31 Agustus 2005 Potensi Muslimah Muslimah Berpotensi
Orang tua kita yang telah menyekolahkan anaknya mencapai tingkat pendidikan tinggi, dalam menanggapi putrinya yang lebih memilih aktif di rumah setelah berumah tangga, biasanya akan berkomentar -“Ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau ilmu yang telah didapat tidak
diamalkan,
sayang
kan
kalau
kuliah
sampai
S2
tapi
potensinya
tidak
dikembangkan.”- atau apa pun yang sejenis dengan kalimat itu. Banyak masukanmasukan yang intinya mengharapkan wanita untuk berkarier, diterima kalangan muslimah yang sekolah sampai tingkat tinggi, termasuk pada sebagian mereka yang sudah menikah. Meski
kalangan
suami
biasanya
berpendapat
bahwa
tidak
masalah
muslimah
berpendidikan setinggi-tingginya jika kemudian pusat aktivitasnya tetap di rumah, sebagai istri dan ibu yang baik. Sebagian muslimah yang menempuh pendidikan tinggi beralasan bahwa ia melakukan hal itu agar mempunyai wawasan yang luas serta melatih daya pikir kritisnya. Hal ini sedikit banyak kelak akan bermanfaat untuk kepentingan anak dan keluarga. Tetapi, tidak semua muslimah beralasan sama. Mereka yang berbeda mempunyai pertimbangan lain, misalnya untuk pemanfaatan dan pengembangan ilmu yang telah didapat, pengembangan potensi diri, sekadar menambah penghasilan, atau lebih jauh lagi untuk kepentingan dakwah. Selain itu, banyak juga yang alasannya demi gengsi dan ikutikutan emansipasi salah kaprah. Ini semua berkaitan dengan potensi muslimah – muslimah berpotensi dan sejauh mana kesempatan untuk mengembangkan potensi itu ada. Mungkin bagi yang belum menikah, dia akan memanfaatkan potensi yang dimilikinya setinggi-tingginya, karena mereka sadar ketika memasuki biduk rumah tangga, semua akan dipertimbangkan bersama-sama dengan suami.
Halaman 1 dari 6
Dalam hal ini perlu diperhatikan adanya suatu perbedaan berdasarkan kebiasaan yang telah ada, antara muslimah yang berdakwah kepada sesama muslimah lain di masyarakatnya (biasanya pusat aktivitasnya tetap di rumah, intinya dakwah, dan tidak mencari materi) dengan muslimah yang bekerja mencari materi (biasanya pusat aktivitasnya di luar rumah, intinya untuk mendapat materi meski mungkin diselipkan untuk berdakwah, dan jam kerjanya pasti sekitar 5-8 jam sehari). Patut direnungkan secara mendalam, bahwa ketika seorang muslimah yang sudah berkeluarga keluar rumah untuk bekerja, maka dia akan melepaskan sebagian kewajiban terhadap suami dan anaknya. Perhatiannya akan terbagi-bagi. Karenanya banyak di antara para suami yang menginginkan potensi yang dimiliki sang istri dikembangkan di rumah sehingga anak dan keluarga dapat terawasi. Rasanya, inilah yang paling ideal, jika potensi muslimah dapat termanfaatkan secara optimal sementara kewajiban sebagai istri dan ibu di rumah juga dapat dipenuhi. Tetapi bagaimana jika muslimah memang berkeinginan mencari materi? Pada prinsipnya adalah sejauhmana dia telah mengenal dirinya,
potensi yang dimiliki dan
kesempatan yang ada. Adanya keseimbangan tanpa mengabaikan kewajiban yang utama adalah lebih mulia. Disini perlunya komunikasi dan komitmen bersama sehingga apa yang telah diputuskan akan menjadi tanggung jawab bersama dan saling menghargai. Dalam makalahnya yang berjudul ‘Peranan Ibu Muslimah Dalam Membangun Rumah Tangga’, KH. Drs. Jalaludin Asyatiby mengatakan bahwa Islam telah mengatur membahagiakan manusia (pria dan wanita) termasuk mewajibkan pria mencari nafkah dan bukan pada wanita. Jika wanita ingin bekerja, hal itu boleh-boleh saja dan hukum asalnya mubah. Akan tetapi wanita bekerja harus memenuhi syarat-syarat bahwa pekerjaannya halal , menutup aurat, menjaga akhlak, tidak berbuat maksiat, dan diijinkan oleh suami. Dasar hukum bolehnya wanita bekerja ini tidak boleh dirubah menjadi wajib atau haram, sehingga wanita hanya boleh bekerja setelah menyelesaikan kewajibankewajibannya selaku istri atau ibu. Berdosalah seorang yang mengejar mubah dengan meninggalkan atau menelantarkan yang wajib.
Halaman 2 dari 6
Kembali kepada masalah pemberdayaan potensi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (terbitan Balai Pustaka 1995), potensi adalah kemampuan; kekuatan; kesanggupan; daya yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan. Potensi muslimah dapat diartikan menjadi segala kemampuan, kekuatan, kesanggupan, dan daya dalam bentuk atau bidang apa saja yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan. Setiap manusia diciptakan dengan memiliki potensi, sekecil atau sebesar apa pun potensi itu. Jika manusia mengabaikan potensi yang ia miliki, tidak memanfaatkan potensi itu sesuai pada jalan kebenaran, maka sebenarnya ia tidak bersyukur nikmat atas anugerah Pencipta kepadanya. Dan barang siapa yang tidak bersyukur nikmat atas anugerah Allah, berhati-hatilah akan kemungkinan ia jatuh kepada orang-orang yang kufur nikmat. Perhatikan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 30 yaitu “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi,” dan “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Ini bukti bahwa manusia diciptakan dengan membawa kemampuan dan kekuatan untuk menjadi pemimpin, minimal bagi dirinya sendiri. Dan manusia itu jelas terdiri dari wanita dan pria. Perhatikan juga ayat ke-7 surat Ibrahim, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” Potensi erat sekali dengan pengetahuan (knowledge) yang didapat sejak lahir baik secara formal maupun non formal. Sesuai dengan usia perkembangannya maka ia akan berpikir untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Bukankah Rasulullah menyuruh kita untuk menuntut ilmu mulai dari buaian sampai ke liang lahat? Ini menunjukkan bahwa mencari ilmu itu seumur hidup. Dan Islam mengajarkan kita untuk bersikap tawazun, yaitu menjaga keseimbangan antara jasad, akal dan ruh. Jika kita memberikan porsi yang sesuai diantara ketiganya, maka hidup akan terasa nikmat secara lahir maupun batin. Agar muslimah tidak dinyatakan egois atau bahkan melanggar kodrat yang Allah berikan kepadanya, muslimah yang ingin mengetahui dan merealisasikan kekuatan, kemampuan dan posisinya, maka ia harus terlebih dahulu memahami dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya hidup di dunia.
Halaman 3 dari 6
Seperti yang dikemukakan oleh Mahmud Muhammad Al Jauhari dalam bukunya yang berjudul Divisi Wanita Ikhwanul Muslimin, Peran dan Sejarah Perjuangannya (penerbit Al I’tishom 2001), kewajiban muslimah meliputi hal berikut ini. I.
Kewajiban Terhadap Agamanya Dia wajib beriman kepada Allah SWT yang diwujudkan dengan menggantungkan segala harapannya hanya kepada Allah dalam segala kondisi dan kebutuhan. Dia wajib beriman kepada hari akhir sehingga ia akan bekerja sekuat tenaga untuk mendapat balasan di akhirat kelak. Dia wajib menjaga segala perintah dan larangan yang diturunkan oleh Allah.
II.
Kewajiban Terhadap Akalnya Dia harus membekali akalnya dengan pengetahuan yang benar sehingga akan mantap dalam bertindak. Kemudian membekali dengan sejarah Islam yang mengandung keteladanan. Juga tak lupa membekali dirinya dengan pengetahuan modern seperti sosial kemasyarakatan, kesehatan, ekonomi, politik dan lainnya. Sehingga apabila dia telah mengetahui akan banyaknya ilmu-ilmu Allah itu, ia akan tambah takut dan rendah hati dalam bertindak.
III.
Kewajiban Terhadap Rumahnya Ini khusus bagi seorang muslimah yang telah berumah tangga. Dimana dia harus membangun rumah tangganya sejak awal di atas dasar taqwa dan menebarkan semangat rabbani yang harum dan menjadikan seluruh kebutuhannya dalam batas kecukupan. Rumah adalah kerajaan wanita dan dia adalah ratunya. Dimana disanalah ia mengembangkan segala kemampuannya dengan bebas. Apalagi ditambah dengan kehadiran seorang anak yang akan menyita waktu dan perhatiannya. Harus disadari bahwa suami adalah pemimpin dalam rumah tangga yang mana memiliki beban dan tanggung jawab yang berbeda dengan isterinya.
IV.
Kewajiban Terhadap Masyarakatnya Muslimah harus berusaha ikut serta membangun masyarakatnya dimana ia berada dengan menebarkan akhlak yang baik, fikrah-fikrah Islami dan prinsip yang lurus.
Halaman 4 dari 6
V.
Kewajiban Menjadi Teladan Yang Baik Dia harus menjadi panutan dan memiliki kepribadian yang kuat sehingga ia akan sungguh-sungguh pada komitmennya akan kebenaran. Terlebih lagi bagi anakanaknya.
VI.
Kewajiban Menyebarkan Dakwah Seorang muslimah harus menyeru dan mengajak orang-orang yang ada disekitarnya untuk beriman kepada Allah, mengingat-Nya, mengajak kepada kebaikan
dan
mencegah
kemungkaran
serta
sekuat
tenaga
memberikan
pemahaman. Selain itu dia juga harus berusaha memberikan kabar gembira, semangat dan kebanggaan kepada kaum muslimat tentang persaudaraan dan kecintaan karena Allah. “Sesungguhnya orang mu’min itu bersaudara”.
Kewajiban-kewajiban yang diuraikan di atas, merupakan realisasi kewajiban kita diciptakan yaitu untuk beribadah kepada Allah. Karena itu, mulailah wahai para muslimah mengenali dirinya sebelum bertindak. Karena seluruh potensi muslimah dapat dikembangkan sesuai dengan porsinya dan kewajiban-kewajiban yang harus dijalani sehingga muslimahmuslimah
berpotensi
akan
bermunculan
dan
menebarkan
kasih
sayang
tanpa
mengabaikan atau meninggalkan yang fardhu dan kodratnya sebagai wanita. Wallahu a’lam.
Halaman 5 dari 6