Salam dari Sopo... KINI kita tiba di penghujung tahun 2015. Sepanjang tahun ini banyak suka maupun duka, tantangan dan peluang yang menghampiri dan terjadi di sekitar kita. Di penghujung tahun ini, evaluasi dan refleksi atas berbagai kondisi sepanjang tahun ini menjadi sangat penting. Berbagai informasi sajian Prakarsa pada edisi penghujung tahun ini patut menjadi refleksi kita bersama. Sejauhmana kemajuan (pembangunan), kehadiran berbagai investor, dan keterlibatan banyak pihak dalam membangun Tano Batak membawa perubahan ke arah yang lebih baik di tengah masyarakat. Apakah pembangunan benar-benar mensejahterakan rakyat atau hanya menguntungkan segelintir orang. Mari kita evaluasi dan refleksikan bersama.
Diterbitkan oleh Perhimpunan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Alamat Redaksi: Girsang I, Sipanganbolon Kec. Girsang Sipanganbolon Parapat - 21174 Telp. 62-625-42393/7000731
Fax. 62-625-42393 E-mail:
[email protected] [email protected] website: www.ksppm.org ISSN: 0215-1863
Redaksi: Penanggung Jawab: Suryati Simanjuntak SH, Pemimpin Redaksi: David Rajagukguk S.Sos, Editor: Suryati Simanjuntak SH. Dewan Redaksi: Suryati Simanjuntak SH, David Rajagukguk S.Sos, Darwin Manullang SPt, Lenny Rajagukguk, Anggiat Sinaga SS, Doharta Sirait S.Sos, July Sihombing SE,Ak, Trisnawaty Harahap SH. Staf Keuangan: Rosmey Situmorang SE. Administrasi /Distributor: Sanni Julita Purba SE, Ester Simanjuntak, Bobby Simamora, Irwan Pakpahan. Lay-Out: Erwin Hasibuan Amd. Cover: Aksi Serikat Tani Toba Samosir memperingati Hari Tani 24 September 2011. Untuk memperkaya isi Prakarsa ini redaksi menerima sumbangan pikiran, artikel, berita, ulasan dari khalayak pembaca. Pandangan dan pendapat penulis yang dimuat tidak selalu mencerminkan pendapat atau pandangan redaksi. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengurangi makna.
Editorial
Dilema Pembangunan
S E T I A P o r a n g ( w a rg a n e g a r a ) p a s t i mendambakan hidup sejahtera. Salah satu upaya menuju kesejahteraan tersebut adalah melalui pembangunan. Oleh karena itu pembangunan sudah seharusnya mensejahterakan rakyat.
kemudian menjadi tidak nyaman. Mereka kalah bersaing atau tidak mampu mengikuti kemajuan itu sendiri sehingga menjual tanahnya dan pindah ke tempat lain.
Paradigma pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi diharapkan akan mampu meningkatkan perekonomian dan mensejahterakan rakyat. Sehingga menghadirkan investor, baik dari luar maupun dari dalam negeri, menjadi trend dalam mensukseskan pembangunan. Hampir semua calon pimpinan daerah di tanah Batak menyebutkan dalam visi dan misinya akan menghadirkan atau melibatkan investor dalam pembangunan daerah. Seolah-olah dengan kehadiran para investor ini, maka berbagai persoalan menyangkut pembangunan dapat teratasi.
Harus diakui, bahwa di satu sisi ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan, ada kemajuan di berbagai aspek. Tapi di sisi lain, kemajuan ekonomi yang dihasilkan dengan mengeksploitasi sumber daya alam ini, menyebabkan hutan dan lahan-lahan pertanian masyarakat kian tergusur oleh kepentingan pertambangan, perkebunan, Hutan Tanaman Industri (HTI), permukiman, dan kegiatan komersial lainnya. Belum lagi akibat yang harus diterima, seperti ancaman banjir, kekeringan, dan asap. Berbagai bencana ini menjadi peristiwa rutin yang harus ditanggung dan diratapi.
Bangsa ini sangat enggan belajar dari pengalaman. Adalah fakta bahwa kehadiran para investor ini kerap menimbulkan berbagai persoalan baru dan justru memiskinkan masyarakat, khususnya masyarakat setempat. Tidak sedikit yang akhirnya tergusur atau pindah ke tempat lain karena tanah-tanah mereka dirampas atas nama pembangunan dan investasi. Masyarakat yang sudah hidup secara turun temurun sejak beratus-ratus tahun yang lalu terpaksa dan dipaksa kehilangan hak asal-usul, identitas, dan sumber hidupnya. Di banyak tempat (desa), kehadiran berbagai “kemajuan” yang dibawa oleh pendatang baru juga membawa perubahan gaya hidup. Masyarakat setempat cenderung kian konsumtif. Mereka yang semula hidup dengan nyaman, meskipun hidup dengan sederhana (miskin),
Paradigma pembangunan yang mengorbankan atau menafikan kesejahteraan masyarakat setempat dan lingkungan akan menimbulkan persoalan besar yang pada akhirnya akan sulit diatasi. Butuh waktu dan biaya besar untuk membangun kembali kehidupan yang rusak akibat keserakahan segelintir orang yang mengeksploitasi sumberdaya alam untuk kepentingan dirinya, kelompok, dan golongannya. Nilai nominal hasil dari pertumbuhan ekonomi dengan mengeksploitasi sumberdaya alam sangatlah tidak sebanding dengan nilai nominal yang harus dibayar untuk membangun kembali kehidupan yang rusak tersebut.***
3
Studi dan Advokasi
Sammas Sitorus Berharap Keadilan di PN Balige Delima Silalahi
Sidang kasus Sammas Sitorus di Pengadilan Negeri Balige. Dok.ksppm/16Nop2015
DENGAN menggunakan safari warna hijau tua, Sammas Sitorus, Ketua Persatuan Masyarakat Adat Lumban Sitorus, didampingi tim penasehat hukumnya, Senin, 16 November 2015, menghadiri sidang kelima di Pengadilan Negeri (PN) Balige. Sidang kali ini untuk mendengarkan keterangan empat orang saksi korban. Jaksa Penuntut Umum (JPU), Aprianto Naibaho, SH, menghadirkan Mangoloi Pardede (44), Hotner Tampubolon (47), Frengki Tongam Hutagaol (33), dan Viktor Tampubolon (34). Keempatnya adalah karyawan di PT Toba Pulp Lestari (TPL). Sebelum dimintai kesaksiannya, Hakim mengambil sumpah keempat saksi tersebut.
4
Dalam persidangan Mangoloi Pardede memberikan keterangan bahwa dia dicegat oleh Sammas Sitorus, di parkiran truk logging, lokasi pabrik PT TPL, Desa Sosor Ladang, Kecamatan Parmaksian, sepulang menjumpai sopir-sopir truk yang sedang parkir. Sammas Sitorus, langsung mengancam akan membunuhnya dengan mengatakan berkali-kali, ”Ingkon hu pamate do ho, bujang ni inam!” (Akan ku bunuh kau dengan mengucapkan kata-kata kotor). Dia menambahkan bahwa Sammas Sitorus yang berada di sebelah kanannya langsung memukuli dirinya yang saat itu berada di atas motor dibonceng oleh Hotner Tampunolon, menusuk
Studi & Advokasi Editorial
Sidang kasus Sammas Sitorus di Pengadilan Negeri Balige. Dok.ksppm/16Nop2015
kemudian dia juga mengatakan bersama dengan polisi. Keterangan lain yang berbeda adalah soal luka dan memar di wajah. Di awal dua orang saksi, Franky Hutagaol dan Viktor Tampubolon, mengatakan tidak ada bekas luka dan memar di wajah korban ketika bertemu di Polres Tobasa sekitar pukul 11.00 Wib. Namun karena JPU berkali-kali meminta mereka mengingat kembali, akhirnya Vi k t o r Ta m p u b o l o n mengatakan sepertinya memang ada tergores di sudut bibir sebelah kiri. Padahal menurut Mangoloi Pardede dan Hotner Hutagaol, luka lecet berada di sudut bibir
sebelah kanan. sudut bibir kanannya dengan pulpen, akibatnya sudut bibirnya mengalami luka lecet. Pipi kirinya juga mengalami lebam akibat pukulan Sammas Sitorus. Dia mengatakan sangat ketakutan dan panik, sehingga hanya bisa menutupi wajahnya dengan kedua tangannya untuk menghindari pukulan-pukulan Sammas. Masih menurutnya, untung saja ada seorang Bapak melerainya. Sehingga aksi pemukulan tersebut berhenti. Dan mereka langsung lari ke pos timbangan, mengadukan ke security. Dari Timbangan, dia bersama Hotner Tampubolon menuju Rumah Sakit Porsea di Parparean, berobat dan melakukan visum. Seteleh itu mereka ke Polres Toba Samosir melakukan pengaduan. Dalam kesaksiannya, Mangoloi Pardede juga mengatakan bahwa akibat kejadian itu dia trauma dan terhalang bekerja selama empat hari. Namun menurut tim penasehat hukum Sammas Sitorus, Nurleli Sihotang, SH, keterangan ini berbeda dengan di Berita Acara Pemeriksaan (BAP), yang mengatakan bahwa Mangoloi Pardede sama sekali tidak terhalang bekerja. Keterangan Mangoloi Pardede juga berubah-ubah, khususnya terkait dengan pelaksanaan visum. Awalnya dia mengatakan pergi sendiri ke RS,
Keterangan lain yang berbeda adalah, sebelumnya Mangoloi Pardede mengatakan bahwa ada seorang bapak yang melerai mereka, namun dalam keterangan Hotner Tampubolon, tidak ada yang melerai. Selain itu, Mangoloi dalam kesaksiannya mengatakan terdakwa mencegat dan langsung mengancam membunuh mereka. Tidak ada percakapan apapun sebelumnya. Namun Hotner Tampubolon dalam kesaksiannya mengatakan sebelumnya terdakwa minta tolong untuk memindahkan truk-truk pengangkut kayu yang sedang parkir di sana karena mereka mau aksi. Suara riuh peserta sidang yang dihadiri sekitar 80n warga Desa Lumban Sitorus tersebut sesekali terdengar ketika kesaksian yang diberikan masing-masing saksi berbeda-beda. Namun suasana kembali tenang karena antusias mereka mengikti jalannya persidangan tersebut. Sammas Sitorus, membantah semua keterangan saksi korban, ketika hakim ketua, Derman P. Nababan,SH,MH, menanyakan tanggapannya. Menurut terdakwa, dia tidak pernah melakukan pengancaman dan pemukulan terhadap korban. Dia mendatangi Mangoloi Pardede dan Hotner Tampubolon meminta tolong agar truk-truk
5
Studi dan Advokasi Seusai persidangan, Sammas Sitorus mengatakan bahwa duduk di kursi pesakitan, sebagai terdakwa penganiayaan, tidak pernah dipikirkan. Namun laki-laki berusia 34 tahun tersebut mengatakan tetap tegar dan tenang mengikuti persidangan karena sangat yakin bahwa dia tidak melakukan tindakan penganiayaan yang dituduhkan
kepadanya. Dia juga berharap agar hakim bisa memberikan rasa keadilan kepadanya. Karena menurutnya tuduhan ini tidak terlepas dari perjuangan mereka menuntut tanah adat dari PT TPL selama ini, di mana dia menjadi ketua dalam gerakan ini.***
Wawancara Istri Sammas Sitorus “Risau....” gumam wanita berusia 31 tahun itu dengan tatapan mata sendu. “Semoga hakim bisa objektif memandang kasus ini. Walau aku tetap merasa risau, karena di negeri ini keadilan sering hanya berpihak kepada yang kuat saja.” Begitulah ungkapan suara hati Fenti Sirait, istri Sammas Sitorus, ketika ditemui PRAKARSA di rumah mereka yang lumayan rapi, di Lumban Sitorus. Ia berbicara sambil menggendong anak bungsunya, Sandhy Sitorus yang berusia 2 tahun. Sementara dua anak mereka yang lain, Steven Sitorus (5 tahun) dan Silvia Sitorus (4 tahun) sedang tidur di ruang keluarga. PRAKARSA menemui ibu tiga anak yang sehari-hari berprofesi sebagai guru SD (?) ini, berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi suaminya di Pengadilan Negeri Balige. Ibu kelahiran 7 Juli 1984 ini dengan tegas mengatakan tidak yakin suaminya mengancam, apalagi melakukan pemukulan kepada orang lain, seperti dituduhkan jaksa. “Suami saya memang tegas, tetapi sejak mengenalnya, kemudian menikah dengannya dan sampai sekarang memiliki tiga anak, saya tidak pernah melihat dia melakukan kekerasan,” ujarnya. “Saya tidak yakin suami saya melakukan pemukulan terhadap orang lain, apalagi karyawan TPL tersebut badannya jauh lebih besar dari suami saya. Terhadap saya dan anak-anak pun dia tidak pernah berkata kasar dan memukul. Suami saya bukan tipe yang begitu,” tegasnya. Fenti yakin kriminalisasi terhadap suaminya berkaitan dengan perjuangan Persatuan Masyarakat Adat Lumban Sitorus (Permades) atas tanah adat milik mereka yang diambil PT Toba Pulp Lestari (TPL). “Mungkin karena suami saya saat ini sebagai ketua dan aktif dalam perjuangan ini, sehingga suami saya yang ditangkap,” kata Fenti. Ibu tiga anak ini bercerita, sejak terpilih menjadi Ketua Permades, aktivitas suaminya sangat tinggi. Suaminya bersama pengurus Permades lainnya sering melakukan aksi-aksi unjuk rasa di lokasi TPL, juga ke kantor Bupati dan DPRD Toba Samosir. Mereka menuntut pengakuan hak atas tanah adat mereka di Jior Sisada-sada dan Silosung yang sejak tahun 1997 dikuasai PT TPL (dulu PT Inti Indorayon Utama/IIU). Sudah hampir 30 tahun masyarakat Lumban Sitorus menuntut kejelasan terhadap tanah adat tersebut, namun tuntutan mereka tidak pernah direspon dengan baik oleh pemerintah dan PT TPL. Itulah yang membuat masyarakat adat Lumban Sitorus terus melakukan aksi unjuk rasa di depan pintu masuk TPL. Puncaknya adalah aksi tanggal 13-14 Juli 2015 itu. Sammas Sitorus dituduh melakukan pemukulan terhadap karyawan TPL bernama Mangoloi Pardede dalam kejadian itu. Meski yakin suaminya tidak bersalah, namun Fenti Sirait tak urung merasa risau, karena sadar mereka berhadapan dengan perusahaan besar. Lebih dari itu, perkara tersebut jadi sangat berpengaruh terhadap kehidupan rumah tangga dan anak-anak mereka. Sambil sesekali menghampiri dua anaknya yang sedang tidur, Fenti bercerita, Sammas Sitorus sangat berperan dalam kehidupan rumah tangga mereka. Kalau Fenti pergi mengajar atau mengikuti pelatihan, Sammas lah yang menjaga anakanak dan melakukan pekerjaan rumah tangga. “Suami saya tidak pernah membedakan pekerjaan di rumah, semua dikerjakan, baik menyuci pakaian, memasak dan mengurus anak,” tutur Fenti. Fenti mengaku, Sammas orang penuh perhatian dan sayang kepada istri maupun anak-anak mereka. Sehari-hari, ketiga anak mereka yang masih kecil-kecil itu selalu bermanja dan bergelayut ke bapaknya. “Bahkan kalau malam hari, mereka hanya mau tidur jika ditemani bapaknya,” ujar Fenti, sambil menatap ketiga buah hatinya. “Saya hanya berharap hakim bisa memberikan rasa keadilan kepada suami saya, sehingga saya dan anak-anak kembali hidup tenang. Kebahagiaan anak-anak saya jangan dirampas. Ayah mereka bukan penjahat,” ujar Fenti, sambil mengelus-elus si kecil Sandhy yang merengek-rengek dalam gendongannya. Hari semakin gelap. PRAKARSA pun pamit. ***
6
Studi & Advokasi Editorial Aksi Masyarakat Adat Lumban Sitorus di DPRD Kab. Toba Samosir.dok/ksppm/oktober/2015
Rakyat Kecewa atas Janji DPRD Trisna Harahap “Upaya yang telah ditempuh DPRD Kabupaten Toba Samosir untuk memediasi pihak masyarakat adat Lumban Sitorus dengan pihak PT Toba Pulp Lestari, Tbk, sampai saat ini belum mendapat titik temu/penyelesaian. Malah terkesan gagal, sehingga akhirnya DPRD menyarankan agar masyarakat adat Lumban Sitorus menempuh jalur hukum untuk menyelesaikannya1.” Isi surat itu bagaikan petir di siang bolong. Surat dari lembaga legislasi di Kabupaten Toba Samosir ini pada intinya menyatakan bahwa pihaknya lepas tangan dengan masalah ini. Kekecewaan masyarakat bukan hanya saat mereka ditolak, namun saat DPRD dirasa tidak mewakili rakyat dan tidak menampung aspirasi mereka. Janji tak terealisasi Masyarakat adat Lumban Sitorus sebagai pelapor dan
PT Toba Pulp Lestari (TPL) sebagai yang dilaporkan, menyangkut permasalahan tanah adat milik masyarakat Lumban Sitorus yang sudah 30-an tahun dipakai oleh TPL, dimediasi oleh DPRD Kabupaten Tobasa. Awal laporan ini, DPRD melalui Komisi A memfasilitasi masyarakat adat Lumban Sitorus bertemu dengan pihak TPL dalam Rapat Dengar Pendapat tanggal 1 April 2015. Pertemuan ini juga
__________________________________ 1. Surat DPRD Kab.Samosir No.171/760/DPRD/2015 tanggal 10 September 2015 kepada Masyarakat Lumban Sitorus
7
Studi dan Advokasi dihadiri oleh BPN Kabupaten Tobasa. Saat itu Komisi A berjanji agar masyarakat menunggu 2 minggu hingga ada keputusan mengenai hal ini. Hingga sebulan kemudian, tidak ada realisasi dari DPRD. Surat yang dikirim masyarakat untuk menanyakan janji tersebut tidak kunjung dijawab. Kemudian masyarakat sepakat mengunjungi DPRD beramai-ramai untuk mempertanyakan tindaklanjut penyelesaian pengaduan mereka. Saat itu DPRD kembali berjanji akan mempertemukan masyarakat dalam rapat dengar pendapat yang akan dilakukan antar komisi di DPRD Tobasa. Namun janji itu tidak pernah terealisasi. Pertemuan tak terduga Waktu itu masyarakat adat Lumban Sitorus melakukan aksi demonstrasi di depan gerbang TPL. Tiba-tiba terdengar isu bahwa DPRD mendatangi perusahaan pulp itu. Kabarnya, kunjungan ini terkait dengan permasalahan masyarakat Lumban Sitorus. Masyarakat yang merasa tidak pernah dikabari mengenai agenda DPRD hari itu langsung mengkomunikasikan hal tersebut dengan DPRD tersebut. Pada hari itu juga masyarakat berhasil mendesak agar batas tanah adat mereka yang bernama Jior Sisadasada dan Silosung diambil titik koordinatnya. Kemudian beberapa hari setelahnya, masyarakat kembali mengirim surat untuk mempertanyakan maksud kunjungan DPRD ke TPL beberapa hari sebelumnya, dan apa hasil dari kunjungan tersebut. Namun surat itu tak pernah dijawab (dibalas). Hanya pelengkap laporan Pernah masyarakat ditelpon oleh salah seorang petugas Sekwan Kabupaten Tobasa. Telepon tersebut mengabarkan bahwa masyarakat diundang dalam pertemuan di BPN Tobasa pada keesokan harinya. Karena tidak jelas apa yang menjadi agenda pertemuan itu, lalu masyarakat meminta agar diantarkan surat resmi. Pada sore hari itu, pengurus kelompok mendapatkan surat undangan dimaksud. Isi surat itu adalah tindak lanjut pertemuan DPRD dengan BPN Provinsi. Tentu saja pengurus tidak berani mengambil keputusan untuk menghadiri undangan ini. Karena undangan itu adalah rangkaian pertemuan sebelumnya di mana masyarakat tidak ikut dan tidak mengetahui apa kesepakatan yang terjadi sebelumnya.
8
Pengurus kelompok mencoba menghubungi salah seorang anggota DPRD Tobasa dan lansung mendatanginya. Winner Sinambela, yang menerima masyarakat saat itu, membenarkan bahwa ini bagian dari penyelesaian masalah tanah adat Lumban Sitorus. Menurutnya, pertemuan ini menghadirkan pihak-pihak, seperti PT TPL, BPN Provinsi, dan DPRD Tobasa. Sesuai dengan aturan yang mereka sepakati di kampung, pengurus harus mengkoordinasikan setiap hal menyangkut perjuangan mereka kepada natuatua ni huta (tetua kampung/tokoh adat), dan keputusan rapat yang memutuskan apakah mereka pergi atau tidak menghadiri undangan itu. Karena surat undangan datang mendadak, sehingga sulit mengumpulkan natua-tua ni huta, akhirnya pengurus memutuskan untuk tidak menghadiri undangan mendadak itu. Hal ini untuk menjaga konsistensi dan kredibilitas perjuangan. Lalu keesokan harinya pengurus perjuangan masyarakat mengirimkan surat sebagai konfirmasi ketidakhadirannya atas undangan dadakan tersebut. Masyarakat selalu disalahkan Ketidakhadiran masyarakat ini menjadi alat bagi DPRD untuk mempertanyakan keseriusan masyarakat dalam menyelesaikan kasus ini. Hal ini dinyatakan langsung oleh salah seorang anggota DPRD Tobasa kepada masyarakat. Lalu salah seorang masyarakat angkat bicara dan mengatakan bahwa bukan tempatnya untuk saling menyalahkan. Jika masyarakat dan DPRD kembali saling menyalahkan, bagaimana dengan janji-janji DPRD Tobasa yang tidak pernah terealisasi dalam masalah ini? Lalu Ketua DPRD Ir Boyke Pasaribu angkat bicara. Jika ia tidak memberikan rekomendasi dalam satu minggu, ia akan mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPRD Tobasa. Hal ini disambut baik oleh masyarakat. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah, masyarakat menerima surat DPRD yang isinya agar masyarakat menempuh jalur hukum. Kecewa, itulah yang dialami masyarakat Lumban Sitorus. Namun mereka tetap semangat mencari keadian. Kesatuan hati masyarakat adat Lumban Sitorus untuk mencari keadilan akan eksistensinya sebagai masyarakat adat dan pemilik hak atas tanah adat tetap terjaga. Semangat juang mereka tetap bergelora.***
Studi & Advokasi Editorial Desa Taon Marisi, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba Samosir. dok.ksppm/oktober/2015
Tertipu Program PIR TPL Rocky Pasaribu
PADA 9 september 2015, saya bersama Riwan Simamora berkunjung ke rumah bapak Redison Silaen yang berada di Desa Taon Marisi, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba Samosir. Sekitar jam 7 malam kami sampai di rumah Pak Redison. Sebelumnya kami sudah membuat janji untuk bertemu dan berdiskusi dengan beliau dan warga lainnya yang menjadi korban dari program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) PT Toba Pulp Lestari (TPL). Dari diskusi kami malam itu, kami memperoleh informasi bahwa ada sekitar 25 KK yang dahulu
ikut memberikan lahannya untuk ditanami eukaliptus oleh TPL. Pemberian tanah sebagai lahan penanaman eucalyptus berlangsung dalam dua gelombang, yaitu gelombang pertama, atas nama kelompok karena tanah tersebut merupakan tanah adat; dan gelombang kedua, penanaman di lahan milik individu. Pada bulan Mei 2005, masyarakat dan pihak TPL mengadakan perjanjian. Menurut mereka, isi perjanjian terdiri dari 10 pasal. Pada pasal perjanjian ada disebutkan bahwa hasil panen
9
Studi dan Advokasi nantinya akan dibagi 60% untuk perusahaan karena perusahaan yang menyediakan semua mulai dari bibit, penanaman, perawatan dan panen nantinya akan difasilitasi TPL. Sementara pihak pemberi lahan akan mendapatkan 40% dari hasil panen. Dalam perjanjian disebutkan juga bahwa kayu eukaliptus akan dipanen dalam jangka 7 tahun, sekali panen. Pada tahun 2012, sesuai isi perjanjian, kayu-kayu eucaliptus tersebut sudah harus dipanen. Tapi sampai saat ini, kayu baru dipanen. Dalam hal ini umur eukaliptus tersebut lebih kurang 10 tahun, masih satu kali panen. Dan hal ini sudah melewati batas waktu perjanjian. Padahal sebelumnya disepakati bahwa apabila akan diperpanjang waktunya, maka akan dibuat perjanjian baru. Ketika pemanenan dilakukan, masyarakat sebagai pihak pemilik lahan tidak diberitahu. Sehingga masyarakat merasa ditipu karena kayu dipanen tanpa setahu mereka. Dulu TPL menjanjikan, bahwa 1 ha lahan akan menghasilkan 100 ton kayu eukaliptus. Tapi ini semacam permainan. Karena menurut pihak TPL, jika tidak mencapai 100 ton, masyarakat akan dikenakan finalty membayar kekurangan kayu tersebut. Misalnya, tonase kayu pada 1 ha hanya 80 ton, maka masyarakat akan membayar kekurangan 20 ton tersebut. Dan hal ini akan dipotong dari bagi hasil panen nantinya. Soal harga kayu dan ke mana nantinya kayu tersebut akan dipasarkan, hal itu akan ditetapkan oleh pihak TPL. Menurut informasi, harga kayu dari pihak TPL adalah berkisar Rp.37.000,- per m3. Ini akan dibagi menjadi 60 dan 40 % dari harga Rp.37.000,-. Sehingga masyarakat hanya mendapatkan sekitar Rp17.000,- Tidak itu saja, kepada penebang kayu akan diberikan Rp.20.000/ton, sementara untuk yang menumpuk kayu diberikan sekitar Rp.20.000/ton, dan untuk pengangkut kayu juga mendapakan Rp.20.000/ton. Namun hingga kayu dipanen, masyarakat pemilik lahan tidak tahu berapa banyak kayu yang dipanen dan berapa harga kayu tersebut, serta berapa keuntungan dari penjualan kayu tersebut. Dalam hal ini, pihak TPL tidak pernah berkoordinasi
10
dengan pemilik lahan ataupun anggota kelompok. Sehingga pembayaran bagi hasil panen sampai sekarang belum jelas, dan ada warga yang kayu dari lahannya sudah habis dipanen tapi mereka tidak memperoleh hasil apapun. Menurut warga, hal yang mereka alami juga terjadi kepada masayarakat di desa tetangga mereka. Alasan TPL tidak memanen kayu tersebut selama ini karena masyarakat tidak memberikan akses jalan alat berat dan truk pengangkut kayu dari lahan tersebut. Menurut mereka, alasan ini tidak masuk akal karena sejak awal masyarakat sudah memberikan jalan ke lahan, lebar sekitar 5 m dan panjang sekirar 5 km dari jalan umum. TPL waktu itu berjanji akan melakukan perawatan terhadap jalan tersebut. Tapi janji tersebut tidak ditepati. Dan masih banyak janji-janji manis yang diberikan TPL pada awal PIR tersebut direncanakan, tapi janjijanji itu sampai sekarang belum ada yang terealisasi. Bukan karena janji-janji manis yang tidak ditepati saja masyarakat kecewa, tapi juga karena perjanjian yang tidak berjalan sesuai dengan yang disepakati. Masyarakat menilai bahwa mereka sudah diakalakali atau ditipu oleh TPL. Karena itu mereka sepakat untuk menghentikan kerjasama dengan TPL. Mereka pun bermaksud merebut kembali tanah adat yang sudah dipakai TPL untuk areal penanaman eucaliptus selama ini. Sebab, TPL ternyata tidak bisa dipercaya dan sudah melanggar perjanjian.***
Studi & Advokasi Editorial
Merencanakan Kehidupan Lambok Lumbangaol
PERJUANGAN Pandumaan-Sipituhuta sudah memasuki tahun ke tujuh. Namun belum ada keputusan pemerintah yang mengikat bagi masyarakat adat kedua desa tersebut, tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan wilayah adatnya. Perjuangan masyarakat adat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari aksi demo, lobby dan audiensi di tingkat kabupaten sampai tingkat pusat. Namun sayangnya, hasilnya masih belum sesuai dengan tuntutan masyarakat adat. Lambatnya penyelesaian kasus ini mengakibatkan sebagian masyarakat adat dampingan KSPPM tersebut kadang kala merasa jenuh. Untungnya, kejenuhan yang kadang mendera itu tidak lantas membuat masyarakat pesimis, mereka masih percaya kemenangan pasti akan diraih. Menyikapi kondisi tersebut, KSPPM bersama Life Mozaik (lembaga mitra KSPPM), berkunjung ke Pandumaan-Sipituhuta pada Sabtu, 21 November 2015, mendiskusikan tentang Vlan de Vida atau rencana kehidupan yang diadopsi dari Suku Misak di Kolombia. Di mana masyarakat adat Suku Misak tidak hanya menunggu hasil yang diharapkan atau diam menunggu tuntutan mereka dipenuhi oleh pemerintah mereka, namun mereka juga menyusun rencana kehidupan yang akan dibangun jika kemenangan atau pengakuan atas tanah itu bisa diraih. Diskusi yang dilakukan di rumah Pendeta Haposan Sinambela ini, dihadiri oleh pengurus perjuangan dan tokoh adat/agama masyarakat adat dua desa, Life Mozaik, serta KSPPM sebagai lembaga pendamping. Diawali dengan penjelasan Sergei dari Life Mozaik tentang pengalaman masyarakat adat Suku Misak membangun rencana kehidupan yang mereka sebut dengan mengatur zaman. Berjuang selama tiga puluh tahun dengan berbagai macam tantangan namun akhirnya mereka berhasil. ”Perjuangan masyarakat adat Misak berlangsung lama. Dimulai dari sepuluh orang remaja umur sepuluh tahun menyadarkan temannya sepuluh orang, dari dua puluh orang jadi empat puluh orang, dan
seterusnya. Mereka melakukannya dari rumah ke rumah dengan diskusi pendidikan kritis tentang pentingnya wilayah adat ke depan dan bagaimana mengatur zaman,” jelas Sergei. Selanjutnya Sergei menjelaskan bahwa keberhasilan mereka tidak sampai di situ. Selain mereka yang berjumlah sekitar 9000 jiwa mendapat pengakuan wilayah adat seluas 16.000 hektar (ha) dari pemerintah Kolombia, mereka juga dapat mendirikan universitas dan rumah sakit sendiri yang berbasis masyarakat adat dan mengutamakan kearifan lokal. “Sekolah dibangun dengan sistem mereka sendiri, bukan menggunakan sistem pemerintah. Sama halnya dengan rumah sakit, yang mereka andalkan adalah obat-obatan dari tumbuhan alami yang tumbuh di wilayah adat mereka. Tenaga pengajar dan petugas kesehatan adalah pemuda-pemudi suku itu sendiri,” tambah Sergei. Setelah laki-laki berkewarganegaraan Kanada itu menjelaskan dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih, dia pun mengajak semua yang hadir menonton film dokumenter tentang Suku Misak. Tampak semua yang hadir menikmati film yang menggambarkan perjalanan masyarakat adat tersebut memperjuangkan tanah adatnya dan proses mereka mengatur zaman sampai mereka berhasil dalam perjuangannya. Menanggapi penjelasan Sergei dan setelah menonton film dokumenter tersebut, berbagai pendapat dan pertanyaan pun muncul membuat diskusi menjadi lebih hangat. Ama Risma menanyakan, “Bagaimana intervensi pemerintah terhadap perjuangan Suku Misak tersebut?” “Mereka mulai dari kondisi yang sangat sulit, di mana setelah merdeka dari Spanyol tapi mereka terus dijajah. Dianggap sebagai anak yang belum dewasa, serta dijadikan kuli di tanah sendiri. Budaya mereka
11
Studi dan Advokasi
Diskusi Rencana Kehidupan di Pandumaan-Sipituhuta dengan Life dok.ksppm/november/2015
dipunahkan. Perjuangan mereka diawali dari remaja yang tadi saya jelaskan, hingga mereka menjadi kuat dan mengambil kembali wilayah adat mereka. Mereka mendapatkan hak otonomi bukan secara otomatis, namun dengan perjuangan dan waktu yang panjang,” jawab Sergei. “Hal yang sangat penting dari mereka adalah cara pandang, filsafat hidup, dan pemikiran yang membuat mereka manjadi kuat hingga mampu mempengaruhi undang-undang dasar Kolombia dan mendapat pengakuan dari pemerintah. Saya berharap suatu saat ada pengakuan wilayah adat di Indonesia juga,” harapnya. Kersi Sihite, sekretaris pengurus perjuangan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta menyampaikan usul,“Kalau masyarakat adat di sini punya kemampuan yang terbatas, tidak seperti orang Misak. Namun menurut saya, untuk mengingatkan semua masyarakat dan generasi yang akan datang, kita buat saja prasasti di desa ini sebagai tanda perjuangan. Di mana setiap orang yang melintas akan bertanya dan tahu bahwa ini adalah tanda atau simbol perjuangan masyarakat adat PandumaanSipituhuta.”
12
“Yang menarik dari film tersebut, masyarakat adat Misak tidak peduli dengan ada tidaknya pengakuan dari luar. Mereka berangkat dari kesadaran kritis. Mereka melihat bahwa para orang tua mereka kelak akan meninggal. Karena itu, mereka sebagai generasi muda perlu belajar dan memahami bagaimana kehidupan para leluhur mereka di masa lalu, masa kini, dan merencanakan kehidupan ke masa depan. Sama halnya dengan permasalahan kita, para orang tua di sini kelak juga akan pergi. Demikian juga dengan KSPPM dan Life Mozaik bisa saja tutup, namun masyarakat adat Mozaik (lembaga mitra KSPPM). Pandumaan-Sipituhuta akan terus ada di sini. Sehingga generasi muda sebagai generasi penerus harus dipersiapkan untuk mengelola potensi yang ada wilayah adat ini. Jika hanya dengan prasasti, mungkin akan menimbulkan pertanyaan. Namun siapa yang akan menjawab. Jika yang tua sudah meninggal, siapa yang bisa menceritakan. Menurut saya, akan lebih baik kalau prasasti dimaksud adalah masyarakat PandumaanSipituhuta, di mana semua masyarakat memahami apa yang diperjuangkan. Sehingga ketika ada pihak luar yang bertanya, semua bisa menjelaskan dengan baik. Memang tidak mudah, tapi melihat cara Suku Misak, diskusi dari rumah ke rumah, dari dusun ke dusun tentang keadaan yang mereka alami. Mungkin hal seperti itu akan lebih baik dilakukan di desa ini,” jelas Suryati Simanjuntak, Sekretaris Pelaksana KSPPM. “Bukan pemerintah yang harus mengatur kehidupan kita. Tapi bagaimana kita mengatur diri kita sendiri, sehingga pemerintah dengan sendirinya akan mengakui. Menarik juga tentang sekolah dan rumah sakit yang mereka bangun, di mana para mahasiswa setelah tamat pulang kampung untuk membangun kampung. Dari situ perjuangan akan tetap ada dan kuat, karena generasi muda akan mengetahui sejarah perjuangan mereka secara terus menerus,” tambah Suryati.
Studi & Advokasi Editorial Selanjutnya Ronald Lumbangaol menyampaikan, ”Andai saja keberpihakan pemerintah ada di negara dan daerah kita, sedikit saja mungkin, akan ada harapan bagi masyarakat. Saya sedang berfikir, bagaimana kita membangun balai haminjon (kemenyan) sebagai tempat diskusi dengan masyarakat. Harapan saya lainnya, bagaimana kita membuat tapal batas sementara di wilayah adat, mungkin bisa dibantu oleh Sergei dan KSPPM.” Berangkat dari pesan yang disampaikan oleh film tersebut, David Rajagukguk (staf KSPPM) menjelaskan bahwa perjuangan masyarakat tidak hanya berhenti pada hasil atau pengakuan. Namun bagaimana pemuda sebagai generasi penerus bisa memahami makna perjuangan tersebut. Jika tanah Diskusi Rencana Kehidupan di Pandumaan-Sipituhuta dengan Life Mozaik (lembaga kembali, masyarakat adat harus sudah mitra KSPPM). dok.ksppm/november/2015 memikirkan bagaimana pengelolaan tanah tersebut. “Saat ini, pengurus dan masyarakat masyarakat adat. Namun Op. Pebri Lumbangaol yang aktif dan memahami spirit dan filosofi menegaskan, “Jangan kita langsung merasa tidak perjuangan adalah orang tua, bagaimana jika nanti mampu, dan mengatakan menjadi seperti mereka itu sudah tidak ada? Bagaimana membangun kesadaran sangat sulit. Kita mulai dulu dari penyadaran, terus di tingkat pemuda-pemudi warga dua desa?” tanya diskusi dengan yang muda-muda, melibatkan David kepada peserta yang lain. mereka dalam kegiatan-kegiatan perjuangan.” Suryati menambahkan,”Saat ini yang harus difikirkan adalah bagaimana kita tidak hanya fokus pada agar tanah kembali, tapi juga harus memirkikan perencanaan ke depan. Seperti pengalaman KSPPM di Parbuluan, Dairi. Waktu itu, tanah kembali kepada masyarakat, namun karena pemuda tidak mengerti tentang perjuangan dan tidak ada perencanaan, sekarang tanah tersebut bermasalah lagi, ada yang menjual ke pihak lain. Beda dengan suku Misak yang jauh-jauh hari memikirkan rencana kehidupan mereka. Sehingga tidak ada masa jenuh. Sebagian dari kita merasa jenuh karena masih ada yang belum memahami perjuangan. Fokus kita bukan supaya ada peraturan pemerintah, namun ke depannya kita mau seperti apa.” Belajar dari Suku Misak, khususnya dalam merancang rencana kehidupan dan pelibatan generasi muda membuat sebagian peserta diskusi merasa bahwa perjuangan masyarakat adat PandumaanSipituhuta masih sangat jauh dibandingkan mereka. Bahkan sesekali terlontar, bahwa menjadi seperti mereka adalah hal yang sangat sulit di tengah kondisi pemerintahan yang tidak pernah berpihak kepada
Mendengar Op. Pebri Lumbangaol, Delima Silalahi (staf KSPPM) menambahkan, bahwa sebagai langkah awal adalah melibatkan pemuda sebanyak mungkin dan sesering mungkin dalam kegiatan masyarakat adat. Mendiskusikan kembali sejarah masyarakat adat dan sejarah perjuangan mereka dengan generasi muda. “Ada yang berbeda dengan perjuangan masyarakat Misak, di mana mereka dipelopori oleh kaum muda, dan berkembang menjadi perjuangan bersama. Dalam masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, keterlibatan pemuda hanya pada saat ke tombak (hutan) dan jika ada demonstrasi. Dalam diskusi-diskusi jarang diikutkan karena fokus kita hanya pada target. Ketika target belum tercapai, akhirnya kita jenuh. Jika kita setuju dengan ini, maka kita mulai dari diskusi-diskusi dari dusun-dusun,” usul Delima Silalahi. Waktu semakin larut, Sergei mengingatkan bahwa diskusi tentang rencana kehidupan ini bukan sebuah proyek. Ini hanya sebuah wacana yang baik, yakni melihat bagaimana pengalaman beberapa komunitas masyarakat adat di dunia, seperti suku Misak. Memang tidak mudah, dan tidak ada metode yang baku untuk melakukannya. Jika masyarakat adat
13
Studi dan Advokasi
Tantangan dan Peluang Desa adat Rocky Pasaribu
PERUBAHAN Desa (administratif) menjadi Desa Adat atau dengan nama lain, seperti yang disebutkan dalam UU No.6/2014 Tentang Desa, menjadi salah satu peluang dalam menyelamatkan hak-hak masyarakat adat. Sebab desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Sesungguhnya sudah banyak instrumen yang mengatur dan melindungi hak-hak masyarakat adat, termasuk Permendagri 52/2004, yang menginstruksikan supaya ada Perda dan SK Bupati yang mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Ada juga Putusan MK 35/2012, yang menyebutkan bahwa Hutan Adat bukan Hutan Negara. Peraturan terbaru Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyebutkan bahwa Hutan yang sedang berkonflik bisa diselesaikan dengan cara penyusunan semua sejarah yang berkaitan dengan bukti-bukti hutan adat masyarakat dan menyampaikannya kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk ditindaklanjuti nantinya, apakah tanah tersebut benar milik masyarakat berdasarkan bukti-bukti yang sudah disampaikan. Demikian halnya dengan Permen ATR 9/2015 yang menyebutkan penyelesaian konflik tanah adat yang non kawasan hutan dengan melampirkan semua persyaratan yang diminta termasuk tanah adat tersebut masih dalam paguyuban, kelembagaan adatnya masih ada, wilayah hukumnya masih jelas, pranata dan perangkat hukum masih berlaku. Selanjutnya Permendagri 52/2004 dan Permen ATR 9/2015, dengan berbagi persyaratan yang diajukan harus menuliskan kelembagaan adat, juga perangkat hukum adat yang masih ada. Berbagai peraturan tersebut diharapkan akan
14
membantu masyarakat dalam penyelesaian konflik tanah adat dan hutan adat dengan pihak perusahaan ataupun negara. Namun dalam pelaksanaannya, ternyata sangat sulit dan berbelit-belit. Contohnya, Putusan MK 35/2012, tidak serta merta dapat diimplementasikan. Berbagai syarat dan ketentuan yang ditetapkan pemerintah kemudian, justru mempersulit implementasi putusan MK ini. Ketentuan yang mengharuskan adanya Perda dan atau SK Bupati tentang pengakuan hak-hak masyarakat adat menjadi batu sandungan dalam proses penyelesaian konflik dan pengakuan hakhak masyarakat adat. Sebab, sangat sulit mengharapkan Pemerintah Daerah maupun Legislatif untuk menerbitkan Perda dimaksud. Melihat realitas di lapangan, menjadi pertanyaan kritis, apakah Desa Adat atau dengan nama lain yang dimaksudkan UU Desa dapat terwujud? Menuju Desa Adat atau dengan nama lain, dipastikan membutuhkan kerja keras dan menghadapi banyak tantangan. Menata kembali kehidupan masyarakat desa, pranata pemerintahan adat, kearifan lokal, dan lainnya yang sudah cukup lama terkooptasi dan tergerus. Tidak itu saja, kemauan politik dari pemerintah untuk mendukung adanya Desa Adat atau dengan nama lain ini menjadi sangat penting dan menentukan. Tapi menjadi pertanyaan, apakah pemerintah (daerah) akan mendukung adanya Desa Adat ini? Sejauh ini, berdasarkan pengamatan saya di daerah ini, wacana tentang Desa Adat pun belum terbangun. Artinya, pemerintah daerah belum melihat ini sebagai peluang dalam melindungi hakhak masyarakat adat (desa), dan dalam kerangka membangun kemandirian masyarakat (desa). Demikian halnya dengan masyarakat, belum melihat hal ini sebagai peluang dalam melindungi hak-haknya, khususnya SDA yang selama ini
Studi dan Advokasi menjadi incaran pihak-pihak luar, baik pemerintah maupun investor.
Tanah Batak, kalau mengharapkan pemerintah, adalah mimpi yang sulit diwujudkan.
Melihat sulitnya proses penerbitan Perda dan atau SK tentang pengakuan hak-hak masyarakat adat di daerah ini, merupakan bukti bahwa berharap ke pemerintah daerah dalam mewujudkan adanya Desa Adat atau dengan nama lain merupakan hal yang sulit. Berbagai konflik di daerah ini yang berkaitan dengan SDA, di mana tanah-tanah adat dan hutan adat 'dirampas' atas nama pembangunan dan investasi, sangat sulit diselesaikan. Pemerintah Daerah selalu berlindung dan berdalih atas nama pembangunan, investasi, dan UU. Berbagai syarat menyangkut keberadaan masyarakat adat menjadi dalih dalam mempersulit proses penyelesaian konflik. Karena itu, harapan menuju Desa Adat di
Harapan menuju Desa Adat tinggal kepada masyarakat adat (desa). Masyarakat adat (desa) yang harus bergerak menata kembali pranata adat, sistem kepemimpinan lokal/adat, kearifan lokal, dan lainnnya. Masyarakat adat (desa) harus menggunakan peluang ini dalam mengatur dan mengurus dirinya, membangun kemandirian dan kedaulatan desa. Dengan demikian hak-hak masyarakat (adat) atas sumberdaya alam akan diakui, terlindungi, dan terkelola dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat adat (desa).***
15
Studi dan Advokasi
Suasana Pilkada di Humbang Hasundutan Lambok Lumbangaol
Debat Kandidat Bupati Humbang Hasundutan di Desa Pandumaan-Sipituhuta Kab.Humbang Hasundutan. dok/ksppm/Nopember/2015
KABUPATEN Humbang Hasundutan merupakan salah satu daerah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di Indonesia, 9 Desember yang lalu. Suasana menjelang pemilihan kepala daerah di Humbang Hasundutan sedikit memanas. Para pasangan calon (paslon) dalam kampanyenya ada yang sampai mendatangkan artis Batak dari ibu kota (Jakarta). Ada juga yang mengadakan pengobatan gratis. Setiap paslon membuat posko atau rumah pemenangan di tiap desa yang dijaga oleh kordinator desa dan dusun. Katanya hal ini untuk menjaga pemilih agar tidak lagi digarap atau diajak tim sukses pasangan lain. Upaya ini dilakukan
16
setiap pasangan calon bersama para tim suksesnya agar mendapat dukungan dari masyarakat, agar terpilih menjadi pemimpin untuk lima tahun ke depan. Pada awal penetapan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati yang akan maju pada Pilkada serentak sesuai dengan penetapan KPU Kabupaten Humbang Hasundutan dengan keputusan No.126/Kpts/002.434857/VIII/2015 yang menetapkan tiga pasangan calon, yaitu MargantiRamses, Dosmar-Saut, Rimso-Derincen. Ketiga pasangan inilah yang dinyatakan sah maju pada 9 Desember 2015. Sedangkan dua pasangan calon lagi dinyatakan tidak lolos karena kurangnya
Studi dan Advokasi kelengkapan berkas sesuai dengan yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun penetapan itu berubah menjelang berlangsungnya Pilkada di Humbang Hasundutan. Sempat juga terjadi pergantian pasangan Calon Bupati dan Wakilnya yang diusung oleh partai Golkar. KPU membuat keputusan bahwa pasangan calon, Palbet Siboro dan Henry, yang direkomendasikan partai Golkar kubu Aburizal
Bakrie berdasarkan surat keputusan Pengawas Pemilih (Panwaslih) Kabupaten Humbang Hasundutan Nomor 03/PS/PWSL.HBH.02.13 /XI/2015 yang menyatakan pasangan tersebut dapat mengikuti Pilkada sesuai dengan ketentuan yang ada. Penetapan pasangan Palbet dan Henry ini kemudian digugat oleh pasangang HarryMomento yang diusung oleh partai Golkar dari
Debat Kandidat Bupati Humbang Hasundutan di Desa Pandumaan-Sipituhuta Kab.Humbang Hasundutan. dok/ksppm/Nopember/2015
kubu Agung Laksono. Mereka menggugat keputusan KPUD tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan memutuskan pasangan itu berhak untuk mengikuti Pilkada sesuai dengan surat keputusan Nomor 10/G/Pilkada/2015 /PT.TUN-MDN. KPUD akhirnya memasukkan kedua pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati tersebut ikut bertarung pada Pilkada 9 Desember yang lalu. KPU Humbang Hasundutan akhirnya menetapkan 5 pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada sesuai dengan surat keputusan Nomor: 273/Kpts/002.434857/XI/2015 tentang penetapan nomor urut dan nama pasangan calon. Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati yang ikut bertarung pada Pilkada Humbang Hasundutan: 1. Marganti-Ramses; 2. Dosmar-Saut; 3. RimsoDerincen; 4. Palbet-Henry; 5. Harry-Momento. Keputusan KPU ini sempat membuat masyarakat bingung karena ada dua calon dari satu partai, tapi
masyarakat tidak terlalu memusingkan hal tersebut karena sudah memiliki calon yang akan dipilih pada Pilkada. Masyarakat melihat persoalan ini hanya karena kepentingan para elit politik, pemilih sudah mulai dapat memilih dengan bijak. Suasana Pilkada di Humbang Hasundutan, 9 Desember yang lalu, khususnya di sekitaran Dolok Sanggul dan Pollung terlihat cukup ramai. Masyarakat masih antusias untuk mengikuti Pilkada. Sejak pagi orang-orang sudah mulai berdatangan ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk mencoblos calon pemimpin pilihannya. Keramaian di sekitar TPS tidak hanya diramaikan oleh para pemilih tapi juga saksi masing-masing pasangan calon dan tim sukses yang dengan cermat mengikuti proses pencoblosan sampai penghitungan. Saksi dan para tim sukses tidak
17
Studi dan Advokasi ingin pasangan calon yang didukungnya kalah. Sepeda motor dan mobil juga hilir mudik dari tim sukses masing-masing pasangan calon yang memantau setiap TPS. Hal ini semakin menambah ramainya suasana Pilkada. Sepanjang pemantauan saya, khususnya di Desa SipituhutaPandumaan, tidak ada kecurangan saat pencoblosan dilakukan, semua berjalan dengan baik. Hasil penghitungan suara di kedua desa ini, pasangan DosmarSaut mendapatkan perolehan suara mencapai 70% dari total pemilih yang melakukan pencoblosan.
Debat Kandidat Bupati Humbang Hasundutan di Desa Pandumaan-Sipituhuta Kab.Humbang Hasundutan. dok/ksppm/Nopember/2015
Hasil Pilkada di Kabupaten Humbang Hasundutan sesuai dengan Real Count KPU Humbang Hasundutan, hasil hitung TPS (Form C1) dengan data masuk: 100% (375 dari 375 TPS), pasangan Nomor 2, Dosmar-Saut memenangkan pertarungan para calon pemimpin daerah ini untuk lima tahun ke depan. Perolehan suara sesuai hasil perhitungan suara cepat Pilkada Humbang Hasundutan sebagai berikut: 1. Drs. Marganti Manullang dan Drs. Ramses Purba dengan perolehan: 27.719 Suara (28,80%); 2. Dosmar Banjarnahor, SE dan Saut Parlindungan Simamora dengan perolehan: 30.311 Suara (31,50%); 3. St. Rimso Maruli Sinaga, SH, MH dan Ir. S. Derincen Hasugian dengan perolehan: 2553 Suara (2,65%); 4. Palbet Siboro, SE dan Henri Sihombing, Amd dengan perolehan: 24.395 Suara (25,35%); 5. Ir. Harry Marbun. M.Sc dan Momento Nixon M Sihombing, SE dengan perolehan: 11.262 Suara (11,70%). Pesta demokrasi telah usai dan menghasilkan pemenang dan calon pemimpin yang akan memerintah 5 (lima) tahun ke depan di Humbang Hasundutan. Saat ini masyarakat tinggal menunggu janji-janji yang disampaikan ketika kampanye, seperti apa realisasinya. Harapan akan adanya keberpihakan pemimpin yang baru
18
terhadap masyarakat saatnya disandarkan kepadanya. Masyarakat yang mendukung dan yang tidak mendukung pasangan yang menang, tidak perlu lagi memperpanjang perbedaan pilihan. Masyarakat Sipituhuta-Pandumaan berharap, pemimpin pemenang Pilkada kali ini akan memiliki keberpihakan terhadap mereka, khususnya dalam penyelesaian konflik Tombak Haminjon dengan TPL yang sudah berlangsung 7 tahun ini. Masyarakat Sipituhuta- Pandumaan berharap tanah adatnya yang selama ini belum diakui, oleh pemimpin baru dapat membuat surat keputusan untuk pengakuan tanah adat (hutan adat) tersebut. Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Humbang Hasundutan melalui pembuatan Peraturan Daerah (Perda) diharapkan menjadi salah satu program kerja pemimpin yang baru. Perda pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat saat ini sangat mendesak mengingat banyaknya konflik yang dihadapi masyarakat adat dengan hadirnya investor seperti PT TPL di kabupaten ini. Harapan akan lahirnya pemimpin yang bijaksana, penuh keadilan, dan memiliki keberpihakan terhadap masyarakat yang sering termarjinalkan menjadi harapan terhadap pemimpin baru.***
Studi dan Advokasi Catatan dari Debat Kandidat Bupati Humbang Hasundutan
Cara Hebat Masyarakat Adat Delima Silalahi
Debat Kandidat Bupati Humbang Hasundutan di Desa Pandumaan-Sipituhuta Kab.Humbang Hasundutan. dok/ksppm/Nopember/2015
SENIN, 9 November 2015, mungkin akan menjadi hari bersejarah bagi Masyarakat Adat Desa Pandumaan-Sipituhuta. Hari itu, mereka mengundang pasangan calon Bupati/Wakil Bupati ke desa mereka untuk melakukan debat dengan para kandidat yang akan bertarung dalam Pilkada, 9 Desember 2015. Debat seperti ini belum pernah dilakukan kelompok masyarakat lain di Kabupaten Humbang Hasundutan. Pagi itu, suasana di Desa Pandumaan tampak berbeda. Cuaca masih mendung dan dingin, karena habis hujan. Biasanya desa ini sepi, karena kaum laki-laki umumnya berada di tombak haminjon (hutan kemenyan). Namun, pagi itu terlihat banyak
kaum laki-laki berkumpul di warung dan sepanjang desa. Tak jauh dari gerbang Desa Pandumaan, setelah melewati Desa Sipituhuta, tepatnya di tanah lapang bekas halaman gedung SD Pandumaan, terlihat aktifitas warga menyiapkan tenda dan meja-kursi untuk pertemuan. Pengurus Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta seperti James Sinambela (Ketua), Kersi Sihite (Sekretaris), serta beberapa tokoh masyarakat, antara lain Ama Risma Lumban Gaol, Pdt. Haposan Sinambela, Op. Febri Lumbangaol, Ama Hendra Lumbangaol dan yang lain sudah
19
Studi dan Advokasi berkumpul dan terlihat serius mendiskusikan teknis pelaksanaan acara debat. Sementara rombongan masyarakat dari Sipituhuta dan Pandumaan mulai berdatangan memadati lapangan. Masyarakat Pandumaan-Sipituhuta memang selalu menunjukkan keseriusan dalam memperjuangkan hak-hak adat mereka, dengan berusaha hadir pada pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan kasus yang mereka hadapi. Sejak Juni 2009 mereka tidak kenal lelah memperjuangkan hak adatnya atas hutan kemenyan yang diklaim PT Toba Pulp Lestari sebagai areal konsesi mereka berdasarkan izin yang dikeluarkan pemerintah. “Di son ma tabereng dohot tatanda angka calon na naeng mamimpin Humbang Hasundutan lima taon nanaeng ro, parduli do manang daong tu parsoalanta (Dalam acara inilah kita melihat dan mengenal semua calon yang akan memimpin Kabupaten Humbang Hasundutan lima tahun ke depan, memiliki keperdulian atau tidak terhadap persoalan yang kita hadapi),” kata James Sinambela. Hadir dengan Aneka Gaya Menjelang pukul 10.00, pasangan calon mulai datang ke lokasi. Diawali pasangan Harry MarbunMomento Lumbantoruan. Pasangan calon ini belum mendapatkan nomor urut dari KPUD Kab. Humbang Hasundutan. Bahkan sebenarnya mereka tidak diundang secara resmi oleh panitia acara ini, karena saat undangan diberikan mereka belum resmi diterima KPUD. Jadi kedatangan mereka dalam debat kandidat ini lebih pada inisiatif sendiri. Mereka disambut hangat oleh masyarakat yang sudah berkumpul. Tidak lama berselang, datang pasangan calon nomor 1, Marganti Manullang bersama timnya. Sebelumnya terjadi dialog panjang antara panitia dengan calon yang sebelumnya Wakil Bupati petahana ini, terkait dengan keraguannya mengikuti acara ini dengan alasan legalitas. Menurutnya, debat kandidat hanya boleh dilakukan penyelenggara pemilu (KPUD). Namun Delima Silalahi dari KSPPM, yang bertindak sebagai pendamping Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta, menjelaskan bahwa panitia sudah menyampaikan surat pemberitahuan
20 1
kepada KPUD dan Panwaslih Kabupaten. Rimso Sinaga, calon bupati dengan nomor urut 3 kemudian hadir bersama timnya. Sama dengan Marganti Manullang, Rimso Sinaga tidak didampingi oleh calon wakilnya. Pasangan ini sebelumnya menyampaikan melalui tim suksesnya tidak akan hadir dalam acara debat, dengan alasan keamanan. Namun setengah jam sebelum acara mulai, seorang anggota tim suksesnya memberitahukan sudah dalam perjalanan menuju lokasi acara. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 10.20 WIB, panitia memutuskan memulai acara. Saat acara dibuka, Calon Bupati Nomor 2, Dosmar Banjarnahor tiba bersama rombongan. Kehadirannya disambut tepuk tangan sebagian besar peserta. Acara dilanjutkan dengan doa pembuka oleh Pdt. Haposan Sinambela. James Sinambela, dalam sambutannya mengucapkan terimakasih kepada masyarakat dan para pasangan calon bupati/wakil bupati yang hadir. Dia juga menjelaskan, tujuan kegiatan ini adalah untuk melihat dan mencari pemimpin lima tahun ke depan yang perduli dengan masyarakat adat di Kabupaten Humbang Hasundutan, Pandumaan-Sipituhuta secara khusus. Acara berikutnya adalah pemaparan konflik yang dihadapi Masayarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta sejak Juni 2009, upaya-upaya yang sudah dilakukan dan harapan mereka pada pemimpin yang akan datang. Pemaparan ini disampaikan Op. Febri Lumbangaol dan Pdt. Haposan Sinambela. “Pertemuan ini ditujukan untuk mencari pemimpin di Kabupaten Humbang Hasundutan yang perduli dengan persoalan kami. Kami adalah korban perusahaan. Perjuangan ini sudah berjalan sejak 2009, namun selama ini belum ada niat baik dari pemerintah daerah untuk penyelesaian persoalan kami. Perusahaan merampas tanah kami, dan mengatakan bahwa tanah adat kami, hutan kemenyan kami, adalah milik mereka. Sudah berulang kali kami pergi ke Jakarta, tapi Pusat mengatakan urusan kami ini adalah wewenang daerah. Kami pergi ke Bupati, katanya ini persoalan pemerintan pusat. Kami seperti dibola. Pertemuan ini menjadi harapan besar kami, mudah-mudahan setelah bapak-bapak terpilih menjadi bupati dapat
Studi dan Advokasi menampung semua kegelisahan kami terkait dengan hak-hak masyarakat Adat PandumaanSipituhuta secara khusus, dan Masyarakat Adat Humbang Hasundutan secara umum,” ujar Op. Febri Lumban Gaol dengan jelas dan tegas. Pdt. Haposan Sinambela menambahkan paparannya terkait kondisi sosial ekonomi masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta paska konflik dengan PT TPL. “Perjuangan ini sudah berlangsung lama, hampir tujuh tahun. Tidak hanya mengalami kerugian secara ekonomi, namun kami juga mendapatkan perlakuan yang tidak adil selama ini. Kami ditahan oleh pihak kepolisian karena memperjuangkan hak-hak kami. Kami ditangkapi, dituduh melakukan pengrusakan, sementara PT TPL yang tidak mematuhi tapal batas yang sudah dibuat bersama tidak pernah diberikan sanksi apapun. Selalu kami yang salah.Sudah banyak upaya yang kami lakukan tetapi tetap saja sampai saat ini pemerintah tidak memberikan penyelesaian,” jelas Pdt. Sinambela. “Terakhir, ketika kunjungan Bapak Jhony Purba, staf Kementerian Kehutanan, bulan lalu, mengatakan harus ada Perda yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan. Kami berharap bupati yang terpilih nanti bersedia mengeluarkan perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan hak-hak adatnya, sehingga persoalan kami bisa selesai. Karena saat ini kami benar-benar sudah merasakan kesulitan untuk membiayai anak-anak kami sekolah,” tambah Pdt. Sinambela. Delima Silalahi dari KSPPM, yang bertindak sebagai moderator dalam acara debat tersebut menambahkan, Perda memang menjadi salah satu alternatif penyelesaian konflik tanah adat, sebagaimana disampaikan Direktur Penanggulangan Konflik Tenurial dan Hutan Adat Kementerian Kehutanan, Vivien Rosa Ratnawati, pada seminar di Medan, 31 Agustus 2015. Sehingga, tidak berlebihan jika Masyarakat Adat Pandumaaan-Sipituhuta mendesak pemerintah kabupaten mengeluarkan perda dimaksud. Harapan masyarakat dari debat kandidat yang dilakukan, siapapun bupati yang terpilih harus memiliki komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus masyarakat adat di kabupaten Humbang Hasundutan.
Janji Para Kandidat Marganti Manullang, yang pertama mendapat kesempatan berbicara mengatakan, jika dia terpilih menjadi bupati akan menjadi yang terdepan membantu masyarakat menyelesaian persoalan ini. Namun perlu ada lembaga adat di Pandumaan-Sipituhuta, sebagaimana diatur dalam aturan dan peraturan. “Saat ini sudah ada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2015, yang bisa digunakan menjadi dasar hukum bagi Bupati untuk menyelesaikan kasus-kasus tanah ulayat, sehingga tidak ada hambatan lagi ke depan untuk membantu penyelesaian kasus PandumaanSipituhuta,” tegas Marganti Manullang. Marganti juga mengatakan, bahwa sebelumnya, bersama dengan Bupati Humbang Hasundutan sudah melakukan berbagai upaya, seperti menjumpai Menteri Kehutanan di Jakarta untuk menyelesaikan kasus ini. Namun mereka mengalami kendala ketiadaan aturan yang kuat sebagai dasar hukumnya. Sementara Dosmar Banjar Nahor menyatakan, menyelesaikan persoalan Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta, tidak lagi sekedar retorika. “Kami, jika nanti terpilih menjadi Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Humbang Hasundutan menyatakan sikap akan membebaskan Pandumaan-Sipituhuta dari lahan konsesi PT TPL. Penyelesaian ini hanya keseriusan,” tegas Dosmar. Selanjutnya Dosmar menyatakan, dia bersama pasangannya Ramses Purba, bersedia menandatangani kontrak politik untuk melepaskan tanah adat Pandumaan-Sipituhuta dari konsesi TPL. “Bahkan jika diperlukan dengan cap darah sekalipun,” katanya. Pernyataan tersebut sontak mendapat tepuk tangan dari masyarakat yang hadir. Rimso Sinaga, yang berbicara kemudian juga menyatakan akan menjadikan penyelesaian kasus tanah adat Pandumaan-Sipituhuta sebagai prioritas utama. Ia mengatakan sudah mengikuti masalah Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta sejak lama, dan menjadi salah satu alasan yang mendasari ia maju sebagai calon Bupati di Kab.
21
Studi dan Advokasi
Debat Kandidat Bupati Humbang Hasundutan di Desa Pandumaan-Sipituhuta Kab.Humbang Hasundutan. dok/ksppm/Nopember/2015
Humbang Hasundutan. “Saya ingin melepaskan tanah adat Pandumaan-Sipituhuta dari lahan konsesi TPL,” tegasnya.
menyelesaikan masalah Pandumaan-Sipituhuta melalui jalan kebenaran,” ujarnya.
Rimso berjanji akan menggiring sendiri persoalan ini sampai ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Tidak perlu masyarakat harus turun ke jalan melakukan aksi, menghabiskan waktu. Cukup saya dengan pengurus ini membicarakannya, masyarakat dan yang lainnya tidak perlu ikut, supaya tidak terganggu melakukan pekerjaannya sehari-hari,” ujar Rimso.
Harry Marbun yang hadir bersama calon wakilnya, Momento Maruarar Lumbantoruan, mengatakan sejak tahun 2009 sering terlibat dalam gerakan perjuangan tanah adat. “Saya sangat serius menangani persoalan masyarakat adat ini, karena saya juga memiliki pengalaman ketika melepaskan tanah adat milik ompung saya di Pakkat, dan berhasil. Persoalan ini pasti bisa kita selesaikan bersama-sama,” tambahnya.
Calon bupati yang terakhir memberikan tanggapannya adalah Harry Marbun. “Masalah tanah adat adalah prioritas kami dalam memimpin lima tahun ke depan, khususnya kasus tanah adat Pandumaan-Sipituhuta. Saya berjanji akan
Kontrak Politik Setelah para calon bupati memberikan tanggapan dan pernyataan terhadap kasus masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, tiga orang peserta mengajukan pertanyaan kepada para kandidat.
22 1
Studi dan Advokasi “Jika Bapak-Bapak nanti terpilih menjadi Bupati/Wakil Bupati, apakah persoalan ini menjadi prioritas dalam program kerja kalian? Dan apakah kalian mau dan konsisten membantu kami?” tanya Kristina Simamora. Haidi Lumban Gaol, warga Desa Sipituhuta juga menegaskan kesediaan para kandidat menandatangani kontrak politik yang dibuat oleh masyarakat adat. Karena, mereka sudah tidak percaya hanya dengan janji-janji yang diucapkan dalam kata. Harus dibuat tertulis di atas materai. Sehingga janji tersebut bisa diingatkan kembali di kemudian hari jika pasangan yang terpilih tidak melaksanakannya. Hal yang sama disampaikan Kersi Sihite, Sekretaris Kelompok Masyarakat Adat PandumaanSipituhuta. Bahwa janji–janji tersebut jangan hanya dalam ucapan saja, harus dituangkan dalam sebuah kontrak politik yang ditandatangani oleh masingmasing pasangan calon. “Semoga ke depan tidak ada dusta di antara kita, mengingat pada masa-masa lampau sudah banyak janji yang kami dapatkan dari pemerintah kabupaten, namun sampai saat ini pemerintah tidak pernah berpihak kepada masyarakat adat,” tegas Kersi Sihite. Menanggapi pertanyaan ketiga peserta tersebut, semua pasangan calon mengatakan bersedia menandatangani kontrak politik yang dibuat masyarakat. Kersi Sihite kemudian membacakan Kontrak Politik yang telah disusun Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta.
penghasil kemenyan terbaik di Indonesia dari segi kuantitas dan kualitas. Menanggapi isi kontrak politik tersebut masingmasing calon memberikan tanggapannya. Secara umum mereka menyetujui poin tersebut, namun khusus poin ke dua, pasangan Nomor 1 dan Nomor 3, meminta ditambahkan di kalimat akhir “Sesuai dengan aturan dan peraturan yang berlaku”. Op. Febri dengan tegas mengatakan, agar kalimat itu tidak perlu dituliskan, karena selama ini kalimat tersebut banyak digunakan pemerintah untuk melemahkan perjuangan mereka. Akhirnya semua sepakat poin tersebut tidak perlu ditambahkan. Setelah ada beberapa revisi penulisan, masingmasing calon menandatangani kontrak politik tersebut bersama dengan pengurus kelompok Masyarakat Adat Pandumaan – Sipituhuta. Debat yang berlangsung hampir lima jam tersebut ditutup dengan makan siang bersama yang disediakan oleh Masyarakat Adat PandumaanSipituhuta. Besar harapan masyarakat ke-4 pasangan calon Bupati/Wakil Bupati yang hadir akan menepati janjinya. Namun banyak juga yang pesimis para pasangan calon serius menangani persoalan yang mereka hadapi. Tapi yang jelas Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta sudah melakukan cara hebat, cerdas dan tepat dalam upaya mencari calon pemimpin daerah yang berpihak ke rakyat. Selamat!
Tiga poin penting dalam perjanjian kontrak politik tersebut: 1. Bersama-sama dengan Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta mempercepat penyelesaian konflik tanah adat PandumaanSipituhuta yang terjadi sejak Juni 2009. 2. Mengakui dan melindungi keberadaan masyarakat adat di Kabupaten Humbang Hasundutan, khususnya di PandumaanSipituhuta dengan mengeluarkan peraturan daerah (Perda) atau SK (Surat Keputusan) tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan Hak-Hak tradisionalnya. 3. Mendukung upaya-upaya pengembangan produksi kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan melalui program dan alokasi anggaran, sehingga menjadi kabupaten
23
Berita Sopo
Berita Sopo
Dialog Publik “Petani Samosir Menghadapi Pilkada 2015”
Suryati Simanjuntak dan David Rajagukguk mengikuti diskusi di PDPK, Parongil (Dairi). Adapun diskusi ini untuk membahas strategi advokasi tambang, yang akan dilakukan PDPK ke depan, khususnya tentang kehadiran PT DPM. Dengan dilakukannya diskusi ini diharapkan program PDPK ke depan, khususnya untuk advokasi tambang, akan sesuai dengan kebutuhan kerja-kerja advokasi tambang. Debat Kandidat Paslon Bupati Humbang Hasundutan
Pada 5 November 2015, Serikat Tani Kabupaten Samosir bersama KSPPM menyelenggarakan dialog publik dalam rangka menyambut Pilkada serentak, 9 Desember 2015. Dialog publik ini bertujuan untuk mengajak berbagai kalangan, khususnya Pemerintah Kabupaten Samosir, untuk lebih peduli terhadap kehidupan petani, masyarakat adat, dan lingkungan yang lestari dan berkelanjutan; membangun hubungan dan komunikasi yang baik antara Serikat Tani Kabupaten Samosir dengan para calon pemimpin di Kabupaten Samosir; dan mempererat solidaritas anggota STKS dan antar petani di Kabupaten Samosir. Diskusi Strategi Advokasi Tambang
Pada 9 November 2015, Suryati Simanjuntak dan
24 1
Pada 9 November 2015, Masyarakat PandumaanSipituhuta bersama KSPPM menyelenggarakan debat kandidat Paslon Bupati dan Wakil Bupati Humbahas. Penyelenggaraan debat kandidat ini dalam rangka menyambut pesta demokrasi, 9 Desember, untuk memilih kepala daerah lima tahun ke depan (periode 2016-2021). Melalui penyelenggaraan kegiatan ini diharapkan masyarakat bisa mengenal dan mendengar secara langsung visi-misi para kandidat Bupati dan Wakil Bupati terkait komitmen politiknya dan konsistensinya terhadap penyelesaian kasus-kasus masyarakat adat di Humbang Hasundutan. Debat kandidat ini diikuti oleh keempat Paslon dan keempat Paslon tersebut menandatangani komitmen politik di atas meterai sebagai janji politik yang harus ditepati ketika terpilih nantinya.
Berita Sopo Debat Publik Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Samosir
Pada 19-20 November 2015, Suryati Simanjuntak mengikuti acara Debat Publik Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Samosir yang diselenggarakan KPUD Kabupaten Samosir. Pada debat publik ini, Suryati Simanjuntak menjadi salah seorang panelis dan sekaligus menjadi moderator pada acara ini. Debat publik ini dihadiri oleh keempat pasangan calon. Pada hari pertama, tema atau topik debat pada debat publik ini adalah tentang Sistem Pemerintahan yang Baik. Dan pada hari kedua, tentang Samosir Membangun.
pemudi. Adapun yang menjadi tujuan kegiatan ini agar peserta memahami kenapa setiap orang perlu mengetahui tentang HIV/Aids; mengetahui kebijakan nasional tentang HIV/Aids; memahami ciri-ciri terjadinya Infeksi HIV; memahami bagaimana penularan HIV bisa terjadi; memahami pengertian dan cara-cara pencegahan HIV/Aids secara umum; mengetahui beberapa cara dan upaya penanggulangan HIV/Aids yang bisa dilakukan; memahami pandangan teologia terhadap HIV/Aids; serta memahami peran gereja dalam penanggulangan HIV/Aids.*** (est/adm)
Pertemuan Akhir Tahun JKLPK Region Sumatera Utara Pada 27 November 2015, David Rajagukguk sebagai Sekretaris JKLPK Region Sumut, mengikuti pertemuan akhir tahun JKLPK Region Sumut di kantor Yapidi, Kabanjahe. Adapun tujuan pelaksanaan kegiatan ini dalam rangka mengevaluasi program JKLPK Region Sumut tahun 2015, menetapkan Rencana Program 2016, dan membahas Persiapan Konas JKLPK 2016. Pelatihan Penyadaran dan Pencegahan Penularan HIV/Aids Pada 30 November - 02 Desember 2015 dilakukan pelatihan Pencegahan dan Penanggulangan Penularan HIV/Aids di Sopo/TC KSPPM Parapat. Pelatihan ini diikuti oleh 38 peserta (pr 11; lk 27) dari dampingan KSPPM dari 3 wilayah (Samosir, Tobasa, dan Humbang), organisasi mahasiswa (GMKI Tarutung dan GMKI Pematang Siantar), dan kelompok dampingan lembaga mitra (PDPK Dairi), yang mana mayoritas merupakan pemuda-
25
Pengorganisasian
Desa Membangun Bersama Kader-Kader Petani Darwin Manullang
KELOMPOK Tani (KT) Paroma yang berada di Desa Siabal-abal III, Kecamatan Sipahutar, Tapanuli Utara, menjadi cikal bakal terbentuknya beberapa kelompok tani lain di desa tersebut, antara lain KT Dosroha dan KT Sejahtera yang tergabung dalam Serikat Tani Tapanuli Utara (ST Taput) Dalam perjalanannya, KT Paroma yang sudah berumur 13 tahun sejak terbentuk tahun 2002 lalu, telah mengalami berbagai dinamika, tidak hanya dalam perkembangan kelompok sebagai organisasi, namun juga perkembangan anggota dari segi kuantitas dan semangat. Ada kalanya kesibukan pengurus dan anggota di luar kegiatan kelompok membuat kepentingan kelompok sering tidak menjadi prioritas. Beberapa pengurus dan anggota memang mendapatkan kepercayaan menjadi pengurus di beberapa lembaga publik di tingkat desa maupun kecamatan, namun keberhasilan ini sekaligus juga menjadi dilema bagi perjalanan kelompok.
Hari CU Kelompok Tani Paroma, Desa Siabal-abal III. Kab. Tapanuli Utara. dok.ksppm/2008
Setiap anggota menerima tiga zak pupuk. Keberhasilan KT ini mengakses program tersebut sempat menimbulkan kecemburuan bagi kelompok tani lainnya.
Faktor lain adalah perjuangan organisasi dalam memperoleh hak-hak ekosobnya (pendidikan, kesehatan dan pertanian) dari pemerintah kabupaten belum terwujud secara menyeluruh. Manfaat kehadiran kelompok dalam meningkatkan kesejahteraan anggotanya secara merata belum bisa dilihat secara kasat mata.
Berangkat dari kejadian tersebut, dengan difasilitasi oleh KSPPM, mereka merumuskan bersama bahwa dalam berorganisasi perlu juga membangun jaringan dengan pihak-pihak terkait, seperti pemerintah di tingkat desa sampai tingkat nasional.
Bahkan di antara ketiga kelompok yang ada di desa tersebut, terkadang ada kecemburuan kelompok yang satu dengan yang lain terkait akses mereka memperoleh hak-hak petani dari Pemerintah. Seperti yang baru-baru ini terjadi, Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, melalui program pengembangan tanaman jagung, memberikan bibit jagung dan pupuk gratis kepada KT Dosroha.
Mereka juga menyadari pentingnya menyusun program secara bersama untuk kepentingan bersama dengan melibatkan berbagai stakeholder di masa mendatang, baik dari lembaga pemerintah, eksekutif, legislatif dan juga non pemerintah. Dalam pertemuan tersebut diputuskan, bahwa 3-4 kali pertemuan dalam setahun akan melibatkan stakeholder dari pemerintah.
26
Pengorganisasian Editorial Membangun jaringan menjadi sangat penting, di samping untuk mempermudah memperoleh informasi terkait kebijakan pertanian, sekaligus juga memperkenalkan KT ke dunia luar dan memperoleh pengakuan eksistensi petani. Terlepas dari pasang surut perjalanan kelompok selama ini, manfaat berjaringan sebenarnya sudah dirasakan oleh KT Paroma. Khususnya dalam melahirkan kader-kader pemimpin desa. Beberapa kader pemimpin di tingkat desa dan kecamatan lahir dari KT ini. Misalnya, ada tiga orang yang menjabat sebagai Badan Perwakilan Desa (BPD) di desa tersebut. Dari diskusi-diskusi kepemimpinan, diskusi hukum dan politik yang rutin mereka lakukan, serta keikutsertaan dalam berbagai pelatihan yang dilakukan KSPPM sebagai lembaga pendamping, menjadi dasar mereka berpartisipasi aktif dalam pembangunan desa. Beberapa anggota dari tiga kelompok yang ada di desa tersebut, ikut aktif sebagai penyelenggara pemilihan umum, mulai dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Selain itu, ada 5 dari 11 Panitia Pemilihan Kepala Desa (PPKD) Siabal-abal III merupakan anggota dari ketiga kelompok yang ada di desa tersebut. Keaktifan mereka sebagai PPKD merupakan bentuk peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa. Hal yang juga menggembirakan adalah, terpilihnya Hotben Tambunan, anggota KT Paroma menjadi Kepala Desa Siabal-Abal III, pada pemilihan kepala desa, 4 November 2015 yang lalu. Kebersamaan anggota dari ketiga KT ini menjadi kunci sukses terpilihnya Hotben Tambunan menjadi peminpin desa masa depan, yang akan membawa perbaikan melalui tata kelola pemerintahan desa yang baik dan bersih.
harapan kepada pejabat pemerintah desa yang baru. Juga tentang pentingnya melibatkan seluruh lapisan masyarakat mulai dari perencanaan pembangunan sampai dengan pelaksanaan pembangunan desa. Tahun 2016 nanti, ujian pertama dari kepala desa terpilih menjalankan visi dan misi, yaitu pelibatan seluruh lapisan masyarakat Desa Siabal-abal III dalam Musrenbang Desa, pembuatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa 6 (enam) tahun ke depan serta penyusunan APBDesa. Memilih dan menentukan pejabat desa juga menjadi tantangan dalam pelaksanaan pembangunan desa. Ada lima jabatan penting yang harus diisi oleh orang-orang dengan sumber daya manusia yang mumpuni. Kelima jabatan tersebut adalah Kepala Urusan (KAUR) Pemerintahan, Pembangunan, Kemasyarakatan, Bendahara Desa dan Sekretaris Desa. Satu hal lagi yang menjadi catatan penting bagi Kepala Desa terpilih adalah pelibatan kaum perempuan dalam struktur pemerintahan desa. Potensi dan SDM kaum perempuan dari anggota KT Paroma, Sejahtera, dan Dosroha sangat dimungkinkan untuk menduduki jabatan yang ada di atas, melihat selama ini beberapa perempuan di tiga kelompok sudah mengikuti berbagai pendidikan. Kehadiran Kelompok Tani di Desa Siabal-Abal III yang telah mengalami berbagai dinamika tersebut, walau belum memiliki pengaruh signifikan, namun menjadi setitik cahaya yang semoga mampu menjadi suluh bagi terwujudnya harapan desa membangun.***
Diskusi sistem pemerintahan desa yang baik dan bersih mengacu pada UU Desa No 6 tahun 2014 menjadi topik diskusi yang hangat beberapa bulan menjelang pemilihan kepala desa di desa ini. Transparansi dari pemerintah desa dalam berbagai kegiatan dan pengelolaan keuangan desa menjadi
27
Pengorganisasian
Bersama Kelompok Tani Meretas Masa Depan Lenny Rajagukguk
BERTANI, beternak dan nelayan, adalah mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat di Desa Sibuntuon, Kecamatan Uluan, Toba Samosir. Hamparan sawah, ladang jagung dan sayuran, menjadi pemandangan yang biasa jika memasuki desa yang berada di tepian Danau Toba ini. Suasana perdesaan juga akan semakin terasa ketika melihat anak-anak menggembalakan kerbau di tepi-tepi jalan yang ditumbuhi rumput-rumput hijau. Untuk menambah penghasilan keluarga, banyak juga di antara mereka yang menjadi buruh harian lepas di PT Hutahaean Group, perusahaan penghasil tepung tapioka yang berada di Laguboti. Sektor pertanian mereka rasa tidak lagi cukup memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Biaya produksi pertanian semakin hari semakin mahal, sementara harga produk pertanian tidak menentu, hal ini membuat mereka sering kehabisan modal. Ituah alasan utama mereka menjadi buruh harian lepas memanen ubi untuk kebutuhan pabrik tersebut. Persoalan ini sudah lama dirasakan oleh sebagian petani di desa tersebut, khususnya 23 KK anggota Kelompok Tani (KT) Saurdot yang ada di desa tersebut. Kelompok yang terbentuk akibat konflik yang terjadi di gereja HKBP tahun 1996, sampai saat masih tetap melakukan kegiatan rutin seperti diskusi-diskusi pertanian, diskusi hukum dan politik. Sejak awal kelompok ini memang sudah menjadi dampingan KSPPM. Sebagai kelompok tani, tentu mereka lebih banyak mendiskusikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi sebagai petani. Walau anggotanya tidak banyak, mereka mengatakan sangat merasakan manfaat berkelompok, karena mereka bisa saling belajar satu dengan yang lain, khususnya menyangkut pertanian selaras alam.
28
Sannur br Hasibuan, 54 tahun, yang lebih dikenal dengan panggilan Op.Noel, misalnya, bergabung dengan KT Saurdot karena sering melihat kegiatan anggota kelompok ini membuat pupuk dan pestisida alternatif. Kehidupan keluarga ibu dari sembilan anak ini bisa dikatakan penuh perjuangan. Bersama suaminya Wilson Manurung, tadinya mereka tinggal di Belawan (Medan) setelah menikah pada 1982. Namun kesulitan hidup memaksa mereka harus pulang kampung pada 1987. Mereka menjadi buruh tani di ladang atau sawah orang lain karena mereka sama sekali tidak memiliki tanah untuk diolah. Selain menjadi buruh tani, mereka juga menyewa sawah orang dengan besar sewa 20 kaleng padi per rante/panen. Sistem ini memang tidak begitu banyak membantu karena hasil panen juga kadang tidak mencukupi buat mereka. Tidak mau larut dalam persoalan, mereka juga menanami sayur-sayuran untuk menambah penghasilan. Perkenalan dengan kelompok tani Bergabung dengan KT Saurdot, menurut ibu yang sudah memiliki lima cucu ini, sedikit memberikan kelegaan baginya. Awalnya dia sering melihat anggota kelompok melakukan pertemuanpertemuan bulanan, mengatasi permasalahan modal secara bersama-sama melalui Credit Union (CU), dan yang paling menarik perhatiannya adalah ketika mereka membuat pupuk dan pestisida alternatif (PPA) bersama-sama secara kelompok. Ibu ini tertarik dengan kekompakan kelompok ini. Dari anggota lainnya, ibu ini pun mengetahui banyak hal menarik tentang keberadaan kelompok ini, hingga akhirnya pada tahun 2008, Op.Noel memutuskan untuk menjadi anggota. Telah melalui berbagai kesulitan dalam perjalanan hidupnya, Op.Noel mengatakan bahwa dia serius belajar bagaimana cara pembuatan PPA dan
Pengorganisasian Editorial bagaimana cara menggunakannya. Dengan memanfaatkan lahan yang kecil di depan rumah, dia mencoba mempraktekkannya dengan menanam sayur-sayuran. Hasil yang didapatkan lumayan dengan tidak membeli pupuk kimia lagi untuk tanaman sayurannya. Begitu seterusnya, dia memanfaatkan lahan di depan rumah dengan menanam sayuran dan menjual dengan berkeliling di desa. Pembeli selalu menunggu sayuran dari Op.Noel ini karena mereka mengetahui bahwa tanaman sayurannya tidak memakai pupuk kimia. Dan sampai sekarang di desa ini, Op. Noel menanam sayuran dan menjualnya sampai ke luar desa mereka. Dari hasil penjualan sayuran tersebut, Op.Noel membeli bibit jahe dan menanamnya juga dengan sistem pertanian selaras alam (PSA). Tanpa kenal lelah, dia mengumpulkan daun-daunan untuk dijadikan PPA dan terus belajar bahan-bahan apa saja yang masih dibutuhkan untuk pembuatan PPA tersebut. Dengan menggunakan PPA, tanaman jahenya menjadi bagus dan buahnya besar-besar.
Bukan hanya bercocok tanam, Op.Noel juga berjualan apa saja yang bisa menghasilkan uang. Sehingga kehidupan mereka berangsur-angsur mulai membaik dan dapat membeli sepetak sawah. Mereka menanam padi di sawah yang dibelinya tersebut sehingga mereka tidak lagi membagi hasil panen. Dengan bertani organik dan keuletannya bekerja sambil berjualan apa saja, yang penting menghasilkan uang yang halal, sekarang Op.Noel sudah bisa membeli 5 rante sawah. Dari 5 rante sawah tersebut, seluas 1,4 rante digunakan untuk tanaman jahe. Menjadi anggota kelompok tani dan mengetahui banyak tentang pertanian selaras alam menjadi hal yang sangat disyukuri oleh Op.Noel dan keluarganya. Dari petani yang tak bertanah, akhirnya bisa membeli dan memiliki tanah. Hal ini berkat ketekunan dan keuletan dalam bertani dan mencari pengetahuan untuk mengatasi persoalan dalam peningkatan ekonomi keluarga.***
Repro.www.agronomers.com
29
Pengorganisasian
Kemajuan Seharusnya Memajukan Suryati Simanjuntak
Diskusi PAM(Proyek Air Minum) dengan warga Desa Pea Tolong, Kabupaten Tapanuli Utara dok.ksppm/desember/2015
CUKUP lama tak ke kampung ini. Dulu kalau ke kampung ini harus berjalan kaki dari dari Desa Hutabarat, mendaki pebukitan, setelah sebelumnya menyeberangi sungai yang lumayan besar dengan menggunakan jembatan 'rambing' (jembatan gantung yang terbuat dari kayu), sebagai jalan satusatunya menuju kampung ini. Ketika itu, untuk ukuran saya, harus berjalan kaki sekitar 3-4 jam hingga sampai ke kampung ini.
30
Namanya Pea Tolong, salah satu perkampungan di Tapanuli Utara (Tarutung), di sebelah bukit lokasi Salib Kasih, di belakang bangunan patung Yesus yang pembangunannya tidak selesai (terkatungkatung) hingga saat ini. Kini, menuju kampung ini sudah bisa naik mobil dari jalan Salib Kasih. Dan seiring dengan dibukanya jalan ini, di sepanjang jalan desa ini terlihat banyak bangunan baru dan lahan-lahan
Pengorganisasian Editorial pertanian baru yang berisi tanaman jeruk. Kabarnya, pemilik bangunan baru dan lahan-lahan pertanian ini adalah para orang kaya, juga para pejabat kabupaten. Terlihat juga kesibukan pembangunan jalan di kampung ini. Meskipun sedikit aneh, karena jalan yang dibangun persis membelah halaman rumah penduduk. Adalah lazim susunan rumah perkampungan Batak berbaris dan berhadaphadapan, sehingga halaman rumah menjadi halaman bersama, dan biasanya berfungsi sebagai tempat untuk mengadakan acara adat, seperti pesta pernikahan dan acara adat lainnya. Sekilas muncul pertanyaan: Apa pentingnya jalan dibangun di halaman rumah (perkampungan) penduduk? Dengan adanya jalan ini, bagaimana dan di mana masyarakat kelak akan mengadakan acara pestapesta adat? Di akhir tahun 80-an, dengan dukungan KSPPM di kampung ini dibangun proyek air minum (PAM). Karena dulunya, masyarakat di kampung ini, khususnya perempuan, harus menempuh jarak yang tidak dekat untuk mengambil air. Mereka harus menuruni tebing yang terjal dan licin (kalau musim hujan) untuk keperluan mandi, cuci, kakus, dan untuk keperluan air minum. Kini, PAM ini masih digunakan masyarakat. Air masih mengalir dengan baik ke bak-bak penampungan air. Terlihat bangunan bak-bak penampungan air yang sekaligus berfungsi sebagai MCK, sedikit lebih bagus. Lantai dan bak penampungan air sudah dikeramik. Menurut warga, dana perbaikan ini berasal dari pemerintah.
punya tanah lagi untuk diolah," jelas beberapa warga pada diskusi kami sore itu, Selasa, 15 Desember 2015. Selanjutnya kami berdiskusi tentang pembangunan dan banyaknya bangunan baru dan lahan pertanian baru di sepanjang jalan menuju kampung ini. “Begitulah, kami masyarakat di sini tetap saja seperti ini, hidup miskin dan tidak ada perubahan prilaku ke arah yang lebih baik. Malah makin mundur. Semua berlomba justru untuk menjual tanahnya. Lahan-lahan di sepanjang jalan itu, bahkan di kampung ini, hampir semua sudah menjadi milik orang lain, orang-orang kaya yang datang dari luar,” jelas Pak Silalahi, salah seorang tetua di kampung ini. “Kami yang tua, yang sebaya dengan saya, tinggal 3 orang, yang lainnya sudah meninggal. Anak-anak muda sekarang tidak peduli lagi dan sudah sulit diharapkan. Mereka tidak tahu bagaimana sulitnya para orang tua mereka membuka dan menjaga perkampungan ini. Sehingga sekarang semua berlomba menjual tanahnya,” tambahnya. Kemajuan selalu didambakan, tapi kemajuan juga kerap membawa berbagai masalah di desa. Banyak contoh yang menunjukkan bahwa masyarakat lokal pada akhirnya akan kalah bersaing dengan kemajuan atau kehadiran para pendatang baru. Masyarakat lokal seringkali menjadi tertinggal bahkan kehilangan akses atas SDA dan sumbersumber ekonomi. Tak sedikit warga dari luar daerah akhirnya menguasai SDA dan memonopoli usaha di desa. Itulah kini yang terjadi di kampung Pea Tolong ini.***
Ada banyak yang berubah di kampung ini. Orangorang tua yang dulu kerap saya jumpai tidak lagi saya temukan. Juga perempuan-perempuan muda yang bertenun ulos. Dulu, hampir di setiap rumah akan saya temukan gadis-gadis yang bertenun ulos. Saya masih memiliki satu ulos hasil tenunan dari kampung ini. Ah, mungkin mereka sudah menikah dan tinggal di kampung suaminya atau merantau ke tempat lain. "Tanah-tanah di sini sudah milik orang lain. Masyarakat kampung ini sudah hampir kehabisan tanah untuk diolah. Mungkin tidak berapa lama lagi kami akan tergusur 'ntah ke mana karena tidak
31
Pengorganisasian
Petani Menghadapi MEA Juli Sihombing
DALAM era globalisasi dan liberalisasi perdagangan, tantangan petani semakin besar. Persaingan semakin ketat, tidak hanya antar petani bermodal kecil saja, namun petani dipaksa bersaing dengan pengusaha tani yang tentunya memiliki modal besar. Persaingan juga tidak hanya sesama petani dalam negeri tetapi juga dengan petanipetani negara lain yang kebanyakan pengelolaan pertaniannya sudah jauh lebih maju dari petani di Indonesia, seperti Thailand dan Jepang. Khususnya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang berlaku akhir Desember 2015 ini, tantangan petani Indonesia akan jauh lebih berat. Daya saing beberapa produk pertanian kita masih lebih rendah dari petani-petani di negara-negara ASEAN lainnya. Rendahnya daya saing ini memang tidak sematamata dari rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) petani kita, namun banyak faktor yang mempengaruhi, antara lain kebijakan pertanian yang selama ini masih kurang berpihak kepada petani, infrastruktur yang tidak memadai, akses terhadap modal yang terbatas, dan pasar yang tidak adil. Namun terlepas dari berbagai persoalan pertanian tersebut, MEA sudah di depan mata, petani Indonesia harus bangkit meningkatkan daya saingnya. Walau tidak mudah, petani harus mampu menjadikan MEA menjadi peluang. Hal inilah yang saat ini menjadi pergumulan bersama petani yang tergabung dalam Kelompok Tani (KT) Marsioloan, di Desa Lobu Siregar I, Kecamatan Siborongborong, Tapanuli Utara. Kendala paling berat yang mereka hadapi adalah keterbatasan dalam mengakses modal kerja. Sehingga produksi pertanian mereka, dari segi kuantitas dan kualitas masih kurang potensial untuk menghadapi persaingan pasar. Anggota KT Masioloan ini memang sudah mencoba melakukan berbagai upaya untuk mengatasi persoalan modal ini, misalnya dengan menekan biaya produksi pertanian dengan mengurangi konsumsi pupuk dan pestisida kimia. Mereka menggantinya dengan
32
memanfaatkan bahan-bahan lokal untuk membuat kompos. Dua anggota kelompok, Marnopalina Simaremare dan Rohana Simamora, sudah mulai mengandalkan pupuk kompos untuk tanaman cabe merah dan cabe rawitnya. Kompos diperoleh melalui usaha ternak babi. Pakan ternak babi juga dibuat dari olahan sendiri dengan sistem fermentasi. Namun upaya ini dirasa hanya mampu mengurangi sedikit masalah biaya produksi, tidak cukup dalam meningkatkan daya saingnya sebagai petani. Kebutuhan akan sarana produksi pertanian lainnya juga menjadi sangat penting. Di sisi lain, akses permodalan dari pemerintah maupun lembaga keuangan formal masih sangat terbatas. Hal inilah yang melatarbelakangi KT Marsioloan untuk membagun wadah ekonomi petani di desanya. Bentuk wadah yang dibangun adalah Credit Union (CU) yang diberi nama Credit Union Marsioloan. Pembentukan CU ini awalnya tidak berjalan mulus. Selama lima kali pertemuan, berturut-turut setiap bulannya, masih ada keraguan di antara anggota karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman akan lembaga keuangan rakyat ini. Namun, seiring perjalanan waktu, dari diskusi-diskusi yang difasilitasi oleh staf KSPPM di Wilayah Humbang, mereka melihat bahwa mereka masih punya kekuatan di tengah-tengah kelemahan yang ada. Kekuatan mereka adalah kesamaan sebagai petani tanaman pangan beras dan hortikultura (cabe dan sayuran), berada dalam satu desa dengan kondisi geografis yang mendukung, memiliki nilai-nilai adat/istiadat dan budaya yang masih melekat yang dapat meningkatkan rasa saling percaya di antara anggota. Kekuatan ini yang akhirnya disatukan oleh anggota sehingga mereka sepakat untuk membentuk CU ini. Setelah dua bulan berjalan, anggota tampak antusias mempercayakan sebahagian penghasilannya untuk dikelola CU ini. Hal ini terlihat dari pertambahan simpanan anggota. Semangat untuk belajar juga tak kalah penting bagi
Pengorganisasian Editorial kelompok ini. Hal ini terlihat dari antusiasnya pengurus CU untuk terus meningkatkan kapasitasnya dalam mengelola manajemen CU. Baduer Siahaan yang menjabat sebagai Ketua, Rohana Simamora sebagai Sekretaris, dan Reni Siregar sebagai Bendahara, terlihat serius mengikuti pelatihan singkat manajemen CU yang dilakukan staf KSPPM pada 06 Desember 2015. Dalam diskusi dan pelatihan singkat tersebut, anggota juga menyampaikan berbagai harapan terhadap CU ini. Mereka berharap dapat memasarkan bersama hasil-hasil pertaniannya ke depan dan mengakses kebutuhan input produksi pertanian, sehingga petani menjadi mandiri, berdaulat dan sejahtera. Itulah yang menjadi citacita bersama mereka. Tentunya, cita-cita ini bisa dicapai dengan adanya keberpihakan pemerintah terhadap petani. Program pembangunan pertanian yang sebelumnya (masa orde baru) menerapkan kebijakan terpusat dan melalui proses komando dari pemerintah pusat, menyebabkan Pemerintah Daerah tidak memiliki ruang yang cukup besar untuk mengembangkan potensi pertanian daerahnya. Pada era otonomi daerah dan desentralisasi, kondisi ini diharapkan
akan berbeda. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang luas untuk menentukan arah dan kebijakan pembangunan daerah, termasuk sektor pertanian. Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara dapat menetapkan program pembangunan pertanian sesuai dengan potensi daerahnya. Kebijakan proteksi harga komoditi beras, cabe merah, dan holtikultura lainnya melalui Perusda Pertanian di Tapanuli Utara sangat diharapkan oleh petani. Bahkan lebih jauh, melalui CU ini, mereka juga sudah mulai merencanakan memasarkan secara kolektif hasil-hasil pertaniannya. Mereka berharap ada dukungan besar dari pemerintah untuk memfasilitasi akta pendirian koperasi dengan membangun kerjasama dengan Ikatan Notaris Indonesia yang dananya bersumber dari APBN maupun APBD Tapanuli Utara. Sehingga dapat memudahkan petani untuk mengembangkan wadah keuangan mikro, sekaligus memperkuat kelembagaan keuangan perdesaan. Hal ini tentunya sejalan dengan amanah Undang Undang tentang Desa Nomor 6 Tahun 2014. Tentu rencana ini semua akan bisa terwujud jika anggota kelompok tani ini benar-benar bisa bersatu, bahumembahu, dan mampu memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki secara mandiri. ***
Repro.www.albastari.blogspot.com
33
Pengorganisasian
Belum Menikmati Listrik Freddy Simanungkalit
PULUHAN keluarga di Desa Saor Nauli Hatoguan, Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir, sejak puluhan tahun hingga saat ini masih belum menikmati listrik dari PLN layaknya masyarakat lain di desa itu. Menurut Linton Situmorang, yang merupakan salah seorang pengurus Kelompok Tani (KT) Langge Marsada, selama ini masyarakat di Huta Langge-langge ada 9 (sembilan) kepala keluarga yang belum dialiri listrik. Pada malam hari, mereka harus menggunakan obor, senter, lampu baterai, atau lampu minyak. Hal itu juga dialami oleh 15 (lima belas) kepala keluarga di Huta Parbulanan, dan 24 kepala keluarga di Huta Dolok Sanggul. Saat ini masyarakat di 3 (tiga) huta (kampung) tersebut masih menggunakan lampu minyak berbahan bakar solar, dikarenakan bahan bakar minyak tanah yang langka. Walau demikian, mereka tetap saja merasa kesulitan karena mahalnya harga solar dan jauhnya tempat untuk membeli bahan bakar lampu minyak tersebut. Untuk beberapa masyarakat yang mampu, mereka sudah menggunakan lampu emergency dan senter yang memakai baterei atau yang menggunakan sistem carger. Untuk mencarger baterei, mereka harus pergi ke tempat keluarga lainnya yang sudah dialiri listrik. Saat itu, bersama Doharta Sirait, kami berangkat dari Pangururan (ibukota kabupaten) menuju Desa Saor Nauli Hatoguan, di mana KT Langge Marsada berada. Hari itu merupakan pertemuan bulanan kelompok. Perjalanan yang cukup jauh memakan waktu lebih kurang 1 jam perjalanan dengan sepeda motor. Masuk melalui Simpang Hatoguan, saya melihat kondisi jalan yang sudah diaspal, tapi hanya berkisar 600 meter saja. Selebihnya kondisi jalan masih berbatu dan
34
berlubang. Kami melewati jalan setapak yang licin dan berlumpur. Melalui jalan di antara lahan perkopian yang sempit dan hanya bisa dilewati sepeda motor. Kondisi jalan yang sangat buruk ini tidak menyurutkan niat kami untuk dapat tiba secepatnya di lokasi pertemuan. KT Langge Marsada merupakan salah satu kelompok dampingan KSPPM di Kabupaten Samosir. Kelompok ini dibentuk pada April 2007. Kemudian melalui kesepakatan bersama dibentuk satu unit usaha kelompok, yaitu Credit Union (CU) pada Februari 2008. Dengan susunan kepengurusan saat ini sebagai berikut: Ketua : Kistan Situmorang Wakil Ketua : Hadono Situmorang Sekretaris : Jambu Situmorang Bendahara : Linton Situmorang Sekitar pukul 14.30 wib, saya bersama Doharta Sirait tiba di rumah Ama Holong Situmorang, yang dijadualkan sebagai tempat pertemuan rutin kelompok. Di tempat pertemuan sudah berkumpul beberapa anggota kelompok dan sedang melakukan transaksi CU. Seperti biasanya, di pertemuan kelompok ini terlebih dahulu dilakukan proses transaksi CU sembari menunggu berkumpulnya seluruh anggota, baru kemudian dilanjutkan dengan proses kebaktian dan sesi diskusi. Setelah terlebih dahulu dilakukan kebaktian singkat, Doharta Sirait membuka sesi diskusi thematis mengenai Pemenuhan Hak Ekosob Petani. Bagaimana hubungan kondisi infrastruktur jalan dan penerangan listrik di desa yang sangat mempengaruhi kondisi ekonomi, sosial dan budaya mereka. Melalui diskusi bersama, kelompok mengatakan
Pengorganisasian Editorial hari. Mereka tidak bisa menikmati radio atau televisi seperti tetangga lainnya yang sudah menikmati listrik. Anak-anak mereka juga menjadi kesulitan belajar di malam hari.
Desa Saor Nauli Hatoguan, Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir. dok.ksppm/2008
bahwa kondisi jalan di desa mereka sangat memprihatinkan. Hal ini sangat menghambat mereka untuk memasarkan hasil pertaniannya ke Pangururan. Dengan kondisi jalan yang rusak, membuat jarak tempuh dari Huta Langge-langge ke Pangururan memakan waktu lebih kurang 1 (satu) jam. Menurut Oppung Erwin, dulu tanah mereka ditanami pinus dan diklaim oleh Kehutanan sebagai tanah negara. Padahal tanah mereka merupakan tanah adat Turunan Oppung Parlanggu Bosi Situmorang. Sekarang tanah tetap diolah oleh masyarakat, hanya saja pembangunan kurang di beberapa huta yang ada di desa mereka.
Menurut Kistan Situmorang, beliau bersama pengurus kelompok sudah pernah menemui pihak PLN untuk membicarakan permasalahan listrik yang belum masuk di tiga huta di desa mereka. Pihak PLN mengatakan, s e b a i k n y a masyarakat terlebih dahulu membuat surat permohonan, baru kemudian akan diproses, dan itu mungkin membutuhkan waktu yang agak lama. Masyarakat juga harus menyiapkan biaya untuk memasukkan jaringan listrik di lokasi huta yang belum masuk listrik tersebut. Menyangkut masalah listrik ini, mereka berharap pihak pemerintah desa bersama kelompok tani dan masyarakat desa lainnya ikut membantu untuk mendesak pihak PLN, agar seluruh masyarakat di desa ini bisa sama-sama menikmati listrik. Demikian juga dengan pembangunan jalan. Sebab pembangunan desa harus dinikmati oleh seluruh masyarakat desa.***
Kurangnya perhatian pemerintah, khususnya dalam pengadaan jaringan listrik ke beberapa huta, menjadi persoalan bersama mereka. Hingga saat ini ada sekitar 48 kepala keluarga (yang didata kelompok) di desa ini yang belum dialiri listrik. Dapat dibayangkan bagaimana mereka beraktifitas tanpa penerangan (listrik), khususnya pada malam
35
Pengorganisasian
Pengalaman menjadi Petugas Pendataan BPS Jonni Manurung*
PADA tahun 1999, saya tamat dari SMA dan pergi merantau ke Irian Jaya yang sekarang menjadi Propinsi Papua, tepatnya di kota Jayapura. Saya bekerja di sana dan bertemu dengan seorang gadis Minahasa yang menjadi istri saya pada tahun 1998. Kemudian kami pulang ke kampung dan tinggal menetap di Desa Huta Batu, Porsea, Tobasa. Setelah tinggal di kampung, saya menjadi seorang petani untuk menopang kehidupan sehari-hari. Walau aktifitas sehari-hari adalah petani, saya juga aktif di beberapa organisasi di desa, seperti di Kelompok Tani (KT) dan Serikat Tani Kabupaten Tobasa (ST Tobasa) dampingan KSPPM. Bagi saya, petani harus berperan aktif dalam kegiatankegiatan ekonomi, politik dan sosial budaya di tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten. Kesadaran ini mendorong saya berupaya untuk ikut terlibat dalam program-program pembangunan di tingkat desa, misalnya mengikuti musyawarah pembangunan desa (Musrembangdes) dan menjadi aparat desa. Selain aktif dalam kegiatan-kegiatan di desa, pada tahun 2000, saya juga ikut berperan menjadi salah seorang pendata dalam progam Sensus Penduduk yang lebih dikenal pada waktu itu dengan istilah SP 2000. Keikutsertaan menjadi pendata ini, sedikit banyak membuat saya mengetahui masalahmasalah pendataan penduduk yang terjadi di negara kita ini. Inilah yang ingin saya gambarkan dalam tulisan ini. Pendataan pertama yang saya ikuti memberikan pengalaman yang sangat menarik, di mana sebagai
36
pendata saya berinteraksi langsung dengan berbagai macam sifat masyarakat. Mengetahui dan memahami berbagai opini masyarakat dalam menanggapi sensus. Awalnya mereka menganggap bahwa sensus yang kami lakukan dalam rangka pendataan pajak, pemberian bantuan, dan lain-lain. Padahal yang sesungguhnya adalah update data jumlah penduduk Indonesia. Program Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilakukan ada 2 – 4 program pendataan di setiap tahunnya. Data inilah yang akan digunakan pemerintah dalam memutuskan atau melahirkan kebijakan pembangunan di setiap daerah. Di tahun 2003, pemerintah kembali melakukan Sensus Ekonomi Nasional yang lebih dikenal dengan istilah SUSENAS 2003. Tujuan utama sensus ini adalah untuk mengetahui perkembangan ekonomi secara nasional. Tanggapan masyarakat masih saja sama, bahwa sensus ini diadakan untuk memperoleh bantuan dan lainnya. Kemudian pada tahun 2007, BPS melakukan pendataan ternak sapi dan kerbau yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketersediaan pemenuhan kebutuhan daging nasional yang dilatarbelakangi oleh import daging yang begitu tinggi. Tim pendata selalau mensosialisasikan terlebih dahulu tujuan sensus sebelum pendataan dilakukan. Namun, banyak juga masyarakat yang tidak mau jujur memberikan data-data ternak yang mereka miliki. Misalnya, seorang peternak memelihara ternak sebanyak 4 ekor, tapi ketika didata, mereka memberitahukan hanya satu atau dua ekor saja. Begitu juga dengan yang lainnya. Dengan demikian tujuan pemerintah untuk mendapatkan informasi tentang populasi ternak yang sesungguhnya tidak tercapai. Di tahun 2011, BPS melakukan pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011) yang tujuannya untuk mencari penduduk yang lebih layak untuk menerima Program Perlindungan Sosial. Uniknya, pada pendataan ini, masyarakat sangat antusias untuk didata. Jika sensus-sensus sebelumnya mereka susah didata, untuk program yang satu ini
Pengorganisasian Editorial secara umum tidak jujur untuk pendataan ini.
Dok.ksppm/2008
semua berlomba untuk didata. Pada pendataan ini, pendata diberi metode memilih tiga anggota masyarakat termiskin di dalam satu dusun dengan kriteria tidak boleh ada hubungan sedarah dengan pendata. Kepada ke-tiga anggota masyarakat inilah pendata bertanya, siapa-siapa saja yang sama kehidupannya dengan mereka atau sedikit di atas mereka. Targetnya berkisar 40% dari jumlah rumah tangga di dusun itu. Ini dilakukan karena pengalaman sebelumnya, di mana para penerima beras miskin atau bantuan langsung tunai (BLT) yang langsung ditentukan oleh kepala desa banyak bermasalah. Setelah didapat nama-nama sasaran rumah tangga, dilakukan survey lokasi, baru melakukan pendataan. Dalam pendataan ini banyak rumah tangga yang memaksa untuk mendata rumah tangganya walaupun kehidupannya sudah lebih mapan dari rumah tangga yang lainnya. Tahun 2013, BPS melakukan pendataan sub sektor pertanian yang bertujuan untuk mengetahui ketersediaan pemenuhan kebutuhan pangan nasional dari pertanian nasional. Di dalam melakukan pendataan ini, masyarakat kembali tidak mau jujur walaupun sudah diterangkan pentingnya pendataan ini. Contoh yang paling sering kami temui adalah, si A mengolah sawah 30 rante, tapi ketika ditanya jawabannya hanya ada 5 rante saja. Kita dapat bayangkan bagaimana tidak jelasnya hasil produksi pertanian nasional ketika masyarakat
Tahun 2015, BPS kembali melakukan pemutakhiran Basis Data Terpadu, yang tujuannya adalah pemutakhiran data PPLS 2011 yang terdaftar dalam penerima program, menganalisa hasil pendataan yang dilakukan pada tahun 2011 lalu. Di mana pada data yang lalu banyak protes dari masyarakat atas daftar penerima program bantuan yang menyalahkan BPS. Maka di tahun ini, metode untuk mencari rumah tangga sasaran penerima program dikembalikan ke desa dengan membentuk Forum Komunikasi Publik (FKP). Dari hasil musyawarah FKP inilah didapatkan daftar rumah tangga sasaran yang harus diverifikasi kembali. Dari pengamatan kami, metode ini lebih bermasalah dari metode di tahun 2011 karena dengan metode ini banyak sekali yang menyodorkan kerabatnya, bahkan rumah tangganya sendiri walaupun lebih mapan dari yang lainnya. Contohnya, ketika pada tahun sebelumnya penerima program di Kecamatan Uluan, Tobasa, sebanyak 673 rumah tangga. Tapi pada tahun ini sampai 1300 rumah tangga yang didata. Persoalannya, pada saat verifikasi, jawaban setiap rumah tangga hampir sama. Sehingga dalam penentuan nantinya bisa seperti undian arisan. Hasilnya, bisa jadi rumah tangga yang lebih mampu menjadi penerima, sedangkan rumah tangga yang kurang mampu tidak mendapatkan. Dan lagi-lagi hasil pendataan ini tidak optimal. Dari beberapa pengalaman di atas, saya sebagai tim pendata mengetahui dan memahami tingginya tingkat ketidakpastian data kependudukan di negara kita. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang tujuan sensus, sehingga masyarakat yang menjadi responden tidak jujur menyampaikan data atau informasi. Ke depan sosialisasi tentang arti pentingnya sensus menjadi sangat mendesak. Sehingga data-data kependudukan kita menjadi lebih baik dan akurat. *** * Penulis adalah anggota kelompok dampingan KSPPM di Tobasa.
37
Pengorganisasian
Evaluasi Kelompok Tani Marsitolongan Lenny Rajagukguk
KELOMPOK Tani (KT) Marsitolongan berada di Desa Dolok Nagodang, Kecamatan Uluan, Kabupaten Toba Samosir. Kelompok ini dimekarkan dari KT Marsiurupan yang berada di Sihubakhubak, Desa Lumban Binanga. Pemekaran terjadi karena sebelumnya anggota KT Marsiurupan lebih banyak yang berdomisili di Desa Dolok Nagodang. Setelah melalui beberapa kali diskusi, akhirnya ketika Rapat Anggota Tahunan (RAT) KT Marsiurupan, Maret 2008, disepakati bahwa anggota kelompok yang berdomisili di Dolok Nagodang akan membentuk kelompok baru. Pasca adanyanya kesepakatan pada RAT tersebut, kelompok baru tidak langsung terbentuk. Proses pembentukan kelompok di Dolok Nagodang diawali dengan melakukan diskusi-diskusi untuk memotivasi calon anggota. Setelah melakukan beberapa kali diskusi dan motivasi berkelompok, maka September 2008, KT Marsitolongan pun dibentuk di Desa Dolok Nagodang. Awal pembentukan, anggota kelompok ini 20 orang. Untuk pengembangan organisasi, di kelompok ini diadakan diskusidiskusi untuk meningkatkan
38
pemahaman anggota tentang manajemen organisasi dan pembukuan Credit Union (CU). Selain pengembangan organisasi, kelompok ini juga fokus untuk mengembangkan pertanian selaras alam (PSA). Untuk mendukung pengembangan PSA, di kelompok dilakukan praktek-praktek pembuatan pupuk dan pestisida alami (PPA). PPA yang dibuat umumnya digunakan untuk lahan sawah karena anggota kelompok adalah petani sawah. Sejak terbentuk sampai Agustus 2015, anggota kelompok ini berjumlah 36 orang (Pr:32, Lk:4). Jika diamati sejak berdiri, pertambahan jumlah anggota kelompok ini sangat lambat. Hal ini disebabkan adanya anggota yang keluar-masuk
Pembuatan Peptisida Alternatif oleh kelompok Tani Marsiurupan Sihubak-hubak dok/ksppm2007
Pengorganisasian Editorial karena berbagai hal dan alasan. Selain itu, kelompok juga sangat selektif dalam menerima anggota baru. Mereka berpendapat, bahwa untuk menambah anggota baru harus selektif agar tidak merusak keutuhan kelompok.
pengetahuan anggota kelompok. Untuk pengembangan PSA juga minat anggota masih rendah. Demikian juga keaktifan anggota dalam aksi-aksi mengkritisi kebijakan yang ada di daerah mereka.
KT Marsitolongan setiap tahunnya melakukan evaluasi terhadap kinerja pengurus, keaktifan anggota, dan perkembangan kelompok secara menyeluruh. Evaluasi ini menjadi acuan untuk merencanakan program dan berbagai upaya untuk perbaikan kondisi kelompok.
Berangkat dari kelemahan dan kekurangan ini, pada RAT ini kelompok pun menyusun rencana kerja untuk tahun 2016. Program pertama yang akan dilakukan adalah peningkatan pengetahuan pengurus tentang manajemen pembukuan CU. Hal ini didasari realita bahwa dalam kepengurusan saat ini hanya ada 1 (satu) pengurus yang mahir mengelola pembukuan CU, dari mulai mengisi Buku Anggota sampai penghitungan pembagian deviden. Untuk ke depan disepakati, pengurus akan melakukan praktek-praktek pembukuan yang akan diadakan di Sopo KSPPM Porsea atau di desa sebelum pertemuan bulanan kelompok dimulai. Praktek pembukuan akan difasilitasi oleh staf
Hasil evaluasi pada RAT tahun ini, seluruh anggota dan pengurus menyimpulkan bahwa masih cukup banyak kekurangan dan kelemahan mereka, seperti lemahnya pengetahuan pengurus terhadap manajamen pembukuan CU dan keaktifan anggota dalam mengikuti berbagai kegiatan di kelompok dan Serikat Tani masih rendah. Juga dalam mengikuti pelatihan dalam rangka peningkatan
Pembuatan Peptisida Alternatif oleh kelompok Tani Marsiurupan Sihubak-hubak dok/ksppm2007
39
Pengorganisasian mengolah bahan-bahan tersebut secara manual. Setelah berdiskusi panjang, kelompok sepakat untuk menjadikan PSA sebagai salah satu program utama mereka di tahun 2016. Pada RAT ini, saham KT Marsitolongan sebesar Rp 44.500.000,-. Uang yang berputar di kisaran 7-8 juta rupiah setiap bulannya dengan 3 orang peminjam. Uang sebesar 7-8 juta yang rata-rata dipinjam 3 orang ini sebenarnya belum cukup besar untuk modal usaha. Sehingga tidak jarang pinjaman dari CU ini digunakan untuk kebutuhan Pembuatan Peptisida Alternatif oleh kelompok Tani Marsiurupan Sihubak-hubak rumah tangga, biaya sekolah dok/ksppm2007 anak, dan lainnya. Hal ini terlihat dari perkembangan modal rata-rata setiap KSPPM dan pengurus yang sudah trampil tahunnya, yang hanya 7 (tujuh) juta rupiah. Untuk mengelola pembukuan. memperbaiki kemampuan anggota dalam memanfaatkan pinjaman secara maksimal untuk Anggota kelompok juga sepakat untuk usaha produktif, ke depan akan dilakukan berbagai memperbaiki diri. Ke depan, mereka akan aktif diskusi tentang perencanaan dan pengembangan menghadiri pertemuan bulanan kelompok, usaha anggota. mengikuti berbagai kegiatan pelatihan, dan kegiatan di Serikat Tani. Di akhir pertemuan, kelompok mengatakan bahwa permasalahan yang ada di organiasai menjadi Demikian halnya dengan pengembangan PSA, pembelajaran untuk memperbaiki diri dan yang sudah dimulai anggota sejak kelompok ini organisasi. Komitmen berorganisasi menjadi berdiri. Menurut mereka, PSA belum dilihat penting, karena anggota kelompok tanpa komitmen menjadi bagian penting dalam pengembangan tidak akan membawa perubahan terhadap usaha pertanian anggota kelompok. Padahal organisasi, juga bagi anggotanya sendiri. Hasil mereka menyadari bahwa ketergantungan terhadap evaluasi yang menjadi acuan dalam menyusun penggunaan pupuk kimia yang tinggi setiap program kelompok akan menjadi jembatan untuk tahunnya dapat merusak tanah dan meningkatkan perbaikan organisasi.*** biaya produksi. Mereka mengatakan bahwa ber-PSA itu rumit dan melelahkan karena harus mengumpulkan bahanbahan dari daun-daunan dan mencincang semua bahan, tapi sebenarnya lebih ekonomis dan dapat mengurangi biaya produksi. Mereka akan terbantu apabila memiliki mesin pencincang yang mempermudah proses pembuatan berbagai pupuk dan pestisida alami. Saat ini mereka masih
40
Refleksi Editorial
Makna Natal Elseria Hutahaean Natal adalah solidaritas yang mengembalikan kepada kehidupan kesederhanaan dan kesahajaan (Luk. 2:15-20)
SAAT Yesus lahir, Ia lahir dalam kesederhanaan. Ia dibungkus dengan lampin dan dibaringkan dalam palungan sederhana. Suasana Natal pertama diwarnai kesederhanaan. Kesederhanaan itu merupakan ungkapan solidaritas dengan berjuta manusia yang sedang berada dalam penderitaan dan hidup dalam kesederhanaan, bahkan dalam berbagai keterbatasan. Jadi, tepatkah bila kita merayakan Natal dalam suasana yang jauh dari kesederhanaan?
Histori kelahiran Yesus Kristus sebagai penggenapan Janji Allah, janji kehadiran Allah menunjukkan Allah mengasihi Bumi ini melalui inkarnasi di dalam diri Yesus Kristus. Allah yang immanen ada di dalam Yesus Kritus. Firman itu telah menjadi daging dan Firman itu adalah Yesus Kritus. Allah menunjukkan solidaritasnya dengan mengosongkan Dirinya dan mengambil rupa seorang hamba. Allah yang sebelumnya dikenal begitu absolute kuasanya, tinggi, kudus, tak terbatas, kekal dan transenden memasuki dan menjadi bagian dari dunia yang terbatas, fana, rendah, immanen. Allah yang adalah "Super" menjadi "Minor"; Dia yang mengatasi segalanya mau terikat di bawah aturan dan hukum-hukum alam yang terbatas. Allah benar-benar bersolidaritas di dalam kemanusiaanNya. Kesederhanaan adalah tantangan hidup di zaman ini, zaman yang dikuasai budaya konsumtif dan gaya hidup hedonis. Yesus hadir dalam solidaritas dengan mereka yang miskin dan hidup serba terbatas. Di dalam kesederhanaan Yesus lahir. Karena itu, marilah kita menyiapkan hidup sederhana agar menjadi palungan yang dipilih sebagai tempat kelahiran Yesus. Siapkanlah hidup sederhana untuk menyambut Natal. Hidup
sederhana itu adalah wujud solidaritas kita dengan mereka yang menderita dalam kemiskinan. Natal adalah kenangan akan kelahiran Yesus di dunia. Natal ingin kembali merenungkan Allah yang terlibat dalam realitas hidup manusia. Mestinya pada setiap perayaan Natal kita bertanya,”Mengapa Allah harus hadir, hidup, dan terlibat dalam keringkihan dan kerapuhan realitas manusia?” Ketika mendengar kandang domba, apa yang kita pikirkan? Ketika kita mendengar seorang Gembala, apa yang kita pikirkan? Ketika mendengar seorang tukang kayu, apa yang kita pikirkan? Benar-benar kotor dan miskin. Ya Yesus Kritus lahir dari kelurga miskin, tapi tidak menjadikan DiriNya miskin mental, miskin pengetahuan, miskin moral, dan miskin budaya. Histori kemiskinannya menjadikan DiriNya menjadi sang organiser yang handal. Historis kelahirannya membawa terang kehidupan yang baru. History kelahirannya disambut baik oleh para gembala dengan persembahan emas, mur, dan kemenyan dari hasil bumi diberikan kepadaNya. History kehidupan dari kelahiranNya membawa pembebasan bagi orang-orang miskin, tertindas dan yang termarjinal. Allah memilih hadir dalam hidup orang yang miskin dan sederhana untuk mengembalikan spirit kehidupan. Kelahiran Yesus adalah representasi keterkoyakan Allah yang tak bisa diam melihat penderitaan manusia. Penderitaan manusia adalah penampakan wajah. Manusia yang membuat Allah tak bisa tidak untuk bersikap menyelamatkannya, memperjuangkan kehidupan, dan menegakkan keadilan. Allah tetap konsisten untuk solider dengan nasib manusia yang diciptakan dalam kesempurnaan dan kebahagiaan. Solidaritas adalah bahasa yang dipilih Allah untuk menyelamatkan
41
Refleksi manusia. Solidaritas adalah bahasa perjuangan untuk memperjuangkan kaum tertindas. Solidaritas akan lahir kalau orang memiliki keterlibatan fisik dan mental dengan realitas hidup kaum tertindas. Namun terlibat saja tidaklah cukup. Realitas kehidupan yang penuh dengan penderitaan, kehancuran martabat manusia, ketidakadilan, serta aneka penindasan, tidak akan pernah melahirkan solidaritas selama tidak melukai nurani manusia. Dalam dinamika solidaritas semacam itu, kaum lemah-miskin-tertindas bukan hanya obyek solidaritas. Sesungguhnya mereka juga subyek solidaritas. Mereka yang bersolider dan kaum tertindas, saling menyumbang dan memberdayakan kehidupan masing-masing. Karenanya, solidaritas sebagai pilihan bahasa perubahan semestinya melahirkan sebuah komunitas yang saling memberdayakan dan menumbuhkan, bukan hanya demi kesejahteraan duniawi tetapi juga dalam hal praksis. Realita Natal sesungguhnya: Natal adalah suatu perjalanan terjauh dan tidak terukur dari surga ke bumi (Dalam doa Bapa Kami yang di Sorga Disebutkan” Jadilah Kehendakmu di Bumi seperti Di Sorga”). Natal juga sebuah kerelaan terhina yang
42
tak bisa dipahami akal manusia, yaitu Allah yang suci menjadi manusia yang hina. Natal turun ke bawah yang sejati, bukan seperti model para pejabat tinggi yang penuh tipu daya, serta promosi diri yang pura-pura merendah padahal supaya dipuji dan berharap terangkat tinggi. Natal juga bukan berpesta-pora, mengadakan bazzar Natal, Christmas carol, konsert ini dan itu. Natal itu membuat kita menangis, karena Yesus rela melepas Keillahiannya untuk datang ke dunia. Tetapi natal juga membuat kita bahagia karena Yesus bersama dan memeluk kita. Dengan demikian, Natal adalah absolut paradoks, karena di sana ada tangis dan tawa, ada duka dan bahagia sekaligus. Natal Bukanlah berbicara soal hedonisme dan materialistik karena akan mereduksi makna Natal itu sendiri. Perayaan Natal bukan untuk menutup mata terhadap ketidakadilan pada masyarakat di luar sana dan dosa sosial yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Natal bukanlah sebuah acara ritual-ritual yang seolah-olah mengagungagungkan Yesus Sang Juru Selamat telah Lahir di Betlehem. Dan dirayakan begitu mewah yang dihiasi oleh kerlap-kerlip dan hiasan-hiasan pernak-pernik. Lihatlah Historis Kelahiran Yesus.***
Keluarga Besar Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Mengucapkan
Selamat Hari Natal 25 Desember 2015
dan Tahun Baru 1 Januari 2016