Mendamaikan Kebenaran Menghentikan Perang
MENDAMAIKAN KEBENARAN, MENGHENTIKAN PERANG
(Analisis Filosofis terhadap Akar-Akar Konflik) Abdul Halim IAIN Sunan Ampel Surabaya halim_iain@yahoo.com
Judul Buku : Truth: Interdisciplinary Dialogues In A Pluralis Age Penerbit : Leuven: Peeters Publishers, 2003 Tebal : 257 halaman Editor : C Helmer, Kristin De Troyer, Katie Goetz Format : Book, vi; 25 cm. ISBN : 9042913150- 9789042913158
Abtract To fundamentalism, which often being attractive and tend to be hard and fast looking, Lieven Boeve casts criticism related to the discourse of the ‘truth’ as this is interpreted as the sole and the single proprietary, even its ‘esense’ could not be flexible when meeting with other truths. According to Boeve, ‘truth’ belongs to compound, and anyone can speak of this ownership. However, this truth claim should not preclude interactively with other truth when comes to public spaces. Lieven Boeve then comes with a notion that he called it deficit theory of truth. Why deficit? Because each community or group has its own truth, based on traditions, beliefs, consensus and agreement. While out there, there are other communities with different traditions, beliefs, and consensus. Thus, the truth is spread on many particular communities. The truth belongs to a community is deficit, for there is a different truth held by other communities. Therefore, in view of the truth, it should be seen as a communal-intersubjective.
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
477
Abdul Halim
Abstrak Kepada fundamentalisme, yang sering bersikap atraktif dan cenderung keras, Lieven Boeve melayangkan kritik, terkait diskursus ‘truth’ ketika dimaknai sebagai satu-satunya milik sendiri dan tunggal, bahkan ‘esensi’nya pun tak bisa fleksibel ketika bertemu dengan kebenaran lain. Menurut Boeve, ‘truth’ itu milik majemuk, dan siapapun bisa bersuara atas kepemilikannya, tetapi klaim kebenaran ini tidak boleh menghalangi secara interaktif dengan kebenaran lain ketika berada di ruang publik. Lieven Boeve kemudian memunculkan suatu teori yang ia sebut sebagai teori defisit kebenaran. Mengapa disebut defisit? Karena setiap komunitas atau kelompok memiliki kebenarannya sendiri, baik yang didasarkan pada tradisi, keyakinan, konsensus, dan kesepakatan bersama. Sementara di luar sana, terdapat komunitas lain yang memiliki tradisi, keyakinan, dan hasil konsensus yang berbeda. Dengan demikian, kebenaran tersebar pada komunitaskomunitas yang partikular. Kebenaran yang dimiliki oleh satu komunitas mengalami defisit, karena ada kebenaran lain yang berbeda dimiliki oleh komunitas lain. Karena itu, dalam melihat kebenaran, harus dilihat secara komunal-intersubjektif. Kata Kunci: kebenaran, universalitas, pluralisme, toleransi
A. Pendahuluan Manusia adalah makhluk kreatif. Kebudayaan dan peradaban lahir dari tangan manusia. Bahkan, Tuhan memilih dan mempercayakan agama-Nya hanya kepada manusia. Kreatifitas, kemudian, berpadu dengan kesadaran kognitifnya. Manusia mulai mengidentifikasi diri ke dalam ras-ras, suku, bangsa, negara, dan agama. Terakhir, cita-cita tertinggi manusia adalah persatuan dalam perbedaan; meyakini diri sebagai makhluk yang tinggal di satu bumi, dan tidak perlu menciptakan perang dan permusuhan hanya karena perbedaan. Nyatanya, cita-cita ini tidak berjalan mulus disebabkan sebagian kelompok manusia yang terus berperang dan saling memusuhi. Faktornya pun hanya satu: perbedaan. Perbedaan adalah problem manusia yang kompleks dan rumit. Terdapat bermacam kepentingan di dalamnya, baik yang bernuansa politik dan perebutan kekuasaan, ekonomi dan persaingan sumber penghidupan, maupun kebudayaan dan truth claim kebenaran nilai. Perbedaan juga problem yang dilematis apabila dihadapkan dengan persatuan. Dilema muncul lantaran meniscayakan pengabaian sisi-sisi perbedaan yang menghambat, 478
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Mendamaikan Kebenaran Menghentikan Perang
kemudian menemukan atau menciptakan titik kesamaan yang mempersatukan. Upaya mengabaikan sisi perbedaan, menemukan dan menciptakan titik kesamaan adalah tindakan yang tidak dilakukan seluruh umat manusia. Ketidak-terlibatan seluruh manusia dalam membangun persatuan di atas perbedaan bukan sekedar implikasi dari egoisme yang ditopang beragam kepentingan, melainkan juga disebabkan problem ontologis dan epistemologis diskursus “perbedaan” versus “persatuan”. Perbedaan kerap berlawanan dengan persatuan. Sebab, untuk mencapai persatuan dibutuhkan pengabaian terhadap sisisisi perbedaan. Sementara, mengabaikan sisi-sisi perbedaan sama halnya menolak partikularitas yang inheren dalam perbedaan. Dua hal yang berbeda berarti keduanya tidak sama. Usaha menyamakan dua hal yang berbeda meniscayakan pengabaian dan penolakan pada sejumlah bentuk dan karakter yang melekat pada keduanya. Ini sama halnya mereduksi banyak hal demi sesuatu, dimana sesuatu tersebut hanyalah bagian kecil. Umumnya manusia tidak rela mengorbankan banyak hal yang dianggap bernilai demi satu hal yang dianggap remeh. Dengan logika ini, perdamaian seringkali dianggap satu hal yang remeh dibanding kepentingan individu atau kelompok yang diperjuangkan. Perang pun digelar. Dalam realitas hidup, problem ontologis dan epistemologis di atas mewujud pada adanya konflik dan perang; perbedaan pendapat dan keyakinan. Kerapkali, konflik ‘berdarah’ dan perang merupakan pengejawantahan atau manifestasi perbedaan pendapat dan keyakinan. Konflik dan perang adalah konstruksi kasar dan keras dari perbedaan pendapat dan keyakinan. Dengan kata lain, perbedaan pendapat dan keyakinan adalah potensi yang masih tersembunyi dan sangat halus, dan menunggu waktu yang tepat kapan akan meledak menjadi konflik berdarah dan perang. Seperti relasi antara roh dan jasad, perbedaan pendapat dan keyakinan berpengaruh pada munculnya konflik dan perang. Umumnya manusia lebih memilih berbeda pendapat dan keyakinan— sebagian lagi memilih berkonflik dan berperang—daripada berdamai dan bersatu. Ada banyak faktor dan alasan yang harus dipertahankan dan diperjuangkan oleh manusia, sekalipun harus berbuah perbedaan, bahkan konflik dan perang. Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
479
Abdul Halim
Namun demikian, perbedaan sebagai problem manusia yang kompleks sekaligus dilematis bukan lantas tak terpecahkan. Kumpulan artikel yang disunting oleh Christine Helmer, Kristin De Troyer, bersama Katie Goetz dan diberi judul Truth: Interdisciplinary Dialogues In A Pluralist Age ini mencoba menawarkan jalan keluar atas problematika di atas. Secara keseluruhan, tulisan-tulisan di dalamnya ingin memecahkan masalah perbedaan dan patrikularitas, mencarikan titik temu, dan menemukan jawaban-jawaban yang dibutuhkan untuk persatuan umat manusia dan perdamaian dunia, tanpa harus mengabaikan ciri khas yang inheren dalam setiap perbedaan. B. Problem Partikularitas dan Universalitas Dalam artikelnya yang berjudul The Particularity of Religious Truth Claims: How To Deal With It In So-Called Postmodern Context, Lieven Boeve1 menghadapkan problem partikularitas dengan universalitas. Dengan pendekatan historiskronologis, problem partikularitas dan universalitas dikategorikan berdasarkan periode. Pertama, masa pra-modern. Partikularitas adalah tempat yang dijadikan pijakan awal bagi sosialisasi prinsip universalitas. Dari ruang partikularitas lahir dan muncul universalitas. Yang partikular didakwahkan sebagai yang universal. Yang partikular disosialisasikan ke seluruh penjuru sebagai yang universal. Kedua, masa modern. Sosialisasi pertikularitas sebagai universalitas berhasil. Pada periode kedua ini, diskursus tentang yang partikular selalu terhubung (linked to) dengan yang universal. Bahkan, yang partikular dipahami sebagai yang universal itu sendiri. Batas-batas demarkasi antara yang partikular dan yang universal terhapus begitu saja. Pembedaan terhadap yang partikular dan yang universal tidak dapat dilakukan. Yang partikular diyakini sebagai yang universal. Yang universal dipahami sebagai yang partikular. Keduanya berbaur menjadi satu-kesatuan. Ketiga, masa postmodern. Pada periode ini, tidak ada Lieven Boeve, “The Particularity of Religious Truth Claims: How to Deal With It in So-called Postmodern Context”, dalam ibid., h. 183 1
480
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Mendamaikan Kebenaran Menghentikan Perang
sosialisasi dan tidak ada pula pembauran. Partikularitas dipahami sebagai hal-hal yang partikular, dan universalitas dipahami sebagai hal-hal yang universal. Partikularitas menemukan realisasi dirinya secara utuh. Yang partikular berbeda dengan yang universal. Begitu sebaliknya. Garis-garis demarkasi yang membedakan antara partikularitas dan universalitas semakin dipertegas. Yang partikular memiliki ruangnya sendiri. Begitu juga dengan yang universal. Boeve menguraikan bahwa sejak tahun 1950 para teolog membedakan antara kebenaran agama dengan kebenaran saintis. Akan tetapi, upaya-upaya untuk mencari akar (grounde) kebenaran agama terus digelar. Para teolog mulai tertarik dengan berbagai pendekatan ilmiah, seperti antropologi oleh Rahner, metafisika Hegel oleh Hans Kung, dan gerakan emansipasi kontemporer oleh Metz, Schillebeeckx, dan Peukert. Pada masa ini, kebenaran agama di Eropa didemonstrasikan dengan menggantungkan diri pada skema-skema universal, dikembangkan dan dilegitimasi oleh rasionalitas manusia.2 Sejarah mencatat, sejak masa klasik sampai modern, kebenaran agama Kristen di Eropa—yang notabene adalah kebenaran partikular—disosialisasikan kepada dunia sebagai yang universal dan mengandung nilai-nilai universalitas. Karenanya, pertanyaan terkait relasi kebenaran agama dan universalitas semakin semarak. Faktor-faktor yang mendorong keberanian mengkritik agama adalah adanya perang atas nama agama, semaraknya perkembangan ilmu pengetahuan, penerimaan terhadap ilmu pengetahuan, etika politik praktis, dan kritik yang dikenal dengan sebutan masters of suspicion.3 Pemaksaan agama sebagai satu-satunya jalan mendapat keselamatan adalah wujud lain bagaimana yang partikular didemonstrasikan sebagai yang universal. Konflik berdarah, Ibid. h. 182 Abad Pencerahan (Age of Enlightenment) adalah suatu periode sejarah Eropa yang terjadi pada abad ke-18. Pada periode ini, kepercayaan-kepercayaan tradisional dikritik bertubi-tubi. Masyarakat mulai sadar betapa pentingnya diskusi-diskusi ilmiah digelar. Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_ Pencerahan. Diakses pada 13 Oktober 2012. 2 3
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
481
Abdul Halim
penindasan, dan perang seringkali lahir dari hal demikian. Karenanya, Boeve4 mencoba menganalisis segelintir filsuf kontemporer seperti Herman De Jin, Richard Rorty, Jacques Derrida, Jurgen Habermas, dan kalangan Ortodok Radikal. Para filsuf ini melibatkan diri dalam kajian hubungan antara kebenaran agama dengan partikularitas. Bagi Herman de Jin,5 seperti yang dikutip Boeve, agama bukan soal kebenaran, sebab kebenaran adalah soal realitas konnitif-saintifik, dan sedikit sekali berhubungan dengan realitas makna dan nilai hidup seperti yang dijadikan fokus agama-agama dunia. Menurut Herman de Jin, kebenaran agama lebih terkait dengan pembenaman diri dalam partikularitas dan muatan tradisi yang terbagi ke dalam komunitas-komunitas partikular, yang memuat nilai-nilai yang kompleks, etika, cerita, kebiasaan, dan ritual yang bermakna. De Jin menyimpulkan, kebenaran agama terletak pada tradisi hidup yang partikular dan tidak berkaitan dengan universalisasi pandangan-pandangan tradisi tersebut.6 Menurut Boeve,7 Richard Rorty juga membicarakan relasi antara kebenaran dan partikularitas. Bagi Rorty, kebenaran adalah apa yang dianggap sebagai kebenaran oleh standar komunitas partikular. Legitimasi kebenaran bukan pada verifikasi melainkan pada praktek sosial. Demikin juga, objektifitas bukan tanda kebenaran melainkan solidaritas. Dengan kata lain, kebenaran makna agama yang terdapat dalam komunitas tertutup partikular berbeda dengan kebenaran objektif, komunikatif, dan universal yang dimiliki semua orang. 4 Lieven Boeve, “The Particularity of Religious Truth Claims: How to Deal With It in So-called Postmodern Context”, h. 185 5 Dilihat dari pandangan-pandangannya, Herman De Jin adalah filsuf post-metafisika tradisional. Sedangkan metafisika tradisional itu sendiri masih berpikir dengan cara merepresentasikan, menjelaskan, dan mengkalkulasi. Padahal metafisika tidak dapat mengangkat pertanyaan mengenai “Ada.” Tindakan yang dapat dilakukan adalah mempertanyakan “Ada” sebagai “Pengada” yang dapat direpresentasikan, dijelaskan, dan dikalkulasikan. Tapi “Ada” bukanlah “Pengada”. Lihat penjelasannya di Sastrapratedja, “Dari Allah Metafisika ke Allah CInta Kasih”, dalam Hendri Widayasih, dkk., Memahami Kebenaran Yang Lain Sebagai Upaya Pembaharuan Hidup Bersama (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2010), h. 375. 6 Lieven Boeve, “The Particularity”, h. 185 . 7 Ibid., h. 186.
482
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Mendamaikan Kebenaran Menghentikan Perang
Bagi Boeve, strukturalisme Derrida mirip dengan teori aksi komunikasi Jurgen Habermas.8 Klaim kebenaran partikularitas harus diletakkan pada argumentasi intersubjektifitas. Proposisiprososisi yang benar adalah yang merupakan hasil konsensus (Herrschaftsfreie Kommunikation). Partikularitas tidak bisa direduksi, akan tetapi memberikan akses kepada kebenaran universal apabila terjadi secara reflektif dan argumentatif dalam praksis komuniasi. Sekalipun sepertinya, ini hanyalah mimpi Habermas. Sebab, tidak semua hal yang menyangkut kebenaran dapat disepakati bersama secara universal, kecuali pada beberapa hal saja. Ini artinya partikularitas tetap ada. Selanjutnya, bagi Boeve, kalangan radikal otrodok menerapkan standar ganda. Mereka bersepakat dengan postmodern selama fasih menjelaskan kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh modernitas, yaitu ketika dunia kehilangan dimensi nilai dan makna.9 Punggawa Radikal Ortodok ini adalah John Milbank.10 Pemikiran Lieven Boeve ini, kemudian, memunculkan suatu teori yang lebih pas disebut sebagai teori defisit kebenaran.11 Mengapa disebut defisit? Karena setiap komunitas atau kelompok memiliki kebenarannya sendiri, baik yang didasarkan pada tradisi, keyakinan, konsensus, dan kesepakatan bersama. Sementara di luar sana, terdapat komunitas lain yang memiliki tradisi, keyakinan, dan hasil konsensus yang berbeda. Dengan demikian, kebenaran tersebar pada komunitas-komunitas yang partikular. Kebenaran yang dimiliki oleh satu komunitas mengalami defisit, karena ada kebenaran lain yang berbeda dimiliki oleh komunitas lain. Tidak ada kebenaran yang dimiliki secara bersama, maksimal sekedar bersifat intersubjektif. Ibid., h. 189. Ibid. 10 Milbank adalah figur teolog yang kontroversial yang berpendapat bahwa ilmu sosial merupakan produk dari etos modern, yaitu sekularisme yang berangkat dari ontologi kekerasan (onthology of violence). Karena itulah, teologi tidak bisa dibangun di atas teori sosial sekuler. Teologi menawarkan kedamaian, visi komprehensif atas realitas terkait dengan sosial politik tanpa membutuhkan basis teori ilmu sosial dan politik berbasis sekularisme yang kacau. Lihat di http://en.wikipedia.org/wiki/John_Milbank. diakses pada 13 Oktober 2012. 11 Boeve, “The Particularity”, h. 193. 8 9
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
483
Abdul Halim
Secara eksplisit, teori Lieven Boeve ini mengangkat problem partikularitas kebenaran agama-agama dalam relasinya dengan universalitas. Akan tetapi, secara implisit, kerangka epistemologis partikularitas ala Lieven Boeve ini, untuk sementara, memberi gambaran awal bagi kita mengenai periodesasi dan akar-akar perbedaan, konflik, dan perang, dan bagaimana semua itu terjadi. Kebenaran partikular yang dipaksakan akan berdampak pada benturan-benturan kebenaran, mengingat terlalu banyak kebenaran. Universalisasi satu kebenaran partikular pasti melahirkan respon negatif yang boleh jadi mewujud dalam bentuk resistensi, konflik, dan perang. Jika ditarik lebih jauh, maka bukan saja kebenaran partikular dalam agama; akan tetapi kebenaran partikular apapun yang dipaksakan pasti melahirkan benturan dan konflik. Kebenaran partikular bisa saja berwajah kebenaran ideologis, baik politik, ekonomi, etnis, maupun budaya. Karenanya, kita seringkali melihat konflik dan perang tidak sekedar dipicu oleh agama dan pembelaan terhadap Tuhan. Akan tetapi, konflik dan perang juga dipicu oleh kepentingan politik, ekonomi, dan budaya yang berseberangan satu sama lain dan saling berebut menjadi yang paling unggul. Perang dan konflik berdarah digelar hanya disebabkan oleh perbedaan-perbedaan yang partikular, dan “dipaksakan” untuk menjadi yang universal. Pemaksaan dapat dilakukan secara terbuka maupun tersembunyi. Orang lain harus sama dengan kita. Kelompok lain harus mengikuti kita. Kebenaran orang lain harus tunduk di bawah kebenaran kita. Tidak ada orang lain, yang ada hanyalah kita. Inilah inti penyebab konflik dan perang. C. Pluralisme tanpa Relativisme Artikel kedua yang ditulis David Ray Griffin dengan judul Truth As Correspondence, Knowledge As Dialogical: On Affirming Pluralism Without Relativism,12 menarik untuk memecahkan David Ray Griffin, “Truth As Correspondence, Knowledge As Dialogical: On Affirming Pluralism Without Relativism”, dalam Christine Helmer dan Kristine De Troyer, Truth, h. 233. 12
484
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Mendamaikan Kebenaran Menghentikan Perang
problem keragaman kebenaran dan kepentingan yang kerap dijadikan alat legitimasi untuk menggelar perang yang memakan korban. Betapa banyak manusia menggelar perang dan konflikkonflik berdarah lainnya atas nama kebenaran agama maupun kebenaran ideologis tertentu. Yang demikian patut disesali dan diatasi. Adanya keragaman kebenaran, baik yang berbau religiusitas maupun ideologis, adalah tanda sebuah era yang disebut “era pluralisme” (pluralistic age). Secara sederhana David Ray mendefinisikan pluralisme sebagai pandangan yang berbeda-beda (various ways).13 David Ray melanjutkan bahwa pluralisme tidak lantas dikaitkan dengan relativisme, di mana tak ada satupun yang benar, sehingga semuanya dianggap relatif. Akan tetapi, pluralisme dalam pengertian David Ray adalah kenyataan bahwa tak ada satu agama pun atau nilai budaya tertentu yang memonopoli kebenaran. Dengan kata lain, setiap yang partikular tetap memiliki kebenarannya tersendiri sekalipun tidak memonopoli yang lain. Kebenaran-kebenaran bagaikan dedaunan kering yang berserakan, yang jatuh dari satu pohon yang sama; pohon kebenaran. Pluralitas kehidupan dalam berbagai dimensi tidak dapat dipungkiri. Kemajemukan budaya, ras, tradisi, bahasa, adat, dan agama selalu mewarnai dialektika kehidupan di atas bumi. Menolak pluralitas sama halnya menolak kenyataan riil. Masalahnya kemudian, tidak semua orang berlapang dada untuk menerima kenyataan plural, rendah hati menghargai kebenaran di luar dirinya tanpa mengurangi kepercayaan akan kebenaran yang dimilikinya sendiri. Inilah “tradisi” ekslusif yang masih eksis di era pluralis seperti ini. Pemahaman akan kebenaran yang ekslusif, umumnya, menekankan absolutisme, fundamentalisme, dan menentang pluralisme dan inklusifisme dalam beragama. Dalam realitas muncullah organisasi-organisasi fundamentalis-radikal, yang kerap menggunakan kekerasan dalam memaksakan kebenaran 13
Ibid., h. 242.
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
485
Abdul Halim
yang diyakininya. Dalam ranah politik muncul, semisal: Nazisme,14 fasisme,15 rasisme,16 dan semacamnya. Dalam menolak truth claim yang memicu konflik dan perang, David Ray Griffin mencoba memecahkannya dengan teori korespondensinya. Mula-mula, David Ray menolak kebenaran sebagai sesuatu yang harus koresponden. David Ray tidak menolak teori koresponden sebagai sebuah teori itu sendiri. Tetapi yang ia tolak adalah kebenaran sebagai sesuatu yang harus koresponden.17 Teori korespondensi ia terima sebagai salah satu dari berbagai teori lainnya. Tetapi, apabila kebenaran hanya akan diterima sebagai sebuah kebenaran ketika memiliki korespondensi dengan kebenaran lain, maka David Ray menolaknya. Teori koresponden adalah sebuah teori yang mengatakan bahwa pengujian kebenaran menekankan kesetiaan kepada realitas objek. Yang benar itu adalah yang sesuai dengan fakta atau situasi. Teori ini banyak digunakan oleh kelompok realis.18 Penolakan David Ray dimulai dari kritiknya bahwa semua upaya manusia 14 Nazi, atau secara resmi Nasional Sosialisme (Jerman: Nationalsozialismus), merujuk pada sebuah ideologi totalitarian Partai Nazi (Partai Pekerja Nasional-Sosialis Jerman, Jerman: Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei atau NSDAP) di bawah kepemimpinan Adolf Hitler. Sampai hari ini orang-orang yang berhaluan ekstrem kanan dan rasisme sering disebut sebagai Neonazi (neo = «baru» dalam bahasa Yunani). Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/ Jerman_Nazi. Diakses 13 Oktober 2012. 15 Fasisme adalah gerakan radikal ideologi nasionalis otoriter politik. Fasis berusaha untuk mengatur bangsa menurut perspektif korporatis, nilai, dan sistem, termasuk sistem politik dan ekonomi. Mereka menganjurkan pembentukan partai tunggal negara totaliter yang berusaha mobilisasi massa suatu bangsa dan terciptanya «manusia baru» yang ideal untuk membentuk suatu elit pemerintahan melalui indoktrinasi, pendidikan fisik, dan eugenika kebijakan keluarga termasuk. Fasis percaya bahwa bangsa memerlukan kepemimpinan yang kuat, identitas kolektif tunggal, dan akan dan kemampuan untuk melakukan kekerasan dan berperang untuk menjaga bangsa yang kuat. pemerintah Fasis melarang dan menekan oposisi terhadap negara. Lihat: http:// id.wikipedia.org/wiki/Fasisme. diakses 13 Oktober 2012 16 Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya. Lihat: http:// id.wikipedia.org/wiki/Rasisme. Diakses tanggal 13 Oktober 2012. 17 David Ray Griffin, “Truth As Correspondence, Knowledge As Dialogical: On Affirming Pluralism Without Relativism”, h. 238. 18 Hendro Darmawan, dkk., Kamus Ilmiah Populer, cet ke-3 (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2011), h. 340-341.
486
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Mendamaikan Kebenaran Menghentikan Perang
untuk melakukan observasi terhadap dunia telah terbebani oleh berbagai teori terlebih dahulu. Sehingga kita tidak memiliki akses untuk dunia seperti apa adanya (have no access to the world in itself). Kita juga tidak dapat keluar dari seluruh sistem keyakinan kita sendiri (our belief-system) sehingga lebih memungkinkan bagi kita untuk melihat dunia yang apa adanya itu memiliki korespondensi terhadap semua keyakinan kita tentang dunia itu sendiri.19 Dengan begitu, kebenaran yang hard core commonsense20 -- yaitu bukan saja apa yang diamini oleh semua manusia dalam kata-kata melainkan juga dijalankan dalam praktek kehidupan mereka-- tidak perlu diragukan lagi. Apa yang masuk kategori hard core commonsense ini sangatlah banyak, salah satunya kebenaran agama. Di luar agama, kebenaran ideologis menjadi salah satu dari sekian banyak kebenaran yang sudah hard core commonsense ini. Oleh karena itulah, kebenaran itu bertebaran di mana-mana, seperti butiran-butiran pasir di padang sahara dan sepanjang bibir pantai. Manusia bebas memilih salah satu kebenaran tanpa memaksakan kebenarannya kepada orang lain; tanpa harus memonopoli kebenaran. Dalam satu deskripsi panjang David Ray mencontohkan bahwa dunia medis di Barat memiliki teorinya tersendiri untuk menyembuhkan tubuh yang sakit. Sementara dunia medis di Cina juga memiliki caranya tersendiri yang berbeda. Namun, dua cara yang berbeda tersebut tetap menghasilkan hal yang positif bagi tubuh manusia, yakni kesembuhan. Demikian pula, keyakinan agama Buddha berbeda dengan Kritsten dan Yahudi. Namun, ketiga agama tersebut sama-sama menghasilkan hal-hal positif bagi jiwa dan kepribadian manusia.21 Maksud David Ray adalah bahwa ia ingin mengatakan agar kebenaran yang dimiliki oleh satu komunitas tidak dipaksakan untuk mendominasi kebenaran yang dimiliki oleh komunitas lain. Selanjutnya David Ray mengatakan bahwa realitas itu pada Griffin, “Truth As Correspondence”, h. 239. Ibid., h. 235. 21 Ibid., h. 243. 19 20
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
487
Abdul Halim
hakikatnya sangat kompleks. Akan tetapi, kompleksitas tidak harus meniscayakan konflik dan pertentangan. Komplesitas yang plural tersebut adalah fakta spontan dari realitas itu sendiri.22 Perbedaan tidak lantas saling menyalahkan, melainkan saling melengkapi satu sama lain. Berbeda bukan berarti tidak bisa bergandengan bersama. Pengingkaran dan perilaku kurang menghargai terhadap kenyataan pluralitas akan berakhir pada konflik berkepanjangan, bahkan menelan korban. Dalam ruang lingkup ini, kebenaran suatu penafsiran menjadi subjektif dan relatif. Akan tetapi, relatif bukan berarti tidak menyimpan kebenaran. Relatif tetaplah bernilai benar hanya saja di luar dirinya terdapat nilai kebenaran lain. Inilah yang disebut various ways oleh David Ray atau teori defisit kebenaran ala Lieven Boeve. Dalam konteks kebenaran agama itu sendiri, Nurcholis Madjid mengatakan, agama sebagai nilai dan ajaran bersifat absolut, tetapi pemahaman manusia terhadap nilai dan ajaran itu bersifat relatif dan ditentukan oleh latar belakang intelektual dan budaya.23 Dalam ungkapan Komaruddin Hidayat, teologi dan doktrin keagamaan tidak pernah lepas dari keterlibatan subjektif, yaitu penafsiran dan kecenderungan pribadi dan kelompok.24 Demikian pula dalam konteks kebudayaan. Manusia hidup dalam tradisi, adat-istiadat, dan kebudayaan yang berbeda. Tidak perlu menilai kebudayaan orang lain lebih rendah dibanding budaya kita, sebab hal itu mendorong munculnya rasisme dan etnosentrisme.25 Ibid., h. 244 Nurcholis Madjid, “in Search of Islam ic Roots for Modern Pluralis: The Indonesian Experiences”, dalam Mark R. Woodward (ed.), Toward New Paradigm: Recent Development in Indonesian Islamic Thought (Temple: Arizone State University, 1996), h. 104. 24 Komaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 124 25 Etnosentrisme adalah kecenderungan manusia untuk melihat dunia di sekelilingnya melalui kacamata dan sudut pandang kebudayaannya sendiri. Istilah etnosentrisme ini sering dipandang negatif. Karena didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk melihat orang lain dengan cara di luar latar belakang budayanyasendiri. Dalam etnosentrisme ini muncul apa yang disebut egoisme kesukuan. Sebuah definisi terkait etnosentrisme memiliki kecenderungan untuk menilai orang dari kelompok, masyarakat, atau gaya hidup yang lain sesuai dengan standar dalam kelompok atau budaya sendiri. Di sinilah ego kesukuan itu 22 23
488
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Mendamaikan Kebenaran Menghentikan Perang
Pluralisme merupakan syarat utama untuk menciptakan kehidupan yang penuh kerukunan dan perdamaian. Pluralisme menghendaki setiap manusia untuk tetap memegang teguh keyakinan mereka sendiri sebagai sebuah kebenaran utuh, akan tetapi harus berlapang dada menghargai bahwa di luar dirinya terdapat komunitas lain yang memiliki sistem kebenarannya yang utuh pula. Dengan kata lain, pluralisme menuntut “kelembutan”; hati, sikap, pikiran, dan tindakan. Kelembutan dalam pluralisme akan mengantarkan manusia untuk siap selalu belajar dan menghormati mitra dialognya.26 Ini artinya, kebenaran itu tersebar dimana-mana. Setiap individu atau komunitas memiliki kebenarannya sendiri. Sehingga terciptalah realitas plural. Namun, realitas plural atau majemuk semacam itu bukan lantas diartikan sebagai yang relatif (tak ada yang benar), melainkan sebagai various ways of truth (banyak jalan meraih kebenaran). D. Cara Menyampaikan Kebenaran Permusuhan, konflik, dan perang bukan sekedar problem perbedaan pendapat dan benturan kebenaran yang dipaksakan. Lebih jauh, konflik dan perang adalah implikasi dari cara penyampaian kebenaran yang salah. Cara yang salah dalam menyampaikan pendapat, keyakinan, ideologi, maupun kebenaran yang diyakini, dapat memicu munculnya permusuhan, konflik, dan perang. Cara yang tepat atau metode yang benar sangat diperlukan guna mendukung usaha menciptakan perdamaian dunia dan persatuan seluruh umat manusia. David Ray mengatakan, “kita tidak perlu meragukan teori kebenaran yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan kebenaran agama yang sifatnya transendental. Apalagi dalam kehidupan nyata, kita lebih banyak bertindak daripada memiliki teori—seperti yang dikatakan oleh muncul, dan implikasinya cenderung melihat kelompok lain sebagai kelompok yang inferior (lebih rendah) dibanding kelompoknya sendiri. Pembahasan mengenai etnosentrisme ini dapat ditelusuri dalam D. Matsumoto, Culture and Psychology (Belmont: Wadsworth, 2000). 26 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999), h. 43. Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
489
Abdul Halim
Charles Sanders Peirce dan William James.”27 Dari sana, kita juga tidak perlu meragukan kebenaran yang diyakini dan dijalani oleh orang lain. Yang paling penting adalah bagaimana sesuatu (agama, ideologi, adat dan buaya) yang kita miliki tidak menimbulkan benturan dahsyat dengan apa yang dimiliki orang lain. Kebenaran harus disampaikan dengan cara-cara yang pasti membuahkan perdamaian.28 Kebenaran (agama dan ideologi) yang tidak disampaikan dengan cara-cara yang mempertimbangkan perdamaian, akan menciptakan konflik, perang, dan permusuhan. Agama maupun ideologi dapat memperparah dan memperpanjang perang. Tetapi, pada saat yang sama agama maupun ideologi dapat menghentikan perang. Semua itu tergantung pada cara mengkomunikasikan kebenaran. Manusia menghendaki perdamaian. Karenanya, apapun harus dijadikan alat untuk menciptakan perdamaian. Dalam konteks agama, Hans Kung mengatakan, “perdamaian adalah ciri-ciri utama dari setiap agama, tentu tugas mereka adalah menciptakan perdamaian.”29 E. Penutup Sebagai sebuah karya yang berbentuk bunga rampai, buku ini memiliki kelemahan laten, yaitu secara teknis tulisantulisan di dalam buku ini sebagian besar mengalami pengulangan atas tema-tema yang sudah dibahas pada bab-bab sebelumnya. Pengulangan-pengulan semacam itu menjadi sedikit mengganggu, Griffin, “Truth”, h. 238. Damai memiliki banyak arti: arti kedamaian berubah sesuai dengan hubungannya dengan kalimat. Perdamaian dapat menunjuk ke persetujuan mengakhiri sebuah perang, atau ketiadaan perang, atau ke sebuah periode di mana sebuah angkatan bersenjata tidak memerangi musuh. Damai dapat juga berarti sebuah keadaan tenang, seperti yang umum di tempat-tempat yang terpencil, mengijinkan untuk tidur atau meditasi. Damai dapat juga menggambarkan keadaan emosi dalam diri dan akhirnya damai juga dapat berarti kombinasi dari definisi-definisi di atas. Konsepsi damai setiap orang berbeda sesuai dengan budaya dan lingkungan. Orang dengan budaya berbeda kadang-kadang tidak setuju dengan arti dari kata tersebut, dan juga orang dalam suatu budaya tertentu. Dikutip dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Damai, diakses tanggal 13 Oktober 2012. 29 Hans Kung, “Perdamaian Dunia, Agama-agama Dunia, Etika Dunia”, dalam Ali Noer Zaman, (ed.), Agama Untuk Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 256. 27 28
490
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Mendamaikan Kebenaran Menghentikan Perang
karena menghabiskan banyak ruang namun dengan substansi yang sama. Tak banyak manfaat yang bisa dipetik dari pengulanganpengulangan tema dan substansi semacam itu selain adanya perbedaan-perbedaan terminologi yang sifatnya sangat teknis dan pendetailan yang memberi sedikit manfaat. Secara umum, kesimpulan yang dapat diambil dari buku ini ialah bahwa dengan melihat fakta-fakta sosial, sejarah dan kemanusian secara kontekstual, persoalan keumatan menjadi jernih, sehingga klaim kebenaran yang memicu pertikaian, dengan dalih perang terhadap yang ‘sesat’, tidak gampang tersulut. Jadi, menyampaikan kebenaran sah-sah saja dengan syarat tidak menimbulkan konflik dan perang. Tentu saja, di samping mempertimbangkan perdamaian, penyampaian kebenaran juga harus memperhatikan aspek sosial dan etika yang berlaku. Dan yang perlu dicatat, agama adalah salah satu sumber kebenaran. Dengan begitu, agama dapat membantu mempertahankan etika umat manusia, terutama dalam menyampaikan kebenaran. Jika kebenaran agama disampaikan dengan cara-cara yang bertentangan dengan etika dan batas-batas moralitas, maka sudah barang tentu penyampaian yang seperti itu telah mengkhianati kebenaran agama itu sendiri; mengorbankan kebenaran yang ingin disampaikannya. Batasan etika dan moral adalah pertimbangan kedua yang harus dipikirkan dalam rangka menyampaikan kebenaran, setelah persoalan perdamaian umat manusia. Batasan etika, moralitas, dan kepentingan menciptakan perdamaian dunia adalah garis-garis rel yang akan memandu penyampaian kebenaran dengan tepat dan benar.
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
491
Abdul Halim
DAFTAR PUSTAKA Darmawan, Hendro, dkk., Kamus Ilmiah Populer, cet. ke-3, Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2011. Helmer, Christine dan Kristine De Troyer, Truth: Interdisciplinary Dialogues In a Pluralist Age, Leuven: Peeters, 2003. Hidayat, Komaruddin, dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta: Paramadina, 1995. Kung, Hans, ”Perdamaian Dunia, Agama-agama Dunia, Etika Dunia”, dalam Ali Noer Zaman, (ed.), Agama Untuk Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Matsumoto, D., Culture and Psychology, Belmont: Wadsworth, 2000. Nurcholis Madjid, “in Search of Islam ic Roots for Modern Pluralis: The Indonesian Experiences”, dalam Mark R. Woodward (ed.), Toward New Paradigm: Recent Development in Indonesian Islamic Thought, Temple: Arizone State University, 1996. Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1999. Widayasih, Hendri, dkk., Memahami Kebenaran Yang Lain Sebagai Upaya Pembaharuan Hidup Bersama, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_Pencerahan. Diakses tanggal 13 Oktober 2012. http://id.wikipedia.org/wiki/Damai, diakses tanggal 13 Oktober 2012 http://id.wikipedia.org/wiki/Fasisme, diakses tanggal 13 Oktober 2012 http://id.wikipedia.org/wiki/Jerman_Nazi, diakses tanggal 13 Oktober 2012 http://id.wikipedia.org/wiki/Rasisme, diakses tanggal 13 Oktober 2012 492
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012