RUANG UTAMA
KUALITAS PELAYANAN PENANGANAN PERMASALAHAN HUKUM DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA DI LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH (LKPP) Oleh : Mita Widyastuti
Abstract One of the Government’s obligations is to give qualified public service. The fulfillment of the obligation is conducted through government bureaucracy and public institutions formation. LKPP is one of the institutions that has a duty to dispose policy and to give services related to good and service procurement. The need of LKPP existence is because there are still many problems faced in the good and service procurement, such as procurement technical problem and corruption. As a new institution, LKPP needs to do continous evaluation in giving service to the society. The researcher concludes that the service given by LKPP has fulfilled society’s expectation. Keywords : Public Service, Good and Service Procurement
Pengadaan Barang dan Pemerintah Bermasalah
Jasa
Menjadi kewajiban negara untuk memberikah pelayanan public, hal ini merupakan implementasi dari amanat yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Wujud dari kewajiban tersebut negara dituntut menyelenggarakan pelayanan publik yang sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Seiring dengan kemajuan proses demokrasi dan semakin membaiknya tingkat ekonomi, tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik juga meningkat. Pelayanan publik yang berkualitas yang ditandai diantaranya: tidak diskriminatif (pelayanan yang adil bagi seluruh masyarakat), efisien (biaya murah dan ada kepastian waktu), responsive, dan
bebas KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme). Era persaingan bebas, tuntutan terhadap pelayanan publik yang baik merupakan tuntutan yang harus dipenuhi. Pada tingkat global, kualitas pelayanan mempengaruhi menarik tidaknya investor ke Indonesia, hal itu berarti peluang bagi terbukanya lapangan kerja dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pentingnya pelayanan publik tersebut mendorong adanya penilaian kinerja layanan dalam skala regional maupun global yang dirilis setiap tahun. Pada tahun 2008 ini Indonesia menduduki peringkat 3 paling bawah pada skala ASEAN, peringkat pertama diduduki oleh Singapura dan Indonesia lebih baik sedikit dari Philipina dan Kamboja. Kinerja birokrasi masingmasing negara dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut ini:
Dari tabel diatas terlihat bahwa kinerja birokrasi kita dalam memberi pelayanan public yang berorientasi pada kemudahan berusaha masih jauh dari harapan. Hasil diatas perlu kita kritisi walaupun survey yang dilakukan IFC tidak mencakup semua aspek investasi, yaitu hanya terbatas pada regulasi berusaha. Perhitungan peringkat tidak mempertimbangkan kualitas infrastruktur, perlindungan hak milik dari pencurian, transparansi pengadaan barang pemerintah serta tidak mencerminkan kondisi makro ekonomi. Apabila keempat indicator diatas dimasukkan kemungkinan peringkat Indonesia dapat lebih jelek maupun lebih bagus, sangat tergantung pada bandingan kondisi Negara lain. Sungguhpun demikian, pemerintah terus-menerus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan baik oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan), Kementerian Dalam Negeri, maupun Kementerian lainnya. Berikut ini beberapa kebijakan Pemerintah dalam bidang pelayanan publik (Ratminto & Atik Septi Winarsih, 2005: 15-17): a. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 90/MENPAN/1989 tentang Delapan Program strategis Pemicu Pendayagunaan Administrasi Negara. Diantara delapan program strategis ini salah satunya adalah tentang penyederhanaan pelayanan umum.
Tabel 1 Perbandingan Kinerja Birokrasi Negara Anggota ASEAN Peringkat Kemudahan Berusaha Negara Singapura Thailand Malaysia Brunei Vietnam Indonesia Philipina Kamboja
Tahun 2007 1 15 24 78 91 123 133 145
Tahun 2008 1 13 20 88 92 129 140 135
Sumber:IFC, Doing Business Report, 2008
24 Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2011
untuk: (a). mengambil langkahlangkah penyederhanaan perizinan beserta pelaksanaannya, (b). memberikan kemudahan bagi masyarakat yang melakukan kegiatan di bidang usaha, dan (c). menyusun buku petunjuk pelayanan perizinan di daerah. f. Surat Edaran Direktur Jendral PUOD No 503/125/PUOD Tanggal 16 Januari 1996. Dalam surat edaran ini seluruh Pemerintah Daerah Tingkat II di Indonesia diperintahkan untuk membentuk unit pelayanan terpadu pola satu atap secara bertahap, yang operasionalnya dituangkan dalam Keputusan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. g. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No 100/757/OTDA Tanggal 8 Juli 2002 tentang Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal. h. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 63/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan. i. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 25/2004 tentang Indeks Kepuasan Masyarakat. j. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 26/2004 tentang Transparansi dan Akuntabilitas Pelayanan. k. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 118/2004 tentang Penanganan Pengaduan Masyarakat. l. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
b. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 1/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Ini adalah merupakan pedoman bagi seluruh aparat pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan umum, yang antara lain mengatur tentang asas pelayanan umum, tatalaksana pelayanan umum, biaya pelayanan umum, dan penyelesaian persoalan dan sengketa. c. Instruksi Presiden No 1/1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Inpres ini merupakan instruksi dari Presiden RI kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara untuk mengambil langkahlangkah yang terkoordinasi dengan Departemen/Instansi Pemerintah baik di pusat maupun di daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pelayanan Aparatur Pemerintah kepada masyarakat baik yang menyangkut penyelenggaraan pelayanan pemerintah, pembangunan, maupun kemasyarakatan. d. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 06/1995 tentang Pedoman Penganugerahan Penghargaan Abdistyabhakti bagi Unit Kerja/Kantor Pelayanan Percontohan. e. Instruksi Menteri Dalam Negeri No 20 Tahun 1996. Di sini Gubernur KDH Tk I dan Bupati/Walikotamadya KDH Tk II di seluruh Indonesia diinstruksikan
25 Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2011
dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah juga mengalami peningkatan. Pada 2008, pengaduan yang masuk mencapai 974 pengaduan dan pada 2009 meningkat menjadi 1.137 pengaduan. Mengingat permasalahan pengadaan barang/jasa pemerintah bersifat lintas sektoral, maka perlu dibentuk suatu lembaga yang bertugas membenahi proses pengadaan barang/jasa yang lebih akuntabel, mulai dari kebijakannya hingga monitoring, serta penanganan permasalahan hukumnya. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah berdiri pada bulan Mei 2008 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 tentang pembentukan LKPP. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah mempunyai tugas menyusun kebijakan dan memberi layanan yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa. Dalam menjalankan fungsinya LKPP memiliki 3 Kedeputian yaitu: Deputi SDM, Deputi Perencanaan dan Deputi Hukum dan Penyelesaian Sanggah. Agar dapat menjalankan visi dan misinya Kedeputian Hukum dan Penyelesaian Sanggah dibantu oleh 3 direktorat, yaitu Direktorat Bimbingan Teknis dan Advokasi, Direktorat Penyelesaian Sanggah dan Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum. Sebagai lembaga yang baru LKPP selalu melakukan pembenahanpembenahan atau perbaikanperbaikan dalam memberikan pelayanan dengan mengkaji proses pelayanan tersebut sehingga tercipta sistem pengadaan yang kredibel.
119/2004 tentang Pemberian Tanda Penghargaan “Citra Pelayanan Prima”. m. UU no 22 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dengan dikeluarkannya Undang-undang no 22 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik semakin menguatkan posisi pelayanan dalam praktek bernegara. Disamping itu pemerintah terus melakukan perbaikan-perbaikan kinerja pelayanan, juga mengembangkan lembaga-lembaga layanan baru yang dibutuhkan dalam memenuhi tuntutan masyarakat. Salah satu pelayanan publik yang diberikan pemerintah adalah dalam bidang pengadaan barang dan jasa. Dalam bidang pengadaan barang/jasa pemerintah ini masih banyak ditemui permasalahan yang diantaranya berujung pada permasalahan hukum. Sejak 2004 hingga 2009, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menangani 148 perkara tindak pidana korupsi. Dari jumlah itu, sebanyak 63 kasus atau 43 persennya terkait dengan pengadaan barang dan jasa dengan kerugian negara mencapai Rp 689,195 miliar. Kasus korupsi pengadaan barang dan jasa tersebut terbanyak dilakukan pada pengadaan barang dan jasa yang dilakukan dengan penunjukan langsung dengan kerugian negara mencapai Rp 649 miliar, sedang yang disebabkan mark up mencapai Rp 41,3 miliar (http://www.riaupos.com, 31 Desember 2009). Masih dari sumber yang sama data jumlah pengaduan masyarakat ke KPK yang terkait dengan tindak pidana korupsi
26 Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2011
mengajarkan adanya egaliter dan persamaan hak di antara warga negara (Agus Dwiyanto (ed), 2005: 143). Menurut paradigma new public service, administrasi publik harus melayani warga masyarakat bukan pelanggan (serve citizen, not customers); mengutamakan kepentingan publik (seek the public interest); lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entepreneurship); berpikir strategis dan bertindak demokratis (think strategic, act democratically); menyadari bahwa akuntabilitas bukan merupakan suatu yang mudah (recognize that accountability is not simple); melayani daripada mengendalikan (serve rather that steer); menghargai orang bukannya produktivitas semata (value people not just productivity). Dalam model ini, kepentingan publik dirumuskan sebagai hasil dialog dari berbagai nilai yang ada di dalam masyarakat. Kepentingan publik bukan dirumuskan oleh elite politik seperti yang tertera dalam aturan. Birokrasi yang memberikan pelayanan publik harus bertanggung jawab kepada masyarakat secara keseluruhan. Peranan pemerintah adalah melakukan negosiasi dan menggali berbagai kepentingan dari warga negara dan berbagai kelompok komunitas yang ada. Dalam model ini, birokrasi publik bukan hanya sekedar harus akuntabel pada berbagai aturan hukum, melainkan juga harus akuntabel pada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, norma politik yang
Permasalahan yang dihadapi Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum adalah kurang meratanya pelayanan yang diberikan, hal itu terlihat dari masih terbatasnya lembaga yang meminta pelayanan dan konsentrasi klien yang pada umumnya berasal dari Jawa dan Sumatra. Dengan adanya berbagai permasalahan diatas maka perlu dilakukan kajian yang dapat menjelaskan permasalahan yang dihadapi oleh Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum tersebut. Pergeseran Paradigma Pelayanan Publik Menurut perspektif teoritik, telah terjadi pergeseran paradigma pelayanan publik dari model administrasi publik tradisional (old public administration) ke model manajemen publik baru (new public management), dan akhirnya menuju model pelayanan publik baru (new public service) (Denhardt and Denhardt, 2000). Old public administration memandang birokrasi memonopoli layanan dan barang publik, kurang memperhatikan kualitas layanan dan barang publik, serta menempatkan pasar dan masyarakat pada posisi seadanya. Sebaliknya, dalam pandangan new public management, birokrasi diasumsikan tidak memonopoli layanan dan barang publik. Untuk beberapa hal melepas layanan kepada pasar dan menempatkan masyarakat pada posisi pelanggan (customer). Dalam model new public service, pelayanan publik berlandaskan teori demokrasi yang
27 Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2011
berlaku, standar profesional, dan kepentingan warga negara. Berdasarkan paradigma new public service, pelayanan publik yang ideal adalah yang responsif terhadap berbagai kepentingan dan nilai-nilai publik yang ada. Tugas pemerintah adalah melakukan negosiasi dan mengelaborasi berbagai kepentingan warga negara dan kelompok komunitas. Karena kepentingan warga negara dan kelompok komunitas bersifat dinamis, maka pemerintah harus merespon dinamika ini baik melalui survey, wawancara, atau dengan memembuat dan memperbaharui semacam citizen’s charter . Di samping itu, berdasarkan
teori demokrasi, pelayanan publik baru harus bersifat terbuka dan tidak diskriminatif. Hubungan yang terjalin antara birokrat publik dengan warga negara adalah hubungan impersonal sehingga terhindar dari nepotisme dan primordialisme. Layanan publik yang didasarkan pada perspektif new public service mempunyai prinsip birokrasi mengurangi memonopoli, sebagian urusan diserahkan kepada pasar. Birokrasi memperbaiki diri dengan menempatkan masyarakkat sebagai citizen yang dijamin haknya dalam konstitusi.
Dalam pandangan Albrecht dan
28 Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2011
mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Pada perkembangan terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Upaya meningkatkan kualitas pelayanan tidak hanya ditempuh melalui keputusan-keputusan sebagaimana tersebut di atas, tetapi juga melalui peningkatan kemampuan aparat dalam memberikan pelayanan. Upaya ini dilakukan dengan cara memberikan berbagai materi mengenai manajemen pelayanan dalam diklat-diklat struktural pada berbagai tingkatan. Tuntutan reformasi yang bergulir sejak tahun 1997, bersamaan dengan arus globalisasi yang memberikan peluang sekaligus tantangan bagi perbaikan ekonomi, mendorong pemerintah untuk kembali memahami arti pentingnya suatu kualitas pelayanan serta pentingnya dilakukan perbaikan mutu pelayanan. Perbaikan pelayanan pemerintah ini, tidak saja ditujukan untuk memberi iklim kondusif bagi dunia usaha nasional namun juga meningkatkan daya tarik arus investasi ke Indonesia karena kredibilitas dan kemudahan yang meningkat. Penyediaan pelayanan pemerintah yang berkualitas, akan memacu potensi sosial ekonomi masyarakat yang
Zemke (1990:41), kualitas pelayanan publik merupakan hasil interaksi dari berbagai aspek, yaitu: sistem pelayanan, sumberdaya manusia pemberi pelayanan, strategi, dan pelanggan (customers). Sistem pelayanan publik yang baik akan menghasilkan kualitas pelayanan publik yang baik pula. Sistem ini harus sederhana, jelas dan pasti, aman, terbuka, dan efisien. Dalam kaitannya dengan sumberdaya manusia (SDM) pemberi pelayanan, dibutuhkan petugas pelayanan yang mampu memahami dan mengoperasikan sistem pelayanan yang baik (professional). Selain itu mereka harus bersikap baik sehingga pihak yang dilayani merasa nyaman. Pada sisi yang lain, sifat dan jenis pelanggan yang bervariasi membutuhkan strategi pelayanan yang berbeda. Petugas pelayanan perlu mengenal pelanggan dengan baik sebelum dia memberikan pelayanan. Untuk mengenal pelanggan ini dapat ditempuh strategi Know Your Customers (KYC) atau Citizen’s Charter. Menurut DR.Ismail Mohamad (Deputi II Bidang Kajian Manajemen Kebijakan dan Pelayanan Lembaga Administrasi Negara), di Indonesia upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya juga telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain melalui Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha. Upaya ini dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Untuk
29 Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2011
(tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan. Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain: a. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali. b. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat. c. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut. d. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait. e. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian
merupakan bagian dari demokratisasi ekonomi. Penyedian pelayanan publik yang bermutu merupakan salah satu alat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang semakin berkurang, akibat krisis ekonomi yang terus menerus berkelanjutan pada saat ini. Hal tersebut menjadikan pemberian pelayanan publik yang berkualitas kepada masyarakat menjadi semakin penting untuk dilaksanakan. Dari hasil survey yang dilakukan UGM pada tahun 2002, diketahui bahwa dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan dan besar kecilnya rente birokrasi masih jauh dari yang diharapkan, namun secara umum stakeholders menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah. Oleh karena itu, dengan membandingkan upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah dengan kondisi pelayanan publik yang dituntut dalam era desentralisasi, tampaknya apa yang telah dilakukan pemerintah masih belum banyak memberikan kontribusi bagi perbaikan kualitas pelayanan publik itu sendiri; bahkan birokrasi pelayanan publik masih belum mampu menyelenggarakan pelayanan yang adil dan non-partisan. Menurut DR. Ismail Mohamad (2003:4-6), permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya
30 Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2011
tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan. f. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu. g. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan. Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empathy dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat. Sedang dilihat dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada desain organisasi yang
Indikator Kualitas Pelayanan Publik Berdasarkan pandangan Albrecht dan Zemke di atas dapat dikembangkan indikator kualitas pelayanan publik. Masing-masing variabel, yaitu: sistem pelayanan, sumberdaya manusia pemberi pelayanan, strategi, dan pelanggan selanjutnya dielaborasi ke dalam indikator-indikator. Untuk mengukur kualitas pelayanan public tidak cukup hanya menggunakan indikator tunggal, tetapi harus multi indikator atau indikator ganda. Berikut ini beberapa indikator kualitas pelayanan publik menurut beberapa pakar. Zeithaml, Parasuraman & Berry (1990:26) mengemukakan indikator kualitas pelayanan publik adalah: tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy (Agus Dwiyanto (ed), 2005: 148-149): 1. Tangibles, yaitu fasilitas fisik, peralatan, pegawai, dan fasilitasfasilitas komunikasi yang dimiliki oleh penyedia layanan. 2. Reliability atau reliabilitas adalah kemampuan untuk
31 Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2011
menyelenggarakan pelayanan yang dijanjikan secara akurat. 3. Responsiveness atau responsivitas adalah kerelaan untuk menolong pengguna layanan dan menyelenggarakan pelayanan secara ikhlas. 4. Assurance atau kepastian adalah pengetahuan, kesopanan, dan kemampuan para petugas penyedia layanan dalam memberikan kepercayaan kepada pengguna layanan. 5. Empathy adalah kemampuan memberikan perhatian kepada pengguna layanan secara individual. Lenvin (1990:188) mengemukan indikator kualitas pelayanan publik adalah responsiveness, responsibility, dan accountability: Sedangkan, Salim & Woodward (1992) menawarkan indikator: economy, efficiency, effectiveness, equity. Sementara berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) no 81/1995 menetapkan indikator-indikator kinerja organisasi publik dalam memberikan pelayanan publik, yaitu: kesederhanaan, kejelasan, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis, keadilan yang merata, dan ketepatan waktu. Indikator-indikator dari Menpan ini dipandang paling lengkap dan rinci sebagai elaborasi dari konsep Albrecht dan Zemke, sehingga ditetapkan sebagai indikator dalam kajian ini. Berikut ini uraian indikator menurut Menpan tersebut: 1. Kesedehanaan, yaitu prosedur atau tata cara pelayanan umum harus didesain sedemikian rupa
2.
3.
4.
5.
sehingga penyelenggaraan pelayanan umum menjadi mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan. Kejelasan dan kepastian tentang tata cara , rincian biaya layanan dan tata cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian layanan, dan unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum. Keamanan, yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas pada pelanggan dari adanya bahaya, resiko, dan keraguraguan. Proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum. Keterbukaan, yaitu bahwa pelanggan dapat mengetahui seluruh informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan jelas, yang meliputi informasi tata cara, persyaratan, waktu penyelesaian, biaya, dan lain-lain. Efisien, yaitu persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dan produk pelayanan publik yang diberikan. Disamping itu, juga harus dicegah adanya pengulangan di dalam pemenuhan kelengkapan persyaratan, yaitu mempersyaratkan kelengkapan persyaratan dari satuan kerja atau
32 Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2011
data yang akan dipergunakan dalam kajian ini antara lain: Pengambilan data primer, dilakukan dengan: a. Observasi, yaitu data yang diperoleh dengan melakukan pengamatan terhadap obyekobyek yang diperlukan dalam penelitian, dalam hal ini observasi dilakukan dengan mengamati gedung tempat pelayanan diberikan, ruang tunggu, ruang pelayanan (ruang konsultasi), performance petugas dan fasilitas pelayanan lainnya. b. Angket/kuestioner, yaitu dengan menyusun daftar pertanyaan yang harus diisi oleh responden. Daftar pertanyaan tersebut diberikan dengan pilihan jawaban tertutup maupun terbuka. Jawaban tertutup yaitu dengan memilih salah satu jawaban yang tersedia, sedang jawaban terbuka adalah jawaban yang diberikan secara spesifik oleh responden sesuai dengan pengalaman, pendapat maupun persepsi responden. c. Wawancara, yaitu dengan menanyakan secara langsung pada responden terhadap kuesioner yang telah disusun. Wawancara dilakukan dengan maksud agar peneliti dapat mendapatkan informasi atau keterangan secara mendalam terhadap pertanyaan sehingga diperoleh data yang sifat penjelasan kuesioner.
instansi pemerintah lain yang terkait. 6. Ekonomis, yaitu agar pengenaan biaya pelayanan ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan untuk membayar. 7. Keadilan yang merata, yaitu cakupan atau jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil. 8. Ketepatan waktu, yaitu agar pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Metode Penelitian PenelitIan ini merupakan penelitian survey yaitu sebuah penelitian dengan pengambilan data di lapangan dengan cara memberi pertanyaan pada responden menggunakan kuesioner serta mengambil sampel dari satu populasi. Penelitian survey umum dilakukan dalam kajian evaluasi, yang tujuannya mengukur keberhasilan dan mencari masukan-masukan bagi perbaikan sebuah program. 1.
Teknik Pengambilan Data
Dalam penelitian ini ada beberapa teknik pengambilan data yang dipakai secara bersamaan dengan maksud agar data yang didapat dari satu teknik dapat dilengkapi dengan teknik yang lain sehingga diperoleh data yang komprehensif. Teknik pengambilan
33 Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2011
2.
Teknik Pengambilan Sampel
a.
Populasi
untuk setiap jenis kasus. Berpedoman pada pendapat dari Arikunto apabila jumlah populasinya kurang dari 100 maka sebaiknya semua diambil sebagai sampel dan apabila populasinya kurang dari 100 maka peneliti bisa mengambil sampel 10% 15% atau 20% - 25%, sehingga jumlah sampel yang diambil sebanyak 20% yaitu berjumlah 30 lembaga.
Populasi dalam kajian ini adalah kasus-kasus yang datang dari lembaga atau satker maupun swasta yang menerima layanan dari Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum pada tahun 2009 dan 2010 (sampai bulan Agustus) baik berupa permasalahan sengketa kontrak, sengketa audit, pendampingan masalah hukum dan kesaksian ahli. Rekapitulasi data kasus yang masuk ke Direktorat Hukum dan Kesaksian Ahli adalah sebagai berikut:
Hasil Penelitian
Tabel 3 Rekapitulasi Kasus Pada Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum Tahun 2009 dan 2010 Tahu Tahun n No Keterangan 2010 1. 2009 1. Sengketa 6 8 Audit 2. Sengketa 5 24 kontrak 3. Pendamping an masalah 14 13 hukum 4. Kesaksian 50 52 Ahli Jumlah 75 99 Sumber: Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum 2009 & 2010
Berdasarkan data maka kasus yang masuk sebanyak 174 kasus atau sebanyak 104 lembaga, selanjutnya diambil sampel secara proporsional
Dalam pengambilan data lapangan, peneliti hanya dapat mewawancarai 19 responden dari 30 yang direncanakan, hal ini dikarenakan sempitnya waktu yang diberikan pada peneliti dan jangkauan responden yang menyebar di wilayah yang berjauhan. Namun, jumlah responden ini masih dalam koridor memenuhi persyaratan penelitian. Sebagai gambaran hasil penelitian ini akan diuraikan tiap variabel: 1.
Sarana dan Prasarana
Hampir seluruh responden menyatakan bahwa atribut layanan di LKPP, khususnya Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum sudah sangat baik, baik dari segi aksebilitas, kenyamanan, kelengkapan, tata letak interior dan kebersihan. Letak LKPP di Gedung Smesco yang berada di Jalan Gatot Subroto sudah sangat strategis, gampang dikenali dan dicapai dari dalam kota maupun luar kota Jakarta karena terletak pada jalan utama. Disamping itu, sarana gedung juga memadai dengan fasilitas parkir luas
34 Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2011
mensosialisasikan prosedur layanan lewat website LKPP maupun lewat leaflet yang tersedia di ruang tunggu. Responden menilai prosedur layanan ini dengan apa yang mereka rasakan pada saat berhubungan dengan LKPP, menurutnya mereka datang dan dilayani dengan cepat oleh petugas yang berada di front office (recepsionis) sehingga mereka menilai prosedur layanan sudah baik, jelas, mudah dipahami dan ringkas. Namun, dari sedikit responden yang memahami prosedur layanan mereka menyatakan prosedur layanan masih kurang ringkas (birokratis) sehingga berdampak pada waktu penyelesaian masalah. Beberapa hal yang seringkali dikeluhkan klien yang baru pertama kali datang berkonsultasi ke LKPP, mereka rata-rata kurang tahu atau tidak memiliki pengetahuan pembagian kerja (tupoksi) Direktorat pada Deputi Hukum dan Sanggah. Demikian pula dengan petugas yang berada di front office, mereka kurang memahami hal ini sehingga yang terjadi petugas di front office keliru mengkadapkan klien pada bagian yang bukan seharusnya menangani. Hal ini membuat pelayanan menjadi lebih panjang karena klien harus dialihkan ke bagian yang tepat menangani permasalahan klien. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dicarikan solusi lewat pengaturan dengan IT atau menyediakan seorang general affair di front office.
dan pengamanan memadai. Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum menempati salah satu space Gedung Smesco di lantai 7, memiliki ruang tunggu berdesain minimalis sekelas ruang tunggu di hotel berbintang, disamping itu juga tersedia ruang-ruang layanan konsultasi yang sangat memadai baik dari segi kerahasiaan/privasi, kenyamanan maupun kecukupannya. Penilaian positif seperti yang dikemukakan responden cukup beralasan, karena tidak seperti lembaga pemerintah pada umumnya kantor LKPP menempati 3 lantai Gedung Smesco dengan penataan yang demikian efisien dan terkesan sangat modern. Namun demikian, ada beberapa catatan yang dikemukanan responden berkaitan dengan sarana dan prasarana pelayanan tersebut, antara lain: pertama, kantor LKPP tidak memiliki penanda di luar gedung sehingga orang awam ataupun klien yang baru pertama kali ke LKPP akan kesulitan mencari keberadaan kantor LKPP. Kedua, ruang konsultasi terlalu minimalis (sempit) sehingga klien yang membawa rombongan banyak akan kesulitan diterima di ruang konsultasi. Ketiga, ruang parkir cukup luas namun masih kurang teratur dan masih belum dikelola secara maksimal serta minim petunjuk (rambu-rambu). 2.
Prosedur Pelayanan
Pada umumnya responden kurang mengetahui prosedur pelayanan di Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum, walaupun pihak direktorat telah
35 Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2011
3.
Waktu Pelayanan
Dari sisi penyelesaian waktu pelayanan, responden yang menerima layanan sengketa audit, sengketa kontrak dan pendampingan masalah hukum menilai waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah mereka masih terlalu lama. Mereka pada umumnya mengerti bahwa proses penyelesaian masalah harus melewati beberapa tahapan dan itu semua memakan waktu, konsekuensinya rekomendasi yang dikeluarkan menempuh waktu yang relative lama. Pada umumnya responden menginginkan waktu penyelesaian masalah lebih dipercepat karena rekomendasi dari LKPP sangat mereka harapkan, mengingat konsekuensi hukum dari kasus tersebut. Sedangkan menurut responden yang menerima layanan kesaksian ahli menilai pelayanan sudah cepat namun mereka menginginkan kecepatan bisa ditingkatkan. Mereka pada umumnya memaklumi kondisi LKPP saat ini, dimana saksi ahli yang dimiliki oleh Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum sangat terbatas. Diharapkan ada penambahan serta kaderisasi saksi ahli pada Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum.
Waktu pelayanan menjadi titik terlemah dari pelayanan Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum, walaupun secara keseluruhan klien masih menilai pelayanan yang diberikan Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum masih dalam kategori ke arah sangat memuaskan. Beberapa hal yang perlu dikemukakan dalam hal waktu pelayanan antara lain dinilai dari ketepatan jadwal pelayanan (buka tutup kantor), keberadaan petugas (baik penunjang maupun staf ahli) serta waktu penyelesaian pekerjaan. Dinilai dari ketepatan jadwal pelayanan maka responden menilai sangat tepat waktu, bahkan belum pernah ada keluhan responden/klien yang pada saat berkunjung ke kantor LKPP, kantor masih dalam kondisi belum buka, demikian juga dengan keberadaan petugas penunjang pelayanan. Pada jam kerja petugas penunjang layanan selalu ada ditempat, pada saat jam istirahat sudah ada pengaturan yang rapi sehingga front office tidak kosong. Lain halnya dengan keberadaan staf ahli, oleh karena kesibukan serta mobilitas tugasnya maka klien tidak selalu dapat menemui staf ahli setiap saat. Pada prinsipnya pihak Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum selalu mengatur staf ahlinya agar kantor tidak kosong, namun tidak selalu klien mau atau menghendaki dilayani staf ahli yang ada. Mereka pada umumnya harus membuat janji terlebih dahulu dengan staf ahli yang akan ditemui.
4.
Kompetensi Petugas
Manusia atau sumber daya manusia merupakan unsur penting dalam sebuah aktifitas pelayanan, terutama pelayanan yang memiliki output sebuah keputusan atau kebijakan. Dalam hal SDM pelayanan pada Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum dapat
36 Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2011
ketus, sangat zaklek, kurang dapat berimprovisasi.
dibedakan menjadi dua, yaitu SDM penunjang dan SDM inti yang berupa staf ahli atau konselor. Penilaian SDM penunjang ditekankan pada keramah-tamahan, kesopanan, kerapihan, kesigapan, responsiveness, empati serta kemampuan berkomunikasi. Dengan indikator tersebut, mayoritas responden menyatakan bahwa SDM penunjang yang ada sudah sangat memadai. Mereka pada umumnya sangat ramah, sopan, rapi, cepat tanggap terhadap tamu atau klien yang membutuhkan pelayanan. Sedikit kelemahan yang ada, mereka kurang memahami permasalah atau kebutuhan klien dengan tupoksi dalam struktur Deputi Sanggah dan Permasalahan Hukum umumnya serta Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum khususnya, sehingga sering terjadi kekeliruan dalam mendistribusikan klien vs staf ahli. Kriteria penilaian SDM inti lebih pada kemampuan memecahkan masalah, kompetensi/keahlian, pengalaman dengan tidak mengabaikan criteria yang sama bagi SDM penunjang. Pada umumnya responden menilai SDM inti memiliki kemampuan yang baik, sangat kompeten dan berpengalaman. Khusus untuk saksi ahli, seluruh responden menyatakan bahwa saksi ahli LKPP sangat kompeten, berpengalaman dan memiliki integritas yang tinggi. Dari seluruh response yang memberi penilaian mengenai SDM hanya satu responden yang memberi sedikit catatan untuk menjadi perhatian. Responden menyatakan bahwa ada 1 petugas yang dalam bertutur sedikit
5.
Produk Pelayanan
Salah satu tugas LKPP adalah mengeluarkan kebijakan yang menyangkut pengadaan barang dan jasa serta memberikan advokasi dan konsultasi, Deputi Hukum dan Sanggah adalah salah satu deputi yang langsung memberikan pelayanan pada stakeholder, sehingga bisa dikatakan bahwa Deputi Hukum dan Sanggah adalah ujung tombak bagi LKPP. Output pelayanan yang dihasilkan oleh Deputi Hukum dan Sanggah umumnya dan Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum adalah rekomendasi penyelesaian kasus dan pemberian saksi ahli. Dinilai dari rekomendasi yang diberikan pada klien maka seluruh responden menyatakan bahwa rekomendasi yang dikeluarkan sangat tepat, diharapkan dan ditindaklanjuti oleh instansi yang meminta rekomendasi. Sedangkan kesaksian yang diberikan oleh saksi ahli membantu dalam penyidikan, penuntutan maupun pemutusan perkara. Pada umumnya instansi yang meminta bantuan saksi ahli menyatakan sangat puas, sangat membantu menuntasan kasus yang ditangani. Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan dapat disimpulkan bahwa pelayanan yang diberikan Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum sudah sesuai standar pelayanan, dimana hampir seluruh responden yang diwawancara telah menyatakan pelayanan yang
37 Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2011
diberikan sangat memuaskan dan sudah sesuai harapan walaupun masih ada beberapa catatan atau masukan untuk perbaikan dimasa mendatang. Beberapa petikan wawancara peneliti tampilkan untuk mendukung kesimpulan diatas, antara lain. Salah satu responden menyatakan bahwa “pengalaman saya selama berhubungan dengan instansi pemerintah maka pelayanan LKPP adalah yang terbaik diantara instansi yang ada”. Sedang responden yang lain menyatakan bahwa “ pelayanan LKPP excellence, tidak ada yang perlu dikomentari”. Lebih jauh lagi seorang responden menyatakan bahwa “ saya tidak menyangka ada pelayanan sebaik itu, LKPP memberi inspirasi untuk menerapkan hal yang sama pada instansi yang saya pimpin. Saya bersyukur telah berhubungan dengan LKPP”.
2.
3.
Simpulan Kajian Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dari lapangan, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut: 1. Secara umum pelayanan yang diberikan oleh Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum dinilai sudah baik dan memadai oleh responden yang menerima layanan di kantor LKPP maupun lewat surat dan email, baik responden yang mewakili instansi yang pusat, propinsi maupun kabupaten/kota serta mewakili semua jenis layanan yang ada di Direktorat
4.
Penanganan Permasalahan Hukum dengan kisaran jawaban antara sangat memuaskan dan memuaskan. Layanan yang dinilai paling memuaskan pada umumnya diterima oleh lembaga yang meminta layanan pendampingan masalah hukum dan pemberian saksi ahli, sedang responden yang menerima layanan sengketa audit dan sengketa kontrak menilai layanan memuaskan dengan berbagai catatan terkait waktu penyelesaian masalah. Dinilai dari sub variable sarana dan prasarana, responden yang menerima layanan di kantor seluruhnya menyatakan bahwa tempat layanan, interior ruang, peralatan dan kebersihan tempat layanan sudah sangat memadai. Masukan atau catatan yang diberikan responden terkait papan nama lembaga tidak ada di luar gedung, ruang konsultasi terlalu kecil dan tempat parkir kurang teratur. Dilihat dari sub variable prosedur layanan, beberapa responden kurang memperhatikan prosedur yang ada, sedang responden yang memahami prosedur layanan menyatakan prosedur sudah jelas dan mudah dipahami serta prosedur dinilai sudah simple/ringkas, namun ada beberapa responden yang menyatakan walaupun prosedur layanan jelas dan mudah dipahami namun masih terasa birokratis. Disamping itu responden terkadang kesulitan
38 Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2011
5.
6.
7.
memilih jenis layanan yang diinginkan mengingat rata-rata responden kurang mengerti pembagian kerja di Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum khususnya dan Deputi Hukum dan Sanggah pada umumnya. Dinilai dari sub variable SDM penunjang pelayanan, mayoritas responden menyatakan bahwa kerapihan, keramahan, kesopanaan, kedisiplinan waktu, kesigapan, daya tanggap, kemampuan berkomunikasi dari petugas layanan sudah sangat memadai. Dinilai dari sub variable SDM staf ahli yang dimiliki Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum dinilai sangat memadai dan kompeten dibidangnya, dapat memberikan rekomendasi secara tepat, walaupun beberapa responden menilai dari sisi kuantitas masih sangat kurang sehingga penanganan permasalahan menjadi kurang cepat. Khusus untuk SDM saksi ahli dinilai sangat kurang jumlahnya karena hanya mengandalkan seorang saksi ahli untuk melayani permintaan seluruh Indonesia. Dinilai dari waktu penyelesaian masalah maka sebagian responden menilai sudah cepat namun sebagian responden menilai masih kurang cepat terutama dalam layanan sengketa kontrak dan audit. Khusus untuk jawaban kasus lewat surat
8.
9.
sebagian besar responden minta untuk lebih bisa diipercepat. Dilihat dari efektivitas layanan maka mayoritas responden menilai sudah efektif, Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum sangat membantu klien dan seluruh rekomendasi ditindaklanjuti oleh klien, namun dari sisi efisiensi dinilai masih kurang. Walupun secara keseluruhan pelayanan di Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum dinilai sudah baik dan memuaskan namun ada beberapa catatan dari responden antara lain: a. Secara umum waktu penyelesaian masalah masih dipandang terlalu lama, terutama dalam masalah sengketa kontrak. b. Belum adanya telpon khusus layanan (hot line) seringkali menyulitkan pihak penerima layanan untuk menanyakan atau mengkonfirmasi keberadaan surat maupun staf ahli yang akan ditemui. c. Persyaratan dokumendukumen kelengkapan kasus masih belum disosialisasikan dengan baik pada penerima layanan sehingga mereka telah siap saat berkonsultasi. d. Prosedur pelayanan dipandang birokratis sehingga memperlama waktu pelayanan. e. SOP layanan perlu disosialisasikan pada penerima layanan sehingga
39 Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2011
“Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi” yg diselenggarakan oleh Bappenas, pada tanggal 18 Desember 2003, di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat.
penerima layanan memahami proses pemberian layanan. f. Belum adanya data base kasus membuat pemberian advis maupun rekomendasi membutuhkan waktu yang lebih lama dan dikhawatirkan ada ketidakkonsistenan advis dan rekomendasi. g. Layanan lewat surat maupun lewat email terkadang tidak ditindaklanjuti.
Osborne, David and Peter Plastrik, 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government. Massachusetts: AddisonWestley Publishing Company, Inc. Ratminto & Atik Septi Winarsih, 2005. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daftar Pustaka: Subarsono, AG.2005. Pelayanan Publik Yang Efisien, Responsif, dan Non-Partisan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dwiyanto, Agus, dkk. 2001. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM.
Peraturan Perundangan: _______________, 2003a. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM.
UU Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Peraturan Presiden RI Nomor 106 Tahun 2007 Tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
_______________, 2003b. Teladan dan Pantangan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM.
Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
_______________(ed), 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mohamad, Ismail. 2003. Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi. Makalah disampaikan dalam seminar
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat.
40 Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2011
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 Tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 Tanggal 24 Februari 2004 Tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
41 Jurnal Madani Edisi II/ Nopember 2011