RUANG KAJIAN
MAKNA KEINDAHAN MODE BUSANA MUSLIMAH SEBAGAI CITRA BUDAYA MASYARAKAT Oleh : Fadhillah
Abstract This writing is a literary study titled The Beauty Meaning of Muslimah Clothing Fashion as Society Culture Image. This analysis is based on reflection method and verstehen (comprehension) about Plato’s concept toward the beauty of art supported by empirical observation concerning to fashion world development of Muslimah clothes in Indonesia. The purpose of this writing is as a critical analysis to the phenomenon of fashion world development. The benefit of this is as society control toward the impact of fashion world development concerning to Indonesian society culture image.
Keywords: The Beauty of Art, Fashion, Muslimah Clothes, and Culture Image
A. Pendahuluan Keindahan seni dalam mode busana merupakan unsur budaya masyarakat yang memberi citra tersendiri terhadap kepribadian pemakainya. Keindahan seni dalam perspektif filosofis mengadung beberapa kriteria. Plato memahami seni berdasarkan 2 konsep, yaitu seni sebagai “ide” dan “imitatif ”. Konsep
pertama menunjuk pada “techne” dalam artian teknik yang terukur secara proporsional, yaitu adanya transformasi prinsip bilangan (numerik) dan perbandingan. Dalam hal ini “techne”/ teknik dalam hubungannya dengan produk dan benda mengandung pengertian adanya sifat kuantitatif yang terukur, sehingga proporsional, memiliki
komposisi yang tepat, tidak kurang 1 dan tidak lebih. Dengan kata lain seni dalam hubungannya dengan konsep “techne” memiliki kriteria adanya prinsip proporsional /keseimbangan dan komposisi yang tepat. Proporsi tidak berarti menghilangkan sifat unik pada seni.
pertunjukkan / penampilan / kehadiran karya. Karena daya ilahiah inilah, maka muncul keterlibatan penonton, pemain, dan semua yang hadir ke dalam partisipasi emosi yang tak terkendali, namun mengalir dalam kebersamaan cerita. Mimesis bukanlah wujud, namun lebih dekat dengan kondisi atau keadaan yang membawa keilahian hadir dan bermain. Konsep kedua dari seni menurut Plato ini ditujukan pada karya-karya sastra, musik dan 3 pertunjukan. Berdasarkan konsep pertama tentang seni menurut plato, yaitu seni sebagai ide (eidos) dan pandangan Hegel tentang materi seni adalah ide. Tulisan ini mencoba mengungkap makna keindahan dalam seni mode busana muslimah. Alasan penulis menggunakan konsep seni sebagai ide menurut Plato adalah, karena seni mode yang tercermin dalam desain busana muslimah memiliki unsur-unsur dan prinsip proposional dengan komposisi yang tepat dalam bentuk dan penampilannya, baik saat pertama diluncurkan dalam acara fashion show, maupun pada saat dikenakan oleh pemakainya dalam acara tertentu dan dalam aktivitas sehari-hari. Kesan estetis , namun tetap anggun dan sopan dalam desain busana muslimah mondominasi beberapa karya desainer busana muslimah di Indonesia. Sejak busana muslimah menjadi trend mode busana di Indonesia sekitar tahun 1985, muncul berbagai perancang mode/desainer
Makna seni sebagai ide juga dijelaskan oleh Hegel, yaitu bahwa: keindahan adalah ide yang terwujud di dalam indra. “Beauty is the idea as it shows itself to sense”. Maka materi seni tak lain adalah idea, sedang formanya terdapat dalam gambaran indrawi dan khayalnya. Maka agar dua segi ini tergabung di dalam seni, materi seni itu harus sesuai untuk berubah menjadi objek seni, karena Hegel selalu berusaha untuk menyelami dengan akal- batin 2 segala objek kenyataan Konsep kedua Plato tentang seni sebagai imitatif (mimesis), adalah bukan dalam arti harfiah (tiruan), melainkan daya representasi dari keilahian yang muncul sebagai kesempurnaan karya. Kesempurnaan /perfek dalam hal ini menyiratkan adanya kegairahan yang luar biasa sebelum dan pada saat 1
Bagoes P. Wiryomartono, 2001, Pijar-Pijar Penyingkap Rasa, hlm. 7. 2 N. Ganda Prawira Dharsono, 2003, Pengantar Estetika Dalam Seni Rupa, hlm 53.
3
Ibid. Hlm 8.
55 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010
berhubungan dengan prinsip tersebut, antara lain yaitu: tidak terlalu ketat dan tidak transparan sehingga tidak menampakkan bentuk tubuh wanita. Prinsip inilah yang dalam penampilannya, busana muslimah terkesan memerlukan bahan pakaian yang relatif lebih banyak, lebih tebal dan bentuk yang lebih rapat/tertutup dibandingkan mode-mode busana lain pada umumnya. Namun demikian, nilai keindahan mode busana muslimah tetap terpancar dalam kreativitas para desainernya melalui rancangannya. Sebagaimana makna seni dalam konsep “techne” menurut Plato di atas, bahwa seni memiliki kriteria adanya prinsip proporsional /keseimbangan dan komposisi yang tepat. Proporsi tidak berarti menghilangkan sifat unik pada seni. Justru sebaliknya, bahwa proporsional/keseimbangan harus menjadi bingkai makna indah dalam seni. Proporsional/ keseimbangan juga menjadi bahan pertimbangan dalam kreativitas desainer untuk menciptakan rancangannya agar busana muslimah tetap memberi kesan selaras/serasi, sehingga tetap menarik, pantas dan luwes. Proporsi antara bagian-bagian yang penting dalam setiap desain mode busana secara langsung nampak pada saat dikenakan oleh pemakainya. Begitu juga dengan komposisi /ukuran yang tepat, setiap rancangan mode memperhatikan keserasian bentuk, warna dan corak bahan pakaian yang digunakan. Dengan komposisi/ukuran yang tepat, busana muslimah dirancang untuk berbagai ukuran
busana muslimah, seperti Ana Rufaida (Bandung), Ida Leman (Jakarta), Ida Royani (Jakarta) dan lain-lain yang berhasil merombak citra kuno busana muslimah menjadi citra trendi busana muslimah. Busana muslimah dalam perkembangan mode terakhir dengan munculnya berbagai kelompok industri dan usaha butik, masih tetap menjadi trend, dimana masing-masing desainer menampilkan ciri dan keunikan rancangannya. B. Pembahasan Sebagai objek seni, mode busana muslimah memberikan warna/ciri dan keunikan tersendiri di antara berbagai mode fashion di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya. Di samping harus menunjukkan segi proporsional dengan komposisi yang tepat sebagai ciri objek seni (techne), mode busana muslimah harus menunjukkan prinsip yang sama yang bersumber dari ide dan nilai ketuhanan dalam ajaran agama Islam. Ide yang bersumber pada nilai Ketuhanan dalam pandangan Plato merupakan ide tertinggi, yaitu ide tentang kebaikan. Dalam hal ini Tuhan sebagai sumber nilai kebaikan tertinggi. Nilai kebaikan dalam busana muslimah tercermin dalam norma/aturan yang merupakan prinsip utama dalam berbusana muslimah, yaitu “menutup aurat”. Prinsip menutup aurat yang dimaksud adalah: bahwa pakaian bagi wanita muslimah harus menutup seluruh tubuh wanita, kecuali muka dan telapak tangan. Kriteria “menutup aurat” di dalamnya harus memperhatikan aspek lain yang
56 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010
pengertian terciptanya dan terbinanya sesuatu dalam kerjasama selaras yang mengatasi segala bentuk dan aksi kekerasan dalam sistem produksi, maupun penampilannya. Penampilan bagi Plato adalah idea atau eidos yang mengikuti prinsip-prinsip hakiki berangkat dari kesempurnaan. Kesempurnaan atau keutuhan inilah yang menurut Plato yang dapat merengkuh “baik dan buruk” kedalam 4 kesamaan. . Dengan kata lain , di dalam karya seni terdapat unsur “keselarasan” dan “kesempurnaan” atau “ keutuhan” yang menyatukan antara yang baik dan yang buruk. Prinsip “keselarasan”,di dalamnya terkandung pengertian simetris , yaitu adanya unsur seimbang antara bagian yang satu dengan bagian lainnya. Dasar pertimbangan penciptaan karya seni dalam mode busana muslimah adalah bersumber dari nilai ilahiah tentang norma dalam berbusana bagi muslimah, yaitu “menutup aurat” sebagai syarat “benar dan indah” bagi penampilan mode busana yang “sempurna dan utuh” . Prinsip inilah yang memberi kriteria pokok bagi desain busana muslimah, sehingga dalam penampilannya harus selalu mengacu pada prinsip tersebut. Implikasi dari prinsip tersebut antara lain, bahwa busana muslimah tidak boleh transparan dan terlalu ketat, sehingga tidak menampakkan bentuk tubuh pemakainya. Prinsip inilah yang merupakan representasi dari keilahian yang muncul sebagai kesempurnaan karya. Kriteria indah
pakaian, mulai S, M, L, All size, bahkan untuk ukuran XL atau LL. Hal ini memberi peluang bagi semua muslimah untuk bisa mengenakan busana muslimah sesuai dengan ukuran dan bentuk badannya. Konsep kedua Plato tentang seni sebagai mimesis (tiruan) lebih ditujukan pada karya-karya seni sastra, musik dan pertunjukan. Kaitannya dengan seni mode busana, maka konsep seni sebagai “mimesis” dapat terlihat dalam pertunjukan mode busana, yaitu dalam acara “fashion show”. Menurut konsep kedua tentang seni menurut Plato, yaitu seni sebagai imitatif (mimesis), adalah bukan dalam arti harfiah (tiruan), melainkan daya representasi dari keilahian yang muncul sebagai kesempurnaan karya. Mimesis dalam pemikiran Plato memuat transfomasi adanya daya dan kekuatan di luar kendali manusia (seniman) ke dalam karya. Menirukan yang dimaksud dalam konsep mimesis adalah membawa kebajikan dan keluhuran ke tempat terang dalam arti Alithea dengan mengenali prinsipprinsip keteraturan kosmik secara makro hingga mikro. Keindahan dan kebenaran bagi Plato adalah suatu kebulatan yang tak terpisahkan. Kebenaran bagi Plato adalah ketersingkapan “yang ada” dalam arti hadir dan mengalir sebagai kejadian yang memperlihatkan diri keasliannya. Asli (aotentik) inilah yang dipahami sebagai benar tidaknya sesuatu “berada”. Plato memahami keindahan tidak dalam arti kenikmatan sensasi atau kenyamanan , namun lebih pada
4
Ibid.
57 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010
pakaian/busana muslim, celananyapun celana jen ketat. Begitu juga ukuran jilbab yang dipilih sekedar sebatas kepala sampai leher. Mode busana demikian sebenarnya tidak memberikan ciri busana muslimah yang sesungguhnya, yaitu “ sempurna dan utuh “ sebagai salah satu kriteria indah dalam seni menurut Plato. karena mengabaikan prinsip menutup aurat dalam makna “indah dan benar” yang sesungguhnya, karena masih cenderung ketat /minim, sehingga masih menampakkan dengan jelas bentuk tubuh wanita muslimah. Jika dipahami secara lengkap, makna “indah dan benar” sebagai sesuatu yang utuh, maka dalam penampilannya, busana muslimah di dalamnya mencerminkan nilai etis (sopan) , sehingga tidak menimbulkan dan mengundang hasrat /nafsu rendah bagi lawan jenis yang memandangnya. Makna “indah dan benar” inilah yang tidak selalu terdapat dalam desain mode busana selain busana muslimah, sebagaimana mode-mode busana rancangan “abad milenium” yang memang mengisyaratkan sebagai “abad keterbukaan” , sehingga tercermin dalam mode busana yang cenderung terbuka. Kehadiran busana muslimah sebagai trend mode dalam hal ini dapat berperan sebagai kritik seni mode fashion yang cenderung sekuler sebagaimana ungkapan/pandangan salah satu desainer mode tentang abad milenium yang menganggapnya sebagai abad keterbukaan, maka pakaianpun harus terbuka. Sebagian
inilah yang membedakan penampilan mode busana muslimah dengan penampilan mode busana lain yang terkadang tidak mempertimbangkan sisi “benar” dan “indah” yang sesungguhnya. Sering kali indah dalam pengertian umum hanya sekedar berhubungan dengan arti kenikmatan sensasi atau kenyamanan . Dalam perkembangan dunia mode fashion, penampilan mode busana muslimah sering kali dipadukan dengan selera estetis individu pemakainya . Hal tersebut tidak menjadi persoalan sejauh tidak keluar dari prinsip “indah dan benar” bagi esensi dan keberadaan “busana muslimah” , yaitu “menutup aurat”. Yang menjadi persoalan adalah sering kali selera estetis dalam desain fashion busana muslimah hanya memenuhi hasrat akan kebutuhan dan arti kenikmatan sensasi atau kenyamanan. Keberadaan “busana muslimah” dalam penampilannya telah banyak mengalami distorsi. Prinsip “menutup aurat” tidak lagi memperdulikan aspek lain, seperti : “tidak ketat dan tidak transparan”.Aspek ini sering tidak lagi menjadi bahan pertimbangan, hanya asal dapat membungkus tubuh pemakainya. Fenomena ini sering kali dapat dilihat pada pakaian yang dikenakan oleh muslimah usia ABG /remaja, mahasiswi, bahkan ibu-ibu muda yang banyak aktif di luar yang biasa dikenal dengan istilah memakai jilbab, tetapi “jilbab gaul”. Meskipun memakai blus muslim, namun blusnya ketat dan hanya sebatas pinggang sebagaimana blus bukan untuk
58 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010
komunitas perempuan, khususnya muslimah menolak pandangan tersebut, karena hal tersebut cenderung menjadikan perempuan sebagai korban mode abad milenium. Dalam kontek inilah mode busana muslimah hadir dalam kreasi baru yang berhasil merubah citra penampilan perempuan dalam abad milenium yang cenderung berbusana minim sebagai daya tarik estetis, menjadi berpenampilan tetap anggun dan sopan dengan citra dan selera estetis tinggi. Nilai estetis dalam seni menurut perspektif Plato memiliki 2 kriteria , yaitu kreatif dan akuisitif (acquisitive). Pengertian kreatif dalam hal ini adalah kondisi mental yang memungkinkan terjadinya proses produksi sesuatu yang sebelumnya tak pernah ada. Sesuatu yang baru menurut Plato bukan hanya bentuknya, tetapi gagasan / idenya. Sedangkan pengertian akuisitif adalah dorongan dalam berkarya yang menghasilkan imitasi yang sumbernya bukan keilahian, tetapi “ke-aku-an” manusia yang diwakili oleh keinginannya dalam menguasai dan 5 mengendalikan dunia. Kriteria indah dalam seni tersebut, terutama “kreatif” merupakan prinsip yang sangat menonjol dalam pribadi seorang desainer. Kaitannya dengan kreativitas seni dalam mode busana muslimah di Indonesia, maka cepatnya pergantian mode busana muslimah lebih banyak didorong oleh 5
krativitas para desainernya. Kreativitas dalam karya seni didukung oleh prinsip-prinsip membangun yang memadukan variasi, kombinasi dan permutasi elemen-elemen untuk mewujudkan suatu bentuk baru dalam karya seni. Begitupun kreativitas dalam seni mode busana muslimah akan selalu mencoba menampilkan bentuk-bentuk baru yang memadukan unsur-unsur tersebut. Kreativitas para desainer busana muslimah memberikan andil besar dalam warna dan bentuk penampilan , serta citra kepribadian para pemakai busana muslimah di Indonesia. Kreativitas desainer busana muslimah ada yang menonjolkan pesona busana muslimah pada bagian tertentu, misalnya bagian kepala (jilbab) yang disertai dengan pernik-pernik / asesoris sebagai pemanis dan pelengkap kesempurnaan penampilan. Selain itu ada pula desainer yang lebih menonjolkan pesona mode busana muslimah pada bagian tertentu, blus atau bawahannya. Keserasian bentuk yang proposional dalam desain busana merupakan nilai keindahan seni mode busana. C. Mode Busana Muslimah dan Citra Budaya Masyarakat Selain kriteria kreatif dalam setiap karya seni, seni mode busana muslimah juda memiliki kriteria akuisitif, yaitu dorongan dalam berkarya yang menghasilkan imitasi yang sumbernya bukan keilahian, tetapi “ke-aku-an” manusia. Desainer dalam hal ini selain menonjolkan pesona pada bagian tertentu dari
Ibid. Hlm 11-12.
59 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010
dalam berbusana. Kondisi seperti ini dapat disaksikan pada beberapa tempat pusat bisnis, seperti tokok grosir, pasar tradisional, maupun Mall sering kali menjadi tempat penumpukan dan obral besar-besaran produk fashion. Mode busana muslimah sebagai salah satu produk fashion dalam prosesnya merupakan manivestasi dan aktualisasi potensi diri manusia (muslimah) yang berbudaya. Dimensi historis telah membuktikan bahwa budaya dalam berbusana memberi ciri tersendiri dalam interaksi sosial budaya masyarakat. Antara kebutuhan aktualisasi diri dengan busana sebagai sarananya merupakan modal/kapital yang memberikan andil besar bagi perkembangan mode fashion di Indonesia, termasuk busana muslimah sebagai salah satu produk fashion yang masih terus menjadi trend mode hingga akhir-akhir ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mode busana muslimah dan perkembangan budaya merupakan 2 hal yang merupakan faktor penting dalam kehidupan masyarakat yang saling bersinergi. Hubungan sinergis ini dimungkinkan oleh adanya berbagai aktivitas muslimah dalam kiprahnya sehari-hari, antara lain sebagai wanita karier, ibu rumah tangga yang aktif dalam kegiatan agama dan sosial, mahasiswi/pelajar dan lain-lain. Kreativitas para desainer busana muslimah dalam menunjang aktualisasi potensi diri perempuan muslim (muslimah) melalui karya/rancangannya sangat berperan
mode busana muslimah, karyanya banyak diorientasikan bagi komunitas tertentu yang memiliki citra rasa estetis dan selera tertentu dalam berbusana sesuai dengan kepribadiannya. Penampilan mode busana muslimah dalam hal ini merupakan representasi status sosial pemakainya, bahkan latar belakang budaya dari mana ia berasal. Di sini ke-aku-an manusia merepresentasikan citra rasa estetis, baik bagi subyek seni, maupun bagi objek seni. Sebagai subyek seni, desainer dengan daya inovasi dan krativitas memberikan warna dan ciri pada karyanya sebagai objek seni. Mode busana muslimah sebagai objek karya seni merupakan objek penuangan berbagai ide dan kreativitas desainernya. Meskipun busana muslimah harus bersumber pada satu prinsip utama dalam berbusana secara islami, namun aktualisasinya tidaklah harus bersifat kaku, melainkan dapat selalu dinamis sesuai dengan tuntutan budaya zamannya. Hal ini penting dalam perspektif filsafat seni dan ekonomi, dimana karya seni juga menjadi bagian dari aspek komoditi penting dalam kehidupan manusia. Fenomena ini dalam beberapa kurun waktu selalu mencetak omzet yang sangat besar dalam bisnis fashion, terutama di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, bahwa salah satu sebabnya adalah faktor budaya masyarakat kita yang cenderung konsumtif. Budaya konsumtif di satu sisi menjadi motivasi yang memacu kreativitas para desainer untuk selalu inovatif dalam memenuhi selera estetis masyarakat
60 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010
konsumerisme mempengaruhi pesatnya perkembangan mode.
besar dalam perkembangan budaya masyarakat. Apalagi di tengah-tengah isu pornografi yang banyak mengeksploitasi bentuk tubuh wanita, maka kehadiran mode busana muslimah sebagai salah satu trend mode dapat meredam maraknya bentuk dan fenomena pornografi. Di sisi lain inovasi baru dalam desain busana muslimah juga diharapkan tetap dapat merespon kebutuhan akan selera estetis dari berbagai komunitas perempuan muslim dengan latar belakang sosial yang berbeda-beda.
E. Referensi: Bagoes P. Wiryomartono, 2001, Pijar-Pijar Penyingkap Rasa, PT. Gramedia Pustaka Utama , Jakarta. Bangun, Sem C., 2000, Kritik Seni Rupa, Penerbit ITB , Bandung.
D. Simpulan Dick hartoko, 1986, Manusia Dan Seni, Cetakan kedua , Penerbit Kanisius, Yogyakrta
Makna keindahan dalam mode busana muslimah tercermin dalam beberapa kriteria indah, antara lain kreatif dan akuisitif. Keberadaan busana muslimah sebagai salah satu trend mode di Indonesia ternyata telah banyak memberi warna dan citra budaya masyarakat, baik sebelum abad millennium sebagai abad keterbukaan muncul, hingga memasuki abad posmodernisme dimana budaya konsumerisme menjadi fenomena aktivitas dan interaksi sosial dalam masyarakat. Peran mode busana muslimah dengan kreativitas para desainernya telah memenuhi sebagian dari tuntutan zaman dimana trend mode menuntut masyarakat berbudaya masuk dalam komunitasnya. Kondisi yang demikian telah merubah citra kuno dalam berpenampilan muslim (muslimah) menjadi berpenampilan lebih modern, bahkan di era Posmodernisme, dimana budaya
Ganda, N., Prawira Dharsana, 2003, Pengantar Estetika Dalam Seni Rupa, Proyek Penelitian Pendidikan Tinggi DIKTI. “Nurani” (Tabloid Nurani ke 3910), edisi 433, tahun VIII, Mei I , 2009. The Liang Gie, 1996, Filsafat Seni Sebuah Pengantar, Pusat Belajar Ilmu, Yogyakarta. Yasraf Amir Piliang, 2009, Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika.
61 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010