asimu, Hannibal, dan itulah yang kulakukan. Hubungan kita tak pernah diwarnai pertimbangan pribadi dari pihakku. Dan akulah yang mengawasimu sekarang. "Tak pernah ada perjanjian untukmu dari Senator Martin, tapi sekarang ada. Atau sebenarnya bisa ada. Aku sampai berjam-jam menelepon untuk kepentinganmu dan kepentingan gadis itu. Aku akan menjelaskan syarat pertama: kau bicara hanya melalui aku. Hanya aku yang menerbitkan laporan tentang kasus ini, berdasarkan wawancara denganmu. Kau tidak menulis apa pun. Aku mendapat hak eksklusif atas semua bahan dari Catherine Martin, kalau dia bisa diselamatkan. "Syarat itu tidak bisa ditawar. Silakan jawab sekarang. Syarat itu kauterima atau tidak?" Dr. Lecter tersenyum sendiri. "Sebaiknya kaujawab sekarang, atau kau bisa memberi jawaban kepada Baltimore Homicide. Ini yang akan kauperoleh: Kalau kau mengidentifikasi Buffalo Bill dan gadis itu masih sempat diselamatkan, Senator Martin—dan dia bersedia memberi konfirmasi lewat telepon— Senator Martin akan mengurus kepindahanmu ke Brushy Mountain State Prison di Tennessee, di luar jangkauan pihak berwajib Maryland. Kau akan berada di wilayah hukum dia, jauh dari Jack Crawford. Kau akan ditempatkan di sel pengamanan maksimum dengan pemandangan ke hutan. Kau akan diberi buku. Dan kesempatan berolahraga di luar. Detail-detailnya masih harus dibicarakan, tapi Senator Martin bisa diajak berunding. Sebutkan nama asli Buffalo Bill dan kau bisa berangkat sekarang juga. Senator Martin setuju kau dijemput Tennessee State Police di lapangan terbang." Akhirnya Dr. Chilton mengatakan sesuatu yang menarik, tanpa menyadarinya. Dr. Lecter mengerutkan bibir di balik topeng hoki es. Dijemput polisi. Polisi tidak seteliti Barney. Polisi terbiasa menangani penjahat. Mereka cenderung memborgol tangan dan merantai kaki. Borgol dan rantai bisa dibuka dengan kunci borgol. Seperti punyaku. "Nama depannya Billy," Dr. Lecter berkata. "Selebihnya akan kukatakan langsung kepada Senator Martin. Di Tennessee."
Bab Dua Puluh Delapan
Jack Crawford menolak tawaran kopi dari Dr. Danielson, namun mengambil gelas plastik untuk mencampurkan Alka-Seltzer di tempat cuci tangan di belakang pos juru rawat. Segala sesuatu terbuat dari baja tahan karat: tempat gelas, counter, tempat sampah, bingkai kacamata Dr. Danielson. Benda-benda logam itu mengingatkan Crawford pada peralatan bedah, dan membuat jari manisnya terasa tidak nyaman di balik cincin kawin. Hanya ia dan Dr. Danielson yang berada di ruangan kecil itu. "Tidak bisa kalau tanpa surat perintah dari pengadilan," Dr. Danielson berkata sekali lagi. Ia bersikap ketus untuk mengimbangi keramahannya saat menawarkan kopi. Danielson adalah kepala Gender Identity Clinic di Johns Hopkins, dan ia bersedia menemui Crawford pagi-pagi sekali, sebelum berkeliling mengunjungi para pasien. "Anda harus memperlihatkan surat perintah untuk setiap kasus, dan masing-masing akan kami lawan. Tanggapan Columbus dan Minnesota sama seperti tanggapan saya,
bukan?" "Departemen Kehakiman sedang menghubungi mereka sekarang. Ini harus dilakukan secepat mungkin Dokter. Kalaupun gadis itu masih hidup, dia akan segera dibunuh—malam ini atau besok. Setelah ini akan ada korban berikut," ujar Crawford. "Menyebut Buffalo Bill dalam satu tarikan napas dengan masalah-masalah yang kami tangani di sini bukan saja bodoh dan tidak adil, tapi juga berbahaya, Mr. Crawford. Saya ngeri membayangkan akibatnya. Kami membutuhkan waktu bertahuntahun—dan sampai sekarang pun belum selesai— untuk memperlihatkan kepada masyarakat umum bahwa kaum transseksual bukan orang gila maupun orang aneh." "Saya sependapat dengan Anda..." "Tunggu dulu. Kekerasan jauh lebih jarang ditemui di kalangan transseksual dibandingkan di masyarakat umum. Mereka orang baik-baik yang mempunyai masalah serius—masalah yang takkan hilang jika tidak ditangani. Mereka patut memperoleh pertolongan, dan kami di sini sanggup memberikannya. Saya keberatan Anda mengobrak-abrik tempat ini. Kami belum pernah melanggar kerahasiaan pasien, dan kami takkan pernah melakukannya. Sebaiknya ini kita pakai sebagai titik tolak, Mr. Crawford." Dalam kehidupan pribadinya, Crawford sudah terbiasa menghadapi para dokter dan juru rawat untuk memperjuangkan keuntungan sekecil apa pun bagi istrinya. Ia sudah muak menghadapi dokter. Tapi ini bukan kehidupan pribadinya. Ini Baltimore dan ini tugas. Berusahalah untuk bersikap ramah.
"Kelihatannya maksud saya belum jelas bagi Anda, Dokter. Salah saya—sekarang masih pagi, dan saya agak lamban di pagi hari. Sebenarnya, pria yang kami cari justru bukan pasien Anda. Kami mencari seseorang yang ditolak karena pihak Anda menyadari dia bukan transseksual. Kami tidak sekadar mereka-reka. Saya akan memperlihatkan secara spesifik, bagaimana dia menyimpang dari pola transseksual tipikal dalam tes-tes kepribadian Anda. Ini daftar pendek berisi hal-hal yang bisa dicari staf Anda dalam catatan mengenai orang-orang yang ditolak."
Dr. Danielson menggosok-gosok hidung sambil membaca. Kemudian ia mengembalikan daftar itu. "Ini tidak lazim, Mr. Crawford. Ini bahkan bisa dikatakan sangat janggal, dan itu termasuk kata yang tidak terlalu sering saya gunakan. Boleh saya tahu siapa yang memberikan... kesimpulan ini?" Rasanya lebih baik Anda tidak tahu, Dr. Danielson. "Staf Ilmu Perilaku," sahut Crawford. "Bekerja sama dengan Dr. Alan Bloom dari University of Chicago." "Alan Bloom menyetujui ini?" "Dan kami juga tidak semata-mata mengandalkan hasil-hasil tes. Ada hal lain yang bisa jadi membuat Buffalo Bill mencolok dalam catatan Anda—kemungkinan besar dia berusaha menutup-nutupi catatan kriminal, atau memalsukan informasi latar belakang lainnya. Tolong perlihatkan daftar orang-orang yang pernah ditolak oleh Anda, Dokter." Danielson terus menggelengkan kepala. "Hasil pemeriksaan dan wawancara tergolong rahasia." "Dr. Danielson, bagaimana mungkin penipuan dan pemberian keterangan palsu digolongkan sebagai rahasia? Bagaimana mungkin nama dan latar belakang asli seorang penjahat termasuk dalam hubungan dokter-pasien, padahal dia tak pernah memberitahukanny kepada Anda, dan Anda sendiri yang harus men carinya? Saya tahu Johns Hopkins sangat teliti. Saya percaya Anda pernah mengalami kasus serupa. Orang orang yang kecanduan dioperasi akan mendaftarkan diri di tempat mana pun yang mungkin. Tapi ini bukan cerminan lembaga Anda maupun para pasien yang sah. Anda kira FBI tak pernah menerima lamaran dari orang gila? Sering sekali. Minggu lalu ada pria berambut palsu hendak mendaftarkan diri di St. Louis Dia membawa bazoka, dua roket, dan pisau unt menguliti beruang di kantong tongkat golfnya." "Dia diterima?" "Bantulah saya, Dr. Danielson. Kami sudah terdesak waktu. Sementara kita bicara di sini, Buffalo Bill mungkin sedang mengubah Catherine Martin menjadi seperti ini." Crawford menaruh selembar foto ke atas meja yang berkilau.
"Jangan coba-coba," ujar Danielson. "Ini kekanak-kanakan. Saya bekas dokter bedah militer, Mr. Crawford. Simpanlah foto Anda." "Memang, ahli bedah biasa melihat tubuh yang terkoyak-koyak," Crawford berkata sambil meremas gelas plastiknya "Tapi saya kira tak ada dokter yang tega melihat nyawa seseorang melayang siasia." Ia membuang gelas plastiknya ke keranjang sampah. "Ini tawaran terbaik yang bisa saya berikan: saya takkan meminta informasi mengenai pasien Anda, hanya informasi pendaftaran yang Anda pilah berdasarkan pedoman tadi. Anda dan dewan evaluasi psikiatri Anda jauh lebih cepat menangani lamaran lamaran yang ditolak daripada saya. Jika Buffalo Bill berhasil kami temukan berkat informasi Anda, hal tersebut akan saya rahasiakan. Saya akan mencari penjelasan lain untuk disampaikan kepada pers."
"Mungkinkah Johns Hopkins diikutsertakan dalam program perlindungan saksi, Mr. Crawford? Mungkinkah kami diberi identitas baru? Dipindahkah ke Bob Jones College, misalnya? Terus terang, saya sangsi apakah FBI atau lembaga pemerintah mana pun sanggup menjaga rahasia." "Anda akan terkejut." "Saya meragukannya. Berkelit dari dalih birokratis yang mencurigakan justru lebih parah akibatnya daripada berkata terus terang. Tolong jangan sekali-sekali Anda lindungi kami dengan cara itu, terima kasih." "Justru saya yang harus berterima kasih kepada Anda, Dr. Danielson, atas komentar-komentar Anda yang sangat menghibur. Komentar-komentar Anda sangat membantu—tepatnya bagaimana, akan segera saya jelaskan. Anda ingin bicara terus terang? Baiklah. Orang ini menculik wanita-wanita muda dan menguliti mereka. Kulit korbankorbannya lalu dipakai seperti baju. Kami tidak ingin dia berbuat begitu lagi. Kalau Anda tidak segera membantu saya, inilah yang akan saya lakukan: pagi ini juga Departemen Kehakiman secara terbuka akan meminta surat perintah pengadilan, dengan alasan Anda menolak memberi bantuan. Permintaan itu akan diajukan dua kali sehari, dan waktunya disesuaikan dengan jam siaran berita siang dan malam. Setiap keterangan pers dari pihak departemen akan melaporkan upaya kami untuk menjalin kerja sama dengan Dr. Danielson di Johns Hopkins. Setiap kali ada perkembangan baru dalam kasus Buffalo Bill—jika Catherine Martin ditemukan mengambang, jika korban berikut ditemukan mengambang, lalu yang berikutnya—kami akan memberikan keterangan pers mengenai upaya kami mengajak Dr. Danielson di-Johns Hopkins, lengkap dengan komentar Anda mengenai Bob Jones College. Satu hal lagi, Dokter. Anda tahu Health and Human Services bermarkas di sini, di Baltimore, bukan? Saya sedang memikirkr Office of Eligibility Policy, dan saya kira pikir; Anda sudah lebih dulu sampai di sana, bukan begitu? Bagaimana jika Senator Martin, beberapa waktu setelah pemakaman putrinya, bertanya kepada orang-orang di Eligibility: Bukankah operasi ganti kelamin yang Anda lakukan di sini sebenarnya termasuk bedah plastik? Barangkali mereka akan garuk-garuk kepala dan memutuskan, 'Wah, Senator Martin benar. Ya. Rasanya memang bedah plastik,' lalu program ini tak lagi memenuhi syarat untuk memperoleh bantuan pemerintah federal." "Anda menghina." "Bukan, saya bicara apa adanya." "Anda tidak bisa menggertak saya. Saya tidak takut..." "Bagus, sebab memang bukan itu tujuan saya, Dokter. Saya sekadar berharap Anda tahu saya serius. Bantulah saya, Dokter. Saya mohon." "Anda menyinggung Alan Bloom tadi." "Ya. University of Chicago..." "Saya kenal Alan Bloom, dan saya ingin membahas persoalan ini dengan sesama profesional. Beritahu dia saya akan menghubunginya pagi ini. Nanti siang Anda akan memperoleh keputusan saya. Saya pun peduli pada wanita muda itu, Mr. Crawford. Juga pada yang lainnya. Tapi banyak yang dipertaruhkan di sini, dan saya kira tidak semua implikasinya Anda pahami. Mr. Crawford, Anda sempat memeriksakan tekanan darah Anda belakangan ini?" "Saya melakukannya sendiri."
"Dan Anda juga menulis resep untuk diri Anda sendiri?" "Itu melanggar hukum, Dr. Danielson." "Tapi Anda punya dokter." "Ya." "Konsultasikanlah temuan Anda dengan dia, Mr. Crawford. Betapa ruginya kita semua kalau Anda mati mendadak. Saya akan mengabari Anda nanti." "Tepatnya kapan, Dokter? Bagaimana kalau satu jam lagi?" "Satu jam." Pager Crawford berbunyi ketika ia keluar dari lift di lantai dasar. Pengemudinya, Jeff, melambai-lambaikan tangan ketika ia menghampiri van. Dia mati dan mayatnya sudah ditemukan, pikir Crawford ketika mengangkat gagang telepon. Beritanya tidak seburuk yang sempat diduganya, namun tetap cukup buruk: Chilton turut campur dalam penyelidikan, dan kini Senator Martin ikut turun tangan. Jaksa Agung negara bagian Maryland, atas perintah Gubernur, mengizinkan ekstradisi Dr. Hannibal Lecter ke Tennessee. Upaya untuk mencegah atau menunda pemindahan itu menuntut segenap kekuatan Federal Court, District of Maryland. Direktur FBI menunggu keputusan Crawford, sekarang juga. "Tunggu sebentar," ujar Crawford. Ia menempelkan gagang telepon ke paha dan memandang ke luar jendela van. Fajar di bulan Februari bukan pemandangan berwarna-warni. Semuanya tampak kelabu serba suram. Jeff hendak mengatakan sesuatu, tapi Crawford menyuruhnya diam dengan isyarat tangan. Ego Lecter. Ambisi Chilton. Kecemasan Senator Martin mengenai keselamatan putrinya. Nyawa Catherine Martin. Putuskan. "Biarkan dia dibawa," ia akhirnya berkata.
Bab Dua Puluh Sembilan
Dr. chilton dan tiga polisi negara bagian Tennessee berbadan tegap berdiri di pelataran parkir pesawat yang diterpa angin. Matahari baru terbit. Mereka
terpaksa setengah berteriak untuk mengalahkan suara radio dari pintu Grumman Gulfstream serta ambulans di sisi pesawat itu. Kapten yang memegang komando menyerahkan pena kepada Chilton. Kertas-kertas yang hendak ditandatangani berkibar-kibar tertiup angin, dan petugas polisi itu harus ikut memegang clipboard. "Apakah ini tidak bisa dilakukan sesudah kita mengudara?" tanya Chilton. "Sir, urusan dokumentasi harus diselesaikan pada saat serah terima dilakukan. Itu perintah yang diberikan pada saya." Kopilot pesawat selesai memasang ramp pada tangga pesawat. "Oke," ia berseru. Dr. Chilton dan ketiga polisi pergi ke belakang ambulans. Mereka tampak siaga ketika Chilton membuka pintu, seolah menduga ada sesuatu yang akan meloncat keluar. Dr. Hannibal Lecter berdiri tegak di gerobaknya, terlilit jaring terpal, dengan wajah tertutup topeng hoki es. Ia sedang buang air kecil sementara Barney memegangi wadah penampungnya. Salah satu polisi mendengus. Kedua rekannya memalingkan wajah. "Sori," kata Barney pada Dr. Lecter, lalu menutup pintu kembali. "Tidak apa-apa, Barney," ujar Dr. Lecter. "Aku sudah selesai." Barney merapikan pakaian Lecter dan mendorongnya ke bagian belakang ambulans. "Barney?" "Ya, Dr. Lecter?" "Selama ini kau selalu bersikap sopan padaku. Terima kasih." "Kembali." "Kalau Sammie sadar lagi, tolong pamitkan aku padanya." . "Tentu." "Selamat tinggal, Barney." Penjaga berbadan besar itu membuka pintu dan memanggil para polisi. "Tolong angkat bagian bawahnya. Kiri-kanan. Kita turunkan bersama-sama. Pelan-pelan." Barney mendorong Dr. Lecter menaiki ramp dan masuk ke pesawat. Tiga kursi telah dicopot di sisi kanan. Si kopilot mengikat gerobak Dr. Lecter ke dudukan kursi di lantai. "Dia mau dibaringkan selama kita terbang?" tanya salah satu polisi.-"Mudahmudahan dia pakai celana karet." "Kelihatannya kau terpaksa menahan kencing sampai di Memphis, kawan," rekannya berkata kepada Lecter.
"Dokter Chilton, boleh saya bicara sebentar dengan Anda?" pinta Barney. Mereka berdiri di luar pesawat, sementara angin bertiup, membuat debu berputarputar di sekitar mereka.
"Orang-orang ini tidak tahu apa-apa," kata Barney. "Saya akan mendapat bantuan setelah kami sampai—penjaga-penjaga psikiatri berpengalaman. Dia tanggung jawab mereka sekarang." "Anda yakin dia akan diperlakukan dengan baik? Anda tahu sendiri bagaimana dia— dia harus diancam dengan kebosanan. Hanya itu yang ditakutinya. Memukulnya tidak ada gunanya." "Saya takkan mengizinkan itu, Barney." "Anda akan hadir pada waktu dia diinterogasi?" "Ya." Dan kau tidak, Chilton menambahkan dalam hati. "Saya bisa mengawal dia ke sana dan kembali hanya beberapa jam setelah shift saya berakhir," ujar Barney. "Dia bukan tugasmu lagi, Barney. Saya akan ada di sana. Saya akan memberitahu mereka cara menanganinya, setiap langkahnya." "Sebaiknya mereka memperhatikan penjelasan Anda," Barney berkomentar. "Dia akan memanfaatkan setiap kesempatan."
Bab Tiga Puluh
Clarice starling duduk di tepi tempat tidur di kamar motelnya. Selama hampir satu menit setelah Crawford menutup pembicaraan, ia terus menatap pesawat telepon berwarna hitam di hadapannya. Rambutnya acak-acakan dan tubuhnya terbelit gaun tidur FBI Academy, karena ia terus bolak-balik sepanjang tidurnya yang singkat. Perutnya serasa baru ditendang. Baru tiga jam berlalu setelah ia meninggalkan Dr. Lecter, dan dua jam setelah ia dan Crawford selesai menyusun daftar ciri untuk dibandingkan dengan lamaranlamaran di ketiga pusat medis. Dalam waktu demikian singkat, sementara ia tidur, Dr. Chilton telah mengacaukan semuanya. Crawford sedang dalam perjalanan untuk menjemputnya. Ia harus bersiap-siap. Persetan. PerSETAN. PERSETAN. Gara-gara kau dia akan mati, Dr. Chilton. Gara-gara kau dia akan mati, Dr. Fuck Face. Lecter masih menyimpan sesuatu, dan seharusnya aku bisa mendapatkannya. Sekarang kesempatan itu hilang, hilang. Hilang percuma. Kalau Catherine Martin ditemukan mengambang, kau akan kupaksa melihat mayatnya, aku bersumpah kau akan kupaksa. Satu-satunya kesempatan telah kaurebut dari tanganku. Aku harus mengerjakan sesuatu yang berguna. Sekarang juga. Apa yang bisa kulakukan di sini, saat ini juga? Merapikan diri. Di dalam kamar mandi ada keranjang kecil berisi batang-batang sabun yang masih terbungkus kertas, beberapa tube shampoo dan lotion, peralatan menjahit, perlengkapan yang biasa disediakan di motel berkualitas baik. Ketika melangkah ke shower, Starling teringat dirinya pada usia delapan tahun. Waktu itu ibunya mendapat pekerjaan membersihkan kamar-kamar motel, dan Starling biasa membawakan handuk, shampoo, dan sabun yang dibungkus kertas. Ketika ia berusia delapan tahun ada seekor burung gagak, dan burung gagak ini suka mencuri barang dari kereta petugas kebersihan motel. Burung tersebut mengambil apa pun yang berwarna cerah. Gagak itu menunggu kesempatan, lalu mengobrak-abrik peralatan kebersihan di kereta.
Kadang-kadang, jika terpaksa kabur untuk menyelamatkan diri, burung itu mengotori seprai-seprai bersih. Salah satu petugas kebersihan sempat melemparnya dengan pemutih, tapi hanya menghasilkan bercak-bercak putih pada sayap gagak itu. Gagak berbulu hitam-putih itu selalu menanti-nanti Clarice meninggalkan keretanya dan membawakan barang-barang untuk ibunya, yang bertugas menggosok kamar mandi. Ibunya berdiri di ambang pintu kamar mandi motel ketika memberitahu Starling bahwa ia harus pergi, Pindah ke Montana. Ibunya meletakkan handukhanduk di tangan Starling dan duduk di tepi tempat tidur motel, mendekapnya. Starling masih suka bermimpi mengenai gagak itu, dan kini burung tersebut mendadak terbayang di depan matanya. Starling mengangkat tangan untuk mengusirnya dan kemudian, seakan-akan perlu mencari pembenaran untuk gerakan itu, ia mengusap rambutnya yang basah. Ia berpakaian dengan cepat. Celana panjang, blus, serta sweter tipis. Revolvernya yang bermoncong pendek menempel pada rusuknya, sementara speedloadernya tergantung dari ikat pinggang. Blazernya perlu dibenahi sedikit. Benang jahitan di atas speed-loader telah berjumbai-jumbai. Ia merasa harus sibuk, sibuk, sampai ia berhasil menenangkan diri. Ia mengambil peralatan jahit yang disediakan oleh motel dan mulai mencopot benang. Crawford mengetuk pintu.
Bab Tiga Puluh Satu
Menurut pengalaman Crawford, wanita yang sedang marah menyebabkan rambut mereka acak-acakan di belakang dan mereka juga jadi lupa menutup ritsleting. Setiap ciri menjadi lebih menonjol. Starling tampak seperti biasa kamar motelnya, namun ia memang marah. Crawford sadar sisi lain dari Starling.
tampak jelek. Rasa marah mengacaukan rona muka; yang tidak atraktif ketika ia membuka pintu ia mungkin akan mengetahui
Wangi sabun dan udara panas lembap menyambut Crawford ketika Starling berdiri di ambang pintu. Selimut pada tempat tidur di belakangnya telah ditarik sampai menutupi bantal. "Bagaimana pendapatmu, Starling?" "Komentarku hanya persetan, Mr. Crawford. Bagaimana menurut Anda?" Crawford memberi isyarat dengan menggerakkan kepala. "Drugstore di pojok sana sudah buka. Kita minum kopi dulu." Udara terasa nyaman untuk bulan Februari. Matahari yang baru beranjak dari ufuk timur menyinari rumah sakit jiwa dengan cahaya kemerahan ketika mereka lewat. Jeff mengikuti mereka dengan van, radionya bergemeresik. Ia sempat menyodorkan gagang telepon ke luar jendela dan Crawford berbicara singkat dengan seseorang. "Apakah Chilton bisa kukenakan tuduhan menghalangi penegakan keadilan?" Starling berjalan agak di depan. Crawford melihat otot rahangnya mengencang setelah mengajukan pertanyaan itu. "Tidak, tuduhan itu akan ditepisnya dengan mudah." "Bagaimana kalau dia mengorbankan Catherine, bagaimana kalau Catherine tewas karena dia? Aku benar-benar ingin menghajarnya. Izinkan aku terus menangani kasus ini, Mr. Crawford.
Jangan suruh aku kembali ke sekolah." "Dua hal. Kalaupun kau kupertahankan di sini, itu bukan untuk menghajar Chilton, itu bisa menunggu. Kedua, kalau kau terus dipertahankan, kau akan terpaksa mengulangi kuliahmu dari awal. Kau akan kehilangan waktu beberapa bulan. Pihak Academy tidak memberi perlakuan khusus bagi siapa pun. Aku bisa menjamin kau akan diterima lagi, tapi tak lebih dari itu—kau akan mendapat tempat, hanya itu yang bisa kujanjikan." Sejenak Starling mendongakkan kepala. Kemudian ia kembali memandang ke depan. "Barangkali tidak sepantasnya aku menanyakan hal ini pada atasanku, tapi apakah Anda ada masalah? Apakah Senator Martin bisa mengotak-atik kedudukan Anda?"
"Starling, dua tahun lagi aku harus pensiun. Kalaupun aku menemukan Jimmy Hoffa dan pembunuh Tylenol, aku tetap harus berhenti. Jadi, soal kedudukan tidak masuk dalam pertimbanganku." Crawford sadar betapa ia ingin tampak arif. Ia tahu pria setengah baya dapat begitu dikuasai hasrat untuk tampil bijaksana sehingga berusaha mengarangngarang, dan ia pun menyadari betapa berbahaya kecenderungan ini bagi anak muda yang mempercayai segala ucapannya. Karena itu ia bicara dengan hati-hati, dan hanya mengenai hal-hal yang diketahuinya. Apa yang dikatakan Crawford kepada Starling di jalan suram di Baltimore itu dipelajarinya pada serangkaian fajar yang dingin membeku di Korea, dalam perang yang berlangsung sebelum Starling lahir. Ia tidak menyinggung soal Korea, karena ia tidak membutuhkannya untuk menegakkan wibawanya. "Sekaranglah masa yang paling sulit, Starling. Manfaatkanlah masa ini dengan baik, dan kau akan ditempanya. Kau sedang menghadapi ujian paling berat— jangan biarkan kemarahan dan frustrasi menghalangi akal sehatmu. Inilah yang menentukan, apakah kau bisa memimpin atau tidak. Bertindak menuruti emosi takkan membuahkan hasil. Chilton memang tolol, dan dia mungkin telah mengorbankan nyawa Catherine Martin. Tapi mungkin juga tidak. Kitalah satu-satunya kesempatan yang dimiliki Catherine. Starling, berapa suhu nitrogen cair di lab?'-' 'Apa? Ah, nitrogen cair... minus dua ratus derajat Celsius, kurang lebih. Titik didihnya sedikit lebih tinggi." ”Kau pernah menggunakannya untuk membekukan sesuatu?" "Tentu." "Kau harus membekukan sesuatu sekarang. Bekukan urusanmu dengan Chilton. Peganglah informasi yang kauperoleh dari Lecter dan bekukan emosimu. Kuminta kau tetap membidik sasaran utama, Starling. Hanya itu yang penting. Kau telah bekerja keras untuk mencari informasi, kau telah membayarnya dan mendapatkannya, dan sekarang kita akan memanfaatkannya. Nilai informasi itu tetap sama seperti sebelum Chilton ikut campur. Hanya saja Lecter kemungkinan besar akan tutup mulut setelah ini. Bekukan yang lainnya. Kemarahanmu, frustrasimu, Chilton. Bekukan. Pada waktunya nanti, kita akan menangani Chilton. Tapi untuk sementara lupakanlah dia. Supaya kau tetap bisa membidik sasaran utama, yaitu nyawa Catherine Martin. Dan Buffalo Bill. Kalau kau sanggup melakukan itu, maka kau diperlukan di sini." "Untuk mempelajari berkas-berkas medis?"
Mereka sudah sampai di depan drugstore. "Hanya kalau terpaksa. Aku membutuhkanmu di Memphis. Aku sangsi Lecter akan menceritakan sesuatu yang berguna kepada Senator Martin. Tapi aku ingin kau berada di sana, sekadar untuk berjaga-jaga— barangkali Lecter mau bicara denganmu kalau dia sudah bosan mempermainkan Senator Martin. Sebelumnya, kuminta kau mencari keterangan mengenai Catherine. Selidikilah bagaimana Bill menemukan dia. Kau sebaya dengan Catherine, dan teman-temannya mungkin mau menceritakan hal-hal yang takkan mereka ceritakan pada orang yang lebih kelihatan seperti polisi. "Kita juga masih punya jalur lain. Interpol sedang berusaha mengidentifikasi Klaus. Kalau jati diri Klaus sudah diketahui, kita bisa mengamati lingkungan pergaulannya di Eropa dan California, tempat dia berhubungan dengan Benjamin Raspail. Setelah ini, aku akan ke University of Minnesota— persoalan di sana perlu diluruskan—dan nanti malam aku akan berada di Washington. Biar aku saja yang mengantre untuk beli kopi. Panggil Jeff dan van-nya. Empat puluh menit dari sekarang, kau sudah harus ada di dalam pesawat." Matahari yang merah telah naik sampai tiga perempat tiang telepon. Trotoar masih tampak lembayung. Starling melambaikan tangan untuk memanggil Jeff. Perasaannya sudah lebih enak, lebih ringan. Crawford memang hebat. Ia sadar pertanyaan mengenai nitrogen tadi disengaja untuk menyinggung latar belakang forensik yang dimilikinya. Pertanyaan itu bertujuan membuatnya senang, sekaligus memicu kebiasaan untuk berpikir secara teratur. Starling sempat bertanya-tanya, apakah pria menganggap manipulasi seperti itu sebagai pendekatan halus. Anehnya, meskipun tahu telah dimanipulasi, ia tetap terpengaruh. Dan ia pun menyadari bahwa kepemimpinan merupakan bakat alam yang tidak bisa ditiru dengan teknik-teknik secanggih apa pun. Di seberang jalan, ia melihat seseorang menuruni tangga Baltimore State Hospital for the Criminally Insane. Orang itu Barney, yang tampak lebih besar lagi dari biasanya dengan jaketnya yang tebal. Barney membawa kotak makan siangnya. Tanpa bersuara Starling berkata, "Lima menit", kepada Jeff yang menunggu di dalam van. Kemudian ia menghampiri Barney yang sedang membuka pintu mobil tuanya. "Barney." Penjaga itu berbalik, tanpa ekspresi. Hanya matanya yang mungkin sedikit lebih lebar dari biasa. "Apakah Dr. Chilton berpesan bahwa kau tidak perlu kuatir?" "Apa lagi yang mungkin dikatakannya pada saya?" "Dan kau percaya?" Sudut mulut Barney bergerak ke bawah. Ia tidak menjawab ya atau tidak. "Saya mau minta tolong. Saya ingin kau melakukan sesuatu untuk saya, sekarang juga, tanpa bertanya. Saya akan bertanya baik-baik. Apa yang tersisa di sel Lecter?"
"Beberapa buku—Joy of Cooking, jurnal-jurnal medis. Berkas-berkas pengadilan sudah diangkut semua." "Bagaimana dengan gambar-gambar di dinding?" "Masih ada di situ." "Saya menginginkan semuanya dan saya sedang terburu-buru."
Barney berpikir sejenak. "Tunggu," katanya kemudian, dan ia kembali menaiki tangga. Langkahnya berkesan ringan bagi orang sebesar dirinya. Crawford sudah menunggu di dalam van ketika Barney keluar lagi sambil membawa gambar-gambar yang telah digulung dan kertas-kertas serta buku-buku yang telah dimasukkan ke kantong belanja. "Anda menyangka saya tahu ada alat penyadap di kursi yang saya bawakan untuk Anda?" Barney bertanya sambil menyerahkan bawaannya kepada Starling. "Entahlah, saya belum sempat memikirkannya. Ini, pakai pena saya untuk mencatat nomor teleponmu di kantong ini. Barney, menurutmu mereka sanggup menangani Dr. Lecter?" "Saya meragukannya dan saya sudah mengatakannya kepada Dr. Chilton. Tolong diingat bahwa saya memberitahu Anda, kalau-kalau dia lupa. Anda bisa dipercaya, Officer Starling. Ehm, kalau Anda berhasil meringkus Buffalo Bill?" "Yeah?" "Tolong jangan dibawa kemari, hanya karena di sini ada tempat kosong, oke?" Ia tersenyum. Giginya kecil-kecil. Mau tak mau Starling membalas senyumnya. Ia melambaikan tangan sambil berlari ke van. Crawford tampak senang.
Bab Tiga Puluh Dua
Grumman gulfstream yang membawa Dr. Hannibal Lecter mendarat di Memphis. Bannya meninggalkan asap berwarna biru ketika menyentuh landasan. Mengikuti petunjuk dari menara, pesawat itu segera menggelinding ke hanggar Air National Guard, menjauhi terminal-terminal penumpang. Dua kendaraan telah menunggu di dalam hanggar pertama, ambulans Emergency Service serta sebuah limusin. Dari balik kaca gelap limusinnya Senator Ruth Martin memperhatikan para polisi negara bagian menurunkan Dr. Lecter dari pesawat. Ia ingin menghampiri sosok terikat dan bertopeng itu untuk memaksanya buka mulut, tapi ia terlalu cerdas untuk berbuat sebodoh itu. Telepon Senator Martin berbunyi. Asistennya, Brian Gossage, segera meraihnya. "FBI—Jack Crawford," ujar Gossage. Senator Martin mengambil alih gagang telepon tanpa melepaskan pandang dari Dr. Lecter. "Kenapa saya tidak diberitahu mengenai Dr. Lecter, Mr. Crawford?" "Saya kuatir Anda akan bertindak seperti sekarang." "Saya bukan musuh Anda, Mr. Crawford. Kalau Anda memusuhi saya, Anda akan menyesal." "Di mana Lecter sekarang?" "Saya sedang menatapnya." "Dia bisa mendengar Anda?" "Tidak." "Senator Martin, dengarkan saya. Kalau Anda ingin memberikan jaminan pribadi
kepada Lecter, silakan. Tapi tolong biarkan Dr. Alan Bloom memberi penjelasan dulu sebelum Anda menemui Lecter. Bloom bisa membantu Anda, percayalah." "Saya sudah punya penasihat ahli." "Moga-moga lebih ahli dari Chilton." Dr. Chilton mengetuk jendela limusin dari luar. Senator Martin menyuruh Brian Gossage turun untuk bicara dengannya. "Persaingan intern hanya membuang-buang waktu, Mr. Crawford. Anda mengutus anak muda yang masih hijau untuk menemui Lecter, dengan membawa tawaran palsu. Saya bisa berbuat lebih baik. Dr. Chilton berpendapat Lecter akan menanggapi tawaran langsung, dan itu yang akan saya berikan—tanpa birokrasi, tanpa melibatkan persoalan pribadi, tanpa mempertanyakan kredibilitas. Kalau Catherine bisa diselamatkan, semuanya akan memperoleh pujian, termasuk Anda. Kalau dia... tewas, saya takkan peduli pada alasan apa pun." "Kalau begitu, manfaatkanlah kami, Senator Martin."
Senator Martin tidak menangkap nada marah dalam suara Crawford, hanya sikap tenang yang bertumpu pada profesionalisme. Ia menanggapinya. "Teruskan." "Jika Anda mendapatkan sesuatu, biarkan kami yang menindaklanjutinya. Pastikan kami memperoleh segenap informasi yang ada. Pastikan kepolisian setempat bersedia bekerja sama. Jangan sampai mereka mengira mereka dapat membuat Anda senang dengan mengucilkan kami." "Paul Krendler dari Kehakiman sedang dalam perjalanan ke sini. Dia akan mengaturnya." "Siapa yang memegang komando di sini sekarang?" "Mayor Bachman dari Tennessee Bureau of Investigation." "Oke. Kalau belum terlambat, halangilah peliputan pihak pers. Chilton sebaiknya Anda peringatkan tentang ini—dia suka mencari perhatian. Kami tidak ingin Buffalo Bill mengetahui apa pun. Kalau dia berhasil ditemukan, kami akan menerjunkan Hostage Rescue Team. Dia harus diringkus dengan cepat, untuk menghindari situasi penyanderaan. Anda sendiri yang akan bicara dengan Lecter?" "Ya?" "Maukah Anda bicara dengan Clarice Starling dulu? Dia sedang menuju ke sini." "Untuk apa? Dr. Chilton telah merangkum semua bahan untuk saya. Kita sudah terlalu lama membuang-buang waktu." Chilton kembali mengetuk kaca. Ia mengatakan sesuatu tanpa bersuara. Brian Gossage meraih pergelangan tangannya dan menggelengkan kepala. "Saya menginginkan akses kepada Lecter setelah Anda selesai bicara dengannya," ujar Crawford.
"Mr. Crawford, dia berjanji akan memberikan nama Buffalo Bill dengan imbalan berupa berbagai fasilitas. Kalau janjinya tidak dipenuhi, saya tidak peduli dia diapakan oleh Anda." "Senator Martin, saya tahu ini masalah sensitif, tapi saya harus mengatakannya kepada Anda: apa pun yang Anda lakukan, jangan memohon-mohon kepada Lecter." "Oke, Mr. Crawford. Maaf, saya tidak bisa bicara lama-lama." Wanita itu meletakkan telepon. "Kalaupun aku keliru, Catherine takkan lebih mati dari keenam korban sebelumnya yang kalian tangani," ia bergumam, lalu melambaikan tangan sebagai isyarat agar Gossage dan Chilton naik ke limo. Dr. Chilton telah minta agar pihak berwenang menyiapkan ruang kantor di Memphis, tempat Senator Martin akan bicara dengan Hannibal Lecter. Guna menghemat waktu, ruang brifing Air National Guard di dalam hanggar ditata ulang secara tergesagesa untuk pertemuan tersebut. Senator Martin diminta menunggu di hanggar, sementara Dr. Chilton menyiapkan Lecter di dalam ruang kantor dadakan itu. Namun Senator Martin tidak sanggup menunggu di dalam mobil. Ia berjalan mondar-mandir sambil menatap atap hanggar yang tinggi dan garis-garis di lantai. Satu kali ia berhenti di samping pesawat Phantom F-4 lama dan menyandarkan kepala pada sisi pesawat yang dingin. Pesawat ini lebih tua dari Catherine. Ya Tuhan, jangan berpikiran macam-macam. "Senator Martin," Mayor Bachman memanggilnya. Chilton melambaikan tangan dari pintu. Di dalam ruangan itu ada meja untuk Chilton, serta kursi-kursi untuk Senator Martin dan asistennya serta untuk Mayor Bachman. Juru kamera video telah siap meliput pertemuan itu. Kehadirannya diakui Chilton sebagai salah satu tuntutan Lecter. Penampilan Senator Martin cukup meyakinkan. Setelan jas yang ia kenakan mencerminkan kekuasaannya. Gossage pun telah disuruh memoles diri. Dr. Hannibal Lecter menduduki kursi besar yang dibaut ke lantai di tengah ruangan. Jaket pengaman serta ikat kaki ditutupi selimut yang sekaligus menyembunyikan rantai yang menahannya di kursi. Meski begitu, ia tetap memakai 'topeng hoki es agar tidak bisa menggigit. Kenapa? Senator Martin terheran-heran—gagasan semula adalah mengembalikan martabat Dr. Lecter dalam suasana kantor. Senator Martin menatap Chilton sambil mengerutkan kening, lalu berpaling kepada Gossage untuk minta kertas. Chilton melangkah ke belakang Dr. Lecter dan, sambil melirik ke kamera, membuka ikatan dan melepaskan topeng dari wajah Lecter. "Senator Martin, perkenalkan Dr. Hannibal Lecter." Sikap pamer yang diperlihatkan Chilton menyebabkan Senator Martin merinding. Segala kepercayaannya pada orang itu mendadak lenyap, dan ia sadar ia berhadapan dengan orang bodoh. Namun terlambat, ia terpaksa maju terus. Beberapa helai rambut Dr. Lecter jatuh ke antara matanya yang berwarna merah maroon. Wajahnya sepucat topengnya. Senator Martin dan Hannibal Lecter berpandangan, yang satu cerdas luar biasa dan yang satu lagi tak dapat diukur dengan cara apa pun yang diketahui. Dr. Chilton kembali ke mejanya dan angkat bicara sambil menatap semua orang: "Dr. Lecter telah memberi isyarat kepada saya, Senator, bahwa dia hendak membantu penyelidikan ini dengan menyumbangkan informasi yang dimilikinya. Sebagai imbalan, dia mengharapkan kebijaksanaan khusus menyangkut kondisi penahanannya."
Senator Martin mengangkat selembar kertas. "Dr. Lecter, ini surat perjanjian yang akan saya tanda tangani sekarang. Di sini dikatakan bahwa saya akan membantu Anda. Anda mau membacanya dulu?" Senator Martin menduga Lecter takkan menjawab, dan ia sudah berpaling ke meja untuk membubuhkan tanda tangan ketika Lecter berkata, "Saya tidak mau menyia-nyiakan waktu Anda dan Catherine dengan tawar-menawar mengenai hal-hal sepele. Sudah terlalu banyak waktu terbuang oleh orang-orang yang sibuk memikirkan karier mereka. Saya akan membantu Anda, dan saya percaya Anda akan membantu saya setelah urusan ini selesai." "Saya takkan mengecewakan Anda. Brian?" - Gossage menyiapkan buku notesnya. "Buffalo Bill sesungguhnya bernama William Rubin. Dia dikenal sebagai Billy Rubin. Dia pertama kali mengunjungi saya bulan April atau Mei 1975 karena ajakan pasien saya, Benjamin Raspail. Dia mengaku bertempat tinggal di Philadelphia, saya tidak ingat alamatnya, tapi dia menumpang di rumah Raspail di Baltimore." "Di mana catatan Anda?" Mayor Bachman menyela. "Catatan saya dimusnahkan atas perintah pengadilan, tidak lama setelah..." "Seperti apa tampangnya?" Mayor Bachman bertanya. "Nanti dulu, Mayor. Senator Martin, satu-satunya..." "Saya membutuhkan usia dan deskripsi fisiknya, apa saja yang Anda ingat," Mayor Bachman mendesak. Dr. Lecter langsung menutup diri. Pikirannya beralih ke hal lain—studi anatomi Gericault untuk The Raft of the Medusa—dan ia tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia mendengar pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Ketika Senator Martin berhasil meraih kembali perhatiannya, mereka hanya berdua di dalam ruangan itu. Senator Martin memegang buku notes Gossage. Dr. Lecter menatapnya. "Bendera itu berbau cerutu," katanya. "Apakah Catherine diberi ASI dulu?" "Maaf? Apakah...?" "Apakah dia diberi ASI?" "Ya." "Tugas itu membuat haus, bukan...?" Sorot mata Senator Martin meredup, dan sejenak Lecter menikmati kepedihannya. Cukup dulu untuk hari ini. Ia melanjutkan, "Tinggi badan William Rubin sekitar satu delapan lima, dan mestinya dia sekarang berusia tiga puluh lima tahun. Badannya tegap— ketika bertemu saya, beratnya kurang-lebih sembilan puluh lima kilo, dan saya kira telah bertambah sejak itu. Rambutnya cokelat dan matanya biru pucat. Berikan dulu informasi ini kepada mereka, setelah itu kita lanjutkan." "Baiklah," ujar Senator Martin. Catatannya diserahkan keluar. "Saya hanya satu kali bertemu dengannya. Dia sempat membuat janji lagi, tapi
tidak muncul." "Kenapa Anda menduga orang ini Buffalo Bill?" "Waktu itu pun dia sudah membunuh, dan melakukan hal-hal serupa dengan para korbannya, dari segi anatomi. Dia mengaku mencari bantuan untuk menghentikan perbuatannya, tapi sebenarnya dia hanya ingin pamer." "Dan Anda tidak—dia yakin Anda takkan melaporkannya kepada pihak berwajib?" "Kelihatannya begitu. Dia memang gemar mengambil risiko. Dia tahu saya tetap menjaga rahasia-rahasia temannya, Raspail." "Raspail tahu dia melakukan hal-hal tersebut?" "Raspail sendiri mempunyai kecenderungan abnormal—tubuhnya penuh bekas luka. "Billy Rubin pernah menyinggung catatan kriminalnya, namun tidak menyebutkan detail-detailnya. Saya sempat membuatkan catatan medis singkat. Tak ada yang istimewa, kecuali satu hal: Rubin bercerita dia pernah terkena penyakit antraks gading gajah. Hanya itu yang saya ingat sekarang, Senator Martin, dan Anda tentunya ingin segera pergi. Kalau ada hal yang teringat, saya akan mengabari Anda." "Apakah Billy Rubin pembunuh orang yang kepalanya ditemukan di dalam mobil itu?" "Saya kira ya." "Anda tahu namanya?" "Tidak. Raspail memanggilnya Klaus." "Apakah hal-hal lain yang Anda ceritakan kepada FBI memang benar?" "Paling tidak, sama benarnya dengan hal-hal yang diceritakan FBI kepada saya, Senator Martin." "Saya telah mengatur akomodasi sementara untuk Anda di Memphis sini. Kita akan membicarakan situasi Anda dan Anda akan dipindahkan ke Brushy Mountain kalau urusan ini... setelah urusan ini selesai." "Terima kasih. Saya ingin minta pesawat telepon, kalau-kalau saya teringat sesuatu." "Akan saya atur." "Dan musik. Glenn Gould, Goldberg Variations, kalau Anda tidak keberatan?" "Baiklah."
"Senator Martin, petunjuk apa pun yang Anda peroleh, jangan Anda percayakan sepenuhnya kepada pihak FBI. Jack Crawford tak pernah mau bekerja sama dengan instansi-instansi lain. Orang-orang seperti itu memang merepotkan. Crawford berharap dialah yang akan menangkap Buffalo Bill." "Terima kasih, Dr. Lecter." "Saya suka setelan jas Anda," Lecter berkomentar ketika Senator Martin melangkah keluar.
Bab Tiga Puluh Tiga
Ruangan demi ruangan, basement Jame Gumb menjalar bagaikan labirin yang menyesatkan kita dalam mimpi. Ketika ia masih malu-malu, lama berselang, Mr. Gumb menikmati kesenangannya di ruangan-ruangan paling tersembunyi, jauh dari tangga. Di pojok-pojok paling jauh terdapat ruangan-ruangan dari kehidupankehidupan sebelumnya yang sudah bertahun-tahun tak pernah dibuka. Beberapa di antaranya bisa dikatakan masih dihuni, walaupun suara-suara dari balik pintupintu itu sudah lama tak terdengar lagi. Ketinggian lantai berbeda-beda antara satu ruangan dan ruangan lain, kadangkadang sampai tiga puluh senti. Ada ambang pintu yang harus dilangkahi, palang yang harus dihindari dengan membungkuk. Menggiring sesuatu di hadapan kita— sesuatu yang berjalan terhuyung-huyung sambil menangis, memohon-mohon, dan sesekali membenturkan kepala tanpa sengaja— tidaklah mudah, malah bisa dikatakan berbahaya. Setelah bertambah bijak dan percaya diri, Mr. Gumb tak lagi merasa perlu memenuhi kebutuhannya di pojok-pojok tersembunyi di basement-nya. Kini ia menggunakan sejumlah ruangan basement di sekitar tangga, ruangan-ruangan besar dengan air mengalir dan listrik menyala. Kini basement-nya terselubung kegelapan pekat. Di bawah ruangan berlantai pasir, di dalam lubang sumur, Catherine Martin meringkuk tanpa bersuara. Mr. Gumb berada di basement, namun bukan di ruangan ini. Ruangan di belakang tangga gelap gulita bagi mata manusia, namun dipenuhi berbagai bunyi pelan. Air terdengar menetes dan pompa-pompa kecil berdengungdengung. Gema-gema kecil membuat ruangan itu berkesan luas. Udaranya lembap dan sejuk, dan berbau daun. Sayap-sayap mungil menyerempet pipi. Bunyi sengau terdengar pelan, erangan nikmat, suara manusia. Ruangan itu tidak diterangi cahaya dengan panjang gelombang yang tampak bagi mata manusia, tapi Mr. Gumb ada di sini dan ia bisa melihat dengan jelas, meskipun semuanya terlihat sebagai warna hijau dengan berbagai corak dan intensitas. Ia mengenakan kacamata inframerah (surplus militer Israel, kurang dari empat ratus dolar) dan ia mengarahkan berkas sinar senter inframerah ke kerangkeng kecil berkawat anyam di hadapannya. Ia duduk di tepi kursi bersandaran lurus. Segenap perhatiannya tertuju pada serangga yang sedang memanjat tanaman di dalam kerangkeng. Serangga muda itu baru saja keluar dari kepompong di dalam tanah lembap di dasar kerangkeng dan memanjat dengan hatihati, mencari tempat untuk mengembangkan sayapnya yang masih lembap dan menempel di punggung. Binatang tersebut memilih ranting horizontal. Mr. Gumb terpaksa memiringkan kepala untuk melihat. Sedikit demi sedikit sepasang sayap itu dipenuhi darah dan udara. Dua jam berlalu. Mr. Gumb nyaris tidak bergerak. Ia menghidup-matikan senter inframerahnya, dan setiap kali senternya menyala kembali, ia menikmati kemajuan yang telah dicapai serangga itu. Untuk mengisi waktu, ia mengarahkan senter ke sekeliling ruangan—menyapu akuarium-akuarium besar
berisi cairan berwarna kecokelatan, menerangi benda-benda di dalamnya. Cahayanya beralih ke meja kerjanya yang besar dan dilengkapi bantalan logam serta pipa pembuangan, lalu menerpa kerek di atasnya. Tempat cuci tangan memanjang di dinding. Semuanya tampak hijau. Titik-titik yang berpendar melintasi pandangannya, ngengat-ngengat kecil yang beterbangan dengan bebas. Ia kembali berpaling ke kerangkeng. Sayap serangga besar di dalamnya telah terangkat di atas punggung. Kini sayapnya turun untuk menyelubungi tubuh, dan motif yang terkenal itu terlihat jelas. Sebuah tengkorak manusia, yang terbentuk oleh sisik-sisik menyerupai bulu, menatapnya dari punggung ngengat. Di bawah ujung tengkorak yang gelap terdapat sepasang lubang mata yang hitam serta tulang pipi menonjol. Tengkorak itu bertumpu pada motif yang menyerupai bagian atas tulang pinggul. Tengkorak yang bertumpu pada pinggul, semuanya tergambar alam pada punggung seekor ngengat. Mr. Gumb riang gembira. Ia membungkuk sedikit dan meniup serangga di hadapannya, pelan-pelan saja. Ngengat itu mengeluarkan suara gusar. Diam-diam Mr. Gumb berjalan ke ruang sumur. Ia membuka mulut agar bunyi napasnya tidak kentara. Ia tak ingin kesenangannya terusik oleh teriakan-teriakan dari lubang sumur. Lensa kacamatanya yang menonjol menyerupai mata kepiting. Mr. Gumb sadar kacamata itu sama sekali tidak indah, namun benda itu sudah sering menghiburnya di dalam basement yang gelap. Ia membungkuk dan mengarahkan cahaya yang tak tampak ke dalam lubang. Spesimen di bawah berbaring miring, meringkuk seperti udang. Sepertinya sedang tidur. Ember plastik masih di sampingnya. Kali ini talinya tidak putus seperti ketika ia berusaha memanjat dinding yang licin. Sambil tidur, ia menempelkan sudut kasur ke wajah dan mengisap jempol. Mr. Gumb memperhatikan Catherine dari atas ke bawah, dan ia mempersiapkan diri untuk menghadapi masalah-masalah yang menantinya. Kulit manusia sangat sulit diolah jika seseorang mempunyai standar setinggi Mr. Gumb. Berbagai keputusan mendasar harus diambil, dan yang pertama menyangkut penempatan ritsleting. Ia mengalihkan berkas senternya ke punggung Catherine. Biasanya ritsleting dipasang di sini, tapi kalau begitu, bagaimana ia dapat mengenakannya seorang diri? Dan ia tidak dapat meminta bantuan orang lain, meskipun gagasan itu sungguh menggairahkan. Ia mengetahui beberapa tempat di mana usahanya akan ditanggapi penuh kekaguman—ada sejumlah yacht tempat ia dapat memamerkan hasil karyanya— tapi itu harus menunggu. Mr. Gumb tidak dapat menilai warna kulit Catherine dalam cahaya inframerah, tapi ia kelihatan lebih kurus. Barangkali ia sedang berdiet ketika diculik. Pengalaman mengajarkan Mr. Gumb untuk menunggu empat hari sampai satu minggu sebelum mengambil kulit yang diminatinya. Pengurangan berat badan secara drastis membuat kulit lebih longgar dan lebih mudah dilepaskan. Selain itu, rasa lapar juga menggerogoti kekuatan subjeksubjeknya dan menyebabkan mereka menjadi lebih mudah ditangani. Lebih tenang. Beberapa di antara mereka bahkan menunjukkan sikap pasrah dan tidak peduli. Meski demikian, Mr. Gumb harus menyediakan ransum sekadarnya untuk menghindari timbulnya perasaan putus asa serta perilaku destruktif yang dapat merusak kulit. Ya, spesimen ini telah kehilangan berat badan. Yang satu ini begitu penting bagi
rencananya, sehingga ia tak bisa menunggu terlalu lama, dan ia memang tak perlu menunggu terlalu lama. Besok sore ia sudah bisa mulai berkarya, atau besok malam. Paling lambat besok lusa. Tidak lama lagi.
Bab Tiga Puluh Empat
Clarice starling mengenali papan nama Stonehinge Villas dari siaran berita TV. Kompleks hunian di East Memphis itu, yang merupakan campuran flat dan town house, membentuk huruf U mengelilingi pelataran parkir yang luas. Starling memarkir Chevrolet Celebrity sewaannya di tengah-tengah lapangan. Melihat mobil-mobil lain di sekelilingnya—sejumlah Trans-Am dan IROC-Z Camaro—ia menyimpulkan kompleks tersebut dihuni pekerja-pekerja bergaji besar dan eksekutif-eksekutif tingkat bawah. Karavan-karavan tanpa sengaja oleh akhir pekan serta perahu-perahu dengan cat mengilap tampak di bagian terpisah dari pelataran parkir. Stonehinge Villas—ejaan tersebut mengganggu Starling setiap kali ia melihatnya. Apartemen-apartemen itu pasti dilengkapi perabot rotan yang dicat putih dan karpet berwarna peach. Foto-foto di bawah kaca meja tamu. Dinner for Two Cookbook dan Fondue on the Menu. Starling, yang hanya memiliki kamar asrama di FBI Academy sebagai tempat tinggal, selalu sewot mengenai hal-hal seperti itu. Ia perlu mempelajari latar belakang Catherine Baker Martin, dan rasanya ini pilihan yang janggal sebagai tempat tinggal putri seorang senator. Starling telah membaca keterangan biografi singkat yang dikumpulkan FBI, dan di situ Catherine Martin digambarkan sebagai wanita muda cerdas yang sebenarnya mampu meraih sukses lebih tinggi. Ia gagal di Farmington dan menghabiskan dua tahun yang suram di Middlebury. Kini ia mahasiswa Southwestern dan bekerja sebagai guru praktek. Semula Starling cenderung membayangkan Catherine sebagai anak sekolah swasta berotak tumpul yang hanya mementingkan diri sendiri dan tidak peduli pada orang lain. Namun ia sadar ia perlu berhati-hati, karena penilaiannya itu diwarnai berbagai prasangka. Starling sendiri sempat merasakan sekolah asrama berkat sejumlah beasiswa yang diterimanya, dan nilai-nilai yang ia peroleh jauh lebih baik daripada pakaian yang dikenakannya ketika itu. Ia sering melihat anak-anak keluarga kaya yang dititipkan di sekolah asrama oleh orangtua mereka yang sibuk sendiri. Beberapa di antara mereka memang brengsek, tapi Starling segera menyadari bahwa sikap acuh tak acuh selain merupakan cara untuk menghindari kepedihan, juga sering disalahartikan sebagai dangkal dan tidak peduli. Lebih baik membayangkan Catherine sebagai anak kecil yang pergi berlayar bersama ayahnya, seperti dalam film yang ditayangkan di TV ketika Senator Martin memohon belas kasihan. Buffalo Bill. Dalam hati Starling bertanya, apakah Catherine berusaha menyenangkan ayahnya ketika masih kecil. Ia bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan Catherine ketika orang-orang datang dan memberitahunya bahwa ayahnya meninggal akibat serangan jantung pada usia empat puluh dua tahun. Starling yakin Catherine merindukan ayahnya. Rasa rindu kepada ayah, luka hati yang lazim, menyebabkan Starling merasa dekat dengan wanita muda ini. Starling merasa perlu menyukai Catherine Martin, sebab ini memacunya untuk mengerahkan segala daya dan upaya.
Starling segera mengetahui lokasi apartemen Catherine—dua mobil Tennessee Highway Patrol diparkir di depannya. Ia melihat sejumlah noda putih pada bagian pelataran parkir yang paling dekat dengan apartemen Catherine. Rupanya Tennessee Bureau of Investigation telah mengamankan bercak-bercak oli dengan bubuk batu apung atau bubuk lainnya yang bersifat lembam. Crawford memang sempat memuji cara kerja TBI. Starling menghampiri kendaraan-kendaraan rekreasi dan perahu-perahu yang diparkir di bagian khusus di depan apartemen. Di sinilah Catherine diculik Buffalo Bill. Cukup dekat dengan apartemennya, sehingga ia merasa tidak perlu mengunci pintu ketika keluar. Ada sesuatu yang memancingnya keluar, sesuatu yang berkesan tidak berbahaya. Starling tahu kepolisian Memphis telah mendatangi semua tetangga untuk minta keterangan, namun tidak ada yang melihat apa pun, jadi penculikan tersebut mungkin berlangsung di antara karavan-karavan yang tinggi. Buffalo Bill pasti mengintainya dari sini. Sambil duduk di dalam kendaraan. Tapi Buffalo Bill tahu Catherine ada di sini. Berarti ia telah melihatnya di tempat lain, lalu mengikutinya sambil menunggu kesempatan beraksi. Tidak banyak wanita muda sebesar Catherine. Buffalo Bill tak mungkin duduk-duduk di sembarang tempat sambil menunggu korban yang cocok. Cara itu bisa menghabiskan waktu berhari-hari tanpa membuahkan hasil. Semua korbannya berbadan besar. Semuanya. Ada yang gemuk, tapi semuanya besar. "Supaya baju itu muat di badannya." Starling merinding ketika teringat ucapan Dr. Lecter. Dr. Lecter, warga baru kota Memphis. Starling menarik napas dalam-dalam, menggembungkan pipi, lalu mengembuskan udaranya pelan-pelan. Coba lihat, apa yang bisa kita ketahui tentang Catherine. Seorang polisi Tennessee dengan topi Smokey the Bear membukakan pintu apartemen Catherine Martin. Ketika Starling memperlihatkan kartu identitasnya, petugas itu mempersilakannya masuk. "Officer, saya perlu memeriksa tempat ini." Petugas itu mengangguk. "Kalau teleponnya berdering, biarkan saja. Biar saya yang menerimanya." Pada counter di dapur terbuka, Starling melihat tape recorder yang disambung ke pesawat telepon. Di sampingnya ada dua pesawat telepon baru. Satunya tidak dilengkapi tombol-tombol angka— sambungan langsung ke bagian pengamanan Southern Bell, fasilitas pelacakan telepon di daerah mid-South. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya polisi muda itu. "Tempat ini sudah selesai digeledah polisi?" "Apartemennya sudah diserahkan kembali kepada pihak keluarga. Saya hanya menunggui telepon. Anda bebas memegang barang-barang yang ada di sini, kalau itu yang Anda maksud." "Baiklah, kalau begitu saya mau melihat-lihat dulu." "Oke." Polisi muda itu meraih koran yang diselipkannya di bawah sofa, lalu kembali membaca. Starling ingin berkonsentrasi. Ia menyayangkan ia tidak sendirian di dalam apartemen, tapi ia sadar ia beruntung tempat itu tidak penuh polisi. Ia mulai di dapur. Tampak jelas penghuni apartemen itu bukan orang yang gemar memasak. Catherine pulang sejenak untuk mengambil popcorn, demikian keterangan yang diperoleh polisi dari pacarnya. Starling membuka freezer. Di dalamnya ada dua kotak popcorn microwave. Pelataran parkir tidak kelihatan dari dapur. "Anda dari mana?" Starling tidak mendengar pertanyaan itu. "Anda dari mana?"
Petugas polisi di sofa telah menurunkan koran dan sedang menatapnya. "Washington," jawab Starling. Di bawah tempat cuci piring—yap, goresan-goresan pada sambungan pipa, tempat penampungan kotoran telah dibongkar dan diperiksa. Hmm, FBI cukup teliti. Pisaupisau di counter tidak tajam. Alat cuci piring sempat dinyalakan, namun belum dikosongkan. Lemari es berisi cottage cheese dan deli fruit salad. Catherine Martin suka membeli fast-food, kemungkinan besar ia mempunyai tempat langganan, toko drive-in di sekitar apartemennya. Barangkali ada orang yang sering berkeliaran di tempat itu. Tak ada salahnya diperiksa. "Anda dari kejaksaan?" "Bukan, FBI." "Saya dengar Jaksa Agung mau kemari. Sudah berapa lama Anda di FBI?" Starling menatap petugas polisi itu. "Begini, Officer, saya perlu menanyakan beberapa hal kepada Anda setelah saya selesai memeriksa tempat ini. Bagaimana kalau nanti saja kita bicara?" "Oke." Kamar tidur di apartemen itu bersuasana cerah. Starling menyukainya. Perabot dan perlengkapan lainnya cukup bagus dan mahal untuk ukuran seorang wanita muda. Ada sekat Coromandel, dua buah cloisonne pada rak, serta meja tulis dari kayu walnut. Dan sepasang tempat tidur. Starling mengangkat pinggiran selimut. Rodaroda pada kaki tempat tidur sebelah kiri terkunci, pada kaki sebelah kanan tidak. Mungkin Catherine merapatkan keduanya kalau ada keperluan khusus. Barangkali dia punya pacar gelap. Atau mungkin juga mereka suka menginap di sini. Mesin penerima teleponnya tidak dilengkapi remote. Dia mungkin harus ada di sini kalau ibunya menelepon. Mesin penerima teleponnya sama seperti milik Starling, Phone-Mate standar. Ia membuka panilnya. Kaset-kaset untuk telepon masuk dan keluar sudah tidak ada. Keduanya digantikan pesan, TAPES FBI PROPERTY #6. Kamar itu sebenarnya cukup rapi, namun berkesan agak berantakan setelah digeledah oleh orang-orang bertangan besar, orang-orang yang hendak mengembalikan semuanya ke tempat semula, tapi selalu meleset sedikit. Tanpa melihat bekas bubuk untuk mengamankan sidik jari pada semua permukaan licin pun Starling segera tahu tempat itu telah digeledah. Starling menyangsikan bahwa penculikan berlangsung di kamar tidur. Kelihatannya Crawford benar. Catherine disergap di pelataran parkir. Tapi Starling ingin mengenalinya lebih jauh, dan inilah tempat ia tinggal. Dalam kabinet di samping ranjang ada buku telepon, Kleenex, kotak berisi alatalat kecantikan dan, di balik peti kecil, sebuah kamera Polaroid SX-70 dengan cable release dan tripod kecil terlipat di sampingnya. Hmmm. Penuh perhatian Starling mengamati kamera itu. Ia berkedip dan tidak menyentuhnya. Lemari pakaianlah yang paling menarik perhatian Starling. Catherine Baker Martin, pada label binatunya tertulis C-B-M, memiliki banyak pakaian dan beberapa di antaranya cukup mahal. Starling mengenali sejumlah label, termasuk Garfinkel's dan Britches di Washington. Hadiah-hadiah dari Mami, kata Starling dalam hati.
Catherine mempunyai baju-baju berpotongan klasik dengan dua ukuran, yaitu ukuran berat badannya sekitar 72 dan 82 kg, menurut taksiran Starling. Lalu masih ada beberapa potong crisis fat pants dan pullover dari Statuesque Shop. Pada rak gantung ada dua puluh tiga pasang sepatu. Tujuh pasang Ferragamo ukuran IOC, beberapa pasang Reebok, serta sejumlah sepatu santai. Pada rak paling atas ada ransel dan raket tenis. Harta benda anak orang kaya, seorang mahasiswa dan guru praktek dengan tingkat kesejahteraan lebih tinggi dari kebanyakan orang. Surat-surat menumpuk di meja tulis. Dari bekas teman kuliah di daerah Timur dulu. Prangko, label alamat. Kertas kado di laci paling bawah, dengan aneka warna dan corak. Starling memeriksa semuanya satu per satu. Ia sedang berpikir untuk mencari keterangan dari karyawan toko drive-in setempat, ketika jarinya menemukan selembar kertas kado yang lebih tebal dan kaku dari yang lainnya. Ia melewatinya, lalu kembali lagi. Starling terlatih untuk mengenali hal-hal yang menyimpang; ia menarik lembaran itu dan mengamatinya. Warnanya biru, terbuat dari bahan yang serupa dengan pengering tinta, dan motif yang tercetak adalah tiruan kasar gambar Pluto. Semua anjing pada deretan-deretan itu mirip Pluto, warna kuningnya benar, namun proporsinya agak meleset. "Catherine, Catherine," Starling bergumam. Ia mengambil penjepit dari tas dan menggunakannya untuk memindahkan kertas berwarna itu ke dalam sampul plastik, yang kemudian diletakkannya di atas tempat tidur. Di atas meja rias ada kotak perhiasan berlapis kulit, seperti yang lazim ditemui di kamar asrama wanita muda. Kedua laci di sisi depan berisi perhiasan imitasi, tak ada yang berharga. Dalam hati Starling bertanya, apakah perhiasan yang asli disimpan di dalam kol dari karet di lemari es, dan kalau memang begitu, siapa yang mengambilnya. Ia mencungkil pinggiran tutup kotak itu dan membuka laci rahasia di sisi belakang. Lacinya kosong. Starling bertanya-tanya, untuk apa laci semacam ini dipasang—semua pencuri sudah tahu rahasianya. Ia sedang meraih ke balik kotak perhiasan untuk menutup laci, ketika jarinya menyentuh amplop yang ditempelkan di sisi bawah. Starling segera mengenakan sepasang sarung tangan katun dan memutar kotak itu. Lalu ia menarik laci yang kosong dan membalikkannya. Sebuah amplop cokelat ditempelkan ke sisi bawah laci dengan selotip. Tutupnya sekadar diselipkan, bukan dilem. Starling mengendus-endus. Amplop itu belum diperiksa untuk mencari sidik jari. Starling menggunakan penjepit tadi untuk membuka amplop dan mengeluarkan isinya. Ia menemukan lima foto Polaroid dan mengeluarkan semuanya satu per satu. Foto-foto itu memperlihatkan sepasang pria dan wanita bersanggama. Kepala maupun wajah mereka tidak tampak. Dua foto diambil oleh si wanita, dua oleh pasangannya, dan satu lagi sepertinya dibuat dari tripod yang ditaruh pada meja di samping tempat tidur. Menentukan skala pada sebuah foto adalah pekerjaan sukar, tapi dengan bobot 72 kg pada tubuh yang panjang, wanita itu bisa dipastikan Catherine Martin. Pasangannya mengenakan semacam cincin gading berukir pada penisnya. Resolusi foto tersebut tidak memadai untuk mengenali detail-detail cincin. Pria itu telah menjalani operasi usus buntu. Starling menyelipkan foto-foto ke dalam kantong-kantong plastik, lalu memasukkan semuanya ke dalam amplop cokelat yang dibawanya. Kemudian ia mengembalikan laci rahasia ke tempat semula di kotak perhiasan..
"Perhiasan yang asli sudah saya amankan," sebuah suara berkata di belakangnya. "Sepertinya tidak ada yang hilang." Starling memandang ke cermin. Senator Ruth Martin berdiri di ambang pintu. Ia tampak letih. Starling berbalik. "Halo, Senator Martin. Anda ingin beristirahat? Saya sudah hampir selesai." Meski sedang letih, Senator Martin tetap terlihat rapi. Namun di balik penampilannya itu mengintai watak yang mudah meletup, dan Starling pun menyadarinya. "Siapa Anda? Saya pikir pihak kepolisian sudah selesai di sini." "Saya Clarice Starling, FBI. Anda sudah bicara dengan Dr. Lecter, Senator?" "Dia menyebutkan sebuah nama." Senator Martin menyalakan rokok dan mengamati Starling dari atas sampai bawah. "Kita tunggu saja apakah informasinya berharga atau tidak. Dan apa yang Anda temukan dalam kotak perhiasan itu, Officer Starling? Sesuatu yang berharga?" "Dokumentasi yang dapat kita periksa dalam waktu beberapa menit," adalah jawaban terbaik yang dapat dibelikan Starling. "Dalam kotak perhiasan putri saya? Coba saya lihat." Starling mendengar suara-suara di ruangan sebelah, dan ia berharap ada yang menyela percakapannya dengan Senator Martin. "Anda disertai Mr. Copley, agen khusus kami di Memphis yang..." “Tidak, dan itu bukan jawaban. Saya tidak bermaksud apa-apa, Officer, tapi saya ingin tahu apa yang Anda ambil dari kotak perhiasan putri saya." Ia menoleh ke belakang dan memanggil seseorang. "Paul. Paul, tolong kemari sebentar. Officer Starling, Anda mungkin kenal Mr. Krendler dari Departemen Kehakiman. Paul, ini gadis yang ditugaskan Jack Crawford untuk menemui Lecter." Bagian kepala Krendler yang botak tampak kecokelatan karena matahari, dan ia kelihatan segar untuk orang berusia empat puluh. "Mr. Krendler, saya tahu siapa Anda. Halo," ujar Starling. Orang penting di Kehakiman, ya Tuhan, bantulah hambaMu ini. "Officer Starling menemukan sesuatu di dalam kotak perhiasan putri saya dan memasukkannya ke amplop cokelat yang dia bawa. Saya kira ada baiknya kita lihat isi amplop itu, bukan?" "Officer," kata Krendler. "Bolehkah saya bicara dengan Anda, Mr. Krendler?" "Tentu saja. Nanti." Krendler mengulurkan tangan. Wajah Starling terasa panas. Ia tahu Senator Martin sedang stres, tapi ia takkan pernah memaafkan Krendler atas keraguan yang tergambar di wajahnya. Sampai kapan pun. "Silakan," sahut Starling. Ia menyerahkan amplop yang diminta.
Krendler mengintip foto pertama dan telah menyelipkan kembali tutup amplop ketika Senator Martin mengambil alih amplop itu dari tangannya. Starling tak sampai hati menatap wajah Senator Martin saat mengamati foto-foto itu. Setelah selesai, Senator Martin menghampiri jendela dan menghadap langit yang mendung, dengan mata terpejam. Ia tampak tua dalam cahaya yang suram, dan tangannya gemetaran ketika ia mencoba mengisap rokoknya. "Senator, saya..." Krendler angkat bicara. "Kamar ini sudah digeledah polisi," ujar Senator Martin. "Saya yakin mereka juga menemukan foto-foto itu dan cukup tanggap untuk mengembalikan semuanya dan tutup mulut." "Anda keliru," ujar Starling. "Foto-foto ini belum ditemukan." Ia sadar wanita itu sedang mengalamicobaan, tapi persetan. "Mrs. Martin, kita perlu tahu siapa pria pada foto ini, Anda tentu memahami hal ini. Kalau memang sang pacar, tak ada masalah. Saya bisa memastikannya dalam waktu lima menit. Foto-foto ini tak perlu disebarluaskan dan Catherine takkan pernah tahu." "Biar saya yang menanganinya." Senator Martin menyelipkan amplop itu ke dalam tas, dan Krendler membiarkannya. "Senator, apakah Anda yang mengambil perhiasan dari kol karet di dapur?" tanya Starling. Asisten Senator Martin, Brian Gossage, muncul di pintu. "Maaf, Senator, terminalnya sudah terpasang. Kita bisa mengikuti pelacakan nama William Rubin di FBI." "Silakan, Senator Martin," ujar Krendler. "Saya akan segera menyusul." Ruth Martin meninggalkan ruangan tanpa menjawab pertanyaan Starling. Starling mengamati Krendler ketika orang itu menutup pintu kamar tidur. Setelan jasnyamencerminkan puncak keahlian menjahit dan ia tidak bersenjata. Tumit sepatunya tampak mengilap karena terus tergosok karpet tebal, dan pinggirannya masih menyiku. Sejenak Krendler berdiri dengan tangan, pada pegangan pintu, sambil menundukkan kepala. ”Anda sangat teliti," katanya ketika berbalik. Starling tidak bisa dibujuk semudah itu. Ia membalas tatapan Krendler. "Orangorang Quantico selalu ahli dalam menggeledah," ujar Krendler. "Orang-orang Quantico bukan pencuri." "Saya tahu itu." "Masa?" "Sudahlah."
"Foto-foto dan kol karet itu akan ditindaklanjuti, bukan?" tanya Starling.
"Ya." "Bagaimana soal nama 'William Rubin' itu, Mr. Krendler "Menurut Lecter, itu nama asli Buffalo Bill. Ini transmisi kami ke seksi ID dan NCIC. Coba Anda baca." Krendler menyerahkan transkrip wawancara Senator Martin dengan Lecter, sebuah salinan buram dari printer dot-matrix." "Ada komentar?" tanya Krendler setelah Starling selesai membaca. "Di sini tidak ada apa-apa yang bisa menjeratnya," kata Starling. "Dia bilang pelakunya pria kulit putih bernama Billy Rubin yang pernah terkena antraks gading gajah. Apa pun yang terjadi, Anda takkan bisa membuktikan dia bohong. Paling-paling dia akan mengaku keliru. Mudah-mudahan ini benar. Tapi mungkin saja dia sekadar mempermainkan Senator Martin; dia sanggup melakukan itu. Anda pernah... bertemu dengannya?" Krendlef menggeleng sambil mendengus. "Sejauh yang kita ketahui, Lecter membunuh sembilan orang. Dia takkan pernah bebas—biarpun dia membangkitkan orang yang sudah mati, dia tetap takkan dilepaskan. Yang bisa dia lakukan hanya mencari hiburan. Itulah sebabnya kami bermain-main dengannya... " "Saya tahu bagaimana Anda bermain-main dengannya. Saya sudah mendengarkan rekaman Chilton. Saya tidak mengatakan Anda keliru—saya mengatakan Anda berhenti sampai di sini. Seksi Ilmu Perilaku bisa mengusut temuan Anda—sudut transseksual itu. Dan besok Anda akan kembali bersekolah di Quantico." Oh, sial. "Ada lagi yang saya temukan." Lembaran kertas berwarna di tempat tidur telah luput dari perhatian. Starling menyerahkannya kepada Krendler. "Apa ini?" "Kelihatannya seperti kertas bergambar Pluto." Starling menunggu sampai Krendler menanyakan kelanjutannya. Pria itu memberi isyarat agar Starling meneruskan penjelasannya. "Saya menduga ini blotter acid. LSD. Mungkin dari pertengahan tahun tujuh puluhan atau sebelumnya. Sekarang sudah jadi barang langka. Ada baiknya kita selidiki dari mana dia memperoleh ini. Kita perlu mengadakan tes untuk memastikannya." "Anda bisa membawanya ke Washington untuk diserahkan ke lab. Anda berangkat sebentar lagi." "Kalau Anda tidak mau menunggu, kita bisa menguinya sekarang juga. Kalau polisi punya standar Narcotics Identification, Kit, kita gunakan tes J, waktunya hanya dua detik."
"Kembali ke Washington, kembali ke sekolah," Krendler menegaskan sambil membuka pintu. "Saya diinstruksikan Mr. Crawford... " "Instruksi Anda adalah apa yang saya katakan. Anda tidak di bawah komando Jack Crawford sekarang. Anda di bawah pengawasan yang sama seperti semua trainee lain, dan urusan Anda adalah di Quantico, mengerti? Ada pesawat yang berangkat pukul dua lewat sepuluh. Anda akan berada di atas pesawat itu." "Mr. Krendler, Dr. Lecter bersedia bicara dengan saya setelah menolak bicara dengan kepolisian Baltimore. Bisa jadi dia akan melakukannya lagi. Mr. Crawford berpendapat... " Krendler kembali menutup pintu, lebih keras dari seharusnya. "Officer Starling, saya tidak perlu menjelaskan apa pun kepada Anda, tapi begini. Setiap rekomendasi dari Ilmu Perilaku sekadar bersifat saran, dari dulu sudah begitu. Dan sekarang pun tetap begitu. Jack Crawford seharusnya sudah mengambil cuti. Saya tidak menyangka dia tetap sanggup bekerja sebaik ini. Dia gegabah mengambil risiko dengan menutup-nutupi urusan ini dari Senator Martin, dan sekarang dia kena getahnya. Tapi dengan reputasi seperti yang dia miliki, Senator Martin pun tak dapat berbuat banyak terhadapnya, apalagi masa pensiunnya sudah dekat. Kalau saya jadi Anda, saya takkan mencemaskannya." Sejenak Starling kehilangan kendali diri. "Apakah ada orang lain yang berhasil menangkap tiga pembunuh berantai? Anda kenal orang lain yang menangkap satu saja? Tidak seharusnya Anda membiarkan 4 Senator Martin menangani urusan ini, Mr. Krendler." "Anda pasti sangat cerdas, kalau tidak, Crawford takkan membuang-buang waktu dengan Anda. Dengarkan baik-baik, sebab saya takkan mengulangi ini: Jagalah mulut Anda, atau Anda akan saya tempatkan sebagai sekretaris. Rupanya Anda belum mengerti juga—satu-satunya alasan Anda disuruh menemui Lecter adalah untuk mencari berita bagi direktur Anda untuk digunakan di Capitol Hill. Detail-detail sepele mengenai kejahatan-kejahatan kelas kakap, 'cerita orang dalam' mengenai Dr. Lecter. Direktur Anda membagi-bagikannya seperti permen sambil memperjuangkan anggaran yang disusunnya. Para anggota kongres tidak pernah puas mendengar cerita seperti ini. Anda telah melewati batas, Officer Starling, dan Anda akan ditarik dari kasus ini. Saya tahu Anda diberi ID sementara. Tolong serahkan pada saya." "Saya memerlukannya untuk membawa senjata ke dalam pesawat. Pistol inventaris Quantico." "Pistol. Ya Tuhan! Kembalikan ID itu begitu Anda sampai di sana." Senator Martin, Gossage, seorang teknisi, dan beberapa petugas polisi berkerumun di depan video display terminal dengan modem yang disambungkan ke pesawat telepon. Hotline dari National Crime Information Center mencatat setiap kemajuan yang diperoleh, sementara informasi dari Lecter diproses di Washington. Berita yang baru saja, masuk dikirim dari National Center for Disease Control di Atlanta: Antraks gading gajah menyebar melalui debu yang terisap saat menggerinda gading Afrika, yang biasa digunakan untuk barang-barang dekorasi. Di Amerika enkat, penyakit itu ditemui di kalangan pembuat Pisau. Senator Martin memejamkan mata ketika membaca kata-kata "pembuat pisau". Matanya perih dan kering. Ia meremas-remas Kleenex di tangannya. Polisi muda yang membiarkan Starling memasuki apartemen sedang membawakan
secangkir kopi untuk Senator Martin. Ia masih mengenakan topinya. Starling tidak sudi keluar diam-diam. Ia berhenti di hadapan wanita itu dan berkata, "Semoga berhasil, Senator. Mudah-mudahan Catherine selamat." Senator Martin mengangguk tanpa menoleh. Krendler menggiring Starling ke pintu. "Saya tidak tahu dia tidak boleh masuk kemari," ujar polisi muda tadi ketika Starling meninggalkan ruangan. Krendler menemaninya keluar. "Saya sangat menghormati Jack Crawford," katanya. "Tolong sampaikan padanya bahwa kami semua turut prihatin dengan... masalah Bella itu. Sekarang kembalilah ke sekolah dan belajarlah dengan giat, oke?" "Good-bye, Mr. Krendler." Kemudian Starling seorang diri di pelataran parkir, dengan perasaan aneh bahwa tak ada yang dipahaminya di dunia ini. Ia memperhatikan seekor merpati berjalan di bawah karavan-karavan dan perahuperahu. Burung itu memungut kulit kacang dan meletakkannya lagi. Bulunya bergerak-gerak tertiup angin. Starling merasa perlu bicara dengan Crawford. Sekaranglah masa yang paling sulit, itu yang dikatakannya. Manfaatkanlah masa ini dengan baik, dan kau akan ditempanya. Kau sedang menghadapi ujian paling berat—jangan biarkan kemarahan dan frustrasi menghalangi akal sehatmu. Inilah yang menentukan, apakah kau bisa memimpin atau tidak. Starling tidak peduli soal kepemimpinan. Kalau aturan mainnya seperti ini, ia bahkan tak peduli tentang kedudukannya sebagai Agen-Khusus Starling. Ia teringat gadis malang yang dilihatnya di meja di rumah duka di Potter, West Virginia Kukunya dicat kerlap-kerlip seperti sepatu bot untuk main ski. Siapa namanya? Kimberly. Persetan, mereka takkan melihatku menangis.
Ya Tuhan, semua orang bernama Kimberly, di kelasnya ada empat orang. Tiga orang bernama Sean. Kimberly dengan nama opera sabunnya berusaha berdandan, menindik telinganya agar kelihatancantik. Buffalo Bill menatap payudaranya yang rata dan menempelkan moncong pistol di antara keduanya, lalu menarik picu. Kimberly, saudaranya yang gemuk dan menyedihkan, yang rajin menghilangkan bulubulu di kakinya. Tidak mengherankan—melihat wajah dan tangan dan kakinya, maka kulitnyalah yang paling patut dibanggakan. Kimberly, apakah kau sedang marah? Tidak ada senator yang mencarinya. Tidak ada pesawat jet yang membawa orang sinting. Sinting adalah kata yang tidak seharusnya ia gunakan. Banyak hal yang tidak seharusnya ia kerjakan. Laki-laki sinting. Starling melirik arlojinya. Masih ada waktu satu setengah jam sebelum pesawatnya
berangkat, dan ada satu hal kecil yang masih sempat ia lakukan! Ia ingin menatap wajah Dr. Lecter saat ia berkata "Billy Rubin” . Kalau ia tahan menatap mata yang aneh itu untuk waktu cukup lama, kalau ia dapat melihat jauh ke dalam kegelapan yang menelan setiap kilatan cahaya mata itu, barangkali ia akan menemukan sesuatu yang berguna. Barangkali ia akan melihat Lecter tertawa mengejek. Untung saja kartu ID-nya masih kupegang. Mobilnya meninggalkan jejak ban sepanjang lebih dari tiga meter ketika melaju dari pelataran parkir.
Bab Tiga Puluh Lima
Clarice Starling memacu mobilnya di tengah lalu lintas Memphis yang penuh bahaya. Dua tetes air mata kemarahan telah mengering di pipinya. Ia merasa ringan dan bebas. Pikiranny