RUMUSAN RAPAT KERJA TEKNIS (RAKERNIS) BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN TAHUN 2001 Cisarua, 16 - 19 oktober 2001 Dengan memperhatikan : 1. 2. 3. 4. 5.
Arahan Kepala Badan Planologi Kehutanan; Paparan dari Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan; Paparan Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan; Paparan Pejabat Eselon II Lingkup Badan Planologi Kehutanan; Paparan wakil-wakil dari wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa-Bali-Nusra dan MalukuIrja;
serta hasil diskusi Peserta Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Badan Planologi Kehutanan Tahun 2001, maka dihasilkan perumusan sebagai berikut: A.
BIDANG SEKRETARIAT 1. Rencana kegiatan bidang planologi kehutanan tahun 2002 diarahkan untuk mendukung 5 (lima) prioritas kebijakan Departemen Kehutanan. 2. Dengan memperhatikan sisa waktu Tahun Anggaran 2001, maka perlu dipercepat pelaksanaan kegiatan pembangunan bidang Planologi sesuai dengan ketentuan yang berlaku 3. SKO Rutin Cadangan DR Tahun Anggaran 2000 (perpanjangan) dan SKO Rutin Cadangan DR Tahun 2001 akan segera terbit. Apabila sampai dengan akhir tahun anggaran 2001 tidak selesai, agar diupayakan untuk dapat diperpanjang sampai tahun 2002, mengingat waktu pelaksanaannya hanya 2 (dua) bulan. Untuk itu para pelaksana perlu segera melaporkan realisasi anggaran sesuai dengan data KPKN setempat paling lambat awal Desember 2001 4. Institusi yang mengelola dana Eks Sub BIPHUT/Dinas Kehutanan (BIPHUT/Koordinator UPT) wajib membuat laporan proyek/kegiatan ke Badan Planologi Kehutanan sesuai dengan format yang berlaku 5. Dalam rangka pembentukan UPT Badan Planologi Kehutanan di Daerah, Organisasi BIPHUT akan ditata kembali termasuk TUPOKSI-nya yaitu melaksanakan tugas operasional Bidang Keplanologian antara lain perencanaan makro, pemantapan kawasan, pemantauan sumber daya hutan sebagai sumber data dan informasi 6. Guna memperlancar perolehan angka kredit bagi tenaga teknisi kehutanan, maka perlu diadakan peninjauan kembali mengenai penetapan angka kredit dan perluasan cakupan jabatan fungsional, sehingga diharapkan kenaikan pangkat tenaga teknisi kehutanan tidak terlambat. Untuk jangka pendek, bagi tenaga teknisi yang telah empat tahun atau lebih belum naik pangkat segera diusulkan menjadi tenaga non struktural untuk kenaikan pangkat reguler 7. Dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaporan kegiatan serta penyusunan laporan bulanan dan triwulan Badan Planologi Kehutanan, maka diminta kepada seluruh pengelola kegiatan agar melaporkan realisasi pelaksanaan kegiatan sebelum tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan sesuai dengan peraturan yang berlaku 8. BIPHUT sebagai UPT Pusat harus menyampaikan laporan inventaris barang pada masingmasing BIPHUT kepada Badan Planologi Kehutanan cq Sekretaris Badan Planologi Kehutanan 9. Barang inventaris Eks Sub BIPHUT yang tidak termasuk diserahkan ke Pemda, maka barang inventaris dimaksud diserahkan menjadi barang inventaris BIPHUT. Hal ini perlu ditindak lanjuti oleh Badan Planologi Kehutanan
B. BIDANG RENCANA KEHUTANAN
1. Tugas pokok Badan Planologi Kehutanan berdasarkan Keppres No. 177 thn 2000 adalah penyusunan perencanaan makro Kehutanan dan pemantapan kawasan hutan, oleh karena itu kebijakan program dan kegiatan yang dilakukan harus mengemban tugas yang mencerminkan peran sebagai Centre of Planning Pembangunan Kehutanan.
2. Dalam era otonomi daerah penyusunan perencanaan kehutanan pada setiap tingkatan baik Pusat, Provinsi maupun Kabupaten mengalami hambatan dalam proses penyusunannya kerena belum adanya pedoman baku sistem dan hierarki perencanaan. Untuk itu Badan Planologi Kehutanan perlu segera menyusun Pedoman Sistem Perencanaan Kehutanan yang dapat memberikan arah dan pedoman dalam penyusunan rencana kehutanan bagi instansi kehutanan di pusat, Provinsi dan kabupaten/kota.
3. Program Kehutanan Nasional (PKN) atau National Forest Program (NFP) merupakan kerangka acuan kebijakan, implementasi, monitoring dan evaluasi secara iteratif berdasarkan proses konsultasi multi pihak dalam penyusunan kebijakan kehutanan baik di tingkat Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
4. Rencana Stratejik Dephutbun (2001-2005) yang telah disusun dan ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 213/Kpts-VIII/2000 tanggal 24 Juli 2000 perlu segera disempurnakan sesuai dengan lima prioritas kebijakan Departemen Kehutanan dan PROPENAS. Penyusunan rencana kegiatan Bidang Planologi Kehutanan tahun 2002 mengacu kepada Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) Departemen Kehutanan Tahun 2002.
5. Sebelum terbitnya SK Menteri Kehutanan tentang Pedoman dan kriteria penyusunan MP-RRH daerah dan MP-RRH Nasional, maka Pedoman (Sementara) Penyusunan MP-RRH Daerah yang disampaikan melalui Surat Kepala Badan Planologi Kehutanan No. 688/VII-Ren/2001 tanggal 26 September 2001, dijadikan pedoman penyusunan. C. BIDANG PEMBENTUKAN WILAYAH DAN PERUBAHAN KAWASAN HUTAN 1. Kesatuan pengelolaan hutan merupakan satu wadah diterapkannya satu preskripsi pengelolaan hutan yang bersifat utuh. KPH dibentuk bersama oleh Pusat dan Daerah dengan meliibatkan para pihak (stakeholders) sehingga memenuhi aspek legalitas dan legitimasinya baik de facto maupun de jure. 2. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan harus memperhatikan nuansa, semangat dan jiwa pengelolaan hutan lestari yang bermanfaat secara berkelanjutan, berkeadilan, produktif, efisien, desentralisasi, transparan, tanggung gugat (accountable) dengan proses holistik melibatkan seluruh para pihak (stakeholders). 3. Dalam penyusunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) perlu memperhatikan sifat-sifat biofisik hutan dengan bio-region dan DAS sebagai satuan analisisnya, serta batas-batas administrasi pemerintahan (khususnya KPHP). 4. KPH berfungsi sebagai satu kesatuan perencanaan pengelolaan hutan, satu kesatuan pengelolaan, satu kesatuan kepemilikan ijin dan satu kesatuan pengawasan wilayah hutan. 5. Kegiatan dalam rangka penyusunan KPHP oleh Daerah Tahun 2002 (untuk lanjutan kegiatan Tahun 2001) antara lain berupa: • Reidentifikasi kawasan KPHP dalam bentuk Peta Rancangan KPHP sesuai konsep KPH; • Memfasilitasi pengembangan pemikiran untuk menampung aspirasi daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) dalam penyempurnaan kriteria dan standar, serta • penyusunan Pedoman Pembentukan KPHP, KPHL dan KPHK. 6. Untuk penyempurnaan konsep Kriteria dan Standar Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan, Daerah agar menyampaikan saran/masukan ke Pusat, dengan mengakomodasikan aspirasi stakeholders di daerah (Provinsi, Kabupaten, Swasta dan Masyarakat). 7. Sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah RI dengan Dana Moneter Internasional (IMF) tentang moratorium konversi hutan alam, permohonan pelepasan kawasan hutan yang diajukan setelah 22 Mei 2000 ditolak, sedang permohonan yang diajukan sebelum tanggal tersebut akan diproses apabila kelengkapan persyaratannya dipenuhi. 8. Sebagai akibat meleburnya kelembagaan Kanwil dan Sub Biphut ke Dinas Kehutanan Provinsi, maka tatabatas pelepasan kawasan hutan dilaksanakan oleh BIPHUT bersama Dinas Kehutanan Kabupaten dibawah koordinasi Dinas Kehutanan Provinsi. 9. Badan Planologi Kehutanan perlu segera menelusuri dan menyelesaikan SK Pelepasan hasil tatabatas pelepasan kawasan hutan yang sudah dikirimkan ke Pusat dan belum ada tindak lanjutnya. D. BIDANG INVENTARISASI DAN STATISTIK KEHUTANAN 1. Informasi potensi SDH (provinsi, Kabupaten/Kota, kecamatan, desa) masih rendah, sehingga diperlukan: . Peningkatan kegiatan inventarisasi terestris . Pengumpulan dan pengolahan data inventarisasi terestris yang pernah dilaksanakan . Penyusunan database potensi sumber daya hutan . Peningkatan kapasitas kelembagaan dalam bidang inventarisasi hutan . Peningkatan SDM dalam bidang inventarisasi melalui training/ pelatihan 2. Untuk mempercepat penyusunan informasi potensi Sumber Daya Hutan maka diperlukan pemanfaatan teknologi dalam bidang inventarisasi hutan, melalui: . Identifikasi alternatif teknologi inventarisasi tepat guna . Penyusunan metoda inventarisasi yang sederhana, praktis, murah dan akurat
3. Konversi hutan alam, perambahan hutan, illegal logging dan over cutting serta kebakaran hutan mengakibatkan hutan produksi primer tersisa sekitar 40,3%. Untuk itu, diperlukan perhitungan kembali etat tebangan tahunan (AAC) dan sebagai langkah awal perlu menurunkan etat tebangan tahunan yang telah ditetapkan dengan metode Soft landing (penurunan AAC secara perlahan-lahan) antara lain berdasarkan pada growth and yield. 4. Berkaitan dengan likuidasinya Kanwil Departemen Kehutanan ke Dinas Kehutanan, maka penyusunan Neraca Sumber Daya Hutan (NSDH) Provinsi dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi dengan melibatkan UPT Departemen Kehutanan. 5. Pengolahan data hasil Re-Enumerasi yang selama ini dilaksanakan oleh pusat, mulai Tahun Anggaran 2002 secara bertahap akan dilaksanakan oleh BIPHUT sesuai dengan perkembangan kemampuan tenaga dan ketersediaan peralatan antara lain melalui training/ pelatihan. 6. Dalam rangka meningkatkan kemampuan pengelolaan sistem jaringan data, maka perlu dilakukan upaya untuk: . Meningkatkan kemampuan dalam pengumpulan, pengolahan dan distribusi data dan informasi di pusat dan daerah . Mengembangkan sarana prasarana jaringan data (LAN, jaringan internet, database) di pusat . Membangun pusat informasi kehutanan di daerah serta mengoptimalkan pemanfaatan sarana/prasarana komunikasi data yang telah ada . Meningkatkan kemampuan SDM melalui kursus/pelatihan . Menyusun kembali prosedur aliran informasi dan pelaporan serta menyusun Standard Oerating Procedure (SOP) 7. Perlu meningkatkan kualitas penyajian informasi melalui: . Pembudayaan pengiriman file data melalui E-mail sehingga dapat: • Memperkaya dan meningkatkan updating informasi yang disajikan dalam Website Dephut • Meningkatkan kualitas informasi statistik kehutanan . Diversifikasi produk dan format sajian informasi secara lebih informatif dengan membangun database kehutanan yang terstruktur serta berbasis teknologi web, sehingga dapat diakses oleh stakeholders. . Peningkatan kemampuan SDM melalui kursus/pelatihan dalam pengemasan informasi . Menyusun kembali prosedur aliran data yang disajikan dalam Website dan Statistik Kehutanan E. BIDANG PERPETAAN HUTAN
1. Pemetaan hasil penafsiran citra landsat liputan tahun 1999/2000 untuk segera disebarluaskan ke 2. 3.
4. 5.
6. 7. F.
daerah. Daerah diharapkan dapat memberikan koreksi dan mengembangkan sesuai dengan kebutuhan daerah. Pembuatan peta kawasan hutan dan perairan berdasarkan wilayah administrasi kabupaten. Daerah diharapkan dapat memberikan masukan/koreksi untuk penyempurnaannya. Pemutakhiran data identifikasi kawasan hutan yang perlu dilakukan rehabilitasi dengan data citra landsat tahun 1999/2000. Daerah diharapkan dapat melaksanakan ground check dan menetapkan prioritas kawasan hutan yang perlu dilakukan rehabiltasi sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Peta-peta tematik kehutanan di pusat dan daerah perlu dibuat secara digital untuk memudahkan dalam pengelolaan data dan untuk menghindarkan terjadinya tumpang tindih kawasan hutan. Melaksanakan program implementasi ISO 9001 : 2000 unit manajemen Pusat Perpetaan, antara lain meliputi kegiatan : . Pelatihan program praimplementasi, . Persiapan pelaksanaan . Implementasi dan . Pengawasan. Meningkatkan kemampuan BIPHUT untuk mengembangkan kegiatan penginderaan jauh dan informasi geografis dalam suatu sistem informasi manajemen yang terpadu yang memungkinkan diintegrasikannya informasi spasial dan non spasial untuk keperluan pengelolaan hutan. Pemasangan jaringan titik kontrol kehutanan dengan GPS geodtic dilakukan sesuai dengan pedoman dan diprioritaskan pada kawasan hutan.
BIDANG PENGUKUHAN DAN PENATAGUNAAN HUTAN 1. Telah disusun draft SK. Menhut tentang Pedoman Penghapusan Batas Kawasan Hutan dan Perairan untuk mengatur tata cara penghapusan hasil penataan batas kawasan hutan yang akan tidak terpakai lagi akibat adanya perubahan batas kawasan hutan karena:
• • •
Hasil paduserasi TGHK dengan RTRWP yang telah ditindaklanjuti dengan SK. Menteri tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi, Perubahan status kawasan hutan, Penunjukan kawasan hutan partial (lahan kompensasi/penukar).
Daerah diharapkan memberikan masukan untuk penyempurnaannya. 2. Acuan untuk penataan batas kawasan hutan adalah Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan yang merupakan tindak lanjut PP No. 25 Tahun 2000. Sebagai tindak lanjutnya perlu dibuat Keputusan Gubernur tentang Pedoman Pengukuhan Kawasan Hutan dan Keputusan Bupati tentang petunjuk pelaksanaannya. 3. Susunan Panitia Tata Batas Kawasan Hutan agar disesuaikan dengan kriteria dan standar yang ada. Bupati atau Wali Kota sesuai dengan tanggung jawabnya adalah sebagai Ketua Panitia Tata Batas dengan unsur anggota mengacu kepada kriteria dan standar, khusus instansi kehutanan disesuaikan dengan instansi teknis kehutanan yang ada di Kabupaten/Kota. 4. Ketentuan pengakuan tentang keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat agar tetap mengacu pasal 67 Undang undang No. 41/1999. 5. Pelaksanaan penataan batas areal kerja pengusahaan hutan agar mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 900/Kpts-II/1999 dan Keputusan Direktur Jenderal INTAG No. 130/Kpts/VII-4/1998. 6. Sebagai tindak lanjut hasil-hasil identifikasi enclave dan untuk mewujudkan kawasan hutan yang mantap, telah disusun draft SK. Menhut tentang Penyelesaian Pemukiman dan Garapan Masyarakat dalam kawasan hutan. Daerah diharapkan memberikan masukan untuk penyempurnaannya. 7. Dinas Kehutanan Provinsi dan BIPHUT agar membantu percepatan dan penyelesaian review RTRWP/Pemaduserasian dan RTRWP di Propinsi Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah sebagai dasar untuk diterbitkannya Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan (dan Perairan) Provinsi yang bersangkutan.
.
8. BIPHUT dan Dinas Kehutanan Provinsi segera melakukan inventarisasi dan evaluasi rencana tata batas kawasan hutan dan perairan pasca pemaduserasian TGHK dan RTRWP/Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi, serta menyampaikan hasilnya ke Badan Planologi Kehutanan yang meliputi data tentang: Panjang hasil tata batas yang dipertahankan. . Panjang hasil tata batas yang akan hilang/dihapuskan. . Sisa panjang batas yang perlu diselesaikan. 9. Sesuai PP Nomor 25 tahun 2000 dan SK Menhut No. 70/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001, bahwa penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, tetap merupakan wewenang Menteri Kehutanan. 10. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kehutanan agar mengacu pasal 38 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. 11. Telah disusun Draft Keputusan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan sebagai penyempurnaan dari SK. Menhut No. 55/Kpts-II/1994 dan No 56/Kpts-II/1994. Daerah diharapkan memberikan masukan untuk penyempurnaannya. 12. Pembukaan Kawasan Hutan oleh Perusahaan Pertambangan sebelum ada persetujuan dari Departemen Kehutanan merupakan pelanggaran yang harus ditindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini tidak ada dispensasi untuk penggunaan kawasan hutan. 13. Sebelum ada ketentuan yang baru, dengan likuidasi Kanwil Departemen Kehutanan ke Dinas Kehutanan Propinsi, maka penandatanganan perjanjian pinjam pakai kawasan hutan yang selama ini oleh Kakanwil dilanjutkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Propinsi atas instruksi Gubernur. Hal ini telah disampaikan kepada Sekjen Dephut untuk dibuatkan Surat Edaran.
14. Kebijakan Departemen Kehutanan mengenai pinjam pakai kawasan hutan dikenakan kewajiban kompensasi yaitu: . ada propinsi yang luas kawasan hutannya < 30% dari luas daratan propinsi, kompensasi berupa lahan berikut mereboisasinya. . Pada propinsi yang luas kawasan hutannya > 30% dari luas daratan propinsi, kompensasi berupa merehabilitasi (termasuk mereboisasi) kawasan hutan rusak di lokasi lain dalam propinsi tersebut. 15. Sebagai tindak lanjut UU No. 41/1999 dan PP No. 25 /2000, telah disusun draft Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penatagunaan Kawasan Hutan yang memuat antara lain: . Kriteria dan standar Penentuan/Penetapan Fungsi Kawasan Hutan mengacu PP No. 47 tahun 1997 dan PP 68 tahun 1998. . Arahan pemanfaatan kawasan hutan.
.
Arahan penggunaan kawasan hutan.
Daerah diharapkan memberikan masukan untuk penyempurnaannya. 16. Adanya tumpang tindih antara areal kerja pengusahaan hutan dengan hutan lindung dan atau hutan konservasi berdasarkan penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi, alternatif penyelesaiannya: . Menghormati hak yang telah ada sampai habis masa berlakunya, dengan mewajibkan penerapan sistem sylvikultur intensif dan kaedah-kaedah konservasi sesuai fungsi pokok kawasan hutan. . Usulan pengurangan areal (revisi) disertai alasan-alasannya. TIM PERUMUS Ketua Sekretaris Anggota
: DR. Ir. Boen M. Purnama, M.Sc. : Ir. Bambang Trimulyo, M.F. : 1. Ir. Bambang Krimunadi, MM. 2. Ir. Edy Sardjono, MM. 3.
Ir. Mudjihanto Soemarmo, MM.
4.
DR. Ir. Dwi Sudharto, M.Si.
5.
Ir. Deddy Sufredy, M.Si.
6.
Ir. M. Ali Arsyad, M.Sc.
7.
Ir. Edi Suharno, MM.
8.
Ir. Deka Mardiko
9.
Dr. Drs. Wardoyo, M.Sc.
10.
Wakil BIPHUT II Palembang
11.
Wakil BIPHUT V Banjarbaru
12.
Wakil BIPHUT VI Manado
13.
Wakil BIPHUT X Jayapura
14.
Wakil Dishut Prop. Sumut
15.
Wakil Dishut Prop. Sulut
16.
Wakil Dishut Prop. Kalteng
17.
Ir. Chaerudin Mangkudisatra, M.Sc.
18.
Ir. Agus Pambudi