C
C
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang N0. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atauHak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
C
C
PUTU SETIA
MENDEBAT
BALI
C
C
Mendebat Bali (Buku Kedua Trilogi Menggugat Bali) Putu Setia No. 44. 2002 Penerbit PT Pustaka Manikgeni Jl. Pulau Belitung II/3 - Pedungan- Denpasar 80222 Telepon: dan Faks: (0361) 723 765
[email protected] [email protected] Pracetak oleh “Manikgeni Graphics Design” Desain sampul: Nyoman Wirya Suniatmaja, ST Ilustrasi S Prinka diambil dari buku Menggugat Bali Cetakan pertama: November 2002 Cetakan kedua: November 2006
C
C
Kata Pengantar
D
ua puluh enam tahun yang lalu, pada September 1986, ketika saya meluncurkan buku Menggugat Bali, fokus perhatian saat itu adalah perubahan sosial budaya masyarakat Bali yang diakibatkan oleh pembangunan yang gencar dilakukan pemerintah. Pembangunan di Bali itu tentu dikaitkan dengan pariwisata yang sedang berkembang dengan pesat. Perubahan yang terjadi memang belum menggoncangkan, tetapi cukup mencemaskan karena gerak pembangunan sering dilakukan dengan gegabah. Bali terus bergerak, pariwisata berkembang pesat, perekonomian hidup dan memberikan kemakmuran buat masyarakat, termasuk masyarakat pedesaan yang tidak langsung bersinggungan dengan wisatawan. Namun, bom dasyat meledak di Kuta, 12 Oktober 2002 yang membalikkan keadaan Bali. Perekonomian mendadak lesu. Terjadi perubahan sosial di masyarakat terutama dalam
C
C
kaitan dengan budaya Bali yang jadi tulang punggung perekonomian. Apa sebenarnya yang terjadi, pergeseran apa yang nampak, dan kenapa hal itu terjadi? Perdebatan ini menjadi tak henti-henti dilakukan, meski tanpa hasil akhir. Setelah perekonomian Bali kembali bangkit, bom ternyata masih meledak juga di Bali pada 1 Oktober 2005, yang dikenal sebagai “bom Bali II”. Ini membuat Bali tambah terpuruk, karena belum pulih benar dari “bom Bali I” sudah dihancurkan oleh bom yang kedua. Bali pun meradang. Dari benang merah perjalanan budaya Bali, baik perubahan yang diakibatkan oleh pembangunan yang mengacu ke era industri, maupun langsung atau tidak karena dampak Bom I dan Bom II, saya pun mengumpulkan berbagai tulisan yang tercecer di berbagai penerbitan. Hasilnya adalah dua buku yang saya maksudkan sebagai “sambungan” dari perjalanan budaya yang sejak awal saya rekam dalam buku Menggugat Bali. Kedua buku itu adalah Mendebat Bali dan Bali Meradang. Jadi, ditambah dengan buku awal Menggugat Bali, maka jadilah ini sebuah Trilogi yang merekam sejarah perjalanan budaya dari lebih setengah abad. Mendebat Bali, dimaksudkan sebagai catatan untuk bahan perdebatan, apa yang akan kita lakukan untuk Bali agar kelestarian budaya dan adatnya tetap terjaga. Adat dan budaya yang usang, apalagi yang bertentangan dengan agama, tetapi diwariskan secara turun-temurun, tentu kita buang. Tetapi adat dan budaya yang secara nyata senapas dengan agama Hindu, haruslah kita lestarikan sepanjang zaman. Itu yang saya maksudkan sebagai bahan untuk diperdebatkan dengan hati yang lapang. Buku Bali Meradang, adalah akhir dari Trilogi ini. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002) merujuk kata “meradang” sebagai: “marah sekali; geram; jengkel sekali.“ Ya, orang Bali marah, geram dan jengkel dengan ledakan bom
C
C
kedua ini. Dampak buruk Bom I belum pulih benar, sudah disusul Bom II. Kata “meradang” juga bisa dikaitkan dengan sakit. Bali yang meradang adalah Bali yang sebenarnya sedang sakit. Ini memberi inspirasi buat saya untuk mengumpulkan tulisan yang menunjukkan pada bagian mana Bali yang sakit itu, yang membuat kita jengkel sekali. Tulisan yang kini terkumpul menjadi dua buku untuk melengkapi buku pertama Menggugat Bali, kebanyakan diambil dari rubrik Bondres yang terbit setiap hari Sabtu di harian Bali Post Denpasar. Setelah saya menjadi Pendeta Hindu, saya berhenti menulis di rubrik itu, dan akhirnya rubrik itu juga ditutup. Sebagian kecil tulisan diambil dari Majalah Hindu Raditya, majalah yang saya dirikan 1985. Jadi, tulisan ini sudah “dibuat lama”, kelihatan dari tahun yang diunggah pada akhir setiap tulisan. Namun, sesungguhnya tulisan itu sudah dibaca ulang kembali. Hanya tulisan yang tetap relevan dengan kejadian masa kini yang dikumpulkan pada buku ini -- beberapa tulisan malah ada perbaikan kecil untuk menyesuaikan dengan situasi pada saat buku ini diterbitkan. Dengan demikian, pada hakekatnya, kedua buku ini tetap “baru” karena masalahnya sama sekali tidak kedaluwarsa. Dalam arti, ketika masalah itu ditulis yang tertera pada tahun penulisannya, dengan keadaan sekarang saat diterbitkan sebagai buku, tak ada perubahan apa-apa. Selamat menikmati Bali dengan segala dinamikanya. Denpasar, September 2012
C
C
Kata Pengantar ................................................ Orang Bali ....................................................... Moral yang Luntur .......................................... Gengsi Orang Bali .......................................... Terlanjur Kaya ................................................ Taksu Bali ....................................................... Wanita Bali ..................................................... Seniwati Bali ................................................... Bali Kuno ........................................................ Bahasa Bali ..................................................... Satu Generasi Lagi .......................................... Lontar .............................................................. Sesuluh Ramayana .......................................... Melawan Bhutakala ........................................ Ogoh-Ogoh Narkoba ...................................... Misteri Ogoh-Ogoh ......................................... Karnaval Ogoh-Ogoh ...................................... Kehilangan Ogoh-Ogoh .................................. Kesurupan ....................................................... Ngurek ........................................................... Campah .........................................................
C
C
v 1 5 9 13 17 21 25 29 33 39 43 47 51 55 59 63 67 71 75 79
Ritual itu Mahal ............................................ Ngaben Sederhana ........................................ Mepusungan .................................................. Budaya Hindu ............................................... Uang Kepeng ................................................ Malam Siwa .................................................. Sutasoma ....................................................... Mpu Kuturan ................................................. Rsi Markandhya ............................................ Arya Belog .................................................... Spiritual Muda .............................................. Mengunjungi Pura ........................................ Wong Samar ................................................. Pandita Buddha ............................................. Soroh dan Kasta ............................................ Budaya Feodal .............................................. Hitam-Hitam ................................................. Etika Berbusana ............................................ Keris Mpu Jamsuwi ...................................... Pesantian ....................................................... Tapa dan Meditasi ......................................... Garuda ........................................................... Warisan Purbakala ......................................... Kulkul ........................................................... Wayang Kulit Bali ......................................... Topeng Humor .............................................. Topeng Sidakarya ......................................... Janger Bali .................................................... Barong Ngamen ............................................ Barong-Barongan ......................................... Kongres Barong ............................................ Teater Arja ....................................................
C
C
83 87 91 95 99 103 107 111 115 119 123 127 131 135 139 143 147 151 155 159 163 167 171 175 179 187 191 195 201 205 209 213
Megangsingan .............................................. Diplomasi Gamelan ...................................... Jes Bali ......................................................... Jaga Bali ....................................................... Bali Belum Kiamat .......................................
217 221 225 229 233
Tentang Penulis ............................................
239
C
10
C
Orang Bali
B
agaimanakah sesungguhnya wajah manusia Bali itu? Ramah, polos, religius ataukah sebaliknya? Sudah lama hal ini menjadi perdebataan dalam diskusi-diskusi terbatas, tetapi tak pernah ada kesimpulan yang, katakanlah, agak ilmiah. Mungkin karena yang berdebat itu orang-orang Bali sendiri, jadi ada semacam naluri untuk mempertahankan yang baik-baik saja. Dan kebetulan pula buku-buku yang ditulis oleh orang asing di masa lalu, yang terus-menerus dijadikan rujukan, selalu memberikan tempat yang baik untuk perilaku orang Bali. Seorang tokoh adat dan dosen sebuah perguruan tinggi di Bali menyebutkan, semua kebaikan orang Bali yang ditulis di bukubuku itu membuat kita masih “punyah” (mabuk), padahal kalau ditelusuri lebih jauh ke dalam, tak semua yang ditulis itu masih menjadi kenyataan saat ini. Saya sendiri juga sering bingung kalau diajak berdebat tentang orang Bali. Kalau saya ditanya, apakah orang Bali itu religius? Saya menjawabnya: ya. Tetapi teman debat, yang juga orang Bali, mengatakan tidak. Pergilah ke desa-desa, katanya. Lelaki-lelaki Bali hanya bersembahyang kalau piodalan di pura saja, dan itu paling cepat enam bulan sekali. Ibu-ibu memang
C
11
C
lebih sering menghaturkan banten, tetapi dia tidak tahu apa filosofinya dan tak bisa menerangkan untuk apa semua itu. Kalau orang yang religius, setiap saat memuja Tuhan, paling tidak tiga kali sehari sebagaimana dianjurkan melalui Puja Trisandhya. Kepada teman itu saya hanya bisa mengalihkan pembicaraan dengan mengatakan, apa sih sebenarnya tujuan kehidupan kita di dunia ini, dan masyarakat yang bagaimana yang kita inginkan? Bukankah ketentraman? Kalau pun tiap hari bersembahyang, tetapi tatanan masyarakatnya rusak, pencurian sering terjadi, untuk apa semua itu? Pilih religius atau pilih tentram? Memang ini debat kusir. Ada seorang teman lagi yang mengatakan bahwa pengamalan ajaran agama di Bali ternyata kosong. Masyarakat Bali tetap menjadi penjudi yang sudah jelas-jelas dilarang agama. Ada piodalan di Jeroan Pura, tetapi di Jaba Pura ada perjudian, dari tajen sampai bola adil. Tak ada usaha untuk menghentikan judi itu, bahkan di kala orang lain bersembahyang. Apalagi tokoh-tokoh Bali sendiri tetap setuju dengan tajen. Apa itu masyarakat yang agamis? Saya lagi-lagi mengalihkan pembicaraan, karena memang sulit juga menjawab hal seperti itu. Saya katakan, orang Bali, kalau bepergian tidak ada yang membawa senjata tajam, beda dengan orang dari suku tertentu, yang ke mana-mana membawa clurit. Orang Bali selalu percaya bahwa dirinya merasa aman, dan dia tidak akan dipukul orang kalau dia tidak memukul orang lebih dulu. Orang Bali itu tenang dan tak akan mencelakakan orang lain. Bagai mendapat umpan peluru, saya pun diserang habishabisan. Tenang dan polos bagaimana? Ketika tragedi 1965, orang Bali tega membunuh demikian banyak orang Bali sendiri, ada antar saudara saling berbunuhan, Begitu mudahnya orang Bali diasut dengan mendatangkan tentara yang kebetulan dari luar Bali, lalu semua yang disebut komunis dibunuh sampai
C
12
C
anak-anaknya. Padahal mereka sama sekali tak paham apa itu politik, apalagi mengerti komunis dan mempelajari komunisme. Stop, kata saya. Saya tak tahan mendengarkan hal itu, karena saya menyaksikan sebagian sejarah hitam itu, yang memang merupakan kebodohan orang Bali. Saya katakan, saat itu orang Bali tak mengerti politik dan mereka mengira berbeda politik berarti bermusuhan, jika perlu dengan bunuh-membunuh atau bakar-membakar. Memang ada unsur adu dombanya, dan sebuah penelitian kecil menyebutkan kemungkinan pula ada unsur pembantaian etnis, karena banyak anak-anak kecil juga dibunuh kala itu. Tapi, apakah ada contoh kebrutalan orang Bali setelah itu? Banyak, kata teman debat saya ini. Perkelahian antar banjar di Buleleng, pelemparan rumah-rumah di Badung, prosesi upacara ngaben yang dikacaukan, saling lempar batu antar suporter olahraga. Wah, kalau itu contohnya, di masyarakat manapun itu terjadi. Orang Bali bukanlah manusia super yang tak pernah memendam marah. Manusia diberi sifat baik dan buruk, tinggal sifat-sifat mana yang berhasil dia kendalikan. *** TERUS-TERANG, saya terganggu juga dengan perdebatan seperti itu. Saya tetap yakin, kalau orang Bali berada sendirian, dia lebih sering bisa mengendalikan nafsu marahnya sehingga kalau pun keluar, tidak membahayakan benar. Tetapi, jika itu dalam sebuah komunitas tertentu, apakah itu banjar, sekehe, atau kelompok yang sama kepentingan, kemarahan pribadi-pibadi itu cepat menyatu dan muncul dalam suatu gelombang yang besar. Dan ini menimbulkan amuk.
C
13
C
Apakah ini bukan pula terjadi di mana-mana, di setiap masyarakat etnis apapun? Memang betul. Komunikasi demikian terbuka, kebudayaan etnis saling mempengaruhi. Tetapi ada tradisi yang kuat di Bali tentang simbul-simbul adat yang bisa membuat fanatisme itu menyempit. Katakanlah semacam “suryak siyu”, kalau sudah masyarakat ramai-ramai bersorak, apapun hal itu akan dilakukan. Baik dan buruknya ditimbang belakangan. Begitu pula tradisi “kulkul bulus”, setiap anggota banjar yang mendengar kulkul bulus itu harus keluar. Jika itu menangkap pencuri, naaslah nasib pencuri itu, bisa dikeroyok habis-habisan. Soal benar tidaknya mencuri, seberapa besar barang yang dicuri, diusut belakangan. Orang Bali lebih percaya pada simbol-simbol magis ini dibandingkan mengkultuskan seseorang. Di pedesaan Jawa, seorang ulama atau kiai sangat berpengaruh, dan kalau ulama itu memerintahkan sesuatu, tanpa membahasnya lagi warga desa akan mengerjakannya. Termasuk pekerjaan yang buruk. Di Bali jarang terjadi hal itu. Namun, jika simbul-simbul adat itu dimanfaatkan oleh seseorang, masyarakat umumnya bergerak. Karena itulah perlu ada reformasi bagaimana menjaga simbolsimbol adat itu agar tidak digunakan untuk kepentingan yang merusak, setidaknya melanggar hukum dan hak asasi manusia. Sementara fungsinya yang baik tetap dilestarikan. 19 Mei 2001
Catatan: * suryak siyu = sorak seribu. Istilah ini maksudnya, kalau sudah suara banyak mereka berani melakukan tindakan, meskipun itu keliru. * kulkul bulus = kentongan yang dipukul bertalu-talu.
C
14
C
Moral yang Luntur
S
uatu hari, saya didaulat untuk berbicara dalam sebuah diskusi informal nun jauh di Kendari, Sulawesi Tenggara. Pesertanya orang Bali rantauan, namun yang dibicarakan justru kondisi sosial di Bali, apa yang masih bisa ditiru dan apa yang sudah selayaknya ditinggalkan. Banyak yang patut tidak ditiru seperti gemarnya orang Bali berjudi, mabuk, sifat boros meskipun hidupnya pas-pasan, etos kerja yang jauh menurun sehingga kalah bersaing dengan pendatang. Lalu ada satu hal yang membuat saya kaget: perilaku remaja Bali yang sudah menganut seks bebas. Informasi memang tak bisa dibendung. Mereka membaca dari media masa bagaimana perilaku remaja di Kabupaten Buleleng yang sudah dilanda wabah seks bebas. Banyak yang hamil di luar nikah, beberapa remaja usia produktif bahkan terkena penyakit menular seksual (PMS), dan yang mengerikan penderita HIV/AIDS di Buleleng sudah meningkat menjadi 55 orang dan kebanyakan kalangan remaja. “Saya nangis Pak Putu,
C
15
C
saya asal Sangsit, apalagi yang saya banggakan dari Buleleng, dewa ratu, Bali yang katanya berbudaya adiluhung kok seperti ini,” kata seorang bapak yang sudah sebelas tahun di Sulawesi Tenggara. Saya menjawab, jangan memvonis Buleleng sudah rusak dan seolah-olah kabupaten lainnya tidak rusak. Kebetulan penelitian sosial ini ada di Buleleng. Kalau penelitian serupa dilakukan di kabupaten lainnya, saya yakin hasilnya tak jauh beda. Beberapa tahun lalu para orangtua cemas melepaskan anaknya sekolah di Yogyakarta. Karena di sana ada penelitian bagaimana meningkatnya kehamilan di luar nikah akibat para mahasiswa sudah hidup bersama yang populer saat itu dijuluki “kumpul kebo”. Apakah masyarakat Yogya begitu buruk ikatan sosialnya dibandingkan kota lain? Belum tentu, hanya kebetulan penelitiannya dilakukan di sana. Hancurnya moral kaum remaja, bukan hanya terjadi di Buleleng saja, tetapi sudah melanda Bali. Sungguh memprihatinkan hal ini. Apalagi yang bisa dibanggakan dari Bali? Budaya mana yang masih bisa dipuji, dan nilai religius mana yang masih bisa diagungkan? Budaya Bali dengan pijakan agama Hindu jelasjelas tidak memperkenankan perilaku seks bebas. Kalau saya mengupas bagaimana ajaran Hindu yang tidak membolehkan umatnya melakukan seks bebas, nanti seperti menggurui. Hampir semua kitab suci Hindu ada memuat bagaimana perkawinan itu adalah sesuatu yang sakral, termasuk melakukan hubungan seks. Tak bisa bebas sesukanya seperti anjing dan ayam. Perilaku seks itu menjadi salah satu sebab dari puluhan sebab, kenapa manusia dianggap lebih bermartabat dibandingkan binatang. Seorang lelaki tak bisa seenaknya datang ke sebuah warung yang dihuni dakocan (dagang kopi cantik), lalu di keremangan malam mengumbar nafsu seks, dan esoknya menggaet wanita lain dibawa ke hotel dan lagi
C
16
C
mengumbar nafsu seks. Dia tak bisa berkilah, “yang penting kan tidak ketahuan, kalau ketahuan namanya sial”. Ini urusan moral, kalau seks hanya dipandang sebagai nafsu, lalu apa yang membedakan lelaki itu dengan binatang? Remaja Bali seharusnya dididik soal moral yang erat kaitannya dengan agama. Tentu yang juga perlu “dididik” adalah para tokoh-tokohnya, dari Kepala Desa, Camat, Bupati termasuk wakil rakyat. Leluhur orang Bali betul-betul berbudaya adiluhung yang dikagumi dunia. Mereka menerjemahkan ajaran agama dengan perangkat adat sehingga bisa melahirkan sanksi moral, padahal agama tak pernah ada sanksinya di dunia. Anak yang lahir dari perkawinan di luar nikah membawa cuntaka (sebel atau cemer dalam bahasa Bali), bahkan di beberapa daerah mendapat julukan aneh-aneh. Di Tabanan sering disebut “panak bebinjat” konon dari kata “bibi yang jahat”. Di Buleleng disebut “panak dia diu”. Anak itu tak boleh disentuh, siapa yang menyentuhnya dia ikut cuntaka. Ini sanksi adat, hukuman untuk keluarga anak itu, bukan menghukum si anak. Bagaimana membayar hukuman itu? Anak harus dibuatkan upacara maperas, yaitu ada sepasang suami istri yang sah yang mengakui anak itu secara niskala dan sekala. Luar biasa pintarnya leluhur orang Bali, karena upacara ini dipakai rujukan hukum nasional yang dikenal dengan istilah adopsi. Di banyak desa, sanksi adat itu masih berlaku. Namun, ada yang membedakan antara dulu dan sekarang. Dulu upacara itu bisa membuat malu seluruh keluarga perempuan yang melahirkan anak tanpa perkawinan yang sah, apalagi tanpa diakui oleh seorang lelaki pun. Sekarang menjadi hal yang biasa, paling disebut “kecelakaan”, padahal makna kata kecelakaan adalah sesuatu yang datang tiba-tiba tanpa diperhitungkan. Melakukan hubungan seks tentu sudah “diperhitungkan”.
C
17
C
Banyak desa pekraman masih mencantumkan sanksi ini dalam awig-awig. Cuma saja, kalau orang Bali tak punya rasa malu budayanya lunturseperti sekarang, ya, sulit mengatasinya. Paling-paling kita hanya bisa menjaga lingkungan terkecil, mulai dari keluarga. Gerakan moral dari keluarga ini bisa ampuh jika menular ke masing-masing tetangga dan akhirnya ke wilayah yang lebih luas. Tapi perlu ada kampanye, perlu dikutip berbagai sloka yang tidak membolehkan hubungan seks sebelum pawiwahan (kawin), dosa menggugurkan kandungan, dan sebagainya. Ajaran moral ini yang perlu lebih banyak didharmawacanakan, jangan cuma mengupas arti kain poleng, makna kober dan sebagainya. Sekali lagi, tentu saja kerusakan moral ini tidak hanya melanda warga Buleleng atau penduduk Bali, tetapi sudah merata ke seluruh Nusantara. Bahwa di Bali nampak hal ini menjadi kritis, karena sebelumnya Bali dikenal sebagai pulau yang berbudaya luhur, itu saja masalahnya. 18 Desember 2004
Catatan: * awig-awig = aturan adat di sebuah desa pekraman (desa adat). * cuntaka = kotor scara spiritual. * meperas = adopsi secara adat dan agama. * niskala dan sekala = agama/spiritual dan duniawi.
C
18
C
Gengsi Orang Bali
M
asyarakat Bali di masa lalu adalah masyarakat agraris Mereka hidup dari hasil pertanian. Bidang lain seperti kesenian adalah pekerjaan sampingan sebagai kesenangan belaka. Karena itu ketika bencana alam datang, misalnya, Gunung Agung meletus, masyarakat agraris ini pergi bertransmigrasi. Mereka terdampar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua dengan pekerjaan tetap sebagai petani. Ketika industri pariwisata masuk, mulai dilirik pekerjaan sebagai “pelayan” dan mereka bekerja di hotel-hotel. Di beberapa daerah, pekerjaan seni terutama mengukir dan melukis mulai dikerjakan sebagai pekerjaan utama. Namun tetap melayani sektor pariwisata yang sesungguhnya dikendalikan oleh orang luar Bali. Nah, dua pekerjaan besar itulah yang kini masih membekas pada benak orang Bali: bertani dan bekerja di sektor pariwisata. Apa yang disebut sektor informal tak pernah dijamah orang Bali, karena pekerjaan itu jauh dari gengsi. Mendorong gerobak berjualan bakso, pisang goreng, es kelapa muda, pecel lele, bebek bakar dan sebagainya, adalah pekerjaan yang menjatuhkan gengsi. Pola agraris dan pola pelayan pariwisata adalah pola menetap. Tak ada sawah yang berpindah-pindah dan tak ada pelayan hotel yang mencuci piring di pinggir jalan. Orang Bali kalau tidak bekerja dengan pola menetap, menyebut dirinya
C
19
C
pengangguran. Coba ditanya orang Bali: bekerja di mana? Di hotel Nusa Dua, di restoran Kuta. Sektor informal adalah “pekerjaan jalanan”, orang Bali enggan melakukan itu karena sama dengan pengangguran. Mencuci piring di hotel dan restoran beda sekali dengan mencuci piring di pinggir jalan, yang terlihat oleh umum. Meski sama-sama mencuci piring, gengsi yang membedakannya. Gengsi masal ini membuat seluruh sektor informal di Bali sudah dikuasai pendatang. Warung-warung pinggir jalan, baik yang pakai gerobak dorong maupun semi permanen, hampir semuanya dikuasai pendatang. Ini tidak hanya di kota Denpasar, tetapi sudah di seluruh Bali. Saya sudah berkeliling ke seluruh terminal besar di kota kabupaten dan kecamatan di Bali pada malam hari, saat terminal itu berubah menjadi “pasar malam”. Sebagian besar pedagang adalah para pendatang. Bahkan kalau ada piodalan di Pura Sakenan, Pura Dasar Gelgel, sampai Pura Besakih, kebanyakan pedagang di sana kaum pendatang. Orang Bali justru menghidupkan pedagang pendatang itu dengan membeli dagangannya. Padahal tradisi agraris di masa lalu, jika bersembahyang ke pura, membawa sesajen yang ada makanannya, selesai sembahyang surudan (prasadam) itu yang dimakan. Sekarang ini, salah satu “keasyikan” orang Bali ke pura adalah membeli sate sapi di Warung Jawa atau sate kambing di Warung Madura. Bukan soal makanan saja, tapi juga soal jasa. Tukang cukur, misalnya. Sulit mencari tukang cukur orang Bali. Sekarang ada dua jaringan kelompok tukang cukur di Bali yang besar secara organisasi, meski sifatnya paguyuban. Yakni kelompok Madura dengan nama Madu Ratna, konon asal kata dari Madura Tresna (cinta Madura). Belakangan, kelompok Jawa nonMadura juga membuat jaringan tersendiri. Yang menarik, kelompok tukang cukur Jawa ini menye-
C
20
C
barkan kampanye, “orang Bali jangan jadi tukang cukur, dan orang Bali jangan cukur pada orang Bali, nanti kalau beda kasta kan barabe kepala sudah dipegang-pegang.” Saya tertawa mendengar “kampanye” itu ketika potong rambut di kelompok Madu Ratna. Peluang bisnis yang erat kaitannya dengan agama Hindu juga diambil para pendatang. Kalau cuma janur, kelapa, telur, bebek, itu sudah lama datang dari Banyuwangi. Tapi kini, canang sari pun dikerjakan dan dijajakan para pendatang. Adakah orang Bali yang berpikir menjajakan canang sari dengan gaya “loper koran”? Suatu sore, saya berjumpa loper koran langganan saya yang membawa koran terbitan Jakarta. Saat itu saya membawa canang sari. Loper bertanya, apakah setiap hari saya membutuhkan canang sari? Setelah saya jawab, dia langsung menawarkan: “Bapak tak usah repot membeli canang sari, setiap sore sambil bawa koran saya bawakan canang sari, harganya sama kok.” Loper ini dari Situbondo dan bukan orang Hindu. Gengsi orang Bali harus direformasi total dengan memberi contoh nyata dan bergerak langsung ke lapangan. Beberapa aktifis Hindu yang dimotori Deepak DG (Ketua Lembaga Sanatha Dharma) pernah berkumpul di rumah saya, membicarakan bagaimana membuat gerobak dorong untuk berjualan bakso. Tetapi bukan bakso sapi. Tujuannya ada beberapa hal: pertama agar sektor informal tidak terus menerus dikuasai pendatang; kedua orang Bali terbiasa makan makanan satwika (bukan sapi); ketiga agar muncul image sektor informal bukan kalah gengsi. Disekapati, akan memberikan modal bahkan bahan siap pakai untuk berjualan bakso. Pokoknya tinggal mencari orang Bali yang mendorong gerobak itu untuk menjajakan bakso. Kalau rugi, kami yang rugi, bukan yang berjualan. Setelah enam bulan “gerakan” ini digulirkan, apa hasilnya? Hanya ada tiga orang Bali yang mau berjualan bakso. Saya ikut
C
21
C
menawarkan ke orang-orang di kampung. “Ngadep bakso? Beh luwungan nganggur, masih maan ngidih nasi ke pisage” (Jualan bakso? Ah, lebih enak nganggur, masih bisa minta nasi ke tetangga). Itu jawabannya. Kelompok Media Bali Post yang gencar mengkampanyekan “ajeg Bali” tergerak juga mengkampanyekan sektor informal ini agar bisa dimasuki orang Bali. Lewat jaringan Koperasi Krama Bali mereka menghimpun orang-orang untuk mau berjualan bakso ayam dan bakso babi. Lalu warung-warung itu diberi label “Bakso Krama Bali.” Awalnya menjanjikan dan di mana-mana muncul warung dengan label “krama Bali” itu. Tapi itu hanya berlangsung sekitar setahun. Satu persatu Warung Bakso Krama Bali itu menguap dan akhirnya hilang. Malahan, memasuki tahun 2010-an yang populer di Bali justru warung dengan label baru: Warung Muslim. Entah kenapa label agama ini di bawa-bawa. Kalau dimaksudkan di Warung Muslim itu tidak dijual makanan dari bahan babi, label yang dipakai sebelumnya sudah bagus, misalnya, dengan tulisan “halal” yang besar. Atau cukup dengan label yang pernah populer seperti Warung Jawa, Pecel Lele Situbondo, Sate Madura, Pecel Madiun, Warung Banguwangi. Warung-warung itulah sekarang yang sudah berubah menjadi Warung Muslim, baik mengubah secara total atau dengan hanya menambahkan kata Warung Muslim di sebelah Warung Jawa-nya. Mudah-mudahan pelabelan baru ini tak menjadi masalah sosial di kemudian hari. dan hanya sebagai pertanda bahwa orang Bali masih punya gengsi untuk memasuki sektor informal. November 2006 - September 2012 Catatan: * surudan (prasadam) = yang sudah dipersembahkan. * satwika = makanan yang bersih dan suci.
C
22
C
Terlanjur Dicap Kaya
M
asyarakat Bali sudah terlanjur dicap kaya. Pendapatan perkapita jauh di atas rata-rata pendapatan nasional. Turis datang membawa dolar. Tak hanya hotel mewah dan restoran yang meraup dolar, kerajinan Bali pun maju pesat dan diincar turis. Untuk apa lagi orang Bali mengelola tanah pertanian dan perkebunan? Pemuda-pemuda Bali tak mau lagi berlumpur-lumpur di sawah, apalagi menuntun sapi membajak tanah. Lebih baik ke kota menjadi pelayan kafe. Gadis-gadis gunung, yang di masa lalu asyik di kebun kopi, sudah mulai canggung berjalan di kebun yang banyak durinya. Mereka lari ke kota, menganyam benang untuk dijadikan topi, baju, tas dan sebagainya. Sawah dan kebun terlantar karena generasi tua yang berpredikat petani juga mulai berkurang. Pemerintah pun tak pernah memikirkan petani. Leluhur orang Bali di masa lalu menjaga betul hasil pertanian untuk kepentingan yadnya (ritual keagamaan), baik
C
23
C
yadnya berupa piodalan di pura maupun hari besar keagamaan seperti Galungan. Karena itu ada hari yang disebut Tumpek Pengarah, 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Orang Bali yang beragama Hindu datang ke kebun-kebun membawa sesajen, lalu menepuk-nepuk pohon pisang, pohon juwet, pohon sotong, agar segera berbuah untuk bisa dipersembahkan pada hari raya Galungan. Uang bisa mengubah semuanya. Orang Bali tetap membawa sesajen ke kebunnya. Tak banyak ada pisang di kebun, lalu beli pisang di pasar yang didatangkan dari Jawa. Tak ada sotong (jambu biji) karena isi kebun hanya kopi, lalu membeli buah peer dari Cina. Janur pun sudah didatangkan dari Banyuwangi bertruck-truck tiba di Pasar Badung bersamaan dengan bunga, ayam, bebek setiap malam. Supermaket muncul di setiap kota, lalu di pedesaan muncul mini market berjaringan, dan orang Bali membeli apel Amerika di sana untuk dipersembahkan ke pura. Dulu, jika ada gadis Bali tak bisa membuat banten atau sesajen, sekecil apapun bentuknya, ibunya bersedih. Sekarang, tidak ada ibu yang bersedih seperti itu, malah berkata dengan manis pada anaknya: “Iluh, belikan ibu daksina di Pasar Sanglah….” Sang anak langsung naik sepeda motor sambil menyanyi: “Iluh, iluh, ajak je melali….” Lagu top grup band asal Ubud ini mengiringi sepeda motor ke pasar membeli canangsari, daksina, dan segala perlengkapannya. Tak peduli yang menjualnya orang Bali atau orang Jawa, orang Hindu atau bukan, barang yang dibeli sudah benar atau salah. Yang penting, uang sudah berbicara, dan menurut seorang pendharmawacana kondang Bali, kalau sudah terjadi transaksi dengan uang, segala dosa dan kekurangan banten (sesajen) sudah terhapuskan. Budaya konsumtif masyarakat Bali juga mempengaruhi kebijakan publik. Karena orang Bali kaya, membeli sepeda motor
C
24
C
begitu mudah. Apalagi dengan teknik mencicil. Setiap menit ada iklan pencicilan sepeda motor di radio-radio swasta Bali. Hampir di setiap rumah tangga orang Bali ada sepeda motor. Di Denpasar, menurut survey yang tidak serius, satu orang bahkan satu motor, jadi di dalam satu rumah bisa ada empat sepeda motor. Salahkah masyarakat? Tidak juga, karena pemerintah tak pernah mengurusi, bahkan berpikir pun mungkin belum, bagaimana menata transportasi dalam kota Denpasar. Tak ada angkutan kota yang terkordinir yang bisa menjangkau seluruh jalan, seperti di kota-kota lain di Indonesia. Denpasar adalah “kota sejuta motor”. (Menurut survey BPS, kepemilikan kendaraan bermotor di Bali jauh melebihi Provinsi Jawa Tengah). Terlanjur dicap kaya dan terlanjur manja dimanfaatkan dengan baik oleh para pendatang. Orang Bali yang malas memasak dibantu pendatang dengan menjajakan makanan di pinggir-pinggir jalan. Mau bakso atau pecel lele, semua tersedia. Jagung rebus pun dijual oleh pendatang dan sekalian jagungnya dari luar Bali. Jagung yang dulu tumbuh di tegalan orang Bali sudah tak laku, kurang manis, kurang besar, kurang ini dan kurang itu, karena pemerintah memang tak pernah mengurusi pertanian. Bahkan jeruk Kintamani busuk di pohonnya karena upah memetik lebih besar dari harganya, lantaran kalah bersaing dengan jeruk Malang atau jeruk impor. Ternyata uang pariwisata tak selamanya melimpah. Bom meledak di Kuta tahun 2002, turis semakin sepi, uang pun semakin sulit. Gadis-gadis gunung yang dulu menganyam benang untuk topi, mulai istirahat. Begitu juga pemudanya. Di kampung mereka bingung, mau ke sawah, kuku kakinya sudah terlanjur kena cat (kotek, begitulah disebut). Para pemudanya tak mau pegang cangkul, masak lengan bertato dan rambut dicat pirang pegang cangkul? Mereka menunggu dunia wisata pulih, dan ketika benar mendekati pulih, turis mulai agak ramai, bom
C
25
C
meledak lagi bulan Oktober 2005. Masihkah orang Bali hidup dengan pola terlanjur kaya? Sulit mengubah kenikmatan menjadi kesahajaan dalam waktu singkat. Padahal kenikmatan itu sudah berakhir, kemesraan bersama uang turis sudah berlalu. Karena pola konsumtif terus merasuk, orang Bali pun menjual tanah, untuk membeli apel Amerika, pizza, bakso dan jagung rebus, sementara pendatang yang berjualan bakso berdikit-dikit membeli tanah orang Bali. Orang Bali harus berubah, kalau tidak akan musnah. Ini menurut Kapolda Bali (saat itu), Irjen Mangku Pastika. (Dan Mangku Pastika kemudian menjadi Gubernur Bali). Kata “musnah” terlalu seram, tapi kalau disebut orang Bali akan menjadi “budak tolol” di pulaunya sendiri, bisa terlalu kasar. Yang jelas, persepsi orang Bali hasrus berubah, dan mau bekerja keras di bidang apapun sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Kalau tidak, bisa tress. Jangan-jangan itu sebabnya angka bunuh diri di Bali sangat tinggi belakangan ini. Mari selamatkan Bali, kembalilah bersahaja, berkarib dengan tanah pertanian, sumber kehidupan budaya asli. 29 Oktober 2005
Catatan: * iluh = panggilan untuk anak putri. * daksina, canangsari = nama-nama sesajen yang sederhana.
C
26
C
Taksu Bali
M
asihkah Bali punya taksu? Jawabannya tergantung siapa yang ditanya. Kalau dia adalah orang Bali yang sudah meninggalkan Bali sejak lama, katakanlah 30 tahun lebih tidak mengikuti irama perkembangan budaya Bali, dia akan bilang Bali sudah kehilangan taksu. Kalau dia orang Bali dan terus-menerus berada di Bali, dia akan bilang: Bali itu tetap saja seperti dulu, ada taksunya. Yang unik, kalau ditanyakan kepada para remaja Bali, dia akan menjawab: taksu itu apa ya, nggak ngerti. Karena hari ini Tumpek Landep, hari di mana orang biasanya mempertajam taksu dan juga hari di mana banyak orang melakukan pewintenan yang erat kaitannya dengan taksu, ada baiknya kita mencari tahu apa alasan untuk menjawab seperti itu. Adalah seorang lelaki yang sudah berusia setengah abad lebih, separoh hidupnya berada di Sulawesi Tenggara dan ia termasuk orang sukses di Kecamatan Landono, Kabupaten Konawe Selatan. Sejak tiket pesawat dibanting murah, belakan-
C
27
C
gan ini ia sering ke Bali, namun ia mengaku tak betah tinggal di Bali. “Taksu Bali sudah hilang,” katanya. Dia menyebut banyak contohnya. Tari joged goyangannya sudah porno, tari arja isinya lelucon melulu, wayang kulit tak ada paparan sastranya, orang melasti ke pantai jalannya sama saja dengan orang piknik, sembahyang ke pura mampir dulu di warung malah main (judi) bola adil, yang ditunggu hanya saat muspa dan itupun grasa-grusu ingin cepat selesai. Kalau dirinci lebih jauh, contoh-contoh itu bisa diperpanjang. Lalu, ada seorang lelaki pegawai kantor Pemda Bali, usianya mendekati pensiun, dan dia jarang sekali ke luar Bali. “Apanya yang berubah di Bali? Rasanya sama saja dengan dulu, wisatawan malah semakin banyak datang ke Bali, itu artinya taksu Bali masih ada,” katanya. Kalau joged goyangannya makin cabul, itu kan karena di luaran banyak yang lebih porno, kalau arja membanyol melulu itu kan karena banyak orang suka yang lucu. Yang penting apa yang dulu ada, sekarang pun masih ada, soal ada perubahan itu karena menyesuaikan dengan zaman. Nah, sekarang apa komentar seorang remaja Bali, mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta. “Taksu? Apa yang bernama begitu? Saya tak tahu apakah masih ada taksu di Bali, memangnya dipikirin….” Dia tertawa. Apakah taksu itu? Kalau taksu tak bisa dirumuskan, bagaimana mengatakan taksu itu masih ada di Bali, dan bagaimana menjaga sesuatu yang tak bisa dirumuskan? Memang sulit sekali menjelaskan soal taksu. Penari-penari Bali generasi sekarang pun tak pernah mengenal betapa pentingnya taksu dan mereka tak peduli adakah dirinya punya taksu atau tidak. Taksu itu ada yang menyebutkan semacam kekuatan gaib yang membuat seorang penari menjadi begitu berwibawa di dalam pentas. Prilaku di luar pentas dan di dalam pentas berbeda sekali. Ribu, maestro arja di masa lalu, kesehariannya
C
28
C
adalah seorang gadis yang kalem. Begitu dia naik pentas, yang nampak bukan lagi Ribu, tetapi Mantri Buduh. Wayan Lodra, kesehariannya pendiam, di kantor, dia biasa-biasa saja, tetapi begitu menjadi Raja Muda dalam pentas drama gong, ia sudah berubah total. Orang Bali menyebutnya “punya taksu”. Jika demikian halnya, bukankah aktor dan aktris film juga banyak yang “punya taksu” dan bukankah taksu adalah penggalian diri untuk total di dalam akting? Benar sekali. Rieke Dyah Pitaloka kesehariannya adalah orang yang cerdas, baru saja membuat tesis untuk S-2, aktifis di sebuah partai, tetapi di sinteron Bajaj Bajuri ia menjadi Oneng yang bloon. Christine Hakim salah satu contoh artis besar yang “punya taksu”. Yang terjadi di Bali saat ini adalah semakin sedikitnya orang yang secara total meleburkan diri dalam sebuah proses aktifitas, apakah itu aktifitas kesenian atau kebudayaan dalam arti luas. Penari joged hanya bisa goyang-goyang saja dan pengibingnya hanya bisa mencolak-colek membuat orang tertawa. Penari topeng hanya bisa bergerak sesuai pakem, tidak sepenuhnya menyatu dengan topeng yang dibawakan. Orang Bali bilang, semuanya sudah “campah”, tidak lagi “medengen”. Dan itulah ciri dari kehilangan taksu. Bisa jadi jenis keseniannya itu sendiri sudah campah seutuhnya, sehingga penari pun sulit mendapatkan taksu dari kesenian itu. Bagaimana seorang Galuh dalam arja bisa mendapatkan taksu, kalau Inya dan Kartala selalu membuat banyolan di sampingnya. Bagaimana pengiring pratima pada saat melasti ke laut bisa berjalan dengan taksu, jika juru kidung sering bergurau dan gamelan sudah tak karuan bunyinya? Karena itu sangat terpujilah jika para seniman tua di Gianyar kembali membangkitkan taksu Bali dengan pergelaran tari langka seperti palawakya, demang miring, candra metu dan lainnya. Tarian langka itu dipakai sarana membangkitkan taksu
C
29
C
tentulah karena tarian yang populer sudah tergelincir ke arah campah. Jika seseorang tidak sreg dengan sebuah tarian, atau tak sreg dengan seluruh pentas, dicari dengan cara apapun Sang Taksu tak akan muncul. Totalitas untuk menyatu dengan peran di panggung itu, tak akan ditemukan, padahal totalitas itulah syarat munculnya taksu. Demikianlah, seorang penari akan sulit memperoleh taksu jika ia tidak total memerankan tarian itu. Secara keseluruhan, taksu Bali sudah luntur karena orang Bali sudah tidak total lagi memerankan jati dirinya sebagai orang Bali yang di masa lalu berbudaya tinggi, karena sudah larut dengan budaya global yang menghancurkan sendi-sendi budaya adiluhung itu. Diperlukan merenung lagi untuk mengasah rohani dan kembali pada kesucian diri. 8 Januari 2005
C
30
C
Wanita Bali
W
anita Bali terkenal gigih, ulet, pekerja keras, menghormati martabat keluarga. Namun, dari sisi lain, wanita Bali terkenal pula pasrah menerima keadaan buruk, tidak mendapatkan penghargaan yang wajar, bahkan warisan pun tidak ia terima. Lebih sedih lagi, masih ada anggapan lahir sebagai wanita adalah lahir sebagai manusia kelas dua. Kelas satu adalah para lelaki. Kalau dana pendidikan keluarga tidak cukup, anak wanita tidak disekolahkan, atau terpaksa berhenti bersekolah. Untuk apa bersekolah, toh setelah besar diambil orang lain. Keuletan wanita Bali sudah digambarkan oleh para pelukis asing sebelum masa kemerdekaan. Dan citra ini tak bisa lepas sampai sekarang, lantaran buku-buku tentang Bali di luar negeri kebanyakan masih mengacu ke buku yang ditulis para pelukis itu atau ditulis oleh penulis asing dengan ilustrasi dari pelukis yang juga orang asing. Kita melihat, misalnya, bagaimana wanita Bali mengusung
C
31
C
kayu bakar yang berat, atau menjunjung periuk tanah berisi air, sementara lelaki Bali asyik dengan ayam aduannya. Gambaran lain, wanita Bali berkutat dengan begitu banyak sesajen yang rumit, sementara lelaki Bali duduk bengong bersandar di tembok meniup seruling. Ini gambaran dalam lukisan. Adapun dalam cerita, dengan gamblang disebutkan bagaimana wanita Bali sangat rajin melaksanakan ritual keagamaan ke pura, sementara lelaki Bali tetap dengan ayam aduannya. Ketika istrinya pulang dari sembahyang, lelaki Bali itu dengan sikap tanpa bersalah meminta air suci (tirtha) yang dibawa istrinya untuk diminum. Citra buruk ini sama sekali tak pernah dianggap noda oleh orang Bali. Citra buruk buat lelaki Bali yang dicap sebagai pemalas dan tak punya etos kerja tinggi. Citra buruk bagi wanita Bali yang tak bisa memberontak dari kungkungan tradisi yang membelenggu. Memang harus diakui bahwa dalam sejarah Nusantara para wanita sering dipinggirkan. Namun, sejarah Nusantara juga mencatat bagaimana wanita-wanita itu memberontak, baik memberontak karena lingkungan adat dan tradisi seperti yang dilakukan Raden Ajeng Kartini di Jepara, memberontak kepada penjajah seperti dilakukan Cut Nyak Dien di Aceh, memberontak mengatasi kebodohan seperti dilakukan Dewi Sartika di Jawa Barat, dan sebagainya. Lalu, apa yang dilakukan wanita Bali sebelum dan setelah kemerdekaan? Tak ada catatan sejarahnya. Tokoh-tokoh pergerakan wanita berkumpul di Yogyakarta dan hari bersejarah itu diperingati sebagai Hari Ibu, namun peristiwa ini tak memunculkan tokoh wanita asal Bali. Ini menandakan bahwa wanita Bali belum bisa memainkan perannya dalam urusan sosial politik. Beragam alasan yang bisa dicatat. Misalnya, pengaruh situasi daerah di mana wanita dikekang untuk menonjolkan diri. Juga faktor pendidikan, wanita Bali
C
32
C
tidak mendapatkan prioritas pendidikan tinggi. Penyebab paling parah adalah adat dan tradisi Bali tak memberi kesempatan wanita untuk menjadi pemimpin. Dalam adat Bali, wanita tak bisa ikut rapat adat, tak bisa menjadi kepala keluarga, artinya adat Bali tak akan bisa melahirkan pemimpin wanita. Wanita Bali bisa berstatus purusa (menerima waris dan meneruskan kawitan keluarga) dengan catatan dia kawin nyentana, tetapi dalam adat status purusa itu tidak berlaku, yang mewakili dalam rapat-rapat adat tetap lelaki yang nyentana itu. Dalam hal spiritual juga begitu. Meski wanita Bali pintar membuat sesajen, namun untuk menjadi pemangku (dengan upacara ekajati) dan sulinggih atau pendeta (dengan upacara dwijati) tertutup jalannya. Wanita Bali hanya bisa menjadi pemangku atau sulinggih jika mengikuti suaminya, statusnya sebagai pendamping. Ia baru boleh meneruskan peran itu jika suaminya sudah meninggal. Atau ada syarat lain, yakni wanita Bali bisa menjadi sulinggih jika tidak kawin, ini pun hanya terjadi di beberapa soroh. Apakah ini ajaran Hindu? Tidak, ini adalah tradisi. Ajaran Hindu memuat begitu banyak sloka tentang kepemimpinan seorang wanita, bahkan keagungan wanita disebut-sebut bisa menyelamatkan bumi. Di mana wanita tidak dihormati, di sanalah ketentraman tidak ada, demikian sloka yang banyak disebut para tokoh agama. Memang muncul satu dua tokoh wanita Bali di forum nasional. Misalnya, pernah ada politisi Ida Ayu Utami Pidada. Apakah ini hasil pemberontakan dalam tradisi Bali? Tidak persis, Utami Pidada menjadi politisi yang cukup disegani pada eranya mewakili Jawa Barat, bukan Bali. Karena itu perjuangan Utami Pidada untuk wanita Bali hampir tak ada. Ibu Gedong Bagoes Oka (sudah tiada) bisa disebutkan hasil pemberontakan pada tradisi dengan mendirikan Ashram Canthi
C
33
C
Gandhi. Namun karena jalur Ibu Gedong dalam bidang spiritual yang berbau “intelektual” pengaruhnya juga tidak banyak mengangkat harkat wanita Bali. Pernah ada gerakan yang dipelopori I Gusti Ngurah Bagus untuk mengangkat kehidupan wanita Bali, tapi dukungan wanita Bali justru kurang kuat, sehingga gerakan itu mati sebelum beraksi. Aneh, wanita Bali tidak sadar dirinya tertinggal, tidak tahu kalau hak-hak mereka sebagai wanita Hindu banyak yang dikebiri oleh adat. Toh, tak muncul LSM yang memperjuangkan wanita Bali. Bahkan organisasi Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) di Bali tidak seaktif WHDI di luar Bali. Sampai kapan wanita Bali harus menerima keadaan ini? Syukurlah, di kalangan keluarga yang berpikir maju, anakanak wanita mereka diperlakukan sama dengan anak lelaki, terutama di sektor pendidikan. Bahkan, karena ketentuan adat yang tidak memberikan hak waris kepada kaum wanita, banyak keluarga maju yang memberikan harta kepada anak perempuannya sebelum kawin, sehingga harta itu menjadi miliknya. Tapi, di pedesaan apalagi di kalangan keluarga tak mampu, wanita Bali tetap “anak kelas dua”, kasihan juga melihat kenyataan ini. 17 Desember 2005
Catatan: * kawin nyentana = si perempuan tetap di rumahnya, lelaki yang jadi suaminya meninggalkan keluarganya. * ekajati = ritual untuk menjadi pemangku. * dwijati = ritual untuk menjadi pendeta. * soroh = ikatan berdasarkan garis keturunan.
C
34
C
Seniwati Bali
I
stilah “seniwati” mulai berkurang digunakan belakangan ini. Permasalahannya bukan karena kesetaraan gender. Jika alasan itu, kenapa istilah “wartawati” masih suka digunakan untuk menyebutkan “wartawan wanita”? Lagi pula orang masih suka menyebutkan aktris untuk membedakan jenis kelamin dengan aktor dalam dunia film. Entahlah, barangkali kebetulan saja. Namun yang jelas, jika kita merujuk kepada “seniwati Bali” maka terasa bahwa istilah ini bukan cuma mati suri, tetapi kenyataannya seniman wanita (atau wanita seniman) Bali mulai tenggelam. Sekarang kita tak punya “pujaan” siapa seniman wanita Bali yang top. Siapa penari legong atau pemain arja terkenal di Bali saat ini? Kita seperti kehilangan Reneng di bidang tari, kita kehilangan Ribu atau Jero Suli di bidang seni arja. Lebih tragis lagi, selain kehilangan wanita-wanita perkasa dalam bidang seni itu, jenis kesenian di Bali pun bergeser ke arah pria. Munculnya “arja muani”, misalnya, seolah menggeser
C
35
C
peran wanita dalam lakon-lakon tradisi Bali. Dan ini ternyata disambut gembira oleh masyarakat Bali sehingga semakin mengesahkan keterpinggiran seniwati Bali dalam pentas rakyat. Memang, di beberapa tempat ada “perlawanan”. Di Desa Mas, Ubud, pernah muncul drama gong wanita. Semua pemainnya wanita, termasuk peran laki-laki seperti raja, patih, punakawan. Namun, pementasan ini lebih bersifat temporer, tidak kedengaran lagi setelah pentas satu atau dua kali. Beberapa hari lalu ada pementasan “arja luh”, semua pemainnya wanita, termasuk penasar dan wijid. Ternyata pementasan ini kurang mendapat respon penonton. Rupanya, penonton di Bali masih lebih senang melihat orang laki menjadi perempuan dibandingkan orang perempuan menjadi lelaki. Orang laki lebih piawai menirukan suara perempuan, sementara wanita agak sulit menirukan suara lelaki dengan pas. Dengan situasi seperti ini, wanita Bali mulai berkurang berkiprah dalam seni pentas. Mereka kurang percaya diri lagi dan dalam kenyataannya mereka seperti tidak bisa lagi merebut peran-peran wanita dalam lakon tradisional, atau mereka mengaku kalah dengan para lelaki Bali padahal yang diperankan jelas untuk wanita. Satu contoh kecil misalnya dalam pentas arja (campuran) dari salah satu sanggar seni di Singapadu yang bertajuk Ketemu Ring Tampaksiring, peran limbur ternyata dimainkan oleh lelaki. Begitu sulitkah mencari seorang wanita untuk memainkan limbur? Bukankah di masa lalu, di tahun 1970-an, hampir semua pemain arja berasal dari kawasan ini? Dalam bidang tari pun kita tak punya lagi maskot atau bintang. Padahal di masa pemerintahan Soekarno, penari Bali (tentu wanita) menjadi maskot dalam setiap pergelaran seni daerah di Istana Negara. Sekarang pun pementasan di Istana Negara masih berlangsung, apalagi jika ada tamu negara. Namun,
C
36
C
kesenian khas Bali lebih banyak dimainkan grup ketimbang pentas individu. Uniknya lagi, yang mewakili Bali itu tetap saja para lelaki, yakni pemain cak (kecak). Bukan grup janger yang pemainnya sebagian wanita. Ada apa sebenarnya sehingga kiprah wanita seniman (seniwati) Bali kurang muncul dalam dasa warsa ini? Adakah ini membuktikan bahwa wanita Bali tetap disibukkan dengan ritual upacara, membuat banten, mendidik anak? Atau ada yang menyebutkan wanita Bali kurang punya waktu mengurus dirinya, menjaga kecantikannya, sehingga begitu memasuki bahtera rumah tangga, langsung merasa dirinya “tidak pas” di dunia kesenian yang membutuhkan kecantikan. Ini ada benarnya, dan ini bisa menjelaskan kenapa wanita Bali yang berkecimpung dalam dunia kesenian, usia profesinya lebih singkat dari para lelaki. Lelaki Bali masih percaya diri naik pentas meskipun usianya sudah tua, sementara perempuan Bali tak begitu yakin lagi naik pentas jika usianya sudah lanjut. Pengaruh lingkungan sangat besar dalam masalah ini, juga pengaruh adat. Mana ada perempuan Bali terlibat dalam adat, dalam arti memberi arah kebijaksanaan, ikut rapat adat, dan sebagainya? Perempuan Bali hanya nrimo, istilah orang Jawa. Karena itu menarik sekali ketika Taman Budaya Denpasar menggelar pentas seni untuk kaum wanita. Kegiatan ini jangan hanya dikaitkan dengan perayaan Hari Kartini, tetapi lebih pada komitmen bersama bagaimana mengangkat kembali derajat kesenimanan perempuan Bali. Bagaimana menumbuhkan rasa percaya diri mereka kembali bahwa menari sesungguhnya tidak dibatasi oleh usia. Juga tidak dibatasi oleh status sosial, misalnya, karena sudah kawin dan sudah punya anak. Jika masih dibelenggu oleh urusan keluarga, maka kita akan kembali ke masa lalu, di mana banyak sekali penari Bali (entah itu legong, arja, janger, apalagi joged) yang berhenti pentas ketika sudah
C
37
C
kawin. Seolah-olah usia kesenimanan penari Bali hanya berakhir ketika memasuki perkawinan. Yang perlu dipikirkan sekarang ini adalah mencari format, di mana posisi yang pas bagi seniwati Bali dalam pentas seni. Peran wanita dalam arja harus direbut kembali, dan anggaplah “arja muani” itu sebagai mode yang temporer. Ciptakan senitari baru untuk wanita dewasa, seperti misalnya Siwa Nitipraja, terasa lebih pas dimainkan wanita dewasa. Jangan terpaku pada tari Manukrawa, Trunajaya, dan sebagainya yang memang lebih cocok untuk remaja wanita. Tentu saja pejabat yang mengurusi kesenian harus menciptakan peluang agar wanita Bali lebih banyak bisa tampil di pentas yang bergengsi. 15 April 2006
C
38
C
Bali Kuno
K
alau kita menelusuri sejarah Bali dan ingin tahu asalusul penduduknya, maka kita seringkali menemukan istilah yang sebenarnya tidak jelas batasnya. Mungkin karena semuanya saling sambung-menyambung. Atau karena istilah yang ada itu tidaklah berdasarkan pembagian waktu, namun karena sebutan semata-mata. Istilah yang saya maksudkan seperti Bali Aga, Bali Mula, Bali Kuna, dan mungkin ada lagi sebutan di beberapa tempat seperti Bali Kui, Bali Asli dan sejenisnya. Seorang guru sejarah di Jakarta seringkali mengatakan, kebudayaan Bali yang masih asli ada di Trunyan, di mana mayat tidak ditanam dan tidak dibakar karena penduduknya tergolong keturunan Bali Aga. Begitu pula ketika ia menjelaskan tentang tatanan hidup masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan, selalu beralasan karena penduduk itu keturunan orang-orang Bali Aga. Penyebutan ini kemudian ditambah dengan konotasi yang negatif, misalnya, masyarakat Bali Aga tidak mau mengikuti kemajuan zaman dan tetap memelihara kebudayaannya yang
C
39
C
asli. Mereka tak mau beradaptasi dengan masyarakat Bali lainnya, mereka membiarkan dirinya bodoh karena banyaknya pantangan yang harus dihadapi. Ketika sang guru memberi contoh apakah ada komunitas seperti ini di luar Bali, sang guru menjawab: Suku Baduy di Jawa Barat. Mereka juga tak mau menerima pembaruan yang dibawa zaman, tak mau bersosialiasi dengan penduduk di luar komunitasnya. Apakah gambaran Bali Aga seperti itu? Tentu saja salah, meskipun tidak sepenuhnya salah. Bahwa mereka tidak mau mengikuti kemajuan zaman, itu jelas salah. Tetapi bahwa mereka itu keturunan orang-orang “Bali Asli” mungkin ada benarnya. Tetapi, apakah penjabaran dari istilah Bali Asli itu sendiri?. *** JANGAN kita terjebak oleh istilah, begitu sering saya menerima komentar dari tokoh-tokoh babad di Bali. Bukan ingin terjebak, tapi saya ingin tahu, bagaimana sejarahnya sampai istilah itu muncul. Karena bagi generasi muda di Bali sekarang ini, juga di masyarakat pedesaan, sebutan Bali Aga seperti menyiratkan sesuatu yang “terbelakang”. Padahal tak ada hubungannya sama sekali antara Bali Aga dengan “keterbelakangan” dan “kemoderenan”. Istilah Bali Aga muncul ketika Maharesi Markendhya datang di Bali dan menyebarkan ajaran Hindu (dari sekte Waisnawa). Karena Maharesi ini lebih banyak datang ke gunung-gunung maka masyarakat Bali di gunung itu disebut Bali Aga, karena Aga artinya gunung. Pada akhirnya, semua masyarakat Bali waktu itu disebut Bali Aga. Jadi, istilah ini sudah berusia sangat tua, karena kejadian itu sekitar tahun 158 Masehi. Seluruh penduduk Bali saat itulah yang juga disebut Bali Asli, sedang yang dibawa Maharesi Markandhya disebut Bali Jawa.
C
40
C
Akan halnya sebutan Bali Mula, istilah ini tidak lengkap, semestinya adalah Pasek Bali Mula. Istilah ini muncul jauh kemudian, yakni ketika Bali sudah tunduk di bawah pemerintahan Majapahit, tahun 1343. Setelah “pemerintahan kolonialis” Majapahit bertahta di Bali, terutama pada saat Dalem Kresna Kepakisan bertahta di Gelgel (di bawah kekuasan Majapahit), orang-orang Bali Aga yang merupakan penduduk asli Bali berontak kecil-kecilan, menuntut kesetaraan di segala bidang. Maklumlah, sebagai daerah jajahan, orang-orang Majapahit yang datang berduyun-duyun ke Bali merasa sebagai “warga kelas satu”. Pemberontakan itu ditanggapi dengan “bagi-bagi kekuasaan”, di mana tokoh-tokoh masyarakat Bali Aga diangkat sebagai Pasek (arti sebenarnya perangkat pemerintahan), dan ikut mengatur pemerintahan. Namun, agar ada perbedaan untuk menyebutkannya, Pasek yang berasal dari Bali Aga disebut Pasek Bali Mula, sedang Pasek yang datang dari Majapahit disebut Pasek Gelgel, sesuai dengan pusat pemerintahan di Gelgel. Jadi, penduduk Bali saat ini secara garis besarnya ada dua keturunan, yang satu keturunan masyarakat Bali Asli, yang satu lagi keturunan dari Jawa, baik yang bernama “Bali Jawa” maupun yang disebut “Wong Majapahit”. Dengan begitu, terbantahlah bahwa Bali Aga identik dengan desa-desa kuno seperti Tenganan atau Trunyan, karena orang-orang Bali Aga ada di mana-mana baur dengan keturunan Majapahit. *** LANTAS bagaimana dengan istilah Bali Kuna? Ini yang sulit diuraikan karena tidak terkait dengan asal-usul keturunan, tetapi kaitannya pada sebuah tradisi yang begitu dipertahankan bertahun-tahun (atau berabad-abad) sehingga menjadi “kuno”.
C
41
C
Banyak tradisi kuno masih dipertahankan di Bali, tetapi jika yang kuno itu masih tinggal sebagian saja, apalagi sebagian kecil, sementara tradisi lainnya berkembang mengikuti zaman, maka desa itu tidak disebut desa Bali Kuna. Trunyan, Tenganan, Sukawana, bisa disebut sebagai desa Bali Kuna karena sebagian besar aturan di desa itu dipertahankan, juga tradisi kebudayaan termasuk kreasi seni yang terus dipelihara. Belakangan, dengan pertimbangan secara sadar bahwa tradisi kuno itu bisa mendatangkan pelancong baik dari dalam maupun luar Bali, desa-desa kuno itu terus bertahan. Ini tentu saja membutuhkan komitmen yang tinggi dari warga desa setempat, sejauh mana tidak tergoda oleh unsur-unsur yang datang dari luar. Desa Sukawana konon memiliki tradisi yang unik dalam hal mengatur warga adat, terutama dalam urusan ritual. Saya belum pernah ke sana, sehingga tak tahu sejauh mana aturan itu betulbetul demokratis jika dilihat dengan kacamata sekarang ini. Yang saya amati sekarang ini, banyak warga desa adat yang bingung antara kewajiban “ngayah” di desa adat dan kewajiban “bekerja” di luar desa karena menjadi karyawan atau pegawai negeri. Di beberapa desa, “ngayah” bisa diganti dengan uang (disebut “pemogpog”), tetapi jika nilainya tidak besar, warga desa yang “ngayah” karena tetap tinggal di desa itu akan protes. Kalau semuanya lantas menjadi “pemogpog”, siapa yang melaksanakan kewajiban di desa, apalagi jika menyangkut masalah ritual? Ini memang masalah pelik di Bali di mana kehidupan warganya sudah mulai ke arah individualistis, karena itu ada baiknya kita menoleh sejenak ke “desa kuna”, kearifan apa yang bisa dipetik hikmahnya dari sana. 8 Desember 2001
C
42
C
Bahasa Bali
P
aruman sudah dimulai. Acaranya membahas perbaikan jalan menuju kuburan. Bendesa Adat yang didampingi pengurus adat sudah menjelaskan panjang lebar tentang pembangunan jalan itu. Kini, Bendesa Adat meminta kepada peserta rapat untuk memikir-kan penggalian dananya. Sepi, tak ada yang berkomentar. Peserta rapat yang kebanyakan warga desa yang sedang merantau ke kota, saling tolehmenoleh. Karena lama tak ada yang berkomentar, Bendesa Adat berkata lagi: “Inggih, galah keaturang titiyang ring ida dane para semeton, ngiring sareng-sareng mepikayunan….” Tetap saja tak ada yang berani berkomentar. Seorang staf adat mengacungkan tangan dan minta bicara. “Mohon maaf Bapak Bendesa, saya kira format rapat ini salah. Saya usulkan memakai bahasa Indonesia saja, supaya rapat ini serius mendapatkan tanggapan. Setuju?” Langsung peserta rapat setuju. Seseorang berkata: “Betul Pak Bendesa, meskipun saya lahir di sini, saya tak bisa berbahasa Bali seperti Pak Bendesa. Tadi saya bingung, kenapa Pak Bendesa memberi galah, saya kira galah yang dipakai peloncat tinggi itu.” Peserta rapat pun banyak yang tertawa. Kebekuan mencair. Bendesa Adat lantas ikut berbicara memakai bahasa Indonesia. “Ya, saya setuju, kita sekarang pakai bahasa Indonesia, supaya lebih serius,”
C
43
C
katanya. Mudah dimaklumi jika rapat ini sangat kaku jika menggunakan bahasa Bali versi Bendesa Adat, begitu bagus baik menyangkut kosa kata maupun irama. Rapat rutin yang dilakukan di Balai Desa yang dihadiri warga banjar, memang masih tetap menggunakan bahasa Bali, tetapi kosa katanya tidak sulit benar dan bahkan banyak yang dicampuri bahasa Indonesia. Kenapa kali ini Bendesa Adat menggunakan bahasa Bali yang begitu sulit? Setelah usai rapat, saya menanyakan hal itu. Alasan Bendesa Adat ternyata untuk penghormatan. “Mereka itu kan pegawai negeri dan pengusaha swasta yang sukses di perantauan, pulang ke kampung semua bawa mobil bagus, kita harus junjung tinggi kehormatan mereka untuk membangun desa ini,” katanya. Rupanya, memberi penghormatan kepada seseorang saat ini di Bali, tak selalu harus memakai bahasa Bali yang halus. Karena yang diberi penghormatan ternyata tak paham. *** KINI banyak yang mencemaskan kelangsungan hidup bahasa Bali. Bahkan ada teori yang menakutkan, di tahun 2041, bahasa Bali sudah lenyap dari muka bumi ini. Teori ini berdasarkan alih generasi. Generasi muda Bali sekarang ini sudah sulit berbicara bahasa Bali, karena mereka dididik oleh ibunya yang juga sulit berbahasa Bali. Nah, kalau generasi muda yang tak kenal bahasa Bali ini menjadi orangtua, bisa dibayangkan tak seorang anaknya pun yang mampu berbahasa Bali. Apa yang terjadi dengan bahasa Bali? Saya kira ada masalah yang serius dengan pengembangan bahasa Bali ini, yakni terlalu jomplang antara bahasa Bali sehari-hari dengan bahasa Bali formal yang dipakai dalam pertemuan resmi, apakah itu
C
44
C
masalah adat atau ritual persembahyangan. Beberapa hari lalu saya menghadiri upacara meminang seorang gadis, waduh, bahasa yang dipakai kedua pihak keluarga begitu tingginya. Yang terlibat dalam pembicaraan itu akhirnya praktis hanya dua orang dari kedua belah pihak, lainnya hanya berkomentar pendek: inggih… inggih… atau patut…. patut …. Padahal usai acara meminang itu, pembicaran jadi lancar, meskipun juga memakai bahasa Bali, tetapi dengan kosa kata yang tak terlalu tinggi. Yang mengherankan saya, kedua pihak keluarga ternyata meminjam “juru raos” (juru bicara) untuk peminangan itu. Dalam hati saya berpikir, tidak bisakah peminangan itu dilakukan dengan bahasa Bali yang biasa digunakan sehari-hari? Sepanjang bahasanya tidak kasar atau masih pada tingkatan madya, kenapa tidak boleh? Siapa yang tidak membolehkan kalau kedua pihak keluarga sudah sama-sama maklum hal itu? Masalah “sor-singgih” (tingkat-tingkat bahasa) ini yang terlalu berjarak jika kita menggunakan bahasa Bali. Di pedesaan Jawa, hal itu tidak terlalu berjarak, meskipun ada tingkatantingkatan pula. Orang-orang Jawa di perkotaan masih tetap suka memakai bahasa Jawa, dan justru dengan itu mereka merasa lebih akrab. Dan jika pertemuan itu berlangsung resmi dengan banyak orang, bahasa Jawa yang dipakai sehari-hari itu masih tetap pula mereka gunakan, jadi tidak “ditinggikan” sekali bahasanya. Takut salah menggunakan “sor-singgih” juga menjadi masalah besar jika kita menggunakan bahasa Bali dalam pertemuan resmi. Bagi anak-anak muda, ini lebih menyulitkan lagi karena mereka tak paham kapan bahasa itu harus tinggi dan kapan bahasa itu menengah atau bisa kasar. Pelajaran bahasa Bali di sekolah-sekolah sudah menyedihkan sekali, dan penggunaan bahasa Bali di rumah juga memprihatinkan. Orangtua masa sekarang ini lebih senang jika anaknya belajar bahasa Inggris
C
45
C
dibandingkan bahasa Bali. Ini ada pengalaman menggelikan. Suatu hari, saya ketemu teman lama yang jarang sekali berjumpa. Ia saya ajak ikut menumpang di mobil yang saya kemudikan. Kami ngobrol ke sana kemari, mula-mula pembicaraan lancar saja, pakai bahasa campuran, Bali dan Indonesia. Tiba-tiba dia bertanya, apakah benar saya sudah mewinten. Saya jawab, ya, karena setiap orang Hindu pada usia tertentu sebaiknya mewinten. Sejak itu teman saya tak banyak lagi bicara. Saya pun ingat salah kaprah di pedesaan, orang mewinten bukanlah sembarangan, dan upacara itu dianggap bisa meningkatkan statusnya sehingga bahasa yang dipakai pun harus tinggi. Ketika saya menyalip sebuah truck di tanjakan, teman saya tiba-tiba berbicara dengan bahasa Bali halus yang membingungkan saya: “Jero, niki untu napi ngeranjing?” Antara bingung dan tertawa saja menjawab: “Ini apaan, pakai bahasa biasa saja.” Teman saya mengulang dengan bahasa Indonesia. “Sekarang pakai gigi berapa mobilnya, kok cepat larinya?” Saya pun tertawa lagi, mobil ternyata punya untu. Berkurangnya pengguna bahasa Bali di kalangan orang Bali juga disebabkan oleh fanatisme berbahasa Bali itu semakin menipis. Orang-orang Bali bahkan sering menggunakan bahasa Jawa kalau membeli ketupat sayur atau jagung bakar di pedagang kaki lima yang memang dipenuhi orang Jawa di Denpasar. Dengan dalih bercanda dan lebih akrab si orang Bali itu mengatakan: “Tuku jangunge siji, Mbak”. Sebutan Mbak pun semakin populer, Mbok menjadi kalah. Alasan pemakainya, Mbok berarti Ibu di Jawa, jadi supaya netral dan tidak membuat bingung Jawa dan Bali, ambil saja kata Mbak. Kenapa di tanah Bali sendiri kata Mbok harus mengalah dengan Mbak? Fanatisme inilah yang membedakan dengan pemakai bahasa Jawa. Kalau di Jawa, setiap orang dipaksa untuk menggunakan bahasa Jawa di tengah-tengah masyarakat.
C
46
C
Kalau pun kita memakai bahasa Indonesia akan dijawab dengan bahasa Jawa juga. *** APAKAH bahasa Bali akan mati? Orang cemas soal itu. Berbagai seminar pernah diselenggarakan, mencari solusi pembinaan dan pengembangan bahasa daerah ini. Saya menyarankan jangan terlalu muluk, apalagi berbau “proyek”. Penerbitan majalah berkala dalam bahasa Bali yang ada saat ini masih berkutat pada “bahasa Bali sastra”, yang sulit dipahami. Pembinaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga bahasa terlalu formal. Jangankan orang berpartisipasi, begitu masuk ruang pembinaan saja orang sudah takut bicara. Biarkan bahasa Bali berkembang secara wajar mengikuti arus zaman. Bahasa tak bisa dikekang. Ada orang berpendapat, masyarakat Bali itu dari dulu tak pernah mengucapkan terimakasih, cukup tersenyum saja. Tak pernah mengucapkan selamat pagi, selamat siang, selamat malam, tetapi langsung menanyakan apa kabarnya, bagaimana anak-anak dan sebagainya. Jadi, kenapa harus diciptakan idiom Bali untuk terimakasih, selamat pagi, dan sebagainya, hanya untuk “meniru-niru” budaya lain? Saya seratus persen menolak pendapat itu. Pengalaman saya yang sering dilibatkan oleh Pusat Bahasa untuk mencari idiom-idiom baru bahasa Indonesia menyimpulkan, bahasa akan mandeg dan akhirnya surut jika idiom baru tak digali. Kalau terimakasih bisa diganti dengan suksma, selamat pagi bisa memakai rahajeng semeng, kenapa bahasa Bali harus dikekang? Orang Jawa dulu mengucapkan terima kasih dengan matur nuwun. Ketika pemakai bahasa Indonesia semakin genit dengan mengucapkan “beribu-ribu terimakasih”, orang Jawa
C
47
C
ikut mengembangkan kosa katanya menjadi nuwun sewu. Bahasa Bali harus dinamis pula, kenapa dihambat dengan dalih “budaya Bali tidak mengenal sapaan basa basi”? Dalam kaitan inilah, sesungguhnya media yang paling berjasa mengembangkan bahasa Bali adalah Radio Global Kini Jani. Simaklah acara penyembrama (pagi hari) dan makemit (malam hari). Di sini ada dialog sambung rasa dengan menggunakan bahasa Bali yang elagiter, dalam pengertian jika halus ditanggapi dengan halus, jika madya ditanggapi dengan madya. Bukan unggah-ungguh versi masa lalu, yang satu halus yang satu kasar, hanya karena ketururan. Obrolan pun mengenai keseharian, penuh guyonan, jadi bukan sok nyastra (membicarakan sastra). Semua sapaan berbau “barat” (selamat pagi, selamat malam, terimakasih dan sebagainya) diucapkan dengan bahasa Bali. Perhatikan contoh ini: “Rahajeng semeng Nagabonar, kari nyingkrung niki, rahajeng semeng Pekak Mokoh, suksma antuk colingane…” Begitu hidupnya bahasa Bali itu, sampai bahasa Inggris (call) dicarikan idiom Bali-nya. Yang menggembirakan saya (sebagai pengamat yang kadang ikut nimbrung dengan perbendaharaan bahasa Bali yang minim), mereka itu kebanyakan tergolong muda, termasuk para eksekutif muda yang sesungguhnya sangat mudah “dijajah” bahasa asing. Nah, media semacam ini harus diperbanyak, jika perlu Radio Global membuka acara Interaktif Terkini versi bahasa Bali, yang membahas masalah keseharian Dengan begitu, orang Bali harus dipaksakan ngomong Bali. Caranya, jangan memberi kesan bahasa Bali itu sakral, hanya untuk di pura, hanya untuk sangkepan, dan sebagainya. Tetapi gunakan untuk obolan keseharian, tegur sapa, maupun guyonan: 3 November 2001
C
48
C
Satu Generasi Lagi
D
i kalangan pengamat bahasa-bahasa etnis, keluar teori yang menyebutkan bahwa bahasa Bali sebagai bahasa etnis, akan mati pada tahun 2041. Tinggal satu generasi lagi. Teori ini menjadi semacam ramalan: bisa ya, bisa pula tidak. Tapi jangan diremehkan, karena sudah lebih dari 350 bahasa etnis di dunia mati. Nasib bahasa Bali diperkirakan lebih buruk dari bahasa Sanskrit (Sansekerta). Bahasa Sansekerta tidak mati, tetapi tidak lagi menjadi bahasa pergaulan. Bahasa Sansekerta tinggal menjadi bahasa agama (khususnya Hindu), karena kitab suci Weda memakai bahasa itu. Di India ada 35 bahasa etnis yang tergolong besar yang menjadi bahasa pergaulan, Sansekerta tidak masuk di dalamnya. Mirip bahasa Sansekerta adalah bahasa Jawa Kuno, di Bali seringkali disebut bahasa Kawi. Bahasa ini sudah mati sebagai bahasa pergaulan, tetapi masih hidup mengap-mengap sebagai bahasa seni (para dalang wayang kulit selalu mempelajari bahasa ini karena digunakan saat pementasan) dan bahasa ilmu
C
49
C
pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa Hindu. Banyak terjemahan Weda dan tafsir-tafsir Weda yang menggunakan bahasa Jawa Kuno baik dalam bentuk prosa maupun puisi, dibuat oleh pujangga-pujangga Hindu di zaman Kerajaan Kediri dan Majapahit. Warisan kitab ini pun banyak ada di Bali, misalnya, Kekawin Ramayana. Kenapa bahasa Jawa Kuno mati sebagai bahasa pergaulan? Karena agama Hindu mendapat serangan gencar dari agama Islam yang masuk lewat pesisir Jawa. Islam datang di Jawa bukan saja mengislamkan orang Hindu tetapi lambat laun membelokkan budaya-budaya Hindu, termasuk bahasanya. Bahasa Jawa Kuno mengalami perubahan yang disebut dengan bahasa Jawa Pertengahan, kemudian Jawa Pesisir, lalu Jawa Baru dan akhirnya menjadi bahasa Jawa yang kini dipakai bahasa pergaulan sehari-hari. Bahasa Bali bernasib lebih buruk dari bahasa Sansekerta dan bisa jadi pula nanti menjadi lebih buruk dari bahasa Kawi. Apa argumentasinya? Karena bahasa Bali bukan bahasa Weda. Dulu memang ada anggapan, semasih agama Hindu dipeluk penduduk Bali, bahasa Bali pasti tetap hidup. Belakangan anggapan itu berkurang, karena sudah banyak sekali ritual yang memakai bahasa Bali diganti ke mantram dalam bahasa Sansekerta. Para pinandita apalagi pandita di Bali saat ini sudah lancar melafalkan mantram yang langsung berbahasa Sansekerta. Alasan lebih buruk dari bahasa Kawi, karena sangat sedikit ada tafsir-tafsir Weda yang menggunakan bahasa Bali. Jangankan tafsir, terjemahan Weda ke dalam bahasa Bali juga jarang. Saya hanya menemukan satu kitab terjemahan Bhagawadgita memakai bahasa Bali, kitab-kitab suci lainnya jarang diterjemahkan ke bahasa Bali. Nah, kalau suatu saat bahasa Bali tidak lagi menjadi bahasa pergaulan, bagaimana ia bisa menjadi bahasa ilmu kalau jejaknya tidak ada?
C
50
C
Pertanyaan selanjutnya, kenapa bahasa Bali “diramalkan” tidak lagi menjadi bahasa pergaulan? Kenyataan yang terjadi sudah seperti itu. Ada serangan dari dalam dan ada serangan dari luar. Dari dalam, orang Bali (juga tokoh panutan) sudah mulai rikuh berbahasa Bali karena dikesankan bahasa Bali itu angker dan harus ada sor-singgih (tingkat-tingkat bahasa). Saya pernah ngobrol lama dengan seorang bupati yang mengaku prihatin terhadap kemerosotan bahasa Bali. Namun, ketika ia memanggil stafnya dan memberi banyak perintah, ia memakai bahasa Indonesia. Saya tanya, kenapa? “Kalau saya pakai bahasa Bali, dan tidak halus bahasanya, takut dia tersinggung, dia kan Ida Bagus,” jawab bupati itu terus-terang. Ini mengherankan, tetapi inilah faktanya. Masih ada kerikuhan berbahasa Bali hanya karena masalah klan atau wangsa (saya tak suka bicara kasta). Bahasa Jawa pun ada sor-singgih, namun sebagai bahasa pergaulan dipakai bahasa yang egaliter. Banyak pemimpin di Bali yang omdo (omong doang) bagaimana melestarikan bahasa Bali, tetapi tak ada action (langkah nyata) apapun. Mereka bicara ajeg Bali, yang berarti juga mengajegkan bahasa Bali. Namun uang APBD dihabiskan untuk studi banding soal batu bara, yang tak relevan dengan gumi Bali. Kenapa tidak mensubsidi penerbitan majalah atau koran berbahasa Bali? Dalam hal ini yang konsisten mengajegkan bahasa Bali hanya Radio Genta Swara Sakti Bali, siang malam menggunakan bahasa Bali kecuali saat relay radio lain, dan penyiarnya berani menggunakan bahasa Bali egaliter. Bandingkan dengan Bali TV (yang satu grup), kalau ada acara berbahasa Bali yang dipakai bahasa yang penuh tatanan sor singgih. Bagaimana generasi muda mau interaktif, mendengarkan saja belepotan telinga ini. Banyak sekali serangan dari dalam kalau saya harus memberikan contoh lain. Akan halnya serangan dari luar, anehnya
C
51
C
membuat bahasa Bali mau mengalah. Sebutan mbok (kakak perempuan) dalam bahasa Bali sudah dikalahkan oleh sebutan mbak dari bahasa Jawa. Alasan orang Bali mengalah, supaya tidak rancu karena mbok dalam bahasa Jawa artinya ibu. Contoh lain, sebutan kates (pepaya dalam bahasa Jawa) sudah mulai umum di Bali, sementara sebutan gedang (pepaya dalam bahasa Bali) mulai menghilang. Lagi-lagi alasannya supaya tidak bingung karena gedang di Jawa berarti pisang. Nah, ini kan lucu, kok di kawasan sendiri mau mengalah? Bagaimana memperpanjang hidup bahasa Bali? Tak ada cara lain kecuali pakai, pakai, dan pakai. Itu artinya rangsang adanya media berbahasa Bali dalam arti seluas-luasnya, jangan cuma mengimbau saja. Rangsangan itu selain berbentuk penerbitan, juga dalam hal kesenian. Yang paling berjasa belakangan ini menghidupkan bahasa Bali adalah lagu pop Bali. Lagu pop Bali -- tentu saja dengan lirik berbahasa Bali -- makin digemari saat ini, terutama pada masyarakat pedesaan. Kaset dan VCD-nya laris dan pentas pun sering karena munculnya bintang-bintang penyanyi lagu pop Bali. Cuma saja kendalanya, syair lagu pop Bali tak begitu jauh dari dunia percintaan. Tak apa-apa, yang penting bahasa Bali dipakai. 25 Februari 2006
C
52
C
Lontar
J
adwal pesantian malam itu hampir dimulai. Tapi komputer saya masih hidup, dan masih memutar CD sloka-sloka Weda. Sloka itu, tadinya di-download dari sebuah web site, dan kemudian dibuatkan CD-nya oleh seorang teman. Anggota pesantian mulai berkerumun di depan komputer saya. Ada yang bertanya, dari mana komputer itu dapat kidung dan menampilkan huruf-huruf aneh? Mereka menyebutnya aneh karena kebetulan hurufnya masih huruf Dewanegari. Saya pun membuka CD dan saya perlihatkan kepada mereka. Salah seorang kemudian berkata: “Coba, kalau tulisan Bali, beh, pasti hebat…” Saya katakan, itu hanya tinggal pencet untuk mengganti menjadi huruf Bali. Untuk menunjukkan kepada anggota pesantian bahwa komputer sekarang sudah mengenal huruf Bali, saya perlihatkan contohnya. Mereka pada kagum. Kemudian saya demontrasikan bagaimana huruf-huruf latin dalam sekejap bisa diganti dengan huruf Bali. “Beh, dewa ratu, tulisane bagus gati…”. komentar mereka.
C
53
C
“Inilah lontar moderen,” kata saya sambil memperlihatkan CD itu, dan mengajak mereka ke ruang pesantian. Mereka pada tertawa. Saya serius ingin mengatakan bahwa suatu ketika, pesantian akan dilakukan di depan sebuah komputer dengan memutar CD. Atau, cara yang lebih moderen lagi — dan saya kira akan terjadi dalam waktu yang dekat — pesantian akan diadakan dengan menayangkan sloka-sloka atau geguritan dari laptop yang disambungkan ke infocus lalu disemprotkan ke layar lebar. Persis yang dilakukan di seminar-seminar atau tatkala kita mengadakan presentasi. Kemajuan teknologi tak bisa kita bendung, karena kita memang membutuhkannya. Sepuluh tahun yang lalu, ketika saya punya komputer “jangkrik”, sudah luar biasa gembiranya dan banyak membantu pekerjaan saya. Tak pernah saya bayangkan kala itu, kemajuan begitu pesatnya. Kini, seluruh komputer pribadi di dunia sudah menyatu dalam internet. Komputer semakin canggih dan semakin kecil. Dengan sebuah laptop (notebook) saya bisa berhubungan ke segala penjuru dunia, bisa “bekerja jarak jauh”, bahkan kalau mau, membeli saham di Bursa Saham New York. Dan itu dari sebuah kampung di Pujungan yang terpencil, yang sepuluh tahun lalu, listrik masuk desa menjadi barang ajaib. Tiga tahun lalu telepon masuk desa, menjadi lebih ajaib lagi. Kini, dari desa, saya membuka internet, luar biasa ajaibnya. Listrik, telepon, komputer pada akhirnya menjadi perangkat penting saya tinggal di desa, selain menanam bayam, memberi makan ikan, sembahyang, dan pesantian itu tadi. Tapi, kenapa kita seperti terlambat memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk menyelamatkan warisan budaya kita? Seolah-olah kemajuan teknologi itu menjadi dunia sendiri, dan warisan budaya kita, juga menjadi dunia sendiri. Misalnya, bagaimana kita menyelamatkan lontar-lontar kita yang ditum-
C
54
C
puk berjejal-jejal? Saya sedih dengan kondisi Gedung Kirtya di Singaraja, betapa tidak amannya warisan budaya itu tersimpan. Juga saya prihatin, misalnya, dengan perpustakaan yang semestinya punya dana lebih besar, seperti Perpustakaan Fakultas Sastra Univ. Udayana. Di Jakarta, berbagai perpustakaan sudah mulai menyelamatkan koleksi masa lalu yang rentan terhadap kerusakan, seperti koran, majalah, buku, termasuk bahan sejenis lontar. Bagaimana mengatur suhu ruangan, bagaimana agar tidak ada secuil debu pun bisa masuk. Bahkan kini memindahkan isi buku, majalah, koran dan sebagainya itu, ke dalam bentuk mikrofilm dan CD. Apa ada upaya untuk menyelamatkan lontar kita di Bali? *** BEBERAPA tahun lalu, Dr. Mantra — yang saat itu masih menjadi eksekutif di USI/IBM — sudah memulai langkah maju dengan men-scan lontar di Bali ke dalam perangkat komputer. Saya tak tahu sejauh mana usaha ini sekarang tetap dilakukan, dan sudah seberapa banyak lontar yang dipindahkan ke dalam perangkat komputer. Namun, yang kurang sekali saya dengar adalah perhatian pemerintah daerah untuk membantu usahausaha seperti ini. Sesungguhnya kita harus segera menggugah masyarakat Bali — dari yang awam sampai para elitenya — untuk bersamasama menyelamatkan warisan budaya kita di masa lalu dengan meman-faatkan teknologi yang ada sekarang. Orang awam, misalnya, kita beritahu bagaimana menyimpan lontar yang baik, termasuk bagaimana memperlakukan lontar itu sendiri. Banyak lontar yang dikeramatkan — pokoknya dibilang tenget — hanya karena itu warisan leluhurnya. Padahal belum dibaca, apa isinya, belum tentu isinya juga tenget. Saya punya
C
55
C
beberapa lontar warisan, dan ketika ayah tiada, ibu mengatakan ada lontar yang keramat, tak sembarang bisa diambil. Ketika ibu tiada, dan saya mengambil dan membacanya, ternyata isinya tembang Sinom yang menjelaskan, kalau linuh (gempa) hari Senin, pertanda ini, gempa hari Rabu pertanda itu. Memang, banyak lontar yang berisi pedoman upacara ritual, termasuk mantra-mantra, tapi juga banyak yang hanya berisi lagu mengenai kebajikan. Kita harus melihat lontar dari sudut sarana zaman. Di masa lalu orang menulis di daun rontal, kemudian menulis di kertas, lalu menulis di komputer, kemudian dimasukkan CD. Semuanya adalah sarana, dan isinya bisa saja guyonan, tidak semuanya sakral. Karena itu lontar harus dibaca, dipilah, dipilih, dan selamatkan dari rayap dan ketuaan. Gedong Kirtya yang menyimpan lontar-lontar itu, bukan saja harus dibantu sarana menyimpan koleksinya, tetapi juga mesti dibantu peralatan untuk mengganti “lontar dari daun rontal” menjadi “lontar moderen” yang bernama compact disc alias CD. 13 Mei 2000
Catatan: * Beh, dewa ratu, tulisane bagus gati…= Beh, dewa ratu, tulisannya bagus sekali. * tenget = keramat
C
56
C
Sesuluh Ramayana
J
ika di Kampus Unud berlangsung seminar Ramayana dan Mahabharata yang dihadiri peserta mancanegara, di kampung saya seminar Ramayana sudah berlangsung berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Yang lebih mengagumkan lagi, “seminar” itu tidak hanya berlangsung di satu tempat atau satu kelompok, tetapi di banyak tempat dan kelompok. Ada yang memakai jalur “kontek”, ini sebutan untuk pesawat komunikasi dua arah yang memakai kabel. Ada yang menggunakan jalur “dua meteran” atau “HT”, ini radio komunikasi antar penduduk. Yang menggunakan jalur ini pesertanya bisa datang dari jauh, lintas desa. Lalu, ada yang menggunakan jalur “tatap muka”, biasanya dilakukan malam-malam tertentu, entah itu Purnama dan Tilem atau pada hari-hari di mana orang merasa perlu bergadang, misalnya, ada kematian. Di rumah saya baru saja berlangsung “seminar Ramayana” selama tiga malam berturut-turut, karena ada upacara. Mengagumkan sekali stamina penduduk desa dalam mengupas Kekawin Ramayana. Semula saya mengira seseorang melantunkan tembang dan seorang yang lain memberikan artinya, sementara peserta yang menunggu giliran terkantuk-kantuk. Seperti biasa kita dengar di kaset-kaset atau di radio setiap sore C 57 C
hari. Ternyata tidak. Perdebatan terjadi pada setiap ada penafsiran baru atau dalam bahasa “orang kota” perlu direaktualisasikan. Gubahan yang sudah berusia ratusan tahun itu ternyata tetap relevan dengan penafsiran baru. Misalnya, tentang Dewi Sita yang bisa diculik lantaran tertarik kijang emas. Ini saja membutuhkan pembahasan satu jam lebih. Banyak yang menyalahkan Sita, kenapa perempuan pendamping Rama ini kok tergoda betul dengan materi. Kehancuran rumah tangga banyak disebabkan oleh nafsu istri yang berlebihan pada materi. Sekarang ini para istri sudah tergoda pada “kijang-kijang” yang lain, entah itu mobil kijang atau rumah gedong yang punya hiasan tanduk kijang. Seseorang nyeletuk: “Bahkan ulang tahun Presiden kita dengan menyembelih kijang-kijang penghias Istana Bogor.” Orang tertawa, karena yang dimaksudkan adalah rusa. Dalam episode ini, orang pun menyalahkan Rama. Sekarang, begitu “peserta seminar” berpendapat, Rama-Rama di zaman ini harus bisa meyakinkan istrinya, kijang itu hanyalah tipuan. Kalau meyakinkan istri saja tak bisa, bagaimana bisa meyakinkan umat, bagaimana bisa menjadi pemimpin? Jangan menuruti nafsu istri yang akhirnya akan mencelakakan kehidupan sendiri, apalagi sampai menyeret kehidupan rumah tangga. Korupsi yang merajalela sekarang ini lebih banyak faktor istri yang tak menguasai diri dalam menghadapi godaan kijang, eh, materi. Sayangnya, ketika membahas topik ini, hari sudah larut malam, peserta wanita sudah permisi tidur. Tak ada yang membela Sita. *** KEKAWIN Ramayana — juga kekawin seperti Mahabharata, Arjuna Wiwaha, Sucita, Tamtam dan banyak sekali
C
58
C
yang lainnya — bagi masyarakat Bali penggemar pesanthian adalah cermin untuk melangkah dalam kehidupan ini. Ceritacerita itu sepertinya sengaja dibuat untuk “sesuluh zaman” sehingga selalu mendapatkan penafsiran baru. Belum ada data tentang seberapa banyak orang Bali yang “terlibat aktif” dalam membahas sastra mahakarya ini lewat pesanthian. Namun, jika dipantau dari peredaran kaset kekawin dan siaran radio yang menyelenggarakan acara seperti ini, perkembangan itu menakjubkan. Apalagi kalau kita memantau masyarakat pedesaan yang akrab dengan “jalur kontek” dan “jalur HT”, kita menjadi sadar bahwa sedemikian luasnya masyarakat Bali yang terlibat membahas masalah kebajikan lewat pupuh sekar alit atau sekar agung ini. Pesanthian inilah yang saya maksudkan sebagai “seminar ala Bali” di pedesaan. Kegiatan ini pernah lesu, tetapi kini bangkit dan semarak lagi. Monotonnya acara televisi karena kurangnya dana — termasuk siaran drama gong atau arja dari TVRI Denpasar yang hanya mengambil gambar dari pementasan asli sehingga membosankan — membuat pesanthian ini kembali menjadi marak. Adanya lomba-lomba, baik melalui jalur pesta seni maupun utsawa dharma githa, merangsang masyarakat untuk belajar mekekawin. Belum lagi keterlibatan “orang-orang moderen” dengan membuat CD tentang Kekawin Ramayana sehingga pemilik komputer atau laptop yang dilengkapi sarana multi media, bisa belajar mekekawin melalui layar komputer. Bukankah tulisan Bali sudah lama muncul di layar komputer dan dipelajari oleh penggemar bahasa, sejajar dengan tulisan Jepang, Cina dan Korea, misalnya? *** KALAU begitu, apakah membahas masalah kebajikan me-
C
59
C
lalui sesuluh Ramayana, Mahabharata, Sucita dan lain-lainnya ini, mempengaruhi perilaku masyarakat Bali? Atau pertanyaan sok ilmiah, apakah terjadi korelasi antara kegemaran masyarakat Bali yang menekuni sastra yang banyak memberi petuah dalam hidup ini dengan kenyataan sehari-hari? Sejauh mana nilai-nilai luhur Ramayana atau Mahabharata merasuki perilaku orang Bali? Suatu malam, saya menyaksikan anggota pesanthian berdebat tentang kepemimpinan Yudhistira pada saat berjudi (main dadu) melawan pihak Korawa. Semua orang mengecam Yudistira, karena bukan saja mempertaruhkan harta benda, tetapi juga mempertaruhkan wanita. “Orang seperti dia tak mungkin diberi kepercayaan menerima wahyu Gita, jadi memang pantas Krisna mewahyukan Gita pada Arjuna,” kata seorang peserta. Diskusi malam itu menyepakati, judi selain bertentangan dengan agama, Mahabharata sudah mengajarkan bagaimana judi membuat sengsara. Esok hari, ternyata ada beberapa anggota pesanthian yang semalam menyebutkan “judi bikin sengsara” ada di arena tajen. Harap dimaklumi, tajen sekarang ini setiap hari ada di desa-desa, pakai “izin” dari Kapolsek setelah memberi sejumlah uang, bahkan tajen dipakai mencari dana untuk pembangunan pura. Apakah taruhan dengan mengadu ayam-ayam sampai mati itu bukan judi? Atau pemuka agama — dan polisi — perlu diajari Mahabharata, khusus bab “main dadu” itu, untuk sesuluh? Ini contoh kecil yang “menyimpang”, sementara sisi positifnya jauh lebih banyak. 16 September 2000
C
60
C
Melawan Bhuta Kala
O
rang kritis tak hanya berada di kota. Di desa pun banyak orang-orang yang kritis, walau tak pernah masuk koran, tak pernah berunjuk rasa, tak punya forum-forum, dan tidak mengerti kriteria apa yang menjadikan seseorang disebut tokoh atau tidak. Salah satu “tokoh kritis” di desa saya adalah Gurun Kopi. Dalam sebuah dharmatula kecil-kecilan, Gurun Kopi menggugat cara-cara memberikan sajen segehan berupa nasi-nasian (baik nasi kepel atau nasi wong-wongan) yang ditujukan kepada bhuta kala. Cara ini, katanya, adalah sikap yang sangat kompromi kepada bhuta kala, bahkan bisa disebutkan sikap takut, dan tak berani melawan. Gurun Kopi pandai juga berhitung. Kalau setiap kepala keluarga Hindu di Bali menghaturkan segehan ini setiap hari, akan ada ratusan bakul nasi yang terbuang percuma hanya untuk menyatakan ketakutan kepada bhuta kala. Kalau itu disumbangkan kepada orang miskin, jauh lebih berpahala. “Padahal, kalau kita percaya pada Tuhan yang dengan kema-
C
61
C
hakuasaan-Nya bisa menentramkan dan mendamaikan dunia ini, kita tinggal berdoa pada Tuhan, biarlah Tuhan yang mengusir bhuta kala,” katanya menggebu-gebu. Untuk diketahui, ada dua jenis upacara ritual yang menyuguhkan nasi ini. Yang pertama disebut dalam bahasa setempat mesaidan, atau di daerah tertentu dinamakan mejotan. Dalam bahasa resmi agama disebut Yadnya Sesa. Ritual kecil-kecilan ini dilakukan setelah selesai memasak di dapur. Filosofinya adalah umat Hindu wajib menghaturkan segala apa yang bisa dimakan kepada Hyang Widhi, sebelum dirinya sendiri yang memakan makanan itu. Rujukan ini ada dalam berbagai kitab suci, antara lain, Bhagawadgita. Persembahkanlah makanan itu terlebih dahulu kepadaNya, dan setelah diberkati barulah kita memakannya. Dengan demikian, Yadnya Sesa sebenarnya bukan untuk bhuta kala. Yang kedua adalah menghaturkan segehan, ini hanya pada hari raya tertentu, tidak setiap hari. Bentuk segehan ini berwarna, ada yang disebut nasi tumpeng putih kuning, ada yang panca warna: merah, kuning, hitam, putih dan campuran keempat warna ini. Kalau persembahyangan besar di pura, ada lagi yang disebut nasi wong-wongan yang bergambarkan binatang. Masalahnya adalah tidak semua umat Hindu tahu perbedaan ritual ini, meskipun melakoninya setiap saat. Sehingga kalau mereka menghaturkan nasi, disebut saja segehan dan kemudian seolah-olah semuanya itu untuk bhuta kala. Kalau urusan ini saja digugat oleh Gurun Kopi, apalagi urusan membuat ogoh-ogoh bhuta kala saat ngerupuk tiba. Menurut dia, itulah tindakan yang paling sia-sia yang dilakukan oleh Sekeha Teruna Teruni di seluruh Bali. Kalau ada seribu ogoh-ogoh dengan pukul rata biayanya Rp 500.000 per buah, akan ada setengah milyar rupiah uang yang dibakar percuma untuk memenuhi hasrat berhura-hura itu. Kalau dana itu untuk
C
62
C
menerjemahkan buku Weda sesuai anjuran Presiden Gus Dur, sudah berapa buku dirampungkan. Saya betul-betul mengagumi kekritisan Gurun Kopi ketika ia ngelantur berbicara menyimpang dari pokok persoalan bhuta kala. Yaitu, saat ia menyinggung biaya pemeliharan Pura di Bali. Menurut dia, pemeliharaan itu lebih banyak dilakukan oleh pengempon pura dan umat Hindu sendiri, padahal banyak Pura yang dijadikan obyek wisata. Daya tarik Bali pun karena adanya Pura, tersirat dari julukan Pulau Seribu Pura. Dia menggugat, apakah ada pajak dari sektor pariwisata ini yang disisihkan untuk pemeliharan Pura? Dia sangat ragu, dan karena itu ia menyebutkan, mereka yang memanfaatkan Pura di Bali untuk kepentingan pariwisata, dan bukan untuk kepentingan persembahyangan, adalah sekelompok bhuta kala. Mereka ini harus dilawan, jangan diberikan “segehan” lagi. *** KARENA saya sudah terbiasa berhadapan dengan tokoh kritis, saya tak tersinggung. Tapi, istri saya tak bisa menerima. Istri saya setiap hari membuat sajen segehan ini dalam bentuk nasi kepel berwarna-warni. Apakah itu di Jakarta, di Denpasar, apalagi di kampung. Paling tidak ada enam tempat menaruh segehan ini: di bawah pelangkiran, di penunggun karang, di kemulan, di ratu gede, di halaman, dan di pemesuan (pintu gerbang halaman rumah). Di kampung lebih banyak lagi karena sanggah/tugu lebih banyak. “Kalau kita sering lupa menghaturkan segehan, bhuta kala akan ngerubeda,” katanya. Ngerubeda itu, entah bagaimana menulisnya dalam huruf latin, artinya merusak atau membuat onar. Suatu malam, saya tak bisa tidur karena kucing bertengkar di halaman rumah. Istri saya sadar, hari itu tak membuat sajen.
C
63
C
Ia membisikkan, para bhuta kala memperalat kucing ini untuk mengganggu ketentraman seisi rumah. Saya membenarkannya. Kalau saja istri saya membuat segehan itu untuk dihaturkan pada bhuta kala, maka kucing-kucing itu pastilah mendapat surudan (prasadam) dan ia tak perlu lagi bertengkar karena kenyang. Tapi, ini tidak saya katakan, takut salah paham. Saya kira, banyak orang seperti saya, melakoni kehidupan religi dengan multi dimensi. Di satu sisi sangat setia melaksanakan tradisi (berhadapan dengan canang sari, daksina, ketupat gong, sesayut, wargasari, bunyi genta dan sebagainya), di sisi lain menjalani kerutinan moderen (mendiskusikan sloka Weda, yoga, meditasi, menikmati bajan lewat internet dan sebagainya). Dengan berbagai jalan menuju ketentraman jiwa ini, bagaimana cara pandang kita kemudian menyikapi dan memvisualisasikan (walau dalam angan-angan) keberadaan bhuta kala itu? Apakah ia mahkluk yang selalu membuat rusak dan onar (ngerubeda) sehingga perlu kita beri suguhan agar tidak marah? Di Jawa, bhuta itu bhuto atau raksasa, di Bali penggambaran seperti ini juga banyak dilakukan. Ataukah bhuta kala merupakan refleksi dari nafsu busuk kita sehingga perlu kita merenungkan sesaat dan melakukan intropeksi, bagaimana membuang nafsu busuk itu? Kalau saya kemudian menuliskan bhuta tanpa huruf “h”, maka buta kala itu bisa diartikan sebagai waktu gelap, saat kita tak bisa melihat. Di saat-saat serba krisis seperti sekarang ini, terutama krisis moral, kegelapan adalah musuh utama menuju ketentraman jiwa. Maka, segala kegelapan (buta kala) kita coba usir di hari Pengerupukan (Tilem atau bulan mati Sasih Kesanga) lalu kita merenungkan diri seharian di hari Raya Nyepi, sok harinya. 1 April 2000
C
64
C
Ogoh-Ogoh Narkoba
D
ulu, ada dua hal yang segera saya ingat jika medengar kata ogoh-ogoh. Yang pertama, dimintai sumbangan. Yang kedua, melihat orang mabuk. Sudah keluar duit, yang dilihat pemuda mabuk dengan minum arak campur sprite. Kalau saya menyatakan kejengkelan, ada saja yang menjawab: “Ini kan mecaru, Pak. Bethara saja dikasih arak, masak kita tidak…” Tahun-tahun belakangan ini, mabuk saat mengusung ogohogoh itu berkurang, malahan boleh disebut tak ada lagi. Mungkin karena ogoh-ogoh itu mulai diperlombakan antar banjar, dan ketertiban menjadi bagian penting dari penilaian. Ini saya bicara di banjar dan di desa saya, tidak tahu kalau di tempat lain. Saya ingat, dua tahun lalu, Sekehe Teruna Teruni (STT) di banjar saya, berjanji tidak akan menodai pawai ogoh-ogoh. Mereka bahkan menyebutkan akan membuat ogoh-ogoh yang “berpedoman pada ajaran agama.” Saya senang mendengarnya. Begitu ogoh-ogoh itu hampir jadi, saya kaget sekali. Anakanak muda ini memvisualisasikan wujud Krishna atau Rama dengan acuan wayang kulit versi Bali. Saya tanya, mau berbicara soal apa lewat ogoh-ogoh ini? “Ini ogoh-ogoh awatara, Pak. Supaya kita mulai mengerti keberadaan awatara,” kata
C
65
C
pimpinan STT itu. Saya gembira, karena pengetahuan mereka tentang Hindu mulai bertambah. Tapi, langsung saya katakan, “itu salah besar”. Ogoh-ogoh bukan menampilkan ke-dharma-an, tetapi ke-adharma-an, ke-bhuta-an. Ogoh-ogoh lambang kejahatan. Tak bisa awatara yang menyebarkan ke-dharma-an itu dijadikan ogoh-ogoh. Supaya mereka tak kecewa, saya berikan jalan tengah. “Mulutnya diganti saja, seperti mulut raksasa. Nanti diberi saput poleng, tangannya dibikinkan kuku panjang,” saya memberi usul yang ternyata kemudian diikuti dengan baik. Yang penting, aspirasi mereka tidak dibunuh. Ketika ada yang bertanya, ini disebut bhuta apa, yang lain langsung menjawab: “bhuta apa den dadi”. *** SEJAK itu, saya sebenarnya merasa kasihan kepada anggota STT yang penuh kreatif dan selalu ingin memperlihatkan jati dirinya ini. Tentang ogoh-ogoh dan fungsi ogoh-ogoh itu dalam ritual tawur kesanga, semestinya mendapatkan penafsiran yang baru. Saya melarang anak-anak muda Hindu itu membuat “ogoh-ogoh awatara”, karena saat itu lagi gencar-gencarnya polemik tentang: ogoh-ogoh apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Saya hanya mengacu kepada para tokoh-tokoh Hindu di Parisada Hindu Dharma Indonesia, supaya ogoh-ogoh itu melambangkan kekerasan, keangkara-murkaan, kebuthaan. Tokoh-tokoh dharma tak bisa jadi ogoh-ogoh. Apalagi, ketika pedoman ini belum diberikan oleh Parisada, ogoh-ogoh itu sudah kemasukan unsur sponsor. Ada ogoh-ogoh yang menggambarkan Hanoman, Si Raja Kera itu naik di sebuah sepeda motor yang mereknya sangat mencolok. Ada lagi ogohogoh yang menggambarkan manusia biasa, tetapi memegang
C
66
C
produk dagang tertentu. Lengkap dengan pesan sponsornya. Karena itu tokoh-tokoh umat Hindu yang duduk di Majelis Parisada Hindu memberikan pedoman, yang bisa dijadikan ogoh-ogoh hanyalah simbol kejahatan, karena ritual ini justru untuk “membakar yang jahat-jahat” Tetapi, melihat perkembangan yang terjadi, sekarang ada alternatif pikiran: apakah semua ogoh-ogoh yang diarak saat ngerupuk itu adalah ogoh-ogoh sakral yang menyertai upacara tawur kesanga? Saya melihat, banyak ada ogoh-ogoh yang tidak dikaitkan dengan tawur atau pecaruan. Lebih banyak yang hanya diusung ke jalanan, sehingga lebih enak disebut festival, pawai, atau arak-arakan. Kalau begitu, kenapa tidak boleh ada ogoh-ogoh profan (tidak sakral) untuk menyalurkan keratifitas anak-anak muda ini, sebagai kebudayaan khas Bali? Kalau itu boleh, apakah itu bisa disatukan dengan rangkaian Nyepi atau dicarikan hari lain? Ini butuh pemikiran. Kreatifitas tak bisa dibungkam. Tahun lalu, STT di banjar saya, membuat ogoh-ogoh yang boleh dikatakan unik, tak ada dicari dalam literatur mengenai bhuta-bhutaan atau simbol roh jahat. Wujudnya sapi dengan tanduk kekar, matanya sipit, tapi di mulutnya ada taring. Saya tak lagi intervensi-intervensian. Seorang remaja meminta saya untuk menebak, ogoh-ogoh apa namanya ini. Saya langsung jawab: “Ogoh-ogoh PDI Perjuangan”. Mereka langsung membenarkan sambil bersorak: Hidup PDI Perjuangan, Hidup Mega …. Untuk pengerupukan 3 April nanti, saya sudah dimintai sumbangan. Saya tak lagi bertanya, ogoh-ogoh apa yang akan mereka buat. Merekalah yang langsung bilang: “Pak, kita buat ogoh-ogoh narkoba… Sudah bahaya desa kita, ada desa lain yang sudah kemasukan, Pak.” Saya langsung setuju. Semula saya pikir akan membuat ogoh-ogoh PDI Perjuangan lagi, ternyata pamor PDI Perjuangan cepat sirna setelah Pemilu
C
67
C
usai. Tawur agung kesanga nanti, saya diundang untuk ikut ke Prambanan, menyertai umat Hindu dialog bersama Presiden Abdurrahman Wahid. Tapi, saya memilih pulang ke kampung. Saya ingin menyaksikan, bagaimana bentuk ogoh-ogoh narkoba yang dibuat oleh STT banjar saya. Seandainya visualisasinya bukan keburukan rupa, saya tak akan kaget, karena pengedar dan pemakai narkoba banyak dari kalangan anak-anak pejabat dan anak-anak orang berduit, yang jelas mulutnya tidak bertaring panjang. Saat ini, haruskah ogoh-ogoh menggambarkan keangkeran dan keraksasaan, untuk memberi simbul bhuta? Bukankah banyak sekali orang-orang yang dari wajahnya sangat halus, tutur katanya manis, tindak-tanduknya sopan, tetapi memeras rakyat, menilep uang di bank, mengkapling-kapling tanah negara? Mereka adalah bhuta-bhuta moderen yang layak di-ogoh-ogoh-kan, dan di-pralina sifat-sifat buruknya. Pawai ogoh-ogoh sekarang sudah multi dimensi. Yang perlu disikapi dengan arif, bagaimana memberi tempat yang wajar untuk pesta anak-anak muda ini, para pewaris Hindu yang mulai kritis. 25 Maret 2000 Catatan: * dharmatula = diskusi keagamaan * ogoh-ogoh = sejenis ondel-ondel menyambut Nyepi * ngerupuk/tawur ke sanga = ritual sehari sebelum Nyepi. * surudan (Bali) = prasadam (Sansekerta) = makanan selesai dipakai ritual upacara. * pralina = dilebur = dimusnahkan = mati * bhuta apa den dadi = (sebut) bhuta apa saja, terserah.
C
68
C
Misteri Ogoh-Ogoh
S
ebuah ogoh-ogoh yang belum selesai berada di balai banjar. Bentuknya kurus, posisinya membungkuk, mukanya tidak menggambarkan seorang raksasa atau makhluk yang menakutkan. Yang unik, di depan ogoh-ogoh ini, ada lagi ogoh-ogoh kecil (atau sebut saja patung) seorang lelaki yang memegang mike lengkap dengan kabelnya. Saya tertarik untuk menanyakan, apa yang digambarkan lewat ogoh-ogoh ini. “Ah, biasa-biasa saja, Pak. Kita lagi senang Sheila On 7, jadi ogohogohnya begini,” kata seorang anak muda yang ada di situ. Ada banyak ogoh-ogoh yang “menyimpang”, jika kita memakai ukuran yang sering dikatakan para tokoh agama, yakni menggambarkan bhuta kala. Cobalah berjalan-jalan ke berbagai banjar, akan banyak ditemukan ogoh-ogoh yang sama sekali tidak menggambarkan keraksasaan. Bagaimana kita menyikapi fenomena ini? Ada beberapa hal yang perlu kita renungkan. Pertama adalah apakah semua ogoh-ogoh itu ritual keagamaan ataukah hanya sebuah kesenian yang lahir dari budaya agama? Banyak orang berkata, ogoh-ogoh itu adalah ritual karena keberadaannya mengiringi (atau mengakhiri) sebuah pecaruan besar yang
C
69
C
disebut Tawur Kesanga, sehari menjelang Hari Raya Nyepi. Ogoh-ogoh adalah lambang bhuta kala dan nafsu-nafsu buruk yang harus kita musnahkan (pralina) dan pada akhir upacara memang ogoh-ogoh ini dibakar. Tapi, apakah semua ogoh-ogoh yang dibuat muda-mudi sekarang ini berfungsi sebagai pelengkap upacara ritual? Saya bisa mengatakan lebih dari separohnya tidak mengiringi upacara pecaruan. Ogoh-ogoh itu lepas begitu saja, keluar dari banjar, di-pelaspas sejenak (pemelaspasan bukanlah berarti mengiringi Tawur Kesanga), lalu diusung mengelilingi desa. Kalau kenyataannya ada ogoh-ogoh yang tidak ritual, tetapi sematamata suatu bentuk kesenian massal yang profan, kenapa harus ogoh-ogoh ini memegang pakem tentang bhuta kala? Apalagi, pada akhir pawai ogoh-ogoh ini tidak dirusak, malah dipajang di depan balai banjar untuk hiasan, bahkan di beberapa tempat ogoh-ogoh bekas itu laku dijual. Masalah kedua, jika memang ditetapkan ogoh-ogoh itu melambangkan bhuta kala, melambangkan keraksasaan, siapakah yang berhak menentukan lambang bhuta kala dan raksasa itu? Siapa pernah melihat bhuta kala dan siapa yang pernah melihat raksasa? Imajinasi kita tentang mahkluk-mahkluk itu hanyalah gambaran seniman lukis di masa lalu: seram, bertaring, menakutkan dan sebagainya. Sifat-sifat seperti angkara, suka marah, main hakim sendiri selalu digambarkan dengan wajah yang buruk. Sifat loba, dengki, seenaknya sendiri, digambarkan dengan mulut bertaring. Padahal zaman sudah berubah, orang yang dengki, loba, suka memeras rakyat, korupsi, main hakim sendiri, banyak dilakukan oleh orang-orang yang tampan, berpakaian necis, naik mobil mewah, dan orang kantoran. Kalau begitu apa salahnya Sekehe Teruna Teruni melukiskan ogohogoh yang bukan “menyeramkan”?
C
70
C
*** TAPI, perbincangan ini terlalu serius. Sama seriusnya dengan orang-orang yang suka mengadakan kalkulasi untung rugi adanya pesta ogoh-ogoh. Jika di Bali ada seribu ogohogoh dengan pukul rata biayanya Rp 500.000 per buah, akan ada setengah milyar rupiah uang yang dibakar percuma untuk memenuhi hasrat berhura-hura itu. Setengah milyar itu, kata sekelompok orang, bisa digunakan untuk tujuan yang lebih mulia yaitu membuat Panti Asuhan Hindu atau menerjemahkan kitab suci Weda. Ya, ini kalkulasi kelewat serius, bahkan sangat “di atas kertas”. Bukankah pemerintah sudah memberikan anggaran lebih dari setengah milyar rupiah untuk menerjemahkan dan menerbitkan kitab suci Weda sejak setahun lalu, mana hasilnya? Jangan-jangan ada bhuta kala dengan wajah tampan menilep uang itu. Banyak orang menuduh ritual umat Hindu di Bali terlalu memboroskan dengan pola banten dan sesajennya. Bahkan dikalkulasi pula sejumput nasi yang dipakai mesaidan (jotan) dan segehan oleh setiap rumah tangga. Kalau itu dikumpulkan akan ditemukan berbakul-bakul nasi yang bisa disumbangkan pada fakir miskin. Atau kalau kebiasaan itu dihentikan akan ada penghematan menanak nasi. Kenyataannya, apakah penduduk Bali pernah krisis karena ritual ini? Jadi, seperti halnya contoh-contoh tadi, menyikapi ogohogoh janganlah terlalu serius, hanya dari sisi uang yang dihabiskan. Saya mengamati, dari sedikit kegiatan yang bisa mempersatukan muda-mudi di banjar, salah satunya adalah membuat ogoh-ogoh. Mereka larut dan bersatu sejak mengumpulkan sumbangan, membuat kerangka ogoh-ogoh, memberi sentuhan akhir, mempersiapkan baleganjur, lalu mengusungnya ke jalanan. Kelompok muda-mudi ini bagaikan “kerauhan”
C
71
C
menyiapkan ogoh-ogoh. Ada tokoh spiritual yang melukiskan begini: “Muda-mudi banjar kalau membuat ogoh-ogoh mereka seperti melakukan meditasi berkepanjangan”. Barangkali yang dimaksudkan “meditasi” ini adalah mereka lupa pada kesibukan lain. Itu ada benarnya. Teori-teori di atas kertas menyarankan muda-mudi banjar sebaiknya berhemat untuk ogoh-ogoh dan menyalurkan dana itu untuk kepentingan lain, misalnya, olahraga. Teori yang bagus. Anak saya sering absen kalau harus pulang ke kampung bermain sepakbola mewakili muda-mudi, ada saja alasannya. Tetapi begitu membuat ogoh-ogoh, yang namanya kuliah dan tugas-tugas kampus, ditinggalkan. Dia pulang ke kampung, larut dengan ogoh-ogoh, dari merancang bentuk sampai menyablon kaos seragam untuk mengarak ogoh-ogoh. Dari mana “sihir” itu datangnya? Misteri apa yang ada di balik ogoh-ogoh ini sehingga teruna-teruni larut dalam “semedinya”? Biarkan pesta ogoh-ogoh tetap ada, pestanya muda-mudi Bali yang sejenak melupakan status sosialnya (karena ada mahasiswa, tukang ukir, pedagang, petani dan sebagainya). Tugas kita sebagai orangtua adalah mengarahkan agar ekses negatifnya mereda, misalnya, tidak lagi mabuk-mabukan. Lalu, kalau mungkin unsur keseniannya lebih ditonjolkan dan dikembangkan terus. 24 Maret 2001
Catatan: * pelaspas = upacara untuk menghidupkan (memberi roh). * baleganjur = gamelan untuk mengiringi pesta ogoh-ogoh.
C
72
C
Karnaval Ogoh-ogoh
U
ngkapkan perasaan hati dengan bunga. Kata indah ini lahir di negara-negara Barat. Karena itu toko bunga jadi hidup, perkebunan bunga menjadi industri yang baik, dan orang-orang yang sedang jatuh cinta, setiap hari membeli bunga untuk menyatakan perasaan hatinya. Di Bali muncul cara mengungkapkan perasaan dengan ogoh-ogoh. Karena ogoh-ogoh ini besar dan dikerjakan lama, perasaan yang diungkapkan bukan lagi perasaan perorangan, tetapi perasaan kelompok. Bisa atas nama banjar atau atas nama Sekehe Teruna Teruni. Menjelang Hari Raya Nyepi yang lalu, pada saat tawur kesanga, saya sempat berkeliling hanya untuk melihat fenomena ogoh-ogoh ini. Ada ogoh-ogoh yang menggambarkan perempuan berbadan sintal lagi merangkak dengan rok mini. Saya sempat bertanya, perasaan hati apa yang ingin dikatakan dengan ogoh-ogoh jenis itu. Para pembuatnya mengatakan, dunia ini sudah dikuasai oleh wanita-wanita binal yang merusak moral
C
73
C
masyarakat khususnya anak-anak muda. Saya melihat lebih dari satu ogoh-ogoh yang melambangkan pemuda bertubuh kurus sedang memegang botol minuman. Mudah ditebak, apa yang mau disampaikan oleh ogoh-ogoh itu. Yakni, mengajak masyarakat untuk waspada terhadap dampak minuman keras yang menyebabkan mabuk. Celakanya, pesan itu tidak sampai, bahkan yang mengusung ogoh-ogoh itu sendiri ternyata mabuk karena minum arak. Di desa saya, saat tawur kesanga itu, ada tujuh ogoh-ogoh dari lima banjar yang pawai ke jalanan, semuanya berbeda cara mengungkapkan perasaan kelompok. Untungnya adat dan para pecalang mengawasi dengan ketat jalannya pawai sehingga tidak ada keonaran dan tidak ada yang mabuk. Salahkah jika masyarakat Bali mengarak ogoh-ogoh dengan berbagai simbol untuk mengungkapkan perasaan atau fenomena yang ada dalam masyarakat? Ada yang salah dan ada yang tidak. Tidak salah karena uneg-uneg masyarakat bisa dicetuskan bersama dalam suasana pesta. Itu yang menjelaskan kenapa membuat ogoh-ogoh dengan biaya mahal mudah mendapatkan dana. Para pemuda di kampung saya, rela iuran uang Rp 30 ribu per orang untuk membuat ogoh-ogoh. Di sebuah banjar di Kuta, ada ogoh-ogoh yang menghabiskan dana Rp 20 juta, padahal sebagaimana yang terjadi, setelah diarak ke jalanan ogoh-ogoh itu dibakar atau dirusak. Kalau uang Rp 20 juta dibelikan kitab suci Bhagawadgita, misalnya, dapat 40 buah, sehingga jika tidak membuat ogoh-ogoh maka seluruh kepala keluarga di banjar itu punya kitab suci agama Hindu. Ini tentu saja perbandingan yang sulit diterima kebanyakan orang, karena dalam kenyataan jika ogoh-ogoh tidak dibuat, tak ada yang mau urunan untuk membeli kitab Bhagawadgita. Saya tidak begitu risau dengan masalah ini karena saya tahu
C
74
C
masyarakat Bali tidak pernah punya kehendak yang kuat untuk memahami ajaran Hindu dengan benar. Mereka hanya butuh ritual saja. Persoalannya, apakah ritual tawur kesanga itu sudah benar dengan mengarak ogoh-ogoh? Ini yang jelas-jelas saya nyatakan salah, meskipun saya tahu di beberapa desa adat sudah banyak pula yang benar. Kesalahan pertama adalah ogoh-ogoh tidak dilibatkan dalam pecaruan (untuk Tilem Kesanga disebut tawur, karena tingkatan caru-nya besar). Semestinya, begitu tertulis dalam sastra, ogoh-ogoh yang melambangkan bhutakala ini bagian inti dari ritual karena fungsinya untuk natab caru. Yang saya lihat di Bali, ogoh-ogohnya di arak di tempat lain, pelaksanaan tawur di tempat lain lagi. Jika pun berdekatan, ogoh-ogoh tidak diusung ke tempat banten tawur digelar. Kesalahan kedua, tidak semua ungkapan perasaan hati bisa divisualkan lewat ogoh-ogoh ritual. Ogoh-ogoh Nyepi hanya melambangkan bhutakala. Bukan Hanoman naik sepeda motor, atau perempuan binal membawa kipas, atau pemuda jangkung memetik gitar. Nampaknya, Pemkot Denpasar, menyikapi kesalahan besar dalam ritual ogoh-ogoh ini dengan menyelenggarakan pesta ogoh-ogoh non-ritual atau dengan pemilahan khas Bali bisa dikatakan ogoh-ogoh profan. Pesta ini diselenggarakan untuk menyambut HUT Kota Denpasar dan sudah berlangsung meriah di bulan Februari yang lalu. Tadinya saya menduga, dengan adanya pesta ogoh-ogoh profan sebelum perayaan Nyepi, akan membuat tawur kesanga diisi oleh ogoh-ogoh sakral saja. Ternyata, masih tetap ada yang salah kaprah. Mungkin perlu waktu untuk “mengajarkan” umat Hindu di Bali, yang mana sakral yang mana profan. Saya setuju ide Walikota Denpasar untuk membuat karnaval ogoh-ogoh pada HUT Kota Denpasar. Banyak kota di dunia
C
75
C
yang terkenal karena karnavalnya yang unik. Brasil, Lima, Meksiko, Paris, Napoli, Lisabon adalah contoh kota yang selalu kebanjiran wisatawan saat karnaval berlangsung. Kalau karnaval ogoh-ogoh profan ini dikelola dengan baik, ia bisa jadi obyek wisata baru di Bali, dan pada akhirnya masyarakat yang membuat ogoh-ogoh mendapatkan subsidi. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, beban masyarakat bertambah. Apalagi kalau ogoh-ogoh ritual tetap tak bisa dikontrol, maka penduduk Denpasar akan dua kali membuat ogoh-ogoh dalam setahun. Bayangkan, berapa juta uang yang habis untuk hura-hura seperti ini, padahal umat Hindu, menurut sensus BPS, adalah umat yang paling terbelakang dalam SDM. Bukankah lebih baik untuk membangun sekolah, pasraman, atau membeli buku agama? 26 Maret 2005
C
76
C
Kehilangan Ogoh-Ogoh
H
ari ini, 20 Maret 2004, umat Hindu di Indonesia melaksanakan Tawur Kesanga. Ini ritual untuk bhuta yadnya, kalau tingkatan rendah disebut caru, kalau tingkatan paling tinggi disebut tawur. Namun bagi masyarakat yang tak begitu peduli istilah, hari ini disebut pengerupukan. Untuk gampang dihayati, inilah saatnya para bhuta diubah wujudnya menjadi dewa agar tidak mengganggu bumi sebelum umat Hindu melaksanakan brata penyepian. Mengubah wujud bhuta menjadi dewa ini dalam istilah agamanya: somya. Agaknya istilah itu tak berarti bagi kaum remaja Hindu. Yang jelas, kawula muda di Bali merasakan hari ini ada sesuatu yang hilang, yakni pengerupukan tanpa ogoh-ogoh. Kalau ogohogoh tidak ada, berarti tidak ada keramaian, tidak ada hura-hura. Ada yang menyebutkan, Nyepi tanpa ogoh-ogoh sama dengan makan tanpa kerupuk, tak ada renyahnya meski kerupuk tidak membuat kenyang. Tetapi itu di Bali, yang sudah terlanjur salah kaprah meman-
C
77
C
faatkan fungsi ogoh-ogoh. Di luar Bali, khususnya di Jakarta, anak-anak muda tetap membuat ogoh-ogoh. Remaja Hindu di Pura Amerta Jati Cinere, Jakarta Selatan, sejak dua minggu lalu sudah membuat ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh itu untuk upacara, untuk natab caru, bukan untuk diarak-arak dan dijadikan ajang pawai seperti di Bali. Memang, beberapa tahun belakangan ini, kalau tak salah sudah tiga kali, ogoh-ogoh Nyepi di Jakarta dimanfaatkan untuk promosi pariwisata. Lalu tawur kesanga di pindahkan ke Lapangan Monas dan tahun lalu di Lapangan Parkir Senayan. Ogoh-ogoh itu diarak selesai tawur kesanga, persis di Bali. Ini menimbulkan pro dan kontra dan akhirnya tawur dikembalikan ke Jaba Pura Aditya Jaya Rawamangun untuk tingkat Nasional dan Propinsi DKI Jakarta. Tetap ada ogoh-ogoh, tapi tak diarak, hanya untuk natab caru saja. Kenapa ogoh-ogoh tak diarak seperti di Bali? Karena yang di Bali itu yang salah kaprah. Ketika tawur kesanga sudah selesai, bhuta sudah somya menjadi dewa, kenapa simbol bhuta diusung-usung lagi? Ini kan sama saja dengan menghidupkan bhuta kembali, bagaimana bisa melaksanakan brata penyepian. Pantas saja selama ini bayak umat Hindu di Bali yang Nyepi sambil meceki dan main domino, karena bhuta masih gentayangan. Salah kaprah begini tak usah ditiru. Kini ketika remaja Hindu di Bali kehilangan ogoh-ogoh, remaja Hindu Jakarta tetap bisa menikmati ogoh-ogoh. Karena remaja Hindu di Jakarta mengusung ogoh-ogoh menuju upacara tawur. Usai upacara, ogoh-ogoh dirusak atau dipreteli. Yang aneh, pawai ogoh-ogoh di Bali ditiadakan dengan dalih menjelang Pemilu. Alasannya, kalau pawai ogoh-ogoh dibiarkan semasa kampanye, khawatir dijadikan alat oleh partai politik dan ini rawan menimbulkan gesekan. Artinya, pelarangan pawai ogoh-ogoh di Bali tak mempan dilakukan oleh para
C
78
C
pemuka agama, baik oleh para sulinggih maupun walakanya. Remaja Hindu di Bali tak mendapatkan pencerahan yang berarti bahwa yang dilakukannya bertahun-tahun ini adalah salah. Dharmawacana yang dilakukan pemuka agama tak diperhatikan oleh umat. Jadi, untung ada Pemilu yang bisa meniadakan pawai ogoh-ogoh. Persoalannya adalah bagaimana agar remaja Hindu di Bali, yakni Sekaa Teruna Teruni, punya kreatifitas lain di saat pengerupukan ini kalau tanpa ogoh-ogoh? Mungkin mereka perlu belajar dari remaja Hindu di luar Bali. Yakni, mengikuti upacara tawur dengan khikmad. Kemudian ketika Sulinggih muput tawur, mereka membunyikan musik keras dengan berbagai kreasi. Bisa gamelan baleganjur, bisa musik kentongan dari bambu (mirip tektekan di Tabanan) atau berbagai variasi lainnya. Di pedesaan di Bali, atraksi ini semestinya bisa lebih ramai dengan berkeliling di jalan desa dengan istilah mebuwubuwu. Ketika saya kanak-kanak, acara ini sangat saya sukai. Kita membawa lidi seolah-olah mengusir setan dari segala sudut jalan sampai ke dalam rumah. Ada rasa senang sekaligus takut, karena tiba-tiba ada yang berteriak: “setannya lari ke situ…” Awal tahun 1970-an, pelajar-pelajar di kota Denpasar menyambut pengerupukan dengan pawai obor keliling kota. Asyik juga. Semestinya sekarang pawai obor bisa dibuat lebih meriah dengan variasi gamelan sejenis baleganjur. Tapi jangan menyertai ogoh-ogoh sebagai simbol bhutakala. Api itu sudah simbol dari meleburnya bhutakala. Bumi kembali hening, suci, dan Nyepi bisa dilewati dengan segala pantangannya tanpa diganggu bhutakala. Atau masih mau membuat ogoh-ogoh? Boleh saja, tetapi adakan pawainya sebelum tawur kesanga. Kalau tawur bisa diundur pada pukul 17.00 Wita, misalnya, pawai ogoh-ogoh bisa dilakukan sejak pukul 14.00 Wita dan kemudian ogoh-ogoh
C
79
C
berkumpul ikut tawur di lapangan Puputan Badung. Secara agama simbol ini benar. Cuma masalahnya harus dikaji dari segi biaya. Apakah dengan biaya besar itu sebuah simbol masih diperlukan, tidakkah ada simbol beragama yang lebih moderen, misalnya, memberi santunan kepada umat Hindu yang masih miskin dan hidup sebagai pengemis. Tapi diskusi ini terlalu idealis. Kadang-kadang kemeriahan itu perlu, asalkan tetap dalam rel ajaran agama. Hanya saja kemeriahan pawai ogoh-ogoh di Bali, betapa pun salah kaprahnya, ternyata bisa ditiadakan dengan alasan politik: masa kampanye. 20 Maret 2004
Catatan: * pengerupukan = sehari sebelum Hari Raya Nyepi * meceki = main judi pakai kartu khusus.
C
80
C
Kesurupan
S
aat-saat yang ditunggu pada upacara piodalan di kampung saya adalah “nuwur dewata”. Namanya saja “nuwur dewata” artinya memohon kehadiran para dewata (Bethara) untuk menyaksikan persembahyangan. Tentu saja lewat seorang sutri atau juga disebut dasaran atau tapakan. Menariknya, para dewata yang turun lewat perantara itu akan dimintai “komentarnya” sehubungan dengan persembahyangan ini. Biasanya pertanyaan para pemangku yang pertama-tama adalah apakah persembahyangan ini bisa diterima dengan baik, atau terjadi beberapa penyimpangan sehingga ada yang harus diperbaiki di kesempatan mendatang. Setelah itu mohon doa restu lewat tirtha (air suci). Yang membuat acara ini menarik, selain semua yang kesurupan itu memulai atraksinya dengan “ngurek” (menusuk dadanya dengan keris), para dewata yang turun itu datang dengan “tingkah polah” yang bermacam-macam. Ada yang lucu, baik dengan gerak-gerakan, lewat tariannya, atau lelucon lewat suaranya. Ada yang keras beringas, mencari api untuk membakar dirinya, memukulkan tangannya di pohon, atau mengambil kelapa muda yang banyak disediakan dan dipukulkan ke kepalanya. Namun ada yang lembut dan selalu menguraikan pituturnya dengan bernyanyi. Ini biasanya yang perempuan. Ada C 81 C
juga yang gagu dan karena itu disebut Bethara Kolok. Saya akrab dengan tradisi ini, karena keluarga saya adalah para sutri. Dalam perjalanan tradisi ini saya mencatat beberapa hal tentang “dewata” yang turun lewat orang yang kesurupan itu. Saya menduga (dalam kasus begini saya tak pernah berani menyimpulkan secara mutlak) para dewata itu adalah leluhurleluhur orang Bali yang ilmu kerohaniannya tinggi dan mereka mewariskan tempat suci. Nama-nama para dewata seperti Bethara Batumadeg, Bethara Puncak Kedaton, Bethara Turus Gunung, Bethara Gunung Tengah dan banyak lagi, semuanya mempunyai “pelinggih” dan saya sudah mendatangi tempat suci tersebut. Ada yang sudah berupa Pura, ada yang masih “bebaturan” (tumpukan batu namun ada tempat pemujaannya). Tetapi, siapakah mereka-mereka itu di masa lalu? Pengetahuan saya minim soal ini. Lagi pula banyak yang misteri. Misalnya, Bethara Jero Nyoman. Yang membuat saya penasaran, bukan saja ada kata Nyoman yang menyiratkan ini tradisi yang “tak terlalu tua”, tetapi di tempat lain, bahkan di Jakarta, saya pernah menyaksikan orang kesurupan dengan menyebut “kelinggihan” Jro Nyoman. Apakah Jro Nyoman di kampung saya sama dengan Bethara Jro Nyoman di Jakarta? Sampai saat ini saya tak berhasil menemukan di mana “pelinggih” Jro Nyoman itu, barangkali juga karena tak berhasil menelusuri siapa nama lengkap Jro Nyoman itu. Lalu ada Bethara Dalem Solo, yang hampir setiap piodalan di kampung saya, hadir. Sutri Dalem Solo ini memakai bahasa Indonesia, padahal “sang tapakan” itu dalam kesehariannya adalah petani yang polos sekali, tak punya pendidikan yang membuat ia lancar berbahasa Indonesia. Saya tak bisa menemukan pelinggih Dalem Solo, karena terlalu banyak tempat suci warisan pemeluk Hindu di sekitar Solo.
C
82
C
*** DI kampung saya (Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan), ada dua Pura yang bukan termasuk Tri Kahyangan. Keduanya memakai nama Manik, yang satu Manikgeni, satunya lagi Manikterus. Di Pura Manikgeni bersemayam Bethara Dukuh Sakti. Ini sedikit-sedikit saya temukan sejarahnya, yakni bekas pesraman seorang yogi di masa lalu. Ashram Dharmasastra Manikgeni yang sedang saya rintis di sebelah Pura Manikgeni itu adalah “getaran religi” yang saya terima untuk meneruskan “warisan” Ki Dukuh Sakti. Bethara ini memang selalu “rawuh” jika piodalan di sana. Namun, Pura Manikterus masih sebuah misteri. Di sini, ada pelinggih yang dipuja warga etnis Cina, dan setiap piodalan akan “rawuh” Bethara Cina. Bahasa yang dipakai “sang tapakan” juga bahasa Cina – benar tidaknya dari segi bahasa dan pengucapan saya tak tahu, karena tak paham bahasa Cina. Siapakah beliau ini di masa lalu? Dan kenapa, warga Cina dari penjuru Tabanan, yang kebanyakan beragama Buddha dan Katolik, datang ke Pura yang dipuja masyarakat Hindu ini? Sama misterinya dengan fakta sampai saat ini, di Desa Pujungan tak boleh ada warga etnis Cina yang menetap. Bukan dilarang oleh adat, tetapi ada kepercayaan, warga Cina itu tak akan selamat karena memang tak diperkenankan oleh Bethara Cina di Pura Manikterus. Bekerja dan bersembahyang boleh, menetap tidak. Pernah ada kejadian begini. Ada mobil truck yang sedang mengisi muatan di sore hari. Karena muatannya banyak dan membutuhkan waktu, truck itu baru penuh di malam hari. Rupanya, supir dan kenek memilih tidur dulu di mobilnya, menunggu datang subuh. Eh, mobilnya itu ternyata berjalan sendiri sampai
C
83
C
keluar batas desa. Supir dan kenek demikian kagetnya, siapa yang menjalankan mobil ini. Dia sama sekali tidak tahu. Usut punya usut, ternyata supir truck itu seorang keturunan Cina. Bali adalah tetap sebuah misteri. Tulisan ini bukan untuk membicarakan etnis Cina, tetapi saya maksudkan untuk menjelaskan sisi lain dari kesurupan, bahwa ajaran “memuja leluhur” dalam konsep Hindu, menyebabkan tradisi kesurupan ini tak akan lekang di tengah kemajuan zaman, dan tetap bisa disikapi secara kritis. Hal lain yang ingin saya sampaikan adalah umat Hindu di Bali harus terus-menerus diberi pengertian yang jelas, apa itu Bethara, Dewa, dan Tuhan, sehingga tidak terjadi kerancuan. Persembahyangan di sebuah Pura – dan di mana saja — harus dijelaskan tahap-tahapnya, kapan memuja leluhur yang sudah menjadi Bethara itu, kapan memuja Istadewata (Dewa-Dewa) yang merupakan sinar sakti Hyang Widhi, dan kapan memuja Hyang Widhi (Tuhan). Sehingga jelas, tak ada orang yang kesurupan Dewa, apalagi kesurupan Tuhan. Ajaran Hindu menyebutkan, kalau Tuhan “turun” ke bumi ini, maka perwujudan-Nya disebut Awatara, bukan Pan Kelor atau Gurun Kompyang yang kesurupan di Pura Puseh itu. 8 April 2000 Catatan: * piodalan = upacara ritual di Pura yang jadwalnya tetap setiap tahun. * sutri = dasaran = tapakan = seseorang yang kesurupan (trance). * pemangku = yang memimpin ritual di Pura, tetapi bukan Pendeta. * kelinggihan = kemasukan roh suci. * pelinggih = Pura atau tempat suci.
C
84
C
Ngurek
N
gurek adalah tradisi yang sudah tua. Menusuk diri dengan keris atau tombak ini tadinya saya kira hanya tradisi masyarakat Bali tradisional tatkala melakukan ritual keagamaan. Ternyata di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, juga ada tradisi ngurek. Itu dilakukan oleh semacam “juru doa”, kalau di Bali barangkali sama dengan balian atau dukun. Para “juru doa” ini diundang oleh sebuah keluarga untuk memimpin hajatan. Ritual pun dilakukan, dan ketika para “juru doa” itu trance, mereka mengambil keris kecil yang terselip di pinggangnya. Mula-mula yang ditusuk telapak tangannya, lalu dada dan perut. Jadi sama saja dengan di Bali, orang yang ngurek itu pasti adalah orang yang trance atau di Bali sering disebut kerauhan. Orang yang tidak kerauhan tak akan mau atau tak akan bisa ikut ngurek. Apakah mereka tidak sadar sama sekali? Tidak, mereka sadar ketika meminta keris, sadar ketika berjalan, dan pada saat ngurek pun sadar. Cuma ada sesuatu yang di luar kontrol, yakni
C
85
C
kenapa melakukan hal itu, kekuatan apa yang mendorongnya. Ini yang tak bisa diterangkan sama sekali. Saya tahu hal-hal seperti ini karena keluarga saya adalah “juru ngurek” yang sampai kini masih “melaksanakan tugasnya” sebagai sutri atau dasaran jika ada piodalan. Apa makna ngurek itu? Ngurek dalam kaitan piodalan di desa saya adalah pertanda turunnya Bethara-Bethari menyaksikan upacara ritual. Acara ini memang ditunggu-tunggu saat piodalan, karena umat ingin tahu apa yang terjadi dengan piodalan. Apakah diterima dengan baik, apakah ada kekurangannya, apa ada sesuatu yang tidak beres di desa sehingga ada “pencerahan”. Nah Bethara yang turun lewat dasaran itu bisa menjelaskannya. Itu kalau dikehendaki. Hubungan dengan ngurek? Ngurek ini semacam pembuktian bahwa dasaran itu benar-benar kerauhan, bukan dibuat-buat. Istilah para remaja di kampung saya, mereka itu tidak acting, tetapi murni kesurupan. Kalau tidak pakai ngurek, umat sering tidak percaya: ah, jangan-jangan pura-pura kerauhan. Untuk ritual ini keris yang digunakan lebih kokoh, logamnya lebih tebal, tidak goyang dengan gagangnya. Kalau kerisnya tipis, bisa melengkung dan ini membahayakan buat sang pengurek. Ketika orang sedang ngurek, kekuatan itu datang tak terduga, karenanya dibutuhkan keris yang juga kuat. Jika ada piodalan di Pura Batur Sai, Kecamatan Pupuan, tradisi ngurek ini lebih meriah, lebih ramai dari Pengerebongan, Denpasar. Dasaran datang dari berbagai desa, termasuk dari desa saya. Di sini ngurek memakai pengawin (tombak yang bertangkai panjang). Caranya, tangkai tanpa tombak dijulurkan ke atap balai gong, lalu ujung tombak menancap di dada pengurek. Jadi, ngurek dengan tombak posisi tubuh seperti menoleh ke atas, ngurek dengan keris posisi tubuh menunduk ke bawah. Jika dasaran masih muda, biasanya pakai berguling-guling di
C
86
C
tanah. Ya, tingkah polah dasaran saat ngurek juga dipengaruhi oleh usia dan perilakunya sehari-hari tatkala tidak kerauhan. *** SAYA tahu banyak soal ngurek karena saya mantan pengurek. Seseorang itu biasanya berhenti sebagai dasaran dan berhenti ngurek jika ia bisa mengendalikan diri dengan baik di saat ada piodalan dengan melantunkan berbagai doa maupun “permohonan dalam hati”. Agak sulit menjelaskan, karena ini menyangkut jenjang-jenjang spiritual. Lagi pula, permohonan agar tidak kerahuan itu tak selalu mempan. Pada piodalan Purnama Kedasa yang lalu di kampung saya, lagi-lagi saya kerahuan dan melakukan ritual ngurek setelah bertahun-tahun absen. Setelah saya analisa, penyebabnya karena saat itu saya sedang menarikan Topeng Sidakarya, dan ketika adegan “nunas tirtha”, penabuh membunyikan gamelan keras yang di kampung saya disebut “gamelan mekale” (gamelan nuwur Bethara), dan langsung saya trance. Memang, hal-hal serba mendadak dan tidak diduga sering terjadi dalam ritual seperti ini. Saya pernah mengadakan penelitian soal ngurek untuk kepentingan penulisan buku. Banyak pura saya datangi, termasuk juga tradisi ngurek dalam kesenian. Kesimpulan sederhana yang saya dapatkan adalah semua pengurek itu dalam posisi trance, tetapi mereka bisa mengendalikan diri dalam keadaan terbatas, misalnya, dalam melihat suasana sekitarnya. Dalam kesenian yang memakai rangda yang oleh masyarakat Bali disebut rangda metebekan (rangda ditusuk dengan keris oleh orang lain), pemain rangda itu harus trance lebih dulu. Baru kemudian para penusuk (disebut renying) yang trance. Jadi kedua-duanya kerauhan. Tak mungkin renying trance tetapi pemain rangda tidak, bisa-bisa pemain rangda itu
C
87
C
lari ketakutan. Itu sebabnya, dalam tari barong untuk wisatawan di sekitar Singapadu, rangda tidak ditusuk oleh renying karena memang posisi pemain rangda tidak trance. Pemain yang berperan sebagai renying itu awalnya juga belum trance, boleh disebutkan mereka acting dulu di pentas dengan mengacung-acungkan keris. Ketika rangda selesai menari, pemangku memercikkan tirtha kepada pemain yang membawa keris, terjadilah “tontonan ngurek” karena pada saat itu trance terjadi. Kalau ada pemain yang saat itu tidak mau trance, ya, mereka minggir ke luar pentas. Contoh seperti ini sering terjadi dalam tari tradisi Bali, misalnya pada lakon-lakon calonarang atau yang memakai barong dan rangda. Tidak semua pemain yang diharapkan trance bisa trance pada saat dibutuhkan. Karena itu ada julukan “sing nadi”, artinya gagal kerauhan. Apakah bisa ngurek dilakukan dengan pura-pura tanpa trance? Saya kira ini sangat riskan dan bisa mengundang celaka, apalagi motifnya untuk memamerkan kekebalan tubuh. Seorang dasaran tidak akan melakukan hal itu. Di kampung saya, dasaran pemula tidak diizinkan ngurek jika tidak didampingi dasaran senior, dan ini pun kedua-duanya dalam posisi trance. Ngurek memang tradisi sudah tua, dan akan terus ada jika ritual yang dilakukan masih menggunakan tradisi lama berupa sesajian, banten, kidung dan gamelan. Kalau sembahyang bersama di aula gedung dengan sistem bajan atau Agni Hotra, misalnya, tentu tidak akan ada ngurek. Kalau pun ada orang trance, bukan model kerauhan, tetapi puncak dari penghayatan ritual yang total. 9 Agustus 2003
C
88
C
Campah
B
ali, dan orang Bali sendiri, sudah begitu maju. Pasar tradisional di Denpasar barangkali akan segera tutup karena dibangunnya super market di berbagai penjuru. Beberapa hari yang lalu, saya mau ke Pasar Badung untuk membeli canang sari (sesajen kecil). Tapi anak saya tak mau mengantar ke sana. “Kenapa ke Pasar Badung, gerimis lagi. Beli saja canang sari di Super Market Tragia,” katanya. Luar biasa, sesajen pun sudah masuk super market. Dasar pasar swalayan, saya harus membeli satu ikat yang berisi sepuluh canang sari, melebihi kebutuhan. Karena berlebih, maka setiap meja kerja di rumah saya yang mirip kantoran ini diletakkan canang sari. Ini boleh disebut tradisi orang Bali. Kalau ada canang tersisa, ya, “dihaturkan” di mana saja, di mobil, di atas kompor, di atas galon air minum, di atas televisi. Bahkan saya pernah melihat ada supir yang berhenti sejenak di pinggir jembatan yang ada tempat pemujaan, lalu karena terburu-buru mungkin, ia melemparkan saja canang sari itu ke sanggah di pinggir jembatan, lalu tancap gas. Cara C 89 C
bersembahyang yang luar biasa. Selintas ada pertanyaan di kepala saya: Kenapa supir itu menghaturkan sesajen seperti itu? Apa Tuhan (Hyang Widhi) tidak justru tersinggung? Tapi saya tak tahu, sebenarnya Hyang Widhi itu tersinggung apa tidak sih dengan ulah supir itu? Kembali ke canang sari di rumah saya. Beberapa jam saja berselang, canang sari di atas meja sudah penuh debu rokok, bahkan ada pulpen di atasnya. Berselang beberapa saat, keponakan saya yang masih kecil, meletakkan pistol mainan di atas canang sari itu. Lalu, saya memberikan “dharmawacana” kilat. “Dengar anak-anak, ini adalah penghinaan. Kalau Guru (di Bali saya dipanggil Guru oleh anak dan keponakan) memotret canang sari yang di atasnya ada pulpen dan pistol mainan ini, dan potret itu kemudian Guru muat di majalah atau koran, pasti Guru dituntut di depan pengadilan. Ingat kasus tabloid Bali Kini, karena ada potret canang sari yang di atasnya ada bola golf, pengelola tabloid itu dituntut di pengadilan. Sekali lagi, ini pelecehan agama….” Belum selesai “dharmawacana”, keponakan saya yang kuliah di sekolah pariwisata langsung nyerocos. “Ah, Guru bercanda. Berapa canang sari yang dilindas mobil, berapa orang menginjak-injak canang sari di pura kalau ada upacara? Dharmawacana tak masuk akal...” Semuanya lalu berkomentar dan tertawa. Keponakan saya yang kecil tadi, ternyata lebih kreatif. Ia ambil pistol mainan itu, ia tembak canang sari itu: “Gara-gara ini, tahu rasa, dor…” Lalu ia buang canang sari ke tempat sampah. Saya pun ikut tertawa. ***
C
90
C
ORANG Bali mengenal kata campah. Padanan dalam bahasa Indonesia agak sulit dicari. Ini berarti, barang atau apapun yang campah itu nilai kesakralannya turun, atau kalau menyangkut manusia, wibawanya turun. Canang sari bisa jadi campah, kalau kita membiarkan ia tergeletak jadi “barang bekas”. Kita belum punya aturan bagaimana memperlakukan canang sari yang sudah jadi barang bekas ini. Semestinya dibuang di toh sampah. Masa-lahnya, sejak kapan ia dianggap campah, sampai dupanya habis menyalakah? Atau setelah ditinggal oleh orang yang menghaturkan tadi? Kini, di tengah kemajuan dan sibuknya manusia moderen, banyak sekali barang campah. Lamak (hiasan ornamen di Pura) sudah dibuat masal dengan kain disablon. Padahal dulu, para gadis dan ibu-ibu, membuat lamak dengan janur warna-warni dan mereka mengerjakannya dengan tekun berjam-jam: simbul wujud bhakti ke hadapan Hyang Widhi sejak mempersiapkan upacara. Sekarang semuanya bagai bunyi iklan: mana sempat? Sudah lama masyarakat Bali berjalan dengan ke-campahan itu. Candi bentar ada di mana-mana, di depan rumah, di depan kantor, di depan hotel, di depan toko. Padahal, kalau kita mengacu pada “sejarah budaya agama”, candi bentar adalah bangunan suci, bagian yang tak terpisahkan dari sebuah pura, yang ada kori agung dan meru. Sanggah juga menjadi barang campah ketika modifikasinya jadi tempat lampu hiasan di hotelhotel. Tari sakral pun sudah banyak yang campah. Bermunculan Barong Dance, Keris Dance, dan jenis-jenis rangda berjejer di art shop. Tak ada lagi istilah sakral. Dan saya tak habis pikir, bagaimana penari keris di Batubulan bisa menusuk dadanya dengan kesan trance ketika orang memotretnya. Kalau betul kesurupan (trance), biasakah kesurupan itu diatur dengan ada atau tidaknya penonton yang membeli tiket? Lalu di Jakarta,
C
91
C
barong pun pernah mendapat tugas menyerahkan piala dalam sebuah kontes kecantikan. Ketika saya bertanya, kenapa barong dihina sedemikian rupa, jawaban yang diperoleh adalah: “Anda sebagai orang Bali lebih dulu menghina barong, kenapa dijajakan di toko kesenian dan bisa dibeli dan dimiliki sembarang orang?” Kini orang ribut tentang tari sakral Rejang Dewa yang dipersembahkan pada Tawur Agung Hari raya Nyepi di Candi Prambanan, yang dihadiri Presiden Abdurrahman Wahid. Keributan seperti ini akan terus terjadi, karena tarian rejang (apapun jenis rejang itu) dengan mudah dimodifikasi oleh seniman tari. Keributan versi lain pun akan semakin banyak. Masalahnya adalah tidak perlukah dibuat batas-batas, kesenian atau alat suci agama apa saja, yang tak boleh ditiru untuk bukan kepentingan agama, bahkan tidak boleh juga dimodifikasi untuk tujuan yang bukan sakral. Semuanya diinventarisasi, lalu disebarkan lewat berbagai jalur, dari jalur tradisional (rapat adat) sampai jalur moderen (taruh di web site di internet). Kalau batas-batas ini tak ada, jangankan orang luar Bali (dan non Hindu), orang Bali sendiri bingung membedakan: mana hiasan untuk ritual, dan mana hiasan untuk bazar muda-mudi. Semuanya sudah campah. 22 April 2000
Catatan: * dharmawacana = ceramah agama, kotbah..
C
92
C
Ritual itu Mahal?
U
pacara Pitra Yadnya atau ngaben atau pembakaran jenazah adalah pekerjaan mudah dan murah yang sering dipersulit sendiri, dan dimahal-mahalkan oleh penjual banten. Begitu seorang Ida Pandita Mpu memberikan penataran di hadapan para pemangku. Lalu, beliau bercerita, bagaimana orang mempersiapkan banten ngaben itu jauh-jauh hari. Pas ketika upacara, semuanya berlumut, janurnya kusut, kue dan sesajinya berjamur, semut merayap penuh di sana-sini. Baunya pun tak sedap lagi. Pandita Mpu pun melanjutkan ceramahnya: “Apa banten seperti itu kita haturkan kepada Tuhan untuk mengantar roh yang akan kita upacarai? Apa Tuhan tidak tersinggung diberikan banten yang sudah bengu (bau busuk)?” Saya tak tahu, apakah Tuhan tersinggung, adakah juga Tuhan Maha Tersinggung?. Tapi kalau hati kita sudah tidak enak menghaturkan banten yang “bengu” begitu, apalagi daging ayamnya sudah dipenuhi lalat, bisa jadi Tuhan memang tersinggung. Bukan karena banten itu, karena kita sendiri sudah tidak sreg lagi, jadi Tuhan hanya mengikuti kondisi batin kita. Umat Hindu di Bali, terutama di pedesaan yang tingkat pendidikannya rendah dan tidak banyak mendalami kitabkitab agama, seringkali terjebak pada pola takut salah dalam menghaturkan banten. Takut tidak komplit, takut kurang ini atau kurang itu. Kalau salah, nanti Tuhan bukan memberikan
C
93
C
anugerah, tetapi kutukan. Bethara, Pitara, Leluhur, Kawitan semuanya akan memberikan kutukan atau setidak-tidaknya memberikan “sakit” sebagai sinyal dari adanya kesalahan itu. Istilah di pedesaan seperti “kepongor” atau “kepanesan” adalah suatu kepercayaan bahwa para leluhur kita — bahkan dalam tingkat tertinggi Hyang Widhi — menjatuhkan hukuman kepada umatnya karena melakukan tindakan yang salah atau kurang lengkap dalam melaksanakan upacara. Tuhan dan Bethara lebih sebagai penghukum, bukan sebagai Yang Maha Kasih, Yang Maha Pengampun. Jadi, Tuhan menjadi sesuatu yang menakutkan, yang hanya memberi kutukan. Supaya tidak salah, maka upacara ritual pun harus lengkap. Lengkap versi siapa? Lengkap menurut tradisi yang sudah turun-menurun, tanpa peduli lagi apakah tradisi itu benar atau sudah salah dari sononya. Karena itulah tidak sedikit orang yang mengadakan upacara ngaben sampai menjual harta warisan, agar pelaksanaan ritualnya disebut lengkap. Pokoknya demi upacara lengkap itu, pendidikan anaknya bisa dikorbankan, tanah produktif untuk kehidupan sehari-hari bisa digadaikan. Atau, tidak menyelenggarakan upacara ngaben sebelum semua biaya itu tersedia. Jadi bisa bertahun-tahun jenasah itu hanya dikuburkan begitu saja, tanpa ada upacara ngaben. *** UPACARA Pitra Yadnya yang lengkap itu juga dikaitkan dengan kesenian, baik berupa bunyi-bunyian maupun pementasan tari. Ngaben tanpa bunyi angklung terasa begitu asing, kata sejumlah orang. Tapi, kenapa tidak membunyikan gamelan angklung dari kaset lewat pengeras suara saja? Setidak-tidaknya ini menghemat ratusan ribu, jika mendatangkan sekehe (grup) angklung, karena mereka menabuh lebih dari seharian.
C
94
C
Belum lagi tradisi gamelan gambang, yang konon satusatunya gamelan yang bisa mengantarkan “pitara” ke sorga. Tanpa gamelan itu, tak ada jalan menuju sorga. Lalu lesung yang ditumbuk itu (ngeluntang), yang akan menyambut arwah-arwah yang akan diupacarai. Langkanya lesung penumbuk padi akan membuat kelabakan orang untuk mencari di mana ada lesung yang bisa disewa. Itu baru di tingkat bunyi-bunyian. Kemudian di tingkat pementasan, ada kepercayaan harus meminta tirtha dalang wayang kulit dengan lakon tertentu, yang ada kaitannya dengan sorga atau mencari air suci untuk mengantarkan roh ke surga. Lakon yang terkenal dalam kaitan ini adalah Biwa Swarga, Dewa Ruci dan berbagai variasinya yang tentu saja tak dikenal dalam ephos Mahabharata yang asli. Beberapa tahun yang lalu saya menanyakan kepada seorang dalang, kenapa ia mementaskan cerita yang aneh, yaitu Anoman ke sorga mencari tirtha. Bukan Bima sebagaimana lazimnya. Jawabannya enteng saja: “Saya tak biasa mendalang dengan lakon Mahabharata, saya spesialis Ramayana.” Pentas wayang kulit di Bali memang seperti ada dua kubu: Mahabharata dan Ramayana yang dibedakan oleh gamelan pengiringnya. Kalau begitu, apa kaitannya pentas wayang kulit ini dengan upacara Pitra Yadnya? “Sebenarnya tak ada, karena tirtha dalang itu sendiri bisa diminta tanpa harus ada pementasan,” kata sang dalang. Dan kata seorang Pinandita, tirtha dari Sang Dalang itu sendiri juga bukan keharusan. “Bodoh benar Sang Pemuput Karya harus tergantung dengan tirtha seorang dalang,” kata Sang Pinandita. Jadi, apakah semua kesenian ini hanyalah embel-embel dari upacara saja? Seperti upacara ngaben di Puri Gianyar, biasanya ada dipentaskan tari gambuh, suatu hal yang tentu sulit untuk “ditiru” di daerah lain yang tidak mengenal tari klasik itu. Jawa-
C
95
C
bannya saya kira akan kembali kepada masalah “perasaan batin” yang punya upacara, sejauh mana ia merasa sudah melaksanakan ritual itu secara lengkap. Kesenian itu sama saja akhirnya dengan banten, apakah kita puas dengan membuat yang sederhana kalau memang mampunya seperti itu? Atau kita memaksakan diri, padahal kita jelas tidak mampu? Belakangan ini, dalam hal ritual di lingkungan keluarga, saya selalu mengatakan jangan menghambur-hamburkan yang tak perlu, tetapi juga dipertimbangkan bagaimana kita bermasyarakat. Menyelenggarakan upacara ritual adalah juga menunjukkan cara kita bersosialisasi dengan masyarakat. Kalau dana ada, kenapa harus memutar kaset yang berisi kidung dan gamelan, kenapa tidak mengundang sekehe shanti. Kenapa tidak mengundang sekehe topeng, sekehe angklung, dan sebagainya. Toh, jika diukur dengan “cara bergaul di kota nesar” biaya seperti itu tak ada artinya. Makan di Jakarta berenam di hotel bintang lima, sama dengan menjamu dua ratusan warga di desa. Membayar sekehe angklung hanya seharga “ongkos jemput” seorang MC di Jakarta. Jika ukurannya di bawa ke sini, tak ada alasan untuk berpelit-pelit dengan dalih “upacara agama terlalu mahal”. Tetapi sebaliknya, kalau kehidupan kita begitu sulit, untuk makan saja rasanya masih berpikir-pikir, untuk apakah kemewahan ritual yang hanya meneruskan tradisi lama itu? Banten bisa disederhanakan, kesenian pun tak menjadi keharusan, ritual bisa dibuat dengan murah. Kenapa tidak?. 20 Januari 2001 Catatan: * Ida Pandita Mpu = gelar pendeta dari warga Pasek. * gamelan gambang = gamelan khusus untuk upacara ngaben. * sekehe shanti = grup yang melantunkan kidung-kidung.
C
96
C
Ngaben Sederhana
P
arisada Hindu Dharma Indonesia minggu depan akan menyelenggarakan Pesamuhan Agung di Denpasar. Pesertanya utusan Parisada provinsi di Indonesia, seluruh anggota Sabha Pandita, anggota Sabha Walaka dan Pengurus Harian. Dari sekian banyak agenda yang akan dibahas dalam forum ini, salah satunya adalah usul agar Parisada mengapresiasi pelaksanaan yadnya yang dilakukan secara sederhana. Apakah itu Pitra Yadnya atau ngaben, Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya maupun Rsi Yadnya. Semula usulan itu isinya agar Parisada menegaskan bahwa yadnya sederhana terutama ngaben adalah sebuah yadnya yang sah dan benar menurut ajaran Hindu. Saya memperbaiki usulan ini karena kesannya Parisada terlambat. Kenapa baru sekarang menegaskan hal itu? Bukankah ngaben sederhana yang oleh masyarakat sering disebut ngaben massal atau ngaben bersama, sudah dilakukan sejak lama? Di desa saya ngaben bersama itu sudah ada lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Desa-desa lain pun
C
97
C
sudah sejak dulu melakukan hal itu. Bahkan jika dihitung dari tingkat biaya, itu sebenarnya masih tergolong “mahal” karena setiap peserta mengeluarkan sekitar Rp 2 juta untuk satu sawa (jenazah). Rinciannya Rp 1,5 juta untuk “iuran ngaben” dan sisanya untuk biaya di rumah masing-masing. Kini, ngaben bersama yang dikordinasikan oleh beberapa sulinggih seperti Ida Pandita Mpu Nabe Manik Dwija Kertha di Seririt dan Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija di Singaraja, setiap satu sawa hanya dikenai biaya Rp 500.000,- Jauh lebih murah. Nah, karena itulah saya memperbaiki usulan agar Parisada tidak perlu lagi menegaskan bahwa ngaben bersama yang sederhana ini sah dan benar sesuai ajaran agama, karena sejak dulu sudah sah dan benar. Yang diperlukan hanyalah apresiasi yang tinggi. Apresiasi artinya memberi penghargaan kepada masyarakat karena telah melakukan yadnya dengan baik dan benar. Dalam kaitan ini ada semangat untuk mendorong masyarakat mengerjakan hal-hal seperti itu. Tentu bukan hanya untuk ngaben bersama. Potong gigi bersama pun sudah sering kali dilakukan di pedesaan. Biaya jadi ringan, tak lebih dari Rp 100.000 per orang. Bahkan yayasan yang dipimpin Ketut Nedeng di Mengwi, menarik biaya potong gigi per orang hanya Rp 25.000. Ini berarti biaya untuk upacara jauh lebih murah dibandingkan untuk sewa pakaian dan rias di salon. Maklumlah, karena potong gigi merupakan ritual yang hanya sekali dilakukan (di masa lalu orang bisa potong gigi lebih dari sekali), orang itu ingin berias dan berpakaian yang indah. Seiring dengan bertebaran salon dan penyewaan pakaian di pedesaan, biaya untuk ini sampai Rp500.000, dengan bonus foto ekslusif ukuran besar. Ngaben bersama sudah pula dimasukkan dalam awig-awig desa adat. Ada yang mencantumkan ngaben bersama setiap tiga tahun, ada yang lima tahun sekali. Tentu saja bagi masyarakat
C
98
C
yang mampu, setiap saat bisa melakukan ngaben sendiri tanpa menunggu jadwal ngaben bersama. Resikonya biaya lebih besar. Namun, persoalan bukan cuma itu, ada hal lain. Kalau semakin banyak orang yang setiap saat ngaben sendiri-sendiri, baik karena alasan mampu membiayai maupun alasan tersembunyi seperti gengsi-gengsian, masyarakat sebenarnya jadi “korban”. Karena orang yang ngaben di luar jadwal ngaben bersama itu melibatkan juga masyarakat adat. Kalau ini sering terjadi, artinya “orang-orang bawah” sering kerja ngayah ke “orang-orang mampu”. Apakah ngaben bersama bisa dilakukan lintas soroh atau klan? Bisa sekali, kenapa tidak? Itu sering terjadi di kampung saya di Pujungan, Tabanan. Hanya saja, soroh yang fanatik dengan tradisinya, membuat wadah (bade) sendiri. Jadi ada bade untuk soroh Pasek, ada bade untuk soroh Tutwan, ada bade untuk soroh Pradewa, bade untuk soroh Arya dan sebagainya. Ada bade tupang tujuh, ada tumpang lima, ada tanpa tumpang (bentuk jempana) dan sebagainya. Panitia juga menyediakan bade umum untuk orang yang di luar soroh-soroh besar itu, atau untuk orang yang tak fanatik dengan sorohnya. Akan halnya urusan upacara, dari banten sampai pemuput yadnya, tak ada yang berbeda. Yadnya seperti ini memang perlu diapresiasi pada saat masyarakat Bali menghadapi banyak masalah. Ngaben dengan biaya besar sampai menjual harta benda warisan bukan zamannya lagi. Dulu ada anggapan, orang tua kita mewariskan tanahnya agar suatu saat nanti ia bisa diaben oleh anaknya dengan menjual tanah warisan itu. Ini cara pandang yang salah. Orangtua mewariskan harta, termasuk tanah, adalah untuk kelangsungan hidup generasi penerusnya, bukan untuk dijual, apalagi hanya untuk upacara yadnya. Kalau cara pandang ini terus-menerus salah maka tanah-tanah orang Bali habis dibeli pendatang.
C
99
C
Demikian pula upacara yadnya besar-besaran yang sampai mengorbankan sektor lain, misalnya, pendidikan. Semua warisan dijual untuk yadnya, anak-anak tidak disekolahkan karena biaya dialihkan untuk yadnya. Inilah yang membuat sumber daya manusia (SDM) Hindu paling rendah mutunya menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Yang menyedihkan, tingkat buta huruf pemeluk Hindu paling tinggi di antara umat beragama lainnya. Penduduk Bali sudah saatnya untuk tidak terjebak pada sanjungan bahwa masyarakatnya berbudaya tinggi yang tercermin dari upacara ritualnya yang megah dan gemerlap. Anggaplah ini “suara provokator” dari para makelar janur, buah, itik dan ayam yang datang dari Banyuwangi dan Situbondo. Roda ekonomi Bali akan secepatnya dikuasai pendatang kalau orang Bali sendiri masih terjebak pada ritual melulu. Syukurlah Parisada sudah mulai aktif menyadarkan umatnya. Mari beryadnya yang benar, sesuai kemampuan dengan hati yang tulus ikhlas. 27 Oktober 2007
C
100
C
Mepusungan
L
ihatlah pasangan muda-mudi itu. Yang lelaki memakai kain dengan gaya Jawa, rata di bagian depan. Selintas kain itu memakai lipatan-lipatan atau disebut mewiron. Selendang yang dipakainya tidak menutupi sekeliling pinggang, tetapi dibiarkan terbuka di bagian depan, sehingga kain depan masih terbuka. Lelaki itu memakai baju safari warna krem. Lalu rambutnya panjang dan diikat di belakang, namun masih ada destar (udeng) putih di kepalanya. Ini trend cara berpakaian untuk bersembahyang di kalangan anak muda Bali sekarang ini. Mereka sudah tidak memakai kancut lagi. Kancut sebagai lambang keperkasaan lelaki Bali, sudah ditinggalkan. Barangkali mereka berpikir, kancut sudah tak cocok lagi, karena kancut hanya tepat jika dalam upacara itu yang dipegang adalah tombak, atau minimal keris. Sekarang Tuhan tidak perlu didatangi dengan senjata tajam itu. Kalau pun masih ada biarlah itu untuk upacara sakral saja. Sekarang Tuhan dikunjungi dengan cara damai. Yang dipegang lelaki itu adalah dupa. Di saku baju safarinya tersembul bunga dari kewangen. Memang, kesannya tenang, kalem, ada kedalaman penghayatan. Sekarang, lihatlah pasangannya, seorang gadis langsing tinggi, khas produk generasi masa kini. Kain yang dikenakannya
C
101
C
agak gombrong di bawah dari bahan yang halus, maksudnya tidak kaku. Lalu, lihatlah kebayanya. Kain brokat transparan sehingga kelihatan BH yang kecil mungil dengan tali yang sangat tipis. Karena ia masih muda dan suasananya ada di kota, hampir seluruh dada dan punggung (kecuali yang vital itu) kelihatan menerawang. Perutnya pun masih nampak walau ada kain brokat yang menutupinya. Dan mari kita lihat kepalanya. Ramputnya dicukur pendek, sehingga tidak ada satu kembangpun bertengger di sana. Gadis remaja itu membawa sesajen. Pemandangan ini ada di mana-mana, kalau ada persembahyangan. Jika ingin melihatnya dengan lebih puas, datanglah pada setiap purnama di Pura Jagatnatha Denpasar. Pasanganpasangan seperti ini hilir mudik di jalan-jalan. Atau mereka bergerombol duduk-duduk di patung Puputan Badung. Namun, mereka tak akan ditemui di depan kelir pementasan wayang kulit, atau duduk lesehan di balai depan Padmasana mengikuti diskusi purnama. Apa pendapat Anda tentang busana sang gadis remaja itu? Saya pernah mengatakan bahwa saya melihat sesuatu yang lain, bahwa mereka berada di persimpangan jalan. Jalan yang satu adalah pergi sembahyang menghadap Tuhan dengan suatu penghayatan yang tulus ikhlas. Jalan satu lagi adalah bagaimana mereka berdandan mengikuti mode yang kini sedang nge-trend. Busana wanita masa kini adalah memamerkan bentuk tubuh bagian atas. Tetapi karena kebaya tak mungkin melakukan fungsi itu, dipilihlah kain yang paling transparan. Kebetulan pula dalam Hindu cara-cara berpakaian memang tidak diatur, artinya tak ada suatu ketentuan yang memaksakan kaum perempuan Hindu untuk menutup seluruh auratnya. Namun, saya mendapatkan banyak semprotan marah dari kaum wanita, ketika saya mengatakan hal itu. Justru sayalah yang dikatakan tidak tulus dalam persembahyangan, karena
C
102
C
masih sempat melirik brokat-brokat transparan itu. “Jika Anda betul-betul berniat bersembahyang, Anda tak akan sempat memperhatikan wanita-wanita yang berkebaya transparan dan berambut pendek itu. Pikiran Anda masih jorok, bahkan tatkala sudah sampai di pura,” begitu semprotan yang saya terima. Saya hanya mengangguk saja. *** DI kampung saya, di hadapan sekehe teruna teruni, saya pernah mendiskusikan bagaimana pakaian yang pantas untuk datang ke pura. Saya menyebutkan ada sebuah awig-awig desa yang sampai kini mempertahankan soal pakaian. Dalam awigawig itu disebutkan, hendaknya memakai selendang (anteng) dan dililitkan di pinggang sebagai simbul pengekangan diri. Lalu, dalam urusan rambut, sangat di larang ke pura dengan rambut yang terurai (megambahan). Jadi, agar rambut tidak terurai, yang lelaki tentu memakai destar, sedang yang perempuan disanggul (mepusungan). Dalam awig-awig desa itu ditentukan, peraturan ini tidak dikenakan bagi mereka yang sedang kerauhan (trance). Saya juga jelaskan, di masa lalu, tabu bagi wanita Bali yang rambutnya terurai di depan umum. Kalau tidak disanggul mereka biasanya memakai penutup kepala atau disebut lelunakan, meskipun hanya memakai kain handuk. Persoalannya, bagaimana remaja masa kini mengenakan sanggul apalagi mepusungan dengan rambut yang pendek itu? Saya jelaskan, karena ini awig-awig yang sudah disepakati oleh seluruh warga desa, sedapat mungkin hendaknya dipatuhi. Karena itu, bagi para wanita yang berambut pendek, sedapat mungkin harus mengikat rambutnya ke belakang. Kalau tidak bisa menambahkan sanggul buatan, ya, cukup diikat saja. Kalau rambut terlalu pendek? Saya sarankan agar seluruh kepala diikat
C
103
C
sepeti para demonstran di Jakarta. Para teruni yang berambut pendek ternyata sepakat. Apalagi, ada seorang teruna yang nyeletuk: “Kalau tidak mengikuti itu, kamu harus kerauhan terus di pura,” katanya. Yang menarik, seseorang bertanya. Apakah urusan rambut ini ada dimuat dalam kitab Weda? Saya katakan, saya tak tahu persis soal itu, sloka Weda ada ribuan dan tidak semua bukunya beredar di Indonesia. Dan lagi-lagi saya tegaskan, sepanjang yang saya tahu, Hindu tak mengenal aturan cara berpakaian ke pura. Tetapi, setiap masyarakat dan setiap lingkungan punya etika dan menerapkan etika itu untuk keserasian. Di komplekkomplek militer misalnya, orang dilarang memakai celana jeans. Apakah orang mengenakan celana jeans itu kurang sopan? Belum tentu. Para wanita di Aceh harus memakai jilbab, bahkan polisi wanita di Aceh pun kini memakai jilbab. Apakah itu berarti wanita Islam harus memakai jilbab, tentu bukan, karena jutaan Muslimat tidak mengenakan jilbab. Pada akhirnya kita harus menyepakati etika yang berlaku umum dan bagaimana kita memandang sebuah kebudayaan harus dilestarikan. Mepusunngan gaya Bali yang demikian beragam, ada yang menunjukkan usia dan ada yang menunjukkan kegunaan, semestinya dilestarikan oleh Kartini-Kartini Pulau Dewata. 14 April 2001
Catatan: * mepusungan = bersanggul khas Bali. * mekancut = cara mengenakan kain bagi lelaki Bali di mana bagian depannya meruncing ke bawah. * awig-awig = hukum tertulis yang berlaku untuk satu wilayah desa adat.
C
104
C
Budaya Hindu
A
khir-akhir ini saya sering melakukan perjalanan mengunjungi kantong-kantong umat Hindu di berbagai daerah. Mumpung diberi kesempatan untuk beberapa bulan menekuni masalah-masalah agama dan bebas dari tugastugas rutin perusahaan. Dan karena saya memilih “mangkal” di Bali, maka perjalanan itupun dimulai dari Bali. Inilah yang membuat saya selalu sempat mengajak kerabat dekat dari kampung. Yang diajak tentu saja teramat senang, bahkan ada yang baru pertamakali menginjak tanah Jawa. Saya mendapatkan banyak hal dari mereka ini, yakni apa yang mereka rasakan dan apa komentar mereka setelah melihat saudara-saudaranya sedharma dari etnis lain. Umumnya mereka ini berkomentar bahwa upacara yang dilakukan umat Hindu di Jawa sangat sederhana. Bukan saja ritual dan sesajinya yang sederhana, tetapi juga pura tempat persembahyangan itu sendiri sangat sederhana. Saya katakan bahwa umat Hindu di Jawa masih hidup dalam kesederhanaan, karena itu belum mampu membuat pura yang megah sebagaimana di Bali. Andaikata pun mereka mampu membuat pura yang megah, pura itu pun tak banyak variasinya sebagaimana yang ada di
C
105
C
Bali. Mereka cukup membangun padmasana saja. Bangunan lainnya hanya penunjang dan untuk kepentingan umat, seperti tempat berteduh, balai tempat belajar, tempat menginap, dan sebagainya. Kenapa hanya padmasana? Karena mereka hanya memuja Tuhan, yang di Jawa sering disebut dengan berbagai nama sesuai tradisi setempat seperti Kanjeng Gusti Sinuhun, Gusti Allah, dan entah apa lagi. Menyaksikan ritual berlangsung, orang-orang yang saya ajak dari Bali merasakan suasana yang lain, yakni semua orang yang berada di dalam pura aktif dalam melakukan ritual. Ketika melakukan puja Trisandhya, semuanya ikut serta. Di Bali hal ini juga terasa, meski ada beberapa yang mengaku belum hafal Trisandhya. Namun, ketika melakukan puja Kramaning Sembah, umat yang hafal akan puja itu, juga melakukan dengan suara yang sama kerasnya dengan Pemangku. Dan umumnya, umat Hindu di Jawa merasa “wajib” menghafal puja Kramaning Sembah itu sebagai runtutan dari puja Trisandhya. Kalau belum hafal, mereka membaca dari buku doa-doa yang mereka kantongi. Di Bali, umat hanya mengikuti perintah pemangku, atau berdoa dalam hati saja. *** AJARANHindu, karena ia bersumber dari kitab suci yang sama (Weda), tentu saja di mana-mana sama. Yang berbeda adalah budayanya, karena budaya ini menyerap adat kebiasaan setempat. Karena itu untuk menjaga solidaritas umat Hindu Nusantara, bahkan umat Hindu Dunia, sebaiknya kita saling memahami dan menghormati budaya Hindu yang lahir di masing-masing etnis. Biarkan budaya Hindu itu berkembang di masing-masing etnis tanpa terjadi “penjajahan budaya” atas nama agama.
C
106
C
Orang Bali yang belum pernah ke luar Bali dan belum pernah mengikuti ritual agama bercampur dengan umat nonBali, umumnya cepat sekali berkomentar aneh tentang budaya setempat itu. Dari cara memakai blangkon, membuat banten, sampai menghaturkan sesajen, semuanya dia kritik seolah-olah budaya agama di Bali jauh lebih bagus. Padahal, itu tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Untuk pakaian, jelas saling mempengaruhi, dan tidak ada budaya yang satu lebih tinggi dari budaya yang lainnya. Orang Jawa tentu kurang sreg memakai destar Bali, sebaliknya orang Bali tak suka memakai blangkon ke pura. Kalau kebaya sama saja, karena toh di pedesaan Bali, kebaya itu masih disebut “baju potongan Jawa” yang berarti asal-usulnya memang dari Jawa. Cara berkain orang Bali sekarang ini — terutama pemudanya — justru mengikuti budaya umat Hindu di Jawa, tanpa mekancut. Kenapa hal ini kita risaukan di Bali? Saya pernah mendengar seorang pemuka agama di Bali yang mengecam cara-cara mengenakan kain tanpa memakai kancut itu. Ia menyebutkan begini: “Destar Bali ujungnya ke atas, itu menunjukkan alam swah, sedang kancut ujungnya ke bawah, alam bhur. Pakaian ke pura ini menyatukan alam atas dan alam bawah. Jadi tak benar memakai kain datar seperti sekarang itu, apalagi ikut-ikutan memakai blangkon,” katanya. Saya heran, dari kitab mana ia memperoleh ajaran seperti itu? Padahal itu tak lebih dari “rekarekaan” saja, atau orang Jawa bilang “gotak-gatik-gatuk”. Lalu soal sesajen. Umat Hindu di Jawa membawa sesajen berisi buah-buahan dan jajan dengan menaruh sedemikian rupa dan ditutupi oleh daun atau kain tipis yang bersih. Bahkan di Jawa Timur, terutama di Kabupaten Banyuwangi, setiap keluarga yang datang ke pura, membawa nampan yang berisi nasi dan lauk-pauk yang banyak ikannya, kemudian ditutupi daun
C
107
C
pisang. Sesajen itu ditaruh dengan sangat rapi. Orang kampung yang saya ajak ke Jawa berkomentar: “Kurang seni, kalau bentuknya pajegan seperti di Bali, kan seni,” katanya. Selesai persembahyangan, sesajen ala Jawa itu ternyata dimakan ramai-ramai di pura oleh satu keluarga. Memang ada pula yang membawa pulang, kalau tempat di pura sudah penuh. Ayah, Ibu, anak, makan dengan lahap, bahkan saya pun sebagai tamu mendapat banyak lauk-pauk yang masih segar. Inilah prasadam (surudan) yang sehat. Lalu, bagaimana dengan pajegan yang sering saya lihat di kampung saya? Umat Hindu di kampung saya biasa membawa sesajen berupa pajegan ke pura, penuh berisi nasi tumpeng, jaje apem, jaja kukus, dan entah jajan apa lagi. Jarang yang ditutupi, bahkan sengaja diperlihatkan karena ada unsur pamer. Karenanya pajegan kena embun di malam hari, tak jarang kehujanan. Lalu, ketika surudan dibawa pulang, banyak jajan yang busuk, nasi tumpeng tak bisa lagi dimakan, bahkan terasa jijik dimakan karena bercampur bunga bekas, debu dupa dan kotoran lainnya. Akhirnya surudan itu dijadikan makanan buat babi. “Nah, bayangkanlah, betapa terhormatnya babi itu mendapatkan prasadam Tuhan, sementara manusia yang melakukan ritualnya tidak mendapatkan prasadam apaapa,” kata saya. Jadi, soal ini tergantung dari sudut mana kita melihatnya, jangan merendahkan budaya yang satu dan sangat mengangungkan budaya yang lainnya. Budaya Hindu harus kita hormati sepanjang itu tetap berada dalam koridor kitab suci Weda. 18 Agustus 2001
C
108
C
Uang Kepeng
D
ua remaja Hindu berlainan etnis berdiskusi sambil bercanda di wantilan Pura Kepasekan, Karanganyar, Jawa Tengah. Yang satu dari Bali, tetapi mahasiswi UNS Solo. Teman berdebatnya dari Masaran, Sragen, tentu saja etnis Jawa. Keduanya sama-sama membawa teman, tetapi teman-temannya tak banyak berkomentar. “Kalau di Bali kamu bawa kuangen berisi uang logam lima ratusan begini, nggak bakalan diterima. Kuangen itu harus berisi uang kepeng, orang Bali menyebutnya pis bolong,” kata si cewek Bali sambil menunjuk kuangen yang dibawa lelaki di sebelahnya. Pemuda Jawa itu tak mau kalah. “Itu kan bikin rumit, uang kepeng itu hanya laku ketika zaman Majapahit. Sekarang sudah langka, kenapa harus susah-susah mencari uang Majapahit hanya untuk bersembahyang?” jawab sang pemuda. “Kalau nggak mau susah cari uang kepeng jangan bawa kuangen, pakai saja kembang,” sahut lagi si cewek. “Memangnya uang kepeng harus ada? Memangnya uang kepeng itu simbol apa, ayo?” tanya sang pemuda. Si cewek diam
C
109
C
sejenak, lalu balik bertanya: “Memangnya logam lima ratusan di kuangen-mu simbol apa?” Sang pemuda Jawa langsung nyerocos. “Ini disebut unsur panca datu. Terbuat dari logam dan berbentuk bundar, lambang windu. Jadi bukan uang kepengnya yang penting, tetapi ada unsur logam yang bebentuk bundar itu.” Satu nol, komentar teman-teman mereka. Soalnya, si cewek Bali mengaku tidak mengerti simbol apa uang kepeng yang ada di kuangen itu. Ia hanya menyebutkan, kebiasaan di Bali seperti itu, isi kuangen untuk bersembahyang adalah uang kepeng, bukan uang logam biasa. Saya tak tahu apa ada diskusi lanjutan, karena giliran saya bersembahyang sudah tiba. Saya sendiri tak membawa kuangen, dan memang kalau bersembahyang saya jarang membawa kuangen dari rumah. Kalau tidak disediakan di pura atau tak ada yang menjualnya, ya, cukup pakai bunga saja. Di Pura Jagatnatha Denpasar kalau ada persembahyangan bulan Purnama, pedagang banten berderet-deret di jaba pura. Kalau kita membeli canangsari di sana, pedagang banten biasanya menanyakan: “Pakai kuangen dan dupa?” Kalau kita bilang, ya, pakai kuangen, cobalah periksa apakah ada uang kepeng atau uang logam di sana? Tidak ada. Jadi berkuranglah salah satu simbol yang ada pada sarana persembahyangan itu. Simbol-simbol dalam urusan banten di Bali memang sangat rumit. Orang Hindu di luar Bali, seringkali menyebut hal ini sebagai suatu hambatan untuk menyesuaikan diri jika mengikuti ritual Hindu versi Bali. Anehnya, orang Bali sendiri tak pernah mempermasalahkan kerumitan itu meskipun mereka tak tahu juga apa arti simbol itu. Satu benda bisa berubah fungsi jika diletakkan dalam rangkaian yang lain. Telor yang ditaruh di daksina memberikan simbol yang berbeda dengan telor yang ada di rangkaian ketupat. Padahal telornya sama saja. Tapi, seberapa
C
110
C
banyak yang tahu arti simbol-simbol itu? Begitu pula uang kepeng atau pis bolong. Uang kepeng di kuangen dengan uang kepeng di canangsari berbeda maknanya, dan berbeda pula jika uang kepeng itu diikat dalam jumlah tertentu yang biasa disebut benang pipis (karena uang kepengnya diikat benang). Sangat berbeda pula artinya kalau uang kepeng itu dijadikan kalung atau gelang. Lalu ada uang kepeng yang dimasukkan keranjang kecil yang biasa disebut pis pocongan, dan maknanya pun beda. Padahal bendanya sama saja. Seperti umumnya uang, uang kepeng punya arti sebagai sebuah nilai tukar yang dalam ilmu ekonomi disebut alat transaksi. Arti seperti itulah yang muncul ketika uang kepeng ditaruh di canang sari. Ia menjadi “sarin banten”, yang dipersembahkan secara tulus ikhlas oleh seseorang dan uang itu bisa diambil oleh “pemuput karya” atau oleh petugas upacara untuk dikumpulkan. Karena itu uang kepeng sebagai “sarin banten” sudah lazim diganti dengan uang logam atau uang kertas yang berlaku sebagai alat transaksi masa kini. Uang kepeng di daksina, kuangen, dan pada beberapa banten khusus, tidak dicari maknanya dari nilai tukar sebagaimana lazimnya uang, tetapi dimaknai dari bentuknya yang bulat dan terbuat dari logam. Karena itu ia tak bisa digantikan oleh uang kertas. Apakah bisa digantikan oleh uang logam masa kini? Menurut logika kalau kita bicara masalah simbol, saya cenderung sependapat, seperti yang dikatakan pemuda Hindu dari Sragen yang saya kutip di awal tulisan ini. Karena unsur yang dicari sebagai simbol itu adalah bulat dan logamnya. Saya kurang sependapat kalau dibuat uang kepeng palsu dari tanah liat. Bagaimana kalau memproduksi lagi uang kepeng untuk memenuhi keperluan ritual umat Hindu di Bali? Boleh-boleh saja, dan sekalian ornamen huruf Cina dalam uang kepeng itu
C
111
C
diganti dengan huruf Bali atau aksara suci Omkara, misalnya. Tapi, apa itu perlu? Kalau leluhur kita di masa lalu begitu gampangnya memakai uang kepeng buatan Cina untuk simbolsimbol tertentu, kenapa kita tidak memakai uang logam sendiri untuk simbol-simbol itu? Pada perkembangannya kemudian, uang kepeng akhirnya diproduksi juga. Malah ada dua jenis, yang terbuat dari bahan seperti kaleng atau logam yang mutunya rendah. Di masyarakat ini disebut “uang kepeng murahan”, tetapi tetap dipakai untuk upacara-upacara kecil. Lalu di Desa Kamasan Klungkung diproduksi uang kepeng yang memenuhi unsur-unsur pancadatu, tentu harganya lebih mahal karena bahannya sendiri juga mahal. Masyarakat banyak memakai yang ini karena sudah direkomendasikan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia bisa dipakai untuk upacara yadnya karena unsur-unsurnya terpenuhi. Masyarakat menyebutnya “uang kepeng baru”. Namun, uang kepeng dari Cina yang disebut “uang kepeng asli” atau “pis bolong kuna” tetap diburu masyarakat untuk upacara-upacara penting seperti membangun pura yang baru. Oktober 2006
C
112
C
Malam Siwa
S
iwa Ratri datang setahun sekali, beda dengan Galungan dan Kuningan. Siwa Ratri adalah malam tergelap sepanjang tahun dalam kepercayaan Hindu, pangelong 14 Sasih Kepitu. Malam Siwa, karena hari itu umat Hindu wajib melakukan puasa total yang meliputi upawasa, monabrata, dan jagra. Malam penebusan dosa, demikian seringkali disebutkan dengan gampang, karena dengan melakukan jagra semalam suntuk, seolah-olah dosa yang kita lakukan berhari-hari dan berbulan-bulan menjadi lenyap. Demikianlah, pada saat Siwa Ratri itu orang mencoba untuk tidak tidur. Pura didatangi, mekemit semalam suntuk. Anak-anak muda di kota datang ke Pura Jagatnatha, lalu begadang sampai pagi. Apa yang dilakukan? Ya, ngobrol, atau mondar-mandir, atau bermain bola adil, main dadu, main domino — seperti tahun lalu ketika Siwa Ratri di lapangan Puputan Badung Denpasar. Harus dicari terobosan baru, bagaimana merayakan Siwa Ratri dengan benar. Bagaimana bisa melakukan upawasa
C
113
C
(puasa) kalau kita datang ke pura dengan membawa sesajen berisi makanan? Tentu akan ada sikap mendua. Kalau kita tidak nikmati makanan itu sebagai prasadam, akan mubazir, karena prasadam wajib untuk diambil berkahnya. Kalau kita makan, artinya kita batal melaksanakan brata upawasa. Kemudian, bagaimana mungkin kita bisa melakukan monabrata (tidak berbicara) kalau acaranya adalah diset untuk ngobrol? Yang paling mudah dari ketiga brata saat Siwa Ratri ini adalah jagra, namun dengan catatan jagra tanpa diikuti oleh pendalaman spiritual. Artinya asal begadang, mungkin sambil ngobrol tentang sesuatu yang jorok, atau malah bermain judi. Yang terakhir ini justru menambah dosa, bukannya melebur dosa. Siwa Ratri sesungguhnya datang setiap bulan. Setiap pengelong 14 (sehari sebelum Tilem) adalah malamnya Siwa. Itu saat-saat terbaik untuk melakukan puasa. Sedangkan pengelong 14 Sasih Kepitu adalah malam tergelap setiap tahun, dan ini sebenarnya disebut Maha Siwa Ratri. Kata “maha” sudah menunjukkan bahwa ini Siwa Ratri yang lebih khusus. Umat Hindu di Nusantara, tentunya termasuk di Bali, hanya merayakan Siwa Ratri yang “maha” ini. Kalau kita hanya merayakannya setahun sekali, alangkah baiknya dicoba menemukan format yang lebih pas untuk merayakan Malam Siwa ini. Di Kota Singaraja, para cendekiawan dan pemikir Hindu dari Kampus IKIP Negeri, akan mencoba langkah itu. Ide itu, misalnya, datang dari I Wayan Suja yang akan membuat sesuatu yang lain di malam Siwa Ratri. Katanya, ide ini sengaja untuk memberikan ruang apresiasi bagi para remaja Hindu untuk menghabiskan malam yang penting itu. Sebuah ide yang patut didukung dan karena masih ada waktu, terbuka peluang untuk menyempurnakan ide-ide itu. Kita tak bisa menyalahkan anak-anak muda Hindu yang
C
114
C
mondar-mandir di jalan selesai melakukan persembahyangan, karena niat mereka itu sebenarnya bagus, bagaimana melewatkan Malam Siwa dengan jagra. Hanya karena tidak tahu caranya, tidak ada yang mengarahkan, maka mereka keluyuran begitu saja. Hal ini juga terjadi di kota-kota lainnya, apalagi di Denpasar. Seperti tahun-tahun sebelumnya, selesai bersembahyang di Pura Jagatnatha, remaja Hindu itu keluyuran dengan sepeda motor. Bagi yang tidak membawa motor, mereka bergerombol duduk di lapangan Puputan Badung. Tak ada, misalnya, institusi atau lembaga atau organisasi yang mengambil inisiatif untuk merancang kegiatan yang mengisi pencerahan. Katakanlah misalnya meditasi massal, atau agni hotra sederhana, atau pembacaan ayat-ayat suci Weda. Atau mungkin dharmatula dalam lingkaran-lingkaran kecil — agar tidak ngobrol hal-hal yang bertentangan dengan agama — sementara pada jam-jam tertentu (katakanlah tengah malam) berhenti sejenak untuk melantunkan mantra suci ke hadapan Siwa. Kita bisa melakukan ini, kenapa tidak? Anak-anak muda Hindu itu sesungguhnya mudah untuk digiring sepanjang ada yang mengkordinir dengan baik. Siapa tahu KMHDI, Peradah, Pemuda Hindu, Sekeha Teruna Teruni, mau mengambil inisiatif seperti ini. Dengan format yang lebih ideal “merayakan” Siwa Ratri kita tak akan dibelenggu oleh legenda Lubdhaka yang selama ini selalu menjadi mitos dalam Siwa Ratri. Bahwa kisah Lubdhaka dijadikan acuan dalam perayaan Siwa Ratri di Indonesia, memang bagus dan kita tak usah mencari-cari acuan yang lainnya. Namun yang perlu kita ketahui, Lubdhaka itu hanyalah simbol. Simbol-simbol ini harus dikupas artinya, tak bisa “dihafalkan” sebagai sebuah cerita biasa. Kita di Bali agak malas mengupas simbol-simbol yang sudah diberikan leluhur kita di masa lalu. Orang dengan mudahnya menyebutkan, dosa yang kita lakukan berhari-hari akan ditebus
C
115
C
dengan jagra (tidak tidur) pada Malam Siwa, bukankah Lubdhaka yang kerjanya berburu saja bisa mendapatkan sorga hanya dengan begadang satu malam? Kalau begitu, mudah sekali orang memperoleh sorga, pegawai percetakan di koran, satpam yang kerjanya malam-malam, semua masuk sorga. Lubdhaka harus dicerna sebagai simbol orang yang gemar berburu dalam arti kias, bisa berburu materi yang tak ada puasnya, berburu pangkat yang tak kunjung diraih, berburu kesenangan yang tak ada ujung, berburu ilmu yang tak kunjung dibagi. Para pemburu ini pada suatu hari pasti akan tersesat “di rimba yang menakutkan” dan dia tak akan bisa keluar dari “ketakutan” itu jika ia tidak melakukan perenungan. Ia harus membebaskan dirinya dari “nafsu berburu” untuk mencapai kesadaran. Simbolsimbol ini yang harus dikupas. Makanya, mari kita coba dari sekarang, bagaimana menjadi Lubdhaka yang sadar bahwa ada suatu saat di mana kita harus membebaskan diri kita dari nafsu berburu itu. Januari 2006
C
116
C
Sutasoma
K
arya sastra Sutasoma begitu populer di tanah air, termasuk di Bali. Kalau kita telusuri siapa yang paling berjasa mempopulerkan lakon Sutasoma buah karya Mpu Tantular di masa Majapahit ini, tak lain adalah seniman sastra I Gusti Bagus Sugriwa. Dari tangan beliaulah Kekawin Sutasoma menyebar di Bali. Kepopuleran Sutasoma kemudian menyebar melewati batas sastra. Ia muncul dalam lakon wayang kulit, sendratari, lukisan di atas kanvas, lukisan yang menghias Bale Kambang di Klungkung, dan pergelaran tari. Mpu Tantular bisa dikatakan sebagai leluhur orang Bali. Ayahnya adalah Mpu Bahula, putra Mpu Baradah. Ibu Mpu Tantular adalah Ratna Manggali putri tunggal Mpu Kuturan. Mpu Tantular menurunkan Danghyang Siddhimantra, Danghyang Panawasikan, Danghyang Kepakisan, dan Danghyang Smaranatha. Danghyang Smaranatha menurunkan Danghyang Nirarta dan Danghyang Angsoka. Peninggalan para Mpu di atas bertebaran di Bali, terutama
C
117
C
peninggalan Mpu Kuturan dan Danghyang Nirarta. Kenapa hanya keduanya yang populer? Itu disebabkan karena kedua leluhur ini meninggalkan tempat suci dan jasa yang langsung bersentuhan dengan agama Hindu, agama mayoritas orang Bali. Mpu Kuturan, misalnya, dikenal sebagai perintis adanya desa pekraman dengan konsep Tri Kahyangan, yang tujuan awalnya menyatukan berbagai sekte yang ada di Bali. Dahyang Nirarta yang datang lebih dari seratus tahun kemudian memperkenalkan konsep Padmasana sebagai pemujaan kepada Tuhan yang tidak membuat umat Hindu tersekat dalam Desa Pekraman. Pura peninggalan Mpu Kuturan seperti Pura Silayukti dan pura peninggalan Danghyang Nirarta seperti Pura Uluwatu menjadi pura penting di Bali. Tetapi kenapa Mpu Tantular tidak sepopuler kakeknya, atau tidak sepopuler cucunya di Bali? Pernah ada ide untuk mendirikan perguruan tinggi swasta di Bali dengan nama Mpu Tantular, tetapi tidak jadi. Yang berdiri justru Universitas Mpu Tantular di Jakarta. Museum Mpu Tantular ada di Kota Surabaya, berdiri di atas gedung di Jalan Taman Mayangkara 6, Surabaya. Meski museum itu merana dan sepi pengunjung, tetapi di situ tersimpan peninggalan Mpu Tantular dalam bentuk karya sastra. Orang Bali lebih tahu tentang “karya” dibandingkan “sang pencipta”. Mpu Tantular boleh jadi kurang dikenal, tetapi Sutasoma begitu populernya. Tari oleg Tamulilingan begitu populer, tetapi Ketut Mario yang menciptakannya tidak dikenal orang. Lukisan wayang Kamasan juga populer, tetapi siapa yang melukisnya tidak dikenal. Pernahkah orang Bali merenung sejenak, siapa yang menciptakan dramatari arja, gambuh, topeng dan sebagainya? Sesanti Bhineka Tunggal Ika sudah menjadi lambang dari persatuan Indonesia. Sesanti itu tertulis di antara dua kaki Burung Garuda yang menjadi lambang negara. Dengan demikian,
C
118
C
Bhineka Tunggal Ika sudah otomatis menjadi simbol negara. Jika ada burung garuda tanpa ada tulisan itu, tak ada gunanya dipajang di kantor-kantor resmi, karena ia tidak lagi menjadi simbol negara. Ketika membicarakan Bhineka Tunggal Ika orang baru ingat akan Mpu Tantular. Namun, biasanya hanya sekedar ingat begitu saja, bagaimana sampai sesanti (slogan) itu lahir, tidak banyak pula generasi kini yang mengetahuinya. Jawabnya hanya ada pada Kekawin Sutasoma. Kekawin Sutasoma itu menceritakan petualangan spiritual Sutasoma sebelum dan sesudah menjadi Raja Hastina. Bagian yang paling menarik memang saat munculnya sesanti Bhineka Tunggal Ika. Prabu Sutasoma siap untuk dijadikan korban santapan Bethara Kala sebagai pengganti dari 100 raja yang sudah ditangkap oleh raja raksasa Porusada. Raja Porusada ini memang membayar kaul mengorbankan 100 raja kepada Bethara Kala jika kakinya sembuh dari penyakit yang aneh. Apa permintaan Prabu Sutasoma untuk keikhlasannya berkorban itu? “Nanging ana pamintaku, uripana sahananing ratu kabeh.” (Tapi ada permohonanku, hidupkanlah para raja itu semuanya). Begitu kata Sutasoma kepada raksasa Porusada. Pengorbanan diri Sutasoma ini menyentuh hati Bethara Siwa yang menitis pada Porusada. Siwa kemudian meninggalkan tubuh Porusada dan kembali ke kahyangan. Sutasoma gagal menjadi santapan Porusada, sementara 100 raja yang sudah ditangkap itu pun dilepaskan untuk kembali ke kerajaannya, mengembangkan gaya kepemimpinan yang berbeda, memimpin masyarakat yang juga berbeda-beda, bahkan masing-masing raja menganut keyakinan (aliran atau sekte) yang berbeda. Mpu Tantular, Sang Mahakawya Yogiswara, menulisnya dengan: Mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa.
C
119
C
Kata Bhineka Tunggal Ika ini mengusik hati Muhammad Yamin. Ia lalu mengusulkan kepada Bung Karno agar kata ini dijadikan lambang persatuan Indonesia. Soekarno lalu meminta Dalang Granyam dari Sukawati untuk mementaskan “wayang Sutasoma” agar lebih jelas menangkap makna dari sesanti ini. Dan sejarah pun mengukir, sesanti itu akhirnya menjadi simbol kenegaraan. Kini sesanti itu akan dirayakan dengan gelar budaya yang syarat bernapaskan agama. Suara mahabajra akan digemakan, cakra pranawa akan dilantunkan. Kita harus berterimakasih kepada Sanggar Bajra Sandhi pimpinan Ida Wayan Oka Granoka. Kelompok inilah yang paling konsisten menggali napas ajaran Sutasoma dalam berbagai bentuk kreatifitas seni dan menyebarkan ke berbagai daerah, bahkan sampai ke Yunani. 19 Maret 2004
C
120
C
Mpu Kuturan
P
ujawali di Pura Silayukti, Padangbai, Karangasem berlangsung meriah. Umat datang dari segala penjuru Bali. Lalu lintas macet. Saya bertanya kepada anak saya, kenapa pujawali yang sekarang ini begitu ramai? Dengan serius anak saya menjawab: “Umat Hindu sekarang ini sedang bergairah melakukan tirthayatra, di mana-mana piodalan pasti ramai.” Saya katakan jawaban itu klise. Yang benar, umat Hindu memberi penghormatan yang tinggi kepada leluhurnya yang sangat berjasa, yakni Mpu Kuturan yang membangun Pura Silayukti ini. Pujawali kali ini adalah peringatan 1000 tahun kedatangan Mpu Kuturan di Bali. Setelah diam sejenak, anak saya berkata: “Perasaan nggak ada yang peduli apakah ini 1000 tahun Mpu Kuturan ke Bali atau tidak.” Keponakan saya lainnya malah dengan enteng menimpali: “Guru, siapa itu Mpu Kuturan? Dia membangun pura ini? Jadi, kita ke sini bersembahyang ke Hyang Widhi atau ke Mpu Kuturan?” Tiba-tiba saja saya sudah memberi dharma wacana kepada anak-anak muda Hindu — anak dan keponakan-keponakan saya di dalam mobil yang jalannya tersendat. Tema dharma wacana dadakan itu adalah siapa yang disembah ketika kita berada di sebuah pura peninggalan para leluhur, apakah Hyang Widhi atau roh suci leluhur yang kita muliakan yang berstana di pura itu? Kalau kita ke Pura Silayukti, kita menyembah Hyang
C
121
C
Widhi atau kita menyembah roh Mpu Kuturan? Kalau kita ke Pura Lempuyang Madya, setelah capek menaiki undag-undag di bukit itu, kita menyembah Hyang Widhi atau menyembah roh Mpu Genijaya? Kalau kita berdesak-desakan dan antre tiga tahap saat pujawali di Pura Dasar Gelgel, siapakah yang kita sembah, Hyang Widhi ataukan Mpu Gana? Tentu menyembah leluhur selain menyembah Hyang Widhi. Namun, anak saya benar, para pemedek yang datang ke Pura Silayukti tak peduli apakah hari ini 1000 tahun Mpu Kuturan menginjakkan tanah Bali atau tidak. Bahkan banyak yang tidak tahu, kenapa Mpu Kuturan memberikan nama Silayukti untuk tempat yang kelak dibangun pura ini. Kalau memakai bahasa sekarang, Silayukti itu berarti “dasar-dasar kebenaran”. Nama ini dipakai setelah Mpu dari Jawa ini berkelana di Bali dan menemukan begitu banyak sekte yang ada di Bali. Beliau ingin menyatukan sekte-sekte itu dan memberikan konsep serta pemikiran baru, bagaimana melakukan persembahyangan bersama untuk meminimalkan “ciri khas” dari sekte yang ada. “Semestinya setiap pujawali umat diberi ceramah soal hubungan antara pura dengan leluhur yang distanakan di sana, biar kita-kita ini paham bagaimana sejarahnya. Jadi sembahyangnya sreg,” kata keponakan saya. Keponakan saya yang lainnya membenarkan bahwa mereka itu jarang sekali mendapatkan “siraman rohani” ketika melakukan persembahyangan. Yang mereka dapatkan lebih banyak berdesak-desakan, senggol kiri senggol kanan, sambil melirik gadis-gadis yang berkebaya tembus pandang. *** MPU Kuturan datang ke Bali tahun 1001, seribu tahun yang lalu. Ketika itu di Bali berkuasa Prabu Udayana (989-1010).
C
122
C
Oleh Raja Udayana, Mpu Kuturan dinobatkan sebagai penasehat kerajaan, utamanya dalam urusan rohani. Dunia berputar, sejarah berulang. Jika di tahun 2001 ini, seorang Dirjen Hindu cemas melihat begitu banyaknya aliran Hindu yang berkembang di Indonesia, khususnya di Bali, Mpu Kuturan pun cemas melihat begitu banyaknya aliran (sekte) yang ada di Bali, seribu tahun yang lalu. Bedanya, jika Dirjen Hindu yang cemas itu hanya berpidato saja menyatakan kecemasannya, Mpu Kuturan mendatangi pemimpin-pemimpin sekte, mempelajari apa yang menjadi ciri khas dari sekte itu, dan kemudian mencari solusi bagaimana agar terjadi persembahyangan lintas sekte tanpa menimbulkan keributan. Sekte atau aliran yang ada saat itu antara lain, Pasupatiya, Budha Bairawa, Waisnawa, Sogatha, Brahma, Pertapa, Sora, Ganapatya, Siwa Sidantha, Budha Mahayana. Aliran Budha Mahayana ini adalah aliran di mana Mpu Kuturan menjadi salah seorang tokohnya. Nah, meskipun Mpu yang datang dari Kediri, Jawa Timur, ini sudah menganut aliran Budha Mahayana, beliau tidak mementingkan alirannya. Setelah mempelajari semua aliran yang ada, Mpu Kuturan menyimpulkan semua aliran itu sesungguhnya tetap memuja Hyang Widhi, hanya penekanannya kepada Istadewata yang tiga, yakni Brahma, Wisnu dan Ciwa. Mpu Kuturan lantas memperkenalkan konsep Tri Murti yang mencakup ketiga Istadewata itu. Masyarakat Bali menerimanya dengan sangat bersemangat, lalu dibangunlah apa yang kini dikenal dengan sebutan Tri Kahyangan, Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem, tempat memuja ketika Istadewata itu. Beratusratus tahun kemudian, Tri Kahyangan ini justru dijadikan ciri dari desa pekraman (belakangan disebut desa adat), bahwa sebuah desa adat baru dinyatakan sah jika sudah mempunyai Tri Kahyangan. Demikian besar jasa Mpu Kuturan sehingga fanatisme sem-
C
123
C
pit soal sekte tidak mencuat ke permukaan. Namun, cara-cara umat Hindu menjalankan ritual agamanya terus berkembang, mengikuti kemajuan peradaban dan mengadopsi pemikiran baru. Inilah cermin dari ajaran Weda yang tidak lekang oleh zaman. Lebih dari empat ratus tahun kemudian, sekitar tahun 1489, datang pula ke Bali seorang rohaniawan dan intelektual Hindu yang bernama Danghyang Nirartha. Nirartha pun kembali mengadakan pembaruan, yakni dengan membuat konsep Padmasana yang menyatukan kembali Tri Murti dalam satu tempat pemujaan. Kini, konsep Padmasana kita warisi untuk tempat pemujaan di Pura Jagatnatha, sebuah pura umum yang tidak dibatasi oleh aturan-aturan desa adat. “Kita ini berasal dari Desa Pujungan tetapi tinggal di Desa Pedungan, kalau sembahyang ke Pura Puseh tentunya pulang ke Pujungan, nggak mungkin ke Pura Puseh Pedungan. Tapi kalau sembahyang purnama ramai-ramai, bisa ke Pura Jagatnatha, ketemu anak-anak dari desa mana saja. Hebat betul Mpu Kuturan dan Danghyang Nirartha,” komentar keponakan saya yang paling suka melucu. Memang, leluhur kita hebat-hebat, jauh lebih hebat dari tokoh-tokoh masa kini yang “begitu panik” melihat aliran-aliran muncul kembali. Tetapi, seberapa banyak anak-anak muda diberikan pengetahuan tentang leluhur-leluhur kita itu? Orang bersembahyang ke Silayukti tidak tahu Mpu Kuturan, sembahyang ke Uluwatu tidak tahu Danghyang Nirartha. Orang lebih kenal Sai Baba dibandingkan Mpu Kuturan . 10 November 2001 Catatan: * pujawali = persembahyangan masal di sebuah pura. * tirthayatra = perjalanan suci mengunjungi pura-pura. * pemedek = umat
C
124
C
Rsi Markandhya
B
anyak orang Bali yang tidak mengetahui nama Maharsi Markandhya. Seorang yogi yang datang dari India ini, memang tidak mempunyai catatan sejarah yang runtut. Beliau hidup di awal abad masehi, jauh sebelum Kerajaan Majapahit ada. Kalau kita merujuk kepada lontar Markandhya Purana, Maharsi ini berada di Bali pada tahun 158 Masehi atau tahun 80 Saka. Catatan itu pun diketahui karena Sang Maharsi memulai pembangunan tempat suci di lereng Gunung Agung dengan menanam Panca Datu. Kelak tempat suci itu bernama Pura Besakih. Jika missi menyebarkan “kebenaran” ini begitu remangremangnya di Bali, tentu saja semakin gelap catatan perjalanan di Jawa. Yang diketahui, beliau pernah menyebarkan ajarannya di Gunung Asih, termasuk gugusan pegunungan di kawasan Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Lalu ke Gunung Raung di Jawa Timur. Dari sini, beliau membawa pengikutnya ke Bali, menuju Gunung Agung. Kita tak bisa membayangkan bagaimana perjalanan ditempuh pada saat itu. Telah ada upaya untuk mencoba merekonstruksi perjalanan Maharsi Markandhya dan sekaligus menelusuri apa yang diperbuat beliau di awal milenium pertama itu di bumi Nusantara ini.
C
125
C
Beberapa penulis babad sudah mengadakan riset kepustakaan sejak lama untuk merangkai kisah ini. Salah seorang di antaranya adalah I. N. Djoni Gingsir, yang kini memimpin Lembaga Babad Bali Agung. Dalam sebuah bukunya, Djoni Gingsir berhasil merangkai sedikit tentang apa yang dilakukan Maharsi Markandhya setelah menyeberangi Segara Rupek (kini dikenal sebagai Selat Bali) dan membawa pengikutnya membangun Pulau Panjang, yang kini dikenal dengan nama Pulau Bali. Ternyata jasa Sang Maharsi tidak hanya memulai pembangunan kawasan suci di Gunung Agung, tetapi juga meninggalkan bekas-bekas lain. Namun, karena begitu “tuanya” usia Markandhya, belum ditemukan catatan sejarah kapan beliau mengakhiri hidupnya, dan di mana hal itu terjadi. Bagaimana pula dengan keturunannya. Ini tentu berbeda dengan Maharsi-Maharsi yang datang kemudian seperti Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Geni Jaya, sampai pada Mpu Kuturan. Tokoh-tokoh penyebar ajaran Hindu setelah itu, misalnya, Danghyang Nirartha, semakin jelas asalusulnya, karena beliau hidup setelah berakhirnya masa keemasan kerajaan-kerajaan Hindu di Tanah Jawa. Sumber tertulis sudah banyak, dan masuk akal kalau buku tentang Danghyang Nirartha sudah banyak diterbitkan. *** TETAPI, tetap ada masalah bagi kebanyakan orang Bali. Mereka terkesan tidak begitu “memperhatian” ketokohan para Rsi Agung yang demikian berjasa menegakkan ajaran Hindu di Bali. Coba kita tanya kepada anak-anak muda Bali, mereka tentu lebih mengenal sejarah Sunan Kalijaga dibandingkan Mpu Kuturan atau Danghyang Nirartha, apalagi Maharsi Markandhya. Kenapa begitu? Karena Sunan Kalijaga ada filmnya, sinetronnya
C
126
C
juga sudah dibuat, kisah-kisahnya bertebaran, dari buku yang serius sampai komiknya yang memikat untuk anak-anak. Semua Wali Songo yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa diberi tempat terhormat dengan mengabadikan nama-nama beliau, apakah sebagai nama gedung, nama jalan, nama perguruan tinggi. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) banyak yang dinamai dengan nama-nama Wali. Di kalangan masyarakat Hindu hal itu tidak terjadi. Di Bali, misalnya, kita jarang mendengar ada nama para Maharsi menjadi nama gedung atau nama jalan. Di Denpasar, nama-nama jalan utama adalah tokoh-tokoh dari Sumatra, seperti Teuku Umar, Imam Bonjol, dan sebagainya. Kebetulan pula tokoh itu adalah juga tokoh agama Islam. Yang unik, tokoh Sisingamangaraja, yang konon sampai akhir hayatnya memeluk Hindu, tidak diabadikan sebagai nama jalan di Denpasar. Kenapa ini terjadi, apakah kebetulan saja atau ada “nuansa politisnya”? Jawaban ini harus dimulai dari menelusuri bagaimana masyarakat Bali menghormati “tokoh” agama itu sendiri, dan pandangan salah yang sejak lama ditanamkan oleh guru agama Hindu di Bali bahwa agama Hindu bukan agama missi. Kalau Hindu bukan agama missi, bagaimana agama ini bisa menyebar, dan untuk keperluan apa Maharsi Markandhya sampai susah-payah datang dari India menyebarkan agama di Jawa dan Bali (dan mungkin didahului dari Sumatra, siapa tahu). Penghormatan masyarakat Hindu terhadap tokoh-tokoh agamanya disejajarkan sebagai penghormatan kepada leluhur. Di masa dulu, di mana konsep ajawera masih dipegang, hal itu bisa diterima. Menyebut nama leluhur sembarangan bisa dikatakan tulah. Kita lihat pada pementasan kesenian topeng, misalnya. Begitu penasar menyebut nama Dalem Waturenggong, pasti didahului oleh: mangde tan keni rajapinulah (supaya
C
127
C
tidak kena tulah). Jangankan tokoh seperti raja, menghormati orangtua pun diberikan cara khusus, di mana seorang anak tidak boleh tahu siapa nama ayah dan ibunya, apalagi menyebutnya. Karena itu, suami istri yang sudah punya anak, nama pasangan itu dihapus dari daftar nama krama banjar/desa, dan mereka menggunakan nama pungkusan, yang diambil dari nama anak tertua. Menjadilah nama Pan Putu… Men Made… Gurun Ketut… (di masa dulu ada Nang …, tapi sebutan ini sudah menghilang). Karena tradisi itu dipelihara berabad-abad, orang Bali jadi sulit mengenal dan menyebut tokoh-tokoh sucinya. Bahkan tidak tahu, siapa Maharesi yang menerima wahyu Weda, sehingga agama Hindu sering “diolok-olok” sebagai agama bumi, karena dikira tidak berdasarkan wahyu. Sekarang zaman berubah, apa ada anak yang tidak tahu siapa nama orangtuanya? Kalau ada, bisa-bisa sang anak dianggap tidak menghormati orangtuanya sendiri, karena tidak punya kebanggaan kepada orangtuanya. Nah, marilah kita berusaha mengetahui sejarah para Rsi Agung dalam Hindu, mulai dari Maharsi yang menerima wahyu Weda, sampai penyebar ajaran Weda semacam Maharsi Markandhya. Kemudian kita beri penghormatan kepada beliau dengan mengabadikan namanya sesuai semangat zaman — bukan melarang menyebutnya — agar selalu dikenang oleh generasi yang akan datang. 1 Desember 2001
Catatan: * ajawera = tidak boleh menyebut dan mempelajari. * tulah = semacam kutukan. * pungkusan = nama yang diambil dari anak tertua.
C
128
C
Arya Belog
D
alam sebuah diskusi babad di Jakarta, saya mendapat pertanyaan begini: “Apakah Arya Belog itu sama dengan Arya Tan Wikan? Kalau sama, kenapa namanya berbeda”. Saya menjawabnya dengan enteng saja. Arya Belog tentu saja sama dengan Arya Tan Wikan, karena pengertian kata itu juga sama, “belog” dan “tan wikan” hanyalah penghalusan dalam bahasa Bali, yang artinya sama: bodoh. Masalahnya kenapa ada penghalusan bahasa? Itu berkaitan dengan penghormatan kepada seorang tokoh, bagaimana keterikatan batin seseorang terhadap tokoh itu. Penghormatan ini juga dipengaruhi oleh budaya lokal, kebiasaan tata pergaulan setempat. Sama dengan penghormatan untuk seorang ayah. Ada beberapa sebutan: nanang, bapa, guru, aji. Dalam bahasa Indonesia pun begitu, ada yang menyebutnya: ayah, bapak, papa, babe, bokap. Kepada peserta diskusi, saya justru balik mengajukan pertanyaan: “Apakah Anda yakin Arya Belog atau Arya Tan Wikan itu, memang nama sebenarnya?” Saya kemudian menjelaskan, bagaimana babad itu harus dibaca dan dipahami. Di masa lalu, seorang tokoh yang datang ke suatu tempat sering “tidak bernama”. Bisa karena tokoh itu tak ingin mengagungkan na-
C
129
C
manya, bisa pula karena masyarakat setempat tak peduli dengan namanya. Karena tokoh itu kemudian berjasa, baru belakangan diberikan nama oleh para pengikutnya dengan beberapa variasi. Ada nama karena julukan, ada nama karena wilayah menetap, ada nama karena keturunan. Danghyang Nirartha di daerah lain disebut Pandita Sakti Wawu Rawuh, karena para pengikutnya sama sekali tak peduli dengan nama beliau. Beliau datang sebagai pendeta dan berjasa mengobati banyak orang, masyarakat memberikan julukan “pendeta sakti yang baru datang”. *** ADA lagi pernyataan dari seorang intelektual Hindu. Ia mengaku heran, kenapa orang Bali sekarang ini gemar membaca babad. Itu hanya membuang waktu dan bahkan berdampak buruk. Orang-orang Bali sekarang ini akhirnya tersekat dalam kelompok-kelompok karena menemukan silsilah dirinya dalam babad. Kalau berdampak buruk yang hanya memecah-belah orang Bali ke dalam soroh (clan), untuk apa babad ditulis? Lagi pula, sejauh mana penulisan babad itu benar? Pernyataan itu ada sisi benarnya dari segi keakuratan penulisan babad. Namun, kekhawatirannya berlebihan bahwa penulisan babad berdampak buruk. Babad adalah sejarah. Untuk apa babad ditulis? Sama saja dengan pertanyaan, untuk apa sejarah ditulis? Babad atau sejarah ditulis untuk melihat perjalanan sebuah peradaban. Dari penulisan ini kita menjadi tahu, siapa tokoh yang memainkan peran dalam peradaban itu. Bahwa terjadi penyimpangan, ada tokoh yang perannya dikecilkan dan tokoh lain perannya dibesarkan, itulah akibat ketidak-netralan penulis sejarah. Jangankan babad yang terjadi di masa ratusan tahun lalu yang penulisannya punya kendala karena sumber-sumber sulit
C
130
C
didapatkan, sejarah Indonesia moderen pun sudah simpang siur. Lihat yang terjadi sekarang, sejarah Serangan Umum 1 Maret sudah beda antara versi Orde Baru dengan versi setelah Soeharto tak lagi berkuasa. Atau sejarah Supersemar yang membingungkan, apakah Soeharto melakukan kudeta atau Soekarno yang rela memberikan pelimpahan wewenang. Tapi penulisan sejarah tetap penting, dan pelurusan penulisan itu sendiri lebih penting lagi. Begitu juga babad, penulisannya sangat penting. Kalau ada prasasti baru lagi ditemukan, pelurusan babad pun bisa dilakukan kembali. Masyarakat Bali moderen tak boleh mengabaikan begitu saja keberadaan babad, apalagi memandang penulisan babad sebagai sesuatu yang tak perlu. Sebaliknya, membaca babad juga harus kritis, dan kita harus siap dengan logika, baik mengenai waktu, peristiwa, maupun prilaku tokoh-tokoh dalam babad. Sama halnya dengan penulisan sejarah moderen, penulis babad bisa sangat subyektif karena faktor garis keturunan. Ia bisa membesar-besarkan tokoh pujaannya meskipun perannya kecil. Atau sebaliknya. Sama seperti Soeharto ketika berkuasa, sejarah menulis, perannya sangat besar pada Serangan Umum 1 Maret. Ketika Soeharto tidak lagi berkuasa, ada pelaku sejarah yang menyebutkan peran Soeharto itu kecil, yang besar adalah peran Sri Sultan Hamengkubuwono. Nah, bagaimana kemudian jika babad itu dibawa dalam kemasan kesenian? Itu sangat tergantung sekaa (kelompok seni) yang membawakannya, dan bagaimana kelompok itu memuja tokoh dalam babad. Saya punya beberapa versi cerita tentang Ki Pasek Tangkas Kori Agung dalam kaset drama tari topeng. Semua versinya beda, tergantung siapa yang ditonjolkan. Bagaimana kita harus mencari pembenarannya? Jangankan kisah masa dulu kala, kisah Jayaprana yang lebih “kekinian”
C
131
C
pun bisa beda. Ada drama gong yang menyuguhkan adegan, Jayaprana sebelum dibunuh Saunggaling melakukan perlawanan. Mungkin kena pengaruh drama tari arja. Tetapi, ketika saya bermain drama gong di kampung sekitar 1970-an, saya menyuguhkan versi lain: Jayaprana dibunuh pelan-pelan di pangkuan Saunggaling, dan justru Saunggaling yang menangis karena ia hanya menjalankan tugas, sementara Jayaprana pun sudah merasa hak raja untuk menghentikan hidupnya, karena memang ia anak pungut. Saya mendapatkan sumber cerita itu dari penuturan ayah, yang terlibat dalam pengabenan Jayaprana, lagi pula masa remaja saya sering berada di rumah kerabat keluarga yang persis di depan Pura Jayaprana di Kalianget. Boleh jadi saya sangat subyektif. Belum lagi ada pertanyaan, apakah kisah Jayaprana dan Layonsari itu benar-benar ada, ataukah hanya dongeng seperti halnya kisah Sampek Ingtai? Ini membuka perdebatan yang luas. Karena itu, jika mencari keakuratan babad lewat pentas kesenian seperti yang kini banyak dilakukan, baik lewat pementasan topeng maupun lewat pementasan apa yang disebut “wayang babad”, hanyalah sia-sia, karena seniman punya kebebasan untuk mencari sudut pandang dan pesan yang mau disampaikan. Sebagai contoh klasik, di India -- dan juga di Indonesia -- tokoh Rama sangat diagungkan, dan tokoh Rahwana sangat jelek. Sebaliknya terjadi di Sri Langka, justru tokoh Rahwana itulah pahlawan. Maklum, Sri Langka (Alengkapura) adalah “rumahnya” Rahwana. 1 Juli 2000
C
132
C
Spiritual Muda
B
ulan Juni 2001 ini, di Bali berlangsung Sadhana Spiritual Pemuda Sai Tingkat Internasional. Pemuda Sai Indonesia yang menjadi tuan rumah acara ini adalah sebuah organisasi spiritual di kalangan muda yang tentu saja punya kaitan dengan Yayasan Sri Satya Sai Baba. Dan kalau kita bicara tentang kelompok Sai Baba, maka kita harus berbicara tentang sesuatu yang mesti disikapi dengan arif. Kelompok studi yang mengupas masalah Weda ini masih menjadi pembicaraan yang harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan salah paham. Saya sendiri bukan bhakta Sai Baba, tetapi saya juga tidak apriori terhadap kelompok studi ini. Namun, saya sering juga disalahpahami jika berbicara menyangkut masalah ini. Di sebuah pertemuan, saya pernah ditanya, kenapa kelompok Sai Baba itu “keindia-indiaan”. Gayatri Mantram yang diputar di kaset-kaset semuanya dengan irama India. Lantas saya menjawab, mungkin karena mereka menghayati Weda sebagaimana di tanah kelahiran kitab suci itu. Karena Weda turunnya di India, tentulah “keindia-indiaan”. Kalau Weda diwahyukan di Bedugul, barangkali akan ada penghayat Weda yang “kebeduC 133 C
gul-bedugulan”. Karena jawabannya seperti itu, saya dianggap sudah bergabung di kelompok ini. Di kesempatan lain, saya pun ditanya kenapa masih mempertahankan tradisi ritual upacara agama yang ada di Bali. Apalagi dengan biaya yang besar. Bukankah Bhagawad Gita menyederhanakan cara persembahan itu dengan hanya sehelai daun dan kembang sudah cukup? Lalu saya pun menjawabnya, bahwa saya sangat senang mengerjakan banten yang sarat simbul itu. Agama menyerap budaya setempat, dan budaya agama itu sangat nikmat untuk saya lakoni. Kalau hanya mempersembahkan sehelai daun dan bunga, sebagaimana diartikan secara “harga mati” di kitab Bhagawadgita, maka pura akan penuh sampah yang tidak bernilai seni. Sedangkan biaya yang besar, kalau memang saya mampu dan tidak memberatkan, kenapa jadi persoalan? Kalau saya membawa banten berisi dua kilo apel, surudan (prasadam) yang saya terima tetap dua kilo apel, Tuhan hanya memberkati, bukan mengambil. Apel bisa saya bagikan ke orang lain, dan itulah kebahagiaan saya. Karena jawaban saya seperti itu, maka saya pun disebut “kebali-balian”. Semua ini adalah pertanda, kita sedang memasuki arus globalisasi dan terjebak pada idiom-idiom tertentu secara fanatik. Karena itu, kelompok-kelompok spiritual yang muncul dengan idiom yang dibawa dari luar Bali sering menjadi masalah kalau harus dihadapkan dengan budaya agama masyarakat Hindu yang hidup di Bali. Perlu waktu untuk adaptasi. Hal ini yang menyebabkan, kalau ada kegiatan seperti Sadhana Spiritual Pemuda Sai, seolah-olah kegiatan itu sangat eksklusif. Saya yakin, kelompok Pemuda Sai melakukan sadhana spiritual ini dengan biasa-biasa saja, karena memang bukan sesuatu yang luar biasa. ***
C
134
C
SUDAH sejak dulu, kaum muda Hindu, baik di Bali maupun luar Bali, aktif dalam kegiatan spiritual. Sekehe Teruna Teruni (STT) di desa-desa, siapa yang bisa membantah bahwa mereka bukan spiritual muda? Mereka justru tulang punggung untuk acara ritual di pura-pura Tri Kahyangan. Di desa saya, kalau daha-teruna (begitu sebutan lebih populer dibandingkan STT) tidak setuju ada persembahyangan, atau justru meminta ada persembahyangan, para pemangku dan pemuka adat mengalah. Karena merekalah pelaksana inti dari ritual itu, mereka melakukan rejang, mereka mengusung pratima, mereka melantunkan kidung suci — meski belakangan ini ditopang sekehe pesantian yang lebih profesional. Mereka paling rajin melakukan persembahyangan rutin purnama-tilem yang diiringi dharma wacana, dibandingkan orang tua mereka. Kaum muda Hindu pedesaan ini sesungguhnya sudah melakukan sadhana spiritual terus-menerus berkesinambungan. Cuma, sebagaimana umumnya masyarakat Hindu di Bali dalam mengartikan kata yadnya, sadhana spiritual itu terbatas dalam kaitan dengan persembahyangan ke pura, atau istilah kerennya dalam kaitan dewa yadnya. Belum banyak melakukan yadnya yang berkaitan dengan “kemanusiaan” — padahal inilah hakekat inti dari manusa yadnya. Misalnya, membantu kaum miskin, panti asuhan, panti jompo, korban bencana alam, atau untuk melestarikan alam itu sendiri. Persoalan lain, STT di desa-desa belum menjalin kerjasama yang baik dengan STT tetangganya, apalagi tetangga yang jauh. Pernah ada ide untuk membentuk sebuah badan kordinasi antar STT se kabupaten, bahkan se Bali. Saya tak tahu kenapa hal itu macet, padahal pemrakarsanya sudah pernah mengadakan rapat di Museum Klasik Nyoman Gunarsa di Klungkung. Di luar Bali, mungkin karena tantangan dan iklim beragama
C
135
C
yang berbeda, kegiatan para spiritual muda Hindu banyak yang bagus-bagus. Sekehe Demen, sebuah organisasi non-formal remaja Hindu di Jakarta, misalnya. Selain setiap minggu kumpul untuk latihan mekidung atau yoga, mereka aktif mengumpulkan dana dan melakukan tirtayatra ke berbagai pelosok desa sambil menyerahkan bantuan. Mereka jarang mendapatkan publikasi (atau juga tak membutuhkan benar), karena sadhana spiritual mereka itu tak perlu formal, misalnya, dibuka oleh seorang pejabat. Permudhita (Perhimpunan Pemuda Hindu Tangerang) juga sangat aktif melakukan yadnya kemanusiaan seperti ini. Ormas pemuda Hindu seperti Peradah, Pemuda Hindu, KMHDI, pun sudah banyak bergerak untuk kegiatan sosial. Baru-baru ini, KMHDI Unud, misalnya, membantu umat Hindu di sebuah desa di Banyuwangi membeli tanah kuburan. Inilah contoh sadhana spiritual yang sesungguhnya sudah berlangsung terus-menerus. Dan kaum muda Hindu sudah melakukannya sejak lama, seperti yang dilakukan Pemuda Sai saat ini. Kelebihan Pemuda Sai yang perlu ditiru adalah mereka punya manajemen organisasi yang moderen dan kordinasi yang bagus di tingkat nasional dan internasional. 23 Juni 2001
Catatan: * Sai Baba = nama panjangnya Bhagawan Sri Satya Sai Baba, tokoh spiritual India yang pengikutnya tersebar di berbagai negara. * bhakta = pengikut sebuah aliran. * daha teruna = teruna teruni = muda mudi. * rejang = tari sakral pada persembahyangan. * pratima = simbul suci sebuah pura.
C
136
C
Mengunjungi Pura
B
ersembahyang bisa di mana saja. Di kamar bisa, di ruang tamu dengan menggelar tikar. juga bisa. Di ruang kelas pun bisa, apalagi buat pelajar. Bersembahyang di kamar kerja, bagi pegawai negeri dan karyawan swasta, juga sudah biasa dilakukan di kota-kota besar. Kalau di luar ada suara hiruk pikuk yang mengganggu konsentrasi, saya biasanya memutar kaset tabuh gong atau kidung yadnya. Tujuannya adalah membawa pikiran pada satu fokus yang paling memungkinkan untuk mencapai suasana religius. Kalau bersembahyang bisa di mana saja, asal jangan di perempatan jalan yang lagi ramai lalu lintasnya, untuk apa mengunjungi pura? Kenapa umat berduyun-duyun pergi ke Pura Trikahyangan pada saat Hari Raya Galungan yang lalu? Kenapa Pura Luhur Batukaru penuh sesak pada saat Manis Galungan yang lalu? Dan apa pula penyebabnya umat berbondong-bondong datang ke Kintamani, bukan untuk melihat Danau Batur, tetapi bersembahyang ke Pura Ulun Danu pada Purnama Kedasa, Jumat kemarin? Suasana ramai dan meriah itu akan terulang kembali pada minggu depan, Senin Kliwon di Pura Dasar Gelgel dan Sabtu Kliwon di Pura Sakenan. Jelas ada daya tariknya kenapa pura dikunjungi. Yang per-
C
137
C
tama-tama dalam pikiran masyarakat tradisional adalah pura itu “tempat tinggal” Sesuhunan, Dewa, Bethara, Hyang Widhi. Mereka tak perlu lagi memerinci apa beda Dewa, Bethara, dan Hyang Widhi itu. Kebanyakan umat hanya tahu ke pura untuk bersembahyang, tak menghiraukan dengan teliti apakah persembahyangan itu di depan meru, balai gedong, atau padmasana. “Sembahyang untuk memuja Tuhan,” kata keponakan saya yang baru kelas dua SD. Bagi dia sama saja, bersembahyang di merajan, di pura puseh, di Pura Mekori, di Pura Ulun Danu Batur, semuanya memuja kepada Tuhan. Baru-baru ini anak saya bersama teman-temannya melakukan tirtayatra ke berbagai pura, sebagai rasa syukurnya karena baru saja lulus ujian di fakultas teknik Universitas Udayana. Melihat pura yang dikunjungi dan alasannya, saya memastikan pemahaman dia tentang pura dan siapa yang “diam” (berstana) di sana, lebih bagus dari keponakan saya yang kelas dua SD itu. Saya kemudian menyarankan, bagaimana kalau mengunjungi pura (tirthayatra) itu dengan cara-cara yang dikehendaki oleh para leluhur kita, yakni pikiran kita sudah dibawa ke alam keheningan sebelum sampai di pura. Anak saya bertanya, apa maksudnya? Para leluhur kita mendirikan pura atau meninggalkan warisan tempat suci yang kemudian oleh pengikutnya dibangun pura, lebih banyak di tempat-tempat di mana orang harus melakukan “perjalanan penuh rintangan” sebelum sampai ke pura itu. Pura Ulun Danu Batur, sebagaimana namanya, berada di pinggir danau, yang dahulu kala harus dicapai dengan berjalan kaki di terjal-terjal. Pura Lempuyang dibangun di puncak gunung, di mana orang harus datang ke sana melewati jalan yang kiri kanannya tebing curam. Pura Sakenan berada di tengah pulau, dan umat yang datang harus naik perahu atau berjalan kaki dengan memperhitungkan naik turunnya air laut. Begitu pula
C
138
C
Pura Tanah Lot berada di karang yang dipisahkan dengan air laut yang kadangkala bisa pasang. Apa yang dimaui para leluhur kita di masa lalu itu? Kenapa tidak membangun pura di tempat pemukiman biasa saja, seperti Mpu Kuturan menganjurkan membuat Pura Trikahyangan dan “pura moderen” seperti Pura Jagatnatha? Jawabnya adalah para leluhur itu ingin umat yang datang menyadari adanya “rintangan” dalam perjalanan itu. Dengan adanya “rintangan” itu, umat sudah terkonsentrasi untuk mendekatkan dirinya kepada Hyang Widhi atau leluhur kita yang sudah menyatu dengan Hyang Widhi, yang akan kita sembah di sana. “Rintangan” itu tak lain adalah cara tak langsung untuk melakukan japa dan juga samadhi, sehingga begitu sampai di pura, pikiran otomatis sudah terfokus dan persembahyangan langsung bisa dimulai. *** SEKARANG “rintangan” itu sudah dihilangkan oleh manusia-manusia moderen. Pulau Serangan di mana Pura Sakenan berada sudah menyatu dengan Bali. Orang datang naik mobil dan motor, menderu-deru sampai depan pura. Lalu bertengkar dengan tukang parkir, atau mengumpat karena mobilnya keserempet, atau ngedumel karena parkirnya susah, dan langsung masuk pura. Pikiran apakah yang dibawanya ketika berada di jeroan pura, dan langsung dituntun bersembahyang? Pikiran yang masih penuh marah, pikiran yang masih ngedumel, setidak-tidaknya jauh dari rasa hening. Padahal dulu, ketika saya sekeluarga pergi ke Pura Sakenan dan masih naik jukung, semuanya seperti terpaku hening dan berdoa agar selamat sampai di tujuan. Beberapa tahun lalu, saya punya kisah yang bisa dikenang
C
139
C
ketika sekeluarga ke Pura Dasar Gelgel pas di hari Pemacekan Agung. Bayangkan betapa ramainya. Anak saya kecil, berdesakdesakan. Ada yang mendorong dari belakang, istri saya yang melindungi anak saya, kena sikut mukanya. Ia menegor lelaki yang menyikutnya. Lelaki itu tersinggung dan marah, lalu istri saya ikut marah. Apa yang saya lakukan? Saya menarik tangan istri saya dan anak saya keluar dari kerumunan, lalu duduk di balai gong. Anak saya bertanya, kenapa mengaso? Saya jawab, apa gunanya bersembahyang ketika pikiran masih dipenuhi rasa marah dan dendam. Kami istirahat sejenak, mendengarkan bunyi gamelan, setelah pikiran tenang baru masuk ke jeroan. Sekarang ini pengaturan masuk di Pura Dasar Gelgel di hari Pemacekan Agung sudah berlapis tiga dan mulai tertib. Tetapi masih saja ada dorong-mendorong, dan ada maki-makian di antara pengunjung. Suasana seperti ini hampir terjadi di setiap pura kalau ada pujawali besar. Termasuk Pura Besakih. Penyebabnya adalah kawasan suci pura sudah semakin sempit. Dan manusia-manusia moderen sudah mempersempitnya lagi dengan memberikan akses masuk bagi kendaraan, pedagang, dan sebagainya ke lokasi paling dekat pura. Akibatnya, umat ke pura selalu dalam posisi “grasa-grusu” (tergesa-gesa dengan cara sembrono). Sudah saatnya umat diberikan pengertian hal yang paling mendasar, seperti bagaimana etika mengunjungi pura, dan siapa yang dipuja di pura itu. Jika perlu siapkan buku sejarah pura itu yang bisa dijual. Pura besar di Bali termasuk Pura Ulun Danu semuanya punya sejarah, dan ini harus diketahui umat. Kalau tidak, akan muncul generasi “anak mula keto” jilid dua: generasi yang tak bisa menjelaskan apa-apa mengenai ritual dan agamanya sendiri. 27 April 2002
C
140
C
Wong Samar
T
radisi ngerebeg adalah tradisi yang sudah kuno. Kalau kita membaca buku mengenai peradaban di Nusantara ini, ngerebeg itu ada di mana-mana. Bukan cuma Bali, tetapi juga di Jawa, Sumatera, Kalimantan. Masyarakat agraris dan keterbatasan sarana di masa lampau itu membuat tradisi ngerebeg ini muncul. Inti dari ngerebeg ini kebanyakan untuk mengusir roh-roh yang jahat. Masyarakat di masa lampau percaya, kalau ada penyakit yang mewabah di sebuah pedesaan, mereka melakukan ngerebeg. Semua warga desa turun dengan membawa senjata bertuah, berkeliling kampung, mengusir semua roh jahat yang menye-babkan terjadinya malapetaka itu. Biasanya itu dilakukan malam hari, mungkin kalau siang hari roh halusnya tidak keluar. Karena itu dalam tradisi ngerebeg di berbagai daerah, peralatan seperti obor tak ketinggalan. Di beberapa desa di Jawa — hal ini juga terjadi di Bali — penduduk membawa pelepah kelapa yang dibakar. Karena dunia ini sudah semakin maju, ilmu kedokteran sudah berkembang dengan pesat, tradisi ngerebeg yang pada awalnya lebih banyak untuk memerangi penyakit, mulai berkurang. Kalau sekarang ada wabah demam berdarah, misalnya, ngerebegnya dilakukan dengan cara lain. Warga bergotong-royong
C
141
C
membersihkan lingkungan, mengumpulkan kaleng-kaleng bekas dan menanamnya. Lalu menyemprot untuk membasmi nyamuk demam berdarah itu. Di masa lalu, orang tak paham demam berdarah, apalagi nyamuk yang menyebabkan berjangkitnya demam berdarah. Orang hanya paham gerubug (banyak penduduk yang sakit) dan penyebabnya adalah makhluk jahat. Ngerebeg dilaksanakan untuk mengusir roh jahat itu. Ketika Kerajaan Kediri mengalami malapetaka karena rakyatnya banyak yang mati sia-sia, ngerebeg dilancarkan di seluruh kerajaan. Tetapi pada akhirnya ketahuan bahwa roh jahat yang menyebabkan kematian penduduk itu diyakini bersumber dari Calonarang. Ini tak bisa dilawan dengan ngerebeg. Kemarahan penduduk beralih kepada tokoh jahat ini, dan terjadilah perang ilmu hitam yang terbesar di kerajaan itu. Ini hikayat lama, benar tidaknya, mana saya tahu. Lalu, siapakah makhluk halus itu? Banyak nama tergantung daerah masing-masing. Di Jawa ada gendruwo, tuyul, jin. Di Bali sendiri ada beberapa sebutan, misalnya, wong samar, memedi, gamang, banaspati. Mungkin ada yang lain lagi. Tapi di Bali tidak semua makhluk halus itu jahat, ada yang profesinya sekedar iseng menggoda saja. Misalnya, memedi. Menurut kisah-kisah di desa pegunungan, memedi ini suka tinggal di pohon-pohon yang besar dan menyeramkan. Kerjanya hanya menakut-nakuti manusia, misalnya dengan tertawa cekikikan tanpa wujud, atau dimunculkan wujudnya sekelebat dengan wajah yang aneh-aneh. Tapi tidak menularkan penyakit, hanya membuat ketakutan. Barangkali sama dengan tuyul di Jawa. Pokoknya makhluk kurang kerjaan. Wong samar lain lagi. Konon, mereka itu punya komunitas sosial yang budayanya tinggi, seperti halnya manusia biasa. Banyak wong samar yang bisa berdialog dengan manusia, atau sebaliknya manusia yang mengunjungi wong samar. Bahkan
C
142
C
saling bantu-membantu. Pada masyarakat tradisional di Jawa, wong samar ini pastilah apa yang disebut jin. Sering ada berita, kalau ada pertemuan akbar warga NU — yang pendukungnya masyarakat tradisional — para jin diminta untuk ikut membantu pengamanan. Luar biasa. Di Bali belum pernah saya mendengar pecalang meminta bantuan wong samar untuk mengamankan aksi demo. Mungkin perlu dicoba untuk mengamankan PrepCom IV di Nusa Dua. Atau membantu polisi di Desa Culik untuk mengatasi bentrok antar desa? Banaspati, nah, ini katanya yang betul-betul jahat. Wujudnya seperti singa, macan, atau barong dalam seni sakral Bali. Katanya bisa membunuh orang atau menyebabkan orang jadi sakit. Di mana persisnya pemukiman makhluk yang tak kelihatan ini, tentu saja tak jelas. Apalagi kalau ditanya berapa populasi makhluk ini di Bali. Perlu mendatangkan tokoh paranormal untuk mengadakan sensus. *** MUNGKIN ada yang bertanya, kalau demikian kisah-kisah di masa lampau prihal terjadinya ngerebeg, kenapa sekarang ini upacara ngerebeg dikaitkan dengan ritual keagamaan? Seperti yang terjadi di Desa Adat Tegallalang, Gianyar, tradisi ngerebeg itu berkaitan erat dengan upacara di Pura Duurbingin. Ini bukan sesuatu yang merisaukan, atau menjadi pertanda bahwa masyarakat kita masih percaya pada hal-hal yang musykil sejenis takhyul. Ada pewarisan nilai-nilai yang perlu dilestarikan jika tradisi itu memang sejak dulu membawa kebaikan. Ngerebeg dalam ritual keagamaan di masa sekarang ini, jangan lagi diartikan sebagai mengusir makhluk-makhluk jahat, tetapi lebih pada kebersamaan sosial melaksanakan sebuah yadnya. Juga sebagai tempat untuk bersosialisasi di antara warga adat. Plus
C
143
C
hiburan untuk anak-anak. Di Kraton Yogyakarta sampai kini masih tetap dilangsungkan ngerebeg dengan mengelilingi “benteng Kraton” dengan cara berjalan kaki di malam hari. Ribuan penduduk ikut dalam ritual ini. Apa lagi yang perlu mereka usir di tengah malam yang kini terang-benderang, tidak seperti di masa lalu yang masih angker, banyak pohon dan tidak ada listrik? Tak ada yang diusir. Tetapi “adat” ini tetap dilestarikan karena memang tidak ada yang dirugikan. Justru manfaatnya besar, ada nostalgia bagi para sesepuh, ada ajang sosialisasi bagi warga yang super sibuk, ada dialog antar anak-anak muda, ada pedagang “jajanan pasar” yang diuntungkan. Minimal, badan jadi sehat karena ikut olahraga jalan kaki. Di desa saya, dulu kala, katanya juga ada tradisi ngerebeg dengan tujuan mengusir Nang Dudu — entah ini makhluk jenis apa — yang suka jail mempermainkan saluran air di subak. Tradisi ngerebeg itu tidak diteruskan, namun tabuh khusus untuk mengusir Nang Dudu itu tetap dilestarikan sampai kini. Uniknya, tabuh itu menjadi tabuh sakral untuk rentetan pujawali di berbagai pura. Siapa tahu, sekarang ini Nang Dudu memang tak perlu lagi diusir secara phisik, karena sudah cukup diusir dengan tetabuhan gong kebyar. Karena itu saya setuju tradisi-tradisi masa lalu ini dilestarikan, bukan untuk melestarikan takhyulnya atau dongeng yang tak jelas juntrungannya, tetapi kita memberi makna baru yang lebih moderen. Ada ruang untuk lebih banyak melakukan aktifitas bersama yang menjalin persatuan, dibandingkan kita bersengketa terus, lalu bermusuhan, dan membakar-bakar rumah. 8 Juni 2002 Catatan: * pecalang = petugas keamanan milik adat.
C
144
C
Pandita Buddha
M
asyarakat Bali banyak yang tidak tahu antara Buddha sebagai agama dan Buddha sebagai salah satu aliran dari ajaran Hindu. Atau kalau memakai istilah umum yang biasa dipergunakan di kalangan perguruan tinggi yang mempelajari perbandingan agama, aliran itu disebut madzab. Nah ini yang tidak dipahami benar oleh sebagian masyarakat Bali. Pada tahun 1999 ketika upacara Panca Wali Krama di Pura Besakih muncul polemik yang berlarut-larut di kalangan umat Hindu di Bali tentang keberadaan Tri Sadhaka yang muput karya. Dalam Tri Sadhaka itu umat Hindu diperkenalkan dengan istilah Pandita Siwa, Pandita Buddha, Pandita Bujangga. Pro dan kontra berseliweran, baik yang sungguh-sungguh mempersoalkan eksistensi Tri Sadhaka ini, maupun pro dan kontra yang ngawur karena tidak tahu. Pro dan kontra yang landasannya benar tentu saja mempersoalkan kenapa cuma Tri Sadhaka yang boleh muput karya, kenapa tidak Sarwa Sadhaka. Artinya,
C
145
C
kenapa cuma ketiga jenis pandita itu saja yang memimpin upacara, ke mana pandita jenis lainnya. Sedangkan pro dan kontra karena tidak tahu persoalannya, misalnya, menyatakan keheranannya, kenapa ritual agama Hindu memakai pendeta dari agama Buddha? Keponakan saya termasuk golongan terakhir ini, bingung dengan istilah Buddha dalam agama Hindu. Ketika mengikuti persembahyangan di Pura Besakih itu dia penasaran sekali ingin melihat Pandita Buddha. Tetapi ia kecewa karena merasa tidak menemukannya. “Semua pandita meketu, tidak ada yang rambutnya plontos. Katanya ada Pandita Buddha, mana?” tanyanya. Saya jelaskan Buddha yang dimaksudkan itu hanyalah cabang atau salah satu aliran dalam ajaran Hindu. Saya memang tak menggunakan istilah sekte atau madzab, nanti dia tambah bingung. “Semuanya ini Pandita Hindu, semua yang bersembahyang ini orang Hindu,” kata saya. Tapi, dia tetap saja tak paham. Saya sebenarnya juga tak suka dengan istilah ini. Pandita Siwa, Pandita Buddha, Pandita Bujangga dimuat dalam lontar Eka Pramana, yang tugasnya amrestistha Tri Bhuwana (membersihkan tiga alam) yaitu Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Dalam lontar itu tak dikenal istilah Tri Saddhaka. Jadi ribut-ribut soal siapa yang “muput karya” ini agak berlebihan karena istilah yang terlalu kaku. Kalau saja dijelaskan kepada umat, untuk upacara besar seperti Panca Wali Krama dibutuhkan tiga jenis pandita Hindu, yaitu satu kelompok yang mengupacarai alam Bhur, satu kelompok lagi mengupacarai alam Bhuwah, satu kelompok lain lagi yang memimpin upacara di alam Swah, barangkali lebih jelas pengertiannya. Nah, pandita Hindu dari manapun asalnya, dari manapun warganya, kalau memang menguasai memimpin upacara di kelompok-kelompok itu, silakan memuja. Jadi tidak dipelintir dengan memunculkan
C
146
C
istilah Sarwa Sadhaka dan sebagainya. Umat Hindu di pedesaan, yang tidak terpelajar (dalam hal agama), mana bisa membedakan ini pandita Hindu dari madzab Siwa, yang ini dari aliran Buddha, yang itu dari Bujangga. Mereka lebih bisa membedakan sulinggih dari soroh (clan) karena namanya menjelaskan hal itu, ada Ida Pandita Mpu, ada Ida Peranda, ada Ida Bagawan, ada Ida Bujangga Rsi dan sebagainya. *** KATA Buddha di Bali memang sudah sangat populer. Ada har dalam bahasa Bali bernama Buda, hanya penulisannya yang beda, ucapannya sama saja. Selain itu, para pengikut agama Buddha di Bali sulit dibedakan sepintas lalu dengan umat Hindu. Semuanya membaur, baik secara budaya maupun kesehariannya. Kalau terjadi interaksi atau dialog, paling yang membedakan adalah umat Buddha lebih banyak diisi oleh warga keturunan. Tapi banyak juga orang Bali yang memeluk agama Buddha, bahkan memegang posisi penting di wilayah agama itu. Bhiksu Girirakhito Mahatera yang kini telah tiada, adalah putra Bali asal Singaraja yang pernah memegang posisi tertinggi di Walubi (Perwalian Umat Budhha Indonesia). Tutur katanya begitu halus, dan selalu memakai bahasa Bali jika berbicara dengan orang Bali, meskipun beliau tinggal di Jakarta. Oka Diputhera, bekas direktur agama Buddha yang kemudian menjadi Sekjen Walubi, juga orang Bali kelahiran Negara. Kesehariannya tak bisa dibedakan dengan orang Bali yang Hindu, karena tutur bahasa dan guyonannya khas Bali. Begitu pula, misalnya, dengan pakar meditasi Merta Ada. Bahasa Balinya halus, logatnya pun Bali asli, stafnya banyak orang Bali yang Hindu, tapi Pak
C
147
C
Merta Ada sendiri penganut Buddha yang taat. Hanya para pendeta (bikshu) Buddha yang jelas-jelas beda penampilannya, kepalanya plontos dan pakaiannya dengan warna dan corak yang khas. Interaksi Hindu dan Buddha di Bali selama ini berjalan harmonis. Wihara di Pupuan dikerjakan oleh salah satu tukang dari Desa Pujungan yang sehari-hari adalah pemangku Tri Kahyangan. Konon, ada beberapa ritrual Hindu yang dilakukan pada bangunan Wihara itu. Tapi, pastilah tidak upacara mecaru, karena umat Buddha tidak membolehkan menyakiti binatang, sedangkan ritual Hindu sampai saat ini masih ada saja yang menyakiti bahkan menyiksa binatang dalam ritual seperti mecaru itu. Kalau ada kegiatan di wihara, umat Hindu sekitarnya ikut mempersiapkan upacara, bahkan kesenian yang ditampilkan tak beda dengan keseharian yang kita lihat di Bali, ada gamelan gong, joged bumbung dan sebagainya. “Begitu kleneng wihara dibunyikan, kita berhenti menabuh,” kata pemangku yang ikut “ngayah” di wihara itu. Yang dimaksudkan kleneng itu adalah lonceng. Saya ingin mengatakan, keharmonisan hubungan Hindu dan Buddha di Bali — juga di Nusantara — hendaknya terus dijaga, sebagaimana leluhur kita di masa lalu melakukannya. 18 Mei 2002
Catatan: * muput karya = yang memimpin upacara ritual.
C
148
C
Soroh dan Kasta
S
aya seringkali membuat orang bingung, jika orang itu menanyakan di manakah kelompok soroh (warga) saya. Pertanyaan ini biasanya terjadi di Bali. Sedangkan di luar Bali, pertanyaan menyangkut kasta. Kedua-duanya saya kira bukan pertanyaan yang relevan, karena konteks pembicaraan tidak menyangkut hal-hal khusus, tetapi soal status. Karena itu saya sengaja membuat orang itu bingung. Kalau saya ditanya, apa kasta saya, saya menjawab: “Saya biasa berganti kasta setiap satu jam.” Yang bertanya itu pasti heran. Lalu saya jawab lagi: “Pagi-pagi biasanya saya berkasta Sudra, karena saya harus mencuci mobil karena tidak suka punya supir. Siang hari saya berkasta Wesya, karena saya melakukan aktifitas bisnis. Tapi malam hari saya pastilah seorang Brahmana, karena seluruh kegiatan saya tertuju pada masalah rohani, mulai dari bersembahyang, melantunkan mantram-mantram, membaca sloka Weda dan sebagainya.” Begitu pula jika pertanyaan menyangkut warga. Saya pernah membuat orang bingung. “Saya ini warga Bali, dan saya beragama Hindu, itu saja yang saya tahu.” Orang itu bertanya lebih lanjut, di mana Pedharman saya? Saya menjawab: “Seluruh pura yang ada padmasananya adalah tempat pemujaan C 149 C
saya.” Kemudian orang itu bertanya lagi: “Pura Kawitan atau Pura Leluhur bapak di mana?” Saya jawab: “Banyak sekali. Pemacekan Agung saya tangkil ke Pura Dasar Gelgel, Manis Kuningan saya tangkil ke Pura Batur Gunaksa lalu balik ke Pura Sakenan. Kalau saya lagi sreg dan badan sehat, saya bisa hadir di mana saja, kecuali pura keluarga yang kecil-kecil.” Nah, tambah bingunglah orang yang bertanya itu. Di kampung saya sendiri, saya tergolong orang nyeleneh. Di sini, terjadi sedikit perbedaan cara pandang di antara warga Pasek dan warga Tutuwan, menyangkut persembahyangan. Warga Tutuwan percaya bahwa jika ada anggota keluarganya yang kawin ke luar warga, orang itu harus mepamit ke pura leluhurnya, dan sejak itu tidak wajib lagi bersembahyanng ke Gunaksa, dan sebagainya. Bahkan, jika misalnya anak itu kawin dengan warga Pasek, maka si keluarga Pasek ini juga melarang anak itu “tangkil” ke kawitan Tutuwan. Saya tak tahu bagaimana di daerah lain. Tapi saya sendiri tak mau diatur begitu. “Leluhur saya banyak sekali, dan semasih saya beragama Hindu maka saya wajib memuja leluhur, sebagaimana saya memuja Hyang Widhi,” itulah alasan saya. Orang Bali di pedesaan, terutama yang terjebak pada tradisi gugon tuwon dan sikap “anak mula keto” sering sekali sulit membedakan, kapan dan di mana ia memuja Hyang Widhi dan kapan ia memuja leluhur. Pokoknya begitu memakai kamben dan ikat kepala, lalu mengatakan diri ke pura, mereka sudah langsung mengatakan “sudah bersembahyang”. Sembahyang ke mana? Hyang Widhi, Tuhan, Brahman, Narayana atau sembahyang ke Dewa-Dewa atau sembahyang ke Bethara-Bethari? Tak peduli. Sekali waktu saya pernah bertanya kepada anak saya, pada saat anak saya dan teman-temannya mau berangkat ke Pura Uluwatu malam-malam. “Kamu di sana memuja Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh yang moksa di tempat yang kini jadi pura
C
150
C
itu, atau kamu memuja Hyang Widhi sebagai Brahman yang Esa?” Anak saya langsung menjawab: “Nggak tahu, makanya diberitahu dong…” Nah, persoalan warga harus ditempatkan secara proporsional, yakni hanya kumpulan orang-orang yang memuja leluhur yang sama. Siapa leluhur itu, juga sudah dirinci oleh warga yang bersangkutan. Artinya, sampai tingkat mana yang dipuja secara bersama-sama itu. Kalau tidak begitu akan kacau, karena kalau diruntut terus ke atas, semua orang Bali itu sama leluhurnya. Bahkan seluruh manusia di dunia ini, punya leluhur yang sama. Begitulah sejarah agama mengajarkan kepada kita. *** APAKAH saya tidak setuju dengan tumbuhnya organisasi warga di kalangan umat Hindu di Bali saat ini? Saya setuju sekali, karena banyak manfaatnya. Setidak-tidaknya ada sebuah himpunan besar yang memelihara peninggalan para leluhur itu, baik yang berupa Pura Sad Kahyangan maupun Pura Pedharman yang bisa saja berstatus sebagai Kahyangan Jagat. Kemudian, himpunan besar itu berusaha meneladani sifat-sifat terpuji dari leluhur itu yang diwariskan dalam berbagai prasasti. Lalu, himpunan besar itu bisa saja mencetak pada sulinggih dan pinandita masing-masing karena pada hakekatnya semua manusia berkedudukan sama dan semuanya berhak untuk menjadi “kasta apa saja”, sesuai swa-dharma yang mau dijalaninya. Sebelum eksisnya himpunan warga ini, tugas-tugas kebrahmanaan seolah-olah hanya diwarisi satu kelompok saja, dan seolah-olah itu hanya berdasarkan keturunan. Di mana-mana di muka bumi ini tidak ada swadharma manusia berdasarkan keturunan. Anak guru harus menjadi guru, anak petani singkong harus menjadi petani singkong, dan sebagainya. Tetapi memang
C
151
C
seringkali terjadi bahwa anak seorang petani kopi akan menjadi petani kopi karena lingkungan dan wawasan yang sempit itu. Bukankah sekarang zaman global yang meninggalkan hal-hal “sempit” seperti ini? Yang perlu dicermati dari kumpulan warga ini adalah jangan menjadi organisasi yang eksklusif, terutama cara pandang terhadap ajaran Hindu sebagai sebuah agama yang universal. Biarkan kelonggaran itu terjadi dalam hal urusan beragama, namun biarkan yang sempit itu ada jika terbatas pada urusan kawitan. Orang Bali Hindu yang melupakan kawitan adalah orang yang tidak baik. Ia seperti melupakan jasa besar leluhur yang telah mengasuhnya sejak dulu. Nah, untuk menghindari hal-hal eksklusif itulah perlu forum bersama antar-warga. Komunikasi harus dibangun sejak dini, sehingga sekat-sekat yang ada bukan jadi penghambat, tetapi justru untuk memperkokoh bangunan yang lebih besar. Apakah bangunan yang lebih besar itu? Tak lain adalah Agama Hindu. Itu sebabnya, jika orang bertanya pada saya, di mana saya menempatkan diri, saya akan menjawab: “Saya orang Hindu, saya bangga menjadi orang Hindu. Saya warga Bali, saya bangga menjadi warga Bali.” Hanya di lingkungan keluarga saja, saya mengatakan: “Saya warga Pasek, kita harus menghormati leluhur kita Sang Sapta Resi.” 17 Maret 2001 Catatan: * warga dalam tulisan ini berarti himpunan masyarakat yang mengaku punya leluhur yang sama. * tangkil = datang (dalam pengetian ke tempat suci). * gugon tuwon = percaya begitu saja dengan tradisi yang lalu.
C
152
C
Budaya Feodal
S
iapakah yang mau disebut feodal sekarang ini? Pasti tidak ada. Siapakah yang mau disebut mengembangkan budaya feodalisme sekarang ini? Pertanyaan ini berbeda, tetapi jawabannya sama: tak ada seorang pun. Tetapi kalau ditelisik, apakah ada orang yang senang dengan masih berkembangnya budaya feodal? Jawabannya: ada yang senang, ada yang tidak. Dulu, feodalisme di Bali dikaitkan dengan puri dan kasta. Orang di luar puri disebut jaba, dan dalam kasta ada dua golongan besar: sudra dan triwangsa (wesya, kesatria dan brahmana). Masih membekas sisa-sisa itu, walau hanya di beberapa tempat dan kini pun kian menyurut. Sekarang, banyak orang puri dan kaum triwangsa yang sudah “merakyat” dan bahkan mereka risih dengan sebutan yang bercirikan feodalisme itu. Di masa lalu, orang jaba masuk ke puri, harus berjalan merunduk-runduk dan berbicara dengan sangat halus. Orang jaba memberi predikat dirinya sebagai orang
C
153
C
rendahan: siap dimaki, siap dihina, dan siap dijatuhkan harga dirinya. Sekarang, siapa yang mau “merendahkan diri” hanya karena berada di luar puri atau hanya karena tidak memakai nama yang dulu dikaitkan dengan triwangsa? Namun, feodalisme tidak berarti hilang karena muncul feodalisme baru dengan ciri-ciri kekayaan, kekuasaan, dan jabatan. Seorang kaya di Kuta membentak-bentak tukang kebunnya yang nama depannya I Gusti dan ia memerintah supirnya dengan kata kasar padahal supirnya bernama depan Ida Bagus. Seorang staf duduk kaku di depan atasannya dan siap menerima perintah, padahal jika mengacu kepada ciri feodalisme masa lalu, staf itu status sosialnya triwangsa, dan atasannya jaba. Lepas dari contoh itu, memang ada orang desa yang masih siap untuk menyebut dirinya “parekan” atau “panjak” atau “jaba” jika berhadapan dengan orang puri atau orang yang namanya mengacu ke triwangsa sistem kasta yang salah kaprah. Terutama generasi tua di Bali. Karena itu, jika kita bicara masalah feodalisme di Bali, semua punya andil untuk kelangsungan sistem itu, baik secara langsung maupun tidak. Ada golongan triwangsa dan puri yang masih ingin dihormati meskipun berprilaku buruk, sementara ada golongan jaba yang masih mau berada “di tempat rendah”. Jadi, jangan salahkan satu pihak. Sekarang, banyak sekali orang puri yang tidak mau lagi diistimewakan seperti di masa lalu. Mereka warganegara biasa saja, juga krama banjar biasa saja. Itu yang seharusnya terjadi. Saya banyak berkenalan dengan orang di lingkungan puri dan bahkan besan saya ada dari keluarga Anak Agung, namun saya tak menemukan sifat-sifat feodal di antara mereka. Memang saya tak mau “merendahkan diri” tetapi mereka juga tak ada bermaksud “meninggikan diri”.
C
154
C
Hanya di beberapa tempat, saya menemukan kasus adanya keluarga puri atau golongan triwangsa yang tidak mau baur dengan masyarakat biasa, bahkan minta prioritas tertentu di banjar adat yang istilah Bali disebut “luputan” (bebas dari kewajiban tertentu). Dengan pemerataan pendidikan yang makin bagus dan pemahaman akan nilai kemanusiaan yang universal, kata lain dari menghormati hak asasi manusia, masalah feodalisme yang bersumber dari tradisi puri dan kasta di Bali akan hilang dengan sendirinya. Apalagi jika ditambah dengan pengetahuan agama Hindu yang benar. Meski begitu budaya feodal itu sendiri tak akan bisa lenyap di dunia ini, karena manusia memiliki ego yang tidak sama. Akan selalu muncul feodalisme jenis baru yang dibawa oleh berbagai perbedaan, karena feodalisme itu subur di masyarakat yang kehidupan sosialnya jomblang. Feodalisme baru bukan lahir dari faktor puri atau non puri, bukan dari sistem kasta yang salah itu, tetapi dari status sosial ekomoni dan status sosial kekuasaan. Dalam feodalisme baru ini, belum tentu seorang bupati yang bernama Tjokorde Malen lebih feodal dari bupati yang bernama Wayan Poleng. Bisa jadi, Bupati Wayan Poleng jauh lebih feodal, karena ia sudah menempatkan egonya dalam status “lebih tinggi”. Karena itu, sesungguhnya dikotomi puri dan non-puri, jaba dan triwangsa (dua istilah ini paling tidak saya sukai dan sebaiknya dibuang), tak layak lagi diperbincangkan dalam Pilkada yang akan digelar di Bali. Tidak ada hubungannya sama sekali. Apakah I Gusti Putu Wijaya lebih feodal dibandingkan Adi Wiryatama di Kabupaten Tabanan? Apakah AA Gde Agung lebih feodal dibandingkan Ketut Sumer di Kabupaten Badung? Atau lebih feodal mana AA Puspayoga dibandingkan Ida Bagus Mantra di Kodya Denpasar? Kita
C
155
C
tidak bisa menjawab hanya melihat dari namanya, kita hanya bisa melihat dari prilaku mereka di dalam kehidupan bermasyarakat. Kita tak bisa lagi menyebut seseorang itu feodal karena datang dari lingkungan puri, karena masalah feodal atau tidaknya seseorang menyangkut karakter yang sangat individual. Lagi pula, apakah arti puri atau griya sekarang ini? Bukankah banyak perumahan baru yang memakai nama puri dan griya di depannya? Memunculkan isu feodal dan non-feodal, isu puri dan non-puri, isu kebangsawanan dan kerakyatan pada setiap Pilkada, akan makin mengukuhkan pembuktian bahwa feodalisme di Bali yang diakibatkan penerapan status sosial yang menyimpang dengan agama di masa lalu, belum bisa diakhiri. Mari memilih Bupati dan Walikota dan Gubernur karena program, visi, misi dan wawasannya. Bukan asal-usulnya apakah dia orang puri atau non-puri. 30 April 2005
C
156
C
Hitam-Hitam
R
abu yang lalu, saya melayat ke rumah duka di sebuah banjar tak jauh dari kampung saya. Saya mengenakan baju kaos putih. Beberapa orang yang saya kenal, langsung menyapa saya. “Nah, ini bagus Pak Putu, tidak kepanasan. Coba seperti saya mengenakan pakaian hitam-hitam begini, wah panas sekali,” katanya. Lalu saya pun menjawabnya: “Kalau memang panas, siapa suruh memakai baju hitam-hitam?” Seorang warga menyebutkan pakaian hitam-hitam itu merupakan pakaian seragam banjar dan wajib dipakai kalau ada kematian. Wajib? Saya tanyakan hal itu kepada kelihan adat setempat, yang kebetulan tak jauh dari tempat saya ngobrol. “Dulu memang wajib, tetapi sekarang tidak lagi. Kalau dulu, siapa yang tak mengenakan pakaian hitam-hitam kalau ada kematian dikenakan denda. Sekarang tidak lagi ada denda, kebetulan semua perangkat adat orangnya baru,” kata kelihan adat itu. Lalu, saya kembali ke kerumunan tadi, dan saya jelaskan bahwa tidak ada lagi keharusan memakai baju hitam-hitam. Kalau pun mengenakan baju lain, putih misalnya, tak akan kena denda. Namun seorang warga mengatakan: “Sekarang yang
C
157
C
perlu dicari, siapa pelopornya. Kalau tidak banyak memelopori memakai baju lain, ya, malu, soalnya sudah jadi kebiasaan. Biar panas terpaksalah, sudah terlanjur salah kaprah.” Seorang warga lainnya berkata lagi: “Baju hitam-hitam ini soalnya sudah menjadi baju seragam banjar. Nanti kalau membuat lagi baju seragam warna lain, sementara yang ini belum robek, kan boros uang.” Dari obrolan ini saya menarik beberapa kesimpulan. Dulu memang ada kewajiban dari kelihan adat agar melayat orang meninggal atau ngaben, harus memakai baju hitam-hitam. Cuma, sekarang ini sulit untuk mencari tahu, kenapa dulu ada kewajiban seperti itu. Siapa biang keladinya? Barangkali ini imbas dari komunikasi yang terbuka. Masyarakat Bali melihat di berbagai kota, baik melalui siaran televisi maupun media cetak, kalau orang melayat banyak memakai baju berwarna gelap — tapi tidak harus hitam. Dan mereka sama sekali tidak tahu kalau ini adalah “budaya barat” yang mengenal musim dingin. Bahkan masyarakat Bali juga “sering lupa” kalau dalam Hindu tak pernah mengenal ïstilah “berkabung” yang dihubungkan dengan warna hitam. Kalau “berkabung” saja tak dikenal, kenapa warna hitam sebagai simbol berkabung dipakai? Bukankah kalau dicarikan rujukan pada mitologi Hindu, hitam adalah warna Dewa Wisnu? Kenapa Dewa Wisnu, sebagai dewa pemelihara, dipakai untuk simbol kematian? Hal-hal seperti ini nampaknya kurang cermat direspon oleh pemuka-pemuka agama yang semestinya memberi pengertian kepada masyarakat, termasuk pemuka adat. Kegairahan masyarakat kelas bawah untuk menjalankan ritual agama — sampai ada ide untuk membuat baju seragam segala — tak diimbangi oleh petunjuk dari kalangan yang tahu seluk-beluk agama. Jadi, masyarakat lebih cepat bertindak, selain faktor sponsor yang berkolusi dengan tukang sablon besar pengaruhnya dalam me-
C
158
C
masyarakatkan baju hitam-hitam di masa awalnya muncul. *** TAPI, jangan salahkan masyarakat. Sekali lagi, justru masyarakat itu “sedang bergairah”, terbukti mereka rela membuat baju seragam segala. Yang penting saat ini adalah meluruskan hal-hal yang salah. Berbaju hitam bukan sesuatu yang salah, sama saja dengan mengenakan baju kuning, merah, putih atau apapun. Yang salah adalah kalau tidak mengenakan baju warna hitam ketika melayat orang kematian, orang itu didenda. Sama juga kalau misalnya ada orang yang didenda masuk pura jika tidak mengenakan pakaian warna putih. Biarkan orang memakai baju sesukanya, asal bersih dan rapi. Hindu tidak mengatur cara orang berpakaian. Kamben dan kebaya bukan pula pakaian Hindu. Itu pakaian adat orang Bali. Orang Hindu etnis Kaharingan, orang Hindu etnis India, tidak memakai kamben dan kebaya. Orang Bali memakai destar, orang Jawa memakai blangkon, ya, sama-sama boleh masuk pura. Ketika dulu baju safari diperkenalkan untuk baju sembahyang ke pura, saya sangat anti mengenakan baju itu, kesannya “pejabat”. Namun, belakangan saya melihat kepraktisan baju model safari itu, yakni banyak ada kantongnya. Karena kita sembahyang memakai kamben, tentu saja kita membutuhkan kantong sebagai ganti kantong celana, untuk menaruh dompet, kunci mobil, handphone, dan sebagainya. Safari yang berkantong banyak itu berfungsi sebagai pengganti kantong celana. Walau begitu, karena saya terlanjur anti baju safari, saya memakai baju koko — persis seperti yang dipakai umat Muslim, cuma bordirannya diganti bernuansa Hindu. Sedang untuk formal saya memakai bentuk jas, yang juga berkantong banyak.
C
159
C
Apa artinya ini? Pakaian pun berkembang mengikuti kepraktisan zaman. Bukankah sekarang ini ada model selendang yang sekaligus ada kantong seperti dompet? Nah, ini praktis untuk krama banjar yang ngayah ke pura. Lihat pula pakaian yang dikenakan para remaja kita. Remaja putra (banyak juga yang kini diikuti orang dewasa) memakai kamben dengan “cara Jawa”seperti ada wironnya. Jadi datar di depan, tidak mekancut. Itu ternyata praktis karena kalau mebhakti, seluruh kaki bisa dibalut oleh kain. Remaja putri berkain agak longgar di bawah, juga dengan maksud-maksud seperti itu, jika duduk bersembahyang seluruh kaki tertutup kain. Saya punya karpet kecil untuk alas duduk, yang mirip sajadah bagi kaum Muslim. Kalau bersembahyang saya membawa alas duduk itu. “Beh, bapak seperti orang Islam,” kata beberapa orang. Begitu sampai di pura, saya gelar karpet itu, lalu saya duduk dengan tenang, orang pun memuji. “Wah, kalau semua seperti Bapak, tak perlu repot menyediakan tikar,” kata beberapa orang lagi. Coba perhatikan, seberapa banyak pura umum yang menyediakan tikar untuk umatnya? Saya pikir, dibandingkan membuat baju seragam, lebih baik setiap umat dibelikan karpet kecil. Kita tak perlu rebutan tikar di pura, dan kita pun yakin datang ke pura dengan pakaian bersih, pulangnya juga bersih. Yang kotor karpet duduknya, dan itu bisa dijemur langsung bersih. 26 Mei 2001
Catatan: * kelihan = ketua. * ngayah = kerja bakti.
C
160
C
Etika Berbusana
A
jaran Hindu, setahu saya, tidak mengatur masalah pakaian. Saya belum menemukan mantram dalam Weda yang mengatur masalah itu. Berpakaian hanya dikaitkan dengan etika dan tata krama. Itu yang dicarikan rujukan dalam ajaran agama yang disesuaikan budaya masing-masing. Jadilah kemudian pedoman bagaimana etika pakaian bersembahyang sesuai budaya setempat. Acuannya adalah tujuan bersembahyang itu, yakni menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan melakukan dialog rohani lewat pemujaan kepada Hyang Widhi. Karena Hyang Widhi begitu sucinya, maka badan kasar dan pikiran kita juga harus suci, supaya nyambung. Dipakailah pakaian yang bersih. Pikiran hanya tertuju kepada Hyang Widhi, perlu dikekang agar tidak mengembara ke mana-mana, maka dibuatlah simbul pengekangan itu berupa destar. Bagaimana yang perempuan? Rambut diikat atau di Bali disebut mepusungan. Leluhur kita di Bali bahkan menciptakan budaya mepusungan
C
161
C
yang berbeda antara dahasari (gadis) dan wanita dewasa. Bukan hanya pikiran saja yang perlu dikekang, tingkah laku dan tindakan juga dikekang. Lalu dibuatlah simbol pengekangan itu dengan memakai anteng (selempod) yang melilit di pinggang. Itu budaya Bali. Kalau di India atau warga India yang ada di Indonesia lain lagi “budaya pengendalian”-nya. Wanitanya memakai kerudung atau sejenis dengan itu, lelakinya kebanyakan baju yang panjang sampai di bawah lutut. Bagaimana mengekang pikiran? Mereka mengucapkan mantram ketika memasuki mandir. Umat Hindu di Bali jarang yang masuk pura langsung mengucapkan mantram. Biasanya hanya nunas tirtha pengelukatan di kori (pintu masuk pura). Perubahan terjadi seiring dengan pemahaman yang makin baik dan pengaruh kebudayaan global. Jika dulu simbol suci itu hanya pada pakaian yang bersih, sekarang mulai ke masalah warna. Putih dan kuning dianggap simbul-simbul suci. Dulu, destar kebanyakan dari kain batik dan baju pun warna-warni. Hanya pemangku yang memakai destar putih. Sekarang anak kecil memakai destar putih. Begitu pula baju, selain putih bahkan modelnya pun safari. Model safari ini berkembang dan diterima dengan baik karena memang fungsional, kantongnya banyak untuk menaruh dompet, kunci mobil, handphone, misalnya. Dulu mana ada kebutuhan seperti itu. Akibatnya, anteng (selempod) ada di dalam baju safari. Ada beberapa orangtua di kampung saya yang sampai sekarang kalaupun mau berbaju safari tetap anteng di luar. Alasannya, mengekang prilaku itu tak bisa setengah-setengah. Nah, ini bukti kita masih kuat dengan simbol. Jika para lelaki terutama kaum muda megikuti perubahan ini dengan pemahaman yang membaik dan juga mengikuti mode (lihat cara memakai kain tidak lagi mekancut) para wani-
C
162
C
tanya justru keblablasan. Busana tembus pandang dengan dada yang lebih terbuka yang tadinya dipakai para artis, diadopsi oleh wanita Bali untuk pakaian persembahyangan. Maka laris manislah kain brokat tembus pandang itu. Uniknya, para ibu-ibu pun ikutan “demam brokat” tanpa peduli bagaimana bentuk tubuhnya, bahkan tanpa peduli bagaimana kutang yang dipakainya. Yang ditiru hanya brokat yang tembus pandang saja, tak peduli mode di dalamnya, padahal para artis dan selebritis mengenakan pakaian tembus pandang itu justru untuk memamerkan mode pakaian yang di dalam. “Astaga, hebat benar wanita Bali, ini sembahyang apa kondangan,” komentar teman saya pada suatu malam purnama di alun-alun Puputan Badung, depan Pura Jagatnatha. Di wilayah Jabotabek beberapa tempek (bagian dari wilayah banjar) mulai melarang para ibu dan anak-anak gadisnya memakai kebaya dari bahan brokat yang tembus pandang. Alasannya dikembalikan kepada etika, busana bersembahyang jangan membuat orang lain terangsang dan berpikir yang macam-macam. Apalagi dengan merujuk contoh pada umat lain, pakaian sembahyang untuk wanita harus menutupi segala aurat. Pernah ada diskusi yang menarik soal ini. Seorang wanita protes, kenapa pakaian saja kok diatur? Kalau ada lelaki yang terangsang karena melihat wanita berbusana tembus pandang ke pura, ya, salahnya lelaki itu. Kok di pura masih punya pikiran macam-macam? Bunuhlah pikiran jorok itu. Justru jika ada perempuan yang berpakaian merangsang masuk ke pura, ini bisa dijadikan latihan bagi para lelaki untuk mengekang dirinya. Kalau tak lulus godaan, jangan bersembahyang. Ini tentu pembenaran saja dan akan jadi debat kusir. Kenapa orang masuk terminal yang padat manusia dianjurkan tidak memakai perhiasan yang mahal-mahal? Supaya tidak
C
163
C
merangsang para pencopet. Kenapa banyak terjadi perkosaan, bahkan pada anak-anak di bawah umur? Karena pemerkosanya terangsang dengan film porno dan menemukan sasaran pelampiasan pada wanita yang kebetulan juga merangsang. Kita bisa saja menyalahkan kenapa ada pencopet dan kenapa ada lelaki yang mudah terangsang? Namun, kalau kita atau keluarga kita sendiri yang mengalami nasib naas itu, barulah kita sadar, ternyata kita telah memberi jalan untuk segala keaiban itu. Mari kita menutup “jalan” itu. Mari kita berpakaian dengan mematuhi etika dan tata krama di mana kita berada. Kalau kita menghadiri resepsi perkawinan, upacara potong gigi, dan sebagainya, bolehlah berpakaian merangsang dan memakai perhiasan mahal-mahal. Tetapi jika ke pura, untuk apa memamerkan bentuk tubuh dan emas berlian di hadapan Tuhan Yang Maha Kaya? 26 Juni 2004
C
164
C
Keris Mpu Jamsuwi
K
eris bukanlah sembarang senjata. Dalam masyarakat tradisional di Nusantara ini keris tergolong senjata tikam, sejenis dengan badik (Sulawesi), kujang (Jawa Barat), rencong (Aceh). Keris yang ada di Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi, Kalimantan, juga sangat sakral. Ia dikerjakan oleh mpu-mpu dengan tingkat religius yang tinggi, dan keris bisa membuat orang bertambah sakti, berwibawa, ditakuti, dan disegani. Sekarang pun, ketika masyarakat moderen sudah mulai membuat simbol baru untuk meningkatkan wibawanya, keris tetap menjadi bagian yang penting. Baru-baru ini, saya mengadakan resepsi perkawinan di Jakarta dengan cara-cara moderen, karena upacara sakral sudah dilangsungkan di Bali. Meski moderen, tetapi pengantin masih ingin memakai busana kebesaran adat Bali, supaya menjadi kenangan indah ketika difoto bersama teman-temannya. Untuk itu, saya harus menyewa pelaminan adat Bali yang lengkap, plus pakaian pengantin. Dan keris menjadi peralatan sangat penting dalam busana penganten pria. Keris yang dipakai tentu saja sangat indah, bertahtakan emas
C
165
C
berlian — meskipun barangkali hanya emas sepuhan. Ketika penganten sedang dihias, saya iseng-iseng memperhatikan keris itu. Bagus sekali, ada permata-permata yang bersinar warna-warni pada pegangannya. Namun, begitu saya buka, saya terperanjat. Keris itu bukan terbuat dari logam, tetapi dari kayu dan seadanya saja. Sama sekali tidak sepadan dengan sarungnya. Keris buatan siapa ini? “Itu keris buatan Mpu Jamsuwi,” kata tukang hias penganten sambil tertawa. Saya pun kemudian ikut tertawa. Mpu Jamsuwi memang tidak dikenal dalam sejarah klasik sebagai pembuat keris, dan bukan seangkatan dengan Mpu Gandring, Mpu Ramajadi, Mpu Cakang — tokoh-tokoh pembuat keris di Kerajaan Singorasi. Jamsuwi artinya Dipinjam Khusus Untuk Perkawinan. Memang keris ini hanyalah ornamen untuk dilihat kulit luarnya saja, bukan mata kerisnya itu yang penting. *** APAKAH fungsi keris sudah berubah? Bisa dijawab “ya”, bisa pula dijawab “tidak”. Banyak sekali ada keris yang hanya berfungsi sebagai penghias. Ketika saya membeli keris untuk perlengkapan pakaian topeng di Pasar Sukawati, yang dilihat bukan pisau kerisnya (dalam istilah keris disebut bilah), tetapi sarungnya (wrangka), pegangannya (danganan atau ukiran), dan pernik antara pegangan keris dengan bilah yang disebut mendak. Keris-keris semacam ini juga dipakai untuk pertunjukan tari legong, drama gong, selain untuk perlengkapan busana penganten pria. Mata keris atau bilah tidak menjadi penting. Bahkan ketika dulu di mana drama gong banyak tumbuh di pedesaan, bilah keris itu bukan dari logam, tetapi dari kayu yang dicat menyerupai logam. Kalau dipakai bermain tidak melukai
C
166
C
kawan main, siapa tahu sabetannya tidak pas. Di Jawa, jangan heran jika para abdi dalem di kraton-kraton atau para sesepuh yang berjejer rapi di acara orang sunatan, memakai keris yang bilah-nya tidak karuan-karuan. Yang penting, pegangannya dan sarungnya. Hal ini juga terlihat pada keris buatan Sulawesi, keris buatan Madura, keris buatan orang Sunda, dan juga keris-keris yang dijual di pasar seni di Bali. Orang tak peduli pada bilah keris, yang penting bentuk luarnya. Khasiat keris pun jadi berubah, bukan pada simbolis bilah tetapi pada bentuk dan pernik sarungnya. Orang kagum jika melihat sarung dan pegangan keris itu terbuat dari emas murni, meskipun “pisaunya” dari kayu seperti keris buatan Mpu Jamsuwi tadi. Masih adakah keris yang fungsinya seperti di masa lalu, ketika para mpu membuatnya dengan penuh konsentrasi dalam samadi, dan keris dibuat dengan ilmu yang menyiratkan spiritual yang tinggi? Tentu saja masih ada tersimpan di rumah-rumah para sesepuh, apakah itu di keraton, di puri, di geria, di rumah para pemangku, balian, atau disimpan di pura sebagai perlengkapan suci dan bagian dari pratima. Saya dulu punya juga keris warisan, sarungnya sederhana dari kayu, pegangannya juga dari kayu yang berukir seadanya, dan bilahnya tentu saja bertuah. Keris itu oleh ayah ditaruh di atas tempat tidur, atau di sebelah bantal jika ada anak kecil yang tidur. Konon, khasiatnya untuk menjaga penghuni rumah dari berbagai serangan ilmu hitam. Ayah juga punya keris lebih kecil yang selalu dibawa-bawa, juga konon berkhasiat. Saya bahkan pernah diajari bagaimana membaca pamor dan luk (lekuk) keris. Tetapi sekarang sudah lupa kalau tidak membaca lontarnya lagi. Bahkan, keris-keris warisan itu juga sudah lenyap ketika ayah dan ibu saya tiada. Entah siapa yang mengambil. Kalau sekarang saya punya beberapa keris dengan berbagai ukuran, itu semata-mata untuk
C
167
C
perlengkapan menari, entah mpu mana yang membuatnya karena membelinya juga di toko seni. Pada keris yang bertuah, bilah keris itulah yang utama. Ada dua hal penting di sini, luk (lekuk-lekuk bilah) dan pamor (simbol yang seperti diukir pada bilah). Berapa banyak luk dan apa “bacaan” pamor akan menentukan apa khasiat keris itu. Tentu saja ada puluhan jenis pamor dan mungkin berbagai variasinya lagi tergantung kepiawaian sang mpu keris. Yang saya ingat ada disebut Pamor Ratu Pinayungan, khasiatnya pemilik keris berwibawa dalam mengatur negara, ada Pamor Kumbala Geni berkhasiat untuk selalu menang dalam pertempuran, ada Pamor Gedong Minep yang berkhasiat untuk menangih utang dan dicintai para wanita. Apakah di zaman moderen ini orang seperti Tommy Soeharto masih membawa keris berkhasiat sebagai putra orang Jawa yang sangat mewarisi tradisi? Saya ragu, karena simbol sudah berubah. Untuk menggaet wanita bukan keris lagi yang dipakai, tetapi mobil mercy atau pesawat jet pribadi. Tak perlu menyelipkan keris berpamor Kumbala Geni, lebih aman senjata laras pendek dengan peredam suara: dor langsung mematikan lawan. Tapi saya masih percaya, di beberapa daerah apakah itu Bali, Lombok, Madura, masih ada yang bertumpu pada kekuatan magis keris dan masih ada yang membuat keris bertuah. Siapa tahu ada mpu yang menciptakan pamor-pamor baru. Misalnya, begitu keris diacungkan di depan komputer, komputer langsung hidup dan membunuh semua virus dari internet. Apapun nama pamornya, saya akan membeli keris ini. 20 April 2002
C
168
C
Pesantian
D
i kampung saya, pesawat radio tidak lagi sebanyak yang dulu. Waktu televisi belum ada dan listrik belum masuk desa, radio hampir ada di setiap rumah tangga. Kini, radio termasuk langka. Orang lebih senang menongkrongi pesawat televisi. Tapi tidak berarti siaran radio tidak didengar orang. Seperti di banyak kampung lainnya juga, di kampung saya, pesawat kontek banyak sekali. Kontek adalah alat komunikasi dengan kabel, dan hanya kabel kecil ini yang membedakan dengan pesawat HT atau yang dipakai para anggota Orari. Lewat kontek ini siaran radio itu dikumandangkan. Untuk itu ada seseorang yang bertindak sebagai kelihan atau moderator yang menyambungkan kontek itu dengan siaran radio. Tentu saja siaran yang dialirkan ke kontek sangat terbatas. Kalau acaranya tidak menarik, akan ada protes yang muncul: “Beh, matiang radione, ngiring ngorte ane lianan,” (matikan radionya, mari ngobrol yang lain). Tapi, kalau Sang Kelihan kontek dianggap kurang tanggap memonitor siaran radio, akan muncul pula protes, misalnya, seperti ini: “Beh, kengken ne, sube jam enam tusing ada siaran,” (bagaimana ini, sudah jam
C
169
C
enam belum ada siaran). Siaran apa yang diminati dan ditunggu-tunggu itu? Urutan pertama tak lain adalah pesantian. Dan yang paling populer adalah pesantian lewat Radio Global yang dimulai pukul enam sore itu, setelah Puja Trisandhya. Apalagi sekarang ini tatkala Radio Global menyelenggarakan Utsawa Dharma Githa. Hampir bisa dipastikan seluruh penggemar kontek di kampung saya yang tak memiliki pesawat radio sendiri akan mendengarkan pesantian itu dari kontek. Selain karena acaranya memang diminati, wakil dari kampung saya mengikuti lomba ini. Komentar-komentar pun bermunculan. Kamis kemarin, ketika nomor undian 43 dan 44 ditayangkan Radio Global, ada yang langsung nyeletuk di kontek. “Beh, bagus gati, kalah sube wakil desane….” (Wah, bagus sekali, kalah sudah wakil desa kita). Namun ada yang bilang, belum tentu kalah. Peranan radio dalam mempopulerkan pesantian begitu besar. Selain Radio Global, RRI Denpasar dan RRI Singaraja juga menyiarkan hal serupa — meski kadang-kadang siarannya kurang jelas untuk tempat ketinggian seperti di lereng Gunung Batukaru itu. Kalau saya menjadi pengurus Parisada saya pasti memberi penghargaan yang tinggi untuk radio-radio yang menyiarkan pesantian itu. Sebab, metode pemantapan agama yang telah disepakati oleh Parisada salah satunya adalah dharma gita. Dan tak ada seorangpun yang meragukan bahwa pesan-pesan yang disampaikan dalam pesantian ini penuh dengan muatan agama. Berbagai geguritan dan kekawin yang dibaca dalam acara itu, semuanya berisi ajaran yang luhur. Satu lagi jasa pesantian ini adalah melestarikan dan bahkan mengembangkan bahasa Bali dan huruf Bali. Beberapa kekawin masih dalam tulisan huruf Bali. Jika di kalangan elit perkotaan — pernah tercetus dalam sebuah diskusi di Universitas Udayana — bahwa bahasa dan tulisan Bali begitu mengkhawatirkan perkembangannya seka-
C
170
C
rang ini, maka media seperti pesantian akan bisa membentengi hal itu. *** TAPI, siapakah masyarakat pesantian itu? Nah, di sinilah sayaharus mengakui secara jujur bahwa pesantian itu lebih banyak diminati oleh orang yang sudah dewasa. Kaum remajanya jarang yang mengikuti pesantian. Maksudnya pesantian secara rutin. Kalau ada lomba utsawa dharma githa yang biasanya setahun sekali untuk tingkat kecamatan, memang ada dibentuk pesantian di kalangan remaja. Tetapi selesai utsawa itu bubar jugalah pesantian di kalangan remaja. Kalau ini dilihat sepintas, kesannya suatu saat dunia pesantian akan tamat riwayatnya. Logikanya, para orangtua akan semakin uzur dan kemudian tiada, sementara generasi mudanya kurang minat pada dunia nyanyi-nyanyi tradisional ini. Bukankah itu berarti tidak ada kesinambungan? Ternyata, hal itu salah besar, setidak-tidaknya jika memakai sample di kampung saya. Saya yakin hal ini berlaku juga di desa lainnya. Yakni, para remaja, bagaimanapun begundalnya mereka di saat remaja, begitu kawin dan terkena kewajiban adat, perilakunya berubah. Dan salah satu perubahan itu adalah mereka mulai belajar untuk ikut pesantian. Ini bisa dimaklumi, karena mereka sekarang berada dalam dunia yang lain, dunia para orangtua. Mereka belajar berbicara bahasa Bali mengikuti alur sor-singgih, meski mula-mula terasa janggal. Kalau tidak, bagaimana mereka bisa mengikuti paruman di banjar adat? Setidak-tidaknya, bagi mereka yang baru saja terkena “ayahan banjar” dan belum berani bicara memakai bahasa Bali yang halus (standar paruman), mereka lebih banyak diam. Tapi,
C
171
C
lama-lama terbiasa juga. Kemudian mereka belajar geguritan dan kekawin. Apakah di sini mereka juga malu seperti halnya di paruman banjar? Inilah kelebihan kontek, alat komunikasi murah meriah itu. Belajar dan mencoba ikut terlibat dalam pesantian dengan media kontek, ternyata menepis rasa malu. Saya sudah lama mengamati hal ini, dan bahkan saya belajar megeguritan dan mewirama juga melalui kontek. Yang kita hadapi cuma mike dan pasawat kontek, kita tidak melihat orang lain, kita tidak tahu reaksi orang lain kalau orang lain itu tidak meresponnya lewat jalur balik. Lagi pula, ada kebiasaan yang baik di dunia pesantian, orang tak akan mencela tembang yang jelek. Kalau kita ingin orang berkomentar, biasanya akan ada respon: “Bagus, bagus, cuma iramanya mestinya begini….” Atau komentar-komentar sejenis itu. Tak ada orang mengumpat: “Siapa itu menyanyi? Jelek sekali, turun, bikin kacau jalur saja.” Umpatan untuk turun dari jalur kontek biasanya hanya pada obrolan yang jorok-jorok. Itu pula yang terjadi pada pesantian lewat radio. Dengarkan Radio Global setiap pukul enam sore, siapa pun yang menembang, apakah pemula yang iramanya masih kacau, pengasuh acara itu selalu meresponnya dengan baik, dan jika diminta komentar selalu memuji. Ini bedanya kalau kita belajar langsung di pesantian yang berkumpul, rasa malu itu besar sekali, meskipun tak ada pula yang mencemoh kalau kita kurang bagus menembang. Sungguh, dunia pesantian telah memanfaatkan kemajuan teknologi. 12 Mei 2001
Catatan: * Utsawa Dharma Githa = lomba mekidung, pembacaan sloka suci, cerdas cermat agama, yang mirip MTQ bagi umat Islam.
C
172
C
Tapa dan Meditasi
D
alam kisah-kisah klasik, banyak cerita yang mengetengahkan seseorang pergi bertapa. Para Resi di masa silam pun banyak disebut-sebut sedang bertapa. Apa yang mereka cari? Kesaktian, bisikan gaib, jimat, dan sebagainya. Lalu, kenapa bertapa itu harus di sebuah hutan? Selain ada unsur kesunyian dan menghindari dari keramaian, ada beberapa faktor yang menentukan di mana bertapa yang baik. Misalnya, tempat itu dianggap keramat atau tempat itu dianggap sulit untuk diketahui orang lain. Saya sering ngobrol dengan orang-orang tua yang mengaku pernah bertapa. Tapa yang dimaksudkan di sini mirip dengan semadi, yaitu pergi ke sebuah tempat membawa sesajen yang diperlukan, kemudian berkonsentrasi di sana dengan tujuan tertentu. Tujuan itu disesuaikan dengan tempat di mana semadi itu dilaksanakan. Misalnya, dia yakin “penunggu” tempat itu punya kesaktian yang bisa mengobati orang sakit, maka sang pertapa memohon ilmu itu diturunkan kepadanya. Seperti yang dikisahkan oleh cerita-cerita klasik, para pertapa itu mengalami berbagai godaan dan cobaan. Cuma saja, para pertapa abad 20 itu jarang menemui godaan seperti Arjuna C 173 C
yang digoda para bidadari cantik. Mereka digoda oleh makhlukmakhluk aneh. Tetapi karena mereka sudah mempersiapkan diri sebelumnya, mereka tahu bahwa semua itu adalah godaan yang harus dilawan dengan keteguhan sikap. Saya tak tahu sejauh mana kebenaran ini. Seorang mantan pertapa di kampung saya — sebut saja namanya Gurun Kopi — suka sekali menceritakan pengalamannya di masa lalu. Ia menyebutkan pernah bertapa di kuburan, di atas pohon beringin Pura Dalem, dan di berbagai tempat yang dianggap keramat. Setiap tempat godaan itu berbeda. Di kuburan, godaan itu datang dari makhluk aneh yang seolah-olah menyembelih tubuh Gurun Kopi dan menguraikan isi jeroan di dalam tubuh. Makhluk itu mengambil jantung, lalu ditanya Dewa siapa yang “tinggal” di jantung itu, apa warnanya, berapa “urip” atau “neptu”-nya, dan sebagainya. Satu persatu diurai, dan kalau tidak bisa dijawab, konon sang pertapa akan menemui ajalnya. Yang menarik bagi saya, ketika ia mengisahkan saat bertapa di atas dahan pohon beringin Pura Dalem. Ia datang malammalam dengan membawa sesajen. Godaan awalnya seperti rangda, celuluk dan sebagainya bisa ia atasi. Kemudian ada godaan baru yang akhirnya membatalkan tapa itu, yakni “waktu menjadi pagi”. Gurun Kopi mengisahkan, ia melihat suasana sudah menjadi pagi. Orang lalu lalang di jalanan dekat pura dengan segala aktifitasnya. Bahkan ia melihat beberapa orang menoleh ke arahnya dengan nada mencemoh, mengejek dan memanggil-manggil namanya. Awalnya Gurun Kopi sempat curiga, jangan-jangan ini godaan. Namun, karena “godaan” itu tak hilang-hilang, ia berpikir jangan-jangan hari memang sudah berganti pagi. Ia tak bisa menghitung berapa lama ia bertapa untuk membuktikan hari berganti pagi atau tidak. Begitu dilihatnya orang semakin ramai di jalanan, dan beberapa orang memperhatikan dirinya, ia
C
174
C
langsung memutuskan untuk mengambil sesajen di depannya. Artinya menghentikan tapanya. “Saya bisa dikatakan gila naik pohon di atas pura, atau malah dihukum oleh adat,” kata Gurun Kopi memberi alasan menghentikan tapanya. Tapi, apa yang terjadi begitu ia menghentikan tapanya itu? Hari tetap gelap, karena malam memang masih panjang. Ia menyumpahi dirinya karena tak bisa membedakan mana godaan dan mana tidak. Dari sini saya menyimpulkan bahwa seorang pertapa memang malu kalau dipergoki sedang melakukan tapa atau semadi. Karena masyarakat akan bergunjing: “eh, si Anu melakukan tapa, mau jadi apa dia, mau jadi balian?” *** SEKARANG, cara-cara bertapa seperti itu banyak dilakukan orang. Bahkan saking rancunya, orang sulit membedakan apa beda samadi dengan tapa, lalu apa bedanya dengan meditasi, dan apa pula bedanya dengan yoga. Selintas mirip saja: duduk tepekur, diam beberapa saat, lalu selesai. Dan orang sekarang ini tak perlu malu untuk menjadi “pertapa moderen”. Barangkali karena yang dicarinya bukan kesaktian atau bisikan gaib, tetapi kesehatan rohani dan jasmani — yang sesungguhnya juga “kesaktian” untuk diri sendiri. Godaannya bukan lagi bidadari cantik seperti di zaman Arjuna bertapa, atau celuluk seperti di zaman Gurun Kopi bertapa, namun kebisingan musik, suara televisi atau radio yang memberitakan kerusuhan aksi demo dan semacamnya. Hal itu terjadi karena tempat “bertapa moderen” bukan lagi di hutan atau di dahan pohon beringin, tetapi di aula sebuah hotel mewah. Peserta bahkan membayar ratusan ribu rupiah, seperti yang dilakukan sekelompok orang yang mengikuti meditasi
C
175
C
asuhan Ibu LK Suryani di sebuah hotel di Jakarta. (Menurut Bu Suryani yang mahal itu kan sewa hotel, makanan dan lain-lain, bukan meditasinya). Meditasi menjadi wabah baru di berbagai kota besar. Buku mengenai meditasi terbit begitu banyak, orang bisa bingung untuk mengikuti meditasi versi siapa yang harus dijadikan rujukan. Ada kelompok meditasi yang merujuk kepada agama tertentu, ada yang merujuk kepada agama tetapi agama apa saja tergantung orangnya. Artinya, mereka mengucapkan mantram atau ayat-ayat suci, tetapi disesuaikan dengan agamanya sendiri. Lalu ada meditasi yang sama sekali tak mengucapkan mantram apapun. Sepanjang yang pernah saya ikuti, meditasi versi Ibu LK Suryani tergolong terakhir ini. Meditasi itu hanya mengikuti alur pernapasan sendiri dan memasukkan kekuatan luar ke dalam tubuh, lalu mengeluarkan energi tubuh yang berlebih. Orang melakukan meditasi karena ingin sehat, menghilangkan stres. Tetapi kenapa banyak orang Bali pedesaan yang sehat-sehat saja dan tidak stres? Karena sebenarnya mereka sudah melakukan meditasi, yakni ketika membuat banten di pura, mejejahitan di rumah., atau melantunkan Puja Trisandhya. Setiap usaha yang mengarahkan pikiran pada suatu titik, sesungguhnya sudah bernama meditasi, begitu tertulis pada sebuah buku. Karena itulah, selesai pekerjaan yang membuat pikiran itu terpusat, orang pun merasa santai. Kalau begitu, jangan-jangan tulisan ini pun saya buat dalam keadaan bermeditasi 31 Maret 2001 Catatan: * balian = dukun. * celuluk = rangda = makhluk-makhluk serem yang sering divisualisasikan dalam tontonan calonarang.
C
176
C
Garuda
G
aruda adalah jenis burung. Apakah burung ini pernah ada di Indonesia, tentulah jawabannya: ya. Kalau tidak, bagaimana seorang putra Kalimantan bisa membuat lambang negara Indonesia dengan ide seekor burung garuda? Garuda sebagai jenis burung, sudah menjadi mitos. Sebagai lambang negara, ia sudah pula menjadi sesuatu yang baku. Masing-masing sayapnya ada 17, ekornya ada delapan, dan bulu sisik lehernya ada 45. Itu lambang tanggal, bulan dan tahun saat kemerdekaan bangsa ini diproklamirkan. Apakah dalam kenyataannya ada jenis garuda yang punya jumlah bulu-bulu seperti itu, tentulah hal yang mustahil. Karena sudah menjadi lambang, tak bisa sembarangan dikutak-katik. Tak ada garuda sebagai lambang negara berbulu ekor sepuluh. Bahkan tak ada garuda lambang negara yang kepalanya menengok ke kanan (dilihat dari depan), apalagi menengadah atau menunduk. Karena itu pernah ada orang yang mempersoalkan lambang garuda di atas ruangan salah satu rapat paripurna DPR yang kepalanya agak lurus ke depan, bukan
C
177
C
dalam posisi menoleh ke samping. Di Bali, yang masyarakatnya sebagian besar pemeluk Hindu, burung garuda juga sudah menjadi mitos, bahkan sudah dianggap sesuatu yang sakral. Tapi, garuda mana yang sakral? Tentulah yang terkait dengan ritual agama atau garuda yang menjadi tunggangan (linggihan) Dewa Wisnu. Karena itu burung ini disebut Garuda Wisnu. Ini pun juga baku, kalau pun ada sedikit penyimpangan, tidaklah besar, seperti halnya lambang garuda di atas salah satu ruang sidang DPR di Senayan itu. Tak ada pelukis atau pematung di Bali yang akan membuat wajah Garuda Wisnu dengan mulut bertaring seperti raksasa. Karena kalau bertaring seperti raksasa, ini bukan lagi bernama Garuda Wisnu, tetapi Garuda Wilmana, tunggangan para raksasa. Orang Bali tahu bagaimana menempatkan dan menghormati Garuda Wisnu itu. Tak mungkin patung Garuda Wisnu ditaruh di dapur, apalagi di kamar mandi. Garuda sebagai linggihan Dewa Wisnu inipun banyak dibuat dalam bentuk bendera (kober) yang dipakai dalam upacara sakral. Tak ada orang yang berdemonstrasi menuntut kenaikan upah buruh dengan membawa kober garuda. *** NAMUN, burung garuda dalam mitologi Hindu maupun dalam kisah-kisah sejarah agama Hindu (Ithiasa) tidak hanya satu, dan tidak hanya yang menjadi tunggangan Dewa Wisnu saja. Selain ada Garuda Wilmana yang menjadi tunggangan para elit raksasa, ada pula garuda yang “independen”, lepas terbang ke angkasa, mengembara ke mana-mana. Karena ini Ithiasa yang memang tujuan luhurnya menyebarkan kisah-kisah kebajikan yang ber-sumber pada ajaran Hindu, burung garuda yang bebas merdeka ini menebarkan sifat cinta kasih, penolong
C
178
C
orang-orang susah, rela mengorbankan nyawanya untuk sesuatu yang mulia. Ini adalah perlambang bagaimana makhluk ciptaan Tuhan itu berusaha meningkatkan status kehidupannya pada saat reinkarnasi. Dari burung garuda, lalu berkorban untuk suatu yadnya yang mulia, tentunya dalam kelahiran kelak akan menjadi makhluk Tuhan yang lebih tinggi statusnya, misalnya, lahir sebagai manusia. Dalam ephos Ramayana, setidaknya dikenal dua burung garuda yang punya sifat-sifat mulia, yang akhirnya mati karena membela kebenaran. Yang satu bernama Jatayu, yang satu lagi kakaknya, bernama Sempati. Dalam cerita Ramayana yang populer di Bali, baik dalam kekawin maupun pentas wayang kulit, yang sering ditonjolkan adalah peran Jatayu. Mungkin karena peran Jatayu berada dalam tokoh sentral kisah itu. Jatayu berusaha menyelamatkan Dewi Sita dari tangan Rahwana, tetapi kalah bertarung. Dan Jayatu yang sekarat kemudian ditemukan oleh Rama. Sebelum ajal, Jatayu yang memberitahu ke mana Sita pergi dan siapa yang melarikannya. Jatayu mencapai moksa berkat doa restu Rama dengan memberikan doa pemujaan. “Oh, Rama, engkaulah Dewa Wisnu,” begitu suara sayup Jatayu sebelum lenyap dari pandangan Rama dan Laksmana. (Ini versi India tentu saja. Kalau versi Bali, karena sering disuguhkan dalam drama tari, Jatayu justru dipanah oleh Rama supaya sempurna cara kematiannya. Barangkali ada unsur dramatis yang mau ditonjolkan). Sempati, kakak Jatayu, juga kalah bertarung melawan Rahwana jauh sebelum Rahwana menculik Dewi Sita. Sempati ditemukan oleh sepasukan kera yang dipimpin Hanoman ketika menuju Alengka, sebelum mengarungi lautan. Keadaan Sempati sudah mengenaskan, seluruh bulunya habis karena ditebas Rahwana. Ia tak bisa lagi terbang. Sebaliknya, pasukan kera itu mengalami kebutaan karena racun Sayempraba. Pertemuan
C
179
C
ini akhirnya saling memberikan informasi apa yang terjadi. Di sinilah dendam Sempati berkobar, kalau saja ia bisa terbang, ia akan ikut ke Alengka membalas dendam, plus mengabdi kepada Rama, titisan Wisnu. Tapi, Sempati dalam keadaan gundul. Ia bertahan hidup karena masih punya kekuatan dalam urat nadinya. Namun, dalam urat nadi itu tersimpan mantram dari Resi Rawatmaja yang begitu sakti, bisa untuk berbagai penyembuhan. Akhirnya, Sempati mengeluarkan mantram Resi Rawatmaja untuk menyembuhkan mata pasukan kera. Seluruh kera termasuk Hanoman menjadi sehat walafiat. Mereka pun segera berangkat menuju Alengka. Setelah pasukan kera itu hilang dari pandangannya, Sempati menemui ajalnya karena kekuatan urat nadinya telah habis. Ia moksa karena di akhir hidupnya mengabdi kepada Rama, titisan Wisnu, secara tidak langsung. Cerita ini memang tidak populer di Bali karena tidak berada dalam tokoh sentral dari Ramayana. Dari berbagai kisah yang ada, burung garuda di Bali selalu dikaitkan dengan Dewa Wisnu. Dan yang terkait langsung tentu saja yang disebut Garuda Wisnu itu sendiri, yang penggambarannya sudah baku. Karena itulah, saya selalu merasa tak enak jika mendengar monumen Garuda Wisnu Kencana di Jimbaran justru menjadi latar dari berbagai kesenian pop yang sama sekali tidak ada napas Hindu-nya, seperti pentas musik yang penuh dengan keseronokan. Ini yang disebut Garuda Wisnu salah tempat. 30 Juni 2001
C
180
C
Warisan Purbakala
J
ika kita berbicara tentang benda purbakala di Bali, maka kita dihadapkan pada dua hal: benda purbakala itu terlantar, atau benda purbakala itu dikeramatkan. Kedua-duanya punya masalah, yakni benda purbakala itu menjadi tidak berbicara tentang situasi kepurbakalaannya dan generasi masa kini tak punya ikatan emo-sional dengan masa lalu yang disampaikan oleh benda purbakala itu. Tentu tidak semuanya seperti ini. Di kampung saya, Pujungan, ada beberapa peninggalan arkeologi yang tidak berbicara apa-apa kepada manusia-manusia masa kini, kecuali peninggalan itu menjadi benda suci atau dijadikan tempat suci. Ada peninggalan arkeologi berupa kuburan dan di tempat itu sekarang didirikan pura kecil yang disebut Pura Geriya. Persis terletak di depan Pura Puseh. Kalau piodalan di Pura Puseh, Pura Griya itu ikut mendapatkan sesajen.Tapi, hampir tak ada penduduk yang bertanya, “warisan purba” apa itu, kapan kuburan itu dibuat, dan siapa dikuburkan di sana. Di buku-buku arkeologi pun hal-hal yang rinci seperti
C
181
C
itu tak ditemukan. Sejarah masa lalu kita begitu gelap. Peninggalan arkeologi yang kecil-kecil juga banyak ditemukan. Salah satunya adalah kulkul yang terbuat dari campuran tembaga dan besi, begitu orang kampung memperkirakan. Ketidakjelasan benda ini karena tak sembarang orang bisa menyentuhnya. Kulkul purba itu kini dijadikan “duwen pura” dan bersanding dengan pratima jika ada piodalan di Pura Manikgeni. Di beberapa buku disebutkan ada penyerangan pasukan Bali ke Lombok dan menaklukkan kerajaan kecil di sana. Harta benda kerajaan kecil itu dijarah dan dibawa ke Bali. Salah satunya adalah kulkul itu. Tapi kapan itu terjadi, siapa raja Bali dan raja Lombok itu, di mana pusat kerajaan Bali itu, kenapa kulkul ditemukan di Pujungan, tak ada “cerita bersambung” tentang ini. Sementara itu masyarakat setempat sangat yakin bahwa Pura Manikgeni adalah tempat parhyangan (bermukim) seorang pendeta sakti yang mengajarkan agama dan yoga dengan muridmurid yang tersebar di seluruh Bali. Ki Dukuh Sakti, demikian penduduk setempat mengabadikan sebuah nama, memang selalu “turun” lewat orang yang kerauhan jika ada piodalan di sana. Apakah pendeta sakti itu berhubungan dengan kulkul itu, penelitian secara ilmiah belum ada. Menurut penuturan orang-orang tua, kulkul besi itu pernah dibawa ke Jakarta, lalu ke Belanda. Tetapi kemudian dikembalikan. Peristiwa ini membuat penduduk semakin yakin bahwa kulkul itu keramat dan tidak boleh ditaruh di tempat lain kalau tidak di Pujungan atau di Pura Manikgeni. Pokoknya jangan sembarangan membawa kulkul itu, jangan sembarangan pula memperlakukannya seperti benda-benda biasa. Masyarakat tak pernah berpikir lain, misalnya, dibawanya kulkul itu ke Jakarta atau ke Belanda semata-mata untuk penelitian. Dan kulkul dikembalikan karena penelitian telah selesai, entah membawa
C
182
C
hasil atau tidak, tak pernah ada informasi. Perlakuan seperti ini hampir merata di seluruh Bali. Bulan Pejeng, demikian terkenalnya. Bahkan anak-anak pedesaan saat ini masih ada saja yang percaya bahwa bulan yang jatuh di Pejeng itu benar-benar bulan di masa lalu. Kenapa hal ini terjadi? Pertama karena “bulan Pejeng” itu juga ditempatkan di sebuah pura yakni Pura Penataran Sasih. Orang yang melihatnya harus terikat dengan ketentuan-ketentuan masuk pura. Lalu, orang pun harus melihatnya dari jarak yang tidak bisa dekat. Masalah kedua, informasi tentang itu tak banyak ada. Buku-buku arkeologi mengenai Bali memang sedikit sekali, dan itu pun tidak populer. Ditambah dengan kurang minatnya masyarakat pada ilmu ini, menjadilah benda-benda purbakala yang bernilai tinggi itu tidak dikenal sebagaimana benda arkeologi yang sesungguhnya. *** YANG rancu jika peninggalan arkeologi itu dikaitkan dengan tempat pemujaan. Di Pulau Serangan, beberapa candi di luar Pura Sakenan adalah peninggalan arkeologi. Jelas di situ disebutkan bahwa situs setempat ditetapkan sebagai cagar budaya. Namun penduduk melestarikan tempat itu sebagai sebuah tempat pemujaan, ya, seperti pura pada umumnya. Ini menimbulkan masalah, apakah sebuah benda cagar budaya masih bisa ditambahkan bangunan-bangunan baru yang secara ilmu pengetahuan bisa membuat kacau situs tersebut? Jawabnya tentu saja tidak, lihat bagaimana Candi Borobudur dan Prambanan dipugar dengan sama sekali tak membawa “batu baru” dari luar. Tetapi, karena itu dijadikan tempat pemujaan (pura), maka masyarakat membutuhkan bangunan tambahan yang mendukung pelaksanaan persembahyangan.
C
183
C
Saya kira ribuan orang yang bersembahyang ke Pulau Serangan jarang sekali yang mempertanyakan mengenai candi peninggalan arkeologi itu dari sudut sejarahnya. Umat datang bersembahyang, menghaturkan sesajen, nunas tirtha, lalu keluar membeli sate penyu. Masalah hampir sama jika peninggalan arkeologi itu dijadikan sarana pariwisata. Goa Gajah, Gunung Kawi, dan puluhan tempat wisata lainnya adalah warisan purbakala yang kini dijual untuk kepentingan pariwisata. Memang, penataan di tempat ini masih bisa diatur dibandingkan jika peninggalan itu dijadikan pura. Tetapi tetap membutuhkan pengawasan dan penegasan agar peninggalan arkeologi itu tidak dicemari oleh bangunan baru penunjang pariwisata. Peninggalan arkeologi yang sudah disusupi benda-benda baru, bukan saja menjadikan nilai arkeologinya turun, tetapi membuat orang ragu, apa itu benar peninggalan masa lalu? Seperti halnya benda-benda antik, kini banyak produk baru yang seolah-olah itu benda antik. Hanya orang-orang jeli saja yang bisa membedakannya. Yang perlu dilakukan pemerintah sekarang ini adalah menginventarisasi peninggalan arkeologi di Bali dan kemudian membuat peta arkeologi secara menyeluruh. Masalahnya adalah sejauh mana dana mendukung proyek ini. Maklum, pemerintah yang jatuh miskin seperti ini sudah tidak menjadikan faktor budaya sebagai prioritas tinggi. 7 April 2001
C
184
C
Kulkul
J
ika ingin mendengarkan suara kulkul, datanglah ke desa saya. Apalagi kalau mau duduk-duduk di atas balai kayu di Ashram Dharmasastra Manikgeni. Karena letaknya di ketinggian, semen-tara jarak dengan ujung desa cuma beberapa ratus meter, suara kulkul sangat jelas terdengar. Beraneka bunyinya. Saya heran, orang kampung tak pernah bingung dengan bunyi kulkul yang beragam itu. Mereka bisa membedakan dengan cepat dari mana asal bunyi itu dan apa pula maksudnya. Berapa ada kulkul? Ada tiga kulkul yang ditaruh di balai desa. Satu kulkul dengan suara yang berat, gemanya masih keras, namun bentuk phisiknya sudah bopeng-bopeng saking ketuaan. Ini kulkul yang paling tidak enak hati kalau mendengarnya, dan biasanya kalau dibunyikan selalu pagi hari sekitar pukul setengah enam, sebelum orang berangkat kerja. Suaranya polos: tung… tung… tung… tung… tung… tung… tung… tung… tung… (bunyi tung 9 kali). Ini adalah pengumuman bahwa di desa adat ada kematian. Mungkin orang bertanya, di banjar mana domisili orang yang meninggal dunia itu? Tak terlalu lama menunggu, akan berbunyi kulkul dengan suara yang lebih ringan, dari tempat yang berbeda. Itulah kulkul banjar. Setiap banjar (ada lima banjar adat) punya kulkul sendiri yang
C
185
C
ditaruh di balai banjar. Nah, kulkul banjar ini akan berbunyi tiga kali dengan beberapa jeda untuk memberitahukan bahwa akan ada gotong-royong di rumah orang yang berduka. Kembali ke balai desa. Masih ada dua kulkul lagi, satu kulkul untuk memanggil warga desa kalau ada pemberitahuan menyangkut urusan desa. Bunyinya tentu saja biasa-biasa saja. Kalau kulkul ini bulus (bunyi kencang tiada henti), nah, pertanda ada yang gawat. Tapi, soal apa? Dengarkan bunyinya dulu. Kalau bulus dengan irama: tung, tung, tung, tung …. secara monoton terus-menerus, ini berarti ada maling atau rampok yang perlu dikejar. Atau bisa juga orang ngamuk. Pokoknya warga harus keadaan siaga dengan senjata. “Bunyi tung-tung itu artinya tungked-tungked,” kata Godel — nama jeleknya — petugas kebersihan Ashram Dharmasastra Manikgeni yang hafal sekali bunyi kulkul. Tungked artinya tongkat. Di masa lalu, kalau ada perampok atau orang ngamuk, warga membawa tongkat untuk menjaga diri atau melawan rampok. Kalau kulkul bulus bunyinya; tung-tung …. tung-tung… tung-tung … terus menerus tiada henti, itu artinya ada kebakaran. “Tung-tung artinya tiying petung,” kata Godel lagi. Tiying petung artinya bambu petung, jenis bambu yang besar. Di masa lalu, di kampung saya terkenal ada bonjor (alat angkut air dari bambu). Sekarang sudah tak ada lagi. Jadi, kalau kulkul bulus seperti itu, penduduk tidak lagi membawa bonjor, tetapi ember untuk memadamkan api dan air bisa ditemukan di setiap pelosok dengan memotong pipa air ledeng. Suara kulkul tetap, tetapi maknanya sama. Masih ada satu kulkul lagi di balai desa, milik teruna-teruni. Kalau bunyinya biasa, ya, pemberitahuan umum. Tetapi kalau kulkul teruna-teruni ini bulus, artinya ada perampok yang perlu melibatkan teruna-teruni. Ini lebih gawat lagi, karena terunateruni di kampung saya ada yang jadi hansip, ikut klub-klub
C
186
C
silat, dan rata-rata punya sepeda motor. Deru motor pasti hingar-bingar. “Dulu ada pencuri mobil yang dikejar sampai jauh malam hari dan ditemukan 10 km dari sini, pencuri digebuki sampai mati,” ujar Godel dengan bangga — padahal saya ngeri membayangkan hal itu, dan secara hukum juga salah. Selain kulkul di balai desa, masing-masing satu di balai banjar, lalu di Pura Puseh satu buah, kemudian di setiap Pura Dadia ada satu kulkul lagi. Desa kami memiliki 35 dadia, bayangkan berapa jumlah kulkul semuanya. Ini belum lagi kulkul sekaa genjek, kulkul sekaa topeng, sekaa angklung dan entah sekaa apa lagi. Anehnya kalau ada kulkul berbunyi, Godel pasti tahu: “Itu dari Dadia Pasek Bendesa, yang tadi Sekaa Shanti.” Yang membuat saya heran, setiap kulkul baru suaranya tak pernah sama dengan kulkul sebelumnya. “Kalau bunyinya sudah ada yang sama, ya, diulang membuatnya, lobangnya diperbesar atau badannya ditipiskan, pokoknya bisa bunyi beda,” kata Godel, meski saya tetap tak paham. *** KULKUL diperlakukan sebagai benda sakral, saya kira di banyak tempat begitu juga. Karena itulah, Pos Kamling dan Posko PDI P di kampung saya tak boleh punya kulkul. Selain tempatnya dibuat lebih tinggi dan jauh dari jangkauan anakanak, di dekat kulkul pasti ada tempat pemujaan, minimal pelangkiran. Tidak sembarang orang boleh memukul kentongan tradisional ini. Nepak (memegang) kulkul saja dilarang. Kalau kulkul untuk orang kematian hanya dipukul oleh prajuru adat. Kulkul teruna-teruni hanya boleh dipukul ketua dan sekretarisnya. Namun, untuk kulkul bulus pertanda situasi gawat, boleh dipukul dengan minimal dua saksi dewasa, dan penyebab kegawatan
C
187
C
itu sudah jelas. Kalau rumah kebakaran, apinya kelihatan dari rumah tetangga. Kalau belum nampak api keluar, belum layak kulkul bulus. Kalau ada pencurian, sang korban sudah lapor ke balai desa, kepada siapa saja yang ada di situ. “Di sini tak ada kulkul bulus untuk mengumpulkan masa mau menyerang orang. Orang berkelahi biarkan saja. Tapi kalau orang ngamuk, membahayakan orang lain dan merusak fasilitas umum, bisa dibunyikan kulkul bulus. Orang memukul kentongan tanpa izin, sanksi adatnya keras,” kata ketua teruna-teruni di desa saya. Yang menarik, para pengrajin di kampung saya tak ada yang mau membuat “kulkul porno”. Para pengrajin ukir dan alat-alat dapur dari tempurung kelapa itu, konon pernah ditawari pesanan membuat “kulkul porno”, mungkin karena di kampung saya yang dekat hutan itu banyak ada kayu yang unik-unik. “Kulkul porno” adalah kentongan kecil yang di tempat menggantungnya ada bentuk kepala lelaki yang biasanya menunjukkan wajah mengejek atau mabuk. Lalu di bawah lubang kentongan ada lobang bundar tempat menaruh pemukul. Pemukul kentongan ini menggambarkan (maaf) alat kelamin lelaki. “Ini desa tenget (sakral) jangan menjual barang begitulah,” kata seorang pengrajin. Ini menunjukkan, banyak masyarakat Bali yang memberlakukan kulkul bukan sekedar kentongan, tetapi sebuah benda sakral. Kulkul terbuat dari kayu, simbul dari bagaimana menyatukan kayun (pikiran), begitulah perumpamaan yang masih dipegang. 15 September 2001 Catatan: * kulkul bulus = kentongan bertalu-talu. * sekaa genjek = grup paduan suara khas Bali yang berkembang mulai era 1990-an.
C
188
C
Wayang Kulit Bali
S
etiap Tumpek Wayang datang, saya selalu memprihatinkan tentang seni wayang Bali. Apakah itu versi wayang kulitnya, atau pun versi wayang wong, sama-sama menyedihkan. Keprihatinan ini sudah saya rasakan sejak lama, mungkin empat atau lima tahun lalu. Saat itu, saya menanggap wayang kulit dengan dalang yang cukup terkenal. Apa yang terjadi? Penontonnya cuma 21 orang. Itu pun sebagian adalah orang-orang yang terpaksa bergadang, karena harus menyiapkan upacara esok paginya. Sungguh saya heran. “Soalnya ada film kungfu di televisi,” kata beberapa orang. Pertunjukan wayang kulit yang “hidup”, kalah dengan tontonan kungfu di televisi. Bahkan, belakangan ini saya mendengar, pertunjukan wayang sendiri sudah kalah dengan Ketoprak Humor di sebuah stasiun televisi swasta. Padahal Ketoprak Humor itu banyak selingan bahasa Jawanya, meski pun mengambil lakon tentang Bali. Apakah ada pergeseran selera atau memang pertunjukan wayang kulit versi Bali yang begitu statis? Saya kira, penyebabnya kedua-duanya. Saya tak pernah menemukan pembaruan yang signifikan untuk pentas wayang kulit versi Bali. Atau barangkali itu dilarang, dan masyarakat Bali tak siap dengan pakem yang sudah baku ini? Saya tak tahu. Mungkin saja, karena kesenian wayang kulit versi Bali
C
189
C
ada yang erat sekali dengan ritual Hindu. Anak-anak yang lahir pada Wuku Wayang mesti diruwat dengan pentas wayang kulit. Ceritanya pun khusus tentang ruwatan yang di Bali dikenal sebagai wayang lemah, artinya wayang yang dimainkan di siang hari, tidak memakai kelir. Lalu, untuk upacara Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya, orang lazim meminta “tirtha dalang” dan itu dilakukan dengan mementaskan wayang kulit dengan ceritacerita yang dikaitkan dengan tujuan “nunas tirtha” itu. *** SEBAGAI seni pertunjukan, wayang kulit Bali terasa mandeg. Yang saya amati selama ini, perubahan hanya terjadi pada gamelan pengiring, dari gender kemudian dicoba gamelan seruling gambuh, lalu angklung, gong kebyar dan sejenisnya. Dari segi cerita, ada sedikit variasi. Parwa (ephos Mahabharatha), Ramayana, Calonarang (sering disebut wayang leak), Cupak, belakangan ada yang khusus bercerita soal babad, dan karena itu disebut wayang babad. Saya sendiri juga sulit membayangkan bagaimana mengemas seni pertunjukan wayang kulit Bali agar tidak monoton. Ini tentu beda sekali dengan mengemas seni pertunjukan wayang kulit versi Jawa. Ketika pertunjukan wayang kulit Jawa dijauhi penonton mudanya, dan ada keinginan menggiring kembali penonton muda itu, ada usaha mengemas pertunjukan itu keluar dari pakemnya. Misalnya, Ki Dalang mengadakan dialog interaktif dengan penonton, pesinden diberi peran interaktif dengan menerima pesanan lagu-lagu. Bahkan muncul dalang-dalang mbeling dari kalangan muda, katakanlah seperti kawan saya, Sujiwo Tejo yang bekas wartawan itu. Mereka ini betul-betul keluar dari pakem pertunjukan, karena bisa saja menghadirkan pembacaan puisi, atau menyanyikan lagu dangdut, yang tak ada
C
190
C
hubungannya dengan cerita yang digelar. Kemasan pertunjukan wayang kulit Bali dan Jawa itu beda. Wayang kulit Bali yang ditonton adalah bayangannya. Wayang kulit Jawa yang ditonton adalah proses adanya bayangan itu. Jadi dalang, pesinden, penabuh, lampu, jejeran wayang, cara Ki Dalang memainkan wayang, semuanya diperlihatkan. Dalam konsep pertunjukan wayang kulit Jawa sangat memungkinkan mengadakan ekspoitasi pertunjukan. Belum lagi beda peranan para punakawan. Punakawan wayang kulit versi Bali (Malen, Delem, Merdah, Sangut) hanya berfungsi sebagai penerjemah. Sementara wayang kulit versi Jawa, punakawan di sana (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) adalah bagian dari tokoh itu sendiri, bahkan Semar disebut titisan Bethara Guru. Kemasan, bagaimana pun, pada akhirnya adalah pemikat utama mengantarkan sebuah ide yang bernama cerita. Dalam hal ini saya melihat, seniman Bali ketinggalan dalam mengemas seni pertunjukan untuk bidang yang ada unsur dramanya. Jarang sekali seniman Bali yang melirik cara-cara mengemas pertunjukan dengan memanfaatkan teknologi moderen, misalnya, ketika berhadapan dengan bentuk pertunjukan khas televisi. Lihat saja drama gong ketika tampil di televisi. Sama sekali tak ada celah-celah untuk mengeksploitasi berbagai kemungkinan yang disediakan oleh televisi. Tetap saja mereka bermain di panggung dan mengabaikan kamera. Padahal, semestinya mereka tahu ada kamera dan mereka tahu akan disiarkan suatu saat oleh televisi. *** KEMBALI pada seni wayang, khususnya wayang kulit, di mana-mana, lagi kehilangan peminat. Di Jawa Barat (masyarakat Sunda) pertunjukan wayang golek sudah mulai sepi penon-
C
191
C
ton, apalagi penonton mudanya. Di Jawa (baik Tengah maupun Timur) pertunjukan wayang kulit juga bernasib sama. Kalau ada pertunjukan wayang kulit yang disiarkan langsung televisi dan kelihatan banyak pengunjungnya, itu hanya pada kursi bagian depan. Dan lihatlah, kebanyakan orang-orang tua. Bagaimana dengan situasi di Bali? Wah, lebih sepi lagi penontonnya. Pentas wayang kulit betul-betul menjadi tontonan nomor sekian. Orang-orang di desa lebih suka menonton film, baik melalui televisi maupun dari video yang kini dengan mudah disewa di pelosok desa. Pergelaran wayang kulit setiap purnama di depan Pura Jagatnatha Denpasar hanya dilihat segelintir orang, begitu pula siaran wayang kulit di TVRI Denpasar. Penontonnya orang-orang tua. Tapi, tunggu dulu. Masih ada pentas yang bisa meraih penonton dalam jumlah yang banyak. Di setiap daerah ada dalangdalang ngepop. Di kalangan orang Sunda, dalang Asep Sunarya masih tetap ditunggu-tunggu. Di kota seperti Jakarta, dalang muda Sujiwo Tejo juga masih dikerubungi banyak penonton. Di tengah-tengah masyarakat Jawa, dalang seperti Ki Manteb Sudarsono masih favorit. Dan di Bali, kalau dalang dari Blayu pentas, penonton masih berjubel. Kenapa mereka ini bisa bertahan dari serbuan kesenian pop lainnya? Jawabannya hanya satu: mereka mengubah pakem pementasan wayang itu menjadi pop. Pakem tradisi dengan alur bertutur yang runtut dengan menghidangkan cerita Mahabharata atau pun Ramayana sudah mereka campur dengan bentuk-bentuk kesenian pop yang kini merajalela. Bahkan, yang terjadi sebaliknya, unsur pop itu yang lebih dominan. Asep Sunarya di Jawa Barat tidak lagi terpaku kepada Raja Dwala, tokoh sentral dalam kesenian wayang golek, tetapi lebih pada Cepot, punakawan yang cerdas itu. Porsi permainan Cepot membuat cerita berkembang ke mana-mana, penuh gelak tawa, dan itu
C
192
C
yang disukai penonton. Sujiwo Tejo bahkan hanya menggunakan wayang sebagai “ritual pembuka” saja. Selebihnya ia bermain teater di panggung wayang dengan memanfaatkan pesinden yang bersuara empuk dan manis dipandang. Ia lebih banyak melakukan “pentas interaktif” dengan penontonnya. Jadi, ada dalang yang ngobrol dengan pengunjung. Kisah-kisah Mahabharata sudah dilupakan penonton. Ki Manteb terkenal karena kehebatannya memainkan wayang. Ia mempergunakan teknik-teknik moderen seperti panah yang mengeluarkan asap atau kilatan listrik sehingga mirip sinar laser. Ini memungkinkan karena ia mendalang tidak lagi memakai lampu dari minyak, tetapi dari penerangan listrik. Dan pesinden Ki Manteb itu, semuanya dari kalangan top yang bayarannya jutaan rupiah, bayangkanlah berapa biaya untuk menanggap Ki Manteb. Di Bali pun begitu. Dalang dari Blayu itu, Wayan Nardayana, terkenal karena humor yang diciptakan oleh punakawan tambahan seperti Ceeng dan Blong yang kemudian dijadikan “merek dagang” dengan plesetan Wayang Kulit Cenk Blonk. Penonton tak lagi bisa menyaksikan cerita yang utuh dari ephos Mahabharata dari dalang lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini. “Kalau tidak membanyol, siapa yang menonton wayang kulit sekarang ini?” demikian komentar orang-orang. Alasannya, dibolak-balik bagaimanapun, cerita Mahabharata dan Ramayana tetap saja seperti itu. Boleh-boleh saja Ki Dalang membuat cerita carangan, tapi ujung-ujungnya selalu perang antara Pandawa dan Korawa, atau pasukan Rama dengan balatentara Rahwana. “Usia saya sudah 60 tahun, kalau menonton wayang tetap saja Bima seperti itu, tetap saja Krisna, Dharmawangsa dan Arjuna lembut begitu. Apanya lagi yang ditonton. Kalau Tualen, Mer-
C
193
C
dah, Sangut, Delem, tidak membuat banyolan, lebih baik tidur dibandingkan menonton wayang,” kata Godel, penonton fanatik Wayang Cenk Blonk.. Pernyataan ini benar sekali. Saya beberapa kali menanggap wayang kulit di rumah dalam kaitan ritual. Penontonnya sedikit, orang lebih senang duduk bergerombol dibandingkan menonton. Kenapa muatan filosofi dari kisah Mahabharata dan Ramayana itu tak lagi menarik? “Sekarang masyarakat sudah pinter, setiap malam ada pesantian yang mengupas Kekawin Ramayana, Sutasoma, Sarasamuscaya sampai Sucita Subudi. Belum tentu dalang lebih pinter mengupas ajaran itu,” ini kata Godel. *** KI Dalang dari Blayu, Kecamatan Marga, Tabanan, yang kini populer dengan julukan Dalang Cenk Blonk, pada awalnya banyak mengeksploitasi humor yang menjurus ke pornografi. Dalang Blayu itu dikenal lincah menghidupkan dua “punakawan sisipan” yang bernama Ceeng dan Blong. Namun, Nardayana tak terus-menerus larut dengan humor pornografi. Begitu ia sudah dikenal, ia mulai mengemas pertunjukannya dengan memasukkan unsur pop. Nardayana merangkul seniman-seniman akademis dan terus mencari upaya bagaimana membuat pertunjukan wayang kulit yang memikat. Kadang ia memakai gamelan gong kebyar, bahkan seperti pementasan wayang kulit versi Jawa, ia memakai pesinden (di Bali disebut gerong), yang terdiri dari empat penyanyi wanita, di antaranya lulusan ISI juga. Lantunan gerong ini mengiringi munculnya kesatria halus seperti Dharmawangsa, dan mengiringi pemunculan dayang-dayang. Jadi meriah sekali. Sampul kasetnya didesain dengan citra seni pop dan sangat artistik, berbeda dengan sampul kaset kesenian
C
194
C
Bali lainnya yang asal-asalan. Ini sebuah terobosan besar. Masyarakat Bali ternyata menerima pembaruan seni pertunjukan yang dulu statis itu. Dalang Blayu ini juga mengurangi humor mengenai seks dan menambah humor-humor sosial politik yang tengah aktual di masyarakat. Inilah langkah yang mesti ditiru. Para seniman Ketoprak Humor maupun Srimulat Jakarta, dipaksa membaca koran setiap hari agar bisa mengikuti situasi sosial politik untuk bahan humornya. Saya ragu, apakah seniman drama gong dan para pelawak di Bali itu juga mengikuti berita-berita aktual, dan mencari bahan humornya dari sana? Kalau ya, kok leluconnya masih tetap cabul? Dalang Cenk Blonk (Wayan Nardayana) terus menerus mencari inovasi baru. Ia memainkan tata cahaya dari permainan lampu dengan menggunakan alat canggih -- ia sudah lama meninggalkan lampu minyak tradisional itu. Ia bisa menggambarkan adegan peperangan di angkasa, juga adegan peperangan di dasar samudra. Tata cahaya dan efek audio dengan menggunakan komputer ini menciptakan hal yang spektakuler di kelir pewayangan. Apalagi dia didukung oleh penabuh gamelan yang piawai dengan penata tabuh yang juga lulusan seni kerawitan ISI Denpasar. Begitu populernya pementasan ini, maka nyaris di Bali sampai tahun 2012 ini seolah-olah hanya ada satu dalang wayang kulit, yakni Dalang Cenk Blonk -- nama Nardayana malah jarang disebut lagi. Dalang-dalang lain seperti tenggelam dan pementasannya tak lagi ditonton orang. Memang, ada satu dua “adik kelas” Nardayana yang mengikuti dia, namun tak begitu mendaat sambutan. Fungsi dalang wayang kulit tradisional Bali lainnya nyaris hanya untuk upacara keagamaan saja. Yakni yang disebut wayang lemah, wayang kulit yang dipentaskan tidak memakai
C
195
C
kelir, tetapi benang tiga baris sebagai simbol saja. Pementasan ini hanya bagian dari ritual, penonton praktis tak ada karena memang orang-orang konsentrasi pada ritual keagamaan itu. Wayang Cenk Blonk akhirnya membawa fenomena baru pada pertunjukan wayang kulit Bali. Pementasannya singkat, paling lama 2,5 jam, isinya kebanyakan banyolan namun dikemas dengan situasi sosial politik dan keagamaan. Lebih-lebih setelah Wayan Nardayana, ki dalang ini, juga menempuh pendidikan S2 di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar jusrusan filsafat Hindu. Maka ciri khas kekuatan pentasnya tidak lagi pada humor semata-mata, juga pencerahan masalah agama. Cuma akibat sampingannya, penanggap harus membayar mahal untuk peementasan ini karena penambuh gamelannya banyak dan peralatannya pun harus diangkut dengan dua truck. Mereka membawa semua peralatan panggung sampai peralatan audio. Penanggap hanya menyediakan tempat sesuai ukuran yang diminta. Akhirnya pementasan ini lebih banyak terjadi karena ditanggap oleh instansi pemerintah atau ada sponsor. Dan “pesan sponsor” diselipkan dalam pementasan itu. Saya tak tahu sampai kapan masyarakat Bali akan jenuh dengan pertunjukan ini. Wayan Nardayana pun sering menyebutkan, walau ia berusaha terus mencari terobosan, suatu saat akan bosan pula. Ada saatnya untuk jeda dan istirahat, begitu ia sering berkata. Oktober 2002 - Agustus 2012 Catatan: * tumpek wayang = Sabtu Kliwon wuku Wayang. * Pitra Yadnya = upacara yang berkaitan dengan mengantarkan roh leluhur ke sorga, seperti ngaben (pembakaran jenazah).
C
196
C
Topeng Humor
B
eberapa tahun yang lalu, saya terkesima menonton pertunjukan topeng yang mengambil lakon Kluwung Sakti. Pesan moral dan humornya sangat bagus. Bagaimana seorang patih kerajaan, Ki Pasek Tangkas Kori Agung, mengalami konflik bathin ketika membunuh anaknya (Kluwung Sakti), karena “diperintahkan” oleh Dalem lewat sepucuk surat yang dibawa oleh seorang utusan. Konflik bathin itu diulas oleh punawakan (penasar) dengan mem-beberkan kewajiban seorang pepatih kerajaan yang sangat loyalitas kepada Dalem. Penasar meramu dialog tentang tugas, kewajiban, dan kasih sayang. Cerita tetap bergulir sesuai pakemnya, Kluwung Sakti dibunuh ayahnya, dan kepalanya dibawa menghadap Dalem sebagai bukti. Kemudian dipertunjukkan bagaimana Dalem terkejut, karena langkah Tangkas Kori Agung sangat terburuburu. Ia sudah diperdaya. Yang seharusnya dibunuh adalah utusan Dalem yang membawa surat itu, bukan Kluwung Sakti yang hanya menerima surat dari utusan. Penasar kembali menampilkan pesan moral yang tinggi, pemimpin itu tidak cukup C 197 C
loyal saja, tetapi juga harus punya nalar. Humor sindiran banyak lahir di sini, dan sangat relevan dengan situasi sekarang. Belakangan, saya membeli kaset grup topeng terkenal yang melakonkan Kluwung Sakti. Tapi, apa yang saya dapatkan? Selain tak ada pesan moral, humornya sangat dangkal. Si pembawa surat (utusan) diperankan orangtua yang penuh dengan ucapan cabul (bepergian selalu membawa alat penumbuk kinangan dan itu diplesetkan dengan hal-hal hubungan suami istri). Tak ada konflik pada diri Tangkas Kori Agung, anaknya langsung dibunuh, dan segera setelah itu muncul warga banjar untuk siap-siap mengadakan upacara ngaben jenazah Kluwung Sakti. Artinya, topeng bebondresan langsung keluar. Dan cerita topeng itu di sini tak lagi soal “Babad Kluwung Sakti”, tetapi sudah banyolan tentang perawan tua yang pulang ke desanya, anggota banjar yang tuli, dan sebagai-sebagainya. Cerita pun berakhir begitu saja setelah banyolan habis. Ada tradisi yang membelenggu para seniman topeng di Bali, terutama grup (sekehe) di pedesaan. Pertama soal pepeson (urutan-urutan keluar). Seolah-olah ada pakem: topeng keras, topeng manis, topeng tua, penasar yang mengiriri Dalem (Raja) dan dilanjutkan dengan tema cerita. Yang kedua, soal humor. Seolah-olah di depan Dalem tak boleh ada humor. Sehingga humor singkat hanya terjadi saat penasar dan wijil (penasar alit) keluar. Begitu mengiringi Dalem, kedua penasar harus tertib bersikap. Lalu humor puncaknya pada bebondresan di akhir cerita. Pola ini pun masih tetap dibelenggu oleh beberapa hal. Misalnya, wijil selalu menjadi pemuda yang malas, datang belakangan setelah dipanggil, dan sebagainya. Bebondresan selalu mewakilkan warga banjar. ***
C
198
C
BELENGGU ini yang membuat penonton mulai bosan. Bayangkan saja, topeng keras, topeng manis dan topeng tua itu, sudah ada pakemnya, seperti halnya orang menarikan Tari Oleg, Taruna Jaya dan sebagainya. Improvisasi seperti sulit dilakukan, kecuali pada topeng tua. Padahal, topeng keras tidak harus Pepatih, bisa saja bebondresan dan mereka menarikan gerak-gerak olahan baru. Sekarang hal ini sudah mulai dilakukan, meski keratifitas itu belum menggembirakan. Misalnya, ada topeng keras menirukan gerakan orang main tinju. Pada Pesta Kesenian Bali yang baru lalu, saya menyaksikan topeng dari grup binaan Kodya Denpasar yang menampilkan topeng lepas dengan gerakan lucu: membawa kipas, ada kalanya menari seperti joget, lalu lembut. Pokoknya ada olahan baru. Grup ini juga menampilkan dayang-dayang yang ditarikan wanita dengan memakai topeng. Saya kira ini bagus, karena selama ini topeng sering dicampur dengan ornamen arja (di beberapa tempat kemudian disebut dengan nama Prembon) jika ada pemain wanitanya. Seolaholah selama ini tabu kalau wanita memakai topeng, atau karena kecantikannya tidak nampak? Tradisi lain yang mengekang pementasan topeng adalah cerita yang selalu berkisah tentang Babad Bali. Kenapa tidak lari pada Babad Dunia Internasional? Jika Kadek Suardana lewat Gambuh sudah mulai mementaskan lakon Hamlet, saya ingin ada topeng yang mementaskan, misalnya, perjalanan Swami Wiwekananda ke Kongres Hindu Dunia di abad yang lalu. Selain napas Hindu tetap dipertahankan, cerita ini penuh heroik, ketika Swami Wiwekananda dihina di kapal yang membawanya ke India, dan ia melawan. Tinggal sekarang bagaimana mengubah Dalem menjadi tokoh Wiwekananda, atau tokoh apapun. Jika perlu diciptakan topeng-topeng dengan tokoh “kekinian”. Dengan cara mengubah pepeson, melebarkan lakon, dan
C
199
C
menempatkan humor sebagai perangkai dan bukan humor berdiri sendiri, maka akan terhindar humor-humor dangkal yang menjurus ke vulgar. Pementasan seni topeng harus diselamatkan dari humor vulgar, karena ini menyangkut citra, apalagi seni topeng masih ada kaitannya dengan upacara ritual, seperti topeng sidakarya itu. Adapun apa yang disebut “topeng bondres” yang dikenal sekarang ini sebagai selingan hiburan untuk acara-acara tertentu — pembukaan dharma shanti, pelantikan pengurus ormas Hindu dan sebagainya — sah-sah saja adanya. Topeng bondres ini hanya bertumpu pada humor dan kalau pun ada pesan moralnya, itu terkait pada acara yang berlangsung. Vulgar atau tidak, terserah pada pemain dan penontonnya sendiri. Tetapi seni topeng pertunjukan hendaknya dikembalikan pada citra topeng yang sejati, ada pesan yang ingin disampaikan tetapi juga menghibur. Untuk itu, penggalian kreatifitas mutlak dilakukan, jangan macet karena dibelenggu tradisi. 29 Juli 2000
C
200
C
Topeng Sidakarya
D
alam ajaran Hindu tidak diperbolehkan menghina orang. Apalagi kalau sampai menghina orang suci. Orang suci itu tentu tidak melawan dengan kekuatan phisiknya. Mereka akan melakukan perlawanan dengan mantra tergantung tingkatnya, dari sekedar mengingatkan sampai bersifat kutukan. Dalam kitab-kitab Purana dan Itihasa kita sering menjumpai adanya orang suci yang melakukan kutukan lewat kekuatan mantranya itu. Sebuah tradisi yadnya di Bali ada yang disebut kutukan Dalem Sidakarya. Inti kutukan ini adalah seberapa besar pun yadnya yang dibuat, seberapa banyak pun banten yang dihaturkan, tidak akan ada artinya jika belum mendapat “restu” dari Dalem Sidakarya. Banten bisa menjadi sampah yang berbau busuk, dan yadnya bisa tidak sampai pada tujuannya. Karena itu diperlukan “pemuput karya” di luar sulinggih. Siapa dia? Bukan orang tetapi sebuah simbol dari kemunculan Dalem Sidakarya, yakni pementasan topeng Sidakarya. Kita bisa
C
201
C
melihat dalam kesehariannya, ada upacara potong gigi lalu ada pertunjukan topeng Sidakarya. Ada upacara piodalan ada topeng Sidakarya. Upacara ngaben pun ada pertunjukan topeng Sidakarya. Pokoknya segala jenis yadnya, topeng Sidakarya muncul, termasuk pada saat Tawur Agung Kesanga yang baru lalu. Namun, seperti halnya sebuah kepercayaan yang berdasarkan legenda dan bukan berdasarkan kitab suci, tidak semua umat Hindu percaya akan “kutukan” ini. Karena itu banyak yadnya yang tidak disertai mementaskan topeng Sidakarya. Bermacam alasannya. Ada yang menyebutkan tradisi keluarganya tidak pernah menyelenggarakan pementasan itu, ada yang tidak ingin menambah biaya untuk memanggil sekehe topeng, ada pula yang terus-terang menyebutkan tidak tahu legenda di balik pementasan topeng Sidakarya. Bagi yang tidak tahu, ini sedikit ringkasannya. Kisahnya konon terjadi pada pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel, tatkala beliau mengadakan upacara besar di Pura Besakih. Banyak pandita yang diundang untuk “muput” upacara ini. Tersebutlah pandita (brahmana) sakti dari Keling, yang tidak diundang dalam upacara itu, tetapi ingin terlibat “muput karya”. Niatnya ini karena didasarkan pada hubungan kekerabatan antara Keling di Jawa dan Gelgel di Bali. Sayangnya, karena perjalanan yang jauh dan berhari-hari, Pandita Keling sampai di Gelgel dalam keadaan kumal, bajunya compangcamping, mirip seorang pengemis. Dalam pakaian seperti itu, tak ada seorang pun staf kerajaan yang percaya kalau tamu tanpa diundang ini seorang pandita. Maka, Pandita Keling diusir dengan paksa, setelah sebelumnya sempat dihina. Pandita Keling pergi dengan dendam. Di sebuah tempat yang sepi, dia melakukan perlawanan dengan mengucapkan mantra yang isinya yadnya yang diselenggarakan oleh Dalem
C
202
C
Waturenggong tidak akan membawa berkah, malahan menimbulkan bencana. Semua banten menjadi busuk dan tikus-tikus pun mengerubungi banten busuk itu. Tikus semakin banyak sampai merusak tanaman petani. Rakyat menjadi resah. Raja Waturenggong dalam samadinya tahu siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia lantas mengutus Arya Tangkas untuk menjemput pandita yang masih tinggal di tempat sepi (suwung) itu. Raja meminta maaf dan mempersilakan Pandita Keling untuk ikut “muput upacara” bahkan menjadi “pemuput” paling akhir sehingga “karya” itu menjadi “sida” (diberkahi). Prosesi ini bagi masyarakat kebanyakan lantas disebut “pemuput” Sidakarya. Karya besar dalam wujud yadnya pun sukses. Dari legenda itu masyarakat Hindu di Bali lantas membuat topeng Sidakarya. Wujudnya berwajah jelek dengan gigi merangas sebagai simbol dari pandita yang wajahnya mirip gelandangan. Karena itu penari topeng Sidakarya biasanya lebih banyak menutup wajah – terutama mulut – dengan kain putih yang dibawanya. Namun, mantra yang diucapkan sangat bertuah karena dilakukan dengan “ngider buwana” (ke segala arah). Itu sebabnya, tidak semua penari topeng mampu menarikan Dalem Sidakarya. Kebanyakan masyarakat Bali yang tidak mementaskan topeng Sidakarya untuk “muput” yadnya beralasan lain lagi, yakni tak ingin memanggil sekehe topeng. Pengeluaran bertambah dengan mementaskan topeng. Namun, topeng Sidakarya sendiri sesungguhnya bisa dipentaskan tanpa “pementasan topeng”. Artinya, yang didatangkan hanya seorang penari topeng yang sudah berhak (secara ritual) membawakan topeng Dalem Sidakarya itu. Gamelan pengiring tidak menjadi masalah, bisa gong gede, angklung, maupun gender biasa, disesuaikan dengan gamelan yang ada pada penyelenggaraan
C
203
C
yadnya. Dalam hal ini penari topeng Sidakarya disebut “topeng pajegan”, karena dia harus menarikan berbagai peran. Dalem Sidakarya hanya muncul pada saat akhir yakni ketika membuat tirtha. Karena itu sebelumnya “penari pajegan” ini melakukan improvisasi dan monolog untuk mengantar pada kemunculan Dalem Sidakarya. Penari bisa membanyol, bisa pula memberikan semacam dharmawacana, tergantung siapa penarinya. Sebagai seni ritual (seni wali) topeng Sidakarya perlu dikembangkan dan dipopulerkan. Tentu fungsi utamanya ditambah, bukan hanya untuk mentradisikan legenda “pemuput akhir” dari yadnya, tetapi untuk media dharmawacana. Sekarang ini bukan hanya hama tikus yang meresahkan tetapi juga terjadinya kemerosotan moral pada generasi muda. Nah, siapa tahu topeng Sidakarya bisa menjadi media perlawanan dalam mengatasi masalah moral ini. 1 April 2006
C
204
C
Janger Bali
J
ika ada kolaborasi tari nusantara yang bernada riang, pasti janger yang mewakili tari Bali. Begitu pula rangkaian irama nusantara, lagu Janger Bali paling sering dikumandangkan. Janger begitu populer dan menyebut janger orang langsung tahu kalau itu iconnya Bali. Kita harus berterima kasih kepada Guruh Soekarno Putra yang telah memperkenalkan tari janger dengan segala modifikasinya. Sudah lebih dari 20 tahun Guruh menangkap semangat tari janger, dan setiap pementasan grupnya dari era Swara Mahardhika yang amatiran sampai Gencar Semarak Perkasa (GSP) yang profesional, Guruh selalu menampilkan janger dengan busana yang mengikuti perkembangan zaman. Saya pernah bertanya pada Guruh, dari mana dia mendapat inspirasi tentang janger itu? Guruh menjawab: “Janger Peliatan.” Guruh memang akrab dengan seniman Peliatan. Saya sendiri tak tahu apa keunikan janger Peliatan, sehingga saya tak bisa bercerita apa-apa tentang janger itu. Namun, saya pernah punya obsesi untuk membuat grup janger di kampung saya. Saya pikir, kesenian ini begitu cair untuk guyonan khas Bali lewat pantunpantun nakal antara kelompok pemuda dan pemudi. Sayangnya, di desa saya, Pujungan, entah apa asal-muasalnya, tidak boleh
C
205
C
berdiri kesenian janger, bahkan pementasan janger pun tidak boleh. Dugaan saya adalah, mungkin larangan itu ada sejak dulu yang kemudian diperkuat oleh trauma setelah terjadinya pemberontakan G 30 S PKI di Jakarta. Janger Bali sudah kena cap sebagai kesenian politik. Janger ikut sebagai pemanas situasi menjelang G 30 S/PKI di Bali. Memang, menjelang 1965, janger menjadi salah satu kesenian yang paling banyak bermuatan propaganda partai. Semua unsur bisa dijadikan alat propaganda. Dari pakaian, peralatan yang dipakai, pantun yang dinyanyikan, bahkan komentar-komentar vulgar lewat seorang pemeran yang disebut dag. Generasi Bali masa kini barangkali tak bisa membayangkan, macam apa jenis janger pra-1965 itu. Saya ceritakan garis besarnya. Seorang dag muncul pertama kali, umumnya memakai celana panjang biasa tetapi dengan rumbai-rumbai, kadang mirip celana pelayan di hotel. Bajunya penuh hiasan lambang partai. Ia ngoceh di panggung, soal politik tentu saja. Suaranya keras menggebu, mungkin itu sebabnya disebut dag, sebuah suara yang menghentak. Dag kemudian memanggil kelompok penari lelaki. Mereka menari dengan pantun-pantun slogan partai. Janger dari Jembrana pakaian lelakinya memakai celana pendek, bersepatu dan berkaos tinggi, dugaan saya (tentunya belakangan baru saya tahu) ini kena pengaruh kesenian hadrah dari pesisir Jawa. Sedang janger dari Tabanan penari lelakinya umumnya memakai celana panjang biasa dan kadang berselempang, persis pakaian resmi Malaysia. Mereka meneriakkan yel-yel: “Sama rasa, sama rata, tok tok tok, gres gres gres”. Ketika suara tok, penari menirukan orang memukul dengan palu, ketika gres menirukan orang menyabit. Nah, ini pasti janger PKI dengan idiom palu arit. Adapun janger PNI slogannya: “Ngoos ngoos ngoos, Marhaen menang, Pancasila jaya.” Ketika mengucapkan ngoos
C
206
C
penari menirukan sapi menanduk. Tokoh dag menjadi sentral, ibarat propokator dalam aksi unjuk rasa di masa kini, apapun dia komentari. Kalau ada teriakan dari penonton yang tak setuju, dag ini bisa membuat suasana kacau karena menganjurkan perlawanan, bisa terjadi perkelahian di luar arena. Kalau sekarang saya mengenang kejadian itu, sungguh lucu. Kata-kata sosialisme, nasakom, nasasos, bisa membuat orang berkelahi. Itulah janger politik yang membuat janger menjadi sunyi senyap pasca 1966. Saya menduga janger Peliatan hilangnya juga di masa-masa itu, karena hampir di seluruh Bali orang membenci janger sebagai biang keributan. Akhir 1970-an muncul kembali janger tanpa dag. Ini janger dengan busana khas orang Bali ke pura, hanya saja semua penari, baik laki maupun perempuan, membawa kipas. Lagu yang dinyanyikan adalah lagu cinta, sahut bersahutan bak berbalas pantun. Tarinya memakai dasar pelegongan. Konon inilah janger asli Bali sebelum kena pengaruh politik. Sampailah kemudian muncul “janger orde baru”. Tidak ada slogan politik karena orde baru “anti politik”, yang ada adalah slogan tentang Keluarga Berencana, Puskesmas, SD dan lainnya. Saya ingat satu tembang dari penari wanita (lupa janger dari mana): “Mangkin kewastanin zaman tinggal landas, napi ke artine bli...” Tinggal landas, kata yang berkali-kali diucapkan pada masa Pak Harto. Sekarang, muda-mudi Peliatan mau menghidupkan kembali sekehe janger. Saya senang mendengarnya. Pada Pesta Kesenian Bali kadang ada janger yang pentas. Pesan saya adalah jadikan kesenian ini khas kesenian anak muda, dan jangan dijadikan propaganda politik, apalagi bernaung di bawah partai politik. Boleh bicara politik sebatas sebagai bahan banyolan dan kritik. Kekuatan kesenian janger adalah pantunnya yang
C
207
C
bersaut-sautan dan kita bisa membuat pantun-pantun nakal yang bermuatan kritik. Satu lagi yang perlu diperhatikan adalah cara menari berkelompok dengan duduk tertib itu tak harus sepanjang pertunjukan. Dalam hal ini janger kreasi Guruh bisa dijadikan inspirasi. *** MARI kilat lihat sejenak perjalanan tari janger ini. Janger politik sudah lewat. Tetapi seni tari janger dengan pantun-pantun yang bermuatan propaganda tak akan pernah hilang. Di situlah kesenian khas janger, pada pantun-pantunnya yang saling bersautan antara dua kelompok, pria dan wanita. Namun, propaganda di sini bisa diartikan secara luas. Propaganda tidak harus ada kaitan dengan politik. Bercinta juga perlu propaganda, sehingga pantun janger penuh dengan syair gombal tentang cinta. Setelah era janger politik hilang paska G 30 S/PKI, seni janger lama tertidur lelap. Orang tak berani lagi menampilkan tari yang berisi koor nyanyian itu. Janger sudah identik dengan politik, Bahkan janger sudah identik dengan Lekra dan LKN. Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) adalah ormas kebudayaan yang jadi onderbows PKI, sedangkan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) adalah onderbows PNI. Dua partai ini bertarung sama kuat di Bali sebelum tahun 1965. Kedua kelompok saling caci, saling sindir menyindir. Tak jarang pementasan janger diakhiri dengan keributan. Terjadilah trauma mejejangeran, imbas lain dari trauma politik akibat tragedi nasional 1965 itu. Tak ada lagi yang berani mendirikan grup janger. Meski pun beberapa tahun kemudian muncul kembali janger dengan versi lama, yaitu janger mudamudi bertemakan cinta, banyak orang berburuk sangka: “Ah,
C
208
C
nanti akan menyerempet politik juga”. Gubernur Bali Ida Bagus Oka di masa pemerintahan orde baru, pernah bernafsu menghidupkan janger. Diajaknya beberapa staf gubernuran menjadi pemain janger, termasuk istri Pak Gubernur sendiri. Ini pun janger propaganda, karena yang menjadi tema sentral pantun-pantunnya adalah soal “suksesnya pembangunan”. Masyarakat tak peduli karena trauma 1965 masih membayang, bagaimana “janger palu arit” yang juga sering disebut “janger merah” dibantai habis-habisan oleh “janger banteng” atau juga disebut “janger hitam”. Kalau pun kemudian muncul sekehe janger di beberapa tempat, terutama di Kabupaten Gianyar, maka pola pementasan pun mengalami perubahan. Kelompok pria dan wanita tidak lagi berhadap-hadapan tetapi menjadi dua baris dengan kelompok wanita di depan. Barangkali hal ini untuk mengurangi “konfrontasi” sesuatu yang sengaja dipolakan oleh janger-janger politik. Atau ada di beberapa tempat kesenian janger yang menyelipkan adegan tari di luar kekhasan janger. Pantun janger akhirnya menjadi latar belakang dari pementasan yang bercerita itu. Kenapa takut mejejangeran? Bukankah irama lagu janger itu begitu akrab di pedesaan Bali? Bukankah pula lagu Janger Bali menjadi ikon dari lagu tradisi Nusantara yang mewakili Pulau Bali? Kalau ada pentas musik yang menyajikan musik Nusantara, pasti lagu Janger Bali diperdengarkan, padahal yang membawakan bukan lagi orang-orang Bali. Upaya menghidupkan kembali tari janger dengan mementaskan seni tari plus suara ini di Pekan Kesenian Bali, memang upaya yang bagus. Dan biarkan saja kekhasan pantun janger dengan teknik propaganda itu dikembangkan oleh para pencipta syair janger. Tentu propaganda kali ini bisa mengenai hal-hal yang langsung berkaitan dengan kehidupan masyarakat, tidak usah menyerempet politik karena pada dasarnya orang Bali
C
209
C
juga tak banyak yang betul-betul paham politik. Misalnya, propaganda tentang bahaya narkoba, propaganda tentang bahaya main judi termasuk tajen. Bahkan bisa dikembangkan menjadi “propaganda dharma” yaitu menyebarkan ajaran Hindu yang penuh kebajikan dalam pentas janger. Kalau urutan syair bisa dikemas dengan baik, nasehat-nasehat yang menyentuh kehidupan sosial di masyarakat itu akan menjadi tema yang bagus, tentu tetap dengan selingan yang menyegarkan tentang cinta, humor, dan sebagainya. Sebenarnya banyak tema yang bisa digali dan juga banyak hal yang bisa diadopsi untuk memperkaya pantun-pantun janger. Tradisi berbalas pantun pada budaya Melayu, yang pernah menjadi acara populer di televisi, bisa menjadi inspirasi para penyair Bali untuk menciptakan syair janger. Begitu pula plesetan gaya Yogya dan tebak-tebakan khas Betawi yang bermuatan humor, bisa diramu dalam pantun untuk menyegarkan pementasan janger. Kekuatan seni janger di masa kini adalah bagaimana mereka mengolah pantun-pantun yang ditembangkan. Kreatifitasnya akan diuji di sini. Antara pantun humor dan pantun yang berisi nasehat, termasuk menyelipkan ajaran agama, harus mengalir dalam irama dan ritme yang utuh. Meski agak sulit karena janger adalah tari kelompok, pola pementasan masih bisa dikembangkan. Tidak harus berhadapan, satu baris janger wanita dan satu baris janger pria. Mungkin ada improvisasi misalnya bentuk melingkar. Karena janger adalah tari kelompok, adaptasi dari kesenian tradisi Aceh bisa dicoba. April 2006
C
210
C
Barong Ngamen
K
eponakan saya, kalau diajak pergi ke Taman Mini atau Taman Impian Ancol, paling senang melihat reog berkeliling. Bahkan ia ingin mengikuti reog itu. Selain suka pada reognya sendiri, ia suka pada para penari yang mengiringi reog itu. Ia menyebutnya “barong ngamen”. Ia salah kaprah, semua kesenian bertopeng serem itu disebutnya barong. Rangda dan celuluk pun disebutnya barong. Sedang kata ngamen karena ia terlanjur diberitahu, setiap bentuk kesenian yang berkeliling itu disebut ngamen. Banyak pengamen di kampung-kampung pinggiran Jakarta yang memilih bentuk kesenian. Mereka berkelompok, lima sampai enam orang. Ada yang mengusung ondel-ondel. Ada yang membawa penari wanita dengan hiasan yang menor. Pokoknya ada suara kendang dan suling, lalu seseorang menadahkan tangan atau topi ke setiap orang: minta uang receh. Mereka bergerak terus, dan kalau malam tidur di emper-emper toko. Mereka hidup dari belas kasihan orang.
C
211
C
Ada pula kelompok pengamen yang hanya beraksi kalau ditanggap orang. Ini sejenis “topeng monyet” (di pedesaan di Jawa Tengah disebut ledek munyuk) yaitu memakai kera sebagai daya tarik. Mereka berkeliling kampung dengan menabuh kendang kecil, kalau ada yang memanggilnya, baru mereka berpentas. Keponakan saya paling suka menanggap ini, ia akan berteriakteriak kalau sudah mendengar ada kendang dipukul seperti itu. Monyet ngamen… monyet ngamen… katanya. Sekali pentas, atraksi ini hanya dibayar Rp 2.000,Keponakan saya tentu saja tak tahu kalau di Bali ada barong yang berkeliling dan pentas di setiap tempat. Anak sayapun, yang sudah remaja dan kini tinggal di Bali, belum pernah menyaksikan hal itu. “Pentas barong” model begini sudah mulai langka. Entah karena ada perubahan dalam tata laku di masyarakat Bali terhadap bentuk kesenian seperti ini, atau juga ada sinisme yang muncul karena berkeliling seperti ini hampir sama dengan ngamen. Bukankah ngamen di kota-kota besar itu sudah mulai ternoda (orang Bali bilang: campah) sehingga ngamen kini hampir tak ada bedanya dengan mengemis? Dulu, kalau kita makan di kaki lima, seorang atau sekelompok pengamen datang, dan mereka menyanyi dengan bagus. Kita terhibur, dan karena itu pengamen disebut pemusik jalanan. Sekarang, pengamen itu sudah sampai tingkat mengganggu, suaranya asal-asalan, petikan gitarnya ngawur. Bahkan ada yang sekedar memukulkan benda apa saja, setelah diberi uang mereka pergi. Mereka bukan pengamen lagi, tetapi peminta-minta. ***. APAKAH tradisi “ngelawang”, barong yang pentas berkeliling itu, bisa kita analogikan dengan fenomena ngamen yang ada di kota besar seperti Jakarta? Mungkin terlalu jauh perbandingan
C
212
C
itu. Tradisi ngelawang ada unsur religiusnya, atau katakanlah ada bau mistisnya. Tapi toh tradisi ini juga surut dan bahkan kini sangat langka. Di desa saya sendiri, tradisi ini sudah hilang atau sudah sampai pada tahap yang paling minimal. Sewaktu saya kecil, ketika barong ngelawang ini jadi tradisi di desa saya, itulah kegembiraan yang paling saya tunggu. Saya ikut ngelawang dengan memakai topeng mengiringi barong dan rangda itu. Setelah agak besar, boleh sesekali memakai tapel “peranakan” (semacam sisiya rangda). Kegiatan ngelawang ini dilakukan kalau desa dalam keadaan “tak menentu”, misalnya, banyak orang sakit, ada kematian beruntun, dan sebagainya. Yang menentukan saatnya ngelawang atau tidak adalah pemangku. Barong berkeliling masuk ke banjar-banjar, melalui jalan kumuh, kadang berjalan di sela-sela lumbung yang sesak. Dan selalu bermain di pekarangan rumah yang menyediakan sesajen. Pentas ala kadarnya (sambil menunggu pemangku yang ngayab banten) kemudian pindah lagi ke halaman rumah berikutnya. Ada petugas yang memungut uang sesari, termasuk mengambil sebagian ketupat, telor dan rokok surudan banten. Zaman semakin maju. Jika warga desa banyak yang sakit, tidak lagi menanyakan sebabnya ke Pura Dalem (tempat barong sakral itu disimpan), tetapi bertanya dan berobat ke Puskesmas. Penghayatan penduduk terhadap sesuatu yang sakral juga mulai tumbuh. Kenapa barong yang sakral itu harus diusung ke jalan-jalan becek, masuk halaman keluar halaman hanya untuk mendapatkan uang sesari dan telor. Campah. Nah, dari pemikiran seperti ini, akhirnya tradisi ngelawang di desa saya itu dibatasi: tidak lagi masuk ke banjar-banjar dan halaman rumah, tetapi cukup menyusuri jalan utama dan penduduk menghaturkan sesajen pada pemesuan (semacam mulut gang) masing-masing. Dengan demikian, sesajen dibuat per kelompok
C
213
C
tergantung pemesuan-nya, ngelawang pun hanya beberapa jam, tak sampai seharian atau lebih dari sehari seperti dulu. Saat ngelawang juga dibatasi, tidak sembarangan waktunya, tetapi dicari pada piodalan barong itu sendiri. Belakangan, muncul lagi perkembangan baru. Kenapa barong harus ngelawang? Kesannya masih sebagai sarana hanya untuk memungut uang sesari, telor dan rokok Nista dan campah. Kalau ingin melihat barong, lihat saja ke Batubulan, ada “barong turis”, jangan barong di Pura Dalem dibawa mondar-mandir. Akhirnya, jika piodalan barong itu tiba waktunya, upacara dilakukan di Pura Dalem. Masyarakatlah yang datang ke Pura, bukan barong yang mengunjungi masyarakat. Apakah kemudian barong tak bisa keluar dari “kandangnya” di Pura Dalem itu? Masih ada, yang saya sebut tahap paling minimal itu, yakni ketika melasti tawur kesanga. Juga, pada saat Galungan, tetapi barong hanya sampai perempatan desa saja, tidak jauh-jauh. Ngelawang harus dicarikan makna baru kalau masih mau dilakukan. Untuk apa dan kepentingan siapakah semua ini? Jangan sampai maksud baik itu menjadi dilecehkan orang, seperti kata keponakan saya: ada barong ngamen. 5 Agustus 2000
Catatan: * ngelawang = mempertunjukkan tari dengan berkelana ke desadesa, tanpa jadwal dan umumnya berjalan kaki. * ngayab banten = menghaturkan sesajen. * surudan banten = sesajen setelah upacara selesai. * pemesuan = mirip dengan mulut gang.
C
214
C
Barong-Barongan
S
aya tak bisa menjelaskan dengan tepat: barong ket itu mengambil model binatang apa? Kalau filosofinya saya bisa menjelaskan serba sedikit, tetapi teman saya rupanya sudah tahu bahwa barong itu simbol dari kebenaran. Begitulah ketika suatu hari saya mengajak teman dari luar Bali menyaksikan barong di desa saya. Saya meminta teman saya lebih dekat melihat muka barong. Apakah itu mirip macan? Apakah mirip harimau? Atau mirip serigala lainnya? Semuanya tidak. Jadi, wajah barong itu hanya imajinasi seniman Bali, dan entah siapa pencipta awalnya. Barong ket, barong yang paling populer di Bali itu, bentuknya hampir sama, hanya ornamen dan detail-detailnya saja yang beda. Barong ket seperti ini umumnya disakralkan. Malam itu, teman saya menyaksikan sendiri bagaimana janggut barong itu dimasukkan ke dalam gelas yang berisi air, dan kemudian air itu dipercikkan ke beberapa orang sebagai tirta (air suci). Inilah kepercayaan, tak bisa diperdebatkan.
C
215
C
Barong ket di desa saya bukanlah tontonan. Itu milik pura (duwen pura), seperti banyak barong ket lainnya di berbagai desa. Barong tontonan itu ada di jalur wisatawan, misalnya, di Batubulan, Singapadu dan berbagai tempat lainnya. Barong ini bisa dimainkan lebih lincah. Namun, selincah-lincahnya pemain barong, mereka tak akan sampai memperlihatkan anggota tubuh kecuali kaki yang sudah dibalut celana belang-belang. Tangan, dada, apalagi wajah pemain barong, kalau sampai kelihatan, berarti kurang pandai memainkan barong. Ini yang membedakan barong ket atau katakanlah barong Bali dengan barong Cina yang disebut barongsai. Karena barong dianggap sakral, sulit sekali membuat eksprimen kesenian dengan memakai barong atau katakanlah sejenis barong. Lihat saja pementasan barong untuk wisatawan itu, dari dulu begitu-begitu saja, untung wisatawannya yang berganti-ganti. Di Jakarta berkali-kali dilakukan ekprimen kesenian dengan menampilkan barong. Pentas musik rock Gong 2000 diiringi barong sebagai latar belakang. Cukup memukau. Guruh Soekarno Putra pun sering menampilkan barong. Selama penampilannya “biasa-biasa saja” tak ada masalah. Tapi kalau nyeleneh, orang protes. Pernah ada upacara pemberian hadiah untuk pemenang lomba yang diadakan Majalah Aneka di Ancol. Tampillah barong yang menyerahkan trophy itu. Ada yang protes, kenapa barong yang sakral itu dipakai untuk halhal seperti itu? Nah, persoalan akhirnya dibawa ke sakral juga. Sakral menurut siapa? Padahal barong itu milik orang Jawa yang bukan Hindu, dan ia membelinya di artshop di Bali. Barong itu sudah dijadikan permainan anak-anak panggung. *** BEGITULAH, kita sebagai orang Bali melihat barong, se-
C
216
C
lalu pikiran kita melayang ke hal-hal sakral, meskipun barong itu tak pernah diupacarai. Dan yang uniknya, seperti di banyak desa termasuk desa saya, orang bermain barong-barongan pun suka takut atau dilarang para orangtua, karena dianggap “meniru-niru duwen pura”. Meski, misalnya, barong-barongan itu dibuat dari kraras (pelepah pisang kering) atau barong somi (dari tangkai padi yang sudah kering). Sardono W Kusumo, koreografer kondang, pun takut “mempermainkan barong”, ia hanya berani bereksprimen pada rangda. Ketika membawa rombongan penari Teges ke Jepang beberapa tahun lalu, saya yang ikut dalam rombongan itu punya ide usil, bagaimana kalau barong itu sedikit “dipermainkan” untuk mengantisipasi lingkungan wihara yang dipakai latar pentas. Sardono langsung menjawab: “Edan, nanti ada yang mengabarkan ke Bali, aku diomelin lagi…” Sekehe Nolin di kampung saya, ketika merancang cerita Babad Mengwi, rencana awalnya mau menampilkan barong juga, bahkan sudah membuatnya. Tapi, belakangan urung dimainkan, padahal barongnya sudah jadi. Ya, ketakutan karena dikatakan “meniru duwen pura”. Barong diganti dengan babibabian. Apa yang terjadi? Tari babi-babian dan tetabuhannya sama dengan tari barong, lalu ada yang kerauhan (trance) dan itu termasuk yang dilarang juga. Hal-hal begini sulit dijelaskan dan ini barangkali sebagian kecil dari kemisterian Bali. Karena itu, saya tak yakin barong dalam bentuknya yang seperti ada di Bali saat ini — barong ket, barong landung, barong bangkal, barong bangkung, dan lain-lain — akan bisa dimainkan selincah barongsai. Jika pun mau mengadakan eksprimen, harus dibuat barong yang bentuknya lain dari yang sudah dikenal, ya, sebut saja barong-barongan. Dan cara memainkannya juga seperti memainkan barongsai, artinya barong-barongan itu hanya sekedar asesoris, bukan dilihat sebagai “tari yang utuh”. Jadi,
C
217
C
biarkan penari barong-barongan ini memperlihatkan wajahnya sekali waktu, lalu memainkan gerak-gerak akrobatis. Meniru barongsai? Kenapa tidak, bukankah seniman Bali paling ahli dalam mengadopsi budaya luar? Sebutlah itu barongsai versi Bali dengan gerak dan bentuk barongsai yang sudah di-balikan. Barongsai yang datang dari negeri Cina, dalam waktu begitu cepat sudah menjadi kesenian pribumi. Di beberapa kota di Jawa Tengah sudah muncul grup barongsai yang pemainnya bukan masyarakat keturunan dan bentuk barongsainya pun sudah kejawa-jawaan. Pemenang festival barongsai di Salatiga bukan warga keturunan Tionghwa Tidak apa-apa kalau seniman Bali ada yang berminat membuat barongsai khas Bali, misalnya, memakai kain prada dan ornamen yang penuh pernik-pernik dan benang hiasan. Ini bisa memperkaya kesenian barongsai, apalagi diikutkan dalam festival barongsai. Bahwa barongsai akan mengancam kesenian barong ket, itu jelas tak mungkin, karena orang Bali punya sikap yang khusus terhadap barong ket ini. Justru sebaliknya, karena banyaknya pantangan untuk menirukan barong ket, seniman Bali bisa menyalurkan kreatifitas itu lewat barongsai yang sudah diadaptasi. Mumpung sudah dikenal sebagai sesuatu yang tidak sakral. 7 Oktober 2000
C
218
C
Kongres Barong
D
i dalam buku-buku tentang kebudayaan Bali, barong dan rangda adalah sebuah simbol. Barong adalah lambang kebe-naran dan kebaikan. Sebaliknya rangda adalah lawannya, lambang ketidak-baikan. Keduanya bertempur, tak habis-habisnya, tak ada yang menang dan kalah karena ia bertempur sepanjang zaman. Ini melambangkan pertempuran sifat-sifat manusia sekaligus simbol bahwa dunia ini selalu diisi rwabineda (dua sifat yang saling bertentangan). Tetapi, ketika sejumlah barong berkumpul di Pura Natar Sari, Desa Apuan, Baturiti, ada yang mempertanyakan apakah barong ini masih berupa simbolisme ataukah sudah merupakan suatu pribadi-pribadi? Sepertinya barong itu sudah menjadi seorang tokoh, karena ia akan diiringi oleh puluhan atau bahkan ratusan pendukungnya. Barong diusung dan dinaikkan di atas truk, lalu puluhan sepeda motor dan mobil mengikuti kepergiannya. Ada pula barong yang dibawa dengan berjalan kaki, menempuh perjalanan berjam-jam, dan umat yang mengiringinya tak pernah merasa capek. Ada kekuatan mistis yang menyertai umat Hindu dalam mengiringi sang barong menuju tempat berkumpulnya ini. Paruman barong di Pura Natar Sari setiap Tumpek Krulut
C
219
C
ini, jika dianalogikan dengan kegiatan manusia, mirip kongres. Mereka (barong dan umat yang mengiringinya) datang dari segala penjuru, bahkan pada piodalan yang baru saja berlalu, katanya ada barong dari Jembrana yang datang. Luar biasa jauhnya untuk perjalanan barong, meski dengan transportasi yang mudah, itu tak jadi masalah karena barong pun sudah bisa menumpang truk. Yang unik, “kongres barong” ini juga didahului oleh adanya pemberitahuan, katakanlah semacam undangan, yang khas barong. Jauh sebelum piodalan di Pura Natar Sari itu berlangsung, barong kedingkling duwen Pura Natar Sari melakukan perjalanan keliling ke 108 pura di tiga kabupaten, Tabanan, Badung dan Gianyar. Perjalanan itu berlangsung selama 42 hari, sejak Hari Raya Galungan sampai tiga hari sebelum Tumpek Krulut. Dari perjalanan keliling inilah, barong-barong di tiga kabupaten itu secara resmi tahu akan ada “kongres barong” di Desa Apuan. Dan pada saatnya mereka datang, baik dengan cara berjalan kaki maupun dengan naik truk, suasana begitu meriah. Bagaimana tidak ramai ada lebih dari 60-an barong berkumpul dalam satu pura. Memang, tidak semua barong di tiga kabupaten itu hadir. Kalau semuanya hadir, mungkin ada ratusan barong. Menurut yang saya dengar, awal mulanya, barong yang diundang itu hanyalah yang punya ikatan dengan Kerajaan Mengwi. Namun, dalam perjalanan waktu, diundang juga barong dari daerah yang tak ada kaitan lagi dengan bekas Kerajaan Mengwi. Cuma saja, apa kriteria peserta “kongres barong” ini, saya tak paham betul. Yang pasti sudah jelas, tentu saja ini barong sakral, duwen (milik) pura. Bukan barong yang dijual di artshop atau barong yang ditaruh di museum. Maklum, ini bukan festival seni, tetapi karya piodalan. Yang membuat meriah, bukan hanya kehadiran barongnya, tetapi umat yang mengiringi barong itu. Tidak semua barong
C
220
C
menari, dan tentu saja itu tak memungkinkan karena sempitnya waktu. Kalau semua barong unjuk kebolehan menari, kapan umat bersembahyang. Jadi, yang penting di sini adalah bersembahyang. Karena itu, dalam paruman barong di Pura Natar Sari ini, saya menangkap ada simbol lain yang dibawa pada barong, yakni sang barong ini bisa menjadi simbol silaturahmi umat Hindu dari segala penjuru dengan memanfaatkan persembahyangan pada karya gede itu. “Saya mendapat istri karena upacara ini,” kata seorang warga Apuan, sahabat baik saya. Ia mengaku “tak laku-laku” di desanya, dan jodohnya datang dari silaturahmi dalam piodalan dengan gadis dari luar desa. Sang gadis yang kini jadi istri teman saya itu, adalah salah satu pengiring barong. *** KITA jangan cerewet untuk bertanya, apakah barong itu sudahberubah dari sebuah simbol kebenaran dan sudah menjadi semacam tokoh (pribadi) yang bisa menjalin silaturahmi umat Hindu? Saya pikir, sebagai simbol kebenaran, sesuai dengan kaidahnya sejak zaman lalu, biarkan tetap melegenda. Tetapi, kita harus mencari simbol baru dari barong itu. Misalnya, ternyata barong bisa menjadi simbol dari persatuan umat, dan bisa menjadi “alat yang religius” untuk menjalin persaudaraan di antara umat Hindu, khususnya yang ada di Bali. Khususnya lagi umat Hindu pedesaan yang di puranya tersimpan barong sebagai duwen pura. Simbol-simbol silaturahmi itu yang semestinya kini diperbanyak, di tengah-tengah munculnya kekerasan berkelompok yang sudah mulai merebak pada masyarakat Bali. Umat Hindu di Jakarta dan sekitarnya, kini juga memiliki simbol pemersatu yang sangat ampuh dalam menjalin persaudaraan itu. Bentuknya
C
221
C
bukan barong tetapi apa yang disebut pekuluh. Ini berwujud pratima di sebuah pura yang diusung oleh umat Hindu dan diikuti krama pendukung pura itu, jika ada piodalan di pura yang lainnya. Misalnya, ada piodalan di Pura Rawamangun, yang diempon Banjar Jakarta Timur. Pada piodalan itu pekuluh dari pura lain di Jakarta datang dan diiringi oleh warga banjar masing-masing. Dengan demikian piodalan di Pura Rawamangun tak cuma dimeriahkan oleh Banjar Jakarta Timur, tetapi juga oleh banjar lainnya di Jakarta. Begitu pula sebaliknya, kalau piodalan itu di Pura Cilincing, Jakarta Utara, pekuluh Pura Rawamangun datang ke sana. Belakangan ini, kunjung-mengunjungi antar pekuluh itu sudah melewati batas provinsi sampai ke wilayah Provinsi Banten dan Jawa Barat. Pekuluh sebagai simbol ini betul-betul punya kekuatan magis. Ketika saya masih tinggal di Jakarta Selatan, saya sering kali diingatkan untuk hadir pada piodalan di Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan pura lainnya dengan istilah “ngiring pekuluh pura”. Dalam pergaulan moderen, simbol-simbol silaturahmi itu memang bisa beragam. Ada lewat sepakbola, paduan suara, ikatan alumni, dan sebagainya. Kalau memang dalam budaya Hindu bisa digali lebih banyak lagi simbol-simbol yang bisa menyatukan umat, kenapa tidak? Seperti paruman barong di Pura Natar Sari itu. Ini tradisi lama, sarat muatan religius, tapi tak bisa dianggap remeh atau kurang moderen. Kurang moderen apanya, kalau pengiring barong banyak yang menggunakan ponsel: “Halo, barong sudah naik truk, siapkan penyanggra nasi pancawarna….” 15 Juni 2002
C
222
C
Teater Arja
B
anyak kesenian tradisional Bali yang merana hidupnya. Namun hanya arja yang berkali-kali dicoba untuk dibangkitkan, dan setiap kali itu pula ia hanya menggeliat untuk sementara. Lalu, dalam hitungan waktu yang tidak lama, kembali lagi merana. Ada alasan kuat untuk membangkitkan arja, dan bukan gambuh, misalnya. Gambuh dan arja sama-sama berbentuk drama tari yang bertembang. Gambuh masih lebih rumit, tarinya telalu klasik, begitu pula dialog-dialognya lebih sukar, memakai bahasa Jawa Kuno atau di Bali disebut Bahasa Kawi. Belum lagi gamelan pengiringnya harus khas. Karena itu orang “melupakan” gambuh. Tetapi arja? Banyak orang tak ingin melihat kematian permanen “opera khas Bali” itu. Tembang dalam arja menggunakan sekar alit yang banyak dihafal orang. Tabuh pengiring arja bisa dimodifikasi dengan gamelan apa saja. Arja klasik memang memakai geguntangan, tetapi arja yang lebih moderen bisa memakai gamelan gong kebyar, semar pegulingan, bahkan angklung. Dulu, ketika masyarakat Bali tak banyak punya pilihan hiburan, arja menjadi tontonan yang sangat diminati. Arja se-
C
223
C
bunan hidup di banyak tempat. Lakon-lakon tertentu muncul di sekehe-sekehe sebunan ini. Ada arja godogan, arja pakang raras, arja basur, arja jayaprana, arja sampik. Ini mengacu ke jalan cerita, karena memang untuk menciptakan cerita memerlukan proses panjang. Karena itu sekehe sebunan praktis hanya punya satu cerita. Kalau mereka mau beralih ke cerita yang lain, memerlukan proses belajar lagi, karena dialog lewat tembang praktis merupakan hafalan. Pembaruan muncul dari karyawan RRI Studio Denpasar yang bertugas khusus di bidang seni budaya Bali. Arja RRI (sering memakai nama Arja Candra Metu, atau masyarakat menyebutnya secara gampang arja bon Bali) menggebrak lewat gamelan gong kebyar. Maka tontonan arja menjadi hidup. Namun, akibat sampingannya adalah mulai tidak lakunya arja sekehe sebunan. Apalagi setelah munculnya drama gong, maka arja yang terlalu melankolis ini dianggap lamban. Akhirnya yang bertahan hanyalah Arja RRI dengan penari-penari kawakan: Ribu, Monjong, Sadru, Ida Bagus Buduk – kini semuanya sudah meninggal dunia. Nasib arja pun akhirnya bisa ditebak ketika tokoh-tokoh itu sudah mulai tua dan kaderisasi tidak jalan. Arja ditinggalkan penontonnya. Menjadi penari arja juga tidak mudah, harus menguasai tari, tembang dan dialog. Setelah lama kesenian arja tenggelam muncul gerakan pembaruan dengan adanya arja muani. Semua pemain arja adalah lelaki. Sanggar Printing Mas termasuk sukses dengan pembaruan ini. Konsep pertunjukan diarahkan ke banyolan. Jadi, pesan moral yang disampaikan dalam arja berubah menjadi lawakan semata-mata. Cerita menjadi tidak penting benar, yang jauh lebih penting adalah banyolan. Maka lakon seperti Siti Markomah menjadi top saat kemunculannya itu. Gebrakan arja muani ini sempat memberikan harapan.
C
224
C
Selain Sanggar Printing Mas muncul grup Coblong Pamor di Denpasar dan grup Akah Canging di Tabanan. Semua modelnya sama, banyolan sebagai ujung tombak menarik penonton. Ternyata umur arja muani ini juga tidak panjang. Sanggar Printing Mas membekukan grupnya karena tak tahan melawan pembacakan VCD, sementara grup lainnya juga mulai ditinggalkan penonton karena lawakannya mengarah ke vulgar dan terjadi pengulangan. Penonton bosan. Ada upaya lain yang muncul, sesuatu yang lebih serius dan jauh dari kesan menjual banyolan. Yaitu dengan memberikan nuansa baru pada arja, yakni jalan cerita. Ini dilakukan oleh Geria Olah Kreativitas Seni (GEOKS) Singapadu pimpinan Prof. Dr. I Wayan Dibia. Sudah dua garapannya muncul. Pertama lewat cerita Ketemu Ring Tampaksiring, berdasarkan cerita pendek berbahasa Bali karya I Made Sanggra, dan yang baru saja dipentaskan adalah Prabu Adhipusengara. Yang terakhir ini adalah adaptasi dari kisah teater klasik Eropa yang begitu legendaris, Odipus Sang Raja. Apakah kreasi GEOKS ini berhasil mengangkat kesenian arja? Kalau disebutkan keberhasilan itu akan menjadi trend dan diikuti oleh grup lainnya, apalagi sampai membuat kesenian arja kembali memikat penonton, rasanya terlalu jauh. Namun, jika kreasi ini mengisi kekosongan batin para penggemar arja, itu sudah lumayan. Karena kreasi GEOKS ini tetap setia kepada pakem-pakem arja, baik pola keluarnya penari (pepeson), agem tari, tembang, dan bahkan penokohannya. Tidak ada yang berubah sama sekali. Hanya cerita saja yang menjadi “asing”, tidak ditemukan dalam kisah-kisah Panji sebagaimana ciri khas cerita arja. Kita tidak tahu, apa kendala yang dihadapi seniman sekaliber Wayan Dibia, sehingga ia tidak berani melakukan perombakan yang lebih jauh, misalnya, dengan melakukan perubahan peran.
C
225
C
Bahkan dalam lakon Ketemu Ring Tampaksiring, Wayan Dibia membuat tokoh fiktif yang tidak ada dalam cerita pendek Made Sanggra, untuk memunculkan peran Mantri Buduh. Seolah-olah kesenian arja tanpa ada peran Mantri Buduh bukan lagi bernama arja. Nah, bisakah suatu saat peran-peran Mantri Buduh, Limbur, Liku dan sebagainya hilang karena tuntutan cerita? Atau muncul peran baru, entah apa namanya? Sanggar Printing Mas lewat lakon Siti Markomah bahkan menambah peran Mantri Wreda (melihat dari caranya berdialog tergolong Mantri Buduh), sesuatu yang jarang ditemui dalam arja klasik. Mungkin ini yang perlu dipikirkan, mencari pola baru yang sesuai dengan zaman, tanpa meninggalkan identitas arja, di mana pemainnya berdialog lewat tembang. Sementara pewarisan arja lewat generasi muda yang sudah berkali=kali ditempuh, tampahnya belum membuahkan harapan. 30 Desember 2006
Catatan: * sekehe = kelompok, grup. * sebunan = arti sebenarnya sarang, dalam hal ini berarti dari satu wilayah desa. * arja muani = arja yang dimainkan oleh lelaki saja.
C
226
C
Megangsingan
G
ANGSING itu permainan rakyat. Melafalkannya kadang berbeda, ada yang menyebutnya gangsing, ada yang menyebutnya gasing. Di Bali, gangsing digemari di desa-desa sekitar Gunung Batukaru, baik yang masuk wilayah Buleleng maupun Tabanan. Di Karangasem ada juga beberapa desa yang populer dengan gangsingnya. Gangsing yang diadu dalam pertandingan, ada juga di Malaysia. Penggemarnya selain penduduk ras Melayu, juga penduduk imigran India. Saya tak tahu apakah di pedesaan India ada juga permainan gangsing. Namun, jika kita memasuki toko yang khusus menjual permainan anak-anak, gangsing elektronik sudah banyak dijajakan. Ada yang dihidupkan dengan baterai, ada yang “disetrum” dengan listrik terlebih dahulu. Tapi gangsing kelas gedongan ini hanya untuk menghibur anak-anak, ada sinar berpendar-pendar yang sangat indah kalau gangsing diputar dalam kegelapan. Gangsing hiburan kelas rakyat banyak dijual di sekitar Candi Prambanan dan Candi Borobudur, terbuat dari bambu. Kalau gangsing diputar menimbulkan suara merdu. Ini membuktikan bahwa gangsing sudah mendunia. Tapi, gangsing di Buleleng dan Tabanan, betul-betul disebut “gangsing aduan” bukan sekedar permainan yang hanya enak
C
227
C
dilihat. Gangsing untuk pertandingan ini dibuat dari kayu yang tahan banting, umumnya kayu jeruk atau kayu lemo. Kalau kayu yang mudah retak, dipukul sekali saja bisa hancur. Dalam pertandingan gangsing, taruhannya bukan cuma menang kalah dari sudut lamanya berputar, tetapi juga dari hancur tidaknya gangsing lawan. Gangsing dari kayu pilihan saat ini pasarannya termurah Rp 50 ribu. Itu di kampung saya, Pujungan. Di sini ada paling tidak lima orang pengrajin gangsing aduan dengan peralatan yang sudah moderen. Langganannya datang dari berbagai desa. Kenapa harga gangsing mahal, karena bahan bakunya mahal. Kalau bahan bakunya dari kayu kopi (biasanya dipakai oleh anak-anak) sebuah gangsing bisa diperoleh dengan harga Rp 5 ribu. Apa yang menarik dari megangsingan ini? Seperti bermain golf, daya tariknya adalah cara memukul. Jika main golf kita harus konsentrasi memukul bola agar bisa mendekati hole (lubang) tujuan, bermain gangsing harus pinter mencari celah memukul gangsing lawan. Pukulan yang bagus adalah gangsing lawan mati putarannya, gangsing kita berputar kencang. Ini ada tekniknya, melihat dengan cepat ke arah mana putaran gangsing lawan, dan seberapa banyak ikatan harus diberikan pada gangsing kita. Kalau arah putaran gangsing lawan tidak kita ketahui dan kita salah memukul, bisa-bisa gangsing lawan makin keras putarannya dan gangsing kita tak mau berputar. Istilahnya, tidak dapat jigad. Itu baru dari sudut pukul-memukul. Yang sesungguhnya lebih penting adalah sportifitas pemain. Ketaatan pemain pada aturan sangat diutamakan, meskipun peraturan itu di setiap “musim gangsing” bisa berubah. Apalagi peraturan di setiap desa. Karena itu sebelum dimulai pertandingan, dipilih seorang wasit yang mengawasi aturan main. Konon, aturan main gang-
C
228
C
sing sekarang ini mengacu kepada aturan di Johor, Malaysia, memakai sistem grup dan nilai diperoleh dari sekian kali menang berturut-turut. Bayangkanlah kalau aturan tidak dihormati dan terjadi kericuhan. Gangsing itu diujung yang berputar ada besinya. Kalau sampai ada perkelahian dan gangsing dilemparkan ke kepala orang, bisa mampus orang yang kena. Menang kalah dalam adu gangsing (megangsingan) bukanlah aib. Kelompok yang menang (biasanya satu kelompok ada 6 orang), termasuk suporternya, bisa berteriak-teriak gembira. Kelompok yang kalah, juga termasuk pendukungnya, bisa mengejek dengan lelucon yang justru ditujukan ke kelompoknya sendiri. Permainan ini biasanya tidak ada taruhan. Saya sebut biasanya, karena konon ada saja orang bertaruh kecil-kecilan. Megangsingan ada unsur olahraganya, jadi jauh beda dengan sabungan ayam. Masalah utama dari permainan rakyat ini adalah tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah. Apalagi seperti di Malaysia, di mana adu gangsing menjadi salah satu atraksi wisatawan dan banyak pejabat Malaysia suka megangsingan. Di Bali, adu gangsing muncul murni dari masyarakat dan hidup matinya sangat tergantung pada arena adu gangsing. Lapangan gangsing tidak boleh berumput, tidak boleh berdebu, tetapi tidak boleh juga diperkeras dengan semen, misalnya. Lapangan gangsing yang baik adalah tanah yang kental. Karena itu, di pedesaan lereng Gunung Batukaru, musim gangsing terjadi pada musim kemarau, persis ketika datangnya panen kopi. Kopi dijemur dari pagi sampai menjelang sore. Pada saat kopi ditimbun, bekas lahan menjemur kopi itu dipakai bermain gangsing. Sekarang, buah kopi sudah berkurang, penjemuran kopi pun tidak banyak. Di mana orang bermain gangsing?
C
229
C
Ada penyebab lain lagi. Dulu rumah-rumah punya halaman bersama, tidak ada sekat-sekat pekarangan. Halaman itu jadi luas, setidaknya memanjang. Tetapi berkat “kemajuan zaman”, rumah di pedesaan pun sekarang ditata dengan sistem gang dan lorong, pekarangan disekat, sehingga tak ada lagi halaman bersama. Untuk keluar ke jalan besar harus melewati gang. Bayangkan kemudian, betapa sulitnya mencari tempat untuk bermain gangsing. September 2006
C
230
C
Diplomasi Gamelan
G
amelan Bali dan gamelan Jawa sudah dikenal di luar negeri. Banyak kedutaan besar RI di negara-negara maju punya seperangkat gamelan itu. Kalau tidak gamelan Jawa, ya, gamelan Bali, tergantung siapa yang kebetulan menjadi duta besar di sana, atau pernah menjadi duta besar di sana. Gamelan itu bukan jadi barang pajangan, sesekali memang dibunyikan. Para penabuhnya belum tentu semua orang Indonesia, ada banyak warga negara setempat. Terutama para pemusik yang begitu gandrung kebudayaan etnis dari Timur. Perguruan tinggi di Barat bahkan mendatangkan dosen tamu untuk mengajar gamelan dengan dibayar mahal. Sementara pencinta musik tradisi Barat berusaha datang ke Bali atau ke Jawa untuk mempelajari gamelan. Jika dipilah secara moderen, gamelan ini adalah musik akustik pentatonis. Ini hal yang asing di telinga orang Barat yang sudah terpola dengan sistem nada do-re-mi-fa- sol-la-si-do.
C
231
C
Gamelan tidak mengikuti nada itu. Karenanya, belajar gamelan harus benar-benar menyatu dengan alat musik gamelan dan punya cita rasa sedemikian rupa yang sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Orang Barat bisa belajar musik tanpa guru karena ada notasi yang sudah menjadi partitur. Tapi dia tidak bisa belajar gamelan Bali tanpa guru karena umumnya tabuh gamelan Bali tidak dibuatkan notasi partitur oleh pencipta lagunya. Memang, sudah banyak mahasiswa jurusan seni dari Barat yang belajar gamelan di Bali dan Jawa. Mereka datang ke para mpu karawitan, tergantung bidang yang diminati. Setelah mereka bertahun-tahun di Bali baru mereka bisa merasakan getar-getar suara gamelan. Para maestro gamelan Bali mengajari tamu mancanegara ini dengan cara-cara yang sangat tradisional, langsung praktek memukul gamelan. Maria Cristina Formaggia, seorang wanita pencinta musik asal Italia, sudah bertahun-tahun di Bali khusus mempelajari seni tradisi yang mulai punah: gambuh. Ia menempel pada seorang guru tari kondang di Gianyar. Kini, Maria sudah bisa menari gambuh dan prestasi luar biasanya adalah dia membuat buku gambuh secara lengkap (2 edisi) dalam bahasa Indonesia. Di situ nada dan irama gamelan gambuh sudah diolah ke dalam notasi dan dibuatkan partitur sedemikian rupa sehingga penggemar musik Barat bisa mempelajari atau minimal mengenal irama gamelan gambuh itu. Ini tentu sejarah baru bagaimana musik pentatonis bisa diilmiahkan. Meski belakangan ini gamelan sudah mulai diajarkan secara akademik dengan notasi moderen (baik angka maupun non balok) tak mudah untuk mendapatkan irama yang pas sebagaimana seniman tradisional Bali menabuh. Gamelan yang ditabuh orang Barat dengan bersandar pada notasi itu, kedengarannya kaku, tak punya jiwa, meskipun bisa rapi. Ada sesuatu yang hilang,
C
232
C
yaitu rasa dan jiwa dari gamelan. Kekuatan seniman Bali dalam improvisasi ditambah dengan kepekaan akan nada-nada gamelan, sudah terlatih karena mereka hidup di tengah hingar-bingar musik gamelan. Orang Barat tentu lebih sulit membedakan, misalnya, tabuh berjudul Jagra Parwatha dengan tabuh berjudul Istaka. Keduanya tabuh kreasi baru ciptaan dosen senior ISI Denpasar. Namun, para seniman Bali, begitu pernah memainkan kedua tabuh itu, tak mungkin lupa dengan iramanya dan tak mungkin “kepleset” di tengah jalan, meskipun dalam menabuh gamelan mereka tidak melihat partitur. Diplomasi gamelan sudah bukan barang baru lagi. “Perkawinan” antara gamelan dengan musik moderen seperti piano, gitar, drum dan sebagainya, juga sudah lama dilakukan. Guruh Sukarnoputra pernah melahirkan album musik dari “perkawinan” antara gamelan Bali dan musik rock. Kompyang Raka pernah memukau dalam pentas kolaborasi dengan Masrusya Nainggolan. Kompyang Raka hanya memukul kendang dan Masrusya memainkan piano. Dalam pentas-pentas pop, seringkali gamelan Bali dipadukan dengan seperangkat peralatan musik band, di situ sudah tidak ada batas antara musik akustik dan elektronik. Wayan Sadra, dosen Sekolah Tinggi Karawitan Surakarta, seringkali memamerkan perpaduan bunyi gender dengan musik-musik Barat. Di Amerika dan Kanada, ada perkumpulan penabuh gamelan Bali yang anggotanya sepenuhnya orang mereka. Yang paling populer adalah sekehe tabuh Sekar Jaya di Amerika Serikat, karena mereka seringkali pentas dan pernah pula melanglang ke Indonesia. Di Jepang juga muncul sekehe gong gamelan Bali, meskipun satu dua penabuhnya ada yang berasal dari Bali. Minat masyarakat Jepang terhadap musik tradisional Bali sangat besar. Dalam beberapa hal ada ketersinggungannya den-
C
233
C
gan musik tradisi mereka. Beberapa mahasiswa ISI ada yang berasal dari Jepang. Sesungguhnya kita bangga dengan gamelan Bali yang sudah berhasil menjadi duta-duta kebudayaan di negeri orang. Dibandingkan gamelan Jawa, gamelan Bali jauh lebih beragam. Kita punya gong gede yang sering dipakai dalam lomba gong kebyar, lalu ada semar pegulingan, gambuh yang didominasi seruling bambu besar, gender wayang, angklung (bukan angklung bambu seperti di Jawa Barat), baleganjur, dan mungkin ada yang terlewatkan lagi. Yang kurang dari kita adalah membuat buku dokumentasi tentang sejarah gamelan itu, yang dilengkapi partitur setiap jenis tabuh. Kenapa harus orang Barat yang membuat buku tentang kita? Agustus 2006
C
234
C
Jes Bali
K
olaborasi musik Barat dan Timur bukanlah barang baru. Jika dilihat dengan kaca mata internasional, kolaborasi ini sudah hampir setiap saat terjadi di kotakota besar daratan Cina, Korea maupun Jepang. Kalau kolaborasi itu di tingkat nasional, kegiatannya memang tidak rutin dan tidak setiap saat ada. Namun bukan berarti jarang. Gamelan Jawa sudah seringkali dipadukan dengan musik barat. Kadang kolaborasi itu berhasil memikat orang, kadang hanya berupa eksprimen yang hanya dinikmati kelompok-kelompok kecil. Bagaimana dengan gamelan Bali? Sudah tentu kolaborasi juga sering dilakukan mengingat gamelan Bali banyak diminati pemusik mancanegara. Uniknya gamelan Bali begitu beragam sehingga ada saja yang pas disandingkan dengan alat musik moderen dari Barat. Dari alat tetabuhan yang kecil sampai perangkat gong kebyar lengkap, semuanya bisa saling mengisi dengan musik Barat. Misalnya, salah satu kolaborasi yang dianggap
C
235
C
sukses pada dasa warsa 1980-an, antara bunyi kendang yang dipukul I Gusti Kompyang Raka dengan piano yang dimainkan Marusya Nainggolan. Sukses ini membawa Kompyang Raka, pimpinan Lembaga Kesenian Bali Saraswati Jakarta, semakin sering diajak kolaborasi oleh praktisi musik Barat. Pada era setelah itu muncul pula kolaborasi antara gender wayang dengan gitar yang lebih mencengangkan dunia musik eksprimen. Gender ini dimainkan Wayan Sadra, salah seorang dosen di Sekolah Tinggi Seni Surakarta. Sedangkan seni musik Bali yang menjadi inspirasi dari komposer untuk melahirkan ciptaan yang khas semakin bermunculan. Guruh Soekarnoputra berkali-kali mencobanya. Bahkan pemain biola kenamaan Idris Sardi pun pernah menciptakan musik kreatif bernuansa musik tradisional Bali, sebagian dari karyanya itu digunakan untuk ilustrasi film Nusa Penida. Begitu banyak percobaan telah dilakukan, walau pun dari segi jumlah, masih sedikit seniman musik Bali yang terlibat dalam kreatifitas seperti itu. Memang, ini bukanlah ladang yang menjanjikan materi, karena penikmat musik kolaboratif seperti ini pasti tidak banyak. Sebagian besar orang Bali menganggap aneh gabungan bunyi-bunyian seperti ini, karena mereka terbiasa untuk mendengarkan gong kebyar, semar pegulingan, angklung, jegog dan sebagainya dalam iramanya yang mapan, sendiri-sendiri. Kalau bunyi-bunyian itu digabungkan, seperti bermain-main saja. Sebut saja contoh penampilan kelompok Jes Gamelan Fusion yang diprakarsai seniman muda Bali Nyoman Windha. Jes di sini bukanlah jazz – salah satu aliran musik – tetapi akronim dari Jegog dan Semar Pegulingan. Nah bagaimana memadukan suara jegog yang biasa dipukul keras dan hingar bingar itu dengan suara semar pegulingan yang bernada lembut, tentu akan menjadi asing bagi telinga orang Bali yang sudah
C
236
C
terpola sedemikian rupa dengan gamelan-gamelan tradisional. Tetapi karena ini adalah “pencarian” dari sistem kolaborasi dan memang dimaksudkan sebagai seni musik alternatf, untuk mendengarkan karya-karya Nyoman Windha harus siap dengan “nada baru”. Tak bisa kita menyaksikan gending jegog yang utuh atau irama semar pegulingan yang lengkap. Keduanya menyatu meskipun itu sulit ditangkap. Kalau penontonnya masih berharap akan mendengarkan suara jegog atau suara semar pegulingan, maka ia akan sia-sia. Jadi, seni musik itu tidak lagi bernama jegog atau semar pegulingan, ya, sebut saja Jes Bali. Apakah jenis musik begini tidak merusak? Ini pertanyaan yang dilontarkan beberapa orang ketika Jes Gamelan Fusion tampil di Pesta Kesenian Bali beberapa waktu lalu. Pertanyaan ini bukan bercanda, tetapi serius. Tentu saja harus dijelaskan berkali-kali bahwa musik yang ditampilkan adalah musik alternatif. Kalau karya ini diperdengarkan ke desa-desa yang baru saja belajar memainkan gamelan, jelas dikatakan merusak, karena memang tidak ada pakemnya kapan membunyikan gong kapan memukul kempur. Yang jelas kreatifitas ini memang harus didukung dan diberikan apresiasi yang baik supaya bisa diteruskan di kemudian hari. Kreatifitas begini tak boleh mandek. Karena itu yang dibutuhkan bukan saja perhatian dari lembaga-lembaga kebudayaan, tetapi dukungan yang lebih nyata, misalnya, membantu pendanaan untuk eksprimen ini. Melihat perjalanan musik Bali seperti ini maka semakin diperlukan adanya gedung konser musik Bali. Gedung konser ini sudah menjadi wacana para seniman dan sudah pernah dibicarakan dalam sebuah sarasehan. Memang, gedung konser musik Bali ini tidak hanya diperlukan oleh karya kolaboratif yang sifatnya eksprimen, musik tradisional pun memerlukannya. Kalau musik tradisi Bali mau dihargai dan betul-betul dinikmati keindahan suaranya, tak bisa dipentaskan di alam
C
237
C
terbuka seperti Ardha Candra. Suaranya tidak sama ditangkap oleh penonton yang ada di depan dengan penonton di belakang. Apalagi dengan penempatan mike yang asal-asalan saja, di taruh di depan seperangkat gamelan atau digantung di atas. Maka bunyi yang keras adalah gamelan yang paling dekat dengan mike. Ini tentu jauh dari konser musik yang profesional. Jika kita tetap mengabaikan kualitas bunyi, maka ketika para peminat musik dari mancanegara semakin tertarik pada gamelan Bali, baik untuk kolaborasi maupun untuk “konser tunggal”, bersiap-siaplah orang Bali harus belajar “megambel” ke orang asing, karena mereka tahu bagaimana mengatur suara.
5 Agustus 2006
C
238
C
Jaga Bali
B
ali pulau sorga. Bali pulau seribu pura. Bali sangat indah, penduduknya ramah, budayanya adiluhung. Begitulah puji-pujian di buku terbitan lama. Bali pun lantas dieksploitasi di mana-mana. Gadis-gadis yang telanjang mandi di pancuran, ibu-ibu yang telanjang dada menjunjung bakul di sawah atau mencari pasir di sungai, lelaki Bali dengan destarnya yang khas memegang ayam aduan. Di luar negeri, orang lebih tahu nama Bali ketimbang nama Indonesia. Berbagai produk pun memakai nama Bali. Dari warung sampai café, dari bank sampai maskapai penerbangan. Tapi nama Bali tidak dijaga, meskipun ada beberapa baliho yang berbunyi: “Jaga Bali”. Nama Bali tidak diproteksi, misalnya. Siapa pun yang ingin memakai nama Bali tidak ada persoalan. Panti pijat bernama Bali pun tak ada masalah. Ketika globalisasi datang, arus informasi dan lalu lintas penduduk tak bisa dibendung, Bali tetap saja tidak dijaga. Gadisgadis Bali yang mandi telanjang di pancuran tidak lagi menyiratkan keindahan, tetapi memberi simbol betapa wanita di Bali tidak mendapat pendidikan yang memadai. Sampai sekarang pun saya sering mendapat pertanyaan, apa betul anak perempuan di Bali tidak disekolahkan sampai tinggi, sebagaimana
C
239
C
anak lelakinya, karena pertimbangan “anak itu akan diambil orang”. Masih ada anggapan di sebagian besar orang, menjadi perempuan di Bali adalah menjadi warga manusia kelas dua. Lihat itu, betapa parahnya perlakuan orang Bali terhadap kaum wanitanya. Mereka mencari pasir di sungai, mengangkutnya ke truck di atas jembatan. Para wanita Bali berjemur di panas terik mengaspal jalanan. Mereka naik sepeda sambil menjunjung bakul besar berisi barang dagangan. Sementara lelaki Bali sangat malas, kerjanya hanya mengelus-elus ayam aduan. Foto-foto manusia Bali yang pernah menyiratkan keindahan budaya itu, tiba-tiba berubah menjadi tamparan buat Bali. Dan kini, ketika kesadaran umat manusia akan hak-hak asasi semakin tinggi, maka yang jelek-jelek kemudian menjadi identik dengan Bali. Sabungan ayam ada di seluruh daerah Indonesia dengan berbagai variasinya. Tetapi karena sabung ayam di Bali menjadi resmi — mudah sekali disaksikan karena tak dilarang oleh polisi — foto-foto ini sejak lama menghias berbagai media masa dan liputan televisi. Akibatnya, seolaholah sabung ayam yang ada di daerah luar Bali itu adalah hasil budaya buruk orang Bali. Di Sumatra Selatan, misalnya, kalau polisi menggrebek sabung ayam pasti menyebutkan: judi ala Bali. Padahal yang melakukannya bukan lagi orang Bali. Di satu wilayah di NTT baru-baru ini dibubarkan sabungan ayam. Apa kata pejabat setempat: “Kalian jangan meniru orang Bali yang penjudi itu.” Waduh, sedihnya hati ini mendengar. Mau bilang apa? Soalnya di Bali judi sabung ayam tak pernah dibubarkan polisi. Polisi di Bali tak ikut “menjaga Bali”. *** JAGA BALI. Baliho itu terpampang di sudut Simpang Enam
C
240
C
Denpasar. Siapakah yang menjaga Bali? Semestinya orang Bali mau menjaganya. Tetapi tanah-tanah di pinggiran Denpasar sudah dikontrakkan dan kemudian disulap menjadi rumah-rumah petak. Dari sana mengalun pengeras suara menjelang subuh dan magrib. Tak terdengar ada Puja Trisandhya. Lalu, kalau kita makan lesehan di komplek PJKA Denpasar, para pengamen meng-ganggunya. Pengamen juga berseliweran di terminal Ubung. Di perempatan jalan pedagang koran hilir mudik. Pedagang kaki lima setiap hari bertambah, bukan saja di Denpasar tetapi juga di kota lain seperti Singaraja. Teman saya berkata: “Aku pikir Bali tetap seperti dulu, tidak mengimpor budaya semerawut Jakarta.” Ketika saya jawab, mereka kebanyakan pendatang, teman saya langsung tertawa: “Kenapa kalian tidak batasi? Jaga dong Bali.” Sebuah reportase di majalah Hindu menyebutkan, anak-anak Bali yang beragama Hindu banyak sekali bersekolah di sekolah milik umat lain, bahkan di Buleleng, anak-anak Hindu bersekolah di TK Islam. Ini salah satu hak asasi juga dan kita tak bisa membatasinya. Seperti halnya Bali kini dikepung oleh masjid, gereja dan wihara, sehingga suatu saat nanti Bali bukanlah lagi pulau seribu pura. “Inilah globalisasi yang tak bisa dibendung,” kata saya. Teman saya, yang bukan orang Bali, kembali tertawa. “Kalian terlalu lunak dan tak bisa menjaga Bali. Di luar Bali mana bisa kalian membangun pura dengan mudah,” katanya. Saya pikir, memang kita tak serius menjaga Bali, teutama menjaga image Bali yang kian rusak. Soal VCD porno “Gadis Baliku”, misalnya. Sudah lama sekali VCD ini beredar di Lombok dan Surabaya, bahkan mungkin juga di Bali. Tetapi, tak ada gebrakan formal yang dilakukan pejabat-pejabat dan masyarakat Bali. Gebrakan yang saya maksudkan misalnya, para pejabat di Bali bersama Parisada, aparat kepolisian dan sebagainya, menyita VCD porno itu dan kemudian membakarnya di depan
C
241
C
umum dan diliput oleh pers. Tunjukkan kepada dunia, orang Bali muak dengan pelecehan ini, orang Bali tak mau dijelekjelekkan seperti ini. “Kemarahan” jenis ini perlu untuk menunjukkan jati diri kita sebagai orang Bali yang tak mau dijelek-jelekkan. Tetapi masalahnya kemudian berkembang, kalau kita menjaga Bali dengan segala imagenya yang pernah baik, apakah sekarang para penjaga Bali itu bersih? Nah, ini perlu introspeksi. Katakanlah soal judi, yang begitu membuat nama Bali jelek, sikap para “penjaga Bali” sangat lunak. Di berbagai daerah ada judi, tetapi di daerah lain tak sampai cemar namanya karena sikap masyarakat dan pemimpinnya jelas: anti judi. Sedang di Bali, judi dipelihara, malahan dipakai sumber dana membangun. Begitu pula minuman keras. Di daerah lain pun banyak beredar sampai ke pedesaan, tetapi sikap tokoh masyarakatnya anti minuman keras. Di Bali? Arak itu malah dipakai dalam upacara dan tak pernah Parisada mengeluarkan aturan, apalagi bhisama, soal pemakaian minuman keras itu untuk ritual. Jaga Bali, dan karena itu, kalau sudah waktunya nanti, mari kita mencari pemimpin di Bali yang mengerti bagaimana menjaga Bali dalam pengertian, Bali dengan roh dan budaya yang bernapaskan Hindu. Kalau pemimpin Bali dan pemuka agama Hindu di Bali sudah punya konsep menjaga Bali, saya kira masyarakat akan mematuhinya. Sekarang masih amburadul. 31 Agustus 2002
C
242
C
Bali Belum Kiamat
P
enduduk Bali yang mayoritas beragama Hindu mengenal ajaran utpati, sathiti, dan pralina — lahir, hidup dan mati. Siklus kehidupan ini tidak hanya untuk makhluk bernyawa, tetapi bisa berarti sangat luas tentang seluruh isi alam. Ledakan bom yang mengguncang Banjar Legian Kelod, Kuta, 12 Oktober 2002, diyakini bukan berada dalam sikus pralina (mati) tetapi bagian dari dinamika kehidupan (sathiti) yang selalu ada pasang surutnya. Kalau memakai bahasa populer — meski terasa klise — Bali belum kiamat. Keyakinan ini diperkuat setelah seluruh pemangku (pemimpin upacara) pura-pura besar yang ada di Bali berkumpul di Pura Uluwatu, dan menghasilkan kesimpulan bahwa ledakan bom di Kuta itu tergolong leboning amuk — arti arfiahnya kedatangan musuh yang mengamuk. Jadi, sama sekali bukan “kutukan Hyang Widhi”. Kesimpulan spiritual ini makin mendorong umat Hindu, bukan hanya di Kuta dan Denpasar saja, tetapi di seluruh Bali dan luar Bali, larut dalam doa. Berbagai persembahyangan sudah digelar dan puncaknya adalah upacara C 243 C
Karya Pemarisudha Karipubhaya, Tawur Agung, Tawur Gentuh, dan Pekelem yang diselenggarakan 15 November di Kuta. Rangkaian ritual dan parade doa ini menambah keyakinan dan memberikan optimisme bahwa industri pariwisata di Bali juga belum kiamat. Dalam doa tentu ada harapan bahwa kehidupan kepariwisataan di Bali masih bisa ditata kembali. Tapi kapan kehidupan itu akan normal? Yang pertama harus dicari adalah siapakah “musuh yang mengamuk” itu. Semua orang Bali, bahkan warga dunia, sangat berharap musuh yang biadab itu segera diketahui. Dan kepolisian sudah melakukan tugasnya dengan baik, dalam tempo sebulan setelah ledakan, pelaku dan jaringan pengebom itu sudah berhasil diciduk. Dengan tuntasnya kasus ini, diharapkan industri pariwisata di Bali segera bisa bangkit kembali. Serangan teroris memang tak pernah bisa menang melawan dunia kepariwisataan yang demikian dinamis, paling hanya bisa membuatnya “pingsan” sementara. Banyak contoh tentang itu. Misalnya, yang terjadi di Mesir. Wilayah wisata terkenal di Luxor diserang dan sejumlah wisatawan asing meninggal dunia. Pemerintah Mesir bisa menuntaskan kasus itu dengan segera, para penyerang diketahui dan dilumpuhkan. Wilayah Luxor tetap menjadi daerah tujuan wisata yang penting di negara piramid itu, sampai saat ini. Optimisme masyarakat Bali semakin kuat lagi dalam menghadapi pasca tragedi ini melihat perhatian masyarakat dunia yang begitu besar. Secara psikologis, beban ledakan bom ini tidak hanya ditanggung orang Bali, tetapi juga orang Indonesia, bahkan warga dunia. Dukungan dari negara-negara lain yang warganya ikut menjadi korban serta adanya resolusi PBB, kutukan dari Liga Muslim Dunia, menjadi modal kuat bahwa masyarakat Bali tidak sendirian menanggung tragedi ini. Dalam skala nasional, rasa simpati yang muncul dari tokoh-tokoh agama, dan lebih-lebih di tataran bawah dengan berkumpulnya
C
244
C
ormas pemuda dan mahasiswa lintas agama dalam doa serta aksi sosial di berbagai tempat, semakin membuat penduduk Bali “gembira dalam kedukaan” — sekaligus membuktikan bom ini tidak meluluh-lantakkan kerukunan yang ada di Bali. Tapi, bom sedasyat itu tetaplah sebuah malapetaka, ini memang tak bisa dipungkiri. Dampak sosial yang ditanggung masyarakat Bali tidak bisa dianggap enteng. Turis pulang tergesa-gesa, 28 ribu hengkang dalam tiga hari setelah bom meledak. Kamar-kamar hotel kosong, restoran sepi, toko-toko kesenian tak ada pembeli, guide menganggur, obyek wisata lengang, pengrajin di pedesaan terbengong-bengong karena tak ada order. Harap diketahui, sekitar 60 persen lebih pendapatan Bali diterima dari sektor pariwisata. Untuk Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung ketergantungan terhadap bisnis pariwisata mencapai 80 persen. Di Kuta, Legian dan Seminyak, mungkin sampai 100 persen. Tak ada kegiatan yang tak bersentuhan dengan wisatawan di tiga desa ini. Kalau sektor pariwisata ini tak segera bisa bangkit, dapat dibayangkan dampak apa yang terjadi. Pengangguran akan meledak, dan pekerja sektor pariwisata kembali pulang ke desanya masing-masing. Di sini mereka akan berebut lahan di sektor informal yang tidak menyediakan banyak pilihan, sementara tanah pertanian sudah terlantar ketika “bom turis” belum dihancurkan oleh “bom teroris”. Tetapi Bali dan pariwisata Bali, belum kiamat. Ledakan bom di Kuta itu hanya melahirkan “kemarau panjang”. Kita harus mengambil hikmahnya dengan menjadikan “kemarau panjang” ini sebagai masa jedah untuk melakukan instrospeksi, apa yang salah selama ini. Para pelaku budaya di Bali yang merupakan aset dari pariwisata budaya tersebut bisa menjadikan “kemarau panjang” ini sebagai saat-saat merenung untuk mengisi kembali baterai yang bertahun-tahun digunakan. Misalnya, menggali
C
245
C
inspirasi baru di bidang kebudayaan, apakah itu dalam olah tari, seni tabuh, karawitan atau berbagai pentas budaya lainnya. Selama ini kesempatan untuk itu nyaris tidak ada, meskipun setiap tahun ada Pesta Kesenian Bali — karena turisme telah menumpulkan kreasi baru. Kapan merenungnya kalau setiap saat dipesan di berbagai hotel dan restoran. Bagi pengelola wisata, bersiaplah untuk berbenah. Bukan sekedar menata kembali obyek wisata yang kini makin kotor, tetapi mengevaluasi daerah tujuan wisata yang selama ini bersinggungan dengan tempat suci Hindu. Ada satu fenomena yang sepertinya luput diamati oleh para pengelola industri pariwisata di Bali. Yakni, penduduk Bali semakin kuat ekonominya, semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin banyak punya kesempatan mempelajari agama secara tertulis, semakin banyak buku agama yang terbit, bahkan semakin banyak yang melakukan perjalanan suci (tirthayatra) ke India. Ini membuat mereka kritis dan dalam beberapa hal bersinggungan dengan dunia wisata. Misalnya, apakah pura masih bisa dijadikan obyek wisata, apakah simbol-simbol Hindu bisa dijadikan cindera mata. Parisada Hindu Dharma Indonesia sebagai majelis umat Hindu sudah menyiapkan bhisama (fatwa) tentang ini, bagaimana pengelola pariwisata mengantisipasinya? Kalau turis dilarang memasuki Pura Besakih, Pura Tanah Lot dan berbagai pura lainnya, langkah apa yang ditempuh? Konsep pariwisata budaya sudah mulai digugat kembali setelah ledakan bom ini. Ada banyak tokoh spiritual Hindu di Bali yang percaya bahwa bom di Kuta ini adalah “sebuah peringatan” dari Hyang Widhi bahwa Bali sudah tercemarkan kesuciannya. Memang, faktanya ada orang biadab yang meledakkan bom, tetapi Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) pasti tahu apa yang akan terjadi, dan tidak ada sesuatu pun yang terjadi di muka bumi ini yang bukan atas kehendak-Nya. Daun
C
246
C
kering pun tidak akan jatuh jika bukan atas kehendakNya. Jadi, bom yang meledak dan memakan korban itu pun pastilah juga atas sepengetahuan Tuhan, atas kehendak Beliau. Pertanyaannya: kenapa Beliau berkehendak dengan tindakan yang brutal yang memakan korban banyak ini? Dulu, setelah Borobudur di bom, kabarnya Pura Besakih juga mau dibom, tetapi Tuhan berkehendak lain, bom meledak di bus yang dalam perjalanan menuju Bali. Tuhan melindungi Pura Besakih. Nah, sekarang kok tidak? Kenapa bom “dibiarkan” meledak? Apakah itu tidak dimaksudkan untuk mem-pralina (memusnahkan) hal-hal yang mencemarkan Bali? Diskotek adalah tempat tamu mabuk-mabukan, dan tentu saja itu bukanlah jualan orang Bali dalam konsep pariwisata budaya. Apalagi diskotek itu khusus untuk orang asing, seolah-olah orang Bali menggadaikan sebidang lahannya untuk menyalurkan budaya yang bertentangan dengan budaya Bali. Kalau begitu persoalannya, kepariwisataan di Bali harus kembali kepada pariwisata budaya, bukan pariwisata buaya. Diskotek boleh saja tetapi tidak usah besar, tidak sebagai jualan utama, hanya sekedar pelepas rindu turis asing pada kampungnya. Barangkali hanya di hotel-hotel besar saja. Judi harus dijadikan musuh utama pariwisata budaya. Pemikiran untuk membuat kawasan kasino di Bali, meskipun kemudian dialihkan ke Nusa Penida, harus ditentang keras-keras. Apalagi sampai menyuguhkan lokasi prostitusi, jangan sampai kemaksiatan itu mendapat tempat dalam kehidupan pariwisata budaya. Pantaipantai Bali harus dikembalikan kepada pemiliknya orang Bali, tempat melangsungkan upacara melasti — pembersihan ke laut. Kalau tidak ada upacara, barulah “dipinjamkan” untuk dunia pariwisata. Tidak seperti sekarang ini, justru orang Bali yang bingung menuju pantainya sendiri karena akses ke sana sudah diblokir oleh hotel-hotel mewah.
C
247
C
Kembali kepada pariwisata budaya, artinya juga meletakkan budaya sebagai etalase utama untuk kunjungan wisatawan. Itu juga berarti kepariwisataan di Bali tidak boleh membunuh budaya Bali, apalagi sampai tergelincir menjadi hanya pemuas turis asing semata. Bali belum kiamat, dan mari kita tata kembali pariwisata Bali menuju pariwisata budaya yang sudah sejak lama diikrarkan. Mudah-mudahan perjalanan budaya Bali setelah ledakan bom di Kuta ini semakin baik bagi peradaban. (Materi tulisan ini sebagian pernah dimuat Majalah Tempo, edisi 21-28 Oktober 2002)
C
248
C
Tentang Penulis
P
utu Setia dilahirkan di Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali, pada 4 April 1951. Ayahnya seorang budayawan, juga tokoh spiritual. Nama yang diberikan ayahnya memang cuma itu, tanpa ada embel-embel apapun di depan nama Putu Setia -- sesuatu yang tidak lazim di Bali, saat itu. Dalam catatan yang memakai huruf Bali, di belakang namanya hanya tertulis hari kelahiran, Budha Paing Krulut. Putu Setia adalah anak kelima dari sembilan bersaudara, tetapi ia lelaki yang pertama. Selepas sekolah menengah, Putu mengenyam pendidikan jurnalistik di sebuah universitas swasta dan kursus jurnalistik yang diselenggarakan LP3ES di Jakarta. Ia kemudian bergabung sebagai wartawan harian Bali Post yang terbit di Denpasar merangkap koresponden Majalah Tempo di Bali. Tahun 1978 ia sepenuhnya bekerja di Majalah Tempo dan dipindahkan ke Yogyakarta. Selama lima tahun di Yogyakarta, Putu suka mengunjungi pesantren-pesantren dan ia, misalnya, sangat
C
249
C
akrab dengan KH Hamam Djafar (kini almarhum), pimpinan Pesantren Pabelan, Muntilan. Tahun 1982 ia dipindahkan ke Jakarta, sampai ia pensiun dari Tempo pada April 2006 dengan status Redaktur Senior. Kini ia kembali pulang ke kampungnya di Bali, menulis dan membina pasraman (ashram), menjadi pendeta. Ia dinobatkan sebagai pendeta Hindu dengan bhiseka (nama baru kependetaan): Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, pada 21 Agustus 2009. Sudah banyak buku yang diterbitkannya, dari fiksi dan nonfiksi. Setelah menjadi pendta Hindu, ia menulis juga buku-buku keagamaan.
C
250
C