JILBAB: KEWAJIBAN MUSLIMAH
(Kritik terhadap buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, karya Prof. Dr. Quraish Shihab) Dr. Ahmad Zain An Najah, M.A. I. Muqaddimah Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang memberikan karunia dan nikmatNya kepada semua makhluk-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, para keluarga, dan para sahabat serta seluruh pengikutnya hingga hari kiamat. Suatu hari, tepatnya pada Selasa tanggal 28 Maret 2006, saat masih tinggal di Kairo, Mesir, penulis didatangi oleh pengurus Fordian (Forum Studi Al Qur’an) Kairo, untuk membedah dan mengkaji karya terbaru Prof. Dr. Quraish Shihab tentang jilbab, yang berjudul Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer. Waktu itu, penulis teringat beberapa kasus yang terjadi baik di Indonesia maupun di Kairo, ketika Quraish Shihab menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Kairo. Kasus–kasus tersebut mencuat di masyarakat karena seorang tokoh sekaliber Quraish yang dipandang banyak kalangan merupakan ulama besar dan alumnus Universitas Al Azhar Kairo, ternyata mengeluarkan pernyataan tentang hukum memakai jilbab yang bertentangan dengan apa yang selama ini diyakini oleh masyarakat muslim Indonesia, bahkan oleh masyarakat muslim dunia pada umumnya. Maka, teringat kasus-kasus tersebut, penulis menjadi penasaran dan tertarik untuk menerima tawaran dari pengurus Fordian untuk membedah buku Quraish Shihab tentang jilbab. Karena saat itu, penulis cukup sibuk dalam beberapa urusan, termasuk mengejar penyelesaian penulisan Disertasi Doktor di Universitas Al Azhar, sehingga tidak sempat menulis satu makalah yang komprehensif. Hal itu penulis sampaikan juga kepada para peserta diskusi yang ternyata cukup membludak, sehingga ruangan Wisma Nusantara KBRI Kairo tidak mampu menampung semua mahasiswa yang hadir untuk menyaksikan diskusi bedah buku jilbab karya Quraish Shihab tersebut. Dalam diskusi tersebut, para pembahas sepakat bahwa buku Quraish Shihab tersebut masih menyisakan banyak masalah dan sejumlah kekurangan, baik dilihat dari isinya yang cenderung lebih banyak menukil pendapat kalangan yang tidak mewajibkan, begitu juga referensi kitab-kitab turatsnya yang sangat sedikit dan kurang akurat, serta kesimpulan akhirnya yang masih mengambang dan tidak jelas. Maka, sangat wajar jika banyak kalangan baik di tingkat elit maupun masyarakat awam memahami bahwa Quraish Shihab tidak mewajibkan jilbab. Selain tidak ada ketegasan dalam memutuskan hukum, dia juga cenderung banyak memberikan ruang bagi kalangan yang tidak mewajibkan jilbab, sebagaimana disebut di atas. Dalam bukunya, Quraish memang tidak mau dituduh bahwa dia tidak mewajibkan pemakaian jilbab. Kata Quraish, dia hanya membentangkan aneka pendapat, baik pandangan ulama–ulama terdahulu maupun cendekiawan kontemporer 1. Akan tetapi faktor-faktor yang disebutkan di atas membuat banyak kalangan berkesimpulan lain. 1
. M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, ( Jakarta, Lentera Hati, 2004 ) Cet I, hlm. 4
1
Taruhlah kita terima pengakuannya bahwa dia hanya membentangkan aneka macam pendapat saja, tetapi itu pun masih banyak meninggalkan masalah di kalangan umat Islam Indonesia. Sebagai orang yang pernah menduduki beberapa jabatan penting di Indonesia dan luasnya pengetahuan yang dimilikinya, Quraish Shihab dianggap banyak kalangan memiliki otoritas tinggi, dan tidak pernah salah dalam berpendapat dalam menyoal agama, sehingga muncul anggapan pada sebagian orang bahwa apa yang dikatakan oleh Quraish Shihab pasti benar. Padahal, jika pendapatnya dikaji secara lebih ilmiah, tidak selalu seperti itu. Sejumlah dalil dan logika yang dipakai oleh Quraish Shihab dalam buku ini adalah pendapat yang nyleneh dan tidak dipakai di kalangan para ulama. Meskipun demikian, kalangan awam tidak memahami hal itu. Karena yang berpendapat adalah seorang Quraish Shihab, maka langsung ditelan begitu saja, dianggap benar. Penulis mendengar cerita dari seorang Ustad bahwa seorang jamaahnya secara terus terang menyatakan, dia lepas jilbab setelah mendengar pendapat Quraish Shihab. Maka, sangat tepat apa yang ditulis oleh salah satu penyair : وكل كاسدة يوما لھا سوق
لكل ساقطة في الحي القطة
“ Setiap barang yang jatuh di suatu desa… ada saja yang mengambilnya dan setiap barang yang tidak laku, bisa saja pada suatu ketika akan laris “ 2 Dari situ, sebagian kalangan yang peduli dalam dakwah Islam merasa gerah dan aneh, melihat kenyataan bahwa buku-buku Quraish Shihab yang sebagian mengandung beberapa kesalahan fatal, sampai sekarang tidak ada satu ulama pun yang mengingatkan dan meluruskannya, terutama lewat tulisan. Masalah ini tentu menjadi kewajiban para ulama untuk meluruskan. Para ulama tidak boleh berdiam diri terhadap suatu kekeliruan, apalagi jika itu dilakukan oleh seorang yang berilmu tinggi. Ketika penulis tiba di Indonesia pada tanggal 13 Pebruari 2008 M, dan berada di Jakarta beberapa saat, sejumlah tokoh meminta penulis untuk meluruskan beberapa kesalahan yang ditulis Quraish Shihab dalam bukunya: Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah. Walaupun masih diliputi berbagai kesibukan pribadi, penulis merasa terpanggil untuk mengabulkan permintaan tersebut, walaupun tidak menjanjikannya dalam waktu dekat, dengan niat mudah-mudahan amal yang sedikit ini, bisa bermanfaat dan mampu menjelaskan walau secara sekilas tentang beberapa kekeliruan pemikiran Quraish Shihab dalam soal jilbab ini. Perlu dijelaskan, bahwa tulisan ini bukan bertujuan untuk membuka aib dan mencari-cari kesalahan orang lain, akan tetapi sekedar menjelaskan kepada umat bahwa memakai jilbab itu hukumnya wajib, sekaligus ingin menepis anggapan sebagian kalangan bahwa bahwa Quraish Shihab adalah sosok ulama yang tidak pernah salah. Namun demikian, penulis berusaha menghidangkan tulisan ini dengan kata-kata yang sopan, santun serta penuh etika, karena walau bagaimanapun juga Qurash Shihab adalah seorang yang berpengetahuan luas, yang perlu dihormati. Justru kritik terhadapnya sangat diperlukan, sebab membiarkan kesalahan-kesalahan yang dilakukannya adalah sama dengan menjerumuskan dirinya dan juga umat Islam secara keseluruhan. Justru tanda 2
Muhammad Ismail Muqadim, Ar Radd Ilmi ‘Ala Kitab Tadzkir Ashab Bi Tahrim An ,iqab, ( Iskandariyah, Dar Al Iman, 2003 ) , Cet. Ke 6, hal. 9
2
persaudaraan yang baik adalah mengingatkannya jika tergelincir dalam kesalahan. Karena buku itu sudah tersebar luas, di dalam dan luar negeri, maka menjadi kewajiban umat Islam pula untuk menulis jawaban berupa tulisan yang serupa, agar bisa dinikmati oleh umat Islam seluas mungkin. Mudah-mudahan tulisan ini adalah salah satu usaha untuk membudayakan tradisi ilmiah di tengah masyarakat Muslim. Sesuai dengan saran sejumlah pihak, agar buku ini ditulis seringkas mungkin dan dapat terjangkau seluas mungkin, maka di waktu mendatang, penulis berencana akan mengambangkan buku kecil ini menjadi sebuah buku yang lebih komprehensif tentang jilbab. Jakarta , 5 Ramadhan 1429 H/5September 2008 M Penulis
3
II. Tidak Semua Ilmu dan Informasi Boleh Disebarluaskan Sejumlah pihak menyampaikan kepada penulis, bahwa sangat disayangkan, Quraish Shihab menerbitkan buku Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah tersebut. Di tengah-tengah maraknya gerakan jilbab dan gerakan anti-pornografi, penerbitan karya Quraish Shihab ini dipandang sebagai sesuatu yang kontra-produktif. Seperti ditulis sebelumnya, ada ibu aktivis pengajian, yang dulunya memakai jilbab secara baik dan rapi, namun setelah mendengar pendapat Quraish Shihab ini, akhirnya ia melepas jilbabnya. Ketika ditanya tentang sikap yang diambilnya, dia menjawab bahwa menurut Quraish Shihab, jilbab itu tidak wajib. Sangat ironis memang. Hal-hal seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi. Makanya, sangat wajar jika para ulama, da’i dan aktivis-aktivis muslim menganggap bahwa buku Quraish Shihab ini lebih banyak mengandung mudharatnya daripada manfaatnya. Kritik pun berdatangan silih berganti, bahkan tidak sedikit yang datangnya dari teman dekatnya sendiri. Hal ini sangat disadari oleh Quraish Shihab, sebagaimana ungkapannya sendiri dalam bukunya : "Penulis sadar bahwa tidak jarang penulis dikecam oleh sementara teman sendiri karena menghidangkan aneka pendapat keagamaan tanpa melakukan pen-tarjihan - , yakni menetapkan mana yang lebih kuat , sehingga – kata mereka – hal ini membingungkan masyarakat umum. " Selanjutnya Quraish menulis : " Penulis menghargai juga nasihat beberapa teman yang mengharap kiranya buku tentang persoalan jilbab itu jangan disebarluaskan, karena khawatir jangan sampai timbul kesalahpahaman dan tuduhan serta caci maki dari sementara kalangan. " Nasehat yang diungkapkan oleh teman-teman Quraish menurut hemat penulis sangatlah benar adanya. Karena dalam ajaran Islam, tidak semua ilmu atau informasi boleh disebarluaskan kepada masyarakat umum. Dalam keadaan tertentu, suatu ilmu atau sebuah informasi hanya boleh disampaikan pada orang-orang tertentu. Dalam hal ini Allah berfirman : ْ ُ َ َ الخوف َ ِ َ الرسول ََِ ولو َ ﱡ َ ُ ِ َ ْ َ الذين ٌ ْ َ جاءھم ُ يستنبطونه ْ َ َ به َ ِ لعلمهُ ﱠ َ أمر ﱢ ْ ُ ْ ِ األمر ْ ُ َ وإذا ِ ْ ُ وإلى ِ ِ أذاعوا ِ ْ َ ْ أو ِ ُ ردوهُ ِ َإلى ﱠ َ ِ َ َ منھم ِ ْ َ من ِ َ األمن ِ ْ َ أولي منھم ُْ ْ ِ " Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, lalu mereka menyiarkannya. (Padahal) kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentunya mereka (Rasul dan Ulil Amri tersebut) dapat menetapkan kesimpulan ( istinbat) dari berita tersebut " (Qs An Nisa : 83 ) Pada ayat di atas, Allah menegur orang-orang yang menyebarluaskan semua informasi kepada masyarakat umum, sebelum diteliti kebenarannya, khususnya informasi-informasi yang bisa meresahkan masyarakat. Selanjutnya Allah SWT memberikan petunjuk kepada kaum muslimin bahwa informasi-informasi semacam itu sebaiknya dikembalikan kepada Rasulullah saw atau kepada para pemimpin dan para ulama, agar mereka mempelajarinya, kemudian memutuskan apakah informasi-informasi tersebut bisa disebarluaskan atau tidak. Ulil Amri dalam ayat di atas, sebagaimana yang
4
dijelaskan oleh Imam Qurthubi yang dinukil dari Hasan Basri dan Qatadah : " Ulil Amri disini adalah pakar ilmu dan fiqh " 3 Sangatlah indah apa yang ditulis oleh Syekh Nasir Sa'di dalam tafsirnya " Taisir Al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam Al Manan " : " Ini merupakan teguran dari Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya bahwa perbuatan mereka ini tidaklah pantas. Jika ada urusan yang penting dan berhubungan dengan masalahat umum, serta terkait dengan keamanan dan kebahagian orang-orang beriman atau dengan ketakutan yang menimpa mereka, yang seharusnya mereka lakukan, adalah berhati-hati dan tidak tergesa-gesa untuk menyebarkan informasi tersebut. Akan tetapi hendaknya diserahkan kepada Rasulullah saw, dan kepada para pemimpin di antara mereka yaitu para pemikir, para pakar ilmu dan penasehat, para cerdik pandai, dan orang-orang yang selalu berhati-hati, yaitu orang-orang yang mengetahui urusan-urusan tersebut dan mengetahui pula maslahat dan mudharatnya. Jika mereka melihat bahwa menyebarluaskan masalah tersebut akan membawa maslahat, semangat dan kebahagian bagi orang-orang yang beriman, serta bisa membentengi mereka dari musuh-musuhnya, maka mereka menyebarluaskannya. Dan jika mereka melihat bahwa di dalamnya ada kemudharatan atau terdapat suatu maslahat, akan tetapi mudharatnya lebih banyak dari maslahatnya, maka mereka tidak menyebarluaskannya. Oleh karena itu Allah berfirman (tentunya Rasul dan Ulil Amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istinbath) dari berita tersebut) yakni mereka dapat menyimpulkannya dengan pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat mereka yang tepat, serta dengan ilmu-ilmu mereka yang terarah. Dan ini merupakan dalil dari sebuah Kaedah Etika yaitu jika ada suatu masalah, hendaknya diselesaikan oleh orang-orang yang ahli dalam bidangnya, dan diamanatkan kepada mereka, dan mereka tidak boleh sama sekali dilangkahi, karena hal itu lebih mendekati kebenaran dan jauh dari terjerumus dalam kesalahan. " 4 Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda : كفي بالمرء إثما أن يحدث بكل ما سمع “Cukup bagi seseorang dikatakan berdosa, kalau dia menyampaikan seluruh apa yang ia dengar “ (HR Muslim) Hal ini dikuatkan oleh Imam Bukhari yang menyebutkan dalam buku " Shahih " – nya satu bab yang berjudul : ‘’Siapa yang mengkhususkan pengajaran suatu ilmu bagi kalangan tertentu, karena khawatir sebagian kalangan tidak bisa memahaminya’’. Kemudian beliau menukil perkataan Imam Ali r.a. : “Berbicaralah kepada manusia dengan sesuatu yang mereka ketahui, apakah kalian senang jika Allah dan Rasul-Nya
3
Imam al- Qurtubi, Al Jami' li Ahkam Al Qur'an, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah ) 1993 M, juz V, hlm. 188 4 Syekh Abdurrahman Ibn Nashir As Sa'di, Taisir Al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam Al Manan, (Unaizah, Markaz Sholeh Al Tsaqafi ) Cet ke- II, 1992 M -1412 H, Juz II, hlm. 113-114
5
didustakan.5 Al Hafidh Ibnu Hajar Al Atsqalani dalam Kitab Fathu al-Barri menjelaskan masalah di atas : ‘Di dalam hadist tersebut terdapat pelajaran bahwa sesuatu yang masih samar ( Al Mutasyabih) tidak boleh diungkap di depan orang awam. Ini sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud : ‘’Tidaklah engkau berbicara dengan sebuah komunitas dengan sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh akal mereka, kecuali akan membuat fitnah bagi sebagian mereka.’’ Kemudian beliau memberikan contoh bagaimana para ulama dahulu, seperti Khudzaifah dan Hasan Basri sangat mengingkari seseorang yang menyampaikan hadits Al ‘Arayinin 6 kepada Hajjaj Tsaqafi karena dijadikan dalil untuk menumpahkan darah kaum muslimin hanya karena karena masalah-masalah yang sepele. 7 Kalau kita perhatikan buku Quraish Shihab ini, bisa kita katogorikan buku yang mutasyabih, karena isinya tidak jelas dan membingungkan umat, apalagi beliau sendiri mengaku belum bisa mengambil keputusan di dalam masalah jilbab. Kalau kebingungan bisa menyelimuti orang sekaliber Quraish Shihab, bagaimana orang awam yang menjadi murid-muridnya. Dan karena ketidakjelasan, maka sebagian kalangan menyimpulkan bahwa Quraish Shihab tidak mewajibkan jilbab, walaupun beliau sendiri tidak mau mengakuinya. Inilah salah satu fitnah yang dikhawatirkan oleh para ulama terdahulu, jika seseorang berbicara sesuatu yang tidak bisa dipahami secara baik oleh orang awam. III. Tidak Semua Perbedaan Pendapat Bisa Diterima Quraish Shihab menulis bahwa : ”menghidangkan satu pendapat saja disamping dapat mempersempit dan membatasi seseorang, juga berbeda dengan kenyataan bahwa hampir dalam semua persoalan rinci keagamaan Islam ditemukan keragaman pendapat. Keragaman itu sejalan dengan ciri redaksi Al Qur'an dan hadits yang sungguh dapat menampung aneka pendapat.“ 8 Kalau saja Quraish Shihab menghidangkan berbagai pendapat ulama yang diakui otoritas keilmuannya, tentunya tidak akan berdampak buruk seperti yang terjadi sekarang. Yang disayangkan, ternyata beliau menghidangkan pendapat orang-orang yang – nota bene – hanya pemikir yang kurang otoritatif dan sama sekali bukan ulama yang mu’tabar, sehingga menyeleweng jauh dari kebenaran dan cenderung berpendapat nyleneh. Makanya, jauh-jauh sebelumnya, para ulama telah menyebutkan bahwa tidak setiap perbedaan pendapat dalam suatu masalah bisa diterima, karena bisa dimungkinkan bahwa yang berbeda itu adalah pendapat orang yang bukan ahlinya. Berkata Ibnu Hajar Al Haitami : ْ ِ خالفًا َلهُ َحظﱞ َ ِ معتبرا ﱠإال النظر ◌ليس ُ ﱡ ً َ َ ْ ُ جاء ٍ َ ِ كل َ َْ َ َ َ خالف ِ َ من ﱠ 5
Muhammad bin Ismail Bukhari, As Shahih , dicetak bersama Fathul Bari ( Kairo, Dar Ar Royan, 1986 ) Cet ke – 1 , Juz I , hal. 272 6 Al ’Arayinin adalah para penjahat yang merampok unta-unta sedekah dan membunuh petugasnya, kemudian Rasulullah saw memerintahkan para sahabat untuk mengejar para pelakunya. 7 Ibnu Hajar Al Atsaqalani , Fathul Bari ( Kairo, Dar Ar Royan, 1986 ) Cet ke – 1, Juz I, hal. 272 8 M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm. 5
6
"Tidak setiap perbedaan pendapat bisa diterima, kecuali perbedaan pendapat yang mempunyai dasar pijakan (menurut disiplin keilmuan )" 9 Kita lihat bagaimana Ibnu Hajar Al Haitami, seorang ulama besar dari Madzhab Syafi’i telah meletakkan sebuah kaidah yang sangat penting, khususnya bagi kaum muslimin di Indonesia yang kebanyakan masih menganggap bahwa seluruh perbedaan pendapat bisa ditampung dan diakomodir dengan alasan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Demokrasi, sehingga pendapat-pendapat nyleneh dan jelas-jelas bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadist serta ijma’ pun harus diterima sebagai perbedaan pendapat. Sampai-sampai saat ini ada yang menyatakan, bahwa pendapat yang menghalalkan homoseks dan lesbian pun harus dihormati juga sebagai bagian dari perbedaan, karena perbedaan pendapat adalah rahmat. Tentu saja pendapat semacam ini sangat keliru. Perkataan Ibnu Hajar Al-Haitami di atas dikuatkan juga dengan perkataan ulama besar, Imam Ar Romli : القول َ ﱞ َ َ إن ْ َ إ ﱠال يقال ﱠ وليس ُ ﱡ يراعى َ َ ُ خالف ٍ َ ِ كل َ ْ َ َ , شاذ َ ْ َ ْ ھذا َ َ ُ أن "Hanyasanya, bisa dikatakan bahwa pendapat ini adalah nyleneh, dan tidak setiap perbedaan pendapat bisa diterima " 10 Dari sini, bisa penulis katakan bahwa pendapat-pendapat yang selayaknya ditampilkan dalam masalah jilbab ini, hanyalah terbatas pendapat-pendapat para ulama yang bergelut dalam bidang syari'ah dan memang telah diakui kredibilitas dan kemampuannya. Seandainya Quraish Shihab hanya menampilkan dua pendapat kelompok besar dari para ulama tentang batasan aurat tentu kita sepakat dan mendukungnya. Berkata Quraish Shihab: "Secara garis besar, dalam konteks pembicaraan tentang aurat wanita, ada dua kelompok besar ulama masa lampau. Yang pertama menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa kecuali adalah aurat, sedang kelompok kedua mengecualikan wajah dan telapak tangan. “ 11 Dua pendapat yang sudah disebutkan Qurasih, menurut hemat penulis secara umum sudah cukup mewakili seluruh ulama yang ada. Adapun jika ada perinciannya lagi dalam beberapa hal, maka bisa disesuaikan dengan kaidah-kaidah fiqh yang ada. Jadi, tidak perlu menampilkan lagi pendapat-pendapat cendekiawan kontemporer yang sebenarnya tidak berhak sama sekali ikut bicara dalam masalah yang bukan menjadi bidang garapannya, karena hal itu akan merusak tatanan dispilin keilmuan yang sudah ada. Dan jika beliau menampilkan pandangan cendekiawan kontemporer tersebut secara sepintas saja, tentunya dampak negatifnya lebih kecil dari pada sekarang. Tetapi kenyataannya beliau justru menyendirikan pandangan cendekiawan kontemporer tentang jilbab itu dalam satu bab secara lengkap, yaitu dari halaman 113 sampai 164, yaitu sekitar 30% dari jumlah keseluruhan isi buku -- sesuatu yang tidak dilakukan oleh Quraish Shihab ketika menerangkan tentang pendapat ulama yang diakui otoritasnya. Bukan hanya pendapat para cendekiawan saja yang dipermasalahkan oleh para ulama, bahkan pendapat pakar ushul fiqh pun – yang dalam hal ini sangat dekat dengan 9
Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarhi al Minhaj, ( Dar Ihya Turats al Araby ) Juz III, hlm. 209 10 Muhammad bin Shihabudin Ar Romli, ,ihayah al Muhtaj ila Syarh al Minhaj, ( Beirut, Dar al Fikr ). 11 . M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, Juz II, hlm. 8
7
ahli fiqh- belum tentu bisa diterima pendapatnya jika ia berbicara masalah fiqh. Berkata Imam Zarkasyi: "Apakah pendapat pakar ushul fiqh ketika berbicara masalah fiqh bisa diterima? ....Adapun mayoritas ulama, termasuk di dalamnya Abul Husain bin Qattan menyatakan bahwa pendapat seorang pakar ushul fiqh dalam permasalahan fiqh tidaklah bisa diterima, karena dia tidak termasuk ahli fatwa. " 12
Kalau keadaannya demikian, bagaimana para ulama tersebut jika hidup pada zaman sekarang dan mendengar seorang insiyur bangunan, sarjana politik, mantan perwira, dokter gigi, ekonom atau sejenisnya yang sama sekali buta dengan ilmu-ilmu syariah kemudian berfatwa tentang hukum jilbab, tentunya akan ditolak mentah-mentah. Jika tidak memahami atau tidak mempunyai otoritas di bidang itu, seharusnya kembali kepada ulama yang diakui otoritasnya. IV. Perbedaan antara Ulama dan Cendekiawan Penulis berpendapat, bahwa perlu dibedakan antara pengertian ulama dan cendekiawan. Ulama dalam bahasa Arab adalah jama’ dari kata ‘alim, artinya ulama itu adalah kumpulan orang-orang ‘alim. Yaitu orang yang menguasai bidang keilmuan tertentu dari Ilmu Syariah yang biasanya dia mempelajarinya secara sistematis dan berurutan dari tingkat yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Sedang Cendekiawan dalam bahasa Arab sering disebut Adib, yaitu seseorang yang mengetahui sedikit-sedikit dari banyak hal, semua itu didapat dari pengalaman dan bacaan sana sini yang dilakukan secara tidak sistematis dan teratur. Sebenarnya, setiap disiplin ilmu juga memegang otoritas keilmuan ini secara ketat. Tidak setiap orang boleh berpendapat dalam masalah ekonomi, kedokteran, dan sebagainya, jika dia tidak memiliki otoritas di bidang itu. Begitu juga dalam masalah ilmu-ilmu agama (ulumuddin) diperlukan otoritas dan kedisiplinan yang tinggi, sehingga tidak setiap orang bisa seenaknya menyebarkan pendapatnya tentang sesuatu tanpa memiliki otoritas di bidang tersebut. Dalam hal ini Quraish Shihab pun tidak membedakan antara ulama dan cendekiawan, sehingga kedua golongan itu disejajarkan di dalam masalah jilbab. Quraish mengatakan: “ Dalam buku ini, penulis berusaha membentangkan aneka pendapat, baik pandangan ulama-ulama terdahulu yang terkesan ketat, maupun cendekiawan kontemporer yang dinilai longgar. “13 Dalam pernyataan tersebut, Quraish Shihab telah melakukan beberapa kekeliruan, di antaranya : Pertama : Menyejajarkan ulama dulu dengan cendekiawan kontemporer. Padahal menyejajarkan ulama dulu dengan cendekiawan dulu pun tidak boleh ketika berbicara masalah hukum, karena bukan level dan tandingannya. Begitu juga tidak boleh menyejajarkan ulama kontemporer dengan cendekiawan kontemporer, karena bukan level dan tandingannya dan garapan antara keduanya juga berbeda. Akan tetapi yang dilakukan 12
Badruddin Zarkasy, Bahru al-Muhith , ( Dar al Kutby ) , Juz VI, hlm : 416, lihat juga Al Ghozali, Al Mutashfa, hlm : 144 13 M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 4
8
Quraish adalah menyejajarkan ulama dulu dengan cendekiawan kontemporer sungguh sangat-sangat tidak sapadan, baik dari segi ilmu maupun akhlaqnya. Yang lebih mendingan adalah menyejajarkan atau membandingkan ulama dulu dengan ulama kontemporer. Kedua : Tampaknya, Quraish Shihab tidak bisa membedakan antara ulama dan cendekiawan sebagaimana yang telah diterangkan di atas. Dalam disiplin ilmu fiqh, disebutkan bahwa ulama adalah orang yang menguasai hukum-hukum syari’ah dan mampu melakukan ijtihad hukum dari sumber aslinya yaitu Al Qur’an dan Hadits. 14 Bahkan di dalam pembahasan ijma’ disebutkan bahwa kesepakatan yang merupakan hujjah sesudah Al Qur’an dan Hadits adalah kesepakatan para ulama, yaitu mereka yang mampu mengistinbathkan hukum dari sumber aslinya setelah memenuhi beberapa syarat, seperti penguasaan bahasa Arab yang cukup, pemahaman terhadap ilmu ushul fiqh yang memadai, dan ilmu-ilmu lainnya. Kesepakatan ulama tersebut wajib kita ikuti, walaupun mereka hanya sedikit. Sebaliknya kesepakatan para cendekiawan tidaklah diakui menurut disiplin ilmu ushul fiqh, walaupun jumlah mereka sangat banyak. 15 Sehingga sangat tidak benar jika dalam masalah hukum kita menyejajarkan antara para ulama dengan cendekiawan, apalagi ulama yang dulu dengan cendekiawan kontemporer. Ketiga: Mengesankan kepada para pembaca bahwa ulama dulu itu pendapatpendapatnya terkesan ketat dan mempersulit, sedang cendekiawan kontemporer terkesan longgar. Kemudian setelah itu pada halaman berikutnya menukil ayat-ayat dan haditshadits yang menunjukkan bahwa Islam itu mudah dan rahmat bagi sekalian alam. Cara penulisan seperti ini walaupun barangkali tidak disengaja oleh Quraish Shihab akan tetapi bisa membuat para pembaca alergi dan apriori dengan para ulama yang sejak pertama dikesankan ketat dan mempersulit. Padahal kalau kita telusuri bahwa para ulama dulu banyak yang telah menulis tentang kemudahan syari’at Islam ini. V. Kemudahan dalam Islam bukan Berarti Meninggalkan Kewajiban atau Memilih Pendapat yang .yleneh Pada bagian pengantar bukunya, Quraish Shihab menjelaskan bahwa agama Islam itu mudah. Beliau menulis: "Agama ini mengedepankan kemudahan. Kitab suci Al Qur'an menegaskan bahwa: ّ يريد العسر ُ ِ ُ َاليسر َوال ُ ُِ َ ْ ُ ْ بكم َ ْ ُ ْ بكم ُ ُ ِ يريد ُ ُ ِ ُﷲ "Allah menghendaki buat kamu kemudahan dan tidak menghendaki buat kamu kesulitan. ( Qs Al Baqarah [2] : 185 ) Di tempat lain ditegaskan-1ya bahwa :
حرج ْ ِ الدين ْ ُ ْ َ َ جعل ِ عليكم ِفي ﱢ َ َ َ وما َ َ ٍ َ َ من
" ..dan Dia ( Allah ) tidak menjadikan bagi kesulitanpun " ( Qs al Hajj [ 22] : 78 )
14 15
kamu dalam hal agama sedikit
Al Ghozali, al Mustashfa, hlm. 143, Ibnu Qadamah, Raudhatu ,adhir, juz : II, hlm. 254 Al Ghozali, al Mustashfa, hlm. 137, Ibnu Qadamah, Raudhatu ,adhir, juz : I. hlm. 219
9
Itu semua antara lain disebabkan karena ajaran Islam yang disampaikan oleh 1abi Muhammad saw tidak bertujuan kecuali membawa rahmat seluruh alam ( Baca Qs al Anbiya' [21] : 107 ) Disamping ayat-ayat Al Qur'an, banyak sekali petunjuk dan praktek Rasul saw yang menunjukkan bagaimana beliau sangat memperhatikan dan menganjurkan kemudahan beragama. Beliau berpesan : "Berilah berita gembira dan jangan menjauhkan (orang dari tuntutan agama , permudahlah dan jangan mempersulit " (HR Bukhari dan Muslim ) 16 Kita sepakat dengan Quraish Shihab bahwa agama Islam itu mudah. Akan tetapi kemudahan yang diberikan Allah SWT kepada kita umat Islam ini, bukan berarti kita dibolehkan untuk meninggalkan kewajiban–kewajiban yang dibebankan kepada kita, dan bukan berarti juga, kita bebas memilih pendapat yang menurut kita enak, walaupun tidak mempunyai dasar dan dalil yang bisa dipertanggungjawabkan. Tulisan beliau tentang kemudahan ajaran Islam dalam pengantar tersebut akan mengesankan bahwa dalam masalah jilbab, janganlah kita mempersulit diri, karena para ulama masih berselisih tentang batasan-batasannya, bahkan sebagian cendekiawan kontemporer ada yang tidak mewajibkannya. Karena agama ini mudah, maka tidak apaapa kalau kita memilih pendapat yang tidak mewajibkannya. Dan ini dampaknya sangat berbahaya, karena pembaca akan tergiring untuk menyimpulkan bahwa diantara pendapat-pendapat yang ada tentang hukum jilbab, maka yang paling sesuai dengan ruh kemudahan dalam Islam adalah pendapat yang tidak mewajibkannya, atau paling tidak yang memberikan banyak kelonggaran-kelonggaran di dalamnya, seperti pendapat yang membolehkan terlihatnya leher, kaki atau pun sebagian rambut. Selanjutnya Quraish menulis : "Sayang rahmat dan kemudahan itu, sering tidak dirasakan bahkan boleh jadi ditutup-tutupi atau tertutupi oleh kaum muslimin sendiri, akibat pemahaman dan penerapan mereka yang tidak tepat terhadap ajaran Islam. Jauh sebelum masa kita ini, Syekh Muhammad Abduh ( 1849-1905 ) telah menyatakan " (Pesona ajaran) Islam tertutupi oleh kaum muslimin." Yang menutupi itu, tidak selalu orang-orang awam, tetapi juga orang-orang yang dinilai memiliki pengetahuan agama yang mumpuni, dan tentu saja termasuk juga mereka yang merasa memilikinya padahal yang mereka miliki baru kulit agama, belum intinya " Tulisan Quraish Shihab semacam itu dapat menimbulkan kesan bahwa para ulama dulu dan kini yang mewajibkan jilbab, baik yang mengatakan bahwa seluruh tubuh perempuan itu aurat, maupun yang memberikan pengecualian wajah dan telapak tangan adalah orang-orang Islam yang menutupi keindahan Islam, atau orang-orang yang hanya memiliki kulit agama, bukan intinya. Menurut hemat penulis, semestinya kata-kata seperti itu bisa dihindari sebagai bentuk penghormatan dan sopan santun kepada para ulama, apalagi mereka adalah mayoritas ulama, kalau tidak mau dikatakan seluruh ulama. Begitu juga kata-kata itu belum tentu benar adanya, bahkan sebaliknya para ulama dulu adalah orang-orang yang ikhlas dan bersungguh-sungguh di dalam mempelajari Islam, sehingga Allah menjadikan mereka ulama yang mumpuni dalam Ilmu Syari'at. Berbeda 16
. M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, ( Jakarta, Lentera Hati ) Cet I, 2004, hlm. 10
10
dengan sebagian ulama sekarang yang kadang menjual ilmu mereka untuk mendapatkan kesenangan dunia yang sedikit ini. Perbedaan sifat ulama-ulama dulu dan sekarang sudah banyak dibahas oleh para ulama. Ibnu Rajab al Hambali di dalam bukunya "Fadhlu Ilmu Salaf 'Ala Ilmu Kholaf " (Keutamaan Ilmu Ulama Dulu Atas Ilmu Ulama Kontemporer ) menulis : ‘’Beginilah, sesungguhnya orang-orang sekarang banyak tertipu, mereka mengira bahwa siapa yang banyak bicara dan berdebat serta berpolemik dalam masalahmasalah keagamaan, pasti lebih pandai dari pada yang tidak bisa seperti itu. Pendapat seperti ini hanyalah berasal dari kebodohan belaka. Lihatlah kepada para senior sahabat Nabi saw, seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Muadz, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit , ternyata perkataan ( riwayat ) mereka lebih sedikit dari perkataan (riwayat) Ibnu Abbas, akan tetapi walaupun begitu mereka lebih pandai darinya. Begitu juga para Tabi’in, perkataan (tulisan) mereka lebih banyak dari sahabat, tetapi para sahabat lebih pandai daripada mereka, begitu juga para Tabi’ut Tabi’in, mereka lebih banyak bicaranya dari Tabi’in, tapi para Tabi’in lebih pandai dari mereka. Karena keilmuan tidaklah diukur dengan banyaknya riwayat maupun tulisan, akan tetapi hakekat ilmu itu adalah cahaya yang tertancap dalam hati seseorang, sehingga dia bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan.’’ 17 Quraish Shihab menulis : "Mereka lupa bahwa tidak menjelaskan kemudahan itu dapat melahirkan sikap apriori dan penolakan karena menilai yang ditawarkan atas nama agama- tanpa memberi alternatif- merupakan sesuatu yang sulit." Apakah benar yang dikatakan Quraish Shihab bahwa para ulama lupa atau tidak menjelaskan kemudahan dalam masalahan-masalah agama? Tentu saja jawabannya tidak. Mereka, para ulama tersebut, tidak lupa akan hal itu, bahkan mereka dengan penuh tanggung jawab dan sungguh-sungguh telah menjelaskan akan kemudahan Islam. Lihatlah ratusan buku-buku turats dalam berbagai disiplin keilmuan penuh dengan penjelasan tersebut. Dari buku-buku tafsir, yang Quraish Shihab pakar di dalamnya, sampai buku-buku hadits dan syarahnya serta buku-buku fiqh, qawaid fiqh sampai bukubuku ushul fiqh. Dalam buku-buku tafsir umpamanya, akan kita dapatkan keterangan tentang kemudahan Islam itu dalam tafsir Surat Al Baqarah , ayat 185: ّ يريد ُ ِ ُ َاليسر َوال ُ ِ ُ العسر َ ْ ُ ْ بكم َ ْ ُ ْ بكم ُ ُ ِ يريد ُ ُ ِ ُﷲ ’’Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.’’ Begitu juga dalam surat Al Hajj, ayat 78 : ْ ِ الدين حرج ْ ُ ْ َ َ جعل َ َ َ وما ِ عليكم ِفي ﱢ َ َ ٍ َ َ من 17
Ibnu Rajab Al Hambali, Fadhlu Ilmu Salaf 'Ala Ilmu Kholaf , ( Kairo, Al Maktabah Al Islamiyah – Dar Ahlu As Sunnah, 1996 ) Cet Ke – 1 , hal. 27
11
" ..dan Dia ( Allah ) tidak menjadikan bagi kamu dalam hal agama sedikit kesulitan pun." Dalam buku-buku hadits, kita dapatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim tentunya dengan syarahnya Fathu al Bari dan Syarah Nawawi. Begitu juga dalam bukubuku Qawa'id Fiqhiyah, terutama dalam kaidah ”Al Masyaqqah Tajlibu at Taisir " (kepayahan itu akan mengundang kemudahan) akan kita dapatkan penjelasan yang panjang lebar dan mendetail tentang kemudahan dalam Syari’at Islam.18 Begitu juga dalam buku-buku Fiqh dan Ushul Fiqh, khususnya dalam masalah ”Rukhsyah Syar'iyah” (keringanan dalam beribadah),19 dalam buku-buku tersebut akan kita dapatkan keterangan dari para ulama bahwa ajaran Islam ini begitu indah dan mudah. Tetapi, yang menjadi persoalan adalah bagaimana mendudukkan ajaran Islam yang mudah ini dengan perintah Allah kepada wanita-wanita muslimah untuk menutup aurat mereka dengan menggunakan jilbab. Apakah karena kemudahan ini, terus kemudian seorang wanita muslimah bebas memakai apa saja yang ia sukai, atau kemudahan itu hanya terdapat pada keadaan-keadaan tertentu yang memang menuntut demikian. Inilah yang barangkali Quraish Shihab belum bisa mengambil keputusan di dalamnya dan terus diliputi keragu-raguan akan hukum jilbab, walaupun sebenarnya dalil-dalil tentang kewajiban itu sangat gamblang dan jelas. VI. Hukum Menjamak Shalat Tanpa Sebab Selanjutnya Quraish Shihab menulis: "Sebagai contoh, 1abi Muhammad saw suatu ketika shalat Zhuhur lalu langsung setelah itu melaksanakan shalat Ashar. Beliau menjamak atau bagaikan menjamak kedua shalat itu, padahal ketika itu beliau tidak dalam perjalanan (musafir), tidak juga karena adanya sebab-sebab jelas-yang selama ini dipahami sebagai alasan untuk menjamak shalat." Kemudian Quraish melanjutkan : "maka paling tidak, ia menunjukkan bolehnya menjamak shalat – sewaktu-waktu - walau bukan dalam keadaan musafir. Ini bila ada kebutuhan yang mendesak, sebagaimana yang dilakukan oleh sementara ulama. " 20 Hadits yang dimaksud oleh Quraish Shihab di atas adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. yang menyebutkan : َ َ خوف ْ ِ , والعشاء َﱠ . مطر َ ْ َ جمع ٍ ْ َ غير َ َ َ النبي صلى ﷲ عليه وسلم أن ﱠ ِ ﱠ ِ َ ِ ْ َ والمغرب ِ ِ ْ َ ْ َ , والعصر ٍ َ َ وال ِ ْ َ من ِ ْ َ ْ َ الظھر ِ ْ بين ﱡ
18
Lihat umpamanya Imam As Suyuti dalam Al Asybah wa An-,adhair, ( Beirut, Dar kutub Ilmiyah , 1983) Cet. Ke– 1, hal. 76-86 , Ibnu Nujaim dalam Al Asybah wa An ,adhair, ( Kairo, Al Maktabah At Taufiqiyah, t.t. ) hal. 82-93 , Izzuddin bin Abdissalam As Salami dalam Qawa’id Al Ahkam fi Mashalihil Anam ( Kairo, Dar Al Bayan Al Arabi , 2002) Juz II, hal. 6-12 19 Diantara buku-buku yang bisa dirujuk dalam hal ini adalah : Usamah Muhammad As Sholabi, Ad Durar Al Bahiyah Fi Ar Rukahs As Syar’iyah, Ahkamuha Wa Dhawabituha (As Syariqah, Maktabah As Sahabah, 2003 ) Cet- 1, Prof. DR. Abdullah bin Umar bin Muhammad Al Amien As Syenkity, ,adhrat Wa Tafahush Fi Ar Rukhsah Wa At Tarakhus,( Dar At Tiba’ah Al Islamiyah, 1994 ), Cet. Ke- 1 20 . M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm. 12
12
"Bahwa nabi Muhammad saw pernah menjamak antara dzhuhur dan Ashar, dan Maghrib dan Isya' dalam keadaan tidak takut dan tidak pula sedang hujan " 21 Para ulama dulu telah membahas hadits ini secara panjang lebar. Kesimpulannya bahwa hadits ini berlaku dalam keadaan sakit, atau berlaku bagi orang yang keadaannya sangat payah jika melakukan shalat lima waktu pada waktunya, seperti kakek atau nenek yang sudah tua renta serta sakit-sakitan. Atau dimungkinkan Rasulullah saw mengerjakan shalat-shalat tersebut pada waktunya, karena keadaan tertentu, maka yang satu dikerjakan pada akhir waktu sedang yang lain dikerjakan pada awal waktu, yang oleh orang yang melihatnya seakan-akan Rasulullah saw menjamak kedua shalat tersebut, padahal hakikatnya tidak demikian. Adapun menjamak shalat tanpa sebab, maka mayoritas ulama mengatakan tidak boleh. Memang ada segilintir orang -- yang belum diketahui siapa mereka -- yang membolehkan demikian. Dan ada segelintir lagi yang membolehkannya dalam keadaan tertentu itupun tidak boleh menjadi kebiasaan. Baiklah untuk meyakinkan pembaca, akan penulis sebutkan perkataan sebagian ulama tentang hukum menjamak shalat tanpa udzur. Berkata Imam Nawawi : " Madzhab para ulama tentang hukum menjamak shalat ketika dalam keadaan tidak takut, tidak pula sedang dalam bepergian , tidak pula dalam keadaan hujan dan tidak pula dalam keadaan sakit : untuk madzhab kita ( Syafi'i ) dan madzhab Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, serta mayoritas ulama hukumnya adalah tidak boleh. Sedang Ibnu Mundzir menceritakan dari beberapa kalangan akan kebolehannya walaupun tanpa sebab. Dia berkata juga bahwa Ibnu Sirrin membolehkan hal itu jika memang ada kebutuhan, dan tidak boleh menjadikan hal itu sebagai kebiasaan . " 22 Berkata Ibnu Qudamah : " Dan tidak boleh menjamak shalat kecuali bagi yang telah kami sebutkan.Berkata Ibnu Syubrumah : Boleh menjamak shalat jika ada kebutuhan atau hal yang lain, selama itu tidak dijadikan suatu kebiasaan. Dalilnya adalah hadits Ibnu Abbas: َ َ خوف ْ ِ , والعشاء َﱠ . مطر َ ْ َ جمع ٍ ْ َ غير َ َ َ النبي صلى ﷲ عليه وسلم ِ َ ِ ْ َ والمغرب ِ ِ ْ َ ْ َ , والعصر أن ﱠ ِ ﱠ ٍ َ َ وال ِ ْ َ من ِ ْ َ ْ َ الظھر ِ ْ بين ﱡ "Bahwa Nabi Muhammad saw pernah menjamak antara Zhuhur dan Ashar, dan Maghrib dan Isya' dalam keadaan tidak takut dan tidak pula sedang hujan " Ibnu Abbas ketika ditanya : Kenapa Rasulullah saw melakukan hal yang demikian ? Beliau menjawab : Supaya tidak menyusahkan umatnya. Sedang dalil kita adalah hadist-hadist yang menerangkan tentang waktu-waktu shalat yang lima itu. Sedang maksud hadist Ibnu Abbas di atas adalah ketika Rasulullah saw dalam keadaan sakit, dan berlaku bagi orang yang keadaannya sangat payah jika melakukan shalat lima waktu pada waktunya, seperti orang yang sedang menyusui, dan kakek yang sudah tua renta serta sakit-sakitan, dan orang-orang yang sejenis itu yang jika tidak menjamak shalat akan mendapatkan kepayahan yang amat sangat. Dan dimungkinkan Rasulullah saw – karena keadaan tertentu21 22
HR Muslim No Hadist: 706 Imam Nawawi, Al Majmu' Syarhu al Muhadzab, ( Al Muniriyah ) Juz IV, hlm : 264
13
mengerjakan shalat yang pertama pada akhir waktu, sedang untuk shalat yang kedua dikerjakan pada awal waktu . " 23 Dari keterangan di atas, kita bisa mengetahui bahwa Quraish Shihab ternyata memberikan contoh bahwa ajaran Islam itu mudah dengan hal-hal yang sifatnya syadz (nyleneh), padahal mayoritas ulama terdahulu dan kontemporer menjauhi hal tersebut, bahkan melarangnya. Dengan begitu, apakah kemudian akan kita katakan bahwa mayoritas ulama adalah orang-orang yang menutupi keindahan Islam, karena mereka melarang seorang muslim untuk menjamak shalat tanpa ada sebab? VII. Larangan untuk Mengikuti Pendapat Ulama yang 1yleneh Pada bagian akhir tulisannya, yaitu ketika menulis tentang pandangan cendekiawan kontemporer, Quraish Shihab memulainya dengan menceritakan sepak terjang Qasim Amin ( 1803-1908 ), salah satu cendekiawan Mesir yang baru pulang dari Perancis dan merupakan tokoh pelopor pembebasan wanita. Dalam bukunya yang sangat kontroversial Tahrir Al Mar’ah (Pembebasan Perempuan), ia mengajak perempuan Mesir untuk menanggalkan jilbab yang selama ini mereka yakini sebagai kewajiban agama. Qasim Amin menegaskan dalam bukunya tersebut bahwa tidak ada satupun ketetapan agama ( nash dari syari’at ) yang mewajibkan pakaian khusus ( hijab atau jilbab) sebagaimana yang dikenal selama ini dalam masyarakat Islam. Qasim Amin juga berpendapat bahwa Al Qur’an membolehkan perempuan menampakkan sebagian dari tubuhnya di hadapan orang-orang yang bukan muhramnya. Tetapi Al Qur’an – masih menurut Qasim Amin – tidak menentukan bagian-bagian mana dari anggota tubuh yang boleh terbuka. Setelah menukil pendapat Qasim Amin, Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa Syekh Muhammad Abduh (1849- 1905) yang pernah menjabat menjadi mufti Mesir ternyata secara diam-diam mendukung apa yang dinyatakan oleh Qasim Amin tentang aurat wanita. Kemudian cerita itu ditutup oleh Quraish Shihab dengan pernyataan sebagai berikut : " ...Yang penulis maksud, tidak lain hanyalah ingin membuktikan bahwa ada juga ulama-ulama yang diakui otoritasnya yang menganut atau bahkan mencetuskan pendapat-pendapat yang berbeda dengan ulama-ulama terdahulu. Terlepas dari siapa pencetus ide tentang pakaian wanita, yang sedikit dan banyak berbeda dengan pendapat ulama terdahulu, namun yang jelas bahwa para pencetus dan pendukung ide serta pendapat-pendapat ulama terdahulu, memiliki juga dalil atau dalih yang menjadi dasar pendapat mereka " 24 Selanjutnya Quraish menulis : " Praktek nabi –walau hanya sekali- yang dijadikan dasar antara lain oleh Syekh Muhammad Abduh itu , hampir ( hlm 12 ). ....Syekh Muhammad Ghazali ( hlm 13) ?????dari sya
23 24
Ibnu Qudamah, Al Mughni ,( Dar Ihya al Turast al Arabi ) Juz II , hlm : 60 . M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 117
14
Banyak para ulama yang melarang seseorang mencari-cari pendapat yang nyeleneh., walaupun kadang itu berasal dari sebagian ulama. Dalam hal ini seorang ...............menulis : َ ﱠ َ َ َ أو ْ ِ بالرخص ْ َ َ . عليه ُ َ َ ْ ُ َ إليه ليس ُ ﱡ تزندق ُ ومن َ َ َ ﱠ ُ َ ْ َ ْ ُ خالف ْ َ العلماء َ َ ْ َ َ أقاويلھم َ َ َ ْ يتتبع َما ُ َ َ ُ ْ فيه ٍ َ ِ كل ْ ِ ِ ِ َ َ من َ ْ َ ُ◌نه ِ ِ اختلف ِ ْ َ َ ويعتمد ِ ْ َ يستروح ِ َ أخذ ِ ﱡ . كاد َْ َ َ أو " Bahwasanya tidak setiap perbedaan pendapat itu bisa diambil dan dijadikan sandaran. Dan barang siapa yang mencari-cari apa yang diperselisihkan oleh para ulama atau mengambil keringanan-keringanan saja dari pendapat mereka, maka dia akan menjadi zindiq atau mendekati zindiq " 25 Memang harus diakui bahwa di dalam banyak masalah agama, para ulama berselisih pendapat di dalamnya. Akan tetapi ini bukan berarti bahwa setiap orang bebas untuk berbicara tentang agama kecuali yang memang mempunyai kemampuan dan memenuhi syarat-syaratnya. Dan ini bukan berarti juga, bahwa setiap orang bebas memilih mana saja dari perbedaan para ulama tersebut tanpa dibarengi dengan sifat wara’ dan kehati-hatian serta rasa takut kepada Allah SWT. Selain itu, di dalam memilih salah satu dari pendapat-pendapat para ulama itu, juga harus diperhatikan dampak positif dan negatifnya terhadap diri, keluarga dan masyarakat. Jika ada salah satu atau sebagian ulama berpendapat suatu hal yang bertentangan dengan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist serta adab-adab Islam secara umum, maka tentunya pendapat itu tidak bisa kita terima, seperti pendapat yang membolehkan seorang laki-laki untuk melihat seluruh tubuh wanita yang hendak dinikahinya dengan menggunakan dalil salah satu hadist : “Jika salah satu dari kalian ingin menikahi seorang wanita, hendaklah dia melihatnya yang menyebabkan dia bisa menikahinya “ Tentunya pendapat ini tidak bisa kita terima sama sekali, walaupun dilontarkan oleh seorang ulama dan berdasarkan dhahir dari hadist Rasulullah saw, karena pendapat ini bertentangan dengan ayat-ayat Al Qur’an dan hadist-hadist lainnya yang menyatakan keharusan untuk menundukkan pandangan dan menutup aurat kecuali kepada orangorang tertentu, seperti suami atau istrinya. Seperti juga pendapat yang membolehkan seorang wanita menjadi Imam bagi kaum laki-laki dalam shalat. Menurut sebagian kalangan pendapat ini diriwayatkan dari beberapa ulama, seperti Imam At Tsauri 26, akan tetapi benarkah kenyataannya seperti itu ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus meneliti kebenaran riwayat tersebut. Dan ternyata kita tidak mendapatkan sanad bersambung sampai kepada ulama tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa riwayat itu belum tentu benar adanya. Taruhlah riwayat itu benar, akan tetapi apakah riwayat tersebut menyatakan seperti apa yang dinyatakan oleh kelompok yang mengusungnya bahwa seorang wanita boleh menjadi imam bagi laki-laki di masjid umum, bahkan pada shalat Jumat? Tentunya ini juga perlu penelitian juga. Dan 25
Muhammad bin Ahmad As Safarini, Ghidhau al Albab fi Syarh Mandhumat al Adab, Muassasah Al Qurtubah, Juz I , hlm : 150 26 Lihat umpamanya Al Mawardi di dalam Al Hawi Al Kabir, Juz II, hlm : 326.
15
hadist yang dijadikan sandaran oleh ulama tersebut seandainya riwayatnya shahih, hanya menunjukkan bahwa seorang wanita menjadi imam bagi anggota keluarganya. Jadi dari mana mereka menyatakan kebolehan seorang wanita menjadi imam shalat bagi laki-laki dewasa di masjid besar dan pada shalat Jumat? Inilah salah satu contoh bagaimana sekelompok orang mengangkat dan membesar-besarkan “ suatu masalah “ yang nyleneh dan belum jelas kebenarannya, untuk pembenaran atas pemikiran-pemikiran yang mereka usung dan mereka pasarkan.27 Ini adalah salah satu bentuk mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan yang menjadi ciri khas perbuatan orang-orang Yahudi, sebagaimana yang disinyalir dalam Al Qur’an : “Dan janganlah engkau mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan engkau menutupi kebenaran tersebut, padahal engkau mengetahuinya “ ( Qs Al Baqarah : 42 ) Bahkan para ulama- sebagaimana yang telah disebutkan di atas – menyatakan bahwa siapa saja yang sengaja mencari-cari pendapat-pendapat nyleneh atau menelusuri keringanan-keringanan dari pendapat ulama, maka dia akan menjadi zindiq atau mendekati zindiq. Para ulama telah memberikan perumpamaan tergelincirnya seorang ulama bagaikan kapal yang bocor, jika kapal tersebut tenggelam, maka akan tenggelam semua penumpang di dalamnya. Berkata Umar bin Khattab :
" Tiga hal yang akan merusak agama : tergelincirnya seorang ulama, debatnya orang munafik terhadap Al Qur'an, dan para pemimpin yang sesat . " 28
Berkata Ibnu Abbas :
" Celakalah bagi orang-orang yang mencari-cari tergelincirnya seorang ulama. " Bagaimana itu bisa terjadi ? Berkata Ibnu Abbas : " Yaitu seorang ulama berbicara menurut pikirannya ( tanpa ada dasarnya ), kemudian orang tersebut mendapatkan ulama lain yang lebih tahu darinya, dia tidak mau mengikutinya, dan tetap mengikuti sang alim yang tergelincir tadi " 29
Berkata Ibrahim bin Abi Ablah :
" Barang siapa yang suka membawa ilmu yang nyeleneh, maka berarti dia telah membawa kejelekan yang sangat banyak . " 30
Berkata Imam Malik :
" Sejelek-jelek ilmu adalah ilmu yang nyleneh, dan sebaik-baik ilmu adalah yang jelas dan yang telah diriwayatkan oleh banyak orang. " 31
27
Lihat masalah ini secara lebih rinci di DR. Muhammad Nu'aim Sa'I, Haditsatu ,ew York, hlm : 94-100. Atsar ini diriwayatkan oleh Darimi di dalam As Sunan, Juz I , hal. 71 29 Atsar ini disebutkan oleh Ibnu Abdul Barr di dalam bukunya : Jami' Bayan Al Ilmi , no : 1877 30 Ad Dzahabi, Siar A'lam ,ubala' , Juz III, hal. 391 31 Tartib Al Madarik , Juz I, hal. 184 28
16
Dari riwayat-riwayat di atas, kita mengetahui bahwa mengikuti pendapatpendapat nyleneh dan aneh dari para ulama adalah perbuatan yang tercela dan dilarang dalam agama. Maka, hendaknya seorang muslim selalu mengikuti hal-hal yang sudah disepakati oleh para ulama atau yang telah dianut oleh mayoritas, paling tidak mengikuti hal-hal yang sudah dikenal di kalangan para ulama. Berkata Ibnu Hajar : إذا تكلم المرء في غير فنه أتى بھذه العجائب “ Kalau seseorang berbicara bukan pada bidangnya, niscaya akan bicara yang aneh-aneh “ 32 VIII. Tidak Mendukung Pendapat Para Ulama Pada tulisan-tulisan sebelumnya, telah kita ketahui bahwa Quraish Shihab walaupun tidak mau terus terang untuk mengatakan bahwa jilbab tidaklah wajib, akan tetapi disela-sela tulisannya menunjukkan bahwa beliau memang terkesan untuk memihak pendapat cendekiawan kontemporer dan memojokkan pendapat para ulama dulu. Diantara bukti-buktinya adalah sebagai berikut : Pertama : Quraish Shihab menulis : « Penulis tidak cenderung mendukung pendapat yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuh badannya atas dasar bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat. Ini bukan saja karena lemahnya alasanalasan yang mereka kemukakan, tetapi juga dengan tampil seperti yang mereka wajibkan itu gugurlah fungsi hiasan dan keindahan dalam berpakaian, padahal Al Qur’an sendiri menyebutkan bahwa salah satu fungsi pakaian adalah hiasan. « 33 Dari tulisan Quraish Shihab di atas, secara jelas dan gamblang bahwa beliau tidak mendukung pendapat yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuh badannya, seraya memberikan alasan bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa salah satu fungsi pakaian adalah hiasan. Bukan sampai di sini saja, beliau lebih lanjut menukil perkataan kelompok yang sangat membenci pendapat iniwalau beliau tidak bermaksud untuk mengolok-ngoloknya . Beliau menulis : « Pakaian longgar, berwarna hitam yang tidak menampakkan kecuali sepasang- bahkan sebijibola mata yang juga tidak jarang ditutup dengan kaca mata hitam, sungguh tidak mengandung nilai-nilai kecantikan dan hiasan. Penulis tidak akan berkata seperti tulis beberapa orang bahwa pakaian seperti yang diwajibkan oleh sementara ulama itu, menjadikan wanita tampil seperti sosok hantu atau bahwa pakaian itu seperti kafan dan menjadikan pemakainya bagaikan mayat-mayat yang berjalan. Sama sekali penulis tidak akan berkata demikian. « 34 Dari pernyataan tersebut bisa kita lihat bagaimana besarnya ke-tidaksetuju-annya terhadap pendapat yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuh badannya, bahkan sampai menyempatkan dirinya untuk menukil pernyataan yang sangat tidak etis dan 32
Muh Ismail Muqaddim, Op. Cit, hal. 48 M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hal : 107 34 M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hal : 107 33
17
secara jelas dan gamblang mengolok-ngolok wanita yang mengikuti salah satu pendapat ulama yang mu’tabar dengan menyebutnya sosok hantu dan mayat-mayat yang berjalan….subhanallah ! Seandainya Quraish tidak mau berkata demikian, kenapa pernyataan tersebut. harus dinukil di dalam bukunya, kemudian tidak membantahnya sedikitpun. Apa perlunya beliau menukil perkataan tersebut ? Mudah-mudahan beliau segera menyadari kesalahan fatal ini dan menghapusnya dari bukunya. Kedua : Di akhir bukunya Quraish Shihab membuat kesimpulan bahwa : " Wanita yang menutup seluruh badannya atau kecuali wajah dan telapak tangannya, telah menjalankan bunyi teks ayat-ayat Al Qur’an, bahkan mungkin berlebih. 1amun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung , atau yang menampakkan setengah tangannya, bahwa mereka secara pasti telah melanggar petunjuk agama . " 35 Kita bisa melihat dari pernyataan di atas, bahwa Quraish bukan hanya tidak setuju dengan pendapat yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuh badannya saja, bahkan beliau juga tidak setuju dengan pendapat mayoritas ulama yang lebih longgar yaitu yang mewajibkan menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Beliau menyatakan bahwa orang yang mengikuti pendapat ini telah berlebihan di dalam mengamalkan teks-teks Al Qur’an. Dalam pandangan Islam, orang yang berlebih-lebihan di dalam mengamalkan ajaran agama adalah orang yang tidak berjalan di atas jalan yang lurus, bahkan kelompok-kelompok sesat dan ahli bid’ah menjadi sesat karena berlebihlebihan di dalam mengamalkan ajaran agama. Jika sifat berlebihan ini dicapkan dan ditempelkan kepada para wanita yang berjilbab sungguh merupakan suatu tuduhan yang keji, yang sebenarnya sangat tidak layak diucapkan oleh tokoh sekaliber Quraish yang telah bertahun-tahun mendalami ilmu agama di pusat peradaban Islam, Mesir dan di Universitas Islam tertua di dunia yaitu Universitas Al Azhar. Semoga Allah mengampuni kita semua dan menunjukkan kepada kita jalan yang lurus. IX. Hubungan Budaya Setempat dengan Teks Al Qur'an Dan Hadist Di dalam masalah jilbab, Quraish Shihab cenderung untuk mendukung pendapat yang mengatakan bahwa batasan pakaian dalam Islam disesuaikan dengan kondisi dan adat istiadat masyarakat setempat. Jika pakaian tersebut layak dan pantas serta wajar menurut masyarakat tertentu, maka itulah pakaian yang diperintahkan oleh Islam untuk dipakainya. Banyak pernyataan-pernyataan Quraish Shihab yang menunjukkan hal tersebut. Di sini akan diberikan beberapa contoh darinya, walau sebagian besar sudah dikupas oleh penulis pada halaman-halaman berikutnya. Contoh Pertama : Quraish menulis : "Terlebih dahulu perlu digaris bawahi bahwa ayat-ayat Al Qur'an lebih-lebih sabda, pengamalan dan pembenaran 1abi Muhammad saw ( AsSunnah ) kesemuanya turun dan terjadi dalam satu masyarakat yang memiliki budayanya." 35
. M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 174
18
Selanjutnya beliau menulis : "Mereka juga hendaknya memahami budaya masyarakat, sejarah nabi Muhammad saw, sebab-sebab turunnya satu ayat, atau tercetusnya ucapan dan sikap 1abi Muhammad saw . Di sisi lain , perlu juga digaris bawahi bahwa pemahaman seseorang menyangkut satu nash ( teks ) – termasuk Al Qur'an dan Hadist – tidak dapat terlepas dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya masyarakatnya, di samping kecerdasan dan kecenderungan pribadinya. 36 Dalam Ilmu Ushul Fiqh, yaitu sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tata cara pengambilan hukum dari Al Qur'an dan Hadist disebutkan bahwa pengambilan suatu hukum hanyalah tertumpu pada teks-teks yang ada dalam Al Qur'an dan Hadist yang tentunya menggunakan bahasa Arab, maka salah satu syarat mutlak untuk menjadi seorang mujtahid ( yang mampu mengistinbatkan suatu hukum ) adalah penguasaan bahasa Arab. Teks-teks yang ada dalam Al Qur'an dan Hadist itulah yang akan diolah oleh seorang mujtahid sehingga diperoleh suatu hukum. Tidak disebutkan di dalamnya keharusan memahami budaya masyarakat pada waktu itu sebagaimana yang dianjurkan oleh Quraish. Menggulirkan wacana keterkaitan wahyu dengan budaya masyarakat setempat tanpa memberikan keterangan yang lebih jelas dan batasan-batasannya akan berakibat fatal bagi perkembangan hukum Islam, khususnya jika wacana ini ditangkap oleh sebagian orang yang berpaham liberal dan berusaha melakukan perubahan-perubahan frontal dalam syari'ah Islam tanpa dibekali dengan alat-alat yang memadai. Seluruh ajaran Islam yang sudah baku akan hancur berantakan dengan dalih bahwa zaman sudah berubah, dan budaya masyarakat sekarang berbeda dengan masyarakat pada waktu diturunkan Al Qur'an. Maka konsekwensinya, masih menurut pandangan ini, shalat lima waktu, ibadah haji, kewajiban zakat , kewajiban jihad fi sabilillah dan lain-lainnya akan tidak berlaku pada zaman sekarang, karena zaman dan budaya masyarakat sudah berubah. Dan ujung-ujungnya juga bahwa kewajiban wanita muslimah untuk memakai jilbab-pun tidak berlaku lagi, karena itu adalah budaya masyarakat setempat dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Contoh Kedua : Quraish Shihab menulis : " Dari sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan. Kesimpulan yang diambil dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Pengkajian Islam IAI1 Syarif Hidayatullah Maret 1988 adalah : " Tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup menurut hukum Islam , dan menyerahkan kepada masing-masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan. " 37 Pernyataan Quraish Shihab di atas sudah penulis kupas pada tulisan-tulisan sebelumnya. Namun yang perlu dijelaskan di sini, bahwa Quraish Shihab- walau secara 36 37
. M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 51-52 M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 166
19
tidak terus terang- cenderung untuk mendukung pendapat yang telah diputuskan oleh Forum Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah bahwa pakaian yang harus dipakai oleh seorang muslimah batasannya ditentukan masing-masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan. Jauh-jauh sebelumnya para ulama telah meletakkan batasan-batasan kapan sebuah adat istiadat dan budaya sebuah masyarakat bisa dijadikan sandaran di dalam menentukan sebuah hukum. Diantaranya adalah bahwa adat istiadat atau kebiasan tersebut tidak bertentangan dengan teks Al Qur’an dan Hadist.38 Berkata Prof. Dr. Ahmad Fahmi Abu Sunnah : « Syarat ketiga : Hendaknya adat istiadat tersebut tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i. Maksudnya bahwa adat istiadat masyarakat tersebut harus sesuai dengan hukum-hukum yang bersandar pada dalil-dalil. Jika adat istiadat tersebut bertentangan dengannya, maka tidak boleh dipakai. Seperti kebiasaan masyarakat yang meminum khamr dan melakukan judi, wanitawanita yang turut mengiring jenazah, menyalakan lilin di kuburan-kuburan, serta membuka 39 sebagian aurat…dan banyak lagi hal-hal yang menyelisihi syari’ah. »
Hal ini sejalan dengan sebuah kaidah yang diletakkan oleh para fuqaha bahwa : يرجع فيه إلى العرف، و ال في اللغة، و ال ضابط له فيه، كل ما ورد به الشرع مطلقا « Setiap yang disebut di dalam Syari’ah secara mutlak, dan belum ada batasannya sama sekali, sekalipun dari sisi bahasa, maka ketentuannya dikembalikan kepada kebiasaan « 40
Dengan demikian, pernyataan bahwa pakaian yang harus dipakai oleh seorang muslimah, batasannya ditentukan masing-masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan adalah pernyataan yang jauh dari kebenaran. Karena al Qur’an dan hadist telah memberikan batasan-batasan tertentu terhadap pakaian wanita. Contoh Ketiga : Quraish Shihab menulis : ‘ 1amun persoalannya dalam hal aurat perempuan, apakah jika memang diakui ke-shahih-an kedua hadist yang dinisbahkan kepada istri 1abi Aisyah ra. di atas, maka ia dapat dipahami seperti pemahaman al ‘Asymawi, yakni bahwa ia bersifat sementara dan sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat ? Atau bahwa itu adat masyarakat ketika itu, di mana masyarakat lain tidak terikat dengannya ? Sekali lagi, ulama dan cendekiawan berbeda pendapat.’ 41
38
Untuk mengetahui masalah ini lebih lengkap bisa dirujuk umpamanya : Prof. Dr. Abdul Aziz Azzam, Al Qawa’id Al Fiqhiyah ( Kairo : Dar Al Hadist, 2005 ) hal : 174-176 , Pof Dr. Ahmad Fahmi Abu Sunnah, al Urf wa al ‘Adah fi Ra’yi al Fuqaha ( Kairo, Dar al Bashoir, 2004 ) Cet ke- 1, hal. 105-122.
39
Prof. Dr. Ahmad Fahmi Abu Sunnah, al Urf wa al ‘Adah fi Ra’yi al Fuqaha ( Kairo, Dar al Bashoir, 2004 ) Cet ke- 1, hal. 113.
40 41
As- Suyuti, al Asybah wa al ,adhair , ( Beirut, Dar Kutub Ilmiyah , 1983 ) Cet Ke – 1, hal 98 M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 153
20
Pernyataan tersebut juga sudah penulis kupas pada halaman sebelumnya, hanyasanya yang perlu dijelaskan di sini bahwa Quraish Shihab telah menggiring kalau tidak mau dikatakan ‘memaksakan‘ penafsiran hadits di atas, bahwa kewajiban berjilbab itu hanya bersifat sementara, dan tergantung kepada kondisi dan perkembangan masyarakat setempat, atau hal itu hanyalah sebuah adat istiadat masyarakat Arab dan tidak ada kaitannya dengan wanita-wanita muslimah yang ada di Indonesia. Contoh Keempat : Quraish Shihab menulis : " Persoalaan yang muncul lebih jauh adalah, apakah seorang wanita muslimah yang menampakkan selain wajah dan tangannya dapat dinilai telah melanggar tuntunan Allah itu ? Bukankah – seperti penulis kemukakan pada awal uraian- bahwa boleh jadi pemahaman para sahabat 1abi saw. tentang ayatayat Al Qur’an akan berbeda jika mereka hidup pada masa kita dewasa ini ? " 42 Dalam pernyataan di atas, lagi-lagi Quraish Shihab mengatakan bahwa wanita-wanita yang tidak berjilbab belum dapat dinilai bahwa mereka telah melanggar tuntunan Allah. Alasan yang diungkap oleh Quraish Shihab sangat tidak ilmiah, yaitu dengan mengatakan bahwa jika sahabat hidup pada zaman sekarang boleh jadi pemahamannya berbeda. Maksudnya mereka para sahabat jika hidup pada zaman sekarang, mungkin akan berpendapat juga bahwa jilbab itu tidak wajib. Kalau logika berpikir seperti ini diterapkan pada semua hukum Islam, tentunya akan kacau dan hukum-hukum yang telah ditentukan oleh para fuqaha selama berabad-abad lamanya akan rontok dengan sendiri ketika dihadapkan dengan logika yang dipakai oleh Quraish Shihab tersebut. Selain itu, logika tersebut akan memberikan kesempatan bagi orang-orang yang tidak senang dengan Islam untuk mengobrak-abrik bangunan Islam dari dalam. Maka, diharapkan kepada Quraish untuk lebih berhati-hati di dalam mengungkap argumen, khususnya ketika berbicara tentang suatu hukum dari hukum-hukum Islam. X. Tidak Boleh Menjadikan Perbuatan Sebagian Orang Sebagai Dasar Hukum. Quraish Shihab menulis : " Akan tetapi, harus pula diakui bahwa ada pendapat lain yang lebih longgar di samping kenyataan menunjukkan bahwa banyak keluarga kalangan ulama yang terpandang yang wanita-wanitanya –baik anak maupun istritidak mengenakan jilbab. Di Indonesia, lihatlah misalnya sebagian dari Muslimat 1ahdhatul Ulama atau Aisyiah. Ini, lebih-lebih sekitar belasan tahun yang lalu. Tentu saja para ulama kedua organisasi Islam yang terbesar di Indonesia itu memiliki alasan dan pertimbangan-pertimbangannya, sehingga praktek yang mereka lakukan ituapalagi tanpa teguran dari para ulama – boleh jadi dapat dinilai sebagai pembenaran atas pendapat yang menyatakan bahwa yang terpenting dari pakaian wanita adalah yang menampilkan mereka dalam bentuk terhormat, sehingga tidak mengundang gangguan dari mereka yang usil. ". 43 Pernyataan Quraish di atas mengandung beberapa kejanggalan, diantaranya adalah : 42 43
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 109 . M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 166-167
21
Pertama : Menjadikan perbuatan sekelompok orang, sebagai pembenaran atas suatu masalah . Sikap seperti ini kurang tepat, apalagi ditinjau dari displin ilmu ushul fiqh dan fiqh. Menurut para ulama 44, sumber hukum terbagi menjadi dua : pertama : sumber hukum yang disepakati, yaitu : Al Qur'an, Hadist, Ijma' dan Qiyas. Sedangkan yang kedua : sumber-sumber yang masih diperdebatkan, yaitu : Qaul Shahabi ( perkataan para sahabat ), Istihsan, Saddu Adz-Dzarai', Al Istish-hab, Mashalih Mursalah. Dengan demikian, diketahui bahwa perbuatan sekelompok orang, selain sahabat tidak dianggap sebagai salah satu sumber hukum. Dengan demikian dasar pijakan yang diambil oleh Quraish sangat rapuh sehingga sulit untuk diterima. Kedua : Quraish memberikan contoh dari " keluarga ulama yang terpandang " , tetapi tidak memberikan penjelasan lebih lanjut siapa yang dimaksud ulama terpandang tersebut, dan bagaimana kriterianya. Apakah ulama yang terpandang adalah ulama yang terkenal dan diberitakan oleh mass media atau ulama yang duduk dan menjadi pengurus dalam Majlis Ulama Indonesia, ataupun ulama yang menjadi pejabat di Departemen Agama, semuanya belum jelas. Kemudian harus dibedakan antara ulama dan keluarganya, karena para ulama itu mungkin mengetahui dan menyakini bahwa seorang wanita wajib menutupi seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan, dan mereka pun sudah menyuruh keluarganya- baik istri dan anak- akan tetapi keluarganya tidak mau mendengar perintah atau anjuran ulama tersebut. Sebagaimana yang kita dapatkan pada keluarga Nabi Nuh dan Nabi Luth, anak atau istri kedua nabi tersebut membangkang dan tidak mau mentaati perintah suami atau bapaknya yang merupakan nabi. Jadi, kalau kita mau menggunakan logika yang digunakan Quraish, tentu masalahnya akan menjadi fatal karena bisa saja seseorang tidak mau mentaati perintah Allah swt dengan dalih bahwa keluarga sebagian nabi juga tidak mentaati perintah Allah swt. Ketiga : Quraish juga memberikan contoh dari " Muslimat ,ahdhatul Ulama, atau Aisyiah " dengan alasan bahwa mereka dari organisasi besar. Menurut penulis, alasan ini juga rapuh dan tidak kuat sehingga sulit untuk diterima. Bagaimanapun juga, besarnya organisasi tidak ada hubungannya sama sekali dengan proses pengambilan hukum. Apalagi itu pada belasan tahun yang lalu, karena kemungkinan besar pengetahuan tentang wajibnya seorang perempuan menutup seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan belum sampai kepada mereka, karena buku-buku tentang itu juga belum banyak waktu itu di Indonesia. Sangat berbeda dengan sekarang, dimana informasi-informasi, baik lewat mass media maupun lewat buku-buku sangat mudah diakses oleh umat Islam Indonesia, sehingga sebagian Muslimat Nahdhatul Ulama dan Aisyiah-pun sudah mulai menggunakan jilbab yang menutupi seluruh badannya, kecuali telapak tangan dan wajahnya , sebagaimana yang merupakan pendapat mayoritas ulama. Bahkan, lebih dari itu, bisa kita dapatkan sekarang sebagian Muslimat Nahdhatul Ulama, Aisyah dan Persis telah memakai cadar yang menutup seluruh badannya kecuali kedua matanya. Keempat : Selanjutnya Quraish menambahkan bahwa karena tidak adanya ulama yang menegur wanita-wanita yang tidak menggunakan jilbab, maka hal ini menjadi pembenaran perbuatan tersebut. Alasan yang dikemukan Quraish ini juga tidak tepat, paling tidak dari dua sisi :
44
Lihat umpamanya : DR. Amir Abdul Aziz, dalam bukunya : “ Ushul Fiqh Al Islami “ , ( Kairo, Dar As Salam, 1997 ) Cet ke- 1, Juz I , hal : 151-135 dan Juz II, hal : 442-512
22
1. Pertama : Tidak semua ulama, khususnya yang di Indonesia mau beramar ma'ruf dan nahi mungkar. Banyak faktor yang membuat mereka berbuat demikian, diantaranya adalah faktor lingkungan dan adat istiadat masyarakat, atau faktor politik, atau kesibukan mereka mencari nafkah, atau bisa jadi karena minimnya pengetahuan mereka dalam masalah ini. 2. Kedua : Bisa dimungkinkan mereka sudah mengingatkan dan menegurnya, akan tetapi masyarakat tidak mengindahkan teguran tersebut, atau teguran dari ulama itu tidak disebarluaskan, sehingga mengesankan bahwa tidak ada satupun ulama yang menegur wanita-wanita yang tidak memakai jilbab. XI. Harus dibedakan antara ‘Illat ( Alasan ) dan Hikmah Quraish Shihab menulis : « boleh jadi dapat dinilai sebagai pembenaran atas pendapat yang menyatakan bahwa yang terpenting dari pakaian wanita adalah yang menampilkan mereka dalam bentuk terhormat, sehingga tidak mengundang gangguan dari mereka yang usil. ". 45 Ada beberapa kejanggalan dari tulisan Qurais Shihab di atas, sehingga perlu diluruskan dalam beberapa point berikut : Pertama : Quraish Shihab menyatakan bahwa yang terpenting di dalam dari pakaian wanita adalah yang menampilkan mereka dalam bentuk terhormat. Kata-kata « dalam bentuk terhormat « adalah kata-kata yang tidak mempunyai kriteria dan batasan yang jelas. Bisa saja orang yang berpakaian bikini dalam suatu masyarakat dinilai pakaian yang wajar. Lihatlah sekarang, bukan saja di negara-negara Barat yang menganut paham kebebasan, di Indonesiapun yang rata-rata penduduknya beragama Islam, pakaian bikini yang mengumbar aurat sudah menjadi sebuah kewajaran, bahkan yang lebih ironis pakaian bikini tersebut menjadi syarat untuk mendapatkan pekerjaan dalam beberapa instansi dan lembaga. Umpamanya untuk menjadi sekertaris pada sebuah perusahaan, seorang wanita harus berpakaian yang menampakkan paha, begitu juga pekerja wanita yang menjadi pelayan di mall-mall dan pusat-pusat perbelanjaan, pakaian seragamnya adalah rok pendek di atas lutut, yang menampakkan bagian dari pahanya. Dan ternyata banyak dari mereka yang merasa aman-aman saja, alias tidak diganggu oleh tangan-tangan usil. Tapi apakah itu yang dimaksud berpakaian dalam ajaran Islam ? Tentu jawabannya tidak. Jadi yang dinyatakan atau disebut oleh Quraish Shihab dalam tulisan di atas tidak benar dan bisa menyesatkan pemahaman kaum muslimin tentang adab berpakaian dalam Islam . Dari situ, kita mengetahui bahwa yang terpenting dalam berpakaian, atau alasan wanita diperintahkan untuk berpakaian adalah menutup aurat, bukan supaya berpenampilan yang wajar, dan bukan pula supaya tidak diganggu. Kedua : Para ulama ushul fiqh telah membahas masalah « ‘illat « ( alasan ditetapkan sebuah hukum ) di dalam tulisan-tulisan mereka dengan pembahasan yang mendetail. Mereka memperlakukan syarat-syarat yang ketat untuk menyebut bahwa sesuatu hal bisa disebut « illat « . Mereka menyebutkan –paling tidak - lima syarat illat : 1. Illat itu harus sesuatu yang jelas, bisa dilihat dengan panca indra, umpamanya illat qishash pada dasarnya adalah membunuh dengan sengaja. Hanya saja, faktor 45
. M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 166-167
23
kesengajaan ini terdapat dalam hati, dan sulit dideteksi, maka para ulama mencari sesuatu yang jelas dan bisa dilihat oleh panca indra sehingga bisa dijadikan patokan dan ukuran bahwa orang tersebut membunuh dengan sengaja, umpamanya senjata tajam atau segala barang yang biasa untuk membunuh. Sehingga mereka mengatakan bahwa setiap orang yang membunuh dengan senjata tajam, atau senjata api atau dengan sesuatu yang biasa dipakai untuk membunuh, maka dikatagorikan bahwa orang tersebut telah membunuh dengan sengaja, walaupun dia mengingkarinya. 2. Illat itu harus mempunyai kriteria dan batasan-batasan yang yang jelas. Umpamanya illat dibolehkannya seseorang untuk menjamak shalat atau tidak berpuasa pada bulan Ramadhan pada dasarnya adalah « masyaqqah « ( kepenatan atau kecapaian ). Hanya saja karena « masyaqqah « tersebut tidak mempunyai kriteria dan batasannya yang jelas, karena bisa saja seseorang melakukan suatu perjalanan jauh, tetapi tidak merasa berat dan penat, sementara bagi orang lain – walaupun dalam satu kendaraan sekalipun– merasa berat dan penat. Maka para ulama mencari sesuatu yang mempunyai kriteria dan batasan yang jelas, yaitu safar ( melakukan perjalanan ), sehingga bisa dijadikan patokan dan ukuran bahwa orang tersebut dibolehkan menjamak atau tidak berpuasa pada bulan Ramadlan. 3. Illat itu harus sesuai dengan tujuan syari’ah, umpamanya perbuatan mencuri adalah illat (alasan) yang menyebabkan munculnya hukuman potong tangan, dan ini sesuai dengan tujuan syari’ah yaitu penjagaan terhadap harta benda. 4. Illat itu hendaknya bisa diterapkan kepada masalah-masalah lain, umpamanya memabukkan yang menyebabkan diharamkanya khamr, bisa diterapkan kepada seluruh minuman yang memabukkan selain khamr. 5. Illat itu hendaknya bukan suatu hal yang tidak bertentangan dengan syari’ah, umpamanya menyamakan jatah anak laki-laki dan perempuan dalam menerima warisan, dengan alasan bahwa kedua-duanya adalah anak kandung. Illat seperti ini tidak bisa diterima, karena bertentangan dengan syari’ah, yang telah menentukan bahwa jatah perempuan adalah setengah dari jatah laki-laki .46 Yang perlu kita ketahui juga, bahwa ada perbedaan antara illat ( alasan ) dengan hikmah. Dalam suatu kaidah disebutkan « Al Hukmu Yaduru Ma’a Illatihi Wujudan Wa ‘Adaman « ( Hukum itu berputar bersama illatnya, jika dia ada, maka hukum ada, jika illat tersebut hilang, maka hukum tersebut jika hilang), jadi hukum akan selalu bersama illat-nya. Tetapi tidak demikian dengan hikmah. Kadang suatu hukum ada, tetapi hikmahnya tidak terwujud, umpamanya hukuman potong tangan terhadap pencuri, hikmahnya agar harta benda terjaga, atau agar pencuri tersebut jera. Kadang kita terapkan hukuman tersebut, tetapi karena suatu sebab, maka masih saja ada harta benda yang tidak terjaga dan ada juga pencuri yang tidak jera setelah dipotong tangannya. Agar perbedaan illat dengan hikmah menjadi lebih jelas, kita berikan contoh dari kehidupan sehari-hari, yaitu illat (alasan) seorang pengemudi menghentikan kendaraanya di persimpangan jalan adalah adanya lampu merah, jika lampu hijau, maka pengemudi 46
Lihat lebih lengkapnya syarat-syarat illat dalam : Dr. Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz Fi Ushul Fiqh, ( Beirut,Muassasah Risalah,1996 ) Cet ke – 5 , hal : 204- 207, Dr.Amir Abdul Aziz, Ushul Fiqh Al Islami, ( Kairo, Dar As Salam, 1997 ) cet ke -1 , Juz I , hal 366-374, Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, ( Dar Al Fikr Al Araby, 1958 ), hal 238- 241
24
tersebut boleh menjalankan kendarannya lagi. Adapun hikmahnya adalah supaya tidak terjadi tabrakan atau kesemrawutan lalu lintas. Tetapi kadang hikmah tersebut tidak terwujud, seperti seorang pengemudi sudah berhenti ketika ada lampu merah, namun karena suatu hal, terjadi juga tabrakan atau kesemrawutan lalu lintas. Jadi hikmah suatu hukum kadang tidak terlihat dan tidak terwujud karena suatu hal. Sekarang marilah kita lihat, apakah sebenarnya 'illat ( alasan ) diwajibkannya wanita untuk memakai pakaian? Kita katakan bahwa illat ( alasan ) diwajibkan berpakaian adalah menutup aurat, dan salah satu hikmahnya adalah supaya tidak diganggu. Jadi siapa saja yang menutup auratnya sesuai dengan batasan yang telah ditentukan dalam Islam, berarti dia telah melaksanakan perintah Allah swt untuk memakai jilbab. Tetapi walaupun begitu, karena ada suatu sebab, kadang ada saja orang yang iseng dan mengganggu orang yang memakai jilbab. Jadi hikmah suatu hukum kadang tidak terlihat dan tidak terwujud karena suatu. 47 XII. Pengaburan Terhadap Pendapat Para Ulama Dalam bukunya, Quraish Shihab banyak mengaburkan pendapat para ulama dan mencampuradukkan dengan pendapat para cendekiawan yang nota benenya bukan termasuk golongan ulama. Kemudian lebih cenderung untuk mengambil pendapat para cendekiawan dari pada pendapat para ulama. Di bawah ini akan disebutkan beberapa contoh : Contoh Pertama : Quraish Shihab menulis : " Dari sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan. Kesimpulan yang diambil dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Pengkajian Islam IAI1 Syarif Hidayatullah Maret 1988 adalah : " Tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup menurut hukum Islam , dan menyerahkan kepada masing-masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan. " 48 Ada beberapa hal yang perlu diluruskan terkait dengan tulisan Quraish di atas : Pertama : Quraish menyatakan bahwa batas aurat wanita merupakan masalah khilafiyah. Sampai di sini pernyataan Quraish adalah benar. Karena kita dapatkan bahwa para ulama terbagi menjadi dua kelompok, yang pertama kelompok yang mengatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya, sedang kelompok kedua mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan bukan aurat dan boleh dibuka. Perbedaan para ulama dalam menentukan batas aurat hanya sampai sini saja. Kedua : Tetapi masalahnya adalah ketika menyatakan bahwa batas aurat wanita merupakan masalah khilafiyah, kemudian Quraish menukil kesimpulan dari Forum Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah bahwa batas aurat wanita diserahkan kepada masing-masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan. Cara penulisan seperti ini, 47
Syekh Albani juga menolak pendapat yang mengatakan bahwa illat atau alasan diwajibkannya jilbab adalah supaya tidak diganggu. ( Lihat Muhammad Nasiruddin Albani, " Jilbab al Mar’ah al Muslimah fi al Kitab wa as Sunnah," (Beirut, Dar Ibnu Hazm- Amman, Maktabah Islamiyah, 1994 ) Cet Ke -2 , hal.93 48 M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 166
25
sangatlah berbahaya, dan yang amat sangat disayangkan dari Quraish Shihab, justru gaya seperti inilah yang sering beliau lakukan. Tulisan tersebut akan berkibat fatal, paling tidak akan menyisakan dua kesan negatif : Pertama : Memberikan kesan bahwa Quraish telah mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan. Kebenaran yang dimaksud adalah bahwa batas aurat wanita merupakan masalah khilafiyah, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dan yang dimaksud kebatilan disini adalah pernyataan bahwa batas aurat wanita diserahkan kepada masingmasing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan. Kita tidak tahu, apakah Quraish Shihab melakukan hal ini secara sengaja atau karena kekhilafan, tetapi yang jelas, pernyataan dan tulisan tersebut berakibat fatal dan sangat membahayakan . Kedua : Memberikan kesan, bahwa Quraish cenderung untuk memilih pendapat bahwa batas aurat wanita diserahkan kepada masing-masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan, padahal kesimpulan yang dinyatakan oleh Forum Pengkajian IAIN Syarif Hidayatullah tersebut bukanlah salah satu pendapat ulama yang berselisih pendapat, sebagaimana yang diterangkan di atas. Tetapi kenapa justru itu yang ditampilkan oleh Quraish Shihab setelah menyebutkan bahwa jilbab adalah masalah khilafiyah ? Maka, mestinya Qurasih Shihab tidak usah resah, jika sebagian kalangan menganggap bahwa dia tidak mewajibkan jilbab, jika kenyataannya seperti ini. Contoh Kedua : Quraish Shihab menulis : ‘ 1amun persoalannya dalam hal aurat perempuan, apakah jika memang diakui ke-shahih-an kedua hadist yang dinisbahkan kepada istri 1abi Aisyah r.a. di atas, maka ia dapat dipahami seperti pemahaman al ‘Asymawi, yakni bahwa ia bersifat sementara dan sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat ? Atau bahwa itu adat masyarakat ketika itu, di mana masyarakat lain tidak terikat dengannya ? Sekali lagi, ulama dan cendekiawan berbeda pendapat.’ 49 Quraish Shihab dalam tulisan di atas menyebutkan bahwa para ulama dan cendekiawan berbeda pendapat menjadi dua kelompok di dalam menafsirkan hadist Aisyah r.a. : Kelompok Pertama : adalah kelompok yang menyatakan bahwa kandungan hadist Aisyah tersebut tidak mutlak, artinya bahwa perintah menutup aurat kecuali wajah dan telapak tangan merupakan perintah yang bersifat sementara, tidak abadi dan ini disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat setempat. Kelompok Kedua : adalah kelompok yang menyatakan bahwa hadist Aisyah ra tentang perintah untuk memakai jilbab hanyalah adat masyarakat Arab, sehingga masyarakat lain, termasuk di dalamnya masyarakat Indonesia tidak terikat dengannya, atau tidak terkena kewajiban memakai jilbab. Benarkah pernyataan Quraish Shihab di atas? Kenapa dia tidak memberikan contoh siapa saja ulama yang berpendapat demikian? Iya, karena dia tidak menemukan satu ulama-pun yang berpendapat demikian. Dua pendapat yang yang disebutkan oleh Quraish hanyalah pendapat sebagian cendekiawan, seperti Asymawi dan temantemannya. Tetapi kenapa Quraish menyebut bahwa hal itu adalah perbedaan pendapat antara Ulama dan cendekiawan? Inilah yang penulis maksudkan bahwa Quraish sering 49
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 153
26
mengaburkan pandangan para ulama dan mencampuradukkannya dengan pendapat cendekiawan yang tidak punya otoritas untuk bicara dalam masalah-masalah hukum dan agama. Contoh Ketiga : Quraish Shihab menulis : " 1amun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan setengah tangannya, bahwa mereka secara pasti telah melanggar petunjuk agama . Bukankah Al Qur'an tidak menyebut batas aurat ? Para ulamapun ketika membahasnya berbeda pendapat " 50 Tulisan Quraish Shihab di atas mengandung hal-hal yang perlu diluruskan : Pertama : Wanita-wanita yang tidak memakai kerudung, belum tentu melanggar petunjuk agama. Pernyataan Quraish seperti ini sangat berbahaya. Kenapa ? Karena wanita yang tidak memakai kerudung sangat banyak dan bermacam-macam. Wanita yang memperlihatkan lehernya, telinganya, rambutnya, betisnya, bahkan yang memperlihatkan pahanya-pun termasuk katagori orang yang tidak memakai kerudung. Siapakah yang dimaksud oleh Quraish Shihab bahwa « mereka yang tidak memakai kerudung, kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka bahwa mereka secara pasti telah melanggar petunjuk agama ? « Seharusnya Quraish menjelaskan siapa saja yang dimaksud dengan wanita yang tidak berkerudung tersebut. Karena sangat mungkin akan dipahami oleh sebagian orang bahwa orang yang menampakkan pahanya termasuk wanita yang tidak melanggar petunjuk agama. Dan penulis yakin Quraish tidak bermaksud demikian. Maka kejelian di dalam menulis sangat diperlukan. Kemudian kita bertanya kepada beliau, kalau dikatakan mereka yang tidak memakai kerudung tersebut belum tentu melanggar petunjuk agama, berarti bisa kita katakan mereka masih berpegang teguh dengan petunjuk agama. Pendapat seperti ini tentunya susah untuk diterima. Kedua : Di akhir tulisan tersebut, Quraish menutupnya dengan sebuah pertanyaan yang mengandung tasykik ( membuat keragu-raguan ) terhadap para pembaca. Beliau mengatakan : « Bukankah Al Qur'an tidak menyebut batas aurat ? Para ulamapun ketika membahasnya berbeda pendapat « Dari pernyataan tersebut, Quraish ingin menyatakan bahwa bahwa wanita muslimah tidak diwajibkan untuk berkerudung, dengan dua alasan ; yang pertama bahwa Al Qur’an tidak menyebut batas aurat. Yang kedua bahwa para ulama masih berselisih pendapat di dalamnya. Seperti dalam dua contoh sebelumnya, di sini lagi-lagi Quraish mencampur adukkan antara satu masalah dengan yang lainnya dan mengaburkan pandangan ulama tentang jilbab dan menggiringnya bahwa di antara para ulama-pun ada yang tidak mewajibkan wanita untuk memakai kerudung. Lagi-lagi juga, Quraish tidak bisa menyebutkan nama satu ulama saja yang mengatakan seperti itu. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pernyataan-pernyataan Quraish Shihab yang tidak didukung oleh penelitian ilmiah.
50
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 174
27
Contoh Keempat : Quraish Shihab menulis : “ Dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, yang membahas tentang Pemikiran dan Peradaban, dikemukakan bahwa menyangkut Jilbab, penulis menyatakan ketidakharusannya, padahal yang selama ini penulis kemukakan hanyalah aneka pendapat pakar tentang persoalan jilbab tanpa menetapkan suatu pilihan. Ini karena hingga saat itu, penulis belum lagi dapat mentarjih- kan salah satu dari sekian pendapat yang beragam. Dalam salah satu seminar di Surabaya pernah penulis “ setengah dipaksa“ untuk menyatakan pendapat final, karena sementara hadirin boleh jadi tidak mengetahui bahwa banyak ulama yang mengambil sikap tawaqquf yakni tidak atau belum memberi pendapat menyangkut berbagai persoalan keagamaan, akibat tidak memiliki pijakan yang kuat dalam memilih argumentasi beragam yang ditampilkan oleh berbagai pendapat. “ 51 Tulisan Quraish Shihab di atas mengandung beberapa kejanggalan : Pertama : Qurasih Shihab menyatakan bahwa beliau hanya mengemukakan aneka pendapat “pakar“ tentang persoalan jilbab. Seharusnya beliau menerangkan maksud dari pada “pakar“, agar para pembicara menjadi paham, sebenarnya siapa saja yang diungkap pendapat-pendapatnya oleh Quraish Shihab tentang jilbab. Karena kenyataannya, kita dapatkan dalam buku tersebut, beliau banyak mengemukakan pendapat orang-orang yang sama sekali bukan “pakar” dalam bidang hukum Islam, yang sebenarnya tidak berhak sama sekali berbicara tentang persoalam jilbab. Kedua : Kemudian beliau menyatakan bahwa pendapat tentang hukum jilbab ini beragam, artinya sangat banyak, sehingga beliau sendiri bingung dan tidak bisa mentarjih salah satu dari banyaknya pendapat tersebut. Padahal kalau kita mau jujur, para ulama hanya terbagi menjadi dua kelompok dalam menetapkan hukum jilbab : kelompok pertama berpendapat bahwa yang wajib ditutup dari wanita adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan. Sedang kelompok kedua berpendapat bahwa wanita wajib menutup seluruh tubuhnya, tanpa terkecuali. Ketiga : ketika Quraish Shihab memilih tawaqquf ( tidak mengambil pendapat apapun ) dalam masalah jilbab, beliau beralasan bahwa banyak para ulama juga melakukan tawaqquf dalam persoalan-persoalan lain. Apakah alasan itu tepat ? Tentu jawabannya adalah tidak tepat dan terkesan dicari-cari. Kenapa ? Karena seharusnya, beliau memberikan contoh dari beberapa ulama, baik yang dulu maupun yang kontemporer, yang mereka tawaquf dalam masalah jilbab, akan tetapi hal itu tidak dilakukannya, karena memang sampai sekarang, kita belum atau tidak menemukan seorang ulamapun yang tawaqquf ( tidak bisa menentukan hukum ) dalam masalah jilbab, makanya Quraish membelokkan dengan mengatakan bahwa para ulama juga pernah tawaqquf dalam berbagai persoalan agama. XIII. Tidak Merujuk pada Referensi Primer Ketika memaparkan pendapat para ulama dari keempat madzhab, Quraish Shihab tidak merujuk langsung kepada sumber aslinya, akan tetapi menukil dari buku kontemporer. Beliau menulis : " ...ada baiknya jika dikemukakan terlebih dahulu pendapat para ulama keempat madzhab populer menyangkut aurat. Dalam buku Al 51
. M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 4
28
Fiqh Wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah az –Zuhaili, persoalan aurat disimpulkan sebagai berikut : ... " 52 Tulisan di atas menunjukkan bahwa Quraish Shihab, ketika menukil pendapat empat madzhab tidak merujuk kepada buku primer setiap madzhab yang empat tersebut. Tetapi yang dilakukannya adalah merujuk langsung kepada buku salah seorang ulama kontemporer saja. Cara seperti ini tidak dibenarkan menurut metodologi ilmiah yang berlaku, khususnya di Universitas Al Azhar di mana Quraish merupakan salah satu alumninya. Mudah-mudahan ini, karena kesibukan beliau, sehingga tidak sempat untuk merujuk kepada buku-buku primer tersebut, atau mungkin karena konsentrasi beliau pada bidang tafsir, sehingga ketika menulis tentang hukum- hukum fiqh tidak terbiasa untuk merujuk kepada buku-buku madzhab. Oleh karenanya, sangat baik, kalau kita sebutkan di bawah ini pendapat para ulama keempat madzhab tentang batasan aurat dari buku primer masing-masing dari setiap madzhab. Pertama : Madzhab Hanafi : Disebutkan dalam Bahru ar-Raiq :
" Dan badan perempuan semuanya aurat kecuali wajah, telapak tangan dan dua telapak kaki. Dalilnya adalah firman Allah : ﺎﻤﻨﹾﻬ ﺭ ﻬ ﻅ ﺎ ﹶﻥ ﺇﻝﱠﺎ ﻤ ﻬ ﻥ ﺯﹺﻴ ﹶﻨ ﹶﺘ ﻴﺩﻴﺒ ﻭﻝﹶﺎ " Dan hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak ." Berkata Ibnu Abbas : “Yaitu kecuali wajah dan telapak tangannnya…dan karena kebutuhan menuntut untuk membuka wajah untuk keperluan jual beli. Dan begitu juga diperlukan untuk membuka telapak tangan untuk mengambil dan memberi, makanya tidak dimasukkan aurat. Disebutkan telapak tangan bukan tangan, sebagaimana yang disebut dalam buku " Al Muhit " , karena hal itu menunjukkan bahwa yang diboleh dibuka hanyalah telapak tangan dalam, sedang telapak tangan luar adalah aurat , sebagaimana dalam dhahir riwayat. " " …Berkata guru-guru kami : Perempuan yang masih muda dilarang untuk membuka wajahnya di depan laki-laki pada zaman kita saat ini, karena takut akan menimbulkan fitnah. Yang dilarang ini termasuk rambut yang berlebihan … " " Pengarang buku mengecualikan telapak kaki, hal itu karena sangat menyulitkan khususnya bagi para perempuan-perempuan faqir. Dalam masalah ini masih diperselisihkan apakah ini benar riwayat dari Abu Hanifah dan para guru-guru. ….Tetapi dalam buku " Syarh Al Muniyah " dirajihkan bahwa kedua telapak kaki tersebut adalah tetap aurat secara mutlak, karena banyaknya hadist-hadist yang menyebutkan hal itu, diantaranya adalah apa yang diriwayatkan Abu Daud dan al Hakim dari Ummu Salamah bahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah saw : . ﺎﻬﻤﻴ ﺩ ﺭ ﹶﻗ ﻭﻅﻬ ﻴ ﹶﻐﻁﱢﻲ ﹸ ﺎ ﹺﺒﻐﹰﺎﻉ ﺴ ﺩﺭ ﻥ ﺍﻝ ل ﺇﺫﹶﺍ ﻜﹶﺎ َ ﹶﻓﻘﹶﺎﺍﺭﺎ ﺇﺯﻬﻋﹶﻠﻴ ﺱ ﻭﹶﻝﻴ ﺎ ﹴﺭﺨﻤ ﻭ ﻉ ﹴﺩﺭ ﻲَﺃ ﹸﺓ ﻓﻤﺭ ﺼﻠﱢﻲ ﺍﻝﹾ َﺃ ﹸﺘ Apakah seorang perempuan boleh shalat dengan memakai baju dan kerudung, sedang dia tidak memakai sarung ? Maka Rasulullah saw menjawab : Jika baju tersebut panjang, maka akan menutup kedua telapak kakinya. ( HR Abu Daud dan Baihaqi dalam Sunan Kubra : 2/233, Daruquthni : 2/62 , )” 53 52
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hal 109
53
Ibnu Nujaim, Bahru Ar Raiq Syarh Kanzu Al Daqaiq , ( Beirut , Dar Al Kitab Al Islami ) Juz I , Hlm : 284-285 . Bisa dirujuk juga : Muhammad Al Babruty, 'Inayah Syarhu Al Hidayah, ( Beirut , Dar Al Fikr ) Juz I , Hlm : 259 , Mula Al Hasru, Durar Al Hukkam Syar Ghurar Al Ahkam, ( Dar Ihya Al Kutub Al Arabiyah ) Juz I , Hlm : 59
29
Nukilan di atas secara tidak langsung, telah membantah apa yang ditulis oleh Quraish Shihab bahwa kaki wanita bukanlah aurat yang dia nisbatkan sebagai pendapat Abu Hanifah. Quraish menulis : "Dalam satu riwayat yang dinisbahkan kepada Abu Hanifah dinyatakan bahwa menurutnya kaki wanita bukanlah aurat dengan alasan bahwa ini lebih menyulitkan dibandingkan dengan tangan, khususnya wanita-wanita miskin di pedesaan yang (ketika itu) seringkali berjalan tanpa alas kaki untuk memenuhi kebutuhan mereka" 54. Tulisan Quraish Shihab di atas mengandung beberapa kesalahan : Pertama : Beliau menukil pendapat Abu Hanifah bukan dari buku madzhab Abu Hanifah, tetapi langsung mengambil dari buku kontemporer yaitu " Tafsir Ayat Ahkam " yang ditulis oleh Muhammad Ali As-Sais, sehingga terjadi banyak kejanggalan dan kesalahan. Kedua : Beliau menyebutkan bahwa “ kaki wanita “ bukanlah aurat. Ini berarti bahwa semua bagian dari kaki wanita bukanlah aurat, termasuk paha dan betis wanita bukanlah aurat, karena termasuk bagian dari kaki. Pernyataan ini tentunya tidak bisa diterima oleh siapapun juga yang mengaku dirinya muslim. Walaupun mungkin bukan itu yang dimaksud oleh Quraish Shihab, tetapi ketidaktelitian beliau di dalam memilih katakata menyebabkan pemahaman yang rancu dan membingungkan. Mestinya beliau menulis “ telapak kaki wanita “ sebagai ganti dari “ kaki wanita “ . Ketiga : Seandainya beliau telah mengakui kesalahannya dan memperbaiki tulisannya tersebut, yaitu dengan menulis “ telapak kaki wanita “, walaupun demikian, beliau masih terjebak dalam kesalahan berikutnya, yaitu bahwa yang benar dari riwayat Abu Hanifah bahwa telapak kakipun aurat, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Nujaim salah seorang tokoh madzhab Hanafiyah. Ibnu Nujaim menulis : “Tetapi dalam buku " Syarh Al Muniyah " dirajihkan bahwa kedua telapak kaki tersebut adalah tetap aurat secara mutlak, karena banyaknya hadist-hadist yang menyebutkan hal itu. “55
Madzhab Maliki : Berkata Ibnu al Arabi Al Maliki dalam " Ahkamul Qur'an " :
" Adapun aurat perempuan adalah semua badannya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Dan di dalam buku-buku hadist disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda : َ َ تقبل بخمار ُ َ ْ ُ ال ٍ َ ِ ِ حائض ﱠإال ٍ ِ َ ُ صالة " Tidak akan diterima shalat seorang wanita yang sudah haidh ( baligh ) kecuali dengan khimar " ( HR Timidzi no 377 ) " Dan ini adalah batasan aurat wanita merdeka, sebagaimana diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah saw . ﺎﻬﻤﻴ ﺩ ﺭ ﹶﻗ ﻭﻅﻬ ﻴ ﹶﻐﻁﱢﻲ ﹸ ﺎ ﹺﺒﻐﹰﺎﻉ ﺴ ﺩﺭ ﻥ ﺍﻝ ل ﺇﺫﹶﺍ ﻜﹶﺎ َ ﹶﻓﻘﹶﺎﺍﺭﺎ ﺇﺯﻬﻋﹶﻠﻴ ﺱ ﻭﹶﻝﻴ ﺎ ﹴﺭﺨﻤ ﻭ ﻉ ﹴﺩﺭ ﻲَﺃ ﹸﺓ ﻓﻤﺭ ﺼﻠﱢﻲ ﺍﻝﹾ َﺃ ﹸﺘ Apakah seorang perempuan boleh shalat dengan memakai baju dan kerudung, sedang dia tidak memakai sarung ? Maka Rosulullah saw menjawab : Jika baju tersebut panjang, maka akan menutup kedua telapak kakinya. ( HR Abu Daud, Baihaqi dalam Sunan Kubra : 2/233, Daruqutni 2/62 , )” 56
54
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hal 48 Ibnu Nujaim, Bahru Ar Raiq Syarh Kanzu Al Daqaiq , ( Beirut , Dar Al Kitab Al Islami ) Juz I , Hlm : 284-285 . 56 Ibnu al Arabi al Maliki, Ahkamul al Qur'an , ( Beirut, Dar Kutub Ilmiyah ) , Cet ke I, hal. 309-310 55
30
Berkata Ibnu Juzzai di dalam al Qawanin al Fiqhiyah :
“ Adapun wanita merdeka maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangan. “ 57
Madzhab Syafi’i : Berkata Imam Syafi'I – rahimahullah – di dalam " Mukhtashor al Muzani " :
" Bagi perempuan merdeka, hendaknya menutup auratnya dalam sholat sampai tidak kelihatan dari anggota tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. " 58
Berkata Imam al Mawardi di dalam bukunya " al-Hawi al- Kabir " :
" Untuk perempuan, seluruh badannya adalah aurat dalam sholat, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya sampai akhir dari pergelangan tangannya… dalilnya adalah firman Allah swt : ﺎﻤﻨﹾﻬ ﺭ ﻬ ﻅ ﺎ ﹶﻥ ﺇﻝﱠﺎ ﻤ ﻬ ﻥ ﺯﹺﻴ ﹶﻨ ﹶﺘ ﻴﺩﻴﺒ ﻭﻝﹶﺎ " Dan hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak ." Berkata Ibnu Abbas r.a. : maksudnya adalah wajah dan kedua telapak tangan. “59
Di tempat yang lain beliau juga menulis :
" Adapun aurat ( perempuan ),maka di bagi mejadi dua : kecil dan besar. Adapun aurat yang besar yaitu seluruh badan ( perempuan ), kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. " “60
Berkata Khotib Syarbini di dalam bukunya “ Mughni al Muhtaj “ :
“ Adapun aurat perempuan yang merdeka adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya luar dan dalam, dari ujung jari sampai pergelangan tangan. Dalilnya adalah firman Allah swt : ﺎﻤﻨﹾﻬ ﺭ ﻬ ﻅ ﺎ ﹶﻥ ﺇﻝﱠﺎ ﻤ ﻬ ﻥ ﺯﹺﻴ ﹶﻨ ﹶﺘ ﻴﺩﻴﺒ ﻭﻝﹶﺎ " Dan hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak ." Berkata Ibnu Abbas dan Aisyah r.a. : maksudnya adalah wajah dan kedua telapak tangan. “61
Madzhab Hambali : Berkata Ibnu Quddamah di dalam kitab : « Al Mughni « :
" Tidak ada perselisihan di dalam madzhab ( Hambali ) bahwasanya dibolehkan bagi perempuan membuka wajahnya dalam sholat. Dan bahwasanya tidak dibolehkan baginya untuk membuka selain wajah dan kdua telapak tangannya ....Berkata sebagian dari ulama kita bahwa perempuan semua badannya adalah aurat, karena ada hadist diriwayatkan dari nabi Muhammad saw bahwasanya bliau bersabda : المرأة عورة " Perempuan itu semuanya aurat " ( Hadist riwayat Tirmidzi, dan berkata : hadist ini adalah hadist hasan shohih ) " 62
57
Ibnu Juzzai, al Qawanin al Fiqhiyah, ( Kairo, Dar al Hadits, 2005 ) hal. 46 Al Muzani, Mukhtashor al Muzani 'ala al Umm, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1413-1993 ) Cet Ke – 1, hal : 19 59 Al Mawardi, al Hawi al Kabir, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1414-1994 ) Juz II , hal : 167 60 Al Mawardi, al Hawi al Kabir, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1414-1994 ) Juz II , hal : 170 61 Muhammad Khotib As Syarbini, Mughni al Muhtaj, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1994 ) Juz I , hal : 397 62 Ibnu Qudamah, Al Mughni ,( Beirut, Dar al Kitab al Araby, ) Juz I , hlm : 637 58
31
Madzhab Dhahiriyah : Berkata Ibnu Hazm dalam « Al Muhalla « : " Adapun perempuan , sesungguhnya Allah berfirman : " Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka « sampai firman Allah swt : « dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. ». Dan ini merupakan nash yang menunjukkan kewajiban untuk menutup aurat, leher dan dada. Dan di dalamnya terdapat nash yang menunjukkan kebolehan untuk membuka wajah . dan tidak mungkin ditafsirkan selain itu. Dan firman Allah : " dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.. " merupakan nash yang menunjukkan bahwa dua kaki dan betis merupakan sesuatu yang tersembunyi , dan tidak halal untuk ditampakkan. " 63
XIV. Tidak Seimbang Dalam Penukilan. Dalam bukunya, Quraish tidak adil di dalam menyebut berbagai pendapat yang ada. Bahkan terkesan, bahwa beliau lebih cenderung kepada pendapat yang tidak mewajibkan jilbab, yang dalam hal ini diwakili oleh cendekiawan kontemporer. Kecenderungan ini sangat kentara ketika beliau menukil pendapat para ulama dari empat madzhab yang populer, bahkan pendapat mayoritas ulama dari dulu hingga sekarang yang jumlahnya tidak terhitung lagi, baik yang mewajibkan untuk menutup semua tubuh wanita tanpa kecuali, maupun yang membolehkan untuk membuka wajah dan telapak tangannya saja serta dalil-dalilnya dari Al Qur'an dan Sunnah dan lain-lainnya. Itu semua hanya ditulis dalam 62 halaman saja. Sedangkan, ketika beliau menukil pendapat beberapa gelintir cendekiawan yang tidak mewajibkan jilbab - yang dalam hal ini diwakili oleh dua orang saja- , yaitu : Syahrur dan Asymawi, ditulis sebanyak 49 halaman, padahal keduanya bukanlah ulama, yang tidak berhak sama sekali untuk berbicara masalah hukum dengan segala rinciannya. Seakan-akan Quraish membandingkan keilmuan dua orang tersebut dengan keilmuan mayoritas ulama yang dulu, dan yang sekarang, yang mungkin jumlahnya sampai jutaan orang. Yang unik dari Quraish Shihab, adalah ternyata beliau sendiri mengakui bahwa Syahrur di dalam memaparkan pandangannya tentang jilbab tidak menggunakan dasar dalil, kecuali subyektitas belaka. Quraish Shihab menulis : " Kelompok pertama , mengemukakan pendapatnya tanpa dalil keagamaan ataupun kalau ada, maka itu sangat lemah lagi tidak sejalan dengan kaidah-kaidah dan disiplin agama " 64. Beliau juga menulis : " Pendapat-pendapat di atas mereka kemukakan tanpa dalil kecuali subyektifitas mereka " 65 XV. Sangat Sedikit Menggunakan Referensi Fiqh Yang sangat disayangkan dari Quraish Shibab dalam penulisan buku : “Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer” ini bahwa beliau tidak banyak menggunakan referensi primer ( utama ), 63
Ibnu Hazm, Al Muhalla b ial Atsar, Beirut, Dar Al Fikr, juz II, hlm : 247 M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hal 117 65 M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hal 118 64
32
terutama buku-buku fiqh madzab empat yang telah diakui oleh umat Islam, seperti madzhab Abu Hanifah, madzhab Imam Malik, madzhab Imam Syafi’i dan madzhab Imam Ahmad, padahal tema besar dan judul yang diangkat dalam bukunya adalah seputar batasan aurat perempuan dan hukum memakai jilbab. Seharusnya, - paling tidak sebagian besar referensi yang digunakan adalah referensi fiqh, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Akan tetapi hal itu tidak kita dapatkan dalam bukunya Quraish di atas. Yang ada hanyalah satu buku fiqh kontemporer, yaitu : al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, karya DR. Wahbah Zuhaili ( hlm : 109 ), satu buku fiqh madzhab Maliki, yaitu : Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd ( hlm : 105) masing-masing hanya dikutip satu kali saja. Kemudian empat buku tafsir hukum, dengan rincian dua buku klasik, yaitu : Ahkamul Qur’an karya Ibnu Al Araby ( hlm : 56, 79 ), Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an, karya Imam Qurtubi ( hlm 71, 79, 132 ), dan dua buku kontemporer, yaitu : Tafsir Ayat Ahkam, karya Muhammad Ali As Sais ( hlm ; 48, 71, 134 ), Rawai’ Al Bayan, karya Muhammad Ali Shobuni ( hlm : 91 ) Kalau kita melihat referensinya saja, tentunya para pembaca akan mengerti sejauh mana pembahasan hukum yang dituangkan dalam buku tersebut. Tentunya tidak bisa mendalam dan data-data yang diungkapkan-pun tidak valid, sebagaimana yang sudah penulis jelaskan pada tulisan sebelumnya. Hal-hal seperti ini, mestinya bisa dihindari oleh Quraish Shihab. XVI. Tidak Cermat dan Tidak Teliti Dalam Penukilan. Kadang-kadang Quraish Shihab tidak cermat dan tidak teliti di dalam menukil perkataan para ulama. Penulis juga kurang tahu apakah hal itu memang karena kurang telitinya beliau di dalam menulis ataukah ada unsur kesengajaan, wallahu a’lam. Tapi yang jelas kesalahan yang dilakukan oleh Quraish Shihab di dalam menukil, menerjemahkan dan menyimpulkan dari perkataan ulama akan berakibat fatal bagi kalangan umum. Di bawah ini beberapa contoh dari ketidaktelitian Quraish di dalam menukil perkataan para ulama : Contoh Pertama : Beliau menulis : "Memikirkan bukan menganjurkan untuk menerapkannya— karena betapapun -- seperti tulis Imam al-Qurthubi sebagaimana akan penulis kutip selengkapnya nanti—memakai jilbab dengan hanya membuka wajah dan tangan, adalah pandangan yang lebih baik dalam rangka kehati-hatian" 66 Tulisan Quraish di atas mengandung beberapa hal yang perlu dicermati : Pertama : Quraish tidak menyebutkan secara mendetail dimana Imam Qurtubi menyatakan hal itu, karena Imam Qurtubi mempunyai lebih dari satu buku. Alangkah baiknya kalau Quraish menyebutkan referensinya secara lebih mendetail dengan menyebut judul buku dan halamannya, agar pembaca mudah untuk merujuk buku tersebut. Kedua : Quraish tidak cermat dan kurang teliti dalam penukilan. Setelah diteliti, didapatkan bahwa Imam Qurtubi menyatakan hal itu dalam tafsirnya yang bernama : " Al Jami' li Ahkam Al Qur'an " , dalam tafsir tersebut Imam Qurtubi menulis : 66
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hal 50
33
" Pendapat ini lebih kuat atas dasar kehati-hatian dan memperhatikan kebejatan manusia, maka seorang perempuan tidak boleh menampakkan perhiasannya kecuali yang nampak yaitu wajah dan telapak tangannya " 67
Ketiga : Ketidakcermatan Quraish dalam menukil pendapat Imam Qurtubi berakibat fatal. Karena Quraish menyebutkan bahwa Imam Qurtubi membolehkan seorang perempuan membuka wajah dan tangannya. Padahal sebagaimana penulis nukilkan dari tafsirnya sebagaimana tersebut di atas, ternyata Imam Qurtubi hanya membolehkan seorang perempuan membuka wajah dan telapak tangannya saja ( bukan tangan ). Di sini harus dibedakan antara tangan dengan telapak tangan. Kalau seorang awam membaca tulisan Quraish tersebut, mungkin dia akan langsung memakai baju lengan pendek, dengan alasan bahwa tangan bukanlah aurat. Mudah –mudahan Quraish memahami kesalahan ini, kemudian mau memperbaikinya. Contoh Kedua : Selanjutnya Quraish menulis :"Pakar hukum dan tafsir Ibn al-Arabi sebagaimana dikutip oleh Muhammad Ath-Thahir Ibn 'Asyur, berpendapat bahwa hiasan yang bersifat khilqiyah/melekat adalah sebagian besar jasad perempuan, khususnya wajah, kedua pergelangan tangannya (yakni sebatas tempat penempatan gelang tangan) kedua siku sampai dengan bahu, payudara, kedua betis dan rambut.Sedangkan hiasan yang diupayakan adalah hiasan yang merupakan hal-hal yang lumrah dipakai perempuan seperti perhiasan, perendaan pakaian,dan memperindahnya dengan warna-warni, demikian juga pacar, celak, siwak, dan sebagainya. Hiasan khilqiyah yang dapat ditoleransi adalah hiasan yang bila ditutup mengakibatkan kesulitan bagi wanita seperti wajah, kedua tangan dan kedua kaki, lawannya adalah hiasan yang disembunyikan/harus ditutup seperti bagian atas kedua betis, kedua pergelangan, kedua bahu, leher dan bagian atas dada dan kedua telinga." 68
Ada beberapa catatan terhadap nukilan Quraish di atas : Pertama : Dalam menukil perkataan ulama, Quraish tidak merujuk langsung kepada referensi primer, tetapi Quraish hanya menggunakan referensi sekunder, padahal referensi primer itu ada dan sangat terkenal, yaitu " Ahkam Al Qur'an " karya Ibnu Al Arabi. Akibatnya kadang yang disebutkan oleh referensi sekunder itu tidak sama dengan apa yang terdapat dalam referensi primer. Kedua : Quraish tidak cermat dan kurang teliti dalam penukilan. Karena setelah diteliti ternyata apa yang dinukil oleh Quraish berbeda dengan apa yang terdapat dalam buku aslinya " Ahkam Al Qur'an ". Dalam buku tersebut Ibnu Al Araby menyatakan bahwa yang boleh nampak adalah wajah dan telapak tangan 69( bukan tangan ) sebagaimana yang dinukil oleh Quraish. Kedua istilah tersebut harus dibedakan.
67
Al- Qurtubi, Al Jami' li Ahkam Al Qur'an, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah ) 1993 M, juz XII, hlm : 152 68 M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hal 70 69 Silahkan dirujuk Ibnu al Arabi al Maliki, Ahkamul Qur'an , ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, Cet Ke I ) Juz III, hlm : 381-382
34
Contoh Ketiga : Quraish menulis : "Dalam satu riwayat yang dinisbahkan kepada Abu Hanifah dinyatakan bahwa menurutnya kaki wanita bukanlah aurat dengan alasan bahwa ini lebih menyulitkan dibandingkan dengan tangan, khususnya wanita-wanita miskin di pedesaan yang (ketika itu) seringkali berjalan tanpa alas kaki untuk memenuhi kebutuhan mereka" 70. Tanggapan terhadap tulisan ini, sudah penulis ungkapkan pada halaman sebelumnya. Yang pada intinya Quraish telah melakukan beberapa kesalahan : Pertama : Beliau menukil pendapat Abu Hanifah dari buku kontemporer sehingga terjadi banyak kejanggalan dan kesalahan. Kedua : Beliau menyebutkan bahwa “ kaki wanita “ bukanlah aurat. Padahal yang dimaksud adalah telapak kaki. Ini menunjukkan ketidakcermatan beliau di dalam menerjemahkan. Ketiga : Bahwa yang benar dari riwayat Abu Hanifah bahwa telapak kakipun aurat.
Daftar Pustaka
Abdul Aziz Azzam, Al Qawa’id Al Fiqhiyah ( Kairo : Dar Al Hadist, 2005 ) 2. Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz Fi Ushul Fiqh, ( Beirut,Muassasah Risalah, 1996 ) Cet ke – 5 , 3. Abdurrahman Ibn Nashir As Sa'di, Taisir Al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam Al Manan, ( Unaizah, Markaz Sholeh Al Tsaqafi, 1992 ) Cet ke- II. 4. Ahmad Fahmi Abu Sunnah, al Urf wa al ‘Adah fi Ra’yi al Fuqaha ( Kairo, Dar al Bashoir, 2004 ) Cet ke- 1 5. Al Ghozali, al-Mustashfa, (Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyah,1993 ), Cet Ke- I 6. Al Mawardi, Al Hawi Al Kabir, ( Beirut, Dar Al Kutub Al-Ilmiyah, 1994 ) Cet Ke- I 7. Al Muzani, Mukhtashor al Muzani 'ala al Umm, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1413-1993 ) Cet Ke – 1, 8. Al Qurtubi, Al Jami' li Ahkam Al Qur'an, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1993 ) 9. Amir Abdul Aziz,, Ushul Fiqh Al Islami , ( Kairo, Dar As Salam, 1997 ) Cet ke1 10. An Nawawi, Al Majmu' Syarhu al Muhadzab, ( Al Muniriyah ) 11. An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, ( Kairo, Daar Ar Royyan li at Tutast ) t.t. 1.
70
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hal 48
35
12. As Sakhowi, Al Qaul Al Badi’ Fi Fadhli As Shalah Ala Al Habib As Syafi’, Dar Ar Royan , Hal 195 . 13. As Suyuti, Al Asybah wa An-,adhoir, ( Beirut, Dar al-Kutub aI-Ilmiyah , 1983 ) Cet Ke – 1, 14. Badruddin Zarkasy, Bahru al-Muhith , ( Dar al Kutby ) , 15. Ibnu al Arabi al Maliki, Ahkamul Qur'an , ( Beirut, Dar Kutub Ilmiyah ) , Cet Ke I 16. Ibnu Badran, Al-Madkhal Ila Madhab Imam Ahmad ( Kairo, Dar Al Aqidah, 2001 ) Cet Ke -1 17. Ibnu Hajar Al Atsaqalani , Fathul Bari ( Kairo, Dar Ar Royan, 1986 ) Cet ke – 1. 18. Ibnu Hajar Al Atsqalani, Tabyiin Al Ajab Bima Warada Fi Fadli Rajab, ( Muassah Qurtubah ) 19. Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfah al-Muhta fi Syarhi al Minhaj, ( Dar Ihya turats al Araby 20. Ibnu Hazm, Al Muhalla b ial Atsar ( Beirut, Dar Al Fikr) 21. Ibnu Juzzai, al Qawanin al Fiqhiyah, ( Kairo, Dar al Hadits, 2005 ) 22. Ibnu Nujaim dalam Al Asybah wa An ,adhoir, ( Kairo, Al Maktabah At Taufiqiyah, t.t. ) 23. Ibnu Nujaim, Bahru ar Raiq Syarh Kanzu al Daqaiq , ( Beirut , Dar Al Kitab Al Islami ) 24. Ibnu Qayyim, I’lamu Al Muwaqi’in, 25. Ibnu Qudamah, Al Mughni ,( Dar Ihya al Turast al Arabi ) 26. Ibnu Qudamah, Al Mughni ,( Beirut, Dar al Kitab al Araby ) 27. Ibnu Qudamah, Raudhatu an-,adhir wa Junnatu al-Munadhir, ( Madinah, Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, t.t. ) 28. Ibnu Rajab Al Hambali, " Fadhlu Ilmu Salaf 'Ala Ilmu Kholaf " , ( Kairo, Al Maktabah Al Islamiyah – Dar Ahlu As Sunnah, 1996 ) Cet Ke – 1. 29. Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 30. Izzuddin bin Abdissalam As Salami dalam Qowa’id Al Ahkam fi Masholihil Anam ( Kairo, Dar Al Bayan Al Arabi , 2002) Juz II, 31. M . Quraish Shihab, Rasionalitas Al Qur’an, Studi Kritis atasTtafsir Al Manar, ( Jakarta, Lentera Hati, 1996) Cet Ke – 1 32. M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, ( Jakarta, Lentera Hati, 2004 ) Cet Ke- I 33. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, ( Dar Al Fikr Al Araby, 1958 ) 34. Muhammad al Babruty, 'Inayah Syarhu al Hidayah, ( Beirut , Dar al Fikr ) 35. Muhammad al Khotib As Syarbini, Mughni al Muhtaj, ( Beirut, Daral Kutub al Ilmiyah, 1994 ) 36. Muhammad bin Ahmad As Safarini, Ghidhau al Albab fi Syarh Mandhumat al Adab, ( Muassasah Al Qurtubah ) 37. Muhammad bin Ismail Bukhari, ash-Shahih , dicetak bersama Fathul Bari ( Kairo, Dar Ar Royan, 1986 ) Cet ke – 1 38. Muhammad bin Shihabudin Ar Romli, ,ihayah al Muhtaj ila Syarh al Minhaj, ( Beirut, Dar al Fikr )
36
39. Muhammad Ismail Muqadim, Ar Radd Ilmi ‘Ala Kitab Tadzkir Ashab Bi Tahrim An ,iqab, ( Iskandariyah, Dar Al Iman, 2003 ) , Cet Ke 6. 40. Muhammad Nasiruddin Albani, Jilbab al Mar’ah al Muslimah fi al Kitab wa as Sunnah, (Beirut, Dar Ibnu Hazm- Amman, al Maktabah al Islamiyah, 1994 ) Cet Ke -2 , 41. Muhammad Nu'aim Sa'I, Haditsatu ,ew York, ( Kairo, Dar As Salam, 2005 ) Cet Ke – I 42. Mula Al Hasru, Durar al Hukkam syar Ghurar al Ahkam, ( Dar Ihya al kutub Al Arabiyah ) 43. Prof. Dr. Abdullah bin Umar bin Muhammad Al Amien As Syenkity, ,adhrat Wa Tafahush fi Ar Rukhsah Wa at Tarakhus, ( Dar At Tiba’ah Al Islamiyah, 1994 ) Cet Ke- 1 44. Sa’dudin As Sayid Muhammad Sholeh, Al Masuniyah fi Atswabiha al Mu’ashirah, ( Jeddah, Maktabah As Shohab, 1993) Cet- 1, 45. Salman Fahd Audah, Al Hiwar Al Hadi’ ma’a Muhammad Ghazali, ( Riyadh, Dar Al Hijrah, 1410 H ) Cet ke – 3 46. Usamah Muhammad As Sholabi, Ad Durar Al Bahiyah Fi Ar Rukahs As Syar’iyah, Ahkamuha Wa Dhawabituha ( As Syariqah, Maktabah As Sahabah, 2003 ) Cet- 1,
DAFTAR ISI : 1. 2. 3. 4. 5.
Muqaddimah 1 Tidak Semua Ilmu Dan Informasi Boleh Disebarluaskan 3 Tidak Semua Perbedaan Pendapat Bisa Diterima 6 Perbedaan Antara Ulama Dan Cendekiawan 8 Kemudahan Dalam Islam Bukan Berarti Meninggalkan Kewajiban Atau Memilih Pendapat Yang Nyleneh 9 6. Hukum Menjamak Shalat Tanpa Sebab . 11 7. Larangan Untuk Mencari Pendapat Ulama Yang Nyleneh 13 8. Tidak Mendukung Pendapat Para Ulama 19 9. Hubungan Budaya Setempat Dengan Teks Al Qur'an Dan Hadist 20 10. Tidak Boleh Menjadikan Perbuatan Sebagian Orang Sebagai Dasar Hukum 23 11. Harus dibedakan antara Illat ( Alasan ) dan Hikmah 25 12. Pengaburan Terhadap Pendapat Para Ulama 27 13. Tidak Merujuk Pada Referensi Primer. 30 14. Tidak Seimbang Dalam Penukilan. 32 15. Sangat Sedikit Menggunakan Referensi Fiqh. 34 16. Tidak Cermat dan Tidak Teliti Dalam Penukilan. 34 17. Tidak Merujuk Kepada Referensi Yang Tersedia. 35 18/ Daftar Pustaka 37
37
38