KINERJA OMBUDSMAN DAN UPAYA PERBAIKAN Oleh: Mita Widyastuti ABSTRACT The existence of the Ombudsman of the Republic of Indonesia awaited in order to make repairs or improvements of public service in government agencies. The fact that the Ombudsman at age 9, the role of the Ombudsman is not so perceived by the public. Ombudsman still not known, trusted and recommendations Ombudsman yet to show a deterrent effect or improvement in government agencies. The improvement of structure, process and human resources must be done in order to increase the performance of the Ombudsman and the high public trust. Keyword: Public Service, Performance, Ombudsman
I.
PENDAHULUAN
“Pelayanan publik di Indonesia masih sangat rendah”. Demikian salah satu kesimpulan Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development Report 2004 dan hasil penelitian Governance and Desentralization Survey (GDS) 2002 (Agus Dwiyanto dan Bevaola Kusumasari, Policy Brief, No. II/PB/2003). Buruknya pelayanan publik memang bukan hal baru, fakta di lapangan masih banyak menunjukkan hal ini. GDS 2001 menemukan tiga masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan palayanan publik, yaitu pertama, besarnya diskriminasi pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan masih amat dipengaruhi oleh hubungan per-konco-an, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama. Fenomena semacam ini tetap marak walaupun telah diberlakukan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang secara tegas menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya diskriminasi. Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan. Dan ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan dan ketidakpastian tadi. Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan efektif merupakan dambaan setiap warga negara di manapun. Hal tersebut telah menjadi tuntutan masyarakat yang selama ini hak-hak sipil mereka kurang memperoleh perhatian dan pengakuan secara layak, sekalipun hidup di dalam 39
negara hukum Republik Indonesia. Padahal pelayanan kepada masyarakat (pelayanan publik) dan penegakan hukum yang adil merupakan dua aspek yang tidak terpisahkan dari upaya menciptakan pemerintahan demokratis yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, keadilan, kepastian hukum dan kedamaian (good governance). Sebelum reformasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan diwarnai dengan praktek maladministrasi, antara lain terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme, sehingga mutlak diperlukan reformasi
birokrasi
penyelenggaraan
negara
dan
pemerintahan,
demi
terwujudnya
penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efesien, jujur, bersih, terbuka, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, orientasi pada kekuasaan yang amat kuat selama ini telah membuat birokrasi menjadi semakin jauh dari misinya untuk memberikan pelayanan publik. Penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik hanya dapat tercapai dengan peningkatan mutu aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan, juga penegakan asas-asas pemerintahan umum yang baik. Setelah reformasi bergulir, reformasi mengamanatkan perubahan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, yaitu kehidupan yang didasarkan pada penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang demokratis. Sejalan dengan semangat reformasi itu, pemerintah melakukan perubahan-perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan Republik Indonesia. Perubahan yang dimaksud antara lain dengan membentuk lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga pemerintahan yang baru. Salah satu diantaranya adalah Komisi Ombudsman Nasional atau juga yang lazim disebut Ombudsman Nasional. Lembaga ini dibentuk pada tanggal 10 Maret 2000 yaitu pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, dengan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Ombudsman RI berfungsi untuk mengawasi dan membenahi masalah birokrasi serta pelayanan publik yang bermasalah. Namun tindak nyata dari Ombudsman ini menurut DPR khususnya Komisi II dan masyarakat pada umumnya, belum terlihat di masyarakat. Kelemahan Ombudsman juga terlihat dari produk paling pamungkasnya yaitu rekomendasi. Seringkali rekomendasi Ombudsman, tidak digubris oleh instansi pemerintah. Selain itu, nama Ombudsman sebagai instansi yang berfungsi menyelesaikan birokrasi yang bermasalah, juga belum terlalu
40
populer di kalangan masyarakat. Apa dan bagaimana kiprah Ombudsman akan menjadi fokus pembahasan dalam artikel ini. II.
PEMBAHASAN
1. Apa dan Siapa Ombudsman Ombudsman dibentuk sebagai bentuk serius upaya pemerintah untuk membenahi pelayanan yang diberikan instansi-instansi pemerintah. Hal itu sejalan dengan pemikiran reformasi serta upaya penyempurnaan implementasi otonomi daerah. Telah kita ketahui bersama, bahwa salah satu alasan diberikannya otonomi daerah adalah upaya mendekatkan pemerintah dengan masyarakat yang dilayani. Dengan diberikannya otonomi pada daerah kota dan kabupaten diharapkan masyarakat dapat menerima pelayanan dengan lebih baik, lebih merata dan lebih berkualitas. Adanya lembaga Ombudsman akan memberi efek/tekanan pada instansi pemerintah baik di pusat maupun didaerah untuk memberikan pelayanan yang sungguh-sungguh serta berkualitas pada masyarakat. Seperti telah sedikit disinggung didepan bahwa Ombudsman didirikan untuk mengawasi dan membenahi pelayanan publik sambil menyiapkan konsep rancangan undang-undang Ombudsman. Dalam menjalankan tugas tersebut Ombudsman Indonesia dipimpin oleh seorang ketua didampingi oleh 6 komisioner, dengan masa jabatan 5 tahun setelah itu akan dilakukan pemilihan kembali. Selama Ombudsman berdiri telah terjadi 2 kali penggantian pengurus. Pengurus Ombudsman saat ini adalah Antonius Sujata, SH, MH sebagai ketua, Prof. Dr. CFG Sunarti Hartono, SH selaku wakil ketua, KH Masdar Farid Mas’udi, MA, Drs. Teten Masduki, RM Surachman, APU dan Hj. Erna Sofyan-Sjukrie, SH selaku anggota. Pada perkembangannya, telah disyahkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, dengan adanya UU tersebut secara resmi Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia. Tujuan yang tertuang dalam UU no 37 Tahun 2008 pasal 4 huruf d disebutkan ”membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi serta nepotisme”. Dalam undang-undang ini ditegaskan kembali yurisdiksi Ombudsman meliputi pengawasan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh:
41
a) Penyelenggara negara dan pemerintahan; b) Badan Usaha Milik Negara; c) Badan Usaha Milik Daerah; d) Badan Hukum Milik Negara; e) Perorangan dan swasta yang dibiayai oleh APBD/APBN. Sehubungan dengan kewenangan tersebut maka Ombudsman RI dapat menerima, memeriksa substansi, menindaklanjuti laporan masyarakat yang menjadi kewenangan Ombudsman, serta melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Maka dari itu Ombudsman memiliki prosedur dalam penanganan laporan masyarakat dan tidak semua laporan dapat ditangani oleh Ombudsman. Alur penanganan laporan masyarakat atas tindakan maladministrasi oleh penyelenggara negara kepada Ombudsman adalah sebagai berikut: a)
Pelapor melaporkan kepada Ombudsman atas tindakan maladministrasi oleh penyelenggara negara.
b) Ombudsman Republik Indonesia memeriksa laporan. c)
Jika kurang lengkap, Ombudsman RI akan memberitahukan secara tertulis kepada pelapor. Tetapi jika laporan lengkap maka Ombudsman RI akan memeriksa secara substansial.
d) Dari hasil pemeriksaan, Ombudsman RI dapat menetapkan kriteria berwenang melanjutkan atau tidak berwenang melanjutkan. e)
Dalam hal ditentukan maladministrasi Ombudsman RI memberikan rekomendasi.
f)
Rekomendasi disampaikan kepada pelapor, terlapor dan atasan terlapor. Dilihat dari tahapan diatas, setiap laporan maladministrasi yang masuk Ombudsman akan
dilakukan pemeriksaan atau seleksi administrasi apakah kelengkapan laporan sudah terpenuhi, Pemeriksaan juga dilakukan dalam hal substansi masalah yang dilaporkan, apakah laporan sudah sesuai dengan kewenangan Ombudsman atau harus ditangani oleh lembaga yang lain. Dengan kriteria seperti itu tidak semua laporan yang masuk akan ditindaklanjuti oleh Ombudsman.
42
2. Pola Penanganan Kasus-kasus Oleh Ombudsman RI Melihat data kasus-kasus yang masuk ke Ombudsman terlihat ada kenaikan dari tahun ke tahun, seperti data yang diperoleh pada tahun 2007 dan 2008 yang tertuang dalam tabel dibawah ini. Tabel 1 Laporan Masyarakat Berdasarkan Klasifikasi Pelapor No Klasifikasi Pelapor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Perorangan/korban langsung Kuasa hukum Kelompok masyarakat Keluarga korban Lembaga Swadaya Masya Lain-lain Badan hukum Lembaga Bantuan Hukum Organisasi Profesi Instansi Pemerintah Total
2007 Jumlah 516 94 81 71 67 24 2 1 0 1 865
% 57,93 10,87 9,36 8,21 7,75 2.77 1,04 0,23 0 0,12 100
2008 Jumlah 772 86 66 58 56 41 7 7 3 3 1026
% 62,41 8,38 6,43 5,65 5,46 3,32 0,57 0,57 0,24 0,24 100
Sumber: Laporan Tahunan 2007 dan 2008 Dari Tabel 1 dapat dirlihat bahwa berdasarkan klasifikasi pelapor jumlah laporan yang berasal dari perorangan/korban langsung jumlah dari tahun 2007 ke 2008 mengalami peningkatan. Ini menandakan bahwa Ombudsman RI makin dikenal oleh masyarakat. Jumlah kasus ini menandakan pula bahwa kasus maladministrasi masih banyak terjadi didalam pelayanan publik, hal ini memandakan bahwa pelayanan publik yang diberikan belum maksimal. Selanjutnya, untuk melihat kasus yang masuk dan tindak lanjut yang dilakukan oleh Ombudsman yang tersaji dalam laporan tahunan tahun 2007 dan 2008 dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, antara lain: meminta klarifikasi dari terlapor, mengeluarkan rekomendasi yang mengikat terlapor, kasus ditindaklanjuti, kategori bukan wewenang Ombudsman, meminta kelangkapan data, pemberitahuan pada terlapor dan lain-lain. Data tahun 2007 dan 2008 tersaji dalam Tabel 2. Tabel 2 dapat dilihat bahwa kasus yang ditindaklanjuti oleh Ombudsman berupa klarifikasi meningkat dari tahun ke tahun dan tindak lanjut berupa rekomendasi dari tahun ke tahun semakin 43
menurun, ini menandakan bahwa Ombudsman diakui keberadaannya oleh penyelenggara negara. Tindak lanjut berupa klarifikasi telah mendapat perhatian dari terlapor untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam pelayanan publik, sehingga Ombudsman tidak perlu mengeluarkan tindak lanjut dengan katogori rekomendasi yang memiliki daya paksa yang lebih tinggi. Tabel 2 Tindak Lanjut Laporan Masyarakat No. Tindak Lanjut 1. Klarifikasi 2. Rekomendasi 3. Tindak lanjut 4. Bukan wewenang 5. Melengkapi data 6. Pemberitahuan 7. Lain-lain 8. Masih dalam proses Total
2007 Jumlah 274 168 26 118 95 83 32 69 865
% 31,68 19,42 3,01 13,64 10,98 9,60 3,70 7,98 100
2008 Jumlah 342 70 32 260 136 77 22 87 1026
% 33,33 6,82 3,12 25,34 13,26 7,50 2,14 8,48 100
Sumber: Laporan Tahunan 2007 dan 2008. Tabel 3 Tanggapan Terlapor Atas Tindak Lanjut Ombudsman No. 1. 2. 3. 4. 5.
Klasifikasi Tanggapan Melakukan penelitian Menindaklanjuti laporan Penjelasan Respon instansi terkait Selesai menurut pelapor Total
2007 Jumlah 168 58 4 0 4 234
% 71,80 24,79 1,71 0 1,71 100
2008 Jumlah 8 20 386 8 2 424
% 1,89 4,72 91,04 1,89 0,47 100
Sumber: Laporan Tahunan 2007 dan 2008 Untuk melihat seberapa besar respon yang diberikan terlapor terhadap tindak lanjut dari Ombudsman dapat dilihat pada Tabel 3. Dari data dibawah instansi yang memberi tanggapan melakukan penelitian menurun dranstis dari tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa permasalahan yang disampaikan oleh pelapor telah jelas sehingga tidak perlu dilakukan penelitian lagi, namun bisa juga menunjukkan kemalasan pihak terlapor atas hasil rekomendasi Ombudsman. Dipihak lain, jumlah instansi yang memberikan tanggapan penjelasan bertambah
44
melonjak tajam mengindikasikan rekomendasi Ombudsman tidak perlu ditanggapi secara serius. Lebih ironis lagi bahwa jumlah kasus yang dianggap telah selesai oleh para pelapor sangat minim, sehingga belum tentu laporan maladministrasi yang disampaikan oleh pelapor ke Ombudsman telah menuntaskan atau memperjelas kasus yang dihadapi pelapor. Tabel 4 Laporan Masyarakat Berdasarkan Instansi Terlapor No.
Instansi Terlapor
2007 Jumlah 1. Pemerintah Daerah 130 2. Kepolisian 256 3. Lembaga Peradilan 114 4. Kementrian 71 5. Badan Pertanahan Nasional 58 6. BUMN/BUMD 53 7. Lain-lain 46 8. Kejaksaan 47 9. TNI 18 10. Lembaga Non Departemen 8 11. Perbankan 14 12. Perguruan Tinggi Negeri 4 13. Komisi Negara 0 14. DPR 6 15. Badan Pemeriksa Keuangan 0 Total 865 Sumber: Laporan Tahunan 2007 dan 2008
% 15,03 29,60 13,18 8,21 6,71 6,13 5,32 5,44 2,08 0,92 1,62 0,46 0 0,69 0 100
2008 Jumlah 267 251 107 91 77 59 58 52 24 16 9 5 5 4 1 1026
% 26,02 24,46 10,43 8,87 7,50 5,75 5,65 5,07 2,34 1,56 0,88 0,49 0,49 0,39 0,10 100
Selain data tentang klasifikasi pelapor, tindak lanjut dan tanggapan dari terlapor penulis juga mendapatkan data tentang instansi terlapor. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Dari data tersebut terlihat bahwa instansi yang paling sering dilaporkan adalah pemerintah daerah, kepolisian dan lembaga peradilan. Diantara ketiga instansi tersebut, terlihat pemerintah daerah menduduki peringkat tertinggi dari tahun ke tahun sebagai instansi yang sering dilaporkan ke Ombudsman. Lebih lanjut Tabel 4. terlihat bahwa instansi terlapor relative tetap dari tahun ke tahun, namun dari segi kuantitas atau jumlah kasus mengalami kenaikan terutama instansi pemerintah daerah yang mengalami kenaikan cukup signifikan, sehingga menduduki peringkat 1 dari sebelumnya duduk di peringkat 2. Melihat kenaikan kasus pada setiap instansi terlapor tersebut menunjukkan adanya 2 indikasi, pertama, bahwa pelaporan kasus pada tahun-tahun
45
sebelumnya tidak membuat instansi terlapor melakukan perbaikan dalam memberikan pelayanan atau dengan kata lain tindak lanjut Ombudsman belum memberi efek jera pada terlapor. Kedua, hal ini juga mengindikasikan semakin dikenalnya Ombudsman oleh masyarakat melalui upaya sosialisasi terus-menerus dan dibukanya beberapa kantor perwakilan di beberapa daerah. Kenaikan peringkat kasus pada instansi pemerintah daerah merupakan suatu hal yang masuk akal. Era desentralisasi telah mendorong permintaan pemekaran wilayah, baik pada tingkat propinsi maupun kabupaten/kota, sehingga dari 26 propinsi yang ada telah dimekarkan menjadi 33 propinsi dan saat ini terdapat 427 kabupaten/kota. Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim dari UGM (2004) diperoleh gambaran bahwa dengan adanya otonomi daerah terdapat peningkatan atau perbaikan pelayanan public di beberapa daerah dan sebagian besar lagi justru terjadi penurunan kualitas pelayanan. 3.
Evaluasi Kinerja Ombudsman Sejak awal Ombudsman berdiri memiliki tujuan melakukan perbaikan dalam pemberian
pelayanan public pada instansi pemerintah. Dengan visi tersebut maka Ombudsman memiliki posisi yang strategis dalam praktek pemerintahan. Dari tahun ke tahun upaya penguatan kedudukan lembaga dilakukan, demikian pula peningkatan kapasitas dan pengembangan struktur. Kasus-kasus yang masuk dan ditangani telah meningkat dari tahun ke tahun, tetapi bagaimana kinerja Ombudsman secara keseluruhan? Merujuk pada data-data yang telah dipaparkan di depan, bahwa ada kenaikan laporan yang masuk dari tahun ke tahun, data tahun 2008 menunjukkan jumlah 1026. Apabila kita bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang diperkirakan telah menembus angka 220 juta maka jumlah laporan masuk diatas proporsinya sangat kecil sekali, sebagai perbandingan Australia yang memiliki penduduk kurang lebih 20 juta total pengaduan yang masuk 1999-2000 mencapai 20.499 kasus (dalam Hidayah, 2003:50). Ombudman belum sepenuhnya mendapat kepercayaan masyarakat, masyarakat masih lebih memilih jalur-jalur tradisional untuk menyampaikan keluhannya berkaitan dengan pelayanan public, mereka lebih memilih surat kabar, radio dan terkadang langsung ke presiden atau DPR. Keengganan masyarakat untuk melaporkan maladministrasi pada Ombudsman kemungkinan disebabkan oleh persyaratan
46
penyampaian laporan yang amat rigit ditambah kurang populernya gerak Ombudsman di masyarakat. Secara kelembagaan Ombudsman telah memiliki kedudukan yang kuat, yaitu dengan disyahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, namun melihat perjalanan Ombudsman yang telah menapaki tahun ke 9 gerak Ombudsman relative lambat, Pada saat ini Ombudsman baru bisa membuka 5 kantor perwakilan yaitu kantor perwakilan Jakarta, Yogyakarta, Kupang, Medan, dan Menado untuk menjangkau masyarakat Indonesia yang berjumlah 240 juta.
Konsekuensinya, mayoritas laporan yang masuk kepada Ombudsman
didominasi oleh pelapor dari DKI (Jakarta). Selain keterjangkauan layanan Ombudsman, satu hal yang turut mempengaruhi kinerja Ombudmsman dalam mengolah laporan yang masuk adalah syarat administrasi pelapor yang rigit. Salah satu syarat masuknya laporan ke Ombudsman adalah si pelapor harus pernah melaporkan kasusnya ke instansi yang memberikan layanan. Persyaratan tersebut cukup menyulitkan pelapor, masyarakat harus melakukan complain terlebih dahulu pada instansi yang memberikan layanan dan ini berarti harus memakan waktu dan biaya yang harus dikeluarkan masyarakat. Adalah suatu kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan pada masyarakat, tanpa harus masyarakat mengemis-ngemis layanan. Disini peran Ombudsman sangat diperlukan dalam merubah mindset pemerintah dalam memberikan layanan pada masyarakat. Birokrasi kita memiliki warisan sejarah panjang dari pelayan raja (birokrasi kerajaan Belanda dan local), pelayan colonial (pemerintah Hindia Belanda) kemudian pelayan penguasa (Orde Baru), hal ini mewarnai budaya birokrasi yang cenderung berorientasi ke penguasa dari yang seharusnya orientasi pelayanannya ke masyarakat. Pekerjaan rumah terberat dari Ombudsman adalah bagaimana merubah budaya birokrasi yang telah berurat-berakar tersebut. Ombudsman sebagai lembaga bertugas melindungi masyarakat terhadap terjadinya maladministrasi, tentunya akan menjadi acuan atau tauladan semua instansi yang menjadi ranah aduannya. Ironisnya, proses yang pelayanan yang di berikan Ombudsman sendiri belum mencerminkan pelayanan yang cepat, akurat dan efisien. Dalam prosedur penanganan laporan masyarakat yang dikeluarkan oleh Ombudsman, proses masuk sampai keluarnya tindak lanjut laporan diberikan dalam waktu 7-14 hari (atau 7 hari setelah berkas laporan lengkap). Hal ini
47
masih terhitung lambat, jika kita bandingkan dengan Ombudsman Australia yang 50% kasus yang masuk dapat diselesaikan dalam tempo 1 hari (dalam Hidayat, 2003:50). Ombudsman harus mampu membaca tuntutan masyarakat yang menginginkan pelayanan yang cepat, dengan demikian Ombudsman harus merumuskan kembali prosedur pelayanan yang lebih singkat. Terakhir, secara kewenangan Ombudsman hanya melakukan tindakan yang berkaitan dengan adanya laporan dari masyarakat, artinya Ombudsman hanya menindaklanjuti laporan yang ada saja. Merujuk pada tujuan Ombudsman sebaiknya Ombudsman telah memetakan permasalahan yang ada dalam praktek pelayanan public dan mengindetifikasi jenis-jenis maladministrasi maupun penyebabnya. Hal ini perlu dilakukan sehingga Ombudsman dapat melakukan upaya sistemik yang dapat meminimalisir permasalahan tersebut, saat ini Ombudsman hanya bertindak sebagai pemadam kebakaran tanpa dapat mencegah terjadinya kebakaran. Dibanding di beberapa Negara mandate Ombudsman diperluas tidak hanya memberikan rekomendasi laporan tetapi juga meliputi penyelidikan dan pengawasan terhadap system administrasi guna memastikan bahwa system-sistem tersebut membatasi dan mencegah KKN hingga tingkat minimum (dalam Melian, 2003:5). III.
PENUTUP
Melihat masih banyak permasalahan yang di hadapi Ombudsman RI, terkait dengan keberadaan, prosedur pelayanan, kualitas rekomendasi dan umpan balik dari instansi terlapor maka tidak harus tidak Ombudsman harus berbenah diri agar kehadirannya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan tujuan membenahi dan melakukan perbaikan pelayanan public dapat tercapai. Beberapa langkah yang menurut penulis perlu dilakukan Ombudsman antara lain: a)
Melakukan sosialisasi yang terus menerus akan keberadaan Ombudsman melalui publikasi kegiatan Ombudsman di masyarakat, baik melalui kunjungan ke lembaga-lembaga social, perguruan tinggi, kelompok masyarakat, kepemudaan dan instansi terkait, maupun publikasi di surat kabar, televisi, media online dan sarana lainnya.
b) Melakukan pembenahan kelembagaan, dengan mempercepat pembukaan kantor perwakilan di setiap propinsi agar aksebilitas masyarakat dapat terpenuhi, disamping itu menciptakan struktur yang rambing agar mampu mengikuti dinamika masyarakat.
48
c)
Melakukan perbaikan prosedur pelayanan (penanganan laporan masyarakat) yang lebih simple dan kecukupan persyaratan administrasi seminimal mungkin agar masyarakat yang menghadapi permasalahan maladministrasi sangat terbantu dengan keberadaan Ombudsman.
d) Memperkuat kewenangan Ombudsman tidak hanya melakukan kebijakan terkait dengan laporan yang masuk namun juga dapat mengeluarkan kebijakan strategis, melakukan penyelidikan dan pengawasan (system administrasi) yang berkaitan dengan perbaikan pelayanan public, meminimalisir atau bahkan menghilangkan maladministrasi dan KKN. e)
Meningkatkan kualitas rekomendasi yang diberikan pada terlapor agar instansi terlapor melakukan perbaikan dalam kinerja pelayanannya serta memiliki efek jera yang permanen.
f)
Melakukan studi banding ke Negara-negara yang memiliki lembaga Ombudsman telah berpengalaman dan memiliki reputasi yang baik sehingga Ombudsman RI dapat melakukan benchmark. DAFTAR PUSTAKA
1. Dwiyanto, Agus dan Bevaola Kusumasari, Reformasi Pelayanan Publik : Apa yang Harus Dilakukan? dalam Policy Brief, No. II/PB/2003 2. Dwiyanto, Agus, dkk, 2003, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Yogyakarta: PSKK-UGM. 3. Prasetyo, Eko, 2003, Ombudsman Daerah, Mendorong Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih, Yogyakarta, PUSHAM UII bekerjasama dengan Partnership. 4. Pramusinto, Agus dan Erwan Agus Purwanto, 2009, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik, Yogyakarta, Penerbit Gava Media bekerjasama dengan MAP UGM dan JIAN UGM. 5. Sinambela, Lijan Poltak, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Jakarta, Bumi Aksara. 6. Laporan Tahunan Tahun 2007, Komisi Ombudsman Indonesia, 2008 7. Laporan Tahunan Tahun 2008, Ombudsman Republik Indonesia, 2009
49