SAMBUTAN KEPALA BPNB JAYAPURA-PAPUA Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rakhmat-Nya Balai Pelestarian Nilai Budaya Jayapura dalam Tahun Anggaran 2014, telah menerbitkan Jurnal Sejarah dan Budaya edisi Keempat, No: 1/XII/2014. Penerbitan ini merupakan salah satu upaya untuk menyebarluaskan hasil penelitian kesejarahan dan nilai budaya yang dilakukan oleh staf peneliti. Penerbitan hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasana pengetahuan kesejarahan dan nilai-nilai budaya, serta terbuka bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendalami, mempelajari, mengkaji maupun meneliti nilai-nilai kesejarahan dan budaya yang ada di Tanah Papua Kami menyadari bahwa berhasilnya usaha ini selain berkat kerja keras para peneliti, juga berkat kerja sama yang baik dari semua pihak yang turut membantu dalam penelitian ini, terutama pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat, pemerintah kabupaten, pemerintah kecamatan, dan desa. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak terkait yang telah memberikan bantuan dari awal penelitian sampai penerbitan jurnal penelitian ini. Selanjutnya kami sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi penyempurnaan penyusunan dan penerbitan mendatang.
Jayapura, Desember 2014 Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Jayapura-Papua
Apolos Marisan, S.Sos NIP. 19641110 199610 1 001
Hiyakhe
Jurnal Sejarah dan Budaya Edisi Keempat
No. I/XII/2014
ISSN 2085.3300
DAFTAR ISI Sambutan Kepala BPSNT Jayapura....................................................................................
i
Daftar Isi.................................................................................................................................. iii Sejarah Kampung Makimi Kabupaten Nabire . ..........................................
1
Oleh : Ana Maria F. Parera, S.Pd Tradisi Kematian Etnis Moi Di Kampung Makbon Kabupaten Sorong ..................................................................................................... 21
Oleh : Veibe R. Assa, S.Pd Perubahan Kain Terfo Masyarakat Sarmi . ............................................... 43
Oleh : Yudha N Yapsenang, S.Sos Sejarah Pendidikan Kabupaten Manokwari ............................................ 67
Oleh : Peter M. Apituley, S.Pd Pasar Obor Fungsi Kultural dan Ekonomi Pasar Tradisional Di Distrik Inawatan Kabupaten Sorong Selatan ................................. 77
Oleh : Windy Hapsari, S.Sos Perubahan Peta Administratif Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua 1969-2008............................................................................................. 95
Oleh : Desy Polla Usmany, S.S Migrasi Orang Buton Di Kampung Folley Distrik Misool Timur Papua (1975/1976-2011)..................................................................................................... 111
Oleh : Saberia, S.Pd
1
Sejarah Kampung Makimi Kabupaten Nabire
Sejarah Kampung Makimi Kabupaten Nabire Ana Maria F. Parera,S.Pd
BPNB Jayapura Jln. Isele waena kampung
Abstrak Penelitian tentang sejarah kampung Makimi ingin mengungkapkan bagaimana awal berdirinya kampung sampai perkembangannya hingga sekarang ini menjadi kampung yang baru. Kampung Makimi ini adalah salah satu kampung yang terletak dikecamatan Lageri Jaya Kabupaten Nabire Provinsi Papua yang dulu akses jalannya masih menggunakan perahu melalui jalan laut. Setelah adanya daerah transmigrasi barulah akses jalannya dibuat tembus melalui jalan trans. Kampung Makimi ini didiami oleh dua suku besar yaitu suku Taribu dan suku Delta. Oleh karena itu kampung Makimi mempunyai suatu cerita untuk dapat diketahui. Sejarah kampung ini sangatlah penting untuk diketahui oleh generasi muda yang mendiami kampung tersebut, bukan hanya sejarahnya saja tetapi juga budaya, sistem pemerintahan tradisionalnya dan perkembangan kampung pada saat ini dan yang akan datang. Kata Kunci : Sejarah Kampung, Makimi. 1.
PENDAHULUAN
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang mempunyai berbagai macam budaya yang berbeda-beda. Berbagai macam budaya inilah yang menandakan bahwa Indonesia sangat besar dengan berbagai ragam yang ada. Keberagaman suku bangsa ini selalu membawa dampak didalam kehidupan masyarakat suku bangsa tersebut baik. Demikian halnya dengan masyarakat yang berada di Kampung Makimi yang tinggal di kampung tersebut dari suku-suku yang tinggal disekitar kampung Makimi datang dan tinggal sehingga membentuk suatu kampung yang baru. Kampung Makimi adalah salah satu kampung yang terletak di Kecamatan Lageri Jaya Kabupaten Nabire Provinsi Papua. Kampung adalah tempat kediaman suatu masyarakat yang berkuasa untuk mengadakan
2
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
suatu pemerintahan sendiri. Sistem pemerintahan Kampung Makimi tidaklah jauh berbeda dengan kampung-kampung yang ada di Kabupaten Nabire. Namun, ada hal yang berbeda dari kampung-kampung lainnya, yaitu Kampung Makimi memiliki 2 kampung yang lokasinya berbedabeda dan yang didiami oleh 2 suku besar yaitu Suku Taribu dan suku Delta. Selain itu, masyarakatnya dilarang untuk menyebut nama dari nenek moyangnya dan nama patung serta benda-benda yang dianggap sakral. Mereka meyakini apabila mereka menyebut nama-nama itu, maka keluarganya akan mendapat bencana. Selain itu, orang Makimi masih mempercayai tanda-tanda alam, seperti bila orang asing mengunjungi kampung lama yaitu Kampung Kmiami, mereka tidak mengucapkan kata-kata yang dianggap tidak sopan oleh Suku Makimi. Oleh karena itu, Kampung Makimi mempunyai suatu cerita sejarah yang menarik untuk diketahui. Sejarah Kampung Makimi sangat penting diketahui generasi muda Suku Makimi khususnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bung Karno bahwa sejarah itu penting. Pada 17 Agustus 1966 Soekarno menggelorakan dengan penuh semangat tentang pentingnya sejarah yang kemudian dikenal dengan JASMERAH (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah). Pernyataan tersebut menjadi bukti bahwa “sejarah” itu penting, dari sanalah orang belajar akan pengalaman masa lalu, sejarah adalah guru kehidupan (Historia Vitae Magistra). (Abd. Rahman, 2006 : 1). Kampung Makimi merupakan bagian dari Kecamatan Lageri Jaya. Sejarah Kampung Makimi sangatlah diperlukan untuk mengetahui dan memahami masa lampau dari sejarah toponimi. Selain itu, sejarah Kampung Makimi diperlukan untuk memahami cikal bakal Kampung Makimi, kebudayaan, sistem pemerintahan tradisionalnya serta perkembangan kampung pada saat ini dengan adanya program Respek bagi kampungkampung yang ada di seluruh Provinsi Papua. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti Sejarah Kampung Makimi. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Sejarah pembentukan, asal-usul, kehidupan sosial budaya, ekonomi, agama, pemerintahan tradisional dan perkembangan Kampung Makimi sekarang. Penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat baik bagi generasi penerus Kampung Makimi supaya bisa tetap mengetahui bagaimana sejarah tentang Kampung Makimi tersebut dengan:
Sejarah Kampung Makimi Kabupaten Nabire
1.
Menambah data kesejarahan khususnya buku reverensi tentang sejarah desa yang ada di BPSNT Jayapura. 2. Sebagai bahan informasi bagi pembaca untuk mengetahui terbentuknya Kampung Makimi. 3. Agar generasi penerus tidak melupakan Sejarah Kampung Makiminya. Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan ini adalah metode sejarah. Yang dimaksud dengan metode sejarah adalah sekumpulan prinsip atau aturan yang sistematis untuk memberikan bantuan secara efektif dalam usaha pengumpulan bahan-bahan bagi sejarah, menilai secara kritis, dan kemudian menyajikan dalam bentuk tertulis. Menurut Kuntowijoyo, ada lima tahap yang ditempuh untuk meng himpun informasi dalam proses penelitian sejarah yaitu: pemilihan topik, pengumpulan sumber (heuristic), verifikasi (kritik sumber), interpretasi, dan penulisan. a. Pemilihan Topik Topik yang dipilih adalah Sejarah Kampung Makimi sejak terbentuknya hingga pelaksanaan program respek. b. Pengumpulan Sumber Pengumpulan berbagai sumber sejarah (dokumen tertulis) yang diperlukan berkenaan dengan topik yang dipilih diperoleh dari tokoh-tokoh masyarakat. Sedangkan sumber lisan diperoleh melalui wawancara langsung dengan masyarakat yang dituakan dan tokhtokoh masyarakat. Penulis melakukan wawancara langsung baik dengan masyarakat yang dituakan maupun dengan tokoh-tokoh adat di rumah masing-masing informan. Masyarakat dan tokoh-tokoh adat yang dipilih adalah orang-orang yang mengetahui sejarah terbentuknya serta asal-usul keberadaan masyarakat Kampung Makimi. Mereka merupakan saksi-saksi sejarah yang masih hidup, sebagai sumber lisan dalam penulisan sejarah Kampung Makimi. c. Verifikasi (kritik sumber) yaitu meliputi kritik eksternal yang menyangkut otentisitas atau keaslian dokumen yang ditemukan dan kritik internal yang menyangkut kredibilitas isi dokumen. d. Interpretasi dilakukan untuk menetapkan saling hubungan antar fakta sejarah yang kemudian dianalisis dan dirangkaikan menjadi satu kesatuan fakta yang logis. e. Penulisan Sejarah (historiografi) yaitu menyusun fakta-fakta yang terjadi dalam suatu sintesis yang utuh sebagai satu kesatuan, sehingga menjadi suatu cerita sejarah yang utuh.
3
4
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
II. ASAL-USUL KAMPUNG MAKIMI A. Asal-usul Keberadaan Masyarakat Kampung Makimi Dalam suatu mitologi suku bangsa biasanya terdapat suatu cerita tentang dongeng-dongeng suci mengenai penciptaan alam, penciptaan dan penyebaran manusia oleh dewa-dewa dalam religi asli suatu suku bangsa yang bersangkutan. Mitologi dan cerita-cerita rakyat dapat memberikan indikasi kepada fakta sejarah dari suatu suku bangsa, ada yang diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan, dan bagi suku bangsa yang telah mengenal tulisan (tulisan tradisional), dapat juga diturunkan secara tulis (Koentjaraningrat, 1997:9). Menurut keluarga Erari sebagai pendiri kampung pertama, keberadaan Kampung Makimi kira-kira pada abad 14-16, ketika itu ada beberapa suku Tua yang tempat asalnya di daerah matahari turun ke selatan yaitu di Waropen, dan melintasi pesisir pantai Nabire. Adapun lingkungan geografi yang menjadi tempat persebaran orang Waropen terdiri dari tiga daerah, yaitu kampung-kampung pantai yang terletak di daearah Waropen (terutama di antara Sungai Wapoga dan Sungai Barapasi) dan didaerah pesisir pantai sebelah barat Sungai Wapoga, yaitu pada kampung-kampung Napan, Weinamai dan Makimi (kampung-kampung tersebut terletak di seberang pulau-pulau Mor-Mambor) serta di kampung Ambumi yang terdapat di Teluk Wandamen (Koentjaraninggrat, 1995:297). Orang Waropen yang terdapat di kampung Napan, Weinami dan Mosan (ketiga kampung tersebut disatukan menjadi desa Napan), Kampung Masipawa (didesa Masipawa) dan kampung Makimi (di desa Makimi), semuanya terletak di wilayah Kecamatan Napan, yang berada dibawah daerah pemerintahan tingkat II Kabupaten Nabire (Koentjaraninggrat, 1995-299). Kampung Makimi terletak di sebelah barat Sungai Wapoga dan bersebelahan dengan pulaupulau Mor-Mambor. Menurut penuturan masyarakat setempat Kampung Makimi diberi nama menurut budaya dan bahasa suku itu sendiri adalah Kmiami yang artinya adalah “tenang menghanyutkan”. Pemberian nama Kmiami karena kali Kmiani Tua adalah suatu telaga yang tak pernah ada muaranya. Namun, kemudian terjadilah suatu peristiwa yaitu suku Delta/ Fafaibo menggali telaga tersebut sehingga air itu mengalir dan itulah yang dinamakan kali Makimi yang terdapat dikampung tua (wawancara Ana Maria dengan Keluarga Erari di Nabire pada, 27 Maret 2013). Menurut penuturan dari Erari, setelah abad 14 suku ini disebut suku “Fafaibo” (Fafaibo Mensen). Mereka ini adalah orang-orang yang berdiam
Sejarah Kampung Makimi Kabupaten Nabire
dan berkampung di atas Delta Rawa. Dalam perkembangan selanjutnya, suku bermukim di Delta Rawa (daerah bakau) dikenal dengan nama suku Waisaru. Suku Waisaru mempunyai tanah ulayat sebagai tempat mencari makan yang berbatasan dengan tanah ulayat Suku Fafaibo itulah yang disebut dengan Serimasorai atau Hanarengga. Setelah itu beberapa waktu kemudian kedua suku tersebut bersepakat untuk menetapkan batas tanah ini menjadi Tanah Datuk, dengan pembagiannya adalah dibagian utara didiami oleh Suku Koan dan Suku Woa. Setelah abad 17 dan 18 daerah pesisir pantai ini diberi julukan yaitu “Waropen Ambumi dan Waropen Kai”. Waropen Ambumi mengacu kepada penduduk yang diam di desa Napan, Weinami, Makimi, Roon dan Ambumi. Apabila asal-usul mereka dikaji berdasarkan hubungan kekerabatan antara penduduk Waropen Kai dan Waropen Ambumi, maka mereka berasal dari daerah Waropen Kai. Juga dari segi logat bahasa dan variasi adatistiadatnya, kedua daerah ini mempunyai persamaan-persamaan yang mendasar. Penduduk lokal disebut dengan marga Erari. Dalam kehidupan yang mereka jalani ini terjadi proses interaksi antara satu dengan yang lainnya sehingga terjadilah kawin-mengawini dan berkembanglah di dalam kampung tersebut. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda diberlakukan peraturan pemerintah tentang sistem kampung yang teratur, sehingga keluarga besar Erari dengan beberapa sub-sub marga lainnya yang mendiami Kampung Tua yang disebut Kuhura Aigwai berpindah ke pesisir pantai Rarimerei dengan kampung yang diberi nama Kmiami menjadi Makimi. Perpindahan itu terjadi karena pada 1917 terjadi bencana yang sangat besar yaitu terjadi gempa bumi dan tsunami, sehingga pada 1918, penduduk Kuhura Aigwai berpindah ke pesisir Rarimerei. Mereka inilah masyarakat dari Kampung Kmiani. Kampung baru yang berada di pesisir Rarimerei itu diberi nama Makimi oleh orang-orang Delta Rawa. Pemberian nama Makimi dimaksudkan untuk mengenang Kampung Kmiani yang sudah terkena bencana gempa bumi dan tsunami yang merupakan tempat yang sangat sakral bagi masyarakat atau suku tersebut. Setelah kepindahan masyarakat ke pesisir Rarimarei dan membentuk suatu kampung maka Kampung Makimi yang baru dibentuk itu didatangi oleh orang-orang berasal dari Waropen, Yaur, Windesi, Wandamen, Roon dan orang-orang dari Doreri Numfor. Kemudian mereka menetap di Kampung Makimi hingga sekarang ini.
5
6
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
Untuk menertibkan kehidupan penduduk yang bermukim di Kampung Makimi, pemerintahan adat membagi wilayah itu menjadi tiga bagian, yaitu Lagari, Simumbo, dan Simuti. Orang Yaur menduduki Lagari dan orang Erari sebagai tuan rumah di Simumbo, sedangkan didaerah Simuti didiami suku Wandamen Ambumi, Windesi, Roon dan Doreri Numfor. Pembagian Kampung Makimi tersebut secara adat belum mengalami perubahan meskipun pemerintah telah melakukan perubahan secara administratif. Kata Makimi berasal dari bahasa orang “ Yamor Kuno “ atau Suku Taribu yang pernah menjelajahi pesisir pantai kemudian diambil oleh Suku Ondura maka Makimi sesungguhnya adalah milik orang Delta atau Fafaibo dengan marga Erari. Menurut pembagian wilayah secara adat, orang Yamor kuno menduduki pinggiran Lagari, sedangkan daerah bakau dikuasai oleh suku Delta. Kekuasaan dari kedua suku tersebut belum berubah hingga kini. B. Sistem Pemerintahan Adat dan Pemerintahan Kampung Makimi Dalam sistim pemerintahan adat pada masyarakat Makimi, pemimpin yang paling penting terdapat pada tingkat klen, bukan pada tingkat kampung. Menurut penuturan bapak Erari perkampungan sebetulnya terbentuk oleh sejumlah klen. Pemukiman masing-masing klen terpisah tetapi terletak di lokasi yang sama di sungai atau pesisir pantai. Penempatan sejumlah klen dalam satu lokasi pemukiman yang disebut kampung itu dimaksudkan untuk menjaga hubungan kekeluargaan yang terbentuk melalui perkawinan, keamanan, dan menghadapi perang suku/budak (Koentjaraninggrat, 1995:303) Menurut D. Rumawi pada zaman dahulu perang atau penangkapan budak sangat penting diantara orang-orang Makimi. Perang suku dan penangkapan budak merupakan suatu aktivitas yang sangat panting dalam kebudayaan mereka. Karena sejumlah klen bergabung pada lokasi pemukiman tertentu membentuk kekuatan bersama dalam melaksanakan perang atau menjaga keamanan didalam masyarakat (Mansoben, 1995-303). Dalam hal hubungan perkawinan didalam klen dapat bergabung untuk mendiami lokasi pemukiman yang sama. Pemimpin dari tingkat klen yang lebih tinggi atau maha kuasa disebut sera. Sedangkan dikampung Makimi seorang pemimpin yang umum dipakai dari beberapa klen yang ada disebut mananirio. Mananirio artinya orang besar. Mananirio bertanggung jawab mengurus permasalahan yang
Sejarah Kampung Makimi Kabupaten Nabire
terjadi pada tingkat kampung. Sedangkan mananir yang dapat mengurus masalah yang terjadi pada tingkat klen. Pada masyarakat Makimi kekuasaan seorang sera secara struktur organisasi hanya mengenal satu lapisan saja ialah terbatas pada tingkat klen saja (Mansoben, 1995: 306-307). Masyarakat Kampung Makimi mengenal dua sistim kepemimpinan yaitu sistim kepemimpinan adat dari masing-masing klen dan sistim kepemimpinan di dalam kampung. Sistim kepemimpinan adat yang lebih tinggi posisinya disebut sera yang artinya adalah yang maha kuasa, sedangkan untuk tingkat kampung pemimpin adatnya disebut sebagai mananirio (nunggu bawao) yang artinya orang besar yang terdapat pada masing-masing klen tetapi kekuasaannya tidak secara turun temurun. Berdasarkan struktur organisasi sera ataupun mananirio mempunyai tugas dan kedudukan yang lebih tinggi dari anggota klen masing-masing. Kedudukan dan peranan sera dan mananirio terlihat pada urusan-urusan di dalam kampung maupun adat. Sera maupun mananirio tugasnya bertanggung jawab untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di dalam klen maupun di dalam masyarakat tersebut (Mansoben, 1995). Mananirio bertugas untuk melancarkan program pemerintah daerah. Kampung Makimi memiliki satu kantor kampung yang dilengkapi dengan perangkat-perangkat kampung dan struktur organisasi Pemerintah Kampung Makimi serta struktur organisasi Badan Musyawarah Kampung (BAMUSKAM). Untuk menjalankan tugas dan fungsi perangkat-perangkat kampung yang ada dengan baik perlu dijalin kerjasama yang baik dengan tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat lainnya untuk lebih mengembangkan kampung Makimi menjadi kampung yang lebih maju dan berkembang mengikuti perkembangan jaman. Adapun nama-nama kepala kampung yang bertugas untuk mengatur dan melaksanakan tugas pemerintah daerah ditingkat Kampung Makimi mulai dari kepala kampung yang pertama sampai kepala kampung yang sekarang yaitu: 1. Benediktus Rumawi 2. Timotius Manwaron 3. Adrianus Rumbobiar 4. Erens Rumbobiar 5. Matias Sokoteray
7
8
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
C. Sistem Organisasi Sosial Dalam kehidupan bermasyarakat diatur oleh adat-istiadat dan aturanaturan mengenai berbagai macam kesatuan didalam lingkungan hidup sehari-hari. Satu kesatuan yang paling dekat adalah kesatuan kekerabatannya yaitu keluarga inti dan kaum kerabat yang lainnya. Setiap masyarakat dan juga masyarakat kampung, terbagi-bagi dalam lapisan-lapisan, maka tiap orang di luar kerabatnya menghadapi lingkungan orang-orang yang lebih tinggi dari padanya, tetapi juga orang-orang yang sama tingkatannya (Koentjaraninggrat, 1990: 366) Sistim kekerabatan masyarakat Makimi yang paling penting adalah keluarga inti yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak dan seringkali ada orang tua dari suami atau istri. Garis keturunan yang dipakai adalah dari pihak ayah atau yang disebut patrilineal. Perempuan tertua mempunyai hak veto didalam keluarga. Dia berhak untuk memutuskan atau mengambil keputusan dalam berbicara. Pada masa yang lalu beberapa keluarga inti yang satu keturunan berdasarkan asas patrilineal bersama-sama menempati satu rumah besar atau rumah panjang. Dalam satu klen dipimpin oleh seorang kepala, dan di setiap kampung terdiri dari 3-5 klen. Anggota klen ada yang tinggal mengelompok dalam satu kampung tetapi ada juga yang tersebar dalam beberapa kampung. Anggota klen yang tersebar seperti ini sering tidak lagi mengetahui hubungan antara kekerabatan yang lain dengan sesama anggota klen Bagian dari klen sering disebut juga fam, suatu istilah untuk mengacu kepada kelompok kerabat yang masih saling mengenal dan mengetahui hubungan kekerabatannya. (Koentjaraninggrat, 1992:202203). Sehingga didalam kampung makimi terdapat beberapa klen yang tinggal dan menetap disitu bersama-sama berkumpul untuk membangun kampung dalam kebersamaan yang ada diantaranya adalah: 1. Klen Erari 7. Klen Rumatrai 13. Klen Rumadas 2. Klen Wopairi 8. Klen Rumbobiar 14. Klen Rumasauri 3. Klen Yoweni 9. Klen Manasi 15. Klen Inggeruhi 4. Klen Bokwai 10. Klen Rumawi 16. Klen Manupapami 5. Klen Inuri 11. Klen Misiro 17. Klen Haradiani 6. Klen Sokoterai 12.Klen Imbiri Menurut D. Rumawi, anak-anak laki-laki dan perempuan sudah diajar bagaimana bersikap sopan santun terhadap yang lain maupun terhadap kedua orang tua sejak usia 3-6 tahun didalam lingkungan keluarga masing-
Sejarah Kampung Makimi Kabupaten Nabire
masing. Setelah anak laki-laki beranjak remaja (11 tahun) diajarkan bekerja dan mengerjakan pekerjaan laki-laki yaitu membuat perahu dan dayung dan sebagainya. Selain itu, mereka diajarkan cara berperang menghadapi musuh, menggunakan parang, dan mengenai adat istiadat. Pelajaran tersebut diajarkan sebelum mereka beranjak dewasa dan mempunyai jodoh. Hal itu dimaksudkan agar mereka mampu bertanggung jawab ter hadap keluarganya nanti. Sedangkan untuk anak perempuan diajarkan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh kaum perempuan yaitu memasak dan menganyam noken. Jadi peranan orang tua dalam mendidik dan mengajarkan anak-anak mereka sangatlah penting dilakukan sebelum dia beranjak dewasa dan memiliki keluarganya sendiri. Menurut Erari sistim kekerabatan dari sekian klen yang ada dipegang oleh klen yang bersangkutan misalnya ada suatu persoalan dalam keluarga klen A dan Klen B, untuk menyelesaikan masalah tersebut terpaksa harus orang yang tertua dari Klen A dan klen B berkumpul bersama-sama dengan pihak pemerintahan kampung yaitu kepala kampung, Ketua RT, RW dan yang dituakan untuk bersama-sama berkumpul dalam menyelesaikan permasalahan yang ada sehingga kekerabatan tetap terjaga jangan sampai hubungan kekerabatan tersebut retak. Kalau sampai hubungan kedua klen tersebut retak maka akan berdampak sangat bersar sampai kepada hakhak warisan, maka orang tua-tua dari klen tersebut dan pemerintahan kampung harus berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan dalam berbagai persoalan. Dalam masyarakat perkawinan adalah pranata yang tidak hanya mengikat seorang pria dengan seorang wanita, tetapi juga suatu kelompok kerabat seorang pria dengan kelompok kerabat seorang wanita (Koentjaraninggrat, 1995 : 204). Setelah anak-anak mereka menikah, mereka harus mulai memikul tanggung jawab atas keluarganya sendiri dan mereka juga biasa memilih atau dipilih untuk tetap tinggal bersama-sama kedua orang tua atau membuat tempat tinggal mereka sendiri yang tidak jauh dari tempat tinggal orang tua mereka, itu semua tergantung dari suami Istri yang baru menikah. Perkawinan diantara keluarga dekat yaitu dari pihak ibu bisa terjadi. Untuk membuka kebun baru atau membangun rumah biasa dilakukan secara gotong royong. Mereka bekerjasama baik itu dengan anak-anaknya sendiri maupun keluarga dekatnya. Hal itu dimaksudkan agar suatu pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat.
9
10
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
D. Pola Pemukiman Kampung atau yang disebut dalam bahasa daerah adalah nuo pada umumnya dibangun dipesisir pantai dan di tengah hutan bakau. Biasanya penduduk kampung hidup berkelompok atau tersebar. Rumah orang Makimi berbentuk bangunan persegi panjang, yang dibangun diatas tiang-tiang disebut bulotaru sebagai tiang penunjang. Tiang-tiang itu diikat menggunakan berbagai jenis rotan (ataro) yang digunakan sebagai bahan untuk mengikat. Sebelum rotan-rotan itu digunakan, rotan tersebut direndam dulu baru dikuliti dan digunakan untuk mengikat tiang-tiang rumah. Rotan banyak tumbuh disekitar rumah. Dinding rumah terbuat dari gaba-gaba, atapnya terbuat dari daun nipa atau dikenal dengan daun pohon bobo atau dari daun sagu, lantainya dibuat dari nibun atau batang pohon pinang. Dalam membangun rumah, mereka bergotong-royong dari keluarga, dekat dengan imbalam yang mempunyai rumah tersebut menyediakan makanan untuk orang-orang bekerja. Pembangunan gereja, sekolah, pusat pelayanan kesehatan atau bangunan lainnya dibangun bersama masyarakat kampung. Bentuk rumah yang berada di Kampung Makimi sekarang ini ada yang semi permanen dan ada yang permanen. Yang semi permanen adalah bangunannya setengah batu dengan setengahnya lagi menggunakan gabagaba, beratapkan daun sagu dan ada yang beratapkan seng, lantainya ada yang tanah dan ada yang semen. Setiap rumah memiliki kamar tidur, ruang tamu dan dapur, kamar mandi dan WC yang ditempatkan agak jauh dari rumah. Kalau yang permanen bentuk rumahnya bervariasi dengan dindingnya terbuat dari batu bata, lantai rumahnya terbuat dari semen, dan atap rumahnya dari seng. Kamar mandi dan WC ada yang terdapat di dalam rumah ada juga yang terdapat di luar rumah. Ada kamar untuk orang tua dan kamar untuk anak-anak mereka yang belum berumah tangga, terdapat ruang untuk tamu dan dapur yang terletak di bagian belakang rumah. Tidak ada status istimewa yang dapat membedakan rumah masyarakat biasa dengan pemimpin kampung. Semuanya sama saja karena sekarang ini semuanya membangun rumah mengikuti pola baru. Mereka membangun rumah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka masingmasing.
Sejarah Kampung Makimi Kabupaten Nabire
III. PERKEMBANGAN KAMPUNG MAKIMI A. Kondisi Kampung Makimi Sebelum Injil Masuk Sebelum para pendeta dari Jerman dan Belanda menyebarkan agama Kristen di Kampung Makimi, penduduk lokal telah mengenal agama tradisional yang dipimpin oleh pemerintahan adat. Berdasarkan ajaran agama tradisional, penduduk lokal harus mematuhi aturan-aturan adat. Pelaksanaan aturan-aturan adat bertujuan untuk menjaga dan melindungi seluruh kehidupan masyarakat. Penduduk lokal memegang kuat dan menjunjung tinggi aturan-aturan adatnya. Sosialisasi aturan-aturan adat itu dilakukan melalui pendidikan informal dalam masyarakat. Sebelum injil masuk ke Kampung Makimi, masyarakat memperoleh pendidikan adat yang mengajar tentang aturan-aturan adat, budaya, tradisi-tradisi di dalam masyarakat dan agama tradisional yang dipercayainya. Suatu sistim agama dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciriciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan antara pengikutpengikutnya. Dengan demikian emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dalam tiga unsur lainnya yaitu sistim keyakinan, sistim upacara keagamaan, dan umat yang menganut religi itu. Biasanya sistim keyakinan secara khusus mengandung banyak sub unsur yang menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun yang jahat, sifat dan tanda-tanda dewa-dewa, konsep tentang mahluk-mahluk halus lainnya seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupun yang jahat, konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam, masalah terciptanya dunia dan alam, masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam, konsepsi tentang hidup dan maut, konsepsi tentang dunia roh dan dunia akhirat dan lain-lain (Koentjaraninggrat, 1990: 377). Dalam konteks Melanesia, epistemologi orang melanesia pada hakekatnya adalah epistemologi keagamaan atau religius. Orang-orang Melanesia sangat mengandalkan pengetahuan agama sebagai basis mereka untuk mengetahui dan mengerti dunia mereka hidup (Agus. A. Alua, 2006:10). Sebelum masuknya Injil ke Kampung Makimi, penduduknya masih percaya kepada dewa-dewa. Berbagai kebudayaan menganut kepercayaan bahwa dunia gaib dihuni oleh berbagai mahluk dan kekuatan yang tak dapat dikuasai oleh manusia dengan cara-cara biasa, dan karena itu dunia gaib pada dasarnya diikuti oleh manusia. Dewa adalah mahluk yang oleh
11
12
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
manusia dibayangkan mempunyai nama, bentuk, ciri-ciri, sifat-sifat, dan kepribadian yang tegas. Dalam mitologi diceritakan segala macam perilaku dan sifat dari setiap tokoh dewa, mulai dari kepahlawanannya, jasa-jasanya, wataknya, perasaannya, dan sebagainya, yang mirip dengan perilaku serta sifat manusia, namun dengan kemampuan yang lebih unggul. Kemudian dikenal juga dewa-dewa alam yang masing-masing dianggap menguasai salah satu gejala atau kekuatan alam seperti dewa-dewa yang melindungi perbuatan-perbuatan dan milik manusia misalnya dewa perburuan, dewa kemakmuran, dewa perang (Koentjaraninggrat, 1997:203-204). Sebelum masyarakat kampung (nuo) tua, masyarakat Kampung Kmiami pindah ke Kampung Makimi yang sekarang ini, di Kampung Kmiami masyarakat sudah menyembah dewa. Dewa yang mereka sembah adalah dewa Aiwuri, dewa Mekari dan dewa Warari. Masyarakat menganggap bahwa ketiga dewa ini sebagai Allah maka setiap pagi dan sore mereka menyembah tiga dewa ini supaya mereka mengetahui bagaimana nasib mereka malam dan besok paginya dan begitu seterusnya. Dewa Aiwuri adalah dewa perang/panglima. Ketika masyarakat mau perang untuk menangkap budak, mereka meyembah dewa Aiwuri untuk memohon petunjuk. Apabila dewa tersebut mengangguk maka tandanya dewa Aiwuri setuju. Demikian sebaliknya, apabila dewa Aiwuri menggeleng tandanya dewa tersebut tidak setuju kalau mereka berperang. Setiap kali kalau mereka mau menghadap ketiga dewa tersebut untuk memohon petunjuk, mereka menunjuk seorang laki-laki. Dia harus mempersiapkan diri selama satu minggu untuk menyucikan diri sebelum dia menghadap dewa. Menyucikan diri dalam hal ini adalah dia tidak boleh tidur dan berhubungan badan dengan istrinya, tidak boleh berbicara katakata yang kotor dan pada malam terakhir sebelum menghadap dewa dia membakar dupa. Setelah membakar dupa barulah dia menghadap dewa dan menanyakan kepada dewa apakah dewa merestui perjalanan mereka atau tidak. Kalau dewa menggelengkan kepala berarti perjalanannya mereka untuk pergi berperang ke dusun yang lainnya harus ditunda. Akan tetapi kalau dewa tersebut mengangguk berarti nanti laki-laki yang menghadap dewa tersebut keluar dan memberitahukan kepada masyarakat bahwa mereka dapat melakuan perjalanan untuk berperang karena dewa setuju. Pada malamnya mereka mengadakan pesta, perempuan dan lakilaki menari dan berdansa-dansa adat sambil menyanyi dan mereka yakin pasti mereka akan menangkap budak untuk dibawa pulang (wawancara dengan bapak Erari).
Sejarah Kampung Makimi Kabupaten Nabire
Dewa Mekari adalah dewa keselamatan. Sebelum mereka pergi ke dusun sagu mereka terlebih dahulu menanyakan kepada dewa apakah mereka akan kembali dengan selamat dan membawa hasil dari dusun tersebut. Dewa Warari adalah dewa peramal. Dewa ini dapat meramalkan bencana alam, penyakit, perang, musuh atau orang meninggal. Dewa ini bekerja sama dengan seorang nenek peramal di kampung yang bisa memberitahukan kepada masyarakat. Pada waktu terjadi tsunami nenek Rako ini sudah memberitahukan kepada masyarakat untuk bersiap-siap. Yang laki-laki menyiapkan perahu dan ibu-ibu menyiapkan makanan yaitu sagu bakar. Mereka semuanya bersiap-siap karena akan terjadi gempa, air pasang dan tsunami yang sangat besar. Mereka sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi bencana alam, sehingga tidak ada korban jiwa. Mereka semua selamat karena masyarakat sudah diberitahukan terlebih dahulu. Masyarakat menyiapkan perahu-perahu di samping-samping rumahnya, sehingga ketika terjadi tsunami mereka semua selamat, yang hilang hanyalah harta benda yang dimiliki dan ditinggalkan. Gempa dan tsunami terjadi mengakibatkan rumah tempat pemujaan dewa hancur oleh tsunami tersebut (wawancara dengan Bapak Erari). B. Kondisi Kampung Setelah Injil Masuk Sebelum agama Kristen masuk dikampung Makimi, masyarakatnya menyembah dewa sebagai Tuhan Allah mereka. Seperti apa yang dikatakan oleh Ottow dan Geissler yang memakai istilah “Penyembahan berhala”bagi pemujaan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Bagi mereka, kepercayaan agama suku merupakan “takhyul” belaka. Mereka juga menyebutkan bahwa semua kuasa itu sebagai “iblis”, maka mereka seakanakan menegaskan kenyataan bagaimana sulitnya untuk menghilangkan kepercayaan lama. Karena kepercayaan itu diberi nama “penyembahan iblis” hal itu dapat hidup terus dengan memakai nama lain (Kamma I, 1981:7). Pada 12 Januari 1855 Ottow dan Geissler bertolak dari Ternate menuju ke Irian dan kemudian mendarat di Pulau Mansinam. Para penginjil itu merasa gembira karena mereka sampai di tempat tujuan. Geissler menulis kepada Gossner “betapa besarnya rasa sukacita kami, akhirnya sampai di tanah tujuan kami”. Pada Hari Minggu pagi pukul 06.00 waktu setempat, para zending itu mendarat di pelabuhan Dore (yaitu Mansinam). Sekoci
13
14
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
pertama yang menuju daratan membawa kedua orang penginjil ke Mansinam pada 5 Februari 1855. “Dalam nama Allah kami menginjakkan kaki di tanah ini”. Mereka berdoa kepada Tuhan untuk mendapatkan kekuatan, tenaga, terang dan kebijaksanaan, agar semua dapat dimulai dengan sungguh-sungguh dan agar Tuhan sudi menaruh belas kasihan kepada orang-orang kafir yang malang itu (Kamma I, 1981 : 87). Dari kemelut wawasan-wawasan yang animistis-dinamistis dan di dalam hati orang-orang kafir itu lahir hasrat akan pelepasan dari belenggu adat kebiasaan. Hasrat itu dipupuk oleh suatu pertemuan dengan orang Amberi (orang non-Erapa Papua) dan dengan peradaban (kontak melalui kapal-kapal pos, menetapkan banyak orang Papua untuk beberapa waktu di Ternate), termasuk sebelum zending bekerja. Hal inilah yang menimbulkan hasrat untuk melepaskan semuanya itu dan lama-kelamaan orang Papua membuang ikatan-ikatan adat. Sekalipun kekuatan adat sudah didilepaskan, tetapi didalam hati orang-orang Papua yang sudah bertobat pun masih tersimpan banyak kekafiran adat (Kamma III, 1994 : 437). Dengan semua tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh para zending itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk tetap mewartakan injil sampai di pedalaman-pedalaman di Papua. Walaupun berat perjuangan mereka, tetapi mereka berhasil untuk mengkristenkan orang-orang Papua. Ini semuanya terbukti dengan masuknya agama Kristen di kampung Makimi pada 1920. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa masyarakat Kampung Makimi dulunya menyembah dewa sebagai Tuhan, baik di Kampung Tua maupun di Kampung Makimi. Menurut penuturan dari Paulus Wopairi, kehidupan mereka diwarnai dengan kegembiraan dan suatu ketika masyarakat Kampung Makimi mendapatkan musibah dengan datangnya wabah penyakit yang menyerang masyarakat. Wabah penyakit itu menyebabkan ada anggota masyarakat yang meninggal dunia. Mereka menganggap bahwa dewa yang mereka sembah tersebut tidak bisa mengatasi hal yang dialami masyarakat. Dengan melihat kondisi masyarakat yang semakin hari semakin tertekan dengan penyakit yang dialami ini, Mayor Pilep Wopairi dengan adiknya Andarias Yoweni berinisiatif untuk meminta seorang guru penginjil untuk dibawa ke kampung. Mereka berangkat ke Manokwari untuk menghadap pandita besar untuk meminta seorang guru penginjil untuk ditempatkan di Kampung Makimi. Di Roon Starrenburg menyebutkan didalam laporan tahunannya bahwa telah datang juga permintaan akan guru dari Teluk Cenderawasih
Sejarah Kampung Makimi Kabupaten Nabire
di antaranya adalah dari Makimi, Yaur, Kwatisori, Moor dan bahkan dari dua kampung dari Pulau Yapen yaitu dari Ansus dan Wooi. Penduduknya telah menempuh jalan panjang ke Roon dengan menggunakan perahu. Dalam tahun yang pertama itu (1908-1909) telah masuk permohonan dari enam belas kampung (Kamma III, 1994:223). Permintaan-permintaan supaya ditempatkan seorang guru mengalir terus. Hal ini mendorong para zendeling untuk mengutus guru-guru bukan hanya supaya menjadi guru sekolah saja, melainkan juga supaya memimpin seluruh karya pekabaran injil di daerah tersebut (Kamma III, 1994:224) Seorang guru penginjil sudah disiapkan untuk masyarakat Makimi, namun guru penginil itu masih berada di Roon. Oleh karena itu, pandita besar mengutus mereka berdua untuk menjemput guru penginjil tersebut di Roon. Ketika mereka tiba di Roon, mereka berdua langsung meminta seorang guru penginjil yang bernama Welem Ayamseba. Naun, mereka berdua yang meminta guru tersebut disuruh pulang oleh pendeta yang ada di Roon sambil mnunggu berita dari Roon. Akhirnya guru penginjil diutus, dia datang dari Roon langsung menuju ke Napan singgah di keluarga Marey. Permintaan guru penginjil dari Mayor Pilep Wopairi bersama saudaranya Wanibur Andarias Yoweni tanpa memberitahukan masyarakat Kampung Makimi. Andarias Yoweni menjemput guru penginjil dari Napan. Mereka menuju ke Kampung Makimi, tetapi sebelum sampai di Kampung Makimi, masyarakat dan orang-orang tua dari kampung Makimi yang lain mengusir dan menolak kehadiran dari guru penginjil tersebut dan akhirnya penginjil tersebut tidak jadi mendarat di Kampung Makimi dan kembali lagi ke Roon. Menurut Paulus Wopairi, penolakan masyarakat terhadap guru penginjil tersebut, menyebabkan penyakit yang mereka derita tak kunjung berhenti malahan semakin terus bertambah penyakit menyerang mereka. Akan tetapi Mayor Pilep Wopairi dan Wanibur Andarias Yoweni tidak berputus asa dan menyerah, mereka berpikir lagi untuk meminta kembali guru penginjil untuk Kampung Makimi. Mereka berdua kembali lagi menggunakan perahu menuju ke Manokwari untuk menyampaikan maksud mereka untuk meminta guru penginjil kembali. Tetapi mereka berdua disuruh pulang kembali ke kampung mereka dan Pandita besar harus berpikir kembali apakah dapat mengirim kembali guru penginjil untuk mereka. Karena guru penginjil yang sudah diutus untuk ke Kampung Makimi diusir oleh masyarakat Makimi.
15
16
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
Akhirnya permintaan guru penginjil yang kedua kalinya itu dikabulkan. Guru tersebut sudah dikirim ke kampung Napan. Pada 1920 datanglah guru penginjil yang dijemput oleh Mayor Pilep Wopairi dan Wanibur Andarias Yoweni pergi menjemput guru penginjil yang sudah berada di kampung Napan, guru penginjil itu bernama Simon Paliyama, yang berasal dari Ambon. Sesampainya mereka di Kampung Makimi, guru penginjil ini ditempatkan dirumahnya Mayor Pilep Wopairi dan rumahnya itu juga dijadikan sebagi tempat ibadah dan sekolah bagi anakanak sekolah. Kedatangan guru ini bukan hanya sebagai guru penginjil tetapi dia merangkap pekerjaan sebagai guru sekolah, mantri kesehatan, pertanian. Sedangkan istri dari guru penginjil memberi pelajaran menjahit, menyulam dan membuat noken dari daun tikar. Para guru datang silih berganti untuk mengubah cara hidup masyarakat yang tadinya menyembah dewa dengan berganti takut akan Tuhan. Guru -guru yang datang bergantian yaitu guru Patinaserani, guru Wuromboni, guru Singgamui, guru Sembor, guru Wanaha, guru Wartanoy pada 1947 bersama-sama dengan masyarakat membangun sebuah gereja. Guru Yensei, guru Mayloku, guru David Rumadas di mana sekolah dan Kampung Makimi sudah berkembang menuju yang lebih baik, guru Efradus Marey dan yang sekarang ini yang menjadi kepala sekolah adalah Guru A. Womas di SD YPK Syalom Makimi. Kedatangan para guru-guru penginjil ini menjadikan masyarakat di Kampung Makimi berkembang menuju yang lebih baik dan teratur. Gerejanya pun berkembang dengan baik mengikuti perkembangan zaman dan dilengkapi dengan penatua-penatua dari gereja tersebut. Selama ini yang melayani Jemaat Syallom Makimi adalah pelayanan keliling (BPK) Badan Pekerja Klasis GKI yang sudah di jadwalkan dua kali dalam satu bulan untuk mengadakan pelayanan secara roling atau bergantian. Dibawah ini terdapat bagan struktur gereja yang selama ini bertugas melayani Jemaat Syaloom Makimi apabila petugas pelayanan GKI tidak datang untuk melayani Jemaat di Kampung Makimi. Kehadiran guru-guru berjasa dalam membangun wawasan masyarakat Makimi lebih maju dan berkembang. Pelayanan pendidikan yang dilakukan para guru tersebut telah banyak melahirkan putra-putri dari Kampung Makimi yang sudah berhasil antara lain sebagai berikut: 1. Ir. Marthen Luther Rumadas, Msi (Sekda IJB) 2. DR. K.PH. Erari (Tim Penasehat Presiden) 3. (Alm) Drs. Petrus Rumadas (mantan Camat Sentani) 4. Drs. Obeth Rumadas (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata)
Sejarah Kampung Makimi Kabupaten Nabire
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Drs. Alex Rumbobiar, Msi (Sekda Asmat) Drs. Marthen Erari, Msi (Kabag. Keuangan IJB) Drs. Yermia Rumbobiar (Kepala Dinas Sosial IJB) Drs. F. Wopari, Msi (Dosen UNCEN) Drs. Yance Rumawi (Sekretaris BPMK) Dra. Marthina Rumawi (TVRI Papua) Drs. Piter Erari, S.E, Msi (Ketua Bappeda Nabire) Drs. Roberth Wopairi, Msi (Kantor Agama Provinsi Papua)
C. Kampung Makimi Pada Era Otsus Otonomi Khusus Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaga Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No.1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No.57 dan TLN No. 4843). Undang-undang 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan otonomi khusus. Selain hal-hal yang mengatur secara khusus dalam undang-undang ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan undang-undang tentang pemerintahan daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di indonesia. Jadi otonomi khusus adalah sebuah aturan atau kebijakan yang ber isikan komitmen politik yang diakui dan diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah dan rakyat Papua sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk menjawab semua persoalan yang ada ditanah Papua dengan cara meningkatkan pembangunan ditanah Papua dalam berbagai aspek, dengan prioritas utama yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dalam wadah NKRI. Menurut Bahar Sule dana respek untuk Kampung Makimi sudah berjalan kurang lebih lima tahun. Selama lima tahun pengurus bersama masyarakat telah mengusulkan berbagai macam kebutuhan untuk masyarakat kampung sendiri. Programnya yang diusulkan masyarakat adalah berupa tempat penampungan air hujan dan pendidikan dan lainlainnya. TPKD dan TPKK hanya memfasilitasi pertemuan tetapi yang menentukan programnya adalah masyarakat kampung. Selama ini dana respek sudah digunakan di kampung untuk keperluan masyarakat yaitu penampungan air, penimbunan halaman sekolah, pengadaan seragan sekolah, kader posyandu, membayar honor kader posyandu, pemberian
17
18
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
makanan tambahan, pembayaran honor guru, pembangunan sarana MCK. Pembangunan sarana MCK disiapkan oleh pemerintah kampung untuk tiap keluarga. Selain itu, pemerintah kampung juga menyiapkan motor tiga roda untuk anak-anak sekolah. Sedangkan yang belum berjalan adalah peningkatan ekonomi masyarakat usaha ekonomi produktif (UEP) dan SPP bagi anak-anak sekolah. IV. PENUTUP A. Kesimpulan Sejarah Kampung Makimi bermula sejak abad 14-16. Pada saat itu, ada beberapa suku yang berdiam di daerah matahari turun ke selatan, yang pernah melintasi pesisir pantai. Ketika daerah lintas diberi nama menurut budaya bahasa suku itu sendiri, seperti Makimi bahasa aslinya adalah Kmiami yang artinya ”tenang menghanyutkan”, pendapat ini dikemukakan karena kali Makimi Tua adalah ”Telaga” yang tak pernah ada muaranya, maka terjadilah suatu peristiwa penggalian telaga itu oleh suku Delta/ Fafaibo, sehingga air itu mengalir dan itulah kali Makimi di Kampung Tua. Pada abad 14 suku Fafaibo atau yang sering didengar dengan sebutan Fafaibo Mensen adalah orang-orang yang mendiami dan berkampung di Delta Rawa. Suku yang bermukim di daerah bakau dikenal dengan nama suku Waisaru yang mana daerah matapencahariannya berbatasan dengan suku Fafaibo yang disebut Serimasorai atau Hanarengga. Setelah beberapa waktu kemudian kesepakatan batas ini menjadi Tanah Datuk yang bagian utaranya didiami oleh Suku Koan dan Suku Woa. Setelah abad 17 dan 18 pesisir itu diberi julukan ”Waropen” dan ”Waropenkai”. Penduduk asli daerah itu bermarga Erari. Dengan adanya Peraturan Pemerintah Hindia Belanda tentang sistem kampung yang teratur, keluarga besar Erari dengan beberapa sub-sub marga mendiami kampung tua yang disebut Kuhura Aigwai. Akibat gempa bumi dan tsunami yang melanda daerah itu, penduduk Kuhura Agwai berpindah kepesisir Rarimerei dengan nama Kmiami menjadi Makimi. Setelah terjadi gempa bumi dan tsunami dari 1917 hingga 1918, penduduk Kuhura Aigwai berpindah kepesisir Rarimerei. Karena orangorang tersebut merupakan orang-orang yang pindah dari Kmiani maka kampung itu diberi nama oleh orang-orang Delta yaitu Makimi. Pemberian
Sejarah Kampung Makimi Kabupaten Nabire
nama itu bertujuan untuk mengenang kembali Kampung Kmiani yang sakral karena dikampung tersebut terdapat tempat pemujaan tiga dewa besar dari marga Erari. Maka berdatanganlah suku-suku melewati pesisir yang berasal dari suku Waropen, Yaur, Windesi, Wandamen, Room dan orang Doreri Numfor. Untuk tertibnya masyarakat Kampung Makimi dibagi atas tiga bagian antara lain : Lagari, Sinumbo, dan Simuti dengan pembagiannya sebagai berikut : Orang Yaur menduduki Lagari, Orang Erari sebagai pemiliki tanah adat di Simunbo, sedangkan daerah Simuti didiami oleh suku Wandamen Ambumi, Windesi, Roon dan Doreri Numfor sampai saat ini Kampung Makimi belum mengalami perubahan sekalipun pemerintah yang membuat perubahan. Mata pencaharian masyarakat Kampung Makimi adalah menokok sagu, mencari ikan, berburu, berkebun/ tani sangat kurang. Masyarakat mempunyai dusun sagu sebagai hak waris nenek moyang Erari. Setiap sub marga yang datang sebagai penduduk daerah menjaga ketat batas wilayah mata pencaharian berdasarkan hukum karma. Alat-alat matapencaharian tradisional selalu disanjung dan didewakan yang berlangsung hingga masuknya Injil di Kampung Makimi pada 1920 dan diterima oleh suku Delta. Dalam kehidupan sosial budaya yang mereka miliki adalah garis keturunan dari ayah atau patrilineal. Dengan pemimpin tertinggi dalam masyarakat adalah Kepala Suku Besar yang bertugas menjaga kesejahteraan dan kedamaian di dalam kampung tersebut. Sama halnya dengan kampungkampung lain yang ada di Papua, Kampung Makimi juga mendapatkan bantuan dana respek walaupun sebagian dari masyarakat belum terlalu memahami dan mengerti bantuan dari dana otsus itu sendiri. B. Saran-saran 1. Generasi penerus Kampung Makimi harus mengetahui sejarah perkembangan kampung tersebut. 2. Pemerintah Kabupaten khususnya dinas pendidikan membuat bahan ajar muatan lokal tentang sejarah toponimi kampung dan kabupaten tersebut, agar generasi penerus dapat mengetahui sejarah daerahnya.
19
20
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
DAFTAR PUSTAKA Abd. Rahman. 2008. Sejarah Teluk Bintuni. Yogyakarta : Lanarka Publisher. Alua. Agus A. 2006. Karaktristik Dasar Agama-agama Melanesia. Jayapura : STFT Fajar Timur. BPS Kabupaten Nabire. 2010. Koentjaraningrat. 1992. Irian Jaya Membangun masyarakat Majemuk. Jakarta : Djambatan. _____________. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta. _____________. 1997. Pengantar Antropologi Pokok-pokok etnografi II. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Kamma, F.C. 1981. “Ajaib dimata kita” Masalah komunikasi antara Timur dan Barat dilihat dari sudut pengalaman selama seabad pekabaran injil di Irian jaya I. Jakarta : BPK Gunung Mulia. __________. 1994. “Ajaib dimata kita” Masalah komunikasi antara Timur dan Barat dilihat dari sudut pengalaman selama seabad pekabaran injil di Irian jaya III. Jakarta : BPK Gunung Mulia. Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Jogyakarta : Tiara Wacana. Mansoben. 1995. Sistem Politik Tradisional di Iraian Jaya. Jakarta : LIPI-RUL
Tradisi Kematian Etnis Moi di Kampung Makbon Kabupaten Sorong
Tradisi Kematian Etnis Moi di Kampung Makbon Kabupaten Sorong
(Death tradition among the Moi in Makbon of Sorong regency) Veibe Rhibka Assa
Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jayapura-Papua Jl. Isele, Waena Kampung Jayapura, Kode Pos 99358, Jayapura-Papua Tlp. (0967) 571089, Fax. (0967) 573383, e-mail:
[email protected] (
[email protected])
Abstract Various customs as part of human tradition in various parts of the world become so important in respecting those who are died. Patterns and values that might be revealed in identification process of the ceremonies among Moi ethnic is the aim of focus discussion. Qualitative method was used with ethnographic approach techniques. Death ceremonies among the Moi’s had been implemented as their belief on the ancestors and were forwarded through generations verbally. There were changes occured as the entry of Christianity as Moi’s new or modern belief. Many customs and traditions were gradually decreasing and vanished. Tradition of ”head payment” and custom fines especially ”Kain Timur” is one of the persisting customs among the people. Close relationship of people who are still living with the dead were reflected by tradition payment, people were respecting the deads through symbolic actions by giving customary fine payment. Keywords: tradition, death, Moi ethnic, Makbon village, Sorong regency 1.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kematian merupakan suatu misteri. Banyak yang tidak tahu seperti apa dunia sesudah kematian. Tapi banyak juga yang percaya bahwa ada kehidupan lain setelah kematian, dan bahwa kematian adalah akhir dari segalanya atau akhir dari keberadaan seseorang. Banyak juga yang percaya bahwa kematian adalah awal dari suatu kehidupan baru dalam suatu bentuk
21
22
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
siklus. Apapun kepercayaan yang dianut, tak ada seorang pun yang tahu seperti apa situasi dan kondisi setelah kematian. Agama Hindu percaya bahwa penjelmaan dan kematian adalah sebagai pandangan jiwa beralih daripada satu badan ke satu haluan lain untuk mencapai nirwana atau surga. Kematian adalah satu peristiwa yang menyedihkan. Mayat biasanya dimandikan dan dipakaikan pakaian putih, yang merupakan salah satu pakaian tradisional orang India. Jika isteri mati sebelum suaminya, dia dipakaikan pakaian pengantin. Manakala seorang janda maka ia akan dipakaikan sari yang berwarna putih atau berwarna pucat. Badan dihiasi dengan cendana, bunga-bunga dan kalungan-kalungan bunga. Biasanya, kalung bunga serta bunga-bungaan diletakkan pada gambar atau foto orang yang telah mati, menunjukkan tanda penghormatan sekaligus untuk mengenangnya. ‘Shradh’ adalah upacara sembahyang setahun selepas kematian seseorang untuk memperingati mereka. (sumber: http:// kampungbugis.com/tahapan.upacara-kematian-dalam-adat-bugis/&t/, diakses 7 Februari 2012). Masyarakat Hindu Bali membakar mayat mereka, dan percaya bahwa pembakaran satu mayat menandakan pembebasan semangat dan api adalah mewakili Siwa, yaitu dewa pemusnah. Meskipun tubuh terbakar, namun roh abadi dan saat tubuh dan roh terpisah maka orang yang mati tersebut dapat mencapai kebebasan hidup abadi. Di Sulawesi Selatan ada salah satu upacara adat yang dimiliki suku Bugis, yaitu Ammateang atau upacara adat kematian yang dalam adat Bugis merupakan upacara yang dilaksanakan masyarakat Bugis saat seseorang dalam suatu kampung meninggal dunia. Dalam adat Bugis, apabila salah seorang meninggal dunia maka beberapa hari kemudian biasanya pada hari ketiga, ketujuh, ke empat puluh, hari ke seratus atau kapan pun keluarga jenazah mampu, maka akan dilaksanakan satu upacara adat yang disebut mattampung, dalam upacara adat ini dilakukan penyembelihan sapi. Dan apabila, semua tata cara keislaman telah selesai dilakukan dari mulai memandikan, mengkafani, dan menyembahyangkan mayat, maka jenazah pun diusung oleh beberapa orang keluar rumah lalu diletakan diatas ulereng. Tata cara membawa usungan atau ulureng ini terbilang unik. Ulereng diangkat ke atas kemudian diturunkan lagi sambil melangkah ke depan, ini diulangi hingga 3 kali berturut-turut, barulah kemudian dilanjutkan dengan perlahan menuju ke pekuburan diikuti rombongan pengantar dan pelayat mayat. Iring-iringan pengantar jenazah bisa bergantigantian mengusung ulereng. Semua orang-orang yang berpapasan dengan iringan pengantar jenazah harus berhenti, sedangkan orang-orang yang
Tradisi Kematian Etnis Moi di Kampung Makbon Kabupaten Sorong
berjalan atau berkendara dari belakang tidak boleh mendahului rombongan pengantar jenazah hingga sampai di areal pekuburan. (sumber: http:// kematian-hindu.blogspot.com/2007/02/, diakses 7 Februari 2012). Di wilayah paling timur Indonesia yaitu Papua yang saat ini terdiri dari Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki beragam adat istiadat dalam budaya masing-masing etnis atau suku bangsa. Setiap suku bangsa yang mendiami wilayah di Tanah Papua mempunyai ciri khas dalam meles tarikan budayanya. Alam Papua yang sangat indah dan masih alami menyimpan banyak rahasia. Penelitian dilakukan di daerah Sorong, yaitu pada etnis Moi yang mendiami wilayah Sorong secara luas. Dalam etnis ini terdapat banyak kebudayaan yang berbeda-beda dengan suku-suku lain yang ada di Papua. Papua merupakan satu-satunya wilayah di Indonesia yang memiliki suku bangsa yang paling banyak serta unik. Salah satu tradisi yang menarik untuk diteliti adalah tradisi saat ada kematian di kalangan suatu etnis. Upacara dilakukan saat kematian seseorang dengan tradisi yang telah dilakukan turun temurun. Dalam setiap suku begitu banyak tradisi dalam setiap acara-acara kematian karena begitu banyaknya suku yang hidup di Indonesia ini. Begitu kentalnya tradisi kematian sehingga sangat menonjol melebihi acara-acara yang menampilkan tradisi serta budaya lainnya dari setiap suku pemiliknya. Contohnya: Upacara Ngaben di Bali, Upacara Ma’badong dari Toraja, Warekma atau Pesta Kematian dari suku bangsa Hubula dan lain sebagainya. B. Masalah Penelitian pada Suku Bangsa Moi yang berada di Kota Sorong dilakukan dengan pembatasan masalah agar pengambilan data dan pembahasan dapat terfokus sehingga tujuan bisa tercapai. Permasalahan yang diangkat adalah ; Bagaimana tradisi atau sistem upacara kematian pada suku bangsa Moi, khususnya yang berada di wilayah Distrik Makbon Kabupaten Sorong serta nilai yang terungkap dari tradisi kematian etnis Moi. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk ; 1) Mengidentifikasi tradisi upacara kematian yang ada pada etnis Moi di Kabupaten Sorong 2) Mengungkap nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi kematian etnis Moi
23
24
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
D. Konsep dan Teori Tradisi atau adat istiadat adalah kompleks konsep serta aturan yang mantap serta terintegrasi kuat dalam sistem budaya dari suatu kebudayaan yang menata tindakan manusia dalam kehidupan sosial kebudayaan itu. (Koentjaraningrat, 1984:2). Upacara (ritual, ceremony) adalah sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. (Koentjaraningrat, 1984:189). Upacara adalah tingkah laku resmi yang dibakukan untuk peristiwaperistiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan teknis sehari-hari, akan tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan akan adanya kekuatan di luar kemampuan manusia. Berbagai upacara dikembangkan dengan maksud untuk menyampaikan gagasan dan pengalaman pendahulunya, untuk mengukuhkan pendapat, norma-norma dan agama dengan lambanglambang, (Budi Santoso, 1992:7). Menurut Teori Hertz yang diuraikan dalam Analisa Hertz tentang Upacara Kematian dalam Ritus Peralihan di Indonesia (Koentjaraningrat, 1993:28-31), berasal dari ahli antropologi Perancis R. Hertz. Ia adalah anggota suatu kelompok studi ilmu sosial di Perancis yang mengandung pendirian bahwa sebagian besar dari tingkah laku manusia dalam masyarakat sangat banyak dipengaruhi dan ditentukan oleh gagasan orang banyak, atau “gagasan kolektif” yang hidup dalam masyarakat itu. Di sini Hertz melihat bahwa gagasan kolektif mengenai gejala kematian yang terdapat pada banyak suku-bangsa di dunia adalah gagasan bahwa mati itu berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu ke kedudukan sosial yang lain. Dalam peristiwa mati, manusia beralih dari suatu kedudukan sosial dalam dunia ini ke suatu kedudukan sosial dalam dunia makhluk halus. Dengan demikian upacara kematian tidak lain daripada upacara inisiasi. Sesudah analisa yang dalam tentang berbagai unsur dalam upacaraupacara kematian pada berbagai suku-bangsa di Indonesia, yang memberi kesimpulan kepadanya bahwa upacara kematian itu tidak lain daripada suatu upacara inisiasi, Hertz menunjukkan bahwa ada persamaan yang besar antara unsur-unsur upacara kematian manusia dengan unsur-unsur upacara kelahiran dan pernikahannya. Pada kelahiran, seorang individu beralih dari alam gaib ke alam hidup; pada kematian ia beralih dari alam hidup ke alam gaib.
Tradisi Kematian Etnis Moi di Kampung Makbon Kabupaten Sorong
Manusia hidup di dunia ini diumpamakan sebagai perantau atau tamu buat sementara waktu saja dan dunia diumpamakan sebagai suatu tempat persinggahan untuk menuju tempat yang kekal dan abadi, yaitu dunia akhirat. Kepada manusia diperingatkan tentang asal mulanya yang pertama, yaitu mula-mula ia ada dalam tulang ibu bapaknya kemudian berangsur ke rahim ibu lalu lahir ke dunia dan akhirnya masuk ke kubur. Jadi dunia tak lain daripada sebuah jembatan yang menghubungkan manusia dengan tempat yang kekal itu. E. Metode Penelitian Metode yang akan digunakan adalah metode penelitian yang bersifat analisa kualitatif dengan menggunakan pendekatan etnografis. Pengumpulan data dan informasi lapangan dilakukan terhadap beberapa informan yang menguasai permasalahan, untuk mengumpulkan informasi primer. Selain itu studi kepustakaan juga dilakukan untuk memakai konsep dan teori yang akan dipakai untuk melandasi kerangka berpikir dan operasionalisasi data lapangan dalam pembahasan hasil. Teknik Pengumpulan Data yang digunakan yaitu: studi kepustakaan, observasi, wawancara, pencatatan dan perekaman. Sebagai sampel sumber data atau informan adalah mereka yang memenuhi kriteria sebagai berikut; 1) Mereka yang menguasai dan memahami tradisi upacara kematian (orang-orang tua) 2) Tokoh-tokoh adat atau masyarakat yang mengenal & memahami warisan budaya lisan yang diketahui secara turun temurun melalui bahasa oral. 3) Tokoh-tokoh agama (pengaruh mereka dalam kelangsungan tradisi tersebut) dan masyarakat yang masih melakukan tradisi ini 4) Generasi muda berpendidikan dan memiliki pengetahuan tentang tradisi setempat, biasanya mereka yang tertarik dan peduli dengan warisan budaya lokal (dapat berusia 30 s/d 45 tahun). 2.
GAMBARAN UMUM
A. Daerah Penelitian Penelitian dilakukan dengan mengambil lokasi di salah satu kampung atau wilayah di Kabupaten Sorong yang didiami oleh Etnis Moi, yaitu
25
26
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
di wilayah Distrik Makbon Kampung Makbon. Letak Kabupaten Sorong secara geografis berada tepat pada gambar kepala burung karena dalam peta tergambar lebih menyerupai gambar burung. Kota dan Kabupaten Sorong dihuni oleh suku asli Moi. Pada umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan yang menganut garis patrilinear atau garis keturunan dari pihak ayah. Pada daerah-daerah di Papua umumnya dan secara khusus di kota Sorong yang bervariasi topografinya terdapat kelompok suku dengan budaya dan adat istiadat yang saling berbeda terutama bahasa masing-masing sukunya. Dengan mengacu pada perbedaan topografi dan adat istiadatnya maka secara garis besar penduduk pribumi di kota Sorong dapat dibedakan menjadi 3 kelompok besar, yaitu : a. Penduduk Daerah Pantai dan Kepulauan b. Penduduk Daerah Pedalaman yang Hidup pada Daerah Sungai, Rawa, Danau dan Lembah serta Kaki Gunung c. Penduduk Daerah Dataran Tinggi Kota Sorong sebagai satu-satunya kota di Papua dengan sebagian penduduk asli memiliki keterampilan tenun ikat, biasa disebut masyarakat setempat sebagai Kain Timur. Kain Timur masuk di wilayah Sorong tahun 1700-an yang dibawa oleh para misionaris dan guru dari Timor. Mereka memperkenalkan Kain Timur sekaligus melatih dan mendidik putraputri setempat belajar menenun Kain Timur. Banyak perempuan Sorong mengenakan sarung Timur terutama pada perayaana adat di dalam kota, seperti masyarakat di Timur (NTT) lainnya. Ketika masyarakat di sebagian besar Papua mengenakan koteka, rumbai dan awur, masyarakat Sorong justru telah mengenakan sarung Timur. Sarung Timur menjadi mas kawin paling bergengsi dan paling mahal di Sorong. Makin banyak keluarga memiliki sarung Timur, status sosial mereka pun makin tinggi, terutama sarung Timur peninggalan zaman dulu. Setelah Sorong diresmikan pada tahun 1970 menjadi daerah adminitratif yang meliputi seluruh wilayah Sorong dan Raja Ampat, hingga tahun 1999 masih merupakan Kabupaten Sorong hingga dimekarkan tahun 2003 menjadi Kabupaten Sorong Selatan dan Kabupaten Sorong Kepulauan (Raja Ampat). Kesemua wilayah ini masih merupakan rumpun Etnis Moi (S. Malak & Wa Ode L.: 2011). Sorong yang sekarang telah terbagi menjadi beberapa wilayah hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong. Kata Sorong berasal dari kata berbahasa Biak “soren” yang artinya “laut”, ini karena konon Orang Biaklah yang
Tradisi Kematian Etnis Moi di Kampung Makbon Kabupaten Sorong
pertama kali menemukan daerah Sorong sebelum Belanda tiba di Papua. Sorong dalam bahasa Moi disebut maladum karena ketika daerah ini dibuka oleh pemerintah Belanda yang mempekerjakan Etnis Moi dalam membuka lahan, ternyata banyak ditumbuhi pohon gelobak (sejenis lengkuas) yang dalam bahasa Moi disebut dum. Maka dinamakanlah daerah ini maladum yang artinya tanah yang banyak ditumbuhi dum. Istilah kata soren dan dum inilah yang kemudian menurut sebagian masyarakat menjadikan nama Sorong Doom yang merupakan pertemuan Etnis Moi dan Suku Biak di tanah ini. (2010. Kota Sorong. iannnews.com/ensiklopedia.php?prov =14&kota, diunduh 7 Februari 2012). B. Etnis Moi dan Kampung Makbon Wilayah kepala burung Provinsi Papua Barat ini didiami oleh Etnis Moi, merupakan suku asli yang mendiami daerah Sorong dan Raja Ampat. Moi berasal dari kata Malamoi, yaitu dua suku yaitu kata mala yang berarti burung atau tanah luas dan moi yang berarti halus, lembut, bagus, atau baik. Moi sendiri menurut beberapa orang tua berasal dari kata bahasa Belanda mooi yang artinya bagus atau baik, hal ini rupanya berkaitan dengan karakteristik Etnis Moi yang lembut, sopan, tidak beringas dan bertutur kata manis. Kata ini lahir pada saat Etnis Moi mulai bicara tentang adat. Menurut sejarah yang diceritakan para orang tua adat, peradaban Etnis Moi berawal dari dua kekuatan, yaitu Tambrau dan Maladofok. Mite Etnis Moi menyebut Maladofok sebagai kekuatan perempuan dan Tambrau sebagai kekuatan laki-laki. Teges Maladum adalah wilayah orangEtnis Moi pertama, kemudian berkembang dan mulai melakukan migrasi ke Manokwari, Teminabuan, Ayamaru, dan Kepulauan Raja Ampat. Etnis Moi percaya nenek moyangnya keluar dari Gunung Maladofok dan dunia ini dimulai dari gunung itu. Hampir semua suku di wilayah Kepala Burung berasal dari satu nenek moyang Kelinplasa (disebut sebagai menara Babel) di daerah Maladofok. Mereka kemudian terpencar karena menara yang sedang dibangun roboh oleh air bah dan semua orang naik mencari perlindungan di gunung. Karena ”Waktu itu Tuhan menghukum dengan memecah belah bahasa yang ada”, demikian menurut seorang tua adat. Orang-orang yang hanyut ke tempat lain kemudian hidup terpisah-pisah dan sekarang menjadi suku-suku baru: suku Ayamaru dengan margamarga Salossa, Kambuaya, Sevaniwi, Bless, Sraun, Duwith, Bleskadith,
27
28
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
Kondologit, Konjol, Kamesok, Salambau, dan Momot. (Sumber: iannnews. com/ensiklopedia. php?prov =14&kota,). Lokasi penelitian yang diambil yaitu di wilayah Kabupaten Sorong, di Kampung Makbon Distrik Makbon. Nama Makbon sendiri adalah nama yang berasal dari kata berbahasa Biak, yaitu mak artinya bintang dan bon artinya gunung. Sebutan Etnis Moi menyebut Makbon dalam bahasa adalah Lipla. Lipla artinya tanjung, karena memang secara geografis Makbon terletak pada sebuah tempat yang membentuk tanjung (Wawancara dengan informan, 19 April 2012). C. Bahasa Secara umum penduduk Papua dibagi ke dalam dua kelompok besar pembagian bahasa, yaitu rumpun bahasa Austronesia dan non-Austronesia. Bahasa Moi selama ratusan tahun atau pada masa lampau telah menjadi bahasa pengantar di seluruh wilayah Kepala Burung. Bahasa Moi termasuk dalam rumpun bahasa barat laut Kepala Burung yang memiliki kemiripan secara leksikal dengan bahasa Karon, Madik, Kalabra, Moraid dan Ayamaru yang merupakan bahasa non-Austronesia. Bahasa Ayamaru memiliki kemiripan paling sedikit dengan bahasa-bahasa tersebut tetapi memiliki beberapa kesamaan yang lebih menonjol dengan bahasa Karon dan Madik karena merupakan bahasa di daerah pedalaman Kepala Burung. Bahasa Moi berada pada posisi diantara dua pasang bahasa tersebut yang saling memperkaya kosakata. Bahasa Moi merupakan salah satu bahasa yang termasuk salah satu dari lima phylum mayor terkecil bahasa Papua (phylum Papua Barat) yang didalamnya terdapat 24 bahasa. Bahasa Moi sebagai bahasa induk dipakai oleh sekitar 4.600 penutur di wilayah Sorong. Bahasa ini memiliki banyak dialek dan masing-masing hanya memiliki sedikit perbedaan. Berry & Berry (1987) mengklasifikasikannya menjadi 3: Amber (pegunungan), Klasa (hulu sungai) dan Kelim (pedalaman). Penutur kelompok ini adalah sebagai berikut; (1) Moi Amber/Asli/Besar meliputi wilayah Makbon, Malaumkarta, Batulubang, Asbakin, Malanu, Klasaman, Aimas dan Klamono (± 3.400 penutur) (2) Klasan meliputi Megan dan Dela (± 800 penutur) (3) Kelim meliputi Sayosa, Maladofok dan Klayili (± 4.600 penutur)
Tradisi Kematian Etnis Moi di Kampung Makbon Kabupaten Sorong
C. Sosial Budaya Etnis Moi adalah penduduk asli kota Sorong yang memiliki hak sah dari kota Sorong namun keberadaan mereka sekarang tergeser dan menyebar di Distrik Sorong Timur dan Utara Kota Sorong. Tanah warisannya pun telah diberikan kepada suku-suku yang lain melalui barter atau telah dibayar kepada suku lain. Sebelum tahun 1930 – 1850-an kota Sorong mutlak dikuasai oleh suku ini tetapi setelah tahun 1953 sampai saat sekarang suku ini pola bermukimnya ke arah timur Kota Sorong yang diakibatkan dari proses migrasi penduduk empat suku yang ada di sekitar wilayah kepala burung dan warga suku lain yang datang bermigrasi ke Kota Sorong. D. Sistem Pengetahuan Etnis Moi percaya segala sesuatu yang ada sekarang, misalnya bahan peledak, obat-obatan, merekayasa hujan, menyembuhkan orang sakit, membunuh orang dengan kekuatan magis secara massal, sampai meng hilangkan diri dan menghilangkan orang lain, telah ada dan sudah dibuat masyarakat Etnis Moi sejak dulu. Mereka telah belajar dan mengajarkan secara turun-temurun semua unsur tersebut dalam sekolah adat yang disebut kambik. Masa pendidikan bervariasi, menurut jenis ilmu yang dipelajari. Mulai dari 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan, 12 bulan, 16 bulan, hingga 24 bulan. Pendidikan adat ini bersifat tertutup dan rahasia, dan hanya boleh diikuti nedla (laki-laki). Perempuan tidak diperbolehkan ikut karena dikhawatirkan jika ikut dalam proses pendidikan di sekolah adat ini, maka kelak jika menikah akan menceritakan rahasia kambik kepada suaminya yang berasal dari marga suku lain. Etnis Moi percaya nedla benar-benar menjadi laki-laki apabila telah mengikuti pendidikan di sekolah adat, karena dalam sekolah adat semua kekuatan Moi akan diturunkan oleh para guru adat. Setiap nedla yang tidak mengikuti pendidikan maka dalam struktur adat istiadat disebut sebagai “masih perempuan atau masih telanjang”. Biarpun seseorang pintar, jika belum melewati struktur sekolah adat, ia disebut masih bodoh atau telanjang atau perempuan. Sejak tahun 1960-an rumah pendidikan kambik dianggap oleh pemerintah dan aparat keamanan sebagai kelompok atau organisasi yang menentang pemerintah, sehingga dilarang penyelenggaraannya. Saat ini, jika diketahui ada sekolah adat kambik yang dibangun dan dibuka untuk menerima siswa, maka pemerintah dan aparat keamanan akan membongkar sekolah adat tersebut karena dianggap sebagai tempat “pendidikan gerakan Papua merdeka”.
29
30
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
Pada tahun 1970-an pendidikan adat di kambik tidak diselenggarakan lagi karena dilarang oleh pemerintah, aparat keamanan, dan gereja karena dianggap sebagai tempat separatis dan kafir. Etnis Moi, terutama para tua adat lulusan sekolah adat, berharap suatu saat sistem pendidikan adat ini dapat dibuka kembali. Saat ini hanya tinggal alumni kambik yang masih tersisa di kampung dan diangkat sebagai tokoh adat yang dihormati dan ditakuti karena memiliki kekuatan gaib. Ada banyak rahasia adat yang tidak boleh diketahui orang luar, bahkan oleh Etnis Moi yang dianggap tidak pantas mengetahuinya. Mereka menyebut rahasia adat dan tempat tempat keramat itu sebagai “Hal-hal yang tidak boleh diketahui perempuan”. Karena itu, kelompok masyarakat Etnis Moi dibagi dalam empat struktur yang telah ada sejak zaman batu, yaitu : 1) Tokoh-tokoh adat Terdiri atas para Nedla meliputi: Neliging (orang yang berbahasa baik), Nefulus (orang sejarah), Ne kook (orang kaya), Ne foos (orang suci) serta pejabat-pejabat adat: Unsmas, Tukan, Finise (pemimpin pelaksana rumah adat, terdiri atas marga Ulimpa dan Do), Tulukma, Untlan (guru yang mengajar di kambik), dan Kmaben. Kelompok ini yang berhak mendapatkan pangkat sebagai kepala suku dan panglima perang yang berwenang melakukan sidang-sidang dan acara adat. 2) Alumni Pendidikan Adat (Wilifi) Adalah kelompok dalam struktur adat yang terdiri atas anak laki-laki yang telah mengikuti pendidikan adat di kambik (rumah adat tempat pendidikan adat) dan telah diwisuda secara adat. Kelompok ini dibina untuk menjadi pemimpin seperti kelompok pertama. Mereka yang diajarkan rumah adat ini belajar tentang filosofi kepemimpinan dan seluk-beluk adat-istiadat Etnis Moi secara lengkap. 3) Kelompok Laki-laki (Nedla) yang dikategorikan sebagai Nelagi (perempuan) Kelompok ini terdiri atas anak laki-laki, pemuda, dan laki-laki dewasa yang belum pernah mengikuti pendidikan adat di kambik, sehingga dalam struktur adat Moi dikategorikan sebagai Nelagi. 4) Kelompok Nelagi Murni Adalah kelompok yang terdiri atas para perempuan Moi. Kelompok ini juga memiliki pemimpin dan tokoh perempuan. Mereka diajarkan berbagai ilmu pengetahuan secara adat yang disebut fulus (ilmu-
Tradisi Kematian Etnis Moi di Kampung Makbon Kabupaten Sorong
ilmu khusus yang dapat dikuasai dan berkaitan dengan masalah perempuan). Dari empat struktur kepemimpinan berdasarkan pendidikan adat tersebut, Etnis Moi percaya mereka telah menemukan banyak hal yang telah dipakai dunia baru sekarang ini dan mereka tidak merasa kaget dengan perkembangan yang ada. Karena pendidikan adat yang diperoleh di rumah adat mengenai segala hal yang menyangkut Etnis Moi diatur. Pendidikan formal Etnis Moi dimulai pada 1 November 1927 yang ditetapkan sebagai hari lahirnya sekolah pertama di Sorong. Pendidikan tersebut didirikan oleh pemerintah Belanda dengan nama “Volkschool UZV” dengan murid sebanyak 26 orang. Sekolah ini berjalan hingga tahun 1942. Hingga akhir tahun 1980-an hingga kini sudah cukup banyak Etnis Moi yang menamatkan pendidikan formalnya ke jenjang lebih tinggi (S. Malak & Wa Ode L. : 2011). E. Sistem Religi Agama atau kepercayaan yang dianut Etnis Moi sebelum kedatangan agama seperti Protestan, Katolik dan Islam adalah masih menganut kepercayaan tradisi. Kepercayaan tradisi atau Animisme yang percaya terhadap kekuatan roh-roh atau makhluk halus. Animisme merupakan kepercayaan yang menganggap bahwa setiap benda di bumi mempunyai jiwa atau roh yang mesti dihormati dan disembah agar tidak mengganggu manusia tapi justru membantu. Etnis Moi percaya akan adanya satu Tuhan yang berkuasa di atas dewadewa yang mereka sembah. Tuhan bagi Etnis Moi disebut dengan Fun Nah dan Muwe. Tuhan inilah yang merupakan pemimpin di atas para dewa pencipta segala unsur alam yang ada. Meskipun para dewa ini tak nampak, namun mereka dapat dijumpai melalui angin, hujan, petir, sungai, pohon besar dan unsur-unsur alam lainnya yang dianggap memiliki kekuatan tertentu sehingga patut disembah. Dalam mengungkapkan rasa takut dan hormat terhadap roh-roh atau makhluk halus serta arwah leluhur, Etnis Moi mempunyai berbagai cara untuk menyatakannya, seperti pemberian sesaji dan ritual-ritual.
31
32
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
C. TRADISI KEMATIAN SUKU BANGSA MOI DI KAMPUNG MAKBON A. Persepsi Tentang Kematian Menurut Sumardjo (2002:107), kehidupan terdiri dari dua kutub per tentangan, antara “hidup” dan “mati”, yang menjadi paham dasar manusia sejak masa purba sebagai bentuk dualisme keberadaan hidup hingga masa kini. Semua orang pasti suatu saat akan mati, entah bagaimana caranya atau seperti apa matinya. Dan setiap orang pasti akan merasakan kematian, walaupun arti “merasakan” itu tidak sama dengan yang dipersepsi oleh orang yang hidup. Kematian adalah salah satu bagian dari kehidupan yang pasti dijalani, sama seperti kelahiran. Bedanya adalah yang pertama menandai akhir dari suatu kehidupan sedangkan yang terakhir menandai awal dari suatu kehidupan. Kelahiran dan kematian bisa diandaikan seperti ujung dari seutas tali yang bernama kehidupan, berbeda titik tetapi terentang sepanjang usia. Dan di tengahnya itulah kehidupan yang ada dan berada. Kematian adalah suatu misteri. Banyak yang tidak tahu seperti apa dunia sesudah kematian. Tapi banyak juga yang percaya bahwa ada “kehidupan lain”setelah kematian. Banyak juga yang percaya bahwa kematian adalah akhir dari segalanya dan akhir dari eksistensi seseorang, dan setelah itu yang ada adalah ketiadaan. Banyak juga yang percaya bahwa kematian adalah awal dari suatu kehidupan baru dalam suatu bentuk siklus. Apapun kepercayaan yang dianut, tak ada seorang pun yang tahu seperti apa situasi dan kondisi sesudah kematian. Banyak yang mengandaikannya sebagai suatu kondisi “ketiadaan”, bahwa sebuah kematian adalah awal dari suatu ketiadaan, bertentangan dengan kelahiran yang dianggap sebagai awal dari suatu ketiadaan. Dalam kepercayaan sebagian orang, kematian adalah awal dari suatu kehidupan. Kehidupan setelah mati yang diyakini akan damai dan penuh dengan ketenangan. Sebagian besar penduduk Indonesia sebelum masuknya pengaruh agama dari luar masih memeluk kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Manusia percaya akan kehidupan setelah kematian bahwa roh mereka akan menuju suatu tempat (surga) di kehidupan lain yang lebih bermartabat dan terpelihara. Adapula yang menganggap roh orang yang telah mati akan menjadi dewa pelindung atau arwah penjaga mereka yang masih hidup.
Tradisi Kematian Etnis Moi di Kampung Makbon Kabupaten Sorong
B. Kain Timur dalam Upacara Kematian Helai kain yang merupakan kerajinan tangan yang berasal dari daerah Timur (dulu Provinsi Timur Timur) dan dikenal juga sebagai Kain Timur ini sudah diperkenalkan pada beberapa abad yang lalu. Selama masa perdagangan budak dan perburuan burung cenderawasih, Kain Timur ini merupakan benda tukar upacara yang sudah dibakukan. Asal-usul Kain Timur ini hingga sampai ke tangan Etnis Moi belum banyak data pasti karena banyak catatan tentang hal ini yang hilang dan musnah akibat Perang Dunia II. Sebelumnya perihal Kain Timur ini diselidiki oleh Dr. F.C. Kamma sejak tahun 1941, (S. Malak & Wa Ode L., 2011:73-74). Sebelum ada Kain Timur, Etnis Moi menggunakan kulit kayu sebagai baju atau penutup tubuh mereka. Kain ini terbagi ke dalam beberapa kelas atau tingkatan kualitas (sekitar 8 hingga 16 kelas), yang masing-masing mencakup beberapa puluh jenis, nilainya meningkat sesuai dengan jenis-jenisnya masing-masing dan dapat berkali-kali lipat dari nilai jenis di bawahnya. Agar setiap upacara dan pembayaran denda yang merupakan kerangka kehidupan sosial ekonomi dapat berfungsi dengan baik, maka tiap orang memerlukan lebih banyak jenis dari yang diwarisinya. Untuk memperolehnya orang mempunyai sejumlah mitra tukar (hubungan san). Karena ini merupakan sistem tukar yang tidak langsung, oleh karena itu seseorang dapat memiliki sejumlah besar san yang seringkali ia kunjungi untuk menagih hutang ataupun meminjamkan kain dengan harga 100 persen. Kain ini memainkan peranan penting dalam banyak peristiwa sehingga anggota suku yang awam dan terutama kaum bangsawan atau orang penting (negok) dapat terus menerus terjadi dalam perjalanan bersama keluarganya karena si terhutang wajib memberi sesuatu kepada setiap kerabat (seperti anaknya) dari seorang san. Sistem pertukaran Kain Timur ini menguasai seluruh kehidupan sosial ekonomi semua suku pedalaman karena jaringan san itu bersifat antar suku dan mencakup semua bangsa di daerah kepala burung. (Kamma, 1993:143). Etnis Moi membuat perbedaan antara mati karena usia tua, mati karena sakit, karena kecelakaan dan karena guna-guna (niat jahat orang). Dalam semua upacara kematian diperlukan Kain Timur sebagai salah satu unsur yang diikatkan pada pohon-pohon sekitar makanan. Apabila harta seseorang yang meninggal itu cukup banyak dan memiliki kekuasaan besar, maka kain-kain yang diikatkan pada pohon-pohon jumlahnya juga harus banyak. Mutu dari kain-Kain Timur yang dibawa pun harus yang
33
34
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
terbaik. Apabila seseorang yang meninggal adalah dari kaum yang miskin maka kain yang dipakai pun sudah cukup sehelai saja dan yang tidak mahal, kain itu pun dipotong-potong menjadi sejumlah helai kain yang kemudian diikatkan pada beberapa pohon. Jenis makanan yang tersaji pada saat seseorang meninggal pun akan menunjukkan statusnya, apakah orang yang meninggal itu adalah orang kaya atau berkuasa semasa hidupnya. ........Kematian, yang adalah penghancuran tubuh manusia, sedangkan jiwa dan barangbarangnya tetap hidup. Penghancuran barang-barang itu yang ternyata mempunyai jiwa juga dan karena itu pada hakekatnya tetap melayani almarhum (orang mati). Kain cita yang disebut Kain Timur itu disobek-sobek dan digantungkan dekat kuburan atau gua tempat orang mati diletakkan. Kadang-kadang juga kain itu dipakai sebagai pembungkus mayat orang mati tanpa disobek, tapi tentu saja akan hancur bersama sisa-sisa tubuh itu. (Kamma I, 1981:296)
Apabila kematian seseorang oleh para kerabatnya diduga akibat guna-guna atau diniati jahat oleh orang, maka kaum kerabat akan mencari tahu serta menyelidiki pelaku atau orang di balik kejadian tersebut yang menyebabkan keluarganya meninggal. Bila telah diketahui pelakunya dan telah dibenarkan oleh para dukun, ahli adat, dan para pemimpin masyarakat, maka sang pelaku yang tidak dapat mengelak lagi harus membayar tuntutan. Tuntutan berupa denda karena pelanggaran adat akan dibayarkan kepada kaum keluarga orang yang meninggal tersebut, biasanya selalu berupa sejumlah Kain Timur. Hal ini merupakan bagian yang termasuk dalam ritus pembayaran mas kawin bagi yang menikah dan bagi kaum kerabat dari orang yang meninggal. C. Tradisi Kematian Etnis Moi Etnis Moi memiliki suatu tradisi sejak nenek moyang dulu menyangkut kematian di tengah-tengah kelompoknya jauh sebelum masuknya Injil dan kedatangan pemerintah Belanda. Tradisi kematian yang dimiliki Etnis Moi sebelum terpengaruh tradisi dan budaya luar sekarang ini sebagian besar sudah tidak dapat dijumpai lagi. Bahkan hanya sebagian kecil yang merupakan orang-orang tua saja yang mengetahui cerita tentang tradisi kematian nenek moyang mereka. Hal tersebut karena pengaruh gereja atau agama Kristen dan pemerintah Belanda yang masuk membawa peradaban baru. Yang masih tersisa adalah tradisi atau kebiasaan pembayaran harta atau pembayaran adat jika ada yang meninggal dunia. Agama Kristen yang
Tradisi Kematian Etnis Moi di Kampung Makbon Kabupaten Sorong
masuk mempengaruhi ritus-ritus dan tradisi asli penduduk Moi seperti halnya tradisi menyangkut kematian Sebagaimana dijelaskan oleh pemahaman Victor Turner dalam agama dan masyarakat, bahwa ritus merupakan ekspresi nyata dari agama. Demikian halnya pada Etnis Moi, dahulu mereka masih memeluk agama tradisional yang memusatkan diri pada roh-roh nenek moyang atau makhluk-makhluk gaib yang dianggap berdiam pada pohon maupun batu besar. Setelah masuknya agama modern di mana Etnis Moi diperkenalkan dengan Agama Kristen yang percaya akan Allah Pencipta melalui Yesus Kristus, hal tersebut merupakan proses beralihnya keyakinan akan sesuatu yang telah menjadi simbol keyakinan kepada simbol keyakinan yang lain. Sama halnya dengan banyak suku bangsa yang ada di Indonesia, setiap suku memiliki tradisi dalam rangkaian upacara atau ritus yang berkaitan dengan beberapa peristiwa penting dalam siklus hidup manusia, salah satunya adalah tradisi menyangkut ritus kematian. Dalam tradisi kematian, peristiwa tersebut dilaksanakan dengan emosi keagamaan sehingga biasanya mempunyi sifat keramat atau sacred. Etnis Moi sudah tidak melakukan lagi praktek ritus kematian yang dilakukan leluhurnya, bahkan konon jauh sebelum mereka menerima Injil. Seperti anggapan Geertz (Koentjaraningrat, 1993:217-218), bahwa religi atau agama nenek moyang Etnis Moi yang diyakini sebelum Agama Kristen masuk merupakan unsur yang sangat penting dan bahkan dijadikan salah satu pegangan atau pedoman hidup dalam masyarakat. Agama bukanlah sesuatu yang dapat dianalisa dengan logika, karena kemampuan manusia terbatas dalam menghadapi beberapa gejala alam, salah satunya adalah kematian. Keterbatasan manusia dalam menerima ketidakaturan dalam hidup ini membuatnya sering diperhadapkan dengan krisis dalam penderitaan, duka cita dan kematian. Keterbatasan pandangan moral terhadap pengaruh jahat atau makhluk gaib (setan) membuat manusia meyakini agamanya sebagai pegangan hidup dalam mempertahankan diri menghadapi ketidakaturan alam dan membuatnya bertingkah laku keagamaan dalam bentuk upacara keagamaan serta aturan-aturan yang ditaati bersama oleh masyarakat, (Malinowski, 1948:93). Etnis Moi menganggap tradisi kematian yang dilakukan mereka selama ini membuat mereka merasa tidak nyaman dan berada dalam dukacita serta penderitaan. Ini disebabkan apabila ada seorang anggota masyarakat yang mati, maka sanak keluarga akan saling mencari kesalahan pada pihak
35
36
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
lain hingga terjadi pembalasan dendam. Tradisi membalas dendam dengan saling unjuk kekuatan serta denda-denda atas pelanggaran keluarga orang yang mati atau hutang piutang membuat banyak tradisi leluhur Etnis Moi banyak ditinggalkan dan mereka beralih kepada agama baru yang diyakini dapat membuat mereka bertahan dalam hidup ini. Agama baru banyak menghilangkan tradisi lama yang mempraktekkan kepercayaan terhadap roh-roh halus atau roh orang mati dan tempat-tempat keramat. Pada Etnis Moi bila terjadi kematian pada salah satu anggota keluarga, maka penyampaian berita kematian atau berita duka dilakukan oleh kerabat dekat kepada handai taulan lainnya serta orang-orang yang ada di kampung. Segala persiapan dilakukan oleh keluarga dan kerabat dekat orang yang meninggal tersebut. Saat semua orang telah berkumpul maka dimulailah ratap tangis mengenang orang yang telah mati tersebut. Ada bunyi-bunyian dari bambu atau Etnis Moi menyebutnya las. Las ini dipakai untuk membuat bunyi-bunyian saat ada kematian mengiringi ratapan. Nyanyian khusus seperti yang dimiliki oleh Orang Toraja (Ma’badong) dalam peristiwa kematian tidak dimiliki oleh Etnis Moi. Mereka hanya meratap atau bertangis-tangisan karena dukacita namun biasanya dapat diiringi oleh bunyi-bunyian seperti las tersebut. Setelah bertangis-tangisan dan meratapi orang yang meninggal, maka jenazah dibawa ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Biasanya diambil satu lokasi seperti di halaman rumah orang yang mati tersebut atau dibawa ke suatu tempat di dekat hutan. Untuk orang biasa dan kaum perempuan biasanya jenazahnya akan ditanam dalam posisi duduk dan dikubur setengah badan hingga kira-kira sebatas dada, selebihnya dibiarkan terbuka begitu saja hingga membusuk. Bila yang mati adalah orang penting di kampung seperti tua-tua adat, orang kaya dan berkuasa, maka jenazahnya akan diletakkan di para-para kayu yang kemudian digantung diatas pohon hingga membusuk sendiri. Oleh karena itu, setiap lokasi yang menjadi tempat diletakkannya mayat seseorang akan ditinggalkan oleh keluarga dan kerabat. Bila tempat itu adalah rumah tinggal, maka mereka akan pindah atau mencari tempat lain. Tentu saja Etnis Moi menganggap bahwa orang yang hidup dan orang yang mati tidak dapat tinggal bersama atau berdekatan karena secara fisik telah berbeda, orang mati bila membusuk dapat menyebabkan bau dan sumber penyakit. Oleh Van Gennep (rites of passage) mengenai ritus peralihan (W. Winangun, 1990:33-34), hal ini merupakan salah satu pola upacara yang mengiringi peralihan, dari ketiga proses, upacara kematianlah yang paling
Tradisi Kematian Etnis Moi di Kampung Makbon Kabupaten Sorong
menonjol dari ritus pemisahan. Pada proses ini manusia dipisahkan dengan orang yang telah mati. Manusia hidup dan manusia mati berbeda hidup dan cara hidupnya, terpisah dari dunia fenomenal atau dunia nyata ke dalam dunia atau situasi yang lain. Selain itu ada rasa takut berdekatan dengan jasad orang mati yang dianggap rohnya masih berada dekat dengan tubuhnya karena orang yang mati belum rela untuk meninggalkan dunia. Tradisi lain bagi Etnis Moi adalah bila anggota keluarga atau warga yang meninggal, salah satu anggota keluarga yang dianggap paling tangguh dari satu ugelek (keluarga luas) akan dipercayakan untuk menyerang salah satu anggota keluarga yang berduka. Anggota keluarga yang diserang juga ditentukan yang paling tangguh untuk bisa menangkis serangan, bahkan untuk balik menyerang. Orang yang akan menyerang dipersenjatai dengan slobuk, yaitu sebilah kayu atau bambu sebagai alat untuk menyerang. Bila setelah beberapa kali diserang dan keluarga yang berduka masih bertahan atau tidak terluka, maka dianggap bahwa keluarga yang berduka tidak bersalah atas kematian anggota keluarganya tersebut. Apabila keluarga yang diserang terluka atau bahkan mati karena ritual tersebut, maka keluarga yang berduka dianggap bersalah atas kematian keluarganya tersebut. Dapat dikatakan impas atau selesai masalah kematian dengan keluarga almarhum. Oleh sebab itulah ada tradisi dalam pembayaran adat kematian serta penyelesaian masalah atau denda. Sebagian besar dan yang utama dalam pembayaran denda adat adalah dengan pemberian sejumlah Kain Timur. Sekarang ini banyak juga yang menggantinya dengan uang tunai dengan alasan lebih praktis atau mudah, apalagi bila si pembayar denda termasuk orang yang berpenghasilan tinggi atau berkecukupan dalam hal materi. Tradisi ini bila diinterpretasikan menurut teori Victor Turner (W. Winangun, 1990:28-29), bahwa ritus tersebut merupakan tindakan simbolik yang disebabkan oleh dorongan-dorongan tertentu seperti dorongan emosi dan perasaan, kemarahan, dendam yang sifatnya buruk namun berfungsi mengungkapkan tekanan-tekanan yang ada ke permukaan. Melalui ritus tersebut ada penyatuan kembali rakyat dan memperkuat struktur. Energi afektif yang dibuat melalui tindakan-tindakan dan tingkah laku tersebut yang secara sosial negatif dipindah ke sosial positif. Dengan demikian dapat memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan melampaui individu dan kelompok. Melalui ritus tekanan-tekanan dilepaskan supaya orang melaksanakan norma-norma bermasyarakat.
37
38
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
Kebiasaan lain yaitu masa berkabung. Biasanya tradisi berkabung ini telah dimulai atau ditandai dengan tangisan dan ratapan saat anggota keluarga atau kerabat ada yang meninggal. Namun untuk beberapa saat lamanya bila seorang wanita yang bersuami meninggal, maka sang suami akan berpantang makan papeda. Pantangan makan ini dilakukan atas kerelaan seseorang dan tidak dipaksakan. Bila sang suami yang ditinggal mati merasa amat berdukacita, maka untuk beberapa saat lamanya dia tidak akan makan papeda, dia hanya boleh makan makanan dari sagu tapi yang dibakar (sagu bakar). Menurut hasil wawancara dengan informan, hal tersebut dilakukan kemungkinan karena dianggap papeda merupakan makanan yang diolah dari sagu dan sagu adalah makanan khas pemberian nenek moyang Etnis Moi yang saat menokoknya sebelum itu dilakukan upacara adat dan pembacaan mantra-mantra agar roh-roh yang menjaga pohon sagu dapat memberikan sari yang baik untuk dapat dikonsumsi, (S. Malak & Wa Ode L., 2011:86). Melalui tahapan ini Etnis Moi mengungkapkan rasa duka cita karena kedekatannya dengan almarhum melalui pantangan yang dilakukan berwujud tindakan simbolik saat berkabung. Selain itu, tanda dukacita atau masih berkabungnya seseorang yaitu mengikat kepalanya dengan secarik kain yang disebut belasak. Belasak yang dipakai seorang pria biasanya diikat di kepala, bila ada anggota lain yang turut berduka ada juga yang memakainya dan diikat di bagian lengan. Hal ini pun dilakukan atas dasar kerelaan dan tidak dipaksakan. Tanda-tanda simbolik seperti itulah yang dapat dilihat secara langsung dengan mata bila seseorang itu dalam masa berkabung. Masa berkabung bisa berhenti bila rasa duka cita telah hilang dan tradisi-tradisi menyangkut kematian telah dilakukan pemberesan, baik itu pembayaran adat yang meliputi pembayaran air mata, pembayaran D. Pembayaran Adat Kematian Setiap orang yang telah berkeluarga akan dikenai sistem pembayaran adat jika salah satu dari anggota keluarga meninggal dunia. Jika yang meninggal istri, maka pihak suami diharuskan membayar secara adat. Pembayaran itu meliputi ganti susu, mata, rambut, tulang belakang (dibayar dengan sebilah parang), tengkorak (dibayar dengan gong), pinggang (dibayar dengan piring), darah (dibayar dengan nemala), dan lain-lain. Jika suami meninggal, maka pihak perempuan (diwakili saudara laki-laki bapak) harus membayar piring dan gong. Sedangkan jika anak
Tradisi Kematian Etnis Moi di Kampung Makbon Kabupaten Sorong
yang meninggal, maka pihak perempuan yang harus membayar karena dianggap istri tidak menjaga anak dengan baik sehingga sakit (bokik = orang sakit) dan meninggal. Ada pembayaran yang harus dilakukan menyangkut kematian seseorang berupa pembayaran air mata duka. Bila seseorang menangisi atau meratapi kematian seseorang maka dia akan dibayar oleh kerabat orang yang meninggal. Air mata atau Etnis Moi menyebutnya sigih, dan pugu atau bayar ”tulang”. Tradisi pembayaran sigih dan pugu atau membayar orang yang menangis pada saat kematian disebut suwohili. Suwohili biasanya dilakukan dalam 2 atau 3 hari setelah orang yang mati dikuburkan. Setelah suwohili, satu tahun kemudian “pembayaran tulang” pun dilakukan. Pembayaran ini dahulunya berupa barang-barang berharga atau barang-barang yang dianggap bernilai tinggi. Sebelum ada Kain Timur maka pembayaran dilakukan dengan menggunakan botol whiskey bekas peninggalan orangorang Portugis dan Belanda kemudian meningkat dengan menggunakan keramik, porselen, piring Cina, lalu Kain Timur. Jauh sebelum benda-benda tersebut dikenal Etnis Moi, pembayaran dilakukan dengan memberikan kepala orang atau melalui sistem mengayau. Bila pembayaran adat telah dilakukan, maka dilakukan matebak atau pembayaran kain teba (kain kepala), yaitu Kain Timur yang mahal harganya karena berkualitas paling bagus dan kain jenis ini sudah sulit dicari. Matebak adalah alat perdamaian. Setelah matebak dilaksanakan, maka perdamaian antar keluarga atau warga kampung yang bertikai atau memiliki dendam yang masih terkait dengan si mati akan selesai. Jadi, matebak merupakan alat perdamaian untuk penyelesaian masalah. Berkaitan dengan pembayaran adat saat ada yang meninggal, maka saat ini para pemuda Moi menganggap beban mas kawin laki-laki Moi terasa berat karena dilakukan tidak hanya sekali saat melamar, tapi terusmenerus sampai akhir hidupnya. Hal ini menjadi semakin berat bila ditambah dengan pembayaran adat terhadap anggota yang meninggal. D. PENUTUP A. Kesimpulan Dari data hasil penelitian serta pembahasan, dapat ditarik kesimpulan bahwa Etnis Moi memiliki tradisi kematian pada masa lampau yang unik, namun tradisi tersebut tidak lagi dapat dijumpai sekarang ini. Sebagian
39
40
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
besar telah hilang karena pengaruh Agama Kristen dan perubahan zaman yang secara langsung merubah pandangan dan keyakinan Etnis Moi terhadap beberapa tradisi atau ritus. Situasi dan keadaan yang terus berubah ikut mempengaruhi tindakan serta pandangan Etnis Moi dalam melakukan beberapa tradisi yang dilakukan leluhur mereka sebelumnya. Beberapa tradisi kematian sudah punah karena dianggap merugikan Etnis Moi karena mengancam kelangsungan hidup, seperti saling menyerang atau unjuk kekuatan terhadap kerabat si mati. Cara memberikan peristirahatan terakhir bagi jenazah yang dianggap tidak layak dan mengganggu orang yang masih hidup. Masa berkabung dilakukan melalui beberapa tindakan simbolik yang mengungkapkan perasaan sedih atau rasa duka cita terhadap kematian keluarga atau kerabat dekatnya. Hal tersebut dilakukan atas kerelaan dan kesadaran sendiri karena hubungan kedekatan dengan si mati. Peranan Kain Timur amatlah penting menurut Etnis Moi, bila tidak ada Kain Timur maka dapat terjadi perselisihan antar keluarga dan kaum kerabat, bahkan antar warga dari kelompok lain. Kain Timur merupakan simbol penyatuan dan perdamaian atas pembayaran adat serta simbol penghargaan terhadap pihak yang diberikan Kain Timur tersebut. B. Saran Tradisi kematian yang dimiliki oleh Etnis Moi sebenarnya sangatlah unik sebagaimana yang dimiliki juga oleh suku bangsa lain yang ada di Papua. Kendala utama adalah minimnya informasi lisan dari para informan dan informan kunci sebagai nara sumber lokal. Informan kunci sudah sulit dijumpai disebabkan usia, informan yang dapat ditemui hanya sejumlah kecil orang-orang tua atau tokoh masyarakat yang mempunyai kapasitas sebagai sumber informasi. Usia informan yang paling tua adalah sekitar 80-an tahun, itupun hanya 1 atau 2 orang, selebihnya adalah orang-orang tua yang berusia antara 50 hingga 60-an tahun. Banyak informasi yang telah hilang atau tercecer saat diteruskan dari generasi ke generasi berikut, apalagi kebanyakan dari informasi yang diperlukan untuk bahan penelitian ini berasal dari sumber informasi lisan. Pustaka atau referensi penunjang masih sangat kurang bahkan tidak dapat ditemui lagi. Kemungkinan tersimpan di tempat yang belum diketahui umum atau memang belum pernah ditulis atau belum diinventarisir. Semakin berkurangnya orang yang berminat terhadap tradisi lokal, semakin berkurang pula informasi
Tradisi Kematian Etnis Moi di Kampung Makbon Kabupaten Sorong
yang dapat diteruskan ke generasi berikut, akibatnya banyak informasi yang hilang atau bahkan berubah di tengah-tengah perjalanan waktu saat disampaikan. Penulisan ini merupakan langkah yang masih dini untuk meng ungkapkan banyak nilai serta makna di dalam hidup ini. Untuk memperoleh pemahaman dan pengertian yang lebih dalam mengenai tradisi kematian serta ritus atau upacara yang ada pada Etnis Moi, perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih mendalam dan mencakup wilayah persebaran suku bangsa Moi di daerah Sorong, dengan demikian kemungkinan informasi penting dan belum teridentifikasi dapat diperoleh. Dapat juga dilakukan penelitian serupa pada suku bangsa lain yang berada di wilayah Sorong (daerah pemekaran), seperti pada suku bangsa Ayamaru, Meybrat dan lainnya. Dapat dilakukan analisa atau perbandingan tentang tradisi atau upacara kematian antar suku-suku bangsa yang berada di wilayah yang berdekatan tersebut. Perlengkapan atau perangkat yang menyertai setiap ritual adat kematian serta tindakan-tindakan yang tidak bisa dipahami akal manusia perlu dikaji secara lebih tajam dan analitis. Tentu saja waktu dan ketersediaan data lapangan atau nara sumber dan informan yang memiliki kapasitas tertentu yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi penelitian lanjutan. Referensi pendukung yang ada saat ini terkait penelitian ini memang sangat kurang, namun diharapkan melalui penelitian ini dan penelitian lanjutan dapat dikembangkan hasil-hasil yang lebih baik serta dapat menjadi penunjang atau bahan pustaka bagi dunia pendidikan, terlebih lagi bagi pendidikan sejarah budaya. Generasi penerus perlu mengetahui asal-usul serta latar belakang sejarahnya dan menjadikannya sebagai kebanggaan karena memiliki kekayaan warisan budaya. Melalui warisan budaya generasi penerus dapat menjadikannya sebagai identitas bangsa. DAFTAR PUSTAKA Kamma, F.C. 1993. Ajaib di Mata Kita, Seri 3: Masalah Komunikasi Antara Timur dan Barat. Jakarta : BPK Gunung Mulia. Koentjaraningrat, dkk. 1992. Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk. Djambatan: Kyoto Koentjaraningrat. 1993. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
41
42
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
Malak, Stepanus & Wa Ode Likewati. 2011. Etnografi Etnis Moi. Bogor: Sarana Komunikasi Utama. Mansoben, J. R. 1995. Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya. Jakarta: LIPI-RUL. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Universitas Negeri Malang. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Departemen Pendidikan Nasional. Malang : Universitas Negeri Malang. Wartaya, Winangun Y.W. 1990. Masyarakat Bebas Struktur. Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner. Yogyakarta: Kanisius. …………………… 2010. Kota Sorong. iannnews.com/ensiklopedia. php?prov=14&kota, dunduh 7 Februari 2012. ………………….. 2010. Etnis Moi. muttaqimah.wordpress.com/2011/06/23/ suku-moi/, diunduh 7 Februari 2012. ……………….. 2007. http://kematian-hindu.blogspot.com/2007/02/, diunduh 7 Februari 2012.…………………. 2007.
43
“Perubahan Kain Terfo Masyarakat Sarmi”
“Perubahan Kain Terfo Masyarakat Sarmi” Yudha N Yapsenang
Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jayapura-Papua Jl. Isele, Waena Kampung Jayapura, Kode Pos 99358, Jayapura-Papua Tlp. (0967) 571089, Fax. (0967) 573383, e-mail:
[email protected]
Abstrak Masyarakat Sarmi merupakan salah satu dari dua sukubangsa di Papua yang telah lama mengenal dan mengaplikasikan tenunan. Dimana mereka telah mampu membuat memproduksi tenunan tersendiri. Kain tenunan masyarakat Sarmi disebut Terfo, namun tidak semua orang Sarmi memproduksi Terfo, hanya orang Sobey yang bermukim di dua Kampung saja yang memproduksi Terfo yaitu, kampung Sawar dan Kampung Bagaiserwar. Dalam perkembangannya kain terfo mengalami perubahan. Perubahan-perubahan apasaja yang ingin dikaji dalam tulisan ini. Metode yang digunakan yaitu metode analisis deskriptif, dengan menggunakan pendekatan kualitatif, teknik pendekatan yang digunakan yaitu observasi, wawancara dan studi pustaka. Hasil penelitian diperoleh bahwa terjadi perubahan dalam beberapa hal antaralain : perubahan dalam bahan baku, bahan pewarna, perubahan dalam hal alat tenunan dan telah ada modifikasi dari kain hasil tenunan terfo. Selain itu terdapat beberapa hambatan dalam produksi yang membuat terjadinya perubahan terutama dalam bahan baku dan pemasaran. Kata Kunci : Kain Tenun, Terfo, Sarmi 1.
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masyarakat Sarmi, yang merupakan salah satu masyarakat di tanah Papua yang telah lama memiliki pengetahuan tentang seni tenunan. Pengetahuan tersebut diturunkan oleh nenek moyang mereka dan masih dipertahankan oleh beberapa orang penenun. Hal ini sangat menarik untuk di teliti karena tidak semua masyarakat Papua mengetahui dan menguasai
44
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
seni menenun. Hasil tenunan masyarakat Sarmi dikenal dengan istilah kain terfo. Tenunan/kain terfo adalah karya budaya asli milik masyarakat Sarmi khususnya sukubangsa Sobei, yang tinggal didaerah pesisir pantai Sarmi, lebih khusus lagi masyarakat Kampung Sawar. Pengetahuan ini sangat unik, karena hanya beberapa sukubangsa di Papua saja, sekitar dua yaitu orang Sobei dan Orang Aifat, yang telah memiliki dan mengaplikasikan pengetahuan tentang tenunan. Telah ada beberapa tulisan tentang kain terfo, orang Sobey, namun semakin lama terjadi perubahan dan penambahan dalam aktifitas penenunan kain terfo. Aktifitas penenunan kain terfo pada umumnya kurang di minati oleh masyarakat Sarmi. Aktifitas penenunan kain terfo hanya dilakukan oleh masyarakat dua kampung saja yaitu Kampung Sawar dan Kampung Bagaiserwar, itupun hanya beberapa orang penenunan saja. Dalam melakukan aktifitas penenunan, masyarakat penenun telah melakukan perubahan dalam hal alat tenunan, bahan baku dan pewarnaan bahkan telah mengembangkan hasil karya tenunan mereka (khususnya masyarakat penenun di Kampung Sawar), selain itu terdapat permasalahan yang dialami oleh para penenun dalam mengembangkan tenunan mereka. Perubahan-perubahan apa saja yang terjadi dalam aktifitas penenunan kain terfo menjadi fokus utama penelitian ini. Permasalahan diatas, dapat dijabarkan dalam bentuk perumusan masalah sebagai berikut: (1) Mengapa terjadi perubahan dan perkembangan tenunan terfo?, (2) Hambatan – hambatan apa saja yang ditemui dalam tenunan terfo ?, dan (3) Pelestarian seperti apasajakah yang bisa dilakukan ?. Adapun metode penelitian sebagai berikut, metode yang digunakan adalah metode analisis secara deskriptif, dengan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yaitu: (1) observasi, yaitu dengan cara mengamati aktifitas penenunan. Wawancara, dengan cara mewawancarai beberapa penenunan dengan menggunakan daftar pertanyaan, dan studi pustaka dengan cara mempelajari tulisan, buku, makalah yang berkaitan dengan tulisan ini.
“Perubahan Kain Terfo Masyarakat Sarmi”
2.
TENUNAN KAIN TERFO
A. Gambaran Tenunan Terfo Pada Masa Lalu 1.
Asal Usul Tenunan Terfo
Terfo adalah salah satu karya seni tradisional asli milik orang Sobei ( salah satu sukubangsa yang ada di kabupaten Sarmi, yang bermukim di daerah pesisir pantai) dalam teknologi pakaian. Tenunan terfo telah lama hidup dan berkembang dalam aktifitas budaya masyarakat Sarmi khususnya sukubangsa Sobei terutama di kampung Sawar, asal mula pengetahuan ini diketahui akan dibahas lebih lanjut pada paragraph di bawah ini. Berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat Kampung Sawar, tenunan Terfo sudah lama ada dan menjadi milik marga Teyem dari klen Senis, karena pertama kali pengetahuan ini diketahui oleh marga ini. Berkembangnya pengetahuan ini akan di mulai dari suatu kisah seorang nenek bernama Teyem sebagai berikut ;” nenek tersebut suatu waktu ketika berada di pinggiran pantai dan sedang memasak pucuk pohon nibun (Ta’no) untuk diambil seratnya yang akan dijadikan benang kain tenunan terfo, tiba-tiba datanglah beberapa orang anak-anak yang bermain lemparlemparan. Dengan tidak sengaja lemparan anak-anak tersebut mengenai wadah tempat nenek Teyem memasak sehingga wadah tersebut pecah. Dengan pecahnya wadah/belanga (bed’o) untuk merebus pucuk nibun (Ta’no) tersebut, maka kegiatan nenek tersebut nyaris tidak dilanjutkan lagi. Dengan demikian agar kegiatan tenunannya dapat dilanjutkan, maka orang tua ibu dari anak-anak yang telah memecahkan wadah/belanga dari nenek tersebut dipanggil untuk membantu nenek Teyem sebagai resiprositas (ganti rugi). Disinilah awal dari proses sosialisasi Terfo diantara sesama masyarakat di Kampung Sawar. (Hanro Lekitoo,dkk :1996, dalam Sejarah Sarmi) Dampak selanjutnya dari proses sosialisasi tenunan Terfo ini adalah munculnya nenek Puebai (berasal dari klen Merne) yang pernah ke Batavia, bersama seorang nenek dan Tete (belum di Ketahui dari Klen Mana), dengan menggunakan kapal Layar. Mereka ke Batavia saat hari sumpah pemuda tahun 1928, mengikuti Pameran seni Budaya. Dalam Pameran tersebut Nenek Puebai sempat mendemonstrasikan bagaimana cara membuat kain tenun Terfo. Proses sosialisasi selanjutnya dari tenunan
45
46
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
kain Terfo ini sosialisasikan dari nenek Puebai kepada nenek Nebamer (dari klen Sefa). (Hanro Lekitoo,dkk :1996, dalam Sejarah Sarmi). Adapun Versi lain tentang asal mula kain Terfo berdasarkan Informasi yang diperoleh dari salah satu informan adalah sebagi berikut : “seorang tete dan dua orang nene salah satunya dari klen Merne, mereka bertiga berlayar ke Batavia. Kedatangan mereka bertiga ke Batavia dalam rangka mengikuti Konggres pemuda Tahun 1928 yang di adakan di Batavia, dengan menggunakan perahu layar. Pada saat bersamaan di adakanpula pameran seni dan budaya, saat itu diperagakan cara penenunan kain, tete tertarik untuk mengenal dan belajar lebih lanjut tentang cara penenunan kain. Setelah mereka tiba kembali ke Sarmi, lalu tete membuat alat tenunan dan mempraktekan cara penenunan kain. Setelah tete menguasai cara penenunan lalu ia mengajarkan cara penenunan kain ke pada Nene berdua, namun nene dari Klen Mernelah yang lebih aktif melakukan kegiatan penenunan kain terfo tersebut, sehingga dapat dikatakan kain terfo identik milik klen merne. (Sumber: berdasarkan penuturan dari Ibu Klarce Sefan). Hal inilah yang membuat alat penenunan serta hasil penenunan kelihatan atau Nampak sama dengan aktifitas penenunan dari masyarakat lain. 2.
Bahan Baku Tenunan Terfo
Bahan baku utama untuk pembuatan kain terfo berasal dari pohon Nibun (Oncosperma Tigillarium), sedangkan nama pohon tersebut dalam bahasa Orang Sobei disebut Pe’a. Bagian dari pea yang diambil adalah pucuk muda (Ta’no). Ta’no diambil tanpa melalui ritual-ritual tertentu bahkan dapat dilakukan oleh siapa saja. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan Ta’no adalah orang-orang yang mengambil baik laki-laki maupun perempuan harus hati-hati dalam pengambilan Ta’no agar tidak rusak. Selain itu pohon nibun yang bakal menjadi sasaran pengambilan pucuk muda supaya memiliki serat yang baik maka, minimal memiliki batang yang tingginya paling kurang 30 cm dari tanah. Pohon nibun harus yang belum pernah/sedang berbunga atau berbuah. Alasan mengapa tidak boleh pohon yang telah berbunga, karena untuk mendapatkan serat/ benang yang berkualitas, maksudnya benang tidak mudah putus dan juga benang yang panjang. Masyarakat memiliki kemampuan untuk mengetahui pada waktu kapan pe’a sedang menghasilkan tano yang sangat baik untuk dijadikan serat/benang kain terfo. Pengetahuan tersebut diperoleh dengan melihat tanda-tanda alam yakni, ketika bulan baru mulai terbit dan 14 hari kemudian
“Perubahan Kain Terfo Masyarakat Sarmi”
setelah bulan gelap. Pada kedua peristiwa tersebut pada saat yang sama akan terjadi air laut surut pada waktu pagi hari (pempanidari), yang dapat berlangsung antara pukul 06.00 – 08.00 wit. Biasanya untuk mendapatkan tano yang terbaik maka waktu peng ambilannya di perhitungkan pada hari ke-4 dari saat air surut awal di pagi hari. Karena pada saat itu akan muncul dua pucuk muda pohon nibun yang baik, sehingga serat-serat yang dimilikinya dapat digunakan sebagai benang putih yang baik. Cara pengambilan pucuk nibun adalah dengan cara menebang (adus) Pohon nibun (pea) dengan Parang (noba) atau dengan Kampak (fera). Pohon nibun tersebut dapat diperoleh di hutanhutan di atas gunung Sekitar Kampung Sawar ( Hanro Lekitoo,dkk :1996, dalam Sejarah Sarmi). 3. Peralatan Tenun Terfo Pada masa lampau masyarakat Sawar/para penenun dalam melakukan aktifitas peneunan, menggunakan peralatan yang masih bersifat sederhana. Peralatan tersebut di buata sendiri, dengan menggunakan bahan baku dari pelepah pohon nibun/sagu yang disebut alat tenun terfo. Cara penenunan kain terfo di lakukan dengan cara duduk,dimana alat tenunnya dipangku atau ditaruh di atas kaki. Bagian teoro diletakkan ditelapak kaki, dodai diletakkan diatas paha, pada bagian ujungnya dipasang/diikatkan tali kiri dan kanan dan ditaruh pada bagian belakang atau punggung, maksud dari hal ini adalah agar supaya pada saat melakukan aktifitas penenunan, alat tenunan tidak lari.
Gambar. 1. Peralatan Tenun Terfo
Bagian-bagian dari alat tenuan terfo adalah sebagai berikut : • Rangka dasar alat tenunan terfo disebut Papo
47
48
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
•
• •
Empat kayu atau pelepah nibun, yang berdiri tempat melingkarkan benang, memiliki nama sendiri-sendiri, yaitu : bagian yang ditaruh ditelapak kaki/ujung atas/kepala disebut Teoro, bagian yang dipaha (dekat perut)/ bagian bawah disebur dodai, 2 kayu bagian tengah disebut lenggiroi, sekarang disebut tekdai. Kayu untuk pemukul/pisau pemukul (karena berbentu seperti pisau) disebut songgoni. Kayu tempat melingkarkan benang, yang akan digunakan saat mengayam benang disebut esdi.
4. Cara Penunan Kain Terfo Dulu bahan baku yang digunakan pada saat aktifitas penenunan kain terfo menggunakan urat/serat dari daun nibun (tano). Daun nibun yang biasanya diambil untuk digunakan adalah daun muda, karena memiliki serat yang banyak dan bagus. Daun nibun yang telah diambil, selanjutnya direbus dalam belanga, selama kurang lebih 1 – 2 jam atau sampai daun nibun layu, sambil mengaduk-aduk. Setelah itu air rebusan dituangkan, ambil daun nibun lalu di dinginkan dengan cara menggantungkannya. Setelah Daun nibun dingin, lalu diambil untuk dibawa ke kali atau pantai, selanjutnya daun nibun tadi diletakakn diatas papan, lalu dikerok dengan menggunakan kulit bia, untuk mendapatkan serat daun nibun, yang akan digunakan sebagai benang. Setelah mendapatkan serat tadi, langkah selanjutnya, membersihkan serat tadi dengan menggunakan sikat sampai bersih. Setelah bersih serat tersebut dibawa pulang dan dijemur sampai kering. Bila serat sudah kering maka serat tadi di semak-semak dengan menggunakan sisir sampai halus. Ambil semakkan serat tadi, lalu diliit dan diikat, untuk menjadi benang, setelah itu digulung sampai menjadi satu gulungan besar, selanjutnya benang yang telah digulung, dilingkarkan pada esdi. Bila kain terfo yang diinginkan memiliki warna, maka benang terfo tadi, sebelum digulung di celupkan dulu pada wadah yang telah ditaruh/dimasukkan cairan pewarna, lalu didiamkan selama beberapa menit, lalu diangkat dan dijemur sampai kering. Selanjutnya dilakukan aktifitas penenunan, rangka terfo di letakkan diatas kaki/dipangku, sebelumnya benang dilingkarkan pada bagian teoro dan dodai, pada bagian dodai benang digunting dan diikat. Lingkaran benang ini dilakukan terus sampai, lingkaran penuh sesuai dengan ukuran kain yang diinginkan. Setelah itu benang yang telah dilingkarkan pada esdi
“Perubahan Kain Terfo Masyarakat Sarmi”
dianyam secara horinzontal sambil dipukul-pukul dengan menggunakan songgoni, hal ini dilakukan agar supaya anyaman tenunan terfo menjadi rapat. Anyaman tenunan terfo dilakukan selang-seling antara satu benang dengan benang vertikal lainnya. Bila tenunan terfo yang diinginkan memiliki variasi warna, maka setelah benang dasar/ warna putih sudah ditenun sesuai dengan ukuran dasar, maka dianyam benang dengan variasi warna yang diinginkan, lalu dipukul-pukul lagi bila variasai warna yang di inginkan dalam model horizontal. Apabila variasi warna yang diinginkan secara vertikal (lebih banyak digunakan), maka benang tano di atur secara selang-seling secara vertikal pula. Bila anyaman tenunan sudah sampai pada bagian teoro, maka lingkaran benang vertikal tadi diputar dan dilanjutkan dengan melakukan hal diatas sampai tenunan terfo selesai menjadi satu helai kain, lalu digunting pada bagian ikatan benang tadi. 5. Pewarnaan Dalam melakukan aktifitas penenunan masyarakat sarmi di kampung sawar telah memiliki Konsep tentang warna-warna yaitu 5 jenis warna. Adapun kelima warna tersebut berasal dari warna jenis ikan (ina) yang terdapat di Laut dan Ulat/kepompong (Mumsofido) yang terdapat di daun-daun. Untuk jenis-jenis ikan dimaksud ada 3 jenis ikan yang masingmasing mereka sebut dalam bahasa daerah yaitu ; ina permadi, ina medadi, dan ina merdeae. Ikan-ikan dimaksud menurut keterangan dari Informan bahwa saat ini jenis ikan tersebut sudah sangat langkah di daerah pesisir pantai Kampung Sawar. Barangkali diakibatkan oleh penangkapan yang berlebihan terhadap jenis-jenis ikan tersebut. Akan tetapi yang jelas bahwa ketiga jenis ikan dimaksud adalah jenis ikan yang bagi penduduk setempat mempunyai ciri warna yang sangat indah. Untuk itulah warna-warna ikan tersebut dipakai sebagai warna-warna yang representative pada kain Terfo. Sedangkan ulat/kepompong (mumsofido) Juga warnanya di ambil sebagai representative pada tenunan Terfo. Dengan demikian jelas bahwa warna yang terdapat pada tenunan terfo adalah penjelmaan warna dari ketiga jenis ikan dan ulat. Selain itu tidak ada makna lain yang terdapat di balik pemberian warna pada kain tenunan terfo. Adapun warna-warna yang biasa digunakan atau terdapat pada kain tenunan terfo adalah : 1. Warna putih (Fepamo)
49
50
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
Warna putih yang ada pada kain terfo adalah warna asli dari benang serat daun nibun atau tano. 2. Warna Merah (federa) Asal warna merah yang terdapat pada kain terfo, berasal dari pohon yang mereka sebut dalam bahasa setempat mare. Pohon tersebut diambil akar (rapi) dan kemudian dikikis dengan menggunakan kulit siput (menggeronsaa). Hasil kikisan dari akar (rapi) pohon mare tersebut dicampur dengan kapur yang dipakai untuk makan pinang, kemudian diremas atau diperas, maka akan menghasilkan warna merah. Air hasil ramasan yang telah berwarna merah itu kemudian dituangkan disebuah wadah dan gulungan benang di masukkan dan di bolak-balik (asorsiwo dop sesrispare) sehingga menghasilkan benang berwarna merah. 3. Warna Merah Muda Warna Merah muda adalah jenis warna yang baru digunakan pada masa sekarang ini. Untuk mendapatkan warna ini para penenun biasanya menggunakan tanaman kembang sepatu, yang telah di peras sarinya dan di campur dengan air perasan jeruk. 4. Warna Hitam (Femeno) Warna ini berasal dari sejenis pohon yang mereka sebut dalam bahasa setempat pohon menoerta. Pohon tersebut menghasilkan buah hitam yang bila diambil dan direndam di air maka air akan berubah menjadi warna hitam. Air yang telah berwarna hitam tersebut, kemudian dicelupkan benangnya sehingga serat benang yang tadinya berwarna putih berubah menjadi hitam. 5. Warna biru Warna ini berasal dari pohon tinta yang mereka sebut dalam bahasa setempat Menwafo. Pohon menwafo ini menghasilkan buah yang berwarna seperti tinta. Jika buah ini diambil dan dikikis kemudian hasil kikisan tersebut diramas, maka akan menghasilkan air yang berwarna biru. Untuk mendapatkan serat benang yang berwarna biru, maka gulungan benang tersebut dimasukkan kedalam air biru itu. 6. Warna hijau Tua Warna hijau tua diperoleh dari daun nibun yang sudah tua. Untuk memperoleh warna hijau tua ini daun nibun yang sudah tua diambil lalu di rebus sambil mengaduk-aduk, setelah itu daun diaangkat keluar dan masukkan benang tano. 7. Warna Kuning (feyone) Tua
“Perubahan Kain Terfo Masyarakat Sarmi”
Warna kuning tua ini berasal dari akar tanaman mengkudu. Akar mengkudu di ambil dan dibersihkan lalu di tumbuk dan diperas, air perasan tadi di celupkan benang tano yang berwarna putih, sehingga benang tersebut akan berubah warna menjadi benang dengan warna kuning tua. 8. Warna Kuning Muda Warna ini berasal dari kunyit (yone) yang bilang ditumbuk atau dikikis maka airnya akan menghasilkan warna kuning. Air yang warna kuning tersebut jika dicelup benang makan serat benang yang tadinya berwarna putih akan berubah menjadi warna kuning muda. Warna-warna yang biasanya digunakan pada kain terfo masyarakat Sarmi, di ilhami dari warna-warna ikan yang ada dilaut seperti warna ikan layar, ikan mertae, dan beberapa jenis ikan yang biasanya hidup pada daerah terumbu karang serta ulat atau kepompong yang biasa dimakan dalam bahasa sobei disebut mansofido. Contoh warna-warna yang biasanya digunakan yaitu : Menwafo (hijau dan biru), Emsarabe (merah dan hijau), termadi ( biru,kuning dan merah), dan mertae (biru, kuning, merah). 6. Jenis-Jenis Kain Terfo Dalam masyarakat Sobei di Kampung Sawar di kenal 3 jenis kain tenunan terfo, yakni : 1. Jenis kain tenunan terfo yang dipasang pada rumah adat Karwari (rumah adat Matahari) 2. Jenis Kain tenunan terfo yang dipakai oleh satetum (kepala Suku) dan anak Kepala suku. 3. Jenis tenunan kain terfo yang dipakai oleh siapa saja (masyarakat Umum). (Sumber : Hanro Lekitoo, dkk : 1996). Bentuk kain terfo yang ditenun oleh masyarakat Sawar adalah berbentuk selembar selempang panjang, sehingga fungsi dari kain tenunan ini adalah sebagai alat penutup aurat baik laki-laki maupun perempuan dan sebagai ban pinggang. B. Gambaran Tenunan Terfo di Masa Sekarang Pada masa sekarang ini aktifitas penenunan kain terfo yang dilakukan oleh para penenun telah banyak mengalami perubahan dan perkembangan. Perubahan dan perkembangan yang terjadi adalah dalam hal : bahan baku
51
52
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
tenunan terfo, model/bentuk peralatan, bahan pewarnaan dan fungsi dari kain tefo itu sendiri. Perubahan dan perkembangan yang terjadi karena adanya motivasi dan adanya inspirasi dari para penenun itu sendiri dan dibantu oleh suami dari para penenun tersebut. Pengetahuan yang diperoleh oleh para penenun pada masa sekarang ini berasal dari : • Pelatihan-pelatihan yang dilakukan dalam sanggar, hanya saja pelatihan ini masih memperkenalkan dasar-dasar penenunan dan belum mengarah, ke bagaimana cara memodifikasi tenunan terfo dan alat tenunan. Sanggar yang mengadakan pelatihan merupakan sanggar milik seorang ibu, yang sudah lama berkecimpung dalam penenunan terfo, dan belum mendapatkan pelatihan-pelatihan oleh dinas terkait guna pengembangan tenunan terfo kedepannya. Para informan yang berhasil di jarring pada penelitian ini, pada umumnya memiliki pengetahuan tentang cara penenunan terfo dari sanggar yang diadakan oleh para penenun lain yang sudah lama berkecimpung dalam aktifitas ini. • Diturunkan dari orang tua sendiri atau sanak family dari penenun. Pengetahuan yang diturunkan ini, bukan sekedar diturunkan saja, namun karena ada kemauan yang kuat dari para penenun untuk menekuni bidang ini. Salah satu penenun yang berhasil dijaring pada penelitian ini adalah ibu Klarce Seifan, telah lama menekuni aktifitas penenunan terfo sejak umur 16 tahun, yang diturunkan dari Tantenya yang sudah lama melakukan aktifitas penenunan terfo. 1. Bahan baku dan Perkembangan Tenunan Terfo Pada masa sekarang ini, dalam melakukan aktifitas penenunan kain terfo, bahan baku tenunan yang digunakan telah mengalami perubahan dan produk tenunan terfo telah mengalami perkembangan, dimana kain terfo telah dimodifikasi. Dalam melakukan aktifitas penenunan kain terfo bahan baku yang digunakan, sudah kurang menggunakan serat daun nibun (tano), hal ini disebabkan oleh karena untuk mendapatkan daun nibun/ tano sudah sangat susah. Karena pohon Nibun/pe’a yang dulu banyak tumbuh di hutan di gunung dekat kampung Sawar dan Bagaiserwar, sudah tidak tumbuh lagi, akibat penebangan tanpa memperhatikan kelestarian dari tanaman pe’a tersebut. Untuk mendapatkan tano para penenun harus berjalan atau menggunakan kendaraan dengan menempuh jarak sekitar
“Perubahan Kain Terfo Masyarakat Sarmi”
20 km dari kampung Sawar atau Bagaiserwar menuju ke Petam atau ke Kampung Kasukwe, karena pada daerah ini masih bisa ditemui tanaman pe’a. aktifitas pengambilan tano, biasanya dilakukan bersama-sama antara para ibu penenun dan suaminya. Pada masa sekarang ini, dalam melakukan aktifitas penenunan bahan baku yang digunakan, sudah dan lebih banyak menggunakan benang yang banyak diperjualbelikan di toko-toko dan di pasar Sarmi yaitu benang wol, benang yute (benang anyaman yang biasa digunakan oleh masyarakat wamena untuk mengayam tas) dan benang Jahit, walaupun masih pula mengunakan benang tano. Aktifitas penenunan atau cara penenunan yang biasanya digunakan masih tetap sama seperti yang dulu, hanya saja waktu yang diperlukan untuk mengayam/menenun benang lebih cepat dan efisien, karena tidak lagi membutuhkan waktu untuk mengambil, merebus, mengupas dan menyemak tano menjadi benang. Waktu yang diperlukan untuk menghasilkan satu lembar kain terfo, dengan menggunakan benang wol/ yute/jahit, sekitar 3 hari sampai 1 bulan, tergantung besar-kecilnya kain terfo yang akan dihasilkan serta ada tidaknya kesibukan lain. Hasil tenunan yang dibuat atau diproduksi oleh para penenun pada masa sekarang ini, telah mengalami perubahan dan perkembangan, kalau dulu hanya dalam bentuk selembar kain selempang. Sekarang telah dimodifikasi menjadi baju, selendang, penutup kulkas, taplak meja, tas dan lain-lainnya. Hasil modifikasi tadi bukan saja dari bahan baku tenunan benang wol,yute dan jahit, namun juga dari benang tano, selain itu juga telah dimodifikasi pencampuran antara benang pabrik dan benang tano seperti rok untuk menari, dimana bagian atas rok, dibuat dari bahan baku benang pabrik dan bagian bawah dari bahan baku benang tano. Pengetahuan tentang teknik/cara memodifikasi kain terfo menjadi bentuk-bentuk diatas, tidaklah didapatkan melalui pelatihan-pelatihan, namun berdasarkan ilham atau inisiatif dari para penenun itu sendiri, khususnya para penenun usia produktif. Hal ini dilakukan untuk menambah nilai jual dari hasil produksi tenunan mereka sendiri. Cara memodifiikasi hasil tenun kain terfo adalah pertama di buat sketsa gambar dari baju atau rok, lalu ditenun kain terfo, sesuai dengan lebar bahan kain yang diinginkan, misalnya selembar baju, maka dibutuhkan dua lembar kain terfo dengan ukuran 1 – 2 meter. Setelah kedua kain terfo dijahit menjadi satu, lalu dibuat menjadi bentuk baju sesuai dengan sketsa gambar yang ada. Dalam
53
54
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
menjahit kain terfo, biasanya dilakukan oleh para penenun itu sendiri, yang memiliki mesin jahit. Bila tidak memiliki mesin jahit, maka para penenun akan membawa ke para penjahit untuk dijahit beserta gambar sketsa yang sudah dibuat. Hal ini dilakukan guna menambah atau meningkatkan nilai jual dari produk atau hasil tenunan yang dimiliki mereka. 2. Peralatan Tenunan Terfo Dalam melakukan aktifitas penenunan, masyarakat penenun yang ada dikampung Sawar dan Bagaiserwar, telah pula melakukan modifikasi dalam hal peralatan tenun Terfo. Tiap penenun memodifikasi peralatan tenunannya berbeda-beda, sesuai dengan gagasan dan keinginan para penenun itu sendiri dan dibantu oleh suaminya, untuk membuat alat tenunannya. Hal ini dilakukan karena untuk membantu meringankan beban pekerjaan yang dilakukan oleh para penenun. Dalam membuat alat tenunan, para penenun tidak lagi menggunakan bahan baku dari nibun/pelepah nibun atau sagu, namun sudah meng gunakan bahan baku dari kayu besi untuk rangka dasar (papo), dan untuk 4 kayu tengah pada rangka dasar, sedangkan untuk esdi dan songgoni menggunakan kayu matoa dan esdi. Contoh hasil modifikasi alat tenunan tiap para penenun adalah : • Ibu Susanna Biakai Dalam melakukan penenunan, telah memodifikasi alat tenunannya, dari alat tenuan terfo duduk, ke alat tenunan terfo berdiri, yang disandarkan pada dinding. Tinggi alat tenun ini sekitar 1 – 1,5 meter, sehingga saat menenun dapat dilakukan dengan cara berdiri. • Ibu Arlance Ambani Dalam melakukan aktifitas penenun, telah memodi fikasi alat tenunan terfo duduk ke alat tenunan berdiri dengan tinggi sekitar 50 centimeter lebih, dengan lebar rangka kurang lebih sekitar 1,5 – 2 meter, yang pada bagian samping kiri kanannya telah dipasang alat bantu berbentuk huruf y atau ketapel. Fungsi dari alat bantu ini adalah untuk memudahkan mengangkat dan memutar benang
“Perubahan Kain Terfo Masyarakat Sarmi”
•
atau kain yang berukuran besar (1 meter atau lebih). Saat menenun biasanya ibu Arlance dilakukan dengan cara duduk. Ibu Klarce Zeifan Dalam melakukan aktifitas penenunan, telah pula memodifikasi alat tenunan terfo yang dimi likinya. Hasil modifikasi alat tenun terfo ibu klarce adalah alat tenun berdiri dengan tinggi rangka dasar (papo) sekitar 1 meter dan lebar kurang lebih sekitar 2 meter, sehingga pada saat menenun dilakukan dengan cara berdiri. Pada samping kiri dan kanan rangka dasar dipasang alat bantu berbentuk huruf Y atau ketapel, yang berfungsi membantu mengangkat dan memutar benang, bila kain terfo yang akan ditenun berukuran besar. Selian itu juga pada bagian dodai di buat sisir, untuk memisahkan benang, sehingga antara benang satu dengan benang lain memiliki jarak, hal ini dilakukan agar supaya hasil tenunan menjadi lebih rapat, rapih dan halus.
Bahan baku pembuatan alat tenun yang digunakan oleh para penenun, didapatkan dari somel atau tempat pengolahan kayu, berupa kayu-kayu besi atau matoa yang tidak terpakai lagi atau tidak laku dijual karena rusak. 3. Pewarnaan Dalam melakukan aktifitas penenunan, masyarakat penenun yang ada di kampung Sawar dan Bagaiserwar, sudah kurang bahkan tidak lagi menggunakan bahan baku pewarnaan yang berasal dari alam sekitar tempat tinggal mereka. Hal ini disebabkan karena sudah sangat jarang bahkan hampir punahnya tanaman yang biasa digunakan sebagai bahan baku pewarna di hutan dekat kampung mereka. Dalam melakukan aktifitas penenun, khususnya pewarnaan telah menggunakan bahan baku yang banyak diperjualbelikan di Pasar dan tokotoko di Kota Sarmi yaitu tawas, yang digunakan untuk membersihkan benang dan wantex, untuk mewarnai benang khususnya benang tano. Sedangkan benang-benang yang sekarang dipergunakan untuk menenun, tidak memerlukan bahan pewarnaan, karena sudah memiliki warna-warna, sehingga benang tersebut bisa langsung ditenun. Dengan telah adanya bahan baku pewarnaan dan benang yang telah memiliki warna tersebut,
55
56
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
telah membantu meringankan dan mengefisienkan waktu yang dibutuhkan dalam menghasilkan selembar kain terfo, karena tidak lagi meluangkan waktu untuk membuat dan menghasilkan warna dari bahan baku alami. 4.
Fungsi Kain Terfo
Dengan telah dimodifikasinya hasil tenunan terfo atau kain terfo telah menambah nilai jual dari kain terfo yang dihasilkan. Selain itu juga telah merubah/menggeser fungsi kain yang hanya sebuah alat penutup aurat, menjadi kain terfo yang dapat dipergunakan sebagai bahan pakaian/ busana yang dapat digunakan pada : pesta/acara resmi, pesta adat, dapat pula digunakan sebagai pakaian pernikahan, juga dapat dibuat menjadi tas, jas rompi, taplak meja dan lain-lain.
Kain Terfo dari Bahan Benang Tano
Kain Terfo dari Bahan Benang Katu
C. Hambatan, Harapan Pelestarian 1. Hambatan Dalam menghasilkan tenunan terfo terdapat hambatan dan tantangan yang dihadapi/ditemui oleh para penenun. Hambatan dan tantangan tersebut berupa : kekurangan bahan baku tenunan seperti benang, khusus nya benang tano, yang terbuat dari serat daun nibun. Kekurangan bahan baku pewarnaan,khususnya bahan baku pewarnaan alami, karena untuk mengantisipasi permintaan dari para turis khususnya turis mancanegara. Selain itu juga terdapat hambatan dalam mendistribusikan dan menjual kain tenunan terfo, karena kurangnya minat dari masyarakat dan aparatur pemerintah daerah untuk membeli kain terfo. Hal ini karena belum adanya kesadaran dari masyarakat bahwa kain terfo harus menjadi bagian dari budaya masyarakat Sarmi dan juga pemerintah daerah belum menjadikan
“Perubahan Kain Terfo Masyarakat Sarmi”
kain terfo menjadi seragam wajib yang dipakai oleh pegawai daerah pada hari-hari tertentu. Selain itu juga kurangnya promosi yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap kain tenunan terfo, dalam bentuk pameran, pagelaran busana dan festival-festival budaya. Selain hambatan diatas juga dalam melakukan aktifitas penenunan, khususnya dimasa yang akan datang, terutama menghadapi datangnya turis ke Kota Sarmi, terdapat tantangan yang akan ditemui, yaitu tantangan untuk lebih kreatif dan inovatif dalam menghasilkan produk-produk modifikasi kain tenunan terfo, yang disukai dan diminati oleh para konsumen khususnya turis. 2. Harapan Banyak harapan yang disampaikan oleh para penenun kepada peneliti harapan itu adalah sebagai Berikut : 1. Adanya perhatian yang lebih baik lagi dari Pemerintah daerah terhadap para penenun dalam hal pemberian bantuan modal usaha 2. Diadakannya pagelaran busana yang menggunakan bahan dasar kain Terfo 3. Penetapan Kain terfo sebagai kain resmi pemerintahan daerah 4. Diikutsertakannya para penenun dalam pameran-pameran, festivalfestival budaya dan aktifitas lainnya, guna lebih memperkenalkan kain terfo kepada masyarakat luas, diluar masyarakat Sarmi sendiri. 5. Penanaman kecintaan akan budaya masyarakat Sarmi, khususnya aktifitas penenunan kain terfo kepada generasi muda, sehingga ada regenerasi penenun terfo. 6. Adanya kesadaran dari masyarakat, termasuk para penenun dan pemerintah daerah untuk tidak melakukan penebangan pohon nibun (pe’a) secara sembarangan serta adanya upaya untuk menanam kembali pohon tersebut. 3. Pelestarian Pelestarian adalah suatu usaha untuk merekonstruksi budaya yang dimiliki dalam hal ini tenunan terfo dari aspek sejarahnya, teknologinya, filosofinya dan sebagainya. Pelestarian tenunan terfo tidak diartikan pasif yang hanya menjaga dan menyimpan kain terfo agar tidak punah/hilang. Pelestarian dilakukan tidak hanya menyiapkan harta karun bernama kain
57
58
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
terfo tersebut supaya tetap eksis, berfungsi dan di lindungi keberadaananya tetapi juga bagaimana kain terfo tetap dimiliki dan dicintai oleh pemiliknya. Dalam pelestarian ini diperlukan peran aktif tidak hanya dari pemilik budaya atau para penenun saja, tetapi juga peran aktif masyarakat dan pemerintah. Dalam rangka mendorong dan mengaktifkan peran serta masyarakat harus dilakukan pendekatan-pendekatan supaya masyarakat memiliki kreatifitas pengelolaan dan pemanfaatan produk kain terfo untuk pengembangan dan pewarisan kepada generasi yang akan datang dan untuk kesejahteraan para penenunnya. Guna pelestarian kain tenunan terfo diperlukan langkah-langkah nyata yang harus disiapkan seperti : 1. Penanaman kembali pohon nibun (pe’a) dihutan pada gunung dekat kampung Sawar dan Bagaiserwar, serta pelestarian pohon nibun yang masih ada guna membantu dalam pengambilan Tano. 2. Pendokumentasian tenun terfo dari berbagai aspek secara lengkap mulai dari aspek estetikanya, historisnya, fungsional dan tekniknya. 3. Perlu dilakukannya promosi dalam hal pameran budaya pagelaran budaya dan festifal budaya yang berkesinambungan yang diikuti dengan Fashion show dan penjualan produk tenunan terfo dengan harga terjangkau. Juga pelatihan-pelatihan yang berorientasi pada inovasi dalam hal modifikasi-modifikasi produk tenunan terfo juga penambahan motif-motif atau corak-corak alami asli kabupaten Sarmi pada produk kain Tenunan Terfo. 4. Penguatan kain terfo sebagai salah satu produk busana untuk kegiatan instansi, siswa-siswi, mahasiswa, aparatur kampung, Pegawai Kelurahan, Pegawai Distrik dan semua lapisan masyarakat, harus digalakkan kecintaan akan kain terfo secara terus – menerus, supaya kain terfo tetap eksis, dicintai, dimiliki dan muncul kesadaran bahwa keberadaan kain terfo menjadi tanggung jawab kita bersama. Dalam konteks pelestarian ini perlu dipikirkan langkah-langkah menjaga kain terfo supaya tidak hilang dari khasanah budaya yang dimiliki oleh masyarakat Sarmi. Selain itu juga perlu adanya pengembangan kain terfo, baik yang masih asli dan yang sudah dimodifikasi, lebih lanjut guna memenuhi kebutuhan dan selera pasar, sehingga kain terfo tetap eksis dan memiliki nilai tambah guna mengangkat kesejahteraan para penenun
“Perubahan Kain Terfo Masyarakat Sarmi”
dan menimbulkan minat dari generasi muda untuk mempelajari dan mengembangkan kain terfo lebih lanjut. Jadi dalam konteks ini pembangunan kebudayaan harus diupayakan pada terciptanya budaya yang memiliki daya saing, juga berarti memiliki basis ekonomi kreatif. Karya budaya yang memiliki daya saing akan mengembangkan kreatifitas dan terbuka bagi perubahan dan pembaharuan. Kemampuan daya saing ini terbangun karena karya budaya tersebut bernilai dalam kehidupan masyarakat. Budaya yang memiliki nilai tambah tersebut akan memberikan rasa kebanggaan dan kecintaan yang akan menjaga keberadaan kelangsungan karya budaya terebut dalam hal ini kain tenunan terfo. (sumber : Sumintarsih, 2009 : 695) Dalam hal strategi peningkatan daya saing budaya harus dicanangkan, karena akan memberikan implikasi positif pada eksistensi, kreatifitas, kebanggaan, kecintaan dan peluang-peluang lainnya yang secara tidak langsung akan menaikkan citra dan memperkokoh karya budaya dalam hal ini tersebut sebagai ikon pembangunan. Pengembangan produksi kain terfo membutuhkan kreatifitas dari para penenun itu sendiri. Kreatifitas adalah merupakan sebuah kemampuan untuk menggunakan imajinasi, wawasan dan kekuatan berpikir serta perasaan emosi untuk melahirkan sebuah gagasan baru. Kreatifitas mengan dung nilai-nilai : - Imajinatif yang melahirkan gagasan-gagasan baru dan berpikir imajinatif - Orisinalitas, yakni adanya nilai-nilai kebaruan, penenunan dan pembuatan barang-barang baru serta berbuat sesuatu yang belum pernah dibuat sebelumnya. - Signifikansi pada konsep utiliy dan nilai - Ekploratif dan keberanian mengambil resiko - Ketrampilan berpikir kritis - Komunikatif membantu masyarakat. (dikutip dari Anas Buranul, 2008, dalam Sumintarsih, 2009 : 695) 3.
PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan tulisan diatas maka dapat ditarik kesimpulan adalah sebagai berikut :
59
60
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
1.
Alasan terjadinya perubahan dan perkembangan aktifitas penenunan adalah sebagai berikut : - Perubahan yang terjadi pada alat tenunan dilakukan guna mem bantu atau menolong para penenun saat melakukan aktifitas penenunan. - Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada bahan baku, disebabkan karena sudah mulai berkurang bahkan punahnya bahan baku tenunan alami seperti tanaman untuk membuat benang tano dan bahan pewarna alami, karena tidak adanya upaya penanaman tanaman tersebut. - Perubahan dalam produk hasil tenunan adalah untuk menambah nilai jual atau ekonomis dari hasil tenunan tersebut. - Perubahan dalam hal fungsi kain dilakukan guna menambah nilai jual dari produk tenunan terfo yang dihasilkan. 2. Hambatan-hambatan yang ditemui oleh para penenun didalam meng hasilkan kain tenunan terfo adalah kurang tersedianya bahan baku tenunan, baik yang alami maupun hasil buatan pabrik, kurangnya promosi sehingga terbatasnya sarana pemasaran, serta kurangnya perhatian dari pemerintah daerah. 3. Upaya-upaya pelestarian tenunan terfo yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : - Penanaman kembali serta upaya pelestarian pohon nibun yang masih ada. - Pendokumentasian kain terfo, diadakannya promosi, serta penguatan kain terfo sebagai busana atau pakaian resmi pemerin tahan daerah kabupaten Sarmi, sekolahan, kuliahan dan masyrakat umum. B. Saran -
Adanya perhatian yang lebih baik dan serius dari pemerintah daerah, dalam hal bantuan modal usaha, pelatihan-pelatihan terhadap generasi muda, promosi, festival-festival budaya dan pagelaran busa tradisional. - Penanaman kecintaan budaya kepada generasi muda. - Upaya pelestarian dan penanaman tanaman yang digunakan sebagai bahan baku tenunan alami.
“Perubahan Kain Terfo Masyarakat Sarmi”
Daftar Referensi Herawati Isni, 2007. Makna Simbolik Sajen Slametan Tingkeban (dalam bulletin Jantra, Vol II No. 3) BPSNT Yogyakarta, Yogyakarta Isyanti, 2009. Tenun Gedhog di Kabupaten Tuban (dalam bulletin Jantra Vol.IV N0.8) BPSNT Yogyakarta, Yogyakarta Koentjaraninggrat, 2005. Pengantar Ilmu Antropologi Jilid II, PT Rineka Cipta, Jakarta ---------------------, 1993 Metode-metode Penelitian Masyarakat, PT Gramedia, Jakarta. ---------------------, 1990Sejarah Teori Antropologi II, UI Press, Jakarta. Emiliana, 2009. Kerajinan Tenun Lurik Pedan di Klaten (dalam bulletin Jantra Vol.IV N0.8) BPSNT Yogyakarta, Yogyakarta. Sumintarsih, 2009 Pelestarian Batik dan Ekonomi Kreatif (dalam Buletin Jantra Vol.IV N0.8) BPSNT Yogyakarta, Yogyakarta. Website : 1. http://www.sarmikab.go.id, di akses tanggal 13 November 2011 2. http://tabloidjubi.com, di akses tanggal 13 November 2011
Lampiran-lampiran : Lampiran 1. Nama-nama Informan 1. Nama : Susanna Yaas Bakai Umur : 67 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Kampung Bagaiserwar Pekerjaan : Penenun 2. Nama : Benyamin Bakai Umur : 78 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Kampung Bagaiserwar Pekerjaan : Tani 3. Nama : Florensius Umur : 65 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Kampung Sawar Pekerjaan : Kepala Kampung
61
62
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
4. Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan 5. Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan 6. Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan 7. Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan
: Yairus Sefa : 56 Tahun : Laki-laki : Kampung Sawar : Tani : Marthina Lidasnadebo : 31 Tahun : Perempuan : Kampung Sawar : Penenun Kain Terfo : Arlance Ambani : 52 Tahun : Perempuan : Kampung Sawar : Penenun Kain Terfo : Klarce Zeifan : 53 Tahun : Perempuan : Kampung Sawar : Penenun Kain Terfo
Lampiran 2. Foto-foto Kegiatan
63
Sejarah Pendidikan Kabupaten Manokwari
Sejarah Pendidikan Kabupaten Manokwari
(Suatu kajian tentang Sejarah Sorong hingga terbentuknya Kota Sorong) Peter M. Apituley
Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jayapura-Papua Jl. Isele, Waena Kampung Jayapura, Kode Pos 99358, Jayapura-Papua Tlp. (0967) 571089, Fax. (0967) 573383, e-mail:
[email protected]
ABSTRAC This history watchfulness hits education history at regency manokwari with title” messrs comes here to teach us how do we independent alive! “. Be troubleshoot in this watchfulness how does tradisional education model before protestant missionary mission arrival, how does education exertion process by protestant missionary mission and how does dutch colonial government wisdom at that moment even impact from that education for regency society manokwari. Method that used history watchfulness method with menguna four steps that is: heuristic, criticism, interpretation and historiografi. Speak about region education development papua especially at manokwari, education in education meaning that carried out formally formed school, then begun in the year 1856 on initiatives zendeling C.W. Ottow and J. G. Geissler with school opinion very simple at island mansinam. This education executes and accustommed with aborigin culture standard papua at that time that still very simple. At first that school is carried out by zendeling self as teacher at the house and children maintain it (pleegkinderen) children that released from bondage with certain ransom by zendeling as the pupil child. they are given lesson the benefit soon feeled in the alive: garden/manner plants, handiwork, alive cleanly, read, write, count, sang to pray approach begin and after finished lesson, all the it this only be tool to teach and distribute protestant christian as aim predominantly. keyword: Role, Protestant missionary mission, Education History
64
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
A. PENDAHULUAN Sejarah merupakan kejadian atau peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Selain itu, dapat juga dikatakan bahwa sejarah pada dasarnya memang bukan hanya sekedar kumpulan peristiwa pada masa lampau, tetapi sejarah juga merupakan instrument yang membuka dialog antara keadaan yang tengah berlangsung dengan masa lampau yang membentuknya, yang kemudian hasilnya akan berguna dalam pengambilan kesimpulan untuk nasib kita dimasa-masa yang akan datang. Kehidupan manusia yang sekarang ini merupakan suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan yang sebelumnya. Rangkaian dari masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang merupakan suatu hal yang berkesinambungan yang tidak terputus dan saling berkaitan. Mempelajari peristiwa-peristiwa masa lampau tentang kehidupan suatu bangsa penting artinya bagi manusia sekarang untuk memilih dan menganalisis peristiwa-peristiwa sekarang dalam menentukan tindakantindakan pada masa yang akan datang. Pada era globalisasi ini, masyarakat mulai menghendaki adanya keterbukaan informasi dalam berbagai aspek kehidupan dan salah satu sumber informasi itu adalah “sejarah” yang merupakan sumber informasi yang terpecaya dan akurat serta sangat dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat dalam rangka menemukan dan dan memupuk jati diri bangsa guna merancang dan mempersiapkan kehidupannya di masa yang akan datang. Sejarah dapat digunakan untuk menimba berbagai pengalaman penting dan melalui sejarah juga dapat diperoleh berbagai masukan yng sangat bermanfaat, karena di dalam peristiwa sejarah itu terkandung faktafakta yang bermuatan kebenaran dan kekeliruan dalam melangkah dan mengambil tindakan atau perilaku yang baik maupun yang tidak baik yang merupakan bahan kajian yang sangat menarik dan tidak akan habishabisnya. Oleh karena itulah sejarah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka perlu dilakukan usaha penggalian dan perekaman terhadap peristiwa sejarah yang terjadi. Pada kurikulum yang mulai berlaku pada tahun 1994, dicantumkan bagian yang dikenal dengan “muatan lokal” yang berisikan kajiankajian tentang berbagai aspek dari kehidupan masyarakat di daerah, dari seni budaya, sejarah dan tradisi, sampai ketrampilan yang berciri lokal.
Sejarah Pendidikan Kabupaten Manokwari
Adanya kebijakan pemerintah mengenai “muatan lokal” ini antara lain telah menyebabkan adanya usaha-usaha untuk melakukan penelitian dan penulisan sejarah daerah yang merupakan bagian dari sejarah lokal secara lengkap. Dalam era pelaksanaan otonomi daerah ini, usaha kearah sebagaimana telah disebutkan, terlihat semakin kuat karena pemerintah daerah otonom (kabupaten/kota) bergairah dalam memberikan dorongan terhadap penelitian dan penulisan sejarah lokal itu. Semua itu merupakan suatu hal yang wajar dan merupakan langkah yang positif dalam rangka usaha untuk memberikan sumbangan bagi penulisan Sejarah Nasional Indonesia, yang lebih bisa diterima oleh semua bagian dari bangsa ini dan bisa menimbulkan rasa kebanggaan bersama menurut Silver, 1985:2266 dalam Helius Sjamsuddin 2007:330. Khususnya di Provinsi Papua Barat ini sebagai salah satu cara untuk mengembangkan pengetahuan mengenai sejarah lokal yang ikut memberi corak pada kebudayaan nasional Indonesia. Penulisan sejarah lokal perlu dilakukan karena penulisan sejarah lokal merupakan langkah untuk menuju pada penulisan Sejarah Nasional Indonesia. Tulisan tentang sejarah lokal Papua Barat sudah saatnya diperbanyak, untuk hal tersebutlah maka penulis ingin mengangkat dan menulis kembali tentang sejarah lokal di salah satu kabupaten di provinsi Papua Barat yaitu Kabupaten Manokwari dengan judul : “Sejarah Pendidikan Kabupaten Manokwari”, suatu kajian tentang Sejarah dimulainya pendidikan tradisional hingga masuknya pendidikan formil di Kabupaten Manokwari. B. Batasan dan Rumusan Masalah Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan Zending adalah Misionaris Kristen Protestan yang menjadi utusan-utusan dari Gereja Kristen Protestan di Jerman untuk menyiarkan agama Kristen Protestan. Lingkup spasial (wilayah) penelitian ini adalah onderafdeling Manokwari, yang pembentukannya terutama didasarkan pada keputusan pemerintah (Gubernur Nieuw Guinea) tanggal 10 Mei 1952 No.86. Dengan demikian akan membantu memudahkan dalam mencari data (sumber-sumber tertulis) pada periode-periode terdahulu, yang kemudian dengan mudah dapat dipilah-pilah mana yang sesuai dengan kebutuhan penelitian.
65
66
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
Lingkup temporal tahun 1855 dipilih sebagai batasan waktu awal penelitian ini didasarkan atas pemikiran bahwa tahun tersebut merupakan tahun dimana Zending pertama kali mendarat di Pulau Mansinam untuk memberitakan Injil yaitu pada tanggal 5 Februari 1855. Sementara tahun 1962 ditetapkan sebagai batasan waktu akhir pembahasan, didasarkan atas pertimbangan bahwa tahun tersebut merupakan masa akhir penyelenggaraan pemerintah kolonial Belanda di Manokwari. Adapun pokok-pokok permasalahan dalam penelitian dan penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana model pendidikan tradisional di kabupaten Manokwari sebelum kedatangan Misi Zending ? 2. Bagaimana proses penyelenggaraan pendidikan oleh Misi Zending di Kabupaten Manokwari ? 3. Bagaimanakah kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda dalam bidang pendidikan di Kabupaten Manokwari ? 4. Bagaimana dampak perkembangan pendidikan oleh Misi Zending terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat di kabupaten Manokwari ? Semua permasalahan ini dibatasi pembahasannya hanya pada periode tahun 1855 sampai dengan tahun 1962. C. Tujuan Penelitian Sejarah pendidikan di Kabupaten Manokwari menarik untuk diteliti kembali. Hal ini mengingat bahwa tulisan-tulisan yang ada berkenaan dengan objek tersebut, merupakan bagian kecil dari konteks studi yang lebih luas dan ditulis oleh kalangan intern saja. Oleh sebab itu penelitian sejarah ini dilakukan untuk : 1. Mendeskripsikan model pendidikan tradisional di kabupaten Manokwari sebelum kedatangan Misi Zending ? 2. Mendeskripsikan proses penyelenggaraan pendidikan oleh Misi Zending di Kabupaten Manokwari ? 3. Mendeskripsikan kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda dalam bidang pendidikan di Kabupaten Manokwari ? 4. Mendeskripsikan dampak perkembangan pendidikan oleh Misi Zending terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat di kabupaten Manokwari ?
Sejarah Pendidikan Kabupaten Manokwari
D. Metode Penelitian Tujuan penelitian ini adalah penulisan sejarah. Karena itu, upaya rekonstruksi masa lampau dari objek yang diteliti itu juga melalui metodologi sejarah. Pengumpulan data atau sumber sebagai langkah pertama kali dilangsungkan dengan mengunakan data dokumen (Kuntowijoyo,1995). Metode dapat berlangsung karena ditemukan sumber-sumber tertulis baik yang berupa informasi langsung mengenai Misi Zending dalam perkembangan pendidikan di Manokwari. Masih mengenai langkah pengumpulan data, observasi lapangan dilakukan dengan jalan mengadakan wawancara dengan tokoh-tokoh agama dan guru-guru tua yang masih hidup. Dalam hal ini informasi yang didapat adalah berupa sejarah lisan. Metode sejarah lisan ini dipergunakan sebagai pelengkap terhadap bahan dokumenter(Kuntowijoyo,1994). Konsekuensi logis di dalam dari metode sejarah adalah bahwa sumbersumber itu kemudian diuji keaslian dan kesahihannya melalui kritik ekstern dan intern. Setelah pengujian dan analisis dilakukan, maka faktafakta yang diperoleh disintesiskan melalui eksplanasi sejarah (T. Ibrahim Alfian,1985). Penulisan sebagai tahap akhir dari prosedur penelitian ini diusahakan dengan selalu memperhatikan aspek kronologis, sedangkan penyajiannya berdasarkan teme-tema penting dari setiap perkembangan objek penelitian. E. Gambaran Umum Manokwari pada saat kedatangan Misi Zending. Keadaan tanah di Manokwari adalah bergunung-gunung terutama disepanjang pantai utara. Bagian barat laut dekat Pulau Salawati terbentang suatu daratan yang rendah dan luas. Pada bagian Timur sampai kedaerah Amberbaken merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian sekitar 900 meter diatas permukaan laut, pegunungan ini terus memanjang sampai ke daerah Arfak yang ketinggiannya sampai sekitar 3000 meter diatas permukaan laut. Meskipun menghadapi keadaan alam yang cukup sulit dan lingkngan hidup yang tidak aman tetapi para penduduk pantai dengan beraninya melakukan perjalanan-perjalanan untuk menyamun dan membunuh orang lain dari suku-suku tetangganya yang dipantai maupun yang berada di pedalaman.
67
68
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
Penduduk yang mendiami Manokwari hingga awal pemerintahan kolonial Belanda dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) golongan suku bangsa yaitu : 1) Suku Numfor, adalah suku pendatang berasal dari Pulau Numfor yang mendiami daerah sekitar teluk Doreh dan pantai Amberbaken; 2) Suku Arfak, adalah semua suku kecil yang mendiami daerah sekitar pegunungan Arfak dan wilayah pesisir pantai Manokwari; 3) Suku Amberbaken, yang mendiami daerah Amberbaken; 4) Suku Kebar, adalah suku pedalaman yang mendiami lembah/ dataran Kebar. (Handono Kusumo,2007:14) Kepercayaan orang Papua pada waktu itu adalah kepada roh-roh orang mati yang mereka sembah. Berhala-berhala mereka mengabarkan dan mewakili roh-roh orang mati tersebut dan mereka begitu terikat kepadanya. Geissler menceritakan bagaiman pada saat sebuah kapal karam, maka yang diselamatkan pertama-tama oleh orang Papua adalah berhala-berhala (korwar) mereka, yang biasanya dibuat dari kayu dan berukuran 30 sampai 50 cm. Mereka juga percaya kepada roh-roh jahat. Misalnya apabila ada orang meninggal di Mansinam atau Manokwari maka dianggap roh jahat dari Arfak penyebabnya, sehingga harus ada orang di Arfak yang dibunuh pula. Acara penguburan biasanya disertai dengan acara makan besar, lagu dan tari-tarian. Orang yang mati itu dibekali dengan Korwar, senjata dan perhiasan. Terkadang orang mati juga disimpan didalam rumah. Jika ada yang mati akibat penyakit, maka tengkorak orang mati itu didudukan di meja makan dan diberikan makanan dan rokok sebagai bagiannya. Penyembahan iroh orang mati sangat luas dipraktekkan di Papua pada waktu itu.(Scheunemann 2004:33) Dalam masyarakat yang masih sangat sederhana hidupnya segala hal yang menyangkut kebudayaan dan pengetahuan belum dituliskan dalam buku. Orang tua hanya mengajarkan kepada anak-anaknya apa yang telah dipelajari dari orang tuanya dahulu dengan jalan bercerita. Segala hal yang dipelajari oleh masyarakat pada waktu silam diwariskan kepada generasi berikutnya secara lisan. Dalam cerita-cerita lisan tersebutlah tersimpul adat dan kepercayaan/agama, cara bekerja, dan cara hidup bermasyarakat. Cara mendidik demikian merupakan pendidikan tradisional. Pendidikan secara tradisional ini juga ada dalam masyarakat di daerah Manokwari sebelum masuknya kebudayaan barat, khususnya agama Kristen. Menurut Bapak Elly Burwos bahwa pendidikan tradisonal dalam masyarakat di Manokwari pernah dilaksanakan tatapi sewaktu Injil masuk akhirnya pendidikan tersebut dilarang oleh para Zendeling itu. Pendidikan
Sejarah Pendidikan Kabupaten Manokwari
itu dilaksanakan oleh setiap kelompok kerabat dalam desa atau kelompok keret yang mempunyai rumah keret yang merupakan rumah adat. Pada masa itu didepan rumah-rumah keret dibangun suatu Balai Pemuda yang diasebut Rum Sram atau Aber Snonman (Rumah Pemuda). Didalam Rum Sram inilah pendidikan tradisonal dilaksanakan bagi pemuda-pemuda dalam keret atau suatu desa. Pemuda-pemuda sebelum dinobatkan menjadi warga masyarakat yang dewasa, mereka harus dibekali pengetahuan tentang kepahlawanan, pendidikan moral, adat-istiadat, mitos dan religi serta kecakapan kerja yang dibutuhkan dalam masyarakat. Pengetahuan kepahlawanan yang diajarkan kepada pemuda-pemuda ini meliputi cara-cara menggunakan peralatan perang, antara lain cara memanah, melemparkan tombak, mempergunakan perisai, dan bahkan belajar tari-tarian perang. Pendidikan moral pun dapat ditekankan pada pemuda-pemuda itu, antara lain selama mereka dalam pendidikan di Rum Sram tidak diperbolehkan bertemu dengan wanita dan dilarang menginap ditempat lain. Lagu-lagu Douw dan Wor daiajarkan dan juga lagu-lagu pujaan terhadap Manseren Nanggi atau Tuhan Yang Di Surga. Mereka percaya adanya Allah Tunggal di Surga yang disebut Manseren Nanggi dan Dia inilah yang member matahari, bulan, bintang, hujan dan segala kemungkinan hidup lainnya di atas dunia ini. Kecakapan lainnya yang diajarkan kepada para pemuda di antaranya menyangkut cara berkebun beserta cara membuat pagar keliling kebun dan cara menangkap ikan beserta membuat alat-alat penangkap ikan seperti pukat, jala sumpitan ikan dan kalawai (tombak). Pendidikan yang diberikan kepada pemuda-pemuda di Rum Sra mini berlangsung dalam waktu enam bulan. Pemuda-pemuda yang dapat menyelesaikan pendidikannya dikukuhkan dalam suatu upacara inisiasi. Para pendidik adalah kepala keret, kepala adat, mambri (kepala perang), dan beberapa tokoh masyarakat lainnya. Dengan masuknya kaum zendeling (penyiar agama Kristen Protestan) sejak 1855 di pulau Mansinam, kemudian Kwawi dan Manokwari, juga meningkatnya campur tangan pemerintah Kolonial Belanda dengan membuka Pos Pemerintahannya di Manokwari dan Fak-fak pada tahun 1898 dalam rangka mewujudkan kekuasaannya atas Papua secara nyata, maka berangsur-angsur pendidikan tradisional tersebut terdesak oleh pendidikan formal. Para pendeta zending melarang masyarakat menyanyikan lagulagu Douw dan tari-tarian adat, karena perbuatan ini ada hubungannya dengan pemujaan berhala dan arwah-arwah leluhur. Rum Sram sebagai
69
70
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
pusat pendidikan pemuda dimusnahkan, karena dianggap sebagai tempat pemujaan demikian yang bertentangan dengan ajaran “Terang Kristus” yang diajarkan oleh zending. Dengan begitu pendidikan tradisional yang pernah dikenal melalui Rum Sram kini sudah lenyap. F. Hasil dan Pembahasan Berbicara tentang perkembangan pendidikan daerah Papua khususnya di Manokwari, pendidikan dalam arti pendidikan yang dilaksnakan secara formal yang berbentuk sekolah, barulah dimulai pada tahun 1856 atas prakarsa zendeling C.W Ottow dan J.G. Geissler dengan pendirian sekolah yang sangat sederhana di Pulau Mansinam. Pendidikan ini laksanakan dan disesuaikan dengan taraf kebudayaan penduduk asli Papua pada waktu itu yang masih sangat sederhana. Mula-mula sekolah itu dilaksanakan oleh zendeling sendiri sebagai guru dirumahnya dan anak-anak piaranya(pleegkinderen) – anak-anak yang telah dibebaskan perbudakan dengan uang tebusan tertentu oleh para zendeling- sebagai anak didiknya. Mereka diberi pelajaran yang manfaatnya segera dirasakan dalam hidupnya: berkebun/bercocok tanam, pekerjaan tangan, hidup secara bersih, membaca,menulis, berhitung, bernyanyi berdoa menjelang mulai dan sesudah selesai pelajaran, kesemuanya ini hanya merupakan sarana untuk agama Kristen Protestan sebagai tujuan utamanya.(Van Hasslet, 1922:49). Sekolah demikian yang kemudian dikenal dengan sebutan Sekolah Pengadaban (Beschavingschool) berkembang mengikuti pembukaan pos-pos zending. Sampai menjelang akhir abad XIX (1897), karena perkembangan zending begitu lambat dan hanya terjadi di Teluk Cenderawasih (Geelviksbaai), terutama di pantai baratnya, sekolah mencapai jumlah tujuh buah saja (L.N. Asperen,1936:28), yaitu di Mansinam, Kwawi (Doreh), tahun 1867 di Pulau Meos War, Tahun 1869 di Andai, tahun 1874 di pinggiran Sungai Mum, dan Tahun 1875 di Manokwari. Tahun 1883 di Pulau Ron, tahun 1891 di Windesi, tahu 1897 dibuka di Amban, dua diantaranya, sekolah di Mansinam dan Andai, memperoleh subsidi dengan surat keputusan Pemerintah Kolonial Belanda tanggal 22 Desember 1892 dan Sekolah “Beth-El” di Mansinam pada tahu 1892 mempunyai sekitar 50 orang murid dengan anggota jemaat disekitar daerah itu, dalam tahun itu juga sekolah di Masinam mengirim dua orang muridnya yang pandai ke Seminari Depok, Jawa Barat yaitu Petrus Kafiar dan Timotheus Awendu. (Van Hasselt,1922:45,47).
Sejarah Pendidikan Kabupaten Manokwari
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa perkembangan sekolah mengikuti pembukaan pos-pos zending, maka sejak kemenangan “Terang Kristus” atas penduduk asli pulau Ron akhir tahu 1906 (J. Metz Gzn,194041:322,323) agama Kristen Protestan menyebar luas dengan pesat di pantai utara beserta pulau-pulau di dekatnya dan ke pantai barat Papua. Wilayah kerja zending di Papua pada tahun 1915 berdasarkan Staat der Gementen en Schoolen terbagi atas 5 (lima) wiayah kerja yaitu Teluk Dore (Manokwari), Papua Timur, Papua Barat, Numfor, dan Biak. Teluk Dore (Manokwari) mempunyai 11 Jemaat dengan 902 anggota dan sebelas sekolah, 13 orang guru dan 217 murid. Pada tahun 1915 jumlah sekolah menjadi 86 buah, 29 diantaranya memperoleh subsidi. Tahun 1918 meningkat menjadi 108 sekolah, 95 diantaranya menerima subsidi. Pada tahun 1933 meningkat menjadi 155 sekolah, dan 105 diantaranya memperolah subsidi (L.N. Asperen,1936:40,41). Guru-guru yang didatangkan ke Papua pada saat itu sebagian besar berasal dari luar Papua terutama dari Maluku. Oleh karena itu bahasa Melayu sudah tersebar luas dan dimengerti oleh kalangan penduduk asli Papua, terutama oleh nereka yang telah disentuh oleh agama Kristen Protestan. Bahasa Melayu diajar kan pada sekolah formal pada awal kelas II Sekolah Desa. Sampai menjelang pecahnya Perang Pasifik daerah Papua hanya mengenal Sekolah Desa (Doorpschool) 3 tahun dengan sebagian terbesarnya memperoleh sebutan Sekolah Pengadapan (Beschavingschool) 3 tahun, Sekolah Sambungan (Vervolgschool) 2 tahun yang merupakan satu-satunya sekolah sambungan bagi anak laki-laki asli Papua hanya ada di Miei, yang awalnya berdiri di Mansinam pada tahun 1923. Kursus Pendidikan Guru Sekolah Desa 2 tahun sebgai lanjutan sekolah sambungan tersebut (Kijne dalam W.C Klein,III,1954:304,312). Tentang laju perkembangan jumlah Sekalah Pengadaban/Desa di Papua dalam empat decade pertama abad XX, ada beberapa factor yang mendorong yaitu: - Pesatnya perkembangan agama Kristen sendiri sejak pertobatan di Pulau Ron (1906), sehingga kegiatan evangelisasi jauh lebih meningkat di kalangan evangelis. - Dikeluarkannya peraturan subsidi tahun 1906 yang disusul dengan berbagai peraturan subsidi tersendiri untuk sejumlah atau sebagian daerah di luar Jawa-Madura sehingga meninggkatkan kemampuan pembiayaan pihak Zending.(Asperen,1936:15-16).
71
72
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
-
Penghapusan garis pemisah pada tahun 1928, untuk zending dan Misi Katolik Roma.
Pada tahun 1933 jumlah sekolah di Teluk Dore (Manokwari) ada 3 sekolah dan bersubsidi 2 sekolah, Run Wandamen terdapat19 sekolah dengan 14 diantaranya bersubsidi. Jumlah sekolah tersebut diatas adalah jumlah maksimal sekolah yang masih ada, karena dengan terjadinya depresi ekonomi yang melanda dunia tahun 1922-1933 termasuk Indonesia juga, terpaksa subsidi pemerintah Kolonial kepada sekolah-sekolah di Papua sukar dipenuhi sebagaimana mestinya, sehingga antara tahun 1920-1933 sudah banyak sekolah yang ditutup oleh zending. (Asperen,1936:43). Data sekolah zending antara tahun 1934 – 1942 tidaklah diperoleh data sebagaimana diharapkan, sehingga tidak dapat diketengahkan secara pasti dalam laporan penelitian ini. Dimasa pendudukan Jepang praktis pendidikan di Papua tidak berkembang, bahkan merosot sebagai akibat peperangan Sekutu – Jepang yang membperebutkan Papua juga. Banyak sekolah sekolah terpaksa tutup, baik karena bahaya peperangan dan sedikitnya tenaga guru yang tidak dapat mencukupi lagi sekolah-sekolah yang ada maupun kurangnya biaya sebagai akibat terputusnya subsidi yang memaksa zending berdikari. Sesudah perang selesai, kekuasaan Kolonial Belanda dalam bentuk NICA (Netherlands Indies Civil Administration) dengan pertolongan Sekutu berhasil menguasai Papua. Dengan menegakkan kembali pemerintahannya, diantaranya juga membenahi bidang pendidikan. Sejak 1947 Pemerintah NICA mengangkat guru-guru darurat dengan hanya memiliki ijasah sekolah sambungan dan antara tahun 1948-1953 banyak mendatangkan guru-guru dari Maluku. Tak ubahnya sebelu perang, sesudah perangpun pemerintah NICA menyerahkan sebagian terbesar peyelenggaraan pendidikan sekolah di Papua kepada Zending Protentan dan Misi Katolik Roma. Zending kemudian membenahi sekolah-sekolahnya dahulu, bahkan juga menambahkan dengan pembukaan sekolah-sekolah baru, sehingga pada tahun 1951, sekolah yang diadakan oleh Zending berjumlah sekitar 525 Sekolah Desa, 317 Sekolah Desa C atau Sekolah Pengadapan dan Sekolah Desa B atau Sekolah Rakyat (Volkschool) atau Selah Desa yang dahulu mempunyai program pelajaran 3 Tahun secara teratur dalam perkembangan selanjutnya Sekolah Desa B dapat ditinggatkan menjadi Sekolah Desa A yang mempunyai Program Pelajaran empat Tahun secara teratur. (Kijne dalam W.C Klein,III,1954:309,331).
Sejarah Pendidikan Kabupaten Manokwari
Selain Sekolah Desa tersebut, didaerah perkotaan dibuka Sekolah Rendah Umum (Algemene Lagere School) 6 tahun untuk anak-anak penduduk kota yang bahasa pergaulannya bukan bahasa Belanda dan Sekolah Eropa (Europese Lagere School) 6 tahu untuk anak-anak penduduk kota yang bahasa pergaulannya bahasa Belanda, terutama untuk anakanak orang Belanda. Pada waktu itu juga dibuka Sekolah Sambungan (Vervolgschool) 3 tahun yang diperlengkapi asrama dengan tingkat pelajaran sama dengan tingkat 3 tahun kedua Sekolah Rendah Umum dan dibedakan atas sekolah Sambungan Putra, Sekolah Sambungan Putri dan Sekolah Sambngan Campuran. Di Miei pada tahun 1951 didirikan Sekolah Sambungan Putra. Pada tahun 1951 zending mempunyai 2 Sekolah Rendah Umum. Dalam perkembangan selanjutnya masing-masing berubah menjadi Sekolah Rendah (Lagere School) B atau LSB dan Sekolah Rendah (Lagere School) A atau LSA, sesuai dengan ketentuan LOSO (Lagere Onderwijs- en Subsidieordonnantie) No. 22 tanngal 1 Juni 1955 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1956, pada saat itu sekolah sambungan meningkat menjadi 23 sekolah. Pada tahun 1960 jumlah sekolah Sambungan yang dikelola oleh zending adalah13 sekolah dengan julah guru sebanyak 55 orang ysng terdiri dari putra daerah sebanyak 14 orang, Belanda 38 orang dan dari luar Papua 3 orang. Jumlah murinya mencapai 1779 orang yang terdiri dari 1111 putra dan 668 putri. Persetujuan Indonesia – Belanda mengenai penyerahan Papua kepada Republik Indonesia ditandatangani oleh masing-masing wakil kerajaan Belanda dan Republik Indonesia di Markas PBB, New York, pada tanggal 15 Agustus 1962. Berdasarkan persetujuan itu Pemerintah Kerajaan Belanda menyerahkan pemerintahan wilayah Papua kepada Republik Indonesia dengan perantaraan atau menyerahkan terlebih dahulu kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang dibentuk oleh dan di bawah yuridiksi Sekretais Jendrak PBB. G. KESIMPULAN Pendidikan secara tradisional ini juga ada dalam masyarakat di daerah Manokwari sebelum masuknya kebudayaan barat, khususnya agama Kristen. Menurut Bapak Elly Burwos bahwa pendidikan tradisonal dalam
73
74
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
masyarakat di Manokwari pernah dilaksanakan tatapi sewaktu Injil masuk akhirnya pendidikan tersebut dilarang oleh para Zendeling itu. Pendidikan itu dilaksanakan oleh setiap kelompok kerabat dalam desa atau kelompok keret yang mempunyai rumah keret yang merupakan rumah adat. Pada masa itu didepan rumah-rumah keret dibangun suatu Balai Pemuda yang diasebut Rum Sram atau Aber Snonman (Rumah Pemuda). Didalam Rum Sram inilah pendidikan tradisonal dilaksanakan bagi pemuda-pemuda dalam keret atau suatu desa. Pemuda-pemuda sebelum dinobatkan menjadi warga masyarakat yang dewasa, mereka harus dibekali pengetahuan tentang kepahlawanan, pendidikan moral, adat-istiadat, mitos dan religi serta kecakapan kerja yang dibutuhkan dalam masyarakat. Pada tahun 1856 atas prakarsa zendeling C.W Ottow dan J.G. Geissler dengan pendirian sekolah yang sangat sederhana di Pulau Mansinam. Pendidikan ini laksanakan dan diseuaikan dengan taraf kebudayaan penduduk asli Papua pada waktu itu yang masih sangat sederhana. Mula-mula sekolah itu dilaksanakan oleh zendeling sendiri sebagai guru dirumahnya dan anak-anak piaranya(pleegkinderen) – anak-anak yang telah dibebaskan perbudakan dengan uang tebusan tertentu oleh para zendeling- sebagai anak didiknya. Mereka diberi pelajaran yang manfaatnya segera dirasakan dalam hidupnya: berkebun/bercocok tanam, pekerjaan tangan, hidup secara bersih, membaca,menulis, berhitung, bernyanyi berdoa menjelang mulai dan sesudah selesai pelajaran, kesemuanya ini hanya merupakan sarana untuk agama Kristen Protestan sebagai tujuan utamanya. DAFTAR PUSTAKA Asperen,L.N van, (1936). Zending en Zendings onderweijs op NederrlanschNieuw-Guinea, M. Dubbleman, Leiden. Baal, J. van, (1934). Godsienst en Samenleving in Nederlandsch-Zuid-NieuwGuinea, N.V Noord-Hollandsch Uitgeversmaatschapij, Amsterdam. Boelars.J,A.Vriens,----------. Mengantar Suku-Suku Irian Kepada Kristus; Sejarah Perkembangan Agama dalam Keuskupan Agung Merauke. STFT Fajar Timur Jayapura. Hasselt, F. J. F. van, (1909). The Dore-baai, dalam UZV, Laatste Berichten uit Nieuw-Guinea, J. van Boekhoven, Utrecht.
Sejarah Pendidikan Kabupaten Manokwari
------------------------, (1922). “Geschiedenis van het Zendingsonderwijs op Noord-Nieuw-Guinea”, MTZ (Medeelingen, Tijdschrift voor Zendingswetschap, terbitan ke-66, 1922. Kuntowijoyo, (1995). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogjakarta:Bentang. Kuntowijaya, (1994). Metodologi Sejarah. Yogjakarta: P.T Tiara Wacana. ---------------, (1999). Sejarah Gereja Katolik di Irian Selatan. Merauke: Keuskupan Agung Merauke. Metz Gzn.,J.,(1940/1941). ”Op Roon Begint de Victorie”, MTZ (Medeelingen, Tijdschrift voor Zendingswetschap, terbitan ke-84. Rawung,Willem Hanny,(2005), Menelusuri Jejak Misionaris di Papua Selatan. Merauke: Seksi Sejarah Panitia Seratus Tahun Gereja Katolik di Papua Selatan. Sjamsudin, Helius,(2007). Metodologi Sejarah.Yogjakarta:Ombak Suhartono, Suparlan, (2006). Filsafat Pendidikan. Yogjakarta: Ar-Ruuz Media --------------, (1974). Sejarag Gereja Katolik Indonesia, Jilid 3.A. Jakarta: Bagian Dokumentasi KWI. Van Hasselt,F.J.F.(2002). Di Tanah Orang Papua. Jakarta :Yayasan Timotius Papua bekerja sama dengan Yayasan HAPIN Belanda. Vriens,A,(1976). Rangkuman Sejarah Singkat Keuskupan Agung Merauke (Garis-Garis Besar).STFT Fajar Timur Jayapura. Informan Dalam kegiatan lapangan ini beberapa informan yang dapat diwawancarai adalah sebagai berikut : 1. Nama : Drs. Y.P.H. Baibaba Umur : Jabatan : Ketua PSW YPK Kabupaten Manokwari. 2. Nama : Drs. S. Aronggear,M.M Umur : Jabatan : Sekretaris Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Manokwari. 3. Nama : Yohanes Kebar,S.Sos Umur : Jabatan : Kepala Bidang Budaya dan Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manokwari.
75
76
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
4. Nama : Daniel Rumbrawer Umur : Jabatan : Kepala Desa Pulau Mansinam, Distrik Manokwari Barat, Kabupaten Manokwari. 5. Nama : Elly Burwos Umur : Jabatan : Budayawan. 6. Nama : Nehemia Manuputi Umur : 82 tahun Jabatan : Mantan Ketua Pertama PSW YPK Kabupaten Manokwari.
77
Pasar Obor
Pasar Obor
Fungsi Sosial Kultural dan Ekonomi Pasar Tradisional Di Distrik Inawatan Kabupaten Sorong Selatan (Economic and Social Functions of Traditional Market At District Inanwatan Kabupaten Sorong Selatan) Windy Hapsari
Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jayapura-Papua Jl. Isele, Waena Kampung Jayapura, Kode Pos 99358, Jayapura-Papua Tlp. (0967) 571089, Fax. (0967) 573383, e-mail:
[email protected] (
[email protected])
Abstrak Pasar obor adalah sebutan untuk pasar tradisional di Distrik Inanwatan Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Papua Barat. Sebagai pasar tradisional, ciri khasnya adalah terjadinya transaksi jual-beli secara langsung. Disebut pasar obor sebab jika malam hari tempat jualbeli tersebut dipasang obor bambu sebagai penerangan. Seperti halnya pasar tradisional lainnya, kehadiran pasar obor adalah wujud aktivitas ekonomi, dan representasi nilai-nilai sosial dan kultural masyarakat. Permasalahannya adalah ; Pertama, apakah fungsi ekonomi pasar obor, dan kedua, apakah fungsi sosio-kultural pasar obor terhadap kehidupan bermasyarakat. Penelitian kualitatif dengan cara observasi, wawancara, pencatatan lapangan, perekaman, dan studi pustaka ini berusaha mendapatkan pemahaman mengenai fungsi pasar obor sebagai pasar tradisional dari segi ekonomi dan segi sosial-kultural. Fungsi ekonomi pasar obor adalah sebagai tempat jual-beli, lapangan pekerjaan bagi masyarakat bermodal minim, sumber pemasukan bagi keluarga, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Fungsi sosial-kultural pasar obor sebagai pasar tradisional adalah sebagai sarana interaksi dan sosialisasi, sarana informasi sosial, ekonomi, budaya dan politik, sebagai penyelesaian konflik sosial maupun budaya, dan fungsi terakhir adalah pasar tradisional sebagai ruang public bagi masyarakat Distrik Inanwatan. Kata Kunci : Pasar tradisional, pasar obor, fungsi ekonomi, fungsi sosial budaya, Distrik Inanwatan
78
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
Abstract Pasar obor is the name for the traditional market in Inanwatan Distric Kabupaten Sorong Selatan. Characteristic as the tradisional market is the buying and selling directly. This traditional market called as a pasar obor cause there’re torch at night as a lighting. As a traditional market pasar obor is forms of a economic activity, and cultural value’s representative. The problems are what is an economic functions and social cultural functions in social life. Qualitative research by observation, interviews, field recording, recording, and literature is trying to get a deep understanding of the economic functions and social and cultural functions of pasar obor. Pasar obor’s economic functions are place of buying and selling, jobs option for society with minimal asset, source of economic income families, and society’s economic empowerment. Pasar obor’s social cultural functions are society’s socialization and interaction; medium of cultural, politic and economic’s information; social and cultural’s conflict resolution, and as a society’s public space. Keyword : Traditional market, pasar obor, economic functions, social cultural’s function,Inanwatan District. A. PENDAHULUAN Laju perkembangan jaman saat ini tak dapat dipungkiri mengakibatkan berbagai perubahan dalam sistem ekonomi masyarakat. Era pasar bebas yang telah dicanangkan oleh pemerintah, telah membawa perubahan di setiap sendi kehidupan termasuk dalam sistem ekonomi masyarakat. Masyarakat ditawarkan oleh berbagai pilihan dan kemudahan untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Meningkatnya kebutuhan ekonomi dan daya beli masyarakat, membutuhkan suatu sarana untuk mempertemukan kedua kepentingan yakni penjual dan pembeli. Salah satunya adalah pasar. Dalam ilmu ekonomi, pengertian pasar tidak dikaitkan dengan masalah tempat, akan tetapi lebih dititik beratkan pada kegiatan jual-beli. Secara umum, pasar didefinisikan sebagai tempat bertemunya per mintaan dan penawaran yang terwujud dalam transaksi jual dan beli. Transaksi jual dan beli tersebut merupakan perkembangan dalam sejarah kehidupan manusia sejak mengenal sistem tukar-menukar atau barter. Barter dilakukan atas barang yang diperlukan namun tidak diproduksi
Pasar Obor
sendiri. Untuk melakukan barter, dipilih sebuah tempat yang disepakati bersama. Lama-kelamaan tempat tersebut berubah menjadi pasar. Kegiatan disana pun tidak hanya sekedar barter namun sudah berupa kegiatan jual beli dengan menggunakan alat pembayaran berupa uang (Damsar, 2002:156). Perubahan sistem barter menuju sistem pembayaran berupa uang merupakan bagian penting dari sejarah perkembangan peradaban manusia. Setidaknya terdapat dua jenis pasar yakni pasar modern dan pasar tradisional. Ciri khas pasar tradisonal adalah terjadinya transaksi jualbeli langsung antar penjual dan pembeli. Jual-beli itu bersifat interaktif dimana terjadi tawar-menawar harga, dimana penjual membuka harga dan pembeli diberi kesempatan untuk menentukan harga. Ciri lain dari pasar tradisional adalah bangunan biasanya terdiri dari kios, gerai atau los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Sebaliknya, pasar modern menggunakan sistem jual-beli searah. Harga ditetapkan oleh penjual secara sepihak dan pembeli tidak diberi kesempatan untuk ikut menentukan harga (Sasongko, 2013). Adanya pasar tradisional merupakan ciri pada negara berkembang, dimana tingkat pendapatan dan perekonomian masyarakat kurang begitu tinggi. Di Indonesia, terdapat 13.450 pasar tradisional dengan sekitar 12,6 juta pedagang kecil (Kompas, 2006). Pedagang kecil tersebut merupkan potensi dan turut menyumbang bagi pemasukan pemerintah daerah setempat. Sebagian konsumen pasar tradisional adalah masyarakat kalangan menengah ke bawah yang memiliki karakteristik sangat sensitive terhadap harga-harga yang ditawarkan. Stigma negative seperti kondisi pasar yang kotor, kumuh dan bau selalu disandangkan pada sebuah pasar tradisional. Meskipun demikian, pasar tradisional tak pernah sepi oleh aktivitas jualbeli. Salah satu faktor yang menjadi daya tarik adalah, pembeli bisa melihat langsung barang yang dibutuhkan dan bisa mendapatkan harga yang saling memuaskan kedua belah pihak. Kenyataan yang tak dapat ditampik adalah kehadiran pasarpasar modern yang menjamur di masyarakat. Dibangun dengan segala kelebihan dan fasilitasnya, serta kelengkapan dalam memperjualbelikan barang-barang kebutuhan masyarakat. Kehadiran pasar modern di kota besar hingga ke pelosok, dianggap telah menyudutkan keberadaan pasar tradisional. Kelebihan pasar modern adalah kondisinya yang lebih bersih
79
80
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
dan praktis, meski harga barangnya lebih mahal dibandingkan harga barang di pasar tradisional. Menurut Esther dan Didik (2003), memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan pasar modern dewasa ini sudah menjadi tuntutan dan konsekuensi dari gaya hidup modern yang berkembang di masyarakat kita. Meski diantara gempuran pasar modern, pasar tradisional tetap memiliki tempat tersendiri bagi kalangan menengah ke bawah di Indonesia. Bagi sebagian besar masyarakat, pasar tradisional bukan sekedar tempat bertemunya kedua kepentingan antara penjual dan pembeli. Pasar tradisional juga menjadi wadah interaksi sosial dan representasi nilai-nilai sosial budaya yang ada di masyarakat. Sejalan dnegan itu, pasar tradisional kemudian memiliki fungsi ekonomi dan sosial budaya dalam kagiatan ekonomi masyarakat. Sebagai sarana jual-beli, pasar tradisional tidak selalu berada di sebuah tempat yang luas dan terdiri atas berbagai kios atau los. Kadangkala sebuah pasar tradisional menyesuaikan dengan kondisi alam di daerah tersebut. Di beberapa daerah di Indonesia, dikenal ada pasar tradisional yang unik yang merupakan adaptasi terhadap lingkungan alamnya, salah satunya pasar terapung di Kalimantan. Salah satu pasar terapung di Kalimantan adalah pasar terapung Muara Kuin,yang berada di muara Sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Disebut pasar terapung karena para pedagang dan pembeli melakukan aktivitas jual beli di atas perahu tradisional. Pasar Terapung Muara Kuin merupakan salah satu bentuk pola interaksi masyarakat yang hidup di atas air. Seperti halnya pasar yang berada di daratan, pasar terapung ini dilakukan transaksi jual beli seperti sayur-mayur, buah-buahan, segala jenis ikan, dan berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya. Keistimewaan pasar ini adalah masih sering terjadi transaksi barter antar pedagang berperahu, yang dalam bahasa Banjar disebut bapanduk. Keunikan lain adalah desakdesakan antara perahu besar dan perahu kecil yang mencari pembeli, serta penjual yang bersliweran kesana kemari dan kapalnya yang dimainkan gelombang Sungai Barito (Admin, 2013). Seperti halnya pasar tradisional yang terapung di Kalimantan, pasar obor adalah sebutan untuk pasar tradisional di Distrik Inanwatan Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Papua Barat. Disebut pasar obor sebab jika malam hari tempat jual-beli tersebut dipasang obor bambu sebagai penerangan. Pasar ini tersebar di hampir setiap kampung di distrik itu. Pasar obor adalah sebuah bangunan sederhana, meja tempat jualan terbuat
Pasar Obor
dari campuran batu tela dan semen yang dibuat persegi panjang. Untuk melindungi dari hujan, dipasang seng sebagai atapnya. Meski bentuknya sederhana, kehadiran pasar obor di kampungkampung di Distrik Inanwatan kemudian menjadi sentral dalam aktivitas kehidupan di sana. Seperti halnya pasar tradisional lainnya, kehadiran pasar obor adalah wujud aktivitas ekonomi, dan representasi nilai-nilai sosial dan kultural masyarakat. Bertitiktolak dari uraian tersebut, maka permasalahan dalam tulisan ini adalah mengenai pasar obor di Distrik Inanwatan. Masalah itu dapat dijabarkan dengan dua pertanyaan. Pertama, apakah fungsi ekonomi pasar obor, dan kedua, apakah fungsi sosio-kultural pasar obor terhadap kehidupan bermasyarakat. Secara umum, pengertian pasar adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli. Pasar sebagai tempat transaksi jual beli antara pedagang dan pembeli dapat terbentuk dengan adanya syarat-syarat sebagai berikut. Pertama, adanya penjual; kedua, adanya pembeli; ketiga, tersedianya barang yang diperjualbelikan; keempat, terjadinya kesepakatan antara penjual dan pembeli (Damsar, 2009:156). Ciri khas sebuah pasar adalah kegiatan transaksi atau jual beli. Para konsumen datang ke pasar untuk berbelanja dengan membawa uang untuk membayar harganya. Menurut Stanton dalam Koentjaraningrat dan Budhisantoso (1984:124), pasar adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai keinginan untuk puas, uang untuk berbelanja dan kemauan untuk membelanjakannya. Jadi dalam pengertian tersebut terdapat faktorfaktor yang menunjang terjadinya pasar, yakni : keinginan, daya beli, dan tingkah laku dalam pembelian. Pengertian pasar tradisional menurut Sinaga (2008:2) adalah pasar yang dikelola secara sederhana dengan bentuk fisik tradisional yang menerapkan sistem transaksi tawar menawar secara langsung dimana fungsi utamanya adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat baik di desa, kecamatan, dan lainnya. Harga di pasar tradisonal ini bersifat tidak pasti, oleh karena itu bisa dilakukan tawar-menawar. Barang yang dijual di pasar tradisional umumnya barang-barang lokal, dan dari segi kuantitas jumlah barang tidak terlalu banyak (Admin, 2013) Pasar tradisional adalah salah satu wujud adaptasi manusia dalam menanggapi kebutuhan ekonominya. Firth dalam Koentjaraningrat (1990: 174), mengemukakan bahwa, asas-asas mentalitas manusia pada hakekatnya sama di mana-mana. Manusia dalam masyarakat sederhana, masyarakat pedesaan atau masyarakat industri, semua akan bereaksi dengan cara
81
82
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
sama terhadap rangsangan-rangsangan ekonomi. Kemudian selanjutnya Firth mengemukakan bahwa, ekonomi adalah seluruh perilaku manusia dalam organisasi dan pranata yang mengatur penggunaan sumber-sumber terbatas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam suatu masyarakat tertentu (Koentjaraningrat, 1990:175). Berdasarkan pengertian tersebut, maka kegiatan atau aktivitas masyarakat Distrik Inanwatan dalam memanfaatkan lingkungan sekitarnya sebagai sesuatu yang bisa dijual dan menambah pemasukan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup, dapat disebut sebagai aktivitas ekonomi. Sebagai bentuk aktivitas ekonomi, pasar obor di Distrik Inanwatan berpusat dari, oleh dan untuk masyarakat yang tinggal di wilayah distrik. Penjual adalah masyarakat di kampung-kampung di wilayah distrik dan pembeli pun demikian. Barang yang diperjualbelikan pun amat sederhana, biasanya merupakan hasil alam dan jumlahnya tidak banyak. Keseluruhan ciri tersebut dikategorikan sebagai ekonomi kerakyatan. Dalam konvensi ILO169 tahun 1989, ekonomi kerakyatan adalah ekonomi tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat lokal dalam mempertahankan kehidupannya. Aktivitas ekonomi ini terkait dengan ekonomi subsisten masyarakat yaitu berburu, perkebunan, mencari ikan dan lainnya di sekitar lingkungan alamnya serta kerajinan tangan dan industry rumahan. Kegiatan ekonomi ini dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri dan masyarakatnya sehingga tidak mengeksploitasi sumber daya alam yang ada (Nugroho, 2013:14). Keberadaan pasar obor sebagai wujud pasar tradisional merupakan bagian dari suatu sistem sosial yang dinamis di masyarakat. Kehidupan sosial masyarakat tersebut dilihat sebagai keseluruhan atau totalitas dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain, saling bergantung dan berada dalam satu kesatuan. Menurut Parsons, fungsi dikaitkan sebagai segala kegiatan yang diarahkan kepada memenuhi kebutuhan atau kebutuhan-kebutuhan dari sebuah sistem (Ritzer, 2010:127). Sedangkan fungsi ekonomi adalah fungsi yang mengacu pada hal-hal yang bersifat ekonomis dan atau yang menguntungkan bagi setiap individu atau kelompok maasyarakat. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisa data secara deskriptif. Adapun teknik pengumpulan data adalah pengamatan, wawancara, studi pustaka, dokumentasi dan perekaman. Lokasi penelitian berada di Distrik Inanwatan Kabupaten Sorong Selatan
Pasar Obor
Propinsi Papua Barat. Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian tim berjudul Pemanfaatan Hutan Bakau Dalam Kearifan Lokal Orang Bira Di Distrik Inanwatan Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Papua Barat, yang dilakukan pada bulan Februari 2014. B. PEMBAHASAN a) Gambaran Umum Distrik Inanwatan Distrik Inanwatan merupakan bagian dari Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Papua Barat. Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2007 tanggal 18 April 2007 berubah nama menjadi Provinsi Papua Barat (www.papuabaratprov.go.id). Mengutip Sorong Selatan Dalam Angka (2010), Kabupaten Sorong Selatan merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Sorong yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2002 tanggal 11 Desember 2002. Kabupaten Sorong Selatan terdiri atas 14 distrik dengan luas wilayah sebesar 29.810 km2 dan beribukota di Teminabuan. Namun tahun 2009 terjadi pemekaran kabupaten baru yakni Kabupaten Maybrat yang terdiri atas 6 distrik lama (dari Kabupaten Sorong Selatan induk). Kabupaten Sorong Selatan setelah pemekaran terdiri atas 8 distrik induk dan 5 distrik pemekaran (Distrik Kokoda, Saifi, Fkour, Kokoda Utara dan Matemani), dengan luas wilayah 3.946,94 km2. Tahun 2009, Kabupaten Sorong Selatan terdiri atas 13 distrik, 122 kampung dan 2 kelurahan. Distrik-distrik dalam Kabupaten Sorong Selatan adalah Distrik Teminabuan, Distrik Konda, Distrik Sawiat, Distrik Fkour, Distrik Kais, Distrik Wayer, Distrik Seremuk, Distrik Saifi, Distrik Inanwatan, Distrik Matemani, Distrik Kokoda, Distrik Kokoda Utara dan Distrik Moswaren. Distrik Inanwatan merupakan distrik dengan wilayah terluas di Kabupaten Sorong Selatan yakni 4.234 km2. Terdapat beberapa pilihan transportasi untuk ke sana dari Kota Sorong. Untuk transportasi laut terdapat kapal perintis, dengan harga relatif murah dengan jarak tempuh sehari semalam, namun jadwal terbatas hanya dua kali dalam sebulan. Jika ingin berpetualang, bisa melalui ibukota Kabupaten Sorong Selatan yang terletak di Teminabuan, dengan mobil selama sekitar empat jam. Dari
83
84
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
Teminabuan dapat menggunakan long boat menuju Distrik Inanwatan dengan jarak sekitar 160 mile laut dan waktu tempuh sekitar empat hingga enam jam, bila cuaca bersahabat. Jalur ini memerlukan biaya yang tinggi, sebab harus menyewa long boat dan membayar motor racer (pegemudi). Alternatif lain adalah menggunakan pesawat Susi Air jenis Caravan yang memiliki jadwal penerbangan dua kali seminggu, dengan catatan bergantung pada jumlah penumpang dan cuaca. Transportasi udara ini terbilang murah dan efisien, tetapi berhubung jadwal penerbangan dan jumlah kursi pesawat yang terbatas, mengakibatkan banyaknya calon penumpang yang tidak dapat diangkut dalam sekali penerbangan, sehingga harus menunggu lagi untuk penerbangan pada lain hari. Bagi yang memiliki waktu luang dan menginginkan biaya yang murah, bisa menggunakan kapal perintis dari Pelabuhan Kota Sorong menuju Pelabuhan Distrik Inanwatan. Biaya tiket sekitar Rp. 200.000, dengan waktu tempuh selama sehari semalam. Masyarakat yang menggunakan kapal perintis biasanya adalah pedagang, yang membawa barang dagangan dalam jumlah banyak. Adapun batas wilayah administratif Distrik Inanwatan adalah: sebelah utara berbatasan dengan Distrik Kais dan Distrik Metemani, sebelah timur berbatasan dengan Distrik Kokoda dan Distrik Kokoda Utara, sebelah selatan berbatasan dengan Distrik Kokoda, sebelah barat berbatasan dengan Laut Seram. Distrik Inanwatan terdiri atas 9 (sembilan) kampung, namun tidak semua kampung berada dalam satu wilayah. Terdapat 6 (enam) kampung yang berada di dalam satu area berdekatan yakni Kampung Sibae, Kampung Mate sebagai ibukota distrik, Kampung Serkos, Kampung Wadoi, Kampung Mugibi, dan Kampung Solta. Selain itu terdapat 1 (satu) kampung yang berada di hulu sungai yakni Kampung Odeari, dan 2 (dua) kampung yang berada di pesisir pantai yakni Kampung Siri-siri dan Kampung Isogo. Letak Kampung Odeari yang berada di hulu sungai, harus ditempuh menggunakan perahu atau speedboat. Sedangkan kampung Siri-siri dan Isogo bisa ditempuh melalui jalan darat dan bisa juga melalui pesisir menggunakan perahu tardisional maupun speedboat (Yapsenang, dkk, 2014:28). Distrik Inanwatan dihuni oleh mayoritas etnis Bira. Dalam Yapsenang, dkk (2014:25) mengemukakan bahwa pada masa lampau nenek moyang mereka tidak mengenal nama Inanwatan. Oleh orang-orang di luar komunitas kelompok mereka, kelompok etnis ini disebut dengan orang
Pasar Obor
Bira. Penyebutan ini diberikan untuk orang-orang yang bermukim di sepanjang Sungai Bira di Papua. Berdasarkan Data Potensi Distrik Inanwatan Tahun 2013, jumlah penduduk Distrik Inanwatan sebanyak 3.613 jiwa yang tersebar di sembilan kampung. Jumlah tersebut terbagi atas pria 1.776 jiwa dan wanita sebanyak 1.837 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 792. Penduduk Distrik Inanwatan bersifat heterogen baik dari segi jenis kelamin, umur, agama, suku bangsa dan pekerjaan. Wilayah Distrik Inanwatan selain dihuni oleh etnis lokal yakni etnis Bira, dihuni pula oleh suku bangsa yang berasal dari Makassar, Jawa, Bugis, Toraja, Sunda, dan suku bangsa dari Papua seperti Serui, Biak, dan Jayapura (Yapsenang, dkk, 2014 : 28). Untuk fasilitas listrik dari PLN ke rumah penduduk, terdapat sebuah mesin generator yang dioperasikan dengan solar. Ketergantungan bahan bakar membuat listrik tidak menyala setiap hari, sehingga kebutuhan listrik disiasati dengan menggunakan generator set atau genset. Namun genset bantuan pemerintah itu hanya diperuntukkan bagi fasilitas umum seperti lampu jalan, dan sebagainya. Bagi penduduk, selain ada yang memiliki panel tenaga surya, juga ada yang memakai genset. Untuk menghemat bahan bakar, penduduk mengoperasikan genset hanya pada malam hari, mulai pukul 18.00 WIT hingga pukul 24.00 WIT. Meskipun demikian, tidak semua rumah tangga mampu membeli genset. Solusinya adalah saat malam hari mereka memanfaatkan obor yang terbuat dari bamboo atau menggunakan lilin. Sarana telekomunikasi yang terdapat di Distrik Inanwatan adalah telepon seluler melalui brand Ceria yang menggunakan gelombang CDMA. Keberadaan Ceria menjawab kebutuhan penduduk untuk berkomunikasi, meskipun saat penelitian berlangsung, menara BTS Ceria dalam keadaan rusak akibat tersambar petir. Namun, rusaknya jaringan telepon seluler banyak terbantu dengan adanya dua buah Warung Telekomunikasi di ibukota distrik. Warung telekomunikasi itu menggunakan fasilitas telepon satelit dengan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan telepon seluler, namun sangat membantu warga untuk menerima dan memberi informasi. Untuk kantor distrik terdapat seperangkat radio SSB yang membantu jalinan komunikasi dari dan ke ibukota kabupaten di Teminabuan. Meski termasuk daerah jauh dari ibukota kabupaten, namun Distrik Inanwatan memiliki fasilitas pendidikan yang lengkap mulai Pendidikan Anak Usia Dini, Taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, baik
85
86
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
negeri maupun swasta. Fasilitas kesehatan terdapat Puskesmas Pembantu yang didukung oleh dua orang dokter dan 18 tenaga paramedis. Kehidupan beragama di distrik ini sangat harmonis. Penganut agama Kristen, Katholik dan Islam hidup saling berdampingan dan saling menghormati. Bahkan bisa terdapat beberapa penganut agama berbeda dalam sebuah keluarga luas. Sarana ibadah yang ada adalah sebuah masjid, sebuah gereja Kristen dan sebuah gereja Katholik. b) Mata pencaharian hidup masyarakat Distrik Inanwatan Kondisi wilayah Distrik Inanwatan yang berada di sekitar pantai memberi penduduk pilihan dalam mencari nafkah. Hutan sagu dan hutan mangrove menyediakan begitu banyak hasil alam di darat dan pantai dan lautan berlimpah hasil laut, sehingga penduduk amat bergantung pada alam. Sistem mata pencaharian penduduk umumnya adalah nelayan dan meramu sagu. Meski penduduk telah banyak yang bekerja sebagai PNS dan swasta, namun aktivitas mencari ikan dan mengambil hasil laut serta menokok sagu merupakan aktivitas utama. Matapencaharian hidup masyarakat Distrik Inanwatan antara lain menokok sagu, berburu, menangkap ikan, udang, kepiting, kerang, yang dilakukan baik di laut maupun di sungai dan rawa bakau. Selain itu masyarakat juga berkebun tanaman sayur-mayur, buah-buahan dan bumbu dapur, seperti kacang panjang, singkong, keladi, nanas, pare, pepaya, pisang, tomat, cabe, dan sebagainya. Aktivitas pemenuhan kebutuhan hidup tersebut semuanya bersifat subsisten yakni diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan sebagian kecil saja yang dijual di kampung. Matapencaharian lain masyarakat Inanwatan adalah perdagangan. Perdagangan ini terbagi atas dua yakni perdagangan skala kecil yang dilakukan oleh masyarakat setempat yang dilakukan di pasar obor, dan perdagangan skala menegah dengan bangunan toko permanen yang dimiliki oleh etnis pendatang. c)
Pasar Obor
Pasar obor adalah sebutan untuk lapak tempat jualan yang dibangun permanen maupun non permanen. Berhubung saat penelitian berlangsung sarana PLN di wilayah distrik belum ada, maka pedagang menggunakan bantuan obor di malam hari sebagai penerangan. Sejak itulah lapak-lapak jualan itu disebut pasar obor.
Pasar Obor
Lapak untuk jualan itu dibangun oleh pemerintah pada tahun 2013 sebagai program bantuan pemerintah melalui proyek PNPM. Saat penelitian berlangsung bulan Februari, terdapat 5 (lima) pasar obor di wilayah Distrik Inanwatan, yang tersebar di kampung-kampung di wilayah Distrik Inanwatan. Masyarakat siapa saja boleh menggunakan fasilitas perdagangan itu tanpa dipungut biaya. Bentuk lapak jualan terbagi atas dua yaitu permanen dan non permenen. Bangunan permanen menggunakan campuran batu tela dan semen. Sedangkan bangunan non permanen menggunakan bahan dari kayu. Meja untuk menaruh barang dagangan dibuat dari campuran batu tela dan semen yang dihaluskan untuk bangunan permanen, dan yang non permenen menggunakan beberapa bilah papan, dengan bentuk persegi panjang. Meja jualan memiliki panjang sekitar 3 (tiga) meter dengan lebar sekitar 1 (satu) meter. Lapak jualan itu tidak berdinding namun beratap seng untuk melindungi dari hujan maupun panas. Empat tiang penyangga atap dibuat dari kayu dengan tinggi sekitar 2 (dua) meter dan dicat. Pada tiang kayu penyangga atap tersebut, terdapat tempat untuk meletakkan obor sebagai penerangan. Barang dagangan yang dijual di pasar obor biasanya berupa hasil kebun seperti sayur-mayur, buah-buahan, dan bumbu dapur; hasil tangkapan laut seperti ikan, kepiting, kepiting bakau, udang dan kerang, hasil buruan seperti daging babi dan daging rusa, maupun makanan olahan yang dibuat oleh kaum ibu dan anak-anak perempuan. Makanan olahan yang dijual antara lain pisang goreng, singkong goreng, makanan olahan sagu seperti sagu bakar, sagu bambu, ulat sagu, dan sebagainya.
87
88
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
Pasar obor di Distrik Inanwatan
Siapa saja boleh menggunakan lapak-lapak tersebut untuk mencari nafkah, baik laki-laki maupun perempuan. Meski demikian, yang rajin berjualan di pasar obor adalah perempuan. Terdapat aturan tidak tertulis yang disepakati oleh masyarakat sekitar pasar obor, mengenai waktu dan dan siapa yang boleh berjualan setiap hari. Aturan lain yang harus dipatuhi adalah setiap orang yang menggunakan harus menjaga kebersihan di sekitar lapak jualan. Semuanya dibicarakan secara terbuka antar individu di masyarakat. Oleh karena itu, selalu saja ada yang berjualan di pasar obor baik di siang hari maupun di malam hari. Setiap hari kecuali hari Minggu, dimanfaatkan masyarakat yang berjualan untuk menambah penghasilan keluarga. Di satu lapak jualan bisa diisi sekitar dua hingga tiga penjual dengan barang dagangan yang berbeda. Dilihat dari segi kuantitas, jumlah barang yang dijual tidaklah banyak. Masyarakat menjual apa yang bisa didapatkan dan bisa dibuat saat itu. Motif mereka berjualan adalah spontanitas yaitu saat ada kesempatan dan sesuatu yang bisa dijadikan sebagai pemasukan, saat itu juga mereka memutuskan untuk membawa dagangan ke pasar obor. Mereka yang berjualan di pasar obor bukanlah orang-orang yang memang memutuskan untuk mencari nafkah sebagai pedagang sepanjang hidupnya. Sebagian besar adalah etnis lokal. Sehingga barang yang diperjualbelikan adalah barang-barang sederhana saja seperti buah-buahan dari pekarangan rumah, hasil tangkapan di laut, rawa maupun di sungai, sayur-mayur dan tanaman bumbu, maupun makanan olahan rumah tangga. Jumlah yang dijual tidak banyak dan satu orang bisa menjual jenis barang yang berbeda dari waktu ke waktu. Waktu berjualan di pasar obor tidak pasti, tergantung individu-individu yang hendak menjual disana. Biasanya kaum ibu berjualan di pasar obor menjelang siang saat pekerjaan rumah telah usai. Individu yang berjualan pun berganti-ganti. Misalnya, bila siang hari ibu A menjual sayur, sore hari dan malam hari bisa digantikan oleh penjual berbeda dengan barang dagangan berbeda pula. Harga yang ditawarkan di pasar obor relative murah dan terjangkau oleh masyarakat di sekitar wilayah distrik. Menurut salah seorang informan, keuntungan yang didapatkan sedikit, tetapi sangat membantu perekonomian keluarga. Keuntungan itu kemudian sebagian diputar lagi sebagai modal dagangan berikutnya, dan sisanya digunakan untuk kebutuhan rumah tangga.
Pasar Obor
d) Fungsi Ekonomi Pasar Obor Di pasar obor, semuanya sangat tidak tentu baik dari waktu, pedagang, jenis barang dan jumlah barang. Namun yang pasti adalah bahwa yang dijual di pasar obor hampir keseluruhan adalah sesuatu yang bisa dikonsumsi, baik yang masih berupa hasil alam maupun yang telah diolah dan siap makan. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem ekonomi masyarakat Distrik Inanwatan masih bersifat subsisten, yakni untuk memenuhi kebutuhan sendiri, tidak memproduksi dalam jumlah banyak untuk didistribusikan. Hasil yang didapatkan meski sedikit tetapi bisa menjadi sumber pendapatan lain dalam sebuah keluarga. Beberapa fungsi ekonomi pasar obor sebagai pasar tradisional adalah : 1.
Tempat jual beli
Dalam segala aktivitas di pasar obor sebagai pasar tradisional, jual beli merupakan fungsi utama dari pasar sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitarnya. Pasar obor dibangun oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap sarana jual beli yang mudah dan terjangkau. Dalam aktivitas jual beli tersebut, terjadi bentuk pertukaran yang modern. Polanyi dalam konsepnya mengenai pertukaran mengemukakan bahwa, pertukaran merupakan proses ekonomi yang langsung antara tangan-tangan dibawah sistem pasar. Hal ini terjadi di setiap pasar yakni hubungan timbal-balik antara penjual dan pembeli, dimana pembeli mem butuhkan barang atau jasa dan penjual membutuhkan uang (Damsar, 2009). 2.
Lapangan pekerjaan bagi masyarakat bermodal minim
Pasar obor sebagai program pemerintah, menjadi solusi bagi masyarakat bermodal minim untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berdagang. Untuk mulai berjualan di pasar obor tidak memerlukan modal yang besar. Masyarakat harus pandai dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan kemudian menjualnya di pasar obor. Masyarakat harus pandai melihat dan memanfaatkan celah dan kesempatan untuk menghasilkan sesuatu yang menguntungkan bagi hidupnya. Dibangunnya pasar obor kemudian menjadi pemicu bagi masyarakat untuk menjadi pedagang meskipun dalam skala kecil. Dengan kondisi itu, secara tidak langsung membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang mengandalkan kekayaan alam sekitar, dan kemampuan mengolah hasil alam menjadi sesuatu yang bisa dikonsumsi.
89
90
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
3.
Sumber pemasukan bagi keluarga
Masyarakat yang berjualan di pasar obor tentu memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Sebagian besar kaum ibu yang berjualan di pasar obor bertujuan untuk membantu perekonomian keluarga dan menambah pemasukan. Rata-rata yang berjualan di pasar obor adalah mereka yang memiliki matapencaharian sebagai nelayan, berburu dan berkebun. Hasil alam yang didapatkan kemudian dijual sebagian dalam bentuk aslinya maupun yang telah diolah. Keberadaan pasar obor kemudian menjadi salah satu solusi bagi masyarakat dalam memecahkan persoalan ekonomi keluarga. 4.
Pemberdayaan ekonomi masyarakat
Fungsi pasar obor sebagai pasar tradisional yang paling nyata terlihat adalah bentuk pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi. Menurut Rappaport dalam Suharto (2010:59), pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya. Pasar obor merupakan salah satu program pemerintah untuk membantu menguatkan kehidupan masyarakat Distrik Inawantawan dalam bidang ekonomi. Tujuannya adalah agar masyarakat memiliki kemampuan dan kekuasaan untuk mengatur dan memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersifat ekonomi. Potensi alam dan sumberdaya manusia di Distrik Inanwatan sangat besar dan harus dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat sendiri. Dengan adanya pasar obor masyarakat bisa memasarkan hasil tangkapan di laut, di sungai maupun di rawa, hasil buruan dan berkebun. Selain itu, komoditi yang dijual merupakan wujud eksistensi masyarakat Inanwatan untuk memasarkan hasil tangkapan maupun produk olahan mereka. e) Fungsi Sosio-kultural Pasar Obor Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pasar obor sebagai pasar tradisional, merupakan tempat bertemunya masyarakat untuk mengadakan transaksi jual-beli bertujuan memenuhi kebutuhan masing-masing. Sebagai tempat bertemunya masyarakat di sekitar kampung-kampung di wilayah Distrik Inanwatan, pasar obor kemudian memiliki beberapa fungsi sosial dan kultural, antara lain :
Pasar Obor
1.
Sarana interaksi dan sosialisasi
Aktivitas sehari-hari saat pasar obor buka adalah terjadinya transaksi jual beli. Dalam aktivitas pasar tersebut kemudian terjalin suatu hubungan atau interaksi antara penjual dan pembeli, dan orang-orang lain yang berada di sekitar lapak jualan tersebut. Komunikasi dan interaksi tersebut lambat laun menimbulkan suatu hubungan sosial yang lebih dekat dan membuat jaringan seperti pertemanan hingga hubungan yang lebih akrab dan serius seperti kekeluargaan dan kerabat. Dalam hubungan sosial tersebut dibutuhkan tenggang rasa yang tinggi. Hal itu dibutuhkan antara penjual dan pembeli agar tetap terjaga jaringan yang telah terbentuk antara penjual, pembeli dan orang-orang di sekitarnya. Hubungan yang harmonis tersebut akan terbawa dalam per gaulan masyarakat sehari-hari yang membawa pengaruh positif dalam kehidupan bermasyarakat. Pasar obor sebagai pasar tradisional juga berfungsi sebagai sarana sosialisasi warga masyarakat di wilayah Distrik Inanawatan. Sosialisasi terjalin antar etnis Bira sebagai etnis lokal, maupun antara etnis Bira dan etnis pendatang. Di lapak-lapak jualan pasar obor, bukan hanya terdiri atas para penjual dan para pembeli saja. Namun ada warga masyarakat yang hanya sekedar duduk mengobrol atau sekedar berdiri saja di sekitar lapak tersebut. Kondisi tersebut otomatis menjadi suatu ajang sosialiasi antar warga masyarakat. Dengan kondisi etnis yang heterogen, kadangkala suasana di pasar obor menjadi sosialisasi antar budaya berbeda. Masyarakat bisa memperoleh pengetahuan tentang sikap dan perilaku etnis yang berbeda dari orang-orang yang datang berbelanja di pasar obor. 2
Sarana informasi sosial, ekonomi, budaya dan politik
Polanyi dalam Damsar (2009), mengungkapkan bahwa pasar adalah satu institusi ekonomi terpenting dan merupakan suatu jalan hidup komunitas untuk transformasi, sosial, budaya dan politik. Demikian pula yang terjadi pada pasar obor. Tak dapat dipungkiri, keberadaan pasar obor dengan segala keterbatasannya menjadi tempat strategis warga masyarakat berkumpul. Saat berkumpul itu kemudian menjadi ajang bertukar segala informasi yang berkembang saat itu. Masyarakat berbincang mengenai apa saja yang mereka alami, lihat dan rasakan. Segala macam informasi baik mengenai sosial masyarakat, adat istiadat, ekonomi bahkan politik turut menjadi topic yang diperbincangkan. Suasana lapak jualan yang
91
92
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
seadanya justru membuat masyarakat yang berkumpul menjadi santai dan bisa berbincang-bincang serta bertukar pikiran dan informasi. Informasiinformasi yang beredar di ruang public seperti ini seringkali merupakan informasi dan perkembangan terbaru di masyarakat. Misalkan; kenaikan harga BBM yang berimbas terhadap kenaikan bahan pokok, kenaikan harga Tarif Dasar Listrik, masalah-masalah yang terjadi di kampung bahkan membahas hingga Pemilu Legislatif maupun Pemilu presiden. 3.
Penyelesaian konflik sosial maupun budaya
Konflik dapat diartikan sebagai benturan atau perseteruan yang terjadi antara dua pihak atau lebih sebagai akibat adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan keterbatasan sumberdaya (Prasodjo dan Tony, 2003). Masyarakat Distrik Inanwatan yang bersifat heterogen baik dari segi etnis, jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan sebagainya, merupakan kondisi yang rawan konflik masyarakat. Secara tidak langsung, keberadaan pasar obor kemudian menjadi sarana penyelesaian konflik yang terjadi dalam kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Sebagai tempat berkumpul, kadangkala suasana tersebut dimanfaatkan oleh dua belah pihak untuk menyelesaikan masalah atau konflik. Konflik yang berusaha diselesaikan biasanya adalah konflik-konflik kecil yang tidak memerlukan penanganan banyak pihak. Konflik-konflik yang lebih besar dan berat biasanya diselesaikan dengan bantuan beberapa pihak yang berwenang, dan tempatnya pun dipilih yang lebih formal. Sedangkan yang menyangkut pelanggaran nilai dan norma budaya, diselesaikan dalam ranah hukum adat dan diselesaikan dengan bantuan perangkat adat. 4.
Ruang publik
Keberadaan lapak jualan pasar obor sacara tidak langsung telah menjadi suatu ruang public bagi masyarakat di Distrik Inanwatan. Fungsinya sebagai ruang public tidak hanya terjadi saat pasar buka, namun juga saat pasar tutup atau tidak ada aktivitas jualan hari itu. Pasar obor menjadi ruang terbuka bagi siapa saja yang ingin datang, duduk dan melakukan aktivitas lain bersama teman maupun kerabat. Masyarakat yang menikmati pasar obor sebagai ruang public tidak hanya dari anak-anak muda, namun semua golongan baik tua maupun muda, laki-laki dan perempuan juga menikmati keberadaan pasar obor. Anak-anak muda laki-laki maupun perempuan memanfaatkan lapak jualan untuk duduk-duduk sekedar bercengkrama dan bertukar pikiran,
93
Pasar Obor
sambil mendengarkan musik. Anak-anak yang bermain bola memanfaatkan lapak jualan untuk sekedar beristirahat. Kaum ibu juga memanfaatkan lapak jualan tersebut untuk menemani anaknya bermain atau saat memberi makan anaknya. Ada juga masyarakat yang sejenak rehat di lapak jualan untuk menikmati angin yang bertiup; juga berfungsi sebagai tempat berteduh dari terik matahari atau dari hujan. Ruang terbuka itu menjadi seperti sarana rekreasi sederhana dan murah bagi masyarakat Distrik Inanwatan. Wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan dan sarana prasarana yang terbatas, membuat ruang terbuka seperti lapangan, dermaga, hutan, bandara dan pasar obor ini berfungsi penting sebagai sarana rekreasi. C. PENUTUP Pasar tradisional merupakan pranata sosial yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Pasar tradisional tidak lagi hanya sekedar pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah, namun telah menjadi representative nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Pasar obor di Distrik Inanwatan merupakan bentuk pasar tradisional. Pasar obor sebagai pasar tradisional berfungsi segi ekonomi dan fungsi sosial. Fungsi ekonomi pasar obor antara lain : Pertama, sebagai tempat jual beli; kedua, lapangan pekerjaan bagi masyarakat bermodal minim; ketiga, sumber pemasukan bagi keluarga; dan keempat, pemberdayaan ekonomi masyarakat. Fungsi sosial-kultural pasar obor sebagai pasar tradisional adalah : Pertama, sarana interaksi dan sosialisasi; kedua, sarana informasi sosial, ekonomi, budaya dan politik; ketiga, penyelesaian konflik sosial maupun budaya, dan keempat, pasar yang berfungsi sebagai ruang publik. DAFTAR PUSTAKA Damsar. 2002. Sosiologi Ekonomi. Jakarta : Rajawali Press Esther dan Didik. 2003. Membuat Pasar Tradisional Tetap Eksis. Jakarta : Sinar Harapan Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi 2. Jakarta : UI Press
94
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
Ritzer,George. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prenada Media Grup. Prasodjo, Nurani W. dan Ida Yuhana Tony. 2003. Pengelolaan Konflik Sosial: Tajuk Modul SEP-51D. Bogor : Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB Sinaga, Pariaman. 2008. Menuju Pasar Yang Berorientasi Pada Perilaku Konsumen. Makalah. Disampaikan Pada Pertemuan Nasioal Tentang Pengembangan Pasar Tradisional Oleh Koperasi dan UKM. Bogor Suharto, Edi. 2010. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerja Sosial. Bandung: Refika Aditama Yapsenang, Yudha, dkk. 2014. Pemanfaatan Hutan Bakau Dalam Kearifan Lokal Orang Bira di Distrik Inanwatan Kabupaten Sorong Selatan. Jayapura : BPNB
Sumber Internet : Admin, 2013. Eksistensi Pasar Tradisional Ditengah Pesona Pasar Modern (www.litbangpatikab.go.id, diunduh 1 Desember 2014) Kompas. 2006. Jangan Biarkan Pasar Bersaing dengan Hipermarket (www. kompas.com, diunduh 1 Desember 2014) Nugroho, Ixnatius, 2013. Sistem Ekonomi Dunia dan Penerapannya di Indonesia (www.slideshare.net, diunduh 1 Desember 2014) Sasongko, Katon. 2013. Pasar Tradisional. (www.katonsasongko.wordpress. com, diunduh 1 Desember 2014).
Perubahan Peta Administratif Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua 1969-2008
Perubahan Peta Administratif Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua 1969-2008 Desy Polla Usman
Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jayapura-Papua Jl. Isele, Waena Kampung Jayapura, Kode Pos 99358, Jayapura-Papua Tlp. (0967) 571089, Fax. (0967) 573383, e-mail:
[email protected] (
[email protected])
Abstrak Kabupaten Jayawijaya adalah salah satu kabupaten di Provinsi Papua yang paling banyak mengalami pemekaran wilayah administrasinya. Perkembangan ini membuat peta administrativ kabupaten Jayawijaya mengalami beberapa kali perubahan bentuk, namun kurang disadari oleh masyarakat, terutama terhadap perubahan peta administrativ yang terjadi pada kabupaten induk. Berangkat dari permasalahan tersebut, timbul pertanyaan, bagaimana sejarah terbentuknya kabupaten Jayawijaya, mengapa dimekarkan, dan bagaimana perubahan rupa gambar peta administratif kabupaten Jayawijaya sesudah dimekarkan. Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sejarah terbentuknya kabupaten Jayawijaya, latar belakang pemekaran dan perubahan rupa gambar peta adminstratif kabupaten Jayawijaya. Penelitian menggunakan metode sejarah dengan pendekatan deskriptif, karena hasil penelitian yang akan ditampilkan adalah gambar-gambar peta kabupaten Jayawijaya sebelum dan sesudah pemekaran. Kata Kunci: Perubahan peta administratif kabupaten Jayawijaya
Abstrac Jayawijaya District is one of the districts in Papua most experienced expansion of its jurisdiction. These developments create maps administrativ Jayawijaya district has experienced several changes shape, but neglected
95
96
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
by society, especially against administrativ map changes that occur in the main district. Departing from these problems, the question arises, how the history of the formation of the district Jayawijaya, why is divided, and how such a change at the administrative district map Jayawijaya after bloomed. The purpose of the study was to determine the history of the formation of Jayawijaya , and experienced several changes the image . Research using the historical method with descriptive approach, because the results will be displayed are pictures Jayawijaya district maps before and after the expansion. Keywords: Changes in the administrative district map Jayawijaya I.
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang
Sejak bergulirnya reformasi di Indonesia, berbagai perubahan terjadi. Rakyat bebas menyatakan pendapat, termasuk pendapatnya akan pemekaran wilayah yang dirasakan perlu untuk memajukan daerahnya. Beberapa orang mengatakan bahwa kata yang tepat untuk pemekaran adalah pemecahan. dengan pengertian bahwa suatu wilayah administratif yang luas, dipecah menjadi banyak hingga terbentuk beberapa wilayah administratif baru. Namun sayangnya kata pemekaran, lebih lekat di lidah dan telinga, sehingga orang lebih mengerti dan senang menggunakan kata pemekaran. Berbicara tentang pemekaran wilayah, maka kabupaten Jayawijaya di Papua, merupakan salah satu kabupaten di provinsi Papua yang wilayah administratifnya paling banyak dimekarkan. Tahun 2002, Kabupaten Jayawijaya mengalami pemekaran, dengan dibentuknya 3 kabupaten baru. Selanjutnya tahun 2008, kembali dibentuk 4 kabupaten baru, sehingga hanya dalam jangka waktu 6 tahun, kabupaten Jayawijaya telah dimekarkan menjadi 7 kabupaten baru dan 1 kabupaten induk, sehingga jumlah seluruhnya adalah 8 kabupaten yang awalnya berasal dari satu kabupaten. Banyaknya kabupaten yang terbentuk dari hasil pemekaran wilayah kabupaten Jayawijaya, melahirkan gambar baru pada peta provinsi Papua. Lalu bagaimana dengan gambar peta wilayah administrarif kabupaten induk yang dimekarkan. Kadang kala kita lebih terfokus pada gambar
Perubahan Peta Administratif Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua 1969-2008
peta kabupaten baru, sehingga tidak memperhatikan perubahan rupa pada gambar peta kabupaten induk. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana sejarah terbentuknya kabupaten Jayawijaya, mengapa dimekarkan, dan bagaimana perubahan rupa gambar peta administratif kabupaten Jayawijaya sesudah dimekarkan. Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sejarah terbentuknya kabupaten Jayawijaya, latar belakang pemekaran dan perubahan rupa gambar peta adminstratif kabupaten Jayawijaya. Secara materi ruang lingkup penelitian adalah sejarah kabupaten Jayawijaya 1969-2008, meliputi sejarah awal kabupaten Jayawijaya, pemekaran hingga terciptanya gambar peta kabupaten Jayawijaya dan perubahan rupa gambarnya. Ruang lingkup operasional adalah kabupaten Jayawijaya. Penelitian ini didasari oleh Teori set of sets yang berasal dari George Cantor, seorang ahli matematika. Teori matematika itu dikembangkan menjadi teori sejarah oleh Braudel untuk Eropa dan Chaudhuri untuk Asia. Cantor beranggapan, bahwa kemampuan otak manusia untuk memikirkan “banyak” sebagai “satu” dan membagi “satu” menjadi “banyak” adalah dasar dari teori set. Kemampuan itu dimungkinkan karena secara naluriah manusia mengenal suatu prinsip untuk membeda-bedakan berbagai elemen dalam suatu set (diferensiasi), dan prinsip yang memungkinkan elemen-elemen itu diklasifikasikan dalam satu set (integrasi), serta suatu prinsip mengenai urutan (http://www.wacananusantara.org/jalur-sutra). Dengan demikian perubahan rupa peta administratif kabupaten Jayawijaya yang ingin digambarkan dalam penelitian ini adalah untuk melihat kabupaten induk dan kabupaten pemekarannya sebagai banyak, namun tetap merupakan satu kesatuan dalam peta wilayah administratif provinsi Papua. Demikian juga sebaliknya. b. Metode Penelitian ini adalah penelitian sejarah dengan pendekatan deskriptif. Hal ini dikarenakan, hasil penelitian yang akan ditampilkan adalah berupa gambar rupa peta kabupaten Jayawijaya. Untuk menjaring data, dilakukan wawancara dan data pustaka, baik dari literatur berupa buku, laporan pemerintah daerah, maupun dari media elektronik lainnya. Data yang terkumpul, kemudian dianalisis untuk mendapatkan data yang benar-benar
97
98
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
akurat. Selanjutnya dirangkai menjadi penulisan cerita sejarah (rekostruksi sejarah) yang disebut Historiografi. II. PEMBAHASAN A. Penemuan Lembah Balim Sejak pemerintah Belanda mulai menanamkan kekuasaannya atas Papua, berbagai ekspedisi, dilakukan oleh para ahli untuk mengetahui kondisi alam dan ekosisitim di Papua, namun mereka tidak melihat adanya lembah Balim. Lembah Balim tetap menjadi lembah yang ter sembunyi, sampai pada akhirnya, Richard Archbold seorang Amerika yang bekerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan penelitian di pegunungan tengah, secara tidak sengaja melihat keluar dari jendela pesawat yang ditumpanginya, dan melihat sebuah lembah yang indah berukuran sekitar 45 x 15 km dan berada di ketinggian 1.500-1700 meter diatas permukaan laut. Lembah tersebut kemudian mereka namakan lembah agung atau Grote Vallei (Frans Lieshout,2009) . Penglihatan tidak sengaja ini adalah awal dari terbukanya isolasi Lembah Balim dari dunia luar. Lembah Balim, mulai diekspose. National Geographic Magazine, pada tahun 1941 memuat artikel tentang ekspedisi Archbold dengan menampilkan foto-foto lembah balim; namun akibat perang dunia II pada tahun 1942-1945, maka daerah ini untuk sesaat terlupakan. Setelah perang dunia II usai dan pemerintah Belanda kembali berkuasa atas Papua, maka lembah Balim mulai kembali menjadi perhatian publik. Beberapa missi gereja mulai berdatangan di lembah Balim. Mereka mendirikan Stasiun Misionaris pertama di Hitigima dan selama 7 (tujuh) bulan membangun landasan pesawat terbang pertama. Mungkin lokasi lapangan terbang pertama dirasa kurang memadai, maka para misionaris, tetap mencari lokasi yang tepat. Tidak beberapa lama kemudian, mereka menemukan sebuah areal yang ideal untuk dijadikan landasan pendaratan pesawat udara di Wesakaput. B. Pemerintahan Belanda Penemuan lembah balim, kemudian ditindak lanjuti oleh Belanda dalam “Werkplan Nieuw Guinea 1954-1956” (Rencana Pembangunan NuginiBelanda) Gubernur Van Baal, ditetapkan bahwa pada 1955 atau 1956 akan
Perubahan Peta Administratif Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua 1969-2008
didirikan pos di Lembah Baliem. Hal ini mendorong Kepala Kantor Urusan Kemasyarakatan Vic de Bruyn mengunjungi lembah Baliem pada tanggal 18 sampai 25 Januari 1955. Dalam kunjungannya itu, de Bruyn ditemani beberapa anggota polisi dan DWO atau Dienst van Waterstaat en Opbouw, yang membawahi pembangunan lapangan terbang (Frits Veldkamp, dalam Pim Schoorl, 2001) Pada tanggal 28 Agustus sampai 8 September 1955, M.van Lottum dkk mengukur dan mematok sebidang tanah di Wamena untuk pembangunan lapangan terbang yag dapat didarati oleh pesawat Dakota dengan panjang 1450 meter (Frans Lieshout,2009). Sekalipun lapangan terbang itu belum selesai, namun pada tanggal 10 Desember 1956 pemerintah Belanda, telah mengirim wakilnya untuk membuka pos pemerintah di lembah Baliem. Pos pertama di bangun di samping lapangan terbang di Waesaput (Wamena) pada tanggal 14 Desember 1956. Awal menjalankan pemerintahannya, kontrolir pertama Lembah Baliem (Frits Veldkamp) dan para pembantunya, merupakan pemerintah Belanda yang super bisa. Mereka harus paham berbagai penyakit bahkan harus bisa menyuntik, disamping tugas lain yaitu mempelajari budaya masyarakat agar dapat menjalankan pemerintahan dengan baik. Dalam tahun 1958 dan 1959 sebagian besar daerah dari Lembah Baliem telah berada di bawah pemerintah Belanda dan telah diadakan persetujuan perdamaian antara kelompok-kelompok suku yang saling bermusuhan. Melihat potensi yang ada di lembah Balim, pada tahun 1960 pemerintah Belanda di Hollandia memutuskan mendirikan sebuah Wamena “baru” yang kelak harus menjadi pusat pemerintahan seluruh Centraal Bergland sekaligus menjadi tempat peristirahatan bagi para pegawai di daerah pegunungan yang dingin dari hawa panas di pantai. Segera saja montir, tukang kayu, tukang listrik, buldoser, generator, dan berton-ton bahan bangunan diterbangkan ke Lembah. Dengan menggunakan teknik Swedia, peramahan, perkantoran, gudang, rumah sakit, asrama polisi, dan penginapan, seketika dapat dibuat. dari bahan yang sama, aluminium, yang menyilaukan di bawah sinar matahari sehingga sejak lahir Wamena yang baru itu dijuluki “Silver City” (Carel Schneider dalam Pim Schoorl, 2001) Tahun 1961, Belanda membagi wilayah Administratif Nieuw Guinea menjadi 6 agdeling dan 22 Onderafdeling. Lembah Balim, dimasukkan dalam Afdeling Hollandia sebagai daerah penjajakan Oost-Bergland dengan ibu kota Wamena. Pada tahun 1962, Afdeling Centraal-Nieuw-Guinea
99
100
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
mendapat nama baru Centraal Bergland. Daerah penjajakan Oost-Bergland digabungkan dengan afdeling ini dan dipecah menjadi Onderafdeling Grote Vallei (dengan ibu kota Wamena) dan dua daerah penjajakan: NoordoostBaliem dan West-Baliem, dan Bokondini serta Swartvallei. Namun yang terakhir ini belum dapat dilaksanakan akibat konfrontasi antara Belanda dan Indonesia.
Pembagian Wilayah Administratif Nugini-Belanda 1961, Pim Scrool, 2001
Berikut adalah pembagian Wilayah Administratif Nugini-Belanda 1961 I
Afdeling Hollandia dengan ibu kota Hollandia
1 2 3 4
Onderafdeling Onderafdeling Onderafdeling Onderafdeling
Hollandia dengan ibu kota Hollandia Nimboran dengan ibu kota Genyem Sarmi dengan ibu kota Sarmi Keerom dengan ibu kota Ubrub
A Daerah penjajakan Oost-Bergland dengan ibu kota Wamena II Afdeling Geelvinkbaai dengan ibu kota Biak
5 Onderafdeling Schouten-eilanden dengan ibu kota Biak 6 Onderafdeling Yapen/Waropen dengan ibu kota Serui III Afdeling Centraal-Nieuw-Guinea dengan ibu kota belum ditentukan
7 Onderafdeling Paniai dengan ibu kota Enarotali
Perubahan Peta Administratif Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua 1969-2008
8 Onderafdeling Tigi dengan ibu kota Waghete B Daerah penjajakan Midden-Bergland C Daerah penjajakan West-Bergland IV Afdeling Zuid-Nieuw-Guinea dengan ibu kota Merauke
9 10 11 12 13
Onderafdeling Onderafdeling Onderafdeling Onderafdeling Onderafdeling
Merauke dengan ibu kota Merauke Mapi dengan ibu kota Kepi Boven-Digul dengan ibu kota Tanah Merah Asmat dengan ibu kota Agats Muyu dengan ibu kota Mindiptana
V Afdeling Fak-Fak dengan ibu kota Fak-Fak
14 Onderafdeling Fak-Fak dengan ibu kota Fak-Fak 15 Onderafdeling Kaimana dengan ibu kota Kaimana 16 Onderafdeling Mimika dengan ibu kota Kokonao VI Afdeling West-Nieuw-Guinea dengan ibu kota Manokwari
17 18 19 20 21 22
Onderafdeling Onderafdeling Onderafdeling Onderafdeling Onderafdeling Onderafdeling
Sorong dengan ibu kota Sorong Raja-Ampat dengan ibu kota Doom Manokwari dengan ibu kota Manokwari Ransiki dengan ibu kota Ransiki Teminabuan dengan ibu kota Teminabuan Bintuni dengan ibu kota Steenkool
Pemerintahan Belanda di Lembah Balim tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1961, sudah mulai terjadi konfrontasi dengan Indonesia dan pada tahun 1962 Indonesia melancarkan serangan militer untuk merebut Irian Barat. Hal ini mendapat perhatian serius dari PBB sehingga mengakomodir penyelesaian masalah Irian Barat. Mulai tanggal 1 Oktober 1962, secara resmi kekuasaan Belanda di Irian Barat diserahkan kepada UNTEA (Catur Windu,Yayasan Pejuang Trikora) . Pada tanggal 1 Mei 1963 Pihak PBB menyerahkan tanggung jawab Irian Barat kepada Indonesia dengan kesepakatan bahwa pada tahun 1969 nanti, masyarakat Papua boleh memilih untuk tetap tinggal di bawah Pemerintah Indonesia atau untuk menjadi negara Independen. C. Terbentuknya Kabupaten Jayawijaya Perubahan kekuasaan yang dibarengi oleh perubahan pemerintahan dari Belanda ke Indonesia, sempat membuat bingung para pegawai pribumi di Wamena. Mereka tidak tahu harus melakukan apa. Sementara itu untuk
101
102
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
merekatkan hubungan antara pemerintah Indonesia dan masyarakat lembah Balim, maka presiden Soekarno mengundang beberapa kepala suku ke ibu kota Jakarta. Pada tahun 1969 dengan ditandatanganinya dokumen Pepera, Irian Barat kembali ke Pemerintah Republik Indonesia, sehingga Pemerintah Belanda segera meninggalkan Irian Barat (Papua). Dengan kembalinya Irian Barat ke pangkuan NKRI, maka pemerintah Indonesia mulai membangun daerah tersebut, dengan membentuk beberapa kabupaten. Untuk itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969, tentang pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2907), dibentuklah Kabupaten-kabupaten yang diatur berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1962 jo Penetapan Presiden No. 1 tahun 1963 jo Keputusan Presiden No. 57 tahun 1963 jo Undang-undang No. 5 tahun 1969, sebagai Daerah-daerah Otonom, sesuai dengan ketentuan jang tercantum dalam pasal 6 Ketetapan Madjelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXI/MPRS/1966. Dalam pasal 1 dan 2 ditetapkan pembentukan 9 kabupaten dan ibu kotanya yaitu: 1. Kabupaten Jayapura di Jayapura, 2. Kabupaten Biak Numfor di Biak. 3. Kabupaten Manokwari di Manokwari. 4. Kabupaten Sorong di Sorong. 5. Kabupaten Fakfak di Fakfak. 6. Kabupaten Merauke di Merauke. 7. Kabupaten Jayawijaya di Wamena. 8. Kabupaten Paniai di Enarotali. 9. Kabupaten Yapen Waropen di Serui
Perubahan Peta Administratif Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua 1969-2008
Berikut adalah peta administrative kabupaten Jayawijaya tahun 1969.
Sumber: Koentjaraningrat dkk, Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, Djambatan
Bupati pertama adalah Syarifudin Harahap (1969) yang menjabat tidak terlalu lama, karena nampak hanya menjadi pengantar bagi perkembangan Kabupaten Jayawijaya. Bupati selanjutnya adalah Arnold Mampioper (1969) dan dilanjutkan oleh Clemens Kiriwaik (1969-1971). Pada masa tahun 1960-an, seorang Bupati tidak dapat berbuat banyak karena SDM para pembantunya masih kurang. Seringkali juga kurang ada koordinasi dan kerjasama antara pemerintah, Polisi dan militer serta kurangnya pengawasan terhadap aparat pemerintah di lapangan. Ini menyebabkan perang suku yang pada masa Belanda sudah berhasil di tiadakan, kembali bergolak, sehingga mengganggu kestabilan keamanan di lembah Baliem. Pada saat dibentuk, Kabupaten Jayawijaya terletak pada garis meridian 137º12’-141º00’ Bujur Timur, dan 3º2’-5º12’ Lintang Selatan, yang memiliki daratan seluas 52.916 km². Kabupaten ini berbatasan dengan disebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Jayapura, Sebelah Selatan dengan kabupaten Merauke, Sebelah Timur berbatasan dengan Negara PNG dan sebelah Barat dengan Kabupaten Paniai. Secara administrative terdiri dari 12 wilayah Kecamatan dengan jumlah Desa sebanyak 112 buah (Jayawijaya Dalam angka 1983). Tahun 1996, jumlah desa di kabupaten Jayawijaya bertambah menjadi 128 buah.
103
104
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
C. Pemekaran kabupaten Jayawijaya Mengingat luasnya wilayah kabupaten Jayawijaya, yang berdampak pada ketidak seimbangan pemerataan pembangunan, maka pemerintah mulai mengadakan pemekaran wilayah dimulai dengan pemekaran desa, pemekaran distrik dan pemekaran kabupaten. Berdasarkan Undangundang Nomor 21 Tahun 2001 dengan diberlakukannya Otonomi Khusus di Papua nama Kecamatan diganti Distrik dan Desa menjadi Kampung. Pemekaran Kabupaten pertama kali dilakukan pada tahun 2002 melaului Undang-undang Nomor 26 Tahun 2002 dengan terbentuknya tiga kabupaten baru yaitu Kabupaten Tolikara dengan ibukota Karubaga, Kabupaten Pegunungan Bintang dengan ibukota Oksibil, Kabupaten Yahukimo dengan ibukota Dekai. Pemekaran ini menyebabkan luas wilayah kabupaten Jayawijaya berkurang dari 52.916 km² menjadi 14.847 km² dan merubah bentuk peta administratif kabupaten Jayawijaya sebelumnya, seperti terlihat pada gambar baru peta kabupaten Jayawijaya setelah pemekaran tahun 2002 seperti berikut ini.
Sumber: http//www.google/peta Papua
Perubahan yang terjadi, tidak hanya dari sisi luas wilayahnya saja yang semakin mengecil, namun juga pada aparatur Pegawai Negeri Sipil yang ada di Kabupaten Jayawijaya. Kabupaten baru membutuhkan tenaga-tenaga pegawai untuk dapat menjalankan roda pemerintahan, karena itu banyak
Perubahan Peta Administratif Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua 1969-2008
pegawai Pemda Jayawijaya yang kemudian dipindahkan ke kabupaten - kabupaten baru tersebut (Jasmani, Amd.S.Sos, Kabag Pemerintahan Kabupaten Jayawijaya 2010). Tahun 2001 jumlah pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Jayawijaya adalah 5267 orang; dan setelah dilakukannya pemekaran wilayah kabupaten Jayawijaya, jumlah Pegawai Negeri Sipil di kabupaten tersebut berkurang menjadi 3826 pada tahun 2003 (Kabupaten Jayawijaya Dalam Angka 20022003). Pada tahun 2004 berdasarkan Perda No.04 tahun 2004 tanggal 31 Juli 2004 tentang pembentukan 36 Kecamatan/Distrik dan 16 Desa/Kampung baru, dilaksanakan pemekaran kampung dan distrik. Selanjutnya pada tahun 2006 dilaksanakan pembentukan distrik berdasarkan PERDA Kabupaten Jayawijaya No.20 Tahun 2006 tanggal 13 Desember 2006 tentang pembentukan 6 distrik dan 1 kampung baru. Alasan mendasar tentang dilakukannya pemekaran Kampung dan Distrik adalah agar dapat memperpendek rentang kendali pemerintahan dan jangkauan pelayanan pemerintah Kabupaten pada kampung-kampung atau daerah yang masih terisolir. Dengan demikian jumlah distrik di kabupaten Jayawijaya pada tahun 2007 berjumlah 39 distrik (Bagian Organisasi Pemda Kabupaten Jayawijaya 2010). Sekalipun kabupaten Jayawijaya sudah dimekarkan menjadi tiga kabupaten baru dan 1 kabupaten induk, namun kondisi geografis, topo grafis dan luas wilayah kabupaten Jayawijaya, masih merupakan kendala dalam pemerataan pembangunan dan kelancaran pekerjaan pemerintah. Oleh karena itu dengan memperhatikan aspirasi masyarakat yang dituangkan dalam Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jayawijaya Nomor 12/DPRD-JWY/2004 tanggal 30 Juni 2004 tentang Persetujuan Pembentukan Kabupaten Lanny Jaya, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jayawijaya Nomor 08/PIM/ DPRD-JWY/2007 tanggal 8 Februari 2007 tentang Revisi Kedua Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten Jayawijaya Nomor 05/PIM/DPRD-JWY/2007 tentang Cakupan Wilayah dan Ibukota Kabupaten Pemekaran Baru di Kabupaten Jayawijaya, Surat Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jayawijaya Nomor 02/PIMP/DPRD-JWY/2007 tanggal 26 Januari 2007 tentang Persetujuan Dukungan Dana APBD Kabupaten Jayawijaya Bagi Calon Kabupaten Pemekaran Yalimo, Lanny Jaya, Nduga dan Mamberamo Tengah Tahun Anggaran 2007, Surat Bupati Kabupaten Jayawijaya Nomor 125/53/BHK tanggal 1 Juli 2003
105
106
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
perihal Usulan Pemekaran Wilayah Kabupaten, Surat Keputusan Bupati Kabupaten Jayawijaya Nomor 5 Tahun 2007 tanggal 5 Januari 2007 tentang Dukungan Dana dalam APBD Kabupaten Jayawijaya Bagi Calon Kabupaten Yalimo, Lanny Jaya, Nduga dan Mamberamo Tengah, Surat Keputusan Bupati Kabupaten Jayawijaya Nomor 15 Tahun 2007 tanggal 9 Februari 2007 tentang Cakupan Wilayah dan Ibukota Calon Kabupaten Baru Lanny Jaya, Yalimo, Nduga dan Mamberamo Tengah, Surat Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua Nomor 7/ PIM-DPRD/2005 tanggal 4 Februari 2005 tentang Persetujuan Pemekaran/ Pembentukan Kabupaten Lanny Jaya di Provinsi Papua, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Nomor 041/DPRP/Tahun 2007 tanggal 28 Februari 2007 tentang Pemberian Dana dari APBD Provinsi Papua untuk Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Pertama Bagi Calon Lanny Jaya, Surat Gubernur Provinsi Papua Nomor 135/709/SET tanggal 7 April 2005 perihal Usul Pembentukan/Pemekaran Kabupaten Baru, Surat Gubernur Provinsi Papua Nomor 400/1190/SET tanggal 31 Mei 2005 perihal Dukungan Pembiayaan bagi Kabupaten Baru di Provinsi Papua, Surat Gubernur Provinsi Papua Nomor 130/520/ SET tanggal 1 Maret 2007 perihal Pemekaran 6 (enam) Daerah Otonom Baru di Provinsi Papua, dan Surat Rekomendasi Majelis Rakyat Papua Nomor 05/MRP/PD-JT/2006 tanggal 18 Juni 2006 tentang Persetujuan dan Mendukung Pemerintah Pusat untuk dimekarkan 4 (empat) Kabupaten Baru dari Kabupaten Induk Jayawijaya, yaitu Kabupaten Mamberamo Tengah, Lanny Jaya, Nduga, dan Yalimo. Berikut gambar peta skenario pemekaran kabupaten Jayawijaya yang akan dilaksanakan.
Sumber: afriyanto.wordpress.com/2007/12/09/tataruang-jayawijaya/
Perubahan Peta Administratif Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua 1969-2008
Keputusan tersebut dilaksanakan pada tahun 2008 dengan dilakukannya pemekaran kabupaten Jayawijaya untuk kedua kalinya, terdiri atas 4 (empat) kabupaten baru yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri RI pada tanggal 4 Januari 2008. Keempat kabupaten baru yang dimekarkan tersebut yaitu : 1. Kabupaten Mamberamo Tengah dengan ibukota Kobakma. 2. Kabupaten Yalimo dengan ibukota Elelim 3. Kabupaten Lany Jaya dengan ibukota Tiom 4. Kabupaten Nduga dengan ibukota Kenyam
Sumber:http//id.wikipedia.org/wiki/berkas pemekaran kabupaten Jayawijaya 2008
Setelah pemekaran tujuh Kabupaten baru yang berlangsung pada tahun 2002 dan Tahun 2008, titik koordinat wilayah Kabupaten Jayawijaya belum di tetapkan kembali. Luas Wilayah kabupaten jayawijaya sebelum pemekaran mencapai 52.916 Km namun setelah pemekaran wilayah Kabupaten Jayawijaya tinggal 28.496 Km2. Batas wilayah Kabupaten Jayawijaya Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Memberamo Tengah dan Kabupaten Yalimo, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Yahukimo, Sebelah
107
108
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
Timur berbatasan dengan Kabupaten Pegunungan Bintang dan Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lani Jaya dan Kabupaten Tolikara. Dibawah ini adalah gambar peta provinsi Papua dan gambar berwarna coklat muda yang sangat kecil diantara kabupaten yahukimo, Nduga, Lani Jaya adalah wilayah administratif kabupaten Jayawijaya sekarang ini.
Sumber: : http//www.google/peta Papua
Dengan dilakukannya pemekaran wilayah untuk kedua kalinya, jumlah pegawai Negeri Sipil yang pada tahun 2007 berjumlah 3.989, berkurang menjadi 3.874 pada tahun 2008. Disamping itu Pemekaran wilayah Kabupaten Jayawijaya untuk kedua kalinya ini, diikuti juga dengan pemekaran kampung dan Distrik yag dilaksanakan berdasarkan Perda Nomor 14,15 dan 16 tentang Pembentukan 170 Kampung, 2 Kelurahan dan 26 Distrik di Kabupaten Jayawijaya. Untuk mendukung kelancaran pemerintahan dari atas ke bawah, maka pada tanggal 19 juni 2010, Bupati Jayawijaya, mengambil sumpah janji 170 kepala kampung dan yang dipusatkan di Hitigima Distrik Asolokobal. Dalam kesempatan yang sama, selain melantik kepala kampung, juga dilakukan pengambilan sumpah janji bagi 91 sekretaris kampung menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal lainnya yang dilakukan bupati Wempi juga menetapkan operasional 26 pos pemerintahan distrik dan 170 kampung pemekaran baru.
Perubahan Peta Administratif Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua 1969-2008
C. Kesimpulan 1.
2.
3.
Kabupaten Jayawijaya adalah salah satu kabupaten di provinsi Papua, Indonesia. Ibukota kabupaten terletak di Wamena yang berada di Lembah Baliem` Pada tanggal 14 Desember 1956 pos pemerintah Belanda pertama di bangun di samping lapangan terbang di Waesaput (Wamena) dan memulai pemerintahannya, walaupun baru pada tahun 1958-1959, Belanda benar-benar dapat menguasai dan menjalankan pemerintahannya di lembah Baliem Setelah penandatanganan dokumen pepera pada tahun 1969 dimana Irian Barat menjadi bagian dari NKRI, pemerintah RI segera mem bentuk pemerintahannya di Papua. Kabupaten Jayawijaya dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969, tentang pem bentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat. Terletak pada garis meridian 137º12’141º00’ Bujur Timur, dan 3º2’-5º12’ Lintang Selatan, yang memiliki daratan seluas 52.916 km². Kondisi umum wilayah administratif kabupaten Jayawijaya yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang tersebar di berbagai distrik, menjadi kendala dalam pemerataan pembangunan, sehingga belum sepenuhnya dapat terjangkau. Untuk memacu percepatan pembangunan, maka pada tahun 2002 melaului Undang-undang Nomor 26 Tahun 2002 dilakukan pemekaran wilayah dengan terbentuknya tiga kabupaten baru yaitu Kabupaten Tolikara, Kabupaten Pegunungan Bintang, dan Kabupaten Yahukimo. Pemekaran dilanjutkan kembali pada tahun 2008 dengan terbentuknya 4 kabupaten baru yaitu kabupaten Mamberamp Tengah, Kabupaten Yalimo, Kabupaten Lany Jaya dan kabupaten Nnduga. Dengan dimekarkannya kabupaten Jayawijaya menjadi 7 kabupaten baru dan 1 kabupaten induk, maka luas wilayah administratif kabupaten Jayawijaya yang pada awalnya memiliki luas 52.916 Km² berubah menjadi 28.496 Km². Jumlah kabupaten hasil pemekaran Jayawijaya menjadi banyak, namun berada pada satu wilayah administratif yaitu provinsi Papua.
109
110
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
DAFTAR PUSTAKA Catur Windu Kemenangan Perjuangan Trikora, Yayasan Badan Kontak Keluarga Besar Perintis Irian Barat. Kabupaten Jayawijaya Dalam Angka, 1983. BPS Kabupaten Jayawijaya .........................................................., 2002. BPS Kabupaten Jayawijaya ..........................................................., 2003, BPS Kabupaten Jayawijaya ............................................................,2007, BPS Kabupaten Jayawijaya Koentjaraningrat dkk,Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, Djambatan, Lieshout Frans OFM Pastor, 2009, Sejarah Gereja Katolik Di Lembah Baliem Papua, Kebudayaan Baliem Tanah Subur Bagi Benih Injil, Sekretariat Keuskupan Jayapura. Pim Schoorl, 2001, Belanda Dl Irian Jaya, Amtenar Di Masa Penuh Gejolak 1945-1962, Perwakilan Kitlv Jakarta, Penerbit Garba Budaya Pemeritah Kabupaten Jayawijaya Tahun 2010, Bagian Organisasi Pemda Kabupaten Jayawijaya. Afriyanto.wordpress.com/2007/12/09/tataruang-jayawijaya/ http//id.wikipedia.org/wiki/berkas pemekaran kabupaten Jayawijaya 2008 http//www.google/peta Papua http://www.wacananusantara.org/jalur-sutra
Migrasi Orang Buton di Kampung Folley Distrik Misool Timur Papua (1975/1976 – 2011)
Migrasi Orang Buton di Kampung Folley Distrik Misool Timur Papua (1975/1976 – 2011) Saberia
Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jayapura-Papua Jl. Isele, Waena Kampung Jayapura, Kode Pos 99358, Jayapura-Papua Tlp. (0967) 571089, Fax. (0967) 573383, e-mail:
[email protected] (
[email protected] )
Abstract Penulisan ini bertujuan memberikan gambaran mengenai migrasi Orang Buton di kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat dan keberadaanya di Kampung Folley. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengumpulan data ( kepustakaan, wawancara, observasi) dan pengolahan data (mendeskripsikan dan menganalisis data yang diperoleh dari pengumpulan data). Penulisan ini menunjukkan bahwa kedatangan orang Buton di Misool Raja Ampat awalnya untuk mencari teripang sekitar tahun 1960an. Setelah selesai mencari teripang, orang Buton kembali ke daerah mereka, akan tetapi pengalaman selama di Misool Raja Ampat membuat orang Buton kembali lagi ke Misool Raja Ampat sekitar tahun 1975 dan meminta ijin kepada kepala kampung. Kepala kampung pada waktu itu mengijinkan dan memberikan tanah di kampung Folley, Distrik Misool Timur. Keberadaan orang Buton di Kampung Folley, yang diterima dan diperlakukan dengan baik oleh penduduk setempat ( Suku Matbat ), yang membuat kedatangan orang Buton lainya, hal itu terjadi selang satu tahun sekitar tahun 1976, dengan datangnya lima kepala keluarga di Kampung Folley dan penambahan jumlah orang Buton di Kampung Folley terus bertambah hingga sekarang tahun 2011. Keyword : Orang Buton, kampung Folley, dan Distrik Misool Timur
111
112
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
1.
PENDAHULUAN
Papua merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia yang terletak di kawasan paling timur Indonesia. Pulau ini didiami oleh beranekaragam suku bangsa, baik penduduk lokal Papua maupun kaum pendatang dari luar Papua. Tiap suku bangsa mempunyai adat istiadat dan budaya yang dapat membedakan antara satu suku bangsa dengan suku bangsa yang lainnya. Kehadiran kaum pendatang di Papua memungkinkan terjadinya percampuran budaya (asimilasi). Menurut Koentjaraningrat, asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda, saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaankebudayaan golongan tersebut masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. 1 Demikian juga kehadiran orang Buton di Kampung Folley Distrik Misool Timur Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat telah menyebabkan percampuran kebudayaan antara orang Buton dan orang pribumi (Papua) di wilayah itu. Namun demikian, baik penduduk lokal maupun orang Buton tetap terikat pada adat istiadat dan tradisi yang masih berlaku dalam lingkungan etnisnya masing-masing. Nama Buton mengandung empat pengertian tentang, yakni: 1) nama yang diberikan untuk sebuah pulau, 2) nama kerajaan atau kesultanan, 3) nama sebuah kabupaten, dan 4) nama untuk menyebut orang Buton.2 Dari keempat nama tersebut, di Kampung Folley nama Buton masuk dalam pengertian yang keempat yaitu untuk menyebut orang Buton. Yang menarik dari orang Buton adalah mereka mudah bersosialisasi di tempat yang didatanginya dan sistem mata pencahariannya adalah bertani, yang berbeda dari suku-suku lainnya yang merantau ke Papua. Orang Buton berpartisipasi dalam mengubah pola pikir masyarakat lokal. Perubahan pola pikir itu terjadi sebagai akibat dari interaksi orang Buton dengan penduduk lokal. Orang Buton berinteraksi dan bekerja sama dengan penduduk lokal untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Pemukiman orang Buton di Kampung Folley sangat unik. Keunikan pemukiman itu dapat dilihat dari penempatan gapura sebagai pembatas pemukiman orang Buton dan orang pribumi di Kampung Folley. Jika dilihat dari laut atau pantai, perumahan Masyarakat Buton terletak di 1 2
Asimilasi atau assimilation ( Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hal.255). Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, Labu Wana Labu Rope, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2010, hal.35.
Migrasi Orang Buton di Kampung Folley Distrik Misool Timur Papua (1975/1976 – 2011)
sebelah kanan dan perumahan masyarakat pribumi berada sebelah kiri. Penempatan pemukiman tersebut sungguh menarik dan tidak ditemukan di daerah lain Papua. Persebaran orang Buton di Kampung Folley inilah yang menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, penulis akan menggali mengapa orang Buton melakukan migrasi ke Kampung Folley Distrik Misool Timur Kabupaten Raja Ampat dan dan keberadaanya di tempat tersebut. Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas maka tujuan penelitian yang akan dicapai adalah untuk mengetahui migrasi dan keberadaan orang Buton di Kampung Folley Distrik Misool Timur Kabupaten Raja Ampat. Penulisan ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif, yang menggunakan metode pengumpulan data dan pengolahan data. Akan tetapi tidak terlepas dari metode sejarah, yang terdiri dari empat tahap yaitu : ( 1 )Heuristik, ini dari bahasa yunani heuriskein artinya to find. To find berarti tidak hanya menemukan tetapi mencari dahulu baru menemukan, ( 2 ) Kritik terdiri dari kritik ekstern dan intern, ( 3 ) Interpretasi atau menafsirkan keterangan sumber-sumber, dan ( 4 ) Historiografi atau Penulisan Sejarah (Dudung Abdurahman, 2007 : 63). Adapun metode pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:3 1. Metode kepustakaan, yaitu metode yang dipakai dengan cara meneliti dan mempelajari bahan-bahan kepustakaan yang mem bahas tentang komunitas Buton di Kampung Folley. Bahan-bahan kepustakaan itu dijadikan pedoman dalam melakukan penelitian lapangan. Disamping itu, metode kepustakaan ini berguna untuk menghindari duplikasi penelitian. 2. Metode Wawancara, yaitu metode yang dipergunakan melalui wawancara secara langsung dengan para informan yang telah dipilih, yaitu informan yang mengetahui tentang komunitas Buton di Kampung Folley. Informan dimaksud adalah tokoh masyarakat, petugas pemerintah dan orang-orang tua. 3. Metode observasi, yaitu metode yang dilakukan melalui peng amatan langsung terhadap obyek-obyek tertentu dilokasi penelitian. Dengan cara ini peneliti dapat mengamati secara langsung komunitas Buton di Kampung Folley. 3
Berthyn Lakebo, dkk, Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Tenggara, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986, hal.5.
113
114
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
Pengolahan data dilakukan dengan cara mendeskripsikan dan menganilisis data yang diperoleh di lapangan, untuk kemudian ditulis menjadi suatu tulisan ilmiah mengenai komunitas Buton di Kampung Folley Distrik Misool Timur Kabupaten Raja Ampat. Kajian mengenai sejarah migrasi orang Buton, yaitu merupakan sejarah sebagai sejarah terjadinya perpindahan penduduk disuatu tempat atau daerah di wilayah tertentu, merupakan tulisan yang cukup menarik untuk diketahui, terlebih lagi apabila nantinya tempat atau daerah tersebut telah berkembang, dan orang atau komunis tersebut dapat menempatkan diri dan bersosialisasi dengan tempat baru tersebut. Hal tersebut yang terjadi atau terlihat pada orang Buton. Menurut Hisbaron Muryantoro dkk,4 sejarah adalah peristiwa yang terjadi pada masa lampau, sedangkan sejarah kehidupan manusia adalah segala kegiatan manusia di suatu tempat. Selain itu, menurut Koentjaraningrat, asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda, saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan tersebut masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Sehingga kehidupan diantar mereka akan tetap terjalin, walaupun telah masuk kebudayaan baru. Menurut Schoorl,5 penyebab orang Buton suka berpindah dan meninggalkan kampung halamannya adalah minimnya peluang ekonomi di daerah itu. Minimnya peluang ekonomi di Kabupaten Buton menyebabkan penduduknya banyak yang bermigrasi ke daerah lain di Indonesia umumnya dan khususnya ke Papua. Untuk itu ada beberapa alasan pokok yang dikemukakan Soetardjo, 6 antara lain : untuk hidup, yaitu mencari makan, pakaian dan perumahan; untuk mempertahankan hidupnya terhadap ancaman dari luar; dan untuk mencapai kemajuan dalam hidupnya. Sehingga hal tersebut yang menjadi salah satu faktor keinginan untuk mencari kehidupan yang baik di daerah lain, seperti apa yang dilakukan orang Buton, dengan berimigrasi ke kampung Folley distrik Misool Timur.
4 5 6
Muryantoro, Hisbaron, S. Suhartina, V. Agus Sulistya, Gunawan Haji, Kilas Balik Sejarah Perjuangan Bangsa (1945-1950), Yogyakarta, 2002,. Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Jakarta : Penerbit Djambatan, 2003, hal. 6 Soetardjo Kartohadikoesoemo, Kampung (Desa), Jakarta; Sumur Bandung, 1965, hal. 4-5.
Migrasi Orang Buton di Kampung Folley Distrik Misool Timur Papua (1975/1976 – 2011)
2.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Distrik Misool Timur terletak di Pulau Misool, yang berada pada posisi antara 10-20 LS 12905’-13005’, dengan jarak posisi 109 mil dari Kota Sorong ke arah sebelah barat daya.7 Wilayah Distrik Misool Timur memiliki luas 403,143m2 atau sekitar 6,63 % dari luas seluruh wilayah Kabupaten Raja Ampat. Distrik Misool Timur ibukotanya adalah Kampung Folley. Kampung Folley mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut : - sebelah utara berbatasan dengan Kampung Lenmalas, - sebelah timur berbatasan dengan Pulau Dua, - sebelah selatan berbatasan dengan Pulau Mustika (Kampung Kafopop), - sebelah barat berbatasan dengan Kampung Temolol8. Kampung Folley letaknya cukup strategis, karena berbatasan dengan kampung-kampung sekitarnya, sehingga memudahkan penduduknya untuk berinteraksi dengan penduduk kampung-kampung sekitarnya. Selain itu, Kampung Folley memiliki pelabuhan, yang mendukung perkembangan ekonomi penduduknya. Kampung Folley yang termasuk dalam wilayah Distrik Misool Timur, mempunyai jumlah penduduk di Distrik Misool Timur adalah 1.957 jiwa dengan kepadatan per km2 yakni 4,85 km2. Berdasarkan data statistik, penduduk Distrik Misool Timur sekitar 1.116 jiwa adalah laki-laki dan perempuan adalah 841 jiwa. Jumlah penduduk kampung Folley adalah 419 jiwa yang terdiri dari 210 orang laki-laki dan 209 orang perempuan.9 Kampung Folley beriklim tropis dengan keadaan cuaca, suhu dan curah hujan yang cukup bervariasi, sehingga perubahan antara musim kemarau dan hujan tidak begitu jelas. Curah hujan bervariasi rata-rata 3040,6 mm/ tahun. Topografi Distrik Misool Timur secara keseluruhan tidak berbeda jauh dengan daerah-daerah yang ada di Kabupaten Raja Ampat, yaitu berbukit-bukit sampai ke pantai, berawa dan di sebagian tempat ditemukan tebing-tebing karang yang curam serta pulau-pulau karang dengan taman laut yang sangat indah. 7 8 9
Abdul R. Macap, Bentuk Kepemimpinan Tradisional Raja Fun Kapitla, “jurnal”, Jayapura : BPSNT-Papua, 2008, hal. 127. Sumber : Kantor Kampung Folley, tahun 2011. Kantor Kampung Folley, Data Tahun 2011.
115
116
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
B. Motivasi Kedatangan Orang Buton di Kampung Folley, Raja Ampat Buton merupakan daerah yang termasuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Daerah ini adalah salah satu daerah kerajaan yang terkenal akan letaknya yang sangat strategis. Kerajaan Buton bercorak maritim, yang didukung oleh pelabuhan Baubau. Pelabuhan itu menjadi tempat persinggahan dan jalur perdagangan. Secara administratif Kabupaten Buton memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :10 sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Muna, sebelah timur berbatasan dengan Laut Banda, sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Bone, dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Flores. Secara geografis wilayah Kabupaten Buton terdiri dari daratan dan kepulauan. Kondisi geografis yang demikian menyebabkan sebagian besar orang-orang yang hidup di tempat itu bermata pencaharian sebagai pelaut atau nelayan, pedagang, dan petani atau berkebun. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya orang Buton telah ada yang bekerja di lingkungan pemerintahan ataupun swasta. Menurut Schoorl, sebelum 1960 orang yang tinggal di Kesultanan Buton disebut orang Buton. Wilayah bekas kesultanan itu merupakan pulau-pulau yang terbentuk dari karang yang memanjang di lautan dan agak bergunung-gunung.11 Sejalan dengan Schoorl, Zulyani Hidayah mengatakan bahwa : Orang Buton atau Butung mendiami Pulau Buton (Pulau Butung), yang terletak di sebelah selatan Jazirah Sulawesi Bagian Tenggara. Orang Buton dikenal sebagi salah satu suku perantau.12 Pendapat Zulyani yang menyatakan bahwa orang Buton merupakan suku perantau, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para informan di Kampung Folley. Menurut para informan, ada beberapa sebab sehingga orang Buton merantau, yaitu untuk memenuhi kehidupan ekonomi yang lebih baik dan penghidupan yang lebih baik, mencari tempat yang sesuai untuk dapat hidup mandiri, melaksanakan budaya orang Buton yang 10 Berthyn Lakebo, dkk, Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Tenggara, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986, hal.59. 11 Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Jakarta : Penerbit Djambatan, 2003, hal.1. (Kesultanan ini meliputi pulau-pulau utama buton ‘Butuni atau Butung’, Muna dan Kabaena, kepulauan tukang besi serta dua daerah dibagian tenggara pulau Sulawesi). 12 Zulyani Hidayah, Ensiklopedi, Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta : LP3ES, 1997, hal.69.Suku bangsa merupakan kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, sebagi kota, sebagai kelompok kekerabatan atau kelompok adat yang lain, yang menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat oleh orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan ( Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta, 2000, hal.263. lihat juga Pengantar Antropologi I, Jakarta : Rineka Cipta, 2005, hal.165-166). Suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terkait oleh kesadaran dan jati diri mereka akan kesatuan dari kebudayaan mereka.
Migrasi Orang Buton di Kampung Folley Distrik Misool Timur Papua (1975/1976 – 2011)
biasa merantau atau bepergian ke daerah lain. Kebiasaan orang Buton untuk merantau atau bepergian ke daerah lain didukung oleh keahliannya dalam berlayar. Pola perantauan yang didasarkan atas unsur kebudayaan dan didukung oleh sikap mandiri menyebabkan mereka merasa dirinya untuk merantau dengan pencarian sumber nafkah baru, ilmu baru dan pengetahuan yang lebih luas.13 Hal inilah yang menjadi motivasi orang Buton merantau ke berbagai daerah, termasuk ke Kampung Folley. Menurut Schoorl (2003: 6) penyebab orang Buton suka berpindah dan meninggalkan kampung halamannya adalah minimnya peluang ekonomi di daerah itu. Minimnya peluang ekonomi di Kabupaten Buton menyebabkan penduduknya banyak yang bermigrasi ke daerah lain di Indonesia umumnya dan khususnya ke Papua. Sedangkan menurut Marwati dan Nugroho,14 bahwa penduduk antara daerah satu dengan daerah lainnya tidaklah selalu seimbang karena ada daerah yang sangat jarang penduduknya dan adapula yang sangat padat. Sejak dahulu kepadatan penduduk pada satu daerah telah merangsang penduduknya untuk berpindah tempat ( merantau ). Adapun daerah perantauan yang dipilih adalah daerah yang penduduknya masih jarang dan daerah itu punya kemungkinan untuk dikembangkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedatangan orang Buton di Kampung Folley Raja Ampat karena peluang ekonomi yang lebih baik dari daerah itu dan daerah itu dapat dikembangkan untuk meningkatkan kehidupannya. Kemampuan orang Buton untuk pergi merantau tidak terlepas dari keahlian Orang Buton yang terkenal sejak dahulu sebagai pelaut di Nusantara. Selain itu, daerah itu memiliki pelabuhan Bau-Bau yang sangat strategis untuk persinggahan kapal. Seperti diketahui, apabila suatu daerah letaknya sangat strategis dan didukung dengan adanya pelabuhan ataupun tempat persinggahan, maka tidak menutup kemungkinan daerah tersebut akan berkembang, karena banyaknya orang yang datang untuk singgah atau menetap. C. Reaksi Penduduk Lokal Terhadap Kehadiran Orang Buton di Kampung Folley Distrik Misool Timur Manusia merupakan makhluk yang hidup berkelompok dan memiliki organisme yang kalah kemampuan fisiknya dibandingkan jenis-jenis 13 Selo Soemardjan, Migrasi, Kolonisasi, Perubahan Sosial, Jakarta : PT Pustaka Grafika Kita, 1988, hal.11. 14 Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta : PN Balai Pustaka, 1984, hal.113.
117
118
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
binatang berkelompok lainnya.15 Walaupun demikian, dibandingkan dengan makluk-makluk lain, manusia memiliki akal pikiran, sehingga manusia secara individu merupakan pribadi yang utuh, yang didalamnya terdapat sejumlah unsur yang saling terkait dan berinteraksi. Unsur yang berkaitan dengan manusia yaitu unsur fisik hayati pada diri manusia dan unsur non hayati yaitu kecerdasan. Ketika manusia berinteraksi akan terjadi kontak dan komunikasi, sehingga interaksi itu terjadi bila manusia berbuat sesuatu dan menimbulkan respon atau reaksi dari manusia lainnya. Hal ini terlihat di Kampung Folley, dimana interaksi terjadi antara masyarakat asli ( pribumi ) dan masyarakat Buton. Kedatangan orang Buton di Kampung Folley, Raja Ampat berlangsung sekitar tahun 1970an tepatnya tahun 1975.16 Akan tetapi menurut La Ode Ali, pada 1964 ia bersama orang Buton lainnya telah tiba di Raja Ampat tepatnya di Pulau Misool. Mereka mencari teripang di sekitar di sekitar Pulau Misool, tepatnya di Pulau Mustika. Setelah mereka memperoleh teripang yang cukup, mereka kembali ke kapal atau perahu untuk melanjutkan perjalannya ke kembali ke Buton untuk menjual teripang yang diperolehnya. Setelah teripangnya terjual habis, mereka kembali ke daerah itu. Setelah sampai di daerah itu, La Ode Ali meminta ijin kepada kepala suku setempat untuk diberikan tempat sebagai tempat tinggal. Permohonan La Ode Ali itu dikabulkan oleh kepala suku setempat. Kepala kampung memberikan lahan di Kampung Folley, yang pada saat itu baru dibuka atau dihuni, karena penduduk kampung lama sudah padat. Setelah kepala kampung memberikan ijin kepada La Ode Ali untuk menempati Kampung Folley, ia ikut membantu masyarakat setempat membuka kampung tersebut. Ketika kapalnya kembali lagi untuk mencari teripang, La Ode Ali ikut kembali ke Buton. Kemudian pada 1975/1976 La Ode Ali kembali datang ke Kampung Folley dengan membawa atau mengajak anggota keluarganya untuk tinggal di kampung itu sampai sekarang. Penerimaan penduduk lokal Kampung Folley terhadap keluarga La Ode Ali ditandai dengan pemberian ijin kepada keluarga itu untuk bermukim di Kampung Folley. Penerimaan itu tidak terlepas dari sikap ringan tangan tangan dari keluarga La Ode Ali yang dibuktikan dengan 15 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi 1, Jakarta : Rineka Cipta, 2005, hal.67. (Manusia adalah salah satu diantara hampir sejuta jenis makluk lain yang hidup di alam dunia ini, yang terdiri dari makluk-makluk yang sangat sederhana ragawinya. Namun diantara semua makluk, manusia memiliki keunggulan, yaitu kebudayaan yang memungkinkannya hidup disegala macam lingkungan alam, sehingga ia menjadi makluk yang paling berkuasa dimanapun manusia itu berada. 16 La Ode Ali, Wawancara, maret 2011
Migrasi Orang Buton di Kampung Folley Distrik Misool Timur Papua (1975/1976 – 2011)
kesediaannya membantu penduduk lokal untuk membuka Kampung Folley. Selain itu, penerimaan penduduk lokal Kampung Folley terhadap orang Buton disebabkan kehadiran orang Buton di daerah itu tidak mengganggu sumber mata pencaharian penduduk setempat. Pada saat kehadiran orang Buton di Kampung Folley, sumber mata pencaharian penduduk lokal pada umumnya berada di darat, sementara sumber mata pencaharian orang Buton berada di laut yaitu mencari teripang. Artinya kehadiran orang Buton di Kampung Folley tidak dianggap sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup penduduk lokal. Kebijakan tentang pengaturan pemukiman yang memisahkan perkampungan kedua suku yang berbeda itu juga berfungsi untuk menghindarkan persentuhan secara langsung, sehingga dapat menekan konflik. Kondisi demikian memungkinkan orang Buton dan penduduk lokal di Kampung Folley dapat hidup berdampingan secara damai. Keberadaan masyarakat Buton di Kampung Folley, melalui proses yang cukup panjang, berikut alur perjalanan orang Buton datang ke Kampung Folley : Sulawesi Tenggara ( Kabupaten Buton )
Banggai ( mereka singgah untuk membeli keladi untuk bekal makanan selama dalam perjalanan )
masuk ke Kepulauan Raja Ampat, di Pulau Misool, tepatnya di pulau mustika ( untuk mencari taripang )
Pulau Tikus
Kampung Fafanlaf
Kampung Folley
119
120
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
Berdasarkan alur perjalanan di atas, sebelum sampai di Kampung Folley orang Buton terlebih dahulu singgah di beberapa daerah.17 Setelah mereka tiba di Kampung Folley, mereka mulai bersosialisasi dengan masyarakat setempat. Sosialisasi merupakan proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial. Proses ini merupakan proses pembelajaran dan pendekataan terhadap tempat tujuan yang baru. D. Perkembangan Orang Buton Di Kampung Folley, Distrik Misool Timur Kedatangan orang Buton di Kampung Folley pada awalnya hanya untuk mencari teripang di daerah Raja Ampat, tepatnya di Pulau Mustika (Misool). Sebelum mereka memutuskan untuk bermukim di Kampung Folley, mereka terlebih dahulu meminta ijin kepada kepala kampung yang pada waktu itu dijabat oleh Elisa Mom. Elisa Mom memberi tanah dan tanpa meminta bayaran kepada La Ode Ali. Setelah diberi tanah, La Ode Ali dan orang Buton lainnya mulai membangun tempat tinggal dan membuka kebun. La Ode Ali merupakan orang Buton yang pertama yang datang ke Kampung Folley. Dia bersama teman satu kapalnya mencari teripang di daerah itu. Namun, kapal yang ditumpangi La Ode Ali berangkat tanpa sepengetahuannya, karena dia terlalu asik memasang bubu. Akibatnya dia tertinggal di Kampung Folley. Selama dia tinggal di Kampung Folley, penduduk lokal dapat menerima kehadirannya. Penerimaan penduduk lokal terhadap kehadiran La Ode Ali terbukti dengan pemberian ijin dari kepala kampung kepadanya untuk bermukim di Kampung Folley. Penerimaan penduduk lokal tersebut disebabkan perilakunya yang baik dan kemampuannya bersosialisasi dengan penduduk lokal. Selama La Ode Ali bermukim di Misool, banyak pelajaran yang diperoleh dan diterima dengan baik oleh masyarakat setempat dari padanya. Demikian sebaliknya, selama dia tinggal di Kampung Folley, dia melihat peluang ekonomi yang dapat dikembangkan sebagai sumber mata pencahariannya.Ketika kapalnya kembali datang ke Kampung Folley, dia kembali ke Buton. Berdasarkan pengalamannya selama di Kampung Folley, La Ode Ali membawa serta anggota keluarganya ke Kampung Folley. Sekitar tahun 1975 La Ode Ali dan keluarganya tiba di Misool dan meminta ijin kepada kepala kampung setempat. Pada saat La Ode Ali diijinkan untuk tinggal di Kampung Folley, 17
Wawancara, maret 2011
Migrasi Orang Buton di Kampung Folley Distrik Misool Timur Papua (1975/1976 – 2011)
kampung itu baru dibuka. Sebelumnya masyarakat setempat mendiami kampung Folfulu.18 Masyarakat setempat pindah ke Kampung Folley, karena pada saat itu penduduk Kampung Folfulu telah padat, sehingga tidak dapat lagi menampung masyarakatnya. Oleh karena itu, sekitar tahun 1970-an, kampung Folley dibuka dengan jumlah penduduknya sekitar 15 kepala keluarga. Pembukaan Kampung Folley dikerjakan masyarakat kampung itu selama satu bulan lima belas hari. Setelah La Ode Ali beserta keluarganya tiba di Kampung Folley, orang Buton yang lainnya juga datang ke Kampung Folley pada 4 Mei 1976. Kedatangan orang Buton tersebut ikut membantu dalam membuka Kampung Folley yang pada saat itu masih baru dibuka. Penduduk lokal menerima orang lain untuk tinggal di kampung tersebut. Itu sebabnya ketika masyarakat Buton tiba di Kampung Folley, mereka diberikan tanah tanpa harus membayarnya. Elisa Mom yang pada saat itu menjabat sebagai kepala kampung mengatakan: “siapa saja yang mau datang dan tinggal di Kampung Folley dengan niat baik, akan diterima dengan tangan terbuka”.19 Keberadaan masyarakat Buton di Kampung Folley dari tahun ke tahun semakin bertambah dan hubungan mereka dengan masyarakat setempat sampai saat ini terjalin dengan baik. Mereka hidup rukun dalam bermasyarakat, walaupun mereka berbeda kebudayaan. Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kata budaya berasal dari kata sanskerta yaitu buddhayah yang artinya budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan berkaitan dengan akal.20 Manusia menggunakan akalnya dalam berinteraksi dengan manusia di sekitarnya, sehingga dapat diterima di tempat manusia itu berada ataupun di tempat baru yang akan menjadi tempatnya untuk tinggal. Hal inilah yang terjadi pada masyarakat Buton, mereka menggunakan akal dan budi pekerti yang baik, sehingga mereka dapat diterima oleh penduduk lokal (Suku Matbat) di Kampung Folley.
18 Lukas Mom, Wawancara, Maret 2011. ( Kampung Folfulu merupakan salah satu kampung di pulau Misool, sebelum adanya kampung Folley, masyarakat menempati kampung Folfulu ini. Masyarakat setempat membuka kampung folley, karena kampung Folfulu ini telah penuh, maka oleh camat salim Tamima ( yang pada saat itu menjabat ). Menganjurkan untuk membuka kampung baru dan diberi nama kampung Folley). 19 Wawancara, Maret 2011 20 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta, 2000, hal. 181.
121
122
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
Berikut perbandingan jumlah kepala keluarga pada saat awal kedatangan masyarakat Buton sekitar tahun 1975/1976 dan sekarang pada saat penulis melakukan penelitian tahun 2011 sebagai berikut:21 a. Nama-nama kepala keluarga orang Buton pada tiba di Kampung Folley pada 1975/1976 : 1. La Ode Ali 2. La Adam 3. La Badulu 4. La Tarmaji 5. La Jihrubadia b. Nama-nama kepala keluarga orang Buton di Kampung Folley pada 2011 : 1. La Maharudin 2. La Badalu 3. La Eko 4. La Basri 5. La Muliadi 6. La Ode Ali 7. La Ode Banjar 8. La Ode Mantutu 9. La Ode Ua 10. La Ode Hamadi 11. La Amna 12. La Basri 13. Muhammad Atsar 14. La Ode Samudin 15. La Karim 16. La Adam 17. La Nurfia 18. La Nudin Berdasarkan nama-nama kepala keluarga di atas, dapat diketahui bahwa orang Buton yang merantau ke Kampung Folley tidak hanya dari kalangan masyarakat biasa, melainkan ada juga dari kalangan bangsawan. Kalangan bangsawan orang Buton biasanya menggunakan nama awal La Ode. Sedangkan kalangan masyarakat biasa menggunakan nama awal 21 Sumber : kantor kampung Folley, Distrik Misool Timur, hal ini juga senada dengan hasil Wawancara, pada Maret 2011.
Migrasi Orang Buton di Kampung Folley Distrik Misool Timur Papua (1975/1976 – 2011)
keluarga La. Keberadaan orang Buton di Kampung Folley dari tahun ke tahun semakin bertambah, walaupun pertambahannya tidak cepat. Namun pertambahan jumlah orang Buton itu, menandakan adanya pertambahan orang Buton di Kampung Folley. Pertambahan jumlah orang Buton itu disebabkan adanya kelahiran anggota baru dari masing-masing keluarga yang memilih untuk menetap bermukim di Kampung Folley. Berikut tabel penduduk Orang Buton di Kampung Folley, yaitu: Tabel Penduduk Buton di Kampung Folley
No.
Nama Kepala Keluarga
Nama Istri
Nama Anak/Cucu
Wa Dagasia
Wa Widia
-
La Mujiono La Sudi
La Eko
Wa Erna
La Agung Laksamana Wa Siti
4.
La Basri
Wa Jaima
Mahmud La Risal Harmiati Nurhayati Wa Hijae La Saba
5.
La Muliadi
Sti Ramat
La Arman Nur Wahida
6.
La Ode Ali
Wa Ode Arfa
-
7.
La Ode Banjar
Wa Rasi
Wa Eda La Jumiha La Jumadi
8.
La Ode Mantutu
Wa Madi Uli
Sumartono Jamaludin Maryam
9.
La Ode Ua
Wa Uli
Wa Sarni Safia La Maji Salim
10.
La Ode Hamadi
Wa hajija
La Jakaria Hasanudin Sukarnai
11.
La Amna
Wa Biru
-
12.
La Basri
Wa Nuru
-
13.
Muhammad Atsar
Aini
Nurdin
1.
La Maharudin
2.
La Badalu
3.
123
124
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
14.
La Ode Samudin
Suryanti Elwarin
Mirna Wati Diana Tanti Ahmat
15.
La Karim
Wabbe
Ladama
16.
La Adam
Wa Mora
Wa Muna
17.
La Nurfia
Wa Jamila
Idrus Ahmad Rahman Kalsum
18.
La Nudin
Wa Bina
Wa Rima Wa Risma Wa Sarnia
( Sumber : Kantor Kampung Folley, maret 2011 )
Berdasarkan nama-nama penduduk Buton yang berdomisili di kampung Folley tersebut, dapat dilihat mereka memilih membangun kehidupan mereka di Kampung Folley, sehingga anak-anak mereka juga ikut tinggal dan menetap di Kampung Folley. Walaupun ada juga yang datang untuk sementara waktu dan kembali pulang ke kampung halamannya. Akan tetapi, orang Buton yang memilih untuk menetap lebih banyak dari pada yang kembali ke kampung halamannya. Hal ini terjadi karena selama di Kampung Folley mereka diterima dan diperlakukan dengan baik oleh masyarakat setempat, sehingga mereka lebih memilih untuk menetap di Kampung Folley. Hal itulah yang menjadikan adanya komunitas Buton di Kampung Folley. 3.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Kampung Folley distrik Misool Timur yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Raja Ampat merupakan daerah kepulauan yang sangat indah dan kaya akan hasil laut maupun hutannya. Hal inilah yang menjadi daya tarik para migran dari luar yang datang untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Salah satu dari migran yang datang adalah orang Buton. Orang Buton mencari teripang di Raja Ampat, tepatnya di Pulau Mustika (wilayah Misool). Pada saat tiba di Misool orang Buton, La Ode Ali meminta ijin untuk sementara waktu tinggal, dan selama tinggal Dia diperlakukan dengan baik serta diperbolehkan untuk mencari teripang dan memasang bubu, sehingga terlintas dalam hatinya untuk tinggal di daerah Misool.
Migrasi Orang Buton di Kampung Folley Distrik Misool Timur Papua (1975/1976 – 2011)
Oleh karena itu, setelah La Ode Ali kembali lagi ke Buton, dia langsung membawa keluarganya untuk tinggal di Raja Ampat. Setelah tiba kembali di Raja Ampat, oleh kepala kampung memberikan tanah/tempat di Kampung Folley, Distrik Misool Timur, mulailah beliau dan keluarga memulai hidup baru di Kampung Folley. Lalu selang beberapa waktu datang pula orang Buton lainnya, hal tersebut terjadi karena mereka mendengar suku/orang mereka diterima dengan baik di Kampung Folley. Keberadaan orang Buton di kampung Folley, pada sekitar tahun 1975/1976 awalnya hanya beberapa kepala keluarga saja, sekarang telah mengalami perkembangan dengan telah meningkatnya jumlah kepala keluarga. Hal ini tidak terlepas dari sikap penerimaan masyarakat setempat terhadap kehadiran para pendatang yang datang ke Kampung Folley. Juga orang Buton lainnya yang mengetahui saudaranya berhasil dan hidup dengan baik di Kampung Folley, dan berkeinginan merantau ke Kampung Folley untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Keinginan merantau dari orang Buton juga didukung oleh kemampuannya untuk berlayar mengarungi laut untuk sampai ke suatu daerah yang menjadi tujuan perantauannya. Sebagaimana diketahui dahulu Kerajaan Buton adalah kerajaan yang becorak maritim yang handal dalam mengarungi lautan dan penghasil kapal atau perahu. Selain itu, mereka juga tekun dalam bercocok tanam (bertani/berkebun), karena mereka pandai dalam memanfaatkan situasi yang ada dan mereka tidak gampang untuk menyerah. Hal tersebutlah yang menjadikan mereka dapat hidup di lingkungan manapun, sehingga ke manapun mereka pergi, mereka dapat memanfaatkan sember daya alam yang tersedia dengan baik, dan menanamkan sifat dan sikap perilaku yang saling menghargai. Hal inilah yang tercermin pada masyarakat Buton di Kampung Folley, sehingga mereka dapat hidup dan berkembang. B. Saran /Rekomendasi - -
Dalam hidup bermasyarakat perlu adanya saling menghormati satu sama lain, sehingga tercipta kehidupan yang harmonis. Cermin kehidupan yang diperlihatkan oleh masyarakat pribumi dan masyarakat pendatang, dalam hal ini orang Buton, dalam kehidupan di Kampung Folley merupakan cermin yang baik, karena mereka dapat hidup berdampingan. Walaupun adanya perbedaan kebudayaan diantara mereka. Karena menerima adanya perubahan ke arah yang lebih baik tanpa harus meninggalkan
125
126
Hiyakhe, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 3 No. 1. Desember 2013
kebudayaan yang ada, dapat lebih membuka wawasan yang ada, dan dapat menghargai budaya satu sama lainnya. Daftar Pustaka Hidayah, Zulyani, 1997, Ensiklopedi, Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta : LP3ES. Kantor Kampung Folley, Data Tahun 2011 Kartohadikoesoemo, Soetardjo, 1965, Kampung (Desa), Jakarta; Sumur Bandung Koentjaraningrat, 2000, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta. , 2005, Pengantar Antropologi 1, Jakarta : Rineka Cipta. Lakebo, Berthyn, dkk, 1986, Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Tenggara, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Macap, Abdul R., 2008, Bentuk Kepemimpinan Tradisional Raja Fun Kapitla, “jurnal”, Jayapura : BPSNT-Papua. Muryantoro, Hisbaron, S. Suhartina, V. Agus Sulistya, Gunawan Haji, 2002, Kilas Balik Sejarah Perjuangan Bangsa (1945-1950), Yogyakarta Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto, 1984, Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta : PN Balai Pustaka. Schoorl, Pim, 2003, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Jakarta : Penerbit Djambatan. Soemardjan, Selo, 1988, Migrasi, Kolonisasi, Perubahan Sosial, Jakarta : PT Pustaka Grafika Kita. Zuhdi, Susanto, 2010, Sejarah Buton yang terabaikan, Labu Wana Labu Rope, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.