Cetakan Pertama, Desember 2013
Hak Cipta dilindungi oleh Undang Undang All right reserved Kementerian Kesehatan RI, Riskesdas Provinsi Aceh 2013 Penulis : Endi Ridwan, Dkk Layout : Andi Maharany Patta Katy Desain Sampul : Suci Wiji Lestari Editor C-1 Jakarta
: Susilowati Herman, Nurul Puspasari,
Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes, 2013, 234 hlm. Uk 21 cm x 29,7 cm
ISBN 978-602-235-536-6 Diterbitkan oleh : Lembaga Penerbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Anggota IKAPI No. 468/DKI/XI/2013 Jl. Percetakan Negara No 29 Jakarta 10560 Kotak Pos 1226 Telepon : (021) 4261088 Ext.123 Faksimilie (021) 4243933 Email:
[email protected]; Website: terbitan.litbang.depkes.go.id
Didistribusikan oleh : Tim Riskesdas 2013 Copyright (C) 2013 pada Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes Jakarta
Sanksi Pelangaran Undang undang Hak Cipta 2002 1. Barang siapa dengan sengaja tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil Hak Cipta Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
RISET KESEHATAN DASAR RISKESDAS 2013
PROVINSI ACEH PENULIS: 1.ENDI RIDWAN 2.MARICE SIHOMBING 3.APRILDAH SAPARDIN
KATA PENGANTAR Assalamu‘alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga Riskesdas 2013 telah selesai dilaksanakan. Riskesdas merupakan kegiatan riset kesehatan dasar berbasis masyarakat, yang dilaksanakan secara berkala. Riskesdas menghasilkan indikator kesehatan yang dapat dimanfaatkan untuk perencanaan pembangunan kesehatan. Hasil akhir Riskesdas 2013 Provinsi Aceh disajikan dalam dua buku yaitu buku 1: Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, buku 2: Riskesdas 2013 Dalam Angka. Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 berisi hasil analisis variabel utama pembangunan kesehatan, dilengkapi dengan filosofi, teori dan justifikasi pengumpulan variabel dan indikator. Riskesdas 2013 dalam Angka menyajikan hasil lebih rinci dalam bentuk tabel. Kedua buku ini merupakan satu kesatuan, pembaca disarankan membaca buku 1 untuk mendapatkan gambaran komprehensif mengenai Riskesdas, buku 2 untuk memperoleh informasi lebih rinci. Analisis disajikan secara deskriptif dan kecenderungan untuk melihat perubahan indikator 2007 – 2013. Informasi kecenderungan dapat dimanfaatkan program untuk mengevaluasi strategi yang telah diterapkan, sehingga dapat diidentifikasi kemajuan kinerja provinsi dan perbaikan yang dibutuhkan. Laporan Riskesdas 2013 dapat diunduh melalui website Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan www.litbang.depkes.go.id Ucapan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada Gubernur, Bupati, Walikota, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Poltekkes, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian Daerah, dan berbagai institusi yang membantu kelancaran Riskesdas 2013 Provinsi Aceh. Kontribusi semua pihak dari tahap persiapan, pembuatan instrumen, pengumpulan dan analisis data serta penulisan laporan sangat kami apresiasi. Ungkapan serupa juga kami tujukan kepada para penanggung jawab operasional, para enumerator di lapangan, sehingga pelaksanaan Riskesdas 2013 dapat berjalan lancar. Semoga laporan ini dapat dimanfaatkan bagi para pembaca dan semoga Allah SWT melimpahkan barokah-Nya kepada kita. Wassalamu‘alaikum wr.wb. Jakarta, Desember 2013 Kepala Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
Dr. Siswanto, MHP.,DTM
SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI Dalam lima tahun terakhir ini Pembangunan Kesehatan telah diperkuat dengan tersedianya data dan informasi yang dihasilkan oleh Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas. Tiga Riskesdas telah dilaksanakan di Indonesia, masing–masing pada tahun 2007, 2010, dan 2013. Riskesdas 2013 berbasis komunitas, mencakup seluruh provinsi di Indonesia dan menghasilkan data serta informasi yang bermanfaat bagi para pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan. Dengan adanya data dan informasi hasil Riskesdas, maka perencanaan dan perumusan kebijakan kesehatan serta intervensi yang dilaksanakan akan semakin terarah, efektif dan efisien. Saya minta agar segenap pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan memanfaatkan data dan informasi yang dihasilkan Riskesdas dalam merumuskan kebijakan dan mengembangkan program kesehatan, demi terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi–tingginya. Saya juga mengundang para pakar perguruan tinggi, para pemerhati kesehatan, para peneliti Badan Litbangkes, dan para anggota APKESI (Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia) untuk mengkaji hasil Riskesdas 2013, guna mengidentifikasi asupan bagi peningkatan Pembangunan Kesehatan dan penyempurnaan Sistem Kesehatan Nasional. Dengan demikian dapat dikembangkan tatanan kesehatan yang semakin baik bagi Rakyat Indonesia. Ucapan selamat dan apresiasi saya sampaikan kepada para responden, enumerator, para penanggung jawab teknis Badan Litbangkes dan Poltekkes, para penanggung jawab operasional dari Dinas Kesehatan Provinsi dan coordinator Kabupaten/Kota, para pakar dari universitas dan Badan Pusat Statistik, serta semua pihak yang terlibat dalam Riskesdas 2013 ini. Peran dan dukungan anda sangat penting dalam mendukung upaya menyempurnakan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi Pembangunan Kesehatan di negeri ini. Semoga buku ini bermanfaat. Billahitaufiq walhidayah, Wassalamu‘alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 1 Desember 2013 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Dr. dr. Trihono, MSc
RINGKASAN A. Ringkasan eksekutif Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 merupakan riset kedua yang mengumpulkan data dasar dan indikator kesehatan setelah tahun 2007 yang merepresentasikan gambaran wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Indikator yang dihasilkan antara lain status kesehatan dan faktor penentu kesehatan yang bertumpu pada konsep Henrik Blum. Pertanyaan penelitian yang menjadi dasar pengembangan Riskesdas 2013 adalah: 1) bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; 2) Apakah telah terjadi perubahan masalah kesehatan spesifik di setiap provinsi, dan kabupaten/kota; 3) Apa dan bagaimana faktorfaktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; 4) Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan; dan 5) Bagaimana korelasi antar faktor terhadap status kesehatan? Laporan ini baru dapat menjawab pertanyaan penelitian 1, dan 2. Secara rinci hasil Riskesdas dapat dilihat pada Buku II ―Riskesdas 2013 Dalam Angka‖ sedangkan pertanyaan penelitian 3, 4, dan 5 akan dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk laporan hasil analisis lanjut. Untuk menjawab kelima pertanyaan tersebut, dirumuskan tujuan antara lain penyediaan data dasar dan status kesehatan dan faktor penentu kesehatan, baik di tingkat rumah tangga maupun individual, dengan ruang lingkup: 1) Akses dan pelayanan kesehatan; 2) Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional; 3) Kesehatan lingkungan; 4) Pemukiman dan ekonomi; 5) Penyakit menular; 6) Penyakit tidak menular; 7) Cedera; 8) Gigi dan mulut; 9) Disabilitas; 10) Kesehatan jiwa; 11) Pengetahuan, sikap dan perilaku; 12) Pembiayan kesehatan; 13) Kesehatan reproduksi; 14) Kesehatan anak; 15) Pengukuran antropometri (berat badan, tinggi/panjang badan, lingkar lengan atas, lingkar perut) dan tekanan darah; 16) Pemeriksaan indera mata dan telinga; 17) Pemeriksaan status gigi permanen; 18) Pemeriksaan spesimen darah dan penentuan kadar iodium dalam urin, garam dan air rumah tangga (menggambarkan tingkat Nasional). Riskesdas Provinsi Aceh adalah sebuah survei dengan desain cross sectional. Riskesdas 2013 terutama dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di seluruh pelosok Provinsi Aceh secara menyeluruh, akurat dan berorientasi pada kepentingan para pengambil keputusan ditingkat provinsi dan kabupaten/kota, sehingga pengguna informasi Riskesdas dapat memperoleh gambaran yang utuh dan rinci mengenai berbagai masalah kesehatan yang ditanyakan, diukur atau diperiksa. Sampel Riskesdas 2013 Provinsi Aceh ditingkat kabupaten/kota berasal dari 23 kabupaten/kota yang tersebar merata di Provinsi Aceh. Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga biasa yang mewakili 23 kabupaten/kota. Sampel rumah tangga dalam Riskesdas 2013 dipilih berdasarkan listing Sensus Penduduk (SP) 2010. Proses pemilihan rumah tangga dilakukan BPS dengan two stage sampling, sama dengan metode pengambilan sampel Riskesdas 2007/Susenas 2007 Pemilihan BS dilakukan sepenuhnya oleh BPS dengan memperhatikan status ekonomi, dan rasio perkotaan/perdesaan. Untuk sampel biomedis, penarikan sampel dilakukan secara stratified random sampling dengan strata berdasarkan besarnya angka prevalensi malaria dan TB-paru hasil Riskesdas 2007. Dari Provinsi Aceh diambil sejumlah BS yang representative (mewakili) rumah tangga/anggota rumah tangga di provinsi tersebut. Riskesdas 2013 berhasil mengumpulkan data dari seluruh BS terpilih yaitu sebanyak 467 BS dan 11.625 RT (response rate 99,6 persen). Jumlah anggota rumah tangga yang berhasil diwawancara adalah 40.951 (response rate 92,3 persen). Sedangkan untuk pengukuran biomedis hanya diambil sub sampel yang mewakili nasional yaitu 9
Pengumpulan data dilakukan oleh tenaga setempat dengan klasifikasi minimal lulusan politeknik kesehatan (Diploma 3), yang sebelumnya telah dilatih secara seksama meliputi teori dan praktek oleh tenaga terlatih dari Badan Litbangkes. Dalam pelaksanaan, Riskesdas ini juga melibatkan seluruh instansi terkait di daerah (provinsi dan kabupaten/kota) meliputi Dinas Kesehatan, Badan Pusat Statistik, Pemerintah Daerah dan unsur terkait lainnya Keterbatasan Riskesdas Provinsi Aceh 2013 mencakup: 1) non-sampling error antara lain: blok sensus yang tidak terjangkau atau terjadi konflik, RT yang tidak dijumpai, anggota RT yang tidak bisa diwawancarai karena tidak ada ditempat sampai waktu pengumpulan data selesai, 2) estimasi tingkat kabupaten tidak bisa berlaku untuk semua indikator karena keterbatasan jumlah sampel untuk keperluan analisis. Seluruh hasil Riskesdas ini bermanfaat sebagai masukan dalam pengembangan kebijakan dan perencanan program kesehatan. Sebanyak 1060 variabel yang terkelompokkan berdasarkan dua jenis kuesioner (RKD13.RT dan RKD13.IND), maka hasil Riskesdas 2013 dapat digunakan antara lain untuk melihat kecenderungan perubahan beberapa indikator yang sama dengan Riskesdas 2007, pengembangan riset dan analisis lanjut, penelusuran hubungan kausal-efek, dan pemodelan statistik. Riskesdas menghasilkan berbagai peta masalah kesehatan dan kecenderungannya, pada bayi lahir sampai dewasa. Prevalensi anak balita menurut indikator BB/U di Provinsi Aceh dengan status gizi buruk 7,9 persen, gizi kurang 18,4 persen, gizi baik 70,7 persen dan gizi lebih 2,9 persen. Dapat dilihat bahwa secara provinsi, prevalensi berat kurang BB/U pada tahun 2013 adalah 26,3 persen (terdiri dari 7,9 persen gizi buruk dan 18,4 persen gizi kurang). Prevalensi anak kurus BB/TB 15,7 persen (terdiri dari 6,1 persen sangat kurus dan 9,6 persen kurus). Menurut WHO 20101 masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi berat kurang (BB/U) pada prevalensi antara 20 - 29,0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila prevalensi berat kurang, lebih besar atau sama dengan 30 persen. Adapun prevalensi anak pendek TB/U 41,5 persen (terdiri dari 20,1 persen sangat pendek dan 21,4 persen pendek). Masalah stunting/pendek pada balita masih cukup serius, angka nasional sebesar 37,2 persen. Sedangkan prevalensi kependekan (stunting) menurut kabupaten/kota di Provinsi Aceh sebesar 41,5 persen (terdiri dari 20,1 persen sangat pendek dan 21,4 persen pendek). Menurut WHO 20101, stunting dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat dengan kategori prevalensi tinggi bila prevalensi kependekan sebesar 30 – 39 persen dan prevalensi sangat tinggi bila diatas atau sama dengan 40 persen. Menurut WHO 20101 masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi BB/TB kurus antara 10,0 persen - 14,0 persen, dan dianggap kritis bila di atas atau sama dengan 15,0 persen. Pada tahun 2013, secara propinsi prevalensi BB/TB kurus pada balita masih 15,7 persen. Hal ini berarti bahwa masalah kekurusan di provinsi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Jika diamati berat bayi lahir, prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah<2500 gram (BBLR) di Provinsi Aceh sebesar 8,6 persen, tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Barat Daya (26,2 %). Untuk pertama kali di tahun 2013 dilakukan juga pengumpulan data panjang bayi lahir. Bayi dikatakan lahir pendek jika panjang bayi lahir < 48 cm. Prevalensi bayi lahir pendek di Provinsi Aceh sebesar 13,7 persen masih dibawah angka nasional (20,2 %). Prevalensi bayi lahir pendek, tertinggi di Kabupaten Aceh Selatan (58,5 %) dan terendah di Kota Subulussalam (3,1 %). Imunisasi dasar lengkap yang meliputi HB-O, BCG, DPT-HB, Polio dan Campak didapat dengan
yang tidak pernah diimunisasi, dengan alasan takut panas, sering sakit, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi jauh, tidak tahu tempat imunisasi, serta sibuk/repot. Program pelayanan kesehatan anak berupa kunjungan neonatal (KN) lengkap di Provinsi Aceh sebesar 32,5 persen, cakupan pemberian kapsul vitamin A untuk anak balita yang menerima kapsul vitamin A selama 6 bulan terakhir sebesar 73,8 persen, tertinggi di Kota Sabang (90,9%) dan terendah di Kabupaten Aceh Barat Daya (49,4%). Persentase rataan provinsipada proses mulai menyusu kurang dari satu jam (IMD) setelah bayi lahir adalah 61,4 persen, dengan persentase tertinggi di Kota Sabang (87,5%) dan terendah di Kabupaten Aceh Jaya (39,4%) Penggunaan KB saat ini di Provinsi Aceh sebesar 51,8 persen, diantaranya menggunakan cara modern 48,9 persen dan 45,1 persen menggunakan KB hormonal dan 3,8 persen non hormonal. Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) didapati sebesar 4,7 persen dan nonMKJP 44,2 persen. Selain penggunaan KB dikumpulkan juga cakupan pelayanan masa hamil, persalinan, dan pasca melahirkan. Pemetaan penyakit menular menunjukkan bahwa period prevalen diare di Provinsi Aceh pada Riskesdas 2013 sebesar 9,3 persen. Insiden diare untuk seluruh kelompok umur adalah 5 persen. Insiden diare balita di Provinsi Aceh adalah 10,2 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden dan period prevalence diare tertinggi adalah, Kota Subulussalam (9,0% dan 15,7%), Kabupaten Aceh Timur (8,9% dan 17%), Aceh Utara (7,4% dan 12,5%), Pidie Jaya (6,9% dan 12,7%) dan Bireun (6,6% dan 10,5%). Period prevalence dan prevalensi pneumonia di Provinsi Aceh tahun 2013 sebesar 2,6 persen dan 9,3 persen. Empat kabupaten/kota yang mempunyai insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Aceh Timur, Bireun, Pidie Jaya dan Kota Subulussalam. Proporsi penduduk Aceh dengan gejala TB adalah 4,2 persen dan 3,6 persen diantaranya mengalami batuk berdarah. Prevalensi hipertensi berdasarkan kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,7 persen, yang didiagnosis tenaga kesehatan dan minum obat sebesar 9,8 persen.Jadi, ada 0,1 persen yang minum obat sendiri. Prevalensi hipertensi cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan lebih rendah dan kelompok tidak bekerja, mungkin akibat ketidaktahuan tentang pola makan yang baik. Prevalensi diabetes dan hipertiroid di Provinsi Aceh berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar (1,8% dan 0,3%). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di Kota Lhokseumawe 4,6 persen dan Banda Aceh 3,8 persen. Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas di Provinsi Aceh sebesar 0,4 persen, tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Selatan 1,0 persen. Diikuti Kabupaten Bireun 0,9 persen dan Kota Subulussalam 0,8 persen. Prevalensi pterygium Provinsi Aceh adalah sebesar 9,3 persen dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Kabupaten Bireun (18,0%), Kabupaten Aceh Singkil (17,2%), dan Kota Lhokseumawe sebesar 16,7 persen. Prevalensi anggota rumah tangga yang mengalami gangguan jiwa berat (psikosis) menurut propinsi adalah 2,7 per mil, nasional (1,7 per mil), terbanyak terdapat di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Bireun. Terendah pada Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Nagan Raya. Prevalensi orang yang mengalami gangguan emosional tercatat sebesar 6,0 persen di Provinsi Aceh. Sementara untuk masalah cedera, prevalensi cedera di Provinsi Aceh sebesar 7,3 persen , tertinggi ditemukan di Kabupaten Bener Meriah (19,4%), terendah di Nagan Raya (2,2%). Sedangkan
perokok perempuan. Wiraswasta adalah perokok aktif setiap hari yang mempunyai proporsi terbesar (49,3%). Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang menghisap cerutu cenderung meningkat, tertinggi pada kelompok umur 35-39 tahun, perempuan lebih banyak daripada laki-laki dan berpendidikan tamat SD, pekerjaan lain-lain dengan kuintil kepemilikan menengah. Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat yang baik sebanyak19,6 persen, dengan persentase tertinggi pada Kota Banda Aceh (46,1%) dan persentase terendah pada Aceh Selatan (6,8%). Riskesdas merupakan instrumen penting dalam menyediakan informasi terkini mengenai situasi status kesehatan dan gizi masyarakat dan perlu dilakukan secara berkala dan konsisten. Monitoring dan evaluasi pada semua lini program kesehatan hendaknya dilakukan tingkat lokal sehingga setiap daerah dapat memfokuskan prioritas program kesehatan dan capacity building sesuai masalah yang dihadapi.
B. Ringkasan hasil Akses dan pelayanan kesehatan Informasi mengenai akses dan pelayanan kesehatan dalam Riskesdas 2013 didapatkan dari pengetahuan RT tentang keberadaan fasilitas dan jenis pelayanan kesehatan terdekat yang berada di sekitar tempat tinggal. Jenis pelayanan kesehatan yang ditanyakan ada delapan jenis, yaitu keberadaan: (1) RS pemerintah; (2) RS swasta; (3) puskesmas atau pustu; (4) praktek dokter atau klinik; (5) praktek bidan atau rumah bersalin; (6) posyandu; (7) poskesdes atau poskestren; dan (8) polindes. Selain data itu juga diketahui tentang keterjangkauan terhadap fasilitas pelayanan kesehatan tersebut yang dilihat dari jenis moda transportasi, waktu tempuh, dan biaya menuju fasilitas kesehatan tersebut. Di Provinsi Aceh proporsi RT yang mengetahui keberadaan RS pemerintah sebanyak 86,2 persen, RS swasta 31,7 persen, sedangkan puskesmas/pustu sebanyak 93,1 persen. RumahTangga yang mengetahui keberadaan RS pemerintah tertinggi di Kabupaten Simeulue, Gayo Lues, dan Kota Sabang masing masing sebesar 99,4 persen, sedangkan terendah di Kabupaten Aceh Barat Daya (49,6%). Pengetahuan RT tentang keberadaan RS swasta tertinggi Kota Banda Aceh (91,9%) dan terendah di Kabupaten Gayo Lues (0,7%). Pengetahuan RT tentang keberadaan puskesmas/pustu tertinggi di Kota Sabang (99,3%), terendah di Kabupaten Nagan Raya (82,3%). Pengetahuan RT tentang keberadaan praktek bidan atau rumah bersalin di Provinsi Aceh adalah 56,4 persen, tertinggi di Kabupaten Aceh Tenggara (91,0%), dan terendah di Kabupaten Nagan Raya (8,5%). Pengetahuan tentang keberadaan posyandu sebanyak 61,9 persen, tertinggi di Kabupaten Aceh Tengah (93,1%) dan terendah di Kabupaten Aceh Barat Daya (12,1%). Proporsi pengetahuan RT yang menggunakan berbagai moda transportasi sepeda motor menuju RS pemerintah di perkotaan 62,6 persen dan perdesaan 50,0 persen. Untuk penggunaan kendaraan umum di perkotaan 18,3 persen dan perdesaan 32,1 persen. Sementara yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi di perkotaan 6,8 persen dan di perdesaan 14,0 persen. Waktu tempuh RT menuju fasilitas kesehatan di RS pemerintah lebih dari 60 menit sebanyak 20,2 persen, sedangkan ke RS swasta sebanyak 22,5 persen. Berbeda dengan waktu tempuh menuju RS Pemerintah dan RS Swasta, maka waktu tempuh menuju ke fasilitas kesehatan lain seperti, puskesmas/pustu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, poskesdes atau
klinik ( 78,7%) dan praktek bidan atau rumah bersalin (93,5%). Demikian juga biaya transportasi ke poskesdes atau poskestren (99,2%), polindes (99,0%) dan posyandu (98,8%). Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional Bahasan farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional (Yankestrad) bertujuan mengetahui proporsi RT (RT) yang menyimpan obat untuk pengobatan sendiri (swamedikasi), proporsi RT yang memiliki pengetahuan benar tentang obat generik (OG) dan sumber informasi tentang OG, serta jenis dan alasan memanfaatkan Yankestrad dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Sejumlah 31,6 persen dari 11.625 RT di Provinsi Aceh menyimpan obat untuk swamedikasi, dengan proporsi tertinggi RT di Kota Banda Aceh (60,1%) dan terendah di Kabupaten Nagan Raya (5,1%). Rerata sediaan obat yang disimpan hampir 3 macam. Dari 42,4 persen RT yang menyimpan obat keras dan antibiotika sebanyak 32,8 persen. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan penggunaan obat yang tidak rasional. Terdapat 81,4 persen RT menyimpan obat keras dan 85,9 persen RT menyimpan antibiotika yang diperoleh tanpa resep. Jika status obat dikelompokkan menurut obat yang ‗sedang digunakan‘, obat ‗untuk persediaan‘ jika sakit, dan ‗obat sisa‘ maka 42,9 persen RT menyimpan obat yang sedang digunakan, 28,0 persen RT menyimpan obat sisa dan 45,6 persen RT yang menyimpan obat untuk persediaan. Obat sisa dalam hal ini adalah obat sisa resep dokter atau obat sisa dari penggunaan sebelumnya yang tidak dihabiskan. Seharusnya obat sisa resep secara umum tidak boleh disimpan karena dapat menyebabkan penggunaan salah (misused) atau disalah gunakan atau rusak/kadaluarsa. Secara nasional sebanyak 31,9 persen RT pernah mendengar atau mengetahui mengenai OG. Rumah tangga yang pernah mendengar atau mengetahui mengenai OG di Provinsi Aceh sebanyak 33,7 persen. Delapan puluh empat koma tujuh persen RT mempunyai persepsi OG sebagai obat murah, 71,9 persen obat program pemerintah, 42,0 persen OG berkhasiat sama dengan obat bermerek dan 26,1 persen OG adalah obat tanpa merek dagang. Sumber informasi tentang OG di perkotaan maupun perdesaaan paling banyak diperoleh dari tenaga kesehatan (77,8%). Oleh karena itu masih sangat perlu promosi mengenai obat generik secara strategik terutama di era Jaminan Kesehatan Nasional. Yankestrad terdiri dari 4 jenis, yaitu Yankestrad ramuan, keterampilan dengan alat, keterampilan tanpa alat, dan keterampilan dengan pikiran. Sejumlah 2.326 dari 11.617 (18,5%) RT di Provinsi Aceh memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan proporsi RT yang memanfaatkan Yankestrad tertinggi di Kabupaten Bener Meriah (68,9%) dan terendah di Kota Sabang (1,1%). Alasan utama RT memanfaatkan Yankestrad terbanyak secara umum adalah untuk menjaga kesehatan/kebugaran. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan yankestrad masih cukup rasional. Sementara itu alasan terbanyak pemanfaatan yankestrad keterampilan dengan pikiran adalah berdasarkan tradisi/kepercayaan. Kesehatan lingkungan Air minum Proporsi RT yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved di Provinsi Aceh adalah sebesar 47,1 persen (perkotaan: 28,1%; perdesaan: 54,8%). Lima kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi untuk RT yang memiliki akses terhadap air minum improved adalah Aceh Tenggara
Secara kualitas fisik, masih terdapat RT dengan kualitas air minum keruh (8,4%), berwarna (6,4%), berasa (4,0%), berbusa (0,5%), dan berbau (1,2%). Berdasarkan kabupaten/kota, proporsi RT tertinggi dengan air minum keruh adalah di Nagan Raya (25%), berwarna dan berasa juga di Nagan Raya (24,4% dan 2,6%), berbusa dan berbau adalah di Aceh Utara (12,9%). Proporsi RT yang mengolah air sebelum di minum di Provinsi Aceh adalah sebesar 59,9 persen. Dari 59,9 persen RT yang melakukan pengolahan air sebelum diminum, 95,8 persennya melakukan pengolahan dengan cara dimasak. Cara pengolahan lainnya adalah dengan dijemur di bawah sinar mata hari/solar disinfection sebanyak 1,7 persen, menambahkan larutan tawas 0,1 persen, disaring dan ditambah larutan tawas 0,3 persen dan disaring saja sebanyak 2,1 persen. Sanitasi Proporsi RT di Provinsi Aceh menggunakan fasilitas BAB milik sendiri adalah 64,6 persen, milik bersama sebanyak 5,7 persen, dan fasilitas umum adalah 7,0 persen. Masih terdapat RT yang tidak memiliki fasiltas BAB/BAB sembarangan, yaitu sebesar 22,7 persen. Lima kabupaten/kota tertinggi RT yang tidak memiliki fasilitas BAB/BAB sembarangan adalah Kabupaten Gayo Lues (59,2%), Aceh Tenggara (43,7%), Pidie (40,9%), Aceh Selatan (37,0%), dan Simeuleu (35,8%). Proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved (kriteria JMP WHO–Unicef) di Provinsi Aceh adalah sebesar 53,4 persen. Lima Kabupaten/kota tertinggi proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved adalah Kota Banda Aceh (97,0%), Lhokseumawe (84,2%), Aceh Jaya (82,4%), Sabang (80,8%), dan Langsa (80,6%). Untuk penampungan air limbah RT di Provinsi Aceh umumnya dibuang langsung ke got (45,4%). Hanya 15,7 persen yang menggunakan penampungan tertutup di pekarangan dengan dilengkapi SPAL dan 14,4 persen menggunakan penampungan terbuka di pekarangan, dan 8,5% ditampung di luar pekarangan. Sementara dalam hal pengelolaan sampah RT umumnya dilakukan dengan cara dibakar (70,6%) dan hanya 13,7 persen yang diangkut oleh petugas. Sementara lainnya dengan cara ditimbun dalam tanah, dibuat kompos, dibuang ke kali/parit/laut dan dibuang sembarangan. Lima kabupaten/kota dengan proporsi RT yang mengelola sampah dengan cara dibakar tertinggi adalah di Aceh Besar (89,6%), Nagan Raya (89,1%), Bireuen (88,7%), Aceh Tamiang (84,3%), dan Aceh Utara (82,8%).
Perumahan Berdasarkan status penguasaan bangunan, sebagian besar RT di Provinsi Aceh menempati rumah milik sendiri (83,5%), sisanya kontrak, sewa, menempati milik orang lain, milik orang tua/sanak/ saudara atau menempati rumah dinas. Menurut kepadatan hunian, terdapat 86,2 persen rumah dengan kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m2 per orang (padat). Untuk kondisi ruangan dalam rumah, sebagian besar ruangan-ruangan terpisah dari ruang lainnya. Begitu pula dalam hal kebersihan, sekitar tiga perempat RT kondisi ruang tidur, ruang keluarga maupun dapurnya bersih dengan pencahayaan cukup. Kurang dari 60 persen RT yang ventilasinya cukup dan dilengkapi dengan jendela yang dibuka setiap hari. Dalam penggunaan bahan bakar untuk keperluan RT, yang menggunakan bahan bakar aman (listrik, gas/elpiji) sebesar 72,9 persen, di perkotaan lebih tinggi (93,6%) dibandingkan di perdesaan (64,7%). Untuk pencegahan gigitan nyamuk dalam rumah, sebagian besar RT menggunakan kelambu (65,2%), diikuti oleh penggunaan obat nyamuk bakar (46,3%), kasa nyamuk (16,5%),
makanan, air dan lainnya (hepatitis, diare); (3) melalui vektor (malaria). Informasi diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner dengan pertanyaan terstruktur secara klinis. Ditularkan melalui udara Period prevalence Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan keluhan penduduk di Provinsi Aceh didapati 30 persen. Lima kabupaten/kota dengan ISPA tertinggi adalah Aceh Timur, Bireuen, Subulussalam, Aceh Utara dan Aceh Tengah. Period prevalence dan prevalensi pneumonia di Provinsi Aceh tahun 2013 adalah 2,6 persen dan 5,4 persen. Lima kabupaten/kota yang mempunyai period prevalance dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Aceh Timur, Sabang, Subulussalam dan Aceh Selatan. Prevalensi penduduk di Provinsi Aceh yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan tahun 2013 sebesar1,6 persen. Lima kabupaten/kota dengan TB tertinggi adalah Subulussalam (3,7%), Aceh Selatan (3,6%), Aceh Tenggara (2,2%), Pidie, Aceh Barat Daya dan Pidie Jaya masing-masing sebesar 2,1 persen. Ditularkan melalui makanan, air dan lainnya Prevalensi hepatitis di Provinsi Aceh pada Riskesdas 2013 adalah 1,8 persen. Lima kabupaten/kota dengan prevalensi hepatitis tertinggi adalah Aceh Timur (5%), Bener Meriah (3,4%), Aceh Utara (2,8%), Bireun (2,7%), Pidie Jaya dan Banda Aceh masing-masing (2,5%). Berdasarkan pekerjaan, kelompok wiraswasta menempati prevalensi hepatitis tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Jenis hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk adalah hepatitis B (15,8 %) dan hepatitis A (13,4%). Period prevalence diare Provinsi Aceh pada Riskesdas 2013 (9,3%). Insiden diare untuk seluruh kelompok umur adalah 5 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden dan period prevalen diare tertinggi yaitu Subulussalam (9,0% dan 15,7%), Aceh Timur (8,9% dan 17%), Aceh Utara (7,4% dan 12,5%), Pidie Jaya (6,9% dan 12,7%) dan Bireuen (6,6% dan 10,5%). Insiden diare balita sebesar 10,2 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden diare tertinggi adalah Pidie Jaya (17,9%), Aceh Tenggara (17,3%), Aceh Timur (16,9%), Subulussalam (16,4%) dan Aceh Utara (14,5%). Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan (16,5%), perempuan, tinggal di daerah perdesaan (11,4%), dan kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah (14,9%). Ditularkan vektor Insiden Malaria di Provinsi Aceh tahun 2013 sebesar 2,4 persen. Prevalensi malaria tahun 2013 sebanyak 9,3 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden dan prevalensi tertinggi adalah Subulussalam (5,5% dan 15,7%), Aceh Timur (5,2% dan 17%), Aceh Barat (4,3% dan 8,3%), Bireun (4,1% dan 10,5%) dan Aceh Selatan (3,8% dan 10,8%). Proporsi penderita malaria yang mendapatkan obat ACT program di Provinsi Aceh 32,8%, di dapat pada 24 jam pertama demam sebesar 41,4 persen dan obat diminum dalam 3 hari sebesar 70,0 persen. Penyakit tidak menular Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang tidak ditularkan dari orang ke orang. Data PTM dalam Riskesdas 2013 meliputi : (1) asma; (2) penyakit paru obstruksi kronis (PPOK); (3) kanker; (4) DM; (5) hipertiroid; (6) hipertensi; (7) jantung koroner; (8) gagal jantung; (9) stroke; (10)
(berdasarkan diagnosis atau gejala). Prevalensi kanker, gagal ginjal kronis, dan batu ginjal ditentukan berdasarkan informasi pernah didiagnosis dokter saja. Untuk prevalensi hipertensi, selain berdasarkan hasil wawancara,prevalensi juga berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah. Angka prevalensi asma, PPOK, dan kanker berdasarkan wawancara di Provinsi Aceh masingmasing 4,0 persen, 4,3 persen, dan 1,4 per mil. Prevalensi asma dan kanker lebih tinggi pada perempuan, prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki. Prevalensi DM dan hipertiroid di Provinsi Aceh berdasarkan jawaban dan pernah didiagnosis dokter sebesar 1,8 persen dan 0,3 persen. DM berdasarkan diagnosis atau gejala sebesar 2,6 persen. Prevalensi hipertensi pada umur ≥18 tahun di Provinsi Aceh yang didapat melalui jawaban pernah didiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,7 persen, sedangkan yang pernah didiagnosis tenaga kesehatan atau sedang minum obat hipertensi sendiri sebesar 9,8 persen. Jadi, terdapat 0,1 persen penduduk yang minum obat sendiri, meskipun tidak pernah didiagnosis hipertensi oleh nakes. Prevalensi hipertensi di Provinsi Aceh berdasarkan hasil pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar 21,5 persen. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi pada perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki. Prevalensi jantung koroner berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Provinsi Aceh sebesar 0,7 persen, dan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 2,3 persen. Prevalensi gagal jantung berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Provinsi Aceh sebesar 0,1 persen, dan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 0,3 persen. Prevalensi stroke di Provinsi Aceh berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 6,6 per mil dan yang berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 10,5 per mil. Jadi, sebanyak 62,8 persen penyakit stroke telah terdiagnosis oleh nakes. Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke terlihat meningkat seiring peningkatan umur responden. Prevalensi stroke pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Provinsi Aceh sebesar 0,4 persen dan penyakit batu ginjal sebesar 0,9 persen. Prevalensi penyakit sendi berdasarkan pernah didiagnosis nakes di Provinsi Aceh 18,3 persen dan berdasarkan diagnosis atau gejala 25,3 persen. Prevalensi penyakit sendi semakin sejalan dengan meningkatnya umur dengan prevalensi perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Cedera Prevalensi cedera secara keseluruhan di Provinsi Aceh adalah 7,3 persen, dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Kabupaten Bener Meriah (19,4%) dan terendah di Kabupaten Nagan Raya (2,2%). Perbandingan hasil Riskesdas 2007 dengan Riskesdas 2013 menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi cedera dari 5,2 persen menjadi 7,3 persen. Penyebab cedera terbanyak, yaitu kecelakaan sepeda motor (48,6%) dan jatuh (30,2%). Proporsi kecelakaan sepeda motor tertinggi terjadi di Kabupaten Gayo Lues dan Kota Subulussalam (59,9%) dan terendah di Kabupaten Simeulue (23,9%). Dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007, Riskesdas 2013 menunjukkan kecenderungan peningkatan proporsi kecelakaan sepeda motor dari 35,4 persen menjadi 48,6 persen. Berdasarkan karakteristik, proporsi kecelakaan sepeda motor terbanyak pada penduduk umur 25-34 tahun, laki-laki, tamat sekolah menengah atas, wiraswasta, di perkotaan, dan pada kuintil teratas. Cedera akibat terjatuh tertinggi ditemukan di Kabupaten Aceh Barat (16,0%) dan terendah di Kabupaten Aceh Tenggara (1,2%). Proporsi terbanyak terjadi pada umur 5-14 tahun, laki-laki, tamat
Gigi dan mulut Untuk mengetahui besarnya permasalahan di bidang kesehatan gigi dan mulut secara menyeluruh perlu dilakukan pengukuran di masyarakat dalam skala nasional. Melalui Riskesdas 2013, telah dilakukan pengumpulan data berbagai indikator kesehatan gigi dan mulut masyarakat, dengan cara wawancara dan observasi dengan menggunakan instrumen genggam (kaca mulut) dan bantuan penerangan sinar matahari atau lampu senter. Data yang didapat adalah masyarakat bermasalah gigi dan mulut, tindakan yang diterima oleh responden dari tenaga medis gigi dan effective medical demand (EMD). Prevalensi masalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir untuk Provinsi Aceh dijumpai sebesar 30,5 persen, sebanyak 8 kabupaten/kota mempunyai prevalensi masalah gigi dan mulut diatas angka provinsi. Secara keseluruhan keterjangkauan/kemampuan untuk mendapatkan pelayanan dari tenaga medis gigi sebesar 14,0 persen (EMD). Kabupaten/kota dengan EMD tertinggi adalah Bener Meriah (18,7%), dan angka EMD terendah di Aceh Tenggara (7,6%). Ditemukan EMD meningkat pada kelompok umur yang lebih tinggi, dan persentase EMD tertinggi dijumpai pada kelompok umur 45-54 tahun (EMD: 21,1 dibanding EMD umur 10-14 tahun: 11,9), EMD di perdesaan (14,5) lebih besar dari EMD perkotaan (12,8), dan EMD meningkat pada status ekonomi lebih tinggi (EMD teratas: 14,8) ada pada kuintil menengah bawah. Provinsi Aceh menyikat gigi setiap hari ditemukan sekitar 90 persen. Untuk perilaku benar dalam menyikat gigi berkaitan dengan faktor gender, ekonomi, dan daerah tempat tinggal. Ditemukan sebagian besar penduduk Provinsi Aceh menyikat gigi pada saat mandi pagi maupun mandi sore, (91,9 %). Perilaku menyikat gigi dengan benar setelah makan pagi dan sebelum tidur malam, untuk penduduk Provinsi Aceh ditemukan 2,4 persen. Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi. Indeks DMF-T merupakan penjumlahan dari indeks D-T,M-T, dan F-T. Indeks DMF-T ini meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Indeks DMF-TProvinsi Aceh sebesar 4,0 dengan nilai masing-masing: D-T= 1,4; M-T= 2,6; F-T= 0,08. Indeks DMF-T lebih tinggi pada perempuan (4,3%) dibanding laki-laki (3,8%). Namun untuk kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi kuintil, semakin rendah nilai DMF-T, hal ini terlihat pada kuintil indeks kepemilikan terbawah nilai DMF-T nya (4,7%) sedangkan untuk yang teratas nilai DMF-T nya lebih rendah (3,2%). Disabilitas Bahasan disabilitas bertujuan mendapatkan pemahaman seutuhnya tentang pengalaman hidup penduduk karena kondisi kesehatan termasuk penyakit atau cedera yang dialami. Setiap orang memiliki peran tertentu, seperti bekerja dan melaksanakan kegiatan/aktivitas rutin yang diperlukan. Kuesioner disabilitas dikembangkan oleh WHO untuk mendapatkan informasi sejauh mana seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, tempat kerja, sekolah atau area sosial lain, hal yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan melakukan aktivitas rutin (WHO, 2010). Informasi besaran masalah disabillitas dapat dimanfaatkan untuk menyusun prioritas dan mengevaluasi efektivitas dan kinerja program kesehatan. Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa 87,3 persen penduduk Provinsi Aceh disability free. Interpretasi lain adalah penduduk Aceh cenderung tidak menganggap kesulitan sangat ringan yang
Kesehatan jiwa Prevalensi anggota rumah tangga yang mengalami gangguan jiwa berat (psikosis) Provinsi Aceh adalah 2,7 per mil, nasional (1,7 per mil), terbanyak terdapat di Banda Aceh dan Kabupaten Bireun. Terendah pada Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Nagan Raya. Menurut karakteristik tempat tinggal, prevalensi gangguan jiwa berat lebih banyak terjadi di perdesaan daripada di perkotaan, sedangkan menurut kuintil indeks kepemilikan, gangguan jiwa berat banyak ditemukan pada kuintil indeks kepemilikan terbawah sebesar 5,8 permil. Prevalensi orang yang mengalami gangguan mental emosional di Provinsi Aceh sebesar 6,0 persen dengan karakteristik usia tua, jenis kelamin perempuan, tinggal di kota, pendidikan rendah, mempunyai pekerjaan sebagai nelayan dan kuintil indeks kepemilikan terendah. Pengetahuan, sikap, dan perilaku Perilaku higienis yang dikumpulkan meliputi kebiasaan/perilaku buang air besar (BAB) dan perilaku mencuci tangan. Perilaku BAB yang dianggap benar adalah bila penduduk melakukannya di jamban. Mencuci tangan yang benar adalah bila penduduk mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor (antara lain memegang uang, binatang, berkebun), setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak, setelah menggunakan pestisida/insektisida, dan sebelum menyusui bayi. Adapun rerata proporsi perilaku cuci tangan secara benar di Provinsi Aceh menunjukan 33,6 persen dan perilaku BAB di jamban adalah 73,1 persen. Rerata proporsi perokok saat ini di Provinsi Aceh adalah 29,3 persen. Rerata batang rokok yang dihisap per hari per orang adalah 15,3 batang (setara lebih satu bungkus). Perokok aktif berdasarkan kelompok umur proporsi terbanyak pada kelompok umur, 30-34 tahun, pada laki-laki proporsi lebih banyak di bandingkan perokok perempuan. Wiraswasta adalah perokok aktif setiap hari yang mempunyai proporsi terbesar (49,3%). Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang menghisap cerutu cenderung meningkat, tertinggi pada kelompok umur 35-39 tahun, perempuan lebih banyak daripada laki-laki dan berpendidikan tamat SD, pekerjaan lain-lain dengan kuintil kepemilikan menengah. Usia pertama kali merokok yang ditanyakan pada penduduk usia ≥ 10 tahun menunjukkan bahwa penduduk Provinsi Aceh mulai merokok aktif setiap hari sebanyak 0,2 persen dan prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur 15-19 tahun sebanyak 53,9 persen. Proporsi kebiasaan mengunyah tembakau atau smokeless setiap hari di Provinsi Aceh sebesar 4 persen, mengunyah tembakau kadang-kadang sebesar 7,3 persen dan mantan pengunyah tembakau 2 persen. Lima kabupaten dengan proporsi mengunyah tembakau setiap hari diatas proporsi provinsi adalah Aceh Tenggara (7,4%), Aceh Barat (6,6%), Aceh Selatan (6,2%), Gayo Lues (6,2%) dan Aceh Barat Daya (6,1%). Perempuan (5,2,%) lebih banyak mengunyah tembakau setiap hari dibandingkan laki-laki (2,7%). Penduduk di perdesaan lebih banyak smokeless setiap hari daripada di perkotaan. Ditemukan pekerjaan sebagai pegawai mempunyai proporsi terendah sebanyak 2,5 persen, dan terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan proporsi pengunyah tembakau semakin rendah. Proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 37,2 persen. Terdapat 7 kabupaten/kota dengan penduduk aktivitas fisik tergolong kurang aktif berada di atas rerata Provinsi Aceh. Proporsi penduduk Provinsi Aceh dengan perilaku sedentari ≥ 6 jam perhari sebanyak 11,2 persen. Perilaku sedentary antara lain perilaku duduk-duduk ditempat kerja atau berbaring dirumah
Proporsi rerata penduduk Provinsi Aceh yang berperilaku mengonsumsi sayur/buah dengan cukup (≥ 5 porsi per hari dalam seminggu) hanya 2,7 persen, tertinggi di Kabupaten Bener Meriah (9,6%), Aceh Jaya (8,9%), Aceh Selatan (8,6%) dan Kota Banda Aceh (8,0%).Perilaku konsumsi makanan tertentu pada penduduk umur ≥10 tahun paling banyak konsumsi makanan dan minuman manis (52,3%), diikuti konsumsi bumbu penyedap (37,9%), dan makanan berlemak (21,2%). Hampir 40 persen penduduk Provinsi Aceh mengonsumsi penyedap ≥1 kali dalam sehari (37,9%), tertinggi di Kabupaten Simulue (81,4%) terendah di Bireun (9,8%). Di Provinsi Aceh, rumah tangga dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang menerapkan indikator -yang mencakup perilaku individu dan gambaran rumah tangga- dengan baik sebanyak19,6 persen, dengan persentase tertinggi pada Kota Banda Aceh (46,1%) dan persentase terendah di Kabupaten Aceh Selatan (6,8%). Pembiayaan Kepemilikan Jaminan Kesehatan Sebanyak 3,4 persen penduduk Provinsi Aceh belum memiliki jaminan kesehatan. Askes/ASABRI dimiliki oleh sekitar 8,8 persen penduduk, Jamsostek 1,5 persen, asuransi kesehatan swasta dan tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 0,9 persen. Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesmas (56,7%) dan Jamkesda (30,8%). Kabupaten Nagan Raya dan Bireuen adalah kabupaten/kota yang paling tinggi cakupan kepemilikan jaminan diantara kabupaten/kota lain, yaitu sekitar 96,6 persen penduduk atau hanya 3,4 persen penduduknya tidak mempunyai jaminan. Menurut kuintil indeks kepemilikan, Jamkesmas dimiliki oleh kelompok penduduk terbawah, menengah bawah dan menengah, masing-masing sebesar 75 persen, 70 persen dan 60,8 persen. Akan tetapi Jamkesmas masih dimiliki juga pada penduduk menengah atas (45,1%) dan teratas (25,7%). Mengobati sendiri Proporsi penduduk Provinsi Aceh yang mengobati diri sendiri dalam satu bulan terakhir dengan membeli obat ke toko obat atau ke warung tanpa resep dokter adalah 23,6 persen dengan rerata pengeluaran sebesar Rp 15.000,-00. Sumber biaya rawat jalan yang ditanggung oleh pasien sendiri atau keluarga tertinggi adalah di Kabupaten Bener Meriah (74,5%), Nagan Raya (73,5%) dan Kota Subulussalam (72,7%). Sedangkan pemanfaatan jamkesmas/jamkesda tertinggi pada kelompok umur 5-14 tahun (56,5%), jenis kelamin perempuan, bekerja sebagai petani/nelayan/buruh tinggal di perdesaan dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Rawat jalan Sebanyak 14 persen penduduk Provinsi Aceh dalam satu bulan terakhir melakukan rawat jalan dan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.28.000,00. Sumber biaya rawat jalan secara keseluruhan untuk Provinsi Aceh masih didominasi pembiayaan yang dibayar oleh Jamkesmas/Jamkesda (49,5%), kemudian disusul oleh pembiayaan dari pasien sendiri atau keluarga (out of pocket) (44,5%). Sumber biaya rawat jalan dari Askes/ASABRI sebesar 3,1 persen, dan Jamsostek sebesar 0,9 persen. Jamkesmas/Jamkesda lebih banyak dimanfaatkan di daerah perkotaan. Rawat inap
Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi sumber biaya rawat inap dari Jamkesmas/Jamkesda cenderung meningkat seiring dengan makin tingginya kuintil kepemilikan. Kesehatan reproduksi Blok Kesehatan Reproduksi yang dikumpulkan bertujuan untuk menyediakan informasi cakupan pelayanan kesehatan ibu terkait dengan indikator MDG yaitu pelayanan KB, pelayanan kesehatan selama masa hamil sampai masa nifas. Permasalahan kesehatan reproduksi di mulai dengan adanya perkawinan/hidup bersama. Di antara perempuan 10-54 tahun, 2,6 persen menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9 persen menikah pada umur 15-19 tahun. Menikah pada usia dini merupakan masalah kesehatan reproduksi karena semakin muda umur menikah semakin panjang rentang waktu untuk bereproduksi. Angka kehamilan penduduk perempuan 10-54 tahun adalah 2,68 persen, terdapat kehamilan pada umur kurang 15 tahun, meskipun sangat kecil (0,02%) dan kehamilan pada umur remaja (15-19 tahun) sebesar 1,97 persen. Apabila tidak dilakukan pengaturan kehamilan melalui program keluarga berencana (KB) akan mempengaruhi tingkat fertilitas di Indonesia. Pelaksanaan program keluarga berencana dinyatakan dengan pemakaian alat/cara KB saat ini. Pemakaian alat KB modern yang dinyatakan dengan CPR modern di antara WUS (wanita usia kawin 15-49 tahun) merupakan salah satu dari indikator universal akses kesehatan reproduksi. Hasil Riskesdas 2013, pemakaian cara/alat KB di Provinsi Aceh sebesar 51,8 persen dan CPR modern sebesar 52,9 persen. Diantara penggunaan KB modern tersebut, sebagian besar menggunakan alat/cara KB non MKJP (jangka pendek) sebesar 44,2 persen. Pelayanan KB di Indonesia sebagian besar diberikan oleh bidan (83,5%) di fasilitas pelayanan kesehatan swasta yaitu tempat praktek bidan (57,6%). Setiap ibu hamil menghadapi risiko terjadinya kematian, sehingga salah satu upaya menurunkan tingkat kematian ibu adalah meningkatkan status kesehatan ibu hamil sampai bersalin melalui pelayanan ibu hamil sampai masa nifas. Pada Riskesdas 2013, indikator cakupan pelayanan ibu hamil sampai masa nifas diperoleh dari informasi riwayat kehamilan berdasarkan kelahiran yang terjadi pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara. Pemeriksaan kehamilan sangat penting dilakukan oleh semua ibu hamil untuk mengetahui pertumbuhan janin dan kesehatan ibu. Hampir seluruh ibu hamil di Provinsi Aceh (94,8%) sudah melakukan pemeriksaan kehamilan (K1) dengan frekuensi minimal 4 kali selama masa kehamilannya adalah 87,0 persen. Proporsi melakukan ANC berdasarkan umur saat bersalin terendah adalah kelompok umur <20 tahun, tidak sekolah dan tidak tamat SD, tidak bekerja dan petani/nelayan/buruh, kuintil indeks kepemilikan terbawah. Cakupan ibu hamil kontak pertama dengan tenaga kesehatan untuk melakukan pemeriksaan kehamilan (87,0%). Proporsi terendah pada kelompok usia saat bersalin < 20 tahun (76,5%), pendidikan tidak tamat SD (76,2%), petani/nelayan/buruh (82,8%) serta kuintil indeks kepemilikan terbawah (75,7%). Cakupan ANC K4 sebesar 60,0 persen sedangkan ANC ≥ 4x sebesar 72,3 persen. Konsumsi zat besi selama hamil ditemukan sebesar 81,1 persen. Proses persalinan dihadapkan pada kondisi kritis terhadap masalah kegawatdaruratan persalinan, sehingga sangat diharapkan persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Kelahiran pada ibu berumur risiko tinggi (umur ibu 35 tahun ke atas) lebih banyak di rumah (17,4%) dibanding ibu umur 20-34
untuk KF lengkap yang dicapai baru sebesar 32,1 persen. Ibu bersalin yang mendapat pelayanan KB pasca bersalin mencapai 63,3 persen. Kesehatan anak Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan menurut kabupaten/kota dengan kategori lengkap, tidak lengkap, dan tidak imunisasi masing-masing 38,4 persen, 41,9 persen dan 19,7 persen. Persentase imunisasi dasar lengkap tertinggi di Aceh Jaya (92,4%), tidak lengkap tertinggi didapatkan di Aceh Timur (64,7%) sedangkan tidak imunisasi tertinggi didapatkan di Nagan Raya (64,8%). Pengumpulan data kunjungan neonata yang meliputi kunjungan pada saat yang ditentukan (KN1, KN2 dan KN3). Hasilnya menunjukkan bahwa persentase KN1 (6-48 jam) sebesar 72,3 persen, KN2 (3-7 hari) sebesar 65,6 persen dan KN3 (8-28 hari) sebesar 35,4 persen. KN1 paling tinggi terdapat di Simeulue (95,7%), KN2 terdapat di Simeulue (89,2%) dan KN3 terdapat di Aceh Jaya (71,1%). Persentase rumah tangga yang melakukan kunjungan neonatal lengkap di Provinsi Aceh sebesar 32,5 persen, tertinggi di Kabupaten Aceh Jaya (70,2%) dan terendah di Kota Sabang (10,2%). Informasi tentang berat badan lahir dan panjang badan lahir anak balita didasarkan kepada dokumen/catatan yang dimiliki oleh anggota RT (buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak lainnya). Persentase BBLR (<2500 gram) di Provinsi Aceh 8,6 persen, tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Barat Daya sebesar 26,2 persen. Menurut kelompok umur, persentase BBLR tidak menunjukkan pola kecenderungan yang jelas. Persentase BBLR pada perempuan (9,5%) lebih tinggi dibanding laki-laki (7,7%), namun persentase berat lahir ≥4000 gram pada laki-laki (9,7%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (7,2%). Kategori panjang badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: <48 cm, 48 - 52 cm, dan >52 cm. Persentase panjang badan lahir anak usia 0-59 bulan menurut kabupaten/kota berdasarkan kategori tersebut diketahui bahwa persentase panjang badan lahir <48 cm sebesar 13,7 persen, dan >52 cm sebesar 4,1 persen. Persentase panjang badan lahir <48 cm tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Selatan (58,5%) dan terendah di Kota Subulussalam (3,1%). Persentase kecacatan pada anak umur 24-59 bulan. Persentase jenis kecacatan yang tertinggi adalah minimal satu jenis cacat sebesar 0,5 persen dan tidak ada anak yang mengalami tuna rungu dan tuna daksa 0,0.persen. Sementara tuna netra, tuna wicara dan bibir sumbing mempunyai persentase yang sama (0,1 persen). Persentase proses mulai menyusu kurang dari satu jam (IMD) setelah bayi lahir di Provinsi Aceh adalah 61,4 persen, dengan persentase tertinggi di Kota Sabang (87,5%) dan terendah di Kabupaten Aceh Jaya (39,4%). Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa sebesar 25,7 persen, diberi betadine/alkohol sebesar 66,9 persen, diberi obat tabur sebesar 1,3 persen dan diberi ramuan tradisional 6,1 persen. Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa tertinggi di Banda Aceh (67,5%) dan terendah di Kabupaten Aceh Tamiang (2,3%). Kesehatan indera Prevalensi kebutaan untuk Provinsi Aceh sebesar 0,4 persen, jauh lebih kecil dibanding prevalensi
2,5%). Proporsi responden yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak di perkotaan sekitar dua kali lebih banyak dibandingkan responden di perdesaan. Prevalensi pterygium Provinsi Aceh adalah sebesar 9,3 persen dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Kabupaten Bireun (18,0%), Aceh Singkil (17,2%), dan Kota Lhokseumawe (16,7%). Kabupaten dengan prevalensi pterygium terendah adalah, Aceh Tenggara (3,2%), Aceh Tamiang (4,3%) dan Nagan Raya (4,4%). Prevalensi katarak di Provinsi Aceh adalah 2,7 persen tertinggi di Kota Lhokseumawe (6,4%) diikuti oleh Pidie Jaya (4,6%) dan Bireun (3,9%). Prevalensi katarak terendah ditemukan di Kabupaten Gayo Lues (0,7%) diikuti Kota Banda Aceh (1,0%) dan Aceh Jaya (1,2%). Prevalensi gangguan pendengaran di Provinsi Aceh 2,4 persen, tertinggi terdapat di Aceh Selatan (5,0%), dan terendah di Kota Banda Aceh (0,9%).Prevalensi ketulian di Provinsi Aceh sebesar 0,06 persen, tertinggi di Kota Subulussalam (0,5%) dan terendah di Kota Lhokseumawe (0,001%). Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian memiliki pola yang sama menurut kuintil indeks kepemilikan, yaitu semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin sedikit prevalensi gangguan pendengaran dan ketuliannya.
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................................................... i RINGKASAN ..........................................................................................................................................iii DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ xvii DAFTAR TABEL .................................................................................................................................. xx DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................................xxv DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................................................xxx BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1 1.2. Ruang Lingkup Riskesdas 2013 ............................................................................................... 2 1.3. Pertanyaan Penelitian .............................................................................................................. 2 1.4. Tujuan Riskesdas 2013 ............................................................................................................ 2 1.5. Kerangka Pikir .......................................................................................................................... 3 1.6. Alur Pikir Riskesdas 2013 ......................................................................................................... 4 1.7. Pengorganisasian Riskesdas 2013 .......................................................................................... 6 1.8. Manfaat Riskesdas Provinsi Aceh 2013 ................................................................................... 6 1.9. Persetujuan Etik Riskesdas 2013 ............................................................................................. 7 BAB 2. METODOLOGI RISKESDAS..................................................................................................... 8 2.1. Desain ....................................................................................................................................... 8 2.2. Lokasi ........................................................................................................................................ 8 2.3. Populasi dan Sampel ................................................................................................................ 8 2.4. Variabel ................................................................................................................................... 10 2.5. Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data ............................................................. 11 2.6. Manajemen Data .................................................................................................................... 11 2.7. Keterbatasan Data Riskesdas 2013 ....................................................................................... 13 2.8. Pengolahan dan Analisis Data ............................................................................................... 14 2.9. Pengembangan kuintil indeks kepemilikan ............................................................................ 14 BAB 3. AKSES DAN PELAYANAN KESEHATAN .............................................................................. 16 3.1 Keberadaan pelayanan kesehatan ......................................................................................... 16 3.2 Keterjangkauan fasilitas kesehatan......................................................................................... 18 BAB 4. FARMASI DAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL ................................................ 22 4.1. Obat dan Obat Tradisional (OT) di Rumah tangga ................................................................ 22 4.2. Pengetahuan Rumah tangga tentang Obat Generik (OG)..................................................... 25
5.3 Perumahan .............................................................................................................................. 42 BAB 6. PENYAKIT MENULAR ............................................................................................................ 48 6.1 Penyakit yang ditularkan melalui Udara ................................................................................. 48 6.2. Penyakit yang ditularkan melalui Makanan, Air dan lainnya .................................................. 54 6.3. Penyakit yang ditularkan oleh Vektor (Malaria)...................................................................... 62 BAB 7. PENYAKIT TIDAK MENULAR................................................................................................. 68 7.1. Asma ....................................................................................................................................... 69 7.2. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) ................................................................................ 69 7.3. Kanker..................................................................................................................................... 69 7.4. Diabetes Melitus ..................................................................................................................... 71 7.5. Penyakit hipertiroid ................................................................................................................. 72 7.6. Hipertensi/Tekanan darah tinggi ............................................................................................ 72 7.7. Penyakit Jantung .................................................................................................................... 75 7.8. Stroke...................................................................................................................................... 75 7.9. Penyakit ginjal ......................................................................................................................... 78 7.10. Penyakit Sendi/Rematik/Encok ............................................................................................ 78 BAB 8. CEDERA .................................................................................................................................. 82 8.1. Prevalensi Cedera dan penyebabnya .................................................................................... 82 8.2. Jenis cedera............................................................................................................................ 85 8.3. Tempat Terjadinya Cedera ..................................................................................................... 89 BAB 9. KESEHATAN GIGI DAN MULUT ............................................................................................ 93 9.1. Effective Medical Demand ...................................................................................................... 93 9.2. Perilaku menyikat gigi penduduk umur ≥ 10 tahun ................................................................ 98 9.3. Indeks DMF-T dan Komponen D-T,M-T,F-T ........................................................................ 101 BAB 10. STATUS DISABILITAS ........................................................................................................ 104 BAB 11. KESEHATAN JIWA ............................................................................................................ 107 11.1. Gangguan Jiwa Berat ......................................................................................................... 107 11.2. Gangguan Mental Emosional ............................................................................................. 109 11.3. Cakupan pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan.................................................... 112 BAB 12. PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU ......................................................................... 116 12.1. Perilaku Higienis ................................................................................................................. 116 12.2. Penggunaan Tembakau ..................................................................................................... 118 12.3. Perilaku Aktifitas Fisik ......................................................................................................... 124
13.1. Kepemilikan jaminan kesehatan ......................................................................................... 137 13.2. Mengobati sendiri ............................................................................................................... 139 13.3. Rawat Jalan ....................................................................................................................... 141 13.4. Rawat Inap .......................................................................................................................... 142 13.5. Sumber pembiayaan .......................................................................................................... 144 BAB 14. KESEHATAN REPRODUKSI .............................................................................................. 148 14.1. Kehamilan saat ini .............................................................................................................. 148 14.2. Pelayanan Program Keluarga Berencana .......................................................................... 149 14.3. Pelayanan kesehatan masa kehamilan, persalinan dan nifas .......................................... 152 BAB 15. KESEHATAN ANAK ............................................................................................................ 164 15.1. Berat dan panjang badan lahir ........................................................................................... 164 15.2. Kecacatan ........................................................................................................................... 171 15.3. Status Imunisasi ................................................................................................................. 173 15.4. Kunjungan neonatal ............................................................................................................ 180 15.5. Perawatan Tali Pusar ......................................................................................................... 186 15.6. Pola pemberian ASI ............................................................................................................ 187 15.7. Cakupan kapsul vitamin A .................................................................................................. 189 15.8. Pemantauan Pertumbuhan................................................................................................. 190 15.9. Sunat Perempuan ............................................................................................................... 192 BAB 16. STATUS GIZI....................................................................................................................... 195 16.1. Status gizi anal balita .......................................................................................................... 195 16.2. Status Gizi Anak Usia 5 – 18 tahun.................................................................................... 202 16.3. Status gizi dewasa .............................................................................................................. 209 BAB 17. KESEHATAN INDERA ........................................................................................................ 219 17.1. Kesehatan Mata.................................................................................................................. 219 17.2. Kesehatan telinga ............................................................................................................... 227 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 232 LAMPIRAN ......................................................................................................................................... 234
DAFTAR TABEL Nomor Tabel Tabel 2.1. Tabel 4.1
Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10
Tabel 4.11
Tabel 4.12 Tabel 5.1
Tabel 6.1 Tabel 6.2 Tabel 6.3 Tabel 6.4 Tabel 6.5
Nama Tabel Distribusi BS, RT dan ART yang dapat dikunjungi (respon rate) menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat/OT, dan rerata jumlah items obat/OT yang disimpan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis obat dan OT yang disimpan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Persentase rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat dan OT menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat dan OT yang disimpan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG) menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG) menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan persepsi tentang obat generik (OG) menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat generik (OG) menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan alasan utama terbanyak memanfaatkan Yankestrad, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi berdasarkan kriteria JMP WHO – Unicef 2006 menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Period prevalence ISPA, period prevalence dan prevalensi pneumonia menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Period prevalence ISPA, period prevalence dan prevalensi pneumonia menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Diagnosis, pengobatan obat program, dan gejala TB menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Diagnosis, pengobatan obat program, dan gejala TB menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi hepatitis, insiden dan periode prevalence diare menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Hal 9
23 23 24 25 25 26 27 27 28
29
30 30
39 50 51 52 53 55
Tabel 6.9 Tabel 6.10 Tabel 6.11 Tabel 6.12 Tabel 6.13 Tabel 6.14 Tabel 6.15
Tabel 6.16
Tabel 7.1 Tabel 7.2 Tabel 7.3 Tabel 7.4 Tabel 7.5 Tabel 7.6 Tabel 7.7 Tabel 7.8 Tabel 8.1 Tabel 8.2 Tabel 8.3 Tabel 8.4 Tabel 8.5 Tabel 8.6
Insiden diare dan period prevalence pneumonia pada balita menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Insiden diare dan period prevalence pneumonia pada balita menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Insiden dan prevalensi malaria menurut menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Insiden dan prevalensi malaria menurut menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥15 tahun dan hipertensi pada umur ≥ 18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥15 tahun dan hipertensi pada umur ≥ 18 tahun menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥ 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahunmenurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi jenis cedera menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
59 60 61 62 63 64
65
66 70 71 73 74 76 77 79 80 83 84 86 88 90 91
Tabel 9.2
Tabel 9.3 Tabel 9.4 Tabel 9.5 Tabel 9.6 Tabel 9.7 Tabel 10.1 Tabel 10.2 Tabel 10.3 Tabel 11.1 Tabel 11.2 Tabel 11.3
Tabel 11.4
Tabel 11.5 Tabel 11.6 Tabel 12.1 Tabel 12.2 Tabel 12.3 Tabel 12.4. Tabel 12.5 Tabel 12.6 Tabel 12.7 Tabel 12.8
Proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir sesuai effective medical demand menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penduduk berobat gigi sesuai jenis nakes menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penduduk berobat gigi sesuai jenis nakes menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun berdasarkan waktu dan menyikat gigi dengan benar menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun berdasarkan waktu dan menyikat gigi dengan benar menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Komponen D, M, F, dan indeks DMF-T menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi tingkat kesulitan menurut komponen disabilitas, Provinsi Aceh 2013 Indikator disabilitas menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Indikator disabilitas menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur ≥15 tahun (berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20)* menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur ≥15 tahun (berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20)* menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi cakupan pengobatan penderita gangguan mental emosional menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Persentase cakupan pengobatan penderita gangguan mental emosional menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang berperilaku benar dalam buang air besar dan cuci tangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok dan kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok dan karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Rerata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan mengunyah tembakau dan karateristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun sesuai jenis aktivitas fisik menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penduduk ≥10 tahun berdasarkan aktifitas sedentari menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
95 96 97 99 100 102 104 105 106 108 109
110 114 113 114 117 119 120 121 122 123 125 126
Tabel 13.1 Tabel 13.2 Tabel 13.4 Tabel 13.5 Tabel 13.6 Tabel 13.7 Tabel 13.8 Tabel 15.1 Tabel 15.2 Tabel 15.3 Tabel 15.4 Tabel 15.5 Tabel 15.6 Tabel 15.7 Tabel 15.8 Tabel 15.9 Tabel 15.10 Tabel 15.11 Tabel 15.12 Tabel 15.13 Tabel 16.1 Tabel 16.2 Tabel 16.3 Tabel 16.4
Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biayamenurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Persentase kelainan/cacat pada anak umur 24–59 bulan, Provinsi Aceh 2013 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Persentase alasan tidak pernah imunisasi pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Persentase kunjungan neonatal pada anak umur 0-59 Bulan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Persentase kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3) pada anak anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota,Provinsi Aceh 2013 Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi balita menurut tiga indikator status gizi dan kabupaten/kota, Provinsi Aceh, Riskesdas 2013 Persentase status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) menurut kategori IMT dan kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi status gizi penduduk dewasa (> 18 tahun) menurut kategori IMT dan karakteristik, Provinsi Aceh, Riskesdas 2013 Prevalensi wanita hamil risiko tinggi menurut kabupaten/kota, Provinsi
137 138 139 142 144 145 147 166 167 168 172 175 176 177 178 179 183 185 186 188 201 211 212
Tabel 17.3
Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut karakteristik Provinsi Aceh 2013
229
DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar Gambar 1.1 Gambar 1.2 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 3.7 Gambar 3.8 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 5.1 Gambar 5.2
Gambar 5.3 Gambar 5.4 Gambar 5.5 Gambar 5.6 Gambar 5.7 Gambar 5.8
Nama Gambar Kerangka pikir Riskesdas 2013 dikembangkan dari Gabungan Sistem Kesehatan WHO dengan konsep model BLUM Alur Pikir Riskesdas 2013 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta, Provinsi Aceh 2013. Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan bidan praktek atau rumah bersalin menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan posyandu menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi moda transportasi ke rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Waktu tempuh menuju faskes terdekat menurut pengetahuan rumah tangga, Provinsi Aceh 2013 Waktu tempuh menuju RS pemerintah berdasarkan karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan terdekat, Provinsi Aceh 2013 Biaya transportasi menuju UKBM terdekat, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat yang disimpan, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Kecenderungan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa mengambil air, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumahtangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa mengambil air menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas fisik air minum menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air minum sebelum diminum, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Hal 3 5 16 17 17 18 19 19 20 21 22 28 33
34 34 35 36 36 37 38
Gambar 5.11 Gambar 5.12 Gambar 5.13 Gambar 5.14 Gambar 5.15 Gambar 5.16
Gambar 5.17 Gambar 5.18 Gambar 5.19 Gambar 5.20 Gambar 5.21 Gambar 6.1 Gambar 8.1 Gambar 9.1 Gambar 11.1 Gambar 12.1
Gambar 12.2 Gambar 12.3 Gambar 12.4 Gambar 12.5 Gambar 12.6 Gambar 12.7 Gambar 13.1
Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan sampah, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan pengelolaan sampah dengan dibakar menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan tempat tinggal, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan kepadatan hunian menurut kabupaten/kota,Provinsi Aceh 2007 dan 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan keberadaan plafon/langit-langit, dinding terbuat dari tembok dan lantai bukan tanah, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan ketersediaan ruang tidur, ruang keluarga dan ruang dapur dengan kebersihan, keberadaan jendela, ventilasi, dan pencahayaan alami, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan non listrik menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis bahan bakar/energi, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku mencegah gigitan nyamuk, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia, Provinsi Aceh 2013 Period prevalence ISPA, menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013 Kecenderungan prevalensi cedera dan penyebabnya, Provinsi Aceh 2007 dan 2013 Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta mendapat perawatan dan EMD, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan karakteristik, Provinsi Aceh 2007 dan 2013 Kecenderungan proporsi penduduk umur ≥10 tahun berperilaku cuci tangan dengan benar menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013 Kecenderungan proporsi penduduk umur ≥10 tahun berperilaku BAB dengan benar menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013 Kecenderungan proporsi penduduk ≥10 tahun kurang makan sayur dan buah menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013 Proporsi (%) penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan tertentu >1 kali sehari, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut frekuensi makanan bersumber tepung terigu ≥1 kali/hari, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran
40 41 42 43 43 44
44 45 45 46 46 49 85 93 115
117 118 128 130 130 134 134
Gambar 13.4 Gambar 13.5 Gambar 14.1 Gambar 14.2 Gambar 14.3 Gambar 14.4
Gambar 14.5
Gambar 14.6 Gambar 14.7 Gambar 14.8 Gambar 14.9 Gambar 14.10 Gambar 14.11
Gambar 14.12 Gambar 14.11 Gambar 14.12 Gambar 14.13 Gambar 14.14 Gambar 14.15 Gambar 14.16 Gambar 14.17 Gambar 14.18 Gambar 15.1
Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat jalan, Provinsi Aceh 2013 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap, Provinsi Aceh 2013 Proporsi perempuan hamil menurut kelompok umur dan tempat tinggal, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini WUS kawin dan kelompok umur, Provinsi Aceh 2013 Proporsi WUS Kawin yang menggunakan KB menurut jenis alat KB yang digunakan,Provinsi Aceh 2013 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok kandungan hormonal menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok jangka waktu efektivitas KB menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi pemanfaatan tempat dan tenaga kesehatan dalam mendapatkan pelayanan KB, Provinsi Aceh 2013 Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Cakupan indikator ANC K1 ideal dan ANC K4 (ANC 1-1-2) menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi pemeriksaan kehamilan menurut tenaga dan tempat mendapat pelayanan ANC, Indonesia 2013 Proporsi konsumsi zat besi (Fe) dan jumlah hari mengkonsumsi, Provinsi Aceh 2013 Proporsi kepemilikan buku KIA dan isian 5 komponen P4K berdasarkan hasil observasi lembar Amanat Persalinan dari yang dapat menunjukkan Buku KIA, Provinsi Aceh 201 Proporsi persalinan sesar menurut menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi persalinan sesar menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan terendah, Provinsi Aceh 2013 Proporsi tempat bersalin menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi tempat bersalin menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi pelayanan pemeriksaan masa nifas menurut kontak ibu nifas, Provinsi Aceh 2013 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam - 3 hari setelah melahirkan menurut provinsi, Provinsi Aceh 2013 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam - 3 hari setelah melahirkan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Proporsi pelayanan KB pasca salin menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kecenderungan berat badan lahir rendah (BBLR) pada balita di kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
145 146 148 149 150 150
151 152 153 154 155 156
157 158 158 159 160 160 161 162 162 163 164
Gambar 15.5 Gambar 15.6 Gambar 15.7 Gambar 15.8 Gambar 15.9 Gambar 15.10 Gambar 15.11 Gambar 15.12
Gambar 15.13
Gambar 15.14 Gambar 15.15 Gambar 15.16 Gambar 16.1 Gambar 16.2 Gambar 16.3 Gambar 16.4 Gambar 16.5 Gambar 16.6 Gambar 16.7 Gambar 16.8 Gambar 16.9 Gambar 16.10
Persentase keluhan kejadian pasca imunisasi (KIPI) pada anak umur 1259 bulan, Provinsi Aceh 2013 Kecenderungan kunjungan neonatal lengkap, Provinsi Aceh 2010 dan 2013 Kecenderungan KN1 menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2010 dan 2013 Kecenderungan kunjungan neonatal lengkap menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2010 dan 2013 Kecenderungan proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan, Provinsi Aceh 2010 dan 2013 Persentase proses mulai menyusu pada anak 0-23 bulan <1 jam (IMD) menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan, Provinsi Aceh 2007 dan 2013 Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan dalam 6 bulan terakhir menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2007 dan 2013 Kecenderungan frekuensi pemanfaatan pertumbuhan balita ≥ 4 kali dalam 6 bulan terakhir menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013 Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat dan umur ketika di sunat, Provinsi Aceh 2013 Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Persentase ana perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Kecenderungan prevalensi status gizi BB/U <-2SD menurut Provinsi Aceh tahun 2007, 2010 dan 2013 Kecenderungan prevalensi status gizi TB/U <-2SD Provinsi Aceh tahun 2007, 2010, dan 2013 Kecenderungan prevalensi status gizi BB/TB <-2SD Provinsi Aceh tahun 2007,2010, dan 2013 Kecenderungan prevalensi gizi kurang, pendek, kurus, dan gemuk pada balita, Provinsi Aceh 2007, 2010 dan 2013 Prevalensi pendek anak umur 5–12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi kurus IMT/U anak umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi gemuk & sangat gemuk anak umur 5–12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi pendek remaja umur 13–15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi kurus IMT/U remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk IMT/U remaja umur 1315 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
180 181 181 184 187 189 190 191
191 192 192 193 198 199 200 200 203 204 204 205 206 206
Gambar 16.14 Gambar 16.15 Gambar 16.16
Gambar 16.17 Gambar 16.18 Gambar 16.19 Gambar 16.20 Gambar 17.1 Gambar 17.2 Gambar 17.3 Gambar 17.4 Gambar 17.5 Gambar 17.6 Gambar 17.7 Gambar 17.8 Gambar 17.9
Kecenderungan status gizi IMT/U umur 16-18 tahun, Provinsi Aceh 2010 dan 2013 Prevalensi status gizi kurus, gemuk, dan obesitas penduduk dewas (>18 tahun) menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kecenderungan prevalensi obesitas (IMT >25) pada laki-laki dan perempuan umur > 18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kecenderungan prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013 Prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15-49 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi risiko KEK wanita usia subur (WUS) 15-49 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi wanita hamil risiko tinggi (tinggi badan <150 cm) menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi kebutaan pada responden umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007-2013. Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kelompok umur, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut pendidikan, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kuintil indeks kepemilikan,Provinsi Aceh 2013 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut tempat tinggal, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Proporsi tiga alasan utama penderita katarak belum menjalani operasi menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi gangguan pendengaran penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
209 210 213
214 215 215 216 220 221 222 222 223 223 226 230 230
DAFTAR SINGKATAN 5T
AIDS AKABA AKB AKDR AKG AKI AKI ALH AMH ANC ART BAB Balitbangkes BB/TB BB/U BP BPS BS BTA CO D DAM DIY DKBM DPT DPT-HB DST EQAS Faskes FDC G HIV IMT IMT/U
5 jenis komponen ANC meliputi 1) timbang berat badan dan ukur tinggi badan; 2) ukur tekanan darah/tensi; 3) pemberian tablet tambah darah; 4) pemberian imunisasi tetanus toksoid dan 5) ukur tinggi fundus. Acquired Immuno Deficiency Syndrome Angka Kematian Balita Angka Kematian Bayi Alat Kontrasepsi Dalam Rahim Angka Kecukupan Gizi Angka Kematian Ibu Angka Kematian Ibu Anak Lahir Hidup Anak Masih Hidup Ante Natal Care Anggota Rumah Tangga Buang Air Besar Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Berat Badan menurut Tinggi Badan Berat Badan menurut Umur Balai Pengobatan Badan Pusat Statistik Blok Sensus Basil Tahan Asam Carbon Monoksida Diagnosis Depot Air Minum Daerah Istimewa Yogyakarta Daftar Komposisi Bahan Makanan Diphtery Pertusis Tetanus Diphtery Pertusis Tetanus-Hepatitis B Drug susceptibility test External Quality Assurance Scheme Fasilitas Kesehatan Fixed Dose Combination Gejala Human Immunodeficiency Virus Indeks Massa Tubuh Indeks Massa Tubuh menurut Umur
KB KEPK KF KIA KIA KMS KMS Bumil KN1 KN2 KN3 LQAS M.tb MDG MDGs MDR Nakes NTB NTT OAT ODHA P2PL PAH PAM PBB PDBK Penasun PJT PNS Polindes Polri PONED Poskesdes Posyandu PPI PPM PPOK PPS PRM PUGS
Keluarga Berencana Komisi Etik Penelitian Kesehatan Kunjungan Nifas Kesehatan Ibu dan Anak Kesehatan Ibu dan Anak Kartu Menuju Sehat Kartu Menuju Sehat Ibu Hamil Kunjungan Neonatal 1 Kunjungan Neonatal 2 Kunjungan Neonatal 3 Lot Quality Sampling Assesment Mycobacterium tuberculosis Millenium Development Goals Millenium Development Goals Multi Drug Ressistant Tenaga Kesahatan Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Obat Anti Tuberculosis Orang dengan HIV/AIDS Pencegahan Penyakit dan Pengendalian Lingkungan Penampungan Air Hujan Perusahaan Air Minum Perserikatan Bangsa-Bangsa Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan Pengguna Narkoba Suntik Penanggung Jawab Teknis Pegawai Negeri Sipil Pos Bersalin Desa Polisi Republik Indonesia Pelayanan Obstetrik Neonata Emergency Dasar Pos Kesehatan Desa Pos Pelayanan Terpadu Program Pengembangan Imunisasi Puskesmas Pelaksana Mandiri Penyakit Paru Obstruktif Kronik Petugas Pengumpul Spesimen Puskesmas Rujukan Mikroskopik Pedoman Umum Gizi Seimbang
SP SPAL Subdit TB TB/U TNI Trimester TT TT UKP VCT WHO WNPG XDR ZN
Sensus Penduduk Sarana Pembuangan Air Limbah Sub Direktorat Tuberkulosis Tinggi Badan menurut Umur Tentara Nasional Indonesia Tiga bulanan Tetanus Toksoid Tidak Tahu Umur Perkawinan Pertama Voluntary HIV Counseling and Testing World Health Organization Wydia Karya Pangan dan Gizi Extensively Drug Ressistant Ziehl Neelsen
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Visi rencana pembangunan jangka panjang nasional 2005-2025 adalah Indonesia yang maju, adil, dan makmur. Visi tersebut direalisasikan pada delapan misi pembangunan. Misi pembangunan kesehatan 2010-2014 adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan; dan menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. Sistem Kesehatan Nasional pada tahun 2012 memasukkan penelitian dan pengembangan dalam salah satu sub sistem dari tujuh sub sistem yang adai. Untuk mencapai visi dan misi di atas, maka salah satu strategi Kementerian Kesehatan RI adalah ―Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif‖. Untuk itu diperlukan data kesehatan berskala nasional berbasis fasilitas maupun komunitas yang dikumpulkan secara berkesinambungan dan dapat dipercayaii. Dalam upaya menyediakan data kesehatan yang berkesinambungan maka Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI melaksanakan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Riskesdas merupakan Riset Kesehatan berbasis komunitas yang dirancang dapat berskala nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Riskesdas dilaksanakan secara berkala dengan tujuan untuk melakukan evaluasi pencapaian program kesehatan sekaligus sebagai bahan untuk perencanaan kesehatan. Pada buku ini, laporan difokuskan pada hasil pemeriksaan riskesdas di Provinsi Aceh. Pada tahun 2007, Riskesdas pertama telah dilakukan, meliputi indikator kesehatan utama, yaitu status kesehatan (penyebab kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabilitas, dan status gizi), kesehatan lingkungan, konsumsi gizi rumah tangga, pengetahuan-sikap-perilaku kesehatan (Flu Burung, HIV/AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum alkohol, aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan) dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan (akses, cakupan, mutu layanan, pembiayaan kesehatan), termasuk sampel darah anggota rumah tangga (kecuali bayi) pada sub sampel daerah perkotaaniii. Hasil Riskesdas 2007 telah banyak dimanfaatkan oleh para pengambil keputusan dan penyelenggara program kesehatan baik di pusat maupun daerah. Selain telah digunakan sebagai bahan penyusunan RPJMN 2010-2014, data Riskesdas juga telah digunakan sebagai dasar penyusunan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM)iv yang berguna untuk membuat peringkat kabupaten/kota berdasarkan hasil pembangunan kesehatan serta sebagai dasar Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK)v. Pada tahun 2013 dilakukan kembali Riskesdas yang serupa dengan tahun 2007 yaitu dengan keterwakilan sampel hingga tingkat Kabupaten/Kota. Untuk pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut mewakili tingkat provinsi dan sampel biomedis mewakili tingkat nasional. Tahapan persiapan Riskesdas 2013 telah dilakukan selama satu tahun pada 2012, diawali dengan meninjau kembali indikator kesehatan yang dikumpulkan pada Riskesdas 2007 untuk meningkatkan
tidak dikumpulkan seperti konsumsi gizi rumah tangga dengan alasan akan dilakukan survei tersendiri. Demikian pula ada beberapa variabel yang tidak dikumpulkan antara lain ketanggapan pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang HIV/AIDS, kebiasaan minum minuman beralkohol, pengetahuan tentang flu burung, dan kebisingan di sekitar rumah tangga.
1.2. Ruang Lingkup Riskesdas 2013 Seperti telah diuraikan sebelumnya, fokus Riskesdas di Provinsi Aceh 2013 ini adalah untuk mengumpulkan data berbasis masyarakat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi perubahan status kesehatan di tingkat Kabupaten/kota, termasuk IPKM dan indikator MDGs kesehatan.
1.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian untuk Riskesdas 2013Provinsi Acehyaitu: 1. Bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di tingkat provinsi, dan kabupaten tahun 2013? 2. Apakah telah terjadi perubahan masalah kesehatan spesifik di setiap provinsi, dan kabupaten/kota? 3. Apa dan bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di tingkat provinsi, dan kabupaten/kota? 4. Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan? 5. Bagaimana korelasi antar faktor terhadap status kesehatan? Laporan ini baru dapat menjawab pertanyaan penelitian 1 dan 2 sedangkan pertanyaan penelitian 3,4 dan 5 akan dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk analisis lanjut.
1.4. Tujuan Riskesdas 2013 Tujuan Umum: Menyediakan informasi berbasis bukti untuk perumusan kebijakan pembangunan kesehatan di Provinsi Aceh. Tujuan Khusus: 1) Menyediakan informasi untuk perencanaan kesehatan termasuk alokasi sumber daya di Provinsi Aceh. 2) Menyediakan peta status dan masalah kesehatan di tingkat kabupaten/kota Provinsi Aceh pada tahun 2013. 3) Menyediakan informasi perubahan status kesehatan masyarakat yang terjadi dari 2007 ke 2013. 4) Menilai kembali disparitas wilayah kabupaten kota menggunakan IPKM. 5) Mengkaji korelasi antar faktor yang menyebabkan perubahan status kesehatan.
1.5. Kerangka Pikir FUNGSI SISTEM KESEHATAN
TUJUAN SISTEM KESEHATAN
Visi, Misi, strategi dan kebijakan
- Pendidikan, Pekerjaan, Status Ekonomi - Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Kesehatan - Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional
- Status Gizi Manajemen Sumber daya
Akses Pelayanan Kesehatan
Pembiayaan Kesehatan
Derajat Kesehatan
Pemerataan & Keadilan Pembiayaan Kesehatan
- Kesehatan Reproduksi - Kesehatan Bayi dan Balita - Morbiditas Penyakit Menular - Penyakit Tidak Menular - Penyakit Bawaan, - Gangguan Indera - KesehatanJiwa dan gangguan emosional - Gigi dan Mulut - Cedera, - disabilitas - Kecacatan -Pemeriksaan Spesimen Darah - Status Iodium
-------: tidak dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 Kesehatan Lingkungan
Gambar 1.1. Kerangka pikir Riskesdas 2013 dikembangkan dari Gabungan Sistem Kesehatan WHO dengan konsep model BLUM
3
1.6. Alur Pikir Riskesdas 2013 Alur pikir (Gambar 1.2) ini secara skematis menggambarkan enam tahapan penting dalam Riskesdas 2007 dan 2013. Keenam tahapan ini terkait erat dengan ide dasar Riskesdas untuk menyediakan data kesehatan yang sahih, akurat dan dapat dibandingkan serta dapat menghasilkan estimasi yang dapat mewakili rumah tangga dan individu sampai ke tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Siklus yang dimulai dari Tahapan 1 hingga Tahapan 6 menggambarkan sebuah pemikiran yang sistematis dan berlangsung secara berkesinambungan. Dengan demikian, hasil Riskesdas Provinsi Aceh 2013 bukan saja harus mampu menjawab pertanyaan kebijakan, namun dapat memberikan arah bagi pengembangan kebijakan berikutnya. Untuk menjamin kelayakan dan ketepatgunaan dalam penyediaan data kesehatan yang sahih, akurat dan dapat dibandingkan, maka pada setiap tahapan Riskesdas 2013 dilakukan upaya penjaminan mutu yang ketat. Substansi pertanyaan, pengukuran dan pemeriksaan Riskesdas 2013 mencakup data kesehatan yang mengadaptasi sebagian pertanyaan World Health Surveyvi tahun 2002 yang dikembangkan oleh World Health Organization dan diacu oleh 70 negara di dunia.
1. Indikator Status gizi Kesehatan Ibu dan Anak Morbiditas PM, PTM, Cederadan Kesehatan Jiwa Sanitasi lingkungan Pengetahuan, sikap dan Perilaku Disabilitas Ekonomi Akses dan Pembiayaan Pelayanan Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional 2. Disain Alat Pengumpul Data Kuesioner wawancara, pengukuran, pemeriksaan Validitas Reliabilitas Dapat diterima
3. Pelaksanaan Riskesdas 2013 Pengembangan manual Riskesdas Uji Coba Pengembangan modul pelatihan Pelatihan pelaksana Penelusuran sampel Pengorganisasian Logistik Pengumpulan data Supervisi / bimbingan teknis Validasi
Policy Questions
Research Questions
Riskesdas 2013
6. Laporan Tabel Dasar Hasil Pendahuluan Nasional Hasil Pendahuluan Provinsi Hasil Akhir Nasional Hasil Akhir Provinsi
5. Statistik Deskriptif Bivariat Multivariat Uji Hipotesis
4. Manajemen Data Riskesdas 2013 Editing Entry Cleaning Perlakuan terhadap missing data Perlakuan terhadap outliers Consistency check Analisis syntax appropriateness Pengarsipan
1.7. Pengorganisasian Riskesdas 2013 Dasar hukum persiapan Riskesdas 2013 adalah Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 113/MENKES/SK/III/2012 tentang Tim Riset Kesehatan Nasional Berbasis Komunitas Tahun 2012-2014. Organisasi persiapan pelaksanaan Riskesdas 2013 dikukuhkan dengan Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan No. HK.02.04/I.4/15/2013, tanggal 2 Januari 2013 tentang Tim Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Organisasi pengumpulan data Riskesdas Povinsi Aceh 2013 adalah sebagai berikut: 1. Di tingkat provinsi dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Provinsi: Tim Pelaksana di tingkat provinsi diketuai oleh Kadinkes Provinsi, Kasubdin Bina Program, Peneliti Badan Litbangkes, dan Kasie Litbang/Kasie Puldata Dinkes Provinsi. 2. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Kabupaten/Kota : Tim Pelaksana di tingkat kabupaten/ kota diketuai oleh Kadinkes Kabupaten, Kasubdin Bina Program tingkat kabupaten, Peneliti Badan Litbangkes, Politeknik Kesehatan (Poltekkes), dan Kasie Litbangda Dinkes Kab/Kota. Di tingkat kabupaten/ kota dibentuk tim pengumpul dan manajemen data. Setiap tim pengumpul data mencakup 6 BS (150 Rumah Tangga). Tiap tim pengumpul data terdiri dari 5 orang yang diketuai oleh seorang ketua tim (Katim). Kualifikasi tim pengumpul dan manajemen data termasuk Katim, minimal mempunyai pendidikan D3 Kesehatan. Tenaga pengumpul dan manajemen data direkrut dari Poltekkes, STIKES, Universitas (Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kedokteran Gigi), dll. Di beberapa daerah yang kekurangan tenaga pengumpul dan manajemen data digunakan staf dinas kesehatan kabupaten/ kota dengan persetujuan kepala bidang masing-masing untuk dibebaskan dari tugas rutin. 1.8. Manfaat Riskesdas Provinsi Aceh 2013 Manfaat Penelitian 1. Untuk kabupaten/kota: a. Mampu menyusun perencanaan program lebih akurat sesuai perkembangan masalah kesehatan dalam enam tahun terakhir. b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti. c. Mampu merencanakan dan melaksanakan survei kesehatan lanjutan di wilayahnya. 2. Untuk provinsi dan pusat: a. Mampu memetakan perubahan masalah kesehatan dan menajamkan prioritas pembangunan kesehatan antar wilayah. b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti. c. Mampu merencanakan penelitian lanjutan sesuai dengan permasalahan kesehatan. 3. Untuk Peneliti a. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut. b. Sebagai sumber data untuk pengembangan indeks kesehatan. 4. Untuk Institusi Pendidikan
1.9. Persetujuan Etik Riskesdas 2013 Pelaksanaan Riskesdas tahun 2013, telah memperoleh persetujuan etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK), Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI dengan nomor LB.02.01/5.2/KE.006/2013. Persetujuan etik, naskah penjelasan serta formulir Informed Consent (Persetujuan Setelah Penjelasan) dapat dilihat pada Lampiran.
BAB 2. METODOLOGI RISKESDAS 2.1. Desain Riskesdas Provinsi Aceh adalah sebuah survei dengan desain cross sectional. Riskesdas 2013 terutama dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di seluruh pelosok Provinsi Aceh secara menyeluruh, akurat dan berorientasi pada kepentingan para pengambil keputusan ditingkat provinsi dan kabupaten/kota. Berbagai ukuran sampling error termasuk didalamnya standar error, relative standar error, confidence interval, design effect dan jumlah sampel tertimbang akan menyertai setiap estimasi variabel. Menggunakan desain ini, maka setiap pengguna informasi Riskesdas dapat memperoleh gambaran yang utuh dan rinci mengenai berbagai masalah kesehatan yang ditanyakan, diukur atau diperiksa.
2.2. Lokasi Sampel Riskesdas 2013 Provinsi Aceh ditingkat kabupaten/kota berasal dari 23 kabupaten/kota yang tersebar merata di Provinsi Aceh.
2.3. Populasi dan Sampel Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga biasa yang mewakili 23 kabupaten/kota. Sampel rumah tangga dalam Riskesdas 2013 dipilih berdasarkan listing Sensus Penduduk (SP) 2010. Proses pemilihan rumah tangga dilakukan BPS dengan two stage sampling, sama dengan metode pengambilan sampel Riskesdas 2007/Susenas 2007. Berikut ini adalah uraian singkat proses penarikan sampel dimaksud. Penarikan sampel Blok Sensus Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Riskesdas memilih BS yang telah dikumpulkan SP 2013. Pemilihan BS dilakukan sepenuhnya oleh BPS dengan memperhatikan status ekonomi, dan rasio perkotaan/perdesaan. Untuk sampel biomedis, penarikan sampel dilakukan secara stratified random sampling dengan strata berdasarkan besarnya angka prevalensi malaria dan TB-paru hasil Riskesdas 2007. Dari Provinsi Aceh diambil sejumlah BS yang representative (mewakili) rumah tangga/anggota rumah tangga di provinsi tersebut. Riskesdas 2013 berhasil mengumpulkan data dari seluruh BS terpilih yaitu sebanyak 467 BS dan 11625 RT. Jumlah sampel BS, Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga yang dapat dikunjungi dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Distribusi BS, RT dan ART yang dapat dikunjungi (respon rate) menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Jumlah
Jumlah Rumah Tangga
Kabupaten/Kota
Blok Sensus Dikunjungi
Target
Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam
18 18 21 21 23 21 21 23 26 24 26 19 18 22 19 18 19 19 22 11 21 21 16 467
450 450 525 525 575 525 525 575 650 600 650 475 450 550 475 450 475 475 550 275 525 525 400 11 675
Aceh
Anggota Rumah Tangga
Dikunjungi
Respons rate (%)
Jumlah yang terdata
Diwawancara
Respons Rate (%)
450 450 520 525 564 517 525 575 650 600 650 474 440 546 475 447 475 475 549 275 518 525 400 11 625
100 100 99 100 98 98.5 100 100 100 100 100 99.8 97.8 99.3 100 99.3 100 100 99.8 100 98.7 100 100 99.6
1782 1836 1940 1908 2386 1797 1861 2076 2405 2556 2058 1871 1773 2127 1814 1496 1810 1934 1998 980 2063 2171 1726 44368
1779 1684 1668 1905 2060 1784 1757 1984 2006 2203 2058 1311 1726 2066 1719 1462 1674 1822 1884 980 2013 1975 1431 40951
99,83 91,72 85,98 99,84 86,34 99,28 94,41 95,57 83,41 86,19 100,00 70,07 97,35 97,13 94,76 97,73 92,49 94,21 94,29 100,00 97,58 90,97 82,91 92,30
Penarikan sampel Rumah Tangga /Anggota Rumah Tangga Dari setiap blok sensus terpilih kemudian dipilih 25 (dua puluh lima) rumah tangga secara acak sederhana (simple random sampling). Pemilihan sampel rumah tangga ini dilakukan oleh Penanggung Jawab Tehnis Kabupaten yang sudah dilatih. Penarikan sampel Biomedis Sampel untuk pengukuran biomedis merupakan sub-sampel dari 1000 BS yang mewakili nasional. Untuk Provinsi Aceh terpilih kabupaten Aceh Timur (6 BS) dan Aceh Barat daya (3 BS).
2.4. Variabel Berbagai pertanyaan terkait dengan indikator bidang kesehatan dioperasionalisasikan menjadi pertanyaan riset dan akhirnya dikembangkan menjadi variabel yang dikumpulkan dengan menggunakan berbagai cara. Dalam Riskesdas 2013 terdapat kurang lebih 315 variabel yang tersebar dalam 2 (dua) jenis kuesioner (lihat file terlampir), dengan rincian variabel pokok sebagai berikut: Blok I. Pengenalan tempat Blok II. Keterangan Rumah Tangga Blok III. Keterangan Pengumpul Data Blok IV. Keterangan Anggota Rumah Tangga Blok V. Akses dan Pelayanan Kesehatan Blok VI. Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Blok VII. Gangguan Kesehatan Jiwa Berat dalam Keluarga Blok VIII. Kesehatan Lingkungan Blok IX. Pemukiman dan Ekonomi. Blok X. Keterangan Wawancara Individu Blok XI, Keterangan Individu a. Penyakit Menular b. Penyakit tidak Menular c. Cedera d. Gigi dan Mulut e. Ketidakmampuan/Disabilitas f.
Kesehatan Jiwa
g. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku h. Pembiayaan Kesehatan i.
Kesehatan Reproduksi
j.
Kesehatan Anak dan Imunisasi
k. Pengukuran dan Pemeriksaan l.
Pemeriksaan mata
m. Pemeriksaan THT n. Pemeriksaan Status Gigi Permanen o. Pengambilan Spesimen Darah dan Sampel Urin.
2.5. Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data Riskesdas Provinsi Aceh2013 menggunakan alat dan cara pengumpul data dengan rincian sebagai berikut: 1) Pengumpulan data rumah tangga dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan Kuesioner RKD13.RT dan Pedoman Pengisian Kuesioner a. Responden untuk Kuesioner RKD13.RT adalah Kepala Keluarga atau Ibu rumah Tangga atau Anggota Rumah Tangga yang dapat memberikan informasi. b. Dalam Kuesioner RKD13.RT terdapat keterangan tentang apakah seluruh anggota rumah tangga diwawancarai langsung, didampingi, diwakili, atau sama sekali tidak diwawancarai. 2) Pengumpulan data individu pada berbagai kelompok umur dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan Kuesioner RKD13.IND dan Pedoman Pengisian Kuesioner. a. Responden untuk Kuesioner RKD13.IND adalah setiap anggota rumah tangga. b. Khusus untuk anggota rumah tangga yang berusia kurang dari 15 tahun, dalam kondisi sakit maka wawancara dilakukan terhadap anggota rumah tangga yang menjadi pendampingnya. 3) Instrumen yang akan digunakan pada Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut: a. Timbangan badan b. Alat ukur tinggi badan c. Alat ukur Lingkar pinggang dan Lengan atas d. Lup, senter, pinhole, tali ukur 6 meter, snellen chart e. Spekulum f.
Kaca mulut, antiseptik, tisu, sarung tangan, masker
g. Peralatan pemeriksaan dan pengiriman spesimen biomedis (darah, urin, air dan garam) 4) Untuk data biomedis, hasil pemeriksaan darah dan pengambilan spesimen dikumpulkan dengan menggunakan formulir tersendiri.
2.6. Manajemen Data Proses manajemen data Riskesdas Provinsi Aceh 2013 terdiri dari Receiving Batching, Edit, Entri, Penggabungan Data, Cleaning, dan Imputasi. Seluruh kegiatan tersebut membutuhkan waktu kurang lebih tiga bulan. Proses manajemen data dilakukan di lokasi pengumpulan data dan juga dipusat yaitu di Balitbangkes Jakarta. Proses yang dilakukan di lokasi pengumpulan data adalah Receiving Batching, Edit, Entri, pengiriman data, sedangkan proses lainnya dilakukan oleh tim manajemen data di Pusat. Tim Manajemen Data yang dipusatkan di Jakarta mengkoordinir manajemen data Riskesdas 2013 secara keseluruhan, baik proses maupun asal data. Terobosan manajemen data Riskesdas 2013 adalah hasil entri di lokasi pengumpulan data dikirim ke tim manajemen data melalui email dan laporan kemajuan pengumpulan data dan
2.6.1 Receiving Batching Proses Receiving Batching adalah pencatatan penerimaan kuesioner hasil wawancara. Pencatatan dilakukan pada elektronik file yang berisi tentang identitas wilayah yang telah diwawancarai, jumlah Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga yang diwawancarai dan jumlah yang telah dientri. Manfaat dari proses ini untuk mencocokkan konsistensi jumlah data yang diwawancarai, dientri, dikirim, dan diterima oleh tim manajemen data. Selain itu untuk memantau sampel yang belum diwawancarai. Hal ini untuk menghindari adanya data yang hilang karena proses-proses input atau pengiriman elektronik. 2.6.2 Editing Pengumpulan data Riskesdas Provinsi Aceh 2013 dilaksanakan oleh tim yang terdiri dari empat pewawancara dan salah satunya merangkap menjadi Ketua Tim. Tim tersebut didampingi oleh penanggung jawab teknis (PJT) Kabupaten/ Kota yang berfungsi sebagai supervisor yang terlibat langsung di lapangan selama kurang lebih satu bulan. Dalam pelaksanaan pengumpulan data Riskesdas Provinsi Aceh 2013, editing merupakan salah satu mata rantai yang secara potensial dapat menjadi kontrol kualitas data. Editing mulai dilakukan oleh supervisor atau PJT Kabupaten/Kota semenjak pewawancara selesai melakukan wawancara dengan responden. PJT Kabupaten/Kota harus memahami makna dan alur pertanyaan. PJT Kabupaten/Kota melakukan editing kuesioner meliputi pemeriksaan kembali kelengkapan jawaban, termasuk konsistensi alur jawaban, untuk setiap responden pada setiap Blok Sensus. Kelengkapan jawaban dan konsistensi alur jawaban, antara lain seperti : • • • •
Semua pertanyaan terisi sesuai dengan kelompok kriteria yang ditentukan, contoh pertanyaan kesehatan reproduksi hanya diperuntukkan bagi perempuan berumur 15-59 tahun. Blok pemeriksaan dan pengukuran sudah terisi Memeriksa kesesuaian kode bahan makanan Kelengkapan formulir TB dan formulir Malaria (T1 dan T2), termasuk stiker nomor laboratorium, sebelum dilakukan entri data.
2.6.3 Entry Program entri data RiskesdasProvinsi Aceh 2013 dikembangkan menggunakan software CSPro 4.0. Program entri tersebut mencakup kuesioner rumah tangga, individu, Konsumsi, dan Pemeriksaan Malaria-TB yang dapat diintegrasikan. Entri data kuesioner kesehatan masyarakat dan hasil pemeriksaan RDT malaria dilakukan oleh tim pengumpul data di lokasi pengumpulan data. Sedangkan data hasil pemeriksaan spesimen TB dari PRM dientri oleh PJT Kabupaten/Kota. Hasil pemeriksaan apusan darah tebal malaria dilakukan oleh Tim Puslitbang Biomedis dan Farmasi di Jakarta, maka entri data juga dilakukan oleh tim tersebut. Pertanyaan pada kuesioner Riskesdas Provinsi Aceh 2013 ditujukan untuk responden dengan berbagai kelompok umur yang berbeda. Kuesioner tersebut juga banyak mengandung skip questions (pertanyaan lompatan) yang secara teknis memerlukan ketelitian untuk menjaga konsistensi dari satu blok pertanyaan ke blok pertanyaan berikutnya. Oleh karena itu maka dibuat program entri yang diperkuat dengan batasanbatasan entri secara komputerisasi. Prasyarat ini menjadi penting untuk menekan kesalahan entri. Hasil pelaksanaan entri data ini menjadi salah satu bagian penting dalam proses manajemen data, khususnya yang berkaitan dengan cleaning data. Data elektronik yang berupa file hasil entri data diserahkan oleh pengumpul data kepada
http://puldata.litbang.depkes.go.id/adminweb/. Hasil penerimaan data dan cleaning data dapat di http://puldata.litbang.depkes.go.id.
kemajuan pengumpulan data, akses melalui web di alamat
2.6.4 Penggabungan Data File-file data yang telah dikirim oleh PJT Kabupaten/Kota, digabung oleh tim manajemen data. Setiap anggota tim manajemen data di pusat, bertanggung jawab untuk menangani data dari 1 sampai dengan 2 provinsi. Penanggungjawab data melakukan penggabungan data, kemudian transfer data dari *.dat menjadi *.sav. Langkah selanjutnya cleaning sementara agar dapat segera memberi umpan balik pada tim pewawancara untuk memperbaiki data. Setelah seluruh data mempunyai status bersih sementara selesai digabung, dilanjutkan dengan penggabungan data elektronik secara nasional. Hasil penggabungan data dari 2798 Blok Sensus terdiri dari file Rumah Tangga, file daftar Anggota Rumah Tangga, file Individu, file bahan makanan, file kandungan bahan makanan, dan file pemeriksaan TB paru. 2.6.5 Cleaning Tahapan cleaning dalam manajemen data merupakan proses yang penting untuk menunjang kualitas. Proses ini dilakukan juga dalam Riskesdas 2013. Tim manajemen data di pusat sudah melakukan cleaning awal pada data elektronik setiap provinsi pada saat menerima data elektronik dari PJT Kabupaten/Kota. Apabila ada data yang perlu dikonfirmasi ke tim pengumpul data di kabupaten, maka tim manajemen data pusat akan berkoordinasi dengan PJT Kabupaten untuk entri ulang bila perlu dan mengirimkan kembali yang sudah diperbaiki melalui email. Cleaning sementara hanya dilakukan pada variabel-variabel tertentu yang dianggap sangat berisiko untuk salah. Setelah penggabungan keseluruhan provinsi, dilakukan cleaning variabel secara keseluruhan. Tim manajemen data menyediakan pedoman khusus untuk melakukan cleaning data Riskesdas. Perlakuan terhadap missing values, no responses, outliers amat menentukan akurasi dan presisi dari estimasi yang dihasilkan Riskesdas 2013. 3.6.6. Imputasi Imputasi adalah proses untuk penanganan data-data missing dan outlier. Tim Manajemen Data melakukan imputasi data elektronik secara nasional. Pada data Riskesdas 2013 imputasi dilakukan untuk data-data kontinyu yang outlier. Sedangkan data missing hanya ada pada pertanyaan Blok Perilaku Seksual dan tetap dipertahankan missing dengan keterangan tidak bersedia menjawab.
2.7. Keterbatasan Data Riskesdas 2013 Keterbatasan data Riskesdas 2013 mencakup keterbatasan metodologis dan keterbatasan manajemen.
Keterbatasan manajemen operasional Beberapa keterbatasan yang disebabkan faktor manajemen antara lain adalah : 1) Blok sensus tidak terjangkau, karena ketidak-tersediaan alat transportasi menuju lokasi
3) Sejumlah anggota rumah tangga dari rumah tangga yang terpilih tidak seluruhnya bisa diwawancarai oleh Tim Enumerator Riskesdas 2013. Pada saat pengumpulan data dilakukan sebagian anggota rumah tangga tidak ada di tempat. Jumlah anggota rumah tangga yang berhasil dikumpulkan adalah 92,3 persen. (lihat tabel 2.1) .
2.8. Pengolahan dan Analisis Data Hasil pengolahan dan analisis data dipresentasikan pada Bab Hasil dan Pembahasan Riskesdas yang mengikuti blok kuesioner Riskesdas. Jumlah sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga Riskesdas 2013 yang terkumpul seperti tercantum pada tabel 2.1. Pada laporan ini seluruh analisis dilakukan berdasarkan jumlah sampel rumah tangga maupun anggota rumah tangga setelah missing values dan outlier dikeluarkan. Seluruh variabel Riskedas pada saat analisis dilakukan prosedur yang sama, yaitu mengeluarkan missing values dan outlier serta dilakukan pembobotan sesuai dengan jumlah masing-masing sampel. Jumlah sampel Riskesdas 2013 cukup untuk kepentingan analisis yang memberikan gambaran nasional maupun provinsi. Pada bab hasil dari masing-masing blok menjelaskan jumlah sampel yang digunakan untuk kepentingan analisis.
2.9. Pengembangan kuintil indeks kepemilikan Riskesdas 2013 tidak mengumpulkan pengeluaran rumah tangga untuk prediksi status ekonomi yang digunakan sebagai salah satu karakteristik untuk kepentingan analisis, tetapi digunakan pendekatan perhitungan indeks kepemilikan 1. Penentuan kuintil indeks kepemilikan Status sosial ekonomi merupakan salah satu variabel proxy yang sering digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Terdapat tiga cara untuk mengukur status sosio-ekonomi, yaitu melalui data penghasilan per bulan, atau pengeluaran per bulan atau berdasarkan kepemilikan barang tahan lama. Ketiga proxy pengukuran status ekonomi tersebut mempunyai kelebihan dan kelemahan. Pengukuran status ekonomi berdasarkan data penghasilan perbulan mudah ditanyakan, namun mempunyai akurasi yang sulit dipercaya, mengingat tidak semua responden bersedia menjawab dengan jujur jumlah penghasilan per bulan mereka. Di beberapa negara berkembang, sebagian besar penduduk berkerja pada sektor informal, sehingga sulit untuk mendapatkan informasi jumlah penghasilan pasti per bulannya. Mengukur status ekonomi berdasarkan data pengeluaran per bulan mempunyai akurasi yang cukup baik diantara ketiga cara pengukuran, namun untuk dapat memperoleh informasi pengeluaran tersebut diperlukan data rinci tentang berbagai jenis pengeluaran RT secara detail yang seringkali membingungkan responden dan time consumed. Pada beberapa tahun terakhir, pengukuran status ekonomi banyak menggunakan data kepemilikan barang tahan lama, seperti rumah, mobil, motor, sepeda, kulkas dan lain sebagainya. Kelebihan pengukuran berdasarkan kepemilikan barang tahan lama ini lebih mudah ditanyakan dan diobservasi, namun memerlukan perhitungan yang lebih kompleks untuk menyusun satu indeks kepemilikan yang merupakan komposit dari beberapa variabel terkait
Variabel pembentuk indeks adalah: 1) sumber air utama untuk minum, 2) bahan bakar memasak, 3) kepemilikan fasilitas buang air besar, 4) jenis kloset, 5) tempat pembuangan akhir tinja, 6) sumber penerangan, 7) sepeda motor, 8) TV, 9) pemanas air, 10) tabung gas 12 kg, 11) lemari es, dan 12) mobil. Tahapan selanjutnya indeks yang sudah terbentuk dikelompokkan kedalam 5 kuintil: terbawah, menengah bawah, menengah, menengah atas, dan teratas.
BAB 3. AKSES DAN PELAYANAN KESEHATAN Endi Ridwan, Aprildah Nur Sapardin dan Marice Sihombing Akses Pelayanan Kesehatan dalam Riskesdas 2013 mengetahui keberadaan fasilitas kesehatan yang terdiri dari rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, posyandu, poskesdes atau poskestren dan polindes. Moda transportasi yang dapat digunakan oleh rumah tangga menuju fasilitas kesehatan yang terdiri dari mobil pribadi, kendaraan umum, jalan kaki, sepeda motor, sepeda, perahu, transportasi udara dan lainnya serta penggunaan lebih dari dari satu moda transportasi atau kombinasi. Waktu tempuh dengan moda transportasi tersebut yang paling sering digunakan oleh rumah tangga dalam bentuk menit. Kemudian yang terakhir memperoleh gambaran tentang biaya atau ongkos transportasi oleh rumah tangga menuju fasilitas kesehatan dalam satu kali pergi. Hasil lebih rinci dari blok Akses dan Pelayanan Kesehatan dapat dilihat pada Buku Riskesdas Provinsi Aceh 2013 Dalam Angka halaman 31 sd 59 tabel 3.1 sampai tabel 3.50.
3.1 Keberadaan pelayanan kesehatan Pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas kesehatan (faskes) yang terdiri dari rumah sakit pemerintah dan swasta, puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, posyandu, poskesdes atau poskestren, dan polindes, terkait erat dengan akses rumah tangga terhadap faskes. Sampel rumah tangga yang diwawancara dan dianalisis sebanyak 11.625 rumah tangga. Data yang ditampilkan berupa persentase rumah tangga dengan pengetahuan tentang keberadaan faskes tertentu. Persentase pengetahuan rumah tangga terhadap puskesmas atau puskesmas pembantu secara nasional sebanyak 93,1 persen dan pengetahuan terhadap poskesdes atau poskestren sebanyak 19,7 persen.
Gambar 3.1 menunjukkan bahwa di Provinsi Aceh sebanyak 86,2 persen rumah tangga mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah, sedangkan rumah sakit swasta diketahui oleh 31,7 persen rumah tangga. Rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah tertinggi di Kabupaten Gayo Lues dan Kota Sabang (99,4%) sedangkan terendah di Kabupaten Aceh Barat Daya (49,6%). Sedangkan pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan rumah sakit swasta tertinggi di Kota Lhokseumawe (92,8%) dan terendah di Kota Subulussalam (0%).
Gambar 3.2 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan bidan praktek atau rumah bersalin menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Pada gambar 3.2 menunjukkan pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan praktek bidan atau rumah bersalin di Provinsi Aceh angkanya 56,4 persen, namun jika dilihat antar kabupaten/kota, maka tertinggi di Aceh Tenggara (91%) dan terendah di Nagan Raya (8,5%).
Gambar 3.3 menunjukkan bahwa pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan posyandu di Provinsi Aceh adalah 61,9 persen. Jika dilihat menurut kabupaten/kota, maka tertinggi di Aceh Tengah (93,1%) dan terendah di Aceh Barat Daya (12,1%).
3.2 Keterjangkauan fasilitas kesehatan Keterjangkuan fasilitas kesehatan berdasarkan kabupaten/kota dalam Riskesdas 2013 ini dilihat dari aspek alat transportasi, waktu tempuh (dalam satuan menit) dan biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan. Alat transportasi yang digunakan menuju fasilitas kesehatan tersebut berupa mobil pribadi, kendaraan umum, jalan kaki, sepeda motor, sepeda, perahu dan lainnya, yang menggunakan lebih dari satu alat transportasi. Dalam penyajian hasil dinyatakan bahwa alat transportasi tersebut dibedakan menurut fasilitas kesehatan yang ada. Pengetahuan rumah tangga tentang waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan dihitung dalam bentuk menit yang dibuat menjadi 4 kategori yaitu ≤15 menit; 16 – 30 menit; 31-60 menit dan > 60 menit. Sedangkan biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan dalam mata uang rupiah dibuat beberapa kategori yaitu ≤ 10.000; >10.000 – 50.000; >50.000.
Gambar 3.4 Proporsi moda transportasi ke rumah sakit pemerintah menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Gambar 3.4 menunjukkan proporsi pengetahuan rumah-tangga untuk menuju puskesmas yang dapat menggunakan kendaraan umum di perkotaan sebesar 18,3 persen dan perdesaan 32,1 persen. Sementara yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi di perkotaan 2,5 persen dan perdesaan 1,1 persen. Rumah-tangga yang menggunakan sepeda motor di perkotaan 62,6 persen dan perdesaan 50 persen. Menurut kuintil indeks kepemilikan bahwa yang tertinggi adalah dengan menggunakan sepeda motor, dimana penggunaan tertinggi ada pada rumah-tangga menengah atas (70%) dan terendah pada rumah-tangga terbawah (30,4%). Sementara yang terendah adalah pada penggunaan sepeda untuk menuju ke RS pemerintah, dimana angka tertinggi ada pada rumahtangga terbawah0,0 persen dan terendah di rumah-tangga teratas 0,5 persen..
Gambar 3.5 Waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan terdekat menurut pengetahuan rumah tangga, Provinsi Aceh 2013 Gambar 3.5 menjelaskan bahwa waktu tempuh rumah tangga menuju fasilitas kesehatan di rumah sakit pemerintah tertinggi pada 31-60 menit (32%) dan terendah <16 menit (16%). Berbeda dengan pola pada waktu tempuh menuju rumah sakit swasta dimana tertinggi pada <16 menit (28,9%) dan terendah >60 menit (22,5%). Pola ini hampir sama dengan waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan lainnya, yaitu puskesmas atau pustu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, poskesdes atau poskestren, polindes dan posyandu terbanyak pada waktu tempuh <16 menit. Data dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka.
Gambar 3.6 menunjukkan bahwa pengetahuan tentang waktu tempuh rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah menurut tempat tinggal yaitu dengan waktu 16-30 menit, tertinggi di perkotaan (41%), sementara di perdesaan (25,6%). Dengan waktu 31-60 menit di perkotaan (24,7%) dan perdesaan (34,6%). Sedangkan dengan waktu tempuh <16 menit di perkotaan (27,3%) dan perdesaan (6,3%). Sedangkan menurut kuintil indeks kepemilikan, dengan waktu tempuh 16-30 menit, tertinggi pada rumah tangga teratas (38,5%) dan terendah pada rumah tangga terbawah (22,2%).Dengan waktu tempuh 31-60 menit, tertinggi pada rumah tangga terbawah (31,3%) dan terendah pada rumah tangga teratas (25,5%).
Gambar 3.7 Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan terdekat, Provinsi Aceh 2013
Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumahbersalin dengan 3 kategori yaitu ≤ Rp.10.000,-; >Rp.10.000 – Rp.50.000 dan > Rp,50.000,-. Biaya transportasi masih didominasi pada ≤ Rp.10.000,- untuk rumah sakit swasta (48,6%), puskesmas atau puskesmas (87%), dokter praktek atau klinik (78,7%) dan praktek bidan atau rumah bersalin (93,5%). (Gambar 3.7)
. Gambar 3.8 Biaya transportasi menuju UKBM terdekat, Provinsi Aceh 2013 Gambar 3.8 menunjukkan biaya transportasi menuju Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) seperti Poskesdes atau poskestren, polindes dan posyandu dibuat dalam 2 kategori yaitu yaitu ≤Rp.10.000,- dan >Rp.10.000,-. Pada biaya transportasi ini masih banyak yang ≤Rp.10.000,- yaitu di poskesdes atau poskestren (99,2%), polindes (99%) dan posyandu (98,8%).
Daftar Pustaka Badan litbangkes 2007, Riset Kesehatan Dasar 2007, Badan litbangkes Kemenkes RI, Jakarta Kementerian kesehatan RI, 2007, Permenkes RI nomor 949 tahun 2007 tentang tentang kriteria sarana pelayanan kesehatan terpencil dan sangat terpencil, Jakarta. Kementerian Kesehatan RI, 2012, Pedoman Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan di DTPK, Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Direktorat Bina Upaya Kesehatan Dasar, Kemenkes RI, Jakarta. Kementerian kesehatan RI, 2013, Permenkes RI nomor 6 tahun 2013 tentang kriteria fasilitas pelayanan kesehatan terpencil, sangat terpencil, dan fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak diminati, Jakarta. Suharmiati; Handayani L.; Kristiana L., 2012, Faktor Faktor yang mempengaruhi keterjangkauan pelayanan kesehatan di puskesmas terpencil perbatasan di kabupaten Sambas (Studi kasus di Puskesmas Sajingan Besar), Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, volume 15, No.3 Juli 2012, ISSN:1410-2935.
BAB 4. FARMASI DAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL Marice Sihombing, Aprildah Nur Sapardin , dan Endi Ridwan Bahasan Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) bertujuan mengetahui proporsi rumah tangga (RT) yang menyimpan obat untuk pengobatan sendiri (swamedikasi), rumah tangga yang memiliki pengetahuan benar tentang Obat Generik (OG) dan sumber informasi tentang OG. Pertanyaan Yankestrad mencakup jenis dan alasan memanfaatkan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir. Sampel yang dianalisis sejumlah 294.969 rumah tangga, dikelompokkan menjadi tiga: 1) Obat dan Obat Tradisional (OT); 2) Pengetahuan rumah tangga tentang obat generik (OG), dan 3) Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad). Farmasi dan Yankestrad merupakan bahasan baru yang dikumpulkan informasinya pada Riskesdas 2013. Hasil lebih rinci dari blok Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional dapat dilihat pada Buku Riskesdas Provinsi Aceh 2013 Dalam Angkahalaman 60 sampai dengan 75 tabel 4.1 sampai 4.28
4.1. Obat dan Obat Tradisional (OT) di Rumah tangga Data obat yang disimpan di rumah tangga dalam Riskesdas 2013 meliputi obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-obat yang tidak teridentifikasi. Proporsi rumah tangga yang menyimpan antibiotika dipisahkan dalam penyajian data ini karena penggunaan di masyarakat cukup tinggi dan tidak rasional dapat memicu perkembangan resistensi mikroba. Gambar 4.1 menunjukkan bahwa dari 31,6 persen rumah tangga yang menyimpan obat untuk swamedikasi, terdapat obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-obat yang tidak teridentifikasi. Secara proporsi RT yang menyimpan obat bebas 81,4 persen dan antibiotika 32,8 persen
100 OK=Obat Keras OB=Obat Bebas AB=Antibiotik OT=Obat Tradisional OT=Obat Tidak
81,4 80 60
42,4 32,8
40 20
9,9
5,3
0 OK
OB
AB
OT
OTT
Gambar 4.1 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat yang disimpan, Provinsi Aceh 2013 Tabel 4.1 menunjukkan variasi RT yang menyimpan obat untuk keperluan swamedikasi, dengan proporsi tertinggi rumah tangga di Banda Aceh (60,1%) dan terendah di Nagan Raya (5,1%). Rerata sediaan obat yang disimpan hampir 3 macam, tertinggi di Aceh Timur ( lebih dari 3
Tabel. 4.1 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat/OT, dan rerata jumlah items obat/OT yang disimpan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota
Ya* 20,8 25,9 12,7 30,1 43,3 33,9 31,6 28,3 31,9 29,2 24,3 24,3 30,4 44,6 5,1 12,9 44,8 15,6 60,1 33,4 42,1 40,8 42,2 31,6
Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh *) dalam persen (%)
Menyimpan Obat Rerata Jumlah Items Obat 2,01 2,77 3,20 1,72 3,45 1,73 2,84 1,94 3,43 3,13 2,87 2,45 3,16 2,75 2,03 2,00 3,06 3,18 2,88 2,32 2,83 3,27 2,73 2,8
Berdasarkan karakteristik, hampir tidak ada perbedaan dalam hal jenis obat yang disimpan di rumah tangga menunjukkan bahwa dari 35,2 persen rumah tangga yang menyimpan obat untuk swamedikasi, terdapat obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-obat yang tidak teridentifikasi. Secara propinsi proporsi RT yang menyimpan obat keras 42,4 persen dan antibiotika 32,8 persen. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan penggunaan obat yang tidak rasional dan dapat memicu resistensi obat. (Tabel 4.2) Tabel. 4.2 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis obat dan OT yang disimpan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah
Obat Keras
Obat Bebas
Antibiotika
Obat Tradisional
Obat Tidak Teridentifikasi
40,8 43,2
84,0 79,9
29,3 34,9
10,2 9,7
3,2 6,5
41,5 45,5
75,8 81,3
38,6 35,7
10,1 8,5
8,0 10,0
Tabel 4.3 menunjukkan rumah tangga menyimpan antibiotika dan obat keras yang diperoleh tanpa resep dokter. Di tingkat Provinsi Aceh 81,4 persen rumah tangga menyimpan obat keras yang diperoleh tanpa resep dengan proporsi tertinggi di Kabupaten Aceh Tenggara (93,6%) dan terendah di Kabupaten Bireun (66,8%). Delapan puluh enam persen rumah tangga menyimpan antibiotika tanpa resep, dengan proporsi tertinggi di Kabupaten Aceh Tenggara (98,4%) dan terendah di Kabupaten Aceh Singkil (67,9%). Tabel. 4.3 Persentase rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Menyimpan obat Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Obat Keras
Antibiotika
91,8 74,8 76,8 93,6 86,0 89,7 78,7 88,1 83,7 66,8 73,8 82,1 88,5 85,8 83,8 79,4 85,1 70,2 78,0 87,7 75,4 85,9 77,8 81,4
91,1 67,9 78,7 98,4 85,5 93,7 87,5 94,4 92,8 76,0 70,1 81,1 80,3 89,1 85,9 88,6 93,1 72,6 87,6 94,0 86,0 91,8 83,8 85,9
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa berdasarkan tempat tinggal, proporsi rumah tangga yang memperoleh obat di apotek lebih tinggi di perkotaan (52,1%), sebaliknya proporsi rumah tangga yang memperoleh obat langsung dari tenaga kesehatan lebih tinggi di perdesaan(36,2%). Proporsi rumah tangga yang mendapatkan obat dari pelayanan kesehatan formal (puskesmas, rumah sakit, klinik) lebih rendah di perkotaan (19,9%) dibandingkan dengan di perdesaan
Tabel. 4.4 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat dan OT menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Apotek
Toko obat/ warung
Yankes formal
Nakes
Lain-lain*
52,1 23,7
19,8 19,7
19,9 29,8
19,7 36,2
3,2 3,1
14,5 23,0 31,3 41,9 48,7
21,7 18,9 18,6 20,1 19,9
30,2 31,5 30,7 21,9 20,1
37,7 36,3 29,6 27,9 24,0
3,7 3,3 1,8 3,0 4,0
Tabel 4.5 menunjukkan status obat yang ada di rumah tangga untuk tujuan swamedikasi. Status obat dikelompokkan menurut obat yang ‗sedang digunakan‘, obat ‗untuk persediaan‘ jika sakit, dan ‗obat sisa‘. Obat sisa dalam hal ini adalah obat sisa resep dokter atau obat sisa dari penggunaan sebelumnya yang tidak dihabiskan. Berdasarkan tempat tinggal didapati 40,7 persen rumah tangga menyimpan obat sisa di wilayah perkotaan, lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi rumah tangga yang menyimpan obat sisa di perdesaan (20,8%). Tabel. 4.5 Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat dan OT yang disimpan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Status Obat di Rumah Tangga Karakteristik Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Sedang digunakan
Obat sisa
Untuk persediaan
35,9 46,8
40,7 20,8
43,5 46,8
50,2 47,7 43,0 39,4 38,1
13,5 17,8 25,7 34,3 40,3
45,9 47,7 48,3 45,1 41,9
4.2. Pengetahuan Rumah tangga tentang Obat Generik (OG)
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa di Provinsi Aceh terdapat 33,7 persen rumah tangga yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG. Dari jumlah tersebut, sebagian besar (79,3%) tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang OG.
Tabel 4.6 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG) menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam
Pengetahuan tentang OG
Mengetahui tentang OG
Benar*
Salah
23,0 21,5 14,0 78,2 13,5 11,3 16,6 68,1 11,6 16,8 31,0 18,6 19,3 35,0 9,0 50,5 27,5 17,1 66,1 43,2 51,8 53,5 11,4
4,5 0,8 1,9 38,1 2,4 0,5 1,9 18,1 1,8 2,5 3,9 9,6 4,5 1,5 1,2 9,9 3,3 1,4 16,3 10,5 3,7 8,0 1,3
95,5 99,2 98,1 61,9 97,6 99,5 98,1 81,9 98,2 97,5 96,1 90,4 95,5 98,5 98,8 90,1 96,7 98,6 83,7 89,5 96,3 92,0 98,7
Aceh 33,7 20,7 79,3 *Berpengetahuan ’BENAR’ tentang Obat Generik (OG) adalah jika Rumah Tangga menjawab ’YA’ untuk pernyataan bahwa OG adalah ’Obat yang khasiatnya sama dengan obat bermerek’ dan ’Obat tanpa merek dagang’
Tabel 4.7 menunjukkan pengetahuan benar tentang OG rendah baik di rumah tangga perkotaan (11,5%) maupun di perdesaan (4,3%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi proporsi RT dengan pengetahuan benar tentang OG.
Tabel 4.7 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG ) menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Pengetahuan tentang OG Benar* Salah
Mengetahui tentang OG
Karakteristik
Tempat Tinggal Perkotaan 48,6 11,5 88,5 Perdesaan 23,7 4,3 95,7 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 13,4 3,4 96,6 Menengah bawah 18,0 3,0 97,0 Menengah 29,1 4,8 95,2 Menengah atas 47,2 10,1 89,9 Teratas 53,7 12,3 87,7 *Berpengetahuan ’BENAR’ tentang Obat Generik (OG) adalah jika Rumah Tangga menjawab ’YA’ untuk pernyataan bahwa OG adalah ’Obat yang khasiatnya sama dengan obat bermerek’ dan ’Obat tanpa merek dagang’ Tabel 4.8 menunjukkan 83,3 persen rumah tangga di perdesaan mempunyai persepsi OG sebagai obat murah lebih tinggi dibanding perkotaan (69,1%), sedangkan yang berpendapat sebagai obat program pemerintah, lebih tinggi di perkotaan (75,7%) daripada di perdesaan (68,8%). Sebesar 50,5 persen rumah tangga mempersepsikan OG berkhasiat sama dengan obat bermerek di daerah perkotaan, dan ini lebih tinggi dari daerah perdesaan (35,1%). Persepsi tersebut perlu di promosikan lebih gencar untuk mendorong penggunaan OG lebih luas dan lebih baik dimasyarakat. Proporsi rumah tangga dengan persepsi bahwa OG adalah obat tanpa merek dagang, masih sangat rendah baik di perkotaan (31,4%) maupun di perdesaan (21,7%), padahal persepsi tersebut adalah salah satu persepsi benar yang diharapkan diketahui masyarakat luas. Tabel 4.8 Proporsi rumah tangga berdasarkan persepsi tentang obat generik (OG ) menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Karakteristik Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Persepsi Responden Tentang OG Obat Obat Khasiat Dapat bagi tanpa sama dg dibeli di Pasien Merek Obat Warung Miskin Dagang Bermerek
Obat Program Pemerintah
Obat Gratis
Obat Murah
69,1 83,3
82,6 86,3
50,3 63,6
28,6 39,1
31,4 21,7
50,5 35,1
75,7 68,8
89,2 82,9 76,7 76,9 70,3
87,9 84,9 84,3 85,1 83,4
77,7 67,3 57,2 50,7 54,1
53,0 41,3 33,3 28,5 31,8
26,1 22,4 20,1 28,1 29,7
36,1 34,1 35,8 44,5 48,9
61,8 63,4 71,1 75,4 76,1
Tabel 4.9 menunjukkan informasi tentang OG paling banyak didapat dari tenaga kesehatan, di perdesaan sebanyak 80,9 persen lebih tinggi dari di perkotaan 74,0 persen. Sedangkan melalui
Tabel 4.9 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat generik (OG) menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Rumah tangga yang mengetahui tentang OG dan menyatakan sumber informasi OG diperoleh dari: Media Media Tenaga Kader, Teman, Pendidikan cetak elektronik kesehatan toma kerabat 40,9 49,6
68,4 67,9
74,0 80,9
29,2 38,7
29,2 40,8
22,2 14,4
49,8 41,7 43,2 44,7 48,7
64,4 62,5 66,7 68,4 72,6
81,7 82,9 74,2 75,9 78,7
43,2 37,8 37,0 33,0 29,8
45,4 44,4 34,0 30,2 35,2
6,0 10,8 15,2 19,7 25,0
4.3. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) Yankestrad terdiri dari 4 jenis, yaitu Yankestrad ramuan (pelayanan kesehatan yang menggunakan jamu, aromaterapi, gurah, homeopati dan spa), keterampilan dengan alat (akupunktur, chiropraksi, kop/bekam, apiterapi, ceragem, dan akupresur), keterampilan tanpa alat (pijat-urut, pijat-urut khusus ibu/bayi, pengobatan patah tulang, dan refleksi), dan keterampilan dengan pikiran (hipnoterapi, pengobatan dengan meditasi, prana, dan tenaga dalam). Tabel pada sub-blok ini menyajikan informasi proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam satu tahun terakhir, jenis-jenis Yankestrad yang dimanfaatkan serta alasan utama memanfaatkannya.
Gambar 4.2 Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis
Tabel 4.10 menunjukkan proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad tertinggi di Kabupaten Bener Meriah (68,9%) dan Kota Subulussalam (50,1%), terendah di Kota Sabang (1,1%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad ramuan tertinggi di Kota Sabang (100%) dan yang terendah di Bener Meriah (3,7%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan dengan alat tertinggi di Kabupaten Gayo Lues (15%) dan terendah di Kabupaten Bener Meriah (0,8%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan tanpa alat tertinggi di Kabupaten Bener Meriah (98,4%) dan terendah di Kabupaten Pidie (18,8%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan dengan pikiran, tertinggi di Kabupaten Pidie (55,5%) dan terendah di Kabupaten Aceh Tengah (1,1%). Tabel 4.10 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Pernah memanfaatkan Yankestrad
Yankestrad ramuan
Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam
14,4 31,0 30,4 43,9 18,6 31,5 14,9 4,5 13,2 18,0 11,2 10,8 19,0 11,5 4,0 11,5 68,9 7,9 14,2 1,1 13,9 30,4 50,1
Aceh
18,5
Kabupaten/Kota
Yankestrad ketrampilan dengan alat
Yankestrad ketrampilan tanpa alat
Yankestrad ketrampilan dg pikiran
42,6 59,2 90,2 77,9 52,8 7,2 52,5 52,6 45,0 26,3 71,1 42,4 14,4 22,3 49,7 14,6 3,7 29,0 56,2 100,0 25,1 50,3 18,4
2,4 4,3 2,5 3,8 7,6 9,8 1,7 12,2 3,3 6,6 1,1 8,7 15,0 3,7
17,2 4,9 3,5 4,1 39,3 1,1 30,6 7,7 55,5 2,8 11,7 17,4 38,1 11,4 30,7 12,2 7,2 34,5 6,2
7,4 8,5 2,7
79,8 81,5 20,2 88,5 36,6 90,8 47,3 46,5 18,8 81,3 26,0 40,3 45,8 71,3 22,2 75,8 98,4 40,7 51,2 43,0 78,9 57,9 90,1
44,3
4,9
61,1
17,1
9,2 0,8 2,9 6,2
7,8 34,9 43,1
Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan tanpa alat lebih banyak di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, sebaliknya proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad ramuan lebih tinggi diperdesaan. Pemanfaatan Yankestrad keterampilan tanpa alat sejalan dengan semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, Sedangkan pemanfaatan Yankestrad ramuan terbanyak dilakukan oelh kuintil indeks kepemilikan terbawah. Seperti terlihat pada tabel 4.11 Tabel 4.11 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik
Pernah memanfaatkan yankestrad
Yankestrad ramuan
Yankestrad ketrampilan dengan alat
Yankestrad ketrampilan tanpa alat
Yankestrad ketrampilan dg pikiran
17,6 18,9
41,7 45,3
7,0 4,1
67,4 58,7
11,3 19,3
19,0 17,5 17,2 19,3 19,7
57,3 42,4 36,3 39,8 43,1
2,8 4,0 3,2 6,1 9,3
52,2 62,1 65,1 63,1 65,1
22,8 20,0 17,4 12,4 11,3
Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Tabel 4.12 memperlihatkan alasan utama terbanyak pemanfaatan berbagai yankestrad oleh rumah tangga. Yankestrad ramuan, keterampilan dengan alat, dan keterampilan tanpa alat sebagian besar dimanfaatkan rumah tangga dengan alasan utama ‗menjaga kesehatan, kebugaran‘. Proporsi rumah tangga dengan alasan utama ‗coba-coba‘ cukup tinggi untuk yankestrad keterampilan dengan alat (13,1%), perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya dampak negatif dari penggunaan alat yang belum terstandardisasi. Alasan utama karena ‗tradisi kepercayaan‘ terlihat dominan pada pemanfaatan yankestrad keterampilan dengan pikiran (57,0%). Tabel 4.12 Proporsi rumah tangga berdasarkan alasan utama terbanyak memanfaatkan Yankestrad, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Yankestrad Ramuan Keterampilan dengan alat Keterampilan tanpa alat Keterampilan dengan pikiran
Menjaga kesehatan kebugaran 16,2
Alasan memanfaatkan Yankestrad keterampilan tanpa alat Tradisi Lebih Biaya Lebih Putus Cobakepermanjur murah aman asa coba cayaan 7,0 39,5 22,1 4,0 7,1 2,8
Lain nya*) 1,3
22,7
16,1
23,0
17,5
4,9
0,0
13,1
2,2
33,0
31,0
23,0
3,8
3,5
2,0
2,3
1,4
0,9
19,7
57,0
3,8
0,0
7,5
10,1
0,6
Daftar Pustaka Badan POM RI. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI). 2008 Database Registrasi, Badan POM RI. Accessed September 2013 fromhttp://www.pom.go.id/webreg/index.php/home/produk/ Hardon A, Hodgkin C and Fresle D. How to investigate the use of medicines by consumers. WHO and University of Amsterdam, 2004. Media Informasi Obat dan Penyakit – online. http://medicastore.com/ MIMS Indonesia.108th. Edition. 2007. World Health Organization. Guidelines for the regulatory assessment of Medicinal Products for use in self-medication. WHO/EDM/QSM/00.1, 2000.
BAB 5. KESEHATAN LINGKUNGAN Aprildah Nur Sapardin, Marice Sihombing, dan Endi Ridwan Topik kesehatan lingkungan pada Riskesdas 2013 ditujukan untuk mengevaluasi program yang sudah ada, menindaklanjuti upaya perbaikan yang akan dijalankan, dan mengidentifikasi faktor risiko lingkungan berbagai jenis penyakit dan gangguan kesehatan. Dengan diperolehnya data kesehatan lingkungan termutakhir, diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan dalam upaya pengendalian penyakit berbasis lingkungan. Pada Riskesdas 2013 disajikan data kesehatan lingkungan yang meliputi, air minum, sanitasi (jamban dan sampah), dan kesehatan perumahan. Data kesehatan perumahan meliputi jenis bahan bangunan, lokasi rumah dan kondisi ruang rumah, kepadatan hunian, jenis bahan bakar untuk memasak, dan penggunaan atau penyimpanan pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah. Di samping itu disajikan data perilaku rumah tangga dalam menguras bak mandi berkaitan dengan risiko penyebaran penyakit tular vektor (DBD, malaria). Sebagai unit analisis adalah rumah tangga. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menyajikan keadaan kesehatan lingkungan menurut provinsi, tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan. Hasil lebih rinci dari blok Kesehatan Lingkungan dapat dilihat pada Buku Riskesdas Provinsi Aceh 2013 Dalam Angka halaman 75 sampai dengan 112, tabel 5.1 sampai tabel 5.66
5.1 Air Minum dan Air untuk Keperluan Rumah tangga Ruang lingkup air dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi, jenis sumber air untuk keperluan minum dan keperluan rumah tangga. Rerata pemakaian air per orang per hari, jarak sumber air terhadap penampungan tinja, jarak dan waktu tempuh ke sumber air minum, anggota rumah tangga yang mengambil air, kualitas fisik air, pengelolaan (pengolahan dan penyimpanan) air minum. Untuk akses terhadap sumber air minum digunakan kriteria JMP WHO - Unicef tahun 2006. Menurut kriteria tersebut, rumah tangga memiliki akses ke sumber air minum improved adalah rumah tangga dengan sumber air minum dari air ledeng/PDAM, sumur bor/pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung, penampungan air hujan, dan air kemasan (HANYA JIKA sumber air untuk keperluan rumah tangga lainnya improved). Hasil menunjukkan bahwa jenis sumber air untuk seluruh kebutuhan rumah tangga di Provinsi Aceh pada umumnya adalah sumur gali terlindung (46,7%), air ledeng/PDAM (17,6%) dan sumur gali tidak terlindungi (12,8%) (Riskesdas 2013 dalam Angka). Di perkotaan, lebih banyak rumah tangga yang menggunakan air dari sumur gali terlindungi (37,9%) dan air ledeng/PDAM (35,7%), sedangkan di perdesaan lebih banyak yang menggunakan sumur gali terlindung (50,2%). Pada rumah tangga yang menggunakan sumber air untuk seluruh keperluan rumah tangga selain air sungai/danau/irigasi, pemakaian air per orang per hari oleh rumah tangga di Provinsi Aceh, pada umumnya berjumlah antara 50 sampai 99,9 liter (29,1%), dan antara 100 sampai 300 liter (44,4%). Proporsi rumah tangga tertinggi untuk pemakaian air antara 100 liter sampai 300 liter per orang per hari paling tinggi adalah Pidie (80,2%), sedangkan proporsi terendah adalah Aceh Selatan (3,0%). Masih terdapat rumah tangga dengan pemakaian air kurang dari 20 liter per orang per hari, bahkan kurang dari 7,5 liter per orang per hari (masing-masing 1,8 persen dan 0,0 persen). Berdasarkan kabupaten/kota, proporsi rumah tangga dengan jumlah pemakaian air per orang per hari kurang dari 20 liter tertinggi adalah Pidie (0,2%) diikuti Bener Meriah dan Kota Langsa (masing-masing 0,1 persen). Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan pemakaian air kurang dari 20 liter per
tangga dengan kuintil indeks kepemilikan menengah bawah dan terbawah kecenderungan pemakaian air adalah kurang dari 100 liter per orang per hari. Untuk sumber air minum, rumah tangga di Provinsi Aceh menggunakan air kemasan, air isi ulang/depot air minum, air ledeng baik dari PDAM maupun membeli eceran, sumur bor/pompa, sumur terlindung, mata air (baik terlindung maupun tidak terlindung), penampungan air hujan dan air sungai/irigasi. Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved di Provinsi Aceh adalah sebesar 66,8 persen. Lima kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga yang memiliki akses terhadap air minum improved adalah Aceh Tenggara (67,5%), Aceh Jaya (63,3%), Pidie (62,3%), Bireuen (61,9%) dan Nagan Raya (59,7%); sedangkan lima kabupaten/kota terendah adalah Banda Aceh (12,4%), Sabang (18,4%), Lhokseumawe (24,7%), Langsa (25,7%) dan Aceh Tamiang (28,1%). Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved di perkotaan (28,1%) lebih rendah dibandingkan di perdesaan (54,8%). Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved paling tinggi adalah rumah tangga dengan kuintil indeks kepemilikan menengah bawah (61,1%) dan terbawah (57,7%) (Gambar 5.1).
Gambar 5.1 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum Improved menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Apabila dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007, maka proporsi rumah tangga di Provinsi Aceh yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved cenderung meningkat (tahun 2007: 48,2%; tahun 2013: 53,4%) (Gambar 5.2).
Gambar 5.2 Kecenderungan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum Improved menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013 Gambar 5.3 menunjukkan situasi anggota rumah tangga menurut gender yang biasa mengambil air di Provinsi Aceh. Pada umumnya yang biasa mengambil air minum adalah laki-laki dewasa dan perempuan dewasa (masing-masing 63,7% dan 35,2%). Apabila dibandingkan, proporsi anggota rumah tangga laki-laki dewasa mengambil air di perkotaan (76,8%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (58,6%); sedangkan untuk perempuan dewasa di perdesaan (40,2%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (22,3%).
Gambar 5.3 Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa mengambil air, Provinsi Aceh 2013 Masih terdapat anak laki-laki (0,6%) dan anak perempuan (0,5%) berumur di bawah 12 tahun yang biasa mengambil air untuk kebutuhan minum rumah tangga. Proporsi rumah tangga dengan anak perempuan berumur di bawah 12 tahun sebagai pengambil air minum di perkotaan
Gambar 5.4 Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa mengambil air menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI (Permenkes RI) No. 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Kualitas Air Minum disebutkan bahwa air minum harus memenuhi persyaratan kesehatan secara fisik, kimia, dan mikrobiologi. Dalam laporan ini air minum yang dikonsumsi dikategorikan baik apabila memenuhi persyaratan kualitas fisik; yaitu tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak berbau. Pada umumnya air minum rumah tangga di Provinsi Aceh (88,2%) termasuk dalam kategori baik (tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak berbau). Masih terdapat rumah tangga dengan kualitas air minum keruh (8,4%), berwarna (6,4%), berasa (4,0%), berbusa (1,2%), dan berbau (3,8%). Berdasarkan provinsi, proporsi rumah tangga tertinggi dengan air minum keruh, berwarna dan berasa adalah di Nagan Raya (masing-masing 25,0%; 24,4% dan 13,6%), berbusa di Aceh Timur (3,4%) dan berbau adalah di Aceh Utara (12,9%). (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka). Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan kualitas air minum kategori baik (tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak berbau) di perkotaan (96,0%) lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (92,0%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga dengan kualitas air minum kategori baik cenderung meningkat (Gambar 5.5).
Gambar 5.5 Proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas fisik air minum menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Gambar 5.6 memperlihatkan proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum menurut kabupaten/kota. Proporsi rumah tangga yang mengolah air sebelum di minum di Provinsi Aceh sebesar 59,5 persen. Lima kabupaten/kota tertinggi dengan rumah tangga mengolah air sebelum diminum adalah Pidie Jaya (84,5%), Bener Meriah (82,2%), Subulussalam (80%), Aceh Timur (78,5%), dan Bireuen (74,3%) sedangkan lima provinsi terendah adalah Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe, Langsa, dan Aceh Tamiang.
Gambar 5.6 Proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum menurut
Gambar 5.7 Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air minum sebelum diminum, Provinsi Aceh 2013 Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum dengan cara pemanasan/dimasak, di perkotaan (95,7%) hampir sama dengan di perdesaan (95,9%). Tidak ada perbedaan proporsi diantara tingkat kuintil indeks kepemilikan dalam melakukan pengolahan air minum dengan cara dipanaskan atau dimasak.
5.2 Sanitasi Ruang lingkup sanitasi dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi penggunaan fasilitas buang air besar (BAB), jenis tempat BAB, tempat pembuangan akhir tinja, jenis tempat penampungan air limbah, jenis tempat penampungan sampah, dan cara pengelolaan sampah. Untuk akses terhadap fasilitas tempat buang air besar (sanitasi) digunakan kriteria JMP WHO - Unicef tahun 2006. Menurut kriteria tersebut, rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved adalah rumah tangga yang menggunakanfasilitas BAB milik sendiri, jenis tempat BAB jenis leher angsa atau plengsengan, dan tempat pembuangan akhir tinja jenis tangki septik. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa rumah tangga di Provinsi Aceh menggunakan fasilitas BAB milik sendiri (64,6%), milik bersama (5,7%), dan fasilitas umum (7%). Tertinggi untuk proporsi rumah tangga menggunakan fasilitas BAB milik sendiri adalah Kota Banda Aceh (98,1%); diikuti oleh Kota Langsa (90,5%). Meskipun sebagian besar rumah tangga di Provinsi Aceh memiliki fasilitas BAB, masih terdapat rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB sehingga melakukan BAB sembarangan, yaitu sebesar 22,7 persen. Proporsi rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB/BAB sembarangan tertinggi adalah Kabupaten Gayo Lues (59,2%); Aceh Tenggara (43,7%);dan Pidie (40,9%) (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka). Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri di perkotaan lebih tinggi (87,6%) dibandingkan di perdesaan (55,4%); sedangkan proporsi rumah tangga BAB di fasilitas milik bersama, umum, maupun sembarangan, di perdesaan (masingmasing 5,8, 9,1, dan 29,7 persen) lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan (5,5, 1,8, dan 5 persen). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi juga proporsi rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri. Semakin rendah kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga yang melakukan BAB sembarangan semakin tinggi (Buku Riskesdas
Masih terdapat rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja tidak ke tangki septik (SPAL, kolam/sawah, langsung ke sungai/danau/laut, langsung ke lubang tanah, atau ke pantai/kebun). Kabupaten/kota dengan proporsi pembuangan akhir tinja ke tangki septik terendah adalah Aceh Tenggara (26,4%), Gayo Lues (34%) dan Aceh Timur (39,4%)
Gambar 5.8 Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja menggunakan tangki septik di perkotaan lebih tinggi (87,2%) dibanding di perdesaan (53,1%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga dengan pembuangan tinja ke tangki septik juga semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kuintil indeks kepemilikan; proporsi rumah tangga yang tidak menggunakan tangki septik semakin tinggi (Buku Riskesdas dalam Angka 2013). Tabel 5.1 menyajikan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi improved sesuai dengan kriteria JMP WHO - Unicef tahun 2006. Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved di Provinsi Aceh tahun 2013 adalah sebesar 53,4 persen. Kabupaten/kota dengan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved tertinggiadalah Kota Banda Aceh (97%), Lhokseumawe (84,2%), Kabupaten Aceh Jaya (82,4%), Kota Sabang (80,8%) dan Kota Langsa (80,6%), sedangkan kabupaten/kota dengan proporsi akses terendah adalah Kabupaten Aceh Tenggara (21,4%), Aceh Barat Daya (26,1%), Gayo Lues (27,6%) dan Pidie (29,8%).
Tabel 5.1 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi berdasarkan kriteria JMP WHO – Unicef 2006 menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Akses Fasilitas Sanitasi Improved *) Unimproved **) Simeulue 44,6 55,4 Aceh Singkil 54,7 45,3 Aceh Selatan 41,4 58,6 Aceh Tenggara 21,4 78,6 Aceh Timur 35,3 64,7 Aceh Tengah 70,9 29,1 Aceh Barat 58,1 41,9 Aceh Besar 56,6 43,4 Pidie 29,8 70,2 Bireuen 67,9 32,1 Aceh Utara 46,7 53,3 Aceh Barat Daya 26,1 73,9 Gayo Lues 27,6 72,4 Aceh Tamiang 68,2 31,8 Nagan Raya 43,2 56,8 Aceh Jaya 82,4 17,6 Bener Meriah 53,0 47,0 Pidie Jaya 55,2 44,8 Kota Banda Aceh 97,0 3,0 Kota Sabang 80,8 19,2 Kota Langsa 80,6 19,4 Kota Lhokseumawe 84,2 15,8 Kota Subulussalam 40,4 59,6 ACEH 53,4 46,6 *)Fasilitas sendiri, sarana jamban leher angsa dan atau plengsengan,pembuangan akhir tinja di tangki septik **) Tidak memiliki fasilitas, sarana jamban cemplung,pembuangan akhir tinja di tangki septik Kabupaten/Kota
Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved di perkotaan (80,6%) lebih tinggi dibanding di perdesaan (42,5%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved juga semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kuintil indeks kepemilikan; proporsi rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved semakin tinggi (Gambar 5.9).
Gambar 5.10 menunjukkan proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah dari kamar mandi tempat cuci, maupun dapur. Pada umumnya limbah rumah tangga di Aceh membuang limbahnya langsung ke got sebesar 45,4 persen, diikuti tanpa penampungan sebesar 16,0 persen, tertutup di pekarangan/SPAL 15,7 persen, kemudian masih sebanyak 8,5 persen yang menggunakan penampungan di luar pekarangan, dan penampungan terbuka di lapangan sebanyak15,3 persen.
Gambar 5.10 Proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah, Provinsi Aceh 2013 Dalam hal cara pengelolaan sampah, hanya 13,7 persen rumah tangga di Provinsi Aceh yang pengelolaan sampahnya diangkut oleh petugas. Sebagian besar rumah tangga mengelola sampah dengan cara dibakar (70,6%), ditimbun dalam tanah (3,6%), dibuat kompos (0,2%), dibuang ke kali/parit/laut (7,6%), dan dibuang sembarangan (4,4%). (Gambar 5.11)
Gambar 5.11 Proporsi rumah tangga menurut cara pengelolaan sampah, Provinsi Aceh 2013 Lima kabupaten/kota dengan proporsi rumah tangga mengelola sampah dengan cara diangkut petugas tertinggi adalah Kota Banda Aceh (79,2%), Lhokseumawe (46,1%), Sabang (45,4%), Langsa (30,0%) dan Aceh Tengah (23,5)%.
dengan cara dibakar dengan kuintil indeks kepemilikan yang lebih rendah (Buku Riskesdas dalam Angka 2013). Lima kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga yang mengelola sampahnya dengan dibakar adalah Aceh Besar (89,6%), Nagan Raya (89,1%), Bireuen (88,7%), Aceh Tamiang (84,3%) dan Aceh Utara (82,8%). Lima kabupaten/kota terendah adalah Banda Aceh (18,3%), Aceh Tengah (32,7%), Lhokseumawe (37,8%), Bener Meriah (42,6%) dan Sabang (50,7%). (Gambar 5.12)
Gambar 5.12 Proporsi rumah tangga berdasarkan pengelolaan sampah dengan dibakar menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
5.3 Perumahan Data perumahan yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 adalah data status penguasaan bangunan, kepadatan hunian, jenis bahan bangunan (plafon/langit-langit, dinding, lantai), lokasi rumah, kondisi ruang rumah (terpisah, kebersihan, ketersedian dan kebiasaan membuka jendela, ventilasi, dan pencahayaan alami), penggunaan bahan bakar untuk memasak, perilaku rumah tangga dalam menguras bak mandi dan penggunaan/penyimpanan bahan berbahaya dan beracun seperti pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah. Tabel secara lengkap disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan dapat dilihat pada Gambar 5.13, terlihat bahwa pada umumnya rumah tangga di Provinsi Aceh menempati rumah milik sendiri sebanyak 83,5 persen. Masih terdapat rumah tangga yang menempati rumah dengan cara kontrak dan sewa, menempati rumah milik orang lain, milik orang tua/sanak/saudara maupun rumah dinas.
Gambar 5.13 Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan tempat tinggal, Provinsi Aceh 2013 Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan status penguasaan bangunan milik sendiri di perkotaan lebih rendah (71,0%) dari pada di perdesaan (88,5%). Demikian juga proporsi rumah tangga dengan status penguasaan bangunan kontrak maupun sewa, di perkotaan kontrak (71%) lebih rendah dari pada di perdesaan (88,5%), sedangkan sewa sebaliknya. (Tabel 5.25). Kepadatan hunian merupakan salah satu persyaratan rumah sehat. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, disebutkan bahwa kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m2 per orang dikategorikan sebagai padat. Proporsi rumah tangga di Provinsi Aceh yang termasuk ke dalam kriteria tidak padat (<8 m2/orang) adalah sebesar 13,8 persen. Kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga dengan kategori kurang padat adalah Kabupaten Aceh Timur (25,4%), Aceh Tenggara (20,4%), dan Aceh Singkil (20,0%). Sementara rumah tangga yang termasuk katagori padat ≥ 8 m2/orang) di Provinsi Aceh adalah 86,2 persen (Gambar 5.14)
Gambar 5.14 Proporsi rumah tangga berdasarkan kepadatan hunian menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013 Gambar 5.15 memperlihatkan kondisi fisik banunan rumah (jenis bahan) yang meliputi plafon/langit-langit, dinding dan lantai terluas. Proporsi rumah tangga dengan atap rumah terluas berplafon adalah sebesar 45,4 persen, dinding terbuat dari tembok sebesar 54,1 persen, dan lantai bukan tanah sebesar 87,6 persen. Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa proporsi rumah dengan atap terluas berplafon di perkotaan lebih tinggi (76,5%) dibandingkan di perdesaan (45,7%). Demikian juga untuk dinding dan lantai, jenis bahan dinding terluas terbuat dari tembok dan jenis lantai bukan tanah untuk wilayah perkotaan lebih tinggi (dinding tembok: 59,8%; lantai bukan tanah: 40,3%) dibandingkan perdesaan (dinding tembok: 98,5%; lantai bukan tanah: 92,2%).
Pada gambar 5.16 ini disajikan kondisi ruangan dalam rumah seperti ketersediaan ruang tidur, ruang dapur dan ruang keluarga dilihat dari keadaan, kebersihan, tersediaan jendela, ventilasi dan pencahayaannya. Sebagian besar ruangan-ruangan tersebut terpisah dari ruang lainnya. Dalam hal kebersihan, sekitar tiga perempat rumah tangga kondisi ruang tidur, ruang keluarga maupun dapurnya bersih dan berpencahayaan cukup. Tetapi kurang dari 50 persen rumah tangga yang ventilasinya cukup dan dilengkapi dengan jendela yang dibuka setiap hari.
Gambar 5.16 Proporsi rumah tangga berdasarkan ketersediaan ruang tidur, ruang keluarga dan ruang dapur dengan kebersihan, keberadaan jendela, ventilasi, dan pencahayaan alami, Provinsi Aceh 2013 Gambar 5.17 memperlihatkan jenis sumber penerangan di Indonesia, sebagian besar (96,8%) rumah tangga di Indonesia menggunakan listrik sebagai sumber penerangan dalam rumah, siasanya (3,2%) menggunakan petromaks/aladin, pelita/sentir/obor (non listrik).
Gambar 5.17 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan, Provinsi Aceh 2013
Gambar 5.18 memperlihatkan proporsi rumah tangga sesuai jenis penerangan non listrik
Gambar 5.18 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan non listrik menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Jenis penggunaan bahan bakar di rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 5.20. Menurut Keputusan Menterian Kesehatan Republik Indonesia No 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, jenis bahan bakar/energi utama dalam rumah tangga per kabupaten/kota dikelompokan menjadi dua, yaitu yang aman artinya tidak berpotensi menimbulkan pencemaran (listrik dan gas/elpiji) dan tidak aman yaitu yang berpotensi menimbulkan pencemaran (minyak tanah, arang dan kayu bakar). Proporsi rumah tangga yang menggunakan bahan bakar aman di Provinsi Aceh adalah sebesar 64 persen. Menurut karakteristik, penggunaan bahan bakar yang aman di perkotaan (82,2%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (56,7%). Sebaliknya, proporsi rumah tangga yang menggunakan bahan bakar tidak aman lebih tinggi di perdesaan (43,3%) dibanding di perkotaan (17,8%) (Gambar 5.19).
Gambar 5.19
(masing-masing 31,5%; 6,4%, dan 25,6%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (masingmasing 10,4%; 3,3%; dan 7,7%).
Gambar 5.20 Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku mencegah gigitan nyamuk, Provinsi Aceh 2013 Gambar 5.21 menunjukkan penyimpanan/penggunaan pestisida/insektisida/pupuk kimia di dalam rumah di Indonesia. Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia sebesar 15,9 persen. Penyimpanan/penggunaan pestisida/insektisida/pupuk kimia di perkotaan (18,7%) sedikit lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (14,8%).
Gambar 5.21 Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia, Provinsi Aceh 2013
Daftar Pustaka Kementerian Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan Republik 829/Menkes/SK/VII/199 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan Kementerian Kesehatan, Peraturan Menteri No.492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Kualitas air Minum Kementerian Kesehatan, 1077/Menkes/Per/V/2011
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Kesehatan
Indonesia
Republik
Republik
No
Indonesia
Indonesia
No
WHO,UNICEF. 2006. Meeting The MDG Drinking Water and Sanitation Target: The Urban and Rural Challenge of The Decade. WHO Press. Geneva.Hal 1- 41 WHO,UNICEF. 2013. Progress on Sanitation and Drinking Water – 2013 Update . WHO Press. Geneva. Hal 1-38
BAB 6. PENYAKIT MENULAR Aprildah Nur Sapardin, Marice Sihombing dan Endi Ridwan Informasi mengenai penyakit menular pada Riskesdas 2013 diperoleh dari seluruh kelompok umur dengan total sampel 40.951 responden di 23 kabupaten/kota Provinsi Aceh. Informasi yang diperoleh berupa insiden, period prevalence dan prevalensi penyakit yang digali melalui teknik wawancara menggunakan kuesioner baku (RKD13.IND), dengan pertanyaan terstruktur secara klinis. Responden ditanya apakah pernah didiagnosis menderita penyakit tertentu oleh tenaga kesehatan (D: diagnosis). Responden yang menyatakan tidak pernah didiagnosis, ditanyakan lagi apakah pernah/sedang menderita gejala klinis spesifik penyakit tersebut (G: gejala). Jadi insiden, period prevalence dan prevalensi penyakit merupakan data yang didapat dari D maupun G (DG) yang ditanyakan dalam kurun waktu tertentu. Insiden, period prevalence dan prevalensi merupakan angka kesakitan yang diukur berdasarkan onset penyakit dalam kurun waktu tertentu. Insiden diukur dalam kurun waktu 2 minggu atau kurang, period prevalence dalam kurun waktu 1 bulan atau kurang dan prevalensi dalam kurun waktu 1 tahun atau kurang. Data penyakit menular yang dikumpulkan terbatas pada beberapa penyakit, yaitu penyakit yang ditularkan melalui udara (infeksi saluran pernapasan atas/ISPA, pneumonia, dan tuberkulosis), penyakit yang ditularkan oleh vektor (malaria), penyakit yang ditularkan melalui makanan, air, dan lewat penularan lainnya (diare dan hepatitis). Penyakit-penyakit tersebut berhubungan dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), MDG dan program pengendalian hepatitis di Indonesia yang pertama kali dilakukan di dunia. Hasil lebih rinci dari blok Penyakit Menular dapat dilihat pada Buku Riskesdas Provinsi Aceh 2013 Dalam Angka halaman 114 sampai dengan 129 tabel 6.1 sampai tabel 6.16.
6.1 Penyakit yang ditularkan melalui Udara Penyakit yang ditularkan melalui udara yang akan disajikan dalam laporan ini meliputi ISPA, pneumonia dan tuberkulosis paru. Semua jenis penyakit ini juga dikumpulkan pada Riskesdas 2007. Tabel 3.4.1 menunjukkan insiden, period prevalence, prevalensi penyakit yang ditularkan melalui udara meliputi ISPA, Pneumonia menurut kabupaten/kota di Provinsi Aceh dan Tabel 3.4.2. memperlihatkan hal yang sama menurut karakteristik. 6.1.1 ISPA Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. Periode prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir di Provinsi Aceh sebesar 30,0 persen. Lima kabupaten/kota dengan ISPA tertinggi adalah kabupaten Aceh Timur (43,2%), Bireun (38,7%), kota Subulussalam (38,3%), Aceh Utara (35,1%) dan Aceh Tengah (34,3%).
Gambar 6.1 Period prevalence ISPA, menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013 Pada Riskesdas 2007, Bireuen juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA. Period prevalence ISPA Provinsi Aceh menurut Riskesdas 2013 (48,7%) tidak jauh berbeda dengan 2007 (38,7%), walau angka prevalence sudah turun. (Gambar 6.1) Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (32,6%). Menurut jenis kelamin, tidak jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan. Penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan pendidikan tidak sekolah (37,9%), kuintil indeks kepemilikan terbawah (lihat Tabel 6.2).
Tabel 6.1 Period prevalence ISPA, period prevalence dan prevalensi pneumonia menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota
Period Prevalence ISPA
D D/G Simeulue 19,7 28,4 Aceh Singkil 9,3 23,4 Aceh Selatan 15,2 29,1 Aceh Tenggara 17,0 25,8 Aceh Timur 32,8 43,2 Aceh Tengah 14,4 34,3 Aceh Barat 15,1 26,1 Aceh Besar 18,4 18,9 Pidie 12,9 22,0 Bireuen 30,1 38,7 Aceh Utara 24,7 35,1 Aceh Barat Daya 22,9 32,6 Gayo Lues 12,1 21,9 Aceh Tamiang 12,6 27,7 Nagan Raya 19,3 23,7 Aceh Jaya 14,6 21,6 Bener Meriah 14,8 32,7 Pidie Jaya 25,7 30,3 Kota Banda Aceh 20,7 30,4 Kota Sabang 21,9 26,9 Kota Langsa 13,3 21,8 Kota Lhokseumawe 21,1 32,4 Kota Subulussalam 25,7 38,3 Aceh 20,1 30,0 *) D= Diagnosis, D/G = Diagnosis atau gejala
Period Prevalence Pneumonia D 0,4 0,4 0,9 0,1 0,4 0,2 1,0 0,1 0,5 0,2 0,6 0,5 0,2 0,1 0,2 0,3 0,1 0,4 0,2 0,4 0,0 0,5 0,8 0,4
D/G 1,5 2,7 4,2 1,8 6,2 1,3 3,5 0,6 1,5 4,1 2,5 2,6 1,1 2,2 0,8 1,6 1,0 3,2 2,5 6,9 0,5 4,1 4,5 2,6
Prevalensi pneumonia D 1,6 1,0 4,1 0,7 1,9 0,9 3,5 1,4 2,5 1,6 2,5 1,4 0,5 0,4 2,9 1,9 0,8 2,6 0,6 2,4 0,6 1,4 2,5 1,8
D/G 3,7 4,6 9,4 3,6 11,1 2,2 7,8 2,1 4,3 7,2 5,6 5,6 1,7 3,7 4,2 4,0 2,7 6,8 3,9 10,3 1,8 6,4 8,4 5,4
6.1.2. Pneumonia Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit), sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang). Pneumonia ditanyakan pada semua penduduk untuk kurun waktu 1 bulan atau kurang dan dalam kurun waktu 12 bulan atau kurang. Period prevalencedan prevalensi pneumonia di Provinsi Aceh tahun 2013 sebesar 2,6 persen dan 5,4 persen. Empat kabupaten/kota yang mempunyai period prevalence dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Kabupaten Aceh Timur, Kota Sabang, Subulussalam dan Kabupaten Aceh Selatan (Tabel 6.1). Berdasarkan kelompok umur penduduk, gambaran pneumonia yang tinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 45-54 tahun dan terus meninggi pada kelompok umur berikutnya. Insidens pneumonia mulai meningkat pada umur 3544 tahun dan terus meningkat pada umur berikutnya. Tidak ada perbedaan pada jenis kelamin dan dialami oleh kuintil indeks kepemilikan terbawah (Tabel 6.2.)
Tabel 6.2 Period prevalence ISPA, period prevalence dan prevalensi pneumonia menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) <1 1-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas
Period Prevalence ISPA D DG
Period Prevalence Pneumonia D DG
Prevalensi Pneumonia D
DG
1,1 1,6 1,2 1,5 1,5 1,9 2,6 3,3 4,0 5,6
4,1 6,0 4,3 4,5 4,3 5,6 6,7 8,5 10,6 15,6
25,2 32,6 22,9 15,4 15,9 17,4 20,4 20,6 22,7 28,1
37,4 46,9 33,7 24,0 24,3 26,0 29,7 31,2 33,8 39,2
0,7 0,1 0,2 0,2 0,4 0,9 0,6 1,0 0,6
2,0 3,9 2,1 2,3 2,0 2,7 3,3 3,6 4,0 6,9
20,9 19,4
30,9 29,0
0,5 0,3
2,9 2,4
2,0 1,6
5,9 4,9
27,0 21,9 19,2 17,9 15,0 13,7
37,9 32,4 29,4 26,8 23,3 19,5
0,5 0,3 0,5 0,4 0,3 0,1
3,5 2,8 3,1 2,6 1,8 1,3
2,3 1,7 2,2 2,0 1,6 1,0
7,2 5,6 6,3 5,3 4,3 3,0
18,2 13,6 17,0 19,5 15,1
26,9 20,8 25,6 29,7 23,2
0,3 0,2 0,6 0,4 0,6
2,4 1,1 2,6 3,5 2,3
1,7 1,2 2,0 2,5 1,4
5,0 3,1 5,6 7,3 4,4
17,8 21,1
27,7 30,9
0,3 0,4
1,9 3,0
1,2 2,0
3,9 6,0
21,2 20,7 19,8 19,5 19,2
33,4 31,1 28,9 28,4 27,5
0,6 0,3 0,4 0,2 0,3
4,1 2,8 2,5 1,7 1,9
2,7 1,9 1,3 1,3 1,7
8,4 5,4 4,7 3,9 4,1
bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari 1 bulan. Penyakit TB ditanyakan pada responden untuk kurun waktu ≤2 tahun berdasarkan diagnosis yang ditegakkan oleh tenaga kesehatan baik melalui pemeriksaan dahak, foto thoraks atau ke duanya. Berbeda dengan penyakit-penyakit menular yang lain, gejala TB tidak ikut dimasukkan dalam total jumlah penduduk dengan TB. Prevalensi penduduk di Provinsi Aceh yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan tahun 2013 adalah 1,6 persen ( terdiri dari (ya,≤ 1 tahun 0,3 persen dan ya > 1 tahun 1,3 persen). Lima kabupaten/kota di Provinsi Aceh dengan TB tertinggi adalah Kota Subulussalam (3,7%), Kabupaten Aceh Selatan (3,6%), Aceh Tenggara (2,2%), Pidie, Aceh Barat Daya dan Pidie Jaya masing-masing 2,1 persen. (Tabel 6.3) Tabel 6.3 Diagnosis, pengobatan obat program, dan gejala TB menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Diagnosis TB dan yang diobati program Kabupaten/kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Ya, ≤ 1 thn
Ya, > 1 thn
0,1 0,6 1,1 0,2 0,5 0,0 0,4 0,1 0,2 0,3 0,4 0,6 0,0 0,2 0,1 0,0 0,1 0,3 0,1 0,3 0,1 0,3 0,9 0,3
1,1 1,5 2,5 2,0 0,6 0,7 1,6 1,1 1,9 1,4 1,3 1,5 0,9 0,6 1,9 0,5 1,4 1,8 0,8 0,6 1,4 1,6 2,8 1,3
OAT Program 12,9 30,3 18,4 6,5 25,4 2,8 34,7 25,3 46,8 36,7 27,2 48,9 22,3 26,9 19,7 7,2 3,4 23,5 16,1 19,9 30,2 33,6 27,2
Gejala TB Batuk ≥ 2 mgg
Batuk darah
5,0 3,8 7,3 3,7 4,6 2,1 4,6 1,0 4,0 4,6 3,4 7,4 5,4 4,7 3,5 1,1 4,6 6,2 5,8 3,2 2,1 3,9 7,8 4,2
5,0 4,8 5,5 2,0 5,1 0,9 4,9 9,9 3,9 3,6 3,1 3,4 3,0 1,7 6,5 3,5 1,0 2,8 1,6 0,4 1,4 3,3 2,7 3,6
Berdasarkan karakteristik penduduk Aceh, yang paling banyak didiagnosis TB adalah penduduk > 55 tahun, laki-laki, pendidikan tidak sekolah dan bertempat tinggal di daerah perdesaan. Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi TB terendah terdapat pada kuintil indeks kepemilikan teratas (1,5%) (Tabel 6.4). Tabel 6.4 Diagnosis, pengobatan obat program, dan gejala TB menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Diagnosis TB dan yang diobati program Karakteristik Kelompok umur (tahun) <1 1-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah
Gejala TB
Ya, ≤ 1 thn
Ya, > 1 thn
OAT Program
Batuk ≥ 2 mgg
Batuk darah
0,1 0,0 0,1 0,2 0,3 0,6 0,5 0,8 1,3 0,5
0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 1,5 2,0 2,4 1,9 1,0
11,2 0,8 11,8 16,8 24,5 27,2 39,9 46,8 54,9 72,9
3,9 3,9 4,0 3,1 3,3 4,5 4,8 6,6 9,0 7,8
0,4 2,8 1,5 1,4 4,1 5,8 6,5 5,9 5,0 2,7
0,4 0,2
1,6 1,1
30,4 22,2
4,6 3,7
3,6 3,5
0,2 0,5 0,5 0,3 0,2 0,1
1,6 1,4 1,6 1,4 1,3 1,1
29,8 29,9 32,1 23,2 31,0 15,5
5,7 4,9 4,9 3,7 3,1 3,1
3,4 2,8 5,8 3,4 3,1 3,3
0,3 0,1 0,4 0,6 0,1
1,2 1,4 1,3 2,0 2,1
27,9 20,3 40,1 34,6 16,1
3,8 2,9 4,2 5,3 3,8
3,7 3,7 4,6 5,1 4,2
0,2 0,4
1,2 1,4
26,4 27,4
3,5 4,4
2,3 4,0
0,5
1,4
34,5
5,1
5,3
6.2. Penyakit yang ditularkan melalui Makanan, Air dan lainnya Penyakit yang ditularkan melalui makanan, air dan lainnya pada Riskesdas 2013 adalah diare dan hepatitis. Penyakit ini juga diteliti pada Riskesdas 2007. Pada Riskesdas 2013, pertanyaan diare ditambahkan dalam kurun waktu < 2 minggu, sesuai dengan kebutuhan program. 6.2.1. Hepatitis Hepatitis adalah penyakit infeksi hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis A, B, C, D atau E. Hepatitis dapat menimbulkan gejala demam, lesu, hilang nafsu makan, mual, nyeri pada perut kanan atas, disertai urin warna coklat yang kemudian diikuti dengan ikterus (warna kuning pada kulit dan/sklera mata karena tingginya bilirubin dalam darah). Hepatitis dapat pula terjadi tanpa menunjukkan gejala (asimptomatis). Prevalensi hepatitis Provinsi Aceh tahun 2013 adalah1,8 persen. Lima kabupaten/kota dengan prevalensi hepatitis tertinggi adalah Kabupaten Aceh Timur (5%), Bener Meriah (3,4%), Aceh Utara (2,8%), Bireun (2,7%), Pidie Jaya dan Kota Banda Aceh masing-masing (2,5%). (Tabel 3.4.5). Dalam Riskesdas 2013 ini mengumpulkan informasi insiden diare dan period prevalens diare. Period prevalen diare di Provinsi Aceh pada Riskesdas 2013 sebesar 9,3 persen. Insiden diare untuk seluruh kelompok umur di Aceh adalah 5 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden dan period prevalen diare tertinggi adalah Kota Subulussalam (9,0% dan 15,7%), Kabupaten Aceh Timur (8,9% dan 17%), Aceh Utara (7,4% dan 12,5%), Pidie Jaya (6,9% dan 12,7%) dan Bireun (6,6% dan 10,5%). (Tabel 6.5).
Tabel 6.5 Prevalensi hepatitis, insiden dan period prevalence diare menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota
Prevalensi Hepatitis D DG
Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam
0,2 0,3 0,0 0,0 0,7 0,3 0,2 0,1 0,3 0,9 0,1
Aceh
0,3
0,0 0,3 0,1 0,1 0,3 0,3 0,2 0,1 0,1 0,4
1,2 1,6 2,0 0,8 5,0 0,4 2,0 0,5 1,0 2,7 2,8 0,5 0,4 0,6 0,5 1,8 3,4 2,5 2,5 0,1 0,4 1,1 1,8 1,8
Insiden Diare
Period prevalence Diare
D
DG
D
DG
2,6 4,2 4,4 4,6 7,2 3,2 2,9 1,7 3,2 5,7 6,2 2,0 2,7 3,6 1,8 3,7 3,1 6,5 1,1 1,9 1,9 5,3 8,8 4,1
2,9 6,0 5,0 5,3 8,9 6,5 4,1 1,8 3,8 6,6 7,4 2,4 3,7 4,1 1,8 4,0 5,0 6,9 2,0 2,4 2,4 6,0 9,6 5,0
3,1 3,5 4,9 2,7 6,6 3,2 2,6 1,3 3,6 2,8 3,6 1,5 2,2 3,3 2,7 2,6 2,4 5,2 1,6 1,0 1,7 2,8 5,6 3,2
6,6 10,7 10,8 9,0 17,0 11,4 8,3 3,1 8,6 10,5 12,3 4,4 7,1 8,1 4,9 6,8 9,8 12,7 4,7 3,4 5,2 9,2 15,7 9,3
Berdasarkan pekerjaan, kelompok petani/nelayan/buruh menempati prevalensi hepatitis tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Prevalensi mulai meningkat pada penduduk berusia diatas 15 tahun dan prevalensi pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. (Tabel 3.4.6). Berdasarkan karakteristik penduduk, kelompok umur balita adalah kelompok yang paling tinggi menderita diare. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah kuintil indeks kepemilikan, maka semakin tinggi proporsi diare pada penduduk. Jenis kelamin dan tempat tinggal menunjukkan proporsi yang tidak jauh berbeda (Tabel 6.6).
Tabel 6.6 Prevalensi hepatitis, insiden dan period prevalence diare menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) <1 1-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas
Prevalensi Hepatitis
Insiden Diare
Period prevalence Diare
D
DG
D
DG
D
DG
0,1 0,4 0,3 0,4 0,5 0,3 0,4 1,0
0,3 1,0 1,2 1,8 1,9 2,5 2,9 2,4 2,2 4,0
7,7 9,3 4,2 3,2 3,0 3,6 3,0 4,6 4,3 4,6
8,7 10,5 5,0 4,3 3,5 4,7 3,9 5,5 5,3 5,3
5,0 5,5 2,8 2,4 2,9 3,0 4,1 3,5 3,0 5,1
14,3 16,9 8,7 7,7 7,7 8,8 9,1 10,3 9,0 12,4
0,4 0,2
2,4 1,3
4,3 4,0
5,2 4,9
3,3 3,2
9,5 9,2
0,4 0,2 0,4 0,3 0,3 0,4
2,4 1,8 2,4 1,8 1,9 1,4
3,8 4,2 4,3 3,2 2,8 2,4
4,8 4,8 5,2 4,4 3,6 3,0
4,0 2,9 3,1 3,0 2,7 2,3
9,9 9,0 9,3 8,4 7,5 6,1
0,2 0,5 0,4 0,5 0,2
1,7 1,5 2,3 3,1 0,7
3,6 1,9 3,4 3,7 3,7
4,6 2,6 4,5 4,4 4,2
2,7 2,6 2,7 3,7 2,4
8,3 6,1 8,6 9,5 7,5
0,2 0,3
1,5 2,0
3,1 4,6
3,9 5,5
2,5 3,5
7,3 10,1
0,4 0,2 0,2 0,3 0,2
2,5 2,2 1,5 1,4 1,5
5,1 4,6 4,6 3,0 3,2
6,1 5,6 5,4 4,0 3,7
4,0 3,4 3,2 2,9 2,5
11,4 10,3 9,9 7,6 6,8
Tabel 6.7 Proporsi penderita hepatitis A,B,C dan hepatitis lain menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Aceh
Hepatitis A 41,8
Jenis Hepatitis yang Diderita Hepatitis B Hepatitis C Hepatitis Lainnya 49,1
41,8
1,2 100,0 32,7
100,0 32,7
74,5
35,3 21,8 100,0
74,5
3,9
18,9
3,9
12,9
12,9 57,0
100,0
28,0 100,0
13,4
100,0 44,1 43,3
31,8 15,8
4,5 28,0 100,0
0,1
13,4
*) 2 kabupaten/kota yang tidak ada hasilnya Aceh Barat daya dan kota Subulussalam Berdasarkan karakteristik penduduk Aceh, yang paling banyak didiagnosis hepatitis A dan hepatitis B pada kelompok umur > 60 tahun dengan jenis kelamin laki-laki pada hepatitis A dan perempuan pada hepatitis B, pendidikan tamat SMA dan bertempat tinggal di daerah perkotaan. Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi hepatitis A dan B terendah terdapat pada kuintil indeks kepemilikan menengah (Tabel 6.8).
Tabel 6.8 Proporsi penderita hepatitis A,B,C dan hepatitis lain menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) <1 1-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas
Hepatitis A 25,9 17,8 9,0 19,9 3,3
Penderita Hepatitis yang Diderita Hepatitis B Hepatitis C Hepatitis Lainnya 36,8 8,9 14,9 24,6 19,9 9,4
0,5
5,2
0,5
5,2
0,2
1,9
34,4 25,9 17,8
36,8 8,9
17,0 4,6
11,8 25,4
6,2 8,5 5,8 34,9 17,0
1,9 10,2 12,9 14,2 29,6 24,5
1,5
2,5
21,4
0,4
13,7
33,7
48,6 12,8
34,2 0,8
17,4 12,2
30,8 11,2
0,6
5,7 23,6 33,7 33,0
0,8
8,9
3,6
1,8
15,7 6,8 13,2 12,4 18,4
6,4
6.2.2. Diare Diare adalah gangguan buang air besar/BAB ditandai dengan BAB lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja cair, dapat disertai dengan darah dan atau lendir. Insiden diare balita di Provinsi Aceh adalah 10,2 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden diare tertinggi adalah Kabupaten Pidie Jaya (17,9%), Aceh Tenggara (17,3%), Aceh Timur (16,9%), Kota Subulussalam (16,4%) dan Kabupaten Aceh Utara (14,5%). (Tabel 6.9).
Tabel 6.9 Insiden diare dan Period Prevalence pneumonia pada balita menurut menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota
Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam ACEH
Insiden Diare Balita (persen) D
DG
2,7 6,6 6,5 16,3 14,6 6,4 6,1 2,7 7,3 12,4 13,9 6,0 7,3 10,6
2,7 10,0 7,2 17,3 16,9 9,1 7,7 2,7 8,7 12,4 14,5 6,0 8,6 11,9
5,2 6,2 17,9 2,7 1,5 5,2 6,9 15,5 9,0
5,6 10,5 17,9 5,2 1,5 6,0 7,0 16,4 10,2
Period Prevalence Pneumonia Balita (permil) D DG
14,6 7,6
5,0 8,6 26,7
4,6
6,1
14,3 10,0 41,5 31,6 103,1 10,7 14,2 21,6 42,7 30,9 27,4 3,9 48,1 16,9 8,9 66,4 46,4 96,7 10,0 50,0 40,5 35,6
Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan sebanyak 16,0 persen, perempuan (10,5%), tinggal di daerah perdesaan (11,4%), dan kelompok kuintil indeks
Tabel 6.10 Insiden diare dan Period Prevalence pneumonia pada balita menurut menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik
Insiden Diare Balita
Period Prevalence Pneumonia Balita D DG
D
DG
7,7 14,2 10,6 6,3 7,0
8,7 16,0 11,3 7,7 7,8
11,4 15,8
20,0 25,1 35,6 41,2 52,3
8,7 9,4
9,9 10,5
5,6 6,3
37,3 34,1
5,9 10,3
7,1 11,4
3,3 7,0
24,6 40,1
Terbawah
13,5
14,9
13,1
58,0
Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas
10,1 9,0 6,3 6,1
11,4 10,5 7,0 6,9
2,6 9,1 3,5 1,3
34,1 32,7 23,5 30,3
Kelompok umur (tahun) 0-11 bulan 12-23 bulan 24-35 bulan 36-47 bulan 48-59 bulan Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan
Oralit dan zinc sangat dibutuhkan pada pengelolaan diare balita. Oralit dibutuhkan sebagai rehidrasi yang penting saat anak banyak kehilangan cairan akibat diare dan kecukupan zinc di dalam tubuh balita akan membantu proses penyembuhan diare. Pengobatan dengan pemberian oralit dan zinc terbukti efektif dalam menurunkan tingginya angka kematian akibat diare sampai 40 persen. Pemakaian oralit dalam mengelola diare pada penduduk Provinsi Aceh adalah 33,3 persen. Lima kabupaten/kota tertinggi yang memakai oralit dalam mengelola diare adalah Kabupaten Nagan Raya (100%),Aceh Tamiang (61,8%), Aceh Jaya (55,8%), Aceh Tenggara (49,5%), dan Simeulue (47,0%). Pengobatan diare dengan menggunakan zinc pada penduduk Provinsi Aceh adalah 22,8 persen. Lima kabupaten/kota tertinggi pemakaian zinc pada pengobatan diare adalah Kabupaten Nagan Raya (100%), Aceh Utara (54,0%), Aceh Tenggara (29,0%), Kota Sabang dan Kota Banda Aceh masing-masing 37 % dan 31,8%, (Tabel 6.11).
Tabel 6.11 Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Oralit
Zn
47,0 19,4 45,1 49,5 29,1 11,9 21,9 38,9 24,4 18,5 41,3 41,0 11,7 61,8 100,0 55,8 21,9 19,2 18,3 31,3 33,0 46,1 18,5 33,3
11,6 17,5 29,0 12,9 10,7 17,5 22,9 21,2 54,0 3,9 21,0 100,0 1,0 12,1 26,1 31,8 37,0 1,6 25,6 4,1 22,8
Berdasarkan karakteristik, pemakaian oralit dan zinc dalam mengelola diare balita tertinggi pada kelompok umur 12-23 bulan. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, pengelolaan diare dengan oralit dan zinc diperkotaan pada oralit dan di perdesaan untuk zinc. (Tabel 6.12).
Tabel 6.12 Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) 0-11 bulan 12-23 bulan 24-35 bulan 36-47 bulan 48-59 bulan Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas
Oralit
Zn
20,4 41,1 39,8 39,0 20,5
28,9 27,8 17,3 25,1 14,0
33,1 33,5
16,2 29,2
35,3 32,8
14,5 24,9
36,3 43,0
11,9 35,8
28,9 27,2 24,9
24,3 16,8 25,4
6.3. Penyakit yang ditularkan oleh Vektor (Malaria) Malaria merupakan penyakit menular yang menjadi perhatian global. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena sering menimbulkan KLB, berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi, serta dapat mengakibatkan kematian. Penyakit ini dapat bersifat akut, laten atau kronis. Kepada responden yang menyatakan ―tidak pernah didiagnosis malaria oleh tenaga kesehatan‖ ditanyakan apakah pernah menderita panas disertai menggigil atau panas naik turun secara berkala, dapat disertai sakit kepala, berkeringat, mual, muntah dalam waktu satu bulan terakhir atau satu tahun terakhir. Ditanyakan pula apakah pernah minum obat malaria dengan atau tanpa gejala panas. Untuk responden yang menyatakan ―pernah didiagnosis malaria oleh tenaga kesehatan‖ ditanyakan apakah mendapat pengobatan dengan obat program kombinasi artemisinin dalam 24 jam pertama menderita panas atau lebih dari 24 jam pertama menderita panas dan apakah habis diminum dalam waktu 3 hari. Insiden malaria pada penduduk Aceh tahun 2013 adalah 2,4 persen. Prevalensi malaria tahun 2013 sebesar 9,3 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden dan prevalensi malaria tertinggi adalah Kota Subulussalam (5,5% dan 15,7%), Kabupaten Aceh Timur (5,2% dan 17%), Aceh Barat (4,3% dan 8,3%), Bireun (4,1% dan 10,5%) dan Aceh Selatan (3,8% dan 10,8%). (Tabel 6.13).
Tabel 6.13 Insiden dan prevalensi malaria menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Insiden Malaria
Prevalensi Malaria
D 0,3 0,5 0,7 0,3 0,2 0,1 1,0 0,5 0,3 0,5 0,1 0,2 0,1 0,1 0,1 1,0 0,3 0,5 0,2
DG 0,7 2,6 3,8 1,4 5,2 1,4 4,3 0,7 2,2 4,1 3,2 1,5 1,6 0,8 0,5 1,9 2,0 2,6 1,0
D 1,2 1,8 2,4 0,4 1,9 0,7 1,6 1,4 1,4 1,1 0,9 1,4 0,1 0,8 1,0 2,0 1,2 0,9 0,4
DG 6,6 10,7 10,8 9,0 17,0 11,4 8,3 3,1 8,6 10,5 12,3 4,4 7,1 8,1 4,9 6,8 9,8 12,7 4,7
2,4
0,4
3,4
0,4 1,7 5,5 2,4
1,2 0,6 4,9 1,2
5,2 9,2 15,7 9,3
0,1 0,1 2,2 0,3
Tabel 6.14 menunjukkan bahwa prevalensi malaria pada usia 35-44 tahun relatif lebih tinggi dibanding kelompok umur yang lain. Prevalensi malaria pada kelompok pekerjaan petani/nelayan/buruh lebih tinggi dibandingkan pekerjaan lainnya (9,5%), sedangkan berdasarkan tempat tinggal lebih banyak terjadi di perdesaan (10,1%). Semakin rendah kuintil indeks kepemilikan semakin tinggi prevalensi malaria.
Tabel 6.14 Insiden dan prevalensi malaria menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) <1 1-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Pedesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas
Insiden Malaria DG D
Prevalensi Malaria D
DG
0,0 0,2 0,2 0,5 0,7 0,6 0,4 0,2 1,0
0,3 2,4 2,0 2,4 2,5 3,3 2,8 2,8 1,5 3,4
0,8 0,3 0,6 1,2 1,5 2,0 1,7 2,0 1,0 1,3
14,3 16,9 8,7 7,7 7,7 8,8 9,1 10,3 9,0 12,4
0,5 0,2
2,8 2,0
1,7 0,8
9,5 9,2
0,4 0,3 0,6 0,4 0,3 0,3
2,4 2,2 3,5 2,8 1,9 1,1
1,1 0,9 2,0 1,3 1,4 0,5
9,9 9,0 9,3 8,4 7,5 6,1
0,2
2,1
0,9
8,3
0,3
1,2
1,4
6,1
0,6 0,9 0,4
3,0 3,9 1,8
1,3 2,9 1,2
8,6 9,5 7,5
0,2 0,4
1,2 2,9
0,8 1,4
7,3 10,1
0,5
3,3
1,5
11,4
0,5 0,3 0,3 0,1
3,3 2,6 1,4 1,3
1,7 1,2 0,9 0,8
10,3 9,9 7,6 6,8
Tabel 6.15 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Pengobatan penyakit malaria Kabupaten/Kota
Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam
Mendapatkan obat ACT program
Mendapatkan obat dalam 24 jam pertama
Minum obat selama 3 hari
40,4 87,3 30,9
78,8 44,0 69,4
Mengobati Sendiri
0,3 39,2 1,4 20,1 1,0 0,2 36,5 53,5 51,3 1,5 44,0 29,8 30,1 0,5 32,7 61,8 100,0 1,5 61,5 29,0 84,6 0,3 37,4 48,0 84,2 0,9 19,6 71,9 100,0 1,2 23,8 0,2 27,5 0,4 52,9 0,6 99,0 84,0 100,0 0,1 28,2 13,8 79,1 0,4 21,5 100,0 100,0 0,0 87,4 61,1 91,1 0,3 2,0 100,0 100,0 0,6 6,1 39,5 39,5 0,6 69,6 31,7 68,3 0,4 8,0 51,4 84,9 0,5 25,1 27,1 60,0 0,6 14,6 70,9 51,9 2,0 Aceh 32,8 41,4 70,0 0,7 *Pengobatan efektif adalah pemberian ACT pada 24 jam pertama pasien panas dan obat diminum habis dalam 3 hari. Dari kolom pemberian 24 jam sudah tidak ada kabupaten aceh tenggara dan kota sabang
Proporsi pengobatan dengan obat malaria program cenderung lebih baik pada usia dewasa dibandingkan dengan anak, hal ini merupakan kebalikan dari data nasional (Tabel 6.16). Keadaan ini menunjukkan kewaspadaan dan kepedulian penanganan penyakit malaria pada dewasa sudah cukup baik. Pengobatan dengan obat malaria program relatif lebih baik di daerah perkotaan, pada jenis kelamin perempuan, kelompok lainnya, dan kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan teratas (Tabel 6.16).
Tabel 6.16 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Pengobatan penyakit malaria Karakteristik Kelompok umur (tahun) <1 1-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas
Mendapatkan obat ACT program
9,4 32,7 54,4 60,9 31,6 46,9 36,5
Mendapatkan obat dalam 24 jam pertama 100,0 54,1 65,6 50,0 89,9 74,6 96,9 8,8 100,0 100,0
Minum obat selama 3 hari
9,3 28,2 29,3 53,1 31,6 43,8
Mengobati Sendiri
0,4 0,9 0,7 0,6 0,5 1,0 1,2 0,5 1,4 0,3
43,1 37,5
74,5 59,2
33,9 29,7
0,9 0,6
47,6 43,5 46,4 41,9 36,4 8,7
92,3 57,5 83,2 63,3 60,3 30,9
39,9 32,2 42,1 31,4 23,2 8,7
0,7 1,0 0,7 0,7 0,6 0,5
39,2 45,8 72,1 39,0 20,5
62,4 47,1 79,0 75,2 93,5
31,3 15,3 60,7 32,4 20,5
0,7 0,3 0,4 1,1 0,5
21,5 45,3
76,0 68,8
12,5 36,6
0,6 0,8
30,5 42,4 53,8 54,1
54,9 72,1 82,0 68,6
16,7 41,1 40,5 38,6
47,4 44,1 42,1 43,0
Daftar Pustaka Bhisma Murti. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Gajah Mada University Press 1997: 15279 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas). 2007 Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian TB edisi 2 Tahun 2012 Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus. 2012 Direktorat PPBB Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Kementerian Kesehatan RI. Buku Saku Menuju Eliminasi Malaria. 2011. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Modul Tatalaksana Standar Pneumonia. 2012. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut, 2012 Kenneth J. Rothman. Epidemiologi Modern. Yayasan Pustaka Nusatama 1995: 33-49
BAB 7. PENYAKIT TIDAK MENULAR Endi Ridwan, Aprildah Sapardin dan Marice Sihombing Penyakit tidak menular (PTM), merupakan penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang. PTM mempunyai durasi yang panjang dan perkembangan yang umumnya lambat. Empat jenis PTM utama menurut WHO adalah penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner, stroke), kanker, penyakit pernafasan kronis (asma dan penyakit paru obstruksi kronis), adan diabetes. Tujuan Riskesdas 2013 dalam bidang PTM adalah untuk memperoleh gambaran penduduk dengan penyakit tidak menular. Data penyakit tidak menular didapat melalui pertanyaan/wawancara responden tentang penyakit tidak menular yang terdiri dari: (1) asma, (2) penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), (3) kanker, (4) DM, (5) hipertiroid. (6) hipertensi, (7) jantung koroner, (8) gagal jantung, (9) stroke, (10) gagal ginjal kronis, (11) batu ginjal, (12) penyakit sendi/rematik. Jenis pertanyaan meliputi: PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan, besaran PTM berdasarkan keluhan/gejala tertentu yang dialami oleh responden dan onset PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan atau yang dialami responden. Hasil lebih rinci dari blok Penyakit Tidak Menular dapat dilihat pada Buku Riskesdas Provinsi Aceh 2013 Dalam Angka, pada halaman 127 sampai dengan 138 Tabel 7.1 sampai Tabel 7.8 Prevalensi penyakit adalah gabungan kasus penyakit yang pernah didiagnosis tenaga medis/kesehatan dan kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM. Pada kanker, gagal ginjal kronis dan batu ginjal hanya berdasarkan yang terdiagnosis dokter. Data penyakit asma/mengi/bengek dan kanker diambil dari responden semua umur, untuk penyakit paru obstruksi kronis umur > 30 tahun, untuk penyakit kencing manis/diabetes melitus, hipertiroid, hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal, penyakit sendi/rematik/encok dan stroke ditanya pada umur ≥ 15 tahun. Riwayat penyakit ditanyakan mengenai umur mulai serangan atau tahun pertama didiagnosis, sedangkan pertanyaan gejala ditanyakan mengenai pernah atau dalam kurun waktu 1 bulan mengalami gejala. Hipertensi dinilai melalui 2 cara yaitu wawancara dan pengukuran. Untuk hipertensi wawancara, ditanyakan mengenai riwayat didiagnosis oleh tenaga kesehatan, dan kondisi sedang minum obat anti-hipertensi saat diwawancara. Untuk hipertensi berdasarkan hasil pengukuran, dilakukan pengukuran tekanan darah/tensi menggunakan alat pengukur/tensimeter digital. Setiap responden diukur tensinya minimal 2 kali. Jika hasil pengukuran ke-dua berbeda ≥10 mmHg dibanding pengukuran pertama, maka dilakukan pengukuran ke-tiga. Dua data pengukuran dengan selisih terkecil dengan pengukuran terakhir dihitung reratanya sebagai hasil ukur tensi. Terdapat beberapa perbedaan pertanyaan dalam kuesioner Riskesdas (RKD) 2013 dibandingkan RKD 2007. Untuk kasus asma pada RKD 2007 ditanyakan apakah pernah didiagnosis asma oleh tenaga kesehatan, kemudian untuk yang menjawab tidak, dilanjutkan dengan pertanyaan apakah ada mengalami gejala asma seperti sesak dengan disertai mengi, dada rasa tertekan di pagi hari atau waktu lainnya? Pada RKD 2013 pertanyaan asma berdasarkan pertanyaan yang lebih komplit, seperti sesak yang timbul bila terpapar udara dingin/rokok/debu/ infeksi/kelelahan/alergi obat/makanan, ada gejala mengi/sesak lebih berat malam hari atau menjelang pagi/ gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan. PPOK hanya ada pada RKD 2013. Pertanyaan PPOK berdasarkan gejala meliputi sesak, batuk berdahak, dan merokok dengan Indek Brinkman ≥ 200, sesak bertambah ketika beraktifitas dan bertambah dengan meningkatnya usia. Pertanyaan kanker pada RKD 2007, apakah pernah didiagnosis tumor/kanker oleh tenaga kesehatan? Hasilnya dinilai agak bias karena pertanyaan tumor/kanker meliputi tumor jinak dan ganas. RKD 2013 menanyakan apakah pernah didiagnosis kanker oleh dokter. Jadi lebih memfokuskan pada tumor ganas/kanker. Pertanyaan tentang hipertiroid tidak ada dalam RKD 2007 namun pada RKD 2013 ditanyakan apakah
Orang Indonesia umumnya menggunakan lengan kanan yang lebih banyak gerak dari pada lengan kiri dan telah diketahui hasil pengukuran lengan kanan sedikit lebih tinggi dari lengan kiri. Pada RKD 2007 pertanyaan penyakit jantung digabung (kongenital/jantung koroner/ gagal jantung/jantung reumatik, dll) yaitu apakah pernah didiagnosis penyakit jantung oleh tenaga kesehatan? Pada RKD 2013 pertanyaan berupa apakah pernah didiagnosis menderita penyakit jantung koroner oleh dokter? Bagi yang belum terdiagnosis dilanjutkan dengan pertanyaan gejala sesuai kriteria ―Rose Quesionnaire”. Untuk penyakit gagal jantung pertanyaan yang diajukan adalah apakah pernah didiagnosis penyakit gagal jantung oleh dokter? Bagi yang belum terdiagnosis dilanjutkan dengan pertanyaan gejala terkait gagal jantung. Pada RKD 2013 juga terdapat pertanyaan apakah pernah didiagnosis penyakit gagal ginjal kronis dan batu ginjal oleh dokter? Pertanyaan untuk stroke dan rematik sama dengan tahun 2007 yaitu apakah pernah didiagnosis oleh tenaga kesehatan dan dilanjutkan dengan pertanyaan gejala terkait penyakit. Informasi hasil analisis penyakit tidak menular (PTM) meliputi (1) asma (2) PPOK (3) kanker (4) DM (5) hipertiroid (6) hipertensi (7) jantung koroner (8) gagal jantung (9) stroke (10) gagal ginjal kronis (11) batu ginjal (12) penyakit sendi/rematik disajikan dalam bentuk tabel. Tabel menunjukkan prevalensi nasional dan provinsi, serta karakteristik sosio demografi. Istilah D dalam tabel berarti telah didiagnosis tenaga kesehatan, D/G adalah hasil diagnosis ditambah gejala (yang belum terdiagnosis). Untuk kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes diberi inisial D, dan gabungan kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes dengan kasus hipertensi berdasarkan riwayat sedang minum obat hipertensi sendiri diberi istilah DO (diagnosis atau minum obat sendiri), hasil berdasarkan pengukuran diberi inisial U.
7.1. Asma Asma merupakan gangguan inflamasi kronik di jalan napas. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dan obstruksi jalan napas. Gejala asma adalah gangguan pernapasan (sesak), batuk produktif terutama pada malam hari atau menjelang pagi, dan dada terasa tertekan. Gejala tersebut memburuk pada malam hari, adanya alergen (seperti debu, asap rokok), sedang menderita sakit seperti demam. Gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan. Didefinisikan sebagai asma jika pernah mengalami gejala sesak napas yang terjadi pada salah satu atau lebih kondisi: terpapar udara dingin dan/atau debu dan/atau asap rokok dan/atau stres dan/atau flu atau infeksi dan/atau kelelahan dan/atau alergi obat dan/atau alergi makanan dengan disertai salah satu atau lebih gejala: mengi dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang dengan pengobatan dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang tanpa pengobatan dan/atau sesak napas lebih berat dirasakan pada malam hari atau menjelang pagi dan jika pertama kali merasakan sesak napas saat berumur <40 tahun (usia serangan terbanyak).
7.2. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) PPOK adalah penyakit kronik saluran napas yang ditandai dengan hambatan aliran udara khususnya udara ekspirasi dan bersifat progresif lambat (semakin lama semakin memburuk), disebabkan oleh pajanan faktor risiko seperti merokok, polusi udara di dalam maupun di luar ruangan. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang dengan pengobatan. Didefinisikan sebagai PPOK jika pernah mengalami sesak napas yang bertambah ketika beraktifitas dan/atau bertambah dengan meningkatnya usia disertai batuk berdahak atau pernah mengalami sesak napas disertai batuk berdahak dan nilai Indeks Brinkman ≥200. Indeks Brinkman adalah jumlah batang rokok yang diisap, dihitung sebagai lama merokok (dalam tahun) dikalikan dengan jumlah rokok yang diisap per hari. Hasil yang didapat melalui kuesioner akan lebih rendah dibanding pemeriksaan spirometri karena PPOK baru ada keluhan bila fungsi paru sudah menurun banyak.
berdasarkan hasil wawancara terhadap pertanyaan pernah didiagnosis menderita kanker oleh dokter. Tabel 7.1 mencakup informasi prevalensi asma, PPOK, dan kanker di Provinsi Aceh masingmasing 4,0 persen, 4,3 persen dan 1,4 permil. Sedangkan di Indonesia masing-masing 4,5 persen, 3,6 persen, dan 1,4 per mil. Prevalensi asma tertinggi terdapat di Aceh Timur (7,7%), diikuti Kota Lhokseumawe (6,2%), Bireuen (6,0%), dan Aceh Utara (5,9%). Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Aceh Timur (8,6%), diikuti Kota Subulussalam (7,4%), Kota Lhokseumawe (7,2%), dan Aceh Barat Daya (6,4 %). Prevalensi PPOK lebih rendah dari kejadian sebenarnya, karena manifestasi klinis baru terlihat ketika fungsi paru sudah menurun. Prevalensi kanker tertinggi terdapat di Aceh Barat sebesar 3,1 per mil diikuti Aceh Tengah 3,0 per mil, dan kota Subulussalam 2,4 per mil. Tabel 7.1 Prevalensi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Asma* Simeulue 1,1 Aceh Singkil 4,8 Aceh Selatan 3,9 Aceh Tenggara 1,0 Aceh Timur 7,7 Aceh Tengah 3,3 Aceh Barat 4,0 Aceh Besar 1,7 Pidie 3,3 Bireuen 6,0 Aceh Utara 5,9 Aceh Barat Daya 5,3 Gayo Lues 3,1 Aceh Tamiang 1,8 Nagan Raya 0,9 Aceh Jaya 2,7 Bener Meriah 4,0 Pidie Jaya 3,9 Kota Banda Aceh 3,2 Kota Sabang 1,2 Kota Langsa 2,3 Kota Lhokseumawe 6,2 Kota Subulussalam 4,1 ACEH 4,0 *Wawancara semua umur berdasarkangejala **Wawancara umur > 30 tahun berdasarkan gejala ***Wawancara semua umur menurut diagnosis dokter
PPOK** 4,8 5,5 6,4 1,7 8,6 1,8 6,4 0,6 3,4 6,1 5,0 6,9 3,2 3,6 1,8 3,9 3,4 4,2 0,2 2,7 1,9 7,2 7,4 4,3
Kanker (‰)*** 1,3 1,0 0,0 0,0 2,0 3,0 3,1 0,2 0,2 2,3 1,4 1,0 1,0 2,0 0,2 2,0 2,0 1,0 1,0 1,1 2,4 1,4
Pada tabel 7.2 terlihat bahwa prevalensi asma, PPOK, dan kanker meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi asma pada kelompok umur ≥ 45 tahun mulai menurun. Prevalensi kanker agak meningkat pada umur 75 tahun (5‰). Prevalensi asma dan kanker pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki, PPOK lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan. Prevalensi asma terlihat sama antara perkotaan dan perdesaan, PPOK lebih tinggi di perdesaan dari perkotaan, hal ini perlu dianalisis lebih lanjut mengenai faktor risiko PPOK
Tabel 7.2 Prevalensi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) <1 1- 4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+
Asma*
PPOK**
Kanker(‰)***
0,1 2,9 3,8 4,8 4,6 4,6 3,0 4,2 3,4 2,9
1,5 2,5 4,5 7,5 11,2 12,9
1,0 2,0 4,0 3,0 1,3 1,1 5,0
Jenis kelamin Laki-Laki Perempuan
3,6 4,4
4,9 3,6
0,4 2,3
Pendidikan Tidak sekolah Tidak Tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
4,1 4,3 4,7 5,1 3,7 2,4
9,8 6,5 5,6 2,9 2,3 0,2
1,4 1,1 2,1 1,0 2,0 2,5
Status Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
4,8 2,4 3,2 4,4 3,9
5,0 0,8 2,8 5,3 3,1
2,0 1,2 1,2 2,0
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
3,6 4,2
2,9 4,8
2,0 1,3
7,9 4,5 3,4 3,2 1,8
2,0 1,2 2,0 1,0 2,0
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 5,3 Menengah bawah 4,0 Menengah 3,8 Menengah atas 3,8 Teratas 3,0 *Wawancara semua umur berdasarkangejala **Wawancara umur > 30 tahun berdasarkan gejala ***Wawancara semua umur menurut diagnosis dokter
diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe II yaitu diabetes yang didapat setelah dewasa. Gejala diabetes antara lain: rasa haus yang berlebihan (polidipsi), sering kencing (poliuri) terutama malam hari, sering merasa lapar (poliphagi), berat badan yang turun dengan cepat, keluhan lemah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, impotensi, luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur di bawah lipatan kulit, dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi besar dengan berat badan >4 kg. Didefinisikan sebagai DM jika pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala: sering lapar dan sering haus dan sering buang air kecil & jumlah banyak dan berat badan turun.
7.5. Penyakit hipertiroid Penyakit hipertiroid adalah suatu keadaan ketika fungsi kelenjar gondok (tiroid) menjadi berlebihan. Kelebihan fungsi kelenjar tersebut meningkatkan produksi hormon tiroid yang mempengaruhi metabolisme tubuh. Gejala penyakit hipertiroid antara lain: jantung berdebardebar, berkeringat banyak, penurunan berat badan, cemas, tidak tahan terhadap udara dingin, dan lain-lain. Didefinisikan sebagai hipertiroid jika pernah didiagnosis hipertiroid oleh dokter.
7.6. Hipertensi/Tekanan darah tinggi Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal. Didefinisikan sebagai hipertensi jika pernah didiagnosis menderita hipertensi/penyakit tekanan darah tinggi oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita hipertensi tetapi saat diwawancara sedang minum obat medis untuk tekanan darah tinggi (minum obat sendiri). Kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan kasus merujuk pada kriteria diagnosis JNC VII 2003, yaitu hasil pengukuran tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku untuk umur ≥ 18 tahun, maka prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah dihitung hanya pada penduduk umur ≥ 18 tahun. Mengingat pengukuran tekanan darah dilakukan pada penduduk umur ≥ 15 tahun maka temuan kasus hipertensi pada umur 15-17 tahun sesuai kriteria JNC VII 2003 akan dilaporkan secara garis besar sebagai tambahan informasi. Dari tabel 7.3 terlihat bahwa prevalensi diabetes dan hipertiroid di Provinsi Aceh berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar 1,8 persen dan 0,3 persen. DM terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 2,6 persen. Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di Kota Lhokseumawe (4,6%), Kota Banda Aceh (3,8%), Kota Langsa (3,4%) dan Bireuen (2,8%). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter dan gejala, tertinggi terdapat di kota Lhokseumawe sebesar 5,3 persen, diikuti Nagan Raya 5,2 persen, Langsa dan Bireuen, masing-masing 3,8 persen. Prevalensi hipertiroid tertinggi di Kota Lhokseumawe (0,7%), Kota Sabang (0,6%), Pidie Jaya dan Kota Banda Aceh masing-masing 0,5 persen. Prevalensi hipertensi di Aceh yang didapat melalui pengukuran pada umur ≥ 18 tahun sebesar 21,5 persen, tertinggi di Gayo Lues (28,8%), diikuti Aceh Singkil (28,7%), Nagan Raya (26,7%) dan Pidie (26,4%). Prevalensi hipertensi rata-rata di Provinsi Aceh yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,7 persen, yang didiagnosis tenaga kesehatan dan minum obat sebesar 9,8 persen. Jadi, ada 0,1 persen yang minum obat sendiri. Untuk penyakit hipertensi dilihat berdasarkan tekanan darah, lebih seperlima penduduk Aceh menderita hipertensi, bahkan hampir 30 persen di Aceh Singkil dan Gayo Lues. Namun bagi penduduk diwilayah Aceh Barat didapati sekitar 85 persen mempunyai tekanan darah normal.
Tabel 7.3 Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥15 tahun dan hipertensi pada umur ≥18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota
Diabetes
Hipertiroid
Hipertensi
Simeulue
D 1,4
D/G 1,6
D 0,3
Wawancara D D/O 10,3 10,5
Pengukuran U 18,7
Aceh Singkil
2,1
2,9
1,0
15,4
15,4
28,7
Aceh Selatan
1,2
1,7
0,1
10,2
10,4
20,5
Aceh Tenggara
0,5
0,5
0,0
5,5
5,5
16,7
Aceh Timur
1,4
3,1
0,3
11,9
12,2
17,9
Aceh Tengah
0,8
1,1
0,2
11,1
11,5
24,4
Aceh Barat
1,1
1,8
0,3
9,4
9,4
15,3
Aceh Besar
1,5
1,7
0,2
6,1
6,4
18,5
Pidie
1,9
2,8
0,5
9,6
9,8
26,4
Bireuen
2,8
3,8
0,2
10,8
10,9
21,2
Aceh Utara
1,1
1,2
0,3
11,3
11,3
23,7
Aceh Barat Daya
2,5
3,2
0,2
9,7
9,9
22,1
Gayo Lues
1,1
1,6
0,1
8,8
8,8
28,8
Aceh Tamiang
1,9
2,0
0,3
9,7
9,9
17,3
Nagan Raya
0,5
5,2
0,3
4,3
4,4
26,7
Aceh Jaya
1,2
2,0
0,3
10,2
10,2
18,2
Bener Meriah
2,1
4,3
0,4
12,0
12,0
35,4
Pidie Jaya
1,4
2,3
0,5
8,6
8,6
17,4
Kota Banda Aceh
3,8
3,8
0,5
8,1
8,1
18,5
Kota Sabang
2,3
2,3
0,6
18,3
18,3
19,8
Kota Langsa
3,4
3,8
0,4
9,0
9,2
21,4
Kota Lhokseumawe
4,6
5,3
0,7
8,2
8,6
21,5
Kota Subulussalam
1,3
2,4
0,5
14,8
14,9
26,3
Aceh
1,8
2,6
0,3
9,7
9,8
21,5
Tabel 7.4 menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus berdasar diagnosis dokter dan gejala meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun mulai umur ≥ 65 tahun cenderung menurun, mungkin pada kelompok ini banyak yang telah meninggal. Prevalensi hipertiroid cenderung meningkat seiring bertambahnya umur, namun akan cenderung turun pada umur ≥ 75 tahun. Prevalensi hipertensi berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan pengukuran terlihat meningkat dengan bertambahnya umur. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi di perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada perdesaan. Prevalensi DM cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah dan dengan status ekonomi dengan kuintil
persen), dan perdesaan (5,6%) lebih tinggi dari perkotaan (5,1%). Juga memperlihatkan bahwa prevalensi hipertensi meningkat seiring bertambahnya usia. Tabel 7.4 Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥15 tahun dan hipertensi pada umur ≥18 tahun menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
D
D/G
D
Hipertensi** Wawancara Pengukuran D D/O U
15-24
0,1
0,5
0,2
0,8
0,9
8,3
25-34
0,4
1,0
0,3
3,5
3,6
12,6
35-44
1,7
2,7
0,5
9,0
9,2
21,9
45-54
4,6
5,6
0,4
16,5
16,8
32,4
55-64
6,5
7,3
0,4
23,9
24,1
38,5
65-74
4,6
6,0
0,7
34,0
34,4
56,1
75+
2,7
3,6
0,2
35,1
35,6
55,0
Laki-Laki
1,7
2,7
0,2
6,8
7,0
18,5
Perempuan
1,9
2,5
0,4
12,5
12,6
24,4
Tidak Sekolah
3,1
3,7
1,0
20,9
21,0
36,6
Tidak Tamat SD
1,9
3,1
0,3
16,0
16,1
28,9
Tamat SD
1,9
2,9
0,3
13,4
13,6
26,4
Tamat SMP
1,5
2,3
0,3
8,0
8,2
18,8
Tamat SMA
1,7
2,2
0,3
5,3
5,4
15,8
Tamat PT
2,6
3,0
0,4
6,6
6,7
18,8
Tidak Bekerja
1,7
2,3
0,4
11,1
11,3
21,4
Pegawai
3,1
3,5
0,4
8,0
8,1
20,6
Wiraswasta
2,6
3,4
0,2
7,7
7,8
19,9
Petani/Nelayan/Buruh
1,3
2,4
0,2
9,6
9,7
22,5
Lainnya
1,6
2,6
0,3
6,7
6,8
21,5
Perkotaan
3,2
3,6
0,4
9,6
9,8
22,3
Perdesaan
1,3
2,2
0,3
9,7
9,9
21,2
Terbawah
0,8
1,8
0,3
9,8
10,1
21,1
Menengah bawah
0,9
1,9
0,3
9,4
9,4
21,5
Karakteristik
Diabetes *
Hipertiroid*
Kelompok umur (tahun)
Jenis Kelamin
Pendidikan
Status Pekerjaan
Tempat Tinggal
Kuintil Indeks Kepemilikan
7.7. Penyakit Jantung Penyakit jantung pada orang dewasa yang sering ditemui adalah penyakit jantung koroner dan gagal jantung. Responden biasanya mengetahui penyakit jantung yang diderita sebagai penyakit jantung saja. Cara membedakannya dengan menanyakan gejala yang dialami responden. 7.7.1 Penyakit jantung koroner Penyakit jantung koroner adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Secara klinis, ditandai dengan nyeri dada atau terasa tidak nyaman di dada atau dada terasa tertekan berat ketika sedang mendaki/kerja berat ataupun berjalan terburu-buru pada saat berjalan di jalan datar atau berjalan jauh. Didefinisikan sebagai PJK jika pernah didiagnosis menderita PJK (angina pektoris dan/atau infark miokard) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita PJK tetapi pernah mengalami gejala/riwayat: nyeri di dalam dada/rasa tertekan berat/tidak nyaman di dada dan nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan di dada bagian tengah/dada kiri depan/menjalar ke lengan kiri dan nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan ketika mendaki/naik tangga/berjalan tergesa-gesa dan nyeri/tidak nyaman di dada hilang ketika menghentikan aktifitas/istirahat. 7.7.2 Penyakit gagal jantung Gagal Jantung/Payah Jantung (fungsi jantung lemah) adalah ketidakmampuan jantung memompa darah yang cukup ke seluruh tubuh yang ditandai dengan sesak nafas pada saat beraktifitas dan/atau saat tidur terlentang tanpa bantal, dan/atau tungkai bawah membengkak. Didefinisikan sebagai penyakit gagal jantung jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung (decompensatio cordis) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung tetapi mengalami gejala/riwayat: sesak napas pada saat aktifitas dan sesak napas saat tidur terlentang tanpa bantal dan kapasitas aktivitas fisik menurun/mudah lelah dan tungkai bawah bengkak.
7.8. Stroke Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal dan/ atau global, munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi syaraf pada stroke disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan syaraf tersebut menimbulkan gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain. Didefinisikan sebagai stroke jika pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh nakes tetapi pernah mengalami secara mendadak keluhan kelumpuhan pada satu sisi tubuh atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh yang disertai kesemutan atau baal satu sisi tubuh atau mulut menjadi mencong tanpa kelumpuhan otot mata atau bicara pelo atau sulit bicara/komunikasi dan atau tidak mengerti pembicaraan. Tabel 7.5 menunjukkan bahwa prevalensi jantung koroner berdasar wawancara terdiagnosis dokter di Aceh sebesar 0,7 persen, dan berdasar terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 2,3 persen. Prevalensi jantung koroner berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Aceh Timur (1,8%) diikuti Aceh Singkil (1,5%), Kota Sabang (1,3%) dan Kota Lhokseumawe (1,2%). Sementara prevalensi jantung koroner menurut diagnosis dan gejala tertinggi di Aceh Timur (9,6%), diikuti Kota Subulussalam (4,6%), Kota Lhokseumawe (3,9%), dan Bireuen (2,7%). Prevalensi gagal jantung berdasar wawancara terdiagnosis dokter di Provinsi Aceh sebesar 0,1 persen, dan yang terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 0,3 persen. Prevalensi gagal jantung berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Kota Sabang (0,4%), disusul Kota Lhokseumawe dan Bener Meriah masing-masing 0,3 persen serta Bireuen (0,2%). Prevalensi gagal jantung berdasarkan diagnosis dan gejala tertinggi di Kota Subulussalam (1,6%), diikuti Aceh Selatan
11 per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala tertinggi terdapat di Kota Sabang (29,8‰), diikuti Lhokseumawe (19,2‰) dan Bireun sebanyak 18,2 permil. Tabel 7.5 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota
Jantung Koroner D* D/G 0,4 0,8 1,5 2,6 0,5 2,5 0,3 0,3 1,8 9,6 0,5 1,1 0,6 2,4 0,8 1,0 0,4 0,9 0,7 2,7 0,7 2,4 0,3 0,8 0,3 0,7 0,5 1,2 0,2 0,4 0,9 2,6 0,6 2,1 0,3 1,7 0,7 0,9 1,3 2,4 1,1 1,3 1,2 3,9 0,5 4,6 0,7 2,3
Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh *) D* = berdasarkan diagnosis dokter *) D** = berdasarkan diagnosis nakes *) D/G = berdasarkan diagnosis dokter/nakes atau gejala
Gagal Jantung D* D/G 0,2 0,3 0,4 0,2 1,0 0,1 0,8 0,1 0,1 0,0 0,6 0,1 0,1 0,2 0,2 0,4 0,1 0,1 0,2 0,8 0,2 0,2 0,0 0,0 0,1 0,3 0,3 0,4 0,2 0,5 0,1 0,1 0,4 0,4 0,2 0,3 0,6 0,2 1,6 0,1 0,3
Stroke (‰) D** 5,2 3,6 6,5 2,8 4,8 4,5 4,6 3,0 2,8 13,0 11,9 9,0 3,0 5,4 0,1 3,8 3,3 5,2 6,7 26,2 7,8 9,0 1,1 6,6
D/G 14,5 13,3 11,2 3,2 13,4 9,1 9,9 6,2 7,2 18,2 13,2 13,2 4,3 7,6 0,6 9,9 13,7 7,6 6,8 29,8 8,7 19,2 6,1 10,5
Tabel 7.6 menunjukkan prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter serta yang didiagnosis dokter & gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 65 -74 tahun yaitu 3,4 persen dan 7,1 persen, menurun pada kelompok umur ≥75 tahun. Prevalensi PJK yang didiagnosis dokter maupun berdasarkan diagnosis dokter dan gejala lebih tinggi pada perempuan (0,9% dan 2,6%). Prevalensi PJK lebih tinggi pada masyarakat tidak bersekolah dan tidak bekerja. Berdasar PJK terdiagnosis dokter prevalensi lebih tinggi diperkotaan, namun berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala lebih tinggi diperdesaan dan pada status ekonomi terbawah. Prevalensi penyakit gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur kelompok 65 – 74 tahun (0,4%), untuk yang terdiagnosis dokter menurun sedikit pada umur ≥ 75 tahun (0.3%), tetapi untuk yang terdiagnosis dokter dan gejala tertinggi pada kelompokumur ≥ 75 tahun (1,8%). Untuk yang didiagnosis dokter prevalensi sama antaraperempuandan laki-laki (0,1%), berdasar didiagnosis dokter dan gejala prevalensi lebih banyak perempuan (0,4%) dibanding dengan laki-laki (0,3%). Prevalensi yang didiagnosis
Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis nakes serta yang didiagnosis nakes dan gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 65-74 (44,3‰ dan 58,5‰). Prevalensi stroke yang terdiagnosis nakes pada laki-laki lebih tinggi (6,8‰) dibandingkan wanita (6,4‰), demikian juga pada prevalensi stroke yang didiagnosis nakes dan gejala. Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah baik yang didiagnosis nakes (19,3‰) maupun diagnosis nakes dan gejala (28,0‰). Prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di desa, dengan diagnosis nakes (8,5‰ vs 11,0‰). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja untuk stroke dengan diagnosis nakes (6,8‰) sedangkan yang didiagnosis nakes dan gejala lebih tinggi yang bekerja sebagai petani/nelayan/ buruh (12,5‰). Prevalensi stroke yang didiagnosis dan gejala lebih tinggi pada kuintil indeks kepemilikan terbawah 12,1 permil . Tabel 7.6 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥15 tahun menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Jantung Koroner D D/G
Gagal Jantung D D/G
Kelompok umur (tahun) 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+
0,1 0,3 0,5 1,3 2,1 3,4 1,8
0,8 1,4 2,1 3,8 5,2 7,1 5,2
0,0 0,1 0,0 0,3 0,2 0,4 0,3
0,1 0,1 0,3 0,6 0,8 1,5 1,8
1,0 1,3 3,0 11,0 20,8 44,3 35,0
3,2 3,7 7,1 15,1 28,2 58,5 47,9
Jenis kelamin Laki-Laki Perempuan
0,5 0,9
2,0 2,6
0,1 0,1
0,3 0,4
6,8 6,4
11,1 9,9
Pendidikan Tidak sekolah Tidak Tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
1,6 1,5 0,8 0,5 0,5 0,4
7,2 4,1 2,8 2,2 1,3 0,6
0,0 0,1 0,1 0,1 0,1 0,0
1,1 0,6 0,5 0,3 0,2 0,1
19,3 7,6 10,0 4,2 4,1 5,1
28,0 18,7 15,6 5,8 5,7 8,3
Status Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
0,9 0,5 0,6 0,6 0,4
2,3 0,9 1,9 3,1 1,3
0,1 0,1 0,0 0,1 0,0
0,4 0,2 0,3 0,4 0,1
6,8 8,5 5,4 6,8 3,3
1,0 9,6 8,8 12,5 5,2
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
0,8 0,7
1,7 2,5
0,1 0,1
0,2 0,4
8,5 5,8
11,0 10,3
Karakteristik
Kuintil indeks kepemilikan
Stroke (‰) D D/G
7.9. Penyakit ginjal Penyakit ginjal adalah kelainan yang mengenai organ ginjal yang timbul akibat berbagai faktor, misalnya infeksi, tumor, kelainan bawaan, penyakit metabolik atau degeneratif, dan lain-lain. Kelainan tersebut dapat mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Pasien mungkin merasa nyeri, mengalami gangguan berkemih, dan lain-lain. Terkadang pasien penyakit ginjal tidak merasakan gejala sama sekali. Pada keadaan terburuk, pasien dapat terancam nyawanya jika tidak menjalani hemodialisis (cuci darah) berkala atau transplantasi ginjal untuk menggantikan organ ginjalnya yang telah rusak parah. Di Indonesia, penyakit ginjal yang cukup sering dijumpai antara lain adalah penyakit gagal ginjal dan batu ginjal. Didefinisikan sebagai gagal ginjal kronis jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal ginjal kronis (minimal sakit selama 3 bulan berturut-turut) oleh dokter. Didefinisikan sebagai penyakit batu ginjal jika pernah didiagnosis mengalami penyakit batu ginjal oleh dokter.
7.10. Penyakit Sendi/Rematik/Encok Penyakit sendi/rematik/encok adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik pada sendi-sendi tubuh. Gejala klinik penyakit sendi/rematik berupa gangguan nyeri pada persendian yang disertai kekakuan, merah, dan pembengkakan yang bukan disebabkan karena benturan/kecelakaan dan berlangsung kronis. Gangguan terutama muncul pada waktu pagi hari. Didefinisikan sebagai penyakit sendi/rematik/encok jika pernah didiagnosis menderita penyakit sendi/rematik/encok oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau ketika bangun tidur pagi hari pernah menderita salah satu gejala: sakit/nyeri atau merah atau kaku atau bengkak di persendian yang timbul bukan karena kecelakaan. Tabel 7.7 menunjukkan prevalensi gagal ginjal kronis berdasar didiagnosis dokter di Aceh sebesar 0,4 persen. Prevalensi tertinggi di Bireuen sebesar 1,1 persen, diikuti Kota Subulussalam (0,8%), Pidie (0,7%),Gayo Lues (0,6%) dan Simeulue (0,5%). Prevalensi penderita batu ginjal berdasar wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,9 persen. Prevalensi tertinggi di Bireuen dan Kota Lhokseumawe(1,9%), diikuti Kota Langsa dan Aceh Utara (1,1%), kemudian Pidie dan Simeulue (1,0%). Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis nakes di Provinsi Aceh 18,3 persen dan berdasarkan diagnosis dan gejala 25,3 persen. Prevalensi berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Kota Subulussalam (43,5%), diikuti Pidie (26,0%), Simeulue (23,3%),dan Aceh Barat Daya (23,0%). Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis nakes dan gejala tertinggi di Kota Subulussalam (43,5%) diikuti oleh Aceh Timur (35,8%), Aceh Singkil (33,1%), dan Bireuen (32,7%).
Tabel 7.7 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Gagal Ginjal Kronis D 0,5
Batu Ginjal D 1,0
Aceh Singkil
0,4
0,5
21,8
33,1
Aceh Selatan
0,2
0,5
19,2
25,0
Aceh Tenggara
0,1
0,2
12,1
15,3
Aceh Timur
0,4
2,2
22,5
35,8
Aceh Tengah
0,1
0,4
15,1
19,2
Aceh Barat
0,2
0,4
21,7
26,3
Aceh Besar
0,4
0,5
13,9
17,0
Pidie
0,7
1,0
21,8
26,9
Bireuen
1,1
1,9
26,0
32,7
Aceh Utara
0,4
1,1
21,3
31,5
Aceh Barat Daya
0,3
0,7
23,0
27,7
Gayo Lues
0,6
0,5
11,7
22,2
Aceh Tamiang
0,1
0,4
16,2
21,9
Nagan Raya
0,1
0,2
15,5
26,5
Aceh Jaya
0,1
0,6
13,3
19,5
Bener Meriah
0,3
0,6
9,2
28,0
Pidie Jaya
0,1
0,5
18,5
26,2
Kota Banda Aceh
0,0
0,6
6,3
9,2
Kota Sabang
0,3
0,6
17,2
27,6
Kota Langsa
0,4
1,1
10,7
12,8
Kota Lhokseumawe
0,4
1,9
17,2
23,8
Kota Subulussalam
0,8
0,9
34,5
43,5
Aceh
0,4
0,9
18,3
25,3
Kabupaten/Kota Simeulue
Penyakit Sendi D D/G 23,3 29,1
Tabel 7.8 menunjukkan prevalensi penyakit gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur, meningkat tajam pada kelompok umur 55-64 tahun (1,0%), diikuti umur 45-54 tahun (0,8%), dan umur 65-74 tahun (0,7%), tertinggi pada kelompok umur ≥75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,5%) lebih tinggi dari perempuan (0,3%), prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perdesaan (0,4%), tamat SD (0,7%), petani/nelayan/buruh (0,6%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah atas masing-masing 0,5 persen. Prevalensi penyakit batu ginjal berdasarkan wawancara meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun sebanyak 2,2 persen, kemudian diikuti kelompok umur 55-64 tahun sebanyak 2,0 persen, lalu kelompok umur 45-54 tahun dan
umur, demikian juga yang didiagnosis nakes dan gejala. Prevalensi yang didiagnosis nakes lebih tinggi pada perempuan demikian juga yang didiagnosis nakes dan gejala. Semakin rendah tingkat pendidikan dan semakin rendah status ekonomi masyarakat semakin meningkat prevalensinya penyakit. Tabel 7.8 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Gagal Ginjal Kronis
Batu Ginjal
D
D
Penyakit Sendi* D/G D
15-24
0,1
0,2
2,0
5,4
25-34
0,3
0,4
9,0
15,0
35-44
0,4
1,4
21,6
30,3
45-54
0,8
1,7
34,9
44,1
55-64
1,0
2,0
43,9
55,3
65-74
0,7
1,7
50,3
61,9
75+
1,4
2,2
58,4
68,3
Laki-Laki
0,5
1,1
14,7
20,9
Perempuan
0,3
0,8
21,8
29,6
Tidak Sekolah
0,6
2,0
42,7
52,4
Tidak Tamat SD
0,5
1,6
32,1
42,9
Tamat SD
0,7
1,3
26,8
35,9
Tamat SMP
0,3
0,7
13,8
20,6
Tamat SMA
0,2
0,6
10,2
14,9
Tamat PT
0,1
0,4
8,1
11,9
Tidak Bekerja
0,3
0,7
16,3
22,7
Pegawai
0,2
0,6
11,0
15,7
Wiraswasta
0,3
1,1
15,6
23,2
Petani/Nelayan/Buruh
0,7
1,4
25,1
33,7
Lainnya
0,1
0,6
15,0
20,5
Perkotaan
0,3
0,9
14,1
19,1
Perdesaan
0,4
0,9
20,0
27,8
0,5
0,8
22,8
31,8
Karakteristik Kelompok umur (tahun)
Jenis Kelamin
Pendidikan
Status Pekerjaan
Tempat Tinggal
Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah
Daftar Pustaka Eguchi K, Yacoub M, Jhalani J et al. Consistency of blood pressure differences between the left and right arms. Arch Intern Med 2007;167 (4): 388 – 93. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. Kidney inter., Suppl. 2013; 3: 1—150. Laporan Riskesdas 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes R.I. National Heart, Lung, and Blood Institute, National Institute of Health, US. 2004. The seventh report of the Joint Committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. NIH Publication No. 04-5230, August 2004. (cited 2007 Nov 2). Available from: http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/jnc7full.pdf. Report of WHO. Definition and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate hyperglycaemia. Geneva: WHO; 2006. P.9—43. WHO, Media Centre. Nocommunicable diseases. Updated March 2013. Access 18 November 2013. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs355/en/
BAB 8.
CEDERA
Endi Ridwan, Aprildah Sapardin dan Marice Sihombing Cedera merupakan kerusakan fisik pada tubuh manusia yang diakibatkan oleh kekuatan yang tidak dapat ditoleransi dan tidak dapat diduga sebelumnya (WHO, 2004). Kasus cedera diperoleh berdasarkan wawancara. Cedera yang ditanyakan adalah peristiwa yang dialami responden selama 12 bulan terakhir untuk semua umur. Definisi cedera dalam Riskesdas adalah kejadian atau peristiwa yang mengalami cedera yang menyebabkan aktivitas sehari-hari terganggu. Untuk kasus cedera yang kejadiannya lebih dari 1 kali dalam 12 bulan, kasus cedera yang ditanyakan adalah cedera yang paling parah menurut pengakuan responden.
8.1. Prevalensi Cedera dan penyebabnya Penyebab terjadinya cedera meliputi penyebab yang disengaja (intentional injury), penyebab yang tidak disengaja (unintentional injury) dan penyebab yang tidak bisa ditentukan (undeterminated intent) (WHO, 2004). Penyebab cedera yang disengaja meliputi bunuh diri, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) seperti dipukul orang tua/suami/istri/anak, penyerangan, tindakan kekerasan/pelecehan dan lain-lain. Penyebab cedera yang tidak disengaja antara lain: terbakar/tersiram air panas/bahan kimia, jatuh dari ketinggian, digigit/diserang binatang, kecelakaan transportasi darat/laut/udara, kecelakaan akibat kerja, terluka karena benda tajam/tumpul/mesin, kejatuhan benda, keracunan, bencana alam, radiasi, terbakar dan lainnya. Penyebab cedera yang tidak dapat ditentukan (undeterminated intent) yaitu penyebab cedera yang sulit untuk dimasukkan kedalam kelompok penyebab yang disengaja atau tidak disengaja. Penyebab cedera yang dituliskan dalam laporan ini adalah penyebab yang tidak disengaja. Prevalensi dan proporsi penyebab cedera menurut kabupaten/kota disajikan pada tabel 8.1. Prevalensi cedera secara provinsi adalah 7,3 persen, prevalensi cedera tertinggi ditemukan di Kabupaten Bener Meriah (19,4%), terendah di Nagan Raya (2,2%). Penyebab cedera terbanyak yaitu kecelakaan sepeda motor (48,6%) dan jatuh (30,2%). Adapun penyebab cedera yang lain meliputi terkena benda tajam/tumpul (7,7%), transportasi darat lain (8,1%) dan kejatuhan (3,7%), sedangkan untuk penyebab lainnya sebesar 0,8 persen. Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan pada Kabupaten Aceh Utara (65,3%) dan terendah di Kabupaten Simeulue (23,9%). Adapun untuk transportasi darat lain proporsi tertinggi terdapat di Aceh Barat (16,0%) dan terendah ditemukan di Aceh Tenggara (1,2%). Proporsi jatuh tertinggi di kabupaten Aceh Tenggara (48,7%) dan terendah di kabupaten Nagan Raya (9,0%). Proporsi tertinggi terkena benda tajam/tumpul terdapat di kabupten Pidie (18,8%) dan terendah di Gayo Lues (2,2%). Penyebab cedera karena terbakar ditemukan proporsi tertinggi di Aceh Timur (3,0%) dan terendah (tanpa kasus) terdapat di 9 kabupaten/kota yaitu di Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Aceh Utara, Aceh Barat Daya, Gayo Lues, Aceh Tamiang, Nagan Raya, Sabang dan Kota Subulussalam. Proporsi kejatuhan tertinggi ditemukan di kabupaten Aceh Jaya (6,4%) dan terendah di kabupaten Simeulue (1,1%), Gayo Lues (1,0%), Kota Banda Aceh (0,8%) dan Aceh Besar (0%).Proporsi cedera karena keracunan tidak ditemukan kasusnya, proporsi yang tercatat terdapat di Kabupaten Aceh Utara sebanyak 0,1 persen.
Tabel 8.1 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Penyebab cedera Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Benda tajam/ tumpul 18,7 4,7 5,2 5,8 7,5 8,6 4,4 5,2 18,8 8,3 7,5
Prevalensi Cedera
Sepeda motor
Trans. darat lain
Jatuh
4,5 8,2 9,1 3,8 6,3 9,7 7,0 4,2 8,9 11,2 4,1
23,9 43,5 49,0 42,9 47,3 51,7 59,2 58,9 31,8 46,2 65,3
5,5 4,6 11,3 1,2 6,6 3,5 16,0 13,0 12,4 10,6 9,4
46,6 41,9 31,5 48,7 28,6 30,3 13,2 21,1 32,0 26,5 13,1
5,6
48,9
8,5
34,2
6,5 12,8 2,2 8,1 19,4 6,0
59,9 52,1 82,4 58,6 36,4 34,1
8,4 6,4 1,9 4,5 4,2 5,7
26,0 31,7 9,0 27,2 48,2 38,0
2,2 7,7 4,5 2,6 6,5 9,8
0,7 0,1 4,1
7,0
48,9
4,4
43,0
2,4
0,4
5,4 3,8
46,9 56,3
3,0 5,4
35,2 20,9
10,2 9,5
0,7
6,6
56,5
7,4
25,4
3,0
0,6
11,3
59,9
5,4
28,2
4,5
7,3
48,6
8,1
30,2
7,7
Terbakar 1,0 1,2 3,0 1,0 1,7 1,6 0,4 0,6
Gigitan hewan 3,3
0,4
Kejatuhan
Keracunan
1,1 2,7 2,2 1,4 5,8 2,8 5,1 3,6 6,6 4,7
Lainnya 1,6 0,8 1,1 2,0
0,1
0,2 1,1 1,2
1,4
3,7
3,3
1,6
1,0 2,1 2,2 6,4 3,4 4,8
0,9
0,4 2,1
0,8 1,5
0,8 1,7
4,8 5,2
0,2
5,9
1,3
1,8 0,7
0,2
3,7
0,0
Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karakteristik responden (Tabel 8.2) yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun (10,9%), laki-laki (9,2%), pendidikan tamat SMP/MTS (8,6%), yang bekerja sebagai petani/nelayan/buruh (8,2%), serta bertempat tinggal di perdesaan (7,5%). Ditinjau dari penyebab cedera langsung, proporsi tertinggi adalah cedera karena jatuh pada kelompok umur < 1 tahun(83,0%), perempuan (37,3%), tidak sekolah (45,1%), tidak bekerja (27,8%) dan tinggal di perkotaan (30,5%). Selain itu penyebab cedera langsung karena kecelakaan sepeda motor menempati peringkat pertama yaitu, pada kelompok umur 15-24 tahun (70,3%), laki-laki (51,6%), tingkat pendidikan tamat SMA/MA (68,5%), bekerja sebagai wiraswasta (71,6%) dan tinggal di perkotaan (54,1%).
0,8
Tabel 8.2 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Karakteristik
Prevalensi Cedera
Sepeda motor
Penyebab Cedera Benda Gigitan tajam/ Terbakar Hewan tumpul
Trans darat lain
Jatuh
83,0 69,6 39,9 18,3 16,2 26,7 30,6 39,7 53,5 72,0
4,6 3,6 7,6 5,6 9,5 12,4 9,2 8,6 2,4 2,1
Kelompok umur (thn) <1 1–4 5 – 14 15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 65 – 74 75+
0,6 5,0 7,6 10,9 7,0 5,8 6,8 6,8 6,9 4,4
11,2 26,6 70,3 64,4 50,6 49,4 35,5 29,7 9,6
12,5 8,3 18,4 4,4 4,1 2,8 5,2 8,7 8,1 6,9
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
9,2 5,5
51,6 43,5
8,3 7,7
26,0 37,3
Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat Diploma/PT
5,3 7,6 7,1 8,6 8,2 5,4
24,9 27,8 46,6 63,1 68,5 64,2
8,2 19,1 6,2 4,4 4,4 7,6
Status pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
7,8 6,3 7,5 8,2 8,5
53,1 63,4 71,6 49,8 62,4
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
7,1 7,5
Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
6,9 8,0 7,1 7,9 6,7
4,6 1,2 0,3 0,4 0,3
0,8 0,2 0,1 0,2
Kejatuh an
1,6 4,9 1,1 3,7 7,1 3,4 5,7 6,2 9,4
0,4
0,4 0,5
8,5 6,3
0,9 0,5
0,2 0,2
3,8 3,5
45,1 37,5 31,6 19,3 19,2 21,7
9,3 7,5 9,9 9,8 5,1 2,7
2,9 0,3
0,5 0,1 0,1 0,2
8,4 6,1 4,3 2,2 2,2 3,2
8,5 6,0 3,6 4,3 2,6
27,8 21,4 14,9 27,1 20,5
6,0 5,2 7,1 12,4 10,9
0,4
54,1 46,5
7,4 8,3
30,5 30,1
3,8 9,2
39,8 51,4 49,4 49,4 53,7
7,2 10,1 6,5 8,8 7,2
35,0 24,5 34,9 28,3 29,1
12,8 7,4 5,5 6,7 5,7
0,8 0,0 0,5
0,3 0,7
3,3 2,8 1,5 5,4 2,4
0,6 0,8
0,1 0,3
2,8 4,0
0,9 0,7 0,1 0,9 1,1
0,1 0,4 0,1 0,4
3,3 4,8 2,6 4,8 2,5
0,2 0,3
0,2
Keracun an
Lainnya
0,4 1,2 0,0 1,5
0,1
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
1,8 0,8
0,6 1,0
1,1 1,1 1,4 0,3 0,5 0,2 0,8 1,2 1,0 0,5 0,5 0,7 0,8 0,9 0,7 0,8 0,6 0,9
darat lainnya), jatuh dan terkena benda tajam/tumpul. Adapun untuk penyebab cedera akibat transportasi darat tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 37,5 persen menjadi 56,7 persen.
Gambar 8.1 Kecenderungan prevalensi cedera dan penyebabnya, Provinsi Aceh 2007 dan 2013
8.2. Jenis cedera Jenis cedera merupakan jenis atau macam luka akibat trauma yang telah dialami yang dapat menyebabkan terganggunya aktifitas sehari-hari. Seseorang yang cedera bisa mengalami minimal 1 jenis (multiple injuries). Persentase jenis cedera di Provinsi Aceh di dominasi oleh luka lecet/memar sebesar 66,7 persen, terbanyak terdapat di Kabupaten Nagan Raya (83,5%) dan yang terendah di Aceh Tenggara (17,7%). Jenis cedera terbanyak ke dua adalah terkilir, rata-rata di Provinsi Aceh 38,9 persen. Ditemukan terkilir terbanyak di Aceh Tenggara (67,9%). Luka robek menduduki urutan ketiga jenis cedera terbanyak, jenis luka ini tertinggi ditemukan di Aceh Barat 39,7 persen, jauh di atas rerata Provinsi Aceh yaitu 27,8 persen dan terendah di Aceh Tenggara 13,4 persen. Jenis cedera lainnya persentasenya kecil, patah tulang 7,4 persen, anggota tubuh terputus, cedera mata dan geger otak masing-masing persentasenya di Aceh 0,1, 0,9 dan 0,6 persen. Seperti terlihat pada tabel 8.3.
Tabel 8.3 Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Jenis Cedera Kabupaten/Kota
Lecet/ Memar
Luka robek
Patah Tulang
Terkilir
Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
81,2 69,0 65,9 17,7 58,2 62,6 73,9 74,4 57,0 62,5 82,6 63,5 59,7 81,6 83,5 68,5 61,9 68,7 74,0 57,1 60,8
39,1 27,9 31,8 13,4 31,8 23,7 39,7 31,1 34,1 28,1 31,2 15,0 30,2 27,5 34,7 22,3 15,6 25,3 15,3 24,2 30,6
6,0 4,6 9,4 11,2 8,9 4,4 6,5 9,8 11,1 8,6 9,8 9,1 3,4 2,4 15,3 4,9 5,6 6,9 2,5 8,1 9,5
40,4 36,6 44,5 67,9 28,4 54,9 25,8 23,7 37,2 43,5 33,8 36,7 41,5 27,5 41,2 54,6 55,7 39,3 32,0 42,9 38,8
68,4
32,8
9,7
46,3
72,6 66,7
30,8 27,8
4,0 7,4
26,7 38,9
Anggota Tubuh terputus 1,0 0,4
0,0
Cedera Mata
Gegar otak
1,4 1,4
2,6 0,8
1,1 2,4
0,9 0,9 0,7
1,3 0,8 1,8 2,1
0,5 1,6 0,7
0,7 0,1
1,8 1,2
0,6
2,9 0,4 2,0 1,8
Lainnya
1,2 0,7 0,6 4,5 1,5 2,0 0,9 0,7 1,4 0,4 1,3 0,2 0,6 3,1 1,9 1,3 2,4 2,7
2,8 0,7
0,1
1,5
1,9
0,9
3,3 1,5
0,6
Tabel 8.4 memberikan gambaran proporsi jenis cedera menurut karakteristik responden. Proporsi jenis luka yang menunjukkan 3 urutan proporsi tertinggi adalah luka lecet/memar, terkilir dan luka robek. Berdasarkan kelompok umur, proporsi lecet/memar, luka robek, anggota tubuh terputus dan cedera mata menunjukkan pola atau kecenderungan yang sama yaitu pada usia <1 proporsinya rendah, meningkat di usia muda dan menurun di usia lanjut. Adapun kecenderungan proporsi yang menggambarkan pola positif yaitu semakin bertambah umur proposinya tinggi ditunjukkan pada jenis cedera patah tulang dan terkilir. Kelompok umur yang mempunyai proporsi tertinggi didapat pada umur 15-24 tahun untuk jenis cedera lecet/memar (74,0%), dan luka robek (31,0%), patah tulang (30,3%), dan terkilir (60,5%) pada umur 75 tahun keatas, anggota tubuh terputus pada usia produktif (25-54 tahun) sekitar 0,1 persen, cedera mata pada umur 35 – 54 tahun sekitar 3,8 persen, gegar otak pada umur 65-74 tahun 0,9 persen dan jenis cedera lainnya pada umur 65 tahun keatas 1,2 persen. Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar proporsi jenis cedera menunjukkan angka proporsi
Adapun jika berdasarkan pada pendidikan sebagian besar proporsi jenis cedera menunjukkan pola meningkat seiring dengan kenaikan tingkat pendidikan yaitu ada kecenderungan proporsi jenis cedera meingkat sejalan dengan tingkat pendidikan semakin tinggi. Sedangkan menurut status pekerjaan, proporsi jenis cedera tidak menunjukkan pola tertentu. Berdasarkan pada tempat tinggal, proporsi jenis cedera sebagian besar menunjukkan tidak ada perbedaan antara perkotaan dan perdesaan, kecuali pada proporsi lecet/memar lebih tinggi di perkotaan sedangkan luka robek dan patah tulang lebih tinggi proporsinya di perdesaan. Menurut tingkat pengeluaran perkapita per bulan tampak bahwa yang menunjukkan pola yang jelas hanya pada jenis cedera yang proporsinya menunjukkan 3 angka besar dibandingkan dengan jenis cedera lainnya yaitu luka lecet, luka robek dan terkilir. Luka lecet menunjukkan pola positif dengan semakin tinggi status ekonomi semakin besar proporsi luka lecetnya, sedangkan untuk luka robek dan terkirlir sebaliknya dengan semakin tinggi status ekonominya tampak jenis lukanya semakin menurun proporsinya.
Tabel 8.4 Proporsi jenis cedera menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Jenis Cedera Karakteristik
Lecet/ Memar
Luka robek
Patah Tulang
Terkilir
Kelompok umur (thn) <1 1–4 5 – 14 15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 65 – 74 75+
57,5 66,0 65,1 74,0 67,4 61,2 68,5 50,2 59,6 34,9
16,2 25,5 31,6 31,0 28,0 29,4 28,1 15,1 5,0
3,3 5,8 6,7 7,7 8,2 9,7 11,9 11,6 30,3
55,0 30,1 30,9 39,9 40,4 44,4 45,4 43,8 52,0 60,5
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
66,8 66,7
32,8 19,6
8,2 6,0
37,3 41,5
52,5 65,9 63,4 68,7 72,1 70,5
27,9 24,8 32,1 32,9 26,1 21,8
9,1 6,8 6,9 7,5 8,1 10,1
31,6 34,3 36,9 43,6 42,3 54,7
66,7 69,6 68,8 66,5 71,4
27,0 23,8 35,3 30,8 37,4
7,0 5,7 7,4 9,8 8,7
40,3 50,3 40,2 39,7 39,5
70,1 65,5
26,4 28,4
5,1 8,3
40,9 38,2
Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat Diploma/PT Status pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/ buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 55,9 32,8 8,7 39,3 Menengah bawah 71,3 28,3 7,7 34,0 Menengah 69,0 26,3 8,3 41,7 Menengah atas 69,0 27,7 6,1 37,5 Teratas 67,9 22,8 5,9 43,9 *Responden biasanya mempunyai lebih dari 1 jenis cedera (multiple injury)
Anggota Tubuh terputus
Cedera Mata
Gegar otak
Lainnya
0,5 0,6 1,5 0,4 3,4
0,3 0,8 0,7 1,4 0,6 0,1 0,9
2,9 1,9 1,1 1,1 0,5 2,7 1,2 1,2
0,1 0,0
1,2 0,3
0,7 0,4
1,7 1,0
0,0 0,0 0,2 0,1
0,9 1,4 0,7 1,1 0,6 1,8
1,0 0,6 0,7 1,1 0,2 0,7
6,2 1,6 1,2 0,5 1,0 0,7
0,1 0,2 0,1 0,0
0,7 1,5 2,1 0,9 2,2
0,4
1,7
1,5 0,9 1,6
0,5 0,8
0,1 0,0
0,4 1,1
0,7 0,6
1,0 1,6
0,1 0,0 0,2 0,1
1,8 0,8 1,2 0,4 0,2
0,5 0,9 0,5 0,1 1,1
2,7 1,5 1,4 0,7 0,9
0,2 0,1 0,1 0,0
8.3. Tempat Terjadinya Cedera Tempat terjadinya cedera adalah lokasi atau area dimana peristiwa atau kejadian yang mengakibatkan cedera terjadi atau disebut juga dengan istilah TKP (Tempat Kejadian Perkara). Tempat kejadian cedera hanya menginformasikan data tentang lokasi/tempat tanpa disertai keterangan aktivitas yang sedang dilakukan responden pada saat kejadin cedera di lokasi tersebut. Keterangan tempat rumah dan sekolah termasuk lingkungan sekitarnya (indoor dan outdoor). Ruang lingkup pertanian termasuk perkebunan dan sejenisnya. Gambaran tentang tempat terjadinya cedera menurut provinsi disajikan pada Tabel 8.5. Secara umum di Aceh, cedera yang terjadi paling banyak terjadi di jalan raya yaitu 47,3 persen. selanjutnya di rumah (30,7%), area pertanian (9,9%) dan sekolah (4,9%). Kabupaten /kota yang memilki angka proporsi tempat cedera di rumah dan sekitarnya tertinggi adalah Kabupaten Pidie Jaya (43,3%) dan terendah di Aceh Utara (16,2%). Adapun untuk porporsi tempat cedera di sekolah tertinggi di Aceh Barat Daya (11,2%) dan terendah di Gayo Lues (0,2%). Tempat kejadian cedera di jalan raya mempunyai proporsi paling tinggi dibandingkan dengan tempat yang lain. Kabupaten/kota yang mempunyai proporsi tempat kejadian cedera di jalan yang yang melebihi angka provinsi sebanyak 13 kabupaten/kota. Adapun proporsi kejadian di jalan raya terbanyak di Kabupaten Nagan Raya (79,0%) dan terendah di Simeulue (25,4%). Adapun untuk tempat kejadian cedera di tempat umum dan industri proporsinya tampak lebih kecil dibandingkan tempat lain. Sedangkan proporsi di area pertanian menunjukkan angka proporsi yang sangat melebihi angka provinsi (9,9%) di Kabupaten Simeulue (25,6%) dan terendah di Kota Lhokseumawe (0,7%).
Tabel 8.5 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Rumah
Sekolah
33,9 22,1 31,2 30,3 25,5 24,0 32,9 35,4 37,1 35,2 16,2 29,9 28,7 36,4 18,6 28,2 32,6 43,3 31,5 34,6 24,0 23,1 25,6 30,7
3,1 6,6 5,6 5,3 1,4 2,3 5,7 7,2 3,8 6,8 3,4 11,2 0,2 5,2 2,2 5,2 7,8 5,7 1,8 4,6 5,9 3,8 4,9
Area Tempat terjadinya cedera Olah Jalan Tempat Industri raga raya umum 5,7 25,4 3,8 38,3 2,9 5,4 1,4 49,6 2,9 6,4 44,4 1,8 2,6 40,1 3,2 3,6 46,3 1,0 0,7 48,0 8,0 50,6 1,2 6,6 39,8 0,8 1,4 3,3 42,3 2,8 0,6 3,1 64,1 2,0 1,5 4,8 47,8 2,4 0,9 56,3 1,4 2,6 48,7 0,8 79,0 2,4 6,4 56,9 0,8 1,9 7,0 38,5 1,0 3,0 36,4 4,1 56,1 0,9 1,7 13,1 45,5 1,5 3,3 56,6 2,2 5,1 5,7 60,9 3,7 0,7 53,6 3,7 0,5 3,6 47,3 2,0 0,8
Pertanian
Lainnya
25,6 18,2 7,9 9,5 24,7 22,0 5,3 5,7 10,1 8,7 9,7 3,8 9,2 5,6
6,3 2,9 1,4 2,3 2,4
1,5 15,2 7,8
2,0 0,5 1,6
2,4 2,0 0,7 10,9 9,9
1,1 2,1
0,3 0,2
3,4 0,7
1,2 0,8
Tabel 8.6 menggambarkan proporsi tempat kejadian cedera berdasarkan karakterikstik responden. Menurut kelompok umur tampak bahwa rumah menunjukkan proporsi tinggi terjadi pada kelompok umur Balita dan lansia (Lanjut usia). Adapun tempat kejadian cedera di sekolah kebanyakan terjadi pada kelompok umur anak, remaja sampai dewasa muda (5 – 24 tahun) demikian juga dengan tempat kejadian cedera di area olahraga. Adapun jalan raya merupakan tempat kejadian cedera yang banyak terjadi pada umur produktif dan tampak tertinggi khusus pada umur 15-24 yaitu 7,2 persen. Tempat umum, industri dan area pertanian menunjukkan pola yang sama yaitu kebanyakan terjadi pada kelompok umur produktif, kecuali di area pertanian proporsi tertinggi pada umur 55 – 64 tahun yaitu 21,1 persen. Menurut jenis kelamin, proporsi termpat kejadian cedera mayoritas lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan kecuali di rumah dan sekolah. Adapun berdasarkan pendidikan yang menunjukkan pola negatif yaitu semakin tinggi pendidikan proporsi cedera semakin rendah terjadi di rumah, sekolah dan pertanian. Sedangkan proporsi menunjukkan pola positif dengan semakin tinggi proporsi semakin tinggi ditunjukkan pada tempat kejadian cedera di area olahraga, jalan raya dan tempat umum. Menurut status pekerjaan tampak proporsi tertinggi pada yang tidak bekerja, demikian juga pada sekolah dan area olahraga. Sedangkan di jalan raya, tepat umum dan industri memperlihatkan
Menurut status ekonomi (tingkat pengeluaran perkapita per bulan) tampak bahwa mayoritas kecenderungan proporsi semakin tinggi seiring dengan status ekonomi, kecuali pada tempat kejadian di rumah dan area pertanian menunjukkan sebaliknya yaitu dengan semakin tinggi tingkat ekonominya kejadian cedera di kedua tempat tersebut semakin rendah. Tabel 8.6 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kelompok umur (thn) <1 1–4 5 – 14 15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 65 – 74 75+ Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat Diploma/PT Status pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/ buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Rumah
Sekolah
Area Tempat terjadinya cedera Olah Jalan Tempat Industri raga raya umum
95,4 86,3 47,4 16,0 19,2 22,0 22,2 29,7 43,4 50,8
4,2 11,7 3,8 1,8 1,8 3,0 1,4 2,1
3,9 7,2 2,6 1,9 0,7 1,5
24,5 41,2
4,8 5,1
50,5 41,4 28,4 17,7 17,7 12,6
Pertanian
Lainnya
2,8 6,2 5,9 9,8 18,2 17,1 21,1 19,9 22,4
0,2 0,5 0,4 0,9 0,9 1,6 1,4 1,3 10,3
10,6 8,7
1,0 0,5
12,0 12,5 13,6 10,9 6,2 2,9
1,4 1,5 0,3 0,6
4,6 6,2 28,7 64,8 62,3 50,0 50,6 40,4 29,0 16,5
0,4 1,4 1,8 1,5 4,1 3,5 1,3 4,2
5,1 1,2
50,7 41,6
2,1 1,8
5,5 9,6 4,5 3,9 3,0 2,5
2,3 2,4 3,3 3,7 4,8 10,0
28,6 30,5 45,8 59,4 65,5 64,8
1,2 1,6 2,4 2,3 1,4 6,3
29,1 13,6 14,9 16,7 23,0
6,2 2,5 2,8 1,3 0,8
5,7 1,2 1,8 2,1 5,3
50,8 67,0 66,2 50,3 62,5
1,3 4,8 4,2 2,4 3,7
0,3 3,4 2,8 1,1
6,1 7,3 7,0 24,6 2,8
0,5 0,3 0,3 1,5 1,9
29,0 31,4
5,4 4,7
5,3 3,0
53,4 45,0
3,2 1,5
1,2 0,6
1,9 12,9
0,7 0,9
31,1 29,8 32,2 32,2 27,9
3,5 4,2 4,3 6,8 5,9
3,8 1,9 4,0 2,8 6,7
40,6 48,5 48,6 48,2 51,3
1,2 2,1 2,2 1,1 3,9
0,2 1,2 1,3 0,6 0,5
17,8 11,9 7,2 7,8 3,0
1,9 0,5 0,1 0,6 0,9
0,1 0,1 1,9 1,2 1,3 3,3
1,2
0,5 0,5 1,9 0,7 0,9
Daftar Pustaka International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems. Vol 1. Tenth Revision (ICD-10). World Health Organization. Geneva, 1992. vol 1, p: 891 – 1010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Desember 2008, hal: 160 – 169. Pedoman Pengisian Kuesioner. Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 2007, hal: 59 – 60. Riyadina, W,. Pola dan Determinan Cedera di Indonesia. Laporan hasil analisis lanjut data Riskesdas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 2008. Sethi D et. al., Guidelines for conducting community surveys on injuries and violence. World Health Organization. Geneva. 2004. Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
BAB 9. KESEHATAN GIGI DAN MULUT Marice Sihombing, Endi Ridwan dan Aprildah Sapardin Survei kesehatan gigi pertama kali dilaksanakan oleh Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan melalui Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986, selanjutnya secara periodik dilaksanakan melalui survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, SKRT 2001, SKRT 2004, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, dan Riskesdas 2013. Riskesdas 2013 mengumpulkan data kesehatan gigi secara komprehensif yang meliputi indikator status kesehatan gigi, indikator jangkauan pelayanan dan perilaku kesehatan gigi. Pengumpulan data melalui wawancara maupun pemeriksaan gigi dan mulut dengan jumlah sampel keseluruhan 40.951 responden. Wawancara dilakukan terhadap responden semua umur. Pertanyaan perilaku ditanyakan kepada kelompok umur ≥10 tahun. Pemeriksaan gigi dan mulut dilakukan pada kelompok umur ≥12 tahun. Hasil ini dapat dibandingkan dengan Riskesdas 2007 sebagai evaluasi keberhasilan intervensi berbagai program perbaikan derajat kesehatan gigi dan mulut penduduk Provinsi Aceh. Pada tabel menurut karakteristik responden, ditambahkan juga kelompok umur menurut WHO. Pembagian kelompok menurut WHO ini diperlukan karena pada umur ≥12 tahun, seluruh gigi dari insisivus hingga molar satu sudah tumbuh semua {permanen}, umur 15 tahun, seluruh gigi dari insisivus hingga molar 2 sudah tumbuh semua, dan usia 18 tahun, seluruh gigi dari insisivus hingga molar tiga diharapkan sudah tumbuh semua. Penilaian dalam dentogram ini untuk gigi permanen saja. Demikian juga pada umur 35-54 tahun, diharapkan 20 gigi berfungsi, serta umur ≥65 tahun. (hasil lengkap di Buku Riskesdas Provinsi Aceh 2013 Dalam Angka, halaman 159 sampai dengan 175 tabel 9.1 sampai tabel 9.16)
9.1. Effective Medical Demand Effective Medical Demand (EMD) didefinisikan sebagai persentase penduduk yang bermasalah dengan gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir x persentase penduduk yang menerima perawatan atau pengobatan gigi dari tenaga medis.
14% EMD
Gambar 9.1 Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta mendapat perawatan, dan EMD, Provinsi Aceh 2013 Gambar 9.1 menggambarkan proporsi penduduk dengan masalah gigi dan mulut yang menerima perawatan dari tenaga medis gigi dalam 12 bulan terakhir menurut kabupaten/kota. Proporsi penduduk yang menyatakan mempunyai masalah gigi dan mulut di Provinsi Aceh sebesar 30,5
Tabel 9.1 Prevalensi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir sesuai effective medical demand menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Penduduk menyatakan bermasalah gilut (%)
Menerima perawatan/pengobatan dari tenaga medis gigi (%)
Effective Medical Demand (%)
24,7 33,8 33,9 16,1 39,6 36,8 23,5 18,7 24,4 37,4 37,1 28,2 39,6 31,1 17,1 29,9 46,6 20,6 35,0 20,6 22,7 30,5 37,3 30,5
25,0 29,8 33,2 47,2 45,4 45,3 34,0 56,9 58,0 52,5 49,5 45,9 33,6 37,7 42,6 74,1 40,2 57,8 40,0 64,1 37,5 53,1 32,0 45,9
6,1 10,1 11,3 7,6 18,0 16,7 8,0 10,7 14,2 19,6 18,4 12,9 13,3 11,7 7,3 22,1 18,7 11,9 14,0 13,2 8,5 16,2 11,9 14,0
Tabel 9.1 menunjukkan bahwa kabupaten/kota bener meriah mempunyai masalah gigi dan mulut yang paling tinggi (46,6%), dan yang terendah adalah Aceh Tenggara (16,1%) dengan masing– masing EMD 18,7 persen, dan 7,6 persen. Tabel 9.2 menunjukkan proporsi penduduk dengan masalah gigi dan mulut (potential demand) menurut karakteristik. Proporsi tertinggi pada usia 45 – 54 tahun sebesar 40,4 persen. Demikian pula dengan proporsi EMD sebesar 21,1 persen. Proporsi EMD pada perempuan (15,6%) lebih tinggi dibanding laki-laki (12,4%). Proporsi EMD pada jenis pendidikan tertinggi adalah kelompok penduduk tidak tamat SD (16,1%) dan terendah pada kelompok penduduk tamat PT (11,9%) Berdasarkan jenis pekerjaan, kelompok petani/nelayan/buruh mempunyai EMD terbesar (16,8%) dan EMD tertinggi berdasarkan indeks kuintil kepemilikan adalah pada kelompok berpenghasilan menengah bawah (14,8%).
Tabel 9.2 Proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir sesuai effective medical demand menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kelompok Umur <1 1-4 5-9 10-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 ≥ 65 Indeks Umur (WHO) 12 15 18 35-44 45-54 55-64 ≥ 65 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat PT Pekerjaan Tidak Bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah
bermasalah gigi dan mulut
menerima perawatan dari tenaga medis gigi
Effective Medical Demand
0,4 8,5 34,1 28,7 27,9 33,1 39,1 40,4 36,5 25,9
53,1 32,2 50,4 41,6 39,1 50,3 48,8 52,3 40,8 32,5
0,2 2,7 17,2 11,9 10,9 16,6 19,0 21,1 14,9 8,4
28,0 27,4 28,6 39,1 40,4 36,5 25,9
43,1 30,0 33,3 48,8 52,3 40,8 32,5
12,0 8,2 9,5 19,1 21,1 14,9 8,4
29,5 31,5
42,2 49,5
12,4 15,6
34,0 36,0 35,0 32,8 32,2 22,8
43,3 44,8 45,3 47,2 47,4 52,3
14,7 16,1 15,8 15,5 15,3 11,9
31,2 27,7 34,1 38,0 33,9
45,5 50,8 48,0 44,4 43,3
14,2 14,1 16,3 16,8 14,6
29,3 31,0
43,7 46,8
12,8 14,5
32,3 33,0
40,3 44,7
12,9 14,8
Pada tabel 9.3 terlihat bahwa di Provinsi Aceh, penduduk yang berobat ke dokter gigi spesialis sebanyak 3,3 persen, yang berobat ke dokter gigi 25,4 persen, dan ke perawat gigi 35,0 persen. Penduduk yang berobat gigi ke dokter spesialis terbanyak berada di Kota Banda Aceh sebesar 12,8 persen dan kabupaten Aceh Singkil 5,8 persen. Pada umumnya responden datang ke dokter gigi yang banyak berada di kota besar, seperti di Kota Banda Aceh sebanyak 51,1 persen, diikuti oleh Lhokseumawe sebesar 43,4 persen. Perawatan dokter gigi terendah berada di Kabupaten Simeulue sebesar 9,9 persen. Penduduk yang berobat ke perawat gigi yang terbanyak di Kota Sabang sebesar 69 persen dan terendah di Kabupaten Gayo Lues sebanyak 7,4 persen. Tabel 9.3 Proporsi penduduk berobat gigi sesuai jenis nakes menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Dokter Gigi
Perawat Gigi
Paramedik lainnya
Tukang gigi
Lainnya
Aceh Barat Aceh Besar
3,3 2,3 4,4 4,2
9,9 17,8 22,8 12,1 28,5 33,2 22,3 23,1
51,2 17,2 60,1 64,0 26,3 13,7 22,1 56,7
26,7 53,2 11,0 21,6 52,5 40,6 45,6 12,7
0,5 0,6 2,0 0,1 1,8 2,2 1,0 1,0
19,6 6,4 6,3 2,3 2,6 16,0 13,2 15,4
Pidie
1,2
18,3
27,4
58,3
0,5
3,0
Bireuen
1,6
16,6
37,8
46,7
1,5
7,2
Aceh Utara
2,4
15,0
43,5
42,4
1,5
8,6
Aceh Barat Daya
3,9
13,1
62,7
26,8
9,5
1,6
Gayo Lues
1,0
27,6
7,4
68,2
1,6
1,1
Aceh Tamiang
3,6
42,3
16,4
31,1
5,1
9,7
Nagan Raya
4,1
13,4
42,1
42,6
4,0
Aceh Jaya
0,4
28,6
39,5
40,1
2,5
16,7
Bener Meriah
1,3
37,0
21,3
25,9
1,3
20,7
Pidie Jaya
4,7
23,3
36,8
52,1
0,4
5,8
Kota Banda Aceh
12,8
51,1
20,8
15,5
2,5
Kota Sabang
3,5
27,4
69,0
14,1
0,9
Kota Langsa
1,7
30,4
26,2
15,6
0,7
31,0
Kota Lhokseumawe
2,3
43,4
26,1
22,6
1,5
22,8
Kota Subulussalam
2,0
27,4
17,4
50,3
1,4
4,0
Aceh
3.1
25.0
34,4
38,2
1,7
8,9
Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah
Dokter gigi Spesialis 1,6 5,8 4,1
Berdasarkan karakteristik penduduk yang menerima perawatan/pengobatan ke dokter gigi mempunyai proporsi yang hampir sama pada kelompok umur antara 10- 44 tahun, dengan jenis
Tabel 9.4 Proporsi penduduk berobat gigi sesuai jenis nakes menurut Karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kelompok Umur <1 1-4 5-9 10-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 ≥ 65 Indeks Umur (WHO) 12 15 18 35-44 45-54 55-64 ≥ 65 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat PT Pekerjaan Tidak Bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah
Dokter gigi Spesialis
Dokter Gigi
Perawat Gigi
Paramedik lainnya
Tukang gigi
Lainnya
1,8 1,7 1,7 4,3 3,5 3,0 3,7 3,0 3,7
13,8 19,5 23,9 26,5 25,7 24,2 27,9 29,3 32,2
32,7 32,0 35,7 31,3 35,4 34,7 37,1 34,0 38,8
37,7 44,2 36,4 38,9 37,3 39,1 34,7 38,3 28,4
0,9 0,8 1,3 1,5 2,0 1,8 1,3 4,7 2,5
15,6 10,3 11,8 8,0 9,1 8,0 7,8 5,2 6,8
1,6 6,5 9,0 3,0 3,7 3,0 3,7
23,7 34,2 22,8 24,2 27,9 29,3 32,2
45,6 32,9 36,3 34,7 37,1 34,0 38,8
26,8 46,4 37,2 39,1 34,7 38,3 28,4
3,7 0,2 1,2 1,8 1,3 4,7 2,5
10,4 3,5 7,1 8,0 7,8 5,2 6,8
3,0 3,1
23,1 26,4
33,3 35,2
40,1 36,8
2,0 1,5
8,9 8,8
2,0 1,7 2,1 3,4 4,4 9,1
23,0 17,4 24,4 23,7 30,2 49,2
37,5 31,0 33,6 39,5 35,1 26,9
37,9 47,1 41,5 37,8 30,6 20,3
1,5 0,7 2,4 2,3 1,6 1,9
10,4 9,4 8,5 8,6 8,8 4,1
3,2 6,9 5,9 1,7 2,7
26,6 41,5 27,1 21,7 21,0
35,8 35,5 32,2 34,1 34,8
35,9 20,8 33,2 44,9 40,2
1,6 1,0 3,2 1,9 1,8
9,1 7,0 9,0 7,4 9,7
5,4 2,2
36,3 21,0
32,2 35,2
24,3 43,1
1,3 1,8
9,6 8,6
0,8
14,5
37,3
48,4
2,8
4,7
9.2. Perilaku menyikat gigi penduduk umur ≥ 10 tahun Setiap orang perlu menjaga kesehatan gigi dan mulut dengan cara menyikat gigi dengan benar untuk mencegah terjadinya karies gigi. Pertanyaan tentang perilaku menyikat gigi dalam Riskesdas 2013 bertujuan untuk mengetahui apakah responden mempunyai kebiasaan menyikat gigi setiap hari dan kapan saja waktu menyikat gigi. Definisi berperilaku benar dalam menyikat gigi dalam Riskesdas 2013, adalah kebiasaan menyikat gigi setiap hari, sesudah makan pagi dan sebelum tidur malam. Perilaku menyikat gigi dengan benar berkaitan dengan karakteristik penduduk, jenis kelamin, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan. Tabel 9.5 menunjukkan sebagian besar yaitu, 89,9 persen, penduduk Aceh umur 10 tahun keatas mempunyai kebiasaan menyikat gigi setiap hari. Kota dengan persentase tertinggi adalah Banda Aceh dan Aceh kabupaten Tamiang masing-masing 97,5 persen, sedangkan yang terendah adalah Aceh Selatan 82,5 persen. Sebagian besar penduduk di Provinsi Aceh (91,9%) menyikat gigi pada saat mandi pagi, dengan urutan tertinggi adalah Simeulue sebesar 99,7 persen. Sebagian besar penduduk juga menyikat gigi pada saat mandi sore, yaitu sebesar (75,1%) dengan urutan tertinggi di Kabupaten Aceh Jaya sebesar 94,3 persen, dan yang terendah di Aceh Tengah sebesar 28,2 persen. Sebagian besar penduduk menyikat gigi setiap hari saat mandi pagi atau mandi sore. Kebiasaan yang keliru hampir merata tinggi di seluruh kelompok umur. Kebiasaan benar menyikat gigi penduduk di Provinsi Aceh hanya 2,4 persen, sebagian besar menyikat gigi dengan cara yang tidak benar (97,6% ). Kabupaten/kota tertinggi untuk perilaku menyikat gigi dengan benar adalah kabupaten Nagan Raya yaitu 8,9 persen, kemudian diikuti Aceh Tengah 5,6 persen, sedangkan yang terendah ada di Aceh Tenggara 0,0 persen. Perilaku penduduk menyikat gigi menurut karakteristik dapat dilihat dalam laporan Riskesdas 2013 dalam Angka.
Tabel 9.5 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun berdasarkan waktu dan menyikat gigi dengan benar menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Sikat gigi setiap hari 92,5 87,2 82,5 96,8 86,4 92,2 91,4 93,8 85,0 89,1 88,0 83,8 91,1 97,5 80,4 93,6 86,9 87,6 97,5 90,8 95,9 93,9 88,7 89,9
Mandi pagi 17,4 17,6 22,6 12,8 31,6 85,0 22,9 23,0 44,0 17,7 38,2 20,1 27,5 11,9 29,3 6,7 49,9 16,8 27,4 10,8 18,1 30,6 16,3 91,9
Mandi sore 99,7 97,0 96,9 99,5 89,1 34,5 93,1 97,6 96,5 98,0 84,6 97,5 85,6 98,6 95,7 97,9 76,3 98,5 95,4 98,3 96,2 97,1 95,8 75,1
Sesudah makan pagi 82,9 84,0 80,0 87,5 74,6 28,2 81,5 77,8 57,8 83,2 69,5 81,4 82,0 89,0 74,0 94,3 60,8 83,9 73,6 89,8 84,4 70,9 87,2 4,1
99
Waktu menyikat gigi Sesudah Sebelum tidur bangun pagi malam 6,6 10,8 1,4 3,1 4,9 6,2 0,2 0,5 4,4 14,4 8,8 57,0 4,0 8,8 2,4 7,1 3,0 2,9 5,3 8,7 2,1 16,0 3,1 10,7 1,7 13,9 2,3 5,5 12,3 6,9 7,6 4,9 9,6 18,2 2,2 1,9 6,0 4,8 2,3 2,7 2,5 1,4 6,2 8,0 3,4 10,4 10,1 29,7
Sesudah makan siang 27,2 18,4 16,7 8,1 24,9 53,6 21,2 44,5 28,6 23,9 28,3 20,2 16,0 17,8 28,7 23,7 26,8 28,5 64,3 30,4 28,8 51,8 11,6 5,8
Mandi pagi dan sore 2,8 6,8 5,8 0,6 11,2 5,2 6,2 2,5 6,0 7,1 8,2 2,8 5,2 1,8 4,4 5,4 6,4 5,7 7,4 2,6 4,7 7,0 3,6 71,7
Menyikat gigi dengan benar 3,7 0,4 2,6 0,0 1,9 5,6 1,1 1,4 1,3 3,0 0,8 1,0 0,9 1,6 8,9 4,9 3,0 1,3 4,7 1,9 1,2 3,0 1,2 2,2
Tabel 9.6 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun berdasarkan waktu dan menyikat gigi dengan benar menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) 10-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 >=65 Kelompok Umur 12 Th (WHO) 12 15 18 35-44 45-64 55-64 ≥65 Jenis Kelamin Laki – laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak kerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Pedesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Sikat gigi setiap hari
Mandi pagi
Mandi sore
Sesudah makan pagi
92,3 96,4 96,5 93,7 86,4 69,4 41,7
27,6 24,1 27,1 29,2 32,0 37,7 46,2
94,2 92,9 90,8 90,1 91,9 91,3 91,6
74,4 78,9 77,0 75,1 71,7 65,3 56,4
93,0 96,0 97,1 93,7 86,4 69,4 41,7
30,0 20,1 23,4 29,2 32,0 37,7 46,2
95,2 95,5 92,6 90,1 91,9 91,3 91,6
88,8 91,0
28,2 28,4
60,3 81,3 86,7 94,4 96,5 98,0
Waktu menyikat gigi Sesudah bangun pagi
Menyikat gigi dengan benar
Sebelum tidur malam
Sesudah makan siang
Mandi pagi dan sore
3,4 5,0 4,6 3,7 3,3 3,9 2,5
7,8 10,2 11,5 11,3 9,7 8,3 6,2
23,1 35,3 35,1 27,3 25,1 22,0 18,3
5,0 7,0 6,1 5,3 5,0 4,5 2,7
1,6 2,8 2,7 2,0 1,6 1,6 1,3
71,5 82,3 80,7 75,1 71,7 65,3 56,4
3,4 4,0 4,4 3,7 3,3 3,9 2,5
8,3 8,2 12,2 11,3 9,7 8,3 6,2
24,6 27,1 36,6 27,3 25,1 22,0 18,3
5,5 5,9 8,3 5,3 5,0 4,5 2,7
1,4 1,7 2,4 2,0 1,6 1,6 1,3
92,9 91,0
74,8 75,4
4,0 4,3
8,1 12,0
24,8 34,5
4,3 7,1
1,7 2,7
67,0 70,1 68,7 72,9 74,7 71,9
92,0 92,9 89,4 92,1 93,2 93,4
71,4 73,5 74,2 76,1 76,6 73,5
4,7 3,2 3,1 4,4 4,6 6,3
7,4 8,1 12,0 9,6 9,5 11,4
16,9 17,2 22,1 28,2 38,1 56,6
5,9 5,0 5,3 6,0 6,1 6,7
2,1 1,3 1,4 2,1 2,9 4,8
90,6 97,2 94,0 84,3 93,0
73,3 74,4 70,0 67,3 75,8
93,2 93,2 91,3 88,2 95,5
76,3 76,2 72,8 72,7 77,1
4,0 6,2 4,8 3,2 5,1
9,5 9,6 10,6 11,9 6,7
30,7 49,2 33,9 18,2 37,0
6,2 5,7 5,6 4,5 7,2
2,2 4,6 2,8 1,0 3,6
94,2 88,2
73,0 71,1
94,1 90,9
74,7 75,3
4,3 4,1
8,1 11,0
43,5 23,9
5,6 5,8
2,8 2,0
80,4 89,3 91,2 94,5 95,8
69,3 73,4 70,1 72,3 73,4
90,4 92,2 91,7 92,1 93,2
75,2 77,0 73,3 75,0 75,0
3,7 3,4 4,1 3,8 5,8
9,9 9,2 11,3 9,7 10,5
14,7 22,3 28,5 37,8 46,6
5,2 6,3 6,2 5,3 5,8
1,4 1,7 2,1 2,0 4,0
100
Tabel 9.6 menggambarkan proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menurut karakteristik responden. Menurut Kelompok umur, pada kelompok usia 15-24 tahun sampai dengan 45-54 tahun perilaku menyikat gigi dengan benar semakin meningkat. Laki-laki yang berperilaku menyikat gigi dengan benar (1,7%) lebih rendah dibandingkan perempuan (2,7%). Menurut tempat tinggal, responden di perkotaan lebih banyak berperilaku menyikat gigi benar dibandingkan perdesaan. Demikian pula semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, maka semakin baik perilaku menyikat gigi dengan benar. Berdasarkan jenis pekerjaan, kelompok pegawai lebih banyak berperilaku menyikat gigi dengan benar. (Pokok-Pokok Riskesdas Indonesia, 2013)
9.3. Indeks DMF-T dan Komponen D-T,M-T,F-T Jumlah sampel untuk usia ≥ 12 tahun, berjumlah 789.771 orang responden. Huruf X adalah rata-rata dari D, rata-rata M, rata-rata F dan rata-rata DF . Indeks DMF-T merupakan penjumlahan dari komponen D-T, M-T, dan F-T yang menunjukkan banyaknya kerusakan gigi yang pernah dialami seseorang, baik berupa Decay/D (merupakan jumlah gigi permanen yang mengalami karies dan belum diobati atau ditambal), Missing/M (jumlah gigi permanen yang dicabut atau masih berupa sisa akar), dan Filling/F adalah jumlah gigi permanen yang telah dilakukan penumpatan atau ditambal. Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi permanen. Tabel 9.7 menunjukkan indeks DMF-T menurut karakteristik responden, indeks DMF-T meningkat seiring dengan bertambahnya umur yaitu sebesar 1,12 pada kelompok umur 12 tahun 1,22 pada umur 15 tahun, 1,32 pada umur 18 tahun, 6,11 pada umur 35-44 tahun, dan selanjutnya 19,5 pada umur 65 tahun keatas, yang berarti kerusakan rata-rata 19 gigi per orang. Pada indeks kepemilikan, nilai DMF-T cenderung meningkat pada kuintil pemilikan yang lebih rendah, terlihat pada kuintil indeks kepemilikan terbawah nilai DMF-T nya 4,7 sedang pada status ekonomi teratas nilai DMF-T lebih rendah yaitu 3,2. Indeks DMF-T Provinsi Aceh sebesar 4,0 dengan nilai masing-masing: D-T= 1,4; M-T= 2,6; F-T= 0,08; yang berarti kerusakan gigi penduduk Aceh rata-rata 8 gigi per orang. (Laporan Riskesdas 2013 Nasional)
Tabel 9.7 Komponen D, M, F, dan indeks DMF-T menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik responden Indeks Umur (WHO) 12 15 18 35-44 45-54 55-64 65+ Kelompok Umur 12-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65+ Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat PT Status Pekerjaan" Tidak kerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Status ekonomi Terbawah Menengah bawah Menengah
D-T (%)
M-T (%)
F-T (%)
DF-T (%)
Index DMF-T (%)
0,86 0,85 0,85 0,85 0,85 0,85 0,85
0,25 0,31 0,37 3,90 6,43 10,71 17,97
0,01 0,12 0,06 0,14 0,16 0,09 0,06
0,00 0,06 0,05 0,05 0,03 0,00 0,03
1,12 1,22 1,32 6,11 8,40 13,76 19,55
0,82 0,93 1,56 2,12 1,85 2,97 1,55
0,25 0,46 2,09 3,90 6,43 10,71 17,97
0,02 0,08 0,09 0,14 0,16 0,09 0,06
0,00 0,02 0,02 0,05 0,03 0,00 0,03
1,08 1,44 3,72 6,10 8,40 13,76 19,54
1,44 1,35
2,26 2,87
0,07 0,09
0,01 0,03
3,76 4,28
2,24 1,68 1,44 1,22 1,37 0,83
7,92 3,74 2,76 1,84 2,14 2,00
0,07 0,03 0,04 0,07 0,14 0,35
0,02 0,00 0,02 0,02 0,04 0,02
10,21 5,44 4,22 3,11 3,61 3,15
1,07 1,06 1,80 2,34 1,28
1,59 2,89 3,29 4,99 4,58
0,07 0,37 0,09 0,06 0,10
0,03 0,02 0,02 0,02 0,05
2,70 4,30 5,15 7,35 5,92
1,10 1,51
2,10 2,77
0,18 0,05
0,05 0,02
3,33 4,30
1,81 1,36 1,37
2,91 2,85 2,79
0,04 0,04 0,08
0,02 0,01 0,02
4,74 4,23 4,22
Daftar Pustaka Depkes RI. Badan Penelitian & pengembangan 1997. Statistik Kesehatan Gigi 1995. Seri SKRT 1995. Seri Survei Kesehatan Rumah tangga no 13. Depkes RI. Badan Penelitian & pengembangan 1997. Status Kesehatan Gigi 1995. Seri SKRT 1995. Seri Survei Kesehatan Rumah Tangga no 7. Depkes RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2002. Status Kesehatan Gigi dan Mulut di Indonesia 2001. Analisis Data Survei kesehatan Rumah Tangga . Jakarta 2001. Depkes RI. Hasil Riskesdas Indonesia 2007. Jakarta 2008. Depkes RI. Profil Kesehatan Gigi dan mulut. Jakarta 1999 Kristanti Ch M Dkk. Pemetaan Status Kesehatan Gigi dan Mulut di indonesia. Jakarta 2012. Kristanti, Ch M, Budiarso, Ratna. Persepsi dan Motivasi Masyarakat Untuk berobat Gigi, Survei Kesehatan Rumah Tangga. Jakarta , Prosiding Seminar SKRT 1986. WHO, 1995. Oral Health Care, Needs of the Community. A. Public Health Report.
BAB 10. STATUS DISABILITAS Aprildah Sapardin, Marice Sihombing, dan Endi Ridwan Bahasan disabilitas bertujuan mendapatkan pemahaman seutuhnya tentang pengalaman hidup penduduk karena kondisi kesehatan termasuk penyakit atau cedera yang dialami. Apakah seseorang dapat bekerja dan melaksanakan kegiatan/aktivitas rutin yang diperlukan untuk memenuhi perannya di rumah, tempat kerja, sekolah atau area sosial lain. Apa yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan melakukan aktivitas rutin. Informasi disabillitas dapat dimanfaatkan untuk menyusun prioritas, mengukur dampak dan mengevaluasi efektivitas dan kinerja sistem kesehatan Informasi diperoleh menggunakan adaptasi WHODAS 2, instrumen yang dikembangkan tim WHO sebagai operasionalisasi dari konsep International classification of functioning (ICF). Ditanyakan 12 pertanyaan pada responden berusia 15 tahun mengenai adanya kesulitan yang dialami terkait kondisi kesehatan dalam kurun waktu satu bulan sebelum survei. Terdapat lima opsi jawaban responden, yaitu 1) tidak ada kesulitan, 2) sedikit kesulitan, 3) cukup mengalami kesulitan, 4) kesulitan berat dan 5) tidak mampu melakukan. Selanjutnya bagi responden dengan jawaban berkode 2, 3, 4 atau 5 ditanyakan lama hari mengalami kesulitan, terdiri dari jumlah hari sama sekali tidak mampu melakukan aktivitas rutin dan jumlah hari masih dapat melakukan aktivitas rutin walaupun tidak optimal. Tabel 10.1 menunjukkan kesulitan berjalan jauh dialami oleh 15 dari 100 penduduk A termasuk 8 persen dengan level sedang hingga berat, diikuti oleh kesulitan berdiri selama 30 menit. Kesulitan membersihkan diri dialami oleh hampir 8,5 persen penduduk, termasuk 2.4 persen dengan level sedang hingga tidak mampu membersihkan diri/mandi tanpa dibantu.
Tabel 10.1 Proporsi tingkat kesulitan menurut komponen disabilitas, Provinsi Aceh 2013 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Komponen Disabilitas Sulit berdiri dalam waktu lama misalnya 30 menit? Sulit mengerjakan kegiatan rumah tangga yang menjadi tanggung jawabnya Sulit mempelajari/ mengerjakan hal-hal baru, seperti untuk menemukan tempat/alamat baru, mempelajarai permainan, resep baru Sulit dapat berperan serta dalam kegiatan kemasyarakatan (misalnya dalam kegiatan keagamaan, sosial) Seberapa besar masalah kesehatan yang dialami mempengaruhi keadaan emosi? Seberapa sulit memusatkan pikiran dalam melakukan sesuatu selama 10 menit?
Tidak ada
ringan
sedang
Berat
Sangat berat
84,6
7,5
3,8
3,3
0,7
86,4
7,5
3,6
2,1
0,5
87,4
6,8
3,3
2,0
0,5
88,6
7,0
2,5
1,5
0,5
87,3
7,7
3,1
1,5
0,3
87,8
7,4
2,8
1,6
0,4
Tabel 10.2 menunjukkan beberapa indikator disabilitas. Prevalensi yang diperoleh dari jawaban 3, 4, 5 pada salah satu dari 12 komponen disabilitas menunjukkan 12,7 persen penduduk mengalami kesulitan. Kota Sabang merupakan kabupaten/kota dengan prevalensi tertinggi, sedangkan Kota Langsa terendah. Rerata hari produktif hilang adalah rerata lama hari tidak dapat berfungsi optimal karena disabilitas. Ratarata penduduk Aceh tidak dapat berfungsi optimal selama 6.02 hari karena disabilitas. Tertinggi di Lhokseumawe dan terendah di Aceh Singkil. Tabel 10.2 Indikator disabilitas menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Prevalensi 21,8 31,2 9,3 5,3 15,8 19,4 10,2 4,6 14,1 18,1 12,5 6,2 6,1 17,6 13,0 11,6 22,3 12,5 5,6 37,6 4,2 9,2 13,6 12,7
Total 8,25 3,14 7,62 3,39 7,27 5,38 5,83 6,21 5,31 6,19 7,06 10,41 5,78 5,38 4,18 5,15 4,06 7,90 6,30 3,91 7,52 11,24 3,66 6,02
Rerata hari produktif hilang Tidak mampu Masih mampu 0,95 7,31 1,02 2,12 3,92 3,70 1,86 1,53 3,48 3,79 1,19 4,20 3,66 2,16 3,12 3,09 3,06 2,25 2,80 3,39 1,40 5,67 2,86 7,56 2,48 3,30 1,15 4,23 1,28 2,89 2,82 2,33 0,72 3,34 2,56 5,35 2,36 3,94 1,47 2,44 2,64 4,88 3,22 8,02 2,18 1,48 2,27 3,75
Berdasarkan tempat tinggal, dibandingkan wilayah perdesaan, penduduk di wilayah perkotaan memiliki prevalensi atau masalah disabilitas lebih rendah. Perempuan mengungguli laki-laki pada indikator masalah disabilitas. Makin tinggi kelompok umur makin tinggi masalah disabilitas, dan kelompok usia 75 tahun atau lebih merupakan kelompok dengan indikator disabilitas tertinggi. Sedangkan pada karakteristik tingkat pendidikan semakin rendah pendidikan maka semakintinggi juga masalah disabilitas (Tabel 10.3)
Tabel 10.3 Indikator disabilitas menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik
Tidak ada masalah
Masalah
Umur 15-24 tahun 25-34 tahun 35-44 tahun 45-54 tahun 55-64 tahun 65-74 tahun 75+ tahun
95,1 92,4 89,4 83,8 71,8 50,9 36,6
4,9 7,6 10,6 16,2 28,2 49,1 63,4
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
89,7 84,9
10,3 15,1
Pendidikan KK Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT
62,4 75,5 83,9 90,7 92,7 93,1
37,6 24,5 16,1 9,3 7,3 6,9
Pekerjaan KK Tidak Bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
85,9 92,2 90,7 86,4 89,1
14,1 7,8 9,3 13,6 10,9
Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan
89,5 86,4
10,5 13,6
Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
83,9 85,8 86,6 90,2 90,7
16,1 14,2 13,4 9,8 9,3
BAB 11. KESEHATAN JIWA Marice Sihombing, Endi Ridwan dan Aprildah Sapardin Indikator kesehatan jiwa yang dinilai pada Riskesdas 2013 antara lain gangguan jiwa berat, gangguan mental emosional serta cakupan pengobatannya. Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham, gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya agresivitas atau katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis dan salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia. Gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta masyarakat oleh karena produktivitas pasien menurun dan akhirnya menimbulkan beban biaya yang besar bagi pasien dan keluarga. Dari sudut pandang pemerintah, gangguan ini menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang besar. Sampai saat ini masih terdapat pemasungan serta perlakuan salah pada pasien gangguan jiwa berat di Indonesia. Hal ini akibat pengobatan dan akses ke pelayanan kesehatan jiwa belum memadai. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan adalah menjadikan Indonesia bebas pasung oleh karena tindakan pemasungan dan perlakukan salah merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Disamping gangguan jiwa berat, Riskesdas 2013 juga melakukan penilaian gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia seperti pada Riskesdas 2007. Gangguan mental emosional adalah istilah yang sama dengan distres psikologik. Kondisi ini adalah keadaan yang mengindikasikan seseorang sedang mengalami perubahan psikologis. Berbeda dengan gangguan jiwa berat psikosis dan skizofrenia, gangguan mental emosional adalah gangguan yang dapat dialami semua orang pada keadaan tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan ini dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil ditanggulangi. Prevalensi gangguan mental emosional penduduk Indonesia berdasarkan Riskesdas 2007 adalah 11,6 persen dan bervariasi di antara provinsi dan kabupaten/kota. Pada Riskesdas tahun 2013, prevalensi gangguan mental emosional dinilai kembali dengan menggunakan alat ukur serta metode yang sama. Gangguan mental emosional diharapkan tidak berkembang menjadi lebih serius apabila orang yang mengalaminya dapat mengatasi atau melakukan pengobatan sedini mungkin ke pusat pelayanan kesehatan atau berobat ke tenaga kesehatan yang kompeten. Cakupan pengobatan ditanyakan berdasarkan kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan, termasuk dikunjungi oleh tenaga kesehatan. Hasil lebih rinci dapat dilihat pada Buku Riskesdas dalam Angka pada halaman 179 sampai dengan 184, tabel 11.1 sampai 11.6.
11.1. Gangguan Jiwa Berat Gangguan jiwa berat dinilai melalui serangkaian pertanyaan yang ditanyakan oleh pewawancara (enumerator) kepada kepala rumah tangga atau ART yang mewakili kepala rumah tangga. Inti pertanyaan adalah mengenai ada tidaknya anggota rumah tangga (tanpa melihat umur) yang mengalami gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) pada rumah tangga tersebut. Angka prevalensi yang diperoleh merupakan prevalensi gangguan jiwa berat seumur hidup (life time prevalence). Rumah tangga
masyarakat umum, sehingga gangguan jiwa berat dengan diagnosis tertentu dan memerlukan kemampuan diagnostik oleh dokter spesialis jiwa, kemungkinan tidak terdata. Berdasarkan Tabel 11.1, terlihat bahwa psikosis terbanyak terdapat di Kabupaten/Kota Bireun dan Banda Aceh. Kabupaten/Kota Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Nagan Raya memiliki angka yang terendah, sedangkan menurut propinsi prevalensi adalah 2,7 per mil dan termasuk kedalam provinsi terbanyak jumlah psikosis secara nasional. Prevalensi gangguan jiwa berat berdasarkan tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan dipaparkan pada laporan Riskesdas 2013 dalam Angka. Angka prevalensi seumur hidup skizofrenia di dunia bervariasi berkisar 4 per mil sampai dengan 1,4 persen (Lewis et al.,2001). Beberapa kepustakaan menyebutkan secara umum prevalensi skizofrenia sebesar 1 persen penduduk. Selanjutnya dipaparkan proporsi RT yang pernah melakukan pemasungan terhadap ART dengan gangguan jiwa berat. Tabel 11.1 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhoksuemawe Kota subulussalam Aceh
Gangguan jiwa berat (psikosis/skizofrenia) per mil 1,5 0,1 2,6 0,0 3,3 2,3 4,1 1,3 3,4 5,2 1,5 4,7 1,5 2,9 0,5 1,0 3,8 0,7 5,4 4,3 2,4 3,0 3,3 2,7
Tabel 11.2 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Gangguan jiwa berat (psikosis/skizofrenia) per mil 2,2 2,9 5,8 3,4 2,3 0,9 0,5
11.2. Gangguan Mental Emosional Di dalam kuesioner Riskesdas 2013, pertanyaaan mengenai gangguan mental emosional terdapat pada kuesioner individu F01 –F20. Gangguan mental emosional dinilai dengan Self Reporting Questionnaire (SRQ) yang terdiri dari 20 butir pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan SRQ diberikan kepada anggota rumah tangga (ART) yang berusia ≥ 15 tahun. Ke-20 butir pertanyaan ini mempunyai pilihan jawaban ―ya‖ dan ―tidak‖. Nilai batas pisah yang ditetapkan pada survei ini adalah 6 yang berarti apabila responden menjawab minimal 6 atau lebih jawaban ―ya‖, maka responden tersebut diindikasikan mengalami gangguan mental emosional. Nilai batas pisah tersebut sesuai penelitian uji validitas yang pernah dilakukan (Hartono, Badan Litbangkes, 1995). SRQ memiliki keterbatasan karena hanya mengungkap status emosional individu sesaat (± 30 hari) dan tidak dirancang untuk diagnostik gangguan jiwa secara spesifik. Dalam Riskesdas 2013 pertanyaan dibacakan petugas wawancara kepada seluruh responden. ART yang dianalisis untuk gangguan mental emosional adalah ART yang berumur ≥ 15 tahun. ART tersebut merupakan responden yang menjawab langsung atas pertanyaan yang dibacakan petugas wawancara. Jawaban yang diberikan oleh ART yang diwakili atau didampingi oleh keluarganya tidak dianalisis pada laporan ini. Alasan ART terpaksa diwakili atau didampingi oleh keluarganya oleh karena menderita gangguan jiwa berat dengan kemampuan komunikasi sangat buruk, menderita penyakit fisik berat atau disabilitas lainnya yang menyebabkan ketidakmampuan menjawab pertanyaan yang diberikan. Prevalensi orang yang mengalami gangguan mental emosional di Provinsi Aceh sebesar 6,6 persen. Tujuh Kabupaten/kota yang tertinggi dalam jumlah orang yang mengalami gangguan mental emosional adalah Bener Meriah, Aceh Timur,Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh Tengah dan Kota Lhokseumawe, Sedangkan Kabupaten/Kota dengan gangguan mental emosional terendah adalah Aceh Tenggara, Banda Aceh dan Gayo Lues. (Tabel 11.3)
Tabel 11.3 Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur≥ 15 tahun (berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20)* menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhoksuemawe Kota Subulussalam Aceh
Gangguan mental emosional (%) 2,7 17,7 4,1 0,7 18,5 10,0 4,1 1,8 6,0 8,4 6,8 2,3 1,7 1,8 2,5 4,9 20,0 4,4 1,5 7,0 2,2 10,0 17,1 6,6
*Nilai Batas Pisah (Cut off Point) ≥ 6
Gangguan mental emosional terbanyak pada populasi dengan karakteristik usia tua, jenis kelamin perempuan, tinggal di kota, pendidikan rendah, mempunyai pekerjaan sebagai nelayan dan kuintil indeks kepemilikan terendah. Terdapat peningkatan angka gangguan mental emosional yang sejalan dengan pertambahan usia. Sedangkan untuk karakteristik pendidikan didapati bahwa semakin rendah tingkat pendidikan, semakin tinggi gangguan mental emosional. (Tabel 11.4)
Tabel 11.4 Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur ≥ 15 tahun (berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20)* menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) 15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 65 – 74 75+
Gangguan mental emosional (%) 4,2 4,5 7,0 8,6 11,0 13,5 21,5
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
4,3 8,8
Pendidikan Tidak sekolah Tidak Tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
16,7 12,2 8,1 5,5 4,5 2,2
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
7,8 2,7 4,3 6,9 5,7
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
5,0 7,3
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
8,6 7,4 6,7 5,4 4,4
*Nilai Batas Pisah (Cut off Point) ≥ 6
11.3 Cakupan pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan Cakupan pengobatan yang ditanyakan kepada responden adalah cakupan terhadap pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan. Fasilitas pelayanan kesehatan yang dimaksud meliputi strata 1, 2 dan 3. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah tenaga kesehatan sesuai PP No 36 Pasal 2. Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan. Secara nasional, cakupan pengobatan RT yang mempunyai ART yang mengalami ganguan jiwa di Provinsi Aceh sebesar 54,0 persen, yang berarti lebih dari 50 RT pernah membawa ART yang mengalami gangguan jiwa untuk mendapatkan pengobatan di fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan. Tabel 11.5 memperlihatkan cakupan pengobatan gangguan mental emosional. Subjek yang dianalisis yaitu subjek yang diidentifikasi mengalami gangguan mental emosional saat diwawancara. Subjek ditanyakan mengenai pengobatan yang pernah dilakukan dan pengobatan dalam 2 minggu terakhir. Individu yang mengalami gangguan mental emosional sekitar 35,5 persen pernah melakukan pengobatan dan sekitar 18,5 persen melakukan pengobatan dalam waktu 2 minggu terakhir. Kabupaten Aceh Besar merupakan kabupaten yang memiliki cakupan tertinggi diantara kabupaten/kota lainnya di Aceh untuk pengobatan gangguan mental emosional baik yang pernah (62,1%) maupun yang melakukan pengobatan 2 minggu terakhir (42,4%). Sedangkan Kota Subulussalam merupakan yang terendah dalam hal cakupan pengobatan penderita gangguan mental emosional baik yang pernah (16,2%) maupun yang melakukan pengobatan 2 minggu terakhir (2,2%).
Tabel 11.5 Proporsi cakupan pengobatan penderita gangguan mental emosional menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Cakupan pengobatan gangguan mental emosional Pernah 21,4 32,8 32,0 63,4 52,9 29,1 36,7 62,1 31,3 24,1 27,3 28,1 38,9 69,4 43,3 64,6 24,0 39,8 41,7 50,8 37,1 21,2 16,6 35,5
2 minggu 9,8 19,4 14,0 28,1 30,0 14,6 22,5 42,4 19,6 10,7 10,3 20,5 16,1 35,9 28,5 22,9 11,4 30,6 13,9 46,9 11,1 6,4 2,2 18,5
memperlihatkan bahwa persentase cakupan pengobatan seumur hidup menurut umur semakin tua semakin meningkat begitu pula semakin rendah tingkat pendidikan semakin meningkat. Sedangkan dalam 2 minggu terakhir, persentase paling tinggi terdapat pada kelompok umur 45-54 tahun dan pendidikan tamat SD. Perempuan, tempat tinggal di perdesaan dan kuintil indeks kepemilikan ekonomi menengah bawah memiliki presentase cakupan pengobatan lebih banyak baik pada pengobatan seumur hidup maupun 2 minggu terakhir.
Tabel 11.6 Persentase cakupan pengobatan penderita gangguan mental emosional menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kelompok Umur (tahun) 15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 65 – 74 75+ Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak Bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas
Cakupan pengobatan gangguan mental emosional Seumur hidup 2 minggu 1,2 1,9 2,6 3,5 4,6 4,6 7,0
11,2 18,9 19,4 24,0 20,5 18,1 14,5
33,7 36,4
16,6 19,4
39,1 39,2 37,2 30,0 32,8 37,7
16,4 19,8 21,1 16,5 16,5 15,5
2,2 1,3 1,5 2,5 1,7
1,1 0,8 0,6 1,3 0,9
33,9 35,6
15,9 19,2
34,2 36,4 30,6 37,8 42,6
16,9 18,8 17,1 17,9 24,9
Penilaian gangguan mental emosional pada tahun 2007 dan 2013 menggunakan kuesioner serta metode pengumpulan data yang sama. Prevalensi nasional serta beberapa prevalensi berdasarkan karakteristik diperlihatkan dalam Gambar 11.1.
Gambar 11.1 Prevalensi gangguan mental emosional menurut karakteristik, Provinsi Aceh, Riskesdas 2007 dan 2013 Gambar 11.1 memperlihatkan bahwa pola prevalensi gangguan mental emosional menurut kelompok umur, jenis kelamin ART senada. Semakin lanjut usia semakin tinggi gangguan mental emosional baik pada tahun 2007 tetapi tidak pada tahun 2013. Berdasarkan tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan, angka kejadian gangguan mental emosional makin kecil terlihat pada tahun 2013. Menurut tempat tinggal pada Riskesdas 2007 dan 2013 prevalensi gangguan mental emosional di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Daftar Pustaka Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas). 2007. Hartono, I. G. 1995. Psychiatric morbidity among patients attending the Bangetayu community health centre in Indonesia. Thesis, University of Western Australia. Lewis, G. H., Thomas, H. V., Cannon, M. & Jones, P. B. 2001. Epidemiological methods. In: Thornicroft, G. & Szmukler, G. (eds.) Textbook of community psychiatry. New York: Oxford University Press.
BAB 12. PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU Marice Sihombing, Endi Ridwan dan Aprildah Sapardin Pengetahuan, sikap dan perilaku dikumpulkan pada penduduk kelompok umur 10 tahun atau lebih. Topik yang dikumpulkan meliputi perilaku higienis, penggunaan tembakau, aktivitas fisik, perilaku konsumsi buah, sayur, makanan berisiko (makan/minum manis, makanan asin, makanan berlemak, makanan dibakar, makanan olahan dengan pengawet, bumbu penyedap, kopi dan minuman berkafein buatan bukan kopi) dan konsumsi makanan olahan dari tepung terigu. Hasil lebih rinci untuk blok pengetahuan, sikap dan perilaku dapat dilihat pada Buku Riskesdas dalam Angka pada halaman 185 sampai dengan 240 tabel 12.1 sampai 12.55.
12.1 Perilaku Higienis Perilaku higienis yang dikumpulkan meliputi kebiasaan/perilaku buang air besar (BAB) dan perilaku mencuci tangan. Perilaku BAB yang dianggap benar adalah bila penduduk melakukannya di jamban. Mencuci tangan yang benar adalah bila penduduk mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan, setiapkali tangan kotor (antara lain memegang uang, binatang,berkebun),setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak,setelah menggunakan pestisida/insektisida, dan sebelum menyusui bayi (Promkes,2011) Tabel 12.1, menunjukkan bahwa rerata proporsi perilaku cuci tangan secara benar di Provinsi Aceh menunjukan 33,6 persen dan lima kabupaten/kota terendah adalah Pidie (11,4%), Pidie Jaya (16,1%), kota Subulussalam (20,3%), Aceh Selatan (20,4%), dan Aceh Singkil (20,8%). Rerata provinsi perilaku BAB di jamban adalah 73,1 persen. Lima kabupaten/kota terendah adalah Gayo Lues(44,2%), Aceh Timur (51,5%), Aceh Tenggara (57,4%), Pidie (57,6%) dan Aceh Barat Daya (58,8%).
Tabel 12.1 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang berperilaku benardalam buang air besar dan cuci tangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Berperilaku BAB benar 62,7 70,7 63,9 57,4 51,5 82,3 71,4 96,9 57,6 80,1 62,4 58,8 44,2 80,8 65,7 85,1 90,3 76,1 99,1 88,0 93,7 91,4 66,0 73,1
Perilaku cuci tangan benar 33,3 20,8 20,4 35,2 28,4 37,7 33,0 54,2 11,4 28,4 41,0 39,9 37,7 37,6 38,8 35,3 35,1 16,1 50,4 22,4 29,6 40,7 20,3 33,6
Berdasarkan analisis kecenderungan Gambar 12.1 terlihat bahwa rerata nasional proporsi penduduk umur ≥10 tahun berperilaku cuci tangan dengan benar meningkat tahun 2007 (16,0%) menjadi 33,6 persen pada tahun 2013.
Kecenderungan penduduk yang berperilaku BAB dengan benar terlihat pada Gambar 12.2, yaitu adanya peningkatan proporsi perilaku penduduk Indonesia umur ≥10 tahun yang semula 71,1 persen (2007) menjadi 82,6 persen (2013).
Gambar 12.2 Kecenderungan proporsi penduduk Umur ≥10 tahun berperilaku BAB dengan benar menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh, Riskesdas 2007 dan 2013
12.2. Penggunaan Tembakau Informasi perilaku penggunaan tembakau dalam Riskesdas tahun 2013 dibagi menjadi dua kelompok yaitu perilaku merokok dengan hisap dan perilaku penggunaan tembakau dengan mengunyah, karena efek samping yang ditimbulkan akibat merokok dengan hisap dan dengan metode kunyah berbeda. Perokok hisap menimbulkan polusi pada perokok pasif dan lingkungan sekitarnya, sedangkan kunyah tembakau hanya berdampak pada dirinya sendiri. Berdasarkan tabel 12.2 rerata proporsi perokok saat ini di Provinsi Aceh adalah 29,3 persen, terdiri dari perokok setiap hari (25%) dan kadang-kadang merokok (4,3%). Proporsi perokok saat ini terbanyak di Aceh Jaya dengan perokok setiap hari 32,0 persen dan kadang-kadang merokok 4,0 persen.
Tabel 12.2 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kebiasaan merokok dan kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Perokok saat ini Perokok Perokok kadangsetiap hari kadang 23,9 2,4 23,3 3,6 29,4 1,5 25,5 3,7 28,3 4,3 29,9 3,6 27,7 3,7 17,9 6,9 23,3 4,0 26,9 4,8 23,0 4,9 29,5 3,5 30,8 2,4 25,4 3,5 17,3 4,4 32,0 4,0 32,7 2,7 21,9 6,4 23,1 5,2 25,4 5,1 23,9 2,9 21,9 5,2 27,1 4,1 25,0 4,3
Tidak merokok Mantan Bukan perokok perokok 4,3 69,4 4,5 68,5 1,1 68,0 0,9 69,9 4,2 63,1 1,9 64,6 1,7 66,8 3,0 72,2 2,9 69,8 2,4 65,9 1,5 70,6 1,6 65,4 1,7 65,1 2,9 68,2 1,3 77,0 1,2 62,8 2,9 61,7 3,4 68,3 3,7 68,1 3,5 65,9 3,0 70,2 2,8 70,1 3,4 65,4 2,5 68,2
Proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari sudah mulai pada kelompok umur 10-14 tahun sebesar 0,3 persen dan tertinggi pada umur 30-34 tahun sebesar 36,3 persen, proporsi perokok setiap hari pada laki-laki lebih banyak di bandingkan perokok perempuan (500 berbanding 4). Berdasarkan jenis pekerjaan, wiraswasta adalah perokok aktif setiap hari yang mempunyai proporsi terbesar (49,3%) dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya. Proporsi perokok setiap hari tampak cenderung menurun pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi. (Tabel 12.3)
Tabel 12.3. Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok dan karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Umur 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65+ Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lain-lain Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Perokok saat ini Perokok setiap hari Perokok kadang kadang 0,3 10,1 29,6 28,3 36,3 35,1 35,8 32,3 35,5 35,8 28,2 21,8
1,1 8,7 7,5 4,4 3,3 3,6 3,6 3,4 3,1 2,7 4,6 3,5
50,0 0,4
8,4 0,3
18,3 17,6 24,3 25,6 32,1 18,5
2,2 2,1 3,2 5,4 6,0 4,6
7,7 32,3 49,3 47,6 36,8
3,6 4,2 6,9 4,8 3,3
23,4 25,6
4,9 4,1
26,7 25,8 25,3 24,3 22,1
4,5 3,9 4,1 4,4 4,6
Tabel 12.4. Rerata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Perokok 19,0 18,4 18,6 17,1 16,9 15,4 16,8 11,2 13,7 14,7 14,4 16,6 13,3 14,6 19,1 14,5 15,0 13,8 14,4 16,6 14,5 15,1 17,1 15,3
Tabel 12.5 menunjukkan proporsi kebiasaan mengunyah tembakau atau smokeless setiap hari di Aceh sebesar 4 persen, mengunyah tembakau kadang-kadang sebesar 7,3 persen dan mantan pengunyah tembakau 2 persen. Lima kabupaten dengan proporsi mengunyah tembakau setiap hari diatas proporsi provinsi adalah Kabupaten Aceh Tenggara (7,4%), Aceh Barat (6,6%), Aceh Selatan (6,2%), Gayo Lues (6,2%) dan Aceh Barat Daya (6,1%).
Tabel 12.5 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Pengunyah tembakau saat ini Setiap hari Kadang-kadang 3,3 3,2 4,4 4,4 6,2 7,9 7,4 5,8 4,7 13,6 2,2 2,5 6,6 17,0 2,9 3,9 3,7 7,6 5,0 14,2 3,4 6,0 6,1 7,9 6,2 10,1 1,9 0,9 4,0 6,8 1,4 3,0 3,2 7,3 3,3 2,5 1,9 4,7 2,8 3,8 3,4 2,0 3,8 9,0 5,1 10,8 4,0 7,3
Tidak mengunyah tembakau Mantan Tidak pernah 4,5 89,0 1,6 89,6 1,5 84,4 1,8 85,0 1,7 80,0 0,4 95,0 1,6 74,8 1,7 91,5 1,6 87,0 5,0 75,9 2,0 88,6 2,6 83,4 6,5 77,2 0,8 96,4 1,1 88,1 4,2 91,4 1,8 87,7 1,3 92,9 1,4 92,1 1,4 92,0 0,1 94,5 0,5 86,7 6,3 77,8 2,0 86,7
Tabel 12.6 mengungkapkan proporsi mengunyah tembakau setiap hari berdasarkan karakteristik responden menunjukkan bahwa menurut kelompok umur semakin bertambah umur proporsi mengunyah tembakau semakin besar. Menurut jenis kelamin, perempuan (5,2,%) lebih banyak mengunyah tembakau dibandingkan laki-laki (2,7%). Prevalesi pengunyah tembakau setiap hari di perdesaan lebih banyak daripada di perkotaan. Pekerjaan sebagai pegawai dengan proporsi terendah (2,5%) dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya. Ada kecenderungan semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan proporsi pengunyah tembakau semakin rendah.
Tabel 12.6 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kebiasaan mengunyah tembakau dan karateristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik
Pengunyah tembakau saat ini Setiap hari Kadang-kadang
Tidak mengunyah tembakau Mantan Tidak pernah
Kelompok umur (tahun) 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65+
1,5 2,2 2,5 2,3 2,3 4,0 3,8 4,5 8,7 8,5 10,9 14,2
1,5 3,9 5,8 6,2 8,1 9,1 11,7 12,3 12,4 10,1 12,7 9,5
1,0 1,1 0,9 1,6 1,5 2,0 2,1 2,6 4,0 4,6 3,1 7,1
96,0 92,8 90,8 89,9 88,2 85,0 82,3 80,5 74,9 76,8 73,3 69,1
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
2,7 5,2
8,4 6,2
2,2 1,8
86,6 86,8
Pendidikan Tidak sekolah Tidak Tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
10,2 5,6 4,7 2,9 2,7 2,4
11,4 7,2 7,6 6,8 7,3 5,8
3,5 2,6 2,3 1,8 1,6 1,3
74,9 84,5 85,4 88,5 88,5 90,4
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lain-lain
3,7 2,5 3,6 5,1 3,9
4,9 8,3 9,7 10,8 8,9
1,7 1,7 2,1 2,7 2,5
89,7 87,5 84,6 81,3 84,7
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
3,0 4,4
6,7 7,6
1,6 2,2
88,7 85,9
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah
6,2 4,4 3,4
8,8 7,4 7,0
2,6 2,0 2,0
82,4 86,2 87,7
12.3 Perilaku Aktifitas Fisik Aktifitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Dikumpulkan data frekuensi beraktifitas fisik dalam seminggu terakhir untuk penduduk 10 tahun ke atas. Aktivitas fisik berat adalah kegiatan yang secara terus menerus melakukan aktivitas fisik yang membawa beban lebih dari 10 Kg secara terus menerus selama miminum 10 menit sampai maksimum 6 jam selama sehari. Kegiatan aktivitas fisik dikategorikan ‗cukup‘ apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu. Selain frekuensi, dilakukan pula pengumpulan data intensitas, yaitu jumlah hari melakukan aktivitas ‘berat‘, ‘sedang‘ dan ‘berjalan‘. Perhitungan jumlah menit aktivitas fisik dalam seminggu mempertimbangkan pula jenis aktivitas yang dilakukan, dimana aktivitas diberi pembobotan, masing-masing untuk aktivitas ‗berat‘ empat kali, aktivitas ‗sedang‘ dua kali terhadap aktivitas ‗ringan‘ atau jalan santai. Perilaku sedentari adalah perilaku santai antara lain duduk, berbaring dan lain sebagainya dalam sehari-hari baik di tempat kerja, di rumah, di perjalanan (transportasi), termasuk waktu berbincang–bincang, transportasi dengan kendaraan bis, kereta, membaca, main games, atau nonton televisi tetapi tidak termasuk waktu tidur. Berikut proporsi aktifitas fisik ―cukup‖ dan ―kurang pada tabel di bawah ini. Perilaku sedentary yang merupakan salah satu perilaku dudukduduk dan berbaring namun tidak tidur merupakan perilaku berisiko terhadap terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan bahkan mepengaruhi umur harapan hidup. Dikatakan oleh seorang peneliti dari Harvard yang meneliti perilaku sedentary dengan nilai cut of point<3 jam, 3-5,99 jam, > 6jam. Mereka yang melakukan perilaku sedentary setiap hari >3 jam dapat megurangi umur harapan hidup 22 menit. Dalam RISKESDAS 2013 ini kriteria aktifitas fisik "aktif" adalah individu yang melakukan aktifitas fisik berat atau sedang atau keduanya, sedangkan kriteria 'kurang aktif' adalah individu yang tidak melakukan aktifitas fisik baik sedang ataupun berat. Berikut proporsi penduduk melakukan aktifitas fisik ―aktif‖ dan ―kurang aktif‖ pada Tabel 12.7. Proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 37,2 persen. Ada 23 kabupaten/kota dengan penduduk aktivitas fisik tergolong kurang aktif berada diatas rata-rata Provinsi Aceh, Lima tertinggi adalah, penduduk Kota Banda Aceh (88,1%), Langsa (85,0%), Nagan Raya (83,0%), Aceh Besar (81,4%) dan Kota Sabang (80,9%).
Tabel 12.7 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun sesuai jenis aktivitas fisik menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Aktifitas fisik Aktif 36,6 19,7 23,7 38,7 28,8 28,5 28,2 18,6 20,2 28,9 33,2 22,7 24,5 24,4 17,0 30,8 32,1 35,1 11,9 19,1 15,0 21,9 25,3 62,8
Kurang aktif 63,4 80,3 76,3 61,3 71,2 71,5 71,8 81,4 79,8 71,1 66,8 77,3 75,5 75,6 83,0 69,2 67,9 64,9 88,1 80,9 85,0 78,1 74,7 37
*) Kurang aktivitas adalah kegiatan kumulatif kurang dari 150 menit dalam seminggu
Berdasarkan tabel 12.8 proporsi penduduk Provinsi Aceh dengan perilaku sedentari 3-5,9 jam sebanyak 36,6 persen. Lima kabupaten/kota di atas angka provinsi adalah, Kota Banda Aceh (56,3%), Simeulue (56,0%), Subulussalam (51,8%), Aceh Besar (49,3%) dan Pidie Jaya (48,1%).
Tabel 12.8 Proporsi penduduk ≥10 tahun berdasarkan aktifitas sedentari menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
<3 jam 36,4 69,2 78,2 65,6 66,0 63,5 16,8 73,3 33,2 50,1 50,6 71,7 52,8 67,0 65,3 40,3 49,7 46,6 29,8 50,3 43,8 21,7 34,7 52,3
Aktifitas sedentari 3- 5.9 jam 56,0 30,4 20,8 30,1 29,1 32,6 49,3 25,9 41,6 43,0 38,3 26,1 40,4 20,7 29,8 39,0 44,9 48,1 56,3 43,3 41,5 34,0 51,8 36,6
≥ 6 jam 7,6 0,4 1,1 4,3 4,9 3,9 33,9 0,9 25,2 6,9 11,1 2,2 6,8 12,3 4,9 20,7 5,5 5,3 13,9 6,4 14,7 44,2 13,5 11,2
Tabel 12.9 Menunjukkan proporsi perilaku sedentari berdasarkan karakteristik kelompok umur ada kecenderungan proporsi perilaku sedentari 3-5,9 jam sehari menurun dengan semakin bertambahnya umur, Proporsi perilaku sedentari 3-5,9 jam di daerah perkotaan (40,0%) lebih besar dibandingkan perdesaan (35,2%), dan wanita lebih banyak daripada laki-laki. Perilaku sedentari merupakan perilaku yang terkait dengan duduk-duduk, kemungkinan masyarakat diperkotaan lebih banyak santai, kurang aktifitas dan menikmati TV, ngobrol. Relatif tidak tampak perbedaan proporsi perilaku sedentari 3-5,9 jam menurut jenis pekerjaan dan tingkat kuintil indeks kepemilikan.
Tabel 12.9 Proporsi penduduk ≥10 tahun berdasarkan aktivitas sedentari menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65+ Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/buruh/nelayan Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
<3 jam
Aktivitas sedentari 3- 5.9 jam
≥ 6 jam
44,5 46,6 51,8 52,6 56,4 58,2 59,5 57,1 57,8 57,2 50,7 41,4
41,5 41,6 38,7 36,7 34,4 32,3 31,0 33,4 32,2 32,6 37,2 37,7
14,1 11,8 9,5 10,7 9,1 9,4 9,5 9,4 10,0 10,2 12,1 20,9
54,6 50,0
35,2 37,9
10,2 12,1
47,9 49,3 55,9 52,5 51,4 49,2
36,0 37,0 34,4 36,9 37,9 38,5
16,1 13,7 9,7 10,6 10,7 12,2
47,5 49,8 55,0 61,3 56,1
38,8 38,9 34,0 32,3 35,9
13,7 11,3 11,0 6,4 8,0
44,5 55,4
40,0 35,2
15,5 9,4
52,5 55,1 52,9 50,9 49,3
35,9 34,1 38,4 36,7 37,9
11,6 10,8 8,7 12,4 12,8
12.4 Perilaku konsumsi sayur dan buah Data frekuensi dan porsi asupan sayur dan buah dikumpulkan dengan menghitung jumlah hari konsumsi dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk dikategorikan ‗cukup‘ konsumsi sayur dan/atau buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan ‘kurang‘ apabila konsumsi sayur dan/atau buah kurang dari ketentuan di atas. Riskesdas 2007 dan 2013 mengumpulkan hal yang sama sehingga dapat dilakukan analisis kecenderungan proporsi penduduk umur >10 tahun yang mengonsumsi kurang sayur dan buah. Pada gambar 12.3 terlihat bahwa secara nasional tidak terjadi perubahan yang berarti antara data 2007 dan 2013. Perubahan yang menonjol seperti terjadi di Aceh Selatan, dengan proporsi kurang konsumsi sayur dan buah semakin meningkat, dari 91,4 persen menjadi 99,4 persen. Sedangkan di Langsa semakin menurun yaitu dari 98,8 persen menjadi 80,8 persen.
Gambar 12.3 Kecenderungan proporsi penduduk ≥10 tahun kurang makan sayur dan buah menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh, Riskesdas 2007 dan 2013
12.5 Pola konsumsi makanan tertentu Perilaku mengonsumsi makanan/minuman manis, asin, berlemak, dibakar/panggang, diawetkan, berkafein, dan berpenyedap adalah perilaku berisiko penyakit degeneratif. Perilaku konsumsi makanan tertentu dikelompokkan sering apabila penduduk mengonsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap hari. Tabel 12.10 menunjukkan bahwa proporsi penduduk Provinsi Aceh dengan konsumsi makanan/minuman manis ≥1 kali dalam sehari 52,3 persen. Lima kabupaten/kota tertinggi dilaporkan di Kota Sabang (81,9%), Langsa (74,8%), Kabupaten Pidie (69,5%), Simeulue (67,4%) dan Aceh Tamiang (67,3%).
Tabel 12.10 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi tertentu menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Perilaku konsumsi berisiko≥1 kali per hari Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Manis
Asin
Berlemak
Dibakar
Hewani berpengawet
Penyedap
Kopi
67,4 43,5 24,7 46,0 54,0 46,9 42,3 66,0 69,5 32,8 55,0 56,3 20,3 67,3 37,4 31,5 32,0 63,7 58,4 81,9 74,8 56,7 54,2 52,3
5,3 7,8 13,5 4,8 14,5 5,8 24,7 10,8 11,3 9,5 14,1 28,1 9,9 6,9 26,2 11,7 8,3 19,8 5,4 29,7 4,6 6,7 34,4 12,3
34,5 20,7 13,9 10,7 28,1 19,4 56,8 23,9 24,1 13,7 21,8 17,4 20,4 6,0 18,0 12,8 12,9 21,1 19,5 23,4 15,1 29,5 35,6 21,2
2,4 2,7 2,7 1,4 3,9 2,5 6,2 2,7 5,3 3,7 4,4 1,6 0,6 1,1 6,2 4,5 3,5 4,3 4,1 3,0 1,9 5,1 5,5 3,6
10,6 1,8 1,4 1,2 1,6 1,4 5,1 17,8 1,8 1,8 2,7 5,2 0,1 1,9 9,2 2,3 1,6 9,9 2,1 1,1 4,0 1,3 3,3 4,0
81,4 64,1 65,0 24,7 39,6 50,3 28,9 54,7 36,7 9,8 20,4 52,7 20,2 61,5 27,6 47,1 55,7 35,3 19,5 57,6 47,3 20,3 72,9 37,9
51,7 25,3 42,7 16,8 27,1 38,2 46,2 50,1 40,4 30,9 35,9 52,8 34,7 14,1 31,0 42,6 41,3 43,3 26,4 23,8 18,3 24,7 29,1 34,3
Kafein selain kopi 4,8 7,6 3,1 0,7 5,0 8,3 7,4 29,8 10,1 11,0 13,1 12,1 1,0 4,5 14,5 11,5 2,7 4,1 4,4 5,9 2,4 6,4 10,0 9,3
Hampir 40 persen penduduk Aceh mengonsumsi penyedap ≥1 kali dalam sehari sebanyak 37,9 persen (Gambar 12.4), tertinggi di Kabupaten Simulue (81,4%) terendah di Bireun (9,8%) (Tabel 12.10). Untuk mengetahui karakteristik penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan tertentu dapat dilihat pada buku II: Riskesdas 2013 dalam Angka
Gambar 12.4 Proporsi (%) penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan tertentu >1 kali sehari, Provinsi Aceh 2013
12.6 Konsumsi makanan dari olahan tepung Perilaku mengonsumsi makanan jadi dari olahan tepung juga dikumpulkan pada Riskesdas 2013. Contoh makanan jadi olahan dari tepung adalah mi instan, mi basah, roti dan biskuit. Analisis jenis makanan ini dapat dilihat pada Gambar 12.5
Tabel 12.11 menunjukkan rerata penduduk Provinsi Aceh berperilaku mengonsumsi mie instant, 1 dari 10 penduduk mengonsumsi mie instan ≥1 kali per hari. Tujuh kabupaten/kota tertinggi yang mengonsumsi mie instant ≥1 kali per hari diatas rerata provinsi adalah, Subulussalam (23,2%), Aceh Besar (19,4%), Pidie (15,2%), Aceh Selatan (13,1%), Lhokseumawe (12,7%), Pidie Jaya (11,5%) dan Nagan Raya (11,2%). Penduduk yang mengonsumsi mie basah ≥1 kaliper hari hanya 6,7 %, sedangkan 17,1% penduduk mengonsumsi roti ≥1 kaliper hari. Lima belas persen penduduk Aceh mengonsumsi biskut ≥1 kaliper hari. Proporsi tertinggi di atas rerata provinsi yaitu Kabupaten Aceh Besar (38,3%), Kota Lhokseumawe (27,6%), Aceh Jaya (25,8%) dan Aceh Utara (19,2%).
Tabel 12.11 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Makanan Olahan Tepung ≥1 kali per hari Mi Instant
Mi Basah
Roti
Biskuit
8,8 4,3 13,1 1,6 9,1 6,0 8,4 19,4 15,2 9,9 6,3 7,4 2,4 4,0 11,2 14,7 7,4 11,5 6,2 7,1 5,9 12,7 23,2 9,6
2,3 1,6 6,6 1,4 5,9 4,8 5,6 10,1 15,1 9,4 4,6 4,2 2,0 0,9 9,8 7,3 4,2 9,6 2,8 3,9 4,3 12,1 11,7 6,7
17,3 15,1 10,5 10,7 13,9 11,8 14,4 42,3 13,7 9,5 18,1 4,4 6,5 7,4 18,3 28,3 14,8 11,8 28,3 15,4 21,0 26,4 19,7 17,1
16,2 13,3 9,7 10,2 15,0 17,0 12,5 38,3 13,4 8,1 19,2 3,4 6,3 3,9 18,1 26,8 13,9 11,6 17,4 14,5 18,6 27,6 16,1 15,9
12.7 Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) Indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)2 terdiri dari sepuluh indikator yang mencakup perilaku individu dan gambaran rumah tangga, Data PHBS pada tahun 2007 mengacu pada indikator PHBS yang sudah ditetapkan tahun 2004. Pada Indikator individu meliputi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, bayi 0-6bulan mendapat ASI eksklusif, kepemilikan/ ketersediaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, penduduk tidak merokok, penduduk cukup beraktivitas fisik, dan penduduk cukup mengonsumsi sayur dan buah, Indikator Rumah Tangga meliputi rumah tangga memiliki akses terhadap air bersih, akses jamban sehat, kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni (≥8m2/ orang), dan rumah tangga dengan lantai rumah bukan tanah. Pada PHBS tahun 2007 untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10; sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 8 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah delapan (8), PHBS diklasifikasikan ―kurang‖ apabila mendapatkan nilai kurang dari enam (6) untuk rumah tangga mempunyai balita dan nilai kurang dari lima (5) untuk rumah tangga tanpa balita, Pada tahun 2011 telah dibuat indikator PHBS yang baru dan sedikit berbeda dengan indikator PHBS ditetapkan sebelumnya, Indikator PHBS yang ditetapkan pada tahun 2011 oleh Pusat Promosi Kesehatan Kementrian Kesehatan mencakup 10 indikator yang meliputi : 1) Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan; 2) melakukan penimbangan bayi dan balita; 3) memberikan ASI ekslusif; 4) penggunaan air bersih; 5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun; 6) memberantas jentik nyamuk; 7) memakai jamban sehat; 8) makan buah dan sayur setiap hari; 9) melakukan aktifitas fisik setiap hari; 10) tidak merokok dalam rumah. Pada PHBS tahun 2013 untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10; sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 7 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah tujuh (7). Penilaian PHBS rumah tangga baik diukur dengan batasan yang sama dengan penilaian rumah tangga PHBS tahun 2007 dimana kriteria rumah tangga dengan PHBS baik adalah rumah tangga yang memenuhi indikator baik sebesar 6 indikator atau lebih untuk rumah tangga yang punya balita dan 5 indikator atau lebih untuk rumah tangga yang tidak mempunyai balita. Dalam RISKESDAS 2013 indikator yang dapat digunakan untuk PHBS sesuai dengan kriteria PHBS yang ditetapkan oleh Pusat Promkes pada tahun 2011, yaitu mencakup delapan indikator individu (cuci tangan, BAB dengan jamban, konsumsi sayur dan buah, aktifitas fisik, merokok dalam rumah, memberi ASI eksklusif, menimbang balita), dan dua indikator rumah tangga (sumber air bersih dan memberantas jentik nyamuk). Pengertian indikator yang digunakan dalam PHBS RISKESDAS 2013 ini adalah sebagai berikut: 1. Persalinan oleh tenaga kesehatan, Data ini didapatkan dari data persalinan yang terakhir yang ditolong oleh tenaga kesehatan dari riwayat persalinan dalam tiga tahun terakhir sebelum survey (kurun waktu tahun 2010 sampai tahun 2013) 2. Melakukan penimbangan bayi dan balita, Indikator ini menggunakan variabel individu usia 0 sampai 59 bulan yang mempunyai riwayat pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir, walaupun hanya 1 kali ditimbang dalam enam bulan terakhir. Pada sub-bab pemantauan pertumbuhan menyajikan data frekuensi penimbangan bayi/balita terpisah antara > 4 kali dan 1-3 kali dalam 6 bulan terakhir, walaupun hanya 1 kali ditimbang dalam enam bulan terakhir. Pada sub-bab
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
pemantauan pertumbuhan menyajikan data frekuensi penimbangan bayi/balita terpisah antara > 4 kali dan 1-3 kali dalam 6 bulan terakhir, Memberikan ASI eksklusif, Indikator ini menggunakan data dari riwayat pernah diberikan ASI eksklusif diantara individu baduta usia 0 – 23 bulan, Pengertian pemberian ASI eksklusif dalam analisa ini adalah bayi usia <= 6 bulan yang hanya mendapatkan ASI saja dalam 24 jam terakhir saat wawancara atau individu baduta yang pertama kali diberi minuman atau makanan berumur enam bulan atau lebih. Pada sub-bab pola pemberian ASI, data pemberian ASI disajikan pada responden 0-6 bulan. Pada sub bab pola pemberian ASI, data pemberian ASI disajikan pada responden 0-6 bulan, Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, Indikator mencuci tangan dengan benar mencakup mencuci tangan air bersih dan sabun saat sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor, setelah buang air besar, setelah menggunakan pestisida (bila menggunakan), setelah menceboki bayi dan sebelum menyusui bayi (bilasedang menyusui), Memakai jamban sehat, Perilaku menggunakan jamban sehat diukur dari perilaku buang besar menggunakan jamban saja, Melakukan aktivitas fisik setiap hari, Indikator ini diukur berdasarkan individu yang biasa melakukan aktifitas fisik berat atau sedang dalam tujuh hari seminggu. Pada sub bab perilaku aktivitas fisik diperhitungkan individu, pada sub bab perilaku aktivitas fisik diperhitungkan individu, Konsumsi buah dan sayur setiap hari, Perilaku konsumsi buah dan sayur diukur berdasarkan individu yang biasa konsumsi buah dan sayur selama tujuh hari dalam seminggu, Tidak merokok dalam rumah, Pengertian tidak merokok di dalam rumah adalah individu yang tidak mempunyai kebiasaan merokok di dalam rumah pada saat ada anggota rumah tangga lainnya serta memperhitungkan juga rumah tangga yang tidak ada anggota rumah tangga yang merokok, Penggunaan air bersih, Perilaku menggunakan air bersih didapatkan dari data rumahtangga yang menggunakan sumber air bersih dengan kategori baik untuk seluruh keperluan rumah tangga. Memberantas jentik nyamuk, Rumah tangga dengan perilaku memberantas jentik nyamuk dalam indikator ini adalah rumah tangga yang menguras bak mandi satu kali atau lebih dalam seminggu atau yang tidak menggunakan bak mandi dan tidak mandi di sungai,
Beberapa indikator yang digunakan dalam RISKESDAS 2013 ini berbeda dengan indikator yang digunakan dalam RISKESDAS 2007 sehingga tidak bisa menggambarkan kecenderungan kenaikan atau penurunan proporsi rumah tangga ber-PHBS. Gambar 12.6 menunjukkan bahwa proporsi RT yang memenuhi kriteria PHBS baik, menurut kabupaten/kota di Provinsi Aceh sebesar 19,6 persen. Kabupaten/kota dengan PHBS baik tertinggi terdapat di Kota Banda Aceh (46,1%), diikuti Lhokseumawe (40,4%), Langsa (34,7%) dan Kabupaten Aceh Jaya (23,5%). Rumah tangga dengan kriteria PHBS baik terendah terdapat di Kabupaten Aceh Selatan (6,8%), Gayo Lues (9,0%), Aceh Timur (11,0%) dan Kota
Catatan: PHBS baik adalah ruta yang memenuhi kriteria >= enam indikator untuk rumahtangga dengan balita dan >=5 indikator untuk rumahtangga tidak punya balita,
Gambar 12.6 Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Gambar 12.7 menyajikan proporsi rumah tangga dengan PHBS baik lebih tinggi di perkotaan (33,0%) dibandingkan di perdesaan (14,2%). Proporsi rumah tangga dengan PHBS baik meningkat dengan semakin tingginya kuintil indeks kepemilikan (terbawah 4,2%, teratas 32,2%).
Gambar 12.7
Daftar Pustaka Katzmarzyk PT, Lee I-M. Sedentari behaviour and life expectancy in the USA: a cause-deleted life table analysis. BMJ Open 2012;2: e000828. doi:10.1136/ bmjopen-2012-000828. Kementrian Kesehatan. 2011. Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pusat promosi Kesehatan, departemen Kesehatan RI, 2009.Rumah Tangga berperilaku hidup bersih dan sehat World Health Organization, Regional Office for South East Asia 2012.Global Adult Tobacco Survey:Indonesia Report 2011 World Heatlh Organization. 2012. Global Physical Activity Questionnaire (GPAC) Analysis Guide. Surveillance and Population-based Prevention. Department of Chronic Diseases and Health Promotion,Geneva. www.who.int/chp/steps World Heatlh Organization. 2012. WHO STEPS Instrument Question-by Question Guide (core and expanded). Surveillance and Population-based Prevention. Department of Chronic Diseases and Health Promotion,Geneva. www.who.int/chp/steps.
BAB 13. PEMBIAYAAN KESEHATAN Marice Sihombing , Aprildah Sapardin dan Endi Ridwan Salah satu tujuan sistem kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan (health status), ketanggapan (responsiveness), dan keadilan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan (fairness of financing). (WHO, 2000) Pada topik ini dikumpulkan informasi tentang jenis kepemilikan dan penggunaan jaminan kesehatan, pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan, dan sumber pembiayaan yang paling sering dimanfaatkan penduduk beserta besaran biaya yang dikeluarkannya. Pembiayaan kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan upaya kesehatan/memperbaiki keadaan kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah (Perpres no 12 tahun 2013) Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 130 bahwa pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Unsur-unsur pembiayaan terdiri atas sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan. Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, swasta, dan sumber lain. Syarat pokok pembiayaan kesehatan meliputi: (1) jumlah harus memadai untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan tidak menyulitkan masyarakat yang memanfaatkan; (2) distribusinya harus sesuai dengan kebutuhan untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan masyarakat; serta (3) pemanfaatannya harus diatur setepat mungkin agar tercapai efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang optimal (UU No. 36, 2009). Pada Riskesdas 2013, analisis pembiayaan kesehatan meliputi kepemilikan dan penggunaan jaminan kesehatan serta pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap berikut sumber dan besaran biayanya. Sumber biaya dibedakan menjadi biaya sendiri, Asuransi Kesehatan Sosial (meliputi Askes PNS, Pensiun, Veteran, TNI/Polri), Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja), Asuransi kesehatan Swasta, Tunjangan kesehatan dari Perusahaan, Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Hasil analisis memberikan informasi tentang proporsi penduduk yang telah tercakup maupun yang tidak tercakup jaminan kesehatan. Jenis jaminan kesehatan terdiri dari; asuransi kesehatan (PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementrian Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda. Untuk kepentingan analisis Askes dan ASABRI dimasukkan dalam satu kelompok dikarenakan pemerintah juga membayar sebagian dari iuran jaminan tersebut. Hasil lebih rinci dari blok Pembiayaan Kesehatan dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka halaman 241 sampai dengan 255 tabel 13.1 sampai 13.14
13.1 Kepemilikan jaminan kesehatan Hasil analisis memberikan informasi tentang proporsi penduduk yang telah tercakup maupun yang tidak tercakup jaminan kesehatan. Jenis jaminan kesehatan terdiri dari; asuransi kesehatan (PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementerian Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda. Untuk kepentingan analisis Askes dan ASABRI dimasukkan dalam satu kelompok dikarenakan pemerintah juga membayar sebagian dari iuran jaminan tersebut. Tabel 13.1 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam ACEH
Askes/ Asabri 12,6 4,8 6,7 12,7 2,9 8,0 9,1 7,0 7,5 8,5 3,8 10,2 10,7 4,8 9,5 9,0 6,5 6,2 28,8 26,4 17,9 14,7 6,7 8,8
Jamsostek 0,0 15,0 0,1 0,4 0,5 0,5 1,0 0,3 0,4 2,2 0,9 0,1 2,3 0,1 0,0 0,1 0,1 2,1 1,4 7,7 5,1 0,2 1,5
Jenis Jaminan Kesehatan Askes Perusahaan Jamkesmas Swasta 0,0 0,1 67,9 0,2 0,9 59,7 0,0 0,1 77,3 64,1 0,1 58,4 0,4 39,1 0,1 0,4 61,2 0,0 61,4 0,1 0,0 75,4 0,1 51,7 0,2 67,2 0,1 71,7 0,2 49,3 0,9 0,0 42,0 0,3 0,0 52,1 0,0 39,3 0,1 49,3 0,1 67,7 4,5 0,6 19,0 0,3 24,3 0,9 2,6 39,9 1,4 8,9 42,9 0,2 0,3 64,4 0,4 0,5 56,7
Jamkesda 17,9 8,4 11,4 22,3 37,5 34,5 27,8 31,5 16,5 39,2 24,5 8,1 49,6 50,5 37,8 88,0 43,5 26,0 42,2 57,6 32,2 27,4 17,9 30,8
Tidak punya 1,7 12,5 4,7 1,6 1,5 17,6 1,5 0,7 0,7 0,4 2,7 9,7 6,5 2,4 0,4 0,6 0,9 0,5 6,2 2,7 2,8 1,5 25,0 3,4
Tabel 13.1 menunjukkan 3,4 persen penduduk Provinsi Aceh belum memiliki jaminan kesehatan. Askes/ASABRI dimiliki oleh sekitar 8,8 persen penduduk, Jamsostek 1,5 persen, asuransi kesehatan swasta dan tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 0,4 dan 0,5 persen. Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesmas (56,7%) dan Jamkesda (17,7%). Dari data tersebut juga menyiratkan adanya kepemilikan jaminan lebih dari satu jenis jaminan untuk
kesehatan yang paling rendah dengan 25 persen penduduk tidak punya jaminan dan dibawah rata-rata provinsi. Tabel 13.2 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Jenis Jaminan Kesehatan Karakteristik Kelompok umur (tahun) 0-4 5 -14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+ Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Askes/ Asabri
Jamsostek
6,6 6,3 7,9 8,4 11,0 14,3 10,9 10,7 10,9
1,7 1,3 1,3 2,4 2,1 1,1 0,5 0,3 0,3
8,0 53,1 6,5 1,2 8,2
Askes Swasta
Perusahaan
Jamkesmas
Jamkesda
Tidak punya
0,4 0,4 0,3 0,4 0,6 0,4 0,4 0,5
0,6 0,5 0,5 0,5 0,7 0,8 0,4 0,3 0,0
40,4 60,2 59,4 55,0 58,2 57,1 60,8 63,4 55,7
43,7 29,5 29,6 32,5 28,0 26,6 27,6 24,8 31,7
8,4 3,3 2,9 3,4 2,3 1,6 1,9 1,6 2,8
1,3 8,3 1,1 0,3 1,6
0,4 1,6 0,9 0,0 0,4
0,6 2,2 0,3 0,1 0,6
60,0 18,4 50,7 71,1 54,3
28,9 18,5 40,0 26,9 35,1
2,6 2,9 3,2 2,5 2,2
17,4 5,4
3,6 0,7
1,3 0,1
1,7 0,1
37,2 64,4
37,0 28,3
4,6 2,9
0,6 1,7 4,7 13,2 27,3
0,2 1,1 1,5 2,7 2,3
0 0 0,1 0,3 1,8
0 0,1 0,2 0,5 2,3
75,4 70 60,8 45,1 25,7
23,1 25,8 30,7 36,7 39,7
2,2 2,6 3,5 4,3 4,4
Tabel 13.2 menggambarkan kepemilikan jaminan menurut karakteristik penduduk meliputi kelompok umur, pekerjaan, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut tempat tinggal, penduduk di perkotaan lebih banyak yang memiliki jaminan kesehatan
Kepemilikan jaminan kesehatan menurut status pekerjaan menunjukkan kelompok tertinggi yang tidak memiliki jaminan adalah kelompok wiraswasta (3,2%), sedangkan yang terendah adalah kelompok lainnya (2,2%). Kelompok wiraswasta ini terdiri dari pedagang besar ataupun eceran, sedangkan untuk kelompok pegawai terdiri dari pegawai formal ataupun non formal. Sebanyak 2,5 persen kelompok petani/nelayan dan buruh masih belum memiliki jaminan kesehatan apapun, sementara bagi yang telah memiliki jaminan sebagian besar adalah Jamkesmas atau Jamkesda. Sedangkan bagi penduduk yang tidak bekerja hanya 2,6 persen diantaranya belum memiliki jaminan. Menurut kuintil indeks kepemilikan, Jamkesmas dimiliki oleh kelompok penduduk terbawah, menengah bawah dan menengah, masing-masing sebesar 75 persen, 70 persen dan 60,8 persen. Akan tetapi Jamkesmas dimiliki juga pada penduduk menengah atas sebesar 45,1 persen. dan teratas (25,7%). Berbeda dengan Jamkesmas, kepemilikan Jamkesda tidak terlalu bervariasi untuk masing-masing kelompok penduduk berdasarkan kuintil indeks kepemilikan. Pada jenis jaminan kesehatan selain Jamkesmas dan Jamkesda, kecenderungan kepemilikan jaminan kesehatan lebih banyak pada indeks kuintil kepemilikan teratas.
13.2 Mengobati sendiri Pola pencarian pengobatan seseorang dikategorikan dalam mengobati sendiri, memanfaatkan rawat jalan, dan memanfaatkan rawat inap. Informasi mengobati sendiri didapatkan dengan mengetahui perilaku seseorang yang pernah mengobati sendiri dengan cara membeli obat di apotik atau toko obat tanpa resep dalam satu bulan terakhir. Besaran biaya juga ditanyakan dan hasil analisis merupakan rerata total besar biaya dalam sebulan terakhir dengan menggunakan median. Tabel 13.3 menggambarkan bahwa penduduk daerah perkotaan maupun perdesaan yang mengobati sendiri dengan cara membeli obat ditoko obat atau diwarung hampir sama yaitu (22,6%) dibanding (24,0%). Dari segi biaya, median biaya yang dikeluarkan sama banyak antara di perkotaan dan di perdesaan yaitu sebesar Rp.15.000,00 Menurut kuintil indeks kepemilikan, kelompok teratas merupakan kelompok yang tertinggi untuk mengobati sendiri (24,0%) dan dari sisi biaya yang dikeluarkan adalah terbesar diantara lainnya yaitu Rp. 20.000,00 Tabel 13.4 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biaya menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah
Mengobati diri sendiri % Median (Rp) 22,6 24,0
15,000.00 15,000.00
22,5 24,1 24,3
15,000.00 15,000.00 15,000.00
Gambar 13.1 memperlihatkan proporsi penduduk Provinsi Aceh yang mengobati diri sendiri dalam satu bulan terakhir dengan membeli obat ke toko obat atau ke warung tanpa resep dokter adalah 23,6 persen dengan rerata pengeluaran sebesar Rp 15.000,00. Kabupaten Bener Meriah merupakan kabupaten/kota tertinggi (41,7%) dengan rerata pengeluaran sebesar Rp.10.000.00 Sebaliknya, kabupaten Simeulue dan Nagan Raya merupakan kabupaten/kota dengan proporsi terendah (masing-masing 13,3%) namun dengan rerata pengeluaran sebesar Rp.15.000,00 untuk Simeulue dan Rp 10.000,00 untuk Nagan Raya.
Mengobati sendiri (%)
Median biaya
Gambar 13.1 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biaya menurut
13.3 Rawat Jalan Pelayanan rawat jalan adalah semua pelayanan kepada pasien untuk observasi, diagnosis, pengobatan dan pelayanan kesehatan lainnya tanpa tinggal dirawat inap. Pemanfaatan atau utilisasi fasilitas kesehatan ditanyakan dalam satu bulan terakhir termasuk besaran biayanya. Hasil analisis disajikan secara umum tanpa melihat jenis fasilitas kesehatan dan besaran biaya merupakan rerata total besar biaya dalam sebulan terakhir (rawat jalan) dengan menggunakan median. Gambar 13.2 memperlihatkan 14 persen penduduk Provinsi Aceh dalam satu bulan terakhir melakukan rawat jalan dan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 28.000,00. Penduduk Aceh Jaya merupakan kabupaten tertinggi yang melakukan rawat jalan (26,3%) dengan median biaya sebesar Rp. 30.000,00 dalam satu bulan terakhir. Penduduk Kabupaten Simeulue merupakan yang terendah dalam memanfaatkan fasilitas rawat jalan (3,2%) dengan pengeluaran rerata sebesar Rp. 50.000,00
Pemanfaatan rawat jalan
Median biaya
Tabel 13.5 menggambarkan pemanfaatan rawat jalan di berbagai fasilitas kesehatan dalam satu bulan terakhir. Sebanyak 19,3 persen balita melakukan rawat jalan dan kelompok ini merupakan kelompok proporsi tertinggi yang melakukan rawat jalan dengan median biaya sebesar Rp. 20.000,00 sebaliknya penduduk umur 15-24 tahun adalah kelompok terendah. Makin bertambah umur, penduduk makin banyak yang memanfaatkan rawat jalan dan median biayanya pun cenderung semakin besar. Penduduk umur 55 – 64 tahun adalah kelompok dengan median pengeluaran rawat jalan terbesar (Rp. 40.000) dan proporsi sebanyak 20,4%. Pemanfaatan rawat jalan di perkotaan dan perdesaan tidak terlalu berbeda, namun untuk biaya yang dikeluarkan dalam satu bulan terakhir untuk rawat jalan di perkotaan sebesar Rp. 40.000,00 sedangkan di perdesaan sebesar Rp. 25.000,00. Menurut kuintil indeks kepemilikan, median pengeluaran untuk rawat jalan paling tinggi pada kelompok penduduk kuintil teratas (Rp. 50.000,00) dengan proporsi pemanfaatan terendah (11,5%). Pemanfaatan tertinggi rawat jalan terdapat pada kuintil terbawah dengan median pengeluaran sebesar Rp. 20.000,00. Tabel 13.5 Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta median biaya yang dikeluarkan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kel umur (tahun) 0-4 5 -14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+ Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Rawat Jalan %
Rp
19,3 12,4 8,3 13,3 15,0 18,0 18,5 20,4 20,2
20.000 20.000 25.000 30.000 30.000 35.000 30.000 40.000 46.783
10,8 15,2
40.000 25.000
10,8 15,2 10,8 15,2 10,8
20.000 30.000 25.000 30.000 50.000
13.4 Rawat Inap Rawat Inap menurut Azwar Azrul (1996:73) suatu bentuk pelayanan kesehatan kedokteran intensif (hospitalization) yang diselenggarakan oleh rumah sakit, rumah sakit bersalin, maupun
Gambar 13.3 menunjukkan dalam satu tahun terakhir 2,4 persen penduduk Provinsi Aceh melakukan rawat inap dengan median, biaya sebesar Rp.700.000,00. Penduduk Kota Lhokseumawe ternyata tertinggi dalam pemanfaatan rawat inap yaitu sebesar 5,3 persen dengan median biaya dalam satu tahun terakhir sebesar Rp. 1.500.000,00 disusul Kabupaten Aceh Tengah (3,9%) dengan median biaya sebesar Rp. 500.000,00. Sementara penduduk Kabupaten Aceh Tenggara (0,4%), Simeulue (0,8%), Nagan Raya (0,9%) dan Kota Subulussalam (0,9%) merupakan kabupaten/kota terendah untuk pemanfaatan rawat inap dengan median biaya antara Rp 300.000,00 dan Rp 500.000,00
Pemanfaatan rawat inap
Median biaya
Gambar 13.3 Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Tabel 13.6 menggambarkan sebesar 1,5 persen balita memanfaatkan rawat inap. Kelompok usia lanjut merupakan kelompok tertinggi yang memanfaatkan fasilitas rawat inap dan juga
Tabel 13.6 Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta median biaya yang dikeluarkan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kel umur (tahun) 0-4 5 -14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+ Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Rawat Inap %
Rp
1,5 1,0 2,1 2,6 2,8 3,3 4,7 5,9 6,2
200.000 500.000 300.000 1.000.000 800.000 600.000 700.000 1.000.000 1.000.000
2,7 2,2
1.400.000 500.000
1,7 2,5 2,2 2,3 3,2
1.400.000 500.000 1.400.000 500.000 1.400.000
13.5 Sumber pembiayaan Sumber biaya kesehatan menurut SKN terdiri dari biaya pemerintah dan masyarakat. Riskesdas 2013 memberikan informasi tentang proporsi sumber biaya kesehatan penduduk yang memanfaatkan rawat jalan dalam satu bulan terakhir dan atau rawat inap dalam satu tahun terakhir. Sumber biaya dikelompokkan menjadi: biaya sendiri, asuransi kesehatan (PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementerian Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda. Pada Riskesdas 2013, penduduk diminta menyebutkan total biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat jalan (satu bulan terakhir) dan rawat inap (satu tahun terakhir). Hasil analisis besar biaya merupakan rerata total besar biaya dalam sebulan terakhir (rawat jalan) atau satu tahun terakhir (rawat inap) dengan menggunakan median. Gambar 13.4 menggambarkan bahwa sumber biaya rawat jalan secara keseluruhan untuk Provinsi Aceh masih didominasi pembiayaan yang dibayar oleh Jamkesmas/jamkesda sebanyak 49,4 persen, kemudian disusul oleh pembiayaan dari pasien sendiri atau keluarga (out of pocket) (44,5%), Sumber biaya rawat jalan dari Askes/ASABRI (3,1%), dan Jamsostek 0,9%. Penduduk yang memanfaatkan sumber biaya rawat jalan dari jamkesmas/da tertinggi adalah kabupaten Simeulue (77,1%), Aceh Selatan (69,6%) dan kota Sabang (68,4%)
Gambar 13.4 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat jalan, Provinsi Aceh 2013 Tabel 13.7 menunjukkan bahwa berdasarkan karakteristik umur, tertinggi pada kelompok umur <1 tahun menggunakan biaya sendiri (59,5%), jenis kelamin laki-laki, bekerja sebagai wiraswasta, tinggal di perdesaan dengan kuintil indeks kepemilikan teratas. Sedangkan pemanfaatan jamkesmas/jamkesda tertinggi pada kelompok umur 5-14 tahun tertinggi (56,5%), jenis kelamin perempuan, bekerja sebagai petani/nelayan/buruh tinggal di perdesaan dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Tabel 13.7 Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik
Biaya Sendiri
Tempat tinggal Perkotaan 42,3 Perdesaan 45,1 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 38,9 Menengah bawah 43,9 Menengah 43,6 Menengah atas 46,2 Teratas 53,9
Askes/ Asabri
Sumber Biaya Rawat Jalan Asuransi Jamkesma/ Sumber Jamsostek Perusahaan Swasta Jamkesda Lainnya
7,4 1,9
2,1 0,6
0,2 1,0 2,2 6,1 9,2
0,6 0,5 0,7 1,8 1,3
0,5 0,1
43,9 51,0
0,1 0,4 0,7
58,6 53,4 51,8 43,1 32,1
Lebih dr 1 Sumber
1,9 0,1
1,1 0,4
0,7 0,8
0,1 0,2 1,2 1,4
0,6 0,2 0,8 0,4 1,1
1,1 0,9 0,6 0,8 0,4
Gambar 13.5 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap, Provinsi Aceh 2013 Tabel 13.8 memperlihatkan bahwa menurut tempat tinggal sumber biaya rawat inap pada jenis fasilitas kesehatan dari berbagai jaminan kesehatan Askes, dan Jamkesmas/jamkesda lebih banyak dimanfaatkan di daerah perkotaan. Sumber biaya rawat inap dari biaya sendiri lebih banyak dimanfaatkan di daerah perdesaan. Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi sumber biaya rawat inap dari jaminan kesehatan Jamkesmas/Jamkesda cenderung meningkat seiring dengan makin tingginya kuintil. Sumber biaya rawat inap untuk semua jenis fasilitas kesehatan yang berasal dari biaya sendiri merata pada semua kuintil indeks kepemilikan.
Tabel 13.8 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik
Biaya Sendiri
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Askes/ Asabri
Jamsostek
0,2 0,3
0,3 0,0
0,0 0,0
0,3 0,3 0,2 0,2 0,3
0,0 0,0 0,1 0,1 0,5
0,0 0,0 0,0 0,1
Sumber Biaya Rawat inap Asuransi Jamkesmas/ Swasta Jamkesda
0,0
0,0
1,1 1,0 0,7 1,2 1,1 0,9 1,1
Perusahaan
Sumber Lainnya
Lebih dr 1 Sumber
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 0,1
0,0
0,0 0,1 0,0 0,0 0,1
0,0 0,0
0,0 0,0 0,0
Daftar Pustaka Azwar Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Jakarta : Binarupa Aksara. 1996 Gottret, Pablo and Schieber, George. Health Financing Revisited: A Practioner’s Guide. The World Bank. Washington DC, 2006 Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional The World Health Report 2000: Health systems: Improving Performance. World Health Organization, Geneva, 2000 The World Health report 2010: Health Systems Financing The Path To Universal Coverage. World Health Organization, Geneva, 2010 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
BAB 14. KESEHATAN REPRODUKSI Aprildah Sapardin, Endi Ridwan dan Marice Sihombing Riskesdas 2013 mengumpulkan informasi tentang KB, riwayat kehamilan, persalinan dan masa nifas dalam Blok Kesehatan Reproduksi. Tujuan kesehatan reproduksi adalah mendapatkan informasi terkait dengan MDGs ke lima yang berkaitan dengan upaya meningkatkan status kesehatan ibu dan isu kesehatan reproduksi, antara lain; 1. Penggunaan KB 2. Riwayat kesehatan reproduksi seumur hidup; umur kawin pertama, umur melakukan hubungan seksual pertama, umur saat hamil pertama, riwayat kehamilan seumur hidup 3. Cakupan pelayanan kesehatan selama kehamilan, persalinan dan masa nifas pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara. 4. Status kesehatan ibu hamil Kesehatan reproduksi ditanyakan khusus pada perempuan usia 10 – 54 tahun.
14.1 Kehamilan saat ini Informasi tentang kehamilan ini memberi gambaran proporsi penduduk Indonesia yang sedang hamil (Gambar 14.1). Proporsi kehamilan umur 10-54 tahun di Indonesia adalah 2,56 persen, di perkotaan (2,6%) lebih tinggi dibanding perdesaan (2,5%) (lihat buku Riskesdas 2013 dalam Angka). Pola kehamilan berbeda menurut kelompok umur dan tempat tinggal. Proporsi kehamilan pada umur remaja (15-19 tahun) adalah 0,73 persen, perdesaan (1%) lebih tinggi dibanding perkotaan (0,5%).
14.2 Pelayanan Program Keluarga Berencana Pelayanan KB merupakan upaya untuk mendukung kebijakan Program Keluarga Berencana Nasional. Salah satu indikator program KB adalah penggunaan KB saat ini dan CPR. CPR yaitu persentase penggunaan cara/alat KB oleh pasangan usia subur (PUS) dalam hal ini adalah WUS kawin/hidup bersama (Rajaguguk, Omas Bulan, 2010). Analisis penggunaan KB ini dilakukan pada kelompok WUS berstatus kawin dan hidup bersama. Pada saat analisis, penetapan jenis alat/cara KB merujuk pada efektivitas alat/cara KB yang digunakan. Apabila responden menggunakan lebih dari 1 alat/cara KB maka yang dipilih adalah yang paling efektif. Indikator penggunaan KB dan CPR KB modern ini memungkinkan untuk memberikan gambaran sampai tingkat provinsi dan Kab/Kota yang disajikan dalam Laporan Riskesdas Provinsi. Khusus untuk tempat dan tenaga yang memberi pelayanan KB, analisis dilakukan dari penduduk yang menggunakan KB modern. a. Pola Penggunaan KB saat ini Penggunaan alat/cara KB terdiri dari alat KB modern dan KB cara tradisional. Penggunaan menurut alat atau cara tersebut juga mencerminkan CPR KB modern dan CPR KB tradisional. Indikator CPR modern merupakan salah satu indikator MDG kelima dengan target peningkatan CPR modern sebesar 65 persen (Kemenkes RI, 2011).
Gambar 14.2 Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini WUS kawin dan kelompok umur, Provinsi Aceh 2013 Gambar 14.2 menunjukkan proporsi penggunaan KB saat ini di Provinsi Aceh secara umum, adalah 45,9 persen yang terdiri dari 48,9 persen pengguna KB modern dan 0,6 persen pengguna KB tradisional. Adapun penggunaan KB menurut kelompok umur terbanyak pada kelompok umur 30-34 tahun (56,8%), sedangkan pada kelompok umur berisiko yaitu 45-49 tahun (24,2%) dan kelompok umur 15-19 tahun (44,8%) masih rendah. b. Penggunaan KB menurut jenis kandungan hormonal dan jangka waktu efektivitas
Pengelompokan jenis alat KB modern menurut jangka waktu efektivitas untuk MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) adalah susuk, sterilisasi pria, sterilisasi wanita serta, spiral/IUD, sedangkan non MKJP adalah jenis suntikan, pil, diafragma dan kondom.
Gambar 14.3 Proporsi WUS Kawin yang menggunakan KB menurut jenis alat KB yang digunakan, Provinsi Aceh 2013 Gambar 14.3 di atas menunjukkan dominasi penggunaan jenis suntikan KB. Dari data jenis KB tersebut selanjutnya dikelompokkan menurut kandungan hormonal dan jangka waktu efektivitas.
Gambar 14.4 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok kandungan hormonal menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 14.4 menunjukkan pola penggunaan alat/cara KB modern berdasarkan jenis kandungan hormonal menurut provinsi. Proporsi penggunaan KB hormonal paling tinggi di Aceh Tenggara (62,8%) dan paling rendah di Nagan Raya (30,8%). Sementara untuk proporsi alat KB non hormonal paling tinggi di Banda Aceh (11,5%) dan paling rendah di Aceh Barat Daya (0,7%). Tingginya penggunaan KB hormonal dipengaruhi oleh jenis KB suntikan yang besar.
Gambar 14.5 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok jangka waktu efektivitas KB menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Gambar 14.5 menunjukkan variasi proporsi penggunaan KB menurut jenis jangka waktu efektivitas (MKJP dan Non MKJP). Proporsi penggunaan KB non MKJP tertinggi di Gayo Lues (59,7%) dan paling rendah di Nagan Raya (29,8%). Penggunaan alat/cara KB dengan MKJP paling tinggi di Banda Aceh (10,3%) sedangkan paling kecil adalah Pidie Jaya (1,2%). c. Tempat dan tenaga untuk pelayanan KB modern Informasi tempat dan tenaga pelayanan KB modern bermanfaat untuk mengevaluasi pelaksanaan program pelayanan KB. Gambar 14.6 memperlihatkan penggunaan tempat dan tenaga yang memberi pelayanan KB. Terlihat bahwa praktek bidan dan bidan banyak berperan dalam pelayanan KB. Proporsi tersebut bervariasi menurut karakteristik. Tempat yang banyak dikunjungi adalah praktek bidan (49,2%) dan paling sedikit adalah tim KB keliling (0,6%), juga menunjukkan tenaga kesehatan yang memberi pelayanan KB. Tenaga yang paling banyak memberi pelayanan KB adalah bidan (83,5%), dibandingkan tenaga kesehatan lainnya
Gambar 14.6 Proporsi pemanfaatan tempat dan tenaga kesehatan dalam mendapatkan pelayanan KB, Provinsi Aceh 2013
14.3 Pelayanan kesehatan masa kehamilan, persalinan dan nifas Setiap kehamilan memiliki risiko untuk menghadapi kematian ibu. Pemantauan dan perawatan kesehatan yang memadai selama kehamilan sampai masa nifas sangat penting untuk kelangsungan hidup ibu dan bayinya. Dalam upaya mempercepat penurunan kematian ibu, Kementerian Kesehatan menekankan pada ketersediaan pelayanan kesehatan ibu di masyarakat. Riskesdas 2013 menanyakan kepada semua perempuan 10-54 tahun yang pernah melahirkan. Selanjutnya pada responden yang pernah melahirkan (lahir hidup dan lahir mati) pada periode 1 Januari 2010 sampai dengan wawancara ditanyakan lebih lanjut tentang pengalaman mendapat pelayanan kesehatan selama periode hamil sampai masa nifas. Terdapat 2 indikator MDGs yang diperoleh dari bagian ini yaitu. 1. Cakupan ANC minimal 1 kali dan ANC minimal 4 kali 2. Proporsi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.
a. Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil dan Indikator Cakupan ANC Antenatal Care (ANC) adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk
Pada laporan ini disajikan indikator ANC yang sesuai dengan MDG (K1 dan ANC minimal 4 kali) maupun indikator ANC untuk evaluasi program pelayanan kesehatan ibu di Indonesia seperti cakupan K1 ideal dan K4. Definisi operasional indikator ANC K1 atau ANC minimal 1 kali adalah proporsi pada kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil minimal 1 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan. K1 ideal adalah proporsi pada kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil pertama kali pada trimester 1. K4 adalah proporsi pada kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil selama 4 kali dan memenuhi kriteria 1-1-2 yaitu minimal 1 kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2 dan minimal 2 kali pada trimester 3. ANC minimal 4 kali adalah proporsi pada kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil minimal 4 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan
Gambar 14.7 Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Gambar 14.7 menunjukkan bahwa 95,4 persen dari kelahiran yang mendapat ANC (K1). Persentase K1 dan ANC minimal 4 kali merupakan indikator ANC tanpa memperhatikan periode trimester saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Cakupan K1 bervariasi dengan rentang antara 82,5 persen (Nagan Raya) dan 100 persen (Langsa dan Aceh Jaya). Untuk cakupan ANC minimal 4 kali, Aceh Jaya (99,9%) sedangkan Langsa (84,9%). Selisih antara K1 dan ANC 4 kali
Gambar 14.8 Cakupan indikator ANC K1 ideal dan ANC K4 (ANC 1-1-2) menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Gambar 14.8 menyajikan cakupan K1 ideal dan K4. Indikator K1 ideal dan K4 adalah indikator untuk melihat frekuensi yang merujuk pada periode trimester saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Kementerian Kesehatan menetapkan K4 sebagai salah satu indikator ANC (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010). Indikator K1 ideal dan K4 yang merujuk pada frekuensi dan periode trimester saat dilakukan ANC menunjukkan adanya keberlangsungan pemeriksaan kesehatan semasa hamil. Setiap ibu hamil yang menerima ANC pada trimester 1 (K1 ideal) seharusnya mendapat pelayanan ibu hamil secara berkelanjutan dari trimester 1 hingga trimester 3. Hal ini dapat dilihat dari indikator ANC K4. Cakupan K1 ideal secara provinsi adalah 65,4 persen dengan cakupan terendah di Nagan Raya (15,3%) dan tertinggi di Sabang (91,7%). Cakupan K4 secara provinsi adalah 70,4 persen dengan cakupan terendah adalah Maluku (41,4%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (86,0%). Berdasarkan penjelasan di atas, selisih dari cakupan K1 ideal dan K4 secara nasional memperlihatkan bahwa terdapat 12 persen dari ibu yang menerima K1 ideal tidak melanjutkan ANC sesuai standar minimal (K4). b.
Tenaga dan tempat pemeriksaan kehamilan
Tenaga kesehatan yang kompeten memberi pelayanan pemeriksaan kesehatan ibu hamil adalah dokter kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2009). Fasilitas kesehatan disediakan untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil dari rumah sakit hingga posyandu.
Gambar 14.9 Proporsi pemeriksaan kehamilan menurut tenaga dan tempat mendapat pelayanan ANC, Indonesia 2013 Proporsi tenaga kesehatan yang memberi pelayanan pemeriksaan kehamilan menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Masyarakat dengan karakteristik tinggal di perdesaan, pendidikan rendah dan berada pada kuintil indeks kepemilikan terbawah hingga menengah cenderung memilih bidan saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Sebaliknya dokter spesialis kebidanan dan kandungan dipilih oleh masyarakat di perkotaan, pendidikan tinggi dan kuintil indeks kepemilikan teratas. Proporsi tempat mendapat layanan ANC menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
c.
Konsumsi zat besi
Konsumsi zat besi sangat dibutuhkan oleh ibu hamil untuk mencegah terjadinya anemia pada ibu hamil dan menjaga pertumbuhan janin secara optimal. Kementerian Kesehatan menganjurkan agar ibu hamil mengkonsumsi paling sedikit 90 pil zat besi selama kehamilannya (Depkes RI, 2001). Pada Riskesdas 2013 menanyakan berapa hari mengkonsumsi zat besi selama hamil. Zat besi yang dimaksud adalah semua konsumsi zat besi selama masa kehamilannya termasuk yang di jual bebas maupun multi vitamin yang mengandung zat besi. Gambar 14.11 menunjukkan konsumsi zat besi dan variasi jumlah asupan zat besi selama hamil di Provinsi Aceh sebesar 83,8 persen. Di antara yang mengonsumsi zat besi tersebut, terdapat 19,1 persen mengonsumsi minimal 90 hari selama kehamilannya.
Gambar 14.10 Proporsi konsumsi zat besi (Fe) dan jumlah hari mengonsumsi, Provinsi Aceh 2013 d. Kepemilikan buku KIA dan pelaksanaan P4K Buku KIA berisi catatan kesehatan ibu (hamil, bersalin dan nifas) dan anak (bayi baru lahir, bayi dan anak balita). Buku KIA juga memuat informasi tentang cara memelihara dan merawat kesehatan ibu dan anak. Setiap kehamilan mendapat 1 buku KIA. Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) merupakan program terobosan Kementerian Kesehatan bidang kesehatan ibu sebagai upaya untuk menurunkan tingkat kematian ibu. P4K adalah suatu kegiatan yang difasilitasi bidan di desa dalam rangka meningkatkan peran aktif suami, keluarga dan masyarakat dalam merencanakan persalinan yang aman dan persiapan menghadapi komplikasi bagi ibu hamil, termasuk perencanaan penggunaan KB pasca persalinan, menggunakan media stiker (Factsheet Direktorat Bina Kesehatan Ibu). Selain pada stiker, komponen P4K juga dituliskan di buku KIA yaitu pada lembar ―Amanat Persalinan‖ yang merupakan kependekan dari ―Menyambut Persalinan Agar Aman dan Selamat‖ (Kementerian Kesehatan, 1997). Terdapat 5 komponen utama yang dituliskan terkait perencanaan persalinan, persiapan kegawatdaruratan dan perencanaan KB yaitu : 1. Penolong persalinan (nama-nama tenaga kesehatan yang akan menangani saat bersalin). 2. Dana persalinan (rencana sumber pembiayaan yang akan digunakan untuk biaya persalinan). 3. Kendaraan/ambulans desa (kendaraan yang disiapkan untuk membawa ibu hamil menuju tempat bersalin jika sewaktu-waktu akan melahirkan/perlu rujukan). 4. Metode KB (rencana jenis KB yang akan dipilih setelah melahirkan), dan 5. Sumbangan darah (nama-nama calon donor darah apabila sewaktu-waktu terjadi kasus
Gambar 14.11 Proporsi kepemilikan buku KIA dan isian 5 komponen P4K berdasarkan hasil observasi lembar amanat persalinan dari yang dapat menunjukkan buku KIA, Provinsi Aceh 2013 Hasil analisis menunjukkan bahwa 75,1 persen mempunyai buku KIA, namun yang bisa menunjukkan hanya 30,9 persen. 213 Gambar 14.12 juga menunjukkan hasil observasi buku KIA terhadap 5 komponen P4K dalam lembar amanat persalinan menunjukkan isian penolong persalinan 23,0 persen, dana persalinan 12,2 persen, kendaraan/ambulans desa 11,1 persen, metode KB pasca salin 12,8 persen dan 9,9 persen untuk isian sumbangan darah. Kelengkapan isian pada semua komponen sebesar 8,5 persen dan 76,4 persen tidak ada isian. e. Cara persalinan Masa bersalin merupakan periode kritis bagi seorang ibu hamil. Masalah komplikasi atau adanya faktor penyulit menjadi faktor risiko terjadinya kematian ibu sehingga perlu dilakukan tindakan medis sebagai upaya untuk menyelamatkan ibu dan anak. Di Indonesia, bedah sesar hanya dilakukan atas dasar indikasi medis tertentu dan kehamilan dengan komplikasi (Depkes, 2001). Riskesdas Aceh 2013 menanyakan proses persalinan yang dialami. Gambar 14.12 menyajikan proporsi persalinan dengan bedah sesar menurut kabupaten/kota dan Gambar 14.13 menurut karakteristik. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan
Gambar 14.12 Proporsi persalinan sesar menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kota Lhokseumawe
Kota Banda Aceh
Kota Langsa
Aceh Barat
Kota Sabang
Simeulue
Aceh Barat Daya
Pidie
10
ACEH
Aceh Singkil
Aceh Tenggara
Aceh Besar
Kota Subulussalam
Aceh Timur
Bireuen
Aceh Jaya
Aceh Tamiang
Aceh Utara
Bener Meriah
Gayo Lues
Aceh Selatan
Pidie Jaya
Aceh Tengah
Nagan Raya
30
25
20
15
9,3
5
0
f.
Penolong Persalinan
Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten merupakan salah satu indikator MDGs target kelima. Tenaga kesehatan yang kompeten sebagai penolong persalinan (linakes) menurut PWS-KIA adalah dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan. Kementerian Kesehatan menetapkan target 90 persen persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan pada tahun 2012 (Depkes, 2000c). Untuk mengukur kemajuan dalam mencapai target ini, responden ditanya mengenai siapa saja yang menolong selama proses persalinan. Dalam analisis Riskesdas, penolong persalinan dinyatakan dalam penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah. Penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi apabila lebih dari satu penolong maka dipilih yang paling tinggi. Penolong persalinan dengan kualifikasi terendah apabila lebih dari satu penolong maka dipilih tenaga dengan kualifikasi yang paling rendah. Gambar 14.12 menunjukkan bahwa pada persalinan kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah, sebagian besar persalinan ditolong oleh bidan (74,6% dan 75,0%). Sehingga penolong linakes (dokter atau bidan) untuk kualifikasi tertinggi sebesar 90,5 persen dan kualifikasi terendah adalah 88,4 persen.
Gambar 14.12 Proporsi penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan terendah, Provinsi Aceh 2013 g.
Tempat Persalinan
Tempat persalinan yang ideal adalah di rumah sakit karena apabila sewaktu-waktu memerlukan penanganan kegawatdaruratan tersedia fasilitas yang dibutuhkan atau minimal bersalin di fasilitas kesehatan lainnya sehingga apabila perlu rujukan dapat segera dilakukan. Sebaliknya jika melahirkan di rumah dan sewaktu-waktu membutuhkan penanganan medis darurat maka tidak dapat segera ditangani. Gambar 14.13 menunjukkan 57,6 persen kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sampai saat
Gambar 14.13 Proporsi tempat bersalin menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Gambar 14.14 menyajikan proporsi tempat bersalin di fasilitas kesehatan (RS, RB/klinik/praktek nakes, puskesmas/pustu) dan polindes/poskesdes serta di rumah menurut karakteristik. Pada kelompok ibu berumur risiko tinggi (umur ibu kurang dari 20 tahun dan umur 35 tahun ke atas) lebih banyak melahirkan di rumah yang mencapai 45,0 persen. Sedangkan ibu dengan tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan teratas, bekerja sebagai pegawai dan tinggal di perkotaan paling banyak melahirkan di fasilitas kesehatan. Sebaliknya ibu dengan pendidikan rendah, tinggal di perdesaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah memilih melahirkan dirumah.
h. Pelayanan Kesehatan Masa Nifas Masa nifas merupakan masa kritis bagi kelangsungan hidup ibu baru bersalin. Menurut Studi Tindak Lanjut Kematian Ibu SP 2010, sebagai besar kematian ibu terjadi pada masa nifas sehingga pelayanan kesehatan masa nifas berperan penting dalam upaya menurunkan angka kematian ibu. Pelayanan Masa nifas adalah pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu selama periode 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. Kementerian Kesehatan menetapkan program pelayanan atau Kontak Ibu Nifas yang dinyatakan dalam indikator : 1) KF1, kontak ibu nifas pada periode 6 jam sampai 3 hari setelah bersalin 2) KF2, kontak ibu nifas pada periode 7-28 hari setelah melahirkan dan 3) KF3, kontak ibu nifas pada periode 29-42 hari setelah melahirkan.
Gambar 14.15 Proporsi pelayanan pemeriksaan masa nifas menurut kontak ibu nifas, Provinsi Aceh 2013 Gambar 14.18 memperlihatkan bahwa cakupan pelayanan kesehatan masa nifas seiring dengan periode waktu setelah bersalin proporsi semakin menurun. Sekitar 85,5 persen ibu nifas terjadi kontak dengan tenaga kesehatan pada dalam periode 3 hari setelah melahirkan. Kontak ibu nifas dengan tenaga kesehatan berikutnya pada periode 7-28 hari setelah melahirkan menurun menjadi 44,6 persen, sedangkan yang mendapat pelayanan ibu nifas pada periode 29-42 hari setelah melahirkan turun menjadi 25,1 persen. Adapun ibu nifas yang mendapat pelayanan kesehatan masa nifas secara lengkap yang meliputi KF1, KF2 dan KF3 hanya 21,4 persen. Periode masa nifas yang berisiko terhadap komplikasi pasca persalinan terutama terjadi pada periode 3 hari pertama setelah melahirkan. Cakupan pelayanan kesehatan masa nifas periode 3 hari pertama setelah melahirkan bervariasi menurut provinsi (Gambar 14.16) yaitu tertinggi di Pidie Jaya (99,5%) dan terendah di Nagan Raya (66,2%)
Gambar 14.16 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Cakupan KF1 menurut karakteristik pada Gambar 14.17 memperlihatkan bahwa semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan cakupan makin besar, proporsi di perkotaan lebih tinggi dibanding perdesaan. Tidak ada perbedaan mencolok menurut karakteristik umur saat bersalin dan pekerjaan. Rincian data cakupan pelayanan KF menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
i. Pelayanan KB Pasca Salin Salah satu program terobosan Kementerian Kesehatan dalam upaya melakukan percepatan penurunan angka kematian ibu adalah peningkatan KB pasca persalinan. KB pasca salin adalah penggunaan metode kontrasepsi pada masa nifas sampai dengan 42 hari setelah melahirkan sebagai langkah untuk mencegah kehilangan kesempatan ber-KB. Dalam Riskesdas 2013 menanyakan tentang pelayanan KB yang diterima pada periode masa nifas sampai 42 hari setelah melahirkan. Gambar 14.18 menunjukkan bahwa cakupan pelayanan KB pasca salin di Indonesia sebesar 59,6 persen dan bervariasi menurut provinsi, dengan rentang 26,0 persen (Papua) dan 73,2 persen (Bangka Belitung).
Gambar 14.18 Proporsi pelayanan KB pasca salin menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Daftar Pustaka Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2010, Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010, Jakarta Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Factsheet Pelayanan KB Pasca Salin, www.kesehatanibu.depkes.go.id/wp-content/.../download.php?id=56 Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Factsheet Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi, Jakarta, diunduh dari www.kesehatanibu.depkes.go.id/wpcontent/.../download.php?id=59 Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010, Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta. Kemenkes RI, 2011. ―Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan‖, Jakarta. Kementerian Kesehatan, 1997, Buku Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta, cetakan tahun 2012.
BAB 15. KESEHATAN ANAK Aprildah Sapardin, Endi Ridwan dan Marice Sihombing Topik kesehatan anak bertujuan untuk memberikan informasi berbagai indikator kesehatan anak yang meliputi status kesehatan anak dan cakupan pelayanan. Untuk status kesehatan anak meliputi prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR), panjang badan lahir pendek, gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatal, cacat lahir atau kecacatan pada anak balita. Sedangkan indikator yang terkait dengan cakupan pelayanan kesehatan anak meliputi perilaku perawatan tali pusar bayi baru lahir, pemeriksaan bayi baru lahir, imunisasi, kepemilikan akte kelahiran, kepemilikan buku KMS dan KIA, pemantauan pertumbuhan, pemberian kapsul vitamin A, pemberian ASI dan MP ASI, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal, ASI eksklusif, dan sunat perempuan. Indikator yang terkait dengan prevalensi gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatal, kepemilikan akte kelahiran anak balita,cakupan kepemilikan KMS dan buku KIA, pemberian kolostrum dan pemberian makanan prelakteal akan ditampilkan dalam buku Riskesdas 2013 dalam Angka
15.1 Berat dan panjang badan lahir Berat dan panjang badan lahir dicatat atau disalin berdasarkan dokumen/catatan yang dimiliki oleh anggota rumah tangga, seperti buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak lainnya Persentase anak balita yang mempunyai catatan berat badan lahir dan panjang bayi lahir di Provinsi Aceh masing-masing sebesar 42,0 persen dan 29,5 persen. Kategori berat badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu < 2500 gram (BBLR), 2500-3999 gram, dan ≥ 4000 gram. Kecenderungan BBLR pada anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota tahun 2013 di Provinsi Aceh disajikan pada Gambar 15.1. Persentase BBLR di Provinsi Aceh tahun 2013 (8,6%) lebih rendah dari tahun 2010 (11,0%). Persentase BBLR tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Barat Daya (26,2%) dan terendah di Aceh Besar (1,0%).
Tabel 15.1 menyajikan persentase berat badan bayi baru lahir anak balita menurut karakteristik. Karakteristik pendidikan dan pekerjaan adalah gambaran dari kepala rumah tangga. Menurut kelompok umur, persentase BBLR tidak menunjukkan pola kecenderungan yang jelas. Persentase BBLR pada perempuan (9,5%) lebih tinggi dibanding laki-laki (7,7%), namunpersentase berat lahir ≥4000 gram pada laki-laki (9,3%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (7,2%). Menurut tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan terlihat adanya kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah prevalensi BBLR. Berdasarkan jenis pekerjaan, persentase BBLR tertinggi pada anak balita dengan kepala rumah tangga tidak bekerja (11,4%), sedangkan persentase terendah pada pada kelompok pekerjaan pegawai (5,0%). Persentase BBLR di perdesaan (9,9%) lebih tinggi darpada di perkotaan (5,7%).
Tabel 15.1 Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik
Berat badan lahir <2500 gr
2500 - 3999 gr
≥4000 gr
Kelompok Umur 0 – 5 bulan 6 – 11 bulan 12 – 23 bulan 24 – 35 bulan 36 – 47 bulan 48 – 59 bulan
10,8 6,0 10,4 4,9 10,4 8,3
79,7 87,2 82,4 86,7 78,8 84,6
9,5 6,8 7,2 8,3 10,8 7,1
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
7,7 9,5
82,9 83,3
9,3 7,2
Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT
16,7 13,3 7,9 12,9 5,4 7,2
65,1 83,0 80,4 77,1 88,5 85,5
18,2 3,6 11,7 10,0 6,1 7,3
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya
11,4 5,0 9,9 10,0 1,3
81,5 88,7 78,9 82,2 94,1
7,1 6,3 11,2 7,9 4,7
Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan
5,7 9,9
88,2 80,8
6,1 9,3
Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah Atas Teratas
10,1 10,8 8,5 8,3 5,8
82,1 78,0 83,5 85,4 85,8
7,8 11,2 8,0 6,3 8,4
Tabel 15.2 menyajikan persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota. Kategori panjang badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu < 48 cm, 48-52 cm, dan > 52 cm. Persentase panjang badan lahir < 48 cm diProvinsi Aceh sebesar 13,7 persen, panjang badan lahir 48-52 cm sebesar 82,2 persen dan >52 cm sebesar 4,1 persen. Persentase panjang badan lahir <48 cm tertinggi di Kabupaten Aceh Selatan (58,5%) dan terendah di Kota Subulussalam (3,1%). Tabel 15.2 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
<48 cm 14,0 8,8 58,5 12,2 15,6 33,6 4,1 4,0 16,9 9,6 8,1 16,4 44,0 36,3 24,4 7,4 19,7 4,2 31,3 10,6 3,1 13,7
Panjang badan lahir 48 - 52 cm 82,7 85,5 41,5 84,6 84,4 66,4 92,8 92,9 80,2 86,6 82,5 91,9 82,3 46,7 63,7 73,2 88,7 57,1 94,2 100,0 68,7 89,4 87,9 82,2
>52 cm 3,3 5,7 3,2 3,0 3,2 2,9 13,4 7,8 1,3 9,3 2,4 3,9 23,2 1,6
9,1 4,1
Persentase panjang badan lahir anak usia 0-59 bulan menurut karakteristik anak, pendidikan KK, pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan disajikan pada Tabel 15.3. Menurut kelompok umur, bayi lahir pendek tidak menunjukkan adanya pola yang jelas. Persentase bayi lahir pendek pada anak laki-laki relatif lebih tinggi (14,0%) daripada anak perempuan (13,3%). Berdasarkan pendidikan terlihat bahwa ada kecenderungan semakin tinggi pendidikan, semakin rendah persentase anak lahir pendek. Namun, tidak demikian dengan kuintil kepemilikan. Bayi lahir pendek pada kuintil kepemilikan teratas (15,2%) lebih tinggi bla dibandingkan anak lahir
Tabel 15.3 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik
<48 cm
Ada catatan 48 - 52 cm
>52 cm
Kelompok umur (bulan) 0–5 6 – 11 12 – 23 24 – 35 36 – 47 48 – 59
15,8 14,2 14,3 14,2 11,4 13,1
80,1 83,6 81,0 81,7 82,1 84,9
4,1 2,2 4,7 4,2 6,4 2,0
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
14,0 13,3
80,9 83,7
5,2 2,9
Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak Tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
26,4 16,4 10,7 14,8 14,1 12,3
72,3 72,5 87,5 82,6 79,6 86,0
1,3 11,1 1,7 2,6 6,3 1,7
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
19,2 13,7 15,5 11,1 20,2
69,2 79,7 81,1 86,0 75,9
11,6 6,6 3,4 2,8 3,9
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
13,4 13,8
82,3 82,2
4,3 4,0
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
12,3 17,8 12,0 10,9 15,2
81,6 80,7 83,3 84,9 80,5
6,1 1,5 4,7 4,2 4,3
Gambar 15.2 menyajikan persentase berat badan lahir < 2500 gram (BBLR) dan panjang badan lahir < 48 cm (lahir pendek) pada bayi umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota. Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR sebesar 1,5 persen, tertinggi di Kabupaten Pidie Jaya (5,2%) dan terendah di Aceh Jaya (0,8%). Namun ada tujuh kabupaten/kota yang tidak ada catatan mengenai data tersebut.
6 5 4 3
1,5
2 1
Pidie Jaya
Nagan Raya
Pidie
Aceh Barat Daya
Aceh Selatan
Gayo Lues
Kota Langsa
Aceh Tengah
Aceh Tamiang
Kota Subulussalam
Bener Meriah
Simeulue
Aceh Tenggara
ACEH
Kota Lhokseumawe
Aceh Timur
Aceh Jaya
0
Gambar 15.2 Persentase umur 0-59 bulan dengan berat badan lahir < 2500 gram dan panjang badan lahir <48 cm menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 15.3 memperlihatkan persentase balita yang memiliki riwayat pendek dan BBLR menurut karakteristik. Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR pada kelompok umur 48-59 bulan lebih tinggi dibanding kelompok umur lainnya. Sedang balita umur 0-5 bulan persentasenya hanya berkisar satu persen. Informasi ini menunjukkan persentase balita dengan riwayat lahir pendek dan BBLR ada penurunan. Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR pada laki-laki dan perempuan relatif sama yaitu lebih dari satu persen.
6
5,4
5,4
5 4
0,7
1 0,4 Perkotaan Perdesaan
Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
Tidak pernah sekolah Tidak Tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
0,3 Laki-laki Perempuan
0 – 5 bln 6 – 11 bln 12 – 23 bln 24 – 35 bln 36 – 47 bln 48 – 59 bln
0
1,6
1,5
2 1
2,7 2,3
2,3
Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
3
Gambar 15.3 Persentase anak dengan berat badan < 2500 gram dan panjang badan lahir < 48 cm menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR cenderung menurun seiring dengan meningkatnya pendidikan kepala rumah tangga. Menurut pekerjaan, diperoleh persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR lebih tinggi pada kelompok kepala rumah tangga yang tidak bekerja dan petani/nelayan/buruh dibandingkan kepala rumah tangga yang bekerja sebagai PNS/TNI/Polri. Menurut tempat tinggal, balita yang tinggal tinggal di perdesaan (1,6%) relatif lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (1,2%). Berdasarkan kelompok kuintil indeks kepemilikan, diketahui persentase yang relatif tinggi ada pada kelompok kuintil indeks kepemilikan menengah bawah dan terbawah.
15.2 Kecacatan Riskesdas 2013 menyajikan informasi prevalensi anak umur 24-59 bulan yang mengalami kecacatan. Kecacatan yang dimaksud adalah semua kecacatan yang dapat diobservasi termasuk karena penyakit atau trauma/kecelakaan. Anak yang mempunyai kecacatan termasuk anak berkebutuhan khusus, seperti di bawah ini: a. Tuna netra (penglihatan/buta) adalah anak yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan (Kaufman & Hallahan). b. Tuna wicara (berbicara/bisu) adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam berbicara, sehingga mereka biasa disebut tuna wicara. Gangguan berbicara pada anak balita (<5 tahun) bisanya terjadi karena anak mengalami hambatan pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen yang berakibat anak mengalami hambatan berbicara. Jadi anak mengalami gangguan pendengaran dan berbicara (tuli bisu). c. Down syndrom adalah kelainan genetik yang terjadi pada masa pertumbuhan janin (pada kromosom 21/trisomi 21) dengan gejala yang sangat bervariasi dari gejala minimal sampai muncul tanda khas berupa keterbelakangan mental dengan tingkat IQ kurang dari 70 serta bentuk muka (Mongoloid) dan garis telapak tangan yang khas (Simian crease). Ciri-ciri anak down syndrome adalah muka rata, hidung tipis (pesek), jarak antara kedua mata tampak lebih dekat, jarak ibu jari dan telunjuk pada jari kaki lebih lebar, garis tangan melengkung tidak terputus. d. Tuna daksa (tubuh/cacat anggota badan) adalah anak yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuromuskular (syaraf otot) dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit, atau akibat kecelakaan termasuk polio dan lumpuh. e. Bibir sumbing adalah kelainan pada bibir, langit-langit atas mulut atau kedua-duanya. f.
Tuna rungu (pendengaran/tuli) adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen.
Tabel 15.4 menunjukkan persentase kecacatan pada anak umur 24-59 bulan. Persentase jenis kecacatan yang tertinggi adalah minimal satu jenis cacat sebesar 0,5 persen. Tidak ada anak yang mengalami tuna rungu dan tuna daksa 0,0. Sementara tuna netra, tuna wicara dan bibir sumbing mempunyai persentase yang sama (0,1 persen)
Tabel 15.4 Persentase kelainan/cacat pada anak umur 24–59 bulan, Provinsi Aceh 2013 Jenis Kelainan/Cacat
Persentase
Tuna netra
0,1
Tuna rungu
0,0
Tuna wicara
0,1
Tuna daksa
0,0
Bibir sumbing
0,1
Down syndrome
0,3
Minimal satu jenis cacat
0,5
15.3 Status Imunisasi Program imunisasi dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1956. Kementerian Kesehatan melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada anak dalam upaya menurunkan kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus serta hepatitis B. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1611/MENKES/SK/XI/2005, program pengembangan imunisasi mencakup satu kali HB-0, satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB, empat kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak. Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan; imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu; imunisasi DPT-HB pada bayi umur dua bulan, tiga bulan empat bulan dengan interval minimal empat minggu; dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan. Informasi cakupan imunisasi pada Riskesdas 2013 ditanyakan kepada ibu yang mempunyai balita umur 0-59 bulan. Informasi imunisasi dikumpulkan berdasarkan empat sumber informasi, yaitu wawancara kepada ibu balita atau anggota rumah tangga yang mengetahui, catatan dalam KMS, catatan dalam buku KIA, dan catatan dalam buku kesehatan anak lainnya. Apabila salah satu dari keempat sumber tersebut menyatakan bahwa anak sudah diimunisasi, disimpulkan bahwa anak tersebut sudah diimunisasi untuk jenis yang ditanyakan. Selain setiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat imunisasi lengkap bila sudah mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Jadwal imunisasi untuk HB-0, BCG, polio, DPT-HB, dan campak berbeda, sehingga bayi umur 0-11 bulan tidak dianalisis.Analisis dilakukan pada anak umur 12-23 bulan, yang telah melewati masa imunisasi dasar. Analisis imunisasi hanya dilakukan pada anak umur 12-23 bulan karena beberapa alasan, yaitu: (1) hasil analisis dapat mendekati perkiraan ―valid immunization‖; (2) survei-survei lain juga menggunakan kelompok umur 12-23 bulan untuk menilai cakupan imunisasi, sehingga dapat dibandingkan dan; (3) bias karena ingatan ibu yang diwawancara pada saat pengumpulan data lebih rendah dibanding kelompok umur di atasnya. Namun, karena ada keterbatasan sampel maka untuk menggambarkan angka kabupaten/kota, analisis dilakukan dari data usia 12-59 bulan. Tidak semua balita dapat diketahui status imunisasinya (missing). Hal ini disebabkan beberapa alasan, yaitu ibu lupa anaknya sudah diimunisasi atau belum, ibu lupa berapa kali sudah diimunisasi, ibu tidak mengetahui secara pasti jenis imunisasi, catatan dalam KMS/ buku KIA tidak lengkap/tidak terisi, tidak dapat menunjukkan karena hilang atau tidak disimpan oleh ibu. Alasan lainnya karena subyek yang ditanya tentang imunisasi bukan ibu balita, memory recall bias dari ibu, ataupun ketidakakuratan pewawancara saat proses wawancara dan pencatatan. Oleh karena itu, perlu menjadi catatan bahwa dalam interpretasi hasil cakupan imunisasi terdapat kekurangan metode survei (desain potong lintang) dalam Riskesdas 2013. Gambar 15.4 menunjukkan cakupan imunisasi lengkap pada anak umur 12-59 bulan, yang merupakan gabungan dari satu kali imunisasi HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT_HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Cakupan Imunisas lengkap cenderung meningkat dari tahun 2007 (32,9%), 2010 (37,0%), dan 2013 (38,3) di Provinsi Aceh.
60
53,2
50 40
37 38,3
42 41,9
32,9
30 21 19,8
20
13,9
10 0 Lengkap
Tidak lengkap 2007
Tidak imunisasi 2010
2013
Gambar 15.4 Imunisasi lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh tahun 2007, 2010, dan 2013 Tabel 15.5 menunjukkan cakupan tiap jenis imunisasi yaitu HB-0, BCG, polio empat kali (polio 4). DPT-HB kombo tiga kali (DPT-HB 3), dan campak menurut kabupaten/kota. Berdasarkan jenis imunisasi, persentase tertinggi adalah BCG (72,9%) dan terendah adalah DPT-HB 3 (52,9%). Kabupaten/kota yang memiliki cakupan imunisasi terendah untuk semua jenis imunisasi ada di Nagan Raya yaitu Polio 4 (12,2%), campak (22,2%), BCG (33,0%) dan HB-0 (34,5%). Sedang kabupaten/kota yang memiliki cakupan imunisasi tertinggi ada di Aceh Jaya yaitu HB-0 (95,8%), BCG (92,6%), DPT-HB 3 (92,3%), Polio 4 (92,4%), dan campak (92,3%).
Tabel 15.5 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
HB-0 89,8 74,3 29,6 73,2 39,6 79,7 73,9 77,5 75,2 75,1 47,6 38,1 95,7 68,9 34,5 95,8 68,0 52,9 82,8 65,5 70,0 46,4 40,4 64,8
BCG 98,5 72,0 39,7 84,6 60,9 97,5 67,6 76,1 69,3 83,0 56,6 38,1 95,7 89,1 33,0 92,6 92,7 69,1 82,8 71,1 92,7 59,9 33,8 72,9
Jenis imunisasi dasar DPT-HB 3 Polio 4 80,1 89,7 57,8 57,0 11,2 13,2 63,1 72,9 38,5 51,9 94,7 94,7 58,0 54,1 60,1 66,2 40,7 50,9 57,4 70,5 17,6 21,0 21,0 38,1 85,9 91,8 85,7 85,7 12,2 92,3 92,4 70,8 82,7 63,2 43,6 69,6 74,2 63,4 63,4 78,2 79,3 27,8 33,6 5,2 30,9 52,9 58,3
Campak 98,3 66,2 34,7 84,6 47,7 94,8 77,2 68,0 58,7 66,0 28,2 54,6 88,4 84,8 22,2 92,3 79,1 71,9 70,8 68,4 72,8 32,1 39,2 62,4
Tabel 15.6 menunjukkan cakupan jenis imunisasi dasar menurut karakteristik. Cakupan imunisasi relatif lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding anak perempuan. Persentase semua jenis imunisasi lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan. Terlihat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi cakupan jenis imunisasi. Berdasarkan pekerjaan diperoleh kepala rumah tangga yang bekerja sebagai pegawai, cakupan jenis imunisasi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pekerjaan lainnya.
Tabel 15.6 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 HB-0
Persentase imunisasi dasar BCG DPT-HB Polio
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
65,2 64,4
73,7 72,1
54,6 51,1
57,9 58,7
63,3 61,5
Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak Tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
69,9 61,3 47,8 69,6 69,4 81,3
77,5 67,5 58,0 78,2 77,3 85,6
37,6 43,9 40,2 56,8 56,3 71,6
39,7 45,3 43,3 54,1 69,1 78,5
66,8 56,7 42,5 66,1 69,9 78,3
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
65,4 78,2 70,9 56,8 64,2
80,1 86,8 70,0 69,3 73,9
51,0 68,4 49,1 49,6 58,3
54,8 78,9 53,3 54,1 64,9
61,5 81,8 58,4 57,8 67,6
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
71,9 61,8
77,9 70,8
59,8 50,0
67,5 54,4
65,6 61,1
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
31,5 68,7 67,8 77,4 79,1
48,0 75,0 75,7 84,2 82,3
31,0 55,0 47,2 67,6 63,8
38,9 57,0 50,1 71,7 74,9
40,2 66,6 56,2 74,4 75,3
Karakteristik
Campak
Cakupan imunisasi dasar lengkap menurut kabupaten/kota disajikan pada Tabel 15.7. Cakupan imunisasi dasar lengkap bevariasi antar kabupaten/kota, yaitu tertinggi di Aceh Jaya (92,4%) dan terendah di Subulussalam dan Aceh Selatan (4,8%). Di Provinsi Aceh terdapat 19,7 persen anak umur 12-59 bulan yang tidak pernah mendapatkan imunisasi dengan persentase tertinggi di kabupaten/kota Nagan Raya (64,8%) dan terendah di Simeulue (1,5%).
Tabel 15.7 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Kelengkapan imunisasi dasar Lengkap Tidak lengkap Tidak imunisasi 74,6 23,9 1,5 47,5 38,6 13,9 4,8 42,6 52,6 57,1 27,5 15,4 16,3 64,7 19,0 75,4 22,1 2,5 29,3 55,3 15,5 52,2 29,3 18,5 32,4 51,0 16,7 39,0 44,1 17,0 14,0 49,9 36,1 15,4 39,1 45,5 85,9 12,0 2,1 57,5 34,4 8,1 35,2 64,8 92,4 3,4 4,2 49,3 46,6 4,1 21,8 63,1 15,2 63,4 22,4 14,2 53,7 26,6 19,7 43,6 53,1 3,2 14,6 46,8 38,5 4,8 44,8 50,4 38,3 41,9 19,8
Tabel 15.8 menunjukkan cakupan imunisasi dasar lengkap menurut karakteristik. Persentase imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (42,8%) daripada di perdesaan (36,5%), dan terdapat 20,2 persen anak umur 12-59 bulan di perdesaan yang tidak diberikan imunisasi sama sekali. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula cakupan imunisasi dasar lengkap. Berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumah tangga, cakupan imunisasi dasar lengkap anak umur 12-59 bulan tertinggi pada kelompok perguruan tinggi (61,7%) dan terendah pada kelompok tamat SD/MI (26,7%). Kuintil indeks kepemilikan menengah atas memiliki cakupan imunisasi dasar lengkap yang lebih tinggi (52,6%) dibandingkan dengan yang lainnya. Berdasarkan pekerjaan, terlihat bahwa cakupan imunisasi lengkap anak umur 12-59 bulan cenderung tinggi pada kepala keluarga yang bekerja sebagai pegawai.
Tabel 15.8 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik
Kelengkapan imunisasi dasar Lengkap Tidak lengkap Tidak imunisasi
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
39,4 37,3
40,0 43,9
20,6 18,8
Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak Tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
35,7 31,4 26,7 37,0 42,2 61,7
53,8 45,9 41,6 49,2 41,1 25,1
10,5 22,7 31,7 13,8 16,8 13,3
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
33,6 57,8 31,9 35,2 51,5
49,4 30,5 49,1 41,7 29,2
17,0 11,7 19,0 23,2 19,3
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
42,8 36,5
38,6 43,3
18,6 20,2
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
21,7 35,6 32,7 52,6 50,6
36,9 48,6 52,6 34,8 35,5
41,4 15,8 14,7 12,6 13,9
Pada Tabel 15.9 diketahui persentase tertinggi alasan utama tidak diimunisasi adalah karena keluarga tidak mengijinkan (43,0%), takut anak menjadi panas (32,0%) dan sibuk/repot (15,0%). Tingkat pendidikan rendah (tidak tamat SD) memiliki persentase tinggi anak tidak pernah di imunisasi karena alasan keluarga tidak mengijinkan. Berdasarkan tempat tinggal diketahui persentase keluarga tidak mengijinkan anak di imunisasi lebih tinggi di perdesaan (45%) daripada di perkotaan (37,7%). Pada balita yang tidak diimunisasi karena alas an takut anak menjadi panas, terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga, persentase anak yang tidak di imunisasi semakin rendah. Persentase anak di perkotaan yang tidak diimunisasi karena alasan takut anak
Tabel 15.9 Persentase alasan tidak pernah imunisasi pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
Keluarga tidak mengijinkan 47,5 37,5
Alasan tidak pernah imunisasi Takut anak Anak Tidak tahu menjadi sering tempat panas sakit imunisasi 32,6 31,3
11,6 4,3
Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak Tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
72,1 36,9 63,2 31,9 49,9
7,2 32,5 16,4 50,5 16,1
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
34,5 42,5 43,7 44,1 34,8
10,3 30,4 50,5 25,4 34,2
49,9
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
37,7 45,0
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
39,4 42,6 50,3 52,9 38,2
73,6 6,4 7,0 6,1 12,3
Tempat imunisasi jauh
Sibuk/ repot
2,9 1,2
4,6 7,8
12,8 17,8
3,9
26,4 14,3 8,9 6,1 0,6
1,9
11,3 20,4 18,1 34,0 5,3 33,0 11,3 13,4 31,0
5,3 8,4
6,0 5,5 0,3
4,3 8,8
34,0 31,2
10,1 7,6
0,6 2,7
3,4 7,1
25,5 11,0
35,7 20,7 34,6 27,9 36,9
7,0 17,5 8,2 7,2
1,6 4,0 5,3
10,8
12,8 16,2 10,1 17,9 24,9
0,0 8,4
Gambar 15.5 menunjukkan bahwa dari 80,2 persen yang pernah diimunisasi (imunisasi lengkap dan tidak lengkap), terdapat 41,7 persen yang pernah mengalami KIPI. Keluhan yang sering terjadi adalah bengkak, kemerahan dan bernanah, sedangkan keluhan demam tinggi dialami anak sebesar 9,5 persen. 90 80,2 80 70 60 47,1
50 40
35,3 26,1
30 20
10,1 10
9,5
0 Pernah imunisasi
Pernah KIPI bengkak KIPI kemerahan KIPI bernanah mengalami KIPI
KIPI demam tinggi
Gambar 15.5 Persentase keluhan kejadian pasca imunisasi (KIPI) pada anak umur 12-59 bulan, Provinsi Aceh 2013
15.4 Kunjungan neonatal Pada Riskesdas dilakukan pengumpulan data kunjungan neonatal yang meliputi kunjungan pada saat bayi berumur 6-48 jam (KN1), 3-7 hari (KN2), dan 8-28 hari (KN3). Gambar 15.6 memperlihatkan hampir tidak ada perbedaan persentase KN1, Persentase KN1 pada anak balita menurut kabupaten/kota ditampilkan pada Gambar 15.6.
80
73,2 72,3
70
69,6
65,6
60 50 35,4
40 28,8
30
32,5 25,8
23,2 17,9
20 10 0
KN1 (6 – 48 KN2 (3 – 7 hari) KN3 (8 – 28 jam) hari) 2010
KN lengkap
Tidak KN
2013
Gambar 15.6 Kecenderungan kunjungan neonatal lengkap, Provinsi Aceh 2010 dan 2013
Persentase kunjungan neonatal pada 6-48 jam adalah 72,3 persen pada Riskesdas 2013 untuk Provinsi Aceh dan relatif lebih rendah dengan hasil Riskesdas Provinsi Aceh 2010. Pada tahun 2013, kabupaten/kota dengan persentase KN1 tertinggi ada di Simeulue (95,7%) dan terendah di Aceh Selatan (51,2%). 120 100 80
72,3
73,2
60 40 0
Aceh Selatan Nagan Raya Aceh Tengah Kota Banda Aceh Aceh Timur Kota Subulussalam Aceh Tamiang ACEH 2013 Pidie Aceh Barat ACEH 2010 Aceh Singkil Aceh Besar Bireuen Aceh Barat Daya Aceh Utara Kota Lhokseumawe Kota Langsa Kota Sabang Gayo Lues Bener Meriah Aceh Tenggara Pidie Jaya Aceh Jaya Simeulue
20
ACEH 2013
ACEH 2010
Gambar 15.7
Persentase kunjungan neonatal menurut karakteristik disajikan pada Tabel 15.10. Dari tabel tersebut, persentase kunjungan neonatal 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari setelah lahir semakin menurun seiring dengan bertambahnya umur anak. Persentase kunjungan neonatal menurut jenis kelamin anak relatif tidak berbeda sedangkan menurut tempat tinggal, persentase kunjungan neonatal di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula kunjungan neonatal pada bayi berumur 6-48 jam namun tidak pada pada bayi berumur 3-7 hari dan 8-28 hari. Berdasarkan jenis pekerjaan kepala rumah tangga, kunjungan neonatal pada umur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari tertinggi pada kelompok wiraswasta yaitu 77,6 persen pada KN1, 68,0 persen pada KN2, dan 38,0 persen pada KN3.
Tabel 15.10 Persentase kunjungan neonatal pada anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kelompok Umur (bulan) 0–5 6 – 11 12 – 23 24 – 35 36 – 47 48 – 59 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah Atas Teratas
Kunjungan Neonatal KN1 (6- 48 jam)
KN2 (3–7 hari)
KN3 (8–28 hari)
76.6 77.2 76.0 74.2 74.1 71.6
69.0 70.0 66.3 65.2 64.5 62.1
43.0 34.2 34.6 33.7 36.1 32.1
75.0 74.0
65.9 64.9
36.0 33.8
62.3 74.9 68.3 77.2 78.3 74.1
67.2 61.8 61.6 67.4 68.2 63.7
35.7 29.5 32.0 35.2 36.8 40.1
71.7 77.0 77.6 72.3 70.9
57.8 67.1 68.0 64.4 60.6
35.4 35.6 38.0 33.9 24.9
78.1 73.0
64.5 65.8
28.5 37.5
62.7 76.9 76.7 75.1 80.6
55.9 68.3 66.7 66.9 68.8
24.2 36.0 38.7 37.2 38.0
Setiap bayi baru lahir sebaiknya mendapatkan semua kunjungan neonatal, yaitu pada saat bayi berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari. Bayi yang mendapat kunjungan neonatal tiga kali yaitu pada saat berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari, dapat dinyatakan melakukan kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3). Persentase kunjungan neonatal lengkap menurut kabupaten/kota ditampilkan pada Gambar 15.8. Gambar 15.8 menunjukkan bahwa persentase anak balita dengan kunjungan neonatal lengkap ada sebesar 32,5 persen pada Provinsi Aceh tahun 2013, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2010 (25,8%). Persentase kunjungan neonatal lengkap tahun 2013 di Provinsi Aceh tertinggi di Aceh Jaya (70,2%) dan terendah di Sabang (10,2%).
Aceh Jaya
Simeulue
Aceh Besar
Aceh Barat
Pidie Jaya
Pidie
Aceh Barat Daya
Aceh Tamiang
Bireuen
Aceh Selatan
Bener Meriah
Aceh Tengah
Aceh Timur
Kota Lhokseumawe
ACEH 2010
Gayo Lues
Kota Subulussalam
Nagan Raya
Kota Banda Aceh
Aceh Singkil
Aceh Tenggara
Aceh Utara
Kota Langsa
ACEH 2010
ACEH 2013
32,5
25,8
Kota Sabang
80 70 60 50 40 30 20 10 0
ACEH 2013
Gambar 15.8 Kecenderungan kunjungan neonatal lengkap menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2010 dan 2013 Tabel 15.11 menunjukkan bahwa persentase kunjungan neonatal lengkap pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding anak perempuan. Menurut tempat tinggal, persentase kunjungan neonatal lengkap di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan, semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan semakin tinggi pula persentase kunjungan neonatal lengkap. Menurut jenis pekerjaan kepala rumah tangga, kunjungan neonatal lengkap tertinggi pada jenis pekerjaan wiraswasta kemudian diikuti oleh jenis pekerjaan pegawai. Persentase balita yang tidak pernah melakukan kunjungan neonatal semakin rendah seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut jenis pekerjaan tidak bekerja (27,2%) dan terendah pada kelompok pekerjaan pegawai (20,3%).
Tabel 15.11 Persentase kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3) pada anak anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik
Tidak pernah KN
Kunjungan neonatal KN tidak lengkap
KN lengkap
Kelompok umur (bulan) 0–5 6 – 11 12 – 23 24 – 35 36 – 47 48 – 59
17,4 19,8 21,9 24,2 23,9 27,1
44,2 48,9 46,2 43,6 42,3 42,7
38,5 31,3 31,9 32,2 33,8 30,1
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
22,5 24,0
44,1 44,4
33,3 31,6
Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak Tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTS Tamat SMA/MA Tamat D1-D3/PT
30,0 23,9 27,8 21,0 20,8 22,7
39,9 48,6 43,6 46,3 43,9 39,7
30,1 27,5 28,6 32,6 35,4 37,5
Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya
27,2 20,3 20,5 25,1 27,7
40,1 46,3 43,5 43,9 48,9
32,7 33,5 36,0 31,0 23,4
Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan
20,2 24,5
53,2 40,7
26,6 34,9
Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
34,0 20,2 21,2 22,5 18,7
44,9 46,7 42,5 42,6 44,6
21,1 33,1 36,3 34,9 36,7
15.5 Perawatan Tali Pusar Riskesdas 2013 menyediakan informasi tentang cara perawatan tali pusar bayi baru lahir. Menurut standar Asuhan Persalinan Normal (APN) tali pusar yang telah dipotong dan diikat, tidak diberi apa-apa. Sebelum metode APN diterapkan, tali pusar dirawat dengan alkohol atau antiseptik lainnya. Tabel 15.12 menyajikan persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota. Dari tabel tersebut diketahui bahwa persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa sebesar 25,7 persen, diberi betadine/alkohol sebesar 66,9 persen, diberi obat tabur sebesar 1,3 persen dan diberi ramuan tradisional 6,1 persen. Persentase perawatan tali pusar dengan tidak diberi apa-apa meningkat dari 15,5 persen (2010) menjadi 25,7 persen (2013). Sebaliknya, perawatan tali pusat dengan pemberian betadin/alkohol menurun dari 73,1 persen (2010) menjadi 66,9 persen (2013). Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa tertinggi di Kota Banda Aceh (67,54%) dan terendah di Kabupaten Aceh Tamiang (2,3%). Tabel 15.12 Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue
Tidak diberi apaapa 25,2
Cara Perawatan Tali Pusar Diberi betadine/ Diberi obat tabur alkohol 70,2 2,4
Diberi ramuan/ obat tradisional 2,3
Aceh Singkil
6,1
85,0
0,5
8,3
Aceh Selatan
9,3
73,2
3,6
13,8
Aceh Tenggara
4,2
90,7
0,5
4,6
Aceh Timur
9,4
77,6
0,6
12,4
Aceh Tengah
13,2
86,8
Aceh Barat
35,9
47,8
1,6
14,6
Aceh Besar
60,4
37,0
Pidie
21,0
76,1
2,1
0,8
Bireuen
46,1
43,6
3,8
6,4
Aceh Utara
12,6
76,1
11,4
Aceh Barat Daya
5,0
72,2
22,8
Gayo Lues
27,9
56,1
16,0
Aceh Tamiang
2,3
97,0
0,7
Nagan Raya
48,2
38,2
11,4
2,2
Aceh Jaya
58,7
36,7
2,7
1,9
Bener Meriah
29,6
61,7
1,4
7,3
Pidie Jaya
28,1
65,6
2,5
3,8
Kota Banda Aceh
67,5
30,4
0,9
1,3
Kota Sabang
22,6
77,4
2,6
15.6 Pola pemberian ASI Dalam Riskesdas 2013 dikumpulkan data tentang pola pemberian ASI dan pola pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada anak umur 0-23 bulan yang meliputi: proses mulai menyusu, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal, menyusu eksklusif, dan pemberian MP-ASI. Dalam buku ini ditampilkan proses menyusui dan menyusu ekslusif. Kriteria menyusu ekslusif ditegakkan bila anak umur 0-6 bulan hanya diberi ASI saja pada 24 jam terakhir dan tidak diberi makanan dan minuman selain ASI. Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya. Bagi bayi, menyusui mempunyai peran penting untuk menunjang pertumbuhan, kesehatan, dan kelangsungan hidup bayi karena ASI kaya dengan zat gizi dan antibodi. Sedangkan bagi ibu, menyusui dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas karena proses menyusui akan merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan (postpartum). Menyusui dalam jangka panjang dapat memperpanjang jarak kelahiran karena masa menorhoe lebih panjang. UNICEF dan WHO membuat rekomendasi pada ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Sesudah umur 6 bulan bayi baru dapat diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan ibu tetap memberikan ASI sampai anakberumur minimal 2 tahun. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan juga merekomendasikan para ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Gambar 15.9 menunjukkan kecenderungan proses mulai menyusu pada anak 0-23 bulan pada tahun 2010 dan 2013. Dari gambar tersebut dapat dinilai bahwa menyusu kurang dari satu jam (inisiasi menyusu dini) meningkat menjadi 61,4 persen (2013) dari 25,8 persen (2010).
70
61,4
60 50,3 50 40 30
25,8
26,4
20 9,3
7,9
10
1,7
5
6,6 5,5
0 < 1 Jam (IMD)
1-6 Jam
7-23 Jam 2010
24-47 jam
≥ 48 jam
2013
Gambar 15.9 Kecenderungan proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan, Provinsi Aceh 2010 dan 2013
Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut kabupaten/kota disajikan pada Tabel 15.13. Persentase propinsi proses mulai menyusu kurang dari satu jam (IMD) setelah bayi lahir adalah 61,4 persen, dengan persentase tertinggi di Kota Sabang (87,5%) dan terendah di Kabupaten Aceh Jaya (39,4%). Tabel 15.13 Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Proses Mulai Menyusu < 1 Jam (IMD)
1-6 Jam
7-23 Jam
24-47 jam
≥ 48 jam
46.1 53.0 44.3 49.5 65.5 67.6 61.8 58.8 53.2 73.4 61.5 80.3 42.4 65.6 76.4 39.4 47.2 75.9 75.4 87.5 54.0 68.0 40.6 61.4
39.7 17.7 31.9 32.9 16.7 24.2 22.1 33.0 43.3 20.7 22.9 19.7 46.2 23.7 19.5 31.9 22.1 20.4 18.6 6.4 30.4 19.5 37.1 26.4
1.3
5.3 7.0 4.8 15.2 3.6 3.0 3.4 5.5 1.6 1.5 10.8
7.7 22.3 19.0 0.0 11.5 5.2 10.0 2.8 1.5 4.4
5.1
3.6 7.3 1.3 16.1 15.1 3.7 4.2 5.6 6.5
2.4 2.7 2.6 0.4 4.9 2.7 3.4 6.4 5.6
2.8 6.3 10.0
7.8 1.7
1.8 0.5 9.1 12.5 5.3 5.0
9.2 5.5
Gambar 15.10 menampilkan persentase proses mulai menyusu pada anak 0-23 bulan < 1 jam (IMD) menurut karakterisitik. Proses mulai menyusui <1 jam menurut kelompok umur tidak
70 60
50 40 30 20 10 Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah Atas Teratas
Perkotaan Perdesaan
Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya
Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/D2/D3/PT
Laki-laki Perempuan
0 – 5 bl 6 – 11 bln 12 – 23 bln
0
Gambar 15.10 Persentase proses mulai menyusu pada anak 0-23 bulan <1 jam (IMD) menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
15.7 Cakupan kapsul vitamin A Kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak berusia enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk bayi umur 6-11 bulan dan kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan. Gambar 15.11menunjukkan kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada 6-59 bulan menurut kabupaten/kota pada tahun 2007 dan 2013. Cakupan pemberian vitamin A menurun dari 74,9 persen (2007) menjadi 73,8 persen (2013). Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir di Provinsi Aceh sebesar 73,8 persen, tertinggi di Kota Sabang (90,9%) dan terendah di Kabupaten Aceh Barat Daya (49,4%).
120 100
73,8
80
74,9
60 40
2017
ACEH
Aceh Tamiang
Kota Sabang
Gayo Lues
Aceh Jaya
Simeulue
Aceh Tengah
Bireuen
Kota Langsa
Pidie
Pidie Jaya
Kota Banda Aceh
Aceh Barat
Bener Meriah
Aceh Tenggara
ACEH
Aceh Besar
Aceh Singkil
Aceh Timur
Kota Lhokseumawe
Aceh Selatan
Aceh Utara
Kota Subulussalam
Aceh Barat Daya
0
Nagan Raya
20
2013
Gambar 15.11 Kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan, Provinsi Aceh 2007 dan 2013
15.8 Pemantauan Pertumbuhan Pemantauan pertumbuhan balita sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan pertumbuhan (growth faltering) secara dini. Untuk mengetahui pertumbuhan tersebut, penimbangan balita setiap bulan sangat diperlukan. Penimbangan balita dapat dilakukan di berbagai tempat seperti Posyandu, Polindes, Puskesmas atau sarana pelayanan kesehatan yang lain. Pada Riskesdas 2013, informasi tentang pemantauan pertumbuhan anak diperoleh dari frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir. Idealnya dalam enam bulan anak balita ditimbang minimal enam kali. Gambar 15.12 menunjukkan kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 659 bulan dalam enam bulan terakhir pada tahun 2007 dan 2013 di Provinsi Aceh. Dari gambar tersebut terlihat bahwa frekuensi penimbangan ≥ 4 kali menurun pada tahun 2013 (32,0%) dibanding tahun 2007 (47,3%). Anak umur 6-59 bulan yang tidak pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir meningkat dari 17 persen (2007) menjadi 40,2 persen (2013).
47,3
50
40,2 40
35,6 32
27,8
30
17
20 10 0 ≥ 4 kali
1 – 3 kali 2007
Tidak Pernah
2013
Gambar 15.12 Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan dalam 6 bulan terakhir menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013 Gambar 15.13 menyajikan kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan balita ≥ 4 kali dalam enam bulan terakhir menurut kabupaten/kota pada tahun 2007 dan 2013. Dari gambar tersebut terlihat bahwa frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak ≥ 4 kali sebesar 32,0 persen, 1-3 kali sebesar 27,8 persen, dan tidak pernah ditimbang sebesar 40,2 persen. Persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak ≥ 4 kali tertinggi di Kabupaten Aceh Jaya (79,9%). Sedangkan yang tidak pernah ditimbang tertinggi di Kabupaten Nagan Raya (85,7%). 100 80 60
47,3
40 32
20
Aceh Tenggara Aceh Barat Daya Nagan Raya Kota Subulussalam Pidie Jaya Aceh Barat Aceh Besar Simeulue Kota Langsa Kota Lhokseumawe Aceh Selatan Kota Banda Aceh Bireuen Aceh Tengah Bener Meriah ACEH Aceh Utara Aceh Tamiang Aceh Singkil Aceh Timur Kota Sabang Pidie Gayo Lues Aceh Jaya
0
2007
2013
15.9 Sunat Perempuan Riskesdas 2013 menyajikan data atau informasi tentang kebiasaan/perilaku sunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun berupa presentase pernah disunat dan presentase kategori umur ketika disunat. Selain itu juga disajikan data tentang persentase orang yang menyarankan untuk melakukan sunat dan persentase yang melakukan sunat anak perempuan, keduanya disajikan lengkap dalam buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun menurut kabupaten/kota ditampilkan pada Gambar 15.14. Provinsi Aceh persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun sebesar 67,1 persen, dengan umur waktu disunat tertinggi ketika umur 1-4 tahun (66,9%). Menurut kabupaten/kota (Gambar 15.15), persentase tertinggi di Kabupaten Gayo Lues (90,3%) dan terendah di Kota Subulussalam (30,4%).
Gambar 15.14 Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat dan umur ketika di sunat, Provinsi Aceh 2013
100
90,3
80
67,1
60 40
Gayo Lues
Aceh Besar
Kota Sabang
Aceh Tamiang
Aceh Tenggara
Aceh Tengah
Pidie
Pidie Jaya
Kota Banda Aceh
Bireuen
Kota Langsa
Bener Meriah
Aceh Jaya
ACEH
ota Lhokseumawe
Simeulue
Aceh Timur
Aceh Utara
Aceh Barat
Aceh Singkil
Aceh Barat Daya
Aceh Selatan
Nagan Raya
0
Kota Subulussalam
20
Gambar 15.17 menampilkan persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun menurut karakteristik. Berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumah tangga mulai dari tingkat pendidikan rendah sampai tinggi persentase anak yang pernah disunat relatif tidak berbeda. Sedang menurut pekerjaan kepala rumah tangga, persentasenya bervariasi. Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun di perkotaan sebesar 72,6 persen, lebih tinggi daripada di perdesaan (65,1%). Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, persentasenya bervariasi yang pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun. 100 80
67,7
65,6
75,1
74,8 72,6 63,8
60,4
60 40
Teratas
Menengah Atas
Menengah
Menengah bawah
Terbawah
Perdesaan
Perkotaan
Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya
Tamat SMA
Tamat D1/D2/D3/PT
Tamat SMP
Tamat SD
Tidak tamat SD
0
Tidak pernah sekolah
20
Gambar 15.16 Persentase ana perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan ICF International 2013. Survei Demografi dan Keshatan Indonesia 2012. Jakarta: BPS, BKKBN, Kemenkes, and ICF International Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1611/MENKES/SK/XI/2005 tentang pedoman penyelenggaraan imunisasi. Jakarta. 2005 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1626/MENKES/SK/XII/2005 tentang pedoman pemantauan dan penanggulangan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Jakarta. 2005 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian air susu ibu ekslusif. Jakarta. 2012 United Nations Children‘s Fund World Health Organization, Low Birthweight: Country, regional and global estimates. UNICEF, New York, 2004 World Health Organization. Indicators for assessing infant and young child feeding practices part 2: measurement. Geneva. 2010
BAB 16. STATUS GIZI Djoko Kartono, Endi Ridwan, Marice Sihombing dan Aprildah Sapardin Pada Riskesdas 2013, status gizi penduduk disajikan dalam 5 (lima) bagian yang terdiri dari 1) Status Gizi Balita, 2) Status Gizi anak umur 5 – 18 tahun, 3) Status gizi penduduk dewasa, 4) Risiko Kurang Energi Kronis dan 5) Wanita Hamil Risti Jumlah responden yang dianalisis terdiri dari 5.485 anak balita (indikator BB/U, BB/TB dan TB/U), 11.960 anak umur anak umur 5 – 12 tahun, 4.856 anak umur 13 – 15 tahun, 4.225 anak umur 16 – 18 tahun, 58.225 orang dewasa untuk data obesitas sentral, dan 21.796 Wanita Usia Subur (WUS), dan 593 ibu hamil.
16.1. Status gizi anal balita Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Berat badan anak ditimbang dengan menggunakan timbangan digital yang memiliki presisi 0,1 kg, panjang dan tinggi badan diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm. Variabel BB dan TB anak ini disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB. 1. Cara Penilaian Status Gizi Balita Untuk menilai status gizi anak, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri balita WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score dari masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai berikut : a. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan indikator BB/U : Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih
: : : :
Zscore < -3,0 Zscore >= -3,0 s/d Zscore < -2,0 Zscore >= -2,0 s/d Zscore <= 2,0 Zscore > 2,0
b. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan indikator TB/U: Sangat Pendek Pendek : Normal
: : :
Zscore < -3,0 Zscore >=- 3,0 s/d Zscore < -2,0 Zscore >= -2,0
c. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan indikator BB/TB: Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk
: : : :
Zscore < -3,0 Zscore >= -3,0 s/d Zscore < -2,0 Zscore >= -2,0 s/d Zscore <= 2,0 Zscore > 2,0
d. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB:
Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut: Berdasarkan indikator BB/U: Prevalensi gizi buruk Prevalensi gizi kurang Prevalensi gizi baik Prevalensi gizi lebih
: : : :
Berdasarkan indikator TB/U Prevalensi sangat pendek Prevalensi pendek Prevalensi normal
(S Balita gizi buruk/S Balita) x 100% (S Balita gizi kurang/S Balita) x 100% (S Balita gizi baik/S Balita) x 100% (S Balita gizi lebih/S Balita) x 100%
: : :
(S Balita sangat pendek/S Balita) x 100% (S Balita pendek/S Balita) x 100% (S Balita normal/S Balita) x 100%
: : : :
(S Balita sangat kurus/S Balita) x 100% (S Balita kurus/S Balita) x 100% (S Balita normal/S Balita) x 100% (S Balita gemuk/S Balita) x 100%
Berdasarkan indikator BB/TB: Prevalensi sangat kurus Prevalensi kurus Prevalensi normal Prevalensi gemuk
Berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB Prevalensi pendek-kurus Prevalensi pendek-normal Prevalensi pendek-gemuk Prevalensi TB normal-kurus Prevalensi TB normal-normal Prevalensi TB normal-gemuk
: : : : : :
(S Balita pendek- kurus/ S Balita)x100% (S Balita pendek-normal/S Balita)x100% (S Balita pendek-gemuk/S Balita)x100% (S Balita normal-kurus/S Balita)x100% (S Balita normal-normal/S Balita)x100% (S Balita normal-gemuk/S Balita)x100%
Dalam laporan ini ada beberapa istilah status gizi yang digunakan, yaitu: Berat Kurang Pendek Kurus
: : :
Istilah untuk gabungan gizi buruk dan gizi kurang (underweight) Istilah untuk gabungan sangat pendek dan pendek (Stunting) Istilah untuk gabungan sangat kurus dan kurus (Wasting)
2. Sifat-sifat indikator gizi Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Dengan kata lain, berat badan yang rendah dapat disebabkan karena pendek (kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain (akut). Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya: kemiskinan, perilaku
kurus. Indikator BB/TB dan IMT/U dapat jdigunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk. Masalah kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit degeneratif pada saat dewasa (Teori Barker). Masalah gizi akut-kronis adalah masalah gizi yang memiliki sifat masalah gizi akut dan kronis. Sebagai contoh adalah anak kurus dan pendek.
3. Status gizi balita menurut Indikator BB/U Gambar 16.1 menyajikan prevalensi berat kurang (underweight) menurut kabupaten/kota dan provinsi. Dapat dilihat bahwa secara propinsi, prevalensi berat kurang pada tahun 2013 adalah 26,3 persen, terdiri dari 7,9 persen gizi buruk dan 18,4 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi Provinsi Aceh tahun 2007 (26,5%) relatif tidak berbeda namun, bila dibandingkan dengan tahun 2010 (23.7%) terlihat ada peningkatan prevalensi berat kurang. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 10,7 persen pada tahun 2007, 7,1 persen pada tahun 2010, dan 8,3 persen tahun 2013. Sedangkan prevalensi gizi kurang ada peningkatan dimana pada tahun 2007sebesar 15,8 persen menjadi 18,4 persen pada tahun 2013 Diantara 23 kabupaten/kota di Aceh, 11 kabupaten/kota memiliki prevalensi gizi berat kurang di atas angka prevalensi provinsi yaitu berkisar antara 27,7 persen sampai dengan 35,5 persen. Urutan ke 11 Kabupaten/Kota tersebut dari yang tertinggi sampai terendah adalah (1) Aceh Timur (2) Simeulue, (3) Pidie, (4) Aceh Utara, (5) Aceh Barat, (6) Subulussalam, (7) Pidie Jaya, (8) Aceh Barat Daya, (9) Aceh Selatan, (10) Bireun dan (11) Nagan Raya. Menurut WHO 20103 masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi BB/U berat kurang pada prevalensi antara 20 persen - 29,0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila prevalensi berat kurang lebih besar atau sama dengan 30 persen.
30
26,5
26,3 23,7
25 20 15 10 5 0 2007
2010
2013
Gambar 16.1 Kecenderungan prevalensi status gizi BB/U <-2SD menurut Provinsi Aceh tahun 2007, 2010 dan 2013
4. Status gizi balita berdasarkan indikator TB/U Gambar 16.2 menyajikan prevalensi pendek (stunting) menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 sebesar 41,5 persen, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (39,0%). Namun bila dibanding dengan tahun 2007 (44,6%) relatif ada penurunan. Prevalensi pendek sebesar 41,5 persen terdiri dari 20,1 persen sangat pendek dan 21,4 persen pendek. Pada tahun 2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan, dari 26,9 persen tahun 2007 dan 24,2 persen tahun 2010. Prevalensi pendek menurun dari 23,5 persen pada tahun 2007 menjadi 21,4 persen tahun 2013. Terdapat 10 kabupaten/kota yang mempunyai angka prevalensi diatas angka Provinsi Aceh dengan urutan prevalensi tertinggi sampai terendah, yaitu: (1) Aceh Tengah, (2) Pidie, (3) Aceh Barat Daya, (4) Simeulue, (5) Aceh Timur, (6) Subulussalam, (7) Bener Meriah, (8) Aceh Tamiang, (9) Aceh Utara dan, (10) Aceh Selatan. Menurut WHO 20101, masalah kesehatan masyarakat dianggap prevalensi tinggi bila prevalensi kependekan sebesar 30 – 39 persen dan prevalensi sangat tinggi bila diatas atau sama dengan 40 persen. Sebanyak 8 kabupaten/kota termasuk kategori prevalensi tinggi, yaitu (1) Pidie Jaya (2) Bireun, (3) Aceh Timur, (4) Kota Sabang, (5) Aceh Besar, (6) Aceh Jaya, (7) Nagan Raya dan (8) Banda Aceh
60 44,6 50
39
41,5
40 30 20 10 0 2007
2010
2013
Gambar 16.2 Kecenderungan prevalensi status gizi TB/U <- 2SD Provinsi Aceh tahun 2007, 2010, dan 2013
5. Status gizi balita berdasarkan indikator BB/TB Gambar 16.3 menyajikan prevalensi kekurusan menurut kabupaten/kota. Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah keadaan sangat kurus yaitu anak dengan nilai Z-score < -3,0 SD. Prevalensi sangat kurus tingkat Provinsi Aceh tahun 2013 sebesar 6,1 persen relatif tidak berbeda dengan tahun 2010 (6,3%) dan menurun bila dibandigkan tahun 2007 (9,2%). Demikian pula halnya dengan prevalensi kurus di Provinsi Aceh pada tahun 2013 sebesar 9,6 persen, meningkat dari 7,9 persen tahun 2010, dan relatif sama dengan tahun 2007 yaitu 9,1 persen. Prevalensi sangat kurus diatas prevalensi provinsi terdapat di 12 kabupaten/kota, dengan 3 urutan dari prevalensi tertinggi adalah: (1) Aceh Barat (2) Nagan Raya dan (3) Aceh Utara. Pada tahun 2013 prevalensi kegemukan di tingkat provinsi adalah 9,8 persen. Terdapat 9 kabupaten/kota yang memiliki masalah kegemukan di atas angka provinsi dengan urutan prevalensi tertinggi sampai terendah yaitu: (1) Kota Banda Aceh, (2) Aceh Tamiang, (3) Kota Sabang, (4) Nagan Raya, (5) Pidie, (6) Aceh Selatan, (7) Pidie Jaya, (8) Aceh Tengah, dan (9) Simeulue Menurut WHO 20101 masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi BB/TB Kurus antara 10,0 persen - 14,0 persen, dan dianggap kritis bila diatas atau sama dengan 15,0 persen. Pada tahun 2013, secara propinsi prevalensi BB/TB kurus pada balita masih 15,7 persen. Hal ini berarti bahwa masalah kekurusan di provinsi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Diantara 23 kabupaten/kota terdapat 12 kabupaten/kota yang masuk kategori kritis yaitu, (1) kabupaten Aceh Barat (2) Nagan Raya (3)
30 18,3 20
15,7
14,2
10
0 2007
2010
2013
Gambar 16.3 Kecenderungan prevalensi status gizi BB/TB <- 2 SD Provinsi Aceh tahun 2007, 2010, dan 2013
6. Kecenderungan prevalensi status gizi anak balita tahun 2007 – 2013 Gambar 16.4 menyajikan kecenderungan prevalensi status gizi anak balita balita menurut ketiga indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Terlihat prevalensi gizi buruk dan gizi kurang meningkat dari tahun 2007 sampai tahun 2013. 30
26,9 24,2 20,1
20
16,6 18,4 15,8
21,4 17,7 14,8
10,7 10
15,2 9,2
7,1 7,9
9,1 6,3 6,1
7,9
16,2 9,8
9,6
0 gizi buruk
gizi kurang
BB/U
sangat pendek
pendek
sangat kurus
TB/U 2007
BB/TB 2010
2013
kurus
gemuk BB/TB
7. Status gizi balita berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB Tabel 16.1 di bawah ini menyajikan gabungan prevalensi balita menurut ke tiga indikator status gizi yang digunakan yaitu BB/U (Gizi Buruk dan Kurang), TB/U (kependekan), BB/TB (kekurusan). Indikator TB/U memberikan gambaran masalah gizi yang sifatnya kronis dan BB/TB memberikan gambaran masalah gizi yang sifatnya akut. Dua belas kabupaten/kota masih menghadapi permasalahan gizi kronis dan 4 kabupaten/kota menghadapi permasalahan gizi akut dan kronis. Tabel 16.1 Prevalensi balita menurut tiga indikator status gizi dan kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 BB/U*
TB/U
BB/TB
(Buruk+Kurang)
( Sangat pendek+ Pendek)
(Sangat kurus+ Kurus)
Akut*
Kronis**
Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam
33,6 26 28,6 18,4 35,5 16,5 33 22,1 33,4 28,4 33,3 29,8 25 23 27,7 22,6 15,9 30,6 8,1 14,5 18,1 20,7 31,7
49,9 40,4 41,7 29,3 39,3 59,3 40,9 36,5 57,5 39,4 43,5 50,2 49,7 45 33,3 34,7 46,9 39,9 30,7 38,3 29,3 27,5 48,5
11,6 8,1 6,6 3,5 2,4 3,6 15,1 5,3 10,3 7,0 8,0 2,0 2,9 1,4 19,7 1,9 0,3 12,9 2,4 3,6 5,6 4,9 6,0
“
“” “” “”
Aceh
26,3
41,5
6,1
Kabupaten/Kota
“ “
“” “” “” “” “” “” “” “” “”
“
“
“” “” “”
“” “”
Memperhatikan jumlah sampel balita yang bisa dianalisis sampai tingkat kabupaten/kota, uraian berikut ini mengkaji urutan (rangking) dari yang terbaik sampai yang terburuk terhadap seluruh kabupaten/kota.
Berdasarkan BB/U: underweight (gabungan gizi buruk + gizi kurang berdasarkan BB/U), Berdasarkan TB/U: stunting (gabungan antara sangat pendek dan pendek) Berdasarkan BB/TB: wasting (gabungan antara sangat kurus dan kurus)
Sebagai gambaran, setelah dilakukan rangking antar kabupaten/kota, kemudian diambil 3 kabupaten/kota yang terbaik dan terburuk sebagai berikut: Berdasarkan BB/U, daftar 3 kabupaten/kota dengan underweight paling banyak dan paling sedikit adalah: Terbaik Terburuk 1. Kota Banda Aceh 8,1% 1. Aceh Timur 35,57%. 2. Kota Sabang 14,5% 2. Simeulue 33,6% 3. Bener Meriah 15,9% 3. Pidie 33,4% Berdasarkan TB/U (gabungan sangat pendek + pendek), gambarannya adalah sebagai berikut Terbaik Terburuk 1. Kota Lhokseumawe 27,5% 1. Blora 59,3% 2. Kota Langsa 29,3% 2. Aceh Tengah 57,5% 3. Aceh Tenggara 29,3% 3. Aceh Baratdaya 50,2 % Berdasarkan BB/TB (gabungan sangat kurus dan kurus) gambaran terbaik dan terburuk adalah sebagai berikut: Terbaik 1. Kota Sabang 4,8% 2. Aceh Tengah 5,6% 3. Bener Meriah 6,8%
Terburuk 1. Aceh Barat 29,7% 2. Nagan Raya 29,0% 3. Aceh Utara 24,6%
16.2 Status Gizi Anak Usia 5 – 18 tahun Status Gizi anak umur 5-18 tahun dikelompokkan menjadi tiga kelompok umur yaitu 5-12 tahun, 13-15 tahun dan 16-18 tahun. Indikator status gizi yang digunakan untuk kelompok umur ini didasarkan pada hasil pengukuran antropometri berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang disajikan dalam bentuk tinggi badan menurut umur (TB/U) dan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U). Berdasarkan baku antropometri anak 5-19 tahun WHO 2007 dihitung nilai Z_scoreTB/U dan IMT/U masing-masing anak. Selanjutnya berdasarkan nilai Z_score ini status gizi anak dikategorikan sebagai berikut: Berdasarkan indikator TB/U:
Berdasarkan indikator IMT/U: Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Obesitas
: Z_score < -3,0 : Z_score > = -3,0 s/d < -2,0 : Z_score > =-2,0 s/d <= 1,0 : Z_score > 1,0 s/d <= 2,0 : Z_score > 2,0
1. Status Gizi Anak Usia 5 -12 Tahun Gambar 16.5 menunjukkan bahwa secara provinsi prevalensi pendek pada anak umur 5-12 tahun adalah 34.3 persen 12,9% sangat pendek dan 21,4% pendek). Prevalensi sangat pendek terendah di Lhoksemawe ( 6,7%) dan tertinggi di Sabang (26,1%).
60 50 40
21,4
30 20 10
Sangat pendek
ACEH
Kota Subulussalam
Kota Lhokseumawe
Kota Langsa
Kota Sabang
Kota Banda Aceh
Pidie Jaya
Bener Meriah
Aceh Jaya
Nagan Raya
Aceh Tamiang
Gayo Lues
Aceh Barat Daya
Aceh Utara
Bireuen
Pidie
Aceh Besar
Aceh Barat
Aceh Tengah
Aceh Timur
Aceh Tenggara
Aceh Selatan
Aceh Singkil
Simeulue
0
12,9
Pendek
Gambar 16.5 Prevalensi pendek anak umur 5–12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Sebanyak 9 kabupaten/kota dengan prevalensi sangat pendek di atas prevalensi provinsi yaitu dari Sabang, Pidie, Nagan Raya, Simeuleu, Subulussalam, Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Besar dan Pidie Jaya. Gambar 16.6 memperlihatkan bahwa secara provinsi prevalensi kurus (menurut IMT/U) pada anak umur 5-12 tahun adalah 12,5 persen, terdiri dari 3,9 persen sangat kurus dan 8,6 persen kurus. Prevalensi sangat kurus paling rendah di Kota Banda Aceh (1,1%) dan paling tinggi di
25 20 15
8,6
10 5
Sangat kurus
ACEH
Kota Subulussalam
Kota Lhokseumawe
Kota Langsa
Kota Sabang
Kota Banda Aceh
Pidie Jaya
Bener Meriah
Aceh Jaya
Nagan Raya
Aceh Tamiang
Gayo Lues
Aceh Barat Daya
Aceh Utara
Bireuen
Pidie
Aceh Besar
Aceh Barat
Aceh Tengah
Aceh Timur
Aceh Tenggara
Aceh Selatan
Simeulue
0
Aceh Singkil
3,9
Kurus
Gambar 16.6 Prevalensi kurus IMT/U anak umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Secara provinsi masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 14,8 yang terdiri dari gemuk 8,9 persen dan sangat gemuk (obesitas) 5,9 persen. Prevalensi gemuk terendah di Aceh Timur (3%) dan tertinggi di Kota Sabang (40,1%). Sebanyak 13 kabupaten/kota dengan prevalensi sangat gemuk di atas angka provinsi, yaitu Bireuen, Aceh Besar, Aceh Barat Daya, Aceh Tengah, Aceh Selatan, Kota Langsa, Aceh Barat, Pidie, Aceh Tenggara, Nagan Raya, Aceh Tamiang, Banda Aceh, dan Sabang. 50 40 30 20
5,9
10
8,9 Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam ACEH
0
Gemuk
Sangat gemuk
Gambar 16.7
2. Status gizi remaja umur 13–15 tahun Sama halnya dengan anak umur 5-12 tahun, untuk kelompok umur 13-15 tahun penilaian status gizi berdasarkan TB/U dan IMT/U. Gambar 16.8 menyajikan prevalensi pendek pada remaja umur 13-15 tahun. Secara provinsi, prevalensi pendek pada remaja adalah 40,4 persen (17,5% sangat pendek dan 22,9% pendek. Prevalensi sangat pendek terendah di Banda Aceh (5,0 %) dan tertinggi di Simeuleu (38,1%). Sebanyak 10 kabupaten/kota dengan prevalensi sangat pendek diatas prevalensi provinsi yaitu Simeuleu, Sabang, Pidie, Aceh Utara, Nagan Raya, Aceh Tamiang, Pidie Jaya, Aceh Besar, Aceh Selatan, dan Aceh Barat.
60
50
22,9
40 30 20 17,5
Sangat pendek
ACEH
Kota Subulussalam
Kota Lhokseumawe
Kota Langsa
Kota Sabang
Kota Banda Aceh
Pidie Jaya
Bener Meriah
Aceh Jaya
Nagan Raya
Aceh Tamiang
Gayo Lues
Aceh Barat Daya
Aceh Utara
Bireuen
Pidie
Aceh Besar
Aceh Barat
Aceh Tengah
Aceh Timur
Aceh Tenggara
Aceh Selatan
Aceh Singkil
0
Simeulue
10
Pendek
Gambar 16.8 Prevalensi pendek remaja umur 13–15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Gambar 16.9 menunjukkan prevalensi kurus pada remaja umur 13-15 tahun sebesar 12,9 persen terdiri dari 3,5 persen sangat kurus dan 9,4 persen kurus. Prevalensi sangat kurus terlihat paling rendah di Aceh Tengah (2,0%) dan paling tinggi di Aceh Utara (25,6%). Sebanyak 8 kabupaten/kota yang angka prevalensi sangat kurus (IMT/U) di atas prevalensi provinsi yaitu Aceh Utara, Aceh Barat, Aceh Timur, Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya dan Lhokseumawe. Prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di Provinsi Aceh sebesar 9,8 persen, terdiri dari 8,2 persen gemuk dan 1,6 persen sangat gemuk (obesitas). Sebanyak 13 kabupaten/kota dengan prevalensi gemuk di atas angka provinsi, yaitu Aceh Selatan, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Singkil, Bireuen, Aceh Jaya, Gayo Lues, Simeulue, Nagan Raya, Lhokseumawe, Subulussalam, Sabang, dan Langsa.
0
Gemuk
5
10 ACEH
Kota Subulussalam
Kota Lhokseumawe
Kota Langsa
Kota Sabang
Kota Banda Aceh
Pidie Jaya
Bener Meriah
Aceh Jaya
Nagan Raya
Aceh Tamiang
Gayo Lues
Aceh Barat Daya
Aceh Utara
Bireuen
Pidie
Aceh Besar
Aceh Barat
Aceh Tengah
Aceh Timur
Aceh Tenggara
Aceh Selatan
Aceh Singkil
Simeulue
15
ACEH
Kota Subulussalam
Kota Lhokseumawe
Kota Langsa
Kota Sabang
Kota Banda Aceh
Pidie Jaya
Bener Meriah
Aceh Jaya
Nagan Raya
Sangat kurus
Aceh Tamiang
Gayo Lues
Aceh Barat Daya
Aceh Utara
Bireuen
Pidie
Aceh Besar
Aceh Barat
Aceh Tengah
Aceh Timur
Aceh Tenggara
Aceh Selatan
Aceh Singkil
0
Simeulue
30
25
20 9,4
10
3,5
Kurus
Gambar 16.9 Prevalensi kurus IMT/U remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
25
20
15
1,6
5 8,2
sangat gemuk
Gambar 16.10 Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
3. Status gizi remaja umur 16 -18 tahun Gambar 16.11 menyajikan status gizi remaja umur 16–18 tahun. Secara provinsi prevalensi pendek adalah 35,7 persen (8,6% sangat pendek dan 27,1% pendek). Sebanyak 12 kabupaten/kota dengan prevalensi pendek diatas prevalensi provinsi, yaitu Sabang, Aceh Tenggara, Aceh Barat Daya, Pidie Jaya, Bener Meriah, Aceh Jaya, Simeulue, Nagan Raya, Aceh Singkil, Aceh Tengah, Aceh Tamiang dan Aceh Barat. 50 40
27,1
30 20 10
Sangat pendek
Aceh Singkil
Simeulue
Aceh Barat
Nagan Raya
Pidie Jaya
Aceh Besar
Aceh Barat Daya
Aceh Tamiang
Kota Sabang
Aceh Tengah
Aceh Tenggara
Gayo Lues
ACEH
Kota Subulussalam
Aceh Jaya
Aceh Utara
Aceh Selatan
Bireuen
Bener Meriah
Aceh Timur
Pidie
Kota Langsa
Kota Lhokseumawe
8,6 Kota Banda Aceh
0
Pendek
Gambar 16.11 Prevalensi pendek TB/U remaja umur 16–18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Gambar 16.12 menyajikan prevalensi kurus pada remaja umur 16-18 tahun secara provinsi sebesar 8,5 persen (2,0% sangat kurus dan 6,5% kurus). Sebanyak 7 kabupaten/kota dengan prevalensi kekurusan diatas provinsi yaitu, Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh jaya, Kota Sabang dan Kota Lhokseumawe.
25 20 15
11,1
10 5
Sangat kurus
Kota Subulussalam
Aceh Jaya
Aceh Barat
Aceh Barat Daya
Aceh Selatan
Aceh Singkil
Kota Banda Aceh
Pidie Jaya
Aceh Tamiang
Nagan Raya
Simeulue
Bener Meriah
Kota Langsa
ACEH
Kota Sabang
Aceh Utara
Aceh Timur
Aceh Tengah
Aceh Tenggara
Kota Lhokseumawe
Gayo Lues
Bireuen
Aceh Besar
2 Pidie
0
Kurus
Gambar 16.12 Prevalensi kurus IMT/U remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Prevalensi gemuk pada remaja (IMT/U) umur 16–18 tahun sebanyak 6,9 persen terdiri dari 5,8 persen gemuk dan 1,1 persen obesitas. Kabupaten dengan prevalensi gemuk tertinggi adalah Kabupaten Aceh Tengah 12,5 persen dan terendah Aceh Tamiang (3,8%). Dua belas kabupaten/kota dengan prevalensi gemuk diatas prevalensi provinsi yaitu, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, Aceh Tengah, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Bener Meriah, Pidie Jaya, Kota Banda Aceh, Langsa, Lhokseumawe dan Subulussalam (Gambar 16.13). 14 12 10 8
5,8
6 4 2
Kota Sabang
Gayo Lues
Bireuen
Aceh Besar
Aceh Tenggara
Aceh Selatan
Simeulue
Pidie Jaya
Bener Meriah
Aceh Barat Daya
Aceh Singkil
Aceh Tengah
Aceh Jaya
Kota Langsa
Kota Lhokseumawe
Kota Subulussalam
Kota Banda Aceh
Aceh Utara
ACEH
Nagan Raya
Aceh Timur
Aceh Barat
Aceh Tamiang
1,1 Pidie
0
4.
Kecenderungan status gizi IMT/U remaja umur 16-18 tahun tahun 2010 dan 2013
Pada gambar 16.14 menyajikan kecenderungan prevalensi remaja kurus relatif sama tahun 2010 dan 2013, dan prevalensi sangat kurus naik dari 5,8 persen (tahun 2010) menjadi 6,5 persen (tahun 2013. Begitu juga prevalensi gemuk meningkat tajam dari 1,0 persen (2010) menjadi 5,8 persen (2013). 7
6,5 5,8
6
5,8
5 4 3
2,8 2
2 1
1 0 Sangat kurus
Kurus
2010
Gemuk
2013
Gambar 16.14 Kecenderungan status gizi IMT/U umur 16-18 tahun, Provinsi Aceh 2010 dan 2013
16.3.
Status gizi dewasa
Status gizi dewasa penduduk berumur > 18 tahun terdiri dari 1). Satus gizi menurut Indeks Massa Tubuh (IMT) dan kecenderungan komposisi TB dan IMT/U; 2). Status gizi menurut lingkar perut (LP); 3). Risiko kurang energi kronis (KEK) wanita usia subur, wanita hamil dan tidak hamil; 4). Wanita hamil risiko tinggi (TB < 150 cm). 1.
Status gizi dewasa ( >18 tahun) menurut indeks massa tubuh (IMT)
Status gizi menurut IMT dinilai dari rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut: IMT = Berat Badan(kg) ÷ Tinggi Badan (m)² Batasan IMT yang digunakan untuk menilai status gizi penduduk dewasa adalah sebagai berikut: Kategori kurus Kategori normal Kategori BB lebih Kategori obese
IMT < 18,5 IMT >=18,5 - <24,9 IMT >=25,0 - <27,0 IMT >=27,0
Sembilan kabupaten/kota dengan prevalensi penduduk dewasa kurus diatas prevalensi provinsi, yaitu Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Besar, Bireuen, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Sabang, Lhokseumawe, dan Subulussalam. Prevalensi penduduk obesitas terendah di Kabupaten Pidie (0,0%) dan tertinggi di Pidie Jaya (4,1%). Sepuluh kabupaten/kota dengan prevalensi diatas provinsi, yaitu Aceh Singkil, Aceh Tengah, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Bener Meriah, Pidie Jaya, Kota Banda Aceh, Langsa, Lhokseumawe, dan Subulussalam. 25 20 15
1,1
10
5,8
5
Kurus
Gemuk
Aceh Selatan
Kota Lhokseumawe
Aceh Barat
Kota Sabang
Aceh Besar
Aceh Jaya
Bireuen
Kota Subulussalam
Aceh Barat Daya
ACEH
Kota Langsa
Pidie
Bener Meriah
Nagan Raya
Aceh Tenggara
Aceh Utara
Aceh Singkil
Pidie Jaya
Aceh Tengah
Aceh Timur
Kota Banda Aceh
Aceh Tamiang
Gayo Lues
Simeulue
0
6,5
Obesitas
Gambar 16.15 Prevalensi status gizi kurus, gemuk, dan obesitas penduduk dewas (>18 tahun) menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Tabel 16.2 menyajikan prevalensi penduduk umur dewasa menurut status IMT di masing-masing kabupaten. Secara provinsi dapat dilihat masalah gizi pada penduduk dewasa di atas 18 tahun adalah: 11,1 persen kurus, dan 27,9 persen kegemukan yang terdiri dari BB lebih 11,6 persen dan 16,6 persen obesitas. Permasalahan gizi pada orang dewasa cenderung lebih dominan untuk kelebihan berat badan. Prevalensi tertinggi untuk kegemukan adalah di Kota Sabang (39,1 %), dan terendah di Kabupaten Nagan Raya (15,8 %).
Tabel 16.2 Persentase status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) menurut kategori IMT dan kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Kurus (%) 9,4 10,0 15,3 4,6 13,4 5,9 12,6 11,5 12,0 13,2 12,8 12,9 11,6 10,6 8,4 14,1 9,8 9,9 6,4 4,4 10,1 11,3 8,3 11,1
Status gizi menurut IMT Normal BB Lebih (%) (%) 72,0 10,3 57,4 14,6 61,4 9,8 64,5 13,4 58,4 11,2 60,5 12,8 63,0 10,6 59,3 12,1 58,6 12,6 57,1 11,7 64,5 9,9 60,1 10,1 62,3 11,8 64,8 10,9 75,8 7,8 59,4 10,5 58,8 12,8 63,4 12,8 60,5 13,8 56,5 13,1 57,3 12,6 53,3 12,9 61,8 9,8 61,1 11,6
Obese (%) 8,2 18,0 13,5 17,5 17,1 20,7 13,7 17,1 16,9 18,0 12,7 16,9 14,3 13,7 8,0 15,9 18,7 14,0 19,2 26,0 20,1 22,5 20,1 16,3
Tabel 16.3 menunjukkan bahwa prevalensi penduduk dewasa kurus menurun seiring dengan bertambahnya umur , namun kembali meningkat ketika berumur > 55 tahun. Berdasarkan jenis kelamin prevalensi penduduk laki-laki dewasa kurus lebih tinggi (12,1%) daripada perempuan (10,1%). Prevalensi obesitas pada laki-laki lebih rendah (9,5 %) dibanding perempuan (23,0%). Cenderung lebih tinggi di perdesaan dibanding perkotaan. Prevalensi obesitas cenderung lebih tinggi pada kelompok penduduk dewasa yang berpendidikan lebih tinggi, dan berpenghasilan tetap (pegawai). Semakin tinggi kuintil Indeks Kepemilikan rumah tangga prevalensi obesitas
Tabel 16.3 Prevalensi status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) menurut kategori IMT dan karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kelompok umur 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 + Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD/MI Tamat SD/MI Tamat SMP/MTs Tamat SMA/MA Tamat Diploma/PT Status pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah Menengah bawah
Kurus (%)
Status gizi menurut IMT Normal BB Lebih (%) (%)
Obese (%)
19,6 17,3 9,7 7,3 5,6 6,3 8,6 8,2 13,1 15,2 25,9
72,0 70,9 66,6 62,0 57,8 54,5 54,6 53,8 57,9 57,5 56,1
5,9 4,8 10,3 13,4 14,2 15,5 14,9 15,3 10,8 13,9 8,5
2,5 7,0 13,4 17,3 22,5 23,7 22,0 22,7 18,2 13,4 9,5
12,1 10,1
68,3 54,0
10,1 13,0
9,5 23,0
22,5 15,6 10,9 9,4 10,8 5,7
58,8 60,6 62,3 60,5 62,5 55,4
8,4 9,6 12,0 11,5 11,1 15,8
10,3 14,1 14,8 18,5 15,6 23,1
12,7 4,5 7,5 12,6 9,8
57,6 56,1 61,6 66,3 61,3
11,0 17,8 12,9 10,0 11,2
18,7 21,5 17,9 11,0 17,8
9,0 11,9
57,0 62,8
13,5 10,8
20,5 14,5
16,4 12,1
66,0 65,3
8,4 9,3
9,2 13,2
Gambar 16.16 menggambarkan prevalensi obesitas pada penduduk dewasa usia > 18 tahun di kabupaten/kota, Provinsi Aceh tahun 2013. Prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas sebesar 9,5 persen dan perempuan 23,0 persen. Prevalensi penduduk dewasa laki-laki yang obes terendah ada di Kabupaten Aceh Selatan (3,4%) dan tertinggi di Banda Aceh (16,0%). Prevalensi penduduk dewas perempuan yang obes terendah ada di Simeulue (10,0%) dan teringgi di Sabang (37%). 50 40
37,1
30 23
20
16
10
9,5
Laki-laki
ACEH
Kota Subulussalam
Kota Lhokseumawe
Kota Langsa
Kota Sabang
Kota Banda Aceh
Pidie Jaya
Bener Meriah
Aceh Jaya
Nagan Raya
Aceh Tamiang
Gayo Lues
Aceh Barat Daya
Aceh Utara
Bireuen
Pidie
Aceh Besar
Aceh Barat
Aceh Tengah
Aceh Timur
Aceh Tenggara
Aceh Selatan
Aceh Singkil
3,4 Simeulue
0
10
Perempuan
Gambar 16.16 Kecenderungan prevalensi obesitas (IMT >25) pada laki-laki dan perempuan umur >18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
2. Status gizi dewasa berdasarkan Indikator lingkar perut (LP) Gambar 16.16 menyajikan informasi prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥ 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh. Obesitas sentral dianggap sebagai faktor risiko yang berkaitan erat dengan beberapa penyakit degeneratif/kronis. Untuk laki-laki dengan LP datas 90 cm atau perempuan dengan LP di atas 80 cm dinyatakan sebagai obesitassentral (WHO AsiaPasifik, 2005). Berdasarkan provinsi, prevalensi obesitas sentral untuk tingkat provinsi adalah 22,7 persen lebih tinggi dari prevalensi pada tahun 2007 (11,9%). Prevalensi obesitas sentral terendah di Simeulue (15,1%) dan teringgi di Subulussalam (31,0%). Sebanyak 13 kabupaten/kota memiliki prevalensi obesitas sentral di atas angka prevalensi provinsi, yaitu Aceh Singkil, Aceh Tenggara, Aceh Tengah, Aceh Besar, Aceh Utara, Nagan Raya, Bener Meriah, Pidie Jaya, Banda Aceh, Sabang, Langsa, Lhokseumawe dan Subulussalam.
40 30 22,7 20 11,9
2013
Kota Subulussalam
Bener Meriah
Aceh Singkil
Kota Lhokseumawe
Aceh Tenggara
Kota Langsa
Kota Banda Aceh
Aceh Tengah
Aceh Utara
Aceh Besar
Pidie Jaya
Kota Sabang
Nagan Raya
ACEH
Gayo Lues
Aceh Timur
Aceh Jaya
Pidie
Bireuen
Aceh Selatan
Aceh Barat Daya
Aceh Barat
Aceh Tamiang
0
Simeulue
10
2007
Gambar 16.17 Kecenderungan prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013
3.
Status risiko kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) 15 – 49 tahun
Gambar 16.17 dan Gambar 16.18 menyajikan informasi masalah kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) dan wanita hamil yang berumur 15-49 tahun, berdasarkan indikator Lingkar Lengan Atas (LiLA). Untuk menggambarkan adanya risiko (KEK) dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi pada wanita hamil dan WUS digunakan ambang batas nilai rerata LILA <23,5 cm. Tabel 16.3 menyajikan prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15–49 tahun, secara nasional sebanyak 20,3 persen. Prevalensi risiko KEK terendah di Aceh Tamiang (5,1%) dan tertinggi di Aceh Selatan (66,0%). Sebanyak 14 kabupaten/kota dengan prevalensi risiko KEK diatas angka provinsi, yaitu Sabang, Lhokseumawe, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Singkil, Gayo Lues, Banda Aceh, Simeulue, Aceh Jaya, Aceh Barat, Langsa, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan.
70 60
50 40 30
20,3
20 10 Aceh Tamiang Aceh Tengah Bener Meriah Aceh Tenggara ACEH Kota Sabang Kota Lhokseumawe Aceh Timur Bireuen Aceh Utara Aceh Singkil Gayo Lues Kota Banda Aceh Simeulue Aceh Jaya Aceh Barat Kota Langsa Aceh Barat Daya Aceh Selatan
0
Gambar 16.18 Prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15-49 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Gambar 16.19 menunjukkan prevalensi risiko KEK wanita usia subur (tidak hamil). Secara provinsi prevalensi risiko KEK WUS tidak hamil sebanyak 23,6 persen. Prevalensi terendah WUS tidak hamil ada di Nagan Raya (7,4%) dan prevalensi tertinggi di Bireuen (33,3%). Sebelas kabupaten/kota dengan prevalensi risiko KEK WUS tidak hamil diatas provinsi, yaitu Simeulue, Lhokseumawe, Pidie Jaya, Aceh Utara, Aceh Tengah, Langsa, Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, dan Bireuen. 40 35 30
23,6
25 20 15 10
Bireuen
Aceh Jaya
Aceh Barat Daya
Aceh Selatan
Aceh Singkil
Kota Langsa
Aceh Tengah
Aceh Utara
Pidie Jaya
Kota Lhokseumawe
Simeulue
ACEH
Pidie
Aceh Barat
Aceh Tamiang
Gayo Lues
Aceh Timur
Bener Meriah
Kota Subulussalam
Kota Banda Aceh
Aceh Besar
Aceh Tenggara
Kota Sabang
0
Nagan Raya
5
4. Wanita hamil berisiko tinggi Pada Riskesdas 2013 disajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi yaitu wanita hamil dengan tinggi badan <150 cm. Gambar 16.18 menyajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi sebesar 32,7 persen. Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi terendah di Banda Aceh (4,8%) dan tertinggi di Aceh Selatan (87,3%). Dua belas kabupaten/kota dengan prevalensi diatas angka provinsi, yaitu Aceh Barat, Bireuen, Aceh Timur, Langsa, Aceh Utara, Aceh Jaya, Bener Meriah, Pidie, Aceh Singkil, Simeulue, Gayo Lues, dan Aceh Selatan. 100 80 60 40
32,7
20 0
Gambar 16.20 Prevalensi wanita hamil risiko tinggi (tinggi badan <150 cm) menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Data pada Tabel 16.4 menunjukkan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi sebesar 32,7 persen.
Tabel 16.4 Prevalensi wanita hamil risiko tinggi menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota
Berisiko Tinggi (Tinggi Badan < 150cm)
Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam
54.2 51.0 87.3 10.2 38.5 25.5 33.8 24.9 48.7 35.8 41.7 22.7 64.8 21.9
Aceh
32.7
42.6 44.9 15.4 4.8 13.8 40.8 18.3 21.6
Daftar Pustaka Bappenas 2012. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium di Indonesia 2011. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Departemen Kesehatan 1994, Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Pedoman penggunaan alat ukur lingkaran lengan atas (LILA) pada wanita usia subur. Jakarta: Depkes, Departemen Kesehatan 1996. Pedoman Penanggulangan Ibu Hamil Kurang Energi Kronis. Jakarta Dep.Kes RI Departemen Kesehatan 2001. Pedoman Praktis memantau status gizi orang dewasa. Jakarta Departemen Kesehatan. WHO 2000. The Asia-Pacific Perspective Redefining Obesity and Its Tratment. February. WHOWestern Pacific Region WHO 2005. WHO Child Gold Standards. WHO. Geneva WHO 2007. WHO Reference 2007 for Child and Adolescent. WHO. Geneva WHO 2010. Interpretation Guide Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country Profile Indicators.
BAB 17. KESEHATAN INDERA Endi Ridwan , Marice Sihombing dan Aprildah Sapardin Sistem indera merupakan salah satu sistem yang sangat berperan dalam mengoptimalkan proses perkembangan setiap individu. Sejak bayi sistem indera merupakan alat utama manusia untuk mengumpulkan berbagai informasi visual, audio, olfaktoris, rasa, dan fisik. Informasi visual ditangkap oleh mata (indera penglihatan), informasi audio ditangkap oleh telinga (indera pendengaran), informasi olfaktoris diterima oleh hidung (indera penciuman), informasi rasa ditangkap oleh lidah (indera perasa) dan informasi fisik diterima melalui permukaan kulit (indera peraba). Sekitar 90% informasi berupa informasi visual dan audio, yang dikumpulkan melalui indera penglihatan dan pendengaran. Pengukuran fungsi indera yang lazim dilakukan secara objektif adalah pengukuran fungsi penglihatan (tajam penglihatan/visus) dan fungsi pendengaran (tajam pendengaran). Data nasional yang menggambarkan besaran masalah gangguan indera penglihatan dan pendengaran terakhir dikumpulkan antara tahun 1993-1997 dan belum diperbarui hingga saat ini. Riskesdas 2007 bermaksud menyediakan data tentang prevalensi kebutaan yang lebih mutakhir, tetapi karena metoda pengumpulan data masih dianggap tidak adekuat oleh organisasi profesi, maka data angka kebutaan yang dihasilkan dari Riskesdas 2007 juga dinilai kontroversial. Pada Riskesdas 2007, data termutakhir untuk prevalensi gangguan pendengaran masyarakat tidak dikumpulkan. Riskesdas 2013 kembali mengumpulkan data prevalensi kebutaan dengan metoda yang serupa dengan Riskesdas 2007, tetapi sudah disempurnakan dan merupakan hasil diskusi dengan organisasi profesi. Organisasi profesi Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan Indonesia (Perhati) juga melengkapi Riskesdas dengan studi validasi yang akan dilaksanakan segera setelah semua data Riskesdas 2013 terkumpul. Studi validasi tersebut dimaksudkan untuk memperkuat reliabilitas pengukuran prevalensi kebutaan dan ketulian dalam survei nasional berbasis komunitas.
17.1. Kesehatan Mata Data yang dikumpulkan untuk mengetahui indikator kesehatan mata pada Riskesdas 2013 meliputi pengukuran tajam penglihatan menggunakan kartu tumbling-E (dengan dan tanpa pinhole) pada responden usia 6 tahun keatasserta pemeriksaan segmen anterior mata terhadap responden semua umur. Prevalensi xeroftalmia dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan/ observasi nakes terhadap responden balita (6-59 bulan). Pemeriksaan visus dan observasi morbiditas permukaan mata dilakukan di luar ruangan dengan sumber cahaya matahari, tetapi pemeriksaan lensa dilakukan dalam ruangan redup dengan bantuan pen-light. Pemeriksaan visus dilakukan dengan jarak pengukuran 6 atau 3 meter, dengan kartu E disesuaikan setinggi posisi mata responden yang diperiksa. Responden yang sakit berat dan tidak memungkinkan untuk duduk dan diperiksa visus dieksklusi dalam penghitungan prevalensi kebutaan, begitu pula responden yang menolak atau tidak dapat bekerja sama dengan tim enumerator. Prevalensi low vision dan kebutaan dihitung berdasarkan hasil pengukuran visus dengan atau
Keterbatasan pengumpulan data visus adalah tidak dilakukannya koreksi visus, tetapi dilakukan pemeriksaan visus tanpa pin-hole dan jika visus tidak normal (6/6 atau 20/20) dilanjutkan dengan pin-hole, seperti yang dilakukan saat Riskesdas 2007. Keterbatasan pengumpulan data prevalensi morbiditas permukaan mata dan lensa adalah kemampuan klinis pengumpul data (surveyor) yang bervariasi dalam menilai permukaan mata dan lensa menggunakan alat bantu pen-light, sehingga prevalensi tersebut cenderung kurang valid. a. Prevalensi Kebutaan Alat yang dipergunakan untuk pemeriksaan visus adalah tali pengukur jarak sepanjang 6 meter, satu set kartu tumbling E (ukuran besar untuk visus 6/60, sedang untuk visus 6/18, dan kecil untuk visus 6/6), serta penutup mata dengan pin-hole. Disediakan 6 pilihan jawaban untuk kategori visus, yaitu: 1. Dapat melihat E kecil (jarak 6m) 2. Tidak dapat melihat E kecil, tetapi dapat melihat E sedang (jarak 6m) 3. Tidak dapat melihat E sedang, tetapi dapat melihat E besar (jarak 6m) 4. Tidak dapat melihat E besar (jarak 6m), tetapi dapat melihat E besar (jarak 3m) 5. Tidak dapat melihat E besar pada jarak 3m 6. TIDAK DIPERIKSA Interpretasi kode visus tiap mata adalah sebagai berikut: kode 1 berarti visus normal (6/6), kode 2 berarti gangguan visus ringan (visus kurang dari 6/6 sampai 6/18), kode 3 berarti low vision (visus kurang dari 6/18 sampai 6/60), kode 4 berarti severe low vision (kurang dari 6/60 sampai 3/60) dan kode 5 berarti buta (kurang dari 3/60). Visus tidak diperiksa jika responden berumur 6 tahun keatas, tetapi tidak kooperatif, atau tidak memungkinkan untuk diperiksa visusnya, seperti responden dengan kelainan jiwa berat atau mereka yang mengalami kelumpuhan total.
Gambar 17.1 Prevalensi kebutaan pada responden umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut
Gambar 17.1 menunjukkan bahwa prevalensi kebutaan pada Riskesdas 2013 cenderung lebih rendah dibandingkan prevalensi kebutaan tahun 2007. Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas tertinggi ditemukan di Aceh Selatan (1,0%) diikuti Bireuen (0,9%), Subulussalam (0,8%), dan Aceh Timur (0,6%). Pada Riskesdas 2007 prevalensi kebutaan tertinggi ditemukan di Aceh Timur (1%) diikuti Gayo Lues (1,3%) dan Aceh Selatan (1,1%). Prevalensi kebutaan terendah ditemukan di Aceh Singkil, Banda Aceh (masing-masing 0,0%) diikuti Aceh Tengah dan Gayo Lues (masing-masing 0,1%)
Gambar 17.2 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kelompok umur, Provinsi Aceh 2013 Gambar 17.2 memperlihatkan kecenderungan kepemilikan dan pemakaian alat bantu/koreksi penglihatan jauh (kaca mata atau lensa kontak) meningkat sesuai pertambahan umur, prevalensi tertinggi pada kelompok umur 75+ tahun (10,5%). Prevalensi severe low vision pada usia produktif (15-54 tahun) sebesar 0,03 persen dan prevalensi kebutaan sebesar 0 persen. Prevalensi severe low vision dan kebutaan meningkat pesat pada penduduk kelompok umur 6574 tahun keatas dengan rata-rata peningkatan sekitar dua sampai tiga kali lipat setiap 10 tahunnya. Prevalensi severe low vision dan kebutaan tertinggi ditemukan pada penduduk kelompok umur 75 tahun keatas sesuai peningkatan proses degeneratif pada pertambahan usia. Gambar 17.3 dan 17.4 memperlihatkan bahwa terdapat kecenderungan, makin tinggi tingkat pendidikan formal dan kuintil indeks kepemilikan penduduk, maka makin tinggi pula proporsi penduduk yang memiliki kaca mata atau lensa kontak untuk melihat jauh. Keadaan tersebut dapat berkaitan dengan kebutuhan penduduk akan tajam penglihatan optimal yang makin besar sesuai dengan prioritas subjektif penduduk dalam memenuhi kebutuhan sosial sehari-hari mereka. Diasumsikan bahwa penduduk dengan tingkat pendidikan formal atau kuintil indeks kepemilikan lebih tinggi, cenderung memilih jenis pekerjaan formal, seperti menjadi
Gambar 17.3 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut pendidikan, Provinsi Aceh 2013
Gambar 17.4 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Aceh 2013 Gambar 17.5 menunjukkan proporsi penduduk yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak di perkotaan sekitar dua kali lebih banyak dibandingkan responden di perdesaan. Prevalensi
Gambar 17.5 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut tempat tinggal, Provinsi Aceh 2013 b.
Kelainan Permukaan Mata dan Lensa
Kelainan atau morbiditas permukaan mata yang diperiksa oleh surveyor adalah pterygium dan kekeruhan kornea, sedangkan kelainan lensa yang diharapkan dapat diidentifikasi oleh surveyor adalah kekeruhan lensa (katarak) yang tebal dan biasanya sudah disertai gangguan penglihatan. Pemeriksaan morbiditas permukaan mata dan lensa ini dilakukan pada semua responden.
Gambar 17.6 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium nasional adalah sebesar 9,3 persen dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Bireuen (18,0%). Aceh Tenggara mempunyai prevalensi pterygium terendah yaitu 3,0 persen. Prevalensi kekeruhan kornea di Provinsi Aceh adalah 6,9 persen dengan prevalensi tertinggi juga ditemukan di Sabang (14,8%), diikuti oleh Aceh Utara (12,6%) dan Aceh Timur (10,4%). Prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan di Gayo Lues (2,4%). Tabel 17.1 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Pterygium merupakan penebalan konjungtiva (bagian putih mata) pada sisi medial dan atau lateral, biasanya pada orang tua, tetapi bisa juga ditemukan pada dewasa muda, semakin lama semakin meluas kearah kornea.Tidak lazim pterygium terjadi pada anak umur 0-4 tahun, sehingga data prevalensi pterygium pada anak balita dalam analisis ini dinilai kurang valid. Kekeruhan kornea adalah kelainan pada kornea berupa bercak berwarna putih keruh dan biasanya tidak terkait dengan faktor pertambahan usia. Prevalensi kekeruhan kornea yang meningkat seiring bertambahnya usia mungkin disebabkan karena kurangnya keahlian enumerator dalam melakukan penilaian untuk kekeruhan kornea, sehingga data yang dikumpulkan cenderung kurang valid. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada laki-laki cenderung sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi pada perempuan. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea yang paling tinggi (9,2 persen untuk pterygium dan 12,6 persen, untuk kekeruhan kornea) ditemukan pada kelompok responden yang tidak sekolah. Petani/nelayan/buruh mempunyai prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea tertinggi (10,6 % untuk pterygium dan 10,6 % untuk kekeruhan kornea) dibanding kelompok pekerja lainnya. Tingginya prevalensi pterygium pada kelompok pekerjaan tersebut mungkin berkaitan dengan tingginya paparan matahari yang mengandung sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kejadian pterygium. Prevalensi kekeruhan kornea yang tinggi pada kelompok pekerjaan petani/nelayan/ buruh mungkin berkaitan dengan riwayat trauma mekanik atau kecelakaan kerja pada mata, mengingat pemakaian alat pelindung diri saat bekerja belum optimal dilaksanakan di Indonesia. Penduduk yang tinggal di perdesaan mempunyai prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea yang lebih besar dibandingkan penduduk di perkotaan. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea cenderung menurun seiring dengan meningkatnya kuintil indeks kepemilikan.
Tabel 17.1 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada penduduk semua umur menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) 0-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+ Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1-D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Morbiditas Permukaan Mata Pterygium Kekeruhan Kornea Unilateral Bilateral Unilateral Bilateral 0,9 0,6 1,6 3,6 6,5 10,6 10,6 11,8 11,6
0,1 0,0 0,8 3,0 7,9 14,4 21,3 28,0 34,5
0,8 0,8 1,0 1,5 2,5 3,7 5,6 5,8 5,6
0,0 0,4 1,0 2,0 5,0 12,1 24,0 34,1 46,8
3,8 4,2
5,1 5,4
1,9 1,9
5,0 5,1
85,1 91,1 85,5 91,4 91,4 92,2
9,2 5,4 8,9 4,5 4,6 3,8
2,3 3,7 0,6 1,9 2,5 1,8
12,6 5,3 8,6 3,9 3,6 2,6
3,4 4,6 4,7 8,0 5,3
4,6 5,8 8,4 10,6 7,5
1,7 2,1 1,8 3,2 1,9
4,6 5,8 8,4 10,6 7,5
91,7 90,3
4,7 5,5
1,6 2,0
3,7 5,5
4,2 4,0 4,0 3,9 3,7
6,6 5,6 5,2 4,5 4,4
3,8 2,0 2,1 2,1 1,6
6.9 5.1 4.9 4.2 3.7
Sebagian besar penduduk dengan katarak di Indonesia belum menjalani operasi katarak karena faktor ketidaktahuan penderita mengenai penyakit katarak yang dideritanya dan mereka tidaktahu bahwa buta katarak bisa dioperasi/direhabilitasi. Alasan kedua terbanyak penderita katarak belum dioperasi adalah karena tidak dapat membiayai operasinya. (Gambar 17.7)
Gambar 17.7 Proporsi tiga alasan utama penderita katarak belum menjalani operasi menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Pada tabel 17.2 terlihat bahwa prevalensi katarak di Provinsi Aceh adalah 2,7 persen tertinggi di Kota Lhokseumawe (6,4%) diikuti oleh Pidie Jaya (4,6%) dan Bireun (3,9%). Prevalensi katarak terendah ditemukan di Kabupaten Gayo Lues (0,7%) diikuti Kota banda Aceh (1,0%) dan Aceh Jaya (1,2%). Sebagian besar penduduk dengan katarak di Indonesia belum menjalani operasi katarak karena faktor ketidaktahuan penderita mengenai penyakit katarak yang dideritanya dan mereka tidak tahu bahwa buta katarak bisa dioperasi/direhabilitasi (27,0%). Alasan kedua terbanyak penderita katarak belum dioperasi adalah karena takut operasi (14,6%).
Tabel 17.2 Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada penduduk semua umur menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 Kabupaten/Kota Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam Aceh
Katarak 3,6 1,9 3,0 2,2 1,0 1,3 2,0 2,7 3,3 3,9 2,3 0,5 0,7 2,3 2,6 1,2 1,3 4,6 1,0 1,4 2,9 6,4 1,4 2,8
Alasan belum operasi Tidak tahu kalau Tidak mampu Takut operasi katarak membiayai 2,3 3,8 3,0 69,4 16,6 4,9 12,9 12,7 32,3 8,8 15,1 0,8 22,8 18,0 8,8 14,5 8,0 5,8 30,3 16,2 13,1 34,3 1,7 10,6 14,1 5,8 10,3 32,9 20,0 14,9 35,6 6,8 31,2 16,8 10,6 1,9 54,8 19,0 2,4 19,2 15,8 27,7 19,2 4,6 2,2 4,6 21,6 28,8 80,9 0,8 4,7 30,9 12,9 11,8 13,0 26,1 22,2 11,7 41,5 20,5 3,0 22,8 50,8 7,6 10,1 32,5 33,9 5,3 27,7 11,0 14,6
17.2. Kesehatan telinga Data yang dikumpulkan terkait status kesehatan telinga meliputi anatomi liang telinga, kelainan pada telinga tengah dan daerah retroaurikular, keutuhan gendang telinga, serta adanya gangguan fungsi pendengaran. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik oleh nakes terlatih pada responden berusia 2 tahun keatas dan untuk fungsi pendengaran dilakukan tes konversasi bagi responden yang kooperatif dan tidak tuna wicara. Keterbatasan pengumpulan data terkait kesehatan telinga adalah kemampuan klinis nakes yang sangat bervariasi dalam mengenali kelainan telinga dan retroaurikular. Keterbatasan untuk pengukuran tajam pendengaran adalah tidak tersedianya alat audiometer di lapangan, sehingga hanya dilakukan uji/tes konversasi.
a.
Prevalensi Ketulian
Pada survei ini interpretasi dari skor yang digunakan adalah sebagai berikut: Pemeriksa membisikkan kalimat sederhana dan responden diminta mengulanginya. Jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “0”. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu kalimat dengan volume suara normal dan responden kembali diminta mengulanginya. Jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “1” pendengaran NORMAL. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu kalimat dengan volume suara yang lebih keras dan responden kembali diminta mengulanginya dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “2” gangguan pendengaran ringan. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan meneriakkan satu kalimat pada telinga dengan fungsi pendengaran lebih baik dan responden kembali diminta mengulanginya dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “3 gangguan pendengaran sedang. Jika responden tidak dapat mengikuti teriakan kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “4” ketulian. Dalam Riskesdas 2013 diperoleh prevalensi gangguan pendengaran tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas (38,9%), disusul oleh kelompok umur 65-74 tahun (18,3%). Angka prevalensi terkecil berada pada kelompok umur 5-14 tahun dan 25-34 tahun (masing-masing 0,7%) Tabel 16.3 Prevalensi tertinggi ketulian terdapat pada kelompok umur yang sama dengan gangguan pendengaran, yaitu umur 75 tahun ke atas (1,3%), begitu pula dengan prevalensi terkecil terdapat pada kelompok umur 5-14 tahun dan 25-34 tahun (masing-masing 0,02%). Prevalensi responden dengan gangguan pendengaran pada perempuan cenderung sedikit lebih tinggi daripada laki-laki, namun prevalensi ketulian prevalensi perempuan dan laki-laki sama yaitu 0,1 persen. Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian tertinggi ditemukan pada kelompok tingkat pendidikan tidak sekolah (5,7 % gangguan pendengaran dan 0,5% ketulian). Gangguan pendengaran pada kelompok responden petani/nelayan/buruh memiliki angka prevalensi tertinggi, yaitu 3,6 persen disusul oleh tidak bekerja sebesar 2,4 persen. Prevalensi gangguan pendengaran terendah ditemukan pada kelompok pegawai 1,5%. Prevalensi ketulian tertinggi ditemukan pada kelompok responden tidak bekerja yatu 0,1% dan terendah pada pegawai dan wiraswasta. Terdapat perbedaan angka prevalensi ketulian dan gangguan pendengaran menurut tempat tinggal. Di perkotaan diperoleh prevalensi gangguan pendengaran sebesar 2,0 persen dan prevalensi ketulian 0,1 persen. Prevalensi gangguan pendengaran di perdesaan cenderung sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotan yaitu sebesar 2,6 persen berbanding 2 persen, di perdesaan prevalensi ketulian lebih rendah yaitu sebesar 0,05 persen.
Tabel 17.3 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 Karakteristik Kelompok umur (tahun) 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+ Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1-D3/PT Status pekerjaan Tidak bekerja Pegawai Wiraswasta Petani/nelayan/buruh Lainnya Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Kuintil indeks kepemilikan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Gangguan pendengaran
Ketulian
1,1 1,1 1,4 2,1 2,7 6,4 14,3 25,6
0,1 0,02 0,02 0,02 0,01 0,02 0,4 1,3
2,4 2,5
0,0 0,1
5,7 3,0 3,1 1,7 1,5 1,3
0,5 0,03 0,06 0,02
2,4 1,5 2,0 3,6 3,0
0,1 0,05 0,04 0,01
2,0 2,6
0,1 0,05
3,1 3,0 2,1 2,1 1,7
0,05 0,05 0,10 0,05 0,05
0,06
Gambar 17.8 mengungkapkan bahwa berdasarkan uji Tes Konversasi terhadap gangguan pendengaran dan ketulian penduduk umur ≥5 tahun, ternyata rataan prevalensi gangguan pendengaran di Provinsi Aceh sebesar 2,4 persen, tertinggi terdapat di Aceh Selatan sebanyak 5,0 persen dan terendah di Kota Banda Aceh sebesar 0,9 persen. Prevalensi ketulian penduduk berumur ≥5 tahun di Provinsi Aceh sebesar 0,06 persen, tertinggi
Gambar 17.8 Prevalensi gangguan pendengaran penduduk umur ≥5 tahun sesuai Tes Konversasi menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 17.9
b. Morbiditas Telinga Lainnya Untuk mengetahui prevalensi morbiditas (kejadian sakit) telinga, selain gangguan pendengaran dan ketulian, dilakukan pemeriksaan fisik/anatomis terhadap responden umur 2 tahun keatas. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan luar telinga untuk mengetahui keberadaan abses/fistel retroautrikular, serta pemeriksaan liang telinga untuk mengetahui adanya serumen maupun sekret dalam liang telinga. Sekret dalam liang telinga menandakan adanya infeksi akut/kronis, tumor, maupun kelainan telinga lainnya. Keberadaan abses/fistel retroaurikular dapat menunjukkan adanya infeksi telinga yang sedang berlangsung. Kelompok umur ≥75 tahun mempunyai prevalensi tertinggi dalam hal keberadaan serumen, sekret dalam liang telinga, dan abses/fistel retroaurikular, yaitu berturut-turut 29,4 persen; 3,9 persen; dan 2,2 persen. Prevalensi terendah morbiditas telinga ditemukan pada kelompok umur 15-24 tahun, yaitu untuk prevalensi serumen (9,4%), 25-34 tahun untuk sekret (1,0%), dan 1524 tahun untuk abses/fistel retroaurikular (0,1%). Berdasarkan kabupaten/kota prevalensi penduduk dengan serumen tertinggi terdapat di Aceh Timur (42,1%) dan terendah di Banda Aceh (0,2%). Laporan lengkap tentang morbiditas telinga lainnya menurut karakteristik dan provinsi disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Daftar Pustaka Bashiruddin J, Soetirto I. 2010. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss). Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J & Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 49-52. Dandona R, Dandona L. Sosioeconomic status and blindness. Br J Ophthalmol 2001;95:1494-9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas). 2007 Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI 1996: Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1993-1995. Foster A. Cataract and ―Vision 2020-the right to sight‖ initiative. Br J Ophthalmol 2001;95:635-7. Limburg H. 2001. Manual for rapid assessment of cataract surgical services. Switzerland: WHO Prevention of blindness and deafness. Putri Herman NW. 2011. Prevalensi Gangguan Pendengaran Pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011. Diakses dari: http://perpus.fkik.uinjkt.ac.id/file_digital/NING% 20WIDYA%20PUTRI%20HERMAN.pdf Rundjan L, Amir I, Suwento R, Mangunatmadja I. Skrining Gangguan Pendengaran pada Neonatal Risiko Tinggi. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 4, Maret 2005: 149-54. Soetjipto, Damayanti. Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian. 2010. Diakses dari: http://ketulian.com/vi/web/ index.php?to=home. Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1993-1995. WHO Fact Sheet No. 282. http://www.who.int/about/regions/en /index.html. World Health Organization. Global data on visual impairment 2010. World Health Organization: International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems. 10th revision. Current version. Version for 2003. Chapter VII. H54. Blindness and low vision. Diakses di: http://www.who.int/classifications/icd/en.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Aceh Dalam Angka 2013. Kerjasama Bappeda Aceh dengan Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. Katalog BPS 1102001.11
2. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Laporan Singkat Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2009. 3. Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan. Survei Demografi dan Kesehatan 2002-2003. ORC Macro 2002-2003. 4. Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan. Survei Demografi dan Kesehatan 2007. ORC Macro 2007. 5. Brown, Judith E. Et al., "Nutrition Through the Life Cycle, 2002. New York. 6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas). 2007 7. Departemen Kesehatan RI. SKRT 1995. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 1997 8. Departemen Kesehatan, Direktorat Epim-Kesma. Program Imunisasi di Indonesia, Bagian I, Jakarta, Depkes, 2003. 9. Departemen Kesehatan. 1995. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 10. Departemen Kesehatan. Survei Kesehatan Nasional. Laporan. Depkes RI Jakarta. 2001. 11. Departemen Kesehatan. Survei Kesehatan Nasional. Laporan. Depkes RI Jakarta 2004. 12. Depkes RI, 2003, Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWSKIA), Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Kesehatan Keluarga, Jakarta. 13. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. 2009. 14. Djaja, S. et al. Statistik Penyakit Penyebab Kematian, SKRT 1995 15. Hardinsyah & D. Martianto. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Institut Pertanian Bogor. Penerbit Wirasari. Jakarta. 16. Hardinsyah dan V. Tambunan. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan. Dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta 17-19 Mei 2004. 17. Institute of Medicine. 2005. Dietary Reference Intakes for Energy, Carbohydrate,Fiber, Fatty Acids. National Academy Press. 18. Kramer, M.S. and Kakuma, R. The Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding. A
21. Lembaga Demografi UI, 2013, Dasar-Dasar Demografi, Salemba Empat, Jakarta. 22. Papua Province Health Office. Case finding and treatment malaria patients 2006. Jayapura, Ministry of Health 2007. 23. Petunjuk Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal, Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan RI., 2004 24. Policy Paper for Directorate General of Public Health, June 2002 25. Price RN, Nosten F, Luxemburger C ter Kuile FO, Paiphun L, Chongsuphajaisiddhi T. and White NJ. Effects of artemisinin derivatives on malaria transmissibility.Lancet 1996;347:1654-1658. 26. Rencana Strategis Departemen Kesehatan 2005-2009, Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2005 27. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Pedoman Pewawancara Petugas Pengumpul Data. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 2013 28. Sandjaja, Titiek Setyowati, Sudikno. Cakupan penimbangan balita di Indonesia. Makalah disajikan pada Simposium Nasional Litbang Kesehatan.Jakarta, 7-8 Desember 2005. 29. Sandjaja, Titiek Setyowati, Sudikno. Cakupan viramin A untuk bayi dan balita di Indonesia. Prosiding temu Ilmiah dan Kongres XIII Persagi, Denpasar, 20-22 November 2005. 30. Seri Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI, ISSN: 0854-7971, No. 15 Th. 1999 31. Sikka District Health Office. Malaria cases in Sikka District, 2000-2006. Maumere, Ministry of Health 2007. 32. UNICEF. Breast Crawl. Initiation of Breastfeeding by Breast Crawl. 2007. 33. WHO. Report of the Expert Consultation on the Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding. Geneva, Switzerland. 28-30 March 2013. 34. World Health Organization. Antimalarial drug combination therapy. Report of WHO Technical Consultation. WHO/CDS/RBM/2001.35. Geneva., WHO 2001. 35. World Health Organization. World Malaria Report 2008. WHO/HTM/GMP/2008.1. Geneva, WHO 2008.
LAMPIRAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
i
SK Menkes untuk Riskesdas 2013 SK Korwil Kuesioner Rumah Tangga (RKD10.RT) Kuesioner Individu (RKD10.IND) Persetujuan Etik Informed consent Rekomendasi Penelitian
UU No 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025 (sekretariat negara) Sistem Kesehatan Nasional (Peraturan pemerintah no. 72 tahun 2012) iii Laporan Riskesdas Tahun 2007 iv Buku IPKM Tahun 2010, Balitbangkes v Permenkes 027 tahun 2012 tentang PDBK vi WHO 2002. www.WHO.int/healthinfo/survey/en ii