NILAI JILBAB SEBAGAI MAHKOTA PEREMPUAN MUSLIMAH Nursyam* Abstract This paper deals with the value of veil (jilba>b) for Muslim women. In addition to esthetic values, this veiling has such values as religious consciousness and secure feeling for those women who wear it. The jilba>b, which is legally categorised into Muslim woman’s dress, includes the dresses which do not show women’s body and genitals (‘awrah) except face and hand, not transparent, as well as not exagerating, which frequently leads to eyeservice and hypocricy (riya>’). Kata Kunci: jilbab, mode busana, busana muslimah Pendahuluan Dewasa ini, pemakaian jilbab dalam arti pakaian yang menutup seluruh tubuh wanita atau busana muslimah kecuali wajah dan tangannya yang pernah menurun dalam banyak masyarakat Islam sejak akhir abad ke19, kembali marak sekitar dua puluh tahun terakhir ini dan kelihatannya dari hari ke hari semakin banyak peminatnya di tanah air. Ini dapat dilihat dari betapa banyaknya para remaja yang mengenakan jilbab pergi ke sekolah. Demikian juga, hampir setiap perguruan tinggi baik negeri maupun swasta makin merebak pemakaian jilbab, termasuk di kantor-kantor, instansi pemerintah maupun swasta, yang tak sungkan-sungkan lagi mengenakan busana muslimah. Ini merupakan pemandangan yang tampaknya menandai era baru Islam di Indonesia. Persoalan tersebut menjadi semakin marak dan mendunia setelah pemerintah Perancis merencanakan bahkan kini menetapkan larangan penggunaan simbol-simbol agama di Perancis, dan salah satu diantaranya yang mereka nilai sebagai simbol agama adalah jilbab. Pro kontra tentang kebijakan itu lahir bukan saja di Prancis tetapi banyak dibelahan dunia.1 1
M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah (Jakarta: Lentera Hati, 2004), 2.
150
Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 149-162
Banyak analisa yang muncul tentang faktor-faktor yang mendukung tersebarnya fenomena berjilbab dikalangan kaum muslimat. Kita tidak dapat menyangkal bahwa mengentalnya kesadaran beragama merupakan salah satu faktor utamanya, namun itu bukanlah satu-satunya faktor. Karena, alasan pemakaian atau gerak-gerik yang diperagakannya seringkali tidak sejalan dengan tuntutan agama dan budaya masyarakat Islam. Disini jilbab mereka pakai bukan sebagai tuntutan agama, tetapi sebagai salah satu mode berpakaian. Salah satu faktor yang diduga sebagai pendorong maraknya pemakaian jilbab adalah faktor ekonomi. Mahalnya salon-salon serta tuntutan gerak cepat dan praktis, menjadikan untuk sementara perempuan memilih jalan pintas dengan mengenakan jilbab. Boleh jadi juga maraknya berjilbab itu sebagai sikap penentangan terhadap dunia Barat yang sering kali menggunakan standar ganda sambil melecehkan umat Islam dengan agamanya. Memang, sikap demikian dapat lahir dari siapa pun yang tersinggung kehormatannya.2 Ada juga yang menduga bahwa pemakaian jilbab adalah simbol pandangan politik guna membedakan sementara wanita yang berada dibawah panji-panji kelompok itu dengan wanita-wanita yang lain atau non muslimah. Lalu kelompok-kelompok ini berpegang teguh dengannya dan memberinya corak keagamaan, sebagaimana dilakukan sementara pria yang memakai pakaian longgar dan panjang (ala Mesir) atau ala Saudi Arabia atau ala India dan Pakistan dan menduga bahwa itru adalah pakaian Islami. Sampai hari ini persepsi orang tentang busana muslimah (jilbab) terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama yang nampaknya kelompok mayoritas adalah kelompok perempuan Islam yang sesantiasa mengikuti perkembangan mode tanpa mempedulikan ketentuan-ketentuan syariat dalam hal menutup aurat. Mereka persepsikan bahwa busana muslimah itu kuno, out of date, ketinggalan zaman dan sebutan-sebutan lain yang kurang simpatik. Kemompok kedua mencakup perempuan-perempuan yang menggunakan busana muslimah secara kaku tanpa mempedulikan bahkan menafikan, pentingnya mode busana, karena selama ini ‚mode‛ mengandung konotasi jahili. Diantara kelompok-kelompok ini adalah wanita-wanita Islam yang merasa terpanggil untuk berbusana muslimah sesuai dengan tuntutan syariat, tetapi tidak siap menjauhkan diri dari mode busana yang tengah berkembang.3 2
Ra‘u>f Shalabi>, Shaykh al-Isla>m ‘Abd al-H{ami>d (Kuwait: Da>r al-Qalam, 1982), 633-634. 3 Nina Sutiretna, Anggun Berjilbab (Bandung: Mizan, 1993), 7.
Nilai Jilbab Sebagai Mahkota Perempuan Muslimah,
151
Sebagai agama universal, Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw merupakan suatu sistem hidup yang lengkap dan senantiasa memberikan pedoman hidup kepada umatnya mulai dari paling dasar hingga paling puncak. Oleh karena itu, Islam bukan suatu agama yang hanya terletak dalam kehidupan pribadi yang semata-mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya sebagaimana konsepsi agama-agama selain Islam, melainkan memberikan pedoman hidup yang utuh dan menyeluruh, jasmani ruhani, material spiritual, individual sosial, duniawi dan ukhrawi. Tak berlebihan kiranya bila Gibb (1973:12) mengatakan bahwa Islam is
indeed much more than a system of teology, it is complete civillzation.4
Sebagai sistem hidup yang lengkap, Islam memberikan berbagai formula untuk dijadikan pegangan, seperti dalam berpolitik, menata struktur kemasyarakatan, mengendalikan laju sirkulasi ekonomi, menentukan sistem pendidikan dan membina kebudayaan yang luhur. Demikian juga dalam masalah tata busana, dalam ajaran Islam, pakaian bukan semata-mata masalah kultural, namun lebih jauh dari itu merupakan tindakan ritual dan sakral yang dijanjikan pahala saebagai imbalannya oleh Allah Swt, bagi yang mengenakan secara benar. Oleh karena itu, dalam masalah pakaian, Islam menetapkan batasan-batasan tertentu untuk laki-laki dan perempuan. Khusus untuk perempuan, Islam mempunyai busana tersendiri yang khas, yang akan menunjukkan jati dirinya sebagai seorang muslimah. Dengan demikian, busana muslimah merupakan pakaian abadi, busana sepanjang zaman, yang akan tetap hadir ditengah-tengan revolusi dan reinkarnasi mode busana perempuan. Masalah yang paling sering menimbulkan salah paham adalah persepsi kebanyakan orang bahwa busana muslimah terkesan ketinggalan zaman (out of date), dan sebagainya. Padahal, Islam tidak mengharuskan mengenakan mode seperti itu. Islam hanya memberikan batasan-batasan tertentu yang justeru memberikan perlindungan terhadap wanita-wanita yang mengenakannya. Pengertian Jilbab Dalam khasanah kosa kata bahasa Indonesia, istilah yang lebih populer untuk busana muslimah adalah jilbab. Untuk menunjukkan busana muslimah, juga digunakan istilah h}ija>b.5 Kata ini, dalam bahasa Arab, 4
H. A. R Gibb,Whitter Islam: Capita Selecta (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 12. 5 Murthadha Muthahhari, Hijab: Gaya Hidup Wanita Islam, Terj. Agus Effendi dan Alawiyah Abdurrahman (Bandung: Mizan, 1990).
152
Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 149-162
berarti tirai atau tabir dan dalam Alquran digunakan secara luas misalnya dalam surat al-A‘ra>f ayat 46. Namun sebenarnya ayat Alquran yang berkenaan dengan busana muslimah secara jelas hanyalah jilbab (QS. alAh}za>b (33): 59), sedangkan ayat yang menggunakan kata h}ija>b itu terutama berbicara tentang istri-istri Rasulullah dan tidak berbicara tentang pakaian. Oleh karena itu, meskipun kata h}ija>b digunakan dalam hadis sebagai sinonim kata jilbab, dalam tulisan ini cenderung menggunakan kata jilbab sebagai istilah yang paling tepat untuk busana muslimah. Secara etimologis, kata jilbab bersal dari bahsa Arab dalam bentuk jamaknya jala>bi>b seperti tercantum dalam Q>S. al-Ah}za>b (33): 59. Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan anak-anak dari orang-orang mukmin: hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu, dan Allah adalah maha pengmpun lagi maha penyayang. Para ulama telah merumuskan tentang ruang lingkup dan batasanbatasan tentang makna jilbab tersebut, sehingga muncul beraneka ragam definisi. Untuk sekedar menggambarkan keanekaragaman itu, penulis mengutip batasan-batasan tentang jilbab itu dalam dua bagian berikut ini. Bagian pertema merupakan definisi yang tertera dalam kitab-kitab kamus, sedangkan dalam bagian kedua merupakan kutipan sebagian dari terjemahan surat al-Ah}za>b ayat 59 yang tercantum dalam kitab-kitab terjemah, atau tafsir Alquran dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa asing lainnya (sengaja tidak dikutip dari kitab-kitab tafsir yang berbahasa Arab, karena kitab-kitab terjemah sudah merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang masyhur dalam bahasa Arab). Dalam pengertian kamus, jilbab diartikan sebagai ‚pakaian yang lapang dan luas,‛ 6 ‚pakaian longgar yang terdiri atas baju panjang dan kerudung yang menutup badan kecuali muka dan telapak tangan,‛7 ‚jilbab 6
Louis Ma‘ru>f Yusa’i>, al-Munjid fi> al-Lughah (Beirut: Katulikiyah, 1965),
63.
7
‘Abd al-Qa>sim al-H{usayn ibn ‘Abi> Fad}l, al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qur’a>n (Kairo: al-Ba>bi al-H{alabi>, 1971), 366.
Nilai Jilbab Sebagai Mahkota Perempuan Muslimah,
153
sebagai pakaian (gamis) atau selendang (khimar) atau pakaian yang melapisi segenap pakaian perempuan bagaian luar untuk menutupi semuan tubuh seperti halnya matel,‛8 ‚sejenis pakaian perempuan yang hampir menutupi seluruh tubuhnya, yang terbuka wajah dan tangan,‛9 dan ‚sejenis baju kurung lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada‛.10 Dalam pengertian para mufasir dan penerjemah Alquran, jilbab diartikan sebagai ‚suatu pakaian yang menutup segenap badan atau sebagian dari badan sebelah atas,‛11 ‚kain yang lebar yang diikat di kepala dan tepi-tepinya diturunkan atas dada atau kain menyelimutkan badan,‛12 ‚baju kurung yang menutup kepala, muka dan dada,‛13 ‚mantel yang menutupi keseluruhan tubuhnya,‛14 dan ‚kain selubung yang menutupi tubuhnya ketika mereka keluar rumah‛.15 Merujuk dari berbagai pendapat diatas dapat dipahami bahwa arti jilbab memiliki ragam makna yang terdapat di kamus dan dalam kitab terjemahan Alquran dalam bahasa Indonesia. Sebagian besar tetap mencantumkan kata aslinya sekalipun dengan memberi catatan kaki, sebagian yang lain menerjemahkannya sebagai baju mantel, kain selubung, baju dalam dan baju kurung. Sedangkan dalam bahasa asing, jilbab diterjemahkan dengan kata-kata overgarment, loose outer covering, outer
cloak, outer wrapper, omslagdoeken, overkleederen, ubergewand, obe and voile. Tentu saja tidak semua terjemahan itu tepat, terutama karena ada yang menerjemahkan jilbab identik dengan kerudung (veil), cadar atau tirai penutup muka (voile). Padahal kerudung (khimar) tidak sama dengan jilbab. Selain itu, memang harus kita akui bahwa tidak semua kata dari suatu bahasa dapat diterjemahkan dengan tepat sesuai dengan makna yang 8
Ibra>hi>m Ani>s, al-Mu‘jam al-Wasi>t} (Mesir: Mat}ba‘ah Mis}r Sharikah Musa>hamah, 1960), 128. 9 J. S. Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), 578. 10 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), 317. 11 Ahmad Hassan,al-Furqan Tafsir Qur’an (Jakarta: Dewan Dakwah Islam Indonesia, tt), 830. 12 T.M Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Bayan (Bandung: al-Ma’arif, tt), 1075. 13 H. B. Jassin, Bacaan Mulia (Jakarta: Yayasan 23 Januari 1942, 1982), 588. 14 Mahmud Yunus, Tafsir Alquran Karim (Jakarta: Hindakarya Agung, 1988), 625. 15 Bachtiar Surin, Terjemahan dan Tafsir Alquran (Bandung: Fa. Sumatra, 1978), 942.
154
Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 149-162
dikehendaki dalam bahasa aslinya, karena latar belakang sosio-kultural pada masing-masing masyarakat pemakai bahasa itu memang berbeda-beda. Dari berbagai terjemahan yang diungkapkan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan ‚jilbab‛ adalah busana muslimah, yaitu suatu pakaian yang tidak ketat atau longgar dengan ukuran yang lebih besar yang menutup seluruh tubuh perempuan, kecuali muka dan telapak tangan sampai pergelangan. Pakaian tersebut dapat merupakan baju luar semacam mantel yang dipakai untuk menutupi pakaian dalam, asalkan kainnya tidak tipis atau jarang. Sedangkan bentuk atau modenya tidak mempunyai aturan khusus karena tidak dirinci dalam Alquran maupun hadis. Jadi, tergantung kepada kehendak dan selera masing-masing asalkan tetap memenuhi syarat dalam hal menutup aurat. Yang dimaksud ‚pakaian dalam‛ dalam tulisan ini berbeda dengan pakaian dalam (underwear) dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Karena yang dimaksud dengan pakaian dalam yang biasa kita kenal adalah pakaian yang khusus dipakai pada bagian dalam, tertutup oleh baju dan celana seperti kaos dalam, singlet, kutang (BH) dan celana dalam. Sedangkan yang dimaksud pakaian dalam dalam konteks bahasa Arab, terutama yang berkaitan dengan surat al-Ah}za>b ayat 59 di atas, adalah pakaian seorang perempuan yang mengenakan blus dan rok (tentunya setelah mengenakan kutang (BH) dan celana dalam). Jadi, setelah mengenakan pakaian dalam tersebut, jika seorang perempuan hendak keluar rumah ia harus mengenakan jilbabnya sebagai pakaian luar. Tetapi apabila pakaian dalamnya cukup tebal (blus lengan panjang dan rok menutup mata kaki), maka tidak perlu memakai pakaian luar lagi, hanya tinggal menambah kerudung dan kaus kaki dan inipun bisa disebut sebagai salah satu model jilbab. Dikalangan bangsa Arab sebelum Islam, maksud pemakaian jilbab berbeda-beda, tetapi pada umumnya perempuan yang berjilbab dipandang sebagai perempuan yang merdeka sehingga mereka tidak akan diganggu atau diikuti oleh laki-laki yang masih tetap terlihat. Pada masa itu, bangsa Arab menganggap bahwa perempuan yang tidak mengenakan jilbab adalah perempuan jilbab atau perempuan bermartabat rendah, sehingga mudah dihina atau diperlakukan tidak senonoh oleh kaum laki-laki. Dengan mengenakan jilbab, orang menjadi tahu bahwa perempuan itu adalah perempuan suci dan sopan yang tidak dapat diperlakukan semena-mena. Selain itu, pemakaian jilbab juga dimaksudkan untuk melindungi badan dari suhu udara maupun terik padang pasir. Fungsi Busana Muslimah (Jilbab)
Nilai Jilbab Sebagai Mahkota Perempuan Muslimah,
155
Allah Swt telah berkenan menganugerahi manusia dengan berbagai nikmat karunia yang tiada terhingga nilainya. Salah satu bentuk nikmat yang dianugerhkan adalah mengajarkan manusia pengetahuan untuk berpakaian. Pernyataan ini penting dilihat dari segi keimanan (akidah) yang menghendaki sandang sebagai penutup jasmani sekaligus dikaitkan fungsinya untuk menumbuhkan keindahan guna mendekatkan diri kepad Allah Swt. Manusia yang sadar akan hal ini akan merasa rendah diri dihadapan Allah swt sebagai pemberi pengetahuan tersebut. Sebagai seorang hamba yang menyadari kekurangan dan kelemahannya, akan ia harus beryukur kepadanya yang telah memberikan pengetahuan yang amat penting itu, yang akan diungkapkan dengan apa yang dikehendaki penciptanya. Kata ‘Abduh, syukur adalah ‚penggunaan nikmat anugerah sesuai dengan fungsinya, sesuai dengan kehendak yang menganugerahkannya‛ (wa ma alshukr illa> isti‘ma>l mawa>bih wa ni‘amih bima> wuhibat li ajlih). Oleh karena itu, seperti juga makanan yang dapat melahirkan berbagai perubahan tingkah laku, busana juga dapat mempengaruhi terbitnya kesadaran dan ketakwaan seseorang kepada Allah swt, sehingga dalam Alquran akan kita temukan konsep liba>s al-taqwa> sebagai ‚pakaian yang terbaik‛ seperti disebutkan dalam surat al-A‘ra>f ayat 26: ‚Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian yang indah untuk (perhiasan). Pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda (karunia) kekuasaan Allah, semoga mereka selalu ingat.‛ Ayat di atas menjelaskan tiga fungsi pakaian: (a) sebagai penutup aurat (b) sebagai perhiasan, dan (c) sebagai syarat memenuhi kesehatan, kenyamanan dan keamanan. Dengan demikian, fungsi pertama dan utama dari pakaian adalah sebagai penutup aurat. Kata aurat berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata ‘awrah yang didefinisikan sebagai كل ما يشتهى من كشفه ( فهى عىرةsetiap yang ditutup manusia karena benci melihatnya atau karena malu terlihat).16 Dengan demikian, berdasarkan pengertian secara etimologi tersebut, segala sesuatu yang membuat orang malu untuk membukanya 16
Ani>s, al-Mu‘jam, 6.
156
Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 149-162
dihadapan orang laian adalah aurat. Pengertian ini jelas sangat luas. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan aurat adalah bagian tubuh yang perlu ditutup atau bagian tubuh yang tidak boleh terlihat oleh umum. Dan menurut ajaran Islam, bagian tubuh yang perlu ditutup itu jelas dan tegas batas-batasnya, pada laki-laki mulai pusar sampai lutut dan pada perempuan semua anggota tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan sampai pergelangan. Fungsi pakaian yang kedua adalah sebagai perhiasan untuk memperindah penampilan dihadapan Allah swt dan sesama manusia. Inilah fungsi estetika berpakaian. Sebagai perhiasan, seseorang bebas merancang bentuk atau mode serta warna pakaian yang dianggap indah, menarik serta menyenangkan selama tidak melanggar batas-batas yang telah ditentukan dalam hal menutup aurat. Di sini sekali lagi, seorang muslim akan merasakan rasa syukurnya kepada Allah swt karena dapat merasakan kebebasan dalam merancang dan menentukan bentuk, warna, serta bahan yang digunakan sesuai dengan ajaran Islam. Alquran sendiri telah menetapkan aturan umum tentang berpakaian dan berhias itu. Disamping dua fungsi pakaian yang telah dijelaskan di atas Allah swt juga berkenan menjelaskan fungsi lain dari pakaian itu dalam firmannya: ‚Dan dia (Allah) menjadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).‛ (QS. al-Nah}l [16]: 81). Dengan demikian, fungsi pakaian yang ketiga adalah untuk memenuhi syarat kesehatan, kenyamanan, dan keamanan seperti melindungi badan dari gangguan luar seperti terik matahari, udara dingin, gigitan serangga dan sebagainya. Dan untuk menyelamatkan diri dari gangguan musuh yang mengancam, dengan menggunakan baju besi di zaman bahari atau menggunakan pakaian antariksa di zaman kiwari. Dengan kata lain, pakaian berfungsi sebagai pelindung dari gangguan luar, pelidung dari sengatan matahari, pakaian pelindung kulit kita yang mungkin akan berbahaya bila terkena sinar matahari secara langsung dan menjaga agar temperatur tubuh terpelihara dari udara dingin diluar tubuh.
Nilai Jilbab Sebagai Mahkota Perempuan Muslimah,
157
Standar Mode Busana Muslimah Alquran menandaskan bahwa Allah swt memberi pakaian kepada manusia yang berfungsi untuk menutup aurat dan pakaian sebagai perhiasan (QS. al-A‘ra>f: 26). Rasulullah saw tidak melarang orang yang suka mengikuti perkembangan mode, dengan ketentuan tetap memenuhi kriteria busana muslimah, yaitu busana yang serba tertutup dan dikenakannya bukan untuk mendapat pujian dan penghargaan manusia. Ibn Mas‘u>d meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:
ِ ِ ٍ ِ صلّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلّ َم َ َع ْن إبْ َراىْي َم النَ َخعي َع ْن َع ْل َق َمةَ َع ْن َعْبداهلل بْ ِن َم ْسعُ ْود َع ْن النَِِب )ال َذ َّرةٍ (رواه مسلم َ أح َد ِِف قَ ْلبِ ِو ِمثْ َق َ َق َ ال ال يَ ْد ُخ ُل اْجلَنَّةَ َم ْن َكا َن
‚Tidak akan masuk surga seseorang yang didalam hatinya terdapat kesombongan, walaupun hanya seberat zarrah.‛ (HR. Muslim).
Seorang laki-laki bertanya, sesungguhnya manusia suka berpakaian bagus dan berterompah bagus pula, apakah hal tersebut merupakan kesombongan? Rasulullah saw menjawab:
َِ ال رسو َل اهلل صلّى اهلل علَي ِو وسلّم إ ّن اهلل ب َ ََع ْن َعْب ِداهلل بْ ِن َم ْسعُ ْوٍد ق ًّ َجْي ٌل ُُِي َ ْ ُ َ َ َ ق:ال َ ََ َْ ُ َ اْجلَ َمال ‚Sesungguhnya Allah itu indah, mencinti keindahan. Sombong itu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain‛ (Hadis riwayat alBukha>ri>, Muslim, Turmudhi>, dan Ah}mad dari riwayat Ibn Mas‘u>d) Ibn al-Athi>r menerangkan bahwa kata al-jama>l mengandung arti ‚keindahan atau kecantikan‛, dan sesuatu yang bersifat jama>l disebut jami>l. Kata itu dapat pula digunakan untuk hal-hal yang maknawi, sepertia kita mengatakan bahwa ‚wajah si Fulan jami>l‛ atau akhlak si Fulan jamil. Jadi kata al-jami>l itu dapat pula digunakan pada hal-hal yang berkenaan dengan rupa yang berbentuk lahiriah atau maknawi ( )الجمال يقع على الصىر والمعاني.17 Selanjutnya dijelaskan bahwa, makna al-hadis ا َهلل ِم ْي ٌلا ُي ِم ّن ْي َهلل َهلل ُيا ّنإ َهللadalah 17
Majd al-Di>n Abu> al-Sa‘a>da>t al-Muba>rak ibn Muh}ammad ibn al-Jazari> ibn al-Athi>r, al-Niha>yah fi> Ghari>b al-H{adi>th wa al-A
r (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, tth), 406.
158
Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 149-162
h}asan al-af‘a>l wa kami>l al-aws}a>f, yaitu indah dalam perbuatan dan sempurna dalam sifat. Berdasarkan keterangan tersebut, dapat dipahami bahwa hadis di atas mengandung pengertian bahwa Allah itu bersifatkan sifat-sifat sempurna dan segala ketentuan dan keputusan yang diciptakannya pasti indah dan sempurna, sehingga Allah swt itu menciptakan manusia fi ah}san al-taqwi>m, yaitu dalam bentuk terindah dan paripurna (QS. al-T{i>n [95]: 4). Adapun al-jama>l yang dicintai Allah itu mengandung makna kebaikan lahir dan bathin yang diridhainya. Jadi makna hadis di atas mengandung anjuran agar kita berusaha dengan cara yang baik, berbuat kebaikan dengan sesempurna-sempurnanya, serta mencintai keindahan dalam hal-hal duniawi dan hal-hal ibadah berdasarkan ketentuan syariat. Karena itu, manusia diberi kebebasan untuk menciptakan keindahan dalam rupa, bentuk, warna, menghias dan menyusun kata, dekorasi alat-alat rumah tangga, arsitektur, pertamanan, serta menciptakan ketertiban, dengan syarat tidak melampaui batas-batas ketentuan agama yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Selain itu, harus senantiasa diingat bahwa yang menjadi pendorong hati kita untuk melakukan sesuatu, bukan karena disebabkan oleh riya>’, yakni sekedar mengharap puji dan sanjungan orang, malainkan karena melaksanakan perintah Allah semata (ikhlas). Memang, kalu kita renungkan keindahan lahiriah itu sesungguhnya tidak berdiri sendiri, karena terutama harus memiliki niat dan arah tujuan yang benar. Dengan demikian, sesuatu yang dikatakan indah itu tidak selamanya ditentukan oleh sesuatu yang tampak di mata, tetapi justru yang tidak tampak di mata itulah, perempuan akan menjadi hancur, apabila akhlaknya buruk, karena Rasulullah saw bersabda:
َّ صلّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلّ َم إن اهللَ ال َ َ ق:ال َ َأأ ُىَريْ َرْه ق َ ال َر ُس ْو َل اهلل َ َع ْن يٍَْد بْن ْ ِ االص َم َع ْن ِ ص ْوَرنِ ُك ْم َولَ ُك ْم يَْن ُُر إالقُلُ ْوبِ ُك ْم ْ يَْن ُُر َإإ ُ ,أأ َساد ُك ْم Sesungguhnya Allah tidak memandang pada bentuk rupamu, dan tidak mpula memandang pada kekayaanmu, akan tetapi Allah memandang (menghargai) pada hatimu (HR. Muslim).
Selaras dengan keterangan di atas, seorang muslimah harus bisa memilih bentuk mode yang sesuai dengan prinsip Islam, namun memiliki nilai estetika (keindahan) yang tinggi. Karena, sebagaimana kita ketahui, dalam masalah pakaian, Islam hanya menetapkan batas-batas yang harus ditutupi saja, sedangkan dalam masalah modenya diperintahkan kepada kita untuk menata dan memperindahnya sesuai dengan selera dan waktu yang tepat. Masalah urusan model pakaian tidak termasuk urusan ta‘abbudi> dan
Nilai Jilbab Sebagai Mahkota Perempuan Muslimah,
159
tawfi>qi>, tetapi urusan dalam masalah muamalat yang dikendalikan oleh maksud-maksud syariat. Apapun model yang dapat mewujudkan penutupan diri dengan syarat-syaratnya yang syar’i dan sesuai dengan iklim atau adat kebiasaan yang berlaku dapat diterima oleh kaum muslimin. Agar orang tidak beranggapan bahwa busana muslimah itu kuno dan konservatif, maka umat Islam dituntut untuk menunjukkan kemampuan intelektual, keterampilan dan keahliannya di bidang busana, supaya busana muslimah senantiasa enak dipandang dan nyaman dipakai, sehingga wanita muslimah berkenan memakainya dengan penuh keimanan dan ketakwaan. Oleh karena itu, beberapa kriteria yang dapat dijadikan standar mode busana berikut ini tampaknya perlu diperhatikan: 1. Bagian tubuh yang boleh kelihatan hanya wajah dan telapak tangan sampai pergelangan; 2. Tekstil yang dijadikan busana tidak tipis dan transparan (tembus pandang), karena kain yang demikian akan memperlihatkan bayangan kulit seara remang-remang; 3. Modelnya tidak ketat, karena model yang ketat akan menampakkan bentuk tubuh, terutama payudara, pinggang dan pinggul. Pergunakannlah potongan yang longgar agar lebih sehat dan memberi keleluasaan otot untuk bergerak; 4. Tidak menyerupai pakaian laki-laki, bila ke bawahnya mau memakai celana panjang, sebaiknya blus lebih menurun sehingga menutup setengah paha, dan 5. Bahannya juga sebaiknya tidak terlalu mewah dan berlebihan atau mencolok mata, dengan warna yang aneh-aneh sehingga menarik perhatian orang, apalagi jika sampai menimbulkan rasa angkuh dan sombong. Kriteria busana muslimah seperti termaktub di atas, dapat dicari rujukannya dalam Alquran maupun hadis, seperti dalam ayat dan hadis berikut ini: ‚Wahai nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal; karenanya, mereka tidak
160
Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 149-162
di ganggu. Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. al-Ah}za>b [33]: 59). ‚Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya‛ (QS. al-Nu>r [24]: 31). Asma> bint Abi> Bakr pernah menghadap Nabi saw dengan pakaian tipis, lalu nabi saw berpaling darinya dan bersabda:
أن أمساء بنت أىب بكر دخلت على رسل اهلل:ع ََ ْن عائشة رضى اهلل عنهما ِ َ فأعرض عنها رسل اهلل,صلّى اهللُ َعلَْيو َو َسلّ َم عليها صياب رقاق َ ُصلّى اهلل يا أمساء إن املرأة إذا بلغت احمليض مل يصلو أن يرى منها إال:َعلَْي ِو َو َسلّ َم وقال
ىذا وىذا (وأشار إإ وأهو وكفيو) (رواه أبو داود وقال ىذا مرسل خلد بن ) رواه أبضا البيحقى,دريك يدرك عائشة
‚Aisyah berkata bahwa Asma> putri Abu Bakar datang menemui Rasulullah saw, dengan mengenakan pakaian tipis (transparan). Lalu, Rasulullah berpaling enggan melihatnya dan bersabda: ‘Wahai Asma’ sesungguhnya seorang perempuan apabila telah samapi dewasa (sudah sampai datang bulan), tidak lagi wajar terlihat darinya melainkan ini dan ini,‛ (saeraya beliau menunjuk kepada wajah dan kedua telapak tangan beliau).‛ (HR. Abu> Da>wu>d dari ‘A<’ishah). Rasullah saw bersabda: ‚Dikutuk laki-laki yang memakai pakaian perempuan, dan perempuan memakai pakaian laki-laki‛, dan hadis ‚Ada dua golongan dari ahli neraka yang belum kulihat keduanya, yaitu satu kaum yang mempergunakan cambuk seperti ekor sapi yang, dengan itu ia dapat memukul manusia; dan perempuanperempuan yang berpakaian tetapi telanjang. Mereka condong dari mentaati Allah swt, kepada perbuatan dosa dan tercela, dan diatas
Nilai Jilbab Sebagai Mahkota Perempuan Muslimah,
161
kepala mereka ada (sanggul) sebesar punuk (kelasa) Unta yang bergoyang-goyang, mereka tidak akan masuk surga dan mencium baunya, sedang bau surga itu tercium dari jarak jauh‛ (HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah). Dengan hanya ditentukan batas-batas aurat yang hanya ditutupi (dan tidak dengan modelnya), busana muslimah memiliki kemungkinan munculnya rekayasa-rekayasa yang baru setiap saat yang disesuaikan dengan selera, waktu dan tempat. Begitu juga dengan adanya kebebasan berkreasi dan ketentuan moral seperti kriteria di atas, seorang muslimah dapat memilih berbagai mode yang cocok dan layak, yang asri dan serasi serta penuh santun. Apakah pakaian tersebut dengan celana panjang, pakaian terusan, jas dengan rok maksi atau baju kurung dan kain sarung yang penting menutup keseluruh tubuh, kecuali perhiasan zahir tadi. Dengan demikian, busana muslimah itu sebenarnya tidak kaku, tetapi cukup fleksibel, dapat disesuaikan dengan berbagai macam suasana dan tempat. Jangankan pakaian sehari-hari, pakaian salat pun bisa menggunakan pakaian warna apa saja, asal saja menutup aurat, jadi tidak mutlak harus memakai ‚mukena‛ yang terbuat dari kain putih, tetapi bisa juga memakai pakaian biasa asalkan panjang dan menutup aurat, serta kepala ditutupi dengan kerudung. Umm Sala>mah bertanya kepada Nabi, ‚Bolehkan seorang perempuan bersembahyang (salat) dengan memakai baju yang dapat menutupi badan dan kakinya?‛ Nabi menjawab: ‚Apabila bajunya itu panjang dari atas ke bawah hingga menutupi kedua telapak kaki, tentulah boleh‛. Kesimpulan Nilai jilbab bagi seorang muslimah adalah sebagai penutup aurat yang syarat dengan makna, yaitu sebagai penutup aurat, syarat memenuhi kesehatan, kenyamanan dan keamanan, juga sebagai perhiasan untuk memperindah penampilan dihadapan Allah swt sebagai bukti pengabdian kepada Allah swt. Adapun kriteria jilbab yang baik mencakup bagian tubuh yang boleh kelihatan hanya wajah dan telapak tangan; tekstil yang dijadikan busana tidak tipis atau transparan; modelnya tidak ketat; tidak menyerupai pakaian laki-laki, dan tidak berlebihan. Sementara itu, mode jilbab diperintahkan kepada muslimah untuk menata dan memperindahnya sesuai dengan selera dan tempat. Agar busana muslimah tidak dianggap kuno atau konservatif, umat Islam dituntut untuk menunjukkan kemampuan intelektual, keterampilan dan keahliannya
162
Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 149-162
dibidang busana. Hal ini dilakukan agar busana muslimah dapat disukai dan dapat tampil dengan menawan. Daftar Pustaka ‘Abi> Fad}l, ‘Abd al-Qa>sim al-H{usayn ibn, al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qur’a>n. Kairo: al-Ba>bi al-H{alabi>, 1971. Ani>s, Ibra>hi>m. al-Mu‘jam al-Wasi>t}. Mesir: Mat}ba‘ah Mis}r Sharikah Musa>hamah, 1960. Ash-Shiddieqy, T. M Hasbi. Tafsir al-Bayan. Bandung: al-Ma’arif, tt. al-Athi>r, Majd al-Di>n Abu> al-Sa‘a>da>t al-Muba>rak ibn Muh}ammad ibn alJazari> ibn. al-Niha>yah fi> Ghari>b al-H{adi>th wa al-Ar. Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, tth. Badudu J. S., dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1993. Gibb, H.A.R. Whitter Islam: Capita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Hassan, Ahmad. al-Furqan Tafsir Qur’an. Jakarta: Dewan Dakwah Islam Indonesia, tt. Jassin, H. B. Bacaan Mulia. Jakarta: Yayasan 23 Januari 1942, 1982. Muthahhari, Murthadha. Hijab: Gaya Hidup Wanita Islam. Terj. Agus Effendi dan Alawiyah Abdurrahman. Bandung: Mizan, 1990. Shalabi>, Ra‘u>f. Shaykh al-Isla>m ‘Abd al-H{ami>d. Kuwait: Da>r al-Qalam, 1982. Shihab, M. Quraish. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah. Jakarta: Lentera Hati, 2004. Surin, Bachtiar. Terjemahan dan Tafsir Alquran. Bandung: Fa. Sumatra, 1978. Sutiretna, Nina. Anggun Berjilbab. Bandung: Mizan, 1993. Yunus, Mahmud. Tafsir Alquran Karim. Jakarta: Hindakarya Agung, 1988. Yusa’i>, Louis Ma‘ru>f. al-Munjid fi> al-Lughah. Beirut: Katulikiyah, 1965. *Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Datokarama Palu