BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PELANGGARAN HAM PADA KEJAHATAN KEMANUSIAAN A. Pengertian HAM Dewasa ini, pembahasan mengenai HAM sangat gencar disuarakan dimana-mana. HAM tidak hanya diatur dalam perarturan nasional suatu negara, melainkan juga diatur dalam instrumen hukum internasional. Masalah penahanan (detention) serta masalah penyiksaan (torture) adalah dua diantara beberapa masalah HAM yang sering dikaji. Terutamanya pada masalah penyiksaan, dimana manusia mempunyai hak untuk tidak disiksa. Bahkan hak untuk tidak disiksa tersebut mempunyai dua karakter sekaligus, yaitu sebagai non-derogable rights dan jus cogens. Hak untuk disiksa tersebut sangat aktual untuk dibahas dalam permasalahan HAM karena hak tersebut bersinggungan langsung dengan HAM, khususnya hak sipil dari setiap individu. Masalah penahanan dan penyiksaan tersebut secara jelas telah diatur dalam Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights.12 HAM pada saat ini telah menjadi topic pembicaraan utama di berbagai belahan dunia. HAM bukan saja menjadi isu dan masalah nasional bagi negara tetapi juga menjadi isu dan masalah internasional. Dalam kenyataannya, kasus HAM yang menjadi isu dan masalah internasional dapat dilihat dari beberapa kasus misalnya kasus diskriminasi kulit hitam (apartheid) di Afrika Selatan; pembunuhan massal terhadap suku Kurdi pada era Saddam Husien di Irak; 12 Dikutip dari sekartrisakti.wordpress.com/tag/penahanan pada tanggal 12 Maret 2014 pukul 15.40 WIB
13
14
pembasmian terhadap etnis Muslim Bosnia oleh Serbia; penyiksaan tawanan perak Irak di Kamp Guantanamo; Penyiksaan etnis Rohingnya di Myanmar dan termasuk kasus kejahatan manusia pada etnis Pattani di Thailand bagian selatan yang akan menjadi pembahasan dalam skripsi ini. Dan adapun pengertian HAM yang bersifat baku belum ada hingga saat ini. Beberapa definisi HAM yang dikenal antara lain:13 a.
Jhon Locke: “ Hak asasi manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat (mutlak)”
b.
Prof. Koentjoro Poerbo Pranoto (1976) “HAM adalah hak yang bersifat asasi, artinya, hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga bersifat suci.
c.
Jan Materson (Anggota Komisi HAM PBB) “Human rights could be generally defines as those right which are inherent in our nature and without which we cannot live as human beingi”
d.
Prof. Darji Darmodoharjo, S.H: Hak-hak asasi manusia adalah dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak asasi itu menjadi dasar dari hak dan kewajiban-kewajiban yang lain. Berdasarkan beberapa definisi yang terdapat diatas maka dapat lah
disimpulkan bahwa HAM adalah sesuatu yang bersifat melekat (inherent) pada 13
Dikutip dari disini-tempat-pr-ku.blogspot.com/2012/10/pengertian-ham-menurut-paraahli.html?m=1 diakses pada tanggal 21 Februari 2014 pukul 14.11 WIB
15
diri setiap manusia, yang mana berarti HAM adalah karunia dari Tuhan dan bukan pemeberian dari manusia ataupun pemberian dari penguasa negara. HAM merupakan hak hukum (legal rights) serta substansinya bersifat universal. Hak hukum yang dimaksud berarti HAM dapat dituntut di Pengadilan, sedangkan sifat universal berarti eksistensi HAM berlaku secara keseluruhan dan tidak dibatasi oleh batas-batas geografis. HAM secara hukum selain telah diatur dalam instrument hukum nasional suatu negara, juga telah diatur dalam instrument hukum internasional, seperti yang telah dituangkan dalam Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights/UDHR) tahun 1948, Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) tahun 1966, dan Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomo, sosial, dan budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights/ICESCR) tahun 1966. Lebih lanjut, Hector Gros Espiel menyatakan bahwa, isu HAM tidak lagi menjadi suatu masalah yang secara eksklusif merupakan kewenangan dalam negeri dari negara, namun yang sekarang diakui, HAM telah menjadi masalah yang diatur baik oleh hukum nasional maupun hukum internasional dan tidak dapat lagi digunakan dalih bahwa HAM merupakan masalah kewenangan atau menjadi yurisdikisi dalam suatu negara14.
14
Hector Gros Espiel, La Convention Americaine et la convention Eropeenne des droits de l’homme, Analyse Comparative, (RCADI), 1989/VI, Vol 218. hal
16
B. Kejahatan Kemanusiaan dan Faktor-Faktor Penyebabnya Di dalam hukum internasional, istilah kejahatan terhadap kemanusiaan mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan fisik. Biasanya kejahatan kemanusiaan dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler dan yang terjadi di Rwanda ataupun Yugoslavia. Definisi dari kejahatan kemanusiaan telah tercantum dalam pasal 7 Statuta Roma. Berikut isi terjemahan dari Pasal 7 Statuta Roma tersebut:15 Pasal 7, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan 1.
Untuk tujuan statute ini, “Kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti setiap perbuatan-perbuatan berikut ini apabla dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan (me)luas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok populasi sipil secara disengaja: a) Pembunuhan b) Pemusnahan; c) Perbudakan; d) Deportasi atau pemindahan paksa populasi; e) Pemenjaraan atau permapasan berat atas kebebasan fisik yang melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional; f) Penyiksaan;
15
Rome Statute of The International Criminal Court
17
g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemkasaan sterilisasi, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang beratnya sebanding; h) Persekusi terhadap suatu kelompok atau perkumpulan yang dapat diidentifikasi atas dasar-dasar politik, ras, kebangsaan, suku, budaya, agama, jender yang sebagaimana diidentifikasikan di dalam ayat 3, atau dasar-dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diperbolehkan dalam hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap tindakan yang dimaksud di dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada di dalam Yurisdiksi Mahkamah i) Penghilangan paksa orang-orang; j) Kejahatan apartheid; k) Perbuatan-perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap tubuh atau mental atau kesehatan fisik. Dari definisi diatas maka dapat dilihat bahwa yang menjadi tindak pidana pada kejahatan kemanusiaan adalah adanya serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan langsung pada penduduk sipil, yang berarti bahwa suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Dari faktor penyebab terjadinya kejahatan terhadap kejahatan kemanusiaan tersebut ada banyak faktor yang mempengaruhuinya. Keinginan untuk menguasai suatu daerah atau kelompok dengan tujuan menjadi pemimpin adalah alasan yang mendasar penyebab terjadinya kejahatan kemanusiaan tersebut.
18
Lebih lanjut menurut Bassiouni, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari “aksi atau kebijakan negara”, bila berkaitan dengan pelaku-pelaku yang memiliki hubungan dengan negara (state actors), dan sebagai bagian dari suatu “kebijakan”,bila berkaitan dengan para pelaku yang tidak memiliki hubungan dengan negara namun memiliki karakteristik negara berkenan dengan kemampuannya menggunakan dominasi dan kontrol atas wilayah dan rakyat (non-state actors).16 Selain faktor dari kebijakan dan aksi dari suatu negara, faktor kejahatan manusia menurut Statuta Roma mungkin juga terjadi dari suatu kebijakan suatu organisasi. Hal tersebut dapat terlihat dari terjadinya perang-perang saudara dan disintegrasi seperti kasus bekas negara Yugoslavia. Di dalam Putusan Tadic, Majelis Pengadilannya telah memandang bahwa entitas di balik kebijakan tersebut bisa saja suatu organisasi dengan kekuasaan de facto atas wilayah, dan membuka kemnungkinan bahwa organisasi-organisasi lain mungkin memenuhi juga syarat tersebut.17 Dengan mencantumkan kata ‘kebijakan” yang memang lebih luas cakupan dan maknanya, tampaklah kalau Statuta Roma bermaksud untuk tidak hanya mencakup dan menjangkau perbuatan aktif bagi terjadinya kejahatan terhadap kemnausiaan, tapi pula perbuatan-perbuatan pasif oleh piak berwenang yang mengetahui tentang terjadinya kejahatan-kejahatan internasional tersebut. Perbuatan pasif demikian dalam hal ini dianggap sebagai bagian dari terjadinya
16
M.Cherif Bassiouni, CRIMES AGAINST HUMANITY IN INTERNATIONAL CRIMMINAL LAW, Hague, Kluwer Law International 1999, hal 85-86 17 Tadic Opinion and Judgement, Trial Chamber, Paragraphs, hal 654-655
19
tindakan-tindakan kejahatan tersebut, lebih tepatnya ia merupakan bagian dari rangkaian, bangunan, atau sistem terjadinya tindakan-tindakan kejahatan tersebut. Jadi pada intinya bila suatu tindak kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi dan pihak berwenang mengetahuinya, maka pihak terakhir ini harus segera mengambil tindakan-tindakan pencegahan dan penghukuman yang diperlukan. Bila tidak, maka mereka tersebut dapat dihukum berdasarkan Pasal 7 Statuta Roma.18
C. Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat dan Kejahatan Kemanusiaan di Berbagai Negara19 Pada tahun 1960 di Kongo, tentara nasional Kongo telah membantai ratusan orang Baluba di Propinsi Kasai Selatan ,ketika terjadinya suatu krisis politik dalam negeri yang serius. Tahun 1965 dan 1972 di Burundi, Tutsi, kelompok yang minoritas namun dominan secara politis di daerah tersebut telah menghancurkan kelompok Hutu, suatu kelompok etnis mayoritas dalam kalangan penduduk: tahun 1965 para pemimpinnya telah dihancurkan dan dan tahun 1972 antara 100.000 dan 300.000 orang Hutu telah dibunuh. Berlanjut ke Pakistan Timur pada tahun 1971, dimana tentara Pakistan telah membantai penduduk daerah yang sekarang ini menjadi Bangladesh. Tahun 1970-1974 di Paraguay ribuan orang Indian Ache dibunuh ketika bertentangan dengan pihak yang berwenang di Pemerintahan. Tahun 1971-1978, rezim Idi 18
Erikson Hasiholan Gultom, Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur, PT Tatanusa, Jakarta. 2006 Hal 43 19 Antonio Cassese, Hak Asasi Manusia Di Dunia Yang Berubah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.2005 Hal 113
20
Amin di Uganda telah membunuh ribuan orang sipil, termasuk banyak musuh politik, akan tetapi juga anggota kelompok etnis (Acholi dan Lango). Di kawasan Asia Tenggara sendiri antara pada tahun 1975 dan 1978 di Kamboja Khmer Merah Pol Pot telah menghancurkan kira-kira dua juta orang, diantaranya beberapa kelompok etnis atau agama seperti Champs (suatu minoritas Islam) dan para biksu Buddha. Pada tahun yang
sama dengan kejadian di Kamboja, di Iran terjadi
penindasan dan pembunuhan terhadap anggota kepercayaan Bahai. Di tahun 1960-an dan 1970-an di Brasil telah terjadi pengahncuran terhadap suku Indian yang mendiami wilayahnya. Pada tahun 1982 pembunuhan massal terjadi terhadap orang-orang Palestina oleh pasukan-pasukan Kristen Falangis di kampkamp Palestina di Sabra dan Shatila, dengan persetujuan dan tanpa tindakan pencegahan dari angkatan bersenjata Israel. Di tahun 1986-1987 di Sri Lanka tindakan kekerasan telah dilakukan terhadap orang-orang Tamil oleh mayoritas Singhala (yang berikutnya menjadi korban pembunuhan orang Tamil, sampai diadakan perjanjian di bawah pengawasan India tahun 1987 (yang bagaimana pun hanya mengurangi konflik rasial itu).