BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini terdapat empat komponen yaitu latar belakang yang berisi halhal yang melatarbelakangi pengambilan judul penelitian, rumusan masalah, yang membahas permasalahan yang muncul terkait dengan diadakannya penelitian ini, tujuan penelitian yang berisi tujuan dari diadakannya penelitian ini, serta manfaat penelitian dalam bidang akademis dan praktis. 1.1 Latar Belakang Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sedang berbenah dalam sektor pariwisata. Hal ini ditunjukkan dengan adanya target peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara dan nusantara, sekitar 13% dibandingkan tahun lalu.1 Salah satu kawasan yang menjadi daerah tujuan wisata di NTB adalah Kawasan Wisata Senggigi. Kawasan wisata ini terletak pada posisi sekitar 12 kilometer dari utara Kota Mataram. Merupakan kawasan pesisir yang terbentang hampir sepanjang 10 km dengan hamparan pasir putih.2 Kawasan Wisata Senggigi mulai dikembangkan pada tahun 1980-an, ditandai dengan berdirinya Pondok Senggigi sebagai hotel yang pertama. Kawasan ini semakin berkembang seiring dengan berkembangnya pariwisata di Pulau Bali, karena menjadi daerah kunjungan lanjutan dari wisatawan yang datang mengunjungi Pulau Bali. Perkembangan kawasan ini sempat redup pada awal tahun 2000, karena adanya kerusuhan etnis di daerah Mataram, kemudian disusul bom Bali I 1
http://liburan.info/content/view/561/43/lang,indonesian/, diakses tanggal 28 April 2010, pukul 13.00 wita 2 http:/www.lombokgilis.com, diakses tanggal 1 Maret 2009, pukul 19.00 wita
1
2
(2002) dan II (2005). Sebagai kawasan wisata andalan Provinsi NTB, Senggigi masih relatif alami, pantainya yang indah, dengan pasir berwarna putih, debur ombaknya yang tidak terlalu besar, dan keindahan pemandangan bawah laut, semakin membuat kawasan wisata ini menjadi tempat yang menarik bagi para wisatawan domestik maupun mancanegara. Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) mendukung sepenuhnya perkembangan Kawasan Wisata Senggigi, hal ini tersurat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) NTB3 pasal 41 ayat 2, yang menyebutkan: “Objek daerah tujuan wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan pada: SWP Pulau Lombok meliputi kawasan wisata: Senggigi dan sekitarnya, Suranadi dan sekitarnya, Gili Gede dan sekitarnya, Benang Stokel dan sekitarnya, Dusun Sade dan sekitarnya; Selong Belanak dan sekitarnya, Kuta dan sekitarnya, Gili Sulat dan sekitarnya; Gili Indah dan sekitarnya, Rinjani dan sekitarnya.“ Selain itu, pemerintah NTB sebenarnya telah melakukan berbagai kegiatan dalam skala Nasional dan Internasional dalam mempromosikan pariwisata di NTB, seperti diadakannya Tourism Indonesia Mart and Expo (TIME) 2009 di Pantai Senggigi, yang melibatkan pengusaha-pengusaha pariwisata luar negeri. Promosi keindahan Pantai Senggigi dilakukan ke luar negeri dan didalam negeri dengan promo Visit Lombok Sumbawa 2012, tetapi potensi yang ada tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal, yang terlihat dari kondisi fisik Kawasan Wisata Senggigi. Pada kenyataan di lapangan, terdapat beberapa bangunan yang mangkrak dan ditelantarkan sehingga memberikan kesan daerah yang tidak terawat. Bangunan 3
Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat nomor 11 tahun 2006
3
yang tidak terselesaikan ini telah berumur beberapa tahun, hal ini terlihat dengan adanya tanaman-tanaman liar yang tumbuh pada bangunan dan perubahan fisik bangunan. Banyak bangunan ini berada di sekitar bangunan yang masih aktif digunakan, sehingga citra kawasan wisata sangat terganggu dengan keadaan seperti ini. Selain itu dapat dilihat di sepanjang pantai yang ada di Kawasan Wisata Senggigi, yaitu adanya pedagang kaki lima dan gubuk-gubuk liar. Mereka mengambil hampir separuh dari daerah pantai untuk berjualan. Hal ini sangat mengganggu wisatawan yang datang untuk berwisata di kawasan ini. Pasar seni pada kawasan ini terdapat pada dua tempat, yaitu pada Dusun Senggigi dan Dusun Loco. Pasar seni pada Dusun Senggii ternyata tidak dapat menampung semua pedagang yang berkeinginan untuk berjualan di pasar ini, sebaliknya pasar seni yang ada pada Dusun Loco hanya ditempati oleh beberapa pedagang, sehingga terkesan sepi. Selanjutnya jika berjalan melewati Kawasan Wisata Senggigi, ada beberapa tempat yang kurang mendapat perawatan. Pemerintah menggangap pihak swasta yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari sektor pariwisata sehingga pihak swasta harusnya merawat semua fasilitas yang telah ada, sebaliknya pihak swasta menganggap hal ini merupakan tanggung jawab pemerintah, sehingga menyebabkan di beberapa tempat terlihat tidak terawat. Dari semua bangunan yang ada, hanya beberapa bangunan yang menggunakan ciri khas daerah Lombok. Ciri khas daerah Lombok terlihat dari bangunan yang terbuat dari atap kayu dan ilalang.4 Ini menyebabkan kurang adanya nilai lebih
4
Sasongko, Ibnu., Atlas Kontinuitas Sistem Penyelesaian Sasak Indonesia Studi Kasus: Desa Puyung, Pulau Lombok – Indonesia, Institut Teknologi Nasional - Malang Departemen Perencanaan Kota dan Daerah,
4
kawasan wisata Senggigi dibandingkan dengan tempat wisata yang mempunyai ciri khas tertentu. Dalam pengelolaan kawasan, tiga hal yang harus diperhatikan adalah perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pelaksanaan. Meskipun dalam RTRW Provinsi NTB dan RDTR telah dicantumkan arah perencanaan Senggigi sebagai kawasan wisata, namun dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dan dalam pengendaliannya masih perlu ketegasan. Berdasarkan teori pengelolaan kawasan,5 terdapat 13 indikator dalam keberhasilan pengelolaan kawasan. Faktor-faktor tersebut adalah partisipasi masyarakat, kelembagaan, infrastruktur, keterlibatan swasta, transportasi, sumber daya manusia, peraturan dan kebijakan, pengelolaan lahan, peluang pekerjaan, kemitraan masyarakat, pemerintah dan swasta, finansial/keuangan, dan manajemen promosi. Pada faktor kelembagaan terdapat dua hal mendasar yang berpengaruh terhadap perkembangan pariwisata, yaitu kaitannya dengan lembaga formal dan nonformal. Maksud dari lembaga formal dalam hal ini adalah kumpulan orang yang memiliki hubungan kerja dan mempunyai tujuan bersama serta memiliki struktur organisasi,6 sebagai contoh pembanding di Bali terdapat Bali Tourism Development Coorporation (BTDC) yang mengelola kawasan wisata Nusa Dua. Dengan adanya
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.fab.utm.my/download/ ConferenceSemiar/SENVAR52004SPS501.pdf, diakses tanggal 15 Juni 2010, pukul 13.00 wita. 5 Setiawan, B., Definisi dan Cakupan Urban Planning dan Urban Management. (Magister Perencanaan Kota dan Daerah, UGM: 2002), hal.3 6 http://organisasi.org/pengertian_definisi_dan_arti_organisasi_organisasi_formal_dan_informal_b elajar_online_lewat_internet_ilmu_manajemen, diakses tanggal 17 Desember 2010, pukul 15.00 wita.
5
BTDC, dapat dilihat pengaruh positif yang terjadi pada kawasan wisata tersebut, misalnya taman yang tertata rapi, akses yang lancar, keamanan yang kondusif, kondisi jalan yang nyaman, bangunan tertata rapi mengikuti master plan yang telah ada, kebersihan terjaga dan akomodasi pariwisata lengkap. Kawasan Wisata Senggigi hingga saat ini terdapat berbagai kegiatan seperti jasa pijat, penyewaan kano dan ban, pedagang asongan, tato temporer, dan cat kuku tapi kegiatan ini tidak diatur oleh lembaga tertentu, tetapi oleh perseorangan. Dampak dari tidak adanya lembaga formal tersebut mengakibatkan para pedagang bebas berjualan di tempat yang mereka inginkan sehingga menimbulkan kesan tidak rapi dan tidak teratur. Selain itu juga menimbulkan aksi premanisme, terlihat dari adanya indikasi penyetoran sejumlah uang kepada oknum tertentu agar bisa berjualan di kawasan tersebut. Aksi premanisme ini dapat terjadi dengan mudah karena tidak ada pembinaan dan aturan yang tegas dari pemerintah. Permasalahan partisipasi masyarakat juga menjadi hal penting yang harus diperhatikan. Partisipasi masyarakat berarti kemauan rakyat untuk mendukung secara muntlak program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah.7 Dapat juga diartikan sebagai kerja sama antara rakyat dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa pengelolaan kawasan memerlukan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam Kawasan Wisata Senggigi dirasakan sangat minim, karena apa yang disampaikan oleh masyarakat untuk pemerintah hanya berupa
7
Sutrisno, Menuju Masyarakat Partisipatif, (kanisius, Jakarta, 1995), hal: 206
6
sebuah keinginan, bukan sebagai suatu hal penting yang harus ditindaklanjuti, hal ini terlihat dari adanya keluhan masyarakat yang merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan revitalisasi Kawasan Wisata Senggigi. Karena aspirasi yang tidak tersampaikan maka komunikasi menjadi tidak baik antara masyarakat, pemerintah dan pihak swasta dalam mengelola Kawasan Wisata Senggigi. Akibat dari komunikasi yang minim tersebut mengakibatkan pengelolaan Kawasan Wisata Senggigi belum tercapai secara maksimal. Masing-masing pihak melakukan kegiatannya secara sendiri-sendiri dan tidak ada sinergi yang positif dari ketiga pihak yang berkepentingan tersebut. Pemerintah Daerah Lombok Barat sepertinya belum dapat memecahkan masalah yang ada di kawasan ini, walaupun sudah ada upaya untuk meningkatkan jumlah kedatangan wisatawan. Hal ini dapat dikarenakan pemerintah tutup mata terhadap masalah kelembagaan dan aspirasi masyarakat. Pemerintah terus berusaha melakukan perbaikan fisik (revitalisasi), tanpa memperbaiki akar dari permasalahan yang terjadi, yaitu kurangnya ketegasan pemerintah dalam menerapkan aturan-aturan. Apabila keadaan ini terus terjadi dikhawatirkan Kawasan Wisata Senggigi akan semakin tenggelam serta kehilangan pesona alaminya. Dengan berbagai hal tersebut perlu dilakukan penelitian, terkait dengan “Aspek Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Wisata Senggigi, Nusa Tenggara Barat“ yang ditujukan untuk dapat mengelola kawasan agar memberikan keuntungan ekonomi tanpa merusak lingkungan dan tanpa menghilangkan nilai-nilai lokal sehingga semuanya dapat berlanjut. Hasil
7
penelitian ini nantinya, diharapkan dapat dipakai sebagai salah satu rekomendasi terkait pengelolaan Kawasan Wisata Senggigi ke depan.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah disampaikan, dapat dirumuskan beberapa permasalahan, diantaranya: a. Bagaimanakah
kelembagaan
dan
partisipasi
masyarakat
dalam
partisipasi
masyarakat
dalam
perencanaan Kawasan Wisata Senggigi ? b. Bagaimanakah
kelembagaan
dan
pelaksanaan dari perencanaan Kawasan Wisata Senggigi? c. Bagaimanakah
kelembagaan
dan
partisipasi
masyarakat
dalam
pengendalian terhadap pelaksanaan dari perencanaan Kawasan Wisata Senggigi?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus: 1.3.1
Tujuan Umum
Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk mengetahui bagaimana pengelolaan kawasan wisata yang berkelanjutan khususnya ditinjau dari aspek kelembagaan dan partisipasi masyarakat pada kawasan wisata tanpa mengurangi kualitas lingkungan yang ada. 1.3.2
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini, adalah:
8
a. Untuk mengetahui kelembagaan dan partisipasi masyarakat dalam perencanaan Kawasan Wisata Senggigi. b. Untuk mengetahui kelembagaan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan dari perencanaan yang telah dibuat pada Kawasan Wisata Senggigi ditinjau dari. c. Untuk mengetahui kelembagaan dan partisipasi masyarakat dalam pengendalian yang dilakukan pada saat melaksanakan perencanaan yang telah dibuat pada Kawasan Wisata Senggigi.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu manfaat akademis dan manfaat praktis. 1.4.1
Manfaat Akademis
Untuk dapat memberikan sumbangan pada pengembangan ilmu pengetahuan mengenai pariwisata serta menambah referensi pustaka bagi penelitian selanjutnya. 1.4.2
Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai pengelolaan kawasan wisata khususnya ditinjau dari aspek kelembagaan dan partisipasi masyarakat kepada praktisi, pemerintah serta masyarakat umum sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam melakukan aktivitas pengelolaan kawasan wisata untuk peningkatan pariwisata sekaligus mempertahankan kualitas lingkungan, serta dapat memperlihatkan adanya perbedaan antara teori, perencanaan pemerintah dengan kenyataan dilapangan.