Tien Soeharto. Menurut Togog, semua hasil karyanya diboyong Ibu Tien. Togog sendiri yang mengantarkannya ke Jalan Cendana. Jutaan rupiah uang dibawa Togog pulang dari Jakarta. Ukiran pepohonan itu menjadi mode di mana-mana. Bukan saja para pejabat tinggi, tetapi masyarakat menengah dan bawah pun menyukai pohon-pohonan ini. Karena permintaan pasar yang begitu banyak dan beragam kemampuannya membeli, para pengukir di sekitar Peliatan, Ubud, Mas, bahkan di seluruh Kabupaten Gianyar mulai mengalihkan perhatian untuk membuat ukiran pepohonan. Menurut catatan Departemen Perindustrian, dua ribu pengukir Bali mengerjakan pohon pisang saja. Itu virus yang disebarkan Togog, luar biasa. Togog, yang selalu mengakui tamatan PBH (Pemberantasan Buta Huruf), telah menciptakan lapangan pekerjaan baru buat para pengukir. Togog pelopornya, pengukir lain cuma membebek. Ukiran pohon pisang ada di mana-mana. Dari yang harganya Rp 3.500 sampai yang harganya Rp 15 juta. Dari yang kayunya lembek, keropos dan habis dimakan rayap belum setahun, sampai yang berat, diawetkan berbulan-bulan. Dari ukiran daun yang nyaris lurus sampai yang berlekuk-lekuk. Lihat saja di seluruh kios kesenian, di mana saja di Bali, juga di Jakarta, kalau kios itu tidak memajang ukiran pepohonan, terasa tak lengkap koleksi barang seni itu. *** JIPLAK-MENJIPLAK dalam kehidupan berkesenian di Bali memang sesuatu yang sah. Ketika I Nyoman Tjokot, pematung terkenal dari Desa Tegallalang, memulai karyanya yang unik dengan lebih banyak memanfaatkan kayu asal untuk membentuk imajinasinya, para pemahat lain tak begitu peduli. Bahkan, apa yang dihasilkan Tjokot itu pun sesungguhnya ada kelanjutan dari gaya Sebatu di awal 1940-an. Tetapi nasib membawa lain, seniman Sebatu tak berhasil memasarkan patungnya. Tjokot yang lebih ketiban rezeki. 178
Alkisah, pada 1951, perusahaan dagang Tropics Traders milik seorang insinyur dari Amerika, menemukan karya Tjokot lewat Art Shop Nuratni di Kesiman, Denpasar. Sejak itu patung Tjokot tersebar ke Amerika. Patung Tjokot pulalah pada 1968 dipamerkan di Queensland Industries Fair. Orang pun mulai membicarakan Tjokot, memujinya, dan ramai-ramai memburu karyanya. Di pertengahan 1960 sampai 1970-an, karya Tjokot laku keras, dicari oleh banyak kolektor dan turis asing. Bentuk patung Tjokot karena sulitnya untuk disudutkan pada aliran tertentu, lalu disebut gaya Tjokot atau Tjokotisme, suatu pahatan yang sangat memperhatikan dan mempertimbangkan bahan awal sebelum tersentuh pahat. Juga mengarah ke patung primitif. Peniruan pun muncul. Tidak hanya pemahat di Kecamatan Tegallalang, tetapi juga pemahat yang “menghamba” di berbagai art shop. Para peniru ini pastilah bukan karena mengagumi karya Tjokot, tetapi mereka dengan sadar membuat karya yang mirip itu demi uang. Para peniru, tentu saja, tak pernah mencantumkan namanya di balik patung Tjokotisme itu, dengan maksud supaya dikira itu karya Tjokot atau putra-putra Tjokot. Pemilik art shop yang nakal malah jelas-jelas menulis nama Tjokot pada patung tiruan itu, walau sang maestro sudah tiada di tahun 1971. Hal itu pulalah yang dialami oleh pemahat besar Ida Bagus Nyana, ayah Ida Bagus Tilem, yang sudah almarhum juga. Karya Nyana begitu menggugah, melukiskan hidup keseharian, patungpatung manusia dengan sentuhan yang tajam. Ekspresinya luar biasa, patungnya menyimpan cerita tentang kemanusiaan yang begitu dalam. Karya Nyana ini sudah ditiru oleh puluhan pematung lain. Nyanaisme berkembang setelah Tjokotisme memudar. Dalam hal tiru-meniru ini, pemahat yang karyanya ditiru sama sekali tidak protes, atau marah, atau uring-uringan. Ida Bagus Nyana pernah mengatakan begini kepada I Nyoman Tusan — pelukis dan pejabat di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. “Saya sangat senang mendengar kalau ada orang lain yang bisa hidup dan menghidupi keluarganya dari karya patungnya, yang hasil peniruan dari karya saya. Toh, kemampuan saya ini tidak 179
akan hilang.” Dengan kenyataan ini, I Nyoman Tusan akhirnya menyimpulkan, ada segi positif yang lahir dari peniruan ini. Yakni, peniruan tidak sekadar asal meniru, tetapi sekaligus ada usaha pengembangan pribadi dalam karya tiruannya itu. Bahkan tak jarang, kemudian peniru ini menjadi seniman terkemuka dan mandiri. Seni pahat dan seni ukir di Bali sudah menjadi suatu industri, bukan lagi sekadar menjadi ekspresi jiwa estetis semata. Seni itu telah menjadi suatu bisnis. Para pematung dan pengukir itu tidak bekerja secara individu lagi. Seniman yang sudah berhasil lalu menghimpun penduduk sekitarnya yang punya keterampilan, untuk ramai-ramai memproduksi barang kesenian itu. Untuk membuat ukiran buah manggis, duku, jagung, Togog tak lagi mengerjakan sendiri, kecuali pepohonan yang ukuran besar. Ia sudah punya puluhan anak buah. Tetapi semua karya itu, setelah dipajang dan dijual, diakui sebagai karya Togog. Ida Bagus Tilem pun tidak setiap hari mematung. Karyanya yang abstrak tak mudah ditiru orang. Ia hanya memahat kalau inspirasinya ada, dan itu ia kerjakan sampai lupa makan dan mandi. Soalnya, ia tak lagi harus memikirkan urusan dapur, ia tak lagi memikirkan uang belanja anak istri. Bisa dimengerti kalau karya Tilem yang betul-betul dikerjakannya sendiri punya nilai jutaan rupiah. Tetapi Tilem juga seorang pengusaha yang sukses. Ia sadar, ia harus pula menghidupi sekian karyawan, sekian pematung yang bekerja di galerinya. Maka, karya-karya anak buahnya ini dibuat semirip-mirip karya Tilem, atau karya ayahnya yang sudah diboyong pembeli entah ke mana. Boleh disebut, ini hasil karya yang dengan sadar mengarah ke bisnis, ke suatu dunia industri. Yang membedakan Tilem dengan yang lain, ia masih punya “etik”. Pada bagian bawah patung-patung itu, ditulisi Disain oleh Ida Bogus Tilem. Bukan karya tetapi disain. Siapa yang memahat? Bisa seorang, bisa lebih, dan tak diperlukan lagi sebuah nama. Seniman-seniman yang bergabung langsung di art shop, yang bekerja ikut seniman lain, yang berkarya mengatasnamakan seni180
man pembimbingnya, kemandiriannya banyak bergantung pada situasi tertentu, atau nyaris kebetulan. Tak jarang, ia segera melecut keluar dari kungkungan itu, dan berdiri sendiri, membuka studio atau sanggar sendiri. Kematangan dan kesenimanannya bukan ditentukan oleh gurunya atau bosnya, tetapi oleh pembeli atau kolektor. Kalau ia bisa meyakinkan pembeli dan kolektor, bahwa patung yang dipajang itu adalah karyanya, bukan karya pemilik art shop, maka saat itulah ia bisa melepaskan diri dari belenggu majikan. Tak banyak yang mampu menembus belenggu itu. Bahkan lebih sial lagi, kreasi mereka betul-betui terbelenggu oleh art shop sebagai pemilik modal. Seniman yang juga menjadi “barang pajangan” ini — karena sering menjadi obyek kamera turis asing — hanya mengikuti perintah majikan, barang apa yang dibuat dan lagi laris. Seorang pemahat di sebuah art shop di Desa Celuk mengatakan, sudah enam tahun mereka selalu mengerjakan bebekbebekan. Temannya sudah empat tahun ini selalu mengerjakan burung-burungan. Tak bisa lain, otaknya dibelenggu, perutnya dibelenggu. Mereka adalah mesin-mesin seni. Seniman yang kreatif memang harus jadi majikan dulu, atau menempuh cara kompromi. I Wayan Pendet, pematung dari Nyuh Gading, Ubud, misalnya, sadar sekali ia harus membuat dua kategori karya patung. Yang pertama, ia berkarya menuruti jiwa seninya. Patungnya punya gaya khas, lucu, ironi dan sinisme bergabung jadi satu. Karyanya itu lahir dari pengamatan pada alam di sekelilingnya, atau membuka perpustakaan mengenai berbagai legenda dan cerita masa lalu. Ia sentuhkan pahat di kayu dengan kematangan seorang seniman besar. Di pihak lain, ia sadar, karyanya ini tak akan laku, atau kurang laku lantaran harga yang tinggi pula. Contohnya, di pertengahan 1985, ia pameran di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, dan bulan berikutnya di Balai Budaya, juga di Jakarta. Sponsornya Departemen Perindustrian. Menurut Pendet, yang laku hanya dua patung. Ia rugi, bukan rugi materi, tetapi rugi waktu. Ia tak rugi materi, karena selama pameran ada yang mengongkosi. Bagaimana 181
ia menopang kehidupan keluarganya sehari-hari? Itulah, ia juga berkarya untuk “uang”. Ia masih membuat patung-patung dari kayu gepeng untuk hiasan dinding. Ia menyebutkan, selain “berkesenian” juga melakukan “berkerajinan”. Patung yang ia buat dengan mencurahkan ekspresi total ia sebut berkesenian. Patung untuk hidup, yang dibuat sembari ngobrol, adalah berkerajinan. Wayan Pendet pun mengembangkan gaya yang sulit pula dikelompokkan ke dalam aliran tertentu. Mestinya disebut gaya Pendet atau Pendetisme, tapi ia tak suka. Ia lebih senang disebut gaya Nyuh Kuning (nama desanya), karena ia punya pengikut, yaitu pemahat-pemahat di desanya. Gaya pahatannya mirip, karena memang pengikut ini sesungguhnya “anak buah” Wayan Pendet. Tapi Pendet tak suka ada istilah anak buah dan bapak buah, majikan dan pekerja. Semua karya pengikutnya mengatasnamakan diri masing-masing, tak ada nama yang dicatut. Pendet tak meminta agar patung pengikutnya diakui sebagai karyanya atau sekadar desain, misalnya. Kini, di desa yang tak jauh dari kota kecamatan Ubud itu, Pendet merintis museum patung gaya Nyuh Kuning. Ada sebersit kecemasan, kalau patung bernilai tinggi ini lenyap begitu saja diboyong orang asing. Karena ia sadar, walaupun patung Nyuh Kuning itu sulit laku, kalau semua pembelinya turis asing, lamalama karya-karya itu sulit dilacak. Wayan Pendet ingin sekali, ada “seseorang yang kaya” membeli karyanya, lalu menyimpannya di museum itu sebagai sumbangan. Setidak-tidaknya di museum di Bali, di mana saja. *** I NYOMAN TOGOG bercerita dengan lugunya, dengan bahasa Indonesia yang tak lancar dan takut salah, tetapi dengan istilah yang cukup keren. “Ketika saya menciptakan ukiran bunga anggrek, seminggu saya tak tidur, memikirkan bahan tangkai bunganya. Makan pun rasanya tak enak,” katanya. Tangkai itu, ingin dibuatnya halus, dan kalau ditiup angin juga bergoyang, sehingga persis 182
anggrek yang asli. “Semula saya pakai kawat, tapi ini kan ukiran, ini hasil seni bukan teknologi,” ujarnya dengan pelan. Setelah seminggu mencoba-coba, ia menemukan akar pohon kopi. Ketika hasil penemuannya itu dipamerkan dan dibeli orang, bermunculan pula ukiran bunga anggrek dari perajin lain, entah siapa dan entah di mana. Togog selalu berada di depan, dan ia tak pernah menyesal. “Karya saya selalu dicari dan selalu mahal,” kata ayah lima anak ini. Ia selalu menjaga kualitas bahannya. Sebuah pohon pisang setinggi 2,5 meter dikerjakannya setahun lebih. Untuk memahat ukiran itu, ia perlu waktu delapan bulan Bali — Togog sampai sekarang menghitung hari dengan bulan Bali versi wariga. Satu bulan Bali yang dimaksud Togog adalah pertemuan antara Saptawara dan Pancawara, misalnya, Senin Kliwon, Selasa Wage, dan seterusnya, jadi siklusnya 35 hari. Bukan bulan Bali dalam pengertian sasih. Setelah ukiran itu selesai, kayunya itu dikeringkan lagi selama enam bulan. Lalu, diberi warna selama sebulan. Total 15 bulan Bali dihabiskan untuk membuat pohon pisang dari kayu bentawas. Ia tak menyebutkan berapa nilai jual karyanya itu, tetapi seorang anak buahnya menyebutkan angka di atas Rp 3 juta. Ukiran pohon pisang karya anak buah Togog, yang dibuat di bawah pengawasan Togog, harganya juga tinggi. “Bahannya berbeda dengan ukiran yang dijual di pinggir jalan, lekukan daunnya juga beda,” kata Togog. Sebagai perbandingan, Togog mengajak melihat koleksinya di balai paon yang ia ubah bangunan itu menjadi laboratorium — begitu istilah keren Togog. Sebuah ukiran pohon pisang setinggi satu meter karya perajin lain yang bukan di bawah pengawasannya, harganya Rp 70.000 dan bahannya dari kayu benau. “Memahat kayu benau bisa sambil berjalan-jalan. Yang dipakai juga bukan pahat, cukup pisau. Kayunya ringan,” katanya. Di samping pohon pisang itu ada ukiran pohon pisang karya anak buahnya dengan bahan kayu bentawas. Harganya Rp 500.000. “Lihat lekuk daunnya. Dan kayu ini tak mudah dimakan rayap,” kata Togog lagi, tanpa bermaksud promosi. 183
Datanglah ke pasar seni di Sukawati, atau di kios kerajinan mana saja di Bali. Akan mudah dijumpai pohon pisang kecil yang harganya cuma Rp 3.500. Sedang karya Togog dan anak buahnya hanya bisa diperoleh di rumah Togog di Peliatan dan di sebuah hotel besar di Nusa Dua. Harga ukiran pohon pisang terkecil Rp 25.000. *** APAKAH seni ukir Bali merosot? Apakah seni patung Bali menurun mutunya? Sulit untuk mengatakan ya. Togog masih mengerjakan ukiran berbulan-bulan, malah berbilang tahun. Ida Bagus Tilem masih memahat sampai lupa anak, lupa istri, dan lupa jadi orang kaya. Wayan Pendet masih berkunang-kunang matanya membaca lontar untuk menemukan ilham. Ketiganya — contoh kecil saja — masih saja sayang melepaskan hasil karyanya walau dibayar jutaan. Karya mereka ini masih tetap bernilai tinggi. Togog menyimpan sebagian karyanya di laboratoriumnya. Pendet mengusahakan museum di desanya. Tilem memajangnya di galerinya dengan tulisan not sold. Kegairahan mereka mencipta sama seperti dulu, diselingi tugas mengawasi. Kalau seni ukir, seni patung, seni kerajinan kini membanjiri toko kelas menengah dan di sudut-sudut hotel berbintang, dan itu dihasilkan dari kelonipok Togog, kelompok Tilem, dan kelompok Pendet, itu tak lain dari sebuah kompromi untuk meneruskan cita-cita berkesenian. Ketiganya perlu hidup, perlu membiayai anak-anaknya sekolah, dan menolak untuk jatuh miskin. Mereka umumnya punya sejarah pahit, seperti kisah Togog di awal tulisan ini, walau ketiganya berbeda cara melemparkan karyanya: Togog dengan mengakui semua karya anak buahnya sebagai karyanya, Tilem dengan mencantumkan kata-kata desain, Pendet dengan tidak mencatut karya pengikutnya tetapi disarankan menulis Sanggar Nyuh Kuning, karya-karya ini tak sampai jatuh mutu seninya. Barangkali yang mencuatkan kesan bahwa ukiran Bali sudah merosot ke titik nista adalah apa yang ditemukan di kios-kios 184
pinggir jalan, yang dibawa para pedagang acung, yang ditaruh berjubel di pasar-pasar seni, yang kesemuanya dibeli dengan tawar-menawar. Itu adalah karya “mesin-mesin seni yang bernapas”, yang kebanyakan “dipelihara” oleh majikan di art shop, yang menyediakan kayu, yang menyediakan pahat, yang menyediakan tempat berkumpul. Tetapi, apakah itu salah? Bukankah ini menciptakan lapangan kerja? Dan, bukankah orang-orang kelas bawah, masyarakat pedesaan — termasuk warga desa di Bali yang tak bisa mengukir — perlu juga gengsi menaruh ukiran pohon pisang atau patung nelayan di ruang tamu rumahnya? Kelas ini tak membutuhkan karya Togog, karya Tilem, karya Pendet, juga belum mampu membeli karya anak buah ketiga seniman itu. Masyarakat ini membutuhkan barang, bukan nama. Mereka lalu mencari barang itu di kaki lima, dengan cara-cara berbelanja di kaki lima.
185
XII Lukisan Bali dan Museum Seni
Langkah-Langkah Pande Wayan Suteja Neka
I
NILAH sebuah langkah yang terpuji untuk menyelamatkan seni lukis Bali dari tangan-tangan luar yang hendak memboyongnya. Datangnya mungkin terlambat, tetapi tak mengurangi keluhurannya, apalagi gagasan itu muncul dari seorang pedagang lukisan. Moral pedagang, mestinya mencari barang dengan harga semurah-murahnya, lalu menjual semahal-mahalnya, tak peduli siapa pembelinya, dan diboyong ke mana. Tapi pedagang yang satu ini sadar betul, kalau semua lukisan yang bermutu tinggi itu lenyap dari Bali, bagaimanakah generasi nanti melacak sejarah seni lukis di Bali? Maka, sebuah langkah ia ayunkan, ia membeli lukisan dari tangan pelukis dengan susah payah, dan kemudian menaruhnya di sebuah bangunan untuk ditatap oleh siapa saja 186
pengunjung bangunan itu. Salah seorang pedagang itu — disebut salah seorang karena gejala ini mulai diikuti yang lain — bernama Pande Wayan Suteja Neka, penduduk asli Desa Ubud. Bangunan tempat ia memajang lukisan itu bahkan sudah berbentuk museum. Suteja Neka — Neka itu diambil dari nama ayahnya — selama ini dikenal sebagai pemilik art shop yang sukses di Ubud. Ayahnya, Wayan Neka, seorang pematung yang sangat diperhitungkan di Bali. Wayan Neka ikut bergabung dalam Pita Maha — organisasi seni rupa yang pertama di Bali pada 1935. Suteja, sang anak, yang lahir 1939, tidak punya bakat seperti ayahnya. Anak ini malah memilih bersekolah di SGA (Sekolah Guru Atas) dan selanjutnya menjadi guru. Ketika 1960, Wayan Neka memenangkan hadiah pertama sayembara patung untuk Provinsi Bali, sang anak baru tahu kehebatan ayahnya. Itu pun setelah hadiah untuk ayahnya datang, satu truk sawo kecik, uang Rp 2.500, dan sepuluh meter kain tekstil. Melihat keberhasilan ayahnya, Suteja lantas mulai mengumpulkan patung-patung ayahnya yang bertebaran di halaman rumah. Ia kumpulkan patung itu di sebuah ruangan paling depan, dekat dengan jalan. Dengan demikian, memudahkan sang ayah mematung di belakang rumah, dan memudahkan juga peminat membeli patung itu. Usaha Suteja inilah yang lama-lama berkembang menjadi kios seni, apa yang populer disebut art shop, setelah usaha ini menjamur di Bali. Banyaknya turis yang datang ke Bali — setelah Hotel Bali Beach beroperasi 1966 — semakin banyak pula turis yang datang ke Ubud, melihat langsung kehidupan para pelukis dan pematung di sana. Kios seni Suteja pun semakin bermanfaat, ibarat etalase sebuah toko. Ruangan diperbesar, isinya tidak lagi patung, tetapi juga lukisan. Bahkan dalam perkembangannya kemudian, Suteja secara aktif mencari lukisan dan kemudian menjualnya kepada wisatawan. Pekerjaannya sebagai guru ditinggalkannya. Barangkali, karena Suteja bekas guru, ia tiba-tiba merasa cemas, kalau semua karya seni bermutu diboyong turis ke negaranya, 187
bagaimana menceritakan kepada anak-anak nanti tentang sejarah kesenian di Bali? Kesadaran itu tumbuh di awal 1970-an — pada saat itu ia memang sudah kaya. Ia pun mulai menahan lukisan yang dianggapnya baik. Ia tak lagi sebagai pedagang semata-mata, tetapi mulai sebagai kolektor. Art shop-nya tetap jalan, dikelola sang istri. Suteja Neka pun mulai pemburuannya yang mengasyikkan, karena yang diburu hasil karya seni dari seniman yang ulahnya macam-macam. Suteja Neka banyak bercerita tentang suka dukanya berburu lukisan. Suatu kali, ia ingin punya koleksi lukisan Anak Agung Gde Sobrat. Berulang kali Suteja ke rumah Sobrat, bermaksud membeli lukisannya. Jawaban yang diperoleh, lukisan sudah ada yang memesan, atau dikatakannya belum rampung. Suatu hari, Sobrat pameran di Hotel Bali Beach bersama pelukis-pelukis Padangtegal, nama banjar di wilayah Desa Ubud tempat Sobrat bermukim dan menghimpun anak buahnya. Harga lukisan itu mahal, disesuaikan dengan tempat pameran. Suteja, yang sudah berhari-hari mengincar lukisan Sobrat, membelinya sebuah. Melihat itu Sobrat heran, karena lukisannya dibeli oleh orang satu desa. Maka, Sobrat pun percaya, orang ini betul-betui berniat mengoleksi lukisan, dan bukan “berdagang”. Ia kemudian malah menyarankan, lukisan jenis apa yang layak dikoleksi. Mencari lukisan Ida Bagus Made lebih sulit. Pelukis nyentrik yang jarang memakai baju ini sangat anti-art shop. Di matanya, art shop yang menjatuhkan seni lukis Bali. “Berulang kali saya ke sana, apalagi rumah saya berdekatan, tapi Ida Bagus Made tak pernah mau melepaskan lukisannya,” ujar Suteja Neka. Ia hampir putus asa. Suatu hari datang kolektor lukisan dari Negeri Belanda ke art shop Suteja di Ubud. Kolektor ini ingin memiliki koleksi Suteja yang tidak dijual. Belanda itu tampaknya sangat berminat dan mengatakan akan sangat menyesal meninggalkan Bali kalau tidak membawa lukisan yang diidam-idamkannya. Akhirnya Suteja bersedia melepaskan lukisan itu asal diganti dengan salah satu karya Ida Bagus Made. Kolektor Belanda itu ngeluyur sesaat dan sore 188
harinya ia sudah datang membawa bungkusan berisi lukisan Ida Bagus Made yang bertema sabungan ayam. “Lukisan itu memang saya incar bertahun-tahun,” ujar Suteja. Jelas, sikap Ida Bagus Made, ia dengan mudah melepaskan lukisannya kepada orang asing ketimbang teman sedesanya. Bagi Made, turis bukanlah pedagang. Dari dua contoh kisah perburuan ini bisa ditarik suatu kesan, kenapa para pelukis terkenal sulit sekali karyanya dibeli oleh pemilik art shop. Memang demikianlah yang terjadi, art shop di Bali sudah telanjur berbuat curang. Pemilik toko ini membeli lukisan dengan harga yang murah, dan menjual dengan harga yang tinggi. “Pemilik art shop bisa kaya-kaya, pelukis tetap saja miskin,” ini kata Ida Bagus Made. Selain itu, kecurangan yang sangat dicela para pelukis, ulah art shop untuk “memproduksi” lukisan sebanyak-banyaknya. Yang dimaksudkan, sebuah lukisan dari pelukis ternama setibanya di art shop akan dijadikan model oleh pelukispelukis yang bermukim di art shop itu. Dalam situasi itulah, Suteja Neka mencari koleksi untuk cita-citanya mendirikan museum. Tentu saja, banyak yang tidak percaya pada niat baik ini, dan karenanya pelukis ragu melepaskan karyanya walau dibayar sama tinggi. Setelah tanah di Campuan — sebelah barat Desa Ubud — dibeli keluarga Neka, dan bangunan untuk museum sudah bertahap didirikan, mulai ada kepercayaan untuk seorang Suteja Neka. I Gusti Nyoman Lempad (kini almarhum), misalnya, langsung meminta agar Suteja datang ke rumahnya, memilih sendiri lukisan yang diminatinya. “Wah, saya kaget dan berdebar-debar, berapa lukisan itu dihargai,” Suteja Neka mengenang. Setelah dipilih dua buah lukisan, Lempad berkata dengan kalemnya, “Tidak usah dibayar, bawa sajalah karena untuk dikoleksi dan tidak diperdagangkan.” *** MUSEUM Neka berdiri di atas tanah seluas 6.900 m2, di 189
pinggir jalan raya Desa Campuan. Di sekelilingnya masih tanah sawah. Bangunan fisik itu dimulai 1972, dengan menerapkan pola arsitektur tradisional Bali. Hanya polanya saja, tidak fungsinya. Jadi, ada gedong, bale dauh, bale dangin, paon, dan pemerajan. Yang bernama pemerajan tidak ada sanggah dan bukan tempat suci. Bale dangin, karena merupakan bangunan terbuka tanpa dinding, dijadikan ruang perpustakaan. Ada seperangkat kursi untuk dudukduduk di sana, membaca berbagai kisah dan pengetahuan tentang seni lukis Bali dan masalah kebudayaan secara urnum. Jadi, balai ini mendekati fungsi arsitektur Bali. Atas saran Rudolf Bonnet, pelukis Belanda yang lama menetap di Ubud, Suteja Neka melakukan perjalanan ke kota-kota besar di Eropa, pada 1975 untuk study banding soal museum lukisan. Yang dijelajahinya: Amsterdam, London, Roma, Jenewa, Paris. “Yang paling berkesan ketika mengunjungi British Museum di London. Di sana terdapat koleksi barang-barang seni Bali, juga ada buku sastra Bali dari kertas ulantaga,” ujar Suteja Neka. Ulantaga adalah kertas dari kulit kayu yang digunakan untuk menyaring air suci ketika upacara ngaben, suatu kertas yang mulai langka dan jarang lagi digunakan. Sepulang dari Eropa, ia lebih bergairah membangun gedung yang akan dipakai museum. Ia pun menghubungi berbagai pihak yang mengurusi masalah permuseuman, termasuk Menteri P dan K (waktu itu) Daoed Joesoef. Setelah diteliti oleh Direktorat Museum Ditjen Kebudayaan Departemen P dan K, gagasan Museum Neka itu memenuhi syarat International Council of Museum (ICOM), badan permuseuman nasional yang didirikan Unesco. Akhirnya museum yang sudah pasang papan nama sejak 1976 itu diresmikan 7 Juli 1982, dikelola oleh sebuah yayasan yang bernama Yayasan Dharma Seni, yang diketuai Suteja Neka dan penasihat Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, gubernur Balii. “Ketika diresmikan Menteri Daoed Joesoef, museum ini bermodal 45 lukisan,” kata Suteja. Dan Yayasan Dharma Seni, lewat berbagai seleksi yang dilakukan pelukis-pelukis ternama di Ubud, setiap saat membeli lukisan bermutu untuk koleksi museum itu. Sampai 190
awal 1986, jumlah lukisannya sudah 142 buah. Museum Neka terbagi ke dalam empat gedung. Gedung I, yang berada paling depan (dalam pola arsitektur Bali, gedung ini paon}, tempat dipajangnya hasil karya pelukis-pelukis Bali terkemuka. Di sana ada satu ruang berisi lukisan karya Lempad, karyanya sebelum Perang Dunia Pertama sampai yang terakhir menjelang wafat. Juga ada lukisan Lempad yang sempat diboyong ke Eropa, menjadi koleksi Claire Holt. Keluarga Neka berhasil membawa pulang lukisan itu ke Bali lewat barter lukisan. Selain lukisan Lempad, di gedung ini juga dipajang karya Anak Agung Sobrat, Ida Bagus Made, I Gusti Ketut Kobot, I Gusti Made Deblog, Ida Bagus Widja. Penataannya sedemikian rupa, sehingga mewakili sejarah seni lukis Bali dalam berbagai generasi dan berbagai aliran. Dari gaya wayang Kamasan, gaya Batuan, gaya Ubud, dan gaya Lempad yang tak ada duanya itu. Dari yang berwarna muram, agak cerah, sampai hitam putih khas Lempad dan hitam putih khas Made Deblog. Di gedung ini pula ada lukisan gaya Kamasan dengan kertas ulanlaga. Di gedung II, kalau dilihat dari kaca mata arsitektur Bali ini adalah bale dauh, dipajang karya-karya pelukis Indonesia yang juga mewakili berbagai aliran. Ada lukisan Affandi, Widayat, Fajar Sidik, Achmad Sadali, Srihadi, Popo Iskandar, Hendra Gunawan, Rusli, Nashar, Abas Alibasyah, Sudjojono, Nyoman Tusan, Dullah, Abdul Aziz, Nyoman Gunarsa. Untuk memilih lukisan-lukisan di gedung itu, Suteja Neka dibantu oleh, antara lain, Drs. Sudarmadji, Direktur Balai Seni Rupa Jakarta. Gedung III — gedong dalam arsitektur Bali — tempat memajangkan tiga pelukis asing yang tinggal menetap di Bali dan ada hubungannya dengan seni lukis Bali. Mereka adalah Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan Arie Smith. Ketiga pelukis ini memberi pengaruh kepada para pelukis Bali. Mereka ikut mendirikan Pita Maha, organisasi seni pertama di Bali itu. Mereka ikut memasarkan seni lukis Bali, mereka bahkan mendidik dan jadi guru sejumlah pelukis Bali. Dalam kata lain, ketiga pelukis ini menyatu dan menjadi bagian dari sejarah seni lukis Bali. 191
Di gedung IV — ini bangunan yang mirip gedung III tetapi melihat pola letaknya adalah pemerajan dalam arsitektur Bali — dipajang karya pelukis asing yang pernah tinggal menetap di Bali, mendapatkan inspirasi dari lingkungan alam dan kebudayaan Bali. Tetapi mereka hanya melukis untuk dirinya sendiri, artinya mereka tidak “bergaul” dengan pelukis Bali. Mereka tidak memberi pengaruh dan sama sekali tidak terlibat dengan pelukis-pelukis Bali. Mereka adalah Theo Meier, W.G. Hofker, Han Snel, Antonio Maria Blanco, Donald Friend. Juga ada lukisan Covarrubias, pelukis yang menulis buku Island of Bali yang terkenal itu. Di setiap gedung, Suteja Neka juga meletakkan brosur-brosur mengenai kehidupan sang pelukis. Memang bukanlah brosur lengkap, dan belum memberi riwayat yang panjang mengenai kesenimanan seseorang. Tetapi, ada usaha Suteja Neka untuk mencetak brosur yang lebih lengkap, juga untuk menjelaskan kepada pengunjung bagaimana tema sebuah lukisan dan proses penggarapannya. Apalagi untuk lukisan Bali, yang umumnya bercerita itu, memang diperlukan penuturan panjang. *** MUSEUM Neka bukan museum lukisan yang pertama di Bali dengan gagasan muluk untuk menyelamatkan seni lukis Bali. Bahkan tak jauh dari Museum Neka ini sudah lama berdiri Puri Lukisan Ubud, yang dikelola oleh Yayasan Ratna Warta. Museum lukisan ini dirintis oleh Rudolf Bonnet, pelukis kelahiran Belanda, bersama Cokorde Gde Agung Sukawati, Cokorde Agung Mas, dan Cokorde Anom Raka, pada 1953. Di sinilah tersimpan lukisan-lukisan Bali sebelum kemerdekaan, bahkan sebelum Perang Dunia Pertama. Museum lukisan pertama di Bali yang dibuka untuk umum Januari 1956 ini bisa bercerita tentang sejarah seni lukis Bali dari generasi awal abad ke-20, dan yang menonjol adalah koleksi lukisan pada saat terbentuknya Pita Maha dan pengaruh adanya Pita Maha itu. Namun, museum ini pada akhirnya kehilangan langkah, setelah tokoh-tokoh pendirinya meninggal dunia. Dana pun jadi 192
macet. Mengandalkan karcis masuk yang cuma Rp 100 per orang, dan sumbangan dari pemerintah yang tidak kelewat besar, museum ini menjadi merana. Bukan saja bangunan fisiknya yang telantar — gedung rnuram dan halamannya ditumbuhi rumput liar — tetapi koleksi lukisannya perlu diselamatkan. Gagasan para pendirinya, untuk menyelamatkan seni lukis Bali, macet karena tak mampu lagi membeli lukisan baru. Museum Bali di Denpasar, yang berada langsung di bawah Departemen P dan K juga punya koleksi lukisan yang memadai. Usaha membeli lukisan baru juga masih tampak. Tetapi museum ini tak khusus mengelola lukisan, sehingga dana yang dimilikinya juga terpecah untuk bidang-bidang seni yang lain, plus pemeliharaan yang mahal. Penataan lukisannya pun tidak mencerminkan riwayat perjalanan seni lukis Bali, tidak dikelompokkan, misalnya, ke dalam aliran-aliran. Begitu pula koleksi lukisan yang dimiliki Pusat Keserrian Bali Werdi Budaya (art centre) di Abian Kapas, sebelah timur Kota Denpasar. Di gedung Mahudara Mandhara Giri Bhuwana — ini gedung induk art centre — bisa dilihat hasil karya pelukis Bali dari gaya Kamasan sampai lukisan modern yang sama sekali jauh dari “napas Bali”. Gedung ini memang bukan museum, dan juga bukan cuma memamerkan lukisan. Maka, sulit melacak perjalanan panjang seni lukis Bali kalau hanya mengunjungi “pameran tetap” ini, apalagi tiadanya brosur yang bisa dibaca. Yang ada hanya judul lukisan, nama pelukis, dan tahun pembuatan. Ada satu lagi museum lukisan, tetapi yang ini lebih khusus dan sejak semula memang diniatkan untuk museum pribadi. Yakni, Museum Lukisan Le Mayeur di pantai Sanur. Le Mayeur, pelukis Belgia yang datang ke Bali pada 1932, memang hampir-hampir tak bersentuhan dengan pelukis Bali yang kebanyakan bermukim di sekitar Ubud. Le Mayeur lebih banyak menetap di sekitar Denpasar, dan lebih sering melukis model — sampai-sampai ia mengawini Ni Polok, salah seorang modelnya dari Desa Kelandis, Denpasar. Bangunan museum yang terimpit di sela-sela hotel mewah ini keadaannya semakin merana setelah Ni Polok, yang 193
menunggui museum itu bertahun-tahun, meninggal dunia 21 Juli 1985. A. Jean Le Mayeur, yangdikenal sebagai pelukis impresionis itu, sudah tiada jauh sebelumnya, pada 1958. Walau Le Mayeur agak sulit dikaitkan dengan sejarah seni lukis Bali, koleksinya sangat perlu diselamatkan, sebagai kenangan kepada dedikasinya yang tinggi pada Bali, tanah airnya yang kedua. Bahwa pernah menetap seorang pelukis asing yang “tidak bergaul” dengan pelukis pribumi, dan tidak pula melukis alam Bali yang konon indah itu, mungkin merupakan warna “sejarah” itu sendiri. *** TULISAN ini tak ingin mengulang buku-buku yang telah ada, yang sudah banyak bercerita tentang sejarah seni lukis Bali. Apalagi, setiap buku mengenai Bali yang terbit di luar negeri hampir tak satu pun melewatkan cerita mengenai seni lukis Bali. Mungkin karena penulis-penulis asing itu akrab dengan pelukis-pelukis asing yang menetap di Bali. Dan pelukis asing inilah yang memang melahirkan sejarah seni lukis Bali. Seni lukis Bali mengalami “kemajuan” pesat dengan banyaknya wisatawan yang menyerbu Bali. Perkembangan ini melahirkan berbagai corak dan gaya yang ditimbulkan oleh pengaruh luar itu. Kalau dibuatkan klasifikasi perkembangan seni lukis itu saat ini, bisa digolongkan ke dalam empat hal: seni lukis Kamasan, seni lukis Batuan, seni lukis Ubud, seni tukis modern, atau seni lukis kelompok akademis. Untuk seni lukis Ubud masih bisa dipecah dua, seni lukis tradisional dan seni lukis yang menyebut dirinya The Young Artist. Seni lukis gaya Kamasan, masih hidup sampai kini, masih diwarisi oleh para generasi muda Kamasan, sebuah desa di Kabupaten Klungkung. Tema yang dimasukkan ke dalam kanvasnya diangkat dari cerita Mahabarata, Ramayana, Malat, dan cerita-cerita rakyat seperti Suthasoma, Suladri, Jaka Tarub, dan lainnya lagi. Di sinilah pusatnya seni lukis yang menggambarkan palelintangan, 194
semacam kalender yang meramalkan watak kelahiran seseorang menurut pawukon. Juga pusat lukisan palelindon — ramalan mengenai pengaruh lindu atau gempa bumi — dan lukisan yang bercerita tentang ilmu wariga. Ciri khas gaya Kamasan ini, kanvas biasanya menggunakan kain blacu yang dibubuhi bubur tepung beras, kemudian digosok agar padat dan rata. Pewarnaannya pun masih tradisional, warna hitam dibuat dari mangsi (jelaga), warna putih dibuat dari abu tulang babi — belakangan dipakai tulang sapi atau tulang hewan lain untuk menghormati pemesan yang mengharamkan babi. Warna kuning dibuat dari atal — semacam tanah liat. Warna biru dari daun taum, warna cokelat dari pere. Para pelukis di sini masih mengerjakan lukisan secara kolektif. Seorang membuat sketsa, yang lain memberi warna dasar, yang lain lagi menggambar detail, dan seterusnya kanvas itu digilir. Mangku Mura boleh disebut pelopor dan tetua untuk gaya ini, yang sering melukis secara individual. Dan sekarang, Made Mandra dari Banjar Sangging, Desa Kamasan, tokoh yang berpengaruh yang menghimpun para seniman Kamasan ini untuk bertani di ladang kanvas. Mandra, selain ikut memandori lukisan kolektif itu, juga banyak melukis secara individual. Seni lukis Batuan sesungguhnya merupakan perkembangan seni lukis klasik yang lebih menekankan gaya hitam putih atau dikenal dengan teknik sigar mangsi. Dalam perkembangannya kini, muncul variasi warna, warna hijau kelam dan merah tua kecokclatan dengan latar belakang tetap gelap. Tema ceritanya lebih banyak pada cerita Tantri, dan juga cerita rakyat lainnya. Perkembangan masa kini dan arus permintaan turis menyebabkan gaya Batuan — diambil dari nama desa sebelah selatan Ubud — juga menoleh tema kekinian seperti lukisan berselancar di pantai Kuta, hidup keseharian turis asing di pedalaman Bali, dan cerita-cerita lucu di sekitar pertemuan dua kutub budaya: budaya Barat dan budaya Bali. Misalnya, dalam satu lukisan digambarkan keadaan pasar secara tradisional — selalu perempuan Bali digambarkan tanpa baju, hanya selendang dengan buah dada menyembul — lalu ada 195
turis dengan mobil dan kamera. Atau perempuan bertelanjang dada menumbuk padi, di atasnya melintas helikopter. Pada generasi muda Batuan, terlihat adanya pengaruh seni lukis tradisional Ubud, walau mereka masih memiliki ciri tersendiri. Yang tercatat menonjol saat ini adalah Wayan Radjin, Wayan Bendi, dan sejumlah nama lain. Tokoh-tokoh tuanya adalah Ida Bagus Made Togog, Made Widja. Seni lukis tradisional Ubud banyak dipengaruhi oleh Walter Spies dan Rudolf Bonnet, yang pernah menjadi warga desa itu. Dari segi tema, pengungkapannya lebih bebas, tak hanya melukiskan tema pewayangan saja tetapi juga keindahan sehari-hari: perkampungan, persawahan, upacara, tari-tarian. Figur yang ditampilkan lebih luwes dan dinamis, komposisi diperhatikannya dengan sempurna. Juga tampak adanya penggunaan proporsi anatomi perspektif dan gelap terang dalam pencahayaan. Tokoh-tokoh mereka tercatat hingga kini seperti Wayan Turun, Dewa Putu Bedil, dan banyak yang lain. Adapun aliran The Young Artist boleh disebut semacam “pemberontakan” yang dilakukan oleh Arie Smith di tahun 1960. Pelukis Belanda yang sudah menjadi warga negara Indonesia ini — kini menetap di Sanur dan menyepi sendirian — mengumpulkan sejumlah anak muda berusia dua betas tahunan di Desa Panestaan, tetangga Desa Ubud. Ia beri anak muda itu kanvas dan cat, ia bebaskan anak muda itu melukis apa saja. Eksperimen ini menimbulkan lukisan dengan tema keseharian dengan warna cerah. Pewarnaan yang sangat bebas dan cemerlang itu tidak terikat lagi dengan warna alam sesungguhnya. Laut, misalnya, tak lagi warna biru, tetapi bisa merah, kuning, atau hijau. Mereka kemudian memberi nama kelompoknya The Young Artist. Sekarang ini, Desa Panestaan sudah menjadi desa young artist. Lukisan model ini sudah tak lagi menjadi gaya lukis anak-anak, atau mereka yang dulu memelopori lukisan itu. Para orang tua pun mulai melukis dengan gaya ini. Produksi masal ini tentu akibat samping arus wisatawan dan permintaan pasar. Itu sebabnya, antara lain, Arie Smith lari dari Panestaan. 196
Seni lukis modern dari kelompok akademis muncul belakangan ini dari para seniman yang mengenyam pendidikan seni rupa, khususnya yang belajar di luar Bali. Mereka masih mengikuti tema berbagai gaya klasik itu, tetapi tema itu dituangkan dalam bentuk abstrak, kubis, ekspresionis, juga dalam bentuk realis impresionis. Teknik pun berkembang, dari teknik sapuan kuas, teknik pisau palet, teknik ujung jari seperti bermain-main cap jempol itu, sampai teknik batik. Lukisan teknik ini yang kini banyak menghuni ruang pameran Werdi Budaya — di sebelah gedung Mahudara Mandhara Giri Bhuwana. Drs. Anak Agung Rai Kalam, Dr. Moerdowo, Drs. Nyoman Gunarsa, Drs. Nyoman Tusari, P.N. Whardane, Made Wianta, dan puluhan nama lain, adalah barisan pelukis akademis ini. *** MANUSIA Bali adalah mereka yang tak pernah lepas dari kehidupan banjar, lingkungan sosial terkecil. Tak terkecuali para pelukis itu. Mereka tak akan memegang kuas kalau di banjar ada kegiatan: upacara keagamaan, kematian, berbagai bentuk upacara yang banyak itu. Dan pekerjaan melukis tidak sama dengan pegawai negeri, umpamanya. Kalau ada kegiatan di banjar, seorang pegawai negeri bisa tidak ikut kegiatan itu dengan alasan tidak mendapat izin atasannya di kantor, tetapi seorang pelukis? Tak ada izin. Belakangan, menjamurnya art shop menyebabkan banyak pelukis Bali — terutama dari generasi muda — menjadi “hamba” toko kesenian. Mereka bekerja tak ubahnya sebagai buruh. Mereka digaji bulanan, kebebasan mencipta mereka pun dipasung — sebagaimana pematung di art shop itu pula. Dari sinilah muncul reproduksi masal atau copy-copy-an dari lukisan pelukis ternama. Hubungan kerja yang tak sehat ini melahirkan lukisan kodian. Dari sini kemudian ada tudingan, seni lukis Bali telah turun mutunya. Gejala seperti ini yang menyebabkan pelukis ternama di sekitar Ubud —juga dari kelompok akademis — anti-art shop. Bahkan 197
Ida Bagus Made bukan saja anti-art shop, ia juga anti pejabat, anti orang berbaju safari. Di mata Ida Bagus Made, orang-orang ini adalah makelar seni. Dengan begitu, orang seperti Ida Bagus Made hanya mengandalkan kedatangan kolektor atau turis asing yang langsung datang ke rumahnya. Sulit diharapkan ia hidup dari hasil lukisan. Tetapi, mereka ini umumnya siap miskin, dan pekerjaan lain tetap tak dilupakan: bertani. Pelukis kelompok akademis tidak sampai “jatuh miskin” karena mereka umumnya pegawai negeri dan dosen. Rai Kalam, putra Anak Agung Sobrat, adalah dosen di Universitas Udayana. Dr. Moerdowo selain dosen juga dokter internis yang laris — para pelukis bisa berobat gratis di sini. Nyoman Gunarsa masih setia di Yogyakarta, dosen di ASRI (kini Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia). Yang lebih muda seperti Made Wianta, memang menganggur, tetapi istrinya adalah dosen di Universitas Udayana, sehingga ia tak sampai melarat. Ada yang bersikap kompromi, misalnya, pelukis nyentrik Wayan Taher, yang bermukim di pantai Tanah Lot, Kabupaten Tabanan. Ia sejak semula teguh dengan gaya yang disebutnya surealis religius. Ia melukis setelah melakukan semacam meditasi. Lukisannya aneh, sulit dimengerti, kadang primitif. “Diperlukan satu brosur berupa buku untuk menjelaskan arti lukisan saya ini. Dan brosur ke arah itu sedang saya persiapkan,” kata Taher di tengah deburan ombak pantai Tanah Lot yang ganas. la bermukim di sini sejak 1974, dengan amat melarat. Berbulan-bulan hidup hanya dari singkong. Istrinya “ditelantarkan” di desanya, Desa Brembeng, yang jauhnya 35 km dari Tanah Lot. Taher mengunjungi istrinya berjalan kaki menyusuri pantai. Ia bertekad hidup dan diam di Tanah Lot, bukan memanfaatkan alamnya untuk obyek lukisan, tetapi suasana religiusnya yang dicarinya. Lukisannya mahal, rata-rata sebuah lukisan berharga Rp 2 juta. Lakunya memang sulit, dan itu pun kadang ia tak tega melepas lukisannya untuk turis asing, karena sulit kemungkinan untuk dilihat kembali. “Lukisan saya mahal-mahal, karena materialnya juga mahal. Material yang saya maksudkan itu, meditasinya,” 198
katanya dengan nada lemah. Tapi Wayan Taher tak bisa hidup berlama-lama hanya dari singkong. Ia pun kemudian merasa malu menelantarkan istrinya. Maka, sejak 1983, ia menempuh kompromi. Ia membuat satu balai tempat melukis lagi. Di sana ia melukis untuk menunjang kehidupannya sehari-hari. Ia membuat lukisan realis tentang orang-orang dan alam Bali. “Saya harus membiayai tiga anak, satu di IKIP Singaraja, satu di SSRI Denpasar, satu di SMP Bajera. Inilah lukisan untuk hidup itu, ya, apa boleh buat, mengalah sedikit,” katanya sembari menunduk, seperti ada sesuatu yang disesalinya. Istrinya sudah kembali mendampinginya di Tanah Lot, dan mengajar di SD Beraban, desa terdekat dengan pantai itu. Dengan cara itu, Taher tetap bisa melukis dengan teknik meditasi di ruangan lain yang ia anggap suci. Kalaupun ia pameran, ia selalu menghadirkan karyanya yang religius, bukan karya “dapur” itu. Kompromi jenis lain misalnya di Kamasan. Pelukis di sini menerapkan sistem art shop, melukis ramai-ramai. Turis atau kolektor bisa memesan apa saja, baik ukuran maupun temanya. Warna-warna pun bisa cerah. Bahkan kalau lukisan yang dipesan ada cerita bidadarinya, sang bidadari itu pun bisa dibuat mirip Eva Arnaz, atau Suzzanna, atau mungkin Madonna. Lengkap dengan buah dadanya yang menyembul. Tetapi, yang mereka pegang teguh adalah mereka tak akan melayani lukisan yang hanya menggambarkan keindahan alam, misalnya, pemandangan alam, riak air sungai, dan persawahan dengan latar belakang gunung. Tentu saja, perkecualian kompromi ini ada pada Made Mandra, sang tokoh, yang hingga kini masih tetap ingin setia pada gaya warisan leluhurnya. Sebuah lukisan yang bisa menyampaikan pesan-pesan, sebuah lukisan yang bisa menjadi cermin kehidupan yang lurus, sebuah lukisan yang bisa mengerem orang untuk berbuat buruk, dan untuk itulah lukisan Made Mandra digantung. Seni lukis Bali sedang dalam perjalanan diombang-ambing arus wisatawan dengan banyak sekali kaki tangan menjerat, dari art shop sampai peranan guide. Sementara itu, masih banyak seniman yang tekun dan kreatif dengan mempertahankan mutu, dan 199
tidak terpengaruh gemerincirig dolar. Karya mereka, walaupun sulit laku, toh dikhawatirkan akan tetap diboyong ke luar Bali. Karenanya, langkah-langkah Pande Wayan Suteja Neka untuk mencoba menjadi penyelamat dengan museum swastanya itu, setidaknya, membantu pemerintah untuk menyelamatkan sejarah seni lukis Bali.
200
XIII Kasus Desa Kuta di Tengah Arus Pariwisata
I Gusti Adnya Subrata di Kuta Mimba
P
ANTAI Kuta, menjelang matahari ditelan laut. Awan cerah. Warna merah, warna kuning, membias di hamparan laut yang biru. Ombak tetap bergemuruh. Masih ada satu orang berselancar, dan tampak seperti kelelahan. Bagai semut di tengah piring yang penuh air. Dan, ratusan lebih orang menatapnya. Orang-orang pada duduk di pasir, memandang ke arah matahari yang kelihatan semakin besar itu. Beberapa turis asing masih menelentangkan tubuhnya, ditutupi kain handuk. Tak jauh dari sana, seorang wanita paruh baya pribumi duduk di pasir dengan tas plastiknya. Ia baru saja memijat si bule itu. Matahari tinggal beberapa sentimeter lagi dari permukaan laut. Warna merah yang membias di laut semakin besar dan kemilau. Puluhan orang sudah berhenti mandi, dan kini mereka menatap laut dari pasir yang basah. Sesekali air laut masih menerpa pantat mereka. Sementara di pasir putih yang kering, gerombolan manusia kian bertambah. Hampir tak ada yang hilir mudik. Semuanya menatap ke arah matahari. Kamera-kamera sudah mulai dibidikkan. Buku-buku yang tadi dibaca turis asing sambil menggeletakkan 201
diri di pasir, sudah dicampakkan. Wanita dengan tas plastik itu ikut juga menatap sang surya, yang bertahun-tahun sudah akrab dengannya. Sekarang karena semua orang mengagumi matahari itu, ia ikut mencari dan mencoba mengerti makna matahari yang ditelan laut. Hup! Separuh matahari sudah kecebur laut. Lingkaran merah itu membesar. Jelas sekali lingkaran itu, tak silau mata memandangnya. Kemilau di laut kian temaram. Perlahan-lahan matahari menghilang, seperti ia mengerti ditonton ratusan orang di pantai Kuta. Ya, matahari itu seperti milik orang Kuta, matahari itu telah menghidupi sekian ratus penduduk Kuta. Hup! Matahari telah hilang, meninggalkan warna kuning di langit. Ratusan orang pun tersentak. Deru mesin mobil sudah mulai terdengar. Orang-orang pada bangkit dari pasir. Anak-anak kecil berlari di pasir-pasir yang basah. Turis bule sudah memperbaiki handuknya, dan siap melangkah menuju penginapannya. Dua pemuda tanggung menderu di atas sepeda motor trail, memecah kebisingan. Sejumlah orang bergerak. Mungkin pulang ke rumah. Mungkin pulang ke hotel. Mungkin berjalan ke pantai Legian, mencari semak-semak, melanjutkan kencannya. Mungkin mencari tempat sunyi, bisik-bisik, menjual ganja atau jenis narkoba lainnya. Pantai Kuta menghidangkan segala kemungkinan. Pantai Kuta tak cuma milik penduduk Kuta. Ia milik banyak orang, banyak suku bangsa, berbagai negara. *** DESA Kuta, sejak ratusan tahun lalu, memang dihuni beragam suku bangsa. Mereka datang dari Jawa, bersama bala tentara Kerajaan Majapahit. Lalu datang penduduk lain dari desa-desa yang jauh. Kemudian muncul orang-orang Cina pedagang. Bisa dibuktikan dengan kelenteng yang diduga sudah berumur lebih dari dua ratus tahun. Kelenteng ini, konon, erat hubungannya dengan 202
kelenteng yang ada di Batu Dodol, Banyuwangi. Dari buku Monografi Kelurahan Kuta yang dicetak stensilan oleh LKMD Kelurahan Kuta, terdapat sejarah yang remang-remang tentang asal-usul penduduk Kuta. Mereka adalah pengikut tentara Kerajaan Majapahit yang mengadakan penyerbuan ke Bali sekitar tahun 1334. Tentara Majapahit yang dipimpin langsung Mahapatih Gajahmada ini menyusuri pantai Bali barat dan berlabuh di selatan pantai Kuta yang sekarang. Tempat itu disebut Pasih Perahu — arti harfiahnya lautan perahu. Tempat pendaratan perahu yang ditumpangi Gajahmada itu kini berupa onggokan batu karang yang secara turun-temurun dijaga kelestariannya. Karena pendaratan yang sukses di tengah gelombang besar itu, para menega (nelayan) yang mengikuti tentara ini, sering datang ke karang itu. Dari tempat ini mereka memuja kebesaran Yang Mahakuasa. Lama-lama, tempat yang dilestarikan ini menjadi tempat pemujaan. Kalau masyarakat di sekitarnya mengalami bencana, misalnya banyak penduduk yang sakit, mereka memohon keselamatan dari tempat ini. Jadi, tak sekadar tempat para nelayan memuja kebesaran Hyang Baruna — dewa laut. Sekarang, di tempat ini dibangun pura dan diberi nama Pura Pesanggaran, arti harfiahnya pura tempat persinggahan atau peristirahatan. Tampaknya, Gajahmada selalu memberi nama-nama yang sama untuk pelabuhan di daerah jajahannya dengan nama pelabuhan di Majapahit. Maka, nama Tuban diberikan untuk tempat tentaranya berlabuh di Bali selatan — dan nama ini tetap dijadikan nama desa di sebelah selatan Kuta, yang kini sebagian menjadi lapangan terbang internasional Ngurah Rai. Lapangan terbang ini pun dulunya bernama Tuban. Kemudian di utara pantai Kuta yang sekarang diberi nama Canggu. Kedua nama ini, Tuban dan Canggu, adalah nama pelabuhan Majapahit di Jawa yang sampai sekarang masih memakai nama itu. Di antara dua pelabuhan kecil Tuban dan Canggu itulah, Gajahmada memberi nama Kuta. Nama ini berarti benteng. Ketika Gajahmada melanjutkan serangannya ke Kerajaan Bedahulu dan bala tentaranya mendarat di pantai Lebih, Gianyar, di sana pun ia 203
membangun benteng, dan nama yang diberikan juga Kuta. Tampaknya mahapatih yang punya wibawa besar ini suka sekali memakai nama Kuta, sampai-sampai buku mengenai hukum yang dikarang oleh Gajahmada memakai nama Kuta Ramanawa. Demikianlah, kawasan yang ramai sekarang ini dengan nama Kuta, tak lain pemberian nama dari Gajahmada sendiri. Hanya saja, ketika daerah ini dikuasai oleh Kerajaan Mengwi sekitar awal abad ke-18, nama itu ditambah menjadi Kuta Mimba, yang berarti Alas Kuta atau hutan Kuta. Dulu daerah itu memang masih merupakan hutan bakau. Ketika Kuta Mimba ditaklukkan oleh Kerajaan Badung, nama asli pemberian Gajahmada dilestarikan lagi, nama Mimba dihilangkan oleh Raja Badung. Pada saat itulah mulai datang penduduk baru, termasuk orang-orang Cina. Pelaut dan pedagang-pedagang dari Eropa juga berlabuh di Pasir Perahu, sebagai pintu gerbangnya ke daratan Bali. Tercatat seorang kulit putih, Mads Yohansen Lange, yang mendirikan Loji di Gilingan, di tepi sungai Mengening, pada 1838. Kuta menjadi daerah pelabuhan yang ramai. Penduduk dari berbagai desa di Bali pun berdatangan ke Kuta, mencoba rnengadu nasib, di berbagai sektor pekerjaan, termasuk nelayan. Kuta pada akhirnya didiami oleh penduduk campuran, leluhurnya bukan dari satu himpunan keluarga. *** SEJARAH Kuta itu penting untuk dipaparkan lebih awal, karena banyak kecaman yang datang sekarang ini, yang mengatakan upacara keagamaan di Kuta mulai luntur setelah kawasan itu menjadi perkampungan turis. Mereka yang datang ke Kuta setelah mengunjungi desa-desa lain di Bali — ataupun sebaliknya — akan selalu punya kesan, di Kuta tidak banyak tempat persembahyangan. Kalau tempat persembahyangan (pura) saja tidak banyak, tentu upacara-upacara keagamaan juga kurang. Maka, kekurangan ini dihubungkan dengan turis asing dan ingar-bingar dunia pariwisata. 204
Ada yang menuduh, pura telah diubah menjadi restoran, atau diskotek. Penduduk Kuta tak sempat lagi menjalankan ibadat agamanya sebagaimana biasa, karena sibuk mengejar dolar. Ada yang lebih mementingkan berjualan barang kerajinan, ada yang lebih mementingkan menampung turis kelas bawah, atau menjadi hamba cewek bule, kawin kontrak. Tuduhan-tuduhan ini lalu bermuara ke satu titik: terjadi kemerosotan di bidang akhlak dan kemunduran dalam bidang agama. Mereka yang mengecam Kuta seperti itu tidak tahu duduk soalnya. Karena penduduk desa ini campuran, leluhurnya bertebaran di mana-mana dan bukan merupakan satu himpunan keluarga, maka tidak mungkin ada tempat persembahyangan yang bernama Pura Dadia dan Pura Kawitan. Kelurahan Kuta yang luasnya 714,240 hektar dan terbagi menjadi tiga desa adat (Desa Adat Kuta, Desa Adat Legian, dan Desa Adat Seminyak) hanya punya satu Pura Kawitan yaitu Pura Kawitan Agung di Desa Adat Kuta. Di dua desa adat (sebelum dikenal sistem kelurahan setiap desa adat itu merupakan satu desa yang berdiri sendiri) malah tak dijumpai sebuah pun Pura Kawitan. Yang ada hanyalah Tri Kahyangan di tiap desa adat. Dengan begitu, jadwal persembahyangan di kawasan ini tak sepadat di desa lain. Warga Kuta lebih banyak bersembahyang ke desa lain, ke tempat asal-usul leluhurnya, bukan di desanya sendiri. Pura Tri Kahyangan yang ada tetap dipelihara dengan baik, jadwal persembahyangan di sini tak pernah melenceng oleh kepentingan lain, kepentingan melayani turis asing, misalnya. *** PERTENGAHAN 1968, Dokter Made Mandara membenahi rumahnya di Kuta untuk menampung koleganya yang mengadakan penelitian. Waktu itu, jalan masuk ke Desa Kuta seperti kubangan kerbau. Malam hari gelap. Pantai kotor. Perahu nelayan berhamburan tak teratur. Para peneliti di bidang medis ini sering kedapatan mandi di pantai, bercengkerama dengan para nelayan. Ketika para peneliti ini meninggalkan Kuta, muncul lagi penel205
iti lain, yang tak ada hubungannya dengan dunia kedokteran. Tamu yang datang ini diterima dengan baik oleh yang punya rumah. Sementara itu, pantai Kuta mulai dikenal orang-orang kota, terutama para remaja yang gemar bermain ombak. Pantai Sanur mulai kurang digemari karena jalan masuk ke pantai banyak yang ditutup gara-gara dibangunnya hotel-hotel. Pantai Kuta menjadi penyaluran baru. Ulah Made Mandara diikuti tetangga-tetangganya. Ruang-ruang tidur mulai disewakan untuk turis-turis asing yang berkantung tipis. Tarif semalam hanya satu dolar AS. Penduduk pada mulanya hanya menyewakan kamar, tanpa ada apa-apa lagi. Untuk malam hari disediakan lampu minyak tanah. Listrik masuk Kuta tahun 1970-an. Sementara itu, pantai semakin ramai. Turis gembel pun semakin banyak berseliweran. Maka, penduduk Kuta, tanpa malu-malu, menyewakan tempat-tempat tidurnya. Pada bangunan itu ditambah dengan kamar mandi dan WC. Pemda Kabupaten Badung memberi izin untuk usaha baru itu, malah hampir tanpa syarat apa-apa. Ketika Konperensi PATA berlangsung di Bali 1974, yang disambut dengan ingar-bingar di kawasan Sanur, turis kelas bawah justru semakin banyak memanfaatkan penginapan murah di Kuta. Ledakan turis yang diharap-harapkan setelah Konperensi PATA tak terjadi di hotel-hotel mewah. Justru ledakan turis kelas gembel terjadi di Kuta. Penduduk pun ramai-ramai membangun home stay. Setelah sebuah kamar dilengkapi listrik dan satu rumah penginapan yang rata-rata terdiri dari empat kamar ada sebuah kamar mandi dan WC, sewa pun naik, dari satu dolar menjadi satu setengah dolar AS. Kemudian naik lagi menjadi dua dolar AS dengan breakfast seadanya: sebuah telur setengah matang, dua pisang, dan secangkir teh. Pada 1977, rumah penginapan yang dikelola rakyat ini sudah berjumlah 108 buah. Rata-rata lima sampai delapan kamar untuk setiap rumah penginapan. Pada saat itu, sewa kamar semalam paling mahal Rp 4.000. Tentu saja, ini sudah tergolong kelas VIP, artinya satu kamar memiliki kamar mandi khusus. Cepat sekali perkembangan yang terjadi di Kuta. Setelah bisnis 206
rakyat ini membesar, datanglah pemilik modal. Mulai dibangun hotel-hotel kelas menengah di Kuta. Restoran pun berdiri di setiap sudutjalan. Rumah-rumah penduduk disewa oleh pemilik modal itu — penduduk yang tidak siap untuk ikut nimbrung di bisnis ini. Dua disko sekaligus muncul di tahun 1977 itu, La Barong dan Rum Jungle. Dengan kesadaran yang penuh rakyat Kuta mulai mengalihkan jalan hidupnya ke dunia ingar-bingar. Yang tak punya modal berusaha kecil-kecilan, berdagang minuman, pakaian, patung ke pantai. Barang-barang itu diacungkan ke depan turis, sehingga mereka pun disebut pedagang acung. Banyak di antaranya anak-anak kecil, yang begitu ketat menempel turis sambil berteriak dalam bahasa Inggris versi Kuta: bae mi se, wan dolar. Datangnya pemilik modal yang mendirikan hotel kelas menengah ini, ternyata, memberikan warna baru yang suram untuk niasyarakat kelas bawah. Di tahun 1980, home stay sudah tak laku lagi. Hotel kelas menengah itu membanting tarif kamarnya sampai seharga Rp 6.000. Tentu saja, turis asing lebih senang tidur di kamar hotel kelas menengah yang ber-AC itu dengan hanya selisih uang Rp 2.000 dibandingkan tidur di home stay bertarif Rp 4.000. Maka, sedikit demi sedikit gaya home stay diubah menjadi bungalows. Yang tak punya modal untuk perubahan itu merelakan rumah penginapannya disewa pemilik modal, untuk restoran, kios-kios yang menjual berbagai barang souvenir, atau toko kaset. *** SEKARANG, Kuta tak pernah tidur. Kuta tetap hiruk-pikuk, ketika kawasan lain terlelap dalam mimpi. Turis berseliweran dengan pakaiannya yang khas: celana pendek dengan pantat menyembul dan kaus singlet yang bergambar warna-warni. Cewek bule tanpa kutang, kelihatan buah dadanya menyembul. Mereka berpasangan, berjalan hilir mudik menuju pub-pub. Di sana waktunya dihabiskan sambil minum. Tak semua pub ramai. Ada yang sepi melompong, dan pelay207
annya berdiri melongo menunggu tamu. Pemerataan tak terjadi di sektor ini. Satu restoran penuh sesak, turis banyak yang antre tempat duduk, di restoran lain, kursi-kursi teratur tanpa ada yang menduduki. Esok harinya, mungkin giliran yang kosong itu penuh, yang penuh itu kosong. Ini tidak aneh di Kuta. Menurut orangorang Kuta, ada orang yang menggerakkan turis untuk datang ke suatu restoran, katakanlah semacam “organisasi tanpa bentuk”. Penggeraknya bisa pula di kalangan turis itu sendiri. Konon, pertemuan-pertemuan besar semacam itu diatur oleh sebuah organisasi atau entah apa namanya, mereka yang homoseks. Bisa dilihat, misalnya, di sebuah restoran yang sesak, semua bule adalah cowok. Mereka asyik ngobrol berpasangan, ketawa, saling singgul, saling mengelus paha. Pasangan-pasangan normal selalu berjalan ke arah Legian. Di sana ada banyak disko, baik yang diizinkan pemerintah maupun yang tidak punya izin — karena dicabut. Suasana restoran, pub, dan disko di Legian kelihatan lebih seronok. Musik bergelegar memekakkan telinga. Video, dengan tambahan layar lebih besar, diputar. Di layar penyanyi rock dari Barat berjingkrak-jingkrak, di restoran — setelah kursi digeser sedikit — pasangan bule ikut berjingkrak. Musik berakhir, layar tak memantulkan gambar, lampu meredup beberapa saat, pasangan bule itu bercium-ciuman. Pelayan restoran tenang saja mengambil piring yang sudah kosong atau menambah tuangan bir ke gelas di meja. Di halaman Diskotek Bali Kacang, banyak lelaki muda pribumi yang duduk bergerombol sambil mengepulkan asap rokok tak henti-henti. Jika ada cewek-cewek bule yang datang tanpa pengawal, si pemuda pribumi menyapanya dengan “Hallo, are you alone?” Jika jawabannya simpatik, maka sapaan pun berlanjut. Pemuda hitam geropal itu ikut memasuki disko. Dan urusan selanjutnya, hanya mereka saja yang tahu. Mungkin saja terus berlanjut, tak hanya di ruang disko yang memekakkan itu. Tak hanya di tempat pub, restoran, atau disko yang ramai. Toko kaset di Kuta buka sampai jauh larut malam. Tumpukan kaset di depan meja coba yang dilengkapi tape berjejer tanpa ada 208
ruang kosong. Puluhan turis dengan gayanya masing-masing menyimak suara musik lewat headphone. Kuta yang semarak adalah perkampungan turis. *** MULA-MULA memang pantai. Dan pantai Kuta ini, punya kisah perjalanan yang lain, di luar matahari terbenam, bule telanjang, pemijat paruh baya ataupun pasir putih. Pantai ini sekarang menjadi pusat olah raga bahari. Sebagian besar olah raga itu berbau internasional. Berselancar, lomba dayung, perahu layar, juga selam. Yang paling populer tentu saja berselancar (surfing). Olah raga meniti ombak ini hampir setiap hari bisa dilihat dan merupakan hiburan tersendiri bagi penikmat pantai. World Life Saving Interclub Surf Championship yang diselenggarakan di pantai ini 1981 mendapat publikasi luas di berbagai penjuru dunia. Sudah ditetapkan, kegiatan serupa itu diselenggarakan lagi sekitar 1990. Sedang kejuaraan lokal antarperkumpulan se-Bali, atau tingkat nasional dengan mengundang satu dua perkumpulan dari Australia, bisa diadakan sewaktu-waktu. Siapakah yang memperkenalkan pantai ini untuk kegiatan olah raga? Sang perintis tiada lain I Gde Berata, atlet bulu tangkis di tahun 1960-an. Tokoh olah raga ini — sekarang menjabat, antara lain, Ketua Pengda PBSI Bali — menghimpun para pemuda di kampungnya, Banjar Wangaya Kaja, Denpasar. Pemuda itu dibawanya ke Kuta, dilatih berenang, berlari di pasir dan berbagai latihan fisik lainnya. Tujuan Gde Berata semula hanya mendapatkan sejumlah pemuda yang punya ketahanan fisik prima, untuk mengikuti olah raga tradisional gerak jalan Puputan—Badung, gerak jalan yang tiap tahun diselenggarakan di Bali. Pemuda Wangaya Kaja berkalikali menjuarai perlombaan ini. Pemuda dari Wangaya Kaja itu pun semakin akrab dengan tempat latihan fisiknya, pantai Kuta. Mereka akhirnya berbaur dengan perenang-perenang amatir, baik turis lokal maupun turis 209
asing. Ketika kecelakaan di laut yang berombak ganas itu beruntun terjadi, I Gde Berata melahirkan gagasan mendirikan suatu tim penyelamat pantai. Maka, lahirlah Waja Surf Life Saving Club pada 28 Oktober 1972. Waja singkatan dari Wangaya Kaja. Memang organisasi swasta ini beranggotakan pemuda-pemuda dari kampung di tengah Kota Denpasar itu. Gde Berata agaknya semakin tertarik dengan air laut Kuta. Setahun setelah mendirikan klub penyelamat pantai itu, ia pergi ke Sydney, Australia, mengikuti pendidikan life saving. Sepulang dari sana, semakin giat ia melatih anak buahnya. Keamanan di pantai Kuta pun semakin terjamin, karena ada orang yang mengawasi orang-orang berenang. Bendera kuning pun ditancapkan di pantai. Daerah aman untuk berenang adalah daerah di antara kedua bendera itu. Aman karena arus di sana tidak menyeret seseorang ke tengah laut. Setelah enam tahun Gde Berata memimpin organisasi yang sifatnya sukarela — tanpa ada yang memberi imbalan — pemerintah akhirnya melihat manfaat besar tim penyelamat pantai ini. Pada 31 Agustus 1978, organisasi itu diubah namanya menjadi Badung Surf Life Saving. Keanggotaannya tidak lagi dimonopoli pemuda Wangaya Kaja. Pemuda setempat (Kuta dan Legian) dilibatkan. Konsekuensi perubahan nama ini, Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Badung memberi bantuan dana yang dimasukkan dalam APBD. Organisasi ini diletakkan di bawah koordinasi Bagian Ketertiban Umum. Mulailah para penyelamat pantai ini mendapat uang makan dan honor sekadarnya. Dari tahun ke tahun, orang berenang di pantai ini semakin ramai. Angka kecelakaan pun semakin besar. Tahun 1972 misalnya, terjadi 14 kasus, 6 orang dapat diselamatkan, 7 orang ditemukan meninggal, 1 orang hilang. Tahun berikutnya ada 23 kecelakaan, 14 dapat diselamatkan, 7 meninggal, 1 orang hilang. Tahun 1974, 51 kecelakaan, 45 orang diselamatkan, 6 orang meninggal. Angka kecelakaan itu terus bertambah setiap tahun, tetapi yang dapat diselamatkan lebih banyak lagi. Yang diselamatkan itu bukan cuma 210
turis domestik, tetapi juga turis asing. Karena itulah, pada 1 April 1980, badan penyelamat pantai ini berada di bawah koordinasi Dinas Pariwisata Daerah Kabupaten Badung. Dinas ini punya anggaran lebih besar, dan pula mudah meminta “sumbangan” dari pemilik hotel di Kuta. “Sejak itu anggota tim penyelamat mulai mendapat uang transpor,” ujar Gde Berata, lelaki berkulit hitam legam. Di tahun 1986 ini, pantai Kuta diawasi 24 orang beach inspector yang mendapat honor Rp 50.000 sampai Rp 85.000 per bulan, ditambah makan siang. Lalu ada 51 tenaga yang disebut beach patrol yang membantu beach inspector itu. Honornya cuma Rp 7.500 sebulan, ditambah makan siang dan uang transpor. Tugas mereka memang tidak setiap hari seperti halnya para inspektur itu. Selain petugas-petugas ini masih ada 20 orang anggota kehormatan, yang terdiri dari para dokter, pejabat pemerintahan, dan tokoh di masyarakat Kuta. “Masih ada yang disebut anggota simpatisan, jumlahnya sekitar 300 orang,” kata Berata yang tetap dipercaya menjadi ketua badan penyelamat pantai ini. Organisasi ini memang rapi. Punya bangunan besar di pinggir pantai, punya menara yang dilengkapi pengeras suara. Dan orangorangnya selalu siap di pantai dengan mata yang tak lepas dari laut. Data yang ada dari 1972 (saat organisasi ini berdiri) sampai Maret 1986, terjadi 931 kecelakaan, 800 orang dapat diselamatkan, 131 yang meninggal dunia dan hilang. Bayangkanlah kalau badan penyelamat pantai ini tidak ada. Malah sejak 1983, tak ada lagi kategori korban hilang. Pada 1983 itu, dari 113 kasus, 101 diselamatkan, 12 meninggal. Tahun 1984, 95 kasus 168 kecelakaan, 88 diselamatkan, dan 7 sudah menjadi mayat. Tahun 1985 ada 67 kasus, 62 diselamatkan, 5 sudah menjadi mayat. “Kita sekarang punya perlengkapan lebih baik, ada motor boat yang mampu menerjang ombak yang ganas itu, sehingga yang hilang semakin tipis,” kata Berata lagi. “Kecelakaan memang masih kerap terjadi. Biasa, orang-orang yang berenang bandel, tidak mengikuti petunjuk-petunjuk yang dikumandangkan lewat pengeras suara.” 211
Adanya badan penyelamat pantai dengan tenaga yang mencukupi, di sektor lain menggairahkan pula kehidupan olah raga di laut. Tim penyelamat tidak cuma mengawasi mereka yang kecebar-kecebur bercanda di ombak, tetapi juga mengawasi pemain selancar. Anggota badan penyelamat ini pulalah yang meramaikan laut Kuta dengan dayung, selancar, selam, dan sebagainya, kalau mereka tidak mendapat giliran tugas. Yang bertugas tentu harus tetap berada di sekitar menara pengawas. Maka, I Gde Berata dan anak buahnya bukan saja mernberikan bantuan kemanusiaan, tetapi mereka juga atlet-atlet bahari yang tangguh. Berata, yang pernah mengikuti seluk-beluk olah raga ini di London, Hawaii, Hong Kong, Taiwan, Kanada, dan Australia, mungkin satu-satunya pelatih yang punya pengetahuan paling luas di bidang olah raga laut jenis selancar di Indonesia. Turis asing termasuk yang gemar olah raga laut ini. Dan mereka belum tentu tinggal di Kuta. Boleh jadi mereka menghuni kamarkamar mewah di Nusa Dua atau Sanur. *** “KENDATI turis asing membanjiri Kuta, bahkan orang luar menuding telah terjadi pergeseran di Kuta, bagi kami kekhawatiran itu terlalu berlebihan. Kehidupan di Kuta tetap seperti sedia kala,” ujar Lurah Kuta, I Gusti Adnya Subrata. Lurah yang masih muda (lahir 1950, asli Kuta) dan datang dari warga ABRI ini justru merasa gembira, karena warga Kuta, dalam menjalankan agamanya dan melestarikan adatnya, semakin bergairah dan semakin semarak. “Itu karena kehidupan yang sudah mulai baik, masyarakat punya dana berlebihan untuk melaksanakan berbagai upacara,”kata Lurah lagi. Pendapat ini senada dengan pendapat bendesa (pimpinan desa adat) Kuta. “Kehadiran turis asing justru secara tak langsung mendidik warga Kuta dan semakin meluaskan cakrawala pikirannya. Dulu, kalau ada perkawinan, sering berlangsung dengan kawin lari, dan menimbulkan sengketa. Sekarang malah mulai meminang, 212
bukankah itu semakin beradab? Dengan kehadiran turis yang berpakaian sembrono itu, justru menantang muda-mudi Kuta untuk memberi contoh berpakaian yang sopan,” ini kata-kata bendesa Kuta, Dewa Putu Ngurah. Pimpinan adat yang berusia 32 tahun ini sudah memperbaiki awig-awig (semacam undang-undang) desa adat Kuta bersarna mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana. “Masyarakat Kuta terikat pada hukum adat yang mengatur berbagai masalah kemasyarakatan. Yang melanggar hukum diberi peringatan, kalau tak dipatuh juga, dikeluarkan dari desa adat. Tapi sampai kini, belum ada warga yang dikeluarkan karena melanggar awig-awig” kata Putu Ngurah lagi. Dalam hal melayat orang mati atau mengunjungi orang yang punya upacara adat, misalnya, potong gigi, “Warga Kuta tak lagi hanya membawa beras, sebagaimana tradisi orang Bali sejak dulu, tapi sudah ditambah uang, dimasukkan ke dalam amplop,” ujar Putu Ngurah. “Ini ‘kan kemajuan?” *** MEN Mayun — sayang sekali ini bukan nama aslinya — berusia sekitar 55 tahun. Ibu dengan tujuh anak ini masih tampak kekar. Ia asyik rnemijat seorang turis bule yang tidur telentang di pasir. Yang dipijat membaca buku saku, seorang lelaki kekar, berjenggot, dan bercambang. Men Mayun tak punya keterampilan khusus dalam dunia baru ini. Dulu, ia pedagang acung, menjajakan baju daster, baju kaus anak-anak yang bergambar barong, kaus oblong yang bertulis Kuta. “Sudah tak boleh berjualan di pantai ini lagi,” kata Men Mayun. Pedagang acung itu ditertibkan (baca: dilarang) oleh pemerintah sekitar 1984 dengan alasan merusakkan keharmonisan pergaulan di pantai. Mereka menjajakan barangnya terlalu memaksa, langsung mendesakkan barangnya ke calon pembeli. Juga harga barang menjadi mahal. Para wanita bekas pedagang acung itu tak kehabisan akal. Kini mereka mengalihkan profesi baru, jadi tukang pijat, istilah 213
kerennya massage. Mereka berbekal tas butut, baju seragam warna oranye, dan rata-rata tak ada yang berpengalaman sebagai tukang pijat. “Hasilnya tak tentu, ada tamu yang memberi seribu rupiah, ada yang lebih. Berapapun diberi saya terima,” ujar Men Mayun. Karena jumlah tukang pijat ini banyak, 150 orang, ditentukan pembagian kerjanya. Berkat campur tangan orang-orang kelurahan, wanita pemijat ini dibagi tiga kelompok: kelompok selatan di seputar Hotel Kartika Plaza, kelompok tengah di pantai Kuta yang ramai itu, dan kelompok utara di seputar pantai Legian. Tidak boleh melanggar wilayah yang sudah dipetak-petak ini. “Sehari bisa tiga tamu yang saya pijat,” kata Nengah Nitri, pemijat di seputar Legian. Sehari yang dimaksud, tentu tidak dari pagi. Cuma siang sampai menjelang petang. Yang dilakukan para pemijat ini, lebih banyak melumuri tubuh bule itu dengan minyak kelentik bercampur obat gosok semacam reumason. Kulit si bule menjadi panas dan kemerah-merahan. Itu yang dia cari di pantai Kuta, agaknya. Kalau para pemijat tak menemukan mangsa, mereka berkelompok duduk di pinggir pantai. Atau, tak jarang, sepasang turis berlainan jenis, dikerumuni oleh empat pemijat. Satu badan dipijat dua orang. Sementara yang dipijat asyik membaca, atau ngobrol. Dan sesekali berciuman, sementara kaki mereka masing-masing dilumuri minyak. Ibu-ibu paruh baya yang memijat itu sama sekali tak risi melihat langganannya cipok-cipokan. “Suami saya masih bekerja di ladang. Anak-anak saya ada yang bekerja di hotel, membersihkan kamar. Yang lain juga bekerja di restoran. Tak ada yang menganggur di rumah,” ujar Men Mayun lagi. Ia sendiri pulang dari pantai sekitar pukul enam sore, dan langsung memasak untuk makan malam harinya. “Malam hari saya tak bekerja apa-apa, saya tidur. Capek, lagi pula sudah tua,” katanya lagi. Kalau hari raya, apa masih ke pantai? “Ya, masih. Sesajen ‘kan bisa dibeli, tak lagi seperti dulu, apa-apa dibuat sendiri,” katanya. Ia kemudian berlari kecil, seorang temannya memanggil. Rupanya, ada mangsa baru lagi, seorang perempuan yang sudah tidur menelungkup dan menanggalkan kutangnya, minta diurut. 214
*** SUDAH banyak yang mengikuti jejak Men Mayun. Maksudnya, bukan hanya menjadi tukang pijat, tetapi membeli sesajen untuk upacara di lingkungan sanggah — tempat persembahyangan keluarga. Sibuknya orang-orang Kuta mencari uang membuat Nyoman Lepig juga sibuk, sebagai tukang buat sesajen. Setiap hari Nyoman Lepig membuat sesajen, dari yang kecil seperti canang sari sampai sesajen untuk upacara yang lebih besar. Penghasilannva juga lumayan. Sebuah canang sari dijualnya Rp 50 kadang bisa Rp 100. Padahal, itu hanya dibuat dari sebuah janur ditambah bunga seadanya. Setiap hari Nyoman Lepig bisa membuat lima ratus canang sari. Sesajen kecil ini banyak dibeli orang untuk ditaruh di sela-sela barang dagangannya. Sebelum turis banjir di Kuta, setiap ibu rumah tangga akan membuat sendiri sesajennya. Bahkan, kalau ada upacara di Pura Desa, warga banjar bekerja membuat sesajen berhari-hari. “Sekarang sesajen dibuat oleh ahlinya, yang sehari-hari memang membuat sesajen. Warga banjar tinggal menyerahkan uang saja,” ujar bendesa adat Kuta. Apakah ini namanya kemunduran atau kemajuan? Mungkin kedua-duanya. Kemunduran kalau dilihat dampaknya di belakang hari nanti, mungkin saja banyak orang yang lupa bagaimana membuat sesajen untuk berbagaijenis upacara. Kemajuan, karena ada spesialisasi dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu. Dari segi waktu, tenaga, peralatan, tentu lebih hemat. Ada yang tukang pijat, ada yang menjaga art shop, ada yang tukang cuci seprai, lalu ada yang membuat sesajen. Pembagian kerja yang sudah menganut prinsipprinsip masyarakat modern. *** TAPI tukang pijat juga berfungsi ganda. Ibu-ibu paruh baya ini tak jarang yang menjadi mak comblang. Kepada cewek bule, mereka bisik-bisik, apakah si bule berminat mendapatkan teman 215
kencan seorang cowok berkulit legam. Kalau ternyata berminat, tukang pijat itu akan mencarikannya. Tidak semua tukang pijat punya keahlian seperti itu. Memang ada pemuda tanggung di sekitar Kuta yang pekerjaannya melayani cewek bule. Istilahnya, kawin kontrak. Mereka menemani ceweknya itu, ke mana saja dalam perjalanannya di Bali. Lelaki berkulit legam itu berfungsi sebagai penunjuk jalan seperti guide, memboncengkan dengan motor sewaan, juga sampai menemani tidur. Tatkala sang cewek pulang ke negerinya, si pemuda legam menerima upah. “Pemuda semacam itu bisa dihitung dengan jari. Lagi pula, kebanyakan mereka itu dari luar Kuta,” kata Made Mastra, ketua karang taruna Kelurahan Kuta. Ini dibenarkan oleh lurah. “Pemuda luar Kutalah yang lebih banyak berulah tingkah seperti itu, tetapi pemuda Kuta yang kena getahnya.” Agak sulit untuk mendapatkan kepastian, apakah polah tingkah para pemuda yang melacurkan dirinya ini penduduk Kuta atau tidak. Namun, yang menggembirakan memang ada, generasi muda Kuta banyak melakukan kegiatan yang positif. Di tengah-tengah deru kehidupan bergaya Barat itu, di tengah-tengah kebudayaan disko, para remaja Kuta mengembangkan kesenian kerawitan tradisional Bali, atau lazim disebut pesantian dan juga mekidung. Kehidupan remaja ini semakin sumringah, karena untuk mengongkosi kegiatan mereka itu, tampaknya, tidak ada problem. Selain ada sumbangan dari penduduk yang bergerak di bidang rumah penginapan dan juga restoran, pemerintah kelurahan dengan sumberdananya yang banyak itu, memberi bantuan yang tidak sedikit. “Dulu, untuk kegiatan seperti ini, para pemuda mencari dana dari turun ke sawah atau memetik kelapa,” ujar bendesa Kuta. Lewat sarana mekidung dan pesantian ini pula, para remaja itu ditatar masalah bahaya narkoba. Untuk mengamankan “generasi muda” ini pula, antara lain, Gubernur Bali menertibkan disko di Kuta. Sekarang hanya diizinkan sebuah disko di sana, yaitu diskotek Bali Kacang. Padahal, sampai pertengahan 1985, tak kurang dari selusin disko ada di kawasan Kuta dan Legian. Disko itu pula, bukan rahasia umum lagi, me216
nyediakan perempuan penghibur, yang bisa digaet turis dibawa ke penginapan-nya. Perempuan itu kebanyakan dari Jawa Timur. Kebijaksanaan Gubernur Bali soal disko ini memang menimbulkan banyak reaksi. Hotel dan restoran Kayu Api, yang punya disko terkenal, yang sering mendatangkan grup band dari luar negeri, mengaku rugi besar. “Tanpa adanya disko, mana ada tamu yang datang kemari?” ujar seorang karyawan di sana. Walau diskonya itu tutup secara resmi, restoran Kayu Api tetap jalan, tetap memekakkan telinga, dan tetap jadi ajang jingkrak-jingkrak dengan menggeser kursi-kursinya jika malam semakin kelam. *** ADA upacara persembahyangan di pura Desa Kuta, malam hari 9 April 1986. Hari itu disebut Tilem Kedasa (bulan mati pada bulan kesepuluh). Gamelan mengalun, kidung sayup-sayup terdengar. Pe-rempuan-perempuan Desa Kuta hilir mudik di sekitar pura, berkain khas Bali dan di atas kepalanya bertengger hiasan bunga emas. Umbul-umbul warna-warni menghias pura. Pura itu persis di sebelah Kuta Beach Hotel. Di sisi yang lain, berjejer kios-kios yang menjual baju, kaset, juga restoran, dan supermarket. Turis pun hilir mudik di jalanan, di luar pura. Aneh, tak ada turis yang menoleh ke pura, apalagi memasuki halaman depan pura itu. Tak ada turis yang coba-coba mengabadikan upacara di pura itu. Padahal, upacara persembahyangan di Kuta termasuk jarang. Pada siang harinya, di pantai Kuta sebelah selatan juga ada upacara menghanyutkan abu jenazah yang dilakukan oleh penduduk Desa Ubung, 15 km dari Kuta. Upacara ini pun meriah, masyarakat Ubung berbondong-bondong mengiringi pembuangan abu jenazah yang baru saja dibakar itu. Turis asing yang sedang menikmati pantai Kuta tak ada yang tertarik melihat upacara ini. Bule-bule itu tetap saja berjemur, atau dipijit. Hanya turis domestik yang asyik menikmati upacara Pitra Yadnya itu. Di antara turis domestik ini ada yang bergumam, “Kok masih ada upacara begini 217
di pantai Kuta.” Turis datang ke Kuta memang bukan untuk melihat “kebudayaan Bali”. Dan itu juga berarti, kebudayaan, kesenian, adat istiadat, dan sebagainya, yang ada di Kuta, sama sekali “tak dijual” kepada turis. Kuta hanya menyediakan tempat, menyediakan perkampungan, menyediakan pantai, dan rumah penginapan. Turis datang dengan tetap menikmati kebudayaannya sendiri, minum minuman keras, musik disko, berkencan dengan bebas. Di tahun 1970-an, pernah ada sekelompok kesenian di Kuta mengadakan pergelaran, dengan maksud menghibur turis. Ternyata, tak ada turis yang berminat. Kesenian Bali tak laku di Kuta. Upacara persembahyangan tak dilirik oleh turis di Kuta. Lalu, apa sebenarnya yang perlu dikhawatirkan di Kuta? Tentu bukan soal upacara keagamaan yang luntur dan sejenisnya. Tetapi, mungkin yang ini, gejala homoseks yang bisa merembet ke penduduk pribumi. bukan kebudayaan Bali yang tereemar, tetapi barangkali soal AIDS. Kuta perkampungan turis yang memang berbeda dengan Nusa Dua, Sanur, Ubud atau yang berkembang di Candi Dasa dan pantai Lovina sekarang ini. Di sana turis menikmati dan larut dengan budaya Bali, di Kuta tidak.
218
XIV Kasus Kepariwisataan di Desa Trunyan
Para Pewaris Ratu Sakti Pancering Jagat
K
ABUT menyelimuti Danau Batur, di bulan Januari yang tua. Hujan masih turun, rintik-rintik berkepanjangan. Sepi di danau. Perahu-perahu bermotor bertambat di pantai diombang-ambing gelombang. Di dermaga, puluhan tukang perahu jongkok berselimutkan sarung. Udara dingin, dan mereka kelihatan menggigil. Suhu bergerak dari 14 sampai 16 derajat Celsius. Di “pelabuhan” Desa Kedisan, Kintamani, itu kehidupan terlambat dimulai, karena cuaca. Warung-warung di belakang tempat parkir kendaraan masih banyak yang tutup. Hanya tiga kios yang sudah buka. Dua kios berupa warung yang menjual kopi dan makanan kecil. Sekelompok lelaki menikmati kopi pagi di sana. Sebuah kios lagi, di ujung agak jauh, menjual barang kelontong, juga film dan kaset lagu. Dari kios inilah kehangatan sedikit merambat, lewat lagu yang diputar dengan pengeras suara yang menggelepar. Madu dan Racun, dalam berbagai versi, termasuk versi terjemahan 219
ke dalam bahasa Bali, berulang-ulang diputar. Saya masih duduk di kursi panjang di kios makanan itu. Menikmati kopi yang rasanya agak pahit — kegemaran masyarakat Kedisan. Danau masih sepi, angin memang berembus agak kencang. “Sebentar lagi penyeberangan dibuka, asal cocok saja, Pak,” ujar seorang lelaki, yang sejak tadi membuntuti saya. Saya tetap menggelengkan kepala. Saya tak jelas menangkap profesi lelaki ini. Entah tukang perahu, juragan perahu, hansip yang lagi preman, atau calo. Tadi, begitu saya memasuki areal parkir di tengah hujan, ada enam lelaki yang mengerubungi mobil saya. Dua di pintu kiri, tiga di pintu kanan, dan seorang lagi di moncong mobil. “Bapak mau ke Trunyan? Penyeberangan ditutup. Angin sangat besar, Pak. Ombak danau besar, Pak. Penyeberangan ditutup, Pak. Tak ada perahu yang boleh jalan, Pak. Penyeberangan ditutup, Pak.” Kata-kata itu terus diulang-ulang, dan panggilan pak dengan logat Kintamani yang dilambankan membuat kesal juga. Takjelas siapa yang bersuara paling banyak di antara enam lelaki itu. Karena saya tak bereaksi, mereka mulai bosan juga. Kemudian seseorang dengan kalimat datar, yang tidak begitu keras, mulai menawarkan, “Rp 40.000, Pak, kalau mau sebentar lagi penyeberangan dibuka. Tapi Rp 40.000, Pak.” Belum sempat saya menjawab, lelaki itu sudah menambahi, “Kalau harga turis Rp 60.000. Ombaknya ‘kan besar. Sekarang masih ditutup, sebentar lagi baru dibuka.” Saya turun dari mobil dan tiba-tiba saya terjebak bertanya, “Kalau hujan terus, penyeberangan tak dibuka, apanya yang Rp 40.000?” “Kalau Bapak mau Rp 40.000, sebentar lagi dibuka,” langsung lelaki itu bersemangat. “Ombaknya besar begini, memangnya aman?” “Aman, Pak. Nanti dipakai motor tempel yang kuat. Pasti aman. Kita sudah jadi hamba Dewi Danu. Tahu Dewi Danu, Pak, itu yang menjaga danau ini. Nanti sambil berangkat saya ceritakan mengenai dewanya itu.” 220
Saya berlari ke kios makanan, karena hujan tambah lebat. Ketika saya memesan kopi, lupa dengan penyamaran, saya menggunakan bahasa Bali. Dan itu didengar lelaki-lelaki Kedisan yang terus mengerubungi saya. Wajah mereka langsung menampakkan kekecewaan. “Beh, beh, bapake anak Bali. . .,” gumam di antara mereka. Lalu, pembicaraan pun seperti macet. Tawar-menawar seperti buntu tanpa sebab. Keempat lelaki di kursi panjang saling ledek. Saya sesekali menimpali. “Sudah berapa kali Bapak ke Trunyan?” tanya seorang lelaki, yang gesit tadi juga. la memakai bahasa campur, Bali—Indonesia. “Empat kali.” “Begini saja. Rp 25.000. Sebentar lagi I Rarud datang. Rp 25.000 murah, Pak. Sama-sama orang Bali. Bapak kaya, punya mobil, uang Rp 25.000 apa artinya. I Rarud sebentar lagi datang.” “Siapa I Rarud?” tanya saya. “Kepala Desa Kedisan. Dia berkuasa, penyeberangan ditutup atau tidak, tergantung dia.” “Memangnya kalau membayar Rp 25.000, penyeberangan bisa dibuka?” Ketujuh orang di warung itu ketawa semua. Pemilik warung, seorang ibu muda, langsung nyeletuk, “Namanya manusia, Pak. Ada uang, apa yang tak bisa dilakukan. Beh, bapake . . ..” Kami akhirnya bercanda, saling mengolok-olok. Soal logat bahasa, soal anjing Kintamani yang terkenal itu, soal danau yang ada dewinya, soal ombak, soal lagu, lalu soal Rarud. Kalau benar ia Kepala Desa Kedisan yang berkuasa membuka penyeberangan ke Trunyan, sungguh sial nasibnya. Ia diolok-olok secara kasar oleh lelaki-lelaki ini. Sungguh kelewatan, sampai ke masalah kehidupan pribadinya. Rarud punya istri dualah, ingin kawin lagilah .... Dan I Rarud yang digosipkan itu muncul. Ia berjalan menuju dermaga, tidak menoleh ke warung. Pakaiannya parlente, celana panjang, berjaket, bertopi, maklum kepala desa. “Raruuuuddd . . .?” dua lelaki berteriak bersamaan. Tetapi 221
I Rarud tak menoleh ke arah kami. Ia langsung menuju pos di dermaga. “Rp 25.000, Pak. Lha, bapake, apa artinya uang segitu, mobil bapake bagus, nomornya B. Lha, bapake . . .,” lelaki itu merengek. “Rp 20.000,” kata saya, dan lagi-lagi terjebak. “Pokoknya, Rp 25.000,” dan lelaki itu berlari ke dermaga. Sepuluh menit kemudian dia kembali. Hujan mulai menipis. “Penyeberangan masih ditutup, Bapak tak mau Rp 25.000, ya, sudah. I Rarud tak berani mengambil risiko. Ombak masih besar, angin di tengah danau masih kencang. Kalau perahu terbalik, ayo . . ..” “Ya, sudahlah. Tak jadi ke Trunyan juga tak apa-apa. Saya tinggal lapor kepada Pak Gubernur, tugas tak bisa jalan,” jawab saya seenaknya. “Bapak dapat tugas dari Gubernur?” lelaki itu bertanya dengan heran. Semua orang di warung itu tiba-tiba heran. “Baru tahu, ya? Di mobil itu, ‘kan ada seorang lelaki. Dia orang penting dari Jakarta. Dia yang menentukan apakah jalan aspal dari Kedisan ini akan tembus ke Trunyan atau sudah cukup sampai di Songan seperti sekarang,” kata saya semakin berbohong. “Wah, jangan, Pak. Jalan aspal itu cukup sampai di Songan. Kalau tembus ke Trunyan, perahu-perahu pada mati semua, Pak.” “Alaaah . . . tak mungkin pemerintah bisa membuat jalan aspal ke Trunyan, berapa banyak membongkar tebing,” celetuk pemilik warung. “Kan ibu tadi bilang, ada uang, apa yang tak bisa dilakukan?” kata saya dengan wajah yang serius. “Begini, Pak. Bapak punya kertas? Tulis nama Bapak dan nama tamu Bapak. Keperluannya disebutkan. Nah, saya sodori I Rarud,” kata lelaki yang gesit dan tampaknya tak sabaran itu. Karena tak ada kertas, dan hujan masih rintik-rintik, tukang perahu menyodorkan bungkus rokok. Saya tulis nama seseorang — ngawur saja — dengan jabatan staf ahli Gubernur Bali. Lelaki itu membawa bungkus rokok ke dermaga. Kelihatannya ia memasuki sebuah ruangan. Tak lama, ia muncul di emper dermaga dan memanggil-manggil dengan 222
isyarat tangan. Lalu saya ke mobil, membangunkan Gde Aryantha Suthama, penyair yang juga pemimpin koran Karya Bhakti. Gde Aryantha kelihatan terlalu capek. Sudah dua hari ini menemani perjalanan saya, dan sejak pagi ia tidur di mobil. Ketika naik di perahu, ternyata tukang perahu itu adalah lelaki kurus yang sedari tadi jongkok berselimut sarung di pinggir dermaga. Adapun lelaki yang gesit tadi, pastilah salah satu dari sekian banyak calo. Tukang perahu, konon, tak bisa berkutik menghadapi calo. Mereka, tukang perahu itu, kebanyakan bukan penduduk Kedisan. Mereka penghuni desa-desa kecil di pantai danau, Abang, Songan, Toyabung-kah, Trunyan. Sementara itu, urusan penumpang adalah urusan “orang Kedisan”, urusan orang darat. Lelaki parlente yang bernama I Rarud itu, agaknya, punya kekuasaan besar. Dia bisa nyelem putihang gumi di Kedisan, seperti yang diolok-olokkan para Ielaki tadi. Artinya, dia bisa bilang putih, bisa bilang hitam. Dia menentukan apakah Danau Batur yang panjangnya 9 km dan lebarnya 5 km itu bisa diarungi perahu motor atau tidak. Caranya menentukan kebijaksanaan itu pun rada aneh. Lebih condong ke uang. Bukan angin, bukan ombak, bukan hujan. Benarkah I Rarud itu Kepala Desa Kedisan? “Saya tak sempat melihatnya tadi. Biasanya, pagi begini, Pak Perbekel (sebutan kepala desa) Kedisan belum datang,” kata tukang perahu ketika perahu sudah bertolak. Beberapa puluh meter meninggalkan dermaga, saya jadi ngeri. Ombak besar membuat perahu oleng dengan keras. Ditambah rintik hujan dan angin yang membuat badan menggigil. Namun, di danau ini . sudah tampak kemajuan, ya, motor tempel ini. Desa Trunyan yang kami tuju mulai kelihatan atap rumah penduduknya yang mengkilap, di antara kabut. *** DESA Trunyan pun sudah maju. Jauh lebih “modern” dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Lihat saja, begitu perahu berlabuh 223
di pantai Trunyan, sebuah dermaga dengan candi bentar menyambut pelancong yang menjejakkan kaki di desa Bali Aga ini. Dalam bentuk lebih kecil, dermaga dan candi bentar itu mengingatkan orang pada dermaga Gilimanuk, pintu gerbang Bali lewat jalan darat. Bersama Gde Aryantha, kami sepakat untuk menggunakan bahasa Indonesia selama di Trunyan, sedikit penyamaran dirasa perlu. Anak-anak Trunyan pun merubung kami. Ada yang menyodorkan payung, persis di Candi Borobudur, di Candi Prambanan, atau di Ratu Plaza, Jakarta, kalau hari hujan. “Tidak bayar, Pak. Tidak bayar, Pak,” teriak anak-anak kecil itu berbahasa Indonesia. Saya sempat melirik di pos dermaga Trunyan, sebuah tulisan yang berbunyi: sumbangan pemakaian payung Rp 1.000. Anak-anak Trunyan paham betui berbahasa, sumbangan memang tidak sama dengan bayaran. Kami menolak payung. Dua orang lelaki dewasa, mengenakan sarung dan berjaket kulit, menggiring kami menuju sebuah balai, di depan Pura Pancering Jagat — tempat suci terpenting dan terbesar di Desa Trunyan. Kami disodori buku tamu yang kumal, lusuh, penuh sobekan dan coretan. Banyak tertera nama orang asing dan nama orang luar Bali di buku tamu itu. Setelah nama, alamat, tujuan, kemudian ada kolom: sumbangan sukarela. Angka-angka di situ, besar-besar. Ada Rp 10.000, ada Rp 25.000, bahkan ada Rp 50.000. Paling kecil tertulis Rp 5.000. Melirik angka nol dari tulisan yang tampak dikurek-kurek, saya pun ketawa dalam hati. Angka itu, tentu kreativitas. Tujuannya mengelabui penyumbang. Siapa tahu terjebak ikut-ikutan. Tapi, kali ini saya tidak terjebak, sudah berpengalaman di makam Raja Udayana di Gunung Kawi — bukan Gunung Kawi Jawa Timur. Saya menyumbang Rp 1.000, dan kedua lelaki itu menerimanya dengan sikap yang dingin. Saya berani bertaruh,jika besok saya sempat ke sana lagi, dan disodori buku tamu yang sama, pasti angka itu berubah menjadi Rp 10.000. Siapakah yang mengatakan, tidak ada kemajuan di Trunyan? Dan buku tamu itu, sudah pasti, bukan buku tamu milik Kepala Desa yang resmi. 224
Seperti yang sudah saya perkirakan, Kepala Desa Trunyan, I Nengah Tekes, tak ada di kantornya hari itu. Kepala desa ini tidak menetap di induk Desa Trunyan. Ia berdiam di Tempek Puseh — dibatasi tebing tetapi masih bagian administrative Desa Trunyan. I Nengah Tekes punya rumah bagus — untuk ukuran Trunyan — di desa induk, persis di depan Pura Pancering Jagat. Kantor Kepala Desa juga di desa induk. Tidak ada kegiatan kantor, tampaknya. Musim hujan, siapa yang mau datang ke Trunyan? Dan, kalau tak ada yang datang, untuk apa berkantor? Di Balai Desa, hari itu ada empat gadis Trunyan sedang kursus menenun. Sebetulnya ada sembilan pengikut kursus, tetapi lima orang berhalangan. Seorang gadis, bukan dari Trunyan, bertindak sebagai pengajar. la pegawai negeri, petugas Bipik (Bimbingan dan Penyuluhan Industri Kecil) Departemen Perindustrian. “Ini sudah angkatan ketiga. Sudah 17 orang gadis Trunyan selesai mengikuti kursus,” kata gadis Bipik itu. Apakah mereka kini giat menenun? “Tidak seorang pun. Mereka tak punya modal,” katanya lagi terus terang. Dari empat gadis yang berguru itu, seseorang menceritakan, dia mengikuti kursus, semula karena dipaksa. Setelah tiga hari kursus, mulai betah. Selain dapat makan gratis dua kali sehari, mereka mendapat uang saku Rp 700 sehari. Bahwa selesai kursus yang lamanya tiga bulan itu mereka akan kembali mencari rumput tiap hari mendaki tebing, itu urusan lain. Dua lelaki dewasa yang mengantar kami selama di desa induk Trunyan itu bak guide yang berpengalaman. Ia selalu ngoceh, menjelaskan keanehan-keanehan desanya, dan mengajak kami berkeliling di Pura Pancering Jagat. Tanpa diminta, dia juga menjelaskan asal-usul desanya, termasuk ternpat sucinya itu. Tapi dia tak bisa menerangkan kenapa beberapa bangunan di Pura Pancering Jagat dibuat dari beton. Kenapa pula pintu gerbang pura itu dibuat dengan gaya pura di tempat lain di luar Trunyan, memakai kori agung. Ketika ditanyakan apakah itu tidak menghilangkan identitas Trunyan, lelaki itu menjawab, “Memang, semuanya ini menyebabkan tidak ash, tapi bangunan ini sumbangan pemerin225
tah.” Pemerintah itu apakah pemerintah provinsi, kabupaten, dinas agama, Parisada Hindu Dharma, atau dinas pariwisata yang banyak menaruh kepentingan di desa kuno ini, kedua lelaki itu tidak tahu. “Selama ini tak ada yang menanyakan itu, kecuali Bapak. Yang saya tahu, pintu gerbang Pura Pancering Jagat ini dibangun bersamaan dengan candi bentar di dermaga,” ujar lelaki itu. “Dibangun tiga tahun yang lalu. Di kuburan juga ada candi bentar.” Agak rikuh mata memandang. Di kuburan Trunyan yang sempit dan tempat yang menyebabkan kawasan ini menjadi daya tarik wisatawan, ada dermaga dengan pintu candi bentar. Dermaga itu pun tak selalu berfungsi, hanya kalau ada pejabat atau tamu terhormat yang datang dengan perahu yang lebih besar. Pengunjung biasa, termasuk turis asing, perahunya berlabuh di pantai danau, bukan di dermaga itu. Trunyan dan kuburannya memang menjadi lebih cantik. Kulit luarnya telah diberi bedak dan gincu yang tebal. Trunyan tampak genit. *** TRUNYAN yang dulu rasanya lebih punya roh. Ada getargetar. Mengunjungi Desa Trunyan semestinya membaca legenda dan menikmati semacam dongeng. Berkunjung ke sana adalah menatap masa lalu, bersentuhan dengan zaman pra-Hindu. Sebuah desa yang unik, tak ada duanya. Desa kecil di tepi Danau Batur, berada di kawah Gunung Batur Purba, berada di ketinggian 1.038 meter dari permukaan laut. Bukan cuma kemajuan fisik Trunyan yang simpang siur. Sejarah desa itu sendiri simpang siur pula. Mungkin, dulu-dulunya, banyak prasasti yang hilang, sebelum sempat dibaca. Kemudian sisa-sisa prasasti itu dikeramatkan penduduk setempat, sebagai sesuatu yang suci — hal yang biasa terjadi di mana-mana di belahan bumi Bali ini. Bagi orang tua di pedesaan Bali, melihat prasasti suatu hal yang bisa dikaitkan dengan kualat, apalagi membacanya. Itu rupanya yang menyebabkan sejarah desa ini menjadi remang-remang. Apalagi, “sejarah” itu diceritakan dari mulut ke 226
mulut oleh warga Trunyan secara turun-temurun. Setiap generasi melebihi atau mengurangi, setiap orang memberi tambahan atau memperpendek. James Danandjaja, antropolog yang selama setahun hidup di tengah penduduk Trunyan, dan menghasilkan gelar doktor dari desa ini, mengumpulkan tidak kurang dari sebelas legenda rakyat untuk mencoba merekonstruksi asal-usul Desa Trunyan. Semuanya berdasarkan penuturan tetua desa itu. Toh, James tetap sulit membuat sesuatu yang bisa diterima akal sehat, bagaimana sesungguhnya sejarah dan perkembangan desa ini. Tentang nama Trunyan itu, misalnya. Sekelompok penduduk Trunyan mengartikan dari kata turun dan hyang. Turun sama artinya dengan bahasa Indonesia. Hyang adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai dewa atau dewi. Penduduk Trunyan percaya, leluhur mereka. adalah keturunan dari langit, dewi yang turun ke bumi. Turun hyang lama-lama menjadi Trunyan. Sekelompok lain mencarinya dari alasan yang menyebabkan sang dewi turun di sana. Karena, di tepi danau yang indah dan sejuk itu, ada pohon yang memancarkan bau harum sampai ke kahyangan. Itu adalah pohon menyan (benzoin). Dalam bahasa Bali halus, pohon adalah taru. Maka, taru menyan lama-lama menjadi Trunyan. Legenda yang hidup di Desa Trunyan tentang asal-usul sekitar dewi itu begini: Sang Dewi, yang begitu terangsang akan bau harum dari bumi, turun mencari sumber bau itu. Karena dewi, ia mudah saja menemukannya, dan turunlah ia di belongan — sebuah tanah datar di antara tebing pinggir danau — yang ditumbuhi pohon menyan. Dewi berdiam terus di sana, bagai tak bisa lepas dari sihir bau harum itu. Sementara itu, Batara Surya diceritakan gusar, karena seseorang (baca: sesedewa atau sesedewi) dari penghuni kahyangan nyasar ke bumi. Dan Batara Surya (dalam mitos Bali, beliau ini adalah matahari) mengamat-amati, di mana gerangan sang dewi berada. Merasa diamati, sang dewi, yang masih betah di bawah kerindangan pohon harum itu, mangkel juga. Dewi lantas mencibir. 227
Caranya, menunggingkan pantatnya ke arah matahari, sampai-sampai kemaluannya terlihat. Namanya saja legenda, maka tersebutlah sang surya yang dicibir itu bertambah penasaran, lalu ia mempermalukan dewi. Kemaluan sang dewi itu disetubuhi dari jarak jauh. Dewi pun mengandung, lalu melahirkan anak kembar: kakaknya lelaki, adiknya perempuan. Setelah kedua anak ini besar, sang dewi kembali ke langit, simbol sebuah dunia antah-berantah. Sampai di sini, legenda tentang Desa Trunyan bisa berakhir. Tetapi bisa pula diperpanjang. Kalau pengunjung mendapatkan guide yang tak sabaran, atau pengunjung tidak cerewet bertanyatanya lagi, maka akhir legenda itu mudah saja: kakak beradik keturunan sang dewi adalah manusia-manusia pertama orang Trunyan. Dua bersaudara kembar berlainan jenis itulah nenek moyang orang Trunyan yang sekarang. Nah, puas? Jika tidak puas, legenda bisa berpanjang-panjang, dan dihubung-hubungkan dengan segala hal yang bisa berbekas, sebagai peninggalan di Desa Trunyan dan di sekitar Danau Batur. Cerita belum berakhir, tentu saja. Maka, tersebutlah kemudian, keluarga ningrat dari Keraton Solo. Anda tidak usah bertanya, apakah itu trah Pakubuwono atau Mangkunagoro, tak akan terjawab. Pokoknya, pohon harum semerbak wangi di pantai Danau Batur itu tercium sampai ke Solo. Empat orang bersaudara kandung, yang merupakan anak-anak raja Solo, secara bersama-sama mencari di mana pohon harum itu berada. Dari empat putra ningrat itu — di Bali, orang ningrat sebelum lahirnya kasta-kasta seperti sekarang disebut dalem — yang paling kecil seorang perempuan. Keempatnya tidak bernama. Alkisah, dalam pengembaraan keempat dalem Solo itu, mereka pun sudah mendekati sumber keharuman. Mereka sudah di pinggir selatan Danau Batur. Berapa jam atau hari atau bulan perjalanan dari Solo ke Danaii Batur, tidak diceritakan. Anda jangan terlalu cerewet mendengarkan legenda, karena Solo yang dimaksudkan di sini belum pasti pula Solo yang di Jawa Tengah itu. Ini bukan sejarah, lho. Entah kenapa, setiba di kaki selatan Gunung Batur, si perem228
puan dalem Solo tiba-tiba tidak meneruskan pencarian sumber harum. Penduduk Trunyan, yang “memiliki” legenda ini, bisa menerangkan dengan versi: si perempuan itu kelelahan dan merasa tak kuat lagi berjalan setelah melihat sulitnya medan, harus mendaki tebing yang curam. Anda boleh bertanya, apakah tadinya dari Solo ke Gunung Batur tak ada melewati tebing curam. Tentu, tak ada jawaban. Sebaiknya Anda mengangguk, dan jika perlu menambahi versi pembetulan: ya, mana kuat seorang perempuan menyusuri tebing curam bukit sebelah timur Danau Batur. Singkat kata, si kecil dalem Solo itu ditinggalkan seorang diri. Rupanya, si kecil punya jasa luar biasa dalam lingkungan tempat barunya, entah apa. Buktinya, beliau dipuja setaraf dcwi, dan kini bergelar Ratu Ayu Mas Maketeg. Tiga lelaki dari Solo itu terus berjalan. Di sebuah tanah datar yang cukup luas di pinggir danau, lelaki termuda berteriak saking girangnya, karena mendengar suara burung. Kedua kakaknya marah, karena teriakan kegirangan itu tidak layak untuk sebuah “penderitaan” dalam mengejar suatu cita-cita luhur. (Jika Anda menonton tcater Bali: arja, drama gong, gambuh, toping, setiap pencarian suci adalah sebuah penderitaan yang harus ditempuh dengan penuh keprihatinan, pantang bersukaria). Si sulung dalem Solo itu memerintahkan adiknya untuk tidak meneruskan perjalanan, dan tinggal di tempat itu. Si kecil menolak. Kakaknya semakin berang, dan menendang adiknya itu, sehingga sang adik jatuh dalam posisi duduk bersila. Tanah datar itu disebut Kedisan, asal kata dari kedis, yang berarti burung. Dan, di Kedisan yang kini menjadi desa itu, ada patung batu menggambarkan orang duduk bersila. Masyarakat setempat memberi gelar, Ratu Sakti Sang Hyang Jero. Patung itu sudah menjadi benda suci, dan ditempatkan di sebuah pura yang disebut Pura Dalem Pingit — arti harfiahnya pura tempat bersemayam dalem yang suci. Masih tinggal dua lelaki dari Solo. Keduanya terus menyusuri tebing sebelah timur danau yang curam. Di sebuah dataran lain, kedua dalem ini menemukan dua wanita yang sedang asyik mencari kutu. Begitu gembiranya melihat manusia, wanita lagi 229
— sejak awal tadi tak diceritakan mereka berjumpa dengan manusia, aneh memang — putra kedua raja Solo ini langsung menegur wanita tadi. Perbuatan adiknya ini amat tidak disenangi kakaknya. (Dan memang, jika Anda menemukan dua atau lebih wanita Bali di pedesaan sedang asyik mencari kutu di halaman rumahnya, dan Anda ingin menyapa — misalnya bertanya tentang sesuatu — sebelumnya berbuatlah sesuatu yang menyebabkan keasyikan mencari kutu itu terganggu. Misalnya batuk-batuk, mendehem, atau membuat kegaduhan kecil). Sang kakak memerintahkan kepada adiknya agar tak usah rneneruskan perjalanan. Keberisikan seperti itu mengganggu perjalanan suci mencari sumber harum yang dikategorikan sama dengan melakukan semadi. Lagi-lagi si adik menolak, dengan sikap melawan. Kakaknya marah, ditendangnya adiknya itu keras-keras. Sang adik jatuh tertelungkup. Jatuh dalam posisi begitu, di Bali, disebut melingkuh. Dari asal kata ini, dataran itu kemudian bernama Dukuh — sekarang bernama Abang Dukuh, karena merupakan bagian administratif Desa Abang. Di sini pula, konon, pernah ada patung dalam posisi tertelungkup, yang diberi gelar Ratu Sakti Dukuh. Patung itu sudah hilang tertimbun pasir, ketika Gunung Agung — bukan Gunung Batur — meletus dahsyat pada 1963. Nah, tidak ada lagi godaan bagi dalem Solo yang tinggal sendirian mencari sumber harum di ujung timur Danau Batur. Tebing yang curam-curam terus ditelusurinya. Dan akhirnya, dia menemukan pohon yang memancarkan keharuman itu. Sayangnya, pohon itu ditongkrongi oleh seorang wanita — ini anak dewi yang turun dari langit. Dalem Solo tak kekurangan akal, wanita itu dikawininya. Sebelum perkawinan diselenggarakan, dalem mencari kakak wanita tadi (lelaki yang lahir kembar itu) untuk memohon restu. Restu ternyata mudah diperoleh, asalkan dengan syarat, dalem Solo bersedia menjadi pemimpin di kawasan itu nantinya. Dalem Solo setuju. Memimpin kawasan baru itu, pasangan ini mengembangkan sistem pemerintahan yang “modern” dengan bentuk kerajaan, konon, meniru Solo. Tentu saja hal itu baru bisa dilakukan setelah 230
mereka beranak-pinak. Dan, karena khawatir keharuman pohon di kawasan itu akan tetap menggiurkan para petualang lain, dan mereka takut diserbu, dalem Solo ini menemukan akal. Keharuman pohon itu harus dilenyapkan, tanpa menumbangkan pohon. Caranya, jika ada orang meninggal, mayatnya digeletakkan saja di bawah pohon, tidak dikuburkan. Bau harum pohon dan bau busuk mayat akan membuat tak tercium bau apa-apa. Kebiasaan itulah yang dipegang turun-temurun oleh anak keturunan dalem Solo, orang-orang Trunyan yang sekarang. Pura yang ada di induk Desa Trunyan itulah, sekarang ini disebut tempat bersemayamnya roh dalem Solo, yang sudah dianggap sebagai dewa tertinggi orang Trunyan. Semula dewa mahatinggi itu disebut Da Tonta — artinya Tuhan Kita. Dan kemudian, karena banyaknya tekanan yang datang ke Trunyan, agar nama-nama dewa diseragamkan dengan nama dewa-dewa Hindu di tempat lain di luar Trunyan, Da Tonta punya gelar baru: Ratu Sakti Pancering Jagat. Istri dalem Solo juga punya gelar yang “disesuaikan”, yang memang berbau Hindu, Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar. Legenda asal-usul orang Trunyan ini — seperti juga masih ada beberapa legenda lainnya — masih terus dituturkan dari generasi ke generasi di Trunyan. Sarana penuturan itu, biasanya, pada upacara di Pura Pancering Jagat, yang jatuh setiap bulan purnama keempat, Purnama Kapat, sekitar bulan Oktober. Pada saat itu ada upacara besar atau orang Trunyan menyebutnya Sabha Gede. Di antara rentetan upacara, dipergelarkan suatu jenis tarian suci yang disebut Bethara Berutuk. Drama tari bisu inilah yang mengisahkan legenda di atas, mulai dari dalem Solo terdampar di tepi Danau Batur dan mengawini putri dewi. Mungkin, karena drama tari ini bisu, pewarisan legenda dari orangtua kepada anaknya bisa berbeda di setiap keluarga. *** ADA baiknya kalau saya mengutip beberapa “karya ilmiah” di sekitar legenda ini, sebuah legenda yang memang perlu dikaji. 231
I Gusti Ngurah Djelantik, dalam bukunya Salinan Babad Batur, mengutip lagi karangan Sertu Klungkung, mengenai sejarah Desa Trunyan. Di sana disebutkan, dalem Solo, yang kemudian bergelar ratu Sakti Pancering Jagat, berasal dari Kerajaan Majapahit. Ia putra dari Ida Ratu Majapahit (Ida Ratu berarti raja jadi tidak disebutkan siapa nama raja ini) yang beristrikan Ida Ayu Malejeng. Dalem Solo yang terdampar di Trunyan itu, maksudnya untuk mencari permukiman baru, bernama I Gede Manik Pancer. Tampaknya tulisan ini memberi kesan, gelar Pancering Jagat bukan sekadar karena dalem Solo itu diangkat menjadi pemimpin di Trunyan, tetapi betul-betui dari nama kecil dalem Solo: Pancer. Sebuah kajian lain menyebutkan, Pancering Jagat berasal dari kata pancer yang berarti pasak, dan jagat berarti bumi. Akhiran ing dalam kosakata bahasa Bali sama dengan nya, jadi Pancering Jagat berarti Pasaknya Bumi, kias dari sang pemimpin. Sayangnya, Salinan Babad Batur ini menjadi kacau, kalau Majapahit yang dimaksud dalam karangan itu adalah Kerajaan Majapahit yang dikenal dalam sejarah Indonesia, yang dipelajari di sekolah sekarang ini. Seperti yang tersurat di buku sejarah, Kerajaan Majapahit baru didirikan pada 1293 Masehi. Tentulah, dalem Solo — kalau ia dari Majapahit yang ini — berangkat ke Bali setelah tahun-tahun itu. Kekacauan ini kalau dihubungkan dengan prasasti yang ditemukan di Trunyan, yang oleh R. Goris diberi nomor prasasti Trunyan Al. Dalam prasasti ini disebutkan, sekelompok orang hendak mendirikan tempat suci untuk Da Tonta. Prasasti itu sendiri bertahun 833 Caka atau 912 Masehi. Prasasti ini masih disimpan di kompleks Pura Pancering Jagat sebagai — seperti juga prasasti di tempat lain — benda suci. Kalau berpegangan kepada prasasti — dan ini kadar ilmiahnya lebih tinggi — tentulah pada 912 Masehi ini, Da Tonta sudah lama “meninggal dunia”, sehingga layak dikenang sebagai personifikasi Tuhan Kita, sebuah kebudayaan pra-Hindu yang menyembah leluhur. Tak mungkin Da Tonta — siapa pun nama aslinya — berasal 232
dari Kerajaan Majapahit, kerajaan yang kita pelajari berdiri jauh di belakang tahun prasasti Trunyan itu. *** APA pun yang terjadi, bagaimanapun muramnya asal-usul itu, Trunyan memang desa kuno. Tetapi kekunoan itu, ternyata, amat sulit dipertahankan. Perubahan zaman, perubahan peradaban, nafsu untuk saling menguasai dan mempengaruhi terjadi terus-menerus. Sejarah perkembangan Trunyan membuktikan, perubahan yang terjadi lebih besar disebabkan oleh pihak luar. Dalam cerita-cerita kuno (babad) sejarah Bali, dalam cerita Babad, Blahbatuh, ada disebutkan, kawasan Trunyan pernah diserang Panji Sakti dari Kerajaan Gelgel pada abad ke-14. Dan, tokoh Panji Sakti ini memang berhasil menanamkan pengaruhnya di desa-desa sekitar Danau Batur, bahkan terus ke Bali utara. Tetapi dalam legenda Trunyan, Panji Sakti tak berhasil menguasai daerah itu, karena diserang tawon putih yang keluar dari Pura Pancering Jagat. Orang Trunyan diselamatkan oleh Da Tonta. Sebelum itu datang pula ke Trunyan penyebar agama Hindu dari warga Pasek, juga dari Kerajaan Gelgel. Tujuan mereka untuk menyeragamkan tata cara keagamaan di seluruh Kerajaan Gelgel, kerajaan besar yang menguasai Bali, bahkan sampai ke Semenanjung Blambangan, Jawa Timur, dan Lombok Barat. Baik para penyebar agama ini maupun para pengikut Panji Sakti ada juga yang sebagian menetap di belongan kecil sekitar Trunyan — yang kini belongan itu menjadi bagian dari Desa Trunyan secara wilayah administratif. Yang menarik dari penyebaran agama Hindu itu adalah, warga Trunyan menerima sebagian karena takut, dan menolak yang bisa ditolaknya. Yang sebagian diterima itu hanyalah kulit luarnya, misalnya penyeragaman nama-nama dewa: Dewi Sri, Ratu Sakti Rambut Sedana, Ratu Sakti Kemulan Ulun Suwi, dan lain-lain termasuk usaha mengganti nama Da Tonta menjadi Ratu Sakti Pancering Jagat, tetapi tidak kebudayaan dan tata upacara 233
keagamaan. Misalnya, di Trunyan tidak ada Tri Kahyangan, yaitu Pura Puseh, Pura Dalem, Pura Desa, yang fungsinya seperti Tri Kahyangan orang Hindu di desa lain. Akibatnya pula, tak dikenal Bethara Brahma, Wisnu, dan Ciwa — pencipta, pemelihara, dan perusak alam.Juga tak dikenal hari raya Nyepi, Ciwalatri, Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Saraswati. Penduduk Trunyan, kalau ditanya hari raya umat Hindu itu, dan dewa-dewa itu, suka berdusta dengan pura-pura tahu, untuk tidak dituduh yang bukan-bukan. Anehnya, para pendatang yang bukan keturunan langsung dalem Solo — misalnya mereka yang mengikuti Panji Sakti dan orang Pasek itu — justru larut dengan kebudayaan Trunyan. Keturunan Pasek, misalnya, masih banyak di Trunyan. Mereka ikut dalam tata upacara keagamaan versi Trunyan. Usaha menyeragamkan upacara keagamaan di Trunyan dengan desa-desa lainnya di Ball — kasarnya menghindukan secara total orang Trunyan — terus dicoba, anehnya oleh pemerintah daerah, yang tentu saja atas anjuran lembaga-lembaga keagamaan umat Hindu, setelah zaman merdeka ini. Sebuah contoh menarik tentang ini ditulis James Danandjaja dalam bukunya Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali, berdasarkan penuturan tetua orang Trunyan. Sarinya begini: Tahun 1959, wilayah Desa Trunyan mengalami kebakaran hebat. Setelah bencana itu ditanggulangi dan rumah-rumah mulai dibangun kembali, diperlukan upacara manca sanak dalam versi orang Trunyan, yang di desa-desa (Hindu) lainnya disebut mecaru. Persiapan sudah dilakukan dengan rapi di Trunyan. Tiba-tiba ada perintah dari bupati Bangli (Ida Bagus Made Suta, kini almarhum) agar persiapan itu dihentikan karena menyalahi ketentuan agama Hindu. Bupati bahkan mengirim ke Trunyan seorang pendeta Hindu dari kasta Brahmana, yang disebut pedanda. Tokoh ini disertai tukang membuat sesajen. Menurut perintah Bupati, hanya pedanda beserta sesajen yang dibuat para pengikut pedanda yang sah untuk upacara keagamaan setingkat itu. Tentu saja ini berbeda dengan keyakinan orang Trunyan. Bertahun-tahun upacara keagamaan — sebenarnya masih bisa diperdebatkan apakah itu agama atau 234
kepercayaan jika dilihat masa sekarang — di Trunyan diselesaikan sendiri oleh orang Trunyan, dipimpin pedulu (di luar Trunyan jenis pekerjaan ini disebut pemangku) orang Trunyan dan sesajennya adalah versi Trunyan. Serba Trunyan, tak ada impor dari seberang danau. Karena takut disangka melawan pemerintah, warga Trunyan menyerah kalah. Sesajen versi mereka dibuang begitu saja, diganti sesajen versi pedanda. Dan, tentu saja, banyak kerugian yang diderita orang Trunyan, karena sesajen versi pedanda ini pun dibiayai sendiri oleh orang Trunyan. Celakanya, tiga bulan setelah upacara yang dipimpin tokoh luar itu, penduduk setempat menyaksikan gejala alam yang aneh. Salah satu balai yang bernama belagung tilem di kompleks Pura Pancering Jagat, penuh dengan kotoran anjing. Bagi penduduk Trunyan, ini adalah pertanda, dewa tertinggi mereka, Da Tonta, murka. Maka, warga Trunyan kembali menyelenggarakan upacara permintaan maaf — versi mereka. Sejak upacara itu, tak ada lagi kotoran anjing di pura tertinggi orang Trunyan itu. Mereka yakin, permintaan maaf mereka diterima. *** PARA pewaris Da Tonta — atau setelah kena pengaruh Hindu: Ratu Sakti Pancering Jagat — terus-menerus menghadapi serbuan yang lama-lama bisa mengubah kebudayaan asli mereka. Serbuan jenis baru tidak lagi datang dari raja Gelgel, tidak dari raja Majapahit, tidak dari raja di mana-mana. Tetapi dari “raja baru” yang lebih berkuasa dan lebih ditakuti, yakni pemerintah. Dalihnya, Trunyan mau dilibatkan ke dalam peta pariwisata di Bali. Serangan ini mulai gencar 1973, memuncak sekitar 1978. Candi bentar itu, misalnya. Jelas, tujuannya hanya untuk memperindah Desa Trunyan dan kuburan Trunyan. Juga sekadar sebagai “lambang” bahwa itu Bali, atau itu obyek pariwisata. Tak pernah dikenal selama bertahun-tahun bangunan candi bentar seperti itu dalam arsitektur masyarakat Trunyan. “Candi bentar itu baru dibuat pemerintah tiga tahun yang lalu,” kata lelaki Trunyan yang 235
mengantarkan saya mengelilingi desanya. Dengarlah baik-baik, “dibuat oleh pemerintah”. Bangunan Pura Pancering Jagat juga dipoles dengan bantuan pemerintah. Yakni diperkenalkannya kori agung, dan tak tanggungtanggung beratap tujuh tingkat. Lagi-lagi suatu bangunan yang tak pernah dikenal sebelum ini dalam kebudayaan masyarakat Trunyan. Tetapi karena “dibuat oleh pemerintah”, dan bersamaan dengan itu dibuat pula balai pertemuan — yang sekarang dilengkapi lagi pesawat televisi — maka masyarakat Trunyan terus-menerus diracuni bagaimana cara meminta-minta kepada pemerintah. Karena pemerintah mendatangkan turis, pada akhirnya turis ini pun layak dimintai apa saja, sebagai “simbol lain” dari orang pemerintah. Maka, anak-anak Desa Trunyan dianjurkan orangtuanya ramai-ramai menyerbu pelancong, entah itu turis atau orang Jawa — sebutan untuk orang luar Bali — untuk dimintai uang. Di dermaga, di pura suci, di kuburan, di mana saja sempat menghadang turis, tadahkan tangan dan katakan: gip mi wan dolar ser. Atau menodong pengunjung dengan bantuan alat: payung, buku tamu, jukung — misalnya menghalang-halangi perahu pelancong mendarat — atau dengan tengkorak, dengan apa saja. Kebetulan “warisan” meminta-minta itu seperti sah, ketika kawasan ini menderita parah akibat hujan pasir meletusnya Gunung Agung pada 1963. Memasukkan Trunyan ke dalam peta pariwisata, ternyata dengan cara dan pola yang itu-itu juga. Misalnya, dijadikan “pola art shop”. Turis yang tiba di Trunyan, setelah tiga puluh menit berperahu dari Kedisan, disuguhi sebuah desa yang tak bisa lagi dikenali keasliannya, kecuali berputar-putar di Pura Pancering Jagat yang tak lagi berkesan tua itu. Rupanya, para penata pariwisata sadar hal itu, lalu disuruhnya orang Trunyan, terutama para gadisnya, melakukan kegiatan “seni”. Dibuatlah balai yang berdempetan dengan kantor Kepala Desa sebagai tempat gadis Trunyan menenun. Jadi, persis memasuki art shop atau galeri yang bertebaran di Celuk dan Mas. Pelancong yang tak puas melihat mutu kesenian Bali dicoba dialihkan dengan demonstrasi mematung, memahat, dan menenun. 236
Kuburan Trunyan, yang luasnya tak lebih dari satu hektar itu, barangkali satu-satunya kuburan di Bali yang berpintu gerbang candi bentar. (Lihat: Salah Kaprah. Kata I Gusli Agung Gde Putra). Kuburan yang dimaksud di sini adalah sema wayah, yaitu pemakaman untuk orang-orang dewasa, orang yang meninggal dunia ketika setelah menikah. Inilah kuburan yang jadi daya pikat para pelancong. Di Desa Trunyan, ada lagi kuburan yang lebih kecil, yang disebut sema nguda, tempat pemakaman orang-orang yang mati sebelum kawin, orang yang masih dianggap suci. Penguburan mayat di sema nguda ini, biasa saja seperti di tempat lain, ditanam di dalam tanah. Jadi, memang tak punya daya pikat. Tak ada pelancong ke sini, walau letaknya di antara desa induk Trunyan dan sema wayah. Perjalanan dari desa induk Trunyan ke sema wayah, satu-satunya cara adalah lewat air, mendayung sekitar lima belas menit, atau dengan perahu motor sekitar sepuluh menit. (Hati-hati ketika menyewa perahu di dermaga Kedisan. Mintalah paket perjalanan Trunyan—Kuburan Trunyan — dan biasanya diteruskan ke Toyabungkah. Dengan hanya menyebut tujuan Trunyan, Anda bisa-bisa tidak dibawa ke kuburan Trunyan, kalau tidak menambah bayaran — ini kesempatan Anda diperas). Dalam tradisi penguburan masyarakat Trunyan, mayat tidak boleh dibawa dengan perahu bermotor, dan selalu perahu dayung. Pengantarnya boleh. Sesampai di sema wayah, jenazah baru itu tidak langsung digeletakkan, ada beberapa upacara. Pemilik mayat harus membeli petak tanah tempat jenazah secara ritual. Ini penting, karena di kuburan itu hanya ada tujuh petak tempat penyimpanan jenazah, sehingga mayat baru secara simbolis harus dibelikan satu petak yang sudah terisi. Tentu saja, yang dibeli adalah petak yang diisi mayat paling tua, artinya yang paling dulu ada di antara yang tujuh itu. Nah, mayat yang paling tua ini disingkirkan dari petak, dan tulang-tulangnya — kadang masih ada sebagian isinya — digeletakkan begitu saja di luar petak-petak. Petaknya diisi mayat baru. 237
Mayat baru ini diselimuti kain sukla, artinya kain yang belum pernah dipakai sama sekali, kain yang baru dibeli dari toko. Hanya kepala mayat yang dibiarkan tanpa tutup. Kemudian lingkaran petak yang dibuat dari anyaman bambu itu diperbarui. Begitulah tradisi penguburan mayat orang dewasa di Trunyan, tidak ditimbuni tanah, cukup dibaringkan dan dikelilingi anyaman bambu yang disebut ancak saji. Penguburan ini disebut mepasah. Jadi, tengkorak-tengkorak dan tulang-tulang yang berserakan di kuburan Trunyan adalah mayat tua yang petaknya digusur mayat baru. Tengkorak itulah yang belakangan ini ditata oleh orang-orang Trunyan, untuk disuguhkan kepada pelancong. Ada tengkorak yang dikumpulkan di depan candi bentar, lalu ditaruh piring dan uang receh di atasnya. Kadang ada asap dupa mengepul. Pengunjung mengira, ada kewajiban menaruh uang receh di piring itu. *** K.ETIKA saya meninggalkan kuburan Trunyan, Danau Batur masih berkabut dan hujan masih tetap rintik-rintik, bagaikan mengetahui kedukaan saya. Saya sedih melihat penduduk Trunyan seperti dimasukkan ke sebuah museum, dan bangunan museum itulah yang dipugar, isinya tidak. Kenapa harus mengangkut berzak-zak semen hanya untuk candi bentar, kori agung, dermaga, lorong-lorong ke pura, suatu hal yang asing dalam kebudayaan Trunyan? Kenapa tidak membantu irigasi agar perladangan di Trunyan semakin baik, atau untuk pendidikan, atau membina kesenian khas Trunyan? Kenapa menenun? Kenapa tidak subsidi perahu motor untuk menyemarakkan wisatawan perairan danau, atau mengembangkan budi daya ikan danau? Tukang perahu yang kurus itu menggigil kedinginan, berselimutkan handuk kumal. Tiba-tiba ia bertanya, berapakah saya membayar carteran perahu ini. Saya katakan terus terang, Rp 20.000. Tukang perahu pun menyumpah-nyumpah, karena ia hanya diberi tahu Rp 17.500. Berceritalah si kurus dengan nada mengeluh dan minta dikasihani. Bahwa dari sewa Rp 17.500 itu, masih dipotong 238
calo Rp 2.500. Kemudian membayar karcis — kepada I Rarud itu tetapi lewat calo — Rp 2.500. Lalu untuk menyewa motor tempel merk Yamaha, Rp 4.000. Berlabuh di dermaga Trunyan membayar lagi Rp 2.500. Lalu dipotong bahan bakar, bensin sepuluh liter, yang harganya Rp 500 per liter. “Sisanya berapa, Pak?” tanya tukang perahu. Wah, saya tidak menghitung. Saya menyuruh dia mengulangi sekali lagi semua pengeluarannya. “Sisanya Rp 1.000,” kata saya. “Setengah hari cuma dapat seribu, risikonya besar sekali,” katanya setengah memelas. Saya larut dengan penderitaan tukang perahu ini. Saya banyak mendengar kisah pemerasan di tengah Danau Batur ini, sebuah perahu yang dicarter turis, tiba-tiba dimatikan mesinnya, kalau penumpangnya tidak menambah bayaran. Ketika saya merasakan perahu terlalu oleng — memang ombaknya masih besar — saya tiba-tiba jadi ngeri. “Nanti di dermaga saya tambah ongkosnya, sekarang tak ada uang kecil. Tapi yang aman, ya?” kata saya kepada tukang perahu. Dan janji itu saya laksanakan ketika mendarat di dermaga Kedisan, setelah menukarkan uang ke warung makanan. “Wah . . . bapake ditipu, tak ada pungutan-pungutan sebesar itu, paling untuk calo dan karcis saja, tapi tidak sebesar itu. Bensin yang habis hanya enam liter. Bapake ditipu, tak ada tukang perahu menyewa motor tempel,” ini kata-kata pemilik warung sambil menyerahkan sebungkus rokok dan uang kembali. Saya tak membeli rokok, tetapi untuk menukarkan uang tanpa membeli apa-apa, tak ada yang menerima. Pemilik warung ternyata benar, ketika esoknya saya mampir di Kantor Bupati Bangli, yang mewilayahi daerah pariwisata Kintamani dan sekitar Danau Batur. Sudah ada tariff resmi paket perjalanan ke Trunyan yang meliputi kuburan Trunyan ke’ Toyabungkah, yaitu besarnya Rp 15.000. Dan ini ditetapkan pemerintah setelah mengumpulkan para pemilik perahu. Dari harga itu, tukang perahu memperoleh Rp 10.000, masuk ke kas Desa Kedisan Rp 250, kas pemerintah daerah Rp 250, LLAJR Rp 100, biaya keamanan hansip Rp 900, dan Rp 3.500 untuk pemandu wisata yang mendampingi pengunjung dalam perjalanan itu. “Saya tak 239
melihat peraturan itu selama di dermaga Kedisan. Apalagi melihat pemandu wisata segala,” kata saya. Jawaban yang saya terima dari sang pejabat, memang klise, “Barangkali kebetulan hari itu tidak ada, karena hujan.” Yang mana harus saya percayai? Di Danau Batur, di Kedisan, di Trunyan, kejujuran itu terlalu mahal.
240
XV Kasus Kepariwisataan di Desa Kuno Tenganan
Kecemasan dari Desa Ki Patih Tunjung Biru
R
AJA Bedahulu kehilangan seekor kuda yang sangat disayanginya. Semua pepatih diperintahkan mencari, di mana kuda itu ngumpet. Ke segala arah orang disebar. Ki Patih Tunjung Biru mencarinya ke arah timur. Ia mengajak serta beberapa penduduk dari Paneges — sebuah desa pinggir laut yang lahan pertaniannya terkikis air samudra. Rombongan ini yang berhasil. Kuda kerajaan ditemukan di sebuah hutan lebat yang dikelilingi bukit-bukit kecil. Namun, sangat menyedihkan, kuda yang dikeramatkan itu tergeletak mati. Tidak diketahui sebab-sebabnya. Tak ada bekas luka, tak ada tanda penyakit. Ketika Raja Bedahulu dilapori kematian binatang kesayangannya itu, beliau menjadi murung. Seorang raja tentu tak boleh murung berkepanjangan. Maka, dia memerintahkan Ki Patih Tunjung Biru menjaga bangkai kuda yang telah membusuk itu. Ki Patih diperbolehkan membangun perkampungan dan mengajak 241
serta orang Paneges yang dibawanya. Hanya saja luas perkampungan, sejauh bau busuk kuda itu tercium. Ki Patih Tunjung Biru bukanlah orang bodoh. Bangkai kuda itu pun dipotong-potongnya, dan potongan itu dilempar ke segenap penjuru. Dengan kelicikan itu, semakin luaslah bau busuk tercium. Perkampungan yang dibangun Ki Patih bersama pengikutnya menjadi lebih memenuhi syarat. Daerah berbukit yang menjadi luas itu kemudian dibagi tiga: wilayah perkampungan, daerah hutan lindung, dan kawasan pertanian. Di wilayah perkampungan, dibuat petak-petak karang (kapling) untuk perumahan yang sama besarnya. Bentuk-bentuk rumah yang akan dibangun pun diseragamkan. Tak ada yang lebih besar, tak ada yang lebih kecil. Begitu pula hutan lindung yang mengelilingi perkampungan itu ditetapkan milik bersama, milik adat. Semua hasilnya tak boleh dimiliki secara pribadi. Hanya di daerah pertanian tanah dibagibagi, tetapi itu pun hanya untuk pengolahannya saja, tanah tetap tak bisa dimiliki secara pribadi. Kawasan itu hidup berkembang dan subur. Ki Patih Tunjung Biru, bekas patih Kerajaan Bedahulu — sisa-sisa kerajaan itu masih berbekas di sebelah timur Goa Gajah, Kabupaten Gianyar — memimpin di kawasan baru itu. Ia tidak mcnyebut dirinya raja, tidak mengenakan gelar baru, bahkan tidak menyebut dirinya pemimpin. Wilayah kekuasaan Ki Patih Tunjung Biru itu sekarang bernama Tenganan. Lebih tepat disebut Desa Adat Tenganan Pegringsingan — tambahan pegringsingan berasal dari kata gringsing, nama kain tenun khas Tenganan. Nama Tenganan Pegringsingan hanya untuk membedakan dengan Desa Tenganan secara administratif pemerintahan, karena secara administratif Kelurahan Tenganan juga mewilayahi desa lain yang tidak memiliki kekhasan seperti Tenganan Pegringsingan. Desa Adat Tenganan Pegringsingan — selanjutnya disebut Tenganan saja — sebuah desa kuno yang sampai sekarang ini tetap memelihara tempat-tempat suci, pemujaan, dan adat istiadat yang berasal dari zaman megalithic. Tempat pemujaan itu berkaitan 242
dengan mitologi kuda yang ditemukan Ki Patih Tunjung Biru. Di bukit bagian utara Tenganan, terdapat candi (monolit) yang menggambarkan kemaluan kuda berdiri tegak. Masyarakat Tenganan menyebutnya kaki dukun. Menurut kepercayaan setempat, kalau ada pasangan suami istri mandul, boleh datang ke tempat ini untuk memohon anak. Tak jauh dari sini, ada bentuk monolit terbesar, yang diberi nama batu taikik. Ini dianggap sebagai bekas cercahan isi perut kuda. Tempat ini disucikan untuk pemujaan memohon kemakmuran di wilayah itu. Lalu ada onggokan batu-batu kali yang tersusun sedemikian rupa, yang dipercayai penduduk Tenganan sebagai bekas kepala kuda. Ini disebut rambut pule. Di bukit sebelah barat, namanya bukit Papuhun, ada peninggalan yang dipercayai sebagai bekas paha kuda, disebut penimbalan. Di sini sering dilangsungkan upacara yang berkaitan dengan masalah teruna — masa keremajaan seorang lelaki. Sedang tempat kuda itu pertama kali ditemukan tergeletak, disebut batujaran. Lokasinya di bukit barat laut. Keunikan yang langsung bisa ditatap dengan mata telanjang di Tenganan — 65 km sebelah timur Denpasar — adalah pola menetap masyarakat, yakni perkampungan itu sendiri. Perkampungan dikelilingi tembok, bak benteng pertahanan untuk menghadapi serangan musuh. Pengunjung memasuki Tenganan dari arah selatan, dari Desa Pasedahan. Di mulut Tenganan — tidak ada candi bentar di sini — pengunjung langsung berada di sebuah jalan kampung yang lebarnya sekitar 50 meter, jalan tanah yang membelah dua leret pekarangan rumah. Jalan seperti ini oleh masyarakat Tenganan disebut awangan. Awangan ini berundak-undak, ke utara semakin meninggi. Jalan besar ini juga berfungsi sebagai pekarangan tiap rumah yang berhadap-hadapan. Batas awangan adalah selokan air yang selalu terpelihara baik, di musim hujan ataupun kemarau. Ada tiga awangan di perkampungan ini, semuanya membujur utara—selatan dan selalu di bagian utara meninggi. Inilah yang membuat perkampungan itu rapi, mirip penataan rumah-rumah yang dibuat Perumnas, seragam dan berpetak-petak lurus. Ketiga 243
awangan itu: awangan barat, awangan tengah,dan awangan timur. Awangan tengah dan timur lebih keeil, sekitar separuh lebar awangan barat. Masalahnya, di barat itu pusat keramaian, apakah itu keramaian adat atau keramaian yang bersifat nasional — misalnya perayaan 17 Agustus — dan juga menjadi pusat kunjungan turis yang dilengkapi beberapa kios minuman dan toko kerajinan. Satu kapling perumahan ditempati oleh satu kepala keluarga. Luas petak itu sama besar, bangunannya juga mempunyai bentuk yang sama, dan bahan yang sama pula, kecuali untuk bangunan bale melon (tempat tidur utama) dan paon (dapur) yang boleh dibuat sesuai dengan kemauan dan kemampuan kepala keluarga bersangkutan, asal tidak menyerobot bagian petak orang lain. Selain kedua bangunan itu, ada bale bunga, yakni tempat upacaraupacara keluarga, dan juga dipakai tempat tidur bagi orang-orang tua menginjak umur tertentu. Kemudian bale tengah, sebuah bangunan bertingkat. Bagian atas berfungsi sebagai lumbung untuk menyimpan padi dan hasil pertanian lainnya, bagian bawah untuk ruang duduk, tempat menerima tamu, dan juga untuk tidur. Bagian bawah ini hanya berdinding papan. Paon yang boleh disesuaikan bentuknya itu biasanya memiliki tiga ruangan, memanjang di belakang bangunan-bangunan tadi. Di sana ada tempat menumbuk padi, tempat memasak, dan tempat menyimpan peralatan sehari-hari, misalnya: cangkul, sabit, dan lesung. Di belakang ini ada tebe, yaitu sebuah pekarangan tanpa bangunan yang biasanya diisi tanaman bunga, sebagian untuk mengandangkan babi peliharaan, sebagian lagi untuk membuang sampah. Dalam satu kapling itu, tentu saja ada sanggah (pura kecil untuk persembahyangan keluarga). Yang menarik, selain pembagian kapling yang sama luas, satu kapling hanya ada satu pintu keluar, dan semuanya menghadap ke awangan. Pintu itu biasa saja, bukan candi bentar. Jadi, pengunjung punya kesan sebagai sebuah perkampungan yang tertutup, dan kelihatan supek. Padahal, kalau dimasuki satu kapling itu, ada bangunan bagus-bagus di dalamnya, dan tidak sesempit yang di-bayangkan dari luar. 244
Di Tenganan berlaku sistem pola menetap terpisah. Artinya, setiap terjadi keluarga baru, mereka harus memisahkan diri dari keluarga induknya. Keluarga baru ini berhak menempati satu kapling yang disediakan oleh desa. Imbalannya, keluarga baru itu diwajibkan memikul beban-beban adat. Apakah kapling desa tidak penuh, karena pertambahan penduduk? Ternyata, tidak, atau sampai triwulan pertama 1986 ini, belum. Rupanya, sejak dulu pemimpin adat di sana mempersiapkan kapling-kapling cadangan yang dibiarkan kosong. Sebuah penelitian menyebutkan, tidak adanya problem perumahan itu karena perkembangan penduduk Tenganan tidak melonjak sedrastis penduduk di desa lain. Artinya, pola keluarga kecil di sini sudah ditanamkan sejak dulu, jauh sebelum pemerintah meneriakkan soal keluarga berencana. Hal lain lagi sebagai penyebab, penduduk Tenganan yang mencari pekerjaan di luar desanya dalam bentuk permanen — misalnya menjadi pegawai negeri yang bertugas di tempat jauh — wajib mengembalikan kapling perumahannya yang diperoleh dari desa. Sebagai imbalan, mereka dibebaskan dari kewajiban adat. Namun, kalau ada upacara di desa itu, “keluarga jauh” itu boleh hadir secara adat untuk mengikuti upacara agama. Ikatan batin tetap harmonis, ikatan adat telah terputus. Banyak terjadi perubahan dalam struktur masyarakat Bali. Demikian pula pola menetap masyarakat Bali umumnya dalam bentuk pembagian-pembagian bangunan dalam satu kompleks rumah, banyak berubah. Tetapi di Tenganan, hal itu tidak terjadi. Mereka tetap mempertahankan pola yang telah diwarisi bertahuntahun. Kalaupun mereka membangun bale meten secara permanen disesuaikan dengan kebutuhan sekarang, mereka tak akan mengotak-atik bagian bangunan yang lain, apalagi sampai menjamah tembok keliling kaplingnya itu. Lagi pula, ada kebiasaan, mereka membangun tidak jor-joran, ada tenggang rasa yang kuat. Penduduk Tenganan bukanlah penduduk yang “ketinggalan zaman”, daerah ini pun bukan daerah terisolasi — jauh lebih terbuka dibandingkan Desa Trunyan. Memang, sebagian besar mata 245
pencarian penduduk bertani, tetapi sudah banyak “intelektual” muncul dari desa ini: pegawai negeri, mahasiswa, sarjana. Mereka inilah yang justru tetap konsisten mempertahankan adat seperti itu. Wabah pariwisata, yang menghendaki segalanya serba mewah, indah, dan gemerlapan, tak mampu menembus desa yang masih bertahan dengan keasliannya ini. Sentuhan pariwisata di Tenganan tidak sampai mengalahkan obyeknya. *** KALAU “sejarah” Desa Tenganan ini benar sesuai dengan mitologi yang hingga sekarang diyakini masyarakat berasal dari Ki Patih Tunjung Biru serta pengikutnya, maka warga Tenganan sudah penganut Hindu sejak awal. Kerajaan Bedahulu sudah merupakan kerajaan Hindu. Barangkali itu sebabnya, ketika Kerajaan Gelgel menjadi maharaja di Bali dan menguasai raja-raja kecil, tidak ada “niat” lagi menghindukan Tenganan, dalam pengertian menyeragamkan upacara dan tata kebudayaan keagamaan. Pada akhirnya, bukan saja upacara keagamaan dan kebudayaan Tenganan tetap lestari, pengaruh kasta-kasta pun tidak masuk ke wilayah ini. Masyarakat Tenganan tidak mengenal pembagian kasta seperti yang terjadi di luar Tenganan, betapapun kasta itu salah kaprah. Padahal, masyarakat Tenganan pun bisa dikelompok-kelompokkan sesuai dengan fungsi sosialnya di masyarakat, sebagai cikal bakal lahirnya kasta – yang ternyata kemudian bertentangan dengan ajaran Hindu itu. Tunjung Biru tetap bergelar Ki Patih, jabatan yang dibawanya dari Bedahulu. Tidak menggantinya dengan Anak Agung — fungsi sosial karena ia pemimpin — dan pengikutnya, plus anak-pinaknya kemudian hari, tak juga memakai nama-nama “gelar” sesuai dengan fungsi sosial leluhurnya itu. Jika dicari kelompok kekerabatan orang Tenganan, bisa digolongkan dari asal-usul keturunannya, yakni dari anak-pinak para pengikut Ki Patih Tunjung Biru. Kelompok atau golongan yang pernah dikenal di Tenganan itu ada sepuluh buah: sanghyang, ngijeng, batu guling, batu guling maga, embak buluh, prajurit, 246
pande emas, pande besi, pasek, dan bendesa. Menurut tetua Desa Tenganan, golongan pasek termasuk pendatang baru, bukan dari pengikut Ki Patih Tunjung Biru. Sekarang ini, beberapa dari kelompok itu telah punah, ada yang keluar dari Tenganan dan tidak kembali-kembali, ada pula yang putung — tidak punya keturunan. Yang tinggal sekarang ini: sanghyang, ngijeng, batu guling, embak buluh, prajurit, dan bendesa. Untuk pimpinan upacara keagamaan, biasanya dipilih dari kelompok sanghyang. Tak pernah terdengar ada kasus keagamaan akibat campur tangan pihak luar. Tak ada upacara keagamaan di Tenganan yang dipimpin pendeta Hindu “yang “diimpor” dari desa lain. Lagi pula, kalaupun ada paksaan, apa mungkin pendeta Hindu luar Tenganan memimpin upacara di sana? Upacara dan adat di Tenganan lain. Bahkan penanggalan dan pedewasaan (menentukan hari baik dan hari buruk untuk upacara keagamaan) di Tenganan berbeda dengan yang berlaku di luar desa itu. Mereka tetap membagi tahun dengan 12 bulan (sasih), dan nama-nama bulan itu pun sama. Yakni: kasa, karo, ketiga, kapat, kelima, kanem, kepitu, kewolu, kesanga, kedasa, desta, dan sada. Tetapi kasa di Tenganan belum tentu kasa di Bali non-Tenganan. Kalau di luar Tenganan pedewasaan umumnya didasarkan kepada perhitungan Triwara (pasah, beteng dan kajeng) dan pancawara (umanis — di Jawa: Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) maka di Tenganan hal itu tidak berlaku. Mereka punya sistem sendiri, berdasarkan peredaran bulan di langit (bulan mati dan bulan purnama). Karena itu, jika pun orang-orang Tenganan memasang kalender yang disusun I Ketut Bambang Gde Rawi di rumahnya, fungsi kalender itu sama saja dengan kalender yang bergambar Rhoma Irama. Setiap sasih di Tenganan ada upacara keagamaan — ini tentu beda sekali dengan di Bali umumnya. Pada sasih kasa, ada upacara ngusaha kasa. Upacara ini dilakukan di Bale Agung, ditujukan kepada Bethara Dharma. (Nah, nama dewa di Tenganan tidak dikutak-katik dan tidak “diseragamkan” dengan dewa Hindu yang 247
berlaku di Bali, seperti yang berhasil masuk secara “dipaksakan” di Trunyan). Upacara untuk Bethara Dharma ini berlangsung selama tujuh hari. Pada upacara inilah ada tari rejang abuang — tari pergaulan muda-mudi Tenganan yang khas itu. Pada sasih karo, ada upacara yang dinamai neduh, dilaksanakan di Pura Besaka dan di tempat suci Pakuwon. Upacara ini bertujuan memohon restu kepada Yang Mahakuasa untuk menghilangkan hama di sawah dan di ladang. Intinya adalah mohon kemakmuran. Di Pura Besaka, upacaranya dilakukan oleh orang laki, dan di Pakuwon khusus untuk wanita. Pada sasih ketiga, ada dua jenis upacara, yaitu mebabi barak yang dilakukan di Bale Agung. Ini upacara untuk menentukan secara adat pergeseran anggota desa. Siapa yang sudah membentuk keluarga baru dan berhak dapat kapling perumahan, siapa yang meninggalkan desa, diresmikan secara adat dan agama. Walaupun tidak ada pergeseran, upacara tetap diadakan secara simbotis. Upacara yang satu lagi, metail, dilakukan di Bale Banjar. Ini khusus untuk anggota masyarakat lelaki, berupa sangkep — rapat adat — selama tiga kali berturut-turut. Di sasih kapat, ada upacara yang disebut mesanggah jumu, ini berlangsung di Bale Agung juga. Dalam upacara ini ada kepercayaan unik, yakni ada rapat adat tempat dua orang lelaki selalu berteriak: kaki kilap . . . kaki kilap ... (ia mengundang petir). Menurut orang sana, upacara ini semacam mengundang datangnya hujan, menjelang musim tanam. Pada sasih kepitu, upacaranya disebut mesanggah tengah yang pelaksanaannya juga di Bale Agung. Sasih kawolu, upacara disebut mesanggah gedebong. Upacara ini dilakukan di Pura Gaduh, memohon perlindungan dan kemakmuran juga. Pada sasih kesanga ada lagi upacara membabi barak, sama dengan sasih ketiga. Lalu sasih kedasa ada juga jadwal upacara mebabi barak itu, hanya saja bedanya kali ini ada balai khusus untuk tempat sesajen. Lebih dari sekali upacara mebabi barak dalam setahun agaknya memberi kesempatan kepada keluarga baru untuk segera diresmikan dan mendapat hak tanah perumahan. Artinya, betapa pentingnya dan 248
dihormatinya hak-hak desa itu bagi masyarakat Tenganan. Pada sasih desta, upacaranya dilangsungkan di Pura Dulunswarga. Dulu, upacara ini hanya dilangsungkan oleh golongan bendesa, tetapi belakangan dilakukan oleh seluruh warga tanpa peduli golongan. Dan terakhir, di sasih sada, ada upacara di Dalemjero yang ditujukan kepada Ki Patih Tunjung Biru. Tentulah upacara ini adalah mengenang dan menghormati leluhur orang Tenganan. Jangan dibayangkan upacara-upacara itu berlangsung meriah, besar-besaran, dan hura-hura. Kecuali upacara di sasih kasa dan sasih kelima yang ada rejang abuang dan mekare-kare. Upacara lain yang rutin itu tak lebih dari sarana pertemuan antarwarga. Barangkali bentuk lain dari arisan rukun tetangga di perumahanperumahan yang dibangun dengan fasilitas kredit BTN. Rejang abuang dan mekare-kare inilah yang menarik pelancong ke Tenganan. Rejang abuang itu, menurut kalender internasional, terjadi sekitar bulan Februari. Semua remaja Tenganan turun dengan busana khas mereka, berkain gringsing — kain khas inilah yang menyebabkan Desa Adat Tenganan disebut Tenganan Pegringsingan. Di kepala remaja putri (daha) bertengger bunga yang terbuat dari emas. Selain memakai kain gringsing, mereka juga memakai selendang gringsing, yang tentu saja motifnya berbeda. Bagi keluarga yang kaya, dijari remaja putri itu bertengger cincin permata yang mahal-mahal. Di tangannya melingkar gelang emas. Remaja putra (truna) juga memakai kain gringsing. Mereka menyelipkan keris yang gagangnya bertatahkan emas. Baik daha maupun truna tidak memakai baju. Truna memakai kain (kemben) persis di bawah ketiak. Untuk daha cara memakai kemben seperti biasa, tetapi ada setagen yang melilit sampai di bawah ketiaknya. Setagen ini dilapisi kain gringsing yang motif dan warnanya berbeda dengan kain yang diakai. Rejang abuang adalah tari pergaulan. Geraknya mirip tari serampang dua belas, bahkan lebih pelan. Sungguh, tari ini tidak mencerminkan tari Bali yang umum dikenal selama ini, agresif dan 249
lincah. Rejang abuang lemah gemulai, tangan lebih banyak mekar, ya, semacam jaipongan tetapi tanpa gerak pinggul. Pada mulanya, para daha yang turun menari berkelompok. Para truna duduk mengamat-amati. Jika ada tanda para daha memanggil truna, remaja putra ini pun langsung menari, memilih pasangan masing-masing. Bagi mereka yang sudah berpacaran, tentu saja langsung mencari pacarnya. Bagi yang belum punya pacar, biasanya malu-malu. Saling melihat situasi, takut-takut jangan-jangan ada yang punya. Biasanya anak-anak dan orang-orang tua mendorong-dorong pemuda-pemuda yang malu-malu itu, sambil mengatakan: si gadis belum ada yang punya. Ketawa berderai. Tari ini bersifat keagamaan (atau adat) dan bukan satu-satunya sarana untuk mencari jodoh. Sekali lagi, orang-orang Tenganan bukan orang terisolasi. Para remaja itu mungkin sudah mengenal adat pacaran di sekolahnya masing-masing, seperti para remaja di kota. Atraksi yang paling banyak diserbu pelancong adalah perang pandan atau mekare-kare. Ini pada sasih kelima versi Tenganan atau sekitar Juni-Juli, pada upacara ngusaba sambah. Menurut adat, hanyalah para truna yang melakukan perang dengan bersenjatakan seikat tangkai pandan yang berduri itu. Namun, karena adanya semangat meramaikan pesta, orang tua dan anak-anak kecil ikut melakukan duel — tapi cuma untuk lelaki. Ini duel, memang. Masing-masing membawa seikat pandan penuh duri sepanjang kira-kira 30 cm. Hanya pada bagian yang dipegang saja, duri itu dihilangkan. Tangan kanan pegang senjata, tangan kiri memegang tamiang — tameng bundar yang dibuat dari anyaman bambu yang dihias, berfungsi sebagai penangkal. Diiringi tetabuhan suci dari gamelan selonding — hanya ada di Tenganan — dua petarung siap di sebuah lingkaran yang dikelilingi pcnonton. Ada juri yang mengawasi pertandingan ini, mencegah terjadinya pergumulan. Jika seseorang sudah terkena duri pandan lawannya, dan darah mengucur, pertandingan dihentikan juri. Tak ada kesempatan membalas. Lelaki yang menjadi juri tak punya kekuatan magis, seperti pawang debus, misalnya. Ia lelaki biasa 250
saja. Yang menjadi sasaran dalam perang landing ini, anggota badan di atas pusar, kecuali muka. Sasaran yang biasanya dicari punggung lawan. Untuk menyerang dada tentu sulit, karena ada tamiang itu, Tentu saja, para kesatria yang melakukan duel ini bertelanjang dada. Mereka mengenakan kain yang dililitkan ke belakang. Sakitkah terkena duri pandan? Tentu! Tak ada istilah orang kebal di desa ini. Juga tak ada istilah ilmu hitam. Yang terkena duri, dan lukanya mengucurkan darah, tentu meringis menahan sakit. Tapi, ada obat yang disediakan. Setelah luka diperiksa, barangkali ada duri pandan yang melekat, luka itu diberi obat tradisional, berupa boreh (ramuan) dari isen dan kunir yang diparut halus, dan ditambah cuka. Begitu luka diberi ramuan, penderita akan meringis lebih keras, karena rasanya semakin perih. Namun, tak lama, perih hilang, luka pun cepat kering. Tak ada lelaki Tenganan yang punggungnya ada bekas luka akibat perang pandan. Tak ada penjelasan yang cukup bisa dipegang dari tetua Desa Tenganan, apa makna upacara ini dari segi agama. Mereka sudah mendapatkan “kebudayaan” itu secara turun-temurun. Mereka tak menemukan asal-usulnya, tetapi karena “kebudayaan” itu tidak merugikan, dan malah bisa berfungsi sebagai hiburan, mereka tinggal meneruskannya. (Ini bedanya dengan orang Trunyan. Jika orang Trunyan ditanyai keanehan-keanehan di desanya, mereka akan selalu mencari-cari jawaban, yang akibatnya justru membuat kesimpangsiuran karena ada berbagai versi). Menurut dugaan — sekali lagi dugaan — Drs. I Gusti Putu Darsana, yang menghasilkan skripsi kesarjanaan dari desa ini, perang pandan itu kemungkinan semacam tabuh rah di desa lainnya. Tabuh rah, dalam kaitan upacara mecaru, adalah bentuk pengorbanan suci yang mengucurkan darah binatang, untuk menjaga keharmonisan alam semesta. *** SEMUA adat, semua kebudayaan, masih hidup di Tenganan. Siapa yang berani memetik buah di hutan lindung yang mengelilingi 251
desa itu didenda secara adat. Menurut I Wayan Mudita Adnyana, memetik satu buah durian dendanya 25 kg beras. Hutan lindung milik desa adat itu penuh dengan buah-buahan: durian, nangka, mangga, kemiri, enau, pisang, dan macam-macam lagi. Pohon kayu di hutan ini sama sekali tak boleh ditebang, bagaimanapun tua dan keringnya. Tetapi, kalau ranting sudah lepas dari dahan, buah sudah jatuh dari pohon, siapa saja boleh mengambilnya. Pemandangan setiap pagi membuktikan, banyak anak-anak kecil yang berada di hutan lindung, mencari buah kemiri yang jatuh. Hutan inilah yang berkali-kali dipuji Menteri KLH Prof. Dr. Emil Salim, karena hutan diawasi secara adat dan setiap orang di desa adat itu bisa bertindak sebagai polisi: menangkap dan menyerahkannya kepada pimpinan desa adat. Sentuhan pariwisata memang tak menyingkirkan adat dan kebudayaan orang Tenganan. Tetapi tidaklah berarti, sentuhan ini tak membekas dalam kecemasan. Seorang tua di Tenganan, I Gde Mangku Wayan Widia, mencemaskan satu hal: punahnya kain gringsing. Kepunahan itu disebabkan mulai jarangnya ada pembuatan kain gringsing belakangan ini. Ketika saya berjalan-jalan di Desa Tenganan akhir Januari 1986, tak seorang pun yang sedang menenun kain gringsing. Proses pembuatan kain tenun itu sangat rumit, bertele-tele, dan — dilihat dari kemajuan zaman — tidak praktis. Untuk scbuah kain yang bisa dililitkan di tubuh, diperlukan proses sekitar sepuluh tahun. Bayangkan! Dibuat dari kapas Bali — tanaman kapas Bali sendiri sudah mulai langka — kemudian dipintal menjadi benang, lalu dibalut untuk mendapatkan motif-motif yang dikehendaki, dan dicelup untuk memperoleh warna-warna tertentu. Pewarnaan itu sendiri menggunakan warna alam. Misalnya, warna merah dibuat dari ramuan babakan kayu sunti, pohon yang hanya bisa tumbuh di Nusa Penida. Warna hitam dibuat dari ramuan rumput laut, yang hidup di Bugbug, sekitar Karangasem. Warna kuning dari minyak kemiri. Mencelup-celupkan untuk mendapatkan warna “sejati” inilah yang bertahun-tahun. Dalam kepustakaan Wayan Widia, dikenal sebelas motif kain 252
gringsing, yaitu: pepare, kebo, lubeng, pat likur, pedang dasa, putri, sesempakan, semplang, cawet, anteng, dan pat likur isi. Sekarang tidak semua motif ini ada di Desa Tenganan. Bahkan, diperkirakan tidak setiap keluarga masih menyimpan gringsing. Lho, pada kcmana? Nah, inilah kecemasan Wayan Widia. Ia menunjuk dua kios yang menjual barang kerajinan di Tenganan. Kedua kios itu menjual kain gringsing. Harga kain gringsing yang dijual sebagai “souvenir Tenganan” itu memang sulit dijangkau kebanyakan orang. Sebuah selendang ukuran 30 X 150 cm, yang warnanya sudah lusuh penuh tambalan — saking tuanya — punya harga Rp 250.000. Adapun kain gringsing yang tanpa tambalan, tetapi warna sudah tak keruan, punya harga Rp 10 juta selembar. Ada saja pembelinya, mengherankan. Memang, kain gringsing yang dijual itu diperkirakan yang sudah tak bisa dipakai lagi oleh pemiliknya, tua dan khawatir robek saat dipakai. Tetapi, bagi Wayan Widia, ini kecemasan yang sudah sangat merisaukan. Berarti, sebagian masyarakat Tenganan tergoda untuk menjual harta miliknya yang sangat erat kaitannya dengan “kesucian”. Ia memberi alasan, kain gringsing adalah kain wajib untuk dipakai para daha dan truna dalam upacara rejang abuang. Kecemasan ini ia kaitkan dengan kecemasan lain. “Kalau gringsing mulai dijual, bagaimana jika nantinya alat-alat suci juga dijual?” la menyebutkan alat-alat yang dimaksud, misalnya tumbak (tombak), lamiang, lokan (lampu minyak kelapa dalam upacara sambah), dan banyak lagi yang lain. Namun, kecemasan terakhir ini tidak merisaukan pemilik kios kerajinan. “Benda-benda itu kecil, buat saja duplikatnya yang tidak suci. Malah bisa mendatangkan mata pencarian baru,” katanya. Memang, kalau diperhatikan mereka yang menawar kain gringsing, baik turis asing maupun domestik yang berduit, semuanya bermaksud membawa kenang-kenangan bahwa ia telah mengunjungi Tenganan. Soal harga, urusan kedua. Soalnya, tidak ada kenangan lain yang bisa dibawa selain gringsing yang terkenal itu. Menjadi pertanyaan sebenarnya, kenapa penduduk Tenganan 253
tidak tergerak untuk membuat barang souvenir lebih kecil seperti tamiang, tombak, lokan. Pertanyaan ini harus dipikirkan untuk perlu tidaknya dilontarkan, karena sebenarnya masyarakat Tenganan yang agraris itu tak peduli dengan turis yang berkunjung ke desanya. Para turis, walaupun diperlakukan sebagai tamu, tak pernah dimintai apa-apa, sumbangan uang, misalnya. Penduduk Tenganan tetap bekerja seperti biasa, menyapu halaman setiap pagi, membersihkan tembok pekarangan setiap datang upacara keagamaan. Mereka tak akan memasang umbul-umbul atau mengecat tembok rumahnya karena diperintah pemerintah atau biro perjalanan karena ada grup turis. Kalaupun mereka menenun gringsing, mereka mengerjakan di petak rumahnya, terhalang tembok dilihat dari awangan. Orang Tenganan selalu bersikap dan berbuat tanpa ada niat pamer. Ataukah pihak-pihak yang menangani pariwisata tidak mampu, menjejakkan pengaruhnya di Tenganan? Dan, mereka kalah dari “pengaruh” yang sudah ditanamkan Ki Patih Tunjung Biru? Waktu terus bergulir, sepuluh tahun lagi saya ingin menyaksikan
254
XVI Ashram Hindu Gerakkan Dunia Wisata Candi Dasa
Nyonya Gedong Bagus Oka, Good Night Candi Dasa, di bulan Oktober 1977, tanggal dan harinya lupa.
B
US jurusan Amlapura — Denpasar yang saya tumpangi berhenti di depan pura Candi Dasa. Suasana sepi. Kolam di depan pura kelihatan kotor. Rumput-rumput tidak terawat. Semak meninggi. Air kolam pun keruh. Di pantai ombak bergemuruh. Pura Candi Dasa dibangun pada tahun Caka 1112 (tahun 1190 M) oleh Raja Jayapangus Arkajalancana. Bangunan meninggi itu, yang sekaligus sebagai pelindung tebing bukit, di beberapa bagian terlihat longsor. Tempat suci yang merana, sementara lalu lintas di depannya begitu padat. Di sisi jalan raya, kawasan ini lengang. Kebun kelapa, yang menjorok sampai ke pinggir pantai, seperti tidak ada yang memi255
liki. Tak ada manusia yang kelihatan di antara pohon-pohon itu. Saya melangkah terus ke arah barat. Beruntung, seorang lelaki tanpa mengenakan baju, bercelana pendek kumal, dan membawa sabit, muncul dari kebun. Saya segera menghampiri. “Bapak tahu di mana tempat ashram di sini?” tanya saya. “Ashram? Apa itu ashram?” “Ashram tempatnya Ibu Gedong.” “Tidak, tidak . . .,” lelaki itu berkali-kali menggeleng. Mobil lewat, tetapi tidak berhenti. Saya berjalan lagi. Dua sepeda motor lewat, juga tak berhenti. Saya terus berjalan. Ternyata, di timur jalan raya, ada sebuah rumah. Kelihatannya seperti warung yang tutup. Saya menuju bangunan itu. Dan, kebetulan, ketika saya berada di depan rumah itu, seorang ibu dengan dua anaknya muncul dari balik pintu. “Bu, tahu di mana tempat ashram di sini?” “Ashram, ashram?” “Tempat Bu Gedong mendirikan pondok untuk sekolahan itu.” “Ibu Gedong Oka?” “Ya, Ibu Gedong Oka.” “Dosen?” “Ya, dosen.” “Ya, ini, jalannya di sebelah ini. Terus ke belakang sampai ada bangunan, di sana ada muridnya.” Dengan langkah gembira saya menyusuri jalan yang agak lebar itu. Di kerindangan pohon nyiur, terdapat beberapa bangunan beratap ilalang. Pada pinggir-pinggir bangunan mungil, ditanami bunga warna-warni. Bangunan sederhana, orang-orang menyebutnya pondok. Tidak ada tulisan yang menunjukkan bahwa pondokpondok itu adalah ashram. Dari bangunan yang paling dekat dengan jalan, hanya terlihat gambar besar Mahatma Gandhi. Seorang lelaki yang sedang menyapu halaman mendekati saya. “Permisi, apakah di sini ashram Ibu Gedong?” tanya saya mendahului. 256
“Betul. Silakan naik.” Saya membuka sepatu, naik ke lantai bangunan yang memang dibuat lebih tinggi dari jalan. Ada kursi kayu berderet, kursi yang sangat sederhana. Meja di tengahnya juga sederhana. Lantai bangunan ini hanya disemen biasa. “Bapak ingin melihat-lihat ashram?” “Ya, kalau bisa, juga ingin bertemu Ibu.” “Ibu tidak ada, beliau di Denpasar. Hari Kamis, Ibu datang ke sini. Di Denpasar, Ibu mengajar hari Senin sampai Rabu.” Saya memang tak mengadakan perjanjian. Kedatangan saya ke Candi Dasa ini pun tak direncanakan sebelumnya. Tiba-tiba ingin begitu saja dan memutuskan turun mdi sini sepulang dari tugas di Amiapura. Diantar lelaki itu, saya berkeliling di ashram. Tidak banyak yang bisa dilihat, kecuali beberapa bangunan sederhana, dan pantai yang semakin terkikis gelombang ganas. Di luar kompleks ashram itu, kebun kelapa yang sepi. Pemiliknya, entah berumah di mana, mungkin di Desa Bugbug, desa terdekat. Candi Dasa, kawasan yang lengang. Ashram itu tak banyak diketahui orang. *** Candi Dasa, 20 Januari 1986, sore hari. JALAN raya yang membelah kawasan itu begitu ramai. Mobil tak henti-henti menurunkan atau menaikkan penumpang. Sepeda motor berseliweran. Timbunan pasir ada di mana-mana. Orang lalu lalang pun begitu banyak. Di antaranya, turis asing dengan pakaiannya yang khas, bercelana pendek dan berkaus oblong. Candi Dasa telah berubah. Pohon-pohon kelapa, yang dulu kesepian, sudah banyak yang tumbang. Diganti rumah-rumah penginapan yang kecil mungil. Di pinggir jalan, rumah makan bertebaran. Ada yang berdiri sendiri, ada yang langsung menjadi bagian dari rumah penginapan di belakangnya. Semua menu di situ ditulis dengan bahasa Inggris. Masakannya pun disesuaikan dengan lidah Barat. 257
Musik disko — pasti dari kaset — menggelegar dari sebuah rumah makan yang berhalaman luas, yang pada bagian luarnya diberi sekat anyaman bambu. Apa yang dilakukan pengunjung di halaman dalam rumah makan itu tak terlihat dari jalan raya. Kawasan ini telah hidup menjadi perkampungan turis yang ramai. Sejak tiga tahun lalu, kata orang-orang di sana, yang sedang membangun rumah penginapan. Memang, masih banyak yang akan membangun rumah penginapan. Pura Candi Dasa berubah jadi anggun. Tidak ada bagian yang longsor lagi. Semuanya disemen halus. Bahkan, bagian luar, persis di pinggir jalan, ada tembok khas Bali yang berukir. Di pintu gerbangnya, siap seorang perempuan. Setiap kendaraan berhenti di depan pintu gerbang itu. Kernetnya turun memberi sesajen, dan perempuan itu meletakkan sesajen di sanggah yang ada di pintu gerbang. Di dalam sesajen itu, pastilah ditaruh uang receh, Rp 50 atau Rp 100, yang biasa disebut sarin banten. Uang itu diambil si perempuan, dan kernet mendapat bunga dan dibawa ke mobil. Uang itu, dikumpul-kumpulkan, dan kemudian dipakai membiayai perawatan pura, setelah dipotong untuk “upah” si perempuan penunggu pura itu. Kalau kernet mobil tak menyiapkan sesajen, ia cukup memberi sarin banten berupa uang. Dia tinggal sembahyang kilat dan mengambil bunga di sana. Kalau saja sehari ada seratus mobil yang lewat, atau ditambah sepeda motor, bisa diperkirakan berapa uang yang dipungut. Kolam di depan pura juga kelihatan bersih dan asri. Dan, kolam ini sekarang dikitari rumah-rumah penginapan, seolah-olah kolam milik desa adat itu menjadi taman dari rumah penginapan yang berada di sekitarnya. Namun, ashram yang didirikan Nyonya Gedong Bagus Oka sama saja seperti dulu, tak ada papan penunjuk dijalan. Yang membedakannya sekarang, siapa pun yang ditanya, laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, juga turis asing, pasti bisa menunjukkan letak ashram. Bu Gedong — demikian orang menyebutnya secara ringkas — begitu terkenalnya di kawasan Candi Dasa. Dialah cikal-bakal yang menyebabkan kawasan ini menjadi 258
perkampungan turis. Senja telah turun. Saya berada di ruang tamu ashram. Potret besar pemimpin India, Mahatma Gandhi, terlihat di sudut-sudut ruangan. Ashram, arti harfiahnya, adalah sekumpulan orang beragama. Namun, ashram di ujung timur Pulau Bali ini boleh disebut sebagai pesantren Hindu. Belajar agama Hindu dari sumbernya yang asli, India. Dengan begitu, ketokohan Mahatma Gandhi menjadi lebih menonjol. Bu Gedong memang pengikut setia Mahatma Gandhi. Bu Gedong muncul dari balik pintu kamarnya. Ia memakai kain dan berkebaya kekuning-kuningan, dengan rambut memutih yang disisir ke belakang seperti orang bersanggul. Di pinggangnya melilit selendang, ambed, kata orang Bali. Pakaian untuk bersembahyang. “Pada jam begini, anak-anak bersembahyang. Bagaimana, kita ngobrol atau ikut bersembahyang?” “Ya, saya mau ikut,” kata saya. “Kuat duduk bersila selama satu jam?” Saya ketawa dan mengangguk. Saya mengikuti Bu Gedong menuju balai tempat bersembahyang. Ternyata, itu ruang perpustakaan, dan tidak begitu besar. Persembahyangan sudah dimulai. Mantram, atau puja, sudah diucapkan — atau tepatnya dilagukan. Bu Gedong langsung menuju barisan depan, tempat yang sudah disediakan, karena tadinya kosong. Saya duduk di belakang, punggung bersandar di tembok. Belakangan menyusul masuk seorang wanita kulit putih. Melihat gelagatnya, ia sudah terbiasa, langsung duduk dan ikut bersembahyang. Saya betul-betul menjadi orang asing, lebih asing dari si kulit putih. Rasanya, seperti berada di sebuah gedung bioskop yang memutar film India. Mantram-mantram itu tak pernah saya kenal dan dengar sebelum ini. Mereka menggunakan bahasa Sanskerta, dan lagunya seperti film India. Lama sekali puja itu diucapkan, entah sudah berapa bait, atau diulang-ulang, saya tak bisa menangkapnya. Berkali-kali saya menjulurkan kaki karena tak kuat duduk bersila. Sudah ganti-berganti kaki kiri dan kaki kanan saya kesemutan. Puja persembahyangan tak juga selesai. 259
Akhirnya, seorang murid Bu Gedong mengambil tirta (air suci) di atas tungku. Tirta dari mangkuk besar itu dipecah-pecah lagi ke tempat lebih kecil, dan disebar ke semua yang hadir. Saya melihat setiap orang memercikkan sendiri air suci itu ke kepalanya. Termasuk si wanita kulit putih. Ketika giliran saya diberi air suci itu, saya pun meniru yang di depan. Setelah semua rnemperoleh air suci, Bu Gedong membalikkan badannya. Semua peserta menatap ke arah Bu Gedong. Dengan suara pelan dan tidak begitu keras, Bu Gedong melakukan khotbah, atau dalam agama Hindu disebut dharmawacana. Saya kaget, ternyata Bu Gedong mempergunakan bahasa Inggris. Semua yang hadir agaknya paham betul apa yang diomongkan Bu Gedong, kecuali dua atau tiga anak kecil di sisinya yang merupakan muridmurid baru. Perempuan tua ini berbicara tentang kesucian hati dan perbuatan-perbuatan yang jauh dari dosa. Kemudian si anak kecil, dan murid-murid yang lain, diajaknya berdialog dengan tetap menggunakan bahasa Inggris. Sesekali Bu Gedong menjelaskan kata-kata baru, kalau semua yang ditunjuk tak tahu artinya. Peserta sembahyang itu, kalau gagap berbicara, dituntunnya. Yah, ini pelajaran bahasa Inggris dengan tema tak lari dari keheningan suci memuja Yang Mahakuasa. Acara ini berakhir setelah semua orang kena giliran diajak berdialog, termasuk wanita kulit putih itu. Dia ditanya sekitar kesannya setelah beberapa hari mengikuti pendidikan di ashram. Si kulit putih bilang, masih belum mengerti banyak hal. Lalu semua berdiri mengucapkan salam kepada Bu Gedong. “Good night” balas Bu Gedong, sambil melangkah ke luar. Perempuan tua ini memang dosen bahasa Inggris di Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar. *** KENTONGAN dipukul bertalu-talu. “Ini jam makan. Kalau mau lihat anak-anak makan, lihatlah. Tapi, nanti kita makan bersama tamu-tamu,” ujar Bu Gedong. Saya mengikuti dua bocah 260
kecil — anak kembar yang baru enam bulan dititipkan orangtuanya di ashram — menuju ruang makan. Letaknya di sebelah gedung perpustakaan. Mereka antre menunggu giliran mengambil makanan. Lauknya, sayur kecambah, tempe, perkedel, telur. Di ashram ini tidak ada makanan yang diharamkan agama. Babi tidak boleh, karena diharamkan Islam. Sapi tidak boleh, karena diharamkan Hindu. Yang menarik, tidak ada piring. Sebagai gantinya ada tempurung kelapa. Bersih dan halus mengkilap. Semua penghuni ashram berdoa sebelum makan, doa yang “asing” itu. Di sini juga disediakan susu, kacang hijau, dan berbagai jenis makanan kecil yang dibuat penghuni ashram. Seorang gadis penghuni ashram memanggil saya. Rupanya, saya harus ikut bersama tamu makan malam. Untuk makan malam para tamu ini, ada balai tanpa dinding di pinggir pantai, luasnya sekitar 5x8 meter. Letaknya agak jauh dari bangunan-bangunan ashram. Di balai ini ada sebuah meja panjang dari kayu, dan sekitar sepuluh kursi. Semua benda itu buatan ashram, sederhana, memang. Ada empat tamu asing. Bu Gedong memperkenalkan tamutamu itu, yang semuanya berpasangan. Mereka adalah peneliti dan ahli filsafat. Mereka, katanya, akan menulis buku tentang agamaagama besar di dunia. Selebihnya, Bu Gedong minta identitas tamu ini tak diumumkan. Ada tiga gadis ashram melayani tamu makan malam. Di sini tidak memakai piring tempurung kelapa. Baik cara menghidangkan maupun alat-alatnya, semuanya bergaya Barat — disesuaikan dengan tamu. Gadis-gadis itu pun menyuguhkannya secara profesional. Tetapi yang menjadi ciri khas pesantren Hindu ini, lauk dan berasnya, semuanya dari “produksi ashram”. Ada kacang rebus, hasil dari perkebunan ashram. Ada telur, juga hasil peternakan di ashram. Beras itu sendiri adalah hasil panen sawah milik Bu Gedong yang dikerjakan oleh penghuni ashram. Bahkan minyak kelapa untuk menggoreng masakan itu pun buatan sendiri. Kelapanya dipetik dari pohon di ashram. Ciri khas lain, mengucapkan 261
puja-puja sebelum makan. Puja dipimpin seorang gadis. Praktis hanya empat orang yang mengucapkan puja, tiga gadis ashram dan seorang lagi, siapa lagi kalau bukan Bu Gedong. Tamu lain, termasuk saya, mencakupkan tangan di atas kening. Dengan lincahnya Bu Gedong memperkenalkan berbagai makanan yang terhidang, yang tampaknya masih asing bagi orang Barat. Semua jenis sayur-mayur dan beras itu ditanam tanpa bantuan pupuk kimia. Ashram ini antipupuk yang mengandung unsur kimia, kecuali pupuk kandang. Untuk memperoleh badan yang sehat dan kuat, pikiran yang jernih, bahan makanan harus pula terbebas dari segala macam unsur kimia. Biarkanlah alam membesarkan sendiri segala jenis tetumbuhan untuk dimakan manusia itu. Kurang lebih itulah dasar pijak Bu Gedong. Sambil makan, saya lebih banyak berbincang dengan Bu Gedong, soal ashram, soal agama Hindu, soal penduduk sekitarnya, soal tantangan yang dihadapi masyarakat Bali di kemudian hari. Tentu dengan bahasa Indonesia. Sesekali Bu Gedong mencampurnya dengan bahasa Bali khas Karangasem yang rada halus. Tapi kemudian, dengan amat malu, saya meminta agar dipakai bahasa Indonesia saja, karena saya sudah mulai lupa istilah-istilah bahasa Bali. *** SEMAKIN banyak berbincang, semakin banyak yang tidak saya ketahui. Kenapa ashram ini harus berdiri, dan di mana letaknya dalam peta agama Hindu — apalagi kalau dihubungkan dengan agama Hindu di Bali. Ashram ini sesuatu yang asing. Puja-puja itu, cara mereka melakukan sembahyang, tak pernah dipraktekkan — atau mungkin tak pernah diketahui — oleh pemuka Hindu di luar ashram. Dilihat dari sudut ini, saya bisa mengerti bahwa kesalahpahaman pernah terjadi di tahun-tahun awal berdirinya ashram ini. Pada saat itu, lembaga-lembaga umat Hindu mencurigai kegiatan Bu Gedong sebagai “membuat agama baru” di dalam tubuh agama 262
Hindu. Dan, mereka yang mencurigai ini cepat-cepat mempengaruhi pihak penentu kebijaksanaan, agar kegiatan ini digolongkan sebagai bukan kegiatan keagamaan. Maksudnya jelas, mau digiring ke kandang aliran kepercayaan. Namun, Bu Gedong sangat luwes. Bangsawan intelektual ini sangat lincah, walau tampak diam. Ia tak menanggapi suara-suara itu. Ia hanya mempersilakan orang datang ke ashramnya. Dengan cara begitu, kecurigaan orang jadi hilang. Yang dilakukannya tidak menyimpang dari ajaran Hindu. Hanya cara yang ditempuh berbeda. Pada penganut Hindu umumnya, upacara keagamaan lebih banyak dengan simbol-simbol berupa sesajen beraneka ragam. Pada Bu Gedong, simbol itu diganti dengan puja yang panjang. Arahnya sama, yang dituju sama. Penganut Hindu di luar ashram, jika mereka bersembahyang memuja kebesaran Tuhan, separuh lebih sarananya sudah dibantu orang lain, yakni berupa sesajen itu. Atau, kalau sesajen itu dibuat sendiri, proses memujanya sudah lama dipersiapkan dengan bantuan simbol-simbol itu. Ketika mereka menghadap Yang Mahakuasa, mereka sudah tinggal menghaturkan saja diiringi puja — itu pun kalau bisa — sekadarnya. Sedang di dalam ashram, jika seorang akan memuja Yang Mahakuasa, orang itu harus siap memuja tanpa dibantu simbol-simbol lagi, karena mereka sudah tahu jalannya, sudah tahu apa yang diucapkan untuk menuju jalan itu. Sarananya sudah ada di dalam tubuhnya, tak perlu lagi simbol. “Untuk tahu kehidupan ashram dan tahu tujuan ashram, kamu paling tidak harus seminggu di sini,” ujar Bu Gedong. Saya tak punya waktu. Dan, saya pikir, waktu seminggu pun belum tentu cukup. Seorang pemuda ashram yang saya tanya sore harinya sudah dua tahun di ashram ini. la mengaku baru pada tahap “mengenal”, belum “tahu”. *** ASHRAM Candi Dasa memang meniru ashram yang didirikan 263
Mahatma Gandhi di tahun 1915, dengan penyesuaian pada iklim Indonesia, atau iklim Bali. Gandhi, Bapak India itu, menetapkan beberapa ajaran di ashramnya. Antara lain yang penting: swadehsi yaitu segala sesuatu dicukupi dari diri sendiri. Meminjam istilah di masa Bung Karno adalah berdiri di atas kaki sendiri alias berdikari. Aparigraha, memilih hidup miskin, artinya hidup dengan penuh kesederhanaan tanpa mengejar kehidupan materi. Ahimsa, yaitu tidak melakukan kekerasan. Sat, selalu mencari kebenaran. Nirbaya, tidak mengenal takut untuk suatu kebenaran. Di ashram ini tidak dikenal perbedaan suku, bahkan perbedaan agama. Setiap orang yang datang boleh saja mengikuti pelajaran, mengikuti persembahyangan, tidak ditanya dari mana, agama apa, dan sebagainya. Syaratnya, hanya tunduk kepada peraturan ashram. Yaitu, tidak boleh merokok, tidak boleh minum minuman keras, tidak boleh meludah sembarangan, berpakaian sopan, melepas alas kaki kalau memasuki bangunan-bangunan ashram. Kalau orang itu menginap di dalam ashram, ketentuan di atas ditambah dengan: kalau berpasangan harus suami istri. Kalau tidak, mereka dipisah di bangunan berbeda. Ashram ini mulai dirintis sekitar tahun 1970-an, di bawah Yayasan Bali Canti Sena, yang diketuai Bu Gedong sendiri. Sedikit demi sedikit bangunan didirikan. Sekarang, ashram ini luasnya sekitar 4 hektar — dan tampaknya tidak akan bisa diperluas lagi karena di sekelilingnya penuh dengan rumah-rumah penginapan komersial. Bangunan ashram paling depan, sebuah poliklinik yang diberi nama Kosala Usada Gandhi — arti harfiahnya ruang pengobatan Gandhi. Poliklinik ini terbuka untuk masyarakat sekitarnya, tidak melulu buat penghuni ashram. Ada foto besar Mahatma Gandhi sewaktu menjenguk orang sakit, dipasang di dinding. Juga ada foto Gandhi lain yang berisi tulisan: God is Truth, Truth is God. Poliklinik ini buka setiap hari dari pukul 8.30 sampai 11.00. Ada petugas kesehatan khusus di sana. Kunjungan dokter puskesmas hanya setiap hari Kamis, juga dokter gigi dari Dokabu (Dokter Kabupaten) Karangasem muncul setiap Kamis. Semua peralatan praktek, termasuk peralatan dokter gigi itu milik ashram — yang 264
ini tentu saja peralatan modern, bukan swadehsi. Di ruang poliklinik ini setiap hari juga buka praktek seorang akupungturis. Dia, Nyoman Sadra, si akupungturis itu, sore harinya mengajar di sebuah SMA. Ia dari Tenganan, desa kuno yang tak jauh dari Candi Dasa. Semua bangunan di ashram ini berdwifungsi, bagian bawah tempat kegiatan sehari-hari (sembahyang, dapur, ruang baca, ruang praktek dokter, dan sebagainya), di atasnya tempat tidur. Di atas poliklinik ini, misalnya, dipakai tempat tidur anak-anak laki berusia di bawah 15 tahun. Ada sepuluh anak yang tidur di sana. Di belakang poliklinik ada bangunan induk, tempat Bu Gedong tidur dan menerima tamu. Di sebelahnya ada dapur. Kemudian di kompleks ini ada lima buah tempat penginapan khusus untuk tamu-tamu ashram. Rumah penginapan itu dilengkapi dengan kamar mandi, ruang duduk, tempat tidur di bawah dan ruang tidur di atas. Yang di atas memanfaatkan langit-langit rumah dari papan, yang digelari kasur begitu saja. Ada jendela yang persis mengarah ke laut. Sebagaimana halnya pada setiap bangunan, di rumah penginapan ini pun tergantung potret Mahatma Gandhi, dan kutipan-kutipan ajarannya. Pengikut Bu Gedong tidak banyak. Ketika awal-awal ashram ini berdiri, pengikutnya hanya puluhan orang, itu pun kebanyakan mahasiswa yang ingin belajar bahasa Inggris. Kemudian masyarakat di sekitar Desa Bugbug silih berganti datang. Silih berganti pula pergi. Ada yang tidak tahan dengan ketentuan ashram, ada yang memang tidak berbakat. Bu Gedong sendiri tidak peduli dengan jumlah anak buahnya. Dia tidak “mencari” pengikut, dia hanya “menerima” pengikut. Sekarang penghuni ashram ada 35 orang. Ada anak kecil, ada remaja yang masih sekolah, ada yang drop out. Yang masih sekolah tetap saja bersekolah -- di luar ashram -- dan sepulangnya baru melaksanakan kewajibannya sebagai penghuni ashram. Tahun 1982, Bu Gedong mendirikan SD di ashram ini. Alasannya, watak anak-anak yang telah dibinanya bisa jadi dilupakannya apabila bersekolah di tempat lain. Maka, SD itu didirikan di pinggir 265
pantai. Di ruang kelas, tanpa bangku. Anak-anak duduk di lantai beralas tikar, di depannya ada meja berkaki rendah untuk alas membaca dan menulis. Gurunya, semua tamatan Sekolah Pendidikan Guru yang sewaktu sekolah dibiayai oleh ashram ini. Pagi hari, setelah kentongan berbunyi, anak-anak SD ini berderet di depan kelas masing-masing, sebuah bangunan berdinding bambu dan beratap ilalang. Kurikulum sekolah ini sama saja dengan sekolah negeri, cuma ditambah dengan pelajaran keterampilan. Jadi, ada pelajaran menganyam, bercocok tanam, atau pertukangan. Dan siang hari, menjelang anak-anak ini pulang ke rumahnya masing-masing, mereka diberi makan. Tentu saja, sebelum makan, mereka berdoa dengan puja-puja versi ashram. Pulang ke rumah? Memang begitu. Anak-anak ini kebanyakan dari desa di sekitar Candi Dasa, dan tidak “pengikut” ashram yang makan-tidur di ashram. Mereka hanya menumpang belajar. Tentu saja, ada beberapa anak yang betul-betul menjadi penghuni ashram yang dititipkan oleh orangtuanya, termasuk si kembar yang berumur kurang dari sepuluh tahun itu. Tidak ada pungutan di SD ini, juga tak ada pungutan apa-apa di ashram. Bagi penghuni ashram, kegiatan dimulai sejak subuh. Pukul 4.00 pagi, kentongan sudah dibunyikan. Semua penghuni menuju bale gede, yaitu ruang perpustakaan. Mereka tidak membaca, tetapi bersembahyang pagi. Mereka duduk bersila menghadap ke arah timur, ke arah matahari terbit. Di antara dupa yang mengepul, mereka mengucapkan puja-puja, dilanjutkan upanisad Bu Gedong yang menggunakan bahasa Inggris. Usai sembahyang pagi, para penghuni ashram mengganti pakaiannya dengan pakaian olah raga. Mereka menuju pantai, yang mulai menyempit karena gelombang di sini amat besar tanpa penghalang. Mereka melakukan senam pagi, tentu saja tidak senam pagi yang dikenal lewat televisi itu. Senam mereka adalah awal pelajaran yoga, yang disebut Surya Namaskar. Mereka melakukannya sambil menatap matahari yang baru terbit. Yoga ini berakhir sekitar pukul 6.30. Kegiatan selanjutnya adalah rutin sehari-hari. Penghuni ash266
ram yang masih sekolah di SMP dan SMA berangkat ke sekolah di luar ashram, yaitu di Desa Sengkidu, sekitar empat kilometer dari ashram. Yang tidak bersekolah praktek pertukangan: membuat kursi, meja,,. kutak-katik mesin, montir radio. Yang perempuan menganyam berbagai anyaman dari bambu. Ada yang ke sawah, sawah milik Bu Gedong di Desa Subagan seluas 1,5 hektar. Sawah ini betul-betui dikerjakan dengan ketentuan ashram. Yang ditanam padi lokal, tidak menggunakan pupuk urea. Untuk menjadikan beras, tidak pula menggunakan mesin giling, tetapi padi itu ditumbuk dengan tangan. Ada pula penghuni ashram yang berkebun di sekitar ashram. Tetapi hasil sayur-mayur dari kebun ini kadang tidak memenuhi kebutuhan sendiri, karena sempitnya lahan. Untuk itu, Bu Gedong punya perkebunan luas di Candi Kuning, Bedugul, Kabupaten Tabanan, yang dikelola oleh suaminya, Ida Bagus Oka, pensiunan pamong praja. Jarak Candi Kuning dengan ashram 100 km tak memungkinkan penghuni ashram mengerjakan kebun itu setiap hari. Namun, kebun di Candi Kuning itu tetap ditanami dengan prinsip ashram, tanpa pupuk kimia. Pada saat penghuni ashram bekerja pagi itu, Bu Gedong juga bekerja. Ia bekerja dengan mesin ketik, menerjemahkan buku-buku asing yang ada hubungannya dengan agama dan filsafat. Bekas anggota DPR mewakili cendekiawan ini sudah menerjemahkan olobiografi Mahatma Gandhi. Pukul 11.30 penghuni ashram sudah mulai istirahat dari pekerjaannya. Ada yang membaca buku, membaca koran (koran terbitan Denpasar dan Jakarta memang datang siang di ashram ini), ada pula yang berlatih — atau sekadar membunyikan — gamelan Ball, yang memang tersedia di ashram walaupun tidak komplet jumlahnya. Mereka istirahat sambil menunggu kentongan tepat pukul 12.00 ketika matahari berada persis di puncak. Kentongan siang hari ini adalah pertanda makan. Usai makan siang, penghuni ashram berkelompok-kelompok belajar bahasa Inggris. Kelompok ini diadakan sesuai dengan tingkat kemampuan. Pelajaran siang hari itu tidak dipimpin Bu 267
Gedong. Salah seorang yang dianggap mampu di antara kelompok itu yang memimpinnya. Tidak ada batas waktu belajar bahasa Inggris di siang hari. Bisa berlama-lama sampai saat bersembahyang pukul 17.00. Kalau jenuh, bisa pula bubar dan melakukan pekerjaan bebas. Atau belajar pelajaran lain, mengerjakan PR bagi murid SMP-SMA, merawat tanaman bunga, atau melanjutkan pekerjaan pagi harinya. Jika kentongan berbunyi sore hari, itu pertanda persembahyangan dimulai — yang asing bagi pemeluk Hindu di luar ashram — dilanjutkan dharmawacana bahasa Inggris, lalu makan malam, dan belajar sesuai dengan bidang masing-masing. Bagi yang drop out, mereka belajar mewirama yaitu kerawitan dengan membaca lontar-lontar berhuruf Bali, biasanya berisi cerita-cerita yang banyak mengungkapkan filsafat Hindu. Yang terakhir ini memang tak asing bagi masyarakat Bali. Begitulah hari-hari di ashram Candi Dasa, yang saya peroleh ceritanya dari para penghuni ashram, dan seperti yang saya lihat sebagian. *** Candi Dasa, 21 Januari 1986. Pagi hari. SAYA gelisah dan terus tergolek di tempat tidur di sebuah penginapan di luar ashram yang tarifnya Rp 4.000 semalam. Memang saya menolak tidur di ashram. Saya ingin mencicipi udara Candi Dasa yang mulai diramaikan turis kelas menengah ke bawah. Saya ingin melihat ulah turis di kampung yang boleh disebut terpencil ini. Saya menyaksikan kehidupan ingar-bingar, yang sebaliknya dengan suasana ashram. Banyak yang saya pikirkan, karena itu saya gelisah. Yang beratberat, dan akhirnya saya tidak mampu menuangkannya ke dalam kata-kata, tetap pikiran tentang ashram itu. “Ajaran” Bu Gedong boleh disebut melawan arus — jadi tidak sekadar asing. Ia mengurangi sesajen, karena itu hanyalah alat pembantu. Kalau seseorang bisa memuja Ida Sang Hyang 268
Widhi Wasa tanpa perlu lagi alat pembantu, bukankah lebih baik? Ya, betul. Kalaupun Bu Gedong membuat sesajen — mengurangi tidak berarti meniadakan sama sekali — tidak akan menggunakan daging binatang. Bahkan mecaru — atau rangkaian upacara tabuh rah — yang di luar ashram dilaksanakan dengan mengucurkan darah binatang, tidak-akan ditemukan di ashram ini. Itu berarti menyakiti binatang, tidak sesuai dengan prinsip ahimsa. Padahal, di luar ashram, upacara itu ditujukan kepada Bhuta Kala untuk keharmonisan jagat. Di ashram, ahimsa justru untuk keharmonisan dunia juga. Lalu, konsepnya tentang swadehsi, berdiri di atas kaki sendiri, juga konsep memerangi kemiskinan dengan menempuh hidup miskin. Bagaimanakah hal ini harus saya carikan bandingannya? Bali sejak dulu dikenal sebagai pulau yang selalu diserang pengaruh asing, dan selalu bisa menyerap pengaruh asing yang positif itu. Tentu saja, sebagaimana halnya pulau lain, Bali tak bisa bebas dari ketergantungan pada pihak luar. Dan, tiba-tiba, swadehsi? Namun, lihat pulalah ini. Bu Gedong mengampanyekan beberapa jenis masakan Bali kepada tamu-tamunya orang asing. Buah-buahan dari Bali, ubi-ubian dari Bali, sayur-mayur produksi Bali, bisa disulap jadi biskuit ala Barat. Lawar, tum, telengis, jenis-jenis masakan Bali yang mulai menghilang, dihidupkan lagi di ashram ini. Dan, di luar makanan-makanan itu, kesenian Bali tetap berkembang di ashram. Ada tari, ada gamelan, ada pekerjaan menatah wayang kulit, ada yang mengukir, ada yang mempelajari sastra Bali kuno (mewirama). Dan yang mahapenting, pendidikan penghuni ashram itu, walau tidak sepenuhnya hasil tempaan ashram — karena yang SMP dan SMA menuntut ilmu di luar — merupakan karya Bu Gedong yang sangat layak dipuji. Apalagi, penghuni itu tidak membayar sepeser pun tinggal di ashram. Bu Gedong punya sawah, punya perkebunan, dan punya lima rumah penginapan untuk tamu-tamu khusus di ashram. Penginapan ini tidak komersial dan hanya untuk tamu ashram yang diseleksi ketat, tetapi toh mendatangkan hasil juga untuk memenuhi kebutuhan penghuni ashram. 269
Memang sulit untuk bisa mengerti keberadaan ashram ini, hanya dari perjalanan mampir yang sehari dua. Masyarakat Bali pun — juga tetangga Candi Uasa — sulit mengetahui apa sesungguhnya “tujuan” ashram ini. Ditambah lagi pribadi Bu Gedong yang tak pernah bersedia menggembar-gemborkan ashramnya, karena itu berarti kesombongan. Maka, sudah mudah diperkirakan, ashram ini tak “populer” dan pengikut Bu Gedong tidak pernah banyak. Dilihat dari sudut itu, masalah ajarannya, memang pengikut Bu Gedong tak pernah banyak. Sekali lagi, perempuan berusia 65 tahun ini (Lahir di Amiapura 3 Oktober 1921) bukan mencari pengikut, ia hanya menerima pengikut. Tetapi, bagi masyarakat Candi Dasa, Desa Bugbug, jasa Bu Gedong luar biasa. Tanyalah pemilik-pemilik rumah penginapan, yang sampai akhir Januari 1986 sudah berjumlah 32 buah. Siapakah yang menyebabkan daerah Candi Dasa itu berkembang? Bu Gedong. Siapakah yang membawa turis ke Candi Dasa? Bu Gedong. Siapakah yang menganjurkan Pura Candi Dasa dipelihara baik-baik dan ditunggui? Bu Gedong. Siapakah yang menyarankan agar dinding pantai ditembok untuk menahan empasan gelombang? Bu Gedong. Siapakah yang membawa dokter ke Candi Dasa? Bu Gedong. Siapakah yang menganjurkan agar anak-anak kecil di Candi Dasa bersekolah dan giginya diperiksakan secara teratur? Bu Gedong. “Masyarakat di sini, kalau membangun rumah penginapan, atau restoran, atau toko kerajinan, selalu meminta nasihat Bu Gedong. Ia orangtua kami,” itu yang terlontar dari pemilik rumah penginapan yang mulai memenuhi kawasan Candi Dasa. Dan, Bu Gedong mengakui, “Sering Ibu mengadakan pertemuan dengan mereka, agar tanah ini, satusatunya kekayaan mereka, tidak jatuh ke tangan orang luar.” Pantas, dan pada tempatnya, kalau masyarakat di sini sangat menghormati perempuan berusia senja yang masih sehat dan masih sering mengunjungi berbagai negara ini. Masyarakat setempat menilai, Bu Gedong orang yang berilmu tinggi, pengalamannya luas, dan segala nasihatnya patut dicontoh. Tapi soal ashram, soal lain. Prinsip Bu Gedong dalam menerapkan “ajarannya”, dan keta270
atannya pada ajaran Mahatma Gandhi, tak pernah dinasihatkannya kepada masyarakat di luar ashram, sebagaimana ia menasihatkan membangun rumah penginapan. Ashram dan perkembangan di luar ashram, dua kutub yang berbeda. Tapi Bu Gedong hanya satu, dosen yang kini mulai pensiun dan tinggal di desa.
271
XVII Melihat Kampung Muslim Pegayaman
Assalamu’alaikum Nengah Ibrahim
S
IAPA namamu? Wayan? Nyoman? Made? Wah, pasti dari Bali. Itu ‘kan nama baptis orang Bali, nama orang Hindu. Ya, ‘kan? Ternyata, tidak. Sering sekali orang mengira nama-nama itu ada hubungannya dengan agama Hindu. Bahwa nama itu menunjukkan seseorang berasal dari Bali, ada benarnya. Walaupun sekarang orang Bali telah menyebar di berbagai penjuru tanah air, sebagai transmigran, pegawai negeri, karyawan swasta, buruh kasar, dan sebagainya. Betul kalau nama itu pada mulanya hanya dipakai orang Bali. Tetapi minus Putu, karena di Maluku dikenal misalnya Putuhena, tokoh yang pernah menjadi menteri pekerjaan umum di masa revolusi. Dan mungkin ada Putu-Putu yang lain. Nama-nama itu hanya nama urut kelahiran. Dalam dokumen resmi — ijazah, akta kelahiran, akta perkawinan — nama itu biasanya masih tercantum dengan lengkap. Lebih-lebih di pedesaan. 272
Pada orang kota, nama urut itu sudah banyak menguap. Apalagi kalau nama aslinya (setelah dikurangi gelar “kasta” --suatu istilah yang salah kaprah-- dan nama urut) masih terdiri dari dua kata. Misalnya, Oka Mahendra dan Raka Netra — keduanya anggota DPR - atau Putera Astaman (Polri), dan Awet Sara (TNI-AD). Sebagai contoh bahwa nama itu tak ada hubungannya dengan agama adalah nama berikut ini: Wayan Muhammad Saleh, Nengah Ibrahim, Nyoman Ali, Ketut Syahruwardi Abbas. Mengada-ada? Tidak! Mereka adalah penduduk Bali yang sejak awal sudah memeluk Islam. Juga nama ini: Wayan Yusuf. Dia orang Bali yang memeluk Kristen. *** DESA PEGAYAMAN, sembilan kilometer sebelah selatan Kota Singaraja, Bali bagian utara, sebagian besar penduduknya beragama Islam. Oleh masyarakat Bali, mereka disebut nyama selam — artinya masyarakat yang beragama Islam, dalam konteks sebuah persahabatan yang tulus. (Masyarakat Bali pedesaan menyebut Islam itu selam, mereka tak biasa mengucapkan kata awal Is). Warga Pegayaman ini, tentu saja, berbahasa Bali. Dan mereka, kalau saling menyapa, juga begini: Bli Ketut, atau mbok Nengah . . . Bli sebutan untuk kakak laki-laki, mbok sebutan kakak perempuan, mbak dalam bahasa Jawa. Atau kalau mereka menyapa lebih hormat dengan salam takzim, akan keluar ucapan: Assalamu’alaikum Nengah Ibrahim. Walaikumsalam Wayan Muhammad Saleh. Warga Islam ini mengaku seratus persen anggota Nahdatui Ulama. Mereka tak sedikit pun risi menyerap budaya Bali. Tata sosial kemasyarakatan yang diterapkan dalam kehidupan seharihari hampir tak berbeda dengan tata sosial nyama bali. Mereka mengenal sistem banjar. Desa itu terbagi menjadi empat banjar, yaitu Banjar Dangin Rurung, Banjar Dauh Rurung, Banjar Lebah, dan Banjar Amertha Sari. Banjar Dangin Rurung dan Banjar Dauh Rurung dibelah oleh jalan utama di desa itu. (Dangin berarti timur, dauh berarti barat, rurung berarti jalan). 273
Sedang dua banjar yang lain beradadi seputar persawahan, di luar desa induk. Rumah mereka memang agak beda dengan rumah-rumah orang Bali pada umumnya. Mereka tak suka memasang ukir-ukiran Bali. Dulu, tak ada candi bentar, baik sebagai pintu gerbang masuk desa — seperti yang mewabah belakangan ini — maupun pada pintu gerbang memasuki halaman rumah. Ada penduduk yang mengatakan bahwa candi bentar itu termasuk yang ditabukan. Tidak jelas apakah itu juga tergolong haram. Juga, tak jelas apakah ini terkait dengan ajaran agama (Islam) atau penolakan itu karena tradisi setempat saja. Masalahnya, masjid raya di tengah Kota Denpasar, pintu gerbang ke halamannya memakai candi bentar yang besar. Di Pegayaman ada masjid, tentu. Hanya satu, tetapi bisa menampung sekitar 750 jemaah atau lebih. Di bulan Maulud, mereka mempertunjukkan kesenian khas Pegayaman, yakni burda. Alat tabuh ini semacam rebana, cuma lebih besar karena tubuhnya dibuat dari batang pohon kelapa. Mereka menyanyikan ayat-ayat suci dan menembangkan kisah kelahiran nabi besar Muhammad saw diringi tetabuhan burda. Sekeha burda ini (mereka memakai kata sekeha juga, yang berarti kelompok) memakai pakaian tradisional Bali, sama dengan pakaian orang di luar Pegayaman. Memakai destar, berkain yang ujungnya meruncing di tengah, atau istilah Bali, mekancut. Di sela-sela lagu pujian berbahasa Arab — tetapi tembangnya mirip kidung wargasari yang dikenal di kalangan Hindu — keluar seorang penari. Penari laki ini juga berpakaian khas Bali. Gerak tarinya, kombinasi antara gerak-gerak silat dan tari Bali. Memang khas sekali. Namanya tari Selendang, Tari Tampan, Tari Perkawinan, Tari Pukul Dua. “Saya tak tahu sejarah tari ini, kami mewarisinya sudah tujuh turunan lebih,” kata Nyoman Abdullah Mahmud, penari burda itu. Pekerjaan pokok penduduk Pegayaman bertani dan berkebun. Itu yang menyebabkan mereka menyebut dirinya penduduk Bali asli. Bukan “Islam pendatang”, yang selalu punya konotasi sebagai 274
penjual sate, penjual mercon, dan sebagainya. Kalau panen kopi, penduduk sekitar Pegayaman — yang Hindu — ramai-ramai ikut berburuh memetik ke Pegayaman. Dua umat ini rukun saja, dan mereka selalu mengakui sebagai satu rumpun warga, dengan perawakan dan kulit yang sama, yang hanya dibedakan oleh keyakinan menjalankan ibadat agama. Warga Pegayaman pun mengenal subak — tata organisasi pengairan khas Bali yang terkenal itu. Lengkap dengan upacara religiusnya. Kalau di luar Pegayaman, organisasi subak lekat benar dengan upacara Hindu, di Pegayaman tentu dengan cara yang sesuai dengan keyakinan mereka. Menurut Guru Wayan Haji Abdul Wasyid Karim, seorang guru (sebutan untuk kiai di sini), upacara selamatan dalam rangkaian subak ini memakai ketupat kecil-kecil. Upacara itu diselenggarakan di tempat mata air dan yang dibaca doa-doa selamatan dari kitab barzanji dilanjutkan aqidatul ‘awam. Dalam kaitan subak itu, mereka juga punya sekeha manyi (perkumpulan menuai padi), sekeha malapan (perkumpulan memetik kopi). Semangat gotong-royong mereka dalam membangun rumah, apalagi masjid, begitu kuat, tak kalah dengan masyarakat Hindu di sekitarnya. Cuma, pakaian keseharian mereka yang cepat sekali menandakan bedanya dengan nyama Bali, yaitu berkopiah untuk lelaki dan berkerudung untuk perempuan. Bahasa? Warga Pegayaman berbahasa Bali, tentu saja. Bahkan untuk kegiatan di masjid, bahasa yang dipakai bahasa Bali halus, seperti pula orang Bali yang Hindu berbahasa halus di pura. Bagaimana asal-usul nyama selam ini? Tidak ada sejarah yang mengungkapkan hal itu secara pasti. Kalau menurut penuturan para tetua di Pegayaman, asal-usulnya sebagai berikut: Tersebutlah Ki Panji Sakti setelah berhasil menyerbu dan menanamkan pengaruhnya di Bali utara, mengangkat dirinya menjadi Raja Buleleng. Hal ini membuat murka raja Gelgel, karena Ki Panji Sakti semula hanyalah seorang pepatih. (Lihat Para Pewaris Ratu Sakti Pancering Jagat). Tentara Kerajaan Gelgel pun dikirim ke Bali utara. Ki Panji Sakti merasa tak mampu membendung se275
rangan ini, maka beliau meminta bantuan ke Kerajaan Blambangan, Jawa Timur. Ketika perang selesai, tentara dari Blambangan itu tidak pulang ke Jawa. Sebagian tinggal di Buleleng, dan perkampungan mereka itu sekarang dikenal dengan nama Banjar Jawa. Sebagian lagi tinggal dan diberi tanah di Pegayaman. Malah salah seorang tentara yang tinggal di Pegayaman itu dikawinkan dengan putri raja Buleleng. Keturunan inilah yang sampai kini menetap di Pegayaman, punya tanah perkebunan dan menyerap kebudayaan Bali tanpa meninggalkan agamanya yang asli, Islam. Di Gedong Kirtya Singaraja — tempat disimpannya berbagai lontar tentang sejarah Bali — tak ditemukan sejarah Desa Pegayaman. Tentang Ki Panji Sakti, itu jelas ada, dan beliau memang pendiri Kota Singaraja pada abad ke-15. Tapi tak pernah disangkutpautkan dengan Panji Sakti dari Kerajaan Gelgel. I Ketut Suwija, Ketua Yayasan Gedong Kirtya, hanya mengatakan, setelah Kerajaan Majapahit runtuh, raja Buleleng Ki Panji Sakti menerima hadiah seekor gajah dari raja Solo — tak disebutkan nama raja itu — dengan tiga orang pemelihara. Hadiah gajah itu adalah lambang persahabatan, bukan lambang penaklukan. Salah seorang pemelihara gajah ini oleh Ki Panji Sakti dimukimkan di pedesaan, dan perkampungan itu disebut Pegayaman, berasal dari kata gayam, jenis buah-buahan yang banyak di situ. Ada pula catatan dalam lontar yang bisa dibaca di Gedong Kirtya, yakni pada pemerintahan I Gusti Ketut Jelantikdi Buleleng, pada 1850, sekelompok imigran Islam datang, dan beberapa di antaranya bermukim di Pegayaman. Diduga ini orang Bugis, karena sampai kini warga Pegayaman ada yang mengaku sebagai keturunan orang Bugis. Cuma tak jelas kenapa mereka juga menyerap kebudayaan setempat. Kalau bisa disebut sebagai “budaya Pegayaman”, maka kebudayaan itu terus diwariskan ke anak cucu. Burda, rudat, tradisi subak, dan sebagainya tetap dipertahankan. Sayangnya, pemerintah terlalu banyak campur belakangan ini. Hanya karena Pegayaman disiapkan sebagai desa yang ikut berlomba, di ujung-ujung desa itu sudah ada candi bentar. Dan keran-keran air minum pun dibuat 276
dari batu padas berukir, ukiran khas Bali. *** MASUKNYA agama Kristen di Bali, tentu saja, jauh tertinggal dibandingkan masuknya Islam di Pegayaman. Kristen masuk ke Bali baru di abad ke-20 ini. Wayan Yusuf, Kelihan Banjar (ketua) Untal-untal, Desa Dalung, Kabupaten Badung, yang sebagian besar warganya penganut Kristen, menuturkan sedikit asal-usul pengkristenan ini. Waktu itu, 1933, penjajah Belanda mengizinkan seorang penginjil kelahiran Korea untuk menyebarkan agama Protestan di Bali. Sasarannya masyarakat keturunan Cina. Penginjil itu bernama Cang To Hang. Namun, Cang To Hang bukan saja mendekati warga keturunan Cina, tetapi juga akrab dengan orang Bali. Di Desa Buduk, Kabupaten Badung, Cang berteman baik dengan Pan Loting, seorang pemuka desa yang ahli dalam pengobatan (balian). Bahkan Pan Loting ini juga menguasai ilmu hitam dan ahli membuat sabuk pangeleakan (ikat pinggang untuk mereka yang belajar ilmu leak). Tentu saja; Pan Loting punya pengikut yang bertebaran di pelosok desa, terutama di Kabupaten Badung itu. Entah bagaimana prosesnya, lama-lama Pan Loting terbujuk Cang, dan raja leak ini masuk Protestan. Puluhan pengikut dan murid Pan Loting ikut masuk Protestan, terutama yang berada di Desa Dalung, tetangga Desa Buduk. Menurut Wayan Yusuf, pembaptisan Pan Loting dan pengikutnya — urnat Kristen pertama di daerah itu — pada 30 November 1933. Inilah sejarahnya, kenapa Desa Dalung menjadi basis bergesernya umat Hindu ke Kristen. Sekarang, terutama di Desa Dalung, ada sepuluh gereja dijalanjalan utama desa itu. Desa yang terdiri dari 16 banjar ini hampir sebagian besar pemeluk Protestan. Di Banjar Untal-untal umumnya Protestan, sedang di Banjar Tuka, pemeluk Katolik. Kalaupun di antara mereka ada yang masih Hindu, mereka hanyalah kalangan tua, yang pada 1933 tidak ikut dibaptis. Tetapi anak-anaknya sudah beralih ke Protestan. Dari 105 kk di Banjar Tuka hanya 5 kk yang 277
masih Hindu, ini contoh saja. Walau mereka pindah agama, mereka masih tetap mempertahankan kebudayaan Bali. Gereja mereka tentu saja dihias dengan ukiran Bali, dengan candi bentar dan kori agung. Khotbah mereka pun dengan bahasa Bali dan kidung-kidung pujaan berbahasa Bali, dengan pendeta yang asli Bali. Buku Injil mereka pun berbahasa Bali. Yesus misalnya disebut Sang Hyang Yesus. Pada hari raya Hindu seperti Galungan, umat Kristen ini juga ikut ngelawar — membuat makanan khas Bali itu. Cuma, lawar itu tidak untuk upacara, hanya untuk pesta makan-makan. Pada hari Natal, umat ini juga merayakan keramaian dengan memasukkan unsur Balinya. Misalnya, mereka membuat penjor-penjor sebagai hiasan. Cuma hiasan memang, karena di penjor itu tak ada lagi simbol-simbol keagamaan yang biasa terlihat pada penjor upacara keagamaan umat Hindu. Menurut Wayan Yusuf, yang diambil hanya “fungsi seni”-nya. Generasi muda orang Bali Protestan banyak yang meninggalkan pekerjaan di sawah. Mereka sudah menyerbu pekerjaan kota, di sektor pariwisata dan jasa. Memang harus diakui, segi pendidikan generasi mereka lebih baik dari umat Hindu. Sekolah-sekolah Katolik dan Protestan di Denpasar banyak memberikan beasiswa untuk umatnya ini. Malah putra-putri Wayan Yusuf dikirim belajar ke Jerman Barat. *** TULISAN singkat ini tidak ingin menyentuh lebih dalam masalah Islam maupun Kristen di Bali. Juga tak bermaksud menguraikan lebih dalam bagaimana kedua (atau ketiga) agama itu masuk, sejarahnya, efek sosialnya, juga konflik-konflik yang pernah timbul di masa lalu. Itu memerlukan studi tersendiri — dan terlalu “kecil” untuk dikabarkan di sini. Ada niat, memang, untuk menulisnya secara tersendiri. Yang ingin disampaikan di sini adalah, Bali tidak identik dengan Hindu. Agama minoritas itu, Islam, Protestan, Katolik, 278
dan Budha — Direktur Agama Budha di Departemen Agama Drs. Oka Diputra adalah orang Bali asli yang tadinya Hindu — hidup rukun berdampingan dengan mayoritas Hindu, sebagaimana minoritas Hindu di bagian lain Nusantara ini. Nyama selam, nyama kristen, maupun nyama buda di abad teknologi ini tak pernah lagi konflik dengan nyama Bali. Mereka semuanya orang-orang Bali bertumpah darah di Bali. Perkawinan campuran sering terjadi, dan sebagaimana halnya tradisi perkawinan di Bali, pihak perempuan melepaskan ikatan dengan keluarga asal, maka pengantin wanita ini ikut agama suaminya. Perempuan Protestan menjadi Hindu, perempuan Islam menjadi Hindu, jika ia disunting pemuda Hindu. Begitu sebaliknya. Mereka, dan anak-anak mereka yang lahir, masih setia memakai nama tradisi Bali. Jadi, Wayan, Nyoman, Nengah, bukan nama baptis, bukan nama orang Hindu ....
279
XVIII Ritual Bali dan Wajah Hindu Nusantara
Rini Wahyuni, Sebuah Epilog
P
URA Aditya Jaya, tempat persembahyangan umat Hindu yang terbesar di Jakarta. Di ibu kota republik ini, setiap wilayah punya tempat persembahyangan. Wilayah Jakarta Timur malah memiliki tiga tempat, dua yang lain di Kompleks Kopassus Cijantung dan Pura Kertha Bumi di dalam Taman Mini Indonesia Indah. Kegiatan persembahyangan di Pura Aditya teratur. Setiap bulan mati (tilem) dan bulan penuh (purnama) diadakan persembahyangan petang hari. Bagi orang Bali yang pertama kali ke pura ini, mungkin merasakan sesuatu yang unik. Di tengah-tengah sembahyang, mengalun azan magrib dari masjid di sebelah pura, yang cuma dibatasi tembok. Azan itu mengalun lewat pengeras suara, sementara puja pendeta tidak berpengeras suara. Tapi tak ada yang terganggu dalam semangat kerukunan antar-umat beragama. Setelah persembahyangan, biasanya ada renungan suci. Atau 280
sekadar ngobrol-ngobrol, membicarakan apa yang perlu dan akan dibangun (lagi) di kompleks pura. Pada hari raya Galungan dan Kuningan, Pura Aditya Jaya jadi pusat kunjungan umat. Dari pagi hingga malam, tak henti-hentinya umat datang. Dalam keadaan seperti itu, pendeta Hindu yang memang disediakan rumah di dalam kompleks, memimpin doa secara bersambung. Juga pada hari raya Saraswati — turunnya ilmu pengetahuan — Pura Aditya Jaya menjadi pusat kunjungan umat di Jakarta. Pada hari Saraswati, pura di dekat kampus Universitas Negeri Jakarta ini merayakan piodalan — semacam hari ulang tahunnya. Di luar hari-hari suci itu, pura ini pun tak pernah lengang. Ada saja orang yang datang. Mungkin menanyakan hari baik — dewasa — kepada pendeta di sana. Atau organisasi umat — Pemuda Hindu Indonesia, banjar suka duka dan ada beberapa lagi — mengadakan pertemuan di balai pura ini. Mumpung datang ke pura, mereka umumnya menyisihkan waktu untuk bersembahyang, lima menit selesai. Di pura ini disediakan selendang, dupa, air suci, dan air untuk membasuh tangan dan kaki. Persembahyangan dilakukan sendiri-sendiri, tanpa dipimpin pendeta. Hari Minggu, anak-anak berkeliaran di kompleks pura. Tempat parkir juga penuh sesak. Ada pendidikan agama Hindu, dan anakanak biasanya menyebut les atau sekolah Minggu. Les ini diasuh oleh sebuah yayasan pendidikan yang diakui oleh Parisada Hindu Dharma dan mendapat pengesahan dari Kanwil Departemen P dan K DKI Jakarta. Artinya, nilai di sekolah Minggu itu bisa dimasukkan dalam nilai rapor dari sekolah mana si anak berasal. Seminggu sebelum pembagian rapor di sekolah masing-masing, anak-anak Hindu mengantungi nilai dari pura. Les seperti ini ada di setiap tempat persembahyangan, kecuali di Taman Mini. Juga ada di luar pura, misalnya pada asrama-asrama tentara. Tetapi, diakui, Pura Rawamangun yang paling favorit — gurunya lengkap dan suasana belajarnya memadai. Karena bangunan yang dipakai belajar terbatas daya tampungnya, anak-anak tidak setiap Minggu datang. Murid SD masuk 281
setiap hari Minggu tanggal ganjil. Minggu tanggal genap untuk murid SMP dan SMA. Mahasiswa? Sampai sekarang belum diatur. Peminatnya sedikit. Entah kenapa, padahal nilai agama untuk mahasiswa itu wajib. Pendidikan di sini menggunakan kata pengantar bahasa Indonesia. Bukan saja muridnya sebagian besar tak mengerti bahasa Bali, gurunya pun ada yang tidak lancar lagi berbahasa Bali. Lagi pula, tidak semua muridnya anak-anak keturunan Bali. Ada orang Jawa yang Hindu, orang Sulawesi yang Hindu, dan juga anak-anak orang India di Jakarta. Karena itu pula, buku teks yang dipakai berbahasa Indonesia. Sementara pura itu berfungsi sebagai “laboratorium”, tempat praktek beribadat. Murid dituntun oleh guru kelasnya, secara berkala bersembahyang di pura ini. Bagaimana cara mengambil bunga, cara memegangnya, cara memuja, berapa kali memuja. Dan doa yang dipakai, mengikuti bahasa aslinya, Sanskerta — jadi bukan bahasa Bali. *** RINI Wahyuni, murid kelas 5 Sekolah Dasar Negeri IV Ciputat, Kabupaten Tangerang, Jawa Barat, salah seorang murid di Pura Aditya Jaya. Ia menjadi murid sekolah Minggu ini sejak kelas 3 SD, begitu ia mengenal Jakarta mengikuti ayahnya yang pindah tugas. Kelas 3 dan kelas 4 SD ditempuhnya di SD Trisula, Pegangsaan, Jakarta Pusat. Bapaknya tinggal di Griya Wartawan, Cipinang Muara. Itu sebabnya, Rini dititipkan di Pura Rawamangun. Naik ke kelas 5, Rini pindah sekolah ke SD Negeri IV Ciputat, karena ayahnya pindah rumah. Guru kelas Rini di sekolah baru itu — begitu pula kepala sekolahnya — tak mengharuskan Rini mencari nilai agama. Ia cukup diberi nilai agama melalui pendidikan budi pekerti. Kadang dicoba pula diberi tes agama Islam — mungkin coba-coba saja. Rini sering menjawab dengan tepat, kecuali kalau ada “tulisan Arabnya”. Bukankah nilai sekolah Minggu di Pura Rawamangun itu hanya berlaku untuk sekolah di DKI Jakarta? Bukankah SD Ciputat itu 282
termasuk wilayah Jawa Barat? Jadi, sesungguhnya, Rini bisa berhenti bersekolah Minggu di Pura Aditya Jaya. Tapi, tidak. Belajar agama bukan untuk rapor, begitu kata ayahnya suatu ketika. Dan Rini, untungnya, bersedia terus bangun lebih pagi di setiap hari Minggu tanggal ganjil. Ayah Rini juga bersedia mengantar nnenempuh jarak 35 km. Sekalian rekreasi, dari pura toh bisa lebih dekat ke Ancol, misalnya. Minggu siang di bulan April 1986, Rini rupanya baru saja selesai ulangan di pura. Begitu naik di mobil ayahnya, ia sudah merengut. “Sialan, deh, Pak. Saya lupa satu lagi isi Sad Ripu. Apa, sih, Pak, kasih tahu, dong,” rengeknya. Ayahnya menghidupkan mobil. “Pak, apa, sih, isi Sad Ripu? Penasaran, nih . . ..” Ayahnya menggeleng. “Idiih . . . tidak tahu, ya?” Rini mencibir. Begitu tiba di rumah di kawasan perumahan sederhana di Ciputat, Rini langsung menyerbu ibunya. “Bu, Sad Ripu itu apa, sih? Saya cuma tahu lima, kurang satu.” “Sudah, makan dulu. Ibu tak pernah belajar begituan,” kata ibunya. Dan Rini, mungkin penasaran sekali, membuka-buka buku pelajarannya. Pada saat itu temannya memanggil. “Rin, kita putar video yang kemarin, yuk. Biasa, di rumah Erna.” “Tapi kita ke gereja dulu, Rin, sebentar saja,” kata temannya yang lain. “Lho, aku nungguin di mana?” tanya Rini. “Ikut masuk saja. Masa bodoh, dulu juga mau.” “Ya, deh, asal dikasih izin sama babe-ku.” Rini mendapat izin pergi, tentu setelah makan. Empat gadis cilik itu sudah berboncengan dengan dua sepeda. Ayah Rini tidak keberatan atau tepatnya tidak melarang Rini memasuki gereja. Lelaki itu tahu, Rini tak mungkin canggung di pelukan gereja. Dua tahun di taman kanak-kanak, kemudian di kelas 1 dan 2 SD, Rini 283
belajar di sekolah Tarakanita, Bumijo, Yogyakarta. Di sekolah ini, setiap orangtua menandatangani surat pernyataan, “tidak keberatan anaknya dididik secara Katolik”. *** SAYA ayah Rini — seperti yang mungkin sudah Anda baca di dalam prolog. Saya memang belum begitu memikirkan secara dalam-dalam apakah salah mendidik Rini seperti itu. Anak ini lahir di Denpasar dengan nama Made Rini Wahyuni. Sesuai dengan adat di lingkungan keluarga kami, kami hanya memakai nama tradisional yang menyatakan nomor urut kelahiran saja di depan nama orang. Tak ada embel-embel apa-apa lagi. Itu pun betul-betui menyimpang — bukan lagi nomor urut yang sebenarnya. Penyimpangan yang lain, tertulis Made, tetapi dipanggil Kadek. Sejak kecil Kadek Rini diajari berbahasa Indonesia. Dalam usia tiga tahun, Rini ikut kami ke Yogya. Ketika ia bersekolah di Tarakanita, kami tak pernah memikirkan memberi les agama Hindu, mungkin lantaran kewajiban mengikuti agama Katolik itu. Dan, belakangan saya tahu pula, di Yogyakarta (waktu itu) tak ada les agama Hindu seperti di Jakarta. Yang unik dari Rini, di sekolah ia Katolik, di lingkungan keluarga ia Hindu — ibunya memerciki air suci setiap usai persembahyangan — di luar rumah dan luar sekolah ia tertarik dengan Islam. Tertarik dalam ukuran dan pengertian bocah seusia dia. Ia mulai membuang nama Made dan Kadek, ia ikut tarawih bersama anakanak pembantu kami, juga besama anak-anak tetangga. Bahkan dalam usia tujuh tahun, Rini sudah mengenal beberapa pesantren di sekitar Yogyakarta, lantaran diajak main oleh wartawati Tempo, Solichah Muflia Rachman, yang ketika itu masih mahasiswi IAIN Yogyakarta. Rini bahkan tak pernah kikuk di lingkungan keluarga Kiai Haji Hamam Djafar, pemimpin Pesantren Pabelan Muntilan. Rini ke sana diajak oleh wartawan Tempo, berkali-kali. Baru setelah di Jakarta, Rini mengenal agama Hindu. Dan ia kaget, agama Hindu ternyata punya pelajaran yang bisa dibaca, 284
dihafal, dan dites untuk mencari nilai rapor. Sayangnya — mungkin lebih tepat menyedihkan — apa yang dipelajari Rini di Pura Aditya Jaya tidak pernah diterima ibunya di sekolah menengah dulu. Saya, ayah Rini, juga tak pernah menerima pelajaran seperti itu di sekolah. Maklum, kami sama-sama keluaran sekolah kejuruan yang disiapkan untuk menjadi tukang. Tetapi, beberapa pelajaran Rini, ada yang pernah saya dengar. Sad Ripu itu, misalnya, saya tahu artinya, enam musuh utama yang harus diperangi dalam nafsu manusia. Tetapi apa yang enam itu, maaf saja. Istilah seperti Sad Ripu dan lain-lain saya ketahui lewat kesenian: wayang kulit, topeng, drama, arja. Kesenian inilah les agama Hindu untuk masyarakat Bali. Adakah istri saya bukan penganut Hindu yang baik? Minta perhatian, jangan coba-coba melemparkan pertanyaan itu secara langsung. Mungkin istri saya akan tersinggung. Dan ia siap membeberkan fakta, dan mungkin akan berkata, “dialah orang Bali yang paling rajin bersembahyang di Jakarta”. Soal sembahyang itu, betul. Ia tahu persis saatnya bersembahyang. Ia menganggap enteng urusan membuat sesajen. Bagaimana pun rumitnya sesajen itu, ia tahu cara membuatnya. Suatu hari ia pernah nyaris lupa ada hari suci persembahyangan. Ia baru ingat menjelang pukul lima sore. Maka, sebuah taksi dicarternya dari Ciputat untuk mengantar ke Pasar Mester Jatinegara, hanya membeli janur. Ia tak tahu bagaimana mendapatkan janur selain di pasar itu. Ketika pulang hari telah gelap, ia menyiapkan sesajen dengan tekun. Sembahyang bisa juga dilakukan malam hari. Adalah istri saya pula yang mensponsori berdirinya serangkaian tiga buah sanggah — tempat persembahyangan keluarga, seperti pura tetapi kecil — di rumah, baik ketika di Yogya maupun di Ciputat. (Di Griya Wartawan tidak membangun sarana itu karena rumah kontrakan. Jadi, kami sembahyang di dalam rumah). Istri saya pula setiap pagi membuat punjung, suatu bentuk pemujaan untuk para leluhur yang telah tiada, sebelum kami sekeluarga mencicipi hidangan yang dimasak pagi itu. Bagi istri saya, membangun sanggah — biaya dan upacaranya mahal, mendatangkan 285
keluarga dari Bali — lebih penting dari membangun garasi mobil atau dapur moderen. Sukar diragukan ketaqwaan istri saya. Saya barangkali masih bisa digugat soal bersembahyang. Tapi, melalaikan agama? Mungkin tidak. Sebagai kepala keluarga, saya menyiapkan sarana persembahyangan. Selain mendirikan sanggah, saya membelikan istri saya dupa, janur, kembang — walau membelinya karena sering diingatkan. Saya menyelusup berdesakan ke Pasar Jatinegara untuk membeli janur, dan membawa janur itu berjalan ratusan meter karena mobil tak bisa parkir di dalam pasar. Kadang kehujanan, tetapi nikmat karena itu urusan agama. Saya juga menyerahkan anak saya ke guru agama dan mengantarkannya dengan rajin. Hampir setiap hari raya persembahyangan di Pura Dadia di kampung saya — kadang dua tahun sekali, tergantung banyak hal — saya pulang ke Bali. Memang, dalam urusan bersembahyang, saya seperti orang mengheningkan cipta memperingati Hari Pahlawan. Kalaupun saya memohon ini dan itu — yang dimohon tentu saja keselamatan dan selalu berjalan di jalan Tuhan — hanya di dalam batin. Lagi pula, walaupun di dalam batin, untuk lancarnya, saya memakai bahasa Indonesia. Saya lupa bagaimana menggunakan bahasa Bali halus — bentuk normal untuk persembahyangan. Itu yang membedakan saya dengan istri saya. Dia bersembahyang dengan puja yang lancar, dengan kata yang diucapkan keluar. Jadi, kalau kami bersembahyang bersama, saya selalu menjadi pendamping. Begitu pula Rini. Bahkan, kalau Rini misalnya lagi les musik atau les Inggris, dan waktu bersembahyang tiba, les itu yang lebih penting. Pulang les, ia cukup diperciki air suci persembahyangan. Di masyarakat pedesaan di Bali, “keuntungan” ini juga banyak dinikmati lelaki dewasa, tinggal diperciki air suci oleh istrinya. Kami, saya dan istri, belajar agama dari masyarakat. Sebagaimana umumnya penduduk Bali, kami belajar agama langsung di “laboratorium” yakni pura itu. Lab yang bertebaran di Bali itu memiliki “kurikulum” yang sama mendidik siswanya. Hampir tak pernah ada di sebuah pura, orang membicarakan, apa itu buku suci 286
agama Hindu, siapa nabi agama Hindu, dan sebagainya. Jarang sekali, dan memang tidak biasa, persembahyangan didahului khotbah, atau do Bali disebut dharmawacana. Hanya di Pura Agung Jagatnatha Denpasar, dharmawacana itu berlangsung ajek. Di dalam khotbah itu, pelajaran agama biasanya diselipkan. Namun, harap dicatat, pengunjung pura ini adalah pelajar dan mahasiswa, mereka jauh dari keluarga, mereka memerlukan seorang penuntun, pengganti ibunya yang memercikkan air suci. Walau kami sama-sama keluaran “laboratorium”, pengetahuan saya tentang “ajaran” agama Hindu lebih baik dari istri saya, pasti. Itu karena saya wartawan, sering ditugasi menulis berita dari persembahyangan di Pura Jagatnatha. Juga saya suka kesenian rakyat, bukan saja sebagai penonton, tetapi juga terlibat bermain. Teater rakyat Bali ini banyak menyelipkan ajaran agama Hindu, apa pun ceritanya. Para pemain teater rakyat ini boleh jadi tak pernah belajar agama di bangku sekolah. Para seniman itu mengetahui dari pelatihnya atau bagi yang tekun membuka-buka lontar yang berbahasa dan berhuruf Bali. Itu bedanya kami dengan Rini. Anak ini boleh disebut paling ahli dalam hal “ajaran” agama Hindu. Sudah tiga buku tulis penuh catatan. Juga buku-buku terbitan Direktorat Bimas Hindu dan Budha — yang sejak 1980-an mulai menyebarkan buku agama. Belakangan saya suka mengintip buku catatan Rini. Aduhai rumitnya, dan asingnya istilah-istilah itu. Pernah secara iseng, saya mengetes istri saya, memakai buku catatan Rini. Saya tanyakan apakah istri saya tahu arti dan uraian Tri Kaya Parisudha. Seperti yang saya duga, istri saya menggeleng. Lalu saya jelaskan, itu berarti berpikir, berkata, dan berbuat yang baik. Ketiga tindakan ini harus selaras. “Memang, kita harus satu kata dan perbuatan dari apa yang kita pikirkan. Bukan saja harus baik, tetapi harus jujur dan mengandung kebenaran. Nasihat seperti itu sejak kecil saya terima di kampung,” jawab istri saya. Ajaran, menurut Rini. Nasihat, menurut istri saya. Masyarakat Bali sudah mempraktekkan ajaran agamanya melalui nasihat-nasihat. Boleh pula dikatakan, ajaran tanpa istilah. Entah kepada siapa 287
lalu dilemparkan kesalahan, kalau selama ini banyak istilah agama Hindu yang tidak populer. Pada sekolah-sekolah formal? Berapa jamkah pelajaran agama di sekolah dasar dan sekolah menengah? Berapa gurukah yang punya dasar untuk itu? Mungkinkah kesalahan itu dilemparkan ke lembaga-lembaga informal, seperti sekeha kidung, pesantian, dan kesenian-kesenian tradisional yang mulai berkurang jumlah dan perannya? Bagaimana pula kalau jalur “nasihat” itu tak lagi mentradisi? *** SEORANG utusan dari luar Bali ketika mengikuti Mahasaba (kongres) Parisada Hindu Dharma di Denpasar bulan Februari 1986 sempat mengeluh, sepanjang pengamatannya, orang Bali jarang yang melakukan sembahyang Trisandya. Utusan itu mengaku rajin bersembahyang “tiga waktu” setiap hari itu. Kesan seperti itu benar sekali. Memang banyak yang melakukan sembahyang Trisandya, tetapi kalau dilihat dengan jumlah umat, yang taat bersembahyang tiga kali sehari itu sangat sedikit. “Kenapa ajaran seperti ini tidak dikembangkan, kenapa harus sibuk dengan upacara-upacara yang menghabiskan daun, bunga, janur itu?” keluh seorang peserta Mahasaba. Banyak kritik yang dilontarkan kepada lembaga umat Hindu soal “mandek”-nya agama Hindu sampai pada tingkat upacara. Prof. I Gusti Ngurah Bagus berpendapat, perlunya ada terobosan baru di bidang ajaran agama, dalam arti menimba lebih banyak filsafat. Dalam suatu wawancara dengan Gde Aryantha Suthama (wawancara ini untuk buku Apa & Siapa 1985/1986 yang oleh Aryantha rekaman kasetnya dikirim ke saya), Ngurah Bagus mengajak umat Hindu mendalami ajaran agamanya yang tersirat dalam etika dan filsafat. Dengan pendalaman ini, agama Hindu bisa menjawab masalah-masalah pembangunan, masalah kemiskinan, keterbelakangan, keresahan jiwa, masalah pendidikan, dan banyak lagi. “Untuk itu tidak cukup hanya dengan ibadat yang kesannya selama ini pada upacara melulu,” kata Ngurah Bagus. 288
Tantangan untuk masalah pendalaman agama ini, menurut dosen antropologi Universitas Udayana ini, antara lain menerjemahkan secara besar-besaran buku-buku agama, baik dari lontarlontar maupun dari bahasa lainnya. Yang dimaksud bahasa lain, tentu, Sanskerta. “Setelah penerjemahan itu selesai, doronglah anak-anak muda dalam situasi peralihan ini untuk belajar agama. Jalan pintas ini harus ditempuh,” katanya. Penerjemahan yang dimaksud Ngurah Bagus juga termasuk menafsirkan secara bebas ajaran-ajaran itu. Dari tafsiran inilah, kelak agama Hindu bisa menjawab berbagai problem di masyarakat. Dan bersama umat beragama lain — dalam kaitan dialog antaragama — memecahkan masalah kenegaraan, apakah itu soal kemiskinan, pendidikan atau narkotik. “Umat Hindu di luar Bali sudah mulai aktif. Di kampus UGM Yogya, dan di berbagai banjar di Jakarta, sudah ada kelompok-kelompok studi masalah keagamaan. Tetapi, anehnya, di Bali tidak. Mungkin pikiran anak-anak muda di Bali mengikuti orangtuanya yang tradisional dan masalah agama seperti berkutat di sekitar upacara itu saja.” Mendengar Ngurah Bagus, saya teringat lagi kepada Rini. Ketika suatu kali di kampung, ia ditanya neneknya, apakah bapak dan ibu bersembahyang di Jawa, Rini menjawab, “Tentu saja bersembahyang, tetapi tidak sebanyak di Bali, hampir tiap hari membuat sesajen.” Yang lucu, ketika Rini dituntun bersembahyang oleh neneknya, serta bibi-bibinya. Nenek dan bibinya — ini kata Rini — heran ketika Rini bersembahyang dengan lima kali memuja. “Kok banyak sekali, ajaran siapa?” tanya bibinya, konon. Dan Rini memberi “kuliah” di sana, setiap melaksanakan sembahyang, harus lima kali, dan itu bernama Pancasembah. Adik Rini, (Komang) Wirya Suniatmaja, yang ikut dalam rombongan bersembahyang itu, sempat menjelaskan arti Pancasembah itu. ‘’’Pancasembah ‘kan pelajaran di kelas dua SD,” kata Wirya, seperti yang diceritakan Rini kepada saya. Keluarga saya di kampung pasti menjalankan ibadat agama dari kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Dan Rini serta Wirya men289
jalankan ibadat berdasarkan ajaran yang diterima dari guru dan buku-buku. Dan istri saya? Kalau kami bersembahyang bersama, istri saya sering ditegur anak-anaknya: “Bu, sekarang tangan kosong, jangan pakai bunga.” Istri saya pun menyesuaikan diri. Pada akhirnya intelektual Hindu yang bakal lahir nanti — atau sudah lahir lewat kampus Institut Hindu Dharma — tentulah akan sependapat dengan ide Ngurah Bagus: agama Hindu harus lebih keluar dari tradisinya yang selama ini dikesankan dengan upacara saja. Segi upacara mungkin dikurangi, bisa pula tidak, tetapi pendalaman dan pembahasan di luar aspek upacara itu akan semakin punya gerak yang lebih besar. Dan yang menggembirakan, Rini-Rini yang lain — dengan ilmu agama yang lebih tentunya — bertebaran di luar Bali, dan semakin meningkat dewasa, baik dalam usia maupun kematangan. Saya percaya, di Bali pun “pembaru-pembaru” seperti itu sudah lebih dulu lahir. Kalau gemanya tidak muncul secara nasional, itu faktor lain. *** JIKA diamati perkembangan yang terjadi di masyarakat Bali, banyak yang telah berubah, tanpa gembar-gembor dan tanpa ekses. Juga tanpa perlu lewat pengukuhan yang, misalnya, formal. Katakanlah, misalnya, soal kasta. Pada sebagian orang, lebihlebih orang luar Bali, kasta itu seperti bagian dari agama Hindu. Padahal, tidak. Dan kasta di Bali tidak mengikuti pola pembagian kelas seperti yang ada di India. I Gusti Ketut Kaler, pensiunan Kepala Bimas Hindu dan Budha pada Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali, berkali-kali menyebutkan, “Di Bali tidak ada kasta Sudra seperti pengertian yang ada di India, yang dibatasi hakhaknya dalam menjalankan ibadat agama.” Juga I Gusti Agung Gde Putra, yang kini Dirjen Bimas Hindu dan Budha, dalam kuliahnya di IHD — serial kuliahnya ini dibukukan dan dilempar ke tengah masyarakat — sering mengatakan, di Bali sesungguhnya tidak ada kasta, yang ada warna — fungsi sosial seseorang di dalam masyarakat. 290
Awal adanya warna, fungsi sosial itu, ketika Bali diperintah oleh Maharaja Dalem Dimade, sekitar abad ke-16. Ada empat warna, karena itu disebut catur warna. Golongan pertama, mereka yang memimpin upacara-upacara keagamaan. Kepada golongan ini diberikan pangkat di depan namanya. Pangkat atau gelar itu, Ida Bagus untuk yang lelaki, dan Ida Ayu untuk yang perempuan. Golongan kedua, mereka yang menjalankan roda pemerintahan. Karena tingkat-tingkat di pemerintahan itu banyak ragamnya, gelar yang diberikan juga banyak. Yaitu, Anak Agung, Cokorde, Gusti Ngurah, Gusti, Dewa untuk barisan lelaki. Yang perempuan, Anak Agung Istri, Cokorde Istri, Gusti Ayu, Desak. Yang terakhir ini, Desak, supaya sebutannya lebih manis, sering pula “disesuaikan” menjadi Dewa Ayu. Golongan ketiga, yang bergerak di bidang ekonomi. Gelarnya Si, baik untuk lelaki maupun perempuan. Golongan keempat, para petani, yang jadi soko guru kerajaan. Cukup bergelar pendek untuk memudahkan sebutan, I untuk lelaki, Ni untuk perempuan. Manipulasi gelar ini terjadi setelah Dalem Dimade tak lagi menjadi maharaja di Bali yang berpusat di Gelgel. Yakni, gelar-gelar itu diwariskan ke anak turunannya, walaupun anak keturunannya itu sudah berubah fungsi. Misalnya, seorang anak tetap melekatkan nama Ida Bagus di depan namanya, walaupun ia tidak lagi punya keahlian memimpin upacara keagamaan. Karena adanya pengaruh budaya dari India, penggolongan itu pun diberi nama seperti kasta di India: Brahmana, Kesatria, Waisya, dan Sudra. Yang lebih tragis — entah di zaman raja yang mana — ada ketentuan yang membatasi perkawinan antargolongan. Jika wanita yang berkasta lebih tinggi kawin dengan lelaki berkasta lebih rendah, disebut perkawinan Asu Pundung. Jika wanita yang kastanya lebih rendah kawin dengan lelaki berkasta lebih tinggi, disebut Anglangkahi Karang Hulu. Kedua jenis perkawinan ini dilarang. Pada zaman raja-raja masih berkuasa — tentu setelah dinasti Dimade — yang melanggar dengan menempuh cara perkawinan itu bisa dihukum mati. Kemudian oleh pemerintah penjajahan Belanda, ketentuan ini 291
dibuat tertulis, dan dikenal dengan ketentuan Paswara bertahun 1910. Hukumannya diperingan menjadi hukuman buangan seumur hidup. Lalu diperingan lagi menjadi hukuman buangan sepuluh tahun, kemudian menjadi buangan tiga tahun. Di alam kemerdekaan, mestinya ketentuan semacam ini otomatis tak lagi berlaku, tetapi karena ada orang yang ragu-ragu, DPRD Bali mengeluarkan keputusan nomor ll/DPRD/1951 yang menegaskan, segala ketentuan Asu Pundung dan Anglangkahi Karang Hulu tidak berlaku lagi. Dalam tahun 1980-an ini, persoalan kasta sudah tidak lagi menjadi pembicaraan yang ramai. Dan diam-diam, nama yang semula merupakan “gelar” itu sudah ditanggalkan sendiri oleh para pemakainya, apalagi kalau ia merasa sudah jauh menyimpang dari fungsi sosialnya, seperti apa yang digariskan para leluhur di Bali dulu. Apalagi, faktanya sekarang, keluarga-keluarga yang bergelar tinggi, kehidupan sosialnya tidak lebih baik dari mereka yang bergelar karena fungsi sosialnya dulu petani. Dulu, seorang Ni berbicara dengan bahasa halus dan sikap penuh hormat kepada Ida Ayu. Seorang I berbicara sambil menyembah-nyembah kepada Ida Bagus. Sebaliknya, Ida Bagus dan Ida Ayu berbicara kasar dengan sikap tinggi dan angkuh kepada I dan Ni. Di tahun 1986, hal itu sudah jarang, dan pembicaraan sudah mulai sejajar, sama-sama memakai bahasa tinggi atau sama-sama memakai bahasa menengah. Bahkan bentuk hormat pemakaian bahasa Bali sekarang tidak lagi mengikuti kasta — kalaulah istilah ini masih dipakai — melainkan kehidupan sosial. Di Kuta, seorang I membentak dengan kasar seorang Ida Bagus, dan yang terakhir ini menunduk dengan amat takut sambil berbicara dengan agak hormat. Kebetulan I seorang manajer hotel, dan Ida Bagus pelayan yang telat memberi sarapan pagi kepada tamu hotel. Bulan April 1986, ketika tulisan ini sedang saya buat, saya kaget sekali mendengar Pemimpin Redaksi Bali Post, Raka Wiratma, meninggal dunia. Pertama, kaget seperti biasa karena seorang yang sangat dekat, telah tutup usia. Kedua, kaget dalam kaitan dengan materi tulisan ini. Ternyata, Bapak Raka Wiratma, yang bertahun-tahun menjadi pimpinan saya, yang tak pernah 292
menulis nama lain selain yang sudah dikenal itu, bergelar I Gusti. Dan itu pun masih ditambah Gde. Di dalam surat kabar yang dipimpinnya, di kartu keanggotaan PWI, nama I Gusti Gde tak pernah disebut-sebut. Tiba-tiba nama itu muncul, dibacakan, ditulis, pada saat yang punya nama tak bisa berbuat apa-apa. *** SEMANGAT apakah yang saya peroleh setelah pulang dari Bali dan merenungi perjalanan ini dari sebuah kota metropolitan? Yang ada dalam dada saya tetap suatu pergolakan, dan tetap tak bisa menyimpulkan adakah Bali berjalan menuju jurang neraka atau taman surga yang indah. Mungkin terlalu angkuh pikiran untuk menyimpul-nyimpulkan itu. Yang lebih sederhana barangkali, kini saya melihat perjalanan perubahan budaya di Bali seirama dengan perjalanan budaya di bagian-bagian lain bumi Indonesia ini. Ada yang mencemaskan, ada yang tidak. Upacara keagamaan di Kuta, misalnya, tetap berjalan walau kawasan itu menjadi perkampungan turis yang pikuk. Di depan kios seni, di depan disko yang gemerlapan, di depan pusat penjualan kaset, masih tetap ada seonggok sesajen kecil yang disebut canang sari. Bahkan kini bentuknya lebih bagus, karena ada tukang khusus yang membuatnya, dan menjualnya. Kesenian berjalan mengikuti siklus. Bahwa ada jenis tari dan drama tari yang hilang, diganti dengan jenis yang baru, itu suatu proses dari sebuah kebudayaan yang dinamis. Dari rekaman pembicaraan dengan beberapa tokoh seni, ada tersirat satu keyakinan bahwa suatu saat kesenian yang hilang itu akan muncul kembali. Sulit dibayangkan, dari sebuah kampung yang ingar-bingar di Kuta, muncul grup pesantian dari muda-mudi setempat. Faktanya, grup itu ada saat ini. Joged bumbung, misalnya, yang sudah lama hilang, kini muncul dengan semangat baru ketika ada gelitikan dari rekannya: jaipongan. Seniman-seniman yang bermarkas di ASTI telah melahirkan berbagai jenis tari baru yang banyak mengambil unsur 293
gerakan tari Jawa dan Sunda. Sementara itu, tari klasik sudah mulai didokumentasikan, bahkan mulai dirintis pula pembuatan notasi tari. Bagaimana dengan pertunjukan untuk konsumsi turis yang dijajakan di sepanjang jalan jalur wisata? Kecemasan saya yang dulu, bahwa dari “pertunjukan” ini terkesan kesenian di Bali menurun mutunya, merupakan kecemasan saya yang berlebihan. Kini terlihat ada arus balik. Yaitu, masyarakat pendukung kesenian itu sudah betul-betul menyadari fungsinya sebagai “penghibur”. Yang dihibur, turis yang memang tak banyak punya waktu. Sementara mereka menjalankan fungsi menghibur, di saat lain para seniman rakyat ini memenuhi kebutuhan seninya. Mereka masih tetap berkesenian untuk kegiatan banjar, kegiatan adat, kegiatan agama. Dan ini tetap dipelihara, dipergelarkan, ada atau tidak ada turis. Turis yang datang pun mulai mengerti — antara lain karena mulai ada semangat kejujuran pada sejumlah biro perjalanan dan guide — bahwa kesenian pinggir jalan itu adalah sebuah etalase dari kesenian Bali yang sesungguhnya. Kalau turis memang punya waktu yang luang, mereka bisa menikmati kesenian yang bukan etalase. Tidak di sembarang tempat, tidak di sembarang jam. Semangat lain yang saya tangkap, adanya kesadaran baru yang tumbuh dari bawah — bukan dari atas: pemerintah atau lembaga formal — yang tetap ingin menyelamatkan Bali dan sejarahnya. Misalnya, berdirinya museum lukisan, museum pahat. Lalu munculnya berbagai pikiran untuk mendalami ajaran agama Hindu yang benar-benar tertulis dan menafsirkannya untuk dihadapkan kepada masalah-masalah yang menantang zaman. Bukan lagi berkiblat kepada kebiasaan leluhur saja, bukan lagi yang diwujudkan dengan upacara-upacara saja. Sehingga, agama Hindu bukan hanya hura-hura di jalan, bukan cuma kidung mengalun di pura, tetapi masuk ke ruang seminar yang membahas berbagai persoalan kemasyarakatan. Kalau ini tidak dikembangkan, kalau kegiatan keagamaan itu mandek pada tingkat upacara, bagaimana umat Hindu yang berada di luar Bali? Tentu tak bisa “menyesuaikan” diri dengan saudaranya di Bali. 294
Semangat yang saya bawa kini adalah semangat yang tetap ingin menggugat Bali. Menggugat, karena memang ada beberapa hal yang tak bisa saya mengerti. Mengapa misalnya di kuburan Trunyan dan di permukiman Muslim Pegayaman harus diletakkan candi bentar, suatu hal yang bukan saja merusakkan keaslian wilayah itu, tetapi juga sesuatu yang tidak dikehendaki masyarakatnya? Mengapa Gurun Teko harus dikejar-kejar ketika ia membawa ayam aduan, sementara gerombolan orang memecahkan ramalan buntut — yang sama sekali tak nalar itu — tidak pula dikejar-kejar? Semangat untuk menggugat Bali ini semestinya dimiliki setiap orang yang mencintai Bali. Semangat yang perlu diembuskan, semangat menggugat yang positif.
295
KEPUSTAKAAN Danandjaja, James: Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali, Pustaka Jaya, 1980. Kaler, I Gusti Ketut: Upacara Pitra Yadnya, naskah yang belum diterbitkan. LKMD Kelurahan Kuta: Monografi Kelurahan Kuta, brosur stensilan milik Kelurahan Kuta, 1984. ^ Mabbett, Hugh: The Balinese, January Books, New Zealand, 1985. Neka, P.W. Suteja: Museum Neka Terdepan dalam Lukisan, brosur stensilan khusus untuk museum Neka. 296
Proyek “Penggalian/Pembinaan Seni Budaya Klasik (Tradisional) dan Baru: Mengenal Dramatari Arja di Bali, 1975. Proyek Pengembangan Permuseuman Bali: Pameran Seni Rupa Bali Karya Seniman Muda, brosur pameran yang diselenggarakan di Bangli, 1983. Saba Sastra Bali: Galang Kangin, kumpulan puisi berbahasa Bali, 1976. Soebandi, Ktut: Sejarah Pembangunan Pura-Pura di Bali, CV Kayumas, Denpasar.
297
Tentang Penulis
P
utu Setia dilahirkan di Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali, pada 4 April 1951. Ayahnya seorang budayawan, juga tokoh spiritual. Nama yang diberikan ayahnya memang cuma itu, tanpa ada embel-embel apapun di depan nama Putu Setia -- sesuatu yang tidak lazim di Bali, saat itu. Dalam catatan yang memakai huruf Bali, di belakang namanya hanya tertulis hari kelahiran, Budha Paing Krulut. Putu Setia adalah anak kelima dari sembilan bersaudara, tetapi ia lelaki yang pertama. Selepas sekolah menengah, Putu mengenyam pendidikan jurnalistik di sebuah universitas swasta dan kursus jurnalistik yang diselenggarakan LP3ES di Jakarta. Ia kemudian bergabung sebagai wartawan harian Bali Post yang terbit di Denpasar merangkap koresponden Majalah Tempo di Bali. Tahun 1978 ia sepenuhnya bekerja di Majalah Tempo dan dipindahkan ke Yogyakarta. Selama lima tahun di Yogyakarta, Putu suka mengunjungi pesantren-pesantren dan ia, misalnya, sangat akrab dengan KH Hamam Djafar (kini almarhum), pimpinan Pesantren Pabelan, Muntilan. Tahun 1982 ia dipindahkan ke Jakarta, sampai ia pensiun dari Tempo pada April 2006 dengan status Redaktur Senior. Kini ia kembali pulang ke kampungnya di Bali, menulis dan membina pasraman (ashram), menjadi pendeta. Ia dinobatkan sebagai pendeta Hindu dengan bhiseka (nama baru kependetaan): Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, pada 21 Agustus 2009. Sudah banyak buku yang diterbitkannya, dari fiksi dan nonfiksi. Setelah menjadi pendeta Hindu, ia menulis juga buku-buku keagamaan. 298