BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban
manusia serta merupakan ancaman serius terhadap kemanusiaan dan peradaban manusia serta sebuah ancaman serius terhadap keutuhan dan kedaulatan suatu negara.Terorisme saat ini bukan saja merupakan suatu kejahatan lokal atau nasional tetapi sudah merupakan kejahatan transnasional atau internasional, banyak menimbulkan ancaman atau bahaya terhadap keamanan, perdamaian dan sangat merugikan kesejahteraan masyarakat dan bangsa. Terorisme juga selalu identik dengan kekerasan.Bahkan terorisme ini merupakan puncak dari aksi kekerasan itu sendiri.Karena bisa saja kekerasan terjadi tanpa aksi terorisme, tetapi tidak ada aksi terorisme yang tanpa kekerasan. 1 Adapun pelaksanaan serangan teroris adalah berupa aktivitas terorisme yang terbagi menjadi; serangan teroris konvensional yang mana dilakukan dengan cara menebarkan teror secara meluas kepada masyarakat dengan ancaman atau kekerasan, baik oleh individu maupun kelompok, serta menimbulkan akibat berupa penderitaan fisik dan/atau psikologis dalam waktu berkepanjangan sehingga dikategorikan sebagai tindak kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Selanjutnya serangan non-konvensional melalui cyberspace atau cyberterror yang
1
https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Definisi_terorisme&oldid=5609532 pada tanggal 4 Februari 2016, pukul 11:58 WIB
diakses
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan cara menebarkan secara meluas di cyberspace dan serangan terhadap komputer, sistem komputer yang mengakibatkan terganggunya data, sistem, dan infrastruktur vital yang mengakibatkan korban jiwa dan material yang besar untuk kepentingan teroris. 2 Kesan pertama yang timbul dalam benak setiap orang yang mendengar dan membahasakan tentang terorisme adalah; destruksi, kekalutan, bencana, dan instabilitas.Mana mungkin terorisme melalui aksi teror dan penggunaan kekerasannya, berkeinginan menjaga stabilitas negara dan masyarakat.Realitas historis, riwayat munculnya pergerakan serta aksi teror, tidak pernah senyap dalam lintasan ingatan masyarakat, mulai dari skala local, nasional, regional, hingga ke tataran global.Benang kusut mencari akar penyebab lahirnya terorisme terus dikaji oleh para pakar, pemerhati dan pihak keamanan, untuk menemukan secara kompehensif penyebab dasar dari aksi terorisme tersebut. Teror dalam sejarah melintasi ranah kajian berbagai disiplin ilmu, mulai dari kajian historis, ekonomi, politik, agama, ideologi, dan kultural. 3 Indonesia sendiri merupakan salah satu dari banyaknya negara di dunia yang pernah terkena aksi teror oleh sekelompok teroris.Salah satu kasus yang pastinya tidak dapat kita lupakan adalah saat terjadinya Bom Bali yang memberi gambaran kepada negara atau pemerintah untuk lebih meningkatkan pengamanan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Sebagai akibat dari tragedi Bom Bali pemerintah berkewajiban untuk secepatnya mengusut tuntas pelaku tindak pidana
2
Petrus Reinhard Golose, Invasi Terorisme Ke Cyberspace, (Jakarta: YPKIK, 2015),
hal.37 3
John Haba, “Kata Pengantar”, dalam Marthen Luther Djari, Terorisme dan TNI, CMB Press, (Jakarta: CMB Press, 2013), hal. 17
Universitas Sumatera Utara
terorisme, dengan cara memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini tentunya menjadi prioritas utama dalam suatu usaha penegakan hukum.Untuk melakukan pengusutan diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang tindak pidana terorisme, agar nantinya para aparat penegak hukum dapat menjadikan perangkat hukum tersebut sebagai suatu pedoman dalam menjalankan tugas dan fungsinya sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Posisi Indonesia di era transisional menjadi perdebatan, berakhir pada pemanfaatan kepentingan. Indonesia dikategorikan sebagai weaken state (negara lemah) terancam mengarah pada kondisi failed state index dan majalah Foreign Policy, dari 170 negara, Indonesia berada pada urutan ke-64 dengan skor 81. Yang termasuk negara gagal adalah negara yang memperoleh nilai 90 keatas.Kendati Indonesia belum mencapai kategori negara gagal, tetapi sudah masuk dalam kategori negara gagal, tetapi sudah masuk dalam kategori “warning” atau memiliki resiko gagal bila terjadi krisis. 4 The US Departement of State Indonesia 2001, Country Report on Human Rights Practices, menyebutkan bahwa akibat kegagalan negara mengelola dan meredam konflik selama proses transisi pasca pemerintahan Presiden Soeharto, menyebabkan ribuan rakyat meninggal dunia, sekitar 1,5 juta orang mengungsi dan kehilangan tempat tinggal. 5 Indikatornya terlihat dari beberapa konflik komunal berskala besar di Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru, yaitu konflik suku dayak dan pendatang dari Madura di wilayah Sambas Kalimantan Barat, menurut laporan Komisi Hak Asasi Manusia paling tidak 500 korban jiwa manusia, 80.000 orang Madura mengungsi, 319 4
Kompas, Indonesia Negara Lemah. Benarkah?, 20 Juli 2011, hal.14 Sukardi Rinakit, Soegeng Sarjadi (ed.), Meneropong Indonesia 2020, (Jakarta: Perpustakaan Nasional,2003), hal. 275 5
Universitas Sumatera Utara
rumah terbakar, 197 unit rumah rusak berat akibat konflik berkepanjangan sejak Desember 1998 sampai akhir 2003 antara sesama warga Maluku, menyebabkan 13.428 orang meninggal dunia, 330.758 orang atau 57.571 kepala keluarga mengungsi pada awal tahun 2002 (Crisis Center Keuskupan Maluku) demikian juga dengan konflik Poso Sulawesi Tengah. 6Kondisi tersebut erat kaitannya dengan dampak resesi ekonomi dunia dan reformasi yang terjadi di Indonesia memperburuk ekonomi, sosial, dan politik dalam negeri.Kondisi krisis ekonomi maupun politik yang terjadi di era transnasional seperti yang dialami Indonesia sekarang inilah yang sangat memungkinkan bagi berkembangnya jaringan terorisme global. Keadaan yang menguntungkan bagi gerakan terorisme ini didukung oleh latar sosial akan maraknya seperti konflik antar etnik, ras, maupun agama baik karena dimunculkan oleh motif perbedaan kultur dan etnik, terutama perebutan resource ekonomi maupun politik. 7Akumulasi persoalan pada masa transisional ini semakin menyatu dengan maraknya aksi terorisme global yang secara terbuka dimulai dari serangan terhadap menara kembar World Trade Centre dan Pentagon tanggal 11 September 2001 merambat dengan cepat ke berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Pada pihak lain, Gumilar Rusliwa Somantri mengatakan bahwa konsep negara lemah mengarah pada negara gagal, tidak lengkap, dan bersifat ahistoris. Maksudnya keberhasilan dan kegagalan seharusnya bisa dimaknai sebagai sebuah proses sejarah yang dinamis. Suatu negara dapat mengalami penurunan legitimasi karena beberapa masalah, tetapi negara tersebut tentu tetap memiliki potensi untuk 6
Majalah Devender, Konflik Indonesia, 20 April 2008, Edisi 27, hal.21 Sukardi Rinakit, Soegeng Sarjadi (ed.), op.cit. hal.278
7
Universitas Sumatera Utara
kembali menguatkan legitimasinya.Seperti halnya Indonesia pada masa transisi mengalami gejolak yang sangat hebat membuat kaum teroris manca negara memanfaatkan peluang tersebut sebagai “ladang terorisme”. 8 Sebelum keluarnya UU No. 15 Tahun 2003, Tindak Pidana Terorisme ini lebih didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mana belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme. Oleh karena itu pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan mengenai pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal tersebut kini telah menjadi bukti konkrit pemerintah yang demi menjaga kedaulatan Bangsa dan Negara, melindungi segenap warga negara serta demi terciptanya keamanan dan kesejahteraan rakyat maka memutuskan untuk mengambil langkah dalam pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hasil penelitian putusan perkara Nomor :1477/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel yang memuat putusan kasus Terorisme, dalam putusan perkara tersebut pelaku memenuhi rumusan Pasal 15 jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UndangUndang.
8
Kompas, Indonesia Ladang Terorisme, 20 Juli 2011. Hlm.7
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Latar Belakang Permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang penerapan unsur-unsur Pasal 15 jo. Pasal 9 UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebab menurut penulis kasus ini adalah kasus yang menarik untuk diteliti, penulis juga tertarik untuk meneliti hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dan hal-hal yang melatarbelakangi penerapan sanksi pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Terorisme dalam kasus yang menjadi bahan studi penulis yaitu putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 1477/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel. B.
Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas terdapat beberapa pokok permasalahan
yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain : 1.
Bagaimana pengaturan tindak pidana terorisme di Indonesia dalam beberapa peraturan?
2.
Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana terorisme dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 1477/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel?
C.
Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.
Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
a.
Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana terorisme di Indonesia dalam beberapa peraturan.
Universitas Sumatera Utara
b.
Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana terorisme dengan melihat dan menganalisa pertimbangan-pertimbangan hakim dalam perkara dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 1477/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel.
2.
Manfaat Penulisan Secara teoritis manfaat dari penulisan ini diharapkan penulis dapat menjadi
bahan bacaan dan penambah ilmu pengetahuan bagi para pembaca khususnya bagi kalangan akademis dan pihak-pihak yang terkait dengan topik penulisan ini.Selain itu penulisan ini juga diharapkan dapat berguna dan bermanfaat sebagai bahan acuan untuk perkembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang Tindak Pidana Terorisme dan apabila dimungkinkan dapat juga bermanfaat bagi perkembangan pengaturan tentang pemberantasan Terorisme di Indonesia. Sedangkan secara praktis penulisan ini bermanfaat sebagai kerangka acuan dan landasan bagi penulis lanjutan dan dapat memberikan masukan kepada praktisi, civitas akademika serta seluruh pihak yang terkait dalam pemberantasan Terorisme di Indonesia. Serta melalui penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan pembaca khususnya dalam pemahaman akan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang Terorisme dalam hukum pidana Indonesia. D.
Keaslian Penulisan Berdasarkan hasil penelusuran di Perpustakaan Universitas Sumatera
Utara, tidak ada judul skripsi ataupun tesis yang sama dengan judul skripsi penulis, yaitu “Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Universitas Sumatera Utara
Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 1477/Pid.Sus./2013/PN.Jkt.Sel)”. Penulisan skripsi ini didasarkan oleh ide, gagasan, dan pemikiran penulis secara pribadi tanpa ada penjiplakan yang dapat merugikan pihak tertentu. Oleh karena itu skripsi ini adalah hasil karya penulis sendiri yang disusun secara terperinci dengan mempelajari, membaca, mengutip data-data yang ada dalam buku-buku, literature-literatur, dan peraturan perundang-undangan dan pihak lain yang berkaitan dengan judul skripsi ini sehingga penulisan skripsi ini asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik. E.
Tinjauan Kepustakaan
1.
Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu “strafbaar feit”.Para ahli hukum mengemukaan istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaar feit. Adami Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah starfbaar feit, yaitu sebagai berikut: 9 a.
Tindak Pidana, dapat dikatan berupa istilah resmi dalam perundangundangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam UU No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001, dan perundang-undangan 9
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal.2 dalam Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press, 2015), hal. 77
Universitas Sumatera Utara
lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini, misalnya seperti Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H.; b.
Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: Mr. R. Tresna dalam bukunya “Azas-azas Hukum Pidana” Mr. Drs. H.J van Schravendijk dalam buku “Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”, Prof. A. Zainal Abidin, S.H dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk UU juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam UUDS 1950 Pasal 14 ayat 1;
c.
Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya Prof. Drs. E. Utrecht, S.H, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I). Prof. A. Zainal Abidin dalam buku beliau “Hukum Pidana I”. Prof. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada judul buku “Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan”, walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana;
d.
Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Mr. M.H. Tirta Amidjaja yang berjudul Pokok-pokok Hukum Pidana;
e.
Perbuatan yang boleh dihukum, istilah tersebut digunakan oleh M. Karni dalam buku beliau “Ringkasan tentang Hukum Pidana Begitu juga Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia”;
Universitas Sumatera Utara
f.
Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk UndangUndang di dalam UU No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3);
g.
Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Azas-azas Hukum Pidana. Istilah yang dipergunakan oleh konsep KUHP Baru sebagai terjemahan dari
istilah strafbaar feit adalah tindak pidana. Secara khusus memang tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada keseragaman perndapat. Pengertian tindak pidana penting
dipahami
untuk
mengetahui
unsur-unsur
yang
terkandung
di
dalamnya.Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak. Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana (strafbaar feit) dengan tindakan/perbuatan (gedraging/handeling) memiliki makna yang berbeda.Sudarto mengemukakan,
bahwa
unsur
pertama
dari
tindak
pidana
adalah
tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana. Perbuatan (gedraging), meliputi pengertian berbuat dan tidak berbuat, sehingga definisi itu tetap akan kurang lengkap atau berbelit-belit dan tidak jelas. 10
10
Ibid., hal.78-79
Universitas Sumatera Utara
Barda Nawawi Arief menyebutkan, 11 bahwa di dalam KUHP (WvS) hanya ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana (strafbaar feit). Namun apa yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tidak dijelaskan.
Jadi
tidak
ada
pengertian/batasan
yuridis
tentang
tindak
pidana.Pengertian tindak pidana (strafbaar feit) hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana. Tindak pidana tidak hanya terjadi karena telah dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang, namun adakalanya tindak pidana ini juga terjadi karena tidak berbuatnya seseorang, misalnya: a.
Pada tanggal 13 Juli 1938 Rb. Dordrecht, dalam kasus pembunuhan, menjatuhkan pidana penjara 7 tahun pada seorang perempuan (banding tidak diupayakan), yang dalam kapasitasnya sebagai ibu dan pengasuh anaknya ‘secara sistematis dengan sengaja tidak member anaknya yang berumur 4 bulan makanan yang ia perlukan sehingga anak tersebut mati’;
b.
Seseorang ditunjuk menjadi pengawas toko, namun membiarkan terjadinya pencurian kopi: HR 21 Februari 1921, NJ 1921, 465, W 10717. Menurut R. Tresna, pertimbangan atau pengukuran terhadap perbuatan-
perbuatan terlarang, yang mentapkan mana yang harus ditetapkan sebagai peristiwa pidana dan mana yang tidak dianggap sedemikian pentingnya, dapat berubah-ubah tergantung dari keadaan, tempat, dan waktu atau suasana serta
11
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana,2008) hal. 73-74, dalam Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press, 2015), hal. 79
Universitas Sumatera Utara
berhubungan erat dengan perkembangan pikiran dan pendapat umum. Apa yang pada suatu waktu di tempat itu dianggap sebagai suatu perbuatan yang harus dicela namun tidak membahayakan kepentingan masyarakat, pada suatu saat bisa berubah dan dianggap sebagai suatu kejahatan. Sebaliknya, apa yang tadi dianggap sebagai suatu kerjahatan, di waktu yang lain, karena keadaannya berubah, dianggap tidak merupakan suatu hal yang membahayakan. UndangUndang harus mencerminkan keadaan, pendapat atau anggapan umum, dan meskipun pada umumnya Undang-Undang selalu terbelakang dalam mengikuti perkembangan gerak hidup di dalam masyarakat, akan tetapi terhadap beberapa perbuatan, ketentuan hukum tetap sesuai dengan anggapan umum. Misalnya pembunuhan, dari dulu kala sampai sekarang, tetap dianggap sebagai sesuatu perbuatan jahat, baik dilihat dari sudut agama atau moral, maupun dilihat dari sudut sopan santun, sehingga sudah semestinya terhadap perbuatan yang demikian itu diadakan ancaman hukuman pidana. 12 Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan yang bisa diartikan secara yuridis atau kriminologis. 13 Adapun unsur-unsur tindak pidana hendaklah dibedakan dari pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut di dalam rumusan UndangUndang (rumusan pasal). Pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan Undang-Undang, yang dalam bahasa Belanda disebut
12
R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Tiara Limited, 1959), hal. 29-30 dalam Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press, 2015), hal. 80 13 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press, 2015), hal. 81
Universitas Sumatera Utara
elementen van de wettelijk delictsome schrijving, misalnya: unsur-unsur (dalam arti sempit) dari tindak pidana pencurian ialah unsur-unsur yang tercantum dalam Pasal 362 KUHP. 14 Menurut Moeljatno unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana, adalah: 15 a.
Kelakuan dan akibat (dapat disamakan dengan perbuatan);
b.
Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
c.
Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
d.
Unsur melawan hukum yang objektif;
e.
Unsur melawan hukum yang subjektif Kelima unsur atau elemen diatas pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke
dalam dua unsur pokok, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. 16 Unsur objektif dapat dibagi menjadi: a.
Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai berikut:
1)
Act, ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan positif; dan
2)
Ommission, ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan negatif;
b.
Akibat perbuatan manusia
Hal ini erat hubungannya dengan ajaran kausalitas. Akibat yang dimaksud adalah membahayakan
atau
menghilangkan
kepentingan-kepentingan
yang
14
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hal.9 dalam Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press, 2015), hal. 107 15 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (1982), hal.1, dalam Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press, 2015), hal.43 16 Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Delik), (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hal.6-7, dalam Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press, 2015), hal.115
Universitas Sumatera Utara
dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta, atau kehormatan; c.
Keadaan-keadaan Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan atas:
1)
Keadaan pada saat perbuatan dilakukan; dan
2)
Keadaan setelah perbuatan dilakukan;
d.
Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan
terdakwa dari hukuman.Sifat melawan hukum bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. Sedangkan unsur pokok subjektif tercermin dalam asas pokok hukum pidana, yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan” (an act does not make guilty unless the mind is guilty; actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud pada konteks ini adalah: a.
Kesengajaan, yang terdiri dari tiga bentuk, yaitu:
1)
Sengaja sebagai maksud;
2)
Sengaja sebagai kepastian;
3)
Sengaja sebagai kemungkinan (dolus eventualis);
b.
Kealpaan, yang merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu:
1)
Tidak berhati-hati; dan
2)
Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.
Universitas Sumatera Utara
Berkaitan dengan kasus yang sedang penulis teliti, jika diaplikasikan ke dalam rumusan tindak pidana yang disebutkan didalam Pasal 15 PERPU No. 1 Tahun 2002 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang berdasarkan UU No. 15 Tahun 2003 maka dapat disimpulkan unsur-unsur nya adalah sebagai berikut: Pasal 15 UU No. 15 Tahun 2003 jo. PERPU No. 1 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.” Maka dapat diuraikan unsur subjektif dari pasal tersebut adalah melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan. Sedangkan unsur objektif nya adalah setiap orang, melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud pada Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. Dengan demikian maka jika seseorang memenuhi kesemua unsur tersebut maka ia dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana Terorisme. 2.
Ruang Lingkup Terorisme
a.
Pengertian Terorisme Sampai sekarang pembatasan dan pengertian terorisme belum disepakati
secara universal, karena di samping banyaknya elemen terkait, juga karena banyak pihak mempunyai kepentingan menterjemahkan terminologi terorisme dari sudut pandang dan kepentingannya termasuk setiap negara atau lembaga merumuskan definisinya sendiri-sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Paul Wikinson yang dikutip oleh Agus Hendrijanto, salah satu persoalan pokok dalam mendefinisikan
Universitas Sumatera Utara
terorisme terletak pada sifat subyektif teror itu sendiri. Ini disebabkan karena manusia mempunyai latar kekuatan yang berbeda, pengalaman-pengalaman pribadi dan latar belakang budaya yang berbeda membuat image yang berbeda satu dengan yang lain. Kendati terdapat perbedaan pemahaman tentang terorisme, ada beberapa definisi yang dapat menjadi rujukan.Kata terorisme berasal dari bahasa Latin, yaitu “terrere” atau teror yang berarti membuat rasa takut yang mencekam, keadaan yang menakutkan; kegentaran. 17Lebih lanjut dikatakannya kata teror sebagai kata benda mengandung arti sebuah ketakutan yang amat sangat (extreme fear); kemampuan untuk menimbulkan ketakutan. Untuk kata kerja transitif, terrorize berarti mengancam atau memaksa dengan teror atau dengan ancaman (to intimidate or coerce by terror or by threats of terror). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Poerwadarminta, teror adalah perbuatan orang-orang atau lembaga (pemerintah dan sebagainya) yang berwenang. Sedangkan terorisme adalah praktek-praktek tindakan teror; penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama untuk tujuan politik). Dalam prespektif hukum, menurut Black’s Law Dictionary, tindak pidana terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana, dan jelas dimaksudkan untuk pertama, mengintimidasi penduduk
sipil;
kedua,
mempengaruhi
kebijakan
pemerintah;
ketiga,
mempengaruhi penyelenggara negara dengan cara penculikan dan pembunuhan. 18
17
Gunawan Budi, Terorisme, Mitos, dan Konspirasi, (Jakarta: Forum Media Utama, 2006), hal.1-2 18 Muladi, Demokrasi, HAM, dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Habibie Center, 2002), hal.173
Universitas Sumatera Utara
Menurut konvensi PBB tahun 1937, terorisme adalah segala bentuk tindakan kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. 19 Mengacu pada Undang-Undang nomor 15 tahun 2003, yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme adalah setiap tindakan dari seseorang dalam pengertian perseorangan, kelompok, orang sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual atau korporasi dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, atau menimbulkan korban secara massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau ingkungan hidup serta fasilitas publik dan fasilitas internasional. 20 Selain itu istilah Terorisme ini juga dapat didefinisikan sebagai setiap tindakan yang melawan hukum dengan cara menebarkan teror secara meluas kepada masyarakat dengan ancaman atau kekerasan, baik yang diorganisir maupun tidak, serta menimbulkan akibat berupa penderitaan fisik dan/atau psikologis dalam waktu berkepanjangan sehingga dikategorikan sebagai tindak kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). 21
19
Marthen Luther Djari, Terorisme dan TNI, (Jakarta: CMB Press, 2013), hal.11 Ibid., hal. 11 21 Petrus Reinhard Golose, Invasi Terorisme Ke Cyberspace, (Jakarta: YPKIK, 2015), hal. 20
2
Universitas Sumatera Utara
Kendati belum tercapai kesepakatan akhir dari rumusan pengertian terorisme, dapat disimpulkan beberapa kesamaan universal dari pengertian terorisme dengan beberapa elemen kunci sebagai berikut: Pertama, adanya aktivitas terencana dan sistematis, bukan kegiatan yang dilakukan secara impulsive atau dorongan sesaat. Kedua, bermotivasi politis sebagai tujuan utama, bukan kriminal.Permintaan uang tebusan hanya sebagai sasaran antara untuk memperkuat tujuan dan merubah tatanan politik yang mapan.Ketiga, dilakukan oleh perorangan terutama kelompok yang memiliki jaringan yang terorganisir dengan militansi yang amat kuat.Keempat, korbannya dipilik secara acak, tidak pandang bulu, sehingga seluruh lapisan masyarakat berpotensi menjadi korban.Kelima, memiliki cara yang berubah-ubah dengan tujuan taktis (jangka pendek), strategis (jangka panjang), maupun gabungan dari jangka pendek dan panjang. Keenam, memperoleh peliputan dari media, seluruh aksi terorisme diupayakan menjadi pemberitaan ke khalayak ramai. 22 b.
Bentuk- Bentuk Terorisme Untuk mencapai hasilnya, para teroris menggunakan model/bentuk aksi
gerakan yang tidak sama dan berubah-ubah, dalam kenyataannya paling tidak terdapat enam belas bentuk aksi teror, yaitu: 23
1)
Peledakan Bom Taktik ini merupakan model yang paling banyak dilakukan para teroris,
karena pekerjaannya yang tersembunyi, tidak membutuhkan jumlah orang yang 22
Marthen Luther Djari, op. cit., hal. 13 Ibid., hal.20-28
23
Universitas Sumatera Utara
banyak, bahannya yang mudah diperoleh dan biaya yang relatif murah, tidak memerlukan keahlian yang tinggi, mempunyai daya ledak yang dahsyat dengan korban yang amat banyak. Bom sebagai saran digunakan dalam terorisme sudah dikenal pada era Napoleon, untuk memperluas kekuasaan yang melebihi sasarannya sendiri.Pada tahun 1858 Orsini berusaha membunuh Napoleon III, menyebabkan delapan orang yang tidak bersalah mati ikut mati terbunuh. 24 2)
Bom Waktu dan Bom Buku Bentuk
ini
menggunakan
getaran
sesuai
dengan
waktu
yang
dikehendaki/timer, ada pula yang menggunakan bom bunuh diri dengan cara melilitkan bom pada bagian badan yang siap diledakan baik oleh pemakainya atau oleh pihak lain sesuai skenario dan yang terakhir ini berkembang adalah bom buku, yaitu bom yang dimasukan dalam kotak berbentuk buku yang dikirimkan ke alamat sesuai target. Dalam dekade terakhir ini tercatat lebih dari 67% dari aksi teror dilaksanakan berhubungan dengan bom. 3)
Bom Bunuh Diri/suicide bomb Menurut Institute for Counter-Terrorism (ICT), peledakan bom bunuh diri
adalah sebuah “metode operasi dengan penyerangan bergantung pada kematian pelaku. Pelaku sepenuhnya menyadari bahwa jika ia tak tewas, rencana penyerangan tidak akan dapat dilaksanakan.” Robert A. Pepe menulis, terorisme bunuh diri merupakan bentuk terorisme yang sangat agresif. Dalam terorisme bunuh diri dengan menggunakan bom-pelaku, teroris tidak mengharapkan akan lolos dari maut. Pelaku pasti mati.Bom bunuh diri sudah mulai digunakan sejak 24
A.M. Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam.,(Jakarta: Buku Kompas, 2009), hal. 45
Universitas Sumatera Utara
abad ke-11.Cara serupa dipergunakan pada saat pecah Revolusi Belgia tahun 1830.Pada saat Perang Dunia II, serangan bom bunuh diri menjadi mode, terutama dipergunakan oleh pilot-pilot Jepang. Mereka menggunakan kamikaze dengan cara menjadikan diri mereka sebagai peluru kendali manusia. Mereka menerbangkan pesawat yang sarat dengan bahan peledak dan menabrak pesawat pada kapal-kapal musuh dan yang spektakuler adalah bom bunuh diri yang dilakukan dengan menabrak menara kembar WCT dan Pentagon pada 11 September 2001. Di Indonesia, bom bunuh diri marak dipergunakan mulai dari bom bunuh diri di Bali 12 Oktober 2002, berlanjut 5 Agustus 2003 di hotel J.W. Marriot dan Ritz Carlton Jakarta yang mengakibatkan 9 orang tewas dan puluhan orang mengalami luka-luka. Cara ini digunakan karena, selain biaya yang sangat rendah, juga tidak membutuhkan teknologi canggih dan korban bisa dalam jumlah besar. 4)
Pembajakan Aksi pembajakan populer dilakukan sejak tahun 1960 yang sampai sekarang
masih ditemukan. Dalam kurun waktu 1960 sampai dengan 1975 tercatat 439 peristiwa pembajakan di seluruh dunia. Umumnya aksi ini dilakukan atas pesawat terbang, kapal laut, kereta api, dan mobil. Pembajakan kereta api yang cukup terkenal terjadi di Belanda oleh sekelompok warga yang menamakan diri Republik Maluku Selatan (RMS) pertama kali terjadi pada 21 Desember 1975, pemerintah Belanda menyebutnya sebagai kidnappings: around the world. Dalam insiden tersebut, kelompok ini menembak masinis kereta api, namun seluruh pembajak berhasil ditangkap.
Universitas Sumatera Utara
5)
Penembakan Taktik penembakan banyak ditemukan di daerah-daerah konflik seperti di
Aceh, Maluku, Poso, dan Papua.Seperti yang baru saja terjadi, penembakan terhadap pesawat Twin Otter PK-YRF Trigana di pegunungan Mulia Jayawijaya Papua pada Minggu 8 April 2012 tujuannya menghabisi para pihak yang dipandang sebagai lawannya dan menimbulkan rasa takut di kalangan rakyat atau orang-orang
yang
menjadi
target.Para
penembak
merupakan
kelompok
terlatih/snipper seperti yang banyak terjadi di daerah konflik di Maluku, Poso, Aceh, dengan senjata yang canggih. 6)
Perampokan Aksi perampokan biasanya dilakukan para teroris dengan merampas uang
dalam jumlah yang besar untuk mendukung kegiatan operasi kaum teroris.Dalam aksi ini tidak segan-segan mereka menghabisi orang-orang yang berhubungan dengan perampokan tersebut. Perampokan umumnya dilakukan atas mobil pembawa uang, atau barang berharga dan toko-toko emas, bank atau tempattempat yang dipandang memiliki dana yang besar. Selain emas, sasaran perampokan juga senjata api, seperti yang dilakukan pada 25 Mei 2011 di halaman depan Bank BCA Cabang Palu yang menembak tiga anggota polisi yang sedang bertugas kemudian merampas senjata polisi yang menjadi sasaran mereka. 25 7)
Pembunuhan
25
Kompas, Aksi Teoris di Palu, 26 Mei 2011, hal.2
Universitas Sumatera Utara
Aksi teror pembunuhan merupakan bentuk teror yang paling tua, menurut catatan sejarah sudah berlangsung pada jaman Kain dan Habel ribuan tahun sebelum Masehi.Taktik tersebut masih ditemukan sampai saat ini.Sasaran pembunuhan biasanya sudah direncanakan terlebih dahulu. Setelah terjadi pembunuhan, para teroris akan mengumumkan bertanggung jawab atas insiden pembunuhan tersebut. Pembunuhan umumnya dilakukan secara terpilih/selektif terhadap target terpilih atas figur yang dikenal dalam masyarakat seperti pejabat pemerintah, pejabat diplomat, aparat kepolisian, tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat keamanan, politisi, atau para pengusaha. Apabila aksi terlaksana akan membawa dampak pemberitaan yang sangat luas, sehingga aksi teroris akan semakin dikenal dan diketahui masyarakat luas. Semakin tinggi tingkatan target pembunuhan, akan semakin tinggi efek sosial bagi kehidupan masyarakat. Menurut catatan, dalam sepuluh tahun terakhir ini terjadi 246 insiden pembunuhan di seluruh dunia. 26 8)
Penyanderaan Merupakan salah satu taktik dan metode tradisional yang dipergunakan
kaum teroris menangkap, mengurung target yang menjadi korban, baik pribadi atau kelompok di satu atau beberapa tempat yang dirahasiakan dengan sejumlah tuntutan
kepada
pemerintah,
lembaga,
organisasi,
ataupun
perorangan.Pembebasan dapat diberikan apabila tercapai kesepakatan.Penyandera dapat berkomunikasi melalui media yang tersedia, sambil mengajukan berbagai tuntutan, sekaligus menyampaikan ancaman yang dilakukan bila tidak memenuhi 26
Abdurrahman Pribadi dan Abu Rayyan, Membongkar Jaringan Terorisme, (Jakarta: Abdika Press, 2009), hal. 17
Universitas Sumatera Utara
tuntutan penyandera.Di Indonesia aksi penyanderaan sudah sering dilakukan oleh sekelompok orang terhadap satu atau beberapa orang yang tidak selalu ada kaitannya dengan para penyandera. Seperti penyanderaan tim ekspedisi Lorentz oleh kelompok orang di daerah Mapnduma kabupaten Wamena Irian Jaya, antara penyandera dengan pihak yang disandera tidak saling mengenal dan berkepentingan. Ketika itu penyandera mengajukan permintaan bahan makanan, obat-obatan, uang, tetapi yang utama adalah tuntutan untuk merdeka dari NKRI. Penyanderaan dapat berlangsung sangat lama, umumnya mereka mengulur-ulur waktu, sering meminta di mediasi oleh LSM atau lembaga sosial/Palang Merah Internasional atau pihak lain yang menguntungkan kelompok penyandera. 9)
Penculikan Penculikan ini merupakan taktik yang dilakukan para teroris dengan
melakukan penghadangan terhadap orang atau kelompok orang tertentu, diikuti dengan tuntutan tebusan berupa uang, benda atau tuntutan politik seperti yang dilakukan oleh kelompok gerilya Abu Sayaf di Filipina. 27Aksi penculikan di Indonesia banyak dilakukan oleh kelompok kecil dengan motif ekonomi, tebusan uang, atau balas dendam, tidak berkaitan dengan jaringan internasional seperti AlQaeda. 10)
Penghadangan Penghadangan merupakan satu bentuk teror yang dilakukan oleh
perorangan atau kelompok perorangan terhadap orang atau kelompok orang dengan menggunakan senjata tajam, senjata api, atau benda-benda lain yang 27
Dr. A.C. Manulang, Menguak Tabu Intelijen: Teror, Motif, dan Rezim, (Jakarta: CMB Press, 2001), hal. 180
Universitas Sumatera Utara
membuat calon korban atau korban terjebak, tertembak. Aksi penghadangan biasanya dipersiapkan dengan matang melalui perencanaan medan dan waktu, penggunaan sarana, dan latihan, sehingga hasilnya lebih terjamin. Tujuan menciderai, menakut-nakuti, atau membunuh.Biasanya penghadangan dilakukan karena tidak puas terhadap suatu kebijakan atau suatu protes terhadap penguasa.Pada beberapa bulan terakhir ini penghadangan banyak terjadi di daerah Papua dan Aceh.Di lintasan Timika menuju pusat penambangan Free Port sering terjadi penghadangan dengan tujuan meminta perhatian pihak manajemen agar memberi perhatian yang lebih besar kepada masyarakat sekitar kawasan penambangan. 11)
Pembakaran Metode pembakaran ini banyak disukai oleh kelompok turis tertentu.
Selama kurun waktu dua puluh tahun, hampir 14% insiden teroris disebabkan oleh pembakaran dengan menggunakan alat bom pembakar untuk memulai terjadinya api. Kelompok teroris Ku Klux Klan dan beberapa kelompok teroris terkenal di Amerika membakar sejumlah gereja dan kelompok minoritas dan beberapa kelompok teroris ternama di Amerika melakukan aksi pembakaran sejumlah gedung gereja kelompok minoritas.Pada waktu terjadi konflik horizontal di Maluku, metode membakar marak dipergunakan oleh kelompok bertikai, baik dari kalangan Muslim yang berada di wilayah penduduk mayoritas Kristen banyak yang dibakar.Demikian juga beberapa perkampungan berpenduduk Kristen yang diapit oleh pemukiman penduduk mayoritas Muslim habis terbakar, sehingga sampai sekarang masih tampak segmentasi penduduk berdasarkan agama.
Universitas Sumatera Utara
12)
Sabotase Aksi teror dengan sabotase sangat efektif digunakan untuk melawan
negara-negara industry. Penggunaan taktik ini dimulai dari pemilihan satu atau beberapa target yang memiliki potensi dipilih karena target tersebut mudah diserang dan sulit dilindungi. Bila aktivitas sabotase ini berhasil, maka akan dipublikasi secara luas. Kegiatan sabotase ini pernah dilakukan di Montana oleh sekelompok orang dengan cara menembak ke dalam transformator pada proyek irigasi datar, menyebabkan 1.500 galon oli tumpah. Kerugian materil atas penembakan tersebut mencapai US $300.000 juga beberapa aktivitas dalam radius 50km tidak berfungsi. 28 13)
Intimidasi atau Ancaman Intimidasi atau ancaman ini merupakan salah satu bentuk teror yang
banyak dipraktekan untuk melakukan tindakan menakut-nakuti atau mengancam orang perorangan atau kelompok orang dengan menggunakan kekerasan, sehingga para korban atau calon korban terpaksa menuruti kehendak pengancam untuk mencapai maksud yang ditetapkan.Taktik ini sering dilakukan oleh kelompok teroris, termasuk di Indonesia. Berulang kali terdengar ada penelepon gelap memberitahukan bahwa dalam beberapa saat lagi akan meledak bom yang tersimpan di salah satu tempat. Mendengar informasi tersebut, dengan berdesakdesakan orang akan lari ke luar bangunan. 14)
Serangan Bersenjata
28
Adjie. S., Terorisme, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 80
Universitas Sumatera Utara
Bentuk ini masih sering ditemukan sampai sekarang. Teroris Sikh di India melakukan serangan bersenjata menembak dan membunuh seluruh penumpang bus termasuk wanita, anak-anak, dan warga lanjut usia yang beragama Hindu. Taktik serupa juga digunakan oleh kelompok Tamil di Sri Lanka di Negara Peru oleh “Shining Path” atau “Sendaro Luminoso” mengaku bertanggung jawab atas meninggalnya 10.000 orang dalam kurun waktu Sembilan tahun. 29Di Indonesia dapat dilihat di lintasan jalur dari Timika ke lokasi penambangan Free Port dan di pegunungan Mulia Papua.Diberitakan bahwa banyak penduduk sipil dan aparat yang mati tertembak.Sering juga kelompok bersenjata ini menjadikan pos polisi militer (oleh GPK) sebagai sasaran dengan tujuan merampas senjata dari aparat keamanan. 15)
Serangan Gas Serangan gas adalah penggunaan senjata kimia, biologi, radioaktif, senjata
nuklir atau bom berkekuatan besar, seperti yang terjadi dengan serangan gas beracun (gas syaraf) sarin oleh sekte Aum Shinrikyo yang disemprotkan oleh lima anggota kelompok yang menumpang kereta bawah tanah Tokyo pada 20 Maret 1995 yang menewaskan 13 orang dan melukai 6000 orang. Pemerintah Kanada, Uni Eropa, dan Amerika Serikat memasukan sekte Aum ke dalam kelompok teroris. Melalui rangkaian penyelidikan, kepolisisan Jepang menemukan bahwa zat sarin yang digunakan mempunyai kesamaan dengan zat yang digunakan pada peristiwa
penyerangan
di
Matsumoto
tahun
1994.
Kelompok
ini
29
Ibid., hal. 71
Universitas Sumatera Utara
mempertimbangkan menyerang stasiun kereta api bawah tanah Kasumegaseki, karena tempat ini menjadi pusat aktivitas pemerintah. 30 16)
Bioterorisme Bioterorisme ini merupakan aksi pelepasan secara sengaja kuman
penyebab penyakit, seperti virus, bakteri, atau kuman lain dengan tujuan menimbulkan kesakitan, atau bahkan kematian kepada semua mahluk hidup terutama manusia. Kuman pathogen dapat disebarkan melalui udara, sumber air, dan makanan. Aksi ini pernah dijadikan senjata biologis pada tahun 1520 dalam peperangan oleh seorang jendral Spanyol, Fransisco Pizarro yang ketika itu memimpin pasukan dalam rangka menaklukan kerajaan Inca di Peru dengan cara memberikan pakaian yang mengandung kuman cacar kepada orang-orang Inca. 31Ancaman ini juga pernah terjadi di Jakarta, melalui kiriman amplop bertuliskan anthrax ke Kedutaan Besar Perancis di Jakarta pada Senin 23 April 2012.Kendati Polisi menyatakan hasilnya negatif, namun Kepala BIN (Badan Intelijen Negara), mengatakan bahwa anthrax telah menjadi ancaman. 32 c.
Motif atau Faktor Penyebab Terorisme Perang melawan teroris adalah perang dalam benak atau pikiran
seseorang.Disini peranan motivasi menjadi penting bagi seseorang untuk memilih antara bertindak radikal atau tidak. Terdapat unsur-unsur yang dapat dijabarkan secara psikologis, mengapa ada seseorang dapat berubah menjadi berpaham
30
Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terorisme, (Jakarta: YPKIP, 2009), hal. 10-11 Kompas 27 Juli 2009, I Made Artika; Mengatasi Ancaman Bioterorisme, hal.1 32 http://www.beritasatu.com/asia/44410-bin-paket-ke-kedubes-prancis-bukananthrax.html diakses pada tanggal 13 Februari 2016 pukul 12:01 WIB 31
Universitas Sumatera Utara
radikal sehingga rela membunuuh dirinya sendiri dan orang lain demi mencapai suatu tujuan. 33 U.S. Army Training and Doktrine Command pada tahun 2007 menyebutkan beberapa alasan memunculkan motivasi terjadinya pergerakan teroris, antara lain: separatisme, etnosentrisme, nasionalisme, dan revolusioner. Hoffman mengidentifikasi enam motivasi aksi terorisme yang dituangkan dalam tabel klasifikasi motivasi terorisme yaitu meliputi; Nasionalis-separatis, religious, ideologi, single issue, negara sponsor, dan penderita sakit jiwa. 34 Mencermati pandangan para ahli tentang motif dan sasaran terorisme dihadapkan pada berbagai kejadian maka dapat diuraikan sebagai berikut: 35 Pertama, budaya kekerasan yang tumbuh dalam satu negara dapat menjadi motif terjadinya aksi terorisme.Hal itu disebabkan oleh munculnya kesadaran kolektif bahwa kekerasan itu adalah tradisi warisan sejarah dan fakta sosial. Kedua, aksi terorisme sering dipicu oleh hal-hal yang bersifat politis dan non-politis. Ketiga, berupa intimidasi atau mempengaruhi kebijakan pemerintah dan meyakinkan ideologi sendiri. Keempat,
sebagai
akumulasi
dari
penindasan,
peminggiran,
dan
penderitaan.Kelompok yang mendapat diskriminasi secara konstitusional biasanya menjadi faktor determinan meluasnya terorisme.Semula, para teroris berasal dari kelompok minoritas termarginal, namun secara perlahan-lahan membentuk kelompok yang dapat menjadi kelompok mayoritas. Di Indonesia, “barisan sakit 33
Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terosisme, (Jakarta: YPKIK, 2009), hal. 115 Petrus Reinhard Golose, op.cit., hal. 7-8 35 Marthen Luther Djari, op.cit., hal. 29-30 34
Universitas Sumatera Utara
hati” kelompok DI/NII yang telah dibersihkan sampai tahun 1980-an kembali menyatu dengan kelompok JI sebagai pengembangan dari Al-Qaeda menjadi kekuatan baru. Kelima, kelemahan komitmen pemerintah melawan terorisme membuat gerakan terorisme semakin meluas.Kelemahan pemerintah dimaksud bukan karena pemerintah belum berbuat apa-apa, tetapi yang dilakukan belum secara intensif, bahkan kerja keras untuk membatasi gerak terorisme dan menjamin tersedianya keamanan cenderung lamban, ragu, dan tidak seluruhnya menjadi peluang bagi aktivitas teroris. Keenam, tujuan jangka pendek aksi terorisme adalah menarik perhatian media masa dan perhatian publik. Ketujuh, tuntutan kaum teroris biasanya ditujukan kepada sasaran dan pihak tertentu. Kedelapan, tujuan aksi teroris adalah untuk tercapainya tujuan mereka.Umumnya teroris tidak memilih korban.Mereka tidak peduli apakah itu warga sipil atau bukan, yang utama adalah tercapainya tujuan, yaitu menakutnakuti mempengaruhi, dan menghancurkan. Kesembilan, para teroris selalu berupaya menciptakan perasaan tidak nyaman, gangguan fisik, maupun psikologis masyarakat. Kesepuluh, aktivitasnya selalu bernilai mengagetkan (shockvalue) untuk menarik perhatian publikasi secara besar-besaran, sehingga public menjadi takut, panik, dan gelisah.Media tentunya menjadi corong pengeras suara kampanye propaganda bagi kaum teroris.
Universitas Sumatera Utara
Kesebelas, menjadikan tempat keramaian seperti tempat pembelanjaan, tempat ibadah, fasilitas publik sebagai sasaran penghancuran dan teror. 36 Sedangkan Tb. Ronny R. Nitibaskara dalam Jurnalnya mengatakan bahwa berbagai corak ragam motif-motif dilancarkannya terorisme timbul akibat banyaknya ragam pelaku. Adapun secara umum motif-motif tersebut adalah sebagai berikut: 37 a.
Motif Politik Terorisme yang dilakukan atas dasar motif politik sesuai dengan kelompok-
kelompok organisasi yang merupakan gerakan perlawanan yang sering dituduh melaksanakan terorisme, seperti Liberation Front di Salvador dan Irish Repulican Army (IRA) di Eropa. b.
Motif Ekonomi Teroris yang bermotif ekonomi, yakni mencari keuntungan secara material sebanyak-banyaknya,
biasanya
dilakukan
oleh
organisasi-organisasi
kejahatan (crime organizations) seperti Mafia, Yakuza, kartel-kartel perdagangan obat terlarang dan sejenisnya. c.
Motif Penyelamatan (Salvation) Motif ini bertalian erat dengan ajaran sekte-sekte aliran kepercayaan.Contoh terorisme dengan motif penyelamatan yang paling menggentarkan adalah yang dilakukan oleh sekte Aum Shinrikyo di Jepang dengan pimpinannya Shoko Asahara. Kelompok sekte ini pada bulan Maret 1995 melakukan teror 36
Budi Gunawan, Terorisme, Mitos dan Konspirasi, (Jakarta: Forum Media Utama), hal.
8-10 37
Tb. Ronny R. Nitibaskara, Terorisme Sebagai Kejahatan Penuh Wajah : Suatu Tinjauan Kriminologis dan Hukum Pidana, Jurnal Kriminologi Indonesia, Volume 2, 3(Desember, 2002), hal. 16
Universitas Sumatera Utara
dengan gas sarin di stasiun bawah tanah Tokyo yang menewaskan 10 orang dan melukai 5000 orang lainnya. Pelaku ini sama sekali tidak menganggap tindakannya sebagai teror. Dalam keyakinan mereka, manusia hidup senantiasa dalam keadaan sengsara dan terpenjara.Oleh karena itu diperlukan adanya suatu kematian yang cepat untuk penyelamatan. d.
Motif Balas Dendam Terorisme dengan motif ini biasanya dilakukan pelaku individual, atau kelompok-kelompok kecil yang terorganisir maupun organisasi-organisasi kejahatan.Pelaku individual dengan motif balas dendam salah satu contohnya adalah Unabomber. Pelaku yang nama sebenarnya adalah Theodore John Kecynski ini merasa kecewa dengan lembaga riset universitas tertentu yang dirasakannya telah memperlakukannya secara kurang layak. Selanjutnya ia merasa terdorong untuk menumpahkan kemarahannya berupa terorisme berantai.
e.
Kegilaan (Madness) Pelaku dengan motif ini biasanya melakukan terorisme berakar dari adanya penyimpangan psikologis. Teroris dari Spanyol, Carlos, yang sempat merajalela ditahun 1970 diduga memiliki motif ini
Universitas Sumatera Utara
3.
Pelaku Terorisme Pelaku terorisme disebut teroris yang dapat diartikan sebagai seseorang atau
biasanya anggota suatu kelompok yang menggunakan atau membela terorisme, atau seseorang yang meneror atau menakuti orang lain. 38 Sedangkan menurut Stanislaus Riyanta, teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik.39 Meski jika dikaji dengan ilmu kriminologi, maka dapat disimpulkan bawha pelaku dalam kejahatan ini dapat dibedakan antara individu dan organisasi.Secara kualitatif, rage of terror (rasa takut yang mendalam akibat teror) yang disebabkan oleh pelaku individu tak kalah menggentarkan dibanding pelaku-pelaku lain yang terdiri dari kelompok terorganisir. Misalnya Theodore John Kacynski yang melakukan serangkaian terror bom selama hampir 15 tahun hanya seorang diri atau Timothy Mc. Veigh yang berhasil menghancurkan gedung bertingkat delapan belas di Oklahoma City pada Tahun 1995 dan dicatat oleh pers sebagai “The Worst Domestic Terrorism in American History”.
40
Munculnya berbagai pelaku terorisme individual tersebut, secara konseptual akan mempengaruhi definisi terorisme. Batasan untuk menekan terorisme hanya untuk mencapai tujuan politik tampaknya perlu ditinjau kembali.Hal ini diakibatkan semakin beragamnya motif yang mendasari dilakukannya kejahatan
38
Petrus Reinhard Golose., op. cit., hal. 5 Stanislaus Riyanta, Apa Itu Terorisme?, dalam http://jurnalintelijen.net/2015/09/07/apaitu-terorisme/ , diakses pada tanggal 21 Februari 2016 pukul 15:21 WIB 40 Tb. Ronny R. Nitibaskara, op. cit., hal. 14 39
Universitas Sumatera Utara
itu. Itulah sebabnya pakar terorisme, Walter Laqueur menyatakan bahwa today society faces not one terrorism but many terrorism. 41 F.
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif yang secara deduktif dimulai dengan analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur permasalahan yang dibahas didalam skripsi ini. bersifat normatif karena ini merupakan penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif mengenai hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya dan penerapan dalam prakteknya yaitu studi putusan dalam skripsi ini. Adapun sumber dan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diambil melalui data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh diluar koresponden dalam arti bahwa data yang diperoleh adalah data tidak langsung, yang dapat dijabarkan sebagai berikut: 1.
Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer ini merupakan berbagai ketentuan dan peraturan
perundang-undangan maupun Undang-Undang yang telah berlaku di Indonesia yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme, yaitu Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang No. 5 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention of The Supression of Terrorist Bombings 1997 menjadi Undang-Undang, Undang-
41
Walter Laqueur, “A History of Zionism” dalam Ibid. hal 15
Universitas Sumatera Utara
Undang No. 6 Tahun 2006 tentang pengesahan International Convention of The Supression of The Financing of The Terrorism 1999 menjadi Undang-Undang, Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2002 Tentang Penanganan Masalah Terorisme. Selain berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan maupun UndangUndang yang telah berlaku di Indonesia yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. 2.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder ini merupakan bahan yang berkaitan dengan bahan
hukum
primer
dan
merupakan
bahan
pendukung
dari
bahan
hukum
primer.Peneliti mengambil bahan hukum sekunder dari studi kepustakaan, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan bahan hukum primer. 3.
Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier ini adalah bahan hukum pelengkap dari bahan hukum
primer dan sekunder.Penulis mengambilnya melalui berbagai jurnal maupun arsip-arsip penelitian. Selanjutnya untuk teknik pengumpulan data, penulis memakai teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dimana penulis memperoleh data dengan cara mengumpulkan dan membahas bahan-bahan penelitian yang dapat menunjang penelitian hukum didalam skripsi ini. G.
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini dibagi menjadi beberapa bab, dimana dalam satu
bab terdiri dari sub-bab yang menjabarkan permasalahan yang sedang dibahas
Universitas Sumatera Utara
dalam bab tersebut. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian sebagai berikut: 1.
BAB I
PENDAHULUAN
Di dalam bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti apa penelitian pada umumnya, yaitu dengan menguraikan latar belakang
mengapa penulis
mengangkat topik ini, rumusan masalah yang ingin penulis bahas dalam skripsi ini, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode apa yang diapakai oleh penulis untuk melakukan penelitian pada skripsi ini, keaslian penulisan, serta sistematika penulisan dalam skripsi ini. 2.
BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME DI
INDONESIA DALAM BEBERAPA PERATURAN Dalam bab ini akan diuraikan latar belakang lahirnya dan bagaimana sanksi pidana dari peraturan-peraturan di Indonesia yang mengatur tentang permasalahan yang menjadi topik dalam skripsi ini, yaitu terorisme. Adapun peraturan-peraturan tersebut meliputi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang No.5 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention of The Supression of Terrorist Bombings 1997 menjadi Undang-Undang, serta Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2002 tentang Penanganan Masalah Terorisme. 3.
BAB III
PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA TERORISME (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 1477/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel)
Universitas Sumatera Utara
Di dalam bab ini akan diuraikan bagaimana penerapan sanksi pidana dalam studi putusan yang menjadi konsentrasi pada skripsi ini, yaitu dengan menjabarkan secara rinci posisi kasus mulai dari kronologis sampai putusan hakimnya, pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana dan hal-hal yang melatarbelakangi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana, serta analisis putusan yang menjadi konsentrasi pada skripsi ini. 4.
BAB IV
PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dimana hanya berisi kesimpulan dari isi penulisan skripsi ini dan saran.
Universitas Sumatera Utara