SANG PESAKITAN ITU Dalam usianya yang menjelang malam, Pak Harto bukan saja mengalami sakit-sakit secara medis, tapi bolehjadi juga secara psikis. Keduanya berkaitan hingga emosinya tak lagi stabil. Namun, semua itu kini ia lewati dengan penuh ketulusan dan keikh-lasan, serta yang pokok: lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Benarkah Pak Harto sakit ? Benarkah Pak Harto seorang yang pesakitan ? Pertanyaan ini tentu saja terasa nyeleneh, lantaran siapa pun tahu, setiap manusia yang telah berusia lanjut, tentulah akan mengalami hal serupa - mengalami sakitsakitan, termasuk juga Pak Harto yang lengser keprabon menjelang usia 77 tahun, pada 21 Mei 1998, yang kini melakoni hari-hari kelabu panjangnya dengan sepi. Hanya ditemani oleh segelintir orang-orang dekat dan keluarga, dan yang paling pokok - Pak Harto juga ditemani oleh sejumlah penyakit yang selalu mengakrabinya hingga saat ini. Di rumah kediamannya, di jalan Cendana no 8, Jakarta Pusat, di tengah usianya yang sangat renta itu, Pak Harto menghabiskan hari-hari senjanya dengan sejumlah penyakit yang dideritanya. Entah berapa kali dia keluar masuk rumah sakit, dan entah berapa kali pula ia menjalani pemeriksaan kesehatan yang notabene pasang surut. Namun uniknya, walaupun pernah ditawari agar Pak Harto pergi berobat ke luar negeri, Pak Harto menolak dan tidak mau melakukannya. Ini karena Pak Harto lebih percaya pada kemampuan dokter yang dimiliki bangsa ini. Untuk apa keluar negeri jika sesungguhnya para dokter Indonesia telah memiliki kemampuan yang sama. Hari-hari panjang nan kelabu memang terus dilalui Pak Harto. Selain penyakit medis yang dideritanya, boleh jadi penyakit psikis pun menerpanya. Dan keduanya bisa saling berkaitan. Sebab, siapa pun yang pernah memegang jabatan atau pun kekuasaan, tentulah akan mengalami apa yang disebut post power syndrom. Termasuk juga Pak Harto, tentunya. Penyakit psikis yang tentulah akan dialami pula oleh semua orang yang pernah memegang suatu jabatan. Dan manakala ia kehilangan jabatan, kehilangan kekuasaan, maka syndrom itu terkadang menyeruak begitu saja. Hanya bedanya, Pak Harto — setelah sembilan tahun lalu mengundurkan diri dari kursi kepresidenan— selain menerima syndrom, juga memang diwarnai dengan berbagai peristiwa. Peristiwa yang datang dari luar, yang berupa hujatan dan tuduhan yang
tak pernah kunjung usai. Jadi, selain faktor usia tua, maka hal-hal yang bersifat psikis, praktis berakibat pula pada hal-hal yang bersifat medis. Dan itulah yang terjadi dengan Pak Harto. Akan halnya secara medis, sakit medis Pak Harto diawali ketika ia menderita stroke, setahun setelah dirinya menjadi warga negara biasa. Sebagaimana siang itu, 20 Juli 1999, tubuh rentanya tergolek lemah. Di kamar VVIP 604 Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta, Pak Harto terbujur tak sadar. Putri sulungnya, Mbak Tutut, berbisik ketelinganya. Dari bibirnya cuma keluar gumam lirih, "Hehh..." Tak sepatah kata pun terucap. Matanya terus terpejam. Susah payah, ia mengangkat lengan kanannya. Saat itulah stroke menohok sarafnya. Lidahnya tiba-tiba kelu. Kata-kata yang keluar tak jelas bunyinya. Dokter RS Pertamina mengatakan, serangan stroke itu disebabkan pengapuran dan pelemahan dinding pembuluh darah ke otak. Dokter tegas-tegas menyatakan adanya pembuluh darah yang pecah sehingga otak kirinya terganggu. Akibatnya, tubuh bagian kanan nyaris lumpuh. Yang paling gawat, memorinya sudah sedemikian melorot. Saat ini, ia tidak lagi mampu mengingat sebuah peristiwa yang berlangsung lebih dari sebulan yang lalu.1 Dan memang inilah awal sakit Pak Harto sejak dirinya mengundurkan diri dari kursi kepresidenan, 21 Mei 1998 lalu. Stroke yang dialami Pak Harto menyebabkan fungsi otak bagian kirinya terganggu. Padahal otak bagian kiri lebih banyak berhubungan dengan fungsi bahasa, kemampuan berpikir logis, dan kemampuan detil analisis pada semua individu yang tidak kidal.2 Stroke itu menyebabkan dirinya mengalami kemunduran dalam hal berkomunikasi - juga terdapat gangguan pada daya ingat dan memorinya. Pak Harto memang sudah uzur. Usianya sudah lebih dari delapan puluh lima tahun. Fungsi organ tubuh diusia itu memang sudah jauh berkurang. Tetapi tekanan batin yang dirasakan Pak Harto juga merupakan penyebab pen-deritaannya. Tekanan batin yang berupa perasaan cemas, depresi atau sedih.3 Kesedihan yang dirasakan Pak Harto membuat jiwa dan mentalnya terguncang. Bagaimana tidak, setelah ia lengser keprabon, ia harus menerima berbagai hujatan dan tuduhan, apalagi ketika menemukan fakta bahwa orang-orang yang dulu mendukungnya berubah menikamnya. la dikucilkan, dihujat dan dicari-cari kesalahannya. Dan Pak Harto-pun harus sendirian menghadapinya, karena orangorang yang dulu selalu berada disampingnya, pergi entah kemana. Or-ang-orang yang dulu selalu mengelu-elukannya, kini hilang begitu saja. Semua menyembunyikan diri.
Tuduhan melakukan KKN, tuduhan menyalahgunakan kekuasaan saat ia berkuasa, dan lain sebagainya -yang notabene tidak pernah dilakukannya— membuat Pak Harto sakit. Lebih parahnya, sakit Pak Harto pun dibilang hanya sandiwara. Seperti halnya cendikiawan muslim Nurcholis Majid (kini telah almarhum) berpendapat sangat keterlaluan bila ternyata sakitnya Pak Harto hanya pura-pura untuk menghindar dari pemeriksaan Kejagung (Republika, 14-2-2000). Apakah sakit Pak Harto pura-pura? Rasanya pernyataan itu tidak beralasan karena usia Pak Harto yang sudah uzur, dimana kondisi tubuh dan segala kemampuan yang dia miliki sudah jauh berkurang. Bahkan, pada era Presiden BJ Habibie dimana selama 8 bulan kasus ini diproses, berujung pada kesehatan Pak Harto yang tidak memungkinkan diajukan ke pengadilan. Menurut laporan pihak Kejaksaan Agung; Pak Harto mengalami gangguan neurologis pada fungsi otak (fungsi luhur dan memori) yang kompleks, serta hambatan pada fungsi aktivitas mental. Pak Harto juga mengalami gangguan psikiatris, sehingga hanya mampu berkomunikasi untuk masalah sederhana, sedang untuk hal-hal yang kompleks kualitas pembicaraannya tidak bisa dijamin. Dengan adanya bukti mengenai kesehatan Pak Harto itulah, maka kemudian Jaksa Agung di era Presiden BJ Habibie mengeluarkan SP3 pada 11 Oktober 1999. Karena pada dasarnya, memang tak mungkin orang yang sakit diajukan ke pengadilan. Ini tentu ada dasar hukumnya. Namun, alasan sakit itu justru diabaikan oleh Presiden Gus Dur yang segera memerintahkan Jaksa Agungnya, Marzuki Darusman untuk mencabut kembali SP3, dan langsung membuka kembali kasus Pak Harto. Namun, lagi-lagi Pak Harto sulit untuk diperiksa karena kondisi kesehatananya yang buruk. Meski berulangkali tim dokter yang menyatakan Pak Harto benar-benar sakit, juga tampaknya diragukan oleh Kejaksaan Agung. Maka Jaksa Agung Marzuki Darusman (16-2-2000), segera membentuk tim medis untuk memeriksa kesehatan Pak Harto. Sehingga pada tanggal 13 Maret 2000, Pak Harto kembali diperiksa oleh Tim Dokter Kejagung di RSCM dan menjalani pemeriksaan otak di RSI Harapan Kita. Dan hasilnya ? Tim Medis RSCM (4-8-2000), juga menyampaikan laporan bahwa Pak Harto memang menderita kerusakan otak permanen. Sementara berdasarkan Psikologi Klinis, bentuk gangguan - kerusakan otak— tersebut dapat berbentuk : a.gangguan orientasi; misalnya ketidakmampuan untuk mengetahui orang-orang di sekitarnya, dan lain-lain; b. gangguan ingatan; pasien lupa kejadian-kejadian khususnya yang terbaru, kadang
juga menunjukkan gangguan kemampuan untuk belajar dan mengingat informasi baru c. gangguan fungis intelektual; pemahaman, berhitung, mengung-kapkan kalimat dan mungkin juga pengetahuan umumnya; d. gangguan penilaian; pasien sulit mengambil keputusan bahkan untuk yang sederhana sekalipun misalnya untuk tidur, makan, dan lain-lain; e. memiliki afek emosi yang labil; f. kehilangan daya tahuan emosi dan mental; g. sindrom lobus frontal; adanya sintrom gangguan control impuls, ketidakmampuan merencanakan, apatis dan lain-lain Berdasarkan keterangan diatas, apakah sakit Pak Harto masih dikatakan sebagai sandiwara? Sungguh aneh, jika masih ada orang yang tak percaya bahwa Pak Harto benar-benar sakit. Dan pemeriksaan kesehatan terhadap Pak Harto tidak berhenti sampai disitu. 14 September 2000, Tim Dokter Independen dari Ikatan Dokter Indonesia juga dibentuk oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri untuk memeriksa kesehatan Pak Harto. Pak Harto pun kembali harus menjalani pemeriksaan oleh tim dokter dari IDI. Kesehatan Pak Harto tetap menjadi sorotan utama, karena banyak pihak terutama Presiden Gus Dur — yang mengharapkan Pak Harto sembuh agar segera diajukan ke pengadilan. Tak perduli, apakah kondisi tubuhnya yang memang sudah tua dan lemah, proses hukum akan terus dilanjutkan. Lalu, yang paling mengejutkan adalah pada tanggal 13 Nopember 2000 pukul 11.00 Wib, manakala Pak Harto kembali anfal. Dimana selepas magrib, tersiar kabar di tengah masyarakat Pak Harto dalam keadaan koma. Menurut sekretaris pribadi Pak Harto, Anton Tabah, kondisi Pak Harto sejak pagi memburuk, napasnya tersengal-sengal. Semula Pak Harto tidak mau di oksigen, tapi setelah didesak dokter pribadinya, akhirnya ia mau dioksigen, pukul 08.00 Wib. Hingga pukul 22.30, Pak Harto masih mendapat bantuan pernapasan. Sementara di kediaman Ny. Siti Hardiyanti Indra Rukmana sejak pukul 21.00 Wib diadakan pengajian. Kegiatan yang dilakukan 65 orang Habib itu berlangsung
hingga pukul 23.15. Mereka datang dari Malang dan Pasuruan. Dirumah Ny. Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamik) pukul 09.30, Pengacara Juan Felix Tampubolon dan tiga pengacara lain mengadakan pembicaraan dengan tuan rumah. Pukul 23.15 Wib, Pengacara Juan Felix Tampubolon memberikan keterangan kepada pers di halaman rumah Pak Harto. Menurutnya, Pak Harto memang anfal pukul 11.00 WIB. "Bicaranya ngambang, kesehatannya memburuk. Dia terbaring terus di tempat tidur. Beliau didampingi empat dokter pribadinya. Semua sudah berkumpul, kecuali Titiek Prabowo, Sigit dan Tommy" paparnya. Pengacaranya, Juan Felix Tampubolon juga mengatakan bahwa Pak Harto anfal, tetapi tidak koma. Dan apa yang terjadi diluar sana - ditengah masyarakat - justru beredar isu Pak Harto meninggal. Sungguh isu yang menyesatkan. Lalu pada 24 Februari 2001, Pak Harto kembali masuk Rumah Sakit Pusat Pertamina, kali ini ia menjalani operasi usus buntu, kemudian pada 13 Juni 2001 kembali menjalani operasi pemasangan alat pemicu jantung permanen di RSPP. Pemasangan alat pacu jantung permanen dilakukan di bawah kulit jantung atau di dada bagian kanan Pak Harto. Dan di akhir tahun 2001, Pak Harto kembali mengalami masa kritis dan kembali dilarikan ke Rumah Sakit karena panas tinggi, batuk dan sesak napas. Belum lagi sempat menikmati kehidupannya, 15 Maret 2002 Pak Harto mengalami pendarahan usus dan harus diinfus. Tim Dokter Independen yang diketuai Akmal Taher menyimpulkan fungsi luhur Pak Harto terganggu. Pak Harto juga dinyatakan tidak mampu lagi memahami kalimat panjang. Hal itu diungkapkan setelah Kejaksaan akan membuka kembali kasus dugaan korupsi. Namun, jika tim dokter sudah menyatakan Pak Harto tidak mampu memahami kalimat panjang, bagaimana pula mungkin Pak Harto bisa diajukan ke pengadilan? Kondisi Pak Harto memang sungguh mengkhawatirkan, ia kembali menderita saluran pencernaan/usus besar pada 29 April 2003. Seminggu kemudian, pada tanggal 5 Mei 2005, Pak Harto kembali ke Rumah Sakit Pusat Pertamina karena komplikasi saluran pencernaan dan jantung. Setahun kemudian (4 Mei 2006), kembali dirawat karena pendarahan usus, sampai akhirnya Pak Harto harus menjalani operasi pembedahan karena pendarahan usus (7 Mei 2006). Operasi pembedahan oleh Tim Dokter terpadu. Langkah medis itu dilakukan karena pendarahan pada saluran cerna Pak Harto belum berhenti. Tetap Mencintai Rakyat dan Bangsa ini
Dari riwayat kesehatan Pak Harto jelas tergambar betapa Pak Harto sungguhsungguh menderita dengan berbagai penyakitnya. Belum lagi ia harus menanggung "sakit" yang datang dari luar, yang menyebabkan luka batinnya ikut terkena pula. Artinya, selain Pak Harto mengalami sakit secara medis, ia juga mengalami penyakit secara psikis, dimana emosionalnya kadang masih terpengaruh dengan pelbagai hal yang dilihat dan didengarnya. Namun, walaupun demikian, Pak Harto tetap sabar dan tenang melewati hariharinya. Bahkan kecintaannya kepada rakyat Indonesia tidak berubah. Saat berada di rumah, ia selalu rajin menonton televisi. la selalu memperhatikan rakyatnya melalui televisi. Menonton televisi merupakan salah satu bentuk rekreasi bagi mereka yang tidak berkesempatan keluar rumah, seperti halnya juga bagi Pak Harto. Namun, dari televisi itu pula kadang Pak Harto memberikan respon emosionalnya. Air matanya menetes ketika melihat penderitaan rakyat Indonesia. "Pak Harto menangis, air matanya keluar dan berkaca-kaca melihat penderitaan bangsa ini", kata Probosutedjo. "Kenapa bangsa Indonesia menjadi begini ? " Tanya Pak Harto. Sakit yang dirasakan rakyat Indonesia, ternyata dirasakan juga oleh Pak Harto. Kepada adiknya, Probosutedjo yang datang menengoknya, Oktober 2006 lalu, Pak Harto pernah mengatakan; "Saya sudah tidak bisa apa-apa lagi. Kamu yang masih bisa dan mampu, kamu mesti memperhatikan dan membantu rakyat miskin. Kasihan mereka" Tak hanya kepada Probo, juga kepada segenap teman-teman dan keluarganya termasuk juga anak-anaknya -Pak Harto selalu mengemukakan hal itu. Apa yang bisa dilakukan untuk membantu rakyat, lakukanlah selagi kita mampu. Dan Pak Harto sendiri, mengaku kini ia sudah tak berdaya. Pada usianya yang sudah tua, dan penyakit telah menggerogoti dirinya, Pak Harto merasa sudah tidak mampu lagi berbuat apa-apa. Bahkan ketika masih tergeletak sakit di ruang 604 RSPP dan dikunjungi Presiden SBY pada 10 Mei 2005, sekitar pukul 17.00 Wib, yang berada di kamar itu sekitar 15 menit dengan didampingi Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi dan juru bicara Kepresidenan, Andi M. Mallarangeng, dan juga Mbak Tutut, dengan suara terbatabata dan lemah, Pak Harto masih sempat menyampaikan pesan pada Yudhoyono, katanya; "Presiden, tolong jangan lupa swasembada pangan." Lalu, setahun kemudian, 7 Mei 2006, ketika Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi membesuk dan mengunjunginya Pak Harto di RSPP, dengan suara pelan Pak Harto kembali
menyampaikan pesannya kepada Presiden SBY; "Agar pemerintah berjalan dengan baik" Atau, bagaimana ketika seusai membacakan surat pengunduran dirinya, dan pelantikan BJ Habibie sebagai Presiden, Pak Harto menghampiri Pimpinan Dewan/MPR. Pak Harto muncul, lalu berdiri sambil menyilangkan tangannya layaknya seorang rakyat biasa, Pak Harto berucap, Saudara-saudara, sekarang saya bukan Presiden lagi, karena sesuai Pasal 8 UUD 1945 dan saran Dewan saya telah berhenti. Hening sesaat, kemudian dengan suara pelan, Pak Harto menutup dengan kalimat: Saya berharap saudara-saudara, menjaga keselamatan negara dan bangsa, terima kasih. Memang, sikap peduli dan kecintaan Pak Harto pada rakyat dan bangsa Indonesia masih kental. Namun, emosinya terkadang masih meluap-luap manakala ia mendengar atau melihat hal-hal yang tidak diinginkannya. Dan jika itu terjadi, emosi Pak Harto akan mudah terganggu. Dan jika terganggu, bukan mustahil Pak Harto akan ambruk kembali, dan pendarahan otak pun akan semakin meningkat. Dan faktor emosi ini pulalah yang menyebabkan tim dokter sempat melarang Presiden BJ Habibie untuk membesuk Pak Harto. Hal ini terjadi pada bulan September 1999, ketika Pak Harto dirawat di RS Pertamina karena mengalami stroke, ketika Habibie akan keluar Istana guna mengunjungi Pak Harto ke RS Pertamina, tim dokter Pak Harto menyampaikan pesan agar BJ Habibie membatalkan niatnya mengunjungi Pak Harto. Kenapa demikian ? Karena menurut tim dokter bila BJ Habibie jadi berkunjung membesuk Pak Harto, hanya ada dua kemungkinan : Pak Harto bisa senang atau marah, yang keduanya tetap akan mengakibatkan gejolak emosi yang dapat meningkatkan pendarahan otak yang berakibat fatal. Oleh karena itu, Tim dokter menyarankan agar BJ Habibie untuk membatalkan kunjungannya. Contoh lainnya mengenai emosi Pak Harto yang tidak stabil adalah ketika pada 3 April 2000, dimana saat Tim Pemeriksa dari Kejaksaan Agung mendatangi Pak Harto di kediaman jalan Cendana, dan melakukan serangkaian pertanyaan. Namun, baru diajukan dua pertanyaan, tiba-tiba tekanan darah Pak Harto naik mendadak, sehingga pemeriksaan terhadap Pak Harto terpaksa dihentikan saat itu juga. Hal yang sama pun pernah dialami oleh keluarga Cendana, manakala Pak Harto dikenakan tahanan rumah oleh Kejaksaan Agung pada tanggal 29 Mei 2000, pihak keluarga - dalam hal ini diwakili Mbak Tutut - kesulitan untuk mengabarkan hal ini kepada Pak Harto. Takut emosi Pak Harto kembali terganggu hingga diputuskan, lebih baik Pak Harto tidak usah diberitahu mengenai masalah penahanan rumah itu.
Memang, perhatian dan kecintaan Pak Harto pada bangsa ini masih begitu besar, namun sayangnya : air susu dibalas air tuba. Tuduhan kepada Pak Harto tak pernah memudar. Bahkan, ironisnya, orang tua yang sudah tak berdaya itu, yang sudah uzur dan telah dinyatakan sakit oleh tim dokter itu, tetap saja akan diajukan ke pengadilan. Tetap saja tuntutan hukum akan dilaksanakan, walaupun secara hukum pada 12 Mei 2006, Pak Harto telah menerima SKP3, yakni Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara, toh upaya hukum akan tetap diteruskan. Bahwa secara pidana, Pak Harto tak bisa lagi dituntut, giliran secara perdata kasus Pak Harto akan terus dilanjutkan. Seperti kata Jaksa Agung, 24 April 2006 lalu, bahwa ia akan tetap memikirkan langkah hukum lain jika hasil pemeriksaan tim dokter kejaksaan menyatakan Pak Harto masih sakit, sehingga tidak dapat diajukan ke pengadilan dalam dugaan kasus korupsi. "Jika, kalau memang diperiksa sekali lagi jawabannya sama, tentu kita akan pikirkan langkah hukum yang lain." Melihat kronologis kesehatan Pak Harto, kita dapat merasakan bagaimana menderitanya Pak Harto selama ini. Kondisinya mengkhawatirkan, tubuhnya habis dihinggapi berbagai penyakit dan otaknya pun telah mengalami kerusakan sehingga komunikasinya terbatas, tak bisa berbicara banyak. Pendengarannya sudah jauh berkurang, kata-katanya singkat, pelan, parau, bernada menggumam dan seringkali hanya menganggukan kepala, yang artinya belum tentu Pak Harto memahami apa yang kita bicarakan. Pak Harto berusaha kuat, padahal dalam tubuhnya sudah habis dihinggapi pelbagai penyakit kronis. Apalagi ia pernah menjalani operasi pemasangan pipa melalui dinding perut sebelah kiri atas. Bahkan, usus besarnya pun pernah dipotong sepanjang 40 cm. Tetapi, Pak Harto tetap berusaha untuk tampak tegar. Menurut lingkungan terdekatnya, Pak Harto memang selalu bersikap begitu. la selalu ingin menunjukan ketegaran dirinya. Padahal, di dalam tubuhnya sudah rapuh. Ada komplikasi penyakit yang bercampur dengan usianya yang telah tua dan uzur. Secara fisik, Pak Harto memang tampak sehat. Tapi sesungguhnya tidaklah demikian. Pak Harto telah benar-benar rapuh. Sebagai manusia biasa, tampaknya Pak Harto berusaha untuk tetap tabah, ikhlas, dan tenang menerima pelbagai tuduhan dan hujatan. Walaupun sudah banyak penyakit yang menghinggapi tubuh rentanya itu, tetapi Pak Harto tetap berusaha tampak kuat—melewati hari-hari panjang yang sungguh melelahkan dirinya. Kendati otaknya telah mengalami gangguan, kemampuan berkomunikasinya sudah
jauh menurun, dan Pak Harto telah menjadi seorang pesakitan, toh tetap .saja berbagai tuduhan terus ditujukan kepadanya — meski sekali pun belum pernah terbukti lantaran memang dia tidaklah seperti yang dituduhkan. Tuduhan, Masihkah Berlanjut ? Di hari-hari senjanya, Pak Harto kini memang lebih banyak mendekatkan diri kepada Yang Maha Pencipta. Di tengah-tengah komplikasi penyakitnya yang kian mendera, masihkah hujatan dan tuduhan itu akan diteruskan? Pertanyaan yang sederhana, namun mengandung makna: sejauhmanakah sisi kemanusiaan dan nurani yang kita miliki? Sejauh manakah keikhlasan yang kita miliki? Sebagaimana Pak Harto menanggapi dengan ikhlas, bahwa apa pun yang ada di ke tujuh yayasan yang dituduhkan ia korupsi, dipersilakan pemerintah untuk mengauditnya, untuk memeriksanya, dan tak ada yang ia tutup-tutupi. Pak Harto tak ingin mempertahankannya. Toh tak akan ada satu harta benda pun yang kelak akan dibawanya ke liang lahat, selain amal ibadahnya. Tapi, kenapa pula harus dilanjutkan? Adakah unsur "balas dendam" pada segelintir orang-orang yang merasa tersingkirkan pada saat Pak Harto berkuasa ? Lantas, apakah dendam itu akan menyelesaikan masalah ? "Saya tidak punya dendam apa-apa terhadap Pak Harto," ungkap AM Fatwa yang pernah dipenjara di LP Cipinang selama 18 tahun sejak 1984- 1998 karena terkait dengan kasus Tanjung Priok. "Politik dan kemanusiaan itu harus dipisahkan. Saya dihukum secara politis dan saya sudah direhabilitasi secara politis juga pada masa pemerintahan BJ Habibie," kata A.M Fatwa saat menjenguk Pak Harto di RSPP.15 Akan halnya Mantan Wapres, Try Sutrisno mengatakan; "Sebagai bangsa yang besar, sudah sewajarnya masyarakat Indonesia memaafkan Pak Harto, penguasa Indonesia selama 32 tahun ini." Ini mengingat faktor usia dan kondisi kesehatan Pak Harto yang kian lemah. Lalu, seusai menjenguk Pak Harto yang terbaring lagi di RSPP, Wapres Yusuf Kalla sendiri menegaskan "Buat apa kita memikirkan proses hukum kepada mantan Presiden Soeharto yang dalam keadaan kesehatan seperti itu. Saya kira, negeri ini harus berbesar hati kepada pemimpinnya". Sementara, Ketua Makamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie juga mengatakan kasus hukum Pak Harto supaya dihentikan. "Beliau mantan presiden, sudah uzur, kita hormati, kita tempatkan dia dalam sejarah republik kita", katanya usai menjenguk Pak Harto. Menurut Jimly, saat ini boleh dikatakan tidak ada lagi kelompok yang menginginkan Pak Harto diadili, terutama setelah Yudhoyono menjadi Presiden.
"Artinya, sebetulnya (kasus Pak Harto) sudah selesai. Karena itu, saya kira kita tutup buku saja". Akan halnya Wakil Ketua DPR Zainal Ma'arif datang menjenguk Pak Harto. Seusai menjenguk Pak Harto, ia meminta kejaksaan Agung segera menghentikan pemerik-saan ulang kesehatan atas mantan Presiden Soeharto. Zainal juga meminta agar Pak Harto dibebaskan dari segala tuntutan hukum sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. Menurutnya, alasan menghentikan pemeriksaan ulang kesehatan Pak Harto oleh Kejaksaan Agung untuk tujuan proses hukum, cukup kuat. Pertama, kondisi kesehatan Pak Harto menjelang usia 85 tahun, cukup riskan, apalagi setelah menjalani operasi pemotongan dan penyambungan usus sepanjang 40 cm. Kedua, sejumlah tokoh dunia belakangan ini mengunjungi mantan Presiden Soeharto sebagai tanda kekaguman dan penghargaan mereka terhadap Pak Harto. Karena itu, bangsa Indonesia pun seharusnya memberikan penghormatan dan penghargaan kepada mantan orang nomor satu Indonesia itu. "Kalau tokoh dan ahli dunia sendiri mau menghormati dan menghargai mantan pemimpin kita, kenapa kita sendiri tidak melakukan hal yang sama. Terlepas dari segala kekurangan dan kesalahannya di masa lalu, bangsa Indonesia seharusnya memberikan pengampunan dan penghargaan bagi Soeharto" ujar Zainal Maarif lagi. Sementara secara terpisah, Sekretaris Fraksi PDI Jacobus Kamarlo Mayongpadang mengatakan; "Sudah saatnya beliau dibebaskan dari urusan hukum agar dia bisa tenang menjalani usia senjanya. Terutama agar memberikan beliau spirit dalam menjalani perawatan, sehingga bisa pulih kembali. Atas kesalahan yang selama ini dilakukannya, bangsa Indonesia harus berbesar hati memaafkannya. Sudahlah, kita maafkan beliau. Tak ada gading yang tak retak. Tapi saya juga menghimbau masyarakat, ada waktu untuk emosi, ada waktu untuk bijaksana, dan ada pula waktu untuk mengasihi. Sekarang beliau sudah renta karena itu berilah kesempatan untuk menikmati hari tuanya," ucap Mayongpadang. Atau, mengutip pandangan Try Soetrisno mengenai Pak Harto. Katanya; Dalam berbagai kesempatan, Pak Harto selalu mengajarkan agar kita mampu dan mau bersikap arif dan berjiwa besar, yaitu berusaha menghormati dan menghargai orang tua dan para pemimpin kita. Tindakan mencela, menjelek-jelekkan dan mengungkit-ungkit kekurangan serta kekhilafan orang tua dan pemimpin kita, adalah perbuatan tercela, yang tidak layak dilakukan oleh putera Indonesia, yang terkenal memiliki nilai-nilai budaya dan etika yang luhur. Tindakan seperti itu tidak dikenal di dalam sistem dan budaya kehidupan bangsa kita, karena hal itu justru akan
mengakibatkan timbulnya kesan yang dapat menjatuhkan Citra kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan etika yang luhur dan terhormat. Pepatah kita pun mengatakan :"Menepuk air di dulang, terpercik ke muka sendiri". Memang kearifan sangat dibutuhkan oleh semua orang, Termasuk juga kita, tentunya. Ikhtisar dan Kesimpulan 1. Sakit medis (penyakit yang komplikasi) dan non medis (psikis) yang dialami Pak Harto yang sudah uzur membuat ia menjadi pesakitan. Belum lagi tarik ulur kasus dugaan korupsi, yayasan, dan lain-lain yang tidak pernah dapat dibuktikan menambah penderitaan Pak Harto. Selama lebih dari sembilan tahun, Pak Harto harus melewati hari-hari panjang yang melelahkan. 2. Dalam sakit medis, Pak Harto diperiksa oleh 3 tim, yakni tim dokter pribadi kepresidenan, tim dokter RSCM atas usulan Kejaksaan Agung, dan juga tim dokter Independen atas usulan Pengadilan. Dari ketiga tim tersebut, tetap menghasilkan rekomendasi yang sama: kesehatan Pak Harto yang rentan baik jasmani maupun rohaninya. Emosi Pak Harto pun tidak stabil lagi. 3. Meski dalam keadaan sakit, Pak Harto tetap memiliki perhatian pada rakyat dan bangsa ini. Pak Harto sering mengatakan, agar rakyat tetap dibantu. Agar bangsa ini jangan sampai porak-poranda.
Catatan Kaki: 1 Tempo, 1 Agustus 1999, hal 20. 2. Psikologi Klinis, Tristiadi Ardi Ardani, Garda Ilmu,, Yogyakarta, 2007, hal.201
3. Psikologi Klinis, Tristiadi Ardi Ardani, Garda llmu,, Yogyakarta, 2007, hal.20 4 Proses Peradilan Soeharto, Ismail Saleh, Yayasan Dharmais 2001, hal.30 5. Psikologi Klinis, Tristiadi Ardi Ardani, Garda Ilmu,, Yogyakarta, 2007, hal.202 6. Media Indonesia, 14 November 2000 7. Psikologi Orang Dewasa, Drs. Andi Mappiare, Usaha Nasional, Surabaya,haL86 8 Wawancara dengan Probosutedjo, Pebruari 2007 9. Republika, 11 Mei 2005 10. Koran Tempo, 8 Mei 2006 11. Abdul Gafur, Hari Hari Terakhir Seorang Presiden, 1998, hal 155 12. ibid 13.. Republika, 25 April 2006 14. Media Indonesia, 12 Mei 2006 15. Republika, 9 Mei 2005 16. Media Indonesia, 9 Mei 2006 17. Makalah "Pandangan Try Sutrisno Tentang Pak Harto" 17 Oktober 2004