RUANG UTAMA
PILKADA KAB.BEKASI 2007: MENGAKHIRI SEBUAH KRISIS POLITIK Oleh : Adi Susila
Abstract Generally, the implementation of regional head and its vice election directly in Indonesia generates problems like horizontal conflicts among its candidate supporter. The result is by the time the regional election is finished, and the regional head with its vice are inaugurated, the problems are emerged as regional election’s excess. In fact, the problems end with law, and send the regional head or its vice to prison. Nevertheless, the direct election that happens for the first time in Bekasi, shows the opposite fact, where it can end the long political conflict in Bekasi. Therefore, it is interesting to analyze the 2007 regional election in Bekasi. This writing tries to cover this. Keywords : Otonomi, Demokrasi, Kesejahteraan Masyarakat A. Pendahuluan Di era otonomi daerah, Kepala Daerah mempunyai peranan yang strategis. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diharapkan berperan dalam pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi
antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disamping itu di era globalisasi ini yang ditandai dengan semakin tingginya tingkat persaingan, Kepala Daerah mempunyai kewajiban memajukan dan mengembangkan daya saing daerah. Selain memajukan
merupakan jabatan yang menggiurkan disebakan oleh kekuasaan besar yang melekat padanya, sehingga untuk meraihnya terkadang para kandidat menghalalkan segala cara. Dengan demikian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di satu sisi merupakan jabatan strategis namun di sisi yang lain sangat besar potensinya untuk disalahgunakan melalui praktek KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme). Itulah sebabnya proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah harus dipersiapkan secara matang bukan hanya para penyelenggaranya, namun juga masyarakat, pemerintah daerah, elit politik, lebih khusus lagi para kandidat dan partai pengusungnya. Belajar dari beberapa pemilihan kepala daerah langsung yang sudah dilaksanakan di tanah air sejak tahun 2005, nilai-nilai demokrasi dari pemilihan kepala daerah tersebut banyak dicederai oleh tindakantindakan yang dapat dikategorikan sebagai ‘kejahatan politik’, sehingga menurunkan kualitas demokrasi dalam pilkada. Kondisi ini tidak dapat dibiarkan karena akan menciptakan persepsi negatif masyarakat terhadap pilkada langsung. Hal ini sudah mulai terlihat dari komentar berbagai kalangan masyarakat yang menilai bahwa kita belum siap berdemokrasi; biaya pilkada langsung yang besar tidak sebanding dengan hasilnya. Hal ini karena hampir semua pilkada yang telah dilaksanakan berujung pada gugatan di pengadilan, bahkan di beberapa pilkada diwarnai dengan konflik dan kerusuhan. Akibatnya pilkada bukannya solusi malahan
dan mengembangkan daya saing daerah, kepala daerah juga mempunyai berbagai kewajiban sebagaimana diatur dalam UU 32/2004 sebagai berikut: menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik; melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah; menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah; menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD. Untuk mewujudkan amanah UU tersebut diperlukan figur Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang inovatif, berwawasan ke depan (visioner), dan siap melakukan perubahan ke arah yang lebih baik (progresif). Figur yang demikian hanya mungkin dijaring melalui kompetisi yang fair yaitu mekanisme pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang demokratis (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil / LUBER dan JURDIL). Meskipun kriteria serta kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana diamanatkan oleh UU tersebut di atas cukup berat, kenyataannya peminat calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah cukup tinggi. Apalagi jika nantinya dibuka pintu bagi calon independen. Hal ini menunjukkan bahwa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bagi sebagian orang
2 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
penghitungan suara berpotensi mengakibatkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada. Kondisi ini akan memudahkan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mencederai proses pelaksanaan pilkada dengan melakukan berbagai kecurangan. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pencegahan dengan cara memberikan pemahaman yang benar baik kepada aparatur penyelenggara pilkada maupun kepada masyarakat tentang berbagai peraturan pilkada mulai dari tahap pencalonan, pendaftaran pemilih, kampanye, pemungutan suara, dan penghitungan suara. Berkaitan dengan pencalonan, Undang-undang no 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah disebutkan bahwa peserta pemilihan adalah pasangan calon yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik secara berpasangan. Partai Politik atau gabungan Partai Politik tersebut harus memenuhi persyaratan yaitu perolehan sekurang-kurangnya 15 % dari jumlah kursi DPRD atau 15 % dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Mengacu pada pengalaman pemilihan Kepala Daerah di beberapa
menimbulkan masalah baru di daerah, sehingga pasangan kepala daerah terpilih banyak tersita waktunya untuk mengatasi ekses negatif dari pilkada. Berbagai bentuk ‘kejahatan politik’ yang sering terjadi dalam pemilihan kepala daerah langsung adalah pemalsuan dokumen pencalonan; penghilangan hak pilih; pelanggaran pidana dalam kampanye; ‘money politic’; intimidasi dan kekerasan; manipulasi suara; serta bentuk-bentuk kecurangan lainnya. Sementara itu menurut ketentuan UU 32 / 2004 pada paragrap ketujuh (pasal 115 – 119 ) disebutkan berbagai ketentuan pidana pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, diantaranya: memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian daftar pemilih; menghilangkan hak pilih seseorang; memalsukan surat keterangan yang berkaitan dengan pilkada; melakukan kekerasan dan intimidasi dalam pendaftaran pemilih; melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye; memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang ditentukan; memberikan suara lebih satu kali pada saat pemungutan suara; menghilangkan hak pilih orang lain; setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjajikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah; dsb. Selain itu rendahnya pengetahuan masyarakat tentang kompetensi calon, arti penting penggunaan hak pilih, serta tata cara pemungutan dan
3 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
yang oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pribadinya. Menyadari pentingnya mencari figur kepala daerah dan wakil kepala daerah yang benar-benar memenuhi harapan masyarakat dan sesuai dengan kebutuhan daerah di satu sisi, dan kelemahan sistem rekrutmen calon kepala daerah di sisi yang lain, perlu dilakukan terobosan untuk mengatasi kelemahan sistem rekrutmen tersebut. Untuk mendapatkan figur kepala daerah dan wakil kepala daerah yang benar-benar mendapat dukungan rakyat idealnya proses pencalonan pasangan calon kepala daerah tersebut melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Namun karena terdapat kendala peraturan perundangan, maka perlu dicari terobosan mekanisme pencalonan pasangan kepala daerah yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan Pilkada maupun peraturan perundangan lainnya. Ketentuan pasal 37 ayat 3 PP No 6/2005 menyebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik sebelum menetapkan pasangan calon wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat untuk dilakukan penyaringan sebagai bakal calon. Pertanyaannya bagaimana melaksanakan ketentuan ini?
propinsi dan kabupaten/kota menunjukkan bahwa proses pencalonan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik ini sangat potensial diwarnai kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), serta politik uang (money politics). Hal ini tidak terlepas dari proses rekrutmen di tingkat partai yang umumnya berlangsung tertutup dimana masyarakat luas tidak dilibatkan, sehingga melahirkan ‘politik dagang sapi’. Disamping itu, proses pencalonan yang hanya melalui satu pintu dan tidak dimungkinkannya calon independen di luar partai politik mengakibatkan proses pencalonan ini bersifat elitis dan berpotensi menghasilkan pasangan calon kepala daerah yang tidak sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat di daerah. Apabila ini terjadi proses pemilihan kepala daerah secara langsung terancam berlangsung di tengah apatisme masyarakat yang ditunjukkan rendahnya partisipasi masyarakat pada saat pemungutan suara sehingga legitimasi kepala daerah hasil pemilihan pun sangat rendah. Kondisi ini akan semakin menjauhkan daerah tersebut dari praktek-praktek good governance. Selain mengakibatkan apatisme masyarakat yang ditunjukkan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemungutan suara dalam pilkada, proses rekrutmen bakal calon kepala daerah yang tidak demokratis ini juga berpotensi menjadi bibit konflik yang dapat berujung pada kerusuhan dalam masyarakat. Konflik dan kerusuhan tersebut dipicu oleh ketidakpuasan proses rekrutmen bakal calon kepala daerah dan wakilnya
Selain persoalan pencalonan, kejahatan politik dalam Pilkada berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pilkada di beberapa
4 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
Kabupaten Bekasi 1999-2004, sedang pasangannya H. Adhy Firdaus adalah seorang pengusaha. Adapun Saleh Manaf adalah Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Bekasi, sedang pasangannya Solihin Sari adalah anggota DPRD Kabupaten Bekasi dari Fraksi Madani. Hasil perolehan suara dalam Rapat Paripurna Khusus tersebut adalah sebagai berikut: pasangan H. Wikanda Darmawijaya dan Abdul Rasyad Irwan Siswadi memperoleh 11 suara; pasangan H. Damanhuri Husein dan H. Adhy Firdaus memperoleh 10 suara; dan pasangan H.M. Saleh Manaf dan Solihin Sari memperoleh 24 suara. Namun pada saat selesai penghitungan suara yang seharusnya dilanjutkan dengan pengesahan hasil pemilihan, terjadi kericuhan. Karena situasi pada saat itu sudah tidak terkendali, maka Ketua Panitia Pemilihan menyatakan Rapat Paripurna Khusus dibatalkan padahal pada saat itu belum sempat dilakukan penandatanganan Berita Acara Pemilihan. Semenjak itulah Rapat Paripurna Khusus lanjutan untuk penandatanganan Berita Acara Pemilihan tidak pernah mencapai kourum karena hanya dihadiri paling banyak 26 orang anggota DPRD Kabupaten Bekasi dari total 45 anggota dewan. Akibatnya Berita Acara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bekasi 2003-2008 hanya ditandatangani 12 orang anggota Panitia Pemilihan dan 3 orang saksi pada Rapat Paripurna Khusus Tingkat I Lanjutan yang diadakan pada 3 Desember 2003. Padahal menurut
daerah juga berpotensi terjadi pada tahap-tahap penyelanggaraan pilkada lainnya seperti: tahap pendataan pemilih, kampanye, pengadaan logistik, rekrutmen penyelenggara Pilkada (KPPS, PPS, dan PPK), pendistribusian logistik termasuk kartu pemilih dan surat undangan, pemungutan suara, penghitungan suara sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahkan pada tahap persidangan apabila terjadi gugatan sengketa hasil pilkada. Jika di beberapa daerah, pemilu kepala daerah menjadi pemicu konflik dan kerusuhan, maka pemilihan kepala daerah secara langsung untuk yang pertama kalinya di Kabupaten Bekasi pada 11 Maret 2007 justru mengakhiri krisis politik selama kurang lebih tiga tahun (2003-2006). Krisis politik tersebut bermula dari pemilihan kepala daerah periode 2003-2008 pada 3 November 2003 yang pada saat itu masih berlangsung di DPRD Kabupaten Bekasi. Pada pemilihan tersebut bertarung tiga pasang calon bupati/wakil bupati, yaitu: pasangan H.Wikanda Darmawijaya dan Abdul Rasyad Irwan Siswadi yang dicalonkan Fraksi PDIP (13 kursi); pasangan H. Damanhuri Husein dan H. Adhy Firdaus yang dicalonkan Fraksi Partai Golkar (13 kursi); serta pasangan H.M Saleh Manaf dan Solihin Sari yang dicalonkan Fraksi Madani yang merupakan gabungan dari PPP, PKS, dan PBB (8 kursi). H. Wikanda adalah Bupati Bekasi periode 1998-2003, dan pasangannya Abdul Rasyad adalah anggota DPRD Kabupaten Bekasi dari Fraksi Madani; H. Damanhuri adalah Ketua DPRD
5 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
anggota beberapa fraksi besar dan adanya dugaan ‘money politic’. Hitungan di atas kertas, seharusnya pasangan yang diusung oleh Fraksi PDIP maupun Golkar minimal mendapat 13 suara sesuai dengan jumlah kursi yang dimilikinya. Kenyataannya mereka hanya memperoleh 10 dan 11 suara. Dengan demikian patut diduga kemenangan pasangan Saleh Manaf dan Solihin Sari disamping didapat dari sebagian besar suara Fraksi Madani (kemungkinan 6 suara) ditambah suara dari sebagian besar Fraksi TNI/POLRI dan pembelotan suara dari dua fraksi lainnya. Dugaan ini diperkuat oleh tindakan DPC PDIP Kabupaten Bekasi yang memecat 9 anggotanya dan DPD Partai Golkar memecat 2 orang anggotanya, serta menariknya dari keanggotaan DPRD Kabupaten Bekasi. Setidaknya dalam kasus ini ada dua fenomena yang menarik, yaitu perilaku pragmatis dan oportunis. Kenyataan ini semakin menguatkan pandangan bahwa dalam politik tidak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan. Faktor kepentinganlah yang melandasi posisi politik seseorang, sehingga bisa berpindahpindah posisi politik sesuai dengan kepentingannya. Bahkan dalam ‘kasus Bekasi ini’, seorang tokoh yang telah lama malang melintang baik sebagai birokrat maupun politisi, menyeberang ke partai pesaingnya demi mencalonkan diri menjadi bupati. Disini ada problem etika politik yang serius, karena para aktor politik tersebut dapat berpindah-pindah posisi politiknya dalam hitungan bulan.
ketentuan pasal 26 PP No 151/2000 jo. Pasal 31 Tatib Dewan, Berita Acara Pemilihan seharusnya ditandatangani oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota Panitia Pemilihan (14 orang) dan saksi-saksi yang terdiri dari unsur fraksi-fraksi. Dengan kondisi pengadministrasian hasil pemilihan yang kurang sempurna tersebut, Panitia Pemilihan melalui Wakil Ketua Panitia Pemilihan yang menandatangani berkas-berkas pemilihan mengirimkannya kepada Gubernur Jawa Barat pada 9 Desember 2003. Berdasarkan surat permohonan pengesahan tersebut, Gubernur Jawa Barat meneruskannya kepada Mendagri untuk mendapatkan pengesahan melalui surat tertanggal 12 Desember 2003. Atas dasar surat Gubernur Jawa Barat tersebut, Mendagri pada tanggal 8 Januari 2004 mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 131,32-36 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi dan Keputusan Mendagri Nomor 132,32-37 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi. Menindaklanjuti surat keputusan tersebut, pada tanggal 21 Januari 2004 Gubernur Jawa Barat atas nama Mendagri melantik dan mengambil sumpah H.M. Saleh Manaf dan Solihin Sari sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bekasi masa jabatan 2004-2009. Kericuhan yang mewarnai proses pemilihan bupati/wakil bupati tersebut dipicu oleh hasil pemilihan yang mengindikasikan adanya pembelotan
6 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
Kondisi ini diperparah dengan rendahnya kesadaran politik masyarakat yang berakibat rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat. Praktis, proses politik yang elitis tersebut berlangsung tanpa keterlibatan dan pengawasan masyarakat. Mobilisasi massa memang sering dilakukan oleh para elit politik, namun hal itu hanya sekedar ‘bumbu-bumbu’ yang tidak mempengaruhi kualitas proses politik di Kabupaten Bekasi.
polarisasi – ada orangnya bupati dan bukan orangnya bupati - menjadi landasan Bupati dalam melakukan mutasi pegawai. Adapun kebijakan-kebijakan Bupati yang ditentang oleh Dewan, diantaranya: penggantian Sekretaris Daerah; kebijakan pemberian tunjangan transportasi kepada guru sebesar 400 ribu rupiah per bulan; kebijakan penjualan aset Daerah; dan perpanjangan masa jabatan kepala desa. Penggantian Sekda ini pada awalnya barangkali dimaksudkan untuk memuluskan agenda kerja Bupati, namun di tengah perjalanan justru terjadi ketegangan antara Bupati dengan Sekda. Salah satu pemicunya adalah perbedaan pandangan antara Bupati dengan Sekda dalam persoalan perpanjangan masa jabatan kepala desa. Dengan demikian simpul-simpul ketegangan tersebut terdapat pada relasi Bupati-Dewan; Bupati-Sekda; dan Sekda-Dewan. Sepanjang hampir 3 tahun ketegangan tersebut diwarnai dengan demo-demo oleh kelompokkelompok masyarakat baik yang pro bupati maupun yang menentang bupati ke kantor Pemda dan ke kantor Dewan. Bahkan situasi ini telah menyeret para guru melalui PGRI dengan melakukan demo ke DPRD Kabupaten Bekasi. Idealnya, dengan semangat otonomi daerah untuk menciptakan good local governance, birokrasi Pemda Kabupaten Bekasi menjadi lebih profesional, transparan, efisien, efektif, akuntabel, dan responsif. Birokrat yang seharusnya menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan seperti fungsi regulasi,
B. Pemberhentian Kepala Daerah Kericuhan yang mewarnai pemilihan Bupati/Wakil Bupati Bekasi 2003-2008 berlanjut menjadi konflik antara Bupati/Wakil Bupati dengan DPRD Kabupaten Bekasi setelah pasangan Bupati terpilih dilantik oleh Gubernur Jawa Barat pada 21 Januari 2004. Sejalan dengan temuan Governance and Decentralizatin Survey 2002 (GDS 2002), konflik mulai terjadi ketika masing-masing pihak, baik legislatif maupun eksekutif, menginterpretasikan peran mereka sesuai dengan kepentingannya sehingga menimbulkan distorsi dalam memahami peran masing-masing (Agus Dwiyanto, 2003, h.66). Ketegangan hubungan ini berdampak pada kinerja birokrasi Pemda Kabupaten Bekasi yang tidak optimal. Disamping banyak kebijakan Bupati yang ditentang Dewan, secara internal juga muncul kasak-kusuk di kalangan birokrat Pemda Kabupaten Bekasi. Kasak-kusuk ini menambah keruh keadaan karena menimbulkan polarisasi di kalangan birokrat. Adanya
7 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
wacana khususnya di kalangan anggota DPRD Kabupaten Bekasi. Pertama, pandangan yang mengatakan bahwa pencopotan bupati dan wakil bupati tersebut tidak harus ditindaklanjuti dengan pemilihan kembali kepala daerah dan wakilnya. Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa karena hal ini hanya kesalahan administrasi, maka solusinya Mendagri cukup membuat SK baru setelah melalui perbaikan dengan mengangkat kembali Saleh Manaf dan Solihin Sari. Apalagi dalam putusannya, MA tidak memerintahkan untuk mengadakan pemilihan ulang maupun pemilihan kepala daerah secara langsung. Pandangan kedua, berpendapat bahwa pasca pencopotan bupati dan wakilnya tersebut harus segera ditindaklanjuti dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. Terlepas dari wacana yang berkembang tersebut, Mendagri kemudian menunjuk Sekretaris Daerah Kabupaten Bekasi menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Bekasi untuk melaksanakan tugas sehari-hari bupati. Di pihak lain, Saleh Manaf dan Solihin Sari melakukan dua upaya hukum sekaligus, yaitu: mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA), dan mengajukan permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Bekasi dengan Presiden Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi ke Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya kekosongan kepala daerah,
pelayanan publik, dan penegakan aturan, serta agenda otonomi daerah lainnya menjadi terhambat. Birokrat telah terseret ke dalam konflik politik. Bahkan gonjang-ganjing politik di Kabupaten Bekasi ini seolah mendapatkan momentum baru dengan disahkannya UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu ketentuan yang diatur dalam UU tersebut adalah mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung. Isu diselenggarakannya pemilihan kepala daerah secara langsung ini menguat terutama setelah Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengabulkan gugatan H. Wikanda Darmawijaya terhadap SK Mendagri tentang Pengangkatan Saleh Manaf dan Solihin Sari sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bekasi 2004-2009. Putusan ini tidak dapat langsung dieksekusi karena belum mempunyai kekuatan hukum tetap dimana pihak tergugat mengajukan banding. Pada tingkat banding, kemenangan berbalik pada Saleh Manaf dan Solihin Sari. Serunya, pada tingkat kasasi H.Wikanda Darmawijaya kembali memenangkan perkara ini melalui Putusan Mahkamah Agung No 436 K/TUN/2004 tertanggal 6 Juli 2005 yang inti amar putusannya adalah memerintahkan Tergugat (Mendagri) mencabut SK Pengangkatan Saleh Manaf dan Solihin Sari. Atas dasar Putusan MA tersebut, Mendagri H. Moh. Ma’ruf mengeluarkan SK tertanggal 4 Januari 2006 tentang Pencabutan SK Pengangkatan Saleh Manaf dan Solihin Sari. Setelah pencopotan tersebut berkembang dua
8 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
yaitu Putusan MA yang menolak PK dan Putusan MK yang menolak gugatan Saleh Manaf dan Solihin Sari, Mendagri melalui Gubernur Jawa Barat memerintahkan kepada Pjs. Bupati dan DPRD Kabupaten Bekasi untuk mempersiapkan dan memfasilitasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung. Persoalannya kini adalah kapan pemilihan tersebut harus dilaksanakan dan apa dasar hukumnya ?. Mengacu pada ketentuan pasal 35 ayat 3 UU 32/2004: “Dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerah diberhentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya, Rapat Paripurna DPRD memutuskan dan menugaskan KPUD untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak ditetapkannya penjabat kepala daerah”, maka dasar hukumnya jelas yaitu Keputusan Rapat Paripurna DPRD. Tetapi karena Surat Mendagri yang memerintahkan persiapan penyelenggarakan pemilihan kepala daerah turun pada saat jabatan Pjs. Bupati sudah memasuki bulan ke 5, untuk melaksanakan ketentuan pasal 35 tersebut DPRD menunggu perpanjangan masa jabatan Pjs. Bupati. Setelah Pjs. Bupati diperpanjang masa jabatannya (ditambah 6 lagi), maka DPRD Kabupaten Bekasi mengadakan Rapat Paripurna pada 31 Oktober 2006. Rapat paripurna tersebut menghasilkan SK DPRD Kabupaten Bekasi No: 30/kep/172.2-DPRD/2006 tentang Penugasan kepada KPUD
sementara persoalan hukum belum selesai, maka isunya kini beralih mengenai pengisian Pjs Bupati. Hal ini pun menjadi isu panas karena terjadi tarik menarik kepentingan antara eksekutif dengan legislatif. Setelah melalui serangkaian lobi, akhirnya DPRD Kabupaten Bekasi merekomendasikan dua nama, yaitu: Sekretaris Daerah dan mantan Sekretaris Daerah, untuk diajukan menjadi Pjs Bupati kepada Mendagri melalui Gubernur Jawa Barat. Barangkali ingin bersikap netral, Gubernur Jawa Barat justru merekomendasikan nama lain di luar dua nama yang diajukan oleh DPRD Kabupaten Bekasi. Dan nama yang direkomendasikan Gubernur tersebut akhirnya disetujui Mendagri, dan pada tanggal 26 April 2006 melalui SK Mendagri No 131.32 – 217 mengangkat H. Tenny Wisramwan – Kepala Badan Koordinasi Wilayah Purwakarta Jawa Barat – sebagai Pjs. Bupati Bekasi. Sesuai dengan ketentuan dalam UU 32/2004, Pjs. Bupati ini menjabat selama 6 bulan dan dapat diperpanjang 6 bulan lagi, sehingga maksimal masa jabatan Pjs. Bupati adalah satu tahun. Namun pada periode pertama (6 bulan pertama) masa jabatan Pjs. Bupati ini belum ada tanda-tanda akan segera dilaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Akibatnya beberapa kelompok masyarakat silih berganti melakukan demo-demo mendesak kepada DPRD Kabupaten Bekasi untuk segera mengagendakan pemilihan kepala daerah langsung. Baru setelah ada kepastian hukum
9 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
Bangunan politik dimana eksekutif kedudukannya kuat dimaksudkan agar pemerintahan dapat berjalan efektif. Hal ini belajar dari kasus pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sangat menguras energi bangsa ini. Dengan demikian baik Presiden maupun Kepala Daerah tidak lagi dijatuhkan karena alasan-alasan politik, namun karena alasan-alasan yang memang dibenarkan oleh undang-undang, seperti: korupsi, makar, dsb. Dalam UU 32/2004 pada bab yang mengatur mengenai pemberhentian kepala daerah dijelaskan bahwa kepala daerah dan atau wakil kepala daerah hanya dapat dijatuhkan di tengah masa jabatannya setelah ada keputusan hukum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dijelaskan pada pasal 29 UU 32/2004 bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan karena: berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru; tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan; tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah; dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah; tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah/wakil kepala daerah; melanggar larangan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah. Namun demikian terdapat beberapa ketentuan yang berpotensi menimbulkan multi tafsir dan menjadi ‘celah hukum’ bagi pihak-pihak yang inigin menjatuhkan kepala
Kabupaten Bekasi untuk menyelenggarakan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bekasi secara langsung. Dengan demikian dasar hukum penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di Kabupaten Bekasi ini berbeda dengan daerah lain yang kepala daerahnya berakhir sesuai dengan masa jabatannya. Pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati Bekasi 2003-2008 merupakan kasus yang menarik untuk dikaji dan dijadikan pelajaran. Pemberhentian kepala daerah di tengah masa jabatannya hampir tidak pernah ditemui pada masa pemerintahan Orde Baru. Sementara pada era reformasi ini, setidaknya ada lebih dari 5 kepala daerah yang diberhentikan di tengah masa jabatannya, diantaranya: Gubernur Lampung, Gubernur Banten, Gubernur Aceh, Bupati Kampar, Bupati/Wakil Bupati Bekasi, Bupati Temanggung, dan Bupati Garut. Inilah salah satu ekses demokratisasi yang perlu mendapat perhatian, karena cara ini telah mengilhami berbagai elit politik apabila mereka ‘bersengketa’ dengan kepala daerah/wakil kepala daerah. Akibatnya berbagai macam cara diupayakan dalam rangka melaksanakan agenda politik ini, mulai dari tekanan politik melalui DPRD, memanfaatkan ‘celah hukum’, hingga pengerahan massa. Padahal format politik yang dibangun pada era reformasi ini dimaksudkan agar pemerintah baik di Pusat maupun di Daerah dibawah kepemimpinan Presiden dan Kepala Daerah yang dipilih secara langsung dapat menyelesaikan masa jabatannya penuh selama lima tahun.
10 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
tingkat migrasi dimana banyak penduduk pendatang yang mencari pekerjaan dan bekerja di Kabupaten Bekasi. Komposisi jumlah pendatang dan penduduk asli yang berimbang, banyaknya warga perumahan, serta komuter yaitu warga Bekasi yang bekerja di Jakarta berpotensi menimbulkan permasalahan berkaitan dengan partisipasi masyarakat dan konflik horizontal yang dipicu oleh rendahnya tingkat kohesi antara pendatang dan penduduk asli. Sementara secara politik, kekuatan partai politik di DPRD cukup berimbang. Komposisi perolehan kursi pada Pemilu 2004 lalu adalah: Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memperoleh 8 kursi; Partai GOLKAR 12 kursi; Partai Demokrat 4 kursi; Partai Amanat Nasional (PAN) 1 kursi; Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 8 kursi; Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 6 kursi; Partai Bulan Bintang (PBB) 2 kursi; dan Partai Damai Sejahtera (PDS) 1 kursi. Berdasarkan perolehan kursi tersebut, maka hanya tiga partai yang langsung dapat mengajukan calonnya pada Pilkada mendatang tanpa berkoalisi, yaitu: PKS, Partai Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sementara partai lainnya harus bergabung untuk dapat mengajukan calonnya. Dengan tidak adanya partai yang dominan tersebut, maka pola penggabungan partai dalam Pilkada nanti akan berpengaruh pada peta politik di Kabupaten Bekasi. Apabila pencalonan nantinya mengambil pola maksimal yaitu 6 pasang calon, maka di atas kertas suara rakyat akan
daerah/wakil kepala daerah. Diantaranya adalah ketentuan ‘tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah’. Ketentuan ini yang pada dasarnya berkaitan dengan permasalahan administratif dapat meluas penafsirannya menjadi permasalahan politik. Sebagaimana ketentuan yang mengatur Penggantian Antar Waktu (PAW) anggota Dewan. Pada pasal 55 ayat 2b UU 32/2004 disebutkan bahwa anggota DPRD diberhentikan antar waktu arena ‘tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPRD’. C. Pilkada Kabupaten Bekasi 2007 Setelah mendapat perintah dari DPRD Kabupaten Bekasi, akhirnya KPU Kabupaten Bekasi dapat menyelenggarakan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung pada 11 Maret 2007. Penyelenggaraan Pilkada Langsung yang pertama di Kabupaten Bekasi tersebut layak mendapat perhatian khusus mengingat letak geografis, sosiologis, dan politis Kabupaten Bekasi yang strategis. Secara geografis, Kabupaten Bekasi yang berdekatan dengan Ibukota Negara Jakarta sangat strategis; apabila Pilkada gagal dan berujung kerusuhan maka akan berimbas pada Jakarta. Secara sosiologis, jumlah penduduk dan pemilih di Kabupaten Bekasi cukup besar. Pada Pemilu 2004 lalu, pemilih di Kabupaten Bekasi berjumlah 1.394.597 pemilih. Diperkirakan pada Pilkada 2007 jumlah ini akan meningkat menjadi sekitar 1,6 juta pemilih. Peningkatan ini terutama disumbang oleh tingginya
11 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
terpecah sehingga diduga tidak ada yang memperoleh suara lebih dari 25 %. Akibatnya Pilkada akan berlangsung dua putaran. Namun apabila ada yang memperoleh suara lebih dari 25 %, maka siapapun pemenangnya tidak akan mendapat dukungan yang signifikan dari DPRD. Akibatnya selama lima tahun ke depan hubungan DPRD dengan Bupati/Wakil Bupati akan diwarnai dengan ketegangan. Kedua situasi tersebut tidak menguntungkan bagi kondusifitas politik di Kabupaten Bekasi. Oleh karena itu diperlukan pemahaman bersama seluruh elemen masyarakat Kabupaten Bekasi untuk bersama-bersama menyiapkan situasi dan kondisi yang kondusif untuk terlaksananya Pilkada yang demokratis dan bebas dari ‘kejahatan politik’. Setelah melalui proses politik yang terkesan ‘emosional’, akhirnya Pilkada Kabupaten Bekasi 2007 diikuti 6 pasang calon: Wikanda Darmawijaya dan Daeng Muhammad yang diusung koalisi PAN dan partai-partai non parlemen; Saleh Manaf dan Omin Basuni yang diusung koalisasi PPP dan PBB; Memet Rokhimat dan Jejen Sayuti yang diusung PDIP; Sa’dudin dan Darip Mulyana yang diusung PKS; Munawar Fuad Noeh dan Adhi Firdaus yang diusung koalisasi Partai Demokrat dan PKB; serta pasangan Nachrawi Solihin dan Solihin Sari yang diusung Partai Golkar. Pelaksanaan pilkada Kabupaten Bekasi 2007 berlangsung lancer, aman, dan tertib. Walaupun terdapat gugatan dari pasangan Saleh Manaf dan Omin Basuni serta pasangan Memet
Rokhimat dan Jejen Sayuti, namun tidak mempengaruhi hasil maupun kondusifitas masyarakat. Kendatipun pasangan Sa’dudin dan Darip Mulyana sebagai pemenang hanya memperoleh suara 195.857 (25,01 %), dengan dilantiknya pasangan tersebut telah mengakhiri konflik politik yang panjang di Kabupaten Bekasi. Daftar Pustaka : Bryson, John M. 1988. Strategic Planning for Public and Nonprofit Organization. San Francisco: Jossey – Bass Publishers. Budiardjo, Miriam. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:Gramedia Budi Santosa, Priyo.1993. Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan Struktural. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Dwi Narwoko.J, Suyanto, Bagong. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada Media. Dwiyanto, Agus,dkk, 2001. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM. ________________, 2003a. Reformasi Tata pemerintahan dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM.
12 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
Widodo, Joko. 2005. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Malang: Bayumedia Publishing.
________________, 2003b. Teladan dan Pantangan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM. ________________, 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hoadley, Mason C. 2006. Quo Vadis Administrasi Negara Indonesia, antara Kultur Lokal dan Struktur Barat. Yogyakarta: Graha Ilmu. Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: Aksara Baru Nasucha, Chaizi, 2004. Reformasi Administrasi Publik, Teori dan Praktik. Jakarta: Grasindo. Rozi, Syafuan. 2006. Zaman Bergerak Birokrasi Dirombak: Potret Birokrasi dan Politik di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Schiller, Jim (ed). 2003. Jalan Terjal Reformasi Lokal: Dinamika Politik di Indonesia. Yogyakarta: Program Pascasarjana Politik Lokal dan Otonomi Daerah. Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Wahyudi, Agustinus. 1996. Manajemen Stratejik.Jakarta: Binarupa Aksara.
13 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009