EKSISTENSIALISME KIERKEGAARD: ANALISIS FILOSOFIS PRAKSIS TERHADAP FILM YES MAN Prayoga Rafila Dwikurnia Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia Depok E-mail:
[email protected]
Abstrak Skripsi ini merupakan sebuah analisis filosofis terhadap eksistensialisme manusia. Dengan menggunakan Carl Allen sebagai tokoh utama dalam film Yes Man untuk dijadikan representasi, maka dapat terlihat tahapan-tahapan eksistensialisme yang dijalani oleh Carl Allen dalam kehidupannya dari pilihan-pilihan yang diambil. Analisis filosofis menaruh perhatian pada kehidupan Carl Allen sebagai manusia yang mencapai tahapan-tahapan eksistensialisme untuk dapat menemukan pemaknaan dalam dirinya. Penelitian dilakukan dengan mengamati perubahan passion yang ada dalam diri Carl Allen yang kemudian menjadi faith sebagai salah satu contoh kehidupan manusia, dan kemudian dianalisis untuk kemudian dapat diketahui tentang perpindahan tahapan-tahapan eksistensilisme yang dicapai.
Abstract Kierkegaard’s Existentialism: Philosophical Praxis Analysis of Yes Man. This thesis is philosophical analysis towards to human existentialism. By applying Carl Allen, the main character of Yes Man, as the representation of human existentialism, we can see existentialism phases through Carl Allen’s life options. The philosophical analysis explains Carl Allen’s life as human that gets his existentialism phases to find the real of Carl Allen. This research analyzes the change of Carl Allen’s passion, which becomes faith that one of human life instances. Therefore, we can know the adjustment of the existentialism phases of Carl Allen. Keywords: Existentialism, Existentialism phases, Faith, Option, Passion
1 Eksistensialisme Kierkegaard..., Prayoga Rafila Dwikurnia, FIB UI, 2013
1. Pendahuluan Manusia haruslah mempunyai eksistensi atas dirinya sendiri, hal ini seperti suatu kewajiban yang harus dimiliki, antara lain agar dapat dijadikan sebagai penanda, bahwa manusia tersebut mempunyai kekuasaan penuh untuk menjalani kehidupannya. Aliran filsafat eksistensialisme adalah ajaran yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan untuk menjunjung keotentikan diri sebagai manusia. Eksistensialisme merupakan aliran yang menekankan pada sisi manusia itu sendiri, sehingga segala permasalahan berasal dan sekaligus juga bertujuan untuk kehidupan manusia. Film Yes Man, yang menceritakan salah satu cerminan dari masalah eksistensialisme merupakan contoh cara filsafat merefleksikan diri, bukan hanya berdasarkan teoriteori, namun juga penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Filsafat yang selama ini erat dengan kedudukannya di ‘menara gading’, diberikan cara baru untuk dipahami dengan contoh penerapan yang sederhana, terutama dalam masalah kehidupan sehingga dapat dimengerti oleh masyarakat luas. Penerapan filsafat eksistensialisme Kierkegaard kepada film Yes Man adalah upaya memberikan penjelasan untuk manusia bereksistensi. Kisah yang diceritakan dalam film ini seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari dana menjadi fenomena yang menjalar ke dalam aspek masyarakat. Kierkegaard yang mengedapankan akan pentingnya manusia untuk menemukan eksistensi dalam dirinya merupakan alat untuk menganalisis film ini yang pada nantinya akan dapat diterapkan sebagai salah satu bukti penjelasan mengenai filsafat, tidak lagi hanya berdasarkan teori-teori belaka. Penulis menganalisa mengenai keterkaitan antara filsafat eksistensialisme Kierkegaard dengan pilihan Carl Allen dalam film Yes Man. Perjalanan hidup dari Carl Allen dapat ditemukan adanya tiga tahapan eksistensialisme Kierkegaard. Tiga tahapan itu adalah tahapan estetis, tahapan etis dan terakhir adalah tahapan religius.
2. Pilihan Carl Allen Dilihat Dari Konsep Eksistensialisme Kierkegaard Pada film Yes Man, penulis melihat adanya permasalahan tokoh utamanya, yaitu Carl Allen dalam menjalani kehidupannya. Kehidupan Carl Allen tersebut berada pada tahap eksistensialisme estetis, yang kemudian nantinya berlanjut kepada tahap eksistensialisme etis yang dibuat oleh Kierkegaard. Keinginan untuk mencapai pemenuhan hasrat yang bersifat spontanitas pada awalnya adalah pilihan yang diambil Carl untuk menemukan pemaknaan dalam hidupnya. Tetapi seiring berjalannya waktu, 2 Eksistensialisme Kierkegaard..., Prayoga Rafila Dwikurnia, FIB UI, 2013
dalam diri Carl timbul pergulatan eksistensialisme, terutama ketika dia mengambil keputusan-keputusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang mengedepankan sikap etis. Pada akhirnya, Carl Allen memilih untuk mempertimbangkan, apakah nilai tersebut baik ataukah buruk ketika menghadapi setiap pilihan yang yang datang kepadanya, dan mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan baik atau buruk tersebut, sehingga keputusannya merupakan pilihan yang berdasar pada wilayah etis. Gairah (passion) dari Carl ini terus menerus dalam proses mencari dan mencari. Inilah yang diyakini Carl sebagai kepercayaan (faith) sehingga membuatnya melakukan lompatan tahapan keyakinan. Carl Allen dalam film Yes Man digambarkan sebagai sosok manusia yang mengalami stagnansi dalam kehidupannya, sehingga membuatnya enggan untuk bergaul dengan teman-temannya dan lebih memilih untuk menyendiri. Kehidupan cintanya hancur berantakan ketika pertunangan yang sudah dijalan terpaksa untuk berakhir dikarenakan sifatnya yang lebih suka untuk menyendiri tersebut. Kehidupan karir pekerjaannyapun tidak mengalami peningkatan yang berarti sebagai petugas pelayanan bank di suatu perusahaan. Kejadian-kejadian tersebut membuatnya merasa hidup dalam kebosanan. Carl, memulai permasalahan eksistensialismenya ketika dia mengikuti sebuah seminar perbaikan diri, setelah melihat temannya yang setelah mengikuti seminar tersebut mengalami kesuksesan. Dalam seminar
tersebut, peserta diharuskan untuk
mengucapkan kata “Yes” dalam setiap kesempatan apapun yang datang kepadanya. Kata tersebut menjadi ‘senjata’ untuk mencapai keberhasilan yang ingin dicapai. Dalam seminar tersebut juga ditunjukkan orang-orang yang mendapatkan kesuksesaan ketika mengedepankan kata tersebut sehingga membuat para peserta yakin akan kekuatan kata “Yes” tersebut. Carl yang pada awalnya tidak percaya, menganggap remeh hal tersebut dan menganggapnya hanya bualan belaka. Namun kemudian Carl mulai tergerus oleh keyakinannya tersebut dikarenakan adanya contoh-contoh orang yang sudah mendapatkan kesuksesan tersebut. Ketika Carl akhirnya mencoba untuk memilih kata “Yes” dalam suatu kejadian, yaitu saat ada seorang pengemis yang meminta untuk diantarkan ke suatu tempat, Carl mendapatkan kejadian yang membuatnya sangat bahagia, yaitu dia berkenalan dengan seorang perempuan yang menarik perhatiannya dan menghabiskan waktu bersamanya. Setelah mengalami secara langsung efek dari kata “Yes” tersebut, Carl merasa yakin kalau dia akan mengalami kesuksesan apabila selalu memilih kata tersebut. Selain itu, 3 Eksistensialisme Kierkegaard..., Prayoga Rafila Dwikurnia, FIB UI, 2013
karir dalam pekerjaannya pun mengalami peningkatan, ketika Carl yang berada dalam bagian peminjaman modal, selalu menyetujui para nasabah yang ingin meminjam modal, apapun kepentingannya. Keputusan Carl ini membuat para peminjam ini menjadi semakin simpatik dan membuat mereka melunasi hutang-hutang mereka tepat waktu sehingga membuat perusahaan tersebut mendapat keuntungan yang luar biasa. Carl yang menjadi dalang dari hal tersebut akhirnya diberikan kenaikan jabatan yang membuatnya berada dalam puncak kesuksesan dalam karir. Dalam posisi inilah penulis melihat bahwa Carl Allen memerlukan kekuatan tambahan untuk mencapai keberhasilan dalam hidupnya, yaitu berdasarkan kata “Yes” tersebut. Kata “Yes” ini akhirnya menjadi pilihan yang diambil oleh Carl dalam setiap situasi dan kondisi apapun tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu. Pada saat inilah Carl Allen menunjukkan tahap estetis dalam dirinya, yaitu ketika keputusan yang diambil secara spontanitas untuk mencapai pemenuhan hasrat agar dapat memperoleh keberuntungan dan kesuksesan. Tahapan eksistensialisme estetis dalam pemikiran Kierkegaard, manusia menemukan pemaknaan hidupnya hanya berdasarkan untuk memenuhi pemenuhan hasrat semata. Untuk mencapai pemenuhan hasrat ini, spontanitas menjadi pilihan yang diambil, tanpa mempertimbangkan apakah ada nilai-nilai yang baik ataukah nilai-nilai yang buruk terkandung di dalamnya. Hal ini sama dengan kejadian yang dialami Carl, yaitu ketika dia selalu mengatakan “Yes” agar dirinya mendapatkan keberuntungan dan kesuksesan. Pilihan kata “Yes” ini tidak serta merta selalu membuat Carl mengalami kebahagiaan. Dalam hati kecilnya timbul pemikiran ketika dia sadar bahwa ada saat dimana dia tidak harus selalu menggunakan kata tersebut. Ada sebenarnya situasi-situasi yang sebenarnya dia menginginkan adanya suatu penolakan yang tidak sesuai dengan hati nuraninya. Hal itu disadari ketika Allison, perempuan yang dipacari Carl ketika dia setuju untuk mengantarkan pengemis ke suatu tempat, mengatakan apakah Carl mau untuk tinggal dan hidup bersama. Carl yang sebenarnya belum yakin akan dirinya, ingin mengatakan kata “No”. Namun dia tidak dapat melakukannya dikarenakan adanya ketergantungan akan kata “Yes” sehingga akhirnya dia memilih yang tidak sesuai berdasarkan keinginannya. Kta “Yes” ini menjadi semacam kepercayaan (faith) dalam dirinya, sehingga terus mengatakan kata tersebut. Pada saat itu Carl berpikir untuk mempertimbangkan tentang baik atau buruknya ketika dia memilih hal tersebut.
4 Eksistensialisme Kierkegaard..., Prayoga Rafila Dwikurnia, FIB UI, 2013
Disinilah Carl tersadar bahwa kata “Yes” ini diambil hanya berdasarkan keinginan untuk mencapai kesuksesan. Pada situasi ini, penulis melihat bahwa Carl Allen sebagai subyek berada pada tahapan estetis dalam tahapan eksistensialisme Kierkegaard. Spontanitas yang berdasarkan untuk tercapainya pemenuhan hasrat agar mendapat kesuksesan membuatnya selalu mengatakan kata “Yes” dalam setiap kejadian apapun. Ada gairah (passion) dalam diri Carl yang menempatkan dirinya untuk selalu mencapai pemenuhan kebutuhan dirinya. Setelah melalui pergulatan eksistensialisme yang dia rasakan, Carl sadar bahwa sugesti akan datangnya kesuksesanlah yang membuatnya untuk selalu berkata “Yes”. Tidak ada pertimbangan apakah baik ataukah buruk tentang pilihan yang diambilnya tersebut. Setelah mengalami pergulatan eksistensialisme dalam dirinya tersebut, Carl yang belum merasa yakin memutuskan untuk bertanya kepada motivator dari program seminar perbaikan diri tersebut. Kekuatan kata “Yes” yang selama ini dianggap sebagai senjata utama untuk mencapai keberhasilan ternyata hanyalah sebagai pemicu, agar orang-orang yang mengalami stagnansi seperti dalam kehidupan Carl tersebut, mendapatkan kegairah dan selalu berpikir positif dalam menjalani kehidupannya agar mendapatkan hasil yang maksimal untuk dicapai. Carl pun akhirnya tersadar bahwa ada saat dimana kata “Yes” bukanlah satu-satunya opsi yang harus diambil dalam menghadapi segala hal yang datang kepadanya. Ada kalanya kata “No” dapat dipilih berdasarkan situasi dan kondisi yang terjadi pada saat tertentu berdasarkan pertimbangan apakah baik atau buruknya hal tersebut, tanpa adanya keinginan yang Cuma berdasarkan pemenuhan hasrat untuk mendapatkan keberuntungan dan kesuksesan semata. Pilihan Carl Allen dalam film Yes Man bagi penulis terbagi dalam tiga fase, yaitu fase pertama adalah ketika Carl memilih pilihan “Yes” secara spontanitas, tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain. Kemudian fase kedua adalah ketika Carl tetap memilih “Yes”, namun Carl terlebih dahulu mempertimbangkan kemungkinankemungkinan lain yang sekiranya dapat terjadi, tetapi dikarenakan Carl percaya akan adanya kekuatan kata “Yes” agar dia mendapatkan keberuntungan, dia menolak opsi lain sehingga terpaksa memilih kata “Yes” tersebut. Kemudian yang terakhir adalah fase ketiga, yaitu kondisi ketika Carl dapat mengatakan kata “Yes” ataupun “No” berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasionalitas tanpa adanya ketergantungan ataupun paksaan dalam menentukan pilihan tersebut. 5 Eksistensialisme Kierkegaard..., Prayoga Rafila Dwikurnia, FIB UI, 2013
2.1. Pilihan “Yes” Berdasarkan Spontanitas Pilihan Carl Allen untuk berkata “Yes” berdasarkan spontanitas, yaitu tanpa pertimbangan baik atau buruk, dalam film Yes Man merupakan pilihan yang berada pada ranah estetis dalam tahapan eksistensialisme Kierkegaard. Dimulai dari pilihan Carl untuk berkata “Yes” yang membuat dia dapat bertemu dengan Allison yang berlanjut dengan hubungan asmara, hingga membuatnya mendapatkan kenaikan jabatan dalam pekerjaan merupakan keyakinan Carl akan kata “Yes” yang mendatangkan kesuksesan. Kesuksesan ini dapat dicapai menurut Carl dikarenakan keputusan yang dia pilih, yaitu setelah bekata “Yes”. Ada gairah (passion) dalam diri Carl untuk mencapai kesuksesan sehingga dia menetapkan kata “Yes” tersebut secara spontan agar keinginannya tercapai. Dalam kondisi tersebut, penulis menganalisis bahwa Carl Allen masih berada pada wilayah estetis menurut tahapan eksistensialisme Kierkegaard. Keinginan untuk mencapai kesuksesan yang ditunjukkan dengan adanya jalinan hubungan asmara dan kenaikan jabatan dalam pekerjaan merupakan alasan utama untuk berkata “Yes”. Hasratnya untuk memperoleh keberuntungan dan kesuksesan tersebut membuatnya untuk mengambil piihan tersebut. Carl Allen yang ingin mendapatkan kesuksesan ini bukanlah hal yang buruk, melainkan upaya untuk mendapatkan pemenuhan hasrat. Pemenuhan hasrat yang berada pada wilayah tahap estetis bukan berarti buruk karena tidak mempertimbangkan nilai baik dan niali buruk. Carl Allen hanya ingin memenuhi hasratnya. Hasrat yang ingin dipenuhi oleh Carl adalah kebutuhan duniawi yang secara alamiah dapat terjadi pada setiap manusia. Dalam hidupnya, manusia pasti akan mencapai tahapan ini. Bukan hanya karena tahapan ini berada pada tingkatan yang paling rendah, namun melainkan juga tahapan ini mencakup nilai-nilai dasar yang ada pada setiap diri manusia, yaitu pemenuhan kebutuhan bagi dirinya. Hal ini mungkin merupakan hal yang buruk bagi sebagian orang, namun tahapan estetis ini selalu mempunyai pemahaman tersendiri bagi setiap orang. Subyek yang prinsipil dari hal estetis ini mempunyai perbedaan arti nilai yang tidak terbatas. Kebenaran subyek manjadi satu-satunya kebenaran, tanpa ada campur tangan dari faktor-faktor luar yang dapat mempengaruhinya. Pilihan yang diambil secara spontanitas
ini
merupakan
cara
berada
Carl
Allen
dalam
kehidupan
eksistensialismenya, yaitu ketika dia secara penuh memegang kendali atas apa yang 6 Eksistensialisme Kierkegaard..., Prayoga Rafila Dwikurnia, FIB UI, 2013
dia ingin lakukan berdasarkan pemenuhan hasrat untuk mencapai kebahagiaan serta kepuasan. Ini merupakan langkah awal dari perkembangan kehidupan Carl Allen untuk mencapai tingkatan selanjutnya dalam menemukan pemaknaan hidup. Pada situasi ini, penulis melihat adanya peran Cal Allen sebagai subyek pengada dalam kehidupan eksistensialismenya, berusaha untuk mendapatkan pemaknaan hidup berdasarkan pemenuhan hasrat. Ketika pemenuhan hasrat tersebut dapat tercapai, maka Carl sudah dapat menemukan pemaknaan atas dirinya sendiri dalam wilayah estetis. Selanjutnya Carl dituntut untuk melakukan langkah selanjutnya yang harus dia ambil untuk kedepannya dalam kehidupan eksistensialismenya. Gairah yang dimilik Carl ternyata terus melakukan pencarian, sehingga sampai dalam suatu ketika tahapan eksistensialisme estetis ini tidak lagi dapat menampung kegairahan yang dimiliki. Gairah yang dimiliki Carl kemudian membuatnya menemukan jalan menuju tahapan lain yang nantinya akan menjadi tahap untuk dia berada berdasarkan adanya kepercayaan (faith) yang dimiliki. Pada tahap selanjutnya inilah Carl akan dihadapkan pertimbangan-pertimbangan ketika akan menetapkan pilihan. Pilihan yang tidak hanya berdasarkan hanya kepada pemenuhan hasrat dalam dirinya sendiri.
2.2. Pilihan “Yes” Berdasarkan Kepercayaan Pilihan berkata “Yes” yang diambil oleh Carl Allen, ketika dia dihadapkan pada suatu pilihan, kemudian mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, namun pada akhirnya akan tetap memilih kata “Yes” karena percaya akan adanya keberuntungan yang menghampirinya ketika mengucapkan kata tersebut, bagi penulis termasuk ke
dalam wilayah eksistensialisme religius dari tahapan-tahapan
eksistensialisme Kierkegaard. Hal ini merupakan kelanjutan langkah dari apa yang dilakukan Carl dalam menjalani kehidupannya setelah sebelumnya berada pada tahapan estetis. Disini Carl melakukan apa yang disebut oleh Kierkegaard sebagai lompatan iman (leap of faith) untuk mempercayai akan adanya kekuatan pilihan “Yes” tersebut. Hal ini bagi penulis merupakan sesuatu yang absurd, yang tidak dapat dipikirkan berdasarkan rasio.
7 Eksistensialisme Kierkegaard..., Prayoga Rafila Dwikurnia, FIB UI, 2013
Carl Allen, ketika membuat keputusan untuk memilih ini, pastinya diselimuti oleh rasa takut dan cemas. Ada kekhawatiran tentang pilihannya ini, apakah benar ataukan tidak untuk mengambil keputusan tersebut. Carl terjebak dalam ketidakpastian, namun hal itu justru membuat Carl menemukan jawaban dari situasi yang dihadapinya. Ketika dihadapkan pada situasi tertentu, Carl memikirkan tentang berbagai kemungkinankemungkinan yang dapat terjadi. Carl bisa saja mengatakan “No” jika sekiranya pilihan tersebut merupakan hal yang baik berdasarkan rasio. Namun karena adanya kepercayaan akan kata “Yes”, Carl akhirnya memilih kata “Yes” tersebut. Seperti ketika Allison mengatakan kepada Carl apakah dia mau untuk tinggal bersama. Carl yang merasa belum siap untuk tinggal bersama berpikir bahwa dia tidak dapat menyetujui permintaan Allison tersebut. Namun dikarenakan adanya kepercayaan akan kata “Yes”, dia akhirnya menyetujui apa yang diinginkan Allison itu. Carl disini merupakan subyek yang memilih satu dari berbagai pilihan yang ditawarkan kepada dirinya. Kepercayaan (faith) dari Carl ini adalah kata “Yes” tersebut. Gairah yang dimiliki Carl membuatnya menjadikan kata “Yes” sebagai pilihan subyektif yang diambilnya. Pilihan “Yes” dari Carl Allen ini memberikan ketakutan dan kecemasan bagi dirinya sendiri. Pada tahap ini, Carl mengalami keputusasaan sehingga dia menggantungkan diri pada pilihan yang dikiranya akan menempatkannya pada situasi yang menguntungkan. Pilihan yang diambil berdasarkan keyakinan akan adanya kepercayaan tentang kekuatan kata “Yes” tersebut merupakan sesuatu yang absurd. Keyakinan Carl akan kata “Yes” ini membuatnya sampai pada keputusasaan untuk terus mengatakannya apapun resiko yang mungkin saja dapat terjadi di masa depan. Carl melakukan tindakan dengan menggunakan kebenaran subyektif, berdasarkan keyakinan yang dimilikinya untuk mencapai eksistensi dalam dirinya ini. “Faith is the highest passion in a man” (Kierkegaard, 1941, hlm. 94).
Carl mempunyai gairah (passion) untuk dapat mencapai keberuntungan .Bagi Carl, untuk mencapai keburuntungan ini adalah mempercayai kata “Yes” tersebut. Kata “Yes” ini diyakini sebagai kepercayaan (faith) dari Carl untuk memenuhi gairah yang ada. Tindakan Carl ini merupakan apa yang dikatakan Kierkegaard sebagai kepercayaan untuk mencapai eksistensialismenya. Manusia yang yang memiliki pergumulan batin dalam keyakinannya, sekaligus memiliki komitmen yang kuat terhadap kepercayaan 8 Eksistensialisme Kierkegaard..., Prayoga Rafila Dwikurnia, FIB UI, 2013
tersebut dengan segala resiko yang ada di dalamnya. Carl melakukan lompatan iman (leap of faith) dengan mengambil keputusan berdasarkan keyakinan yang dia percayai. Namun, keyakinan Carl akan kata “Yes” ini tidak serta merta membuatnya merasa aman akan kehidupan yang akan dia jalani di masa mendatang. Dia menyadari bahwa ada situasi dan kondisi yang tidak sesuai dengan kehendaknya, sehingga timbul perasaan ketidaksesuaian dengan apa yang dijalani. Dia menyadari ada nilai yang lebih tinggi berdasarkan pemenuhan hasrat semata, yang tentunya harus melakukan petimbangan-pertimbangan terlebih dahulu, yaitu berdasarkan apakah nilai tersebut baik ataukan buruk. Dia melakukan perenungan untuk melakukan pengambilan keputusaannya. Carl menyadari bahwa gairah dalam dirinya terus-menerus dalam proses mencari dan tahapan eksistensialime religius ini tidak dapat lagi mengakomodasi hal tersebut. Ada perubahan gairah (passion) dalam diri Carl, yaitu ketika tadinya gairahnya berupa kata “Yes” yang merupakan konsep, menjadi berdasarkan pertimbangan baik dan buruk. Hal ini menjadi kepercayaan (faith) dalam diri Carl sehingga pada situasi dan kondisi saat inilah nantinya Carl akan mencapai tahapan baru, yaitu tahapan etis. Tahapan yang untuk menentukan keputusan haruslah berdasarkan pertimbangan nilai yang baik dan nilai yang buruk.
2.3. Pilihan Berdasarkan Pertimbangan Pilihan berdasarkan pertimbangan tentang apa yang dilakukan Carl Allen dalam film Yes Man ini menurut penulis merupakan posisi manusia pada tahapan etis berdasarkan tahapan-tahapan eksistensialisme Kierkegaard. Pada situasi ini, diceritakan bahwa Carl mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan
yang akan diambil ketika
dihadapkan pada pilihan yang menghampirinya. Carl yang sebelumnya memilih berdasarkan pemenuhan hasrat, kemudian berkembang dengan memilih berdasarkan keyakinan, akhirnya sampai pada tahap dimana dia memilih berdasarkan pertimbangan apakah hal tersebut baik ataukah buruk. Standar baik dan buruk ini ditentukan oleh manusia itu sendiri berdasarkan asas subyektifitas. Carl mencapai tahapan ini tidak serta merta sadar sepenuhnya oleh dirinya sendiri. Ada faktor dari luar yang mempengaruhi Carl sehingga dia dapat mencapai posisi di tahapan ini. Carl diperkuat oleh perkataan dari pemimpin seminar perbaikan kepercayaan diri yang sebelumnya menyuruh seluruh peserta seminar tersebut untuk selalu mengatakan “Yes”, bahwa kata “Yes” itu tidak mempunyai kekuatan apapun. 9 Eksistensialisme Kierkegaard..., Prayoga Rafila Dwikurnia, FIB UI, 2013
Kata tersebut hanyalah sebagai pemicu bagi orang-orang yang mengalami kebosanan dalam hidupnya untuk kembali bersemangat dalam menjalani kehidupan. Pemimpin tersebut juga mengatakan bahwa pada perkembangannya kata “Yes” itu bukanlah satusatunya pilihan yang harus diambil. Pilihan yang harus diambil adalah harus berdasarkan keyakinan pakah pilihan tersebut nilainya baik ataukah nilainya buruk. Salah satu langkah besar bagi Carl dalam mencapai tahapan ini adalah ketika dia diminta untuk bercinta dengan pacar sahabatnya sendiri yang sedang dirundung masalah. Carl melakukan perenungan dan mempertimbangkan kemungkinankemungkinan yang dapat terjadi berdasarkan pertimbangan baik atau buruk. Pada akhirnya Carl menolak untuk melakukan hal tersebut. Gairahnya pada saat tersebut adalah menolak. Carl meyakini hal tersebut sehingga memilih kata “No” setelah tadinya mempertimbangkannya berdasarkan standar baik dan buruk menurut dirinya sehingga mempunyai kepercayaan untu menolak. Keputusan tersebut diambil Carl karena ada pertimbangan dalam dirinya yang takut dengan hubungan dia dengan sahabat baiknya jika melakukan hal tersebut. Selain itu dia juga takut dan setia akan komitmennya terhadap Allison sehingga jika melakukan hal tersebut, maka itu berarti Carl sudah melanggar. Hal yang baik bagi Carl saat itu adalah menolak, nilai yang buruk adalah jika menyetujui permintaan tersebut. Pilihan yang diambil Carl ini merupakan suatu langkah untuk orang yang dia kasihi, yaitu sahabat dan terutama pacarnya, Allison. Dia tidak ingin melukai perasaan orang-orang yang berada di dekatnya, terlebih merupakan orang-orang yang sangat berharga bagi dirinya. Hal tersebut dilakukan Carl berdasarkan pertimbangan yang merupakan nilai etis. Gairah (passion) Carl adalah bersama orang-orang yang dikasihinya. Dia meyakini hal tersebut,
sekaligus
menjadi
kepercayaan
(faith)
bagi
dirinya
sehingga
mempertimbangkan tawaran tersebut, dan kemudian menolaknya setelah merenung tentang baik atau buruknya keputusan tersebut. Bagi penulis, saat itulah Carl sebagai subyek pengada berada pada tahapan etis. Carl Allen mencapai tahap dalam dirinya sendiri untuk menuju kepada eksistensi yang dapat dia maknai dalam hidupnya melalui keputusan yang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan apakah baik ataukah buruk. Perenungan yang Carl lakukan ketika dihadapkan pada situasi tersebut merupakan suatu pertimbangan dari segi positif. Dia dihadapkan akan adanya kecemasankecemasan saat melakukan pertimbangan-pertimbangan tersebut. Hal tersebut 10 Eksistensialisme Kierkegaard..., Prayoga Rafila Dwikurnia, FIB UI, 2013
membuatnya mencapai pada satu titik berupa nilai baik dijadikan tujuan yang harus dipilih. Carl menyadari bahwa dirinya sebagai individu mempunyai kecemasan yang didasari atas kebebasannya untuk memilih, meskipun kecemasan tersebut datang dari faktor-faktor luar, yaitu orang-orang yang berarti bagi hidupnya. Namun, eksistensi dari Carl Allen ini tidak ditentukan oleh orang lain. Dia memiliki kualitas etis dalam dirinya sendiri. Dia memiliki pertimbangan apakah hal tersebut merupakan hal yang baik ataukah buruk berdasarkan dirinya sendiri yang membuatnya memutuskan pilihan. Ada gairah (passion) dalam dirinya yang menekankan adanya perubahan tahapan eksistensialisme Carl berada. Kepercayaan Carl akan adanya kehidupan yang lebih baik dapat terakomodasi oleh pilihan dirinya
yang berada pada tahapan
eksistensialisme etis. Perpindahan tahapan eksistensialisme Carl ini merupakan citacita dari kepercayaan (faith) yang Carl yakini, dan dia jalani sehingga menentukan langkah untuk menuju ke tahapan eksistensialisme etis. Kepercayaan (faith) Carl berpindah dari yang tadinya berupa konsep kata “Yes”, menjadi kepercayaan terhadap orang-orang yang dia kasihi. Atas dasar inilah Carl melakukan perpindahan tahapan,
dari
yang
tadinya
berada
pada tahapan
eksistensialisme religius menjadi tahapan eksistensialisme etis. Ketidakpastian akan segala pilihan yang ada membutuhkan keyakinan yang berdasarkan pada kebenaran subyektif. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh manusia yang dapat memaknainya. Begitu banyak kemungkinan yang ada, namun semuanya itu mengandung ketidakpastian.
Keputusan
yang
diambil Carl Allen merupakan keputusan
eksistensialnya, yaitu Carl yang sudah menemukan pemaknaan dalam dirinya sendiri. Nilai baik dan nilai buruklah yang menjadi ciri suatu manusia yang berada dalam tahapan eksistensialisme etis menurut Kierkegaard.
3. Kesimpulan Manusia dalam menjalani hidupnya akan selalu menghadapi kondisi untuk memilih. Manusia sadar bahwa dia mempunyai kebebasan untuk melakukan pilihan tersebut. Namun dalam kebebasan yang dimiliki oleh manusia itu, ada kecemasan-kecemasan yang muncul sehingga pada akhirnya pilihan tersebut akan bersandar pada kebenaran subyektif. Saat mengambil keputusan ketika dihadapkan situasi untuk memilih inilah, 11 Eksistensialisme Kierkegaard..., Prayoga Rafila Dwikurnia, FIB UI, 2013
manusia tersebut dapat terlihat sampai dalam tahapan eksistensialisme apakah berdasarkan
tahapan-tahapan
eksistensialisme
Kierkegaard.
Tahapan-tahapan
eksistensialisme ini tidak berlangsung secara tetap dan terus-menerus, namun dapat mengalami perkembangan, apakah menuju ke tahapan yang lebih tinggi, atau justru ke tahapan yang lebih rendah. Perpindahan tahapan ini dikarenakan adanya gairah (passion) dalam diri manusia yang terus dalam proses mencari sehingga pada nantinya manusia tersebut akan menemukan posisi untuk berada. Manusia adalah subyek yang terus bergerak aktif yang senantiasa meninggalkan hal yang sudah tidak mencerminkan kekinian dan akan terus bergerak maju untuk mencapai pemenuhan eksistensinya. Kebebasan untuk memilih pada manusia, bagi Kierkegaard merupakan nilai manusia yang paling mendasar yang adapat membuat manusia menjadi individu yang konkret. Semua ini membutuhkan komitmen yang tegas dari manusia itu sendiri agar dapat memperoleh makna hidupnya. Manusia akan mengalami kecemasan ketika dihadapkan pada situasi harus memilih. Ketika manusia dilanda kecemasan inilah, dia akan mengalami keputusasaan sehingga menyandarkan diri pada kebenaran subyektif. Kebenaran subyektif ini membuatnya berada pada pemaknaan bagi dirinya sendiri untuk mencapai nilai eksistensialisme. Carl Allen dalam film Yes Man mengalami kehidupan yang berubah secara terus menerus. Pada awalnya dia menjalani kehidupan yang berdasarkan pemenuhan kebutuhan hasratnya semata, sehingga dia memutuskan pilihan berdasarkan spontanitas. Dalam saat tersebut Carl berada pada tahapan estetis, yaitu ketika keputusan yang diambil hanyalah untuk mencapai kepuasannya sendiri. Gairah (passion) dalam dirinya kemudian menyadari bahwa tahapan ini tidak dapat lagi sesuai dengan proses pencariannya. Selanjutnya, dia sadar bahwa pilihan tersebut tidaklah dapat terus menerus dilakukan. Dia haruslah mempertimbangkan terlebih dahulu ketika akan mengambil keputusan. Namun, Carl kemudian menemukan akan adanya kepercayaan dalam mengambil keputusan. Kepercayaan yang membuat dia yakin sepenuhnya, walaupun sebenarnya ada pilihan lain yang dapat dia ambil. Kepercayaannya tersebut membuatnya mengindahkan pilihan lain tersebut dan tetap berdasar pada keyakinannya itu. Ada gairah dalam dirinya sehingga akhirnya membuatnya memiliki kepercayaan (faith) terhadap kata tersebut. Pada saat inilah Carl mencapai
tahapan
eksistensialisme
religius
berdasarkan
keyakinan
akan
kepercayaannya tersebut. Pada akhirnya, Carl kemudian berada pada tahapan 12 Eksistensialisme Kierkegaard..., Prayoga Rafila Dwikurnia, FIB UI, 2013
eksistensialisme etis, yaitu ketika Carl kemudian merenung bahwa ketika mengambil keputusan tidaklah hanya berdasarkan keyakinan, namun haruslah juga melalui pertimbangan baik dan buruk. Gairah dalam dirinya ternyata terus berubah dan berada pada proses mencari dan mencari sehingga akhirnya Carl pindah ke tahap etis. Ketika dihadapkan pada situasi harus memilih, Carl terlebih dahulu mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang ada, apakah hal tersebut baik ataukah buruk berdasarkan standar yang diyakini secara subyekif. Gairah dalam dirinya pada akhinya menetapkan Carl berada pada tahaan eksistensialisme etis dalam mencapai titik akhir eksistensialismenya. Dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan tersebut, tidak ada satupun yang mengandung kepastian. Ketidakpastian inilah yang akhirnya akan membuat Carl berada pada kecemasan ketika memilih. Pada akhirnya, Carl menyandarkan diri pada kebenaran subyektif berdasarkan kepercayaan (faith)
dalam dirinya untuk
menentukan pilihan, tentunya berdasarkan pertimbangan nilai baik dan buruk, sehingga dapat menemukan pemaknaan dalam dirinya.
Daftar Acuan 1. Kierkegaard, Soren. (1971). Concluding Unscientific Postscript. New Jersey: Princeton University Press.. 2. -----------------------. (2004). Either/Or. UK: Penguin Books 3. -----------------------. (1941). Terj. Walter Lowrie. Fear and Trembling; The Book on Adler. (1843). Terj. Frygt og Bæven. 4. -----------------------. (1941). The Sickness unto Death. New Jersey: Princeton University Press. 5. Bagus, Lorens. (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 6. ------------------. (1991). Metafisika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 7. Bertens, K. (2004). Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 8. Cahoone, Lawrence, ed. (1996). From Modernism to Postmodernism. Oxford. 9. Dreyfus, Hubert L. dan Mark A. Wrathal. (2006). A Companion To Phenomenology and Existentialism. Oxford: Blackwell Publishing. 10. Gardiner, Patrick. (1988). Kierkegaard. Oxford New York: Oxford University Press. 11. Hadiwijono, Harun. (1994). Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.
13 Eksistensialisme Kierkegaard..., Prayoga Rafila Dwikurnia, FIB UI, 2013
12. Hassan, Fuad. (2005). Berkenalan Dengan Eksistensialisme. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. 13. Kattsoff, Louis O. (2004). Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana. 14. Kaufmann, Walter, ed. (1960). Existensialism From Dotoevsky to Sartre. New York : Meridian Books Inc. 15. Kierkegaard, Soren. (1945). Stages on Life’s Way. New Jersey: Princeton University Press. 16. Leahy, Louis. (1989). Manusia, Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 17. Paulus, Margaretha. (2006). Perjumpaan Dalam Dimensi Ketuhanan: Kierkegaard dan Buber. Jakarta : Wedatama Widya Sastra. 18. The Press Department of The Ministry for Foreign Affairs. (1958). Soren Kierkegaard: The Danish Philosopher. Copenhagen: F.E. Bording A-S. 19. Pardede, Reslian. (2005). Kebenaran Religius Menurut Soren Kierkegaard. Jurnal Filsafat Driyarkara, 5-21. 20. Heyman, David dan Richard D. Zanuck (Producer). (2008). Yes Man. (DVD). Los Angeles: Warner Bros Pictures. 21. http://en.m.wikipedia.org/wiki/Yes_Man_(film) 5 November 2012. 22. http://www.kitareview.com/Film/Komedi/Yesman.html. 5 November 2012. 23. http://www.wikipedia.com//SorenAabyeKierkegaard. 10 Desember 2012.
14 Eksistensialisme Kierkegaard..., Prayoga Rafila Dwikurnia, FIB UI, 2013