Sanksi Pelanggaran Pasal 72: Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000 (satujuta rupiah), atau pidana penjara paling lama (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah.
Kewenangan Audit Investigatif BPK Mengidentifikasi, Menentukan dan Menghitung Kerugian Keuangan Negara atas Pelaksanaan APBD Copyright © Piatur Pangaribuan Hak Cipta Dilindungi Undang-undang All Rights Reserved Cetakan Pertama, Maret 2010 Penulis Editor Rancang Sampul Tata Letak Pracetak
: Piatur Pangaribuan : Taufiqiyyah Nur ‘Aini : Muhammad Kavit : Deni Setiawan : Wahyu Saputra
Penerbit: MEDIA PERKASA Perum. Gunung Sempu Jl. Menur 187 Yogyakarta Telp. (0274) 6845341, E-mail:
[email protected] Hunting: 08122599653 Piatur Pangaribuan Kewenangan Audit Investigatif BPK Mengidentifikasi, Menentukan dan Menghitung Kerugian Keuangan Negara atas Pelaksanaan APBD x + 154 hal, 14 cm x 21 cm ISBN:
Percetakan dan Pemasaran: YUMA PRESSINDO E-mail:
[email protected] Telp. 0271-9226606/085647031229
Dilarang keras memfotokopi atau memperbanyak sebagian atau seluruh buku ini tanpa seizin tertulis dari penerbit. Isi diluar tanggungjawab percetakan.
Pengantar Penerbit
Keuangan merupakan sesuatu yang krusial dalam menyelenggarakan hal-hal tertentu, termasuk penyelenggaraan negara. Keuangan suatu negara bersumber dari berbagai sumber dana. Di Indonesia keuangan negara bersumber dari berbagai sektor kemudian diwujudkan dalam sebuah anggaran pendapatan dan belanja, yaitu anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Realisasi penggunaan APBN dan APBD diawasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK berwenang untuk memeriksa pemakaian APBN dan APBD, tetapi tidak berwenang mengubah peraturan yang berkaitan dengan pemakaian APBN dan APBD. Dalam buku ini diuraikan contoh kasus pemeriksaan APBD dengan BPK melampaui batas kewenangannya. Dalam v
buku ini diuraikan hal-hal yang seharusnya dilakukan BPK ketika memeriksa pelaksanaan APBD di suatu daerah. Buku ini cocok digunakan sebagai referensi dalam menyikapi kasus hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan APBD. Kasus hukum dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi. Buku ini dapat digunakan sebagai referensi untuk menentukan keputusan yang seharusnya diambil oleh pihak yang terkait. Penerbit menyampaikan terima kasih kepada penulis yang telah mempercayakan penerbitan buku ini kepada penerbit. Penerbit menyadari bahwa dalam penerbitan buku ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penerbit mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan penerbitan buku selanjutnya. Semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca. Salam sukses dan luar biasa. Surakarta, Mei 2014 Penerbit
vi
Kata Pengantar
vii
viii
Daftar Isi
PENGANTAR PENERBIT................................................... V KATA PENGANTAR............................................................. VII DAFTAR ISI.............................................................................. ix BAB I PENDAHULUAN........................................................ 1 BAB II METODE KAJIAN A. Jenis Kajian.................................................................. 37 B. Pendekatan Masalah................................................... 38 C. Sumber Bahan Hukum............................................... 44 D. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum............................................................. 48 E. Analisis Bahan Hukum............................................... 49 BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Negara Hukum (Rechs-staat Theorien).............. 51 B. Teori Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan.......... 52 C. Teori Hukum Murni (Pure Theory of Law)............... 51 D. Teori Stufen Bow........................................................ 62 ix
E. F. G. H.
Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik........ 63 Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara........................................................................... 64 Definisi dan Asal Kata Korupsi................................ 73 Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Positif Indonesia...................................................................... 74 I. Faktor dan Penyebab Korupsi di Indonesia........... 75 J. Tipologi Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 juncto Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.................. 76 K. Institusi yang Berwenang Memberantas Korupsi.. 78 BAB IV PEMBAHASAN A. Sumber Kewenangan Peraturan Perundang-undangan dalam Hukum Positif .......... 83 B. Sumber Kewenangan Pemerintah Daerah.............. 85 C. Pengawasan terhadap Pembentukan dan Pelaksanaan Produk Hukum Daerah............... 90 D. Sumber Kewenangan BPK dalam Melaksanakan Pemeriksaan Keuangan Negara................................ 119 E. Kedudukan Prinsip Akuntansi dan Standar Akuntansi dalam Lapangan Hukum........................ 128 F. Indentifikasi Audit Investigatif BPK atas Pelaksanaan APBD Bertentangan dengan Prinsip Akuntansi........................................................ 130 G. Kedudukan Pelaksanaan Perda tentang APBD dalam Hierarki Pembentukan Peraturan Perundang-undangan................................................. 133 BAB V PENUTUP.................................................................... 139 DAFTAR PUSTAKA............................................................... 141
x
Bab I Pendahuluan
Pada era reformasi, eksistensi Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disingkat BPK) ditentukan dalam Bab VIIIA Pasal 23E ayat (1) perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) yang menentukan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Negara yang bebas dan mandiri. Ketentuan Pasal 23G ayat (2) UUD 1945 juga mengamanatkan lahirnya UndangUndang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Menurut Indra, BPK memiliki fungsi untuk melakukan pengawasan (audit) terhadap lembaga-lembaga yang ada kaitanya dengan penerimaan dan pengeluaran keuangan negara.1 1
Indra, Mexsasai, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Kesatu (Bandung: PT Refika Aditama, 2011) hlm. 79.
1
Fungsi pengawasan BPK dalam sejarah konstitusi Indonesia dapat dilihat pada masa UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (disingkat KRIS) 1949, UUDS 1950, dan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Penyelenggaran pemerintah menurut Pasal 4 aturan peralihan UUD 1945 terdiri dari MPR, DPR, dan DPA. Pada masa Konstitusi RIS sesuai dengan Pasal 2 KRIS, alat-alat kelengkapan federal RIS terdiri dari presiden, menteri, senat, DPR, MA, dan Dewan Pengawas Keuangan (DPK). Pada masa UUDS RI sesuai Pasal 2 UUDS RI, alat-alat kelengkapan negara terdiri dari presiden dan wakil presiden, menteri-menteri, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas Keuangan (DPA) Pada tanggal 5 Juli penyelenggaraan pemerintah kembali pada UUD 1945.2 Setelah kembali pada UUD 1945, Dewan Pengawas Keuangan eksistensinya kembali hilang dalam konstitusi Indonesia kemudian kembali diteguhkan setelah era reformasi. BPK memiliki kewenangan yang sangat besar, serta memiliki kebebasan dan kemandirian. Hal ini juga semakin diperkuat dalam ketentuan Pasal 2 butir (d) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UndangUndang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dalam Pasal 2 butir (a) menentukan hasil laporan audit investigatif BPK tidak termasuk dalam kategori Keputusan Tata Usaha Negara sehingga tidak dapat dilakukan upaya hukum untuk pembatalan melalui pengadilan tata usaha negara meskipun dalam pelaksanaan audit investigatif tidak memenuhi 2
2
Kansil, C. S. T., dkk., Hukum Administrasi Daerah, Cetakan Pertama (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009) hlm. 5 – 29.
standar yang diatur dalam Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.3 Jika hal ini dijadikan rujukan dalam penegakan hukum, kebenaran yang sesungguhnya akan sulit ditemukan bagi warga negara untuk mencari keadilan. Jenis pemeriksaan keuangan negara diatur dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pemeriksaan ini terdiri atas tiga jenis pemeriksaan, yakni (1) pemeriksaan keuangan, (2) pemeriksaan kinerja, dan (3) pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan (financial audit) adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pemeriksaan dilakukan dalam rangka memberikan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. Pemeriksaan keuangan bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar, dalam semua hal material, sesuai dengan prinsip akuntansi 3
Untuk lebih jelasnya, Pasal 2(d) Undang-Undang nomor 51 tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundangundangan yang lain yang bersifat hukum pidana. Pasal ini juga dirujuk dan diteguhkan melalui putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda dalam perkara Putusan Nomor: 21/G/2010/PTUN.SMD, tanggal 22 Desember 2010, hlm. 62.
3
yang berlaku umum di Indonesia seperti standar akuntansi pemerintah. Pengertian audit kinerja berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah audit atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas audit aspek ekonomi dan efisiensi serta audit aspek efektivitas. Audit dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3). Dengan penetapan ketentuan perundang-undangan, baik secara formal maupun materal, pelaksanaan audit (audit keuangan, audit kinerja, dan audit tujuan tertentu atau umum disebut audit investigatif) diharapkan dapat memberikan laporan hasil pemeriksaan keuangan dengan kesimpulan yang konsisten menurut ketentuan hukum sebagaimana telah diatur dalam Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Dalam praktik sekarang ini, hasil pemeriksaan keuangan sering tidak konsiten, baik sesama BPK maupun BPKP (sebelum dicabut kewenangannya melakukan audit keuangan). Hasil audit dapat dibatalkan oleh audit berikutnya atau audit yang lain dengan hasil yang berbeda, sesungguhnya apa gunanya auditing.4 Dengan kata lain, mengapa hasil audit investigatif BPK tidak konsisten. Hal ini diperlukan demi kepastian hukum. Prosedur dan teknik audit investigasi mengacu pada standar auditing serta disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi.5 4 5
4
Agoes, Sukrisno & Hoesada, Jan, Bunga Rampai Auditing (Jakarta: Salemba Empat, 2009) hlm. 7. Prima Consulting Group, Memahami Perbedaan dan Dasar Hukum (online),
Audit merupakan pelaksanaan pengamatan pendahuluan dalam suatu penugasan audit yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran (informasi) umum mengenai audit sehingga memperoleh pemahaman tentang dasar hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku, tujuan organisasi, kegiatan operasional, metode dan prosedur, kebijakan yang berlaku, masalah keuangan, dan informasi di lapangan. Selain itu juga menetapkan tujuan-tujuan audit sementara untuk menentukan arahan tahap audit selanjutnya berupa pelaksanaan evaluasi sistem menejemen serta menaksir resiko inheren auditi. Taksiran dapat dilaksanakan dengan menetapkan resiko dalam ukuran kuantitatif, yaitu menetapkan resiko dalam persentase (75%, 50%, dan 10%) atau ukuran kualitatif seperti tinggi, moderat, dan rendah.6 Di lain pihak, tujuan audit investigatif adalah untuk menentukan cukup bukti dan memenuhi syarat untuk diidentifikasi sebagai tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.7 Ketentuan yang berlaku dalam hal ini 6 7
http://primaconsultinggroup.blogspot.com/2008/05/memahami-perbedaandan-dasar-hukum.html. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, 2009, Auditing II, Kode MA.1.220, hlm. 38 (online), http:// www.scribd.com/doc//51192195/8/C-Tujuan-Audit. BPK Perwakilan VII Makasar, 2005, “Pengaduan Masyarakat Atas Dugaan Korupsi Mantan Bupati Minahasa Selatan di Amurang”, Laporan Audit Investigatif BPK Perwakilan VII Makasar, BAB II Uraian Audit Investigatif, hlm. 16 (online), http://www.bpk.go.id/doc/hapsem/2005ii/apbd/220.pdf.. Syarat untuk diidentifikasi sebagai tindak pidana korupsi dapat juga dilihat pada. Mahfud MD, Moh., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Cetakan Kedua (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010) hlm. 81 yang menjelaskan bahwa korupsi tidak harus diartikan menurut hukum yang mensyaratkan tiga unsur kumulatif, yakni 1) melawan hukum; 2) memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi; dan 3) merugikan keuangan negara. Secara umum, korupsi bisa berupa tindakan memanfaatkan kedudukan untuk menguntungkan
5
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 juncto Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut Bayangkara, tujuan audit harus mengacu pada tujuan dan ruang lingkup audit yang telah ditentukan. Tujuan audit bersifat analitis untuk menguji kebenaran antara apa yang telah ditetapkan dan apa yang telah dilaksanakan. Ada tiga elemen penting dalam tujuan audit. Pertama, kriteria merupakan norma, standar, atau sekumpulan standar yang menjadi panduan setiap individu (kelompok) dalam melakukan aktivitasnya sebagai pelaksana atas wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Standar atau norma ini dipergunakan untuk menilai aktivitas atau hasil aktivitas dari setiap individu atau kelompok pada objek audit. Kedua, penyebab merupakan tindakan atau aktivitas aktual yang dilakukan oleh setiap individu (kelompok) yang terdapat pada objek audit. Ketiga, akibat merupakan hasil pengukuran dan pembandingan antara aktivitas individu (kelompok) dan kriteria yang telah ditetapkan terhadap aktivitas tersebut.8 Objek yang diaudit BPK dalam buku ini berkaitan dengan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (selanjutnya disingkat pelaksanaan APBD), termasuk penjabaran
8
6
diri sendiri yang dalam praktik dapat berupa korupsi konvensional dan nonkonvensional. Delik korupsi dapat dilihat pada Hamzah, Andi, Terminologi Hukum Pidana, Cetakan Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm. 52 yang menjelaskan bahwa delik korupsi tercantum dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 13 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang PTPK. Bayangkara, IBK., Management Audit, Audit Management, Prosedur dan Implementasinya (Jakarta: Salemba Empat, 2008) hlm. 24 – 25.
pelaksanaan APBD (selanjutnya disingkat pejabaran APBD). Pelaksanaan APBD atau penjabaran pelaksanaan APBD masuk dalam hierarki pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf g Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 sebagaimana diganti terakhir dengan Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sejalan dengan hakikat audit tersebut, dalam pelaksanaan audit (investigatif) sering terjadi perbedaan pandangan dalam memberikan kesimpulan. Perbedaan yang paling menonjol khususnya pada audit tujuan tertentu atau disebut juga audit investigatif dengan hasil kesimpulan BPK dalam kalimat pelaksanaan anggaran APBD telah terjadi pertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mengakibatkan kerugian negara. Dengan kesimpulan akhir dari BPK tersebut dalam perspektif hukum pidana diasumsikan telah terjadi perbuatan tindak pidana korupsi tanpa ada ketegasan secara ketat kriteria (unsur) yang telah dilanggar serta tanpa melakukan kajian interdisiplin ilmu yang relevan dan kecenderungan dijadikan dasar penyidik baik kejaksaan maupun kepolisian untuk melakukan penyelidikan. Dari sisi lain, ada perdebatan dari perspektif hukum administrasi negara dan juga telah Putusan Pengadilan Negeri Tenggarong dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Samarinda yang memutuskan perbuatan para terdakwa bukan merupakan tindak pidana korupsi, melainkan hanya pelanggaran administrasi negara.9 9
Pengadilan Negeri Tenggarong, Putusan Perkara Pidana No.260/Pid.B/2010/
7
Sehubungan dengan kenyataan di atas dapat dirujuk pendapat Mautz & Sharaf melakukan penelitian yang bersifat rintisan (pioneering) dan monumental. Penelitian mereka kemudian dipulikasikan oleh The American Accounting Association (Ikatan Dosen Akuntansi di Amerika Serikat) dalam bentuk monograf dengan judul The Philosophy of Auditing.10 Gagasan utama mereka sangat relevan hingga saat ini, yakni pandangan mereka tentang rational probability atau tentang probabilitas menemukan penyimpangan (irragularitis) atau mengenai independensi (programming idenpendence, investigative independence, dan reporting independence). Auditing bukan merupakan subjek yang teoritis, tetapi kebanyakan orang berpendapat bahwa landasan teoritikal bagi auditing adalah sesuatu yang tidak mungkin. Kalaupun dicoba, upaya itu merupakan kesia-siaan. Dalam pandangan umum ketika itu auditing adalah serangkaian praktik dan prosedur metode dan teknik. Auditing sekadar cara untuk melakukan sesuatu. Belum ada atau masih sedikit kebutuhan untuk suatu penjelasan, deskripsi, argumentasi, dan semacamnya seperti yang dikenal dalam teori ilmu pengetahuan. Mautz & Sharaf berpendapat lain. Mereka berpandangan bahwa sesunguhnya ada atau perlu ada suatu teori tentang auditing, harus ada sejumlah asumsi dasar dari himpunan gagasan terpadu (a body of integrated ideas). Apabila memahami itu semua, pemahaman ini akan membantu mengembangkan dan mempraktikkan the art of auditing. PN.Tgr., Putusan tanggal 6 Desember 2011, hlm. 91. 10 Mautz, R. K. & Sharaf, Husein A. dalam Tuanakotta, Theodorus M., Berpikir Kritis dalam Auditing (Jakarta: Salemba Empat, 2011) hlm. 47.
8
Pandangan Mautz & Sharaf sangat revolusioner pada zaman itu. Keingintahuan mereka yang sangat kuat menjadikan alasan bagi penelitian tersebut sekaligus alasan untuk memilih judul The Philosophy of Auditing. Meskipun para mahasiswa dan praktisi auditing dewasa ini sudah dibekali dengan landasan teori, dalam tataran penerapannya di lapangan masih sering dianggap sesuatu yang praktis. Dalam praktik auditing di masa sekarang, masih terlihat cara berpikir sebelum dan ketika mereka menulis The Philosophy of Auditing. Filsafat auditing merupakan titik tolak berpikir tentang audit.11 Pemeriksa keuangan yang ditugaskan untuk melaksanakan audit tindakan ekonomi atau kejadian untuk entitas individual atau entitas hukum pada umumnya diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu auditor internal, auditor pemerintah, dan auditor independent.12 Auditor internal merupakan karyawan suatu perusahaan tempat mereka melakukan audit. Tujuan audit internal adalah untuk membantu manajemen dalam melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif. Meskipun demikian, pekerjaan auditor internal dapat mendukung audit atas laporan keuangan yang dilakukan auditor independent. Para auditor internal kebanyakan pemegang sertifikat yang disebut dengan Certified Internal Auditors (CIA) yang beberapa di antaranya juga pemegang Certified Public Auditors (CPA). Asosiasi internasional untuk para auditor internasional adalah Institute of Internal Auditors (IIA) yang menetapkan kriteria sertifikat serta 11 Ibid. 12 Halim, Abdul, Auditing 1, Edisi Keempat, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, 2008) hlm. 11.
9
mengelolan ujian CIA. Selain itu, IIA juga telah menetapkan standar praktis untuk audit internal dan kode etik.13 Auditor independent adalah akuntan publik yang telah memperoleh izin untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang nomor 15 tahun 2011 tentang Akuntan Publik merupakan para praktisi individual atau anggota kantor anggota akuntan publik yang memberikan jasa auditing profesional kepada klien. Klien dapat berupa perusahaan bisnis yang berorentasi laba, organisasi nirlaba, badan-badan pemerintah, maupun individu perseorangan. Auditor independent sesuai sebutannya harus independen terhadap klien saat pelaksanaan maupun pelaporan hasil audit. Auditor independent dapat melakukan audit keuangan negara jika diminta auditor pemerintah dan bekerja untuk dan atas nama BPK serta dalam melakukan audit mengunakan standar pemeriksaan keuangan (SPKN) sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Auditor independent juga dapat melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan tahunan BPK jika ditunjuk DPR atas usulan BPK dan Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Auditor pemerintah adalah auditor yang bekerja pada instansi pemerintah yang tugas utamanya adalah melaksanakan audit atas pertanggungjawaban keuangan dari berbagai unit 13 Ibid.
10
organisasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang sumber keuanganya dari APBN dan APBD. Audit ini dilaksanakan oleh auditor pemerintah yang bekerja pada instansi seperti Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disingkat BPK) sebagai auditor eksternal pemerintah dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (selanjutnya disingkat BPKP) sebagai auditor internal pemerintah.14 Dasar hukum pemeriksaan ini diatur dalam UndangUndang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Sementara itu, dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara ditetapkan bahwa laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD disampaikan berupa laporan keuangan yang setidak-tidaknya terdiri atas laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Ketentuan petunjuk pelaksanaan pengelolaan keuangan pemerintah pusat berbeda dengan pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Pengelolaan keuangan daerah diatur melalui Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pengelolaan ini kemudian diatur lebih lanjut dalam petunjuk teknis dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 21 tahun 2011 juncto Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, baik APBD untuk tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. Sementara itu, petunjuk pelaksanaan laporan keuangan pemerintah pusat diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja 14 Ibid.
11
Pemerintah, sedangkan perbendaharaan negara diatur dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan sebagai auditor internal kewenangannya diatur dalam Pasal 40 huruf (a) BAB III Keppres nomor 31 tahun 1983 tentang BPKP menentukan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 mencakup pemeriksaan keuangan dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan, penilaian tentang daya guna dan kehematan dalam penggunaan sarana yang tersedia, dan penilaian hasil guna dan manfaat yang direncanakan dari suatu program. Pada tahun 2001 peraturan ini diubah dengan Keputusan Presiden nomor 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Non Depertemen sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan Keputusan Presiden nomor 64 tahun 2005 tentang BPKP. Dalam ketentuan Pasal 52 disebutkan BPKP mempunyai tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam Keputusan Presiden nomor 64 tahun 2005 BPKP tidak lagi diberi kewenangan mengaudit keuangan daerah. BPKP dapat melakukan audit APBD bila kepolisian maupun kejaksaan meminta auditor BPKP mengaudit dugaan tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 52 Keputusan Presiden nomor 64 tahun 2005. Dengan demikian, BPKP untuk melakukan audit sudah tidak memiliki kewenangan lagi. Dalam praktik, penyidik sering 12
meminta BPKP maupun BPK untuk menghitung kerugian negara. Dalam pelaksanaan audit perlu dipahami hal yang terlebih dahulu dilakukan seorang auditor dalam melakukan audit, khususnya audit investigatif. Apakah terlebih dulu menemukan payung hukum serta bukti selanjutnya menghitung kerugian negara, atau terlebih dulu menghitung kerugian negara selanjutnya mencari payung hukum dan bukti. Dalam kenyataannya, peristiwa hukum dalam latar belakang menghitung kerugian negara terlebih dulu tanpa melakukan kajian untuk menemukan dasar hukum menghitung kerugian keuangan negara. Hal ini dapat diketahui karena tidak dilakukan audit secara sempurna sesuai Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara dan sesuai keterangan ketua audit investigatif yang kedua terhadap pelaksanaan APBD tahun 2005 Kabupaten Kutai Kartanegara yang dilaksanakan pada tahun 2010. Hal ini disampaikan pada Pengadilan Tata Usaha Samarinda yang menyatakan tidak melakukan konfirmasi terhadap anggota 11 DPRD yang dianggap tidak menjalankan pelatihan pilkada di Jakarta, sedangkan kenyataanya melakukan pelatihan pilkada. Kedua tata cara audit investigatif BPK akan dibahas berkaitan dengan konsekuensi hukum dari masingmasing metode sehingga ada kepastian hukum. Acuan BPK dalam melaksanakan audit investigatif selain undang-undang juga mengacu pada pernyataan akuntansi berlaku umum (selanjutnya disingkat PABU). Bagian PABU termasuk prinsip akuntansi, sedangkan standar akuntansi 13
pemerintah yang merupakan panduan yang telah ditetapkan indikatornya dalam menentukan terjadinya pelanggaran yang mengakibatkan terjadinya kerugian negara. PABU merupakan salah satu panduan penentu kerugian negara sehingga memiliki hubungan hukum dengan rumpun hukum lainnya, lebih khusus lagi hubungan dengan hukum administrasi negara. Menurut Rachmat, akuntansi erat kaitanya dengan hukum administrasi negara dan keduanya diperlukan dalam pemerintahan.15 Hukum administrasi yang dimaksudkan Rachmat adalah akutansi, lebih khusus akutansi keuangan. Steven Barkan juga menegaskan bahwa the process of legal research often involves investigation into other relevant disciplines.16 Siswo Sujanto sebagai seorang pakar dalam bidang keuangan negara mengawali makalahnya untuk suatu workshop KPK sebagai berikut. Bila diamati dari perkembangan usaha para pakar dalam menyusun undang-undang tentang pengelolaan keuangan negara di Republik Indonesia, perdebatan tentang cakupan atau lingkup keuangan negara di Indonesia telah berlangsung sangat lama, yaitu beberapa saat setelah Indonesia merdeka dengan dibentuknya panitia Achmad Natanegara pada tahun 1945 yang bertugas untuk menyusun RUU Keuangan Republik Indonesia (UKRI). Bahkan, ada suatu masa diskusi para pakar hukum dan administrasi keuangan pada saat itu justru menghasilkan suatu kesepakatan untuk tidak saling bersepakat terhadap lingkup keuangan negara. Saling ketidaksepakatan para pakar dalam masalah lingkup 15 Rachmat, Akuntansi Pemerintah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010) hlm. 99. 16 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Keempat (Malang: Bayumedia Peblishing, 2011) hlm. 300.
14
keuangan negara dimaksud, di samping menunjukkan bukti betapa luasnya dimensi keuangan negara, juga beragamnya aspek pendekatan keuangan negara sebagai suatu cabang keilmuan. Hal tersebut sebenarnya sudah sangat lama disadari oleh para ahli di negara Eropa, tempat lahirnya keuangan negara sebagai suatu ilmu. Para ahli keuangan negara Perancis bahkan mengatakan bahwa finance publique est une science de carrefour, artinya suatu ilmu yang berada di persimpangan jalan, yaitu persimpangan antara ilmu politik, hukum, administrasi, ekonomi, aritmatik, statistic, dan sebagainya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila ketidakluasan wawasan dalam memandang keuangan negara sebagai suatu ilmu akan menyebabkan debat berkepanjangan yang tidak menghasilkan suatu kesepahaman.17 Lahirnya Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang diikuti lahirnya Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara telah memberikan cakrawala pandang yang lebih jelas terhadap keuangan negara di Indonesia. Begitu pula dengan Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang perubahan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah telah memberikan cakrawala pandang yang lebih jelas terhadap keuangan negara di Indonesia. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 184 ayat (3) Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah 17 Tuanakotta, Theodorus M., Menghitung Kerugian Negara, dalam Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Salemba Empat, 2009) hlm. 104 – 105.
15
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah perlu ditetapkan peraturan pemerintah tentang standar akuntansi pemerintahan. Pemecahan permasalahan dewasa ini sangat kompleks dan ilmu pengetahuan yang ada tidak dapat lagi menjawab permasalahan yang terjadi sebagai akibat perubahan yang berlangsung secara dahsyat di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Penentuan terjadinya kerugian negara melalui audit investigatif saling bertautan beberapa disiplin ilmu, yakni hukum tata negara, hukum administrasi negara, ilmu perundangundangan, dan hukum pidana, lebih khusus lagi hukum tindak pidana korupsi. Dalam bahasa Inggris, kata “asas” diformatkan sebagai “principle”, sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ada tiga pengertian kata “asas”, yakni hukum dasar, dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat), dan dasar cita-cita. Peraturan konkret (seperti undang-undang) tidak boleh bertentangan asas hukum, demikian pula putusan hakim, pelaksanaan hukum, dan sistem hukum.18 Jika terjadi pertentangan antara undang-undang dengan asas hukum, putusan hakim, pelaksanaan hukum, serta sistem hukum, perlu ada ketentuan secara tegas dan ketat sebagai acuan dalam penegakan hukum, khususnya memberikan pemahaman dalam perspektif auditing, accounting, hukum, serta persinggungan antara 18 Mas, Marwan, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua (Revisi) (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) hlm. 109.
16
ketiga ilmu tersebut. Kedudukan prinsip akuntansi (accounting principles) dalam lapangan hukum merupakan bagian hukum administrasi Negara.19 Prinsip akuntansi pemerintah terdiri atas 12 prinsip yang dapat dikelompokkan menjadi tujuh bagian, yaitu GAAP (General Accepted Accounting Principle) and legal compliance (kemampuan akuntansi dan prinsip akuntansi yang berlaku umum atau pelaporan), fund accounting (akuntansi dana), basis of accounting (dasar-dasar akuntansi), classification and terminology (penggolongan dan istilah), fixed asset and long term liabilities (aktiva tetap dan utang jangka panjang), the budget and budgetary accounting (anggaran dan penganggaran akuntansi), dan financial reporting (laporan keuangan).20 Saat melakukan audit, dalam hal ini audit investigatif (audit tujuan tertentu), apabila terjadi perbedaan prinsip akuntansi yang digunakan, prinsip yang dipakai adalah aturan pemerintah sebagaimana diatur dalam dua prinsip pertama The National Committee on Governmental Accounting (selanjutnya disingkat NCGA). Dalam konteks BPK melaksanakan audit investigatif terhadap Perda APBD, aturan pemerintah termasuk Perda APBD itu sendiri merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan. Hal tersebut telah diatur dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 juncto UndangUndang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 19 Rachmat, Op.cit., hlm. 99. 20 Ibid., hlm. 99.
17
Kustandi Arinta (dalam Rachmat) menyebutkan hal tersebut diatur oleh dua prinsip pertama National Committee on Government Accounting. Pertama, ketentuan hukum dan pelaporan. Artinya, sistem akuntansi suatu lembaga pemerintah harus menunjukkan semua ketentuan hukum dan perundangundangan yang berlaku serta menentukan secara wajar dan mengungkapkan dengan selengkapnya posisi keuangan dan hasil operasi dana. Kedua, apabila terjadi pertentangan antara prinsip akuntansi dan ketentuan hukum, yang dipakai adalah ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku.21 Hal ini menegaskan asas atau prinsip akuntansi bukan merupakan aturan konkret yang dapat diterapkan secara langsung, khususnya yang bersifat pidana. Hal yang perlu diperhatikan dari segi hukum dalam audit investigatif antara lain penyusunan tujuan audit investigatif harus dilakukan berdasarkan unsur-unsur kecurangan yang akan dibuktikan sesuai dengan peraturan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Pembuatan hipotesis dalam audit investigatif harus menggambarkan modus kecurangan yang terjadi. Pengunaan teknik audit investigatif dalam mengumpulkan bukti harus memperhatikan dan mempertimbangkan aturan hukum. Selain itu, penelaahan dokumen yang diperoleh selama pelaksanaan audit investigatif harus memperhatikan validitas dan otensitas. Adanya konversi dari bukti-bukti audit investigatif menjadi bukti-bukti hukum serta perlu pemahaman tentang ketentuan alat bukti yang sah dalam hukum pembuktian. 21 Ibid., hlm. 102.
18
Konversi bukti diperoleh setelah terlebih dahulu memastikan ada pelanggaran hukum, baik hukum tata negara, hukum administrasi negara, ilmu perundang-undangan. Tahap kedua masuk pada tahap perhitungan kerugian negara. Tahap ketiga adalah tahap penetapan kerugian Negara. Hasil akhir audit investigatif menjadi alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP. Korupsi merupakan kejahatan extraordinary sehingga proses identifikasi kerugian negara juga harus dilakukan secara extraordinary. Jangan sampai atas nama kejahatan extraordinary BPK dalam melakukan audit investigatif dengan menghalalkan segala cara yang bertentangan dengan ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah maupun Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Tuanakotta mengemukakan bahwa audit investigatif merupakan bagian dan titik awal dari akuntansi forensik. Artinya, hasil audit investigatif didapat, tetapi tidak harus digunakan dalam proses pengadilan atau bentuk penyelesaian hukum lainya. Kalau sudah bersinggungan dengan bidang hukum (litigasi atau nirlitigasi), istilah akuntansi forensik lebih tepat daripada audit investigatif.22 Dengan demikian, tidak akan terjadi musibah karena penegakan hukum dilakukan secara ugal-ugalan sebagaimana dialami Romli Atmasasmita, seorang aktivis sekaligus ketua tim penyusunan undang-undang anti korupsi sejak tahun 1999 dan 22 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2007) hlm. Iii.
19
pembentuk KPK telah ditusuk dengan dengan keris yang dibuat sendiri, layaknya Ken Arok yang secara licik telah membunuh Empu Gandring dengan keris yang dibuat sang Empu.23 Romli Atmasasmita divonis bersalah pada tingkat judex factie dan akhirnya diputus bebas pada tingkat judex juris karena memang dalam menentukan kerugian negara tidak dilakukan kajian interdisiplin ilmu. Romli Atmasasmita akhirnya dibebaskan Mahkamah Agung meski sudah menginap di penjara selama 5 bulan 5 hari. Peristiwa pemidanaan sekwan dan 40 anggota DPRD periode 2004 – 2009 Kabupaten Kutai Kartanegara akan terjawab pada pembahasan apakah penegakan hukum yang dilakukan BPK, Polda Kalimanatan Timur, dan Kejaksaan Kalimantan Timur sudah sesuai ketentuan atau dilakukan secara ugal-ugalan. Peristiwa ini membuat heboh para pegiat hukum di tingkat lokal maupun nasional, sampai-sampai ketua Mahkamah Konstitusi menyerukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Samarinda agar dibubarkan.24 Itu karena hakim tindak pidana korupsi di Samarinda membebaskan sekwan dan 40 anggota dan pimpinan DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara yang telah didakwa jaksa penuntut umum melakukan tindak pidana korupsi atas perjalanan dinas dan dianggap tidak melakukan kegiatan. Putusan ini dipandang tidak mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia. 23 Atmasasmita, Romli, Teori Hukum Integratif, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Genta Publishing, 2012) hlm. x. 24 Tribun Kaltim, 2011, 5 November, hlm. 1.
20
Menurut Tuanakotta, audit investigatif merupakan audit khusus untuk menghitung kerugian negara, tetapi ada yang lebih khusus lagi dalam menghitung kerugian negara agar lebih tajam kajian hukum maupun keakuratan perhitungannya ketika diterapkan akuntan forensik yang akan melakukan audit forensik. Kalau seorang auditor dapat disebut sebagai akuntan yang berspesialisasi dalam auditing, akuntan forensik menjadi spesialisasi yang lebih khusus lagi (super specialist) dalam bidang fraud.25 Menurut Tuanakotta, hingga terbit bukunya Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif edisi kedua, IAPI belum menerbitkan standar audit investigatif.26 Bahkan, ada akuntan yang tidak menyadari bahwa apa yang dikerjakanya termasuk dalam lingkup akuntansi forensik27 karena kenyataanya memang belum ada standar audit investigatif, apalagi audit forensik. Sementara itu, dalam mengidentifikasi kerugian negara kejahatan extraordinary harus ditangani juga secara extraordinary. Contoh, saat ini akuntansi forensik juga dipergunakan dalam kasus yang sangat kompleks, yakni Bank Century. Diagram akuntansi forensik 25 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Infestigatif, Edisi Kedua (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2010) hlm. 44. Menurut Amin Widjaja Tunggal, dalam bukunya Forensic & Investigative Accounting, Pendekatan Kasus, 2012, Jakarta: Harvarindo, hlm. iii, kecurangan (fraud) adalah pencurian dengan cara menipu (theft by deception). Sebagai konsep legal yang luas, kecurangan menggambarkan setiap upaya penipuan yang disengaja yang dimaksudkan untuk mengambil aset atau hak orang atau pihak lain. Dalam konteks audit atas laporan keuangan kecurangan didefenisikan sebagai salah saji laporan keuangan yang disengaja. 26 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Edisi Kedua, .., Ibid., hlm. 99. 27 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, .., Op.cit. hlm. 5.
21
tergambar sebagai berikut.28 AKUNTANSI AUDIT HUKUM Gambar 1. Diagram Akuntansi Forensik Bagan di atas menjelaskan dalam akuntansi forensik terkait beberapa disiplin ilmu, yakni akuntansi dalam arti sempit standar akuntansi pemerintah dan hukum dalam arti luas karena hukum memiliki rumpun. Dengan demikian, benar audit investigatif hanyalah titik awal dari akuntansi forensik karena harus dikaji lebih lanjut syarat bukti yang sah sebagaimana yang dimaksud Pasal 184 KUHAP, termasuk kajian dari ilmu hukum tata negara, hukum administrasi negara, ilmu perundang-undangan, terakhir baru dari sisi hukum pidana. Persinggungan antara akuntansi, auditing, dan hukum ini memberinya nama akuntansi forensik.29 Hal senada juga disampaikan mantan pimpinan Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK), Erry Ryana Hardjapamekas, bahwa laporan hasil pemeriksaan keuangan BPK tidak dapat langsung dijadikan bukti.30 Kenyataan dalam praktik penegakan hukum dasar penetapan tersangka oleh penyidik 28 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, .., Op.cit. hlm. 18. 29 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, …, Op.cit. hlm. 1. 30 Antaranews, Deklarasi Geram Balikpapan (online), http://kaltim.antaranews. com/photo/1031/deklarasi-geram-balikpapan, pernyataan disampaikan pada Deklarasi GERAM (Gerakan Rakyat Anti Mafia Hukum) Balikpapan yang dideklarasikan sejumlah akademisi, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), tokoh adat, tokoh etnis, profesional, wartawan, dan mahasiswa di kampus Universitas Balikpapan.
22
mayoritas langsung merujuk hasil audit investigatif BPK yang dianggap sebagai bukti awal yang cukup kuat. Penyidik pada kepolisian dan kejaksaan di Kalimantan Timur memang tidak mempertautkan antara akuntansi, hukum, dan auditing dengan akuntansi merupakan rumpun hukum administrasi negara dan langsung menjadi landasan Hukum Dalam penghitungan kerugian keuangan negara hanya berdasarkan perspektif hukum pidana. Dalam beberapa perkara korupsi di Indonesia, terdakwa ada yang bebas setelah mendengar keterangan para ahli yang mempunyai pemahaman hukum secara interdisipliner. Menurut Adji, pemahaman yang berkembang dalam praktik peradilan tidaklah semudah kajian akademik memberikan solusinya. Permasalahanya adalah ketika aparatur negara dianggap melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan dan melawan hukum. Artinya, mana yang dijadikan ujian bagi penyimpangan aparatur negara ini, hukum atministrasi negara ataukah hukum pidana, khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi. Pemahaman yang berkaitan dengan penentuan yurisdiksi inilah yang sangat terbatas dalam kehidupan praktik judicial.31 Dalam menentukan kerugian negara, langkah pertama adalah terlebih dahulu memetakan yurisdiksi suatu perkara setelah auditor Bpk melakukan analisis antara apa yang ditetapkan dan apa yang dilaksanakan atas APBD. Dalam menentukan kerugian keuangan negara atau daerah, ada beberapa tahap yang harus dilakukan. Tuanakotta menegaskan secara konseptual dapat 31 Adji, Indriyanto Seno, Korupsi dan Penegakan Hukum, Cetakan Pertama (Jakarta: Diata Media, 2009) hlm. 2 – 3.
23
dibagi proses berkenaan dengan kerugian negara dalam tindak pidana korupsi menjadi tiga tahap berikut.32 1. Tahap pertama menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara. 2. Tahap kedua menghitung besarnya kerugian keuangan negara tersebut jika memang ada. 3. Tahap ketiga menetapkan kerugian negara. Dalam menentukan kerugian keuangan negara atau daerah, ada satu tahap yang harus ditambahkan dalam tahap menghitung kerugian negara yang sebenarnya sudah dilakukan dan merupakan fungsi utama auditor BPK, yakni melakukan analisis perbandingan antara apa yang ditetapkan dalam APBD maupun APBN dan apa yang dilaksanakan. Dengan demikian, secara konseptual, proses berkenaan dengan kerugian negara dalam tindak pidana korupsi dapat dibagi menjadi empat tahap berikut. 1. Tahap pertama menemukan perbedaan antara apa yang ditetapkan dalam APBD maupun APBN dengan apa yang dilaksanakan. 2. Tahap kedua menentukan ada atau tidaknya kerugian negara. 3. Tahap ketiga menghitung besarnya kerugian keuangan negara tersebut jika memang ada. 4. Tahap keempat menetapkan kerugian negara. Lebih lanjut, Tuanakotta menegaskan bahwa tahap pertama merupakan wilayah ahli hukum, sedangkan tahap 32 Tuanakotta, Theodorus M., Menghitung Kerugian Negara, dalam Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Salemba Empat, 2009) hlm. 131.
24
kedua merupakan ranah ahli menurut KUHAP, ahli menurut Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, atau ahli menurut Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tahap ketiga merupakan ranah majelis hakim melalui suatu putusan.33 Jika dirujuk pada bagan akuntansi forensic, saat dilakukan audit forensik terlebih dahulu meneliti payung hukum objek yang harus diaudit, baik dari hukum tata negara, hukum administrasi negara, maupun ilmu perundang-undangan jika ada yang dilanggar, selanjutnya auditor BPK membuat kesimpulan. Kesimpulan dapat berupa perbuatan administratif maupun perbuatan tindak pidana korupsi. Kelemahan auditor, menurut Tuanakotta, terlihat dari kebiasaan auditor melaporkan temuan mereka. Contoh yang sering terjadi, kami menemukan adanya pembayaran sebesar Rp 139 miliar yang tidak didukung bukti-bukti yang cukup.34 Hal ini juga terjadi terhadap temuan audit investigatif auditor BPK atas laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara periode tahun 2005 yang menyatakan hasil audit pertama berpotensi merugikan negara karena tidak dilengkapi bukti 33 Tuanakotta, Theodorus M., Menghitung Kerugian Negara, dalam Tindak Pidana Korupsi,..., Ibid., hlm. 133, Pasal 1 KUHAP berisi penjelasan umum tentang keterangan ahli pada angka 28 menyatakan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Tuanakotta, Theodorus M., Menghitung Kerugian Negara, dalam Tindak Pidana Korupsi,..., Ibid., hlm. 192, keterangan akuntan forensik di persidangan adalah keterangan ahli sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1 angka 28 KUHAP. 34 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, …, Op.cit., hlm. 45 – 46.
25
kuitansi Rp 2,676,000,000,00, kemudian diaudit kembali dan menyimpulkan telah terjadi kerugian negara Rp 2,988,800,000,00. Argumentasi yang sering dipergunakan adalah audit pertama sifatnya reguler atau audit laporan keuangan, sedangkan audit kedua adalah audit dengan tujuan tertentu atau audit investigatif. Wilayah inilah yang sering menimbulkan ketidakpastian dan perlu ada penjelasan yang lebih ketat menurut hukum yang benar. Dalam menghitung kerugian negara tidak ada metode yang baku. Namun, dalam praktiknya, akuntan forensik dalam melakukan audit forensik memilih metode dari berbagai metode yang dikenal dalam ilmu akuntansi yang tersedia sesuai dengan bentuk tindak pidana korupsinya. Metode-metode berikut dapat dipergunakan bersama-sama maupun sendiri-sendiri. 1. Kerugian total (total loss). Dalam metode ini seluruh jumlah yang dibayarkan dinyatakan sebagai kerugaian negara. Misalnya, pejabat tinggi departemen membeli alat berat dari negara lain, sedangkan suku cadangnya tidak diproduksi lagi di manapun. Dalam dakwaan, Jaksa Penuntut Umum meyakinkan hakim bahwa keseluruhan kegiatan pembelian merupakan perbuatan melawan hukum. Metode ini juga dapat diterapkan dalam penerimaan negara yang tidak disetorkan, baik sebagian maupun keseluruhan. 2. Kerugian total dengan penyesuaian. Metode ini diperlukan dalam hal barang yang dibeli harus dimusnahkan dan pemusnahan memerlukan biaya sehingga kerugian negara bukan hanya pembelian, melainkan juga biaya untuk memusnahkan.
26
3. Kerugian bersih (net loss). Metode ini dilakukan dalam hal barang rongsokan yang tadi dibeli masih ada nilainya sehingga kerugian negara adalah sejumlah kerugian bersih, yaitu kerugian total dikurangi nilai bersih barang yang rongsok. 4. Harga wajar. Metode ini seringkali merugikan negara karena transaksi yang dibeli dibuat dengan harga yang tidak wajar, baik dalam transaksi pembelian maupun pelepasan dan pemanfaatan barang. Kunci metode ini adalah penentuan harga wajar. Harga wajar menjadi pembanding untuk harga realisasi. Kerugian negara terjadi akibat ada transaksi yang tidak wajar kemudian dihitung dari selisih harga yang tidak wajar dengan harga realisasi. 5. Harga pokok (HP). Metode ini sering dikritik karena harga pokok tidak sama dengan harga jual. Harga jual dipengaruhi permintaan pasar dan margin keuntungan atau kerugian setiap perusahaan. 6. Harga perkiraan sendiri (HPS). Dalam metode ini harga disusun oleh lembaga yang melaksanakan tender. Harga perkiraan sendiri dihitung dengan pengetahuan dan keahlian mengenai harga barang atau jasa yang ditenderkan dan berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. 7. Penggunaan appraiser. Metode ini dipergunakan dalam pelepasan aset yang melalui pertukaran. Dalam hal ini harus diperhatikan faktor harga atau nilai pertukaran. Nilai pertukaran inilah harga yang diterima, tetapi karena tidak dalam bentuk uang harus dinilai kembali. Dalam hal ini, penilaian barang, seperti gedung, mobil, tanah, dan 27
sebagainya, ahli yang paling tepat adalah appraise, yaitu orang yang memiliki keahlian dalam menilai aset tertentu. 8. Metode terakhir adalah opportunitiy cost. Metode ini untuk menilai apakah pengambilan keputusan yang terbaik dan apakah pengambil keputusan sudah mempertimbangkan alternatif-alternatif lain. Metode ini sulit diterapkan dalam konsep menghitung kerugian negara yang nyata dan pasti.35 Dewasa ini pelaksanaan audit investigatif oleh BPK sering terjadi kontroversi dan tidak konsisten, baik antara BPK dan BPKP maupun sesama auditor BPK, terlebih lagi dengan lahirnya Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 juncto UndangUndang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pinana Korupsi. Dalam penegakan hukum pidana seolah-olah undang-undang yang lain tidak berlaku lagi, khususnya hukum administrasi negara. Padahal, justru sebaliknya instrumen hukum yang utama untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih adalah hukum administrasi negara.36 Peranan hukum administrasi tidak dapat diabaikan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.37 Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kasus dugaan korupsi yang sedang terjadi dan menjadi perhatian nasional, antara lain Mantan Jaksa Agung RI, Hendarman Supanji, dengan Mantan Menkum HAM RI, Yusril Ihza Mahendra, dalam kasus 35 Kholis, Efi Laila, Pembayaran Uang Penganti dalam Perkara Korupsi, Cetakan Pertama (Jakarta: Solusi Publishing, 2010) hlm. 72 – 74. 36 Hadjon, Philipus M., dkk., Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011) hlm. vi. 37 Ibid.
28
pengadaan Sisminbakum.38 Ada perdebatan yang menyatakan kasus dugaan korupsi ini masuk dalam kategori hukum administrasi negara, sedangkan sebagian pihak menyatakan masuk dalam ranah hukum tindak pidana korupsi, khususnya penyidik maupun BPK. Selanjutnya, dugaan korupsi di Provinsi Kalimantan Timur, yaitu adanya penetapan menjadi tersangka mantan Sekretaris Dewan Kabupaten Kutai Kartanegara periode tahun 2005 yang saat ini menjabat Asisten IV Gubernur Kalimantan Timur beserta seluruh anggota DPRD Kutai Kartanegara periode 2004 – 2009. Hal tersebut terkait dengan perkara dugaan korupsi penggunaan dana operasional pimpinan dan anggota DPRD Kutai Kartanegara tahun anggaran 2005 yang menurut BPK terjadi penganggaran secara ganda dan bertentangan dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 7/KMK.02/2003 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan Pegawai Tidak Tetap. Dalam keputusan menteri tersebut operasional anggota dan pimpinan DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara telah diatur melalui Keputusan Bupati Kutai Kartanegara nomor 180.188/HK-41/2005, tanggal 29 Maret 2005 tentang Penetapan Standarisasi/Normalisasi Harga Barang dan Jasa Belanja Aparatur dan Modal Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun Anggaran 2005 dan telah diberlakukan secara surut. 38 Waspadamedan, Positif bila Kasus Yusril vs Hendarman ke Pengadilan (online), http://www.waspadamedan.com/index.php?option=com_content&vie w=article&id=3226:positif-bila-kasus-yusril-vs-hendarman-ke-pengadilan&cati d=62:tajuk&Itemid=233.
29
Sementara itu, Gubernur Kalimantan Timur39 telah ditetapkan oleh Kejaksaan Agung sebagai tersangka dengan dasar telah terjadi kerugian negara berdasarkan audit investigatif BPK atas penjualan saham 5% PT Kutai Timur Energi, saham milik Pemkab Kutai Timur pada PT Kaltim Prima Coal yang saat ini berubah nama menjadi PT Bumi Resourches. Lebih lanjut, audit tandingan dilakukan oleh kantor akuntan publik Young and Erns (dahulu akuntan publik Arthur Andereson). Hasil audit memberikan simpulan tidak terjadi kerugian, sebaliknya menyatakan terjadi keuntungan. Dalam catatan akhir tahun pada tanggal 31 Desember 2011, Jaksa Agung menyampaikan tolong jangan tergesa-gesa tetapkan orang jadi tersangka. Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus menyebutkan kasus Awang Farok terhambat karena belum adanya perhitungan kerugian negara.40 Sekretaris Provinsi Kalimantan Timur juga dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur setelah menghitung dan terjadi kerugian keuangan negara.41 Masyarakat Kaltim mempersoalkan karena tidak memiliki kewenangan menghitung kerugian keuangan negara. Pada akhirnya, Kejaksaan Kalimantan Timur meminta audit kepada BPK Perwakilan Kalimantan Timur terhadap pengucuran dana koperasi kepada PT Hidup Baru. Akhirnya, Kejaksaan Tinggi Samarinda menghentikan penyidikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan 39 Tribun Kaltim, 2010, 15 Juli, hlm. 1. 40 Kaltim Post, 2011, 31 Desember, hlm. 1. 41 Tribun Kaltim, 2010, 16 September, hlm. 13,
30
argumentasi penyidik tidak menemukan alat bukti yang cukup untuk menetapkan Irianto Lambire sebagai tersangka.42 Penetapan menjadi tersangka terhadap pejabat tersebut tentu berdampak pada pemerintahan di Kalimantan Timur yang tidak berjalan secara maksimal. Kasus tersebut sama-sama menjadi perhatian publik secara nasional. H. M. Aswin (mantan Sekretaris Dewan Kabupaten Kutai Kartanegara yang saat ini menjabat Asisten IV Gubernur Kalimantan Timur periode tahun 2005 – 2009) ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Kalimantan Timur. Anggota DPRD Kutai Kartanegara juga ditetapkan menjadi tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur.43 Keseluruhannya menjadi tersangka berdasarkan laporan hasil pemeriksaan investigatif BPK yang memberikan kesimpulan atas hasil laporan bahwa penganggaran dan pembayaran tersebut bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Laporan Hasil Keuangan BPK Perwakilan Kalimantan Timur nomor 02/LHP/XIX.SMD/I/2010 yang sebelumnya telah pernah dilakukan audit melalui audit reguler dan Laporan Hasil Keuangan BPK nomor II/C/S/XIV.15/2006 memberikan rekomendasi pengembalian karena dianggap pengeluaran tidak didukung dengan bukti-bukti. Laporan hasil pemeriksaan reguler terhadap keuangan tahun anggaran 2005 Kabupaten Kutai Kartanegara dilakukan melalukan interview terhadap orang-orang yang melaksanakan kegiatan. Laporan hasil 42 http://m.tribunnews.com., diunduh terakhir pada tanggal 31 Agustus 2011. 43 Mahakammedia, Mantan Sekretaris DPRD Kukar Ditahan Polda Kaltim (online), diambil dari http://mahakammedia.wordpress.com/2010/04/25/ mantan-sekretaris-dprd-kukar-ditahan-polda-kaltim/.
31
pemeriksaan keuangan tersebut diserahkan kepada eksekutif maupun legislatif. Pertimbangan audit pertama karena tidak didukung bukti-bukti berupa kuitansi dan dianggap berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,676,000,000,00 atas APBD tahun 2005. Jenis audit yang dilakukan bersifat reguler dan telah dikembalikan sekitar Rp 1,920,000,000,00 hingga tanggal 4 Desember 2008. Audit kedua BPK melakukan penetapan perhitungan kerugian keuangan negara dengan Laporan Hasil Keuangan BPK RI nomor 02/LHP/XIX.SMD/I/2010 tanggal 14 Januari 2010. Jenis audit yang dipergunakan adalah audit investigatif atau audit tujuan tertentu. Ini sebagaimana terdapat dalam Peraturan BPK RI nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara memberikan rekomendasi telah terjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp 2,988,800,000,00 untuk objek yang sama atas pelaksanaan APBD tahun 2005. Audit keuangan (reguler) secara umum hanya memberikan pendapat (opini) atas laporan keuangan pemerintah. Namun, kenyataannya auditor BPK pada pemeriksaan keuangan pertama telah merekomendasikan kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara untuk mengembalikannya. Dengan demikian, auditor untuk laporan keuangan (reguler) juga dapat melakukan audit yang bersifat investigatif tanpa harus audit investigatif yang kedua. Oleh karena itu, penegasan payung hukum diperlukan untuk menghindari kontraproduktif atas objek audit yang diaudit dua kali sebagaimana yang terjadi atas pelaksanaan APBD tahun 2005 Kabupaten Kutai Kartanegara. 32
Audit investigatif kedua dilakukan pada tahun 2010. Polda Kalimantan Timur memanggil BPK untuk menghitung kerugian negara tanpa melakukan audit lapangan pada Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. BPK menemukan 11 anggota DPRD tidak melakukan kegiatan Pilkada ke Jakarta, sedangkan kenyataannya berangkat. Hal ini terjadi karena pejabat pelaksana teknis kegiatan (selanjutnya disingkat PPTK) melakukan kesalahan pencatatan. Pencatatannya tergabung dengan anggota DPRD Kutai Kartanegara yang melaksanakan kegiatan ke Yogyakarta. Atas dasar hal ini, auditor BPK tidak melakukan audit ke lapangan untuk memperoleh bukti audit yang kompeten. Ini sebagaimana diatur dalam Pernyataan Standar Auditing No. 07 (PSA No. 7) yang menyatakan bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan.44 Menurut Adami Chazawi, auditor yang dilibatkan dalam pembuktian perkara korupsi menghasilkan dua alat bukti. Pertama, bahan tulisan yang berupa laporan audit investigasi sehingga merupakan alat bukti surat seperti laporan visum et repertum oleh dokter forensik atau rumah sakit. Kedua, alat bukti keterangan ahli apabila auditor memberikan keterangan ahli, baik dalam penyidikan di hadapan penyidik maupun dalam sidang pengadilan, terutama di depan hakim karena hasil atau isi alat bukti akan bernilai dalam pembuktian jika didapat atau 44 Institut Akuntan Publik Indonesia, Standar Profesional Akuntan Publik, Terbitan 31 Desember 2001 (Jakarta: Salemba Empat, 2011) hlm. 326.1.
33
diberikan di hadapan hakim di sidang pengadilan.45 Alat bukti yang diperoleh secara tidak sah (tidak sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan) tidak dapat dijadikan sebagai bukti menurut ketentuan hukum. Audit independent lebih mengandalkan bukti yang bersifat mengarahkan (persuasive evidence) daripada bukti yang bersifat meyakinkan (convincing evidence).46 Sangat berdasar jika bukti audit (audit evidance) berbeda dengan bukti hukum (legal evidance) yang diatur secara tegas oleh peraturan yang ketat.47 Hal ini juga sebagaimana perintah dan laporan hasil pemeriksaan keuangan tidak diserahkan kepada eksekutif maupun legislatif. Ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 17 ayat (5) UndangUndang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang menjelaskan bahwa laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya. Ketentuan Pasal 8 Peraturan BPK RI nomor 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara juga menjelasakan bahwa pimpinan instansi segera menugaskan Tim Penyelesaian Kerugian Negara (TPKN) untuk menindaklanjuti ”setiap” kasus kerugian negara selambat-lambatnya tujuh hari sejak menerima laporan. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) menyebutkan TPKN mengumpulkan dan melakukan verifikasi dokumen-dokumen, baik kerugian yang diketahui dari 45 Kompasiana, Kajian terhadap Putusan MA nomor 995/PID/2005 (online), http://politik.kompasiana.com/2010/01/29/peran-laporan-audit-investigasidalam-hal-menentukan kerugian-negara-dalam-perkara-korupsi/ 46 Ibid., hlm. 326.6. 47 Ibid., hlm. 326.1.
34
pemeriksaan BPK, pengawas aparat pengawasan fungsional, pengawasan, dan/atau pemberitahuan atasan langsung bendahara atau kepala kantor/satuan kerja sebagaimana tercantum dalam Bab III Pasal 3 Peraturan BPK RI nomor 3 tahun 2007. Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara merupakan salah satu landasan dan referensi yang digunakan dalam penyusunan standar pemeriksaan keuangan. Hal ini diatur dalam Lampiran I paragraf 4 Peraturan BPK RI nomor 1 tahun 2007 tentang Pendahuluan Standar Pemeriksaan (selanjutnya disingkat Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang SPKN). Ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 5 tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Kerugian Keuangan dan Barang Daerah juga menegaskan hasil LHP BPK harus terlebih dahulu diserahkan kepada Tim Penyelesaian Kerugian Negara (TPKN) yang keanggotaannya termasuk inspektorat untuk melakukan verifikasi dengan maksud memastikan apakah benar-benar telah terjadi penyimpangan secara pidana maupun secara administrasi negara. Secara umum, penyampaian hasil audit yang telah diatur dalam ketentuan harus dipatuhi.
35
Bab II Metode Kajian
A. Jenis Kajian Jenis kajian ini merupakan kajian yuridis normatif, yaitu kajian menggunakan peraturan perundang-undangan. Titik berat kajian yuridis normatif, sesuai dengan karakter keilmuan hukum yang khas, terletak pada telaah hukum atau kajian hukum terhadap hukum positif yang meliputi tiga lapisan keilmuan hukum, yaitu telaah dogmatika hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Pada tataran dogmatika hukum, pengkajiannya dilakukan terhadap identifikasi dalam hukum positif, khususnya undangundang. Pada tataran teori hukum dilakukan telaah terhadap teori-teori yang dapat digunakan. Jenis kajian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang mengkaji secara kritis dan komprehensif audit investigatif BPK atas pelaksanaan APBD dalam perspektif tindak pidana korupsi. 37
B. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang digunakan dalam suatu kajian akan mempergunakan beberapa pendekatan. Menurut Ibrahim, cara pendekatan tersebut dapat digabungkan sehingga suatu kajian normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih yang sesuai.1 Dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai permasalahan yang sedang diteliti dan selanjutnya akan medapatkan jawabanya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum dapat dipergunakan. Pendekatan tersebut di antaranya pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), pendekatan konseptual (conceptual approach),2 pendekatan analitis (analitical approach), dan pendekatan filsafat (philosophical approach).3 Pendekatan perundang-undangan (statute approach) akan dilakukan terhadap Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan 1 2 3
38
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif…, Op.Cit., hlm. 300 – 301. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Cetakan Keenam (Jakarta: Prenada Media Group, 2010) hlm. 93. Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif…, Op.Cit., hlm. 300.
Negara, Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah, dan Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Pendekatan tersebut akan dipergunakan untuk menelaah semua perundangundangan dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang dibahas. Pendekatan undang-undang akan membuka kesempatan dalam pembahasan masalah in casu untuk mempelajari konsistensi dan kesesuaian antara satu undang-undang dan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Suatu kajian normatif tentu harus mengunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) karena yang dikaji adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral penelitian. Menurut Ibrahim, kajian harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat berikut. 1. Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dan lainnya. 2. All-inclusive, artinya kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada sehingga tidak akan ada kekurangan hukum. 3. Systematic, artinya selain bertautan antara satu dan yang lain, norma hukum juga tersusun secara sistematis.4 4
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif…, Ibid., hlm. 302 – 303.
39
Pernyataan Ibrahim ini juga dikuatkan dan sejalan dengan teori sistem ekologi administratif yang menyatakan bahwa memahami hukum dan memecahkan persoalan hukum harus comprehensive, all-inclusive, dan systematic. Menurut Rasjidi & Putra, suatu cabang ilmu sering dibahas secara otonom dan terisolasi dalam batasan ruang lingkupnya. Pembahasan itu menimbulkan dua akibat. Pertama, mengesankan terpisahnya suatu cabang ilmu dengan ilmu pengetahuan sebagai induknya. Kedua, keterpisahan itu menjadi sumber kesulitan dalam memahami aspek keseluruhan (the wholeness) dari cabang ilmu itu. Keterpisahan itu merupakan sebab utama kesulitan pembangunan kebenaran (the objectivity) cabang ilmu itu.5 Dalam audit investigatif BPK juga masih terdapat pemahaman secara otonom dalam menghitung kerugian negara yang mengakibatkan laporan hasil pemeriksaan keuangan sering tidak konsisten dan dijadikan penyidik sebagai bukti awal untuk melakukan penyidikan. Pendekatan kasus (case approach) dalam kajian normatif bertujuan untuk memahami penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang diterapkan dalam peraktik hukum, terutama terhadap kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi perkara-perkara dalam buku ini. Kasus-kasus yang telah terjadi bermakna empiris, tetapi dalam suatu kajian normatif kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak penormaan dalam suatu aturan hukum serta menggunakan analisisnya sebagai bahan masukan dalam penjelasan hukum. Pendekatan 5
40
Rasjidi, Lili & Putra, Ida Bagus Wyasa, Hukum sebagai Suatu Sistem, Edisi Kedua (Bandung: PT Fikahati Aneska, 2003) hlm. iii.
kasus dilakukan dengan telaah terhadap kasus yang telah diputus yang bertalian dengan permasalahan, baik pada tingkat judex factie maupun putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Studi kasus merupakan studi terhadap kasus tertentu dari berbagai aspek hukum. Pendekatan historis (historical approach) dilakukan untuk mengetahui latar belakang lahirnya peraturan perundangundangan. Dengan mengetahui latar belakang sejarah peraturan perundang-undangan para penegak hukum akan memiliki interpretasi yang sama terhadap permasalahan hukum yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau merupakan satu kesatuan yang berhubungan erat, sambung-menyambung, dan tidak terputus. Pendekatan perbandingan hukum (comparative approach) penting dilakukan dalam ilmu hukum karena dalam bidang ilmu hukum tidak mungkin dilakukan suatu eksperimen sebagaimana dilakukan dalam ilmu empiris. Pendekatan perbandingan merupakan salah satu cara yang dipergunakan dalam kajian normatif untuk membandingkan salah satu lembaga hukum (legal institution) dari sistem hukum (yang kurang lebih sama dari sistem hukum). Pendekatan ini akan dipergunakan untuk membandingkan undang-undang suatu negara dengan undangundang dari negara lain. Pendekatan konseptual (conceptual approach), konsep (Inggris: concept, Latin: conceptus dari concipere yang berarti memahami, menerima, dan menangkap merupakan gabungan 41
dari kata con (bersama) dan capere (menangkap, menjinakkan). Konsep dalam pengertian yang relevan adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang kadangkala menunjuk pada hal-hal universal yang diabstraksikan dari hal-hal partikuler. Dalam ilmu hukum, konsep dalam hukum perdata akan berbeda dengan konsepkonsep hukum pidana. Demikian pula, konsep-konsep hukum tata negara, hukum administrasi, dan ilmu perundang-undangan memiliki perbedaan dengan konsep-konsep hukum pidana dan hukum perdata. Dalam konsep penyalahgunaan kewenangan dihubungkan dengan hukum administrasi negara, Tatiek Sri Djatmiati (dalam Minarno) menyatakan bahwa hukum administrasi atau hukum tata pemerintahan (administratiefrecht atau bestuursrecht) berisi norma-norma pemerintah. Parameter yang dipergunakan dalam penggunaan wewenang adalah kepatuhan hukum ataupun tidak kepatuhan hukum (improper legal atau improper illegal).6 Apabila terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan secara improper illegal, badan pemerinatah yang berwenang tersebut harus mempertanggungjawabkan. Hukum adninistrasi pada hakikatnya berhubungan dengan kewenangan publik dan caracara pengujian kewenangannya, serta hukum mengenai kontrol terhadap kewenangan tersebut.7 Menurut Bagir Manan, ketidakmungkinan meniadakan kewenangan eksekutif (pemerintah) sebagai penyelenggara 6 7
42
Minarno, Nur Basuki, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Cetakan Kedua (Surabaya: Laksbang Mediatama, 2009) hlm. 69. Ibid.
administrasi negara untuk ikut membentuk peraturan perundangundangan makin didorong oleh berbagai perkembangan teoritik maupun praktik antara lain pemberian kewenangan bagi pemerintah berkenaan dengan sifat norma hukum tata negara dan hukum administrasi negara yang bersifat umum-abstrak (algemeen-abstract). Dalam hukum administrasi ada istilah langkah mundur pembuat undang-undang (terugtred van de wetgever). Sikap mundur ini diambil dalam mengaplikasiklan norma hukum administrasi negara yang bersifat umum-abstrak terhadap peristiwa konkret-individual.8 Sementara itu, dalam konsep hukum pidana langkah mundur tidak diperkenankan karena bertentangan dengan asas legalitas. Pendekatan analitis (analytical approach) bertujuan menganalisis bahan hukum untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional sekaligus memahami penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum. Dengan demikian, tugas analisis hukum adalah menganalisis pengertian hukum, asas hukum, kaidah hukum, sistem hukum, dan berbagai konsep hukum. Pentingnya pendekatan analisis, menurut George Whitecross Paton, sebagai berikut. ”Austin beliaved that chief of tool of jurisprudence was analysis......... An analysis of judicial method shows that law is not a static body of rules, is rather an organic body of principles with inherent power of growth”.9 8 9
Ridwan H. R., Hukum Administrasi Negara, Cetakan Pertama (Yogyakarta: TIM UII Press, 2002) hlm.104 – 105. Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif…, Ibid., hlm. 311.
43
Sesungguhnya Paton ingin menunjukkan bahwa Austin melihat kepentingan analisis hukum sebagai metode ilmu hukum (method of jurisprudence) dari berbagai perspektif aturan hukum yang statis. Paton berpendapat bahwa analisis hukum seperti itu tidak lagi memadai untuk menjawab berbagai permasalahan hukum yang bergerak secara dinamis. Apa yang dikemukakan Paton lebih dapat diterima jika melihat perkembangan hukum yang sangat dinamis dewasa ini, khususnya dalam pelaksanaan audit investigatif yang dilakukan oleh BPK. Pendekatan filsafat (philosophical approach) yang menyeluruh, mendasar, dan spekulatif akan mengupas isu hukum (legal issue) dalam kajian normatif secara radikal dan mendalam. Sacrotes pernah mengatakan tugas filsafat sebenarnya bukan menjawab pertanyaan yang diajukan, melainkan mempersoalkan jawaban yang diberikan.10 Bila dikaitkan dengan laporan hasil pemeriksaan audit investigatif BPK (selanjutnya disingkat LHP audit investigatif BPK), BPK akan dapat menjawab pertanyaan setiap orang yang mempermasalahkan LHP audit investigatif BPK.
C. Sumber Bahan Hukum Kajian hukum normatif pada dasarnya mengkaji hukum dalam wujudnya sebagai norma, seperti tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Norma hukum juga tercermin dalam peraturan kebijakan sebagai penjabaran lebih lanjut dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Selain itu, nroma 10 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif…, Ibid., hlm. 320.
44
hukum juga termasuk peraturan kebijakan yang tertuang dalam peraturan dan keputusan gubernur, bupati, dan walikota. Jenis dan sumber bahan hukum ada yang merupakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Ada juga hanya membagi bahan hukum dalam dua kelompok, yakni bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Menurut Soerjono Soekanto, bahan-bahan hukum dibagi menjadi berikut. 1. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang yang mengikat dan terdiri atas bahan hukum berikut. a. Norma atau kaidah dasar, yakni pembukaan UndangUndang Dasar 1945. b. Peraturan dasar, yaitu batang tubuh UndangUndang Dasar 1945 dan ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. c. Peraturan perundang-undangan, yaitu undang-undang dan peraturan yang setaraf, peraturan pemerintah dan peraturan yang setaraf, keputusan presiden dan peraturan yang setaraf, keputusan menteri dan putusan yang setaraf, dan peraturan daerah. d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan seperti hukum adat. e. Yurisprudensi. f. Traktat. g. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga sekarang masih berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP).
45
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil penelitian, dan hasil karya ilmiah dari kalangan hukum. 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan ensiklopedia.11 Sementara itu, Soepiadhy membagi sumber bahan hukum dalam dua kelompok, yakni sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder.12 Soepiadhy menjelaskan bahwa dapat dipastikan setiap penelitian mengunakan ensiklopedia sehingga kajian ini mempergunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berikut. 1. Bahan hukum primer Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam buku ini digunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan berikut. a. Undang-Undang Dasar 1945. b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. c. Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. d. Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. 11 Ishaq, , Dasar-dasar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua (Jakarta: Sinar Grafia, 2009) hlm. 114 – 115. 12 Soepiadhy, Soetanto, 2011, Mata Kuliah Filsafat dan Teori Hukum, tanggal 18 Desember 2010, pada perkuliahan Program Studi Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana, Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya.
46
e. Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. f. Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Negara. g. Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. h. Peraturan BPK nomor 2 tahun 2007 jo. Peraturan BPK nomor 2 tahun 2011 tentang Kode Etik Badan Pemeriksaan Keuangan. i. Peraturan BPK RI nomor 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara. j. Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. k. Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. l. Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 juncto UndangUndang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. m. Permendagri nomor 5 tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi Keuangan dan Barang Daerah. 2. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum ini seperti studi kepustakaan dan studi dokumentasi, arsip, data resmi pemerintah, buku-buku hukum, jurnal, dan majalah yang dipublikasikan. 47
D. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum Proses pengumpulan bahan hukum dilakukan dari berbagai sumber sebagaimana ditemukan dalam Black’s Law Dictionary yang meliputi tiga kegiatan berikut. 1. Source of law can refer to the origin of legal concept and ideas... 2. Source of law can refer to govermental institutions that formulate legal rules... 3. Source of law can refer to the published manifestation of law.13 Menurut Edward Jenk, ada tiga sumber hukum yang disebutnya dengan istilah form of law, yaitu statutory, judiciary, dan literary.14 Tjuck Wirawan juga mengemukakan bahwa putusan hakim yang belum memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht) pada tingkat pengadilan pertama maupun pada tingkat pengadilan banding (judex factie) juga dapat dipergunakan sebagai bahan hukum.15 Teknik pengumpulan dan pengolahan bahan hukum diawali dengan studi kepustakaan, yaitu inventarisasi semua bahan hukum yang terkait dengan pokok permasalahan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Setelah itu diadakan klasifikasi bahan hukum yang terkait, kemudian bahan hukum tersebut disusun secara sistematis untuk lebih 13 Garner, Brayen A., Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, In Chief (Ed.) (Minn., United State of America: West Group, St. Paul, 1999) hlm. 1401. 14 Sadjijono, H., Bab-bab Pokok Hukum Administrasi, Cetakan Kedua (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2011) hlm. 26. 15 Wirawan, Tjuck, Pendapat disampaikan pada Sabtu, 31 Maret 2012 pukul 10.00, pada ujian praproposal pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
48
mudah membaca dan mempelajarinya. Bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan kemudian dikumpulkan dan dikelompokkan untuk dipilih sesuai dengan karakter bahan hukum yang diperlukan.
E. Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum dilakukan dengan terlebh dulu mengidentifikasi bahan hukum yang terkumpul, kemudian dideskripsikan dan disistematisasikan dengan mendasarkan pada teori keilmuan hukum dan konsep-konsep ilmu hukum, prinsip-prinsip, atau asas-asas hukum. Analisis bahan hukum yang dipergunakan dalam buku ini adalah analisis yuridis kualitatif, yaitu analisis yang didasarkan atau bertumpu pada penalaran hukum (legal reasoning), intepretasi hukum (legal intepretation), dan argumentasi hukum (legal argumentation) secara runtut. Penggunaan analisis bahan hukum ini diharapkan dapat menjelaskan permasalahan yang dirumuskan dalam buku ini secara memuaskan.
49
Bab III Tinjauan Pustaka
A. Teori Negara Hukum (Rechs-staat Theorien) Teori negara hukum merupakan teori utama dalam buku ini. Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib. Kedaulatan hukum (rechts-souvereiniteit) yang dimiliki, bahkan merupakan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, adalah hukum.1 Menurut Krabbe, yang berdaulat adalah hukum.2 Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (rechststaat) yang telah diamanatkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amendemen ketiga, yakni negara Indonesia dalah negara hukum. Pengertian”negara hukum” bagi negara Indonesia 1 2
Soehino, Ilmu Negara, Edisi Ketiga, Cetakan Kedua (Yogyakarta: Liberty, 1999) hlm. 156. Ibid.
51
sesuai amanat dalam konstitusi dan hukum positif telah dijelaskan dalam penjelasan Pasal 4 huruf a Undang-Undang nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2008 nomor 139). Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4899 menjelaskan: ”negara hukum” adalah negara yang dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk dalam penyelengaraan dalam pemerintahan harus berdasarkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan demokratis yang sejahtera, berkeadilan, dan bertanggung jawab.
B. Teori Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan Teori pemisahan dan pembagian kekuasaan merupakan middle range theory untuk mendukung teori utama. Teori ini dipelopori dua pemikir besar John Locke dan Montesquieu. Dalam buku John Lock dikemukakan untuk mencapai keseimbangan dalam suatu negara kekuasaan negara harus dipilah menjadi tiga bagian, yaitu kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power). Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang berwenang untuk membuat undang-undang. Kekuasaan eksekutif meliputi kekuasaan melaksanakan atau mempertahankan undang-undang termasuk mengadili. Kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang meliputi semua yang tidak termasuk dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif. Kekuasaan ini meliputi kekuasaan keamanan 52
negara serta urusan perang dan damai berkaitan dengan hubungan luar negeri.3 Gagasan John Locke tersebut selanjutnya dilakukan modifikasi oleh Montesquieu. Kekuasaan negara tersebut dibagi menjadi tiga badan kekuasaan yang masing-masing mempunyai bidang pekerjaan sendiri, kekuasaan yang satu dengan kekuasaan lain berdiri sendiri-sendiri. Tujuannya kekuasaan dipisahkan (seperation des pouvoirs) menjadi tiga kekuasaan, yakni kekuasaan legislatif (la puissance legislative), kekuasaan eksekutif (la puissance executive), dan kekuasaan yudisial (la puissance de juger). Kekuasaan legislatif (la puissance legislative) adalah kekuasaan yang membentuk undang-undang. Kekuasaan eksekutif (la puissance executive) adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang. Kekuasaan yudisial (la puissance de juger) adalah kekuasaan yang menjalankan kekuasaan kehakiman, menjatuhkan hukuman atas kejahatan, dan memberikan putusan apabila terjadi perselisihan antarwarga. Teori ini dikenal dengan Trias Politika.4 Dalam konteks Badan Pemeriksa Keuangan menyusun sendiri Standar Pemeriksaan Keuangan Negara meskipun melibatkan profesional dan khusus untuk peraturan BPK disusun sendiri dan dimasukkan sendiri dalam lembaran negara sehingga BPK yang membuat aturan, BPK yang menjalankan aturan, dan BPK pula yang menilai ada tidaknya pelanggaran, ini bertolak belakang dengan teori pemisahan kekuasaan. Akibatnya, konsistensi hasil pemeriksaan sering membuat ketidakpastian 3 4
Hamidi, Jazim, dkk., Teori dan Politik Hukum Tata Negara (Green Mind Community) (Yogyakarta: Total Media, 2009) hlm. 46. Ibid., hlm. 47.
53
secara hukum. Hal ini juga tercermin pada perubahan kode etik BPK yang pertama pada Pasal 2 huruf (a) Peraturan BPK nomor 2 tahun 2007 tentang Kode Etik Badan Pemeriksaan Keuangan yang menyatakan setiap anggota BPK dan pemeriksa wajib mematuhi peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku. Setelah perubahan, pada Pasal 7 ayat (1) huruf (b) Peraturan BPK nomor 2 tahun 2011 tentang Kode Etik Badan Pemeriksaan Keuangan menjadi berbunyi anggota BPK, pemeriksa, dan pelaksana BPK lainnya wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada pasal tersebut tidak ditemukan lagi kalimat ”peraturan kedinasan yang berlaku” atau lebih tegasnya telah dihapus oleh BPK. Hal ini juga dapat menjadi pemicu semakin tidak konsitennya audit BPK. Ini karena dengan mengubah hal tersebut maknanya semakin kabur dan bertentangan dengan isi Pasal 2 Permendagri nomor 15 tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah yang terdiri atas peraturan daerah, peraturan kepala daerah, peraturan bersama kepala daerah, keputusan kepala daerah, dan instruksi kepala daerah. Permendagri nomor 15 tahun 2005 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah merupakan peraturan khusus (lex specialist) karena merupakan petunjuk teknis dari UU nomor 32 tahun 2004 sebagaimana diubah terakhir dengan UU nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah maupun UndangUndang nomor 12 tahun 2011 tentang perubahan terakhir Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
54
Atmaja pernah melontarkan pernyataan mengapa sering terjadi hasil pemeriksaan keuangan tidak sama, padahal sudah ada standar akuntansi pemerintah dan standar pemeriksaan keuangan negara. Namanya standar seharusnya semua hasil pemeriksaan mestinya sama meskipun dilakukan pemeriksa yang berbeda.5 Mautz & Sharaf (dalam Tuanakotta) mendefenisikan filsafat dalam hubunganya dengan auditing sebagai berikut.6 Philosophy thus makes for uniformity of professional performance, which is esensial to coherent professional organization and the effective conduct of the profession. A philosophy not only provides professional men with information needed for action, it stimules them to satisfactory professional performance, inspires them, and defines the goals for which they strive. A philosophy is therefore an important means of professional integration. It is, so to speak, the pacularly connective tissue of a profession. (Terjemahan bebas: Filsafat menyeragamkan kinerja profesional. Keseragaman ini penting bagi organisasi profesional seutuhnya dan perilaku yang efektif dalam profesi. Filsafat bukan saja memberikan informasi yang diperlukan anggota profesi untuk mengambil tindakan, filsafat merangsang mereka mencapai kinerja yang memuaskan, memberikan inspirasi kepada mereka, dan menetapkan sasaran yang harus mereka raih. Filsafat, karenanya, merupakan cara yang penting untuk keutuhan profesional. Dalam perkataan lain, filsafat merupakan 5 6
Pernyataan disampaikan pada tanggal 31 Mei 2011 di Pengadilan Negeri Tenggarong sebagai saksi ahli hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Tuanakotta, Theodorus M., Berpikir Kritis dalam Auditing…, Ibid., hlm. 51.
55
perekat dalam profesi). Potensi penyalahgunaan kekuasan sangat terbuka bila terjadi absolutisme kekuasaan apalagi saat ini oknum penegak hukum hampir rata-rata ada terlibat skandal, termasuk anggota BPK dalam skandal penyalahgunaaan kewenangan. Contoh, pemberian opini hasil pemeriksaan laporan keuangan yang lebih baik dari tidak memberikan pendapat (TMP-disclaimer) menjadi wajar dengan pengecualian (WDP) atas nama tersangka Bahar, Ketua Tim Pemeriksa BPK di Manado, dan Muhammad Munzir, Anggota Tim Pemeriksa. Keduanya diduga menerima suap sebesar Rp 600,000,000,00 dari Walikota Tomohon nonaktif, Jefferson Rumajar, yang ada kaitannya dengan pemeriksaan laporan keuangan daerah Tomohon.7 Selain potensi penyalahgunaan wewenang, ada faktor lain yang mempengaruhi hasil pemeriksaan auditor BPK. Sekjen BPK, Hendar Ristriawan, menyatakan adanya kekurangan tenaga kerja auditor di lembaga pemeriksa independen tersebut. Tenaga audit sekitar 3.000 orang masih belum cukup banyak untuk memeriksa seluruh pengelolaan anggaran negara.8 Di Kalimantan Timur juga mengalami kekurangan auditor sehingga kesulitan memeriksa keuangan daerah untuk memeriksa laporan keuangan 14 kabupaten/kota, 14 Badan Layanan Umum (BLU), dan 41 BUMN yang terdiri 14 PDAM dan 17 perusahaan daerah. Hal ini disampaikan Kepala BPK Perwakilan Kalimantan Timur, 7 8
56
Anonim, KPK Tahan Pegawai BPK Penerima Suap dari Jefferson Rumajar (online), http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=9510&l=kpk-tahan-pegawaibpk-penerima-suap-dari-jefferson-rumajar, diunduh tanggal 25 April 2012. Anonim, Tenaga Auditor BPK Minta Tambahan 2.000 Auditor (online), http:// www.bisnis.com/articles/tenaga-auditor-bpk-minta-tambahan-2-dot-000auditor, diunduh tanggal 25 April 2012.
Sri Haryoso Suliyanto.9 Sementara itu, pada tahun 2010 ada 516 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang diperiksa BPK pada tahun ini.10 Pemeriksaan Keuangan atas laporan keuangan yang dilakukan auditor akan memberikan pendapat (opini). Ada lima jenis pendapat yang mungkin diberikan akuntan atas laporan keuangan yang diperiksa, yakni wajar tanpa syarat (unqualified opinion), wajar dengan pengecualian (qualified opinin), tidak setuju (adverse opinin), penolakan pemberian pendapat (disclaimer of opinion), dan pendapat sepotong-sepotong (piecemeal opinion).11 1. Wajar tanpa syarat (unqualified opinion) Wajar tanpa syarat (unqualified opinion) adalah pendapat yang hanya dapat diberikan jika auditor berpendapat berdasarkan audit yang sesuai dengan standar auditing, penyajian laporan keuangan telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, tidak terjadi perubahan dalam penerapan prinsip akuntansi (konsisten), dan mengandung penjelasan atau pengungkapan yang memadai sehingga tidak menyesatkan pemakainya, serta tidak terdapat ketidakpastian yang luar biasa (material). Dengan kata lain, pendapat ini dapat diberikan bila laporan keuangan yang diaudit telah memenuhi persyaratan atau kriteria kewajaran dan auditor 9 Kaltim Post, 2011, 1 November, hlm. 25. 10 Anonim, Selamat atas Keberhasilan Sulut Meraih WTP Ke-3 (online), diambil dari http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2012/04/04/selamatatas-keberhasilan-sulut-meraih-wtp-ke-3/, diunduh tanggal 25 April 2012, Pada tahun 2010 hanya ada 34 pemerintah kabupaten/kotamadya yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atau hanya tujuh persen dari jumlah keseluruhan. Seperti lima tahun terakhir, opini wajar dengan pengecualian (WDP) masih mendominasi pada 2010. 11 Munawir, H. S., Auditing Modern, Edisi Kedua, Cetakan Pertama (Yogyakrata: BPFE Yogyakarta, 2008) hlm. 50 – 51.
57
dapat melaksanakan seluruh prosedur audit sesuai dengan standar auditing (tidak ada pembatasan luasnya audit dari klien) dan tidak ada ketidakpastian yang luar biasa. 2. Wajar dengan pengecualian (qualified opinion) Wajar dengan pengecualian (qualified opinion) diberikan apabila auditor keberatan atau menaruh pengecualian yang berkaitan dengan kewajaran penyajian laporan keuangan, atau dalam keadaan laporan keuangan tersebut secara keseluruhan wajar kecuali untuk hal-hal tertentu karena factor-faktor tertentu yang menyebabkan kualifikasi pendapat (ada satu akun atau lebih yang tidak wajar). Kualifikasi dapat terjadi karena (a) adanya pembatasan ruang lingkup audit; (b) ketidaksesuaian dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum pada pos-pos tertentu; (c) perbedaan pendapat antara auditor dan klien yang dalam hal ini auditor berpendapat atau merasa perlu dibuat penyesuaian, tetapi klien menolak; dan (d) adanya ketidakpastian yang tidak dapat diperhitungkan. 3. Tidak setuju (adverse opinion) Pendapat tidak setuju ialah suatu pendapat bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar keadaan keuangan dan hasil operasi seperti yang disyaratkan dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum. Hal ini diberikan auditor karena pengecualian atau kualifikasi terhadap kewajaran penyajian materialnya bersifat demikian (terdapat banyak akun yang tidak wajar). Dalam memberikan pendapat tidak setuju, auditor harus mengungkapkan alasan yang cukup penting yang biasanya disajikan di paragraf tengah (paragraf tambahan) laporannya. Auditor harus memperoleh 58
keyakinan dan benar-benar mengetahui bahwa laporan keuangan yang bersangkutan tidak wajar. 4. Penolakan pemberian pendapat (disclaimer of opinion) Penolakan pemberian pendapat (disclaimer of opinion) berarti laporan audit tersebut tidak memuat pendapat auditor. Laporan audit seperti ini dapat diterbitkan dengan beberapa alas an. (a) Auditor tidak mengaudit sehingga tidak mempunyai dasar untuk memberikan pendapat. Auditor hanya sebagai penyusun laporan keuangan dan tidak melakukan audit laporan keuangan. (b) Auditor berkududukan tidak independen terhadap pihak yang diauditnya (tidak independen dalam penampilan). (c) Luas auditnya dibatasi sedemikian rupa sehingga auditor tidak dapat melaksanakan audit sesuai dengan standar auditing. (d) Adanya ketidakpastian yang luar biasa yang sangat mempengaruhi kewajaran laporan keuangan. Jika menolak memberikan pendapat, auditor harus menjelaskan alasanalasan yang cukup penting. 5. Pendapat sepotong-sepotong (piecemeal opinion) Auditor dapat memberikan pendapat sepotong-sepotong hanya jika menurut hematnya luas dan hasil-hasil auditnya memberikan kesimpulan bahwa laporan keuangan yang diaudit secara keseluruhan tidak wajar atau auditor menolak memberikan pendapat. Pendapat sepotong-sepotong dapat diberikan hanya jika disertai penolakan pendapat atau pendapat tidak setuju mengenai laporan keuangan sebagai keseluruhan. Dengan demikian, pendapat sepotongsepotong ini bukan merupakan jenis pendapat yang kelima, 59
melainkan hanya suatu cara mengungkapkan pendapat tidak setuju atau menolak memberikan pendapat dengan uraian tambahan atau pendapat terhadap masing-masing akun (rekening). Pendapat terhadap masing-masing akun tidak boleh mengaburkan pendapat terhadap laporan keuangan secara keseluruhan. Perlu diketahui bahwa pendapat sepotongsepotong tidak direkomendasikan untuk digunakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Memang pemberian opini berkaitan dengan pelaksanaan prinsip-prinsip dan standar akuntansi, tetapi perlu dipahami bahwa pemeriksaan laporan keuangan untuk memberikan opini juga menjadi salah satu pintu masuk pemeriksaan tujuan tertentu atau audit investigatif. BPK dalam menghitung dan menetapkan kerugian negara sering tidak konsisten, baik karena kesengajaan maupun kurangnya kemampuan auditor, meskipun sudah ada standar akuntansi pemerintah (SAP). Dalam hal ini termasuk mengaitkan dengan ilmu lain yang terkait dan relevan. Peristiwa ketidakkonsistenan tidak hanya terjadi di Indonesia. Perbedaan pendapat dalam melakukan audit juga sering terjadi pada auditor internasional sebagaimana yang terjadi atas 51 kasus besar sejak 1986 sampai dengan 2010 pada kantor akuntan peringkat atas dunia.12 Nama kantor akuntan publik tersebut di antaranya adalah Grand Thornton, Arthur Andersen, Pricewaterhouse Coopers, dan Deloitte & Touche. 12 Tuanakotta, Theodorus M., Berpikir Kritis dalam Auditing…, Op.cit., hlm. 184 – 185.
60
Dengan memperhatikan perbandingan antara jumlah pegawai dan institusi yang diperiksa oleh BPK sangat memungkinkan pemeriksaan tidak maksimal. Hal ini mengakibatkan kesalahan dalam memberikan opini karena kurangnya waktu untuk melakukan kajian dalam perspektif interdisiplin ilmu, termasuk kompetensi auditor BPK. Hal ini akan berdampak terhadap nasib institusi yang diperiksa. Jika dianggap terjadi kerugian negara Rp 1,00 saja, tetap masuk wilayah korupsi, sedangkan pemeriksaan tidak dilakukan dengan asas kehati-hatian (asas patita).
C. Teori Hukum Murni (Pure Theory of Law) Teori hukum murni merupakan teori hukum positif yang merupakan buah pemikir besar Hans Kelsen dan teori lainnya akan dipergunakan sebagai applied theory. Teori hukum ini berupaya menjawab pertanyaan apa hukum itu dan bagaimana dia ada, bukan bagaimana hukum itu semestinya ada. Teori ini disebut teori hukum murni hanya untuk menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan objek penjelasan dari segala hal yang tidak bersangkutan dengan hukum.13 Pemberian kesimpulan laporan hasil pemeriksaan (investigatif) terhadap laporan keuangan pemerintah daerah yang dilakukan dengan tujuan tertentu oleh auditor BPK atas pelaksanaan APBD maupun atas petunjuk pelaksanaan ABPD dianggap bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi 13 Kelsen, Hans, Teori Hukum Murni (Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif ), Cetakan VII, Penerjemah Raisul Muttaqien (Bandung: Nusa Media, 2010) hlm. 1.
61
seharusnya tidak boleh melenceng dari makna Perda itu sendiri. Berdasarkan teori hukum murni, Perda tentang APBD dianggap sah sebelum dilakukan pembatalan maupun amandemen terhadap Perda APBD maupun peraturan pelaksanaan Perda tentang APBD a quo dan tidak dapat dilakukan penafsiran di luar yang dimaksud undang-undang tersebut dengan dalih apapun, termasuk dengan dalih yang sering disampaikan berdasarkan asas umum pengelolaan keuangan negara, yakni penggunaan anggaran secara efektif dan efisien karena dianggarkan secara ganda menurut auditor BPK.
D. Teori Stufen Bow Peraturan perundang-undangan yang berdimensi administrative penal law harus diterapkan tersendiri dengan berlaku asas logische specialiteit, yakni asas kekususan yang logis mengacu pada teori stufen bow dari Hans Kelsen. Teori ini menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang memiliki karakter dan dimensi tersendiri tidak boleh dicampuradukan antara satu dan yang lain. Hal ini sejalan dengan prinsip lex specialis systematic derogate generali, artinya ketentuan pidana yang bersifat khusus berlaku apabila pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketentuan yang bersifat khusus.14 Hukum pidana berlaku asas legalitas (tidak dapat berlaku surut) harus terlebih dahulu ada hukum yang mengatur baru perbuatan tersebut dapat dipidana. Ini berbeda dengan hukum administrasi negara yang berlaku 14 Effendy, Marwan, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance (Jakarta: PT Timpani Publishing, 2010) hlm. 135.
62
asas retroaktif, yaitu ada perbuatan terlebih dahulu kemudian ketentuan yang mengatur perbuatan tersebut.
E. Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik Ada banyak rujukan ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang asas umum pemerintahan negara yang baik, di antaranya sebagai berikut. 1. Ketetapan MPR RI nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 2. Undang-Undang RI nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (LN RI tahun 1999 nomor 75, TLR RI nomor 3851). 3. Ketetapan MPR RI nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arahan Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 4. Undang-Undang RI nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (LN RI tahun 2008 nomor 139, TLN RI nomor 4899). Asas umum pemerintahan negara yang baik telah dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 angka (6) Undang-Undang RI nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yaitu asas umum pemerintahan negara yang baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, norma kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan penyelengaraan negara yang bersih dan 63
bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
F. Asas-asas Negara
Umum
Pengelolaan
Keuangan
Dalam rangka mewujudkan good governance dalam penyelengaraan negara pengelolaan keuangan negara juga perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan pokok yang ditetapkan pada Bab VIII Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945.15 Undang-undang tentang keuangan negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dalam asas-asas umum yang meliputi asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, termasuk penambahan asas-asas baru berikut.16 1. Asas tahunan memberikan persyaratan bahwa anggaran negara dibuat secara tahunan dan harus mendapat persetujuan dari badan legislatif (DPR). 2. Asas universalitas (kelengkapan) memberikan batasan tidak diperkenankan terjadinya percampuran antara penerimaan negara dan pengeluaran negara. 3. Asas kesatuan mempertahankan hak budget dari dewan secara lengkap yang berarti semua pengeluaran harus tercantum dalam anggaran. Oleh karena itu, anggaran merupakan anggaran bruto dan yang dibukukan dalam anggaran adalah jumlah brutonya. 15 Amandemen ke IV UUD 1945. 16 Tunggal, Hadi Setia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Keuangan Negara (Jakarta: Harvarindo, 2011) hlm. 29.
64
4. Asas spesialitas mensyaratkan jenis pengeluaran dimuat dalam mata anggaran tertentu atau tersendiri dan diselenggarakan secara konsisten, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kuantitatif artinya jumlah yang telah ditetapkan dalam mata anggaran tertentu merupakan batas tertinggi dan tidak boleh dilampaui. Secara kualitatif berarti penggunaan anggaran hanya dibenarkan untuk mata anggaran yang telah ditentukan. 5. Asas akuntabilitas berorientasi pada hasil mengandung makna setiap pengguna anggaran wajib menjawab dan menerangkan kinerja organisasi atas keberhasilan atau kegagalan suatu program yang menjadi tanggung jawabnya. 6. Asas profesionalitas mengharuskan pengelolaan keuangan negara ditangani oleh tenaga yang profesional. 7. Asas proporsionalitas mensyaratkan pengalokasian anggaran dilaksanakan secara proporsional pada fungsifungsi kementerian atau lembaga sesuai dengan tingkat prioritas dan tujuan yang ingin dicapai. 8. Asas keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara mewajibkan adanya keterbukaan dalam pembahasan, penetapan, dan perhitungan anggaran serta hasil pengawasan oleh lembaga audit yang idependen. 9. Asas pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri memberi kewenangan lebih besar pada Badan Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara secara objektif dan independen. 65
Asas hukum pada dasarnya berbentuk prinsip-prinsip umum. Menurut Erwin, dari pandangan ini bisa direnungkan pada dasarnya mulai dari proses awal sampai akhir dapat dikembalikan pada asas-asas hukumnya.17 Dengan kata lain, asas hukum merupakan jembatan antara peraturan hukum dan pandangan etis masyarakat. Paton menyebut asas hukum sebagai suatu sarana yang membuat hukum itu hidup, tumbuh, dan berkembang.18 Asas hukum yang merupakan titik tolak menyusun peraturan perundang-undangan dapat juga berubah menjadi undang-undang dalam penyusunan dan pelaksanaan APBN dan APBD. Hal ini dapat tergambar seperti asas tahunan, asas kesatuan, dan asas spesialitas. Mertokusumo menjelaskan asas hukum adalah pikiran dasar yang bersifat abstrak umum serta terdapat di dalam, di belakang, atau tersirat di dalam peraturan hukum konkret walaupun tidak tertutup kemungkinan ada asas hukum yang tersurat dan konkret sifatnya.19 Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsipprinsip pemerintahan daerah. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut dalam undang-undang tentang keuangan negara pelaksanaan undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. 17 Erwin, Muhamad, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis terhadap Hukum, Cetakan Pertama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011) hlm. 49. 18 Ibid. 19 Mertokusumo, Sudikno, Kapita Selekta Ilmu Hukum, Edisi Pertama (Yogyakarta: Liberty, 2011) hlm. 113.
66
Dalam pelaksanaan audit investigatif BPK, praktisi maupun akademisi, dalam hal ini akademisi nonhukum, masih banyak ditemukan membuat kesimpulan dalam menganalisis persoalan keuangan mengunakan asas-asas pengelolaan keuangan negara sebagai pisau analisis kemudian menyimpulkan pelaksanaan keuangan negara maupun daerah bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Ketentuan yang dijadikan rujukan bertentangan dengan ketentuan perundangundangan adalah Keputusan Menteri Keuangan nomor 7/ KMK.02/2003 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan Pegawai Tidak Tetap dan Keputusan Bupati Kutai Kartanegara nomor 180.188/HK41/2005 tanggal 29 Maret 2005 tentang Penetapan Standarisasi/ Normalisasi Harga Barang dan Jasa Belanja Aparatur dan Modal Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun Anggaran 2005 berlaku surut. Jika terjadi pertentangan antara asas hukum dan pengelolaan keuangan negara berlaku surut serta konflik norma, konsekuensi hukum apa yang berlaku pada peristiwa pelanggaran tersebut perlu ada penegasan ranah hukum yang dilanggar apakah ranah pidana atau ranah hukum administrasi negara. Menurut Huda, seperti dipertegas prinsip pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam naskah perubahan pertama UUD 1945, produk legislatif daerah dapat saja bertentangan dengan produk eksekutif di tingkat pusat. Misalnya, apabila suatu materi peraturan daerah pada tingkat provinsi ataupun peraturan pada tingkat kabupaten dan kota
67
bertentangan isinya dengan materi peraturan menteri di tingkat pusat, pengadilan harus menentukan bahwa peraturan daerah tetap berlaku sepanjang untuk daerahnya.20 Jhon & Setiawan, auditor BPK, berpendapat pemahaman yang satu atas peraturan peraturan perundang-undangan merupakan domain dari para ahli hukum, tetapi dalam bukunya yang berjudul Kiat Memahami Pemeriksaan Keuangan Pemerintah Daerah juga dirujuk asas-asas hukum. Menurut Jhon & Setiawan, setidaknya dalam dunia hukum dikenal ”tujuh obat” untuk menentukan peraturan perundang-undangan yang harus diikuti, sebagai berikut.21 1. Peraturan perundang-undangan selalu diasumsikan diketahui umum. 2. Peraturan perundang-undangan tidak pernah berlaku surut. 3. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku lagi apabila memenuhi dua syarat, yakni apabila telah dicabut atau dibatalkan, dan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. 4. Apabila suatu keadaan tidak diatur dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan, gunakanlah analoginya. 5. Peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah atau di bawahnya. 20
Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Kelima (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010) hlm. 58. 21 Jhon, M. Yusuf & Setiawan, Dwi, Kiat Memahami Pemeriksaan Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009) hlm. 15 – 17.
68
6. Peraturan khusus mengalahkan peraturan yang bersifat umum. 7. Peraturan terbaru mengalahkan peraturan lama. Dalam kumpulan tulisan mahasiswa khusus BPK pada program Megister Hukum UGM Yogyakarta,22 Doni Restindia Chandra mengangkat tema tentang ”pembayaran tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional pimpinan dan anggota DPRD berdasarkan PP nomor 37 tahun 2006 dan mekanisme penyelesaiannya yang merujuk Pasal 3 Undang-Undang nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN),23 Pasal 3 ayat (1)24 dan Pasal 4 Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara25 yang mayoritas isinya mengenai asas-asas atau mengatur secara umum, tetapi tidak ada pembahasan lebih lanjut dari perspektif hukum tata negara, hukum administrasi negara, ilmu perundang-undangan, maupun 22 Halim, Abdul & Bawono, Icuk Rangga, Pengelolaan Keuangan Negara-Daerah: Hukum, Kerugian Negara, dan Badan Pemeriksaan Keuangan (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan, 2011) hlm. 51. 23 Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Asas-asas tersebut meliputi (a) asas kepastian hukum, (b) asas tertib penyelengaraan negara, (c) asas kepentingan umum, (d) asas keterbukaan, (e) asas proporsionalitas, (f) asas profesionalitas, dan (g) asas akuntabilitas. 24 Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menentukan keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pasal 4 menentukan tahun anggaran meliputi masa satu tahun, mulai tanggal 1 Januari sampai dengan Desember. 25 Penjelasan Pasal 3 Ayat (3) Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menentukan setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas APBN/APBD jika anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup.
69
hukum pidana. Ada juga pandangan yang hanya melihat auditing dari perspektif satu ilmu saja tanpa mempertautkan dengan hukum. Hal ini digambarkan oleh Sabeni & Ghazali yang menyatakan bisa juga terjadi mengenai suatu pengeluaran meskipun menurut pemeriksaan formal sudah memenuhi syarat, menurut pemeriksaan material tidak memenuhi syarat dengan argumentasi pengeluaran tersebut dapat dibatalkan karena pengeluaran tersebut bersifat pemborosan.26 Pandangan ini jika dari perspektif akuntansi atau audit komersial tidak ada konsekuensi hukum, tetapi jika audit ini dari perspektif audit pemerintah tidak dibahas lebih lanjut dari perspektif hukum tata negara, hukum administrasi negara, ilmu perundang-undangan, maupun hukum pidana juga tidak dibahas perbedaan konsekuensi hukum akuntansi swasta dan akuntansi pemerintah. Pemeriksaan keuangan negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, harus merujuk interdisiplin. Ini sebagaimana yang disampaikan Steven Barkan bahwa the process of legal research often involves investigation into other relevant disciplines.27 Objek audit investigatif telah menyangkut beberapa rumpun ilmu, paling sedikit empat rumpun ilmu yang saling bertautan, yakni hukum tata negara yang membahas tentang kewenangan, ilmu perundang-undangan yang membahas tentang keabsahan perundang-undangan serta kekuatan mengikat berdasarkan hierarki perundang-undangan, etika hukum administrasi negara 26 Sabeni, Arifin & Ghazali, Imam, Op.cit., hlm. 73. 27 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif...., Loc.cit., hlm. 300.
70
yang akan membahas kualifikasi pelanggaran pengelolaan keuangan negara maupun daerah, baik yang bersifat administratif maupun pidana, dan hukum pidana tindak pidana korupsi secara khusus dipergunakan jika terjadi pelanggaran atas pengelolaan keuangan negara yang bersifat pidana. Pelaksanaan audit investigatif dari pespektif interdisipliner akan memberikan dua kemungkinan rekomenadasi hasil audit investigatif, yakni merupakan tindak pidana korupsi atau perbuatan hukum administrasi negara. Dalam menentukan perbuatan tersebut, Ramdhan berpendapat perlu ada jembatan pemahaman mengenai keuangan negara dalam hubungan prinsip akuntansi (merupakan asas), standar akuntansi pemerintah yang merupakan hukum administrasi negara, dan hukum pidana secara khusus tindak pidana korupsi.28 Pernyataan Ramdhan saling menguatkan jika disandingkan dengan pendapat Steven Barkan yang menyatakan perlu ilmu lain yang relevan untuk melihat persoalan hukum. Demikian juga, teori sistem ekologi administrasi dari Pfiffner & Presthus yang menyatakan ilmu itu saling berkaitan. Sebagaimana pendapat Hadjon, dkk., Van Vollenhoven juga sependapat dan menyatakan bahwa hukum administrasi negara juga memiliki peranan, bahkan sesungguhnya hukum adminstrasi negara lebih memiliki peranan dalam hukum nasional sebagaimana dikutip Marbun & Mahfud MD.29 Pendapat mengenai luasnya ruang lingkup hukum administrasi 28 Ramdhan, Mochamad Isnaine, Pendapat disampaikan pada hari Sabtu, 31 Maret 2012 pukul 10.00 pada Ujian Pra Proposal pada Program Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945. 29 Marbun, SF. & Mahfud MD, Moh., Loc.cit. hlm. 15.
71
negara ini juga dipertegas oleh Atmosudirdjo, yaitu hukum administrasi negara terdiri atas hukum mengenai (1) filsafat dan dasar-dasar umum pemerintahan dan administrasi negara; (2) organisasi pemerintahan dan administrasi negara; (3) tata pemerintahan; (4) kegiatan-kegiatan operasional administrasi negara; dan (5) administrasi keuangan negara yang terdiri atas hukum anggaran, hukum perbendaharaan, hukum perpajakan, hukum kekayaan negara, hukum pengawasan keuangan negara, dan hukum peradilan keuangan negara.30 Hukum administrasi meliputi ruang lingkup yang sangat luas dan bidang keuangan negara merupakan bagian dari hukum administrasi Negara. Oleh karena itu, penentuan suatu perbuatan hukum apakah masuk dalam wilayah hukum tindak pidana korupsi atau masuk dalam wilayah hukum administrasi negara harus memperhatikan hukum secara keseluruhan. Keuangan negara masuk dalam hukum administrasi negara sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UndangUndang nomor 15 tahun 2004 tentang Petanggungjawaban Keuangan Daerah, serta Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Apabila sanksi hukum telah diatur dalam hukum administrasi negara, sanksi pidana yang harus diterapkan bukan lagi UU RI nomor 31 tahun 1999 juncto UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 30 Atmosudiro, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kedelapan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986) hlm. 67.
72
Sebaliknya, jika dalam hukum administrasi negara telah diatur ada pelanggaran pidana, hukum yang berlaku adalah hukum tindak pidana korupsi. Untuk itu, perlu ada jembatan pemahaman yang menjadi indikator dalam hukum administrasi negara yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
G. Definisi dan Asal Kata Korupsi Power tends to corrupt and absolute power corrups absolutly. Ungkapan tersebut dikemukakan oleh Lord Acton. Selanjutnya diteguhkan empat tipe korupsi yang dikemukakan oleh Piers Beirne dan James Messerschmidt yang memiliki pertalian kuat dengan kekuasaan, yaitu politicaly bribery, political kickbacks, election fraud, dan corrupt compaign practices.31 Political bribery adalah kekuasaan di bidang legislatif sebagai badan pembentuk undangundang yang secara politis dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berhubungan dengan aktivitas perusahaan tertentu yang bertindak sebagai penyandang dana. Individu sebagai pemilik perusahaan berharap agar anggota parlemen yang telah diberikan dukungan dana saat pemilihan umum dan yang kini duduk sebagai anggota parlemen dapat membuat peraturan perundang-undangan yang menguntungkan usaha atau bisnis mereka. Political kickback adalah kegiatan korupsi yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana atau pejabat terkait dan pengusaha yang memberikan 31 Krisnawati, Dani, dkk, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006) hlm. 31.
73
kesempatan atau peluang untuk mendapatkan banyak uang bagi kedua belah pihak. Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan umum, baik yang dilakukan oleh calon penguasa atau anggota parlemen ataupun oleh lembaga pelaksanaan pemilihan umum. Corrupt campaign practice adalah korupsi yang berkaitan dengan kegiatan kampanye dengan mengunakan fasilitas negara oleh calon penguasa yang saat ini memegang kekuasaan.32
H. Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Positif Indonesia
Mengacu pada asas ketentuan, hukum pidana dapat diklasifikasikan menjadi hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare, ius speciale, atau bizonder strafrecht). Ketentuan-ketentuan hukum pidana umum berlaku secara umum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan hukum pidana khusus dimaksudkan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur kekhususan subjeknya dan perbuatan khususnya (bizonde lijk feiten).33 Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus, selain memiliki spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, yaitu adanya penyimpangan hukum pidana formal atau kitab undang-undang 32 Ibid. hlm. 32. 33 Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktek, dan Masalahnya (Bandung: PT Alumni, 2007) hlm. 1. Setiyawati, Deni, Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Memberangus Korupsi (Jogjakarta: Pustaka Timur, 2008) hlm. 6 – 8.
74
hukum acara pidana. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia sesungguhnya telah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) 1 Januari 1918. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordasi dan diundangkan dalam Staatblad 1915 nomor 752 tanggal 15 Oktober 1915.
I. Faktor dan Penyebab Korupsi di Indonesia Menurut penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, berdasarkan kajian dan pengalaman setidaknya ada delapan faktor penyebab terjadinya korupsi di Indonesia, yaitu (1) sistem penyelengaraan negara yang keliru, (2) kompensasi PNS yang rendah, (3) pejabat yang serakah, (4) law enforcement tidak berjalan, (5) hukuman yang ringan terhadap koruptor, (6) pengawasan yang tidak efektif, (7) tidak ada keteladanan pimpinan, dan (7) budaya masyarakat yang kondusif KKN.34 Faktor penyebab orang melakukan perbuatan tindak pidana korupsi di Indonesia telah banyak dikemukakan ditambah dengan berbagai pengalaman sehingga dapat dibuat suatu hipotesis berikut. 1. Kurangnya gaji atau pendapatan pengawai negeri sipil dibandingkan dengan kebutuhan yang semakin hari semakin meningkat. 2. Latar belakang kebudayaan Indonesia yang merupakan 34 Rifai, Abu Fida’ Abdur, Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun (Penyucian Jiwa) (Jakarta: Penerbit Republika, 2006) hlm. xii – xv.
75
sumber atau sebab meluasnya korupsi. 3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien. 4. Penyebab korupsi adalah modernisasi.35 Menurut Soepiadhy, terjadinya penyakit korupsi yang begitu meluas di Indonesia berawal dari pola hidup yang melampaui batas kemampuan dan amat berlebihan. Jika pola hidup sederhana dan bersahaja bisa dijalankan oleh para pemimpin dan birokrat kita, rakyat pasti akan dapat menikmati kesejahteraan dan serta merta penyakit korupsi akan terkikis habis.36
J. Tipologi Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 juncto Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menerbitkan buku saku untuk memahami tindak pidana korupsi, memahami untuk membasmi. Dalam isi buku tersebut, KPK merumuskan tindak pidana korupsi dalam tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi.37 Ketiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi: 35 Hamzah, Andi, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) hlm. 13. 36 Soepiadhy, Soetanto, Meredisain Konstitusi, Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi (Jakarta: Burung Merak Press, 2008) hlm. 3. 37 Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami untuk Membasmi – Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006) hlm. 3.
76
1. kerugian keuangan negara terdiri dari Pasal 2 dan Pasal 3; 2. suap-menyuap terdiri dari Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf c, dan Pasal 12 huruf d; 3. penggelapan dalam jabatan terdiri dari Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, dan Pasal 10 huruf c; 4. pemerasan terdiri dari Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf g, Pasal 12 huruf f, dan Pasal 12 huruf a; 5. perbuatan curang terdiri dari Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 12 huruf h; 6. benturan kepentingan dalam pengadaan, yakni Pasal 12 huruf i; dan 7. gratifikasi, yakni Pasal 12 B jo. Pasal 12 C.38 Selain definisi tindak pidana korupsi yang telah disajikan di atas, masih ada tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Jenis tindak pidana lain itu tertuang dalam ketentuan Pasal 21, 22, 23, dan 24 Bab III UndangUndang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.39 38 Djaja, Ermansjah, Meredisain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PPU-IV/2006), Cetakan Pertama (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) hlm. 50 – 51. 39 Ibid. hlm. 51.
77
K. Institusi Korupsi
yang
Berwenang
Memberantas
1. Komisi Pemberantasan Korupsi Pembentukan KPK sebagai salah satu institusi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi diatur dalam beberapa hukum positif berikut. a. Ketetapan MPR RI nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arahan Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Pasal 2 angka 6 huruf a yang menyatakan arahan kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah membentuk undangundang beserta peraturan pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b. Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang PTPK Pasal 43 ayat (1) menyatakan dalam waktu paling lambat dua tahun sejak berlakunya Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang PTPK segera dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. c. Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 menyatakan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK memiliki tugas dan kewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sementara itu, pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta 78
keanggotaannya diatur dengan undang-undang. 2. Kepolisian Negara Republik Indonesia Institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Sebagai institusi penegak hukum, berdasarkan Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara tindak pidana, termasuk perkara tindak pidana khusus korupsi. Kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi huruf kesebelas butir 10 diinstruksikan kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut. a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dengan menyelamatkan uang negara. b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka penegakan hukum. c. Meningkatkan kerja sama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan institusi negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian negara akibat tindak 79
pidana korupsi. 3. Kejaksaan Agung Republik Indonesia Ruang lingkup tugas pokok dan fungsi Kejaksaan Agung Republik Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bagi Kejaksaan Agung Republik Indonesia sebagaimana diinstruksikan dalam Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi huruf kesembilan butir 9 diinstruksikan kepada Jaksa Agung Republik Indonesia sebagai berikut. a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara. b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh jaksa atau penuntut umum dalam rangka penegakan hukum. c. Meningkatkan kerja sama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan institusi negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Menurut kalangan Kejaksaan Agung, laporan hasil pemeriksaan BPK sering masih dirancukan antara perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi dan 80
pelanggaran administrasi. Keduanya merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, tetapi pelanggaran keduanya berbeda jenis dan berbeda jenis hukumnya.40 Meskipun kejaksaan sering berkonsultasi dengan BPK terlebih dahulu sebelum menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan BPK yang mengandung tindak pidana, dalam konsultasi tersebut masih sering terjadi perbedaan persepsi antara auditor BPK dan penyidik Kejaksaan Agung. Hal serupa juga dirasakan kalangan DPR.41 Sementara itu, menurut Koordinator ICW, Teten Masduki, laporan BPK tidak lengkap dan tuntas dalam mengaudit tindak pidana korupsi sehingga BPK harus melakukan audit secara lengkap untuk membuktikan terjadinya unsur-unsur tindak pidana korupsi.42
40 Fahroji, Ikhwan & Najih, Mohk., Mengugat Peran DPR dan BPK (Malang: InTrans Publishing, 2008) hlm. 143. 41 Wawancara dengan Gayus T. Lumbun (Komisi III DPR RI) di Gedung DPR RI tanggal 13 September 2006 dalam Fahroji, Ikhwan & Najih, Mohk., Mengugat Peran DPR dan BPK…, Op.cit., hlm. 143. 42 Wawancara dengan Gayus T. Lumbun (Komisi III DPR RI) di Gedung DPR RI, tanggal 13 September 2006 dalam Ikhwan Fahroji dan Mohk. Najih, 2008, Mengugat Peran DPR dan BPK…, Op.Cit., hlm.144.
81
Bab IV Pembahasan
A. Sumber Kewenangan Peraturan Perundangundangan dalam Hukum Positif Secara teoritik, kewenangan yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. H. D. van Wijk (Willem Konijnenbelt) mendefinisikan sebagai berikut.1 1. Attributie toekening van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan). 2. Delegatie overdracth van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah dari satu organ pemerintah kepada organ pemerintah 1
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Pertama (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta (anggota IKAPI), 2002).
83
lainnya). 3. Mandaat een bestuursorgaan laat zijnbevoegheid namens hem uitoefenen door een ender (mandat terjadi ketika organ pemerintah mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya). Indriati mengemukakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan dapat terjadi karena dua hal, yakni karena adanya kewenangan atribusi atau kewenangan delegasi. Kewenangan atribusi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (attributie van wetgevingsbevoegdheid) adalah pemberian atau penciptaan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh Grondwet (UndangUndang Dasar) atau oleh wet (Undang-Undang) kepada suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah. Kewenangan delegasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (delegatie van wetgevingsbevoegdheid) adalah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi pada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.2 Pelimpahan kewenangan dalam pembentukan peraturan perundangundangan merupakan suatu perintah dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi pada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan.
2
84
Indriati S., Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, Cetakan Kesebelas (Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI), 2007) hlm. 167 – 168.
B. Sumber Kewenangan Pemerintah Daerah Kewenangan atributif maupun kewenangan delegasi yang diberikan kepada pemerintah daerah bertalian dengan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (6) Bab VI UUD 1945 yang menentukan pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.3 Pemberian kewenangan atributif tersebut dalam konteks pemerintah daerah adalah kewenangan untuk menetapkan peraturan daerah, termasuk penetapan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Penetapan selanjutnya atas dasar kewenangan tersebut Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan atas lahirnya UU nomor 12 tahun 20008 perubahan terakhir jo. UU nomor 22 tahun 1999 dan UU nomor 25 tahun 1999 jo. UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Untuk melaksanakan roda pemerintahan ”kekuasaan” dan ”wewenang” sangat penting. Hakim mengatakan dalam perspektif ilmu hukum tata negara dan hukum administrasi negara istilah ”kekuasaan” dan ”wewenang” terkait erat dalam pelaksaan fungsi pemerintahan.4 Moeliono, dkk. (dalam Hakim) memberikan pengertian umum kata “kekuasaan” berasal dari kata “kuasa” artinya kemampuan atau kesanggupan (untuk berbuat sesuatu); kekuatan.5 Sementara itu, wewenang adalah 3 4 5
Perubahan II 18 Agustus 2000. Lukman Hakim, 2012, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah, Jatim; Penerbit, Setara Press (Kelompok Penerbit Intrans), hlm. 117. Ibid.
85
hak dan kekuasaan untuk bertindak atau melakukan sesuatu; dan kekuasaan membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.6 Dalam konteks kesimpulan laporan hasil pemeriksaan audit investigatif BPK yang kedua pada tahun 2010 atas pelaksanaan APBD tahun 2005 Kabupaten Kutai Kartanegara yang menyatakan bertentangan dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 7/KMK.02/2003 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan Pegawai Tidak Tetap. Operasional anggota dan pimpinan DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara telah diatur melalui Keputusan Bupati Kutai Kartanegara nomor 180.188/HK-41/2005 tanggal 29 Maret 2005 tentang Penetapan Standarisasi/Normalisasi Harga Barang dan Jasa Belanja Aparatur dan Modal Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun Anggaran 2005 dan diterapkan berlaku surut. Dalam hukum administrasi negara peraturan berlaku surut diperkenankan, kecuali dalam hukum pidana tidak diperkenankan karena bertentangan dengan asal legalitas. Audit investigatif BPK yang kedua tahun 2010 atas pelaksanaan APBD tahun 2005 yang memberikan kesimpulan bertentangan Keputusan Menteri Keuangan nomor 7/ KMK.02/2003 dengan Keputusan Bupati Kutai Kartanegara nomor 180.188/HK-41/2005 tanggal 29 Maret 2005 tentang Penetapan Standarisasi/Normalisasi Harga Barang dan Jasa Belanja Aparatur dan Modal. Dalam Keputusan Menteri 6
86
Ibid.
ditentukan biaya perjalanan dinas berdasarkan biaya real (at cost), sedangkan dalam Keputusan Bupati Kutai Kartanegara biaya perjalanan dinas bersifat lumsum. Huda menyatakan bahwa produk legislatif daerah dapat saja bertentangan dengan produk eksekutif di tingkat pusat. Misalnya, apabila suatu materi peraturan daerah pada tingkat provinsi ataupun peraturan pada tingkat kabupaten dan kota bertentangan isinya dengan materi peraturan menteri di tingkat pusat, pengadilan harus menentukan bahwa peraturan daerah tetap berlaku sepanjang untuk daerahnya.7 Kesimpulan audit investigatif BPK yang kedua tahun 2010 atas pelaksanaan APBD tahun 2005 menyatakan bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan telah melampaui kewenangan yang ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan. Pemerintah daerah telah diberi hak untuk menentukan peraturan daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (6) Bab VI UUD 1945, dalam konteks pemerintah daerah termasuk peraturan daerah tentang APBD. Dalam proses menjalankan kewenangannya, BPK tanpa disadari telah melampaui kewenangan yang diberikan ketentuan undang-undang. Dalam hal ini juga tidak hanya terjadi pada audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan yang kedua pada tahun 2010 atas pelaksanaan APBD tahun 2005 Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Dalam hasil audit dinyatakan bahwa kesimpulan Keputusan Menteri Keuangan nomor 7/ KMK.02/2003 dengan Keputusan Bupati Kutai Kartanegara 7
Huda, Ni’Matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Kelima (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010) hlm. 58.
87
nomor 180.188/HK-41/2005 tanggal 29 Maret 2005 tentang Penetapan Standarisasi/Normalisasi Harga Barang dan Jasa Belanja Aparatur dan Modal bertentangan. Keputusan Menteri menentukan biaya perjalanan dinas berdasarkan real cost (at cost), sedangkan dalam Keputusan Bupati Kutai Kartanegara dinas bersifat lumsum. Mengacu pada pendapat Huda, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara memberlakukan biaya perjalanan dinas bersifat lumsum dapat diterima menurut hukum sebagai wujud otonomi daerah, terlebih lagi ketentuan yang mengatur biaya perjalanan dinas belum ada yang mengharuskan berdasarkan real cost (at cost) pada tahun 2005. Ketentuan at cost baru diatur setelah perubahan kedua Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah jo. Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah.8 Peraturan Bupati belum pernah dicabut sehingga pelaksanaan APBD dilaksanakan secara sempurna sesuai dengan asas het vermoeden van rechtmatigheid9 atau asas praduga keabsahan (praduga rechtmatigheid) yang dikenal dengan asas praesumtio iustae causa yang maknanya setiap tindakan pemerintah adalah sah sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya.10 8
Perubahan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005 jo. Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah salah satunya mengatur tentang acrual atas pencatan laporan keuangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, kemudian petunjuk teknis sistem at cost (untuk perjalanan dinas) ditindaklanjuti Menteri Dalam Negeri berdasarkan ketentuan Permendagri nomor 37 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2011. 9 Putusan Perkara Pidana No.260/Pid.B/2010/PN.Tgr., Putusan Tanggal 6 Desember 2011, hlm. 91. 10 Triwulan T., Titik & Widodo, H. Ismu Gunadi, Hukum Tata Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Cetakan I (Jakarta: Kencana
88
Peraturan daerah tentang APBD tahun 2005 Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah melalui proses dan pengawasan pemerintah pusat, dalam hal ini Gubernur sebagai perpanjangan pemerintah pusat (dekonsentrasi) sebelum pada akhirnya ditetapkan menjadi peraturan daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 48 Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, pedoman dalam menyusun peraturan daerah yang bertalian dengan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana telah diatur dalam ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) telah ditentukan sebagai berikut. 1. Rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui bersama DPRD dan rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh bupati/walikota paling lambat tiga hari kerja disampaikan kepada gubernur untuk dievaluasi. 2. Hasil evaluasi disampaikan oleh gubernur kepada bupati/ walikota selambat-lambatnya 15 hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud. 3. Apabila gubernur tidak memberikan hasil evaluasi dalam waktu 15 hari sejak rancangan diterima, bupati/walikota dapat menetapkan rancangan peraturan daerah APBD menjadi peraturan daerah APBD dan rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD menjadi peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD. 4. Apabila gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD sudah sesuai Perdana Media Group, 2011) hlm. 428.
89
dengan kepentingan umum dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, bupati/walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi peraturan daerah dan peraturan bupati/walikota. 5. Apabila gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, bupati/walikota bersama DPRD melakukan penyempurnaan selambat-lambatnya tujuh hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. 6. Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh bupati/ walikota dan DPRD dan bupati/walikota tetap menetapkan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD menjadi peraturan daerah dan peraturan bupati/walikota, gubernur membatalkan peraturan daerah dan peraturan bupati/walikota dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.
C. Pengawasan terhadap Pembentukan Pelaksanaan Produk Hukum Daerah
dan
Pengawasan terhadap pembentukan dan pelaksanaan produk hukum daerah, dalam hal ini produk daerah yang bertalian dengan anggaran belanja dan pendapatan daerah (APBD) baik dalam proses pembentukan peraturan daerah maupun pelaksanaan APBD, digolongkan sebagai berikut.
90
1. Berdasarkan asalnya, pengawasan dapat dibagi menjadi (a) pengawasan intern dan (b) pengawasan ekstern. 2. Berdasarkan waktunya, pengawasan dibagi menjadi (a) pengawasan preventif dan (b) pengawasan represif. 3. Berdasarkan buktinya, pengawasan dibagi menjadi (a) pengawasan dari dekat dan (b) pengawasan dari jauh. 4. Berdasarkan keabsahannya, pengawasan dibagi menjadi (a) pengawasan atau pemeriksaan kebenaran formal menurut hak (rechtmatigheid) dan (b) pengawasan atau pemeriksaan kebenaran material mengenai tujuan pengeluaran (dochmatighheid).11 1. Pengawasan Intern terhadap Pelaksanaan Produk Hukum Daerah Pengawasan intern dari suatu organisasi merupakan alat pengawasan dari pimpinan oraganisasi yang bersangkutan untuk mengawasi apakah kegiatan-kegiatan bawahannya telah sesuai dengan rencana dan kebijakan-kebijakan yang telah ditentukan. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelengaraan Pemerintah Daerah, aparat pengawas pemerintah daerah terdiri atas Inspektorat Jenderal Departemen, Unit Pengawas Lembaga Pemerintah Non Departemen, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabpupaten/Kotamdya mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan melalui pemeriksaan, pengujian, pengusutan, penilaian, monitoring, dan evaluasi. Pada tingkat 11 Arifin Sabeni dan Imam Ghozali, Pokok-Pokok Akuntansi Pemerintah, Edisi Keempat, Cetakan Ketiga, Yogyakarta, 2001, hlm.67
91
organisasi pemerintah (pemerintah pusat hingga pemerintah daerah), pengawasan intern dilaksanakan oleh pihak-pihak berikut. a. Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara (DJPKN) yang sekarang dikenal dengan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) BPKP merupakan pengawas intern yang merupakan alat Menteri Keuangan selaku wakil pemerintah yang mendapat limpahan wewenang untuk melakukan pengurusan keuangan negara secara sentral. Dalam hal pelaksanaan APBN dan APBD, BPKP melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran pada depertemen-depertemen atau lembagalembaga negara dan pemerintah daerah untuk memastikan apakah telah sesuai dengan rencana dan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana yang telah dituangkan dan ditetapkan dalam APBN dan APBD. Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan dibentuk dengan Keputusan Presiden nomor 31 tahun 1983 terakhir diubah Keputusan Presiden nomor 64 tahun 2005. Pasal 2 Keputusan Presiden tersebut menentukan tugas pokok BPK sebagai berikut. 1). Mempersiapkan perumusan kebijakan pengawasan keuangan dan pengawasan pembangunan. 2). Menyelenggarakan pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan keuangan. 3). Menyelenggarakan pengawasan pembangunan. Karena Badan Pemeriksa Keuangan merupakan alat pengawasan pemerintah, segala kebijakannya dapat 92
dipengaruhi oleh pemerintah sehingga BPK merupakan pengawas intern. Khusus untuk pemeriksaan keuangan sejak adanya perubahan Keputusan Presiden nomor 64 tahun 2005 sesuai dengan ketentuan Pasal 52, BPKP untuk melakukan audit keuangan sudah tidak memiliki kewenangan lagi. b. Inspektorat Jenderal Departemen Pada tingkat organisasi departemen, pengawasan intern dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal Departemen yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden nomor 44 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen. Inspektorat Jenderal merupakan alat pengawas intern dari menteri atau pimpinan departemen yang bersangkutan dan memiliki tugas untuk melaksanakan pengawasan dalam lingkup departemen terhadap pelaksanaan tugas seluruh unsur departemen agar dapat berjalan sesuai dengan rencana dan peraturan yang berlaku, baik tugas yang bersifat rutin maupun tugas pembangunan. Inspektorat Jenderal Departemen melakukan pengawasan hanya pada pelaksanaan anggaran pada departemen yang bersangkutan untuk kepentingan menteri atau pimpinan departemen yang bersangkutan dalam rangka pertanggungjawaban. Kebijakan pengawasannya dapat dipengaruhi oleh menteri atau pimpinan departemen sehingga Inspektorat Jenderal Departemen merupakan pengawas intern pada depertemen yang bersangkutan.
93
c. Inspektorat Wilayah Provinsi (Itwilprop) Inspektorat Wilayah Provinsi (Itwilprop) atau yang sekarang dikenal dengan Badan Pengawas Daerah (Bawasda) tingkat provinsi adalah alat pengawasan umum yang bertanggung jawab pada gubernur selaku Kepala Daerah Tingkat I sebagai kepala wilayah provinsi. Tugas Bawasda tingkat provinsi adalah melakukan pengawasan umum terhadap penyelengaraan pemerintah daerah dan pelaksanaan tugas departemen di daerah, baik yang bersifat rutin maupun pembangunan, agar berjalan sesuai dengan rencana dan peraturan yang berlaku. Dalam konteks pelaksanaan, pengawasan termasuk juga pengawasan pelaksanaan APBD maupun APBN. d. Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kotamadya (Itwilkab) Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kotamadya (Itwilkab) atau yang sekarang dikenal dengan Badan Pengawas Kabupaten/ Kotamadya (Bawaskap) berkedudukan di daerah tingkat II yang meliputi wilayah kabupaten/kotamadya yang cara kerjanya berpedoman pada Itwilprop atau Bawasda. Tugas pokok dan wewenangnya sama dengan inspektorat wilayah provinsi atau badan pengawas tingkat propinsi, hanya saja ruang lingkupnya terbatas pada daerah/wilayah tingkat II kabupaten/kotamadya. e. Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Keuangan, Industri, dan Pengawasan Pembangunan Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1983 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, dan Tata 94
Kerja Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pengawasan Pembangunan. Menko Ekuin memiliki tugas pokok mengoordinasi penyiapan dan penyusunan kebijakan serta pelaksanaannya di bidang ekonomi, keuangan, dan industri, serta pengawasan dalm kegiatan pemerintah negara. Tugas yang berkaitan dengan bidang pengawasan adalah (1) mengoordinasi para menteri atau ketua lembaga pemerintah nondepartemen sepanjang di bidang pengawasan, (2) memberi petunjuk operasional kepada kepala BPKP, dan (3) menampung dan mengusahakan penyelesaian tindak lanjut dari masalahmasalah yang timbul dari hasil pengawasan serta mengikuti perkembangannya. f. Inspektorat Jenderal Proyek-proyek Pembangunan (Irjenbang) Inspektorat Jenderal Proyek-proyek Pembangunan mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan terhadap proyek-proyek pembangunan di bidang program sektoral, proyek-proyek inpres, bantuan desa, dan program-program daerah. Irjenbang melakukan pengawasan tidak melakukan tindakan pemeriksaan seperti BPKP atau ITJEN, tetapi dengan melakukan penelitian dan peninjauan terhadap proyek-proyek tersebut sehingga dapat diketahui kelancaran atau hambatan dalam pelaksanaan proyek tersebut. Hal ini disebabkan proyek-proyek tersebut sangat dekat dengan kehidupan masyarakat sehingga presiden perlu mengangkat Irjenbang untuk memberikan informasi yang relevan dan tepat waktu untuk pengambilan keputusan pembangunan. 95
g. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, aparat yang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap bagaimana aparatur negara melaksanakan tugasnya telah sesuai dengan peraturan yang ada. Selain tugas di atas, bertugas pula membantu tata kerja aparat-aparat pemerintah pusat dan daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, sehingga aparat pemerintah tersebut betulbetul bersih dan berwibawa. Pengawasan terhadap APBD, menurut Halim, secara umum dapat dibedakan berdasarkan objek yang diawasi, yakni sesuai dengan strukturnya pengawasan terhadap pendapatan dan pengeluaran daerah. Sifat pengawasan adalah preventif merupakan pengawasan saat penyusunan APBD, sedangkan pengawasan detektif dilakukan pada tahap pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBD dengan membandingkan antara yang seharusnya terjadi dan yang sunggug-sungguh terjadi. Metode pengawasan dibedakan menjadi pengawasan melekat yang dilakukan atasan dan pengawasan fungsional yang dilakukan BPKP dan Inspektorat.12 Hasil kegiatan pemeriksaan oleh pejabat pengawas pemerintah dituangkan dalam bentuk laporan hasil pemeriksaan (LHP). Hasil kegiatan monitoring dituangkan dalam bentuk laporan hasil monitoring dan evaluasi (LHME). Penyajian LHP 12 Halim, Abdul, Akuntansi dan Pengendalian Pengelolaan Keuangan Daerah, Edisi Revisi, Cetakan Pertama (Yogyakarta: UPP STIM YPKN Yogyakarta, Tt.) hlm. 55 – 57.
96
dan LHME dilakukan sebagaimana digambarkan dalam gambar berikut.13 DISAMPAIKAN LHP/LHME TEMBUSAN KEPADA LHP Pejabat Pengawas Menteri Badan Pemerintah Inspektorat Gubernur Pemeriksa Jenderal Keuangan (BPK) LHP Pejabat Pengawas Gubernur Menteri Pemerintah Inspektorat BPK Provinsi Perwakilan (Provinsi) LHP Pejabat Pengawas Bupati/Walikota Gubernur Pemerintah Inspektorat BPK Kabupaten/Kotamadya Perwakilan (Provinsi) LHME Pejabat Menteri dan Pengawas Gubernur Pemerintah Inspektorat Jenderal LHME Pejabat Gubernur Menteri Pengawas Pemerintah Inspektorat Provinsi
13 Basuki, Pengelolaan Keuangan Daerah, Cetakan Kedua (Revisi) (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008) hlm. 242.
97
LHME Pejabat Bupati/Walikota Gubernur Pengawas Pemerintah Inspektorat Kabupaten/Kotamadya Gambar 2. Penyajian LHP dan LHME Bagan di atas menjelaskan temuan-temuan penyimpangan pengawasan yang terjadi pada pemerintah daerah yang pembiayaannya dibebankan melalui APBD maupun melalui APBN, yaitu tembusan atas pengawasan disampaikan pada Badan Pemeriksaan Keuangan Negara. Hal ini juga sejalan dengan Pasal 3 ayat (1) Bab III Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 5 tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi Kerugian dan Barang Daerah (Permendagri nomor 5 tahun 1997 tentang TP-TGR) yang menentukan “informasi mengenai adanya kekurangan perbendaharaan yang mengakibatkan kerugian daerah dapat diketahui dari berbagai sumber antara lain a) hasil pemeriksaan aparat pengawasan fungsional, b) hasil pengawasan melekat yang dilaksanakan oleh atasan langsung, c) hasil verifikasi biro/ bagian keuangan atau pejabat yang diberikan kewenangan melakukan verifikasi pada badan usaha milik daerah. Pasal 9 Peraturan BPK nomor 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara terhadap Bendahara menyatakan agar BPK mengumpulkan dan melakukan verifikasi dokumen. Dalam hal ini, BPK juga harus melakukan konfirmasi atas dokumen yang diverifikasi sehingga dapat memperoleh kebenaran yang objektif. 98
2. Pengawasan Ekstern terhadap Pelaksanaan Produk Hukum Daerah Pengawasan ekstern dilakukan oleh pengawas dari masyarakat atau organisasi lain yang memiliki kepentingan (stakeholder) terhadap pelaksanaan kegiatan organisasi yang diawasi. Aparat pengawas ekstern adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BEPEKA) saat ini telah diubah singkatanya menjadi BPK. BPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1973 terakhir diubah dengan Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. BPK merupakan pengawas fungsional berdasarkan ketentuan Bab VIIIA Pasal 23E ayat (1) perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. BPK merupakan lembaga tinggi negara yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah, tetapi tidak berdiri di atas pemerintah. Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK memperhatikan dan memanfaatkan hasil-hasil pekerjaan aparat pengawas intern pemerintah14 sebagaimana telah dijelaskan pada bagan penyajian laporan hasil pemeriksaan (LHP) dan laporan hasil monitoring dan evaluasi (LHME). Oleh karena itu, aparat pengawas intern wajib menyampaikan laporan hasil pemeriksaannya kepada BPK. Selain sumber dari pengawas intern pemerintah, BPK juga wajib memanfaatkan laporan hasil pemeriksaan sesama auditor BPK. 14 Sabeni, Arifin & Ghazali, Imam Pokok-pokok Akuntansi Pemerintah, Ibid., hlm. 70.
99
Ini sebagaimana telah ditetapkan dalam Standar Pernyataan Pemeriksaan 02 lampiran III dan Standar Pernyataan Pemeriksaan 06 lampiran VII Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Ketetapan tersebut mengharuskan pemeriksaan mempertimbangkan hasil pemeriksaan sebelumnya, baik pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan untuk tujuan tertentu, agar tidak terjadi kontraproduktif atas laporan yang dihasilkan. BPK melaksanakan pemeriksaan terhadap pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk pelaksanaan APBN (baik rutin maupun pembangunan), APBD, serta angaran-angaran BUMN/ BUMD. Hasil pemeriksaan BPK diberitahukan kepada DPR, DPRD, dan juga kepada pemerintah. Dalam melaksanakan pengawasan fungsional, BPK telah memiliki ketentuan. Hal ini telah ditentukan dalam Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara Pasal 7 ayat (1) angka b. Bagian Kedua Peraturan BPK nomor 2 tahun 2011 tentang perubahan Peraturan BPK nomor 2 tahun 2007 tentang Kode Etik Badan Pemeriksaan Keuangan menentukan anggota BPK, Pemeriksa, dan Pelaksana BPK lainnya wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah seluruh peraturan yang memiliki keterkaitan dengan penyelenggaraan keuangan (omnibus regulation), termasuk peraturan daerah. Hal ini diatur dalam Pasal 2 Permendagri nomor 15 tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah yang terdiri atas peraturan daerah,
100
peraturan kepala daerah, peraturan bersama kepala daerah, keputusan kepala daerah, dan instruksi kepala daerah sepanjang masih berlaku dan belum pernah dicabut atau dibatalkan melalui pengadilan kasasi. 3. Pengawasan Preventif terhadap Pembentukan dan Pelaksanaan Produk Hukum Daerah Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum suatu tindakan dilaksanakan untuk mencegah jangan sampai terjadi kesalahan atau penyimpangan dalam pelaksanaan tugas-tugas pekerjaan. Pengawasan preventif pada umumnya tidak dilaksanakan oleh unit-unit pengawasan yang telah ditentukan. Pengawasan preventif biasanya berbentuk prosedurprosedur yang harus ditempuh dalam pelaksanaan kegiatan. Dengan mentaati semua prosedur yang telah ditetapkan berarti pengawasan preventif telah dilaksanakan. Ketentuan-ketentuan yang menyangkut pelaksanaan dalam pengurusan keuangan negara yang dapat disebut sebagai pengawasan preventif sebagai berikut.15 a. Undang-Undang APBN yang ditetapkan setiap awal tahun. b. Keputusan Presiden tentang Pelaksanaan APBN yang antara lain mengatur tentang pengurusan penerimaan negara, pengurusan pengeluaran negara, penatausahaan dan pengawasan anggaran, dan prosedur pemborongan pekerjaan dan pembelian. 15 Sabeni, Arifin & Ghazali, Imam, Pokok-pokok Akuntansi Pemerintah, Ibid., hlm. 71.
101
c. Daftar Isian Proyek (DIP) dan Daftar Isian Kegiatan (DIK) yang merinci tentang rencana pembiayaan dan target yang harus dicapai. d. Ketentuan yang melarang bendaharawan menyimpan uang tunai lebih dari Rp 3,000,000,000,00. Kelebihan atas jumlah tersebut harus disimpan ke bank pemerintah atas nama jabatan. Ketentuan ini untuk menghindari kerugian atau penggelapan-penggelapan lainnya. e. Ketentuan yang melarang bank-bank pemerintah membayar jasa giro kepada bendaharawan atas saldo rekening bendaharawan pada bank yang bersangkutan. Jasa giro merupakan pendapatan negara yang harus disetor ke rekening kas negara atau bendaharawan umum di Bank Indonesia. Ketentuan-ketentuan pengawasan preventif yang menyangkut pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sebagai berikut. a. Peraturan Daerah tentang APBD yang ditetapkan setiap awal tahun. b. Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota tentang pelaksanaan APBD yang antara lain mengatur tentang pengurusan penerimaan negara, pengurusan pengeluaran negara, penatausahaan dan pengawasan anggaran, dan prosedur pemborongan pekerjaan dan pembelian. c. Daftar Isian Proyek (DIP) dan Daftar Isian Kegiatan (DIK) yang merinci tentang rencana pembiayaan dan target yang harus dicapai.
102
d. Ketentuan yang melarang bendaharawan menyimpan uang tunai lebih dari Rp 3,000,000,000,00. Kelebihan atas jumlah tersebut harus disimpan ke bank pemerintah atas nama jabatan. Ketentuan ini untuk menghindari kerugian atau penggelapan-penggelapan lainnya. e. Ketentuan yang melarang bank-bank pemerintah membayar jasa giro kepada bendaharawan atas saldo rekening bendaharawan pada bank yang bersangkutan. Jasa giro merupakan pendapatan negara yang harus disetor ke rekening kas negara atau bendaharawan umum di Bank Indonesia. Dengan pelaksanaan pengawasan-pengawasan preventif di atas secara keseluruhan pengawasan-pengawasan lainnya akan dapat dilaksanakan dengan mudah. Pengawasan preventif atas pembentukan peraturan daerah tentang ABPD telah diatur dalam ketentuan Pasal 50, 51, 52, 53, 55, dan 56 Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah berikut. Pasal 50 Gubernur menyampaikan hasil evaluasi yang dilakukan atas rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri. Pasal 51 Hasil evaluasi atas rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD ditetapkan dengan keputusan Menteri 103
Dalam Negeri untuk APBD provinsi dan keputusan gubernur untuk APBD kabupaten/kota. Pasal 52 1. Penyempurnaan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5) dan Pasal 48 ayat (5) dilakukan kepala daerah bersama dengan Panitia Anggaran DPRD. 2. Hasil penyempurnaan sebagaimana tersebut pada ayat (1) ditetapkan oleh pimpinan DPRD. 3. Keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijadikan dasar penetapan peraturan daerah tentang APBD. 4. Keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan pada sidang paripurna berikutnya. 5. Keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk APBD provinsi dan kepada gubernur untuk APBD kabupaten/kota, paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah keputusan tersebut ditetapkan. Pasal 53 1. Rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD yang telah dievaluasi ditetapkan oleh kepala daerah menjadi peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.
104
2. Penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya. 3. Kepala daerah menyampaikan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri bagi provinsi dan gubernur bagi kabupaten/kota selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan. Pasal 55 1. PPKD paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah APBD ditetapkan, memberitahukan kepada semua kepala SKPD agar menyusun dan menyampaikan rancangan DPA-SKPD. 2. Rancangan DPA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merinci sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program, kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja serta pendapatan yang diperkirakan. 3. Kepala SKPD menyerahkan rancangan DPA-SKPD yang telah disusunnya kepada PPKD paling lambat 6 (enam) hari kerja setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan.
105
Pasal 56 1. Tim anggaran pemerintah daerah melakukan verifikasi rancangan DPA-SKPD bersama-sama dengan kepala SKPD yang bersangkutan. 2. Verifikasi atas rancangan DPA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselesaikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja, sejak ditetapkannya peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD. 3. Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPKD mengesahkan rancangan DPASKPD dengan persetujuan sekretaris daerah. 4. DPA-SKPD yang telah disahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepala SKPD yang bcrsangkutan, kepada satuan kerja pengawasan daerah, dan BPK selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal disahkan. 5. DPA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai dasar pelaksanaan anggaran oleh kepala SKPD selaku pengguna anggaran/barang. 4. Pengawasan Represif terhadap Pembentukan dan Pelaksanaan Produk Hukum Daerah Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan setelah suatu keputusan mempunyai akibat hukum (rechtsgevolgen), baik dalam bidang otonami maupun tugas pembantu.16 Pengawasan represif merupakan pengawasan yang dilakukan setelah suatu tindakan dilaksanakan dengan cara membandingkan 16 Huda, Ni’matul, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, Cetakan Pertama (Yogyakarta: FH UII Press, 2010) hlm. 285.
106
apa yang telah terjadi dengan apa yang seharusnya terjadi. Pengawasan represif dimaksudkan untuk mengetahui apakah kegiatan yang telah dilakukan telah mengikuti ketentuanketentuan yang telah ditetapkan. Pengawasan represif dapat diwujudkan dalam bentuk pemeriksaan setempat, verifikasi, pemantauan, dan sebagainya oleh aparat-aparat pemeriksa yang termasuk dalam pengawasan intern dan ekstern. Dalam konteks pengawasan terhadap peraturan daerah yang diterbitkan kabupaten dan kota yang dianggap bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan, tindakan represif gubernur sebagai perpanjangan pemerintah pusat (dekonsentrasi) dapat dilakukan dengan cara pembatalan terhadap peraturan kabupaten atau kota, dalam hal ini peraturan daerah tentang ABPD atau disebut juga executive review. Dasar pelaksanaan pembatalan peraturan daerah tentang APBD yang dianggap bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan telah diatur dalam ketentuan Pasal 49 Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah berikut. Pasal 49 1. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (6) dan Pasal 48 ayat (6), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan peraturan daerah dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut peraturan daerah dimaksud.
107
2. Pencabutan peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (6) dan Pasal 48 ayat (6) dilakukan dengan peraturan daerah tentang pencabutan peraturan daerah tentang APBD. 3. Pelaksanaan pengeluaran atas pagu APBD tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (6) dan Pasal 48 ayat (6) ditetapkan dengan peraturan kepala daerah. Pembatalan peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dapat juga ditempuh melalui Mahkamah Agung. TAP MPR nomor VI tahun 1973 yang dikuatkan dengan TAP MPR nomor III tahun 1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi dengan/atau antara Lembaga-lembaga Tinggi Negara dalam Pasal 11 ayat (4) menyebutkan Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara material hanya terhadap peraturan-peraturan di bawah undang-undang. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 menentukan Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undangundang.17 Berdasarkan kewenangan judicial review di atas, menurut Marbun & Mahfud MD, ada pembatasan-pembatasan tertentu dalam pengaturan hak uji material ini,18 sebagai berikut. 17 Perubahan III 19 November 2001. 18 Marbun, SF. & Mahfud MD, Moh., Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kelima (Yogyakarta: Liberty, 2009) hlm. 37.
108
a. Hak uji material hanya mungkin untuk peraturan perundangundangan yang dirajatnya di bawah undang-undang (peraturan pemerintah ke bawah). b. Hak menguji itu hanya dapat dilakukan dalam pemeriksaan perkara di tingkat kasasi (berarti tidak boleh dilakukan oleh hakim pengadilan negeri maupun hakim pengadilan tinggi, dan berarti juga untuk adanya hak uji diperlukan adanya perkara lebih dulu). c. Pernyataan tidak sahnya suatu peraturan perundangundangan berdasarkan hasil uji belum berarti pencabutan secara otomatis bagi peraturan itu sebab pencabutannya hanya dapat dilakukan oleh instansi yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pelaksanaan peraturan daerah tentang APBD tahun 2005 Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara diperiksa untuk yang kedua kalinya pada tahun 2010 secara investigatif oleh BPK. Hasil pemeriksaan tersebut menyatakan bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan (konflik norma) antara Keputusan Menteri Keuangan nomor 7/KMK.02/2003 dan Keputusan Bupati Kutai Kartanegara nomor 180.188/HK41/2005 tanggal 29 Maret 2005 tentang Penetapan Standarisasi/ Normalisasi Harga Barang dan Jasa Belanja Aparatur dan Modal. Dalam Keputusan Menteri ditentukan biaya perjalanan dinas berdasarkan real cost (at cost), sedangkan dalam Keputusan Bupati Kutai Kartanegara biaya perjalanan dinas bersifat lumsum. Kasus ini bukan merupakan domain BPK dalam menilai peraturan daerah.
109
Sebagaimana telah dikatakan oleh Marbun & Mahfud MD, dalam pembatalan peraturan daerah harus terlebih dahulu ada perkara dan pernyataan tidak sahnya suatu peraturan perundangundangan berdasarkan hasil uji dari Mahkamah Agung. Hingga pelaksanaan APBD tahun 2005 Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, belum ada yang mempermasalahkan dan belum pernah dicabut keabsahan peraturan daerah tentang APBD tahun 2005 sehingga menurut hukum harus tetap dianggap sah. Hal ini juga sejalan dengan asas praesumtio iustae causa. BPK tidak berwenang dalam menilai peraturan daerah tentang APBD, tetapi BPK dalam pemeriksaan membandingkan antara apa yang ditetapkan dalam APBD dan apa yang sesungguhnya dilaksanakan atas APBD. Jika terjadi pertentangan antara apa yang ditetapkan dan apa yang dilaksanakan dalam APBD, baru ada temuan BPK yang menyatakan telah terjadi pertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Untuk menentukan apakah terjadi kerugian negara atas pertentangan tersebut harus dibahas secara interdisiplin, yakni hukum, akuntansi, dan auditing19. Dengan demikian, kesimpulan secara akurat dan objektif melalui konversi bukti dari persinggungan interdisipin ilmu yang relevan dapat diberikan.
19 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,.., Loc. cit. hlm. 1.
110
5. Pengawasan Jarak Jauh (Pengawasan Pasif) terhadap Pembentukan dan Pelaksanaan Produk Hukum Daerah Pengawasan dari jarak jauh adalah pengawasan yang pelaksanaannya dilakukan dengan cara menguji dan meneliti surat pertanggungjawaban (SPJ) beserta bukti-bukti pendukungnya mengenai penerimaan-penerimaan dan pengeluaranpengeluaran yang dilakukan. Jika terjadi permasalahan dalam pemeriksaan ini, pemecahannya diselesaikan melalui suratmenyurat. Pengawasan jarak jauh ini sifatnya pasif karena tidak berhubungan langsung dengan objeknya. Masalah yang timbul tidak dibicarakan dengan orang yang bersangkutan. Keadaan keuangan dan kekayaan tidak diperiksa fisiknya. Semuanya hanya mengandalkan laporan. Kelemahan pemeriksaan ini adalah hanya ditinjau dari segi formal (dalam bentuk laporan serta dilampiri bukti-bukti) tanpa diteliti dari segi materialnya dan sangat berpotensi kenyataan dan laporan tidak sesuai atau direkayasa. 6. Pengawasan dari Dekat (Pengawasan Aktif) terhadap Pembentukan dan Pelaksanaan Produk Hukum Daerah Pengawasan dari dekat (atau sering juga disebut pengawasan melekat) merupakan pengawasan yang dilakukan di tempat kejadian atau di tempat penyelengaraan transaksi atau administrasi. Pengawasan dari dekat dilakukan dengan memeriksa langsung administrasi, termasuk penilaian pelaksanaan administrasi, sebagai bukti dan alat kelengkapan 111
surat pertanggungjawaban yang dikirim. Pemeriksaan dari dekat ini dilakukan dengan memeriksa bukti-bukti penerimaan atau pengeluaran, juga terhadap kebenaran bukti-bukti tersebut. Sebagai gambaran, pemeriksaan terhadap kas dengan mencocokkan saldo kas yang ada menurut catatan dengan jumlah fisik kas yang ada (cash opname). Masalah yang timbul dapat langsung ditanyakan kepada orang-orang yang bersangkutan dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya dari hasil pemeriksaan tersebut. Pengawasan dari dekat lebih efektif daripada pengawasan jarak jauh, tetapi biasanya pengawasan dari dekat memerlukan biaya yang cukup besar. Secara umum, pemeriksaan dari dekat dilaksanakan oleh badan atau unit-unit pengawasan yang telah ditetapkan. 7. Pengawasan Pemeriksaan Kebenaran Formal Menurut Hak atas Pelaksanaan Produk Hukum Daerah Seluruh transaksi dilakukan pemeriksaan yang mengakibatkan terjadinya pembayaran atau tagihan-tagihan kepada pemerintah dan pemerintah daerah melalui APBN maupun APBD dengan melakukan penelitian terhadap buktibukti pendukungnya. Sebagai gambaran, pada transaksi pembelian atau jasa yang mengakibatkan adanya tagihan kepada negara yang pada akhirnya harus dibayar, baik melalui APBN maupun APBD. Sebelum dilakukan pembayaran atas transaksitransaksi tersebut, penelitian terhadap tagihan-tagihan terlebih dahulu dilakukan untuk memastikan tagihan telah memenuhi syarat-syarat untuk dapat dilakukan pembayaran.
112
Dalam pemeriksaan kebenaran formal menurut hak terhadap tagihan-tagihan kepada negara yang dibebankan melalui APBN maupun APBD harus diperhatikan hal-hal berikut.20 a. Apakah tagihan tersebut belum kadaluwarsa (lewat waktu)? b. Apakah tagihan tersebut mempunyai dasar hukum dan tidak bertentangan dengan peraturan umum? c. Apakah yang melakukan penagihan tersebut dapat menunjukkan bukti asli atau bukti-bukti lain yang mendukung, baik dari penagih maupun pihak pemerintah. Apabila seluruh bukti dan surat-surat yang diperlukan dapat dipenuhi dan sudah diteliti kebenarannya, pemeriksaan kebenaran formal menurut hak sudah dilakukan dan dapat menyetujui pembayaran. Sebaliknya, apabila belum memenuhi syarat, pembayarannya tidak dapat dilakukan. 8. Pengawasan Pemeriksaan Kebenaran Mengenai Tujuan Pengeluaran atas APBD
Material
Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui apakah pengeluaran-pengeluaran yang dilaksanakan telah memenuhi prinsip-prinsip efektif dan efisien sehingga pengeluaran yang bersifat pemborosan dapat dihindari. Menurut Sabeni & Ghazali, dalam pemeriksaan ini perlu diperhatikan hal-hal berikut.21 a. Apakah pembelian barang atau jasa atau pelaksanaan pekerjaan benar-benar diperlukan? b. Apakah pelaksanaan pekerjaan tersebut sudah sesuai dengan mata anggaran dan sudah cukup dananya? 20 Sabeni, Arifin & Ghazali, Imam, Pokok-pokok Akuntansi Pemerintah, Ibid., hlm. 73. 21 Sabeni, Arifin & Ghazali, Imam, Pokok-pokok Akuntansi Pemerintah, Ibid., hlm. 73.
113
Pendapat di atas juga sejalan dengan ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah berikut. Pasal 54 1. SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran belanja daerah untuk tujuan yang tidak tersedia anggarannya, dan/atau yang tidak cukup tersedia anggarannya dalam APBD. 2. Pelaksanaan belanja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus didasarkan pada prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut Sabeni & Ghazali, selain hal di atas, pemeriksaaan ini dapat bersifat pertimbangan (judgment) mengenai kondisi-kondisi tertentu seperti kehematan, keserasian, dan pertimbangan-pertimbangan lain yang dianggap perlu. Bisa juga terjadi suatu pengeluaran meskipun menurut pemeriksaan formal sudah memenuhi syarat, menurut pemeriksaan material tidak memenuhi syarat, pengeluaran tersebut dapat dibatalkan karena dianggap pemborosan.22 Berdasarkan asas praesumtio iustae causa, kesimpulan audit investigatif BPK yang kedua tahun 2010 atas pelaksanaan APBD tahun 2005 dikualifikasi melampaui kewenangannya. Kualifikasi laporan hasil pemeriksaan BPK yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan apabila dalam pelaksanaan APBD tahun 2005 Pemerintah Kabupaten Kutai 22 Sabeni, Arifin & Ghazali, Imam, Pokok-pokok Akuntansi Pemerintah, Ibid., hlm. 73.
114
Kartanegara tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan. Dalam konteks pembatalan undang-undang, dalam hal ini peraturan daerah tentang APBD, jika dianggap bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi, mekanismenya dapat dilakukan melalui executive review dan judicial review pada Mahkamah Anggung. Badan Pemeriksa Keuangan dalam melaksanakan kewenangannya untuk memeriksa pelaksanaan APBD 2005 Kabupaten Kutai Kartanegara tanpa disadari juga dikualifikasi telah melampaui wewenangnya. Hal ini juga terjadi pada tingkat judicial review. Menurut Marbun & Mahfud MD, ketentuan tentang lembaga judicial riview belum berjalan sebagaimana mestinya. Berdasarkan kenyataannya, hak uji material tidak hanya pada tingkat (dan dalam pemeriksaan) kasasi karena hakim pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dengan kewenangannya untuk membuat yurisprudensi mempunyai peluang yang sah untuk melakukan hak uji. Masalah ini merupakan problem yang perlu mendapatkan perhatian sehingga bisa tercipta tegaknya hukum dan terjamin kepastiannya.23 Auditor BPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah. Namun, jika pemerintah daerah bersedia melaksanakan rekomendasi ataupun kesimpulan auditor BPK, tidak menjadi persoalan. Ini sebagaimana pada laporan hasil pemeriksaan BPK pertama tahun 2006 atas pelaksanaan APBD 2005 yang memberi rekomendasi mengembalikan perjalanan dinas yang tidak ada bukti-bukti karena memang 23 Marbun, SF. & Mahfud MD, Moh. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kelima (Yogyakarta: Liberty, 2009) hlm. 38.
115
perjalanan dinas bersifat lumsum, serta anggota dan pimpinan DPRD bersedia mengembalikannya. Dengan mengembalikan biaya perjalanan dinas bukan berarti tetap dipidana. Hal ini diatur dalam Pasal 4 UndangUndang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UndangUndang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Hal ini disebabkan biaya perjalanan dinas telah terdapat dalam pos mata anggaran APBD tahun 2005, kegiatan telah sesuai dengan jadwal kegiataan DPRD, pelaksanaan pelatihan pilkada telah mendapat disposisi ketua DPRD, dan biaya perjalanan dinas ditentukan dalam peraturan bupati bersifat lumsum. Menurut Lukman Hakim (dalam Bagir Manan), ”kekuasaan” (macht) tidak sama artinya dengan wewenang. Kekuasaan menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan wewenang berarti hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten).24 Bertalian dengan hak dan kewajiban, Nicolai memberikan pengertian wewenang sebagaimana disitir oleh Hakim25 een recht houd in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepalde feitelijke handeling te verichten of na te laten, of de (rechtens gegeven) aanpraak op het verichten van een hendeling door een ander. Een plicht impliceer een verplichting on enn bepaalde handeling te verihten of na te laten. 24 Ibid. 25 Ibid.
116
(Hak mengandung kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu). Pengertian wewenang menurut HD. Stout sebagaimana disitir Hakim adalah26 bevoegheid...wat kan worden omschreven als het geheel van bestuurechtelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubject-ten in het betuurechtlijke rechtverkeer. (wewenang... dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hubungan hukum publik). Pasal 18 ayat (6) Bab VI Undang-Undang Dasar Republik Indonesia mengamanatkan pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melakukan otonomi dan tugas pembantuan.27 Fungsi tersebut ditegaskan kembali dalam pasal 136 ayat (2) Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 8 tahun 2005.28 Hal ini tentunya sepanjang peraturan daerah tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 jo. Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.29 26 27 28 29
Hakim, Lukman, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah..., Ibid. Pasal 18 ayat (6) UUD RI tahun 1945 Amandemen Kedua. Pasal 136 ayat (2) UU nomor 8 tahun 2005 tentang Pemerintah Daerah. UU nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
117
Penggunaan anggaran telah dijalankan sesuai dengan pos anggaran untuk periode tahun anggaran 2005. Jika tidak sesuai dengan pos anggaran, baru dapat dikualifikasi perbuatan pidana. Ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Undang-Undang RI nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menjelaskan30 Ayat (1) Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undangundang Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang merupakan limpahan pemerintah pusat kepada daerah. Meskipun demikian, urusan pemerintahan tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter, dan fiskal nasional, masih diatur pemerintah pusat. Pendelegasian kewenangan tersebut disertai dengan penyerahan undangan. 30 Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
118
dan pengalihan pendanaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dalam kerangka desentralisasi fiskal. Pendanaan kewenangan yang diserahkan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mendayagunakan potensi keuangan daerah sendiri dan mekanisme perimbangan keuangan pusat-daerah dan antardaerah. Kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dilakukan dalam wadah pendapatan asli daerah (PAD) yang sumber utamanya adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Pelaksanaan perimbangan keuangan dilakukan melalui dana perimbangan yang terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
D. Sumber Kewenangan BPK dalam Melaksanakan Pemeriksaan Keuangan Negara Bab VIIIA Pasal 23E ayat (1) perubahan ketiga UndangUndang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menentukan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksaan Negara yang bebas dan mandiri. Ketentuan Pasal 23G ayat (2) UUD 1945 juga mengamanatkan lahirnya Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan (selanjutnya disingkat UU nomor 15 tahun 2006 tentang BPK). Menurut Indra, BPK memiliki fungsi untuk melakukan pengawasan (audit) terhadap lembaga-lembaga yang ada kaitannya dengan 119
penerimaan dan pengeluaran keuangan negara.31 Tugas dan wewenang BPK telah ditentukan pada BAB III Pasal 6 Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan sebagai berikut. 1. BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. 2. Pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. 3. Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. 4. Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan. 5. Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara. 31 Indra, Mexsasai, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia..., Loc.cit.
120
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan BPK Tugas dan wewenang BPK tersebut ditegaskan dalam TAP nomor III/MPR/1978 (Tap nomor VI/MPR/1973) yang antara lain adalah (1) Badan Pemeriksa Keuangan adalah badan yang memeriksa tanggung jawab keuangan negara yang dalam pelaksanaan tugasnya lepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah, tetapi tidak berdiri sendiri di atas pemerintah; dan (2) Badan Pemeriksa Keuangan memeriksa semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya, BPK berwenang meminta keterangan yang wajib diberikan oleh setiap orang, badan atau instansi pemerintah, atau badan swasta sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan. Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih (dalam Triwulan T. & Widodo) menyimpulkan tugas pokok BPK menjadi tiga macam fungsi, sebagai berikut. 1. Fungsi operatif, yaitu melakukan pemeriksaan, pengawasan, dan penelitian atas penguasaan dan pengurusan keuangan negara. 2. Fungsi yudikatif, yaitu melakukan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi terhadap bendaharawan dan pegawai negeri bukan bendaharawan yang perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya sehingga menimbulkan kerugian besar bagi negara.
121
3. Fungsi rekomendatif, yaitu memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang pengurusan keuangan negara.32 Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, BPK memiliki wewenang antara lain untuk (1) meminta, memeriksa, dan meneliti pertanggungjawaban atas penguasaan dan pengurusan keuangan negeara, serta mengusahakan keseragaman, baik dalam tata cara pemeriksaan dan pengawasan maupun dalam penatausahaan keuangan negara; (2) mengadakan dan menetapkan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi; dan (3) melakukan penelitian penganalisisan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan.33 Anggraini & Puranto berpendapat di Indonesia penyusunan standar akuntansi dipengaruhi legislasi dengan tetap merujuk profesi profesional sebagai dasar menyusun SAP tersebut kemudian diatur dalam perundang-undangan yang merupakan bagian peraturan perundang-undangan pengelolaan keuangan daerah (amnibus legulations).34 Oleh karena itu, dalam melaksanakan audit investigatif, auditor wajib merujuk ketentuan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan keuanganan negara maupun daerah. 32 Triwulan T., Titik & Widodo, H. Ismu Gunadi, Hukum Tata Usaha Negara…, Ibid., hlm. 106 – 107. 33 Triwulan T., Titik & Widodo, H. Ismu Gunadi, Hukum Tata Usaha Negara…, Ibid., hlm. 107. 34 Anggraini, Yunita & Puranto, B. Hendra, Anggaran Berbasis Kinerja (Penyususnan APBD secara Komperehensif) (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, 2010) hlm. 316. Omnibus regulatians merupakan peraturan pemerintah yang merupakan satu kesatuan yang dapat mengakomodasi sekaligus mensinkronisasi seluruh pengaturan yang menyentuh aspek pengelolaan keuangan daerah yang diamanatkan dalam undang-undang.
122
Menurut Basuki, menurut peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan negara, fungsi BPK dapat dikategorikan dalam empat fungsi berikut. 1. Fungsi pemeriksaan tercermin dalam tugas BPK untuk melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dengan semua aspeknya. 2. Fungsi rekomendasi tercermin dalam konsekuensi bahwa hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara selalu diikuti rekomendasi, yaitu saran berdasarkan hasil pemeriksaannya yang ditujukan kepada orang dan/atau badan yang berwenang untuk melakukan tindakan dan/atau perbaikan (Pasal 1 butir 12, Pasal 16 ayat (2), dan Pasal 20 ayat (1) UU nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara). 3. Fungsi quasi yudisial tercermin dari tugas BPK mengenai ganti kerugian negara atau daerah terhadap bendahara dan pengelola perusahaan negara atau daerah terhadap bendahara dan pengelola perusahaan negara atau daerah menurut tata cara yang ditetapkan, yakni proses penuntutan yang menyerupai layaknya proses pengadilan (Pasal 62 ayat (1) UU nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 22 UU nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara). 4. Fungsi legislasi tercermin dari kewenangan BPK untuk menetapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemeriksaan, pengelolaan, dan tanggung 123
jawab keuangan negara dalam bentuk peraturan BPK yang mempunyai kekuatan mengikat pihak-pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang BPK (Pasal 6 ayat (6) UU nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeiksaan Keuangan).35 Dalam ketentuan Bab VIIIA Pasal 23C UUD 1945 dan TAP No. III/MPR/1978 (Tap No.VI/MPR/1973) tugas dan wewenang BPK difokuskan untuk memeriksa semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Namun, setelah lahir UU nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeiksaan Keuangan sebagai amanah dari Pasal 23G ayat (2) UUD 1945, BPK kemudian memanfaatkan Pasal 6 ayat (6) yang berbunyi ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan BPK. Mengacu pada ketentuan Pasal 6 ayat (6) UU nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan, lahirlah Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (selanjutnya disingkat Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang SPKN), Peraturan BPK nomor 2 tahun 2007 jo. Peraturan BPK nomor 2 tahun 2011 tentang Kode Etik Badan Pemeriksaan Keuangan (selanjutnya disingkat Peraturan BPK nomor 2 tahun 2011 tentang Kode Etik BPK), dan Peraturan BPK RI nomor 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara. Adanya ketentuan Pasal 6 ayat (6) menimbulkan persoalan hukum dalam bentuk konflik norma. Pasal 2 huruf (a) 35 Basuki, Pengelolaan Keuangan Daerah, Cetakan Kedua (Revisi) (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008) hlm. 249.
124
Peraturan BPK nomor 2 tahun 2007 tentang BPK menyatakan setiap anggota BPK dan pemeriksa wajib mematuhi peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku. Setelah ada perubahan atas kode etik BPK, Pasal 7 ayat (1) huruf (b) Peraturan BPK nomor 2 tahun 2011 tentang Kode Etik BPK menjadi anggota BPK, pemeriksa, dan pelaksana BPK lainnya wajib mematuhi ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Setelah perubahan, Pasal 7 ayat (1) huruf (b) penegertian peraturan perundang-undangan menjadi lebih general sehingga menimbulkan multipenafsiran pada penegakan hukum, khususnya auditor BPK. Hal ini berakibat adanya benturan norma (norm conflict) dengan Pasal 2 Permendagri nomor 15 tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah yang menyebutkan secara jelas dan ketat jenis-jenis peraturan daerah yang terdiri atas peraturan daerah, peraturan kepala daerah, peraturan bersama kepala daerah, keputusan kepala daerah, dan instruksi kepala daerah.36 Permendagri nomor 15 tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah merupakan peraturan khusus (lex specialist) karena merupakan petunjuk teknis dari UU nomor 32 tahun 2004 sebagaimana diubah terakhir dengan UU nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah maupun UndangUndang nomor 12 tahun 2011 tentang perubahan terakhir Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 36 Pasal 2 Permendagri nomor 15 tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah.
125
Pasal 8 Peraturan BPK RI nomor 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara juga menjelaskan pimpinan instansi segera menugaskan Tim Penyelesaian Kerugian Negara (TPKN) untuk menindaklanjuti ”setiap” kasus kerugian negara selambat-lambatnya tujuh hari sejak menerima laporan. Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) menyebutkan TPKN mengumpulkan dan melakukan verifikasi dokumen-dokumen, baik kerugian yang diketahui dari pemeriksaan BPK, aparat pengawasan fungsional, pengawasan, dan/atau pemberitahuan atasan langsung bendahara atau kepala kantor/satuan kerja sebagaimana tercantum dalam Bab III Pasal 3 Peraturan BPK RI nomor 3 tahun 2007. Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 5 tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Kerugian Keuangan dan Barang Daerah juga menjelaskan hasil LHP BPK harus terlebih dahulu diserahkan kepada Tim Penyelesaian Kerugian Negara yang keanggotaannya termasuk inspektorat untuk melakukan verifikasi dengan maksud memastikan apakah benar-benar telah terjadi penyimpangan secara pidana maupun secara administrasi negara. Secara umum, penyampaian hasil audit yang telah diatur dalam ketentuan harus dipatuhi. Kedua peraturan ini sama-sama mengatur kewenangan untuk melakukan verifikasi, tetapi berjalan sendiri-sendiri. BPK bahkan tidak melakukan konfirmasi atas kerugian daerah tersebut, baik terhadap pemerintah daerah maupun terhadap orang yang dianggap melakukan kerugian negara.
126
Menyinggung permasalahan audit investigatif pada pelaksanaan APBD Kabupaten Kutai Kartanegara, BPK tidak melibatkan Tim Penyelesaian Kerugian Negara dari Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. BPK juga tidak melakukan verifikasi sehingga kesalahan administrasi berubah menjadi tindak pidana karena tidak pernah dilakukan konfirmasi oleh auditor BPK. Hal ini juga sesuai standar pemeriksaan keuangan negara. Dalam sudut pandang pendekatan peraturan perundangundangan, kewenangan perlu untuk disatukan sehingga ada garis koordinasi antara auditor BPK dan Tim Penyelesaian Kerugian Negara. Ditinjau dari teori kekuasaan, kewenangan BPK telah mendekati absolutisme dan tidak ada yang dapat membatalkan hasil laporan pemeriksaan keuangan negara, khususnya audit dengan tujuan tertentu (sering digunakan istilah dalam keperluan identifikasi pidana disebut audit investigatif). Hal ini pernah disampaikan Lord Acton (John Emerich Edward Dalberg Acton) dalam suratnya kepada Bishop Mandell Creighton. Lord Acton menulis sebuah ungkapan yang menghubungkan antara “korupsi” dan “kekuasaan”, yakni power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutly (bahwa kekuasaan cenderung korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut).37
37 Djaja, Ermansjah, 2009, Wewenang KPK Tidak Tak Terbatas dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hlm. 1, Disertasi Diuji pada tanggal 21 November 2009 pada Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
127
E. Kedudukan Prinsip Akuntansi dan Standar Akuntansi dalam Lapangan Hukum Sejak tahun 1968, The National Committee on Goverment Accounting (NCGA) menyusun dasar akuntansi dan prinsip pelaporan yang berlaku bagi lembaga pemerintah. Ada 13 prinsip yang dikemukakan oleh NCGA, dua di antaranya adalah (1) ketentuan hukum dan pelaporan keuangan, dan (2) pertentangan antara prinsip akuntansi dan ketentuan hukum. Pertama, ketentuan hukum dan pelaporan keuangan. Sistem akuntansi suatu lembaga harus menunjukkan bahwa semua ketentuan hukum dan perundang-undangan telah terpenuhi, dan menentukan secara wajar dan dengan pengungkapan yang selengkapnya atas posisi keuangan dan hasil operasi dana. Kedua, pertentangan antara prinsip akuntansi dan ketentuan hukum. Apabila terjadi pertentangan antara prinsip akuntansi yang digunakan dan ketentuan hukum, pedoman yang dipakai adalah apa yang diatur dalam ketentuan hukum.38 Menurut Miller (dalam Nordiawan, dkk.), prinsip akuntansi berlaku umum merupakan rajutan dari berbagai aturan dan konsep.39 Prinsip akuntansi yang dipergunakan dalam akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah terdiri dari delapan prinsip, dua di antaranya adalah prinsip realisasi dan prinsip substansi mengungguli bentuk formal. Pertama, prinsip realisasi bermakna pendapatan yang tersedia yang telah diotorisasi melalui anggaran pemerintah selama satu tahun 38 Sabeni, Arifin & Ghazali, Imam, Pokok-pokok Akuntansi Pemerintahan, Cetakan Ketiga (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2001) hlm. 105. 39 Nordiawan, Deddi, dkk., Akuntansi Pemerintahan (Jakarta: Salemba Empat, 2009) hlm. 118.
128
fiskal akan digunakan untuk membayar utang dan belanja dalam periode tersebut. Kedua, prinsip substansi mengungguli bentuk formal bermakna informasi dimaksudakan untuk menyajikan dengan wajar transaksi atau peristiwa lain yang seharusnya disajikan. Dengan demikian, transaksi atau peristiwa lain tersebut perlu dicatat dan disajikan sesuai dengan substansi dan realitas ekonomi, bukan hanya aspek formalitasnya.40 Pelaksanaan atas Perda tentang APBD dan peraturan bupati tentang pelaksanaan atas APBD hingga realisasi anggaran terlaksana secara sempurna dan belum pernah dicabut sehingga dapat dikualifikasi menurut hukum masih sah. Ini sesuai dengan asas het vermoeden van rechtmatigheid41 atau asas praduga keabsahan (praduga rechtmatigheid) atau asas praesumtio iustae causa yang maknanya bahwa setiap tindakan pemerintah adalah sah sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya.42 Standar Akuntansi Pemerintah merupakan norma (hukum administrasi negara). Standar Akuntansi Pemerintah merupakan indikator dalam menentukan kualifikasi audit investigatif BPK terhadap pelaksanaan APBD yang merupakan pelanggaran pidana, lebih khusus lagi tindak pidana korupsi, jika ditemukan cacat wewenang, cacat prosedur, dan cacat substansi dan berakibat merugikan keuangan negara maupun daerah. Sebaliknya, jika dalam audit investigatif BPK dalam pelaksanaan APBD terjadi 40 Nordiawan, Deddi, dkk., Op.cit., hlm. 133. 41 Putusan Perkara Pidana nomor 260/Pid.B/2010/PN.Tgr., Putusan tanggal 6 Desember 2011, hlm. 91. 42 Triwulan T., Titik & Widodo, H. Ismu Gunadi, Hukum Tata Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Cetakan I (Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2011) hlm. 428.
129
kesalahan pencatatan, dapat dikualifikasi kesalahan administrasi. Keduanya akan dituangkan dalam bentuk rekomendasi dan akan dijadikan sebagai bukti oleh penyidik, baik kepolisian maupun kejaksaan.
F. Indentifikasi Audit Investigatif BPK atas Pelaksanaan APBD Bertentangan dengan Prinsip Akuntansi BPKP sebagai auditor internal kewenagannya diatur dalam Keppres nomor 31 tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan Keppres nomor 103 tahun 2001 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan. Dalam Keppres nomor 103 tahun 2001 BPKP tidak lagi diberi kewenangan mengaudit keuangan daerah,43 tetapi BPK perwakilan hanya dapat mengaudit APBD bila kepolisian maupun kejaksaan meminta auditor BPKP mengaudit dugaan tindak pidana korupsi.44 Sementara itu, BPK sebagai auditor eksternal pemerintah yang dibentuk pada zaman orde lama dan diatur dalam Perpu nomor 6 tahun 1964 kemudian menjadi undangundang yang isinya presiden sebagai pimpinan besar revolusi memegang kekuasaan pemeriksaan, pengawasan, dan penelitian tertinggi atas penguasaan dan pengurusan keuangan negara. Pemberlakuan Undang-Undang nomor 17 tahun 1965 menunjukkan bahwa peran BPK adalah lembaga negara yang kedudukannya di bawah presiden (unterrgoerd-net). Undang43 Keputusan Presiden nomor 103 tahun 2001 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan. 44 Keputusan Presiden nomor 103 tahun 2001 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan.
130
undang ini kemudian diamanendemen dengan UU nomor 5 tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan karena dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegaraan, baik pada pemerintah pusat maupun pada pemerintah daerah. Kebebasan dan kemandirian BPK juga mengalami hambatan di masa orde baru, bahkan hasil pemeriksaan BPK sebelum disampaikan ke DPR harus terlebih dahulu dikonsultasikan kepada pemerintah agar tidak menganggu stabilitas politik. Pada era reformasi kewenangan BPK diatur dalam perubahan ketiga UUD RI. Pada Pasal 23E ayat (1) Bab VIIIA UUD RI 1945 menegaskan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksaan Negara yang bebas dan mandiri. Dalam perubahan ketiga UUD RI juga diberikan atribusi lahirnya UU nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 23G UUD RI.45 Pasal 4 Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyatakan pemeriksaan terdiri dari atas tiga jenis pemeriksaan, yakni pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.46 Pemeriksaan keuangan (financial audit) adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan dilakukan dalam rangka memberikan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah.47 45 Perubahan III 9 November 2001 Pasal 23G UUD RI 1945. 46 Pasal 4 UU nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara. 47 UU nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung
131
Pemeriksaan keuangan bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar dalam semua hal material dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia seperti standar akuntansi pemerintah. Prinsip akuntansi pemerintah terdiri dari 12 prinsip yang dapat dikelompokan dalam 7 bagian, yaitu (1) GAAP and legal compliance (kemampuan akuntansi dan pelaporan), (2) fund accounting (akuntansi dana), (3) basis of accounting (dasar-dasar akuntansi), (4) classification and terminology (penggolongan dan istilah), (5) fixed asset and long term liabilities (aktiva tetap dan utang jangka panjang), (6) the budget and budgetary accounting (anggaran dan penganggaran akuntansi), dan (7) financial reporting (laporan keuangan).48 Apabila terjadi perbedaan prinsip akuntansi yang digunakan, prinsip yang dipakai adalah aturan pemerintah. Kustandi Arinta (dalam Rachmat) menyebutkan bahwa hal tersebut diatur oleh dua prinsip pertama NCGA berikut. 1. Ketentuan hukum dan pelaporan. Artinya, sistem akuntansi suatu lembaga pemerintah harus menunjukkan semua ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menentukan secara wajar dan mengungkapkan dengan selengkap-lengkapnya posisi keuangan dan hasil operasi dana. 2. Apabila terjadi pertentangan antara prinsip akuntansi dan ketentuan hukum, pedoman yang dipakai adalah ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku.49 Jawab Keuangan Negara, Ibid., Penjelasan Umum. 48 Rachmat, Akuntansi Pemerintah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010) hlm. 99. 49 Rachmat, Akuntansi Pemerintah…, Ibid., hlm. 102.
132
Jhon & Setiawan S, pemeriksa keuangan negara, menyatakan bahwa pada dasarnya pemeriksa tidak mau terlibat dalam perbedaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemahaman yang satu atas peraturan perundang-undangan adalah domain dari para ahli hukum. Namun, harus akui bahwa kebingungan dan kegalauan, bahkan apatisme, tidak perlu terjadi. Setidaknya dalam dunia hukum dikenal ”tujuh obat” untuk menentukan peraturan perundang-undangan yang harus diikuti. Tujuh obat itu empat di antaranya adalah (1) peraturan perundang-undangan selalu diasumsikan diketahui oleh umum (eidereen wordt geacht de wette kennen); (2) peraturan perundangundangan tidak pernah berlaku surut; (3) peraturan perundangundangan tidak berlaku lagi apabila memenuhi dua syarat, yaitu apabila telah dicabut atau dibatalkan, dan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi; dan (4) apabila suatu keadaan tidak diatur dalam suatu ketentuan peraturan preundang-undangan, gunakanlah analoginya.50
G. Kedudukan Pelaksanaan Perda tentang APBD dalam Hierarki Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Para ahli hukum menjelaskan walaupun Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan) dan Ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966 tidak menetapkan peraturan daerah di dalamnya, tetapi sejak berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 50 Jhon, M. Yusuf & Setiawan S, Dwi, Kiat Memahami Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009) hlm. 15 – 16.
133
eksistensi peraturan daerah telah diakui sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengikat umum, bahkan peraturan daerah selalu diakui keberadaannya dalam sistem hukum di Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari beberapa pendapat ahli berikut.51 1. Irawan Soejito menyatakan bahwa salah satu kewenangan yang sangat penting dari suatu daerah yang berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri adalah kewenangan menetapkan peraturan daerah. 2. Amiroeddin Syarif menyatakan peraturan daerah dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, yaitu mengatur segala sesuatu tentang penyelenggaraan pemerintah, pembangunan, serta pelayanan terhadap masyarakat. 3. Bagir Manan menyatakan bahwa peraturan daerah adalah nama peraturan perundang-undangan tingkat daerah yang ditetapkan kepala daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kewenangan pemerintah daerah membentuk paraturan daerah merupakan salah satu ciri yang menunjukkan bahwa pemerintah tingkat daerah tersebut adalah satuan pemerintahan otonom yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri. 4. A. Hamid S. Attamimi menyatakan bahwa dalam tata susunan peraturan perundang-undangan di negara Republik Indonesia, peraturan daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang terletak di bawah peraturan perundang-undangan di tingkat pusat (dalam hal 51 Triwulan T., Titik & Widodo, H. Ismu Gunadi, Hukum Tata Usaha Negara…, Op.cit., hlm. 438.
134
ini kedudukanya di bawah keputusan menteri dan keputusan kepala lembaga pemerintahan non-departemen). Namun, jika ditinjau dari ilmu hukum, asas hukum menurut Paul Scholten secara teoritikal bukanlah aturan hukum (rechtsregel) sebab asas-asas hukum tidak dapat diterapkan secara langsung terhadap suatu peristiwa konkret dengan menganggapnya sebagai bagian dari norma hukum.52 Namun, asas-asas hukum setidaknya memiliki tiga fungsi, yakni (1) sebagai patokan dalam pembentukan dan pengujian norma hukum, (2) untuk memudahkan kedekatan pemahaman terhadap hukum,53 dan (3) sebagai cermin dari peradaban masyarakat atau bangsa dalam memandang perilaku. Peraturan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan asas-asas hukum tersebut dapat diperbaiki melalui politik hukum. Hal ini sebagaimana pengertian politik hukum menurut Bellefroid. Menurutnya, politik hukum adalah bagian dari ilmu hukum yang membahas perubahan hukum yang berlaku (ius constitutum) menjadi hukum yang seharusnya (ius constituendum) untuk memenuhi perubahan kehidupan dalam masyarakat.54 Berbagai bentuk norma hukum dapat diawasi melalui mekanisme kontrol norma hukum (legal norm control mechanism). Kontrol terhadap norma hukum dapat dilakukan melalui pengawasan atau pengendalian politik, pengendalian administratif, atau melalui kontrol hukum (judicial).55 Dalam 52 Astawa, I Gede Pantja & Na’a, Suprin, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundangundangan di Indonesia, Edisi Pertama (Bandung: PT Alumni, 2008) hlm. 82. 53 Astawa, I Gede Pantja & Na’a, Suprin, Ibid., hlm. 83. 54 Latif, H. Abdul & Ali, H. Hasbi, Politik Hukum, Cetakan Pertama (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) hlm. 8. 55 Huda, Ni’matul, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, Cetakan Pertama
135
literatur yang ada terdapat kategori besar pengujian peraturan perundang-undangan (dan perubahan administarasi negara), yakni pengujian oleh badan peradilan (judicial review), pengajuan oleh badan yang sifatnya politik (political review), dan pengujian oleh pejabat atau badan administrasi negara (administrative review).56 Pasal 7 ayat (1) UU nomor 12 tahun 2011 tentang perubahan terakhir atas UU nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan hierarki hukum peraturan daerah sebagai berikut. 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 3. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. 4. Peraturan Pemerintah. 5. Peraturan Presiden. 6. Peraturan Daerah Provinsi. 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 8 ayat (1) menentukan jenis peraturan perundangundangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, (Yogyakarta: FH UII PRESS, 2010) hlm. 72. 56 Huda, Ni’matul, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, Op.cit., hlm. 73.
136
menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota, bupati/walikota, kepala desa, atau yang setingkat. Pasal 8 ayat (2) menentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Sebelum ada perubahan dan ditambahkan Pasal 8 ayat (1) dan (2), kedudukan hukum pelaksanaan peraturan APBD sering menjadi multitafsir. Rekomendasi hasil audit investigatif BPK yang menyatakan pelaksanaan APBD bertentangan dengan ketentuan perundangundangan merujuk pada Keputusan Menteri Keuangan nomor 7/KMK.02/2003 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan Pegawai Tidak Tetap. Dengan merujuk Pasal 7 ayat (1) UU nomor 12 tahun 2011 tentang perubahan terakhir atas UU nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan kedudukan Keputusan Menteri Keuangan terhadap peraturan pemerintah daerah, dalam hal ini bertalian dengan keuangan daerah, tidak memiliki kewenangan untuk mengatur keuangan pemerintah daerah. Hal ini juga ditegaskan oleh Arif Fakrullah yang menyatakan Menteri Keuangan hanya berwenang mengatur
137
keuangan pemerintah pusat dan sebaliknya Menteri Keuangan tidak memiliki kewenangan mengatur keuangan pemerintah daerah.57
57 Fakrullah, Arif, Pernyataan disampaikan tanggal 31 Mei 2011 pada Pengadilan Negeri Tenggarong sebagai saksi ahli hukum tata negara dan hukum administrasi negara.
138
Bab V Penutup
Dalam melakukan audit investigatif, BPK telah melampaui kewenangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bab VIIIA Pasal 23C UUD 1945 dan TAP nomor III/MPR/1978 (Tap nomor VI/MPR/1973) bahwa tugas dan wewenang BPK difokuskan untuk memeriksa semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Bab VIIIA Pasal 23E ayat (1) perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menentukan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksaan Negara yang bebas dan mandiri. Bebas bukan berarti semau gue, melainkan tetap harus memperhatikan nilai-nilai bukti yang ada pada setiap alat bukti yang diajukan ke sidang pengadilan dengan berpedoman pada minimal alat bukti sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP. 139
Dalam pelaksanaan audit, BPK telah melakukan penilaian terhadap produk peraturan daerah yang merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Hal ini disebabkan lembaga judicial belum berjalan sebagaimana mestinya karena pada kenyataanya hak uji material tidak hanya pada tingkat (dan dalam pemeriksaan) kasasi. Hakim pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi sama-sama melakukan hak uji. Objek hak uji itu bukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang derajatnya berada di bawah undang-undang. Hal yang sama juga dilakukan BPK dengan telah melakukan judicial review. Dalam pelaksanaan audit investigatif atas pelaksanaan perda APBD, auditor BPK agar melakukan secara interdisiplin ilmu, baik yang berkaitan dengan hukum tata negara yang mengatur kewenangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, hukum administrasi negara yang berkaitan dengan keuangan negara yang pelaksanaan dan ruang lingkupnya pada wilayah prinsip akuntansi maupun standar akuntansi pemerintah, serta mempertautkannya dengan hukum pidana, lebih khusus lagi pidana korupsi. Dengan demikian, dalam memberikan kesimpulan, baik yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi maupun perbuatan tindakan yang bersifat administratif, sesuai dengan ketentuan hukum. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP tentang alat-alat bukti yang nantinya dipergunakan oleh penyidik. Jika temuan dalam audit investigasi melanggar prinsip akuntansi maupun asas penyelenggaraan keuangan negara, BPK hanya dapat mengajukan rekomendasi berupa perbaikan.
140
Daftar Pustaka
Adji, Indriyanto Seno. 2009. Korupsi dan Penegakan Hukum, Cetakan Pertama. Jakarta: Diata Media. Agoes, Sukrisno & Hoesada, Jan. 2009. Bunga Rampai Auditing. Jakarta: Salemba Empat. Anggraini, Yunita & Puranto, B. Hendra. 2010. Anggaran Berbasis Kinerja (Penyusunan APBD secara Komperehensif). Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN. Anonim. Tt. KPK Tahan Pegawai BPK Penerima Suap dari Jefferson Rumajar (online), diambil dari http://infokorupsi.com/ id/korupsi.php?ac=9510&l=kpk-tahan-pegawai-bpkpenerima-suap-dari-jefferson-rumajar, diunduh tanggal 25 April 2012. Anonim. Tt. Tenaga Auditor BPK Minta Tambahan 2.000 Auditor 141
(online), diambil dari http://www.bisnis.com/articles/ tenaga-auditor-bpk-minta-tambahan-2-dot-000-auditor, diunduh tanggal 25 April 2012. Antaranews. Tt. Deklarasi Geram Balikpapan (online), diambil dari http://kaltim.antaranews.com/photo/1031/deklarasigeram-balikpapan. Atmasasmita, Romli. 2012, Teori Hukum Integratif, Cetakan Pertama, Yogyakarta; Penerbit, Genta Publishing. Atmosudiro, Prajudi. 1986. Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kedelapan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Astawa, I Gede Pantja & Na’a, Suprin. 2008. Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Edisi Pertama. Bandung: PT Alumni. Basuki. 2008. Pengelolaan Keuangan Daerah, Cetakan Kedua (Revisi). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Bayangkara, IBK.. 2008. Management Audit, Audit Management, Prosedur dan Implementasinya. Jakarta: Salemba Empat. BPK Perwakilan VII Makasar. 2005. “Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Mantan Bupati Minahasa Selatan di Amurang”. Laporan Audit Investigatif BPK Perwakilan VII Makasar, BAB II Uraian Audit Investigatif, hlm. 16 (online), diambil dari http://www.bpk.go.id/doc/hapsem/2005ii/ apbd/220.pdf. Djaja, Ermansjah. 2009. “Wewenang KPK Tidak Tak Terbatas dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Disertasi. 142
Surabaya: Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945. Djaja, Ermansjah. 2010. Meredisain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012016-019/PPU-IV/2006), Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika. Effendy, Marwan. 2010. Pemberantasan Korupsi dan Good Governance. Jakarta: PT Timpani Publishing. Erwin, Muhamad. 2011. Filsafat Hukum, Refleksi Kritis terhadap Hukum, Cetakan Pertama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Fahroji, Ikhwan & Najih, Mohk.. 2008. Menggugat Peran DPR dan BPK. Malang: In-Trans Publishing. Garner, Brayen A.. 1999. Black’s Law Dictionary, Seventh Edition. In Chief (Ed.). St. Paul, Minn., United State of America: West Group. Hadjon, Philipus M., dkk.. 2011. Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hakim, Lukman. 2012. Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah. Jatim: Setara Press (Kelompok Penerbit Intrans). Halim, Abdul. Tt. Akuntansi dan Pengendalian Pengelolaan Keuangan Daerah, Edisi Revisi, Cetakan Pertama. Yogyakarta: UPP STIM YPKN Yogyakarta.
143
________. 2008. Auditing 1, Edisi Keempat, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN. Halim, Abdul & Bawono, Rangga Icuk. 2011. Pengelolaan Keuangan Negara-Daerah: Hukum, Kerugian Negara, dan Badan Pemeriksaan Keuangan. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan. Hamidi, Jazim, dkk.. 2009. Teori dan Politik Hukum Tata Negara (Green Mind Community). Yogyakarta: Total Media. Hamzah, Andi. 2006. Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara. Jakarta: Sinar Grafika. ________. 2009. Terminologi Hukum Pidana, Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Huda, Ni’matul. 2010. Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Kelima. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. ________. 2010. Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, Cetakan Pertama. Yogyakarta: FH UII Press. Ibrahim, Johnny. 2011. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Keempat. Malang: Bayumedia Publishing. Indriati S., Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-undangan, Cetakan Kesebelas. Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI). Indra, Mexsasai. 2011. Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Kesatu. Bandung: PT Refika Aditama.
144
Institut Akuntan Publik Indonesia. 2011. Standar Profesional Akuntan Publik, Terbitan 31 Desember 2001. Jakarta: Salemba Empat, hlm. 326.1. Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Ishaq. 2009. Dasar-dasar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Jhon, M. Yusuf & Setiawan S., Dwi. 2009. Kiat Memahami Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kaltim Post, 2011, 31 Desember, hlm. 1. Kansil, C. S. T., dkk.. 2009. Hukum Administrasi Daerah, Cetakan Pertama. Jakarta: Jala Permata Aksara. Kelsen, Hans. 2010. Teori Hukum Murni (Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif), Cetakan VII. Penerjemah Raisul Muttaqien. Bandung: Nusa Media. Keppres nomor 103 tahun 2001 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan. Keputusan Bupati Kutai Kartanegara nomor 180.188/HK41/2005 tanggal 29 Maret 2005 tentang Penetapan Standarisasi/Normalisasi Harga Barang dan Jasa Belanja Aparatur dan Modal Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun Anggaran 2005. Keputusan Menteri Keuangan nomor 7/KMK.02/2003 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, 145
Pegawai Negeri Sipil, dan Pegawai Tidak Tetap. Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1983 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, dan Tata Kerja Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pengawasan Pembangunan. Keputusan Presiden nomor 44 tahun 1974 tentang Pokokpokok Organisasi Departemen. Keputusan Presiden nomor 64 tahun 2005 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan. Ketetapan MPR RI nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arahan Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kholis, Efi Laila. 2010. Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, Cetakan Pertama. Jakarta: Solusi Publishing. Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami untuk Membasmi – Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi. Kompasiana. 2012. Selamat atas Keberhasilan Sulut Meraih WTP ke-3 (online), diambil dari http://ekonomi.kompasiana.com/ manajemen/2012/04/04/selamat-atas-keberhasilansulut-meraih-wtp-ke-3/, diunduh tanggal 25 April 2012. Kompasiana. 2010. Kajian terhadap Putusan MA nomor 995/ PID/2005 (online), diambil dari http://politik. kompasiana.com/2010/01/29/peran-laporan-auditinvestigasi-dalam-hal-menentukan kerugian-negara146
dalam-perkara-korupsi/. Krisnawati, Dani, dkk.. 2006. Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus. Jakarta: Pena Pundi Aksara. Laporan Hasil Keuangan BPK nomor II/C/S/XIV.15/2006. Laporan Hasil Keuangan BPK Perwakilan Kalimantan Timur nomor 02/LHP/XIX.SMD/I/2010. Latif, H. Abdul & Ali, H. Hasbi. 2010. Politik Hukum, Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika. Mahakammedia. 2010. Mantan Sekretaris DPRD Kukar Ditahan Polda Kaltim (online), diambil dari http://mahakammedia. wordpress.com/2010/04/25/mantan-sekretaris-dprdkukar-ditahan-polda-kaltim/. Mahfud MD, Moh.. 2010. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Cetakan Kedua. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Marbun, SF. & Mahfud MD, Moh.. 2009. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kelima. Yogyakarta: Liberty. Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum, Cetakan Keenam. Jakarta: Prenada Media Group. Mas, Marwan. 2011. Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua (Revisi). Bogor: Ghalia Indonesia. Mertokusumo, Sudikno. 2011. Kapita Selekta Ilmu Hukum, Edisi Pertama. Yogyakarta: Liberty.
147
Minarno, Nur Basuki. 2009. Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Cetakan Kedua. Surabaya: Laksbang Mediatama. Mulyadi. 2007. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktek, dan Masalahnya. Bandung: PT Alumni. Munawir, H. S.. 2008. Auditing Modern, Edisi Kedua, Cetakan Pertama. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Nordiawan, Deddi, dkk.. 2009. Akuntansi Pemerintahan. Jakarta: Salemba Empat. Pantja, I Gede Astawa & Na’a, Suprin. 2008. Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Edisi Pertama. Bandung: PT Alumni. Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda. Putusan Nomor 21/ G/2010/PTUN. SMD tanggal 22 Desember 2010, hlm. 62. Pengadilan Negeri Tenggarong. 2011. Putusan Perkara Pidana nomor 260/Pid.B/2010/PN.Tgr. putusan Tanggal 6 Desember 2011, hlm. 91. Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Peraturan BPK nomor 2 tahun 2011 tentang Kode Etik Badan Pemeriksaan Keuangan. Peraturan BPK nomor 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara terhadap Bendahara. 148
Peraturan BPK RI nomor 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara. Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 5 tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi Kerugian dan Barang Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Pemerintah. Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Permendagri nomor 15 tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah. Posner, Richard A.. 2001. Frontiers of Legal Theory. Cambridge, Massachusetts, London: Harvard University Press. Prima consulting group. 2008. Memahami Perbedaan dan Dasar Hukum (online), diambil dari http://primaconsultinggroup. 149
blogspot.com/2008/05/memahami-perbedaan-dandasar-hukum.html. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan. 2009. Auditing II, Kode MA.1.220, hlm. 38 (online), diambil dari http://www. scribd.com/doc//51192195/8/C-Tujuan-Audit. Rachmat. 2010. Akuntansi Pemerintah. Bandung: CV Pustaka Setia. Rasjidi, Lili & Putra, Ida Bagus Wyasa. 2003. Hukum sebagai Suatu Sistem, Edisi Kedua. Bandung: PT Fikahati Aneska. Ridwan HR.. 2002. Hukum Administrasi Negara, Cetakan Pertama. Yogyakarta: TIM UII Press. Rifai, Abu Fida’ Abdur. 2006. Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun (Penyucian Jiwa). Jakarta: Republika. Sabeni, Arifin & Ghazali, Imam. 2001. Pokok-pokok Akuntansi Pemerintahan, Cetakan Ketiga. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Sadjijono, H.. 2011. Bab-bab Pokok Hukum Administrasi, Cetakan Kedua. Yogyakarta: Laksbang Pressindo. Setiyawati, Deni. 2008. Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Memberangus Korupsi. Jogjakarta: Pustaka Timur. Soehino. 1999. Ilmu Negara, Edisi Ketiga, Cetakan Kedua. Yogyakarta: Liberty.
150
Soepiadhy, Soetanto. 2008. Meredisain Konstitusi, Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi. Jakarta: Burung Merak Press. Tap MPR nomor III tahun 1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi dengan/atau antara Lembaga-lembaga Tinggi Negara. Tribun Kaltim, 2010, 15 Juli, hlm. 1. Tribun Kaltim, 2010, 16 September, hlm. 13. Triwulan T., Titik &, Widodo, H. Ismu Gunadi. 2011. Hukum Tata Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Cetakan I. Jakarta: Kencana Perdana Media Group. Tuanakotta, Theodorus M.. 2007. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. ________. 2009. Menghitung Kerugian Negara, dalam Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Salemba Empat. ________. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. ________. 2011. Berpikir Kritis dalam Auditing. Jakarta: Salemba Empat. Tunggal, Hadi Setia. 2011. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Keuangan Negara. Jakarta: Harvarindo.
151
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Undang-Undang nomor 15 tahun 2011 tentang Akuntan Publik. Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
152
Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Undang-Undang nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Undang-Undang nomor 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Waspadamedan. Tt. Positif bila Kasus Yusril vs Hendarman ke Pengadilan (online), diambil dari http://www. waspadamedan.com/index.php?option=com_conten t&view=article&id=3226:positif-bila-kasus-yusril-vshendarman-ke-pengadilan&catid=62:tajuk&Itemid=233.
153
154