Preface
2
Hal tersulit yang pernah kulakukan adalah mengakhiri sebuah hubungan dengan cara baik-baik. Bagaimana jika kalian berada dalam situasi seperti ini: mencintai seseorang yang sebenarnya tidak mencintaimu sepenuhnya. Apa yang akan kalian lakukan? Tetap mempertahankan hubungan itu, meski rasanya seperti menuangkan cuka di atas luka yang menganga. Atau, mengambil keputusan lain yang tidak kalah menyakitkan: Mengakhiri hubungan. Dan Ares memintanya padaku. “Dita, aku rasa, kita harus berpisah.” Itu menjadi siang paling memilukan di tengah musim panas yang cerah di Norfolk. Pernyataan itu mengancurkan hatiku – seperti gelas yang jatuh ke lantai. Drama ini semakin ironis, karena aku memikirkan hal yang serupa. Berpisah. Sebuah keputusan yang tidak ingin kupikirkan, apalagi kuucapkan pada Ares. Tapi, sebuah hubungan tidak bisa dibangun oleh satu orang. Ini tentang aku dan Ares. Haruskah aku bersikap egois untuk hubungan kami? Aku tahu, di hati Ares masih ada Fiona – gadis yang pernah mengisi relung hatinya tiga tahun yang lalu. Fiona yang berhasil meruntuhkan egonya. Fiona yang berhasil menariknya dari kesendirian. Fiona yang rela terbunuh di tangan ayahnya sendiri demi menyelamatkan Ares. Saat itu, Ares berada dalam posisiku sekarang: ditinggalkan seseorang yang pernah mencintainya. Dan Ares... tidak bisa melupakannya. Aku tidak bisa memaksa dia untuk mencintaiku sepenuhnya. Ini hanya akan menyakiti kami berdua. 3
Berpisah. Bukan putus. Apakah aku bisa bangkit setelah ini? Aku bahkan tidak dapat memikirkannya dengan baik. Hatiku pecah – kepingannya berserakan di jalan. Ares terlalu indah untuk kusimpan dalam kotak Masa Lalu.
4
Bagian Satu
5
6
First Sight (Beberapa hari sebelum Dita pergi ke Norfolk) Jadi duta besar? Amin! Tapi, jujur saja aku gugup untuk presentasi hari ini. Para mahasiswa dari jurusan Hubungan Internasional diminta untuk membuat ‘rapat PBB’. Kami, para mahasiswa asing, jelas ditunjuk untuk menjadi duta negara masing-masing. Bagian terburuknya, kami diminta untuk mengenakan pakaian khas dari negara masing-masing. Asjmejwmatg! “Belle1!” puji Lisa, room mate-ku selama di asrama yang berasal dari Italia. “Anggun, tapi berwibawa.” “Trims,” kataku masam. Memakai kebaya, meski nonformal, bagiku tetap aneh. Setidaknya, aku diperbolehkan memakai samping batik selutut dan widgets yang Nerva hadiahkan di ulang tahunku yang ke-20. Berbeda jauh dengan Lisa yang memakai pakaian khas Italia berupa gaun yang dominan berwarna biru. Setelah saling membantu untuk menata rambut dan make up, kami memutuskan untuk pergi ke aula tempat dimana presentasi akan dilaksanakan. Di sana, aku dibuat tercengang begitu melihat teman-teman seangkatanku mengenakan pakaian khas negara mereka. Keren. Rasanya seperti pertemuan para duta besar sungguhan! “Aku dengar, mahasiswa dari jurusan Jurnalis ikut membantu. Mereka jadi reporternya,” ujar Hye-jin, temanku yang
1
Cantik dalam Bahasa Italia 7
berasal dari Korea. Hanbok2-nya yang berwarna biru, kuning, dan merah itu membuatnya terlihat seperti aktris drama kolosal. “Kalian tahu kan mahasiswa Jurnalis kerennya itu kayak gimana?!” “Tahu si ketua dari Ohio University Journalist?” celetuk Lisa dengan alis naik-turun. “Adrian! Adrian Choi!” “Yang mirip Landon Pigg itu?” tanyaku yang disambut anggukan mantap Lisa dan Hye-jin. Adrian Choi - tidak, dia bukan orang Korea. Kata Hye-jin, nama Choi itu dia peroleh dari ayah tirinya yang berkebangsaan Korea. Nah, Adrian ini bisa dibilang salah satu dari ‘socalled most favorite guys’ di kampus. Seperti yang kukatakan tadi, dia mirip Landon Pigg, tapi Adrian memakai kacamata. Sebagai ketua dari Ohio University Journalist, Adrian pasti dikenal banyak mahasiswa di kampus karena artikelnya yang sering dimuat di berbagai media. Tidak jarang kami melihatnya berseliweran di kampus sambil menenteng DSLR keluaran terbaru. “Pokoknya,” seru Hye-jin dengan tangan terkepal di udara, “aku harus tampil keren supaya Adrian ngambil foto aku dan, who knows, diajak interview!” Lisa memutar bola matanya. “Hanya karena kalian punya nama Korea, eh?” Obrolan kami terinterupsi oleh Tuan Ryjeka, dosen berkebangsaan Irlandia, yang sudah berdiri di podium utama. Kami diminta untuk bersiap-siap karena presentasi akan dimulai lima menit lagi.
2
Baju tradisional Korea
8
Lisa, Hye-jin, dan aku saling menyemangati sebelum pergi ke kursi masing-masing.
“LIHAT TADI ADRIAN ADA DIMANA?” Hye-jin dan Lisa langsung mengarahkan tatapan mereka padaku. Oke, ini cukup mengintimidasi. Pertanyaan Hye-jin itu jelas sekali jawabannya: di belakang kursiku. “Dita, ya ampun, kamu nggak speechless gitu?” todong Hye-jin dengan dahi mengerut. “Tadi sikunya juga beberapa kali numpu di kursi kamu! Kalau ada di sana, aku pasti udah pingsan!” “Aku terlalu grogi buat speech. Jadi, nggak nyadar itu Adrian,” kataku datar. “Eh, tapi dia pakai baju apa tadi?” Lisa termenung. “Mantel biru dan scarf ala Timur Tengah. Gorgeous.” Oh waw, itu adalah salah satu penampilan terbaik Adrian. “Eh, jadi kan weekend ini kita jalan-jalan?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan. “We just passed a hectic week, butuh refresh otak!” Hye-jin dan Lisa bertukar pandang. “Kita harus spa!” Selanjutnya, kami berpisah untuk kembali ke asrama. Karena Lisa mendadak dipanggil dosen, aku memutuskan untuk ngopi sebentar di kafetaria kampus. Beberapa temanku yang ikut presentasi ada di sini. Juga… mahasiswa dari jurusan Jurnalistik. Okeee. Tiba-tiba, ada suara ‘klik’ dari samping yang mengagetkanku. Someone pictured me with camera! Aku menaruh cangkir dan begitu menoleh ke samping… Sayang, Hye-jin tidak ada di sini. 9
Itu Adrian dengan DSLR di tangannya. Sebuah senyuman hangat tersungging di wajahnya dan membuatku melongo seperti orang bodoh. Kemudian, tangannya menunjuk padaku dan DSLR - tanda minta maaf karena telah memotret tanpa izin. Aku mengangguk, lalu kembali menyeruput kopi. Tak lama kemudian, ada satu ‘klik’ lagi. Namun ketika aku menoleh, Adrian sudah pergi.
Mengantar dua teman ke bandara untuk ‘pulang kampung’ itu bikin miris. Gimana nggak? Lisa dan Hye-jin meninggalkanku di Athens sendirian untuk pulang ke Italia dan Korea di liburan musim panas ini selama dua bulan, sebelum kami menyelesaikan laporan terakhir. Sebenarnya, aku juga bisa pulang ke Indonesia, tapi buangbuang uang dan aku punya rencana untuk mengadakan trip ke beberapa kota di Amerika. Tapi… ah, I’m not that rich! Syukurlah, Helen datang sebagai penyelamat! Dia menawarkan liburan musim panas di Norfolk - kebetulan dia tinggal di apartemen dan butuh teman untuk menghabiskan waktu bersama. So, well, here I go, beach! Hanya ada segelintir mahasiswa yang masih tinggal di asrama karena belum memastikan kapan akan pergi. Aku sih sekitar empat hari lagi, karena masih ada beberapa urusan dengan dosen untuk laporan nanti. Siang ini, aku memutuskan untuk ngopi di sekitar halaman depan kampus yang sejuk. Di hari-hari biasa, banyak mahasiswa yang lalu-lalang di sini. Tapi, sekarang hanya aku dan pohon-pohon rindang, plus bangunan utama bertembok me10
rah yang memberi kesan kalau aku… seperti berada di tengah kastil tua. Tengkukku langsung menegang. Klik! Uuh, suara itu lagi! Kepalaku celingak-celinguk mencari orang yang tengah memotret di sini. Sampai mataku tertumbuk pada sosok yang berdiri tidak jauh dari pintu bangunan: Adrian Choi. Kali ini, dia tersenyum dan menghampiriku. Maksudku, iya, dia MENGHAMPIRIKU! Meski terlihat santai dengan t-shirt lusuh berwarna putih dan celana jins selutut, Adrian tetap keren bersama DSLR-nya itu. “Hai,” sapanya. “Kamu… gadis yang di kafetaria tempo hari itu, kan? With that dress…” “Kebaya,” sambarku cepat. Apa Hye-jin akan patah hati mengetahui hal ini? Tapi, aku tidak menyangkal rumor tentang Adrian yang memang good looking dan penuh pesona itu. Di tiga detik pertama, aku sempat terintimidasi. Adrian berdehem. “Kamu nggak pulang?” Aku menggeleng. “Indonesia terlalu jauh dan nanggung kalau pulang sekarang. I’ll go there in three or four months.” “Setelah masa kuliah kamu di sini habis?” tanyanya penasaran dan aku hanya mengangguk. Ada gurat penyesalan dalam wajahnya. “Sayang kita baru bisa ngobrol sekarang.” Alisku bertaut. Eh? Tangannya terulur padaku. “Adrian. And you suppose to be Dita, right?” “Eh?” Kali ini aku menyuarakannya dan, tanpa mengurangi rasa hormat, menjabat telapak tangan Adrian yang besar dan kokoh. Tinggi badannya sekitar 1,8 meter dan membuat kepalaku harus menengadah ke atas untuk menatapnya.
11
“Kamu pernah menulis review untuk buku Mitch Albom, kan, di koran kampus?” tanyanya lagi yang makin membuatku terkejut. “He’s such an inspiration.” Aku jadi mati gaya sekarang. “Itu memang review dariku. Tapi, udah lama, kan?” Adrian manggut-manggut; tangannya sibuk membersihkan lensa kamera. “Tapi, aku suka dengan review itu. Kalau bukan karena sibuk dengan dunia jurnalis dan tugas-tugas, kita mungkin sudah menjadi teman dekat sejak review itu terbit.” Aku tertawa miris sambil menggenggam kap kopi semakin erat. “Jadi, apa kamu… selama ini mengawasi aku?” “Hm?” Bola matanya yang secoklat hazelnut menilaiku sejenak. “Kurang lebih. Syukurlah ada presentasi dari jurusan HI. Kali pertama aku bisa berdiri sedekat itu dengan kamu.” Pipiku memanas. Wow, well, oke - this so called most favorite guy has been searching for me. “Jadi, sekarang apa?” Adrian menggumam, lalu matanya melirik kap kopiku. “Ah, kamu ternyata suka kopi, ya? Gimana kalau kita pergi ke kafetaria? Aku belum menerima asupan kafein hari ini.” Uh, aku minum kopi bukan karena suka, tapi hanya butuh stimulan untuk menyegarkan pikiran. Tapi… “Oke.” “Nah, itu bagus.” Adrian mengisyaratkanku untuk pergi. “Setidaknya, aku punya waktu untuk bicara dengan kamu sebelum pulang ke Seoul untuk liburan.” Mataku membelalak. Choi. “Seoul? Ke negara ayah kamu?” Langkahnya terhenti, lalu menatapku dengan sebuah senyuman miring di wajahnya. “Seems like you also have been watching me.” Aku menelan ludah. Duh.
12