RUANG KAJIAN
HAKEKAT MANUSIA DALAM PANDANGAN EKSISTENSIALISME SOREN KIERKEGAARD Oleh : Fadhillah
Abstract Kehidupan manusia tak selalu sejalan dengan harapan dan keinginan setiap individu. Pemahaman tentang hakekat hidup manusia bagi setiap individu memiliki beberapa tingkatan. Soren Kierkegaard adalah salah satu filosof yang memiliki pandangan tentang hakekat manusia berdasarkan perkembangan kehidupan eksistensial individu yang meliputi 3 tahap, yaitu: tahap estetis, tahap etis dan tahap religius. Judul kajian ini adalah Hakekat Manusia Dalam Pandangan Eksistensialisme Soren Kiekegaard. Tujuan kajian ini adalah untuk menjelaskan dan memahami hakekat manusia dalam pandangan Soren Kiekegaard. Manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah untuk menambah cakrawala dalam memahami makna dan hakekat hidup manusia dalam perspektif filsafat eksistensialisme Soren Kiekegaard, terutama relevansinya dengan kehidupan beragama. Metode pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah historis faktual, deskriptif, dan verstehen. Kata kunci: Hakekat manusia, eksistensi, tahap etis, estetis, tahap religius. A. Pendahuluan Eksistensialisme merupakan salah satu aliran besar dalam filsafat kontemporer yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran
manusia dalam memandang hakekat hidup manusia. Dalam filsafat kontemporer, Soren Kierkegaard dikenal sebagai peletak dasar eksistensialisme. Dengan demikian
Sikap melankolis ini diwariskan kepada anaknya, yaitu Soren 2 Kierkegaard. ) Beban mental ayahnya atas perasaan berdosa tersebut disampaikan kepada Kiekegaard yang sempat mengguncangkan hidup Kiekegaard. Atas kenyataan itu ia ungkapkan sebagai berikut:
pengaruhnya cukup besar dalam perkembangan filsafat eksistensialisme, khususnya bagi Heidegger yang juga merupakan salah satu tokoh besar filsafat eksistensialisme. Pada umumnya Soren Kierkegaard dipandang sebagai sumber utama filsafat eksistensialisme, ia dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi Husserl, filsafat hidup Bergson dan metafisika modern. Pokok pemikirannya menitikberatkan pada pemecahan yang konkrit terhadap persoalan mengenai arti “berada”. Menurut dia, persoalan tentang “berada” belum pernah dikemukakan dengan cara yang benar, karena pada umumnya orang mengira bahwa ia telah tahu tentang hal itu, padahal sebenarnya pengertian kita tentang “berada” hanya 1 samar-samar saja. ) Soren Kierkegaard (18131855) dalam riwayat hidupnya dikenal sebagai tokoh filsafat yang “melankolis”. Ia dilahirkan pada tahun 1813, di kota Kopenhagen, Denmark sebagai anak bungsu dari 7 bersaudara. Ketika ia dilahirkan, ayahnya, Mikhael Kierkegaard sudah berusia 51 tahun, namun masih terus merasa berdosa dan melankolia sepanjang hidupnya, karena putra sulungnya lahir setelah 5 bulan ia menikah. Perasaan berdosa karena berzinah dihubungkan dengan musibah yang menimpa keluarganaya , yaitu ketika istri dan 5 anaknya meninggal secara hampir beruntun.
“Then it was that the great earthquake occurd, the frightful upheaval which suddenly force upon me a new and infallible law for interpreting the facts” (Ketika itu terjadilah gempa yang dahsyat, pergolakan yang memaksakan kepadaku untuk menerima berlakunya hukum yang baru dan kukuh untuk menafsirkan 3 segala fakta) Keadaan yang mengguncangkan hidup Kiekegaard atas nasib yang menimpa keluarganya tersebut menjadi alasan baginya untuk mengikuti apa yang menjadi harapan orang tuanya. Kierkegaard masuk kuliah ke Fakultas Theologi Universitas Kopenhagen pada tahun 1830 dengan motif untuk menyenangkan ayahnya. Oleh karena sebenarnya ia tidak meminatinya, tetapi justru lebih berminat mempelajari filsafat, sastra dan sejarah. Dalam masa ini ia bersikap
2
) F. Budi Hardiman (2007), Filsafat Modern. hlm 244-245. 3 ) Fuad Hasan (1992) , Berkenalan dengan Eksistensialisme, hlm. 13.
1 ) Harun Hadiwijono (1995 ),Sari sejarah Filsafat Barat 2. hlm. 149-150.
47 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
penderitaannya yang sangat, dalam kelaparan serta kepapaannya, berdiri di atas bukit dan mengutuk Tuhan- dan orang ini tak pernah melupakan peristiwa itu meskipun usianya 5 telah delapan puluh dua tahun” )
sebagai “penonton kehidupan” yang sinis. Sebagaimana keyakinan ayahnya, bahwa ia hidup untuk menjalani hukuman Allah yang ditimpakan keluarganya. Lambat laun sikap kritisnya menyebabkan ia tidak percaya pada keyakinan tersebut dan mulai melontarkan kritikan dan kecaman terhadap agama Kristen yang dianutnya dan sempat kehilangan norma moral, sampai pada tahun 1836, bahkan mencoba bunuh diri, namun setelah ayahnya meninggal pada tahun 1838, ia bertobat dan berhasil menyelesaikan studi teologinya. Salah satu kisah hidupnya yang penting adalah pertunangannya dengan Regina Olsen yang berakhir dengan putusnya hubungan tersebut dengan alasan ia tidak bisa menjalani kehidupan rumah tangga, sebab ia menyadari sebagai 4 manusia dengan misi khusus. ) Rasa prihatin Kiekegaard tehadap nasib ayahnya diungkapkan dalam tulisanya, yaitu sebagai berikut:
Keprihatinan Kiekegaard terhadap nasib ayahnya membuatnya lebih merasakan kedekatannya dengan kematian, sehingga ia harus selalu siap setiap waktu kapan maut dating merenggutnya . Hal ini diungkapkan dalam tulisannya sebagai berikut: “ I felt the stillness of death grew around whe when I saw in my father, an unhappy man who was to outlive us all, a cross on the tomb of all his hopes. There must be guilt upon the whole family, the punishment of God must be on it; it was to disappear, wiped out by the powerful hand of God…”
How terrible about the man who once as alittle boy, while herding the flocks on the heatof Jutland, suffering greatly, in hunger and in want, stood upon a hill and cursed God- and the man was unable to forget it even when he was eighty two years old” (J-243)
“ Aku merasakan maut tumbuh di sekitar diriku bilamana aku menyaksikan ayahku, seorang yang tak berbahagia dan akan hidup lebih lama dari kami semua, ibarat salib di atas nisan segala harapannya. Niscaya suatu kesalahan telah menjadi tanggungan seluruh keluarga, kami musnah, dihapus dari muka bumi oleh tangan Tuhan yang 6 perkasa” ).
“ Betapa pahitnya bagi orang ini, yang ketika sebagai anak kecil sedang menggembala dombanya di padang Jutland, dengan 5 4
6
) F. Budi Hardiman (2007), Ibid. hlm. 245-246.
) Fuad Hasan (1992) , loc.cit. ) Fuad Hasan (1992) , Ibid, hlm. 14.
48 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
menjadi latar belakang Kierkegaard mengemukakan pandangan 7 eksistensialismenya. )
Beberapa ungkapan kesedihan Kierkegaard atas kenyataan hidup yang dialami keluarganya akhirnya menentukan corak pemikiran eksistensialismenya. Latar belakang sejarah kehidupan Kierkegaard yang diwarnai oleh kesedihan nasib orang tuanya tersebut telah membentuk pribadi Kiekegaard sebagai seorang filosof “melankolis” yang berpengaruh besar dalam pandangannya yang berbeda dengan pemikiran eksistensialisme lainnya. Eksistensialisme Kierkegaard lebih bersifat religius subjektif. Hal ini dapat dilihat dalam pandangannya tentang 3 tahap perkembangan kehidupan eksistensial individu, yaitu mulai dari tahap estetis, tahap etis dan tahap religius sebagai tahap lompatan iman. B.
C.
Pokok-Pokok Pemikiran Eksistensialisme Kierkegaard.
Kierkegaard adalah filsuf yang memperkenalkan istilah “eksistensialisme” dalam konteks filsafat abad kontemporer. Kierkegaard menolak asumsi Hegelian bahwa kebenaran adalah totalitas objektif. Menurut dia, kebenaran adalah individu yang bereksistensi. Istilah “eksistensi” hanya dapat diterapkan pada manusia sebagai individu yang konkrit. Hanya aku yang konkrit yang bereksistensi, maka aku tak bisa direduksi ke realitas-realitas lain, entah sistem ekonomi, ide, masyarakat, dan lain-lain. Bereksistensi bukan berarti hidup menurut pola-pola abstrak dan mekanis, melainkan mengadakan pilihan-pilihan baru secara personal dan subjektif. Dengan kata lain: “eksistensi” adalah “diri autentik” yang bertindak, atau sebagai aktor/pelaku kehidupan yang berani, bukan sebagai 8 “spectator” kehidupanku belaka ). Konsekuensi atas kesadaran eksistensi manusia yang demikian, maka dalam hidup manusia harus berani mengambil keputusan untuk memilih di antara berbagai kemungkinan yang ada dengan penuh tanggung jawab. Manusia bukan hanya sebagai penonton bagi kehidupannya, tetapi sebagai pelaku
Latar Belakang Pemikiran Eksistensialisme Kierkegaard
Kierkegaard adalah murid Schelling di Berlin yang ikut bersimpati untuk menggempur pemikiran Hegelianisme di Berlin. Kritik Kierkegaard terhadap pemikiran Hegelianisme di Berlin antara lain dipicu oleh praktek keagamaan yaitu Lutherianisme sebagai agama resmi Denmark yang dinilai sangat sekuler dan duniawi. Secara ringkas kritik Kierkegaard terhadap Hegelianisme adalah disebut sebagai “kritik atas abstraksionisme”. Dengan melukiskan kenyataan sebagai dialektika Roh, Hegel sudah mengabstraksi segala sesuatu menjadi sebuah system abstrak yang meremehkan manusia konkrit atau individu. Hal inilah yang
7 8
) F. Budi Hardiman (2007), Ibid. hlm.247-248. ) F. Budi Hardiman (2007), Ibid. hlm. 249 – 250.
49 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
mendapatkan kebahagiaan. Pada tahap ini manusia cenderung hedonis. Akibatnya, jika apa yang menjadi keinginan/kehendak dan harapannya ternyata tidak tercapai, maka akan mengalami kekecewaan dan keputusasaan. Dalam kenyataannya, tahap estetis bukan hanya dialami oleh manusia yang belum dewasa secara umur, namun banyak pula manusia dewasa, bahkan orang tua yang tidak berhasil mencapai kematangan mental juga mengalami tahap estetis hingga akhir hidupnya. Tahap kedua, yaitu tahap etis, adalah tahap lompatan kedua, dimana individu harus membuat pilihan bebas, dengan mengenali dan menguasai dirinya. Dalam tahap ini individu menyesuaikan diri dengan norma-norma moral yang berlaku dalam kehidupannya. Namun dalam tahap ini individu masih terkungkung pada dirinya sendiri. Dalam interaksi sosial, tahap etis merupakan tahap penting bagi kehidupan manusia yang berbudaya. Manusia dalam tahap ini sudah memiliki control terhadap perilakunya dalam berhadapan dengan individu yang lain. Segala gerak-gerik manusia dalam tahap ini diawasi oleh kesadaran moralnya agar mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat, meskipun manusia dalam tahap ini belum dapat dikatakan bebas dalam arti moral. Manusia masih merasa terkungkung oleh dirinya sendiri. Dengan kata lain, meskipun manusia telah dapat menerima norma moral yang berfungsi mengatur hidupnya, namun dalam arti
yang aktif dan dinamis. Manusia tidak hanya larut dalam gerak kehidupan yang membuatnya melupakan tanggung jawabnya atas kehidupannya, baik di dunia ini , maupun tanggung jawab kepada Tuhan sebagai realitas absolute. Secara dialektis, eksistensi digambarkan sebagai perkembangan kehidupan eksistensial individu yang meliputi 3 tahap , yaitu: tahap estetis, tahap etis dan tahap religius. Tahap pertama , yaitu tahap estetis (mengindrai/mencecap) adalah tahap dimana individu diombang-ambingkan oleh dorongan-dorongan indrawi dan emosi-emosinya. Dalam tahap ini, prinsip hidup individu adalah mengejar kenikmatan segera (hedonis). Oleh karena itu, maka norma moral dalam tahap ini tidak cocok, karena akan menghambat pemuasan hasrat individu. Dalam tahap ini individu mudah tertarik pada hal-hal yang bersifat indrawi. Hal yang menjadi ketakutan bagi individu pada tahap ini adalah rasa bosan dan tidak enak.Keputusasaan adalah tahap akhir dari eksistensi estetis. Jika ditinjau dari perkembangan pribadi /individu manusia, pada tahap estetis , manusia masih berada pada tahap/level yang sangat rendah, dimana motif yang menggerakkan aktivitasnya sematamata bersifat indrawi dan emosional. Oleh karena itu, maka tujuan aktivitas hidupnya pada tahap ini adalah mengejar kepuasan/hasrat individu. Dalam tahap ini manusia belum bisa menerima norma moral yang dianggap hanya sebagai penghambat dan penghalang baginya untuk
50 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
para Nabi, misalnya Nabi Ibrahim (Kristen: Abraham) yang merupakan bukti akan kenyataan ini. Ketika Nabi Ibrahim disperintahkan untuk menyembelih putranya (perspektif Islam/Al-Qur’an: Isma’il), untuk dipersembahkan kepada Tuhan sebagai bukti kebesaran cinta seorang hamba kepada Tuhan Sang Pencipta, maka tanpa ragu, perintah tersebut segera dilaksanakan dengan ikhlas. Walaupun dalam sejarah Islam, akhirnya putra Ibrahim (Isma’il) yang hendak disembelih, tiba-tiba telah berubah menjadi seekor domba. Kisah ini diabadikan dengan peringatan Hari Raya Qurban (Idul Adha) dan menjadi ajaran bagi umat Muhammad , sebagai Nabi berikutnya (Nabi akhir Zaman) untuk mengikuti jejaknya setiap tahun agar rela ber-Qurban (memotong hewan Qurban bagi yang mampu) semata-mata karena Allah. Dengan demikian, tahap lompatan iman (religius) ini tidak hanya bisa diikuti oleh para Nabi, melainkan oleh pengikutnya yang ingin memperoleh kebahagiaan yang hakiki, baik di dunia, maupun kebahagiaan yang abadi di hadapan Tuhan sebagai realitas absolute menurut pandangan eksistensialisme Soren Kierkegaard. Menurut pandangan Kierkegaard, keotentikan hidup manusia sebagai subyek atau “aku” baru akan tercapai kalau individu dengan “mata tertutup” , lompat dan meleburkan diri di dalam realitas Tuhan . Lompatan dari tahap etis ke tahap religius jauh lebih sulit dan sublime dari pada lompatan dari tahap estetis ke tahap etis. Karena , jika kita hendak melompat dari tahap estetis ke tahap etis, maka kita secara
yang hakiki, manusia dalam tahap ini belum dapat dikatakan bebas. Tahap berikutnya adalah tahap ketiga, yaitu tahap religius/ lompatan iman. Pada tahap ini individu mengakui akan adanya Allah dan munculnya kesadaran diri sebagai pendosa yang membutuhkan pengampunan Allah. Tahap ini merupakan tahap “non-rasional”. Dalam tahap ini, Allah adalah paradoks absolute, yaitu sebagai suatu relasi yang “tak terbatas” sebagai dasar pertimbangan manusia dalam mengambil keputusan dalam 9 bertindak, meskipun tidak rasional. ) Dalam hal ini dicontohkan dengan kisah Abraham/Nabi Ibrahim (konteks Islam) yang rela mengorbankan putranya, yaitu Ismail untuk memenuhi perintah Allah. Manusia yang telah memasuki pada tahap ketiga ini, adalah manusia yang dengan pertimbangan “non-rasional”, yaitu berdasarkan keyakinan yang dimilikinya memilih “iman” sebagai dasar dalam pengambilan keputusannya untuk bertindak. Sejarah kehidupan manusia telah banyak menulis tentang bagaimana individu-individu yang terpilih sebagai utusan/ wakil Tuhan di bumi berani mengambil keputusan yang secara rasional tidak bisa diterima oleh akal sehat, namun bagi mereka logika yang benar adalah logika Tuhan yang hanya bisa diterima oleh hambanya yang beriman dan menyerahkan dirinya secara total atas kehendak dan keputusan tuhan melalui firman-Nya. Contoh: Sejarah 9
) F. Budi Hardiman (2007), Ibid. hlm. 252-254.
51 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
kasus manusia religius ideal yang memiliki keyakinan subjektif (iman) secara total. Dalam keyakinan Ibrahim, jika ia tidak melaksanakan perintah Tuhan , maka ia justru merasa berdosa. Hal ini berbeda dengan penilaian masyarakat yang bersumber pada nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Penafsiran Kierkegaard terhadap beberapa kisah manusia religius ideal akhirnya mempengaruhi pula terhadap pandangannya tentang hakekat manusia dalam memandang norma moral bagi kehidupan individu. Bagi manusia pada umumnya memandang hakekat nilai moral bersifat universal dan rasional, sehingga harus menjadi pedoman bagi hidupnya. Berbeda dengan Kierkegaard yang memandang bahwa bagi manusia religius ideal, hakekat norma moral adalah apa yang menjadi perintah dan ketentuan Tuhan . Dengan kata lain, ada sifat subjektif dalam norma moral religius. Hal ini karena kehidupan manusia religius berhubungan dengan realitas Tuhan yang bersifat transenden, tidak terikat oleh aturan dan rasio manusia.
rasional bisa mempertimbangkan segala resiko yang akan kita terima. Berbeda dengan lompatan dari tahap etis ke tahap religius (iman) yang hamper-hampir tak ada pertimbangan rasional, melainkan secara bulat (total) manusia dengan bekal iman yang dimiliki pasrah dan menyerahkan hidupnya kepada Tuhan sebagai realitas absolut , sebagai Pencipta seluruh realitas yang ada. Dalam hal ini yang dibutuhkan hanyalah keyakinan subjektif yang berlandaskan 10 pada iman. Perbedaan lain dari lompatan tahap etis ke tahap religius dengan lompatan tahap estetis ke tahap etis adalah pada masalah obyektivitas dan subyektivitas nilai. Nilai-nilai kemanusiaan pada tahap etis masih bersifat objektif (universal), sehingga ada rujukan yang bisa diterima, baik secara rasio, maupun common sense. Sebaliknya , pada tahap lompatan iman /religius, nilai-nilai religius bersifat murni subjektif, sehingga seringkali sulit diterima akal sehat. Oleh karena itu kadang-kadang perilaku manusia religius sering dicap “tidak masuk akal” (gila). Hidup dalam realitas Tuhan adalah hidup dalam subyektivitas transenden, tanpa rasionalisasi terhadap eksistensi nilainilai etis /kemanusiaan yang bersifat universal dan tanpa ikatan pada sesuatu yang bersifat duniawi atau 11 mundane. Kisah Ibrahim di atas, oleh Kierkegaard dianggap sebagai contoh
D.
Pengaruh Pandangan Eksistensialisme Kierkegaard Tentang Hakekat Manusia.
Pandangan eksistensialisme Kierkegaard tentang hakekat manusia memberikan inspirasi bagi pemikiran eksistensialisme Martin Heidegger. Namun terdapat pebedaan yang mendasar dalam memandang segi keaslian dari eksistensi manusia.
10
Zaenal Abidin, 2000, Filsafat Manusia (Memahami Manusia Melalui Filsafat), hlm. 136. 11 Ibid. Hlm. 136-137.
52 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
antisipasi dan kelarutan utuh menjadi satu dalam sikap yang paling mendasar sebagai manusia. Secara ringkas, “Sorge” adalah drama “Dasein” sebagai Ada –di-dalamdunia.Satu hal yang juga tak terelakkan dari antisipasi masa depan adalah “kematian”. Dengan demikian “Sorge” ada karena manusia ada begitu saja, larut dalam kelupaan akan Ada dan ada menuju akhir (kematian). Jika “Sorge” tidak ada, maka seluruh makna dan pemaknaan hidup “Dasein” juga sirna. Merenungkan kematian berarti merenungkan kehidupan itu sendiri. Renungan tentang kematian ini dalam karya Heidegger tentang Sein und Zeit merupakan inti dari makna hidup manusia yang bersifat “menjadi” (temporer) dalam arti selama ia mengada, maka realitasnya belum selesai. Akhir dari dinamika “Dasein” (manusia) adalah kematian. Renungan ini penting sebagai antisipasi terhadap eksistensi manusia agar menjadi jati dirinya , sehingga tidak terus menerus larut dalam keseharian yang melupakan “Ada”-nya , namun terkadang terbelenggu dalam kegelisahan dan kecemasan sekaligus untuk menuju kebebasan eksistensial 12 ) Dalam ilustrasi berikut dapat dilihat bagaimana manusia secara eksistensial, mau tidak mau berada dalam 3 kondisi sekaligus yang akhirnya harus menyadari bahwa eksistensinya menuju “ketiadaan” (kematian). Manusia berada dalam
Bagi Heidegger, tahap lompatan iman dianggap bukan hal yang otentik dari eksistensi manusia. Heidegger justru berpandangan sebaliknya, yaitu bahwa sesuatu yang bersifat asli (primordial) dari eksistensi manusia adalah sebagai berikut: Elemen-elemen eksistensial manusia (Dasein) antara lain meliputi : rasa takut, pemahaman, penafsiran, keingintahuan, kedwiartian, atau kejatuhan. Apa yang dilakukan oleh Heidegger untuk menyingkap mistik keseharian, secara singkat dijelaskan dengan sikap fundamental /purba dan total terhadap “Ada”-nya yang disebut “Sorge”. Sikap ini merupakan strutur total Ada “dasein” yang merangkum segala ketersituasiannya, baik ontis , maupun ontologis. Manusia tanpa “Sorge” , bukanlah manusia, tetapi manusia macam itu tentu tidak ada. “Sorge” dirumuskan dalam satu kata panjang yang diucapkan dalam satu kata, yaitu : Sich-vorweg-schon-sein in-(der-Welt-) als Sein-bei (innerweltlich begegnendem Seinden). “Sorge” meliputi 3 arti, yaitu: (1) sich vorweg berarti ‘mendahului’, ini merupakan elemen eksistensialitas Dasein; (2) schon sein in der Welt berarti ‘sudah ada di dalam dunia’, dan ini faktisitas Dasein; (3) Sein bei innerweltlich begegnendem Seienden berarti ‘bermukim pada entitas yang dijumpai di dunia ini, dan inilah kejatuhan Dasein. Dengan demikian terdapat 3 unsur “Sorge”, yaitu : mengantisipasi masa depan (eksistensialitas), terlempar di dunia (faktisitas), dan larut dalam keseharian (kejatuhan). Semuanya berada secara serentak, karena keterlemparan,
12
) Budi Hardiman (2003) , Heidegger dan Mistik Keseharian,hlm 84-86.
53 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
hidup yang dikehendaki , meskipun disadari pula bahwa keberadannya di dunia sangat ditentukan oleh Tuhan sebagai realitas transenden. Sikap Kiekegaard terhadap hal ini mempengaruhinya dalam memandang “kematian”. Bagi Kierkegaard, kematian adalah hal yang sewaktuwaktu pasti terjadi dan merenggut eksistensi manusia. Oleh karena itu manusia harus selalu siap menghadapinya dengan meleburkan diri hidup dalam realitas Tuhan sebagai realitas Transenden yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Dengan demikian tak perlu terlalu cemas dan takut menghadapi kematian, sebagaimana yang dialami oleh Heidegger, sebagaimana diuraikan di atas.
faktisitas dan situasi-kondisi yang tak terelakkan. Inilah pemahaman eksistensialisme Heidegger terhadap makna “hidup” manusia. Mensikapi fakta tersebut ada kalanya manusia menunjukkan keaslian esensi dirinya, namun sering kali terbenam dalam pendapat dan obrolan umum yang melupakan kepastian bahwa dirinya akan mati. Di sinilah perbedaan sikap Heidegger dengan Kierkegaard terhadap eksistensi manusia yang sebenarnya . Bagi Kierkegaard manusia bisa melompat ke tahap religius untuk melampaui eksistensinya, yaitu menyerahkan diri kepada Tuhan sebagai paradoks absolut. Demikianlah pengaruh pemikiran Kierkegaard bagi Heidegger tentang hakekat eksistensi manusia yang sesungguhnya. Kedua filsuf tersebut berbeda corak eksistensialismenya, antara lain disebabkan oleh latar belakang kehidupan mereka masing-masing. Heidegger lebih banyak berkiprah dalam dunia politik, sehingga hal tersebut juga mempengaruhi pandangannya tentang keberadaan manusia dalam masyarakat. Oleh Heidegger hal tersebut dianggap sebagai eksistensi dirinya sebagai manusia, yaitu bahwa manusia adalahmakhluk sosial; manusia adalah produk dari budaya masyarakatnya. Keadaan tersebut dianggap sebagai faktisitas /keterlemparan manusia yang tak terelakkan. Hal ini yang membedakan corak pemikirannya dengan Kiekegaard. Bagi Kiekegaard, manusia masih bisa memilih di antara berbagai alternatif dalam memilih jalan
E. Kesimpulan Pandangan tentang hakekat manusia menurut eksistensialisme Kierkegaard memberikan sumbangan pemikiran yang berharga bagi kehidupan manusia yang ingin mendapatkan ketenangan hidup dalam menghadapi berbagai problema yang tak terpecahkan oleh rasio manusia. Hal ini karena di balik realitas hidup manusia, masih ada realitas lain yang bersifat transenden, yaitu Tuhan. Agar manusia dapat mempoeroleh ketenangan hidup, manusia harus meleburkan diri ke dalam realitas transenden tersebut dengan cara hidup mengikuti aturan dan perintah Tuhan , menyerahkan diri secara total, sehingga kapanpun maut datang menjemput, manusia tidak perlu terlalu cemas dan takut.
54 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009
Daftar Pustaka : Munir , Misnal (2008), Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer, Penerbit Lima, Yogyakarta.
Budi Hardiman, F., (2003), Heidegger dan Mistik Keseharian, Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
Martin , Vincent , O.P., (2003), Filsafat Eksistensialisme, Kierkegaard, Sartre, Camus, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Budi Hardiman, F., (2007), Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietsche, PT. gramedia , Jakarta.
Russel, Bertrand (2007), Sejarah Filsafat Barat , Penerjemah: Sigit Jatmiko & Agung Prihantoro, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Bertens, K., (2002), Filsafat Barat Kontemporer, Inggris-Jerman, PT Gramedia Pustaka Utama , Jakrta. Bernard Delfgaauw (2001), Filsafat abad 20. Alih Bahasa : Soejono Soemargono, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta. Fuad Hasan (1992), Berkenalan Dengan Eksistensialisme, PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta. Grodin, Jean., (2008), Sejarah Hermeneutik, dari Plato sampai Gadamer, Penerjemah: Inyiak Ridwan Muzir, ArRuzz Media , Yogyakarta Lemay ,Eric & A.Pitts., Jenniver dg Ilustrasi oleh Paul Gordon (2005), Heidegger Untuk Pemula, Kanisius, Yogyakarta. . Hadiwijono, Harun., (2005), Sari Sejarah filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta.
55 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2009