Genosida, Kejahatan Perang, dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Jilid I Saripati Kasus-Kasus Hukum dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda
Dikompilasi oleh: Human Rights Watch
ELSAM Jakarta
1
2
Genosida, Kejahatan Perang, dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Jilid I: Saripati Kasus-Kasus Hukum dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda. Diterjemahkan dari: Human Rights Watch, Genocide, War Crimes, and Crimes Against Humanity: Topical Digests of the Case Law of the International Criminal Tribunal for Rwanda and the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, New York: Human Rights Watch, 2004. Copyright © 2004 by Human Rights Watch. All rights reserved. Penerjemah: Eddie Riyadi Sondang Friska Editor: Erasmus Cahyadi Eddie Riyadi
Hak terjemahan dan penerbitan dalam bahasa Indonesia ada pada ELSAM. Penerbitan ini didukung dengan bantuan dari Kedutaan Besar Kerajaan Denmark dan The Asia Foundation Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
Penerbit: ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510. Tel.: (021) 797 2662; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 25219. Email:
[email protected],
[email protected]. Website: www.elsam.or.id.
3
UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN
Buku ini merupakan hasil karya kompilasi yang dikerjakan oleh International Justice Program di Human Rights Watch. Nama-nama utama di balik pengerjaan buku ini adalah antara lain Jennifer Trahan, seorang Penasihat International Justice, dan Adela Mall, seorang Konsultan. Selain itu, Ann Ferrari juga membantu dalam hal kasus-kasus hukum dari Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda (ICTR), dan Ivan Jovanovic untuk kasus-kasus hukum dari Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia (ICTY). Richard Dicker, Direktur bagian International Justice Program, menjadi pemandu utama dan secara keseluruhan. Widney Brown bertanggung-jawab untuk penyuntingan, dan Wilder Tayler dan James Ross memberikan tinjauan legal dan kebijakan. Kemudian, Yolanda J. Revilla bertanggung-jawab atas penyiapan dan persiapan manuskrip untuk penerbitannya. Human Rights Watch sangat berterima kasih kepada para hakim dan staf di ICTR dan ICTY karena telah menghasilkan dan menyelesaikan kasus-kasus hukum yang mereka tangani. Human Rights Watch juga menyampaikan penghargaan kepada War Crimes Research Office dan Human Rights Brief (seri ini telah menjadi sumber sangat berharga bagi Human Rights Watch). Keduanya beroperasi di bawah Center for Human Rights and Humanitarian Law of American University’s Washington College of Law.
4
KATA PENGANTAR
Buku ini memuat saripati dari jurisprudensi kasus-kasus hukum dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda. Buku ini menyediakan ringkasan yang padat dan mengena atau kutipan-kutipan yang tepat dan aktual dari putusan-putusan Pengadilan. Semuanya disusun berdasarkan topiknya. Buku saripati ini berfokus pada kasus hukum berkaitan dengan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, tanggung jawab individual, tanggung jawab komando, dan penghukuman. Topik-topik tersebut tidaklah mengangkat semua isu yang muncul dalam sebuah kasus, semisal putusan atau praktik mosi lainnya, dan hanya memasukkan putusan yang tersedia secara publik hingga 1 Oktober 2003. Saripati ICTR ini juga memasukkan putusan dalam Penuntut v. Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, Kasus No. ICTR-99-52-T, yang secara luas dikenal sebagai “Kasus Media”, yang dikeluarkan pada 3 Desember 2003. Banyak putusan yang dikutip berisi acuan kepada putusan lain atau dokumen lain. Human Rights Watch tidak mereproduksi ulang semua itu di sini. Silahkan mengacu kepada putusan resmi untuk acuan-acuan tambahan tersebut. Buku saripati kasus-kasus hukum ICTR ini tidak berisi analisis atau komentar atas keputusan-keputusan tersebut. Saripati (digest) merupakan alat referensi yang cepat untuk membantu para praktisi dan peneliti sehingga mereka bisa membiasakan diri mereka dengan kasus-kasus hukum yang memperlihatkan interpretasi terhadap Statuta dari ICTR dan Statuta dari ICTY (untuk kasus Bekas Yugoslavia, lihat jili II). Saripati kasus-kasus hukum ini tidak dirancang sebagai pengganti bacaan atas keputusan-keputusan aktual. Keputusan-keputusan dalam ICTR bisa didapatkan dalam website ICTR di: http://www.ictr.org/, dan untuk ICTY di: http://www.un.org/icty/index.html.
5
KASUS HUKUM DALAM PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL UNTUK RWANDA
RINGKASAN PUTUSAN TERHADAP TERTUDUH ….. DAFTAR KASUS-KASUS YANG DIMASUKKAN ..... I) GENOSIDA (PASAL 2) .... a) Statuta ... b) Pengantar Umum ... i) Unsur-unsurnya ... ii) Genosida adalah hukum kebiasaan internasional dan jus cogens ... c) Niat jahat (mental state, mens rea): tujuan khusus atau dolus specialis ... i) Pengantar Umum ... (1) Definisi … (2) Persyaratan bahwa niat telah ada sebelum perbuatan dilakukan … (3) Niat dapat diperoleh berdasarkan hasil kesimpulan … (4) Faktor-faktor untuk menilai niat jahat (mens rea) ... (5) Rencana spesifik bukan merupakan syarat tetapi adalah bukti kuat adanya niat ... ii) “Tujuan untuk menghancurkan seluruhnya atau untuk sebagian” … (1) Persyaratan jumlah yang cukup besar atau bagian penting dari suatu kelompok … (2) Pemusnahan sebenarnya terhadap seluruh kelompok bukan merupakan syarat … (3) Tidak perlu bahwa genosida dilakukan di seluruh negara tersebut … (4) Penghancuran … (a) Kekerasan seksual sebagai penghancuran … iii) Kelompok nasional, etnis, rasial atau agama tertentu ... (1) Dimaksudkan untuk mencakupi setiap kelompok yang stabil dan permanen/tetap ... (a) Apakah keanggotaan kelompok ditentukan secara subjektif atau objektif ... (2) Penafsiran kata “tertentu” ... (3) Kelompok kebangsaan … 6
(4) Kelompok etnis … (a) Penerapan … (b) Asosiasi kelompok etnis dengan agenda politik ... (5) Kelompok rasial … (6) Kelompok agama … (7) Penganiayaan terhadap perorangan yang tidak termasuk dalam kelompok yang disebutkan bukan merupakan genosida … iv) Penerapan … d) Delik-delik pokok ... i) Membunuh anggota kelompok ... (1) Unsur-unsurnya ... (2) Persyaratan kesengajaan ... (3) Kausalitas … (4) Penerapan … ii) Menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok ... (1) Definisi umum ... (2) Tanpa persyaratan bersifat permanen atau tidak dapat disembuhkan ... (3) Pemerkosaan dan kekerasan seksual dapat memenuhi syarat ... (4) Ancaman selama proses interogasi dapat memenuhi syarat ... (5) Tujuan untuk menimbulkan “luka mental yang serius” dipersyaratkan ... iii) Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian ... iv) Memaksakan tindakan-tindakan yang ditujukan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok ... v) Memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok kepada kelompok lain. ... e) Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum ... i) Genosida ... ii) Persekongkolan untuk melakukan genosida ... (1) Definisi ... (2) Niat jahat (mens rea) ... (3) Persekongkolan tidak perlu harus berhasil ... 7
(4) Persetujuan formal tidak dibutuhkan ... (5) Persekongkolan dapat disimpulkan/persyaratan pengetahuan ... (6) Koordinasi secara institusi ... (7) Persekongkolan adalah delik permulaan ... (8) Apakah pengadilan dapat menghukum dua perbuatan yaitu genosida dan persekongkolan untuk melakukan genosida untuk tindakan-tindakan yang sama ... (9) Penerapan ... iii) Penghasutan publik secara langsung untuk melakukan genosida ... (1) Langsung ... (2) Publik ... (3) Niat jahat (mens rea) untuk penghasutan genosida ... (4) Penghasutan tidak harus berhasil/untuk terjadinya penghasutan relasi kausalitas tidak disyaratkan ... (5) Penerapan ... (a) Membedakan penghasutan dengan penggunaan media secara sah ... a. Pentingnya nada ... b. Pentingnya konteks ... c. Membedakan penggunaan informasi ... d. Membedakan dari pembelaan sipil yang sah ... e. Ekspresi etnis harus melalui penelitian yang cermat ... f. Hukum internasional merupakan referensi penting ... iv) Percobaan untuk melakukan genosida ... v) Penyertaan dalam genosida ... (1) Definisi ... (a) Penyertaan mensyaratkan perbuatan positif ... (2) Niat jahat (mens rea) ... (a) Penyertaan dalam genosida tidak mensyaratkan niat khusus genosida ... (3) Persyaratan genosida ... (4) Pelaku utama tidak perlu diidentifikasi atau dihukum ... (5) Orang yang sama tidak dapat dihukum atas genosida dan penyertaan dalam genosida untuk perbuatan yang sama ...
8
(6) Perbedaan antara penyertaan dan pertanggungjawaban pidana individu atas genosida … II) KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (PASAL 3) ... a) Statuta ... b) Unsur-unsurnya ... i) Sifat dan karakter perbuatan tersebut haruslah tidak manusiawi, menimbulkan penderitaan yang sangat berat, atau luka yang serius terhadap tubuh atau kesehatan fisik dan mental (unsur 1) ... ii) Perbuatan tersebut harus dilakukan sebagai bagian dari “serangan yang sistematis atau meluas” (unsur 2) ... (1) Serangan ... (2) Pengecualian terhadap perbuatan acak atau perbuatan yang dilakukan dengan alasan pribadi ... (3) “Meluas atau sistematis”, bukan keduanya … (4) Meluas … (5) Sistematis … (a) Apakah rencana atau kebijakan disyaratkan … (6) Penerapan ... iii) Tindakan/serangan harus dilakukan terhadap penduduk sipil (unsur 3) ... (1) Keraguan mengenai terminologi yang digunakan tentang apakah “tindakan” ataukah “serangan” … (2) Definisi sipil ... (3) Kehadiran non-sipil tidak menghilangkan karakter sipil penduduk ... (4) Penduduk ... iv) Serangan harus dilakukan berdasarkan alasan diskriminatif atas dasar kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama (unsur 4) ... (1) Alasan politik ... (2) Alasan kebangsaan, etnis, rasial, agama ... v) Niat jahat (Mens Rea), (unsur 5) ... (1) Pengetahuan bahwa perbuatan pelaku adalah bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil ... 9
(2) Motif diskriminatif tidak disyaratkan untuk perbuatan-perbuatan selain penganiayaan ... vi) Termasuk aktor negara dan non-negara ... c) Delik-delik pokok ... i) Perbuatan-perbuatan individu mengandung unsurnya masing-masing dan tidak perlu mengandung unsur kejahatan terhadap kemanusiaan ... ii) Pembunuhan ... (1) Definisi ... (2) Niat jahat (mens rea) ... iii) Pemusnahan ... (1) Definisi ... (2) Niat jahat (mens rea) ... (3) Penerapan ... iv) Perbudakan ... v) Pengusiran ... vi) Pengurungan/pemenjaraan ... vii) Penyiksaan ... (1) Definisi ... (2) Pemerkosaan dapat merupakan penyiksaan ... (3) Tidak ada “persyaratan pejabat publik” ... viii) Pemerkosaan dan kekerasan seksual ... (1) Definisi ... (2) Niat jahat (mens rea) ... ix) Penganiayaan atas dasar politik, rasial dan agama ... (1) Unsur-unsurnya ... (2) Motif/Niat jahat (mens rea) ... (3) Penganiayaan juga dapat dilihat dalam akibat yang ditimbulkan ... (4) Penganiayaan lebih luas dari penghasutan ... (5) Pelaku dapat bertanggung-jawab untuk penganiayaan dan pemusnahan sekaligus ... (6) Penerapan ... (a) Penerapan pada pidato yang menyebarkan kebencian … 10
x) Tindakan tidak manusiawi lainnya ... (1) Definisi … (a) Pengantar umum ... (b) Termasuk kekerasan seksual ... (c) Penderitaan pihak ketiga ... (2) Niat jahat (mens rea) ... (a) Pengantar umum ... (b) Niat jahat untuk penderitaan pihak ketiga ... (3) Penerapan ... III.
KEJAHATAN PERANG (PASAL 4) ...
a) Statuta ... b) Pengantar umum ... i) Penerapan yang perlu dinilai ... ii) Pasal Umum 3 dan daftar perbuatan yang dilarang dalam Statuta adalah bagian dari hukum kebiasaan internasional; selain itu, Rwanda adalah negara pihak terhadap Konvensi Geneva dan Protokol-Protokol Tambahannya, dan mempidana perbuatanperbuatan yang disebutkan ... iii) Penerapan pertanggungjawaban pidana individu ... iv) Syarat “pelanggaran serius”; daftar perbuatan yang dilarang dalam Statuta Pasal 4 adalah pelanggaran serius ... c) Unsur-unsurnya ... i) Persyaratan konflik bersenjata (unsur 1) ... (1) Persyaratan konflik bersenjata dengan karakter non-internasional ... (a) Definisi “konflik bersenjata bersifat non-internasional” ... (b) Pengecualian terhadap gangguan dalam negeri … (2) Penerapan Pasal Umum 3 dan Protokol Tambahan II tergantung pada kriteria objektif … (3) Jenis konflik yang disyaratkan oleh Protokol Tambahan II- persyaratan tambahan … (a) Angkatan bersenjata … (b) Komando yang bertanggung-jawab … 11
(c) “Operasi militer yang berlanjut dan serempak” dan mengimplementasikan Protokol Tambahan II … ii) Hubungan antara tertuduh dengan angkatan bersenjata – ditolak ... (1) Sipil dapat bertanggung-jawab atas kejahatan perang ... iii) Jurisdiksi geografis (ratione loci) (unsur 2) ... (1) Saat kriteria telah terpenuhi, ia berlaku pada seluruh wilayah suatu negara, tidak hanya dalam medan perang” ... iv) Jurisdiksi personal (ratione personae) (unsur 3) ... (1) Golongan para korban – sipil yang dilindungi (2) Kehadiran non-sipil tidak menghilangkan karakter sipil penduduk ... (3) Menganalisis apakah korban mengambil bagian secara aktif dalam peperangan ... v) Keterkaitan antara kejahatan dan konflik bersenjata (unsur 4) ... (1) Syarat hubungan langsung/delik harus bertalian erat dengan peperangan … (2) Peperangan yang sebenarnya tidak disyaratkan dalam daerah kejahatan; peperangan yang sesungguhnya tidak disyaratkan pada waktu tepat terjadinya kejahatan ... vi) Niat jahat (mens rea) (unsur 5) ... d) Delik-delik pokok ... i) Kekerasan terhadap kehidupan, kesehatan fisik dan niat jahat seseorang, khususnya pembunuhan dan juga perlakuan kejam, seperti penyiksaan, mutilasi atau bentuk hukuman badan lainnya ... (1) Pembunuhan ... (2) Penyiksaan ... ii) Hukuman-hukuman kolektif ... iii) Menahan sandera ... iv) Tindakan terorisme ... v) Perbuatan
yang
biadab
terhadap
martabat
pribadi,
khususnya
perlakuan
mempermalukan dan merendahkan, pemerkosaan, pemaksaan prostitusi dan segala bentuk penghinaan yang tidak senonoh ... (1) Kebiadaban terhadap martabat pribadi termasuk kekerasan seksual ... (2) Perlakuan mempermalukan dan merendahkan ... (3) Pemerkosaan ... 12
(4) Penyerangan yang tidak senonoh ... vi) Penjarahan ... IV) PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA SECARA INDIVIDUAL (PASAL 6 (1)) … a) Statuta ... b) Pengantar umum ... i) Unsur-unsur yang disyaratkan ... ii) Kejahatan harus benar-benar terjadi bagi pertanggungjawaban dalam Pasal 6, tetapi tidak untuk genosida ... iii) Pertanggungjawaban individual dan komando dibedakan ... iv) Perencanaan,
penghasutan,
memberi
perintah,
melakukan,
perbantuan,
persekongkolan dibaca secara berbeda ... v) Dapat bertanggung-jawab untuk perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain ... c) Turut serta: bahwa perbuatan tertuduh berkontribusi pada dilakukannya perbuatan yang ilegal (unsur 1) ... i) Pengantar umum: kontribusi harus besar ... ii) Perencanaan ... iii) Penganjuran/penghasutan ... (1) Pengantar umum … (2) “Langsung dan publik” tidak disyaratkan … iv) Memberi perintah ... v) Melakukan ... vi) Perbantuan dan persekongkolan ... (1) Definisi ... (2) Membantu atau bersekongkol saja sudah mencukupi … (3) Niat jahat (mens rea) … (a) Tujuan khusus disyaratkan dalam perbantuan dan persekongkolan dalam genosida … (4) Bantuan harus diberikan secara substansial/memiliki efek substansial … (5) Pertolongan bukan merupakan unsur yang harus ada ... 13
(6) Pertolongan tidak harus dilakukan pada saat yang bersamaan dengan delik ... (7) Kehadiran tidak disyaratkan ... (8) Dukungan belaka dapat mencukupi ... (9) Kehadiran yang dikombinasikan dengan kekuasaan dapat merupakan pertolongan ... vii) Berbuat dengan tujuan pidana umum: dapat menimbulkan pertanggungjawaban dalam hal melakukan, atau perbantuan, dan persekongkolan ... d) Niat jahat (mens rea) (unsur 2) ... e) Penerapan ... V) PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO (PASAL 6 (3)) ... a) Statuta ... b) Pengantar umum ... i) Pertanggungjawaban
pidana
individu
dan
pertanggungjawaban
komando
dimungkinkan ... c) Unsur-unsurnya ... i) Adanya kontrol yang efektif dalam hubungan atasan-bawahan (unsur 1) ... (1) Hubungan atasan-bawahan ... (2) Kontrol yang efektif ... (3) Tidak cukup jika hanya mempertimbangkan kontrol secara de facto dan kontrol secara de jure/status formal saja ... (4) Berlaku terhadap sipil dan juga komandan militer ... (5) Apakah sipil disyaratkan penguasaan yang sama dengan militer untuk dapat bersalah ... ii) Niat jahat (mens rea) (unsur 2) ... (1) Pengetahuan atau pengetahuan yang patut dimiliki bahwa kejahatan akan dilakukan, sedang dilakukan atau sudah dilakukan ... (2) Tanggung jawab tidak berdasarkan pada tanggung jawab langsung (strict liability) ... (3) Pengujian yang berbeda untuk niat jahat komandan sipil dan militer ... iii) Kegagalan untuk mengambil langkah-langkah penting dan pantas untuk mencegah atau menghentikan kejahatan, atau menghukum pelaku (unsur 3) ...
14
(1) Percobaan untuk mencegah atau menghukum harus dipertimbangkan kecuali tertuduh memerintahkan kejahatan itu ... d) Penerapan ... VI) PEMBELAAN ... a) Alibi dan pembelaan khusus ... i) Petikan dari Aturan 67, Hukum Acara dan Pembuktian ICTR: timbal balik penyingkapan bukti ... ii) Beban pembuktian untuk pembelaan alibi ... iii) Pemberitahuan untuk pembelaan alibi ... iv) Bantahan terhadap pembelaan alibi ... VII)
PENUNTUTAN, PENGHUKUMAN DAN VONIS ...
a) Dakwaan kumulatif dan penghukuman ... i) Dakwaan kumulatif diijinkan ... ii) Penghukuman kumulatif untuk perbuatan yang sama hanya diijinkan bila kejahatan itu mengandung unsur material yang berbeda ... iii) Penerapan – penuntutan beragam ... (1) Dibolehkan untuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan ... (2) Dibolehkan untuk genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang ... b) Vonis/sanksi ... i) Instrumen untuk mengatur sanksi ... (1) Statuta ICTR Pasal 23: Sanksi ... (2) Aturan 101 dari Hukum Acara dan Pembuktian ICTR ... ii) Pengantar umum ... (1) Pertimbangan dalam Statuta dan Hukum Acara tidak bersifat wajib dan terbatas ... (2) Hanya vonis penjara yang diberikan ... (3) Restitusi ...
15
(4) Tujuan sanksi: retribusi, pencegahan terulang kembali, rehabilitasi, melindungi masyarakat, keadilan, mengakhiri impunitas, mempromosikan rekonsiliasi, dan mengembalikan kedamaian ... iii) Menentukan sanksi ... (1) Memperhitungkan hukum/praktik di Rwanda … (2) Tingkatan kejahatan: genosida adalah “kejahatan tertinggi” (crime of the crimes), kemudian kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang sebagai yang terakhir … (3) Gradasi dalam vonis: menjatuhkan sanksi tertinggi terhadap mereka yang merencanakan atau memerintahkan kekejaman, atau mereka yang melakukan kejahatan dengan semangat khusus atau sadisme ... (4) Tingkatan penjatuhan vonis ... (5) Vonis tunggal: kebijakan (Sidang) ... iv) Pengkhususan sanksi ... (1) Situasi yang memberatkan ... (2) Keadaan yang meringankan … (a) Pengantar umum … (b) Penerapan … VIII) MACAM-MACAM HAL … a) “Kesamaan kekuatan” antara pihak-pihak tidak sama dengan kesamaan cara dan sumber ... b) Presumsi imparsialitas melekat pada hakim dan pengadilan ... c) Penuntutan yang selektif ... d) Pernyataan bersalah: kondisi untuk menerima persetujuan pengajuan pernyataan ... i) Pernyataan bersalah harus dilakukan secara suka rela ... ii) Pengajuan pernyataan bersalah harus diketahui ... iii) Pengajuan pernyataan bersalah harus dilakukan dengan tegas ...
16
RINGKASAN PUTUSAN TERHADAP PARA TERDAKWA
Jean-Paul Akayesu, mantan mayor komunitas Taba, dihukum atas tuntutan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan (pemusnahan, pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, dan perbuatan tidak manusiawi lainnya), dan menghasut publik secara langsung untuk melakukan genosida. Dia dijatuhkan hukuman dengan penjara seumur hidup. Sidang Banding menguatkan putusan bersalah atas semua tuduhan yang ditujukan terhadap Akayesu. Ignace Bagilishema, mantan mayor komunitas Mabanza yang merupakan bagian dari Prefecture Kibuye, diputus bebas dengan suara bulat atas tiga tuduhan, termasuk genosida, dan dinyatakan tidak bersalah oleh mayoritas anggota sidang pengadilan untuk empat tuntutan lainnya termasuk perbantuan untuk melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dia dibebaskan atas semua tuduhan. Sidang Pengadilan Banding menguatkan putusan bebas tersebut terhadap semua tuduhan. Jean-Bosco Barayagwiza, anggota dewan pimpinan tinggi Comite d’Initiative of the Radio Television Libre des Milles Collines (RTLM) dan anggota pendiri Koalisi untuk Pertahanan Republik (CDR), dihukum atas tuntutan genosida, penghasutan publik secara langsung untuk melakukan genosida, persekongkolan untuk melakukan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pemusnahan dan penganiayaan). Sidang Pengadilan menetapkan bahwa ia harus dihukum dengan penjara seumur hidup, tetapi atas perintah dari Sidang Tingkat Banding, Sidang Pengadilan memberikan pengurangan hukuman menjadi 35 (tiga puluh lima) tahun penjara. Jean Kambanda, mantan perdana menteri Pemerintahan Interim Rwanda, dimohonkan bersalah atas enam tuduhan terhadapnya: genosida, persekongkolan untuk melakukan genosida, penghasutan publik secara langsung untuk melakukan genosida, perbantuan dalam genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pembunuhan dan pemusnahan). Dia dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup. Sidang Tingkat Banding menguatkan putusan terhadap Kambada atas semua tuduhan.
17
Clement Kayishema, mantan prefek (pejabat administrasi tertinggi dari suatu distrik atau suatu daerah bekas jajahan Perancis) dari Prefecture Kibuye, dihukum atas tuntutan genosida dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Sidang tingkat Banding menguatkan putusan bersalah atas Kayishema untuk semua tuduhan. Alfred Musema, mantan direktur Pabrik Teh Gisovu dan pemimpin ekonomi dalam prefecture-nya, dihukum atas tuntutan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pemusnahan dan pemerkosaan). Dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Sidang Banding menguatkan putusan bersalah atas Musema untuk genosida dan pemusnahan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, tetapi menolak hukuman terhadap pemerkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Ferdinand Nahimana, pendiri dan aktor ideologi RTLM, dihukum atas tuntutan genosida, menghasut publik secara langsung untuk melakukan genosida, persekongkolan untuk melakukan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pemusnahan dan penganiayaan). Dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Hasan Ngeze, pemilik dan pemimpin redaksi surat kabar Kangura, dihukum atas tuntutan genosida, menghasut publik secara langsung untuk melakukan genosida, persekongkolan untuk melakukan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pemusnahan dan penganiayaan). Dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Eliezer Niyitegeka, mantan menteri penerangan Pemerintahan Interim Rwanda, dihukum atas tuntutan genosida, persekongkolan untuk melakukan genosida, menghasut publik secara langsung untuk melakukan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pembunuhan, pemusnahan, dan tindakan tidak manusiawi lainnya). Dia dijatuhi hukuman penjara untuk seluruh sisa hidupnya. Saat dokumen ini dipublikasikan, dia sedang menunggu putusan banding. Elizaphan Ntakirutimana, pastor senior dari Gereja Seventh-Day Adventist, dihukum atas tuntutan membantu dan bersekongkol untuk melakukan genosida dan dijatuhi hukuman
18
penjara selama 10 (sepuluh) tahun. Saat dokumen ini dipublikasikan, dia sedang menunggu putusan banding. Gerard Ntakirutimana, dokter medis yang berpraktik di Rumah Sakit Adventist Mugonero, dihukum atas tuntutan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pembunuhan). Dia dijatuhi hukuman penjara selama 25 (dua puluh lima) tahun. Saat dokumen ini dipublikasikan, dia sedang menunggu putusan banding. Georges Ruggiu, jurnalis Belgia, dimohonkan bersalah untuk kejahatan menghasut publik secara langsung untuk melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (penganiayaan). Dia dijatuhi hukuman penjara selama 12 (dua belas) tahun untuk setiap tuduhan dan dijalankan secara bersamaan. Georges Rutaganda, mantan wakil presiden dua dari sayap kiri milisi Interahamwe, dihukum atas tuntutan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pemusnahan dan pembunuhan). Dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Sidang tingkat Banding menguatkan hukuman untuk tuntutan genosida dan pemusnahan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, tetapi menolak hukuman atas tuntutan pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Sidang tingkat Banding memasukkan dua hukuman baru untuk pembunuhan sebagai pelanggaran terhadap pasal 3 Konvensi Jenewa. Putusan banding tidak tersedia untuk publik pada saat publikasi ini. Obed Ruzindana, mantan pengusaha di Kigali, dihukum atas tuntutan genosida dan dijatuhi hukuman penjara selama 25 (dua puluh lima) tahun. Sidang tingkat Banding menguatkan hukuman tersebut. Laurent Semanza, mantan mayor komunitas Bicumbi, dihukum atas keterlibatan dalam genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pemusnahan, penyiksaan dan pembunuhan). Dia dijatuhi hukuman penjara selama 25 (dua puluh lima) tahun. Sedang menunggu banding pada saat dokumen ini dipublikasikan.
19
Omar Serushago, mantan pemimpin de facto Interahamwe di Prefecture Gisenyi, dimohonkan bersalah atas tuntutan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pembunuhan, pemusnahan, dan penyiksaan). Dia dijatuhi hukuman penjara untuk satu periode selama 15 (lima belas) tahun. Sidang tingkat Banding menguatkan putusan tersebut.
20
DAFTAR KASUS-KASUS YANG DIMASUKKAN Ringkasan ini terdiri dari kasus-kasus yang sudah diselesaikan pada tanggal 1 Oktober 2003, yaitu sebagai berikut: Penuntut v.Akayesu, Kasus No. ICTR-96-4-T (Sidang pertama), 2 September 1998. Penuntut v.Akayesu, Kasus No. ICTR-96-4-T (Sidang pertama), 2 Oktober 1998. Penuntut v. Akayesu, Kasus No. ICTR-96-4-A (Sidang Banding), 1 Juni 2001. Penuntut v. Bagilishema, Kasus No. ICTR-95-1A- (Sidang Pertama), 7 Juni 2001. Penuntut v. Kambanda, Kasus No. ICTR-97-23 (Sidang Pertama), 4 September 1998. Penuntut v. Kambanda, Kasus No. ICTR-97-23-A (Sidang Banding), 19 Oktober 2000. Penuntut v. Kayishema dan Ruzindana, Kasus No. ICTR-95-1-T (Sidang Pertama), 21 Mei 1999. Penuntut v. Kayishema dan Ruzindana, Kasus No. ICTR-95-1-A (Sidang Banding), 1 Juni 2001. Penuntut v. Musema, Kasus No. ICTR-96-13-A (Sidang Pertama), 27 Januari 2000. Penuntut v. Musema, Kasus No. ICTR-96-13-A (Sidang Banding), 16 November 2001. Penuntut v. Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, Kasus No. ICTR-99-52-T (Sidang Pertama), 3 Desember 2003.* Penuntut v. Niyitegeka, Kasus No. ICTR-96-14 (Sidang Pertama) 16 Mei 2003. Penuntut v. Ntakirutimana dan Ntakirutimana, Kasus No. ICTR-96-10 & ICTR-96-17-T (Sidang Pertama), 21 Februari 2003. Penuntut v. Ruggiu, Kasus No. ICTR-97-32-I (Sidang Pertama), 1 Juni 2000. Penuntut v. Rutaganda, Kasus No. ICTR-96-3 (Sidang Pertama), 6 Desember 1999. Penuntut v. Semanza, Kasus No. ICTR-97-20 (Sidang Pertama), 15 Mei 2003. Penuntut v. Serushago, Kasus No. ICTR-98-39 (Sidang Pertama), 5 Februari 1999. Penuntut v. Serushago, Kasus No. ICTR-98-39-A (Sidang Banding), 6 April 2000. * Walaupun kasus ini dikeluarkan setelah Oktober 2003, kasus ini turut dimasukkan ke inti sari ICTR karena merupakan jurisprudensi yang penting.
21
I) GENOSIDA (PASAL 2) a) Statuta Statuta ICTR, Pasal 2: 1. Pengadilan Internasional untuk Rwanda harus memiliki wewenang untuk mengadili orangorang yang melakukan genosida sebagaimana didefinisikan dalam Paragraf 2 Pasal 2 ini atau melakukan tindakan-tindakan lain yang disebutkan dalam Paragraf 3 Pasal 2 ini. 2. Genosida berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan tujuan menghancurkan, seluruhny atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, rasial atau kelompok agama, seperti: a). Membunuh anggota kelompok; b). Menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok; c). Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau untuk sebagian; d). Memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok; e). Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok lain. 3. Perbuatan-perbuatan berikut ini harus dihukum: a). Genosida; b). Persekongkolan untuk melakukan genosida; c). Penghasutan publik secara langsung untuk melakukan genosida; d). Percobaan untuk melakukan genosida; e). Pembantuan dalam genosida. b) Pengantar Umum
22
i) Unsur-unsurnya Penuntut v. Bagilishema, Kasus No. ICTR-95-1A-T (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 55: “Pengadilan menimbang bahwa perbuatan genosida terbukti apabila perbuatan tersebut melebihi keraguan yang beralasan; Pertama, melakukan satu dari perbuatan-perbuatan yang terdaftar dalam Pasal 2(2) Statuta; dan Kedua, bahwa perbuatan tersebut dilakukan terhadap target spesifik kelompok nasional, etnis, rasial atau kelompok agama, dengan tujuan khusus untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, kelompok tersebut. Dengan demikian, perbuatan genosida ditarik dari analisis terhadap dua bagian, yaitu perbuatan-perbuatan utama yang dilarang dan tujuan spesifik untuk melakukan genosida atau dolus specialis.” ii) Genosida adalah hukum kebiasaan internasional dan jus cogens Penuntut v. Kayishema dan Ruzindana, Kasus No. ICTR-95-1-T (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 88: “[G]enosida dianggap sebagai kejahatan yang dicakup dalam hukum kebiasaan internasional sebagai norma jus cogens.” Penuntut v. Rutaganda, Kasus No. ICTR-96-3 (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 46: “Tidak dapat disangkal bahwa Konvensi Genosida merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional. ...” Lihat juga Penuntut v. Musema, Kasus No. ICTR-96-13-A (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 15. c) Niat jahat (mental state, mens rea): tujuan khusus atau dolus specialis i) Pengantar Umum (1) Definisi Penuntut v. Akayesu, Kasus No. ICTR-96-4-T (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 498, 517-522: “Genosida berbeda dengan kejahatan-kejahatan yang lain karena genosida memasukkan unsur tujuan khusus atau dolus specialis. Tujuan khusus dari perbuatan tersebut adalah tujuan spesifik, yang disyaratkan dalam unsur-unsur yang membangun 23
perbuatan tersebut, di mana si pelaku jelas-jelas mengusahakan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Tujuan khusus dari perbuatan genosida itu terdapat dalam ‘maksud untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, rasial atau agama.’” Sidang menemukan bahwa “pelanggar bersalah apabila ia melakukan satu dari perbuatan-perbuatan yang terdapat dalam Pasal 2(2) ... dengan tujuan yang jelas, yaitu untuk menghancurkan seluruhnya atau sebagian dari suatu kelompok khusus. Pelanggar bersalah karena ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa perbuatan yang ia lakukan akan menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok. Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 164. Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 59: Seseorang dapat dihukum atas kejahatan genosida hanya apabila ia melakukan salah satu dari perbuatan-perbuatan yang telah disebutkan sebagai perbuatan yang bertujuan khusus untuk “menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok khusus.” (2) Persyaratan bahwa niat telah ada sebelum perbuatan dilakukan Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 91: “[M]ens rea harus sudah ada sebelum perbuatan genosida dilakukan. Bagaimanapun juga, perbuatan-perbuatan individu tidak mensyaratkan adanya persiapan terlebih dahulu; satu-satunya pertimbangan adalah bahwa perbuatan tersebut memang diarahkan untuk melanjutkan tujuan yang berkarakter genosida.” Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 91: “Tujuan khusus inilah yang membedakan kejahatan genosida dengan kejahatan pembunuhan biasa. Sidang Pengadilan berpendapat bahwa untuk menentukan terjadinya suatu perbuatan genosida, mens rea harus sudah ada sebelum perbuatan genosida tersebut dilakukan.” (3) Niat dapat diperoleh berdasarkan hasil kesimpulan Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 61-63: “[N]iat, yang dibuktikan secara kasus-perkasus, dapat diperoleh berdasarkan bukti-bukti materil yang diserahkan 24
kepada Sidang termasuk bukti yang menunjukkan pola perbuatan yang dilakukan secara konsisten oleh si Terdakwa. Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 167. Penuntut v. Semanza, Kasus No. ICTR-97-20 (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 313: “Mens rea dari si pelaku dapat disimpulkan dari perbuatan-perbuatan yang ia lakukan.” Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 63: “[B]ukti dari perbuatan yang dituduhkan dapat menolong Sidang untuk menentukan niat terdakwa, terutama bila perkataan dan perbuatan terdakwa tidak jelas menggambarkan tujuan dari perbuatannya. Meskipun demikian pengadilan mencatat bahwa penentuan niat si terdakwa harus diimbangi dengan perbuatan sesungguhnya yang telah dia lakukan. Sidang berpendapat bahwa niat terdakwa harus ditentukan berdasarkan perkataan dan perbuatannya, dan harus dibuktikan dari pola perbuatan yang dimaksudkan.” (4) Faktor-faktor untuk menilai niat jahat (mens rea) Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 523-524: “[S]idang menimbang bahwa niat adalah faktor mental yang sangat sulit bahkan mustahil untuk ditentukan,” tetapi menemukan bahwa “dalam hal tidak ada pengakuan dari terdakwa, niat dapat disimpulkan dari faktor-faktor berikut ini: •
“adanya konteks umum bahwa tindak pidana yang dilakukan pelaku yang sama atau berbeda yang secara sistematis ditujukan terhadap kelompok yang sama;”
•
“skala kekejaman yang dilakukan;”
•
“bentuk umum dari kekejaman yang terjadi di wilayah/negara tertentu;”
•
“kenyataan bahwa suatu tindakan dilakukan dengan sengaja dan sistematis dengan sasaran korban yang didasarkan pada keanggotan dari suatu kelompok tertentu dan tidak menargetkan kelompok lainnya;”
•
“adanya doktrin/kebijakan yang menimbulkan terjadinya perbuatan-perbuatan tersebut;”
25
•
“adanya tindakan penghancuran secara berulang-ulang dan ditujukan secara diskriminatif;”
•
“perbuatan yang melanggar, atau yang oleh si pelaku sendiri dianggap bahwa perbuatan tersebut melanggar hal yang paling mendasar dari kelompok tersebut – tindakan-tindakan yang tidak sendirinya termasuk dalam daftar ... tetapi yang dilakukan sebagai bagian dari pola perbuatan yang sama.”
Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, paragraf 166. Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 93, 527: Sidang setuju dengan pengadilan Akayesu bahwa mungkin sulit untuk menentukan niat. Sidang menyatakan bahwa tindakan-tindakan terdakwa termasuk bukti tidak langsung, dapat juga dijadikan sebagai bukti yang cukup untuk menentukan niat, dan niat tersebut dapat disimpulkan baik dari perkataan atau perbuatan dan dapat ditunjukkan dari pola perbuatan yang dilakukan dengan maksud tertentu. Sidang mencatat hal-hal berikut sebagai indikasi yang relevan: •
“jumlah anggota kelompok yang menjadi korban;”
•
“sasaran fisik dan hak milik dari anggota kelompok;”
•
”penggunaan kata-kata yang menghina terhadap anggota kelompok yang menjadi target;”
•
”senjata yang dipergunakan dan luka serius yang meluas;”
•
“cara-cara merumuskan perencanaan;”
•
“cara pembunuhan yang yang dilakukan secara sistematis;” dan
•
“skala proporsional relatif dari kehancuran yang benar-benar ditimbulkan atau dari tindakan percobaan untuk menghancurkan suatu kelompok.” (5) Rencana spesifik bukan merupakan syarat tetapi adalah bukti kuat adanya niat
Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 94, 276: “[M]eskipun rencana spesifik untuk menghancurkan bukan merupakan unsur genosida, tetapi sangat sulit untuk melakukan perbuatan genosida tanpa adanya suatu rencana atau sebuah organisasi.” “[S]esungguhnya tidak mungkin kejahatan genosida dilakukan tanpa keterlibatan Negara baik 26
langsung atau tidak langsung, mengingat seriusnya kejahatan ini.” “[S]eseorang tidak perlu memiliki pengetahuan yang detail untuk mengetahui adanya suatu rencana dalam kejahatan genosida.” “[R]encana dalam kejahatan genosida seperti yang dimaksudkan di atas akan menjadi bukti yang kuat dalam menentukan syarat adanya niat yang spesifik pada pelaku kejahatan genosida.” ii) “Tujuan untuk menghancurkan seluruhnya atau untuk sebagian” (1) Persyaratan jumlah yang cukup besar atau bagian penting dari suatu kelompok Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 96-97: Sidang memutuskan bahwa “‘untuk sebagian’, kejahatan genosida mensyaratkan adanya niat pelaku untuk menghancurkan sejumlah individu tertentu yang merupakan bagian dari suatu kelompok.” Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 64: Sidang menyetujui “pernyataan Komisi Hukum Internasional, bahwa ‘niat harus ditujukan untuk menghancurkan suatu kelompok, dalam hal ini adalah sebuah entitas yang terpisah dan berdiri sendiri. Niat tidak semata-mata ditujukan untuk menghancurkan dividu-individu yang merupakan anggota dari kelompok tertentu.’ Walaupun penghancuran tidak perlu ditujukan kepada semua anggota kelompok yang dimaksud, Sidang mempertimbangkan bahwa niat untuk melakukan penghancuran harus ditujukan setidaknya kepada bagian yang substansial (substantial part) dari kelompok tersebut.” (2) Pemusnahan sebenarnya terhadap seluruh kelompok bukan merupakan syarat Akayesu (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 497: “[G]enosida tidak mengimplikasikan pemusnahan terhadap seluruh kelompok. Suatu kejahatan dimengerti sebagai ‘genosida’ ketika satu perbuatan seperti yang terdapat pada Pasal 2(2)(a) hingga 2(2)(e) dilakukan dengan tujuan spesifik, yaitu untuk menghancurkan ‘seluruhnya atau 27
sebagian’ kelompok nasional, etnis, ras atau agama. Lihat juga Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 48-49. (3) Tidak perlu bahwa genosida dilakukan di seluruh negara tersebut Akayesu (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, n. 61: “[D]alam kasus selain Rwanda, seseorang dapat dikatakan bersalah atas perbuatan genosida, meskipun perbuatan genosida yang dilakukannya tidak terjadi di seluruh negara yang dimaksud. (4) Penghancuran Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 315: “Para perancang Konvensi Genosida secara tegas membatasi arti ‘penghancuran’ yakni hanya mencakup tindakantindakan yang setara dengan genosida fisik atau biologis. (a) Kekerasan seksual sebagai penghancuran Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 731: Sidang memutuskan bahwa tindakan kekerasan seksual dapat membentuk bagian integral dari proses penghancuran suatu kelompok. “Pemerkosaan-pemerkosaan mengakibatkan penghancuran fisik dan psikologis terhadap para perempuan Tutsi, keluarga mereka dan masyarakat mereka. Kekerasan seksual adalah bagian integral dari proses penghancuran yang ditargetkan secara khusus terhadap perempuan Tutsi khusunya dan memperbesar penghancuran terhadap kelompok Tutsi secara keseluruhan.” Lihat juga Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 95. iii) Kelompok nasional, etnis, rasial atau agama tertentu (1) Dimaksudkan untuk mencakupi setiap kelompok yang stabil dan permanen/tetap
28
Akayesu (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 511, 516, 701-702: Sidang berpegang pada travaux preparatoires Konvensi Genosida, yang mengindikasikan bahwa “kejahatan genosida ditujukan hanya terhadap kelompok yang ‘stabil’, yang terbentuk dengan cara yang permanen, di mana keanggotaannya ditentukan berdasarkan kelahiran, yang membedakannya dengan kelompok yang lebih ‘mobile’ di mana keikutsertaan seseorang dilakukan berdasarkan komitmen suka rela individu, misalnya kelompok politik dan ekonomi.” Sidang menyatakan bahwa ke-empat kelompok yang dilindungi oleh konvensi ini memiliki “kriteria yang sama”, yaitu, “bahwa keanggotaan kelompok tersebut umumnya tidak dapat ditentang oleh anggotanya yang secara otomatis masuk sebagai aggota kelompok berdasarkan kelahiran, dengan cara yang terus-menerus dan tidak dapat diperbaiki.” “[M]erupakan hal yang penting ... untuk menghormati maksud dari perancang yang berdasarkan travaux preparatoires, dengan jelas bermaksud melindungi kelompok yang stabil dan permanen.” “[E]tnis Tutsi memang merupakan kelompok yang stabil dan permanen dan diidentifikasikan sedemikian oleh semuanya.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 160-163. Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 56: “[T]idak ada definisi tepat yang diterima secara umum dan internasional [tentang] kelompok nasional, etnis, rasial atau agama;” masing-masing harus “dinilai secara khusus berdasarkan konteks politik, sosial dan budaya.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 161. (a) Apakah keanggotaan kelompok ditentukan secara subjektif atau objektif Rutaganda (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 56-57, 373: “[U]ntuk mengaplikasikan Konvensi Genosida, anggota kelompok pada dasarnya dimengerti lebih sebagai sebuah konsep yang subjektif daripada objektif. Korban dianggap oleh pelaku genosida sebagai anggota kelompok yang dipilih untuk dihancurkan. Dalam beberapa hal, korban mungkin mengidentifikasikan dirinya termasuk dalam kelompok tersebut.” Meskipun demikian, Sidang menetapkan bahwa “definisi subjektif saja tidak cukup untuk menentukan kelompok korban,” dan berdasarkan pada travaux preparatoires, Sidang menyatakan bahwa Konvensi Genosida “dianggap bertujuan untuk mencakup kelompok yang relatif stabil dan 29
permanen.” Oleh karena itu, “Sidang memutuskan bahwa penilaian apakah sebuah kelompok khusus dapat dianggap sebagai kelompok yang dilindungi dari kejahatan genosida akan dilakukan kasus-per-kasus dengan mempertimbangkan bukti-bukti relevan yang diajukan dan konteks politik, sosial dan budaya.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 160-163. Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 317: “Statuta Pengadilan tidak menyediakan petunjuk apakah kelompok yang menjadi target genosida yang dilakukan si terdakwa ditentukan berdasarkan kriteria objektif atau subjektif atau dengan formula gabungan. Para Anggota Sidang dalam Pengadilan ini telah menentukan bahwa penilaian apakah suatu kelompok masuk dalam lingkup perlindungan, … harus ditentukan berdasarkan kasus-per-kasus dengan referensi objektif dari konteks sosial dan sejarah yang ada, dan dengan anggapan subjektif si pelaku. Sidang menetapkan bahwa penentuan kelompok
yang
dilindungi
dilakukan
berdasarkan
kasus-per-kasus,
dan
dengan
mengkonsultasikan kriteria objektif dan subjektif.” (2) Penafsiran kata “tertentu” Penuntut v. Niyitegeka, Kasus No. ICTR-96-14 (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 410: Sidang menginterpretasikan kata “‘tertentu’ dengan arti bahwa perbuatan tersebut harus dilakukan terhadap individu sebagai anggota dari sebuah kelompok yang spesifik dan khusus, sehingga korbannya adalah kelompok itu sendiri, bukan semata-mata si individu.” Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 60: Perbuatan “harus dilakukan terhadap satu atau lebih orang ... karena alasan keanggotaan mereka dalam sebuah kelompok khusus dan tidak saja karena alasan ... identitas individu. Korban dari perbuatan adalah ... seorang anggota dari suatu kelompok tertentu ... yang ... berarti bahwa korban kejahatan genosida adalah kelompok itu sendiri dan bukan semata-mata si individu sendiri.” Lihat juga Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 521; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 165.
30
Penuntut v. Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, Kasus No. ICTR-99-52-T (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 948: “Individu adalah personifikasi dari kelompok.” (3) Kelompok kebangsaan Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 512: “[S]ebuah kelompok kebangsaan diartikan sebagai sekumpulan orang yang memiliki keterikatan secara hukum berdasarkan pada kewarganegaraan yang sama sejalan dengan hak dan kewajibannya secara timbal balik.” (4) Kelompok etnis Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 513: Kelompok etnis secara umum didefinisikan sebagai sebuah kelompok di mana anggotanya memiliki kesamaan bahasa atau budaya.” Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 98: “Sebuah kelompok etnis didefinisikan sebagai sebuah kelompok di mana para anggotanya memiliki kesamaan bahasa dan budaya; atau, sebuah kelompok yang mengidentifikasikan dirinya memiliki identitas tersendiri atau sebuah kelompok yang diidentifikasikan demikian oleh orang lain, termasuk para pelaku kejahatan (identifikasi oleh orang lain).” (a) Penerapan Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 122-124, 170-172, 701-702, n. 56, n. 57: Berdasarkan kesaksian para saksi dan klasifikasi resmi, Sidang memutuskan bahwa di Rwanda pada tahun 1994, “Tutsi merupakan kelompok yang diacu sebagai ‘etnis’,” dan menetapkan bahwa Tutsi “adalah kelompok yang stabil dan permanen dan diidentifikasikan sedemikian oleh semuanya.” Sidang juga menetapkan bahwa bukti berikut cukup untuk menentukan bahwa “kelompok etnis Tutsi secara khusus adalah kelompok yang ditargetkan”:
31
•
bukti bahwa ada pembatas jalan di seluruh negara, Tutsi dipisahkan dari Hutu dan dibunuh;
•
bukti adanya “kampanye propaganda” melalui media cetak dan audiovisual yang secara jelas mengimbau para pendengarnya untuk melakukan pembunuhan terhadap Tutsi;
•
pengklasifikasian sebagai Hutu atau Tutsi dalam kartu identitas dan sertifikat kelahiran, dan oleh hukum;
•
pengidentifikasian sendiri secara individual baik sebagai Hutu atau Tutsi.
Sidang memutuskan bahwa “penduduk Tutsi tidak memiliki bahasa sendiri maupun budaya yang berbeda dari keseluruhan penduduk Rwanda” atau memenuhi definisi umum kelompok etnis, misalnya “anggota yang berbicara dengan bahasa yang sama dan/atau memiliki kesamaan budaya,” karena baik Hutu maupun Tutsi memiliki bahasa dan budaya yang sama. Di samping itu, banyak orang Hutu yang dibunuh hanya karena mereka “dilihat berpihak pada Tutsi.” Penuntut v. Ntakirutimana dan Ntakirutimana, Kasus No. ICTR-96-10 & ICTR-96-17-T (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 789: Dalam mengeluarkan pendapat bahwa Elizaphan Ntakirutimana memiliki “syarat tujuan” untuk melakukan kejahatan genosida, Sidang memutuskan bahwa Tutsi adalah kelompok etnis. Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 291: “Korban dari tragedi ini adalah masyarakat sipil Tutsi, yang dengan demikian Sidang yakin bahwa target dari pembunuhan massal adalah ‘anggota kelompok,’ yang dalam kasus ini adalah kelompok etnis.” Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 422: “Sidang mengambil keputusan berdasarkan fakta bahwa: ’Antara 6 April 1994 sampai dengan 17 Juli 1994, penduduk asli di Rwanda dipisahkan berdasarkan pengidentifikasian dan pengklasifikasian etnis yaitu: Tutsi, Hutu dan Twa, dan berpendapat bahwa Tutsi di Rwanda adalah kelompok ‘etnis’.”
32
(b) Asosiasi kelompok etnis dengan agenda politik Penuntut v. Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, Kasus No. ICTR-99-52-T (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 969: “[A]sosiasi kelompok etnis Tutsi dengan agenda politik, yang secara efektif menggabungkan identitas etnis dan politik, tidak menegasikan sifat kejahatan genosida yang memotivasi si Terdakwa. Sebaliknya, pengidentifikasian Tutsi secara individu sebagai musuh negara yang diasosiasikan sebagai oposisi politik, semata-mata berdasarkan keetnisan Tutsi mereka, menggarisbawahi fakta bahwa keanggotaan mereka dalam kelompok etnis tertentu adalah satu-satunya dasar yang menyebabkan mereka menjadi target.” (5) Kelompok rasial Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 514: “Definisi konvensional kelompok rasial didasarkan pada ciri-ciri fisik yang sering diidentifikasi berdasarkan wilayah geografis, terlepas oleh faktor bahasa, budaya, kebangsaan atau agama.” Definisi ini juga terdapat pada kasus Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 98, yang menyebutkan bahwa “Sebuah kelompok rasial didasarkan pada ciriciri pembawaan fisik yang sering diidentifikasikan dengan wilayah geografis.” (6) Kelompok agama Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 515: “Kelompok agama adalah kelompok yang anggotanya memiliki kesamaan agama, denominasi atau tata cara beribadah.” Definisi tersebut memiliki kesamaan dengan definisi “kelompok agama” dalam kasus Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 98, di mana disebutkan bahwa “kelompok agama termasuk denominasi atau tata cara beribadah atau kelompok yang memiliki kesamaan kepercayaan.” (7) Penganiayaan terhadap perorangan yang tidak termasuk dalam kelompok yang disebutkan bukan merupakan genosida 33
Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 720-721: Sidang berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan tertentu merupakan perbuatan yang menimbulkan “luka fisik atau mental yang serius,” seperti ketika seorang perempuan dipukuli, diancam dan diinterogasi mengenai keberadaan seseorang yang lain; tetapi karena perempuan tersebut adalah seorang Hutu, maka perbuatan-perbuatan tersebut tidak dapat disebutkan sebagai perbuatan genosida terhadap kelompok Tutsi.” iv) Penerapan Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 117-121, 168-169: Sidang menetapkan bahwa hal-hal di bawah ini cukup untuk menunjukkan “tujuan menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian”: •
ahli atau kesaksian lain yang menunjukkan pernyataan dari pemimpin politik, nyanyian dan slogan-slogan populer yang dibuktikan sebagai tujuan untuk melenyapkan semua Tutsi yang berada di Rwanda;
•
kesaksian adanya pemotongan urat tendon tumit kaki (tendon Achilles) untuk mencegah korban dapat melarikan diri;
•
kesaksian ahli dan gambar-gambar tubuh yang dibuang ke anak sungai Nil, menunjukkan tujuan mengembalikan Tutsi ke tempat yang diduga sebagai tempat asal mereka;
•
kesaksian atas pembunuhan bayi-bayi yang baru lahir;
•
kesaksian adanya peribahasa atau pepatah dan pernyataan publik yang menyokong pembunuhan para perempuan hamil, termasuk perempuan Hutu yang mengandung benih lelaki Tutsi, karena mereka adalah masyarakat yang patrilineal.
Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003 Paragraf 427: Dalam memutuskan Niyitegeka bersalah dalam konspirasi untuk melakukan genosida, Sidang berpendapat sebagai berikut: “Berdasarkan pertimbangan bahwa partisipasi dan kehadiran si Terdakwa dalam pertemuanpertemuan … yang membahas pembunuhan terhadap Tutsi di Bisesero, rencana penyerangan terhadap Tutsi di Bisesero, janji terdakwa dan pendistribusian senjata terhadap 34
para penyerang yang digunakan dalam penyerangan terhadap Tutsi, ekspresi terdakwa yang mendukung … Perdana Menteri Jean Kambada dan Pemerintahan Interim, dan tindakan atau kegagalan dalam melakukan tindakan untuk melindungi penduduk Tutsi, dan perannya sebagai pemimpin dalam pembicaraan dan pertemuan-pertemuan … Sidang menemukan bahwa Terdakwa memiliki syarat tujuan, bersama-sama dengan konspiratornya, untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok etnis Tutsi.” Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 436-437: Dalam memutuskan Niyitegeka bersalah atas penghasutan publik secara langsung untuk melakukan genosida, Sidang berpendapat sebagai berikut: “Menimbang bahwa kata-kata yang diucapkan Terdakwa yang mendesak penyerang untuk bekerja, kemudian ia berterima kasih, mendorong dan menghargai para penyerang untuk ‘pekerjaan’ yang mereka lakukan, (kata ‘pekerjaan’ ini merujuk pada tindakan pembunuhan terhadap Tutsi), … Sidang sampai pada penemuan bahwa Terdakwa memiliki syarat tujuan untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok etnis Tutsi.” Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 957-969: “Dalam memastikan tujuan Terdakwa, Sidang telah mempertimbangkan pernyataan dan tindakan mereka secara individual dan juga pesan yang mereka sampaikan melalui media yang mereka kuasai.” “[S]urat kabar Kangura dan stasiun radio RTLM secara eksplisit dan berulang-ulang, bahkan tanpa belas kasihan, menargetkan penduduk Tutsi sebagai kelompok yang dihancurkan. Mereka membuat Tutsi seolah-olah memiliki sifat iblis dan dengan demikian secara inheren memiliki kualitas iblis, menyamakan kelompok etnis itu sebagai ‘musuh’ dan menggambarkan para perempuannya sebagai agen musuh yang menggoda. Media mengimbau pemusnahan terhadap kelompok etnis Tutsi sebagai respon atas ancaman politik dari kelompok-kelompok yang berasosiasi dengan etnis Tutsi.” “Tujuan yang bersifat genosida dari aktivitas-aktivitas CDR (partai politik yang menggambarkan penduduk Tutsi sebagai musuh) diekspresikan melalui frase ‘tubatsembasembe’ atau ‘ayo, musnahkan mereka’; yang merupakan slogan yang diucapkan berulang-ulang pada saat pawai dan demonstrasi CDR. Pada tingkat kebijakan, aspek tujuan yang bersifat genosida ini terbukti melalui pengumuman resmi CDR yang memanggil penduduk Hutu untuk ‘melumpuhkan musuhnya’ (etnis Tutsi) dengan segala cara yang mungkin.” “Dalam pandangan Sidang, kebijakan35
kebijakan editorial Kangura dan penyiaran RTLM adalah bukti yang meyakinkan atas tujuan yang bersifat genosida.” Kemudian, setiap terdakwa secara individual membuat pernyataan yang membuktikan tujuan yang bersifat genosida. “[S]idang sampai pada penemuan tanpa keraguan bahwa Ferdinand Nahimana, Jean-Bosco Barayagwiza dan Hassan Ngeze bertindak dengan tujuan untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok etnis Tutsi.” d) Delik-delik pokok i) Membunuh anggota kelompok (1) Unsur-unsurnya Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 319: ”[S]ebagai tambahan untuk menunjukkan bahwa terdakwa memiliki tujuan untuk menghancurkan kelompok sedemikian, untuk keseluruhan maupun untuk sebagian, Penuntut harus menunjukkan unsur-unsur berikut: (1) pelaku secara sengaja membunuh satu atau lebih anggota kelompok, tanpa ada kebutuhan untuk perencanaan yang dilakukan; dan (2) korban tersebut termasuk dalam kelompok etnis, rasial, kebangsaan atau agama yang menjadi target.” (2) Persyaratan kesengajaan Akayesu, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 500-501: Sidang mencatat bahwa Statuta versi Perancis menggunakan istilah “meurtre” sedangkan versi Inggris menggunakan istilah “killing”. Sidang menyatakan bahwa istilah “killing” itu “terlalu umum karena ... di dalamnya juga dimungkinkan bentuk pembunuhan yang tidak disengaja dan yang disengaja, sementara istilah ‘meurtre’ lebih jelas artinya.” Oleh karena itu, Sidang menyatakan bahwa “‘meutre’ adalah pembunuhan yang dilakukan dengan niat untuk menyebabkan kematian.” Bandingkan dengan Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 50: “Pasal 2(2)(a) Statuta yang diadopsi dari ketentuan dalam Konvensi Genosida, mengacu pada istilah ‘meurtre’ dalam versi Perancis dan pada istilah ‘killing’ dalam versi Inggris. Dalam pandangan 36
Sidang, istilah ‘killing’ mencakup baik pembunuhan yang dengan sengaja maupun tidak sengaja, sedangkan ‘meurtre’ mencakup pembunuhan yang dilakukan dengan niat untuk menyebabkan kematian. Berdasarkan pada asas praduga tidak bersalah dan prinsip-prinsip umum Hukum Pidana, Sidang berpendapat bahwa istilah yang digunakan untuk tersangka adalah istilah yang paling meringankan baginya, dan menentukan bahwa Pasal 2(2)(a) Statuta harus diinterpretasikan sesuai dengan definisi pembunuhan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Rwanda, yang dalam Pasal 311 menyatakan bahwa ‘Pembunuhan (homicide) yang dilakukan dengan niat untuk menyebabkan kematian harus dianggap sebagai pembunuhan (murder).” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 155; Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 57-58. Bandingkan dengan Penuntut v. Kayishema dan Ruzindana, Kasus No. ICTR-95-1-A (Sidang Pengadilan), 1 Juni 2001, Paragraf 151: “[T]idak ada perbedaan yang nyata” antara istilah “killing” dan “meurtre”. Kedua istilah tersebut dihubungkan kepada tujuan untuk menghancurkan secara keseluruhan maupun untuk sebagian. Keduanya harus mengacu pada pembunuhan yang dilakukan dengan segaja tetapi tidak harus pembunuhan berencana. (3) Kausalitas Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 952-953: “Sifat dasar media adalah sedemikian rupa sehingga kausalitas pembunuhan dan tindakantindakan genosida lainnya tidak dapat terhindarkan dari efek langsung yang disebabkan oleh tambahan dari komunikasi itu sendiri. [H]al ini tidak mengurangi bahwa kausalitas itu disebabkan oleh media, atau pertanggungjawaban pidana dari orang-orang yang bertanggungjawab terhadap komunikasi tersebut.” “Sidang menerima bahwa momen pada saat ini [penjatuhan pesawat Presiden dan kematian Presiden Habyarimana] merupakan pemicu dari kegiatan-kegiatan yang terjadi selanjutnya. Hal itu merupakan bukti. Tetapi apabila penjatuhan pesawat adalah sebagai pemicu, maka RTLM (stasiun radio), Kangura (koran) dan CDR (partai politik yang menggambarkan penduduk Tutsi adalah musuh) adalah pelurupeluru di dalam senjata. Pemicu itu memiliki dampak yang sangat mematikan karena senjatanya terisi penuh. [P]embunuhan terhadap penduduk sipil Tutsi paling tidak dilakukan
37
berdasarkan pesan penargetan etnis untuk dimatikan yang secara jelas dan efektif disebarkan melalui RTLM, Kangura dan CDR, sebelum dan setelah 6 April 1994.” (4) Penerapan Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 114-116: Sidang menemukan bahwa bukti-bukti dari pembunuhan meluas di seluruh Rwanda cukup untuk menunjukkan “pembunuhan” dan “menyebabkan luka serius pada tubuh anggota kelompok” antara lain melalui: •
kesaksian mengenai “tumpukan mayat … di mana-mana, di jalan-jalan, di jalan setapak dan di sungai, dan khususnya, cara bagaimana orang-orang tersebut dibunuh;”
•
kesaksian yang menyatakan bahwa banyak orang di rumah sakit … semuanya adalah Tutsi dan … yang secara nyata menderita luka, baik pada wajah, leher, tumit, dan pada tendon Achilles, yang disebabkan oleh senjata parang panjang untuk mencegah mereka melarikan diri;”
•
kesaksian bahwa “tentara Angkatan Bersenjata Rwanda dan Pengawal Presiden mendatangi rumah-rumah di Kigali yang pemiliknya sudah diidentifikasi dengan tujuan untuk dibunuh, dan kesaksian dari pembunuhan-pembunuhan lain yang terjadi di lain tempat;”
•
“foto-foto mayat di banyak gereja” di berbagai area;
•
kesaksian mengenai “kartu identitas yang bertebaran di jalan, yang semuanya bertanda identitas ‘Tutsi’.”
ii) Menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok (1) Definisi umum
38
Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 504: “[L]uka fisik atau mental yang serius” termasuk di dalamnya adalah “tindakan-tindakan penyiksaan, baik secara fisik atau mental, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan, dan penganiayaan.” Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Pargaraf 108-113: Pengertian “luka fisik yang serius dan luka mental yang serius” harus “ditentukan berdasarkan kasus-perkasus dengan menggunakan pendekatan sesuai pemikiran yang sehat.” Pengertian “menimbulkan luka fisik yang serius” umumnya sudah jelas dengan sendirinya, dan “dapat ditafsirkan sebagai tindakan melukai yang secara serius merusak kesehatan, menyebabkan cacat atau menyebabkan luka serius terhadap organ eksternal, internal atau pikiran sehat.” “[M]enimbulkan luka mental yang serius harus dintepretasikan berdasarkan kasus-per-kasus sesuai dengan jurisprudensi yang relevan.” Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 51: “[L]uka fisik atau mental yang serius” “termasuk juga di dalamnya adalah tindakan-tindakan penyiksaan terhadap fisik atau mental, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan, pemerkosaan, kekerasan seksual, dan penganiayaan.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 156; Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 59. (2) Tanpa persyaratan bersifat permanen atau tidak dapat disembuhkan Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 502: Luka tersebut tidak perlu bersifat “permanen dan tidak dapat disembuhkan.” Lihat juga Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 108; Rutaganda (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 51; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 156; Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 59; Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 320-322. Bandingkan Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 321: “Luka mental yang serius berarti lebih dari penghancuran terhadap kemampuan dan kecakapan mental yang bersifat ringan atau sementara.”
39
Lihat juga bagian (I) (d) (i) (4) di atas untuk penerapan. (3) Pemerkosaan dan kekerasan seksual dapat memenuhi syarat Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 706-707, 731-734, 688: Pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya dapat menyebabkan “penderitaan yang berat terhadap fisik dan mental” dari anggota kelompok. Lihat juga Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 108; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf. 156. (4) Ancaman selama proses interogasi dapat memenuhi syarat Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 711-712: Kematian pada saat interogasi dilakukan, baik disertai dengan pemukulan maupun tidak, dapat menyebabkan “penderitaan yang berat terhadap fisik dan mental” dari anggota kelompok. Lihat juga Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 108. (5) Tujuan untuk menimbulkan “luka mental yang serius” dipersyaratkan Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 112: Sidang mempertimbangkan bahwa si tertuduh bertanggung-jawab atas situasi-situasi ini hanya apabila pada saat tindakan itu dilakukan, ia memiliki tujuan untuk menimbulkan “luka mental yang serius” dalam kerangka tujuan spesifik, yakni untuk “menghancurkan kelompok secara keseluruhan atau untuk sebagian.” iii) Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 505-506: Frase ini berarti bahwa metode penghancuran yang dipakai oleh si pelaku adalah metode yang tidak secara langsung membunuh anggota kelompok, tetapi pada akhirnya menuju kehancuran anggota kelompok 40
itu secara fisik, termasuk di antaranya adalah dengan membuat anggota kelompok hidup secara pas-pas-an atau sekadarnya, secara sistematis mengusir anggota kelompok dari rumah kediaman mereka, dan mengurangi pelayanan kesehatan hingga di bawah syarat minimum yang dibutuhkan. Lihat juga Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 52; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 157. Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 115-116: “[S]ecara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian,” “termasuk keadaankeadaan yang akan menimbulkan kematian secara perlahan, misalnya kurangnya fasilitas tempat berteduh yang layak, pakaian bersih, obat-obatan, atau dipaksa melakukan pekerjaan berat baik secara fisik maupun mental,” dan “metode-metode penghancuran yang tidak secara langsung menimbulkan kematian terhadap anggota kelompok.” “[K]ondisi-kondisi kehidupan yang digambarkan tersebut di atas termasuk tindakan-tindakan pemerkosaan, menyebabkab kelaparan bagi sekelompok orang, mengurangi pelayanan kesehatan sampai di bawah minimum, dan tidak memberikan akomodasi kehidupan yang cukup dalam periode waktu yang cukup.” Tetapi pada kasus Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 548: Sidang berpendapat bahwa meskipun kelompok Tutsi di Kibuye “dalam keadaan kekurangan makanan, air, sanitasi dan fasilitas medis,” “keadaan-keadaan ini tidak menciptakan secara langsung kondisi kehidupan ... yang dimaksudkan untuk menyebabkan kehancuran,” karena “kekurangan-kekurangan tersebut ... diakibatkan oleh penganiayaan terhadap Tutsi, dengan tujuan untuk membinasakan mereka dalam periode yang singkat sesudah itu.” Selanjutnya, Sidang menentukan bahwa panjang dan skala periode waktu itu tidak cukup untuk menimbulkan penghancuran terhadap kelompok.” iv) Memaksakan tindakan-tindakan yang ditujukan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 507-508: “[M]emaksakan tindakan-tindakan yang ditujukan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok mencakupi 41
aborsi, sterilisasi, pemaksaan kontrasepsi, pemisahan berdasarkan jenis kelamin dan menghambat perkawinan. Dalam masyarakat patriarki, keanggotaan suatu kelompok dilihat dari garis keturunan bapak. Sebagai contoh, ... ketika terjadi pemerkosaan, perempuan dari satu kelompok dengan sengaja dihamili oleh seorang pria dari kelompok lain dengan tujuan agar perempuan tersebut melahirkan anak yang bukan lagi berasal dari kelompok ibunya.” Sidang mencatat bahwa tindakan-tindakan tersebut dapat mengakibatkan penderitaan secara mental maupun fisik. “Sebagai contoh, pemerkosaan merupakan tindakan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran ketika perempuan yang hamil karena diperkosa akhirnya menolak untuk melahirkan; maka anggota kelompok menjadi trauma, dan dapat juga karena ancaman sehingga mereka menjadi tidak mau melahirkan.” Lihat juga Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 117; Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 53; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 158. v) Memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok kepada kelompok lain. Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 509: “[S]anksi yang diberikan tidak hanya ditujukan pada tindakan berupa pemindahan fisik secara paksa, tetapi juga terhadap tindakan berupa pemindahan anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lain secara paksa dan di bawah ancaman, yang mana tindakan tersebut dapat menyebabkan trauma.” Lihat juga Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 118; Rutaganda (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 54; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 159. e) Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum i) Genosida Lihat pembahasan-pembahasan di atas ii) Persekongkolan untuk melakukan genosida
42
(1) Definisi Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 191: “[P]ersekongkolan untuk melakukan kejahatan genosida didefinisikan sebagai sebuah perjanjian antara dua orang atau lebih untuk melakukan kejahatan genosida.” Lihat juga Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 798; Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 423; Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1041. Unsur perjanjian ini juga terdapat pada kasus Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1042, yang menyatakan bahwa ”delik persekongkolan mensyaratkan adanya sebuah perjanjian yang merupakan sebuah penegasan terhadap unsur kejahatan persekongkolan.” (2) Niat jahat (mens rea) Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 192: Mens rea dari kejahatan konspirasi untuk melakukan genosida “terletak pada tujuan yang diselenggarakan bersama untuk melakukan genosida, yaitu untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok kebangsaan, etnis, ras atau agama tertentu.” “Syarat niat untuk konspirasi dalam melakukan kejahatan genosida adalah niat yang disyaratkan untuk kejahatan genosida, yaitu dolus specialis dari genosida.” (3) Persekongkolan tidak perlu harus berhasil Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 194: “Kejahatan persekongkolan untuk melakukan genosida dapat dihukum walaupun kejahatan tersebut gagal mencapai hasil ... bahkan bila kejahatan genosida itu sendiri pada kenyataannya tidak dilakukan.” Dalam Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 423, juga dinyatakan bahwa “[P]ersekongkolan itu sendiri dapat dikenakan hukuman, bahkan bila perbuatan yang sesungguhnya (genosida) pada kenyataannya tidak dilakukan.” 43
(4) Persetujuan formal tidak dibutuhkan Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1045: Esensi dari dakwaan persekongkolan adalah adanya perjanjian di antara para terdakwa. [K]eberadaan perjanjian formal atau yang terekspresi dengan tegas tidak dibutuhkan untuk membuktikan tuduhan persekongkolan.” (5) Persekongkolan dapat disimpulkan/persyaratan pengetahuan Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1047: “[P]ersekongkolan untuk melakukan genosida dapat disimpulkan dari tindakan-tindakan yang terkoordinasi oleh individu yang memiliki kesamaan tujuan dan bertindak dalam kerangka yang sama. Suatu koalisi, walaupun bersifat informal, dapat menciptakan kerangka seperti yang dimaksud sepanjang orang-orang yang bertindak dalam koalisi tersebut sadar akan keberadaan koalisi itu, partisipasi mereka di dalam koalisi, dan peran mereka dalam memajukan tujuan mereka bersama.” (6) Koordinasi secara institusi Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1048: “[P]ersekongkolan untuk melakukan genosida dapat terdiri dari tindakan individual dalam kapasitas institusional atau bahkan secara independen berdasarkan hubungan personal satu sama lain. Koordinasi secara institusi dapat membentuk dasar persekongkolan di antara para individu dalam institusi yang ikut serta dalam tindakan yang terkoordinasi.” (7) Persekongkolan adalah delik permulaan Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1044: “[P]ersekongkolan adalah delik permulaan, dan dengan demikian memiliki sifat keberlanjutan yang
memuncak
pada
kejahatan
tersebut
sebagaimana
yang
dimaksud
dalam
persekongkolan.” 44
(8) Apakah pengadilan dapat menghukum dua perbuatan yaitu genosida dan persekongkolan untuk melakukan genosida untuk tindakan-tindakan yang sama Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1043: “Sidang Banding dalam Musema menegaskan bahwa kejahatan-kejahatan tertentu dapat menjustifikasi munculnya banyak dakwaan, dalam keadaan bahwa setiap ketentuan dalam peraturan yang membentuk dasar dakwaan memiliki unsur materi yang berbeda yang tidak terdapat dalam ketentuan yang lainnya. Sidang mencatat bahwa perencanaan adalah tindakan dari perbuatan genosida, sesuai dengan Statuta pasal 6(1). Delik persekongkolan mensyaratkan adanya perjanjian, yang merupakan unsur yang menentukan dari kejahatan persekongkolan. Oleh karena itu, Sidang menimbang bahwa Terdakwa dapat bertanggungjawab secara pidana atas kedua perbuatan yaitu persekongkolan untuk melakukan genosida dan delik pokok genosida yang merupakan objek dari persekongkolan.” Akan tetapi, dalam Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 198, disebutkan bahwa “[T]erdakwa tidak dapat dihukum untuk dua kejahatan yaitu genosida dan persekongkolan melakukan genosida dengan berdasar pada tindakan yang sama.” (9) Penerapan Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 428: “Mengingat bahwa terdakwa dan yang lainnya bertindak bersama-sama sebagai para pemimpin dalam penyerangan terhadap Tutsi … dan menimbang cara-cara sistematis dalam pelaksanaan serangan tersebut yang mengisyaratkan adanya sebuah rencana, dan mencatat secara khusus bahwa terdakwa membuat sketsa rencana penyerangan di Bisero pada sebuah rapat … di mana orang-orang yang hadir pada rapat itu … menyetujuinya, Sidang menetapkan bahwa fakta-fakta di atas membuktikan adanya sebuah perjanjian [yaitu persekongkolan] antara terdakwa dan yang lainnya untuk melakukan genosida.”
45
Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1049-1055: “Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze secara sadar berinteraksi satu dengan yang lainnya dengan menggunakan institusi yang mereka kuasai untuk mempromosikan agenda bersama untuk menghancurkan penduduk Tutsi. Terdapat presentasi publik atas tujuan bersama ini dan usaha-usaha yang terkoordinasi untuk merealisasikan tujuan bersama tersebut.” “Sidang memutuskan bahwa Nahimana, Ngeze dan Barayagwiza, bersalah atas persekongkolan untuk melakukan genosida melalui kolaborasi personal maupun dengan berinteraksi melalui institusi yang mereka kuasai, yaitu RTML (stasiun radio), Kangura (koran) dan CDR (partai politik yang menggambarkan penduduk Tutsi sebagai musuh)… .” iii) Penghasutan publik secara langsung untuk melakukan genosida Akayesu (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 559: “[P]enghasutan publik secara langsung diartikan ... sebagai secara langsung memprovokasi para pelaku untuk melakukan genosida baik melalui pidato, teriakan atau ancaman yang dikemukakan di tempat-tempat publik atau pada pertemuan publik, melalui penjualan atau penyebaran, penawaran untuk menjual atau memamerkan materi tulisan atau gambar di tempat-tempat publik atau di dalam pertemuan publik, atau dengan mempertunjukkan plakat atau poster terhadap publik, atau melalui cara-cara komunikasi audiovisual apa pun.” Akayesu (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 555: “Dalam sistem hukum Common Law, ‘penghasutan’ didefinisikan sebagai tindakan yang mendorong atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu perbuatan,” dan ”bahwa ancaman atau bentuk-bentuk tekanan lain merupakan bentuk penghasutan.” ”Sistem hukum Civil Law menghukum penghasutan publik yang dilakukan secara langsung, dengan mengasumsikan bahwa provokasi merupakan sebuah tindakan yang ditujukan untuk secara langsung memprovokasi orang lain supaya melakukan sebuah kejahatan atau pelanggaran. Provokasi ini dilakukan melalui pidato/orasi, teriakan atau ancaman atau cara-cara komunikasi audiovisual dalam bentuk apa pun.” Dalam sistem hukum Civil Law, unsur-unsur provokasi adalah bahwa provokasi itu dilakukan secara “langsung” dan bersifat “publik”.
46
Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1017: “[S]ama seperti persekongkolan, kejahatan penghasutan publik yang dilakukan secara langsung untuk melakukan genosida adalah delik permulaan yang terus berlangsung hingga perbuatan-perbuatan dimaksud selesai dilakukan.” (1) Langsung Akayesu (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 557: Penghasutan “mengasumsikan sebuah bentuk langsung dan secara spesifik memprovokasi orang lain untuk ikut serta dalam sebuah perbuatan kriminal.” “[U]ntuk disebut sebagai penghasutan secara langsung dibutuhkan lebih dari sekadar perbuatan yang tidak jelas atau usulan yang tidak langsung.” “Dalam sistem hukum Civil Law, provokasi (padanan dari penghasutan) dianggap … ‘langsung’ ketika perbuatan itu ditujukan untuk dilakukannya suatu delik khusus.” “[P]roses penuntutan harus membuktikan akibat yang nyata antara perbuatan yang dikarakterisasikan sebagai penghasutan atau provokasi dalam kasus ini, dengan sebuah delik spesifik yang ditimbulkan.” “Penghasutan dapat bersifat langsung meskipun secara implisit.” Lihat juga Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 431. Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 557-558: Unsur “langsung” dalam penghasutan “harus dipandang berdasarkan konteks budaya dan linguistiknya.” Sidang akan menilai “berdasarkan kasus-per-kasus, dengan melihat budaya Rwanda dan situasi khusus langsung dari kasusnya.” Hal itu dilakukan “dengan memfokuskan diri pada pertanyaan apakah orang yang ditujukan untuk menerima pesan tersebut (penghasutan) dengan segera dapat memahami implikasi daripadanya.” Lihat juga Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1011. (2) Publik Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 556: Apakah penghasutan itu bersifat “publik” harus dievaluasi berdasarkan pada dua faktor: “pertama, tempat di mana penghasutan tersebut terjadi, dan kedua, apakah ada bantuan yang dilakukan secara terbatas atau selektif.” Dalam sistem hukum Civil Law, perkataan disebut “bersifat publik apabila 47
kata-kata tersebut diucapkan secara keras di tempat-tempat umum.” “Menurut Komisi Hukum Internasional, penghasutan publik dikarakterisasikan dengan panggilan untuk melakukan tindakan kriminal terhadap sejumlah individu di tempat umum atau kepada anggota masyarakat umum secara luas dengan cara-cara tertentu, misalnya melalui media massa, radio atau televisi.” Lihat juga Penuntut v. Ruggiu, Kasus No. ICTR-97-32-I (Sidang Pengadilan), 1 Juni 2000, Paragraf 17; Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 431. (3) Niat jahat (mens rea) untuk penghasutan genosida Akayesu (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 560: Kejahatan penghasutan untuk melakukan genosida mensyaratkan adanya “tujuan yang secara langsung untuk memprovokasi orang lain supaya melakukan genosida,” dan ini “berarti bahwa si pelaku berkeinginan untuk menciptakan kondisi pikiran yang diperlukan dalam melakukan kejahatan itu terhadap orang yang diikutsertakannya.” Ini berarti bahwa “penghasut harus memiliki kesengajaan untuk melakukan genosida, yaitu untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok kebangsaan, etnis, ras atau agama tertentu. Lihat juga Ruggiu (Sidang Pengadilan), 1 Juni 2000, paragraf 14; Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, paragraf 431; Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1012. Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1001: Editor dan penerbit secara umum bertanggung-jawab terhadap media yang mereka kuasai. Dalam menentukan jangkauan tanggung jawab tersebut, unsur niat sangat penting, yaitu unsur untuk menilai tujuan dari saluran komunikasi mereka, misalnya apakah tujuan untuk menyampaikan materi secara publik, dapat dipercaya atau tidak (misalnya berdasarkan penelitian historis, penyebaran berita dan informasi, akuntabilitas umum terhadap pemerintah yang berkuasa). Bahasa yang dipergunakan dalam media sering disebutkan sebagai indikator dari niat.” (4) Penghasutan tidak harus berhasil/untuk terjadinya penghasutan relasi kausalitas tidak disyaratkan 48
Akayesu (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 526: Walaupun “penghasutan gagal menciptakan hasil yang diharapkan si pelaku, tindakan-tindakan penghasutan yang tidak berhasil tersebut dapat dihukum.” Lihat juga Ruggiu, (Sidang Pengadilan), 1 Juni 2000, Paragraf 16; Niyitegeka (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 431; Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1013. Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1015 dan 1029: “Dalam Akayesu, Sidang menimbang bahwa dakwaan terhadap penghasutan publik secara langsung dalam genosida ‘berangkat dari adanya hubungan sebab akibat antara pidato terdakwa terhadap massa dan terjadinya pembunuhan secara meluas terhadap Tutsi dalam komunitas tersebut.’ Sidang mencatat bahwa hubungan sebab akibat ini tidak dibutuhkan untuk menentukan adanya penghasutan. Perbuatan itu termasuk penghasutan karena adanya kemampuan komunikasi untuk menyebabkan genosida. [K]etika kemampuan ini terlaksana, kejahatan genosida dan juga penghasutan untuk genosida sudah terlaksana.” “Berkenaan dengan kausalitas … penghasutan adalah suatu kejahatan yang terlepas dari tujuan apakah perbuatan tersebut menimbulkan efek atau tidak. Untuk menentukan apakah komunikasi itu merepresentasikan tujuan, yakni terjadinya genosida yang ditimbulkan oleh penghasutan, Sidang menimbang bahwa terdapat sigifikansi antara keduanya, yaitu bahwa genosida yang memang terjadi disebabkan oleh komunikasi media yang bermaksud untuk mendapatkan tujuan ini.” Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1007: “Dalam menimbang apakah ekspresi tertentu menimbulkan sebuah bentuk penghasutan, jurisprudensi internasional tidak memasukkan persyaratan kausalitas spesifik yang menghubungkan ekspresi itu dengan demonstrasi dari efek langsung.” (5) Penerapan Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 436-437: “Menimbang kata-kata yang diucapkan oleh Terdakwa, seperti mendesak para penyerang untuk bekerja, berterimakasih pada mereka, mendorong dan menghargai mereka atas ‘pekerjaan’ yang telah dilakukan, 49
‘pekerjaan’ mereferensi kepada pembunuhan Tutsi …, Sidang memutuskan bahwa Terdakwa memenuhi syarat ”kesengajaan” untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok etnis Tutsi,” dan memutuskan bahwa terdakwa bertanggung-jawab dalam “menghasut para penyerang untuk menimbulkan kematian, luka fisik dan mental yang serius terhadap para pengungsi Tutsi.” Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1031-1034: “Siaran RTLM (stasiun radio) adalah genderang yang memanggil para pendengarnya untuk mengambil tindakan terhadap musuh dan kaki tangannya, yaitu penduduk Tutsi. Ungkapan yang ‘memanaskan kepala’ menunjukkan proses penghasutan yang dilakukan secara sistematis yang mengikutsertakan RTML di dalamnya, dan setelah tanggal 6 April 1994, RTLM dikenal sebagai ‘Radio Pisau’, mengingat sifat transmisi radio, dalam hal ini RTLM sangat berbahaya dan merusak, demikian juga keluasan jangkauannya. Tidak seperti media cetak, radio secara langsung hadir dan aktif.” “Sidang mencatat siaran pada tanggal 4 Juni 1994 yang dilakukan oleh Kantano Habimana merupakan ilustrasi sebuah tindakan penghasutan yang dilakukan oleh RTLM. Radio ini menyuarakankepada para pendengarnya untuk memusnahkan Inkotanyi yang dikenali melalui tinggi badan dan penampilan fisik. Dalam siaran itu Habimana mengatakan pada para pengikutnya, ‘Lihat saja bentuk hidung mereka yang kecil, dan hancurkan itu.’ Pengidentifikasian musuh melalui hidungnya dan keinginan untuk menghancurkan adalah simbol dari adanya kesengajaan untuk menghancurkan kelompok etnis Tutsi.” Sidang “memutuskan tanpa keraguan bahwa Nahimana bertanggung-jawab terhadap program RTML,” dan memutuskan “bersalah atas penghasutan publik secara langsung dalam genosida sesuai dengan Statuta pasal 6 (1) dan pasal 6 (3).” Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1035: “Pembunuhan terhadap penduduk sipil Tutsi dipromosikan oleh CDR (partai politik yang menggambarkan penduduk Tutsi sebagai musuh). Ini dibuktikan dengan nyanyian ‘tubatsembatsembe’ atau ‘ayo binasakan mereka’, yang dilakukan oleh Barayagwiza sendiri dan oleh anggota CDR dan Impuzamugambi pada pertemuan umum dan demonstrasi. Yang 50
dimaksud dengan kata ‘mereka’ adalah penduduk Tutsi. Pembunuhan terhadap penduduk Tutsi juga dipromosikan oleh CDR melalui pengumuman resmi dan tulisan lain yang ‘memanggil’ pengikutnya untuk membinasakan penduduk Tutsi yang dianggap sebagai musuh. Sidang mencatat keterlibatan Barayagwiza secara langsung dalam perbuatan genosida ini sebagai pemegang kemudi organisasi CDR, ia juga hadir dalam rapat-rapat, demonstrasi dan pembatasan jalan yang kemudian menciptakan infrastruktur untuk pembunuhan penduduk sipil Tutsi.” Sidang memutuskan bahwa “Barayagwiza bersalah atas penghasutan publik secara langsung dalam genosida sesuai dengan Statuta Pasal 6 (1) dan Pasal 6 (3).” Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1036-1038: “Banyak tulisan yang dipublikasikan oleh Kangura (koran) mengkombinasikan kebencian etnis dan menyebarkan ketakutan, dengan mengimbau-imbau para pendengarnya untuk melakukan kekerasan terhadap penduduk Tutsi, yang dikarakterisasikan sebagai musuh dan kaki tangan musuh. Artikel berjudul Appeal to the Conscience of the Hutu dan liputan Kangura No. 26 adalah dua contoh yang terkenal. Di dalamnya terkandung pesan yang jelas disampaikan kepada para pembaca Kangura bahwa penduduk Hutu harus ‘bangun’ dan mengambil tindakan yang penting untuk menghalangi si musuh Tutsi agar tidak membunuh Hutu. Sidang mencatat bahwa nama Kangura itu sendiri memiliki arti ‘untuk membangunkan yang lain’. Apa yang dimaksudkan untuk membangunkan Hutu dibuktikan melalui isinya, yang melakukan serangkaian pencemaran etnis, di mana penduduk Tutsi digambarkan ‘jahat’, dan pemusnahan terhadap Tutsi adalah tindakan pencegahan dari kejahatan Tutsi. Sidang mencatat adanya perhatian yang meningkat pada tahun 1994 terhadap isu Kangura terkait dengan ketakutan terhadap serangan RPF dan ancaman bahwa pembunuhan masyarakat sipil Tutsi yang tidak berdosa setelah itu adalah merupakan konsekuensi.” “Sebagai pendiri, pemilik dan editor Kangura, Hasan Ngeze secara langsung menguasai publikasi dan seluruh isinya,
dan
ia
menggunakan
publikasi
Kangura
untuk
menanamkan
kebencian,
mempromosikan ketakutan, dan melakukan penghasutan dalam genosida. Hal tersebut adalah bukti bahwa Kangura berperan penting dalam menciptakan kondisi yang menggiring pada tindakan-tindakan genosida.” Sidang memutuskan bahwa Ngeze atas perannya sebagai pendiri, pemilik dan editor Kangura, bersalah atas penghasutan publik secara langsung dalam genosida sesuai dengan Statuta Pasal 6 (1).”
51
Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1039: “Hasan Ngeze sering berkampanye dengan megaphone dalam kendaraannya, di mana ia memobilisasi penduduk Hutu untuk datang ke pertemuan CDR dan menyebarkan pesan bahwa Inyenzi harus dimusnahkan. [Inyenzi dipahami sebagai etnis minoritas Tutsi.] Untuk tindakan-tindakan yang memanggil pengikutnya supaya memusnahkan penduduk Tutsi, Sidang memutuskan bahwa Hasan Ngeze bersalah atas penghasutan publik secara umum dalam genosida” sesuai dengan Statuta Pasal 6 (1). (a) Membedakan penghasutan dengan penggunaan media secara sah Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1020-1021: “[A]dalah penting untuk membedakan antara pembahasan tentang kesadaran etnis dan promosi kebencian etnis.” “Pidato yang menciptakan kebencian etnis dihasilkan dari stigmatisasi yang digabungkan dengan pencemaran terhadap etnis.” a. Pentingnya nada Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1022: “[K]eakuratan sebuah pernyataan hanyalah salah satu faktor yang akan dipertimbangkan dalam menentukan apakah pernyataan itu dimaksudkan untuk memprovokasi ataukah untuk memberikan edukasi terhadap para penerimanya. Nada atau gaya pernyataan itu relevan untuk menentukan hal itu sebagaimana juga isi sebuah pernyataan.” b. Pentingnya konteks Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1022: “[S]idang mempertimbangkan bahwa konteks dibuatnya pernyataan tersebut juga penting. Pernyataan yang menggeneralisir suatu etnis dan menyebarkan kebencian terhadap etnis tersebut akan memiliki dampak yang lebih tinggi dalam konteks lingkungan yang bersifat genosida, dan akan sangat mungkin mengarah pada kekerasan. Pada saat yang bersamaan, lingkungan merupakan indikator bahwa penghasutan untuk melakukan kekerasan adalah niat dari sebuah pernyataan.” 52
c. Membedakan penggunaan informasi Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1024: “Sidang mengakui bahwa beberapa media berorientasi pada advokasi, dan menimbang bahwa hal yang penting untuk menetapkan putusan Sidang tidak terletak pada pertanyaan apakah sebuah media memainkan peran advokasi melainkan pada materi apa yang diadvokasi oleh media tersebut. Dalam kasus di mana media menyebarkan kebencian etnis untuk tujuan informasi atau pendidikan, diperlukan jarak yang jelas, dan menyampaikan pesan pembanding untuk memastikan bahwa tidak timbul kejahatan akibat hasil siaran. Penempatan yang dilakukan oleh media terhadap pesan yang disampaikan mengindikasikan tujuan nyata dari pesan tersebut, dan pada tingkatan tertentu merupakan pesan nyata itu sendiri.” d. Membedakan dari pembelaan sipil yang sah Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1025: “Sidang menerima bahwa media memainkan peran untuk perlindungan demokrasi dan bila perlu untuk memobilisasi pertahanan penduduk bagi perlindungan bangsa dan penduduknya. Yang membedakan antara kedua media ini (Kangura dan RTLM) dengan inisiatif lain untuk mencapai tujuan-tujuan di atas adalah bahwa keduanya secara konsisten melalui publikasi dan siaran radio mengidentifikasikan bahwa musuh tersebut adalah penduduk Tutsi. Pembaca dan pendengar tidak diarahkan kepada individu yang secara jelas bersenjata dan berbahaya melainkan kepada penduduk sipil Tutsi sebagai target dan pada kenyataannya penduduk Tutsi secara kesuluruhan yang dianggap sebagai ancaman.” e. Ekspresi etnis harus melalui penelitian yang cermat Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1008: “Perlindungan khusus terhadap pidato sejenis ini (pidato dari ‘penduduk mayoritas’ dalam mendukung pemerintah) haruslah diadopsi menurut pandangan Sidang, supaya ekspresi
53
khusus yang bersifat etnisitas dapat diteliti secara cermat untuk memastikan bahwa penduduk minoritas yang tidak memiliki pertahanan yang sama dengan mayoritas tidak dibahayakan.” f. Hukum internasional merupakan referensi penting Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1010: “Sidang menimbang bahwa hukum internasional yang telah berkembang cukup baik dalam bidang kebebasan dari diskriminasi dan kebebasan untuk berpendapat menjadi referensi penting untuk dipertimbangkan dalam masalah ini. Sidang mencatat bahwa hukum domestik sangat bervariasi sementara hukum internasional mengkodifikasikan standard yang telah diakui secara universal.” iv) Percobaan untuk melakukan genosida v) Penyertaan dalam genosida (1) Definisi Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 393, 395: “[J]urisprudensi sebelumnya telah mendefinisikan terminologi penyertaan sebagai perbantuan dan persekongkolan, penghasutan dan penyediaan.” “[P]enyertaaan untuk melakukan genosida dalam Pasal 2(3)(e) mengacu pada semua tindakan dalam bentuk bantuan atau dorongan, yang secara substansial berkontribusi pada timbulnya akibat yang substansial pada kejahatan genosida.” Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 533-537: Sidang mendefinisikan penyertaan “sesuai dengan Hukum Pidana Rwanda”, dan mendaftar unsur-unsur di bawah ini sebagai penyertaan dalam genosida: •
“penyertaan melalui penyediaan alat alat seperti senjata, alat-alat atau benda dalam bentuk apa pun yang digunakan untuk melakukan genosida, di mana si kaki tangan mengetahui bahwa alat-alat tersebut digunakan untuk tujuan itu;
•
penyertaan dengan mengetahui, membantu atau menggerakkan pelaku genosida dalam perencanaan atau yang membuat tindakan tersebut menjadi mungkin terjadi; 54
•
penyertaan dengan menganjurkan, dengan mana seseorang bertanggung-jawab walaupun tidak secara langsung dalam kejahatan genosida, memberikan instruksi untuk
melakukan
genosida
melalui
pemberian
hadiah,
janji,
ancaman,
penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan, akal bulus atau kelicikan yang dapat dipersalahkan kepadanya, atau secara langsung menghasut untuk melakukan genosida.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 179; Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 69-70. (a) Penyertaan mensyaratkan perbuatan positif Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 485, 546-548: “[P]enyertaan mensyaratkan perbuatan positif (commission), sementara perbantuan dan penghasutan terdapat dalam hal gagal dalam melakukan atau menghindari tindakan itu.” (2) Niat jahat (mens rea) Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 538-539, 544: “Kesengajaan atau niat jahat dalam penyertaan mengimplikasikan … bahwa pada waktu melakukan tindakan, si kaki tangan mengetahui bahwa ia menyediakan bantuan dalam pelaksanaan perbuatan pokok tersebut. Dengan kata lain, si kaki tangan harus tahu bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan penyertaan.” Dia tidak disyaratkan untuk “mengharapkan bahwa perbuatan pokok itu terlaksana.” “[S]etiap orang yang mengetahui tujuan kejahatan orang lain dan secara suka rela membantu atau menggerakkan orang tersebut, dapat didakwa atas penyertaan walaupun dia menyesali hasil perbuatannya itu.” Oleh karena itu, “niat jahat … yang disyaratkan dalam penyertaan untuk melakukan perbuatan genosida adalah pengetahuan terhadap rencana yang bersifat genosida.” Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 395: “Si tertuduh harus bertindak dengan sengaja dan sadar bahwa dia berkontribusi terhadap kejahatan genosida termasuk semua unsur-unsur materinya.” 55
(a) Penyertaan dalam genosida tidak mensyaratkan niat khusus genosida Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 540-545: “[T]ujuan dari si kaki tangan adalah ... untuk membantu atau menggerakkan, satu atau beberapa orang, untuk melakukan kejahatan genosida.” “Oleh karena itu, penyertaan dalam genosida tidak membutuhkan dolus specialis, misalnya tujuan khusus untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok kebangsaan, etnis, ras atau agama tertentu.” Karena itu, “si terdakwa bertanggung-jawab sebagai kaki tangan dalam genosida apabila ia mengetahui bahwa ia membantu atau menghasut atau menggerakan satu orang atau lebih untuk melakukan genosida, walaupun si terdakwa sendiri tidak memiliki tujuan khusus untuk menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian kelompok nasional, etnis, ras atau agama.” Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 183; Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 71. (3) Persyaratan genosida Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 527-531: “[P]enyertaan hanya dapat terlaksana ketika ada tindakan pokok yang dapat dihukum dari perbuatan di mana si kaki tangan melibatkan dirinya. Dengan demikian, penyertaan mengimplikasikan perbuatan dasar yang dilakukan oleh seseorang yang bukan si kaki tangan.” “[U]ntuk menyatakan bahwa si terdakwa bersalah dalam penyertaan ini, yang pertama-tama harus dibuktikan adalah ... bahwa kejahatan genosida itu memang sudah dilakukan.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 januari 2000, Paragraf 170-173. (4) Pelaku utama tidak perlu diidentifikasi atau dihukum Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 531: Seseorang dapat diadili untuk penyertaan dalam genosida “walaupun pelaku utama kejahatan tersebut belum diidentifikasikan atau di mana untuk alasan tertentu, kesalahan tersebut tidak bisa dibuktikan.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, paragraf 174.
56
(5) Orang yang sama tidak dapat dihukum atas genosida dan penyertaan dalam genosida untuk perbuatan yang sama Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 532: “[S]eorang individu tidak dapat menjadi pelaku utama untuk suatu perbuatan khusus dan sekaligus menjadi kaki tangan.” “[I]ndividu yang sama tidak dapat dihukum atas kedua kejahatan itu untuk suatu perbuatan yang sama.” Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 175; Bagilishema (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 67. Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1056: “[K]ejahatan penyertaan dalam genosida dan kejahatan genosida itu sendiri adalah kejahatan yang terpisah satu sama lain, sebagaimana seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah sebagai pelaku utama dan sebagai kaki tangan untuk suatu delik yang sama.” (6) Perbedaan antara penyertaan dan pertanggungjawaban pidana individu atas genosida Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 546-548: Pertanggungjawaban pidana individu dalam Statuta ICTR Pasal 6(1) mencakupi “[s]eseorang yang merencanakan, menyiapkan, memerintahkan, melakukan atau dengan cara lain membantu dan menggerakkan dalam perencanaan, persiapan dan pelaksaan sebuah kejahatan yang termaksud di dalam Pasal 2-4 Statuta yang berlaku.” Hal tersebut mensyaratkan adanya tujuan khusus dari kejahatan genosida, yaitu “untuk menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian kelompok kebangsaan, etnis, ras atau agama,” yang dalam genosida tidak dibutuhkan keterlibatan langsung. Perbedaan lain adalah bahwa “penyertaan mensyaratkan tindakan positif yaitu tindakan untuk melakukan perbuatan… .” Tetapi, lihat Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 394: “[T]idak ada perbedaan materil antara penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Statuta Pasal 2(3)(e) [penyertaan dalam genosida] dan definisi luas mengenai perbantuan dan penghasutan dalam Pasal 6(1). Sidang mencatat bahwa syarat niat jahat untuk penyertaan dalam genosida pada
57
Pasal 2(3)(e) mencerminkan pertanggungjawaban dalam Pasal 6(1) untuk perbantuan dan penghasutan dan bentuk-bentuk penyertaan yang lainnya.”
58
II) KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (PASAL 3) a) Statuta Statuta ICTR, Pasal 3: “Pengadilan Internasional untuk Rwanda harus memiliki kewenangan untuk mengadili orang-orang yang bertanggung-jawab dalam kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil yang dilakukan atas dasar kebangsaan, politik, etnis, ras atau agama, yaitu sebagai berikut: a) pembunuhan; b) pemusnahan; c) perbudakan; d) pengusiran; e) penahanan; f) penyiksaan; g) pemerkosaan; h) penganiayaan berdasarkan alasan politik, rasial dan agama; i) tindakan tidak manusiawi lainnya.” b) Unsur-unsurnya Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 578: Kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dipecah menjadi empat unsur esensial, yaitu: “(i) sifat dan karakter perbuatan tersebut tidak manusiawi dan menyebabkan penderitaan hebat atau luka yang serius terhadap tubuh atau kesehatan fisik maupun mental; (ii) tindakan tersebut harus dilakukan sebagai bagian dari serangan yang sistematis atau meluas; (iii) tindakan tersebut harus dilakukan terhadap anggota dari penduduk sipil; (iv) tindakan tersebut harus dilakukan atas satu atau lebih alasan berdasarkan latar belakang kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama.” (penekanan ditambahkan) Bandingkan Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 595: “a) [perbuatan yang disebutkan] harus dilakukan sebagai bagian dari serangan yang sistematis atau meluas; b) serangan harus ditujukan terhadap penduduk sipil; c) serangan harus dilakukan berdasarkan alasan yang diskriminatif, yaitu berdasarkan kebangsaan, etnis, rasial atau agama.” (penekanan ditambahkan).
59
Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 326: “Kejahatan terhadap kemanusiaan harus dilakukan sebagai bagian dari serangan yang sistematis atau meluas yang ditujukan terhadap penduduk sipil berdasarkan alasan yang diskriminatif.” 1 (penekanan ditambahkan) i) Sifat
dan
karakter
perbuatan
tersebut
haruslah
tidak
manusiawi,
menimbulkan penderitaan yang sangat berat, atau luka yang serius terhadap tubuh atau kesehatan fisik dan mental (unsur 1) Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 578: “[P]erbuatan itu haruslah memiliki sifat dan karakter yang tidak manusiawi dan menimbulkan penderitaan yang sangat berat, atau luka serius terhadap tubuh atau kesehatan fisik dan mental.” Lihat juga Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 66; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 201. ii) Perbuatan tersebut harus dilakukan sebagai bagian dari “serangan yang sistematis atau meluas” (unsur 2) Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 326: “Kejahatan terhadap kemanusiaan harus dilakukan sebagai bagian dari serangan yang sistematis atau meluas yang ditujukan terhadap penduduk sipil atas latar belakang yang diskriminatif. Walaupun perbuatan tersebut tidak harus merupakan serangan yang dilakukan pada tempat dan waktu yang sama, atau tidak memiliki semua ciri-ciri serangan itu, tetapi bahwa serangan itu berdasarkan karakteristiknya, memiliki tujuan, sifat atau konsekuensi objektifnya merupakan bagian dari serangan yang bersifat diskriminatif.” (1) Serangan Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 581: Sebuah “serangan” adalah “jenis perbuatan melawan hukum yang disebutkan dalam Statuta Pasal 3(a)(i). … Serangan
1
Pada rumusan berikutnya dalam Akayesu dan rumusan dalam Semanza di mana kata “serangan” lebih digunakan daripada kata “perbuatan”, yang hal ini lebih mengikuti pengaturan dalam Statuta.
60
dapat juga dalam bentuk bukan kekerasan, seperti penerapan sistem apartheid … atau melakukan penekanan-penekanan pada penduduk dengan cara-cara tertentu.” Lihat juga Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 70; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 205; Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 327. Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 122: Sidang mendefinisikan “serangan” sebagai “sebuah peristiwa di mana kejahatan-kejahatan yang disebutkan itu dilakukan, dengan catatan bahwa dalam satu serangan dimungkinkan terjadi bentuk kombinasi dari sejumlah kejahatan misalnya pembunuhan, pemerkosaan dan deportasi.” (2) Pengecualian terhadap perbuatan acak atau perbuatan yang dilakukan dengan alasan pribadi Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 578-579: Perbuatan harus dilakukan “sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis dan bukan sekadar perbuatan atau kekerasan yang acak.” Lihat juga Rutaganda (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 67. Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 122-123, n. 28: “Unsurunsur serangan itu secara efektif mengecualikan … perbuatan-perbuatan yang dilaksanakan berdasarkan motif pribadi murni dan perbuatan-perbuatan yang berada di luar kebijakan atau rencana yang lebih luas.” “Salah satu dari syarat meluas atau sistematis akan berguna untuk mengeluarkan perbuatan tidak manusiawi yang dilakukan berdasarkan alasan pribadi murni.” (3) “Meluas atau sistematis”, bukan keduanya Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 579, n.144: Serangan harus mengandung salah satu dari kondisi alternatif yaitu sistematis atau meluas, bukan keduanya, sebagaimana yang terdapat di dalam Statuta berteks Perancis. “Hukum kebiasaan internasional hanya mensyaratkan bahwa serangan itu dilakukan secara meluas atau sistematis.” Lihat juga Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 61
123 & n. 26; Rutaganda (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 68; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 203; Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 77; Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 804; Semanza (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 328; Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 439. (4) Meluas Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 580: “Konsep ‘meluas’ dapat didefinisikan sebagai serangan yang dilakukan secara besar-besaran, berkali-kali, dan dalam skala besar serta dilaksanakan secara bersama-sama dan berakibat serius, dan ditujukan terhadap korban yang beragam.” Lihat juga Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 69; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 204; Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 804. Hal yang sama juga terdapat dalam Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 123, di mana dijelaskan bahwa “serangan meluas adalah serangan yang ditujukan terhadap korban yang beragam.” Lihat juga Bagilishema (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 77. (5) Sistematis (a) Apakah rencana atau kebijakan disyaratkan Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 580: “Konsep serangan ‘sistematis’ adalah serangan yang diorganisasikan secara menyeluruh melalui pola tertentu yang terusmenerus atas dasar kebijakan bersama yang melibatkan sumberdaya publik atau privat yang substansial. Tidak ada persyaratan bahwa kebijakan itu harus diterima secara formal sebagai kebijakan negara, namun harus ada semacam rencana atau kebijakan yang sudah dipertimbangkan sebelumnya.” Lihat juga Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 69; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 204.
62
Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 123: “Sebuah serangan sistematis adalah serangan yang dilakukan melalui rencana atau kebijakan yang sudah dipertimbangkan sebelumnya.” Lihat juga Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2003, Paragraf 77. Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 124, 581: “Supaya dikatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, suatu perbuatan yang menyebabkan pengorbanan besar-besaran haruslah mengandung unsur kebijakan di dalamnya. Persyaratan meluas atau sistematis cukup untuk mengecualikan perbuatan yang tidak dilakukan sebagai bagian dari kebijakan atau rencana yang lebih besar. Selain itu, persyaratan bahwa serangan harus dilakukan terhadap ‘penduduk sipil’ ... memerlukan adanya suatu rencana yang diskriminatif, dan serangan seperti itu ... hanya mungkin sebagai konsekuensi dari adanya suatu kebijakan.” Akan tetapi dalam Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 329, disebutkan bahwa “‘Sistematis’ menjelaskan sifat teroganisirnya serangan itu. ... ICTY baru-baru ini mengklarifikasi bahwa relevansi suatu kebijakan atau rencana serangan yang dilakukan secara meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil adalah sangat jelas, tetapi rencana itu sendiri bukan merupakan unsur hukum kejahatan yang terpisah.” (6) Penerapan Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 173: Terpenuhinya sebagian dari persyaratan ‘meluas’ dapat diindikasikan oleh skala yang terjadi dari peristiwa tersebut. “Di suatu wilayah negara, terjadi pembunuhan besar-besaran dalam waktu yang sangat singkat. Tutsi secara jelas merupakan target serangan.” Sifat sistematis dari serangan itu dibuktikan dengan adanya “ketidakwajaran dalam pengiriman senjata (pisau) melalui kapal secara besarbesaran yang dilakukan tidak lama sebelum serangan itu terjadi;” “cara yang terstruktur di mana serangan itu terjadi;” “fakta bahwa para guru dan kaum intelektual menjadi sasaran utama;” serta fakta bahwa “secara sistematis melalui media dan propaganda lain, Hutu didorong untuk menyerang Tutsi.”
63
iii) Tindakan/serangan harus dilakukan terhadap penduduk sipil (unsur 3) (1) Keraguan mengenai terminologi yang digunakan tentang apakah “tindakan” ataukah “serangan” Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 326: “Kejahatan terhadap kemanusiaan harus dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil dengan alasan yang bersifat diskriminatif.” (penekanan ditambahkan). Lihat juga Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 595. Akan tetapi pada Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 578, disebutkan bahwa “[T]indakan harus dilakukan terhadap anggota penduduk sipil.” (penekanan ditambahkan). Lihat juga Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 582; Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 80. Lihat juga Bagian (II) (b) di atas (2) Definisi sipil Akayesu (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 582: “Anggota penduduk sipil adalah orang yang tidak mengambil bagian secara aktif dalam peperangan, termasuk tentara yang menyerahkan senjatanya dan anggota angkatan bersenjata yang telah menyerah (hors de combat) karena sakit, terluka, ditahan atau oleh sebab yang lain.” Lihat juga Rutaganda (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 72; Musema (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 207. Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 127-129: Karena kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dilakukan “di dalam atau di luar konteks konflik bersenjata,” maka “terminologi sipil harus dimengerti dalam konteks perang dan juga dalam konteks yang relatif damai.” Kemudian, “definisi sipil secara luas dapat diaplikasikan dan dalam konteks situasi di Prefecture Kibuye, di mana tidak terjadi konflik bersenjata, definsi sipil
64
mencakup semua orang kecuali mereka yang memiliki tugas untuk menjaga ketertiban umum dan memiliki dasar hukum untuk melakukan kekerasan.” Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 80: “Persyaratan bahwa tindakantindakan yang dilarang itu harus ditujukan terhadap penduduk sipil tidak berarti bahwa seluruh penduduk di negara atau satu wilayah harus menjadi korban dari tindakan itu sehingga dapat disebut terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.” “Justru unsur ‘penduduk’ dimaksudkan untuk membedakan kejahatan yang bersifat kolektif dengan tindakan-tindakan tersendiri atau terisolasi yang meskipun merupakan kejahatan berdasarkan undang-undang pidana nasional, tetapi tidak mencapai tingkat kejahatan terhadap kemanusiaan.” Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 330: “Penduduk sipil harus menjadi objek utama dari serangan itu.” (3) Kehadiran non-sipil tidak menghilangkan karakter sipil penduduk Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 582: “Kehadiran sejumlah individu yang dikategorikan bukan sipil dalam lingkungan penduduk sipil tidak menghilangkan karakter sipil dari penduduk tersebut.” Lihat juga Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 72; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 207. Hal senada juga terdapat dalam Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 128, yang menyebutkan bahwa “[S]ifat sipil dari penduduk yang menjadi target haruslah menonjol, dan kehadiran sejumlah non-sipil di antara mereka tidak mengubah karakter penduduk tersebut.” Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 79; Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 330. (4) Penduduk Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 330: “Terminologi ‘penduduk’ tidak mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan harus ditujukan terhadap semua penduduk di suatu wilayah tertentu. Para korban akibat kejahatan yang disebutkan itu tidak 65
perlu berada pada satu wilayah atau apa pun istilahnya untuk menunjukkan bahwa penduduk adalah target utama dari kejahatan pokok yang dilakukan, tetapi karakteristik sedemikian dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa kejahatan tersebut merupakan bagian dari serangan.” iv) Serangan harus dilakukan berdasarkan alasan diskriminatif atas dasar kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama (unsur 4) Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001 Paragraf 81: “[S]erangan yang ‘berdasarkan alasan kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama,’ yang merupakan sifat khas dari Statuta ICTR adalah sebuah konstruksi, yang lebih dibaca sebagai karakteristik dari ‘serangan’ dan bukan merupakan mens rea (niat jahat) pelaku. Pelaku mungkin saja melakukan kejahatan pokok berdasarkan alasan diskriminatif yang sama dengan serangan yang lebih luas itu; tetapi motif diskriminatif bukanlah prasyarat kejahatan, karena kejahatan yang dilakukan merupakan bagian dari serangan yang lebih luas.” Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 331: “Pasal 3 Statuta mensyaratkan bahwa serangan terhadap penduduk sipil harus dilakukan berdasarkan alasan ‘kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama.’ Perbuatan-perbuatan yang dilakukan terhadap orang di luar kategori yang diskriminatif itu mungkin saja merupakan bagian dari serangan, di mana perbuatan terhadap pendukung dari kalangan luar atau yang lebih jauh lainnya, atau yang dimaksudkan untuk mendukung atau melanjutkan serangan terhadap kelompok, dilakukan berdasarkan alasan diskriminatif.” Tetapi dalam Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 578, disebutkan bahwa “[P]erbuatan itu harus dilakukan berdasarkan satu atau lebih alasan diskriminatif, yaitu kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama.” Bandingkan dengan Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 595: “[S]erangan harus dilancarkan berdasarkan alasan diskriminatif, yaitu kebangsaan, etnis, rasial, agama atau politik.” (penekanan ditambahkan)
66
(1) Alasan politik Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 130: “Alasan politik termasuk aliran partai politik dan ideologi politik.” (2) Alasan kebangsaan, etnis, rasial, agama Lihat bagian (I)(c)(iii)(3)-(6) di atas. v) Niat jahat (Mens Rea), (unsur 5) (1) Pengetahuan bahwa perbuatan pelaku adalah bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 133-134: “Pelaku harus mengetahui bahwa ia melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam keadaan ia harus mengetahui konteks yang lebih luas tentang serangannya itu. ...” “[S]alah satu bagian yang mentrasformasi perbuatan individu menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan adalah dimasukkannya perbuatan tersebut dalam dimensi yang lebih besar dari perbuatan pidana, sehingga kesalahan dibuktikan melalui syarat bahwa orang harus sadar akan dimensi yang lebih luas ini. Sesuai dengan itu, pengetahuan yang sebenarnya atas konsep yang lebih luas dari serangan ... adalah bahwa si pelaku pada dasarnya mengetahui bahwa perbuatannya merupakan bagian dari serangan yang sistematis atau meluas yang ditujukan terhadap penduduk sipil, dan sesuai dengan semacam kebijakan atau rencana, sehingga memenuhi syarat unsur mens rea dari pelaku.” Lihat juga Ruggiu, (Sidang Pengadilan), 1 Juni 2000, Paragraf 19-20; Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 94. Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 442: “[K]ejahatan harus dilakukan sebagai bagian dari serangan yang sistematis atau meluas terhadap penduduk sipil, atas alasan kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama. Pelaku tidak perlu bertindak dengan tujuan diskriminatif tetapi dia harus mengetahui bahwa perbuatannya merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematis tersebut.” 67
Dalam Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 133-134 juga dijelaskan mengenai mens rea ini, di mana disebutkan bahwa: Untuk dapat bertanggung-jawab, pelaku harus memiliki “pengetahuan yang sebenarnya mengenai konteks yang lebih luas dari serangan itu, yaitu ia (pelaku) mengetahui bahwa perbuatannya merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil, berdasarkan suatu kebijakan atau rencana.” Lihat juga Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, paragraf 71; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 206. Tetapi lihat bagian (II)(b)(ii)(5)(a) di atas, yang membahas soal apakah rencana atau kebijakan disyaratkan. (2) Motif diskriminatif tidak disyaratkan untuk perbuatan-perbuatan selain penganiayaan Penuntut v. Akayesu, Kasus No. ICTR-96-4-A (Banding), 1 Juni 2001, Paragraf 447-469: Sidang Banding menetapkan bahwa Sidang (Tingkat Pertama) telah melakukan kesalahan dalam memutuskan, di mana disebutkan bahwa motif untuk melakukan diskriminasi berdasarkan alasan kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama adalah unsur yang esensial dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. “Pasal 3 (tiga) ... tidak mensyaratkan bahwa semua kejahatan terhadap kemanusiaan ... harus dilakukan dengan motif diskriminatif.” Sidang Banding menetapkan bahwa “Pasal 3 (tiga) membatasi jurisdiksi pengadilan untuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan dalam situasi yang spesifik, yaitu ‘sebagai bagian dari serangan yang sistematis atau meluas terhadap penduduk sipil’ berdasarkan alasan yang diskriminatif.” Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 332: “Tidak ada persyaratan bahwa perbuatan-perbuatan yang disebutkan itu, selain perbuatan penganiayaan, harus dilakukan dengan motif diskriminatif.” vi) Termasuk aktor negara dan non-negara
68
Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 125-126: Menyatakan bahwa “kejahatan terhadap kemanusiaan ... ‘didorong atau diarahkan oleh pemerintah atau oleh kelompok teroganisir.’” Sidang berpendapat bahwa “Jurisdiksi pengadilan mencakupi aktor negara dan non-negara.” c) Delik-delik pokok i) Perbuatan-perbuatan individu mengandung unsurnya masing-masing dan tidak perlu mengandung unsur kejahatan terhadap kemanusiaan Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 135: “Kejahatankejahatan itu sendiri tidak perlu mengandung tiga unsur serangan (meluas atau sistematis, terhadap penduduk sipil, alasan diskriminatif), tetapi harus membentuk bagian dari serangan seperti itu. Sebenarnya, kejahatan individu mengandung unsur spesifiknya sendiri.” Untuk pembahasan mengenai persyaratan bahwa perbuatan harus dilakukan sebagai bagian dari “serangan yang meluas atau sistematis,” lihat Bagian (II)(b)(ii), ICTR Digest. ii) Pembunuhan (1) Definisi Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 589: “Sidang mendefinisikan pembunuhan (murder) sebagai pembunuhan (killing) terhadap manusia yang dilakukan secara melawan hukum dan dengan sengaja. Syarat-syarat pokok pembunuhan adalah: 1. korban mati; 2. kematian disebabkan dari perbuatan melawan hukum atau pembiaran yang dilakukan oleh si pelaku atau bawahannya; 3. pada saat pembunuhan, pelaku atau bawahannya memiliki tujuan untuk membunuh atau menimbulkan luka badan yang serius terhadap korban dan mengetahui bahwa luka badan tersebut akan menyebabkan kematian bagi korban, serta sembrono memperhitungkan kepastian tentang mati atau tidaknya korban.” 69
Lihat juga Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 80-81; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 215. Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 136-140: “Tertuduh bersalah atas pembunuhan bila tertuduh, yang terlibat dalam perbuatan yang melawan hukum: 1. menyebabkan kematian orang lain; 2. melalui suatu perencanaan atau pembiaran; 3. bermaksud untuk membunuh seseorang; atau, 4. bermaksud untuk menyebabkan luka badan yang serius terhadap seseorang.” Lihat juga Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 84. (2) Niat jahat (mens rea) Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 334-339: “[S]idang menimbang bahwa pembunuhan berencana yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 3(a) … perencanaan mensyaratkan bahwa miminal tertuduh terlebih dahulu memiliki rencana untuk membunuh sebelum tindakan pembunuhan dilakukan. Tujuan yang datang terlebih dahulu dari tindakan pembunuhan itu sendiri cukup dibuktikan dengan adanya suatu momen ketenangan berpikir; aspek tujuan ini tidak memerlukan waktu yang panjang. [S]yarat bahwa tertuduh harus mengetahui bahwa perbuatannya merupakan bagian dari serangan yang lebih luas terhadap penduduk sipil, secara umum diartikan bahwa pembunuhan itu memang terencana. [T]ertuduh tidak perlu memiliki rencana pembunuhan terhadap individu-individu tertentu; pada kejahatan terhadap kemanusiaan sudah cukup kalau tertuduh memiliki tujuan berencana untuk membunuh rakyat sipil sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang berdasarkan alasan diskriminatif.” Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 137-140: Sidang tidak sependapat dengan Sidang Pengadilan dalam Akayesu, dan menyatakan bahwa terminologi yang benar adalah versi bahasa Perancis yang menyebutkan “Assassinat” (membunuh) dan 70
bukan versi Statuta bahasa Inggris yaitu “Murder” (pembunuhan). Sidang mencatat bahwa “perencanaan selalu disyaratkan dalam Assassinat” sementara “murder” tidak demikian. “Bila ada keraguan, maka interpretasi yang dilakukan adalah interpretasi yang paling menguntungkan bagi tertuduh; dalam kasus ini, dimasukkannya perencanaan adalah faktor yang menguntungkan bagi tertuduh.” Sidang memutuskan bahwa “murder dan assassinat harus dipertimbangkan bersama-sama untuk memastikan adanya standard niat jahat pelaku atau mens rea.” “Apabila murder dipertimbangkan secara bersama-sama dengan assassinat maka Sidang memutuskan bahwa standard persayaratan mens rea atau niat jahat adalah kesengajaan dan pembunuhan berencana.” Sidang memutuskan bahwa “[h]asil dari suatu tindak kejahatan direncanakan ketika pelaku merumuskan tujuannya untuk membunuh setelah melewati momen refleksi,” dan bahwa “hasil itu merupakan tujuan pelaku, atau pelaku sadar bahwa hasil itu akan terjadi dalam serangkaian perbuatan yang biasa.” Lihat juga Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 84. Tetapi lihat Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 588: “Hukum Kebiasaan Internasional menyatakan bahwa tindakan pembunuhan (act of ‘murder’) merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan bukan ‘assassinat’. Berpedoman pada hal itu, maka terdapat alasan yang cukup untuk mengasumsikan bahwa Statuta versi bahasa Perancis mengalami kesalahan penerjemahan.” Lihat juga Rutaganda (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 79; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 214. Lihat juga pembahasan mengenai murder dalam Pasal 14 (empat belas), bagian (III)(d)(i)(1), ICTR Digest. iii) Pemusnahan (1) Definisi Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 591-592: “Pemusnahan … ditujukan terhadap kelompok individu,” dan hal tersebut “berbeda dengan pembunuhan yang tidak membutuhkan unsur penghancuran massal.” Sidang mendefiniskan hal-hal di bawah ini sebagai unsur-unsur penting dalam pemusnahan, yaitu: “(1) tertuduh atau 71
bawahannya berpartisipasi dalam melakukan pembunuhan terhadap orang-orang tertentu atau orang yang sudah ditandai; (2) perbuatan (act) atau kelalaian (omission) itu melanggar hukum dan dilakukan dengan sengaja; (3) perbuatan atau kelalaian yang melanggar hukum itu harus merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematis; (4) serangan harus ditujukan terhadap penduduk sipil; (5) serangan harus dilakukan berdasarkan alasan diskriminatif, yaitu: kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama.” Lihat juga Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 83-84; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 218; Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 812-813. Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 144: Sidang mendefinisikan unsur-unsur pokok pemusnahan sebagai berikut: (1) “pelaku berpartisipasi dalam melakukan pembunuhan massal atau dalam penciptaan kondisi hidup yang berakibat pada pembunuhan massal melalui perbuatan atau pengabaian;” (2) “pelaku melakukan pembunuhan dengan maksud tertentu, dan telah bersikap ceroboh atau lalai berat sehingga terjadi pembunuhan;” (3) “memiliki kesadaran bahwa perbuatan atau pengabaian yang dilakukannya menimbulkan pembunuhan massal;” (4) “perbuatan atau pengabaian yang dilakukan merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil berdasarkan alasan kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama.” Lihat juga Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 89. Kayishema dan Ruzindana, Pengadilan), 21 Mei 1999, n. 8 hingga Paragraf 645: “Penting untuk dicatat bahwa tertuduh mungkin bersalah atas pemusnahan bila terdapat bukti yang penting, yaitu bahwa pembunuhan terhadap satu orang yang telah dilakukannya merupakan bagian dari peristiwa pembunuhan massal.” Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 84: “[P]erbuatan atau pengabaian tidak terbatas pada tindakan pembunuhan secara langsung. Perbuatan itu dapat berupa tindakan apa saja atau pengabaian, atau gabungan perbuatan dan pengabaian yang menimbulkan akibat kematian pada kelompok individual/perorangan yang menjadi target.”
72
Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 450: “[U]nsur materil dari sebuah pemusnahan terdiri dari tindakan apa saja atau kombinasi tindakan-tindakan yang berkontribusi pada pembunuhan individu-individu dalam jumlah besar.” Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1061: “Sidang sepakat bahwa untuk dikatakan bersalah dalam tindakan pemusnahan, tertuduh harus terlibat dalam pembunuhan terhadap penduduk sipil dalam jumlah yang besar, tetapi dengan pertimbangan bahwa perbedaan antara pembunuhan dan pemusnahan tidak sematamata terletak pada besarnya jumlah. Perbedaan antara keduanya bersifat konseptual yang berhubungan dengan korban kejahatan dan cara bagaimana korban tersebut ditargetkan.” (2) Niat jahat (mens rea) Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 341: “[D]alam hal tidak ada kewenangan yang
disebutkan
di
dalam
Statuta
atau
hukum
kebiasaan
internasional,
maka
pertanggungjawaban pidana internasional harus dianggap hanya dapat dilakukan atas dasar tujuan dari perbuatan. [U]nsur mental dalam melakukan pemusnahan adalah niat untuk melakukan atau berpartisipasi dalam pembunuhan massal.” Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 144: Niat jahat untuk pemusnahan adalah bahwa tertuduh “memaksudkan pembunuhan itu” atau “telah ceroboh, atau telah melakukan kelalaian berat yang dapat menyebabkan terjadinya pembunuhan,” dan ia “sadar bahwa tindakan atau pengabaian yang dilakukan merupakan bagian dari peristiwa pembunuhan massal.” (3) Penerapan Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 454: “[A]tas partisipasinya dalam serangan-serangan terhadap Tutsi, dan tindakanya dalam penembakan terhadap para pengungsi Tutsi, yang mana berkontribusi terhadap pembunuhan individu dalam jumlah yang besar, dan pembunuhan yang dilakukannya terhadap tiga orang, Tertuduh bertanggung-
73
jawab atas pemusnahan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil Tutsi berdasarkan alasan etnis. …” Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1062: “Kedua media yaitu koran Kangura dan stasiun radio RTLM mendorong pembunuhan dalam skala yang besar. Karakter media khususnya radio adalah sedemikian rupa sehingga kerusakan yang ditimbulkan dari komunikasi itu sangat luas. Aktivitas CDR [partai politik yang menyebutkan bahwa penduduk Tutsi adalah musuh], dan Impuzamugambi [sayap pemuda CDR] adalah kelompok yang melakukan kekerasan secara buas, dan juga menyebabkan pembunuhan dalam skala yang besar yang seringkali terjadi sesudah rapat-rapat dan aksi mereka.” Sidang menyimpulkan bahwa ini merupakan tindakan pemusnahan. iv) Perbudakan v) Pengusiran vi) Pengurungan/pemenjaraan vii)
Penyiksaan (1) Definisi
Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 593-595, 681: “Sidang menafsirkan kata ‘penyiksaan’ … sesuai dengan definisi penyiksaan yang terdapat di dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.” “Sidang menetapkan unsur-unsur penting dalam penyiksaan sebagai berikut: (i) Pelaku harus dengan sengaja menimbulkan penderitaan fisik atau mental terhadap korban atas satu atau beberapa tujuan di bawah ini: (a) untuk mendapatkan informasi atau pengakuan dari korban atau dari orang ketiga; (b) untuk menghukum korban atau orang ketiga atas perbuatan yang dilakukan atau diduga telah mereka lakukan; 74
(c) untuk tujuan mengintimidasi atau memaksa si korban atau orang ketiga dengan kekerasan; (d) untuk alasan apa pun yang didasarkan pada diskriminasi bentuk apa pun. (ii) Pelaku haruslah seorang pejabat, atau orang yang bertindak atas suruhan, baik dengan persetujuan atau dengan persetujuan diam-diam seorang pejabat atau seseorang yang bertindak dalam kapasitas seorang pejabat.” 2 Sidang menemukan bahwa penyiksaan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan apabila unsurunsur berikut ini dipenuhi: a) Penyiksaan harus dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis; b) serangan harus ditujukan terhadap penduduk sipil; c) serangan harus dilancarkan berdasarkan alasan yang diskriminatif, yaitu: kebangsaan, etnis, rasial, agama dan politik.” (2) Pemerkosaan dapat merupakan penyiksaan Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 597, 687: “Seperti halnya penyiksaan, pemerkosaan digunakan untuk tujuan seperti intimidasi, penghinaan, diskriminasi, penghukuman, pengendalian atau penghancuran terhadap seseorang. Seperti penyiksaan, pemerkosaan adalah pelanggaran
terhadap
kehormatan
pribadi,
dan
pemerkosaan sebetulnya adalah penyiksaan ketika hal itu ditimbulkan oleh atau atas suruhan atau dengan persetujuan dan persetujuan diam-diam dari pejabat negara atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas pejabat.” 3 (3) Tidak ada “persyaratan pejabat publik” Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 342-343: “Dalam Akayesu, Sidang Hakim bersandar pada definisi penyiksaan yang terdapat ... dalam Konvensi Menentang Penyiksaan. ... Sidang Banding ICTY menjelaskan bahwa definisi yang terdapat dalam
2
Tetapi lihat kasus hukum yang dibahas pada bagian (II)(c)(vii)(3) ICTR Digest, yang menghapus persyaratan pejabat negara. 3 Ibid.
75
Konvensi Menentang Penyiksaan mencerminkan hukum kebiasaan internasional ..., dan definisi itu tidak identik dengan definisi penyiksaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. [S]idang Banding ICTY menetapkan bahwa di luar kerangka Konvensi Menentang Penyiksaan, persyaratan ‘pejabat negara’ bukan merupakan persyaratan yang terdapat dalam hukum kebiasaan internasional dalam hubungan dengan pertanggungjawaban pidana individu atas penyiksaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.” Dengan demikian, Sidang menolak persyaratan ‘pejabat negara’. Lihat juga pembahasan mengenai penyiksaan dalam Pasal 4, bagian (III)(d)(i)(2), ICTR Digest. viii)
Pemerkosaan dan kekerasan seksual (1) Definisi
Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 596-598, 686-688: “[P]emerkosaan adalah satu bentuk penyerangan dan … unsur utama kejahatan pemerkosaan tidak bisa diperangkap dalam deskripsi mekanis mengenai objek atau bagian tubuh. … Seperti penyiksaan, pemerkosaan digunakan untuk tujuan seperti intimidasi, perendahan martabat, penghinaan, diskriminasi, hukuman, pengendalian atau penghancuran terhadap seseorang. Seperti penyiksaan, pemerkosaan adalah pelanggaran terhadap martabat pribadi. …” “Sidang menetapkan bahwa pemerkosaan merupakan serangan fisik yang bersifat seksual, dilakukan terhadap orang dengan cara kekerasan. Kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan ditetapkan sebagai tindakan apa pun yang bersifat seksual yang dilakukan terhadap orang dalam situasi kekerasan.” “Kekerasan seksual tidak terbatas pada serangan fisik terhadap tubuh manusia tetapi termasuk tindakan-tindakan yang tidak melibatkan penetrasi atau bahkan kontak fisik. [Sebagai contoh,] [p]eristiwa yang digambarkan oleh Saksi KK di mana Tertuduh memberi perintah kepada Interahamwe untuk menelanjangi seorang pelajar perempuan dan memaksa dia melakukan olahraga senam telanjang di depan umum … perbuatan ini merupakan kekerasan seksual.” “[S]ituasi kekerasan tidak perlu dibuktikan dengan ditunjukkannya kekuatan fisik. Ancaman, intimidasi, pemerasan dan bentuk-bentuk paksaan yang lain dapat menimbulkan ketakutan dan keputusasaan, dan semua itu dapat dianggap sebagai kekerasan, meskipun bukan secara fisik. …” 76
Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2007, Paragraf 220-221, 226-229: Sidang mengadopsi definisi pemerkosaan dan kekerasan seksual dalam Akayesu, dan selanjutnya menyatakan bahwa variasi tindakan-tindakan pemerkosaan dapat termasuk tindakan pemasukan objek dan/atau penggunaan lubang dalam tubuh yang pada hakikatnya dianggap tidak bersifat seksual.” Menyepakati pendekatan yang digunakan dalam Akayesu, Sidang menyatakan bahwa “esensi pemerkosaan tidak terletak pada detail khusus dari bagian-bagian tubuh dan objek yang terlibat, melainkan pada serangan yang diekspresikan dengan cara seksual dan dalam kondisi kekerasan.” Karena “ada kecenderungan dalam peraturan nasional untuk meluaskan definisi pemerkosaan” dan ada evolusi yang sedang berlangsung dalam penyatuan pemahaman mengenai pemerkosaan dalam prinsip-prinsip hukum internasional, maka “definisi konseptual lebih dipilih daripada definisi pemerkosaan secara mekanis,” karena definisi konseptual ini akan “lebih baik untuk mengakomodasi norma yang sedang berkembang dalam sistem hukum pidana.” Bandingkan Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraph 344-345: “Putusan Akayesu menyebutkan definisi pemerkosaan secara luas. … Sidang Banding ICTY memberikan penafsiran yang lebih sempit dalam menetapkan unsur materil dari pemerkosaan … sebagai penetrasi tanpa persetujuan yang walaupun sedikit, dilakukan terhadap vagina atau anus korban oleh penis si pelaku atau oleh objek/benda apa saja yang digunakan oleh pelaku, atau terhadap mulut korban oleh penis pelaku. Persetujuan dalam hal ini harus diberikan secara sukarela dan bebas dan dengan menilai konteks lingkungan sekitarnya.” “Sementara definisi pemerkosaan dengan gaya mekanis pada mulanya ditolak oleh Pengadilan, Sidang memutuskan bahwa analisis perbandingan dalam Kunarac cukup meyakinkan dan dengan demikian akan mengadopsi definisi pemerkosaan yang disetujui oleh Sidang Banding ICTY. [S]idang mengakui bahwa tindakan-tindakan kekerasan seksual lainnya yang tidak memenuhi definisi yang lebih sempit ini akan diadili sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan … dalam jenis penyiksaan, penganiayaan, perbudakan, atau tindakantindakan tidak manusiawi lainnya.” (2) Niat jahat (mens rea)
77
Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 346: “Unsur mental untuk pemerkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah tujuan untuk menghasilkan penetrasi seksual yang dilarang, dengan pengetahuan bahwa hal itu terjadi tanpa persetujuan korban.” Lihat juga pembahasan mengenai pemerkosaan dan kekerasan seksual yang menyebabkan kerusakan serius terhadap tubuh atau mental anggota kelompok dalam Pasal 2, Bagian (I)(d)(ii)(3), pemerkosaan sebagai penyiksaan dalam Pasal 3, Bagian (II)(c)(vii)(2), kekerasan seksual sebagai perbuatan tidak manusiawi lainnya dalam Pasal 3, Bagian (II)(c)(x)(1)(b), kekerasan seksual sebagai perbuatan biadab terhadap martabat pribadi dalam Pasal 4, Bagian (III)(d)(v)(1),dan pemerkosaan sebagai perbuatan biadab terhadap martabat pribadi dalam Pasal 4, Bagian (III)(d)(v)(3), ICTR Digest. ix) Penganiayaan atas dasar politik, rasial dan agama (1) Unsur-unsurnya Ruggiu, (Sidang Pengadilan), 1 Juni 2000, Paragraf 21: Mengutip ICTY, Sidang Pengadilan “meringkas unsur-unsur yang membentuk kejahatan penganiayaan sebagai berikut: a) unsurunsur yang dipersyaratkan pada semua kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Statuta; b) penyangkalan secara jelas dan terang-terangan terhadap hak-hak dasar yang menyamai tingkat kekejaman sebagaimana perbuatan yang dilarang dalam pasal 5, dan; c) alasan yang diskriminatif.” Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 347-350: “Bentuk penganiayaan dapat bermacam-macam dan tidak harus mensyaratkan tindakan secara fisik.” “[P]enganiayaan dapat termasuk tindakan-tindakan yang tertera pada sub-judul lain dari kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti pembunuhan atau pengusiran, ketika perbuatan-perbuatan itu dilakukan dengan alasan diskriminatif. Penganiayaan juga meliputi berbagai tindakan diskriminatif lainnya yang tidak tertera dalam Statuta, namun mengandung perampasan hak-hak asasi manusia secara serius.” “[A]lasan-alasan diskriminatif dalam penganiayaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3(h) … tidak termasuk alasan kebangsaan atau etnis karena alasan ini
78
termasuk dalam alasan diskriminatif untuk serangan yang terdapat dalam chapeau (kepala) Pasal 3.” (2) Motif/Niat jahat (mens rea) Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1071: “[K]ejahatan penganiayaan secara khusus mensyaratkan adanya motif diskriminatif berdasarkan alasan rasial, agama atau politik. Sidang mencatat bahwa persyaratan ini telah ditafsirkan secara luas oleh Pengadilan Internasional untuk Bekas Yugoslavia (ICTY) yang memasukkan perbuatan-perbuatan diskriminatif terhadap semua orang yang tidak termasuk dalam kelompok tertentu.” (3) Penganiayaan juga dapat dilihat dalam akibat yang ditimbulkan Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1073: “[K]ejahatan penganiayaan juga didefinisikan dari akibat yang ditimbulkan. Yang menimbulkan kerusakan bukanlah provokasi, sebab provokasi itu sendiri sudah merupakan kerusakan. Dengan demikian panggilan melalui komunikasi untuk melakukan penganiayaan tidak diperlukan. Untuk alasan yang sama, tidak perlu ada keterkaitan antara penganiayaan dan tindakan-tindakan kekerasan.” (4) Penganiayaan lebih luas dari penghasutan Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1078: “[P]enganiayaan lebih luas daripada penghasutan publik secara langsung, termasuk advokasi kebencian etnis dalam bentuk-bentuk lain.” (5) Pelaku dapat bertanggung-jawab untuk penganiayaan dan pemusnahan sekaligus Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1080: “Sidang mencatat bahwa penganiayaan yang dilakukan dalam bentuk pembunuhan adalah 79
salah satu delik pemusnahan. Namun demikian, sifat penyiaran, tulisan, dan aktivitas-aktivitas CDR adalah sedemikian rupa sehingga komunikasi yang sama akan menimbulkan akibat yang tingkatannya bervariasi pada individu yang berbeda. Siaran RTLM, artikel-artikel dalam koran Kangura, atau demonstrasi CDR yang berdampak pada pemusnahan penduduk sipil Tutsi menimbulkan satu bentuk kerusakan pada yang lainnya, yang merupakan penganiayaan. Sidang menimbang bahwa tindakan Tertuduh merupakan kejahatan ganda yang berbeda, yang mana keduanya dapat dipisah dan masing-masing dapat dipertanggungjawabkan.” (6) Penerapan Ruggiu, (Sidang Pengadilan), 1 Juni 2000, Paragraf 22: Dalam kasus yang ditanganinya, Sidang Pengadilan melihat “unsur biasa” ketika memeriksa perbuatan penganiayaan yang diakui oleh tertuduh. Perbuatan-perbuatan tersebut adalah siaran radio publik secara langsung, yang semuanya bertujuan untuk memisahkan dan menyerang kelompok etnis Tutsi dan Belgia bedasarkan alasan diskriminatif, dengan cara mencabut hak-hak dasar untuk hidup, hak kebebasan dan hak-hak dasar kemanusiaan yang dinikmati oleh anggota kelompok yang lebih luas. Pencabutan hak-hak ini dapat dikatakan sebagai tujuan untuk mematikan dan memindahkan orang-orang tersebut dari masyarakat di mana mereka hidup berdampingan dengan pelaku, atau pada akhirnya memisahkan mereka dari kemanusiaan itu sendiri.” Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1071: “[D]i Rwanda, target serangan adalah kelompok etnis Tutsi dan kelompok oposisi politik Hutu yang mendukung kelompok etnis Tutsi. Sidang mempertimbangkan bahwa kelompok, di mana serangan diskriminatif itu dilakukan, dapat ditetapkan melalui komposisi politik dan etnisnya.” “RTLM, Kangura dan CDR … pada dasarnya menggabungkan identitas politik dan etnis, dan menetapkan target politik mereka atas dasar etnis dan politis yang berhubungan dengan keetnisan. [M]otif diskriminatif dari Tertuduh masuk dalam lingkup kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu penganiayaan atas alasan politik yang berkarakter etnis.” (a) Penerapan pada pidato yang menyebarkan kebencian
80
Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1072: Dalam menetapkan unsur penganiayaan sebagaimana juga terdapat dalam Ruggiu, Sidang Pengadilan memutuskan bahwa “pidato kebencian yang menargetkan penduduk atas dasar etnisitas, atau alasan diskriminatif lain, dapat mengakibatkan kerusakan dan merupakan penganiayaan dalam Pasal 3(h) Statuta.” “Pidato kebencian adalah bentuk penyerangan diskriminatif yang merusak martabat kelompok yang diserang. Perbuatan itu menciptakan status yang lebih rendah tidak hanya di mata anggota kelompok itu sendiri tetapi juga di mata orang lain yang menganggap dan memperlakukan mereka lebih rendah dari manusia. Pencemaran nama baik seseorang atas dasar etnis atau berdasarkan keanggotaan dalam kelompok, demikian juga berdasarkan konsekuensi lainnya, dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diubah.” x) Tindakan tidak manusiawi lainnya (1) Definisi (a) Pengantar umum Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 585: Daftar perbuatan yang tercantum dalam Statuta Pasal 3(a)-(h) bukan merupakan daftar yang selesai. “Perbuatan apa saja yang memiliki sifat dan karakter yang tidak manusiawi dapat merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan bila unsur-unsur lainnya terpenuhi. Hal ini dibuktikan dalam (i) yang memenuhi untuk semua perbuatan tidak manusiawi lainnya yang tidak ditentukan dalam Pasal 3(a)-(h). Lihat juga Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 77. Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 148-151: “Tindakan tidak manusiawi lainnya termasuk kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak disebutkan dalam Pasal 3 ... tetapi memiliki keseriusan yang sebanding” dan “kegawatan yang sebanding” dengan perbuatan-perbuatan yang ada dalam daftar. ”Perbuatan ini dapat berupa tindakan atau pengabaian yang dilakukan secara sengaja dan menimbulkan penderitaan atau luka yang serius terhadap mental atau fisik atau menimbulkan serangan yang serius terhadap martabat manusia. Penuntut harus membuktikan keterkaitan antara perbuatan tidak 81
manusiawi dengan penderitaan hebat atau luka serius terhadap kesehatan mental dan fisik korban.” Apakah suatu tindakan dapat “mencapai tingkatan tidak manusiawi harus ditentukan berdasarkan kasus-per-kasus.” Lihat juga Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 92. Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 232: “[T]indakan tidak manusiawi atau pengabaian harus: (a) [d]itujukan langsung terhadap anggota penduduk sipil; (b) [p]elaku harus mendiskriminasi korban berdasarkan satu atau lebih alasan-alasan diskriminatif yang disebutkan; (c) [t]indakan atau pengabaian dari si pelaku harus merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematis, di mana pelaku harus mengetahui serangan itu.” Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 460: “[T]ertuduh harus berpartisipasi dalam tindakan tidak manusiawi terhadap individu, yang mana tindakan itu memiliki tingkat kegawatan yang sama dengan tindakan lain yang diatur dalam Pasal termaksud, dan akan menyebabkan penderitaan yang serius terhadap fisik maupun mental atau menimbulkan serangan serius terhadap martabat kemanusiaan.” (b) Termasuk kekerasan seksual Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 688, 697: “Kekerasan seksual masuk dalam lingkup ‘tindakan tidak manusiawi lainnya,’ yang diatur dalam Pasal 3(i) Statuta Pengadilan.” Akayesu “diadili bertanggung-jawab secara pidana atas pasal 3(i) untuk tindakan-tindaka tidak manusiawi lainnya, yaitu: (i) memaksa [seorang perempuan] untuk telanjang di luar kantor umum, setelah menyuruhnya duduk di atas lumpur … ; (ii) memaksa [seorang perempuan] untuk telanjang dan kemudian berbaris di muka umum; (iii) memaksa [tiga perempuan] untuk telanjang dan memaksa mereka untuk melakukan ‘gerak badan’ di depan umum dekat sebuah kantor publik.” Lihat juga pembahasan mengenai pemerkosaan dan kekerasan seksual yang menyebabkan luka serius terhadap tubuh atau mental para anggota kelompok dalam Pasal 2, Bagian (I)(d)(ii)(3), pemerkosaan dan kekerasan seksual dalam Pasal 3, Bagian (II)(c)(viii), kekerasan
82
seksual sebagai perbuatan biadab terhadap martabat pribadi dalam Pasal 4, Bagian (III)(d)(v)(1), ICTR Digest. (c) Penderitaan pihak ketiga Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 153: Sidang mengakui bahwa “pihak ketiga dapat menderita kerusakan mental yang serius dengan menyaksikan perbuatan yang dilakukan terhadap orang lain, khususnya perbuatan yang dilakukan pada keluarga atau temannya.” (2) Niat jahat (mens rea) (a) Pengantar umum Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 154, 583: “[U]ntuk dinyatakan bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan dengan melakukan perbuatan tidak manusiawi lainnya, tertuduh harus melakukan tindakan yang memiliki kekejaman dan keseriusan yang sama dengan kejahatan lainnya, dengan tujuan untuk menyebabkan tindakan tidak manusia lainnya, dan dengan kesadaran bahwa perbuatan itu dilakukan dalam konteks serangan secara keseluruhan.” (b) Niat jahat untuk penderitaan pihak ketiga Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 153: ”[U]ntuk memutuskan bahwa tertuduh bertanggung-jawab [terhadap penderitaan pihak ketiga] dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, Penuntut wajib membuktikan niat jahat (mens rea) si tertuduh.” ”[T]indakan tidak manusiawi ... adalah tindakan yang yang dilakukan dengan sengaja dan menyebabkan penderitaan mental yang serius.” Niat jahat adalah motif untuk menimbulkan penderitaan mental serius pada pihak ketiga, atau di mana tertuduh mengetahui bahwa tindakannya mungkin akan menimbulkan penderitaan mental yang serius, tetapi dengan sembrono ia tidak memperhatikan kemungkinan tersebut. Konsekuensinya adalah bahwa jika pada saat perbuatan dilakukan, tertuduh tidak sadar akan keberadaan pihak 83
ketiga yang menyaksikan perbuatannya, maka dia tidak dapat bertanggung-jawab terhadap penderitaan mental pihak ketiga tersebut.” (3) Penerapan Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 465, 467: “Perbuatan yang dilakukan terhadap Kabanda [pemenggalan leher, pengebirian dan menusuk tulang tengkorak dengan paku] dan kekerasan seksual terhadap tubuh mayat perempuan [menusukkan potongan kayu tajam ke dalam alat genital] adalah perbuatan yang keseriusannya menyamai perbuatanperbuatan lain yang diatur dalam Pasal terkait, dan menimbulkan penderitaan mental pada kaum sipil Tutsi, dan merupakan serangan serius terhadap martabat kemanusiaan masyarakat Tutsi secara keseluruhan.” ”[M]elalui dukungannya pada saat pembunuhan, pemenggalan dan pengebirian Kabanda dan penusukan tulang tengkorak, dan perintahnya kepada Interahamwe untuk melakukan kekerasan seksual terhadap tubuh mayat perempuan, Tertuduh ... bertanggung-jawab atas tindakan tidak manusiawi yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis berdasarkan alasan etnis terhadap penduduk sipil Tutsi.”
84
III.
KEJAHATAN PERANG (PASAL 4)
a) Statuta Pasal 4 Statuta ICTR: “Pengadilan Internasional untuk Rwanda harus memiliki kekuasaan untuk mengadili orangorang yang melakukan atau yang memberi perintah untuk melakukan pelanggaran serius terhadap Pasal 3 Konvensi Jenewa, 12 Agustus 1949 dan Protokol Tambahan II, 8 Juni 1977. Pelanggaran-pelanggaran ini harus meliputi, tetapi tidak terbatas pada: a) Kekerasan terhadap kehidupan, kesehatan dan keadaan fisik atau mental seseorang, khususnya pembunuhan dan perlakuan kejam seperti penyiksaan, mutilasi, dan segala bentuk hukuman fisik; b) Hukuman-hukuman kolektif; c) Menahan sandera; d) Tindakan terorisme; e) Melakukan perbuatan biadab terhadap martabat pribadi, khususnya perlakuan yang menghina dan merendahkan, pemerkosaan, pemaksaan prostitusi dan segala bentuk perbuatan yang tidak senonoh; f) Penjarahan; g) Penjatuhan dan pelaksanaan hukuman mati tanpa keputusan pengadilan yang ditetapkan secara reguler, yang menanggung semua jaminan hukum yang tidak dapat terelakan pada masyarakat beradab; h) Ancaman untuk melakukan salah satu perbuatan di atas. b) Pengantar umum i) Penerapan yang perlu dinilai Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 604-607: Dewan Keamanan lebih ekspansif dalam merancang Statuta ICTR dibandingkan ketika merancang Statuta ICTY, di mana Dewan ini “memasukkan dalam jurisdiksi dari ... Pengadilan perihal subjek dari 85
instrumen-instrumen internasional terlepas dari apakah instrumen tersebut sudah merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional atau apakah instrumen tersebut biasanya meminta pertanggungjawaban pidana secara individual terhadap pelaku kejahatan. Pasal 4 ... meliputi pelanggaran terhadap Protokol Tambahan II yang secara keseluruhan belum diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional, dan untuk pertama kalinya menerapkan ketentuan Pasal Umum 3 dari ke-empat Konvensi Jenewa.” “Pertanyaan esensial yang harus diperhatikan ... adalah apakah Pasal 4 Statuta mencakup norma-norma, yang pada saat kejahatan sebagaimana dituduhkan dalam dakwaan dilakukan, tidak merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional yang sudah ada.” Sidang juga mencatat pernyataan dari Sekretaris Jenderal pada saat pembentukan ICTY bahwa “dalam penerapan prinsip nullum crimen sine lege, Pengadilan Internasional harus menerapkan Hukum Humaniter Internasional yang merupakan bagian dari hukum kebiasaan.” Sidang memutuskan bahwa penting untuk menilai penerapan Pasal Umum 3 dan Protokol Tambahan II secara khusus. ii) Pasal Umum 3 dan daftar perbuatan yang dilarang dalam Statuta adalah bagian dari hukum kebiasaan internasional; selain itu, Rwanda adalah negara pihak terhadap Konvensi Geneva dan Protokol-Protokol Tambahannya, dan mempidana perbuatan-perbuatan yang disebutkan Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 608-609, 616: Sidang menyimpulkan bahwa Pasal Umum 3 adalah hukum kebiasaan. Sidang mencatat bahwa sebagian besar hukum pidana negara-negara “telah menjatuhkan pidana terhadap perbuatanperbuatan yang bila perbuatan tersebut dilakukan dalam konflik bersenjata internasional, akan merupakan pelanggaran terhadap Pasal Umum 3.” Sidang juga mencatat bahwa Sidang Pengadilan ICTY dalam putusan Tadic 4 memutuskan bahwa Pasal Umum 3 merupakan hukum kebiasaan internasional, demikian juga Sidang Banding ICTY. 5 Namun begitu, Sidang juga mencatat bahwa pernyataan Sekretaris Jenderal yang menyatakan bahwa Protokol Tambahan II “secara keseluruhan ... belum diakui secara universal sebagai hukum kebiasaan
4
Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Pengadilan), 7 Mei 1997, paragraf 609.
5
Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Banding)), Putusan pada Mosi Pembelaan untuk Interlocutory Appeal mengenai Jurisdiksi, 2 Oktober, 1995, paragraf 116, 134.
86
internasional.” Sidang kemudian menyatakan bahwa Sidang Banding dalam Tadic “setuju terhadap pandangan bahwa saat ini banyak pasal dalam ... Protokol Tambahan II dapat dianggap sebagai pendeklarasian paraturan yang sudah ada atau sebagai kristalisasi dari kebiasaan internasional yang sedang berkembang, meskipun tidak semuanya.” Tetapi hal itu mencakup daftar yang terdapat dalam Statuta Pasal 4 ... yang terdiri dari pelanggaran serius terhadap jaminan pokok humaniter yang ... diakui sebagai bagian dari kukum kebiasaan internasional.” Tetapi dalam Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 156-158, 597-598 dikatakan bahwa tidak perlu dipertimbangkan “apakah instrumen-instrumen itu merupakan hukum kebiasaan internasional yang memaksakan pertanggungjawaban pidana terhadap pelanggarnya.” Sebelum peristiwa itu terjadi, Rwanda telah menjadi peserta Konvensi, sehingga “semua tindak kejahatan yang disebutkan dalam Statuta Pasal 4, juga merupakan tindak kejahatan dalam hukum Rwanda.” RPF (Rwandan Patriotic Front – Front Patriotik Rwanda) juga “telah menyatakan pada ICRC (Komite Palang Merah Internasional) bahwa mereka terikat pada peraturan hukum humaniter internasional.” Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 89-90: Sidang berpegang pada putusan dalam Akayesu serta Kayishema dan Ruzindana, yang menyatakan bahwa, “pada saat kejahatan yang dituduhkan dalam dakwaan dilakukan, orang itu terikat untuk menghormati jaminan yang disediakan dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol-Protokol Tambahannya pada 1977, sebagaimana dimasukkan dalam Statuta Pasal 4.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 242; Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 353. iii) Penerapan pertanggungjawaban pidana individu Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998 Paragraf 611-617: “[S]udah jelas bahwa pelaku kejahatan yang kejam dan ekstrem harus bertanggung-jawab secara pidana dalam kapasitas sebagai individu atas perbuatan-perbuatannya.”
87
iv) Syarat “pelanggaran serius”; daftar perbuatan yang dilarang dalam Statuta Pasal 4 adalah pelanggaran serius Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 184: “Kompetensi Sidang terbatas pada pelangaran serius yang terdapat pada Pasal Umum 3 dan Protokol Tambahan II.” Sidang memutuskan bahwa “‘pelanggaran serius’ harus ditafsirkan sebagai pelanggaran yang melibatkan konsekuensi yang berat,” dan daftar perbuatan yang dilarang dalam
Pasal
4
“harus
diakui
sebagai
pelanggaran
serius
yang
menimbulkan
pertanggungjawaban pidana secara individu.” Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 616: “Sidang memahami bahwa frase ‘pelanggaran serius’ berarti ‘pelanggaran terhadap peraturan [yang] memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai penting dan memiliki konsekuensi yang berat bagi korban.’” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 286; Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 102; Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 370. Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 106: “‘Pelanggaran serius’ adalah pelanggaran terhadap aturan yang melindungi nilai-nilai penting dengan konsekuensi yang berat terhadap korban. Jaminan dasar termasuk yang ada dalam Pasal 4 Statuta merupakan representasi pertimbangan-pertimbangan dasar kemanusiaan. Karena itu, pelanggaran terhadap hal ini dianggap serius berdasarkan sifatnya.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 288. c) Unsur-unsurnya Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999 Paragraf 169: “[S]upaya sebuah perbuatan bisa dikatakan melanggar Pasal Umum 3 dan Protokol Tambahan II,” maka unsur-unsur yang harus ditunjukkan adalah sebagai berikut: (1) “konflik bersenjata ... yang berkarakter non-internasional;” (2) “hubungan antara tertuduh dengan angkatan bersenjata;” (3) “kejahatan harus dilakukan secara ratione loci dan ratione personae;” dan (4) “harus ada keterkaitan antara kejahatan dan konflik bersenjata.” 88
Tetapi dalam Akayesu, (Sidang Banding), 1 Juni 2001, Paragraf 425-445 disebutkan bahwa unsur yang kedua tidak diperlukan. Lihat juga Bagian (III)(c)(ii) di bawah, untuk pembahasan atas kasus-kasus yang menolak hubungan antara tertuduh dan angkatan bersenjata. i) Persyaratan konflik bersenjata (unsur 1) (1) Persyaratan konflik bersenjata dengan karakter non-internasional Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 601-602: “Pasal Umum 3 dipergunakan untuk ‘konflik bersenjata yang tidak berkarakter internasional.’” Kerusuhan internal tidak tercakup di dalam Pasal Umum 3 tersebut. Lihat juga Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001 Paragraf 99. Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 91: “Delik-delik yang dinyatakan agar tercakup dalam Statuta Pasal 4 harus dilakukan dalam konteks konflik yang berkarakter non-internasional memenuhi persyaratan dari Pasal Umum 3, yang digunakan untuk ‘konflik bersenjata yang tidak berkarakter internasional’ ...” (a) Definisi “konflik bersenjata bersifat non-internasional” Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 619-621, 625: Sidang mengutip Sidang Banding ICTY dalam Tadic yang menyatakan bahwa “konflik bersenjata terjadi ketika ada […] kekerasan bersenjata yang berlarut-larut antara penguasa negara dengan kelompok bersenjata yang terorganisir atau antara kelompok-kelompok seperti itu di dalam sebuah Negara. Hukum humaniter internasional berlaku mulai dari permulaan konflik bersenjata hingga gencatan senjata sampai […] tercapai penyelesaian damai dalam kasus konflik internal.” 6 “[K]onflik bersenjata berbeda dengan kerusuhan internal, baik dari segi intensitas konflik maupun tingkat organisasi para pihak yang terlibat dalam konflik.”
6
Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Banding), Putusan pada Mosi Pembelaan untuk Interlocutory Appeal mengenai Jurisdiksi, 2 Oktober 1995, paragraf 70.
89
Sidang mencatat komentar ICRC terhadap Pasal Umum 3 yang mengusulkan kriteria untuk menentukan konflik bersenjata: “Bahwa Pihak yang memberontak terhadap Pemerintahan de jure memiliki kekuatan militer yang terorganisir, penguasa yang bertanggung-jawab terhadap tindakan-tindakannya, bertindak dalam wilayah tertentu dan memiliki cara-cara penghormatan dan penjaminan terhadap Konvensi. Bahwa Pemerintahan yang sah wajib memiliki angkatan militer reguler untuk melawan pemberontak terorganisir sebagai militer dalam bagian dari teritori nasional. (a) Bahwa Pemerintah de jure mengenali pemberontak sebagai pihak yang berperang; atau (b) bahwa mereka mengklaim dirinya memiliki hak sebagai pihak yang berperang; atau (c) bahwa disetujui pengakuan pemberontak sebagai pihak yang berperang hanya untuk tujuan Konvensi ini; atau (d) bahwa sengketa itu telah diakui dalam agenda Dewan Keamanan atau Sidang Umum PBB sebagai ancaman terhadap perdamaian internasional, pelanggaran kedamaian, atau tindakan agresi.” Mengutip Komite Palang Merah Internasional (ICRC), Konvensi Jenewa Komentar I, Pasal 3, Paragraf 1 – pasal-pasal yang dapat diterapkan. Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 170: “Konflik bersenjata yang terjadi di dalam wilayah Pihak yang berjanji antara angkatan bersenjatanya dengan angkatan bersenjata pemberontak atau kelompok bersenjata terorganisir lain, sesuai dengan Protocol Tambahan II, harus dianggap sebagai konflik bersenjata yang non-internasional.” Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 92-93: “[K]onflik sesuai dengan Pasal Umum 3 adalah konflik bersenjata di mana angkatan bersenjata salah satu pihak turut berperang; dalam banyak hal konflik seperti itu serupa dengan konflik internasional tetapi yang membedakannya adalah bahwa konflik sesuai dengan gambaran Pasal Umum 3 ini
90
terjadi di dalam batas sebuah negara.” “[S]ebuah situasi dapat digambarkan sebagai ‘konflik bersenjata’ sesuai dengan kriteria Pasal Umum 3, ditentukan berdasarkan kasus-per-kasus. Dalam kaitan dengan masalah ini, Putusan Akayesu menyarankan ‘pengujian evaluasi’ terhadap intensitas konflik dan organisasi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik untuk menemukan adanya konflik bersenjata. Pendekatan ini juga disepakati oleh Sidang Pengadilan ini (Rutaganda).” Musema (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 247-248: “[K]onflik non-internasional berbeda dengan konflik bersenjata internasional karena status hukum dari masing-masing entitas yang beroposisi. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bukan merupakan Negara yang berdaulat, tetapi pemerintah dalam satu negara berkonflik dengan satu atau lebih faksi bersenjata di dalam wilayah negara tersebut.” “Ekspresi ‘konflik bersenjata’ memperkenalkan adanya kriteria material; terjadi pertempuran terbuka antara angkatan bersenjata yang terorganisir ke tingkatan yang lebih tinggi atau rendah. Dalam batasan-batasan ini, konflik bersenjata non-internasional adalah situasi di mana pertempuran terjadi antara angkatan bersenjata atau antar-kelompok bersenjata yang terorganisir dalam wilayah suatu negara.” (b) Pengecualian terhadap gangguan dalam negeri Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 620: Istilah “konflik bersenjata” “menggambarkan adanya pertempuran antara angkatan bersenjata terorganisir sampai pada tingkatan yang lebih besar atau kecil,” yang diperlukan “untuk mengatasi situasi dan ketegangan dalam negeri/internal.” “Untuk memutuskan adanya konflik bersenjata internal penting dilakukan evaluasi terhadap intensitas dan organisasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, … karena itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap baik intensitas maupun organisasi dari pihak-pihak yang berkonflik.” Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 92: “[J]elas bahwa semata-mata kejahatan/banditisme, kekacauan dan ketegangan dalam negeri, dan pemberontakan yang tidak terorganisir dan berlangsung dalam waktu yang singkat tidak termasuk dalam konflik bersenjata internal.”
91
Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 171: “Jenis-jenis konflik internal tertentu, tidak diakui oleh Pasal 1(2) Protokol Tambahan II sebagai konflik bersenjata non-internasional, yaitu ‘kekacauan dan ketegangan dalam negeri seperti huruhara, tindakan kekerasan secara terpisah dan sporadis atau perbuatan-perbuatan lain dengan sifat yang sama.’” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 248. (2) Penerapan Pasal Umum 3 dan Protokol Tambahan II tergantung pada kriteria objektif Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 603: “[K]epastian mengenai intensitas konflik non-internasional tidak bergantung pada penilaian subjektif para pihak yang berkonflik. … [B]erdasarkan kriteria objektif, Pasal Umum 3 dan Protokol Tambahan II akan berlaku apabila sudah timbul konflik bersenjata internal yang memenuhi kriteria yang ditentukan.” Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 624: Kondisi yang disyaratkan bagi berlakunya Protokol Tambahan II “harus diterapkan secara objektif dan terlepas dari kesimpulan subjektif para pihak yang terlibat dalam konflik.” Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 101: “Baik sebuah konflik memenuhi persyaratan pokok sebagaimana tercantum pada Pasal Umum 3 maupun pada Protokol Tambahan II merupakan persoalan yang menyangkut evaluasi objektif terhadap organisasi, intensitas konflik dan juga kekuatan perlawanan antara satu dangan lainnya.” Semanza, (Pangadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 357: “Untuk menklasifikasi suatu peristiwa sebagai konflik, di mana Pasal Umum 3 dan/atau Protokol Tambahan II dapat diberlakukan terhadap konflik tersebut masih tergantung pada analisis terhadap faktor-faktor objektif yang ditentukan dalam pasal-pasal peraturan tersebut.” (3) Jenis konflik yang disyaratkan oleh Protokol Tambahan II- persyaratan tambahan
92
Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 91: “Delik-delik yang tercakup dalam Statuta Pasal 4 harus dilakukan dalam konteks konflik yang berkarakter noninternasional, sehingga memenuhi persyaratan Pasal Umum 3 tentang ‘konflik bersenjata yang berkarakter non-internasional.’” “Protokol Tambahan II [berlaku] untuk konflik yang ‘terjadi di wilayah Negara Pihak, antara angkatan bersenjata negara itu dengan angkatan bersenjata lawan atau kelompok bersenjata terorganisir lainnya yang berada dalam komando yang bertanggung-jawab, dan memiliki kekuasaan atas sebagian wilayah yang membuat mereka mampu melakukan operasi militer yang berlanjut dan serempak dan untuk mengimplementasikan Protokol ini.’” Akayesu, (Sidang Pengadilan), 3 September 1998, Paragraf 601-602, 622-623: Kondisi-kondisi berikut ini harus dipenuhi agar Protokol Tambahan II dapat digunakan: “(i) konflik bersenjata terjadi dalam wilayah Pihak Agung Penandatangan (High Contracting Party) … antara angkatan bersenjatanya dengan angkatan bersenjata lawan atau kelompok-kelompok bersenjata terorganisir lainnya; (ii) angkatan bersenjata lawan atau kelompok-kelompok bersenjata lainnya berada dalam komando yang bertanggung-jawab; (iii) angkatan bersenjata lawan atau kelompok-kelompok bersenjata lainnya mampu mengkontrol sebagian wilayahnya yang membuat mereka mempu melaksanakan operasi militer yang berlanjut dan serempak; dan (iv) angkatan bersenjata lawan atau kelompok-kelompok bersenjata lainnya mampu mengimplementasikan Protokol Tambahan II. (Semua penekanan ditambahkan.) Lihat juga Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 95; Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 1000; Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 171. Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 94: “[K]onflik-konflik yang dicakup dalam Protokol Tambahan II memiliki intensitas yang lebih tinggi daripada Pasal Umum 3. … Jika konflik bersenjata internal telah memenuhi kondisi pokok sebagaimana
93
tergambar dalam Protokol Tambahan II, maka secara otomatis konflik itu memenuhi persyaratan Pasal Umum 3 yang lebih luas.” (a) Angkatan bersenjata Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 625: “Dalam Protokol Tambahan II disebutkan bahwa pihak-pihak yang berkonflik biasanya adalah pemerintah berhadapan dengan angkatan bersenjata lawan, atau pemerintah yang bertempur dengan angkatan bersenjata terorganisir atau kelompok pemberontak. Istilah ‘angkatan bersenjata’ dari Pihak Agung Penandatangan didefinisikan secara luas sehinga mencakup semua angkatan bersenjata yang digambarkan dalam peraturan nasional suatu negara.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 256. (b) Komando yang bertanggung-jawab Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 626: “[K]omando yang bertanggung-jawab … berlaku pada tingkat organisasi dalam kelompok bersenjata atau angkatan bersenjata pemberontak. Tingkat organisasi ini haruslah sedemikian rupa sehingga memampukan kelompok bersenjata atau angkatan perang pemberontak untuk merencanakan dan melaksanakan operasi militer yang serempak, dan untuk menerapkan disiplin dalam nama kekuasaan de facto.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 257. (c) “Operasi
militer
yang
berlanjut
dan
serempak”
dan
mengimplementasikan Protokol Tambahan II Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 626: “Untuk dapat diterapkannya Protokol Tambahan II, angkatan bersenjata harus mampu mendominasi bagian wilayah yang cukup dan mempertahankan operasi militer yang berlanjut dan serempak. Pada pokoknya, operasi itu harus dilakukan secara terus-menerus dan terencana. Wilayah dalam kekuasaan mereka biasanya adalah wilayah yang sudah dihindarkan dari kekuasaan angkatan pemerintah.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 258. 94
ii) Hubungan antara tertuduh dengan angkatan bersenjata – ditolak Akayesu, (Sidang banding), 1 Juni 2001, Paragraf 425-445: Sidang Hakim Banding memutuskan bahwa Sidang Pengadilan (tingkat I) telah salah dalam menerapkan hukum dengan (a) menerapkan pengujian “agen publik atau perwakilan pemerintah” dalam menafsirkan Pasal 4, dan (b) memutuskan bahwa “kategori orang yang dapat bertanggungjawab untuk pelanggaran Pasal 4 ... ‘hanya mencakup individu ... yang masuk dalam angkatan bersenjata dalam komando militer salah satu pihak yang bertikai, atau individu yang secara sah mempunyai mandat atau diharapkan demikian, sebagai petugas publik atau agen atau orang-orang yang dengan jabatan publik atau orang yang secara de fakto mewakili Pemerintah, untuk mendukung atau memenuhi upaya-upaya perang.’” “[S]idang Pengadilan (tingkat I) salah pada poin hukum yang membatasi penerapan Pasal Umum 3 untuk orang-orang dengan kategori tertentu.” “[P]ada kenyataannya pelaku pelanggaran terhadap Pasal Umum 3 akan masuk dalam salah satu kategori” karena “Pasal Umum 3 mensyaratkan adanya keterkaitan yang erat antara pelanggaran dengan konflik bersenjata.” 7 “Keterkaitan antara pelanggaran dan konflik bersenjata mengimplikasikan bahwa dalam kebanyakan kasus, pelaku kejahatan mungkin memiliki hubungan khusus dengan salah satu pihak dalam konflik, tetapi hubungan itu bukan merupakan kondisi yang harus didahulukan dalam penerapan Pasal Umum 3 dan Statuta Pasal 4.” Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 358-362: “Pasal Umum 3 dan Protokol Tambahan II ... tidak menentukan golongan-golongan pelaku yang potensial, melainkan hanya memberi indikasi mengenai siapa yang terikat dengan kewajiban- kewajiban yang ditetapkan.” ”[K]larifikasi lebih lanjut mengenai golongan pelaku yang potensial tidak dibutuhkan, dalam pandangan bahwa tujuan utama Pasal Umum 3 dan Protokol Tambahan II adalah perlindungan para korban. Perlindungan dalam Pasal Umum 3 mengandung hukuman efektif bagi pelaku, siapa pun mereka.” “[P]ertanggungjawaban pidana bagi
7
Untuk pembahasan mengenai persyaratan keterkaitan, lihat Bagian (III)(c)(v), ICTR Digest.
95
perbuatan-perbuatan yang tercakup dalam Statuta Pasal 4 tidak tergantung pada klasifikasi tertentu dari pelaku yang diduga.” (1) Sipil dapat bertanggung-jawab atas kejahatan perang Musema, (Pangadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 274-275: “Sidang Pengadilan pasca Perang Dunia II secara tegas mendukung pengenaan tanggung jawab pidana secara individu terhadap sipil atas kejahatan perang di mana mereka memiliki hubungan atau relasi dengan para pihak yang berkonflik. Prinsip yang menetapkan bahwa sipil bertanggung-jawab atas pelanggaran hukum perang, dan terlebih lagi didukung atas pertimbangan terhadap objek hukum humaniter dan tujuan dari Konvensi Jenewa serta Protokol-Protokol Tambahan adalah untuk melindungi para korban perang dari kekejaman.” Maka, si Tertuduh, sebagai warga sipil, “dapat masuk dalam golongan individu yang bisa bertanggung-jawab atas pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional, khususnya pelanggaran serius terhadap Pasal Umum 3 dan Protokol Tambahan II.” iii) Jurisdiksi geografis (ratione loci) (unsur 2) Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 169: “[K]ejahatan harus dilakukan dalam ratione loci ... .” (1) Saat kriteria telah terpenuhi, ia berlaku pada seluruh wilayah suatu negara, tidak hanya dalam medan perang” Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 102-103: “[S]yarat-syarat Pasal Umum 3 dam Protokol Tambahan II berlaku pada seluruh wilayah di mana konflik sedang berlangsung dan tidak terbatas pada ‘garis depan’ perang atau pada ‘wilayah yang sangat terbatas pada operasi perang yang sebenarnya.’” Lihat juga Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 september 1998, Paragraf 635; Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 182-183; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000 Paragraf 284; Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 367.
96
Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 101: “Pada saat syarat pokok Pasal Umum 3 dam Protokol Tambahan II terpenuhi, instrumen-instrumen akan langsung dapat diterapkan tidak hanya pada area terbatas medan perang tetapi juga di seluruh wilayah Negara yang terlibat dalam konflik. Konsekuensinya adalah pihak-pihak yang turut dalam peperangan terikat untuk menghormati pasal-pasal dalam instrumen sepanjang wilayah yang relevan.” iv) Jurisdiksi personal (ratione personae) (unsur 3) Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 169: Kejahatan harus dilakukan ... ratione personae ... .” (1) Golongan para korban – sipil yang dilindungi Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 363-366: “[P]asal Umum 3 dan Protokol Tambahan II sama-sama melindungi orang-orang yang tidak mengambil bagian secara aktif dalam peperangan. Sidang Banding ICTY menekankan bahwa Pasal Umum 3 berlaku untuk setiap ‘individu yang tidak mengambil bagian dalam peperangan.’ Ini juga merupakan posisi dari Sidang ini (Semanza).” Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 859: “Pasal 4 ditujukan untuk melindungi orang-orang yang tidak mengambil bagian secara aktif dalam peperangan pada konflik bersenjata yang tidak berkarakter internasional.” Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 629: Sidang menetapkan bahwa “orang-orang yang tidak ambil bagian secara aktif dalam peperangan,” (Pasal Umum 3(1)), dan “semua orang yang tidak mengambil bagian langsung atau yang sudah berhenti mengambil bagian dalam perang, (Protokol Tambahan II Pasal 4) diperlakukan secara sama. Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 605-608: Pasal-pasal yang terdapat dalam Protokol Tambahan II akan melindungi “para tawanan atau tahanan, orang-orang yang kehilangan kebebasan karena konflik bersenjata,” “orang-orang yang 97
terluka,” “sakit dan terdampar, personil keagamaan dan medis,” demikian juga penduduk sipil dan individu sipil. (2) Kehadiran non-sipil tidak menghilangkan karakter sipil penduduk Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 179-180: “[S]emua orang yang bukan merupakan orang yang bertempur dapat dianggap sebagai sipil. Sidang memperhatikan bahwa ada perbedaan tertentu antara istilah ‘sipil’ dan ‘penduduk sipil’. Ada sipil yang menyertai atau merupakan tambahan dari angkatan bersenjata. Orang sipil dapat berada di antara orang yang bertempur secara langsung dalam perang. Konfirmasi yang jelas atas fakta ini terdapat pada Protokol Tambahan II yang menyatakan bahwa, ‘orang sipil harus menikmati perlindungan yang disediakan oleh bagian ini kecuali pada waktu mereka mengambil bagian langsung dalam perang.’ Tetapi sipil sedemikian tidak turut serta dalam konflik bersenjata. Protokol Tambahan I Pasal 50 menekankan, bahwa ‘kehadiran individuindividu tertentu di antara penduduk sipil, di mana individu tersebut tidak masuk dalam definisi orang sipil, tidak menghilangkan karakter sipil dari penduduk itu.’” (3) Menganalisis apakah korban mengambil bagian secara aktif dalam peperangan Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 100-101, n. 32: “Penduduk sipil terdiri dari semua orang sipil,” dan selanjutnya menyatakan bahwa “penduduk sipil terbentuk dari orang-orang yang bukan merupakan orang yang bertempur atau orang dalam status hors de combat, dengan kata lain, penduduk sipil adalah bukan merupakan anggota dari angkatan bersenjata.” “[J]ika orang sipil mengambil bagian secara langsung dalam perang, maka mereka kehilangan hak mereka untuk dilindungi sebagai sipil per se dan dapat masuk dalam golongan orang yang bertempur.” Mengambil bagian ‘secara langsung’ dalam perang adalah melakukan tindakan yang sifat atau tujuannya adalah untuk menimbulkan kerusakan/luka yang sebenarnya terhadap personel dan perlengkapan angkatan bersenjata musuh.” Karena golongan sipil didefinisikan secara luas, maka “pembuktiannya untuk menentukan apakah seorang korban berstatus sebagai orang sipil dilakukan berdasarkan kasus-per-kasus.”
98
Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 363-366: “Pertanyaan yang harus dijawab ... adalah apakah pada saat delik yang dituduhkan itu dilakukan, orang yang diduga sebagai korban mengambil bagian secara aktif dalam peperangan atau tidak. Jika jawabannya negatif (tidak), maka orang yang diduga sebagai korban adalah orang yang dilindungi Pasal Umum 3 dan Protokol Tambahan II. Mengambil bagian secara langsung dalam peperangan berarti turut dalam tindakan-tindakan penyerangan terhadap personil dan perlengkapan angkatan bersenjata musuh.” v) Keterkaitan antara kejahatan dan konflik bersenjata (unsur 4) Akayesu, (Sidang Banding), 1 Juni 2001, Paragraf 438, n. 807: Sidang Banding ICTY telah mengembangkan pengujian bahwa “[h]arus ada keterkaitan antara kejahatan dengan konflik bersenjata.” Lihat juga Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, paragraf 105. Dalam Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 169, juga dikatakan bahwa “[H]arus ada keterkaitan antara kejahatan dengan konflik bersenjata.” (1) Syarat hubungan langsung/delik harus bertalian erat dengan peperangan Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 185-190: Yang tercakup di sini “[h]anyalah delik-delik yang memiliki keterkaitan dengan konflik bersenjata.” “[T]erminologi ‘keterkaitan’ tidak dimengerti sebagai sesuatu yang samar-samar dan tidak jelas. Hubungan langsung antara kejahatan yang dituduhkan ... dan konflik bersenjata harus ditemukan secara faktual, sehingga tidak ada pengujian yang ditentukan secara in abstracto. Berdasarkan kasus-per-kasus, Sidang Pengadilan-lah yang memutuskan apakah fakta-fakta yang disampaikan mempunyai keterkaitan.” Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 104-105: Sidang memutuskan bahwa “harus ada keterkaitan antara delik dan konflik bersenjata, karena itu harus dimengerti bahwa delik harus bertalian dengan peperangan, atau delik itu dilakukan bersamaan dengan konflik bersenjata.” Penuntut memiliki beban untuk membuktikan di luar keraguan berdasarkan fakta-fakta bahwa keterkaitan itu ada antara kejahatan yang dilakukan dan 99
konflik bersenjata.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 259262; Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 105; Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 368-369. Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 598-604: Proses penuntutan gagal menemukan keterkaitan antara konflik bersenjata dengan delik yang dituduhkan. “Pernyataan dugaan hanya menunjukkan bahwa konflik bersenjata telah digunakan sebagai dalih untuk melepaskan kebijakan resmi untuk melakukan genosida.” “[P]ernyataan-pernyataan seperti itu tidak dapat dianggap sebagai bukti atas hubungan langsung antara kejahatan yang diduga dengan konflik bersenjata.” (2) Peperangan yang sebenarnya tidak disyaratkan dalam daerah kejahatan; peperangan yang sesungguhnya tidak disyaratkan pada waktu tepat terjadinya kejahatan Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 105: “[P]eperangan yang sebenarnya terjadi di commune Mabanza dan Prefecture Kibuye tidak diperlukan agar Pasal 4 Statuta diberlakukan. Apalagi, pertempuran yang terjadi dalam periode waktu yang persis ketika delik yang diduga terjadi itu dilakukan tidak merupakan syarat.” vi) Niat jahat (mens rea) (unsur 5) Untuk pembahasan mengenai niat jahat, lihat Bagian (III)(d)(i)(1) (pembunuhan - murder) dan Bagian (III)(d)(i)(2) (penyiksaan), ICTR Digest. d) Delik-delik pokok i) Kekerasan terhadap kehidupan, kesehatan fisik dan niat jahat seseorang, khususnya pembunuhan dan juga perlakuan kejam, seperti penyiksaan, mutilasi atau bentuk hukuman badan lainnya (1) Pembunuhan 100
Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 215: Unsur-unsur pembunuhan yang terdapat dalam Pasal 4 Statuta adalah: “(a) [k]orban mati; (b) [k]ematian disebabkan pengabaian atau tindakan melawan hukum yang dilakukan si Tertuduh atau bawahannya; (c) [p]ada saat pembunuhan dilakukan, Tertuduh atau bawahannya memiliki motif untuk membunuh atau menimbulkan luka badan yang berat pada korban, dengan terlebih dahulu mengetahui bahwa luka badan seperti itu akan menyebabkan kematian korban, dan secara sembrono memperhitungkan apakah kematian akan terjadi atau tidak.” Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 373: “Pembunuhan dalam Pasal 4 mengacu pada motif pembunuhan terhadap orang lain yang tidak perlu diiringi dengan adanya
persiapan
terlebih
dahulu.
Sidang
mencapai
kesimpulan
ini
setelah
mempertimbangkan penggunaan terminologi ‘meurtre’ yang bertentangan dengan ‘assassinat’ dalam Statuta versi Perancis.” Lihat juga pembahasan mengenai pembunuhan dalam Pasal 3, Bagian (II)(c)(ii), ICTR Digest. (2) Penyiksaan Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 285: Unsur-unsur penyiksaan dalam Statuta Pasal 4(a) adalah: “Dengan sengaja mneyebabkan luka atau penderitaan berat, baik secara fisik maupun mental terhadap seseorang dengan tujuan untuk mendapatkan informasi atau pengakuan darinya (korban) atau orang ketiga, atau menghukum korban atas perbuatan yang dilakukannya atau oleh orang ketiga, atau mengintimidasi atau memaksa korban atau orang ketiga, atau berdasarkan alasan diskriminatif, di mana luka atau penderitaan itu ditimbulkan oleh adanya persetujuan atau dengan persetujuan diam-diam pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas pejabat. Luka atau penderitaan yang timbul hanya dari akibat wajar atau insidental dari sangsi yang sah bukan merupakan unsur-unsur penyiksaan berdasarkan Statuta Pasal 4(a) ini.” Lihat juga pembahasan mengenai penyiksaan dalam Pasal 3, Bagian (II)(c)(vii), ICTR Digest.
101
ii) Hukuman-hukuman kolektif iii) Menahan sandera iv) Tindakan terorisme v) Perbuatan yang biadab terhadap martabat pribadi, khususnya perlakuan mempermalukan dan merendahkan, pemerkosaan, pemaksaan prostitusi dan segala bentuk penghinaan yang tidak senonoh (1) Kebiadaban terhadap martabat pribadi termasuk kekerasan seksual Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 Spetember 1998, Paragraf 688: “Kekerasan seksual masuk dalam ruang lingkup ... ‘kebiadaban terhadap martabat pribadi,’ yang ditentukan dalam Pasal 4(e) Statuta.” Lihat juga pembahasan mengenai pemerkosaan dan kekerasan seksual yang menyebabkan luka serius, baik fisik maupun mental kepada anggota kelompok; Pasal 2 Bagian (I)(d)(ii)(3), dan pemerkosaan dan kekerasan seksual dalam Pasal 3, Bagian (II)(c)(viii), serta kekerasan seksual sebagai tindakan tidak manusiawi lainnya dalam Pasal 3, Bagian (II)(c)(x)(1)(b), ICTR Digest. (2) Perlakuan mempermalukan dan merendahkan Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 285: Unsur-unsur “perlakuan yang mempermalukan atau merendahkan” dalam Pasal 4(e) adalah: “Melakukan perbuatan yang dirancang untuk menghilangkan kehormatan korban. Seperti perbuatan biadab terhadap martabat pribadi, delik ini dapat dianggap sebagai bentuk yang lebih ringan dari penyiksaan; terlebih lagi dalam hal di mana motif yang disyaratkan dalam penyiksaan tidak dibutuhkan, demikian juga tidak disyaratkan bahwa perbuatan itu dilakukan dalam kekuasaan negara.” (3) Pemerkosaan 102
Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 220-221, 226: Unsur-unsur pemerkosaan dalam Pasal 4(e) Statuta adalah: “[S]erangan fisik yang bersifat seksual terhadap orang secara paksa … . [V]ariasi tindakan pemerkosaan dapat meliputi tindakan-tindakan yang melibatkan pemasukan objek dan/atau penggunaan lubang pada tubuh yang walaupun pada hakikatnya tidak dianggap seksual … . [I]nti dari pemerkosaan bukanlah detail secara khusus dari bagian tubuh dan objek yang dilibatkan, melainkan pada serangan yang diekspresikan dengan cara seksual dan secara paksa.” Lihat juga pembahasan mengenai pemerkosaan dan kekerasan seksual yang mengakibatkan luka yang serius, baik fisik maupun mental terhadap anggota kelompok dalam Pasal 2 Bagian (I)(d)(ii)(3), pemerkosaan sebagai penyiksaan dalam Pasal 3 Bagian (II)(c)(vii)(2), dan pemerkosaan dan kekerasan seksual dalam Pasal 3 Bagian (II)(c)(viii), ICTR Digest. (4) Penyerangan yang tidak senonoh Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 285: Unsur-unsur “penyerangan yang tidak senonoh” dalam Pasal 4(e) Statuta adalah: “Tertuduh menyebabkan timbulnya rasa sakit atau luka dengan tindakan yang bersifat seksual yang dilakukan dengan cara kekerasan, paksaan, ancaman atau intimidasi tanpa melalui persetujuan.” vi) Penjarahan vii) Dijatuhkannya hukuman dan dilaksanakannya hukuman mati tanpa keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang ditetapkan secara reguler, yang menanggung semua jaminan hukum yang diakui sebagai tak terelakkan pada masyarakat yang beradab viii)
Ancaman untuk melakukan salah satu perbuatan di atas
103
IV) PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA SECARA INDIVIDUAL (PASAL 6 (1)) a) Statuta Pasal 6 Statuta ICTR: “1. Seseorang yang merencanakan, mendorong, memerintahkan, melakukan atau membantu dan bersekongkol dalam perencanaan, persiapan atau pelaksanaan kejahatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 sampai Pasal 4 Statuta ini harus bertanggung-jawab secara individu atas kejahatan itu. 2. Kedudukan resmi si tertuduh, baik sebagai Kepala Negara atau sebagai Pemerintah resmi yang bertanggung-jawab, tidak melepaskan orang tersebut dari pertanggungjawaban pidana dan juga tidak meringankan hukumannya.” b) Pengantar umum i) Unsur-unsur yang disyaratkan Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 198: Ada “dua taraf pengujian yang harus dipenuhi untuk menimbulkan pertanggungjawaban pidana secara individu dalam Pasal 6(1). Pengujian ini membutuhkan demonstrasi dari (i) partisipasi ... bahwa perbuatan Tertuduh berkontribusi pada perbuatan tindakan ilegal, dan (ii) pengetahuan atau motif, yaitu kesadaran si pelaku atas partispasinya dalam kejahatan.” ii) Kejahatan harus benar-benar terjadi bagi pertanggungjawaban dalam Pasal 6, tetapi tidak untuk genosida Akayesu,
(Sidang
Pengadilan),
2
September
1998,
Paragraf
473:
“[P]rinsip
pertanggungjawaban pidana secara individu ... menandakan bahwa perencanaan atau persiapan kejahatan sebenarnya berdampak pada dilakukannya perbuatan kejahatan itu.” Oleh karena itu, maka seseorang hanya dapat bertanggung-jawab dalam Pasal 6(1), yang mencakup “Pertanggungjawaban Pidana Individu,” jika delik itu memang benar terjadi, 104
kecuali dalam kasus Genosida, di mana ada pertanggungjawaban untuk percobaan. Lihat juga Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, n. 80; Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 34; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 115. Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 34: “Tetapi ... Pasal 2(3) ... berkaitan dengan kejahatan genosida mengatur penuntutan bagi percobaan untuk melakukan genosida.” Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 378: “Sesuai dengan Pasal 6(1), kejahatan dalam jurisdiksi Sidang Pengadilan harus sudah selesai dilakukan sebelum keturutsertaan individu dalam kejahatan itu memunculkan pertanggungjawaban pidana. Pasal 6(1) tidak menjatuhkan pidana pada delik-delik inchoate (permulaan), yang dapat dipidana hanya dalam kejahatan genosida sesuai dengan Pasal 2(3)(b), (c), dan (d).” iii) Pertanggungjawaban individual dan komando dibedakan Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 202: Sidang membedakan pertanggungjawaban individual dengan pertanggungjawaban komando. Sidang menyatakan bahwa pertanggungjawaban individu “bukan berdasarkan pada tugas untuk bertindak, tetapi timbul dari dorongan dan dukungan yang dapat menimbulkan kejahatan pokok.” iv) Perencanaan, penghasutan, memberi perintah, melakukan, perbantuan, persekongkolan dibaca secara berbeda Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 193-197, 207: Sidang menolak argumentasi pembela yang menyatakan bahwa “‘perencanaan, penghasutan, memberi perintah, dan melakukan perbuatan itu sendiri,’ harus dibaca secara kumulatif tetapi terpisah
dari
‘perbantuan
dan
persekongkolan,’”
dan
“bahwa
‘perbantuan
dan
persekongkolan’ juga harus dibaca secara kumulatif.” Sidang justru memilih untuk membaca frase itu secara terpisah, dan berpendapat bahwa pertanggungjawaban pidana individu hanya 105
mensyaratkan bahwa “salah satu cara turut serta yang digambarkan dalam Pasal 6(1) … dapat ditunjukkan.” “[M]asing-masing cara turut serta itu dapat menimbulkan pertanggungjawaban pidana secara independen.” Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 484: “[P]erbantuan atau persekongkolan saja cukup untuk membuat pelaku kejahatan bertanggung-jawab.” v) Dapat bertanggung-jawab untuk perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 35: Sidang menetapkan bahwa “Tertuduh dapat … bertanggung-jawab secara pidana untuk perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang lain, bila ia merencanakan perbuatan-perbuatan itu, menghasut orang lain untuk melakukannya, memerintahkan supaya hal itu dilakukan atau membantu dan bersekongkol dengan orang lain untuk melakukan perbuatan-perbuatan itu.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 117. c) Turut serta: bahwa perbuatan tertuduh berkontribusi pada dilakukannya perbuatan yang ilegal (unsur 1) i) Pengantar umum: kontribusi harus besar Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 199: “Actus reus dan syarat kontribusi bervariasi pada tiap cara keturutsertaan yang diatur dalam Pasal 6(1). Yang jelas adalah kontribusi dalam melakukan suatu perbuatan haruslah besar, dan ini merupakan pertanyaan mengenai fakta yang harus dipertimbangkan oleh Sidang Pengadilan.” Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 379: “Untuk memenuhi Pasal 6(1), keturutsertaan individu harus dikontribusikan secara besar kepada, atau telah menimbulkan efek yang besar terhadap, penyelesaian perbuatan kejahatan.” ii) Perencanaan 106
Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 Spetember 1998, Paragraf 480: “[P]erencanaan, tidak seperti keturutsertaan atau persekongkolan, dapat merupakan perbuatan yang dilakukan oleh satu orang. Oleh karena itu, perencanaan dapat berarti bahwa satu atau beberapa orang bermaksud merancang suatu kejahatan untuk dilakukan, dan rancangan itu dilakukan pada tahap persiapan dan pelaksanaan.” Lihat juga Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 37; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 119. Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 30: “Seorang individu yang berpartisipasi secara langsung dalam perencanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang disebutkan dalam Statuta menyebabkan ia bertanggung-jawab terhadap kejahatan itu walaupun kejahatan itu sebenarnya dilakukan oleh orang lain. Tingkat partisipasi haruslah substansial, misalnya berpartisipasi dalam merumuskan rencana kejahatan atau mengesahkan rencana yang diajukan oleh orang lain.” Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 380: “‘Perencanaan’ mengimplikasikan bahwa satu orang atau lebih merumuskan metode rancangan atau kegiatan, prosedur atau pengaturan untuk terlaksananya sebuah kejahatan. Tingkat partisipasi dalam perencanaan haruslah substansial seperti merumuskan rencana kejahatan atau mengesahkan rencana yang diajukan oleh orang lain.” iii) Penganjuran/penghasutan (1) Pengantar umum Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 30: “Seorang individu yang menganjurkan orang lain untuk melakukan kejahatan menimbulkan pertanggungjawaban untuk kejahatan itu. Dengan mendesak atau mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan, orang tersebut memberi kontribusi secara substansial pada pelaksanaan kejahatan. Bukti diperlukan atas hubungan sebab akibat antara penganjuran dan actus reus dari kejahatan.” Lihat juga Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 381.
107
(2) “Langsung dan publik” tidak disyaratkan Akayesu, (Sidang Banding), 1 Juni 2001, Paragraf 474-483: Sidang Banding menyatakan bahwa Sidang Pengadilan (tingkat I) salah dalam memutuskan bahwa terminologi “penghasutan” dalam Pasal 6(1) harus bersifat “langsung dan publik”. Sidang Banding mencatat ketidaksesuaian antara Statuta versi Inggris dan Perancis, keduanya versi asli, yang masing-masing menggunakan “penganjuran” dan “penghasutan”. Sidang Banding kemudian memutuskan bahwa kedua terminologi itu sama. Penganjuran “langsung dan publik” tidak disyaratkan. iv) Memberi perintah Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 483: “Memberi perintah mengandung arti adanya suatu hubungan atasan dan bawahan antara orang yang memberi perintah dan orang yang melaksanakan perintah. Dengan kata lain, orang dalam posisi penguasa menggunakan kuasanya itu untuk meyakinkan orang lain supaya melakukan kejahatan. Dalam sistem hukum tertentu, termasuk sistem Rwanda, memberi perintah adalah bentuk penyertaan melalui pemberian instruksi kepada pelaku delik.” Lihat juga Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 39; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 121. v) Melakukan Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 41: “[S]eorang tertuduh berpartisipasi dalam sebuah kejahatan baik melakukan secara langsung sebuah tindakan yang melawan hukum ataupun melalui pengabaian, di mana dia memiliki tugas untuk bertindak.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 123. Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003 Paragraf 383: “‘Melakukan’ mengacu pada orang secara langsung atau partisipasi tertuduh secara fisik dalam perbuatan sebenarnya yang merupakan unsur pokok dari kejahatan dalam Statuta.” vi) Perbantuan dan persekongkolan 108
(1) Definisi Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 484: “Perbantuan” dan “persekongkolan” tidak sama. “Perbantuan berarti memberikan pertolongan kepada seseorang.” “Persekongkolan ... terjadi melalui tindakan yang memberi kemudahan bagi pelaksanaan sebuah perbuatan dengan cara menaruh perhatian pada hal itu.” Lihat juga Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, paragraf 787. Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 384: “Terminologi ‘perbantuan’ dan ‘persekongkolan’ mengacu pada konsep hukum yang berbeda. Terminologi ‘membantu’ berarti mendukung atau menolong orang lain untuk melakukan kejahatan, sedangkan ‘persekongkolan’ berarti mendorong, menasihati atau menghasut orang lain untuk melakukan kejahatan.” (2) Membantu atau bersekongkol saja sudah mencukupi Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1990, Paragraf 484: “[M]embantu atau bersekongkol saja sudah cukup untuk membuat pelaku kejahatan bertanggung-jawab.” (3) Niat jahat (mens rea) Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 32: “Seorang kaki tangan harus secara sadar dan tahu dalam menyediakan bantuan kepada pelaku kejahatan, di mana ia harus mengetahui bahwa bantuan itu akan berkontribusi pada kejahatan pokok. Kaki tangan juga harus memiliki maksud dalam menyediakan bantuan, minimal menerima konsekuensi yang dapat diduga dari perbuatannya.” (a) Tujuan khusus disyaratkan dalam perbantuan dan persekongkolan dalam genosida
109
Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 485: “[K]etika berhadapan dengan orang yang dituduh telah membantu dan bersekongkol dalam perencanaan, persiapan dan pelaksanaan genosida, harus dibuktikan bahwa orang itu memang memiliki tujuan khusus untuk melakukan genosida, yaitu ia bertindak dengan tujuan menghancurkan seluruh atau untuk sebagian kelompok kebangsaan, etnis, rasial atau agama tertentu; sebaliknya … persyaratan yang seperti itu tidak dibutuhkan untuk perbantuan dalam genosida.” Lihat juga pembahasan mengenai niat jahat (mental state, mens rea) untuk Pasal 6(1) Pengantar umum, Bagian (IV)(d), ICTR Digest. (4) Bantuan harus diberikan secara substansial/memiliki efek substansial Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 43: “[P]erbantuan dan persekongkolan mencakup semua tindakan asistensi, baik dalam bentuk fisik ataupun dukungan moraldan harus berkontribusi secara substansial pada pelaksanaan kejahatan. Namun demikian, … pembantu dan kaki tangan menolong atau memfasilitasi yang lainnya dalam penyelesaian delik pokok.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 126; Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 787. Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 33: “Seorang kaki tangan dapat bertanggung-jawab untuk sebuah kejahatan dalam Statuta dengan syarat bahwa dia harus membantu perbuatan kejahatan; perbantuan itu harus memiliki efek yang substansial pada perbuatan kejahatan.” (5) Pertolongan bukan merupakan unsur yang harus ada Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 33: “Sidang ... setuju dengan pandangan yang disampaikan dalam Furundzija, bahwa pertolongan yang diberikan oleh kaki tangan tidak perlu menjadi unsur yang harus ada, yaitu sebuah conditio sine qua non dari perbuatan si pelaku.”
110
(6) Pertolongan tidak harus dilakukan pada saat yang bersamaan dengan delik Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, paragraf 33: “Pertolongan tidak harus disediakan pada waktu yang sama dengan waktu dilakukannya delik.” Begitu juga dalam Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 385 yang menyebutkan bahwa “[P]ertolongan dapat disediakan sebelum atau selama pelaksanaan kejahatan.” (7) Kehadiran tidak disyaratkan Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 484: “[O]rang yang membantu atau menghasut orang lain untuk melakukan delik tidak perlu hadir selama kejahatan dilakukan.” Hal senada juga terdapat dalam Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 43, yang menyatakan bahwa: “[O]rang yang membantu atau menghasut orang lain untuk melakukan delik tidak perlu hadir selama kejahatan dilakukan. Perbuatan perbantuan itu sendiri dapat untuk sementara waktu tidak berhubungan dengan perbuatan pokok delik itu.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 125. Demikian juga dalam Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 juni 2001, Paragraf 33, di mana “keturutsertaan dalam perbuatan kejahatan tidak mensyaratkan kehadiran fisik atau pertolongan secara fisik.” Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 200, yang menyatakan bahwa “[T]idak disyaratkan bahwa tertuduh harus hadir pada tempat kejahatan. Kontribusinya juga tidak harus diberikan secara langsung. Dengan kata lain, peran individu dalam melakukan suatu delik tidak harus selalu berwujud. Hal ini khususnya dipahami ketika tertuduh didakwa dengan ‘perbantuan’ atau ‘persekongkolan’ dalam melakukan suatu kejahatan.” 111
(8) Dukungan belaka dapat mencukupi Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 33: “Dorongan atau dukungan moral oleh orang yang membantu dan orang yang menghasut dapat disebut ‘pertolongan’. Kaki tangan hanya perlu ‘dikaitkan dengan tindakan pembunuhan’”. Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 200-201: “‘[P]enonton yang menyetujui, di mana kedudukannya dihormati oleh para pelaku kejahatan sehingga kehadirannya
mendorong
mereka
untuk
berbuat
kejahatan
dapat
dikenakan
pertanggungjawaban.’” Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 385, 386: “Dorongan atau dukungan ini dapat merupakan tindakan-tindakan fisik, pernyataan lisan, atau dalam beberapa kasus, kehadiran belaka sebagai ‘penonton yang menyetujui.’” “Pertanggungjawaban pidana sebagai ‘penonton yang menyetujui’ mensyaratkan kehadiran nyata selama perbuatan kejahatan dilakukan atau paling tidak dekat dengan tempat dilakukannya kejahatan, yang mana kehadirannya itu oleh pelaku kejahatan dianggap sebagai persetujuan atas perbuatannya.” (9) Kehadiran yang dikombinasikan dengan kekuasaan dapat merupakan pertolongan Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 34: Sidang memutuskan bahwa “kehadiran ketika dikombinasikan dengan kekuasaan, dapat merupakan pertolongan (actus reus dari delik) dalam bentuk dukungan moral” dan bahwa “penonton yang menyetujui, yang mana ia dihormati oleh para pelaku sehingga kehadirannya mendorong mereka untuk melakukan kejahatan, dapat bersalah dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.” Sidang mencatat bahwa “[s]tatus yang meskipun tidak signifikan, dapat merupakan persetujuan secara diam-diam di bawah batas yang diperlukan untuk actus reus.” Lihat juga Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 461.
112
vii) Berbuat
dengan
tujuan
pertanggungjawaban
dalam
pidana hal
umum:
melakukan,
dapat atau
menimbulkan
perbantuan,
dan
persekongkolan Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 203-205: Ketika “sebuah rencana, atau setidaknya ada bukti bahwa anggota suatu kelompok berbuat dengan tujuan pidana umum, di mana mereka sadar (mengetahui) bahwa mereka turut serta dan secara langsung serta secara substansial berkontribusi pada terealisasinya tujuan ini dapat bertanggung-jawab secara pidana … dan … [t]ergantung pada fakta-fakta yang ada, maka individu yang bersalah dapat bertanggung-jawab secara pidana baik sebagai pelaku langsung atau sebagai pembantu atau kaki tangan dalam kejahatan yang dimaksud.” Sidang menyimpulkan bahwa “anggota-anggota dari kelompok itu bertanggung-jawab atas hasil dari setiap perbuatan yang dilakukan dalam memajukan rancangan umum di mana hal itu itu mungkin berasal dari perbuatan-perbuatan itu,” dan Sidang juga menyatakan bahwa “tertuduh tidak perlu memiliki mens rea yang sama dengan pelaku pokok.” d) Niat jahat (mens rea) (unsur 2) Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 479: “Bentuk-bentuk turut serta berdasarkan Pasal 6(1), tidak dapat membuat pelaku kejahatan dikenai pertanggungjawaban pidana, di mana ia tidak bertindak secara mengetahui, dan bahkan di mana dia seharusnya memiliki pengetahuan seperti itu.” Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 198: “[P]engetahuan atau motif” mensyaratkan adanya “kesadaran dari si pelaku atas keturutsertaannya dalam kejahatan ini.” Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 388: “Tertuduh tidak perlu memiliki mens rea yang sama dengan pelaku pokok; tertuduh harus sadar bahwa unsur utama dari kejahatan pokok mencakup mens rea.”
113
Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 389: “Dalam kasus ‘penonton yang menyetujui’, ia harus mengetahui bahwa kehadirannya akan dilihat oleh pelaku kejahatan sebagai sebuah dorongan atau dukungan. Syarat mens rea dapat terbentuk dari keadaankeadaan termasuk perilaku sebelumnya, kegagalan untuk menghukum, atau dorongan secara lisan.” Lihat juga Bagian (IV)(c)(vi)(3), ICTR Digest, yang membahas niat jahat untuk pembantuan dan persekongkolan. e) Penerapan Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 974: “Sidang mencatat peran khusus Nahimana sebagai pendiri dan pemikir pokok RTLM (stasiun radio).” “Nahimana lebih sedikit terlibat aktif dalam urusan sehari-hari RTLM setelah 6 April 1994. [S]iaran radio lebih intensif dilakukan setelah 6 April dan secara terbuka mengimbau pendengarnya untuk memusnahkan etnis Tutsi. Program-program RTLM setelah 6 April dibuat dengan dasar tujuan untuk memusnahkan etnis Tutsi yang direncanakan sebelum 6 April. RTLM melakukan apa yang diinginkan oleh Nahimana. Itu adalah ‘alat untuk membangunkan penduduk mayoritas’ dan dalam memobilisasi penduduk untuk berdiri melawan Tutsi. RTLM adalah senjata yang dipilih Nahimana untuk menghasut pembunuhan orang sipil Tutsi. Untuk alasan ini, Sidang memutuskan bahwa Nahimana bersalah atas genosida sesuai dengan Pasal 6(1).” Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 954, 975: “Barayagwiza adalah salah satu pendiri utama CDR [partai politik yang menganggap penduduk Tutsi sebagai musuh] dan berperan sebagai pemimpin dalam formasi dan perkembangan partai. Ia adalah seorang pengambil keputusan dalam partai. CDR memiliki sayap pemuda, yaitu Impuzamugambi, yang melakukan kekerasan, di mana kekeraan tersebut sering dilakukan bersama-sama dengan Interahamwe ... terhadap penduduk Tutsi. Pembunuhan terhadap sipil Tutsi dipicu oleh CDR, yang terbukti dengan adanya mars ‘tubatsembatsembe’ atau ‘ayo musnahkan mereka’ oleh Barayagwiza sendiri dan oleh anggota CDR, yang dilakukan dalam pertemuan-pertemuan publik dan demonstrasi. Kata ‘mereka’ 114
dimengerti sebagai penduduk Tutsi. Barayagwiza mengawasi pembatasan jalan yang dihadiri oleh Impuzamugambi, di mana pembatasan jalan tersebut dibuat untuk menghentikan dan membunuh Tutsi. Sidang mencatat keterlibatan langsung Barayagwiza dalam pengungkapan tujuan genosida dan dalam perbuatan yang bersifat genosida yang dilakukan oleh anggota CDR dan Impuzamugambi-nya, di mana Barayagwiza adalah pengemudi organisasi. Dia juga berada di tempat pada saat rapat-rapat, demonstrasi, dan pembatasan jalan yang menciptakan infrastruktur untuk pembunuhan terhadap kaum sipil Tutsi. Sidang memutuskan Barayagwiza bersalah dalam menghasut perbuatan-perbuatan genosida yang dilakukan oleh anggota CDR dan Impuzamugambi sesuai dengan Pasal 6(1).” Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 955-956, 977A: “Ngeze memerintahkan Interahamwe di Gisenyi untuk membunuh kaum sipil Tutsi. Banyak orang yang terbunuh dalam serangan mendadak itu dan serangan berikutnya pada hari yang sama. ... [S]idang memutuskan bahwa Ngeze memerintahkan pembunuhan terhadap kaum sipil Tutsi.” “Ngeze membantu mengamankan dan mendistribusikan, menyimpan dan mengangkut senjata yang digunakan untuk melawan penduduk Tutsi. Dia mengatur, menghadiri dan mengawasi pembatasan jalan ... yang digunakan untuk mengenali target kaum sipil Tutsi, di mana sesudah itu diambil dan dibunuh. ... [S]idang memutuskan bahwa Ngeze membantu dan bersekongkol dalam pembunuhan terhaap kaum sipil Tutsi.” ”Sebagai pendiri, pemilik dan editor Kangura, publikasi yang menghasut pembunuhan terhadap kaum sipil Tutsi, dan atas perbuatannya sendiri dalam memerintah, membantu dan bersekongkol dalam pembunuhan kaum sipil Tutsi, Sidang memutuskan Ngeze bersalah atas genosida, sesuai dengan Pasal 6(1).”
115
V) PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO (PASAL 6 (3)) a) Statuta Pasal 6: “3. Fakta bahwa perbuatan apa pun yang dilakukan seorang bawahan yang terdapat dalam Pasal 2 hingga Pasal 4 Statuta tidak melepaskan pertanggungjawaban pidana atasannya apabila atasan tersebut mengetahui atau memiliki dasar untuk mengetahui bahwa bawahan akan melakukan perbuatanperbuatan tersebut atau telah melakukan itu, tetapi atasan gagal mengambil cara-cara penting dan masuk akal untuk mencegah perbuatan itu atau menghukum si pelakunya.” “4. Fakta bahwa si tertuduh bertindak sesuai dengan perintah dari Pemerintah atau atasan tidak akan melepaskan dia dari pertanggungjawan pidana, tetapi mungkin dipertimbangkan untuk memperingan hukuman apabila Pengadilan Internasional Rwanda menentukan bahwa keadilan sangat diperlukan.” b) Pengantar umum i) Pertanggungjawaban pidana individu dan pertanggungjawaban komando dimungkinkan Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 210: “Putusan pertanggungjawaban dalam Statuta Pasal 6(1) tidak mencegah Sidang untuk memutuskan pertanggungjawaban tambahan, atau secara alternatif dalam Pasal 6(3). Dua bentuk pertanggungjawaban itu masing-masing tidak berdiri sendiri. Oleh karena itu, Sidang harus mempertimbangkan
dakwaan
terhadap
kedua
bentuk
pertanggungjawaban,
untuk
menggambarkan secara lengkap kesalahan si tertuduh berdasarkan fakta-faktanya.” c) Unsur-unsurnya 116
Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001 Paragraf 38: “Sidang memutuskan bahwa ada tiga unsur pokok dalam pertanggungjawaban komando,” yaityu: “(i) adanya kontrol yang efektif dalam hubungan atasan-bawahan antara tertuduh dan pelaku kejahatan; (ii) adanya pengetahuan yang seharusnya ada pada si tertuduh bahwa kejahatan akan dilakukan, sedang dilakukan, atau sudah dilakukan; dan (iii) adanya kegagalan dari si tertuduh untuk mengambil langkah-langkah yang perlu dan pantas untuk mencegah dilakukannya kejahatan itu atau untuk menghukum si pelaku.” i) Adanya kontrol yang efektif dalam hubungan atasan-bawahan (unsur 1) (1) Hubungan atasan-bawahan Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 401: “Hubungan atasan dan bawahan adalah hubungan yang hierarkis secara formal atau informal, di mana atasan adalah lebih tinggi dari bawahan. Hubungan itu tidak terbatas pada model struktur komando militer yang ketat.” (2) Kontrol yang efektif Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 229-231: “Prinsip tanggung jawab komando hanya boleh berlaku bagi para atasan yang memiliki kontrol yang efektif terhadap para bawahan mereka. Kemampuan material untuk mengkontrol tindakan para bawahan merupakan pijakan bagi tanggung jawab individual di bawah ketentuan Pasal 6(3).” Sidang menyepakati keputusan ICTY dalam Penuntut v. Mucic et al., di mana dinyatakan bahwa “atasan memiliki kontrol yang efektif terhadap orang-orang yang melakukan [kejahatan], dalam arti memiliki kemampuan material untuk mencegah dan menghukum perbuatan delik-delik kejahatan ini.” “[K]emampuan untuk mencegah dan menghukum sebuah kejahatan merupakan sebuah persoalan yang secara inheren terkait erat dengan situasi faktual yang ada.”
117
Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 45: “Unsur pokok tidak terletak pada kekuasaan seorang atasan atas sebuah area atau wilayah tertentu, tetapi pada kontrol yang efektif yang dimiliki oeh atasan tersebut terhadap individu-individu yang melakukan kejahatan.” Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 819: “Pasal 6(3) menyatakan bahwa pemimpin sipil dapat bertanggung-jawab secara pidana atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh bawahannya atau yang dilakukan orang lain yang berada dalam ‘kontrol efektifnya’.” (3) Tidak cukup jika hanya mempertimbangkan kontrol secara de facto dan kontrol secara de jure/status formal saja Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 217-223: Sidang memutuskan bahwa “adalah merupakan sebuah tugas ... untuk mempertimbangkan tanggung jawab seluruh individu yang memiliki kontrol efektif, baik yang de jure maupun de facto.” “Doktrin tanggung jawab komando didasarkan pada kekuasaan atasan untuk mengkontrol perbuatan-perbuatan para bawahannya.” Sidang harus “siap menembus kedok formalisme yang membentengi individu-individu yang memikul tanggung jawab paling besar.” Sidang mencatat bahwa pengkonsentrasian kekuasaan de jure si tertuduh akan merepresentasikan situasi pada waktu itu secara tidak tepat dan dapat mendatangkan prasangka pada salah satu pihak melalui penggambaran kekuasaan si tertuduh secara tidak tepat. “Apabila dapat ditunjukkan bahwa si tertuduh adalah atasan secara de jure atau de facto, dan kejahatan dilakukan sesuai dan atas perintahnya, maka Sidang mempertimbangkan bahwa tertuduh telah mencukupi alasan untuk dikenakan pertanggungjawaban komando.” Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 39: “Posisi komando adalah kondisi yang diperlukan untuk dikenakannya pertanggungjawaban komando, tetapi untuk menentukan posisi tersebut tidak dapat ditentukan melalui pengacuan terhadap status formal saja.” “Faktor yang menentukan adanya tanggung jawab adalah kepemilikan atau nonkepemilikan yang sesungguhnya atas posisi komando tersebut terhadap bawahan.” “[W]alaupun posisi de jure seseorang sebagai komandan dalam situasi tertentu cukup untuk 118
dikenakan pertanggungjawaban dalam Pasal 6(3), sesungguhnya fakta adanya hubungan komandolah (baik secara de jure atau de facto) yang dijadikan syarat dalam pertanggungjawaban komando.” “[K]riteria untuk menentukan siapa yang merupakan atasan adalah kemampuan seorang individu (atasan) yang ditunjukkan melalui tugas dan kemampuannya yang secara efektif mengontrol bawahannya.” Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 141: “[S]eorang sipil yang menjadi atasan dapat didakwa dengan pertanggungjawaban atasan hanya bila ia memiliki kontrol yang efektif, baik secara de jure maupun secara de facto, atas orang yang melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional.” Lihat juga Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 472. (4) Berlaku terhadap sipil dan juga komandan militer Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 213-215: “[P]enerapan tanggung jawab pidana terhadap sipil yang memegang kekuasaan adalah syarat yang tidak dapat diperdebatkan.” Statuta “tidak membatasi pertanggungjawaban atasan ini hanya pada komandan militer saja; alih-alih istilah yang digunakan adalah yang lebih umum yaitu ‘atasan’.” Penggunaan “‘Kepala Negara atau Pemerintah’ atau ‘pejabat pemerintah yang bertanggung-jawab’ dalam Pasal 6(2) secara jelas menunjukkan maksud dari perancang statuta untuk memperluas pasal pertanggungjawaban atasan hingga di luar komandan militer.” Sidang menyatakan bahwa “[j]urisprudensi mendukung penafsiran ini” dan mengutip kasus Kambada dan Serushago dalam ICTR yang melibatkan mantan perdana menteri dan “pemimpin sipil terkemuka” dan pemimpin milisi yang didakwa dengan Pasal 6(3). Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 148: Sidang memutuskan bahwa ‘definisi pertanggungjawaban pidana secara individu ... berlaku tidak hanya terhadap militer tetapi juga terhadap penguasa sipil yang bertindak sebagai atasan.” Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 976: “Sidang
mencatat
bahwa
dalam
Musema,
Pengadilan
memutuskan
bahwa
119
pertanggungjawaban atasan diperluas terhadap keadaan-keadaan, dan pihak-pihak yang bersifat non-militer. ...” Bandingkan Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 491: “[D]alam kasus sipil, penerapan prinsip pertanggungjawaban pidana secara individu, yang dilindungi dalam Pasal 6(3), terhadap sipil masih diperdebatkan. ... [A]dalah tepat untuk menilai berdasarkan kasus-per-kasus mengenai pemindahan kekuasaan sesungguhnya kepada si Tertuduh untuk menentukan apakah dia memiliki kekuasaan atau tidak untuk mengambil semua langkah penting dan pantas dalam mencegah dilakukannya kejahatan yang dituduhkan atau untuk menghukum pelakunya.” (5) Apakah sipil disyaratkan penguasaan yang sama dengan militer untuk dapat bersalah Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 42-43: Sidang memutuskan bahwa meskipun ‘doktrin tanggung jawab komando diperluas, tidak saja pertanggungjawaban komandan militer dan juga atasan sipil dalam posisi penguasa,” Sidang menyetujui pendekatan yang diartikulasikan oleh Komisi Hukum Internasional (ILC) dan putusan ICTY dalam Penuntut v. Mucic et al., bahwa “doktrin tanggung jawab komando ‘diperluas terhadap penguasa sipil hanya sepanjang mereka memiliki derajat penguasaan terhadap bawahan, yang serupa dengan komandan militer.’” “[A]gar tingkat penguasaan atasan sipil ‘sama dengan’ komandan militer, maka penguasaan atasan sipil terhadap bawahannya harus ‘efektif’, dan memiliki ‘kemampuan pokok’ untuk mencegah dan menghukum delik apa pun.” “Penjalanan kekuasaan de facto harus ‘diiringi dengan lambang-lambang penjalanan kekuasaan de jure.’” Sidang juga memutuskan bahwa “lambang-lambang kekuasaan mencakup, misalnya, kesadaran akan adanya rantai komando, praktik mengeluarkan perintah dan mematuhi perintah, harapan bahwa pembangkangan terhadap perintah akan membawa pada tindakan penertiban (disciplinary ation),” dan bahwa “[m]elalui lambang-lambang ini hukum membedakan atasan sipil dari sekadar agitator atau orang lain yang berpengaruh.” Tetapi lihat Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 819: “Pasal 6(3) menetapkan bahwa pemimpin sipil dapat bertanggung-jawab secara pidana 120
atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya atau orang lain yang dalam ‘kontrol efektifnya’, walaupun kontrol yang dijalankan tidak perlu bersifat sama dengan kontrol yang dijalankan oleh komandan militer.” ii) Niat jahat (mens rea) (unsur 2) (1) Pengetahuan atau pengetahuan yang patut dimiliki bahwa kejahatan akan dilakukan, sedang dilakukan atau sudah dilakukan Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 Spetember 1998, Paragraf 479, 489: Tidak menjadi persyaratan bahwa “seorang atasan harus mengetahui terlebih dahulu tindakannya untuk bertanggung-jawab secara pidana; cukuplah kalau ia memiliki alasan untuk mengetahui bahwa bawahannya akan melakukan atau sudah melakukan kejahatan dan ia (atasan) gagal mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan pantas untuk mencegah perbuatan itu atau menghukum si pelakunya. Ini adalah tanggung jawab atasan dalam pengabaian atau penolakan untuk berbuat sesuatu.” “[T]entu saja layak untuk memastikan bahwa telah ada niat jahat, atau paling tidak, dipastikan bahwa kelalaian sangat serius sehingga pengabaian atau penolakan untuk berbuat sesuatu ini sama dengan persetujuan diam-diam atau bahkan niat jahat.” Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 225: “Mens Rea ... mensyaratkan bahwa untuk dapat diputus bertanggung-jawab secara pidana atas perbuatan bawahannya, seorang atasan harus mengetahui atau memiliki alasan untuk mengetahui aktivitas kejahatan mereka.” Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 46: Sidang memutuskan bahwa “seorang atasan memiliki atau dapat dihubungkan dengan persyaratan mens rea berkaitan dengan pertangungjawaban pidana bila: ia memiliki pengetahuan yang sesungguhnya yang dapat diketahui melalui bukti langsung atau tidak langsung, di mana ia mengetahui bahwa bawahannya akan melakukan, sedang melakukan, atau telah melakukan kejahatan yang diatur dalam Statuta; atau ia memiliki informasi atau pengetahuan yang membuatnya berhati-hati akan risiko dari delik-delik tersebut dengan melakukan investigasi tambahan dalam rangka 121
memastikan apakah delik-delik tersebut akan dilakukan, sedang dilakukan atau telah dilakukan oleh bawahannya; atau, ketiadaan pengetahuan yang diakibatkan oleh kelalaian dalam pelaksanaan tugasnya sebagai atasan, di mana ia seharusnya mengetahui tetapi gagal untuk melaksanakan cara-cara yang tersedia baginya untuk mempelajari delik-delik dan segala akibatnya.” Lihat juga Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, paragraf 405. (2) Tanggung jawab tidak berdasarkan pada tanggung jawab langsung (strict
liability) Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 44: “Untuk menentukan mens rea, standard yang dalam doktrin tanggung jawab komando bagi atasan yang gagal untuk mencegah atau menghukum kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya adalah bukan bentuk tanggung jawab langsung.” Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 404: “Pertanggungjawaban pidana seorang atasan tidak akan melekat pada dasar tanggung jawab langsung hanya karena seorang individu berada dalam rantai komando dengan kekuasaan atas suatu area wilayah. Sementara posisi individu dalam hierarki komando dipertimbangkan sebagai indikasi penting bahwa atasan mengetahui atau memiliki alasan untuk mengetahui tindakan bawahannya, pengetahuan itu tidak akan diduga berdasarkan status sebagai atasan semata.” Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 45: “Walaupun posisi komando seorang individu mungkin merupakan indikasi penting bahwa dia mengetahui tentang kejahatan, tetapi pengetahuan itu tidak dapat diduga hanya berdasarkan posisinya saja.” (3) Pengujian yang berbeda untuk niat jahat komandan sipil dan militer Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 227-228: Sidang membedakan antara “komandan militer dan atasan lainnya”. Komandan militer memiliki “tugas yang lebih aktif ... untuk mencukupi dirinya dengan informasi tentang kegiatankegiatan bawahannya ketika ‘ia mengetahui atau berdasarkan pada situasi pada saat itu, seharusnya ia mengetahui bahwa kekuatan bersenjatanya sedang melakukan atau akan 122
melakukan kejahatan itu.’” Untuk semua atasan lainnya, mereka harus “mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menandakan bahwa bawahan sedang melakukan atau akan melakukan kejahatan.” Sidang menetapkan bahwa ini tidak “menuntut tugas prima facie terhadap komandan non-militer untuk meraih setiap aktivitas semua orang yang berada dalam kekuasaannya.” iii) Kegagalan untuk mengambil langkah-langkah penting dan pantas untuk mencegah atau menghentikan kejahatan, atau menghukum pelaku (unsur 3) Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 38: Unsur ketiga adalah “kegagalan si tertuduh untuk mengambil langkah-langkah penting dan layak untuk mencegah atau menghentikan atau untuk menghukum pelaku.” Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 47-50: Mengingat bahwa Pasal 6(3) menetapkan seorang atasan untuk mengambil “langkah-langkah penting dan layak” untuk mencegah atau menghukum kejahatan dalam Statua, Sidang memutuskan bahwa “‘langkahlangkah penting’ adalah langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah atau menghukum berdasarkan keadaan yang berlaku pada waktu itu; dan ‘layak’ berarti bahwa langkah-langkah tersebut adalah langkah-langkah yang seharusnya dilakukan olehnya pada waktu itu karena ia berada dalam posisi untuk melakukannya.” Sidang menetapkan bahwa seorang “atasan mungkin dapat bertanggung-jawab atas kegagalan mengambil langkah-langkah sedemikian yang berada dalam kekuasaannya,” dan bahwa “itu adalah tingkat kontrol yang efektif si komandan – kemampuan pokoknya untuk menguasai bawahan – yang akan memandu Sidang dalam menentukan apakah dia mengambil langkahlangkah layak untuk mencegah, menghentikan atau menghukum kejahatan bawahan.” “Kemampuan pokok sedemikian harus tidak dianggap secara abstrak, tetapi harus dievaluasi berdasarkan kasus-per kasus, dengan mempertimbangkan semua keadaan.” Sidang mancatat bahwa “kewajiban untuk mencegah atau menghukum tidak menyediakan pilihan alternatif bagi si Tertuduh,” dan bahwa “[s]ebagai contoh, di mana si Tertuduh mengetahui atau memiliki alasan untuk mengetahui bahwa bawahannya akan melakukan 123
kejahatan dan gagal untuk mencegah mereka, Tertuduh tidak dapat memberi kompensasi atas kegagalan bertindaknya dengan menghukum bawahannya setelah itu.” Sidang memutuskan bahwa “dalam kasus kegagalan untuk menghukum, tanggung jawab atasan dapat timbul dari kegagalannya untuk menciptakan lingkungan yang disiplin dan menghormati hukum terhadap orang-orang yang berada dalam kekuasaannya,” dan bahwa “tanggung jawab komando terhadap kegagalan atasan untuk menghukum dapat dipicu oleh pola perbuatannya, yang mana justru mendorong bawahannya melakukan perbuatan kejahatan.” Lihat juga Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 406-407. (1) Percobaan untuk mencegah atau menghukum harus dipertimbangkan kecuali tertuduh memerintahkan kejahatan itu Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 223-224: Sidang memutuskan bahwa yang penting adalah mempertimbangkan apakah si tertuduh “mengetahui atau memiliki alasan untuk mengetahui dan gagal mencegah atau menghukum pelaku kejahatan” jika ternyata ia sama sekali tidak memerintahkan mereka. Bila tertuduh memerintahkan kejahatan, “maka tidak perlu lagi mempertimbangkan apakah ia mencoba untuk mencegah atau apakah dia mencoba untuk menghukum.” “Tetapi dalam semua situasi yang lain, Sidang harus memberikan pertimbangan penuh terhadap unsur-unsur ‘pengetahuan’ dan ‘kegagalan untuk mencegah dan menghukum.’” d) Penerapan Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 970-973: “Nahimana dan Barayagwiza adalah orang nomor satu dan nomor dua dalam jajaran tertinggi pimpinan di radio. Mereka mewakili radio pada level tertinggi dalam rapat-rapat dengan Menteri Informasi; mereka menguasai keuangan perusahaan; dan mereka berdua adalah anggota dari Komite Pengarah, yang fungsinya adalah sebagai dewan direksi RTLM [stasion radio].” “Meskipun Sidang mengakui bahwa Nahimana dan Baraygwiza tidak membuat keputusan pada mulanya terhadap masing-masing siaran khusus RTLM, keputusankeputusan ini mencerminkan kebijakan tajuk rencana di mana mereka bertanggung-jawab.” 124
“Setelah 6 April 1994, meskipun buktinya belum menunjukan tingkat dukungan yang aktif, ... namun jelas bahwa Nahimana dan Barayagwiza mengetahui apa yang telah terjadi dalam RTLM dan gagal menjalankan kekuasaan yang ada pada mereka sebagai pemimpin RTLM untuk mencegah kerusakan yang bersifat genosida, yang disebabkan oleh program RTLM.” “Mereka berdua bertanggung-jawab sebagai atasan untuk penyiaran RTLM,” tetapi “Nahimana tidak didakwa dengan genosida sesuai dengan Pasal 6(30), yang mana “dakwaan tersebut hanya ditujukan pada Barayagwiza.” “Atas keikutsertaannya secara aktif dalam kepemimpinan RTLM sebelum 6 April, dan kegagalannya untuk mengambil langkah-langkah penting dan layak untuk mencegah pembunuhan kaum sipil Tutsi yang dihasut oleh RTLM, Sidang memutuskan ... bahwa Barayagwiza bersalah atas genosida sesuai dengan Pasal 6(3).” Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 976-977: “Barayagwiza bertanggung-jawab sebagai atasan terhadap anggota CDR [partai politik yang menggambarkan penduduk Tutsi sebagai musuh] dan milisi Impuzamugambi, sebagai Presiden CDR dalam Prefecture Gisenyi dan sebagai Presiden CDR dalam tingkat nasional sejak Februari 1994. Dia menghembuskan kebijakan CDR untuk melakukan pemusnahan terhadap penduduk Tutsi dan mengawasi bawahannya, yakni anggota CDR dan milisi Impuzamugambi dalam pelaksanaan pembunuhan dan kekerasan lainnya. Atas keikutsertaannya secara aktif dalam CDR dan kegagalannya untuk mengambil langkah-langkah penting dan layak untuk mencegah pembunuhan terhadap kaum sipil Tutsi oleh anggota CDR dan Impuzamugambi, Sidang memutuskan Barayagwiza bersalah atas genosida sesuai dengan Pasal 6(3).”
125
VI) PEMBELAAN a) Alibi dan pembelaan khusus i) Petikan dari Aturan 67, Hukum Acara dan Pembuktian ICTR: timbal balik penyingkapan bukti “(A) Sedini mungkin dilakukan dan dalam setiap peristiwa sebelum permulaan sidang: ii) Pembela harus memberitahu Penuntut atas niatnya untuk melakukan: a) Pembelaan alibi; pemberitahuan harus menentukan tempat-tempat di mana tertuduh berada pada saat kejahatan yang dituduhkan kepadanya terjadi dan nama-nama serta alamat saksi dan bukti lain apa saja, yang padanya tertuduh menyadarkan pendirian alibinya; b) Pembelaan khusus apa saja, termasuk berkurangnya atau ketiadaan tanggung jawab mental; dalam kasus ini pemberitahuan harus menentukan nama dan alamat para saksi dan bukti lain apa saja yang padanya tertuduh bermaksud untuk menyandarkan pendirian pembelaan khususnya. (B) Kegagalan pembelaan untuk menyediakan pemberitahuan sedemikian dalam Aturan ini tidak boleh membatasi hak tertuduh untuk bersandar pada pembelaan-pembelaan mana pun sebagaimana disebutkan di atas.” ii) Beban pembuktian untuk pembelaan alibi Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 234: “[B]eban pembuktian terletak pada Penuntut untuk membuktikan bahwa kasusnya terbukti di luar keraguan dalam semua aspek meskipun Pembela memunculkan alibi. Lagi pula, tertuduh dianggap tidak bersalah hingga Penuntut telah membuktikan kesalahannya dalam Statuta
126
Pasal 20(3). Tertuduh hanya disyaratkan untuk memunculkan pembelaan alibi dan memenuhi persyaratan khusus dari Aturan 67(A)(ii).” iii) Pemberitahuan untuk pembelaan alibi Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 235-239: Aturan 67 mensyaratkan bahwa Pembela harus “memberitahu Penuntut tentang niatnya untuk bersandar
pada
pembelaan
alibi.”
Pada
kasus
yang
ditangani,
Pembela
tidak
menginformasikan hal tersebut pada Penuntut sebelum permulaan sidang dan Penuntut mengajukan mosi untuk meminta pemenuhan melalui Aturan 67(A)(ii). Sidang memutuskan bahwa “di mana alasan yang baik tidak ditunjukkan, untuk penerapan Aturan 67(B), Sidang Pengadilan berhak untuk memperhitungkan kegagalan ini ketika mengukur kredibilitas pembelaan alibi dan/atau pembelaan khusus apa saja yang di presentasikan.” Dalam kasus yang ditangani, Sidang memutuskan bahwa “meskipun tidak sesuai dengan aturannya hal itu dianggap sebagai pembelaan alibi.” iv) Bantahan terhadap pembelaan alibi Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 239-240: Aturan 85 mengizinkan Penuntut untuk membawa bukti yang memberikan bantahan terhadap alibi. Sidang mencatat bahwa “mereka tidak menyetujui pembelaan alibi dari tertuduh semata-mata karena Penuntut tidak memanggil saksi yang membantah.”
127
VII)
PENUNTUTAN, PENGHUKUMAN DAN VONIS
a) Dakwaan kumulatif dan penghukuman i) Dakwaan kumulatif diijinkan Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 863-864: “Secara umum dakwaan kumulatif diperbolehkan, dan penentuan terhadap dakwaan manakah yang akan dibuktikan terhadap tertuduh tidak bisa dilakukan sebelum bukti-bukti disampaikan.” Lihat juga Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan) 3 Desember 2003, Paragraf 1089. Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 117: Sidang memutuskan bahwa genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang memiliki berbagai unsur, dan hukumannya bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan rahasia [dan karenanya] delik-delik multiple dapat didakwa atas dasar perbuatan yang sama untuk mengungkap seluruh kejahatan yang dilakukan oleh tertuduh.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 297. ii) Penghukuman kumulatif untuk perbuatan yang sama hanya diijinkan bila kejahatan itu mengandung unsur material yang berbeda Penuntut v. Musema, Kasus Nomor. ICTR-96-13-A (Sidang Banding), 16 November 2001, Paragraf 358-370: Sidang Banding menguatkan pengujian yang digunakan dalam Putusan Banding Celebici, yang mana akan diterapkan “dalam menentukan kapan penuntutan beragam berdasarkan keadaan fakta yang sama dapat disetujui”: “alasan-alasan keadilan terhadap tertuduh dan pertimbangan bahwa hanya kejahatan yang berbeda yang menjustifikasi adanya tuntutan beragam, maka penuntutan pidana yang beragam dalam ketentuan peraturan hukum yang berbeda, tetapi didasarkan pada perbuatan yang sama dapat dibolehkan, tetapi 128
hanya jika setiap ketentuan peraturan yang terlibat memiliki unsur materil yang berbeda, di mana unsur materil tersebut tidak terdapat dalam ketentuan yang lain. Sebuah unsur secara materil berbeda dengan yang lain jika unsur itu membutuhkan bukti yang tidak dibutuhkan oleh unsur yang lain. ... Jika pengujian ini tidak terpenuhi, Sidang harus memutuskan dalam hubungan dengan delik yang manakah perbuatan itu akan dituntut. Hal ini harus dilakukan berdasarkan pada prinsip bahwa penuntutan dalam ketentuan hukum yang lebih spesifik harus dibenarkan. Jika sekumpulan fakta diatur oleh dua ketentuan, di mana salah satu ketentuan itu mengandung unsur materi yang berbeda, maka penuntutan harus dilakukan hanya dengan ketentuan yang mengandung unsur materi yang berbeda itu.” “Dalam menerapkan pengujian ini, semua unsur hukum dari delik, termasuk yang terdapat dalam paragraf pembukaan ketentuan itu harus dipertimbangkan.” Dalam tanggapannya atas permintaan Penuntut “untuk memastikan bahwa tuntutan beragam dalam pasal-pasal Statuta yang berbeda harus selalu diijinkan,” Sidang Banding “menolak untuk memberikan pendapatnya dalam hal itu dan membatasi putusannya hanya terhadap hal-hal yang muncul dalam sidang banding.” Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Banding), 21 Februari 2003, Paragraf 863-864: “Hukuman kumulatif hanya diijinkan bila kejahatan yang dituduhkan terdiri dari unsur-unsur materil yang berbeda.” Lihat juga Nahimana, Barayagwixa dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1090. Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 110-119: Sidang menguatkan pengujian yang dibuat oleh Sidang Pengadilan Akayesu, berkaitan dengan kapan menetapkan seseorang dapat didakwa dan dihukum untuk dua delik atau lebih dalam hubungan untuk fakta-fakta yang sama. Sidang tidak setuju dengan putusan mayoritas dalam Kayishema dan Ruzindana yang menetapkan bahwa dakwaan kumulatif adalah tidak tepat karena kejahatan melibatkan beberapa unsur yang sama, bukti yang diakai untuk membuktikan unsur-unsur itu juga sama, dan kepentingan sosial yang dilindungi juga sama.
129
iii) Penerapan – penuntutan beragam (1) Dibolehkan untuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan Musema, (Sidang Banding), 16 November 2001, Paragraf 369-370: Sidang Banding menetapkan bahwa “penjatuhan hukuman untuk perbuatan genosida dan pemusnahan, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang didasarkan pada sekumpulan fakta yang sama dibolehkan,” dan menetapkan bahwa “dakwaan kumulatif pada umumnya dibolehkan.” Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 864: “[D]ua delik [genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pembunuhan)] terdiri dari dua unsur materil yang berbeda. Sebagai contoh, mens rea genosida adalah tujuan untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok etnis atau rasial, yang mana unsur ini bukan merupakan syarat untuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Mens rea untuk kejahatan terhadap kemanusiaan (pembunuhan) adalah adanya pengetahuan bahwa pembunuhan itu merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil atas alasan diskriminatif.” Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1090: “[K]etiga tertuduh bersalah atas persekongkolan untuk melakukan genosida, penghasutan publik secara langsung untuk melakukan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan (penganiayaan dan pemusnahan). Ketiga delik ini terdiri dari unsur-unsur materil yang berbeda, dan penghukuman atas tuduhan-tuduhan ini akan dilakukan terhadap ketiga Tertuduh.” Tetapi lihat Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 577-578, 590: Khusus untuk kasus ini, tertuduh tidak dapat dihukum “untuk genosida dan juga untuk kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu pembunuhan dan pemusnahan, karena dua delik terakhir itu telah tercakup dalam tuduhan genosida.” Walaupun semua unsur yang dibutuhkan untuk keduanya ada, “kejahatan terhadap kemanusiaan atas dua delik itu sudah terserap seluruhnya dalam kejahatan genosida. Semua tuduhan untuk kejahatan tersebut didasarkan pada fakta yang sama. Kejahatan (pembunuhan massal) tersebut juga dilakukan 130
pada tempat yang sama, dilakukan terhadap orang yang sama yang masuk dalam kelompok etnis Tutsi, dan dengan motif yang sama yaitu untuk menghancurkan kelompok etnis Tutsi secara keseluruhan atau untuk sebagian.” (2) Dibolehkan untuk genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 468-470: “[G]enosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran terhadap Pasal Umum 3 Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II memiliki unsur pokok yang berbeda untuk melindungi kepentingan yang berbeda. Genosida ditetapkan sebagai kejahatan untuk melindungi kelompok-kelompok tertentu dari pemusnahan; konsep kejahatan terhadap kemanusiaan bermaksud untuk melindungi penduduk sipil dari penganiayaan; dan Pasal Umum 3 Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II adalah untuk melindungi non-combatan (orang yang bukan petempur) dari kejahatan perang dalam perang sipil. Kejahatan-kejahatan ini memiliki tujuan yang berbeda ... dan tidak pernah dalam lingkup yang sama. [A]dalah sah untuk mendakwa kejahatan-kejahatan ini berdasarkan sekumpulan fakta yang sama. [A]dalah juga penting untuk mencatat putusan bagi lebih dari satu atas kejahatan-kejahatan itu dalam rangka untuk mencerminkan secara utuh kejahatan yang sudah dilakukan oleh tertuduh.” Delik-delik yang dimasukkan dalam masing-masing kejahatan ini “tidak lebih sedikit terhadap satu sama lainnya.” Jadi, dengan demikian, “penghukuman beragam berdasarkan sekumpulan fakta yang sama terhadap delik-delik ini diperbolehkan.” b) Vonis/sanksi i) Instrumen untuk mengatur sanksi (1) Statuta ICTR Pasal 23: Sanksi “1. Sanksi yang dikenakan oleh Sidang Pengadilan harus dibatasi pada pidana penjara. Dalam menentukan terminologi penjara, Sidang Pengadilan harus
131
meminta bantuan pada praktik umum pemidanaan penjara di pengadilan Rwanda. 2. Dalam menjatuhkan hukuman, Sidang Pengadilan harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti tingkat kekejaman delik yang dilakukan dan kondisi terpidana. 3. Dalam tambahan untuk putusan pidana penjara, Sidang Pengadilan dapat memerintahkan untuk mengembalikan benda apa saja yang didapatkan melalui perbuatan kejahatan, termasuk dengan cara paksaan, terhadap pemiliknya yang sah.” (2) Aturan 101 dari Hukum Acara dan Pembuktian ICTR “(A) Seseorang yang dihukum oleh Pengadilan dapat divonis dengan penjara untuk waktu tertentu atau untuk sisa hidupnya. (B) Dalam menentukan vonis, Sidang Pengadilan harus mempertimbangkan faktor-faktor yang terdapat pada Pasal 23(2) Statuta dan juga faktor-faktor seperti: (i)
Kondisi yang memberatkan;
(ii)
Kondisi yang meringankan termasuk kerja sama tertuduh dengan Penuntut, selama dan sesudah penghukuman;
(iii) Praktik umum mengenai vonis penjara di pengadilan Rwanda; (iv) Perluasan atas sanksi apa pun yang dikenakan oleh pengadilan mana pun terhadap terpidana untuk perbuatan yang sama, yang sudah dijalankan sebagaimana mengacu pada Pasal 9(3) Statuta. (C) Sidang Pengadilan harus mempertimbangkan apakah vonis ganda dapat dijalankan secara berturutan atau secara berbarengan. (D) Pengurangan hukuman harus diberikan terhadap terpidana untuk selama dia ditahan dalam tahanan sementara sambil menunggu pelimpahan perkaranya ke Pengadilan atau seraya menunggu persidangan atau banding.” ii) Pengantar umum
132
(1) Pertimbangan dalam Statuta dan Hukum Acara tidak bersifat wajib dan terbatas Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 458-459: “[S]epanjang adanya perhatian terhadap pencirian vonis, hakim-hakim Sidang tidak dapat membatasi diri mereka terhadap fakto-faktor yang terdapat dalam Statuta dan Hukum Acara. Di sini, keleluasaan dan kebijakan mereka dalam menilai fakta-fakta dan situasi yang menyertai sangat diperlukan, di mana mereka harus memperhitungkan setiap faktor yang mereka anggap berhubungan. ... Demikian pula, faktor-faktor yang dimaksud dalam Statuta dan Hukum Acara tidak dapat ditafsirkan sebagai dapat diterapkan secara kumulatif dalam penentuan vonis.” Lihat juga Ruggiu, (Sidang Pengadilan), 1 Juni 2000 Paragraf 34; Penuntut v. Kambada, Kasus No. ICTR97-23 (Sidang Pengadilan), 4 September 1998, Paragraf 29-31. Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Putusan vonis, Paragraf 3-4: Situasi-situasi yang disebutkan dalam Statuta dan Hukum Acara “tidak harus bersifat wajib atau terbatas pada situasi yang disebutkan itu saja. Ini adalah persoalan bagaimana suatu vonis dijatuhkan dengan mempertimbangkan keseluruhan situasi.” Sidang juga menetapkan bahwa mereka memiliki “keleluasaan kebijakan hingga di luar situasi-situasi yang disebutkan dalam Statuta dan Hukum Acara untuk memastikan keadilan dalam penjatuhan vonis.” Lihat juga Ruggiu, (Sidang Pengadilan), 1 Juni 2000, Paragraf 35. (2) Hanya vonis penjara yang diberikan Kambada, (Sidang Pengadilan), 4 September 1998, Paragraf 10: “[S]atu-satunya sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap tertuduh yang dinyatakan bersalah adalah penjara dengan jangka waktu tertentu termasuk penjara seumur hidup. ... Statuta Pengadilan mengecualikan bentukbentuk lain penghukuman seperti hukuman mati, kerja paksa atau denda.” Lihat juga Penuntut v. Serushago, Kasus Nomor ICTR-98-39 (Sidang Pengadilan), 5 Februari 1999, Kalimat Paragraf 12; Rutaganda, (Sidang Pengadilan) 6 Desember 1999, Paragraf 448. (3) Restitusi
133
Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003 Paragraf 880: “[S]idang dapat menjatuhkan … restitusi terhadap benda yang didapatkan dari perbuatan kriminal.” Lihat juga Kambada, (Sidang Pengadilan), 4 September 1998, Paragraf 22. (4) Tujuan sanksi: retribusi, pencegahan terulang kembali, rehabilitasi, melindungi
masyarakat,
keadilan,
mengakhiri
impunitas,
mempromosikan rekonsiliasi, dan mengembalikan kedamaian Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 456: “[S]anksi yang dijatuhkan terhadap tertuduh yang diputus bersalah … harus ditujukan, pada satu sisi untuk retribusi terhadap tertuduh, di mana ia harus melihat bahwa kejahatannya dihukum, dan pada sisi lain adalah untuk mencegah terjadi pengulangan, terutama mencegah orang-orang yang mungkin tergoda untuk melakukan kekejaman seperti itu dengan menunjukkan pada mereka bahwa masyarakat internasional tidak akan mentolerir pelanggaran serius terhadap hukum humaniter dan hak asasi manusia.” Lihat juga Kambada, (Sidang Pengadilan), 4 September 1998, Paragraf 28; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 986. Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Putusan vonis, Paragraf 2: “Sidang harus menjatuhkan vonis terhadap tertuduh untuk retribusi, pencegahan pengulangan, rehabilitasi dan untuk melindungi masyarakat.” Lihat juga Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003 Paragraf 882 dan 887. Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, paragraf 484: “Penekanan khusus diletakkan pada pencegahan pengulangan kejahatan secara umum, dan untuk menunjukkan bahwa masyarakat internasional tidak mentolerir pelanggaran serius hukum humaniter dan hak asasi manusia.” Ruggiu, (Sidang Pengadilan), 1 Juni 2000, Paragraf 32-33: “Sidang ini bertujuan untuk mengadili dan menghukum pelaku kekejaman di Rwanda, untuk mengakhiri impunitas dan dengan demikian untuk mempromosikan rekonsiliasi nasional dan pengembalian perdamaian. Jurisprudensi ICTR mengenai sanksi telah memenuhi tujuan utama pemberian vonis, yaitu retribusi, rehabilitasi dan keadilan.” 134
iii) Menentukan sanksi (1) Memperhitungkan hukum/praktik di Rwanda Kambanda, (Sidang Pengadilan), 4 September 1998, Paragraf 11, 18, 22-24, 41: “Baik Statuta maupun … Hukum Acara sama-sama tidak menentukan hukuman spesifik apa pun terhadap setiap kejahatan. Penentuan vonis diserahkan pada kebijakan Sidang, di mana mereka harus memperhitungkan … praktik umum mengenai vonis penjara di pengadilan Rwanda.” Sidang Pengadilan “telah melihat vonis pejara yang diterapkan di Rwanda” tetapi tidak pada hukuman mati. “Referensi pada praktik penghukuman di Rwanda dimaksudkan sebagai pedoman untuk menentukan vonis yang pantas dan tidak mengekang kebijakan para hakim dalam menentukan vonis.” Lihat juga Serushago, (Sidang Pengadilan), 5 Februari 1999, kalimat Paragraf 18. Penuntut v. Serushago, Kasus nomor ICTR-98-39-A (Sidang Banding), 6 April 2000, Paragraf 30: “Sudah merupakan jurisprudensi ICTR yang tetap tentang keperluan bahwa ‘Sidang Pengadilan harus melihat pada praktik umum mengenai vonis penjara dalam pengadilan Rwanda’ tidak mewajibkan Sidang Pengadilan untuk memenuhi praktik itu; syarat itu hanya mewajibkan Sidang Pengadilan untuk memperhitungkan praktik tersebut.” Lihat juga Ruggiu, (Sidang Pengadilan), 1 Juni 2000 Paragraf 31. Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 454: Sidang memutuskan bahwa “[p]raktik vonis di Rwanda dan hukum Organik adalah sebagai pedoman. Walaupun mengacu sebanyak apa pun yang dapat diterapkan pada praktik itu, Sidang tetap memiliki keleluasaan kebijakan untuk mengeluarkan vonis terhadap orang yang diputus bersalah. 8 Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 984.
8
“Hukum Organik” mengacu pada Hukum Organik Rwanda mengenai Pengaturan tentang Penuntutan untuk Delik-Delik yang merupakan Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang dilakukan sejak 1 Oktober 1990, yang diadopsi atau disahkan pada 1996.
135
Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, vonis hukuman Paragraf 6-7: “Hukum Rwanda memberikan wewenang pada pengadilannya untuk menjatuhkan hukuman mati terhadap orang yang divonis melakukan … [k]ejahatan genosida … dan untuk menjatuhkan penjara seumur hidup terhadap orang yang dihukum karena melakukan pembunuhan dengan sengaja atau … serangan serius terhadap orang yang mengakibatkan kematian.” Sidang memutuskan bahwa praktik umum mengenai vonis penjara di Rwanda merupakan satu faktor untuk mendukung penjatuhan Sidang atas vonis maksimum dan sangat berat secara berturut-turut” terhadap Kayishema dan Ruzindana. (2) Tingkatan kejahatan: genosida adalah “kejahatan tertinggi” (crime of the
crimes), kemudian kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang sebagai yang terakhir Kambanda, (Sidang Pengadilan), 4 September 1998, Paragraf 12-14, 16: “[S]tatuta tidak membuat suatu peringkat terhadap berbagai kejahatan tersebut … dan karena itu, juga terhadap hukuman yang dijatuhkan.” “Dalam teori, hukuman untuk tiga kejahatan itu adalah sama, yaitu maksimum penjara seumur hidup.” Tetapi “[S]idang tidak memiliki keraguan bahwa pelanggaran terhadap Pasal Umum 3 Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II dianggap sebagai kejahatan yang lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.” Sidang memutuskan bahwa sangat sulit “membedakan antara genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan tingkat keberatannya,” dan memutuskan bahwa genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah “kejahatan yang secara khusus mengejutkan hati nurani kolektif.” Tetapi Sidang menyatakan (faktor yang membedakan kedua kejahatan itu) bahwa “kejahatan genosida adalah kejahatan yang unik karena unsur dolus specialis (tujuan khusus)” dan memutuskan bahwa “genosida merupakan kejahatan tertinggi, yang harus diperhitungkan ketika memutuskan vonis.” Lihat juga Serushago, (Sidang Pengadilan), 5 Februari 1999, Kalimat Paragraf 13-15; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 979-981. Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 8-9: Genosida adalah “sebuah delik yang tingkat keberatanya sangat ekstrem.” Putusan ICTR sebelumnya memutuskan bahwa “genosida merupakan ‘kejahatan tertinggi’ (crime of the crimes).” 136
(3) Gradasi dalam vonis: menjatuhkan sanksi tertinggi terhadap mereka yang merencanakan atau memerintahkan kekejaman, atau mereka yang melakukan kejahatan dengan semangat khusus atau sadisme Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 February 2003, Paragraf 884: “[P]rinsip gradasi dalam penjatuhan pidana ... membuat Pengadilan mampu membedakan kejahatan-kejahatan yang karakternya sangat kejam dengan kejahatan yang meskipun patut dan layak mendapatkan sanksi keras, tetapi tidak harus menerima sanksi yang paling berat. Penjatuhan sanksi terberat terhadap mereka yaitu yang paling tinggi dari skala vonis – misalnya terhadap mereka yang merencanakan atau memerintahkan kekejaman, atau mereka yang melakukan kejahatan dengan semangat khusus atau sadisme – memungkinkan Sidang dapat menghukum untuk mencegah pengulangan dan dengan begitu menjatuhkan stigma terhadap kejahatan tersebut pada tingkat yang berkaitan dengan keseriusan kejahatan tersebut dan mencerminkan penderitaan yang ditimbulkan terhadap para korban.” Lihat juga Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 486. (4) Tingkatan penjatuhan vonis Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003 paragraf 562-564: “[P]raktik penjatuhan vonis tunggal untuk total seluruh perbuatan tertuduh menyebabkan penentuan tingkat vonis yang spesifik untuk masing masing kejahatan menjadi sulit dilakukan. [Memang] dimungkinkan untuk mengetahui tingkatan vonis secara umum. ... Pelaku utama yang dihukum atas genosida atau pemusnahan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, atau keduanya, dihukum dengan vonis antara lima belas tahun penjara hingga penjara seumur hidup. Tingkatan yang kedua atau bentuk partisipasi yang tidak langsung secara umum divonis lebih rendah.” “[P]emerkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan menghasilkan vonis yang spesifik antara dua belas tahun hingga lima belas tahun. Penyiksaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dihukum dengan vonis spesifik antara lima hingga dua belas tahun. Pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan divonis dengan spesifik jangka waktu tetap yaitu antara dua belas hingga dua puluh tahun penjara. Untuk kasus-kasus yang lain,
137
penghukuman terhadap kejahatan-kejahatan ini sebagian divonis dengan pidana tunggal yaitu waktu tetap atau penjara seumur hidup untuk total keseluruhan perbuatan tertuduh.” Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 559: “Penjara seumur hidup, sebagai sanksi paling berat harus disimpan untuk pelaku kejahatan yang paling serius.” (5) Vonis tunggal: kebijakan (Sidang) Penuntut v. Kambanda, Kasus Nomor ICTR-97-23-A (Sidang Banding), 19 Oktober 2000, Paragraf 101-102: “[S]tatuta atau Hukum Acara dan Pembuktian tidak menyebutkan bahwa Sidang harus menjatuhkan vonis yang terpisah untuk setiap tuduhan di mana si tertuduh dinyatakan bersalah dan karena itu dihukum.” “[S]tatuta menggunakan kalimat yang cukup bebas untuk membolehkan penjatuhan vonis tunggal. Apakah praktik ini diadopsi sangat tergantung pada kebijakan Sidang. … [S]idang tidak dicegah untuk menjatuhkan vonis tunggal atas semua tuduhan di mana tertuduh telah dinyatakan bersalah.” Musema, (Sidang Pengadilan) 27 Januari 2000, Paragraf 989: Sidang menetapkan bahwa “di dalam Statuta atau Hukum Acara dan Pembuktian tidak ada ketentuan yang mensyaratkan sanksi terpisah untuk setiap tuntutan yang terbukti” dan bahwa “Sidang dapat menjatuhkan satu sanksi untuk semua tuduhan di mana si tertuduh telah dinyatakan bersalah.” Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003 Paragraf 917: “[W]alaupun kejahatan-kejahatan dapat dikarakterisasikan dalam cara yang berbeda, penjatuhan vonis tunggal biasanya layak dalam kasus-kasus, di mana delik-delik diketahui masuk dalam kejahatan tunggal. Meskipun demikian, penjatuhan vonis tunggal atau tidak sepenuhnya merupakan kebijakan Sidang, sepanjang pertimbangan penjatuhan vonis tersebut didasarkan pada total keseluruhan perbuatan kejahatan si tertuduh.” Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 483: “Dalam kasus di mana tertuduh dihukum dengan berbagai kejahatan … sesuai dengan kebijakannya Sidang dapat menjatuhkan vonis tunggal untuk semua kejahatan itu, atau satu vonis untuk setiap kejahatan. Vonis tunggal biasanya pantas dijatuhkan dalam kasus di mana delik-deliknya 138
dikenali masuk dalam kejahatan tunggal. Dalam hal vonis yang beragam, Sidang akan menentukan apakah vonis harus dijatuhkan secara berturutan atau secara bersamaan.” Lihat juga Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1104. iv) Pengkhususan sanksi Kambanda, (Sidang Pengadilan), 4 September 1998, Paragraf 29: “[A]dalah benar bahwa ‘di antara para pelaku yang bersama-sama melakukan suatu kejahatan atau di antara orang-orang yang bersalah atas kejahatan dengan tipe yang sama, hanya terdapat satu unsur yang sama, yaitu target dari delik yang mereka lakukan dengan kekejaman yang terkandung di dalamnya. Terpisah dari perlakukan yang sama ini, ada perbedaan yang mendasar dalam kepribadian dan tanggung jawab mereka, yaitu: umur, latar belakang pendidikan, kecerdasan, dan struktur mental mereka. … Tidak benar bahwa mereka adalah subjek yang apriori untuk hukuman dengan intensitas yang sama.’” Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 10-12: “Statuta Pasal 23(2)
menyatakan
bahwa
dalam
menentukan
vonis,
Sidang
Pengadilan
harus
memperhitungkan keadaan individu orang yang dihukum.” Dalam kasus ini, Sidang mempertimbangkan “hukuman atas kejahatan sebelumnya” terhadap kedua orang tertuduh, dan “kemungkinan … rehabilitasi” dan “umur yang relatif muda” untuk Ruzindana. Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 883: “Penerapan prinsip-prinsip ini [Pasal 23 Statuta dan Hukum Acara dan Pembuktian 101(B)] memungkinkan Sidang untuk memenuhi kewajiban yang paling penting dalam mengkhususkan sanksi,’ dengan tujuan proporsionalitas vonis dengan tingkat keberatan delik dan tingkat pertanggungjawaban si pelaku.” Penuntut v. Akayesu, Kasus Nomor ICTR-96-4-T (Sidang Pengadilan), 2 Oktober 1999: “[S]epanjang mengenai pengkhususan sanksi, Sidang Hakim tidak membatasi dirinya hanya pada faktor-faktor yang disebutkan dalam Statuta dan Hukum Acara. Dalam hal ini, evaluasi terhadap fakta-fakta dan situasi yang ada dan perhitungan terhadap setiap faktor yang berhubungan tergantung pada keleluasaan kebijakan Sidang Hakim.” 139
Akayesu, (Sidang Banding), 1 Juni 2001, Paragraf 416: “Hak Sidang Hakim untuk memperhitungkan faktor-faktor lain yang berhubungan itu dilakukan bersama-sama dengan kewajiban mereka untuk menjatuhkan sanksi yang cocok dengan situasi individu si tertuduh, jangkauan kesalahannya secara keseluruhan, dan tingkat (berat atau ringannya) kejahatan yang dilakukan. Yang paling penting adalah adanya pertimbangan bahwa vonis yang dijatuhkan harus mencerminkan total keseluruhan dari kejahatan si tertuduh.” Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 560: Ruang lingkup “kewajiban Sidang [adalah] menyesuaikan vonis dengan tingkat (berat atau ringannya) kejahatan dan situasi individual si pelaku.” (1) Situasi yang memberatkan Kambanda, (Sidang Pengadilan), 4 September 1998, Paragraf 42-44: “Karakter sadis dari kejahatan genosida dan pelarangannya yang bersifat mutlak membuat kejahatan genosida dengan sendirinya memberatkan. Kejahatan genosida yang telah membunuh sekitar 500.000 kaum sipil di Rwanda dalam jangka waktu 100 hari merupakan fakta yang memberatkan. Penyalahgunaan kekuasaan atau kepercayaan secara umum dipertimbangkan sebagai faktor yang memberatkan dalam masalah ini.” Kambanda,
(Sidang
Pengadilan),
4
September
1998,
Paragraf
61-62:
Sidang
mempertimbangkan hal berikut sebagai keadaan yang memberatkan, yaitu: “kekejaman hakiki” dari kejahatan yang merupakan tanggung jawab Kambanda, dan “karakter meluas, mengerikan dan sistematis dari kejahatan tersebut, yang secara khusus telah mengejutkan nurani manusia;” fakta bahwa ia melakukan kejahatan “dengan mengetahui dan dengan perencanaan;” dan bahwa dia menyalahgunakan “tugas dan kewenangan” yang dipercayakan padanya sebagai Perdana Menteri yang pada dasarnya “untuk melindungi penduduk.” Sidang memutuskan bahwa “hal-hal yang memberatkan tersebut … meniadakan hal-hal yang meringankan, apalagi pada saat … Kambanda menjabat pada posisi yang tinggi pada saat ia melakukan … kejahatan.”
140
Serushago, (Sidang Pengadilan), 5 Februari 1999, Putusan Vonis Paragraf 27-30: Sidang mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai situasi yang memberatkan: genosida dianggap sebagai “kejahatan tertinggi” karena memiliki tingkat “kejahatan yang ekstrem,” pertanggungjawaban pidana individu Serushago atas perannya sebagai pemimpin dalam pelaksanaan kejahatan dan karena dia secara pribadi membunuh empat orang Tutsi; adanya fakta bahwa dia memberi perintah sebagai pemimpin de facto dalam eksekusi beberapa korban; dia berpartisipasi secara suka rela; dan fakta bahwa dia “melakukan kejahatan dengan mengetahui dan dengan perencanaan.” Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Putusan Vonis Paragraf 13-18: Sidang mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai keadaan yang memberatkan: secara suka rela berpartisipasi dalam melakukan delik; “semangat” dalam perbuatan kejahatan (misalnya menyerang tempat-tempat tradisional yang dianggap sebagai surga yang aman); melakukan pembunuhan dengan “cara-cara yang kejam;” “kejahatan … dilakukan secara sistematis;” “tingkah laku … sesudah perbuatan kejahatan, … seperti lamban dalam menghukum pelaku” atau tersenyum dan tertawa ketika korban yang selamat bersaksi selama persidangan; adanya kerusakan yang diderita oleh korban dan keluarganya, yang mana kerusakan itu tidak dapat diperbaiki; penilaian terhadap pembelaan alibi dan penyanggahan setiap saat bahwa dia bersalah; dan yang paling penting adalah adanya penyalahgunaan kekuasaan dan penghianatan yang dilakukan oleh … pejabat tinggi negara.” Rutaganda,
(Sidang
Pengadilan)
6
Desember
1999,
Paragraf
468-470:
Sidang
mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai keadaan yang memberatkan: kekejaman kejahatan genosida sebagai “kejahatan tertinggi;” penyalahgunaan kekuasaan oleh Rutaganda, dan peranya sebagai pemimpin dalam pelaksanaan kejahatan (pembagian senjata, penempatan Interahamwe di Nyanza dan menghasut dan memerintahkan pembunuhan terhadap Tutsi, dan melakukan pembunuhan terhadap seseorang dengan cara memukul kepalanya dengan pedang panjang). Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 900-905: Sidang mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai keadaan yang memberatkan: bahwa sebagai pribadi yang dihormati dan berpengaruh dalam Gereja Sevent Day Adventis, 141
Elizaphan Ntakirutimana telah “menyalahgunakan kepercayaan yang ada padanya;” di mana ia “menjauhkan diri dari penggembalaan terhadap Tutsi pada saat mereka sangat membutuhkan;” dan kehadirannya dalam peristiwa penyerangan dapat dianggap oleh para penyerang sebagai persetujuan atas perbuatan mereka. Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 910-912: Sidang mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai keadaan yang memberatkan: Gerard Ntakirutimana adalah pribadi yang terkemuka, di mana ia adalah satu dari sedikit orang di tempat asalnya yang mencapai pendidikan tinggi; sebagai dokter medis, “ia justru mengambil nyawa daripada menyelamatkannya;” karena itu ia “menyalahgunakan kepercayaan yang ada padanya;” kejahatannya dilakukan dalam periode waktu yang lama; “secara personal ia menembak pengungsi Tutsi;” “ia juga berpartisipasi dalam penyerangan terhadap ‘tempat perlindungan yang aman’ (safe haven);” dan dalam beberapa kesempatan, ia ditemukan memimpin penyerangan terhadap pengungsi Tutsi. Ruggiu, (Sidang Pengadilan), 1 Juni 2000, Paragraf 47-51: Sidang mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai keadaan yang memberatkan: kekejaman delik-delik yang dilakukan (genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan); peran tertuduh dalam perbuatan delik (sebagai seorang jurnalis dan pemilik siaran, Ruggiu memainkan peran penting dalam penghasutan kebencian etnis dan kekerasan, serta pembunuhan massal terhadap penduduk Tutsi melalui siaran radionya); dan walaupun tertuduh sadar bahwa siaran radionya berkontribusi terhadap pembunuhan massal, dia dengan sengaja memilih untuk meneruskan pekerjaanya di stasiun radio. Musema,
(Sidang
Pengadilan),
27
Januari
2000,
Paragraf
1001-1004:
Sidang
mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai keadaan yang memberatkan: bahwa delik yang terbukti dilakukan oleh Musema adalah delik yang “secara ekstrem sangat serius” (genosida); “ia memimpin penyerangan yang menewaskan sangat banyak pengungsi Tutsi;” ia “menggunakan senjata selama penyerangan;” ia “tidak melakukan langkah-langkah pencegahan terhadap penggunaan peralatan yang ia kuasai dan terhadap pekerja pabrik teh yang mengambil bagian dalam penyerangan” (sebagai Direktur Pabrik Teh Gisovu, Musema berkuasa secara sah terhadap para pekerjanya termasuk kekuasaan finansial); sebagai seorang 142
figur penguasa yang memiliki wewenang kuat dalam wilayah, ia “berada dalam posisi untuk mengambil tindakan-tindakan layak untuk mencegah dilakukannya kejahatan;” dan ia “tidak melakukan langkah-langkah menghukum pelaku yang merupakan orang yang dia kuasai.” Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 Oktober 1998: Sidang mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai faktor yang memberatkan: Akayesu “secara sengaja berpartisipasi dalam pembunuhan sistematis di Taba;” statusnya sebagai burgomaster menjadikan ia sebagai pejabat pemerintah yang paling senior di Taba dan dalam kapasitasnya itu dia bertanggung-jawab melindungi penduduk, di mana dia gagal melakukannya; “di depan publik, ia menghasut penduduk untuk membunuh;” ia memerintahkan pembunuhan terhadap sejumlah orang; ia berpartisipasi dalam pembunuhan-pembunuhan; melalui kehadiran dan tindakannya, ia juga mendukung pemerkosaan terhadap banyak perempuan dalam biro komunal. Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 566-573: Sidang mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai keadaan yang memberatkan: jumlah korban pembunuhan Semanza berkenaan dengan vonis yang layak atas delik penyertaan dalam genosida; dan “pengaruh serta peran” Semanza yang penting dalam komunitasnya. Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 499: Sidang mempertimbangkan halhal berikut sebagai keadaan yang memberatkan: “sebagai figur yang terkenal dan berpengaruh di daerah asalnya di Perfecture Kibuye, di mana kejahatannya dilakukan,” dan ia “telah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh penduduk dengan melakukan kejahatan di daerah itu;” ia memegang posisi penting dalam pemerintahan pada saat kejahatan dilakukan, dan dalam posisinya sebagai Menteri Informasi ia bukannya mempromosikan perdamaian dan rekonsiliasi, ia justru aktif berpartisipasi dalam pembunuhan massal dan mempengaruhi yang lain untuk melakukan kejahatan, dan dalam beberapa kesempatan, ia memberikan instruksi kepada para penyerang atau bertingkah sebagai salah satu pemimpin mereka; adanya karakter yang tidak berperasaan pada beberapa peristiwa pembunuhan; fakta bahwa dia “bergabung dalam sorak-sorai pada saat pembunuhan, pemenggalan leher dan mutilasi orang Kabanda, di mana ia menusuk kepalanya dengan paku melalui telinga;” tidak acuh dan tidak sensitif terhadap nyawa dan martabat manusia yang ditunjukan melalui perintahnya untuk menajamkan sepotong kayu 143
untuk menusuk alat kelamin seorang perempuan Tutsi yang sudah meninggal; dan “keikutsertaannya yang sangat lama dalam serangan meluas dan sistematis terhadap kaum sipil yang tidak berdaya.” Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1099: Sidang mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai keadaan yang memberatkan: Nahimana “sangat menyadari kekuatan kata-kata, dan dia menggunakan radio – alat komunikasi yang berjangkauan yang paling luas terhadap publik – untuk menyebarkan kebencian dan kekerasan;” “[i]a dimotivasi oleh patriotisme dan anggapan adanya kebutuhan akan keadilan bagi penduduk Hutu [t]etapi hal itu tidak dilakukannya dengan jalan yang sah, ia justru memilih jalan genosida;” “ia mengkhianati kepercayaan yang ada padanya sebagai seorang intelektual dan pemimpin;” dan “[t]anpa senjata api, pedang atau senjata fisik apa pun, ia telah menyebabkan kematian ribuan kaum sipil yang tidak berdosa.” Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1100: Sidang mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai keadaan yang memberatkan: Barayagwiza “adalah seorang pengacara melalui pelatihan dan dalam bukunya ia berkomitmen terhadap standard internasional hak asasi manusia;” “ia menyimpang dari standard-standard tersebut dengan melanggar hak asasi manusia yang paling mendasar yaitu hak untuk hidup;” “[i]a melakukan hal itu melalui dua cara, yaitu melalui institusi yang ia ciptakan dan melalui partisipasinya secara pribadi dalam genosida;” “[i]a juga merupakan aktor penentu dalam persekongkolan dengan Nahimana dan Ngeze.” Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1101: Sidang mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai keadaan yang memberatkan: “sebagai pemilik dan editor sebuah surat kabar harian yang cukup terkenal di Rwanda, [Ngeze] berada dalam posisi untuk memberi informasi kepada publik dan membentuk opini publik menuju pencapaian demokrasi dan perdamaian untuk seluruh penduduk Rwanda;” “[b]ukannya menggunakan media untuk mempromosikan hak asasi manusia, ia justru menggunakan media itu untuk menyerang dan menghancurkan hak asasi manusia;” “Ngeze tidak menghargai tanggung jawab” yang menyertai kebebasan untuk berpendapat; “[i]a menyalahgunakan kepercayaan publik, di mana melalui surat kabar ia melakukan 144
penghasutan untuk melakukan genosida;” walaupun “Ngeze menyelamatkan kaum sipil Tutsi dari
kematian
dengan
mengangkut
mereka
menyeberangi
perbatasan
Rwanda,”
“[k]ekuasaanya untuk menyelamatkan pada dasarnya lebih besar dari kekuasaannya untuk membunuh;” dan “[i]a meracuni pemikiran para pembacanya, dan melalui kata-kata dan perbuatannya, ribuan penduduk sipil yang tidak berdosa mengalami kematian.” (2) Keadaan yang meringankan (a) Pengantar umum Kambanda, (Sidang Pengadilan), 4 September 1998, Paragraf 36-37, 56-58: Sidang memutuskan bahwa “kerja sama yang baik antara Tertuduh dan Penuntut dapat menjadi satu-satunya hal yang meringankan, antara lain, terutama ketika tertuduh mengaku bersalah dan menunjukkan penyesalan yang tulus.” Sidang menekankan bahwa “prinsip pengurangan sanksi yang timbul dari penerapan keadaan yang meringankan tidak boleh mengurangi nilai kekejaman dari delik.” Sidang menetapkan bahwa “putusan tentang keadaan yang meringankan berhubungan dengan penentuan vonis dan tidak boleh mengurangi kekejaman kejahatan, apa pun alasannya. Hal itu (keadaan yang meringankan) mengurangi penghukuman, bukan kejahatannya.” “Tingkat keseriusan kejahatan tetap merupakan kriteria pokok untuk mengevaluasi vonis.” “Suatu vonis harus mencerminkan standard utama mengenai perbandingan antara kekejaman delik dengan tingkat pertanggungjawaban pelaku delik.” (b) Penerapan Kambanda,
(Sidang
Pengadilan),
4
September
1998,
Paragraf
61-62:
Sidang
mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai keadaan yang meringankan: kerja sama Kambanda dengan Penuntut; fakta bahwa pernyataan bersalahnya “dapat mendorong yang lainnya untuk mengenali tanggung jawab mereka selama peristiwa tragis;” dan pernyataan bersalah “dalam kebanyakan jurisdiksi nasional, termasuk Rwanda, secara umum diakui sebagai keadaan yang meringankan.” Sidang menetapkan bahwa keadaan yang memberatkan dalam kasus kejahatan yang dilakukan oleh … Kambanda meniadakan (menghapus) keadaan 145
yang meringankan terutama karena … pada saat kejahatan dilakukan … Kambanda menjabat sebagai Menteri dalam posisi yang tinggi.” Serushago, (Sidang Pengadilan), 5 Februari 1999, Putusan vonis, Paragraf 31-42: Sidang mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai keadaan yang meringankan: “kerja sama antara Serushago dengan Penuntut;” “penyerahan dirinya secara suka rela;” “pernyataan bersalahnya;” “latar belakang sosial keluarganya” (di mana “latar belakang politik keluarganya memainkan peranan penting dalam keterlibatannya … dengan milisi” dan ikatan persahabatan yang kuat antara ayahnya dengan presiden “membawanya pada posisi yang berperan dominan dalam lingkaran Interahamwe”); pertolongan yang diberikannya kepada korban Tutsi tertentu; keadaan yang bersifat individual, seperti usianya yang masih muda, anaknya yang berjumlah enam orang di mana dua di antaranya masih sangat muda, dan kemungkinan rehabilitasinya; dan “[p]enyesalannya yang mendalam atas kesalahankesalahannya, yang diungkapkannya kepada publik.” Sidang menetapkan “bahwa keadaan yang luar biasa dalam pengurangan di sekitar kejahatan … dapat mendatangkan suatu pengampunan.” Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Putusan Vonis, Paragraf 19-23: Sidang menetapkan bahwa “keadaan yang meringankan dapat termasuk: kerja sama dengan Penuntut, penyerahan diri ke pejabat yang berwenang; pengakuan atas kesalahan …; penyesalan mendalam yang ditunjukan terhadap para korban,” dan fakta bahwa tertuduh bukan merupakan “pejabat de jure.” Rutaganda,
(Sidang
Pengadilan),
6
Desember
1999,
Paragraf
471-473:
Sidang
mempertimbangkan hal-hal di bawah ini sebagai keadaan yang meringankan: pertolongan yang diberikan oleh Rutaganda kepada individu-individu tertentu (membantu mengevakuasi orang dan menyediakan makanan dan tempat tinggal kepada beberapa pengungsi), dan kesehatannya yang buruk. Sidang menetapkan bahwa “faktor yang memberatkan lebih banyak daripada faktor yang meringankan” apalagi karena “Rutaganda memegang jabatan tinggi dalam Interahamwe” dan ia secara sadar dan dengan sengaja berpartisipasi dalam melakukan rangkaian kejahatan itu dan tidak pernah menunjukkan penyesalan atas apa yang telah terjadi pada para korban.” 146
Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 895-898: Sidang mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai keadaan yang meringankan: Elizaphan Ntakirutimana adalah “orang yang sangat dihormati dalam Gereja Seventh Day Adventis di West-Rwanda Field,” dan hingga 1994, ia adalah pastor yang merupakan “panutan dan pemimpin gereja;” ia adalah “orang yang sangat religius dan toleran,” yang tidak menunjukkan bias etnis termasuk ketika kekacauan dan ketegangan etnis terjadi selama lebih dari setengah abad; selama peristiwa 1994, ia sendiri tidak berpartisipasi dalam pembunuhan, ia juga tidak didapati menyerang para pengungsi dan bahkan tidak membawa senjata; usianya 78 tahun; dan kesehatannya yang lemah. Nakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 908-909: Sidang mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai keadaan yang meringankan: Gerard Ntakirutimana adalah seseorang dengan karakter yang baik dan ia tidak menunjukkan bias etnis hingga bulan april 1994; ia menyediakan atau menawarkan tempat tinggal untuk beberapa orang Tutsi, termasuk kolega dan teman, serta memberikan bantuan rumah dan membantu anak-anak yatim piatu. Ruggiu, (Sidang Pengadilan), 1 Juni 2000, Paragraf 53-80: Sidang mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai keadaan yang meringankan: pernyataan bersalah Ruggiu; kerja sama tertuduh dengan penuntut; tidak ada catatan kejahatan; karakter tertuduh; penyesalan dan perasaan bersalah yang mendalam; bantuan yang ia berikan terhadap para korban; posisi tertuduh dalam Radio Television Libres des Milles Collines dan dalam kehidupan politik (ia adalah bawahan dalam stasiun radio dan tidak berperan dalam membuat kebijakan editorial); dan fakta bahwa dia sendiri tidak berpartisipasi dalam pembunuhan. Sidang menetapkan bahwa “keadaankeadaan ini … merupakan faktor yang meringankan untuk memberikan suatu pengampunan,” tetapi tetap menyatakan bahwa “[p]engurangan sanksi dengan cara apa pun tidak mengurangi kekejaman kejahatan atau putusan bersalah terhadap si terpidana.” Musema,
(Sidang
Pengadilan),
27
Januari
2000,
Paragraf
1005-1008:
Sidang
mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai keadaan yang meringankan: Musema “mengakui perbuatan genosida terhadap penduduk Tutsi di Rwanda pada 1994;” ia “menunjukkan 147
kesedihan atas kematian begitu banyak orang tidak berdosa dan memberikan penghormatan kepada semua korban kejadian tragis itu;” ia menunjukkan penyesalan dan mengakui bahwa fasilitas Pabrik Teh Gisovu (di mana dia merupakan Direktur-nya) telah digunakan oleh para pelaku kekejaman; kerja-samanya dalam pengakuan terhadap fakta-fakta yang disinggung dalam kasus memfasilitasi peradilan yang cepat; dan kerja-samanya yang terus-menerus sepanjang persidangan yang berkontribusi terhadap proses persidangan tanpa penundaan. Sidang menetapkan bahwa “keadaan yang memberatkan melebihi keadaan yang meringankan, apalagi dalam beberapa kesempatan Musema secara pribadi memimpin para penyerang untuk melakukan penyerangan terhadap sejumlah besar pengungsi Tutsi.” Selanjutnya Sidang menetapkan bahwa Musema “dengan mengetahui dan sadar berpartisipasi dalam kejahatan dan tidak pernah menunjukkan perasaan bersalah atas peranannya secara pribadi dalam kekejaman itu.” Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 Oktober 1998: Sidang mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai faktor yang meringankan: Akayesu “bukan merupakan pejabat tinggi dalam pemerintahan di Rwanda;” pengaruh dan kekuasaannya tidak sepadan dengan peristiwa; dia menunjukkan simpati terhadap para korban genosida; dan ia menunjukkan dirinya kepada orang-orang yang selamat dari peristiwa. Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 579-584: Sidang mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai faktor yang meringankan: karakter dan pencapaian yang dihasilkan oleh Semanza sebelumnya (membawa kemakmuran dan pembangunan di dalam wilayahnya). Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 495-498: Sidang mempertimbangkan fakta bahwa Niyitegeka turun tangan dan menyelamatkan nyawa sekelompok pengungsi dari milisi Interahamwe sebagai keadaan yang meringankan. Meskipun demikian, Sidang menetapkan bahwa bobot ini sangat terbatas karena ia juga melakukan pembunuhan terhadap orang lain. Sidang juga mempertimbangkan bahwa Niyitegeka adalah “seorang dengan karakter yang baik sebelum peristiwa itu terjadi” dan ia adalah tokoh masyarakat dan anggota Mouvement Democratique Republicain (MDR), di mana ia memperjuangkan demokrasi dan menentang diskriminasi etnis. Tetapi, sekali lagi, Sidang menetapkan bahwa bobot keadaan yang meringankan ini sangat kecil karena ketika dihadapkan dengan pilihan antara 148
berpartisipasi dalam pembunuhan massal penduduk sipil atau tetap memegang teguh prinsipnya, Niyitegeka memilih jalan yang bias etnis dan berpartisipasi dalam pembunuhan massal.
149
VIII) MACAM-MACAM HAL
a) “Kesamaan kekuatan” antara pihak-pihak tidak sama dengan kesamaan cara dan sumber Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Banding), 1 Juni 2001, Paragraf 63-71: Selama proses sebelum sampai pada persidangan di Sidang Pengadilan, Kayishema mengajukan mosi yang meminta persamaan sepenuhnya antara penuntut dengan pembela berkaitan dengan caracara dan fasilitas dalam penyelesaian perkara mereka. Sidang Banding menetapkan bahwa Sidang Pengadilan tidak melakukan kesalahan dalam hukum ketika menolak mosi tersebut. “Hak tertuduh terhadap fair trial (peradilan yang adil) terkandung dalam prinsip persamaan kekuatan antara Penuntut dan Pembela” dan “Sidang Pengadilan memutuskan bahwa pemikiran mengenai kesamaan kekuatan terletak dalam Statuta Pasal 20,” khususnya Pasal 20(2) dan Pasal 20(4). Tetapi, “persamaan kekuatan … tidak mesti sama dalam hal kepemilikan sumber-sumber keuangan dan/atau sumber daya manusia.” Sidang Pengadilan mengutip Sidang Banding ICTY dalam kasus Tadic yang menetapkan bahwa “kesamaan kekuatan mewajibkan badan yudisial untuk memastikan bahwa tidak ada satu pihak pun yang mengalami kerugian ketika mengajukan kasusnya.” 9 Sidang Banding juga mengesahkan wewenang Sidang Pangadilan dalam kasus Kayishema yang memutuskan bahwa hak-hak tertuduh dan kesamaan antara para pihak tidak boleh disalahtafsirkan sebagai kesamaan cara dan sumber, dan bahwa hak-hak tertuduh tidak dapat ditafsirkan sebagai hak si pembela atas cara-cara dan sumber yang sama dengan penuntut. Lihat juga Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pangadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 20, 55-60. b) Presumsi imparsialitas melekat pada hakim dan pengadilan Akayesu, (Sidang Banding), 1 Juni 2001, Paragraf 91: “[A]da presumsi bahwa imparsialitas melekat pada Hakim atau Sidang, dan dengan demikian, keberpihakan harus dibentuk atas
9
Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Banding), 15 Juli 1999, paragraf 48.
150
dasar bukti yang cukup dan dapat dipercaya. ‘[S]ebaliknya, dalam hal ketiadaan bukti, harus diasumsikan
bahwa
hakim-hakim
Pengadilan
Internasional
mampu
untuk
tidak
menyalahgunakan pemikiran mereka atas kecenderungan atau kepercayaan pribadi yang tidak berhubungan. Pembanding-lah yang harus menunjukkan bukti yang cukup untuk meyakinkan Sidang Banding bahwa [hakim yang dimaksud] telah bersikap tidak imparsial dalam kasusnya. Ada ambang tinggi yang harus dicapai untuk membantah presumsi imparsialitas.’” c) Penuntutan yang selektif Akayesu, (Sidang Banding), 1 Juni 2001, Paragraf 94-96: “‘[I]nvestigasi dan penuntutan’ terhadap orang yang bertanggung-jawab atas pelanggaran serius dalam jurisdiksi Pengadilan dilakukan oleh Penuntut dan … adalah tanggung-jawabnya untuk ‘menilai dan memutuskan apakah informasi yang diterima atau didapatkan memiliki dasar yang cukup untuk diteruskan atau tidak.’” “‘[D]alam kebanyakan sistem hukum pidana, kesatuan yang bertanggung-jawab melakukan penuntutan memiliki sumber daya dan finansial yang terbatas dan secara realistis tidak dapat diharapkan untuk menuntut setiap pelaku kejahatan yang mungkin masuk lingkup jurisdiksinya. Harus ada pembuatan keputusan berdasarkan sifat kejahatan dan pelaku kejahatan yang akan dituntut. [P]enuntut memiliki kebijakan yang sangat luas dalam hal permulaan penyelidikan dan dalam persiapan pendakwaan.’” Untuk menunjukkan Penuntut memproses dengan dasar yang selektif, “‘bukti mengenai motif diskriminatif harus disertai dengan bukti bahwa kebijakan Penuntut memiliki dampak diskriminatif, supaya individu dari latar belakang etnis atau agama yang lain yang berada dalam cara yang sama tidak masuk dalam penuntutan.’” Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 870-871: “Pasal 15(2) Statuta mensyaratkan Penuntut untuk bertindak secara independen di mana ia tidak mencari atau menerima instruksi dari pemerintah atau sumber lainnya. Berdasarkan standard yang disebutkan dalam Sidang Banding ICTY dalam Delalic, di mana pembanding menduga keras penuntutan selektif, dia harus menunjukkan bahwa Penuntut telah melaksanakan kebijakan penuntutannya secara tidak pantas dalam hubungannya dengan si pembanding sendiri. Hal ini diikuti bahwa si Tertuduh … harus menunjukkan bahwa 151
keputusan Penuntut untuk menuntut mereka atau untuk melanjutkan penuntutan terhadap mereka didasarkan pada motif yang tidak diijinkan seperti etnisitas dan afiliasi politik, dan bahwa penuntut gagal untuk menuntut tersangka yang berada dalam keadaan yang sama dari etnis dan afiliasi politik yang berbeda. Dalam pandangan mengenai kegagalan Pembela untuk mengemukakan bukti yang menunjukkan bahwa Penuntut memiliki motif diskriminatif atau motif yang tidak diijinkan atau melawan hukum dalam mendakwa atau melanjutkan penuntutan terhadap Pertuduh, Sidang memutuskan bahwa tidak perlu mempertimbangkan pertanyaan tambahan mengenai apakah ada orang lain yang dalam keadaan yang sama tidak dituntut atau penuntutan tidak dilanjutkan terhadapnya.” d) Pernyataan bersalah: kondisi untuk menerima persetujuan pengajuan pernyataan i) Pernyataan bersalah harus dilakukan secara suka rela Kambanda, (Sidang Banding), 19 Oktober 2000, Paragraf 61: “[P]engajuan pernyataan secara suka rela mensyaratkan dua unsur, yaitu bahwa ‘secara mental seorang tertuduh harus mampu memahami konsekuensi dari perbuatannya ketika menyatakan diri bersalah’ dan ‘pengajuan pernyataan tersebut bukan karena ia diancam atau dibujuk dengan cara apa pun, melainkan timbul dari adanya harapan bahwa ia akan menerima penghargaan atas pernyataan bersalah tersebut dengan suatu pengurangan hukuman.’” ii) Pengajuan pernyataan bersalah harus diketahui Kambanda, (Sidang Banding), 19 Oktober 2000, Paragraf 75: “[S]tandard untuk menentukan apakah pernyataan bersalah telah diketahui adalah ... bahwa tertuduh harus memahami sifat pernyataan bersalah dan konsekuensi pengajuan pernyataan bersalah tersebut secara umum, ia juga harus memahami sifat dakwaan yang ditujukan terhadapnya, dan perbedaan antara dakwaan alternatif dan konsekuensi pernyataan bersalah terhadap satu dakwaan dibandingkan terhadap dakwaan yang lain.” iii) Pengajuan pernyataan bersalah harus dilakukan dengan tegas
152
Kambanda, (Sidang Banding), 19 Oktober 2000, Paragraf 84-86: “‘Apakah sebuah pernyataan bersalah diajukan secara tegas tergantung pada pertimbangan, in limine, pada pertanyaan apakah pernyataan itu disertai atau memenuhi syarat kata-kata yang menggambarkan fakta tentang adanya pembelaan dalam hukum.’” Pangajuan pernyataan bersalah dikatakan tegas apabila tertuduh menyadari bahwa pengajuan pernyataan itu tidak dapat disangkal oleh pembelaan apa pun.
153