2
Salah satu penyakit kronis tidak menular yang sering ditemukan pada narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan (selanjutnya disebut Lapas) adalah hipertensi (Bautista-Arredondo dkk., 2015; Harzke dkk., 2010; Fox dkk., 2014). Hipertensi adalah kondisi seseorang ketika tekanan darah sistolik minimal 140 mmHg atau tekanan diastolik 90 mmHg (Price & Wilson, 2005). Biasanya hipertensi diderita oleh narapidana yang berusia 34-49 tahun (Bingswanger, 2010). Selama di dalam Lapas, narapidana dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kondisi Lapas. Narapidana yang tidak mampu menyesuaikan diri, maka akan memiliki kondisi psikis yang buruk (Doelhadi, dalam Siswati & Abdurrohim, 2009). Salah satu bentuk kondisi psikis yang buruk pada narapidana adalah stres. Salah satu respon stres pada narapidana yaitu cemas (Siswati & Abdurrohim, 2009). Kecemasan yang muncul pada narapidana diantaranya yaitu stigma (Koliandri, 2010) dan ditolak oleh masyarakat (Viktoria, 2007). Penyandang hipertensi juga khawatir dan takut terhadap serangan jantung, stroke, atau kematian akibat hipertensi (Dony, 2012). Secara otomatis peningkatan tekanan darah menyebabkan peningkatan kecemasan pada penyandang hipertensi (Yunita & Kusrohmaniah, 2005). Kecemasan dikatakan sebagai gangguan apabila pola kognitif (skema) terlalu aktif terus-menerus terhadap stimulus yang berbahaya dan sumbernya tidak jelas (Beck & Emery, 2005). Gangguan kecemasan memiliki simtom yang terletak pada pikiran, perasaan, perilaku, dan reaksi fisik (Beck & Emery, 2005; Maramis & Maramis, 2009; Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Berdasarkan komunikasi pribadi antara peneliti dengan petugas sipir di Lapas X (2015), narapidana biasanya mengalami kecemasan saat di awal dan di akhir masa tahanan. Kecemasan dapat meningkatkan tekanan darah pada narapidana. Usaha-usaha yang telah dilakukan oleh narapidana untuk mengatasi permasalahan kesehatan fisik (hipertensi) dan psikis mereka, diantaranya tidak merokok, mengkonsumsi obat anti-hipertensi, olah raga, merajut, membatik, dan bercanda dengan narapidana yang lain (komunikasi pribadi terhadap beberapa narapidana di Lapas X, 2015).
3
Berdasarkan uraian di atas, perlu adanya intervensi untuk mengatasi kecemasan pada narapidana. Ada dua jenis intervensi untuk menurunkan kecemasan yaitu secara medis (farmakologis) dan psikologis. Intervensi secara medis dilakukan melalui berbagai jenis obat (misalnya benzodiazepine, valium, dan xanax) (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Intervensi secara psikologis diantaranya Terapi Musik Kognitif Perilaku (Wilianto & Adiyanti, 2012), Pelatihan Relaksasi (Annatagia & Retnowati, 2011), Rational Emotive Behavioral Therapy (Siburian, Karyono, & Kaloeti, 2010), Relaksasi Kesadaran Indera (Ayunsari, Fasikhah & Karmiyati, 2012) dan Eye Movement Disensitization Reprocessing (Andhika, 2013). Selain intervensi yang telah disebutkan, kini mindfulness mulai dikembangkan untuk mengatasi kecemasan. Mindfulness dapat pula diterapkan pada narapidana di Lapas (Samuelson, Carmody, Kabat-Zinn, & Bratt, 2007). Mindfulness adalah usaha untuk menyadari kondisi saat ini dengan cara memfokuskan perhatian dan menerima tanpa menilai (walaupun ada yang salah) (Kabat-Zinn, 2013). Hasil dari proses mindfulness menunjukkan adanya penurunan kecemasan (Davis, Strasburger, & Brown, 2007; Falsafi & Leopard, 2015; Goldin & Gross , 2010; Hofmann, Sawyer, Witt, & Oh, 2010; Lengacher dkk., 2012), penurunan emosi negatif, penurunan aktivitas amygdala, peningkatan aktivitas area otak yang melibatkan proses perhatian atau fokus (Goldin & Gross, 2010), menurunkan tekanan darah (Hughes dkk., 2013) dan meningkatkan empati (Umniyah & Afiatin, 2009). Mindfulness juga dapat meningkatkan meningkatkan fungsi dan memori kerja prefrontal cortex (Esch, 2014). Germer, Siegel, dan Fulton, (2005) menjelaskan bahwa efektivitas mindfulness terletak pada tiga elemen penting di dalamnya, yaitu: (1) menyadari (awareness), (2) pengalaman saat ini dan di sini (present experience), dan (3) menerima (acceptance). Teknik-teknik yang biasanya dilakukan dalam proses mindfulness meliputi meditasi napas, meditasi makan, yoga, meditasi deteksi tubuh, dan meditasi duduk (Campbell, Labelle, Bacon, Faris, & Carlson, 2012; Davis, Strasburger, & Brown, 2007; Samuelson, Carmody, Kabat-Zinn, & Bratt, 2007). Berikut adalah gambaran deskripsi Program Mindfulness dalam menurunkan kecemasan.
4
Orang yang mengalami kecemasan cenderung memiliki rantai pikiran otomatis berupa perenungan terhadap pengalaman masa lalunya dan khawatir terhadap masa depan. Ia tidak fokus terhadap apa yang sedang dilakukannya saat ini, termasuk ketika sedang bernapas. Orang yang cemas biasanya mengalami kesulitan bernapas (hiperventilasi) sehingga suplai oksigen yang masuk ke dalam tubuh kurang (Esch, 2014). Praktik mindfulness melalui meditasi napas dan meditasi duduk berkesadaran dapat membantu memperbaiki sistem pernapasan. Ketika seseorang melakukan mindfulness, ia diajarkan untuk tetap fokus dan menyadari kondisi apa yang terjadi saat ini dan di sini. Ketika seseorang fokus dan sadar, maka ia secara langsung akan menyadari setiap hembusan napas yang masuk dan keluar dari lubang hidungnya sehingga napas menjadi lebih teratur. Kondisi napas yang teratur menyebabkan suplai oksigen yang masuk ke dalam tubuh menjadi lebih maksimal. Suplai oksigen yang maksimal dapat memperlancar aliran darah yang menuju ke lobus prefrontal cortex (Germer, Siegel, & Fulton, 2005). Hasil akhir dari peningkatan fungsi lobus prefrontal cortex dan mindfulness yaitu terputusnya rantai pikiran otomatis kecemasan (Esch, 2014). Suplai oksigen yang dihasilkan melalui fokus pada mindfulness dapat memperbaiki fungsi sistem saraf. Selama kondisi cemas, saraf simpatik bekerja lebih dominan daripada saraf parasimpatik (Wright, Gregoski, Tingen, Barnes, & Treiber, 2011). Suplai oksigen yang maksimal dapat memperlancar aliran darah yang menuju ke jantung, sehingga menyebabkan denyut jantung menurun dan tekanan darah menjadi normal (Esch, 2014; Kabat-Zinn, 2013). Meditasi deteksi tubuh dapat membantu meredakan gejala-gejala somatik dengan cara menyadari setiap sensasi pada tubuh selama meditasi. Ketika seseorang menyadari adanya gejala somatik pada area tubuhnya, maka insular cortex akan memanggil memori rasa (misal: rasa sakit dan pegal) yang pernah dialami oleh orang tersebut (Esch, 2014; Kabat-Zinn, 2013). Orang dengan gangguan kecemasan dapat mengalami permasalahan emosi (misal: khawatir dan sedih) yang diakibatkan oleh peningkatan fungsi amygdala. Meditasi napas terbukti menurunkan aktivitas amygdala melalui kelancaran aliran
5
darah yang disebabkan oleh banyaknya suplai oksigen yang masuk ke dalam tubuh. Aktivitas amygdala yang menurun dapat menyebabkan perasaan tenang pada diri seseorang (Germer, Siegel, & Fulton, 2005). Meditasi cinta kasih dapat memperbaiki perasaan khawatir selama cemas. Meditasi cinta kasih mengajarkan seseorang untuk merasakan apa yang terjadi pada kondisi sekitarnya, kemudian membandingkannya dengan diri sendiri. Ketika keduanya dilakukan secara bersamaan, maka akan menyebabkan perubahan pada struktur otak (Feldman, Greeson, & Senvile, 2010). Ketika seseorang fokus dan menerima untuk mencintai dirinya sendiri melalui perbandingan diri sendiri dan kondisi sekitarnya, maka secara langsung akan terjadi peningkatkan fungsi ventral striatum (bagian otak yang berperan dalam
motivasi,
interaksi
sosial,
dan
daya
ingat)
dan
area
ventra
tegmental/substania nigra (bagian otak yang memproduksi dopamin untuk disekresi di ganglia basal atau belahan otak) (Klimecki, Leiberg, Lamm, & Singer, 2013).
Penigkatan
aktivitas
pada
ventral
striatum
dan
area
ventra
tegmental/substania nigra menyebabkan peningkatan aktivitas middle insula (bagian otak yang berperan terhadap rasa cinta), putamen, dan pallidum. Selain itu, aktivitas striatum juga diikuti oleh peningkatan aktivitas medial orbitofrontal cortex (mOFC). Medial orbitofrontal cortex merupakan bagian otak yang berperan terhadap rasa senang dan rasa berharga, sehingga menurunkan reaksi perasaan khawatir yang diakibatkan oleh kecemasan (Feldman, Greeson, & Senvile, 2010). Orang dengan gangguan kecemasan akan mengalami penurunan fokus pikiran saat makan. Ia akan mengkonsumsi makan dalam jumlah berlebih tanpa merasa kenyang karena hipotalamus mengalami penurunan fungsi kerja akibat kekurangan suplai oksigen ketika makan. Hipotalamus bekerja dalam waktu 10 – 20 menit setelah menerima informasi atau stimulus dari indera pencecap. Meditasi makan membantu untuk mengurangi perilaku makan dengan cara belajar menyadari dan fokus terhadap sesuatu yang dimakan. Ketika seseorang sadar menghargai dan menikmati tekstur dan rasa makanan yang dimakan, maka ia akan makan secara pelan dan teratur. Perilaku makan secara teratur dan pelan
6
memberikan kesempatan hipotalamus untuk merespon secara maksimal terhadap stimulus yang diberikan oleh indera pencecap (Dalen dkk, 2010). Orang yang cemas cenderung langkah kakinya tergesa-gesa sehingga dapat menyebabkan hiperventilasi. Meditasi jalan membantu seseorang untuk mengatur langkah kakinya dengan cara menyadari setiap gerakkan kaki dan belajar mengikuti pola lingkaran saat bermeditasi sehingga langkah kaki menjadi tenang dan teratur. Ketika seseorang melangkahkan kakinya dengan tenang dan teratur, maka hentakan kaki di saraf-saraf telapak kaki membantu untuk memperlancar aliran darah yang menuju ke otak (Kabat-Zinn, 2013). Meditasi jalan berfungsi untuk memperbaiki postur tubuh dengan cara mempertahankan posisi tegap dan rileks selama jalan (Didonna, 2009). Berdasarkan penjelasan tentang teknik meditasi dan simtom kecemasan yang dituju, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan Program Mindfulness dalam menurunkan kecemasan. Praktik mindfulness yang dilakukan dalam penelitian ini mengacu pada modul mindfulness milik Dewi (2013), teori Kabat-Zinn (2013), dan teori Germer, Siegel, dan Fulton (2005). Peneliti selanjutnya memodifikasi modul tersebut dengan melakukan perubahan bahasa, susunan kegiatan, waktu pelaksanaan, kondisi tempat, karakteristik partisipan, dan teknik yang digunakan. Hipotesis yang diajukan oleh peneliti yaitu Program Mindfulness dapat menurunkan kecemasan pada narapidana penyandang hipertensi. Berikut kerangka konsep penelitian (Gambar 1):
7
Gambar 1. Kerangka konsep penelitian Narapidana
Penyandang hipertensi Kehidupan di dalam Lapas
Stressor
KECEMASAN MENINGKAT Peningkatan pada simtom fisik, perilaku, perasaan, dan kognitif MINDFULNESS 1. Menyadari (awareness), 2. Kondisi saat ini (present experience), dan 3. Menerima (acceptance). KECEMASAN MENURUN Penurunan pada simtom fisik, perilaku, perasaan, dan kognitif
Keterangan: Hasil Variabel dependent Variabel independent Area penelitian
8